KITAB RAHASIA SHOLAT
DAN SEGALA
KEPENTINGAN NYA
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Segala pujian bagi Allah yang mengurniakan akan hambaNYA dengan
segala nikmat yang halus-halus dan mengurniakan akan hati mereka dengan segala
nur agama dan tugasnya, yang diturunkan dari Arasy kebesaran ke langit dunia,
dari derajat-derajat kerahmatan, salah satu dari tanda-tanda kasih sayang
Allah, yang berbeda dengan raja-raja, serta keEsaan dengan Kebesaran dan
keAgungan, dengan menggembirakan makhluk ALLAH untuk bermohon dan berdo’a. Maka
berfirman Allah: ”Adakah yang berdo’a, maka AKU terima do’anya itu. Adakah yang
meminta ampun, maka AKU ampunkan dosanya”.
Berbeda dengan sultan-sultan, dengan
membuka pintu dan membuang hijab, maka dimudahkan Allah bagi segala hamba Allah
untuk bermunajah/membisikkan segala isi hati dengan shalat-shalat, betapapun
bertukarnya keadaan di dalam jama’ah orang ramai dan di tempat-tempat yang
sunyi. Tidak dengan memberikan kelapangan saja, tetapi ia dengan lemah lembut
mengajak dan memanggil, sedang selain Allah dari raja-raja yang lemah itu tidak
memperkenankan berbicara secara sembunyi melainkan setelah menyerahkan hadiah
dan suap.
Maka Maha Sucilah
Allah, Maha Besarlah kedudukan Allah dan Maha kuatlah kekuasaan Allah, Maha
Sempurnalah kasih sayang Allah dan Maha Lengkaplah kebaikkan Allah. Rahmat
kepada Muhammad Nabi Allah dan wali Allah yang pilihan dan kepada keluarganya
dan sahabatnya kunci petunjuk dan lampu kegelapan serta selamat yang sempurna.
Adapun kemudian, maka sesungguhnya
sholat itu tiang agama dan tonggak keyakinan, pokok segala jalan mendekatkan
diri kepada Tuhan dan sinar cemerlang untuk kebaktian kepada Allah.
Sesungguhnya, telah kami selidiki dalam ilmu fiqih secara meluas, sedang dan
ringkas dari madzhab akan segala pokok dan cabangnya, kami kesampingkan
kesungguhan dari ranting-rantingnya yang jarang terjadi dan
kejadian-kejadiannya yang hampir tak pernah kejadian, supaya adalah semuanya
ini menjadi simpanan bagi Mufti (orang yang mengeluarkan fatwa-fatwa). Dari
padanya ia mengambil paham dan berpegang dan kepadanya ia mengadu dan kembali.
Kami sekarang di dalam kitab ini, meringkaskan kepada yang tak boleh tidak
saja, bagi seorang pelajar fiqih, mengenai segala amal perbuatan zhahiriyah dan
segala rahasianya yang bathiniyah. Kami menyingkapkan segala artinya yang
halus-halus tersembunyi, mengenai pengertian khusyu’,
ikhlas dan niat, hal mana yang tidak
berlaku kebiasaan menyebutkannya di dalam ilmu fiqih, kami susun kitab ini
kepada 7 bab:
Bab pertama
: mengenai fadlilah / keutamaan shalat
Bab kedua : mengenai pengutamaan amalan zhahir dari
shalat
Bab ketiga : mengenai pengutamaan amal bathin dari
shalat.
Bab keempat : mengenai imam shalat dan cara
mengikuti imam.
Bab kelima : mengenai shalat jum’at dan adabnya.
Bab keenam
: mengenai masalah yang bermacam-macam yang menjadi bahaya yang merata,
yang memerlukan murid kepada mengetahuinya.
Bab ketujuh : mengenai amalan sunnah dan lainnya.
BAB
PERTAMA : Mengenai fadlilah shalat, sujud, berjama’ah, adzan dan lainnya.
FADLILAH AZAN
Bersabda Nabi saw: "3 orang pada hari
qiamat di atas bukit kecil dan kesturi hitam, tiada menyusahkan mereka oleh
hisab amalan dan tiada menimpa ke atas diri mereka oleh kegelisahan, sehingga
selesailah ia dari segala sesuatu diantara manusia. Orang yang tiga itu ialah:
1. Orang yang membaca AIquran karena
mengharap akan Wajah Allah 'Azza wa Jalla dan menjadi imam pada sesuatu kaum,
di mana kaum itu senang kepadanya,
2. Orang yang beradzan pada masjid dan
berdo’a kepada Allah 'Azza wa Jalla karena mengharap akan WajahNya
3. Dan orang yang berpenghidupan sempit di
dunia maka yang demikian itu tiada mengganggukannya daripada berbuat amalan
akhirat".
Bersabda Nabi saw: “Tiadalah yang mendengar seruan adzan dari orang yang
beradzan itu, baik yang mendengar itu jin atau manusia ataupun sesuatu yang
lain, melainkan naik saksi ia untuk orang yang beradzan itu pada hari
qiamat". Bersabda Nabi saw: “Tangan Tuhan Yang Maha Pengasih itu di atas kepala
muadzin (orang yang beradzan), sehingga selesailah ia daripada adzannya”. Ada
yang mengatakan mengenai penafsiran firman Allah 'Azza wa Jalla "Siapa
yang lebih baik perkataannya dari orang yang memanggil kepada Tuhan dan
mengerjakan perbuatan baik" bahwa
ayat ini turun mengenai orang‑orang muadzin. Bersabda Nabi saw: "Apabila
kamu mendengar seruan adzan, maka ucapkanlah apa
yang diucapkan oleh muadzin itu". Mengucapkan yang demikian itu
adalah sunat, kecuali mengenai: "Hayya 'alash‑shalaah" (Marilah segera shalat) dan "Hayya
'alal‑falaah" ( Marilah mencari kemenangan) maka diucapkan pada
yang dua ini ialah: "Laa haula wa laa quwwata illaa billaah" (Tiada
daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Dan pada ucapan muadzin: "Qadqaamatish
shalaah" (sungguh shalat telah didirikan) maka pendengar mengucapkan: “Ditegakkan Allah kiranya
shalat itu dan dikekalkan Allah selama kekal langit dan bumi. Dan pada tatswib,
yaitu: ucapan muadzin pada shalat shubuh:
“Ashshalaatu khairum minan nauum” (Shalat itu lebih baik dari pada tidur),
maka pendengarnya mengucapkan: “Benar engkau, telah berbuat kebajikan engkau dan
telah memberi nasehat engkau. Ketika selesai dari adzan, maka dibacakan do'a,
yaitu: "Ya Allah, ya Tuhanku, yang memiliki do’a ini yang sempurna, dan
shalat yang berdiri tegak! Berikanlah kepada Muhammad jalan, kelebihan dan
derajat tinggi! Dan bangkitkanlah dia pada tempat terpuji yang telah Engkau
janjikan! Sesungguhnya Engkau tiada menyalahi janji".
Berkata Said bin AI‑Musayyab:
“Barangsiapa mengerjakan shalat pada tanah sahara yang luas, niscaya bershalat
di kanannya seorang malaikat dan dikirinya seorang malaikat. Maka jika ia
beradzan dan berqamat (iqamah), niscaya bershalat di belakangnya malaikat‑malaikat
berbaris seperti bukit".
FADLILAH / KEUTAMAAN SHALAT FARDLU.
Berfirman Allah Ta’ala: "Sesungguhnya shalat
itu suatu kewajiban yang ditentukan waktunya untuk orang‑orang yang
beriman" S 4 An‑Nisaa', ayat 103. Bersabda Nabi saw: "5 shalat
diwajibkan oleh Allah kepada segala hamba. Maka barangsiapa mengerjakan
semuanya dan tidak menyia‑nyiakan suatupun daripadanya, sebagai meringan‑ringankan
haknya, niscaya adalah untuknya pada Allah suatu janji bahwa ia akan masuk
sorga. Dan barangsiapa tidak mengerjakan semuanya, maka tiadalah baginya pada
Allah suatu janji. Jika dikehendaki oleh Allah niscaya diazabkannya dan jika dikehendaki Allah, niscaya dimasukkannya ke dalam
sorga". Bersabda Nabi saw: "Perumpamaan shalat yang 5 itu
adalah seumpama sebuah sungai yang tawar airnya yang meluap‑luap, di pintu
seseorang daripada kamu. Ia mandi padanya tiap‑tiap hari 5 kali. Apakah
pendapatmu tentang orang itu, apakah masih ada dakinya?" Menjawab para
shahabat: “Tak ada sedikitpun! Maka menyambung Nabi saw: "Sesungguhnya
shalat yang 5 itu, menghilangkan dosa seperti air menghilangkan daki".
Bersabda Nabi saw: "Sesungguhnya shalat‑shalat itu menghapuskan dosa yang
terjadi diantaranya, selama bukan dosa besar". Bersabda Nabi saw:
“Diantara kita dan orang-orang munafiq itu terdapat saksi‑saksi gelap dan
terang, yang tiada sanggup mereka mempengaruhi kedua saksi itu". Bersabda
Nabi saw:“Barangsiapa menjumpai Allah, sedang dia menyia‑nyiakan shalat, maka
tidak diperdulikan oleh Allah sesuatu daripada kebajikan-kebajikannya".
Bersabda Nabi saw: “Shalat itu tiang agama. Barangsiapa meninggalkan shalat
maka ia telah meruntuhkan agama. Ditanyakan Rasulullah saw: “Amalan apakah yang
lebih utama (afdlal)?". Menjawab Nabi saw: “Shalat
pada awal waktunya". Bersabda
Nabi saw: “Barangsiapa memelihara shalat yang 5 itu dengan menyempurnakan
bersuci dan waktunya, niscaya jadilah shalat itu nur baginya dan pembuktian
pada hari qiamat. Dan barangsiapa menyia‑nyiakannya, niscaya dibangkitkan ia
beserta Fir'aun dan Haman". Bersabda Nabi saw: "Kunci sorga itu
shalat ". Dan bersabda Nabi saw: “Tiada diwajibkan oleh Allah kepada
makhuk Allah sesudah keesaan yang lebih
menyukakan kepada Allah selain daripada shalat.
Jikalau adalah sesuatu yang lain, yang lebih menyukakan kepada Allah dari
shalat, niscaya telah beribadah dengan dia para malaikat Allah. Para malaikat
itu, sebahagiannya ruku', sebahagian sujud, sebahagian berdiri dan duduk
". Bersabda Nabi saw: "Barangsiapa meninggalkan shalat dengan
sengaja, maka kufurlah dia", artinya: hampir tercabut daripada Iman dengan
terbuka talinya dan jatuh tiangnya. Sebagaimana dikatakan bagi orang yang telah
mendekati suatu kampung, bahwa ia telah sampai ke kampung itu dan telah
memasukinya. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja
maka terlepaslah ia dari tanggungan Muhammad saw".
Berkata Abu Hurairah ra: “Barangsiapa berwudlu, maka membaguskan
wudlunya, kemudian ia keluar dengan sengaja untuk shalat maka sesungguhnya dia
didalam shalat yang sengaja ia kepada shalat itu. Dan dituliskan baginya dengan
salah satu dari dua langkahnya kebajikan dan dihapuskan
kejahatan dari padanya dengan langkah yang satu lagi. Apabila mendengar seorang
kamu akan qomat maka tidak wajarlah baginya mengemudiankan. Karena yang
terbesar pahala bagi kamu ialah yang terjauh rumah daripada kamu" Bertanya
mereka: "Mengapa begitu wahai Abu Hurairah?". Menjawab Abu Hurairah:
"Dari karena banyaknya langkah. Diriwayatkan: "Bahwa yang mula
pertama diperhatikan dari amalan hamba pada hari qiamat ialah shalat. Kalau
terdapat shalat itu sempurna, niscaya diterima shalat itu daripadanya dan
amalannya yang lain. Dan kalau terdapat kurang, niscaya ditolak shalat itu
daripadanya dan amalannya yang lain". Bersabda Nabi saw: "Hai Abu
Hurairah! Suruhlah keluargamu dengan shalat! Sesungguhnya Allah mendatangkan rezeqi bagimu dari tempat yang tidak kamu
sangka”. Berkata setengah ulama: "Orang yang mengerjakan shalat
itu adalah seumpama saudagar yang tidak memperoleh keuntungan sebelum kembali
pokoknya. Demikian juga orang yang mengerjakan shalat, tidak diterima yang
sunat sebelum ditunaikannya yang fardlu”. Abu Bakar ra berkata: "Apabila
telah datang waktu shalat, maka pergilah ke apimu yang telah kamu nyalakan,
lalu padamkanlah api itu !
FADLILAH (keutamaan) MENYEMPURNAKAN RUKUN.
Bersabda Nabi saw: “Shalat fardlu itu
adalah seumpama neraca. Siapa yang mencukupkan, niscaya memperoleh cukup".
Berkata Yazid Ar‑Riqasyi: "Adalah shalat Rasulullah saw itu sama seolah‑olah
sudah ditimbang". Bersabda Nabi saw: "Sesungguhnya dua orang dari
ummatku, keduanya berdiri kepada shalat, di mana ruku' dan sujud keduanya itu
satu. Dan diantara shalat keduanya itu adalah diantara langit dan bumi".
Diisyaratkan Nabi saw dengan sabdanya itu untuk "khusyu".
Bersabda Nabi saw: "Allah tiada memandang pada hari qiamat kepada hamba
yang tiada menegakkan tulang sulbinya/tulang ekor diantara ruku' dan
sujudnya". Bersabda Nabi saw” "Tidakkah takut orang yang memutarkan
mukanya di dalam shalat, akan diputarkan oleh Allah mukanya menjadi muka
keledai?". Bersabda Nabi saw: "Barangsiapa mengerjakan shalat pada
waktunya dan melengkapkan wudlunya, menyempurnakan rukunya, sujudnya dan
khusu’nya, niscaya shalat itu naik dengan warna yang putih bersih, seraya
mengatakan: "Kiranya Allah menjaga engkau
sebagaimana engkau telah menjaga aku (sholat)!”. Barangsiapa mengerjakan shalat pada bukan waktunya
dan tidak melengkapkan wudlunya, tidak menyempurnakan rukunya, sujudnya dan
khusyu’nya, niscaya shalat itu naik dengan warna yang hitam gelap, seraya mengatakan: “Disia‑siakan oleh
Allah kiranya engkau, sebagaimana engkau telah menyia‑nyiakan aku
(sholat)" Sehingga kalau
dikehendaki oleh Allah apabila shalat itu, dilipatkan sebagaimana dilipatkan
kain buruk, maka dipukulkanlah dengan shalat itu mukanya". Bersabda Nabi saw: "Sejahat‑jahat
manusia mencuri ialah orang yang mencuri dari shalatnya".
Berkata Ibnu Masud
dan Salman ra: "Shalat itu alat penyukat. Maka barangsiapa menyempurnakan,
niscaya ia menerima sempurna dan barangsiapa menipu di dalam sukatan, maka
tahulah ia apa yang difirmankan Allah, mengenai orang‑orang yang menipu pada
sukatan/timbangan.
FADLILAH (keutamaan) SHALAT
JAMAAH.
Bersabda Nabi saw: "Shalat jama’ah itu
melebihi dari shalat sendirian dengan 27 derajat".
Diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi saw tidak melihat orang pada sebahagian
shalat, lalu bersabda: "Sesungguhnya aku bercita-cita menyuruh seseorang
menjadi imam yang mengimami shalat orang banyak. Kemudian aku sendiri mencari
orang‑orang yang meninggalkan shalat berjamaah itu Ialu aku bakar rumah‑rumahnya”.
Pada riwayat yang lain: "Kemudian aku mencari orang‑orang yang meninggalkan
shalat jama'ah itu, maka aku suruh mereka. Lalu kalau meninggalkan juga, maka
rumah mereka dibakar dengan unggunan kayu api. Jikalau tahulah seseorang dari
mereka bahwa akan memperoleh tulang yang berminyak atau dua kuku hewan, niscaya
dihadirinya", yakni: "shalat 'Isya".
Berkata Usman ra, dimana perkataannya itu adalah suatu hadits marfu':
"Barangsiapa menghadiri shalat jama'ah 'Isya, maka seakan‑akan ia bangun
setengah malam dengan ibadah. Dan barangsiapa menghadiri shalat jama'ah Shubuh,
maka seakan‑akan ia bangun semalam‑malaman dengan ibadah".
Bersabda Nabi saw:
“Barangsiapa mengerjakan suatu shalat dengan berjama'ah, maka ia telah
memenuhkan dadanya dengan ibadah". Berkata Sa’id bin AI‑Musayyab:
"Tiadalah seorang muadzin melakukan adzan semenjak 20 tahun yang lampau,
melainkan saya ada di dalam masjid”. Berkata Muhammad bin Wasi’: “Tiada aku
rindukan dari dunia, selain dari tiga: teman, jikalau aku bengkok, maka
diluruskannya; makanan dari rezeki yang aku peroleh dengan mudah tanpa menuruti
kata orang dan shalat berjamaah yang tak aku melupakannya dan dituliskan bagiku
keutamaannya".
Diriwayatkan bahwa Abu 'Ubaidah bin Al‑Jarrah pada suatu kali menjadi
imam shalat dari suatu kaum. Tatkala mau pergi, maka ia berkata: "Terus‑menerus
setan tadi padaku, sampai setan itu menampakkan kepadaku bahwa aku mempunyai
kelebihan dari orang lain. Dari itu, aku tidak mau menjadi imam shalat selama‑lamanya".
Berkata Al-Hasan: "Janganlah engkau bershalat di belakang orang
yang tiada bergaul dengan ulama". Berkata An‑Nakha'i: "Orang yang
menjadi imam shalat dari orang banyak tanpa ilmu, adalah seumpama orang yang
menyukat air di dalam laut, tidak mengetahui tambahannya daripada
kekurangannya”.
Berkata Hatim AI‑Asham:
"Tertinggal aku suatu shalat dari berjama'ah, maka diratapi aku oleh Abu
Ishak AI‑Bukhari sendirian. Dan jikalau meninggallah anakku, maka diratapi aku
oleh lebih dari 10.000 orang, karena bahaya yang menimpakan agama dipandang
manusia lebih mudah daripada bahaya yang menimpakan dunia".
Berkata Ibnu Abbas
ra: "Siapa yang mendengar suatu penyeru (suara muadzin) dan tidak
menjawabnya, maka adalah dia tidak menghendaki kebajikan dan kebajikanpun tiada
berkehendak kepadanya". Berkata Abu Hurairah ra: "Adalah lebih baik
bagi anak Adam, telinganya penuh dengan timah hancur, daripada mendengar adzan
yang tidak dijawabnya". Diriwayatkan bahwa Maimun bin Mahran datang ke
masjid, Ialu orang mengatakan kepadanya bahwa orang ramai sudah pulang (karena
shalat jama'ah sudah selesai), maka Maimun menjawab: “Innaa lillaahi wa innaa
illaihi raaji’uun! Sesungguhnya keutamaan shalat ini (shalat jama'ah), adalah
lebih baik bagiku daripada menjadi wali negeri Irak".
Bersabda Nabi saw: "Barangsiapa
mengerjakan shalat 40 hari dalam jama'ah, yang tidak tertinggal padanya suatu
takbiratul‑ihram, maka dituliskan oleh Allah baginya 2 kelepasan: “kelepasan dari nifaq dan kelepasan daripada neraka". Ada yang mengatakan bahwa pada hari qiamat
dibangkitkan dari kubur suatu kaum, wajahnya berseri‑seri seperti bintang yang
berkilau‑kilauan. Maka bertanya malaikat kepada mereka: “Apakah amal perbuatan
kamu dahulu?". Menjawab mereka: "Adalah kami apabila mendengar adzan,
lalu bangun bersuci dan tidak diganggu kami oleh yang lain". Kemudian
dibangkitkan dari kubur suatu golongan, wajahnya seperti bulan, maka menjawab
golongan ini sesudah ditanya: “Adalah kami berwudlu sebelum masuk waktu".
Kemudian dibangkitkan suatu golongan, wajahnya seperti matahari, maka golongan
ini menjawab: "Adalah kami mendengar adzan di masjid”. Diriwayatkan bahwa
ulama‑ulama terdahulu (salaf) adalah meratapi dirinya 3 hari, apabila
tertinggal takbir pertama pada shalat jama'ah. Dan meratapi dirinya 7 hari,
apabila tertinggal shalat jama'ah.
FADLILAH (keutamaan) SUJUD.
Bersabda Rasulullah saw: “Tiadalah seorang
hamba mendekatkan dirinya kepada Allah dengan sesuatu, yang lebih utama
daripada sujud yang tersembunyi (tidak di muka umum)". Bersabda Rasulullah
saw: "Tiadalah seorang muslim bersujud kepada Allah dengan satu sujud,
melainkan ia diangkatkan oleh Allah satu tingkat dan dihapuskan daripadanya
satu kejahatan dengan sebab sujud itu”.
Diriwayatkan: "Bahwa seorang laki-laki meminta kepada Rasulullah
saw: “Berdo'alah pada Allah kiranya dijadikan Allah aku diantara orang yang
memperoleh syafa'atmu dan diberikan Allah aku rezeki mengawani/menemani engkau
dalam sorga". Maka menjawab Nabi saw: "Tolonglah aku dengan berbanyak
sujud". Ada yang mengatakan: "Yang paling dekat seorang hamba kepada
Allah, ialah bahwa ada ia seorang yang sujud", itulah maksud firman Allah
Ta’ala: "Wasjud waqtarib". (Dan sujudlah dan dekatkanlah diri kepada
Allah). S 96 Al ‘Alaq ayat 19. Dan berfirman Allah Ta’ala: "Di muka mereka
ada tanda‑tanda bekas sujud" S 48 AI‑Fath ayat 29. Ada yang mengatakan,
yaitu apa yang tersentuh dengan mukanya dari bumi ketika sujud. Ada yang
mengatakan, yaitu nur khusyu', yang menembus cemerlang dari bathinnya kepada
zhahir. Inilah yang lebih benar. Dan ada yang mengatakan, yaitu cahaya gemilang
yang ada pada mukanya di hari qiamat dari bekas wudlu.
Bersabda Nabi saw: "Apabila anak Adam membaca ayat sajadah (ayat
yang disunatkan sujud sesudah membacanya), lalu ia sujud, maka pergilah setan
sambil menangis dan berkata: "Alangkah celakanya aku! Orang ini disuruh
sujud, lalu ia sujud maka baginya sorga. Aku disuruh sujud, lalu aku durhaka,
maka bagiku neraka". Diriwayatkan dari Ali bin Abdullah bin Abbas, bahwa
ia bersujud tiap‑tiap hari 1000 sujud. Dan orang banyak menggelarkan Ali ini
dengan gelar "As‑Sajjad", artinya: orang banyak sujud. Diriwayatkan
bahwa Umar bin Abdul‑'Aziz ra tiada melakukan sujud selain atas tanah. Dan
Yusuf bin Asbath berkata: "Hai para pemuda! Bersegeralah mempergunakan
ketika sehat sebelum sakit! Maka tiadalah tinggal seseorang yang aku gemari,
selain orang yang menyempurna kan ruku'nya dan sujudnya dan telah terdindinglah
diantara aku dan ruku' sujud itu (karena telah lanjut umurnya)"
Berkata Sa'id bin
Jubair: "Tiada aku meminta tolong pada sesuatu di dunia ini, selain kepada
sujud". Berkata Uqbah bin Muslim: "Tiada suatu perkarapun pada hamba
yang lebih disukai oleh Allah selain daripada orang yang menyukai berjumpa
dengan Dia. Dan tiadalah dari Saat kehidupan hamba yang lebih dekat kepada
Allah, selain dari Saat di mana ia tersungkur bersujud kepada Allah ".
Berkata Abu Hurairah ra: "Yang lebih mendekati seorang hamba kepada Allah
'Azza wa Jalla (Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar), ialah apabila ia
sujud, lalu membanyakkan do'a ketika itu”.
FADLILAH (keutamaan) KHUSYU
Berfirman Allah Ta'ala: “Kerjakanlah shalat
untuk mengingati AKU ! S 20 Thaa Ha, ayat 14. Berfirman Allah Ta’ala:
“Janganlah engkau termasuk orang‑orang yang alpa". S 7 Al A'raaf ayat 205.
Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Janganlah kamu hampiri shalat ketika kamu
sedang mabuk, sampai kamu mengetahui apa
yang kamu katakan". S 4 An Nisaa' ayat 43.
Ada yang mengatakan: mabuk dari banyak angan‑angan. Dan ada yang
mengatakan: mabuk dari cinta kepada dunia. Berkata Wahab: "Yang
dimaksudkan dengan mabuk itu secara zhahirnya saja. Yaitu memperingati kepada
mabuk dunia, karena diterangkan oleh Allah sebabnya, dengan firmanNya:
"Sampai kamu mengetahui apa yang kamu katakan". Berapa banyak orang
yang bershalat yang tidak minum khamar, padahal dia tiada mengetahui apa yang
dibacanya dalam shalat. (pent; karena itu
hafalkanlah arti bacaan sholat supaya kita tau apa yg kita ucapkan)
Bersabda Nabi saw: "Barangsiapa mengerjakan shalat 2 rakaat, di
mana ia tidak berbicara dengan dirinya dalam dua rakaat itu mengenai sesuatu urusan duniawi, niscaya diampunkan
baginya apa yang telah Ialu daripada dosanya". Bersabda Nabi saw:
"Sesungguhnya shalat itu menetapkan hati, menundukkan diri, merendahkan
hati, merapati bathin, menyesali diri. Dan engkau meletakkan 2 tangan engkau
seraya membaca: "Ya Allah ya Tuhanku! Ya Allah, ya Tuhanku!” Barangsiapa tiada berbuat demikian, maka
shalat itu penuh kekurangan‑kekurangan”.
Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam kitab‑kitab yang dahulu:
"Tidaklah tiap‑tiap orang yang mengerjakan shalat itu, AKU terima
shalatnya. Hanya AKU terima shalat orang yang merendahkan diri karena
kebesaranKu, tiada menyombong dengan hamba‑hambaKu dan memberi makanan kepada
orang miskin yang lapar karena Aku”.
Bersabda Nabi saw:
"Sesungguhnya diwajibkan shalat, disuruh mengerjakan hajji dan thawaf dan
disuruh syiarkan segala ibadah hajji itu, adalah karena menegakkan dzikir
(mengingati) Allah Ta'ala". Apabila tidak ada dalam hatimu untuk yang
tersebut tadi, yang mana itulah yang dimaksud dan yang dicari, karena kebesaran
dan tidak kehebatan, maka apakah harganya dzikirmu itu ?". Bersabda Nabi
saw kepada orang yang diberinya wasiat: "Apabila engkau mengerjakan
shalat, maka bershalatlah sebagai shalat orang yang mengucapkan selamat
tinggal". Artinya: Mengucapkan selamat tinggal kepada dirinya, kepada hawa‑nafsunya
dan kepada umurnya, berjalan kepada Tuhannya, sebagaimana berfirman Allah 'Azza
wa Jalla: "Hai manusia! Sesungguhnya engkau mesti bekerja keras dengan
sesungguhnya (menuju) kepada Tuhan, kemudian itu kamu akan menemui Allah "
S 84 AI‑Insyiqaaq ayat 6. Berfirman Allah Ta’ala: "Bertaqwalah kepada
Allah ! Allah mengajar kamu" S 2 AI‑Baqarah ayat 282. Berfirman Allah
Ta’ala: “Dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan menemui
Dia ". S 2 Al‑Baqarah ayat 223.
Bersabda Nabi saw: ”Barangsiapa tidak dicegah oleh shalatnya daripada
perbuatan keji dan munkar, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah
melainkan bertambah jauh”. Shalat itu adalah munajah
(berbicara dengan berbisik dengan Allah Ta’ala / membisikkan segala isi hati) dengan Allah. Maka bagaimanakah ada munajah itu serta
kelalaian ?
Berkata Bakr bin
Abdullah: "Hai anak Adam! Apabila engkau bermaksud masuk kepada Tuhanmu
tanpa izin dan berbicara dengan Dia tanpa juru bahasa, maka masuklah!”. Lalu
orang bertanya: “Bagaimanakah yang demikian itu?. Maka menjawab Bakr bin
Abdullah: "Engkau lengkapkan wudhumu dan engkau masuk ke mihrabmu. Apabila
engkau telah masuk kepada Tuhanmu dengan tanpa izin itu, maka berbicaralah
dengan Dia tanpa ada juru bahasa!”.
Dari Aisyah yang mengatakan: "Adalah Rasulullah saw bercakap‑cakap
dengan kami dan kamipun bercakap‑cakap dengan beliau. Maka apabila datang waktu
shalat, lalu seolah‑olah beliau tidak mengenal kami dan kamipun tidak mengenal
beliau", karena seluruh jiwa raga tertuju kepada kebesaran Allah.
Bersabda Nabi saw: "Allah tidak memandang kepada
shalat, di mana orang itu di dalam shalatnya tidak menghadirkan hatinya serta
badannya".
Adalah Nabi Ibrahim
as apabila berdiri kepada shalat, lalu terdengar detak jantungnya pada jarak 2
mil. Dan adalah Sa'id At Tunukhi apabila mengerjakan shalat, maka tiada putus‑putusnya
air mata dari dua pipinya ke atas janggutnya. (pent;
aku sudah pernah merasakan ini sungguh NIKMATTT rasanya)
Rasulullah saw melihat seorang Iaki‑laki bermain‑main dengan janggutnya
dalam shalat, maka beliau bersabda: "Jikalau khusyu’lah hati orang ini,
niscaya khusyu'lah anggota‑anggota badannya ". Diriwayatkan bahwa Al Hasan
memandang kepada seorang laki‑laki yang bermain‑main dengan batu dan berdo'a:
"Ya Allah, ya Tuhanku! Kawinkanlah aku dengan bidadari!”. Maka berkata
Al-Hasan: "Buruk benarlah pelamar yang semacam ini! Engkau melamarkan
bidadari, sedang engkau bermain‑main dengan batu".
Ditanyakan kepada Khalf bin Ayyub: "Tidakkah diganggu engkau oleh
lalat dalam shalat engkau, sehingga perlu engkau usir lalat itu?".
Menjawab Khalf bin Ayyub: "Tidak aku biasakan bagi diriku sesuatu yang
merusakkan shalatku". Maka ditanyakan lagi: “Bagaimanakah engkau bisa
tahan yang demikian itu?". Menjawab Khalf bin Ayyub: "Orang
menceriterakan kepadaku bahwa penjahat‑penjahat
tahan dari pukulan cemeti‑cemeti sultan, supaya dikatakan: "Bahwa
si Anu itu tahan menderita". Lalu mereka itu merasa bangga dengan
demikian. Adapun aku berdiri dihadapan Tuhanku, maka patutkah aku bergerak
karena seekor lalat?".
Diriwayatkan dari muslim bin Yassar, bahwa apabila ia bermaksud
mengerjakan shalat, maka ia berkata kepada keluarganya: "Bercakap‑cakaplah
kamu sesama kamu, sedang aku tidak mendengar percakapanmu itu!”. Diriwayatkan
dari Muslim bin Yassar tadi, bahwa pada suatu hari ia mengerjakan shalat di
masjid jami’ Basrah. Maka robohlah suatu
sudut dari masjid itu. Lalu berkumpullah manusia ke sana. Sedang Muslim tadi
tiada mengetahuinya sama sekali, sehingga selesailah ia daripada shalatnya itu.
Adalah Ali bin Abi
Thalib ra apabila datang waktu shalat, maka gementarlah badannya dan berobahlah
warna mukanya. Lalu ia ditanyakan orang: "Apakah yang menimpakan kepada
engkau wahai Amirul mu'minin?". Ali menjawab: "Telah datang waktu
amanah yang didatangkan oleh Allah kepada langit, bumi dan bukit, maka semuanya
ini enggan menerimanya dan merasa berat daripadanya. Dan aku menerimanya”.
Diriwayatkan dari Ali bin Al-Husain, bahwa apabila ia mengambil wudlu maka
pucatlah warna mukanya. Lalu bertanyalah keluarganya: “Apakah yang menimpakan
kamu ketika berwudlu?". Maka menjawab Ali bin Al-Husain: "Tahukah
kamu dihadapan Siapa aku mau berdiri?".
Diriwayatkan daripada Ibnu Abbas ra bahwa ia berkata: "Berdo'alah
Nabi Dawud as dalam munajahnya: "Wahai Tuhanku! Siapakah yang mendiami
rumah Engkau dan dari siapakah yang Engkau terima shalatnya?". Maka
diturunkan Allah wahyu kepada Dawud as: "Wahai Dawud! Sesungguhnya yang
mendiami rumahKU dan yang AKU terima shalat daripadanya, ialah orang yang merendahkan diri karena keagunganKU,
menghabiskan siangnya dengan mengingati AKU, mencegah dirinya dari hawa nafsu
karena AKU, diberinya makanan kepada orang yang lapar, diberinya tempat kepada
orang yang merantau dan dikasihaninya orang yang mendapat mushibah. Itulah
orang yang bercahaya nurnya pada segala langit laksana matahari. Kalau ia
berdo’a kepadaKU niscaya AKU terima dan kalau ia meminta kepadaKU niscaya AKU
berikan. AKU jadikan baginya di dalam kebodohannya, akan kasih sayang, di dalam
kelalaiannya akan peringatan dan di dalam kegelapannya akan nur yang terang benderang.
Dia dalam kalangan manusia, adalah laksana sorga firdaus pada lapisan sorga
yang paling tinggi, tiada kering sungainya dan tiada berobah buah‑buahannya".
Diriwayatkan dari Hatim AI‑Ashamm ra bahwa
ditanyakan orang mengenai shalatnya, maka ia menjawab: ”Apabila datang waktu
shalat, maka aku lengkap kan wudlu dan aku datangi tempat, di mana di situ aku
bermaksud mengerjakan shalat. Maka aku duduk pada tempat itu, sehingga
berkumpullah segala anggota badanku. Kemudian aku berdiri kepada shalatku, aku
jadikan Ka’bah diantara dua keningku, titian Ash‑Shiraathal mustaqim di bawah
tapakku, sorga di kananku, neraka di kiriku, malikul‑maut di belakangku, aku
menyangka shalat ini penghabisan shalatku, kemudian aku berdiri diantara harap
dan cemas. Aku bertakbir dengan penuh keyakinan, aku membaca bacaan dengan
bacaan yang baik, aku ruku' dengan merendahkan diri, aku sujud dengan khusu'
hati, aku duduk atas punggung kiri dan aku bentangkan belakang tapak kiri, aku tegakkan
tapak kanan atas ibu jari kaki dan aku ikutkan keikhlasan hati. Kemudian aku
tiada mengetahui, apakah shalatku itu diterima atau tidak".
Berkata Ibnu Abbas
ra: "Dua raka'at shalat dengan sempurna
tafakkur (berfikir), adalah lebih
baik daripada mengerjakan shalat semalam suntuk, sedang hati itu lupa".
FADLILAH (keutamaan) MASJID
DAN TEMPAT SHALAT.
Berfirman Allah Ta’ala: "Hanyalah yang
berhak meramaikan masjid‑masjid Allah, ialah orang‑orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat”. S 9 At Taubah ayat 18. Bersabda Nabi saw:
"Barangsiapa membangun masjid karena Allah Ta’ala walaupun sebesar sarang
burung, niscaya didirikan oleh Allah baginya sebuah mahligai di dalam
sorga". Bersabda Nabi saw: "Barangsiapa hatinya sayang kepada masjid,
niscaya ia disayangi Allah Ta’ala”. Bersabda Nabi saw: "Apabila masuk
seorang kamu ke dalam masjid, maka hendaklah ia ruku' (mengerjakan shalat) dua
raka’at sebelum duduk".
Bersabda Nabi saw: "Tak ada shalat bagi orang yang bertetangga
dengan masjid, melainkan dalam masjid". Bersabda Nabi saw: "Malaikat‑malaikat
itu berdoa kepada seseorang kamu, selama ia masih pada tempat shalatnya, di
mana ia mengerjakan shalat pada tempat itu, dengan doa: "Ya Allah, ya
Tuhanku! Berikanlah rahmat kepadanya! Ya Allah, ya Tuhanku! Kasihanilah dia! Ya
Allah, ya Tuhanku! Ampunilah dosanya, selama dia tidak bercakap‑cakap atau
keluar dari masjid itu!”.
Bersabda Nabi saw:
"Akan datang pada akhir zaman, segolongan manusia daripada ummatku yang
mendatangi masjid, Ialu duduk di dalamnya berlingkar‑lingkaran. Pembicaraan mereka adalah dunia dan mencintai dunia,
maka janganlah engkau duduk bersama mereka! Tiadalah suatu hajat dengan mereka
bagi Allah". Bersabda Nabi saw: “Berfirman Allah Ta’ala pada sebahagian
kitab‑kitab: "Bahwa rumahKu (rumah tempat menyebut nama Allah dan
mengingati Allah) di bumiKU ialah masjid. Orang‑orang yang berziarah kepadaKU
di bumiKU ialah orang‑orang yang meramaikan masjid‑masjid. Maka selamatlah bagi
hambaKU yang bersuci di rumahnya, kemudian menziarahi AKU di rumahKU. Maka
sebenarnya atas yang diziarahi (dikunjungi) memuliakan yang berziarah (yang
mengunjungi)”.
Bersabda Nabi saw:
”Apabila kamu melihat orang yang biasa ke masjid, maka naik saksilah baginya
dengan keimanan!”. Berkata Sa'id bin AI‑Musayyab: “Barangsiapa duduk di dalam
masjid, maka sesungguhnya ia duduk bersama Tuhannya. Maka tiada berhak ia
mengatakan melainkan yang baik". Diriwayatkan dalam perkataan shahabat
(atsar) atau dalam hadits Nabi saw bahwa: “Berbicara di dalam masjid itu
memakan segala kebajikan, sebagaimana binatang ternak memakan rumput".
Berkata An‑Nakha'i: "Adalah mereka berpendapat bahwa berjalan dalam malam
yang gelap ke masjid adalah mewajibkan sorga”. Berkata Anas bin Malik:
“Barangsiapa memasang lampu dalam masjid, niscaya senantiasalah para malaikat
dan pemikul 'Arasy meminta ampun baginya selama masih ada cahaya lampunya di
dalam masjid itu". Berkata Ali ra: "Apabila meninggal dunia seorang
hamba, maka ia ditangisi oleh Musholahnya dari bumi dan oleh pembawa naik
amalannya dari langit". Berkata Ibnu Abbas ra: "Bumi menangisinya 40
pagi". Berkata 'Atha' Al‑Khurasani: "Tidaklah seorang hamba yang bersujud
kepada Allah satu sujud pada suatu pelosok dari pelosok‑pelosok bumi,
melainkan pelosok itu naik saksi baginya pada hari qiamat dan menangisi kepadanya pada hari ia
meninggal dunia". Berkata Anas bin Malik: "Tiadalah suatu pelosok
yang disebutkan nama Allah padanya dengan shalat atau dengan dzikir melainkan
pelosok itu membanggakan diri dengan pelosok‑pelosok lain disekitarnya. Dan merasa
gembira dengan mengingati Allah 'Azza wa Jalla sampai kepada lapisannya yang
paling penghabisan dari 7 lapisan bumi. Dan tiadalah seorang hamba yang bangun
berdiri mengerjakan shalat melainkan terhiaslah bumi karenanya". Dan ada yang
mengatakan: "Tiadalah suatu tempat yang di tempati padanya suatu kaum,
melainkan jadilah tempat itu berdo'a kepada mereka atau mengutuknya".
BAB KEDUA:
Tentang cara mengerjakan amalan zhahir dari shalat, permulaan dengan takbir
dan yang sebelum takbir.
Seyogialah bagi orang yang mengerjakan
shalat (mushalli), apabila telah selesai dari wudhu, dari bersuci daripada
najis pada badan, tempat dan pakaian, dari menutupi aurat dari pusat sampai
kepada lutut, bahwa ia tegak berdiri menghadap qiblat dan merenggangkan diantara kedua tapak kakinya, tidak
dirapatkan keduanya. Cara yang demikian itu, termasuk diantara yang menunjukkan
kepada adanya pengertian dari seseorang. Dan: "Dilarang oleh Nabi saw
daripada "ash‑shafan" dan “as‑shafad" dalam shalat. Ash‑Shafad: yaitu merapatkan kedua tapak kaki. Di
dalam AI‑Quran tersebut firman Allah Ta’ala: “Mereka (orang‑orang yang berdosa
itu) terikat bersama‑sama dengan rantai". S 14 Ibrahim ayat 49. Ash‑Shafan: yaitu mengangkatkan salah satu
daripada dua kaki. Di dalam AI‑Quran tersebut firman Allah Ta’ala:
"Kuda-kuda yang jinak tenang waktu berhenti dan amat kencang larinya”. S
38 Shaad ayat 31. Inilah yang dijaga oleh orang yang mengerjakan shalat
mengenai kedua kakinya ketika berdiri. Dan dijaga mengenai kedua lututnya dan
tulang belakangnya dengan lurus. Dan mengenai kepalanya, kalau ia mau, maka
dibiarkannya tegak lurus dan kalau ia mau, maka ditundukkannya sedikit.
Menundukkan kepala itu adalah lebih mendekatkan
kepada khusyu' dan lebih memincingkan
kepada mata. Dan hendaklah matanya tertuju kepada mushallanya (tempat shalatnya),
di mana ia mengerjakan shalat padanya. Jikalau ia tiada mempunyai tikar
mushalla, maka hendaklah, ia mendekati dinding atau menggariskan suatu garis
dihadapannya. Karena dengan demikian, memendekkan jaraknya penglihatan dan
mencegah daripada bersimpang‑siurnya pikiran.
Dan hendaklah ia menahan penglihatannya
daripada melampaui tepi tikar mushalla dan batas garis. Dan hendaklah berdiri
tetap seperti itu sampai kepada ruku' tanpa berpaling ke mana‑mana. Inilah adab
berdiri !. Apabila telah berdiri lurus, menghadap qiblat dan menundukkan kepala
seperti yang tersebut itu, maka hendaklah ia membaca: “Katakanlah ! Aku
berlindung dengan Tuhan (Pemimpin) manusia", untuk bermohon pada Tuhan
penjagaan diri daripada setan”. Kemudian hendaklah ia Qamat. Dan dalam ia
mengharap akan kedatangan orang yang akan mengikutnya, maka hendaklah ia adzan
lebih dahulu. Kemudian, hendaklah ia niat, yaitu: niat shalat Dhuhur umpamanya
dan mengatakan dengan hatinya: "Aku menunaikan fardlu Dhuhur karena
Allah", untuk membedakan dengan katanya: "Aku menunaikan shalat qodo,
Dan dengan fardlu untuk membedakan daripada sunat. Dan dengan Dzuhur, untuk
membedakan daripada 'Ashar dan lainnya. Dan hendaklah pengertian kata‑kata itu
ada pada hatinya. Yaitu, itulah niat. Dan kata‑kata itu adalah yang
mengingatkan dan yang menjadi sebab untuk adanya niat itu. Dan diusahakannya
supaya yang demikian itu tetap sampai kepada akhir takbiratul‑ihram (niat mengucapkan sholat), tidak hilang‑hilang.
Apabila telah ada pada hatinya yang demikian itu, maka hendaklah ia
mengangkat kedua tangannya sampai setentang/sejajar dengan kedua bahunya
setelah dilepaskan lebih dahulu kedua tangan itu, di mana setentang dengan
kedua tapak tangannya akan kedua bahunya dan dengan kedua ibu jarinya akan
kedua ujung bawah telinganya. Dan dengan
kepala anak-anak jarinya akan tepi atas kedua telinganya. Supaya adalah yang
demikian itu menghimpunkan segala maksud hadits‑hadits yang datang mengenai itu.
Dan adalah orang yang mengerjakan shalat
itu menghadap dengan kedua tapak tangannya dan dengan kedua ibu jarinya
ke qiblat. Dan membuka segala anak jarinya, tidak menggenggamkannya. Dan tidak
memaksakan pada anak‑anak jari itu dengan merenggangkan dan menggenggam kan,
tetapi membiarkannya menurut biasanya saja,
karena dinukilkan menurut atsar melepaskan dan menggenggamkan. Dan yang
tersebut di atas tadi, adalah dia diantara keduanya (diantara melepaskan dan
menggenggamkan). Maka itulah yang lebih utama. Apabila telah tetap kedua tangan
pada tempatnya itu, maka mulailah bertakbir
serta melepaskan keduanya dan menghadirkan niat.
Kemudian meletakkan
kedua tangan itu di atas pusar dan di bawah dada. Dan meletakkan tangan kanan
di atas tangan kiri karena memuliakan kanan, sehingga ia dipikul oleh yang
kiri. Telunjuk dan jari tengah dari tangan kanan dilepaskan di atas sepanjang
lengan. Dan digenggam dengan ibu jari, kelingking dan jari manis di atas
pergelangan tangan kiri.
Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa takbir itu serta mengangkatkan kedua tangan, serta tetap keduanya
dan serta melepaskan. Semuanya itu tak ada salah padanya. Dan saya berpendapat
dengan melepaskan kedua tangan itu, adalah lebih layak.
Takbir itu
adalah kata‑kata untuk pengikatan ('aqad).
Dan meletakkan salah satu daripada kedua tangan di atas yang lain adalah dalam
bentuk pengikatan itu. Permulaan pengikatan itu ialah melepaskan kedua tangan
ke bawah dan kesudahannya meletakkan
kedua tangan (di atas pusar dan di bawah dada). Permulaan takbir itu alif dan penghabisannya ro.
Maka sepantasnyalah
dipelihara penyesuaian diantara perbuatan dan pengikatan itu. Dan mengangkatkan
tangan itu adalah merupakan muqaddimah (pendahuluan) bagi permulaan ini.
Kemudian, tidaklah seyogianya mengangkatkan kedua tangan itu ke depan sebagai
pengangkatan tangan ketika takbir. Dan tidaklah menolakkan kedua tangan itu ke
belakang kedua bahu dan tidaklah menghempaskan kedua tangan itu ke kanan dan ke
kiri, apabila telah selesai daripada takbir. Dan melepaskan kedua tangan itu,
dengan pelan‑pelan, kemudian di mulai meletakkan yang kanan keatas yang kiri
setelah dilepaskan itu. Pada setengah riwayat, bahwa Nabi saw: "Adalah, apabila telah bertakbir, Ialu melepaskan kedua
tangannya. Dan apabila hendak membaca doa iftitah maka diletakkannya tangan
kanan ke atas tangan kiri”. Kalau riwayat ini shah (benar), maka adalah ini
lebih utama dari pada yang kami sebutkan itu.
Adapun takbir, maka seyogialah
ha pada pengucapan Allah itu dibaris‑depankan, yaitu Allahu, dengan suara ringan, tanpa bersangatan. Dan
tidak masuk antara ha dan alif, yang menyerupakan u (yaitu suara
panjang), hal ini terbawa kalau dibacakan hu itu dengan suara keras. Dan tidak masuk antara ba ak ‑ ba – r
dan ra‑nya itu alif, seolah-olah
dibacakannya ak ‑ baa ‑ r (dengan panjang suara pada ba). Dan dimatikan baris
ra takbir itu, tidak dibaris‑depankan. Inilah cara, takbir dan hal‑hal yang menyertai takbir itu.
PEMBACAAN.
Kemudian, dimulainya dengan membaca "doa iftitah " (do'a pembukaan
shalat). Dan baiklah dibacakan setelah membacakan "Allahu akbar" itu:
(Allaahu akbar kabiiran wal hamdu, lillaahi katsiiraa, wa subhaanallaahi
bukratan wa ashiila. Wajahtu wajhia) ‑ sampai kepada ‑ wa ana minal
muslimiin". Artinya: ”Allah Maha Besar,
segala pujian sebanyak‑banyaknya bagi Allah. Maha Suci Allah pagi dan
petang. Aku hadapkan wajahku
" ‑ sampai seterusnya kepada ‑ pembacaan, yang artinya: dan aku adalah sebahagian daripada kaum
muslimin. Kemudian, dibacakannya "Maha
Suci Engkau wahai Tuhanku dan dengan memuji Engkau dan bertambah‑tambahlah
keagungan nama Engkau, maha besarlah pujian kepada Engkau dan tiadalah yang
disembah selain Engkau". Supaya dengan pembacaan yang tersebut tadi,
dapat menghimpunkan diantara yang berpisah‑pisah dari apa yang datang pada
beberapa hadits.
Jikalau ia
mengerjakan shalat di belakang imam, hendaklah diringkaskannya, apabila imam
itu tiada lama diam sesudah bertakbir, dengan membaca di dalam diamnya itu.
Kemudian, dibacakan: "Aku berlindung dengan Allah daripada setan yang
kena kutuk ". Kemudian, dibacakan "surat AI‑Fatihah",
dimulai dengan ‑"Bismillaahir rahmaanir rahiim", dengan
menyempurnakan tasydid dan hurufnya. Dan
diusahakan benar‑benar membedakan diantara dlad
(tebal) dan dlad (tipis). Dan
dibacakan "aamiin " pada
akhir surat AI‑Fatihah serta dipanjangkan pembacaan "Aamiin ". dan janganlah sekali‑kali
disambung "Aamiin" dengan "wa ladl dlaalliin" (mereka yang
sesat). Dan dikeraskan pembacaan pada shalat Shubuh, Maghrib dan'Isya', kecuali kalau ia pengikut imam (ma'mum). Dan dikeraskan
membaca: "Aamiin". Kemudian dibacakan surat atau sekedar tiga ayat
atau lebih daripada Alquran. Dan tidak disambung akhir surat yang dibaca itu dengan takbir berpindah
untuk ruku'.
Tetapi dipisahkan diantara keduanya sekedar pembacaan
"Subhaanallaah". Dan dibacakan pada shalat Shubuh surat‑surat yang panjang dan pada shalat Maghrib, surat‑surat yang pendek dan pada Dhuhur, 'Ashar dan 'Isya' seperti
surat: ”Wassamaa‑i dzaatil buruuj" dan
yang mendekati panjangnya. Dan pada shalat Shubuh
di dalam musafir, dibacakan: "Qul
yaa ayyuhal kaafiruun " dan "Qul
huwallahaahu ahad" Dan seperti
itu pula pada dua raka'at shalat sunat
Shubuh sunat thawaf dan sunat
tahiyyah masjid. Orang yang mengerjakan shalat tadi pada semua itu, terus
berdiri dan meletakkan kedua tangannya diatas pusar dan dibawah dada
sebagaimana yang telah kami terangkan pada permulaan shalat dahulu.
RUKU' DAN SEGALA YANG BERHUBUNGAN DENGAN RUKU
Kemudian ia ruku,' dan dijaga pada ruku' itu beberapa perkara. Yaitu: bahwa ia
bertakbir bagi ruku', mengangkatkan kedua tangan serta takbir ruku' &
memanjangkan takbir itu sampai kepada ruku'.
Meletakkan kedua tapak tangan atas dua lutut pada ruku' di mana segala anak
jarinya dilepaskan menghadap arah ke qiblat atas sepanjang betis. Bahwa ia
menegakkan kedua lututnya, tidak dilipatkan.
Bahwa ia memanjangkan punggungnya dengan lurus dan adalah lehernya dan
kepalanya lurus menyamai dengan punggungnya seperti sebilah
papan. Tidaklah kepalanya lebih rendah dan tidak lebih tinggi. Bahwa
ia merenggangkan kedua sikunya daripada kedua lambungnya. Dan bagi wanita merapatkan
kedua sikunya kepada kedua lembungnya. Dan dibacakan pada ruku' 3 kali
(Subhaana rabbiyal 'adhiim) Artinya: Maha
Suci Tuhanku Yang Maha Agung". Dan dilebihkan sampai 7 dan 10 adalah baik, jika ia
bukan imam. Kemudian ia bangkit daripada ruku'
kepada berdiri kembali dan mengangkatkan kedua tangannya, seraya membaca:
(Sami'allaahu liman hamidah): "Didengar
oleh Allah akan siapa yang memujiNya” Dan berkeadaan tetaplah
(berthumaninah) pada itidal itu,
seraya membaca. (Rabbanaa lakalhamdu mil‑us samaawaati wa mil‑ul ardli wa mil‑u
maa syi'‑ta min syai‑in ba'du)."Hai
Tuhan Kami ! Bagi Engkau segala pujian, memenuhi segala langit, memenuhi bumi
dan memenuhi apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu sesudahnya". Dan
tidak melamakan berdiri i'tidal ini, selain pada shalat Tasbih, shalat Kusuf (shalat gerhana matahari dan bulan) dan
shalat Shubuh. Dan dibacakan qunut pada shalat Shubuh pada rakaat kedua sebelum
sujud, dengan kalimah‑kalimah do'a yang diperoleh dari hadits-hadits.
SUJUD.
Kemudian ia turun kepada sujud dengan
bertakbir. Maka diletakkannya kedua lututnya di atas lantai. Dan diletakkannya
dahinya, hidungnya dan kedua tapak tangannya dengan terbuka. Ia bertakbir
ketika turun kepada sujud. Dan tidak mengangkatkan kedua tangan. Dan seyogialah, yang mula‑mula jatuh ke
atas lantai itu, kedua lututnya. Dan
diletakkannya sesudah kedua lutut itu, kedua tangannya, kemudian mukanya. Dan
diletakkannya dahi dan hidungnya atas lantai dan direnggangkannya kedua
sikunya daripada kedua lembungnya. Dan wanita tidak berbuat demikian (artinya tidak merenggangkan kedua
sikunya daripada kedua lembungnya). Dan direnggangkan diantara kedua kaki dan
wanita tidak berbuat demikian. Dan pada sujud itu, bagi laki‑laki berbuat
"takhwiyah" di atas lantai dan bagi wanita tidak berbuat
"takhwiyah". Takhwiyah, yaitu:
mengangkatkan perut daripada kedua paha dan menjarangkan diantara kedua lutut. Dan diletakkan kedua tangan di
atas lantai setentang dengan kedua bahu dan tidak dijarangkan diantara anak‑anak
jari kedua tangan itu, tetapi dirapatkan. Dan dirapatkan ibu jari kepada kedua
tangan itu. Dan jika tidak dirapatkan pun, tiada mengapa. Dan tidak didudukkan kedua lengan di atas lantai seperti
duduknya anjing, karena yang
demikian itu dilarang. Dan dibacakan (Subhaana rabbiyal‑a’laa). 3 X Artinya:
"Maha Suci Tuhanku yang Maha
Tinggi” Kalau dilebihkan dari tiga
kali, adalah baik, kecuali ia imam.
Kemudian, bangkit
daripada sujud, Ialu duduk dengan tenang (thuma'ninah) dan lurus. Ia mengangkat
kepala dari sujud dengan bertakbir dan duduk di atas kaki kiri serta menegakkan
tapak kaki kanan dan meletakkan kedua tangan di atas kedua paha. Dan segala
anak jarinya, terlepas (tidak tergenggam), tidak diberatkan merapatkannya dan
tidak merenggangkannya. Dan membaca: “Rabbighfirlii warhamnii warzuqnii
wahdinii wajburnii wa ‘aafinii wa’ – fu ‘annii” Artinya: "Hai Tuhanku. Ampunilah aku, kasihanilah aku, berikanlah aku
rezeki, berikanlah aku petunjuk, tutupkanlah kekuranganku, berikanlah aku kesehatan dan maafkanlah
aku!”. Dan tidak dilamakan duduk ini, kecuali pada sujud shalat sunat tasbih. Dan dikerjakan sujud kedua seperti yang tadi juga. Dan duduk dengan lurus sebentar untuk istirahat pada tiap‑tiap raka'at,
yang tidak duduk tasyahhud di belakang raka'at itu. Kemudian setelah duduk
sebentar tadi, maka bangun berdiri dengan meletakkan tangan diatas lantai. Dan
tidak mendahulukan salah satu daripada kedua kakinya ketika bangun berdiri itu,
serta memanjang kan takbir sampai habis, diantara tengah‑tengah dari bangkitnya
daripada duduk sampai kepada tengah‑tengah bangkitnya kepada berdiri, di mana
"ha" dari ucapannya "Allahu”
adalah ketika duduknya sudah lurus. Dan "kaff" dari “Akbar” ketika ia bertekan dengan tangan untuk berdiri
dan "ra" dari "akbar" pada tengah‑tengah bangkitnya kepada
berdiri. Dan dimulainya pada tengah‑tengah bangkitnya kepada berdiri, sehingga
jatuh takbir itu pada tengah‑tengah perpindahannya. Dan tidak terlepas daripada
takbir selain kedua tepi perpindahan
itu (permulaan perpindahan dan penghabisan
perpindahan dari sujud kepada berdiri). Dan cara yang demikian
adalah lebih mendekati kepada meratakan pembacaan ibadah. Dan dikerjakan rakaat kedua seperti raka'at pertama dan
diulangi pembacaan "A’uudzu billaah”, seperti pada permulaan
shalat.
TASYAHHUD ( duduk diantara 2 sujud )
Kemudian membaca tasyahhud pada raka’at kedua yaitu,
tasyahhud pertama. Kemudian membaca selawat kepada Rasulullah saw
dan kepada keluarganya. Dan meletakkan tangan kanan ke atas paha kanan dan
menggenggamkan segala anak jari kanan selain dari telunjuk. Dan tiada mengapa
melepaskan ibu jari juga. Dan diisyaratkan dengan telunjuk kanan saja ketika
Mengucapkan "illallaah ". tidak
ketika mengucapkan “Laa ilaaha”. Duduk
ia pada tasyahhud ini di atas kaki kiri seperti duduk diantara dua sujud. Dan
pada tasyahhud akhir, disempurnakan
doa yang diterima dari Nabi sesudah
membaca selawat kepada Nabi saw. Sunat‑sunat pada tasyahhud akhir, adalah seperti
sunat‑sunat pada tasyahhud pertama. Hanya pada tasyahhud akhir itu, duduk ia di
atas punggung kiri, karena ia tidak
bangun lagi untuk berdiri tetapi terus tetap menyiapkan shalatnya. Dan
ditidurkannya kaki kirinya yang keluar dari bawah dan ditegakkannya kaki
kanannya serta diletakkan ujung ibu jari kakinya itu ke arah qiblat kalau tiada
sukar. Kemudian membaca "Assalaamualaikum
wa rahmatullaah" dan berpaling ke kanan, kira‑kira kelihatanlah pipi
kanannya dari belakang dari sebelah kanan. Dan berpaling ke kiri, begitu pula
dan membaca salam kedua. Diniatkan
keluar dari shalat dengan salam itu.
Dan diniatkan dengan salam itu memberi salam. kepada siapa yang ada di
kanannya, dari para malaikat dan kaum muslimin pada salam pertama. Dan diniatkan begitu pula pada salam kedua.Dibacakan salam itu dengan dimatikan huruf akhirnya & tidak dibacakan dengan suara panjang. Begitulah sunnah Nabi.
Inilah caranya shalat seorang diri. Ditinggikan suara dengan segala takbir perpindahan (takbir intiqalat),
yaitu sekedar yang dapat didengar oleh dirinya. Pada shalat jamaah, imam itu meniatkan imamah (menjadi imam shalat) supaya memperoleh kurnia Allah.
Jikalau tidak diniatkannya, maka shalat orang ramai yang di belakangnya syah, apabila mereka itu meniatkan ikut imam (menjadi ma'mum). Dan mereka
memperoleh pahala berjama'ah.
Dan dibaca dengan suara halus doa iftitah dan taawwuz (A'uudzu billaah) seperti orang yang
bershalat seorang diri. Dan dibaca dengan suara
keras al‑fatihah dan surat pada shalat Shubuh, dua raka'at
pertama dari shalat 'Isya' dan Maghrib. Dan orang yang bershalat seorang diri
membacanya begitu juga. Dan dikeraskan membaca "A a m i n " pada shalat
yang dijahrkan (shalat Shubuh, 'Isya'. dan Maghrib). Dan begitu pula ma'mum. Dan disamakan oleh ma’mum
membaca aaminnya, bersama‑sama dengan aamin imam, tidak beriring‑iring.
Dan berdiam diri imam sebentar sesudah al‑fatihah,
supaya nafasnya normal kembali. Dan ma'mum dapat membaca al‑fatihah shalat yang dijahrkan (shalat jahriyah) pada ketika imam
berdiam diri itu, agar ma'mum dapat mendengar pembacaan imam.
Pada shalat jahriyah, ma'mum
tidak membaca surat, kecuali apabila ia tiada mendengar suara imam. Imam
membaca "Sami ',allaahu liman
hamidah " ketika mengangkatkan kepalanya daripada ruku'. Dan demikian
juga ma'mum. Dan imam tidak melebihkan dari tiga kali membaca tasbih ruku' dan tasbih sujud. Dan tidak menambahkan bacaan pada tasyahhud pertama sesudah membaca "Allaahumma shalli 'alaa Muhammad wa
'alaa ali Muhammad " Dan meringkaskan pada dua rakaat akhir atas al‑fatihah saja, tidak memperpanjangkan,
karena menyusahkan bagi para ma'mum. Dan imam tidak menambahkan do'a pada
tasyahhud akhir melebihi dari sekedar tasyahhud dan selawat kepada Rasulullah
saw.
Dan meniatkan
ketika salam, memberi salam kepada orang banyak yang menjadi ma'mum dan kepada
para malaikat. Dan orang banyak pun meniatkan dengan salamnya, menjawab
salam imam. Imam itu tetap pada tempat
duduknya sekejap, sehingga selesai orang ramai dari salam dan ia menghadap
kepada mereka itu dengan wajahnya. Yang lebih utama, imam itu tetap di situ
dahulu, kalau di belakang ma'mum laki‑laki ada ma'mum wanita, supaya kaum
wanita itu pergi sebelum bangun imam. Dan tidak seorangpun dari ma'mum
bangun berdiri, sebelum bangun berdiri imam. Imam itu pergi keluar dari sebelah
mana yang disukainya, dari sebelah kanan atau sebelah kiri. Dan menurut
pendapatku, dari sebelah kanan adalah lebih baik.
Tidaklah imam itu
menentukan do'a untuk dirinya saja pada qunut
Shubuh, tetapi hendaklah ia membaca: "Allaahummah
dinaa", artinya:
"Ya Allah, ya Tuhanku! Tunjukilah kami". (Tidak Allaahummah dinii yang artinya Ya allah ya Tuhanku ! Tunjukilah aku ! ). Imam itu membaca qunut dengan
suara keras dan para makmum mengaminkan, dengan mengangkatkan tangan setentang
dada dan menyapukan muka ketika selesai dari doa qunut. Demikian menurut hadits
yang diriwayatkan tentang itu. Kalau tidak karena hadits, maka secara qias
(analogi), tangan itu tidaklah diangkatkan seperti pada akhir tasyahhud.
LARANGAN‑LARANGAN
Dilarang oleh Rasulullah saw "ash‑shafan"
(merapatkan ke2 kaki) dan "ash‑shafad"(mengangkat sebelah kaki) di dalam
shalat Dan dilarang dari “itqa” dari "sadl", dari "kaff” dari
"ikhtishar", dari “shalb” dari
"muwashalah", dari "shalat al‑haqin", dari
"haqib", dari "hadziq", dari "shalat orang
lapar", dari "shalat orang marah" dan dari "shalat orang
yang menutup muka".
Adapun itqa , yaitu menurut ahli bahasa artinya: duduk di atas kedua punggung,
menegakkan kedua lutut dan meletakkan kedua tangan
ke atas lantai seperti duduk anjing. Dan menurut ahli hadits ialah:
duduk di atas kedua betis dan tiada yang di atas lantai, selain dari ujung anak‑anak
jari kedua kaki dan kedua lutut.
Adapun sadl, yaitu menurut madzhab ahli hadits ialah
berselimut dengan kain dan memasukkan kedua tangan dari dalam, lalu ruku' dan
sujud, dalam keadaan yang demikian. Cara yang begini ialah cara Yahudi di dalam
sembahyangnya. Maka dilarang daripada menyerupakan dengan Yahudi. Baju kemeja
searti juga dengan kain itu, maka tidaklah wajar ruku' dan sujud, sedang kedua
tangan di dalam selimutan kemeja. Ada yang mengatakan arti sadl, ialah meletakkan tengahan
kain sarung di atas kepala dan melepaskan kedua pinggirnya, dari kanan dan
kiri tanpa meletakkannya ke atas dua bahu. Arti yang pertama tadi adalah lebih
mendekati kepada benar.
Adapun kaff, yaitu mengangkatkan kain dari muka atau
dari belakang, apabila mau sujud. Kadang‑kadang kaff itu pada rambut kepala. Dari itu, janganlah dikerjakan shalat,
di mana ia menyanggul rambutnya. Larangan ini adalah terhadap laki‑laki. Pada
hadits tersebut: "Disuruh aku supaya
sujud dengan 7 anggota badan dan tidak aku mengangkatkan rambut dan kain waktu
sujud” . Ahmad bin Hambal ra memandang
makruh berkain sarung di atas baju kurung panjang di dalam shalat dan
dipandangnya sebahagian dari kaff.
Adapun ikhtishar ialah meletakkan kedua tangan pada
pinggang.
Adapun shalb, ialah meletakkan kedua tangan pada
pinggang, pada waktu berdiri dan merenggangkan antara kedua lengan pada waktu
berdiri itu.
Adapun muwashalah (menyambung), maka ada lima: Dua atas imam yaitu: imam itu tiada menyambung bacaannya dengan takbiratul‑ihram dan
tiada menyambung rukunya dengan bacaannya.
Dua atas mamum yaitu: ma'mum itu tiada
menyambung takbir ratul‑ihramnya
dengan takbiratul‑ihram imam dan tiada menyambung salamnya dengan salam imam. Dan satu lagi di atas
keduanya, yaitu: tidak menyambung salam
fardlu (salam pertama) dengan salam
kedua. Dan hendaklah dipisahkan diantara kedua salam itu.
Adapun shalat al‑haqin, yaitu
shalat orang yang mau buang air kecil. Dan haqib,
yaitu shalat orang yang mau buang air besar. Dan hadziq, yaitu orang yang mengerjakan shalat di dalam alas kaki
(muza) yang sempit. Semuanya itu adalah mencegah daripada khusyu. Dan searti
dengan yang di atas, ialah orang yang sedang lapar dan susah. Dipahami larangan
shalat bagi orang yang sedang lapar, dari sabda Nabi saw: "Apabila datang makanan
malam dan di qamatkan shalat, maka mulailah dengan makanan malam!” Kecuali sempit waktu atau hatinya tenang. Pada
suatu hadits tersebut: "Janganlah
seorang kamu melakukan shalat, sedang pikirannya terganggu. Dan janganlah
bershalat seorang kamu, di mana dia sedang marah ".
Berkata Al‑Hasan:
"Tiap‑tiap shalat yang tidak hadir hati padanya, maka shalat itu lebih
mendekati kepada siksaan".
Pada suatu hadits tersebut: "7
perkara dalam shalat adalah dari setan: keluar darah dari hidung, datang
ngantuk, datang kesangsian hati (waswas), menguap, menggaruk, berpaling muka
dan bermain‑main dengan sesuatu". Dan ditambah oleh setengah mereka:
"Lupa dan ragu ".
Berkata setengah
salaf(ulamah dahulu) Ada "4 perkara
di dalam shalat termasuk bahagian tiada disukai; 1. berpaling muka, 2.menyapu
muka, 3.meratakan batu tempat shalat dan 4.engkau mengerjakan shalat pada
jalan orang yang melalui dihadapan engkau". Dan juga dilarang didalam
shalat membunyikan anak‑anak jari atau memukulkan anak‑anak jari supaya
berbunyi atau menutup muka atau meletakkan salah satu daripada kedua tapak
tangan ke atas tapak tangan yang satu lagi dan memasukkan kedua tapak tangan
itu diantara kedua paha pada ruku'.
Berkata setengah
shahabat ra: "Adalah kami berbuat demikian, maka dilarang kami
daripadanya". Dan dimakruhkan juga menghembus ke lantai ketika sujud untuk
membersihkan lantai itu. Dan dimakruhkan juga meratakan batu dengan tangan,
karena segala perbuatan tersebut tadi tidak diperlukan. Dan tidak diangkatkan
salah satu dari kedua tapak kaki, lalu diletakkan ke atas paha. Dan tidak
bersandar ke dinding waktu berdiri. Kalau bersandar sehingga jikalau dinding
itu ditarik, niscaya ia jatuh, maka pendapat yang lebih kuat batal (tidak syah)
shalatnya. Wallaahu allam ‑ Allah yang Maha Tahu.
MEMBEDAKAN FARDLU/wajib DAN SUNAT/tidak wajib.
Sejumlah apa yang telah kami sebutkan itu,
melengkapi kepada fardlu, sunat, adab dan
cara dari hal‑ihwal yang sewajarnya
dipelihara seluruhnya oleh seorang murid yang menuju jalan akhirat. Maka yang fardlu, berjumlah 12 perkara: niat, takbir, berdiri betul, al‑fatihah,
membungkuk pada ruku, sehingga kedua tapak tangannya sampai kepada kedua
lututnya, serta thumaninah, i'tidal/bangun dari ruku' di dalam keadaan berdiri
betul, sujud serta thumaninah dan tiada wajib meletakkan dua tangan, itidal
dari sujud dengan duduk betul, duduk
untuk tasyahhud akhir, membaca tasyahhud akhir, selawat kepada Nabi saw padanya
dan salam pertama.
Adapun niat keluar dari shalat, maka tiada
wajib. Selain dari yang 12 itu, tiada
wajib, tetapi adalah sunat dan
menjadi cara pada melakukan yang sunat itu
dan pada melakukan yang fardlu. Adapun
sunat, maka yang termasuk bahagian perbuatan adalah 4: mengangkat kedua tangan pada takbiratul‑ihram, pada ketika turun
kepada ruku, pada ketika bangun kepada berdiri dan duduk untuk tasyahhud pertama. Adapun apa yang kami sebutkan,
mengenai cara membuka anak-anak jari dan batas mengangkatkannya, maka itu
adalah cara (sunat) yang mengikuti
sunat di atas tadi. Mengenai tawarruk (duduk
dengan punggung ke lantai pada duduk tasyahhud akhir) dan iftirasy (duduk di atas tumit
kaki kiri pada duduk tasyahhud pertama dan lainnya) adalah cara yang mengikuti
bagi duduk itu. Menundukkan kepala,
dan meninggalkan berpaling muka
adalah cara bagi berdiri betul. Membaguskan bentuk dan duduk istirahat,
tidaklah terhitung sebahagian daripada pokok‑pokok sunat di dalam perbuatan
shalat. Karena dia adalah sebagai pembaikan bagi cara bangun dari sujud kepada, berdiri betul. Dan tidaklah
dimaksudkan untuk istirahat itu sendiri. Dari itu tidak kami asingkan
menerangkannya.
Adapun yang sunat dari bacaan‑bacaan
(adz‑kar), maka yaitu: do'a iftitah, kemudian
membaca Auuzu billah (ta'awwudz), kemudian
membaca aamin, maka itu adalah sunat Muakkadah (sunat yang lebih dikuatkan
dari sunat lainnya), kemudian membaca
surat Alquran, kemudian takbir‑takbir intiqalat (takbir yang
dibacakan waktu berpindah dari rukun ke rukun), kemudian dzikir (pembacaan tasbih) pada ruku',
sujud dan i'tidal/berdiri dari
keduanya, kemudian tasyahhud ( duduk diantara 2 sujud) pertama dan selawat padanya kepada Nabi saw, kemudian doa pada penghabisan tasyahhud akhir, kemudian salam kedua.
Walaupun semuanya yang di atas tadi, kami
kumpulkan di dalam nama sunat, tetapi
mempunyai derajat yang berlebih‑kurang. Karena empat daripadanya ditempel
dengan sujud sahwi (sujud karena
lupa) kalau terlupa mengerjakannya.
Adapun yang sunat dari perbuatan shalat,
maka adalah satu. Yaitu duduk pertama pada
tasyahhud pertama. Maka duduk pertama
ini, adalah membekaskan pada tata‑tertib susunan shalat pada penglihatan orang
yang melihatnya. Karena dengan duduk pertama itu, dikenal apakah shalat itu
termasuk 4 raka'at atau tidak. Lain haInya dengan mengangkat dua tangan. Maka
tidaklah membekaskan pada perobahan susunan shalat. Dari itu, disebut sunat yang menjadi sebahagian dari
shalat (sunat ab‑'adl). Dan dikatakan, sunat ab‑'adl itu ditempel dengan sujud
sahwi apabila terlupa mengerjakannya. Adapun sunat bacaan‑bacaan (adz‑kaar) itu, maka seluruhnya tidak
berkehendak kepada sujud sahwi, selain 3:
qunut, tasyahhud pertama dan selawat kepada
Nabi saw, padanya.
Lain halnya
dengan takbir intiqalat, dzikir pada
ruku', pada sujud dan pada i'tidal daripada keduanya. Karena ruku' dan
sujud di dalam bentuknya, sudah menyalahi daripada kebiasaan. Dari itu tercapai
maksud ibadah dengan ruku' dan sujud itu, walaupun berdiam diri daripada
membaca dzikir dan bertakbir intiqalat. Maka tidak adanya dzikir-dzikir itu,
tidaklah merobah bentuk ibadah. Adapun duduk bagi tasyahhud pertama, maka
adalah perbuatan biasa. Dan duduk ini tidak ditambahkan melainkan karena membaca
tasyahhud. Dari itu, meninggalkan duduk tasyahhud ini, terang benar membekasnya.
Adapun doa iftitah dan membaca
surat, maka meninggalkannya tiadalah
membawa pengaruh apa‑apa, di mana berdiri itu sudah terbentuk dengan membaca
kan al‑fatihah. Dan sudah dapat
dibedakan dari berdiri biasa, dengan al‑fatihah itu. Begitu pula doa pada tasyahhud akhir dan qunut, adalah amat jauh daripada
ditempel dengan sujud. Tetapi disuruh melamakan Itidal/berdiri dari sujud pada shalat Shubuh karena qunut itu. Maka adalah
melamakan Itidal tadi seperti melamakan duduk istirahat. Karena duduk istirahat
itu dengan melamakannya serta membaca tasyahhud, menjadi duduk tasyahhud
pertama. Maka tinggallah ini menjadi berdiri
yang dilamakan, yang biasa, di mana tak ada padanya dzikir wajib. Tentang
melamakan berdiri itu adalah menjaga dari bukan shalat Shubuh. Dan tentang
kosongnya dari dzikir wajib, adalah menjaga dari pokok berdiri didalam shalat.
Kalau anda bertanya bahwa: membedakan sunat daripada fardlu, adalah dapat
dipahami. Karena hilangnya syah shalat dengan hilangnya fardlu. Tidak dengan
hilangnya sunat. Dan dihadapkan kepada siksaan dengan tidak adanya fardlu, bukan
dengan tidak adanya sunat.
Adapun membedakan sunat dari sunat dan semuanya disuruh atas jalan sunat
dan tak ada siksaan dengan meninggalkan segala yang sunat itu. Dan pahala itu
ada dengan mengerjakan semuanya. Maka apakah artinya itu?. Maka ketahuilah
bahwa berserikatnya fardlu dan sunat pada pahala, siksa dan disukai, tidaklah
menghilangkan adanya berlebih‑kurang pada keduanya.
Marilah kami terangkan kepada anda yang demikian itu dengan, contoh.
Yaitu: bahwa manusia tidaklah bernama manusia, yang ada, lagi sempurna,
melainkan dengan pengertian bathin dan
anggota zhahir. Pengertian bathin ialah: hidup dan roh. Dan zhahir ialah segala anggota tubuhnya. Kemudian, sebagian
daripada anggota tubuh itu, adalah manusia menjadi tidak ada dengan tidak
adanya seperti: hati, jantung, otak dan semua anggota yang hilang hidup dengan
hilangnya. Dan sebahagian, tidaklah
hilang hidup dengan hilangnya, tetapi maksud hidup yang hilang Seperti: mata,
tangan, kaki dan lidah. Dan sebahagian, tidaklah hilang hidup dan maksudnya,
tetapi yang hilang ialah kebagusan, seperti: dua alis mata, janggut, bulu mata
dan kebagusan warna kulit. Dan sebahagian lagi, tidaklah hilang sebab
kecantikan dengan tidak adanya, tetapi yang hilang ialah kesempurnaan
kecantikan seperti: melengkung dua alis mata, hitam bulu janggut dan bulu mata,
bersesuaian bentuk anggota dan bercampur merah dengan putih pada warna kulit.
Maka ini semuanya adalah bertingkat‑tingkat, yang berlebih‑kurang. Maka
seperti itu pulalah ibadah mempunyai
bentuk yang dibentuk oleh Syara’ (agama) dan kita berbuat ibadah dengan
mengusahakan bentuk itu. Maka nyawa dan hidup bathinnya ialah: khusyu' ' niat, hadir hati
dan iklas, sebagaimana akan diterangkan nanti. Dan sekarang kami
terangkan bahagian‑bahagian zhahirnya. Maka ruku,
sujud, berdiri dan rukun‑rukun
lainnya daripada shalat adalah merupakan hati, kepala dan jantung. Karena
tidak adalah wujud shalat dengan tidak adanya yang tersebut tadi.
Dan segala sunat
yang telah kami sebutkan, dari mengangkatkan kedua tangan, do'a iftitah dan
tasyahhud pertama daripada shalat adalah merupakan dua tangan, dua mata dan dua
kaki. Dan tidaklah hilang syahnya shalat dengan tidak adanya sunat‑sunat itu,
sebagaimana tidak hilangnya hidup dengan hilangnya anggota‑anggota tadi.
Tetapi jadilah orang dengan sebab hilangnya, memperoleh cacat, dicela dan
tidak disukai. Maka seperti itu pulalah orang yang menyingkat kan kepada yang
sedikit dari yang mencukupi daripada shalat, adalah seperti orang yang
mempersembah kan kepada Maharaja, seorang budak yang hidup tetapi tidak
bertangan dan berkaki. Adapun cara, yaitu
yang bertingkat di belakang sunat. Maka adalah merupakan sesuatu yang membawa
kepada kecantikan, seperti dua alis mata, janggut, bulu mata dan kecantikan
warna kulit.
Adapun tugas dzikir
pada sunat‑sunat itu, adalah menyempurnakan kecantikan seperti: melengkungnya
dua alis mata, membulatnya janggut dan lainnya. Maka shalat pada ketika itu,
adalah merupakan pendekatan dan persembahan kehadirat Raja‑Diraja, seperti
persembahan yang dipersembahkan oleh orang yang mencari kedekatan diri, kepada
sultan‑sultan. Persembahan itu
dipersembahkan kepada Allah 'Azza wa Jalla (Allah yg Maha Mulia & Maha
Besar), kemudian dikembalikan kepada kita pada hari pertemuan akbar. Maka terserahlah kepada kita, untuk membaguskan
bentuknya atau menjelekkannya. Kalau kita baguskan, maka adalah untuk kita sendiri dan kalau kita jelekkan, maka adalah di atas kita
sendiri. Dan tidaklah layak anda mengambil bahagian daripada mempelajari
fiqih, untuk membedakan diantara yang
fardlu dan yang sunat. Lalu tiada yang melekat pada paham anda tentang ciri‑ciri
sunat itu selain daripada boleh meninggalkannya, lalu anda tinggalkan.
Karena yang demikian itu, serupalah dengan kata dokter bahwa kerusakan mata
tidaklah melenyapkan adanya manusia. Tetapi kerusakan mata itu menolak
dibenarkan untuk diterima oleh sultan, apabila datang kepadanya membawa hadiah
yang akan dipersembahkan. Maka begitulah hendaknya dipahami tingkat‑tingkat
sunat, cara dan adab.
Sehingga tiap‑tiap shalat yang tidak disempurnakan ruku' dan sujudnya,
menjadi musuh pertama kepada yang empunya shalat itu di mana shalat mengatakan:
"Disia‑siakan oleh Allah kiranya engkau, sebagaimana engkau telah menyia‑nyiakan
aku(sholat)". Maka perhatikanlah benar‑benar, segala hadits yang telah
kami bentangkan mengenai kesempurnaan rukun‑rukun shalat, supaya jelaslah
bagimu keadaan yang sebenarnya
BAB KETIGA:
Mengenai syarat‑syarat bathiniyah
dari pada amal perbuatan hati.
Hendak kami sebutkan pada Bab ini, hubungan shalat dengan khusyu'
dan kehadiran hati. Kemudian kami
sebutkan segala pengertian bathin, batas‑batasnya, sebab‑sebabnya dan obatnya.
Kemudian hendak kami sebutkan perincian apa yang sewajarnya harus timbul pada
tiap‑tiap rukun dari rukun‑rukun shalat. Supaya patut untuk perbekalan akhirat.
Penjelasan:
pensyaratan khusyu' dan kehadiran hati: Ketahuilah kiranya bahwa dalil‑dalil
yang demikian itu banyak. Diantaranya firman Allah Ta’ala: “Dirikanlah. shalat untuk mengingati AKU“ S 20 Thaahaa
ayat 14. Yang jelas dari perintah (amr)
ialah wajib. Dan lengah itu berlawanan dengan mengingati.
Orang yang lengah (lalai) dalam keseluruhan shalatnya, bagaimanakah ia
mendirikan shalat untuk mengingati Tuhan? Dan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau termasuk orang‑orang
lengah". S 7 Al raaf ayat 205 adalah suatu larangan, dan dhahiriyahnya
menunjukkan kepada pengharaman. Dan
firman Allah 'A zza wa Jalla: "Sampai kamu
mengetahui apa yang kamu katakan"
S 4 An‑Nisa ayat 43. adalah alasan
bagi larangan meminum minuman yang memabukkan. Dan memabukkan itu sering
terjadi pada orang yang alpa, yang karam dengan kesangsian dan pikiran‑pikiran duniawi.
Dan Sabda Nabi saw:
"Sesungguh nya shalat itu ialah
ketetapan dan kerendahan hati", adalah pembatasan dengan adanya alif dan lam pada kata‑kata shalaatu itu (yang berarti adanya shalat itu, terbatas dengan adanya
ketetapan dan kerendahan hati). Dan kata‑kata innamaa (sesungguhnya), berarti: penegasan dan penguatan. Dan dipahami oleh para ahli fiqih dari
sabda Nabi saw: "Sesungguhnya syufah ialah pada benda yang tiada dapat dibagikan".
adalah itu pembatasan, itsbat (positif)
dan nafi (negatif). Dan sabda Nabi
saw: "Barangsiapa tidak dicegahkan oleh shalatnya dari
perbuatan yang keji dan mungkar, maka tidaklah ia bertambah dekat, kepada
Allah melainkan bertambah jauh". Dan shalat orang yang lalai itu,
tidaklah mencegah daripada kekejian dan kemungkaran. Bersabda Nabi saw: "Berapa
banyak orang yang menegakan shalat, memperoleh letih dan payah saja daripada
shalat". Dan tidaklah dimaksud kan oleh Nabi saw dengan
ucapannya itu, melainkan orang yang alpa.
Bersabda saw: “Tiadalah bagi hamba daripada shalatnya,
melainkan yang ada akal pikirannya pada shalat itu". Dan yang diyakini
bahwa orang yang mengerjakan shalat itu adalah bermunajah dengan Tuhannya 'Azza
wa Jalla, sebagaimana yang tersebut pada hadits. Dan berkata‑kata dengan alpa,
tidaklah sekali-kali dapat dinamakan munajah(membisikkan segala isi hati). Jelasnya, bahwa zakat kalau alpalah manusia daripadanya umpamanya, maka zakat itu
sendiri adalah menyalahi bagi hawa‑nafsu dan berat atas diri seseorang.
Demikian juga puasa, yang memaksakan
bagi kekuatan, menghancurkan kekuasaan hawa‑nafsu yang menjadi alat bagi setan
musuh Allah. Maka tiadalah jauh bahwa berhasil maksud daripada zakat itu serta
alpa.
Begitu pula hajji, segala amal perbuatannya adalah
sulit dan berat. Di dalamnya dari mujahadah/berjihat melawan hawa nafsu, diperoleh
kesakitan, adakah hati itu hadir beserta segala perbuatannya atau tidak?
Adapun shalat, maka tak ada
padanya selain daripada dzikir, bacaan, ruku', sujud, berdiri dan duduk.
Adapun dzikir adalah bercakap‑cakap
dan bermunajah dengan Allah Ta’ala. Maksud daripadanya, adakalanya berhadapan dan bercakap-cakap Atau dimaksudkan daripadanya huruf‑huruf dan suara‑suara, sebagaimana
ujian bagi lisan dengan amal perbuatan. Sebagaimana diuji perut dan kemaluan
dengan menahan (imsak) pada puasa. Dan sebagaimana diuji tubuh dengan segala
kesulitan waktu mengerjakan hajji. Dan diuji hati dengan kesulitan
mengeluarkan zakat dan melepaskan harta yang dirindukan. Dan tak ragu lagi
bahwa bahagian ini batal. Sesungguhnya menggerakkan lisan dengan kelengahan,
alangkah ringannya kepada orang yang alpa. Sebab, tak ada padanya ujian dari segi perbuatan. Tetapi yang
dimaksudkan ialah huruf‑huruf dari
segi ia diucapkan. Dan tidaklah itu dinamakan ucapan, kecuali apabila melahirkan apa yang terkandung di dalam
hati (dlamir). Dan tidak ada itu dilahirkan, kecuali dengan kehadiran hati. Maka apakah artinya:
"Ihdinash shiraathal mustaqiim" (Tunjukilah
aku jalan yang lurus), apabila hati itu alpa? Apabila tidak dimaksudkan
untuk merendahkan diri dan berdo'a? Maka manakah kesulitan pada menggerakkan
lisan untuk membacanya serta alpa itu? Apa lagi kalau sudah dibiasakan!.
Demikian, mengenai
dzikir‑dzikir itu. Bahkan aku mengatakan, jikalau bersumpahlah seseorang dengan
mengatakan: "Demi Allah, aku akan mengucapkan terima kasih kepada si Anu,
aku puji dia dan aku mintakan sesuatu keperluan padanya". Kemudian berlakulah
kata‑kata yang menunjukkan kepada maksud‑maksud itu, dengan lidahnya waktu ia
sedang tidur, maka tidaklah ia terkena dengan sumpah itu. Dan jikalau berlaku
kata‑kata itu dengan lidahnya di dalam gelap dan si Anu itu hadir di situ,
sedang ia tidak mengetahuinya dan tidak melihatnya, maka tidaklah ia terkena
dengan sumpahnya. Karena tidaklah kata‑katanya itu ditujukan dan dituturkan kepada
si Anu, selama dia itu tidak hadir di dalam hati‑nya. Jikalau kata‑kata itu
keluar pada lidahnya dan si Anu itu hadir, pada siang hari, di mana yang
mengucapkan itu sedang alpa, karam di dalam kerusuhan, dengan beraneka macam
pikiran dan tak ada maksudnya menghadapkan kata‑kata tadi kepada si Anu itu
ketika mengucapkannya, niscaya tidaklah ia terkena pada sumpahnya itu. Dan
tidak syak lagi bahwa yang dimaksud daripada pembacaan dan dzikir‑dzikir itu
ialah: pujian, sanjungan, tadlarru' (merendahkan
diri) dan doa. Dan yang dihadapi
dengan pembicaraan itu ialah Allah 'Azza
wa jalla. Dan hati orang itu dengan hijab kealpaan, adalah terhijab
daripada Allah Ta’ala, tiada melihat dan tiada menyaksikan ALLAH, bahkan ia
alpa daripada Yang Ditujukan itu. Lidahnya bergerak adalah disebabkan kebiasaan
saja. Maka alangkah jauhnya ini daripada yang, dimaksudkan dengan shalat yang
disuruh oleh Agama untuk mengasah hati, membarukan ingatan kepada Allah Ta’ala
dan meneguhkan ikatan iman kepada ALLAH. Inilah hukum bacaan dan
dzikir!.
Kesimpulamya, maka inti ini tiada jalan untuk menentangnya pada
pembacaan dan membedakannya daripada perbuatan. Adapun ruku' dan sujud, maka
yang dimaksudkan dengan keduanya itu, ialah mengagungkan semata‑mata. Jikalau bolehlah mengagungkan Allah
'Azza wa Jalla dengan perbuatan, sedang ia alpa daripada ALLAH, maka boleh
pulalah ia mengagungkan Patung Yang terletak dihadapannya, sedang ia alpa
daripadanya. Atau mengagungkan dinding tembok yang ada dihadapannya, sedang ia
alpa daripadanya. Dan apabila keluar daripada adanya pengagungan itu, maka
tidaklah tinggal, selain daripada semata‑mata gerakan punggung dan kepala. Dan
tak ada padanya kesukaran yang dimaksudkan oleh ujian padanya. Kemudian
dijadikan semua itu tiang agama dan pemisah diantara kufur dan Islam. Dan
didahulukannya dari hajji dan ibadah‑ibadah lain dan diwajibkan bunuh dengan
sebab meninggalkannya pada khususnya. Dan aku tidak melihat bahwa kebesaran
yang demikian agung seluruhnya untuk shalat itu, dari segi amal perbuatan
dhahiriyahnya, melainkan karena ditambahkan kepadanya maksud munajah/membisikikan isi hati itu. Maka yang demikian itulah
yang mendahulukannya daripada puasa, zakat, hajji dan lainnya. Bahkan daripada
segala pengorbanan dan kurban, yang menjadi mujahadah/bersungguh‑sungguh dengan hawa nafsu dengan pengurangan harta.
Berfirman Allah
Ta’ala: "Tidak akan sampai daging
dan darahnya itu kepada Tuhan, hanya yang sampai kepada Tuhan ialah taqwa
(kepatuhan menjalankan kewajiban) dari kamu". S 22 Al‑Hajj ayat 37
artinya: suatu sifat yang menguasai hati, sehingga membawanya kepada menuruti
segala perintah yang dituntut. Maka bagaimana urusannya mengenai shalat itu,
apakah tiada tujuan pada segala amal perbuatannya? Inilah yang menunjukkan tentang
arti disyaratkan
kehadiran hati itu! Kalau anda
mengatakan, bahwa jika kita tetapkan dengan batal shalat dan kita jadikan
kehadiran hati itu menjadi syarat pada shah shalat, niscaya kita telah menyalahi Ijma’(sepakat) ulama fiqih. Karena mereka itu tiada
mensyaratkan kehadiran hati, selain ketika takbiratul‑ihram.
Maka ketahuilah kiranya bahwa telah
diterangkan pada Kitab ilmu dahulu, bahwa ulama‑ulama fiqih itu tiada mengurus mengenai bathin
dan tiada membuka persoalan hati dan jalan akhirat. Tetapi mereka
membangun yang dhahir dari hukum‑hukum Agama, pada yang dhahir dari perbuatan‑perbuatan
anggota badan. Dan perbuatan‑perbuatan dhahir itu, adalah mencukupi untuk
tidak dihukum bunuh dan tidak disiksa oleh sultan (penguasa). Adapun tentang
bermanfa'atnya di akhirat, maka ini tidaklah termasuk dalam perbatasan ilmu fiqih, sehingga tidak memungkinkan untuk
didakwakan Ijma’(sepakat).
Telah dinukilkan dari Bisyr bin Al‑Harits, menurut yang diriwayatkan Abu
Thalib AI‑Makki dari Sufyan AtsTsuri, bahwa Sufyan Ats‑Tsuri berkata:
"Siapa yang tiada khusyu', maka tidak shah shalatnya". Diriwayatkan
dari Al Hasan, bahwa Al Hasan berkata: "Tiap‑tiap shalat yang tidak hadir
padanya hati, maka shalat itu lebih mencepatkan kepada siksaan".
Diriwayatkan dari Ma'az bin Jabal: “Barangsiapa mengenal orang di kanannya dan
di kirinya dengan sengaja, sedang ia di dalam shalat, maka tak ada shalat
baginya". Dan diriwayatkan pula oleh Ma'az suatu hadits musnad, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Bahwa hamba untuk mengerjakan shalat,
tidaklah dituliskan baginya 1/6 dari shalat itu dan tidak 1/10 nya. Hanya
dituliskan bagi hamba itu daripada shalatnya, apa yang di pergunakan, akalnya
daripadanya". Dan Ini kalau dinukilkan dari orang lain, tentu telah
dijadikan madzhab. Maka bagaimanakah tidak menjadi perpegangan? Berkata Abdul‑Wahid
bin Zaid: "Telah Ijma’(sepakat) para ulama, bahwa tiada bagi hamba
daripada shalatnya, selain apa yang dipergunakannya akal padanya. Lalu pendapat
itu dijadikan kesepakatan". Apa yang dinukilkan dari sejenis ini, daripada
para ulama fuqaha
(ulamah fikih yang benar mengharapakan wajah allah) yang wara' dan para ulama akhirat, adalah lebih
banyak daripada dapat dihinggakan. Yang benar, ialah kembali kepada dalil-dalil
syari’at/agama, hadits dan atsar yang jelas mengenai syarat ini. Tetapi
kedudukan fatwa mengenai taklif
(kewajiban,menugaskan) yang dhahir itu, diukur menurut ukuran kesanggupan
manusia. Maka tidak mungkin disyaratkan kepada orang banyak, untuk menghadirkan
hatinya di dalam keseluruhan shalat. Karena yang demikian itu, adalah seluruh
manusia lemah daripadanya, kecuali jumlah yang sedikit. Apabila tidak mungkin
disyaratkan meratanya kehadiran hati itu, karena kesulitan tersebut, maka tiada
jalan keluar selain daripada disyaratkan sekedar
nama kehadiran hati itu, walaupun pada masa
sekejap saja. Dan masa sekejap yang paling utama itu, ialah detik takbiratul‑ihram. Dari itu, kita
singkatkan taklif (diharuskan/diwajiban)
dengan yang demikian.
Dalam pada itu, kita mengharap bahwa tidak adalah keadaan orang yang
alpa di dalam keseluruhan shalatnya, seperti keadaan orang meninggalkan
kehadiran hati itu secara keseluruhan. Karena orang yang alpa itu umumnya, tampil mengerjakannya pada dhahir dan
menghadirkan hatinya sekejap mata. Bagaimanakah
tidak demikian? Orang yang mengerjakan shalat, serta berhadats (tidak
berwudlu), karena lupa, maka shalatnya itu batal pada sisi Allah Ta’ala. Tetapi
baginya pahala sekedar perbuatannya, keteledoran dan halangan yang dihadapinya.
Dan beserta harapan yang di atas tadi, maka ditakuti keadaan orang yang alpa itu lebih memburuk dari
keadaan orang yang meninggalkan kehadiran hati. Bagaimana tidak? Orang yang
datang melakukan pengkhidmatan dan berbuat sembrono tiba dihadapan, berkata‑kata dengan kata‑kata orang alpa, yang
hina, adalah lebih buruk keadaannya dari orang yang tidak melakukan pengkhidmatan
sama sekali. Dan apabila berlawananlah diantara sebab takut dan sebab harap dan
jadilah hal itu berbahaya pada dirinya, maka terserahlah kepada kita kemudian,
memilihnya diantara berhati‑hati dan mempermudah‑mudahkan. Dan dalam pada itu,
tidak diharapkan menyalahi ulama fiqih, yang berfatwa shahnya shalat serta alpa
itu. Karena yang demikian adalah sebahagian daripada yang penting difatwakan,
sebagaimana telah diperingatkan dahulu. Siapa yang mengenal kunci rahasia
shalat niscaya mengetahui bahwa kealpaan
itu berlawanan dengan shalat. Tetapi telah kami sebutkan pada "Pada bab Perbedaan antara ilmu Bathin
dan ilmu Dhahir", pada Kitab
Qaidah‑qaidah 'Aqidah, bahwa kurangnya kesanggupan
manusia adalah salah satu sebab yang mencegah daripada penegasan segala apa
yang terbuka dari rahasia agama. Maka kami ringkaskan pembahasan sekedar ini
karena mencukupilah kiranya bagi murid yang menuntut jalan akhirat. Tetapi
bagi orang membangkang yang berniat buruk, maka tiadalah maksud kami
menghadapinya sekarang. Pendek kata, bahwa kehadiran
hati adalah nyawa shalat. Dan sekurang‑kurangnya yang membuat nyawa
itu tidak keluar, ialah hadirnya hati itu ketika takbiratul‑ihram. Maka kurang dari itu adalah membinasakan. Dan
semakin bertambah lagi, maka semakin mengembang nyawa itu di dalam segala
bahagian shalat. Berapa banyak orang yang hidup yang tidak dapat bergerak lagi,
yang mendekati kepada kematian. Maka shalat orang yang alpa itu, didalam
keseluruhannya selain ketika takbir, adalah seumpama orang hidup yang tak ada
geraknya lagi. Kita bermohon kepada Allah akan pertolongan yang baik!.
PENJELASAN:
pengertian bathin yang menyempurnakan kehidupan shalat.
Ketahuilah, bahwa semua pengertian itu,
banyaklah kata‑kata yang ditujukan kepadanya. Tetapi dapat dikumpulkan oleh 6 patah kata‑kata, yaitu: kehadiran hati, pemahaman, pengagungan, kehebatan,
harap dan malu. Maka haruslah kami
terangkan penguraiannya, kemudian sebab‑sebabnya, kemudian cara pada mengusahakannya.
Adapun penguraiannya, maka yang pertama, ialah
Kehadiran
hati. Kami maksudkan
dengan kehadiran hati, ialah bahwa
hati itu kosong dari yang lain, dari apa yang dilaksanakan dan yang dibicarakannya.
Maka adalah pengetahuannya dengan perbuatan
dan perkataan itu, menyertai
dengan keduanya. Dan tidaklah pikirannya, menerawang kepada yang lain. Manakala
pikirannya itu berpaling dari yang bukan apa ia di dalamnya, dan adalah di
dalam hatinya ingatan bagi apa yang ia di dalamnya dan tak ada pada hati itu
kealpaan dari keseluruhannya, maka sesungguhnya telah berhasillah kehadiran hati.
Tetapi
pemahaman arti dari kata‑kata
yang dibacakan, adalah suatu hal di
balik kehadliran hati. Kadang‑kadang hati itu hadir bersama kata‑kata dan
tidak hadir bersama arti dari kata‑kata itu. Maka melengkapnya hati atas
pengetahuan dengan arti dan kata‑kata yang dibacakan, itulah yang kami
maksudkan dengan pemahaman. Dan ini,
suatu kedudukan yang berlebih‑kurang manusia padanya. Karena tiadalah bersekutu
manusia tentang memahami segala arti AI Quran dan tasbih‑tasbih. Berapa banyak
pengertian‑pengertian yang halus, yang dipahami oleh orang yang mengerjakan
shalat (Mushalli), waktu sedang shalat dan tidak terlintas di hatinya yang
demikian sebelumnya. Dari segi inilah, shalat itu adalah pencegah dari
perbuatan keji dan Mungkar. Karena shalat memberi pemahaman hal‑hal, sudah
pasti mencegah dari perbuatan keji.
Adapun pengagungan, yaitu suatu hal, di
balik kehadiran hati dan pemahaman. Karena orang yang berbicara dengan budaknya
sesuatu pembicaraan, adalah hatinya hadir pada pembicaraan itu dan memahami
artinya, sedang ia tidaklah mengagungkan budak itu. Maka pengagungan itu menambahkan kehadiran hati dan pemahaman arti.
Adapun kehebatan, maka menambahkan
atas pengagungan. Bahkan kehebatan itu
adalah ibarat dari ketakutan, yang timbuInya dari rasa pengagungan. Karena orang yang tidak takut, maka tidaklah dinamakan
dia orang yang merasa kehebatan. Ketakutan
kepada kalajengking dan kejahatan budi seseorang dan sebagainya, dari sebab‑sebab
yang mengejikan, tidaklah dinamakan takut kehebatan. Tetapi takut kepada sultan
yang diagungkan, itulah yang dinamakan takut
kehebatan. Kehebatan, ialah takut yang sumbemya pengagungan.
Adapun harap, maka tak ragu lagi,
adalah suatu tambahan. Berapa banyak orang membesarkan seseorang raja; ia takut
kepadanya atau takut akan kekuasaannya. Tetapi ia tiada mengharap akan
pembalasannya. Dan hamba sewajarnyalah mengharap dengan shalatnya itu, akan
pahala daripada Allah 'Azza wa Jalla, sebagaimana ia takut dengan
keteledorannya akan siksaan Allah 'Azza wa Jalla.
Adapun malu, maka adalah suatu tambahan pada umumnya. Karena
sandarannya ialah perasaan keteledoran dan
sangkaan berdosa. Dan tergambarlah pengagungan, takut dan harap,
dengan tanpa malu, di mana tidak ada sangkaan teledor dan berbuat dosa.
Adapun sebab‑sebab daripada pengertian
yang 6 itu, maka ketahuilah kiranya bahwa kehadiran hati, sebabnya ialah cita‑cita.
Hati kita mengikuti cita‑cita kita.
Dia tidak hadir, kecuali mengenai apa yang kita
cita‑citakan. Manakala ada sesuatu hal yang menjadi cita‑cita kita,
maka hadirlah hati padanya, dengan kehendak atau tanpa kehendak. Hati itu
terpaksa dan tunduk patuh kepadanya. Apabila hati itu tidak hadir di dalam
shalat, bukanlah dia itu menganggur, tetapi menerawang pada cita‑cita yang
datang kepadanya dari hal‑ikhwal duniawi.
Dari itu, tiada daya dan cara untuk menghadirkan hati, selain dengan
menjuruskan cita‑cita kepada shalat. Dan cita‑citanya itu, tidak menjurus
kepadanya, selama belum nyata bahwa maksud yang dicari terpaku padanya. Yang
demikian itu ialah iman dan membenarkan bahwa akhirat, adalah lebih baik dan kekal abadi. Dan shalat adalah jalan kepadanya. Apabila
ini ditambahkan kepada pengetahuan yang sejati dengan kehinaan dunia dan
kepentingannya, niscaya secara keseluruhan, berhasillah kehadiran hati itu di
dalam shalat. Dan dengan alasan yang seperti ini, hati anda itu hadir apabila
anda berada dihadapan sebahagian pembesar, yang tidak sanggup memberi
kemelaratan dan kemanfa'atan kepada anda. Apabila hati itu tidak hadir ketika
berMunajah(berbisik segala isi hati) dengan Raja‑Diraja, di mana di dalam
tangan ALLAH alam al‑Mulki/dunia dan alam al‑malakut/langit, kemanfa'atan &
kemelaratan, maka janganlah kiranya anda menyangka ada sesuatu sebab yang lain
baginya, selain dari kelemahan iman.
Maka bersungguh‑sungguhlah sekarang
menguatkan iman itu! Dan caranya akan dibahas secara mendalam, tidak pada tempat
ini. Adapun pemahaman, maka sebabnya
setelah kehadiran hati, ialah ketekunan berpikir dan menjuruskan hati kepada memahami arti. Dan obatnya adalah obat
menghadirkan hati, serta menghadapkan kepada pemikiran dan terus‑menerus
menolak segala yang terlintas di dalam bathin. Dan obat menolak segala yang
terlintas yang membawa kepada kebimbangan bathin ialah memutuskan segala materinya. Yakni mencabut diri
dari segala sebab yang menarik segala yang terlintas itu kepadanya. Selama
materi‑materi itu tidak diputuskan maka selama itu pulalah, segala yang
terlintas itu, tidak berpaling daripadanya. Barangsiapa menyukai sesuatu,
niscaya banyaklah menyebut‑nyebutnya. Maka menyebut‑nyebutkan yang disukai
itu, lalu dengan sendirinya menyerbu ke dalam hati. Dari itu, kita melihat
bahwa orang yang mencintai selain Allah Ta’ala,
maka tidaklah bersih shalatnya dari lintasan‑lintasan ke dalam bathin.
Adapun pengagungan, adalah suatu keadaan bagi
hati, yang terjadi daripada dua ma'rifah (pengenalan):
Pertama: mengenal kebesaran
dan keagungan Allah 'Azza wa Jalla. Dan itu adalah sebagian dari pokok‑pokok
iman. Siapa yang tidak mengimani keagungan ALLAH, niscaya jiwanya tidak
meyakini akan keagungan ALLAH
Kedua: mengenal kehinaan diri, kerendahan dan keadaannya sebagai
hamba yang mematuhi dan tunduk kepada Tuhannya. Sehingga dari ma'rifah
(pengenalan) yang dua ini, lahirlah ketenangan, kesepian hati dari dunia dan
kekhusyu'an jiwa kepada Allah yang Maha Suci. Lalu dikatakanlah yang demikian
itu: pengagungan. Selama tidak terjalin
pengenalan kehinaan diri dengan pengenalan keagungan Ilahi, maka selama itu
pulalah tidak teratur keadaan pengagungan
dan kekhusyu'an hati. Orang yang merasa tiada memerlukan kepada orang lain
dan merasa aman kepada dirinya sendiri, maka boleh ia mengenal dari orang lain
itu akan sifat keagungan. Dan
tidaklah kekhusyu'an hati dan mengagungkan orang itu menjadi perilakunya, karena faktor yang lain yaitu mengenal
kehinaan diri dan memerlukan diri kepada orang itu tidak ada padanya.
Adapun kehebatan dan ketakutan, maka adalah keadaan bagi
diri, yang terjadi dari mengenal kekuasaan Allah, keperkasaan dan ketembusan
kehendak ALLAH, serta kurang perhatian kepada ALLAH. Dan kalaulah Ia
membinasakan segala orang yang terdahulu dan yang terkemudian, niscaya tidaklah
berkurang dari kerajaan ALLAH sebesar biji sawipun. Hal ini, disamping membaca
segala peristiwa yang berlaku pada nabi‑nabi dan wali‑wali, dari bermacam‑macam
musibah dan malapetaka, serta berkuasa Ia menolak, sebaliknya dari pada apa
yang tampak pada raja‑raja dunia.
Kesimpulannya, semakin bertambah ilmu dengan Allah, maka semakin
bertambah ketakutan dan kehebatan kepada ALLAH. Dan akan datang nanti,
penjelasan sebab‑sebab yang demikian, pada “Kitab
Takut“, dari “Rubu’ Yang Melepaskan”. Adapun harap, maka sebabnya ialah karena mengenal kelemah-lembutan Allah
'Azza wa Jalla, keMurahan ALLAH, kemerataan nikmat ALLAH, kehalusan perbuatan
ALLAH dan mengenal kebenaran ALLAH pada
janji ALLAH akan sorga dengan shalat.
Apabila berhasillah keyakinan dengan janji ALLAH dan ma'rifah dengan kelemah‑lembutan
ALLAH, niscaya dari keseluruhan nya itu, pastilah membangkitkan pengharapan. Adapun malu, maka adalah dengan perasaan
keteledoran di dalam ibadah dan mengetahui dengan kelemahan menegakkan
keagungan Allah 'Azza wa Jalla. Dan malu itu kuat dengan pengetahuan kekurangan
diri, bahaya hawa nafsu, kurang keikhlasan, kotor kebathinan dan condong kepada
kebahagiaan yang segera (dunia) di dalam segala amal perbuatannya. Serta
mengetahui dengan keagungan, yang dikehendaki oleh kebesaran Allah ‘Azza wa
Jalla dan mengetahui bahwa Ia melihat kepada rahasia dan segala getaran hati,
meskipun halus dan tersembunyi. Segala pengetahuan ini, apabila mendatangkan
keyakinan, niscaya membangkitlah dengan sendirinya dari hati itu suatu keadaan
yang dinamakan malu. Inilah sebab‑sebab
dari sifat‑sifat itu. Tiap‑tiap apa yang dicari supaya berhasil, maka obatnya
ialah: mendatangkan sebab adanya. Di dalam mengenal sebab itu, dapatlah
mengenal obatnya. Dan pengikat segala sebab itu ialah iman dan yakin. Yakni:
segala ma’rifah (ilmu mengenal Allah Ta’ala) ini yang telah kami sebutkan. Arti
adanya yakin, ialah tiada ragu dan ma'rifah itu berkuasa pada hati, sebagaimana
telah diterangkan pada “Penjelasan
Tentang Yakin”, dari Kitab Ilmu. Menurut
kadarnya yakin, khusyu'lah hati. Dari itu berkatalah 'Aisyah: "Adalah
Rasulullah saw bercakap‑cakap dengan kami dan kami pun bercakap‑cakap dengan
beliau. Maka apabila datanglah shalat, lalu seakan‑akan beliau tiada mengenal
kami dan kami pun tiada mengenal beliau".
Diriwayatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu kepada
Musa as: "Wahai Musa! Apabila engkau menyebutkan (berdzikir) akan AKU,
maka sebutkanlah akan AKU, di mana seluruh anggota tubuhmu bergerak. Dan adalah
engkau ketika berdzikir kepadaKU itu khusyu' dan tenang. Apabila engkau menyebutkan
akan AKU, maka jadikanlah lidahmu di belakang hatimu! Dan apabila engkau
berdiri dihadapanKU, maka berdirilah sebagaimana berdirinya seorang hamba yang
hina! BerMunajahlah (berbisiklah) dengan
AKU, dengan hati yang gemetar dan lidah yang benar!”. Diriwayatkan bahwa Allah
Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as: "Katakanlah (Musa) kepada ummatMU
yang durhaka, agar mereka tiada menyebutkan akan AKU! Karena AKU telah berjanji
kepada diriKU sendiri, bahwa siapa yang berdzikir kepada AKU, maka AKU ingat
kepadanya. Maka apabila orang‑orang yang durhaka itu menyebutkan AKU, maka AKU
sebutkan mereka dengan kutukan (Ia’nat)". Ini, adalah mengenai pendurhaka
yang tidak alpa mengingati ALLAH. Maka bagaimanakah pula, apabila berkumpul
kealpaan dan kedurhakaan?. Dan dengan berbagai macam pengertian yang telah
kami sebutkan mengenai hati itu, terbagilah manusia kepada: orang yang alpa yang menyempurnakan
shalatnya dan tidak hadir hatinya sekejappun di dalam shalat, dan orang yang menyempurna kan dan tidak hilang kehadiran hatinya sekejappun. Bahkan
kadang‑kadang seluruh perhatiannya kepada shalat, di mana ia tiada merasa apa
yang berlaku dihadapannya.
Karena itulah, Muslim bin Yassar, tiada merasa
dengan jatuhnya tiang dalam masjid, di mana orang banyak sudah berkerumun
kepadanya. Setengah mereka, menghadiri shalat jama'ah pada suatu ketika dan
sekali‑kali tiada mengenal, siapa yang dikanannya dan yang dikirinya. Dan bunyi
detakan jantung Ibrahim as adalah terdengar sampai 2 mil jaraknya. Dan suatu
golongan ketika shalat itu pucat mukanya dan kembang‑kempis perutnya. Semuanya
itu, tiadalah jauh daripada dapat dipahami. Karena berlipat gandanya yang
demikian, dapat dipersaksikan pada cita-cita penduduk dunia dan ketakutan raja‑raja
dunia serta kelemahan dan kedla'ifan/kejahatan raja‑raja itu. Dan memburuknya
nasib yang diperoleh daripada raja‑raja itu. Sehingga jikalau masuklah
seseorang kepada raja atau menteri dan membicarakan kepentingannya, kemudian
keluar, lalu ditanyakan tentang orang di keliling raja atau tentang kain yang
dipakai oleh raja, maka tiadalah sanggup ia menceriterakannya. Karena seluruh
perhatiannya kepada raja, tidak kepada kain dan orang yang di kelilingnya.
Masing‑masing orang mempunyai tingkatan daripada apa yang dikerjakannya. Maka
keuntungan masing‑masing, daripada shalatnya, ialah menurut takut, khusyu' dan
pengagungannya akan Allah. Sesungguhnya tempat perhatian Allah akan hamba ALLAH
ialah hati, bukan gerakan dhahir.
Dari itu, berkatalah setengah shahabat ra: “Dikumpulkan manusia pada
hari qiamat, menurut keadaan mereka di dalam shalat, dari thumaninah, ketenangan, dari adanya
perasaan nikmat dan lezat dengan shalat. Sesungguhnya, benarlah perkataan
itu, karena manusia itu seluruhnya dikumpulkan atas apa, ia mati. Dan ia mati
atas apa ia hidup. Yang diperhatikan pada yang demikian itu ialah keadaan hatinya, tidak keadaan dirinya.
Maka dari sifat hati, tertuang bentuk pada hari akhirat. Dan tidaklah terlepas,
selain orang yang datang kepada Allah dengan hati yang sejahtera. Kita bermohon
kepada Allah akan kebaikan taufiq dengan kasih sayang dan kemurahanNya!.
PENJELASAN: Obat yang bermanfaat pada kehadiran hati.
Ketahuilah!
Bahwa orang mu'min harus, mengagungkan Allah 'Azza wa Jalla, takut kepada
ALLAH, mengharap daripada ALLAH dan malu karena keteledoran nya. Maka tidaklah
terIepas seorang mu'min itu dari hal‑ikhwal
yang tersebut tadi sesudah keimanannya, walaupun kekuatan hal‑ikhwal tadi,
adalah menurut kekuatan keyakinannya. Terlepasnya, dari keadaan yang tersebut
di dalam shalat, tiada sebabnya, selain daripada bercerai‑berai pemikiran,
bersimpang‑siur yang terlintas pada hati, lenyap jiwa daripada munajah/membisikkan
segala isi hati dan alpa daripada shalat.
Dan tidaklah yang melengahkan dari shalat, selain lintasan‑lintasan yang
mendatang dan yang membimbangkan. Maka obat untuk menghadirkan hati itu, ialah menolak segala
lintasan yang terlintas di dalam hati. Dan sesuatu itu tidak dapat ditolak,
selain dengan menolak sebabnya. Maka
hendaklah diketahui sebabnya. Dan sebab kedatangan lintasan‑lintasan itu, adakalanya,
ia sesuatu yang datang dari luar atau
sesuatu yang berada di dalam (bathiniyah).
Adapun yang dari luar, ialah
sesuatu yang mengetok pendengaran
atau yang nyata pada penglihatan. Kadang‑kadang
yang demikian itu, mempengaruhi cita‑cita, sehingga diturutinya dan ia
bertindak padanya. Kemudian tertariklah pemikiran daripada nya kepada yang lain
dan lalu tali‑bertalilah. Memandang itu adalah menjadi sebab untuk berpikir.
Kemudian, sebahagian pemikiran itu menjadi sebab bagi pemikiran yang lain.
Siapa yang kuat niatnya dan tinggi cita‑citanya, niscaya tidaklah dapat
diganggu oleh apa yang berlaku atas panca indranya. Tetapi orang yang lemah ‑sudah
pasti‑ membawa kepada bercera-berai pemikirannya. Dan
obatnya, ialah memutuskan segala sebab itu,
dengan memincingkan matanya atau mengerjakan shalat dalam rumah yang gelap atau tidak
membiarkan dihadapannya sesuatu yang mengganggu pancaindranya dan mendekatkan
diri kepada dinding ketika shalat, sehingga tiadalah luas jarak pemandangannya.
Dan menjaga daripada melakukan shalat di tepi jalan, pada tempat-tempat yang
penuh dengan ukiran kesenian dan pada tikar yang dicelup dengan warna yang
menarik. Dari itu, adalah orang‑orang yang rajin beribadah, melakukan ibadahnya
pada rumah kecil yang gelap. Luasnya sekedar dapat bersujud, supaya yang
demikian itu, dapat mengumpulkan segala cita‑citanya. Orang‑orang kuat daripada
mereka, datang ke masjid dan menutupkan mata. Dan tidak melampaui pandangannya
daripada tempat sujud. Mereka melihat bahwa kesempurnaan shalat adalah dengan
tiada mengenal orang yang di kanan dan yang di kirinya.
Adalah Ibnu Umar ra tiada membiarkan
pada tempat shalatnya mashhaf. Ia tiada membiarkan pedang, melainkan
dicabutkannya dan tulisan melainkan dihapuskannya. Adapun sebab‑sebab, bathiniyah, maka adalah lebih sulit lagi. Karena
siapa yang bercabang ingatannya pada lembah‑lembah dunia, niscaya tiadalah
terkungkung pemikirannya pada suatu persoalan. Tetapi senantiasalah terbang
melayang dari sudut ke sudut. Dan pemicingan mata, tiadalah memadai baginya.
Karena apa yang telah jatuh ke dalam lubuk hatinya tadi, telah cukup untuk
membimbangkannya. Dari itu, jalannya ialah menarik diri secara paksa, kepada memahami apa yang dibacakan di dalam shalat dan memberikan perhatian kepadanya, tidak
kepada yang lain. Dan dapat menolongnya untuk yang demikian, dengan mengadakan
persiapan sebelum bertakbiratul‑ihram, dengan memperbarukan ke dalam jiwanya
ingatan kepada akhirat, tempat tegak membisik kan segala isi hati, berbahayanya
tempat berdiri dihadapan Allah Ta’ala dan huru‑haranya pemandangan. Dan
menyelesaikan hatinya sebelum bertakbir untuk shalat daripada apa saja yang
mempengaruhinya. Sehingga tiada lagi tempat di dalam jiwanya untuk sesuatu
urusan yang berpaling kepadanya lintasan bathinnya.
Bersabda Rasulullah saw kepada Usman
bin Abi Syaibah: "Aku lupa
mengatakan kepadamu, supaya engkau menyembunyikan periuk yang ada di rumah.
Maka sesungguhnya tiada wajar, ada di rumah sesuatu, yang mengganggu manusia
dari shalatnya”. Inilah jalan menenteramkan pikiran. Kalau tiada juga
menenteramkan pikiran dengan obat yang menenteramkan, maka tiadalah yang
melepaskannya, melainkan obat cuci perut yang mengeluarkan benda penyakit dari
urat yang paling dalam. Yaitu: memperhatikan kepada segala keadaan, yang
menyeleweng, yang mempengaruhi daripada kehadiran hati. Dan tiada ragu kiranya,
bahwa segala keadaan itu kembali kepada kepentingannya. Dan kepentingan itu,
menjadi kepentingan hawa nasfunya. Maka hendaklah ia menyiksakan dirinya
dengan mencabut diri dari segala hawa‑nafsu dan memutuskan segala hubungan.
Segala yang mengganggunya dari shalat, maka adalah lawan agamanya dan tentara
Iblis musuhnya menahankannya, adalah lebih mendatangkan melarat kepadanya
daripada mengeluarkannya. Maka haruslah ia membersihkan diri daripadanya dengan
mengeluarkan benda yang mengganggu itu. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi
saw: "Tatkala memakai ‑khamishah‑ (kain hitam 4 persegi) yang dihadiahkan
oleh Abu Jahm kepadanya. Dan pada kain itu ada cap bendera Nabi. Lalu Nabi
bershalat dengan kain itu. Maka dibukanya sesudah shalat, seraya bersabda: "Kembalikanlah kain ini kepada Abu
jahm, karena telah mengganggu aku tadi dari shalatku. Dan bawalah saja kepadaku
kain selimut Abu jahm!”. Rasulullah saw menyuruh memperbarukan alas kakinya
bahagian atas. Kemudian beliau memandang kepadanya di dalam shalat, karena
barunya. Maka beliau suruh membukanya dan mengembalikan bahagian atas alas
kaki yang lama. Adalah Rasulullah saw memakai alas kaki, lalu mena’jubkan
beliau oleh kebagusannya. Maka beliau bersujud kepada Allah, Kemudian bersabda:
“Aku merendahkan diri kepada Tuhanku
'Azza wa jalla, kiranya tidak dikutukiNYA aku”. Kemudian beliau keluar
membawa alas kaki itu dan memberikannya kepada peminta pertama yang
dijumpainya. Kemudian, disuruhnya Ali ra membelikan dua alas kaki dari kulit
yang disamak, yang telah dibuang bulunya, lalu dipakainya. Adalah pada tangan
Rasulullah saw sebentuk cincin dari emas, sebelum diharamkan. Dan ketika itu
beliau diatas mimbar, lalu dilemparkannya cincin itu, seraya bersabda: “Diganggu aku oleh benda ini, karena
memandang kepadanya dan memandang kepada kamu”.
Diriwayatkan: “Bahwa abu Thalhah bershalat dalam suatu
dinding tembok, padanya ada sebatang kayu. Maka menakjubkannya oleh seekor
burung yang kehitam-hitaman, terbang di pohon itu mencari jalan keluar. Lalu
diikuti oleh Abu Thalhah sebentar burung itu dengan matanya. kemudian ia tiada
mengetahui lagi, berapa raka’at sudah shalatnya. Maka Abu Thalhah menerangkan
apa yang telah menimpa dirinya dari kekacauan itu, kepada Nabi saw kemudian ia
menyambung: “Wahai Rasulullah! Dinding tembok itu adalah sedekahku.
Perbuatkanlah menurut kehendakmu!”. Diriwayatkan dari orang lain, bahwa Abu
Thalhah bershalat di dalam dinding temboknya dan pohon kurma berbuah lebat.
Maka Abu Thalhah memandang kepada pohon kurma itu dan menakjubkannya. Sehingga
ia tak tahu, berapa raka’at sudah shalatnya. Peristiwa ini diceriterakannya
kepada Usman ra seraya mengatakan: “Dinding tembok itu, sedekahku, buatkanlah
dia pada jalan Allah ‘Azza wa Jalla!”. Maka dijual oleh Usman ra dengan 50
ribu. Mereka berbuat demikian, untuk menghilangkan bahan yang mengganggu
pemikiran dan menutup apa yang telah terjadi daripada kekurangan shalat. Inilah
obat yang mencegah unsur penyakit dan tidak mempan dengan yang lain.
Apa yang telah kami sebutkan dari
berlemah-lembutnya menetapkan hati dan mengembalikannya kepada memahami dzikir,
adalah bermanfa’at pada hawa nafsu yang lemah dan angan-angan yang tidak
mengganggu selain dari tepi-tepi hati. Adapun hawa nafsu yang meluap-luap, yang
payah dikendalikan, maka tidaklah bermanfa’at padanya penetapan hati dengan
kelemah-lembutan. Tetapi senantiasalah engkau menarik dia dan dia menarik
engkau. Kemudian ia mengalahkan engkau dan berlalulah seluruh shalat engkau
dalam gangguan tarik menarik. Adalah seumpama seorang lelaki, di bawah sepohon
kayu. Ia bermaksud hendak menjernihkan pikirannya, tetapi nyanyian burung pipit
mengganggunya. Maka senantiasalah diusirnya burung pipit itu, dengan sepotong
kayu pada tangannya. Dan kembali ia menenangkan pikirannya. Kemudian burung itu
kembali lagi, lalu iapun kembali mengusirnya dengan kayu yang ada di tangannya.
Maka berkatalah orang kepadanya: “Ini adalah pekerjaan yang tak ada hasilnya!
Dan tidak akan habis. Kalau engkau mau terlepas, maka potonglah pohon itu!”.
Maka seperti itu pulalah pohon hawa nafsu. Apabila telah bercabang dan banyak ranting-rantingnya,
niscaya tertarik kepadanya segala pikiran, sebagaimana tertariknya
burung-burung pipit kepada pohon-pohon. Dan tertariknya lalat kepada
barang-barang buruk. Dan lamalah usaha untuk mengenyah kannya. Lalat itu, tiap
kali dihancurkan, kembali lagi berkembang. Dari itulah, maka ia dinamakan lalat. Maka seperti itu pulalah, segala
lintasan di dalam hati. hawa nafsu itu banyak macamnya. Amat sedikitlah manusia
terlepas daripadanya. Dan semuanya itu dikumpulkan oleh satu pokok, yaitu: mencintai dunia. Dan begitu pula, kepala tiap-tiap kesalahan, sendi
tiap-tiap kekurangan dan sumber tiap-tiap kerusakan. Maka siapa yang terlibat
hatinya kepada mencintai dunia, sehingga condong kepada sesuatu daripadanya,
bukan untuk mencari bekal daripadanya dan memperoleh pertolongan untuk negri
akhirat, maka janganlah diharapkan, akan jernih kelezatan bermunajah di dalam shalat. Karena orang yang senang dengan dunia,
niscaya ia tidak senang dengan Allah Ta’ala dan dengan munajah dengan DIA.
Cita-cita seseorang, adalah beserta kesayangannya. Kalau kesayangannya ada pada
dunia, maka sudah pasti kemauannya berpaling kepada dunia itu. Tetapi, dalam
pada itu, tiadalah wajar meninggalkan bersungguh‑sungguh, mengembalikan hati
kepada shalat dan menyedikitkan sebab-sebab yang menjadi gangguan. Ini adalah
obat yang pahit. Dan karena pahitnya, maka dimuntahkan oleh tabi’at manusia.
Sehingga tinggallah penyakit itu melumpuhkan badan dan jadilah penyakit itu
penghalang. Sehingga beberapa pembesar, bersungguh-sungguh melakukan shalat dua
raka’at, dimana mereka tiada memperkata kan dengan dirinya di dalam shalat
tadi, akan hal ikhwal duniawi, maka ternyata mereka lemah dari yang demikian
itu. Maka tak adalah harapan seperti kita-kita ini!. Semoga kiranya, selamatlah
shalat kita, setengah atau sepertiga daripadanya, dari kebimbangan hati, supaya
kita tidak termasuk orang yang mencampur kan amalan baik dan amalan buruk.
Kesimpulannya, maka cita-cita dunia dan cita-cita akhirat di dalam hati, adalah
seperti air yang dituangkan ke dalam gelas yang penuh dengan cuka. Seberapa
banyak air yang masuk kedalam gelas itu, maka sudah pasti sebanyak itu pula
cuka keluar. Dan tidaklah keduanya itu berkumpul menjadi satu.
Penjelasan . perincian apa yang selayaknya hadir di
dalam hati, pada tiap-tiap rukun dan syarat dari perbuatan shalat.
Maka kami katakan, hak anda kalau benarlah
anda dari orang-orang yang mencari akhirat, ialah yang pertama-pertama tidak melengahkan segala peringatan yang
mengenai syarat-syarat dan rukun-rukun shalat. Adapun syarat-syarat
yang mendahului shalat, yaitu: adzan,
bersuci, menutup aurat, menghadap qiblat, berdiri betul dan niat. Apabila kita mendengar seruan muadzin, maka hadirkanlah kiranya ke dalam hati kita, huru-hara seruan pada hari qiamat. Dan
bersiaplah dengan dhahir dan bathin kita, memperkenan dan menyegerakan. Karena
orang-orang yang menyegerakan diri kepada seruan ini, adalah mereka yang
diserukan dengan lemah-lembut pada hari pertemuan
akbar itu. Maka bawalah hatimu kepada seruan ini! Kalau anda memperolehnya
penuh dengan kesenangan dan kegembiraan, melimpah-limpah dengan keinginan untuk
bersegera, maka ketahuilah bahwa anda didatangi oleh seruan dengan berita
gembira dan kemenangan di hari keputusan
yang akan tiba. Karena itulah, bersabda Nabi saw: “Berikanlah kesenangan kami, hai Bilal!”. Artinya: Berikanlah
kesenangan kepada kami dengan shalat dan dengan seruan kepadanya! Karena
kecintaan hati Nabi saw adalah padanya.
Adapun bersuci, maka apabila anda telah laksanakan
pada tempat anda, yaitu lingkungan yang
mengelilingi anda, yang lebih jauh, kemudian pada pakaian anda, yaitu pembalut
anda yang lebih dekat, kemudian pada kulit
anda, yaitu kulit anda yang lebih dekat lagi, maka janganlah anda melupakan
isi badan anda, yang menjadi diri
anda sendiri, yaitu hati anda. Maka
bersungguh-sungguhlah menyucikan hati itu, dengan bertaubat dan menyesali diri
atas perbuatan yang telah terlanjur dan memusatkan cita-cita, untuk
meninggalkannya pada masa yang akan datang. Maka sucikanlah bathin anda dengan
yang tersebut tadi, karena bathinlah tempat yang dilihat oleh Tuhan yang kita
sembah.
Adapun menutup
aurat, maka ketahuilah
bahwa arti menutup aurat itu, ialah menutup tempat-tempat yang jelek pada badan
anda dari mata manusia. Sesungguhnya yang dhahir dari badan anda, adalah tempat
pandangan manusia. Maka bagaimanakah pikiran anda mengenai aurat bathin anda
dan rahasia-rahasia anda yang keji, yang tidak dilihat selain oleh Tuhan anda
‘Azza wa Jalla? Maka kemukakanlah segala kekejian itu pada hati anda dan
mintalah diri anda menutupkannya. Dan yakinlah bahwa tiada sesuatupun yang
dapat menutupkannya. Pada penglihatan Allah Ta’ala. Hanya segala kekejian itu
dapat ditutup oleh penyesalan, malu dan takut. Maka dengan menghadirkan segala
kekejian itu ke dalam hati, dapatlah anda memperoleh faedah, menggerakkan tentara takut dan malu dari tempat persembunyiannya. Lalu dengan yang demikian, anda
hinakan diri anda dan hati anda akan menjadi tenteram di bawah perasaan malu
itu. Dan tegak berdirilah anda di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana
berdirinya hamba yang berdosa, yang berbuat jahat dan yang melarikan diri
selama ini, yang telah menyesal. Maka ia kembali kepada tuannya dengan kepala
menekur, karena malu dan takut.
Adapun menghadap
qiblat, yaitu memalingkan wajah dhahir anda dari pihak-pihak yang lain, ke
pihak Baitullah. Adakah anda
berpendapat, bahwa memalingkan hati dari segala hal yang lain, kepada perintah
Allah ‘Azza wa Jalla, tidak diminta dari anda?. Amat jauh dari yang demikian!
Maka tidaklah diminta selain itu!.
Sesungguhnya segala yang dhahir ini, adalah segala penggerak bagi
bathin, pengendalian dan penenangan bagi segala anggota badan, dengan penetapan
arah yang satu itu. Sehingga segala
yang dhahir itu, tidak mendurhakai hati. karena apabila ia mendurhakai dan
menganiayai di dalam segala geraknya dan berpalingnya kepada segala pihak itu,
niscaya dia menarik akan hati dan berbalik daripada wajah Allah ‘Azza wa Jalla.
Dari itu, hendaklah wajah hati engkau bersama dengan wajah tubuh engkau!.
Ketahuilah kiranya bahwa sebagaimana muka tidak menghadap ke arah Baitullah,
kecuali dengan berpaling dari lainnya, maka begitu pula hati tiada akan
berpaling kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali dengan mengosongkan hati itu
daripada lainNYA.
Telah bersabda Nabi saw: “Apabila berdirilah hamba kepada shalatnya,
maka hawa nafsunya, wajahnya dan hatinya berpaling kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
adalah seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya”. Adapun i’tidal dengan berdiri
betul, adalah berdiri lurus dengan diri dhahir dan hatinya dihadapan Allah
‘Azza wa Jalla. Maka hendaklah kepala anda, yaitu anggota tubuh anda yang
tertinggi, menekur, menunduk dan melihat ke bawah! Dan hendaklah kerendahan
kepala dari ketinggiannya, memberi pengertian kepada keharusan bagi hati untuk
merendahkan, menghinakan dan melepaskan dari sifat keangkuhan dan kesombongan!
Dan hendaklah ada pada ingatan anda disini, tergurisnya di hati berdiri
dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla, pada huru-hura pandangan ketika datang untuk
pertanyaan amal! Ketahuilah, dalam keadaan ini, sesungguhnya anda adalah
berdiri dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla! IA melihat kepada anda. Dari itu
berdirilah di hadapan ALLAH, sebagaimana anda berdiri dihadapan setengah
raja-raja zaman sekarang, kalau anda merasa lemah daripada mengenal dzat ALLAH
yang Maha Tinggi. Tetapi umpamakanlah selama anda berdiri di dalam shalat itu,
bahwa anda diperhatikan dan diintip oleh mata yang bersinar berapi-api, dari
seorang laki-laki yang shalih, dari keluarga anda atau dari orang yang anda
ingini, untuk mengenal anda sebagai orang shalih. Maka pada ketika itu,
tenanglah sendi-sendi anda, khusyu’lah anggota-anggota tubuh anda dan
tenteramlah segala bahagian badan anda. Karena takut dikatakan anda oleh orang
yang lemah lagi miskin itu, bahwa anda kurang kusyu’. Apabila anda telah merasa
diri anda, dengan pemegangan diri, dari perhatian hamba yang miskin itu, maka
celalah diri anda dan katakanlah kepada diri itu: “Bahwa engkau, hai diri,
mendakwakan mengenal dan mencintai Allah. Apakah engkau tidak malu dari
keberanian engkau kepadaNYA, serta engkau memuliakan salah seorang daripada
hamba ALLAH ? Atau engkau takut kepada manusia dan engkau tidak takut kepada
ALLAH ? Padahal, Dialah yang berhak ditakuti! Karena itu, tatkala bertanya Abu
Hurairah: “Bagaimanakah malu kepada Allah?”. maka menjawab Nabi saw: “Engkau
malu kepada ALLAH, adalah sebagaimana engkau malu kepada laki-laki yang baik
dari kaum engkau”. Dan diriwayatkan pada riwayat yang lain: “Dari keluarga
engkau”.
Adapun niat, maka berhasratlah untuk memenuhi perintah Allah ‘Azza wa
Jalla, pada mengikuti perintah ALLAH dengan shalat dan menyempurnakannya,
mencegah dari segala yang meruntuhkan dan yang merusakkan shalat itu. Serta
mengikhlaskan semuanya itu bagi wajah Allah Ta’ala, karena mengharap pahala
daripadanya, takut daripada siksaan ALLAH, mencari kehampiran diri pada ALLAH
dan mengharapkan nikmat dengan keizinan ALLAH. Awaslah pada berbisik segala isi hati itu dengan adabmu
yang buruk dan maksiatmu, yang banyak. Dan agungkanlah di dalam jiwamu banyak
sedikitnya membisikkan segala isi hati dengan DIA ! Dan lihatlah dengan siapa
anda membisikkan segala isi hati dan
bagaimana anda membisikkan segala isi
hati! Dan dengan apa anda membisikkan
segala isi hati?. Pada ketika ini sewajarnyalah berkeringat pipimu daripada
perasaan malu, kembang kempislah perutmu daripada perasaan kehebatan dan
menguninglah wajahmu daripada perasaan ketakutan.
Adapun takbir, apabila lisan anda mengucapkannya, maka seyogyalah tidak
didustakannya oleh hati anda. Kalau di dalam hati anda, ada sesuatu, yang lebih
agung daripada Allah Ta’ala, maka Allah menyaksikan, bahwa anda itu pembohong,
meskipun perkataan anda itu benar. Seperti yang disaksikan pada orang-orang
yang munafik tentang perkataan mereka, bahwa Nabi saw itu rasul Allah. Kalau
hawa nafsu anda lebih keras pada anda daripada perintah Allah ‘Azza wa Jalla,
sehingga anda lebih mematuhi panggilan hawa nafsu itu daripada panggilan Allah,
maka sesungguhnya anda telah mengambil hawa nafsu itu menjadi Tuhan anda dan
telah mengagungkannya. Maka adalah ucapan anda Allaahu akbar (Allah Maha Besar)
itu, adalah ucapan dengan lisan semata-mata. Dan hati menyalahi daripada
menolong lisan itu. Alangkah besarnya bahaya yang demikian itu, jikalau
tidaklah bertaubat, bermohon ampun dan membaikkan sangka dengan kemurahan dan
kema’afan Allah Ta’ala.
Adapun do’a iftitah, maka kata-kata pertamanya ialah ucapan anda:
“wajjahtu wajhiya lilladzii fathaaras-samaawaati wal-ardhi”. (aku hadapkan
wajahku/diriku kepada Tuhan yang menjadikan langit dan bumi). Tidaklah
dimaksudkan dengan wajah itu, wajah dhahir. Karena anda apabila menghadapkan
wajah itu ke arah qiblat dan Allah Ta’ala Maha Suci, daripada di dapati oleh
pihak-pihak, sehingga anda menghadapkan dengan wajah tubuh anda kepadanya.
Sesungguhnya wajah hatilah, yang anda hadapkan kepada pencipta langit dan bumi.
Maka lihatlah kepada hati itu, adakah ia menghadap kepada cita-citanya dan
kemauannya, di rumah dan di pasar, yang mengikuti hawa nafsu atau menghadap
kepada pencipta langit?”. Awaslah daripada adanya permulaan munajah
(membisikkan isi hati) anda itu, dengan bohong dan dibuat-buat. Dan tidaklah
berpaling wajah itu kepada Allah Ta’ala selain dengan berpalingnya daripada
selain Allah. Dari itu, bersungguh-sungguhlah pada waktu sekarang, memalingkannya
kepada Allah. jikalau anda lemah terus menerus daripada yang demikian, maka
hendaklah ada pada waktu sekarang ini, ucapan anda itu benar!. Apabila anda
mengucapkan: “Hanifam-muslima” (memilih agama yang benar, lagi berserah diri),
maka seyogyalah bahwa, terlintas pada hati anda, bahwa berserah diri, ialah
yang selamat orang muslimin(berserah diri) lain daripada lidah dan tangannya.
Kalau tidak adalah anda seperti yang demikian, maka adalah anda pembohong. Maka
berusahalah sungguh-sungguh, untuk berhasrat yang demikian pada masa yang akan
datang dan menyesali diri terhadap hal-ikhwal yang telah lalu. Apabila anda
mengucapkan: “Wa maa ana minal musyrikiin” (dan tidaklah aku termasuk orang
musyrik), maka guriskanlah pada hati anda “syirik khafi”, (mempersekutukan
Tuhan secara tersembunyi, tidak kelihatan). Bahwa firman Allah Ta’ala: “Maka
siapa yang mengharap akan menemui Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan pekerjaan
yang baik-baik dan jangan dia mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya
(peribadatan) dengan siapapun”. S 18 Al kahfi ayat 110. Turun mengenai orang
yang bermaksud dengan ibadahnya akan wajah Allah dan pujian manusia. Hendaklah
anda berhati-hati menjaga diri dari syirik ini! Dan meresaplah kiranya perasaan
malu di dalam hati anda, kalau anda menyifatkan diri sendiri, bahwa anda
tidaklah termasuk orang musyrik, tanpa terlepas daripada syirik itu. Nama
syirik itu, terjadi pada sedikit dan banyak daripadanya. Apabila anda
mengucapkan: “Hidupku dan matiku untuk Allah”, maka ketahuilah bahwa ini adalah
keadaan seorang hamba yang memandang dirinya tidak ada, hanya adanya untuk tuannya. Bahwa sesungguh nya, kalau
terbitlah kata-kata tadi dari orang, yang relanya dan marahnya, tegaknya dan
duduknya, sukanya kepada hidup dan takutnya kepada mati, untuk urusan
keduniaan, maka tiadalah sesuai kata-kata itu dengan keadaaan. Apabila anda
mengucapkan: “Aku berlindung dengan Allah daripada setan yang terkutuk”, maka
ketahuilah bahwa setan itu musuhmu dan mencari kesempatan untuk memalingkan
hatimu daripada Allah ‘Azza wa jalla. Karena dengkinya kepadamu membisikkan segala isi hati dengan Allah
Ta’ala dan sujudmu kepada ALLAH. Sedang dia telah terkutuk, disebabkan satu
sujud yang ditinggalkannya dan tidak disetujuinya. Bahwa engkau berlindung
dengan Allah Ta’ala daripada setan, adalah dengan meninggalkan apa yang disukai
setan dan menggantikannya dengan apa yang disukai Allah ‘Azza wa Jalla.
Tidaklah dengan semata-mata perkataan engkau itu saja. Karena orang yang
dimaksudkan oleh binatang buas atau oleh musuh, mau diterkam atau dibunuhnya,
lalu mengucapkan: “Aku berlindung daripadamu dengan benteng yang kokoh kuat
itu”, sedang ia tetap pada tempatnya, maka yang demikian itu, tiadalah
bermanfa’at baginya. Tetapi tidaklah melindunginya, kecuali dengan menggantikan
tempat itu. Seperti itu pulalah orang yang menuruti hawa nafsu, yang menjadi
kesukaan setan dan kebencian Tuhan, maka tiada mencukupi dengan semata-mata
perkataan. Tetapi hendaklah disertakan perkataan itu dengan hasrat melindungkan
diri dengan benteng Allah ‘Azza wa Jalla daripada kejahatan setan itu. Dan
bentengNYA, ialah: “Laa ilaaha illallaah” (Tiada yang disembah dengan
sebenarnya, selain Allah). karena berfirman Allah Ta’ala, menurut apa yang
diterangkan oleh Nabi kita saw: “Laa ilaaha illallah adalah bentengKU. Maka
siapa yang masuk ke dalam bentengKU, niscaya ia aman daripada azabKU”. Yang
berbenteng dengan benteng Allah, ialah orang yang tiada menyembah selain Allah
swt. Adapun orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi Tuhannya, maka dia
adalah di dalam tanah lapang setan, tidak di dalam benteng Allah ‘Azza wa
Jalla.
Ketahuilah bahwa diantara tipu daya setan itu ialah diganggunya anda di
dalam shalat, dengan mengingati akhirat dan memahami perbuatan kebajikan,
supaya mencegah anda daripada memahami apa yang anda baca. Maka ketahuilah
bahwa tiap-tiap yang mengganggu anda daripada memahami arti bacaan anda, itu
adalah gangguan setan. Karena bukanlah gerak lidah yang dimaksud, tetapi yang
dimaksud ialah arti dari gerak lidah itu. (Karena itu
anda harus paham atau mengerti arti bacaan pada sholat. Jangan hanya hafal
bahasa arabnya saja, tapi anda tidak tau apa yang anda ucapkan !!! Karena
itulah anda menjadi alpa dan pikiran anda menerawang kemana-mana !!! Maka
menjadilah sholat anda tidak syah !!!.. pent)
Adapun bacaan, maka manusia mengenai bacaan
ini 3 golongan.
1.
Segolongan ialah orang yang menggerakkan lidahnya dan hatinya
alpa.
2.
Segolongan orang yang menggerakkan lidahnya dan hatinya
mengikuti lidahnya, maka ia mengerti dan mendengar bacaan dari lidahnya,
seakan-akan ia mendengar dari orang lain. Yaitu: derajat orang golongan kanan.
Dan
3.
Segolongan lagi, ialah orang, pertama-tama: mendahului
hatinya kepada maksud, kemudian lidahnya berkhidmat kepada hati, lalu lidah itu
menjadi juru bahasa daripada hati. Maka dibedakan, antara lidah menjadi juru
bahasa dari hati atau guru dari hati.
Adapun orang muqarrabun (orang-orang yang
menghampirkan diri kepada Allah Ta’ala), lidah mereka itu adalah juru bahasa
yang menuruti hati dan tidaklah hati yang menuruti lidah. Perincian terjemah
dari segala maksud yang dibaca itu, ialah apabila anda membaca: “Bismillaahir
rahmaanir rahiim”, (dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang),
maka berniatlah memperoleh barakah (berkat) untuk memulai bacaan kalam
(kata-kata) Allah Ta’ala. Dan pahamilah bahwa maksudnya, ialah: segala sesuatu
itu seluruhnya pada Allah Ta’ala. Dan yang dimaksudkan dengan “nama” disini,
ialah “yang dinamakan” (yang diberi nama kepadanya). Apabila segala sesuatu
adalah pada Allah Ta’ala, maka tegaslah, bahwa pujian itu adalah bagi Allah.
artinya: syukur (terima kasih) itu bagi Allah, karena segala nikmat itu
daripada Allah. Siapa yang melihat, nikmat itu dari selain Allah atau bermaksud
bersyukur kepada selain Allah, tidak dari segi bahwa yang lain dari Allah itu
adalah menjalankan perintah Allah Ta’ala, maka pada menamakan dan memujikan
yang lain dari Allah itu, mengandung kekurangan, menurut kadar berpalingnya
kepada selain Allah. Apabila anda membaca “arrahmaanir-rahiim”. (Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang), maka hadirkanlah ke dalam hati anda segala macam
kasih sayang ALLAH. Supaya jelaslah bagi anda rahmat ALLAH, lalu tergeraklah
harapan anda, kemudian meluaplah dari hati anda keagungan dan ketakutan dengan
ucapan anda: “maaliki yaumiddin” (Yang menguasai hari pembalasan).
Adapun keagungan, maka karena tak adalah pemerintahan, melainkan
kepunyaan ALLAH. Dan adapun takut, maka karena kehuru-haraan hari pembalasan
dan perhitungan amal, di mana DIAlah yang mempunyainya. Kemudian perbaruilah
keihklasan dengan ucapan anda: “Iyyaaka na’budu” (Hanyalah Engkau yang kami
sembah!) dan perbaruilah rasa kelemahann diri, rasa berhajat kepada ALLAH dan
tidak mempunyai daya dan upaya, dengan ucapan anda: “Wa iyyaaka nasta’iin” (Dan
kepada Engkau kami memohon pertolongan!) dan yakinlah, bahwa tiadalah
memperoleh kemudahan berbuat ta’at, melainkan dengan pertolongan ALLAH. Dialah
yang mempunyai nikmat, karena memberikan taufiq kepada kita untuk berbuat ta’at
kepada ALLAH. Dan dijadikan ALLAH kita, dapat berkhidmat memperhambakan diri
kepada ALLAH dan menjadikan kita dapat
membisikkan segala isi hati dengan DIA. Kalau tidak dianugerahi ALLAH
kita daripada memperoleh taufiq, niscaya adalah kita termasuk orang-orang yang
terusir bersama setan yang terkutuk. Kemudian apabila anda telah selesai
daripada membaca: “A’uudzu billaah”, daripada membaca:
“Bismillaahir-rahmaanir-rahiim”, daripada membaca “Alhamdulillaah”, dan
daripada melahirkan hajat umumnya kepada pertolongan ALLAH, maka tentukanlah
permohonanmu! Dan tidak meminta selain daripada hajatmu yang terpenting, yaitu
ucapkanlah: “Ihdinash-shiraathal-mustaqiim” (Pimpinlah kami ke jalan yang
lurus), yang membawa kami ke sisi Engkau dan menghantarkan kami kepada kerelaan
Engkau!. Dan tambahkanlah penguraian, perincian, peneguhan dan pengakuan
bersama mereka yang telah dianugerahi ALLAH kenikmatan petunjuk, yaitu
nabi-nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang syahid dan orang-orang shalih.
Tidak mereka yang telah dimarahi, yaitu: Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Kemudian bermohonlah makbul, dengan mengucapkan “Aamin” (Perkenankanlah
ya Allah). Apabila sudah membaca al-fatihah seperti yang tersebut diatas, maka
menyerupailah anda dengan orang-orang yang dikatakan oleh Allah Ta’ala tentang
mereka itu, menurut apa yang diceriterakan Nabi saw: “Aku bagi shalat itu dua
bahagian, antaraKU dan hambaKU. Sebahagian bagiKU dan sebahagian lagi bagi
hambaKU. Dan hambaKU memperoleh apa yang dimintanya”. Berkatalah hamba:
“Alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin” (Segala pujian untuk Allah, Pemimpin semesta
alam), maka berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: “Telah dipuji AKU oleh hambaKU dan
disanjunginya AKU”. Yaitu: maksud dari bacaannya: “Sami’allaahu liman hamidah”.
(Didengar oleh Allah siapa yang memuji ALLAH). Kalau sekiranya tak ada bagi
anda keuntungan dari shalat itu, selain dari diingati oleh Allah Ta’ala akan
anda di dalam kebesaran dan keagungan ALLAH, maka itupun merupakan suatu hadiah
yang berharga. Maka betapa lagi dengan apa yang anda harapkan, yang merupakan
pahala dan kurnia daripada ALLAH?. Begitu pula, sewajarnyalah anda pahami
tiap-tiap yang anda baca dari surat-surat Al-Qur’an, sebagaimana akan datang
penjelasannya pada Kita Membaca Al-Qur’an. Maka janganlah anda alpa dari
perintah ALLAH, dan larangan ALLAH, janji nikmat ALLAH dan janji ‘azab ALLAH,
segala pengajaran ALLAH, berita dari nabi-nabi ALLAH, ingatan kepada
nikmat-nikmat ALLAH dan kebaikan ALLAH. Masing-masing itu mempunyai hak. Maka
harap, adalah hak dari janji nikmat. Dan takut, adalah hak dari janji ‘azab.
Dan cita-cita, adalah hak dari suruhan dan larangan. Dan menerima pengajaran
adalah hak dari pengajaran. Syukur adalah hak dari ingatan kepada nikmat. Dan
memperoleh pengertian adalah hak berita dari nabi-nabi.
Diriwayatkan, bahwa Zararah bin Aufa, tatkala sampai pembacaannya kepada
firman Allah Ta’ala: “Ketika terompet dibunyikan”. S 74 Al Muddatstsir ayat 8,
lalu jatuh tersungkur dan meninggal dunia. Adalah Ibrahim An-Nakha’i, apabila
mendengar firman Allah Ta’ala: “Ketika langit belah”. S 84 Al Insyiqaaq ayat 1,
gemetarlah tubuhnya sehingga lemahlah sendi-sendinya. Berkatalah Abdullah bin
Waqid: “Saya melihat Ibnu Umar mengerjakan shalat, dalam keadaan tidak sadar.
Kiranya benarlah, bahwa hatinya terbakar dengan janji nikmat dan janji ‘azab
Tuhannya. Karena dia adalah hamba yang berdosa lagi hina, dihadapan Tuhan Yang
Maha Kuasa, lagi Maha Perkasa”. Dan adalah segala pengertian tadi, menurut
tingkat pemahaman masing-masing. Dan pemahaman itu adalah menurut kesempurnaan
ilmu dan kebersihan hati dan tingkat-tingkat tersebut, tidak terhingga
banyaknya.
Shalat itu adalah kunci hati. didalam shalat terbukalah segala kunci
rahasia kalimah-kalimah yang dibaca. Dan inilah hak bacaan, juga hak dzikir dan
tasbih. Kemudian, dijaga kehebatan pada bacaan, maka bacalah dengan bacaan yang
bagus dan tidak terburu-buru. Karena dengan demikian, lebih memudahkan bagi
perhatian. Dan diperbedakan pada pembacaan itu, diantara turun naiknya suara,
mengenai ayat-ayat yang mengandung rahmat dan ‘azab, janji pahala dan janji
siksa, pemujian, pengagungan dan penghormatan. Adalah
An-Nakha’i apabila
melalui di dalam pembacaannya seperti firman Allah Ta’ala: “Allah tiada
mengambil (mempunyai) anak dan tiada pula Tuhan yang lain disamping ALLAH”. S
23 Al Mukminuun ayat 91, maka beliau merendahlah suaranya, seperti orang yang
malu menyebutkan sesuatu yang tidak layak. Diriwayatkan, bahwa dikatakan kepada
pembaca Al-Qur’an: “Bacalah, tinggikanlah dan baguskanlah pembacaan,
sebagaimana engkau membaguskan pembacaan mengenai ikhwal duniawi!”.
Adapun berkekalan berdiri di dalam shalat, adalah pemberitahuan kepada
ketegakan hati serta Allah Ta’ala di atas sifat dari kehadirannya. Bersabda
Nabi saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menghadap pada orang yang bershalat,
selama orang itu tiada berpaling kepada yang lain”. Sebagaimana harus menjaga
kepala dan mata daripada berpaling kepada segala pihak, maka seperti itu
pulalah wajib menjaga rahasia (bathin) daripada berpaling kepada bukan shalat.
Apabila berpaling kepada yang lain, maka peringatilah hati itu, bahwa Allah
Ta’ala melihatnya. Dan merupakan penghinaan yang keji kepada Allah ketika
kealpaan orang yang membisikkan segala
isi hati itu. Supaya kembalilah hati itu kepada ALLAH. Dan haruslah
mengusahakan khusyu’ bagi hati, dengan terlepasnya hati daripada berpaling
kepada yang lain, pada bathin dan pada dhahir, sebagai hasil dari khusyu’. Dan
manakala telah khusyu’ bathin, niscaya khusyu’lah dhahir. Bersabda Nabi saw,
ketika ia melihat seorang laki-laki yang mengerjakan shalat dan
mempermain-mainkan janggutnya: “Adapun orang ini jikalau khusyu’lah hatinya,
maka pastilah khusyu’ anggota badannya”. Karena rakyat itu adalah menurut
pimpinan dari pemimpinnya. Dari itu tersebut pada do’a Nabi saw: “Ya Allah, ya
Tuhanku! Perbaikilah pemimpin dan rakyat yang dipimpin!”, yaitu hati dan
anggota badan”.
Adalah Abu Bakar Shiddiq ra di dalam shalatnya, seolah-olah dia itu
tonggak. Dan Ibnu Zubair ra, seolah-olah dia itu tiang. Setengah mereka adalah
menetap di dalam ruku’nya, sehingga jikalau jatuhlah burung pipit ke atasnya,
maka dia adalah seakan-akan barang keras. Semuanya itu, adalah kehendak tabi’at
manusia, dihadapan yang diagungkan daripada anak-anak dunia. Maka bagaimana
pula, tidak diperlakukan yang demikian, dihadapan Raja-Diraja pada orang yang
mengenal akan Raja-Diraja itu?. Tiap-tiap orang yang tenang dengan khusyu’
dihadapan selain Allah dan tidak tenang anggota badannya dengan bermain-main
dihadapan Allah, maka adalah karena singkat pengetahuannya tentang kebesaran
Allah dan tentang penglihatan Allah kepada rahasia dan isi hatinya. Berkata
‘Akramah tentang firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Yang melihat engkau ketika
engkau berdiri (mengerjakan shalat). Dan melihat gerak badan engkau diantara
orang-orang yang sujud”. S 26 Asy Syu’araaa’ ayat 218-219, yaitu: berdiri
ruku’, sujud dan duduk dari orang yang mengerjakan shalat itu.
Adapun ruku’ dan sujud, maka sewajarnyalah membaru ingatan kepada
kebesaran Allah Ta’ala ketika mengerjakan keduanya. Dan anda mengangkatkan
kedua tangan, dengan bermohon kema’afan Allah Ta’ala dari siksaan ALLAH, dengan
membarukan niat dan mengikuti sunnah Nabi saw kemudian anda mengulangi lagi,
menghinakan dan merendahkan diri kepada ALLAH dengan ruku’ anda. Dan berusaha
benar-benar melembutkan hati anda, membarukan khusyu’ anda. Anda merasakan akan
demikian, kemuliaan Tuhan anda, kerendahan anda dan keagungan Tuhan anda. Anda
bermohon pertolongan supaya tetaplah yang demikian itu dalam hati anda dengan
lisan anda. Maka bertasbihlah akan Tuhan dan mengakuilah keagungan ALLAH. Bahwa
DIA Maha Agung dari segala yang agung! Anda mengulang-ulangi yang demikian
dalam hati anda, supaya bertambah kuat dengan mengulang-ulangi itu. Kemudian
anda bangkit dari ruku’ dengan mengharap, kiranya IA merahmati anda. Dan
kuatkan harapan itu pada jiwa anda, dengan bacaan: “Samiallaahu liman hamidah”
(Didengar oleh Allah akan siapa yang memujikan ALLAH). Artinya: dikabulkan
ALLAH do’a orang yang mensyukuri ALLAH. Kemudian anda iringi yang demikian itu,
dengan kesyukuran yang menghendaki penambahan itu, lalu anda bacakan: “Rabbanaa
lakalhamd”, (Hai Tuhan kami, bagi Engkau segala jenis pujian). Anda
perbanyakkan pujian itu, dengan bacaan: “Mil-ussamaawaati wa mil-ul-ardli”
(Memenuhi segala langit dan bumi). Kemudian, anda turun kepada sujud, yaitu
tingkat tertinggi dari ketetapan hati. Maka anda tetapkan anggota badan anda
yang termulia, yaitu, muka kepada benda yang terhina, yaitu tanah. Kalau dapat
janganlah anda buat dinding diantara keduanya, maka sujudlah diatas bumi!
Perbuatlah yang demikian, karena lebih menarik kepada kekhusyu’an hati dan
lebih menunjukkan kepada kehinaan.
Apabila anda meletakkan diri anda pada tempat kehinaan, maka ketahuilah
bahwa anda telah meletakkannya pada tempatnya dan telah anda kembalikan cabang
kepada pokoknya. Karena anda, dari tanah dijadikan dan kepadanya anda kembali.
Maka ketika itu, perbaruilah di dalam hatimu keagungan Allah dan ucapkanlah:
“Subhaana rabbial-a’laa”, (Maha suci Tuhanku yang Maha Tinggi). Dan kuatkanlah
dengan diulang-ulangi! Karena sekali adalah lemah membekasnya. Apabila hati
anda telah menghalus dan telah nyata yang demikian itu, maka benarkanlah
harapan anda kepada rahmat Allah! karena rahmat ALLAH bersegera kepada yang
lemah dan yang hina, tidak kepada yang takabur dan menggagah.
Kemudian, angkatkanlah kepala anda dengan bertakbir dan bermohon hajat
anda, dengan membaca: “Rabbighfir warham wa tajaawaz
‘ammaa ta’lam”, (Hai Tuhanku! Ampunilah & kasihanilah! Dan lepaskanlah
(aku) daripada sesuatu (dosa) yang Engkau ketahui!. Ataupun anda bacakan
sesuatu do’a yg anda kehendaki. Kemudian,
teguhkanlah merendahkan diri itu, dengan mengulang-ulangi membacakannya!.
Kemudian, kembalilah kepada sujud ke2 seperti tadi!.
Adapun tasyahhud, maka apabila anda duduk tasyahhud itu, maka duduklah
dengan adab. Dan tegaskanlah bahwa seluruh apa yang dilaksanakan dari amal
perbuatan shalat dan tingkah laku yang suci, adalah karena Allah dan kepunyaan
Allah. itulah, yang dimaksudkan dengan: segala kehormatan (tahiyyah) untuk
Allah. dan hadirkanlah di dalam hati anda, Nabi saw dan pribadinya yang mulia,
dengan mengucapkan: “Salaamun ‘alaika ayyuhannabiyyu wa rahmatullaahi wa
barakaatuh”, (Selamat sejahtera kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah serta
berkat ALLAH). Dan hendaknya benarkanlah cita-cita anda, pada menyampaikan
salam kepadanya dan semoga dibalaskannya kepada anda dengan lebih sempurna.
Kemudian, anda mengharapkan selamat sejahtera kepada
diri anda sendiri dan kepada sekalian hamba Allah yang shalih.
Kemudian, anda mengharapkan kiranya Allah mengembalikan selamat sejahtera yang
lebih sempurna kepada anda, sebanyak bilangan hamba ALLAH yang shalih itu.
Kemudian anda mengakui dengan keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw dengan
risalah yang dibawanya, dimana anda membarukan janji kepada Allah dengan
mengulangi dua kalimah syahadah dan mengulangi kembali untuk membentengi diri
dengan kalimah itu. Kemudian, anda berdo’a pada akhir shalat anda, dengan do’a
yang berasal dari Nabi saw serta dengan merendahkan diri, khusyu’ hati,
memohon, meminta dan mengharap dengan harapan yang sebenarnya, diperkenankan
kiranya oleh Allah. Anda sertakan di dalam do’a itu, akan do’a kepada kedua
ibu-bapak anda dan kaum muslimin lainnya. Dan ditujukan ketika memberi salam
itu, kepada para malaikat dan hadirin yang ada di tempat shalat anda. Dan
niatkan menyudahi shalat dengan salam itu dan mesrakanlah didalam hati akan
rasa syukur kepada Allah Ta’ala, atas taufiq ALLAH, dapat menyempurnakan ibadah
ini!. Dan buatkanlah sangkaan di dalam hati, bahwa anda meninggalkan shalat
anda ini dan boleh jadi anda tidak akan lama hidup, dapat menyelesaikan shalat
yang seperti ini lagi!
Bersabda Nabi saw kepada orang yang diberinya
wasiat: “Bershalatlah seperti shalat orang yang mengucapkan selamat tinggal!”.
Kemudian, rasakanlah di dalam hati akan perasaan takut dan malu dari
keteledoran di dalam shalat! Dan takutilah shalat anda itu tidak diterima dan
anda dikutuki dengan dosa dhahir atau bathin, lalu shalat anda itu ditolak ke
muka anda. Dari itu anda berharap, kiranya diterima ALLAH sholat anda dengan
kemurahan dan kurnia Allah.
Adalah Yahya bin Watstsab apabila telah mengerjakan sholat, maka ia
berhenti / masya Allah / sampai kita kenal padanya, seperti tanda shalat. Dan
adalah Ibrahim, berhenti sesudah shalat satu jam lamanya, seolah-olah ia sakit.
Maka inilah perincian shalat orang-orang yang khusyu’, dimana mereka khusyu’ di
dalam shalatnya. Dan mereka memelihara shalatnya dan mereka tetap mengerjakan
shalatnya dan membisikkan segala isi
hati dengan Allah menurut kesanggupan nya dalam peribadatan. Hendaklah manusia
mendatangkan dirinya kepada shalat yang seperti ini! Maka menurut kesanggupan
yang diperolehnya, sewajarnyalah ia bergembira. Dan terhadap yang tidak
diperolehnya, sewajarnyalah ia merasa rugi. Dan sewajarnyalah ia berusaha
mengobati yang tidak diperolehnya itu!.
Adapun shalat orang-orang yang alpa, maka adalah membahayakan, kecuali
Allah melindunginya dengan rahmat ALLAH. Rahmat Allah adalah Maha Halus dan
kemurahan ALLAH adalah melimpah-limpah. Kita bermohon kepada Allah, kiranya IA
menyarungi kita dengan rahmat ALLAH dan menyelubungi kita dengan ampunan ALLAH.
Karena tak adalah jalan bagi kita selain daripada mengaku dengan kelemahan
daripada menta’ati ALLAH.
Ketahuilah, bahwa melepaskan shalat dari segala bahaya, mengikhlaskannya
karena Allah ‘Azza wa Jalla dan mengerjakannya dengan segala syarat bathiniyah
yang telah kami sebutkan itu, yaitu: khusyu’, pengagungan dan malu, adalah
sebab untuk memperoleh cahaya yang cemerlang di dalam hati, dimana cahaya itu
adalah kunci dari ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Wali-wali Allah yang
memperoleh kasyaf (terbuka penutup) dengan segala alam malakut langit dan bumi
serta segala rahasia keTuhanan, adalah terbuka hijabnya di dalam shalat.
Lebih-lebih di dalam sujud, karena hamba itu mendekati Tuhannya dengan sujud.
Dari itu, berfirman Allah Ta’ala: “Dan sujudlah dan dekatkanlah diri (kepada
Tuhan)!”. S 96 Al ‘Alaq ayat 16. Terbukanya kasyaf bagi tiap-tiap orang yang
mengerjakan shalat itu, adalah menurut tingkat kebersihannya dari kotoran
duniawi. Berbeda yang demikian itu, menurut kuat dan lemahnya, sedikit dan
banyaknya, terang dan tersembunyinya, sehingga terbukalah bagi setengah mereka
sesuatu itu dengan sebenar-benarnya. Dan terbukalah bagi setengah yang lain
sesuatu itu sekedarnya, sebagaimana terbuka bagi setengah mereka, dunia itu
dalam bentuk bangkai dan setan itu dalam bentuk anjing, yang datang meniarap
memanggil kepadanya. Dan berbeda pula, apa yang padanya mukasafa (diminta untuk
mengetahuinya saja). Setengah mereka terbuka baginya tentang sifat Allah dan
kebesaran ALLAH. Setengah mereka terbuka tentang Af’al(perbuatan-perbuatan)
Allah. dan setengah mereka terbuka tentang yang halus-halus ilmu mu’amalah (jual
beli). Untuk ketentuan segala pengertian itu pada tiap-tiap waktu, ada
sebab-sebab yang tersembunyi, yang tidak terhingga banyaknya. Diantara
sebab-sebab itu yang sangat sesuai, ialah cita-cita. Karena, apabila cita-cita
itu ditujukan kepada sesuatu yang tertentu, maka adalah itu yang lebih utama
dengan terbuka (inkisyaf). Tatkala segala keadaan ini tidak dapat terlihat,
selain pada kaca yang halus licin dan kaca itu seluruhnya berkarat, maka
terdindinglah daripadanya hidayah (petunjuk). Bukan karena kikir dari pihak
Pemberi nikmat hidayah, tetapi karena kotoran yang berlapis-lapis karatnya pada
tempat mengalirnya hidayah, di mana bergegas-gegas lidah manusia membantahnya.
Karena telah menjadi tabi’at manusia, membantah yang tidak di mukanya. Jikalau
adalah bagi anak dalam kandungan, akal pikiran, niscaya dibantahnya akan
kemungkinan adanya manusia pada udara luas terbuka. Jikalau adalah bagi anak
kecil, dapat membedakan sesuatu, niscaya mungkin dibantahnya akan apa yang
didakwakan oleh orang-orang yang berakal mengetahuinya, dari alam al-malakut
langit dan bumi. Begitulah manusia pada tiap-tiap tingkat, hampirlah selalu
membantah apa yang ada pada tingkat sesudahnya. Siapa yang membantah tingkat
kewalian tentulah ia membantah tingkat kenabian. Dan makhluk itu dijadikan
bertingkat-tingkat. Maka tidak wajarlah, tiap-tiap orang membantah yang di
belakang tingkatnya. Ya, manakala mereka meminta ini diperdebatkan dan dibahas
dengan cara yang mengacaukan itu dan tidak dimintanya dari segi membersihkan
hati dari selain Allah Ta’ala, niscaya mereka tiada memperolehnya, lalu
membantahnya. Dan orang yang tidak dari ahli ilmu mukasafa (diminta untuk
mengetahuinya saja), maka tidak sedikit yang beriman dengan ghaib (yang tidak
dapat di ketahui dengan pancaindra atau yang termasuk bahagian metafisika) dan
membenarkannya, sampai dapat dipersaksikannya dengan percobaan.
Pada hadits tersebut: “Bahwa hamba apabila berdiri pada shalat, maka
diangkat oleh Allah dinding (hijab), antara ALLAH dan hamba ALLAH. Ia
menghadapi hamba ALLAH dengan wajah ALLAH. Dan berdirilah para malaikat dari
sejak kedua bahunya sampai ke udara, bershalat dengan shalatnya dan mengucapkan
amin atas do’anya. Bahwa orang yang mengerjakan shalat itu, bertaburanlah ke
atasnya kebajikan dari puncak langit sampai kepada belahan kepalanya. Dan
menyerulah seorang penyeru: “Jikalau tahulah orang yang membisikkan segala isi hati ini dengan siapa
ia membisikkan segala isi hati, niscaya
ia tidak berpaling kepada yang lain. Bahwa pintu-pintu langit itu, dibuka bagi
orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan Allah ‘Azza wa Jalla membanggakan
kepada para malaikat ALLAH akan hamba ALLAH yang bershalat itu”. Maka pembukaan
pintu-pintu langit dan muwajahah (wajah) Allah Ta’ala dengan wajahNYA akan
hambaNYA, adalah kata kiasan dari terbukanya penutup yang kami sebutkan itu.
Dalam Taurat, tertulis: “Hai anak Adam! Jangan engkau merasa lemah
berdiri di hadapanKU, sebagai orang yang bershalat, yang menangis. AKU lah
Allah yang engkau dekati dari hati engkau dan dengan ghaib, engkau melihat akan
cahayaKU”. Ia berkata: “Maka kita melihat bahwa kehalusan perasaan, ketangisan
dan keterbukaan yang diperoleh oleh orang yang bershalat dalam hatinya, adalah
dari kedekatan Tuhan dari hatinya. Dan apabila tidak ada kedekatan ini, yaitu
dekat dengan tempat, maka tidak adalah artinya, selain dari kedekatan dengan
hidayah, rahmat dan terbuka hijab. Dan dikatakan, bahwa hamba itu apabila
bershalat dua raka'at, niscaya ta’jublah 10 barisan daripada malaikat.
Tiap-tiap barisan adalah 10.000 banyaknya. Dan Allah membanggakan dengan hamba
ALLAH yang bershalat itu, kepada 100.000 malaikat. Yang demikian ini, adalah
karena hamba itu telah mengumpulkan di dalam shalatnya, antara berdiri, duduk,
ruku’ dan sujud. Dan telah dipisah-pisahkan oleh Allah yang demikian, itu
kepada 40.000 malaikat. Maka para malaikat yang berdiri, mereka tidak ruku’
sampai hari qiamat. Dan yang sujud, tidak
mengangkat kepalanya, sampai hari qiamat. Dan begitu pulalah yang ruku’
dan yang duduk. Maka apa yang direzekikan oleh Allah kepada para malaikat itu,
dari kedekatan diri dan derajat tinggi, adalah berlaku terus-menerus demikian,
dalam suatu keadaan, tiada bertambah dan tiada berkurang. Dan karena itulah, diceriterakan
oleh Allah, bahwa para malaikat itu berkata: “Dan tak adalah dari kami selain
dari suatu kedudukan yang dimaklumi”. S 37 Ash Shaffaat ayat 164. Dan manusia
itu berbeda daripada malaikat, tentang kenaikan dari tingkat ke tingkat.
Maka senantiasalah manusia itu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala,
lalu memperoleh faedah bertambahnya ke dekatan itu. Dan pintu untuk tambah
mendekat, adalah tertutup bagi para malaikat as dan tidaklah bagi masing-masing
malaikat, melainkan derajatnya yang diuntukkan kepadanya dan ibadahnya yang
tetap dikerjakannya. Tidak berpindah kepada yang lain dan tidak berhenti dari
ibadah yang tertentu itu. “Para malaikat itu tiada menyombong dengan ibadahnya
dan tiada merasa letih. Mereka bertasbih siang dan malam dan tiada pernah
berhenti”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 19-20. Kunci bertambahnya derajat itu, ialah
shalat. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman itu. Mereka yang khusyu’ dalam shalatnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 1 dan
2. Allah memujikan mereka sesudah iman, dengan shalat tertentu, yang disertai
dengan khusyu’. Kemudian disudahiNYA sifat-sifat orang yang beruntung itu,
dengan shalat pula, maka berfirman IA: “Dan mereka yang menjaga shalatnya”. S
23 Al Mukminuun ayat 9. Kemudian, berfirman Allah Ta’ala, mengenai buah dari
sifat-sifat itu: “Itulah orang-orang yang mempusakai. Mereka yang mempusakai
sorga firdaus. Mereka kekal di dalamnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 10-11. Allah
yang menyifatkan mereka, pertama dengan keberuntungan dan penghabisan dengan
mempusakai sorga firdaus dan menurut
pendapatku, bahwa banyaknya kata-kata dari lidah serta hati alpa, berkesudahan
sampai kepada batas itu. Karena itulah, berfirman Allah Ta’ala tentang
orang-orang yang berlawanan dengan mereka: “Apakah yang membawa kamu masuk
neraka? Mereka menjawab: “Kami tiada termasuk orang-orang yang mengerjakan
shalat”. S 74 Al Muddatstsir ayat 42-43. Orang-orang yang mengerjakkan shalat
itu, ialah mereka yang mewarisi sorga firdaus. Merekalah yang menyaksikan cahaya
Allah Ta’ala, memperoleh kesenangan dengan mendekati ALLAH dan dekatnya dari
hati mereka. Kita bermohon pada Allah, kiranya dijadikan ALLAH kita sebahagian
dari mereka dan dilindungi ALLAH kita dari siksaan yang ditimpakan kepada
orang-orang yang terhias kata-katanya dan keji perbuatannya. Sesungguhnya Allah
Maha Pemurah, yang menganugerahkan bermacam-macam nikmat, qadim (yang tiada
berpemulaan), mempunyai banyak kebaikan. Rahmat Allah kepada tiap-tiap hamba
ALLAH yang pilihan!.
HIKAYAT
DAN CERITERA: Tentang shalat orang-orang khusyu’. Kiranya Allah merelai amalan
mereka.
Ketahuilah, bahwa khusyu’ adalah buah iman
dan natijah/hasil keyakinan, yang diperoleh dengan kebesaran Allah ‘Azza wa
jalla. Siapa yang direzekikan demikian, adalah ia orang khusyu’ di dalam
shalat. Bahkan di dalam kesepiannya dan di dalam kamar kecil ketika membuang
air. Sesungguhnya, yang mengharuskan khusyu’ itu, ialah mengetahui melihatnya
Allah kepada hamba, mengetahui kebesaran ALLAH dan mengetahui keteledoran
hamba. Maka dari segala pengetahuan ini, terjadilah khusyu’ dan tidaklah
pengetahuan itu tertentu dengan shalat saja.
Dari itu diriwayatkan dari setengah mereka, bahwa ia tiada mengangkatkan
kepalanya arah ke langit selama 40 tahun, karena malu kepada Allah Ta’ala dan
khusyu’ kepada ALLAH. Ar-Rabi’ bin Khaitsam, karena sangat memincingkan matanya
dan menekurkan kepalanya, lalu disangka oleh sebahagian orang, bahwa ia buta.
Ia bulak-balik ke rumah Ibnu Mas’ud selama 20 tahun. Apabila dilihat oleh budak
wanita Ibnu Mas’ud, lalu budak itu mengatakan kepada Ibnu Mas’ud: “Teman tuan
yang buta itu telah datang!”. Maka Ibnu Mas’ud tertawa mendengar perkataan
budak wanitanya itu. Apabila Ar-Rabi’ mengetok pintu, lalu budak wanita itu
keluar. Maka dilihatnya Ar-Rabi’ menekur dan memincingkan matanya. Dan Ibnu
Mas’ud, apabila memandang kepadanya berkata: “Gembirakanlah orang-orang yang
merendah kan diri!”. S 22 Al Hajj ayat 34. Demi Allah! kalau dilihat engkau
oleh Muhammad saw, niscaya gembira beliau kepada engkau”. Pada riwayat yang
lain: “niscaya sayang beliau akan engkau”. Dan pada riwayat yang lain: “niscaya
tertawa beliau”. Pada suatu hari, Ar-Rabi’ pergi bersama Ibnu Mas’ud kepada
tukang besi. Maka tatkala dilihatnya tempat api yang ditiup dan api yang
menyala-nyala, lalu peninglah Ar-Rabi’ dan jatuh pingsan ke lantai. Dan Ibnu
Mas’ud duduk pada kepalanya, sampai masuk waktu shalat, dia belum sembuh. Lalu
didukung oleh Ibnu Mas’ud dibawa pulang ke rumahnya. Ia pingsan terus sampai
kepada saat dia mulai pening tadi. Sehingga luputlah lima shalat. Dan Ibnu
Mas’ud yang duduk pada kepalanya mengatakan: “Demi Allah! Inilah yang dinamakan
takut!”. Ar-Rabi’ mengatakan: “Tiadalah sekali-kali aku masuk ke dalam shalat,
yang aku pentingkan di dalamnya, selain dari apa yang aku bacakan dan apa yang
dibacakan kepadaku”.
Adalah ‘Amir bin Abdullah, termasuk orang yang khusyu’ di dalam shalat.
Dan apabila ia mengerjakan shalat, kadang-kadang anak perempuannya memukul
rebana dan wanita-wanita bercakap-cakap sesuka hatinya di rumah. Ia tidak
mendengar dan tidak memahami yang demikian itu. Dan pada suatu hari, ditanyakan
kepadanya: “Adakah jiwa engkau mengatakan sesuatu kepada engkau di dalam
shalat?”. Ia menjawab: “Ya, ada, dengan tegakku dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla
dan berpaling aku kepada salah satu dari dua negei”. Ditanyakan lagi: “Adakah
engkau mendapati sesuatu daripada hal-ikhwal duniawi?”. Ia menjawab: “Meskipun
tanggal gigiku, aku lebih menyukai daripada aku dapati di dalam shalatku, apa
yang kamu dapati”. Dan adalah ‘Amir bin Abdullah mengatakan lagi: “Jikalau
terbukalah tutup, niscaya tidaklah bertambah keyakinanku”. Dan adalah Muslim
bin Yassar, termasuk diantara orang yang khusyu' di dalam shalat. Dan telah
kami nukilkan dahulu, bahwa ia tiada merasa dengan jatuhnnya tiang dalam masjid
dan dia waktu itu di dalam shalat. Dan kenallah salah satu daripada anggota
badan sebahagian mereka, yang memerlukan kepada dipotong. Dan pemotongan itu,
tidak mungkin dilakukan. Maka ada yang mengatakan, bahwa kalau dia di dalam
shalat, niscaya tiada merasakan dengan apa yang dilakukan ke atas dirinya. Maka
dipotonglah, ketika ia di dalam shalat. Betapa sebahagian mereka bahwa shalat
itu dari akhirat. Apabila kita masuk ke dalamnya, maka kita telah keluar dari
dunia. Ditanyakan kepada seorang khusyu’ yang lain: “Adakah jiwamu membicarakan
sesuatu tentang urusan duniawi di dalam shalat?. Ia menjawab: “Tidak dalam
shalat dan tidak pada yang lain dari shalat”. Ditanyakan setengah mereka:
“Adakah engkau teringat sesuatu dalam shalat?”. Maka ia menjawab: “Adakah
sesuatu yang lain, yang lebih saya cintai daripada shalat, maka saya ingat dia
di dalam shalat?”.
Berkata Abud-Darda’ ra: “Diantara tanda mengertinya seseorang, ialah dia
memulai dengan keperluannya, sebelum ia masuk ke dalam shalat. Supaya ia masuk
ke dalam shalat itu dan hatinya kosong dari yang lain”. Setengah mereka, tidak
berlama-lama di dalam shalat, karena takut datang was-was (gangguan pikiran,
tiada tenteram). Diriwayatkan, bahwa ‘Ammar bin Yasir, mengerjakan suatu shalat
lalu tidak berlama-lama padanya. Maka orang bertanya kepadanya: “Mengapakah
engkau sederhanakan shalat itu, wahai Abul-Yaqdhan?”. Maka ‘Ammar menjawab:
“adakah engkau melihat, aku mengurangkan sesuatu dari batas-batas yang
dimestikan dari shalat?”. “Tidak!” menjawab yang bertanya tadi. Maka menyambung
‘Ammar: “Aku memburu, di waktu setan lengah.
Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bahwa
hamba yang mengerjakan shalat itu, tidak dituliskan untuknya 1/2nya shalat,
tidak 1/3nya, tidak 1/4nya, tidak 1/5nya, tidak 1/6nya dan tidak 1/10nya”. Dan
seterusnya Nabi menjelaskan: “Sesungguhnya, dituliskan bagi hamba itu daripada
shalatnya, ialah apa yang dipergunakannya akal padanya”. Dan diceriterakan
bahwa Thalhah, Az-Zubair dan segolongan dari para shahabat ra, adalah termasuk
diantara orang yang mengerjakan shalat dengan sederhana (tidak mengerjakannya
dengan cara yang memberatkan). Mereka itu mengatakan: “Kami menyegerakan shalat
itu, karena menjaga daripada gangguan setan”. Diriwayatkan bahwa Umar bin Al-Khaththab
ra berpidato atas mimbar: “Sesungguhnya orang itu beruban kedua jambangnya
dalam Islam dan tidak disempurna kannya shalat karena Allah Ta’ala”. Lalu orang
menanyakan: “Bagaimanakah, maka demikian?”. Menjawab Umar: “Tidak sempurna
khusyu’nya, tawadlunya/merendahkan diri dan menghadapnya kehadirat Allah Ta’ala
di dalam shalat itu”.
Ditanyakan Abul Aliyah tentang firman Allah Ta’ala: “Mereka yang lalai
dari shalatnya”. S 107 Al Maa’uun ayat 5. Lalu ia menjawab: “Yaitu, orang yang
lalai dalam shalatnya. Ia tidak tahu, pada raka’at berapa ia berpindah. Adakah
atas yang genap atau atas yang ganjil?”. Dan berkata Al-Hasan: “Yaitu, orang
yang lalai dari waktu shalat, sehingga waktu itu keluar”. Berkata setengah
mereka: “Yaitu, orang kalau mengerjakan shalat pada awal waktu, ia tiada
gembira. Dan kalau dikemudiankannya dari waktu, ia tiada merasa sedih. Ia tiada
melihat kebajikan dengan menyegerakan shalat dan dosa dengan
mengemudiankannya”.
Ketahuilah! Bahwa shalat itu, kadang-kadang dikira sebahagiannya dan
ditulis sebahagiannya, tanpa sebahagian lagi, sebagaimana ditunjukkan oleh
hadits-hadits kepada yang demikian itu. Kalau ada ahli fiqih mengatakan bahwa
shalat itu mengenai syahnya, tidak terbagi-bagi. Tetapi yang demikian, adalah
mempunyai pengertian lain yang telah kami sebutkan dahulu. Pengertian itu,
telah ditunjukkan oleh beberapa hadits, karena telah tersebut pada suatu
hadits, tentang “Penempelan kekurangan fardlu dengan sunnat”. Pada suatu hadits
tersebut: “Berkata ‘Isa as: berfirman Allah Ta’ala: “Dengan fardlu/wajib,
mendapat kelepasan hambaKU daripada ‘azabKU. Dengan sunnat, mendekatkan diri
hambaKU kepadaKU”. Bersabda Nabi saw: “Berfirman Allah ta’ala: Tiada mendapat
kelepasan hambaKU daripada ‘azabKU, selain dengan mengerjakan apa yang AKU
wajibkan kepadanya”. Diriwayatkan bahwa nabi saw: “Mengerjakan suatu shalat,
maka tertinggallah dari bacaannya suatu ayat”. Maka tatkala Nabi saw berpaling.
Lalu bertanya: “Apakah yang aku bacakan tadi?”. Maka berdiam dirilah orang
ramai, lalu Nabi saw bertanya kepada Ubai bin Ka’ab ra. Ubai menjawab: “Engkau
membaca surat anu dan engkau tinggalkan ayat anu. Kami tiada mengetahui, apakah
ayat itu sudah dimansukhkan atau sudah diangkatkan?”. Maka menyahut Nabi saw:
“Benar, engkau, wahai Ubai!”, “kemudian Nabi saw menghadap kepada orang yang
banyak itu, seraya bersabda: “Bagaimanakah kiranya keadaan kaum yang
mengerjakan shalatnya, menyempurnakan shafnya dan Nabi mereka berada dihadapan
mereka? Mereka tiada tahu apa yang dibacakan Nabi mereka, kepada mereka dari
kitab Tuhan.
Ketahuilah bahwa Bani Israil telah berbuat demikian. Maka diwahyukan
oleh Allah ‘Azza wa jalla kepada Nabi mereka, yang artinya: “Katakanlah kepada
kaummu!: Engkau hadirkan kepadaKU badanmu, engkau berikan kepadaKU lidahmu dan
engkau jauhkan daripadaKU hatimu. Adalah salah apa yang engkau kerjakan itu!”.
Ini menunjukkan bahwa memperhatikan apa yang dibacakan imam dan memahaminya,
adalah ganti daripada membacakan sendiri surat itu. Dan berkata setengah
mereka: “Bahwa orang yang bersujud suatu sujud kepada Allah, adalah ia
menghampirkan diri dengan sujud itu kepada ALLAH. Maka kalau dibagikan segala
dosanya pada sujudnya itu kepada penduduk kotanya, niscaya binasalah mereka itu
semuanya”. Lalu orang bertanya: “Bagaimanakah terjadi yang demikian itu?”.
Menjawab setengah mereka tadi: “Adalah orang itu sujud pada Allah, sedang
hatinya memperhatikan kepada hawa nafsu dan menyaksikan yang salah, yang telah
mempengaruhinya”. Inilah sifat orang-orang yang khusyu’! telah dibuktikan oleh
ceritera dan riwayat tadi serta yang telah kami bentangkan, bahwa pokok pada
shalat ialah khusyu’ dan kehadiran
hati dan semata-mata gerak serta alpa, adalah kurang faedahnya pada hari
kembali (hari akhirat). Wallahu A’lam! Allah Maha Tahu! Kita bermohon kepada
Allah taufiq yang baik!.
BAB KEEMPAT: Tentang ke-imam-man dan mengikuti
imam.
Mengenai rukun shalat, sesudah salam dan atas imam
ada tugas-tugas sebelum shalat dan pada pembacaan:
Adapun tugas-tugas sebelum shalat, ada 6:
Pertama: bahwa tidaklah seorang itu tampil menjadi imam, kepada orang
banyak yang tidak suka kepadanya. Kalau orang banyak itu tidak sekata, maka
yang dilihat, ialah yang terbanyak. Dan kalau golongan yang sedikit, terdiri
dari orang-orang baik dan beragama, maka memandang kepada pendapat mereka
adalah lebih utama. Pada hadits tersebut: “Tiga golongan tidak dilampaui oleh
shalatnya akan kepalanya: budak yang lari dari tuannya, isteri yang dimarahi
suaminya dan imam yang mengimami suatu kaum, dimana kaum itu tiada suka
kepadanya”. Sebagaimana dilarang tampil menjadi imam. Karena tidak disukai
orang banyak, maka seperti itu pula dilarang tampil menjadi imam, bila ada di
belakangnya orang yang lebih ahli fiqih, daripadanya. Kecuali apabila orang
yang lebih utama daripadanya itu, menolak. Maka bolehlah ia tampil menjadi
imam. Kalau tidak ada sesuatu daripada yang tersebut itu, maka hendaklah ia
tampil, manakala telah meyakini dan mengetahui pada dirinya, terdapat
syarat-syarat menjadi imam. Dan dimakruhkan ketika itu menolak. Sesungguhnya
dikatakan, bahwa ada suatu kaum yang tolak-menolak menjadi imam sesudah selesai
qamat dari shalat, maka terjadilah kekeruhan diantara mereka. Dan apa yang
diriwayatkan, tentang tolak-menolaknya menjadi imam diantara para shahabat ra,
sebabnya ialah, karena pilihan mereka akan orang yang dilihatnya lebih utama
untuk itu. Atau karena kekuatiran mereka kepada dirinya akan kealpaan dan
beratnya tanggungan shalat para ma’mum. Karena imam itu adalah penanggung.
Dan siapa yang tiada membiasakan dirinya menjadi imam, kadang-kadang hatinya
bimbang dan keikhlasannya kacau di dalam shalat, karena malu kepada para
pengikut (ma’mum). Lebih-lebih waktu membaca bacaan dengan suara keras. Dari
itu terdapatlah beberapa sebab, bagi orang yang menjaga diri daripada yang
demikian itu.
Kedua: apabila seseorang
disuruh pilih antara melakukan adzan dan menjadi imam, maka wajarlah dipilih
menjadi imam. Masing-masing dari yang dua ini, mempunyai kelebihan. Tetapi
mengumpulkan keduanya pada satu orang, adalah makruh. Dari itu, seyogyalah
bahwa imam itu, tidak muadzin (orang yang melakukan adzan). Dan apabila sukar
dikumpulkan itu, maka yang lebih utama, ialah menjadi imam. Berkata segolongan
ulama, bahwa adzan adalah lebih utama. Karena apa yang kami nukilkan dahulu
tentang keutamaan adzan dan karena sabda Nabi saw: “Imam itu penanggung dan
muadzin itu yang diterima kepercayaannya (dipegang amanahnya)”. Lalu mereka
mengatakan, sulitnya tanggung jawab di dalam shalat.
Bersabda Nabi saw:
“Imam itu adalah orang kepercayaan. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah kamu dan
apabila ia sujud, maka sujudlah kamu!”. Pada hadits, tersebut: “Kalau imam itu
menyempurnakan dengan baik, maka kesempurnaan itu adalah bagi imam dan para
ma’mum. Dan kalau kurang, maka kekurangan itu adalah atas imam dan tidak atas
para ma’mum”.
Dan karena Nabi saw
berdo’a: “Ya Allah, ya Tuhanku! Berilah petunjuk kepada imam-imam shalat dan
ampunilah orang-orang yang melakukan adzan”. Ampunan adalah lebih utama dicari,
karena petunjuk itu dimaksudkan untuk memperoleh ampunan. Dalam hadits
tersebut: “Barangsiapa menjadi imam pada suatu masjid 7 tahun, niscaya wajiblah
baginya sorga, tanpa hisab (tanpa dihitung amalannya). Dan barangsiapa
melakukan adzan 40 tahun, niscaya ia masuk sorga, tanpa hisab”. Karena itu,
dinukilkan dari para shahabat ra, bahwa mereka tolak menolak menjadi imam. Dan
pendapat yang lebih kuat, adalah menjadi imam itu lebih utama, karena
Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar dan para imam sesudahnya, membiasakan diri
menjadi imam dalam shalat. Ya, benar pada menjadi imam itu, terdapat bahaya
tanggung jawab. Dan kelebihan itu, adalah serta bahaya itu, sebagaimana pangkat
jabatan amir dan khalifah, adalah lebih utama, karena sabda Nabi saw:
“Sesungguhnya sehari bagi seorang sultan (penguasa) yang adil, adalah lebih
utama daripada ibadahnya 70 tahun”. Tetapi pada jabatan-jabatan tersebut itu,
ada bahayanya. Dari itu, wajiblah didahulukan orang yang lebih utama dan lebih
banyak ilmu fiqihnya.
Bersabda Nabi saw:
“Imam-imammu itu, adalah orang-orang yang memberi syafa’at kepadamu”. Atau
menurut riwayat yang lain, Nabi saw bersabda: “Adalah utusanmu kepada Allah”.
kalau kamu bermaksud membersihkan shalatmu, maka dahulukanlah orang-orang yang
baik daripada kamu, menjadi imam”. Berkata setengah salaf/ulamah terdahulu:
“Tiadalah sesudah nabi-nabi, yang lebih utama daripada ulama. Dan tidalah
sesudah para ulama, yang lebih utama daripada imam-imam shalat. Karena mereka
adalah berdiri, diantara hadirat Allah ‘Azza wa jalla dan makhluk ALLAH. Yang
ini, dengan “kenabian”, yang ini, dengan “keilmuan” dan yang ini, dengan “tiang
agama”, yaitu: shalat”. Dengan alasan inilah, para shahabat mengambil dalil,
mendahulukan Abu Bakar Shiddiq ra untuk memegang jabatan khalifaah, karena
mereka menyatakan: “Kami memandang, bahwa shalat itu adalah tiang agama. Maka
kami pilihlah untuk urusan duniawi kami, orang yang telah direlai Nabi saw
untuk urusan agama kami”. Dan tidak mereka mendahulukan Bilal, beralasan bahwa
Bilal itu telah direlai Nabi saw untuk adzan. Dan apa yang diriwayatkan, bahwa
seorang laki-laki meminta kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah! Tunjukilah aku
kepada amal, yang dapat kiranya aku memperoleh sorga!”. Maka menjawab Nabi saw:
“Hendaklah kamu menjadi muadzin!”. Menjawab orang itu: “Aku tidak sanggup
menjadi muadzin”. Menyambung Nabi saw: “Hendaklah kamu menjadi imam!”. Menyahut
orang itu lagi: “Aku tidak sanggup menjadi imam!”. Lalu bersabda Nabi saw:
“Bershalatlah di belakang imam!”. Mungkin orang laki-laki tersebut menyangka,
bahwa Nabi saw tidak merelai ke-imam-mannya. Karena adzan itu adalah kepadanya
dan keimaman itu adalah kepada orang banyak dan orang banyak itu
mendahulukannya. Kemudian, mungkin laki-laki itu menyangka, bahwa ia
menyanggupi menjadi imam.
Ketiga: bahwa imam itu menjaga
segala waktu shalat. Maka bershalatlah ia pada awal waktunya, supaya memperoleh
kerelaan Allah Ta’ala. “Maka keutamaan awal waktu, dari akhir waktu, adalah
seperti keutamaan akhirat, dari dunia”, demikian diriwayatkan dari Rasulullah
saw”. Pada hadits tersebut: “Bahwa hamba itu untuk mengerjakan shalat pada
akhir waktunya dan tidak sampai terluput daripadanya, meskipun telah terluput
dari awal waktunya, adalah lebih baik baginya daripada dunia dan isinya”. Dan
tidak seyogyalah, mengemudiankan shalat, untuk menunggu banyaknya orang
berjama’ah. Tetapi haruslah menyegerakan shalat untuk memperoleh kelebihan awal
waktu. Maka kelebihan awal waktu itu, adalah lebih utama daripada banyaknya
jama’ah dan panjangnya surat yang dibaca. Ada yang mengatakan, bahwa mereka
apabila telah hadir dua orang pada shalat jama’ah, mereka tiada menunggu orang
ketiga. Dan apabila telah hadir empat orang pada shalat janazah (shalat atas
orang meninggal), mereka tiada menunggu orang kelima. Nabi saw telah terlambat
dari shalat Shubuh, dimana Nabi saw dan para shahabatnya dalam suatu perjalanan
jauh. Sesungguhnya Nabi saw terlambat itu, adalah karena bersuci, lalu beliau
tidak ditunggu. Dan ditampilkan ke depan Abdur Rahman bin ‘Auf, lalu bershalat
bersama mereka, sehingga luputlah seraka’at bagi Nabi saw maka bangunlah beliau
mengerjakannya. Abdur Rahman bin ‘Auf berkata: “Restuilah kami dari yang
demikian”. Maka Nabi saw menjawab: “Kamu sudah bagus seperti itu, maka buatlah
terus!”. Dan Nabi saw terlambat pada shalat Dhuhur, lalu mereka menampilkan Abu
Bakar ra menjadi imam. Ketika Rasulullah saw datang dan Abu Bakar dalam shalat,
lalu Nabi saw berdiri di sampingnya”. Dan tidaklah atas imam itu menunggu
muadzin. Tetapi muadzin harus menunggu imam, untuk melakukan qamat. Apabila
imam itu telah datang, maka tidaklah muadzin itu menunggu orang lain.
Keempat: bahwa menjadi imam itu
adalah semata-mata ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla dan menunaikan amanah
Allah Ta’ala, mengenai suci dan seluruh syarat-syarat shalatnya. Adapun ikhlas,
yaitu tidak mengambil
upah atas pekerjaannya menjadi
imam. Rasulullah saw menyuruh Usman bin Abil-‘Ash Ats-Tsaqafi, dengan
mengatakan: ”Ambillah seorang muadzin, yang tidak mengambil upah atas
adzannya”. Adzan adalah jalan kepada shalat. Maka shalat itu lebih utama lagi
tidak diambil upah. Kalau upah ittu diambil dari masjid sebagai penghidupan,
dari harta yang telah diwakafkan untuk orang yang ditugaskan menjadi imam di
masjid itu atau dari sultan atau dari seseorang manusia, maka tidaklah
dihukumkan haramnya. Tetapi adalah makruh hukumnya. Kemakruhan pada shalat
fardlu adalah melebihi dari kemakruhan pada shalat tarawih. Upah itu adalah
berdasarkan atas tetapnya mengunjungi tempat shalat dan mengurus kepentingan
masjid, tentang mendirikan shalat jama’ah. Dan tidaklah upah itu karena shalat
itu sendiri.
Adapun amanah,
ialah kesucian bathin dari fasiq, dosa besar dan berkekalan berbuat dosa kecil.
Maka orang yang dicalonkan untuk menjadi imam, seyogyalah menjaga diri dari
perbuatan yang tersebut, dengan seluruh tenaga yang ada padanya. Karena imam
itu adalah seperti utusan dan pembawa syafa’at kepada orang banyak. Maka
sepantasnyalah, dia orang yang terbaik daripada golongannya. Demikian pula,
suci dhahir daripada hadats dan najis, karena tidak ada yang memandangnya,
selain ia sendiri kalau ia teringat kepada hadats, pada waktu sedang shalat
atau keluar daripadanya angin, maka tidaklah wajar ia merasa malu. Tetapi
diambilnyalah tangan orang yang berada dekatnya dan orang itu menggantikannya
selaku imam. Sesungguhnya, Rasulullah teringat akan hadats besar/janabah waktu
sedang shalat, lalu beliau gantikan orang lain menjadi imam dan beliau pergi
mandi. Kemudian kembali lagi dan masuk dalam shalat. Berkata Sufyan:
“Bershalatlah di belakang tiap-tiap orang yang baik dan orang yang alim. Bukan
orang yang peminum khamer atau berterang-terangan berbuat fasiq atau
mendurhakai ibu bapak atau pembuat bid’ah (yang diada-adakan) atau budak yang
melarikan diri daripada tuannya”.
Keliima: bahwa imam
itu tiada bertakbir, sebelum shaf/barisan shalat itu lurus. Maka hendaklah ia
berpaling ke kanan dan ke kiri. Kalau dilihatnya ada yang belum beres, maka
disuruhnya supaya dibereskan dengan meluruskan shaf. Ada yang mengatakan, bahwa
mereka membuat setentang dengan bahu-bahu dan merapatkan diantara tumit-tumit.
Dan imam itu tidak bertakbir sebelum selesai muadzin daripada qamat. Dan
muadzin itu mengemudiankan qamat daripada adzan, sekedar selesai persiapan
orang yang banyak untuk shalat. Pada hadits tersebut: “Hendaklah muadzin itu
berhenti diantara adzan dan qamat, sekedar selesailah orang makan dari
makanannya dan orang membuang air dari hajatnya”. Yang demikian itu, adalah
karena Nabi saw melarang daripada menolak dua keadaan yang tidak disukai (lapar
dan membuang air) dan menyuruh dengan mendahulukan makan malam daripada shalat
‘Isya, karena mencari keselesaian hati daripada segala gangguan.
Keenam: bahwa imam
itu meninggikan suaranya dengan takbiratul ihram dan takbir-takbir yang lain.
Dan ma’mum itu, tidak meninggikan suaranya, selain sekedar didengar oleh
dirinya sendiri. Dan imam itu meniatkan menjadi imam, supaya memperoleh pahala.
Kalau tidak diniatkannya, maka shalatnya dan shalat ma’mumnya syah, apabila
para ma’mum itu meniatkan mengikut imam. Dan mereka memperoleh pahala
berjama’ah, sedang imam itu tiada memperoleh pahala menjadi imam. Dan hendaklah
ma’mum itu mengemudiankan takbirnya daripada takbir imam. Yaitu dimulainya
bertakbir sesudah selesai imam dari pada takbir. Wallahu ‘alam! Allah Yang Maha
Tahu!.
Adapun
tugas pembacaan di dalam shalat ada tiga:
Pertama: membaca dengan suara yang dapat di dengar olehnya sendiri
(secara sirr/rahasia), do’a iftitah dan ta’awudz (aku berlindung kepada Allah
dari godaan setan yang terkutuk), seperti orang yang bershalat sendirian. Dan
membaca dengan suara keras al-fatihah dan surat sesudahnya pada semua shalat
Shubuh dan dua raka’at pertama ‘Isya dan Maghrib. Dan begitu pula bagi orang
yang bershalat sendirian. Dan mengeraskan bacaan “amin” pada shalat jahriyah
(shalat yang dikeraskan suara bacaannya, yaitu Shubuh, Maghrib dan ‘Isya) dan
begitupula ma’mum. Dan ma’mum itu menyertakan bacaan aminnya bersama dengan
amin imam, tidak beriring-iringan. Dan mengeraskan bacaan “Bismillaahir
rahmaanir-rahiim”. Dan mengenai ini, terdapatlah beberapa hadits yang bertentangan
satu dengan lainnya. Tetapi Asy Syafi’i ra memilih dengan jahar/suara keras.
Kedua: bahwa imam pada tegaknya itu ada tiga kali diam. Begitulah di
riwayatkan oleh Samurah bin Jundub dan Imran bin Al-Husain daripada Rasulullah
saw diam yang
pertama, yaitu apabila telah bertakbiratul-ihram. Dan diam
inilah yang terpanjang daripadanya, sekedar dapat dibaca oleh orang yang di
belakang imam akan surat al-fatihah. Yaitu, waktu imam membaca do’a iftitah.
Dan kalau imam itu tidak diam, maka luputlah bagi ma’mum mendengar bacaan imam
dan imamlah yang menanggung akan kekurangan yang terdapat pada shalat ma’mum.
Kalau ma’mum itu tiada membaca Fateha pada waktu imam diam dan menghabiskan
waktunya dengan yang lain, maka resikonya adalah tanggungan mereka sendiri,
tidak tanggungan imam. Diam yang kedua, yaitu: apabila selesai
daripada membaca al-fatihah, gunanya supaya disempurnakan oleh orang yang
membaca al-fatihah pada diam yang pertama tadi, akan al-fatihahnya. Dan
lamanya, ialah setengah daripada diam yang pertama diatas. Dan diam yang ketiga,
yaitu apabila telah selesai daripada membaca surat, sebelum ia ruku’. Diam
inilah yang tercepat, yaitu: sekedar terpisahlah bacaan dari takbir untuk
ruku’. Dan Nabi saw melarang disambung
padanya. Dan ma’mum tidak membaca di belakang imam, selain daripada al-fatihah.
Kalau imam itu tiada diam, maka ma’mum membaca al-fatihah bersama imam. Dan
yang teledor dalam hal ini, ialah imam. Kalau ma’mum itu tiada mendengar bacaan
imam pada shalat jahriyah (shalat yang dijahrkan), karena jauh atau pada shalat sirriyah (sholat
dengan suara pelan), maka tiada mengapa ma’mum itu membaca surat.
Ketiga: bahwa imam itu membaca pada shalat Shubuh, dua surat yang
panjang yang kurang dari 100 ayat panjangnya. Karena memanjangkan bacaan shalat
Fajar/Shubuh dan gelap padanya adalah sunnat dan bila tidak mendatangkan
melarat kepadanya, oleh perjalanan jauh. Dan tiada mengapa membaca pada rakaat
kedua, penghabisan surat, kira-kira 30 atau 20 ayat lagi, sampai pada kesudahan
surat itu. Karena yang demikian, tiadalah banyak berulang-ulang pada
pendengaran, sehingga lebih mendalam untuk pengajaran dan lebih membawa kepada
pemikiran. Hanya sebagian ulama, memandang makruh membaca sebagian permulaan
surat dan memotong pembacaan itu. Dan diriwayatkan bahwa Nabi saw “Membaca
sebagian surat Yunus. Maka tatkala sampai kepada penyebut Musa dan Fir’aun,
lalu Nabi memutuskannya dan terus ruku’”. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw membaca
pada shalat Shubuh suatu ayat dari surat Al-baqarah yaitu firman ALLAH:
“Katakan! Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”. S 2
Al Baqarah ayat 136. Pada rakaat kedua: “Wahai Tuhan kami! Kami mempercayai apa
yang engkau turunkan”. S 3 Ali ‘Imran ayat 53. Nabi saw mendengar Bilal
membaca, dengan memetik dari sana sini, lalu bertanya dari yang demikian itu.
Maka Bilal menjawab: “Aku mencampurkan yang baik dengan yang baik”. Maka sahut
Nabi saw: “Bagus, baik sekali!”. Nabi saw membaca pada shalat Dhuhur, surat
yang panjang ayat-ayatnya, sampai 30 ayat. Dan pada Ashar, setengah dari itu.
Dan pada Maghrib, membaca akhir dari surat-surat yang panjang itu. Dan
penghabisan shalat dikerjakan Nabi saw ialah shalat Maghrib, dimana Nabi saw
membaca padanya surat Al Mursalat. Dan tidaklah Nabi saw mengerjakan shalat
sesudah itu, sehingga wafatlah beliau.
Kesimpulannya,
meringankan shalat, adalah lebih utama, lebih-lebih apabila jama’ah itu banyak.
Bersabda Nabi saw tentang keringanan ini: “Apabila bershalat seorang kamu
dengan orang banyak, maka hendaklah diringankan, karena diantara mereka ada
yang lemah yang tua dan yang berkeperluan”. Dan apabila bershalat sendirian,
maka dapatlah memanjangkannya sesuka hati. Adalah Mu’az bin Jabal bershalat
‘Isya dengan suatu kaum, lalu dibacanya surat Al Baqarah. Maka keluarlah
seorang dari shalat dan menyempurnakan sendiri shalatnya. Kemudian, kaum itu
mengatakan: “Telah munafik orang itu!”. Maka datanglah Mu’az dan laki-laki itu,
mengadu pada Rasulullah saw lalu Nabi saw
marah kepada Mu’az, seraya bersabda: “Engkau berbuat fitnah, hai Mu’az!
Baca sajalah surat “Sabbih”, “Wassamaa-i wath-thaariqi”, dan “Wasy-syamsi wa
dluhaahaa!”.
Adapun
tugas mengenai rukun-rukun, maka adalah tiga:
Pertama: bahwa imam itu meringankan ruku’ dan sujud. Tidak melebihkan
pembacaan tasbih dari tiga kali. Diriwayatkan dari Anas, bahwa ia berkata:
“Tidaklah aku melihat shalat yang lebih ringan dan sempurna daripada shalat
Rasulullah saw”. Ya benar, diriwayatkan
pula bahwa Anas bin Malik tatkala mengerjakan shalat di belakang Umar bin Abdul
Aziz, ketika itu Umar bin Abdul Aziz menjadi amir Madinah, mengatakan: “Belum
pernah aku bershalat di belakang seseorang, yang lebih menyerupai shalatnya
dengan shalat Rasulullah saw daripada pemuda ini”. Kemudian Anas meneruskan:
“Kami membaca tasbih di belakangnya sepuluh-sepuluh”. Dan diriwayatkan secara
tidak terperinci, bahwa para sahabat itu, berkata: “Adalah kami membaca tasbih
di belakang Rasulullah saw pada ruku’ dan sujud sepuluh-sepuluh”. Adalah yang
demikian itu (membaca tasbih sepuluh-sepuluh) baik, tetapi membaca tiga kali,
apabila jama’ah itu banyak, adalah lebih baik. Apabila tiada hadir pada shalat
jama’ah, kecuali orang-orang yang menyerahkan seluruh waktunya untuk agama,
maka tidak mengapa membaca tasbih sepuluh kali. Inilah cara menghimpunkan di
antara riwayat-riwayat yang berbeda-beda itu. Dan seyogyalah, imam membaca
ketika mengangkatkan kepala nya dari ruku’: “Samiallaahu liman hamidah”
(didengar Allah akan siapa yang memujikan ALLAH).
Kedua: mengenai ma’mum. Seyogyalah ia tiada menyamai imam pada
ruku’ dan sujud, tetapi mengemudiankan daripadanya. Maka ia tiada turun kepada
sujud, kecuali apabila telah sampai dahi imam kepada tempat sujud. Begitulah
para shahabat mengikuti Rasulullah saw dan tiada turun kepada ruku’, sehingga
imam itu sudah lurus badannya pada ruku’. Ada yang mengatakan, bahwa manusia
itu keluar dari shalat, terdiri daripada tiga kelompok: sekelompok dengan 25
shalat, yaitu: mereka yang bertakbir dan ruku’ sesudah imam; sekelompok dengan
satu shalat, yaitu: mereka yang menyamai dengan imam; dan sekelompok lagi
dengan tanpa shalat, yaitu: mereka yang mendahului imam. Berbeda pendapat para
ulama, tentang imam di dalam ruku’, apabila ia menunggu orang yang akan masuk
ke dalam shalat, supaya memperoleh keutamaan jama’ah dan mendapat raka’at itu?.
Bahwa, yang lebih utama, menunggu yang demikian tadi, secara ikhlas, tiada
mengapa (boleh), asal tiada tampak berlebih kurang bagi orang-orang yang datang
kepada shalat itu. Sebab hak mereka, dijaga, dengan meninggalkan
berpanjang-panjang yang membawa kemelaratan kepada mereka.
Ketiga: imam itu tiada menambahkan pada do’a tasyahhud(duduk
diantara 2 sujud), dari sekedar tasyahhud saja, karena menjaga daripada
memanjang-manjangkan. Dan tidak menentukan dirinya sendiri dengan do’a, tetapi
dengan kata-kata jama’, yaitu: “Allaahum-maghfir lanaa” (Ya Allah, ya Tuhanku!
Ampunilah kami!). dan tidak: “Allaahum-maghfir-lii” (Ya Allah, ya Tuhanku!
Ampunilah aku!). maka dimakruhkan bagi imam, menentukan dirinya sendiri dengan
do’a. Dan tiada mengapa ia meminta perlindungan pada tasyahhud, dengan lima
kalimat yang diterima daripada Rasulullah saw yaitu: “Kami berlindung dengan
Engkau daripada azab neraka jahannam dan daripada azab kubur. Dan kami
berlindung dengan Engkau daripada fitnah hidup dan fitnah mati dan daripada
fitnah dajjal penyapu. Dan apabila Engkau berkehendak mendatangkan fitnah
kepada suatu kaum, maka peganglah kami kepada Engkau, sampai tidak terkena
fitnah itu”. Ada yang mengatakan, dajjal itu, dinamakan ”masih” (penyapu),
karena dia menyapukan bumi dengan kekuasaannya. Dan ada yang mengatakan, karena
ia tersapu sebelah matanya, yakni: hilang penglihatan dari sebelah matanya.
Adapun
tugas dari “tahallul” (mengeluarkan diri dari shalat), adalah tiga:
Pertama: meniatkan dengan
kedua salam itu, memberi salam kepada orang banyak dan kepada para malaikat.
Kedua: bahwa menetap sebentar sesudah salam.
Begitulah diperbuat Rasulullah saw, Abu Bakar ra dan Umar ra Lalu imam itu
mengerjakan shalat sunnat pada tempat lain. Kalau di belakangnya ada kaum
wanita, maka tidaklah ia bangun sampai kaum wanita itu pergi. Dalam hadits
masyhur, tersebut: “Bahwa Nabi saw tiada duduk sesudah shalat, melainkan
sekedar membaca: “Ya Allah, ya Tuhanku! Engkaulah keselamatan. Dan daripada
Engkaulah keselamatan. Anugerahilah keberkatan, wahai Yang Mempunyai Kebesaran
dan Kemuliaan”.
Ketiga: Apabila telah memberi
salam, maka seyogyalah menghadapkan muka kepada para ma’mum. Dan dimakruhkan
bagi ma’mum bangun sebelum berpaling imam. Diriwayatkan dari Thalhah dan
Az-Zubair ra bahwa keduanya mengerjakan shalat di belakang seorang imam.
Tatkala telah memberi salam, lalu keduanya mengatakan kepada imam itu:
“Alangkah bagus dan sempurnanya shalat engkau, kecuali suatu perkara. Yaitu,
tatkala engkau memberi salam, tiada memalingkan muka engkau”. Kemudian keduanya
mengatakan kepada orang banyak: “Alangkah bagusnya shalat kamu, kecuali kamu
terus pergi sebelum berpaling imam mu!”. Kemudian sesudah selesai shalat itu,
maka imam pergi ke arah mana disukainya, dari jurusan kanannya atau kirinya.
Dan kananlah yang lebih baik!. Inilah tugas dari shalat-shalat itu!.
Adapun shalat Shubuh, maka ditambahkan padanya
bacaan Qunut. Maka imam membacakan: “Allaahummahdinaa” (Ya Allah, ya Tuhanku!
Tunjukilah kami), dan tidak: “Allahummahdinii” (Ya Allah, ya Tuhanku!
Tunjukilah aku). Dan ma’mum, membacakan amin atas do’a qunut imam. Tetapi waktu
sampai kepada: “Innaka taqdlii wa laa yuqdlaa ‘alaik” (Bahwasanya Engkau yang
menghukum dan tiadalah Engkau yang dihukum), maka tidak layaklah padanya dibacakan
amin, karena itu adalah pujian. Dari itu, ma’mum membacakannya seperti bacaan
imam atau mengucapkan: “Balaa wa ana ‘alaa dzaalika minasy syaahidiin” (Benar,
bahwa aku termasuk orang-orang yang mengakui demikian itu), atau mengucapkan:
“Shadaqta wa bararta” (Benar engkau dan berbuat kebajikan engkau). Dan
bacaan-bacaan lain yang serupa dengan itu. Diriwayatkan suatu hadits, tentang
mengangkat kedua tangan pada qunut. Apabila hadits itu benar, niscaya
disunnatkanlah yang demikian. Meskipun berbeda dengan do’a-do’a yang dibacakan
pada tasyahhud. Karena disitu tidak diangkatkan tangan, tetapi berpegang
menurut yang diperoleh daripada Nabi saw dan diantara keduanya (do’a qunut dan
do’a akhir tasyahhud), terdapat perbedaan pula. Yaitu; tangan pada tasyahhud,
mempunyai tugas, yakni: diletakkan di atas kedua paha, menurut cara tertentu
dan tak ada tugas bagi kedua tangan itu di sini (pada qunut). Dari itu, tiada
jauh dari kebenaran, bahwa mengangkatkan kedua tangan, adalah menjadi tugas
pada qunut. Karena yang demikian itu layak dengan do’a. Wallaahu A’lam! Allah
Maha Tahu!. Inilah kumpulan adab mengikuti imam dan menjadi imam di dalam
shalat! Kiranya Allah memberikan taufiq!.
BAB KELIMA: Tentang kelebihan Jum’at, adabnya,
sunnatnya dan syarat-syaratnya
KEUTAMAAN JUM’AT (JUMU’AH):
Ketahuilah! Bahwa hari ini (hari Jum’at),
adalah hari besar. Dibesarkan oleh Allah agama Islam dengan sebab hari ini dan
dikhususkan ALLAH kaum muslimin dengan hari ini! Berfirman Allah Ta’ala:
“Apabila ada panggilan untuk mengerjakan shalat di hari jum’at, maka segeralah
kamu mengingati Tuhan dan tinggalkanlah jual-beli!”. S 62 Al Jumu’ah ayat 9.
Diharamkan mengurus urusan duniawi dan tiap-tiap perbuatan yang menghalangi
daripada pergi ke jum’at. Bersabda Nabi saw: “Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla
mewajibkan atasmu shalat Jum’at pada hariku ini, pada tempatku ini”. Bersabda
Nabi saw: “Siapa yang meninggalkan Jum’at 3 X tanpa halangan, niscaya dicapkan
oleh Allah pada hatinya”. Dan pada riwayat lain, berbunyi: “Sesungguhnya ia
telah melemparkan Islam kebelakangnya”. Datang seorang laki-laki kepada Ibnu
Abbas, menanyakan tentang orang yang mati tidak menghadiri Jum’at dan shalat
jama’ah. Maka menjawab Ibnu Abbas: “Dalam neraka!”. Maka bulak-baliklah orang
itu kepada Ibnu Abbas sebulan lamanya, menanyakan yang demikian. Tetapi Ibnu
Abbas tetap menjawab: “Dalam neraka!”. Pada hadits tersebut: “Bahwa ahli dua
kitab itu (orang Yahudi dan Nasrani), diberikan kepada mereka hari Jum’at, maka
bertengkarlah mereka, lalu berpaling daripadanya. Dan diberi petunjuk kita oleh
Allah Ta’ala untuk menerima hari Jum’at itu dan dikemudiankan oleh Allah
memberikannya kepada ummat ini dan dijadikannya menjadi hari raya bagi mereka.
Maka adalah umat ini menjadi manusia yang lebih utama didahulukan dan ahli
kedua kitab itu menjadi pengikutnya”. Dan pada hadits yang diriwayatkan Anas
daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Datang kepadaku Jibril as dan pada
tangannya sebuah cermin putih, seraya berkata: “Inilah Jum’at, yang diwajibkan
atas engkau oleh Tuhan engkau, untuk menjadi hari raya bagi engkau dan ummat
engkau sesudah engkau”. Lalu aku menjawab: “Apakah yang ada untuk kami pada
hari Jum’at itu?”. Menjawab Jibril: “Engkau mempunyai waktu yang baik.
Barangsiapa berdo’a padanya kebajikan, niscaya dianugerahkan oleh Allah akan
dia. Atau dia tiada memperoleh bahagian, maka disimpankan oleh Allah baginya,
yang lebih besar. Atau berlindung ia daripada kejahatan yang telah dituliskan
kepadanya, niscaya dilindungi Allah yang lebih besar daripada kejahatan itu.
Hari Jum’at adalah penghulu segala hari pada
kita. Kita bermohon kepada Allah, pada hari akhirat, akan menjadi hari
kelebihan!”. Lalu aku bertanya: “Mengapa demikian?”. Maka menjawab Jibril as:
“Sesungguhnya Tuhan engkau ‘Azza wa Jalla telah menjadikan dalam sorga sebuah
lembah yang luas, dari kesturi putih. Maka apabila datang hari Jum’at, niscaya
turunlah Ia dari sorga yang tinggi di atas kursi ALLAH. Lalu jelaslah Ia kepada
mereka, sehingga mereka memandang kepada wajah ALLAH yang mulia”. Bersabda Nabi
saw: “Sebaik-baik hari yang terbit padanya matahari, ialah hari Jum’at. Pada
hari Jum’at, dijadikan Adam as pada hari Jum’at, ia dimasukkan ke dalam sorga,
diturunkan ke bumi, diterima tobatnya, pada hari itu ia meninggal dan pada hari
Jum’at itu, berdirinya qiamat. Adalah hari Jum’at pada sisi Allah itu, hari
kelebihan. Begitulah hari Jum’at dinamakan oleh para malaikat di langit, yaitu:
hari memandang kepada Allah Ta’ala dalam sorga”. Pada hadits, tersebut: “Bahwa
pada tiap-tiap hari Jum’at, Allah ‘Azza wa Jalla mempunyai 600.000 orang yang
dimerdekakan dari api neraka”. Pada hadits yang diriwayatkan Anas ra, bahwa
Nabi saw bersabda: “Apabila selamatlah hari Jum’at niscaya selamatlah segala
hari”. Bersabda Nabi saw: “Bahwa neraka Jahim itu menggelegak pada tiap-tiap
hari sebelum tergelincir matahari pada tengah hari di puncak langit. Maka
janganlah kamu mengerjakan shalat pada saat itu, selain hari Jum’at. Maka hari
Jum’at itu, adalah shalat seluruhnya dan neraka Jahannam tiada menggelegak
padanya”. Berkata Ka’ab: “Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla melebihkan Makkah dari
segala negeri, Ramadhan dari segala bulan, Jum’at dari segala hari dan
Lailatul-qadar dari segala malam. Dan dikatakan bahwa burung dan hewan yang
berjumpa satu sama lain pada hari Jum’at mengucapkan: “Selamat, selamat, hari
yang baik!”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang meninggal pada hari Jum’at atau
malamnya, niscaya dituliskan oleh Allah baginya, pahala syahid dan
dipeliharakan oleh Allah daripada fitnah kubur”.
PENJELASAN: Syarat-syarat Jum’at.
Ketahuilah! Bahwa shalat Jum’at itu,
menyamai dengan segala shalat yang lain, tentang syarat-syaratnya. Dan berbeda
dari shalat-shalat yang lain itu, dengan 6 macam syarat:
Pertama: waktu. Maka kalau jatuhlah salam imam pada waktu
‘Ashar, niscaya luputlah Jum’at. Dan haruslah menyempurnakan Jum’at itu,
menjadi Dhuhur dengan 4 raka’at. Dan orang masbuq (orang yang terkemudian
masuknya ke dalam shalat Jum’at) apabila jatuh pada raka’atnya yang terakhir,
di luar waktu, maka terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama.
Kedua: tempat. Maka tidak syah shalat Jum’at di padang
pasir sahara, di tanah-tanah tandus yang tak berpenghuni dan diantara
kemah-kemah. Tetapi haruslah pada tempat yang terdapat padanya rumah-rumah,
yang tidak dipindahkan, yang mengumpulkan sejumlah 40 orang, yang wajib
bershalat jum’at. Dan kampung adalah seperti negeri. Dan tidak disyaratkan akan
kedatangan & keizinan penguasa pada shalat Jum’at itu. Tetapi adalah lebih
baik dengan keizinannya.
Ketiga: bilangan. Maka tidak syah Jum’at dengan bilangan
yang kurang daripada 40 orang laki-laki, mukallaf (yang telah dipikulkan
kewajiban agama, tegasnya: yang telah baligh dan berakal), yang merdeka dan
yang bertempat tinggal, dimana mereka tiada berpindah pada musim dingin dan
musim panas dari tempat tersebut. Jikalau mereka meninggalkan tempat shalat,
sehingga kuranglah bilangan itu, baik waktu sedang khutbah atau di dalam
shalat, maka tidaklah syah Jum’at itu. Tetapi, haruslah bilangan 40 orang orang
tersebut dari permulaan sampai kepada penghabisan shalat.
Keempat: jama’ah. Kalau bershalat orang yang 40 itu, di
kampung atau di negeri dengan berpisah-pisah, niscaya tidak syah Jum’at mereka.
Tapi bagi orang Masbuq (ma’mum yang terkemudian masuk ke dalam shalat) apabila
mendapati raka’at kedua, maka bolehlah ia bershalat sendirian pada raka’atnya
yang kedua. Dan kalau orang masbuq itu tiada mendapat ruku’ raka’at kedua, maka
ia mengikut imam serta meniatkan shalat Dhuhur. Dan apabila imam memberi salam,
maka ia menyempurnakan shalat Dhuhurnya.
Kelima: bahwa tidaklah Jum’at
itu, didahului oleh shalat Jum’at yang lain dalam negeri itu. Maka kalau sukar
berkumpul pada satu tempat shalat Jum’at, niscaya bolehlah pada dua, tiga dan
empat, menurut yang diperlukan. Dan jikalau tidak perlu, maka yang syah ialah
shalat Jum’at, yang pertama-tama takbiratul-ihramnya. Apabila ternyata perlunya
lebih dari satu Jum’at, maka yang lebih utama, ialah shalat di belakang yang
lebih utama daripada dua imam, yang mengimami shalat Jum’at itu. Kalau keduanya
sama, maka masjid yang lebih lama, yang lebih utama. Kalau keduanya sama juga,
maka yang lebih dekat. Dan mengenai banyaknya orang, juga mempunyai keutamaan
yang harus diperhatikan.
Keenam: dua khutbah. Kedua khutbah
itu, adalah fardlu/wajib. Dan berdiri waktu membaca kedua khutbah itu dan duduk
diantara keduanya, adalah fardlu juga. Pada khutbah pertama, terdapat 4 fardlu:
1. Memuji Allah sekurang-kurangnya:
“Alhamdulillah” (Segala pujian bagi Allah).
2. Selawat kepada Nabi saw
3. Wasiat (nasehat) dengan bertaqwa kepada Allah
Ta’ala.
4. Membaca suatu ayat dari Al-Qur’an.
Begitu pula, yang fardlu pada khutbah
kedua, adalah 4 juga, kecuali wajib berdo’a pada khutbah kedua itu, sebagai
ganti daripada pembacaan Al-Qur’an pada khutbah pertama. Mendengar kedua
khutbah, adalah wajib kepada orang yang 40 itu.
Adapun
sunnat: yaitu, apabila telah tergelincir matahari, muadzin telah melakukan adzan
dan imam telah duduk di atas mimbar, maka putuslah (tidak boleh lagi) shalat,
selain dari shalat tahiyah masjid. Dan berkata-kata tidaklah terputus, kecuali
dengan dimulai khutbah. Khatib memberi salam kepada orang banyak, apabila telah
berhadapan muka dengan mereka. Dan orang banyak itu, membalas salamnya. Apabila
telah siap muadzin daripada adzan, maka bangunlah khatib itu menghadapkan muka
kepada orang banyak, tiada berpaling ke kanan dan ke kiri. Ia memegang tangkai
pedang atau tangkai kampak dan mimbar dengan kedua tangannya. Supaya ia tidak
bermain-main dengan kedua tangan itu atau meletakkan tangan yang satu ke atas
lainnya. Khatib itu berkhutbah dua khutbah, diantara keduanya duduk sebentar.
Dan tidaklah memakai bahasa yang ganjil-ganjil, berhias dengan irama dan tidak
bernyanyi bergurindam. Dan adalah khutbah itu pendek, padat dan berisi.
Disunnatkan khatib itu, membaca juga ayat pada khutbah kedua. Dan tidaklah
orang yang masuk di dalam masjid, memberi salam, ketika khatib sedang membaca
khutbah. Kalau diberinya juga salam, maka tiada berhak dijawab. Dan
diisyaratkan dengan penjawaban, adalah lebih baik. Dan tidak juga ber-tasymit kepada
orang-orang bersin (membalas pembacaan “Alhamdulillah” dari orang yang bersin,
dengan mengucapkan “Yarhamukallah”). Inilah syarat-syarat syahnya Jum’at.
Adapun
syarat-syarat wajibnya. Maka Jum’at itu, tiada wajib, selain atas: laki-laki,
baligh, berakal, muslim, merdeka dan bertempat tinggal pada suatu desa, yang
mencukupi 40 orang yang mempunyai sifat-sifat yang tersebut tadi. Atau pada
suatu desa dari pinggir negeri, yang sampai kepadanya seruan adzan dari negeri
yang menghubungi kampung itu. Pada saat keadaan tenang dan suara muadzin itu
keras meninggi. Karena firman Allah Ta’ala: “Apabila ada panggilan untuk
mengerjakan shalat di hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengingati Tuhan dan
tinggalkanlah jual-beli”. S 62 Al Jumu’ah ayat 9. Diberi keringan untuk
meninggalkan Jum’at, karena berhalangan: hujan, lumpur, takut, sakit dan
menjaga orang sakit, apabila orang sakit itu tiada mempunyai penjaga yang lain.
Kemudian, disunnatkan kepada mereka yang berhalangan dengan halangan-halangan
yang tersebut tadi, supaya mengemudiankan shalat Dhuhurnya, sampai selesai
orang banyak dari shalat Jum’at. Kalau orang sakit atau orang dalam berpergian
jauh (orang musafir) atau budak atau wanita, menghadiri shalat Jum’at, maka
syahlah Jum’at mereka dan mencukupilah, tanpa mengerjakan Dhuhur lagi. Wallahu
A’lam! Allah Yang Maha Tahu!.
PENJELASAN: Adab shalat jum’at menurut tertib
kebiasaan. Yaitu sepuluh bahagian.
Pertama: bahwa bersedialah sejak hari Kamis untuk
shalat Jum’at, dengan cita-cita dan menghadapkan segala pikiran, untuk
menyambut keutamaan Jum’at itu. Maka berbuatlah ibadah dengan: berdo’a, membaca
istighfar (memohonkan ampunan Tuhan) dan bertasbih, sesudah ‘Ashar hari Kamis.
Karena saat itu adalah saat yang disamakan, dengan saat yang tidak dapat
dipastikan waktunya (sebagai saat mustajabah) pada hari Jum’at.
Berkata setengah
salaf, bahwa Allah Ta’ala mempunyai kurnia, selain daripada rezeki yang
diberikan ALLAH kepada segala hamba ALLAH. Dan kurnia itu, tidak dianugerahi
ALLAH, selain kepada siapa yang memintanya pada petang Kamis dan hari jum’at.
Orang itu pada hari ini, menyucikan kainnya, memutihkannya, menyediakan
bau-bauan kalau belum ada padanya. Menyelesaikan hatinya dari segala yang
membimbangkan, yang mencegahkan daripada berpagi-pagi ke Jum’at (masjid) dan
meniatkan pada malam ini (malam Jum’at) akan puasa hari Jum’at. Berpuasa itu
ada kelebihannya. Dan hendaklah puasa itu dikumpulkan dengan hari Kamis atau dengan hari Sabtu, tidak hari Jum’at saja,
karena demikian itu makruh hukumnya. Dan bekerja menghidupkan malam Jum’at itu
dengan shalat dan mengkhatamkan Al-Qur’an, karena malam itu mempunyai banyak
kelebihan. Dan ditarikkan kepada malam Jum’at itu akan kelebihan siangnya. Dan
disetubuhinya orang rumahnya pada malam Jum’at atau pada siangnya. Disunnatkan
demikian oleh segolongan ulama, yang membawa maksud sabda Nabi saw yang berikut
ini, kepada yang demikian, yaitu: “Diberi rahmat oleh Allah kepada orang yang
bersegera dan berpagi-pagi, kepada orang yang memandikan (menyucikan) dan yang
mandi”. Yaitu: membawa keluarga (orang rumah) kepada mandi. Ada yang
mengatakan, bahwa maksudnya: menyucikan kain, lalu diriwayatkan, bahwa
perkataan Arabnya, dibacakan dengan tidak bertasydid/tanda baca (yaitu
dibacakan: ghasala, tidak: ghassala) artinya membersihkan badannya dengan
mandi. Dengan ini, sempurnalah adab menyambut kedatangan hari Jum’at. Dan
keluarlah dari golongan orang-orang yang alpa, mereka yang bertanya pada
pagi-pagi hari Jum’at: “Hari apakah sekarang?”. Berkata setengah salaf:
“Manusia yang lebih sempurna nasibnya hari Jum’at, ialah orang yang menunggu
hari Jum’at dan menjaganya sejak kemarin. Dan orang yang paling ringan
nasibnya, ialah orang yang berkata pada pagi-paginya: “Hari apakah sekarang?”.
Sebahagian mereka, bermalam pada malam Jum’at di masjid, karena lantaran Jum’at
itu.
Kedua: apabila sudah pagi Jum’at, maka mulailah
mandi setelah terbit fajar. Kalau tidak akan berpagi-pagi ke masjid, maka
mendekatkan mandi kepada waktu sesudah gelincir matahari, adalah lebih baik,
sebab lebih mendekatkan masanya dengan kebersihan. Mandi itu sangat
disunnatkan. Setengah ulama, berpendapat wajib. Bersabda Nabi saw: “Mandi
Jum’at itu wajib atas tiap-tiap orang yang dewasa”. Yang termahsyur ialah
hadits yang diriwayatkan Nafi’ dari Ibnu Umar ra: “Siapa yang datang ke Jum’at,
maka hendaklah mandi”.
Bersabda Nabi saw:
“Siapa yang hadir ke Jum’at, baik laki-laki atau wanita, maka hendaklah mandi”.
Adalah penduduk Madinah, apabila memaki-maki diantara dua orang, maka berkata
yang seorang kepada lainnya: “Sungguh, engkau lebih jahat daripada orang yang
tidak mandi pada hari Jum’at”. Berkata Umar kepada Usman ra tatkala ia masuk ke
dalam masjid, sedang Umar membaca khutbah: “Bukankah saat ini dilarang
meninggalkan berpagi-pagi?”. Maka berkata Usman ra: “Setelah aku mendengar
adzan, tidak lain daripada aku berwudlu dan terus pergi”. Menyambung Umar ra:
“Dan wudlu juga! Bukankah engkau ketahui, bahwa Rasulullah saw menyuruh kita mandi?”. Dan dapatlah diketahui
dengan wudlu Usman ra itu, boleh meninggalkan mandi. Dan dengan apa yang
diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang berwudlu pada hari Jum’at,
maka baiklah Jum’atnya dan siapa yang mandi, maka mandi itu adalah lebih baik”.
Siapa yang mandi karena berjunub (janabah), maka hendaklah menyiramkan air
kepada badannya, satu kali lagi dengan niat mandi Jum’at. Kalau dicukupkannya
dengan suatu mandi saja, maka mencukupilah. Dan memperoleh kelebihan (pahala)
apabila ia berniat keduanya (mandi janabah dan mandi Jum’at). Dan masuklah
mandi Jum’at itu, ke dalam mandi janabah. Telah datang sebahagian shahabat
kepada anaknya yang sudah mandi. Lalu bertanya: “Apakah mandimu itu untuk
Jum’at?”. Maka menjawab anak dari shahabat yang bertanya itu: “Tidak, tetapi
untuk janabah!”. Lalu menyambung shahabat tadi: “Ulangilah mandi yang kedua!”.
Dan ia meriwayatkan hadits tentang mandi Jum’at atas tiap-tiap orang yang
dewasa. Dan sesungguhnya disuruh demikian, karena belum diniatkan mandi Jum’at
itu. Dan tidaklah jauh daripada yang sebenarnya, bahwa dikatakan: yang
dimaksudkan ialah: kebersihan. Dan kebersihan itu telah berhasil tanpa niat.
Tetapi ini terisi juga dengan wudlu. Mandi itu pada agama adalah merupakan
pendekatan diri kepada Tuhan. Dari itu, maka seharusnyalah dicari kelebihan
(pahalanya). Orang yang telah mandi, kemudian berhadats, niscaya mengambil
wudlu. Dan tidaklah batal mandinya. Yang lebih baik, hendaklah ia menjaga diri
daripada berhadats itu.
Ketiga: berhias. Yaitu: disunnatkan pada hari ini (hari Jum’at). Yaitu: tiga
perkara: pakaian, kebersihan dan bau-bauan. Adapun kebersihan, adalah dengan
bersugi, mencukur rambut, mengerat kuku, menggunting kumis dan lainnya daripada
apa yang telah diterangkan dahulu pada: kitab bersuci. Berkata Ibnu Mas’ud:
“Siapa yang mengeratkan kukunya pada hari Jum’at, niscaya dikeluarkan oleh
Allah ‘Azza wa Jalla daripadanya penyakit dan dimasukkan ALLAH kepadanya obat”. Kalau sudah masuk hammam/pemandian
umum pada hari Kamis atau hari Rabu, maka telah berhasillah yang dimaksud. Lalu
hendaklah pada hari Jum’at itu, memakai bau-bauan yang terbaik yang ada
padanya, supaya hilanglah segala bau yang tidak menyenangkan. Dan sampailah
bau-bauan yang harum itu kepada penciuman orang yang datang ke masjid, yang
duduk di kelilingnya. “Bau-bauan yang terbaik bagi laki-laki, ialah yang keras
baunya dan tiada terang warnanya. Dan yang terbaik bagi wanita, ialah yang
terang warnanya dan tidak keras baunya”. Ucapan ini, diriwayatkan dari
perkataan shahabat Nabi saw (atsar). Berkata Asy Syafi’i ra: “Siapa yang bersih
kainnya, niscaya kuranglah kesusahannya dan siapa yang baik baunya, niscaya
bertambahlah akalnya”. Adapun pakaian, maka yang lebih baik adalah pakaian
putih, karena pakaian yang lebih disukai Allah Ta’ala ialah yang putih. Dan
tidak dipakai, apa yang padanya kemahsyuran. Pakaian hitam, tidaklah dari
sunnah Nabi saw dan tak ada padanya kelebihan (pahala). Tetapi segolongan ulama
berpendapat, makruh memandang kepada pakaian hitam, karena bid’ah (yang
diada-adakan) yang diada-adakan sesudah Rasulullah saw serban adalah
disunnatkan pada hari Jum’at. Diriwayatkan Watsilah bin Al-Asqa’, bahwa
Rasulullah saw bersabda: “Bahwa Allah dan para malaikat ALLAH berdo’a kepada
orang-orang yang memakai serban pada hari Jum’at”. Kalau menyukarkan baginya
oleh karena panas, maka tidak mengapa dibuka sebelum shalat dan sesudahnya.
Tetapi tidaklah dibuka, waktu berjalan dari rumah ke Jum’at, waktu mengerjakan
shalat, waktu imam naik ke atas mimbar dan waktu sedang khutbah.
Keempat: berpagi-pagi ke masjid (masjid jami’). Dan
disunnatkan menuju ke masjid Jami’ yang terletak dua atau tiga farsakh jaraknya
(satu farsakh adalah kira-kira 8 km). Dan hendaklah berpagi-pagi benar ke
tempat shalat Jum’at. Dan waktu berpagi-pagi itu, masuk terbit fajar. Keutamaan
berpagi-pagi itu besar sekali. Dan seyogyanya berjalan ke Jum’at itu dengan
khusyu’, merendahkan diri, meniatkan i’tikaf di dalam masjid sampai kepada
waktu shalat, bermaksud menyegerakan menyahut seruan Allah ‘Azza wa Jalla
kepadanya dengan Jum’at, bersegera kepada pengampunan dan kerelaan ALLAH.
Bersabda Nabi saw: “Siapa yang pergi ke Jum’at pada jam pertama, maka
seakan-akan ia menyembelih kurban seekor unta. Siapa yang pergi pada jam kedua,
maka seakan-akan ia menyembelih kurban seekor sapi. Siapa yang pergi pada jam
ketiga, maka seakan-akan ia menyembelih kurban seekor kibasy (biri-biri) yang
bertanduk. Siapa yang pergi pada jam keempat, maka seakan-akan ia menghadiahkan
seekor ayam. Dan siapa yang pergi pada jam kelima, maka seakan-akan ia
menghadiahkan sebutir telur. Apabila imam telah ke tempat shalat, maka
tertutuplah segala buku tempat dituliskan amalan, terangkatlah segala pena dan
segala malaikat berkumpul pada mimbar, mendengar dzikir. Siapa yang datang sesudah
itu, maka sesungguhnya ia datang untuk shalat semata-mata dan tak ada baginya
sesuatu daripada kelebihan”.
Jam pertama, adalah sampai terbit matahari.
Jam kedua, adalah sampai kepada meninggi
matahari.
Jam ketiga, adalah sampai kepada meluas
sinar matahari, ketika sudah panas tempat tapak berpijak.
Jam keempat dan kelima, adalah sesudah
waktu dluha meninggi, sampai kepada waktu tergelincir matahari. Kelebihan jam
keempat dan kelima adalah sedikit. Dan waktu tergelincir (zawal) itu, adalah
waktu untuk shalat, maka tak ada kelebihan padanya.
Bersabda Nabi saw: “Tiga perkara, kalau
tahulah manusia apa yang ada padanya, niscaya mereka mengendarai unta
mencarikannya, yaitu: adzan, shaf pertama dan berpagi-pagi ke Jum’at”. Berkata
Ahmad bin Hanbal ra: “Yang lebih utama dari yang tiga tadi, ialah berpagi-pagi
ke Jum’at”. Pada hadits, tersebut: “Apabila datang hari Jum’at, maka duduklah
para malaikat di pintu-pintu masjid. Pada tangannya, kertas daripada perak dan
pena daripada emas. Dituliskannya siapa yang lebih dahulu ke masjid, satu
persatu menurut urutannya”. Dan tersebut pada hadits: “Bahwa para malaikat itu
mencari orang yang terkemudian daripada waktunya pada hari Jum’at. Maka
bertanyalah para malaikat itu sesamanya, tentang orang itu: “Apakah yang
dikerjakan si anu? Apakah kiranya yang menyebabkan si anu itu terlambat
daripada waktunya?”. Maka berdo’alah para malaikat: “Ya Allah, ya Tuhanku!
Kalau kiranya orang itu terkemudian karena miskin, maka kayakanlah dia! Kalau
karena sakit, maka sembuhkanlah dia! Kalau karena sibuk, maka berikanlah kepadanya
kelapangan waktu beribadah kepadaMU!. Dan kalau bermain-main, maka hadapkanlah
hatinya untuk menta’atiMU!”.
Adalah pada abad pertama, mulai waktu
sahur atau setelah terbit fajar, jalan-jalan sudah penuh dengan manusia yang
pergi dengan kendaraan dan berdesak-desak ke masjid Jami’, seperti pada
hari-hari raya. Sehingga lenyaplah yang demikian itu, lalu dikatakan: “Bahwa
bid’ah (yang diada-adakan) pertama yang datang dalam Islam, ialah meninggalkan
berpagi-pagi ke masjid Jami’. Mengapakah tidak malu kaum muslimin, dengan orang
Yahudi dan Nasrani dan berpagi-pagi benar sudah kekelenteng dan gereja, pada
hari Sabtu dan minggu? Penuntut-penuntut dunia, betapa kiranya mereka
berpagi-pagi benar ke halaman toko untuk berjual-beli dan mencari keuntungan,
maka mengapakah tiada berlomba-lomba dengan mereka, para penuntut akhirat? Ada
yang mengatakan, bahwa manusia itu pada kedekatannya ketika memandang kepada
wajah Allah Ta’ala, adalah menurut kadar pagi-paginya ke Jum’at.
Adalah Ibnu Mas’ud datang pagi-pagi ke suatu
masjid Jami’, maka dilihatnya tiga orang telah mendahuluinya dengan
berpagi-pagi benar ke masjid Jami’ itu. Maka susahlah hatinya karena itu, lalu
mengatakan kepada dirinya dengan perasaan menyesal: “Keempat dari empat dan
tidaklah yang keempat dari empat itu, berjauhan daripada pagi-pagi”.
Kelima: tentang cara
masuk, seyogyalah tiada melangkahi leher orang dan tiada melalui dihadapan
mereka. Dan berpagi-pagi itu, memudahkan kepadanya yang demikian itu. Telah
datang janji azab yang berat, pada melangkahi leher orang, yaitu orang yang
berbuat demikian, akan dijadikan jembatan pada hari kiamat, yang akan
dilangkahi oleh manusia. Diriwayatkan Ibnu Juraij suatu hadits mursal yaitu:
“Bahwa Rasulullah saw ketika sedang membaca khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba
melihat seorang laki-laki melangkahi leher orang, sehingga laki-laki itu sampai
ke depan, lalu duduk. Tatkala Nabi saw telah selesai daripada shalat, maka
beliau mencari laki-laki itu, sampai berjumpa, lalu bertanya: “Hai Anu! Apakah
yang menghalangi engkau, untuk berjum’at hari ini bersama kami?”. Menyahut
laki-laki itu: “Wahai Nabi Allah! aku telah berjum’at bersama engkau”.
Menyambung Nabi saw: “Bukankah kami telah melihat engkau melangkahi leher
manusia?”. Maka dengan ucapan Nabi saw itu menunjukkan kepada batalnya amalan
dengan melangkahi leher orang.
Pada hadits musnad,
Nabi saw bersabda: “Apakah yang menghalangi engkau bershalat bersama kami?”.
Maka menjawab laki-laki itu: “Apakah tidak engkau melihat aku, wahai
Rasulullah?”. Nabi saw menjawab: “Aku melihat engkau terkemudian dan
menyusahkan orang”. Artinya: terkemudian dari berpagi-pagi dan menyusah kan
orang yang telah datang lebih dahulu. Kalau shaf (barisan) pertama itu,
tertinggal kosong, maka bolehlah melangkahi leher orang, karena mereka telah
menyia-nyiakan haknya dan meninggalkan tempat yang lebih utama. Berkata
Al-Hasan: “Langkahilah leher mereka yang duduk pada pintu masjid di hari
Jum’at, karena tak ada kehormatan bagi mereka”. Apabila tidak ada di dalam
masjid, selain daripada orang yang mengerjakan shalat, maka seyogyalah tidak
memberi salam, karena memberatkan penjawaban salam yang tidak pada tempatnya.
Keenam: tiada melalui dihadapan orang dan duduklah
pada tempat yang mendekati tiang atau dinding, sehingga orang ramai tiada
melalui dihadapannya. Yakni: dihadapan orang yang sedang mengerjakan shalat.
Melalui dihadapan orang yang sedang shalat, tidaklah memutuskan shalat, tetapi
dilarang. Bersabda Nabi saw: “Tegak berdiri 40 tahun, adalah lebih baik
daripada melalui dihadapan orang yang sedang shalat”. Bersabda Nabi saw:
“Sampai menjadikan orang itu debu yang halus yang diterbangkan angin adalah
lebih baik baginya daripada melalui dihadapan orang shalat”. Diriwayatkan pada
hadits lain, tentang orang yang lalu dan orang yang mengerjakan shalat, dimana
orang itu bershalat atas jalan besar atau tak sanggup menghalangi orang lalu
dihadapannya , yaitu: “kalaulah tahu orang yang melalui dihadapan orang yang
bershalat dan orang yang bershalat tahu pula, akan apa yang menimpa ke atas
keduanya, maka sesungguhnya tegak berdiri 40 tahun, adalah lebih baik baginya, daripada melalui dihadapan
orang yang sedang mengerjakan shalat itu”.
Tiang, dinding dan
tikar mushalla yang terbentang, adalah menjadi batas bagi orang yang bershalat.
Maka orang yang melintasi batas ini, seyogyalah ditolaknya. Bersabda Nabi saw:
“Hendaklah ditolaknya! Kalau orang itu tidak memperdulikan, maka hendaklah
ditolaknya lagi! Kalau tidak juga orang itu memperdulikan, maka hendaklah
dibunuh saja karena dia itu setan!”. Adalah Abu Sa’id Al-Khudri ra menolak
orang yang melalui dihadapannya, sehingga orang itu terjatuh ke lantai. Mungkin
orang itu bergantung pada Abu Sa’id. Kemudian ia mengadu kepada Marwan. Maka
Marwan menerangkan kepadanya, bahwa Nabi saw menyuruh yang demikian. Kalau
tidak diperoleh tiang, maka hendaklah ia menegakkan sesuatu dihadapannya, yang
panjangnya kira-kira sehasta, supaya menjadi tanda untuk batas.
Ketujuh: dicari shaf pertama, karena banyak
kelebihannya, sebagaimana yang telah kami riwayatkan dahulu. Dan pada hadits
tersebut: “Siapa yang mencucikan dan mandi, bersegera dan berpagi-pagi,
mendekati imam dan mendengar, niscaya adalah yang demikian itu, menjadi kafarat
(penutup dosa) baginya diantara dua Jum’at dan tambah tiga hari lagi”. Pada
riwayat lain, berbunyi: “niscaya diampunkan Allah baginya, sampai kepada Jum’at
yang lain”. Dan pada setengah riwayat, disyaratkan: “dia tidak melangkahi leher
orang”. Dan hendaklah tidak dilupakan, pada mencari shaf pertama itu, daripada
tiga perkara:
1. Apabila ia melihat perbuatan munkar dekat
khatib, yang tak sanggup ia mencegahnya, seperti pakaian sutera pada imam
(kepala pemerintahan) atau pada orang lain atau orang itu mengerjakan shalat
dengan memakai banyak senjata yang berat yang mengganggu atau senjata yang
beremas ataupun yang lain, yang merupakan perbuatan yang wajib ditantang, maka
dalam hal ini mundur ke belakang, adalah lebih menyelamatkan baginya dan lebih
memusatkan perhatian kepada shalat. Dan telah dikerjakan yang demikian, oleh
segolongan ulama yang mencari keselamatan. Ditanyakan kepada Bisyr bin
Al-Harts: “Kami melihat engkau berpagi-pagi ke tempat shalat dan engkau
mengerjakan shalat pada penghabisan shaf”. Menjawab Bisyr: “Yang dimaksud,
ialah berdekatan hati, tidak berdekatan tubuh”. Diisyaratkan oleh Bisyr dengan
perkataannya itu, bahwa yang demikian, adalah lebih mendekatkan untuk
keselamatann hatinya. Sufyan Ats-Tsuri memandang kepada Syu’aib bin Harb di
sisi mimbar, yang memperhatikan khutbah Abi Ja’far Al-Manshur. Tatkala selesai
dari shalat, berkata Sufyan: “Terganggu hatiku oleh berdekatanmu dengan Abi
Ja’far itu. Apakah engkau merasa aman mendengar perkataan yang harus engkau
tantang, lantas engkau tiada bangun menantangnya?”. Lalu Sufyan menyebutkan,
apa yang diperbuat mereka, seperti memakai pakaian hitam. Maka jawab Syu’aib:
“’Hai Abu Abdillah! Bukankah tersebut pada hadits: “Dekatilah dan
perhatikanlah!”. Menjawab Sufyan: “Benar, itu terhadap khulafa’-rasyidin yang
memperoleh petunjuk! Adapun mereka ini, semakin jauh engkau daripada mereka dan
tidak memandang mereka, maka adalah lebih mendekatkan engkau kepada Allah ‘Azza
wa Jalla”. Berkata Sa’id bin ‘Amir: “Aku mengerjakan shalat disamping Abid
Darda’. Dia mengambil shaf yang terakhir, sehingga kami berada pada akhir shaf.
Tatkala telah siap daripada shalat, lalu aku bertanya kepadanya: “Bukankah
dikatakan bahwa shaf yang terbaik, ialah shaf pertama?”. Menjawab Abid Darda:
“Benar, tetapi umat ini dirahmati, lagi dipandang kepadanya dari antara
umat-umat lain. Sesungguhnya Allah Ta’ala apabila memandang kepada seorang
hamba di dalam shalatnya, maka Ia mengampunkan dosa hamba itu dan dosa orang
lain yang dibelakangnya. Dari itu, aku mengambil di belakang, dengan harapan
kiranya aku diampunkan dengan sebab seseorang daripada mereka, yang dipandang
Allah kepadanya”. Diriwayatkan oleh setengah perawi hadits, yang mengatakan:
“Aku mendengar Rasulullah saw bersabda demikian. Maka siapa yang mengambil
tempat di belakang atas niat itu, karena memilih dan melahirkan kebaikan
budi-pekerti, maka tidak mengapa. Dan ketika itu, maka dikatakan: “Segala amal
perbuatan itu dengan niat”.
2. Kalau tidak ada
di samping khatib, sebahagian tempat yang dikhususkan kepada sultan-sultan,
maka shaf pertama itu disunnatkan. Kalau ada, maka sebahagian ulama memandang
makruh masuk ke tempat yang dikhususkan itu. Al-Hasan dan Bakr Al-Mazani tidak
mengerjakan shalat di tempat yang dikhususkan itu. Dan keduanya, berpendapat,
bahwa tempat itu ditentukan untuk sultan-sultan. Dan itu adalah bid’ah (yang
diada-adakan) didalam masjid-masjid sesudah Rasulullah saw. Padahal masjid itu,
adalah diuntukkan kepada sekalian manusia. Dan dengan dikhususkan itu, telah
menyalahi dasar tersebut. Anas bin Malik dan ‘Imran bin Hushain mengerjakan
shalat, di tempat yang dikhususkan itu dan tidak memandang makruh, karena
mencari kedekatan. Mungkin kemakruhan itu tertentu kepada keadaan pengkhususan
dan pelarangan orang lain. Kalau semata-mata pengkhususan, tanpa ada
pelarangan, maka tidaklah mengharuskan adanya kemakruhan itu.
3. Bahwa mimbar
memutuskan sebahagian shaf. Dari itu, shaf pertama satu-satunya, ialah yang
bersambung dihadapan mimbar. Dan yang terletak di kedua tepi mimbar, adalah
shaf yang terputus. Sufyan Ats-Tsuri berkata, bahwa shaf pertama, ialah yang
keluar dihadapan mimbar. Yaitu yang menghadap kepada mimbar, karena dia
bersambung dan karena orang yang duduk pada shaf itu, menghadap khatib dan
mendengar daripadanya. Dan tidaklah jauh daripada kebenaran, kalau dikatakan,
bahwa yang terdekat kepada qiblat, ialah shaf pertama. Dan pengertian ini,
tiada begitu diperhatikan orang. Dimakruhkan shalat di pasar-pasar & di
beranda-beranda luar dari masjid. Dan sebahagian shahabat, memukul orang &
membangunkannya dari beranda-beranda itu.
Kedelapan: bahwa dihabiskan shalat, ketika imam keluar ke tempat shalat
dan juga dihabiskan berkata-kata. Dan waktu itu, dipakai untuk menjawab adzan
dari muadzin, kemudian mendengar khutbah. Telah berlaku kebiasaan sebahagian
orang awwam, dengan melakukan sujud ketika bangun muadzin untuk adzan. Yang
demikian itu, tidaklah berdasarkan kepada atsar dan hadits. Tetapi kalau
kebetulan bertepatan dengan sujud tilawah/sujud biasa (sujud ini dilakukan
setelah selesai sholat), maka tiada mengapa untuk do’a, karena itu adalah waktu
yang baik. Dan tidak dihukum dengan haramnya sujud ini, karena tiada sebab
untuk mengharamkannya. Diriwayatkan dari Ali ra dan Usman ra bahwa keduanya
berkata: “Siapa yang mendengar dan memperhatikan, maka baginya dua pahala.
Siapa yang tidak mendengar, tetapi memperhatikan, maka baginya satu pahala.
Siapa yang mendengar dan menyia-nyiakan, maka atasnya dua dosa. Dan siapa yang
tidak mendengar dan menyia-nyiakan, maka atasnya satu dosa”.
Bersabda Nabi saw:
“Siapa yang mengatakan kepada temannya, ketika imam berkhutbah: “Perhatikan!”
atau “Jangan berbicara!”, maka ia telah berbuat yang sia-sia. Siapa yang
berbuat sia-sia, dan imam berkhutbah, maka tak adalah Jum’at baginya”. Ini
menunjukkan, bahwa menyuruh diam teman itu, seyogyalah dengan isyarat atau
dengan melemparkan batu kecil saja kepadanya, tidak dengan kata-kata. Pada
hadits dari Abi Dzar, bahwa Abi Dzar bertanya kepada Ubai, ketika Nabi saw
sedang membaca khutbah: “Bilakah diturunkan surat ini?” Ubai berisyarat
kepadanya, supaya diam. Tatkala Rasulullah saw turun dari mimbar, maka berkata
Ubai kepada Abi Dzar: “Pergilah! Tak ada Jum’at bagimu!”. Lalu Abi Dzar
mengadukannya kepada Nabi saw, maka bersabda Nabi: “Benar Ubai!”. Kalau
berjauhan dari imam, maka tiada seyogyalah berkata-kata mengenai ilmu dan
lainnya. Tetapi diam, karena yang demikian itu tali-bertali dan membawa kepada
suara yang halus, sehingga sampai kepada para pendengar khutbah. Dan janganlah
duduk dalam lingkungan orang yang berkata-kata!. Siapa yang tidak dapat
mendengar karena jauh, maka hendaklah memperhatikan saja. Dan itu adalah
sunnat. Apabila shalat dimakruhkan pada waktu imam berkhutbah, maka
berkata-kata, adalah lebih utama lagi dimakruhkan. Berkata Ali ra: “Dimakruhkan
shalat pada 4 waktu: 1. Sesudah fajar (sesudah Shubuh), 2. Sesudah ‘Ashar, 3.
waktu tengah hari dan 4. bershalat ketika imam berkhutbah”.
Kesembilan: bahwa diperhatikan
pada mengikuti imam shalat jum’at, apa yang telah kami sebutkan dahulu pada
tempat lain. Apabila mendengar bacaan imam, maka ma’mum itu tiada membaca,
selain dari al-fatihah. Apabila telah selesai dari shalat Jum’at, maka
dibacakan: “Alhamdulillah” 7 X, sebelum berkata-kata dan “Qul-huwallaahu ahad”
dan “Muawwadzatain” (yaitu:”Qul-A’uudzu birabbil-falaq” dan “Qul a’uudzu
birabbinnas”). Tujuh-tujuh kali. Diriwayatkan oleh setengah salaf bahwa siapa
mengerjakan yang tersebut tadi, niscaya ia terpelihara dari Jum’at ke Jum’at.
Dan adalah penjaga baginya daripada gangguan setan. Disunnatkan membaca sesudah
shalat Jum’at: “Ya Allah, ya Tuhanku! ya Yang Maha Kaya, ya Yang Maha Terpuji,
ya Yang Maha Pencipta, ya Yang Maha Mengembalikan, ya Yang Maha Penyayang, ya
Yang Maha Pengasih! Cukupkanlah aku dengan yang halal daripadaMU, daripada yang
haram dan dengan kurniaMU daripada yang lain!”. Dikatakan, bahwa siapa yang
berkekalan membaca do’a ini, niscaya ia dikayakan Allah daripada makhluk ALLAH,
dan diberikan Allah rezeki, dari yang tidak di duga-duga. Kemudian, sesudah
Jum’at. Lalu bershalat 6 raka’at. Telah diriwayatkan Ibnu Umar ra bahwa: “Nabi
saw mengerjakan shalat dua raka’at sesudah Jum’at”. Dan diriwwayatkan Abu
Hurairah “empat raka’at” dan diriwayatkan Ali dan Abdullah bin Abbas ra “enam
raka’at”. Semuanya itu benar dalam berbagai macam keadaan. Dan yang lebih
sempurna/lebih banyak, adalah lebih utama.
Kesepuluh: bahwa meneruskan tinggal di masjid, sampai
shalat Ashar. Kalau diteruskan sampai kepada Maghrib, maka adalah lebih utama.
Dikatakan, bahwa siapa yang bershalat ‘Ashar di masjid Jami’, maka adalah
baginya pahala hajji. Dan siapa yang bershalat Maghrib, maka baginya pahala
hajji dan ‘umrah. Kalau tidak merasa aman dari sifat berbuat-buat dan dari
datangnya bahaya kepadanya, dengan pandangan orang banyak kepada i’tikafnya
(diamnya di dalam masjid dengan ibadah) atau ia takut terjerumus pada yang
tidak perlu, maka yang lebih utama, ialah kembali ia ke rumahnya, dengan
berdzikir kepada Allah, memikirkan tentang segala nikmat ALLAH, mensyukuri atas
taufiq ALLAH, takut dari keteledorannya, mengawasi akan hari dan lidahnya
sampai kepada terbenam matahari. Sehingga ia tidak tertinggal oleh saat yang
mulia itu. Dan tidaklah wajar bercakap-cakap dalam masjid jami’ dan
masjid-masjid lainnya, dengan percakapan duniawi. Bersabda Nabi saw: “Akan
datang kepada manusia suatu zaman, yang pembicaraan mereka dalam masjid-masjid,
adalah urusan duniawi. Tak adalah bagi Allah hajat pada mereka. Dari itu,
janganlah kamu duduk-duduk bersama mereka!”.
PENJELASAN: Adab dan sunnat yang diluar daripada
susunan yang lalu, yang meratai seluruh hari. Yaitu: 7 perkara:
Pertama: mengunjungi mejelis ilmu pengetahuan pada
pagi hari atau sesudah ‘Ashar. Dan tidaklah mengunjungi majelis tukang-tukang
ceritera, karena tak adalah kebajikan pada perkataan mereka. Dan tak wajarlah
bagi seorang murid (yang menuntut jalan akhirat), mengosongkan seluruh hari
Jum’at itu, dari amal kebajikan dan do’a-do’a, sehingga saat yang mulia itu
dapatlah diperolehnya. Dan dia dalam kebajikan. Tidaklah wajar menghadiri
tempat pelajaran ilmu, sebelum shalat Jum’at. Diriwayatkan oleh Abdullah bin
Umar: “bahwa Nabi saw melarang, menghadiri tempat pelajaran ilmu pada hari
Jum’at, sebelum shalat”. Kecuali ia ulama pada jalan Allah, mengingati segala
hari Allah, memahami agama Allah, berbicara pada masjid jami’ pada pagi hari.
Lalu ia duduk di situ, maka adalah ia menghimpunkan diantara berpagi-pagi dan
mendengar ilmu. Mendengar ilmu yang bermanfa’at pada jalan akhirat, adalah
lebih utama, daripada mengerjakan amalan sunnat. Diriwayatkan oleh Abu Dzar:
“Bahwa menghadiri majelis ilmu, adalah lebih utama daripada shalat 1000
raka’at”.
Berkata Anas bin
Malik, tentang firman Allah Ta’ala: “Dan apabila selesai mengerjakan shalat,
kamu boleh bertebaran di muka bumi dan carilah kurnia Allah”. S 62 Al Jumu’ah
ayat 10, bahwa yang dimaksud bukanlah mencari dunia, tetapi mengunjungi orang
sakit, mengunjungi pada orang meninggal, mempelajari ilmu pengetahuan dan
menziarahi saudara pada jalan Allah ‘Azza wa Jalla (fillahi Ta’ala). Allah
‘Azza wa Jalla menamakan “ilmu” itu “kurnia” pada beberapa tempat di dalam
Al-Qur’an. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan Allah mengajarkan apa yang belum engkau
ketahui, kurnia Allah kepada engkau sangat besarnya”. S 4 An-Nisaa’ ayat 113.
Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami berikan kepada Daud kurnia dari
Kami sendiri”. S 34 As Sabak ayat 10, yakni ilmu. Mempelajari ilmu pengetahuan
dan mengajarkannya pada hari ini, adalah pengorbanan yang lebih utama. Dan
shalat adalah lebih utama daripada majelis tukang-tukang ceritera. Karena
mereka memandang perbuatan tukang ceritera itu bid’ah (yang diada-adakan). Dan
mereka mengeluarkan tukang-tukang ceritera itu dari masjid jami’.
Ibnu Umar ra datang
pagi-pagi ke tempatnya dalam masjid jami’, tiba-tiba di situ seorang tukang
ceritera berceritera pada tempatnya. Berkata Ibnu Umar: “Bangunlah dari tempatku!”.
Menjawab tukang ceritera itu: “Aku tidak mau. Aku telah duduk di sini dan aku
telah lebih dahulu daripada engkau!”. Maka Ibnu Umar meminta bantuan polisi.
Lalu datanglah polisi membangunkan orang itu. Kalau adalah yang demikian itu,
termasuk sunnah, tentulah tidak boleh membangunkannya. Bersabda Nabi saw:
“Janganlah dibangunkan seorang kamu akan saudaranya dari tempat duduknya,
kemudian ia duduk padanya. Tetapi berlapang-lapanglah dan berluas-luaslah!”.
Dan ketika laki-laki tukang ceritera itu, telah bangun dari tempat Ibnu Umar,
maka Ibnu Umar tidak duduk disitu, sehingga kembalilah laki-laki itu ke tempat
tadi. Diriwayatkan, bahwa seorang tukang ceritera duduk di halaman kamar
‘Aisyah, maka beliau mengirimkan kabar kepada Ibnu Umar, dengan kata-kata:
“Bahwa orang itu, telah menyakitkan aku dengan ceriteranya dan mengganggukan
aku dari pembacaan tasbihku”. Maka orang itu dipukul oleh Ibnu Umar sampai
pecah tongkatnya pada punggung orang itu, kemudian diusirnya.
Kedua: bahwa adalah muraqabah/memperhatikan yang
sebaik-baiknya pada saat mulia itu. Dan hadits mahsyur, tersebut: “Sesungguhnya
pada hari Jum’at ada suatu saat, kalau kebetulan seorang hamba muslim, meminta
sesuatu kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada saat itu, niscaya diberikannya”. Pada
hadits lain: “Tidak dijumpai saat itu oleh hamba yang bershalat”. Berbeda
pendapat tentang saat itu. Ada yang mengatakan, ketika terbit matahari, ada
yang mengatakan ketika gelincir matahari, ada yang mengatakan beserta adzan,
ada yang mengatakan apabila imam naik ke mimbar dan berkhutbah, ada yang
mengatakan apabila manusia berdiri kepada shalat, ada yang mengatakan pada
akhir waktu ‘ashar, yakni waktu ikhtiar (waktu yang dipilih untuk shalat) dan
ada yang mengatakan sebelum terbenam matahari. Dan fatimah ra menjaga waktu itu
dan menyuruh pembantunya melihat matahari, untuk diberitahukan kepadanya
matahari itu sudah jatuh ke tepi langit. Maka masuklah ia ke dalam do’a dan
istighfar, sampai kepada terbenam matahari. Ia menceriterakan, bahwa saat itu,
adalah saat yang ditunggu-tunggu. Dan ia terima berita itu daripada ayahandanya
Rasulullah saw.
Berkata setengah
ulama, bahwa saat mulia itu tidak jelas pada seluruh hari Jum’at, seperti
Lailatul-Qadar, sehingga hendaknya sempurnalah segala cara mengintipnya. Ada
yang mengatakan, bahwa saat mulia itu berpindah-pindah dalam segala saat hari
Jum’at seperti berpindahnya Lailatul-Qadar. Inilah yang
lebih sesuai. Dan mempunyai rahasia, yang tidak layak diterangkan
pada ilmu mu’amalah (jual beli). Tetapi seyogyalah membenarkan apa yang
dikatakan Nabi saw: “Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai wangi-wangian dalam
hari-hari masamu. Dari itu, datangilah kepada wangi-wangian itu”. Dan hari
Jum’at, termasuk diantara hari-hari itu. Maka seyogyalah hamba itu pada seluruh
harinya. Mencari saat mulia itu, dengan menghadirkan hati, membiasakan berdzikir dan
mencabutkan diri dari segala gangguan dunia. Semoga ia memperoleh sedikit dari
wangi-wangian yang harum itu!.
Berkata Ka’b
Al-Ahbar, bahwa saat mulia itu, adalah pada saat terakhir, daripada hari
Jum’at, yaitu: ketika terbenam matahari. Lalu berkata Abu Hurairah: “Bagaimana
adanya saat mulia itu, pada saat terakhir, padahal aku telah mendengar
Rasulullah saw bersabda: “Tidak dijumpai saat itu oleh hamba yang bershalat.
Dan tidaklah ketika shalat”. Maka menjawab Ka’b: “Tidakkah Rasulullah saw
bersabda: “Siapa yang duduk menunggu shalat, maka adalah dia di dalam shalat?”.
Menjawab Abu Hurairah: “Ya, benar!”. Menyambung Ka’b: “Maka yang demikian itu
shalat!”. Maka Abu Hurairah diam. Dan Ka’b condong kepada saat mulia itu,
adalah rahmat dari Allah Ta’ala kepada mereka yang tegak berdiri menunaikan hak
hari Jum’at. Dan waktu turunnya saat itu, adalah ketika selesai daripada
menyempurnakan amal perbuatan. Kesimpulan, itu adalah waktu mulia, bersamaan
dengan waktu naiknya imam ke mimbar. Maka perbanyakkanlah do’a pada kedua waktu
itu!
Ketiga: disunnatkan
berbanyak selawat kepada Rasulullah saw pada hari Jum’at. Bersabda Nabi saw:
“Siapa yang berselawat kepadaku pada hari Jum’at, 80 kali, niscaya diampunkan
Allah dosanya 80 tahun”. Maka bertanya shahabat: “Bagaimanakah berselawat
kepada engkau?”. Menjawab Nabi saw: “Engkau
bacakan:
“Ya Allah, ya Tuhan kami! Berilah rahmat
kepada Muhammad hambaMU, nabiMU, dan rasulMU, nabi yang ummi (tidak pandai
tulis baca)”. engkau baca1x.
Dan kalau engkau bacakan: “Ya Allah, ya Tuhan kami! Berikanlah rahmat kepada Muhammad
dan kepada keluarga Muhammad, rahmat yang menjadi kerelaanMU dan iringilah
tunainya rahmat itu. Anugerahilah dia jalan dan berikanlah kepadanya tempat
terpuji yang Engkau janjikan. Dan berikanlah kepadanya balasan daripada kami
(yg telah mendapatkan ilmu agama karenanya), akan apa yang menjadi haknya dan
berikanlah kepadanya sebaik-baik apa yang Engkau berikan balasan kepada seorang
nabi daripada umatnya. Berikanlah rahmat kepadanya dan kepada segala saudaranya
dari nabi-nabi dan orang-orang shalih, wahai yang amat penyayang dari segala
yang penyayang”. Engkau bacakan ini, 7 kali. Ada
yang mengatakan bahwa siapa yang membacanya pada 7 Jum’at dan pada tiap-tiap
Jum’at 7 kali, niscaya wajiblah baginya syafa’at Nabi saw.
Dan kalau bermaksud menambahkan lagi, maka
bacakan selawat yang berasal dari atsar, yang artinya sebagai berikut: “Ya Allah, ya Tuhanku! Jadikanlah segala rahmatMU yang
utama, berkatMU yang bertambah-tambah, kesucianMU yang mulia, kasih sayangMU,
rahmatMU dan ucapan selamatMU kepada Muhammad, penghulu segala rasul, imam
segala orang yang bertaqwa, kesudahan segala nabi dan rasul Tuhan seru sekalian
alam, panglima kebajikan, pembuka kebaikan, nabi rahmat dan penghulu ummat! Ya
Allah, ya Tuhanku! Berikanlah kepadanya tempat terpuji yang bertambah dekat
kehampirannya dengan tempat itu, dan Engkau tetapkan matanya, yang digemari
oleh orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian! Ya Allah, ya Tuhanku!
Berikanlah kepadanya kelebihan dan keutamaan, kemuliaan, jalan, derajat tinggi
dan tempat agung mulia! Ya Allah, ya Tuhanku! Berikanlah kepada Muhammad
permintaannya, sampaikanlah cita-citanya, jadikanlah dia yang pertama memberi
syafa’at dan yang pertama yang diterima syafa’atnya! Ya Allah, ya Tuhanku!
Agungkanlah dalil kebenarannya, beratkanlah timbangannya, tegaskanlah alasannya
dan tinggikanlah derajatnya pada tempat tertinggi dari orang-orang muqarrabin!
Ya Allah, ya Tuhanku! Kumpulkanlah kami dalam rombongannya, jadikanlah kami
dari orang yang memperoleh syafa’atnya, hidupkanlah kami di atas sunnahnya,
matikanlah kami di atas agamanya, bawakanlah kami ke kolamnya dan anugerahilah
kami minuman dengan gelasnya, tiada merugi, menyesal, ragu-ragu,
bertukar-tukar, berbuat fitnah dan mendapat fitnah! Terimalah doa’ku, wahai
Tuhan seru sekalian alam!”. Kesimpulannya,
tiap-tiap yang dibacakan dari kata-kata selawat, walaupun kalimat yang terkenal
pada do’a tasyahhud, adalah ia telah berselawat kepada Nabi saw. Seyogyalah
ditambahkan kepada pembacaan selawat itu, istighfar. Itupun disunnatkan juga
pada hari Jum’at.
Keempat: membaca Al-Qur’an. Maka hendaklah
membanyakkan pembacaan itu dan hendaklah membacakan surat Al-Kahfi khususnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah ra: “Bahwa siapa membaca surat
Al-Kahfi pada malam Jum’at atau siangnya, niscaya dianugerahkan kepadanya nur,
dimana dibacanya sunnat itu, sampai ke Makkah dan diampunkan dosanya sampai
kepada hari Jum’at yang lain serta dilebihkan lagi tiga hari. Dan berdo’a
kepadanya 70 ribu malaikat, sampai kepada pagi hari. Dan disembuhkan dia
daripada penyakit biasa, penyakit dalam, sesak nafas, supak, kusta dan fitnah
dajjal”. Disunnatkan khatam (menamatkan) Al-Qur’an pada hari Jum’at dan
malamnya, kalau sanggup. Dan hendaklah penamatan Al-Qur’an itu, pada kedua
rak’aat shalat Shubuh, kalau dibacanya pada malam atau pada kedua rak’aat
Maghrib atau diantara adzan dan qamat bagi shalat Jum’at. Menamatkan pembacaan
Al-Qur’an itu, mempunyai kelebihan besar. Dan adalah orang-orang ‘abid (yang
banyak beribadah), menyunatkan pembacaan “Qul-huwallaahu ahad” 1000 X pada hari
Jum’at. Dan dikatakan, bahwa siapa yang membaca nya pada 10 raka’at atau 20,
maka itu adalah lebih utama daripada penamatan Al-Qur’an. Dan mereka berselawat
kepada Nabi saw 1000 X dan membaca “Subhaanallah, wal-hamdu lillaah wa laa
ilaaha illallaah wallaahu akbar” 1000 Xi. Kalau dibacakan 6 surat dari 7 surat
yang panjang di dalam Al-Qur’an, pada hari Jum’at atau pada malamnya, maka
adalah baik. Dan tiadalah diriwayatkan, bahwa Nabi saw ada membacakan beberapa
surat tertentu, selain pada hari Jum’at dan malamnya, dimana beliau membaca
pada shalat Maghrib dari malam Jum’at, surat “Qul yaa ayyuhal kafiruun” dan
“Qul huwallaahu ahad”’. Dan beliau membaca pada shalat ‘Isya, surat “Al-Jumuah”
dan “Al-Munafiquun”. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw membaca kedua surat tadi,
pada kedua raka’at Jum’at. Dan beliau membaca pada shalat Shubuh hari Jum’at,
surat “As-Sajadah” dan surat “Hal atau ‘alal-insaan”.
Kelima: shalat-shalat. Disunnatkan apabila
memasuki masjid jami’, tidak duduk sebelum bershalat empat raka’at, yang
dibacakan pada raka’at itu “Qul huwallaahu ahad” 200 kali, pada masing-masing
raka’atnya 50 kali. Dinukilkan daripada Rasulullah saw bahwa: “Siapa yang
berbuat demikian, niscaya ia tidak mati, sehingga dilihatnya tempatnya di dalam
sorga”. Atau diperlihatkan kepadanya. Dan tidak ditinggalkan dua raka’at shalat
tahiyyah masjid, meskipun imam berkhutbah. Tetapi hendaklah diringankan shalat
itu. Disuruh oleh Rasulullah saw dengan demikian. Dan pada suatu hadits gharib
(hadits yang tidak terkenal), tersebut: “Bahwa Nabi saw diam daripada
meneruskan khutbah, untuk orang yang masuk sampai ia menyelesaikan shalat dua
raka’at tahiyyah masjid”. Berkata ulama-ulama Kufah: “Kalau imam diam untuk
orang yang masuk itu, maka orang yang masuk itu mengerjakan shalat tahiyyah
masjid dua raka’at”. Disunnatkan pada hari Jum’at atau pada malamnya bershalat
empat raka’at, dengan empat surat, yaitu: surat Al-An’am, Al-Kahfi, Tho Ha dan
Ya-Sin, Kalau tidak dihafalnya surat-surat tersebut, maka dibaca: surat Ya-sin,
surat As-sajadah, surat Ad-Dukhan dan surat Al-Mulk. Dan tidak ditinggalkan
membaca surat-surat yang empat ini pada malam Jum’at, karena padanya banyak
kelebihan. Dan orang yang tidak menghafal Al-Qur’an, maka dibaca apa yang
dihafalnya. Bacaan itu, adalah berkedudukan pengkhataman Al-Qur’an baginya. Dan
diperbanyakkan membaca surat “Al-Ikhlash”. Dan disunnatkan mengerjakan shalat
tasbih, sebagaimana akan diterangkan caranya pada “Bab Amalan Sunat”, karena
Nabi saw mengatakan kepada pamannya Al-Abbas: “Kerjakanlah shalat tasbih itu,
pada tiap-tiap Jum’at”. Dan adalah Ibnu Abbas ra tidak meninggalkan shalat ini
pada hari Jum’at, sesudah tergelincir matahari. Dan ia menerangkan tentang
besar kelebihannya. Yang lebih baik, menggunakan waktu sampai kepada
tergelincir matahari, untuk shalat. Dan sesudah Jum’at sampai kepada waktu
‘Ashar, untuk mendengar ilmu pengetahuan. Dan sesudah ‘Ashar sampai kepada
waktu Maghrib, untuk bertasbih dan beristighfar.
Keenam: disunnatkan bersedekah pada hari Jum’at
khususnya, karena berganda-ganda pahalanya. Kecuali kepada orang yang
meminta-minta, sedang imam membaca khutbah dan ia berbicara pada waktu imam
sedang berkhutbah itu. Maka dimakruhkan bersedekah. Berkata saleh bin Muhammad:
“Seorang miskin meminta-minta pada hari Jum’at dan imam sedang membaca khutbah
dan orang yang meminta-minta itu menuju ke samping ayahku. Lalu seorang
laki-laki menyerahkan sepotong barang kepada ayahku, untuk diberikannya kepada
orang yang meminta-minta itu. Ayahku tiada mau mengambilnya”. Berkata Ibnu
Mas’ud: “Apabila seorang meminta-minta dalam masjid, maka jangan diberikan. Dan
apabila ia meminta-minta atas pembacaan Al-Qur’an, maka janganlah engkau
berikan!”. Sebahagian ulama berpendapat, makruh bersedekah atas permintaan
dalam masjid jami’, dimana mereka meminta-minta itu, melangkahi leher orang.
Kecuali ia meminta-minta dengan berdiri atau duduk pada tempatnya, tanpa
melangkahi leher orang. Berkata Ka’b Al-Ahbar: “Siapa yang menghadiri Jum’at,
kemudian pulang, lalu bersedekah dengan dua benda yang berlainan, kemudian
kembali lagi, lalu mengerjakan shalat dua raka’at, dengan menyempurnakan ruku’,
sujud dan khusyu’ pada kedua raka’at itu, kemudian ia membaca: “Ya Allah, ya
Tuhanku! Bahwasanya aku bermohon akan Engkau dengan nama Engkau, dengan nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan dengan nama Engkau, yang tiada
disembah selain Allah, yang hidup, yang berdiri sendiri, yang tidak didatangi
kelupaan dan ketiduran”, maka tidaklah orang itu, meminta sesuatu pada Allah
Ta’ala melainkan diberinya”. Dan berkata setengah salaf: “Siapa memberikan
makanan kepada orang miskin pada hari Jum’at, kemudian ia berpagi-pagi dan
bersegera dan tidak menyusahkan seseorang, kemudian membaca, ketika imam
memberi salam. “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang
hidup, lagi yang berdiri sendiri. Aku bermohon akan Engkau, kiranya mengampuni
akan aku, mengrahmati akan aku dan memeliharakan aku daripada neraka”. Kemudian
berdo’a dengan apa yang ada padanya, niscaya dimakbulkan do’anya.
Ketujuh: bahwa dijadikan hari Jum’at itu untuk
akhirat. Maka mencegah diri pada hari itu, daripada segala pekerjaan duniawi
dan memperbanyak kan bermacam-macam wirid. Dan tidaklah dimulai bermusafir
(berjalan jauh) pada hari Jum’at. Diriwayatkan: “Bahwa siapa yang bermusafir
pada malam Jum’at, niscaya berdo’a yang merugikan kepadanya oleh dua malaikat
nya”. Bermusafir setelah terbit fajar, adalah haram, kecuali ada keperluan
penting yang akan lenyap. Dimakruhkan oleh setengah salaf, membeli air dalam
masjid dari pembawa air minum, untuk diminumnya sendiri atau untuk disedekahkan
kepada orang. Sehingga tidak adalah barang yang diperjual-belikan dalam masjid.
Karena berjual-beli dalam masjid, adalah makruh hukumnya. Mereka mengatakan,
tidak mengapa kalau diberikan kepadanya sepotong barang di luar masjid.
Kemudian ia minum atau bersedekah barang itu dalam masjid. Kesimpulannya,
seyogyalah ditambahkan pada hari Jum’at dengan bermacam-macam wirid dan
kebajikan. Karena Allah Ta’ala apabila mengasihi seorang hamba, niscaya
dipakaikan ALLAH hambaNYA itu pada waktu yang baik dengan amal perbuatan yang
baik. Dan apabila membencinya, niscaya dipakaikan ALLAH pada waktu yang baik
dengan perbuatan yang jahat. Supaya adalah yang demikian itu lebih menyakitkan
pada cacian ALLAH dan lebih memberatkan pada kutukan ALLAH, karena diharamkan
ALLAH keberkatan waktu dan dibinasakan ALLAH kehormatan waktu. Disunnatkan pada
hari Jum’at bemacam-macam do’a dan akan datang penjelasannya pada “Kitab
do’a-do’a”, insya Allah Ta’ala!”. Dan rahmat Allah kepada tiap-tiap hamba ALLAH
yang pilihan!.
BAB
KEENAM: Tentang masalah-masalah yang berpisah-pisah, yang meratai bencananya
dan memerlukan murid mengenalinya. Adapun
masalah-masalah yang jarang terjadi, maka dapatlah kita menyelidikinya dalam
kitab-kitab fiqih.
Masalah:
Perbuatan yang sedikit, meskipun tidak
membatalkan shalat, maka adalah makruh, kecuali diperlukan. Umpamanya: menolak
orang lalu, membunuh kalajengking yang ditakuti dan mungkin membunuhnya dengan
sekali atau dua kali pukul. Apabila tiga kali, maka telah banyak dan batallah
shalat. Begitupula kutu dan kutu anjing, apabila menyakitkan badan, maka
bolehlah membuangnya. Dan demikian juga, hajatnya kepada menggaruk, yang
mengganggu kekhusyu’annya. Adalah Mu’az mengambil kutu dan kutu anjing dalam
shalatnya. Dan Ibnu Umar membunuh kutu dalam shalat, sehingga kelihatan darah
pada tangannya. Berkata An-Nakha’i: “Bahwa orang yang bershalat itu, mengambil
kutu dan membuangnya dan tiada mengapa kalau membunuhnya”.
Berkata Ibnul-Musayyab: “Bahwa orang yang
bershalat itu mengambil kutu dan menutupkannya, kemudian membuangkannya”. Dan
berkata Mujahid: “Bahwa yang lebih baik padaku ialah membiarkan kutu itu,
kecuali menyakitinya, sehingga mengganggunya dari shalat, maka disingkirkan
sekedar yang menyakitinya. Kemudian sesudah shalat baru dicampakkan”. Itu,
adalah suatu keringanan. Kalau tidak, maka yang sempurna, ialah menjaga dari
perbuatan, walaupun sedikit. Dari itu, adalah setengah mereka, tiada mengusir
lalat dan berkata: “Tidak aku biasakan diriku yang demikian, nanti merusakkan
shalatku. Aku mendengar bahwa orang-orang fasiq dihadapan raja-raja, sabar
menahan kesakitan yang keras dan tidak bergerak”. Kalau menguap, maka tiada
mengapa meletakkan tangan pada mulut. Yang begitu, adalah lebih utama. Dan
kalau bersin, maka memujikan Allah di dalam hati & tidak menggerakkan
lidah. Dan kalau bersendawa, maka seyogyalah tidak mengangkatkan kepala arah ke
langit. Dan kalau jatuh kain penutup badan, maka tidaklah wajar memperbaiki
pemakaiannya. Begitupula tepi serban. Semuanya itu makruh, kecuali kalau
diperlukan.
Masalah:
Bershalat dengan dua alas kaki, dibolehkan,
walaupun membukanya itu mudah. Dan tidaklah keringanan itu, pada muza (sepatu
pansus), karena sukar membuka nya. Bahkan najis itu, dima’afkan daripadanya.
Dan disamakan dengan najis yang ada pada sepatu pansus itu, najis yang ada pada
madas (semacam sandal). Nabi saw mengerjakan shalat dengan dua alas kakinya,
kemudian dibukanya. Lalu orang banyakpun membuka alas kaki mereka. Maka
bertanya Nabi saw: “Mengapakah kamu membuka alas kakimu?”. Mereka menjawab:
“Kami lihat engkau membuka, maka kamipun membuka”. Maka menyambung Nabi saw:
“Bahwa Jibril as datang kepadaku, menerangkan bahwa pada kedua alas kakiku ada
najis. Apabila bermaksud seorang kamu ke masjid, maka hendaklah membalikkan
kedua alas kakinya & memperhatikan pada keduanya. Kalau ia melihat najis,
maka hendaklah disapunya dengan tanah & bershalatlah dengan keduanya”.
Berkata setengah mereka: “Shalat dengan dua alas kaki itu, adalah lebih utama
(afdhal) (pent; sebaiknya memang sediakan sepatu khusus buat sholat saja dan
tdk dipakai buat berjalan), karena Nabi saw bersabda: “Mengapakah kamu membuka
alas kakimu?”. Ini adalah berlebih-lebihan, karena Nabi saw menanyakan mereka,
untuk menerangkan kepada mereka sebabnya Nabi saw membuka alas kakinya. Sebab
Nabi saw mengetahui, bahwa mereka membuka alas kakinya adalah menyesuaikan
perbuatannya dengan perbuatan Nabi saw diriwayatkan oleh Abdullah bin As-Saib,
bahwa: “Nabi saw membuka ke2 alas kakinya”. Jadi, Nabi saw telah berbuat dengan
membuka ke2 alas kakinya itu. Siapa yang membuka, maka tidaklah wajar
meletakkan ke2 alas kakinya itu, pada kanannya atau pada kirinya, lalu
menyempitkan tempat & memutuskan shaf. Tetapi hendaklah diletakkan
dihadapannya & tidak ditinggalkan di belakang, karena membawa hati menoleh
kepada alas kaki itu. Dan mungkin orang yang berpendapat bahwa bershalat dengan
keduanya lebih utama, adalah menjaga maksud itu, yaitu: berpalingnya hati
kepada kedua alas kaki tersebut.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Nabi
saw bersabda: “Apabila mengerjakan shalat seorang kamu, maka hendaklah
menjadikan ke2 alas kakinya diantara ke2 kakinya”. Berkata Abu Hurairah kepada
orang yang lain: “Letakkanlah keduanya diantara kedua kakimu! Janganlah engkau
menyusahkan orang muslim dengan kedua alas kaki itu! Dan Rasulullah saw
meletakkan keduanya di sebelah kirinya & beliau adalah imam shalat”. Jadi,
imam boleh berbuat demikian, karena tiada berdiri seorangpun pada kirinya. Yang
lebih utama, ialah ke2 alas kaki itu, tidak diletakkan diantara ke2 tapak kaki,
karena mengganggukannya, tetapi diletakkan di muka ke2 tapak kaki. Kiranya,
itulah yang dimaksud dengan hadits tadi. Berkata Jubair bin Muth-‘im:
“Meletakkan ke2 alas kaki, diantara kedua tapak, adalah bid’ah (yang
diada-adakan)”.
Masalah:
Apabila meludah dalam shalat, maka tidaklah
batal shalat, karena itu adalah perbuatan yang sedikit. Dan yang tidak
mendatangkan suara, maka tidaklah dinamakan berkata-kata & tidaklah
merupakan bentuk huruf dari kata-kata. Hanya meludah itu, adalah makruh. Dari
itu, seyogyalah dijaga daripadanya, kecuali seperti apa yang diizinkan oleh Nabi saw. Karena
diriwayatkan setengah shahabat: “Bahwa Rasulullah saw melihat dahak pada
qiblat, maka amat marahlah beliau. Lalu digosokkannya dengan gundar yang ada
pada tangannya & bersabda: “Bawalah kepadaku sedikit bau-bauan!”. Lalu
beliau letakkan kumkuma pada bekas dahak itu. Kemudian berpaling kepada kami
& bersabda: “Siapakah diantara kamu, yang suka meludah di mukanya?”. Maka
kami menjawab: “’Tiada seorangpun!”. Menyambung Nabi saw: “Sesungguhnya seorang
kamu, apabila masuk dalam shalat, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah
diantaranya & qiblat”. Dan pada riwayat yang lain: “Dia dihadapi oleh Allah
Ta’ala. Maka janganlah meludah seorang kamu, di depan mukanya & kanannya.
Tetapi di kirinya atau di bawah tapak kirinya. Kalau terburu-buru, maka
hendaklah meludah dalam kainnya & hendaklah mengatakan: “Beginilah!”. Dan
digosokkan sebahagian dengan sebahagian yang lain”.
Masalah:
Berdiri ma’mum itu, ada yang sunnat dan ada
yang fardlu. Yang sunnat, ialah: berdiri ma’mum yang seorang di kanan imam,
terkebelakang daripadanya sedikit. Dan ma’mum wanita yang seorang, berdiri di
belakang imam. Kalau ia berdiri disamping imam, maka tidaklah membawa melarat,
tetapi menyalahi sunnah. Kalau bersama ma’mum wanita, ada ma’mum laki-laki,
maka ma’mum laki-laki berdiri di kanan imam dan ma’mum wanita di belakang
ma’mum laki-laki tadi. Dan janganlah berdiri seorang sendirian di belakang
shaf, tetapi masuklah ke dalam shaf atau menarikkan seorang dari shaf
kepadanya. Kalau berdiri juga ia sendirian, maka shalatnya syah tetapi makruh.
Adapun fardlu, maka yaitu: menyambung shaf. Yakni diantara ma’mum dan imam, ada
ikatan yang menghimpunkan, karena keduanya, adalah dalam suatu jama’ah. Kalau
keduanya dalam masjid, maka mencukupilah yang demikian itu, menghimpunkan
keduanya. Karena masjid itu dibangun untuk yang demikian. Maka tidaklah
memerlukan kepada sambungan shaf, tetapi mencukupilah sampai ma’mum itu mengetahui
segala perbuatan imam. Abu Hurairah ra mengerjakan shalat pada bahagian atas
masjid dengan mengikuti shalat imam. Apabila ma’mum berada di halaman masjid
pada jalan besar atau pada lapangan luas milik perkongsian dan tak ada diantara
imam dan ma’mum bermacam-macam rumah yang memisahkan, maka memadailah
kedekatan, sekedar tembakan anak busur. Dan mencukupilah ikatan dengan yang
demikian, karena sampai perbuatan salah seorang daripada keduanya kepada yang
lain. Sesungguhnya, disyaratkan apabila ma’mum itu berdiri pada beranda rumah
di kanan masjid atau dikirinya dan pintunya menempel pada masjid, maka yang
disyaratkan, ialah: bahwa memanjang shaf masjid yang dalam lorongnya, tanpa
putus sampai kepada beranda rumah. Kemudian syahlah shalat orang yang dalam shaf
itu dan orang yang di belakangnya. Tidak syah orang dihadapannya. Begitulah
hukumnya, kalau dalam rumah yang berlain-lainan. Adapun satu rumah dan satu
lapangan, maka adalah seperti satu tanah lapang.
Masalah:
Masbuq (ma’mum yang terkemudian masuk ke
dalam shalat), apabila mendapati akhir shalat imam, maka itulah awal shalatnya.
Maka hendaklah ia menyesuaikan dengan shalat imam, kemudian ia meneruskan
shalatnya, ketika imam telah selesai dari shalat. Dan hendaklah ia berqunut
Shubuh pada akhir shalatnya sendiri, meskipun ia telah berqunut bersama imam.
Kalau masbuq itu mendapati bersama imam sebahagian berdiri, maka janganlah
membaca do’a iftitah. Dan hendaklah memulai dengan al-fatihah dan hendaklah
meringkaskannya. Kalau imam ruku’ sebelum sempurna al-fatihahnya dan sanggup ia
menghubungi imam pada i’tidalnya dari ruku’, maka hendaklah ia menyempurnakan
al-fatihah. Dan kalau tidak sanggup, maka ia menyesuaikan dengan shalat imam
dan terus ia ruku’. Dan al-fatihah yang dibacanya sebahagian itu, dihitung
cukup dan yang tidak dibacanya menjadi gugur, disebabkan ia orang masbuq. Kalau
imam ruku’ dan ia sedang membaca surat, maka hendaklah diputuskannya pembacaan
itu. Kalau ia mendapati imam dalam sujud atau tasyahhud, maka ia
bertakbiratul-ihram, kemudian terus duduk, tanpa takbir perpindahan (takbir
intiqalat). Lain halnya, kalau ia mendapati imam pada ruku’, maka ia bertakbir
intiqalat, sebagai takbir kedua sesudah takbiratul-ihram pada turunnya kepada
ruku’. Karena yang demikian itu, adalah kepindahan yang dihitung baginya.
Segala takbir intiqalat yang asli adalah dalam shalat, tidaklah karena hal-hal
yang mendatang, disebabkan mengikut imam. Dan ma’mum masbuq itu, tiada
memperoleh raka’at, selama tidak berthuma’ninah dalam ruku’ sebagai orang yang
ruku’ dan imampun masih dalam keadaan orang yang ruku’. Kalau ia belum
menyempurnakan thuma’ninahnya, kecuali sesudah imam keluar dari batas orang
yang ruku’, maka dalam keadaan demikian ma’mum masbuq tadi, tidak mendapat raka’at
itu.
Masalah:
Siapa yang luput shalat Dhuhur sampai waktu
‘Ashar, maka hendaklah ia mengerjakan shalat dhuhur dahulu, kemudian baru
mengerjakan ‘Ashar. Kalau ia memulai dengan ‘Ashar, memadai juga, tetapi telah
meninggalkan yang lebih utama dan menjerumuskan diri ke dalam persoalan yang
diperselisihkan. Kalau ia mendapati imam, maka hendaklah mengerjakan shalat
‘Ashar, kemudian barulah ia mengerjakan shalat Dhuhur sesudahnya. Karena
berjama’ah dengan shalat ada’ (shalat
dalam waktunya), adalah lebih utama. Kalau ia bershalat sendirian pada awal
waktu, kemudian ia mendapati shalat jama’ah, maka bershalatlah lagi dalam
jama’ah dan meniatkan shalat waktu itu. Allah Ta’ala akan menghitung mana yang
dikehendaki ALLAH. Kalau ia meniatkan shalat yang tertinggal (shalat qodo’) atau
meniatkan shalat sunnat, maka bolehlah yang demikian. Kalau ia telah bershalat
jama’ah, kemudian memperoleh lagi jama’ah lain, maka hendaklah ia meniatkan
shalat yang tertinggal (shalat qodo’) atau shalat sunnat. Karena mengulangi
shalat yang sudah dilaksanakan dengan jama’ah, sekali lagi, tak ada alasan
baginya. Cara berbuat demikian, adalah untuk memperoleh keutamaan berjama’ah
semata-mata.
Masalah:
Siapa yang telah shalat, kemudian melihat
pada kainnya najis, maka yang lebih disukai ialah mengerjakan shalat itu
kembali, dan tidak wajib. Kalau ia melihat najis itu sedang shalat, maka
hendaklah dilemparkannya kain itu dan diteruskannya shalat. Dan yang lebih
disukai, ialah mengulangi shalat itu kembali. Pokok pemahaman ini, ialah
ceritera penanggalan dua alas kaki Nabi saw, ketika diterangkan oleh Jibril as
kepadanya, bahwa pada kedua alas kakinya itu ada najis. Nabi saw tidak
mengulangi shalatnya.
Masalah:
Siapa yang meninggalkan tasyahhud pertama
atau qunut atau selawat kepada Nabi saw pada tasyahhud (duduk diantara 2
sujud) pertama atau berbuat suatu
perbuatan karena lupa dan kalau disengaja, shalat menjadi batal, atau ia ragu,
lalu tidak diketahuinya, apakah ia telah shalat tiga raka’at atau empat
raka’at, maka dalam hal ini, diambil yang yakin dan sujud dua sujud sahwi
(sujud karena kelupaan), sebelum salam.
Kalau lupa, lalu sesudah salam, manakala ia teringat dalam waktu berdekatan.
Maka jikalau ia sujud sahwi sesudah salam dan sesudah berhadats, maka batallah
shalatnya. Karena tatkala ia masuk ke dalam sujud, adalah seolah-olah ia
menjadikan salamnya itu terlupa, tidak pada tempatnya. Maka tidaklah berhasil
selesai (menjadi halal apa yang dilarang dengan shalat) dengan salam itu. Dan
ia telah kembali kepada shalat. Dari itulah, diulangi salam sesudah sujud
sahwi. Kalau ia teringat kepada sujud sahwi setelah keluar dari masjid atau
setelah lama masanya, maka luputlah waktu untuk sujud sahwi itu.
Masalah:
Was-was (bimbang hati) pada niat shalat,
adalah disebabkan oleh kelemahan pikiran atau kebodohan tentang agama. Karena
menuruti perintah Allah Ta’ala, adalah seperti menuruti perintah selain ALLAH.
Dan mengagungkan ALLAH adalah seperti mengagungkan selain ALLAH, tentang kasad
di hati. Siapa yang datang kepadanya seorang ulama, lalu ia berdiri
menghormatinya, maka kalau ia mengatakan: “Aku meniatkan berdiri, untuk
menghormati kedatangan pak Zaid yang mulia, karena kemuliaannya, menyambut
kedatangannya, dengan menghadapkan wajahku kepadanya”, maka perkataan itu,
menunjukkan kepada kebodohan. Tetapi sebegitu melihatnya dan mengetahui
kelebihannya, terus timbul pendorong untuk menghormatinya. Lalu pendorong itu
membawa ia berdiri dan memuliakannya. Kecuali ia berdiri karena urusan lain
atau dalam kealpaan.
Pensyaratan adanya shalat itu Dhuhur,
dalam waktu dan fardlu, dalam keadaannya, menuruti perintah Allah, adalah
seperti pensyaratan adanya berdiri yang disertai dengan masuk, serta
menghadapkan muka kepada orang yang masuk itu dan tanpa penggerak lainnya,
selain yang tersebut dan maksud penghormatan dengan demikian, adalah supaya
menjadi penghormatan. Karena kalau ia berdiri membelakangi orang yang mau
dihormati atau ia bersabar dahulu, kemudian sesudah sejenak, baru ia bangun
berdiri, maka tidaklah itu penghormatan namanya. Kemudian, sifat-sifat
tersebut, harus ada, harus dimaklumi dan dimaksudkan. Kemudian tidak lama
datangnya pada hati dalam satu detik. Yang lama, hanyalah menyusun kata-kata
yang menunjukkan kepada sifat-sifat itu. Adakalanya diucapkan dengan lisan dan
adakalanya dipikirkan dengan hati. Siapa yang tidak memahami niat shalat secara
ini, adalah seolah-olah ia tiada memahami niat. Sehingga tiada padanya selain
daripada anda dipanggil supaya mengerjakan shalat pada suatu waktu, lalu anda
terima panggilan itu dan anda tegak berdiri.
Was-was itu, adalah semata-mata kebodohan.
Segala maksud dan pengetahuan itu, berkumpul dalam hati pada suatu keadaan. Dan
tidaklah berpisah-pisah satu dengan lainnya di dalam hati, dari segi dilihat
dan diperhatikan semuanya itu oleh hati. Berbeda antara kehadiran sesuatu dalam
hati dan perinciannya dengan pemikiran. Kehadiran adalah berlawanan dengan kegoiban
dan kealpaan, meskipun tidak diperincikan. Siapa yang mengetahui suatu
kejadian, umpamanya, maka ia mengetahuinya dengan suatu pengetahuan dalam suatu
keadaan. Pengetahuan itu mengandung beberapa pengetahuan yang mendatang,
walaupun tiada diperincikan. Siapa yang mengetahui suatu kejadian, sesungguhnya
ia telah mengetahui: yang ada (maujud), yang tiada (ma’dum), yang dahulu, yang
kemudian dan waktu. Dan yang dahulu itu, adalah untuk tiada dan kemudian itu,
adalah untuk ada. Segala pengetahuan tadi, tersimpul di bawah pengetahuan
dengan suatu kejadian itu, dengan dalil bahwa orang itu mengetahui kejadian
itu, apabila ia tiada mengetahui yang lain. Kalau umpamanya ditanyakan
kepadanya: “Adakah anda mengetahui yang dahulu saja atau yang kemudian atau
tiada atau terdahulu tiada atau terkemudian ada atau waktu yang terbagi kepada
yang dahulu dan yang terkemudian?”, lalu
ia menjawab: “Aku tiada mengetahuinya sekali-kali”, maka adalah dia itu
pembohong. Dan perkataannya itu bertentangan dengan perkataannya: “Aku
mengetahui kejadian itu”. Dari kebodohan dengan pengertian yang halus ini,
melonjaklah ke-waswas-an itu. Orang yang waswas itu, memberatkan dirinya untuk
menghadirkan ke dalam hatinya, pengertian ke Dhuhuran, dalam waktu (adaa’) dan
wajib/fardlu, dalam suatu keadaan yang terperinci dengan kata-kata yang dibacanya.
Yang demikian itu, adalah mustahil! Kalau ia memberatkan dirinya yang demikian,
mengenai bangunnya untuk menghormati seorang ahli ilmu, niscaya amat sukarlah
baginya. Dengan pengetahuan tersebut, tertolaklah waswas itu. Yaitu, ia
mengetahui bahwa menuruti perintah Allah Ta’ala dalam niat, adalah seperti
menuruti perintah selain ALLAH.
Kemudian, aku
tambahkan untuk lebih memudahkan dan menjelaskan, bahwa kalau orang yang waswas
itu tidak memahami niat, kecuali dengan menghadirkan segala keadaan itu dengan
terperinci dan tidak tergambar dalam hatinya dengan sekaligus, mengikuti
perintah Allah dan ia menghadirkaan secara keseluruhan yang demikian itu, waktu
sedang bertakbir, dari permulaannya sampai kepada penghabisannya, dimana ia
tiada selesai daripada takbir itu, melainkan telah berhasillah niat tadi,
niscaya memadailah yang demikian. Kita tidak memberatkan orang yang waswas itu,
bahwa menyertakan semua tadi, dengan awal takbir atau dengan akhir takbir.
Karena yang demikian adalah amat memberatkan. Dan kalau itu disuruh, tentu
telah menimbulkan pertanyaan bagi orang-orang dahulu. Dan tentulah mendatangkan
waswas bagi seseorang daripada shahabat tentang niat. Maka tidak terjadinya
yang demikian itu, adalah menjadi dalil bahwa hal itu dipermudahkan (tidak
dipersulitkan). Maka bagaimanakah niat itu menjadi mudah bagi orang waswas,
selayaknyalah dicukupkan dengan itu. Sehingga ia terbiasa yang demikian dan ia
terpisah daripada sifat waswas. Dan tidak memaksakan dirinya dengan meyakinkan
yang demikian itu. Karena untuk meyakinkan itu, menambahkan kewaswasan. Telah
kami sebutkan dalam “Al-Fatawa”, cara-cara yang meyakinkan, untuk mendatangkan
keyakinan bagi segala pengetahuan dan maksud-maksud yang berhubungan dengan
niat, di mana para ulama memerlukan untuk mengetahuinya. Adapun orang awwam,
mungkin membawa kemelaratan mendengarnya dan membangkitkan was-was kepada
mereka. Dari itu, kami tinggalkan menerangkannya!.
Masalah:
Seyogyalah ma’mum tidak mendahului imam
pada ruku’, sujud, pada bangkit daripada keduanya dan pada perbuatan-perbuatan
yang lain. Dan tidak seyogyalah ma’mum menyamai imam, tetapi hendaklah ia
mengikuti imam dan menuruti di belakangnya. Inilah, arti mengikuti imam. Kalau
ma’mum itu menyamai imam dengan sengaja, tidaklah batal shalatnya, sebagaimana
kalau ma’mum itu berdiri di samping imam, tidak terbelakang daripada iman.
Kalau ma’mum itu mendahului imam, maka mengenai batal shalatnya terdapat
perbedaan paham diantara para ulama. Dan tidaklah jauh daripada kebenaran,
kalau dihukum dengan batalnya. Karena diserupakan dengan: kalau ma’mum itu,
lebih ke muka tempat berdirinya daripada
imam. Bahkan ini lebih utama lagi, karena berjama’ah ialah mengikuti imam pada
perbuatan, bukan pada tempat berdiri. Maka mengikuti pada perbuatan itu, adalah
lebih penting!. Disyaratkan, tidak ke muka pada tempat berdiri, adalah untuk
memudahkan bagi ma’mum mengikuti perbuatan imam dan untuk memperoleh bentuk
mengikuti itu. Karena selayaknyalah bagi yang diikut, mendahului daripada yang
mengikut. Tak adalah cara bagi ma’mum mendahului perbuatan imam, kecuali ia
terlupa. Karena itulah Rasulullah saw sangat menantangnya, dengan sabdanya:
“Apakah tidak takut orang yang mengangkatkan kepalanya sebelum imam, bahwa
diputar oleh Allah kepalanya itu, menjadi kepala keledai?”. Adapun terkemudian
daripada imam dengan satu rukun, tidaklah membatalkan shalat. Yang demikian
itu, umpamanya: imam i’tidal dari ruku’, sedang ma’mum belum lagi ruku’. Tetapi
terkemudian sampai batas ini adalah makruh. Kalau imam telah meletakkan dahinya
ke lantai, sedang ma’mum belum lagi sampai kepada batas ruku’, niscaya batallah
shalat ma’mum itu. Begitu pula kalau imam telah meletakkan dahinya untuk sujud
kedua, sedang ma’mum belum lagi sujud pertama.
Masalah:
Berhaklah orang yang menghadiri shalat,
apabila melihat orang lain berbuat salah pada shalatnya, menegur dengan
memperbaiki dan menantang. Kalau kesalahan itu timbul pada orang bodoh, maka
hendaklah orang bodoh itu dikawani dan diajari. Diantara yang tersebut itu,
ialah menyuruh menyamakan shaf, melarang sendirian berdiri di luar shaf dan
menegur orang yang mengangkatkan kepalanya sebelum imam dan lain-lain
sebagainya.
Bersabda Nabi saw: “Neraka wailun bagi orang
berilmu, daripada orang bodoh, yang tidak diajarinya”. Berkata Ibnu Mas’ud ra:
“Siapa yang melihat orang berbuat salah dalam shalatnya dan tidak ditegurnya,
maka dia adalah sekutu orang itu dalam kedosaan”. Dari Bilal bin Sa’ad, bahwa
ia berkata: “Kesalahan apabila disembunyikan, maka tidak mendatangkan melarat,
kecuali atas orang yang berbuat kesalahan itu. Apabila kesalahan itu telah
lahir dan tidak diadakan perobahan, maka adalah memberi melarat kepada orang
awwam”. Pada hadits tersebut: “Bahwa Bilal meratakan shaf-shaf shalat dan
memukul ujung betis mereka dengan cambuk”.
Dari Umar ra, bahwa
ia berkata: periksalah saudara-saudaramu yang tidak hadir pada shalat! Apabila
kami dapati, mereka tidak menghadiri shalat, kalau mereka sakit, maka hendaklah
kamu kunjungi mereka. Dan kalau mereka sehat, maka hendakah kamu menentang mereka.
Menentang itu ialah, membantah tehadap orang yang meninggalkan jama’ah. Tidak
layaklah mempermudah-mudahkan shalat jama’ah. Orang-orang dahulu, bersangatan
benar padanya, sampai sebahagian mereka membawa jenazah kepada sebahagian orang yang meninggalkan
shalat jama’ah, sebagai pertanda bahwa orang matilah yang meninggal kan
jama’ah. Tidak orang yang hidup. Siapa yang masuk masjid, hendaklah menuju
kebahagian kanan shaf. Dari itulah, berdesak-desak manusia kejurusan itu pada
masa Rasulullah saw, sampai orang mengatakan kepada Nabi saw: Telah kosonglah
bahagian kiri shaf. Maka menjawab Nabi saw: “Siapa yang meramaikan bahagian
kiri masjid, adalah baginya 2 kali pahala”. Manakala dijumpai seorang budak
dalam shaf dan ia sendiri tidak memperoleh tempat, maka bolehlah ia
mengeluarkan budak itu ke shaf belakang dan ia masuk ke tempat tadi. Ini
maksudnya, kalau budak itu belum dewasa. Inilah yang kami maksudkan menyebutnya
mengenai masalah-masalah yang meratai bencananya! Dan akan datang hukum
beberapa shalat yang bercerai-berai dalam “Kitab
Wirid”. Insya Allah Ta’ala!.
BAB KETUJUH: Tentang shalat sunnat (Shalat
nawaafil).
Ketahuilah, bahwa selain dari shalat-shalat
fardlu, terbagi kepada 3 bahagian, yaitu: sunat, mustahab dan tathawwu’. Yang
kami maksudkan dengan sunnat, ialah yang dinukilkan daripada Rasulullah saw
bahwa beliau rajin mengerjakannya, seperti shalat sunat rawatib di belakang
shalat fardlu, shalat Dluha, witir, tahajjud dan lainnya, karena sunat,
adalah ibarat jalan yang selalu
ditempuh. Yang kami maksudkan dengan mustahab,
ialah yang datang hadits menerangkan keutamaannya dan tidak dinukilkan bahwa
Nabi saw rajin mengerjakannya. Seperti apa yang akan kami nukilkan tentang
shalat siang dan malam dalam seminggu dan seperti shalat ketika keluar dari
rumah dan masuk ke dalam rumah dan lain-lain sebagainya. Yang kami maksudkan
dengan tathawwu’, ialah yang lain dari
itu, yang tak datang pada atsar. Hanya hamba berbuat tathawwu’ (amalan sunat
dan bakti), karena ingin membisikkan
segala isi hati dengan Allah Ta’ala, dengan shalat yang diterangkan agama
keutamaannya secara mutlak. Seolah-olah ia berderma, karena tidak disunatkan
shalat itu secara khusus, tetapi disunatkan mengerjakan shalat secara mutlak.
Tathawwu’, adalah ibarat daripada berderma (ber-tabarru’!). Shalat yang tiga macam tadi dinamakan shalat
nawaafil, dari segi bahwa, kata-kata “an-nafl”, ialah: tambah. Karena
jumlahnya, menambahkan kepada shalat fardlu. Kata-kata: nafilah; sunat
(sunnah), mustahab dan tathawwu’ kami maksudkan memberikan, istilah kepadanya,
ialah untuk memperkenalkan maksud-maksud tersebut tadi dan tak ada salahnya
orang yang merobah istilah itu. Maka tak ada artinya perbedaan kata-kata,
setelah dipahami maksudnya. Masing-masing bahagian tadi, berlebih kurang
derajat kelebihannya, sepanjang yang datang dari hadits dan atsar, yang
menerangkan kelebihannya dan menurut tingkat kerajinan.
Nabi saw mengerjakannya dan menurut syahnya dan terkenalnya
hadits-hadits yang meriwayatkannya. Dari itu dikatakan: shalat sunat yang
dikerjakan dengan berjama’ah, adalah lebih utama dari shalat sunat yang dikerjakan
sendirian. Dan yang lebih utama dari shalat sunat yang dikerjakan dengan
berjama’ah, ialah: shalat hari raya, kemudian shalat gerhana bulan atau
matahari, kemudian shalat minta hujan (shalat istisqa’). Dan yang lebih utama
dari shalat yang dikerjakan sendirian, ialah: shalat witir, kemudian dua
raka’at fajar (sebelum shalat Shubuh), kemudian sunat-sunat rawatib sesudah
yang dua ini, menurut tingkat kelebih-kurangannya. Ketahuilah, bahwa shalat
nawaafil, mengingat kepada hubungannya, terbagi kepada: yang berhubungan kepada
sebab, seperti shalat gerhana dan shalat minta hujan dan yang berhubungan
dengan waktu. Dan yang berhubungan dengan waktu, terbagi kepada: yang
berulang-ulang dengan berulang-ulangnya siang dan malam atau dengan
berulang-ulangnya minggu atau dengan berulang-ulangnya tahun. Maka jumlahnya 4
bahagian:
BAHAGIAN PERTAMA:
Yang berulang-ulang
dengan berulang-ulangnya siang dan malam. Yaitu: 8, Lima, yaitu: shalat sunat
rawatib dari 5 shalat fardlu. Dan tiga, yang lain, yaitu: shalat Dluha, shalat
yang dikerjakan diantara Maghrib dan ‘Isya’ & Tahajjud.
Pertama: sunat rawatib Shubuh, yaitu dua raka’at. Bersabda Nabi Muhammad saw: “Dua raka’at
fajar adalah lebih baik daripada dunia dan isinya”. Masuk waktunya dengan
terbit fajar shadiq. Yaitu yang melayang tidak memanjang. Mengetahuinya dengan
memandangnya, adalah sukar pada mulanya. Kecuali orang yang mempelajari tempat
kedudukan bulan atau mengetahui persamaan terbitnya dengan bintang-bintang yang
kelihatan dengan mata. Lalu diambil dalil dengan bintang-bintang itu, atas terbitnya
fajar. Dapat dikenal fajar itu dengan bulan, pada dua malam dari tiap-tiap
bulan. Karena bulan terbit bersama fajar pada malam 26 dan terbit cahaya fajar
serta terbenam bulan pada malam 12 dari tiap-tiap bulan. Ini adalah menurut
kebiasaan dan terjadi padanya berlebih kurang pada sebahagian buruj. Untuk
menerangkannya memerlukan kepada waktu panjang. Mempelajari tempat kedudukan
(munazil) bulan, adalah termasuk yang penting bagi murid, sehingga ia
mengetahui batasan waktu pada malam hari dan Shubuh. Dan hilanglah waktu dua
raka’at fajar, dengan hilangnya waktu fardlu Shubuh. Yaitu terbitnya matahari.
Tetapi sunat mengerjakannya, adalah sebelum mengerjakan fardlu. Kalau masuk ke
masjid dan telah diqamatkan, bahwa hendaklah dikerjakan shalat fardlu, karena
sabda Nabi saw: “Apabila telah ditegakkan shalat (diqamatkan), maka tak ada
shalat selain dari fardlu”. Kemudian, apabila telah selesai dari shalat fardlu,
maka bangunlah mengerjakan dua raka’at fajar itu. Dan yang shahih (pendapat
yang lebih benar) keduanya masih di dalam waktunya (adaa’), selama dikerjakan
sebelum terbit matahari. Karena keduanya, mengikuti fardlu tentang waktunya.
Dan tertib diantara keduanya yaitu mendahulukan yang sunat dan mengemudiankan
yang fardlu, adalah sunat apabila tidak menjumpai shalat jama’ah. Apabila
menjumpai shalat jama’ah, maka terbaliklah tertib dan tinggallah dua raka’at
fajar itu masih di dalam waktu (dengan mengerjakannya sesudah berjama’ah itu). Disunatkan dua raka’at fajar dikerjakan di rumah
dengan diringankan. Kemudian masuk ke masjid dan mengerjakan dua raka’at
tahiyat masjid. Kemudian duduk dan tidak mengerjakan shalat, sampai kepada
mengerjakan shalat fardlu. Diantara waktu shalat Shubuh sampai terbit matahari,
disunatkan berdzikir, berfikir.
Kedua: sunat rawatib Dhuhur, yaitu 6 raka’at. Dua raka’at sesudah Dhuhur, dan dia juga
sunat muakkadah (sunat dikuatkan) dan 4 rakaa’at sebelumnya, yaitu sunat juga,
walaupun yang 4 raka’at ini, kurang derajatnya dari dua raka’at sesudah shalat
Dhuhur.
Diriwayatkan oleh
Abu Hurairah ra daripada Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang
mengerjakan shalat 4 raka’at sesudah tergelincir matahari, dengan membaguskan
bacaan, ruku’ dan sujudnya, niscaya bershalatlah sertanya 70.000 malaikat, yang
meminnta ampun kepadanya”. Adalah Nabi saw tidak meninggalkan shalat 4 raka’at
sesudah tergelincir matahari, yang dipanjangkannya, seraya bersabda: “Bahwa
segala pintu langit terbuka pada saat itu, maka aku menyukai bahwa diangkatkan
amalanku padanya”. Hadits ini diriwayatkan Abu Ayyub Al-Anshari dan dia sendiri
saja yang meriwayatkannya. Dan juga ditunjukkan kepada yang tersebut tadi, oleh
apa yang diriwayatkan Ummu Habibah - isteri Nabi saw- bahwa Nabi saw bersabda:
“Siapa yang mengerjakan shalat tiap-tiap hari 12
raka’at, di luar shalat fardlu, niscaya dibangun baginya sebuah
rumah dalam sorga, yaitu: 2 raka’at sebelum fajar, 4 raka’at sebelum Dhuhur dan
2 raka’at sesudahnya, 2 raka’at sebelum ‘Ashar dan 2 raka’at sesudah Maghrib”.
Berkata Ibnu Umar
ra: “Saya hafal dari Rasulullah saw, pada tiap-tiap hari 10 raka’at, lalu
disebutkannya apa yang disebutkan Ummu Habibah ra, kecuali 2 raka’at fajar.
Maka mengenai ini, berkata Ibnu Umar ra: “Itulah saat yang tidak dikerjakan
Rasulullah saw di muka saja. Tetapi diceriterakan kepada saya oleh saudara
perempuan saya Hafshah ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat 2 raka’at di
rumahnya, kemudian beliau keluar. Dan beliau bersabda dalam haditsnya: 2
raka’at sebelum Dhuhur dan 2 raka’at sesudah ‘Isya’. Maka jadilah 2 raka’at
sebelum Dhuhur lebih muakkadah dari 4 raka’at itu.
Dan masuk waktunya,
dengan tergelincir matahari. Tergelincir matahari (zawal), dapat dikenal dengan
bertambahnya bayang-bayang sesuatu yang ditegakkan, condong arah ke Timur,
karena bayang-bayang sesuatu ketika terbit matahari menuju arah ke Barat dengan
memanjang. Kian matahari meninggi, kian bayang-bayang itu berkurang panjangnya
dan beralih dari pihak Barat, sampai matahari itu meninggi ke puncaknya, yaitu
lingkaran setengah hari. Maka yang demikian itu penghabisan kurang nya
bayang-bayang. Apabila matahari sudah tergelincir dari penghabisan
ketinggiannya, lalu bayang-bayang kian bertambah. Tatkala bertambahnya
bayang-bayang tengah hari sudah kelihatan, maka masuklah waktu Dhuhur. Dan
diketahui dengan sebenarnya, bahwa Tergelincir matahari pada ilmu Allah Ta’ala
telah terjadi sebelumnya. Tetapi kewajiban hukum tidaklah terikat selain dengan
yang tampak pada pancaindra. Kadar sisa dari bayang-bayang tengah hari, yang
akan bertambah itu, adalah panjang pada musim dingin dan pendek pada musim
panas. Dan sepanjang-panjangnya, ialah sampainya matahari pada awal lingkaran
bintang al-jad-yi (anak kambing) dan
sependek-pendeknya, ialah sampainya matahari pada awal lingkaran bintang assarthan (ketam/kepiting). Dan ini
dapat diketahui dengan tapak kaki dan timbangan. Jalan yang dekat untuk
membuktikan nya bagi orang yang mau menjaganya baik-baik, ialah memperhatikan
kutub Utara di malam hari dan meletakkan papan 4 persegi dengan meratakan di
atas tanah, dimana salah satu pinggirnya dari pihak kutub, sehingga kalau
diumpamakan jatuh sebutir batu dari kutub ke bumi, kemudian diumpamakan suatu
garis dari tempat jatuh batu itu ke pinggir seterusnya dari papan, niscaya
tegaklah suatu garis atas pinggir itu, diatas dua sudut yang lurus. Artinya:
garis itu tiada miring ke salah satu dari dua pinggir tadi. Kemudian,
ditegakkan suatu tiang ke atas papan dengan lurus, pada tempat yang bertanda X,
yaitu: yang setentang dengan kutub. Maka terjadilah bayang-bayang di atas papan
pada awal siang, miring ke arah barat, jurusan garis A. Kemudian bayang-bayang
itu terus miring, sampai melimpit ke atas garis B, dimana kalau ujung dari
tiang itu dipegang, maka sampailah ia lurus ke tempat jatuh batu itu. Dan
setentang dengan pinggir bahagian Timur dan bahagian Barat, tanpa miring kepada
salah satu daripada keduanya. Apabila tiada miring lagi ke pihak Barat, maka
adalah matahari pada keadaan yang tertinggi sekali. Dan apabila bayang-bayang
miring dari garis yang diatas papan itu ke arah Timur, maka nyatalah telah
gelincir matahari. Dan ini dapat diketahui kebenarannya dengan pancaindra, pada
waktu yang dekat dari permulaan gelincir pada ilmu Allah Ta’ala. kemudian
diketahui atas ujung bayang-bayang ketika berpalingnya dari tanda. Apabila
bayang-bayang dari tanda itu telah menjadi sepanjang tiang, maka masuklah waktu
‘Ashar. Sekedar ini, tak mengapalah mengetahuinya mengenai pengetahuan tentang
bayang-bayang. Inilah gambarnya!.
Ketiga: sunat rawatib “Ashar, yaitu 4 raka’at sebelum ‘Ashar. Diriwayatkan Abu Hurairah ra
daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Dirahmati Allah akan hamba yang
mengerjakan shalat 4 raka’at sebelum ‘Ashar”. Mengerjakan yang demikian, dengan
mengharap agar termasuk dalam do’a Nabi saw, adalah disunatkan sebagai sunat
muakkadah (sunat dikuatkan). Dan do’a Nabi saw, -tidak meragukan lagi- adalah
diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kerajinan Nabi saw mengerjakan sunat
sebelum ‘Ashar, tidaklah seperti kerajinannya mengerjakan 2 raka’at sebelum
Dhuhur.
Keempat: sunat rawatib Maghrib, yaitu 2 raka’at sesudah fardlu Maghrib, yang tak ada
perselisihan riwayat tentang 2 raka’at itu. Mengenai 2 raka’at sebelum fardlu
Maghrib, antara adzan dan qamat, secara cepat saja, maka telah dinukilkan dari
segolongan shahabat seperti Ubai bin Ka’b, Ubaddah bin Ash-Shamit, Abi Dzar,
Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Berkata Ubaddah atau orang lain: “Adalah muadzin
apabila telah mengerjakan adzan untuk shalat Maghrib, lalu bersegeralah para
shahabat Rasulullah saw ke dekat tiang, untuk mengerjakan 2 raka’at shalat”.
Berkata setengah mereka: “Adalah kami mengerjakan 2 raka’at shalat sebelum
Maghrib, sehingga masuklah orang yang masuk ke dalam masjid, lalu
menyangka kami telah mengerjakan shalat.
Lalu orang yang masuk itu bertanya: “Sudahkah tuan-tuan mengerjakan shalat
fardlu Maghrib?”. Hal itu termasuk dalam umumnya sabda Nabi saw: ”Diantara
tiap-tiap dua adzan, ada shalat bagi siapa yang mau mengerjakannya”. Imam Ahmad
bin Hanbal mengerjakan shalat 2 raka’at itu, lalu beliau dilecehkan oleh orang
banyak, maka beliau tinggalkan. Beliau ditanyakan tentang itu, lalu menjawab:
“Aku tiada melihat orang banyak mengerjakannya, dari itu aku tinggalkan”.
Kemudian beliau menyambung: “Kalau seseorang mengerjakan kedua raka’at itu di
rumahnya atau di tempat yang tidak dilihat orang banyak, maka adalah baik”.
Waktu Maghrib itu masuk dengan terbenam matahari dari
pandangan mata, pada daerah yang rata tanahnya, yang tiada dikelilingi oleh
bukit-bukit. Kalau dikelilingi oleh bukit-bukit pada arah matahari terbenam,
maka terletaklah waktu Maghrib itu, kepada tampaknya kedatangan hitam di
sebelah Timur. Bersabda Nabi saw: “Apabila datanglah malam dari sini dan
pergilah siang dari sini, maka berbuka puasalah orang yang berpuasa”. Lebih
disunatkan, menyegerakan shalat Maghrib khususnya. Kalau dilambatkan dan
dikerjakan sebelum terbenam syafaq-merah,
maka Maghrib itu jatuh dalam waktunya, akan tetapi makruh. Pada suatu malam,
Umar ra terlambat mengerjakan Maghrib, sampai terbit sebuah bintang, lalu
beliau memerdekakan seorang budak. Dan Ibnu Umar terlambat mengerjakan Maghrib,
sampai terbit dua bintang, lalu ia memerdekakan dua orang budak.
Kelima: sunat rawatib ‘Isya’, 4 raka’at sesudah shalat fardlu ‘Isya’. Berkata ‘Aisyah:
“Adalah Rasulullah saw mengerjakan shalat 4 raka’at sesudah ‘Isya’, kemudian ia
tidur”. Dipilih oleh setengah ulama dari kumpulan hadits-hadits, bahwa bilangan
shalat rawatib, ialah 17 raka’at, seperti
bilangan raka’at shalat fardlu. Yaitu: 2 raka’at sebelum Shubuh, 4 raka’at
sebelum Dhuhur dan 2 rak’at sesudahnya, 4 raka’at sebelum ‘Ashar, 2 raka’at
sesudah Maghrib dan 3 raka’at sesudah ‘Isya’. Yaitu shalat Witir. Manakala
telah dikenal hadits-haddits yang menerangkan apa yang tersebut tadi, maka tak
adalah artinya untuk diterkakan. Nabi saw telah bersabda: “Shalat adalah
sebaik-baik tempat. Siapa yang mau, perbanyakkanlah dan siapa yang mau,
sedikitkanlah!”. Jadi, pilihan tiap-tiap murid, dari shalat-shalat ini adalah
menurut kegemarannya pada kebajikan. Dan telah terang pada apa yang telah kami
sebutkan, bahwa setengahnya adalah lebih kuat sunatnya daripada yang lain.
Meninggalkan yang lebih dikuatkan itu adalah lebih jauh daripada kebaikan.
Apalagi, yang fardlu itu disempurnakan dengan yang sunat. Siapa yang tidak
memperbanyakkan sunat, mungkin fardlunya itu tidak selamat, tanpa ada yang
menempelkan dari kekurangan.
Keenam: Sunat Witir. Berkata Anas bin Malik: “Adalah Rasulullah saw mengerjakan
shalat witir sesudah ‘Isya’ 3 raka’at. Beliau baca pada raka’at pertama
“Sabbihisma rabbikal-a’laa”, pada raka’at kedua “Qul yaa ayyuhal kaafiruun”,
dan pada raka’at ketiga “Qul huwallaahu ahad”. Tersebut pada hadits bahwa Nabi
saw mengerjakan shalat 2 raka’at sesudah witir dengan duduk dan pada
sebahagiannya dengan duduk tarabbu’ (duduk dengan melipatkan kedua tapak kaki
ke bawah dua paha). Pada setengah hadits tersebut: “Apabila Nabi saw bermaksud
masuk ke tempat tidur, maka beliau merangkak kepadanya dan mengerjakan shalat
di atas tempat tidur itu 2 raka’at, sebelum tidur, dimana beliau membaca pada
kedua raka’at tadi “Idzaa zulzilatil-ardlu” dan surat “At-Takaatsur”. Pada
riwayat lain “Qul yaa ayyuhal kaafiruun”. Dibolehkan witir itu becerai dan
bersambung dengan sekali salam atau dua kali salam. Rasulullah saw mengerjakan
shalat witir dengan seraka’at, dengan tiga, lima dan begitulah seterusnya
dengan ganjil sampai kepada sebelas raka’at. Riwayat mengenai 13 raka’at
diragukan. Dan pada suatu hadits syadz (sangat tipis untuk dipercayai), 17
raka’at. Segala raka’at ini, yakni: apa yang telah kami sebutkan jumlahnya
ganjil, adalah shalat malam. Yaitu shalat Tahajjud. Shalat Tahajjud di malam
hari, adalah sunat yg dikuatkan. Dan akan datang penjelasan kelebihannya pada
“kitab wirid”. Dan tentang keutamaannya, terdapat khilaf, (perbedaan pendapat).
Ada yang mengatakan, bahwa berwirid dengan seraka’at saja, adalah lebih utama.
Karena syahlah hadits bahwa Nabi saw membiasakan berwitir dengan seraka’at. Ada
yang mengatakan, disambung adalah lebih utama, untuk menghindarkan dari khilaf
yang meragukan. Lebih-lebih bagi imam. Karena mungkin ia diikuti orang, yang
berpendapat, seraka’at itu bukan shalat. Kalau ia mengerjakan shalat dengan
disambung (disambung lebih dari seraka’at kepada tiga raka’at umpamanya), maka
semuanya itu diniatkan witir. Dan kalau disingkatkan seraka’at saja sesudah 2
raka’at sunat ‘Isya’ atau sesudah fardlu ‘Isya’, niscaya diniatkan witir dan
syah. Karena syarat witir ialah ganjil pada dirinya sendiri dan mengganjilkan
bagi shalat lain yang terdahulu sebelumnya. Dan itu telah mengganjilkan shalat
fardlu. Kalau dikerjakan witir sebelum shalat ‘Isya’, maka tidak syah. Artinya:
tidak memperoleh kelebihan witir, yang “lebih baik baginya, daripada unta
merah”, sebagaimana tersebut pada hadits. Kalau tidak demikian, maka seraka’at
tunggal, adalah syah untuk witir, pada sembarang waktu. Witir itu tidak syah
sebelum ‘Isya’, karena bertentangan dengan ijma’/sepakat semua orang tentang
pelaksanaan witir. Dan karena tidak didahului oleh suatu shalat yang membuatkan
dia menjadi ganjil raka’atnya (witir). Apabila bermaksud mengerjakan shalat
witir dengan 3 raka’at terpisah, maka mengenai niatnya pada dua raka’at, ada
penilikan. Yaitu kalau diniatkan dengan dua raka’at itu tahajjud atau sunat
‘Isya’, maka tidaklah itu menjadi witir. Kalau diniatkan witir, maka tidaklah
itu sendiri menjadi witir, tetapi yang menjadi witir, ialah yang sesudahnya.
Tetapi yang lebih kuat, bahwa diniatkan witir, sebagaimana diniatkan witir pada
3 raka’at yang bersambung. Tetapi witir itu, mempunyai dua pengertian. Pertama,
adalah dia itu witir pada dirinya sendiri. Dan kedua, bahwa ia ada, untuk
menjadikan witir dengan apa yang sesudahnya. Sehingga jumlah yang tiga itu
adalah witir (ganjil) dan dua raka’at itu adalah dalam jumlah yang tiga tadi.
Hanya kewitirannya itu, terletak atas raka’at yang tiga. Apabila bermaksud
membuat yang dua raka’at itu witir (ganjil) dengan raka’at yang ketiga, maka
hendaklah diniatkan yang dua raka’at itu witir dan raka’at ketiga adalah witir
dengan sendirinya dan mewitirkan pula lainnya. Sedang yang dua raka’at,
tidaklah mewitirkan yang lain dan tidaklah ia menjadi witir dengan sendirinya.
Tetapi kedua raka’at itu menjadi witir, disebabkan oleh yang lain.
Selayaknyalah witir itu menjadi penghabisan shalat malam, sehingga dia itu
dikerjakan sesudah shalat tahajjud. Dan akan diterangkan kelebihan witir dan
tahajud serta cara tertib diantara keduanya dalam Kitab Wirid nanti.
Ketujuh: shalat Dluha. Membiasakan shalat Dluha, adalah termasuk amal perbuatan
yang penting dan utama. Bilamana raka’at, yang terbanyak menurut riwayat yang
dinukilkan, adalah 8 raka’at. Diriwayatkan oleh Ummu Hani’ saudara perempuan
dari Saidina Ali bin Abi thalib ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 8
raka’at, di mana Nabi saw mengerjakannya dengan berlama-lama dan dengan
sebaik-baiknya. Dan tidaklah dinukilkan yang demikian lamanya itu pada shalat yang
lain. Dan ‘Aisyah menyebutkan, bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 4
raka’at dan menambahkannya sebanyak-banyaknya, sehingga tambahan itu tidak
terbatas. Artinya: adalah Nabi saw membiasakan 4 raka’at dan tidak kurang
daripadanya. Kadang-kadang ditambahkannya dengan beberapa tambahan. Dan
diriwayatkan pada hadits yang tunggal perawinya (hadits mufrad), bahwa Nabi saw
mengerjakan shalat Dluha 6 raka’at. Waktu shalat Dluha, menurut riwayat yang
diriwayatkan Ali ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 6 raka’at pada dua
waktu. Yaitu apabila telah terbit matahari dan sudah meninggi, lalu beliau
bangun dan bershalat dua raka’at. Yaitu: yang pertama bagi wirid kedua, dari
wirid-wirid siang, sebagaimana akan diterangkan. Dan apabila matahari telah
membentang dan berada pada seperempat langit dari sebelah Timur, lalu beliau
mengerjakan shalat 4 raka’at. Yang pertama tadi adalah ketika matahari telah
meninggi kira-kira setengah anak panah. Dan yang kedua, apabila telah berlalu
1/4 siang, sebanding dengan shalat ‘Ashar (waktu sorenya). Maka waktunya, bahwa
masih tinggal dari siang, kira-kira 1/4nya. Dan Dhuhur adalah pada pertengahan
hari dan Dluha adalah pada pertengahan diantara terbit matahari, sampai kepada
gelincirnya, sebagaimana ‘Ashar adalah pada pertengahan diantara gelincir
matahari, sampai kepada terbenamnya. Inilah waktu-waktu yang paling utama. Dan
dari waktu meninggi matahari, sampai kepada sebelum gelincirnya, adalah waktu
bagi shalat Dluha umumnya.
Kedelapan: menghidupkan shalat
diantara Maghrib dan ‘Isya’. Yaitu sunat yg dikuatkan. Diantara yang dinukilkan
bilangan raka’atnya daripada perbuatan Nabi saw diantara Maghrib dan ‘Isya’
itu, ialah 6 raka’at. Shalat ini mempunyai kelebihan besar. Dan ada yang
mengatakan bahwa shalat itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah ‘Azza wa
Jalla: “Mereka meninggalkan tempat tidurnya, menyeru Tuhannya”. S 32 As Sajdah
ayat 16. Diriwayatkan daripada Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Siapa yang
bershalat diantara Maghrib dan ‘Isya’, maka sesungguhnya shalat itu sebahagian
dari shalat orang-orang yang bertobat”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang
beri’tikaf antara Maghrib dan ‘Isya’, dalam masjid tempat berjama’ah, di mana
ia tidak berkata-kata, selain daripada bershalat atau membaca Al-Qur’an,
niscaya ia berhak pada Allah Ta’ala, untuk dibangun baginya 2 istana di dalam
sorga. Masing-masing istana itu sejauh perjalanan 100 tahun dan ditanamkan
baginya diantara kedua istana tadi tanam-tanaman. Kalau dikelilingi oleh
penduduk bumi, maka termuatlah mereka semuanya”. Dan akan datang penjelasan
segala kelebihan nya yang lain dalam Kitab Wirid nanti, Insya Allah Ta’ala!.
BAHAGIAN KEDUA:
Yang berulang-ulang
dengan berulang-ulangnya minggu. Yaitu shalat dalam segala siang dan malamnya
dari seminggu, bagi tiap-tiap hari dan tiap-tiap malam. Maka kami mulai dari
segala hari itu, dengan hari ahad.
Hari Ahad: Diriwayatkan Abu
Hurairah ra daripada Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Siapa yang mengerjakan
shalat pada hari Ahad 4 raka’at di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya “Al-Fatihah”
dan Aamanar-rasuul” 1X (S. Al Baqarah 284-286) , niscaya dituliskan oleh Allah
untuknya sebanyak bilangan orang Nasrani, prianya dan wanitanya, akan
kebajikan. Dan diberikan oleh Allah Ta’ala kepadanya pahala nabi dan dituliskan
baginya hajji dan ‘umrah. Dituliskan baginya tiap-tiap raka’at 1000 shalat. Dan
diberikan Allah kepadanya di dalam sorga, tiap-tiap huruf, satu kota dari
kesturi yang harum semerbak baunya”. Diriwayatkan daripada Ali bin Abi Thalib
ra bahwa Nabi saw bersabda: “Berkeesaanlah kepada Allah Ta’ala dengan
memperbanyakkan shalat pada hari Ahad. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
itu Esa, tiada sekutu bagi Allah. Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Ahad,
sesudah shalat Dhuhur, 4 raka’at setelah fardlu dan
sunat, dimana ia membaca pada raka’at pertama, surat Al-Fatihah dan
surat As-Sajadah dan pada raka’at kedua, surat Al-Fatihah dan surat Al-Mulk,
kemudian ia bertasyahhud dan memberi salam. Kemudian ia bangun, lalu bershalat
2 raka’at lagi, di mana ia membaca pada keduanya, surat Al-Fatihah dan surat
Al-Jumu’ah serta bermohon pada Allah Ta’ala akan hajatnya, niscaya ia berhak
atas Allah untuk disampaikan hajatnya”.
Hari Senin: Diriwayatkan oleh
Jabir daripada Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Siapa yang mengerjakan
shalat pada hari Senin ketika meninggi hari, 2 raka’at, di mana ia membaca pada
tiap-tiap raka’at, surat Al-Fatihah sekali, ayat Al-Kursy sekali, Qul huwallaahu
ahad, Qul a’uudzubirab-bil-falaq dan Qul a’uudzu birab-binnas sekali. Apabila
ia sudah memberi salam, lalu beristighfar (meminta ampunan dosa pada Allah
Ta’ala) 10 kali dan berselawat kepada Nabi saw 10 kali, niscaya diampunkan
Allah Ta’ala dosanya semuanya”. Diriwayatkan oleh Annas bin Malik daripada Nabi
saw bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Senin 12 raka’at, di mana ia membaca pada
tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy sekali. Setelah siap
daripada shalat itu, lalu membaca Qul huwallaahu ahad 12 kali dan beristighfar
12 kali, maka ia akan dipanggil pada hari Qiamat nanti: “Manakah si Anu anak si
Anu? Hendaklah bangun, untuk mengambil pahalanya daripada Allah Ta’ala! Maka
yang mula-mula daripada pahala yang diberikan, ialah 1000 helai pakaian dan ia
memakai mahkota, seraya dikatakan kepadanya: “Masuklah ke sorga!”. Maka ia
diterima oleh 100.000 malaikat, masing-masing malaikat membawa hadiah, yang
akan diserahkan kepadanya. Kemudian ia dibawa berkeliling 1000 mahligai
daripada nur yang gilang gemilang”.
Hari Selasa: Diriwayatkan oleh
Yazid Ar-Raqqasyi dari Anas bin Malik. Berkata Anas, bahwa Nabi saw bersabda:
“Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Selasa, 10
raka’at ketika menengah hari”, dan
pada hadits lain “ketika meninggi hari, di mana ia membaca pada tiap-tiap
raka’at surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy sekali dan Qul huwallaahu ahad 3
kali, maka tidak dituliskan kesalahannya sampai 70 hari lamanya. Kalau ia
meninggal dunia sampai hari ke-70 itu, niscaya ia mati syahid dan diampunkan
baginya dosa 70 tahun”.
Hari Rabu: Diriwayatkan oleh
Abu Idris Al-Khaulani dari Mu’adz bin Jabal ra, berkata Mu’adz, bahwa Nabi saw
bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Rabu
12 raka’at ketika meninggi hari, di
mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy
sekali dan Qul huwallaahu ahad 3 kali, Qul a’uudzu birab-bil-falaq 3 kali dan
Qul a’uudzu birab-binnaas 3 kali, niscaya diserukan oleh penyeru di sisi
‘Arasy: “Wahai hamba Allah! kerjakanlah kembali perbuatan itu! Sesungguhnya
telah diampunkan bagi engkau, yang telah terdahulu daripada dosa engkau.
Diangkatkan oleh Allah daripada engkau ‘azab kubur, kesempitan dan
kegelapannya, diangkatkan oleh Allah daripada engkau kesengsaraan hari Qiamat”.
Dan diangkatkan oleh Allah untuknya dari harinya itu amal perbuatan nabi”.
Hari Kamis: Dari ‘Akramah, dari
Ibnu Abbas, berkata Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan
shalat pada hari Kamis, antara Dhuhur dan ‘Ashar 2
raka’at, di mana ia membaca pada raka’at pertama surat Al-Fatihah
dan ayat Al-Kursy 100 kali dan pada raka’at kedua surat Al-Fatihah dan Qul
huwallaahu ahad 100 kali dan berselawat kepada Muhammad 100 kali, niscaya ia
diberikan oleh Allah pahala orang yang berpuasa bulan Rajab, Sya’ban dan
Ramadlan dan baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakan hajji ke
Baitullah dan dituliskan baginya kebaikan, sebanyak bilangan semua orang yang
beriman kepada Allah dan bertawakkal kepada Allah”.
Hari Jum’at: Diriwayatkan dari
Ali bin Abi Thalib ra, daripada Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Hari Jum’at,
adalah shalat seluruhnya. Tidaklah seorang hamba yang mu’min, yang bangun
berdiri, ketika matahari telah terbit dan meninggi segalah/setiang atau lebih,
lalu ia berwudlu dan menyempurnakan wudlunya, kemudian mengerjakan sunat Dluha
2 raka’at, karena beriman dan karena Allah semata-mata, melainkan dituliskan
Allah baginya 200 kebaikan dan dihapuskan daripadanya 100 kejahatan. Siapa
mengerjakan shalat 4 raka’at, niscaya diangkatkaan Allah baginya di dalam sorga
400 tingkat. Siapa mengerjakan 8 raka’at, niscaya diangkatkan Allah baginya di
dalam sorga 800 tingkat dan diampunkan dosanya seluruhnya. Dan siapa
mengerjakan shalat 12 raka’at, niscaya dituliskan Allah baginya 2200 kebaikan
dan dihapuskan daripadanya 2200 kejahatan dan diangkatkan Allah baginya di
dalam sorga 2200 tingkat”. Dari Nafi’, dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw bahwa
beliau bersabda: “Siapa masuk masjid jami’ (masjid tempat bershalat Jum’at)
pada hari Jum’at, lalu mengerjakan shalat 4 raka’at
sebelum shalat Jum’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at
surat Al-Fatihah sekali dan Qul huwallaahu ahad 50 kali, niscaya ia tidak mati
sehingga ia melihat tempatnya dari sorga
atau diperlihatkan kepadanya”.
Hari Sabtu: Diriwayatkan Abu
Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada hari Sabtu 4 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap
raka’at surat Al-Fatihah sekali dan Qul huwallaahu ahad 3 kali, kemudian
tatkala telah selesai daripada shalat, ia membaca ayat Kursy, niscaya
dituliskan Allah baginya dengan tiap-tiap satu huruf, akan pahala hajji dan
‘umrah dan diangkatkan Allah baginya dengan tiap-tiap satu huruf, akan pahala
puasa setahun siangnya dan pahala ibadah shalat setahun malamnya. Dan diberikan
Allah kepadanya dengan tiap-tiap satu huruf akan pahala orang syahid dan adalah
ia di bawah naungan ‘Arasy Allah, bersama para nabi dan orang-orang syahid”.
Adapun malam: malam Ahad, diriwayatkan Anas bin Malik, mengenai malam Ahad itu, bahwa
Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Ahad 20 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat
Al-Fatihah sekali, Qul huwallaahu ahad 50 kali, Qul a’uudzu birab-bil-falaq
sekali dan Qul a’uudzu birab-binnaas sekali, bermohon ampunan Allah ‘Azza wa
Jalla 100 kali (membaca: Astaghfirullah), mengucapkan istighfar untuk dirinya
sendiri dan untuk ibu bapaknya 100 kali, berselawat kepada Nabi saw 100 kali,
melepaskan diri dari daya dan upayanya dan berpegang kepada Allah dengan
membaca: “Tiada daya dan upaya, selain dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Agung”. Kemudian membaca: “Niscaya baginya pahala sebanyak bilangan orang, yang
mendakwakan Allah mempunyai anak dan orang yang tidak mendakwakan Allah
mempunyai anak. Dan ia dibangkitkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada hari qiamat
bersama orang-orang yang memperoleh keamanan, serta ia berhak atas Allah
Ta’ala, masuk ke dalam sorga bersama nabi-nabi”.
Malam Senin: Diriwayatkan Al-A’masy dari Anas, berkata
Anas, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Senin 4 raka’at, di mana ia membaca pada raka’at
pertama Surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 11X, pada raka’at kedua
surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 20 X, pada raka’at ketiga surat
Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 30 X dan pada raka’at keempat surat
Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 40 X. Kemudian ia memberi salam dan
membaca Qul huwallaahu ahad 75 X dan mengucapkan istighfar (memohon ampunan
Allah) untuk dirinya dan kedua ibu bapaknya 75 X, kemudian ia meminta pada
Allah, disampaikan hajat pintanya, niscaya ia berhak atas Allah untuk
dikabulkan permintaannya, akan apa yang dimintanya”. Shalat tersebut, dinamakan
Shalat Hajat.
Malam Selasa: Siapa mengerjakan
shalat pada malam Selasa 2 raka’at, di mana
ia membaca pada tiap-tiap raka’at itu, surat Al-Fatihah 1X, Qul huwallaahu
ahad, Qul a’uudzu birab-bil-falaq dan Qul a’uudzu birab-binnaas, masing-masing
15X. Dan sesudah salam, ia membaca 15X ayat Al-Kursy dan membaca istighfar 15X,
niscaya adalah baginya pahala yang amat besar dan balasan yang amat banyak.
Diriwayatkan dari Umar ra dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Siapa
mengerjakan shalat pada malam Selasa 2 raka’at,
dimana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah 1X, innaa anzalnah dan
Qul huwallaahu ahad, masing-masing daripadanya 7X, niscaya ia dibebaskan oleh
Allah daripada api neraka dan adalah amal perbuatan itu pada hari qiamat
menjadi pemimpin dan penunjuk baginya ke sorga”.
Malam Rabu: Diriwayatkan
Fatimah ra daripada Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan
shalat pada malam Rabu 2 raka’at, di mana
ia membaca pada raka’at pertama surat Al-Fatihah 1X dan Qul a’uudzu
birab-bil-falaq 10 X dan pada raka’at kedua, sesudah Al-Fatihah, Qul a’uudzu
birab-binnaas 10X. Kemudian, apabila telah memberi salam, lalu membaca
istighfar 10X, kemudian berselawat kepada Muhammad saw 10X, niscaya turunlah
dari tiap-tiap langit 70.000 malaikat, yang menuliskan pahalanya sampai kepada
hari qiamat”.
Pada hadits lain,
tersebut: “16 raka’at, di mana ia membaca
sesudah Al-Fatihah “Maa syaa-allaahu” terus 30 X Qul huwallaahu ahad. Rakaat ke
al Al-Fatihah 1x dan ayat Al-Kursy 30X, maka adalah ia memberi syafa’at kepada
10 orang dari familinya, di mana semuanya harus memperoleh sorga”. Diriwayatkan
oleh Fatimah ra dengan mengatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa
mengerjakan shalat pada malam Rabu 6 raka’at,
di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya sesudah Al-Fatihah,
“Qulillaahum-ma maalikal-mulk” sampai akhir ayat. Kemudian tatkala telah
selesai dari shalatnya, lalu ia membaca: “Jazallaahu Muhammadan ‘annaa maa huwa
ahluh” (Dibalasi Allah akan Muhammad dari kita, apa yang berhak ia
mempunyainya), niscaya diampunkan baginya dosa 70 tahun dan dituliskan baginya
kelepasan daripada neraka”.
Malam Kamis: Berkata Abu
Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam
Kamis, antara Maghrib dan ‘Isya’ 2 raka’at,
di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at, surat Al-Fatihah 1X, ayat Al-Kursy
5X, Qul huwallaahu ahad 5X, Qul a’uudzu birabbil falaq 5X, dan Qul a’uudzu
birabbinnaas 5X. Dan tatkala telah selesai dari shalatnya, lalu mengucapkan
“istighfar” 15X dan diniatkannya pahalanya untuk ibu bapaknya, maka adalah ia
telah menunaikan hak kedua ibu bapaknya atasnya, meskipun ia durhaka kepada
keduanya. Dan ia dianugerahkan oleh Allah akan apa yang dianugerahkan kepada
orang-orang shiddiq dan syahid”.
Malam Jum’at: “Berkata Jabir,
bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Jum’at, antara
Maghrib dan ‘Isya’, 12 raka’at, di mana
ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya, surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu
ahad 11X, maka seakan-akan ia telah beribadah kepada Allah Ta’ala selama 12
tahun dengan puasa siangnya dan bangun mengerjakan shalat malamnya”.
Berkata Anas, bahwa
Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada malam Jum’at, shalat
‘Isya’ yang akhir dalam berjama’ah dan mengerjakan shalat 2 raka’at sunat,
kemudian daripada fardlu ‘Isya’. Kemudian ia bershalat sesudah 2 raka’at sunat
tadi 10 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya, surat
Al-Fatihah, Qul huwallaahu ahad, Qul a’uudzu birabbil falaq dan Qul a’uudzu
birabbinnaas sekali-sekali. Kemudian ia bershalat witir 3 raka’at dan ia tidur
atas lembungnya yang kanan serta mukanya menghadap qiblat, maka seolah-olah ia
telah berbuat ibadah pada malam Lailatul Qadar”. Bersabda Nabi saw:
“Perbanyakkanlah selawat kepadaku pada malam yang cemerlang dan siang yang
gemilang, yaitu malam Jum’at dan hari Jum’at”.
Malam Sabtu: Berkata Anas bahwa
Rasulullah saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Sabtu, antara
Maghrib dan ‘Isya’, 12 raka’at, niscaya
didirikan baginya suatu mahligai dalam sorga dan seolah-olah ia telah
bersedekah kepada orang mu’min, pria dan wanitanya dan ia terlepas daripada
Yahudi dan adalah hak atas Allah Ta’ala mengampuni dosanya”.
BAHAGIAN KETIGA:
Tentang
shalat yang berulang-ulang dengan berulang-ulang tahun. Yaitu 4:
1.
shalat dua hari raya (hari raya puasa dan hari raya hajji),
2.
shalat tarawih,
3.
shalat Rajab, dan
4.
shalat Sya’ban.
1. Shalat 2 hari
raya. Yaitu: sunat muakkadah/yang dikuatkan & salah satu daripada syi’ar
agama. Seyogyalah diperhatikan pada shalat hari raya 7 perkara:
Perkara Pertama: takbir 3 kali dengan teratur. Yaitu
membaca: “Allah Maha Besar - Allah Maha Besar - Allah Maha Besar, segala
puji-pujian sebanyak-banyaknya bagi Allah - Maha suci Allah pagi dan
petang-tiada Tuhan yang sebenarnya, selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu
bagi Allah semuanya ikhlas mengerjakan suruhan agama karena Allah walaupun
orang-orang kafir itu tidak suka”.
Dimulai takbir pada
malam hari raya puasa (‘Idil-fithri), sampai kepada waktu mengerjakan shalat
baginya. Dan pada hari raya hajji (‘Idil-qurban), di mulai takbir sesudah
shalat Shubuh hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), sampai kepada penghabisan
siang hari ke-13 Dzulhijjah. Inilah yang lebih sempurna segala pembacaan. Dan takbir itu dibacakan
di belakang shalat fardlu dan shalat sunat. Dan di belakang shalat fardlu,
adalah lebih dikuatkan.
Perkara Kedua: Apabila telah datang pagi hari raya, lalu
mandi, menghiasi diri dan memakai bau-bauan, sebagaimana telah kami terangkan
dahulu pada Jum’at. Rida’ (selendang) dan serban, adalah lebih utama bagi
laki-laki. Dan hendaklah disingkirkan dari pakaian sutera untuk anak-anak dan
penghiasan diri untuk orang-orang perempuan tua, ketika keluar ke tempat
shalat.
Perkara Ketiga: Hendaklah keluar dari satu jalan dan
pulang dari jalan lain. Begitulah yang diperbuat Rasulullah saw. Dan adalah
Rasulullah saw: “menyuruh supaya dikeluarkan (ke tempat shalat hari raya)
budak-budak wanita dan anak gadis-gadis pingitan”.
Perkara Keempat: disunatkan keluar ke tanah lapang, selain
di Makkah dan Baitul-mukaddis. Kalau hari hujan, maka tidak mengapa bershalat
di masjid. Dan boleh pada hari terang (tidak ada hujan), imam menyuruh seorang
bershalat sebagai imam dengan orang-orang lemah di masjid dan ia sendiri keluar
dengan orang-orang kuat ke tanah lapang dengan bertakbir.
Perkara Kelima: Dijaga waktu. Waktu shalat hari raya itu,
ialah antara terbit matahari sampai kepada gelincir matahari. Dan waktu
penyembelihan qurban, ialah antara meninggi matahari sekedar 2 khutbah dan dua
raka’at shalat, sampai kepada akhir hari 13. Disunatkan
menyegerakan shalat hari raya qurban, untuk penyembelihan yang dilakukan
sesudah shalat. Dan melambatkan hari raya puasa, karena pembahagian zakat
fitrah sebelumnya. Begitulah sunnah Rasulullah saw!.
Perkara Keenam: tentang cara shalat. Maka hendaklah orang
banyak keluar ke tempat shalat dengan bertakbir di jalan! Apabila imam telah
sampai ke tempat shalat, maka ia tidak duduk dan tidak mengerjakan shalat sunat
dan menyuruh orang banyak menghabiskan shalat sunatnya. Kemudian, berserulah
seorang penyeru: “Ash-shalaatu jaami’ah (Shalat itu berjama’ah). Dan imam
mengerjakan shalat dengan orang banyak itu, 2 raka’at, di mana ia bertakbir
pada raka’at pertama, selain dari takbiratul-ihram dan takbir ruku’, sebanyak 7
X. Dan membaca diantara tiap-tiap 2 takbir itu: Subhaanallaahi wal hamdu
lillaahi wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar” dan membaca “Wajjahtu wajhia
lilladzii fatharas samaawaati wal ardl”, sesudah takbiratul-ihram dan
mengemudian kan membaca “A-‘uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim”, sampai
kepada sesudah takbir ke-8 (yaitu: 7 takbir tadi, ditambah dengan
takbiratul-ihram pada permulaan shalat). Dan dibaca surat Qaaf, pada raka’at
pertama sesudah Al-Fatihah dan iqtarabat (surah ke 54 al qamar), pada raka’at
kedua. Dan tambahan takbir pada raka’at kedua, ialah 5, selain dari takbir
untuk berdiri dan untuk ruku’. Dan dibacakan diantara tiap-tiap dua takbir, apa
yang telah kami sebutkan di atas tadi. Kemudian, dibaca 2 khutbah. Diantara
kedua khutbah itu, duduk sebentar. Orang yang ketinggalan shalat hari raya,
maka sunat diqodokan.
Perkara Ketujuh: menyembelih qurban seekor kambing atau
biri-biri (kibasy) “Rasulullah saw menyembelih dua ekor kibasy, yang manis
bentuknya dengan tangan beliau sendiri dan membaca: “Dengan nama Allah - Allah
Maha Besar - ini, dariku dan dari orang yang tidak berqurban dari umatku”.
Bersabda Nabi saw: “Siapa melihat hilal (bulan sabit) bulan Dzulhijjah dan
bermaksud menyembelih qurban, maka janganlah ia mencukur rambutnya dan memotong
kukunya walaupun sedikit”. Berkata Abu Ayyub al-Anshari: “Adalah seorang
laki-laki menyembelih qurban pada masa Rasulullah saw seekor kambing dari
keluarganya dan mereka makan serta memberikan untuk makanan orang lain”. Orang
yang berqurban, boleh memakan dari qurbannya sesudah tiga hari dan seterusnya.
Pembolehan ini, datangnya adalah sesudah ada pelarangan untuk dimakan sendiri.
Berkata Sufyan Ats-Tsuri: “Disunatkan mengerjakan shalat 12 raka’at sesudah
shalat ‘Idul-fithri dan 6 raka’at sesudah ‘Idul-adhha”. Berkata Sufyan, bahwa
shalat itu termasuk diantara shalat sunat.
2. Shalat Tarawih:
yaitu 20 raka’at.
Dan cara mengerjakannya, sudah terkenal. Shalat tarawih itu, sunat
muakkadah/yang dikuatkan, walaupun muakkadahnya kurang dari shalat 2 hari raya.
Dan berbeda pendapat alim ulama, tentang berjama’ah pada shalat tarawih. Apakah
lebih utama dengan berjama’ah atau dengan sendirian?
Rasulullah saw telah keluar untuk bershalat
tarawih, 2malam atau 3malam, dengan berjama’ah. Kemudian beliau tiada keluar
lagi, dengan mengatakan: “Aku takut nanti diwajibkan atas kamu!”. Umar ra
mengumpulkan manusia, untuk bershalat tarawih dengan berjama’ah, dimana sudah
dirasa aman daripada diwajibkan, karena wahyu tidak ada lagi.
Ada yang
mengatakan, bahwa berjama’ah lebih utama karena dikerjakan Umar ra demikian dan
karena berjama’ah, ada berkatnya. Dan berjama’ah itu mempunyai kelebihan,
dengan dalil shalat-shalat fardlu. Dan kadang-kadang dengan sendirian itu
mendatangkan kemalasan dan menjadi rajin, ketika melihat orang banyak. Ada yang
mengatakan, sendirian lebih utama, karena shalat ini adalah sunnah Nabi saw,
yang tidak termasuk dalam golongan syi’ar agama, seperti shalat dua hari raya.
Maka, disamakan shalat tarawih itu dengan shalat Dluha. Dan tahiyyat masjid,
adalah lebih utama, di mana tidak disuruh padanya jama’ah. Dan telah berlaku
adat kebiasaan bahwa serombongan orang bersama-sama masuk masjid, kemudian
tidak melakukan shalat tahiyyat masjid dengan berjama’ah. Dan karena sabda Nabi
saw: “Kelebihan shalat sunat di rumah dengan shalat sunat di masjid, adalah
seperti kelebihan shalat fardlu di masjid dengan shalatnya di rumah”.
Diriwayatkan bahwa
Nabi saw bersabda: “Suatu shalat pada masjidku ini, adalah lebih utama daripada
100 shalat pada masjid-masjid lain. Dan suatu shalat dalam Masjidil-haram,
adalah lebih utama daripada 1000 shalat pada masjidku. Dan yang lebih utama
dari itu semuanya, ialah seorang laki-laki yang melakukan shalat dalam sudut
rumahnya 2 raka’at, yang tidak diketahui selain oleh Allah ‘Azza wa Jalla”.
Pahamilah ini!
Karena ria dan berbuat-buat kadang-kadang datang kepada seseorang dalam
berjamaah dan aman daripada yang demikian, waktu sendirian. Inilah alasan
mengenai apa yang dikatakan itu. Dan kata yang menjadi pilihan, ialah berjamaah
itu adalah lebih utama, sebagaimana pendapat yang dikemukakan umar ra. Karena
sebagian sholat sunat, adalah disuruh dengan berjamaah. Dari itu adalah patut,
supaya menjadi sebahagian daripada syiar agama yang menonjol. Adapun menoleh
pada ria pada berjamaah dan malas pada sendirian, adalah berpaling daripada
maksud memperhatikan mengenai kelebihan berjamaah dari segi jamaah itu sendiri.
Dan seolah-olah yang mengatakan itu berkata, bahwa sholat adalah lebih baik
daripada ditinggalkan disebabkan malas. Dan iklas adalah lebih baik daripada
ria. Maka marilah kita umpamakan dalam persoalan ini, tentang orang yang pecaya
kepada dirinya, bahwa ia tidak akan malas kalau sendirian dan tidak akan ria
kalau bersholat dimuka orang banyak. Maka manakah yang lebih baik bagi orang
ini. Lalu berkisarlah pandangan antara berkatnya berjamaah dan bertambah
kuatnya iklas dan kehadiran hati pada sendirian. Maka boleh adanya
keragu-raguan, tentang melebihkan yang satu daripada lainnya. Setengah daripada
yang disunatkan ialah membaca qunut pada witir di nishfu akhir ( tanggal 16
keatas ) daripada bulan ramadhan.
3. Shalat RAJAB
Maka diriwayatkan
daripada Rasulullah saw bahwa beliau bersabda; “Tiada daripada seseorang yang
berpuasa pada hari kamis pertama daripada bulan rajab, kemudian mengerjakan
sholat antara isya dan bahagian pertiga pertama daripada malam, sebanyak 12 rakaat
yang dipisahkan antara tiap-tiap 2 rakaat dengan salam, di mana ia membaca pada
tiap-tiap rakaat surat al fateha 1x, innaa anzalnaahu fi lailatil-qadr 3x dan
qul huwallahu ahad 12x. Kemudian tatkala telah siap dari sholat, lalu
bersalawat kepadaku 70x yaitu: “Allaahumma shalli ‘alaa Muhammadinin-nabiyyil
ummiyyi wa ‘alaa aalihi” kemudian ia sujud dan membaca dalam sujudnya 70 X :
“Maha suci/subbuuhun, Maha Qudus/qudduusun, Tuhan para malaikat/robul
malaaikati dan nyawa/warruh”. Kemudian, ia mengangkat kepalanya dan membaca 70
X : “Hai Tuhanku! Ampunilah dan kasihanilah! Dan lampauilah daripada apa yang
Engkau ketahui ! Sesungguhnya Engkau Maha Agung, lagi Maha Mulia”. Kemudian ia
sujud sekali lagi dan membaca di dalamnya, seperti apa yang dibacanya pada
sujud pertama. Kemudian ia meminta hajatnya dalam sujud, maka hajat itu, akan
dipenuhinya”.
Bersabda Rasulullah
saw: “Tidaklah seorang mengerjakan shalat
ini, melainkan diampunkan oleh Allah Ta’ala segala dosanya, meskipun dosa itu
seperti buih di laut, sebanyak pasir, seberat bukit dan daun kayu-kayuan. Dan
diberi syafa’at pada hari qiamat kepada 700 daripada keluarganya, yaitu
orang-orang yang seharusnya masuk neraka”. Inilah shalat sunat! Dan kami
kemukakan dalam bahagian ini, karena ia berulang-ulang dengan berulang-ulangnya
tahun. Meskipun derajatnya, tidak sampai sederajat shalat tarawih dan hari
raya. Karena shalat tadi dinukilkan oleh seorang-seorang (tidak oleh orang
banyak). Tetapi saya melihat penduduk Baitulmukaddis ( masjid al aqsa ) umumnya
biasa mengerjakan shalat tadi dan tidak membolehkan ditinggalkan. Dari itu,
saya ingin membentangkan nya di sini.
4. Shalat Sya’ban
yaitu, malam ke-15
daripadanya, di mana dikerjakan shalat itu sebanyak 100 raka’at. Tiap-tiap dua raka’at diberi salam, dimana dibacakan
pada tiap-tiap raka’at, sesudah surat Al-Fatihah, Qul huwallaahu ahad 11X dan
kalau ia mau, maka ia mengerja kan shalat itu 10 raka’at, di mana ia membaca
pada tiap-tiap raka’at, sesudah surat Al-Fatihah, 100 X Qul huwallaahu ahad. Ini juga diriwayatkan
dalam kumpulan shalat-shalat, di mana orang-orang dahulu, mengerjakan shalat
ini. Dan menamakannya “Shalat Kebajikan” dan mereka berkumpul pada shalat itu.
Kadang-kadang mereka kerjakan dengan berjama’ah. Diriwayatkan daripada
Al-Hasan, bahwa beliau berkata: “Telah berceritera kepadaku, 30 orang shahabat
Nabi saw, bahwa siapa yang mengerjakan shalat ini pada malam tersebut, niscaya
Allah memandang kepadanya 70 pandangan dan menyampaikan dengan tiap-tiap
pandangan itu, 70 hajat keperluannya, yang sekurang-kurangnya, ialah
pengampunan dosa”.
BAHAGIAN KEEMPAT:
Tentang
shalat-shalat sunat yang berhubungan dgn sebab-sebab mendatang & tidak
berhubungan dengan waktu. Yaitu: 9:
1.
Shalat gerhana bulan
2.
Sholat gerhana matahari,
3.
Shalat minta hujan,
4.
Shalat jenazah,
5.
Shalat tahiyyat masjid,
6.
Sholat 2 raka’at wudlu
7.
Sholat 2 raka’at antara adzan dan qamat,
8.
Sholat dua raka’at ketika keluar dari rumah dan
9.
Sholat ketika masuk ke rumah dan sebagainya. Akan kami
terangkan semuanya itu, satu persatu.
1. shalat gerhana bulan. Bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya matahari dan bulan
adalah tanda dari tanda-tanda wujud Allah. keduanya tidak gerhana, karena mati
seseorang atau hidup seseorang. Apabila kamu melihat gerhana itu, bersegeralah
mengingati Allah dan mengerjakan shalat!”. Nabi saw bersabda demikian, tatkala
meninggal anaknya Ibrahim as dan matahari gerhana, lalu berkatalah orang
banyak: “Matahari itu gerhana, karena meninggalnya Ibrahim as”. Memperhati kan
kepada cara dan waktunya, adalah: Caranya, ialah apabila gerhana matahari pada
waktu, di mana shalat padanya makruh atau tidak makruh, maka diserukan dengan
suara keras: “Ash-shalaatu jaami’ah” (sholat itu berjama’ah). Imam, mengerjakan
shalat gerhana itu dengan orang banyak di masjid, dua raka’at banyaknya, di
mana ia ruku’ pada tiap-tiap raka’at dua ruku’. Yang pertama lebih panjang
daripada yang kedua. Dan tidak dibacakan dengan keras. Dibacakan pada yang
pertama dari berdiri raka’at pertama, surat Al-Fatihah dan surat Al-Baqarah dan
pada yang kedua dari berdiri raka’at kepertama, surat Al-Fatihah dan Ali
‘Imran. Pada yang ketiga dari berdiri raka’at ke2, surat Al-Fatihah dan surat
An-Nisaa’ dan pada rakaat ke 4 surat Al fateha dan surat Al-Maidah. Ataupun
sepanjang itu dari Al-Qur’an, di mana saja di kehendakinya. Kalau disingkatkan
dengan membaca surat Al-Fatihah saja, pada tiap-tiap berdiri, niscaya memadai.
Dan kalau disingkatkan atas surat-surat yang pendek, maka tiada mengapa. Dan
yang dimaksudkan dengan memanjangkan bacaan, ialah supaya terus-menerus shalat
sampai habis gerhana. Pada ruku’ pertama, dibacakan tasbih, kira-kira 100 ayat
panjangnya, pada ruku’ kedua, kira-kira 80, pada ruku’ ketiga, kira-kira 70 dan
pada ruku’ keempat, kira-kira 50 ayat. Dan hendaklah sujud itu, kira-kira
sepanjang ruku’ pada tiap-tiap raka’at.
Kemudian, imam, membaca dua khutbah sesudah selesai shalat, dengan duduk
sebentar diantara kedua khutbah itu. Dan menyuruh orang banyak dengan
bersedekah, memerdekakan budak dan bertobat. Dan seperti itu juga, dikerjakan
pada gerhana bulan. Hanya pada gerhana bulan, pembacaan dikeraskan, karena dia
itu malam. Adapun waktu shalat gerhana matahari, maka yaitu, ketika permulaan
gerhana, sampai kepada terang benar. Dan waktunya habis, dengan terbenamnya
matahari, sedang dalam keadaan gerhana. Dan habis waktu shalat gerhana bulan,
dengan terbit bundaran matahari, karena telah lenyap kekuasaan malam. Dan tidak
luput shalat gerhana bulan, dengan terbenamnya bulan dalam keadaan masih
gerhana. Karena malam seluruhnya, adalah di bawah kekuasaan bulan. Kalau gerhana
itu habis sedang shalat, maka shalat itu diteruskan dengan diringkaskan. Kalau
ma’mum memperoleh ruku’ kedua serta imam, maka luputlah baginya raka’at
pertama, karena yang pokok ialah ruku’ pertama.
2. shalat minta hujan (shalat istisqa’): Apabila telah
kering segala sungai dan telah putus hujan atau telah runtuh saluran air, maka
disunatkan bagi imam, menyuruh orang banyak: pertama, puasa 3 hari dan sekedar
yang disanggupi dari sedekah. Dan keluar dari segala perbuatan dhalim dan
bertobat dari segala perbuatan ma’siat. Kemudian keluar bersama orang banyak,
pada hari keempat, bersama dengan wanita-wanita tua dan anak-anak dalam keadaan
bersih, memakai pakaian tua dan tenang, menundukkan diri kepada Tuhan.
Kebalikan dari keadaan hari raya.Ada yang mengatakan, sunat dikeluarkan
binatang-binatang ternak, karena binatang-binatang itupun mempunyai kepentingan
yang sama dengan manusia dan karena sabda Nabi saw: “Kalau tidaklah anak-anak -
kecil yang menyusu, orang-orang tua yang ruku’ kepada Tuhan dan binatang-binatang
ternak yang memerlukan kepada yang dimakan dan yang diminumnya maka
sesungguhnya dituangkan azab sengsara kepada kamu sekalian”. Kalau turut juga
keluar orang-orang dzimmi (orang tidak Islam yang berlindung di bawah kekuasaan
Islam) dengan keadaan yang membedakan, jangan dilarang. Apabila orang banyak
telah berkumpul pada tempat shalat yang luas, dari tanah lapang, lalu diserukan
dengan suara yang nyaring: “Ash-shalaatu jaami’ah”(sholat itu berjama’ah). Maka
imam bershalat dengan orang banyak itu dua raka’at, seperti shalat hari raya,
tanpa takbir. Kemudian, imam membaca dua khutbah dan diantara kedua khutbah
itu, duduk sebentar. Dan hendaklah istighfar (memohonkan ampunan Allah),
menjadi isi yang terbanyak dari kedua khutbah itu. Dan seyogyalah pada
pertengahan khutbah kedua, imam membelakangi orang banyak dan menghadap qiblat,
membalikan selendangnya ketika itu, sebagai sempena/mengambil berkah (tafaa-ul)
akan berobah keadaan yang sedang di alami. Begitulah diperbuat Rasulullah saw.
Maka dijadikan yang di atas ke bawah, yang di kanan ke kiri dan yang di kiri ke
kanan. Dan orang banyakpun berbuat begitu pula. Pada saat ini, semuanya berdo’a
dengan suara yang dapat didengar sendiri. Kemudian, imam menghadap orang banyak
kembali, lalu menyudahi khutbahnya. Dan dibiarkan selendangnya itu dalam
keadaan yang berbalik itu, sampai dibuka, kapan kain yang dipakai itu mau
dibuka. Dibacakan dalam do’a itu: “Ya Allah, ya Tuhanku! Sesungguhnya Engkau
telah menyuruhkan kami, dengan berdo’a kepada Engkau dan menjanjikan kepada
kami akan dikabulkan Engkau. Maka kami telah berdo’a kepada Engkau, sebagaimana
Engkau suruhkan kami, maka kabulkanlah akan do’a kami, sebagaimana Engkau
janjikan kepada kami! Ya Allah, ya Tuhan kami! Anugerahilah kepada kami
ampunan, dari dosa yang telah kami perbuat dan penerimaan ALLAH dari permintaan
kami akan hujan serta keluasan rezeki kami!”. Dan tidak mengapa dengan berdo’a,
sesudah shalat dalam tiga hari berpuasa itu, sebelum keluar ke tanah lapang.
Do’a ini, mempunyai adab dan syarat bathiniyah dengan bertobat, mengembalikan
segala hak orang yang diambil secara dhalim dan lain-lain sebagainya, yang akan
datang nanti penjelasannya pada Kitab Do’a.
3. shalat jenazah: Caranya sudah terkenal. Dan telah sepakat do’a
yang diterima dari Nabi saw ialah do’a yang diriwayatkan dalam hadits shahih,
dari ‘Auf bin Malik. Berkata ‘Auf: “Aku melihat Rasulullah saw bershalat
jenazah, maka aku hafal daripada do’anya ialah: “Ya Allah, ya Tuhan kami!
Ampunilah dosa mayit ini, kasihanilah dia, peliharalah jiwanya, ma’afkanlah
kesalahannya, muliakanlah tempatnya, lapangkanlah kuburnya, basuhkanlah dia
dengan air, dengan air beku dan air hujan batu, sucikanlah dia dari segala
kesalahan, sebagaimana disucikan kain putih dari kotoran, gantikanlah dia
dengan negeri yang lebih baik daripada negeri nya, keluarga yang lebih baik
daripada keluarganya, teman hidup yang lebih baik daripada teman hidupnya,
masukkanlah dia ke dalam sorga, lindungilah dia dari azab kubur dan siksaan api
neraka!”
Sehingga ‘Auf berkata: “Aku berangan-angan, kiranya akulah mayit itu!”.
Ma’mum yang mendapat takbir kedua, maka seyogyalah menjaga tertib shalatnya
sendiri dan bertakbir bersama takbir imam. Apabila imam telah memberi salam,
lalu ia menyelesaikan takbirnya yang ketinggalan, seperti yang diperbuat oleh
seorang masbuq (ma’mum yang terkemudian mengikuti imam). Karena, kalau ma’mum
itu menyegerakan takbirnya, maka tidak ada lagi arti mengikuti imam dalam
shalat ini. Sebab takbir-takbir itu adalah merupakan rukun-rukun yang terang
padanya. Dan layaklah takbir-takbir itu ditempatkan seperti raka’at-raka’at
pada shalat lain. Inilah yang lebih kuat menurut pendapatku, walaupun yang lain
itu, merupakan suatu kemungkinan. Hadits-hadits yang menerangkan tentang
keutamaan shalat jenazah dan mengurus jenazah itu, adalah terkenal. Maka
tidaklah kami memperpanjangkan lagi. Bagaimanakah tidak besar keutamaannya,
sedang dia termasuk sebahagian daripada fardlu kifayah (jika ada 1 orang yg
mengerjakannya maka selesai urusan itu). Dan shalat jenazah itu menjadi sunat,
terhadap orang yang tidak menjadi fardlu ‘ain atasnya, disebabkan orang lain.
Kemudian, ia memperoleh kelebihan fardlu kifayah, walaupun tidak menjadi fardlu
‘ain, karena mereka secara bersama-sama, telah mengerjakan, apa yang menjadi
fardlu kifayah itu dan mereka telah menghapus kan dosa dari orang-orang lain.
Dari itu, tidaklah yang demikian seperti sunat, di mana dengan sunat itu tidak
terhapus sesuatu fardlu dari seseorang.
Disunatkan mencari sebanyak mungkin
orang yang bershalat janazah, karena mengharapkan keberkatan dengan banyaknya
harapan dan do’a dan dengan banyaknya itu, termasuk di dalamnya orang yang berdo’a
yang kiranya diterima Tuhan. Karena apa yang diriwayatkan oleh Kuraib daripada
Ibnu Abbas, bahwa telah meninggal seorang anak laki-laki dari Ibnu Abbas, maka
berkatalah beliau: “Hai Kuraib! Lihatlah berapa banyak sudah manusia
berkumpul!”. Berceritera Kuraib seterusnya: “Lalu aku keluar, maka aku melihat
manusia sudah banyak berkumpul. Aku ceriterakan itu kepada Ibnu Abbas”.
Menyambung Ibnu Abbas: “Engkau katakan, mereka itu 40 orang?”. Aku menjawab:
“Ya!”. Berkata Ibnu Abbas: “Keluarkanlah mayit itu untuk dishalatkan! Aku
mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki muslim yang
mati, lalu berdiri untuk bershalat pada jenazahnya 40 orang, di mana mereka
tidak mempersekutukan sesuatu dengan Allah, melainkan mereka diberi syafa’at
oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada mayit itu”. Apabila jenazah itu dibawa dan telah
sampai ke kuburan atau pada permulaan masuk ke daerah perkuburan, maka
hendaklah dibacakan: “Salam sejahtera kepadamu, wahai kaum mu’minin dan
muslimin, penduduk dari perkampungan ini! Diberi rahmat kiranya oleh Allah
orang-orang yang terdahulu dan yang terkemudian daripada kami. Dan kami - insya
Allah - akan mengikuti kamu”.
Yang lebih utama, tidaklah meninggalkan tempat itu, sebelum selesai
penguburan. Apabila telah diratakan kuburan mayit itu, lalu berdirilah dan
bacakan: “Ya Allah, ya Tuhanku! Ini hambaMU, dikembalikan kepadaMU, maka
berilah rahmat kepadanya dan kasihanilah dia! Ya Allah, ya Tuhanku!
Renggangkanlah bumi daripada kedua lembungnya! Bukakanlah segala pintu langit,
untuk ruhnya! Terimalah dia dipihakMU dengan penerimaan yang baik! Ya Allah, ya
Tuhanku! Kalau adalah ia berbuat kebaikan, maka lipat gandakanlah pada
kebaikannya itu! Dan kalau adalah ia berbuat kejahatan, maka hapuskanlah
kejahatannya itu!”.
4. shalat tahiyyat masjid: dua raka’at atau
lebih, adalah sunat yang dikuatkan/muakkadah, sehingga sunat itu tidak hilang
walaupun imam sedang membaca khutbah pada hari Jum’at, serta diperkuatkan wajibnya memperhatikaan kepada
khutbah dari khatib itu. Kalau dikerjakan shalat fardlu atau shalat qodo
(ketika masuk ke dalam masjid), maka berhasillah tahiyyat itu dengan yang
demikian dan berolehlah pahala. Karena yang dimaksud, ialah tidak kosong pada
permulaan masuknya, daripada ibadah yang tertentu dengan masjid, sebagai
menegakkan hak dari masjid. Dari itu, dimakruhkan memasuki masjid tanpa wudlu.
Kalau masjid itu dimasuki untuk dilewati saja atau untuk duduk, maka hendaklah
dibacakan: “Subhaanallah, walhamdulillaah, walaa ilaaha illallaah, wallahu
akbar”. (Maha suci Allah, semua puji-pujian untuk Allah, tidak ada Tuhan
kecuali Allah, Allah maha besar) Dibacakan 4 X
dan itu adalah menyamai pahalanya dengan 2 raka’at shalat. Menurut
mazhab Asy-Syafi’i ra, tidak dimakruhkan shalat tahiyyat masjid pada
waktu-waktu makruh mengerjakan shalat, yaitu: sesudah ‘ashar, sesudah Shubuh,
waktu tengah hari, waktu terbit & waktu terbenam matahari, karena
diriwayatkan: “Bahwa Rasulullah saw mengerjakan shalat 2 raka’at sesudah
‘Ashar. Lalu ditanya kan kepadanya: “Bukankah engkau telah melarang kami dari
ini?”. Menjawab Nabi saw: “Keduanya itu adalah 2 raka’at, yang hendaknya aku
kerjakan sesudah Dhuhur, tetapi aku sibuk dengan kedatangan utusan”. Hadits ini
menimbulkan 2 hasil pemahaman
1. Kemakruhan itu
terletak pada shalat yang tak ada sebab. Dan diantara sebab yang paling lemah,
ialah meng-qodo-kan shalat sunat, karena berbeda pendapat para ulama, tentang
shalat sunat, apakah di-qodo-kan? Dan kalau dikerjakan kembali shalat sunat
yang telah tertinggal itu, apakah qodo itu namanya? Apabila kemakruhan tidak
ada, dengan sebab yang paling lemah itu, maka lebih layak lagi, kemakruhan itu
tidak ada dengan sebab masuk masjid. Dan masuk masjid itu, adalah suatu sebab
yang kuat. Dari itu, tidak dimakruhkan shalat jenazah, apabila jenazah itu
telah ada dan tidak dimakruhkan shalat gerhana dan shalat minta hujan pada
waktu-waktu dimakruhkan bershalat, karena mempunyai sebab-sebab yang
membolehkan.
2. Meng-qodo-kan
shalat-shalat sunat, karena Rasulullah saw, telah berbuat demikian. Dan Rasulullah
saw adalah ikutan yang paling utama bagi kita. Berkata ‘Aisyah: “Adalah
Rasulullah saw apabila sangat tertidur atau sakit, maka beliau tidak bangun
mengerjakan shalat pada malam itu. Tetapi beliau mengerjakan shalat dari
permulaan siang besoknya, 12 raka’at”. Berkata para ulama, bahwa siapa yang ada
di dalam shalat, sehingga tiada dapat menjawab adzan dari muadzin, maka apabila
telah memberi salam, lalu meng-qodo-kan dengan menjawabkannya, meskipun muadzin
itu sudah diam. Dan tidaklah ada artinya perkataan orang yang mengatakan, bahwa
itu adalah seperti yang pertamanya dan bukanlah qodo. Karena, kalau benar
demikian, tentulah Nabi saw tidak mengerjakan shalat itu pada waktu dimakruhkan
(waktu kirahah). Memang, siapa yang mempunyai wirid, lalu terhalang mengerjakannya
dengan sesuatu halangan, maka seyogyalah ia tidak mempermudahkan dirinya untuk
meninggalkan wirid itu. Tetapi mengerjakan kembali pada waktu lain, sehingga
tidak terbawa-bawa meninggalkan wirid dan bersenang-senang. Mengerjakan kembali
itu adalah baik, untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) melawan hawa nafsu.
Dan karena Nabi saw bersabda: “Amal perbuatan yang amat disukai Allah Ta’ala,
ialah yang terus-menerus, meskipun sedikit”. Dimaksudkan dengan hadits ini,
supaya tidak kendur meneruskan amal perbuatan. Dan ‘Aisyah telah meriwayatkan
daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang beribadah kepada Allah
Ta’ala dengan sesuatu ibadah, kemudian ditinggalkannya karena malas, maka dia
dikutuk oleh Allah ‘Azza wa Jalla”. Maka hendaklah menjaga diri, jangan sampai
termasuk dalam peringatan ini!. Untuk memahami hadits tersebut, bahwa Allah
Ta’ala mengutuknya, adalah karena meninggalkan ibadah karena malas. Kalau tidak
adalah kutukan dan menjauhkan diri daripada ibadah, tentulah kemalasan itu
tidak mempengaruhi apa-apa terhadap dirinya.
5. dua raka’at sesudah wudlu: disunatkan. Karena wudlu itu, adalah mendekatkan diri kepada
Allah Ta’ala. Dan maksudnya, ialah shalat. Dan hadats adalah penghalang.
Kadang-kadang datang hadats, sebelum shalat, maka runtuhlah wudlu dan
sia-sialah usaha yang telah dikerjakan. Dari itu, bersegera kepada 2raka’at
tadi, adalah penyempurnaan bagi maksud wudlu, sebelum hilang. Hal ini, dapat
diketahui dengan hadits yang diriwayatkan Bilal, karena Nabi saw bersabda: “Aku
masuk kedalam sorga, lalu aku lihat Bilal di dalamnya. Maka aku tanyakan kepada
Bilal: “Dengan apa engkau mendahului aku ke dalam sorga?”. Menjawab Bilal:
“Tidak aku ketahui sedikitpun sebabnya. Hanya, aku tidak berhadats dari sesuatu
wudlu, melainkan aku mengerjakan 2raka’at shalat sesudahnya”
6. dua raka’at ketika masuk dan ketika keluar dari
rumah: Diriwayatkan Abu
Hurairah ra dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila engkau keluar dari
rumah, maka kerjakanlah shalat 2 raka’at, yang akan mencegah engkau dari tempat
keluar yang jahat. Dan apabila engkau masuk ke rumah, maka kerjakanlah shalat 2
raka’at, yang akan mencegah engkau dari tempat masuk yang jahat”. Dan searti
dengan itu, tiap-tiap pekerjaan dimulai, pekerjaan mana yang mempunyai arti penting.
Dari itu, telah datang hadits yang menerangkan: 2 raka’at ketika melakukan
ihram (hajji dan ‘umrah), 2 raka’at ketika permulaan bermusafir dan 2 raka’at
ketika kembali dari bermusafir di dalam masjid, sebelum masuk ke rumah.
Semuanya itu, diambil dari perbuatan Nabi saw. Dan adalah sebagian orang-orang
shalih, apabila memakan suatu makanan, lalu bershalat 2 raka’at. Dan apabila
meminum suatu minuman, lalu bershalat 2 raka’at. Begitu juga pada tiap-tiap
perbuatan yang dikerjakannya. Dan seyogya lah memulai segala perbuatan, dengan
mengambil barakah, dengan menyebutkan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu atas 3
tingkat:
1. Sebahagian,
berulang-ulang berkali-kali, seperti makan dan minum. Maka mulailah dengan nama
Allah ‘Azza wa Jalla. Bersabda Nabi saw: “Tiap-tiap pekerjaan penting, yang
tidak dimulai dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang
(artinya: dengan membaca: Bismillaahir-rahmaanir-rahiim), maka adalah kurang
berkatnya (barakahnya)”.
2. Yang tidak
banyak berulang-ulang, tetapi mempunyai arti yang mendalam, seperti
melangsungkan perkawinan, memulai nasehat pengajaran dan bermusyawarah. Maka
disunatkan pada segala perbuatan tersebut, dimulai dengan memujikan Allah
Ta’ala. Yaitu, orang yang mengawinkan itu membaca: “Alhamdulillaah, washshalaatu
‘alaa Rasulillaah saw” Aku kawinkan engkau akan anak perempuanku”. Menjawab
yang menerima aqad nikah: “Alhamdulillaah, washshalaatu ‘alaa Rasuulillah saw”
Aku terima akan nikahnya”. Dan adalah
menjadi adat kebiasaan para shahabat ra pada permulaan surat, nasehat dan
musyawarah, dengan mendahulukan: memujikan Allah (membaca Alhamdulillaah).
3. Yang tidak banyak berulang-ulang dan apabila
terjadi, maka berjalan lama dan mempunyai arti yang mendalam, seperti
bermusafir, membeli rumah baru, melakukan ihram dan lain-lain sebagainya. Maka
disunatkan mendahulukan pekerjaan itu dengan 2 raka’at shalat. Dan
sekurang-kurangnya dari pekerjaan tersebut, ialah keluar dan masuk ke rumah,
sebab ini termasuk semacam bermusafir yang dekat.
7. shalat istikharah (memohon kebajikan): Siapa yang
bercita-cita hendak melangsungkan sesuatu pekerjaan dan tidak diketahuinya akan
akibat dari pekerjaan tersebut, apakah baik ditinggalkan atau baik diteruskan,
maka dalam menghadapi pekerjaan yang seperti ini, disuruh oleh Nabi saw supaya
mengerjakan shalat 2 raka’at, di mana dibacakan pada raka’at pertama surat
Al-Fatihah dan Qul yaa ayyuhal-kaafiruun dan pada raka’at kedua surat
Al-Fatihah dan Qul huwallaahu ahad. Apabila telah selesai dari shalat, lalu
berdo’a dengan membacakan: “Ya Allah, ya Tuhanku! Sesungguhnya aku memohon
kebajikan dari Engkau dengan ilmu Engkau, aku memohon tenaga dengan qudrah (
kuasa ) Engkau, aku meminta pada Engkau dengan kurnia Engkau yang Maha Besar.
Sesungguhnya Engkaulah yang berkuasa dan aku tidaklah berkuasa, Engkaulah yang
Maha Tahu dan aku tidaklah mengetahui dan Engkaulah yang lebih mengetahui
dengan segala yang tersembunyi. Ya Allah, ya Tuhanku! Jika adalah Engkau
mengetahui, bahwa pekerjaan ini, baik bagiku, pada agamaku, duniaku dan akibat
perbuatanku, yang segera dan yang nanti, maka anugerahilah bagiku kesanggupan
dan berkatkanlah bagiku padanya, kemudian mudahkanlah perbuatan itu bagiku. Dan
jika adalah Engkau mengetahui, bahwa pekerjaan ini, buruk bagiku, pada agamaku,
duniaku dan perbuatanku, yang segera dan yang nanti, maka hindarkanlah aku dari
perbuatan itu dan hindarkanlah perbuatan itu daripadaku dan anugerahilah bagiku
kesanggupan berbuat kebajikan, di manapun adanya kebajikan itu. Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”.
Do’a tersebut,
diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir: “Adalah Rasulullah saw
mengajari kami, memohon kebajikan pada seluruh perbuatan, sebagaimana mengajari
kami, akan sesuatu surat daripada Al-Qur’an. Bersabda Nabi saw: “Apabila
bercita-cita seorang kamu suatu hal, maka bershalatlah 2 raka’at, kemudian
sebutkanlah nama Allah pada perbuatan itu dan berdo’alah dengan apa yang telah
kami sebutkan”. Berkata setengah ahli hikmah: “Siapa yang diberikan 4, niscaya
tidak tercegah daripada empat:
1. Siapa yang dianugerahkan tahu berterima
kasih (bersyukur), niscaya ia tidak tercegah daripada memperoleh kelebihan.
2. Siapa yang dianugerahkan bertobat,
niscaya tidak tercegah daripada diterima tobatnya.
3. Siapa yang dianugerahkan meminta
kebajikan, niscaya tidak tercegah daripada memperoleh kebajikan.
4. Siapa yang dianugerahkan bermusyawarah,
niscaya tidak tercegah daripada memperoleh kebenaran.
8. shalat hajat: Siapa yang memperoleh kesulitan dalam
menghadapi persoalan, di mana ia memerlukan demi kebaikan agamanya dan
dunianya, kepada persoalan yang sukar diatasinya itu, maka hendaklah ia
mengerjakan shalat hajat. Diriwayatkan dari Wuhaib bin Al-Ward, di mana Wuhaib
berkata: “Sesungguh nya sebahagian daripada do’a yang tidak ditolak, ialah:
bershalat seorang hamba sebanyak 12 raka’at,
di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah, ayat Kursy dan Qul
huwallaahu ahad. Apabila telah selesai, lalu bersujudlah ia, di mana ia
membaca: “Maha Suci Tuhan yang memakai akan kemuliaan dan berfirman dengan dia.
Maha Suci Tuhan yang bersifat dengan kebesaran dan kemurahan. Maha Suci Tuhan
yang menghinggakan bilangan tiap-tiap sesuatu dengan ilmu Allah. Maha Suci
Tuhan yang tiada seyogyalah bertasbih, selain untuk Allah. Maha Suci Tuhan yang
mempunyai nikmat dan kurnia. Maha Suci Tuhan yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan. Maha Suci Tuhan yang mempunyai kekuasaan. Aku bermohon kepada ENGKAU
dengan segala tempat kemuliaan dari ‘Arasy-MU, dengan rahmat yang
setinggi-tingginya dari kitabMU, dengan namaMU Yang Maha Agung, kesungguhanMU
yang Maha Tinggi dan kalimat-kalimatMU yang sempurna lagi melengkapi, yang
tidak dilampaui oleh orang yang berbuat kebajikan dan yang berbuat kejahatan.
Bahwa ENGKAU anugerahkan rahmat kiranya kepada Muhammad dan kepada keluarga
Muhammad”. Setelah selesai dari itu, maka bermohonlah sesuatu hajat, yang tidak
mengandung kemaksiatan. Insya Allah Ta’ala akan diterima. Berkata Wuhaib:
“Telah sampai riwayat kepada kami bahwa dikatakan, supaya tidak diajarkan shalat itu
kepada orang-orang yang tidak baik. Nanti diperguna kannya untuk melakukan
kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa jalla”.
9. shalat Tasbih: “Shalat ini dinukilkan dalam bentuknya,
yang tidak ditentukan dengan sesuatu waktu dan sesuatu sebab. Disunatkan, bahwa
tiada minggu yang tidak dikerjakan shalat tasbih sekali atau sebulan sekali.
Diriwayatkan oleh ‘Akramah daripada Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda
kepada Abbas bin Abdul Muttalib: “Tidaklah aku berikan kepadamu, tidaklah aku
serahkan kepadamu, tidakkah aku datangkan kepadamu, sesuatu, di mana apabila
engkau kerjakan, niscaya diampunkan Allah dosa engkau, yang awal dan yang
akhir, yang lama dan yang baru, yang salah dan yang sengaja, yang sembunyi dan
yang nyata? Yaitu: engkau kerjakan shalat 4 raka’at,
di mana engkau bacakan pada tiap-tiap raka’at, surat Al-Fatihah dan suatu surat
dari Al-Qur'an. Apabila telah selesai daripada bacaan pada awal raka’at dan
engkau sedang berdiri, maka bacalah: “Subhaanallaah walhamdulillaah wa laa
ilaaha illallaah wallaahu akbar” 15 X . Kemudian engkau ruku’, di mana engkau
baca sedang ruku’ itu, yang tadi, 10 X . Kemudian, engkau bangkit daripada
ruku’, lalu engkau baca yang tadi sedang berdiri, 10 X . Kemudian, engkau
sujud, di mana engkau bacakan yang tadi,
10 X . Kemudian engkau bangkit daripada sujud, lalu engkau bacakan yang tadi
sedang duduk, 10 X . Kemudian engkau sujud lagi, lalu bacakan yang tadi, di
mana engkau sedang sujud, 10 X . Kemudian, engkau bangkit daripada sujud, lalu
engkau bacakan yang tadi, 10 X . Jadi semuanya, 75 X pada tiap-tiap raka’at yang engkau kerjakan
itu, dalam 4 rak’at.
Kalau sanggup,
engkau kerjakan shalat tasbih itu, pada tiap-tiap hari sekali, maka
kerjakanlah! Kalau tidak sanggup, maka tiap-tiap Jum’at (seminggu) sekali.
Kalau tidak juga sanggup, maka tiap-tiap bulan sekali. Kalau tidak juga
sanggup, maka pada tiap-tiap tahun sekali”. Pada riwayat yang lain, dibacakan
pada permulaan shalat: “Maha suci Engkau wahai Tuhanku! Dan dengan pujian
Engkau dan maha suci nama Engkau dan maha tinggi kesungguhan Engkau dan maha
qudus nama Engkau. Dan tiada Tuhan selain Engkau”. Kemudian, dibacakan tasbih
15 X. Sebelum pembacaan Al-Fatihah dan surat dari Al-Qur’an dan 10 X sesudah pembacaan. Yang masih tinggal
(sisanya) seperti dahulu juga, sepuluh-sepuluh. Dan tidak dibacakan tasbih
sesudah sujud yang penghabisan, ketika sedang duduk. Cara inilah yang terbaik,
yang dipilih oleh Ibnul Mubarak. Dan jumlah tasbih pada ke-4 raka’at itu, ialah
300 X , pada kedua macam riwayat tadi. Kalau shalat tasbih itu dilakukan pada
siang hari, maka dengan sekali salam saja. Dan kalau dilakukan pada malam hari,
maka lebih baik dengan dua kali salam, karena tersebut dalam hadits: “Bahwa
shalat malam itu, dua-dua”. Kalau ditambahkan sesudah tasbih, bacaan: “Laa haula
wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adhiim”, maka adalah baik. Telah
datang yang demikian dalam setengah riwayat. Inilah, shalat-shalat yang
dinukilkan. Dan tidak disunatkan satupun dari shalat-shalat sunat ini, pada waktu yang dimakruhkan, selain shalat
tahiyyat masjid. Dan apa yang kami sebutkan sesudah tahiyyat masjid, yaitu: 2
raka’at wudlu, shalat bermusafir, keluar dari rumah dan istikharah, maka tidak
disunatkan pada waktu yang dimakruhkan. Karena larangannya lebih kuat dan
sebab-sebab tersebut adalah lemah. Maka tidak sampai ia kepada derajat shalat
gerhana, minta hujan dan tahiyyat masjid.
Aku melihat
sebagian kaum shufi, mengerjakan 2 raka’at shalat sunat wudlu, pada waktu-waktu
yang dimakruhkan. Dan ini, adalah amat jauh daripada kebenaran. Karena wudlu
tidaklah sebab bagi shalat, tetapi shalat adalah sebab bagi wudlu. Maka
seyogyalah wudlu, untuk bershalat. Tidaklah bershalat, karena telah berwudlu.
Tiap-tiap orang yang berhadats, yang bermaksud mengerjakan shalat pada waktu
dimakruhkan, maka tiada jalan baginya, selain ia berwudlu dan bershalat. Maka
tidak ada lagi artinya bagi kemakruhan. Dan tidak layaklah ia meniatkan 2
raka’at wudlu, sebagaimana ia meniatkan 2 raka’at tahiyyat masjid. Tetapi
apabila ia berwudlu, lalu bershalat 2 raka’at, untuk amalan sunat, supaya tidak
kosong wudlunya, seperti yang dikerjakan Bilal. Maka itu adalah amalan sunat
semata-mata, yang dilakukan sesudah wudlu. Hadits yang diriwayatkan Bilal itu,
tidaklah menunjukkan bahwa wudlu adalah suatu sebab, seperti gerhana dan
tahiyyat masjid, sehingga ia niatkan 2 raka’at wudlu. Maka mustahillah
diniatkan dengan shalat, akan wudlu, tetapi seyogyalah diniatkan dengan wudlu
akan sholat. Bagaimanakah dapat teratur, untuk ia mengatakan pada wudlunya “aku
wudlu untuk sholatku” dan ia mengatakan pada shalatnya: “aku bershalat untuk
wudluku ?”. Tetapi orang yang bermaksud menjaga wudlunya dari kekosongan pada
waktu dimakruhkan itu, hendaklah ia meniatkan qodlo jika mungkin ada dalam
tanggungan nya sesuatu sholat, yang belum dilaksanakan karena sesuatu sebab.
Dan mengkodokan sholat pada waktu-waktu dimakruhkan, adalah tidak makruh.
Adapun niat berbuat sunat, maka tidak adalah cara baginya. Mengenai larangan
pada waktu-waktu yang dimakruhkan, mempunyai 3 hal penting:
1. Menjaga daripada penyerupaan dengan
penyembah-penyembah matahari.
2. Menjaga daripada bertebaran setan-setan,
karena sabda Nabi saw: “Sesungguhnya matahari itu terbit dan bersamanya
disertai setan. Apabila ia terbit, maka setan menyertainya dan apabila matahari
itu meninggi, lalu memisahkan diri daripadanya. Ketika tengah hari setan itu
menyertai matahari lagi. Apabila telah gelincir, lalu setan itu memisahkann
diri daripadanya. Dan apabila matahari itu hampir terbenam, maka setan itu
menyertainya. Dan apabila telah terbenam, lalu setan itu memisahkan diri
daripadanya”. Nabi saw melarang shalat
pada waktu-waktu yang tersebut serta diberitahukan sebab-sebabnya.
3. Bahwa mereka yang berjalan pada jalan
akhirat, senantiasa rajin mengerjakan shalat pada segala waktu. Dan kerajinan
atas sesuatu bentuk daripada beberapa ibadah, mendatangkan kebosanan. Maka
manakala datang larangan daripada ibadah itu pada suatu saat, niscaya
bertambahlah semangat dan bangkitlah kemauan yang mendorong untuk
mengerjakannya. Dan manusia itu amat suka
mengerjakan sesuatu yang dilarang. Maka dalam pengosongan segala
waktu tersebut, adalah menambahkan kemauan dan hasrat, untuk menunggu habisnya waktu itu. Dari itu,
ditentukan segala waktu ini, dengan bertasbih dan beristighfar. Karena menjaga
daripada kebosanan dengan terus-menerus dengan semacam ibadah dan memperoleh
kegembiraan dengan berpindah daripada semacam ibadah kepada macam yang lain.
Maka dalam perpindahan pekerjaan dan pembaruannya, datanglah kesenangan dan
kerajinan. Dan dalam tetapnya bekerja dengan sesuatu pekerjaan, datanglah
perasaan berat dan bosan. Dari itu, tidaklah shalat, semata-mata sujud,
tidaklah semata-mata ruku’ dan semata-mata berdiri. Tetapi segala ibadah itu,
adalah tersusun daripada bermacam-macam amal perbuatan dan berbagai macam
dzikir. Karena hati memperoleh kelezatan baru daripada berbuat dengan amalan
dan bacaan tadi, ketika berpindah kepadanya. Kalau dibiasakan kepada semacam
saja niscaya segeralah datang kebosanan.
Apabila 3 perkara yang tersebut itu, adalah hal-hal yang penting,
tentang terlarang mengerjakan shalat pada waktu-waktu yang dimakruhkan dan
lain-lain sebagainya, dari kunci-kunci rahasia yang tidak dapat diketahui,
menurut kekuatan otak manusia, hanya Allah dan RasulNYAlah yang mengetahuinya, maka
hal-hal yang penting itu, tidaklah dibiarkan begitu saja, kecuali dengan
sebab-sebab yang penting pula pada agama. Seumpama mengqodokan shalat-shalat,
shalat minta hujan, shalat gerhana bulan dan shalat tahiyyat masjid. Adapun apa
yang lemah daripadanya, maka tidak layaklah maksud dari larangan itu dilanggar.
Inilah, yang lebih kuat menurut pendapat kami! Wallahu a’lam! (Allah Yang Maha
Tahu!). telah selesailah “Kitab Rahasia-rahasia Shalat”, dari “Kitab Ihya’
Ulumiddin”, yang akan disambung, insya Allah, dengan “Kitab Rahasia-rahasia
Zakat”, dengan segala pujian kepada Allah, atas pertolongan dan kebaikan taufiq
Allah. Segala pujian bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan rahmat Allah kepada
sebaik-baik makhluk Allah Muhammad dan kepada keluarga serta sekalian
shahabatnya, dengan kesejahteraan yang sebanyak-banyaknya!.