Kamis, 13 Februari 2014

35. KITAB TAUHID DAN TAWAKKAL.

KITAB KEESAAN DAN TAWAKKAL.
Yaitu: Kitab Ke-5 dari “Rubu’ Yang Melepaskan” dari Kitab Ihya’ Ulumiddin.
Segala pujian bagi Allah Yang Mengatur alam nyata dan alam ghaib, Yang sendirian dengan keagungan dan keperkasaan, Yang meninggikan langit, dengan tidak bertiang, Yang mengkadarkan rezeki-rezeki hamba, Yang memalingkan mata orang-orang yang mempunyai hati dan akal daripada memperhatikan perantaraan-perantaraan dan sebab-sebab, kepada Yang Menyebabkan segala sebab. Allah yang meninggikan cita-cita mereka daripada menoleh kepada yang selain daripadaNya dan berpegang kepada pengatur yang lain. Mereka tidak menyembah, selain Dia. Karena tahu, bahwa Dia Yang Esa, Tunggal, Tuhan yang menjadi tempat meminta. Dan karena keyakinan, bahwa semua jenis makhluk adalah hambaNya, seperti mereka, yang Allah tidak menuntut rezeki pada mereka. Bahwa tiada seberat atompun, melainkan kejadiannya adalah dari Allah. Tiada yang merangkak di atas bumi, melainkan rezekinya atas Allah. Tatkala mereka meyakini, bahwa Ia yang menjamin rezeki hamba-hambaNya, yang menanggung kehidupan mereka, niscaya mereka bertawakkal kepadaNya. Mereka lalu mengatakan: mencukupilah Allah bagi kita dan sebaik-baik tempat menyerah diri. Rahmat kepada Muhammad yang mencegah segala yang batil/salah, yang menunjuk kepada jalan yang betul. Dan rahmat juga kepada seluruh keluarganya. Curahkanlah kesejahteraan dengan sebanyak-banyaknya !
Adapun kemudian, bahwa tawakkal itu suatu tempat dari tempat-tempat agama, suatu maqam dari maqam orang-orang yang yakin. Bahkan tawakkal itu termasuk derajat yang tinggi bagi orang-orang al-muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah). Tawakkal itu sendiri agak kabur dari segi ilmu. Kemudian, sukar dari segi amal. Segi kekaburan nya dari pihak pemahaman, ialah: bahwa memperhatikan sebab-sebab dan berpegang kepada sebab-sebab itu bersekutu pada keesaan (pengesaan Tuhan). Berberat-beratan pada pemerhatian secara keseluruhan daripadanya itu suatu tusukan pada sunnah Nabi saw dan celaan pada agama. Berpegang kepada sebab-sebab, tanpa melihat akan sebab-sebab itu, pengobahan pada segi akal dan penjerumusan dalam lembah kebodohan. Pentahkikan/penjelasan makna tawakkal di atas cara, yang bersesuaian dengan kehendak keesaan, yang diambil dari Nabi saw dan agama itu sangat kabur dan sukar. Tiada sanggup menyingkapkan tutup ini, serta bersangatan tersembunyinya, selain ulama-ulama yang terbilang ahli, yang bercelakkan matanya dari kurnia Allah Ta’ala dengan cahaya hakikat/makna. Lalu mereka dapat melihat dan menjelaskan (dapat membuktikan dengan dalil). Kemudian mereka menuturkan dengan terang, dari apa yang disaksikan mereka, dari segi yang dituturkannya. Sekarang, mari kita mulai dengan menyebutkan keutamaan tawakkal, atas jalan pendahuluan. Kemudian, kita ikutkan dengan keesaan pada bahagian pertama dari kitab ini. Dan kita sebutkan hal tawakkal dan amalannya pada bahagian kedua.
PENJELASAN: keutamaan tawakkal.
Adapun dari ayat-ayat, maka Allah Ta’ala berfirman: “Bertawakkallah kepada Allah, kalau kamu betul-betul orang yang beriman”. S 5 Al Maaidah ayat 23. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Maka bertawakkallah kepada Allah orang-orang yang bertawakkal”. S 14 Ibrahim ayat 12. Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah mencukupkan keperluannya”. S 65 Ath Thalaaq ayat 3. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal”. S 3 Ali ‘Imran ayat 159. Allah mengagungkan orang yang bertawakkal itu dengan suatu kedudukan (maqam) yang dinamakan: mencintai Allah Ta’ala. Pakaiannya terjamin dengan cukupnya Allah Ta’ala baginya. Nikmat Allah Ta’ala mencukupkan dan memadai baginya, yang mencintai dan yang memeliharainya. Maka ia memperoleh kemenangan besar. Bahwa yang dicintai itu tidak akan diazabkan. Tidak dijauhkan dan tidak dihijabkan (didindingi antaranya dan Allah Ta’ala). Allah Ta’ala berfirman: “Bukankah Allah telah mencukupkan keperluan hambaNya ?”. S 39 Az Zumar ayat 36. Orang yang mencari keperluannya dari selain Allah Ta’ala, maka orang tersebut meninggalkan tawakkal. Ia mendustakan ayat di atas tadi. Itu adalah persoalan pada pembentangan penuturan dengan kebenaran, seperti firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya telah datang kepada manusia suatu masa, ketika itu dia belum ada suatu apapun yang dapat disebut”. S 76 Al Insaan ayat 1. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Bijaksana”. S 8 Al Anfaal ayat 49. Artinya: Maha Kuasa, yang tidak hina dari orang yang meminta upah kepadaNya. Ia tidak menyia-nyiakan akan orang yang merasa kesenangan di sampingNya. Dan yang berlindung dalam genggaman dan penjagaanNya. Ia Maha Bijaksana, yang tidak teledor pada pengaturan orang yang bertawakkal (yang menyerahkan diri) kepada pengaturanNya. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya mereka yang engkau serukan (yang engkau berdoa) kepadanya, yang bukan Allah, adalah hamba-hamba yang serupa dengan kamu”. S 7 Al A’raaf ayat 194. Diterangkan, bahwa setiap apa yang selain Allah Ta’ala itu hamba yang dijadikan. Hajat keperluannya sama dengan hajat keperluan kamu. Maka bagaimana bertawakkal kepadanya ? Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya mereka yang kamu sembah selain dari Allah, mereka tiada memiliki rezeki bagi kamu. Maka carilah rezeki dari Allah dan sembahlah Dia !”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 17. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Kepunyaan Allah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi kaum munafiq itu tiada mengerti”. S 63 Al Munafiquun ayat 7. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “IA (Allah) yang mengatur urusan, tidak ada penolong, melainkan dengan izinNya”. S 10 Yunus ayat 3. Setiap apa yang disebutkan dalam Alquran dari hal keesaan, maka itu pemberitahuan kepada putusnya perhatian dari segala yang lain. Dan bertawakkal kepada Yang Esa, Yang Maha Perkasa.
Adapun hadits-hadits, diantaranya sabda Nabi saw menurut apa yang dirawikan oleh Ibnu Mas’ud ra: “Diperlihatkan kepadaku umat-umat dahulu pada suatu musim. Lalu aku melihat umatku sudah memenuhi tanah datar dan bukit. Maka sangatlah mengherankan aku oleh banyaknya dan keadaan mereka. Lalu ditanyakan kepadaku: “Senangkah engkau yang demikian ?”. Aku menjawab: “Ya, senang !”. Lalu dikatakan: “Bersama mereka 70 ribu orang yang masuk sorga, dengan tiada hisab (hitungan amal)”. Lalu ditanyakan: “Siapakah mereka, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Mereka yang tidak bertenung, yang tiada menengok untungnya dengan sesuatu dan tiada meminta dijampikan. Kepada Tuhan mereka bertawakkal !”.
Lalu Ukasyah bangun berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah ! berdoalah kiranya Allah menjadikan aku sebahagian dari mereka”. Rasulullah saw lalu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! jadikanlah Ukasyah sebahagian dari mereka”. Yang lain lalu bangun berdiri pula dan berkata: “Wahai Rasulullah ! berdoalah kiranya Allah menjadikan aku sebahagian dari mereka”. Nabi saw menjawab: “Telah didahului engkau dengan yang demikian oleh Ukasyah”. Nabi saw bersabda: “Kalau kamu bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sebenarnya, niscaya Ia memberikan rezeki kepada kamu, sebagaimana IA memberikan rezeki kepada burung. Pagi-pagi burung itu terbang dengan perut kosong dan sorenya kembali dengan perut penuh”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang berpegang teguh kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya ia dicukupkan oleh Allah Ta’ala setiap perbelanjaan. Dan diberikannya rezeki dimana tidak disangkakannya. Dan siapa yang berpegang teguh kepada dunia, niscaya ia diserahkan oleh Allah kepada dunia”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang merasa senang, bahwa dia manusia yang terkaya, maka hendaklah ia lebih mempercayai dengan apa yang pada Allah, daripada dengan apa yang dalam tangannya”. Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa apabila suatu kesusahan menimpa keluarganya, maka beliau bersabda: “Bangunlah mengerjakan shalat”. Dan beliau menyambung: “Dengan ini, aku disuruh oleh Tuhanku ‘Azza Wa Jalla. Ia ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan suruhlah keluarga engkau mengerjakan shalat dan tetap mengerjakan nya. Kami tiada meminta rezeki kepada engkau, hanya Kami yang memberi rezeki engkau dan akhirat (yang baik) adalah untuk (orang yang) memelihara diri dari kejahatan”. Nabi saw bersabda: “Tiadalah bertawakkal orang yang meminta dijampikan dan bertenung”. Diriwayatkan, bahwa tatkala Jibril as berkata kepada Ibrahim as dan Ibrahim as sudah dilemparkan ke dalam api dengan manjanik (alat peperangan orang dahulu): “Apakah engkau ada keperluan ?”. Maka Ibrahim as menjawab: “Kepada engkau, tiada ada”, sebagai menepati ucapannya: “Allah mencukupkan bagiku dan sebaik-baik yang menerima penyerahan (al-wakil)”. Karena Ibrahim as mengucapkan yang demikian, ketika beliau diambil, untuk dilemparkan ke dalam api. Maka Allah Ta’ala menurunkan firmanNya: “Dan Ibrahim yang memenuhi (kewajibannya)”. S 53 An Najm ayat 37.
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud as: “Hai Daud ! tiada dari hamba yang berpegang teguh dengan Aku, tidak kepada makhlukKu, lalu ia ditipu oleh langit dan bumi, melainkan Aku jadikan baginya jalan keluar”.
Adapun atsar, maka kata Sa’id bin Jubair: “Aku disengat kalajengking. Lalu ibuku bersumpah kepadaku, untuk ia meminta dijampikan. Maka aku berikan kepada tukang jampi itu tanganku yang tidak disengat”. Ibrahim Al-Khawwash membaca firman Allah Ta’ala: “Bertawakkallah kepada (Allah) yang Hidup, tiada mati dan bertasbihlah dengan memujiNya ! dan Ia cukup mengetahui dosa-dosa hambaNya”. S 25 Al Furqaan ayat 58. Lalu Ibrahim Al-Kawwash menyambung: “Tiada seyogyalah bagi hamba sesudah ayat ini, bahwa berlindung kepada seseorang, selain kepada Allah Ta’ala”. Dikatakan kepada sebahagian ulama, dalam tidurnya: “Siapa yang mempercayai Allah Ta’ala, maka ia telah memelihara makanan yang dimakannya”. Kata setengah ulama: “Tidaklah engkau disibukkan oleh rezeki yang ditanggung bagi engkau, dari amalan yang diwajibkan atas engkau. Kalau demikian, maka engkau menyia-nyiakan urusan akhirat engkau. Dan engkau tiada memperoleh dari dunia, selain apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi engkau”.
Yahya bin Ma’adz berkata: “Pada adanya rezeki bagi hamba, tanpa dicari, menunjukkan bahwa rezeki itu disuruh mencari hamba”. Ibrahim bin Adham berkata: “Aku bertanya kepada sebahagian padri: “Darimana engkau makan ?”. Padri itu menjawab kepadaku: “Tiada ilmu ini padaku. Akan tetapi, tanyakanlah kepada Tuhanku, darimana Ia memberi makan kepadaku !”.
Harm bin Hayyan bertanya kepada Uwais Al-Qarani: “Kemana engkau suruh aku, supaya aku berada ?”. Uwasi Al-Qarani menunujukkan ke Syam (Siria). Harm bertanya: “Bagaimana penghidupan ?”. Uwais menjawab: “Eh, yang punya hati ini ! sudah bercampur dengan keraguan. Tidak bermanfaat pengajaran”. Sebahagian mereka berkata: “Manakala engkau rela Allah menjadi Wakil, niscaya engkau memperoleh jalan kepada setiap kebajikan”. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala akan baiknya adab pengajaran.
PENJELASAN: hakikat/makna keesaan yang menjadi pokok tawakkal.
Ketahuilah kiranya, bahwa tawakkal itu sebahagian dari pintu iman. Semua pintu iman itu tidak teratur, selain dengan: ilmu, hal keadaan dan amal. Dan tawakkal seperti demikian juga, akan teratur dari ilmu, yang menjadi pokoknya. Amal itu buah (hasil). Dan hal-keadaan itu yang dimaksud dengan nama: tawakkal. Maka marilah kita mulai dengan: penjelasan ilmu yang menjadi pokoknya. Dan itulah yang dinamakan: iman pada pokok lisan. Karena iman, ialah: pembenaran (at-tashdiq). Setiap at-tashdiq dengan hati, maka itu: ilmu. Apabila telah kuat, niscaya dinamakan: yakin. Akan tetapi, pintu yakin itu banyak. Dan kita hanya memerlukan dari pintu-pintu itu, apa yang kita bangunkan tawakkal padanya. Yaitu: keesaan, yang diterjemahkan oleh ucapan engkau: “Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu (Tiada yang disembah, selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada bagiNya sekutu)”. Dan iman itu dengan kemampuan yang diterjemahkan oleh ucapan engkau daripadanya. bagiNya (Allah) kerajaan, iman dengan kemurahan dan hikmah yang ditunjukkan oleh ucapan engkau: “Wa lahul-hamdu (BagiNya segala pujian)”. Dan siapa yang mengucapkan: “Laa ilaaha illallaahu wahdahu, laa syariika lahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu, wa huwa ‘alaa kulli syai-in qadiirun (Tiada yang disembah, selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada bagiNya sekutu. BagiNya kerajaan dan pujan. Dan Dia berkuasa atas tiap sesuatu)”, niscaya sempurnalah baginya iman yang menjadi pokok tawakkal. Yakni: bahwa jadilah makna ucapan ini suatu sifat yang harus bagi hatinya, yang mengerasinya.
Adapun keesaan, maka itu pokok. Pembicaraan mengenainya itu akan panjang. Dia itu termasuk: (mukasyafah) ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Akan tetapi, sebahagian ilmu diminta untuk mengetahuinya saja itu menyangkut dengan amal, dengan perantaraan: hal keadaan. Dan ilmu mu’amalah (perniagaan jual beli yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) tiada akan sempurna, selain dengan perantaraan hal keadaan itu.
Jadi, tidak kita kemukakan, selain sekadar yang menyangkut dengan: mu’amalah (jual beli). Kalau tidak, maka keesaan itu adalah lautan lepas, yang tiada bertepi. Maka sekarang kami jelaskan: Bahwa keesaan itu mempunyai 4 tingkat. Yaitu, terbagi kepada: isi, isi dari isi, kulit dan kulit dari kulit. Marilah kita beri contoh yang demikian, untuk mendekatkan kepada paham-paham yang lemah, dengan buah kelapa mengenai kulitnya yang di atas. Bahwa buah kelapa itu mempunyai dua kulit, mempunyai isi. Dan isi itu mempunyai minyak, yaitu: isi dari isi.
1.      Tingkat pertama dari keesaan. Ialah: bahwa insan mengucapkan dengan lisannya: Laa Ilaaha Illallaahu dan hatinya lalai atau memungkirinya, seperti: keesaan orang-orang munafik.
2.      Tingkat kedua: bahwa dibenarkan oleh hatinya akan makna lafal/pengucapan, sebagaimana dibenarkan oleh umumnya kaum muslimin. Yaitu: iktikad/keyakinan orang awam.
3.      Tingkat ketiga: bahwa dipersaksikan yang demikian dengan jalan kasyaf (terbuka hijab), dengan perantaraan cahaya kebenaran (nurul-haq). Yaitu: maqam orang-orang muqarrabin. Yang demikian, dengan dilihatnya segala sesuatu yang banyak. Akan tetapi, dilihatnya atas banyaknya itu datang dari Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Perkasa.
4.      Tingkat keempat: bahwa tiada dilihatnya pada yang ada (pada wujud), selain Yang Esa. Maka tiada dilihatnya juga akan dirinya sendiri. Apabila ia tidak melihat dirinya sendiri, karena tenggelam dengan keesaan, niscaya ia fana (lenyap) dari dirinya sendiri, ke dalam keesaannya. Dengan arti: bahwa ia telah fana daripada melihat dirinya dan makhluk.
Maka yang pertama itu orang yang berkeesaan dengan lisan semata-mata. Yang demikian itu, memelihara orang yang demikian di dunia, dari pedang dan mata tombak.
Kedua: orang yang berkeesaan dengan arti: bahwa ia beriktikad/berkeyakinan dengan hatinya, yang dipahami lafalnya/ucapannya. Hatinya terlepas dari pendustaan dengan apa yang diikat oleh hatinya. Yaitu ikatan atas hati, yang tidak ada padanya kelapangan dan keluasan. Akan tetapi, keyakinan itu menjaga yang punya keyakinan tadi dari azab di akhirat, jikalau ia meninggal dan tidak lemah ikatannya disebabkan perbuatan-perbuatan maksiat. Ikatan ini mempunyai daya-upaya yang dimaksudkan untuk melemahkannya dan merombakkannya, yang dinamakan: bid’ah (yang diada-adakan). Ia mempunyai daya-upaya yang dimaksudkan menolak daya upaya perombakan dan pelemahan. Dan dimaksudkan juga pengokohan ikatan ini dan penguatannya atas hati. Dan dinamakan: ilmu kalam (kata-kata). Orang yang mengetahui ilmu ini, dinamakan: Mutakallim (ahli ilmu kalam). Dia itu lawan dari mubtadi’ (ahli pembuat bid’ah). Maksudnya: menolak mubtadi’(ahli pembuat bid’ah), daripada perombakan ikatan ini dari hati orang awam. Kadang-kadang dikhususkan Mutakallim(ahli ilmu kalam), dengan nama muwahhid (orang yang berkeesaan), dari segi ia menjaga dengan ilmu kalamnya akan pengertian ucapan keesaan atas hati orang awam, sehingga tidak terlepas ikatannya.
Ketiga: orang yang berkeesaan dengan arti, bahwa ia tidak menyaksikan, selain Pencipta Yang Esa, apabila terbuka baginya kebenaran, sebagaimana yang sebenarnya. Ia tidak melihat Pencipta pada hakikat/maknanya, selain Esa. Telah tersingkap baginya hakikat/makna, sebagaimana yang sebenarnya. Tidak dengan ia memberatkan hatinya, bahwa beritikad kepada yang dipahami dari ucapan hakikat/makna. Karena yang demikian itu tingkat orang awam dan orang-orang ahli ilmu kalam (berkata-kata). Karena orang ahli ilmu kalam tidak berbeda dengan orang awam tentang itikad/keyakinan. Akan tetapi, pada pembuatan rekaan kata, dimana dengan kata itu ia menolak daya upaya tukang pembuat bid’ah (yang diada-adakan), dari melepaskan ikatan ini.
Keempat: orang yang berkeesaan dengan arti, bahwa ia tidak menghadirkan dalam kesaksiannya, selain Yang Esa. Maka ia tidak melihat setiap sesuatu dari segi, bahwa itu banyak, akan tetapi dari segi bahwa itu Yang Esa. Inilah penghabisan yang terjauh pada keesaan.
Yang pertama itu, seperti kulit yang teratas dari kelapa. Yang kedua, seperti kulit yang terbawah. Yang ketiga seperti isi. Dan yang keempat, seperti minyak yang dikeluarkan dari isi. Sebagaimana kulit yang teratas dari kelapa, tak ada kebajikan padanya, bahkan kalau dimakan, maka dia itu pahit rasanya, kalau dipandang ke dalamnya, maka dia itu buruk pandangannya, kalau dibuat untuk kayu api, niscaya memadamkan api dan membanyakkan asap dan kalau dibiarkan dalam rumah, niscaya menyempitkan tempat, maka ia tidak patut, selain dibiarkan untuk sementara guna pemeliharaan kepada kelapa, kemudian dilemparkan daripadanya, maka seperti demikianlah keesaan, dengan lisan semata-mata, tanpa pembenaran (tashdiq) dengan hati, tidaklah berfaedah, banyaklah melarat, tercela zahir dan batinnya. Akan tetapi, bermanfaat untuk sementara pada menjaga kulit yang terbawah, sampai kepada waktu mati. Dan kulit yang terbawah, ialah: hati dan badan.
Keesaan orang munafik itu memelihara badannya dari pedang orang-orang yang berperang. Orang-orang yang berperang itu tidak disuruh memecah kan hati. Dan sesungguhnya pedang itu mengenakan tubuh dari badan. Yaitu: kulit. Dan terlepas daripadanya dengan mati. Maka tidak ada lagi faedah bagi keesaannya sesudahnya. Sebagaimana kulit terbawah itu tampak manfaatnya dengan dikaitkan kepada kulit yang teratas, maka ia menjaga isi dan memeliharakannya dari kerusakan ketika disimpan. Apabila dipisahkan, niscaya mungkin dimanfaatkan untuk kayu api. Akan tetapi, turun kadarnya dengan dikaitkan kepada isi. Begitu juga, semata-mata i’tiqad (keyakinan), tanpa tersingkap banyaknya manfaat, dengan dikaitkan kepada semata-mata penuturan lisan itu kurang kadarnya, dengan dikaitkan kepada tersingkap dan penyaksian yang berhasil dengan terbukanya dada dan kelapangannya, tersinarnya nur kebenaran padanya. Karena keterbukaan itu, ialah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Maka siapa yang dikehendaki oleh Allah bahwa memberi petunjuk kepadanya, niscaya dibukakanNya dadanya untuk Islam”. S 6 Al An’aam ayat 125. Dan dengan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Maka adakah orang-orang yang dibukakan Allah dadanya untuk menerima agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya) ?”. S 39 Az Zumar ayat 22. Sebagaimana isi itu amat berharga pada dirinya dengan dikaitkan kepada kulit dan setiapnya itu dimaksudkan, akan tetapi tidak terlepas dari campuran pemerasan, dengan dikaitkan kepada minyak yang dikeluarkan daripadanya, maka seperti demikian juga keesaan amal itu maksud yang tinggi bagi orang-orang salik (orang yang berjalan ke jalan Allah). Akan tetapi, ia tidak terlepas dari campuran pemerhatian yang lain dan penolehan kepada yang banyak, dibandingkan kepada orang yang tidak berpenyaksian, selain Yang Esa Yang Benar.
Kalau anda bertanya: bagaimana tergambar bahwa tidak dipersaksikannya, selain Yang Esa, sedang ia menyaksikan langit, bumi dan tubuh-tubuh lain yang dapat dirasakan dengan pancaindra. Dan itu banyak. Maka bagaimanakah ada yang banyak itu satu ? Ketahuilah kiranya, bahwa ini tujuan ilmumukasyafah (ilmu diminta untuk mengetahuinya saja). Rahasia ilmu ini, tidak boleh digariskan dalam buku. Orang-orang yang berilmu ma’rifah mengatakan, bahwa menyiarkan rahasia ketuhanan itu kufur.
Kemudian, itu tidak menyangkut dengan ilmu mu’amalah (jual beli). Benar, menyebutkan apa yang memecahkan tanda kejauhan anda itu mungkin. Yaitu, bahwa sesuatu itu kadang-kadang ada ia banyak dengan semacam musyahadah (penyaksian) dan i’tibar (ibarat). Dan ia satu dengan macam yang lain, dari penyaksian dan ibarat. Ini sebagaimana manusia itu banyak jikalau dipandang kepada nyawanya, tubuhnya, sendi-sendinya, urat-uratnya, tulang-tulangnya dan isi-isi perutnya. Dan itu, dengan ibarat dan penyaksian yang lain adalah satu. Karena kita mengatakan, bahwa dia itu manusia yang satu. Dia dengan dikaitkan kepada kemanusiaan itu satu. Berapa banyak orang yang menyaksikan seorang insan dan tidak terguris di hatinya akan banyaknya perutnya, urat-uratnya, sendi-sendinya, penguraian rohnya, tubuhnya dan anggota badannya. Perbedaan diantara keduanya, ialah tentang keadaan menghabisi seluruhnya dan menyawuknya/ meraup itu menghabiskan dengan satu, yang tak ada padanya pemisah-misahan. Seakan-akan dalam pandangan pengumpulan. Dan dipandang kepada banyaknya itu dalam pemisah-misahan. Maka seperti demikianlah setiap apa pada wujud dari Al-Khaliq (yang maha pencipta) dan makhluq, mempunyai ibarat-ibarat dan penyaksian-penyaksian banyak yang bermacam-macam. Dengan ibarat yang satu dari ibarat-ibarat itu adalah satu. Dan dengan ibarat-ibarat yang lain, selainnya itu banyak. Sebahagiannya sangat banyak dari sebahagian yang lain. Contohnya: manusia. Walaupun tidak bersesuaian dengan maksud, akan tetapi memberitahu kan dalam keseluruhan, atas cara kembalinya yang banyak dalam hukum penyaksian itu satu. Jelas dengan uraian ini meninggalkan penentangan dan pengingkaran bagi maqam (tingkat) yang tidak sampai anda kepadanya. Dan anda beriman kepadanya dengan iman pembenaran. Maka adalah bagi anda, dari segi anda itu beriman dengan keesaan ini, mempunyai bahagian. Walaupun tidak yang anda imankan itu sifat anda. Sebagaimana apabila anda beriman dengan kenabian, walaupun anda bukan nabi, niscaya anda mempunyai bahagian daripadanya sekadar kuatnya iman anda.
Penyaksian ini, yang tidak menampak padanya selain Yang Esa, Yang Benar, sekali ia kekal dan sekali ia datang seperti kilat yang menyambar. Dan itulah yang terbanyak. Dan yang kekal terus-menerus itu jarang dan sukar. Kepada inilah, diisyaratkan oleh Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj, ketika ia melihat Ibrahim Al-Khawwash yang berkeliling dalam perjalanannya. Lalu ia bertanya: “Dengan apa anda ini?”. Ibrahim Al-Khawwash menjawab: “Aku berkeliling dalam perjalanan, untuk aku betulkan keadaanku pada tawakkal”. Dan dia itu termasuk orang-orang yang bertawakkal. Al-Husain menjawab: “Anda telah menghabiskan umur anda dalam membangun batiniah anda. Maka dimanakah dihabiskan dalam keesaan ?”. Seakan-akan Ibrahim Al-Khawwash berada dalam membetulkan maqam ketiga pada keesaan. Maka diminta oleh Al-Husain Al-Hallaj dengan maqam keempat. Inilah maqam-maqam orang-orang yang berkeesaan mengenai keesaan atas jalan ijmal (tidak terperinci).
Jikalau anda berkata, bahwa tak boleh tidak untuk ini, dari uraian sekadar yang memberi pengertian cara pembinaan tawakkal, maka aku berkata: Adapun yang keempat, maka tidak boleh dimasuki dalam menjelaskannya. Dan tidaklah pula tawakkal itu terbina diatasnya. Akan tetapi keadaan tawakkal itu berhasil dengan keesaan yang ketiga. Adapun yang pertama, yaitu: kemunafikan, maka itu jelas. Adapun yang kedua, yaitu i’tikad/keyakinan, maka itu ada pada umumnya kaum muslimin. Jalan menguatkannya dengan berkata-kata (al-kalam) dan menolak daya-upaya golongan pembuat bid’ah (yang diada-adakan) padanya itu, disebutkan pada “Ilmu Kalam (berkata-kata)”. Dan telah kami sebutkan dalam Kitab Al-Iqtishad Fil-I’tiqad (keyakinan), kadar yang penting daripadanya. Adapun yang ketiga, maka yaitu: yang terbina tawakkal diatasnya. Karena semata-mata keesaan dengan  keyakinan itu tidak mewariskan keadaan tawakkal. Maka marilah kami sebutkan daripadanya kadar yang mengikatkan tawakkal, tanpa penguraiannya yang tidak dapat dipikul oleh Kitab yang seperti ini. Hasilnya, ialah bahwa tersingkap bagi anda, bahwa tak ada pembuat, selain Allah Ta’ala. Dan setiap yang ada itu dari ciptaan, rezeki, pemberian dan pencegahan, hidup dan mati, kaya dan miskin dll dari apa yang diberikan nama.
Maka yang Sendirian dengan menjadikan dan menciptakannya, ialah: Allah ‘Azza Wa Jalla. Ia tidak mempunyai sekutu padanya. Apabila tersingkap ini bagi anda, niscaya anda tidak memandang kepada yang lain daripadaNya. Bahkan kepadaNya-lah takut anda. kepadaNya-lah harapan anda. kepadaNya-lah kepercayaan anda. kepadaNya-lah tawakkal anda. Sesungguhnya Allah Pembuat dengan sendirian, tanpa yang lain. Apa yang selainNya itu dijadikan dengan patuh. Tiada kebebasan bagi mereka dengan menggerakkan suatu atom dari alam langit yang tinggi dan bumi. Apabila terbukalah bagi anda pintu-pintu diminta untuk mengetahuinya saja, niscaya teranglah bagi anda akan ini, dengan terangnya yang paling sempurna, dibandingkan dengan penyaksian dengan penglihatan mata. Sesungguhnya anda dicegah oleh setan dari keesaan ini, pada kedudukan yang dikehendakinya bahwa berjalan kehati anda campuran syirik dengan 2sebab:
Pertama: menoleh kepada usaha (ikhtiar) hewan-hewan (benda-benda yang hidup).
Kedua:    menoleh kepada benda-benda beku (al-jamadat).
Adapun menoleh kepada benda-benda beku, maka seperti pegangan anda kepada hujan, pada keluarnya tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan dan pertumbuhannya. Kepada awan mendung pada turunnya hujan. Kepada dingin pada berkumpulnya awan mendung. Dan kepada angin pada lurusnya kapal dan jalannya. Semua ini adalah syirik dalam keesaan dan kebodohan dengan hakikat/makna segala sesuatu. Karena itulah Allah Ta’ala berfirman: “Apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan seikhlas hatinya, tetapi setelah mereka diselamatkan oleh Allah ke daratan, tiba-tiba mereka mempersekutukan (Allah dengan yang lain)”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 65.
 Ada yang mengatakan, bahwa maknanya, ialah: mereka mengatakan: jikalau tidaklah lurusnya angin, niscaya tidaklah kita selamat. Siapa yang tersingkap baginya hal-keadaan alam, sebagaimana adanya, niscaya ia mengetahui, bahwa angin ialah udara. Dan udara itu tidaklah bergerak sendiri, sebelum digerakkan oleh penggerak. Demikian pula penggeraknya. Dan begitulah seterusnya, sehingga berkesudahan kepada Penggerak Pertama yang tidak ada lagi penggerak baginya. Dan tidaklah dia itu yang bergerak pada Dirinya Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka menolehnya hamba pada terlepasnya dari bahaya kepada angin itu menyerupai dengan menolehnya orang yang diambil untuk dipotong lehernya. Lalu raja menulis menanda-tangani, dengan memberi maaf dan melepaskannya. Lalu orang tersebut selalu menyebutkan tinta, kertas dan pena yang dengan barang-barang itu tanda-tangan itu dituliskan. Ia mengatakan: jikalau tidaklah pena itu, niscaya aku tidaklah terlepas. Ia melihat kelepasannya, ialah dari pena. Tidak dari yang menggerakkan pena. Dan dia itu sangat bodoh. Orang yang mengetahui, bahwa pena itu tidak mempunyai ketentuan pada dirinya dan pena itu terletak urusannya dalam tangan si penulis, niscaya ia tidak akan menoleh kepada pena itu. Dan ia tidak berterima-kasih, selain kepada si penulis. Bahkan ia diharukan oleh kegembiraan terlepasnya dari bahaya dan ia berterima kasih kepada raja dan si penulis, daripada terguris di hatinya akan pena, tinta dan dawat (tidak terpisahkan antara tinta dan pena).
Matahari, bulan, bintang-bintang, hujan, awan mendung, bumi dan setiap hewan dan benda keras itu dijadikan dalam genggaman Qudrah(kuasa), seperti terjadinya pena dalam tangan si penulis. Bahkan ini perumpamaan pada diri anda, karena  keyakinan anda, bahwa raja yang bertanda tangan itu, ialah: penulis tanda-tangan. Dan yang sebenarnya, bahwa Allah Yang Maha Suci dan Yang Maha Tinggi, Dialah yang menulis. Karena firman Allah Ta’ala: “Dan tidaklah engkau yang melemparkan ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar”. S 8 Al Anfaal ayat 17. Apabila tersingkap bagi anda, bahwa semua apa yang di langit dan apa yang di bumi itu dijadikan atas cara ini, niscaya berpalinglah setan dari anda dengan perasaan kecewa. Ia putus asa daripada mencampurkan keesaan anda dengan syirik ini.
Lalu ia mendatangi anda pada kebinasaan kedua. Yaitu: penolehan kepada usaha (ikhtiar) benda-benda hidup (al-hiawanat) pada perbuata-perbuatan yang diusahakan (al-Af’al al-ikhtiyariyyah). Ia mengatakan: bagaimana anda melihat setiap sesuatu itu dari Allah dan insan ini memberikan kepada anda rezeki anda dengan ikhtiar (usahanya). Kalau ia mau, niscaya ia memberikan kepada anda. Dan kalau ia mau, niscaya ia memutuskan (menghentikan) pemberian itu kepada anda. Dan orang ini yang memotong leher anda dengan pedangnya. Orang itu berkuasa atas anda. Kalau ia mau, niscaya dipenggalnya leher anda. Dan kalau ia mau niscaya dimaafkannya anda. Maka bagaimana anda tidak takut kepadanya ? bagaimana anda tidak mengharapkan kepadanya ? urusan anda adalah di tangannya. Anda menyaksikan yang demikian dan anda tidak ragu padanya ? ia mengatakan pula kepada orang itu: “Benar, kalau anda tidak melihat pena, bahwa pena itu bekerja dengan percuma, maka bagaimana anda tidak melihat yang menulis dengan pena dan dia itu yang bekerja dengan percuma baginya ?”. Ketika inilah tergelincirnya tapak kaki kebanyakan orang, selain hamba-hamba Allah yang ikhlas, yang tak ada kekuasaan setan terkutuk di atas mereka. Maka mereka menyaksikan dengan cahaya penglihatan mata hati akan adanya si penulis itu yang bekerja dengan percuma, yang diperlukan, sebagaimana dipersaksikan oleh semua orang-orang yang lemah, akan adanya pena itu bekerja dengan percuma. Mereka mengetahui, bahwa kesalahan orang-orang yang lemah itu pada yang demikian, seperti semut melihat ujung pena itu menghitamkan kertas. Dan tidak memanjang penglihatannya kepada tangan dan anak-anak jari, lebih-lebih kepada yang empunya tangan. Lalu semut itu salah. Ia menyangka bahwa pena itu yang menghitamkan bagi putihnya kertas. Yang menyangka demikian itu, karena singkat penglihatannya, daripada melampaui ujung pena. Karena sempit biji matanya. Maka seperti demikia juga orang yang tidak terbuka dadanya dengan cahaya Allah Ta’ala kepada Islam, yang pendek mata hatinya daripada memperhatikan Yang Maha Perkasa bagi langit dan bumi dan penyaksian (musyahadah) keadaanNya itu, Yang Mahapemaksa di bali setiap sesuatu. Lalu ia berhenti di jalan atas si penulis. Dan itu kebodohan semata. Akan tetapi, orang-orang yang mempunyai hati dan penyaksian, telah difirmankan Allah Ta’ala terhadap mereka akan setiap atom di langit dan bumi dengan kuasaNya, yang dengan kuasa itu bertuturlah setiap sesuatu. Sehingga mereka mendengar pengkudusan dan pentasbihan atom itu kepada Allah Ta’ala dan pengakuan atas dirinya dengan kelemahan dengan lisan yang lancar. Ia berkata-kata dengan tidak ada huruf dan suara, yang tidak didengar oleh mereka yang terasing dari pendengaran. Aku tidak maksudkan dengan yang demikian, akan pendengaran zahiriyah, yang melewati suara. Sesungguhnya keledai bersekutu padanya. Dan tak ada nilai bagi apa yang bersekutu padanya binatang ternak. Sesungguhnya aku kehendaki dengan yang demikian, akan pendengaran, yang diperoleh dengan pendengaran itu akan perkataan yang tidak berhuruf dan bersuara. Tidak dia orang Arab dan tidak orang ‘Ajam (bukan Arab). Kalau anda mengatakan: “Bahwa ini suatu keajaiban, yang tidak diterima oleh akal, maka terangkanlah kepadaku cara menuturkannya ! bagaimana ia menuturkan dan dengan apa dituturkannya? bagaimana ia bertasbih dan mentaqdiskan (mensucikan Allah dari menyerupai mahluk)? bagaimana ia menyaksikan atas dirinya dengan kelemahan ?”. Ketahuilah kiranya, bahwa bagi setiap atom di langit dan di bumi bersama orang-orang yang mempunyai hati itu mempunyai pembicaraan pada rahasia. Yang demikian itu termasuk hal yang tidak terhingga dan tidak berkesudahan. Itu adalah kalimat-kalimat yang diselami dari lautan kalam (kata-kata) Allah Ta’ala yang tiada berkesudahan. Firman Allah Ta’ala: “Katakan: Kalau kiranya lautan (menjadi) tinta untuk (menuliskan) perkataan Tuhanku, niscaya lautan itu menjadi kering sebelum habis perkataan Tuhanku (dituliskan), biarpun Kami datangkan sebanyak itu pula tambahannya”. S 18 Al Kahfi ayat 109. Kemudian, munajah (pembicaraan) itu  membisikkan segala isi hati dengan rahasia-rahasia alam-almulki wal-malakut (alam dunia yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata). Menyiarkan rahasia itu tercela. Bahkan dada orang-orang merdeka itu kuburan rahasia-rahasia (tempat tersimpannya). Adakah anda sekali-kali melihat orang yang terpercaya atas rahasia-rahasia raja, yang dimunajahkan (dibicarakan) dengan dia secara tersembunyi, lalu ia menyerukan akan rahasianya itu dihadapan orang banyak ? kalau boleh menyiarkan setiap rahasia bagi kita niscaya Nabi saw tidak menyabdakan: “Jikalau kamu tahu apa yang aku tahu, niscaya kamu tertawa sedikit dan menangis banyak”. Niscaya Nabi saw tidak melarang daripada menyiarkan rahasia al-qadar (takdir). Niscaya Nabi saw tidak menyabdakan: “Apabila disebutkan bintang-bintang, maka peganglah erat-erat (jangan disiarkan) ! Apabila disebutkan takdir, maka peganglah erat-erat ! dan apabila disebutkan sahabat-sahabatku, maka peganglah erat-erat !”. Niscaya tidaklah Nabi saw mengkhususkan Hudzaifah ra dengan sebahagian rahasia”.
Jadi, dari hikayah munajahnya (membisikkan segala isi hatinya) dzurrah-dzurrah (atom-atom)nya alamul-mulki wal-malakut(alam dunia yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata) bagi hati orang-orang yang mempunyai penyaksian itu dua pencegahan:
Pertama: mustahil menyiarkan rahasia.
Kedua:    keluar kalimat-kalimatnya dari hinggaan dan kesudahan.
Akan tetapi, kita pada contoh yang berada kita padanya, yaitu: gerakan pena, kita menceritakan dari munajahnya (pembicaraan nya)  itu kadar yang sedikit, yang dipahamkan dengan yang demikian, atas kesimpulan akan cara pembinaan tawakkal. Dan kita kembalikan kalimat-kalimatnya kepada huruf-huruf dan suara-suara. Walaupun dia itu bukan huruf-huruf dan suara-suara. Akan tetapi, dia itu darurat bagi pemahaman. Maka kami mengatakan: Sebahagian pemerhati-pemerhati (dengan mata hati), dari hal lobang cahaya Allah Ta’ala, bertanya kepada kertas dan ia telah melihatnya hitam halamannya dengan tinta: “Apakah kiranya halamanmu itu yang tadinya putih cemerlang dan sekarang telah menampak di atasnya hitam ? mengapa engkau hitamkan halaman engkau ? apa sebabnya ?”. Lalu kertas itu menjawab: “Tidaklah engkau menginsafkan aku pada pertanyaan ini. Sesungguhnya aku tidaklah aku menghitamkan halamanku oleh diriku sendiri. Akan tetapi, tanyalah kepada tinta ! tinta itu berkumpul dalam botolnya, yang menjadi tempat ketetapan dan tanah airnya. Lalu ia berangkat dari tanah air dan ia menempati halaman wajahku dengan zalim dan permusuhan”.Pemerhati itu menjawab: “Benar engkau”.
Maka pemerhati itu menanyakan kepada tinta dari yang demikian. Lalu tinta menjawab: “Engkau tidak menginsafkan aku. Sesungguhnya aku tadinya berada dalam botol tinta, yang tinggal di dalamnya dengan tenang, yang bercita-cita akan selalu di dalamnya. Maka pena menganiayakan aku dengan lobanya yang merusakkan. Disambarnya aku dari tanah airku dan disingkirkannya aku dari negeriku. Dicerai-beraikannya kumpulanku dan dipotong-potongkannya aku, sebagaimana engkau melihat di halaman yang putih itu. Maka pertanyaan adalah kepada pena itu, tidak kepadaku”. Pemerhati itu menjawab: “Benar engkau”.
Kemudian, pemerhati itu bertanya kepada pena, tentang sebab kezaliman dan permusuhannya dan mengeluarkan tinta dari tempat tinggalnya. Pena itu lalu menjawab: “Tanyalah kepada tangan dan anak-anak jari ! aku sesungguhnya adalah batang bambu yang tumbuh di tepi sungai, yang tinggal dengan tenang diantara kayu-kayuan yang hijau. Maka datanglah tangan dengan membawa pisau kepadaku. Ia buang daripadaku akan kulitku. Ia koyak-koyakkan kain-kainku daripadaku. Ia cabutkan aku dari pokokku. Ia cerai-beraikan diantara pembuluh-pembuluhku. Kemudian, ia runcingkan aku dan ia belahkan kepalaku. Kemudian, dibenamkannya aku dalam kehitaman dan kepahitan tinta. Ia menggunakan aku menjadi pelayannya dan ia jalankan aku diatas puncak kepalaku. Engkau telah menaburkan garam atas lukaku dengan pertanyaan engkau dan makian engkau. Pergilah dari aku dan tanyakanlah kepada orang yang memaksakan aku !”. Pemerhati itu lalu menjawab: “Benar engkau”.
Kemudian, pemerhati itu bertanya kepada tangan, tentang kezaliman dan permusuhannya atas pena dan penggunaannya akan pena itu. Tangan itu lalu menjawab: “Tidaklah aku ini, melainkan daging, tulang dan darah. Adakah engkau melihat daging itu berbuat zalim atau tubuh yang bergerak sendiri ? sesungguhnya aku itu kendaraan yang dipergunakan dengan cuma-Cuma. Dikendarai aku oleh yang berkuda, yang dinamakan: al-qudrah dan al-‘izzah (kuasa dan agung). Dialah yang membulak-balikkan aku dan yang memundar-mandirkan aku pada sudut-sudut bumi. Apakah engkau tidak melihat lumpur, batu dan kayu, tidak melampaui sedikitpun akan tempatnya dan tidak bergerak sendiri ? karena dia tidak dikendarai oleh yang berkuda seperti ini, yang kuat dan perkasa. Apakah engkau tidak melihat tangan orang-orang mati yang menyamai aku dalam bentuk daging, tulang dan darah, kemudian, tak ada berurusan diantara dia dan pena ? maka aku juga dari segi aku, tak ada urusan diantaraku dan pena. Maka tanyakanlah akan al-qudrah (kuasa), tentang keadaan diriku. Sesungguhnya aku kendaraan, yang dikejutkan aku oleh yang mengendarai aku”. Pemerhati itu lalu menjawab: “Benar engkau”.
Kemudian, pemerhati itu bertanya kepada al-qudrah (kuasa), tentang keadaannya memakai tangan, banyak mempergunakannya dan membulak-balikkannya. Tangan itu lalu menjawab: “Tinggalkanlah dari mencaci dan memaki-maki aku ! berapa banyak orang yang mencaci itu dicaci orang ! berapa banyak orang yang dicacikan itu tidak berdosa. Bagaimana tersembunyi kepada engkau akan urusanku ? bagaimana engkau menyangka, bahwa aku berbuat zalim kepada tangan, tatkala aku mengendarainya. Dan adalah aku yang mengendarainya sebelum penggerakan. Tidaklah aku yang menggerakkannya dan yang menggunakannya dengan cuma-cuma. Akan tetapi, adalah aku itu tidur dengan tenang, tidur yang disangka oleh orang-orang yang menyangka, bahwa aku itu mayit atau sudah tidak ada. Karena aku tidak bergerak dan tidak digerakkan. Sehingga datanglah kepadaku yang diwakilkan, yang mengejutkan aku dan yang memaksakan aku, kepada apa yang engkau lihat daripadaku. Maka adalah bagiku kekuatan kepada menolongnya. Dan tidak ada bagiku kekuatan kepada menyalahinya. Yang diwakilkan ini dinamakan: Al-iradah/Kemauan. Aku tidak mengenalnya, selain dengan namanya, serangannya dan lompatannya. Karena ia mengejutkan aku dari kenyenyakan tidur. Ia memaksakan aku, kepada apa yang ada bagiku kebebasan, jikalau ia melepaskan aku dan pendapatku”. Pemerhati itu lalu menjawab: “Benar engkau”.
Kemudian, pemerhati itu bertanya kepada Kemauan: “Apakah yang memberanikan engkau kepada al-qudrah(kuasa) ini yang tenang dan tentram ? Sehingga engkau mengalihkannya kepada penggerakan. Dan engkau memaksakannya, dengan paksaan, yang ia tidak memperoleh lagi kelepasan dan tempat lari”. Kemauan lalu menjawab: “Jangan cepat engkau menuduh aku ! semoga aku mempunyai halangan. Dan engkau terus mencaci. Sesungguhnya aku tidak bergerak dengan diriku sendiri. Akan tetapi, aku digerakkan. Aku tidak bangkit sendiri, akan tetapi aku dibangkitkan, dengan hukum yang memaksakan dan perintah yang tidak dapat dibantah. Adalah aku itu tenang, sebelum kedatangannya. Akan tetapi datang kepadaku dari keharibaan hati utusan ilmu, diatas lisan akal, dengan penonjolan bagi Al-Qudrah(kuasa). Maka ia menonjolkannya, disebabkan sangat pentingnya, dibawah paksaan ilmu dan akal. Aku tidak tahu, disebabkan dosa apa yang diketemukan aku padanya. Aku disuruhkan dengan cuma-cuma baginya. Dan aku diharuskan menurutinya. Akan tetapi, aku tahu bahwa aku dalam ketentraman dan ketenangan, sebelum datang kepadaku, yang datang ini, yang memaksakan dan hakim ini yang adil atau yang zalim. Telah diserahkan aku kepadanya, dengan suatu penyerahan dan diharuskan aku mentaatinya dengan suatu keharusan. Bahkan, tiada tinggal lagi bagiku kemampuan untuk menyalahinya, manakala telah diyakinkan hukumnya. Demi umurku ! ia tidak tinggal lagi dalam keraguan pada dirinya dan keheranan pada hukumnya. Maka aku itu tenang, tetapi dengan penuh perasaan dan penantian bagi hukumnya. Apabila hukumnya telah mantap, niscaya aku dikejutkan, dengan pasti dan paksaan, dibawah ketaatannya. Dan menonjollah kuasa untuk berdiri dengan yang diwajibkan hukumnya. Maka tanyalah ilmu dari hal keadaanku ! tinggalkanlah daripada mencacikan aku ! maka aku sesungguhnya, adalah seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:
Manakala engkau berangkat dari suatu kaum
dan mereka itu sudah sanggup,
bahwa engkau tidak berpisah dengan mereka,
maka yang berangkat itu adalah mereka.
Pemerhati itu, lalu menjawab: “Benar engkau”. Pemerhati itu menghadap kepada ilmu, akal dan hati, meminta kepadanya dan mencelanya atas bangkitnya Kemauan dan pemakaiannya dengan cuma-cuma bagi penonjolan kuasa. Akal lalu menjawab: “Adapun aku, maka adalah lampu, yang aku tidak menyala dengan diriku sendiri. Akan tetapi, aku dinyalakan”. Hati menjawab: “Adapun aku, maka adalah papan tulis (lauh), yang tidak aku terhampar dengan diriku sendiri. Akan tetapi, aku dihamparkan”. Ilmu menjawab: “Adapun aku, maka adalah ukiran. Aku diukirkan pada putihnya papan tulis hati, tatkala cemerlanglah lampu akal. Dan aku, tidaklah aku tergaris oleh diriku sendiri. Berapa banyak adanya papan tulis ini sebelumnya, yang kosong daripadaku. Maka bertanyalah kepada pena ! karena garis tulisan itu tidak ada, selain dengan pena”. Ketika itu kacaulah penanya itu dan tidak memuaskannya jawaban tersebut. Ia berkata: “Telah lamalah kepayahanku pada jalan ini. Banyaklah tempat-tempatku. Senantiasalah aku dirobahkan oleh orang, yang aku harapkan daripadanya pada mengenal urusan ini terhadap orang lain. Akan tetapi, adalah aku berbaik hati dengan banyaknya pulang-pergi, manakala aku mendengar perkataan yang dapat diterima oleh hati dan halangan yang terang pada menolak pertanyaan. Adapun kata engkau, bahwa aku garis tulisan dan ukiran dan sesungguhnya aku digariskan oleh pena, maka tidaklah aku dapat memahaminya. Sesungguhnya aku tidak mengetahui pena itu, selain dari bambu. Tidak mengetahui papan tulis itu, selain dari besi atau kayu. Dan aku tidak mengetahui garis tulisan itu, selain dengan tinta. Aku tidak mengetahui lampu itu, selain dari api. Bahwa aku sesungguhnya mendengar pada tempat ini pembicaraan papan tulis, lampu, tulisan dan pena. Dan aku tidak menyaksikan sesuatu daripada yang demikian. Aku mendengar bunyi gilingan tepung dan aku tidak melihat yang digiling”. Ilmu lalu berkata kepada penanya itu: “Jikalau benar engkau pada apa yang engkau katakan, maka harta bendamu itu bercampur, perbekalanmu sedikit dan kendaraanmu lemah. Ketahuilah, bahwa kebinasaan-kebinasaan di jalan yang engkau hadapi itu banyak. Maka yang benar bagi engkau ialah bahwa engkau pergi dan meninggalkan apa yang engkau padanya. Tidaklah ini sarangmu, maka keluarlah daripadanya. Setiap orang itu dimudahkan bagi apa yang ia dijadikan baginya”. Kalau engkau ingin menyempurnakan jalan kepada maksud, maka pasanglah pendengaran engkau dan engkau itu menyaksikan. Dan ketahuilah, bahwa alam dalam perjalanan engkau yang ini, adalah 3.
1.      Alamul-mulki wasy-syahadah (penyaksian tubuh di alam dunia) itu pertamanya. Adalah kertas, tinta, pena dan tangan itu dari alam ini. Engkau melewati tempat-tempat itu dengan mudah.
2.      alam al-malakut (alam yang tdk bisa dipersaksikan dengan mata). Yaitu dibelakangku. Apabila engkau melampaui aku, niscaya engkau berkesudahan ke tempat-tempatnya. Padanya padang pasir yang luas, gunung-gunung yang tinggi dan laut-laut yang menenggelamkan. Aku tidak tahu, bagaimana engkau selamat padanya.
3.      al-jabarut. Yaitu: diantara alam al-mulki dan alam al-malakut (alam yang nyata dan alam goib). Engkau tempuh daripadanya 3 tempat pada permulaan nya, yaitu: tempat kuasa, Kemauan dan al-ilmu. Yaitu: di tengah-tengah, diantara alam al-mulki wasy-syahadah (penyaksian di alam dunia) dan alam al-malakut (alam yang tdk bisa dipersaksikan dengan mata). Karena alam al-mulki/alam nyata lebih mudah jalannya dari alam al-malakut/alam goib. Dan alam al-malakut itu lebih sukar jalannya. Alam al-jabarut diantara alam al-mulki dan alam al-malakut (alam yang nyata dan alam goib) itu menyerupai kapal, yang dia itu dalam gerakan, diantara bumi dan air. Ia tidak dalam batas bergoncangnya air dan tidak dalam batas tenang dan tetapnya bumi. Setiap orang yang berjalan di atas bumi itu berjalan di alam al-mulki wasy-syahadah. Kalau melewati kekuatannya, sampai ia kuat kepada menumpang kapal, niscaya adalah ia seperti orang yang berjalan dalam alam al-jabarut. Kalau ia berkesudahan sampai kepada berjalan di atas air, tanpa kapal, niscaya ia berjalan dalam alam al-malakut, tanpa kegoncangan. Kalau engkau tidak sanggup berjalan di atas air, maka pergilah ! engkau telah melewati bumi dan membelakangi kapal. Dan tidak ada lagi di depan engkau, selain air yang jernih.
Permulaan alam al-malakut itu menyaksikan al-qalam (pena), yang dengan al-qalam itu dituliskan ilmu pada papan tulis hati. Dan berhasilnya yakin, yang dengan yakin itu ia berjalan diatas air. Apakah tidak engkau mendengar sabda Rasulullah saw tentang Isa as, yang berikut ini: “Jikalau ia bertambah yakin, niscaya ia berjalan di udara”, tatkala dikatakan kepadanya, bahwa Isa as itu berjalan di atas air”. Berkata yang berjalan, yang bertanya itu: “Aku heran pada urusanku. Hatiku merasa ketakutan dari apa yang engkau sifatkan, dari bahaya di jalan. Aku tidak tahu, sanggupkah aku menempuh padang pasir ini, yang engkau sifatkan itu atau tidak. Adakah bagi yang demikian itu tanda ? Pemerhati itu menjawab: “Ada ! bukalah penglihatan engkau ! kumpulkanlah cahaya kedua mata engkau dan biji matanya ke arah aku ! kalau menampak bagi engkau pena, yang dengan pena itu aku menulis pada papan tulis hati, maka menyerupailah, bahwa engkau itu ahli bagi jalan ini. Setiap orang yang melewati alam al-jabarut dan mengetok salah satu dari pintu-pintu alam al-malakut, niscaya ia dibukakan dengan pena. Apa tidak engkau melihat, bahwa Nabi saw pada permulaan urusannya dibukakan dengan al-qalam (pena). Karena diturunkan kepadanya ayat: “Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. S 96 Al ‘Alaq ayat 3-4-5.
Berkata orang yang berjalan: “Aku telah membuka penglihatanku dan mata hitamnya. Demi Allah, aku tidak melihat bambu dan kayu. Aku tidak mengetahui pena, seperti yang demikian”. Menjawab ilmu: “Aku telah menjauhkan mencari setiap sesuatu. Apakah engkau tidak mendengar, bahwa harta benda rumah itu menyerupai dengan yang empunya rumah ? apakah engkau tidak tahu, bahwa Allah Ta’ala, tidak menyerupai ZatNya dengan zat-zat yang lain ? maka seperti demikianlah TanganNya tidak menyerupai dengan tangan-tangan. Al-QalamNya tidak menyerupai dengan qalam (pena-pena). PerkataanNya dengan perkataan yang lain. Dan tulisanNya dengan tulisan-tulisan yang lain”. Inilah urusan ketuhanan dari alam al-malakut. Maka tidaklah Allah Ta’ala pada ZatNya itu bertubuh. Tidaklah Ia pada tempat. Lain halnya dengan yang lain daripadaNya. Tidaklah TanganNya itu daging, tulang dan darah. Lain halnya dengan tangan-tangan yang lain. Tidaklah QalamNya dari bambu. Tidaklah lauhNya (papan tulisNya) dari kayu. Tidaklah KalamNya (perkataanNya) dengan suara dan huruf. Tidaklah TulisanNya angka dan gambar. Tidaklah TintaNya garam dan kelat(senyawa kimia). Kalau engkau tidak menyaksikan ini dengan begitu, maka aku tidak melihat engkau, selain seorang khuntsa (orang banci) diantara kejantanan/at-tanzih dan kebetinaan/at-tasybih, bulak-balik diantara ini dan itu. Tidak kepada mereka ini dan tidak kepada mereka itu. Maka bagaimana at-tanzih/kejantan ZatNya dan sifat-sifatNya Yang Maha Tinggi dari adanya dengan tubuh dan sifat-sifat tubuh, At-tanzih Kalam (kejantanan berkata-kata)Nya dari makna-makna huruf dan suara, yang terhenti pada TanganNya, Qalam/penaNya, Lauh/papan tulisNya dan TulisanNya ? kalau engkau telah memahami dari sabda Nabi saw: “Bahwa Allah menjadikan Adam atas bentukNya”. Akan bentuk zahiriah, yang diperoleh dengan penglihatan mata, maka adalah engkau mentasybihkan (menyerupakan) secara mutlak, sebagaimana dikatakan: “Adalah engkau itu orang Yahudi semata-mata”. Kalau tidak, maka janganlah engkau bermain-main dengan At-Taurat. Jikalau engkau memahami daripadanya akan bentuk batiniyah, yang diperoleh dengan mata hati, tidak dengan mata kepala, maka adalah engkau itu mentanzihkan (mensucikan) semata-mata, mengquduskan yang murni. Singkatkan jalan, sesungguhnya engkau berada di lembah suci, Thuwa ! Dengarlah akan rahasia hati engkau, bagi apa yang diwahyukan ! semoga engkau mendapat petunjuk di tempat api itu ! semoga engkau dari kemah Arasy itu dipanggil, dengan apa yang dipanggilkan Musa as: “Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu”. S 20 Thaahaa ayat 12. Tatkala yang berjalan itu mendengar dari ilmu yang demikian, niscaya ia merasakan keteledoran dirinya. Bahwa ia itu khuntsa (banci) diantara at-tasybih (kebetinaan) dan at-tanzih (kejantanan). Maka menyalalah hatinya menjadi api dari kesangatan marahnya kepada dirinya, tatkala dilihatnya dengan mata kekurangan. Adalah minyaknya dalam lobang hatinya yang tak tembus itu, hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Manakala ditiupkan ke dalamnya ilmu dengan ketajamannya, niscaya menyalalah minyaknya. Lalu menjadi cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Maka berkata ilmu kepadanya: “Ambillah sekarang kesempatan ini ! bukalah matamu ! mudah-mudahan engkau memperoleh di tempat api itu petunjuk”. Maka ia membuka matanya, lalu tersingkaplah baginya Qalam Ilahi. Tiba-tiba itu adalah seperti yang disifatkan oleh ilmu tentang at-tanzih (kejantanan), tidak ia dari kayu dan tidak dari bambu. Tidak ada baginya kepala dan tidak ada ekor. Ia menulis terus-menerus dalam hati manusia seluruhnya, akan segala jenis ilmu.
Adalah bagi Qalam (pena) Ilahi itu kepala pada setiap hati dan ia sendiri tiada mempunyai kepala. Maka berlalulah dari yang berjalan itu keheranan. Dan ia menjawab: “Alangkah nikmatnya teman ilmu ! maka dibalaskan ia oleh Allah Ta’ala daripadaku kebajikan ! karena sekarang, telah nampak bagiku kebenaran pemberitaannya dari hal sifat-sifat Al-Qalam (pena). Sesungguhnya aku melihatnya Qalam (pena) itu Qalam (pena), tidak seperti qalam-qalam (pena-pena) yang lain. Ketika ini, ia mengucapkan selamat tinggal bagi ilmu dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Ia berkata: “Telah lamalah berdiriku di sisi engkau dan bulak-balikku kepada engkau. Aku bercita-cita, bahwa aku bermusafir ke haribaan Al-Qalam (pena). Aku menanyakan tentang keadaannya”. Orang yang berjalan itu lalu bermusafir kepada Al-Qalam (pena). Dan mengatakan kepadanya: “Apa halmu hai Al-Qalam (pena), engkau menggariskan tulisan terus-menerus dalam hati dari ilmu-ilmu, apa yang membangkit kan Kemauan kepada diri Al-Qadar/takdir dan meneruskannya kepada al-maqdurat (yang dimuliakan) ?”. Al-Qalam (pena) menjawab: “Adakah engkau lupa apa yang engkau lihat dalam alam al-mulki wasy-syahadah (alam penyaksian di alam dunia) dan engkau mendengar dari jawaban Al-Qalam (pena), ketika engkau menanyakannya, lalu diserahkannya engkau kepada tangan ?”. Orang yang berjalan itu menjawab: “Aku tidak melupakan yang demikian”. Ia mengatakan: “Maka jawabanku itu seperti jawabannya”. Orang itu meneruskan lagi: “Bagaimana, apa engkau tidak mentasybihkan (menyerupakan)nya ?”. Al-Qalam (pena) menjawab: “Apakah tidak engkau mendengar, bahwa Allah Ta’ala menjadikan Adam atas bentukNya ?”. Orang yang berjalan itu menjawab: “Ya, ada !”. Al-Qalam (pena) berkata: “Maka tanyakanlah dari keadaanku yang digelarkan dengan: tangan kanan raja ! sesungguhnya aku dalam genggamannya. Ia yang membulak-balikkan aku. Aku itu dipaksakan, yang dipekerjakan dengan cuma-cuma. Maka tidak ada perbedaan antara Qalam (pena) Ilahi dan qalam (pena) manusia, dalam arti dipekerjakan dengan cuma-cuma. Perbedaan hanya dalam zahiriyah bentuk”. Orang yang berjalan itu lalu bertanya: “Maka siapakah tangan kanan raja itu ?”. Al-Qalam (pena) lalu menjawab: “Apakah engkau tidak mendengar firman Allah Ta’ala: “Dan langit itu digulung dengan tangan-tanganNya”. S 39 Az Zumar ayat 67. Orang itu menjawab: “Ya, ada !”. Al-Qalam (pena) berkata: “Pena-pena juga dalam genggaman tangan-kananNya. Dialah yang membulak-balikkannya”. Orang yang berjalan itu bermusafir dari sisi Al-Qalam (pena), ke tangan kanan, sehingga disaksikannya. Ia melihat dari keajaiban-keajaiban tangan kanan, akan apa yang melebihi di atas keajaiban-keajaiban Al-Qalam (pena). Tidak boleh disifatkan sesuatu dari yang demikian dan tidak boleh diuraikan. Akan tetapi, berjilid-jilid buku yang banyak, tidak termuat 1/100 dari sifatnya.
Kesimpulan padanya, bahwa itu tangan kanan, tidak seperti tangan kanan-tangan kanan. Dia itu tangan, tidak seperti tangan-tangan. Anak jari, tidak seperti anak-anak jari. Maka ia melihat al-Qalam (pena) bergerak dalam genggamanNya.
Maka nyatalah baginya alasan berhalangan Al-Qalam (pena). Lalu ia bertanya kepada tangan kanan dari keadaannya dan penggerakannya bagi al-Qalam (pena). Tangan kanan lalu menjawab: “Jawabanku itu seperti apa yang engkau dengar dari tangan kanan yang engkau lihat pada alam asy-syahadah/ penyaksian. Yaitu: diserahkan kepada Al-Qudrah/kuasa. Karena tangan itu tidak mempunyai hukum pada dirinya sendiri. Sesungguhnya, yang menggerakkannya sudah pasti adalah: al-qudrah/kuasa. Orang yang berjalan itu lalu berjalan ke alam al-qudrah(kuasa). Ia melihat padanya keajaiban-keajaiban, apa yang dipandang hina padanya oleh yang sebelumnya. Ia bertanya kepada al-qudrah(kuasa), tentang penggerakan tangan-kanan. Al-Qudrah(kuasa) lalu menjawab: “Sesungguhnya aku itu suatu sifat. Tanyakanlah kepada yang bersifat dengan kuasa (al-qadir/maha menentukan) ! karena yang dipegang, ialah kepada yang mempunyai sifat. Tidak kepada sifat. Ketika itu, hampirlah ia tergelincir dan melepaskan dengan keberanian, akan lisan pertanyaan. Maka tetaplah ia dengan perkataan yang tetap dan ia diserukan dari belakang dinding kemah hadlarat Ilahiyah (keajaiban ketuhanan): “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya dan merekalah yang akan ditanyai”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 23. Oleh ketakutan akan keharibaan Ilahi, ia pingsan. Lalu jatuh tersungkur, yang bergoncang badannya pada kepingsanan nya. Tatkala ia telah sembuh, maka ia mengucapkan: “Maha Suci Engkau ! alangkah Maha Besarnya keadaan Engkau ! aku bertaubat kepada Engkau. Aku menyerahkan diri (bertawakkal) kepada Engkau. Aku beriman, bahwa Engkau Raja Yang Maha Perkasa, Yang Maha Esa, Yang Maha Berkuasa. Aku tidak takut kepada selain Engkau. Aku tidak mengharap pada selain Engkau. Aku tidak berlindung, selain dengan kemaafan Engkau dari siksaan Engkau, dengan ridha Engkau dari kemarahan Engkau. Tiada bagiku, selain bermohon kepada Engkau dan merendahkan diri kepada Engkau. Aku duduk bersimpuh dihadapan Engkau. Aku mengucapkan: “Lapangkanlah bagiku dadaku untuk mengenali Engkau ! lepaskanlah ikatan dari lidahku, untuk memuji Engkau !”. Maka diserukan dari belakang hijab: “Jagalah dirimu daripada mengharap pujian dan engkau melebihi atas penghulu nabi-nabi ! akan tetapi, kembalilah kepadaNya. Apa yang diberikanNya kepada engkau, maka ambillah ! apa yang dilarang engkau daripadanya, maka cegahlah diri engkau daripadanya! apa yang dikatakanNya kepada engkau, maka katakanlah ! sesungguhnya tiada lebih pada keharibaanNya ini, atas apa yang diucapkannya: “Maha Suci Engkau! tiada dapat aku hinggakan pujian kepada Engkau, sebagaimana Engkau memuji atas diri Engkau”.
Orang yang berjalan itu, lalu mengucapkan: “Ilahi ! jikalau tidak adalah bagi lisan itu keberanian kepada memuji Engkau, maka adakah bagi hati harapan pada mengenal Engkau ?”. Lalu orang yang berjalan itu diserukan: “Jagalah diri engkau, bahwa engkau melangkahi leher orang-orang shiddiqin ! maka kembalilah kepada Shiddiq Yang terbesar !. Ikutilah dia ! sesungguhnya sahabat-sahabat penghulu nabi-nabi itu seperti bintang. Dengan siapa saja dari mereka engkau ikuti, niscaya engkau memperoleh petunjuk. Apakah tidak engkau mendengar ia berkata: “Kelemahan dari memperoleh pengertian itu suatu pengertian?”. Maka mencukupilah nasib engkau dari keharibaan Kami, bahwa engkau mengetahui, bahwa engkau tidak memperoleh apa-apa dari keharibaan Kami, yang lemah daripada memperhatikan Keelokan Kami dan Keagungan Kami”. Ketika itu, yang berjalan ini kembali dan meminta maaf dari pertanyaan-pertanyaan dan cacian-caciannya. Yang berjalan itu berkata kepada: tangan kanan, pena ilmu, Kemauan, al-qudrah(kuasa) dan apa yang sesudahnya: “Terimalah kehalanganku! sesungguhnya aku adalah orang pendatang, yang baru saja masuk ke negeri ini. Bagi setiap yang masuk itu mempunyai keheranan. Maka tidaklah tantanganku kepadamu, selain dari keteledoran dan kebodohan. Sekarang, telah benarlah padaku kehalanganmu. Telah tersingkap bagiku, bahwa Yang Tunggal dengan kerajaan dan alam al-malakut, kemuliaan dan alam al-jabarut, ialah: Yang Maha Esa, Yang Maha Perkasa. Tidaklah kamu itu, selain orang-orang yang disuruh dengan cuma-cuma di bawah keperkasaan dan kekuasaanNya, yang pulang pergi dalam genggamanNya. Dialah yang awal dan akhir, yang zhahir dan bathin.
Manakala ia menyebutkan yang demikian tentang alam asy-syahadah/alam yg dapat disaksikan, niscaya menjauhlah daripadanya yang demikian. Dan ditanyakan kepadanya: “Bagaimana Dia itu awal dan akhir dan keduanya itu dua sifat yang berlawanan ? Bagaimana Dia itu zhahir dan bathin ? yang awal tidaklah ia yang akhir dan yang zhahir tidaklah ia yang bathin ? Orang yang berjalan itu menjawab: “Dia itu yang Awal, dikaitkan kepada semua yang ada (al-maujudat). Karena dari Dialah yang timbul setiap sesuatu, di atas ketertibannya satu demi satu. Dialah yang Akhir dengan dikaitkan kepada perjalanannya orang-orang yang berjalan kepadaNya. Sesungguhnya mereka senantiasa mendaki dari suatu tempat ke suatu tempat, sehingga terjadilah berkesudahan ke haribaanNya (hadlaratNya/ keajaibanNYA). Maka adalah yang demikian itu akhir perjalanan. Yaitu: akhir pada musyahadah (penyaksian), permulaan pada wujud. Dia itu bathin, dengan dikaitkan kepada orang-orang yang berketetapan di alam asy-syahadah/alam yg dapat disaksikan, yang mencari untuk mengetahuinya, dengan pancaindra yang 5. Dia itu zhahir, dengan dikaitkan kepada orang yang mencariNya dalam pelita yang cemerlang dalam hatinya, dengan mata hati bathiniyah, yang tembus dalam alam al-malakut/alam yang tidak dapat disaksikan oleh mata. Maka begitulah adanya keesaan orang-orang yang berjalan ke jalan keesaan dalam perbuatan. Aku kehendaki, ialah orang yang tersingkap baginya, bahwa Yang Berbuat itu Esa. Kalau anda bertanya: “Sesungguhnya telah berkesudahan keesaan ini, sampai ia terbina atas iman dengan alam al-malakut/alam yang tidak dapat disaksikan oleh mata. Maka siapa yang tidak memahami yang demikian atau mengingkarinya, niscaya apa jalannya ?”. Maka kau menjawab, bahwa orang yang mengingkarinya, niscaya tiada obat baginya, selain dikatakan kepadanya: “Keingkaran engkau akan alam al-malakut/alam yang tidak dapat disaksikan oleh mata itu seperti keingkaran golongan As-Sumaniyah (golongan yang menyembah berhala dan nama itu diambil dari nama sebuah negeri di India), akan alam al-jabarut. Mereka ialah orang-orang yang membataskan ilmu dalam pancaindra yang 5 saja. Mereka mengingkari al-qudrah (kuasa), Kemauan dan al-ilmu. Karena yang tersebut ini tidak diperoleh dengan pancaindra yang 5. Maka mereka terus-menerus dalam lembah alam asy-syahadah/alam yg dapat disaksikan, dengan pancaindra yang 5.
Kalau orang yang mengingkari itu berkata: “Bahwa aku sebahagian dari mereka. Sesungguhnya aku tidak memperoleh petunjuk, selain kepada alam asy-syahadah dengan pancaindra yang 5. Aku tidak mengetahui akan sesuatu, selain daripadanya”. Maka dikatakan: “Keingkaran engkau bagi apa yang kami musyahadahkan (persaksikan), dari apa yang dibelakang pancaindra yang 5 itu seperti keingkaran golongan As-Sufasthaiyah (suatu golongan dari para filosof Yunani) akan pancaindra yang 5. Mereka itu mengatakan: “Apa yang kami lihat, kami tidak percaya, semoga kami akan melihatnya dalam tidur (bermimpi)”. Kalau orang itu berkata: “Bahwa aku sebahagian dari jumlah mereka. Sesungguhnya aku ragu juga pada yang dirasakan dengan pancaindra (al-mahsusat) itu”. Maka dijawab: “Bahwa ini adalah orang yang telah rusak tabiatnya dan tercegah pengobatannya. Maka biarkanlah dia dalam beberapa hari yang sedikit saja. Tidaklah setiap orang sakit itu disanggupi oleh para dokter kepada mengobatinya”.
 Inilah hukumnya orang yang mengingkari ! Adapun orang yang tidak mengingkari, akan tetapi tidak memahami, maka jalan orang-orang yang berjalan bersama orang ini, ialah, bahwa memandang kepada matanya, yang dengan mata itu ia berpenyaksian akan alam al-malakut. Kalau mereka itu mendapati matanya sehat pada asalnya dan telah bertempat padanya air hitam, yang dapat dihilangkan dan dibersihkan, niscaya mereka berbuat dengan pembersihannya, sebagaimana berbuatnya tukang celak pada mata zahiriyah. Apabila penglihatannya telah betul, niscaya ia ditunjuki kepada jalan, supaya ditempuhnya. Sebagaimana diperbuat oleh Nabi saw dengan para sahabatnya yang tertentu. Kalau ia tidak menerima bagi pengobatan, maka tidak memungkinkan dia untuk menempuh jalan yang telah kami sebutkan pada keesaan. Dan tidak memungkinkan dia mendengar perkataan atom-atom alam al-mulki/bumi dan al-malakut/ langit dengan kesaksian keesaan. Mereka mengatakannya dengan huruf dan suara dan mereka kembalikan tingkatan keesaan ke lembah pahamannya.
Sesungguhnya dalam alam asy-syahadah/alam yang dapat disaksikan mata juga keesaan. Karena setiap orang mengetahui, bahwa rumah itu akan rusak dengan dua orang yang punya. Dan negeri itu akan rusak dengan dua orang kepala (dua orang amir) nya. Maka dikatakan kepadanya atas ketajaman akalnya: “Tuhan bagi alam ini Esa. Yang Mengatur itu Esa. Karena kalau ada pada alam asy-syahadah (bumi) dan alam al-malakut (langit) Tuhan-tuhan, selain Allah, niscaya keduanya rusak. Maka adalah yang demikian di atas rasa apa yang dilihatnya dalam alam asy-syahadah/alam yang dapat disaksikan mata. Maka tertanamlah i’tiaqad/kepercayaan keesaan dalam hatinya dengan jalan yang layak ini menurut kadar akalnya. Telah ditaklifkan (diberatkan) oleh Allah, bahwa mereka berbicara dengan manusia menurut kadar akalnya.
Karena itulah, Alquran diturunkan dengan bahasa Arab, atas batas adat kebiasaan mereka dalam bersoal-jawab”. Kalau anda bertanya: “Contoh keesaan i’tiqadiyah (ilmu tentang jiwa manusia dengan Tuhannya beserta keimanan)  ini, adakah patut bahwa dia itu tonggak bagi tawakkal dan pokok padanya?”. Aku menjawab: “Ya ! sesungguhnya i’tiqad (keyakinan) apabila kuat, niscaya bekerjalah amal kasyaf (tersingkap) pada mengembangkan hal keadaan. Hanya, kebiasaannya amal itu lemah dan bersegeralah padanya kegoncangan dan kegemparan pada galibnya/membiasakannya. Karena itulah, yang empunyanya itu memerlukan kepada orang yang berkata-kata yang menjagakannya dengan perkataannya. Atau bahwa ia mempelajari perkataan itu sendiri, untuk menjaga aqidah/keyakinan yang telah dipelajarinya dari gurunya atau dari ibu bapaknya atau dari penduduk kampungnya.
Adapun orang yang menyaksikan jalan dan menempuhkannya sendiri, maka tiada suatupun dari yang demikian itu ditakutinya. Bahkan, kalau disingkapkan tutup, niscaya ia tiada bertambah yakin, walaupun bertambah jelas. Sebagaimana orang yang melihat seorang insan pada waktu perjalanan sebelum matahari terbit, tiada akan bertambah keyakinannya ketika terbit matahari, bahwa orang itu insan. Akan tetapi, ia bertambah jelas tentang penguraian bentuk kejadiannya. Tidaklah contoh orang-orang yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab)  dan orang-orang yang beraqidah/berkeyakinan, melainkan seperti tukang-tukang sihir Fir’aun bersama para sahabat Samiri. Tukang-tukang sihir Fir’aun tatkala memperhatikan kesudahan pembekasan sihir, lantaran lamanya penyaksian dan percobaan mereka, niscaya mereka melihat dari Musa as apa yang melampaui batas-batas sihir. Dan tersingkaplah bagi mereka hakikat/makna persoalan. Maka mereka tiada memperdulikan perkataan Fir’aun: “Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik”. S 20 Thaahaa ayat 71. Akan tetapi: “Mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mu’jizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami: maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja”. S 20 Thaahaa ayat 72. Sesungguhnya penjelasan dan ketersingkapan itu mencegah pengobahan. Sahabat-sahabat Samiri tatkala adanya iman mereka dengan memandang kepada zahiriyahnya ular, maka tatkala mereka memandang kepada patung anak lembu Samiri dan mendengar lenguhannya, niscaya berobahlah mereka. Dan mereka mendengar perkataannya: “Inilah Tuhanmu Musa”. S 20 Thaahaa ayat 88. Mereka lupa, bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka. Dan tidak dapat memberi kesulitan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan. Setiap orang yang beriman dengan memandang kepada ular itu sudah pasti menjadi kafir apabila ia memandang kepada patung anak lembu. Karena keduanya itu termasuk alam asy-syahadah/alam yang dapat dilihat mata. Perselisihan dan perlawanan di alam asy-syahadah itu banyak. Adapun alam al-malakut, maka itu dari sisi Allah Ta’ala. Maka karena itulah tidak anda dapati sekali-kali padanya perselisihan dan perlawanan. Kalau anda mengatakan: “Bahwa apa yang engkau sebutkan dari keesaan itu terang, manakala telah tetap, bahwa perantaraan-perantaraan dan sebab-sebab itu dijadikan tenaganya dengan cuma-cuma. Dan semua itu jelas, selain mengenai gerak-gerik insan. Maka insan itu bergerak kalau ia kehendaki dan tetap kalau ia kehendaki. Maka bagaimanakah insan itu dijadikan cuma-cuma (tidak ada kemauannya sendiri) ?”.
Ketahuilah kiranya, bahwa kalau ada bersama ini, insan itu berkehendak, kalau ia kehendaki bahwa ia berkehendak dan tidak ia berkehendak, kalau ia tidak kehendaki bahwa ia berkehendak, niscaya adalah ini tempat tergelincirnya tapak kaki dan tempat terjadinya kesalahan. Akan tetapi, ia tahu bahwa ia berbuat apa yang dikehendakinya, apabila ia kehendaki, bahwa ia berkehendak atau tidak berkehendak. Maka tidaklah kehendak itu kepadanya. Karena jikalau ada kehendak itu kepadanya, niscaya ia memerlukan kepada kehendak yang lain. Dan sambung-menyambung kepada tidak berkesudahan. Apabila tidak adalah kehendak kepadanya, maka apabila didapati kehendak yang membawakan al-qudrah(kuasa) kepada yang diqudrahkan (dikuasakan), niscaya sudah pasti al-qudrah(kuasa) itu terbawa. Tak ada baginya jalan kepada menyalahinya. Gerakan itu harus karena darurat dengan al-qudrah(kuasa). Dan al-qudrah(kuasa) itu bergerak, karena darurat ketika kemantapan kehendak. Maka kehendak itu datang, karena darurat pada hati. Maka inilah darurat-darurat yang tersusun sebahagiannya di atas sebahagian. Tiadalah bagi hamba bahwa ia menolak adanya kehendak. Dan tidak pula menolak terbawanya al-qudrah(kuasa) kepada yang diqudrahkan (dikuasakan) sesudahnya. Tiada wujud gerak sesudah bangkitnya kehendak bagi al-qudrah(kuasa). Maka itu diperlukan pada semua. Kalau anda mengatakan: “Bahwa ini paksaan semata-mata. Dan paksaan itu berlawanan dengan ikhtiar (usaha dengan pilihan sendiri). Dan anda tidak memungkiri ikhtiar. Maka bagaimana adanya dipaksakan dengan adanya pilihan ?”. Aku menjawab, bahwa jikalau terbukalah tutup, niscaya anda ketahui, bahwa pada diri ikhtiyar itu sendiri ada paksaan. Jadi, dia itu dipaksakan atas ikhtiarnya. Maka bagaimana dapat dipahami ini, oleh orang yang tidak memahami ikhtiyar ? Maka marilah kami uraikan ikhtiyar menurut cara para ahli ilmu kalam (ilmu keesaan), dengan uraian singkat, yang layak dengan apa yang telah disebutkan, secara anak kecil dan patuh mengikutinya. Sesungguhnya Kitab ini tidak kami maksudkan, selain Ilmu Mu’amalah (jual beli). Akan tetapi aku katakan, sbb: Lafal “perbuatan” pada manusia itu ditujukan atas 3 segi. Karena dikatakan: manusia itu menulis dengan anak jari, bernafas dengan paru dan kerongkongan. Ia membelah air apabila ia berdiri di atas air dengan tubuhnya. Maka dikatakan kepadanya: membelah dalam air, bernafas dan menulis. 3 ini pada hakikat/makna keperluan dan paksaan itu satu. Akan tetapi, berlainan dibalik yang demikian, dalam beberapa persoalan. Maka aku nyatakan kepada anda daripadanya dengan 3 kesimpulan: yaitu kami namakan pembelahannya air ketika jatuhnya tertelungkup dengan: perbuatan tabi’i (alami). Kami namakan pernafasannya: perbuatan iradi (dengan Kemauan). Dan kami namakan penulisannya: perbuatan ikhtiari (dengan pilihan sendiri). Terpaksa (lawan pilihan) itu nampak pada perbuatan tabi’i(alami). Karena, manakala ia berdiri di atas permukaan air atau ia melangkah dari atap ke udara, niscaya sudah pasti udara itu terbelah. Maka adalah terbelahnya udara sesudah dilangkahi itu hal dlaruri (mudah dipahami). Pernafasan searti dengan yang demikian. Hubungan gerakan kerongkongan kepada kehendak pernafasan adalah seperti hubungan terbelahnya air kepada beratnya badan. Manakala  berat itu ada, niscaya terdapatlah terbelahnya air sesudahnya. Dan tiadalah berat itu kepada air. Seperti demikian juga kehendak itu, tidaklah kepadanya. Karena demikian, jikalau ditujukan kepada mata seseorang dengan jarum penjahit, niscaya dengan serta-merta pelupuk matanya tertutup. Kalau ia bermaksud membiarkannya terbuka, niscaya ia tidak mampu, sedang pemejaman pelupuk mata dengan serta-merta adalah perbuatan iradi (dengan Kemauan). Akan tetapi, apabila tergambar bentuk jarum pejahit dalam penyaksiannya dengan perasaan, niscaya datanglah kehendak dengan pemejaman mata itu dengan sendirinya. Dan datanglah gerakan dengan yang demikian. Jikalau ia mau membiarkan demikian dengan tidak terpejamnya mata, niscaya ia tidak sanggup yang demikian, serta itu perbuatan dengan kuasa dan Kemauan.
Maka berhubunganlah ini dengan perbuatan tabi’i(alami), dalam keadaannya yang dlaruri (pengetauhan mudah tanpa memerlukan pemikiran). Adapun yang ketiga, yaitu: ikhtiari, maka itu tempat sangkaan keraguan, seperti: menulis dan mengucapkan. Yaitu, yang dikatakan padanya: kalau ia mau, niscaya ia kerjakan. Dan kalau ia mau, niscaya ia tidak kerjakan. Sekali ia kehendaki dan sekali ia tidak kehendaki. Lalu disangka dari yang demikian, bahwa urusan itu terserah kepadanya. Dan ini adalah karena tidak mengerti makna ikhtiari. Maka marilah kami menyingkapkannya: penjelasannya, ialah: bahwa kehendak itu mengikuti ilmu yang menetapkan, bahwa sesuatu itu bersesuaian bagi engkau. Dan segala sesuatu itu terbagi kepada apa yang ditetapkan oleh penyaksian engkau yang zahiriyah atau yang batiniyah, bahwa dia itu bersesuaian dengan engkau tanpa heran dan sangsi dan kepada apa, yang kadang-kadang akal itu sangsi padanya. Maka yang engkau yakini padanya, tanpa sangsi, bahwa orang itu menunjukkan umpamanya mata engkau dengan jarum penjahit atau badan engkau dengan pedang, maka tidaklah pada pengetahuan engkau itu kesangsian, bahwa menolak yang demikian itu lebih baik dan bersesuaian bagi engkau. Maka tidak dapat dibantah, tergeraklah kehendak dengan ilmu dan qudrah(kuasa) dengan kehendak. Berhasillah gerakan pelupuk mata dengan penolakan dan gerakan tangan dengan penolakan pedang. Akan tetapi, tanpa timbang dan pikir. Adalah yang demikian itu dengan kehendak (Kemauan). Diantara hal-hal, ada yang terhenti (tawaqquf) pembedaan buruk dan baik dan akal pikiran padanya. Lalu tidak diketahui, bahwa dia itu bersesuaian atau tidak. Maka diperlukan kepada timbang dan pikiran. Sehingga diperbedakan, bahwa baiknya itu pada dikerjakan atau ditingalkan.
Apabila berhasil dengan pikiran dan timbang itu ilmu, bahwa salah satu dari keduanya itu baik, niscaya berhubunganlah yang demikian dengan yang diyakini, tanpa timbang dan pikir. Maka membangkitlah kehendak di sini, sebagaimana kehendak itu tergerak untuk menolak pedang dan tombak. Apabila kehendak itu tergerak bagi perbuatan, yang tampak bagi akal bahwa perbuatan itu baik, niscaya dinamakan kehendak ini dengan: ikhtiari yang terpecah dari kebaikan. Artinya: itulah kebangkitan kepada apa, yang tampak bagi akal, bahwa itu baik. Dan itulah diri Kemauan itu sendiri. Dan ia tidak menunggu pada kebangkitannya kepada apa, yang ditunggu oleh Kemauan itu. Yaitu: tampaknya kebaikan perbuatan pada dirinya. Kecuali, bahwa kebaikan pada penolakan pedang itu lahir, tanpa timbang. Akan tetapi, atas terang-benderang. Dan ini memerlukan kepada timbang. Ikhtiari (pilihan dengan usaha sendiri) itu ibarat dari kehendak khusus. Yaitu, yang tergerak dengan isyarat akal, pada apa yang mempunyai tawaqquf (menghentikan pikiran) pada mengetahuinya. Dan dari ini, dikatakan, bahwa akal itu diperlukan, untuk membedakan diantara yang lebih baik dari dua kebaikan dan yang lebih jahat dari dua kejahatan. Dan tidaklah tergambar bahwa Kemauan itu tergerak, selain dengan ketetapan perasaan dan pengkhayalan. Atau dengan ketetapan keyakinan dari akal pikiran. Karena itulah, kalau manusia itu berkehendak memotong lehernya sendiri umpamanya niscaya tidak memungkinkannya. Tidak karena tak ada kemampuan pada tangan dan tidak karena tidak ada pisau. Akan tetapi, karena ketiadaan kehendak yang mengajak, yang menonjol bagi kemampuan (kuasa). Sesungguhnya tidak ada Kemauan itu, karena Kemauan itu tergerak dengan ketetapan akal atau perasaan, dengan adanya perbuatan itu bersesuaian. Membunuh dirinya sendiri itu tidaklah bersesuaian baginya. Maka tidak memungkinkannya serta kuatnya anggota badan, bahwa ia membunuh dirinya sendiri, kecuali apabila ada ia dalam siksaan yang memedihkan, yang tidak tahan lagi. Maka disini, akal itu terhenti (tawaqquf) pada ketetapannya dan ragu. Karena keraguannya itu diantara yang lebih jahat dari dua kejahatan. Kalau menjadi lebih kuat baginya sesudah timbang, bahwa meninggalkan membunuh itu lebih kurang kejahatannya, niscaya tidak memungkinkan baginya membunuh dirinya. Kalau diputuskan oleh akal, bahwa membunuh itu lebih sedikit kejahatannya dan adalah keputusannya itu yakin, yang tak ada kemiringan padanya dan tak ada yang memalingkan daripadanya lagi, niscaya tergeraklah Kemauan dan kemampuan (qudrah/kuasa). Dan ia membinasakan dirinya sendiri, seperti orang yang diikutkan dengan pedang untuk dibunuh. Dia melemparkan dirinya umpamanya dari atap, walaupun membinasakan. Dan ia tidak ambil perduli. Tidak memungkinkannya bahwa ia tidak melemparkan dirinya. Kalau dia itu diikuti dengan pukulan ringan, maka jikalau ia telah berkesudahan ke tepi atap, niscaya akalnya memutuskan, bahwa pukulan itu lebih mudah dari melemparkan diri. Lalu terhentilah anggota badannya. Maka tidak memungkinkannya bahwa ia melemparkan dirinya. Tidak tergerak sekali-kali baginya yang membawa kepada yang demikian. Karena yang mengajak kehendak itu dijadikan dengan keputusan akal dan perasaan. Kemampuan itu dijadikan bagi pengajak. Gerakan dijadikan bagi kemampuan. Dan semua itu ditakdirkan dengan dlarurat (mudah) padanya, dimana tadinya ia tidak mengetahuinya. Itu sesungguhnya tempat dan berlalunya hal-hal ini. Adapun bahwa ada itu daripadanya, maka tidaklah yang demikian itu sekali-kali. Jadi, makna adanya itu keterpaksaan, ialah bahwa semua yang demikian itu yang terjadi padanya adalah dari orang lain. Tidak daripadanya sendiri. Makna padanya itu dengan pilihan (ikhtiari), ialah bahwa dia itu tempat bagi kehendak yang datang padanya, dengan terpaksa sesudah ketetapan akal, dengan adanya perbuatan itu kebajikan semata, yang bersesuaian. Dan datanglah pula ketetapan dengan paksaan. Jadi, dia itu terpaksa atas pilihan (ikhtiari) sendiri. Berbuatnya api umpamanya pada membakarkan itu paksaan semata-mata. Berbuatnya Allah Ta’ala itu pilihan (ikhtiari) semata-mata. Dan berbuatnya manusia itu diatas kedudukan diantara dua kedudukan. Dia itu paksaan diatas pilihan. Lalu oleh ahli kebenaran mencari untuk susunan kata (ibarat) ketiga. Karena tatkala adanya itu macam yang ketiga dan mereka mengikuti padanya dengan Kitab Allah Ta’ala, lalu mereka menamakannya: usaha.
Dan tidaklah itu berlawanan bagi paksaan dan tidak bagi pilihan. Akan tetapi, dia itu mengumpulkan diantara keduanya pada orang yang memahami nya. Perbuatan Allah Ta’ala dinamakan: pilihan (ikhtiari), dengan syarat bahwa tidak dipahami dari pilihan itu, akan Kemauan sesudah heran dan sangsi. Karena yang demikian itu mustahil pada pihakNya. Dan semua lafal/ucapan yang disebutkan dalam bahasa-bahasa itu tidak mungkin dipakai pada Allah Ta’ala, selain atas jalan pinjaman kata (isti’arah) dan pelampauan dari arti aslinya (tajawwuz). Menyebutkan yang demikian tidak layak dengan ilmu ini dan panjanglah pembicaraan padanya.Kalau anda bertanya:“Adakah engkau mengatakan, bahwa ilmu itu anak kehendak (Kemauan)? Kemauan memperanakkan qudrah(kuasa)? dan qudrah(kuasa) menperanakkan gerak ? bahwa semua yang kemudian itu datang dari yang dahulu ? kalau engkau mengatakan demikian, maka engkau telah menetapkan dengan datangnya sesuatu, tidak dari qudrah(kuasa) Allah Ta’ala. Dan kalau engkau enggan yang demikian, maka apakah artinya: tertertibnya sebahagian dari ini diatas sebahagian yang lain ? maka ketahuilah kiranya, bahwa ucapan yang mengatakan sebahagian itu datang (terjadi) dari sebahagian yang lain adalah kebodohan semata-mata. Sama saja dikatakan tentang itu: dengan memperanakkan atau dengan lainnya. Akan tetapi, menyerahkan semua itu atas makna yang dikatakan padanya: qudrah azaliyah (kekuasaan kekal pada Allah Ta’ala).
Itulah pokok yang tidak diketahui oleh seluruh manusia, selain oleh orang-orang yang mendalam pengetahuannya. Mereka inilah yang mengetahui hakikat maknanya. Dan umumnya manusia itu mengetahui atas semata-mata lafalnya/ucapannya, serta semacam tasybih (penyerupaan) dengan kemampuan (qudrah/kuasa) kita. Dan itu jauh dari benar. Penjelasan yang demikian panjang. Akan tetapi sebahagian yang dikuasakan (al-maqdurat) itu tertertib atas sebahagian, pada datangnya (terjadinya), sebagaimana tertibnya masyrut(disyarati) atas syarat. Maka tidaklah timbul dari qudrah-azaliyah/kekuasaan mutlak itu Kemauan, selain sesudah ilmu. Tidak timbul ilmu, selain sesudah hayah (hidup). Dan tidak timbul hidup selain sesudah tempat hidup. Sebagaimana tidak boleh dikatakan, bahwa hidup itu berhasil dari tubuh, yang menjadi syarat hidup, maka seperti demikianlah pada tingkat-tingkat tertib yang lain. Akan tetapi, sebahagian syarat-syarat kadang-kadang jelas bagi orang awam. Dan sebahagiannya tidak jelas, selain bagi orang-orang tertentu (orang-orang al-khawwash) yang tersingkap baginya dengan cahaya kebenaran. Kalau tidak demikian, maka tidak didahulukan yang dahulu dan tidak dikemudiankan yang kemudian, selain dengan kebenaran dan keharusan. Dan seperti demikian juga semua perbuatan Allah Ta’ala. Jikalau tidaklah yang demikian, niscaya adalah pendahuluan dan pengkemudian itu sia-sia yang menyerupai dengan perbuatan orang-orang gila.
Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang bodoh dengan kesucian yang agung. Kepada inilah diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala: “Tidak Aku jadikan jin dan manusia, melainkan untuk mereka beribadah kepadaKu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 56. Dan firmanNya Yang Maha Tinggi: “Dan tidaklah Kami jadikan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya sekadar untuk main-main saja dan tidaklah Kami jadikan keduanya, selain dengan tujuan yang benar”. S 44 Ad Dukhaan ayat 38-39. Setiap apa diantara langit dan bumi itu baru (bukan tiada berpemulaan) di atas tartib yang wajib dan hak yang harus, yang tidak tergambarkan, bahwa ia ada, selain seperti apa yang telah terjadi. Dan diatas tartib ini yang diwujudkan. Maka tidaklah terkemudian yang terkemudian, selain karena menunggu syaratnya. Dan masyrut (yang disyaratkan) itu mustahil sebelum syarat. Dan yang mustahil itu tidak disifatkan dengan adanya dikuasakan. Maka tidaklah terkemudian ilmu dari nuthfah/sperma, selain karena tidak adanya syarat hidup. Tidak terkemudian Kemauan daripadanya sesudah ilmu, selain karena tidak adanya syarat ilmu. Setiap yang demikian itu jalan bagi wajib dan tartib bagi kebenaran, yang tidak ada pada suatupun dari yang demikian itu, permainan dan kesepakatan. Akan tetapi, setiap yang demikian itu dengan hikmah dan pengaturan. Pemahaman yang demikian itu sukar. Akan tetapi, kami akan membuat contoh bagi terletaknya yang dikuasakan, serta adanya kuasa, atas adanya syarat, yang mendekatkan pokok-pokok kebenaran dari paham-paham yang lemah. Yang demikian, ialah: bahwa anda umpamakan seorang manusia yang berhadats, yang telah membenamkan diri dalam air, sehingga lehernya. Maka hadats itu tidak terangkat (hilang) dari anggota-anggota badannya, walaupun adalah air itu yang mengangkatkan (menghilangkan) hadats. Dan air itu sudah bertemu bagi badannya. Maka umpamakanlah, bahwa Qudrah-Azaliyah/kekuasaan Allah itu hadir, yang bertemu dengan yang dikuasakan, yang bergantung dengan dia, sebagaimana bertemunya air bagi anggota-anggota badan. Akan tetapi, tidak berhasil yang dikuasakan dengan qudrah(kuasa), sebagaimana tidak berhasil terangkatnya hadats dengan air, karena menunggu syarat. Yaitu: membasuh muka. Apabila orang yang berdiri dalam air meletakkan mukanya atas air, niscaya bekerjalah air pada anggota-anggota badannya yang lain. Dan terangkatlah hadats. Kadang-kadang orang bodoh menyangka bahwa hadats itu terangkat dari dua tangan, dengan terangkatnya hadats dari muka. Karena dia itu hadats yang kemudian daripadanya. Karena ia mengatakan: “Adalah air itu yang bertemu. Ia tidak yang mengangkatkan. Dan air itu tidak berobah dari apa yang ia telah ada. Maka bagaimana berhasil daripadanya, apa yang tidak berhasil sebelumnya? akan tetapi, terangkatnya hadats itu berhasil dari dua tangan, ketika membasuh muka. Jadi, membasuh muka itulah yang mengangkatkan hadats dari dua tangan”. Itu adalah kebodohan yang menyerupai persangkaan orang, yang menyangka bahwa gerak itu berhasil dengan qudrah. Qudrah(kuasa) berhasil dengan Kemauan. Dan Kemauan dengan ilmu. Semua itu salah. Akan tetapi, ketika terangkatnya hadats dari muka, niscaya terangkatlah hadats dari tangan, dengan air yang menemui bagi tangan. Tidak dengan membasuh muka. Air tidak berobah dan tangan tidak berobah. Dan tidak terjadi pada keduanya sesuatu. Akan tetapi, telah terjadi adanya syarat. Maka lahirlah bekas alasan itu. Maka begitulah seyogyanya bahwa anda memahamkan timbulnya yang dikuasakan dari qudrah-azaliyah/kekuasaan Allah, sedang qudrah(kuasa) itu tiada berpemulaan dan yang diqudrahkan (al-maqdurat) itu baru (haditsah). Dan ini ketokan pintu lain bagi alam lain dari alam-alam diminta untuk mengetahuinya saja. Marilah kita tinggalkkan semua itu ! bahwa maksud kita ialah memberitahukan atas jalan keesaan pada perbuatan. Sesungguhnya Yang Berbuat dengan hakikat/makna sebenarnya, ialah Esa. Dialah yang ditakuti dan yang diharapkan. KepadaNya-lah bertawakkal dan berpegang. Kita tidak mampu bahwa kita menyebutkan siapa yang menjadi tetangga keesaan, selain setitik dari lautan tingkat ketiga dari tingkat-tingkat keesaan. Dan menyempurnakan yang demikian dalam usia nabi Nuh itu mustahil, seperti menyempurnakan air laut, dengan mengambil beberapa titik-titik daripadanya. Semua itu tersimpul dalam ucapan: “Tiada yang disembah, selain Allah”. Alangkah ringan perbelanjaannya di atas lisan ! alangkah mudahnya i’tiqad (keyakinan) yang dipahami lafalnya pada hati ! alangkah mulia hakikat/maknanya dan isinya pada ulama-ulama yang mantap ilmunya. Maka bagaimana pada orang lain ?
Kalau anda bertanya: “Bagaimana mengumpulkan diantara keesaan dan agama ? Makna keesaan, ialah bahwa tiada yang berbuat, selain Allah Ta’ala. Dan makna agama, ialah menetapkan segala perbuatan bagi hamba. Kalau adalah hamba itu yang berbuat, maka bagaimanakah ada Allah Ta’ala itu berbuat ? Kalau adalah Allah Ta’ala itu yang berbuat, maka bagaimanakah adanya hamba itu yang berbuat ? dan yang diperbuatkan diantara dua pembuat itu tidak dapat dipahami”. Aku menjawab: “Benar, yang demikian itu tidak dapat dipahami, apabila ada bagi pembuat itu satu makna. Kalau ada baginya dua makna dan adalah nama itu tersimpul, yang bulak-balik diantara keduanya, niscaya tidaklah berlawanan. Sebagaimana dikatakan: “Amir itu membunuh si Anu”. Dan dikatakan: “Si Anu itu dibunuh oleh tukang siksa”. Maka Amir itu pembunuh dengan suatu makna dan tukang siksa itu pembunuh dengan makna yang lain. Maka seperti demikianlah hamba itu pembuat dengan suatu makna dari Allah ‘Azza Wa Jalla itu pembuat dengan makna yang lain. Makna adanya Allah Ta’ala itu Pembuat, ialah bahwa Dia itu Pencipta, Yang Mewujudkan. Dan makna adanya hamba itu pembuat, ialah bahwa dia itu tempat yang dijadikan padanya kemampuan (qudrah/kuasa) sesudah dijadikan padanya Kemauan, sesudah dijadikan padanya ilmu. Maka terikatlah qudrah(kuasa) dengan Kemauan dan gerak dengan qudrah(kuasa), sebagaimana terikatnya syarat dengan masyrut(disyarati). Dan terikatnya dengan qudrah(kuasa) Allah, sebagaimana terikatnya al-ma’lul (yang dikarenakan) dengan al-‘illah (karena atau alasan). Dan sebagaimana terikatnya yang diciptakan dengan pencipta. Setiap apa yang mempunyai ikatan dengan qudrah(kuasa), maka tempat qudrah(kuasa) itu dinamakan: pembuat baginya, betapapun adanya ikatan itu. Sebagaimana dinamakan tukang siksa itu pembunuh dan Amir itu pembunuh. Karena pembunuh itu terikat dengan qudrah (kemampuan) keduanya. Akan tetapi, diatas dua cara yang berlainan. Maka karena demikianlah, dinamakan pembuat bagi keduanya. Maka seperti demikianlah ikatan al-maqdurat itu dengan dua qudrah(kuasa) itu. Bagi penyesuaian yang demikian dan permufakatannya, dikaitkan oleh Allah Ta’ala segala Af’al (perbuatan) dalam Alquran, sekali kepada malaikat dan sekali kepada hamba. Dan dikaitkanNya pada kali yang lain perbuatan itu kepada DiriNya sendiri. Ia berfirman tentang mati:
“Katakan: Malakul-maut (malaikat kematian) yang telah diserahi untuk kamu, akan mengambil nyawamu”. S 32 As Sajdah ayat 11.
“Allah yang mengambil nyawa (manusia) itu ketika matinya”. S 39 Az Zumar ayat 42:
“Adakah kamu perhatikan apa yang kamu tanam ?”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 63. Allah Ta’ala menambahkan kepada kita, kemudian Ia berfirman:
“Bagaimana Kami mencurahkan air melimpah ruah. Sesudah itu, bumi Kami belah. Dan Kami tumbuhkan disitu tanaman yang berbuah dan anggur”. S 80 ‘Abasa ayat 25-28.
“Maka Kami utus kepadanya Ruh Kami dan kelihatan olehnya serupa seorang laki-laki yang sempurna”. S 19 Maryam ayat 17.
“Maka Kami hembuskan kepadanya ruh (nyawa) dari Kami”. S 66 At Tahrim ayat 12. Adalah yang menghembuskan itu malaikat Jibril as. Dan sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Maka apabila Kami bacakan, turutlah bacaannya !”. S 75 Al Qiyaamah ayat 8.
Dikatakan dalam tafsir, bahwa maknanya: karena dibacakannya kepada engkau oleh jibril. Allah Ta’ala berfirman:
“Perangilah mereka, Allah akan menyiksa mereka dengan tanganmu”. S 9 At Taubah ayat 14. Allah menyandarkan pembunuhan kepada mereka dan penyiksaan kepada diriNya sendiri. Dan penyiksaan itu adalah pembunuhan itu sendiri. Akan tetapi Allah Ta’ala menegaskan dan berfirman:
“Sebenarnya, bukan engkau yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuhnya”. S 8 Al Anfaal ayat 17.
“Dan bukan engkau yang melemparkan ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar”. S 8 Al Anfaal ayat 17. Yaitu: mengumpulkan diantara nafi (tidak) dan itsbat (ya) secara zahiriyah. Akan tetapi, maknanya: bukan engkau yang melemparkan, dengan makna Tuhan yang melemparkan. Karena engkau melemparkan dengan makna, yang adalah hamba itu melemparkan. Karena keduanya dua makna yang berbeda. Allah Ta’ala berfirman: “Yang mengajarkan dengan pena (tulis-baca) mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya”. S 96 Al ‘Alaq ayat 4-5.
“Tuhan Yang Maha Pemurah Dia telah mengajarkan Alquran”. S 55 Ar Rahmaan ayat 1-2.
“Dan mengajarkan kepadanya berbicara terang”. S 55 Ar Rahmaan ayat 4.
“Kemudian, sesungguhnya adalah urusan Kami menjelaskannya”. S 75 Al Qiyaamah ayat 19.
“Tidakkah kamu perhatikan (air mani) yang kamu tumpahkan? kamukah yang menciptakannya atau Kamikah yang menciptakan?”. S56 Al Waaqi’ah ayat58-59 Kemudian, Rasulullah saw bersabda pada menyifatkan malaikat rahim, bahwa: “malaikat itu masuk ke dalam rahim wanita. Lalu mengambil nuthfah dalam tangannya. Kemudian, membentuknya menjadi tubuh, lalu bertanya: “Wahai Tuhan ! laki-laki atau perempuan ? lurus atau bengkok ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Apa yang dikehendaki dan dijadikan oleh malaikat”. Pada lafal/ucapan yang lain: “Dan dibentuk oleh malaikat. Kemudian dihembuskannya pada ruh dengan kebahagiaan atau dengan kesengsaraan”.
Sebahagian salaf (ulama terdahulu) mengatakan: “Bahwa malaikat yang dinamakan ruh, ialah yang memasukkan ruh dalam tubuh dan malaikat itu bernafas dengan sifatnya. Maka adalah setiap nafas dari nafas-nafasnya itu ruh, yang masuk dalam tubuh. Dan karena itulah, dinamakan: ruh. Apa yang disebutkan oleh salaf itu tentang malaikat yang seperti ini dan sifatnya, adalah benar dipersaksikan (dimusyahadahkan) oleh orang-orang yang mempunyai hati dengan mata hati mereka. Adapun adanya ruh diibaratkan daripadanya, maka tidak mungkin diketahui, selain dengan naqal (diambil dari ajaran agama). Menetapkan dengan demikian, tidak dengan naqal(diambil dari ajaran agama), adalah terkaan semata-mata. Seperti demikian juga disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam Alquran, dari dalil-dalil dan ayat-ayat tentang bumi dan langit. Kemudian Ia berfirman: “Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu ?”. S 41 Fussilat ayat 53. Dan Ia berfirman: “Allah mengakui, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan, selain Dia”. S 3 Ali ‘Imran ayat 18. Allah Ta’ala menerangkan, bahwa itu dalil atas DiriNya sendiri. Yang demikian itu tidak berlawanan. Bahkan jalan mencari dalil itu bermacam-macam. Berapa banyak orang yang mencari, lalu mengenal Allah Ta’ala dengan memandang kepada segala yang ada (al-maujudat). Berapa banyak orang yang mencari, lalu mengetahui setiap al-maujudat/segala yang ada itu dengan Allah Ta’ala, sebagaimana dikatakan oleh sebahagian mereka: “Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku. Jikalau tidaklah Tuhanku, niscaya aku tidak mengenal Tuhanku”. Itulah makna firman Allah Ta’ala: “Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu ?”. S Fussilat ayat 53.
Allah Ta’ala telah menyifatkan DiriNya, bahwa Ia Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Kemudian Ia menyerahkan mati dan hidup kepada dua malaikat. Tersebut pada hadits: “Bahwa malaikat mati (malaikat urusan kematian) dan malaikat hidup (malaikat urusan kehidupan) berbantah-bantahan. Berkata malaikat mati: “Aku akan mematikan segala yang hidup”. Dan berkata malaikat hidup: “Aku akan menghidupkan segala yang mati”. Allah Ta’ala lalu menurunkan wahyu kepada keduanya: “Adalah engkau berdua diatas perbuatanmu masing-masing dan perbuatan apa yang Aku jadikan kamu baginya. Akulah Yang Mematikan dan Yang Menghidupkan. Tiada yang mematikan dan yang menghidupkan, selain Aku”. Jadi, perbuatan itu dipakai atas bermacam-macam segi. Maka tiadalah bertentangan makna-makna itu, apabila sudah dipahami. Karena demikianlah, maka Nabi saw mengatakan kepada orang yang diberikannya kurma: “Ambillah kurma ini ! jikalau engkau tidak datang kepadanya, niscaya ia datang kepada engkau”. Beliau kaitkan kedatangan kepada orang itu dan kepada kurma. Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa kurma tidak datang atas cara, yang manusia datang kepadanya. Dan seperti demikian pula, tatkala orang yang bertaubat berkata: “Aku bertaubat kepada Allah Ta’ala dan aku tidak bertaubat kepada Muhammad”, maka Nabi saw menjawab: “Dia tahu hak bagi yang empunya hak”. Maka setiap orang yang mengkaitkan segala sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya orang itu yang berpaham teguh, mengetahui kebenaran dan hakikat/makna. Dan orang yang mengkaitkannya kepada selain Allah Ta’ala, maka orang itu melampaui dari yang seharusnya dan memakai isti’arah (meminjamkan kata-kata) dalam perkataannya. Dan bagi pelampauan itu ada caranya, sebagaimana bagi hakikat/makna itu ada caranya. Nama pembuat diletakkan oleh peletak bahasa kepada pencipta. Akan tetapi, ia menyangka bahwa manusia itu pencipta dengan kemampuannya, lalu dinamakannya: pembuat dengan gerakannya. Dan ia menyangka bahwa itu sebenarnya. Ia menyangka, bahwa menyandarkannya kepada Allah Ta’ala itu atas jalan majaz (bukan hakikat/makna sebenarnya), seperti menyandarkan pembunuhan kepada amir (kepala pemerintahan). Itu adalah bukan makna sebenarnya, dengan dikaitkan kepada menyandarkan nya kepada tukang siksa. Tatkala telah tersingkaplah hak bagi yang empunya hak, niscaya mereka tahu, bahwa urusan itu adalah terbalik. Dan mereka mengatakan: “Bahwa pembuat telah engkau letakkan, hai ahli bahasa, kepada pencipta. Maka tiadalah Pembuat, selain Allah. Maka nama bagiNya itu adalah hakikat/maknanya. Dan bagi yang lain dari Allah, maka adalah secara majaz(bukan hakikat/makna sebenarnya),. Artinya: engkau melampaui dengan yang demikian, dari apa yang diletakkan oleh ahli bahasa.
Tatkala telah berlaku hakikat/makna makna pada pembicaraan sebahagian Arab desa, dengan sengaja atau kebetulan, maka dibenarkan oleh Rasulullah saw. Beliau lalu bersabda: “Sekuntum syair yang paling benar, yang diucapkan oleh seorang penyair, ialah ucapan Lubaid: “Ketahuilah, setiap sesuatu, selain Allah itu batil/salah”. Artinya: setiap apa yang tiada dapat berdiri sendiri dan hanya ia berdiri dengan bantuan orang lain, maka dengan memandang kepada diri orang itu adalah batil/salah. Dan haknya dan hakikat/maknanya adalah dengan bantuan orang lain. Tidak oleh dirinya sendiri. Jadi, tiada hak dengan hakikat/maknanya, selain Yang Hidup, Yang Berdiri Sendiri, Yang Tiada sesuatu sepertiNya. Ia berdiri dengan ZatNya. Dan setiap sesuatu yang lain daripadaNya itu berdiri dengan Qudrah(kuasa)Nya. Dialah yang Hak dan yang lainnya itu batil/salah.
Karena itulah, Sahal berkata: “Hai orang yang patut dikasihiani ! Ia telah ada dan engkau tidak ada. Ia akan terus Ada dan engkau akan tiada. Maka tatkala engkau telah jadi pada hari ini, niscaya engkau mengatakan: “Aku ! aku !”. Adalah engkau sekarang, sebagaimana engkau tidak ada. Sesungguhnya Ia pada hari ini, sebagaimana Ia telah ada”. Kalau anda bertanya, bahwa: telah tampak sekarang bahwa semua itu terpaksa (sudah takdir demikian), maka apakah artinya pahala dan siksa, marah dan ridha ? bagaimana marahNya kepada perbuatanNya sendiri ? maka ketahuilah kiranya, bahwa makna yang demikian telah kami isyaratkan dalam Kitab Syukur. Tidak kami panjangkan lagi dengan mengulanginya. Inilah kadar yang kami berpendapat mengisyaratkannya dari keesaan yang mewariskan hal tawakkal. Dan ini tiada akan sempurna, selain dengan iman dengan rahmat dan hikmah.
Bahwa keesaan itu mewariskan pemandangan kepada Yang Menyebabkan segala sebab. Iman dengan rahmat itu mewariskan kepercayaan dengan Yang Menyebabkan segala sebab. Tiada akan sempurna keadaan tawakkal, sebagaimana akan datang keterangannya, selain dengan percaya kepada Wakil dan tentramnya hati kepada bagusnya pandangan Yang Menanggung (Al-Kafil). Iman itu pula suatu pintu yang besar dari pintu-pintu iman. Cerita jalannya orang-orang yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab)  padanya itu akan panjang. Maka marilah kami sebutkan hasilnya, supaya diyakini oleh orang yang mencari maqam tawakkal, dengan  keyakinan yang benar-benar, yang tidak ia ragu padanya. Yaitu, bahwa ia membenarkan dengan pembenaran yang yakin, tak lemah dan tak ragu padanya, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla jikalau menjadikan makhluk seluruhnya di atas akal, niscaya diberiNya akal kepada mereka dan atas ilmu, niscaya diberiNya ilmu kepada mereka. DijadikanNya bagi makhluk itu dari ilmu, apa yang dibawa oleh diri mereka. DilimpahkanNya kepada mereka dari hikmah, apa yang tidak berkesudahan bagi menyifatkannya. Kemudian, Ia menambahkan seperti bilangan semua mereka akan ilmu, hikmah dan akal. Kemudian, Ia menyingkapkan bagi mereka dari hal akibat semua urusan. diperlihatkanNya kepada mereka akan rahasia alam al-malakut. Dan diperkenalkanNya kepada mereka akan kelemah-lembutan yang halus dan akibat-akibat yang tersembunyi. Sehingga mereka melihat dengan yang demikian itu kepada kebajikan dan kejahatan, manfaat dan melarat. Kemudian, Ia menyuruh mereka untuk mengatur alam al-mulki wal-malakut/alam dunia yang tidak dapat dilihat mata, dengan ilmu dan hikmah yang diberikan kepada mereka, karena dikehendaki oleh pengaturan semua mereka, serta bertolong-tolongan dan lahir-melahirkan maksud padanya, bahwa ditambahkan pada apa yang diatur oleh Allah swt akan makhlukNya di dunia dan di akhirat, akan sayap lalat. Tidak akan dikurangkan daripadanya akan sayap lalat. Tidak akan diangkatkan daripadanya akan sebuah atom. Tidak akan direndahkan daripadanya akan sebuah atom. Tidak akan ditolakkan penyakit atau keaiban atau kekurangan atau kemiskinan atau kemelaratan dari orang yang dicoba dengan yang demikian itu. Tidak akan dihilangkan kesehatan atau kesempurnaan atau kekayaan atau kemanfaatan, dari orang yang telah dicurahkan nikmat oleh Allah kepadanya. Bahkan, setiap apa yang dijadikan oleh Allah Ta’ala dari langit dan bumi, jikalau mereka kembali padanya melihat dan melamakan perhatian padanya, niscaya mereka tiada akan melihat padanya berlebih-kurang dan pecah-belah. Setiap apa yang dibagikan oleh Allah Ta’ala diantara hamba-hambaNya, dari rezeki, ajal, gembira dan susah, lemah dan kuat, iman dan kufur, taat dan maksiat. Semua itu adil semata, tak ada kezaliman padanya. Hak semata-mata tak ada zalim padanya. Bahkan, itu adalah di atas tartib yang wajib, yang benar di atas yang seyogya. Sebagaimana yang seyogya dan dengan kadar yang seyogya. Tidaklah mungkin sekali-kali yang lebih baik daripadanya. Tidaklah yang lebih lengkap dan yang lebih sempurna. Dan jikalau ada dan disimpankanNya serta qudrah(kuasa) dan tidak dikurniakanNya, dengan perbuatanNya, niscaya adalah itu kikir, yang berlawanan dengan kemurahan. Kezaliman yang berlawanan dengan keadilan. Dan jikalau tidaklah Ia yang qudrah(kuasa), niscaya adalah itu kelemahan, yang berlawanan dengan ketuhanan (al-ilahiyyah). Bahkan setiap kefakiran dan kemelaratan di dunia, maka itu kekurangan dari dunia dan kelebihan di akhirat. Setiap kekurangan di akhirat, dengan dikaitkan kepada seseorang, maka itu nikmat dengan dikaitkan kepada orang lain. Karena, jikalau tidak ada malam, niscaya tidak diketahui kadar siang. Jikalau tidak ada sakit, niscaya tidak dirasakan kenikmatan dengan kesehatan oleh orang-orang sehat. Dan jikalau tidak ada neraka, niscaya tidak diketahui oleh penduduk sorga akan kadar nikmatnya. Sebagaimana, bahwa tebusan nyawa manusia dengan nyawa binatang dan menguasakan mereka menyembelihkannya itu tidak zalim, akan tetapi mendahulukan yang sempurna atas yang kurang itu dari keadilan, maka seperti demikian juga membesarkan nikmat kepada sorga adalah dengan membesarkan siksa kepada isi neraka. Tebusan orang yang beriman dengan orang yang kufur itu diri keadilan. Apa yang tidak dijadikan yang kurang, niscaya tidak diketahui yang sempurna. Jikalau tidak dijadikan binatang, niscaya tidak menampak kemuliaan insan. Sesungguhnya kesempurnaan dan kekurangan itu tampak dengan dikaitkan kepada yang lain. Maka kehendak kemurahan dan hikmah itu akhlak bagi orang yang sempurna dan bersama bagi orang yang kurang. Sebagaimana memotong tangan apabila kena penyakit yang harus dipotong, untuk meneruskan kekalnya nyawa dalam badan itu adil. Karena itu tebusan yang sempurna dengan yang kurang. Maka seperti yang demikian juga urusan tentang berlebih-kurang yang ada diantara makhluk dalam pembahagian di dunia dan di akhirat. Setiap yang demikian itu adil, tak ada kezaliman padanya. Dan benar, tak ada main-main padanya. Ini sekarang lautan lain yang sangat dalam, luas tepi-tepinya, bergoncang ombak-ombaknya, mendekati pada luasnya dengan laut keesaan. Ke dalamnya telah tenggelam golongan-golongan yang teledor. Mereka tidak mengetahui, bahwa yang demikian itu sukar, yang tidak dapat dipikirkan, selain oleh orang-orang yang berilmu. Dan dibalik lautan ini rahasia al-qadar (takdir), yang telah heran padanya orang banyak. Dan dilarang orang-orang yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab)  daripada menyiarkan rahasianya.
Walhasil, bahwa kebajikan dan kejahatan itu tertunai (qodo/hukum takdir) dengan yang demikian. Dan adalah apa yang ditunaikan itu harus berhasil sesudah didahului kehendak. Maka tiada yang menolak bagi hukumNya. Tiada yang menghalangi bagi qodo/ketetapan(yang ditunaikan)Nya dan perintahNya. Bahkan setiap yang kecil dan besar itu dibariskan pada Lauh-Mahfudh dan hasilnya ditunggu dengan kadar yang diketahui. Dan apa yang menimpa atas diri engkau, tidaklah untuk menyalahkan engkau. Dan apa yang menyalahkan engkau, tidaklah untuk menimpakan bencana bagi engkau. Dan marilah kita singkatkan atas rumuz-rumuz ini dari ilmu-ilmu diminta untuk mengetahuinya saja yang menjadi pokok maqam/kedudukan tawakkal. Marilah kita kembali kepada ilmu mu’amalah (jual beli) insya Allah Ta’ala. Mencukupilah Allah bagi kita dan sebaik-baik Wakil (tempat kita bertawakkal, menyerahkan diri).                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
BAHAGIAN YANG KEDUA
Dari kitab: tentang hal-ihwal tawakkal dan amal perbuatannya.
Pada bahagian ini: penjelasan hal tawakkal, penjelasan apa yang dikatakan oleh para syaikh/guru tentang batas tawakkal dalam berusaha bagi orang yang seorang diri dan yang berkeluarga, penjelasan tawakkal dengan meninggalkan simpanan, penjelasan tawakkal tentang menolak yang melarat dan penjelasan tawakkal tentang menghilangkan melarat dengan berobat dan lainnya. Kiranya Allah mencurahkan taufik dengan rahmatNya.
PENJELASAN: hal tawakkal.
Telah kami sebutkan dahulu, bahwa maqam/kedudukan tawakkal itu teratur dari: ilmu, hal keadaan dan amal. Dan telah kami sebutkan dahulu tentang ilmu. Adapun hal keadaan, maka dengan penjelasan, bahwa tawakkal itu adalah ibarat daripada hal keadaan. Ilmu adalah pokoknya dan amal adalah buahnya. Telah banyak diterangkan oleh orang-orang yang terjun pada penjelasan batas tawakkal dan berbeda-beda ibarat mereka. Setiap orang memperkatakan tentang kedudukan dirinya sendiri dan menceritakan tentang batasnya, sebagaimana telah berlaku adat kebiasaan ahli tasawwuf/ahli suffi. Dan tak ada faedahnya menyalin dan memperbanyakkannya. Marilah kita singkapkan tutupnya dan kita menerangkan, bahwa: kata-kata Tawakkal itu diambil (berasal) dari kata-kata Wikalah. Dikatakan: ia mengwikalahkan (menyerahkan atau mewakilkan) urusannya kepada si Anu. Artinya: ia menyerahkannya kepadanya dan ia berpegang kepada orang itu mengenai urusannya tadi. Orang yang diperserahkan itu, dinamakan: wakil. Dan dinamakan yang menyerahkan itu: yang mewakilkan kepadanya dan yang menyerahkan kepadanya (muwakkil). Yaitu: manakala hatinya telah tentram kepada orang itu dan ia telah percaya. Tidak akan menuduhnya teledor dan tidak berkeyakinan pada orang itu ada kelemahan dan keteledoran. Tawakkal, ialah: ibarat daripada berpegangnya hati kepada wakil seorang saja. Marilah kami berikan contoh bagi wakil dalam permusuhan. Maka kami terangkan sbb:
Orang yang didakwakan dengan dakwaan batil/salah dengan penipuan, lalu ia mewakilkan bagi permusuhan itu kepada orang yang akan menyingkapkan penipuan itu. Tidaklah orang tersebut diwakilkan, dipercayakan dan tentram hati dengan mewakilkannya, selain apabila dipercayakan kepadanya 4 perkara: berkesudahan petunjuk, berkesudahan kuat, berkesudahan lancar berbicara dan berkesudahan kasih-sayang.
Adapun petunjuk, maka hendaklah diketahui dengan petunjuk itu akan tempat-tempat penipuan. Sehingga tidak tersembunyi kepadanya sekali-kali akan suatupun dari tipu daya-tipu daya yang tersembunyi.
Adapun kemampuan dan kekuatan, maka hendaklah ia berani dengan terus-terang di atas kebenaran. Maka ia tidak berminyak air, tidak takut, tidak malu dan tidak pengecut. Bahwa kadang-kadang ia melihat cara penipuan musuhnya, lalu ia dicegah oleh ketakutan atau ketidak-beranian atau malu atau pengalih yang lain, dari pengalih-pengalih yang melemahkan hati daripada berterus-terang.
Adapun lancar bahasa, maka itu juga dari kemampuan. Hanya kelancaran bahasa itu kemampuan pada lidah, atas kelancaran dari setiap apa, yang beranilah hati kepadanya. Dan diisyaratkan oleh hati kepadanya. Maka tidaklah setiap orang yang mengetahui akan tempat-tempat penipuan itu mampu dengan kelancaran lidahnya, untuk melepaskan ikatan penipuan.
Adapun berkesudahan kasih-sayang, maka adalah penggerak baginya untuk memberikan setiap apa yang disanggupinya pada dirinya, dari kesungguhan. Bahwa kemampuannya tidak mencukupi tanpa kesungguhan, apabila ia tidak mementingkan urusannya. Ia tidak memperdulikan kemenangan musuhnya atau tidak menang, binasa haknya atau tidak binasa. Kalau ia ragu tentang yang 4 ini atau pada salah satu daripadanya atau membolehkan bahwa musuhnya pada yang 4 ini, lebih sempurna daripadanya, niscaya tidaklah dirinya tentram kepada wakilnya. Akan tetapi, tetaplah hatinya bergoncang, menghabisi kesusahannya dengan daya-upaya dan pengaturan, untuk menolak apa yang ditakutinya, dari keteledoran wakilnya dan kekuasaan musuhnya. Adalah berlebih-kurangnya derajat hal-ihwal tawakkal pada sangatnya kepercayaan dan ketentraman, menurut berlebih kurangnya kekuatan  keyakinannya bagi perkara-perkara tersebut pada wakil.  keyakinan dan sangkaan-sangkaan tentang kuat dan lemah itu berlebih-kurang dengan kelebih-kurangan yang tidak terhingga. Maka tidak dapat dibantah, bahwa berlebih-kurangnya hal-ihwal orang-orang yang bertawakkal tentang kuatnya ketentraman dan kepercayaan, dengan kelebih-kurangan yang tiada terbatas. Sampai kepada berkesudahan kepada yakin, yang tak ada kelemahan padanya. Sebagaimana kalau wakil itu adalah bapak si muwakkil (yang mewakilkan). Yaitu yang dinamakan: mengumpulkan halal dan haram untuk karenanya. Bahwa berhasillah baginya keyakinan, dengan berkesudahan kasih-sayang dan kesungguhan. Maka jadilah suatu perkara dari perkara-perkara yang 4 itu diyakini. Demikian juga perkara-perkara yang lain, akan tergambar bahwa berhasillah keyakinan dengannya itu. Dan yang demikian, dengan lamanya membiasakan dan mengalaminya. Berturut-turut berita bahwa dia manusia yang paling lancar lidahnya, paling kuat penjelasannya dan paling mampu membantu kebenaran. Bahkan, kepada menggambarkan yang benar dengan yang batil/salah dan yang batil/salah dengan yang benar. Apabila anda telah mengetahui tawakkal pada contoh ini, maka kiaskanlah kepadanya, akan tawakkal kepada Allah Ta’ala. Jikalau telah tetap pada diri anda dengan kasyaf (terbuka hijab) atau dengan  keyakinan yang meyakinkan, bahwa tiada pembuat, selain Allah, sebagaimana telah diterangkan dahulu dan anda yakinkan serta yang demikian, akan kesempurnaan ilmu dan qudrah(kuasa), atas kecukupan hamba, kemudian kesempurnaan belas-kasihan, kesungguhan dan rahmat kepada sejumlah hamba dan masing-masing orang dan bahwa tidak ada di balik kesudahan qudrah(kuasa)Nya itu qudrah(kuasa) yang lain, tidak ada di balik kesudahan ilmuNya itu ilmu yang lain, tidak ada di balik kesudahan kesungguhanNya kepada anda dan rahmatNya kepada anda itu kesungguhan dan rahmat yang lain, niscaya bertawakkallah, sudah pasti akan hati anda kepadaNya Yang Maha Esa. Tidak berpaling hati itu kepada yang lain daripadaNya, dengan cara apapun. Tidak kepada dirinya sendiri, kepada daya-upayanya dan kekuatannya. Sesungguhnya tiada daya-upaya dan kekuatan, selain dengan Allah, sebagaimana telah dahulu diterangkan pada keesaan ketika menyebutkan gerak dan qudrah(kuasa). Sesungguhnya daya upaya itu ibarat dari gerak dan kekuatan itu ibarat dari qudrah(kuasa). Kalau anda tidak mendapati keadaan ini dari diri anda, maka sebabnya itu salah satu dari dua perkara: adakalanya lemah keyakinan dengan salah satu dari 4 perkara tersebut. Dan adakalanya kelemahan hati dan sakitnya, disebabkan kerasnya kepengecutannya dan terkejutnya dengan sebab sangka waham yang mengerasinya. Bahwa hati itu kadang-kadang terkejut, karena terikut oleh sangka waham dan mentaatinya, tanpa kekurangan pada keyakinan. Bahwa orang yang memegang madu, lalu menyerupai di hadapannya dengan B.A.B. Kadang-kadang lari dirinya daripadanya dan sukar memegangnya. Kalau dipaksakan orang yang berakal (bukan orang gila) supaya tidur bermalam bersama mayat dalam kuburan atau tempat tidur atau di rumah, niscaya larilah dirinya dari yang demikian. Walaupun ia yakin bahwa itu mayat. Bahwa itu sekarang barang keras. Bahwa sunnah Allah Ta’ala itu masih jauh, bahwa mayat itu akan dibangkitkan sekarang dan tidak dihidupkannya, walaupun Ia berkuasa atasnya. Sebagaimana sunnah Allah Ta’ala itu jauh, bahwa akan ditukarkanNya pena yang dalam tangannya, menjadi ular. Dan tidak akan ditukarkanNya musang menjadi singa, walaupun Ia berkuasa atasnya. Sedang ia tidak ragu pada keyakinan ini, yang melarikan dirinya daripada seketiduran dengan mayat pada tempat tidur. Atau mayat bersama dia dalam rumah. Dan tidak ia melarikan diri dari benda-benda beku lainnya. Yang demikian itu, kepengecutan dalam hati. Yaitu: semacam kelemahan, yang sedikitlah terlepasnya manusia dari sesuatu daripadanya, walaupun sedikit. Kadang-kadang itu kuat, maka menjadi ia sakit. Sehingga ia takut bermalam sendirian di rumah, serta terkuncinya pintu dan kokohnya.
Jadi, tiada sempurna tawakkal, selain dengan kuatnya hati dan kuatnya yakin. Karena dengan keduanya itu berhasillah ketetapan dan ketentraman hati. Maka ketetapan pada hati itu suatu hal dan yakinnya hati suatu hal yang lain. Berapa banyaknya yakin, yang tidak ada ketentraman serta keyakinan itu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman kepada Ibrahim as: “Tidakkah engkau percaya ?”. Ibrahim menjawab: “Percaya, tetapi untuk menentramkan hatiku”. S 2 Al Baqarah ayat 260. Nabi Ibrahim as meminta bahwa ia menyaksikan menghidupkan kembali orang mati dengan matanya sendiri. Supaya tetap dalam khayalannya. Bahwa jiwa itu mengikuti khayal dan jiwa itu tentang dengan khayal. Jiwa itu tidak tenang dengan yakin pada permulaan urusannya, sehingga ia sampai di akhirat, kepada derajat “jiwa yang tenang-tentram” (an-nafsul-muthmainnah). Dan yang demikian itu, tidak adalah sekali-kali pada permulaan. Berapa banyak orang yang tenang tentram, yang tidak yakin, seperti orang-orang yang mempunyai agama dan aliran yang lain. Bahwa orang Yahudi itu tenang hatinya kepada keyahudiannya. Demikian juga orang Nasrani. Dan tiada keyakinan sekali-kali bagi mereka. Sesungguhnya mereka mengikuti sangkaan dan apa yang diingini oleh jiwa. Dan sesungguhnya datang petunjuk bagi mereka dari Tuhan dan itu yang menjadi sebab yakin. Tetapi, mereka itu berpaling daripadanya.
Jadi, pengecut dan berani itu adalah gharizah (instink). Tidak bermanfaat yakin bersama gharizah itu. Dia adalah salah satu sebab yang berlawanan dengan hal tawakkal. Sebagaimana, lemahnya yakin dengan perkara yang 4 itu salah satu sebab. Apabila berkumpul sebab-sebab ini, niscaya berhasillah kepercayaan kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya dikatakan: tertulis dalam Taurat: “Terkutuklah orang yang kepercayaannya, ialah manusia seperti dia sendiri”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa merasa mulia dengan sebab hamba, niscaya ia dihinakan oleh Allah Ta’ala”. Apabila tersingkap bagi anda makna tawakkal dan anda ketahui keadaan yang dinamakan tawakkal, maka ketahuilah, bahwa keadaan itu mempunyai 3 derajat tentang kekuatan dan kelemahan:
Derajat pertama: apa yang telah kami sebutkan. Yaitu, bahwa adalah keadaannya terhadap Allah Ta’ala itu percaya dengan tanggungan dan bantuan Allah Ta’ala, seperti keadaannya pada percayanya kepada wakilnya.
Derajat kedua: yaitu yang lebih kuat, bahwa adalah hal keadaannya bersama Allah Ta’ala, seperti hal keadaan anak kecil bersama ibunya. Anak kecil itu tidak mengenal selain ibunya. Ia tidak berlindung kepada seseorang, selain kepada ibunya. Dan tidak berpegang selain ibunya. Apabila ia melihat ibunya, niscaya ia bergantung pada setiap hal pada ujung kainnya. Dan tidak dilepaskannya. Kalau ia terkena sesuatu hal pada waktu ibunya bepergian, niscaya adalah permulaan yang mendahului pada lidahnya, ialah: “Ibu !”. Permulaan yang terguris pada hatinya, ialah ibunya. Ibunyalah tempat ia berlindung. Sesungguhnya ia percaya dengan tanggungan ibu, kecukupannya dan kasih sayangnya, dengan kepercayaan yang tiada terlepas dari semacam perasaan pembedaan bagi si anak. Disangkakan, bahwa telah menjadi tabiat, dari segi bahwa anak kecil itu, jikalau diminta menguraikan segala perkara ini, niscaya ia tidak sanggup menyusun kata-katanya. Dan tidak sanggup mengemukakannya yang terurai dalam pikirannya. Akan tetapi, semua itu, dibelakang perasaan. Maka siapa yang hatinya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, pandangannya dan perpegangannya kepadaNya, niscaya ia dipikulkan dengan apa yang dipikulkan anak kecil dengan ibunya. Lalu adalah dia itu bertawakkal benar-benar. Bahwa anak kecil itu bertawakkal kepada ibunya. Perbedaan diantara ini dan yang pertama, bahwa ini bertawakkal dan telah lenyap pada ketawakkalannya dari tawakkalnya. Karena tidak menoleh hatinya kepada tawakkal dan hakikat/maknanya. Akan tetapi, kepada orang tempat ia bertawakkal saja. Maka tiada jalan dalam hatinya, bagi yang lain dari tempat ia bertawakkal itu.
Adapun yang pertama, maka ia bertawakkal dengan rasa berat dan usaha. Dan ia tidak melenyapkan diri dari ketawakkalannya. Karena ia masih menoleh kepada tawakkalnya dan merasakan dengan yang demikian. Dan yang demikian itu perbuatan yang memalingkan dari memperhatikan orang yang menjadi tempat bertawakkal seorang saja. Kepada derajat ini, diisyaratkan oleh Sahal, dimana ia ditanyakan dari hal tawakkal: “Apakah yang sedekat-dekatnya tawakkal itu ?”. Sahal menjawab: “Meninggalkan angan-angan”. Ditanyakan lagi: “Dan yang di tengah-tengahnya ?”. Ia menjawab: “Meninggalkan ikhtiar”. Itu adalah isyarat kepada derajat kedua. Ditanyakan dari yang tertinggi dari tawakkal. Maka ia tidak menyebutkannya dan berkata: “Itu tidak diketahui, selain oleh orang yang telah sampai kepada yang di tengah-tengahnya”.
Derajat ketiga: yaitu yang tertinggi, bahwa ia berada di hadapan Allah Ta’ala dalam segala gerak dan tetapnya, seperti mayat di hadapan pemandinya. Ia tidak berpisah dengan Dia, selain bahwa ia melihat dirinya sebagai mayat, yang digerakkan oleh qudrah azaliyah (kekuasaan mutlak Allah), sebagaimana digerakkan oleh tangan pemandi akan mayat. Yaitu yang telah kuat keyakinannya, bahwa pemandi itu yang melakukan gerak, kuasa, kehendak, ilmu dan sifat-sifat yang lain. Bahwa semua itu datang dengan paksaan. Ia itu nyata tidak menunggu apa yang akan berlaku kepadanya. Dan berbeda dengan anak kecil. Bahwa anak kecil itu berlindung kepada ibunya, memekik, bergantung pada ujung pakaiannya dan berlarian di belakangnya. Akan tetapi, orang itu seperti anak kecil yang mengetahui bahwa walaupun ia tidak menjerit kepada ibunya, maka ibu itu mencarinya. Bahwa, walaupun ia tidak bergantung pada ujung pakaian ibunya, maka ibu itu membawanya. Walaupun ia tidak meminta susu pada ibunya, maka ibu itu membukakan dan memberinya minum. Maqam/kedudukan ini dalam tawakkal itu membuahkan meninggalkan berdoa dan meminta kepadaNya, karena percaya dengan kemurahan dan pertolonganNya. Bahwa Ia akan memberi pada permulaannya, yang lebih utama daripada yang diminta. Berapa banyak nikmat yang dimulai oleh Allah Ta’ala memberikannya, sebelaum diminta dan berdoa. Dan dengan tidak berhak. Maqam kedua itu tidak menghendaki meninggalkan berdoa dan meminta kepadaNya. Hanya menghendaki meninggalkan meminta dari selain Allah Ta’ala saja.
Kalau anda bertanya: “Hal-ihwal ini adakah tergambar akan adanya ?”. Ketahuilah, bahwa yang demikian itu tidak mustahil. Akan tetapi, sukar dan jarang terjadi. Maqam kedua dan ketiga lebih sukar lagi. Yang pertama lebih mendekati kepada kemungkinan. Kemudian, apabila diperoleh yang ketiga dan yang kedua, maka keterus-menerusnya lebih jauh daripadanya. Bahkan hampir tidak ada maqam yang ketiga itu pada terus-menerusnya selain seperti kuningnya muka orang yang ketakutan. Bahwa menghamparnya hati kepada memperhatikan daya dan upaya dan sebab-sebab itu adalah tabiat. Dan berkuncupnya hati itu keadaan yang mendatang. Sebagaimana menghamparnya darah ke semua sendi-sendi anggota badan itu tabiat. Dan berkuncupnya darah itu keadaan yang mendatang. Ketakutan itu ibarat dari berkuncupnya darah dari zahiriyah kulit kepada batiniyah. Sehingga terhapuslah dari zahiriyah kulit itu kemerahan yang ada terlihat dari belakang ketipisan dari tutupan kulit. Bahwa kulit itu tutupan yang tipis, yang terlihat dari sebaliknya akan kemerahan darah. Berkuncupnya darah itu mendatangkan kuning. Dan itu tidak terus-terusan. Demikian juga berkuncupnya hati secara keseluruhan, daripada memperhatikan daya dan upaya dan sebab-sebab zahiriyah yang lain, yang tidak terus-terusan.
Adapun maqam yang kedua, maka ia menyerupai dengan kuningnya orang yang demam. Bahwa yang demikian itu kadang-kadang berjalan sehari dan dua hari. Yang pertama menyerupai kekuningan orang sakit, yang keras sakitnya. Maka tidak jauhlah bahwa ia itu berkekalan dan tidak jauh pula bahwa itu akan hilang. Kalau anda bertanya: “Adakah berjalan terus bersama hamba itu pengaturan dan ketergantungan dengan sebab-sebab pada hal-ihwal ini ?”. Ketahuilah, bahwa maqam yang ketiga itu mentiadakan terus akan pengaturan, selama hal keadaan itu masih ada. Akan tetapi, yang mempunyai hal keadaan itu seperti orang keheranan. Maqam yang kedua itu meniadakan setiap pengaturan, selain dari segi berlindung kepada Allah dengan doa dan bermohon, seperti pengaturan nya anak kecil pada ketergantungannya dengan ibunya saja.
Maqam yang pertama itu tidak meniadakan pokok pengaturan dan ikhtiar. Akan tetapi, meniadakan sebahagian pengaturan-pengaturan, seperti orang yang berpegang kepada wakilnya dalam permusuhan. Maka ia meninggalkan pengaturannya dari pihak yang selain dari wakil. Akan tetapi, ia tidak meninggalkan pengaturan yang diisyaratkan kepadanya oleh wakilnya. Atau pengaturan yang diketahuinya dari kebiasaan dan perjalanannya, tanpa ketegasan isyaratnya. Adapun yang diketahuinya dengan isyaratnya, dengan wakil itu mengatakan kepadanya: “Tidaklah aku berkata-kata, selain pada kehadiran engkau”. Maka sudah pasti, bahwa ia berbuat, dengan pengaturan itu bagi kehadirannya. Dan tidaklah ini berlawanan akan penyerahannya kepadanya. Karena tidaklah dia berlindung kepada daya dan upaya dirinya sendiri pada melahirkan alasan. Dan tidak kepada daya orang lain. Akan tetapi, dari kesempurnaan penyerahannya kepada wakilnya, bahwa ia berbuat akan apa yang telah digariskan. Karena jikalau ia tidak berpegang kepada wakil itu dan tidak berpegang teguh pada perkataannya, niscaya ia tidak hadir dengan perkataannya itu.
Adapun yang diketahui dari kebiasaannya dan banyak terjadi dari perjalanannya, maka itu bahwa ia tahu dari kebiasaannya, yang ia tidak mengemuka kan alasan dengan musuh, selain dari surat pengakuan. Maka kesempurnaan penyerahan (tawakkal)nya, kalau ia mewakilkan kepada orang itu, bahwa ia berpegang kepada perjalanan dan kebiasaannya orang tersebut dan yang menepati dengan yang dikehendaki oleh perjalanan dan kebiasaan itu. Yaitu: bahwa ia membawa surat pengakuan itu bersamanya ketika berbantah-bantahan dengan musuh. Jadi, ia tidak terlepas dari pengaturan pada kehadiran dan dari pengaturan pada mendatangkan surat pengakuan itu. Kalau ia tinggalkan sesuatu dari yang demikian, niscaya adalah yang demikian itu kekurangan pada penyerahan (tawakkal)nya. Maka bagaimanakah ada kekurangan pada perbuatannya itu ! ya, sesudah datangnya kesempurnaan dengan isyaratnya dan ia mendatangkan surat pengakuan dengan perjalanan dan kebiasaannya dan ia duduk memperhatikan kepada alasannya, maka kadang-kadang ia berkesudahan ke maqam kedua dan ketiga dalam kehadirannya. Sehingga ia berketerusan seperti orang keheranan, yang menunggu, yang tiada berlindung kepada daya dan upayanya. Karena tiada tinggal lagi daya dan upaya baginya. Sesungguhnya adalah perlindungannya kepada daya dan upayanya itu pada kehadiran dan mendatangkan surat pengakuan, dengan isyarat dan perjalanannya wakil. Dan telah berkesudahan penghabisannya, maka tidak tinggal lagi, selain ketentraman jiwa dan kepercayaan kepada wakil. Dan menunggu bagi apa yang akan berlaku. Apabila anda memperhatikan ini, niscaya tertolaklah dari anda setiap kesulitan pada tawakkal. Dan anda pahami, bahwa tidaklah dari syarat tawakkal itu meninggalkan pengaturan dan amal perbuatan. Bahwa setiap pengaturan dan amal perbuatan itu tidak boleh pula beserta tawakkal. Akan tetapi, dia itu atas pembahagian. Dan akan datang penguraiannya mengenai perbuatan-perbuatan. Jadi, berlindungnya orang yang mewakilkan kepada daya dan upayanya pada kehadiran dan menghadirkan (mendatangkan) itu tidak berlawanan dengan tawakkal. Karena ia tahu, jikalau tidak adalah wakil niscaya adalah kehadirannya dan pendatangannya itu batil/salah dan payah semata-mata, dengan tiada faedah.
Jadi, tidaklah ia mendatangkan faedah dari segi bahwa itu daya dan upayanya. Akan tetapi, dari segi, bahwa wakil itu menjadikannya berpegang kepada alasannya. Dan mengenalkannya yang demikian dengan isyarat dan perjalanannya. Jadi, tiada daya dan tiada upaya, selain kepada wakil. Hanya, kalimat ini tiada sempurna maknanya terhadap wakil. Karena dia tidaklah yang menciptakan dayanya dan upayanya. Akan tetapi, ia yang menjadikan keduanya itu, yang berfaedah pada keduanya. Dan tidaklah keduanya itu memberi faedah, jikalau tidaklah oleh perbuatannya. Hanya benarlah yang demikian terhadap Wakil Yang Sebenarnya, yaitu: Allah Ta’ala. Karena Dialah yang menjadikan daya dan upaya, sebagaimana telah diterangkan dahulu pada Keesaan. Dialah yang menjadikan keduanya itu memberi faedah. Karena dijadikanNya keduanya itu syarat bagi apa yang akan dijadikanNya sesudahnya, tentang faedah-faedah dan maksud-maksud. Jadi, tiada daya dan upaya selain dengan Allah itu hak dan benar. Siapa yang menyaksikan ini semuanya, niscaya adalah baginya pahala besar yang datang pada hadits-hadits, tentang orang yang mengucapkan: “Tiada daya dan upaya, selain dengan Allah”. Yang demikian itu, kadang-kadang dipandang orang, jauh dari kebenaran. Maka ditanyakan: “Bagaimana diberikan pahala seluruhnya dengan kalimat ini, serta mudahnya pada menyebutkannya dengan lidah dan mudah diyakinkan oleh hati dengan yang dipahami dari lafalnya/ucapannya ?”. Jauhlah yang demikian ! Sesungguhnya itu adalah balasan atas penyaksian ini, yang telah kami sebutkan pada keesaan. Perbandingan kalimat ini dan pahalanya dengan kalimat: “Tiada Tuhan, selain Allah”. Dan pahalanya, adalah seperti perbandingan makna salah satu dari keduanya kepada yang lain. Karena pada kalimat ini mengaitkan dua perkara kepada Allah Ta’ala saja. Kedua perkara itu, ialah: daya dan upaya. Adapun kalimat “Laa ilaaha illallaah”, maka itu pengkaitan setiap sesuatu kepadaNya. Perhatikanlah kepada berlebih-kurangnya diantara setiap sesuatu dan dua perkara itu ! supaya anda dapat mengetahui pahala “Laa ilaaha illallaah” dengan dikaitkan kepada ini. Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa keesaan mempunyai dua kulit dan dua isi, maka seperti demikian juga, kalimat ini dan kalimat-kalimat lainnya. Kebanyakan orang mengikatkan (mengkaitkan) dengan dua kulit dan apa yang mereka jalankan kepada dua isi, adalah isyarat, dengan sabda Nabi saw: “Siapa yang mengucapkan “Laa ilaaha illallaah” yang benar dari hatinya, yang ikhlas, niscaya haruslah baginya sorga”. Dimana disebutkan secara mutlak, tanpa menyebutkan “benar” dan “ikhlas”, niscaya dimaksudkan dengan mutlak itu, ialah yang diikatkan (dikaitkan) ini. Sebagaimana ia mengkaitkan ampunan (maghfirah) kepada iman dan amal shalih pada sebahagian tempat. Dan mengkaitkannya kepada semata-mata iman pada sebahagian tempat. Yang dikehendaki dengan yang demikian, ialah: yang dikaitkan dengan: amal shalih.
Kemalaikatan itu tidak diperoleh dengan pembicaraan. Gerak lidah itu pembicaraan. Ikatan lidah juga pembicaraan. Akan tetapi pembicaraan jiwa (kata hati). Bahwa benar dan ikhlas itu di sebalik gerak lidah dan kata hati. Dan sofa kemalaikatan itu tidak ditegakkan selain bagi orang-orang yang dekat kepada Tuhan (al-muqarrabin). Mereka itu orang-orang yang ikhlas. Ya, bagi orang yang dekat pada tingkat dari kaum kanan juga mempunyai derajat pada sisi Allah Ta’ala. Walaupun tidak sampai kepada kemalaikatan. Apakah tidak engkau melihat, bahwa Allah swt tatkala menyebutkan pada Surat Al-Waqi’ah, akan orang-orang al-muqarrabin yang paling dahulu. Ia mengemukakan bagi sofa kemalaikatan. Ia berfirman: “Di atas sofa yang bertahtakan emas dan batu permata. Mereka duduk bersandar di atasnya, satu dengan yang lain berhadap-hadapan”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 15-16. Tatkala Ia sampai kepada kaum kanan, niscaya Ia tidak melebihkan daripada menyebutkan air, bayang-bayang (naungan), buah-buahan, kayu-kayuan dan bidadari. Setiap yang demikian itu dari kelezatan yang dipandang, yang diminum, yang dimakan dan yang dikawini. Dan tergambar yang demikian itu bagi hewan secara terus-menerus. Dan dimanakah kelezatan bagi hewan dari kelezatan kemalaikatan dan bertempat pada tempat yang tertinggi di sisi Tuhan Semesta alam ? jikalau adalah bagi kelezatan-kelezatan ini kadar, niscaya tidak diluaskan kepada hewan-hewan. Dan tidak diangkatkan kepadanya derajat malaikat. Adakah anda melihat, bahwa hal-ihwal hewan-hewan dan dia itu yang dilepaskan dalam kebun-kebun, yang bersenang-senang dengan air, kayu-kayuan dan segala macam makanan, yang bersedap-sedapan dengan menyerbu dan mengendarai yang betina itu lebih tinggi, lebih lezat dan lebih mulia ? lebih patut bahwa ada ia pada orang yang mempunyai kesempurnaan, yang gembira dari hal-ihwal malaikat alam kegembiraan mereka dengan kedekatan di sisi Tuhan semesta alam, dalam tingkat yang paling tinggi ? Jauhlah yang demikian ! jauhlah yang demikian ! alangkah jauhnya daripada menghasilkan, oleh orang, yang apabila disuruh pilih, diantara bahwa dia itu keledai atau pada derajat Jibril as. Lalu ia memilih derajat keledai dari derajat Jibril as.
Tidaklah tersembunyi, bahwa keserupaan akan setiap sesuatu itu tertarik kepadanya. Bahwa diri yang kecenderungannya kepada membuat sepatu itu lebih banyak dari kecenderungannya kepada berbuat tulis-menulis. Dia lebih menyerupai dengan tukang-tukang sepatu pada zatnya dari penulis-penulis. Seperti demikian pula, orang yang kecenderungan dirinya kepada mencapai kelezatan binatang itu lebih banyak dari kecenderungannya kepada mencapai kelezatan malaikat. Dia itu lebih menyerupai dengan hewan -sudah pasti- daripada dengan malaikat. Merekalah orang-orang yang dikatakan tentang mereka: “Orang-orang itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat”. S 7 Al A’raaf ayat 179. Bahwa adalah mereka itu lebih sesat, karena binatang ternak tidaklah pada kekuatannya mencari derajat malaikat. Maka binatang ternak itu tidak mencarinya adalah karena lemah. Adapun manusia ada kekuatannya pada yang demikian. Dan yang sanggup mencapai kesempurnaan itu lebih layak dicela dan lebih pantas, dengan dibandingkan kepada kesesatan, manakala ia duduk bersimpuh, tidak mencari kesempurnaan. Tatkala adalah ini perkataan yang bertentangan, maka marilah kita kembali kepada maksud. Sesungguhnya telah kami terangkan makna ucapan “Laa ilaaha illallaah” dan maksud ucapan “Laa haula wa laa quwwata illaa billaah”. Bahwa orang yang tidak mengucapkan kedua kalimat itu dari penyaksian hati (musyahadah), maka tidak tergambarlah daripadanya hal tawakkal. Kalau anda mengatakan: “Tidaklah pada ucapan engkau “Laa haula wa laa quwwata illaa billaah”, selain kekaitan dua perkara kepada Allah. Maka kalau ada yang mengatakan: “Langit dan bumi itu ciptaan Allah”, maka adakah pahalanya seperti pahala ucapan diatas ?”. Aku menjawab: tidak ! karena pahala itu atas kadar derajat yang diberi-pahalakan. Dan tak ada persamaan diantara dua derajat. Tidaklah dipandang kepada luasnya langit dan bumi dan kecilnya daya dan upaya, kalau boleh keduanya disifatkan dengan kecil, secara majazi (adalah kata yang digunakan pada makna yang bukan makna aslinya dan akan membuka pintu bagi manusia menafsirkan ayat dan hadist dengan makna menyimpang). Tidaklah segala hal itu dengan besarnya bentuk. Akan tetapi, setiap orang awwam memahami, bahwa bumi dan langit itu tidaklah dari pihak anak Adam (manusia). Akan tetapi, keduanya dari ciptaan Allah Ta’ala. Adapun daya dan upaya maka persoalan keduanya telah menyulitkan kepada golongan Mu’tazilah, kaum failosof dan banyak golongan yang mendakwakan, bahwa diperhalus penelitian tentang pendapat dan yang diterima akal. Sehingga terpecahlah rambut dengan sebab tajam penglihatannya. Maka dia itu membinasakan dan membahayakan, menggelincirkan tapak kaki, yang besar akibatnya. Telah binasa padanya orang-orang yang lalai. Karena mereka menetapkan bagi dirinya akan suatu hal. Yaitu: syirik pada keesaan. Mengaku ada khaliq (yang maha pencipta) selain Allah Ta’ala. Siapa yang melewati jalan yang sukar ini, dengan taufiq Allah Ta’ala kepadanya, niscaya tinggilah tingkatnya dan besarlah derajatnya.
Dialah yang benar mengucapkan: Laa haula wa laa quwwata illaa billaahi. Telah kami sebutkan, bahwa tidak ada pada keesaan, selain dua jalan yang sukar. Yang satu, ialah: memandang ke langit, ke bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, mendung, hujan dll barang beku. Yang kedua, ialah: memandang kepada pilihan binatang-binatang yang hidup (al-hayawanat). Inilah yang paling besar dan yang paling berbahaya dari dua jalan yang sukar tadi. Dengan memotong kedua jalan itu, sempurnalah rahasia keesaan. Maka karena demikian, niscaya besarlah pahala kalimat itu. Ya’ni: pahala penyaksian yang terjemahannya itulah kalimat tersebut. Jadi, kembalilah hal tawakkal kepada melepaskan diri dari daya dan upaya dan bertawakkal kepada Yang Esa, Yang Maha Benar. Dan akan jelas yang demikian, ketika kami sebutkan uraian amal perbuatan tawakkal nanti insya Allah Ta’ala.
PENJELASAN: apa yang dikatakan para syaikh tentang hal-ihwal tawakkal.
Untuk menjelaskan bahwa suatupun daripadanya, tiada keluar dari apa yang telah kami sebutkan. Akan tetapi, setiap satu itu mengisyaratkan kepada sebahagian hal-ihwal. Berkata Abu Musa Ad-Daili: “Aku bertanya kepada Abu Yazid: “Apakah tawakkal itu ?”. Abu Yazid menjawab: “Apa yang engkau katakan ?”. Aku menjawab: “Bahwa sahabat-sahabat kami mengatakan: “Jikalau kiranya binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa di kanan dan di kiri engkau, niscaya tidaklah bergerak rahasia (hati) engkau karena yang demikian”. Abu Yazid menjawab: “Ya, ini dekat ! akan tetapi, jikalau isi sorga bersenang-senang dalam sorga dan isi neraka diazabkan dalam neraka, kemudian terjadi bagi engkau membedakan diantara keduanya, niscaya engkau keluar dari tawakkal”.
Apa yang disebutkan oleh Abu Musa Ad-Daili tadi, maka itu berita dari yang termulia hal-ihwal tawakkal. Dan itu maqam ketiga ! Apa yang disebutkan oleh Abu Yazid di atas, adalah ibarat dari yang termulia berbagai macam ilmu, yang termasuk pokok-pokok tawakkal. Yaitu: ilmu dengan hikmahnya. Bahwa apa yang diperbuat oleh Allah Ta’ala itu perbuatanNya dengan yang wajib. Maka tiada pembedaan diantara isi neraka dan isi sorga, dengan dikaitkan kepada pokok keadilan dan hikmah. Dan ini yang terkabur dari berbagai macam ilmu. Dan di belakangnya itu rahasia qadar/takdir. Abu Yazid sedikitlah membicarakan selain dari maqam yang tertinggi dan derajat yang terjauh. Tidaklah meninggalkan menjaga diri dari ular-ular itu menjadi syarat pada maqam pertama dari tawakkal.
Abubakar Siddik ra telah menjaga dalam gua dari bahaya binatang-binatang bisa, karena ia menyumbatkan dengan tangannya lobang-lobang keluar ular. Hanya dapat dikatakan, bahwa ia berbuat demikian dengan kakinya dan tidak berobah rahasia hatinya dengan sebab yang demikian. Atau dikatakan, bahwa ia berbuat demikian, karena kasih-sayang kepada Rasulullah saw. Tidak untuk dirinya sendiri. Bahwa tawakkal itu hilang dengan bergerak rahasianya dan berobahnya, karena sesuatu yang kembali kepada dirinya. Untuk memperhatikan pada ini ada jalan. Akan tetapi, akan datang penjelasan, bahwa contoh-contoh yang demikian dan yang terbanyak daripadanya, tidaklah membatalkan tawakkal. Bahwa gerakan rahasia dari hal ular itu, ialah: takut. Dan menjadi hak dari orang yang bertawakkal, bahwa ia takut akan kekerasan ular. Karena tiada daya bagi ular dan tiada upaya bagi ular itu, selain dengan Allah. Jikalau ia menjaga diri, niscaya tidaklah tawakkalnya itu atas pengaturan, daya dan upayanya pada penjagaan diri. Akan tetapi, kepada Yang Menciptakan daya, upaya dan pengaturan.
Ditanyakan Dzun-Nun Al-Misri dari hal tawakkal, maka beliau menjawab: “Mencabut orang-orang yang punya dan memotong sebab-sebab”. Mencabut orang-orang yang punya itu isyarat kepada ilmu keesaan. Memotong sebab-sebab itu isyarat kepada amal perbuatan. Tidak ada padanya pengemukaan ketegasan bagi hal tawakkal, walaupun ada lafal yang mengandungnya. Lalu dikatakan lagi kepada Dzun-Nun Al-Mishri: “Tambahkan lagi !”. Beliau menjawab: “Mencampakkan diri dalam ‘ubudiyah (memperhambakan diri kepada Allah) dan mengeluarkannya dari rububiyah (sifat-sifat ketuhanan)”. Dan ini syarat kepada melepaskan diri dari daya dan upaya saja.
Ditanyakan Hamdun Al-Qashshar tentang tawakkal. Beliau menjawab: “Jikalau engkau mempunyai 10 ribu dirham dan engkau mempunyai hutang satu daniq, niscaya engkau tidak merasa aman akan mati dan masih ada utang engkau itu pada leher engkau. Jikalau engkau mempunyai hutang 10 ribu dirham, tanpa engkau meninggalkan sesuatu untuk pembayarannya, niscaya engkau tidak putus asa dari rahmat Allah Ta’ala, bahwa Ia akan membayar hutang itu dari engkau”. Ini adalah isyarat kepada semata-mata iman dengan luasnya qudrah(kuasa). Bahwa pada al-maqdurat (yang diqudrah(kuasa)kan) itu sebab-sebab yang tersembunyi, selain dari sebab-sebab yang terang.
Ditanyakan Abu Abdillah Al-Quraisy tentang tawakkal, maka ia menjawab: “Bergantung kepada Allah Ta’ala pada setiap hal”. Yang bertanya itu berkata: “Tambahkan lagi !”. Abu Abdillah Al-Quraisy menjawab: “Meninggalkan setiap sebab, yang menyampaikan kepada sebab. Sehingga adalah Al-Haq yang memerintahkan bagi yang demikian”. Yang pertama tadi bersifat umum bagi tiga maqam itu. Yang kedua isyarat kepada maqam ketiga khususnya. Dan itu seperti tawakkalnya nabi Ibrahim as tatkala berkata Jibril as kepadanya: “Adakah engkau mempunyai hajat keperluan ?”. Nabi Ibrahim as menjawab: “Pada engkau tidak ada”. Karena pertanyaan Jibril as itu suatu sebab yang membawa kepada sebab yang lain. Yaitu: penjagaan Jibril as kepadanya. Maka ia tinggalkan yang demikian, karena kepercayaannya, bahwa Allah Ta’ala, kalau berkehendak menjadikan Jibril as bagi yang demikian, maka adalah Ia yang menguasakan bagi yang demikian. Ini hal orang yang keheranan, yang jauh dari dirinya, dengan sebab Allah Ta’ala. Lalu ia tidak melihat selain Allah Ta’ala. Dan itu hal yang mulia pada dirinya dan berkekalan, jikalau ia memperoleh lebih jauh dan lebih mulia daripadanya.
Abu Sa’id Al-Kharraz berkata: “Tawakkal itu kegoncangan, dengan tiada ketetapan. Dan ketetapan, dengan tiada kegoncangan”. Semoga, dengan ucapannya itu, beliau mengisyaratkan kepada maqam kedua. Maka ketetapannya dengan tiada kegoncangan itu isyarat kepada ketetapan hati kepada tawakkal dan kepercayaannya dengan tawakkal itu. Kegoncangan dengan tiada ketetapan itu isyarat kepada berlindungnya kepadaNya. Bermohon dan merendahkan diri di hadapanNya, seperti kegoncangan anak kecil dengan dua tangannya kepada ibunya. Dan ketetapan hatinya kepada kesempurnaan kasih-sayangnya ibu.
Abu Ali Ad-Daqqaq berkata: “Tawakkal itu 3 derajat: tawakkal, kemudian taslim, kemudian tafwidl. Orang yang bertawakkal itu tenang dengan janji orang yang diserahkannya. Orang yang bertaslim (yang menyerahkan urusannya kepada orang lain) itu merasa cukup dengan diketahuinya. Dan orang yang bertafwidl (menyerahkan bulat-bulat) itu rela dengan hukum (keputusan) orang yang diserahkannya. Ini isyarat kepada berlebih-kurangnya derajat perhatiannya, dengan dikaitkan kepada orang yang menjadi tempat perhatiannya. Bahwa mengetahui itu pokok. Janji mengikutinya. Dan hukum mengikuti janji. Dan tidak jauh, bahwa yang mengerasi pada hati yang bertawakkal itu, ialah memperhatikan sesuatu dari yang demikian. Bagi para syaikh mengenai tawakkal itu banyak ucapan-ucapan, selain apa yang telah kami sebutkan itu. Maka tidak kami memanjangkannya. Bahwa kasyaf (terbuka hijab) itu lebih bermanfaat dari riwayat dan naqal (mengutip kata-kata orang lain). Maka inilah apa yang menyangkut dengan hal tawakkal. Kiranya Allah mencurahkan taufiq dengan rahmat dan kasih-sayangNya.
PENJELASAN: amal perbuatan orang-orang yang bertawakkal.
Ketahuilah, bahwa ilmu itu mewariskan hal keadaan. Hal keadaan membuahkan amal perbuatan. Kadang-kadang orang menyangka, bahwa arti tawakkal, ialah: meninggalkan berusaha dengan badan, meninggalkan pengaturan dengan hati dan jatuh di atas bumi, seperti kain koyak yang dilemparkan dan seperti daging atas lapik memotong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Bahwa yang demikian itu haram pada syara’ (agama). Dan syara’ (agama) sesungguhnya memuji orang-orang yang bertawakkal. Maka bagaimana dicapai suatu maqam dari maqam-maqam agama, dengan yang dilarang agama ? akan tetapi, akan kami singkapkan tutupnya dan kami menerangkan sbb: Sesungguhnya nampak pembekasan tawakkal pada gerak hamba, usahanya dengan ilmunya kepada maksud-maksudnya dan usaha hamba dengan ikhtiar (pilihan)nya. Adakalanya, bahwa adanya itu untuk menarik yang bermanfaat, yang tidak ada padanya, seperti: usaha. Atau untuk memelihara yang bermanfaat, yang ada padanya, seperti: menabung. Atau untuk menolak yang melarat, yang belum bertempat pada nya. Seperti menolak orang yang menyerang, orang yang mencuri dan binatang buas. Atau untuk menghilangkan melarat yang telah bertempat padanya, seperti berobat dari sakit. Maksud gerakan hamba itu tidak melampaui 4 macam ini. Yaitu: menarik yang bermanfaat atau menjaganya atau menolak yang melarat atau memotongkannya. Marilah kami sebutkan syarat-syarat tawakkal dan derajat-derajatnya, pada masing-masing daripadanya, dengan disertai bukti-bukti agama.
Macam pertama: tentang menarik yang bermanfaat. Maka mengenai ini kami mengatakan, bahwa sebab-sebab, yang dengan sebab-sebab itu dapat menarik yang bermanfaat di atas 3 derajat: yang diputuskan, yang disangkakan dengan sangkaan yang dipercayai dan yang menjadi sangka-waham, yang tidak dipercayai oleh diri, dengan kepercayaan yang sempurna. Dan diri tidak tentram kepadanya.
Derajat pertama: yang diputuskan. Yang demikian itu seperti sebab-sebab yang terikat musabbab-musabbabnya dengan takdir dan kehendak Allah, dengan ikatan yang banyak terjadi, yang tidak berlain-lainan. Sebagaimana makanan, apabila ia terletak di hadapan engkau dan engkau itu lapar, yang memerlukan kepada makanan. Akan tetapi, tidaklah tangan engkau dapat memanjang kepadanya. Dan engkau mengatakan: aku memberi wakil. Syarat mewakilkan itu meninggalkan perbuatan. Dan memanjangnya tangan kepada makanan itu perbuatan dan dan gerak. Seperti demikian juga memamah dengan gigi dan menelannya dengan melapiskan bagian atas langit-langit atas bahagian bawahnya. Ini adalah gila semata-mata ! tidaklah termasuk tawakkal sedikitpun, jikalau engkau menunggu bahwa Allah Ta’ala akan menciptakan kekenyangan pada engkau, tanpa roti atau Ia menciptakan pada roti akan bergerak kepada engkau atau Ia menciptakan seorang malaikat untuk mengonyahkan makanan bagi engkau dan menyampaikannya ke perut besar engkau. Maka sesungguhnya engkau amat bodoh akan Sunnah Allah Ta’ala. Seperti demikian pula, jikalau engkau tidak bercocok tanam pada bumi dan engkau mengharap bahwa Allah Ta’ala menjadikan tumbuh-tumbuhan tanpa bibit. Atau isteri engkau beranak tanpa bersetubuh, seperti beranaknya Maryam as. Semua itu adalah gila !. Contoh-contoh ini termasuk banyak dan tidak mungkin menghinggakannya. Maka tidaklah tawakkal pada maqam ini dengan amal perbuatan. Akan tetapi dengan hal keadaan dan ilmu.
Adapun ilmu, maka yaitu: bahwa engkau tahu Allah Ta’ala menciptakan makanan, tangan, gigi dan kekuatan gerak. Dialah yang memberi makan kepada engkau dan memberi minum kepada engkau. Adapun hal keadaan, ialah: bahwa ketetapan hati engkau dan berpegangnya engkau kepada perbuatan Allah Ta’ala. Tidak kepada tangan dan makanan. Bagaimana engkau berpegang atas kesehatan tangan engkau dan kadang-kadang tangan itu kering darahnya seketika dan lumpuh ? bagaimana engkau berpegang kepada kemampuan engkau dan kadang-kadang datang kepada engkau seketika, apa yang menghilangkan akal engkau dan merusakkan kekuatan gerak engkau ? bagaimana engkau berpegang kepada adanya makanan di hadapan engkau dan kadang-kadang dikuasakan oleh Allah Ta’ala kepada orang yang mengerasi engkau atasnya atau ia membawa ular yang mengejutkan engkau dari tempat duduk engkau dan dicerai-beraikannya diantara engkau dan makanan engkau itu ? apabila ada kemungkinan contoh-contoh yang demikian dan tak ada baginya obat, selain dengan kurnia Allah Ta’ala, maka dengan demikian itu hendaklah engkau bergembira ! kepadaNyalah engkau berpegang ! Apabila adalah ini hal keadaannya dan ilmunya, maka hendaklah ia memanjangkan tangan (mengambil makanan itu) ! sesungguhnya ia orang yang bertawakkal.
Derajat kedua: sebab-sebab yang tidak meyakinkan. Akan tetapi, biasanya musabbab-musabbab itu tidak akan berhasil, tanpa sebab-sebab tersebut. Kemungkinan berhasilnya tanpa sebab-sebab itu adalah jauh. Seperti orang yang meninggalkan kota dan kafilah dan bermusafir di desa-desa badui yang tidak dijalani manusia, selain jarang sekali. Dan perjalanannya itu tanpa disertai perbekalan. Ini tidaklah menjadi persyaratan pada tawakkal. Akan tetapi, membawa perbekalan dalam perjalanan di desa-desa badui itu adalah perjalanan hidup orang-orang dahulu. Tidak hilang tawakkal dengan membawa perbekalan, sesudah adanya berpegang kepada kurnia Allah Ta’ala. Tidak berpegang kepada perbekalan, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Akan perbuatan yang demikian itu boleh (jaiz). Yaitu: termasuk maqam tawakkal yang tertinggi. Karena itulah diperbuat oleh Ibrahim Al-Khawwash ra. Kalau anda mengatakan, bahwa ini adalah usaha pada membinasakan dan melemparkan diri pada kebinasaan, maka ketahuilah bahwa yang demikian itu keluar dari adanya haram, dengan 2 syarat:
Salah satu dari dua syarat ini, bahwa adalah orang itu telah melatih dirinya, bermujahadah dan membiasakannya bersabar, tanpa makanan seminggu dan yang mendekati dengan seminggu, dimana ia bersabar, tanpa sempit hati dan kacau pikiran. Dan ia mengemukakan berhalangan dari yang demikian, demi mengingati (berdzikir) kepada Allah Ta’ala.
Yang kedua, bahwa ia merasa kuat dengan memakan rumput kering (sayur) dan apa yang kebetulan diperolehnya dari makanan-makanan yang kurang mutunya. Sesudah 2 syarat ini, ia tidak terlepas dalam kebanyakan hal di desa-desa badui pada setiap minggu, daripada ia ditemui oleh seorang manusia. Atau ia berkesudahan ke tempat tinggal orang Arab atau desa atau ke rumput kering, yang ia merasa cukup dengan demikian. Lalu ia hidup dengan memperjuangkan dirinya (bermujahadah). Dan mujahadah/bersungguh-sungguh itu tiang tawakkal. Atas dasar inilah, berpegangnya Ibrahim Al-Khawwash dan teman-temannya dari orang-orang yang bertawakkal. Dalilnya, ialah bahwa Ibrahim Al-Khawwash tidak berpisah dengan jarum, gunting, tali dan tempat air. Ibrahim Al-Khawwash mengatakan: “Ini tidak merusakkan tawakkal”. Sebabnya, bahwa ia tahu, desa-desa badui itu tak ada air padanya di permukaan tanah. Dan tidak berlaku Sunnah Allah Ta’ala, dengan naiknya air dari sumur, dengan tanpa timba dan tali. Dan tidak banyak biasanya ada tali dan timba di desa-desa badui, sebagaimana banyak biasanya adanya rumput kering. Ia memerlukan kepada air untuk berwudlu’ setiap hari beberapa kali. Untuk hausnya pada setiap hari atau dua hari sekali. Bahwa orang musafir serta panasnya bergerak itu tidak dapat bersabar dari air, walaupun ia dapat bersabar dari makanan. Seperti demikian juga, adalah baginya sehelai pakaian. Terkadang yang sehelai itu koyak. Maka terbukalah auratnya. Dan tidak diperoleh gunting dan jarum di desa-desa badui pada galibnya ketika setiap shalat. Tidak dapat digantikan untuk menjahit dan memotong pakaian itu, oleh sesuatu yang diperoleh di desa-desa badui. Maka setiap apa dalam makna 4 macam barang tersebut juga dihubungi dengan derajat ke-2. karena yang demikian itu disangkakan dengan sangkaan yang tidak diyakini. Karena mungkin bahwa kain itu tidak koyak. Atau ia diberikan orang sepotong pakaian. Atau ia dapati diatas sumur, orang yang akan memberinya minum. Dan tidak mungkin bahwa bergeraklah makanan dengan terkunyah ke mulutnya. Maka diantara dua derajat ada perbedaan. Akan tetapi, yang kedua dalam makna yang pertama. Karena inilah kami mengatakan, bahwa jikalau ia meninggalkan tempatnya, pergi ke suatu jalan dari jalan gunung, yang tidak berair dan berumput kering dan tidak datang kepadanya orang yang datang dan ia duduk dengan bertawakkal, maka dia itu berdosa, yang berusaha pada membinasakan dirinya. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa seorang zahid (yang bersifat zuhud) dari orang-orang zahid meninggalkan daerah yang didiami manusia dan berdiam di lereng bukit selama 7 hari. Dan ia berkata: “Aku tidak meminta sesuatu pada seseorang. Sampai Tuhanku datang memberikan aku rezekiku”. Maka ia duduk selama seminggu. Ia hampir mati dan rezeki itu tidak kunjung datang. Orang zahid itu berkata: “Wahai Tuhanku ! jikalau Engkau menghidupkan aku, maka datangkanlah kepadaku rezekiku, yang Engkau bagikan bagiku. Jikalau tidak, maka genggamlah aku kepadaMu !”. Maka Allah Yang Maha Agung sebutanNya menurunkan wahyu kepada orang zahid tersebut: “Demi KeagunganKu ! Aku tidak memberikan rezeki kepadamu, sebelum kamu masuk ke daerah yang didiami manusia. Dan engkau duduk diantara manusia”. Orang zahid itu lalu masuk ke tempat yang didiami manusia dan duduk bersama mereka. Maka datanglah orang itu kepadanya dengan membawa makanan. Orang ini dengan minuman. Lalu ia makan dan minum. Dan ia bimbang pada dirinya dari yang demikian. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Aku berkehendak bahwa berjalan hikmahKu dengan zuhudnya engkau di dunia. Apakah engkau tidak tahu, bahwa Aku memberikan rezeki kepada hambaKu dengan tangan hamba-hambaKu, lebih Aku sukai daripada Aku memberikan rezeki kepadanya dengan tangan Qudrah(kuasa)Ku”. Jadi, berjauh-jauhan dari sebab-sebab semuanya itu menghinakan hikmah dan bodoh dengan Sunnah Allah Ta’ala. Berbuat dengan apa yang diharuskan oleh Sunnah Allah Ta’ala, serta tawakkal kepada Allah ‘Azza Wa Jalla tanpa sebab-sebab itu tidak berlawanan dengan tawakkal. Sebagaimana telah kami berikan contoh pada wakil dengan persoalan permusuhan (persengketaan) dahulu. Akan tetapi, sebab-sebab itu terbagi kepada zahiriyah dan kepada yang tersembunyi. Maka arti tawakkal, ialah mencukupkan dengan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak dengan sebab-sebab yang tampak (zahiriyah), serta tenangnya jiwa kepada musabbab dari sebab. Tidak kepada sebab. Kalau anda bertanya: “Apa katamu dengan duduk (tidak bekerja) di kampung, tanpa usaha, adakah itu haram atau mubah atau sunat ?”. Ketahuilah kiranya, bahwa yang demikian itu tidak haram. Karena yang bepergian di desa badui, apabila tidak ada ia membinasa kan dirinya, maka ini bagaimana ada ia tidak membinasakan dirinya, sehingga ada perbuatannya itu haram ? bahkan tidak jauh, bahwa datang kepadanya rezeki, darimana ia tidak menyangka sama sekali. Akan tetapi, kadang-kadang ia terlambat daripadanya. Dan sabar itu mungkin sampai kepada bersesuaian datangnya rezeki. Akan tetapi, jikalau ia menguncikan pintu rumah kepada dirinya sendiri, dimana tiada jalan bagi seseorangpun kepadanya, maka perbuatannya yang demikian itu haram. Dan kalau ia membukakan pintu rumah itu dan ia tak ada kerja, tidak berbuat ibadah, maka berusaha dan keluar itu lebih utama baginya. Akan tetapi tidaklah perbuatannya itu haram, selain bahwa ia mendekati kepada kematian. Maka ketika itu, haruslah ia keluar, meminta dan berusaha. Kalau ia menyibukkan hati dengan mengingati Allah, tiada mengangkatkan matanya kepada manusia dan tidak menunggu kedatangan orang yang akan masuk ke pintu rumahnya, lalu membawa kepadanya rezekinya, akan tetapi ia menunggu kurnia Allah Ta’ala dan kesibukkannya dengan mengingati Allah, maka adalah yang demikian itu lebih utama. Dan itu termasuk sebahagian dari maqam-maqam tawakkal. Yaitu: ia menyibukkan diri dengan mengingati Allah Ta’ala dan ia tidak mementingkan dengan rezekinya. Bahwa rezeki itu tidak mustahil akan datang kepadanya. Ketika ini, shah-lah apa yang dikatakan oleh sebahagian ulama, yaitu: bahwa hamba jikalau lari dari rezekinya, niscaya rezeki itu mencarinya. Sebagaimana jikalau ia lari dari mati, niscaya mati itu akan mendapatinya. Bahwa jikalau ia bermohon kepada Allah Ta’ala, bahwa Allah tidak memberikannya rezeki, niscaya Allah tidak akan memperkenankan doanya. Dan dia dengan demikian menjadi orang maksiat. Dan Allah berfirman kepadanya: “Hai orang bodoh ! bagaimana Aku menjadikan kamu dan tidak Aku memberikan rezeki kepadamu”.
Karena itulah, Ibnu Abbas ra berkata: “Berbedalah pendapat manusia pada setiap sesuatu, selain pada rezeki dan ajal. Bahwa mereka sepakat, tidak ada yang memberikan rezeki dan yang mematikan, selain Allah Ta’ala”. Nabi saw bersabda: “Jikalau kamu bertawakkal kepada Allah Ta’ala dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya Ia memberikan rezeki kepada kamu, sebagaimana Ia memberikan rezeki kepada burung, yang keluar pagi-pagi dengan perut kempis dan kembali sore dengan perut kenyang. Dan hilanglah bukit-bukit rintangan dengan doamu”.
Isa as berkata: “Lihatlah kepada burung ! ia tidak bercocok tanam, tidak mengetam dan tidak menyimpan. Allah Ta’ala yang memberikan rezeki kepadanya, hari demi hari. Kalau kamu mengatakan, bahwa perut kami besar, maka lihatlah kepada binatang ternak ! bagaimana Allah Ta’ala mentakdirkan rezeki kepadanya”.
Abu Ya’qub As-Susi berkata: “Orang-orang yang bertawakkal, rezeki mereka berjalan di atas tangan hamba-hamba Allah, tanpa kepayahan dari mereka. Dan orang-orang selain mereka itu sibuk dan susah”. Sebahagian mereka berkata: “Hamba itu semua dalam rezeki yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala. Akan tetapi, sebahagian mereka makan dengan kehinaan, seperti: meminta-minta. Sebahagian mereka dengan kepayahan dan menunggu, seperti: saudagar. Sebahagian mereka dengan perusahaan, seperti: pembuat-pembuat barang. Dan sebahagian mereka dengan kemuliaan, seperti: kaum shufi, yang mengakui akan Tuhan Yang Maha Agung. Maka mereka mengambil rezekinya dari TanganNya. Mereka tidak melihat perantaraan.
Derajat ketiga: penyerupaan sebab-sebab yang disangkakan pembawanya kepada musabbab-musabbab, tanpa kepercayaan yang terang. Seperti orang yang berhabis-habisan pada pemikiran-pemikiran yang halus, pada penguraian usaha dan segi-seginya. Yang demikian itu keluar secara keseluruhan dari setiap derajat tawakkal. Itulah, yang padanya manusia seluruhnya. Yakni: orang yang berusaha dengan daya-upaya yang halus, sebagai usaha yang diperbolehkan, bagi harta yang diperbolehkan. Adapun mengambil harta syubhah (yang diragukan halalnya) atau berusaha dengan jalan, yang ada padanya syubhah, maka yang demikian itu tujuan kelobaan kepada dunia dan berpegang kepada sebab-sebab. Maka tidak tersembunyi, bahwa yang demikian itu membatalkan tawakkal. Ini contoh sebab-sebab yang ikatannya kepada menghela yang bermanfaat. Seperti: ikatan jampi, barang yang diperbuat menengok untung (Ath-thirah) dan membakar kulit dengan besi (al-kayyi), dengan dikaitkan kepada menghilangkan yang melarat. Bahwa Nabi saw menyifatkan orang-orang yang bertawakkal dengan demikian. Dan beliau tidak menyifatkan mereka, bahwa mereka tidak berusaha dan tidak mendiami negeri-negeri yang ramai. Dan mereka tidak mengambil dari seseorang akan sesuatu. Akan tetapi, beliau menyifatkan mereka, bahwa mereka mengambil akan sebab-sebab ini. Contoh sebab-sebab ini, yang dipercayakan pada musabbab-musabbab, termasuk yang banyak. Maka tidak mungkin menghinggakannya.
Sahal berkata tentang tawakkal: “Bahwa tawakkal itu meninggalkan pemikiran akhir pekerjaan”. Beliau berkata: “Bahwa Allah menciptakan makhluk dan tidak mendindingkan mereka dari DiriNya. Bahwa hijab (dinding) mereka, ialah dengan pemikiran mereka”. Semoga beliau maksudkan dengan yang demikian, ialah: memahami sebab-sebab yang jauh dengan berpikir. Maka sebab-sebab tersebut memerlukan kepada pemikiran, tidak sebab-sebab yang terang. Jadi, sesungguhnya telah jelas, bahwa sebab-sebab itu terbagi kepada: apa yang mengelurkan penyangkutannya dari tawakkal. Dan kepada: apa yang tidak mengeluarkan. Bahwa yang mengeluarkan itu terbagi kepada yang diyakini dan yang disangkakan. Bahwa yang diyakini itu tidak keluar dari tawakkal ketika ada hal-ihwal tawakkal dan ilmunya. Yaitu: bersandar kepada musabbab bagi sebab-sebab. Maka tawakkal padanya adalah dengan hal-ihwal dan ilmu. Tidak dengan amal perbuatan. Adapun yang disangkakan maka tawakkal padanya adalah dengan hal-ihwal, ilmu dan amal perbuatan. Orang-orang yang bertawakkal pada penyerupaan sebab-sebab ini, terbagi kepada 3 macam:
Yang pertama: maqam Ibrahim Al-Khawwash dan teman-temannya. Yaitu: yang berkeliling di desa-desa badui, tanpa perbekalan, karena percaya dengan kurnia Allah Ta’ala kepadanya, pada menguatkannya kepada kesabaran seminggu dan di atas seminggu. Atau memudahkan rumput kering baginya atau makanan atau menetapkannya atau ridla dengan kematian, jikalau tidak mudah sesuatupun dari yang demikian. Bahwa orang yang membawa perbekalan, kadang-kadang ia berketiadaan perbekalannya. Atau sesat untanya dan ia mati kelaparan. Maka demikian itu mungkin serta perbekalan, sebagaimana mungkin serta ketiadaan perbekalan.
Maqam kedua: bahwa ia duduk di rumahnya atau di masjid. Akan tetapi di desa dan di tempat manusia ramai. Ini lebih lemah dari yang pertama. Akan tetapi juga ia orang yang bertawakkal. Karena ia meninggalkan berusaha dan sebab-sebab yang nyata. Ia berpegang kepada kurnia Allah Ta’ala pada mengatur urusannya, dari pihak sebab-sebab yang tersembunyi. Akan tetapi, dengan tinggalnya di tempat yang ramai itu mendatangkan sebab-sebab memperoleh rezeki. Bahwa yang demikian itu termasuk sebab-sebab yang terang. Hanya yang demikian itu tidak membatalkan tawakkalnya, apabila adalah pandangannya kepada Yang Menjadikan baginya penduduk negeri menyampaikan rezeki kepadanya. Tidak padangannya kepada penduduk negeri. Karena tergambarlah bahwa semua mereka lupa kepadanya dan menyia-nyiakannya, jikalau tidaklah kurnia Allah Ta’ala dengan memperkenalkannya kepada mereka dan menggerakkan pengajak-pengajak bagi mereka.
Maqam ketiga: bahwa ia keluar dan berusaha, sebagai usaha di atas cara yang telah kami sebutkan dahulu pada Bab Ketiga dan Keempat dari Kitab Adab Berusaha. Usaha ini tidak mengeluarkannya juga dari maqam-maqam tawakkal, apabila tidak ada ketentraman dirinya kepada kesanggupan dan kemampuannya, kemegahan dan harta-bendanya. Bahwa yang demikian itu kadang-kadang dibinasakan oleh Allah Ta’ala semuanya dalam sekejap mata. Bahkan, adalah pandangan nya kepada Yang Menanggung Yang Maha Benar, dengan memelihara semua yang demikian dan memudahkan sebab-sebabnya baginya. Bahkan, ia melihat usahanya, harta bendanya dan kemampuannya dengan dikaitkan kepada qudrah(kuasa) Allah Ta’ala adalah seperti ia melihat pena dalam tangan raja yang menanda-tangani. Maka tidak adalah pandangannya kepada pena, akan tetapi kepada hati raja, bahwa dengan apa ia bergerak. Kepada apa ia cenderung dan dengan apa ia hukumkan. Kemudian, jikalau adalah yang berusaha ini, berusaha untuk keluarganya atau untuk dibagi-bagikannya kepada fakir-miskin, maka dia itu dengan badannya berusaha dan dengan hatinya ia memutuskan daripadanya. Maka hal-ihwal orang ini lebih mulia dari hal-ihwal orang yang tinggal di rumahnya. Dalil atas usaha itu meniadakan hal-ihwal tawakkal, apabila dipelihara padanya syarat-syarat dan dikaitkan kepadanya hal-ihwal dan ma’rifah, sebagaimana telah diterangkan dahulu, bahwa Abubakar Shiddiq ra tatkala dibai’ahkan/diangkat menjadi khalifah, lalu ia mengambil kain-kain di bawah penjagaannya dan harta di tangannya. Beliau masuk ke pasar, menyerukan siapa yang ingin membeli kain. Sehingga kaum muslimin tidak menyukai yang demikian. Mereka mengatakan: “Bagaimana anda berbuat demikian. Anda telah dikokohkan menggantikan Nabi saw (menjadi khalifah)”. Abubakar Shiddiq ra menjawab: “Jangan kamu menyibukkan aku, tidak memikirkan keluargaku ! bahwa jikalau aku menyia-nyiakan mereka, niscaya adalah aku lebih lagi menyia-nyiakan bagi selain dari mereka”. Sehingga mereka menetapkan bagi Abubakar Shiddiq ra makanan keluarganya dari harta kaum muslimin. Tatkala mereka meridlai yang demikian, maka ia melihat untuk menolong mereka dan membaikkan hati mereka. Dan menghabiskan waktu dengan kepentingan kaum muslimin itu lebih utama. Dan mustahil bahwa dikatakan: tidaklah Abubakar Shiddiq ra pada maqam tawakkal. Siapakah yang lebih utama lagi dengan maqam ini daripadanya ? maka menunjukkan, bahwa adalah ia yang bertawakkal. Tidak dengan memandang meninggalkan berusaha dan bekerja, akan tetapi dengan memandang memutuskan perhatian kepada makanannya dan kecukupannya.
Dan mengetahui, bahwa Allah itu yang memudahkan usaha dan yang mengatur sebab-sebab dan dengan syarat-syarat yang dipeliharakannya pada jalan usaha, daripada mencukupkan dengan sekadar hajat keperluan, tanpa keinginan banyak, bersombong-sombong dan menyimpan. Dan tanpa bahwa ada dirhamnya itu lebih dikasihinya dari dirham orang lain. Maka siapa yang masuk pasar dan dirhamnya lebih dikasihinya dari dirham orang lain, maka dia itu loba kepada dunia dan mencintainya. Dan tidak sah tawakkal, selain serta zuhud pada dunia. Benar, sah zuhud tanpa tawakkal. Bahwa tawakkal itu suatu maqam di belakang zuhud.
Abu Ja’far Al-Haddad berkata dan dia ini guru bagi Junaid dalam ilmu tasawwuf/ahli suffi dan termasuk orang yang bertawakkal: “Aku menyembunyi kan tawakkal selama 20 tahun. Dan aku tidak berpisah dengan pasar. Aku mengusahakan setiap hari satu dinar dan tidak aku tinggalkan satu daniqpun di rumah. Dan tidak aku merasa senang daripadanya sampai sekaratpun, yang aku bawa dia kekamar mandi. Akan tetapi, aku keluarkan semuanya sebelum malam”. Adalah Junaid tidak memperkatakan tentang tawakkal di hadapan Abu Ja’far Al-Haddad. Ia mengatakan: “Aku malu bahwa aku berkata-kata pada tempatnya dan ia hadir di sisiku”. Ketahuilah, bahwa duduk pada langgar kaum shufi serta pengetahuan tertentu itu jauh dari tawakkal. Jikalau tidak ada pengetahuan tertentu dan harta wakaf dan mereka menyuruh pelayan langgar itu keluar mencari perbelanjaan, niscaya tidak shah serta yang demikian itu tawakkal, selain secara lemah dari tawakkal. Akan tetapi, ia kuat dengan hal keadaan dan ilmu, seperti tawakkal pengusaha. Jikalau mereka tidak meminta, akan tetapi merasa cukup dengan apa yang dibawa orang kepada mereka, maka ini lebih kuat pada ketawakkalan. Akan tetapi, sesudah terkenal kaum itu dengan yang demikian. Bila telah jadi tempat itu bagi mereka pasar, maka itu seperti masuk pasar. Dan tidaklah orang yang masuk pasar itu bertawakkal, selain dengan banyak syarat, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Kalau anda bertanya: “Manakah yang lebih utama, duduk di rumah atau keluar dan berusaha ?”. Ketahuilah, bahwa jikalau ia menyelesai kan dirinya dengan meninggalkan berusaha, untuk berfikir, berdzikir, ikhlas dan menghabiskan waktu dengan ibadah dan adalah berusaha mengacaukan nya kepada yang demikian dan dia bersama keadaan tersebut tidak menegakkan pemandangan dirinya kepada manusia, pada menunggu siapa yang masuk kepadanya, lalu membawa sesuatu, akan tetapi ia kuat hati pada bersabar dan bertawakkal kepada Allah Ta’ala, maka duduk di rumah bagi orang yang seperti itu lebih utama. Jikalau hatinya kacau di rumah dan ia mengangkatkan harapan hati kepada orang itu adalah meminta-minta dengan hati. Meninggalkan lebih penting daripada meninggalkan berusaha. Dan tidaklah orang-orang yang bertawakkal itu mengambil apa yang dipandang diri mereka dari pemberian orang. Adalah Ahmad bin Hanbal ra menyuruh Abubakar Al-Maruzi, untuk memberikan kepada sebahagian orang fakir miskin sesuatu yang lebih, daripada apa yang menjadi upahnya, maka orang miskin itu menolaknya. Tatkala orang miskin itu pergi, lalu Ahmad bin Hanbal berkata kepada Abubakar Al-Maruzi: “Hubungilah dia dan berikanlah kepadanya ! sesungguhnya ia akan menerima”. Abubakar Al-Maruzi lalu menghubungi orang miskin itu dan memberikan nya. Maka orang miskin itu lalu mengambilnya. Maka Abubakar Al-Maruzi bertanya kepada Ahmad bin Hanbal dari yang demikian. Lalu Ahmad bin Hanbal ra menjawab: “Hati orang itu sudah tertarik kepadanya lalu ia menolak. Tatkala ia keluar, niscaya terputuslah kelobaannya dan berputus asa. Maka ia mengambilnya”.
Adalah Ibrahim Al-Khawwash ra apabila melihat kepada seorang hamba pada memberi atau takut membiasakan diri bagi yang demikian, niscaya ia tidak akan menerima sesuatu daripadanya. Berkata Ibrahim Al-Khawwash, sesudah ia ditanyakan dari keajaiban apa yang dilihatnya dalam perjalanannya: “Aku melihat nabi Khidlir dan ia senang bersahabat dengan aku. Akan tetapi aku berpisah dengan dia, karena takut bahwa tenang jiwaku kepadanya. Lalu menjadi kekurangan pada tawakkalku”. Jadi, orang yang berusaha apabila menjaga adab berusaha dan syarat-syarat niatnya, sebagaimana telah diterangkan dahulu pada Kitab Usaha, yaitu: bahwa tidak ada maksudnya dengan usaha itu mencari banyak harta dan tidak ada perpegangannya kepada harta-bendanya dan kecukupannya, niscaya adalah orang yang berusaha itu orang yang tawakkal. Jikalau anda bertanya: “Apakah tandanya ia tidak berpegang kepada harta benda dan kecukupan?”. Maka aku menjawab, tandanya ialah: bahwa kalau harta bendanya itu dicuri orang atau rugi perniagaannya atau terhalang salah satu dari urusan-urusannya, niscaya ia ridha dengan yang demikian. Tidak rusak ketenangannya dan tidak kacau hatinya. Akan tetapi, adalah keadaan hatinya dalam ketenangan, sebelumnya dan sesudahnya itu sama. Bahwa orang yang tidak tentram kepada sesuatu, niscaya tidak kacau karena hilangnya sesuatu itu. Dan siapa yang kacau karena hilangnya sesuatu, maka ia tentram kepada adanya sesuatu itu.
Adalah Bisyr bekerja bertenun. Maka ditinggalkannya pekerjaan itu. Yang demikian itu, karena Al-Ba’adi -juru tulisnya mengatakan: “Sampai kepadaku berita, bahwa engkau meminta tolong atas rezeki engkau dengan bertenun. Apakah pendapat engkau, jikalau Allah mengambil pendengaran engkau dan penglihatan engkau. Maka rezeki itu atas siapa ?”. Maka berpengaruhlah yang demikian pada hatinya. Lalu dikeluarkannya alat tenunan dari tangannya dan ditinggalkannya. Ada yang mengatakan, bahwa ia tinggalkan bertenun itu, tatkala bertenun itu disebut-sebutkan dengan namanya. Dan ia dimaksudkan karena tenunan itu. Ada yang mengatakan, bahwa ia berbuat demikian, tatkala telah meninggal isterinya. Sebagaimana ada bagi Sufyan 50 dinar, yang dia perniagakan padanya. Maka tatkala isterinya meninggal, lalu uang itu dibagi-bagikannya. Kalau anda bertanya: “Bagaimana tergambar bahwa ia mempunyai harta benda dan tidak tenang hatinya kepada harta benda itu ? dan ia tahu, bahwa usaha tanpa harta benda itu tidak mungkin. Aku menjawab, bahwa ia tahu, memang mereka yang diberikan rezeki oleh Allah Ta’ala tanpa harta benda (yang menjadi modalnya) itu banyak. Dan orang-orang yang banyak harta bendanya, lalu dicuri orang dan rusak binasa itu banyak. Dan orang yang menempatkan dalam hatinya keyakinan, bahwa Allah Ta’ala tidak berbuat dengan demikian, selain ada padanya kemuslihatan baginya. Kalau harta bendanya binasa, maka itu lebih baik baginya. Mungkin kalau ditinggalkannya, adalah menjadi sebab bagi kerusakan agamanya. Dan Allah Ta’ala kasih-sayang kepadanya. Kesudahannya, bahwa ia mati kelaparan. Maka seyogyalah bahwa ia berkeyakinan, bahwa mati karena kelaparan, adalah lebih baik baginya di akhirat, manakala qodo/ketetapan(hukum) Allah telah berlaku kepadanya dengan yang demikian, tanpa teledor daripada pihaknya. Apabila ia ber keyakinan akan semua yang demikian, niscaya samalah padanya, ada harta benda dan tidak adanya. Pada hadits: “Bahwa hamba itu kacau pikirannya di malam hari dengan salah satu urusan perniagaannya, dari apa kalau diperbuatnya, niscaya ada padanya kebinasaannya. Maka Allah Ta’ala memandang kepadanya dari atas ‘Arasy-Nya. Lalu dialihkanNya hamba itu daripadanya. Maka di pagi hari hamba itu resah gelisah. Ia menengok nasibnya dengan tetangganya dan anak pamannya, dengan mengatakan: “Siapa yang mendahului aku, niscaya itulah orang yang mencelakakan aku”. Tidaklah itu, melainkn rahmat yang dirahmati oleh Allah kepadanya”.
Karena itulah, Umar ra berkata: “Aku tidak perduli, apakah aku menjadi orang kaya atau orang miskin. Sesungguhnya aku tidak tahu, manakah diantara keduanya itu yang lebih baik bagiku”. Orang yang tiada sempurna keyakinannya dengan hal-hal tersebut, niscaya tidak tergambar padanya tawakkal. Karena itulah, Abu Sulaiman Ad-Darani berkata kepada Ahmad bin Abil-Hawari: “Aku mempunyai bahagian dari setiap tempat, selain dari tawakkal yang penuh berkat ini. Bahwa aku tidak mencium bau yang harum daripadanya”. Ini perkataannya serta tinggi nilainya. Ia tidak mungkiri adanya tawakkal itu dari maqam yang mungkin dicapai. Akan tetapi, ia mengatakan: “Aku tidak memperolehnya”. Mungkin ia kehendaki, akan mencapai yang paling jauh (yang paling tinggi). Manakala tidak sempurna iman, bahwa tiada yang berbuat, selain Allah, tiada yang memberi rezeki, selain Dia dan bahwa setiap apa yang ditakdirkanNya atas hamba, dari miskin dan kaya, mati dan hidup, maka itu adalah lebih baik baginya, dari apa yang dicita-citakan oleh hamba, niscaya tidak sempurnalah hal keadaan tawakkal. Maka pembinaan tawakkal itu atas kekuatan iman, dengan hal-hal tersebut, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Demikian juga maqam-maqam agama yang lain, dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan, yang terbina atas pokok-pokoknya dari iman. Keringkasannya, bahwa tawakkal itu suatu maqam yang dapat dipahami. Akan tetapi, meminta kekuatan hati dan kekuatan badan. Karena itulah, Sahal berkata: “Siapa yang mencaci berusaha, maka ia telah mencaci sunnah Nabi saw. Dan siapa yang mencaci meninggalkan berusaha, maka ia mencaci keesaan”. Kalau anda bertanya: adakah obat yang dapat dimanfaatkan pada memalingkan hati dari kecenderungan kepada sebab-sebab zahiriyah dan membaikkan sangka (husnuz-zhon) kepada Allah Ta’ala, pada memudahkan sebab-sebab yang tersembunyi. Aku menjawab: “Ada ! yaitu, bahwa engkau tahu, jahat sangka (su’uz-zhon) itu ajaran setan. Dan baik sangka itu ajaran Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Setan menjanjikan kemiskinan kepadamu dan menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan Allah menjanjikan ampunan dan kurniaNya kepadamu”. S 2 Al Baqarah ayat 268. Manusia itu menurut tabiatnya suka mendengar yang dipertakutkan oleh setan. Karena itulah, ada yang mengatakan: “Orang yang kasih-sayang dengan jahat sangka itu menjadi tertarik”. Apabila bergabung kepadanya sifat pengecut, kelemahan hati dan penyaksiannya orang-orang yang bertawakkal kepada sebab-sebab zahiriyah dan pembangkit-pembangkit kepadanya, niscaya menanglah jahat sangka dan batallah tawakkal secara keseluruhan. Bahkan, melihat rezeki dari sebab-sebab yang tersembunyi juga membatalkan tawakkal. Diceritakan dari seorang yang banyak beribadah (‘abid), bahwa ia beri’tikaf pada sebuah masjid dan tak ada baginya ilmu mengenai yang demikian, lalu imam masjid itu berkata kepadanya: “Jikalau engkau berusaha adalah lebih baik bagi engkau”. ‘Abid itu tidak menjawab perkataan imam itu. Sehingga imam itu mengulanginya 3 kali. Pada kali ke-4, lalu ‘abid itu menjawab: “Seorang Yahudi di samping masjid ini telah menanggung bagiku setiap hari dua potong roti”. Imam itu lalu menjawab: “Kalau benar Yahudi itu pada tanggungannya, maka i’tikafmu dalam masjid adalah lebih baik bagi engkau”. ‘Abid itu lalu berkata: “Hai orang ini ! jikalau tidaklah engkau ini imam, yang tegak berdiri di hadapan Allah Ta’ala dan hamba-hambaNya, serta kekurangan ini pada keesaan, adalah itu lebih baik bagi engkau. Karena engkau telah mengutamakan janji Yahudi, atas jaminan Allah Ta’ala dengan rezeki”. Imam masjid itu bertanya kepada sebahagian orang yang bershalat: “Darimana engkau makan ?”. Orang yang ditanyakan itu menjawab: “Hai Syaikh ! bersabarlah, sehingga aku mengulangi shalat yang aku kerjakan di belakang engkau ! kemudian, aku akan menjawab kepada engkau”. Bermanfaat pada husnuz-zhon (baik sangka) itu dengan datangnya rezeki dari kurnia Allah Ta’ala, dengan perantaraan sebab-sebab yang tersembunyi, bahwa didengar cerita-cerita yang ada di dalamnya keajaiban-keajaiban ciptaan Allah Ta’ala, pada sampainya rezeki kepada yang empunyanya. Padanya keajaiban-keajaiban keperkasaan Allah Ta’ala pada membinasakan harta saudagar-saudagar dan orang-orang kaya dan membunuhnya mereka dalam kelaparan. Sebagaimana diriwayatkan dari Hudzaifah Al-Mar’asyi. Adalah Hudzaifah Al-Mar’asyi melayani (berkhidmat) kepada Ibrahim bin Adham. Maka ditanyakan kepadanya: “Apakah yang menakjubkan, yang kamu lihat daripadanya ?”. Abu Hudzaifah Al-Mar’asyi menjawab: “Kami berada di jalan Makkah beberapa hari, yang kami tiada memperoleh makanan. Kemudian, kami masuk Kufah. Maka kami bertempat di sebuah masjid yang sudah roboh. Lalu Ibrahim bin Adham melihat kepadaku dan berkata: “Hai Hudzaifah ! aku melihat engkau lapar”. Lalu aku menjawab: “Itulah apa yang dilihat oleh tuan Syaikh !”. Beliau lalu berkata: “Bawalah kepadaku tinta dan kertas !”. Maka aku bawakan kepadanya apa yang dimintanya itu. Lalu beliau menulis: “Bismillahir-rahmaanir-rahiim. Engkau yang dimaksudkan kepadanya dengan setiap hal keadaan dan yang diisyaratkan kepadanya dengan setiap makna”. Dan beliau menulis sekuntum syair:
Aku pemuji, pensyukur, pendzikir,
aku lapar yang hilang dan tak berpakaian.
Itulah enam, aku menjamin setengahnya,
maka Engkau menjamin setengahnya, ya Tuhan !
Pujianku kepada selain Engkau itu,
nyala api yang aku terjun ke dalamnya.
Maka lepaskanlah hamba-hambaMu itu,
dari masuknya ke dalam neraka !
Kemudian, beliau serahkan kertas itu kepadaku, seraya berkata: “Keluarlah dan jangan engkau gantungkan hati engkau kepada selain Allah Ta’ala dan jangan engkau gantungkan hati engkau kepada selain Allah Ta’ala ! serahkan kertas itu kepada orang yang mula-mula menemui engkau !”. Aku lalu keluar. Maka orang yang mula-mula menemui aku adalah seorang laki-laki, mengendarai keledai betina. Lalu aku serahkan kepadanya kertas itu. Maka diambilnya. Tatkala dibacanya, lalu ia menangis dan berkata: “Apakah yang diperbuat oleh yang empunya kertas ini ?”. Aku lalu menjawab: “Dia di masjid itu”. Orang itu lalu menyerahkan kepadaku suatu bungkusan, yang di dalamnya uang 600 dinar. Kemudian, aku menemui laki-laki lain. Lalu aku tanyakan tentang orang yang mengendarai keledai betina itu. Laki-laki itu menjawab: “Ini orang Nasrani”. Aku lalu datang kepada Ibrahim bin Adham dan aku terangkan kepadanya kisah tersebut. Beliau menjawab: “Jangan engkau sentuh bungkusan itu ! dia akan datang sejam lagi”. Sesudah sejam orang Nasrani itu masuk. Ia menelungkup atas kepala Ibrahim bin Adham dengan memeluknya. Dan ia masuk agama Islam.
Abu Ya’qub Al-Aqtha’ Al-Bashari  berkata: “Pada suatu kali aku lapar di Masjidil-haram selama 10 hari. Aku dapati diriku lemah. Maka dibisikkan oleh hatiku untuk keluar. Maka aku keluar ke lembah, mudah-mudahan aku mendapati sesuatu, yang menenangkan kelemahanku. Lalu aku lihat tumbuh-tumbuhan saljamah, tercampak di atas tanah. Aku ambil, lalu aku dapati pada hatiku ketidak-senangan. Seakan-akan ada orang yang mengatakan kepadaku: “Engkau sudah lapar 10 hari. Akhirnya adalah nasib engkau tumbuh-tumbuhan saljamah yang sudah berobah itu”. Maka aku lemparkan saljamah itu. Aku masuk masjid dan aku duduk. Tiba-tiba bertemu dengan seorang ‘Ajam (bukan Arab), yang menuju kepadaku. Sehingga ia duduk di depanku dan ia meletakkan sebuah peti keci, seraya berkata: “Ini untukmu !”. Aku lalu menjawab: “Bagaimana engkau khususkan aku dengan barang ini ?”. Ia menjawab: “Ketahuilah, bahwa kami berada di laut sejak 10 hari yang lalu. Hampirlah kapal itu tenggelam. Maka aku bernazar (berkaul), bahwa jikalau aku dilepaskan oleh Allah Ta’ala, aku akan bersedekah dengan barang ini, kepada orang pertama yang terlihat kepadaku dari orang-orang yang bertetangga dengan Masjidil-haram. Engkau adalah orang pertama yang aku jumpai”. Aku lalu menjawab: “Bukalah !”. Lalu dibukanya. Tiba-tiba dalam peti itu pati gandum Mesir, isi buah lauz yang sudah dikuliti dan gula bersegi empat. Maka aku genggam segenggam dari ini dan segenggam dari itu. Dan aku berkata: “Kembalikan sisanya kepada teman-teman engkau, sebagai hadiah dari aku kepada kamu dan aku telah menerimanya”. Kemudian aku berkata pada diriku: “Rezekimu berjalan kepadamu dari 10 hari. Dan engkau mencarinya dari lembah”.
Mimsyad Ad-Dainuri berkata: “Aku mempunyai hutang. Maka terganggulah hatiku dengan sebab hutang itu. Lalu aku bermimpi, seakan-akan ada orang mengatakan kepadaku: “Hai orang bakhil ! engkau ambil atas kami sekadar ini dari hutang. Ambillah atas engkau akan ambilan itu dan atas kami akan pemberian ! maka tiada engkau perhitungkan sesudah itu, akan tukang sayur, tukang tebu dan yang lain-lain”.
Diceritakan dari Bannan Al-Hammal, yang mengatakan: “Adalah aku dalam perjalanan ke Makkah. Aku datang dari Mesir dan bersamaku ada perbekalan. Lalu datang seorang wanita kepadaku dan berkata: “Hai Bannan ! engkau pembawa (al-hammal), yang engkau bawa atas punggung engkau perbekalan. Dan engkau menyangka, bahwa IA tidak akan memberikan rezeki kepada engkau”. Bannan berkata, meneruskan ceritanya: “Aku lalu melemparkan perbekalanku. Kemudian, datang atasku 3 hari yang tidak aku makan. Lalu aku dapati gelang wanita tercampak di jalan. Maka aku mengatakan kepada diriku: “Aku ambil gelang ini, sehingga datang yang empunyanya. Mungkin ia akan memberikan sesuatu kepadaku, maka aku kembalikan barang ini kepadanya. Tiba-tiba aku bertemu dengan wanita itu. Ia lalu berkata kepadaku: “Engkau saudagar, yang mengatakan: “Semoga datang yang empunya, maka aku mengambil daripadanya sesuatu”. Kemudian, wanita itu melemparkan kepadaku sesuatu dari dirham dan berkata: “Belanjakanlah dengan dirham ini !”. Maka aku cukupkan dengan dirham itu sampai mendekati Makkah”. Dihikayahkan, bahwa Bannan memerlukan kepada seorang budak wanita yang akan melayaninya. Maka tersiarlah berita itu kepada teman-temannya. Lalu mereka mengumpulkan uang untuk harga budak wanita itu. Mereka mengatakan: “Ini uangnya ! bila datang rombongan penjual budak, maka kita beli yang sesuai”. Tatkala datang rombongan penjual budak, lalu sepakat pendapat mereka kepada seorang budak wanita. Mereka berkata: “Budak wanita ini cocok baginya”. Mereka lalu mengatakan kepada yang empunya budak wanita itu: “Berapa harganya ?”. Yang empunyai itu menjawab: “Dia tidak dijual !”. Mereka lalu meminta benar-benar. Maka yang empunya itu menjawab: “Budak wanita ini untuk Bannan Al-Hammal, yang dihadiahkan kepadanya oleh seorang wanita dari Samarkand. Maka aku bawa kepada Bannan dan aku sebutkan kepadanya ceritanya”.
Dikatakan, bahwa ada pada zaman pertama dahulu seorang laki-laki dalam perjalanan. Dan ia mempunyai roti. Ia lalu berkata: “Jikalau aku makan, niscaya aku mati”. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla mewakilkan kepada seorang malaikat untuk menemuinya. Dan berfirman: “Jikalau ia makan, maka Aku berikan rezeki kepadanya. Dan jikalau ia tidak makan, maka tidak Aku berikan kepadanya yang lain”. Senantiasalah roti itu bersama orang tersebut, sampai ia mati dan tidak dimakannya. Roti itu tetap padanya.
Abu Sa’id Al-Kharraz berkata: “Aku masuk ke suatu desa badui, tanpa perbekalan. Lalu tertimpa atas diriku kelaparan yang sangat. Maka aku melihat suatu desa dari jauh. Aku bergembira dengan sampai aku ke situ. Kemudian, aku berpikir pada diriku: “Bahwa aku tenang dan berpegang kepada selain Allah Ta’ala lalu aku bersumpah, bahwa aku tidak akan masuk ke desa itu, selain bahwa aku dibawa kepadanya. Lalu aku gali bagi diriku pasir suatu lobang. Aku timbun tubuhku di dalamnya, sampai ke dadaku. Lalu aku mendengar suara yang tinggi pada tengah malam: “Hai penduduk desa ! bahwa Allah Ta’ala mempunyai seorang wali, yang memenjarakan dirinya dalam pasir ini. Maka hubungilah dia ! lalu datanglah orang banyak. Mereka lalu mengeluarkan aku dan membawa aku ke desa”.
Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki selalu berada di pintu rumah Umar ra. Maka tiba-tiba dia dengan seorang laki-laki yang mengatakan: “Hai orang ini ! engkau berhijrah kepada Umar atau kepada Allah Ta’ala ? pergilah, maka pelajarilah Alquran ! sesungguhnya tidak perlu bagi engkau pintu Umar”. Laki-laki itu lalu pergi dan menghilang. Sehingga ia dicari oleh Umar. Rupanya orang itu sudah mengasingkan diri dan bekerja dengan beribadah. Maka datang Umar kepadanya, seraya berkata: “Bahwa aku rindu kepadamu. Apakah yang menyibukkan kamu, tidak bertemu dengan aku ?”. Laki-laki itu menjawab: “Bahwa aku membaca Alquran. Lalu aku tidak memerlukan kepada Umar dan keluarga Umar”. Umar lalu menjawab: “Kiranya Allah merahmati kamu ! apakah yang kamu dapati pada Alquran itu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Aku dapati padanya: “Dan di langit ada rezekimu dan (juga) apa yang dijanjikan kepada kamu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 22. Maka aku mengatakan: “Rezekiku di langit dan aku mencarinya di bumi”. Umar lalu menangis dan berkata: “Benar engkau !”. Adalah Umar sesudah itu, datang kepada orang itu dan duduk bersama-sama.
Abu Hamzah Al-Khurasani berkata: “Aku mengerjakan hajji pada suatu tahun. Di waktu aku sedang berjalan kaki di jalan, tiba-tiba aku jatuh dalam sumur. Lalu berbantahan dengan diriku, bahwa apakah aku meminta tolong ? lalu aku menjawab: “Tidak ! demi Allah, aku tidak meminta tolong”. Belum lagi habis bisikan ini dari hatiku, maka lewatlah dua orang laki-laki di muka sumur. Lalu yang seorang mengatakan kepada yang lain: “Mari, kita tutup muka sumur ini, supaya tidak jatuh seseorang ke dalamnya !”. Mereka lalu mendatangkan bambu dan tikar. Mereka tutup muka sumur. Maka aku ingin memekik. Lalu aku bertanya pada diriku: “Kepada siapa aku memekik ? Dia adalah lebih dekat dari orang yang dua ini. Lalu aku tenang. Diantara sesaat kemudian, tiba-tiba ada sesuatu datang kepadaku. Ia menyingkapkan muka sumur dan mengulurkan kakinya. Seakan-akan ia mengatakan: “Bergantunglah kepadaku !”, dengan suaranya yang tersembunyi, yang aku pahami daripadanya. Lalu aku bergantung padanya. Maka dikeluarkannya aku. Tiba-tiba itu adalah seekor binatang buas. Ia lalu melewati aku. Dan diserukan kepadaku oleh penyeru: “Hai Abu Hamzah ! tidakkah ini yang lebih baik ? kami lepaskan engkau dari kebinasaan dengan yang membinasakan”. Maka aku berjalan dan bermadah:
Aku dilarang oleh malunya aku kepadaMu,
bahwa aku menyingkapkan hawa nafsu.
Engkau kayakan aku dengan pengertian itu,
tanpa penyingkapan daripadaMu.
Engkau berlemah-lembut dalam urusanku,
Engkau lahirkan keadaanku yang dapat disaksikan,
kepada yang tidak tampak bagiku.
Kelemah-lembutan diperoleh dengan kelemah-lembutan.
Engkau memperlihatkan yang ghaib bagiku,
sehingga seakan-akan menggembirakan,
kepadaku dengan yang ghaib itu,
bahwa Engkau dalam mencegahkan.
Aku melihat Engkau dan padaku,
ketakutan dan keliaran hati kepadaMu.
Maka Engkau jinakkan hatiku,
dengan kelemah-lembutan dan kasih-sayangMu.
Engkau hidupkan dari kematian,
orang yang cinta dalam kecintaan.
Ini adalah suatu keajaiban,
adanya hidup serta kematian.
Contoh-contoh kejadian yang seperti ini termasuk yang banyak. Apabila iman telah kuat dengan yang demikian dan tergabung kepadanya kemampuan lapar barang seminggu, tanpa sempit dada dan kuatlah iman bahwa jikalau tidak terdahulu kepadanya rezeki dalam seminggu, maka kematian lebih baik baginya pada sisi Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan karena itulah penahanan diri daripadanya. Kemudian, bertawakkal dengan hal-ihwal dan kesaksian-kesaksian tersebut. Jikalau tidak yang demikian, niscaya tidaklah sekali-kali akan sempurna.
PENJELASAN: tawakkalnya orang yang berkeluarga.
Ketahuilah, bahwa orang yang mempunyai keluarga, hukumnya berbeda dengan orang yang sendirian. Karena orang yang sendirian, tidak shah tawakkalnya, selain dengan 2 perkara:
Pertama: kemampuannya menahan lapar seminggu, tanpa dilihat orang dan sempit jiwa.
Dan yang satu lagi, ialah: pintu-pintu iman yang telah kami sebutkan dahulu. Diantara jumlahnya, ialah, bahwa ia berbaik hati dengan mati, jikalau tidak datang rezeki kepadanya. Karena tahu, bahwa rezekinya itu mati dan lapar. Walaupun itu suatu kekurangan di dunia, maka itu suatu kelebihan di akhirat. Maka ia melihat, bahwa telah mendahului kepadanya, yang terbaik dari dua rezeki. Yaitu: rezeki akhirat. Dan ini, ialah: sakit, yang ia mati dengan sakit itu. Dan ia rela dengan yang demikian. Dan sesungguhnya bahwa demikianlah yang menjadi qodo/ketetapan dan qadar/takdir baginya. Maka dengan ini, sempurnalah tawakkal bagi orang yang sendirian. Tidak boleh memberatkan keluarga bersabar kepada kelaparan. Dan tidak mungkin bahwa tetaplah pada mereka itu keimanan dengan keesaan. Bahwa mati di atas kelaparan itu rezeki yang digemari pada dirinya, jikalau kebetulan yang demikian, yang jarang terjadinya. Demikian pula pintu-pintu iman yang lain. Jadi, tidak memungkinkannya pada memenuhi hak keluarga, selain tawakkalnya orang yang berusaha. Yaitu: tingkat yang ketiga. Seperti tawakkalnya Abubakar Ash-Shiddiq ra karena ia keluar untuk berusaha.
Adapun memasuki padang belantara dan meninggalkan keluarga, dengan bertawakkal tentang hak mereka atau duduk tidak mementingkan urusan mereka, karena tawakkal tentang hak mereka, maka ini haram. Kadang-kadang yang demikian itu membawa kepada kebinasaan mereka. Dan adalah ia yang menyiksakan mereka. Bahkan menurut yang sebenarnya, bahwa tiada perbedaan diantaranya dan keluarganya. Jikalau ia ditolong oleh keluarga kepada bersabar di atas kelaparan pada suatu waktu dan atas persiapan kepada mati di atas kelaparan, sebagai rezeki dan harta rampasan di akhirat, maka ia bertawakkal tentang hak keluarga itu. Dan dirinya sendiri juga keluarga pada sisinya. Tidak boleh ia menyia-nyiakannya, selain bahwa dirinya itu menolongnya kepada bersabar di atas kelaparan pada suatu ketika. Maka jikalau tidak disanggupinya, hatinya bergoncang dan ibadahnya menjadi kacau, niscaya tidak boleh ia bertawakkal.
Karena itulah, diriwayatkan, bahwa Abu Turab An-Nakhsyabi melihat kepada seorang shufi yang memanjangkan tangannya di kulit buah semangka, untuk dimakannya sesudah 3 hari, lalu Abu Turab mengatakan kepada orang shufi itu: “Tidak pantas bagi engkau tasawwuf/ahli suffi, yang selalu di pasar”. Artinya: tidak ada tasawwuf/ahli suffi, selain bersama tawakkal. Dan tidak shah tawakkal, selain bagi orang yang sabar tanpa makanan, yang lebih banyak dari 3 hari. Abu Ali Ar-Raudzabari berkata: “Apabila orang fakir itu mengatakan sesudah 5 hari: “Aku lapar”, maka haruskanlah ia di pasar. Dan suruhlah ia bekerja dan berusaha !”. Jadi, badannya itu seolah-olah keluarganya. Dan tawakkalnya pada yang mendatangkan melarat dengan badannya, adalah seperti tawakkalnya tentang keluarganya. Yang berbeda dengan mereka, hanya pada satu hal. Yaitu: bahwa ia memaksakan dirinya sabar di atas kelaparan. Dan tidak adalah baginya yang demikian mengenai keluarganya. Telah tersingkaplah bagi anda, dari ini, bahwa tawakkal tidaklah terputus dari sebab-sebab. Bahkan berpegang kepada kesabaran atas lapar pada suatu waktu, rela dengan mati jikalau terlambatnya datang rezeki, yang jarang terjadi dan selalu berada di negeri dan di kota atau selalu berada di padang belantara, yang tidak kosong dari rumput kering dan yang sepertinya, maka ini semua adalah sebab-sebab dapat terus hidup. Akan tetapi mengalami semacam penderitaan. Karena tidak mungkin berketerusan atas yang demikian, selain dengan sabar.
Dan tawakkal di kota-kota itu lebih mendekati kepada sebab-sebab, dibandingkan daripada tawakkal di padang belantara. Setiap yang demikian itu sebagian dari sebab-sebab. Hanya manusia itu berpaling kepada sebab-sebab yang lebih terang daripadanya. Lalu mereka tidak menghitungkan yang demikian itu menjadi sebab. Dan itu adalah karena lemahnya iman mereka, sangatnya kerakusan mereka dan sedikitnya kesabaran mereka atas penderitaan di dunia karena akhirat. Dan berkuasanya ketidak-beranian pada hati mereka, disebabkan buruk sangka dan panjang angan-angan. Siapa yang memandang kepada alam malakut langit dan bumi, niscaya tersingkaplah baginya dengan meyakinkan, bahwa Allah Ta’ala mengatur alam al-mulki dan alam al-malakut (alam yang nyata dan alam goib), dengan pengaturan yang tidak melampaui akan hamba oleh rezekinya. Walaupun ia meninggalkan kegoncangan. Bahwa orang yang lemah dari kegoncangan, niscaya ia tidak akan dilampaui oleh rezekinya.
Apakah tidak anda melihat janin dalam perut ibunya, tatkala dia itu lemah dari kegoncangan, bagaimana ia sampai akan pusarnya dengan ibu, sehingga berkesudahan kepadanya sisa-sisa makanan ibu dengan perantaraan pusar. Dan tidaklah yang demikian itu dengan upaya janin. Kemudian, tatkala ia berpisah (terlepas) niscaya mengeraslah kecintaan dan kasih sayang kepada ibu, untuk menanggung janin yang telah berpisah itu. Ia kehendaki yang demikian atau ia enggan. Secara darurat dari Allah Ta’ala kepadanya, dengan dinyalakanNya pada hati ibu, api kecintaan. Kemudian, tatkala anak itu belum mempunyai gigi, yang dikunyahnya dengan gigi itu akan makanan, maka ia diberikan rezeki dari susu, yang tidak memerlukan kepada dikunyah. Dan karena lembut sifatnya, maka susu itu tidak membawa makanan yang tebal. Lalu mengalirlah bagi anak itu susu yang halus pada dua tetek ibu, ketika ia telah berpisah, menurut hajat keperluannya. Apakah ini dengan upaya anak kecil itu atau dengan upaya ibu ? Apabila kiranya telah bersesuaian bagi anak itu makanan yang tebal, niscaya ditumbuhkan baginya gigi yang dapat memotong-motong makanan dan yang menghancurkan, karena pengunyahan. Apabila anak itu sudah besar dan dapat berdiri sendiri, niscaya dimudahkan baginya sebab-sebab bagi belajar dan menempuh jalan akhirat. Maka ketidak-beraniannya sesudah dewasa itu kebodohan semata-mata. Karena tidak kuranglah sebab-sebab kehidupannya dengan kedewasaannya, bahkan bertamba. Jikalau tadinya ia tidak mampu berusaha, maka sekarang ia telah mampu. Dan semakin bertambah kemampuannya. Benar, adalah yang kasih-sayang kepadanya itu seorang. Yaitu: ibu atau bapak. Dan kasih-sayangnya itu bersangatan sekali. Diberinya makan dan minum sehari sekali atau dua kali. Adalah ia memberi makan itu dengan dikeraskan oleh Allah Ta’ala kecintaan dan kasih-sayang pada hatinya. Maka seperti demikian pula dikeraskan oleh Allah kasih-sayang, cinta-kasih, kehalusan hati dan rahmat pada hati kaum muslimin. Bahkan penduduk negeri seluruhnya. Sehingga setiap orang dari mereka, apabila merasakan dengan orang yang memerlukan sesuatu, niscaya hatinya turut merasakan dan merasa kasih-sayang. Dan tergeraklah baginya yang mengajak kepada memenuhi hajat keperluannya. Lalu tadinya yang kasih-sayang kepadanya seorang, maka sekarang yang kasih-sayang kepadanya itu lebih ribuan. Dahulu mereka tidak kasih-sayang kepadanya, karena melihat dia itu dalam tanggungan ibu dan bapak. Dan itu kasih-sayang khusus. Lalu mereka tidak melihatnya sebagai orang yang memerlukan kepada pertolongan. Kalau mereka melihatnya yatim, niscaya Allah menguasakan pengajak rahmat (kasih-sayang) kepada seseorang kaum muslimin. Atau kepada segolongan. Sehingga mereka mengambil anak yatim itu dan menanggungkannya. Maka tidaklah terlihat sampai sekarang dalam tahun-tahun kesuburan, seorang anak yatim yang mati kelaparan, sedang ia lemah dari kegoncangan. Dan tidak ada baginya penanggung khusus. Allah Ta’ala penanggungnya, dengan perantaraan kasih-sayang yang diciptakanNya dalam hati hamba-hambaNya. Maka karena apakah, seyogyanya bahwa hatinya sibuk dengan rezekinya sesudah dewasa dan ia tidak sibuk pada waktu masih kecil ? dan waktu itu yang kasih-sayang hanya seorang dan sekarang adalah ribuan ? Benar, adalah kasih-sayang ibu itu lebih kuat dan lebih berbahagian. Akan tetapi, dia itu seorang. Dan kasih-sayang setiap orang dari manusia, walaupun lemah, maka keluarlah dari kumpulannya, apa yang mendatangkan faedah bagi maksud. Berapa banyak anak yatim yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala baginya, akan keadaan, yang jauh lebih baik dari keadaan anak yang mempunyai ibu dan bapak. Maka tertampallah kelemahan kasih-sayang masing-masing orang, dengan banyaknya orang yang kasih-sayang, dengan meninggalkan bersenang-senang dan menyingkatkan kepada sekadar darurat. Dan amat baiklah yang dilakukan oleh seorang penyair, yang bermadah:
Berjalanlah pena qodo,
dengan apa yang ada.
Maka keduanya sama,
gerak dan diam......
Kegilaan dari kamu,
bahwa berusaha untuk rezeki.
Janin dalam bungkusan kandungannya ibu,
ia dianugerahkan rezeki.
Kalau anda mengatakan, bahwa manusia menanggung anak yatim, karena mereka melihatnya lemah, disebabkan masih kecil. Adapun orang itu sudah dewasa, lagi sanggup berusaha, maka manusia tidak menoleh kepadanya. Dan mereka mengatakan: “Dia itu seperti kita. Maka hendaklah ia bersungguh-sungguh bagi dirinya sendiri !”. Aku menjawab, bahwa jikalau orang yang mampu itu, yang tak ada kerja, maka sesungguhnya mereka itu benar. Harus ia berusaha. Dan tak ada arti tawakkal terhadap orang tersebut. Bahwa tawakkal itu suatu tingkat dari tingkat-tingkat agama, yang diminta bantuan dengan tawakkal itu, untuk menyelesaikan diri bagi Allah Ta’ala. Maka apakah bagi orang yang tak kerja dan tawakkal ? jikalau ia sibuk dengan ibadah kepada Allah, selalu di masjid atau di rumah dan ia rajin kepada ilmu dan ibadah, maka manusia tidak mencacikannya pada meninggalkan berusaha. Dan mereka tidak memberatkannya yang demikian. Bahkan kesibukkannya dengan mengingati Allah Ta’ala itu menetapkan kecintaannya pada hati manusia. Sehingga mereka membawa kepadanya diatas kecukupannya. Hanya, ia tidak menguncikan pintu dan tidak lari ke gunung dari diantara manusia. Dan tidaklah terlihat sampai sekarang, seorang alim atau ‘abid, yang menghabiskan waktunya mengingati Allah Ta’ala dan dia itu berada di kota, lalu mati kelaparan. Tidaklah terlihat sekali-kali yang demikian. Bahkan, jikalau ia menghendaki memberi makan kepada sekumpulan manusia dengan ucapannya, niscaya ia sanggup kepada yang demikian. Sesungguhnya orang yang untuk Allah Ta’ala, niscaya adalah Allah ‘Azza Wa Jalla untuknya. Siapa yang menyibukkan dirinya mengingati Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya dicurahkan oleh Allah akan kecintaan kepadanya dalam hati manusia. Diciptakan oleh Allah hati manusia baginya, sebagaimana diciptakanNya hati ibu bagi anaknya. Allah Ta’ala mengatur alam al-mulki dan al-malakut (alam yang nyata dan alam goib), dengan pengaturan yang mencukupi bagi penghuni alam al-mulki dan al-malakut (alam yang nyata dan alam goib). Maka siapa yang menyaksikan pengaturan ini, niscaya kepada Yang Mengatur. Ia menyibukkan diri mengingatiNya dan beriman kepadaNya. Dan ia memandang kepada Yang Mengatur sebab-sebab. Tidak kepada sebab-sebab. Ya, apa yang diatur oleh Allah dengan pengaturan, niscaya akan sampai kemanisan, burung-burung yang gemuk, kain-kain yang halus dan kuda yang cantik secara terus-menerus sudah pasti kepada orang yang menyibukkan diri mengingati Allah. Kadang-kadang terjadi yang demikian juga pada sebahagian hal keadaan. Akan tetapi diaturkanNya, dengan pengaturan yang akan sampai kepada setiap orang yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Allah Ta’ala pada setiap minggu, sepotong roti syair atau rumput kering, yang sudah pasti, diperolehnya. Yang kebanyakan, bahwa sampai lebih banyak dari itu. Bahkan, akan sampai apa yang melebihi dari sekadar hajat dan yang memadai. Maka tiada sebab untuk meninggalkan tawakkal, selain karena keinginan diri pada bersenang-senang secara terus-menerus, memakai kain yang halus dan memakan makanan yang enak-enak. Dan tidaklah yang demikian itu dari jalan akhirat. Yang demikian, kadang-kadang tidak akan berhasil dengan tidak kegoncangan. Yaitu pada kebiasaannya juga tiada akan berhasil serta kegoncangan. Sesungguhnya akan berhasil secara jarang terjadinya. Dan pada jarang kejadiannya juga, kadang-kadang akan berhasil dengan tiada kegoncangan. Maka bekas kegoncangan itu lemah pada orang yang terbuka mata hatinya. Maka karena yang demikian ia tiada tenang kepada kegoncangannya. Bahkan kepada Yang Mengatur alam al-mulki dan al-malakut (alam yang nyata dan alam goib), dengan pengaturan yang tiada akan melampaui seorang hambapun dari hamba-hambaNya oleh rezeki yang dianugerahiNya. Kecuali yang jarang sekali terjadi, yang tergambar contohnya pada pihak orang yang bergoncang keadaannya. Apabila tersingkaplah segala keadaan ini dan pada orang itu ada kekuatan hati dan keberanian pada diri, niscaya berbuahlah apa yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashari  ra, karena beliau berkata: “Aku ingin bahwa penduduk Basrah itu dalam keluargaku dan sebiji makanan itu dengan sedinar harganya”.
Wahib bin Al-Ward berkata: “Jikalau adalah langit itu tembaga dan bumi itu timah dan aku bercita-cita dengan rezekiku, niscaya aku menyangka, bahwa aku itu musyrik”. Apabila memahami segala hal-ihwal ini, niscaya anda memahami, bahwa tawakkal itu suatu tingkat yang dapat dipahami pada tawakkal itu sendiri. Dan mungkin sampai kepadanya, orang yang memaksakan dirinya. Dan anda ketahui, bahwa orang yang memungkiri pokok tawakkal dan kemungkinannya, niscaya ia memungkiri itu dari kebodohan. Maka awaslah daripada anda mengumpulkan diantara dua kejatuhan. Kejatuhan dari adanya tingkat itu dengan perasaan. Dan kejatuhan dari iman kepadanya dengan pengetahuan. Jadi, haruslah anda dengan qana’ah dengan yang sedikit saja dan rela dengan makanan yang ada. Sesungguhnya yang demikian sudah pasti akan datang kepada anda, walaupun anda lari daripadanya. Pada yang demikian. Allah akan mengutus kepada anda akan rezeki anda, pada tangan orang yang tiada anda sangkakan. Jikalau anda menyibukkan diri dengan taqwa dan tawakkal, niscaya anda akan menyaksikan dengan percobaan, akan kebenaran firmanNya Allah Ta’ala: “Dan siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah mengadakan untuk orang itu jalan keluar (dari kesulitan). Dan memberikan rezeki kepadanya dari (sumber) yang tiada pernah dipikirkannya. Dan siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah itu melaksanakan kehendakNya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ukuran bagi setiap sesuatu”. S 65 Ath Thalaaq ayat 2-3. Hanya Allah Ta’ala tiada menanggung baginya, bahwa Ia memberikan rezeki kepadanya akan daging burung dan makanan yang lezat-lezat. Maka Ia tiada menjamin selain rezeki, yang dengan rezeki itu meneruskan kehidupannya. Dan jaminan ini diberikan bagi setiap orang yang menyibukkan diri dengan Yang Menjamin dan merasa tenang kepada jaminanNya. Sesungguhnya orang yang diliputi oleh pengaturan Allah, dari sebab-sebab yang tersembunyi bagi rezeki itu lebih besar, dari apa yang tampak bagi makhluk. Bahkan tempat-tempat masukya rezeki itu tidak terhingga. Dan tempat-tempat mengalirnya tidak diberi petunjuk kepadanya. Yang demikian itu, karena lahirnya di atas bumi dan sebabnya di langit Allah Ta’ala berfirman: “Dan di langit ada rezekimu dan (juga) apa yang dijanjikan kepada kamu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 22. Rahasia langit itu tidak dapat dilihat. Dan karena inilah, suatu rombongan masuk ke tempat Al-Junaid. Beliau lalu bertanya: “Apa yang kamu cari ?”. Mereka itu menjawab: “Kami mencari rezeki”. Al-Junaid lalu berkata: “Jikalau kamu tahu, dimana tempatnya, maka carilah !”. Mereka menjawab: “Kami bermohon kepada Allah”. Al-Junaid menjawab: “Jikalau kamu tahu, bahwa Allah melupakan kamu, maka peringatilah Dia !”. Mereka menjawab: “Kami masuk ke rumah dan kami bertawakkal. Dan kami melihat apa yang akan ada”. Al-Junaid lalu menjawab: “Tawakkal diatas percobaan itu suatu keraguan”. Mereka lalu bertanya: “Maka apa daya ?”. Al-Junaid menjawab: “Meninggalkan daya itu”.
Ahmad bin Isa Al-Kharraz berkata: “Aku berada di suatu desa. Lalu aku diserang oleh kesangatan lapar. Maka diriku mengeraskan kepadaku bahwa aku meminta makanan pada Allah Ta’ala. Maka aku katakan, bahwa tidaklah ini termasuk perbuatan orang-orang yang bertawakkal. Lalu diriku menuntut padaku, bahwa aku meminta pada Allah akan kesabaran. Maka tatkala aku bercita-cita dengan yang demikian, lalu aku mendengar yang berteriak kepadaku dan bermadah:
Dia itu mendakwakan,
bahwa dia itu dekat dengan kami.
Dan kami tidak menyia-nyiakan,
siapa yang datang kepada kami.
Ia meminta kepada kami,
dengan kesungguhan kepada ketidak-cukupan.
Seakan-akan kami tidak melihatnya
dan ia tidak melihat kami.......
Sesungguhnya anda memahami, bahwa orang yang telah hancur nafsunya, kuat hatinya, tidak lemah batinnya dengan ketidak beranian dan kuat imannya dengan pengaturan Allah Ta’ala, niscaya ia berjiwa tenang selama-lamanya dan percaya kepada Allah Ta’ala. Bahwa hal-keadaannya yang terburuk, ialah bahwa ia mati. Dan tak boleh tidak bahwa mati itu datang kepadanya, sebagaimana mati itu datang kepada orang yang tiada berketenangan hati.
Jadi, kesempurnaan tawakkal itu dengan qana’ah (merasa cukup dengan apa adanya) dari suatu segi dan dengan ditepati apa yang dijamin dari segi yang lain. Dan Yang Menjamin rezeki orang-orang yang qana’ah dengan sebab-sebab ini yang diaturNya itu adalah benar (tidak dusta). Maka bersifat qana’ahlah dan cobalah, niscaya anda akan menyaksikan benarnya janji dengan meyakinkan, dengan apa yang akan datang kepada anda, dari rezeki-rezeki yang ajaib, yang tak ada dalam sangkaan anda dan perhitungan anda ! janganlah anda pada tawakkal anda itu menunggu sebab-sebab, akan tetapi Yang Menyebabkan sebab-sebab. Sebagaimana anda tidak menunggu penanya penulis, akan tetapi hatinya penulis. Sesungguhnya hatilah pokok gerakan pena. Dan Penggerak Pertama itu Esa. Maka tiada seyogyalah bahwa ada penungguan itu, selain kepadaNya. Dan inilah syaratnya tawakkal orang yang memasuki padang belantara dengan tanpa perbekalan. Atau ia duduk di kota-kota dan dia itu tidak dikenal orang.
Adapun orang yang disebut-sebutkan beribadah dan berilmu, maka apabila ia berqana’ah dalam sehari-semalam dengan makanan sekali, bagaimana adanya, walaupun tidak termasuk makanan yang lezat dan kain kasar yang layak bagi ahli agama, maka ini datang kepadanya, darimana yang ia tidak sangkakan dan ia tidak sangkakan akan terus-menerus. Bahkan datang kepadanya dengan berlipat-ganda. Maka meninggalkan tawakkal dan mementingkan dengan rezeki itu adalah penghabisan lemah dan teledor. Sesungguhnya kemasyhurannya dengan sebab zahiriyah, yang menarik rezeki kepadanya itu lebih kuat daripada masuk ke kota-kota, terhadap orang yang tidak terkenal, serta berusaha. Maka mementingkan dengan rezeki itu keji bagi orang yang beragama. Dan itu dengan alim ulama lebih keji lagi. Karena syarat bagi mereka itu qana’ah. Dan orang alim yang qana’ah itu datang kepadanya rezekinya dan rezeki orang banyak, walaupun mereka itu berada bersama dia. Kecuali, apabila ia menghendaki bahwa ia tidak mengambil dari tangan manusia dan ia memakan dari usahanya. Maka yang demikian itu cara yang layak dengan orang alim yang beramal, yang budi pekertinya dengan zahiriyah ilmu dan amal. Dan tak ada baginya perjalanan dengan batiniyah. Bahwa usaha itu mencegah dari perjalanan dengan pikiran batiniyah. Maka kesibukannya dengan budi pekerti batiniyah, serta mengambil dari tangan orang yang mendekatkan diri (bertaqarrub) kepada Allah Ta’ala, dengan apa yang diberikannya itu adalah lebih utama. Karena ia menyelesaikan dirinya bagi Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan pertolongan bagi yang memberi itu kepada memperoleh pahala. Siapa yang memandang kepada tempat-tempat berlakunya sunnah Allah Ta’ala, niscaya ia tahu, bahwa rezeki tidaklah kepada sekedar sebab-sebab. Karena itulah, sebahagian maharaja-maharaja Parsi bertanya kepada seorang ahli hikmat (filosuf) tentang orang dungu yang memperoleh rezeki dan orang berakal yang tiada memperolehnya. Lalu filosuf itu menjawab: “Bahwa Pencipta itu berkehendak menunjukkan kepada DiriNya. Karena jikalau Ia memberikan rezeki kepada setiap orang berakal dan tidak diberikanNya kepada setiap orang dungu, niscaya akan timbul persangkaan, bahwa akal itu memberikan rezeki kepada yang empunya akal itu. Maka tatkala mereka melihat sebaliknya, niscaya mereka mengetahui, bahwa yang memberikan rezeki itu bukan mereka. Dan tiada mereka percaya dengan sebab-sebab zahiriyah. Seorang penyair bermadah:
Jikalau adalah rezeki itu,
berlaku di atas akal,
niscaya binasalah binatang ternak,
dari karena kebodohannya.
PENJELASAN: hal-ihwal orang-orang yang bertawakkal dalam menyangkutnya dengan sebab-sebab, dengan memberikan contoh.
Ketahuilah, bahwa contohnya makhluk bersama Allah Ta’ala adalah seperti suatu rombongan dari peminta-minta, yang berdiri pada suatu lapangan di pintu istana raja. Mereka itu memerlukan kepada makanan. Lalu raja mengeluarkan kepada mereka, budak-budak yang banyak dan bersama mereka roti-roti dari gandum. Raja itu menyuruh mereka untuk memberikan kepada sebahagian orang peminta-minta tersebut, masing-masing dua potong roti. Dan sebahagian lagi sepotong. Mereka berusaha dengan sungguh-sungguh, supaya tidak ada seorangpun dilupakan mereka. Raja memerintahkan kepada seorang penyeru, supaya menyerukan kepada mereka: “Tenanglah kamu semua ! tidak bergantung pada budak-budakku, apabila mereka keluar kepada kamu. Akan tetapi, seyogyalah masing-masing dari kamu tetap pada tempatnya. Bahwa budak-budak itu orang yang disuruh. Mereka diperintahkan, bahwa menyampaikan kepada kamu akan makanan kamu. Maka siapa yang bergantung pada budak-budak dan menyakiti mereka serta mengambil dua potong roti, maka apabila dibukakan pintu lapangan dan orang itu keluar, niscaya aku ikutkan dia dengan seorang budak, yang diwakilkan kepadanya, sampai aku datang menyiksakannya pada janjian waktu yang diketahui pada sisiku. Akan tetapi, aku menyembunyikannya. Siapa yang tiada menyakiti budak-budak dan merasa cukup dengan sepotong roti saja, yang datang kepadanya dari tangan budak dan dia itu tenang-tenang saja, maka sesungguhnya aku mengkhususkan kepadanya dengan kain pemberian yang cantik pada waktu yang dijanjikan tersebut, bagi siksaan orang lain. Dan siapa yang tetap pada tempatnya, akan tetapi ia mengambil dua potong roti, maka tiada siksaan baginya dan tiada diberikan pemberian. Dan siapa yang disalahkan oleh budak-budakku, maka mereka tiada menyampaikan kepadanya akan sesuatu. Lalu ia tidur semalam-malaman dengan keadaan lapar, yang tiada marah kepada budak-budak dan tiada mengatakan: “Kiranya budak itu menyampaikan kepadaku sepotong roti”. Sesungguhnya aku besok akan mengambil orang tersebut menjadi wazir (menteri) dan aku serahkan kerajaanku kepadanya”. Maka peminta-minta itu terbagi kepada 4 bahagian:
Sebahagian: telah mengerasi mereka oleh keinginan perutnya. Lalu mereka tiada menoleh lagi kepada siksaan yang dijanjikan. Dan mereka mengatakan: “Dari hari ini sampai besok ada kelapangan. Dan kami sekarang lapar”. Lalu mereka bersegera datang kepada budak-budak, maka mereka menyakiti budak-budak itu. Dan mengambil dua potong roti. Maka mendahuluilah siksaan kepada mereka pada waktu yang dijanjikan tersebut. Mereka itu menyesal dan tiada bermanfaat penyesalan itu kepada mereka.
Sebahagian: mereka itu meninggalkan bergantung dengan budak-budak, karena takut kepada siksaan. Akan tetapi, mereka mengambil dua potong roti karena bersangatan lapar. Maka mereka itu selamat dari siksaan dan tiada memperoleh kemenangan dengan pemberian yang berharga.
Sebahagian: mereka itu mengatakan: “Bahwa kami duduk dengan dilihat oleh budak-budak. Sehingga budak-budak itu tidak akan menyalahkan kami. Akan tetapi, kami mengambil, apabila mereka memberikan kepada kami sepotong roti. Dan kami cukupkan dengan sepotong roti itu. Mudah-mudahan kami memperoleh kemenangan dengan pemberian yang berharga”. Maka merekapun memperoleh kemenangan dengan pemberian yang berharga itu.
Dan bahagian yang keempat: mereka itu berselisih mengenai sudut-sudut lapangan. Mereka berpaling dari penglihatan mata budak-budak itu. Mereka mengatakan: “Jikalau budak-budak itu mengikuti kami dan memberikan kepada kami, niscaya kami merasa cukup dengan sepotong roti saja. Dan kalau mereka menyalahkan kami, niscaya kami merasa pedih oleh kesangatan lapar semalam-malaman. Mudah-mudahan kami kuat untuk meninggalkan kemarahan. Lalu kami memperoleh pangkat kementrian dan derajat kedekatan di sisi raja”. Maka tiadalah bermanfaat yang demikian kepada mereka. Karena mereka diikuti oleh budak-budak itu pada setiap sudut. Dan mereka membiarkan kepada setiap seorang sepotong roti. Telah berlaku yang demikian selama beberapa hari. Sehingga secara kebetulan yang jarang terjadi, bahwa tersembunyilah 3 orang pada suatu sudut. Tidak terlihat kepada mereka pandangan mata budak-budak itu. Dan budak-budak itu disibukkan oleh kesibukan yang memalingkan daripada lamanya pemeriksaan. Lalu mereka itu bermalam dalam keadaan sangat lapar. Berkata dua orang dari mereka yang bertiga itu: “Kiranya kita datang kepada budak-budak itu dan kita ambil makanan kita. Kita tidak sanggup bersabar lagi”. Orang yang ke3 itu diam saja sampai pagi. Maka orang itu memperoleh derajat kedekatan dan kementrian. Ini adalah contoh makhluk.
Lapangan itu, ialah hidup di dunia. Dan pintu lapangan itu, ialah: mati. Waktu yang dijanjikan yang belum diketahui, ialah: hari kiamat. Janji dengan kementrian, ialah: janji dengan mati syahid bagi orang yang bertawakkal, apabila ia mati dalam keadaan lapar, yang rela, tanpa dikemudiankan yang demikian kepada waktu janjian kiamat. Karena orang-orang syahid itu hidup pada sisi Tuhannya, yang memperoleh rezeki. Dan yang bergantung pada budak-budak, ialah: orang yang berbuat aniaya pada sebab-sebab. Budak-budak yang diperintahkan itu, mereka itu sebab-sebab. Yang duduk di lapangan yang jelas dengan dilihat oleh budak-budak, ialah: orang-orang yang bertempat tinggal di kota-kota dalam langgar-langgar dan masjid-masjid, dalam keadaan tenang. Dan yang bersembunyi dalam sudut-sudut, ialah mereka yang mengembara dalam padang belantara, dalam keadaan tawakkal. Sebab-sebab itu mengikuti mereka. Dan rezeki datang kepada mereka, kecuali diatas jalan jarang, yang tidak datang. Kalau mati seseorang dari mereka, dalam keadaan lapar dan rela, maka baginya menjadi mati syahid & dekat kepada Allah Ta’ala.
Terbagilah makhluk kepada 4 bahagian ini. Mungkin dari setiap 100, maka yang bersangkutan dengan sebab-sebab itu 90. Dan bertempat tinggal 7 dari 10 yang tinggal di kota-kota, yang menoleh kepada sebab, dengan semata-mata kehadiran dan kemasyhuran mereka. Dan mengembaralah dalam padang belantara yang 3 lagi. Dua orang dari mereka yang 3 ini marah dan yang seorang lagi memperoleh kemenangan dengan kedekatan. Semoga adalah seperti yang demikian itu pada masa-masa yang lampau. Adapun sekarang, maka yang meninggalkan sebab-sebab itu, tiada sampai kepada seorang dari 10 ribu.
Bahagian Kedua: tentang pembentangan sebab-sebab penyimpanan.
Siapa yang berhasil memperoleh harta dengan pusaka atau dengan usaha atau meminta-minta atau salah satu dari sebab-sebab, maka baginya dalam penyimpanan itu ada 3 hal:
Pertama: bahwa ia mengambil sekadar keperluannya pada waktunya. Lalu ia makan jikalau ia lapar. Ia memakai jikalau ia tiada berpakaian. Membeli sebuah tempat tinggal yang singkat ukurannya, jikalau ia memerlukannya. Dan dibagi-bagikannya sisanya pada waktu itu juga. Tidak diambilnya dan tidak disimpankan nya, selain sekadar, yang diperolehnya dengan kadar itu, orang yang berhak dan memerlukan kepadanya. Maka disimpankannya di atas niat ini. Inilah yang menyempurnakan dengan yang diharuskan oleh tawakkal dengan yang meyakinkan. Dan itulah derajat tertinggi.
Hal kedua: yang bertentangan dengan itu, yang mengeluarkan dari batas-batas tawakkal, bahwa ia menyimpan untuk setahun dan diatas dari setahun. Maka orang ini tidaklah sekali-kali termasuk orang yang bertawakkal. Ada yang mengatakan: bahwa tidak ada dari hewan yang menyimpan, selain 3 macam hewan, yaitu: tikus, semut dan anak Adam (manusia)”.
Hal ketiga: bahwa ia menyimpan untuk 40 hari dan lebih dari 40 hari. Ini adakah harus diharamkan dari kedudukan yang terpuji, yang dijanjikan di akhirat bagi orang-orang yang bertawakkal ? berselisih pendapat para ulama padanya.
Sahl At-Tusturi berpendapat, bahwa yang demikian itu keluar dari batas tawakkal. Ibrahim Al-Khawwash berpendapat, bahwa itu tidak keluar dengan 40 hari. Dan keluar dengan yang lebih di atas 40 hari. Abu Thalib Al-Makki mengatakan, bahwa tidak keluar dari batas tawakkal, dengan lebih di atas 40 hari juga. Ini adalah perselisihan pendapat yang tiada mempunyai makna, sesudah pembolehan asalnya penyimpanan. Ya, boleh disangkakan oleh yang menyangka, bahwa asalnya penyimpanan itu berlawanan dengan tawakkal.
Adapun taqdir sesudah yang demikian, maka tiada yang memberitahukan kepadanya. Dan setiap pahala itu dijanjikan di atas suatu tingkat. Pahala itu dibagikan di atas tingkat tersebut. Dan tingkat itu mempunyai permulaan dan penghabisan. Orang-orang yang mempunyai penghabisan itu dinamakan: orang-orang dahulu (as-sabiqin). Dan orang-orang yang mempunyai permulaan, dinamakan: orang-orang yang di pihak kanan (ash-habul-yamin). Kemudian, ash-habul yamin itu juga di atas beberapa tingkat. Demikian juga orang-orang dahulu. Yang tertinggi derajat bagi orang-orang di pihak kanan itu berdempet dengan derajat yang terbawah dari orang-orang dahulu. Maka tiada arti bagi taqdir pada contoh yang seperti ini. Bahkan yang tahkik (yang meyakinkan), bahwa tawakkal dengan meninggalkan menyimpan itu, tiada akan sempurna, selain dengan pendek angan-angan. Adapun tidak ada angan-angan bagi keterusan hidup, maka jauhlah mensyaratkannya, walaupun dalam jiwa. Bahwa yang demikian itu seperti orang yang mencegah akan wujudnya.
Adapun manusia, maka berlebih-kurang mengenai panjang dan pendeknya angan-angan. Sedikitnya derajat angan-angan itu sehari-semalam dan yang kurang dari itu dengan beberapa jam. Dan sejauh-jauhnya angan-angan itu, ialah: apa yang tergambar bahwa adalah itu umur manusia. Diantara dua yang tadi, tingkat-tingkat yang tiada terhinggakan. Maka siapa yang tidak berangan-angan lebih banyak dari sebulan, adalah lebih dekat kepada yang dimaksudkan, daripada orang yang berangan-angan setahun. Pengikatannya dengan 40 hari karena janjian waktu Musa as itu jauh. Bahwa kejadian itu tidaklah dimaksudkan penjelasan kadar apa yang dibolehkan angan-angan padanya. Akan tetapi, berhaknya Musa as untuk memperoleh yang dijanjikan, adalah tidak akan sempurna, selain sesudah 40 hari. Karena rahasia yang berlaku Sunnah Allah Ta’ala dengan Musa dan orang-orang yang seperti dia, pada berlakunya hal-keadaan dengan berangsur-angsur. Sebagaimana sabdanya Nabi saw: “Bahwa Allah menaruh ragi tanah lumpur Adam dengan TanganNya 40 pagi”. Karena berhaknya tanah lumpur itu menjadi ragi, adalah terletak kepada waktu, yang jumlahnya apa yang disebutkan itu. Jadi, apa yang dibalik Sunnah, tidaklah disimpankan, selain dengan ketetapan kelemahan hati dan kecenderungan kepada sebab-sebab zahiriyah. Maka itu keluar dari maqam tawakkal, tiada percaya dengan lingkupan pengaturan dari Al-Wakilul-Haqq (Yang Diperserahi Yang Benar), dengan sebab-sebab yang tersembunyi. Bahwa sebab-sebab masuk pada ketinggian dan kebersihan itu berulang-ulang biasanya dengan berulang-ulangnya tahun. Siapa yang menyimpan untuk kurang dari setahun, maka baginya derajat menurut pendek angan-angannya. Siapa yang angan-angannya 2 bulan, niscaya tidaklah derajatnya seperti derajat orang yang berangan-angan sebulan. Dan tidak sama dengan derajat orang yang berangan-angan 3 bulan. Akan tetapi, dia itu diantara yang dua itu pada derajat. Tiada yang mencegah dari menyimpan, selain oleh pendeknya angan-angan. Maka yang lebih utama, ialah bahwa tiada menyimpan sekali-kali. Walaupun hatinya lemah. Setiap kali menyelediki penyimpanannya, niscaya adalah kelebihannya lebih banyak.
Diriwayatkan, tentang orang miskin, yang diperintahkan oleh Nabi saw kepada Ali ra dan Usamah, supaya memandikan mayat orang miskin itu. Lalu Ali ra dan Usamah memandikan dan mengkafankannya dengan kain selimutnya. Maka sesudah Nabi saw menguburkannya, lalu beliau bersabda kepada para sahabatnya: “Sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan wajahnya seperti bulan pada malam purnama. Dan jikalau tidak adalah suatu perkara yang ada padanya, niscaya ia dibangkitkan dan wajahnya seperti matahari waktu dluha”. Kami lalu bertanya: “Apakah yang satu perkara itu, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Adalah orang miskin itu banyak berpuasa, mengerjakan shalat, banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Hanya, ia apabila datang musim dingin, niscaya disimpannya pakaian musim panas untuk musim panasnya. Dan apabila datang musim panas, ia menyimpan pakaian musim dingin untuk musim dinginnya”. Kemudian, Nabi saw menyambung: “Akan tetapi, yang paling sedikit diberikan kepada kamu, ialah: keyakinan dan kemauan bersabar......sampai akhir hadits”. Tidaklah gelas dan kain alas makanan serta apa yang selalu diperlukan itu dalam arti yang demikian. Maka menyimpankannya tidaklah mengurangkan derajat tawakkal. Adapun kain musim dingin, maka tidak diperlukan pada musim panas. Ini terhadap orang yang tiada terkejut hatinya dengan meninggalkan penyimpanan. Dan tidak menegakkan kemuliaan dirinya kepada tangan (bantuan) makhluk. Akan tetapi, hatinya tidak menoleh, selain kepada Al-Wakilul-Haqq (Allah, Yang Diperserahi segala urusan, Yang Benar). Kalau ia merasa pada dirinya kegoncangan, yang membimbangkan hatinya dari ibadah, dzikir dan fikir, maka baginya menyimpan itu lebih utama. Bahkan, jikalau ia menahan sawah ladangnya, yang hasilnya cukup sekedar yang memadai baginya dan hatinya tidak mantap, selain dengan yang demikian, maka yang demikian itu adalah lebih utama baginya. Karena yang dimaksud ialah perbaikan hati, supaya menjurus untuk berdzikir (mengingati) Allah.
Banyak orang yang disibukkan oleh adanya harta. Banyak orang yang disibukkan oleh tidak adanya harta. Dan yang harus ditakuti, ialah apa yang mengganggu dari ingatan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Jikalau tidak, maka dunia itu pada diri dunia itu sendiri tidaklah ditakuti. Tidak pada adanya dan tidak pada tidaknya. Karena itulah, Rasulullah saw diutuskan kepada bermacam-macam manusia. Dalam golongan manusia itu, kaum saudagar, orang-orang yang berperusahaan, ahli perusahaan dan pabrik-pabrik. Maka saudagar itu tidak disuruh untuk meninggalkan perniagaannya. Dan tidak disuruh orang yang mempunyai perusahaan untuk meninggalkan perusahaannya. Dan tidak disuruh orang yang meninggalkan yang dua itu untuk mengerjakannya. Akan tetapi, setiap orang itu diajak oleh Nabi saw kepada Allah Ta’ala. Diberinya petunjuk, bahwa kemenangan dan kelepasan mereka itu, pada mengalihkan hati mereka dari dunia, kepada Allah Ta’ala. Tonggak kesibukan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla itu hati. Maka betulnya orang yang lemah, ialah menyimpan sekedar keperluannya, sebagaimana betulnya orang yang kuat, ialah meninggalkan menyimpan. Ini semuanya, hukum mengenai orang yang sendirian. Adapun orang yang berkeluarga, maka ia tidak keluar dari batas tawakkal, dengan menyimpan makanan setahun untuk keluarganya. Karena menampalkan kelemahan dan menentramkan hati mereka. Menyimpan lebih banyak dari yang demikian itu membatalkan tawakkal. Karena sebab-sebab itu berulang-ulang ketika berulang-ulangnya tahun-tahun. Maka menyimpan yang melebihi dari yang demikian itu, sebabnya ialah kelemahan hatinya. Dan yang demikian itu berlawanan dengan kuatnya tawakkal. Maka orang yang bertawakkal itu ibarat dari orang yang berkeesaan, yang kuat hati, yang tentram jiwa kepada kurnia Allah Ta’ala, yang percaya dengan pengaturanNya. Tidak dengan adanya sebab-sebab zahiriyah. Rasulullah saw menyimpan untuk keluarganya makanan setahun. Beliau saw melarang Ummu Aiman dan lainnya, bahwa menyimpan sesuatu bagi beliau untuk besok. Beliau melarang Bilal daripada menyimpan sepotong roti yang disimpannya untuk berbuka puasa. Beliau saw bersabda: “Berilah belanja kepada Bilal ! janganlah engkau takut dari Tuhan yang punya ‘Arasy itu kesedikitan!”. Nabi saw bersabda: “Apabila orang meminta pada engkau, maka jangan engkau larang (tidak memberi). Dan apabila engkau diberikan orang, maka jangan engkau sembunyikan”. Karena mengikuti jejak Penghulu orang-orang yang bertawakkal saw. Adalah pendeknya angan-angan Nabi saw, dimana beliau apabila membuang air kecil, lalu bertayammum, serta dekatnya air. Dan beliau bersabda: “Aku tidak tahu, mungkin aku tidak sampai kepadanya”.
Adalah Nabi saw jikalau menyimpan, niscaya tidak mengurangkan yang demikian itu dari ketawakkalannya. Karena ia tidak percaya dengan apa yang disimpannya. Akan tetapi, Nabi saw meninggalkan yang demikian, karena mengajari orang-orang yang kuat dari ummatnya. Bahwa orang-orang yang kuat dari umatnya itu orang-orang yang lemah, dengan dibandingkan kepada kekuatannya. Nabi saw menyimpan untuk keluarganya setahun. Tidak karena kelemahan hatinya padanya dan pada keluarganya. Akan tetapi, supaya menjadi sunnah yang demikian bagi orang-orang yang lemah dari umatnya. Bahkan, ia saw menerangkan, bahwa Allah Ta’ala menyukai bahwa diberikan keringan-keringananNya, sebagaimana Ia menyukai bahwa diberikan cita-cita yang tetap daripadaNya, untuk membaikkan hati orang-orang yang lemah. Sehingga tiada berkesudahan kelemahan mereka itu kepada putus asa dan putus harapan. Lalu mereka meninggalkan yang mudah dari kebajikan kepada mereka, disebabkan kelemahan mereka dari derajat yang penghabisan.
Rasulullah saw tidak diutus, selain rahmat bagi semesta alam seluruhnya, di atas bermacam-macam jenis dan derajat mereka. Apabila anda telah memahami ini, niscaya anda ketahui, bahwa menyimpan itu kadang-kadang mendatangkan melarat bagi setengah manusia. Dan kadang-kadang tidak mendatangkan melarat. Berdalilkan kepada yang demikian, apa yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Al-Bahili: “Bahwa sebahagian sahabat Nabi saw yang tinggal di Shuffah (tempat penerimaan tamu-tamu Nabi saw), wafat. Maka tidak diperoleh kafan untuk orang yang wafat itu. Maka Nabi saw bersabda: “Periksalah kainnya !”. Maka mereka mendapati dalam kainnya uang 2 dinar, dalam kain sarungnya. Lalu Nabi saw bersabda: “2 tempat kebakaran pada kulit”. Ada orang muslim yang lain meninggal dan meninggalkan harta. Dan Nabi saw tidak mengatakan yang demikian terhadap orang itu. Ini mungkin dari dua segi. Karena keadaan orang itu mungkin dari dua keadaan:
Yang pertama: bahwa Nabi saw menghendaki dua tempat kebakaran itu dari api neraka, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Lalu dibakar dengan itu dahi, rusuk dan punggung mereka”. S 9 At Taubah ayat 35. Yang demikian, apabila adalah keadaannya melahirkan zuhud, fakir dan tawakkal, serta kejatuhan (bangkrut) daripadanya. Maka itu semacam penipuan.
Yang kedua: bahwa tidak ada yang demikian dari penipuan. Maka adalah maknanya kekurangan dari derajat kesempurnaannya. Sebagaimana berkurang dari kesempurnaan muka, oleh bekas dua tempat kebakaran pada muka. Yang demikian itu tidaklah dari penipuan. Bahwa setiap apa yang ditinggalkan oleh seseorang, maka itu adalah kekurangan dari derajatnya di akhirat. Karena tidaklah didatangkan oleh seseorang dari dunia akan sesuatu, melainkan berkurang sekadar yang demikian dari akhirat.
Adapun penjelasan bahwa menyimpan serta kosongnya hati dari yang disimpan, tidaklah dari daruratnya itu batalnya tawakkal. Maka diakui bagi yang demikian, oleh apa yang dirawikan dari Bisyr bin Al-Harts. Al-Husain Al-Mughazili dari sahabat-sahabatnya berkata: “Adalah aku di sisi Bisyr pada waktu dluha suatu hari. Lalu masuk ke tempatnya, seorang laki-laki kurus, kuning, yang ringan gerak-geriknya. Maka Bisyr bangun berdiri menyambut orang itu”. Al-Husain menyambung riwayatnya: “Aku tidak melihatnya bangun berdiri menyambut kedatangan seseorang, selain orang tersebut”. Al-Husain meneruskan ceritanya: “Bisyr lalu menyerahkan kepadaku, segenggam uang dirham, seraya berkata: “Belilah untuk kita yang terbaik dari apa yang engkau sanggupi, dari makanan yang baik !”. Tidaklah pernah sekali-kali, ia mengatakan kepadaku seperti yang demikian”. Al-Husain meneruskan ceritanya: “Maka aku bawa makanan itu. Lalu aku letakkan. Maka ia makan bersama orang itu. Aku tidak melihatnya makan bersama orang lain”. Al-Husain meneruskan ceritanya: “Maka kami makan menurut hajat kami. Dan masih tinggal banyak dari makanan itu. Lalu diambil oleh laki-laki itu dan dikumpulkannya dalam kainnya dan dibawanya serta. Dan ia pergi. Aku merasa heran dari yang demikian. Dan aku tidak senang akan sikap orang itu”. Bisyr lalu mengatakan kepadaku: “Mungkin engkau tidak senang akan perbuatan orang itu ?”. Aku menjawab: “Ya ! ia mengambil sisa makanan, tanpa izin”. Bisyr lalu berkata: “Orang itu adalah saudara kami Fathul-Maushuli. Ia berziarah kepada kami pada hari ini dari Maushul. Sesungguhnya ia bermaksud mengajarkan kita, bahwa tawakkal apabila telah sah, niscaya tidak melarat serta tawakkal itu menyimpan”.
Bahagian ketiga: pada menangani sebab-sebab yang menolak melarat, yang mendatangkan takut.
Ketahuilah, bahwa kemelaratan itu kadang-kadang datang, karena takut pada diri atau harta. Dan tidaklah dari persyaratan tawakkal itu meninggalkan sebab-sebab, yang langsung mendorong kepada kemelaratan. Adapun pada diri, maka seperti tidur pada tanah yang berbinatang buas atau pada tempat mengalir banjir dari suatu lembah atau di bawah dinding tembok yang miring dan atap yang sudah pecah. Semua itu dilarang. Yang berbuat demikian, sesungguhnya telah mendatangkan dirinya kepada kebinasaan, tanpa faedah. Ya, sebab-sebab ini terbagi kepada: yang diyakini dan disangkakan dan kepada yang didugakan. Maka meninggalkan yang didugakan itu termasuk syarat tawakkal. Yaitu, yang hubungannya kepada menolak kemelaratan itu hubungan tenung dan jampi. Bahwa tenung dan jampi itu kadang-kadang didatangkan kepada yang ditakuti, untuk menolak apa yang mungkin akan terjadi. Kadang-kadang dipakai sesudah penempatan yang ditakuti, untuk dihilangkan. Rasulullah saw tidak menyifatkan orang-orang yang bertawakkal, selain dengan meninggalkan tenung, jampi dan menengok untung. Dan beliau tidak menyifatkan orang-orang yang bertawakkal itu, bahwa apabila mereka itu keluar ke tempat yang dingin, tidak memakai baju jubbah. Baju jubbah itu dipakai untuk menolak dingin yang mungkin akan terjadi. Seperti demikian juga, setiap apa dari sebab-sebab yang searti dengan baju jubbah itu. Ya, berterang-terangan memakai bawang putih umpamanya ketika keluar untuk bepergian jauh pada musim dingin, untuk menggerakkan kekuatan panas dari dalam, kadang-kadang adalah dari segi berdalam-dalam pada sebab-sebab dan berpegang kepadanya. Maka hampirlah mendekati dengan tenung. Lain halnya dengan baju jubbah. Untuk meninggalkan sebab-sebab yang mendorong, walaupun dia itu diyakini, mempunyai cara, apabila mendatangkan melarat dari manusia. Bahwa apabila memungkinkannya bersabar dan memungkinkannya menolak dan mencari kesembuhan, maka persyaratan tawakkal itu menanggung dan sabar. Allah Ta’ala berfirman: ‘Sebab itu, ambillah Dia menjadi Pelindung ! dan hendaklah engkau berteguh hati (sabar) terhadap perkataan yang mereka ucapkan itu !”. S 73 Al Muzzammil ayat 9-10. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya kami akan bersabar terhadap perbuatan kamu yang menyakitkan kami dan kepada Allah hendaknya bertawakkal orang-orang yang bertawakkal”. S 14 Ibrahim ayat 12. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan janganlah perdulikan perkataan mereka yang menyakitkan hati dan bertawakkallah kepada Allah !”. S 33 Al Ahzab ayat 48. Allah swt berfirman: “Maka bersabarlah, sebagaimana bersabarnya rasul-rasul yang berkemauan kuat !”. S 46 Al Ahqaaf ayat 35. Allah Ta’ala berfirman: “Pembalasan yang paling baik untuk orang-orang yang bekerja, yaitu: orang-orang yang sabar dan bertawakkal kepada Tuhannya”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 58-59. Ini mengenai yang disakitkan oleh perkataan manusia ! Adapun sabar atas yang disakitkan oleh ular, binatang-binatang buas dan kala-kalajengking, maka meninggalkan menolaknya tidaklah termasuk tawakkal dalam suatupun. Karena tak ada faedah padanya. Dan tidaklah dimaksudkan usaha dan tidaklah ditinggalkan usaha, karena usaha itu sendiri (usaha an zich), akan tetapi karena pertolongannya kepada agama. Dan menertibkan sebab-sebab disini, adalah seperti menertibkannya pada usaha dan menarikkan manfaat. Maka tidaklah kami panjangkan mengulanginya lagi. Seperti demikian juga, mengenai sebab-sebab yang menolak dari harta. Maka tidaklah berkurangnya tawakkal dengan menguncikan pintu rumah, ketika keluar. Dan tidak dengan menambahkan unta. Karena ini adalah sebab-sebab yang dikenal dengan sunnah Allah Ta’ala. Adakalanya dengan: yakin. Dan adakalanya dengan: berat dugaan. Karena itulah, Nabi saw bersabda kepada seorang Arab desa, tatkala orang itu menyia-nyiakan untanya dan mengatakan: “Aku bertawakkal kepada Allah”, dengan sabdanya: “Tambatkanlah/ikatkanlah dia dan bertawakkallah !”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan persiapkanlah penjagaanmu !”. S 4 An Nisaa’ ayat 102. Allah Ta’ala berfirman tentang cara shalat dalam ketakutan (shalatul-khauf): “Dan hendaklah mereka memegang senjata mereka !”. S 4 An Nisaa’ ayat 102. Allah swt berfirman: “Dan siapkanlah kekuatan untuk menghadapi mereka sekuat kesanggupanmu dan dari pasukan kuda yang terpaut di perbatasan negeri !”. S 8 Al Anfaal ayat 60. Allah Ta’ala berfirman kepada Musa as: “Maka (datanglah jawaban): Berjalanlah engkau bersama-sama dengan hamba-hambaKu pada malam hari !”. S 44 Ad Dukhaan ayat 23. Membentengi diri dengan malam hari itu bersembunyi dari mata musuh dan semacam penyebaban. Bersembunyinya Rasulullah saw dalam gua itu bersembunyi dari mata musuh, karena menolak dari kemelaratan. Memegang senjata dalam shalat itu tidaklah penolakan dengan meyakinkan, seperti membunuh ular dan kalajengking. Maka ini adalah penolakan yang meyakinkan. Akan tetapi, memegang senjata itu sebab yang disangka. Dan telah kami terangkan, bahwa sebab yang disangka itu seperti sebab yang diyakini. Dan yang didugakan, ialah yang dikehendaki oleh tawakkal untuk meninggalkannya. Kalau anda mengatakan, bahwa diceritakan dari suatu golongan, bahwa diantara mereka ada orang yang diletakkan oleh singa kaki depannya atas bahu orang itu. Dan orang itu tidak bergerak, maka aku menjawab, bahwa diceritakan dari suatu golongan, bahwa mereka mengendarai singa dan memerintahkannya. Maka tiada seyogyalah bahwa anda tertipu oleh tingkat yang demikian. Sesungguhnya, meskipun benar tentang cerita itu sendiri, maka tidak patut untuk diikuti dengan jalan belajar dari orang lain. Akan tetapi, yang demikian itu tingkat tertinggi tentang kemuliaan (al-kiramah). Dan tidaklah yang demikian itu syarat pada tawakkal. Padanya banyak rahasia yang tidak diketahui oleh orang yang belum sampai kepadanya.
Kalau anda bertanya: “Adakah tanda yang dapat aku ketahui, bahwa aku telah sampai kepadanya ?”. Aku menjawab, bahwa orang yang sampai itu tidak memerlukan kepada mencari tanda-tanda. Akan tetapi, sebahagian dari tanda-tanda yang mendahului atas tingkat itu, ialah, bahwa dipermudahkan bagi engkau, akan anjing yang ada bersama engkau, dalam kulit engkau, yang dinamakan: marah. Maka senantiasalah ia menggigit engkau dan menggigit orang lain dari engkau. Kalau dimudahkan bagi engkau akan anjing ini, dimana apabila ia dibangunkan dan disuruh menerkam, niscaya ia tidak menerkam, selain dengan isyarat dari engkau. Adalah dia dijadikan bagi engkau. Maka kadang-kadang meningkat derajat engkau, kepada dimudahkan bagi engkau akan singa, yang mana singa itu: raja segala binatang buas. Anjing rumah engkau itu lebih utama, bahwa dia itu dimudahkan bagi engkau, dari anjing padang belantara. Anjing dalam kulit engkau itu lebih utama bahwa dipermudahkan bagi engkau, dari anjing rumah engkau. Apabila tidak dipermudahkan bagi engkau akan anjing batin, maka janganlah engkau mengharap pada dimudahkan akan anjing zahir. Kalau anda bertanya: “Maka apabila orang yang bertawakkal itu memegang senjatanya, karena mempersiapkan diri dari musuh, ia menguncikan pintu rumahnya, karena menjaga dari pencuri dan menambatkan untanya, karena menjaga dari terlepas, maka dengan pertimbangan apakah, dia itu menjadi orang yang bertawakkal ?”. Maka aku menjawab, bahwa dia itu orang yang bertawakkal, dengan ilmu dan hal keadaan. Adapun ilmu, maka dia itu mengetahui, bahwa pencuri, jikalau dia itu tertolak, niscaya tidaklah tertolak dengan kecukupannya pada menguncikan pintu. Akan tetapi, tidaklah pencuri itu tertolak, selain dengan penolakan Allah Ta’ala akan pencuri itu. Berapa banyak pintu yang terkunci dan tidak bermanfaat pengunciannya itu. Berapa banyak unta yang ditambatkan dan unta itu mati atau terlepas. Berapa banyak orang yang memegang senjata, yang terbunuh atau kalah. Maka janganlah engkau berpegang sekali-kali kepada sebab-sebab ini, akan tetapi kepada Yang Menyebabkan sebab-sebab.
Sebagaimana kami telah membuatkan contoh tentang wakil pada permusuhan. Maka jikalau wakil itu datang dan mendatangkan kertas yang bermaterai, maka tidaklah diperpegangi atas dirinya dan kertas bermaterainya, akan tetapi kepada kecukupan dan kekuatan wakil itu. Adapun hal keadaan, maka yaitu: adalah ia rela dengan apa yang menjadi qodo (hukum takdir) Allah Ta’ala pada rumahnya dan pada dirinya. Dan ia berdoa: “Ya Allah, Tuhanku ! jikalau Engkau kuasakan atas apa yang dalam rumah, kepada orang yang akan mengambilnya, maka itu adalah pada jalan Engkau. Dan aku rela dengan hukum Engkau. Sesungguhnya aku tidak tahu, bahwa apa yang Engkau berikan kepadaku, adalah suatu pemberian (hibah), maka tidaklah Engkau ambil kembali. Atau pinjaman dan simpanan, maka tidak Engkau minta kembali. Aku tidak tahu, bahwa itu rezekiku atau telah mendahului kehendakMu pada azali ( tida kesudahan / permulaan ), bahwa itu rezeki orang lain dari aku. Dan bagaimanapun Engkau tetapkan (qodo), maka aku rela dengan qodo/ketetapan itu. Tidaklah aku menguncikan pintu, karena membentengi dari qodo/ketetapan Engkau dan memarahinya. Akan tetapi, karena melakukan atas yang dikehendaki oleh Sunnah Engkau, pada menertibkan sebab-sebab. Maka tiada kepercayaan, selain kepada Engkau, wahai Yang Menyebabkan sebab-sebab !”. Apabila ini hal keadaannya dan demikian yang kami sebutkan ilmunya, niscaya tidaklah ia keluar dari batas-batas tawakkal dengan menambatkan unta, memegang senjata dan menguncikan pintu rumah. Kemudian, apabila ia telah kembali, maka didapatinya harta bendanya dalam rumah. Maka seyogyalah bahwa ada yang demikian itu padanya suatu nikmat yang baru dari Allah Ta’ala. Jikalau tidak didapatinya lagi harta bendanya, akan tetapi didapatinya sudah dicuri orang, niscaya ia memandang kepada hatinya. Jikalau didapatinya hatinya itu rela atau gembira dengan yang demikian, yang mengetahui, bahwa tidaklah diambil oleh Allah Ta’ala yang demikian daripadanya, selain untuk ditambahkanNya akan rezekinya di akhirat, maka sesungguhnya sahlah tingkatnya pada tawakkal. Lahirlah baginya kebenarannya. Kalau hatinya merasa pedih dengan yang demikian dan ia mendapati kekuatan sabar, maka telah jelas baginya, bahwa ia tidak benar pada mendakwakan tawakkal. Karena tawakkal itu suatu maqam sesudah zuhud. Dan zuhud itu tidak sah, selain dari orang yang tidak merasa sedih atas apa yang hilang dari dunia dan tidak bergembira dengan apa yang akan datang. Akan tetapi, adalah dia sebaliknya. Maka bagaimana sah baginya tawakkal ? Ya, kadang-kadang sah baginya maqam sabar, jikalau ia menyembunyi kannya dan tidak melahirkan pengaduannya dan tidak membanyakkan usahanya pada mencari dan memata-matai. Jikalau ia tidak sanggup atas yang demikian, sehingga ia merasa sakit dengan hatinya dan ia melahirkan pengaduan dengan lidahnya dan berusaha sungguh-sungguh dengan badannya, maka sesungguhnya adalah kecurian itu menambahkan baginya pada dosanya, dimana telah menampak baginya keteledorannya dari semua maqam-maqam dan kedustaannya pada semua dakwaan-dakwaan. Ia tidak melepaskan dengan tali akan tipuan dakwaan-dakwaan itu. Sesungguhnya dakwaan-dakwaan itu penipu, yang menyuruh dengan kejahatan, yang mendakwakan kebajikan. Jikalau anda bertanya: bagaimana ada bagi orang yang bertawakkal itu harta, sehingga dapat diambilkan ? Aku menjawab, bahwa orang yang bertawakkal itu tidak kosong rumahnya dari benda, seperti piring, yang ia makan dalam piring itu, gelas yang ia minum dari gelas itu, bak air, yang ia berwudlu’ dari bak itu, karung kulit, yang ia pelihara dengan karung itu akan perbekalannya, tongkat, yang ia menolak dengan tongkat itu akan musuhnya dll lagi dari yang penting bagi kehidupan dari perabot-perabot rumah. Kadang-kadang masuk dalam tangannya harta dan ditahannya, supaya diperolehnya keperluan. Lalu diserahkannya harta itu kepada keperluan tersebut. Maka tidaklah penyimpanannya dengan niat ini, membatalkan tawakkalnya. Dan tidaklah dari syarat tawakkal itu mengeluarkan gelas, yang ia minum daripadanya, karung kulit, yang di dalamnya perbekalannya. Sesungguhnya yang demikian itu pada yang dimakan dan pada setiap harta yang melebihi atas sekedar darurat. Karena Sunnah Allah berlaku dengan sampainya kebajikan kepada orang fakir-miskin yang bertawakkal pada sudut-sudut masjid. Dan tidaklah berlaku Sunnah dengan membagi-bagikan gelas dan harta benda pada setiap hari dan setiap minggu. Dan keluar dari Sunnah Allah ‘Azza Wa Jalla itu tidaklah menjadi syarat pada tawakkal. Karena demikianlah, Ibrahim Al-Khawwash membawa dalam perjalanan jauh (bermusafir), akan tali, tabung, gunting dan jarum penjahit. Tidak membawa perbekalan. Akan tetapi, Sunnah Allah Ta’ala berlaku dengan perbedaan diantara dua hal itu. Jikalau anda bertanya: bagaimana dapat digambarkan, bahwa orang itu tidak gundah, apabila harta bendanya diambil orang, yang dia memerlukan kepadanya. Dan ia tidak sedih atas demikian. Kalau ia tidak merindui barang itu, maka mengapa dipegangnya ? dan ia menguncikan pintu atas benda itu ? kalau ia menahannya, karena ia merinduinya, sebab ada hajatnya kepada benda itu, maka bagaimana tiada sakit hatinya dan tidak gundah, padahal telah didindingkan diantara dia dan yang dirinduinya ? Aku menjawab: sesungguhnya ia menjaga harta bendanya, untuk menolong baginya kepada agamanya. Karena ia menyangka, bahwa kebajikan baginya pada adanya harta benda itu baginya. Jikalau tidaklah kebajikan baginya pada harta benda itu, niscaya Allah Ta’ala tidak memberikan rezeki kepadanya. Dan tidak menganugerahkannya kepadanya. Maka ia mengambil dalil di atas yang demikian, dengan dimudahkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dan baik sangka kepada Allah Ta’ala, serta persangkaannya, bahwa yang demikian itu penolong kepadanya di atas sebab-sebab agamanya. Dan tidaklah yang demikian itu padanya diyakini. Karena mungkin bahwa, ada kebajikannya pada ia dicobakan dengan hilangnya harta benda itu. Sehingga ia bekerja pada menghasilkan maksudnya. Adalah pahalanya pada bekerja dan kepayahan itu lebih banyak. Tatkala telah diambil Allah Ta’ala harta benda itu daripadanya, dengan dikuasakan kepada pencuri, niscaya berobahlah persangkaannya. Karena dia pada semua hal keadaan itu percaya kepada Allah, baik sangka kepadaNya. Lalu ia mengatakan: “Jikalau tidaklah Allah ‘Azza Wa Jalla itu mengetahui, bahwa kebajikan adalah bagiku pada adanya barang itu sampai sekarang dan kebajikan bagiku pada tidak adanya, niscaya Ia tidak mengambilkannya daripadaku”. Maka dengan contoh persangkaan ini tergambarlah, bahwa tertolak daripadanya kegundahan. Karena dengan yang demikian, ia keluar dari ada kegembiraannya dengan sebab-sebab, dari segi, bahwa itu sebab-sebab. Akan tetapi, dari segi bahwa dimudahkan sebab-sebab oleh Yang Menyebabkan sebab-sebab, karena pertolongan dan kasih-sayang. Dia itu seperti orang sakit, dihadapan tabib yang penuh kasih-sayang, yang rela dengan apa yang diperbuat oleh tabib itu. Kalau didatangkan kepadanya makanan, niscaya ia bergembira dan berkata: “Jikalau tidaklah tabib itu mengetahui, bahwa makanan itu bermanfaat bagiku dan aku telah kuat menanggungnya, niscaya tidak didekatkannya kepadaku”. Jikalau diambilkan makanan daripadanya sesudah itu, niscaya ia gembira juga dan berkata: “Jikalau tidaklah makanan itu mendatangkan melarat kepadaku dan membawaku kepada kematian, niscaya tidaklah ia dindingkan antaraku dan makanan itu”. Setiap orang yang tidak ber keyakinan tentang kasih-sayang Allah Ta’ala, akan apa yang diyakinkan oleh orang sakit pada ayah yang penuh kasih-sayang, yang pandai dengan ilmu tabib, maka tidaklah sekali-kali shah tawakkal daripadanya. Dan siapa yang mengenal (berma’rifah) akan Allah Ta’ala, mengenal Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya dan mengenal SunnahNya pada memperbaiki akan hamba-hambaNya, niscaya tidaklah kesenangannya dengan sebab-sebab. Karena ia tidak tahu, sebab yang mana yang baik baginya. Sebagaimana dikatakan oleh Umar ra: “Aku tidak perduli, jadikah aku kaya atau miskin. Sesungguhnya aku tidak tahu, yang mana diantara yang dua itu yang baik bagiku”. Maka seperti demikianlah, seyogyanya, bahwa orang yang bertawakkal itu tidak memperdulikan, harta bendanya dicuri orang atau tidak dicuri. Bahwa ia tidak mengetahui, yang mana diantara yang dua itu yang baik baginya di dunia atau di akhirat. Maka banyaklah dari harta-benda dunia, yang menjadi sebab binasanya insan. Berapa banyak orang kaya, yang kena cobaan dengan sesuatu kejadian, lantaran kekayaannya, yang mengatakan: “Mudah-mudahan kiranya aku ini orang miskin !”.
PENJELASAN: adab bagi orang-orang yang bertawakkal, apabila harta bendanya dicuri orang.
Bagi orang yang bertawakkal itu mempunyai adab pada harta benda rumahnya, apabila ia keluar dari rumahnya:
Pertama: bahwa ia menguncikan pintu. Dan tidak ia berhabis-habisan pada sebab-sebab penjagaan. Seperti dimintanya pada tetangga akan penjagaan, serta dikuncikan pintu. Dan seperti dikumpulkannya kunci-kunci yang banyak. Adalah Malik bin Dinar tiada menguncikan pintunya. Akan tetapi, diikatkannya pintu itu dengan tali. Ia mengatakan: “Jikalau tidaklah anjing, niscaya tidak juga aku ikatkan”.
Kedua: bahwa tidak meninggalkan di rumah, akan harta benda, yang menggerakkan kepadanya pencuri-pencuri. Lalu adalah harta benda itu menjadi sebab kemaksiatan mereka. Atau menahannya itu menjadi sebab berkobarnya keinginan mereka. Karena itulah, tatkala Al-Mughirah menghadiahkan setabung uang kepada Malik bin Dinar, maka Malik bin Dinar berkata: “Ambillah tabung uang ini ! tiada keperluan bagiku kepadanya”. Al-Mughirah bertanya: “Mengapa ?”. Malik bin Dinar menjawab: “Dibisikkan kepadaku oleh musuh, bahwa pencuri mengambilkannya”. Maka seakan-akan ia menjaga daripada pencuri berbuat maksiat dan daripada hatinya sibuk dengan bisikan setan, dengan kecuriannya tabung itu. Karena itulah, Abu Sulaiman berkata: “Ini dari lemahnya hati kaum shufi. Dia ini telah zuhud di dunia, maka tidaklah atasnya daripada mengambil tabung uang itu !”.
Ketiga: bahwa apa yang perlu ditinggalkannya di rumah, maka seyogyalah bahwa ia niatkan ketika keluarnya, akan kerelaan hati, dengan apa yang menjadi qodo/ketetapan Allah padanya, dengan menguasakan pencuri atas harta itu. Dan ia mengatakan, bahwa apa yang diambilkan oleh pencuri, maka dari pihaknya itu menjadi halal. Atau dia pada jalan Allah Ta’ala. Dan kalau pencuri itu orang miskin, maka itu sedekah kepadanya. Dan kalau tidak disyaratkan miskin, maka itu lebih utama. Maka adalah baginya dua niat, jikalau diambil oleh orang kaya atau orang miskin:
Salah satu dari dua niat itu, bahwa adalah hartanya itu mencegah baginya dari maksiat. Bahwa kadang-kadang ia tidak memerlukan kepada harta itu. Maka ia merasa lambat dari kecurian sesudahnya. Dan hilang kemaksiatannya, dengan memakan haram, tatkala dijadikannya dalam kehalalan.
Kedua: bahwa ia tidak berbuat zalim terhadap orang muslim yang lain. Adalah hartanya itu tebusan bagi harta orang muslim yang lain. Manakala ia berniat menjaga harta orang lain dengan hartanya sendiri atau ia berniat menolak kemaksiatan dari pencuri atau meringankan kemaksiatan itu atas pencuri tersebut, maka sesungguhnya ia telah bernasehat kepada kaum muslimin. Ia telah mengikuti sabda Nabi saw: “Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau yang dizalimi orang”. Menolong orang zalim itu mencegahnya dari berbuat zalim. Memaafkannya itu menidakkan kezaliman dan mencegahnya. Hendaklah ia yakini benar-benar, bahwa niat itu tidak mendatangkan melarat baginya dari segi manapun. Karena tidak ada padanya, apa yang menguasakan kepada pencuri dan mengobahkan qodo/ketetapan azali. Akan tetapi, ia teguhkan benar-benar dengan zuhud itu akan niatnya. Jikalau hartanya diambil orang, niscaya ada baginya dengan setiap dirham itu 700 dirham. Karena ia telah niatkan dan maksudkan. Dan walaupun tidak diambil orang, berhasil juga baginya pahala. Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah saw tentang orang yang meninggalkan al-‘azal, lalu ia tetapkan mani (nutfah) itu pada tempatnya, bahwa bagi orang tersebut pahala budak kecil, yang dilahirkan baginya dari persetubuhan itu. Orang tersebut hidup beberapa waktu, lalu kemudian terbunuh dalam perang sabilullah Ta’ala, walaupun tidak dilahirkan baginya seorang anak. Karena tidaklah urusan anak itu, selain bersetubuh. Adapun budi pekerti, kehidupan, rezeki dan kekekalan, maka tidaklah itu kepadanya. Maka kalau ia berbudi pekerti, niscaya adalah pahalanya atas perbuatannya. Dan perbuatannya itu tidak akan tiada. Maka seperti demikian juga urusan pencurian.
Keempat: bahwa apabila didapatinya hartanya dicuri orang, maka seyogyalah bahwa ia tidak bergundah hati. Akan tetapi, ia bergembira, jikalau memungkin kannya. Dan mengatakan: “Jikalau tidaklah kebajikan ada padanya, niscaya tidak ditarik oleh Allah Ta’ala”. Kemudian, jikalau tidak telah dijadikannya harta itu pada jalan Allah ‘Azza Wa Jalla, maka janganlah ia bersangatan pada mencarinya dan pada menjahatkan sangka kepada orang Islam. Jikalau harta itu telah dijadikannya pada jalan Allah, lalu ditinggalkannya mencari, maka sesungguhnya ia telah mendatangkan hartanya itu simpanan bagi dirinya ke akhirat. Kalau dikembalikan kepadanya, maka yang lebih utama, bahwa tidak diterimanya sesudah harta itu telah dijadikannya pada jalan Allah ‘Azza Wa Jalla. Kalau diterimanya, maka itu dalam miliknya pada ilmu zahiriyah. Karena milik itu tidak hilang dengan semata-mata niat itu. Akan tetapi, tidak disukai pada orang-orang yang bertawakkal. Diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar dicurikan orang untanya. Lalu dicarinya, sampai ia lelah. Kemudian ia berkata: “Pada jalan Allah Ta’ala”. Lalu ia masuk ke masjid dan mengerjakan shalat 2 rakaat. Maka datanglah seorang laki-laki kepadanya dan berkata: “Hai Bapak Abdurrahman ! bahwa untamu pada tempat anu”. Lalu Ibnu Umar memakai sandalnya dan bangun berdiri. Kemudian, mengucapkan: “Astaghfirullah”. Dan duduk kembali. Lalu orang bertanya kepadanya: “Mengapa tidak engkau pergi dan mengambilnya ?”. Ibnu Umar menjawab: “Aku telah mengatakan: pada jalan Allah (fi sabilillah)”. Sebahagian syaikh kaum shufi mengatakan: “Aku memimpikan sebahagian teman-temanku, sesudah ia meninggal. Lalu aku bertanya kepadanya: “Apakah yang diperbuat oleh Allah pada engkau ?”. Teman itu menjawab: “Allah telah mengampunkan aku dan memasukkan aku ke sorga. Ia mendatangkan kepadaku tempat-tempatku di dalamnya. Maka aku lihatkan semuanya”. Syaikh itu meneruskan ceritanya: “Dalam pada itu ada suatu golongan yang bergundah hati. Lalu aku katakan: “Engkau telah diampunkan dan masuk sorga. Dan engkau itu bergundah hati”. Orang itu menarik nafas, kemudian berkata: “Benar, bahwa aku senantiasa bergundah hati, sampai hari kiamat”. Aku bertanya: “Mengapa ?”. Ia menjawab: “Bahwa aku tatkala aku melihat tempat-tempatku dalam sorga, lalu diangkatkan bagiku tingkat-tingkat pada yang paling tinggi, yang belum pernah aku melihat sepertinya pada apa yang telah aku lihat. Maka aku bergembira dengan yang demikian. Tatkala aku bercita-cita memasukinya, lalu penyeru menyerukan dari atasnya: “Pergilah kamu daripadanya ! tidaklah ini baginya. Sesungguhnya itu bagi orang yang telah melalukannya pada sabilullah”. Lalu aku bertanya: “Apakah melalukan pada sabilullah itu ?”. Lalu dijawabkan kepadaku: “Adalah engkau telah mengucapkan bagi sesuatu, bahwa dia pada sabilullah. Kemudian engkau rujuk (tarik kembali) padanya. Maka jikalau engkau melalukan (meneruskan) sabilullah, niscaya kami teruskan bagi engkau”. Diceritakan dari sebahagian hamba Allah di Makkah, bahwa dia itu tidur di samping seorang laki-laki, yang ada padanya dompet uang. Laki-laki itu terbangun. Maka dompetnya tidak ada lagi. Lalu dituduhnya hamba Allah tadi. Hamba Allah itu bertanya kepadanya: “Berapa ada dalam dompetmu ?”. Laki-laki itu lalu menyebutkannya. Maka dibawanya laki-laki itu ke rumahnya. Dan ditimbangkannya dari pihaknya. Kemudian sesudah itu, laki-laki itu diberitahukan oleh para sahabatnya, bahwa mereka yang mengambil dompet itu, sebagai senda-gurau dengan dia. Lalu laki-laki itu bersama para sahabatnya datang kepada hamba Allah itu. Dan mengembalikan emas itu. Hamba Allah itu tidak mau menerima kembali dan berkata: “Ambillah sebagai harta halal yang baik. Aku tidak kembali kepada harta yang telah aku keluarkan pada jalan Allah (sabilillah) ‘Azza Wa Jalla”. Hamba Allah itu tidak mau menerimanya. Mereka memaksakannya. Lalu ia panggil anaknya. Dan dibuatnya uang itu dalam beberapa tempat dan dikirimkannya kepada fakir miskin. Sehingga tidak ada lagi padanya sedikitpun. Begitulah adanya akhlak orang-orang dahulu. Seperti demikian juga orang yang mengambil roti untuk diberikannya kepada seorang miskin. Lalu orang miskin itu menghilang daripadanya. Maka ia tidak suka mengembalikan roti itu ke rumahnya, sesudah dikeluarkannya. Lalu diberikannya kepada orang miskin yang lain. Seperti yang demikian juga diperbuat dengan dirham, dinar dan sedekah-sedekah lainnya.
Kelima: yaitu derajat yang paling kurang, bahwa ia tidak berdoa untuk melaratnya pencuri yang telah berbuat zalim kepadanya, dengan mengambil harta itu. Kalau diperbuatnya yang demikian, niscaya batallah tawakkalnya. Yang demikian menunjukkan kepada kebenciannya dan kesedihannya atas yang telah hilang itu. Dan batallah zuhudnya. Jikalau ia bersangatan pada doa yang demikian, niscaya batallah pahalanya juga, pada apa yang menjadi musibah baginya. Pada hadits, sebagai berikut: “Siapa yang tidak berdoa untuk kemelaratan orang yang berbuat zalim kepadanya, maka ia telah menang”.
Diceritakan orang, bahwa Ar-Rabi’ bin Khaitsam dicurikan orang kudanya. Adalah harga kuda itu 20 ribu dirham. Dia waktu itu sedang berdiri mengerjakan shalat. Maka tidak diputuskannya shalatnya. Dan ia tidak bergerak untuk mencarinya. Maka datanglah kepadanya suatu kaum, yang mengagungkan nya. Ia menjawab: “Aku sudah melihat orang itu melepaskan kudaku dari tambatannya”. Lalu ia ditanyakan: “Apakah yang menghalangi engkau untuk menghardik pencuri itu ?”. Ar-Rabi’ menjawab: “Aku berada pada apa yang lebih aku cintai dari kuda itu”. Yakni: shalat. Lalu kaum itu berdoa demi kemelaratan pencuri itu. Maka Ar-Rabi’ menjawab: “Jangan kamu berbuat demikian ! dan katakanlah yang baik ! bahwa aku telah menjadikannya sedekah kepadanya”.
Ditanyakan kepada sebahagian mereka, tentang sesuatu, yang telah dicuri orang dari kepunyaannya: “Adakah tidak engkau berdoa atas kemelaratan orang yang berbuat zalim atas engkau ?”. Orang yang ditanya itu menjawab: “Aku tidak suka bahwa aku ini adalah menolong setan atas orang yang berbuat zalim itu”. Ditanyakan lagi: “Bagaimana pendapat engkau, jikalau barang yang dicuri itu dikembalikan kepada engkau ?”. Orang yang ditanya itu menjawab: “Tiada akan aku ambil dan tiada akan aku lihat kepadanya. Karena aku telah menghalalkan barang itu kepadanya”. Ditanyakan kepada orang shufi yang lain: “Berdoalah kepada Allah atas orang yang berbuat zalim kepada engkau!”. Orang yang ditanya itu menjawab: “Tiada berbuat zalim kepadaku seseorang”. Kemudian, ia menyambung: “Orang yang berbuat zalim itu berbuat zalim kepada dirinya sendiri. Apakah tidak cukup bagi seorang miskin (yang patut dikasihani) oleh kezaliman dirinya sendiri, sehingga aku tambahkan kepadanya akan kejahatan ?”.
Sebahagian mereka membanyakkan cacian kepada Al-Hajjaj disisi sebagian salaf (ulama terdahulu), mengenai kezalimannya. Maka salaf itu menjawab: “Janganlah engkau bersangatan pada mencacikannya. Bahwa Allah Ta’ala menuntut bela bagi Al-Hajjaj dari orang yang merusakkan kehormatannya, sebagaimana Ia menuntut bela dari Al-Hajjaj, bagi orang yang diambilnya harta dan darah orang itu”. Tersebut pada hadits: “Bahwa hamba itu dizalimi orang dengan suatu kezaliman, lalu selalulah ia mencaci orang yang berbuat zalim kepadanya dan memakikannya. Sehingga adalah yang demikian itu menurut kadar apa yang diperbuat oleh orang yang zalim kepadanya. Kemudian, tinggallah bagi orang yang berbuat zalim, atas orang yang dizalimi, menuntut dengan apa yang telah berlebih atasnya, yang digunting untuk orang yang berbuat zalim dari orang yang dizalimi”.
Keenam: bahwa ia berduka cita karena pencuri itu, karena kemaksiatannya dan pendatangannya kepada azab Allah Ta’ala. Ia bersyukur kepada Allah Ta’ala, karena ia dijadikan oleh Allah Ta’ala teraniaya. Tidak dijadikanNya menganiaya. Dijadikannya yang demikian, kekurangan pada dunianya. Tidak kekurangan pada agamanya. Sebahagian manusia mengadu kepada seorang yang berilmu, bahwa ia kena rampokan di jalan dan diambilkan hartanya. Lalu orang yang berilmu itu menjawab: “Jikalau tidak ada bagi engkau kegundahan, bahwa telah terjadi dalam kalangan kaum muslimin orang yang menghalalkan ini, lebih banyak dari kegundahan engkau dengan harta engkau, maka tidaklah engkau menasehatkan kaum muslimin”.
Dicurikan dari Ali bin Al-Fudlail beberapa uang dinar dan Ali itu sedang mengerjakan thawaf di Baitullah. Lalu ia dilihat oleh ayahnya, bahwa ia menangis dan bersedih hati. Maka ayahnya bertanya: “Adakah karena uang dinar itu engkau menangis ?”. Ali bin Al-Fudlail menjawab: “Tidak, demi Allah ! akan tetapi, atas orang yang patut dikasihani (pencuri) itu, akan ditanya pada hari kiamat. Dan tak ada baginya hujjah (alasan)”. Ditanyakan kepada sebahagian mereka: “Berdoalah dengan kemelaratan atas orang yang berbuat zalim kepadamu”. Orang yang ditanya itu menjawab: “Aku ini sibuk dengan kesedihan atas orang itu, daripada mendoakan atas kemelaratan dirinya”. Inilah budi pekerti (akhlaq) orang-orang salaf. Diridhai Allah kiranya mereka sekalian !
Bahagian keempat: tentang usaha menghilangkan melarat, seperti mengobati penyakit dan hal-hal yang serupa dengan penyakit itu.
Ketahuilah, bahwa sebab-sebab yang menghilangkan penyakit juga terbagi kepada: yang diyakini. Seperti: air yang menghilangkan kemelaratan haus dan roti yang menghilangkan kemelaratan lapar. Kepada: yang disangkakan, seperti: membetik, membekam, meminum obat yang memudahkan keluar najis (obat cuci perut) dan bab-bab kedokteran yang lain. Yakni: mengobati dingin dengan panas dan panas dengan dingin. Yaitu: sebab-sebab zahiriyah pada ilmu kesehatan. Dan kepada: yang didugakan, seperti: tenung dan jampi. Adapun yang diyakini, maka tidaklah termasuk tawakkal meninggalkannya. Bahkan meninggalkannya itu haram, ketika takut mati. Adapun yang didugakan, maka syarat tawakkal ialah meninggalkannya. Karena dengan demikianlah disifatkan oleh Rasulullah saw akan orang-orang yang bertawakkal. Yang paling kuat daripadanya ialah: tenung. Dan diiringi oleh jampi. Dan menengok untung itu tingkat yang paling akhir. Berpegang dan menyandarkan diri kepadanya itu pendalaman yang penghabisan pada memperhatikan sebab-sebab. Adapun derajat yang ditengah, yaitu: yang disangkakan, seperti berobat dengan sebab-sebab yang nyata pada dokter-dokter, maka memperbuatnya tidaklah berlawanan dengan tawakkal. Lain halnya dengan yang didugakan. Dan meninggalkannya tidaklah dilarang, kecuali yang diyakini. Bahkan, kadang-kadang adalah meninggalkan lebih utama daripada memperbuatnya pada sebahagian hal keadaan dan pada sebahagian orang. Maka dia itu di atas tingkat diantara dua tingkat. Dan dibuktikan, bahwa berobat tidaklah berlawanan dengan tawakkal, oleh perbuatan Rasulullah saw, perkataannya dan perintahnya dengan yang demikian. Adapun perkataannya, maka Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah dari suatu penyakitpun, melainkan baginya ada obat, yang diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tiada mengetahuinya, selain as-saam”. As-saam, yakni: mati. Nabi saw bersabda: “Berobatlah, wahai hamba Allah ! bahwa Allah itu menjadikan penyakit dan obat”. Ditanyakan Rasulullah saw tentang obat dan jampi: adakah ia menolak akan sesuatu dari takdir Allah ?”. Beliau menjawab: “Dia itu dari takdir Allah”. Tersebut pada hadits masyhur: “Tiada aku lalui dengan suatu jama’ahpun dari para malaikat, melainkan mereka itu mengatakan: “Suruhlah umat engkau dengan berbekam”. Pada hadits tersebut, bahwa Nabi saw disuruh dengan berbekam. Nabi saw bersabda: “Berbekamlah pada tanggal 17, 19 dan 21 bulan Hijriyah. Tiada akan banyak keluar darah pada kamu. Lalu mematikan kamu”. Nabi saw menyebutkan, bahwa banyaknya keluar darah itu sebab bagi kematian. Dan dia itu pembunuh dengan seizin Allah Ta’ala dan diantara pengeluaran darah itu kelepasan dari kematian. Karena tiada bedanya, diantara mengeluarkan darah yang membinasakan dari kulit, mengeluarkan kalajengking dari bawah kain dan mengeluarkan ular dari rumah. Dan tiadalah dari syarat tawakkal itu meninggalkan yang demikian. Bahkan itu adalah seperti mencurahkan air atas api, untuk memadamkannya dan menolak melaratnya ketika terjadinya kebakaran di rumah. Dan tidaklah sekali-kali termasuk tawakkal, keluar dari Sunnah Al-Wakil (Sunnah Allah Ta’ala). Pada hadits yang sanadnya terputus (hadits maqthu’): “Barangsiapa berbekam pada hari Selasa tanggal 17 dari bulan Hijriyah, niscaya adalah baginya itu obat dari penyakit setahun”. Adapun perintahnya Nabi saw maka beliau telah menyuruh tidak seorang dari para sahabat dengan berobat dan dengan menjaga perut dari banyak makan (al-hamiyyah). Nabi saw membetik urat Sa’ad bin Ma’adz. Nabi saw meletakkan besi panas pada tempat sakit Sa’ad bin Zararah. Nabi saw bersabda kepada Ali ra dan ketika itu Ali sakit mata: “Jangan engkau makan dari ini !”. Ya’ni: kurma yang belum kering (ruthab). “Makanlah dari ini ! sesungguhnya itu lebih sesuai bagi engkau”. Ya’ni: Siliq (semacam tumbuh-tumbuhan) yang dimasak dengan tepung syair. Nabi saw bersabda kepada Shuhaib, yang dilihatnya memakan tamar. Dan dia itu sakit mata: “Engkau memakan tamar dan engkau itu sakit mata. Shuhaib lalu menjawab: “Bahwa aku makan, dari pihak yang lain”. Nabi saw lalu tersenyum. Adapun perbuatannya Nabi saw, maka dirawikan pada suatu hadits dari jalan keluarga beliau, bahwa pada setiap malam beliau memakai celak, berbekam pada setiap bulan dan meminum obat pada setiap tahun. Ada yang mengatakan, bahwa obat itu, ialah: tumbu-tumbuhan as-sanal-makiyy (batang as-sana yang tumbuh di Makkah). Nabi saw berobat bukan sekali dari kalajengking dan lainnya. Dan diriwayatkan, bahwa apabila turun wakyu kepadanya, maka kepalanya pening. Lalu beliau melapisi kepalanya dengan inai (hinna’/hena cat rambut). Dan tersebut pada suatu hadits, bahwa apabila keluar kudis pada tubuhnya saw, maka beliau letakkan atas kudis itu inai. Dan beliau letakkan tanah atas kudis yang keluar pada badannya saw. Apa yang diriwayatkan tentang berobatnya Nabi saw dan perintahnya dengan demikian itu banyak, diluar dari hinggaan. Telah disusun tentang yang demikian itu suatu kitab. Dan dinamakan “Thibbun-Nabi saw” (ketabiban Nabi saw).
Sebahagian ulama menyebutkan tentang kaum Bani Israil (Yahudi), bahwa Musa as menderita suatu penyakit. Lalu masuk ke rumahnya kaum Bani Israil itu. Maka mereka mengetahui akan penyakitnya. Mereka berkata: “Bahwa jikalau engkau berobat dengan obat itu, niscaya engkau sembuh”. Musa as lalu menjawab: “Aku tiada akan berobat, sampai aku disembuhkanNya dengan tanpa obat”. Maka lamalah penyakitnya. Lalu kaum Bani Israil berkata kepadanya: “Bahwa obat penyakit ini terkenal dan mujarrab. Kami berobat dengan obat itu, maka kami sembuh”. Musa as menjawab: “Aku tidak berobat”. Maka penyakit itu berdiam pada Musa as. Lalu Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: Demi kemuliaanKu dan keagunganKu ! Aku tiada akan menyembuhkan engkau, sebelum engkau berobat dengan apa yang disebutkan mereka kepada engkau”. Musa as lalu mengatakan kepada mereka: “Obatilah aku dengan apa yang kamu sebutkan !”. Mereka lalu mengobatkan Musa as, maka sembuhlah. Maka bimbanglah Musa as pada dirinya dari yang demikian. Lalu Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Engkau menghendaki bahwa engkau batalkan hikmahKu dengan tawakkalnya engkau kepadaKu. Siapakah yang menyimpan obat dari tumbuh-tumbuhan sebagai manfaatnya segala sesuatu itu, selain Aku ?”.
Diriwayatkan pada berita yang lain, bahwa salah seorang dari nabi-nabi as mengadu akan penyakit yang diperolehnya. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Makanlah telur !”. Nabi yang lain mengadu akan kelemahannya. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Makanlah daging dengan susu, bahwa pada keduanya itu ada kekuatan”. Ada yang mengatakan, bahwa kelemahan itu ialah dari bersetubuh. Diriwayatkan, bahwa suatu kaum mengadu kepada nabi mereka, akan keburukan anak-anak mereka. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Suruhlah mereka memberi makanan isteri mereka yang sedang hamil, dengan buah safarjal (mirip dengan apel). Bahwa yang demikian akan mencantikkan anak. Dan diperbuat yang demikian pada bulan ke-3 dan ke-4 dari mengandungnya. Karena pada waktu itu, Allah Ta’ala menjadikan rupa anak itu. Mereka memberi makanan wanita hamil dengan buah safarjal. Dan wanita yang sedang bernifas (sesudah bersalin) dengan buah ruthab (kurma yang belum kering). Dengan ini jelaslah, bahwa Yang Menyebabkan sebab-sebab (Allah) itu melakukan SunnahNya dengan mengikatkan musabbab-musabbab (akibat) dengan sebab-sebab, untuk melahirkan hikmah. Obat-obat itu adalah sebab-sebab yang dijadikan dengan hukum Allah Ta’ala, seperti sebab-sebab yang lain. Maka sebagaimana roti itu obat lapar dan air itu obat haus, maka sakanjabin itu obat penyakit kuning dan sakmunia itu obat memudahkan keluar B.A.B (untuk cuci perut). Tiada membedakan yang demikian, selain pada salah satu dari dua perkara:
Pertama: bahwa pengobatan lapar dan haus dengan air dan roti itu jelas dan terang, diketahui oleh seluruh manusia. Pengobatan penyakit kuning dengan sakanjabin diketahui oleh sebahagian orang-orang tertentu. Maka siapa yang mengetahui demikian dengan percobaan, niscaya ia berhubungan pada hak dirinya dengan yang pertama ini (menjadi terang dan jelas pada pihak dirinya).
Kedua: bahwa obat itu memudahkan perut (mengeluarkan B.A.B) dan sakanjabin menetapkan sakanjabin dengan syarat-syarat yang lain pada batiniyahnya. Dan sebab-sebab pada sifatnya itu kadang-kadang sukar diketahui semua syarat-syaratnya. Kadang-kadang hilang sebahagian syarat-syaratnya. Maka berhentilah tidak bekerja (mogok) obat itu daripada memudahkan keluar B.A.B. Adapun hilangnya haus makan tidak meminta selain dari air, akan banyak syarat. Kadang-kadang berbetulan dari rintangan-rintangan itu, apa yang mengharuskan kekekalan haus, serta banyaknya meminum air. Akan tetapi itu jarang. Cederanya sebab-sebab itu selalu terbatas pada dua perkara tadi. Jikalau tidak, maka musabbab (akibat) itu mengiringi sebab sudah pasti, manakala telah sempurna syarat-syarat bagi sebab. Semua itu adalah dengan pengaturan Yang Menyebabkan segala sebab, dengan pemudahan dan penertibanNya, dengan hukum hikmah dan kesempurnaan kuasaNya. Maka tidaklah memelaratkan orang yang bertawakkal, akan memakaikannya, serta memperhatikan kepada Yang Menyebabkan sebab-sebab, tidak kepada dokter dan obat.
Dirawikan dari Musa as bahwa ia bertanya kepada Tuhan: “Wahai Tuhanku ! dari siapakah penyakit dan obat ?”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Dari Aku”. Musa as bertanya lagi: “Apakah yang diperbuat oleh tabib-tabib ?”. Allah Ta’ala menjawab: “Mereka makan akan rezeki mereka. Mereka membaikkan diri hamba-hambaKu, sehingga datanglah kesembuhan atau ketetapanKu”. Jadi, makna tawakkal serta berobat itu, ialah tawakkal dengan ilmu dan hal keadaan, sebagaimana telah terdahulu pada bahagian-bahagian amal perbuatan yang menolak daripada melarat, yang menarik kepada manfaat. Adapun meninggalkan berobat secara apriori, maka tidaklah itu menjadi syarat pada tawakkal. Kalau anda mengatakan, bahwa memakai besi panas juga dari sebab-sebab yang nyata itu bermanfaat. Maka aku menjawab: tidaklah seperti yang demikian. Karena sebab-sebab yang nyata itu, seperti: berbetik-berbekam, meminum obat yang memudahkan keluar B.A.B dan meminum yang mendinginkan bagi orang yang merasa panas. Adapun memakai besi panas, jikalau ia seperti yang tersebut tadi pada zahiriyahnya, niscaya tidaklah kosong banyak negeri daripadanya. Dan sedikitlah dibiasakan memakai obat besi panas pada kebanyakan negeri. Hanya yang demikian itu kebiasaan sebahagian orang Turki dan Arab dusun. Maka obat besi panas ini termasuk sebab-sebab yang didugakan, seperti: jampi. Hanya obat besi panas ini berbeda dari sebab-sebab yang didugakan itu dengan suatu hal. Yaitu: bahwa dia terbakarnya dengan api, pada keadaan tidak memerlukan kepadanya. Bahwa tidaklah dari suatu penyakit yang diobati dengan besi panas, selain mempunyai obat yang tidak diperlukan, yang tidak ada padanya pembakaran. Maka pembakaran dengan api itu suatu luka yang merusakkan bentuk badan, yang ditakuti menjalar, serta tidak diperlukan kepadanya. Lain halnya, berbetik dan berbekam. Bahwa menjalar yang dua ini jauh dari kejadian. Dan tidak dapat digantikan oleh yang lain dari yang dua ini. Karena itulah Rasulullah saw melarang dari obat besi panas, tidak dari jampi. Dan masing-masing dari yang dua ini jauh dari tawakkal.
Diriwayatkan bahwa ‘Imran bin Al-Hushain menderita penyakit dalam perut. Lalu mereka menunjukkan kepadanya dengan obat besi panas. Ia menolak. Mereka selalu mendesaknya dengan obat besi panas itu. Dan berazam kepadanya Amir Ubaid bin Ziad. Sehingga ia berobat dengan besi panas itu. Ia berkata: “Adalah aku melihat nur (cahaya) dan mendengar suara. Dan memberi salam kepadaku para malaikat. Maka tatkala aku telah berobat dengan besi panas, terputuslah yang demikian itu daripadaku”.
‘Imran bin Al-Hushain itu mengatakan, menurut riwayat yang lain: “Kami berobat dengan besi panas itu beberapa kali. Maka demi Allah, tidaklah aku memperoleh kemenangan dan kesembuhan”. Kemudian, ia bertaubat dari yang demikian dan ia kembali kepada Allah Ta’ala. Maka Allah Ta’ala mengembalikan kepadanya apa yang diperolehnya dari urusan malaikat. ‘Imran bin Al-Hushain berkata kepada Mithraf bin Abdullah: “Apakah engkau tidak melihat kepada para malaikat, yang dimuliakan aku oleh Allah dengan para malaikat itu, yang telah ditolaknya oleh Allah Ta’ala atasku, sesudah aku mengkabarkanNya dengan tidak adanya para malaikat itu ?”. Jadi, obat besi panas itu dan yang berlaku menyerupainya, tidaklah layak dengan orang yang bertawakkal. Karena ia memerlukan pada memahaminya kepada pengaturan. Kemudian, dia itu tercela. Menunjukkan yang demikian itu, kepada bersangatan pemerhatian sebab-sebab dan memperdalaminya. Wallahu a’lam - Allah Maha Tahu.
PENJELASAN: bahwa meninggalkan berobat kadang-kadang dipujikan pada sebahagian hal dan menunjukkan kepada kuatnya tawakkal. Bahwa yang demikian itu tidak berlawanan dengan perbuatan Rasulullah saw.
Ketahuilah, bahwa mereka yang berobat dari ulama-ulama yang terdahulu tidaklah terhingga banyaknya. Akan tetapi, ditinggalkan juga berobat oleh segolongan daripada ulama-ulama besar. Kadang-kadang disangkakan, bahwa yang demikian itu suatu kekurangan. Karena jikalau adalah itu suatu kesempurnaan, niscaya ditinggalkan oleh Rasulullah saw. Karena tidaklah keadaan orang lain tentang tawakkal itu yang lebih sempurna dari keadaannya saw. Diriwayatkan dari Abubakar ra, bahwa ditanyakan kepadanya: “Bagaimana jikalau kami panggil tabib bagi engkau ?”. Abubakar ra menjawab: “Tabib itu memandang kepadaku dan mengatakan: “Bahwa aku berbuat apa yang aku kehendaki”. Ditanyakan kepada Abid-Darda’ pada sakitnya: “Apakah yang engkau ngadukan ?”. Abid-Darda’ menjawab: “Dosaku”. Ditanyakan lagi: “Apa yang engkau inginkan ?”. Beliau menjawab: “Ampunan Tuhanku”. Mereka bertanya lagi: “Apakah tidak kami panggil tabib untuk engkau ?”. Beliau menjawab: “Tabib itu membawa aku sakit”. Ditanyakan kepada Abu Dzar dan telah sakit kedua matanya: “Bagaimana, jikalau engkau obati akan kedua mata itu ?”. Beliau menjawab: “Bahwa aku sibuk, daripada memikirkan dua mata itu”. Lalu ditanyakan lagi kepadanya: “Jikalau kiranya, engkau bermohon kepada Allah, bahwa Ia menyembuhkan engkau ?”. Beliau menjawab: “Aku bermohon padaNya, mengenai apa yang lebih penting kepadaku daripada dua mata itu”.
Al-Rabi’ bin Khatsam kena penyakit lumpuh. Lalu ditanyakan kepadanya: “Jikalau anda berobat ?”. Beliau menjawab: “Aku sudah bercita-cita hendak berobat. Kemudian aku teringat kepada ‘Ad, Tsamud, orang-orang yang berpenyakit demam dan berabad-abad diantara demikian yang banyak. Pada mereka ada tabib-tabib. Maka binasalah yang mengobatkan dan yang diobatkan. Dan tidaklah memanfaatkan jampi-jampi itu akan sesuatu”. Adalah Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Lebih disukai bagi orang yang berkeyakinan tawakkal dan menempun jalan ini, meninggalkan berobat, daripada meminum obat dan lainnya”. Ada pada Ahmad bin Hanbal beberapa penyakit. Beliau tidak menerangkan pula kepada orang yang mempelajari ilmu ketabiban, apabila bertanya kepadanya. Ditanyakan kepada Sahl: “Pabilakah shah tawakkal bagi seorang hamba ?”. Beliau menjawab: “Apabila masuk kepadanya kemelaratan pada tubuhnya dan kekurangan pada hartanya. Maka ia tidak menoleh kepadanya, karena sibuk dengan hal-ihwalnya. Ia memperhatikan kepada berdirinya Allah Ta’ala atas dirinya”. Jadi, sebahagian mereka ada yang meninggalkan berobat di belakangnya. Sebahagian mereka, ada yang tiada menyukainya. Dan tidak teranglah cara mengumpul kan diantara perbuatan Rasulullah saw dan perbuatan mereka, selain dengan menghinggakan hal-hal yang memalingkan dari berobat. Maka kami mengatakan, bahwa bagi meninggalkan berobat itu mempunyai sebab-sebab, sbb:
Sebab pertama, bahwa adalah orang yang sakit itu, dari orang-orang yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab). Telah terbuka baginya kasyaf (terbuka hijab) , bahwa ia telah sampai ajalnya. Bahwa obat tiada akan bermanfaat baginya. Ada yang demikian itu terketahui padanya sekali, dengan mimpi yang benar. Sekali dengan sangkaan dan berat dugaan. Dan sekali dengan kasyaf (terbuka hijab)  yang meyakinkan. Menyerupailah bahwa Abubakar Siddik ra meninggalkan berobat termasuk dari sebab ini. Bahwa ia sebahagian dari orang-orang yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab) . Bahwa Abubakar Siddik ra mengatakan kepada ‘Aisyah tentang urusan pusaka: “Sesungguhnya keduanya itu saudara perempuan engkau !”. Bahwa ‘Aisyah hanya mempunyai seorang saudara perempuan. Akan tetapi, adalah isteri Abubakar ra itu mengandung. Lalu melahirkan anak perempuan. Maka diketahuilah, bahwa Abubakar ra telah memperoleh kasyaf (terbuka hijab) , bahwa isterinya mengandung dengan anak perempuan. Maka tidak jauh pula, bahwa ia telah memperoleh kasyaf (terbuka hijab)  juga dengan akan sampai ajalnya. Jikalau tidak demikian, maka tidak akan disangka bahwa beliau akan menentang berobat. Ia telah menyaksikan bahwa Rasulullah saw berobat dan menyuruh para sahabatnya dengan berobat.
Sebab kedua: bahwa adalah orang sakit itu sibuk dengan hal-ihwalnya, dengan ketakutan akan akibat kesudahannya dan dilihat oleh Allah Ta’ala kepadanya. Maka melupakannya oleh yang demikian, akan kepedihan sakit. Lalu tiada melepaskan hatinya untuk berobat, karena kesibukan dengan hal-ihwalnya itu. Dan kepada inilah ditunjukkan oleh perkataan Abu Dzar. Karena ia mengatakan: “Bahwa aku sibuk daripada memikirkan dua mataku yang sakit itu”. Perkataan Abud-Darda’, karena ia berkata: “Sesungguhnya aku mengadukan dosa-dosaku”. Adalah hatinya merasa pedih, karena takut dari dosa-dosanya, lebih banyak daripada rasa pedih badannya dengan sakit. Adalah ini, seperti orang yang tertimpa musibah dengan kematian orang yang paling dikasihinya. Atau seperti orang yang takut, yang akan dibawa kepada raja-diraja untuk dibunuh, apabila ditanyakan kepadanya: “Bahwa engkau tidak makan, padahal engkau lapar ?”. Lalu ia menjawab: “Aku sibuk yang lain, daripada memikirkan kepada kepedihan lapar”. Maka tidaklah yang demikian itu memungkiri, bagi adanya makan itu bermanfaat dari lapar. Dan tidak ada cacian pada orang yang makan. Dan mendekati dengan ini, oleh kesibukan Sahl, dimana ketika ditanyakan kepadanya: “Apakah makanan anda ?”. Lalu beliau menjawab: “Ialah mengingati (berdzikir) kepada Yang Hidup, Yang Berdiri Sendiri (Al-Hayyul-Qayyum). Lalu dikatakan oleh orang yang bertanya itu: “Sesungguhnya kami bertanya kepada anda, dari hal tertegaknya tubuh anda”. Maka Sahl menjawab: “Yang tertegak dengannya itu tubuh, ialah: ilmu”. Dikatakan lagi oleh yang bertanya itu: “Kami tanyakan anda dari hal makanan”. Sahl menjawab: “Makanan itu, ialah: dzikir”. Dikatakan pula oleh yang bertanya: “Kami tanyakan anda dari makanan tubuh”. Sahl menjawab: “Apalah tubuh itu ! tinggalkanlah kepada Yang Mengurusnya mula-mula, yang akan mengurusnya pada penghabisan. Apabila datang kepada tubuh itu penyakit, maka kembalikanlah kepada Yang Menciptakannya ! apakah tidak engkau melihat kepada suatu bikinan, apabila rusak, niscaya mereka kembalikan kepada pembikinnya, sehingga diperbaikinya ?”.
Sebab ketiga: bahwa penyakit itu sudah berjalan lama. Dan obat yang disuruhkan, dengan dikaitkan kepada penyakitnya itu diduga ada manfaatnya, yang berlaku sebagai berlakunya tenung dan jampi. Maka ditinggalkan oleh orang yang bertawakkal. Kepada itulah yang diisyaratkan oleh perkataan Ar-Rabi’ bin Khaitsaman. Karena ia mengatakan: “Aku teringat kepada ‘Ad dan Tsamud. Dan pada mereka itu banyak tabib. Maka binasalah yang mengobatkan dan yang diobatkan”. Artinya: bahwa obat itu tidak dipercayai. Dan ini kadang-kadang ada seperti yang demikian pada dirinya. Dan kadang-kadang ada pada orang yang sakit seperti yang demikian. Karena kurang membiasakan bagi ketabiban dan sedikit percobaannya bagi yang demikian. Maka tiada mengeraskan kepada sangkaannya akan adanya itu bermanfaat. Dan tidak ragu lagi, bahwa tabib yang berpengalaman itu lebih keras kepercayaannya pada obat-obat dibandingkan dengan yang lain. Maka adalah kepercayaan dan sangkaan itu menurut keyakinan. Dan keyakinan itu menurut pengalaman. Kebanyakan orang yang meninggalkan berobat dari hamba Allah dan orang-orang zuhud itu, maka inilah tempat sandarannya. Karena, berkekalan obat pada pihaknya, sebagai sesuatu yang didugakan, yang tidak mempunyai dasar. Dan yang demikian itu benar pada sebahagian obat, pada orang yang mengetahui perusahaan ketabiban. Dan tidak benar pada sebahagian yang lain. Akan tetapi, orang yang bukan tabib, kadang-kadang memandang kepada semua, dengan satu pandangan. Lalu melihat pengobatan itu sebagai mendalami mengenai sebab-sebab, seperti: tenung dan jampi. Lalu ditinggalkannya, lantaran tawakkal.
Sebab keempat: bahwa hamba itu bermaksud dengan meninggalkan berobat, untuk mengekalkan penyakit. Supaya memperoleh pahala sakit, dengan kebagusan sabar atas percobaan dari Allah Ta’ala. Atau untuk ia mencobakan dirinya, pada kemampuan kepada bersabar. Telah datang hadits tentang pahala sakit, apa yang banyaklah menyebutkannya. Nabi saw bersabda: “Kami para nabi-nabi adalah manusia yang paling berat percobaannya. Kemudian yang lebih mulia, lalu yang lebih mulia. Dicobakan hamba atas kadar imannya. Jikalau ia keras iman, niscaya iman itu mengeraskan percobaan kepadanya. Dan jikalau pada imannya kelemahan, niscaya meringankan daripadanya akan percobaan”. Tersebut pada hadits: “Bahwa Allah Ta’ala mencoba akan hambaNya dengan suatu percobaan, sebagaimana seorang kamu mencoba akan emasnya dengan api. Maka sebahagian mereka, ada yang keluar seperti emas murni yang tidak berobah warnanya. Sebahagian mereka ada yang kurang dari yang demikian. Dan sebahagian mereka ada yang keluar, hitam terbakar”. Tersebut pada hadits, dari jalan keluarga Nabi saw: “Bahwa Allah Ta’ala, apabila sayang kepada seorang hamba, niscaya dicobakanNya. Kalau ia sabar, niscaya dipilihNya (menjadi orang pilihan). Maka jikalau ia ridha (senang), niscaya dipilihNya dengan keutamaan dan kebersihan”. Nabi saw bersabda: “Kamu menyukai bahwa adalah kamu seperti keledai yang hilang (sesat, tidak tahu kandangnya lagi), tidak kamu sakit dan tidak kamu datang sakit”.
Ibnu Mas’ud ra berkata: “Kamu dapati orang mu’min itu yang paling sehat hatinya dan paling sakit tubuhnya. Dan engkau dapati orang munafik itu yang paling sehat tubuhnya dan yang paling sakit hatinya”. Maka tatkala besarlah pujian kepada sakit dan percobaan, niscaya suatu kaum menyukai sakit dan mempergunakan kesempatan untuk memperoleh sakit. Supaya mereka mencapai pahala sabar atas sakit itu. Adalah sebahagian mereka mempunyai penyakit yang disembunyikannya dan tidak diterangkannya kepada tabib (dokter). Ia tahan menderita dengan penyakit itu. Ia ridha dengan hukum Allah Ta’ala. Ia tahu, bahwa kebenaran (al-haqq) lebih mengerasi atas hatinya, daripada hatinya itu disibukkan oleh penyakit. Bahwa penyakit itu mencegah rongga badannya. Mereka tahu, bahwa shalat mereka dengan duduk umpamanya serta sabar atas qodo/ketetapan Allah Ta’ala itu lebih utama (afdhal) daripada shalat dengan berdiri, serta sehat dan afiat. Tersebut pada hadits: “Bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikatNya:“Tuliskanlah bagi hambaKu akan yang baik dari apa yang dikerjakannya. Sesungguhnya dia dalam pengikatanKu. Jikalau Aku melepaskannya, niscaya Aku gantikan dia daging yang lebih baik dari dagingnya dan darah yang lebih baik dari darahnya. Dan jikalau Aku mematikannya, niscaya Aku mematikannya kepada rahmatKu”. Nabi saw bersabda: “Amal yang paling utama, ialah yang dipaksakan diri kepada amal itu”. Ada yang mengatakan, bahwa maknanya, ialah: apa yang masuk kepadanya, dari penyakit-penyakit dan musibah-musibah. Kepadanyalah isyarat dengan firman Allah Ta’ala: “Dan boleh jadi kamu kurang menyukai sesuatu, sedang dia berguna kepadamu”. S 2 Al Baqarah ayat 216.
Sahl berkata: “Meninggalkan berobat, meskipun lemah dari taat dan teledor dari amalan fardhu itu lebih utama daripada berobat untuk karena taat”. Ada pada Sahl penyakit parah, maka ia tidak berobat dari penyakit parah itu. Dan ia menyuruh manusia berobat daripadanya. Apabila ia melihat seorang hamba mengerjakan shalat dengan duduk dan tidak sanggup mengerjakan amal kebajikan dari karena sakit, lalu hamba itu berobat untuk dapat berdiri kepada shalat dan bangkit mengerjakan taat, niscaya ia heran dari yang demikian dan berkata: “Shalatnya dari duduk serta ridha dengan keadaannya itu lebih afdhal dari berobat bagi kekuatan dan shalat berdiri”. Ditanyakan Sahl dari meminum obat, maka ia menjawab: “Setiap orang yang masuk dalam sesuatu dari obat, maka sesungguhnya itu keluasan dari Allah Ta’ala bagi orang yang lemah. Dan siapa yang tidak masuk dalam sesuatu daripadanya, maka itu lebih utama. Karena, jikalau ia mengambil sesuatu dari obat, walaupun dia itu air dingin, niscaya ditanyakan kepadanya: “Mengapa diambilnya ?”. Dan jikalau tidak diambilnya, maka tak ada pertanyaan kepadanya”. Adalah madzhab (aliran) Sahl dan aliran ulama-ulama Basrah itu melemahkan diri dengan lapar dan menghancurkan nafsu syahwat. Karena mereka tahu, bahwa sebesar atom dari amalan hati, seperti: sabar, ridha dan tawakkal itu lebih utama, dari seperti gunung-gunung dari amalan anggota badan. Penyakit tidak mencegah dari amalan hati, kecuali apabila ada kepedihannya mengeras, yang mendahsyatkan. Sahl ra berkata: “Penyakit tubuh itu rahmat dan penyakit hati itu siksaan”.
Sebab kelima: bahwa ada hamba itu telah mendahului baginya dosa-dosa. Ia takut dari dosa-dosa itu. Ia lemah daripada menutupkannya (dengan memberi kafarat dll). Maka ia berpendapat, bahwa sakit apabila berkepanjangan, maka dapat menutupkannya. Lalu ia meninggalkan berobat, karena takut, bahwa bersegera hilangnya sakit. Nabi saw bersabda: “Senantiasalah demam dan panasnya itu pada seorang hamba, sehingga ia berjalan di atas bumi, seperti pakaian selimut dari bulu. Tidak ada atasnya dosa dan kesalahan”. Tersebut pada hadits: “Demam sehari itu menjadi kafarat (penutup dosa) setahun”. Dikatakan, maka demikian, karena demam itu meruntuhkan kekuatan setahun. Ada yang mengatakan, bahwa manusia itu mempunyai 360 sendi. Maka demam itu masuk dalam semua sendi itu. Dan ia dapati dari setiap satu sendi itu kepedihan. Maka adalah setiap kepedihan itu kafarat bagi sehari. Tatkala Nabi saw menyebutkan kafarat dosa dengan demam, lalu Zaid bin Tsabit berdoa kepada Tuhannya ‘Azza Wa Jalla, supaya ia selalu demam. Maka tidaklah demam itu bercerai dari Zaid, sehingga ia wafat. Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepadanya. Dan diminta yang demikian oleh suatu golongan dari kaum anshar. Maka adalah demam itu tiada hilang dari mereka. Tatkala Nabi saw bersabda: “Barangsiapa dihilangkan oleh Allah 2 biji matanya, niscaya Allah tidak ridha baginya pahala, selain sorga”, maka Zaid berkata: “Sesungguhnya ada dari orang-orang anshar, orang yang bercita-cita supaya buta”.
Nabi Isa as berkata: “Tidaklah menjadi orang yang berilmu (alim), orang yang tidak bergembira dengan masuknya musibah dan penyakit kepada badannya dan hartanya. Karena ia tidak mengharap pada yang demikian, dari kafarat kesalahan-kesalahannya”.
Diriwayatkan, bahwa Musa as melihat seorang hamba yang besar percobaannya. Lalu ia berdoa: “Wahai Tuhanku ! curahkan rahmat kepada hamba itu !”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Bagaimana Aku memberikan rahmat kepadanya, pada apa, yang dengannya itu Aku curahkan rahmat kepadanya ?”. Artinya: “Dengan itu Aku tutupkan dosa-dosanya dan Aku tambahkan pada derajat-derajatnya”.
Sebab keenam: bahwa hamba itu merasa pada dirinya akan permulaan kesombongan dan kedurhakaan, dengan lamanya masa sehat. Lalu ia meninggalkan berobat, takut bersegera hilangnya penyakit. Maka ia diulang-ulangi oleh kelalaian, kesombongan dan kedurhakaan. Atau panjangnya angan-angan dan menangguh kan pada masa yang akan datang, untuk memperoleh yang hilang dan mengemudiankan hal-hal kebajikan. Bahwa kesehatan itu ibarat dari kekuatan sifat-sifat. Dan dengan sifat-sifat itu membangkitlah hawa nafsu, bergeraklah nafsu syahwat dan mengajak kepada perbuatan-perbuatan maksiat. Sekurang-kurangnya kesehatan itu mengajak kepada bersenang-senang pada hal-hal yang diperbolehkan (hal-hal yang mubah). Yaitu: menyia-nyiakan waktu, melengahkan keuntungan besar pada menyalahi hawa nafsu dan ketidak-berceraian dengan perbuatan taat. Dan apabila Allah menghendaki akan kebajikan dengan seorang hamba, niscaya tidak mengosongkannya daripada berjaga-jaga dengan penyakit-penyakit dan musibah-musibah.
Karena itulah, dikatakan, bahwa orang mu’min itu tidak kosong dari penyakit atau kekurangan atau tergelincir. Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Kemiskinan itu penjaraKu dan sakit itu ikatanKu. Aku tahan dengan itu akan siapa yang Aku kasihi dari makhlukKu”. Jadi, adalah pada sakit itu tahanan dari kedurhakaan dan mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat. Maka manakah kebajikan yang melebihi daripadanya ? dan tiada seyogyalah sibuk dengan mengobati penyakit, bagi orang yang takut akan demikian atas dirinya. Maka sehat wal-afiat itu pada meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat. Sebahagian orang yang berilmu ma’rifah (orang arifin) bertanya kepada seorang insan: “Bagaimana engkau sesudahku ?”. Insan itu menjawab: “Dalam sehat wal-afiat”. Orang arifin itu menyambung: “Kalau engkau tidak berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, maka engkau itu dalam sehat wal-afiat. Dan jikalau engkau telah mengerjakan perbuatan maksiat, maka manakah penyakit yang lebih berpenyakit dari perbuatan maksiat ? tiadalah sehat wal-afiat bagi orang yang berbuat maksiat kepada Allah”.
Ali ra bertanya, tatkala melihat perhiasan kaum Nabti di Irak, pada suatu hari raya: “Apakah ini yang dipertunjukkan mereka ?”. Orang-orang itu menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! ini adalah hari raya bagi mereka”. Lalu Ali ra menjawab: “Setiap hari yang tidak dikerjakan perbuatan maksiat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla maka itu adalah hari raya bagi kita”. Allah Ta’ala berfirman: “......sesudah diperlihatkan oleh Tuhan kepadamu apa yang kamu sukai”. S 3 Ali ‘Imran ayat 152. Dikatakan: yaitu: sehat wal-afiat. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya manusia itu bertindak melanggar batas. Disebabkan dia melihat dirinya serba cukup”. S 96 Al ‘Alaq ayat 6-7. Dan seperti demikian juga, apabila ia merasa cukup dengan sehat wal-afiat. Sebahagian mereka mengatakan: “Sesungguhnya Fir’aun mengatakan: “Aku inilah tuhan kamu yang amat tinggi”. S 79 An Naazi’aat ayat 24. Karena lamanya ia sehat wal-afiat. Karena selama 400 tahun tidak pernah pening kepalanya, tidak pernah tubuhnya demam dan tidak pernah keringatnya bercucuran. Lalu ia mendakwakan ketuhanan. Kiranya ia dikutuk oleh Allah. Jikalau ia diserang oleh sakit kepala sehari saja, niscaya menyibukkan ia dari hal-hal yang tidak perlu, lebih-lebih daripada mendakwakan ketuhanan. Nabi saw bersabda: “Perbanyakkanlah daripada menyebutkan yang memutuskan kelezatan”. Dikatakan, bahwa demam itu pengintai mati. Dialah yang mengingatkan kepada mati dan yang menolak untuk menangguhkan sesuatu bagi masa depan. Allah Ta’ala berfirman: “Tidakkah mereka melihat, bahwa mereka diuji setiap tahunnya, sekali atau dua kali, kemudian mereka tiada taubat dan tiada ingat”. S 9 At Taubah ayat 126. Dikatakan: mereka itu diuji dengan penyakit-penyakit yang dicobakan mereka. Dikatakan, bahwa hamba apabila telah sakit dua kali, kemudian tidak bertaubat, niscaya berkata malakul-maut kepadanya: “Hai orang lalai ! telah datang kepadamu dari aku, utusan demi utusan. Kamu tidak juga memperkenankan”. Karena itulah, para ulama salaf merasa hatinya liar, apabila telah habis tahun dan mereka tidak mendapat musibah dengan kekurangan pada diri atau harta. Mereka mengatakan: “Tidak terlepaslah orang mu’min pada setiap 40 hari, bahwa dikejutkan dengan suatu kejutan atau ditimpakan dengan suatu bencana. Sehingga diriwayatkan, bahwa ‘Ammar bin Yasir kawin dengan seorang wanita. Lalu wanita itu tidak pernah sakit. Maka ditalakkannya. Bahwa Nabi saw dibawakan kepadanya seorang wanita. Lalu diterangkan sifat-sifat wanita tersebut. Sehingga Nabi saw bercita-cita mengawininya. Lalu dikatakan, bahwa wanita itu tidak pernah sakit sekali-kali. Maka Nabi saw bersabda: “Tiada berhajat aku padanya”. Rasulullah saw menyebutkan penyakit-penyakit dan kepedihan, seperti pening dan lainnya. Seorang laki-laki bertanya: “Apakah pening (ash-shuda’) itu ? aku tidak mengetahuinya”. Maka Nabi saw menjawab: “Jauhlah kamu daripadaku ! siapa yang berkehendak memandang kepada seseorang dari isi neraka, maka hendaklah ia memandang kepada orang ini !”. Dan ini karena telah datang pada hadits: “Demam itu keuntungan setiap orang mu’min dari api neraka”. Pada hadits Anas dan ‘Aisyah: “Ditanyakan: “Wahai Rasulullah ! adakah bersama orang-orang syahid pada hari kiamat, orang-orang lain ?”. Nabi saw lalu menjawab: “Ya, orang yang mengingati mati setiap hari 20 kali”. Pada lafazh lain: “Orang yang mengingati dosanya, lalu menggundahkannya”. Tidak ragu lagi, bahwa mengingatkan mati kepada orang sakit itu lebih keras kesannya. Tatkala banyaklah faedah sakit itu, lalu suatu golongan berpendapat, akan meninggalkan usaha untuk menghilangkannya. Karena mereka melihat bagi dirinya akan tambahan padanya. Tidak dari segi, mereka itu melihat bahwa pengobatan adalah suatu kekurangan. Bagaimana adanya itu kekurangan, sedang Nabi saw telah berbuat yang demikian.
PENJELASAN: tolakan atas orang yang mengatakan, bahwa meninggalkan berobat itu lebih utama dengan setiap keadaan.
Kalau berkata orang yang mengatakan, bahwa perbuatannya Nabi saw itu untuk menjadikan sunnah bagi orang lain. Kalau tidak, maka itu adalah perihal orang-orang lemah. Derajat orang-orang kuat mengharuskan tawakkal dengan meninggalkan berobat. Maka dijawab, bahwa seyogyalah dari syarat tawakkal itu meninggalkan berbekam dan berbetik ketika banyak keluar darah. Kalau dikatakan, bahwa yang demikian itu juga syarat, maka hendaklah dari syaratnya, bahwa ia dipatuk oleh kalajengking atau ular, maka tidak dipindahkannya dari dirinya. Karena darah itu mematuk batin dan kalajengking itu mematuk zahir. Maka manakah perbedaan diantara keduanya ? Kalau ia mengatakan, bahwa yang demikian juga syarat bagi tawakkal. Maka dijawab, bahwa seyogyalah bahwa ia tidak menghilangkan patukan haus dengan air, patukan lapar dengan roti dan patukan dingin dengan baju jubah. Dan ini tiada yang mengatakannya. Dan tiada perbedaan diantara derajat-derajat ini. Bahwa semua yang demikian itu sebab-sebab yang diatur oleh Yang Menyebabkan sebab-sebab (Allah swt). Dan melakukan padanya SunnahNya. Ditunjukkan bahwa yang demikian tidaklah termasuk syarat tawakkal, oleh apa yang dirawikan dari Umar ra dan dari para sahabat, tentang kisah penyakit kolera. Bahwa mereka tatkala menuju negeri Syam (Syiria) dan sampai di Al-Jabiah (suatu tempat dekat Damaskus), lalu sampai kepada mereka berita, bahwa di sana banyak kematian dan penyakit kolera yang berjalan cepat sekali. Maka berselisihlah manusia kepada dua golongan. Sebahagian mereka mengatakan, bahwa kita jangan masuk ke tempat kolera itu. Nanti kita mencampakkan diri kita kepada kebinasaan. Segolongan yang lain mengatakan: “Bahkan kita masuk dan kita bertawakkal. Kita tidak lari dari takdir Allah Ta’ala dan tidak melarikan diri dari mati. Maka adalah kita, seperti orang yang difirmankan oleh Allah Ta’ala tentang mereka: “Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang keluar dari rumahnya, beribu-ribu banyaknya, karena takut mati”. S 2 Al Baqarah ayat 243. Maka mereka kembali kepada Umar, lalu menanyakan pendapatnya. Umar ra menjawab: “Kita kembali dan kita tidak masuk kepada kolera”. Orang-orang yang berbeda pendapat dengan Umar lalu menjawab: “Adakah kita lari dari takdir Allah Ta’ala ?”. Umar ra menjawab: “Benar, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah”. Kemudian, beliau membuat contoh kepada mereka, seraya mengatakan: ‘Adakah kamu berpendapat, bahwa jikalau ada bagi seorang kamu seekor kambing. Lalu ia turun ke suatu lembah, yang mempunyai dua cabang. Yang satu subur dan yang lain tandus. Adakah tidak, jikalau ia gembalakan pada yang subur, bahwa ia gembalakan dengan takdir Allah Ta’ala dan jikalau ia gembalakan pada yang tandus, bahwa ia gembalakan dengan takdir Allah Ta’ala ?”. Mereka lalu menjawab: “Ya !”. Kemudian, Umar ra mencari Abdurrahman bin ‘Auf, untuk menanyakan pendapatnya. Dan tidak ada Abdurrahman bin ‘Auf ketika itu. Ketika sudah pagi hari, lalu datang Abdurrahman. Maka Umar menanyakan kepadanya. Abdurrahman menjawab:“Padaku mengenai ini wahai Amirul-mu’minin ada sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw”. Umar lalu membacakan: “Allahu Akbar”. Abdurrahman menyambung: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Apabila kamu mendengar penyakit kolera di suatu daerah, maka janganlah kamu datang kepadanya. Dan apabila telah terjadi penyakit kolera itu pada suatu daerah dan kamu berada padanya, maka jangan kamu keluar, untuk lari daripadanya”. Umar ra bergembira dengan demikian dan memuji Allah Ta’ala. Karena sesuai dengan pendapatnya. Dan ia kembali dari Al-Jabiah bersama orang banyak. Jadi, bagaimana sepakatnya para sahabat semuanya meninggalkan tawakkal dan tawakkal itu maqam yang tertinggi, jikalau ada yang seperti ini termasuk syarat tawakkal ? Kalau anda bertanya: “Maka mengapakah dilarang keluar dari negeri yang ada padanya penyakit kolera ? sebab kolera, menurut ilmu ketabiban itu udara. Dan yang paling jelas dari jalan berobat itu, ialah lari dari yang mendatangkan melarat. Dan udara itu yang mendatangkan melarat. Maka mengapakah tidak diberikan keringanan padanya ?”. Ketahuilah, bahwa tiada perbedaan pendapat, tentang lari dari yang mendatangkan melarat itu tidak dilarang. Karena berbekam dan berbetik itu lari dari yang mendatangkan melarat. Dan meninggalkan tawakkal pada contoh-contoh yang seperti ini diperbolehkan. Dan ini tidak menunjukkan kepada maksud. Akan tetapi, yang berkekurangan padanya dan ilmu adalah di sisi Allah Ta’ala bahwa udara tidak mendatangkan melarat, dari segi menemui zahiriyah badan. Akan tetapi, dari segi berkekalan (terus-menerus) menghirupnya. Maka apabila ada padanya kebusukan dan sampai kepada paru-paru, jantung dan dalam lipatan perut, niscaya membekas padanya, disebabkan lamanya menghirup. Maka tidak lahir penyakit kolera itu atas zahiriyah badan, selain sesudah lamanya membekas pada batiniah badan. Maka keluar dari negeri yang telah berjangkit penyakit wabah kolera itu biasanya tidak terlepas dari bekas yang telah teguh sebelumnya. Akan tetapi, diduga terlepas. Maka jadilah ini termasuk jenis yang didugakan, seperti: jampi, menengok untung dan lainnya. Jikalau sunyilah makna ini, niscaya adalah dia itu bertentangan bagi tawakkal. Dan tidaklah terlarang daripadanya. Akan tetapi, dia menjadi terlarang, karena disandarkan kepadanya urusan yang lain. Yaitu, bahwa jikalau diperbolehkan keluar bagi orang-orang yang sehat, niscaya tidak tinggal lagi dalam negeri itu, selain orang-orang sakit yang telah didudukkan oleh wabah kolera. Maka hancurlah hati mereka dan mereka kehilangan orang-orang yang melayaninya. Dan tidak tinggal dalam negeri, orang yang memberikan air kepada mereka dan yang memberikan makanan. Mereka lemah daripada mengerjakannya sendiri. Maka adalah yang demikian itu suatu usaha membinasakan mereka pada hakikat/maknanya. Kelepasan mereka itu ditunggu, sebagaimana kelepasan orang-orang yang sehat itu ditunggu. Maka jikalau mereka menetap terus (bermukim terus di situ), niscaya tidaklah kemungkinan itu yang memutuskan dengan mati. Jikalau mereka keluar, niscaya tidaklah keluar itu yang memutuskan dengan kelepasan. Dialah yang memutuskan pada membinasakan yang masih tinggal itu. Orang muslimin itu seperti gedung yang dikokohkan oleh sebahagian akan sebahagian. Dan orang mu’minin itu seperti satu tubuh. Apabila mengaduh suatu anggota badan daripadanya, niscaya terbawa kepadanya anggota-anggota badan lainnya. Maka inilah yang berkekurangan pada kita tentang menerangkan sebab larangan. Dan ini menjadi terbalik, pada orang yang tidak datang ke negeri itu sesudahnya. Maka tidaklah udara mendatangkan bekas pada batin mereka. Dan tidak ada keperluan dengan penduduk negeri itu kepada mereka. Ya, jikalau tidak tinggal lagi di negeri itu, selain orang-orang yang telah kena wabah kolera dan mereka ini memerlukan kepada orang-orang yang melayaninya dan datang kepada mereka suatu kaum, maka kadang-kadang berkekuranganlah kesukaan masuk ke sini, untuk memberi pertolongan. Dan tidak dilarang dari masuk, karena itu mendatangkan melarat yang didugakan, atas harapan tertolaknya melarat dari sisanya kaum muslimin yang lain. Dengan ini, diserupakan lari dari wabah kolera pada sebahagian hadits, dengan lari dari barisan perang. Karena padanya menghancur kan hati sisanya kaum muslimin yang lain dan mengusahakan pada membinasakan mereka. Maka inilah hal-hal yang halus ! siapa yang tidak memperhatikannya dan melihat kepada zahiriyah hadits dan atsar, niscaya bertentangan padanya kebanyakan apa yang didengarnya. Kekeliruan orang-orang abid dan zahid pada yang seperti ini, adalah banyak. Dan kemuliaan dan keutamaan ilmu itu adalah karena yang demikian. Kalau anda bertanya, bahwa pada meninggalkan berobat itu ada kelebihan, sebagaimana anda sebutkan dahulu, maka mengapakah tidak ditinggalkan oleh Rasulullah saw daripada berobat, supaya beliau memperoleh kelebihan ? Maka kami menjawab, bahwa padanya itu kelebihan, dengan dikaitkan kepada orang yang banyak dosanya, untuk menutupkannya (menjadi kafaratnya). Atau ia takut atas dirinya kedurhakaan sehat wal-afiat dan kekerasan nafsu syahwat. Atau ia memerlukan kepada apa, yang diperingatkannya oleh mati, karena kerasnya kelalaian. Atau ia memerlukan kepada memperoleh pahala orang-orang yang bersabar, karena keteledorannya dari maqam orang-orang yang ridha dan tawakkal. Atau singkat pandangan mata hatinya daripada melihat, kepada apa yang disimpan oleh Allah Ta’ala dalam obat-obat, daripada manfaat-manfaat yang halus. Sehingga menjadi pada pihaknya itu yang didugakan, seperti jampi. Atau adalah kesibukannya dengan keadaannya sendiri, yang mencegahnya daripada berobat. Dan adalah berobatnya itu menyibukkannya dari keadaannya sendiri, karena kelemahannya daripada mengumpulkan diantara dua kesibukan itu. Maka kepada makna-makna inilah kembali hal-hal yang memalingkan, pada meninggalkan berobat. Setiap yang demikian itu kesempurnaan, dengan dikaitkan kepada sebahagian makhluk dan kekurangan dengan dikaitkan kepada derajat Rasulullah saw. Bahkan, adalah maqamnya saw itu yang tertinggi dari maqam-maqam ini seluruhnya. Karena adalah hal keadaannya menghendaki bahwa ada penyaksiannya itu sama rata, ketika adanya sebab-sebab dan ketika tiada keadaannya. Maka sesungguhnya tidak ada baginya perhatian pada hal-ihwal, selain kepada Yang Menyebabkan sebab-sebab. Dan siapa yang ini maqamnya, niscaya tidaklah sebab-sebab itu mendatangkan melarat kepadanya. Sebagaimana keinginan kepada harta itu suatu kekurangan. Dan kebencian kepada harta itu suatu ketidak-senangan baginya. Jikalau adalah itu suatu kesempurnaan, maka dia juga suatu kekurangan, dengan dikaitkan kepada orang, yang sama padanya, adanya harta dan tidak adanya. Maka samanya batu dan emas itu lebih sempurna daripada lari dari emas. Tidak dari batu. Adalah hal-ihwalnya Nabi saw, sama padanya lumpur dan emas. Nabi saw tidak menahan barang tersebut, untuk mengajarkan manusia maqam zuhud. Bahwa maqam itu adalah penghabisan kekuatan mereka. Tidak, karena takutnya Nabi saw atas dirinya, pada menahan emas itu. Bahwa Nabi saw di tingkat yang tertinggi, daripada ia ditipu oleh dunia. Telah dibawa kepadanya perbendaharaan bumi, maka ia enggan menerimanya. Maka seperti demikian juga, sama padanya saw disertai sebab-sebab dan ditinggalkan sebab-sebab, bagi penyaksian yang seperti ini. Bahwa ia tidak meninggalkan memakai obat, karena berlaku atas Sunnah Allah Ta’ala dan memudahkan bagi umatnya, pada apa, yang tersentuh hajat mereka kepadanya, serta tak ada melarat padanya. Lain halnya dengan pemasukan harta benda. Bahwa yang demikian itu besar melaratnya. Benar, berobat itu tidak mendatangkan melarat, selain dari segi memandang obat itu mendatangkan manfaat, tidak Yang Menjadikan obat. Ini adalah dilarang. Dari segi, bahwa yang dimaksudkan, ialah kesehatan, untuk memperoleh pertolongan dengan kesehatan itu atas perbuatan-perbuatan maksiat. Dan yang demikian itu dilarang. Orang mu’min pada kebanyakan hal, tidaklah bermaksud yang demikian. Seorang mu’min tidak melihat obat itu mendatangkan manfaat oleh obat itu sendiri. Akan tetapi, dari segi bahwa obat itu dijadikan oleh allah Ta’ala sebab kemanfaatan. Sebagaimana ia tidak melihat air itu menghilangkan haus dan roti itu mengenyangkan. Maka berobat tentang maksudnya itu adalah seperti hukum berusaha. Bahwa jikalau ia berusaha untuk memperoleh pertolongan kepada taat atau kepada maksiat, niscaya adalah baginya hukumnya. Dan jikalau ia berusaha untuk memperoleh kenikmatan yang diperolehkan, maka baginya hukumnya. Maka jelaslah dengan pengertian-pengertian yang telah kami bentangkan itu, bahwa meninggalkan berobat, kadang-kadang adalah lebih utama pada sebahagian hal keadaan. Bahwa berobat kadang-kadang adalah lebih utama pada sebahagian keadaan. Bahwa yang demikian itu berbeda dengan berbedanya keadaan, orang dan niat. Bahwa salah satu dari berbuat dan meninggalkan berbuat, tidaklah menjadi syarat pada tawakkal, selain meninggalkan yang didugakan, seperti: berobat dengan besi panas dan jampi. Bahwa yang demikian itu mendalami pada pengaturan, yang tidak layak dengan orang-orang yang bertawakkal.
PENJELASAN: hal-ihwal orang-orang yang bertawakkal, pada melahirkan sakit dan menyembunyikannya.
Ketahuilah, bahwa menyembunyikan sakit, menyembunyikan kemiskinan dan bermacam-macam percobaan itu adalah sebahagian dari gudang-gudang kebajikan
Dan itu adalah termasuk maqam yang lebih tinggi. Karena ridha dengan hukum Allah dan sabar atas percobaanNya itu adalah mu’amalah (jual beli) antara dia dan Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka menyembunyikannya itu lebih menyelamatkan dari segala bahaya. Bersama dengan itu, maka melahirkannya tiada mengapa, apabila sah (benar) niat dan maksud padanya. Maksud-maksud melahirkan itu 3:
Pertama: bahwa ada maksudnya itu berobat. Maka ia memerlukan kepada menyebutkannya kepada tabib (dokter). Maka disebutkannya penyakit itu, tidak dalam bentuk mengadu, akan tetapi dalam bentuk menceritakan, akan apa yang telah tampak atas dirinya dari Qudrah (kekuasaan) Allah Ta’ala. Adalah Bisyr menyifatkan kepada Abdurrahman yang menjadi tabib, akan segala penyakitnya. Adalah Ahmad bin Hanbal menceritakan penyakit-penyakit yang didapatinya. Ia mengatakan: “Bahwa aku menyifatkan qudrah (kuasa) Allah Ta’ala padaku”.
Kedua: bahwa ia menyifatkan bagi bukan tabib. Dan dia termasuk orang yang diikuti orang lain. Dan dia orang yang mantap pada ma’rifah. Maka ia maksudkan daripada menyebutkan itu, supaya orang mempelajari dari padanya akan kebagusan sabar pada sakit. Bahkan kebagusan syukur, bahwa ia melahirkan, bahwa ia melihat sakit itu suatu nikmat. Maka ia bersyukur kepada nikmat itu. Lalu ia memperkatakan dengan sakit itu, sebagaimana ia memperkatakan dengan nikmat. Al-Hasan Al-Bashari  berkata: “Apabila orang sakit itu memuji Allah Ta’ala dan bersyukur kepadaNya, kemudian ia menyebutkan penyakit-penyakitnya, niscaya tidaklah yang demikian itu mengadu.
Ketiga: bahwa ia melahirkan dengan yang demikian itu, akan kelemahannya dan kehajatannya kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu bagus, dari orang yang layak dengan dia, kekuatan dan keberanian. Dan menjauhkan daripadanya kelemahan. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa ditanyakan kepada Ali tentang sakitnya: “Bagaimana anda ?”. Ali ra menjawab: “Dengan tidak baik”. Lalu mereka pandang-memandang sesamanya, seakan-akan mereka tidak senang atas jawaban Ali ra itu. Mereka menyangka bahwa jawaban itu mengadu. Lalu Ali ra berkata: “Aku memaksakan kekuatan dan kesabaran kepada Allah”. Ali ra ingin melahirkan kelemahan dan kehajatan, serta diketahui padanya kekuatan dan ketekunan. Ia berkesopanan dengan kesopanan yang diajarkan Nabi saw kepadanya, dimana Ali ra itu sakit, lalu didengar oleh Nabi saw bahwa Ali ra itu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! jadikanlah aku ini bersabar atas percobaan !”. Nabi saw lalu bersabda kepada Ali ra: “Engkau telah meminta pada Allah Ta’ala akan percobaan. Maka mintalah pada Allah akan sehat wal-afiat !”. Maka dengan niat-niat ini, diperbolehkan menyebutkan sakit. Sesungguhnya disyaratkan yang demikian, karena menyebutkannya itu mengadu. Dan mengadu dari Allah Ta’ala itu haram. Sebagaimana aku telah sebutkan, pada mengharamkan meminta-minta atas orang miskin, selain disebabkan darurat. Jadilah melahirkan itu mengadu, dengan karinah kemarahan dan melahirkan ketidak-senangan bagi perbuatan Allah Ta’ala. Kalau terlepas dari karinah kemarahan dan dari niat-niat yang telah kami sebutkan, maka tidak disifatkan dengan pengharaman. Akan tetapi, dihukumkan padanya, dengan yang lebih utama meninggalkannya. Karena itu kadang-kadang mendugakan akan mengadu. Dan karena kadang-kadang ada padanya berbuat-buat dan penambahan pada sifat atas yang ada dari sebab karenanya. Dan orang yang meninggalkan berobat, karena tawakkal, maka tiada cara baginya untuk melahirkan. Karena bersenang-senang kepada obat itu lebih utama dari bersenang-senang kepada dikenal orang.

Sebahagian mereka berkata: “Siapa yang menyiarkan, niscaya dia tidak sabar”. Dan dikatakan tentang makna firman Allah Ta’ala: “Maka kesabaran yang baik itulah”. S 12 Yusuf ayat 83. Ialah, yang tak ada mengadu padanya. Ditanyakan kepada Nabi Ya’qub as: “Apakah yang menghilangkan penglihatan engkau ?”. Nabi Ya’qub as menjawab: “Berlalunya masa dan lamanya kegundahan”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi Ya’qub as: “Aku habiskan pengaduanKu kepada hamba-hambaKu”. Nabi Ya’qub as berdoa: “Wahai Tuhanku ! aku bertaubat kepadaMu !”. Diriwayatkan dari Thawus dan Mujahid, bahwa keduanya mengatakan: “Dituliskan atas orang yang sakit, akan pengaduhannya dalam sakitnya”. Mereka itu tidak menyukai akan pengaduhan karena sakit. Karena yang demikian itu melahirkan makna yang menghendaki mengadu. Sehingga dikatakan: “Tiada diperoleh oleh Iblis kiranya ia dikutuk oleh Allah dari nabi Ayyub as, selain pengaduhannya dalam sakitnya”. Maka dijadikan pengaduhan itu keberuntungan Iblis dari nabi Ayyub as. Tersebut pada hadits: “Apabila sakit seorang hamba, maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada dua malaikat: “Perhatikanlah, apa yang dikatakan orang sakit itu kepada pengunjung-pengunjungnya !”. Kalau ia memuji Allah dan mengucapkan pujian dengan kebajikan, niscaya kedua malaikat itu berdoa baginya. Dan kalau ia mengadu dan menyebutkan yang tidak baik, niscaya kedua malaikat itu mengatakan: “Seperti demikianlah adanya engkau”. Sebahagian hamba Allah tidak suka mengunjungi orang sakit, karena takut orang sakit itu nanti mengadu. Dan takut berlebihan pada pembicaraan. Sebahagian mereka apabila sakit, lalu menguncikan pintu rumahnya. Maka tiada seorangpun yang masuk ke tempatnya sampai ia sembuh. Lalu ia keluar kepada mereka. Diantara mereka itu yang demikian, ialah: Fudlail, Wahib dan Bisyr. Fudlail mengatkan: “Aku ingin bahwa aku sakit, tanpa ada yang berkunjung”. Fudlail mengatakan pula: “Aku tidak benci kepada penyakit, selain karena orang-orang yang berkunjung”. Kiranya Allah meridhai Fudlail dan mereka sekalian. Sempurnalah sudah Kitab Keesaan dan Tawakkal dengan pertolongan Allah dan kebagusan taufiqNya. Akan diiringi insya Allahu Ta’ala oleh Kitab Kasih-sayang, Rindu, Jinak Hati dan Ridha. Allah swt yang mencurahkan taufiq !