KITAB KEESAAN DAN TAWAKKAL.
Yaitu: Kitab Ke-5 dari “Rubu’ Yang
Melepaskan” dari Kitab Ihya’ Ulumiddin.
Segala pujian bagi Allah Yang Mengatur
alam nyata dan alam ghaib, Yang sendirian dengan keagungan dan keperkasaan,
Yang meninggikan langit, dengan tidak bertiang, Yang mengkadarkan rezeki-rezeki
hamba, Yang memalingkan mata orang-orang yang mempunyai hati dan akal daripada
memperhatikan perantaraan-perantaraan dan sebab-sebab, kepada Yang Menyebabkan
segala sebab. Allah yang meninggikan cita-cita mereka daripada menoleh kepada
yang selain daripadaNya dan berpegang kepada pengatur yang lain. Mereka tidak
menyembah, selain Dia. Karena tahu, bahwa Dia Yang Esa, Tunggal, Tuhan yang
menjadi tempat meminta. Dan karena keyakinan, bahwa semua jenis makhluk adalah
hambaNya, seperti mereka, yang Allah tidak menuntut rezeki pada mereka. Bahwa
tiada seberat atompun, melainkan kejadiannya adalah dari Allah. Tiada yang
merangkak di atas bumi, melainkan rezekinya atas Allah. Tatkala mereka
meyakini, bahwa Ia yang menjamin rezeki hamba-hambaNya, yang menanggung
kehidupan mereka, niscaya mereka bertawakkal kepadaNya. Mereka lalu mengatakan:
mencukupilah Allah bagi kita dan sebaik-baik tempat menyerah diri. Rahmat
kepada Muhammad yang mencegah segala yang batil/salah, yang menunjuk kepada
jalan yang betul. Dan rahmat juga kepada seluruh keluarganya. Curahkanlah
kesejahteraan dengan sebanyak-banyaknya !
Adapun kemudian, bahwa
tawakkal itu suatu tempat dari tempat-tempat agama, suatu maqam dari maqam
orang-orang yang yakin. Bahkan tawakkal itu termasuk derajat yang tinggi bagi
orang-orang al-muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah).
Tawakkal itu sendiri agak kabur dari segi ilmu. Kemudian, sukar dari segi amal.
Segi kekaburan nya dari pihak pemahaman, ialah: bahwa memperhatikan sebab-sebab
dan berpegang kepada sebab-sebab itu bersekutu pada keesaan (pengesaan Tuhan).
Berberat-beratan pada pemerhatian secara keseluruhan daripadanya itu suatu
tusukan pada sunnah Nabi saw dan celaan pada agama. Berpegang kepada
sebab-sebab, tanpa melihat akan sebab-sebab itu, pengobahan pada segi akal dan
penjerumusan dalam lembah kebodohan. Pentahkikan/penjelasan makna tawakkal di
atas cara, yang bersesuaian dengan kehendak keesaan, yang diambil dari Nabi saw
dan agama itu sangat kabur dan sukar. Tiada sanggup menyingkapkan tutup ini,
serta bersangatan tersembunyinya, selain ulama-ulama yang terbilang ahli, yang
bercelakkan matanya dari kurnia Allah Ta’ala dengan cahaya hakikat/makna. Lalu
mereka dapat melihat dan menjelaskan (dapat membuktikan dengan dalil). Kemudian
mereka menuturkan dengan terang, dari apa yang disaksikan mereka, dari segi
yang dituturkannya. Sekarang, mari kita mulai dengan menyebutkan keutamaan
tawakkal, atas jalan pendahuluan. Kemudian, kita ikutkan dengan keesaan pada
bahagian pertama dari kitab ini. Dan kita sebutkan hal tawakkal dan amalannya
pada bahagian kedua.
PENJELASAN: keutamaan
tawakkal.
Adapun dari ayat-ayat, maka Allah
Ta’ala berfirman: “Bertawakkallah kepada Allah, kalau kamu betul-betul orang
yang beriman”. S 5 Al Maaidah ayat 23. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Maka
bertawakkallah kepada Allah orang-orang yang bertawakkal”. S 14 Ibrahim ayat
12. Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah
mencukupkan keperluannya”. S 65 Ath Thalaaq ayat 3. Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal”. S 3 Ali ‘Imran ayat
159. Allah mengagungkan orang yang bertawakkal itu dengan suatu kedudukan
(maqam) yang dinamakan: mencintai Allah Ta’ala. Pakaiannya terjamin dengan
cukupnya Allah Ta’ala baginya. Nikmat Allah Ta’ala mencukupkan dan memadai
baginya, yang mencintai dan yang memeliharainya. Maka ia memperoleh kemenangan
besar. Bahwa yang dicintai itu tidak akan diazabkan. Tidak dijauhkan dan tidak
dihijabkan (didindingi antaranya dan Allah Ta’ala). Allah Ta’ala berfirman:
“Bukankah Allah telah mencukupkan keperluan hambaNya ?”. S 39 Az Zumar ayat 36.
Orang yang mencari keperluannya dari selain Allah Ta’ala, maka orang tersebut
meninggalkan tawakkal. Ia mendustakan ayat di atas tadi. Itu adalah persoalan
pada pembentangan penuturan dengan kebenaran, seperti firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya telah datang kepada manusia suatu masa, ketika itu dia belum ada
suatu apapun yang dapat disebut”. S 76 Al Insaan ayat 1. Allah ‘Azza Wa Jalla
berfirman: “Siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Kuasa
dan Maha Bijaksana”. S 8 Al Anfaal ayat 49. Artinya: Maha Kuasa, yang tidak
hina dari orang yang meminta upah kepadaNya. Ia tidak menyia-nyiakan akan orang
yang merasa kesenangan di sampingNya. Dan yang berlindung dalam genggaman dan
penjagaanNya. Ia Maha Bijaksana, yang tidak teledor pada pengaturan orang yang
bertawakkal (yang menyerahkan diri) kepada pengaturanNya. Allah Ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya mereka yang engkau serukan (yang engkau berdoa)
kepadanya, yang bukan Allah, adalah hamba-hamba yang serupa dengan kamu”. S 7
Al A’raaf ayat 194. Diterangkan, bahwa setiap apa yang selain Allah Ta’ala itu
hamba yang dijadikan. Hajat keperluannya sama dengan hajat keperluan kamu. Maka
bagaimana bertawakkal kepadanya ? Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya mereka
yang kamu sembah selain dari Allah, mereka tiada memiliki rezeki bagi kamu.
Maka carilah rezeki dari Allah dan sembahlah Dia !”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 17.
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Kepunyaan Allah perbendaharaan langit dan
bumi, tetapi kaum munafiq itu tiada mengerti”. S 63 Al Munafiquun ayat 7. Allah
‘Azza Wa Jalla berfirman: “IA (Allah) yang mengatur urusan, tidak ada penolong,
melainkan dengan izinNya”. S 10 Yunus ayat 3. Setiap apa yang disebutkan dalam
Alquran dari hal keesaan, maka itu pemberitahuan kepada putusnya perhatian dari
segala yang lain. Dan bertawakkal kepada Yang Esa, Yang Maha Perkasa.
Adapun hadits-hadits,
diantaranya sabda Nabi saw menurut apa yang dirawikan oleh Ibnu Mas’ud ra:
“Diperlihatkan kepadaku umat-umat dahulu pada suatu musim. Lalu aku melihat
umatku sudah memenuhi tanah datar dan bukit. Maka sangatlah mengherankan aku
oleh banyaknya dan keadaan mereka. Lalu ditanyakan kepadaku: “Senangkah engkau
yang demikian ?”. Aku menjawab: “Ya, senang !”. Lalu dikatakan: “Bersama mereka
70 ribu orang yang masuk sorga, dengan tiada hisab (hitungan amal)”. Lalu
ditanyakan: “Siapakah mereka, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Mereka
yang tidak bertenung, yang tiada menengok untungnya dengan sesuatu dan tiada
meminta dijampikan. Kepada Tuhan mereka bertawakkal !”.
Lalu Ukasyah bangun
berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah ! berdoalah kiranya Allah menjadikan aku
sebahagian dari mereka”. Rasulullah saw lalu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku !
jadikanlah Ukasyah sebahagian dari mereka”. Yang lain lalu bangun berdiri pula
dan berkata: “Wahai Rasulullah ! berdoalah kiranya Allah menjadikan aku
sebahagian dari mereka”. Nabi saw menjawab: “Telah didahului engkau dengan yang
demikian oleh Ukasyah”. Nabi saw bersabda: “Kalau kamu bertawakkal kepada Allah
dengan tawakkal yang sebenarnya, niscaya Ia memberikan rezeki kepada kamu,
sebagaimana IA memberikan rezeki kepada burung. Pagi-pagi burung itu terbang
dengan perut kosong dan sorenya kembali dengan perut penuh”. Nabi saw bersabda:
“Siapa yang berpegang teguh kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya ia dicukupkan
oleh Allah Ta’ala setiap perbelanjaan. Dan diberikannya rezeki dimana tidak
disangkakannya. Dan siapa yang berpegang teguh kepada dunia, niscaya ia
diserahkan oleh Allah kepada dunia”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang merasa
senang, bahwa dia manusia yang terkaya, maka hendaklah ia lebih mempercayai
dengan apa yang pada Allah, daripada dengan apa yang dalam tangannya”.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa apabila suatu kesusahan menimpa
keluarganya, maka beliau bersabda: “Bangunlah mengerjakan shalat”. Dan beliau
menyambung: “Dengan ini, aku disuruh oleh Tuhanku ‘Azza Wa Jalla. Ia ‘Azza Wa
Jalla berfirman: “Dan suruhlah keluarga engkau mengerjakan shalat dan tetap
mengerjakan nya. Kami tiada meminta rezeki kepada engkau, hanya Kami yang
memberi rezeki engkau dan akhirat (yang baik) adalah untuk (orang yang)
memelihara diri dari kejahatan”. Nabi saw bersabda: “Tiadalah bertawakkal orang
yang meminta dijampikan dan bertenung”. Diriwayatkan, bahwa tatkala Jibril as
berkata kepada Ibrahim as dan Ibrahim as sudah dilemparkan ke dalam api dengan
manjanik (alat peperangan orang dahulu): “Apakah engkau ada keperluan ?”. Maka
Ibrahim as menjawab: “Kepada engkau, tiada ada”, sebagai menepati ucapannya:
“Allah mencukupkan bagiku dan sebaik-baik yang menerima penyerahan (al-wakil)”.
Karena Ibrahim as mengucapkan yang demikian, ketika beliau diambil, untuk
dilemparkan ke dalam api. Maka Allah Ta’ala menurunkan firmanNya: “Dan Ibrahim
yang memenuhi (kewajibannya)”. S 53 An Najm ayat 37.
Allah Ta’ala menurunkan
wahyu kepada nabi Daud as: “Hai Daud ! tiada dari hamba yang berpegang teguh
dengan Aku, tidak kepada makhlukKu, lalu ia ditipu oleh langit dan bumi,
melainkan Aku jadikan baginya jalan keluar”.
Adapun atsar, maka kata
Sa’id bin Jubair: “Aku disengat kalajengking. Lalu ibuku bersumpah kepadaku,
untuk ia meminta dijampikan. Maka aku berikan kepada tukang jampi itu tanganku
yang tidak disengat”. Ibrahim Al-Khawwash membaca firman Allah Ta’ala: “Bertawakkallah
kepada (Allah) yang Hidup, tiada mati dan bertasbihlah dengan memujiNya ! dan
Ia cukup mengetahui dosa-dosa hambaNya”. S 25 Al Furqaan ayat 58. Lalu Ibrahim
Al-Kawwash menyambung: “Tiada seyogyalah bagi hamba sesudah ayat ini, bahwa
berlindung kepada seseorang, selain kepada Allah Ta’ala”. Dikatakan kepada
sebahagian ulama, dalam tidurnya: “Siapa yang mempercayai Allah Ta’ala, maka ia
telah memelihara makanan yang dimakannya”. Kata setengah ulama: “Tidaklah
engkau disibukkan oleh rezeki yang ditanggung bagi engkau, dari amalan yang
diwajibkan atas engkau. Kalau demikian, maka engkau menyia-nyiakan urusan
akhirat engkau. Dan engkau tiada memperoleh dari dunia, selain apa yang telah
ditetapkan oleh Allah bagi engkau”.
Yahya bin Ma’adz berkata: “Pada
adanya rezeki bagi hamba, tanpa dicari, menunjukkan bahwa rezeki itu disuruh
mencari hamba”. Ibrahim bin Adham berkata: “Aku bertanya kepada sebahagian
padri: “Darimana engkau makan ?”. Padri itu menjawab kepadaku: “Tiada ilmu ini
padaku. Akan tetapi, tanyakanlah kepada Tuhanku, darimana Ia memberi makan
kepadaku !”.
Harm bin Hayyan bertanya
kepada Uwais Al-Qarani: “Kemana engkau suruh aku, supaya aku berada ?”. Uwasi
Al-Qarani menunujukkan ke Syam (Siria). Harm bertanya: “Bagaimana penghidupan
?”. Uwais menjawab: “Eh, yang punya hati ini ! sudah bercampur dengan keraguan.
Tidak bermanfaat pengajaran”. Sebahagian mereka berkata: “Manakala engkau rela
Allah menjadi Wakil, niscaya engkau memperoleh jalan kepada setiap kebajikan”.
Kita bermohon kepada Allah Ta’ala akan baiknya adab pengajaran.
PENJELASAN: hakikat/makna
keesaan yang menjadi pokok tawakkal.
Ketahuilah kiranya, bahwa tawakkal itu
sebahagian dari pintu iman. Semua pintu iman itu tidak teratur, selain dengan:
ilmu, hal keadaan dan amal. Dan tawakkal seperti demikian juga, akan teratur
dari ilmu, yang menjadi pokoknya. Amal itu buah (hasil). Dan hal-keadaan itu
yang dimaksud dengan nama: tawakkal. Maka marilah kita mulai dengan: penjelasan
ilmu yang menjadi pokoknya. Dan itulah yang dinamakan: iman pada pokok lisan.
Karena iman, ialah: pembenaran (at-tashdiq). Setiap at-tashdiq dengan hati,
maka itu: ilmu. Apabila telah kuat, niscaya dinamakan: yakin. Akan tetapi,
pintu yakin itu banyak. Dan kita hanya memerlukan dari pintu-pintu itu, apa
yang kita bangunkan tawakkal padanya. Yaitu: keesaan, yang diterjemahkan oleh
ucapan engkau: “Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu (Tiada yang
disembah, selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada bagiNya sekutu)”. Dan
iman itu dengan kemampuan yang diterjemahkan oleh ucapan engkau daripadanya.
bagiNya (Allah) kerajaan, iman dengan kemurahan dan hikmah yang ditunjukkan
oleh ucapan engkau: “Wa lahul-hamdu (BagiNya segala pujian)”. Dan siapa yang
mengucapkan: “Laa ilaaha illallaahu wahdahu, laa syariika lahu, lahul-mulku wa
lahul-hamdu, wa huwa ‘alaa kulli syai-in qadiirun (Tiada yang disembah, selain
Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada bagiNya sekutu. BagiNya kerajaan dan
pujan. Dan Dia berkuasa atas tiap sesuatu)”, niscaya sempurnalah baginya iman yang
menjadi pokok tawakkal. Yakni: bahwa jadilah makna ucapan ini suatu sifat yang
harus bagi hatinya, yang mengerasinya.
Adapun keesaan, maka itu
pokok. Pembicaraan mengenainya itu akan panjang. Dia itu termasuk: (mukasyafah)
ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Akan tetapi, sebahagian ilmu diminta
untuk mengetahuinya saja itu menyangkut dengan amal, dengan perantaraan: hal
keadaan. Dan ilmu mu’amalah (perniagaan jual beli yang diminta mengetahuinya
hendaklah diamalkan) tiada akan sempurna, selain dengan perantaraan hal keadaan
itu.
Jadi, tidak kita
kemukakan, selain sekadar yang menyangkut dengan: mu’amalah (jual beli). Kalau
tidak, maka keesaan itu adalah lautan lepas, yang tiada bertepi. Maka sekarang
kami jelaskan: Bahwa keesaan itu mempunyai 4 tingkat. Yaitu, terbagi kepada:
isi, isi dari isi, kulit dan kulit dari kulit. Marilah kita beri contoh yang
demikian, untuk mendekatkan kepada paham-paham yang lemah, dengan buah kelapa
mengenai kulitnya yang di atas. Bahwa buah kelapa itu mempunyai dua kulit,
mempunyai isi. Dan isi itu mempunyai minyak, yaitu: isi dari isi.
1. Tingkat pertama dari keesaan. Ialah: bahwa insan mengucapkan
dengan lisannya: Laa Ilaaha Illallaahu dan hatinya lalai atau memungkirinya,
seperti: keesaan orang-orang munafik.
2. Tingkat kedua: bahwa dibenarkan oleh hatinya akan
makna lafal/pengucapan, sebagaimana dibenarkan oleh umumnya kaum muslimin. Yaitu:
iktikad/keyakinan orang awam.
3. Tingkat ketiga: bahwa dipersaksikan yang demikian
dengan jalan kasyaf (terbuka hijab), dengan perantaraan cahaya kebenaran
(nurul-haq). Yaitu: maqam orang-orang muqarrabin. Yang demikian, dengan
dilihatnya segala sesuatu yang banyak. Akan tetapi, dilihatnya atas banyaknya
itu datang dari Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Perkasa.
4. Tingkat keempat: bahwa tiada dilihatnya pada yang ada
(pada wujud), selain Yang Esa. Maka tiada dilihatnya juga akan dirinya sendiri.
Apabila ia tidak melihat dirinya sendiri, karena tenggelam dengan keesaan,
niscaya ia fana (lenyap) dari dirinya sendiri, ke dalam keesaannya. Dengan
arti: bahwa ia telah fana daripada melihat dirinya dan makhluk.
Maka yang pertama
itu orang yang berkeesaan dengan lisan semata-mata. Yang demikian itu,
memelihara orang yang demikian di dunia, dari pedang dan mata tombak.
Kedua: orang yang berkeesaan dengan arti: bahwa
ia beriktikad/berkeyakinan dengan hatinya, yang dipahami lafalnya/ucapannya.
Hatinya terlepas dari pendustaan dengan apa yang diikat oleh hatinya. Yaitu
ikatan atas hati, yang tidak ada padanya kelapangan dan keluasan. Akan tetapi,
keyakinan itu menjaga yang punya keyakinan tadi dari azab di akhirat, jikalau
ia meninggal dan tidak lemah ikatannya disebabkan perbuatan-perbuatan maksiat.
Ikatan ini mempunyai daya-upaya yang dimaksudkan untuk melemahkannya dan
merombakkannya, yang dinamakan: bid’ah (yang diada-adakan). Ia mempunyai
daya-upaya yang dimaksudkan menolak daya upaya perombakan dan pelemahan. Dan
dimaksudkan juga pengokohan ikatan ini dan penguatannya atas hati. Dan
dinamakan: ilmu kalam (kata-kata). Orang yang mengetahui ilmu ini, dinamakan: Mutakallim
(ahli ilmu kalam). Dia itu lawan dari mubtadi’ (ahli pembuat bid’ah).
Maksudnya: menolak mubtadi’(ahli pembuat bid’ah), daripada perombakan ikatan
ini dari hati orang awam. Kadang-kadang dikhususkan Mutakallim(ahli ilmu kalam),
dengan nama muwahhid (orang yang berkeesaan), dari segi ia menjaga dengan ilmu
kalamnya akan pengertian ucapan keesaan atas hati orang awam, sehingga tidak
terlepas ikatannya.
Ketiga: orang yang berkeesaan dengan arti,
bahwa ia tidak menyaksikan, selain Pencipta Yang Esa, apabila terbuka baginya
kebenaran, sebagaimana yang sebenarnya. Ia tidak melihat Pencipta pada
hakikat/maknanya, selain Esa. Telah tersingkap baginya hakikat/makna,
sebagaimana yang sebenarnya. Tidak dengan ia memberatkan hatinya, bahwa
beritikad kepada yang dipahami dari ucapan hakikat/makna. Karena yang demikian
itu tingkat orang awam dan orang-orang ahli ilmu kalam (berkata-kata). Karena
orang ahli ilmu kalam tidak berbeda dengan orang awam tentang itikad/keyakinan.
Akan tetapi, pada pembuatan rekaan kata, dimana dengan kata itu ia menolak daya
upaya tukang pembuat bid’ah (yang diada-adakan), dari melepaskan ikatan ini.
Keempat: orang yang berkeesaan dengan arti,
bahwa ia tidak menghadirkan dalam kesaksiannya, selain Yang Esa. Maka ia tidak
melihat setiap sesuatu dari segi, bahwa itu banyak, akan tetapi dari segi bahwa
itu Yang Esa. Inilah penghabisan yang terjauh pada keesaan.
Yang pertama itu, seperti
kulit yang teratas dari kelapa. Yang kedua, seperti kulit yang terbawah. Yang
ketiga seperti isi. Dan yang keempat, seperti minyak yang dikeluarkan dari isi.
Sebagaimana kulit yang teratas dari kelapa, tak ada kebajikan padanya, bahkan
kalau dimakan, maka dia itu pahit rasanya, kalau dipandang ke dalamnya, maka
dia itu buruk pandangannya, kalau dibuat untuk kayu api, niscaya memadamkan api
dan membanyakkan asap dan kalau dibiarkan dalam rumah, niscaya menyempitkan
tempat, maka ia tidak patut, selain dibiarkan untuk sementara guna pemeliharaan
kepada kelapa, kemudian dilemparkan daripadanya, maka seperti demikianlah
keesaan, dengan lisan semata-mata, tanpa pembenaran (tashdiq) dengan hati,
tidaklah berfaedah, banyaklah melarat, tercela zahir dan batinnya. Akan tetapi,
bermanfaat untuk sementara pada menjaga kulit yang terbawah, sampai kepada
waktu mati. Dan kulit yang terbawah, ialah: hati dan badan.
Keesaan orang munafik itu
memelihara badannya dari pedang orang-orang yang berperang. Orang-orang yang
berperang itu tidak disuruh memecah kan hati. Dan sesungguhnya pedang itu
mengenakan tubuh dari badan. Yaitu: kulit. Dan terlepas daripadanya dengan
mati. Maka tidak ada lagi faedah bagi keesaannya sesudahnya. Sebagaimana kulit
terbawah itu tampak manfaatnya dengan dikaitkan kepada kulit yang teratas, maka
ia menjaga isi dan memeliharakannya dari kerusakan ketika disimpan. Apabila
dipisahkan, niscaya mungkin dimanfaatkan untuk kayu api. Akan tetapi, turun
kadarnya dengan dikaitkan kepada isi. Begitu juga, semata-mata i’tiqad
(keyakinan), tanpa tersingkap banyaknya manfaat, dengan dikaitkan kepada
semata-mata penuturan lisan itu kurang kadarnya, dengan dikaitkan kepada
tersingkap dan penyaksian yang berhasil dengan terbukanya dada dan
kelapangannya, tersinarnya nur kebenaran padanya. Karena keterbukaan itu, ialah
yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Maka siapa yang dikehendaki oleh
Allah bahwa memberi petunjuk kepadanya, niscaya dibukakanNya dadanya untuk
Islam”. S 6 Al An’aam ayat 125. Dan dengan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Maka
adakah orang-orang yang dibukakan Allah dadanya untuk menerima agama Islam,
lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)
?”. S 39 Az Zumar ayat 22. Sebagaimana isi itu amat berharga pada dirinya
dengan dikaitkan kepada kulit dan setiapnya itu dimaksudkan, akan tetapi tidak
terlepas dari campuran pemerasan, dengan dikaitkan kepada minyak yang
dikeluarkan daripadanya, maka seperti demikian juga keesaan amal itu maksud
yang tinggi bagi orang-orang salik (orang yang berjalan ke jalan Allah). Akan
tetapi, ia tidak terlepas dari campuran pemerhatian yang lain dan penolehan
kepada yang banyak, dibandingkan kepada orang yang tidak berpenyaksian, selain
Yang Esa Yang Benar.
Kalau anda bertanya:
bagaimana tergambar bahwa tidak dipersaksikannya, selain Yang Esa, sedang ia
menyaksikan langit, bumi dan tubuh-tubuh lain yang dapat dirasakan dengan
pancaindra. Dan itu banyak. Maka bagaimanakah ada yang banyak itu satu ?
Ketahuilah kiranya, bahwa ini tujuan ilmumukasyafah (ilmu diminta untuk
mengetahuinya saja). Rahasia ilmu ini, tidak boleh digariskan dalam buku.
Orang-orang yang berilmu ma’rifah mengatakan, bahwa menyiarkan rahasia
ketuhanan itu kufur.
Kemudian, itu tidak
menyangkut dengan ilmu mu’amalah (jual beli). Benar, menyebutkan apa yang
memecahkan tanda kejauhan anda itu mungkin. Yaitu, bahwa sesuatu itu
kadang-kadang ada ia banyak dengan semacam musyahadah (penyaksian) dan i’tibar
(ibarat). Dan ia satu dengan macam
yang lain, dari penyaksian dan ibarat. Ini sebagaimana manusia itu banyak
jikalau dipandang kepada nyawanya, tubuhnya, sendi-sendinya, urat-uratnya,
tulang-tulangnya dan isi-isi perutnya. Dan itu, dengan ibarat dan penyaksian
yang lain adalah satu. Karena kita mengatakan, bahwa dia itu manusia yang satu.
Dia dengan dikaitkan kepada kemanusiaan itu satu. Berapa banyak orang yang
menyaksikan seorang insan dan tidak terguris di hatinya akan banyaknya
perutnya, urat-uratnya, sendi-sendinya, penguraian rohnya, tubuhnya dan anggota
badannya. Perbedaan diantara keduanya, ialah tentang keadaan menghabisi
seluruhnya dan menyawuknya/ meraup itu
menghabiskan dengan satu, yang tak ada padanya pemisah-misahan. Seakan-akan
dalam pandangan pengumpulan. Dan dipandang kepada banyaknya itu dalam
pemisah-misahan. Maka seperti demikianlah setiap apa pada wujud dari Al-Khaliq
(yang maha pencipta) dan makhluq, mempunyai ibarat-ibarat
dan penyaksian-penyaksian banyak yang bermacam-macam. Dengan ibarat yang
satu dari ibarat-ibarat itu adalah satu. Dan dengan ibarat-ibarat yang lain,
selainnya itu banyak. Sebahagiannya sangat banyak dari sebahagian yang lain.
Contohnya: manusia. Walaupun tidak bersesuaian dengan maksud, akan tetapi
memberitahu kan dalam keseluruhan, atas cara kembalinya yang banyak dalam hukum
penyaksian itu satu. Jelas dengan uraian ini meninggalkan penentangan dan
pengingkaran bagi maqam (tingkat) yang tidak sampai anda kepadanya. Dan anda
beriman kepadanya dengan iman pembenaran. Maka adalah bagi anda, dari segi anda
itu beriman dengan keesaan ini, mempunyai bahagian. Walaupun tidak yang anda
imankan itu sifat anda. Sebagaimana apabila anda beriman dengan kenabian,
walaupun anda bukan nabi, niscaya anda mempunyai bahagian daripadanya sekadar
kuatnya iman anda.
Penyaksian ini, yang tidak
menampak padanya selain Yang Esa, Yang Benar, sekali ia kekal dan sekali ia
datang seperti kilat yang menyambar. Dan itulah yang terbanyak. Dan yang kekal terus-menerus itu jarang dan sukar. Kepada
inilah, diisyaratkan oleh Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj, ketika ia melihat
Ibrahim Al-Khawwash yang berkeliling dalam perjalanannya. Lalu ia bertanya:
“Dengan apa anda ini?”. Ibrahim Al-Khawwash menjawab: “Aku berkeliling dalam
perjalanan, untuk aku betulkan keadaanku pada tawakkal”. Dan dia itu termasuk
orang-orang yang bertawakkal. Al-Husain menjawab: “Anda telah menghabiskan umur
anda dalam membangun batiniah anda. Maka dimanakah dihabiskan dalam keesaan ?”.
Seakan-akan Ibrahim Al-Khawwash berada dalam membetulkan maqam ketiga pada
keesaan. Maka diminta oleh Al-Husain Al-Hallaj dengan maqam keempat. Inilah
maqam-maqam orang-orang yang berkeesaan mengenai keesaan atas jalan ijmal
(tidak terperinci).
Jikalau anda berkata,
bahwa tak boleh tidak untuk ini, dari uraian sekadar yang memberi pengertian
cara pembinaan tawakkal, maka aku berkata: Adapun yang keempat, maka tidak
boleh dimasuki dalam menjelaskannya. Dan tidaklah pula tawakkal itu terbina
diatasnya. Akan tetapi keadaan tawakkal itu berhasil dengan keesaan yang
ketiga. Adapun yang pertama, yaitu: kemunafikan, maka itu jelas. Adapun yang
kedua, yaitu i’tikad/keyakinan, maka itu ada pada umumnya kaum muslimin. Jalan
menguatkannya dengan berkata-kata (al-kalam) dan menolak daya-upaya golongan
pembuat bid’ah (yang diada-adakan) padanya itu, disebutkan pada “Ilmu Kalam
(berkata-kata)”. Dan telah kami sebutkan dalam Kitab Al-Iqtishad Fil-I’tiqad
(keyakinan), kadar yang penting daripadanya. Adapun yang ketiga, maka yaitu:
yang terbina tawakkal diatasnya. Karena semata-mata keesaan dengan keyakinan itu
tidak mewariskan keadaan tawakkal. Maka marilah kami sebutkan daripadanya kadar
yang mengikatkan tawakkal, tanpa penguraiannya yang tidak dapat dipikul oleh
Kitab yang seperti ini. Hasilnya, ialah bahwa tersingkap bagi anda, bahwa tak
ada pembuat, selain Allah Ta’ala. Dan setiap yang ada itu dari ciptaan, rezeki,
pemberian dan pencegahan, hidup dan mati, kaya dan miskin dll dari apa yang
diberikan nama.
Maka yang Sendirian dengan
menjadikan dan menciptakannya, ialah: Allah ‘Azza Wa Jalla. Ia tidak mempunyai
sekutu padanya. Apabila tersingkap ini bagi anda, niscaya anda tidak memandang
kepada yang lain daripadaNya. Bahkan kepadaNya-lah takut anda. kepadaNya-lah
harapan anda. kepadaNya-lah kepercayaan anda. kepadaNya-lah tawakkal anda.
Sesungguhnya Allah Pembuat dengan sendirian, tanpa yang lain. Apa yang
selainNya itu dijadikan dengan patuh. Tiada kebebasan bagi mereka dengan
menggerakkan suatu atom dari alam langit yang tinggi dan bumi. Apabila
terbukalah bagi anda pintu-pintu diminta untuk mengetahuinya saja, niscaya
teranglah bagi anda akan ini, dengan terangnya yang paling sempurna,
dibandingkan dengan penyaksian dengan penglihatan mata. Sesungguhnya anda
dicegah oleh setan dari keesaan ini, pada kedudukan yang dikehendakinya bahwa
berjalan kehati anda campuran syirik dengan 2sebab:
Pertama: menoleh kepada usaha (ikhtiar)
hewan-hewan (benda-benda yang hidup).
Kedua: menoleh kepada benda-benda beku
(al-jamadat).
Adapun menoleh kepada
benda-benda beku, maka seperti pegangan anda kepada hujan, pada keluarnya
tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan dan pertumbuhannya. Kepada awan mendung pada
turunnya hujan. Kepada dingin pada berkumpulnya awan mendung. Dan kepada angin
pada lurusnya kapal dan jalannya. Semua ini adalah syirik dalam keesaan dan
kebodohan dengan hakikat/makna segala sesuatu. Karena itulah Allah Ta’ala
berfirman: “Apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan
seikhlas hatinya, tetapi setelah mereka diselamatkan oleh Allah ke daratan,
tiba-tiba mereka mempersekutukan (Allah dengan yang lain)”. S 29 Al ‘Ankabuut
ayat 65.
Ada yang mengatakan, bahwa maknanya, ialah:
mereka mengatakan: jikalau tidaklah lurusnya angin, niscaya tidaklah kita
selamat. Siapa yang tersingkap baginya hal-keadaan alam, sebagaimana adanya,
niscaya ia mengetahui, bahwa angin ialah udara. Dan udara itu tidaklah bergerak
sendiri, sebelum digerakkan oleh penggerak. Demikian pula penggeraknya. Dan
begitulah seterusnya, sehingga berkesudahan kepada Penggerak Pertama yang tidak
ada lagi penggerak baginya. Dan tidaklah dia itu yang bergerak pada Dirinya
Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka menolehnya hamba pada terlepasnya dari bahaya kepada
angin itu menyerupai dengan menolehnya orang yang diambil untuk dipotong
lehernya. Lalu raja menulis menanda-tangani, dengan memberi maaf dan
melepaskannya. Lalu orang tersebut selalu menyebutkan tinta, kertas dan pena
yang dengan barang-barang itu tanda-tangan itu dituliskan. Ia mengatakan:
jikalau tidaklah pena itu, niscaya aku tidaklah terlepas. Ia melihat
kelepasannya, ialah dari pena. Tidak dari yang menggerakkan pena. Dan dia itu
sangat bodoh. Orang yang mengetahui, bahwa pena itu tidak mempunyai ketentuan
pada dirinya dan pena itu terletak urusannya dalam tangan si penulis, niscaya
ia tidak akan menoleh kepada pena itu. Dan ia tidak berterima-kasih, selain
kepada si penulis. Bahkan ia diharukan oleh kegembiraan terlepasnya dari bahaya
dan ia berterima kasih kepada raja dan si penulis, daripada terguris di hatinya
akan pena, tinta dan dawat (tidak terpisahkan antara tinta dan pena).
Matahari, bulan,
bintang-bintang, hujan, awan mendung, bumi dan setiap hewan dan benda keras itu
dijadikan dalam genggaman Qudrah(kuasa), seperti terjadinya pena dalam tangan
si penulis. Bahkan ini perumpamaan pada diri anda, karena keyakinan anda, bahwa raja yang bertanda
tangan itu, ialah: penulis tanda-tangan. Dan yang sebenarnya, bahwa Allah Yang
Maha Suci dan Yang Maha Tinggi, Dialah yang menulis. Karena firman Allah
Ta’ala: “Dan tidaklah engkau yang melemparkan ketika engkau melempar, melainkan
Allah yang melempar”. S 8 Al Anfaal ayat 17. Apabila tersingkap bagi anda,
bahwa semua apa yang di langit dan apa yang di bumi itu dijadikan atas cara
ini, niscaya berpalinglah setan dari anda dengan perasaan kecewa. Ia putus asa
daripada mencampurkan keesaan anda dengan syirik ini.
Lalu ia mendatangi anda
pada kebinasaan kedua. Yaitu: penolehan kepada usaha (ikhtiar) benda-benda
hidup (al-hiawanat) pada perbuata-perbuatan yang diusahakan (al-Af’al al-ikhtiyariyyah).
Ia mengatakan: bagaimana anda melihat setiap sesuatu itu dari Allah dan insan
ini memberikan kepada anda rezeki anda dengan ikhtiar (usahanya). Kalau ia mau,
niscaya ia memberikan kepada anda. Dan kalau ia mau, niscaya ia memutuskan
(menghentikan) pemberian itu kepada anda. Dan orang ini yang memotong leher
anda dengan pedangnya. Orang itu berkuasa atas anda. Kalau ia mau, niscaya
dipenggalnya leher anda. Dan kalau ia mau niscaya dimaafkannya anda. Maka
bagaimana anda tidak takut kepadanya ? bagaimana anda tidak mengharapkan
kepadanya ? urusan anda adalah di tangannya. Anda menyaksikan yang demikian dan
anda tidak ragu padanya ? ia mengatakan pula kepada orang itu: “Benar, kalau
anda tidak melihat pena, bahwa pena itu bekerja dengan percuma, maka bagaimana
anda tidak melihat yang menulis dengan pena dan dia itu yang bekerja dengan
percuma baginya ?”. Ketika inilah tergelincirnya
tapak kaki kebanyakan orang, selain hamba-hamba Allah yang ikhlas,
yang tak ada kekuasaan setan terkutuk di atas mereka. Maka mereka menyaksikan
dengan cahaya penglihatan mata hati akan adanya si penulis itu yang bekerja
dengan percuma, yang diperlukan, sebagaimana dipersaksikan oleh semua
orang-orang yang lemah, akan adanya pena itu bekerja dengan percuma. Mereka
mengetahui, bahwa kesalahan orang-orang yang lemah itu pada yang demikian,
seperti semut melihat ujung pena itu menghitamkan kertas. Dan tidak memanjang
penglihatannya kepada tangan dan anak-anak jari, lebih-lebih kepada yang
empunya tangan. Lalu semut itu salah. Ia menyangka bahwa pena itu yang
menghitamkan bagi putihnya kertas. Yang menyangka demikian itu, karena singkat
penglihatannya, daripada melampaui ujung pena. Karena sempit biji matanya. Maka
seperti demikia juga orang yang tidak terbuka dadanya dengan cahaya Allah
Ta’ala kepada Islam, yang pendek mata hatinya daripada memperhatikan Yang Maha
Perkasa bagi langit dan bumi dan penyaksian (musyahadah) keadaanNya itu, Yang
Mahapemaksa di bali setiap sesuatu. Lalu ia berhenti di jalan atas si penulis.
Dan itu kebodohan semata. Akan tetapi, orang-orang yang mempunyai hati dan penyaksian,
telah difirmankan Allah Ta’ala terhadap mereka akan setiap atom di langit dan
bumi dengan kuasaNya, yang dengan kuasa itu bertuturlah setiap sesuatu.
Sehingga mereka mendengar pengkudusan dan pentasbihan atom itu kepada Allah
Ta’ala dan pengakuan atas dirinya dengan kelemahan dengan lisan yang lancar. Ia
berkata-kata dengan tidak ada huruf dan suara, yang tidak didengar oleh mereka
yang terasing dari pendengaran. Aku tidak maksudkan dengan yang demikian, akan
pendengaran zahiriyah, yang melewati suara. Sesungguhnya keledai bersekutu
padanya. Dan tak ada nilai bagi apa yang bersekutu padanya binatang ternak.
Sesungguhnya aku kehendaki dengan yang demikian, akan pendengaran, yang
diperoleh dengan pendengaran itu akan perkataan yang tidak berhuruf dan
bersuara. Tidak dia orang Arab dan tidak orang ‘Ajam (bukan Arab). Kalau anda
mengatakan: “Bahwa ini suatu keajaiban, yang tidak diterima oleh akal, maka
terangkanlah kepadaku cara menuturkannya ! bagaimana ia menuturkan dan dengan
apa dituturkannya? bagaimana ia bertasbih dan mentaqdiskan (mensucikan Allah
dari menyerupai mahluk)? bagaimana ia menyaksikan atas dirinya dengan kelemahan
?”. Ketahuilah kiranya, bahwa bagi setiap atom di langit dan di bumi bersama
orang-orang yang mempunyai hati itu mempunyai pembicaraan pada rahasia. Yang
demikian itu termasuk hal yang tidak terhingga dan tidak berkesudahan. Itu
adalah kalimat-kalimat yang diselami dari lautan kalam (kata-kata) Allah Ta’ala
yang tiada berkesudahan. Firman Allah Ta’ala: “Katakan: Kalau kiranya lautan
(menjadi) tinta untuk (menuliskan) perkataan Tuhanku, niscaya lautan itu
menjadi kering sebelum habis perkataan Tuhanku (dituliskan), biarpun Kami
datangkan sebanyak itu pula tambahannya”. S 18 Al Kahfi ayat 109. Kemudian,
munajah (pembicaraan) itu membisikkan
segala isi hati dengan rahasia-rahasia alam-almulki wal-malakut (alam dunia yg tdk bisa dipersaksikan
dengan mata). Menyiarkan rahasia itu tercela. Bahkan dada orang-orang merdeka
itu kuburan rahasia-rahasia (tempat tersimpannya). Adakah anda sekali-kali
melihat orang yang terpercaya atas rahasia-rahasia raja, yang dimunajahkan
(dibicarakan) dengan dia secara tersembunyi, lalu ia menyerukan akan rahasianya
itu dihadapan orang banyak ? kalau boleh menyiarkan setiap rahasia bagi kita
niscaya Nabi saw tidak menyabdakan: “Jikalau kamu tahu apa yang aku tahu,
niscaya kamu tertawa sedikit dan menangis banyak”. Niscaya Nabi saw tidak
melarang daripada menyiarkan rahasia al-qadar (takdir). Niscaya Nabi saw tidak
menyabdakan: “Apabila disebutkan bintang-bintang, maka peganglah erat-erat
(jangan disiarkan) ! Apabila disebutkan takdir, maka peganglah erat-erat ! dan
apabila disebutkan sahabat-sahabatku, maka peganglah erat-erat !”. Niscaya
tidaklah Nabi saw mengkhususkan Hudzaifah ra dengan sebahagian rahasia”.
Jadi, dari hikayah
munajahnya (membisikkan segala isi hatinya) dzurrah-dzurrah (atom-atom)nya
alamul-mulki wal-malakut(alam
dunia yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata) bagi hati orang-orang yang
mempunyai penyaksian itu dua pencegahan:
Pertama: mustahil menyiarkan rahasia.
Kedua: keluar kalimat-kalimatnya dari hinggaan dan kesudahan.
Akan tetapi, kita pada
contoh yang berada kita padanya, yaitu: gerakan pena, kita menceritakan dari
munajahnya (pembicaraan nya) itu kadar
yang sedikit, yang dipahamkan dengan yang demikian, atas kesimpulan akan cara
pembinaan tawakkal. Dan kita kembalikan kalimat-kalimatnya kepada huruf-huruf
dan suara-suara. Walaupun dia itu bukan huruf-huruf dan suara-suara. Akan
tetapi, dia itu darurat bagi pemahaman. Maka kami mengatakan: Sebahagian
pemerhati-pemerhati (dengan mata hati), dari hal lobang cahaya Allah Ta’ala,
bertanya kepada kertas dan ia telah melihatnya hitam halamannya dengan tinta:
“Apakah kiranya halamanmu itu yang tadinya putih cemerlang dan sekarang telah
menampak di atasnya hitam ? mengapa engkau hitamkan halaman engkau ? apa
sebabnya ?”. Lalu kertas itu menjawab: “Tidaklah engkau menginsafkan aku pada
pertanyaan ini. Sesungguhnya aku tidaklah aku menghitamkan halamanku oleh
diriku sendiri. Akan tetapi, tanyalah kepada tinta ! tinta itu berkumpul dalam
botolnya, yang menjadi tempat ketetapan dan tanah airnya. Lalu ia berangkat
dari tanah air dan ia menempati halaman wajahku dengan zalim dan
permusuhan”.Pemerhati itu menjawab: “Benar engkau”.
Maka pemerhati itu
menanyakan kepada tinta dari yang demikian. Lalu tinta menjawab: “Engkau tidak
menginsafkan aku. Sesungguhnya aku tadinya berada dalam botol tinta, yang
tinggal di dalamnya dengan tenang, yang bercita-cita akan selalu di dalamnya.
Maka pena menganiayakan aku dengan lobanya yang merusakkan. Disambarnya aku
dari tanah airku dan disingkirkannya aku dari negeriku. Dicerai-beraikannya
kumpulanku dan dipotong-potongkannya aku, sebagaimana engkau melihat di halaman
yang putih itu. Maka pertanyaan adalah kepada pena itu, tidak kepadaku”.
Pemerhati itu menjawab: “Benar engkau”.
Kemudian, pemerhati itu
bertanya kepada pena, tentang sebab kezaliman dan permusuhannya dan
mengeluarkan tinta dari tempat tinggalnya. Pena itu lalu menjawab: “Tanyalah
kepada tangan dan anak-anak jari ! aku sesungguhnya adalah batang bambu yang
tumbuh di tepi sungai, yang tinggal dengan tenang diantara kayu-kayuan yang
hijau. Maka datanglah tangan dengan membawa pisau kepadaku. Ia buang daripadaku
akan kulitku. Ia koyak-koyakkan kain-kainku daripadaku. Ia cabutkan aku dari
pokokku. Ia cerai-beraikan diantara pembuluh-pembuluhku. Kemudian, ia
runcingkan aku dan ia belahkan kepalaku. Kemudian, dibenamkannya aku dalam
kehitaman dan kepahitan tinta. Ia menggunakan aku menjadi pelayannya dan ia
jalankan aku diatas puncak kepalaku. Engkau telah menaburkan garam atas lukaku
dengan pertanyaan engkau dan makian engkau. Pergilah dari aku dan tanyakanlah
kepada orang yang memaksakan aku !”. Pemerhati itu lalu menjawab: “Benar
engkau”.
Kemudian, pemerhati itu
bertanya kepada tangan, tentang kezaliman dan permusuhannya atas pena dan
penggunaannya akan pena itu. Tangan itu lalu menjawab: “Tidaklah aku ini,
melainkan daging, tulang dan darah. Adakah engkau melihat daging itu berbuat
zalim atau tubuh yang bergerak sendiri ? sesungguhnya aku itu kendaraan yang
dipergunakan dengan cuma-Cuma. Dikendarai aku oleh yang berkuda, yang
dinamakan: al-qudrah dan al-‘izzah (kuasa dan agung). Dialah yang
membulak-balikkan aku dan yang memundar-mandirkan aku pada sudut-sudut bumi.
Apakah engkau tidak melihat lumpur, batu dan kayu, tidak melampaui sedikitpun
akan tempatnya dan tidak bergerak sendiri ? karena dia tidak dikendarai oleh
yang berkuda seperti ini, yang kuat dan perkasa. Apakah engkau tidak melihat
tangan orang-orang mati yang menyamai aku dalam bentuk daging, tulang dan
darah, kemudian, tak ada berurusan diantara dia dan pena ? maka aku juga dari
segi aku, tak ada urusan diantaraku dan pena. Maka tanyakanlah akan al-qudrah (kuasa),
tentang keadaan diriku. Sesungguhnya aku kendaraan, yang dikejutkan aku oleh
yang mengendarai aku”. Pemerhati itu lalu menjawab: “Benar engkau”.
Kemudian, pemerhati itu bertanya
kepada al-qudrah (kuasa), tentang keadaannya memakai tangan, banyak mempergunakannya
dan membulak-balikkannya. Tangan itu lalu menjawab: “Tinggalkanlah dari mencaci
dan memaki-maki aku ! berapa banyak orang yang mencaci itu dicaci orang !
berapa banyak orang yang dicacikan itu tidak berdosa. Bagaimana tersembunyi
kepada engkau akan urusanku ? bagaimana engkau menyangka, bahwa aku berbuat
zalim kepada tangan, tatkala aku mengendarainya. Dan adalah aku yang
mengendarainya sebelum penggerakan. Tidaklah aku yang menggerakkannya dan yang
menggunakannya dengan cuma-cuma. Akan tetapi, adalah aku itu tidur dengan
tenang, tidur yang disangka oleh orang-orang yang menyangka, bahwa aku itu
mayit atau sudah tidak ada. Karena aku tidak bergerak dan tidak digerakkan.
Sehingga datanglah kepadaku yang diwakilkan, yang mengejutkan aku dan yang
memaksakan aku, kepada apa yang engkau lihat daripadaku. Maka adalah bagiku
kekuatan kepada menolongnya. Dan tidak ada bagiku kekuatan kepada menyalahinya.
Yang diwakilkan ini dinamakan: Al-iradah/Kemauan. Aku tidak mengenalnya, selain
dengan namanya, serangannya dan lompatannya. Karena ia mengejutkan aku dari
kenyenyakan tidur. Ia memaksakan aku, kepada apa yang ada bagiku kebebasan,
jikalau ia melepaskan aku dan pendapatku”. Pemerhati itu lalu menjawab: “Benar
engkau”.
Kemudian, pemerhati itu
bertanya kepada Kemauan: “Apakah yang memberanikan engkau kepada al-qudrah(kuasa)
ini yang tenang dan tentram ? Sehingga engkau mengalihkannya kepada
penggerakan. Dan engkau memaksakannya, dengan paksaan, yang ia tidak memperoleh
lagi kelepasan dan tempat lari”. Kemauan lalu menjawab: “Jangan cepat engkau
menuduh aku ! semoga aku mempunyai halangan. Dan engkau terus mencaci.
Sesungguhnya aku tidak bergerak dengan diriku sendiri. Akan tetapi, aku
digerakkan. Aku tidak bangkit sendiri, akan tetapi aku dibangkitkan, dengan
hukum yang memaksakan dan perintah yang tidak dapat dibantah. Adalah aku itu
tenang, sebelum kedatangannya. Akan tetapi datang kepadaku dari keharibaan hati
utusan ilmu, diatas lisan akal, dengan penonjolan bagi Al-Qudrah(kuasa). Maka
ia menonjolkannya, disebabkan sangat pentingnya, dibawah paksaan ilmu dan akal.
Aku tidak tahu, disebabkan dosa apa yang diketemukan aku padanya. Aku
disuruhkan dengan cuma-cuma baginya. Dan aku diharuskan menurutinya. Akan
tetapi, aku tahu bahwa aku dalam ketentraman dan ketenangan, sebelum datang
kepadaku, yang datang ini, yang memaksakan dan hakim ini yang adil atau yang
zalim. Telah diserahkan aku kepadanya, dengan suatu penyerahan dan diharuskan
aku mentaatinya dengan suatu keharusan. Bahkan, tiada tinggal lagi bagiku kemampuan
untuk menyalahinya, manakala telah diyakinkan hukumnya. Demi umurku ! ia tidak
tinggal lagi dalam keraguan pada dirinya dan keheranan pada hukumnya. Maka aku
itu tenang, tetapi dengan penuh perasaan dan penantian bagi hukumnya. Apabila
hukumnya telah mantap, niscaya aku dikejutkan, dengan pasti dan paksaan,
dibawah ketaatannya. Dan menonjollah kuasa untuk berdiri dengan yang diwajibkan
hukumnya. Maka tanyalah ilmu dari hal keadaanku ! tinggalkanlah daripada
mencacikan aku ! maka aku sesungguhnya, adalah seperti yang dikatakan oleh
seorang penyair:
Manakala engkau berangkat dari suatu
kaum
dan mereka itu sudah sanggup,
bahwa engkau tidak berpisah dengan
mereka,
maka yang berangkat itu adalah mereka.
Pemerhati itu, lalu menjawab: “Benar
engkau”. Pemerhati itu menghadap kepada ilmu, akal dan hati, meminta kepadanya
dan mencelanya atas bangkitnya Kemauan dan pemakaiannya dengan cuma-cuma bagi
penonjolan kuasa. Akal lalu menjawab:
“Adapun aku, maka adalah lampu, yang aku tidak menyala dengan diriku sendiri.
Akan tetapi, aku dinyalakan”. Hati menjawab: “Adapun aku, maka adalah papan
tulis (lauh), yang tidak aku terhampar dengan diriku sendiri. Akan tetapi, aku
dihamparkan”. Ilmu menjawab: “Adapun aku, maka adalah ukiran. Aku diukirkan
pada putihnya papan tulis hati, tatkala cemerlanglah lampu akal. Dan aku,
tidaklah aku tergaris oleh diriku sendiri. Berapa banyak adanya papan tulis ini
sebelumnya, yang kosong daripadaku. Maka bertanyalah kepada pena ! karena garis
tulisan itu tidak ada, selain dengan pena”. Ketika itu kacaulah penanya itu dan
tidak memuaskannya jawaban tersebut. Ia berkata: “Telah lamalah kepayahanku
pada jalan ini. Banyaklah tempat-tempatku. Senantiasalah aku dirobahkan oleh
orang, yang aku harapkan daripadanya pada mengenal urusan ini terhadap orang
lain. Akan tetapi, adalah aku berbaik hati dengan banyaknya pulang-pergi,
manakala aku mendengar perkataan yang dapat diterima oleh hati dan halangan
yang terang pada menolak pertanyaan. Adapun kata engkau, bahwa aku garis
tulisan dan ukiran dan sesungguhnya aku digariskan oleh pena, maka tidaklah aku
dapat memahaminya. Sesungguhnya aku tidak mengetahui pena itu, selain dari
bambu. Tidak mengetahui papan tulis itu, selain dari besi atau kayu. Dan aku
tidak mengetahui garis tulisan itu, selain dengan tinta. Aku tidak mengetahui
lampu itu, selain dari api. Bahwa aku sesungguhnya mendengar pada tempat ini
pembicaraan papan tulis, lampu, tulisan dan pena. Dan aku tidak menyaksikan
sesuatu daripada yang demikian. Aku mendengar bunyi gilingan tepung dan aku
tidak melihat yang digiling”. Ilmu lalu berkata
kepada penanya itu: “Jikalau benar engkau pada apa yang engkau
katakan, maka harta bendamu itu bercampur, perbekalanmu sedikit dan kendaraanmu
lemah. Ketahuilah, bahwa kebinasaan-kebinasaan di jalan yang engkau hadapi itu
banyak. Maka yang benar bagi engkau ialah bahwa engkau pergi dan meninggalkan
apa yang engkau padanya. Tidaklah ini sarangmu, maka keluarlah daripadanya.
Setiap orang itu dimudahkan bagi apa yang ia dijadikan baginya”. Kalau engkau
ingin menyempurnakan jalan kepada maksud, maka pasanglah pendengaran engkau dan
engkau itu menyaksikan. Dan ketahuilah, bahwa alam dalam perjalanan engkau yang
ini, adalah 3.
1.
Alamul-mulki wasy-syahadah (penyaksian tubuh di alam dunia) itu
pertamanya. Adalah kertas,
tinta, pena dan tangan itu dari alam ini. Engkau melewati tempat-tempat itu
dengan mudah.
2.
alam al-malakut (alam yang tdk bisa dipersaksikan dengan mata). Yaitu dibelakangku. Apabila engkau melampaui aku,
niscaya engkau berkesudahan ke tempat-tempatnya. Padanya padang pasir yang
luas, gunung-gunung yang tinggi dan laut-laut yang menenggelamkan. Aku tidak
tahu, bagaimana engkau selamat padanya.
3.
al-jabarut. Yaitu: diantara
alam al-mulki dan alam al-malakut (alam yang nyata dan alam goib). Engkau
tempuh daripadanya 3 tempat pada permulaan nya, yaitu: tempat kuasa, Kemauan
dan al-ilmu. Yaitu: di tengah-tengah, diantara alam al-mulki wasy-syahadah (penyaksian di alam dunia) dan alam al-malakut (alam
yang tdk bisa dipersaksikan dengan mata). Karena alam al-mulki/alam nyata
lebih mudah jalannya dari alam al-malakut/alam goib. Dan alam al-malakut itu
lebih sukar jalannya. Alam al-jabarut diantara alam al-mulki dan alam al-malakut
(alam yang nyata dan alam goib) itu menyerupai kapal, yang dia itu dalam
gerakan, diantara bumi dan air. Ia tidak dalam batas bergoncangnya air dan
tidak dalam batas tenang dan tetapnya bumi. Setiap orang yang berjalan di atas
bumi itu berjalan di alam al-mulki wasy-syahadah. Kalau melewati kekuatannya,
sampai ia kuat kepada menumpang kapal, niscaya adalah ia seperti orang yang
berjalan dalam alam al-jabarut. Kalau ia berkesudahan sampai kepada berjalan di
atas air, tanpa kapal, niscaya ia berjalan dalam alam al-malakut, tanpa kegoncangan. Kalau engkau tidak sanggup
berjalan di atas air, maka pergilah ! engkau telah melewati bumi dan
membelakangi kapal. Dan tidak ada lagi di depan engkau, selain air yang jernih.
Permulaan alam al-malakut
itu menyaksikan al-qalam (pena), yang dengan al-qalam itu dituliskan ilmu pada
papan tulis hati. Dan berhasilnya yakin, yang dengan yakin itu ia berjalan
diatas air. Apakah tidak engkau mendengar sabda Rasulullah saw tentang Isa as,
yang berikut ini: “Jikalau ia bertambah yakin, niscaya ia berjalan di udara”,
tatkala dikatakan kepadanya, bahwa Isa as itu berjalan di atas air”. Berkata
yang berjalan, yang bertanya itu: “Aku heran pada urusanku. Hatiku merasa
ketakutan dari apa yang engkau sifatkan, dari bahaya di jalan. Aku tidak tahu,
sanggupkah aku menempuh padang pasir ini, yang engkau sifatkan itu atau tidak.
Adakah bagi yang demikian itu tanda ? Pemerhati itu menjawab: “Ada ! bukalah
penglihatan engkau ! kumpulkanlah cahaya kedua mata engkau dan biji matanya ke
arah aku ! kalau menampak bagi engkau pena, yang dengan pena itu aku menulis
pada papan tulis hati, maka menyerupailah, bahwa engkau itu ahli bagi jalan
ini. Setiap orang yang melewati alam al-jabarut dan mengetok salah satu dari
pintu-pintu alam al-malakut, niscaya ia dibukakan dengan pena. Apa tidak engkau
melihat, bahwa Nabi saw pada permulaan urusannya dibukakan dengan al-qalam
(pena). Karena diturunkan kepadanya ayat: “Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling
Pemurah, Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. S 96 Al ‘Alaq ayat 3-4-5.
Berkata orang yang
berjalan: “Aku telah membuka penglihatanku dan mata hitamnya. Demi Allah, aku
tidak melihat bambu dan kayu. Aku tidak mengetahui pena, seperti yang
demikian”. Menjawab ilmu: “Aku telah menjauhkan mencari setiap sesuatu. Apakah
engkau tidak mendengar, bahwa harta benda rumah itu menyerupai dengan yang
empunya rumah ? apakah engkau tidak tahu, bahwa Allah Ta’ala, tidak menyerupai
ZatNya dengan zat-zat yang lain ? maka seperti demikianlah TanganNya tidak
menyerupai dengan tangan-tangan. Al-QalamNya tidak menyerupai dengan qalam
(pena-pena). PerkataanNya dengan perkataan yang lain. Dan tulisanNya dengan
tulisan-tulisan yang lain”. Inilah urusan ketuhanan dari alam al-malakut. Maka
tidaklah Allah Ta’ala pada ZatNya itu bertubuh. Tidaklah Ia pada tempat. Lain
halnya dengan yang lain daripadaNya. Tidaklah TanganNya itu daging, tulang dan
darah. Lain halnya dengan tangan-tangan yang lain. Tidaklah QalamNya dari
bambu. Tidaklah lauhNya (papan tulisNya) dari kayu. Tidaklah KalamNya
(perkataanNya) dengan suara dan huruf. Tidaklah TulisanNya angka dan gambar.
Tidaklah TintaNya garam dan kelat(senyawa kimia).
Kalau engkau tidak menyaksikan ini dengan begitu, maka aku tidak melihat
engkau, selain seorang khuntsa (orang banci) diantara kejantanan/at-tanzih dan
kebetinaan/at-tasybih, bulak-balik diantara ini dan itu. Tidak kepada mereka
ini dan tidak kepada mereka itu. Maka bagaimana at-tanzih/kejantan ZatNya dan
sifat-sifatNya Yang Maha Tinggi dari adanya dengan tubuh dan sifat-sifat tubuh,
At-tanzih Kalam (kejantanan berkata-kata)Nya dari makna-makna huruf dan suara,
yang terhenti pada TanganNya, Qalam/penaNya, Lauh/papan
tulisNya dan TulisanNya ? kalau engkau telah memahami dari sabda Nabi saw:
“Bahwa Allah menjadikan Adam atas bentukNya”. Akan bentuk zahiriah, yang
diperoleh dengan penglihatan mata, maka adalah engkau mentasybihkan
(menyerupakan) secara mutlak, sebagaimana dikatakan: “Adalah engkau itu orang
Yahudi semata-mata”. Kalau tidak, maka janganlah engkau bermain-main dengan
At-Taurat. Jikalau engkau memahami daripadanya akan bentuk batiniyah, yang
diperoleh dengan mata hati, tidak dengan mata kepala, maka adalah engkau itu mentanzihkan (mensucikan) semata-mata, mengquduskan
yang murni. Singkatkan jalan, sesungguhnya engkau berada di lembah suci, Thuwa
! Dengarlah akan rahasia hati engkau, bagi apa yang diwahyukan ! semoga engkau
mendapat petunjuk di tempat api itu ! semoga engkau dari kemah Arasy itu
dipanggil, dengan apa yang dipanggilkan Musa as: “Sesungguhnya Aku inilah
Tuhanmu”. S 20 Thaahaa ayat 12. Tatkala yang berjalan itu mendengar dari ilmu
yang demikian, niscaya ia merasakan keteledoran dirinya. Bahwa ia itu khuntsa
(banci) diantara at-tasybih (kebetinaan) dan at-tanzih
(kejantanan). Maka menyalalah hatinya menjadi api dari kesangatan
marahnya kepada dirinya, tatkala dilihatnya dengan mata kekurangan. Adalah
minyaknya dalam lobang hatinya yang tak tembus itu, hampir menerangi, walaupun
tidak disentuh api. Manakala ditiupkan ke dalamnya ilmu dengan ketajamannya,
niscaya menyalalah minyaknya. Lalu menjadi cahaya di atas cahaya
(berlapis-lapis). Maka berkata ilmu kepadanya: “Ambillah sekarang kesempatan
ini ! bukalah matamu ! mudah-mudahan engkau memperoleh di tempat api itu
petunjuk”. Maka ia membuka matanya, lalu tersingkaplah baginya Qalam Ilahi.
Tiba-tiba itu adalah seperti yang disifatkan oleh ilmu tentang at-tanzih (kejantanan), tidak ia dari kayu dan tidak dari
bambu. Tidak ada baginya kepala dan tidak ada ekor. Ia menulis terus-menerus
dalam hati manusia seluruhnya, akan segala jenis ilmu.
Adalah bagi Qalam (pena)
Ilahi itu kepala pada setiap hati dan ia sendiri tiada mempunyai kepala. Maka
berlalulah dari yang berjalan itu keheranan. Dan ia menjawab: “Alangkah
nikmatnya teman ilmu ! maka dibalaskan ia oleh Allah Ta’ala daripadaku
kebajikan ! karena sekarang, telah nampak bagiku kebenaran pemberitaannya dari
hal sifat-sifat Al-Qalam (pena). Sesungguhnya aku melihatnya Qalam (pena) itu Qalam
(pena), tidak seperti qalam-qalam (pena-pena) yang lain. Ketika ini, ia
mengucapkan selamat tinggal bagi ilmu dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
Ia berkata: “Telah lamalah berdiriku di sisi engkau dan bulak-balikku kepada
engkau. Aku bercita-cita, bahwa aku bermusafir ke haribaan Al-Qalam (pena). Aku
menanyakan tentang keadaannya”. Orang yang berjalan itu lalu bermusafir kepada
Al-Qalam (pena). Dan mengatakan kepadanya: “Apa halmu hai Al-Qalam (pena),
engkau menggariskan tulisan terus-menerus dalam hati dari ilmu-ilmu, apa yang
membangkit kan Kemauan kepada diri Al-Qadar/takdir dan meneruskannya kepada
al-maqdurat (yang dimuliakan) ?”. Al-Qalam (pena)
menjawab: “Adakah engkau lupa apa yang engkau lihat dalam alam al-mulki wasy-syahadah (alam penyaksian di
alam dunia) dan engkau mendengar dari jawaban Al-Qalam (pena), ketika
engkau menanyakannya, lalu diserahkannya engkau kepada tangan ?”. Orang yang
berjalan itu menjawab: “Aku tidak melupakan yang demikian”. Ia mengatakan:
“Maka jawabanku itu seperti jawabannya”. Orang itu meneruskan lagi: “Bagaimana,
apa engkau tidak mentasybihkan (menyerupakan)nya ?”. Al-Qalam (pena) menjawab:
“Apakah tidak engkau mendengar, bahwa Allah Ta’ala menjadikan Adam atas
bentukNya ?”. Orang yang berjalan itu menjawab: “Ya, ada !”. Al-Qalam (pena)
berkata: “Maka tanyakanlah dari keadaanku yang digelarkan dengan: tangan kanan
raja ! sesungguhnya aku dalam genggamannya. Ia yang membulak-balikkan aku. Aku
itu dipaksakan, yang dipekerjakan dengan cuma-cuma. Maka tidak ada perbedaan
antara Qalam (pena) Ilahi dan qalam (pena) manusia, dalam arti dipekerjakan
dengan cuma-cuma. Perbedaan hanya dalam zahiriyah bentuk”. Orang yang berjalan
itu lalu bertanya: “Maka siapakah tangan kanan raja itu ?”. Al-Qalam (pena)
lalu menjawab: “Apakah engkau tidak mendengar firman Allah Ta’ala: “Dan langit
itu digulung dengan tangan-tanganNya”. S 39 Az Zumar ayat 67. Orang itu
menjawab: “Ya, ada !”. Al-Qalam (pena) berkata: “Pena-pena juga dalam genggaman
tangan-kananNya. Dialah yang membulak-balikkannya”. Orang yang berjalan itu
bermusafir dari sisi Al-Qalam (pena), ke tangan kanan, sehingga disaksikannya.
Ia melihat dari keajaiban-keajaiban tangan kanan, akan apa yang melebihi di
atas keajaiban-keajaiban Al-Qalam (pena). Tidak boleh disifatkan sesuatu dari
yang demikian dan tidak boleh diuraikan. Akan tetapi, berjilid-jilid buku yang
banyak, tidak termuat 1/100 dari sifatnya.
Kesimpulan padanya, bahwa
itu tangan kanan, tidak seperti tangan kanan-tangan kanan. Dia itu tangan,
tidak seperti tangan-tangan. Anak jari, tidak seperti anak-anak jari. Maka ia
melihat al-Qalam (pena) bergerak dalam genggamanNya.
Maka nyatalah baginya
alasan berhalangan Al-Qalam (pena). Lalu ia bertanya kepada tangan kanan dari
keadaannya dan penggerakannya bagi al-Qalam (pena). Tangan kanan lalu menjawab:
“Jawabanku itu seperti apa yang engkau dengar dari tangan kanan yang engkau
lihat pada alam asy-syahadah/ penyaksian. Yaitu: diserahkan kepada
Al-Qudrah/kuasa. Karena tangan itu tidak mempunyai hukum pada dirinya sendiri.
Sesungguhnya, yang menggerakkannya sudah pasti adalah: al-qudrah/kuasa. Orang
yang berjalan itu lalu berjalan ke alam al-qudrah(kuasa). Ia melihat padanya
keajaiban-keajaiban, apa yang dipandang hina padanya oleh yang sebelumnya. Ia
bertanya kepada al-qudrah(kuasa), tentang penggerakan tangan-kanan. Al-Qudrah(kuasa)
lalu menjawab: “Sesungguhnya aku itu suatu sifat. Tanyakanlah kepada yang
bersifat dengan kuasa (al-qadir/maha menentukan) ! karena yang dipegang, ialah
kepada yang mempunyai sifat. Tidak kepada sifat. Ketika itu, hampirlah ia
tergelincir dan melepaskan dengan keberanian, akan lisan pertanyaan. Maka
tetaplah ia dengan perkataan yang tetap dan ia diserukan dari belakang dinding
kemah hadlarat Ilahiyah (keajaiban ketuhanan): “Dia tidak ditanya tentang apa
yang diperbuatNya dan merekalah yang akan ditanyai”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 23.
Oleh ketakutan akan keharibaan Ilahi, ia pingsan. Lalu jatuh tersungkur, yang
bergoncang badannya pada kepingsanan nya. Tatkala ia telah sembuh, maka ia
mengucapkan: “Maha Suci Engkau ! alangkah Maha Besarnya keadaan Engkau ! aku
bertaubat kepada Engkau. Aku menyerahkan diri (bertawakkal) kepada Engkau. Aku
beriman, bahwa Engkau Raja Yang Maha Perkasa, Yang Maha Esa, Yang Maha
Berkuasa. Aku tidak takut kepada selain Engkau. Aku tidak mengharap pada selain
Engkau. Aku tidak berlindung, selain dengan kemaafan Engkau dari siksaan
Engkau, dengan ridha Engkau dari kemarahan Engkau. Tiada bagiku, selain
bermohon kepada Engkau dan merendahkan diri kepada Engkau. Aku duduk bersimpuh
dihadapan Engkau. Aku mengucapkan: “Lapangkanlah bagiku dadaku untuk mengenali
Engkau ! lepaskanlah ikatan dari lidahku, untuk memuji Engkau !”. Maka
diserukan dari belakang hijab: “Jagalah dirimu daripada mengharap pujian dan
engkau melebihi atas penghulu nabi-nabi ! akan tetapi, kembalilah kepadaNya.
Apa yang diberikanNya kepada engkau, maka ambillah ! apa yang dilarang engkau
daripadanya, maka cegahlah diri engkau daripadanya! apa yang dikatakanNya
kepada engkau, maka katakanlah ! sesungguhnya tiada lebih pada keharibaanNya
ini, atas apa yang diucapkannya: “Maha Suci Engkau! tiada dapat aku hinggakan
pujian kepada Engkau, sebagaimana Engkau memuji atas diri Engkau”.
Orang yang berjalan itu,
lalu mengucapkan: “Ilahi ! jikalau tidak adalah bagi lisan itu keberanian
kepada memuji Engkau, maka adakah bagi hati harapan pada mengenal Engkau ?”.
Lalu orang yang berjalan itu diserukan: “Jagalah diri engkau, bahwa engkau melangkahi
leher orang-orang shiddiqin ! maka kembalilah kepada Shiddiq Yang terbesar !.
Ikutilah dia ! sesungguhnya sahabat-sahabat penghulu nabi-nabi itu seperti
bintang. Dengan siapa saja dari mereka engkau ikuti, niscaya engkau memperoleh petunjuk. Apakah tidak engkau
mendengar ia berkata: “Kelemahan dari memperoleh pengertian itu suatu
pengertian?”. Maka mencukupilah nasib engkau dari keharibaan Kami, bahwa engkau
mengetahui, bahwa engkau tidak memperoleh apa-apa dari keharibaan Kami, yang
lemah daripada memperhatikan Keelokan Kami dan Keagungan Kami”. Ketika itu,
yang berjalan ini kembali dan meminta maaf dari pertanyaan-pertanyaan dan
cacian-caciannya. Yang berjalan itu berkata kepada: tangan kanan, pena ilmu,
Kemauan, al-qudrah(kuasa) dan apa yang sesudahnya: “Terimalah kehalanganku!
sesungguhnya aku adalah orang pendatang, yang baru saja masuk ke negeri ini.
Bagi setiap yang masuk itu mempunyai keheranan. Maka tidaklah tantanganku
kepadamu, selain dari keteledoran dan kebodohan. Sekarang, telah benarlah padaku
kehalanganmu. Telah tersingkap bagiku, bahwa Yang Tunggal dengan kerajaan dan
alam al-malakut, kemuliaan dan alam al-jabarut, ialah: Yang Maha Esa, Yang Maha
Perkasa. Tidaklah kamu itu, selain orang-orang yang disuruh dengan cuma-cuma di
bawah keperkasaan dan kekuasaanNya, yang pulang pergi dalam genggamanNya.
Dialah yang awal dan akhir, yang zhahir dan bathin.
Manakala ia menyebutkan
yang demikian tentang alam asy-syahadah/alam yg dapat
disaksikan, niscaya menjauhlah daripadanya yang demikian. Dan ditanyakan
kepadanya: “Bagaimana Dia itu awal dan akhir dan keduanya itu dua sifat yang
berlawanan ? Bagaimana Dia itu zhahir dan bathin ? yang awal tidaklah ia yang
akhir dan yang zhahir tidaklah ia yang bathin ? Orang yang berjalan itu
menjawab: “Dia itu yang Awal, dikaitkan kepada semua yang ada (al-maujudat).
Karena dari Dialah yang timbul setiap sesuatu, di atas ketertibannya satu demi
satu. Dialah yang Akhir dengan dikaitkan kepada perjalanannya orang-orang yang
berjalan kepadaNya. Sesungguhnya mereka senantiasa mendaki dari suatu tempat ke
suatu tempat, sehingga terjadilah berkesudahan ke haribaanNya (hadlaratNya/ keajaibanNYA). Maka adalah yang demikian
itu akhir perjalanan. Yaitu: akhir pada musyahadah (penyaksian), permulaan pada
wujud. Dia itu bathin, dengan dikaitkan kepada orang-orang yang berketetapan di
alam asy-syahadah/alam yg dapat disaksikan, yang
mencari untuk mengetahuinya, dengan pancaindra yang 5. Dia itu zhahir, dengan
dikaitkan kepada orang yang mencariNya dalam pelita yang cemerlang dalam
hatinya, dengan mata hati bathiniyah, yang tembus dalam alam al-malakut/alam yang tidak dapat disaksikan oleh mata. Maka
begitulah adanya keesaan orang-orang yang berjalan ke jalan keesaan dalam
perbuatan. Aku kehendaki, ialah orang yang tersingkap baginya, bahwa Yang
Berbuat itu Esa. Kalau anda bertanya: “Sesungguhnya telah berkesudahan keesaan
ini, sampai ia terbina atas iman dengan alam al-malakut/alam yang tidak dapat
disaksikan oleh mata. Maka siapa yang tidak memahami yang demikian atau mengingkarinya,
niscaya apa jalannya ?”. Maka kau menjawab, bahwa orang yang mengingkarinya,
niscaya tiada obat baginya, selain dikatakan kepadanya: “Keingkaran engkau akan
alam al-malakut/alam yang tidak dapat disaksikan oleh
mata itu seperti keingkaran golongan As-Sumaniyah (golongan yang
menyembah berhala dan nama itu diambil dari nama sebuah negeri di India), akan
alam al-jabarut. Mereka ialah orang-orang yang membataskan ilmu dalam
pancaindra yang 5 saja. Mereka mengingkari al-qudrah (kuasa), Kemauan dan al-ilmu.
Karena yang tersebut ini tidak diperoleh dengan pancaindra yang 5. Maka mereka
terus-menerus dalam lembah alam asy-syahadah/alam yg
dapat disaksikan, dengan pancaindra yang 5.
Kalau orang yang
mengingkari itu berkata: “Bahwa aku sebahagian dari mereka. Sesungguhnya aku
tidak memperoleh petunjuk, selain kepada alam asy-syahadah dengan pancaindra
yang 5. Aku tidak mengetahui akan sesuatu, selain daripadanya”. Maka dikatakan:
“Keingkaran engkau bagi apa yang kami musyahadahkan (persaksikan), dari apa yang
dibelakang pancaindra yang 5 itu seperti keingkaran golongan As-Sufasthaiyah
(suatu golongan dari para filosof Yunani) akan pancaindra yang 5. Mereka itu
mengatakan: “Apa yang kami lihat, kami tidak percaya, semoga kami akan
melihatnya dalam tidur (bermimpi)”. Kalau orang itu berkata: “Bahwa aku
sebahagian dari jumlah mereka. Sesungguhnya aku ragu juga pada yang dirasakan
dengan pancaindra (al-mahsusat) itu”. Maka dijawab: “Bahwa ini adalah orang
yang telah rusak tabiatnya dan tercegah pengobatannya. Maka biarkanlah dia
dalam beberapa hari yang sedikit saja. Tidaklah setiap orang sakit itu
disanggupi oleh para dokter kepada mengobatinya”.
Inilah hukumnya orang yang mengingkari !
Adapun orang yang tidak mengingkari, akan tetapi tidak memahami, maka jalan
orang-orang yang berjalan bersama orang ini, ialah, bahwa memandang kepada
matanya, yang dengan mata itu ia berpenyaksian akan alam al-malakut. Kalau
mereka itu mendapati matanya sehat pada asalnya dan telah bertempat padanya air
hitam, yang dapat dihilangkan dan dibersihkan, niscaya mereka berbuat dengan
pembersihannya, sebagaimana berbuatnya tukang celak pada mata zahiriyah.
Apabila penglihatannya telah betul, niscaya ia ditunjuki kepada jalan, supaya
ditempuhnya. Sebagaimana diperbuat oleh Nabi saw dengan para sahabatnya yang
tertentu. Kalau ia tidak menerima bagi pengobatan, maka tidak memungkinkan dia
untuk menempuh jalan yang telah kami sebutkan pada keesaan. Dan tidak
memungkinkan dia mendengar perkataan atom-atom alam al-mulki/bumi dan
al-malakut/ langit dengan kesaksian keesaan. Mereka mengatakannya dengan huruf
dan suara dan mereka kembalikan tingkatan keesaan ke lembah pahamannya.
Sesungguhnya dalam alam
asy-syahadah/alam yang dapat disaksikan mata juga keesaan. Karena setiap orang
mengetahui, bahwa rumah itu akan rusak dengan dua orang yang punya. Dan negeri
itu akan rusak dengan dua orang kepala (dua orang amir) nya. Maka dikatakan
kepadanya atas ketajaman akalnya: “Tuhan bagi alam ini Esa. Yang Mengatur itu
Esa. Karena kalau ada pada alam asy-syahadah (bumi) dan alam al-malakut
(langit) Tuhan-tuhan, selain Allah, niscaya keduanya rusak. Maka adalah yang
demikian di atas rasa apa yang dilihatnya dalam alam asy-syahadah/alam yang
dapat disaksikan mata. Maka tertanamlah i’tiaqad/kepercayaan keesaan dalam
hatinya dengan jalan yang layak ini menurut kadar akalnya. Telah ditaklifkan
(diberatkan) oleh Allah, bahwa mereka berbicara dengan manusia menurut kadar
akalnya.
Karena itulah, Alquran
diturunkan dengan bahasa Arab, atas batas adat kebiasaan mereka dalam
bersoal-jawab”. Kalau anda bertanya: “Contoh keesaan i’tiqadiyah (ilmu tentang jiwa manusia dengan Tuhannya beserta keimanan)
ini, adakah patut bahwa dia itu tonggak bagi
tawakkal dan pokok padanya?”. Aku menjawab: “Ya ! sesungguhnya i’tiqad (keyakinan)
apabila kuat, niscaya bekerjalah amal kasyaf (tersingkap) pada mengembangkan
hal keadaan. Hanya, kebiasaannya amal itu lemah dan bersegeralah padanya
kegoncangan dan kegemparan pada galibnya/membiasakannya. Karena itulah, yang
empunyanya itu memerlukan kepada orang yang berkata-kata yang menjagakannya
dengan perkataannya. Atau bahwa ia mempelajari perkataan itu sendiri, untuk
menjaga aqidah/keyakinan yang telah dipelajarinya dari gurunya atau dari ibu
bapaknya atau dari penduduk kampungnya.
Adapun orang yang
menyaksikan jalan dan menempuhkannya sendiri, maka tiada suatupun dari yang
demikian itu ditakutinya. Bahkan, kalau disingkapkan tutup, niscaya ia tiada
bertambah yakin, walaupun bertambah jelas. Sebagaimana orang yang melihat
seorang insan pada waktu perjalanan sebelum matahari terbit, tiada akan
bertambah keyakinannya ketika terbit matahari, bahwa orang itu insan. Akan
tetapi, ia bertambah jelas tentang penguraian bentuk kejadiannya. Tidaklah
contoh orang-orang yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab) dan orang-orang yang beraqidah/berkeyakinan,
melainkan seperti tukang-tukang sihir Fir’aun bersama para sahabat Samiri.
Tukang-tukang sihir Fir’aun tatkala memperhatikan kesudahan pembekasan sihir,
lantaran lamanya penyaksian dan percobaan mereka, niscaya mereka melihat dari
Musa as apa yang melampaui batas-batas sihir. Dan tersingkaplah bagi mereka
hakikat/makna persoalan. Maka mereka tiada memperdulikan perkataan Fir’aun:
“Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang
secara bertimbal balik”. S 20 Thaahaa ayat 71. Akan tetapi: “Mereka berkata:
“Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata
(mu’jizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah
menciptakan kami: maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya
kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja”. S 20
Thaahaa ayat 72. Sesungguhnya penjelasan dan ketersingkapan itu mencegah
pengobahan. Sahabat-sahabat Samiri tatkala adanya iman mereka dengan memandang
kepada zahiriyahnya ular, maka tatkala mereka memandang kepada patung anak
lembu Samiri dan mendengar lenguhannya, niscaya berobahlah mereka. Dan mereka
mendengar perkataannya: “Inilah Tuhanmu Musa”. S 20 Thaahaa ayat 88. Mereka lupa,
bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka. Dan
tidak dapat memberi kesulitan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan. Setiap
orang yang beriman dengan memandang kepada ular itu sudah pasti menjadi kafir
apabila ia memandang kepada patung anak lembu. Karena keduanya itu termasuk
alam asy-syahadah/alam yang dapat dilihat mata. Perselisihan dan perlawanan di
alam asy-syahadah itu banyak. Adapun alam
al-malakut, maka itu dari sisi Allah Ta’ala. Maka karena itulah tidak anda dapati
sekali-kali padanya perselisihan dan perlawanan. Kalau anda
mengatakan: “Bahwa apa yang engkau sebutkan dari keesaan itu terang, manakala
telah tetap, bahwa perantaraan-perantaraan dan sebab-sebab itu dijadikan
tenaganya dengan cuma-cuma. Dan semua itu jelas, selain mengenai gerak-gerik
insan. Maka insan itu bergerak kalau ia kehendaki dan tetap kalau ia kehendaki.
Maka bagaimanakah insan itu dijadikan cuma-cuma (tidak ada kemauannya sendiri)
?”.
Ketahuilah kiranya, bahwa
kalau ada bersama ini, insan itu berkehendak, kalau ia kehendaki bahwa ia
berkehendak dan tidak ia berkehendak, kalau ia tidak kehendaki bahwa ia
berkehendak, niscaya adalah ini tempat tergelincirnya tapak kaki dan tempat
terjadinya kesalahan. Akan tetapi, ia tahu bahwa ia berbuat apa yang
dikehendakinya, apabila ia kehendaki, bahwa ia berkehendak atau tidak
berkehendak. Maka tidaklah kehendak itu kepadanya.
Karena jikalau ada kehendak itu kepadanya, niscaya ia memerlukan kepada
kehendak yang lain. Dan sambung-menyambung kepada tidak berkesudahan. Apabila
tidak adalah kehendak kepadanya, maka apabila didapati kehendak yang membawakan
al-qudrah(kuasa) kepada yang diqudrahkan (dikuasakan), niscaya sudah pasti al-qudrah(kuasa)
itu terbawa. Tak ada baginya jalan kepada menyalahinya. Gerakan itu harus
karena darurat dengan al-qudrah(kuasa). Dan al-qudrah(kuasa) itu bergerak,
karena darurat ketika kemantapan kehendak. Maka kehendak itu datang, karena
darurat pada hati. Maka inilah darurat-darurat yang tersusun sebahagiannya di
atas sebahagian. Tiadalah bagi hamba bahwa ia menolak adanya kehendak. Dan
tidak pula menolak terbawanya al-qudrah(kuasa) kepada yang diqudrahkan (dikuasakan)
sesudahnya. Tiada wujud gerak sesudah bangkitnya kehendak bagi al-qudrah(kuasa).
Maka itu diperlukan pada semua. Kalau anda mengatakan: “Bahwa ini paksaan
semata-mata. Dan paksaan itu berlawanan dengan ikhtiar (usaha dengan pilihan
sendiri). Dan anda tidak memungkiri ikhtiar. Maka bagaimana adanya dipaksakan
dengan adanya pilihan ?”. Aku menjawab, bahwa jikalau terbukalah tutup, niscaya
anda ketahui, bahwa pada diri ikhtiyar itu sendiri
ada paksaan. Jadi, dia itu dipaksakan atas ikhtiarnya. Maka
bagaimana dapat dipahami ini, oleh orang yang tidak memahami ikhtiyar ? Maka
marilah kami uraikan ikhtiyar menurut cara para ahli ilmu kalam (ilmu keesaan),
dengan uraian singkat, yang layak dengan apa yang telah disebutkan, secara anak
kecil dan patuh mengikutinya. Sesungguhnya Kitab ini tidak kami maksudkan,
selain Ilmu Mu’amalah (jual beli). Akan tetapi aku katakan, sbb: Lafal
“perbuatan” pada manusia itu ditujukan atas 3 segi. Karena dikatakan: manusia
itu menulis dengan anak jari, bernafas dengan paru dan kerongkongan. Ia
membelah air apabila ia berdiri di atas air dengan tubuhnya. Maka dikatakan
kepadanya: membelah dalam air, bernafas dan menulis. 3 ini pada hakikat/makna
keperluan dan paksaan itu satu. Akan tetapi, berlainan dibalik yang demikian,
dalam beberapa persoalan. Maka aku nyatakan kepada anda daripadanya dengan 3
kesimpulan: yaitu kami namakan pembelahannya air ketika jatuhnya tertelungkup
dengan: perbuatan tabi’i (alami). Kami namakan
pernafasannya: perbuatan iradi (dengan Kemauan).
Dan kami namakan penulisannya: perbuatan ikhtiari (dengan pilihan sendiri).
Terpaksa (lawan pilihan) itu nampak pada perbuatan tabi’i(alami).
Karena, manakala ia berdiri di atas permukaan air atau ia melangkah dari
atap ke udara, niscaya sudah pasti udara itu terbelah. Maka adalah terbelahnya
udara sesudah dilangkahi itu hal dlaruri (mudah dipahami). Pernafasan searti
dengan yang demikian. Hubungan gerakan kerongkongan kepada kehendak pernafasan
adalah seperti hubungan terbelahnya air kepada beratnya badan. Manakala berat itu ada, niscaya terdapatlah
terbelahnya air sesudahnya. Dan tiadalah berat itu kepada air. Seperti demikian
juga kehendak itu, tidaklah kepadanya. Karena demikian, jikalau ditujukan
kepada mata seseorang dengan jarum penjahit, niscaya dengan serta-merta pelupuk
matanya tertutup. Kalau ia bermaksud membiarkannya terbuka, niscaya ia tidak
mampu, sedang pemejaman pelupuk mata dengan serta-merta adalah perbuatan iradi (dengan Kemauan). Akan tetapi, apabila tergambar
bentuk jarum pejahit dalam penyaksiannya dengan perasaan, niscaya datanglah
kehendak dengan pemejaman mata itu dengan sendirinya. Dan datanglah gerakan
dengan yang demikian. Jikalau ia mau membiarkan demikian dengan tidak
terpejamnya mata, niscaya ia tidak sanggup yang demikian, serta itu perbuatan
dengan kuasa dan Kemauan.
Maka berhubunganlah ini
dengan perbuatan tabi’i(alami), dalam keadaannya yang dlaruri (pengetauhan mudah tanpa memerlukan
pemikiran). Adapun yang ketiga, yaitu: ikhtiari, maka itu tempat sangkaan
keraguan, seperti: menulis dan mengucapkan. Yaitu, yang dikatakan padanya:
kalau ia mau, niscaya ia kerjakan. Dan kalau ia mau, niscaya ia tidak kerjakan.
Sekali ia kehendaki dan sekali ia tidak kehendaki. Lalu disangka dari yang
demikian, bahwa urusan itu terserah kepadanya. Dan ini adalah karena tidak
mengerti makna ikhtiari. Maka marilah
kami menyingkapkannya: penjelasannya, ialah: bahwa kehendak itu mengikuti ilmu
yang menetapkan, bahwa sesuatu itu bersesuaian bagi engkau. Dan segala sesuatu
itu terbagi kepada apa yang ditetapkan oleh penyaksian engkau yang zahiriyah
atau yang batiniyah, bahwa dia itu bersesuaian dengan engkau tanpa heran dan
sangsi dan kepada apa, yang kadang-kadang akal itu sangsi padanya. Maka yang
engkau yakini padanya, tanpa sangsi, bahwa orang itu menunjukkan umpamanya mata
engkau dengan jarum penjahit atau badan engkau dengan pedang, maka tidaklah
pada pengetahuan engkau itu kesangsian, bahwa menolak yang demikian itu lebih
baik dan bersesuaian bagi engkau. Maka tidak dapat dibantah, tergeraklah
kehendak dengan ilmu dan qudrah(kuasa) dengan kehendak. Berhasillah gerakan
pelupuk mata dengan penolakan dan gerakan tangan dengan penolakan pedang. Akan
tetapi, tanpa timbang dan pikir. Adalah yang demikian itu dengan kehendak
(Kemauan). Diantara hal-hal, ada yang terhenti (tawaqquf) pembedaan buruk dan
baik dan akal pikiran padanya. Lalu tidak diketahui, bahwa dia itu bersesuaian
atau tidak. Maka diperlukan kepada timbang dan pikiran. Sehingga diperbedakan,
bahwa baiknya itu pada dikerjakan atau ditingalkan.
Apabila berhasil dengan
pikiran dan timbang itu ilmu, bahwa salah satu dari keduanya itu baik, niscaya
berhubunganlah yang demikian dengan yang diyakini, tanpa timbang dan pikir.
Maka membangkitlah kehendak di sini, sebagaimana kehendak itu tergerak untuk
menolak pedang dan tombak. Apabila kehendak itu tergerak bagi perbuatan, yang
tampak bagi akal bahwa perbuatan itu baik, niscaya dinamakan kehendak ini
dengan: ikhtiari yang terpecah dari kebaikan. Artinya: itulah kebangkitan
kepada apa, yang tampak bagi akal, bahwa itu baik. Dan itulah diri Kemauan itu
sendiri. Dan ia tidak menunggu pada kebangkitannya kepada apa, yang ditunggu
oleh Kemauan itu. Yaitu: tampaknya kebaikan perbuatan pada dirinya. Kecuali,
bahwa kebaikan pada penolakan pedang itu lahir, tanpa timbang. Akan tetapi,
atas terang-benderang. Dan ini memerlukan kepada timbang. Ikhtiari (pilihan
dengan usaha sendiri) itu ibarat dari kehendak khusus. Yaitu, yang tergerak
dengan isyarat akal, pada apa yang mempunyai tawaqquf (menghentikan pikiran) pada
mengetahuinya. Dan dari ini, dikatakan, bahwa akal itu diperlukan, untuk
membedakan diantara yang lebih baik dari dua kebaikan dan yang lebih jahat dari
dua kejahatan. Dan tidaklah tergambar bahwa Kemauan itu tergerak, selain dengan
ketetapan perasaan dan pengkhayalan. Atau dengan ketetapan keyakinan dari akal
pikiran. Karena itulah, kalau manusia itu berkehendak memotong lehernya sendiri
umpamanya niscaya tidak memungkinkannya. Tidak karena tak ada kemampuan pada
tangan dan tidak karena tidak ada pisau. Akan tetapi, karena ketiadaan kehendak
yang mengajak, yang menonjol bagi kemampuan (kuasa). Sesungguhnya tidak ada
Kemauan itu, karena Kemauan itu tergerak dengan ketetapan akal atau perasaan,
dengan adanya perbuatan itu bersesuaian. Membunuh dirinya sendiri itu tidaklah
bersesuaian baginya. Maka tidak memungkinkannya serta kuatnya anggota badan,
bahwa ia membunuh dirinya sendiri, kecuali apabila ada ia dalam siksaan yang
memedihkan, yang tidak tahan lagi. Maka disini, akal itu terhenti (tawaqquf)
pada ketetapannya dan ragu. Karena keraguannya itu diantara yang lebih jahat
dari dua kejahatan. Kalau menjadi lebih kuat baginya sesudah timbang, bahwa
meninggalkan membunuh itu lebih kurang kejahatannya, niscaya tidak memungkinkan
baginya membunuh dirinya. Kalau diputuskan oleh akal, bahwa membunuh itu lebih
sedikit kejahatannya dan adalah keputusannya itu yakin, yang tak ada kemiringan
padanya dan tak ada yang memalingkan daripadanya lagi, niscaya tergeraklah
Kemauan dan kemampuan (qudrah/kuasa). Dan ia membinasakan dirinya sendiri,
seperti orang yang diikutkan dengan pedang untuk dibunuh. Dia melemparkan
dirinya umpamanya dari atap, walaupun membinasakan. Dan ia tidak ambil perduli.
Tidak memungkinkannya bahwa ia tidak melemparkan dirinya. Kalau dia itu diikuti
dengan pukulan ringan, maka jikalau ia telah berkesudahan ke tepi atap, niscaya
akalnya memutuskan, bahwa pukulan itu lebih mudah dari melemparkan diri. Lalu
terhentilah anggota badannya. Maka tidak memungkinkannya bahwa ia melemparkan
dirinya. Tidak tergerak sekali-kali baginya yang membawa kepada yang demikian.
Karena yang mengajak kehendak itu dijadikan dengan keputusan akal dan perasaan.
Kemampuan itu dijadikan bagi pengajak. Gerakan dijadikan bagi kemampuan. Dan
semua itu ditakdirkan dengan dlarurat (mudah) padanya, dimana tadinya ia tidak
mengetahuinya. Itu sesungguhnya tempat dan berlalunya hal-hal ini. Adapun bahwa
ada itu daripadanya, maka tidaklah yang demikian itu sekali-kali. Jadi, makna
adanya itu keterpaksaan, ialah bahwa semua yang demikian itu yang terjadi
padanya adalah dari orang lain. Tidak daripadanya sendiri. Makna padanya itu
dengan pilihan (ikhtiari), ialah bahwa dia itu tempat bagi kehendak yang datang
padanya, dengan terpaksa sesudah ketetapan akal, dengan adanya perbuatan itu
kebajikan semata, yang bersesuaian. Dan datanglah pula ketetapan dengan
paksaan. Jadi, dia itu terpaksa atas pilihan (ikhtiari) sendiri. Berbuatnya api
umpamanya pada membakarkan itu paksaan semata-mata. Berbuatnya Allah Ta’ala itu
pilihan (ikhtiari) semata-mata. Dan berbuatnya manusia itu diatas kedudukan
diantara dua kedudukan. Dia itu paksaan diatas pilihan. Lalu oleh ahli
kebenaran mencari untuk susunan kata (ibarat) ketiga. Karena tatkala adanya itu
macam yang ketiga dan mereka mengikuti padanya dengan Kitab Allah Ta’ala, lalu
mereka menamakannya: usaha.
Dan tidaklah itu
berlawanan bagi paksaan dan tidak bagi pilihan. Akan tetapi, dia itu
mengumpulkan diantara keduanya pada orang yang memahami nya. Perbuatan Allah
Ta’ala dinamakan: pilihan (ikhtiari), dengan syarat bahwa tidak dipahami dari
pilihan itu, akan Kemauan sesudah heran dan sangsi. Karena yang demikian itu mustahil
pada pihakNya. Dan semua lafal/ucapan yang disebutkan dalam bahasa-bahasa itu
tidak mungkin dipakai pada Allah Ta’ala, selain atas jalan pinjaman kata
(isti’arah) dan pelampauan dari arti aslinya (tajawwuz). Menyebutkan yang
demikian tidak layak dengan ilmu ini dan panjanglah pembicaraan padanya.Kalau
anda bertanya:“Adakah engkau mengatakan, bahwa ilmu itu anak kehendak
(Kemauan)? Kemauan memperanakkan qudrah(kuasa)? dan qudrah(kuasa) menperanakkan
gerak ? bahwa semua yang kemudian itu datang dari yang dahulu ? kalau engkau
mengatakan demikian, maka engkau telah menetapkan dengan datangnya sesuatu,
tidak dari qudrah(kuasa) Allah Ta’ala. Dan kalau engkau enggan yang demikian,
maka apakah artinya: tertertibnya sebahagian dari ini diatas sebahagian yang
lain ? maka ketahuilah kiranya, bahwa ucapan yang mengatakan sebahagian itu
datang (terjadi) dari sebahagian yang lain adalah kebodohan semata-mata. Sama
saja dikatakan tentang itu: dengan memperanakkan atau dengan lainnya. Akan
tetapi, menyerahkan semua itu atas makna yang dikatakan padanya: qudrah azaliyah
(kekuasaan kekal pada Allah Ta’ala).
Itulah pokok yang tidak
diketahui oleh seluruh manusia, selain oleh orang-orang yang mendalam pengetahuannya.
Mereka inilah yang mengetahui hakikat maknanya. Dan umumnya manusia itu
mengetahui atas semata-mata lafalnya/ucapannya, serta semacam tasybih
(penyerupaan) dengan kemampuan (qudrah/kuasa) kita. Dan
itu jauh dari benar. Penjelasan yang demikian panjang. Akan tetapi
sebahagian yang dikuasakan (al-maqdurat) itu tertertib atas sebahagian, pada
datangnya (terjadinya), sebagaimana tertibnya masyrut(disyarati)
atas syarat. Maka tidaklah timbul dari qudrah-azaliyah/kekuasaan mutlak itu
Kemauan, selain sesudah ilmu. Tidak timbul ilmu, selain sesudah hayah (hidup).
Dan tidak timbul hidup selain sesudah tempat hidup. Sebagaimana tidak boleh
dikatakan, bahwa hidup itu berhasil dari tubuh, yang menjadi syarat hidup, maka
seperti demikianlah pada tingkat-tingkat tertib yang lain. Akan tetapi,
sebahagian syarat-syarat kadang-kadang jelas bagi orang awam. Dan sebahagiannya
tidak jelas, selain bagi orang-orang tertentu (orang-orang al-khawwash) yang
tersingkap baginya dengan cahaya kebenaran. Kalau tidak demikian, maka tidak
didahulukan yang dahulu dan tidak dikemudiankan yang kemudian, selain dengan
kebenaran dan keharusan. Dan seperti demikian juga semua perbuatan Allah
Ta’ala. Jikalau tidaklah yang demikian, niscaya adalah pendahuluan dan
pengkemudian itu sia-sia yang menyerupai dengan perbuatan orang-orang gila.
Maha Suci Allah dari
perkataan orang-orang bodoh dengan kesucian yang agung. Kepada inilah
diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala: “Tidak Aku jadikan jin dan manusia,
melainkan untuk mereka beribadah kepadaKu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 56. Dan
firmanNya Yang Maha Tinggi: “Dan tidaklah Kami jadikan langit dan bumi dan apa
yang diantara keduanya sekadar untuk main-main saja dan tidaklah Kami jadikan
keduanya, selain dengan tujuan yang benar”. S 44 Ad Dukhaan ayat 38-39. Setiap
apa diantara langit dan bumi itu baru (bukan tiada berpemulaan) di atas tartib
yang wajib dan hak yang harus, yang tidak tergambarkan, bahwa ia ada, selain
seperti apa yang telah terjadi. Dan diatas tartib ini yang diwujudkan. Maka tidaklah
terkemudian yang terkemudian, selain karena menunggu syaratnya. Dan masyrut
(yang disyaratkan) itu mustahil sebelum syarat. Dan yang mustahil itu tidak disifatkan
dengan adanya dikuasakan. Maka tidaklah terkemudian ilmu dari nuthfah/sperma,
selain karena tidak adanya syarat hidup. Tidak terkemudian Kemauan daripadanya
sesudah ilmu, selain karena tidak adanya syarat ilmu. Setiap yang demikian itu
jalan bagi wajib dan tartib bagi kebenaran, yang tidak ada pada suatupun dari
yang demikian itu, permainan dan kesepakatan. Akan tetapi, setiap yang demikian
itu dengan hikmah dan pengaturan. Pemahaman yang demikian itu sukar. Akan
tetapi, kami akan membuat contoh bagi terletaknya yang dikuasakan, serta adanya
kuasa, atas adanya syarat, yang mendekatkan pokok-pokok kebenaran dari
paham-paham yang lemah. Yang demikian, ialah: bahwa anda umpamakan seorang
manusia yang berhadats, yang telah membenamkan diri dalam air, sehingga
lehernya. Maka hadats itu tidak terangkat (hilang) dari anggota-anggota
badannya, walaupun adalah air itu yang mengangkatkan (menghilangkan) hadats.
Dan air itu sudah bertemu bagi badannya. Maka umpamakanlah, bahwa Qudrah-Azaliyah/kekuasaan
Allah itu hadir, yang bertemu dengan yang dikuasakan, yang bergantung dengan
dia, sebagaimana bertemunya air bagi anggota-anggota badan. Akan tetapi, tidak
berhasil yang dikuasakan dengan qudrah(kuasa), sebagaimana tidak berhasil
terangkatnya hadats dengan air, karena menunggu syarat. Yaitu: membasuh muka.
Apabila orang yang berdiri dalam air meletakkan mukanya atas air, niscaya
bekerjalah air pada anggota-anggota badannya yang lain. Dan terangkatlah
hadats. Kadang-kadang orang bodoh menyangka bahwa hadats itu terangkat dari dua
tangan, dengan terangkatnya hadats dari muka. Karena dia itu hadats yang
kemudian daripadanya. Karena ia mengatakan: “Adalah air itu yang bertemu. Ia
tidak yang mengangkatkan. Dan air itu tidak berobah dari apa yang ia telah ada.
Maka bagaimana berhasil daripadanya, apa yang tidak berhasil sebelumnya? akan
tetapi, terangkatnya hadats itu berhasil dari dua tangan, ketika membasuh muka.
Jadi, membasuh muka itulah yang mengangkatkan hadats dari dua tangan”. Itu
adalah kebodohan yang menyerupai persangkaan orang, yang menyangka bahwa gerak
itu berhasil dengan qudrah. Qudrah(kuasa) berhasil dengan Kemauan. Dan Kemauan
dengan ilmu. Semua itu salah. Akan tetapi, ketika terangkatnya hadats dari
muka, niscaya terangkatlah hadats dari tangan, dengan air yang menemui bagi
tangan. Tidak dengan membasuh muka. Air tidak berobah dan tangan tidak berobah.
Dan tidak terjadi pada keduanya sesuatu. Akan tetapi, telah terjadi adanya
syarat. Maka lahirlah bekas alasan itu. Maka begitulah seyogyanya bahwa anda
memahamkan timbulnya yang dikuasakan dari qudrah-azaliyah/kekuasaan Allah,
sedang qudrah(kuasa) itu tiada berpemulaan dan yang diqudrahkan (al-maqdurat)
itu baru (haditsah). Dan ini ketokan pintu lain bagi alam lain dari alam-alam
diminta untuk mengetahuinya saja. Marilah kita tinggalkkan semua itu ! bahwa
maksud kita ialah memberitahukan atas jalan keesaan pada perbuatan.
Sesungguhnya Yang Berbuat dengan hakikat/makna sebenarnya, ialah Esa. Dialah
yang ditakuti dan yang diharapkan. KepadaNya-lah bertawakkal dan berpegang.
Kita tidak mampu bahwa kita menyebutkan siapa yang menjadi tetangga keesaan,
selain setitik dari lautan tingkat ketiga dari tingkat-tingkat keesaan. Dan
menyempurnakan yang demikian dalam usia nabi Nuh itu mustahil, seperti
menyempurnakan air laut, dengan mengambil beberapa titik-titik daripadanya.
Semua itu tersimpul dalam ucapan: “Tiada yang disembah, selain Allah”. Alangkah
ringan perbelanjaannya di atas lisan ! alangkah mudahnya i’tiqad (keyakinan)
yang dipahami lafalnya pada hati ! alangkah mulia hakikat/maknanya dan isinya
pada ulama-ulama yang mantap ilmunya. Maka bagaimana pada orang lain ?
Kalau anda bertanya:
“Bagaimana mengumpulkan diantara keesaan dan agama ? Makna keesaan, ialah bahwa
tiada yang berbuat, selain Allah Ta’ala. Dan makna agama, ialah menetapkan
segala perbuatan bagi hamba. Kalau adalah hamba itu yang berbuat, maka
bagaimanakah ada Allah Ta’ala itu berbuat ? Kalau adalah Allah Ta’ala itu yang
berbuat, maka bagaimanakah adanya hamba itu yang berbuat ? dan yang
diperbuatkan diantara dua pembuat itu tidak dapat dipahami”. Aku menjawab: “Benar,
yang demikian itu tidak dapat dipahami, apabila ada bagi pembuat itu satu
makna. Kalau ada baginya dua makna dan adalah nama itu tersimpul, yang
bulak-balik diantara keduanya, niscaya tidaklah berlawanan. Sebagaimana
dikatakan: “Amir itu membunuh si Anu”. Dan dikatakan: “Si Anu itu dibunuh oleh
tukang siksa”. Maka Amir itu pembunuh dengan suatu makna dan tukang siksa itu
pembunuh dengan makna yang lain. Maka seperti demikianlah hamba itu pembuat
dengan suatu makna dari Allah ‘Azza Wa Jalla itu pembuat dengan makna yang lain.
Makna adanya Allah Ta’ala itu Pembuat, ialah bahwa Dia itu Pencipta, Yang
Mewujudkan. Dan makna adanya hamba itu pembuat, ialah bahwa dia itu tempat yang
dijadikan padanya kemampuan (qudrah/kuasa) sesudah dijadikan padanya Kemauan,
sesudah dijadikan padanya ilmu. Maka terikatlah qudrah(kuasa) dengan Kemauan
dan gerak dengan qudrah(kuasa), sebagaimana terikatnya syarat dengan masyrut(disyarati). Dan terikatnya dengan qudrah(kuasa)
Allah, sebagaimana terikatnya al-ma’lul (yang dikarenakan) dengan al-‘illah
(karena atau alasan). Dan sebagaimana terikatnya yang diciptakan dengan
pencipta. Setiap apa yang mempunyai ikatan dengan qudrah(kuasa), maka tempat qudrah(kuasa)
itu dinamakan: pembuat baginya, betapapun adanya ikatan itu. Sebagaimana
dinamakan tukang siksa itu pembunuh dan Amir itu pembunuh. Karena pembunuh itu
terikat dengan qudrah (kemampuan) keduanya. Akan tetapi, diatas dua cara yang
berlainan. Maka karena demikianlah, dinamakan pembuat bagi keduanya. Maka
seperti demikianlah ikatan al-maqdurat itu dengan dua qudrah(kuasa) itu. Bagi
penyesuaian yang demikian dan permufakatannya, dikaitkan oleh Allah Ta’ala
segala Af’al (perbuatan) dalam Alquran, sekali kepada malaikat dan sekali
kepada hamba. Dan dikaitkanNya pada kali yang lain perbuatan itu kepada DiriNya
sendiri. Ia berfirman tentang mati:
“Katakan: Malakul-maut (malaikat
kematian) yang telah diserahi untuk kamu, akan mengambil nyawamu”. S 32 As
Sajdah ayat 11.
“Allah yang mengambil nyawa (manusia)
itu ketika matinya”. S 39 Az Zumar ayat 42:
“Adakah kamu perhatikan apa yang kamu
tanam ?”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 63. Allah Ta’ala menambahkan kepada kita,
kemudian Ia berfirman:
“Bagaimana Kami mencurahkan air
melimpah ruah. Sesudah itu, bumi Kami belah. Dan Kami tumbuhkan disitu tanaman
yang berbuah dan anggur”. S 80 ‘Abasa ayat 25-28.
“Maka Kami utus kepadanya Ruh Kami dan
kelihatan olehnya serupa seorang laki-laki yang sempurna”. S 19 Maryam ayat 17.
“Maka Kami hembuskan kepadanya ruh
(nyawa) dari Kami”. S 66 At Tahrim ayat 12. Adalah yang menghembuskan itu
malaikat Jibril as. Dan sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Maka apabila Kami
bacakan, turutlah bacaannya !”. S 75 Al Qiyaamah ayat 8.
Dikatakan dalam tafsir,
bahwa maknanya: karena dibacakannya kepada engkau oleh jibril. Allah Ta’ala
berfirman:
“Perangilah mereka, Allah akan
menyiksa mereka dengan tanganmu”. S 9 At Taubah ayat 14. Allah menyandarkan
pembunuhan kepada mereka dan penyiksaan kepada diriNya sendiri. Dan penyiksaan
itu adalah pembunuhan itu sendiri. Akan tetapi Allah Ta’ala menegaskan dan
berfirman:
“Sebenarnya, bukan engkau yang
membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuhnya”. S 8 Al Anfaal ayat 17.
“Dan bukan engkau yang melemparkan
ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar”. S 8 Al Anfaal ayat 17.
Yaitu: mengumpulkan diantara nafi (tidak) dan itsbat (ya) secara zahiriyah.
Akan tetapi, maknanya: bukan engkau yang melemparkan, dengan makna Tuhan yang
melemparkan. Karena engkau melemparkan dengan makna, yang adalah hamba itu
melemparkan. Karena keduanya dua makna yang berbeda. Allah Ta’ala berfirman:
“Yang mengajarkan dengan pena (tulis-baca) mengajarkan kepada manusia apa yang
belum diketahuinya”. S 96 Al ‘Alaq ayat 4-5.
“Tuhan Yang Maha Pemurah Dia telah
mengajarkan Alquran”. S 55 Ar Rahmaan ayat 1-2.
“Dan mengajarkan kepadanya berbicara
terang”. S 55 Ar Rahmaan ayat 4.
“Kemudian, sesungguhnya adalah urusan
Kami menjelaskannya”. S 75 Al Qiyaamah ayat 19.
“Tidakkah kamu perhatikan (air mani)
yang kamu tumpahkan? kamukah yang menciptakannya atau Kamikah yang
menciptakan?”. S56 Al Waaqi’ah ayat58-59 Kemudian, Rasulullah saw bersabda pada
menyifatkan malaikat rahim, bahwa: “malaikat itu masuk ke dalam rahim wanita.
Lalu mengambil nuthfah dalam tangannya. Kemudian, membentuknya menjadi tubuh,
lalu bertanya: “Wahai Tuhan ! laki-laki atau perempuan ? lurus atau bengkok ?”.
Allah Ta’ala berfirman: “Apa yang dikehendaki dan dijadikan oleh malaikat”.
Pada lafal/ucapan yang lain: “Dan dibentuk oleh malaikat. Kemudian
dihembuskannya pada ruh dengan kebahagiaan atau dengan kesengsaraan”.
Sebahagian salaf (ulama
terdahulu) mengatakan: “Bahwa malaikat yang dinamakan ruh, ialah yang
memasukkan ruh dalam tubuh dan malaikat itu bernafas dengan sifatnya. Maka
adalah setiap nafas dari nafas-nafasnya itu ruh, yang masuk dalam tubuh. Dan
karena itulah, dinamakan: ruh. Apa yang disebutkan oleh salaf itu tentang
malaikat yang seperti ini dan sifatnya, adalah benar dipersaksikan (dimusyahadahkan)
oleh orang-orang yang mempunyai hati dengan mata hati mereka. Adapun adanya ruh
diibaratkan daripadanya, maka tidak mungkin diketahui, selain dengan naqal
(diambil dari ajaran agama). Menetapkan dengan demikian, tidak dengan naqal(diambil
dari ajaran agama), adalah terkaan semata-mata. Seperti demikian juga
disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam Alquran, dari dalil-dalil dan ayat-ayat
tentang bumi dan langit. Kemudian Ia berfirman: “Belumkah cukup bahwa Tuhan
engkau itu menyaksikan segala sesuatu ?”. S 41 Fussilat ayat 53. Dan Ia
berfirman: “Allah mengakui, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan, selain Dia”. S
3 Ali ‘Imran ayat 18. Allah Ta’ala menerangkan, bahwa itu dalil atas DiriNya
sendiri. Yang demikian itu tidak berlawanan. Bahkan jalan mencari dalil itu
bermacam-macam. Berapa banyak orang yang mencari, lalu mengenal Allah Ta’ala
dengan memandang kepada segala yang ada (al-maujudat). Berapa banyak orang yang
mencari, lalu mengetahui setiap al-maujudat/segala yang ada itu dengan Allah
Ta’ala, sebagaimana dikatakan oleh sebahagian mereka: “Aku mengenal Tuhanku
dengan Tuhanku. Jikalau tidaklah Tuhanku, niscaya aku tidak mengenal Tuhanku”.
Itulah makna firman Allah Ta’ala: “Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu
menyaksikan segala sesuatu ?”. S Fussilat ayat 53.
Allah Ta’ala telah
menyifatkan DiriNya, bahwa Ia Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Kemudian Ia
menyerahkan mati dan hidup kepada dua malaikat. Tersebut pada hadits: “Bahwa
malaikat mati (malaikat urusan kematian) dan malaikat hidup (malaikat urusan
kehidupan) berbantah-bantahan. Berkata malaikat mati: “Aku akan mematikan
segala yang hidup”. Dan berkata malaikat hidup: “Aku akan menghidupkan segala
yang mati”. Allah Ta’ala lalu menurunkan wahyu kepada keduanya: “Adalah engkau
berdua diatas perbuatanmu masing-masing dan perbuatan apa yang Aku jadikan kamu
baginya. Akulah Yang Mematikan dan Yang Menghidupkan. Tiada yang mematikan dan
yang menghidupkan, selain Aku”. Jadi, perbuatan itu dipakai atas bermacam-macam
segi. Maka tiadalah bertentangan makna-makna itu, apabila sudah dipahami.
Karena demikianlah, maka Nabi saw mengatakan kepada orang yang diberikannya
kurma: “Ambillah kurma ini ! jikalau engkau tidak datang kepadanya, niscaya ia
datang kepada engkau”. Beliau kaitkan kedatangan kepada orang itu dan kepada
kurma. Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa kurma tidak datang atas cara, yang
manusia datang kepadanya. Dan seperti demikian pula, tatkala orang yang
bertaubat berkata: “Aku bertaubat kepada Allah Ta’ala dan aku tidak bertaubat
kepada Muhammad”, maka Nabi saw menjawab: “Dia tahu hak bagi yang empunya hak”.
Maka setiap orang yang mengkaitkan segala sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya
orang itu yang berpaham teguh, mengetahui kebenaran dan hakikat/makna. Dan
orang yang mengkaitkannya kepada selain Allah Ta’ala, maka orang itu melampaui
dari yang seharusnya dan memakai isti’arah (meminjamkan kata-kata) dalam
perkataannya. Dan bagi pelampauan itu ada caranya, sebagaimana bagi
hakikat/makna itu ada caranya. Nama pembuat diletakkan oleh peletak bahasa kepada
pencipta. Akan tetapi, ia menyangka bahwa manusia itu pencipta dengan
kemampuannya, lalu dinamakannya: pembuat dengan gerakannya. Dan ia menyangka
bahwa itu sebenarnya. Ia menyangka, bahwa menyandarkannya kepada Allah Ta’ala
itu atas jalan majaz (bukan hakikat/makna sebenarnya), seperti menyandarkan
pembunuhan kepada amir (kepala pemerintahan). Itu adalah bukan makna sebenarnya, dengan dikaitkan kepada
menyandarkan nya kepada tukang siksa. Tatkala telah tersingkaplah hak bagi yang
empunya hak, niscaya mereka tahu, bahwa urusan itu adalah terbalik. Dan mereka
mengatakan: “Bahwa pembuat telah engkau letakkan, hai ahli bahasa, kepada
pencipta. Maka tiadalah Pembuat, selain Allah. Maka nama bagiNya itu adalah
hakikat/maknanya. Dan bagi yang lain dari Allah, maka adalah secara majaz(bukan
hakikat/makna sebenarnya),. Artinya: engkau melampaui dengan yang demikian,
dari apa yang diletakkan oleh ahli bahasa.
Tatkala telah berlaku
hakikat/makna makna pada pembicaraan sebahagian Arab desa, dengan sengaja atau
kebetulan, maka dibenarkan oleh Rasulullah saw. Beliau lalu bersabda: “Sekuntum
syair yang paling benar, yang diucapkan oleh seorang penyair, ialah ucapan
Lubaid: “Ketahuilah, setiap sesuatu, selain Allah itu batil/salah”. Artinya:
setiap apa yang tiada dapat berdiri sendiri dan hanya ia berdiri dengan bantuan
orang lain, maka dengan memandang kepada diri orang itu adalah batil/salah. Dan
haknya dan hakikat/maknanya adalah dengan bantuan orang lain. Tidak oleh
dirinya sendiri. Jadi, tiada hak dengan hakikat/maknanya, selain Yang Hidup,
Yang Berdiri Sendiri, Yang Tiada sesuatu sepertiNya. Ia berdiri dengan ZatNya.
Dan setiap sesuatu yang lain daripadaNya itu berdiri dengan Qudrah(kuasa)Nya.
Dialah yang Hak dan yang lainnya itu batil/salah.
Karena itulah, Sahal
berkata: “Hai orang yang patut dikasihiani ! Ia telah ada dan engkau tidak ada.
Ia akan terus Ada dan engkau akan tiada. Maka tatkala engkau telah jadi pada
hari ini, niscaya engkau mengatakan: “Aku ! aku !”. Adalah engkau sekarang,
sebagaimana engkau tidak ada. Sesungguhnya Ia pada hari ini, sebagaimana Ia
telah ada”. Kalau anda bertanya, bahwa: telah tampak sekarang bahwa semua itu
terpaksa (sudah takdir demikian), maka apakah artinya pahala dan siksa, marah
dan ridha ? bagaimana marahNya kepada perbuatanNya sendiri ? maka ketahuilah
kiranya, bahwa makna yang demikian telah kami isyaratkan dalam Kitab Syukur.
Tidak kami panjangkan lagi dengan mengulanginya. Inilah kadar yang kami
berpendapat mengisyaratkannya dari keesaan yang mewariskan hal tawakkal. Dan
ini tiada akan sempurna, selain dengan iman dengan rahmat dan hikmah.
Bahwa keesaan itu
mewariskan pemandangan kepada Yang Menyebabkan segala sebab. Iman dengan rahmat
itu mewariskan kepercayaan dengan Yang Menyebabkan segala sebab. Tiada akan
sempurna keadaan tawakkal, sebagaimana akan datang keterangannya, selain dengan
percaya kepada Wakil dan tentramnya hati kepada bagusnya pandangan Yang
Menanggung (Al-Kafil). Iman itu pula suatu pintu yang besar dari pintu-pintu
iman. Cerita jalannya orang-orang yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab) padanya itu akan panjang. Maka marilah kami
sebutkan hasilnya, supaya diyakini oleh orang yang mencari maqam tawakkal,
dengan keyakinan yang benar-benar, yang
tidak ia ragu padanya. Yaitu, bahwa ia membenarkan dengan pembenaran yang
yakin, tak lemah dan tak ragu padanya, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla jikalau
menjadikan makhluk seluruhnya di atas akal, niscaya diberiNya akal kepada
mereka dan atas ilmu, niscaya diberiNya ilmu kepada mereka. DijadikanNya bagi
makhluk itu dari ilmu, apa yang dibawa oleh diri mereka. DilimpahkanNya kepada
mereka dari hikmah, apa yang tidak berkesudahan bagi menyifatkannya. Kemudian,
Ia menambahkan seperti bilangan semua mereka akan ilmu, hikmah dan akal.
Kemudian, Ia menyingkapkan bagi mereka dari hal akibat semua urusan.
diperlihatkanNya kepada mereka akan rahasia alam al-malakut. Dan
diperkenalkanNya kepada mereka akan kelemah-lembutan yang halus dan
akibat-akibat yang tersembunyi. Sehingga mereka melihat dengan yang demikian
itu kepada kebajikan dan kejahatan, manfaat dan melarat. Kemudian, Ia menyuruh
mereka untuk mengatur alam al-mulki wal-malakut/alam dunia yang tidak dapat
dilihat mata, dengan ilmu dan hikmah yang diberikan kepada mereka, karena
dikehendaki oleh pengaturan semua mereka, serta bertolong-tolongan dan
lahir-melahirkan maksud padanya, bahwa ditambahkan pada apa yang diatur oleh
Allah swt akan makhlukNya di dunia dan di akhirat, akan sayap lalat. Tidak akan
dikurangkan daripadanya akan sayap lalat. Tidak akan diangkatkan daripadanya
akan sebuah atom. Tidak akan direndahkan daripadanya akan sebuah atom. Tidak
akan ditolakkan penyakit atau keaiban atau kekurangan atau kemiskinan atau
kemelaratan dari orang yang dicoba dengan yang demikian itu. Tidak akan
dihilangkan kesehatan atau kesempurnaan atau kekayaan atau kemanfaatan, dari
orang yang telah dicurahkan nikmat oleh Allah kepadanya. Bahkan, setiap apa
yang dijadikan oleh Allah Ta’ala dari langit dan bumi, jikalau mereka kembali
padanya melihat dan melamakan perhatian padanya, niscaya mereka tiada akan
melihat padanya berlebih-kurang dan pecah-belah. Setiap apa yang dibagikan oleh
Allah Ta’ala diantara hamba-hambaNya, dari rezeki, ajal, gembira dan susah,
lemah dan kuat, iman dan kufur, taat dan maksiat. Semua itu adil semata, tak
ada kezaliman padanya. Hak semata-mata tak ada zalim padanya. Bahkan, itu
adalah di atas tartib yang wajib, yang benar di atas yang seyogya. Sebagaimana
yang seyogya dan dengan kadar yang seyogya. Tidaklah mungkin sekali-kali yang
lebih baik daripadanya. Tidaklah yang lebih lengkap dan yang lebih sempurna.
Dan jikalau ada dan disimpankanNya serta qudrah(kuasa) dan tidak
dikurniakanNya, dengan perbuatanNya, niscaya adalah itu kikir, yang berlawanan
dengan kemurahan. Kezaliman yang berlawanan dengan keadilan. Dan jikalau
tidaklah Ia yang qudrah(kuasa), niscaya adalah itu kelemahan, yang berlawanan
dengan ketuhanan (al-ilahiyyah). Bahkan setiap kefakiran dan kemelaratan di
dunia, maka itu kekurangan dari dunia dan kelebihan di akhirat. Setiap
kekurangan di akhirat, dengan dikaitkan kepada seseorang, maka itu nikmat
dengan dikaitkan kepada orang lain. Karena, jikalau tidak ada malam, niscaya
tidak diketahui kadar siang. Jikalau tidak ada sakit, niscaya tidak dirasakan
kenikmatan dengan kesehatan oleh orang-orang sehat. Dan jikalau tidak ada
neraka, niscaya tidak diketahui oleh penduduk sorga akan kadar nikmatnya.
Sebagaimana, bahwa tebusan nyawa manusia dengan nyawa binatang dan menguasakan
mereka menyembelihkannya itu tidak zalim, akan tetapi mendahulukan yang sempurna
atas yang kurang itu dari keadilan, maka seperti demikian juga membesarkan
nikmat kepada sorga adalah dengan membesarkan siksa kepada isi neraka. Tebusan
orang yang beriman dengan orang yang kufur itu diri keadilan. Apa yang tidak
dijadikan yang kurang, niscaya tidak diketahui yang sempurna. Jikalau tidak
dijadikan binatang, niscaya tidak menampak kemuliaan insan. Sesungguhnya
kesempurnaan dan kekurangan itu tampak dengan dikaitkan kepada yang lain. Maka
kehendak kemurahan dan hikmah itu akhlak bagi orang yang sempurna dan bersama
bagi orang yang kurang. Sebagaimana memotong tangan apabila kena penyakit yang
harus dipotong, untuk meneruskan kekalnya nyawa dalam badan itu adil. Karena
itu tebusan yang sempurna dengan yang kurang. Maka seperti yang demikian juga
urusan tentang berlebih-kurang yang ada diantara makhluk dalam pembahagian di
dunia dan di akhirat. Setiap yang demikian itu adil, tak ada kezaliman padanya.
Dan benar, tak ada main-main padanya. Ini sekarang lautan lain yang sangat
dalam, luas tepi-tepinya, bergoncang ombak-ombaknya, mendekati pada luasnya
dengan laut keesaan. Ke dalamnya telah tenggelam golongan-golongan yang
teledor. Mereka tidak mengetahui, bahwa yang demikian itu sukar, yang tidak
dapat dipikirkan, selain oleh orang-orang yang berilmu. Dan dibalik lautan ini
rahasia al-qadar (takdir), yang telah heran padanya orang banyak. Dan dilarang
orang-orang yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab) daripada menyiarkan rahasianya.
Walhasil, bahwa kebajikan
dan kejahatan itu tertunai (qodo/hukum takdir) dengan yang demikian. Dan adalah
apa yang ditunaikan itu harus berhasil sesudah didahului kehendak. Maka tiada
yang menolak bagi hukumNya. Tiada yang menghalangi bagi qodo/ketetapan(yang
ditunaikan)Nya dan perintahNya. Bahkan setiap yang kecil dan besar itu
dibariskan pada Lauh-Mahfudh dan hasilnya ditunggu dengan kadar yang diketahui.
Dan apa yang menimpa atas diri engkau, tidaklah untuk menyalahkan engkau. Dan
apa yang menyalahkan engkau, tidaklah untuk menimpakan bencana bagi engkau. Dan
marilah kita singkatkan atas rumuz-rumuz ini dari ilmu-ilmu diminta untuk
mengetahuinya saja yang menjadi pokok maqam/kedudukan tawakkal. Marilah kita
kembali kepada ilmu mu’amalah (jual beli) insya Allah Ta’ala. Mencukupilah
Allah bagi kita dan sebaik-baik Wakil (tempat kita bertawakkal, menyerahkan
diri).
BAHAGIAN YANG KEDUA
Dari kitab: tentang hal-ihwal tawakkal
dan amal perbuatannya.
Pada bahagian ini: penjelasan hal
tawakkal, penjelasan apa yang dikatakan oleh para syaikh/guru tentang batas
tawakkal dalam berusaha bagi orang yang seorang diri dan yang berkeluarga,
penjelasan tawakkal dengan meninggalkan simpanan, penjelasan tawakkal tentang
menolak yang melarat dan penjelasan tawakkal tentang menghilangkan melarat
dengan berobat dan lainnya. Kiranya Allah mencurahkan taufik dengan rahmatNya.
PENJELASAN: hal tawakkal.
Telah kami sebutkan dahulu, bahwa
maqam/kedudukan tawakkal itu teratur dari: ilmu, hal keadaan dan amal. Dan
telah kami sebutkan dahulu tentang ilmu. Adapun hal keadaan, maka dengan penjelasan,
bahwa tawakkal itu adalah ibarat daripada hal keadaan. Ilmu adalah pokoknya dan
amal adalah buahnya. Telah banyak diterangkan oleh orang-orang yang terjun pada
penjelasan batas tawakkal dan berbeda-beda ibarat mereka. Setiap orang
memperkatakan tentang kedudukan dirinya sendiri dan menceritakan tentang
batasnya, sebagaimana telah berlaku adat kebiasaan ahli tasawwuf/ahli suffi.
Dan tak ada faedahnya menyalin dan memperbanyakkannya. Marilah kita singkapkan
tutupnya dan kita menerangkan, bahwa: kata-kata Tawakkal itu diambil (berasal)
dari kata-kata Wikalah. Dikatakan: ia mengwikalahkan (menyerahkan atau
mewakilkan) urusannya kepada si Anu. Artinya: ia menyerahkannya kepadanya dan
ia berpegang kepada orang itu mengenai urusannya tadi. Orang yang diperserahkan
itu, dinamakan: wakil. Dan dinamakan yang menyerahkan itu: yang mewakilkan
kepadanya dan yang menyerahkan kepadanya (muwakkil). Yaitu: manakala hatinya
telah tentram kepada orang itu dan ia telah percaya. Tidak akan menuduhnya
teledor dan tidak berkeyakinan pada orang itu ada kelemahan dan keteledoran.
Tawakkal, ialah: ibarat daripada berpegangnya hati kepada wakil seorang saja.
Marilah kami berikan contoh bagi wakil dalam permusuhan. Maka kami terangkan
sbb:
Orang yang didakwakan dengan dakwaan
batil/salah dengan penipuan, lalu ia mewakilkan bagi permusuhan itu kepada
orang yang akan menyingkapkan penipuan itu. Tidaklah orang tersebut diwakilkan,
dipercayakan dan tentram hati dengan mewakilkannya, selain apabila dipercayakan
kepadanya 4 perkara: berkesudahan petunjuk, berkesudahan kuat, berkesudahan
lancar berbicara dan berkesudahan kasih-sayang.
Adapun petunjuk, maka hendaklah diketahui dengan
petunjuk itu akan tempat-tempat penipuan. Sehingga tidak tersembunyi kepadanya
sekali-kali akan suatupun dari tipu daya-tipu daya yang tersembunyi.
Adapun kemampuan dan kekuatan, maka
hendaklah ia berani dengan terus-terang di atas kebenaran. Maka ia tidak
berminyak air, tidak takut, tidak malu dan tidak pengecut. Bahwa kadang-kadang
ia melihat cara penipuan musuhnya, lalu ia dicegah oleh ketakutan atau
ketidak-beranian atau malu atau pengalih yang lain, dari pengalih-pengalih yang
melemahkan hati daripada berterus-terang.
Adapun lancar bahasa, maka itu juga dari kemampuan. Hanya
kelancaran bahasa itu kemampuan pada lidah, atas kelancaran dari setiap apa,
yang beranilah hati kepadanya. Dan diisyaratkan oleh hati kepadanya. Maka
tidaklah setiap orang yang mengetahui akan tempat-tempat penipuan itu mampu
dengan kelancaran lidahnya, untuk melepaskan ikatan penipuan.
Adapun berkesudahan kasih-sayang, maka adalah
penggerak baginya untuk memberikan setiap apa yang disanggupinya pada dirinya,
dari kesungguhan. Bahwa kemampuannya tidak mencukupi tanpa kesungguhan, apabila
ia tidak mementingkan urusannya. Ia tidak memperdulikan kemenangan musuhnya
atau tidak menang, binasa haknya atau tidak binasa. Kalau ia ragu tentang yang
4 ini atau pada salah satu daripadanya atau membolehkan bahwa musuhnya pada
yang 4 ini, lebih sempurna daripadanya, niscaya tidaklah dirinya tentram kepada
wakilnya. Akan tetapi, tetaplah hatinya bergoncang, menghabisi kesusahannya
dengan daya-upaya dan pengaturan, untuk menolak apa yang ditakutinya, dari
keteledoran wakilnya dan kekuasaan musuhnya. Adalah berlebih-kurangnya derajat
hal-ihwal tawakkal pada sangatnya kepercayaan dan ketentraman, menurut berlebih
kurangnya kekuatan keyakinannya bagi
perkara-perkara tersebut pada wakil. keyakinan dan sangkaan-sangkaan tentang kuat
dan lemah itu berlebih-kurang dengan kelebih-kurangan yang tidak terhingga.
Maka tidak dapat dibantah, bahwa berlebih-kurangnya hal-ihwal orang-orang yang
bertawakkal tentang kuatnya ketentraman dan kepercayaan, dengan
kelebih-kurangan yang tiada terbatas. Sampai kepada berkesudahan kepada yakin,
yang tak ada kelemahan padanya. Sebagaimana kalau wakil itu adalah bapak si
muwakkil (yang mewakilkan). Yaitu yang dinamakan: mengumpulkan halal dan haram
untuk karenanya. Bahwa berhasillah baginya keyakinan, dengan berkesudahan
kasih-sayang dan kesungguhan. Maka jadilah suatu perkara dari perkara-perkara
yang 4 itu diyakini. Demikian juga perkara-perkara yang lain, akan tergambar
bahwa berhasillah keyakinan dengannya itu. Dan yang demikian, dengan lamanya
membiasakan dan mengalaminya. Berturut-turut berita bahwa dia manusia yang
paling lancar lidahnya, paling kuat penjelasannya dan paling mampu membantu
kebenaran. Bahkan, kepada menggambarkan yang benar dengan yang batil/salah dan
yang batil/salah dengan yang benar. Apabila anda telah mengetahui tawakkal pada
contoh ini, maka kiaskanlah kepadanya, akan tawakkal kepada Allah Ta’ala.
Jikalau telah tetap pada diri anda dengan kasyaf (terbuka hijab) atau dengan keyakinan yang meyakinkan, bahwa tiada
pembuat, selain Allah, sebagaimana telah diterangkan dahulu dan anda yakinkan
serta yang demikian, akan kesempurnaan ilmu dan qudrah(kuasa), atas kecukupan
hamba, kemudian kesempurnaan belas-kasihan, kesungguhan dan rahmat kepada
sejumlah hamba dan masing-masing orang dan bahwa tidak ada di balik kesudahan qudrah(kuasa)Nya
itu qudrah(kuasa) yang lain, tidak ada di balik kesudahan ilmuNya itu ilmu yang
lain, tidak ada di balik kesudahan kesungguhanNya kepada anda dan rahmatNya
kepada anda itu kesungguhan dan rahmat yang lain, niscaya bertawakkallah, sudah
pasti akan hati anda kepadaNya Yang Maha Esa. Tidak berpaling hati itu kepada
yang lain daripadaNya, dengan cara apapun. Tidak kepada dirinya sendiri, kepada
daya-upayanya dan kekuatannya. Sesungguhnya tiada daya-upaya dan kekuatan,
selain dengan Allah, sebagaimana telah dahulu diterangkan pada keesaan ketika
menyebutkan gerak dan qudrah(kuasa). Sesungguhnya daya upaya itu ibarat dari
gerak dan kekuatan itu ibarat dari qudrah(kuasa). Kalau anda tidak mendapati
keadaan ini dari diri anda, maka sebabnya itu salah satu dari dua perkara:
adakalanya lemah keyakinan dengan salah satu dari 4 perkara tersebut. Dan
adakalanya kelemahan hati dan sakitnya, disebabkan kerasnya kepengecutannya dan
terkejutnya dengan sebab sangka waham yang mengerasinya. Bahwa hati itu
kadang-kadang terkejut, karena terikut oleh sangka waham dan mentaatinya, tanpa
kekurangan pada keyakinan. Bahwa orang yang memegang madu, lalu menyerupai di
hadapannya dengan B.A.B. Kadang-kadang lari dirinya daripadanya dan sukar
memegangnya. Kalau dipaksakan orang yang berakal (bukan orang gila) supaya
tidur bermalam bersama mayat dalam kuburan atau tempat tidur atau di rumah,
niscaya larilah dirinya dari yang demikian. Walaupun ia yakin bahwa itu mayat.
Bahwa itu sekarang barang keras. Bahwa sunnah Allah Ta’ala itu masih jauh,
bahwa mayat itu akan dibangkitkan sekarang dan tidak dihidupkannya, walaupun Ia
berkuasa atasnya. Sebagaimana sunnah Allah Ta’ala itu jauh, bahwa akan
ditukarkanNya pena yang dalam tangannya, menjadi ular. Dan tidak akan
ditukarkanNya musang menjadi singa, walaupun Ia berkuasa atasnya. Sedang ia
tidak ragu pada keyakinan ini, yang melarikan dirinya daripada seketiduran
dengan mayat pada tempat tidur. Atau mayat bersama dia dalam rumah. Dan tidak
ia melarikan diri dari benda-benda beku lainnya. Yang demikian itu,
kepengecutan dalam hati. Yaitu: semacam kelemahan, yang sedikitlah terlepasnya
manusia dari sesuatu daripadanya, walaupun sedikit. Kadang-kadang itu kuat,
maka menjadi ia sakit. Sehingga ia takut bermalam sendirian di rumah, serta
terkuncinya pintu dan kokohnya.
Jadi, tiada sempurna
tawakkal, selain dengan kuatnya hati dan kuatnya yakin. Karena dengan keduanya
itu berhasillah ketetapan dan ketentraman hati. Maka ketetapan pada hati itu
suatu hal dan yakinnya hati suatu hal yang lain. Berapa banyaknya yakin, yang
tidak ada ketentraman serta keyakinan itu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman
kepada Ibrahim as: “Tidakkah engkau percaya ?”. Ibrahim menjawab: “Percaya,
tetapi untuk menentramkan hatiku”. S 2 Al Baqarah ayat 260. Nabi Ibrahim as
meminta bahwa ia menyaksikan menghidupkan kembali orang mati dengan matanya
sendiri. Supaya tetap dalam khayalannya. Bahwa jiwa itu mengikuti khayal dan
jiwa itu tentang dengan khayal. Jiwa itu tidak tenang dengan yakin pada
permulaan urusannya, sehingga ia sampai di akhirat, kepada derajat “jiwa yang
tenang-tentram” (an-nafsul-muthmainnah). Dan yang demikian itu, tidak adalah
sekali-kali pada permulaan. Berapa banyak orang yang tenang tentram, yang tidak
yakin, seperti orang-orang yang mempunyai agama dan aliran yang lain. Bahwa
orang Yahudi itu tenang hatinya kepada keyahudiannya. Demikian juga orang
Nasrani. Dan tiada keyakinan sekali-kali bagi mereka. Sesungguhnya mereka
mengikuti sangkaan dan apa yang diingini oleh jiwa. Dan sesungguhnya datang
petunjuk bagi mereka dari Tuhan dan itu yang menjadi sebab yakin. Tetapi,
mereka itu berpaling daripadanya.
Jadi, pengecut dan berani
itu adalah gharizah (instink). Tidak bermanfaat yakin bersama gharizah itu. Dia
adalah salah satu sebab yang berlawanan dengan hal tawakkal. Sebagaimana,
lemahnya yakin dengan perkara yang 4 itu salah satu sebab. Apabila berkumpul
sebab-sebab ini, niscaya berhasillah kepercayaan kepada Allah Ta’ala.
Sesungguhnya dikatakan: tertulis dalam Taurat: “Terkutuklah orang yang
kepercayaannya, ialah manusia seperti dia sendiri”. Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa merasa mulia dengan sebab hamba, niscaya ia dihinakan oleh Allah
Ta’ala”. Apabila tersingkap bagi anda makna tawakkal dan anda ketahui keadaan
yang dinamakan tawakkal, maka ketahuilah, bahwa keadaan itu mempunyai 3 derajat
tentang kekuatan dan kelemahan:
Derajat pertama: apa yang telah kami sebutkan. Yaitu,
bahwa adalah keadaannya terhadap Allah Ta’ala itu percaya dengan tanggungan dan
bantuan Allah Ta’ala, seperti keadaannya pada percayanya kepada wakilnya.
Derajat kedua: yaitu yang lebih kuat, bahwa adalah
hal keadaannya bersama Allah Ta’ala, seperti hal keadaan anak kecil bersama ibunya.
Anak kecil itu tidak mengenal selain ibunya. Ia tidak berlindung kepada
seseorang, selain kepada ibunya. Dan tidak berpegang selain ibunya. Apabila ia
melihat ibunya, niscaya ia bergantung pada setiap hal pada ujung kainnya. Dan
tidak dilepaskannya. Kalau ia terkena sesuatu hal pada waktu ibunya bepergian,
niscaya adalah permulaan yang mendahului pada lidahnya, ialah: “Ibu !”.
Permulaan yang terguris pada hatinya, ialah ibunya. Ibunyalah tempat ia
berlindung. Sesungguhnya ia percaya dengan tanggungan ibu, kecukupannya dan
kasih sayangnya, dengan kepercayaan yang tiada terlepas dari semacam perasaan
pembedaan bagi si anak. Disangkakan, bahwa telah menjadi tabiat, dari segi
bahwa anak kecil itu, jikalau diminta menguraikan segala perkara ini, niscaya ia
tidak sanggup menyusun kata-katanya. Dan tidak sanggup mengemukakannya yang
terurai dalam pikirannya. Akan tetapi, semua itu, dibelakang perasaan. Maka
siapa yang hatinya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, pandangannya dan perpegangannya
kepadaNya, niscaya ia dipikulkan dengan apa yang dipikulkan anak kecil dengan
ibunya. Lalu adalah dia itu bertawakkal benar-benar.
Bahwa anak kecil itu bertawakkal kepada ibunya. Perbedaan diantara ini dan yang
pertama, bahwa ini bertawakkal dan telah lenyap pada ketawakkalannya dari
tawakkalnya. Karena tidak menoleh hatinya kepada tawakkal dan hakikat/maknanya.
Akan tetapi, kepada orang tempat ia bertawakkal saja. Maka tiada jalan dalam
hatinya, bagi yang lain dari tempat ia bertawakkal itu.
Adapun yang pertama, maka
ia bertawakkal dengan rasa berat dan usaha. Dan ia tidak melenyapkan diri dari
ketawakkalannya. Karena ia masih menoleh kepada tawakkalnya dan merasakan
dengan yang demikian. Dan yang demikian itu perbuatan yang memalingkan dari
memperhatikan orang yang menjadi tempat bertawakkal seorang saja. Kepada
derajat ini, diisyaratkan oleh Sahal, dimana ia ditanyakan dari hal tawakkal:
“Apakah yang sedekat-dekatnya tawakkal itu ?”. Sahal menjawab: “Meninggalkan
angan-angan”. Ditanyakan lagi: “Dan yang di tengah-tengahnya ?”. Ia menjawab:
“Meninggalkan ikhtiar”. Itu adalah isyarat kepada derajat kedua. Ditanyakan
dari yang tertinggi dari tawakkal. Maka ia tidak menyebutkannya dan berkata:
“Itu tidak diketahui, selain oleh orang yang telah sampai kepada yang di
tengah-tengahnya”.
Derajat ketiga: yaitu yang tertinggi, bahwa ia
berada di hadapan Allah Ta’ala dalam segala gerak dan tetapnya, seperti mayat
di hadapan pemandinya. Ia tidak berpisah dengan Dia, selain bahwa ia melihat
dirinya sebagai mayat, yang digerakkan oleh qudrah azaliyah (kekuasaan mutlak
Allah), sebagaimana digerakkan oleh tangan pemandi akan mayat. Yaitu yang telah
kuat keyakinannya, bahwa pemandi itu yang melakukan gerak, kuasa, kehendak,
ilmu dan sifat-sifat yang lain. Bahwa semua itu datang dengan paksaan. Ia itu
nyata tidak menunggu apa yang akan berlaku kepadanya. Dan berbeda dengan anak
kecil. Bahwa anak kecil itu berlindung kepada ibunya, memekik, bergantung pada
ujung pakaiannya dan berlarian di belakangnya. Akan tetapi, orang itu seperti
anak kecil yang mengetahui bahwa walaupun ia tidak menjerit kepada ibunya, maka
ibu itu mencarinya. Bahwa, walaupun ia tidak bergantung pada ujung pakaian
ibunya, maka ibu itu membawanya. Walaupun ia tidak meminta susu pada ibunya,
maka ibu itu membukakan dan memberinya minum. Maqam/kedudukan ini dalam
tawakkal itu membuahkan meninggalkan berdoa dan meminta kepadaNya, karena
percaya dengan kemurahan dan pertolonganNya. Bahwa Ia akan memberi pada
permulaannya, yang lebih utama daripada yang diminta. Berapa banyak nikmat yang
dimulai oleh Allah Ta’ala memberikannya, sebelaum diminta dan berdoa. Dan
dengan tidak berhak. Maqam kedua itu tidak menghendaki meninggalkan berdoa dan
meminta kepadaNya. Hanya menghendaki meninggalkan meminta dari selain Allah
Ta’ala saja.
Kalau anda bertanya:
“Hal-ihwal ini adakah tergambar akan adanya ?”. Ketahuilah, bahwa yang demikian
itu tidak mustahil. Akan tetapi, sukar dan jarang terjadi. Maqam kedua dan
ketiga lebih sukar lagi. Yang pertama lebih mendekati kepada kemungkinan.
Kemudian, apabila diperoleh yang ketiga dan yang kedua, maka keterus-menerusnya
lebih jauh daripadanya. Bahkan hampir tidak ada maqam yang ketiga itu pada
terus-menerusnya selain seperti kuningnya muka orang yang ketakutan. Bahwa
menghamparnya hati kepada memperhatikan daya dan upaya dan sebab-sebab itu
adalah tabiat. Dan berkuncupnya hati itu keadaan yang mendatang. Sebagaimana
menghamparnya darah ke semua sendi-sendi anggota badan itu tabiat. Dan
berkuncupnya darah itu keadaan yang mendatang. Ketakutan itu ibarat dari berkuncupnya
darah dari zahiriyah kulit kepada batiniyah. Sehingga terhapuslah dari
zahiriyah kulit itu kemerahan yang ada terlihat dari belakang ketipisan dari
tutupan kulit. Bahwa kulit itu tutupan yang tipis, yang terlihat dari
sebaliknya akan kemerahan darah. Berkuncupnya darah itu mendatangkan kuning.
Dan itu tidak terus-terusan. Demikian juga berkuncupnya hati secara
keseluruhan, daripada memperhatikan daya dan upaya dan sebab-sebab zahiriyah
yang lain, yang tidak terus-terusan.
Adapun maqam yang kedua,
maka ia menyerupai dengan kuningnya orang yang demam. Bahwa yang demikian itu
kadang-kadang berjalan sehari dan dua hari. Yang pertama menyerupai kekuningan
orang sakit, yang keras sakitnya. Maka tidak jauhlah bahwa ia itu berkekalan
dan tidak jauh pula bahwa itu akan hilang. Kalau anda bertanya: “Adakah
berjalan terus bersama hamba itu pengaturan dan ketergantungan dengan
sebab-sebab pada hal-ihwal ini ?”. Ketahuilah, bahwa maqam yang ketiga itu
mentiadakan terus akan pengaturan, selama hal keadaan itu masih ada. Akan
tetapi, yang mempunyai hal keadaan itu seperti orang keheranan. Maqam yang
kedua itu meniadakan setiap pengaturan, selain dari segi berlindung kepada
Allah dengan doa dan bermohon, seperti pengaturan nya anak kecil pada
ketergantungannya dengan ibunya saja.
Maqam yang pertama itu
tidak meniadakan pokok pengaturan dan ikhtiar. Akan tetapi, meniadakan
sebahagian pengaturan-pengaturan, seperti orang yang berpegang kepada wakilnya
dalam permusuhan. Maka ia meninggalkan pengaturannya dari pihak yang selain
dari wakil. Akan tetapi, ia tidak meninggalkan pengaturan yang diisyaratkan
kepadanya oleh wakilnya. Atau pengaturan yang diketahuinya dari kebiasaan dan
perjalanannya, tanpa ketegasan isyaratnya. Adapun yang diketahuinya dengan
isyaratnya, dengan wakil itu mengatakan kepadanya: “Tidaklah aku berkata-kata,
selain pada kehadiran engkau”. Maka sudah pasti, bahwa ia berbuat, dengan
pengaturan itu bagi kehadirannya. Dan tidaklah ini berlawanan akan
penyerahannya kepadanya. Karena tidaklah dia berlindung kepada daya dan upaya
dirinya sendiri pada melahirkan alasan. Dan tidak kepada daya orang lain. Akan
tetapi, dari kesempurnaan penyerahannya kepada wakilnya, bahwa ia berbuat akan
apa yang telah digariskan. Karena jikalau ia tidak berpegang kepada wakil itu
dan tidak berpegang teguh pada perkataannya, niscaya ia tidak hadir dengan
perkataannya itu.
Adapun yang diketahui dari
kebiasaannya dan banyak terjadi dari perjalanannya, maka itu bahwa ia tahu dari
kebiasaannya, yang ia tidak mengemuka kan alasan dengan musuh, selain dari
surat pengakuan. Maka kesempurnaan penyerahan (tawakkal)nya, kalau ia
mewakilkan kepada orang itu, bahwa ia berpegang kepada perjalanan dan
kebiasaannya orang tersebut dan yang menepati dengan yang dikehendaki oleh
perjalanan dan kebiasaan itu. Yaitu: bahwa ia membawa surat pengakuan itu
bersamanya ketika berbantah-bantahan dengan musuh. Jadi, ia tidak terlepas dari
pengaturan pada kehadiran dan dari pengaturan pada mendatangkan surat pengakuan
itu. Kalau ia tinggalkan sesuatu dari yang demikian, niscaya adalah yang
demikian itu kekurangan pada penyerahan (tawakkal)nya. Maka bagaimanakah ada
kekurangan pada perbuatannya itu ! ya, sesudah datangnya kesempurnaan dengan
isyaratnya dan ia mendatangkan surat pengakuan dengan perjalanan dan
kebiasaannya dan ia duduk memperhatikan kepada alasannya, maka kadang-kadang ia
berkesudahan ke maqam kedua dan ketiga dalam kehadirannya. Sehingga ia
berketerusan seperti orang keheranan, yang menunggu, yang tiada berlindung
kepada daya dan upayanya. Karena tiada tinggal lagi daya dan upaya baginya.
Sesungguhnya adalah perlindungannya kepada daya dan upayanya itu pada kehadiran
dan mendatangkan surat pengakuan, dengan isyarat dan perjalanannya wakil. Dan
telah berkesudahan penghabisannya, maka tidak tinggal lagi, selain ketentraman
jiwa dan kepercayaan kepada wakil. Dan menunggu bagi apa yang akan berlaku.
Apabila anda memperhatikan ini, niscaya tertolaklah dari anda setiap kesulitan
pada tawakkal. Dan anda pahami, bahwa tidaklah dari syarat tawakkal itu meninggalkan
pengaturan dan amal perbuatan. Bahwa setiap pengaturan dan amal perbuatan itu
tidak boleh pula beserta tawakkal. Akan tetapi, dia itu atas pembahagian. Dan
akan datang penguraiannya mengenai perbuatan-perbuatan. Jadi, berlindungnya
orang yang mewakilkan kepada daya dan upayanya pada kehadiran dan menghadirkan
(mendatangkan) itu tidak berlawanan dengan tawakkal. Karena ia tahu, jikalau
tidak adalah wakil niscaya adalah kehadirannya dan pendatangannya itu
batil/salah dan payah semata-mata, dengan tiada faedah.
Jadi, tidaklah ia
mendatangkan faedah dari segi bahwa itu daya dan upayanya. Akan tetapi, dari
segi, bahwa wakil itu menjadikannya berpegang kepada alasannya. Dan
mengenalkannya yang demikian dengan isyarat dan perjalanannya. Jadi, tiada daya
dan tiada upaya, selain kepada wakil. Hanya, kalimat ini tiada sempurna
maknanya terhadap wakil. Karena dia tidaklah yang menciptakan dayanya dan
upayanya. Akan tetapi, ia yang menjadikan keduanya itu, yang berfaedah pada
keduanya. Dan tidaklah keduanya itu memberi faedah, jikalau tidaklah oleh
perbuatannya. Hanya benarlah yang demikian terhadap Wakil Yang Sebenarnya,
yaitu: Allah Ta’ala. Karena Dialah yang menjadikan daya dan upaya, sebagaimana
telah diterangkan dahulu pada Keesaan. Dialah yang menjadikan keduanya itu
memberi faedah. Karena dijadikanNya keduanya itu syarat bagi apa yang akan
dijadikanNya sesudahnya, tentang faedah-faedah dan maksud-maksud. Jadi, tiada
daya dan upaya selain dengan Allah itu hak dan benar. Siapa yang menyaksikan
ini semuanya, niscaya adalah baginya pahala besar yang datang pada
hadits-hadits, tentang orang yang mengucapkan: “Tiada daya dan upaya, selain
dengan Allah”. Yang demikian itu, kadang-kadang dipandang orang, jauh dari
kebenaran. Maka ditanyakan: “Bagaimana diberikan pahala seluruhnya dengan
kalimat ini, serta mudahnya pada menyebutkannya dengan lidah dan mudah diyakinkan
oleh hati dengan yang dipahami dari lafalnya/ucapannya ?”. Jauhlah yang
demikian ! Sesungguhnya itu adalah balasan atas penyaksian ini, yang telah kami
sebutkan pada keesaan. Perbandingan kalimat ini dan pahalanya dengan kalimat:
“Tiada Tuhan, selain Allah”. Dan pahalanya, adalah seperti perbandingan makna
salah satu dari keduanya kepada yang lain. Karena pada kalimat ini mengaitkan
dua perkara kepada Allah Ta’ala saja. Kedua perkara itu, ialah: daya dan upaya.
Adapun kalimat “Laa ilaaha illallaah”, maka itu pengkaitan setiap sesuatu
kepadaNya. Perhatikanlah kepada berlebih-kurangnya diantara setiap sesuatu dan
dua perkara itu ! supaya anda dapat mengetahui pahala “Laa ilaaha illallaah”
dengan dikaitkan kepada ini. Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa
keesaan mempunyai dua kulit dan dua isi, maka seperti demikian juga, kalimat
ini dan kalimat-kalimat lainnya. Kebanyakan orang mengikatkan (mengkaitkan)
dengan dua kulit dan apa yang mereka jalankan kepada dua isi, adalah isyarat,
dengan sabda Nabi saw: “Siapa yang mengucapkan “Laa ilaaha illallaah” yang
benar dari hatinya, yang ikhlas, niscaya haruslah baginya sorga”. Dimana
disebutkan secara mutlak, tanpa menyebutkan “benar” dan “ikhlas”, niscaya
dimaksudkan dengan mutlak itu, ialah yang diikatkan (dikaitkan) ini.
Sebagaimana ia mengkaitkan ampunan (maghfirah) kepada iman dan amal shalih pada
sebahagian tempat. Dan mengkaitkannya kepada semata-mata iman pada sebahagian
tempat. Yang dikehendaki dengan yang demikian, ialah: yang dikaitkan dengan:
amal shalih.
Kemalaikatan itu tidak
diperoleh dengan pembicaraan. Gerak lidah itu pembicaraan. Ikatan lidah juga
pembicaraan. Akan tetapi pembicaraan jiwa (kata hati). Bahwa benar dan ikhlas
itu di sebalik gerak lidah dan kata hati. Dan sofa kemalaikatan itu tidak
ditegakkan selain bagi orang-orang yang dekat kepada Tuhan (al-muqarrabin).
Mereka itu orang-orang yang ikhlas. Ya, bagi orang yang dekat pada tingkat dari
kaum kanan juga mempunyai derajat pada sisi Allah Ta’ala. Walaupun tidak sampai
kepada kemalaikatan. Apakah tidak engkau melihat, bahwa Allah swt tatkala
menyebutkan pada Surat Al-Waqi’ah, akan orang-orang al-muqarrabin yang paling
dahulu. Ia mengemukakan bagi sofa kemalaikatan. Ia berfirman: “Di atas sofa
yang bertahtakan emas dan batu permata. Mereka duduk bersandar di atasnya, satu
dengan yang lain berhadap-hadapan”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 15-16. Tatkala Ia
sampai kepada kaum kanan, niscaya Ia tidak melebihkan daripada menyebutkan air,
bayang-bayang (naungan), buah-buahan, kayu-kayuan dan bidadari. Setiap yang
demikian itu dari kelezatan yang dipandang, yang diminum, yang dimakan dan yang
dikawini. Dan tergambar yang demikian itu bagi hewan secara terus-menerus. Dan
dimanakah kelezatan bagi hewan dari kelezatan kemalaikatan dan bertempat pada
tempat yang tertinggi di sisi Tuhan Semesta alam ? jikalau adalah bagi
kelezatan-kelezatan ini kadar, niscaya tidak diluaskan kepada hewan-hewan. Dan
tidak diangkatkan kepadanya derajat malaikat. Adakah anda melihat, bahwa
hal-ihwal hewan-hewan dan dia itu yang dilepaskan dalam kebun-kebun, yang
bersenang-senang dengan air, kayu-kayuan dan segala macam makanan, yang
bersedap-sedapan dengan menyerbu dan mengendarai yang betina itu lebih tinggi,
lebih lezat dan lebih mulia ? lebih patut bahwa ada ia pada orang yang
mempunyai kesempurnaan, yang gembira dari hal-ihwal malaikat alam kegembiraan
mereka dengan kedekatan di sisi Tuhan semesta alam, dalam tingkat yang paling
tinggi ? Jauhlah yang demikian ! jauhlah yang demikian ! alangkah jauhnya
daripada menghasilkan, oleh orang, yang apabila disuruh pilih, diantara bahwa
dia itu keledai atau pada derajat Jibril as. Lalu ia memilih derajat keledai
dari derajat Jibril as.
Tidaklah tersembunyi,
bahwa keserupaan akan setiap sesuatu itu tertarik kepadanya. Bahwa diri yang
kecenderungannya kepada membuat sepatu itu lebih banyak dari kecenderungannya
kepada berbuat tulis-menulis. Dia lebih menyerupai dengan tukang-tukang sepatu
pada zatnya dari penulis-penulis. Seperti demikian pula, orang yang
kecenderungan dirinya kepada mencapai kelezatan binatang itu lebih banyak dari
kecenderungannya kepada mencapai kelezatan malaikat. Dia itu lebih menyerupai
dengan hewan -sudah pasti- daripada dengan malaikat. Merekalah orang-orang yang
dikatakan tentang mereka: “Orang-orang itu seperti binatang ternak, bahkan
lebih sesat”. S 7 Al A’raaf ayat 179. Bahwa adalah mereka itu lebih sesat,
karena binatang ternak tidaklah pada kekuatannya mencari derajat malaikat. Maka
binatang ternak itu tidak mencarinya adalah karena lemah. Adapun manusia ada
kekuatannya pada yang demikian. Dan yang sanggup mencapai kesempurnaan itu
lebih layak dicela dan lebih pantas, dengan dibandingkan kepada kesesatan,
manakala ia duduk bersimpuh, tidak mencari kesempurnaan. Tatkala adalah ini
perkataan yang bertentangan, maka marilah kita kembali kepada maksud.
Sesungguhnya telah kami terangkan makna ucapan “Laa ilaaha illallaah” dan
maksud ucapan “Laa haula wa laa quwwata illaa billaah”. Bahwa orang yang tidak
mengucapkan kedua kalimat itu dari penyaksian hati (musyahadah), maka tidak
tergambarlah daripadanya hal tawakkal. Kalau anda mengatakan: “Tidaklah pada
ucapan engkau “Laa haula wa laa quwwata illaa billaah”, selain kekaitan dua
perkara kepada Allah. Maka kalau ada yang mengatakan: “Langit dan bumi itu
ciptaan Allah”, maka adakah pahalanya seperti pahala ucapan diatas ?”. Aku
menjawab: tidak ! karena pahala itu atas kadar derajat yang diberi-pahalakan.
Dan tak ada persamaan diantara dua derajat. Tidaklah dipandang kepada luasnya
langit dan bumi dan kecilnya daya dan upaya, kalau boleh keduanya disifatkan
dengan kecil, secara majazi (adalah kata yang digunakan
pada makna yang bukan makna aslinya dan akan membuka pintu bagi manusia
menafsirkan ayat dan hadist dengan makna menyimpang). Tidaklah segala
hal itu dengan besarnya bentuk. Akan tetapi, setiap orang awwam memahami, bahwa
bumi dan langit itu tidaklah dari pihak anak Adam (manusia). Akan tetapi,
keduanya dari ciptaan Allah Ta’ala. Adapun daya dan upaya maka persoalan
keduanya telah menyulitkan kepada golongan Mu’tazilah, kaum failosof dan banyak
golongan yang mendakwakan, bahwa diperhalus penelitian tentang pendapat dan
yang diterima akal. Sehingga terpecahlah rambut dengan sebab tajam
penglihatannya. Maka dia itu membinasakan dan membahayakan, menggelincirkan
tapak kaki, yang besar akibatnya. Telah binasa padanya orang-orang yang lalai.
Karena mereka menetapkan bagi dirinya akan suatu hal. Yaitu: syirik pada keesaan.
Mengaku ada khaliq (yang maha pencipta) selain Allah Ta’ala. Siapa yang
melewati jalan yang sukar ini, dengan taufiq Allah Ta’ala kepadanya, niscaya
tinggilah tingkatnya dan besarlah derajatnya.
Dialah yang benar
mengucapkan: Laa haula wa laa quwwata illaa billaahi. Telah kami sebutkan,
bahwa tidak ada pada keesaan, selain dua jalan yang sukar. Yang satu, ialah:
memandang ke langit, ke bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, mendung, hujan
dll barang beku. Yang kedua, ialah: memandang kepada pilihan binatang-binatang
yang hidup (al-hayawanat). Inilah yang paling besar dan yang paling berbahaya
dari dua jalan yang sukar tadi. Dengan memotong kedua jalan itu, sempurnalah
rahasia keesaan. Maka karena demikian, niscaya besarlah pahala kalimat itu.
Ya’ni: pahala penyaksian yang terjemahannya itulah kalimat tersebut. Jadi,
kembalilah hal tawakkal kepada melepaskan diri dari daya dan upaya dan
bertawakkal kepada Yang Esa, Yang Maha Benar. Dan akan jelas yang demikian,
ketika kami sebutkan uraian amal perbuatan tawakkal nanti insya Allah Ta’ala.
PENJELASAN: apa yang
dikatakan para syaikh tentang hal-ihwal tawakkal.
Untuk menjelaskan bahwa suatupun
daripadanya, tiada keluar dari apa yang telah kami sebutkan. Akan tetapi,
setiap satu itu mengisyaratkan kepada sebahagian hal-ihwal. Berkata Abu Musa
Ad-Daili: “Aku bertanya kepada Abu Yazid: “Apakah tawakkal itu ?”. Abu Yazid
menjawab: “Apa yang engkau katakan ?”. Aku menjawab: “Bahwa sahabat-sahabat
kami mengatakan: “Jikalau kiranya binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa
di kanan dan di kiri engkau, niscaya tidaklah bergerak rahasia (hati) engkau
karena yang demikian”. Abu Yazid menjawab: “Ya, ini dekat ! akan tetapi,
jikalau isi sorga bersenang-senang dalam sorga dan isi neraka diazabkan dalam
neraka, kemudian terjadi bagi engkau membedakan diantara keduanya, niscaya
engkau keluar dari tawakkal”.
Apa yang disebutkan oleh
Abu Musa Ad-Daili tadi, maka itu berita dari yang termulia hal-ihwal tawakkal.
Dan itu maqam ketiga ! Apa yang disebutkan oleh Abu Yazid di atas, adalah
ibarat dari yang termulia berbagai macam ilmu, yang termasuk pokok-pokok
tawakkal. Yaitu: ilmu dengan hikmahnya. Bahwa apa yang diperbuat oleh Allah
Ta’ala itu perbuatanNya dengan yang wajib. Maka tiada pembedaan diantara isi
neraka dan isi sorga, dengan dikaitkan kepada pokok keadilan dan hikmah. Dan
ini yang terkabur dari berbagai macam ilmu. Dan di belakangnya itu rahasia
qadar/takdir. Abu Yazid sedikitlah membicarakan selain dari maqam yang
tertinggi dan derajat yang terjauh. Tidaklah meninggalkan menjaga diri dari
ular-ular itu menjadi syarat pada maqam pertama dari tawakkal.
Abubakar Siddik ra telah
menjaga dalam gua dari bahaya binatang-binatang bisa, karena ia menyumbatkan
dengan tangannya lobang-lobang keluar ular. Hanya dapat dikatakan, bahwa ia
berbuat demikian dengan kakinya dan tidak berobah rahasia hatinya dengan sebab
yang demikian. Atau dikatakan, bahwa ia berbuat demikian, karena kasih-sayang
kepada Rasulullah saw. Tidak untuk dirinya sendiri. Bahwa tawakkal itu hilang
dengan bergerak rahasianya dan berobahnya, karena sesuatu yang kembali kepada
dirinya. Untuk memperhatikan pada ini ada jalan. Akan tetapi, akan datang
penjelasan, bahwa contoh-contoh yang demikian dan yang terbanyak daripadanya,
tidaklah membatalkan tawakkal. Bahwa gerakan rahasia dari hal ular itu, ialah:
takut. Dan menjadi hak dari orang yang bertawakkal, bahwa ia takut akan
kekerasan ular. Karena tiada daya bagi ular dan tiada upaya bagi ular itu,
selain dengan Allah. Jikalau ia menjaga diri, niscaya tidaklah tawakkalnya itu
atas pengaturan, daya dan upayanya pada penjagaan diri. Akan tetapi, kepada
Yang Menciptakan daya, upaya dan pengaturan.
Ditanyakan Dzun-Nun
Al-Misri dari hal tawakkal, maka beliau menjawab: “Mencabut orang-orang yang
punya dan memotong sebab-sebab”. Mencabut orang-orang yang punya itu isyarat
kepada ilmu keesaan. Memotong sebab-sebab itu isyarat kepada amal perbuatan.
Tidak ada padanya pengemukaan ketegasan bagi hal tawakkal, walaupun ada lafal
yang mengandungnya. Lalu dikatakan lagi kepada Dzun-Nun Al-Mishri: “Tambahkan
lagi !”. Beliau menjawab: “Mencampakkan diri dalam ‘ubudiyah (memperhambakan
diri kepada Allah) dan mengeluarkannya dari rububiyah (sifat-sifat ketuhanan)”.
Dan ini syarat kepada melepaskan diri dari daya dan upaya saja.
Ditanyakan Hamdun
Al-Qashshar tentang tawakkal. Beliau menjawab: “Jikalau engkau mempunyai 10
ribu dirham dan engkau mempunyai hutang satu daniq, niscaya engkau tidak merasa
aman akan mati dan masih ada utang engkau itu pada leher engkau. Jikalau engkau
mempunyai hutang 10 ribu dirham, tanpa engkau meninggalkan sesuatu untuk
pembayarannya, niscaya engkau tidak putus asa dari rahmat Allah Ta’ala, bahwa
Ia akan membayar hutang itu dari engkau”. Ini adalah isyarat kepada semata-mata
iman dengan luasnya qudrah(kuasa). Bahwa pada al-maqdurat (yang diqudrah(kuasa)kan)
itu sebab-sebab yang tersembunyi, selain dari sebab-sebab yang terang.
Ditanyakan Abu Abdillah
Al-Quraisy tentang tawakkal, maka ia menjawab: “Bergantung kepada Allah Ta’ala
pada setiap hal”. Yang bertanya itu berkata: “Tambahkan lagi !”. Abu Abdillah
Al-Quraisy menjawab: “Meninggalkan setiap sebab, yang menyampaikan kepada
sebab. Sehingga adalah Al-Haq yang memerintahkan bagi yang demikian”. Yang
pertama tadi bersifat umum bagi tiga maqam itu. Yang kedua isyarat kepada maqam
ketiga khususnya. Dan itu seperti tawakkalnya nabi Ibrahim as tatkala berkata
Jibril as kepadanya: “Adakah engkau mempunyai hajat keperluan ?”. Nabi Ibrahim
as menjawab: “Pada engkau tidak ada”. Karena pertanyaan Jibril as itu suatu
sebab yang membawa kepada sebab yang lain. Yaitu: penjagaan Jibril as
kepadanya. Maka ia tinggalkan yang demikian, karena kepercayaannya, bahwa Allah
Ta’ala, kalau berkehendak menjadikan Jibril as bagi yang demikian, maka adalah
Ia yang menguasakan bagi yang demikian. Ini hal orang yang keheranan, yang jauh
dari dirinya, dengan sebab Allah Ta’ala. Lalu ia tidak melihat selain Allah
Ta’ala. Dan itu hal yang mulia pada dirinya dan berkekalan, jikalau ia
memperoleh lebih jauh dan lebih mulia daripadanya.
Abu Sa’id Al-Kharraz
berkata: “Tawakkal itu kegoncangan, dengan tiada ketetapan. Dan ketetapan,
dengan tiada kegoncangan”. Semoga, dengan ucapannya itu, beliau mengisyaratkan
kepada maqam kedua. Maka ketetapannya dengan tiada kegoncangan itu isyarat
kepada ketetapan hati kepada tawakkal dan kepercayaannya dengan tawakkal itu.
Kegoncangan dengan tiada ketetapan itu isyarat kepada berlindungnya kepadaNya.
Bermohon dan merendahkan diri di hadapanNya, seperti kegoncangan anak kecil
dengan dua tangannya kepada ibunya. Dan ketetapan hatinya kepada kesempurnaan
kasih-sayangnya ibu.
Abu Ali Ad-Daqqaq berkata:
“Tawakkal itu 3 derajat: tawakkal, kemudian taslim, kemudian tafwidl. Orang
yang bertawakkal itu tenang dengan janji orang yang diserahkannya. Orang yang bertaslim (yang menyerahkan urusannya kepada orang lain) itu
merasa cukup dengan diketahuinya. Dan orang yang bertafwidl
(menyerahkan bulat-bulat) itu rela dengan hukum (keputusan) orang yang
diserahkannya. Ini isyarat kepada berlebih-kurangnya derajat perhatiannya,
dengan dikaitkan kepada orang yang menjadi tempat perhatiannya. Bahwa
mengetahui itu pokok. Janji mengikutinya. Dan hukum mengikuti janji. Dan tidak
jauh, bahwa yang mengerasi pada hati yang bertawakkal itu, ialah memperhatikan
sesuatu dari yang demikian. Bagi para syaikh mengenai tawakkal itu banyak
ucapan-ucapan, selain apa yang telah kami sebutkan itu. Maka tidak kami
memanjangkannya. Bahwa kasyaf (terbuka hijab) itu lebih bermanfaat dari riwayat
dan naqal (mengutip kata-kata orang lain). Maka inilah apa yang menyangkut
dengan hal tawakkal. Kiranya Allah mencurahkan taufiq dengan rahmat dan
kasih-sayangNya.
PENJELASAN: amal perbuatan
orang-orang yang bertawakkal.
Ketahuilah, bahwa ilmu itu mewariskan
hal keadaan. Hal keadaan membuahkan amal perbuatan. Kadang-kadang orang
menyangka, bahwa arti tawakkal, ialah: meninggalkan berusaha dengan badan,
meninggalkan pengaturan dengan hati dan jatuh di atas bumi, seperti kain koyak
yang dilemparkan dan seperti daging atas lapik memotong daging. Ini adalah
sangkaan orang-orang bodoh. Bahwa yang demikian itu haram pada syara’ (agama).
Dan syara’ (agama) sesungguhnya memuji orang-orang yang bertawakkal. Maka
bagaimana dicapai suatu maqam dari maqam-maqam agama, dengan yang dilarang
agama ? akan tetapi, akan kami singkapkan tutupnya dan kami menerangkan sbb:
Sesungguhnya nampak pembekasan tawakkal pada gerak hamba, usahanya dengan
ilmunya kepada maksud-maksudnya dan usaha hamba dengan ikhtiar (pilihan)nya.
Adakalanya, bahwa adanya itu untuk menarik yang bermanfaat, yang tidak ada
padanya, seperti: usaha. Atau untuk memelihara yang bermanfaat, yang ada
padanya, seperti: menabung. Atau untuk menolak yang melarat, yang belum
bertempat pada nya. Seperti menolak orang yang menyerang, orang yang mencuri
dan binatang buas. Atau untuk menghilangkan melarat yang telah bertempat
padanya, seperti berobat dari sakit. Maksud gerakan hamba itu tidak melampaui 4
macam ini. Yaitu: menarik yang bermanfaat atau menjaganya atau menolak yang
melarat atau memotongkannya. Marilah kami sebutkan syarat-syarat tawakkal dan
derajat-derajatnya, pada masing-masing daripadanya, dengan disertai bukti-bukti
agama.
Macam pertama: tentang menarik yang bermanfaat.
Maka mengenai ini kami mengatakan, bahwa sebab-sebab, yang dengan sebab-sebab
itu dapat menarik yang bermanfaat di atas 3 derajat: yang diputuskan, yang
disangkakan dengan sangkaan yang dipercayai dan yang menjadi sangka-waham, yang
tidak dipercayai oleh diri, dengan kepercayaan yang sempurna. Dan diri tidak
tentram kepadanya.
Derajat pertama: yang diputuskan. Yang demikian itu
seperti sebab-sebab yang terikat musabbab-musabbabnya dengan takdir dan
kehendak Allah, dengan ikatan yang banyak terjadi, yang tidak berlain-lainan.
Sebagaimana makanan, apabila ia terletak di hadapan engkau dan engkau itu
lapar, yang memerlukan kepada makanan. Akan tetapi, tidaklah tangan engkau
dapat memanjang kepadanya. Dan engkau mengatakan: aku memberi wakil. Syarat
mewakilkan itu meninggalkan perbuatan. Dan memanjangnya tangan kepada makanan
itu perbuatan dan dan gerak. Seperti demikian juga memamah dengan gigi dan
menelannya dengan melapiskan bagian atas langit-langit atas bahagian bawahnya.
Ini adalah gila semata-mata ! tidaklah termasuk tawakkal sedikitpun, jikalau
engkau menunggu bahwa Allah Ta’ala akan menciptakan kekenyangan pada engkau,
tanpa roti atau Ia menciptakan pada roti akan bergerak kepada engkau atau Ia
menciptakan seorang malaikat untuk mengonyahkan makanan bagi engkau dan
menyampaikannya ke perut besar engkau. Maka sesungguhnya engkau amat bodoh akan
Sunnah Allah Ta’ala. Seperti demikian pula, jikalau engkau tidak bercocok tanam
pada bumi dan engkau mengharap bahwa Allah Ta’ala menjadikan tumbuh-tumbuhan
tanpa bibit. Atau isteri engkau beranak tanpa bersetubuh, seperti beranaknya
Maryam as. Semua itu adalah gila !. Contoh-contoh ini termasuk banyak dan tidak
mungkin menghinggakannya. Maka tidaklah tawakkal pada maqam ini dengan amal perbuatan.
Akan tetapi dengan hal keadaan dan ilmu.
Adapun ilmu, maka yaitu:
bahwa engkau tahu Allah Ta’ala menciptakan makanan, tangan, gigi dan kekuatan
gerak. Dialah yang memberi makan kepada engkau dan memberi minum kepada engkau.
Adapun hal keadaan, ialah: bahwa ketetapan hati engkau dan berpegangnya engkau
kepada perbuatan Allah Ta’ala. Tidak kepada tangan dan makanan. Bagaimana
engkau berpegang atas kesehatan tangan engkau dan kadang-kadang tangan itu
kering darahnya seketika dan lumpuh ? bagaimana engkau berpegang kepada
kemampuan engkau dan kadang-kadang datang kepada engkau seketika, apa yang
menghilangkan akal engkau dan merusakkan kekuatan gerak engkau ? bagaimana
engkau berpegang kepada adanya makanan di hadapan engkau dan kadang-kadang
dikuasakan oleh Allah Ta’ala kepada orang yang mengerasi engkau atasnya atau ia
membawa ular yang mengejutkan engkau dari tempat duduk engkau dan
dicerai-beraikannya diantara engkau dan makanan engkau itu ? apabila ada
kemungkinan contoh-contoh yang demikian dan tak ada baginya obat, selain dengan
kurnia Allah Ta’ala, maka dengan demikian itu hendaklah engkau bergembira !
kepadaNyalah engkau berpegang ! Apabila adalah ini hal keadaannya dan ilmunya,
maka hendaklah ia memanjangkan tangan (mengambil makanan itu) ! sesungguhnya ia
orang yang bertawakkal.
Derajat kedua: sebab-sebab yang tidak meyakinkan.
Akan tetapi, biasanya musabbab-musabbab itu tidak akan berhasil, tanpa
sebab-sebab tersebut. Kemungkinan berhasilnya tanpa sebab-sebab itu adalah
jauh. Seperti orang yang meninggalkan kota dan kafilah dan bermusafir di
desa-desa badui yang tidak dijalani manusia, selain jarang sekali. Dan
perjalanannya itu tanpa disertai perbekalan. Ini tidaklah menjadi persyaratan
pada tawakkal. Akan tetapi, membawa perbekalan dalam perjalanan di desa-desa
badui itu adalah perjalanan hidup orang-orang dahulu. Tidak hilang tawakkal
dengan membawa perbekalan, sesudah adanya berpegang kepada kurnia Allah Ta’ala.
Tidak berpegang kepada perbekalan, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Akan
perbuatan yang demikian itu boleh (jaiz). Yaitu: termasuk maqam tawakkal yang
tertinggi. Karena itulah diperbuat oleh Ibrahim Al-Khawwash ra. Kalau anda
mengatakan, bahwa ini adalah usaha pada membinasakan dan melemparkan diri pada
kebinasaan, maka ketahuilah bahwa yang demikian itu keluar dari adanya haram,
dengan 2 syarat:
Salah satu dari dua syarat ini, bahwa
adalah orang itu telah melatih dirinya, bermujahadah dan membiasakannya
bersabar, tanpa makanan seminggu dan yang mendekati dengan seminggu, dimana ia
bersabar, tanpa sempit hati dan kacau pikiran. Dan ia mengemukakan berhalangan
dari yang demikian, demi mengingati (berdzikir) kepada Allah Ta’ala.
Yang kedua, bahwa ia merasa kuat dengan memakan
rumput kering (sayur) dan apa yang kebetulan diperolehnya dari makanan-makanan
yang kurang mutunya. Sesudah 2 syarat ini, ia tidak terlepas dalam kebanyakan
hal di desa-desa badui pada setiap minggu, daripada ia ditemui oleh seorang
manusia. Atau ia berkesudahan ke tempat tinggal orang Arab atau desa atau ke rumput
kering, yang ia merasa cukup dengan demikian. Lalu ia hidup dengan
memperjuangkan dirinya (bermujahadah). Dan mujahadah/bersungguh-sungguh itu
tiang tawakkal. Atas dasar inilah, berpegangnya Ibrahim Al-Khawwash dan
teman-temannya dari orang-orang yang bertawakkal. Dalilnya, ialah bahwa Ibrahim
Al-Khawwash tidak berpisah dengan jarum, gunting, tali dan tempat air. Ibrahim
Al-Khawwash mengatakan: “Ini tidak merusakkan tawakkal”. Sebabnya, bahwa ia
tahu, desa-desa badui itu tak ada air padanya di permukaan tanah. Dan tidak
berlaku Sunnah Allah Ta’ala, dengan naiknya air dari sumur, dengan tanpa timba
dan tali. Dan tidak banyak biasanya ada tali dan timba di desa-desa badui,
sebagaimana banyak biasanya adanya rumput kering. Ia memerlukan kepada air
untuk berwudlu’ setiap hari beberapa kali. Untuk hausnya pada setiap hari atau
dua hari sekali. Bahwa orang musafir serta panasnya bergerak itu tidak dapat
bersabar dari air, walaupun ia dapat bersabar dari makanan. Seperti demikian
juga, adalah baginya sehelai pakaian. Terkadang yang sehelai itu koyak. Maka
terbukalah auratnya. Dan tidak diperoleh gunting dan jarum di desa-desa badui
pada galibnya ketika setiap shalat. Tidak dapat digantikan untuk menjahit dan
memotong pakaian itu, oleh sesuatu yang diperoleh di desa-desa badui. Maka
setiap apa dalam makna 4 macam barang tersebut juga dihubungi dengan derajat
ke-2. karena yang demikian itu disangkakan dengan sangkaan yang tidak diyakini.
Karena mungkin bahwa kain itu tidak koyak. Atau ia diberikan orang sepotong pakaian.
Atau ia dapati diatas sumur, orang yang akan memberinya minum. Dan tidak
mungkin bahwa bergeraklah makanan dengan terkunyah ke mulutnya. Maka diantara
dua derajat ada perbedaan. Akan tetapi, yang kedua dalam makna yang pertama.
Karena inilah kami mengatakan, bahwa jikalau ia meninggalkan tempatnya, pergi
ke suatu jalan dari jalan gunung, yang tidak berair dan berumput kering dan
tidak datang kepadanya orang yang datang dan ia duduk dengan bertawakkal, maka
dia itu berdosa, yang berusaha pada membinasakan dirinya. Sebagaimana
diriwayatkan, bahwa seorang zahid (yang bersifat zuhud) dari orang-orang zahid
meninggalkan daerah yang didiami manusia dan berdiam di lereng bukit selama 7
hari. Dan ia berkata: “Aku tidak meminta sesuatu pada seseorang. Sampai Tuhanku
datang memberikan aku rezekiku”. Maka ia duduk selama seminggu. Ia hampir mati
dan rezeki itu tidak kunjung datang. Orang zahid itu berkata: “Wahai Tuhanku !
jikalau Engkau menghidupkan aku, maka datangkanlah kepadaku rezekiku, yang
Engkau bagikan bagiku. Jikalau tidak, maka genggamlah aku kepadaMu !”. Maka
Allah Yang Maha Agung sebutanNya menurunkan wahyu kepada orang zahid tersebut:
“Demi KeagunganKu ! Aku tidak memberikan rezeki kepadamu, sebelum kamu masuk ke
daerah yang didiami manusia. Dan engkau duduk diantara manusia”. Orang zahid
itu lalu masuk ke tempat yang didiami manusia dan duduk bersama mereka. Maka
datanglah orang itu kepadanya dengan membawa makanan. Orang ini dengan minuman.
Lalu ia makan dan minum. Dan ia bimbang pada dirinya dari yang demikian. Maka
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Aku
berkehendak bahwa berjalan hikmahKu dengan zuhudnya engkau di dunia. Apakah
engkau tidak tahu, bahwa Aku memberikan rezeki kepada hambaKu dengan tangan
hamba-hambaKu, lebih Aku sukai daripada Aku memberikan rezeki kepadanya dengan
tangan Qudrah(kuasa)Ku”. Jadi, berjauh-jauhan dari sebab-sebab
semuanya itu menghinakan hikmah dan bodoh dengan Sunnah Allah Ta’ala. Berbuat
dengan apa yang diharuskan oleh Sunnah Allah Ta’ala, serta tawakkal kepada
Allah ‘Azza Wa Jalla tanpa sebab-sebab itu tidak berlawanan dengan tawakkal.
Sebagaimana telah kami berikan contoh pada wakil dengan persoalan permusuhan
(persengketaan) dahulu. Akan tetapi, sebab-sebab itu terbagi kepada zahiriyah
dan kepada yang tersembunyi. Maka arti tawakkal, ialah mencukupkan dengan
sebab-sebab yang tersembunyi, tidak dengan sebab-sebab yang tampak (zahiriyah),
serta tenangnya jiwa kepada musabbab dari sebab. Tidak kepada sebab. Kalau anda
bertanya: “Apa katamu dengan duduk (tidak bekerja) di kampung, tanpa usaha,
adakah itu haram atau mubah atau sunat ?”. Ketahuilah kiranya, bahwa yang
demikian itu tidak haram. Karena yang bepergian di desa badui, apabila tidak
ada ia membinasa kan dirinya, maka ini bagaimana ada ia tidak membinasakan
dirinya, sehingga ada perbuatannya itu haram ? bahkan tidak jauh, bahwa datang
kepadanya rezeki, darimana ia tidak menyangka sama sekali. Akan tetapi,
kadang-kadang ia terlambat daripadanya. Dan sabar itu mungkin sampai kepada
bersesuaian datangnya rezeki. Akan tetapi, jikalau ia menguncikan pintu rumah
kepada dirinya sendiri, dimana tiada jalan bagi seseorangpun kepadanya, maka
perbuatannya yang demikian itu haram. Dan kalau ia membukakan pintu rumah itu
dan ia tak ada kerja, tidak berbuat ibadah, maka berusaha dan keluar itu lebih
utama baginya. Akan tetapi tidaklah perbuatannya itu haram, selain bahwa ia
mendekati kepada kematian. Maka ketika itu, haruslah ia keluar, meminta dan
berusaha. Kalau ia menyibukkan hati dengan mengingati Allah, tiada
mengangkatkan matanya kepada manusia dan tidak menunggu kedatangan orang yang
akan masuk ke pintu rumahnya, lalu membawa kepadanya rezekinya, akan tetapi ia
menunggu kurnia Allah Ta’ala dan kesibukkannya dengan mengingati Allah, maka
adalah yang demikian itu lebih utama. Dan itu termasuk sebahagian dari
maqam-maqam tawakkal. Yaitu: ia menyibukkan diri dengan mengingati Allah Ta’ala
dan ia tidak mementingkan dengan rezekinya. Bahwa rezeki itu tidak mustahil akan
datang kepadanya. Ketika ini, shah-lah apa yang dikatakan oleh sebahagian
ulama, yaitu: bahwa hamba jikalau lari dari
rezekinya, niscaya rezeki itu mencarinya. Sebagaimana jikalau ia
lari dari mati, niscaya mati itu akan mendapatinya. Bahwa jikalau ia bermohon
kepada Allah Ta’ala, bahwa Allah tidak memberikannya rezeki, niscaya Allah
tidak akan memperkenankan doanya. Dan dia dengan demikian menjadi orang
maksiat. Dan Allah berfirman kepadanya: “Hai orang bodoh ! bagaimana Aku
menjadikan kamu dan tidak Aku memberikan rezeki kepadamu”.
Karena itulah, Ibnu Abbas
ra berkata: “Berbedalah pendapat manusia pada setiap sesuatu, selain pada
rezeki dan ajal. Bahwa mereka sepakat, tidak ada yang memberikan rezeki dan
yang mematikan, selain Allah Ta’ala”. Nabi saw bersabda: “Jikalau kamu
bertawakkal kepada Allah Ta’ala dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya
Ia memberikan rezeki kepada kamu, sebagaimana Ia memberikan rezeki kepada
burung, yang keluar pagi-pagi dengan perut kempis dan kembali sore dengan perut
kenyang. Dan hilanglah bukit-bukit rintangan dengan doamu”.
Isa as berkata: “Lihatlah
kepada burung ! ia tidak bercocok tanam, tidak mengetam dan tidak menyimpan.
Allah Ta’ala yang memberikan rezeki kepadanya, hari demi hari. Kalau kamu
mengatakan, bahwa perut kami besar, maka lihatlah kepada binatang ternak !
bagaimana Allah Ta’ala mentakdirkan rezeki kepadanya”.
Abu Ya’qub As-Susi
berkata: “Orang-orang yang bertawakkal, rezeki mereka berjalan di atas tangan
hamba-hamba Allah, tanpa kepayahan dari mereka. Dan orang-orang selain mereka
itu sibuk dan susah”. Sebahagian mereka berkata: “Hamba itu semua dalam rezeki
yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala. Akan tetapi, sebahagian mereka makan
dengan kehinaan, seperti: meminta-minta. Sebahagian mereka dengan kepayahan dan
menunggu, seperti: saudagar. Sebahagian mereka dengan perusahaan, seperti:
pembuat-pembuat barang. Dan sebahagian mereka dengan kemuliaan, seperti: kaum
shufi, yang mengakui akan Tuhan Yang Maha Agung. Maka mereka mengambil
rezekinya dari TanganNya. Mereka tidak melihat perantaraan.
Derajat ketiga: penyerupaan sebab-sebab yang
disangkakan pembawanya kepada musabbab-musabbab, tanpa kepercayaan yang terang.
Seperti orang yang berhabis-habisan pada pemikiran-pemikiran yang halus, pada
penguraian usaha dan segi-seginya. Yang demikian itu keluar secara keseluruhan
dari setiap derajat tawakkal. Itulah, yang padanya manusia seluruhnya. Yakni:
orang yang berusaha dengan daya-upaya yang halus, sebagai usaha yang
diperbolehkan, bagi harta yang diperbolehkan. Adapun mengambil harta syubhah
(yang diragukan halalnya) atau berusaha dengan jalan, yang ada padanya syubhah,
maka yang demikian itu tujuan kelobaan kepada dunia dan berpegang kepada
sebab-sebab. Maka tidak tersembunyi, bahwa yang demikian itu membatalkan
tawakkal. Ini contoh sebab-sebab yang ikatannya kepada menghela yang
bermanfaat. Seperti: ikatan jampi, barang yang diperbuat menengok untung
(Ath-thirah) dan membakar kulit dengan besi (al-kayyi), dengan dikaitkan kepada
menghilangkan yang melarat. Bahwa Nabi saw menyifatkan orang-orang yang
bertawakkal dengan demikian. Dan beliau tidak menyifatkan mereka, bahwa mereka
tidak berusaha dan tidak mendiami negeri-negeri yang ramai. Dan mereka tidak
mengambil dari seseorang akan sesuatu. Akan tetapi, beliau menyifatkan mereka,
bahwa mereka mengambil akan sebab-sebab ini. Contoh sebab-sebab ini, yang
dipercayakan pada musabbab-musabbab, termasuk yang banyak. Maka tidak mungkin
menghinggakannya.
Sahal berkata tentang
tawakkal: “Bahwa tawakkal itu meninggalkan pemikiran akhir pekerjaan”. Beliau
berkata: “Bahwa Allah menciptakan makhluk dan tidak mendindingkan mereka dari
DiriNya. Bahwa hijab (dinding) mereka, ialah dengan pemikiran mereka”. Semoga
beliau maksudkan dengan yang demikian, ialah: memahami sebab-sebab yang jauh
dengan berpikir. Maka sebab-sebab tersebut memerlukan kepada pemikiran, tidak
sebab-sebab yang terang. Jadi, sesungguhnya telah jelas, bahwa sebab-sebab itu
terbagi kepada: apa yang mengelurkan penyangkutannya dari tawakkal. Dan kepada:
apa yang tidak mengeluarkan. Bahwa yang mengeluarkan itu terbagi kepada yang
diyakini dan yang disangkakan. Bahwa yang diyakini itu tidak keluar dari
tawakkal ketika ada hal-ihwal tawakkal dan ilmunya. Yaitu: bersandar kepada
musabbab bagi sebab-sebab. Maka tawakkal padanya adalah dengan hal-ihwal dan
ilmu. Tidak dengan amal perbuatan. Adapun yang disangkakan maka tawakkal
padanya adalah dengan hal-ihwal, ilmu dan amal perbuatan. Orang-orang yang
bertawakkal pada penyerupaan sebab-sebab ini, terbagi kepada 3 macam:
Yang pertama: maqam Ibrahim Al-Khawwash dan
teman-temannya. Yaitu: yang berkeliling di desa-desa badui, tanpa perbekalan,
karena percaya dengan kurnia Allah Ta’ala kepadanya, pada menguatkannya kepada
kesabaran seminggu dan di atas seminggu. Atau memudahkan rumput kering baginya
atau makanan atau menetapkannya atau ridla dengan kematian, jikalau tidak mudah
sesuatupun dari yang demikian. Bahwa orang yang membawa perbekalan,
kadang-kadang ia berketiadaan perbekalannya. Atau sesat untanya dan ia mati
kelaparan. Maka demikian itu mungkin serta perbekalan, sebagaimana mungkin
serta ketiadaan perbekalan.
Maqam kedua: bahwa ia duduk di rumahnya atau di
masjid. Akan tetapi di desa dan di tempat manusia ramai. Ini lebih lemah dari
yang pertama. Akan tetapi juga ia orang yang bertawakkal. Karena ia
meninggalkan berusaha dan sebab-sebab yang nyata. Ia berpegang kepada kurnia
Allah Ta’ala pada mengatur urusannya, dari pihak sebab-sebab yang tersembunyi.
Akan tetapi, dengan tinggalnya di tempat yang ramai itu mendatangkan sebab-sebab
memperoleh rezeki. Bahwa yang demikian itu termasuk sebab-sebab yang terang.
Hanya yang demikian itu tidak membatalkan tawakkalnya, apabila adalah
pandangannya kepada Yang Menjadikan baginya penduduk negeri menyampaikan rezeki
kepadanya. Tidak padangannya kepada penduduk negeri. Karena tergambarlah bahwa
semua mereka lupa kepadanya dan menyia-nyiakannya, jikalau tidaklah kurnia
Allah Ta’ala dengan memperkenalkannya kepada mereka dan menggerakkan
pengajak-pengajak bagi mereka.
Maqam ketiga: bahwa ia keluar dan berusaha,
sebagai usaha di atas cara yang telah kami sebutkan dahulu pada Bab Ketiga dan
Keempat dari Kitab Adab Berusaha. Usaha ini tidak mengeluarkannya juga dari
maqam-maqam tawakkal, apabila tidak ada ketentraman dirinya kepada kesanggupan
dan kemampuannya, kemegahan dan harta-bendanya. Bahwa yang demikian itu
kadang-kadang dibinasakan oleh Allah Ta’ala semuanya dalam sekejap mata.
Bahkan, adalah pandangan nya kepada Yang Menanggung
Yang Maha Benar, dengan memelihara semua yang demikian dan memudahkan
sebab-sebabnya baginya. Bahkan, ia melihat usahanya, harta bendanya dan
kemampuannya dengan dikaitkan kepada qudrah(kuasa) Allah Ta’ala adalah seperti
ia melihat pena dalam tangan raja yang menanda-tangani. Maka tidak adalah
pandangannya kepada pena, akan tetapi kepada hati raja, bahwa dengan apa ia
bergerak. Kepada apa ia cenderung dan dengan apa ia hukumkan. Kemudian, jikalau
adalah yang berusaha ini, berusaha untuk keluarganya atau untuk
dibagi-bagikannya kepada fakir-miskin, maka dia itu dengan badannya berusaha
dan dengan hatinya ia memutuskan daripadanya. Maka hal-ihwal orang ini lebih
mulia dari hal-ihwal orang yang tinggal di rumahnya. Dalil atas usaha itu
meniadakan hal-ihwal tawakkal, apabila dipelihara padanya syarat-syarat dan
dikaitkan kepadanya hal-ihwal dan ma’rifah, sebagaimana telah diterangkan
dahulu, bahwa Abubakar Shiddiq ra tatkala dibai’ahkan/diangkat menjadi
khalifah, lalu ia mengambil kain-kain di bawah penjagaannya dan harta di
tangannya. Beliau masuk ke pasar, menyerukan siapa yang ingin membeli kain.
Sehingga kaum muslimin tidak menyukai yang demikian. Mereka mengatakan:
“Bagaimana anda berbuat demikian. Anda telah dikokohkan menggantikan Nabi saw
(menjadi khalifah)”. Abubakar Shiddiq ra menjawab: “Jangan kamu menyibukkan
aku, tidak memikirkan keluargaku ! bahwa jikalau aku menyia-nyiakan mereka,
niscaya adalah aku lebih lagi menyia-nyiakan bagi selain dari mereka”. Sehingga
mereka menetapkan bagi Abubakar Shiddiq ra makanan keluarganya dari harta kaum
muslimin. Tatkala mereka meridlai yang demikian, maka ia melihat untuk menolong
mereka dan membaikkan hati mereka. Dan menghabiskan waktu dengan kepentingan
kaum muslimin itu lebih utama. Dan mustahil bahwa dikatakan: tidaklah Abubakar
Shiddiq ra pada maqam tawakkal. Siapakah yang lebih utama lagi dengan maqam ini
daripadanya ? maka menunjukkan, bahwa adalah ia yang bertawakkal. Tidak dengan
memandang meninggalkan berusaha dan bekerja, akan tetapi dengan memandang
memutuskan perhatian kepada makanannya dan kecukupannya.
Dan mengetahui, bahwa
Allah itu yang memudahkan usaha dan yang mengatur sebab-sebab dan dengan
syarat-syarat yang dipeliharakannya pada jalan usaha, daripada mencukupkan
dengan sekadar hajat keperluan, tanpa keinginan banyak, bersombong-sombong dan
menyimpan. Dan tanpa bahwa ada dirhamnya itu lebih dikasihinya dari dirham
orang lain. Maka siapa yang masuk pasar dan dirhamnya lebih dikasihinya dari
dirham orang lain, maka dia itu loba kepada dunia dan mencintainya. Dan tidak
sah tawakkal, selain serta zuhud pada dunia. Benar, sah zuhud tanpa tawakkal.
Bahwa tawakkal itu suatu maqam di belakang zuhud.
Abu Ja’far Al-Haddad
berkata dan dia ini guru bagi Junaid dalam ilmu tasawwuf/ahli suffi dan
termasuk orang yang bertawakkal: “Aku menyembunyi kan tawakkal selama 20 tahun.
Dan aku tidak berpisah dengan pasar. Aku mengusahakan setiap hari satu dinar
dan tidak aku tinggalkan satu daniqpun di rumah. Dan tidak aku merasa senang
daripadanya sampai sekaratpun, yang aku bawa dia kekamar mandi. Akan tetapi,
aku keluarkan semuanya sebelum malam”. Adalah Junaid tidak memperkatakan
tentang tawakkal di hadapan Abu Ja’far Al-Haddad. Ia mengatakan: “Aku malu
bahwa aku berkata-kata pada tempatnya dan ia hadir di sisiku”. Ketahuilah,
bahwa duduk pada langgar kaum shufi serta pengetahuan tertentu itu jauh dari
tawakkal. Jikalau tidak ada pengetahuan tertentu dan harta wakaf dan mereka
menyuruh pelayan langgar itu keluar mencari perbelanjaan, niscaya tidak shah
serta yang demikian itu tawakkal, selain secara lemah dari tawakkal. Akan
tetapi, ia kuat dengan hal keadaan dan ilmu, seperti tawakkal pengusaha.
Jikalau mereka tidak meminta, akan tetapi merasa cukup dengan apa yang dibawa
orang kepada mereka, maka ini lebih kuat pada ketawakkalan. Akan tetapi,
sesudah terkenal kaum itu dengan yang demikian. Bila telah jadi tempat itu bagi
mereka pasar, maka itu seperti masuk pasar. Dan tidaklah orang yang masuk pasar
itu bertawakkal, selain dengan banyak syarat, sebagaimana telah diterangkan
dahulu. Kalau anda bertanya: “Manakah yang lebih utama, duduk di rumah atau
keluar dan berusaha ?”. Ketahuilah, bahwa jikalau ia menyelesai kan dirinya
dengan meninggalkan berusaha, untuk berfikir, berdzikir, ikhlas dan
menghabiskan waktu dengan ibadah dan adalah berusaha mengacaukan nya kepada
yang demikian dan dia bersama keadaan tersebut tidak menegakkan pemandangan
dirinya kepada manusia, pada menunggu siapa yang masuk kepadanya, lalu membawa
sesuatu, akan tetapi ia kuat hati pada bersabar dan bertawakkal kepada Allah
Ta’ala, maka duduk di rumah bagi orang yang seperti itu lebih utama. Jikalau
hatinya kacau di rumah dan ia mengangkatkan harapan hati kepada orang itu
adalah meminta-minta dengan hati. Meninggalkan lebih penting daripada
meninggalkan berusaha. Dan tidaklah orang-orang yang bertawakkal itu mengambil apa
yang dipandang diri mereka dari pemberian orang. Adalah Ahmad bin Hanbal ra
menyuruh Abubakar Al-Maruzi, untuk memberikan kepada sebahagian orang fakir
miskin sesuatu yang lebih, daripada apa yang menjadi upahnya, maka orang miskin
itu menolaknya. Tatkala orang miskin itu pergi, lalu Ahmad bin Hanbal berkata
kepada Abubakar Al-Maruzi: “Hubungilah dia dan berikanlah kepadanya !
sesungguhnya ia akan menerima”. Abubakar Al-Maruzi lalu menghubungi orang
miskin itu dan memberikan nya. Maka orang miskin itu lalu mengambilnya. Maka
Abubakar Al-Maruzi bertanya kepada Ahmad bin Hanbal dari yang demikian. Lalu
Ahmad bin Hanbal ra menjawab: “Hati orang itu sudah tertarik kepadanya lalu ia
menolak. Tatkala ia keluar, niscaya terputuslah kelobaannya dan berputus asa.
Maka ia mengambilnya”.
Adalah Ibrahim Al-Khawwash
ra apabila melihat kepada seorang hamba pada memberi atau takut membiasakan
diri bagi yang demikian, niscaya ia tidak akan menerima sesuatu daripadanya.
Berkata Ibrahim Al-Khawwash, sesudah ia ditanyakan dari keajaiban apa yang
dilihatnya dalam perjalanannya: “Aku melihat nabi Khidlir dan ia senang
bersahabat dengan aku. Akan tetapi aku berpisah dengan dia, karena takut bahwa
tenang jiwaku kepadanya. Lalu menjadi kekurangan pada tawakkalku”. Jadi, orang
yang berusaha apabila menjaga adab berusaha dan syarat-syarat niatnya,
sebagaimana telah diterangkan dahulu pada Kitab Usaha, yaitu: bahwa tidak ada
maksudnya dengan usaha itu mencari banyak harta dan tidak ada perpegangannya kepada
harta-bendanya dan kecukupannya, niscaya adalah orang yang berusaha itu orang
yang tawakkal. Jikalau anda bertanya: “Apakah tandanya ia tidak berpegang kepada
harta benda dan kecukupan?”. Maka aku menjawab, tandanya ialah: bahwa kalau
harta bendanya itu dicuri orang atau rugi perniagaannya atau terhalang salah
satu dari urusan-urusannya, niscaya ia ridha dengan yang demikian. Tidak rusak
ketenangannya dan tidak kacau hatinya. Akan tetapi, adalah keadaan hatinya
dalam ketenangan, sebelumnya dan sesudahnya itu sama. Bahwa orang yang tidak
tentram kepada sesuatu, niscaya tidak kacau karena hilangnya sesuatu itu. Dan
siapa yang kacau karena hilangnya sesuatu, maka ia tentram kepada adanya
sesuatu itu.
Adalah Bisyr bekerja
bertenun. Maka ditinggalkannya pekerjaan itu. Yang demikian itu, karena
Al-Ba’adi -juru tulisnya mengatakan: “Sampai kepadaku berita, bahwa engkau
meminta tolong atas rezeki engkau dengan bertenun. Apakah pendapat engkau,
jikalau Allah mengambil pendengaran engkau dan penglihatan engkau. Maka rezeki
itu atas siapa ?”. Maka berpengaruhlah yang demikian pada hatinya. Lalu
dikeluarkannya alat tenunan dari tangannya dan ditinggalkannya. Ada yang
mengatakan, bahwa ia tinggalkan bertenun itu, tatkala bertenun itu
disebut-sebutkan dengan namanya. Dan ia dimaksudkan karena tenunan itu. Ada
yang mengatakan, bahwa ia berbuat demikian, tatkala telah meninggal isterinya.
Sebagaimana ada bagi Sufyan 50 dinar, yang dia perniagakan padanya. Maka
tatkala isterinya meninggal, lalu uang itu dibagi-bagikannya. Kalau anda
bertanya: “Bagaimana tergambar bahwa ia mempunyai harta benda dan tidak tenang
hatinya kepada harta benda itu ? dan ia tahu, bahwa usaha tanpa harta benda itu
tidak mungkin. Aku menjawab, bahwa ia tahu, memang mereka yang diberikan rezeki
oleh Allah Ta’ala tanpa harta benda (yang menjadi modalnya) itu banyak. Dan
orang-orang yang banyak harta bendanya, lalu dicuri orang dan rusak binasa itu
banyak. Dan orang yang menempatkan dalam hatinya keyakinan, bahwa Allah Ta’ala
tidak berbuat dengan demikian, selain ada padanya kemuslihatan baginya. Kalau
harta bendanya binasa, maka itu lebih baik baginya. Mungkin kalau
ditinggalkannya, adalah menjadi sebab bagi kerusakan agamanya. Dan Allah Ta’ala
kasih-sayang kepadanya. Kesudahannya, bahwa ia mati kelaparan. Maka seyogyalah
bahwa ia berkeyakinan, bahwa mati karena kelaparan, adalah lebih baik baginya
di akhirat, manakala qodo/ketetapan(hukum) Allah telah berlaku kepadanya dengan
yang demikian, tanpa teledor daripada pihaknya. Apabila ia ber keyakinan akan
semua yang demikian, niscaya samalah padanya, ada harta benda dan tidak adanya.
Pada hadits: “Bahwa hamba itu kacau pikirannya di malam hari dengan salah satu
urusan perniagaannya, dari apa kalau diperbuatnya, niscaya ada padanya
kebinasaannya. Maka Allah Ta’ala memandang kepadanya dari atas ‘Arasy-Nya. Lalu
dialihkanNya hamba itu daripadanya. Maka di pagi hari hamba itu resah gelisah.
Ia menengok nasibnya dengan tetangganya dan anak pamannya, dengan mengatakan:
“Siapa yang mendahului aku, niscaya itulah orang yang mencelakakan aku”.
Tidaklah itu, melainkn rahmat yang dirahmati oleh Allah kepadanya”.
Karena itulah, Umar ra
berkata: “Aku tidak perduli, apakah aku menjadi orang kaya atau orang miskin.
Sesungguhnya aku tidak tahu, manakah diantara keduanya itu yang lebih baik
bagiku”. Orang yang tiada sempurna keyakinannya dengan hal-hal tersebut,
niscaya tidak tergambar padanya tawakkal. Karena itulah, Abu Sulaiman Ad-Darani
berkata kepada Ahmad bin Abil-Hawari: “Aku mempunyai bahagian dari setiap
tempat, selain dari tawakkal yang penuh berkat ini. Bahwa aku tidak mencium bau
yang harum daripadanya”. Ini perkataannya serta tinggi nilainya. Ia tidak
mungkiri adanya tawakkal itu dari maqam yang mungkin dicapai. Akan tetapi, ia
mengatakan: “Aku tidak memperolehnya”. Mungkin ia kehendaki, akan mencapai yang
paling jauh (yang paling tinggi). Manakala tidak sempurna iman, bahwa tiada
yang berbuat, selain Allah, tiada yang memberi rezeki, selain Dia dan bahwa
setiap apa yang ditakdirkanNya atas hamba, dari miskin dan kaya, mati dan
hidup, maka itu adalah lebih baik baginya, dari apa yang dicita-citakan oleh
hamba, niscaya tidak sempurnalah hal keadaan tawakkal. Maka pembinaan tawakkal
itu atas kekuatan iman, dengan hal-hal tersebut, sebagaimana telah diterangkan
dahulu. Demikian juga maqam-maqam agama yang lain, dari perkataan-perkataan dan
perbuatan-perbuatan, yang terbina atas pokok-pokoknya dari iman.
Keringkasannya, bahwa tawakkal itu suatu maqam yang dapat dipahami. Akan
tetapi, meminta kekuatan hati dan kekuatan badan. Karena itulah, Sahal berkata:
“Siapa yang mencaci berusaha, maka ia telah mencaci sunnah Nabi saw. Dan siapa
yang mencaci meninggalkan berusaha, maka ia mencaci keesaan”. Kalau anda
bertanya: adakah obat yang dapat dimanfaatkan pada memalingkan hati dari
kecenderungan kepada sebab-sebab zahiriyah dan membaikkan sangka (husnuz-zhon)
kepada Allah Ta’ala, pada memudahkan sebab-sebab yang tersembunyi. Aku
menjawab: “Ada ! yaitu, bahwa engkau tahu, jahat sangka (su’uz-zhon) itu ajaran
setan. Dan baik sangka itu ajaran Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Setan
menjanjikan kemiskinan kepadamu dan menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan
Allah menjanjikan ampunan dan kurniaNya kepadamu”. S 2 Al Baqarah ayat 268.
Manusia itu menurut tabiatnya suka mendengar yang dipertakutkan oleh setan.
Karena itulah, ada yang mengatakan: “Orang yang kasih-sayang dengan jahat
sangka itu menjadi tertarik”. Apabila bergabung kepadanya sifat pengecut,
kelemahan hati dan penyaksiannya orang-orang yang bertawakkal kepada
sebab-sebab zahiriyah dan pembangkit-pembangkit kepadanya, niscaya menanglah
jahat sangka dan batallah tawakkal secara keseluruhan. Bahkan, melihat rezeki
dari sebab-sebab yang tersembunyi juga membatalkan tawakkal. Diceritakan dari
seorang yang banyak beribadah (‘abid), bahwa ia beri’tikaf pada sebuah masjid
dan tak ada baginya ilmu mengenai yang demikian, lalu imam masjid itu berkata
kepadanya: “Jikalau engkau berusaha adalah lebih baik bagi engkau”. ‘Abid itu
tidak menjawab perkataan imam itu. Sehingga imam itu mengulanginya 3 kali. Pada
kali ke-4, lalu ‘abid itu menjawab: “Seorang Yahudi di samping masjid ini telah
menanggung bagiku setiap hari dua potong roti”. Imam itu lalu menjawab: “Kalau
benar Yahudi itu pada tanggungannya, maka i’tikafmu dalam masjid adalah lebih
baik bagi engkau”. ‘Abid itu lalu berkata: “Hai orang ini ! jikalau tidaklah
engkau ini imam, yang tegak berdiri di hadapan Allah Ta’ala dan hamba-hambaNya,
serta kekurangan ini pada keesaan, adalah itu lebih baik bagi engkau. Karena
engkau telah mengutamakan janji Yahudi, atas jaminan Allah Ta’ala dengan
rezeki”. Imam masjid itu bertanya kepada sebahagian orang yang bershalat:
“Darimana engkau makan ?”. Orang yang ditanyakan itu menjawab: “Hai Syaikh !
bersabarlah, sehingga aku mengulangi shalat yang aku kerjakan di belakang
engkau ! kemudian, aku akan menjawab kepada engkau”. Bermanfaat pada husnuz-zhon
(baik sangka) itu dengan datangnya rezeki dari kurnia Allah Ta’ala, dengan
perantaraan sebab-sebab yang tersembunyi, bahwa didengar cerita-cerita yang ada
di dalamnya keajaiban-keajaiban ciptaan Allah Ta’ala, pada sampainya rezeki
kepada yang empunyanya. Padanya keajaiban-keajaiban keperkasaan Allah Ta’ala
pada membinasakan harta saudagar-saudagar dan orang-orang kaya dan membunuhnya
mereka dalam kelaparan. Sebagaimana diriwayatkan dari Hudzaifah Al-Mar’asyi.
Adalah Hudzaifah Al-Mar’asyi melayani (berkhidmat) kepada Ibrahim bin Adham.
Maka ditanyakan kepadanya: “Apakah yang menakjubkan, yang kamu lihat
daripadanya ?”. Abu Hudzaifah Al-Mar’asyi menjawab: “Kami berada di jalan
Makkah beberapa hari, yang kami tiada memperoleh makanan. Kemudian, kami masuk
Kufah. Maka kami bertempat di sebuah masjid yang sudah roboh. Lalu Ibrahim bin
Adham melihat kepadaku dan berkata: “Hai Hudzaifah ! aku melihat engkau lapar”.
Lalu aku menjawab: “Itulah apa yang dilihat oleh tuan Syaikh !”. Beliau lalu
berkata: “Bawalah kepadaku tinta dan kertas !”. Maka aku bawakan kepadanya apa
yang dimintanya itu. Lalu beliau menulis: “Bismillahir-rahmaanir-rahiim. Engkau
yang dimaksudkan kepadanya dengan setiap hal keadaan dan yang diisyaratkan
kepadanya dengan setiap makna”. Dan beliau menulis sekuntum syair:
Aku pemuji, pensyukur, pendzikir,
aku lapar yang hilang dan tak
berpakaian.
Itulah enam, aku menjamin setengahnya,
maka Engkau menjamin setengahnya, ya
Tuhan !
Pujianku kepada selain Engkau itu,
nyala api yang aku terjun ke dalamnya.
Maka lepaskanlah hamba-hambaMu itu,
dari masuknya ke dalam neraka !
Kemudian, beliau serahkan kertas itu
kepadaku, seraya berkata: “Keluarlah dan jangan engkau gantungkan hati engkau
kepada selain Allah Ta’ala dan jangan engkau gantungkan hati engkau kepada
selain Allah Ta’ala ! serahkan kertas itu kepada orang yang mula-mula menemui
engkau !”. Aku lalu keluar. Maka orang yang mula-mula menemui aku adalah
seorang laki-laki, mengendarai keledai betina. Lalu aku serahkan kepadanya
kertas itu. Maka diambilnya. Tatkala dibacanya, lalu ia menangis dan berkata:
“Apakah yang diperbuat oleh yang empunya kertas ini ?”. Aku lalu menjawab: “Dia
di masjid itu”. Orang itu lalu menyerahkan kepadaku suatu bungkusan, yang di
dalamnya uang 600 dinar. Kemudian, aku menemui laki-laki lain. Lalu aku
tanyakan tentang orang yang mengendarai keledai betina itu. Laki-laki itu
menjawab: “Ini orang Nasrani”. Aku lalu datang kepada Ibrahim bin Adham dan aku
terangkan kepadanya kisah tersebut. Beliau menjawab: “Jangan engkau sentuh
bungkusan itu ! dia akan datang sejam lagi”. Sesudah sejam orang Nasrani itu
masuk. Ia menelungkup atas kepala Ibrahim bin Adham dengan memeluknya. Dan ia masuk
agama Islam.
Abu Ya’qub Al-Aqtha’
Al-Bashari berkata: “Pada suatu kali aku
lapar di Masjidil-haram selama 10 hari. Aku dapati diriku lemah. Maka
dibisikkan oleh hatiku untuk keluar. Maka aku keluar ke lembah, mudah-mudahan
aku mendapati sesuatu, yang menenangkan kelemahanku. Lalu aku lihat
tumbuh-tumbuhan saljamah, tercampak di atas tanah. Aku ambil, lalu aku dapati
pada hatiku ketidak-senangan. Seakan-akan ada orang yang mengatakan kepadaku:
“Engkau sudah lapar 10 hari. Akhirnya adalah nasib engkau tumbuh-tumbuhan
saljamah yang sudah berobah itu”. Maka aku lemparkan saljamah itu. Aku masuk
masjid dan aku duduk. Tiba-tiba bertemu dengan seorang ‘Ajam (bukan Arab), yang
menuju kepadaku. Sehingga ia duduk di depanku dan ia meletakkan sebuah peti
keci, seraya berkata: “Ini untukmu !”. Aku lalu menjawab: “Bagaimana engkau
khususkan aku dengan barang ini ?”. Ia menjawab: “Ketahuilah, bahwa kami berada
di laut sejak 10 hari yang lalu. Hampirlah kapal itu tenggelam. Maka aku
bernazar (berkaul), bahwa jikalau aku dilepaskan oleh Allah Ta’ala, aku akan
bersedekah dengan barang ini, kepada orang pertama yang terlihat kepadaku dari
orang-orang yang bertetangga dengan Masjidil-haram. Engkau adalah orang pertama
yang aku jumpai”. Aku lalu menjawab: “Bukalah !”. Lalu dibukanya. Tiba-tiba
dalam peti itu pati gandum Mesir, isi buah lauz yang sudah dikuliti dan gula
bersegi empat. Maka aku genggam segenggam dari ini dan segenggam dari itu. Dan
aku berkata: “Kembalikan sisanya kepada teman-teman engkau, sebagai hadiah dari
aku kepada kamu dan aku telah menerimanya”. Kemudian aku berkata pada diriku:
“Rezekimu berjalan kepadamu dari 10 hari. Dan engkau mencarinya dari lembah”.
Mimsyad Ad-Dainuri
berkata: “Aku mempunyai hutang. Maka terganggulah hatiku dengan sebab hutang itu.
Lalu aku bermimpi, seakan-akan ada orang mengatakan kepadaku: “Hai orang bakhil
! engkau ambil atas kami sekadar ini dari hutang. Ambillah atas engkau akan
ambilan itu dan atas kami akan pemberian ! maka tiada engkau perhitungkan
sesudah itu, akan tukang sayur, tukang tebu dan yang lain-lain”.
Diceritakan dari Bannan
Al-Hammal, yang mengatakan: “Adalah aku dalam perjalanan ke Makkah. Aku datang
dari Mesir dan bersamaku ada perbekalan. Lalu datang seorang wanita kepadaku
dan berkata: “Hai Bannan ! engkau pembawa (al-hammal), yang engkau bawa atas
punggung engkau perbekalan. Dan engkau menyangka, bahwa IA tidak akan
memberikan rezeki kepada engkau”. Bannan berkata, meneruskan ceritanya: “Aku
lalu melemparkan perbekalanku. Kemudian, datang atasku 3 hari yang tidak aku
makan. Lalu aku dapati gelang wanita tercampak di jalan. Maka aku mengatakan
kepada diriku: “Aku ambil gelang ini, sehingga datang yang empunyanya. Mungkin
ia akan memberikan sesuatu kepadaku, maka aku kembalikan barang ini kepadanya.
Tiba-tiba aku bertemu dengan wanita itu. Ia lalu berkata kepadaku: “Engkau
saudagar, yang mengatakan: “Semoga datang yang empunya, maka aku mengambil
daripadanya sesuatu”. Kemudian, wanita itu melemparkan kepadaku sesuatu dari
dirham dan berkata: “Belanjakanlah dengan dirham ini !”. Maka aku cukupkan
dengan dirham itu sampai mendekati Makkah”. Dihikayahkan, bahwa Bannan
memerlukan kepada seorang budak wanita yang akan melayaninya. Maka tersiarlah
berita itu kepada teman-temannya. Lalu mereka mengumpulkan uang untuk harga
budak wanita itu. Mereka mengatakan: “Ini uangnya ! bila datang rombongan
penjual budak, maka kita beli yang sesuai”. Tatkala datang rombongan penjual
budak, lalu sepakat pendapat mereka kepada seorang budak wanita. Mereka
berkata: “Budak wanita ini cocok baginya”. Mereka lalu mengatakan kepada yang
empunya budak wanita itu: “Berapa harganya ?”. Yang empunyai itu menjawab: “Dia
tidak dijual !”. Mereka lalu meminta benar-benar. Maka yang empunya itu
menjawab: “Budak wanita ini untuk Bannan Al-Hammal, yang dihadiahkan kepadanya
oleh seorang wanita dari Samarkand. Maka aku bawa kepada Bannan dan aku
sebutkan kepadanya ceritanya”.
Dikatakan, bahwa ada pada
zaman pertama dahulu seorang laki-laki dalam perjalanan. Dan ia mempunyai roti.
Ia lalu berkata: “Jikalau aku makan, niscaya aku mati”. Maka Allah ‘Azza Wa
Jalla mewakilkan kepada seorang malaikat untuk menemuinya. Dan berfirman:
“Jikalau ia makan, maka Aku berikan rezeki kepadanya. Dan jikalau ia tidak
makan, maka tidak Aku berikan kepadanya yang lain”. Senantiasalah roti itu
bersama orang tersebut, sampai ia mati dan tidak dimakannya. Roti itu tetap
padanya.
Abu Sa’id Al-Kharraz
berkata: “Aku masuk ke suatu desa badui, tanpa perbekalan. Lalu tertimpa atas
diriku kelaparan yang sangat. Maka aku melihat suatu desa dari jauh. Aku
bergembira dengan sampai aku ke situ. Kemudian, aku berpikir pada diriku:
“Bahwa aku tenang dan berpegang kepada selain Allah Ta’ala lalu aku bersumpah,
bahwa aku tidak akan masuk ke desa itu, selain bahwa aku dibawa kepadanya. Lalu
aku gali bagi diriku pasir suatu lobang. Aku timbun tubuhku di dalamnya, sampai
ke dadaku. Lalu aku mendengar suara yang tinggi pada tengah malam: “Hai
penduduk desa ! bahwa Allah Ta’ala mempunyai seorang wali, yang memenjarakan
dirinya dalam pasir ini. Maka hubungilah dia ! lalu datanglah orang banyak.
Mereka lalu mengeluarkan aku dan membawa aku ke desa”.
Diriwayatkan, bahwa
seorang laki-laki selalu berada di pintu rumah Umar ra. Maka tiba-tiba dia
dengan seorang laki-laki yang mengatakan: “Hai orang ini ! engkau berhijrah
kepada Umar atau kepada Allah Ta’ala ? pergilah, maka pelajarilah Alquran !
sesungguhnya tidak perlu bagi engkau pintu Umar”. Laki-laki itu lalu pergi dan
menghilang. Sehingga ia dicari oleh Umar. Rupanya orang itu sudah mengasingkan
diri dan bekerja dengan beribadah. Maka datang Umar kepadanya, seraya berkata:
“Bahwa aku rindu kepadamu. Apakah yang menyibukkan kamu, tidak bertemu dengan
aku ?”. Laki-laki itu menjawab: “Bahwa aku membaca Alquran. Lalu aku tidak
memerlukan kepada Umar dan keluarga Umar”. Umar lalu menjawab: “Kiranya Allah
merahmati kamu ! apakah yang kamu dapati pada Alquran itu ?”. Laki-laki itu
menjawab: “Aku dapati padanya: “Dan di langit ada rezekimu dan (juga) apa yang
dijanjikan kepada kamu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 22. Maka aku mengatakan:
“Rezekiku di langit dan aku mencarinya di bumi”. Umar lalu menangis dan berkata:
“Benar engkau !”. Adalah Umar sesudah itu, datang kepada orang itu dan duduk
bersama-sama.
Abu Hamzah Al-Khurasani
berkata: “Aku mengerjakan hajji pada suatu tahun. Di waktu aku sedang berjalan
kaki di jalan, tiba-tiba aku jatuh dalam sumur. Lalu berbantahan dengan diriku,
bahwa apakah aku meminta tolong ? lalu aku menjawab: “Tidak ! demi Allah, aku
tidak meminta tolong”. Belum lagi habis bisikan ini dari hatiku, maka lewatlah
dua orang laki-laki di muka sumur. Lalu yang seorang mengatakan kepada yang lain:
“Mari, kita tutup muka sumur ini, supaya tidak jatuh seseorang ke dalamnya !”.
Mereka lalu mendatangkan bambu dan tikar. Mereka tutup muka sumur. Maka aku
ingin memekik. Lalu aku bertanya pada diriku: “Kepada siapa aku memekik ? Dia
adalah lebih dekat dari orang yang dua ini. Lalu aku tenang. Diantara sesaat
kemudian, tiba-tiba ada sesuatu datang kepadaku. Ia menyingkapkan muka sumur
dan mengulurkan kakinya. Seakan-akan ia mengatakan: “Bergantunglah kepadaku !”,
dengan suaranya yang tersembunyi, yang aku pahami daripadanya. Lalu aku
bergantung padanya. Maka dikeluarkannya aku. Tiba-tiba itu adalah seekor
binatang buas. Ia lalu melewati aku. Dan diserukan kepadaku oleh penyeru: “Hai
Abu Hamzah ! tidakkah ini yang lebih baik ? kami lepaskan engkau dari kebinasaan
dengan yang membinasakan”. Maka aku berjalan dan bermadah:
Aku dilarang oleh malunya aku
kepadaMu,
bahwa aku menyingkapkan hawa nafsu.
Engkau kayakan aku dengan pengertian
itu,
tanpa penyingkapan daripadaMu.
Engkau berlemah-lembut dalam urusanku,
Engkau lahirkan keadaanku yang dapat
disaksikan,
kepada yang tidak tampak bagiku.
Kelemah-lembutan diperoleh dengan
kelemah-lembutan.
Engkau memperlihatkan yang ghaib
bagiku,
sehingga seakan-akan menggembirakan,
kepadaku dengan yang ghaib itu,
bahwa Engkau dalam mencegahkan.
Aku melihat Engkau dan padaku,
ketakutan dan keliaran hati kepadaMu.
Maka Engkau jinakkan hatiku,
dengan kelemah-lembutan dan
kasih-sayangMu.
Engkau hidupkan dari kematian,
orang yang cinta dalam kecintaan.
Ini adalah suatu keajaiban,
adanya hidup serta kematian.
Contoh-contoh kejadian yang seperti
ini termasuk yang banyak. Apabila iman telah kuat dengan yang demikian dan
tergabung kepadanya kemampuan lapar barang seminggu, tanpa sempit dada dan
kuatlah iman bahwa jikalau tidak terdahulu kepadanya rezeki dalam seminggu,
maka kematian lebih baik baginya pada sisi Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan karena
itulah penahanan diri daripadanya. Kemudian, bertawakkal dengan hal-ihwal dan
kesaksian-kesaksian tersebut. Jikalau tidak yang demikian, niscaya tidaklah
sekali-kali akan sempurna.
PENJELASAN: tawakkalnya
orang yang berkeluarga.
Ketahuilah, bahwa orang yang mempunyai
keluarga, hukumnya berbeda dengan orang yang sendirian. Karena orang yang
sendirian, tidak shah tawakkalnya, selain dengan 2 perkara:
Pertama: kemampuannya menahan lapar seminggu,
tanpa dilihat orang dan sempit jiwa.
Dan yang satu
lagi, ialah: pintu-pintu iman yang telah kami sebutkan dahulu. Diantara
jumlahnya, ialah, bahwa ia berbaik hati dengan mati, jikalau tidak datang
rezeki kepadanya. Karena tahu, bahwa rezekinya itu mati dan lapar. Walaupun itu
suatu kekurangan di dunia, maka itu suatu kelebihan di akhirat. Maka ia
melihat, bahwa telah mendahului kepadanya, yang terbaik dari dua rezeki. Yaitu:
rezeki akhirat. Dan ini, ialah: sakit, yang ia mati dengan sakit itu. Dan ia
rela dengan yang demikian. Dan sesungguhnya bahwa demikianlah yang menjadi qodo/ketetapan
dan qadar/takdir baginya. Maka dengan ini, sempurnalah tawakkal bagi orang yang
sendirian. Tidak boleh memberatkan keluarga bersabar kepada kelaparan. Dan
tidak mungkin bahwa tetaplah pada mereka itu keimanan dengan keesaan. Bahwa
mati di atas kelaparan itu rezeki yang digemari pada dirinya, jikalau kebetulan
yang demikian, yang jarang terjadinya. Demikian pula pintu-pintu iman yang
lain. Jadi, tidak memungkinkannya pada memenuhi hak keluarga, selain
tawakkalnya orang yang berusaha. Yaitu: tingkat yang ketiga. Seperti
tawakkalnya Abubakar Ash-Shiddiq ra karena ia keluar untuk berusaha.
Adapun memasuki padang
belantara dan meninggalkan keluarga, dengan bertawakkal tentang hak mereka atau
duduk tidak mementingkan urusan mereka, karena tawakkal tentang hak mereka,
maka ini haram. Kadang-kadang yang demikian itu membawa kepada kebinasaan
mereka. Dan adalah ia yang menyiksakan mereka. Bahkan menurut yang sebenarnya,
bahwa tiada perbedaan diantaranya dan keluarganya. Jikalau ia ditolong oleh
keluarga kepada bersabar di atas kelaparan pada suatu waktu dan atas persiapan
kepada mati di atas kelaparan, sebagai rezeki dan harta rampasan di akhirat,
maka ia bertawakkal tentang hak keluarga itu. Dan dirinya sendiri juga keluarga
pada sisinya. Tidak boleh ia menyia-nyiakannya, selain bahwa dirinya itu
menolongnya kepada bersabar di atas kelaparan pada suatu ketika. Maka jikalau
tidak disanggupinya, hatinya bergoncang dan ibadahnya menjadi kacau, niscaya
tidak boleh ia bertawakkal.
Karena itulah,
diriwayatkan, bahwa Abu Turab An-Nakhsyabi melihat kepada seorang shufi yang
memanjangkan tangannya di kulit buah semangka, untuk dimakannya sesudah 3 hari,
lalu Abu Turab mengatakan kepada orang shufi itu: “Tidak pantas bagi engkau
tasawwuf/ahli suffi, yang selalu di pasar”. Artinya: tidak ada tasawwuf/ahli
suffi, selain bersama tawakkal. Dan tidak shah tawakkal, selain bagi orang yang
sabar tanpa makanan, yang lebih banyak dari 3 hari. Abu Ali Ar-Raudzabari
berkata: “Apabila orang fakir itu mengatakan sesudah 5 hari: “Aku lapar”, maka
haruskanlah ia di pasar. Dan suruhlah ia bekerja dan berusaha !”. Jadi,
badannya itu seolah-olah keluarganya. Dan tawakkalnya pada yang mendatangkan
melarat dengan badannya, adalah seperti tawakkalnya tentang keluarganya. Yang
berbeda dengan mereka, hanya pada satu hal. Yaitu: bahwa ia memaksakan dirinya
sabar di atas kelaparan. Dan tidak adalah baginya yang demikian mengenai
keluarganya. Telah tersingkaplah bagi anda, dari ini, bahwa tawakkal tidaklah
terputus dari sebab-sebab. Bahkan berpegang kepada kesabaran atas lapar pada
suatu waktu, rela dengan mati jikalau terlambatnya datang rezeki, yang jarang
terjadi dan selalu berada di negeri dan di kota atau selalu berada di padang
belantara, yang tidak kosong dari rumput kering dan yang sepertinya, maka ini
semua adalah sebab-sebab dapat terus hidup. Akan tetapi mengalami semacam
penderitaan. Karena tidak mungkin berketerusan atas yang demikian, selain
dengan sabar.
Dan tawakkal di kota-kota
itu lebih mendekati kepada sebab-sebab, dibandingkan daripada tawakkal di
padang belantara. Setiap yang demikian itu sebagian dari sebab-sebab. Hanya
manusia itu berpaling kepada sebab-sebab yang lebih terang daripadanya. Lalu
mereka tidak menghitungkan yang demikian itu menjadi sebab. Dan itu adalah
karena lemahnya iman mereka, sangatnya kerakusan mereka dan sedikitnya
kesabaran mereka atas penderitaan di dunia karena akhirat. Dan berkuasanya
ketidak-beranian pada hati mereka, disebabkan buruk sangka dan panjang
angan-angan. Siapa yang memandang kepada alam malakut langit dan bumi, niscaya
tersingkaplah baginya dengan meyakinkan, bahwa Allah Ta’ala mengatur alam
al-mulki dan alam al-malakut (alam yang nyata dan alam goib), dengan pengaturan
yang tidak melampaui akan hamba oleh rezekinya. Walaupun ia meninggalkan
kegoncangan. Bahwa orang yang lemah dari kegoncangan, niscaya ia tidak akan
dilampaui oleh rezekinya.
Apakah tidak anda melihat
janin dalam perut ibunya, tatkala dia itu lemah dari kegoncangan, bagaimana ia
sampai akan pusarnya dengan ibu, sehingga berkesudahan kepadanya sisa-sisa
makanan ibu dengan perantaraan pusar. Dan tidaklah yang demikian itu dengan
upaya janin. Kemudian, tatkala ia berpisah (terlepas) niscaya mengeraslah
kecintaan dan kasih sayang kepada ibu, untuk menanggung janin yang telah
berpisah itu. Ia kehendaki yang demikian atau ia enggan. Secara darurat dari
Allah Ta’ala kepadanya, dengan dinyalakanNya pada hati ibu, api kecintaan.
Kemudian, tatkala anak itu belum mempunyai gigi, yang dikunyahnya dengan gigi
itu akan makanan, maka ia diberikan rezeki dari susu, yang tidak memerlukan
kepada dikunyah. Dan karena lembut sifatnya, maka susu itu tidak membawa
makanan yang tebal. Lalu mengalirlah bagi anak itu susu yang halus pada dua
tetek ibu, ketika ia telah berpisah, menurut hajat keperluannya. Apakah ini
dengan upaya anak kecil itu atau dengan upaya ibu ? Apabila kiranya telah
bersesuaian bagi anak itu makanan yang tebal, niscaya ditumbuhkan baginya gigi
yang dapat memotong-motong makanan dan yang menghancurkan, karena pengunyahan.
Apabila anak itu sudah besar dan dapat berdiri sendiri, niscaya dimudahkan
baginya sebab-sebab bagi belajar dan menempuh jalan akhirat. Maka
ketidak-beraniannya sesudah dewasa itu kebodohan semata-mata. Karena tidak
kuranglah sebab-sebab kehidupannya dengan kedewasaannya, bahkan bertamba.
Jikalau tadinya ia tidak mampu berusaha, maka sekarang ia telah mampu. Dan
semakin bertambah kemampuannya. Benar, adalah yang kasih-sayang kepadanya itu
seorang. Yaitu: ibu atau bapak. Dan kasih-sayangnya itu bersangatan sekali.
Diberinya makan dan minum sehari sekali atau dua kali. Adalah ia memberi makan
itu dengan dikeraskan oleh Allah Ta’ala kecintaan dan kasih-sayang pada
hatinya. Maka seperti demikian pula dikeraskan oleh Allah kasih-sayang,
cinta-kasih, kehalusan hati dan rahmat pada hati kaum muslimin. Bahkan penduduk
negeri seluruhnya. Sehingga setiap orang dari mereka, apabila merasakan dengan
orang yang memerlukan sesuatu, niscaya hatinya turut merasakan dan merasa
kasih-sayang. Dan tergeraklah baginya yang mengajak kepada memenuhi hajat
keperluannya. Lalu tadinya yang kasih-sayang kepadanya seorang, maka sekarang
yang kasih-sayang kepadanya itu lebih ribuan. Dahulu mereka tidak kasih-sayang
kepadanya, karena melihat dia itu dalam tanggungan ibu dan bapak. Dan itu
kasih-sayang khusus. Lalu mereka tidak melihatnya sebagai orang yang memerlukan
kepada pertolongan. Kalau mereka melihatnya yatim, niscaya Allah menguasakan
pengajak rahmat (kasih-sayang) kepada seseorang kaum muslimin. Atau kepada
segolongan. Sehingga mereka mengambil anak yatim itu dan menanggungkannya. Maka
tidaklah terlihat sampai sekarang dalam tahun-tahun kesuburan, seorang anak
yatim yang mati kelaparan, sedang ia lemah dari kegoncangan. Dan tidak ada
baginya penanggung khusus. Allah Ta’ala penanggungnya, dengan perantaraan
kasih-sayang yang diciptakanNya dalam hati hamba-hambaNya. Maka karena apakah,
seyogyanya bahwa hatinya sibuk dengan rezekinya sesudah dewasa dan ia tidak
sibuk pada waktu masih kecil ? dan waktu itu yang kasih-sayang hanya seorang
dan sekarang adalah ribuan ? Benar, adalah kasih-sayang ibu itu lebih kuat dan
lebih berbahagian. Akan tetapi, dia itu seorang. Dan kasih-sayang setiap orang
dari manusia, walaupun lemah, maka keluarlah dari kumpulannya, apa yang
mendatangkan faedah bagi maksud. Berapa banyak anak yatim yang dimudahkan oleh
Allah Ta’ala baginya, akan keadaan, yang jauh lebih baik dari keadaan anak yang
mempunyai ibu dan bapak. Maka tertampallah kelemahan kasih-sayang masing-masing
orang, dengan banyaknya orang yang kasih-sayang, dengan meninggalkan
bersenang-senang dan menyingkatkan kepada sekadar darurat. Dan amat baiklah
yang dilakukan oleh seorang penyair, yang bermadah:
Berjalanlah pena qodo,
dengan apa yang ada.
Maka keduanya sama,
gerak dan diam......
Kegilaan dari kamu,
bahwa berusaha untuk rezeki.
Janin dalam bungkusan kandungannya
ibu,
ia dianugerahkan rezeki.
Kalau anda mengatakan, bahwa manusia
menanggung anak yatim, karena mereka melihatnya lemah, disebabkan masih kecil.
Adapun orang itu sudah dewasa, lagi sanggup berusaha, maka manusia tidak
menoleh kepadanya. Dan mereka mengatakan: “Dia itu seperti kita. Maka hendaklah
ia bersungguh-sungguh bagi dirinya sendiri !”. Aku menjawab, bahwa jikalau
orang yang mampu itu, yang tak ada kerja, maka sesungguhnya mereka itu benar.
Harus ia berusaha. Dan tak ada arti tawakkal terhadap orang tersebut. Bahwa
tawakkal itu suatu tingkat dari tingkat-tingkat agama, yang diminta bantuan
dengan tawakkal itu, untuk menyelesaikan diri bagi Allah Ta’ala. Maka apakah
bagi orang yang tak kerja dan tawakkal ? jikalau ia sibuk dengan ibadah kepada
Allah, selalu di masjid atau di rumah dan ia rajin kepada ilmu dan ibadah, maka
manusia tidak mencacikannya pada meninggalkan berusaha. Dan mereka tidak
memberatkannya yang demikian. Bahkan kesibukkannya dengan mengingati Allah
Ta’ala itu menetapkan kecintaannya pada hati manusia. Sehingga mereka membawa
kepadanya diatas kecukupannya. Hanya, ia tidak menguncikan pintu dan tidak lari
ke gunung dari diantara manusia. Dan tidaklah terlihat sampai sekarang, seorang
alim atau ‘abid, yang menghabiskan waktunya mengingati Allah Ta’ala dan dia itu
berada di kota, lalu mati kelaparan. Tidaklah terlihat sekali-kali yang
demikian. Bahkan, jikalau ia menghendaki memberi makan kepada sekumpulan manusia
dengan ucapannya, niscaya ia sanggup kepada yang demikian. Sesungguhnya orang yang untuk Allah Ta’ala, niscaya adalah
Allah ‘Azza Wa Jalla untuknya. Siapa yang menyibukkan dirinya
mengingati Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya dicurahkan oleh Allah akan kecintaan
kepadanya dalam hati manusia. Diciptakan oleh Allah hati manusia baginya,
sebagaimana diciptakanNya hati ibu bagi anaknya. Allah Ta’ala mengatur alam
al-mulki dan al-malakut (alam
yang nyata dan alam goib), dengan pengaturan yang mencukupi bagi penghuni alam
al-mulki dan al-malakut (alam
yang nyata dan alam goib). Maka siapa yang menyaksikan pengaturan ini, niscaya
kepada Yang Mengatur. Ia menyibukkan diri mengingatiNya dan beriman kepadaNya.
Dan ia memandang kepada Yang Mengatur sebab-sebab. Tidak kepada sebab-sebab.
Ya, apa yang diatur oleh Allah dengan pengaturan, niscaya akan sampai
kemanisan, burung-burung yang gemuk, kain-kain yang halus dan kuda yang cantik
secara terus-menerus sudah pasti kepada orang yang menyibukkan diri mengingati
Allah. Kadang-kadang terjadi yang demikian juga pada sebahagian hal keadaan.
Akan tetapi diaturkanNya, dengan pengaturan yang akan sampai kepada setiap
orang yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Allah Ta’ala pada setiap
minggu, sepotong roti syair atau rumput kering, yang sudah pasti, diperolehnya.
Yang kebanyakan, bahwa sampai lebih banyak dari itu. Bahkan, akan sampai apa
yang melebihi dari sekadar hajat dan yang memadai. Maka tiada sebab untuk
meninggalkan tawakkal, selain karena keinginan diri pada bersenang-senang
secara terus-menerus, memakai kain yang halus dan memakan makanan yang
enak-enak. Dan tidaklah yang demikian itu dari jalan akhirat. Yang demikian,
kadang-kadang tidak akan berhasil dengan tidak kegoncangan. Yaitu pada
kebiasaannya juga tiada akan berhasil serta kegoncangan. Sesungguhnya akan
berhasil secara jarang terjadinya. Dan pada jarang kejadiannya juga,
kadang-kadang akan berhasil dengan tiada kegoncangan. Maka bekas kegoncangan
itu lemah pada orang yang terbuka mata hatinya. Maka karena yang demikian ia
tiada tenang kepada kegoncangannya. Bahkan kepada Yang Mengatur alam al-mulki dan
al-malakut (alam yang
nyata dan alam goib), dengan pengaturan yang tiada akan melampaui seorang
hambapun dari hamba-hambaNya oleh rezeki yang dianugerahiNya. Kecuali yang
jarang sekali terjadi, yang tergambar contohnya pada pihak orang yang
bergoncang keadaannya. Apabila tersingkaplah segala keadaan ini dan pada orang
itu ada kekuatan hati dan keberanian pada diri, niscaya berbuahlah apa yang
dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashari ra,
karena beliau berkata: “Aku ingin bahwa penduduk Basrah itu dalam keluargaku
dan sebiji makanan itu dengan sedinar harganya”.
Wahib bin Al-Ward berkata:
“Jikalau adalah langit itu tembaga dan bumi itu timah dan aku bercita-cita dengan
rezekiku, niscaya aku menyangka, bahwa aku itu musyrik”. Apabila memahami
segala hal-ihwal ini, niscaya anda memahami, bahwa tawakkal itu suatu tingkat
yang dapat dipahami pada tawakkal itu sendiri. Dan mungkin sampai kepadanya,
orang yang memaksakan dirinya. Dan anda ketahui, bahwa orang yang memungkiri
pokok tawakkal dan kemungkinannya, niscaya ia memungkiri itu dari kebodohan.
Maka awaslah daripada anda mengumpulkan diantara dua kejatuhan. Kejatuhan dari
adanya tingkat itu dengan perasaan. Dan kejatuhan dari iman kepadanya dengan
pengetahuan. Jadi, haruslah anda dengan qana’ah dengan yang sedikit saja dan
rela dengan makanan yang ada. Sesungguhnya yang demikian sudah pasti akan
datang kepada anda, walaupun anda lari daripadanya. Pada yang demikian. Allah
akan mengutus kepada anda akan rezeki anda, pada tangan orang yang tiada anda
sangkakan. Jikalau anda menyibukkan diri dengan taqwa dan tawakkal, niscaya
anda akan menyaksikan dengan percobaan, akan kebenaran firmanNya Allah Ta’ala:
“Dan siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah
mengadakan untuk orang itu jalan keluar (dari kesulitan). Dan memberikan rezeki
kepadanya dari (sumber) yang tiada pernah dipikirkannya. Dan siapa
yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya
Allah itu melaksanakan kehendakNya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ukuran
bagi setiap sesuatu”. S 65 Ath Thalaaq ayat 2-3. Hanya Allah Ta’ala tiada
menanggung baginya, bahwa Ia memberikan rezeki kepadanya akan daging burung dan
makanan yang lezat-lezat. Maka Ia tiada menjamin selain rezeki, yang dengan
rezeki itu meneruskan kehidupannya. Dan jaminan ini diberikan bagi setiap orang
yang menyibukkan diri dengan Yang Menjamin dan merasa tenang kepada jaminanNya.
Sesungguhnya orang yang diliputi oleh pengaturan Allah, dari sebab-sebab yang
tersembunyi bagi rezeki itu lebih besar, dari apa yang tampak bagi makhluk.
Bahkan tempat-tempat masukya rezeki itu tidak terhingga. Dan tempat-tempat
mengalirnya tidak diberi petunjuk kepadanya. Yang demikian itu, karena lahirnya
di atas bumi dan sebabnya di langit Allah Ta’ala berfirman: “Dan di langit ada
rezekimu dan (juga) apa yang dijanjikan kepada kamu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat
22. Rahasia langit itu tidak dapat dilihat. Dan karena inilah, suatu rombongan masuk
ke tempat Al-Junaid. Beliau lalu bertanya: “Apa yang kamu cari ?”. Mereka itu
menjawab: “Kami mencari rezeki”. Al-Junaid lalu berkata: “Jikalau kamu tahu,
dimana tempatnya, maka carilah !”. Mereka menjawab: “Kami bermohon kepada
Allah”. Al-Junaid menjawab: “Jikalau kamu tahu, bahwa Allah melupakan kamu,
maka peringatilah Dia !”. Mereka menjawab: “Kami masuk ke rumah dan kami
bertawakkal. Dan kami melihat apa yang akan ada”. Al-Junaid lalu menjawab:
“Tawakkal diatas percobaan itu suatu keraguan”. Mereka lalu bertanya: “Maka apa
daya ?”. Al-Junaid menjawab: “Meninggalkan daya itu”.
Ahmad bin Isa Al-Kharraz
berkata: “Aku berada di suatu desa. Lalu aku diserang oleh kesangatan lapar.
Maka diriku mengeraskan kepadaku bahwa aku meminta makanan pada Allah Ta’ala.
Maka aku katakan, bahwa tidaklah ini termasuk perbuatan orang-orang yang
bertawakkal. Lalu diriku menuntut padaku, bahwa aku meminta pada Allah akan
kesabaran. Maka tatkala aku bercita-cita dengan yang demikian, lalu aku
mendengar yang berteriak kepadaku dan bermadah:
Dia itu mendakwakan,
bahwa dia itu dekat dengan kami.
Dan kami tidak menyia-nyiakan,
siapa yang datang kepada kami.
Ia meminta kepada kami,
dengan kesungguhan kepada
ketidak-cukupan.
Seakan-akan kami tidak melihatnya
dan ia tidak melihat kami.......
Sesungguhnya anda memahami, bahwa
orang yang telah hancur nafsunya, kuat hatinya, tidak lemah batinnya dengan
ketidak beranian dan kuat imannya dengan pengaturan Allah Ta’ala, niscaya ia
berjiwa tenang selama-lamanya dan percaya kepada Allah Ta’ala. Bahwa
hal-keadaannya yang terburuk, ialah bahwa ia mati. Dan tak boleh tidak bahwa
mati itu datang kepadanya, sebagaimana mati itu datang kepada orang yang tiada
berketenangan hati.
Jadi, kesempurnaan
tawakkal itu dengan qana’ah (merasa cukup dengan apa adanya) dari suatu segi
dan dengan ditepati apa yang dijamin dari segi yang lain. Dan Yang Menjamin
rezeki orang-orang yang qana’ah dengan sebab-sebab ini yang diaturNya itu
adalah benar (tidak dusta). Maka bersifat qana’ahlah dan cobalah, niscaya anda
akan menyaksikan benarnya janji dengan meyakinkan, dengan apa yang akan datang
kepada anda, dari rezeki-rezeki yang ajaib, yang tak ada dalam sangkaan anda
dan perhitungan anda ! janganlah anda pada tawakkal anda itu menunggu
sebab-sebab, akan tetapi Yang Menyebabkan sebab-sebab. Sebagaimana anda tidak
menunggu penanya penulis, akan tetapi hatinya penulis. Sesungguhnya hatilah
pokok gerakan pena. Dan Penggerak Pertama itu Esa. Maka tiada seyogyalah bahwa
ada penungguan itu, selain kepadaNya. Dan inilah syaratnya tawakkal orang yang
memasuki padang belantara dengan tanpa perbekalan. Atau ia duduk di kota-kota
dan dia itu tidak dikenal orang.
Adapun orang yang
disebut-sebutkan beribadah dan berilmu, maka apabila ia berqana’ah dalam
sehari-semalam dengan makanan sekali, bagaimana adanya, walaupun tidak termasuk
makanan yang lezat dan kain kasar yang layak bagi ahli agama, maka ini datang
kepadanya, darimana yang ia tidak sangkakan dan ia tidak sangkakan akan
terus-menerus. Bahkan datang kepadanya dengan berlipat-ganda. Maka meninggalkan
tawakkal dan mementingkan dengan rezeki itu adalah penghabisan lemah dan
teledor. Sesungguhnya kemasyhurannya dengan sebab zahiriyah, yang menarik
rezeki kepadanya itu lebih kuat daripada masuk ke kota-kota, terhadap orang yang
tidak terkenal, serta berusaha. Maka mementingkan dengan rezeki itu keji bagi
orang yang beragama. Dan itu dengan alim ulama lebih keji lagi. Karena syarat
bagi mereka itu qana’ah. Dan orang alim yang qana’ah itu datang kepadanya
rezekinya dan rezeki orang banyak, walaupun mereka itu berada bersama dia.
Kecuali, apabila ia menghendaki bahwa ia tidak mengambil dari tangan manusia
dan ia memakan dari usahanya. Maka yang demikian itu cara yang layak dengan
orang alim yang beramal, yang budi pekertinya dengan zahiriyah ilmu dan amal.
Dan tak ada baginya perjalanan dengan batiniyah. Bahwa usaha itu mencegah dari
perjalanan dengan pikiran batiniyah. Maka kesibukannya dengan budi pekerti
batiniyah, serta mengambil dari tangan orang yang mendekatkan diri (bertaqarrub)
kepada Allah Ta’ala, dengan apa yang diberikannya itu adalah lebih utama.
Karena ia menyelesaikan dirinya bagi Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan pertolongan bagi
yang memberi itu kepada memperoleh pahala. Siapa yang memandang kepada
tempat-tempat berlakunya sunnah Allah Ta’ala, niscaya ia tahu, bahwa rezeki
tidaklah kepada sekedar sebab-sebab. Karena itulah, sebahagian
maharaja-maharaja Parsi bertanya kepada seorang ahli hikmat (filosuf) tentang
orang dungu yang memperoleh rezeki dan orang berakal yang tiada memperolehnya.
Lalu filosuf itu menjawab: “Bahwa Pencipta itu berkehendak menunjukkan kepada
DiriNya. Karena jikalau Ia memberikan rezeki kepada setiap orang berakal dan
tidak diberikanNya kepada setiap orang dungu, niscaya akan timbul persangkaan,
bahwa akal itu memberikan rezeki kepada yang empunya akal itu. Maka tatkala
mereka melihat sebaliknya, niscaya mereka mengetahui, bahwa yang memberikan
rezeki itu bukan mereka. Dan tiada mereka percaya dengan sebab-sebab zahiriyah.
Seorang penyair bermadah:
Jikalau adalah rezeki itu,
berlaku di atas akal,
niscaya binasalah binatang ternak,
dari karena kebodohannya.
PENJELASAN: hal-ihwal
orang-orang yang bertawakkal dalam menyangkutnya dengan sebab-sebab, dengan
memberikan contoh.
Ketahuilah, bahwa contohnya makhluk
bersama Allah Ta’ala adalah seperti suatu rombongan dari peminta-minta, yang
berdiri pada suatu lapangan di pintu istana raja. Mereka itu memerlukan kepada
makanan. Lalu raja mengeluarkan kepada mereka, budak-budak yang banyak dan
bersama mereka roti-roti dari gandum. Raja itu menyuruh mereka untuk memberikan
kepada sebahagian orang peminta-minta tersebut, masing-masing dua potong roti.
Dan sebahagian lagi sepotong. Mereka berusaha dengan sungguh-sungguh, supaya
tidak ada seorangpun dilupakan mereka. Raja memerintahkan kepada seorang
penyeru, supaya menyerukan kepada mereka: “Tenanglah kamu semua ! tidak
bergantung pada budak-budakku, apabila mereka keluar kepada kamu. Akan tetapi,
seyogyalah masing-masing dari kamu tetap pada tempatnya. Bahwa budak-budak itu
orang yang disuruh. Mereka diperintahkan, bahwa menyampaikan kepada kamu akan
makanan kamu. Maka siapa yang bergantung pada budak-budak dan menyakiti mereka
serta mengambil dua potong roti, maka apabila dibukakan pintu lapangan dan
orang itu keluar, niscaya aku ikutkan dia dengan seorang budak, yang diwakilkan
kepadanya, sampai aku datang menyiksakannya pada janjian waktu yang diketahui
pada sisiku. Akan tetapi, aku menyembunyikannya. Siapa yang tiada menyakiti
budak-budak dan merasa cukup dengan sepotong roti saja, yang datang kepadanya
dari tangan budak dan dia itu tenang-tenang saja, maka sesungguhnya aku
mengkhususkan kepadanya dengan kain pemberian yang cantik pada waktu yang
dijanjikan tersebut, bagi siksaan orang lain. Dan siapa yang tetap pada tempatnya,
akan tetapi ia mengambil dua potong roti, maka tiada siksaan baginya dan tiada
diberikan pemberian. Dan siapa yang disalahkan oleh budak-budakku, maka mereka
tiada menyampaikan kepadanya akan sesuatu. Lalu ia tidur semalam-malaman dengan
keadaan lapar, yang tiada marah kepada budak-budak dan tiada mengatakan:
“Kiranya budak itu menyampaikan kepadaku sepotong roti”. Sesungguhnya aku besok
akan mengambil orang tersebut menjadi wazir (menteri) dan aku serahkan
kerajaanku kepadanya”. Maka peminta-minta itu terbagi kepada 4 bahagian:
Sebahagian: telah mengerasi mereka oleh keinginan perutnya. Lalu mereka
tiada menoleh lagi kepada siksaan yang dijanjikan. Dan mereka mengatakan: “Dari
hari ini sampai besok ada kelapangan. Dan kami sekarang lapar”. Lalu mereka
bersegera datang kepada budak-budak, maka mereka menyakiti budak-budak itu. Dan
mengambil dua potong roti. Maka mendahuluilah siksaan kepada mereka pada waktu
yang dijanjikan tersebut. Mereka itu menyesal dan tiada bermanfaat penyesalan
itu kepada mereka.
Sebahagian: mereka itu meninggalkan bergantung dengan budak-budak,
karena takut kepada siksaan. Akan tetapi, mereka mengambil dua potong roti
karena bersangatan lapar. Maka mereka itu selamat dari siksaan dan tiada
memperoleh kemenangan dengan pemberian yang berharga.
Sebahagian: mereka itu mengatakan: “Bahwa kami duduk dengan
dilihat oleh budak-budak. Sehingga budak-budak itu tidak akan menyalahkan kami.
Akan tetapi, kami mengambil, apabila mereka memberikan kepada kami sepotong
roti. Dan kami cukupkan dengan sepotong roti itu. Mudah-mudahan kami memperoleh
kemenangan dengan pemberian yang berharga”. Maka merekapun memperoleh
kemenangan dengan pemberian yang berharga itu.
Dan bahagian yang keempat: mereka itu berselisih mengenai
sudut-sudut lapangan. Mereka berpaling dari penglihatan mata budak-budak itu.
Mereka mengatakan: “Jikalau budak-budak itu mengikuti kami dan memberikan
kepada kami, niscaya kami merasa cukup dengan sepotong roti saja. Dan kalau
mereka menyalahkan kami, niscaya kami merasa pedih oleh kesangatan lapar
semalam-malaman. Mudah-mudahan kami kuat untuk meninggalkan kemarahan. Lalu
kami memperoleh pangkat kementrian dan derajat kedekatan di sisi raja”. Maka
tiadalah bermanfaat yang demikian kepada mereka. Karena mereka diikuti oleh budak-budak
itu pada setiap sudut. Dan mereka membiarkan kepada setiap seorang sepotong
roti. Telah berlaku yang demikian selama beberapa hari. Sehingga secara
kebetulan yang jarang terjadi, bahwa tersembunyilah 3 orang pada suatu sudut.
Tidak terlihat kepada mereka pandangan mata budak-budak itu. Dan budak-budak
itu disibukkan oleh kesibukan yang memalingkan daripada lamanya pemeriksaan.
Lalu mereka itu bermalam dalam keadaan sangat lapar. Berkata dua orang dari
mereka yang bertiga itu: “Kiranya kita datang kepada budak-budak itu dan kita
ambil makanan kita. Kita tidak sanggup bersabar lagi”. Orang yang ke3 itu diam
saja sampai pagi. Maka orang itu memperoleh derajat kedekatan dan kementrian.
Ini adalah contoh makhluk.
Lapangan itu, ialah hidup
di dunia. Dan pintu lapangan itu, ialah: mati. Waktu yang dijanjikan yang belum
diketahui, ialah: hari kiamat. Janji dengan kementrian, ialah: janji dengan
mati syahid bagi orang yang bertawakkal, apabila ia mati dalam keadaan lapar,
yang rela, tanpa dikemudiankan yang demikian kepada waktu janjian kiamat.
Karena orang-orang syahid itu hidup pada sisi Tuhannya, yang memperoleh rezeki.
Dan yang bergantung pada budak-budak, ialah: orang yang berbuat aniaya pada
sebab-sebab. Budak-budak yang diperintahkan itu, mereka itu sebab-sebab. Yang
duduk di lapangan yang jelas dengan dilihat oleh budak-budak, ialah:
orang-orang yang bertempat tinggal di kota-kota dalam langgar-langgar dan
masjid-masjid, dalam keadaan tenang. Dan yang bersembunyi dalam sudut-sudut,
ialah mereka yang mengembara dalam padang belantara, dalam keadaan tawakkal.
Sebab-sebab itu mengikuti mereka. Dan rezeki datang kepada mereka, kecuali diatas
jalan jarang, yang tidak datang. Kalau mati seseorang dari mereka, dalam
keadaan lapar dan rela, maka baginya menjadi mati syahid & dekat kepada
Allah Ta’ala.
Terbagilah makhluk kepada
4 bahagian ini. Mungkin dari setiap 100, maka yang bersangkutan dengan
sebab-sebab itu 90. Dan bertempat tinggal 7 dari 10 yang tinggal di kota-kota,
yang menoleh kepada sebab, dengan semata-mata kehadiran dan kemasyhuran mereka.
Dan mengembaralah dalam padang belantara yang 3 lagi. Dua orang dari mereka
yang 3 ini marah dan yang seorang lagi memperoleh kemenangan dengan kedekatan.
Semoga adalah seperti yang demikian itu pada masa-masa yang lampau. Adapun
sekarang, maka yang meninggalkan sebab-sebab itu, tiada sampai kepada seorang
dari 10 ribu.
Bahagian Kedua: tentang pembentangan sebab-sebab penyimpanan.
Siapa yang berhasil memperoleh harta
dengan pusaka atau dengan usaha atau meminta-minta atau salah satu dari
sebab-sebab, maka baginya dalam penyimpanan itu ada 3 hal:
Pertama: bahwa ia
mengambil sekadar keperluannya pada waktunya. Lalu ia makan jikalau ia lapar.
Ia memakai jikalau ia tiada berpakaian. Membeli sebuah tempat tinggal yang
singkat ukurannya, jikalau ia memerlukannya. Dan dibagi-bagikannya sisanya pada
waktu itu juga. Tidak diambilnya dan tidak disimpankan nya, selain sekadar,
yang diperolehnya dengan kadar itu, orang yang berhak dan memerlukan kepadanya.
Maka disimpankannya di atas niat ini. Inilah yang menyempurnakan dengan yang
diharuskan oleh tawakkal dengan yang meyakinkan. Dan itulah derajat tertinggi.
Hal kedua: yang bertentangan dengan itu, yang mengeluarkan dari
batas-batas tawakkal, bahwa ia menyimpan untuk setahun dan diatas dari setahun.
Maka orang ini tidaklah sekali-kali termasuk orang yang bertawakkal. Ada yang
mengatakan: bahwa tidak ada dari hewan yang menyimpan, selain 3 macam hewan,
yaitu: tikus, semut dan anak Adam (manusia)”.
Hal ketiga: bahwa ia menyimpan untuk 40 hari dan lebih dari 40 hari. Ini adakah harus
diharamkan dari kedudukan yang terpuji, yang dijanjikan di akhirat bagi
orang-orang yang bertawakkal ? berselisih pendapat para ulama padanya.
Sahl At-Tusturi
berpendapat, bahwa yang demikian itu keluar dari batas tawakkal. Ibrahim
Al-Khawwash berpendapat, bahwa itu tidak keluar dengan 40 hari. Dan keluar
dengan yang lebih di atas 40 hari. Abu Thalib Al-Makki mengatakan, bahwa tidak
keluar dari batas tawakkal, dengan lebih di atas 40 hari juga. Ini adalah
perselisihan pendapat yang tiada mempunyai makna, sesudah pembolehan asalnya
penyimpanan. Ya, boleh disangkakan oleh yang menyangka, bahwa asalnya
penyimpanan itu berlawanan dengan tawakkal.
Adapun taqdir sesudah yang
demikian, maka tiada yang memberitahukan kepadanya. Dan setiap pahala itu dijanjikan
di atas suatu tingkat. Pahala itu dibagikan di atas tingkat tersebut. Dan
tingkat itu mempunyai permulaan dan penghabisan. Orang-orang yang mempunyai
penghabisan itu dinamakan: orang-orang dahulu (as-sabiqin). Dan orang-orang
yang mempunyai permulaan, dinamakan: orang-orang yang di pihak kanan
(ash-habul-yamin). Kemudian, ash-habul yamin itu juga di atas beberapa tingkat.
Demikian juga orang-orang dahulu. Yang tertinggi derajat bagi orang-orang di
pihak kanan itu berdempet dengan derajat yang terbawah dari orang-orang dahulu.
Maka tiada arti bagi taqdir pada contoh yang seperti ini. Bahkan yang tahkik
(yang meyakinkan), bahwa tawakkal dengan meninggalkan menyimpan itu, tiada akan
sempurna, selain dengan pendek angan-angan. Adapun tidak ada angan-angan bagi
keterusan hidup, maka jauhlah mensyaratkannya, walaupun dalam jiwa. Bahwa yang
demikian itu seperti orang yang mencegah akan wujudnya.
Adapun manusia, maka
berlebih-kurang mengenai panjang dan pendeknya angan-angan. Sedikitnya derajat
angan-angan itu sehari-semalam dan yang kurang dari itu dengan beberapa jam.
Dan sejauh-jauhnya angan-angan itu, ialah: apa yang tergambar bahwa adalah itu
umur manusia. Diantara dua yang tadi, tingkat-tingkat yang tiada terhinggakan.
Maka siapa yang tidak berangan-angan lebih banyak dari sebulan, adalah lebih
dekat kepada yang dimaksudkan, daripada orang yang berangan-angan setahun.
Pengikatannya dengan 40 hari karena janjian waktu Musa as itu jauh. Bahwa
kejadian itu tidaklah dimaksudkan penjelasan kadar apa yang dibolehkan
angan-angan padanya. Akan tetapi, berhaknya Musa as untuk memperoleh yang
dijanjikan, adalah tidak akan sempurna, selain sesudah 40 hari. Karena rahasia
yang berlaku Sunnah Allah Ta’ala dengan Musa dan orang-orang yang seperti dia,
pada berlakunya hal-keadaan dengan berangsur-angsur. Sebagaimana sabdanya Nabi
saw: “Bahwa Allah menaruh ragi tanah lumpur Adam dengan TanganNya 40 pagi”.
Karena berhaknya tanah lumpur itu menjadi ragi, adalah terletak kepada waktu,
yang jumlahnya apa yang disebutkan itu. Jadi, apa yang dibalik Sunnah, tidaklah
disimpankan, selain dengan ketetapan kelemahan hati dan kecenderungan kepada
sebab-sebab zahiriyah. Maka itu keluar dari maqam tawakkal, tiada percaya
dengan lingkupan pengaturan dari Al-Wakilul-Haqq (Yang Diperserahi Yang Benar),
dengan sebab-sebab yang tersembunyi. Bahwa sebab-sebab masuk pada ketinggian
dan kebersihan itu berulang-ulang biasanya dengan berulang-ulangnya tahun.
Siapa yang menyimpan untuk kurang dari setahun, maka baginya derajat menurut
pendek angan-angannya. Siapa yang angan-angannya 2 bulan, niscaya tidaklah
derajatnya seperti derajat orang yang berangan-angan sebulan. Dan tidak sama
dengan derajat orang yang berangan-angan 3 bulan. Akan tetapi, dia itu diantara
yang dua itu pada derajat. Tiada yang mencegah dari menyimpan, selain oleh
pendeknya angan-angan. Maka yang lebih utama, ialah bahwa tiada menyimpan
sekali-kali. Walaupun hatinya lemah. Setiap kali menyelediki penyimpanannya,
niscaya adalah kelebihannya lebih banyak.
Diriwayatkan, tentang orang
miskin, yang diperintahkan oleh Nabi saw kepada Ali ra dan Usamah, supaya
memandikan mayat orang miskin itu. Lalu Ali ra dan Usamah memandikan dan
mengkafankannya dengan kain selimutnya. Maka sesudah Nabi saw menguburkannya,
lalu beliau bersabda kepada para sahabatnya: “Sesungguhnya dia akan
dibangkitkan pada hari kiamat dan wajahnya seperti bulan pada malam purnama.
Dan jikalau tidak adalah suatu perkara yang ada padanya, niscaya ia
dibangkitkan dan wajahnya seperti matahari waktu dluha”. Kami lalu bertanya:
“Apakah yang satu perkara itu, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Adalah
orang miskin itu banyak berpuasa, mengerjakan shalat, banyak berdzikir kepada
Allah Ta’ala. Hanya, ia apabila datang musim dingin, niscaya disimpannya
pakaian musim panas untuk musim panasnya. Dan apabila datang musim panas, ia
menyimpan pakaian musim dingin untuk musim dinginnya”. Kemudian, Nabi saw
menyambung: “Akan tetapi, yang paling sedikit diberikan kepada kamu, ialah:
keyakinan dan kemauan bersabar......sampai akhir hadits”. Tidaklah gelas dan
kain alas makanan serta apa yang selalu diperlukan itu dalam arti yang
demikian. Maka menyimpankannya tidaklah mengurangkan derajat tawakkal. Adapun
kain musim dingin, maka tidak diperlukan pada musim panas. Ini terhadap orang yang
tiada terkejut hatinya dengan meninggalkan penyimpanan. Dan tidak menegakkan
kemuliaan dirinya kepada tangan (bantuan) makhluk. Akan tetapi, hatinya tidak
menoleh, selain kepada Al-Wakilul-Haqq (Allah, Yang Diperserahi segala urusan,
Yang Benar). Kalau ia merasa pada dirinya kegoncangan, yang membimbangkan
hatinya dari ibadah, dzikir dan fikir, maka baginya menyimpan itu lebih utama.
Bahkan, jikalau ia menahan sawah ladangnya, yang hasilnya cukup sekedar yang
memadai baginya dan hatinya tidak mantap, selain dengan yang demikian, maka
yang demikian itu adalah lebih utama baginya. Karena yang dimaksud ialah
perbaikan hati, supaya menjurus untuk berdzikir (mengingati) Allah.
Banyak orang yang
disibukkan oleh adanya harta. Banyak orang yang disibukkan oleh tidak adanya
harta. Dan yang harus ditakuti, ialah apa yang mengganggu dari ingatan kepada
Allah ‘Azza Wa Jalla. Jikalau tidak, maka dunia itu pada diri dunia itu sendiri
tidaklah ditakuti. Tidak pada adanya dan tidak pada tidaknya. Karena itulah,
Rasulullah saw diutuskan kepada bermacam-macam manusia. Dalam golongan manusia
itu, kaum saudagar, orang-orang yang berperusahaan, ahli perusahaan dan
pabrik-pabrik. Maka saudagar itu tidak disuruh untuk meninggalkan
perniagaannya. Dan tidak disuruh orang yang mempunyai perusahaan untuk
meninggalkan perusahaannya. Dan tidak disuruh orang yang meninggalkan yang dua
itu untuk mengerjakannya. Akan tetapi, setiap orang itu diajak oleh Nabi saw
kepada Allah Ta’ala. Diberinya petunjuk, bahwa kemenangan dan kelepasan mereka
itu, pada mengalihkan hati mereka dari dunia, kepada Allah Ta’ala. Tonggak
kesibukan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla itu hati. Maka betulnya orang yang lemah,
ialah menyimpan sekedar keperluannya, sebagaimana betulnya orang yang kuat,
ialah meninggalkan menyimpan. Ini semuanya, hukum mengenai orang yang
sendirian. Adapun orang yang berkeluarga, maka ia tidak keluar dari batas
tawakkal, dengan menyimpan makanan setahun untuk keluarganya. Karena
menampalkan kelemahan dan menentramkan hati mereka. Menyimpan lebih banyak dari
yang demikian itu membatalkan tawakkal. Karena sebab-sebab itu berulang-ulang
ketika berulang-ulangnya tahun-tahun. Maka menyimpan yang melebihi dari yang
demikian itu, sebabnya ialah kelemahan hatinya. Dan yang demikian itu
berlawanan dengan kuatnya tawakkal. Maka orang yang bertawakkal itu ibarat dari
orang yang berkeesaan, yang kuat hati, yang tentram jiwa kepada kurnia Allah
Ta’ala, yang percaya dengan pengaturanNya. Tidak dengan adanya sebab-sebab
zahiriyah. Rasulullah saw menyimpan untuk keluarganya
makanan setahun. Beliau saw melarang Ummu Aiman dan lainnya, bahwa
menyimpan sesuatu bagi beliau untuk besok. Beliau melarang Bilal daripada
menyimpan sepotong roti yang disimpannya untuk berbuka puasa. Beliau saw
bersabda: “Berilah belanja kepada Bilal ! janganlah engkau takut dari Tuhan yang
punya ‘Arasy itu kesedikitan!”. Nabi saw bersabda: “Apabila orang meminta pada
engkau, maka jangan engkau larang (tidak memberi). Dan apabila engkau diberikan
orang, maka jangan engkau sembunyikan”. Karena mengikuti jejak Penghulu
orang-orang yang bertawakkal saw. Adalah pendeknya angan-angan Nabi saw, dimana
beliau apabila membuang air kecil, lalu bertayammum, serta dekatnya air. Dan
beliau bersabda: “Aku tidak tahu, mungkin aku tidak sampai kepadanya”.
Adalah Nabi saw jikalau
menyimpan, niscaya tidak mengurangkan yang demikian itu dari ketawakkalannya.
Karena ia tidak percaya dengan apa yang disimpannya. Akan tetapi, Nabi saw
meninggalkan yang demikian, karena mengajari orang-orang yang kuat dari ummatnya.
Bahwa orang-orang yang kuat dari umatnya itu orang-orang yang lemah, dengan
dibandingkan kepada kekuatannya. Nabi saw menyimpan untuk keluarganya setahun.
Tidak karena kelemahan hatinya padanya dan pada keluarganya. Akan tetapi,
supaya menjadi sunnah yang demikian bagi orang-orang yang lemah dari umatnya.
Bahkan, ia saw menerangkan, bahwa Allah Ta’ala menyukai bahwa diberikan
keringan-keringananNya, sebagaimana Ia menyukai bahwa diberikan cita-cita yang
tetap daripadaNya, untuk membaikkan hati orang-orang yang lemah. Sehingga tiada
berkesudahan kelemahan mereka itu kepada putus asa dan putus harapan. Lalu
mereka meninggalkan yang mudah dari kebajikan kepada mereka, disebabkan
kelemahan mereka dari derajat yang penghabisan.
Rasulullah saw tidak
diutus, selain rahmat bagi semesta alam seluruhnya, di atas bermacam-macam
jenis dan derajat mereka. Apabila anda telah memahami ini, niscaya anda
ketahui, bahwa menyimpan itu kadang-kadang mendatangkan melarat bagi setengah
manusia. Dan kadang-kadang tidak mendatangkan melarat. Berdalilkan kepada yang
demikian, apa yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Al-Bahili: “Bahwa sebahagian
sahabat Nabi saw yang tinggal di Shuffah (tempat penerimaan tamu-tamu Nabi
saw), wafat. Maka tidak diperoleh kafan untuk orang yang wafat itu. Maka Nabi
saw bersabda: “Periksalah kainnya !”. Maka mereka mendapati dalam kainnya uang
2 dinar, dalam kain sarungnya. Lalu Nabi saw bersabda: “2 tempat kebakaran pada
kulit”. Ada orang muslim yang lain meninggal dan meninggalkan harta. Dan Nabi
saw tidak mengatakan yang demikian terhadap orang itu. Ini mungkin dari dua
segi. Karena keadaan orang itu mungkin dari dua keadaan:
Yang pertama: bahwa Nabi saw menghendaki dua
tempat kebakaran itu dari api neraka, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah
Ta’ala: “Lalu dibakar dengan itu dahi, rusuk dan punggung mereka”. S 9 At
Taubah ayat 35. Yang demikian, apabila adalah keadaannya melahirkan zuhud,
fakir dan tawakkal, serta kejatuhan (bangkrut) daripadanya. Maka itu semacam
penipuan.
Yang kedua: bahwa tidak ada yang demikian dari
penipuan. Maka adalah maknanya kekurangan dari derajat kesempurnaannya.
Sebagaimana berkurang dari kesempurnaan muka, oleh bekas dua tempat kebakaran
pada muka. Yang demikian itu tidaklah dari penipuan. Bahwa setiap apa yang
ditinggalkan oleh seseorang, maka itu adalah kekurangan dari derajatnya di
akhirat. Karena tidaklah didatangkan oleh seseorang dari dunia akan sesuatu,
melainkan berkurang sekadar yang demikian dari akhirat.
Adapun penjelasan bahwa
menyimpan serta kosongnya hati dari yang disimpan, tidaklah dari daruratnya itu
batalnya tawakkal. Maka diakui bagi yang demikian, oleh apa yang dirawikan dari
Bisyr bin Al-Harts. Al-Husain Al-Mughazili dari sahabat-sahabatnya berkata:
“Adalah aku di sisi Bisyr pada waktu dluha suatu hari. Lalu masuk ke tempatnya,
seorang laki-laki kurus, kuning, yang ringan gerak-geriknya. Maka Bisyr bangun
berdiri menyambut orang itu”. Al-Husain menyambung riwayatnya: “Aku tidak
melihatnya bangun berdiri menyambut kedatangan seseorang, selain orang
tersebut”. Al-Husain meneruskan ceritanya: “Bisyr lalu menyerahkan kepadaku,
segenggam uang dirham, seraya berkata: “Belilah untuk kita yang terbaik dari
apa yang engkau sanggupi, dari makanan yang baik !”. Tidaklah pernah
sekali-kali, ia mengatakan kepadaku seperti yang demikian”. Al-Husain
meneruskan ceritanya: “Maka aku bawa makanan itu. Lalu aku letakkan. Maka ia
makan bersama orang itu. Aku tidak melihatnya makan bersama orang lain”.
Al-Husain meneruskan ceritanya: “Maka kami makan menurut hajat kami. Dan masih
tinggal banyak dari makanan itu. Lalu diambil oleh laki-laki itu dan
dikumpulkannya dalam kainnya dan dibawanya serta. Dan ia pergi. Aku merasa
heran dari yang demikian. Dan aku tidak senang akan sikap orang itu”. Bisyr
lalu mengatakan kepadaku: “Mungkin engkau tidak senang akan perbuatan orang itu
?”. Aku menjawab: “Ya ! ia mengambil sisa makanan, tanpa izin”. Bisyr lalu
berkata: “Orang itu adalah saudara kami Fathul-Maushuli. Ia berziarah kepada
kami pada hari ini dari Maushul. Sesungguhnya ia bermaksud mengajarkan kita,
bahwa tawakkal apabila telah sah, niscaya tidak melarat serta tawakkal itu
menyimpan”.
Bahagian ketiga: pada menangani sebab-sebab yang menolak melarat,
yang mendatangkan takut.
Ketahuilah, bahwa kemelaratan itu
kadang-kadang datang, karena takut pada diri atau harta. Dan tidaklah dari
persyaratan tawakkal itu meninggalkan sebab-sebab, yang langsung mendorong
kepada kemelaratan. Adapun pada diri, maka seperti tidur pada tanah yang
berbinatang buas atau pada tempat mengalir banjir dari suatu lembah atau di
bawah dinding tembok yang miring dan atap yang sudah pecah. Semua itu dilarang.
Yang berbuat demikian, sesungguhnya telah mendatangkan dirinya kepada
kebinasaan, tanpa faedah. Ya, sebab-sebab ini terbagi kepada: yang diyakini dan
disangkakan dan kepada yang didugakan. Maka meninggalkan yang didugakan itu
termasuk syarat tawakkal. Yaitu, yang hubungannya kepada menolak kemelaratan
itu hubungan tenung dan jampi. Bahwa tenung dan jampi itu kadang-kadang
didatangkan kepada yang ditakuti, untuk menolak apa yang mungkin akan terjadi.
Kadang-kadang dipakai sesudah penempatan yang ditakuti, untuk dihilangkan.
Rasulullah saw tidak menyifatkan orang-orang yang bertawakkal, selain dengan
meninggalkan tenung, jampi dan menengok untung. Dan beliau tidak menyifatkan
orang-orang yang bertawakkal itu, bahwa apabila mereka itu keluar ke tempat
yang dingin, tidak memakai baju jubbah. Baju jubbah itu dipakai untuk menolak
dingin yang mungkin akan terjadi. Seperti demikian juga, setiap apa dari
sebab-sebab yang searti dengan baju jubbah itu. Ya, berterang-terangan memakai
bawang putih umpamanya ketika keluar untuk bepergian jauh pada musim dingin,
untuk menggerakkan kekuatan panas dari dalam, kadang-kadang adalah dari segi
berdalam-dalam pada sebab-sebab dan berpegang kepadanya. Maka hampirlah
mendekati dengan tenung. Lain halnya dengan baju jubbah. Untuk meninggalkan
sebab-sebab yang mendorong, walaupun dia itu diyakini, mempunyai cara, apabila
mendatangkan melarat dari manusia. Bahwa apabila memungkinkannya bersabar dan
memungkinkannya menolak dan mencari kesembuhan, maka persyaratan tawakkal itu
menanggung dan sabar. Allah Ta’ala berfirman: ‘Sebab itu, ambillah Dia menjadi
Pelindung ! dan hendaklah engkau berteguh hati (sabar) terhadap perkataan yang
mereka ucapkan itu !”. S 73 Al Muzzammil ayat 9-10. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya kami akan bersabar terhadap perbuatan kamu yang menyakitkan
kami dan kepada Allah hendaknya bertawakkal orang-orang yang bertawakkal”. S 14
Ibrahim ayat 12. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan janganlah perdulikan
perkataan mereka yang menyakitkan hati dan bertawakkallah kepada Allah !”. S 33
Al Ahzab ayat 48. Allah swt berfirman: “Maka bersabarlah, sebagaimana
bersabarnya rasul-rasul yang berkemauan kuat !”. S 46 Al Ahqaaf ayat 35. Allah
Ta’ala berfirman: “Pembalasan yang paling baik untuk orang-orang yang bekerja,
yaitu: orang-orang yang sabar dan bertawakkal kepada Tuhannya”. S 29 Al
‘Ankabuut ayat 58-59. Ini mengenai yang disakitkan oleh perkataan manusia !
Adapun sabar atas yang disakitkan oleh ular, binatang-binatang buas dan
kala-kalajengking, maka meninggalkan menolaknya tidaklah termasuk tawakkal dalam
suatupun. Karena tak ada faedah padanya. Dan tidaklah dimaksudkan usaha dan
tidaklah ditinggalkan usaha, karena usaha itu sendiri (usaha an zich), akan
tetapi karena pertolongannya kepada agama. Dan menertibkan sebab-sebab disini,
adalah seperti menertibkannya pada usaha dan menarikkan manfaat. Maka tidaklah
kami panjangkan mengulanginya lagi. Seperti demikian juga, mengenai sebab-sebab
yang menolak dari harta. Maka tidaklah berkurangnya tawakkal dengan menguncikan
pintu rumah, ketika keluar. Dan tidak dengan menambahkan unta. Karena ini
adalah sebab-sebab yang dikenal dengan sunnah Allah Ta’ala. Adakalanya dengan:
yakin. Dan adakalanya dengan: berat dugaan. Karena itulah, Nabi saw bersabda
kepada seorang Arab desa, tatkala orang itu menyia-nyiakan untanya dan
mengatakan: “Aku bertawakkal kepada Allah”, dengan sabdanya: “Tambatkanlah/ikatkanlah
dia dan bertawakkallah !”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan persiapkanlah
penjagaanmu !”. S 4 An Nisaa’ ayat 102. Allah Ta’ala berfirman tentang cara
shalat dalam ketakutan (shalatul-khauf): “Dan hendaklah mereka memegang senjata
mereka !”. S 4 An Nisaa’ ayat 102. Allah swt berfirman: “Dan siapkanlah
kekuatan untuk menghadapi mereka sekuat kesanggupanmu dan dari pasukan kuda
yang terpaut di perbatasan negeri !”. S 8 Al Anfaal ayat 60. Allah Ta’ala
berfirman kepada Musa as: “Maka (datanglah jawaban): Berjalanlah engkau
bersama-sama dengan hamba-hambaKu pada malam hari !”. S 44 Ad Dukhaan ayat 23.
Membentengi diri dengan malam hari itu bersembunyi dari mata musuh dan semacam
penyebaban. Bersembunyinya Rasulullah saw dalam gua itu bersembunyi dari mata
musuh, karena menolak dari kemelaratan. Memegang senjata dalam shalat itu
tidaklah penolakan dengan meyakinkan, seperti membunuh ular dan kalajengking.
Maka ini adalah penolakan yang meyakinkan. Akan tetapi, memegang senjata itu
sebab yang disangka. Dan telah kami terangkan, bahwa sebab yang disangka itu
seperti sebab yang diyakini. Dan yang didugakan, ialah yang dikehendaki oleh
tawakkal untuk meninggalkannya. Kalau anda mengatakan, bahwa diceritakan dari
suatu golongan, bahwa diantara mereka ada orang yang diletakkan oleh singa kaki
depannya atas bahu orang itu. Dan orang itu tidak bergerak, maka aku menjawab,
bahwa diceritakan dari suatu golongan, bahwa mereka mengendarai singa dan
memerintahkannya. Maka tiada seyogyalah bahwa anda tertipu oleh tingkat yang
demikian. Sesungguhnya, meskipun benar tentang cerita itu sendiri, maka tidak
patut untuk diikuti dengan jalan belajar dari orang lain. Akan tetapi, yang
demikian itu tingkat tertinggi tentang kemuliaan (al-kiramah). Dan tidaklah
yang demikian itu syarat pada tawakkal. Padanya banyak rahasia yang tidak
diketahui oleh orang yang belum sampai kepadanya.
Kalau anda bertanya:
“Adakah tanda yang dapat aku ketahui, bahwa aku telah sampai kepadanya ?”. Aku
menjawab, bahwa orang yang sampai itu tidak memerlukan kepada mencari
tanda-tanda. Akan tetapi, sebahagian dari tanda-tanda yang mendahului atas
tingkat itu, ialah, bahwa dipermudahkan bagi engkau, akan anjing yang ada
bersama engkau, dalam kulit engkau, yang dinamakan: marah. Maka senantiasalah
ia menggigit engkau dan menggigit orang lain dari engkau. Kalau dimudahkan bagi
engkau akan anjing ini, dimana apabila ia dibangunkan dan disuruh menerkam,
niscaya ia tidak menerkam, selain dengan isyarat dari engkau. Adalah dia
dijadikan bagi engkau. Maka kadang-kadang meningkat derajat engkau, kepada
dimudahkan bagi engkau akan singa, yang mana singa itu: raja segala binatang
buas. Anjing rumah engkau itu lebih utama, bahwa dia itu dimudahkan bagi
engkau, dari anjing padang belantara. Anjing dalam kulit engkau itu lebih utama
bahwa dipermudahkan bagi engkau, dari anjing rumah engkau. Apabila tidak
dipermudahkan bagi engkau akan anjing batin,
maka janganlah engkau mengharap pada dimudahkan akan anjing zahir. Kalau anda
bertanya: “Maka apabila orang yang bertawakkal itu memegang senjatanya, karena
mempersiapkan diri dari musuh, ia menguncikan pintu rumahnya, karena menjaga
dari pencuri dan menambatkan untanya, karena menjaga dari terlepas, maka dengan
pertimbangan apakah, dia itu menjadi orang yang bertawakkal ?”. Maka aku
menjawab, bahwa dia itu orang yang bertawakkal, dengan ilmu dan hal keadaan.
Adapun ilmu, maka dia itu mengetahui, bahwa pencuri, jikalau dia itu tertolak,
niscaya tidaklah tertolak dengan kecukupannya pada menguncikan pintu. Akan
tetapi, tidaklah pencuri itu tertolak, selain dengan penolakan Allah Ta’ala
akan pencuri itu. Berapa banyak pintu yang terkunci dan tidak bermanfaat
pengunciannya itu. Berapa banyak unta yang ditambatkan dan unta itu mati atau
terlepas. Berapa banyak orang yang memegang senjata, yang terbunuh atau kalah.
Maka janganlah engkau berpegang sekali-kali kepada sebab-sebab ini, akan tetapi
kepada Yang Menyebabkan sebab-sebab.
Sebagaimana kami telah
membuatkan contoh tentang wakil pada permusuhan. Maka jikalau wakil itu datang
dan mendatangkan kertas yang bermaterai, maka tidaklah diperpegangi atas
dirinya dan kertas bermaterainya, akan tetapi kepada kecukupan dan kekuatan
wakil itu. Adapun hal keadaan, maka yaitu: adalah ia rela dengan apa yang
menjadi qodo (hukum takdir) Allah Ta’ala pada rumahnya dan pada dirinya. Dan ia
berdoa: “Ya Allah, Tuhanku ! jikalau Engkau kuasakan atas apa yang dalam rumah,
kepada orang yang akan mengambilnya, maka itu adalah pada jalan Engkau. Dan aku
rela dengan hukum Engkau. Sesungguhnya aku tidak tahu, bahwa apa yang Engkau
berikan kepadaku, adalah suatu pemberian (hibah), maka tidaklah Engkau ambil
kembali. Atau pinjaman dan simpanan, maka tidak Engkau minta kembali. Aku tidak
tahu, bahwa itu rezekiku atau telah mendahului kehendakMu pada azali ( tida
kesudahan / permulaan ), bahwa itu rezeki orang lain dari aku. Dan bagaimanapun
Engkau tetapkan (qodo), maka aku rela dengan qodo/ketetapan itu. Tidaklah aku
menguncikan pintu, karena membentengi dari qodo/ketetapan Engkau dan
memarahinya. Akan tetapi, karena melakukan atas yang dikehendaki oleh Sunnah
Engkau, pada menertibkan sebab-sebab. Maka tiada kepercayaan, selain kepada
Engkau, wahai Yang Menyebabkan sebab-sebab !”. Apabila ini hal keadaannya dan
demikian yang kami sebutkan ilmunya, niscaya tidaklah ia keluar dari
batas-batas tawakkal dengan menambatkan unta, memegang senjata dan menguncikan
pintu rumah. Kemudian, apabila ia telah kembali, maka didapatinya harta
bendanya dalam rumah. Maka seyogyalah bahwa ada yang demikian itu padanya suatu
nikmat yang baru dari Allah Ta’ala. Jikalau tidak didapatinya lagi harta
bendanya, akan tetapi didapatinya sudah dicuri orang, niscaya ia memandang
kepada hatinya. Jikalau didapatinya hatinya itu rela atau gembira dengan yang
demikian, yang mengetahui, bahwa tidaklah diambil oleh Allah Ta’ala yang
demikian daripadanya, selain untuk ditambahkanNya akan rezekinya di akhirat,
maka sesungguhnya sahlah tingkatnya pada tawakkal. Lahirlah baginya kebenarannya.
Kalau hatinya merasa pedih dengan yang demikian dan ia mendapati kekuatan
sabar, maka telah jelas baginya, bahwa ia tidak benar pada mendakwakan
tawakkal. Karena tawakkal itu suatu maqam sesudah zuhud. Dan zuhud itu tidak
sah, selain dari orang yang tidak merasa sedih atas apa yang hilang dari dunia
dan tidak bergembira dengan apa yang akan datang. Akan tetapi, adalah dia
sebaliknya. Maka bagaimana sah baginya tawakkal ? Ya, kadang-kadang sah baginya
maqam sabar, jikalau ia menyembunyi kannya dan tidak melahirkan pengaduannya
dan tidak membanyakkan usahanya pada mencari dan memata-matai. Jikalau ia tidak
sanggup atas yang demikian, sehingga ia merasa sakit dengan hatinya dan ia
melahirkan pengaduan dengan lidahnya dan berusaha sungguh-sungguh dengan
badannya, maka sesungguhnya adalah kecurian itu menambahkan baginya pada
dosanya, dimana telah menampak baginya keteledorannya dari semua maqam-maqam
dan kedustaannya pada semua dakwaan-dakwaan. Ia tidak melepaskan dengan tali
akan tipuan dakwaan-dakwaan itu. Sesungguhnya dakwaan-dakwaan itu penipu, yang
menyuruh dengan kejahatan, yang mendakwakan kebajikan. Jikalau anda bertanya:
bagaimana ada bagi orang yang bertawakkal itu harta, sehingga dapat diambilkan
? Aku menjawab, bahwa orang yang bertawakkal itu tidak kosong rumahnya dari
benda, seperti piring, yang ia makan dalam piring itu, gelas yang ia minum dari
gelas itu, bak air, yang ia berwudlu’ dari bak itu, karung kulit, yang ia
pelihara dengan karung itu akan perbekalannya, tongkat, yang ia menolak dengan
tongkat itu akan musuhnya dll lagi dari yang penting bagi kehidupan dari
perabot-perabot rumah. Kadang-kadang masuk dalam tangannya harta dan
ditahannya, supaya diperolehnya keperluan. Lalu diserahkannya harta itu kepada
keperluan tersebut. Maka tidaklah penyimpanannya dengan niat ini, membatalkan
tawakkalnya. Dan tidaklah dari syarat tawakkal itu mengeluarkan gelas, yang ia
minum daripadanya, karung kulit, yang di dalamnya perbekalannya. Sesungguhnya
yang demikian itu pada yang dimakan dan pada setiap harta yang melebihi atas
sekedar darurat. Karena Sunnah Allah berlaku dengan sampainya kebajikan kepada
orang fakir-miskin yang bertawakkal pada sudut-sudut masjid. Dan tidaklah
berlaku Sunnah dengan membagi-bagikan gelas dan harta benda pada setiap hari
dan setiap minggu. Dan keluar dari Sunnah Allah ‘Azza Wa Jalla itu tidaklah
menjadi syarat pada tawakkal. Karena demikianlah, Ibrahim Al-Khawwash membawa
dalam perjalanan jauh (bermusafir), akan tali, tabung, gunting dan jarum
penjahit. Tidak membawa perbekalan. Akan tetapi, Sunnah Allah Ta’ala berlaku
dengan perbedaan diantara dua hal itu. Jikalau anda bertanya: bagaimana dapat
digambarkan, bahwa orang itu tidak gundah, apabila harta bendanya diambil
orang, yang dia memerlukan kepadanya. Dan ia tidak sedih atas demikian. Kalau
ia tidak merindui barang itu, maka mengapa dipegangnya ? dan ia menguncikan
pintu atas benda itu ? kalau ia menahannya, karena ia merinduinya, sebab ada
hajatnya kepada benda itu, maka bagaimana tiada sakit hatinya dan tidak gundah,
padahal telah didindingkan diantara dia dan yang dirinduinya ? Aku menjawab:
sesungguhnya ia menjaga harta bendanya, untuk menolong baginya kepada agamanya.
Karena ia menyangka, bahwa kebajikan baginya pada adanya harta benda itu
baginya. Jikalau tidaklah kebajikan baginya pada harta benda itu, niscaya Allah
Ta’ala tidak memberikan rezeki kepadanya. Dan tidak menganugerahkannya
kepadanya. Maka ia mengambil dalil di atas yang demikian, dengan dimudahkan
oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dan baik sangka kepada Allah Ta’ala, serta
persangkaannya, bahwa yang demikian itu penolong kepadanya di atas sebab-sebab
agamanya. Dan tidaklah yang demikian itu padanya diyakini. Karena mungkin
bahwa, ada kebajikannya pada ia dicobakan dengan hilangnya harta benda itu.
Sehingga ia bekerja pada menghasilkan maksudnya. Adalah pahalanya pada bekerja
dan kepayahan itu lebih banyak. Tatkala telah diambil Allah Ta’ala harta benda
itu daripadanya, dengan dikuasakan kepada pencuri, niscaya berobahlah
persangkaannya. Karena dia pada semua hal keadaan itu percaya kepada Allah,
baik sangka kepadaNya. Lalu ia mengatakan: “Jikalau tidaklah Allah ‘Azza Wa
Jalla itu mengetahui, bahwa kebajikan adalah bagiku pada adanya barang itu
sampai sekarang dan kebajikan bagiku pada tidak adanya, niscaya Ia tidak
mengambilkannya daripadaku”. Maka dengan contoh persangkaan ini tergambarlah,
bahwa tertolak daripadanya kegundahan. Karena dengan yang demikian, ia keluar
dari ada kegembiraannya dengan sebab-sebab, dari segi, bahwa itu sebab-sebab.
Akan tetapi, dari segi bahwa dimudahkan sebab-sebab oleh Yang Menyebabkan
sebab-sebab, karena pertolongan dan kasih-sayang. Dia itu seperti orang sakit,
dihadapan tabib yang penuh kasih-sayang, yang rela dengan apa yang diperbuat
oleh tabib itu. Kalau didatangkan kepadanya makanan, niscaya ia bergembira dan
berkata: “Jikalau tidaklah tabib itu mengetahui, bahwa makanan itu bermanfaat
bagiku dan aku telah kuat menanggungnya, niscaya tidak didekatkannya kepadaku”.
Jikalau diambilkan makanan daripadanya sesudah itu, niscaya ia gembira juga dan
berkata: “Jikalau tidaklah makanan itu mendatangkan melarat kepadaku dan
membawaku kepada kematian, niscaya tidaklah ia dindingkan antaraku dan makanan
itu”. Setiap orang yang tidak ber keyakinan tentang kasih-sayang Allah Ta’ala,
akan apa yang diyakinkan oleh orang sakit pada ayah yang penuh kasih-sayang,
yang pandai dengan ilmu tabib, maka tidaklah sekali-kali shah tawakkal
daripadanya. Dan siapa yang mengenal (berma’rifah) akan Allah Ta’ala, mengenal
Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya dan mengenal SunnahNya pada memperbaiki akan
hamba-hambaNya, niscaya tidaklah kesenangannya dengan sebab-sebab. Karena ia
tidak tahu, sebab yang mana yang baik baginya. Sebagaimana dikatakan oleh Umar
ra: “Aku tidak perduli, jadikah aku kaya atau miskin. Sesungguhnya aku tidak
tahu, yang mana diantara yang dua itu yang baik bagiku”. Maka seperti
demikianlah, seyogyanya, bahwa orang yang bertawakkal itu tidak memperdulikan,
harta bendanya dicuri orang atau tidak dicuri. Bahwa ia tidak mengetahui, yang
mana diantara yang dua itu yang baik baginya di dunia atau di akhirat. Maka
banyaklah dari harta-benda dunia, yang menjadi sebab binasanya insan. Berapa
banyak orang kaya, yang kena cobaan dengan sesuatu kejadian, lantaran
kekayaannya, yang mengatakan: “Mudah-mudahan kiranya aku ini orang miskin !”.
PENJELASAN: adab bagi
orang-orang yang bertawakkal, apabila harta bendanya dicuri orang.
Bagi orang yang bertawakkal itu
mempunyai adab pada harta benda rumahnya, apabila ia keluar dari rumahnya:
Pertama: bahwa ia
menguncikan pintu. Dan tidak ia berhabis-habisan pada sebab-sebab penjagaan.
Seperti dimintanya pada tetangga akan penjagaan, serta dikuncikan pintu. Dan
seperti dikumpulkannya kunci-kunci yang banyak. Adalah Malik bin Dinar tiada
menguncikan pintunya. Akan tetapi, diikatkannya pintu itu dengan tali. Ia
mengatakan: “Jikalau tidaklah anjing, niscaya tidak juga aku ikatkan”.
Kedua: bahwa tidak meninggalkan di rumah, akan harta benda, yang menggerakkan
kepadanya pencuri-pencuri. Lalu adalah harta benda itu menjadi sebab
kemaksiatan mereka. Atau menahannya itu menjadi sebab berkobarnya keinginan
mereka. Karena itulah, tatkala Al-Mughirah menghadiahkan setabung uang kepada
Malik bin Dinar, maka Malik bin Dinar berkata: “Ambillah tabung uang ini ! tiada
keperluan bagiku kepadanya”. Al-Mughirah bertanya: “Mengapa ?”. Malik bin Dinar
menjawab: “Dibisikkan kepadaku oleh musuh, bahwa pencuri mengambilkannya”. Maka
seakan-akan ia menjaga daripada pencuri berbuat maksiat dan daripada hatinya
sibuk dengan bisikan setan, dengan kecuriannya tabung itu. Karena itulah, Abu
Sulaiman berkata: “Ini dari lemahnya hati kaum shufi. Dia ini telah zuhud di
dunia, maka tidaklah atasnya daripada mengambil tabung uang itu !”.
Ketiga: bahwa
apa yang perlu ditinggalkannya di rumah, maka seyogyalah bahwa ia niatkan
ketika keluarnya, akan kerelaan hati, dengan apa yang menjadi qodo/ketetapan Allah
padanya, dengan menguasakan pencuri atas harta itu. Dan ia mengatakan, bahwa
apa yang diambilkan oleh pencuri, maka dari pihaknya itu menjadi halal. Atau
dia pada jalan Allah Ta’ala. Dan kalau pencuri itu orang miskin, maka itu
sedekah kepadanya. Dan kalau tidak disyaratkan miskin, maka itu lebih utama.
Maka adalah baginya dua niat, jikalau diambil oleh orang kaya atau orang
miskin:
Salah satu dari dua niat itu, bahwa adalah hartanya itu mencegah
baginya dari maksiat. Bahwa kadang-kadang ia tidak memerlukan kepada harta itu.
Maka ia merasa lambat dari kecurian sesudahnya. Dan hilang kemaksiatannya,
dengan memakan haram, tatkala dijadikannya dalam kehalalan.
Kedua: bahwa ia tidak berbuat zalim
terhadap orang muslim yang lain. Adalah hartanya itu tebusan bagi harta orang
muslim yang lain. Manakala ia berniat menjaga harta orang lain dengan hartanya
sendiri atau ia berniat menolak kemaksiatan dari pencuri atau meringankan
kemaksiatan itu atas pencuri tersebut, maka sesungguhnya ia telah bernasehat
kepada kaum muslimin. Ia telah mengikuti sabda Nabi saw: “Tolonglah saudaramu
yang berbuat zalim atau yang dizalimi orang”. Menolong orang zalim itu mencegahnya
dari berbuat zalim. Memaafkannya itu menidakkan kezaliman dan mencegahnya.
Hendaklah ia yakini benar-benar, bahwa niat itu tidak mendatangkan melarat
baginya dari segi manapun. Karena tidak ada padanya, apa yang menguasakan
kepada pencuri dan mengobahkan qodo/ketetapan azali. Akan tetapi, ia teguhkan
benar-benar dengan zuhud itu akan niatnya. Jikalau hartanya diambil orang,
niscaya ada baginya dengan setiap dirham itu 700 dirham. Karena ia telah
niatkan dan maksudkan. Dan walaupun tidak diambil orang, berhasil juga baginya
pahala. Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah saw tentang orang yang
meninggalkan al-‘azal, lalu ia tetapkan mani (nutfah) itu pada tempatnya, bahwa
bagi orang tersebut pahala budak kecil, yang dilahirkan baginya dari persetubuhan
itu. Orang tersebut hidup beberapa waktu, lalu kemudian terbunuh dalam perang
sabilullah Ta’ala, walaupun tidak dilahirkan baginya seorang anak. Karena
tidaklah urusan anak itu, selain bersetubuh. Adapun budi pekerti, kehidupan,
rezeki dan kekekalan, maka tidaklah itu kepadanya. Maka kalau ia berbudi
pekerti, niscaya adalah pahalanya atas perbuatannya. Dan perbuatannya itu tidak
akan tiada. Maka seperti demikian juga urusan pencurian.
Keempat: bahwa apabila didapatinya hartanya dicuri orang, maka seyogyalah bahwa
ia tidak bergundah hati. Akan tetapi, ia bergembira, jikalau memungkin kannya.
Dan mengatakan: “Jikalau tidaklah kebajikan ada padanya, niscaya tidak ditarik
oleh Allah Ta’ala”. Kemudian, jikalau tidak telah dijadikannya harta itu pada
jalan Allah ‘Azza Wa Jalla, maka janganlah ia bersangatan pada mencarinya dan
pada menjahatkan sangka kepada orang Islam. Jikalau harta itu telah
dijadikannya pada jalan Allah, lalu ditinggalkannya mencari, maka sesungguhnya
ia telah mendatangkan hartanya itu simpanan bagi dirinya ke akhirat. Kalau
dikembalikan kepadanya, maka yang lebih utama, bahwa tidak diterimanya sesudah
harta itu telah dijadikannya pada jalan Allah ‘Azza Wa Jalla. Kalau
diterimanya, maka itu dalam miliknya pada ilmu zahiriyah. Karena milik itu
tidak hilang dengan semata-mata niat itu. Akan tetapi, tidak disukai pada
orang-orang yang bertawakkal. Diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar dicurikan orang
untanya. Lalu dicarinya, sampai ia lelah. Kemudian ia berkata: “Pada jalan
Allah Ta’ala”. Lalu ia masuk ke masjid dan mengerjakan shalat 2 rakaat. Maka
datanglah seorang laki-laki kepadanya dan berkata: “Hai Bapak Abdurrahman !
bahwa untamu pada tempat anu”. Lalu Ibnu Umar memakai sandalnya dan bangun
berdiri. Kemudian, mengucapkan: “Astaghfirullah”. Dan duduk kembali. Lalu orang
bertanya kepadanya: “Mengapa tidak engkau pergi dan mengambilnya ?”. Ibnu Umar
menjawab: “Aku telah mengatakan: pada jalan Allah (fi sabilillah)”. Sebahagian
syaikh kaum shufi mengatakan: “Aku memimpikan sebahagian teman-temanku, sesudah
ia meninggal. Lalu aku bertanya kepadanya: “Apakah yang diperbuat oleh Allah
pada engkau ?”. Teman itu menjawab: “Allah telah mengampunkan aku dan
memasukkan aku ke sorga. Ia mendatangkan kepadaku tempat-tempatku di dalamnya.
Maka aku lihatkan semuanya”. Syaikh itu meneruskan ceritanya: “Dalam pada itu
ada suatu golongan yang bergundah hati. Lalu aku katakan: “Engkau telah
diampunkan dan masuk sorga. Dan engkau itu bergundah hati”. Orang itu menarik
nafas, kemudian berkata: “Benar, bahwa aku senantiasa bergundah hati, sampai
hari kiamat”. Aku bertanya: “Mengapa ?”. Ia menjawab: “Bahwa aku tatkala aku
melihat tempat-tempatku dalam sorga, lalu diangkatkan bagiku tingkat-tingkat
pada yang paling tinggi, yang belum pernah aku melihat sepertinya pada apa yang
telah aku lihat. Maka aku bergembira dengan yang demikian. Tatkala aku
bercita-cita memasukinya, lalu penyeru menyerukan dari atasnya: “Pergilah kamu
daripadanya ! tidaklah ini baginya. Sesungguhnya itu bagi orang yang telah
melalukannya pada sabilullah”. Lalu aku bertanya: “Apakah melalukan pada
sabilullah itu ?”. Lalu dijawabkan kepadaku: “Adalah engkau telah mengucapkan
bagi sesuatu, bahwa dia pada sabilullah. Kemudian engkau rujuk (tarik kembali)
padanya. Maka jikalau engkau melalukan (meneruskan) sabilullah, niscaya kami
teruskan bagi engkau”. Diceritakan dari sebahagian hamba Allah di Makkah, bahwa
dia itu tidur di samping seorang laki-laki, yang ada padanya dompet uang.
Laki-laki itu terbangun. Maka dompetnya tidak ada lagi. Lalu dituduhnya hamba
Allah tadi. Hamba Allah itu bertanya kepadanya: “Berapa ada dalam dompetmu ?”.
Laki-laki itu lalu menyebutkannya. Maka dibawanya laki-laki itu ke rumahnya.
Dan ditimbangkannya dari pihaknya. Kemudian sesudah itu, laki-laki itu
diberitahukan oleh para sahabatnya, bahwa mereka yang mengambil dompet itu,
sebagai senda-gurau dengan dia. Lalu laki-laki itu bersama para sahabatnya
datang kepada hamba Allah itu. Dan mengembalikan emas itu. Hamba Allah itu
tidak mau menerima kembali dan berkata: “Ambillah sebagai harta halal yang
baik. Aku tidak kembali kepada harta yang telah aku keluarkan pada jalan Allah
(sabilillah) ‘Azza Wa Jalla”. Hamba Allah itu tidak mau menerimanya. Mereka
memaksakannya. Lalu ia panggil anaknya. Dan dibuatnya uang itu dalam beberapa
tempat dan dikirimkannya kepada fakir miskin. Sehingga tidak ada lagi padanya
sedikitpun. Begitulah adanya akhlak orang-orang dahulu. Seperti demikian juga
orang yang mengambil roti untuk diberikannya kepada seorang miskin. Lalu orang
miskin itu menghilang daripadanya. Maka ia tidak suka mengembalikan roti itu ke
rumahnya, sesudah dikeluarkannya. Lalu diberikannya kepada orang miskin yang
lain. Seperti yang demikian juga diperbuat dengan dirham, dinar dan
sedekah-sedekah lainnya.
Kelima: yaitu
derajat yang paling kurang, bahwa ia tidak berdoa untuk melaratnya pencuri yang
telah berbuat zalim kepadanya, dengan mengambil harta itu. Kalau diperbuatnya
yang demikian, niscaya batallah tawakkalnya. Yang demikian menunjukkan kepada
kebenciannya dan kesedihannya atas yang telah hilang itu. Dan batallah
zuhudnya. Jikalau ia bersangatan pada doa yang demikian, niscaya batallah
pahalanya juga, pada apa yang menjadi musibah baginya. Pada hadits, sebagai
berikut: “Siapa yang tidak berdoa untuk kemelaratan orang yang berbuat zalim
kepadanya, maka ia telah menang”.
Diceritakan orang, bahwa
Ar-Rabi’ bin Khaitsam dicurikan orang kudanya. Adalah harga kuda itu 20 ribu
dirham. Dia waktu itu sedang berdiri mengerjakan shalat. Maka tidak
diputuskannya shalatnya. Dan ia tidak bergerak untuk mencarinya. Maka datanglah
kepadanya suatu kaum, yang mengagungkan nya. Ia menjawab: “Aku sudah melihat
orang itu melepaskan kudaku dari tambatannya”. Lalu ia ditanyakan: “Apakah yang
menghalangi engkau untuk menghardik pencuri itu ?”. Ar-Rabi’ menjawab: “Aku
berada pada apa yang lebih aku cintai dari kuda itu”. Yakni: shalat. Lalu kaum
itu berdoa demi kemelaratan pencuri itu. Maka Ar-Rabi’ menjawab: “Jangan kamu
berbuat demikian ! dan katakanlah yang baik ! bahwa aku telah menjadikannya
sedekah kepadanya”.
Ditanyakan kepada
sebahagian mereka, tentang sesuatu, yang telah dicuri orang dari kepunyaannya:
“Adakah tidak engkau berdoa atas kemelaratan orang yang berbuat zalim atas
engkau ?”. Orang yang ditanya itu menjawab: “Aku tidak suka bahwa aku ini adalah
menolong setan atas orang yang berbuat zalim itu”. Ditanyakan lagi: “Bagaimana
pendapat engkau, jikalau barang yang dicuri itu dikembalikan kepada engkau ?”.
Orang yang ditanya itu menjawab: “Tiada akan aku ambil dan tiada akan aku lihat
kepadanya. Karena aku telah menghalalkan barang itu kepadanya”. Ditanyakan
kepada orang shufi yang lain: “Berdoalah kepada Allah atas orang yang berbuat
zalim kepada engkau!”. Orang yang ditanya itu menjawab: “Tiada berbuat zalim
kepadaku seseorang”. Kemudian, ia menyambung: “Orang yang berbuat zalim itu
berbuat zalim kepada dirinya sendiri. Apakah tidak cukup bagi seorang miskin
(yang patut dikasihani) oleh kezaliman dirinya sendiri, sehingga aku tambahkan
kepadanya akan kejahatan ?”.
Sebahagian mereka membanyakkan
cacian kepada Al-Hajjaj disisi sebagian salaf (ulama terdahulu), mengenai
kezalimannya. Maka salaf itu menjawab: “Janganlah engkau bersangatan pada
mencacikannya. Bahwa Allah Ta’ala menuntut bela bagi Al-Hajjaj dari orang yang
merusakkan kehormatannya, sebagaimana Ia menuntut bela dari Al-Hajjaj, bagi
orang yang diambilnya harta dan darah orang itu”. Tersebut pada hadits: “Bahwa
hamba itu dizalimi orang dengan suatu kezaliman, lalu selalulah ia mencaci
orang yang berbuat zalim kepadanya dan memakikannya. Sehingga adalah yang
demikian itu menurut kadar apa yang diperbuat oleh orang yang zalim kepadanya.
Kemudian, tinggallah bagi orang yang berbuat zalim, atas orang yang dizalimi,
menuntut dengan apa yang telah berlebih atasnya, yang digunting untuk orang yang
berbuat zalim dari orang yang dizalimi”.
Keenam: bahwa ia berduka cita karena pencuri itu, karena kemaksiatannya dan
pendatangannya kepada azab Allah Ta’ala. Ia bersyukur kepada Allah Ta’ala,
karena ia dijadikan oleh Allah Ta’ala teraniaya. Tidak dijadikanNya menganiaya.
Dijadikannya yang demikian, kekurangan pada dunianya. Tidak kekurangan pada
agamanya. Sebahagian manusia mengadu kepada seorang yang berilmu, bahwa ia kena
rampokan di jalan dan diambilkan hartanya. Lalu orang yang berilmu itu
menjawab: “Jikalau tidak ada bagi engkau kegundahan, bahwa telah terjadi dalam
kalangan kaum muslimin orang yang menghalalkan ini, lebih banyak dari
kegundahan engkau dengan harta engkau, maka tidaklah engkau menasehatkan kaum
muslimin”.
Dicurikan dari Ali bin
Al-Fudlail beberapa uang dinar dan Ali itu sedang mengerjakan thawaf di
Baitullah. Lalu ia dilihat oleh ayahnya, bahwa ia menangis dan bersedih hati.
Maka ayahnya bertanya: “Adakah karena uang dinar itu engkau menangis ?”. Ali
bin Al-Fudlail menjawab: “Tidak, demi Allah ! akan tetapi, atas orang yang
patut dikasihani (pencuri) itu, akan ditanya pada hari kiamat. Dan tak ada
baginya hujjah (alasan)”. Ditanyakan kepada sebahagian mereka: “Berdoalah
dengan kemelaratan atas orang yang berbuat zalim kepadamu”. Orang yang ditanya
itu menjawab: “Aku ini sibuk dengan kesedihan atas orang itu, daripada
mendoakan atas kemelaratan dirinya”. Inilah budi pekerti (akhlaq) orang-orang
salaf. Diridhai Allah kiranya mereka sekalian !
Bahagian keempat: tentang usaha menghilangkan melarat, seperti
mengobati penyakit dan hal-hal yang serupa dengan penyakit itu.
Ketahuilah, bahwa sebab-sebab yang
menghilangkan penyakit juga terbagi kepada: yang diyakini. Seperti: air yang
menghilangkan kemelaratan haus dan roti yang menghilangkan kemelaratan lapar.
Kepada: yang disangkakan, seperti: membetik, membekam, meminum obat yang
memudahkan keluar najis (obat cuci perut) dan bab-bab kedokteran yang lain.
Yakni: mengobati dingin dengan panas dan panas dengan dingin. Yaitu:
sebab-sebab zahiriyah pada ilmu kesehatan. Dan kepada: yang didugakan, seperti:
tenung dan jampi. Adapun yang diyakini, maka tidaklah termasuk tawakkal
meninggalkannya. Bahkan meninggalkannya itu haram, ketika takut mati. Adapun
yang didugakan, maka syarat tawakkal ialah meninggalkannya. Karena dengan
demikianlah disifatkan oleh Rasulullah saw akan orang-orang yang bertawakkal.
Yang paling kuat daripadanya ialah: tenung. Dan diiringi oleh jampi. Dan
menengok untung itu tingkat yang paling akhir. Berpegang dan menyandarkan diri
kepadanya itu pendalaman yang penghabisan pada memperhatikan sebab-sebab.
Adapun derajat yang ditengah, yaitu: yang disangkakan, seperti berobat dengan
sebab-sebab yang nyata pada dokter-dokter, maka memperbuatnya tidaklah
berlawanan dengan tawakkal. Lain halnya dengan yang didugakan. Dan
meninggalkannya tidaklah dilarang, kecuali yang diyakini. Bahkan, kadang-kadang
adalah meninggalkan lebih utama daripada memperbuatnya pada sebahagian hal
keadaan dan pada sebahagian orang. Maka dia itu di atas tingkat diantara dua
tingkat. Dan dibuktikan, bahwa berobat tidaklah berlawanan dengan tawakkal,
oleh perbuatan Rasulullah saw, perkataannya dan perintahnya dengan yang
demikian. Adapun perkataannya, maka Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah dari
suatu penyakitpun, melainkan baginya ada obat, yang diketahui oleh orang yang
mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tiada mengetahuinya, selain
as-saam”. As-saam, yakni: mati. Nabi saw bersabda: “Berobatlah, wahai hamba
Allah ! bahwa Allah itu menjadikan penyakit dan obat”. Ditanyakan Rasulullah
saw tentang obat dan jampi: adakah ia menolak akan sesuatu dari takdir Allah
?”. Beliau menjawab: “Dia itu dari takdir Allah”. Tersebut pada hadits masyhur:
“Tiada aku lalui dengan suatu jama’ahpun dari para malaikat, melainkan mereka
itu mengatakan: “Suruhlah umat engkau dengan berbekam”. Pada hadits tersebut,
bahwa Nabi saw disuruh dengan berbekam. Nabi saw bersabda: “Berbekamlah pada
tanggal 17, 19 dan 21 bulan Hijriyah. Tiada akan banyak keluar darah pada kamu.
Lalu mematikan kamu”. Nabi saw menyebutkan, bahwa banyaknya keluar darah itu
sebab bagi kematian. Dan dia itu pembunuh dengan seizin Allah Ta’ala dan
diantara pengeluaran darah itu kelepasan dari kematian. Karena tiada bedanya,
diantara mengeluarkan darah yang membinasakan dari kulit, mengeluarkan
kalajengking dari bawah kain dan mengeluarkan ular dari rumah. Dan tiadalah
dari syarat tawakkal itu meninggalkan yang demikian. Bahkan itu adalah seperti
mencurahkan air atas api, untuk memadamkannya dan menolak melaratnya ketika
terjadinya kebakaran di rumah. Dan tidaklah sekali-kali termasuk tawakkal,
keluar dari Sunnah Al-Wakil (Sunnah Allah Ta’ala). Pada hadits yang sanadnya
terputus (hadits maqthu’): “Barangsiapa berbekam
pada hari Selasa tanggal 17 dari bulan Hijriyah, niscaya adalah baginya itu
obat dari penyakit setahun”. Adapun
perintahnya Nabi saw maka beliau telah menyuruh tidak seorang dari para sahabat
dengan berobat dan dengan menjaga perut dari banyak makan (al-hamiyyah). Nabi
saw membetik urat Sa’ad bin Ma’adz. Nabi saw meletakkan besi panas pada tempat
sakit Sa’ad bin Zararah. Nabi saw bersabda kepada Ali ra dan ketika itu Ali
sakit mata: “Jangan engkau makan dari ini !”. Ya’ni: kurma yang belum kering
(ruthab). “Makanlah dari ini ! sesungguhnya itu lebih sesuai bagi engkau”.
Ya’ni: Siliq (semacam tumbuh-tumbuhan) yang dimasak dengan tepung syair. Nabi
saw bersabda kepada Shuhaib, yang dilihatnya memakan tamar. Dan dia itu sakit
mata: “Engkau memakan tamar dan engkau itu sakit mata. Shuhaib lalu menjawab:
“Bahwa aku makan, dari pihak yang lain”. Nabi saw lalu tersenyum. Adapun
perbuatannya Nabi saw, maka dirawikan pada suatu hadits dari jalan keluarga
beliau, bahwa pada setiap malam beliau memakai celak, berbekam pada setiap
bulan dan meminum obat pada setiap tahun. Ada yang mengatakan, bahwa obat itu,
ialah: tumbu-tumbuhan as-sanal-makiyy (batang as-sana yang tumbuh di Makkah).
Nabi saw berobat bukan sekali dari kalajengking dan lainnya. Dan diriwayatkan,
bahwa apabila turun wakyu kepadanya, maka kepalanya pening. Lalu beliau
melapisi kepalanya dengan inai (hinna’/hena cat rambut). Dan tersebut pada
suatu hadits, bahwa apabila keluar kudis pada tubuhnya saw, maka beliau
letakkan atas kudis itu inai. Dan beliau letakkan tanah atas kudis yang keluar
pada badannya saw. Apa yang diriwayatkan tentang berobatnya Nabi saw dan
perintahnya dengan demikian itu banyak, diluar dari hinggaan. Telah disusun
tentang yang demikian itu suatu kitab. Dan dinamakan “Thibbun-Nabi saw”
(ketabiban Nabi saw).
Sebahagian ulama
menyebutkan tentang kaum Bani Israil (Yahudi), bahwa Musa as menderita suatu
penyakit. Lalu masuk ke rumahnya kaum Bani Israil itu. Maka mereka mengetahui
akan penyakitnya. Mereka berkata: “Bahwa jikalau engkau berobat dengan obat
itu, niscaya engkau sembuh”. Musa as lalu menjawab: “Aku tiada akan berobat,
sampai aku disembuhkanNya dengan tanpa obat”. Maka lamalah penyakitnya. Lalu
kaum Bani Israil berkata kepadanya: “Bahwa obat penyakit ini terkenal dan
mujarrab. Kami berobat dengan obat itu, maka kami sembuh”. Musa as menjawab:
“Aku tidak berobat”. Maka penyakit itu berdiam pada Musa as. Lalu Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepadanya: Demi kemuliaanKu dan keagunganKu ! Aku tiada akan
menyembuhkan engkau, sebelum engkau berobat dengan apa yang disebutkan mereka
kepada engkau”. Musa as lalu mengatakan kepada mereka: “Obatilah aku dengan apa
yang kamu sebutkan !”. Mereka lalu mengobatkan Musa as, maka sembuhlah. Maka
bimbanglah Musa as pada dirinya dari yang demikian. Lalu Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepadanya: “Engkau menghendaki bahwa engkau batalkan hikmahKu
dengan tawakkalnya engkau kepadaKu. Siapakah yang menyimpan obat dari
tumbuh-tumbuhan sebagai manfaatnya segala sesuatu itu, selain Aku ?”.
Diriwayatkan pada berita
yang lain, bahwa salah seorang dari nabi-nabi as mengadu akan penyakit yang
diperolehnya. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Makanlah telur !”.
Nabi yang lain mengadu akan kelemahannya. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu
kepadanya: “Makanlah daging dengan susu, bahwa pada keduanya itu ada kekuatan”.
Ada yang mengatakan, bahwa kelemahan itu ialah dari bersetubuh. Diriwayatkan,
bahwa suatu kaum mengadu kepada nabi mereka, akan keburukan anak-anak mereka.
Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Suruhlah mereka memberi makanan
isteri mereka yang sedang hamil, dengan buah safarjal (mirip dengan apel).
Bahwa yang demikian akan mencantikkan anak. Dan diperbuat yang demikian pada
bulan ke-3 dan ke-4 dari mengandungnya. Karena pada waktu itu, Allah Ta’ala
menjadikan rupa anak itu. Mereka memberi makanan wanita hamil dengan buah
safarjal. Dan wanita yang sedang bernifas (sesudah bersalin) dengan buah ruthab
(kurma yang belum kering). Dengan ini jelaslah, bahwa Yang Menyebabkan
sebab-sebab (Allah) itu melakukan SunnahNya dengan mengikatkan musabbab-musabbab
(akibat) dengan sebab-sebab, untuk melahirkan hikmah. Obat-obat itu adalah
sebab-sebab yang dijadikan dengan hukum Allah Ta’ala, seperti sebab-sebab yang
lain. Maka sebagaimana roti itu obat lapar dan air itu obat haus, maka
sakanjabin itu obat penyakit kuning dan sakmunia itu obat memudahkan keluar B.A.B (untuk cuci perut). Tiada membedakan yang
demikian, selain pada salah satu dari dua perkara:
Pertama: bahwa pengobatan lapar dan haus
dengan air dan roti itu jelas dan terang, diketahui oleh seluruh manusia.
Pengobatan penyakit kuning dengan sakanjabin diketahui oleh sebahagian
orang-orang tertentu. Maka siapa yang mengetahui demikian dengan percobaan, niscaya
ia berhubungan pada hak dirinya dengan yang pertama ini (menjadi terang dan
jelas pada pihak dirinya).
Kedua: bahwa obat itu memudahkan perut
(mengeluarkan B.A.B) dan sakanjabin menetapkan sakanjabin dengan syarat-syarat
yang lain pada batiniyahnya. Dan sebab-sebab pada sifatnya itu kadang-kadang
sukar diketahui semua syarat-syaratnya. Kadang-kadang hilang sebahagian
syarat-syaratnya. Maka berhentilah tidak bekerja (mogok) obat itu daripada
memudahkan keluar B.A.B. Adapun hilangnya haus makan tidak meminta selain dari
air, akan banyak syarat. Kadang-kadang berbetulan dari rintangan-rintangan itu,
apa yang mengharuskan kekekalan haus, serta banyaknya meminum air. Akan tetapi
itu jarang. Cederanya sebab-sebab itu selalu terbatas pada dua perkara tadi. Jikalau
tidak, maka musabbab (akibat) itu mengiringi sebab sudah pasti, manakala telah
sempurna syarat-syarat bagi sebab. Semua itu adalah dengan pengaturan Yang
Menyebabkan segala sebab, dengan pemudahan dan penertibanNya, dengan hukum
hikmah dan kesempurnaan kuasaNya. Maka tidaklah memelaratkan orang yang
bertawakkal, akan memakaikannya, serta memperhatikan kepada Yang Menyebabkan
sebab-sebab, tidak kepada dokter dan obat.
Dirawikan dari Musa as
bahwa ia bertanya kepada Tuhan: “Wahai Tuhanku ! dari siapakah penyakit dan
obat ?”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Dari Aku”. Musa as bertanya lagi:
“Apakah yang diperbuat oleh tabib-tabib ?”. Allah Ta’ala menjawab: “Mereka
makan akan rezeki mereka. Mereka membaikkan diri hamba-hambaKu, sehingga
datanglah kesembuhan atau ketetapanKu”. Jadi, makna tawakkal serta berobat itu,
ialah tawakkal dengan ilmu dan hal keadaan, sebagaimana telah terdahulu pada
bahagian-bahagian amal perbuatan yang menolak daripada melarat, yang menarik
kepada manfaat. Adapun meninggalkan berobat secara apriori, maka tidaklah itu
menjadi syarat pada tawakkal. Kalau anda mengatakan, bahwa memakai besi panas
juga dari sebab-sebab yang nyata itu bermanfaat. Maka aku menjawab: tidaklah
seperti yang demikian. Karena sebab-sebab yang nyata itu, seperti:
berbetik-berbekam, meminum obat yang memudahkan keluar B.A.B dan meminum yang
mendinginkan bagi orang yang merasa panas. Adapun memakai besi panas, jikalau
ia seperti yang tersebut tadi pada zahiriyahnya, niscaya tidaklah kosong banyak
negeri daripadanya. Dan sedikitlah dibiasakan memakai obat besi panas pada
kebanyakan negeri. Hanya yang demikian itu kebiasaan sebahagian orang Turki dan
Arab dusun. Maka obat besi panas ini termasuk sebab-sebab yang didugakan,
seperti: jampi. Hanya obat besi panas ini berbeda dari sebab-sebab yang
didugakan itu dengan suatu hal. Yaitu: bahwa dia terbakarnya dengan api, pada
keadaan tidak memerlukan kepadanya. Bahwa tidaklah dari suatu penyakit yang
diobati dengan besi panas, selain mempunyai obat yang tidak diperlukan, yang
tidak ada padanya pembakaran. Maka pembakaran dengan api itu suatu luka yang merusakkan
bentuk badan, yang ditakuti menjalar, serta tidak diperlukan kepadanya. Lain
halnya, berbetik dan berbekam. Bahwa menjalar yang dua ini jauh dari kejadian.
Dan tidak dapat digantikan oleh yang lain dari yang dua ini. Karena itulah
Rasulullah saw melarang dari obat besi panas, tidak dari jampi. Dan
masing-masing dari yang dua ini jauh dari tawakkal.
Diriwayatkan bahwa ‘Imran
bin Al-Hushain menderita penyakit dalam perut. Lalu mereka menunjukkan
kepadanya dengan obat besi panas. Ia menolak. Mereka selalu mendesaknya dengan
obat besi panas itu. Dan berazam kepadanya Amir Ubaid bin Ziad. Sehingga ia
berobat dengan besi panas itu. Ia berkata: “Adalah aku melihat nur (cahaya) dan
mendengar suara. Dan memberi salam kepadaku para malaikat. Maka tatkala aku
telah berobat dengan besi panas, terputuslah yang demikian itu daripadaku”.
‘Imran bin Al-Hushain itu
mengatakan, menurut riwayat yang lain: “Kami berobat dengan besi panas itu
beberapa kali. Maka demi Allah, tidaklah aku memperoleh kemenangan dan
kesembuhan”. Kemudian, ia bertaubat dari yang demikian dan ia kembali kepada
Allah Ta’ala. Maka Allah Ta’ala mengembalikan kepadanya apa yang diperolehnya
dari urusan malaikat. ‘Imran bin Al-Hushain berkata kepada Mithraf bin
Abdullah: “Apakah engkau tidak melihat kepada para malaikat, yang dimuliakan
aku oleh Allah dengan para malaikat itu, yang telah ditolaknya oleh Allah
Ta’ala atasku, sesudah aku mengkabarkanNya dengan tidak adanya para malaikat
itu ?”. Jadi, obat besi panas itu dan yang berlaku menyerupainya, tidaklah
layak dengan orang yang bertawakkal. Karena ia memerlukan pada memahaminya
kepada pengaturan. Kemudian, dia itu tercela. Menunjukkan yang demikian itu,
kepada bersangatan pemerhatian sebab-sebab dan memperdalaminya. Wallahu a’lam -
Allah Maha Tahu.
PENJELASAN: bahwa
meninggalkan berobat kadang-kadang dipujikan pada sebahagian hal dan menunjukkan
kepada kuatnya tawakkal. Bahwa yang demikian itu tidak berlawanan dengan
perbuatan Rasulullah saw.
Ketahuilah, bahwa mereka yang berobat
dari ulama-ulama yang terdahulu tidaklah terhingga banyaknya. Akan tetapi,
ditinggalkan juga berobat oleh segolongan daripada ulama-ulama besar.
Kadang-kadang disangkakan, bahwa yang demikian itu suatu kekurangan. Karena
jikalau adalah itu suatu kesempurnaan, niscaya ditinggalkan oleh Rasulullah
saw. Karena tidaklah keadaan orang lain tentang tawakkal itu yang lebih
sempurna dari keadaannya saw. Diriwayatkan dari Abubakar ra, bahwa ditanyakan
kepadanya: “Bagaimana jikalau kami panggil tabib bagi engkau ?”. Abubakar ra
menjawab: “Tabib itu memandang kepadaku dan mengatakan: “Bahwa aku berbuat apa
yang aku kehendaki”. Ditanyakan kepada Abid-Darda’ pada sakitnya: “Apakah yang
engkau ngadukan ?”. Abid-Darda’ menjawab: “Dosaku”. Ditanyakan lagi: “Apa yang
engkau inginkan ?”. Beliau menjawab: “Ampunan Tuhanku”. Mereka bertanya lagi:
“Apakah tidak kami panggil tabib untuk engkau ?”. Beliau menjawab: “Tabib itu
membawa aku sakit”. Ditanyakan kepada Abu Dzar dan telah sakit kedua matanya:
“Bagaimana, jikalau engkau obati akan kedua mata itu ?”. Beliau menjawab:
“Bahwa aku sibuk, daripada memikirkan dua mata itu”. Lalu ditanyakan lagi
kepadanya: “Jikalau kiranya, engkau bermohon kepada Allah, bahwa Ia
menyembuhkan engkau ?”. Beliau menjawab: “Aku bermohon padaNya, mengenai apa
yang lebih penting kepadaku daripada dua mata itu”.
Al-Rabi’ bin Khatsam kena
penyakit lumpuh. Lalu ditanyakan kepadanya: “Jikalau anda berobat ?”. Beliau
menjawab: “Aku sudah bercita-cita hendak berobat. Kemudian aku teringat kepada
‘Ad, Tsamud, orang-orang yang berpenyakit demam dan berabad-abad diantara
demikian yang banyak. Pada mereka ada tabib-tabib. Maka binasalah yang
mengobatkan dan yang diobatkan. Dan tidaklah memanfaatkan jampi-jampi itu akan
sesuatu”. Adalah Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Lebih disukai bagi orang yang
berkeyakinan tawakkal dan menempun jalan ini, meninggalkan berobat, daripada
meminum obat dan lainnya”. Ada pada Ahmad bin Hanbal beberapa penyakit. Beliau
tidak menerangkan pula kepada orang yang mempelajari ilmu ketabiban, apabila
bertanya kepadanya. Ditanyakan kepada Sahl: “Pabilakah shah tawakkal bagi
seorang hamba ?”. Beliau menjawab: “Apabila masuk kepadanya kemelaratan pada
tubuhnya dan kekurangan pada hartanya. Maka ia tidak menoleh kepadanya, karena
sibuk dengan hal-ihwalnya. Ia memperhatikan kepada berdirinya Allah Ta’ala atas
dirinya”. Jadi, sebahagian mereka ada yang meninggalkan berobat di belakangnya.
Sebahagian mereka, ada yang tiada menyukainya. Dan tidak teranglah cara
mengumpul kan diantara perbuatan Rasulullah saw dan perbuatan mereka, selain
dengan menghinggakan hal-hal yang memalingkan dari berobat. Maka kami mengatakan,
bahwa bagi meninggalkan berobat itu mempunyai sebab-sebab, sbb:
Sebab pertama, bahwa adalah orang yang sakit itu, dari orang-orang
yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab). Telah terbuka baginya kasyaf (terbuka
hijab) , bahwa ia telah sampai ajalnya. Bahwa obat tiada akan bermanfaat
baginya. Ada yang demikian itu terketahui padanya sekali, dengan mimpi yang
benar. Sekali dengan sangkaan dan berat dugaan. Dan sekali dengan kasyaf
(terbuka hijab) yang meyakinkan.
Menyerupailah bahwa Abubakar Siddik ra meninggalkan berobat termasuk dari sebab
ini. Bahwa ia sebahagian dari orang-orang yang memperoleh kasyaf (terbuka
hijab) . Bahwa Abubakar Siddik ra mengatakan kepada ‘Aisyah tentang urusan
pusaka: “Sesungguhnya keduanya itu saudara perempuan engkau !”. Bahwa ‘Aisyah
hanya mempunyai seorang saudara perempuan. Akan tetapi, adalah isteri Abubakar
ra itu mengandung. Lalu melahirkan anak perempuan. Maka diketahuilah, bahwa
Abubakar ra telah memperoleh kasyaf (terbuka hijab) , bahwa isterinya
mengandung dengan anak perempuan. Maka tidak jauh pula, bahwa ia telah
memperoleh kasyaf (terbuka hijab) juga
dengan akan sampai ajalnya. Jikalau tidak demikian, maka tidak akan disangka
bahwa beliau akan menentang berobat. Ia telah menyaksikan bahwa Rasulullah saw
berobat dan menyuruh para sahabatnya dengan berobat.
Sebab kedua: bahwa adalah orang sakit itu sibuk dengan hal-ihwalnya, dengan ketakutan
akan akibat kesudahannya dan dilihat oleh Allah Ta’ala kepadanya. Maka
melupakannya oleh yang demikian, akan kepedihan sakit. Lalu tiada melepaskan
hatinya untuk berobat, karena kesibukan dengan hal-ihwalnya itu. Dan kepada
inilah ditunjukkan oleh perkataan Abu Dzar. Karena ia mengatakan: “Bahwa aku
sibuk daripada memikirkan dua mataku yang sakit itu”. Perkataan Abud-Darda’,
karena ia berkata: “Sesungguhnya aku mengadukan dosa-dosaku”. Adalah hatinya
merasa pedih, karena takut dari dosa-dosanya, lebih banyak daripada rasa pedih
badannya dengan sakit. Adalah ini, seperti orang yang tertimpa musibah dengan
kematian orang yang paling dikasihinya. Atau seperti orang yang takut, yang
akan dibawa kepada raja-diraja untuk dibunuh, apabila ditanyakan kepadanya:
“Bahwa engkau tidak makan, padahal engkau lapar ?”. Lalu ia menjawab: “Aku
sibuk yang lain, daripada memikirkan kepada kepedihan lapar”. Maka tidaklah
yang demikian itu memungkiri, bagi adanya makan itu bermanfaat dari lapar. Dan
tidak ada cacian pada orang yang makan. Dan mendekati dengan ini, oleh
kesibukan Sahl, dimana ketika ditanyakan kepadanya: “Apakah makanan anda ?”.
Lalu beliau menjawab: “Ialah mengingati (berdzikir) kepada Yang Hidup, Yang
Berdiri Sendiri (Al-Hayyul-Qayyum). Lalu dikatakan oleh orang yang bertanya
itu: “Sesungguhnya kami bertanya kepada anda, dari hal tertegaknya tubuh anda”.
Maka Sahl menjawab: “Yang tertegak dengannya itu tubuh, ialah: ilmu”. Dikatakan
lagi oleh yang bertanya itu: “Kami tanyakan anda dari hal makanan”. Sahl
menjawab: “Makanan itu, ialah: dzikir”. Dikatakan pula oleh yang bertanya:
“Kami tanyakan anda dari makanan tubuh”. Sahl menjawab: “Apalah tubuh itu !
tinggalkanlah kepada Yang Mengurusnya mula-mula, yang akan mengurusnya pada
penghabisan. Apabila datang kepada tubuh itu penyakit, maka kembalikanlah
kepada Yang Menciptakannya ! apakah tidak engkau melihat kepada suatu bikinan,
apabila rusak, niscaya mereka kembalikan kepada pembikinnya, sehingga
diperbaikinya ?”.
Sebab ketiga: bahwa penyakit itu sudah berjalan lama. Dan obat yang
disuruhkan, dengan dikaitkan kepada penyakitnya itu diduga ada manfaatnya, yang
berlaku sebagai berlakunya tenung dan jampi. Maka ditinggalkan oleh orang yang
bertawakkal. Kepada itulah yang diisyaratkan oleh perkataan Ar-Rabi’ bin
Khaitsaman. Karena ia mengatakan: “Aku teringat kepada ‘Ad dan Tsamud. Dan pada
mereka itu banyak tabib. Maka binasalah yang mengobatkan dan yang diobatkan”.
Artinya: bahwa obat itu tidak dipercayai. Dan ini kadang-kadang ada seperti
yang demikian pada dirinya. Dan kadang-kadang ada pada orang yang sakit seperti
yang demikian. Karena kurang membiasakan bagi ketabiban dan sedikit
percobaannya bagi yang demikian. Maka tiada mengeraskan kepada sangkaannya akan
adanya itu bermanfaat. Dan tidak ragu lagi, bahwa tabib yang berpengalaman itu
lebih keras kepercayaannya pada obat-obat dibandingkan dengan yang lain. Maka
adalah kepercayaan dan sangkaan itu menurut keyakinan. Dan keyakinan itu menurut
pengalaman. Kebanyakan orang yang meninggalkan berobat dari hamba Allah dan
orang-orang zuhud itu, maka inilah tempat sandarannya. Karena, berkekalan obat
pada pihaknya, sebagai sesuatu yang didugakan, yang tidak mempunyai dasar. Dan
yang demikian itu benar pada sebahagian obat, pada orang yang mengetahui
perusahaan ketabiban. Dan tidak benar pada sebahagian yang lain. Akan tetapi,
orang yang bukan tabib, kadang-kadang memandang kepada semua, dengan satu
pandangan. Lalu melihat pengobatan itu sebagai mendalami mengenai sebab-sebab,
seperti: tenung dan jampi. Lalu ditinggalkannya, lantaran tawakkal.
Sebab keempat: bahwa hamba itu bermaksud dengan meninggalkan berobat,
untuk mengekalkan penyakit. Supaya memperoleh pahala sakit, dengan kebagusan
sabar atas percobaan dari Allah Ta’ala. Atau untuk ia mencobakan dirinya, pada
kemampuan kepada bersabar. Telah datang hadits tentang pahala sakit, apa yang
banyaklah menyebutkannya. Nabi saw bersabda: “Kami para nabi-nabi adalah
manusia yang paling berat percobaannya. Kemudian yang lebih mulia, lalu yang
lebih mulia. Dicobakan hamba atas kadar imannya. Jikalau ia keras iman, niscaya
iman itu mengeraskan percobaan kepadanya. Dan jikalau pada imannya kelemahan,
niscaya meringankan daripadanya akan percobaan”. Tersebut pada hadits: “Bahwa
Allah Ta’ala mencoba akan hambaNya dengan suatu percobaan, sebagaimana seorang
kamu mencoba akan emasnya dengan api. Maka sebahagian mereka, ada yang keluar
seperti emas murni yang tidak berobah warnanya. Sebahagian mereka ada yang
kurang dari yang demikian. Dan sebahagian mereka ada yang keluar, hitam
terbakar”. Tersebut pada hadits, dari jalan keluarga Nabi saw: “Bahwa Allah
Ta’ala, apabila sayang kepada seorang hamba, niscaya dicobakanNya. Kalau ia
sabar, niscaya dipilihNya (menjadi orang pilihan). Maka jikalau ia ridha
(senang), niscaya dipilihNya dengan keutamaan dan kebersihan”. Nabi saw
bersabda: “Kamu menyukai bahwa adalah kamu seperti keledai yang hilang (sesat,
tidak tahu kandangnya lagi), tidak kamu sakit dan tidak kamu datang sakit”.
Ibnu Mas’ud ra berkata:
“Kamu dapati orang mu’min itu yang paling sehat hatinya dan paling sakit
tubuhnya. Dan engkau dapati orang munafik itu yang paling sehat tubuhnya dan
yang paling sakit hatinya”. Maka tatkala besarlah pujian kepada sakit dan
percobaan, niscaya suatu kaum menyukai sakit dan mempergunakan kesempatan untuk
memperoleh sakit. Supaya mereka mencapai pahala sabar atas sakit itu. Adalah
sebahagian mereka mempunyai penyakit yang disembunyikannya dan tidak
diterangkannya kepada tabib (dokter). Ia tahan menderita dengan penyakit itu.
Ia ridha dengan hukum Allah Ta’ala. Ia tahu, bahwa kebenaran (al-haqq) lebih
mengerasi atas hatinya, daripada hatinya itu disibukkan oleh penyakit. Bahwa
penyakit itu mencegah rongga badannya. Mereka tahu, bahwa shalat mereka dengan
duduk umpamanya serta sabar atas qodo/ketetapan Allah Ta’ala itu lebih utama
(afdhal) daripada shalat dengan berdiri, serta sehat dan afiat. Tersebut pada
hadits: “Bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikatNya:“Tuliskanlah bagi
hambaKu akan yang baik dari apa yang dikerjakannya. Sesungguhnya dia dalam
pengikatanKu. Jikalau Aku melepaskannya, niscaya Aku gantikan dia daging yang
lebih baik dari dagingnya dan darah yang lebih baik dari darahnya. Dan jikalau
Aku mematikannya, niscaya Aku mematikannya kepada rahmatKu”. Nabi saw bersabda:
“Amal yang paling utama, ialah yang dipaksakan diri kepada amal itu”. Ada yang
mengatakan, bahwa maknanya, ialah: apa yang masuk kepadanya, dari
penyakit-penyakit dan musibah-musibah. Kepadanyalah isyarat dengan firman Allah
Ta’ala: “Dan boleh jadi kamu kurang menyukai sesuatu, sedang dia berguna
kepadamu”. S 2 Al Baqarah ayat 216.
Sahl berkata:
“Meninggalkan berobat, meskipun lemah dari taat dan teledor dari amalan fardhu
itu lebih utama daripada berobat untuk karena taat”. Ada pada Sahl penyakit
parah, maka ia tidak berobat dari penyakit parah itu. Dan ia menyuruh manusia
berobat daripadanya. Apabila ia melihat seorang hamba mengerjakan shalat dengan
duduk dan tidak sanggup mengerjakan amal kebajikan dari karena sakit, lalu
hamba itu berobat untuk dapat berdiri kepada shalat dan bangkit mengerjakan
taat, niscaya ia heran dari yang demikian dan berkata: “Shalatnya dari duduk
serta ridha dengan keadaannya itu lebih afdhal dari berobat bagi kekuatan dan shalat
berdiri”. Ditanyakan Sahl dari meminum obat, maka ia menjawab: “Setiap orang
yang masuk dalam sesuatu dari obat, maka sesungguhnya itu keluasan dari Allah
Ta’ala bagi orang yang lemah. Dan siapa yang tidak masuk dalam sesuatu
daripadanya, maka itu lebih utama. Karena, jikalau ia mengambil sesuatu dari
obat, walaupun dia itu air dingin, niscaya ditanyakan kepadanya: “Mengapa
diambilnya ?”. Dan jikalau tidak diambilnya, maka tak ada pertanyaan
kepadanya”. Adalah madzhab (aliran) Sahl dan aliran ulama-ulama Basrah itu
melemahkan diri dengan lapar dan menghancurkan nafsu syahwat. Karena mereka
tahu, bahwa sebesar atom dari amalan hati, seperti: sabar, ridha dan tawakkal
itu lebih utama, dari seperti gunung-gunung dari amalan anggota badan. Penyakit
tidak mencegah dari amalan hati, kecuali apabila ada kepedihannya mengeras,
yang mendahsyatkan. Sahl ra berkata: “Penyakit tubuh itu rahmat dan penyakit
hati itu siksaan”.
Sebab kelima: bahwa ada hamba itu telah mendahului baginya
dosa-dosa. Ia takut dari dosa-dosa itu. Ia lemah daripada menutupkannya (dengan
memberi kafarat dll). Maka ia berpendapat, bahwa sakit apabila berkepanjangan,
maka dapat menutupkannya. Lalu ia meninggalkan berobat, karena takut, bahwa
bersegera hilangnya sakit. Nabi saw bersabda: “Senantiasalah demam dan panasnya
itu pada seorang hamba, sehingga ia berjalan di atas bumi, seperti pakaian
selimut dari bulu. Tidak ada atasnya dosa dan kesalahan”. Tersebut pada hadits:
“Demam sehari itu menjadi kafarat (penutup dosa) setahun”. Dikatakan, maka
demikian, karena demam itu meruntuhkan kekuatan setahun. Ada yang mengatakan,
bahwa manusia itu mempunyai 360 sendi. Maka demam itu masuk dalam semua sendi
itu. Dan ia dapati dari setiap satu sendi itu kepedihan. Maka adalah setiap
kepedihan itu kafarat bagi sehari. Tatkala Nabi saw menyebutkan kafarat dosa
dengan demam, lalu Zaid bin Tsabit berdoa kepada Tuhannya ‘Azza Wa Jalla,
supaya ia selalu demam. Maka tidaklah demam itu bercerai dari Zaid, sehingga ia
wafat. Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepadanya. Dan diminta yang demikian
oleh suatu golongan dari kaum anshar. Maka adalah demam itu tiada hilang dari
mereka. Tatkala Nabi saw bersabda: “Barangsiapa dihilangkan oleh Allah 2 biji
matanya, niscaya Allah tidak ridha baginya pahala, selain sorga”, maka Zaid
berkata: “Sesungguhnya ada dari orang-orang anshar, orang yang bercita-cita
supaya buta”.
Nabi Isa as berkata:
“Tidaklah menjadi orang yang berilmu (alim), orang yang tidak bergembira dengan
masuknya musibah dan penyakit kepada badannya dan hartanya. Karena ia tidak
mengharap pada yang demikian, dari kafarat kesalahan-kesalahannya”.
Diriwayatkan, bahwa Musa
as melihat seorang hamba yang besar percobaannya. Lalu ia berdoa: “Wahai
Tuhanku ! curahkan rahmat kepada hamba itu !”. Maka Allah Ta’ala berfirman:
“Bagaimana Aku memberikan rahmat kepadanya, pada apa, yang dengannya itu Aku
curahkan rahmat kepadanya ?”. Artinya: “Dengan itu Aku tutupkan dosa-dosanya
dan Aku tambahkan pada derajat-derajatnya”.
Sebab keenam: bahwa hamba itu merasa pada dirinya akan permulaan
kesombongan dan kedurhakaan, dengan lamanya masa sehat. Lalu ia meninggalkan
berobat, takut bersegera hilangnya penyakit. Maka ia diulang-ulangi oleh
kelalaian, kesombongan dan kedurhakaan. Atau panjangnya angan-angan dan
menangguh kan pada masa yang akan datang, untuk memperoleh yang hilang dan
mengemudiankan hal-hal kebajikan. Bahwa kesehatan itu ibarat dari kekuatan
sifat-sifat. Dan dengan sifat-sifat itu membangkitlah hawa nafsu, bergeraklah
nafsu syahwat dan mengajak kepada perbuatan-perbuatan maksiat.
Sekurang-kurangnya kesehatan itu mengajak kepada bersenang-senang pada hal-hal
yang diperbolehkan (hal-hal yang mubah). Yaitu: menyia-nyiakan waktu,
melengahkan keuntungan besar pada menyalahi hawa nafsu dan ketidak-berceraian
dengan perbuatan taat. Dan apabila Allah menghendaki akan kebajikan dengan
seorang hamba, niscaya tidak mengosongkannya daripada berjaga-jaga dengan
penyakit-penyakit dan musibah-musibah.
Karena itulah, dikatakan,
bahwa orang mu’min itu tidak kosong dari penyakit atau kekurangan atau
tergelincir. Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Kemiskinan itu
penjaraKu dan sakit itu ikatanKu. Aku tahan dengan itu akan siapa yang Aku
kasihi dari makhlukKu”. Jadi, adalah pada sakit itu tahanan dari kedurhakaan
dan mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat. Maka manakah kebajikan yang
melebihi daripadanya ? dan tiada seyogyalah sibuk dengan mengobati penyakit,
bagi orang yang takut akan demikian atas dirinya. Maka sehat wal-afiat itu pada
meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat. Sebahagian orang yang berilmu
ma’rifah (orang arifin) bertanya kepada seorang insan: “Bagaimana engkau
sesudahku ?”. Insan itu menjawab: “Dalam sehat wal-afiat”. Orang arifin itu
menyambung: “Kalau engkau tidak berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla,
maka engkau itu dalam sehat wal-afiat. Dan jikalau engkau telah mengerjakan
perbuatan maksiat, maka manakah penyakit yang lebih berpenyakit dari perbuatan
maksiat ? tiadalah sehat wal-afiat bagi orang yang berbuat maksiat kepada
Allah”.
Ali ra bertanya, tatkala
melihat perhiasan kaum Nabti di Irak, pada suatu hari raya: “Apakah ini yang
dipertunjukkan mereka ?”. Orang-orang itu menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin !
ini adalah hari raya bagi mereka”. Lalu Ali ra menjawab: “Setiap hari yang
tidak dikerjakan perbuatan maksiat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla maka itu adalah
hari raya bagi kita”. Allah Ta’ala berfirman: “......sesudah diperlihatkan oleh
Tuhan kepadamu apa yang kamu sukai”. S 3 Ali ‘Imran ayat 152. Dikatakan: yaitu:
sehat wal-afiat. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya manusia itu bertindak
melanggar batas. Disebabkan dia melihat dirinya serba cukup”. S 96 Al ‘Alaq
ayat 6-7. Dan seperti demikian juga, apabila ia merasa cukup dengan sehat
wal-afiat. Sebahagian mereka mengatakan: “Sesungguhnya Fir’aun mengatakan: “Aku
inilah tuhan kamu yang amat tinggi”. S 79 An Naazi’aat ayat 24. Karena lamanya
ia sehat wal-afiat. Karena selama 400 tahun tidak pernah pening kepalanya, tidak
pernah tubuhnya demam dan tidak pernah keringatnya bercucuran. Lalu ia
mendakwakan ketuhanan. Kiranya ia dikutuk oleh Allah. Jikalau ia diserang oleh
sakit kepala sehari saja, niscaya menyibukkan ia dari hal-hal yang tidak perlu,
lebih-lebih daripada mendakwakan ketuhanan. Nabi saw bersabda: “Perbanyakkanlah
daripada menyebutkan yang memutuskan kelezatan”. Dikatakan, bahwa demam itu
pengintai mati. Dialah yang mengingatkan kepada mati dan yang menolak untuk
menangguhkan sesuatu bagi masa depan. Allah Ta’ala berfirman: “Tidakkah mereka
melihat, bahwa mereka diuji setiap tahunnya,
sekali atau dua kali, kemudian mereka tiada taubat dan tiada ingat”. S 9 At
Taubah ayat 126. Dikatakan: mereka itu diuji dengan penyakit-penyakit yang
dicobakan mereka. Dikatakan, bahwa hamba apabila telah sakit dua kali, kemudian
tidak bertaubat, niscaya berkata malakul-maut kepadanya: “Hai orang lalai !
telah datang kepadamu dari aku, utusan demi utusan. Kamu tidak juga
memperkenankan”. Karena itulah, para ulama salaf merasa hatinya liar, apabila
telah habis tahun dan mereka tidak mendapat musibah dengan kekurangan pada diri
atau harta. Mereka mengatakan: “Tidak terlepaslah orang mu’min pada setiap 40
hari, bahwa dikejutkan dengan suatu kejutan atau ditimpakan dengan suatu
bencana. Sehingga diriwayatkan, bahwa ‘Ammar bin Yasir kawin dengan seorang
wanita. Lalu wanita itu tidak pernah sakit. Maka ditalakkannya. Bahwa Nabi saw
dibawakan kepadanya seorang wanita. Lalu diterangkan sifat-sifat wanita
tersebut. Sehingga Nabi saw bercita-cita mengawininya. Lalu dikatakan, bahwa
wanita itu tidak pernah sakit sekali-kali. Maka Nabi saw bersabda: “Tiada
berhajat aku padanya”. Rasulullah saw menyebutkan penyakit-penyakit dan
kepedihan, seperti pening dan lainnya. Seorang laki-laki bertanya: “Apakah
pening (ash-shuda’) itu ? aku tidak mengetahuinya”. Maka Nabi saw menjawab:
“Jauhlah kamu daripadaku ! siapa yang berkehendak memandang kepada seseorang
dari isi neraka, maka hendaklah ia memandang kepada orang ini !”. Dan ini
karena telah datang pada hadits: “Demam itu keuntungan setiap orang mu’min dari
api neraka”. Pada hadits Anas dan ‘Aisyah: “Ditanyakan: “Wahai Rasulullah !
adakah bersama orang-orang syahid pada hari kiamat, orang-orang lain ?”. Nabi
saw lalu menjawab: “Ya, orang yang mengingati mati setiap hari 20 kali”. Pada
lafazh lain: “Orang yang mengingati dosanya, lalu menggundahkannya”. Tidak ragu
lagi, bahwa mengingatkan mati kepada orang sakit itu lebih keras kesannya.
Tatkala banyaklah faedah sakit itu, lalu suatu golongan berpendapat, akan
meninggalkan usaha untuk menghilangkannya. Karena mereka melihat bagi dirinya
akan tambahan padanya. Tidak dari segi, mereka itu melihat bahwa pengobatan
adalah suatu kekurangan. Bagaimana adanya itu kekurangan, sedang Nabi saw telah
berbuat yang demikian.
PENJELASAN: tolakan atas
orang yang mengatakan, bahwa meninggalkan berobat itu lebih utama dengan setiap
keadaan.
Kalau berkata orang yang mengatakan,
bahwa perbuatannya Nabi saw itu untuk menjadikan sunnah bagi orang lain. Kalau
tidak, maka itu adalah perihal orang-orang lemah. Derajat orang-orang kuat
mengharuskan tawakkal dengan meninggalkan berobat. Maka dijawab, bahwa
seyogyalah dari syarat tawakkal itu meninggalkan berbekam dan berbetik ketika
banyak keluar darah. Kalau dikatakan, bahwa yang demikian itu juga syarat, maka
hendaklah dari syaratnya, bahwa ia dipatuk oleh kalajengking atau ular, maka
tidak dipindahkannya dari dirinya. Karena darah itu mematuk batin dan
kalajengking itu mematuk zahir. Maka manakah perbedaan diantara keduanya ?
Kalau ia mengatakan, bahwa yang demikian juga syarat bagi tawakkal. Maka
dijawab, bahwa seyogyalah bahwa ia tidak menghilangkan patukan haus dengan air,
patukan lapar dengan roti dan patukan dingin dengan baju jubah. Dan ini tiada
yang mengatakannya. Dan tiada perbedaan diantara derajat-derajat ini. Bahwa
semua yang demikian itu sebab-sebab yang diatur oleh Yang Menyebabkan
sebab-sebab (Allah swt). Dan melakukan padanya SunnahNya. Ditunjukkan bahwa
yang demikian tidaklah termasuk syarat tawakkal, oleh apa yang dirawikan dari
Umar ra dan dari para sahabat, tentang kisah penyakit kolera. Bahwa mereka
tatkala menuju negeri Syam (Syiria) dan sampai di Al-Jabiah (suatu tempat dekat
Damaskus), lalu sampai kepada mereka berita, bahwa di sana banyak kematian dan
penyakit kolera yang berjalan cepat sekali. Maka berselisihlah manusia kepada
dua golongan. Sebahagian mereka mengatakan, bahwa kita jangan masuk ke tempat
kolera itu. Nanti kita mencampakkan diri kita kepada kebinasaan. Segolongan
yang lain mengatakan: “Bahkan kita masuk dan kita bertawakkal. Kita tidak lari
dari takdir Allah Ta’ala dan tidak melarikan diri dari mati. Maka adalah kita,
seperti orang yang difirmankan oleh Allah Ta’ala tentang mereka: “Tidakkah
engkau perhatikan orang-orang yang keluar dari rumahnya, beribu-ribu banyaknya,
karena takut mati”. S 2 Al Baqarah ayat 243. Maka mereka kembali kepada Umar,
lalu menanyakan pendapatnya. Umar ra menjawab: “Kita kembali dan kita tidak
masuk kepada kolera”. Orang-orang yang berbeda pendapat dengan Umar lalu menjawab:
“Adakah kita lari dari takdir Allah Ta’ala ?”. Umar ra menjawab: “Benar, kita
lari dari takdir Allah kepada takdir Allah”. Kemudian, beliau membuat contoh
kepada mereka, seraya mengatakan: ‘Adakah kamu berpendapat, bahwa jikalau ada
bagi seorang kamu seekor kambing. Lalu ia turun ke suatu lembah, yang mempunyai
dua cabang. Yang satu subur dan yang lain tandus. Adakah tidak, jikalau ia
gembalakan pada yang subur, bahwa ia gembalakan dengan takdir Allah Ta’ala dan
jikalau ia gembalakan pada yang tandus, bahwa ia gembalakan dengan takdir Allah
Ta’ala ?”. Mereka lalu menjawab: “Ya !”. Kemudian, Umar ra mencari Abdurrahman
bin ‘Auf, untuk menanyakan pendapatnya. Dan tidak ada Abdurrahman bin ‘Auf
ketika itu. Ketika sudah pagi hari, lalu datang Abdurrahman. Maka Umar
menanyakan kepadanya. Abdurrahman menjawab:“Padaku mengenai ini wahai
Amirul-mu’minin ada sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw”. Umar lalu
membacakan: “Allahu Akbar”. Abdurrahman menyambung: “Aku mendengar Rasulullah
saw bersabda: “Apabila kamu mendengar penyakit kolera di suatu daerah, maka
janganlah kamu datang kepadanya. Dan apabila telah terjadi penyakit kolera itu
pada suatu daerah dan kamu berada padanya, maka jangan kamu keluar, untuk lari
daripadanya”. Umar ra bergembira dengan demikian dan memuji Allah Ta’ala.
Karena sesuai dengan pendapatnya. Dan ia kembali dari Al-Jabiah bersama orang
banyak. Jadi, bagaimana sepakatnya para sahabat semuanya meninggalkan tawakkal
dan tawakkal itu maqam yang tertinggi, jikalau ada yang seperti ini termasuk
syarat tawakkal ? Kalau anda bertanya: “Maka mengapakah dilarang keluar dari
negeri yang ada padanya penyakit kolera ? sebab kolera, menurut ilmu ketabiban
itu udara. Dan yang paling jelas dari jalan berobat itu, ialah lari dari yang
mendatangkan melarat. Dan udara itu yang mendatangkan melarat. Maka mengapakah
tidak diberikan keringanan padanya ?”. Ketahuilah, bahwa tiada perbedaan
pendapat, tentang lari dari yang mendatangkan melarat itu tidak dilarang.
Karena berbekam dan berbetik itu lari dari yang mendatangkan melarat. Dan
meninggalkan tawakkal pada contoh-contoh yang seperti ini diperbolehkan. Dan
ini tidak menunjukkan kepada maksud. Akan tetapi, yang berkekurangan padanya
dan ilmu adalah di sisi Allah Ta’ala bahwa udara tidak mendatangkan melarat,
dari segi menemui zahiriyah badan. Akan tetapi, dari segi berkekalan
(terus-menerus) menghirupnya. Maka apabila ada padanya kebusukan dan sampai
kepada paru-paru, jantung dan dalam lipatan perut, niscaya membekas padanya, disebabkan lamanya menghirup. Maka tidak lahir
penyakit kolera itu atas zahiriyah badan, selain sesudah lamanya membekas pada
batiniah badan. Maka keluar dari negeri yang telah berjangkit penyakit wabah
kolera itu biasanya tidak terlepas dari bekas yang telah teguh sebelumnya. Akan
tetapi, diduga terlepas. Maka jadilah ini termasuk jenis yang didugakan,
seperti: jampi, menengok untung dan lainnya. Jikalau sunyilah makna ini, niscaya
adalah dia itu bertentangan bagi tawakkal. Dan tidaklah terlarang daripadanya.
Akan tetapi, dia menjadi terlarang, karena disandarkan kepadanya urusan yang
lain. Yaitu, bahwa jikalau diperbolehkan keluar bagi orang-orang yang sehat,
niscaya tidak tinggal lagi dalam negeri itu, selain orang-orang sakit yang
telah didudukkan oleh wabah kolera. Maka hancurlah hati mereka dan mereka
kehilangan orang-orang yang melayaninya. Dan tidak tinggal dalam negeri, orang
yang memberikan air kepada mereka dan yang memberikan makanan. Mereka lemah
daripada mengerjakannya sendiri. Maka adalah yang demikian itu suatu usaha
membinasakan mereka pada hakikat/maknanya. Kelepasan mereka itu ditunggu,
sebagaimana kelepasan orang-orang yang sehat itu ditunggu. Maka jikalau mereka
menetap terus (bermukim terus di situ), niscaya tidaklah kemungkinan itu yang
memutuskan dengan mati. Jikalau mereka keluar, niscaya tidaklah keluar itu yang
memutuskan dengan kelepasan. Dialah yang memutuskan pada membinasakan yang
masih tinggal itu. Orang muslimin itu seperti gedung yang dikokohkan oleh
sebahagian akan sebahagian. Dan orang mu’minin itu seperti satu tubuh. Apabila
mengaduh suatu anggota badan daripadanya, niscaya terbawa kepadanya
anggota-anggota badan lainnya. Maka inilah yang berkekurangan pada kita tentang
menerangkan sebab larangan. Dan ini menjadi terbalik, pada orang yang tidak
datang ke negeri itu sesudahnya. Maka tidaklah udara mendatangkan bekas pada
batin mereka. Dan tidak ada keperluan dengan penduduk negeri itu kepada mereka.
Ya, jikalau tidak tinggal lagi di negeri itu, selain orang-orang yang telah
kena wabah kolera dan mereka ini memerlukan kepada orang-orang yang melayaninya
dan datang kepada mereka suatu kaum, maka kadang-kadang berkekuranganlah
kesukaan masuk ke sini, untuk memberi pertolongan. Dan tidak dilarang dari
masuk, karena itu mendatangkan melarat yang didugakan, atas harapan tertolaknya
melarat dari sisanya kaum muslimin yang lain. Dengan ini, diserupakan lari dari
wabah kolera pada sebahagian hadits, dengan lari dari barisan perang. Karena
padanya menghancur kan hati sisanya kaum muslimin yang lain dan mengusahakan
pada membinasakan mereka. Maka inilah hal-hal yang halus ! siapa yang tidak
memperhatikannya dan melihat kepada zahiriyah hadits dan atsar, niscaya
bertentangan padanya kebanyakan apa yang didengarnya. Kekeliruan orang-orang
abid dan zahid pada yang seperti ini, adalah banyak. Dan kemuliaan dan
keutamaan ilmu itu adalah karena yang demikian. Kalau anda bertanya, bahwa pada
meninggalkan berobat itu ada kelebihan, sebagaimana anda sebutkan dahulu, maka
mengapakah tidak ditinggalkan oleh Rasulullah saw daripada berobat, supaya
beliau memperoleh kelebihan ? Maka kami menjawab, bahwa padanya itu kelebihan,
dengan dikaitkan kepada orang yang banyak dosanya, untuk menutupkannya (menjadi
kafaratnya). Atau ia takut atas dirinya kedurhakaan sehat wal-afiat dan
kekerasan nafsu syahwat. Atau ia memerlukan kepada apa, yang diperingatkannya
oleh mati, karena kerasnya kelalaian. Atau ia memerlukan kepada memperoleh
pahala orang-orang yang bersabar, karena keteledorannya dari maqam orang-orang
yang ridha dan tawakkal. Atau singkat pandangan mata hatinya daripada melihat,
kepada apa yang disimpan oleh Allah Ta’ala dalam obat-obat, daripada
manfaat-manfaat yang halus. Sehingga menjadi pada pihaknya itu yang didugakan,
seperti jampi. Atau adalah kesibukannya dengan keadaannya sendiri, yang
mencegahnya daripada berobat. Dan adalah berobatnya itu menyibukkannya dari
keadaannya sendiri, karena kelemahannya daripada mengumpulkan diantara dua
kesibukan itu. Maka kepada makna-makna inilah kembali hal-hal yang memalingkan,
pada meninggalkan berobat. Setiap yang demikian itu kesempurnaan, dengan
dikaitkan kepada sebahagian makhluk dan kekurangan dengan dikaitkan kepada
derajat Rasulullah saw. Bahkan, adalah maqamnya saw itu yang tertinggi dari
maqam-maqam ini seluruhnya. Karena adalah hal keadaannya menghendaki bahwa ada
penyaksiannya itu sama rata, ketika adanya sebab-sebab dan ketika tiada
keadaannya. Maka sesungguhnya tidak ada baginya perhatian pada hal-ihwal,
selain kepada Yang Menyebabkan sebab-sebab. Dan siapa yang ini maqamnya, niscaya
tidaklah sebab-sebab itu mendatangkan melarat kepadanya. Sebagaimana keinginan
kepada harta itu suatu kekurangan. Dan kebencian kepada harta itu suatu
ketidak-senangan baginya. Jikalau adalah itu suatu kesempurnaan, maka dia juga
suatu kekurangan, dengan dikaitkan kepada orang, yang sama padanya, adanya
harta dan tidak adanya. Maka samanya batu dan emas itu lebih sempurna daripada
lari dari emas. Tidak dari batu. Adalah hal-ihwalnya Nabi saw, sama padanya
lumpur dan emas. Nabi saw tidak menahan barang tersebut, untuk mengajarkan
manusia maqam zuhud. Bahwa maqam itu adalah penghabisan kekuatan mereka. Tidak,
karena takutnya Nabi saw atas dirinya, pada menahan emas itu. Bahwa Nabi saw di
tingkat yang tertinggi, daripada ia ditipu oleh dunia. Telah dibawa kepadanya
perbendaharaan bumi, maka ia enggan menerimanya. Maka seperti demikian juga,
sama padanya saw disertai sebab-sebab dan ditinggalkan sebab-sebab, bagi
penyaksian yang seperti ini. Bahwa ia tidak meninggalkan memakai obat, karena
berlaku atas Sunnah Allah Ta’ala dan memudahkan bagi umatnya, pada apa, yang
tersentuh hajat mereka kepadanya, serta tak ada melarat padanya. Lain halnya
dengan pemasukan harta benda. Bahwa yang demikian itu besar melaratnya. Benar,
berobat itu tidak mendatangkan melarat, selain dari segi memandang obat itu
mendatangkan manfaat, tidak Yang Menjadikan obat. Ini adalah dilarang. Dari
segi, bahwa yang dimaksudkan, ialah kesehatan, untuk memperoleh pertolongan
dengan kesehatan itu atas perbuatan-perbuatan maksiat. Dan yang demikian itu
dilarang. Orang mu’min pada kebanyakan hal, tidaklah bermaksud yang demikian.
Seorang mu’min tidak melihat obat itu mendatangkan manfaat oleh obat itu
sendiri. Akan tetapi, dari segi bahwa obat itu dijadikan oleh allah Ta’ala
sebab kemanfaatan. Sebagaimana ia tidak melihat air itu menghilangkan haus dan
roti itu mengenyangkan. Maka berobat tentang maksudnya itu adalah seperti hukum
berusaha. Bahwa jikalau ia berusaha untuk memperoleh pertolongan kepada taat
atau kepada maksiat, niscaya adalah baginya hukumnya. Dan jikalau ia berusaha
untuk memperoleh kenikmatan yang diperolehkan, maka baginya hukumnya. Maka
jelaslah dengan pengertian-pengertian yang telah kami bentangkan itu, bahwa
meninggalkan berobat, kadang-kadang adalah lebih utama pada sebahagian hal
keadaan. Bahwa berobat kadang-kadang adalah lebih utama pada sebahagian
keadaan. Bahwa yang demikian itu berbeda dengan berbedanya keadaan, orang dan
niat. Bahwa salah satu dari berbuat dan meninggalkan berbuat, tidaklah menjadi
syarat pada tawakkal, selain meninggalkan yang didugakan, seperti: berobat
dengan besi panas dan jampi. Bahwa yang demikian itu mendalami pada pengaturan,
yang tidak layak dengan orang-orang yang bertawakkal.
PENJELASAN: hal-ihwal
orang-orang yang bertawakkal, pada melahirkan sakit dan menyembunyikannya.
Ketahuilah, bahwa menyembunyikan
sakit, menyembunyikan kemiskinan dan bermacam-macam percobaan itu adalah
sebahagian dari gudang-gudang kebajikan
Dan itu adalah termasuk maqam yang
lebih tinggi. Karena ridha dengan hukum Allah dan sabar atas percobaanNya itu
adalah mu’amalah (jual beli) antara dia dan Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka
menyembunyikannya itu lebih menyelamatkan dari segala bahaya. Bersama dengan
itu, maka melahirkannya tiada mengapa, apabila sah (benar) niat dan maksud padanya.
Maksud-maksud melahirkan itu 3:
Pertama: bahwa ada maksudnya itu berobat. Maka
ia memerlukan kepada menyebutkannya kepada tabib (dokter). Maka disebutkannya
penyakit itu, tidak dalam bentuk mengadu, akan tetapi dalam bentuk
menceritakan, akan apa yang telah tampak atas dirinya dari Qudrah (kekuasaan)
Allah Ta’ala. Adalah Bisyr menyifatkan kepada Abdurrahman yang menjadi tabib,
akan segala penyakitnya. Adalah Ahmad bin Hanbal menceritakan penyakit-penyakit
yang didapatinya. Ia mengatakan: “Bahwa aku menyifatkan qudrah (kuasa) Allah
Ta’ala padaku”.
Kedua: bahwa ia menyifatkan bagi bukan
tabib. Dan dia termasuk orang yang diikuti orang lain. Dan dia orang yang
mantap pada ma’rifah. Maka ia maksudkan daripada menyebutkan itu, supaya orang
mempelajari dari padanya akan kebagusan sabar pada sakit. Bahkan kebagusan
syukur, bahwa ia melahirkan, bahwa ia melihat sakit itu suatu nikmat. Maka ia
bersyukur kepada nikmat itu. Lalu ia memperkatakan dengan sakit itu,
sebagaimana ia memperkatakan dengan nikmat. Al-Hasan Al-Bashari berkata: “Apabila orang sakit itu memuji
Allah Ta’ala dan bersyukur kepadaNya, kemudian ia menyebutkan
penyakit-penyakitnya, niscaya tidaklah yang demikian itu mengadu.
Ketiga: bahwa ia melahirkan dengan yang
demikian itu, akan kelemahannya dan kehajatannya kepada Allah Ta’ala. Yang
demikian itu bagus, dari orang yang layak dengan dia, kekuatan dan keberanian.
Dan menjauhkan daripadanya kelemahan. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa
ditanyakan kepada Ali tentang sakitnya: “Bagaimana anda ?”. Ali ra menjawab:
“Dengan tidak baik”. Lalu mereka pandang-memandang sesamanya, seakan-akan
mereka tidak senang atas jawaban Ali ra itu. Mereka menyangka bahwa jawaban itu
mengadu. Lalu Ali ra berkata: “Aku memaksakan kekuatan dan kesabaran kepada
Allah”. Ali ra ingin melahirkan kelemahan dan kehajatan, serta diketahui
padanya kekuatan dan ketekunan. Ia berkesopanan dengan kesopanan yang diajarkan
Nabi saw kepadanya, dimana Ali ra itu sakit, lalu didengar oleh Nabi saw bahwa
Ali ra itu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! jadikanlah aku ini bersabar atas
percobaan !”. Nabi saw lalu bersabda kepada Ali ra: “Engkau telah meminta pada
Allah Ta’ala akan percobaan. Maka mintalah pada Allah akan sehat wal-afiat !”.
Maka dengan niat-niat ini, diperbolehkan menyebutkan sakit. Sesungguhnya
disyaratkan yang demikian, karena menyebutkannya itu mengadu. Dan mengadu dari
Allah Ta’ala itu haram. Sebagaimana aku telah sebutkan, pada mengharamkan
meminta-minta atas orang miskin, selain disebabkan darurat. Jadilah melahirkan
itu mengadu, dengan karinah kemarahan dan melahirkan ketidak-senangan bagi
perbuatan Allah Ta’ala. Kalau terlepas dari karinah kemarahan dan dari
niat-niat yang telah kami sebutkan, maka tidak disifatkan dengan pengharaman.
Akan tetapi, dihukumkan padanya, dengan yang lebih utama meninggalkannya.
Karena itu kadang-kadang mendugakan akan mengadu. Dan karena kadang-kadang ada
padanya berbuat-buat dan penambahan pada sifat atas yang ada dari sebab
karenanya. Dan orang yang meninggalkan berobat, karena tawakkal, maka tiada
cara baginya untuk melahirkan. Karena bersenang-senang kepada obat itu lebih
utama dari bersenang-senang kepada dikenal orang.
Sebahagian mereka berkata:
“Siapa yang menyiarkan, niscaya dia tidak sabar”. Dan dikatakan tentang makna
firman Allah Ta’ala: “Maka kesabaran yang baik itulah”. S 12 Yusuf ayat 83.
Ialah, yang tak ada mengadu padanya. Ditanyakan kepada Nabi Ya’qub as: “Apakah
yang menghilangkan penglihatan engkau ?”. Nabi Ya’qub as menjawab: “Berlalunya
masa dan lamanya kegundahan”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi
Ya’qub as: “Aku habiskan pengaduanKu kepada hamba-hambaKu”. Nabi Ya’qub as
berdoa: “Wahai Tuhanku ! aku bertaubat kepadaMu !”. Diriwayatkan dari Thawus
dan Mujahid, bahwa keduanya mengatakan: “Dituliskan atas orang yang sakit, akan
pengaduhannya dalam sakitnya”. Mereka itu tidak menyukai akan pengaduhan karena
sakit. Karena yang demikian itu melahirkan makna yang menghendaki mengadu.
Sehingga dikatakan: “Tiada diperoleh oleh Iblis kiranya ia dikutuk oleh Allah
dari nabi Ayyub as, selain pengaduhannya dalam sakitnya”. Maka dijadikan
pengaduhan itu keberuntungan Iblis dari nabi Ayyub as. Tersebut pada hadits:
“Apabila sakit seorang hamba, maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada dua malaikat:
“Perhatikanlah, apa yang dikatakan orang sakit itu kepada
pengunjung-pengunjungnya !”. Kalau ia memuji Allah dan mengucapkan pujian
dengan kebajikan, niscaya kedua malaikat itu berdoa baginya. Dan kalau ia
mengadu dan menyebutkan yang tidak baik, niscaya kedua malaikat itu mengatakan:
“Seperti demikianlah adanya engkau”. Sebahagian hamba Allah tidak suka
mengunjungi orang sakit, karena takut orang sakit itu nanti mengadu. Dan takut
berlebihan pada pembicaraan. Sebahagian mereka apabila sakit, lalu menguncikan
pintu rumahnya. Maka tiada seorangpun yang masuk ke tempatnya sampai ia sembuh.
Lalu ia keluar kepada mereka. Diantara mereka itu yang demikian, ialah:
Fudlail, Wahib dan Bisyr. Fudlail mengatkan: “Aku ingin bahwa aku sakit, tanpa
ada yang berkunjung”. Fudlail mengatakan pula: “Aku tidak benci kepada
penyakit, selain karena orang-orang yang berkunjung”. Kiranya Allah meridhai
Fudlail dan mereka sekalian. Sempurnalah sudah Kitab Keesaan dan Tawakkal
dengan pertolongan Allah dan kebagusan taufiqNya. Akan diiringi insya Allahu
Ta’ala oleh Kitab Kasih-sayang, Rindu, Jinak Hati dan Ridha. Allah swt yang
mencurahkan taufiq !