KITAB TERCELANNYA KEMEGAHAN DAN RIA’
Yaitu: kitab ke 8 dari “Rubu’ yang membinasakan” Dari “KITAB IHYA’ ‘ULUMIDDIN”.
Segala pujian bagi Allah yang Maha
Mengetahui yang ghaib-ghaib, yang melihat rahasia-rahasia hati, yang memaafkan
dari dosa-dosa besar, yang mengetahui apa yang disembunyikan oleh dlamir (yang
dalam hati) dari yang ghaib-ghaib yang tersembunyi, Yang Maha Melihat
rahasia-rahasia niat dan yang tersembunyi dalam lipatan hati, yang tiada akan
menerima amal perbuatan, selain apa yang telah sempurna, lengkap, bersih dari
campuran ria dan syirik (mempersekutukan Tuhan) dan murni. Maka Dialah
tersendiri dengan kekuasaan. Dialah Yang Maha Kaya dari segala yang kaya, dari
persekutuan. Salawat dan salam kepada Muhammad, keluarganya dan
sahabat-sahabatnya, yang bersih dari sifat kekhianatan dan kepalsuan.
Anugerahilah kesejahteraan yang banyak. Adapun kemudian, maka sesungguhnya
Rasulullah saw telah bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku takuti dari apa
yang aku takuti atas umatku, ialah ria dan nafsu syahwat yang tersembunyi,
dimana dia lebih tersembunyi dari merangkaknya semut hitam atas batu besar yang
hitam pekak, dalam malam yang gelap”. Dan karena itulah, maka para ulama yang
terkenal, lemah daripada mengetahui tipu dayanya. Lebih-lebih lagi orang-orang
‘abid (yang banyak beribadah) yang awam dan orang-orang yang taqwa. Dan itulah
yang termasuk penghabisan tipuan hawa nafsu dan batin tipu dayanya.
Sesungguhnya, dicoba dengan yang demikian, alim ulama, orang-orang ‘abid dan
orang-orang yang rajin, daripada kesungguhan berjalan untuk menempuh jalan
akhirat. Bahwa mereka, manakala memaksakan dirinya, berkesungguhan dan
menceraikan dirinya dari nafsu syahwat, menjaga dirinya dari perbuatan yang
syubhat (diragukan) dan membawakan dirinya lemah dari kelobaan pada
perbuatan-perbuatan maksiat yang terang, yang terjadi atas anggota badannya.
Lalu dirinya mencari ketentraman (istirahat) kepada berbuat-buat melahirkan
yang kebajikan dan melahirkan amal dan ilmu. Lalu diri itu mendapat kelepasan
dari kesukaran kesungguhan, kepada kesenangan penerimaan pada makhluk. Dan
pandangan mereka kepadanya dengan pandangan kemuliaan dan pengagungan. Maka
diri itu bersegera kepada melahirkan keta’atan dan menyampaikan kepada
penglihatan orang banyak. Diri itu tidak merasa cukup dengan penglihatan
Pencipta Alam (Allah Ta’ala). Diri itu merasa gembira dengan pujian manusia.
Dan tidak merasa cukup dengan pujian Allah Yang Maha Esa. Dan diri itu
mengetahui, bahwa makhluk apabila mengetahui dia itu meninggalkan nafsu syahwat
dan menjaga diri dari harta syubhat (diragukan) serta menanggung
kesulitan-kesulitan ibadah, niscaya makhluk itu akan melepaskan lidah mereka
dengan pujian dan sanjungan. Dan mereka berlebih-lebihan pada memuji dan
memuja. Dan memandang kepadanya dengan pandangan kemuliaan dan kehormatan.
Mereka mengambil berkah dengan memandang dan menemuinya. Mereka ingin pada
barakah doanya dan sangat ingin mengikuti pendapatnya. Mereka mendahulukannya
dengan pelayanan dan memberi salam dan memuliakannya dengan berlebih-lebihan
pada upacara-upacara. Mereka memaafkannya pada jual-beli dan segala mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)
(hubungan dalam pergaulan). Mereka mendahulukannya pada majelis-majelis dan
mengutamakannya dengan makanan dan pakaian. Mereka merasa dirinya rendah demi
kebesarannya, dengan merendahkan diri dan menurutinya pada maksud-maksudnya,
dengan menghormatinya. Maka diri itu pada yang demikian, memperoleh kesenangan
(kelezatan). Yaitu: kelezatan yang paling besar. Ia memperoleh nafsu syahwat.
Yaitu: nafsu syahwat yang paling banyak. Lalu diri itu, memandang hina
meninggalkan perbuatan maksiat dan kesalahan. Merasa lunak kekasaran kerajinan
kepada ibadah-ibadah, untuk memperoleh pada batin, kelezatan segala yang lezat
dan keinginan nafsu segala syahwat. Ia menyangka bahwa hidupnya dengan Allah
dan dengan ibadahnya yang diridhoi. Dan sesungguhnya hidupnya adalah dengan
nafsu syahwat yang tersembunyi itu, yang membutakan akalnya yang tembus dan
kuat daripada mengetahuinya. Ia melihat bahwa ia ikhlas pada mentaati Allah dan
menjauhkan segala yang diharamkan oleh Allah. Nafsu dirinya telah menyembunyikan
nafsu syahwat tersebut, karena penghiasan bagi semua hamba dan berbuat-buat
bagi makhluk. Dan merasa gembira dengan apa yang diperolehnya, dari kedudukan
dan kemuliaan. Dan dengan yang demikian, menghapuskan pahala taat dan amal
perbuatan yang baik. Namanya telah dicantumkan pada halaman suratan orang-orang
munafik. Dan ia menyangka, bahwa dia pada sisi Allah, termasuk orang muqarrabin
(orang-orang yang dekat dengan Allah). Inilah suatu penipuan bagi diri, yang
tiada selamat daripadanya, selain orang-orang siddik. Dan suatu jurang yang
tidak dapat di daki, selain oleh orang-orang muqarrabin. Dan karena itulah,
dikatakan, bahwa penghabisan yang keluar dari kepala orang-orang siddik. Ialah:
Hubbu’rriyasah (ingin menjadi kepala). Apabila adalah ria itu penyakit yang
tertanam, yang menjadi jala yang terbesar bagi setan-setan, niscaya haruslah
ada penguraian perkataan ria, tentang: sebab, hakikat/makna, derajat, bahagian,
jalan-jalan pengobatan dan penjagaan daripadanya. Dan jelaslah maksud dari yang
demikian itu, pada penyusunan kitab ini, diatas dua bagian: Bagian pertama:
tentang ingin kemegahan dan kemahsyuran. Dan padanya penjelasan tercelanya
kemahsyuran, penjelasan keutamaan khumul (tidak mahsyur atau tidak terkenal),
penjelasan tercelanya kemegahan, penjelasan arti kemegahan dan
hakikat/maknanya, penjelasan sebab adanya kemegahan itu lebih dicintai dari
kecintaan kepada harta, penjelasan bahwa kemegahan itu kesempurnaan bayangan
dan tidaklah kesempurnaan yang sebenarnya (kamal haqiqi), penjelasan apa yang
terpuji dari kecintaan kemegahan dan apa yang tercela, penjelasan sebab tentang
kecintaan pujian dan sanjungan dan kebencian celaan, penjelasan obat tentang
kecintaan kemegahan, penjelasan obat kecintaan pujian, penjelasan obat
kebencian celaan dan penjelasan perbedaan keadaan manusia tentang pujian dan
celaan. Maka itu adalah 12 pasal. Dari padanyalah terjadi pengertian ria. Maka
tak boleh tidak mendahulukannya. Kiranya Allah mencurahkan taufiq kepada
kebenaran, dengan kasih-sayang, kenikmatan dan kemurahan Allah.
PENJELASAN:
TERCELANYA KEMAHSYURAN DAN TERSIARNYA SUARA.
Ketahuilah, kiranya Allah mencurahkan
perbaikan bagi anda, bahwa asal kemegahan itu, ialah: tersiarnya suara dan
kemahsyuran. Dan itu tercela. Bahkan yang terpuji, ialah: khumul (tidak
termahsyur), selain orang yang dimahsyurkan oleh Allah Ta’ala, karena
mengembangkan agama Allah, tanpa memberatkan mencari kemahsyuran daripadanya.
Anas ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Mencukupi seseorang itu dari
kejahatan, bahwa manusia menunjukkan kepadanya dengan anak jari, tentang agama
dan dunianya, kecuali orang yang dipelihara oleh Allah”. Jabir bin Abdullah
berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Mencukupilah seseorang dari kejahatan,
selain orang yang dipelihara oleh Alah dari yang jahat, bahwa manusia
menunjukkan kepadanya dengan anak jari, tentang agama dan dunianya.
Sesungguhnya Allah tiada memandang kepada rupamu. Akan tetapi IA memandang
kepada hatimu dan amal perbuatanmu”. Al-Hasan Al-Basri ra menyebutkan
penafsiranbagi hadits tersebut. Dan tiada mengapa dengan penafsiranitu. Karena
ia yang merawikan hadits tadi. Lalu ditanyakan kepadanya: “Hai Abu Sa’id!
Sesungguhnya manusia, apabila melihat engkau, niscaya mereka menunjukkan kepada
engkau dengan anak-anak jari”. Al-Hasan Al-Basri ra lalu menjawab:
“Sesungguhnya tidak dimaksudkan ini. Yang dimaksudkan sesungguhnya ialah: orang
yang mengada-adakan pada agamanya dan yang fasik pada dunianya”. Ali ra
berkata: “Engkau memberi dan engkau tidak termahsyur (terkenal). Dan janganlah
engkau mengangkat diri engkau, supaya engkau disebut orang. Belajarlah dan
sembunyikanlah! Dan diamlah, niscaya engkau selamat! Engkau gembirakan orang
baik-baik dan engkau marahi orang zalim!”. Ibrahim bin Adham ra berkata: “Tiada
membenarkan akan Allah, oleh orang yang menyukai kemahsyuran”. Ayyub
As-Sakhtiani berkata: “Demi Allah ! Tiadalah hamba itu membenarkan akan Allah,
selain oleh batinnya (sirr/rahasia-nya). Bahwa ia tiada mengetahui tempat
sirr/rahasia itu”. Dari Khalid bin Ma’dan, bahwa Khalid, apabila halqahnya
(duduk berkeliling) banyak, niscaya ia bangun pergi, karena takut (terkenal).
Dari Abil-‘aliyah, bahwa apabila duduk padanya lebih banyak dari 3 orang, maka
ia bangun pergi. Thalhah melihat suatu kaum berjalan bersama dia, kira-kira 10
orang. Lalu ia mengatakan: “Lalat loba dan kupu-kupu api”. Salim bin Handhalah
berkata: “Sewaktu kami berada keliling Ubai bin Kaab, dimana kami berjalan
dibelakangnya, tiba-tiba dilihat oleh Umar ra. Lalu Umar mengangkat ke atasnya
cemeti. Maka Ubai berkata: “Hai Amirul-Mu’minin ! Apa yang engkau perbuat?”.
Umar ra lalu menjawab: “Bahwa ini adalah kehinaan bagi pengikut dan fitnah bagi
yang diikut”. Dari Al-Hasan Al-Basri ra yang mengatakan: “Pada suatu hari, Ibnu
Mas’ud keluar dari tempat tinggalnya. Lalu ia diikuti oleh manusia. Maka Ibnu
Mas’ud berpaling kepada mereka, seraya berkata: “Dengan maksud apa kamu
mengikuti aku? Demi Allah ! jikalau kamu mengetahui apa yang dikuncikan pintuku
atasnya, niscaya tiada akan mengikuti aku, oleh dua orang daripada kamu”. Al-Hasan
Al-Basri ra berkata: “Sesungguhnya bunyi sandal-sandal dikeliling orang-orang,
maka sedikitlah dapat menetap kan hati orang-orang bodoh”. Pada suatu hari
Al-Hasan ra keluar dari rumahnya. Lalu ia diikuti oleh suatu kaum (suatu
golongan orang banyak). Maka Al-Hasan mengatakan: “Apakah kamu ada keperluan?
jikalau tidak, maka tidaklah diharapkan ini akan terus-menerus pada hati orang
mu’min”. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki menemani Ibnu Muhairiz dalam
perjalanan jauh (dalam bermusafir). Maka tatkala orang itu akan berpisah dengan
Ibnu Muhairiz, lalu ia berkata: “Berilah aku nasehat !”. Ibnu Muhairiz lalu
menjawab: “Jikalau engkau sanggup untuk mengenal dan engkau tidak dikenal,
engkau berjalan dan orang tidak berjalan kepada engkau, engkau bertanya dan
engkau tidak ditanyakan, maka berbuatlah !”. Ayyub As-Sakhtiani keluar dari
rumahnya untuk suatu perjalanan jauh. Lalu ia di songsong oleh orang banyak.
Maka ia mengatakan: “Jikalau tidaklah aku mengetahui, bahwa Allah tahu dari
hatiku, bahwa aku tidak suka begini, niscaya aku takut akan kutukan daripada
Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar”. Ma’mar berkata:
”Aku cela Ayyub karena panjang kemejanya”. Lalu ia menyambung: “Sesungguhnya
kemahsyuran pada masa yang lalu, adalah pada panjangnya kemeja. Dan pada hari
ini, kemahsyuran itu adalah penyingsingan baju”. Setengah mereka berkata:
“Adalah aku bersama Abi Qallabah, tatkala masuk kepadanya seorang laki-laki,
yang pada tubuhnya banyak pakaian. Lalu Abi Qallabah berkata: “Jagalah dirimu,
dari keledai yang memekik ini !”. Maksudnya, ia menunjukkan dengan demikian,
kepada mencari kemahsyuran. Ats-Tsauri berkata: “Adalah mereka tiada menyukai
kemahsyuran, dari kain-kain yang baik dan kain-kain yang buruk. Karena mata
memperhatikan kepada kain-kain itu semua”. Seorang laki-laki berkata kepada
Bisyir bin Al-Harits: ”Berilah aku nasehat ! Lalu Bisyir menjawab: “Buatlah
sebutanmu tidak terkenal dan baikanlah makananmu !”. Adalah Hausyab bin ‘Uqail
Al-Basyari menangis, seraya berkata: “Namaku telah sampai ke masjid jami”.
Bisyir berkata: “Tiada seorang laki-lakipun yang aku kenal, yang menyukai ia
dikenal orang, selain hilangnya agamanya dan terbukalah kekurangan-nya”. Bisyir
berkata pula: “Tiada akan diperoleh kemanisan akhirat, oleh orang yang suka
dikenal oleh manusia”. Kiranya rahmat Allah kepada Bisyir dan kepada mereka
sekalian !”.
PENJELASAN:
KEUTAMAAN KHUMUL ( TIDAK TERMASYUR )
Rasulullah saw bersabda: “Banyaklah orang
yang kusut rambutnya, berdebu badannya, mempunyai pakaian buruk, tidak diperdulikan
orang. Jika ia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah menganugerahkan kebajikan
kepadanya. Diantara mereka, ialah: Al-Barra’ bin Malik. Sekarang Ibnu Mas’ud
berkata: “Nabi saw bersabda: “Banyaklah orang yang berpakaian buruk, yang tidak
diperdulikan orang. Jikalau ia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah
mencurahkan kebajikan kepadanya. Jikalau ia berdoa: “Wahai Allah, Tuhanku !
Sesungguhnya aku bermohon kepadaMU sorga”, niscaya Allah menganugerahkannya
sorga itu. Dan tidak dianugerahkan Allah kepadanya dari dunia sesuatupun”. Nabi
saw bersabda: “Apakah tidak aku tunjukkan kepadamu penduduk sorga? Yaitu:
setiap orang yang lemah dan dipandang lemah. Jikalau ia bersumpah kepada Allah,
niscaya Allah mencurahkan kebajikan kepadanya. Dan penduduk neraka, yaitu:
tiap-tiap orang yang sombong dan terpandang sombong, yang angkuh dalam
gerak-geriknya”. Abu Hurairah berkata: “Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
penduduk sorga itu, ialah setiap orang yang kusut rambutnya, berdebu badannya,
mempunyai pakaian buruk, yang tidak diperdulikan orang. Apabila mereka meminta
izin untuk menjumpai amir-amir, niscaya tidak diizinkan mereka untuk
menjumpainya. Apabila mereka meminang wanita, niscaya tidak mau dikawinkan
dengan mereka. Apabila mereka berkata-kata, maka orang tidak diam untuk
mendengar perkataannya. Keperluan seseorang dari mereka itu berantakan dalam
dadanya. Jikalau nurnya/cahayanya pada hari kiamat, dibagi-bagikan kepada
manusia, niscaya akan meluasi semua mereka”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
dari umatku, ada orang yang kalau datang kepada seseorang kamu, meminta uang
sedinar, niscaya tidak diberikannya. Dan jikalau dimintanya sedirham, niscaya
tidak juga diberikan nya. Dan jikalau dimintanya uang tembaga. Niscaya tidak
juga diberikannya. Dan jikalau ia meminta sorga pada Allah, niscaya diberikan Allah. Dan jikalau ia meminta
dunia, niscaya tidak diberikannya. Dan tiada tercegahnya dunia kepadanya,
selain karena hinanya dunia kepadanya. Banyaklah orang yang berpakaian buruk,
yang tidak diperdulikan orang, jikalau ia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah
menganugerahkan kebajikan kepadanya”. Diriwayatkan, bahwa Umar ra masuk ke
masjid. Lalu ia melihat Mu’az bin Jabal menangis di sisi kuburan Rasulullah
saw. Maka Umar ra bertanya: “Apakah yang menjadikan engkau menangis?”. Mu’az
bin Jabal menjawab: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Bahwa sedikit ria
itu, sebagian dari syirik. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
taqwa yang menyembunyikan amal perbuatannya. Mereka, jikalau gaib (tidak datang),
orang tidak merasa kehilangan. Dan jikalau mereka hadir, orang tidak
mengenalnya. Hati mereka itu lampu petunjuk. Mereka terlepas dari setiap bumi
yang gelap”. Muhammad bin Suaid berkata: “Telah datang kemarau bagi penduduk
Madinah. Dan ada di Madinah seorang laki-laki yang sholeh, yang tiada
diperdulikan orang. Ia selalu berada di masjid nabi saw. Ketika penduduk
Madinah itu sedang berdoa, tiba-tiba datang kepada mereka, seorang laki-laki
yang memakai pakaian buruk. Lalu orang tersebut mengerjakan shalat dua rakaat,
yang dipendekkannya. Kemudian, ia membentangkan kedua tangannya, seraya berdoa:
“Wahai Tuhanku ! Aku bersumpah kepadaMU, kecuali Engkau turunkan kepada kami
hujan sesaat”. Laki-laki tersebut tidak menarik kedua tangannya dan tidak
memutuskan doanya, sehingga itu tertutup dengan mengandung. Dan mereka
diturunkan hujan, sehingga penduduk Madinah itu berteriak, dari ketakutan
tenggelam dalam air. Lalu orang tadi berdoa: “Hai Tuhanku ! Jikalau Engkau
mengetahui, bahwa mereka telah merasa cukup, maka angkatlah hujan itu dari
mereka !” Maka hujan itupun berhenti. Dan laki-laki tadi diikuti oleh temannya
yang mengerjakan shalat Istisqa (shalat minta hujan), sehingga diketahui tempat
tinggalnya. Kemudian, pada pagi hari, lalu teman itu datang kepada laki-laki
tersebut, seraya berkata: “Sesungguhnya aku datang kepadamu, ada suatu
keperluan”. Laki-laki itu lalu bertanya: “Apakah keperluan itu?”. Teman tadi
lalu menjawab: “Tentukanlah kepadaku suatu doa !”. Maka laki-laki itu menjawab:
“Subhaanallah ! Engkau-engkau ! Engkau meminta kepadaku, bahwa aku tentukan
bagimu suatu doa?”. Teman itu kemudian bertanya lagi: “Apakah yang sampai
kepada engkau, dari apa yang aku lihat?”. Laki-laki tersebut menjawab: “Aku taat kepada Allah, tentang apa
yang disuruh NYA aku dan yang dilarangNYA aku. Lalu aku meminta kepada Allah,
maka diberikanNYA kepadaku”. Ibnu Mas’ud berkata: “Hendaklah kamu itu mata air
ilmu, lampu petunjuk, selalu di rumah, pelita malam, sunyi hati dari selain Allah, mempunyai pakaian kain buruk.
Kamu terkenal pada penduduk langit dan tersembunyi pada penduduk bumi”. Abu
Umamah berkata: “Rasulu’llah saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya waliKU yang paling digemari, ialah: hamba yang mu’min, sedikit
harta, mempunyai kesenangan dengan shalat, membaikkan ibadah kepada Tuhannya
dan mentaatiNYA pada waktu tersembunyi. Ia tertutup pada manusia, tidak
ditunjukkan kepadanya dengan anak jari. Kemudian, ia bersabar atas yang
demikian”. Abu Umamah meneruskan riwayatnya: “Kemudian Rasulullah saw memukul
dengan tangannya, seraya bersabda: “Orang tersebut cepat matinya, sedikit
pusaka yang ditinggalkannya dan sedikit orang yang menangisinya”. Abdullah bin
Umar ra berkata: “Hamba Allah yang paling dikasihi oleh Allah, ialah:
“orang-orang perantau”. Lalu ditanyakan: “Siapakah orang-orang perantau itu?”
Abdullah bin Umar ra menjawab: “Orang-orang yang lari dengan agamanya.
Mereka berkumpul pada hari kiamat kepada Isa Al-Masih as”. Al-Fudlail bin
‘Iyadl ra berkata: “Sampai kepadaku riwayat, bahwa Allah Ta’ala berfirman pada
sebagian apa yang dianugerahkanNYA kepadaNYA: ”Apakah tidak AKU anugerahkan
nikmat kepadamu? Apakah tidak AKU tutup kekuranganmu? Apakah tidak AKU
sembunyikan sebutanmu?”. Al-Khalil bin Ahmad mengucapkan dalam doanya: “Wahai
Allah, Tuhanku ! Jadikanlah aku pada sisiMU, termasuk yang tertinggi dari
makhlukMU ! Jadikanlah aku daripada diriku, termasuk yang terendah dari
makhlukMU ! Jadikanlah aku pada sisi manusia, termasuk yang ditengah-tengah
dari makhlukMU !”. Ats-Tsauri berkata: “Aku dapati hatiku pantas di Mekkah dan
di Madinah, serta kaum perantau, yang mempunyai makanan dan kesungguhan”.
Ibrahim bin Adham berkata: “Tiada aku gembira sekali-kali seharipun dalam
dunia, kecuali sekali, dimana aku bermalam pada suatu malam di sebagian masjid
desa negri Syam/Syiria. Dan aku ketika itu sakit perut. Lalu aku ditarik oleh
Muazzin/juru azan dengan memegang kakiku. Sehingga aku dikeluarkannya dari
masjid”. Al-Fudlail bin ‘Iyadl berkata: “Jikalau engkau sanggup untuk tidak
dikenal, maka perbuatlah ! Dan tidaklah atas engkau untuk tidak dikenal. Dan
tidaklah atas engkau untuk tidak dipuji. Dan tidaklah atas engkau untuk dicela
manusia, apabila ada engkau terpuji pada sisi Allah Ta’ala”. Maka inilah atsar
dan cerita, yang memperkenalkan kepadamu tercelanya kemahsyuran dan keutamaan
tidak termahsyur. Sesungguhnya yang dicari dengan kemahsyuran dan tersebarnya
suara, ialah: kemegahan dan kedudukan pada hati manusia. Dan suka kemegahan itu
adalah tempat terjadinya tiap-tiap kerusakan. Jikalau anda bertanya: “Maka
manakah kemahsyuran yang melebihi dari kemahsyuran nabi-nabi, khulafa’rasyidin
dan ulama-ulama yang terkemuka? Maka bagaimana hilangnya keutamaan tidak
termahsyur bagi mereka?”. Maka ketahuilah, bahwa yang tercela, ialah: mencari
kemahsyuran. Adapun adanya dari pihak Allah Ta’ala, tanpa pemaksaan dari hamba
itu, maka tidaklah tercela. Benar, padanya fitnah atas orang-orang yang lemah,
tidak atas orang-orang yang kuat. Mereka itu seperti orang karam yang lemah,
apabila ada bersama dia serombongan orang-orang karam. Maka yang lebih utama
baginya, bahwa dia tidak dikenal oleh seorangpun dari mereka. Lalu mereka itu
bergantung padanya. Maka ia lemah dari mereka. Maka ia binasa bersama mereka.
Adapun orang yang kuat, maka yang lebih utama, bahwa ia dikenal oleh
orang-orang yang karam, supaya mereka bergantung padanya. Maka ia dapat
melepaskan mereka dan ia akan memperoleh pahala atas yang demikian.
PENJELASAN:
TERCELANYA SUKA KEMEGAHAN
Allah Ta’ala berfirman: “Kampung akhirat
itu kami berikan kepada mereka yang tidak menghendaki ketinggian dan kerusakan
di muka bumi”. S 28 Al Qashash ayat 83. Allah Ta’ala mengumpulkan diantara
kehendak kerusakan dan ketinggian. Dan ia menjelaskan bahwa kampung akhirat
itu, bagi orang yang terlepas dari dua kehendak tersebut sekalian. Dan Allah
Ta’ala berfirman: “Siapa yang ingin kepada kehidupan yang dekat (dunia) dan
perhiasannya, Kami cukupkan kepadanya perbuatannya itu di dunia ini dan mereka
tidak dirugikan. Orang-orang itu tiada mendapat di hari kemudian (hari akhirat),
selain dari neraka. Di sana tiada berguna apa-apa yang telah mereka usahakan
dan terbuang percuma apa yang telah mereka kerjakan”. S 11 Huud ayat 15-16. Ini
juga, dengan umumnya firman itu, melengkapi kepada suka kemegahan. Sesungguhnya
kemegahan itu kesenangan yang paling besar dari kesenangan-kesenangan hidup
duniawi. Dan perhiasan yang terbanyak dari perhiasan duniawi. Rasulullah saw
bersabda: “Cinta harta dan kemegahan itu menumbuhkan nifaq (kemunafikan) di
dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan sayur-sayuran”. Nabi saw bersabda:
“Tidaklah dua ekor srigala yang buas yang dilepaskan dalam kandang kambing,
lebih cepat membuat bencana, dibandingkan dengan cinta kemuliaan dan harta,
terhadap agama seorang muslim”. Nabi saw bersabda kepada Ali ra: “Sesungguhnya
binasanya manusia itu, ialah disebabkan mengikuti hawa nafsu dan cinta pujian”.
Kita mohon kepada Allah akan kemaafan dan keafiatan dengan nikmat dan kurnia
Allah.
PENJELASAN: ARTI
KEMEGAHAN DAN HAKIKAT/MAKNANYA.
Ketahuilah kiranya, bahwa kemegahan dan
harta adalah: dua sendi dunia. Dan arti harta, ialah: memiliki benda-benda yang
dapat dimanfaatkan. Dan arti kemegahan, ialah: memiliki hati yang dicari
pengagungan dan ketaatan bagi hati. Sebagaimana orang kaya, ialah: yang
memiliki dirham dan dinar. Artinya: ia berkuasa atas dirham dan dinar itu,
untuk menyampaikannya kepada maksud, tujuan, memenuhi nafsu syahwat dan
kesenangan-kesenangan jiwa lainnya. Maka begitu pulalah orang yang mempunyai
kemegahan. Yaitu: orang yang memiliki hati manusia. Artinya: ia sanggup untuk
berbuat pada hati manusia itu, untuk dipakaikannya dengan perantaraan hati itu,
orang-orang yang punya hati itu, pada maksud-maksud dan tujuan-tujuannya. Dan
sebagaimana ia mengusahakan harta dengan bermacam-macam usaha dan perusahaan,
maka demikian pula ia mengusahakan hati makhluk dengan bermacam-macam mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Dan
tidaklah hati itu menuruti, selain dengan pengetahuan dan keyakinan-keyakinan
(i’tiqad (keyakinan)at). Maka setiap orang yang diyakini oleh hati, padanya
suatu sifat dari sifat-sifat kesempurnaan, niscaya hati itu menuruti dan
mematuhi kepadanya, menurut kuatnya keyakinan hati tadi dan menurut tingkat
kesempurnaan tersebut padanya. Dan tidaklah diisyaratkan bahwa ada sifat itu
sempurna pada diri sifat itu sendiri. Akan tetapi memadailah, bahwa sifat itu
sempurna pada hati dan pada keyakinan hati. Kadang-kadang hati itu meyakini,
apa yang tidak sempurna itu, diyakini sempurna. Dan hatinya meyakini bagi orang
yang bersifat demikian, untuk mematuhinya dengan mudah, menurut keyakinannya.
Maka sesungguhnya kepatuhan hati itu bertempat pada hati. Dan hal keadaan hati itu, mengikuti bagi
keyakinan hati, pengetahuannya dan khayalannya (imajinasinya). Dan sebagaimana
orang yang mencintai harta itu, mencari jalan untuk memiliki budak-budak dan
hambasahaya-hambasahaya, maka orang yang mencari kemegahan itu mencari untuk
memperbudakkan orang-orang merdeka, memperhambakan dan memiliki leher mereka
dengan memiliki hati mereka. Bahkan perbudakan yang dicari oleh orang yang
mencari kemegahan itu, lebih besar. Karena orang yang berpunya itu, memiliki
budak dengan cara paksaan. Dan budak itu tidak mau menurut tabiatnya. Dan
jikalau diserahkan kepada pendapatnya, niscaya budak itu menarik diri dari
kepatuhan. Dan orang yang punya kemegahan itu, mencari kepatuhan orang dengan
tanpa paksaan. Dan ia mau orang-orang merdeka itu menjadi budaknya, dengan
tabiat dan kepatuhan, serta senang dengan perbudakan dan kepatuhan kepadanya. Maka
apa yang dicari oleh orang yang punya kemegahan, adalah di atas apa yang dicari
oleh orang yang memiliki budak, dengan lebih banyak lagi. Jadi, arti kemegahan
itu, ialah: berdirinya kedudukan (manzilah) pada hati manusia. Artinya: hati
manusia itu meyakini, ada sesuatu dari sifat-sifat kesempurnaan pada orang
tersebut. Maka menurut kadar kesempurnaan yang diyakini mereka pada orang itu,
lalu hati mereka mengakui orang tersebut. Dan menurut kadar pengakuan hati itu,
adalah kemampuannya kepada hati. Dan dengan kadar kemampuannya pada hati,
adalah kegembiraan dan kecintaannya pada kemegahan. Maka inilah arti kemegahan
dan hakikat/makna kemegahan ! Kemegahan itu mempunyai buah (berbuah), seperti:
pujian dan berlebih-lebihan pada pujian. Karena orang yang berkeyakinan pada
kesempurnaan itu, tidak akan diam daripada menyebutkan apa yang diyakininya.
Lalu dipujinya di atas kesempurnaan itu. Dan seperti pelayanan dan pertolongan,
maka orang yang berkeyakinan itu, tiada akan kikir, dengan menyerahkan dirinya
pada mentaati orang yang dipandangnya sempurna itu, menurut kadar keyakinannya.
Lalu ia dijadikan baginya, seperti budak pada maksud-maksudnya. Dan seperti
mengutamakan orang lain, meninggalkan perbantahan, membesarkan dan memuliakan
dengan memulai memberi salam, menyerahkan tempat yang tertinggi pada
perayaan-perayaan dan mendahulukannya pada semua maksud. Maka inilah atsar
(bekas dan kesan) yang terjadi dari tegaknya kemegahan dalam hati. Dan arti
tegaknya kemegahan dalam hati, ialah: Lengkapnya hati kepada keyakinan
sifat-sifat kesempurnaan pada seseorang. Adakalanya, disebabkan ilmu atau
ibadah, atau bagus akhlak atau keturunan atau kekuasaan atau kecantikan pada
rupa atau kekuatan pada badan atau sesuatu yang diyakini oleh manusia sebagai
suatu kesempurnaan. Maka sifat-sifat ini semua, membesarkan tempatnya pada hati
orang. Lalu menjadi sebab untuk tegaknya kemegahan. Wallahu Ta’ala A’lam !
Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui.
PENJELASAN: SEBABNYA KEMEGAHAN ITU DISUKAI MENURUT
TABIAT, SEHINGGA TIADA HATI MANUSIA YANG TERLEPAS DARIPADANYA, SELAIN DENGAN
KERASNYA MUJAHADAH (kesungguhan)
Ketahuilah kiranya, bahwa sebab yang
menjadikan emas, perak dan berbagai macam harta lainnya disukai (dicintai),
maka itu pulalah yang menjadi sebab kemegahan itu disukai. Bahkan, yang
menjadikan kemegahan itu lebih disukai dari harta, sebagaimana yang menjadikan
emas itu lebih disukai daripada perak, walaupun keduanya bersamaan pada
kadarnya. Yaitu, bahwa anda mengetahui, bahwa dirham dan dinar, tidaklah
maksudnya pada benda itu sendiri. Karena dia tidak pantas untuk makanan,
minuman, dikawinkan dan pakaian. Dia itu dan batu adalah satu tingkat. Akan
tetapi, emas dan perak itu disukai, karena menjadi jalan (wasilah) kepada semua
yang disukai dan jalan kepada menunaikan nafsu syahwat. Maka begitu pulalah
kemegahan. Karena arti kemegahan, ialah: memiliki hati manusia. Dan sebagaimana
memiliki emas dan perak itu memberi faedah kemampuan, yang menyampaikan manusia
kepada maksud-maksudnya yang lain, maka begitu pulalah memiliki hati orang-orang
merdeka dan sanggup menggunakannya, akan memberi faedah kesanggupan untuk
sampai kepada semua maksud. Maka terdapatnya kesamaan pada sebab itu,
menjadikan kesamaan pada kesukaan. Dan menguatkan kemegahan atas harta,
menjadikan kemegahan itu lebih disukai (dicintai) dari harta. Penguatan bagi
pemilikan kemegahan diatas pemilikan harta itu, dari tiga segi:
pertama: Bahwa sampainya kepada harta dengan kemegahan itu, lebih mudah
daripada sampainya kepada kemegahan dengan harta. Orang alim (orang berilmu)
atau orang zuhud, yang telah tetap baginya kemegahan dalam hati manusia,
jikalau ia bermaksud mengusahakan harta, niscaya lebih mudah baginya.
Sesungguhnya harta orang-orang yang mempunyai hati mulia itu, dijadikan bagi
hati. Dan diberikan bagi orang yang diyakini padanya kesempurnaan. Adapun orang
yang hina, yang tidak bersifat dengan sifat kesempurnaan, apabila ia memperoleh
suatu gudang harta dan tiada baginya kemegahan yang akan memelihara hartanya
dan ia menghendaki untuk sampai kepada kemegahan dengan harta itu, niscaya
tidak mudah baginya. Jadi, kemegahan itu alat dan jalan kepada harta. Maka
siapa yang memiliki kemegahan, maka sesungguhnya ia telah memiliki harta. Dan
siapa yang memiliki harta, niscaya ia tidak memiliki kemegahan dengan setiap
hal. Maka karena itulah, kemegahan itu lebih disukai (dicintai).
Kedua: yaitu, bahwa harta itu mendatangkan bencana dan hilang, dengan
dicuri orang dan dirampas orang. Raja-raja dan orang-orang zalim loba kepada
harta itu. Dan diperlukan pada harta itu kepada penjaga-penjaga,
pengawal-pengawal dan gudang-gudang. Dan datang kepada harta itu banyak bahaya.
Adapun hati manusia, apabila telah dimiliki, maka tidak akan datang pada
bahaya-bahaya tersebut. Maka pada hakikat/maknanya hati manusia itu
gudang-gudang yang kokoh, yang tidak sanggup pencuri-pencuri mencurinya. Dan
tidak akan dicapai oleh tangan-tangan perampok dan perampas-perampas. Harta
yang paling tetap, ialah: sawah ladang. Dan tidak aman dari perampasan dan
kezaliman pada sawah ladang itu. Dan diperlukan kepada penjagaan dan
pemeliharaan. Adapun gudang hati, maka itu dengan sendirinya terpelihara dan
terkawal. Dan kemegahan itu berada dalam keamanan dan aman dari perampasan dan
kecurian, pada gudang hati itu. Benar, sesungguhnya hati itu dirampas, dengan
pemalingan, memburuknya keadaan dan berobahnya keyakinan, pada apa yang
dibenarkan dari sifat-sifat kesempurnaan. Dan yang demikian itu termasuk mudah
menolaknya. Dan tidak mudah mengerjakannya bagi orang yang mengusahakannya.
Ketiga: bahwa pemilikan hati
itu menjalar, berkembang dan bertambah, tanpa diperlukan kepada kepayahan
dan penderitaan. Sesungguhnya hati itu apabila telah meyakini kepada
seseorang dan meyakini kesempurnaannya, dengan ilmu atau amal atau lainnya, niscaya
tidak mustahil lidah akan lancar menyebutkan apa yang ada padanya. Lalu
disifatkannya apa yang diyakininya ada, kepada orang lain. Dan hati orang lain
itu menangkapnya pula. Dan karena pengertian ini, maka tabiat manusia menyukai
suara baik bagi dirinya dan tersiar sebutannya. Karena yang demikian, apabila
berterbangan pada daerah-daerah, niscaya menangkapkan hati. Dan membawa hati
itu kepada keyakinan dan penghormatan. Maka senantiasalah akan menjalar dari
seorang ke seorang dan akan terus bertambah dan tiada baginya penolakan yang
tertentu. Adapun harta, maka siapa yang memiliki sesuatu daripadanya, maka dia
itu pemiliknya. Dan ia tidak akan sanggup mengembangkannya, selain dengan
kepayahan dan penderitaan. Dan kemegahan itu selalu berkembang dengan sendirinya.
Dan tiada penolakan untuk terjadinya. Dan harta itu berhenti (statis). Karena
itulah, apabila kemegahan itu sudah besar, suara sudah tersiar dan lidah sudah
lancar dengan pujian, niscaya harta memandang dirinya hina untuk menghadapi
kemegahan. Maka inilah kumpulan penguatan kemegahan, diatas harta. Dan apabila
diuraikan lebih lanjut, niscaya akan banyaklah cara penguatan itu. Jikalau anda
mengatakan, bahwa kesulitan itu sama-sama terdapat pada harta dan kemegahan.
Maka tidak seyogyalah manusia itu mencintai harta dan kemegahan. Benar, bahwa
kadar yang menyampaikan kepada diperoleh kesenangan dan tertolaknya kemelaratan
itu dapat dimaklumi. Seperti: orang yang memerlukan kepada pakaian, tempat
tinggal dan makanan. Atau seperti: orang yang mendapat percobaan dengan sakit
atau siksaan. Apabila ia tidak sampai kepada penolakan siksaan daripada
dirinya, selain dengan harta atau kemegahan, maka cintanya kepada harta dan
kemegahan itu dapat dimaklumi. Karena tiap-tiap sesuatu yang tidak akan sampai
kepada yang dicintai, selain dengan sesuatu tersebut, maka sesuatu yang
tersebut itu akan dicintai. Dan pada tabiat manusia, ada hal yang menakjubkan
dibalik itu. Yaitu: kecintaan dan mengumpulkan harta, menggudangkan
gudang-gudang, menyimpan simpanan-simpanan dan memperbanyakkan barang-barang
simpanan, dibalik semua keperluan. Sehingga jikalau seorang hamba mempunyai dua
lembah emas, niscaya ia mencari lembah ketiga. Begitu pula, manusia itu
menyukai meluasnya kemegahan dan tersiarnya suara ke pelosok-pelosok negeri,
yang ia ketahui dengan pasti bahwa ia tidak akan menginjakkan kakinya di negeri
tersebut. Dan ia tidak akan melihat penduduk negeri itu datang untuk
menghormatinya atau memberikannya harta atau menolonginya atas salah satu dari
maksud-maksudnya. Maka walaupun ia tidak mengharapkan yang demikian, tetapi ia
merasa enak sekali. Dan mencintai yang demikian itu sudah tetap menjadi tabiat
manusia. Dan hampirlah dapat disangka, bahwa yang demikian itu suatu kebodohan.
Karena itu adalah mencintai apa yang tiada berfaedah, tidak di dunia dan tidak
di akhirat. Maka kami mengatakan, bahwa benar, kecintaan ini tiada terlepas
hati daripadanya. Dan mempunyai dua sebab: sebab pertama: jelas, dapat
diketahui oleh orang banyak. Dan sebab yang satu lagi: tersembunyi. Dan itulah
sebab yang terbesar diantara dua sebab tersebut. Akan tetapi lebih halus, lebih
tersembunyi dan lebih jauh daripada dapat dipahami oleh orang-orang yang
cerdik. Lebih-lebih lagi orang-orang yang dungu. Yang demikian, adalah karena
memahaminya dari sifat yang tersembunyi pada diri. Dan tabiat yang tersembunyi
dalam tabiat itu. Hampir tidak akan diketahui, selain oleh orang-orang yang
benar-benar menyelaminya. Adapun sebab pertama yang jelas tadi, ialah: menolak
kesakitan takut. Karena orang yang
sayang terhadap dirinya itu, suka dengan jahat sangka. Dan manusia itu,
walaupun ia berada sekarang dalam keadaan yang mencukupi, akan tetapi ia
panjang angan-angan. Dan terguris di hatinya bahwa harta yang mencukupi itu
kadang-kadang hilang. Lalu ia memerlukan kepada harta lain. Apabila terguris
yang demikian pada hatinya, niscaya menggeloralah ketakutan dari hatinya. Dan
tidak akan menolak kepedihan takut itu, selain oleh perasaan aman, yang
diperoleh dengan adanya harta yang lain, dimana ia akan takut pula, jikalau
harta ini akan tertimpa bahaya. Maka orang tersebut, karena sayangnya kepada
dirinya dan cintanya kepada hidup itu, ia mentakdirkan lama hidup dan
mentakdirkan datangnya serangan-serangan keperluan. Dan ia mentakdirkan, akan
kemungkinan datangnya bahaya-bahaya kepada hartanya. Dan ia merasa ketakutan
dari yang demikian. Lalu ia mencari apa yang dapat menolak ketakutannya. Yaitu:
banyak harta. Sehingga, kalau mendapat bencana dengan segolongan dari hartanya,
niscaya ia masih merasa cukup dengan yang lain. Dan ini adalah ketakutan, yang
tiada akan berhenti, dengan jumlah tertentu dari harta. Maka karena itulah,
tiada bagi orang yang seperti demikian tempat berhenti, sampai ia memiliki
semua yang dalam dunia. Dan karena itulah, Rasulullah saw bersabda: “Dua orang
yang berselera, tiada akan kenyang; orang yang berselera ilmu dan orang yang
berselera harta”. Penyakit yang seperti ini, akan datang pada kecintaan
memperoleh kedudukan dan kemegahan pada hati orang-orang yang jauh dari tanah
air dan negrinya. Ia tiada akan terlepas daripada mentakdirkan sesuatu sebab
yang mengejutkannya dari tanah air. Atau yang mengejutkan mereka dari tanah air
mereka, kepada tanah airnya. Dan ia memerlukan kepada pertolongan mereka.
Manakala yang demikian itu mungkin dan keperluannya kepada mereka tidak
mustahil menurut zahiriah, niscaya adalah kegembiraan dan kesenangan bagi diri,
dengan tegaknya kemegahan pada hati mereka. Karena padanya terdapat keamanan
dari ketakutan itu. Adapun sebab kedua yang tersembunyi itu dan yang lebih
kuat, ialah: bahwa roh itu adalah urusan keTuhanan, yang telah disifatkan
demikian oleh Allah Ta’ala. Karena Allah berfirman: “Mereka bertanya kepada
engkau tentang roh. Jawablah; roh itu termasuk urusan Tuhan”. S 17 Al Israa’
ayat 85. Dan arti urusan keTuhanan itu ialah: termasuk rahasia ilmu diminta
untuk mengetahuinya saja. Dan tidak mudah melahirkannya. Karena tidak
dilahirkan oleh Rasulullah saw. Akan tetapi, anda sebelum mengetahui yang
demikian, anda tahu, bahwa hati itu mempunyai kecendrungan kepada sifat-sifat
kebinatangan seperti: makan dan bersetubuh. Dan kepada sifat-sifat kebuasan,
seperti: membunuh, memukul dan menyakiti. Dan kepada sifat-sifat kesetanan,
seperti: tipu daya, menipu dan menyesatkan. Dan kepada sifat-sifat keTuhanan,
seperti: takabur, keperkasaan, pemaksaan dan mencari ketinggian. Yang demikian,
karena hati itu tersusun dari asal usul yang bermacam-macam, yang panjang
penguraian dan penafsirannya. Maka hati, lantaran padanya termasuk urusan
keTuhanan, maka ia mencintai keTuhanan dengan tabiatnya. Dan arti keTuhanan,
ialah: keesaan dengan kesempurnaan dan kesendirian dengan wujud, atas jalan
berdiri sendiri (istiqlal). Maka kesempurnaan itu menjadi sebahagian dari
sifat-sifat keTuhanan. Lalu kesempurnaan itu menurut tabiatnya, disukai oleh
manusia. Dan kesempurnaan itu dengan kesendirian wujud (adanya). Maka
sesungguhnya perkongsian (musyarakah) pada wujud itu sudah pasti suatu
kekurangan. Kesempurnaan matahari, adalah: bahwa matahari itu adanya sendirian.
Maka jikalau ada matahari lain bersama matahari, niscaya adalah yang demikian
itu, suatu kekurangan pada diri matahari. Karena dia tidak sendirian dengan
kesempurnaan arti kemataharian. Dan yang sendirian dengan wujud, ialah: ALLAH
TA’ALA. Karena tidak ada bersamaNYA yang wujud, selain DIA. Karena apa yang
selain Dia itu, adalah suatu bekas dari bekas-bekas Qudrah ( kuasa )NYA, yang
tidak dapat berdiri sendiri. Akan tetapi berdiri dengan Dia. Maka tidaklah yang
lain itu maujud (yang berwujud) bersama Dia. Karena kebersamaan itu
mengharuskan persamaan pada tingkat. Dan persamaan pada tingkat itu suatu
kekurangan pada kesempurnaan. Bahkan yang sempurna (al-kamil) itu, ialah: siapa
yang tiada bandingan pada tingkatnya. Dan sebagaimana memancarnya sinar
matahari pada semua tepi ufuk, tidaklah suatu kekurangan pada matahari, bahkan
adalah termasuk dari jumlah kesempurnaannya. Dan sesungguhnya kekurangan
matahari itu, ialah: dengan adanya matahari lain, yang menyamainya pada
tingkat, serta tidak diperlukan kepadanya. Maka begitu pulalah adanya tiap-tiap
sesuatu dalam alam itu, kembali kepada memancarnya nur (cahaya) QUDRAH ( KUASA
). Maka sesuatu itu adalah pengikut dan tidaklah yang diikuti. Jadi, arti
keTuhanan, ialah: sendirian dengan wujud. Dan itulah kesempurnaan. Dan
tiap-tiap manusia, menurut tabiatnya, menyukai (mencintai), supaya ada ia
sendirian dengan kesempurnaan. Dan karena itulah, setengah masya-ikh
(guru-guru) sufi, mengatakan: “Tidaklah dari seorang manusiapun, melainkan pada
batin nya itu, apa yang ditegaskan oleh Fir’aun dengan ucapannya: “Akulah
tuhanmu yang tertinggi”. Akan tetapi, manusia itu tidak memperoleh jalan untuk
yang demikian. Dan itu adalah kata setengah masya-ikh tadi. Sesungguhnya,
perhambaan itu paksaan atas diri dan keTuhanan itu disukai dengan tabiat. Dan
yang demikian, karena tilikan keTuhanan yang diisyaratkan oleh firman Allah
Ta’ala: “Quli ‘rruuhu min amri Rabbi” (Jawablah roh itu termasuk urusan Tuhan).
Akan tetapi, tatkala diri manusia, itu lemah daripada mengetahui penghabisan
kesempurnaan, niscaya nafsu syahwatnya tidak jatuh bagi kesempurnaan. Maka ia
mencintai kesempurnaan, merindui kesempurnaan dan merasa lezat karena kelezatan
kesempurnaan. Tidak karena pengertian yang lain, dibalik kesempurnaan itu. Dan
setiap yang maujud (yang ada) itu, mencintai dirinya dan untuk kesempurnaan
dirinya. Dan memarahi kebinasaan yang meniadakan dirinya atau meniadakan sifat
kesempurnaan dari dirinya. Dan sesungguhnya kesempurnaan itu adalah sesudah
selamat kesendirian dengan wujud, pada menguasai atas segala yang maujud. Maka
kesempurnaan yang lebih sempurna (maha sempurna), ialah: adanya yang lain dari
engkau itu berasal dari engkau. Maka jikalau yang lain itu adanya tidak dari
engkau, maka bahwa ada engkau itu menguasainya. Lalu jadilah penguasaan atas
tiap-tiap sesuatu itu disukai menurut tabiat. Karena penguasaan itu semacam
kesempurnaan. Dan tiap-tiap yang maujud itu mengenal dirinya. Maka ia mencintai
dirinya dan mencintai kesempurnaan dirinya, serta merasa lezat dengan demikian.
Hanya penguasaan atas sesuatu itu, ialah dengan mampu (qudrah ( kuasa ))
mempengaruhi dan mengubahnya menurut kemauan. Dan adanya sesuatu itu dibawah
perintah engkau, yang engkau membulak-baliknya menurut kehendak engkau. Maka
yang paling disukai manusia, ialah bahwa ia mempunyai kekuasaan atas tiap-tiap
sesuatu yang ada bersamanya. Hanya yang ada itu (al-maujudat), terbagi kepada:
yang tidak menerima perobahan pada dirinya, seperti: Zat Allah Ta’ala dan
sifatnya. Dan kepada yang menerima perobahan. Akan tetapi, ia tidak dikuasai oleh
kemampuan (kesanggupan) makhluk, seperti: cakrawala, bintang-bintang, alam
malaikat tinggi, diri malakut tinggi, diri malaikat-malaikat, jin dan setan.
Dan seperti: gunung dan laut dan yang di bawah gunung dan laut. Dan kepada yang
menerima perobahan, dengan kemampuan hamba Allah, seperti: bumi dan
bahagian-bahagiannya dan apa yang pada bumi, dari barang-barang tambang,
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Dan termasuk dari jumlah tersebut ini, hati manusia,
maka sesungguhnya hati manusia itu, menerima pengaruh dan perobahan, seperti
tubuhnya dan tubuh binatang-binatang. Jadi, yang maujud itu terbagi kepada:
yang dikuasai manusia berbuat padanya, seperti: bumi. Dan kepada: yang tidak
dikuasai manusia, seperti: Zat Allah Ta’ala, malaikat-malaikat dan langit.
Manusia itu menyukai untuk menguasai langit dengan: ilmu pengetahuan, keliputan
pengetahuannya dan mengetahui rahasia-rahasianya. Sesungguhnya yang demikian
itu semacam penguasaan. Karena yang diketahui, yang meliputi pengetahuannya,
adalah seperti orang yang masuk di bawah ilmu. Dan orang yang berilmu itu
adalah seperti orang yang menguasainya. Maka karena itulah ia menyukai mengenal
Allah Ta’ala, malaikat-malaikat, cakrawala, bintang-bintang, semua keajaiban
langit, semua keajaiban laut, gunung-gunung dan lainnya. Karena yang demikian
itu semacam penguasaan atasnya. Dan penguasaan itu semacam kesempurnaan. Dan
ini menyerupai dengan keinginan orang yang lemah dari perusahaan yang ajaib
(yang mengherankan), untuk mengetahui jalan perusahaan padanya. Seperti orang yang
lemah dari meletakkan catur, maka kadang-kadang ia ingin (merindukan) untuk
mengetahui permainan catur. Dan bagaimana catur itu diletakkan. Dan seperti
orang yang melihat perusahaan yang menakjubkan pada ilmu ukur (hindasah) atau
permainan sulap atau menarik barang berat atau lainnya. Ia merasa pada dirinya
sebahagian kelemahan dan pendek tenaga padanya. Akan tetapi, ia rindu untuk
mengetahui caranya. Lalu ia merasa sakit dengan sebahagian kelemahan dan merasa
enak dengan kesempurnaan ilmu, jikalau ia mengetahui nya. Adapun bahagian
kedua, yaitu: bumi yang dikuasai oleh umat manusia. Maka manusia itu menurut
tabiatnya, menyukai untuk menguasai bumi itu, dengan kekuasaan kepada berbuat
padanya, bagaimana yang dikehendakinya. Bumi itu dua bahagian: tubuh (jasad)
dan roh (nyawa).
Adapun jasad bahagian pertama, maka yaitu: dirham, dinar dan harta benda
lainnya. Maka haruslah manusia itu menguasainya. Ia berbuat pada jasad itu, apa
yang dikehendakinya, dari mengangkat dan meletakkan, menyerahkan dan tidak mau
menyerahkan. Maka yang demikian itu adalah: kekuasaan (qudrah ( kuasa )). Dan
kekuasaan itu suatu kesempurnaan. Dan kesempurnaan itu termasuk sifat
keTuhanan. Dan keTuhanan itu disukai
(dicintai) dengan tabiat. Maka karena itulah, manusia menyukai harta,
walaupun ia tidak memerlukan kepada harta tersebut untuk pakaiannya, makanannya
dan nafsu syahwat dirinya. Dan seperti itu pula, mencari perbudakan hamba
sahaya dan perbudakan orang-orang yang merdeka, walaupun dengan paksaan dan
kekerasan. Sehingga ia berbuat pada tubuh mereka dan diri mereka dengan
mengambil manfaatnya, walaupun ia tidak memiliki hati mereka. Karena hati
mereka itu, kadang-kadang tidak mempercayai kesempurnaan orang itu, sehingga ia
jadi dikasihi oleh hati mereka. Dan tegaklah paksaan untuk kedudukan orang
tersebut pada hati mereka. Maka pelayanan paksaan juga enak, karena ada padanya
kekuasaan.
Adapun Roh (nyawa) Bahagian kedua, yaitu: diri anak Adam dan hatinya.
Yaitu: yang paling bernilai dari apa yang ada diatas permukaan bumi. Maka
manusia itu menyukai untuk mempunyai kekuasaan dan kemampuan atas diri dan hati
anak Adam itu. Supaya bermanfaat baginya dan berbuat dibawah petunjuk dan
kehendaknya. Karena pada yang demikian itu terdapat kesempurnaan kekuasaan dan
penyerupaan dengan sifat keTuhanan. Dan hati manusia itu, sesungguhnya dapat
dimanfaatkan, disebabkan kecintaan. Dan hati manusia itu tidak akan cinta,
selain disebabkan kepercayaan akan kesempurnaan yang dicintainya. Maka
tiap-tiap kesempurnaan itu dicintai. Karena kesempurnaan termasuk sebahagian
sifat-sifat keTuhanan. Dan sifat-sifat keTuhanan itu semua dicintai dengan
tabiat. Karena pengertian keTuhanan itu termasuk dalam jumlah pengertian
manusia. Yaitu: yang tidak akan busuk oleh mati. Lalu ditiadakannya. Dan tidak
akan dikuasai oleh tanah, lalu dimakannya. Sesungguhnya manusia itu tempat iman
dan ma’rifah/tahu/mengerti. Dan itulah, yang menyampaikan kepada menemui Allah
Ta’ala dan yang berjalan kepadaNYA. Jadi, arti kemegahan itu membuat hati
manusia bekerja, tanpa upah. Dan siapa yang mempunyai hati manusia yang bekerja
baginya, tanpa upah, niscaya adalah ia mempunyai kemampuan dan kekuasaan pada
hati manusia. Kemampuan dan kekuasaan itu suatu kesempurnaan. Dan itu termasuk
dari sifat-sifat keTuhanan. Jadi, yang dikasihi oleh hati manusia menurut
tabiatnya, ialah: kesempurnaan dengan ilmu dan kekuasaan. Harta dan kemegahan
itu termasuk dari sebab-sebab kekuasaan. Dan tiada berkesudahan bagi yang
diketahui dan tiada berkesudahan bagi yang dikuasai. Dan selama ada yang
diketahui/yang dikuasai, maka kerinduan keinginan itu tiada akan berhenti. Dan
kekurangan itu tiada akan hilang. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Dua
orang yang berselera, tiada akan kenyang”. Jadi yang dicari oleh hati, ialah :
kesempurnaan.
Dan kesempurnaan itu, ialah: dengan ilmu dan kekuasaan. Berlebih‑kurangnya tingkat pada yang
demikian itu, tidak terbatas. Maka kegembiraan dan kesenangan setiap manusia
itu, sekadar apa yang diperolehnya dari kesempurnaan. Maka inilah sebabnya
tentang keadaan ilmu, harta dan kemegahan itu disukai (dicinta). Dan itulah
suatu keadaan, dibalik adanya itu disukai, untuk sampai tercapainya nafsu
keinginan. Maka alasan tersebut, kadang‑kadang terus tetap, serta telah
hilangnya nafsu keinginan. Bahkan manusia itu menyukai (mencintai) di antara
ilmu pengetahuan, apa yang tiada layak untuk menyampaikannya kepada maksud.
Tetapi kadang‑kadang luput (hilang) daripadanya sejumlah dari maksud‑maksud dan
nafsu‑syahwat. Akan tetapi tabiat manusia menghendaki mencari ilmu pengetahuan
pada semua yang ajaib‑ajaib dan yang sulit‑sulit. Karena pada ilmu pengetahuan
itu ada penguasaan pada yang diketahui. Dan itu adalah semacam kesempurnaan,
yang termasuk dari sifat‑sifat keTuhanan. Maka jadilah yang demikian itu
disukai (dicintai) dengan tabiat. Hanya, pada kesukaan (kecintaan) kesempurnaan
ilmu pengetahuan dan kekuasaan itu terdapat kesalahan‑kesalahan, yang tak boleh
tidak, daripada penjelasan insya Allah Ta’ala.
PENJELASAN: Kesempurnaan hakiki dan kesempurnaan bayangan yang
tiada hakikat/makna baginya.
Sesungguhnya anda telah mengetahui, bahwa tiada kesempurnaan
sesudah hilangnya kesendirian dengan wujud, selain pada ilmu pengetahuan dan
kekuasaan. Tetapi, kesempurnaan hakiki padanya itu, bercampur dengan
kesempurnaan bayangan. Penjelasan-nya, ialah, bahwa kesempurnaan ilmu itu, bagi
Allah Ta’ala. Dan yang demikian itu, dari: tiga
segi:
Pertama: Dari segi
banyaknya yang diketahui & meluasnya.
Maka ilmu Allah Ta’ala itu meliputi dengan semua yang diketahui. Maka karena itulah,
setiap kali ilmu‑pengetahuan hamba bertambah banyak, niscaya ia bertambah dekat
kepada Allah Ta’ala.
Kedua: Dari segi menyangkutnya ilmu dengan
yang di‑ilmu‑i (yang diketahui), menurut apa yang dengan ilmu itu. Dan keadaan
ilmu itu terbuka bagi Allah dengan sangat sempurna. Maka semua yang diketahui
(di‑ilmu‑i) itu terbuka bagi Allah Ta’ala, dengan sangat sempurna macam‑macamnya
pembukaan, menurut apa yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala. Maka karena
itulah, manakala ilmu pengetahuan hamba itu lebih jelas, lebih yakin, lebih
benar dan lebih bersesuaian bagi yang diketahui pada penguraian‑penguraian
sifat ilmu, niscaya adalah ia lebih mendekati kepada Allah Ta'ala.
Ketiga: Dari segi kekalnya
ilmu untuk selama‑lamanya, dari segi tidak berobah dan tidak hilang. Maka
sesungguhnya ilmu Allah Ta’ala itu kekal, tiada tergambar akan berobah. Maka
seperti itu pulalah, manakala ada ilmu pengetahuan hamba dengan maklumat (pengetahuan yang diketahui) itu,
tiada menerima perobahan dan pertukaran, niscaya adalah ia lebih mendekati
kepada Allah Ta’ala. Maklumat
(pengetahuan yang diketahui) itu dua bahagian: yang berobah‑obah
(Mutaghayyirat) dan yang tidak
berobah‑robah (azali ( tida kesudahan / permulaan )yyaat).
Adapun yang:
yang berobah‑obah/mutaghayyirat, maka contohnya, ialah: ilmu (tahu) dengan adanya si Zaid di rumah.
Maka itu adalah ilmu (pengetahuan), yang ada baginya yang diketahui (yang dimaklumi). Akan tetapi akan tergambar, bahwa
si Zaid itu akan keluar dari rumah. Dan tetap keyakinan adanya si Zaid itu di
rumah, sebagaimana ia telah ada, lalu akan bertukar dengan tidak tahu. Maka itu adalah suatu kekurangan, tidak suatu
kesempurnaan. Maka setiap kali, anda berkeyakinan dengan suatu keyakinan yang
bersesuaian dengan kebenaran dan anda menggambarkan, bahwa yang diyakini itu
akan bertukar dari apa yang telah anda yakini, niscaya adalah anda dengan
keadaan berputarnya kesempurnaan anda kepada kekurangan. Dan kembalilah
pengetahuan anda kepada kebodohan. Dan dapat dihubungi dengan contoh ini, semua
perobahan alam dunia. Umpamanya, seperti pengetahuan anda dengan ketinggian
gunung, pengukuran bumi, bilangan negeri dan berjauhan di antara negeri‑negeri
itu dengan mil dan farsakh. Dan apa‑apa yang lain, yang disebutkan pada
perjalanan‑perjalanan dan kerajaan‑kerajaan. Begitu pula pengetahuan dengan
bahasa‑bahasa yang menjadi istilah‑istilah,
yang akan berobah dengan perobahan masa, bangsa dan kebiasaan. Maka inilah
ilmu‑pengetahuan, yang diketahui
daripadanya, adalah seperti: air
raksa, yang berobah dari suatu keadaan kepada suatu keadaan. Maka tidak
adalah padanya kesempurnaan, selain pada waktu itu. Dan tiada akan kekal
sempurna didalam hati.
Bahagian kedua, yaitu ma'luumaat azali ( tida kesudahan /
permulaan )yyat/yang tidak berobah-obah. Yaitu: Jawaazul jaaizaat (boleh ada atau tidaknya apa yang
boleh ada atau tidaknya), wujuubul‑waajibaat (wajib adanya apa yang wajib
adanya) dan istihaalatul‑mustahiilaat
(mustahil adanya apa yang mustahil adanya). Maka inilah maIuumaat azali ( tida kesudahan / permulaan
)yyaat yang abadi! Karena sekali-kali
tiada mustahil yang wajib adanya itu akan jaiz
(boleh ada atau tidaknya). Yang jaiz itu tiada mustahil akan mustahil. Dan
yang mustahil itu tiada mustahil akan wajib. Maka setiap bahagian ini masuk
dalam ma’rifah/mengerti Allah, apa yang wajib bagiNya, apa yang mustahil pada
sifat‑sifatNya dan yang jaiz pada Af’al (
perbuatan-perbuatan) Nya (perbuatan‑perbuatanNya). Maka ilmu yang
menyangkut dengan Allah Ta’ala, dengan sifat-sifatNya, Af’al (
perbuatan-perbuatan)Nya dan HikmahNya pada alam malakut langit dan bumi,
susunan dunia dan akhirat dan apa yang berbubungan dengan yang tersebut, adalah
kesempurnaan hakiki, yang mendekatkan
orang yang bersifat demikian kepada Allah Ta'ala. Dan akan kekal sebagai
kesempurnaan bagi jiwa sesudah mati. Adalah ma’rifah/tahu/mengerti ini nur (cahaya) bagi orang‑orang yang 'arif (yang berilmu marifat) sesudah
mati, yang berjalan di hadapan mereka dan
di kanan mereka. Mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami ! Sempurnakanlah bagi
kami cahaya kami". Adalah
ma’rifah/tahu/mengerti tersebut modal yang akan menyampaikan kepada tersingkapnya,
apa yang tiada tersingkap di dunia, sebagaimana orang yang bersamanya pelita
yang tersembunyi. Maka bolehlah yang demikian itu, menjadikan sebab untuk
penambahan cahaya dengah pelita yang lain, yang akan diambil cahaya
daripadanya. Maka akan sempurnalah cahaya itu dengan cahaya yang tersembunyi tadi,
sebagai jalan menyempurnakan. Dan orang yang tiada padanya pokok pelita, maka
tiada harapan baginya pada yang demikian. Maka orang yang tiada padanya pokok marifah (pokok pengenalan) Allah
Ta'ala, niscaya tiada baginya harapan pada cahaya tersebut. Maka kekallah dia seperti orang, yang seumpama dia dalam kegelapan,
yang tiada jalan ke luar daripadanya. Bahkan "keadaan mereka, sebagai
kegelapan di laut yang dalam, dipukul gelombang demi gelombang, di atasnya awan
(gelap) dan kegelapan itu tindih bertindih" Jadi, tiada kebahagiaan,
selain pada ma'rifah (mengenal) Allah Ta'ala. Adapun selain itu dari ma'rifah‑ma'rifah
yang lain, maka sebahagian daripadanya, tiada mempunyai faedah sama‑sekali,
seperti: mengenal pantun, keturunan‑keturunan
orang Arab dan lainnya. Sebahagian daripadanya, bermanfa'at pada menolong
mengenal (ma'rifah) Allah Ta’ala, seperti: mengetahui
bahasa Arab, tafsir, fikih dan hadits.
Maka mengetahui bahasa Arab itu menolong kepada mengetahui tafsir AI‑Quran.
Dan mengetahui tafsir itu, menolong kepada mengetahui apa yang dalam AI‑Qur‑an,
dari cara ibadah dan amal, yang akan memfaedahkan pembersihan jiwa. Dan
mengetahui jalan pembersihan jiwa itu, memfaedahkan persiapan jiwa untuk
menerima hidayah (petunjuk) kepada mengenal (ma'rifah) Allah Subhanahu wa
Ta'ala, sebagaimana firmanNya: "Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan (jiwa) nya". S 91 Asy Syams ayat
9. Allah ‘Azza wa Jalla (Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar) berfirman: “Dan orang‑orang yang bersungguh-sungguh
pada jalan Kami, sungguh akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”
S 29 Al 'Ankabuut ayat 69.
Maka adalah jumlah ma'rifah‑ma'rifah ini, sebagai jalan (wasilah) kepada
meyakini ma'rifah (mengenal) Allah Ta'ala.
Sesungguhnya kesempurnaan itu pada mengenal Allah, mengenal sifat‑sifatNya
dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Dan terkandung di dalamnya semua ma'rifah
yang meliputi dengan segala yang ada (al‑maujudat).
Karena al‑maujudat itu semua, adalah dari Af’al (
perbuatan-perbuatan)Nya. Maka siapa yang mengetahuinya, dari segi al‑maujudat
itu afal Allah Ta’ala dan dari segi terikatnya dengan qudrah ( kuasa ), Kemauan
dan hikmah, maka itu adalah termasuk dari kesempurnaan ma'rifah (mengenal)
Allah Ta’ala. Dan inilah hukum kesempurnaan ilmu yang telah kami sebutkan
dahulu, walaupun tidak layak dengan hukum kemegahan dan ria. Akan tetapi, telah
kami membentangkannya, untuk kesempurnaan bahagian‑bahagian kesempurnaan itu.
Adapun qudrah ( kuasa ), maka tak ada
padanya kesempurnaan hakiki bagi hamba. Akan tetapi, bagi hamba itu ilmu hakiki. Dan hamba itu tidak
mempunyai qudrah ( kuasa ) hakiki. Dan
sesungguhnya qudrah ( kuasa ) hakiki itu
bagi Allah. Dan apa yang terjadi dari segala sesuatu di belakang Kemauan hamba,
kudrah dan geraknya, maka itu terjadi dengan dijadikan oleh Allah Ta’ala,
sebagaimana telah kami tegaskan pada Kitab
Sabar dan Syukur dan Kitab Tawakkal dan
pada berbagai tempat dari "Rubu'
Yang Melepaskan”. Maka kesempurnaan ilmu itu kekal bersama hamba sesudah
mati. Dan akan menyampaikannya kepada Allah Ta’ala. Adapun kesempurnaan kudrah
itu, maka tidak benar hamba itu mempunyai kesempurnaan, dari segi qudrah (
kuasa ), dibandingkan kepada masa sekarang. Dan qudrah ( kuasa ) itu jalan
baginya kepada kesempurnaan ilmu, seperti keselamatan dua kaki tangannya,
kekuatan tangannya untuk memegang, kakinya untuk berjalan dan pancaindranya
untuk mengetahui. Maka kekuatan ini adalah alat untuk menyampaikan kepada
hakikat/makna kesempurnaan ilmu. Kadang‑kadang memerlukan pada kesempurnaan
kekuatan ini, kepada kemampuan (qudrah ( kuasa )) dengan harta dan kemegahan
untuk menyampaikannya kepada makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Dan
yang demikian itu, kepada kadar yang dimaklumi. Maka jikalau tidak
dipakaikannya untuk menyampaikannya kepada ma’rifah (mengenal/tahu/ mengerti)
keagungan Allah Ta’ala, maka tiadalah sekali‑kali kebajikan padanya. Kecuali
dari segi kelezatan yang sekarang, yang akan berlalu (habis) pada masa dekat.
Dan siapa yang menyangka demikian itu suatu kesempurnaan, maka sesungguhnya dia
itu bodoh. Maka makhluk, kebanyakannya binasa pada kesengsaraan kebodohan ini.
Mereka itu menyangka, bahwa kekuasaan atas tubuh manusia dengan paksaan marah,
atas benda‑benda harta dengan keluasan kekayaan dan atas penghormatan hati
manusia dengan meluasnya kemegahan itu, suatu kesempurnaan. Maka manakala
mereka berkeyakinan yang demikian, niscaya mereka mencintainya (menyukainya).
Manakala mereka mencintainya, niscaya mereka akan mencarinya. Dan manakala
mereka mencarinya, niscaya mereka akan sibuk dengan yang demikian dan akan
binasa. Lalu mereka melupakan kesempurnaan hakiki, yang mewajibkan kedekatan
kepada Allah Ta'ala dan malaikat‑malaikatNya. Yaitu: ilmu dan kemerdekaan. Adapun
ilmu, maka apa yang telah kami sebutkan dahulu dari ma'rifah (mengenal) Allah Ta'ala.
Adapun kemerdekaan, maka yaitu, kelepasan dari tawanan nafsu‑syahwat, dari
kesusahan dunia dan menguasainya dengan paksaan. Karena menyerupakan dengan
malaikat‑malaikat yang tidak dapat dilompati oleh nafsu‑syahwat dan tidak
dikenakan oleh kemarahan. Maka penolakan bekas‑bekas nafsu‑syahwat dan
kemarahan dari jiwa itu, termasuk kesempurnaan yang menjadi sebahagian sifat
malaikat. Dan termasuk sifat kesempurnaan bagi Allah Ta’ala, ialah: mustahil
berobah dan membekas padaNya. Maka siapa yang berada lebih jauh dari perobahan
dan pembekasan dengan hal‑hal mendatang, niscaya adalah ia lebih dekat kepada
Allah Ta’ala. Dan ia lebih menyerupai
dengan malaikat. Dan kedudukannya di sisi Allah lebih tinggi. Dan inilah kesempurnaan ketiga, selain kesempurnaan
ilmu dan kekuasaan (qudrah ( kuasa )). Dan kami tidak membentangkan kesempurnaan ketiga itu pada bahagian‑bahagian
kesempurnaan, karena hakikat/maknanya kembali kepada tidak dan kekurangan. Karena
perobahan itu suatu kekurangan. Karena kekurangan adalah ibarat, dari tidak
adanya sifat yang ada dan binasanya. Dan kebinasaan itu suatu kekurangan pada
kelezatan dan pada sifat kesempurnaan. Jadi, kesempurnaan itu tiga, kalau
kita hitung, tiada perobahan dengan
nafsu syahwat dan tiada mematuhi kepada nafsu‑syahwat itu, suatu kesempurnaan, seperti kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan kemerdekaan. Dan aku maksudkan, ialah: tiada perbudakan bagi nafsu‑syahwat
dan kehendak sebab‑sebab duniawi. Kesempurnaan kemampuan bagi hamba itu, jalan
kepada pengusahaan kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan kemerdekaan. Dan tiada
jalan bagi yang demikian, kepada pengusahaan kesempurnaan kemampuan, yang
terus ada sesudah matinya. Karena kemampuan nya kepada benda‑benda harta dan
kepada penggunaan hati dan badan manusia, akan terputus dengan kematian. Dari
ma’rifah/mengenal/tahu/mengerti serta kemerdekaannya, tiada akan terus tiada, dengan kematian. Akan tetapi, akan kekal
sebagai kesempurnaan padanya dan jalan kepada kedekatan kepada Allah Ta’ala.
Maka perhatikanlah, bagaimana berputarnya orang‑orang bodoh dan menelengkup atas mukanya, sebagaimana
telengkupnya orang-orang buta. Lalu mereka menghadap kepada mencari
kesempurnaan kemampuan dengan kemegahan dan harta. Dan itu, kesempurnaan yang
tiada akan selamat. Dan jikalau selamat, maka tiada akan kekal. Dan mereka
berpaling dari kesempurnaan kemerdekaan dan ilmu, dimana apabila berhasil,
niscaya akan abadi, yang tiada akan putus‑putus. Dan merekalah orang‑orang
yang membeli kehidupan dunia dengan akhirat. Maka tidak syak lagi, tidak akan
diringankan azab dari mereka. Mereka tiada akan ditolong. Dan mereka tiada
memahami firman Allah Ta’ala: "Kekayaan
! dan anak‑anak adalah perhiasan kehidupan dunia dan pekerjaan baik yang kekal lebih baik pahalanya pada sisi Tuhan engkau
dan pengharapan yang lebih elok". S
18 AI‑Kahfi ayat 46. Maka ilmu dan kemerdekaan, adalah sisa‑sisa amalan yang
baik, yang akan kekal sebagai kesempurnaan pada jiwa. Harta dan kemegahan itu
yang akan berlalu (habis) pada waktu dekat.
Yaitu, seperti yang
dicontohkan oleh Allah Ta'ala, dimana la berfirman: "Perumpamaan kehidupan dunia ini, ialah sebagai air hujan
yang Kami turunkan dari langit, Ialu tumbuh karenanya tanam‑tanaman bumi”. S
10 Yunus ayat 24. Allah Ta'ala berfirman: “Dan
buatlah untuk mereka perumpamaan kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami
turunkan dari langit (awan) dan karenanya tumbuh‑tumbuhan di bumi ini menjadi
subur. Kemudian itu dia menjadi kering, diterbangkan angin". S 18 Al
Kahfi ayat 45. Tiap‑tiap apa yang diterbangkan oleh angin kematian, maka adalah
kembang kehidupan dunia. Dan tiap‑tiap apa yang tidak diputuskan oleh kematian,
maka adalah sisa‑sisa amalan yang baik. Maka dengan ini, anda telah mengetahui,
bahwa kesempurnaan kemampuan dengan harta dan kemegahan, adalah kesempurnaan sangkaan (bayangan), tiada
mempunyai dasar. Dan orang yang membataskan waktunya untuk mencarinya dan
menyangka bahwa itu yang dimaksud, maka orang itu bodoh. Dan kepada yang
demikian itulah, diisyaratkan oleh Abuth‑Thayyib AI‑Mutanabbi, dengan madahnya:
Orang yang menggunakan jamnya,
pada mengumpulkan harta,
karena takut papa,
maka dia telah berbuat papa.
Kecuali, sekedar dari harta & kemegahan itu yang akan
menyampaikan kepada: kesempurnaan hakiki.
Wahai Allah Tuhan kami ! Jadikanlah kami termasuk orang yang Engkau beri
taufiq kepada kebajikan & Engkau beri petunjuk, dengan kasih sayang Engkau!
PENJELASAN. apa yang dipuji dan kecintaan kemegahan dan apa
yang dicela.
Manakala anda telah mengetahui, bahwa arti
kemegahan itu memiliki hati manusia dan menguasainya, maka hukumnya, ialah:
hukum memiliki harta. Maka kemegahan itu menjadi suatu mata benda dari mata
benda‑mata benda kehidupan dunia. Dan akan terputus dengan kematian seperti
harta. Dan dunia itu tempat bercocok tanam bagi akhirat. Maka setiap yang
dijadikan dalam dunia, mungkin akan diambil daripadanya, menjadi perbekalan
bagi akhirat. Dan sebagaimana tak boleh tidak daripada sedikit harta untuk
keperluan makanan, minuman dan pakaian, maka tak boleh tidak pula, daripada
sedikit kemegahan untuk keperluan penghidupan bersama makhluk. Dan manusia,
sebagaimana ia tidak terlepas dari makanan yang akan dimakannya, lalu boleh ia
menyukai makanan itu atau harta yang akan dibelinya makanan itu, maka seperti
itu pulalah manusia itu tidak terlepas dari keperluan kepada pelayan yang akan
melayaninya, teman yang akan menolonginya, guru yang akan menunjuk jalan
kepadanya dan sultan (penguasa) yang akan menjaganya. Dan menolak daripadanya
kezaliman orang‑orang jahat. Maka kecintaannya, supaya ia mempunyai dalam hati
pelayannya tempat yang akan mengajak pelayan itu kepada melayaninya, tidaklah
tercela Kecintaan nya supaya ia mempunyai dalam hati temannya tempat yang akan
membaikkan persahabatan dan pertolongannya, tidaklah tercela. Kecintaan nya supaya
ia mempunyai dalam hati gurunya tempat, yang akan membaikkan petunjuk,
pengajaran dan ketolongannya, tidaklah tercela. Dan kecintaannya supaya ia
mempunyai tempat dalam hati penguasanya, yang akan menggerakkannya oleh yang
demikian kepada penolakan kejahatan daripadanya, tidaklah tercela. Maka
kemegahan itu sesungguhnya jalan kepada maksud seperti harta. Maka tiada
perbedaan di antara kemegahan dan harta, selain, bahwa pemastian pada ini, akan
membawa kepada tidaknya harta dan kemegahan itu dengan benda‑bendanya, yang
menjadi kecintaannya. Akan letapi, yang demikian itu berkedudukan sebagaimana
kedudukan kecintaan manusia, bahwa mempunyai tempat buang air (kakus) di
rumahnya. Karena ia memerlukan kepada tempat buang air itu, untuk qodo-hajatnya (membuang air besar dan air
kecil). Dan ia mengingini, bahwa jikalau ia tidak memerlukan kepada qodo‑hajat,
lalu ia tidak memerlukan kepada tempat buang air. Maka ini di atas pemastian
tersebut, ia tidak mencintai tempat buang air. Maka tiap‑tiap apa yang
dikehendaki untuk menyampaikan kepada yang dicintai, maka yang dicintai itulah
yang dimaksud mencapainya. Perbedaan itu akan diperoleh dengan contoh yang
lain. Yaitu: bahwa seorang laki‑laki kadang‑kadang mencintai isterinya, dari
segi bahwa ia dapat menolak sisa nafsu‑syahwat nya dengan isterinya itu:
sebagaimana ia menolak ampas makanan dengan tempat buang air. Dan jikalau ia
telah merasa cukup belanja nafsu‑syahwatnya, niscaya ia akan meninggalkan
isterinya, sebagaimana kalau ia telah merasa cukup dengan qodo‑hajat, niscaya
ia tiada akan masuk kamar buang air. Dan ia tiada akan berkeliling padanya.
Kadang‑kadang manusia itu, mencintai isterinya karena isteri itu sendiri,
sebagai cintanya orang‑orang yang asyik‑maksyuk. Dan jikalau ia telah merasa
cukup nafsu syahwatnya, maka ia terus kekal menyertainya karena perkawinannya.
Maka inilah yang dinamai: cinta. Tidak
yang pertama tadi. Begitu pula kemegahan dan harta. Kadang‑kadang salah satu
dari keduanya itu, dicintai, di atas 2 cara tersebut. Maka mencintainya untuk
mencapai kepentingan‑kepentingan tubuh dengan kemegahan dan harta itu, tidak
tercela. Dan mencintainya untuk demi kemegahan dan harta, pada yang melampaui
kepentingan badan dan keperluannya itu, adalah tercela. Akan tetapi, orang yang
bersifat demikian, tidak akan dikatakan fasik dan maksiat, selama kecintaannya
itu tidak membawa kepada melakukan perbuatan maksiat. Dan selama tidak
menyampaikannya kepada usaha tersebut, dengan kedustaan, penipuan dan
mengerjakan perbuatan terlarang. Dan selama ia tidak sampai kepada usahanya
itu, dengan menggunakan ibadah keagamaan. Maka sampainya kepada kemegahan dan
harta dengan menggunakan ibadah keagamaan itu, adalah penganiayaan kepada
Agama. Dan itu haram. Dan kepada yang demikianlah, ditujukan arti ria yang
terlarang, sebagaimana akan diterangkan nanti. Kalau anda berkata, bahwa orang
mencari kedudukan dan kemegahan pada hati gurunya, pelayannya, temannya,
sultannya dan orang yang ada hubungan urusan dengan dia itu, diperbolehkan
mutlak, bagaimanapun adanya atau diperbolehkan kepada batas tertentu dengan
cara tertentu, maka aku menjawab, bahwa yang demikian itu dicari di atas 3 cara: dua cara yang diperbolehkan &
satu cara yang dilarang. Adapun cara
yang dilarang, maka yaitu: bahwa ia mencari tegaknya kedudukan pada hati
mereka, dengan keyakinan mereka bahwa padanya ada suatu sifat (kelebihan),
dimana ia tidak bersifat dengan sifat tersebut, seperti: ilmu, wara' dan keturunan
(nasab). Maka ia melahirkan kepada mereka itu, bahwa ia orang alawi (keturunan Ali bin Abi Talib, yakni:
bangsa Said) atau orang yang berilmu atau orang wara'. Padahal, ia tidak
seperti yang demikian. Maka ini adalah haram. Karena yang demikian itu bohong
dan penipuan. Adakalanya dengan perkataan atau dengan perbuatan. Adapun salah satu dari 2 yang diperbolehkan itu, ialah:
bahwa ia mencari kedudukan dengan suatu sifat (kelebihan), dimana ia bersifat
dengan, sifat tersebut. Seperti kata Nabi Yusuf as, menurut apa yang
diterangkan oleh Tuhan Rabbul Alamin: "Berkata
Yusuf "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) karena sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". S 12 Yusuf
ayat 55. Yusuf as itu mencari kedudukan pada hati pembesar Mesir, dengan
mengatakan, bahwa ia pandai menjaga, lagi berpengetahuan. Lalu pembesar Mesir
itu memerlukan kepada Yusuf as. Dan Yusuf itu benar pada perkataan nya. Kedua,
bahwa dicarinya (diusahakannya) penyembunyian sesuatu kekurangan dari
kekurangan‑kekurangannya dan sesuatu perbuatan maksiat dari maksiat‑maksiatnya.
Sehingga tidak diketahui orang. Maka tidak hilanglah kedudukannya dengan yang
demikian. Maka ini juga diperbolehkan. Karena menjaga penutupan atas perbuatan‑perbuatan
keji itu diperbolehkan. Dan tidak diperbolehkan merusakkan penutupan itu dan
melahirkan perbuatan kekejian. Dan ini, tak ada padanya penipuan. Akan tetapi,
adalah menyumbat jalan, untuk diketahui, apa yang tak ada faedah pada
mengetahuinya. Seperti orang yang menyembunyikan dari sultan (penguasa), bahwa
ia meminum khamar (minuman yang memabukkan). Dan tidak dikatakan kepadanya,
bahwa dia itu orang wara' (orang yang
menjaga diri dari perbuatan maksiat). Sesungguhnya katanya: "Bahwa aku
ini orang wara”, itu penipuan. Dan tidak ada pengakuannya dengan meminum,
tidaklah mengharuskan orang percaya bahwa dia itu orang wara'. Akan tetapi,
perkataan itu mencegah untuk dapat diketahui, bahwa dia itu meminum khamar.
Termasuk dalam jumlah yang terlarang, ialah: membaguskan shalat di hadapan
penguasa. Supaya baik kepercayaannya kepadanya. Sesungguhnya yang demikian itu ria (memperlihatkan amal‑ibadah kepada orang
lain). Dan dia itu penipu. Karena, agar orang menyangka, bahwa dia termasuk
orang‑orang ikhlas lagi khusuk karena Allah. Dan itu adalah berbuat ria dengan
apa yang dikerjakannya. Bagaimana, maka dia menjadi orang yang ikhlas? Maka
mencari kemegahan dengan jalan tersebut itu haram. Dan demikian juga dengan
tiap‑tiap perbuatan maksiat. Dan yang demikian itu berlaku, sebagaimana berlaku
nya mengusahakan harta haram, tanpa ada perbedaan. Dan sebagaimana tidak
diperbolehkan ia memiliki harta orang lain, dengan penipuan pada harganya atau
pada lainnya, maka tidak diperbolehkan pula ia memiliki hati orang lain (supaya
mencintainya), dengan pemalsuan dan penipuan. Sesungguhnya memiliki hati orang
itu lebih besar akibatnya daripada memiliki harta.
PENJELASAN Sebab pada mencintai pujian dan sanjungan,
senangnya jiwa dengan pujian, kecenderungan tabiat (karakter) manusia
kepadanya, marahnya jiwa kepada celaan dan larinya jiwa kepada celaan.
Ketahuilah, bahwa kecintaan (kesukaan) dipuji dan hati merasa
tidak enak dengan pujian itu, mempunyai empat
sebab:
Sebab Pertama: yaitu yang lebih
kuat, ialah: perasaan jiwa dengan kesempurnaan. Sesungguhnya kami telah
menerangkan, bahwa kesempurnaan itu dicintai (disukai) orang dan tiap‑tiap yang
disukai, maka memperolehnya itu kesenangan. Manakala jiwa merasa dengan
kesempurnaannya, niscaya ia merasa senang, tergerak dan merasai enak (lezat).
Dan pujian itu, merasakan kepada jiwa orang yang dipuji dengan kesempurnaannya.
Sesungguhnya sifat, dimana dengan sifat itu memperoleh pujian, maka tidak
terlepas, adakalanya sifat itu jelas
terang atau sifat itu diragukan. Jikalau sifat itu jelas, terang lagi
dirasakan, niscaya kelezatan dengan sifat tersebut adalah kurang. Akan tetapi,
tidak terlepas dari kelezatan, seperti pujian kepadanya, bahwa dia itu tinggi
semampai, putih warnanya. Ini adalah semacam kesempurnaan. Akan tetapi, jiwa
akan lupa daripadanya, lalu jiwa itu terlepas dari kelezatannya. Maka apabila jiwa itu merasakannya, niscaya
tidaklah terlepas datangnya perasaan, daripada datangnya kelezatan. Dan jikalau
sifat itu termasuk yang datang kepadanya keraguan, maka kelezatan padanya
adalah lebih besar. Seperti pujian kepadanya dengan kesempurnaan ilmu atau
kesempurnaan wara' atau dengan kebagusan mutlak. Maka sesungguhnya manusia,
kadang‑kadang ia ragu pada kesempurnaan kebaikannya, pada kesempurnaan ilmunya
dan kesempurnaan waranya. Dan ia ingin hilangnya keraguan itu, dengan jadinya
ia berkeyakinan, bahwa keadaannya, tiada bandingan pada hal‑hal yang tersebut
di atas. Karena jiwanya tenteram kepada yang demikian. Maka apabila orang lain
menyebutkannya, niscaya yang demikian itu mendatangkan kepadanya ketenteraman
dan kepercayaan, dengan merasakan kesempurnaan yang demikian. Lalu besarlah
kelezatannya. Sesungguhnya besarlah kelezatan itu dengan alasan tersebut,
manakala pujian itu datang dari orang yang melihat sifat‑sifat itu, lagi
mengetahuinya, dimana ia tidak berkata dengan sembarangan, melainkan dari
pemastian. Dan yang demikian itu, seperti: gembiranya murid sekolah dengan
pujian gurunya kepadanya, dengan kepintaran, kecerdikan dan banyak kelebihan.
Maka sesungguhnya yang demikian itu, pada penghabisan kelezatan. Dan jikalau
pujian itu datang dari orang yang sembarangan pada perkataannya atau ia tidak
melihat sifat yang demikian, niscaya lemahlah kelezatan. Dan dengan alasan ini,
ia memarahi juga celaan dan tiada menyukainya. Karena ia merasa dengan
kekurangan dirinya. Dan kekurangan itu adalah lawan kesempurnaan yang dicintai
(disukai). Maka kekurangan itu tercela. Dan merasakan kekurangan itu
menyakitkan. Dan karena itulah, kesakitan itu membesar apabila datang celaan
dari orang yang melihat, yang dipercayai, sebagaimana telah kami sebutkan pada
pujian dahulu.
Sebab Kedua: bahwa pujian itu
menunjukkan bahwa hati si pemuji itu dimiliki oleh si terpuji. Bahwa si pemuji
itu muridnya, yang percaya kepadanya dan yang berbuat atas kehendaknya.
Memiliki hati, orang itu disukai (dicintai). Dan merasakan hasilnya itu lezat.
Dan dengan alasan tersebut, membesarlah kelezatan, manakala pujian itu datang
dari orang yang meluas kekuasaannya. Dan diambil manfa'at dengan menangkap
hatinya, seperti raja‑raja dan orang-orang besar. Dan menjadi lemah, manakala
si pemuji itu, termasuk orang yang tidak mendapat perhatian dan tidak berkuasa
pada sesuatu. Maka kekuasaan atas orang tersebut dengan memiliki hatinya itu
kekuasaan atas hal yang tiada berharga. Maka pujian itu tiada menunjukkan,
selain kepada kekuasaan yang terbatas. Dan dengan alasan ini juga, celaan itu
tidak disukai dan hati merasa sakit dengan celaan itu. Dan apabila celaan itu
dari orang‑orang besar, niscaya tikamannya adalah lebih besar. Karena yang
hilang dengan yang demikian itu, adalah lebih besar.
Sebab Ketiga, bahwa sanjungan
penyanjung dan pujian pemuji adalah sebab bagi menawan hati setiap orang yang
mendengarnya. Lebih‑lebih lagi, apabila yang demikian itu termasuk orang yang
diperhatikan perkataannya dan dihitung pujiannya. Dan ini tertentu dengan
pujian, yang terjadi kepada orang banyak. Maka tidak dapat dielakkan, bahwa
manakala kumpulan orang itu lebih banyak dan si pemuji itu lebih pantas untuk
diperhatikan perkataannya, niscaya pujian itu menjadi lebih lezat. Dan celaan
menjadi lebih menyakitkan kepada jiwa.
Sebab Keempat: bahwa pujian itu
menunjukkan kepada malunya si terpuji dan memaksakan si pemuji melepaskan
lidahnya dengan pujian kepada si terpuji. Adakalanya atas kemauan sendiri dan
adakalanya dengan paksaan. Maka malunya juga melezatkan (mengenakkan), karena
padanya ada paksaan dan kekuasaan. Dan kelezatan itu berhasil. Jikalau si
pemuji itu tiada meyakini pada batiniyahnya, apa yang dipujikannya, akan tetapi
dia itu terpaksa menyebutkannya, sebagai semacam paksaan dan penguasaan atas
dirinya, maka tidak dapat dibantah, adalah kelezatan itu sekedar yang mencegah
si pemuji dan kekuatannya. Maka adalah kelezatan
pujian orang yang kuat, yang tidak mau merendahkan diri dengan pujian itu,
lebih keras. Maka keempat sebab ini, kadang‑kadang berkumpul pada suatu pujian
si pemuji yang seorang. Lalu membesarlah kelezatan dengan sebab‑sebab itu. Dan
kadang‑kadang bercerai‑berai, maka kuranglah kelezatan dengan sebab‑sebab
tersebut. Adapun alasan pertama, yaitu:
perasaan kesempurnaan. Maka alasan itu akan tertolak dengan diketahui oleh si
terpuji, bahwa si pemuji itu tidak benar perkataannya. Seperti, apabila si
pemuji itu memujikan, bahwa dia orang berbangsa atau orang pemurah atau orang
yang berilmu dengan suatu pengetahuan khusus atau orang yang wara' (yang
menjaga diri) dari perbuatan‑perbuatan yang terlarang. Dan ia tahu, dari
dirinya yang berlawanan demikian. Maka hilanglah kelezatan, yang menjadi
sebabnya adalah perasaan kesempurnaan. Dan tinggallah kelezatan penguasaan
atas hatinya dan lidahnya serta kelezatan‑kelezatan yang lain. Jikalau si
terpuji itu tahu, bahwa si pemuji tiada meyakini apa yang dikatakannya dan ia
tahu bahwa dirinya tidak ada sifat tersebut, niscaya batil/salahlah (lenyaplah)
kelezatan kedua. Yaitu kekuasaannya atas hati si pemuji. Dan tinggallah
kelezatan kekuasaan dan perasaan malu, di atas terpaksanya lidah si pemuji,
mengatakan dengan pujian. Dan jikalau yang demikian itu, tidak dari karena
ketakutan, akan tetapi untuk main‑main, niscaya batil/salahlah semua kelezatan.
Maka tak adalah padanya sekali‑kali kelezatan, karena hilangnva sebab‑sebab
yang ketiga itu. Maka inilah apa yang menyingkapkan tutup dari alasan kelezatan
jiwa dengan pujian dan sakitnya jiwa dengan sebab celaan. Dan sesungguhnya kami
sebutkan yang demikian, supaya diketahui jalan pengobatan bagi kesukaan
kemegahan, kesukaan pujian dan ketakutan celaan. Maka orang yang tiada
mengetahui sebabnya, niscaya tiada mungkin mengobatinya. Karena pengobatan itu
adalah ibarat dari menguraikan sebab‑sebab sakit. Kiranya Allah memberi taufiq
dengan kemurahan dan kasih‑sayangNya. Dan kiranya rahmat Allah kepada tiap‑tiap
hamba yang pilihan.
PENJELASAN: pengobatan kesukaan kemegahan.
Ketahuilah, bahwa orang yang mengeras pada hatinya kesukaan
kemegahan, niscaya jadilah cita‑citanya terarah kepada menjaga orang ramai
(makhluk), tergantung dengan kesayangan kepada mereka dan memperlihatkan
(bersikap ria), lantaran mereka. Dan senantiasalah dia pada perkataan dan
perbuatannya, memperhatikan kepada yang meninggikan kedudukannya pada mereka.
Dan yang demikian itu bibit kemunafikan (nifaq) dan asal kerusakan. Dan, tidak
mustahil, yang demikian itu akan menghela kepada bermudah‑mudah pada ibadah,
berbuat ria dengan ibadah dan kepada mengerjakan perbuatan yang terlarang,
untuk sampai kepada menawan hati mereka. Dan karena itulah, diserupakan oleh Rasulu'llah saw
kesukaan kemuliaan dan harta dan perusakan keduanya bagi agama, dengan dua ekor serigala yang buas.
Beliau saw bersabda, bahwa yang demikian itu akan menumbuhkan nifaq dalam hati,
sebagaimana air menumbuhkan sayuran. Karena nifaq itu, ialah berselisih zahir
dengan batin, baik dengan perkataan atau dengan perbuatan. Dan setiap orang
yang mencari kedudukan pada hati manusia, maka ia memerlukan kepada bersikap
nifaq bersama mereka. Dan kepada melahirkan hal‑hal yang terpuji, dimana dia
tidak mempunyai hal‑hal itu. Dan itulah yang disebut: nifaq. Jadi, maka kecintaan kemegahan itu termasuk hal‑hal yang
membinasakan. Maka haruslah mengobatinya dan menghilangkannya dari hati. Karena
kecintaan kemegahan itu adalah tabiat, dimana hati telah dijadikan atas tabiat
tersebut, sebagaimana hati telah dijadikan atas kecintaan kepada harta. Dan
pengobatannya itu tersusun dari: ilmu dan
amal. Adapun ilmu, maka yaitu; mengetahui sebab, yang lantaran sebab itu, Ialu
menyukai kemegahan. Yaitu: kesempurnaan kekuasaan atas diri manusia dan
hatinya. Dan telah kami terangkan dahulu, bahwa yang demikian itu jikalau
bersih dan sejahtera, maka akhirnya itu mati. Maka tidaklah itu termasuk amalan
kekal yang baik. Bahkan jikalau bersujud kepada engkau, semua orang dipermukaan
bumi, dari tempat matahari terbit (masyriq) ke tempat matahari terbenam
(maghrib), maka sampai kepada 50 tahun, yang tiada tinggal lagi orang yang
bersujud dan orang yang disujudkan. Dan keadaan engkau adalah seperti keadaan
orang yang sudah mati sebelum engkau, dari orang‑orang yang mempunyai
kemegahan, serta orang-orang yang merendahkan diri kepadanya. Maka ini, tiada
sayogialah dengan yang demikian, bahwa ditinggalkan agama, dimana agama itu,
ialah kehidupan abadi, yang tiada akan putus‑putus. Dan barangsiapa memahami
kesempurnaan hakiki dan kesempurnaan bayangan, sebagaimana telah disebutkan
dahulu, niscaya kecil lah kemegahan pada matanya. Kecuali, bahwa yang demikian
itu, sesungguhnya kecil pada, mata orang yang memandang ke akhirat, seakan‑akan
ia menyaksikan akhirat itu dan ia menghinakan dunia. Dan adalah kematian itu
seperti hal yang telah terjadi padanya. Dan keadaannya adalah seperti keadaan
Al Hasan AI‑Bashar (melihat)i ra, ketika beliau menulis surat kepada Khalifah
Umar bin Abdul‑'Aziz, yang di antara lain, isinya: "Adapun kemudian, maka
seakan‑akan engkau di penghabisan orang yang dituliskan kepadanya kematian,
yang telah mati. Maka perhatikanlah, bagaimana ia memanjangkan perhatiannya ke
arah masa depan dan ditakdirkannya sebagai sudah terjadi". Dan begitu pula
keadaan Umar bin Abdul‑'aziz, ketika beliau menulis pada jawabannya, yang di
antara lain, berbunyi: "Adapun kemudian, maka seakan‑akan engkau di dunia
yang tidak ada dan seakan‑akan engkau di akhirat yang senantiasa ada".
Maka adalah mereka itu bersepaham kepada kesudahan (akibat). Lalu amal mereka
bagi akibat itu dengan taqwa. Karena mereka mengetahui, bahwa baik kesudahan
itu bagi orang‑orang yang bertaqwa. Lalu mereka menghinakan kemegahan dan harta
didunia. Pandangan mata kebanyakan makhluk itu lemah, lagi terbatas kepada
dunia. Sinar pandangan matanya tiada memanjang kepada menyaksikan akibat‑akibat.
Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: "Tetapi,
kamu mengutamakan kehidupan dunia. Sedang hari kemudian (hari akhirat) itu
lebih baik dan lebih kekal". S 87 Al A’laa ayat 16‑17. Allah ‘Azza wa
Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar berfirman: “Jangan! Tetapi kamu mencintai yang cepat (kehidupan dunia). Dan
meninggalkan hari kemudian (hari akhirat)". S 75 Al Qiyaamah ayat 20‑21.
Maka dari inilah batasnya! Maka sayogialah hati itu diobati dari kesukaan
kemegahan, dengan ilmu (mengetahui) bahaya‑bahaya yang cepat datangnya. Yaitu:
bahwa bertafakkur tentang bahaya‑bahaya yang menjadi sasaran orang‑orang yang
mempunyai kemegahan di dunia. Maka sesungguhnya setiap orang yang mempunyai
kemegahan itu didengki orang, dimaksudkan untuk disakiti, takut kekal kemegahannya
dan orang itu menjaga daripada perobahan kedudukannya, pada hati manusia. Dan
hati itu sangat cepat berobah dari kadar menggelegaknya. Dan hati itu pulang‑pergi
(bimbang) dia antara menghadap (menerima) dan berpaling (menolak). Maka tiap‑tiap
yang dibina (dibangun) di atas hati makhluk itu menyerupai dengan apa yang
dibina di atas ombak laut. Maka tiadalah mempunyai ketetapan (tiada akan
tetap). Dan menyibukkan diri dengan menjaga hati orang, memelihara kemegahan,
menolak tipu‑daya orang‑orang yang dengki dan mencegah kesakitan dari musuh‑musuh,
adalah semua itu kesedihan hati yang
cepat datangnya dan mengeruhkan kelezatan kemegahan. Maka tiada sempurna di
dunia di antara yang diharap dengan yang ditakuti. Lebih‑lebih lagi dari apa
yang akan hilang di akhirat. Maka dengan ini, sayogialah mata‑hati yang lemah
itu diobati. Adapun orang yang tembus mata‑hatinya dan kuat imannya, maka ia
tiada berpaling kepada dunia. Maka inilah obat itu dari segi ilmu! Adapun dari
segi amal, maka yaitu: menjatuhkan
kemegahan itu dari hati makhluk, dengan mengerjakan perbuatan‑perbuatan yang
dicaci orang. Sehingga ia jatuh dari mata makhluk, diceraikan oleh kelezatan
peneriman. Hati suka dengan hilangnya sebutan dan penolakan makhluk. Dan merasa
puas dengan peneriman dari Khaliq (yang maha pencipta). Inilah aliran (mazhab) AI‑Malamatiyah (Yaitu suatu golongan orang‑orang fakir).
Azas aliran mereka untuk membentuk kesempurnaan ikhIas. Perkataan AI‑malamatiyah
terambil dari malamati. Artinya: cacian. Mereka berbuat yang dicaci orang,
supaya menguatkan sabar, hati dan mendatangkan ikhlas ). Karena mereka mengerjakan perbuatan
yang keji‑keji pada bentuknya. Supaya mereka dapat menjatuhkan diri mereka dari
mata manusia. Lalu mereka selamat dari bahaya kemegahan. Ini tidak dibolehkan
bagi orang yang diikuti orang banyak. Karena akan melemahkan agama, pada hati
kaum muslimin, yang menjadi pengikutnya. Adapun orang yang tiada diikuti orang
banyak, maka tidak dibolehkan, bahwa ia mengerjakan perbuatan terlarang untuk
yang demikian. Akan tetapi, boleh baginya berbuat dari yang diperbolehkan, apa
yang menjatuhkan nilainya pada manusia, sebagaimana diriwayatkan, bahwa
sebahagian raja‑raja menuju kepada sebahagian orang‑orang zuhud. Maka tatkala
orang zuhud itu, mengetahui bahwa raja tersebut telah dekat dengan dia, lalu
dipanggilnya makanan dan sayur‑sayuran. Maka dimakannya dengan rakus dan
dibesarkannya suap. Maka tatkala raja itu memandang kepadanya, niscaya jatuhlah
nama orang zuhud itu dari mata raja tadi. Dan raja itupun pergi. Lalu orang
zuhud tersebut berkata: “Segala pujian bagi Allah yang memalingkan engkau
daripadaku". Sebahagian mereka, ada yang meminum minuman halal, pada gelas
yang warnanya warna khamar. Sehingga orang menyangka, bahwa ia meminum khamar.
Lalu jatuhlah dia dari mata manusia. Dan ini tentang bolehnya itu, dipandang
dari segi ilmu fikh. Hanya, orang‑orang yang mempunyai hal‑ihwal yang demikian,
kadang‑kadang mengobatkan dirinya, dengan apa yang tidak difatwa kan oleh ahli
Fiqih, manakala mereka melihat perbaikan hatinya pada yang demikian. Kemudian,
mereka memperbaiki kembali apa yang telah berlebihan padanya, dalam bentuk
keteledoran, sebagaimana telah diperbuat oleh sebahagian mereka. Karena ia
terkenal dengan zuhud dan manusia datang kepadanya. Lalu ia masuk ke tempat
permandian umum dan memakai pakaian orang lain, lalu ia ke luar. Lantas ia
berhenti di jalan, sehingga mereka mengenalinya. Lalu mereka mengambilnya
(menangkapnya), memukulinya dan mengambil kembali kain yang dipakainya seraya
mereka berkata: “Bahwa dia itu orang yang tidak memberi nafkah kepada
keluarganya". Dan mereka meninggalkannya. Jalan yang terkuat pada
memutuskan (menghilangkan) kemegahan, ialah: mengasing kan diri ('uzlah) dari manusia. Dan berhijrah (berpindah) ke tempat yang tidak disebut‑sebut orang.
Maka sesungguhnya orang yang ber'uzlah (mengasingkan diri) dalam rumahnya. Di negeri
yang dikenal orang, niscaya ia tiada akan terlepas dari kesukaan kepada
kedudukan yang akan melekat baginya dalam hati manusia, disebabkan 'uzIahnya.
Kadang‑kadang ia menyangka, bahwa dia tidak menyukai kemegahan itu. Dan dia itu
tertipu. Sesungguhnya, dirinya tenang, karena sudah memperoleh maksudnya. Dan
jikalau manusia berobah dari apa yang diyakini mereka terhadap dia, lalu mereka
mencelanya atau menyangkutkannya pada suatu keadaan yang tiada layak baginya, niscaya gundahlah
hatinya dan merasa pedih. Dan kadang‑kadang sampai ia meminta ma'af dari yang
demikian dan menyapu debu itu dari hati mereka. Kadang‑kadang ia memerlukan
pada menghilangkan yang demikian, dari hati mereka. kepada berdusta dan berbuat
kepalsuan. Dan ia tiada perduli dengan yang demikian itu. Dengan yang tersebut
di atas, nyatalah kemudian, bahwa dia menyukai
kemegahan dan kedudukan. Dan
orang yang menyukai kemegahan dan kedudukan, adalah seperti orang yang menyukai
harta. Bahkan lebih jahat daripadanya. Karena fitnah kemegahan itu lebih besar.
Dan tiada mungkin ia tiada menyukai kedudukan (tempat) pada hati manusia,
selama ia mengharap sesuatu pada manusia. Maka apabila ia telah menjaga
makanannya dari usahanya sendiri atau dari segi yang lain dan ia memutuskan
harapannya pada manusia dengan tegas, niscaya jadilah manusia semua pada
sisinya seperti barang‑barang yang tiada berharga. la tiada memperdulikan,
adakah ia mempunyai kedudukan (tempat) pada hati manusia itu atau tidak ada,
sebagaimana ia tiada memperdulikan dengan apa yang dalam hati orang‑orang yang
berada di bagian daerah tempat terbit matahari yang paling jauh. Karena ia
tiada melihat mereka dan tiada mengharap apa‑apa dari mereka. Dan tiada dapat
diputuskan kelobaan (harapan) kepada manusia, selain dengan: qana’ah (merasa puas dengan apa yang ada). Maka
siapa yang ber‑qana'ah, niscaya ia tiada memerlukan kepada manusia. Dan apabila
ia tiada memerlukan kepada manusia, niscaya hatinya tiada akan sibuk dengan
manusia. Dan tiada mempunyai nilai padanya untuk tegak kedudukannya pada hati
manusia. Dan tiada akan sempurna meninggalkan kemegahan, selain dengan: qana’ah dan memutuskan harapan pada manusia. Dan untuk semua yang demikian itu,
dapat diminta pertolongan dengan berita‑berita (ucapan orang‑orang terkemuka),
yang menyebutkan tentang tercelanya kemegahan, terpujinya tidak menyukai
disebut‑sebut orang yang kehinaan. Seperti kata mereka: "Orang mu'min itu
tiada terlepas dari kehinaan atau kekurangan atau penyakitan. Dan
diperhatikannya tentang keadaan orang‑orang terdahulu dan pemilihan mereka
kepada kehinaan, daripada kemuliaan. Dan kegemaran mereka pada pahala akhirat.
Kiranya Allah ridla kepada mereka semua !
PENJELASAN Cara
pengobatan kesukaan dipuji dan kebencian dicaci.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya bahagian terbanyak manusia itu
binasa, disebabkan takut dicaci orang dan suka dipuji orang. Maka jadilah gerak‑gerik
mereka itu semua terhenti, menurut yang sesuai dengan kerelaan orang banyak.
Karena mengharapkan pujian dan takut dari cacian. Dan yang demikian itu termasuk
di antara yang membinasakan diri. Maka haruslah mengobatinya. Jalannya, ialah:
memperhatikan sebab‑sebab, yang lantaran sebab‑sebab itu, lalu menyukai pujian
dan tidak menyukai cacian.
Adapun sebab
pertama, yaitu: merasa sempurna, disebabkan perkataan orang yang memuji.
Maka jalan engkau pada yang demikian, ialah: bahwa engkau kembali kepada akal
pikiran engkau. Dan engkau bertanya kepada diri engkau, mengenai sifat yang
dipuji engkau dengan sifat itu. Apakah benar engkau bersifat dengan sifat itu
atau tidak? Kalau benar engkau bersifat dengan sifat itu, maka sifat tersebut,
adakalanya sifat yang berhak engkau mendapat pujian, seperti: ilmu dan wara'. Dan adakalanya sifat yang tiada berhak engkau
mendapat pujian, seperti: kaya, megah dan
sifat‑sifat keduniaan. Jikalau sifat
itu termasuk sifat‑sifat keduniaan, maka kegembiraan dengan sifat tersebut,
adalah seperti kegembiraan dengan tumbuh‑tumbuhan bumi, yang pada waktu dekat,
akan menjadi kering, yang akan diterbangkan angin. Dan ini dari kekurangan
akal. Bahkan orang yang berakal akan mengatakan, sebagaimana dikatakan AI‑Mutanabbi:
Yang sangat mendukacitakan pada aku,
ialah: pada kegembiraan,
yang diyakini oleh yang mempunyai itu,
akan kepindahan ...........
Maka tiada sayogialah manusia itu bergembira dengan benda-benda
dunia. Dan kalau ia gembira, maka tiada sayogialah ia gembira, dengan pujian
orang yang memuji, kepada benda‑benda dunia tersebut. Akan tetapi, dengan
adanya benda‑benda itu. Dan pujian itu tidaklah yang menjadi sebab adanya benda‑benda
tadi. Jikalau sifat itu termasuk
sifat yang berhak dipuji, seperti: ilmu dan wara' maka sayogialah, bahwa
ia tiada bergembira dengan sifat tersebut. Karena, kesudahannya (alkhatimah)
itu tiada diketahui. Dan ini sesungguhnya menghendaki kegembiraan, karena akan
mendekatkan pada sisi Allah. Dan bahaya, al‑khatimah
(kesudahannya) itu, tetap ada. Maka pada ketakutan su‑ul‑khatimah (buruknya kesudahan) itu,
membimbangkan hati dari kegembiraan dengan setiap apa yang dalam dunia. Bahkan
dunia itu adalah negeri kesedihan dan ke‑dukacita‑an. Bukan negeri, kegembiraan
dan kesukaan. Kemudian, kalau engkau bergembira dengan sifat tersebut, dengan
harapan husnul‑khatimah (baik kesudahan),
maka sayogialah adanya kegembiraan engkau itu, disebabkan kurnia Allah
kepada engkau, dengan ilmu dan taqwa. Tidak disebabkan pujian orang
yang memujikan. Sesungguhnya kelezatan itu pada merasakan kesempurnaan. Dan
kesempurnaan itu ada dari kurnia Allah.
Tidak dari pujian. Dan pujian itu mengikuti kurnia Allah. Maka tiada
sayogialah engkau bergembira dengan pujian. Dan pujian itu tiada menambahkan
engkau keutamaan. Dan kalau ada sifat yang dipujikan engkau dengan sifat itu,
dimana engkau tiada bersifat dengan sifat tersebut, maka kegembiraan engkau
dengan pujian itu, adalah sangat gila. Contoh engkau itu adalah seperti contoh
orang yang diejek oleh manusia, yang mengatakan: "Subhana'llah! Alangkah
banyaknya minyak wangi (minyak athar) dalam lipatan perutnya! Alangkah baiknya
bau‑bauan yang berbau semerbak daripadanya, apabila ia ber‑qodo hajat (membuang air besar)". la
tahu, apa yang dikandung perut besarnya dari kotoran dan yang membusukkan.
Kemudian, ia gembira dengan demikian. Maka seperti itu pulalah, apabila mereka
memuji engkau dengan sifat shalih dan
wara', lalu engkau bergembira dengan
yang demikian. Dan Allah mengetahui kekejian batin engkau, tipu daya hati kecil
engkau dan kekotoran sifat‑sifat engkau. Maka adalah yang demikian, termasuk
yang paling bodoh. Apabila si pemuji itu benar, maka hendaklah kegembiraan engkau,
lantaran sifat engkau sendiri, yang adanya dari kurnia Allah kepada engkau.
Dan jikalau ia dusta, maka sayogialah yang demikian itu menyusahkan engkau. Dan
tidak engkau bergembira dengan yang demikian.
Adapun sebab
kedua, yaitu: penunjukan pujian kepada penggunaan hati si pemuji dan
adanya hati si pemuji itu menjadi sebab bagi penggunaan hati orang lain. Maka
ini kembali kepada kesukaan kemegahan dan kedudukan pada hati orang banyak. Dan
cara pengobatannya telah diterangkan dahulu. Yang demikian itu, ialah: dengan memutuskan harapan dari manusia dan
mencari kedudukan pada sisi Allah. Dan
dengan engkau mengetahui, bahwa tuntutan engkau akan kedudukan pada hati
manusia dan senangnya engkau dengan yang demikian itu, menjatuhkan kedudukan
engkau pada sisi Allah. Maka bagaimanakah engkau senang dengan yang demikian?
Adapun sebab
ketiga, yaitu: malu yang memaksakan si pemuji kepada pujian. Maka itu juga
kembali kepada kekuasaan yang mendatang, yang tiada tetap. Dan engkau tiada
berhak bergembira. Akan tetapi, sayogialah menyusahkan engkau oleh pujian si
pemuji. Engkau membenci dan memarahinya sebagaimana dinukilkan yang demikian
dari orang‑orang salaf (orang‑orang terdahulu). Karena bahaya pujian atas si
terpuji itu besar, sebagaimana telah kami sebutkan pada, "Kitab Bahaya Lidah". Sebahagian salaf mengatakan: "barangsiapa gembira dengan pujian,
maka sesungguhnya telah memungkinkan setan untuk masuk dalam perutnya". Sebahagian
mereka berkata: "Apabila orang mengatakan kepada engkau, bahwa: orang yang baik, ialah engkau, lalu
perkataan itu lebih menyukakan engkau daripada dikatakan kepada engkau bahwa: orang yang buruk ialah engkau, maka demi Allah, adalah engkau orang buruk". Diriwayatkan
pada sebahagian hadits dan kalau hadits ini shahih, maka akan mematahkan
kemunculan. Yaitu: bahwa seorang laki‑laki memuji dengan kebajikan seorang laki‑laki
lain, di sisi Rasulullah saw. Lalu beliau menjawab: "Jikalau adalah teman mu itu hadir, Ialu ia rela yang engkau
katakan tadi, kemudian ia mati di atas yang demikian, niscaya ia masuk
neraka” Pada suatu kali Nabi saw
bersabda kepada si pemuji: “Celaka engkau! Engkau potong belakangnya. Jikalau
ia mendengar apa yang engkau katakan, niscaya ia tiada memperoleh kemenangan
sampai kepada hari kiamat” Nabi saw bersabda: "Ketahuilah! Janganlah kamu
puji memuji! Dan apabila kamu melihat orang‑orang yang memuji orang lain, maka
lemparkanlah tanah pada mukanya!"
Maka karena inilah, para shahabat sekalian ra. sangat takut dari pujian
dan fitnah pujian dan apa yang akan masuk ke dalam hati dari sangat gembira
dengan pujian itu. Sehingga setengah khulafa'
rasyidin bertanya kepada seorang laki‑laki, dari hal sesuatu. Lalu laki‑laki
itu menjawab: "Engkau wahai Amirul‑mu'minin lebih baik daripadaku dan
lebih mengetahui". Lalu khalifah ltu marah, seraya berkata: "Aku
tidak menyuruh engkau dengan membersihkan aku". Ada orang yang berkata
kepada setengah shahabat: “Senantiasalah manusia itu dalam kebajikan, selama
Allah mengekalkan engkau (selama engkau masih ada)". Maka shahabat itu
marah. Dan berkata: "Aku menyangka bahwa engkau orang lrak” Sebahagian
mereka menjawab tatkala ia dipuji:
“Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya hambaMu mendekatkan dirinya kepadaku,
dengan kemarahanMU, maka aku naik saksi akan Engkau kepada memarahinya".
Sesungguhnya mereka tiada suka pujian, karena takut bahwa mereka gembira dengan
pujian makhluk. Dan mereka tercela pada sisi Khaliq (yang maha pencipta). Maka
adalah kesibukan hati mereka dengan keadaan mereka pada sisi Allah itu,
memarahkan mereka oleh pujian makhluk. Karena yang dipuji, ialah: orang yang
mendekatkan diri di sisi Allah. Dan yang dicela sebenarnya, ialah: orang yang
menjauhkan diri daripada Allah, yang dilemparkan dalam neraka bersama orang‑orang
jahat. Maka orang yang dipuji ini, kalau ia pada Allah termasuk penduduk
neraka, maka alangkah sangat bodohnya, apabila ia bergembira dengan pujian
orang kepadanya. Dan kalau ia termasuk penduduk sorga, maka tiada sayogialah ia
bergembira, selain dengan kurnia Allah Ta'ala dan pujianNya kepadanya. Karena
tiadalah urusannya di tangan makhluk. Dan manakala diketahuinya, bahwa rezeki dan ajal di tangan Allah
Ta'ala, niscaya sedikitlah perhatiannya kepada pujian makhluk dan celaan
mereka. Dan gugurlah dari hatinya kesukaan pujian. Dan ia sibuk dengan yang
penting baginya, dari urusan agamanya. Kiranya Allah mencurahkan taufiq kepada
kebenaran dengan rahmatNya!
PENJELASAN obat
kebencian cacian.
Dahulu telah diterangkan, bahwa penyakit pada kebencian
celaan adalah lawannya penyakit pada kesukaan pujian. Maka obatnya juga dapat
dipahami daripadanya. Perkataan yang singkat pada yang demikian, ialah, bahwa
orang yang mencela engkau itu tiada terlepas dari tiga haL Adakalanya dia itu benar pada apa yang dikatakannya dan ia
maksudkan nasehat dan kasih‑sayang. Adakalanya
dia itu benar, akan tetapi maksudnya menyakiti dan menyusahkan. Dan adakalanya ia dusta. Kalau dia itu benar
dan maksudnya nasehat, maka tiada sayogialah engkau mencacinya, marah kepadanya
dan sakit hati dengan sebabnya. Akan tetapi, sayogialah engkau mengikuti
kebaikannya. Maka sesungguhnya orang yang menunjukkan kepada engkau kekurangan‑kekurangan
engkau, maka sesungguhnya ia telah menunjukkan engkau kepada yang
membinasakan. Sehingga engkau dapat menjaga diri daripadanya. Maka sayogialah
engkau bergembira dengan yang demikian. Dan engkau bekerja menghilangkan sifat
yang tercela ltu dari diri engkau, jikalau engkau sanggup kepada yang demikian.
Adapun susahnya engkau dengan sebabnya, bencinya engkau kepadanya dan celaan
engkau akan orang tersebut, maka itu adalah sangat
bodoh. Dan kalau maksudnya untuk menyusahkan, maka engkau dapat mengambil
manfaat dengan perkataannya. Karena
ia telah menunjukkan engkau kepada kekurangan engkau, kalau engkau tiada
mengetahuinya. Atau ia mengingatkan engkau akan kekurangan engkau, kalau
engkau lalai dari kekurangan tersebut. Atau ia memburukkan engkau pada
mata engkau, supaya tergerak kesungguhan
engkau untuk menghilangkannya, kalau engkau sudah memandang baik kekurangan
ilu. Semua itu adalah sebab‑sebab kebahagiaan
engkau. Dan engkau dapat mengambil faedahnya daripadanya. Maka
bekerjalah mencari kebahagiaan! Sesungguhnya telah diberikan kepada engkau
sebab‑sebab kebahagiaan itu, dengan sebab Engkau mendengarnya dari celaan.
Manakala engkau bermaksud masuk ke hadapan raja dan pakaian engkau berlumuran
dengan kotoran, sedang engkau tiada mengetahuinya dan kalau terus engkau masuk
dalam hal yang demikian, niscaya Engkau takut akan dipancung leher engkau,
karena pelumuran engkau akan majlisnya dengan kotoran. Lalu berkata kepada
engkau, orang yang mengatakan: "Hai yang berlumuran dengan kotoran! Bersihkanlah
dirimu!" Maka sayogialah engkau bergembira dengan orang yang mengatakan
itu. Karena memperingati engkau dengan perkataannya itu adalah suatu harta
rampasan (ghanimah). Semua kejahatan akhlak itu membinasakan di akhirat. Dan
manusia dapat mengetahuinya, dari perkataan musuh‑musuhnya. Maka sayogialah
engkau merampas perkataan itu. Adapun maksud musuh untuk menyusahkan, maka itu
adalah penganiayaan daripadanya kepada agamanya sendiri. Dan itu suatu nikmat
daripadanya kepada engkau. Maka tidaklah engkau memarahinya, disebabkan
perkataan yang dapat engkau mengambil manfa'at daripadanya. Dan mendatangkan
melarat kepada orang itu sendiri. Hal
ketiga bahwa orang mengada‑adakan terhadap engkau, dengan sesuatu, dimana
engkau bersih daripadanya pada sisi Allah Ta’ala. Maka sayogialah engkau tidak
benci yang demikian dan tidak menyibukkan diri dengan mencacinya. Tetapi engkau
bertafakkur (merenungkan) pada: tiga
keadaan:
Pertama: bahwa jikalau
engkau terlepas (bersih) dari kekurangan yang demikian, maka engkau tiada
terlepas, dari yang seperti dan yang menyerupai dengan kekurangan tersebut. Dan
apa yang ditutup oleh Allah dari kekurangan engkau itu lebih banyak. Maka
bersyukurlah kepada Allah Ta’ala, karena tidak diperlihatkanNya kekurangan‑kekurangan
engkau dan ditolakkanNya dari Engkau, dengan menyebutkan apa yang terlepas
(yang bersih) engkau daripadanya.
Kedua: bahwa yang
demikian itu adalah kaffarah (penutupan)
bagi kejahatan‑kejahatan dan dosa‑dosa engkau yang lain. Maka seakan‑akan orang
itu menuduh engkau dengan kekurangan, dimana Engkau bersih daripadanya. Ia
mensucikan engkau dari dosa-dosa, dimana engkau berlumuran dengan dosa itu. Dan
seorang yang mengumpati engkau, maka sesungguhnya ia telah menghadiahkan kepada
engkau, kebaikan‑kebaikannya. Dan setiap orang yang memuji engkau, maka
sesungguhnya ia telah memotong punggung engkau. Maka bagaimana engkau
bergembira dengan dipotongnya punggung dan engkau berdukacita bagi hadiah‑hadiah
kebaikan yang mendekatkan engkau kepada Allah Ta’ala. Engkau mendakwakan,
bahwa engkau menyukai kedekatan dengan Allah.
ketiga, yaitu: bahwa orang
yang patut dikasihani itu, telah berbuat aniaya kepada agamanya, sehingga ia
jatuh dari pandangan (mata) Allah. Ia membinasakan dirinya dengan mengada-adakan
sesuatu dan mendatangkan dirinya kepada siksaan Allah yang pedih. Maka tiada
sayogialah engkau marah kepadanya, serta marahnya Allah kepadanya. Lalu engkau
mengharap tipuan setan kepadanya dan engkau mendoakan: "Wahai Allah
Tuhanku, binasakanlah dia!" Akan tetapi sayogialah engkau mendoakan:
"Wahai Allah Tuhanku, perbaikilah dia ! Wahai Allah Tuhanku, tobatkanlah
dia! Wahai Allah Tuhanku, curahkanlah rahmat kepadanya!", sebagaimana Nabi
saw. berdoa: "Wahai Allah Tuhanku,
ampunilah kaumku! Wahai Allah Tuhanku, tunjukilah kaumku! Sesungguhnya mereka
itu tiada tahu". Tatkala mereka
(kaumnya) memecahkan giginya, melukai mukanya dan membunuh pamannya Hamzah pada
hari perang Uhud. Ibrahim bin Adham mendoakan orang yang melukainya kepalanya,
dengan maghfirah (minta diampunkan Tuhan kiranya dosa orang itu). Lalu orang
bertanya kepadanya tentang yang demikian. Maka beliau menjawab: “Aku tahu,
bahwa aku memperoleh pahala dengan sebabnya. Dan tiada aku peroleh daripadanya,
selain kebajikan. Maka aku tidak rela, bahwa dia mendapat siksaan dengan sebab
aku”. Diantara yang mengentengkan engkau daripada membenci celaan, ialah:
memutuskan loba kepada manusia. Sesungguhnya orang yang tiada engkau perlukan
kepadanya, manakala ia mencaci engkau, niscaya tidak besar bekas yang demikian
pada hati engkau. Dan pokok agama itu qana’ah (merasa cukup dengan yang sudah
ada). Dan dengan qana’ah, terputuslah loba kepada harta dan kemegahan. Dan
selama loba itu masih tegak berdiri, maka kesukaan kemegahan dan pujian pada
hati orang yang engkau lobakan padanya itu, yang menang. Dan cita-cita engkau
terarah kepada memperoleh tempat pada hatinya. Dan yang demikian itu tiada akan
tercapai, selain dengan meruntuhkan agama. Maka tiada seyogialah pencari harta
dan kemegahan, yang suka pujian dan yang memarahi celaan, mengharapkan pada
keselamatan agamanya. Karena yang demikian itu jauh sekali.
PENEJELASAN: perbedaan keadaan manusia
tentang pujian dan celaan.
Ketahuilah, bahwa manusia mempunyai 4 keadaan dibandingkan
kepada pencela dan pemuji:
Keadaan pertama, bahwa manusia itu
gembira dengan pujian dan terima kasih kepada si pemujinya. Ia marah dari
celaan dan sakit hatinya kepada si pencela. Dan akan dibalasnya yang setimpal
atau ia ingin membalaskannya. Inilah keadaan kebanyakan makhluk (manusia). Dan
itulah kesudahan derajat maksiat pada bab ini.
Keadaan kedua, bahwa ia
menggigit pada batinnya terhadap si pencela. Tetapi ia menahan lidahnya dan
anggota badannya daripada membalaskannya. Batinnya gembira dan merasa senang
bagi si pemujinya. Akan tetapi, ia menjaga zahiriahnya, daripada melahirkan
kegembiraan. Ini termasuk kekurangan. Akan tetapi dibandingkan kepada yang
sebelumnya adalah suatu kesempurnaan
Keadaan ketiga, yaitu: permulaan
derajat kesempurnaan, bahwa sama saja padanya, orang yang mencela dan yang
memujinya. Ia tidak disusahkan oleh celaan dan tidak digembirakan oleh pujian.
Dan ini kadang-kadang disangka yang demikian, oleh setengah ‘abid (orang yang
banyak ibadahnya) pada dirinya. Dan ia menjadi tertipu, jikalau ia tidak
menguji dirinya dengan tanda-tanda yang ada padanya. Tanda-tanda itu,
diantaranya, bahwa: ia tidak mendapati pada dirinya keberatan, bagi si pencela,
ketika lama duduknya di sisinya, lebih banyak daripada yang didapatinya pada si
pemuji. Bahwa, ia tidak mendapati pada dirinya tambahan gerakan dan kerajinan
pada menunaikan keperluan si pemuji, di atas apa yang didapatinya pada
menunaikan keperluan si pencela. Bahwa tidaklah terputusnya si pencela dari
majelisnya itu lebih mengentengkan kepadanya daripada terputusnya si pemuji.
Bahwa matinya si pemuji yang berlebih-lebihan kepadanya tidaklah lebih
menyusahkan hatinya daripada matinya si pencela. Bahwa tidaklah kesusahan
dengan bencana yang menimpa si pemuji dan apa yang diperolehnya dari
musuh-musuhnya itu, lebih banyak dari apa yang ada, dengan bencana yang menimpa
si pencela. Bahwa, tidaklah tergelincirnya si pemuji itu, lebih ringan pada
hatinya dan matanya daripada tergelincirnya si pencela. Maka manakala ringanlah
si pencela pada hatinya, sebagaimana ringannya si pemuji dan keduanya sama dari
setiap segi, maka sesungguhnya ia telah memperoleh tingkat tersebut. Tiadalah
lebih jauh yang demikian dan tiadalah yang lebih memberatkan kepada hati!
kebanyakan hamba Allah itu, senangnya dengan pujian manusia kepadanya, yang
disembunyikannya pada hatinya. Dan mereka tiada merasa, di mana mereka tiada
memuji dirinya dengan tanda-tanda itu. Kadang-kadang seorang ‘abid, merasa
kecenderungan hatinya kepada si pemuji, tidak kepada si pencela. Dan setan
berbuat baik yang demikian baginya dan mengatakan: “Si pencela itu telah
mendurhakai Allah dengan mencela engkau. Dan si pemuji itu telah menta’ati
Allah dengan memuji engkau. Maka bagaimanakah engkau samakan di antara
keduanya?”. Sesungguhnya keberatan engkau kepada si pencela itu, dari agama semata-mata.
Dan ini adalah penipuan setan semata-mata. Sesungguhnya seorang ‘abid,
kalau bertafakkur (merenungkan), niscaya tahu bahwa dalam kalangan manusia,
orang yang mengerjakan perbuatan maksiat yang berdosa besar itu, lebih banyak
daripada yang dikerjakan oleh si pencela pada celaannya. Kemudian, ia tidak
merasa berat terhadap manusia itu dan ia tidak lari dari mereka. Dan ia tahu,
bahwa si pemuji yang telah memujinya, tiada terlepas dari celaan lain. Dan ia
tiada mendapati pada dirinya, lari dari orang tersebut dengan celaan orang lain
itu, sebagaimana ia dapati karena celaan terhadap dirinya. Dan celaan itu dari
segi kemaksiatannya, tiada berbeda, dengan yang tercela itu dia atau orang
lain. Jadi, orang ‘abid yang tertipu dirinya itu marah dan ia menggigit karena
hawa nafsunya. Kemudian, setan mengkhayalkan kepadanya, bahwa sikap tersebut
termasuk agama. Sehingga ia membuat alasan kepada Allah, dengan hawa nafsunya.
Maka yang demikian itu, menambahkan kejauhannnya daripada Allah. Orang yang
tidak memperhatikan kepada tipu daya setan dan bahaya-bahaya jiwa, maka
kebanyakan ibadahnya itu kepayahan yang sia-sia, yang menghilangkan kepadanya
dunia dan merugikannya di akhirat. Dan terhadap mereka , Allah Ta’ala
berfirman: “Katakan: Adakah Kami beritakan kepadamu, orang-orang yang paling
rugi dalam pekerjaannya? Orang-orang yang terbuang saja usahanya dalam
kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira, bahwa mereka melakukan usaha-usaha
yang baik”. S 18 Al Kahfi ayat 103-104.
Keadaan keempat: Yaitu, benar pada
ibadah, bahwa ia benci kepada pujian dan tidak senang kepada si pemuji. Karena
ia tahu, bahwa pujian itu fitnah kepadanya, yang mematahkan punggungnya, yang
mendatangkan melarat baginya pada agama. Dan ia menyukai si pencela, karena ia
tahu, bahwa si pencela itu menunjukkan kekurangannya, menunjukkan kepada yang
penting baginya dan menunjukkan kebaikan-kebaikan kepadanya. Nabi saw bersabda:
“Kepala (pokok) merendahkan diri, ialah bahwa engkau tidak menyukai bahwa
engkau disebutkan, dengan kebaikan dan taqwa”. Diriwayatkan pada setengah
hadits, apa yang mematahkan punggung orang-orang yang seperti kita, jikalau
hadits itu shahih. Karena diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “Neraka bagi
orang yang berpuasa, neraka bagi orang yang menegakkan shalat dan neraka bagi
orang yang mempunyai bulu wol (orang shufi), kecuali: siapa....”. Lalu orang
menanyakan: “Wahai Rasulullah! Kecuali siapa?”. Maka Nabi saw menjawab: “Kecuali siapa yang bersih dirinya
dari dunia. Ia marah kepada pujian dan menyukai celaan”. Ini bersangatan
sekali! Tujuan orang-orang yang seperti kita, ialah: loba pada keadaan kedua.
Yaitu: bahwa ia menyembunyikan kesenangan dan kebencian kepada si pencela dan
si pemuji. Dan ia tidak menampakkan yang demikian itu, dengan perkataan dan
perbuatan. Adapun keadaan ketiga, yaitu: persamaan antara si pemuji dan si
pencela. Maka kita tidak mengharap pada hal tersebut. Kemudian, kalau kita
mencari diri kita dengan tanda keadaan kedua, maka tidak mencukupi dengan yang
demikian. Karena –tak dapat tidak- engkau akan bersegera kepada memuliakan si
pemuji dan memenuhi hajat keperluannya. Dan engkau merasa berat memuliakan si
pencela, memuji dan memenuhi hajat keperluannya. Dan kita tidak akan sanggup
menyamakan di antara keduanya, pada perbuatan zahiriah, sebagaimana kita tidak
sanggup berbuat kepadanya dalam lubuk hati. Dan siapa yang sanggup menyamakan
diantara si pemuji dan si pencela pada perbuatan zahiriah, maka orang itu patut
diambil menjadi ikutan pada zaman sekarang ini, kalau ada. Dia itu adalah
belerang merah, yang diperkatakan manusia dan tidak pernah dijumpai. Maka
bagaimana dengan dua tingkat yang sesudahnya? Setiap satu dari tingkat-tingkat
itu juga padanya derajat-derajat. Adapun derajat-derajat pada pujian, yaitu:
bahwa sebahagiaan manusia, mengingini pujian, sanjungan dan terkenal (menjadi
masyhur). Lalu ia berusaha untuk mencapai yang demikian, dengan jalan apa saja
yang mungkin ditempuh. Sehingga ia berbuat ria (memperlihatkan) amal-ibadahnya.
Ia tidak memperdulikan dengan mengerjakan perbuatan terlarang, untuk menarik
hati manusia dan meminta lidah mereka menuturkan pujian. Dan ini termasuk orang
yang binasa. Diantara mereka, ada orang yang menghendaki demikian dan
mencarikannya dengan perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan (perbuatan mubah).
Tidak dicarinya dengan ibadah-ibadah dan tidak diperbuatnya perbuatan-perbuatan
terlarang. Dan ini adalah di atas tepi tebing yang menjatuhkan. Maka
sesungguhnya batas-batas perkataan yang cenderung hati kepadanya dan
batas-batas perbuatan, tidak mungkin ia menghinggakannya. Lalu besar
kemungkinan, bahwa ia akan jatuh pada yang tidak halal, untuk memperoleh
pujian. Maka ia dekat sekali termasuk orang-orang yang binasa. Diantara mereka,
ada orang yang tiada mengingini pujian dan tiada berusaha untuk mencari pujian.
Akan tetapi, apabila ia dipuji, lalu mendahuluilah kesenangan kepada hatinya.
Maka jikalau ia tidak menghadapi yang demikian dengan mujahadah/kesungguhan
(perjuangan menentang demikian) dan ia tidak memberatkaan diri kepada yang
tidak disukai, maka ia dekat, daripada akan dihela oleh kesangatan gembira,
kepada pangkat yang sebelumnya. Jikalau ia berkesungguhan melawan hawa nafsunya
dan memberatkan hatinya kepada yang tidak disukai dan ia benci kepada
kesenangan kepadanya dengan bertafakkur (merenungkan) pada bahaya-bahaya
pujian, maka ia adalah dalam bahaya kesungguhan. Sekali adalah kekuatan itu
baginya. Dan pada kali yang lain, adalah kekuatan itu memukul dirinya.
Diantaranya, ada orang, apabila mendengar pujian, ia tidak bergembbira dan
tidak berduka cita dengan pujian itu. Dan tiada membekas padanya. Dan ini
adalah baik, walaupun masih ada padanya sisa dari keikhlasan. Diantaranya, ada
orang yang tidak senang kepada pujian, apabila ia mendengarnya. Akan tetapi,
tidak berkesudahan dengan yang demikian, kepada memarahi si pemuji dan
menantangnya. Dan tingkatnya yang paling jauh, ialah, bahwa ia tidak menyukai
dan marah serta ia melahirkan kemarahan itu. Dan ia benar pada yang demikian.
Tidak bahwa ia melahirkan kemarahan, sedang hatinya suka kepada si pemuji itu.
Maka yang demikian itu munafik yang sebenarnya. Karena ia menghendaki
melahirkan dari dirinya keikhlasan dan kebenaran, padahal ia jatuh terjerembab
daripadanya. Begitu juga dengan lawan daripada itu. Berlebih kurang hal-ikhwal
terhadap pencela. Permulaan derajatnya, ialah: melahirkan kemarahan dan
akhirnya melahirkan kegembiraan. Kegembiraan dan melahirkan kegembiraan (dari
celaan orang) itu, tidak akan ada, selain dari orang, yang dalam hatinya
cemburu dan sakit hati kepada dirinya, karena kedurhakaan diri kepadanya,
banyak kekurangannya, janji-janjinya yang bohong dan kekeliruan-kekeliruannya
yang keji. Maka ia marah kepada dirinya, sebagai kemarahan musuh. Dan manusia
itu gembira, kepada orang yang mencela musuhnya. Dan orang ini, adalah orang
yang musuhnya, ialah: dirinya. Maka ia bergembira, apabila mendengar cacian
terhadap dirinya. Dan ia berterima kasih kepada pencaci di atas yang demikian.
Dan ia percaya akan kecerdikan dan kepintaran si pencaci. karena ia mengetahui
akan kekurangan-kekurangannya. Maka adalah yang demikian itu seperti mencari
kesembuhan dari dirinya. Dan adalah yang demikian itu ghanimah (harta rampasan
perang) padanya. Karena ia dengan celaan itu, menjadi lebih rendah pada mata
manusia. Sehingga ia tidak mendapat bencana (percobaan) dengan fitnah manusia.
Apabila dihalau (dibawa) kepadanya kebaikan-kebaikan, niscaya ia tidak bersusah
payah memperolehnya. Maka mudah-mudahan yang demikian itu, adalah kebajikan
bagi kekurangan-kekurangan, dimana ia lemah menghilangkannya. Kalau murid
(penuntut shufi) itu, melawan hawa nafsunya sepanjang umurnya pada perkara yang
satu ini, yaitu: bahwa bersamaan padanya antara pencela dan pemujinya, niscaya
ia akan mempunyai kesibukan yang menyibukkannya, yang tiada akan selesai
bersamaan dengan kesibukan itu, untuk hal yang lain. Dan diantara dia dan
kebahagiaan, terdapat banyak rintangan. Dan inilah salah satu daripadanya. Ia
tidak akan dapat memotong sedikitpun
daripadanya, selain dengan kesungguhan yang keras dalam umur yang panjang.
BAHAGIAN KEDUA DARI KITAB: TENTANG MENCARI
KEMEGAHAN DAN KEDUDUKAN DENGAN IBADAH.
Yaitu: ria. Dan
padanya: penjelasan tercelanya ria, penjelasan hakikat/maknanya ria dan apa
yang di riakan, penjelasan derajat ria, penjelasan ria tersembunyi, penjelasan
dari ria yang membatalkan amal dan yang tidak membatalkan, penjelasan obat ria
dan pengobatannya, penjelasan keringanan pada melahirkan ketaatan, penjelasan
keringanan pada menyembunyikan dosa-dosa, penjelasan meninggalkan ketaatan,
karena takut dari dia dan bahaya-bahayanya, penjelasan apa yang sah, dari
kerajinan hamba Allah bagi ibadah, disebabkan dilihat oleh makhluk dan
penjelasan apa yang wajib bagi murid, bahwa diharuskannya hatinya kepada yang
demikian, sebelum taat dan sesudahnya taat. Yaitu: 10 pasal. Wa billaahi’ttaufiiq/Dan
dengan taufik Allah.
PENJELASAN: tercelanya ria.
Ketahuilah, bahwa ria itu haram. Dan orang yang berbuat ria
itu terkutuk pada sisi Allah. ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar menjadi
saksi bagi yang demikian. Adapun ayat, yaitu: firman Allah Ta’ala: “Sebab itu,
celaka untuk orang-orang yang bersembahyang. Yang lalai dari sembahyangnya.
Yang mengerjakan (kebajikan) untuk dilihat orang (ria)”. S 107 Al Maa’uun ayat
4-5-6. Dan firman Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar:
“Mereka yang merencanakan kejahatan, mereka akan mendapat siksaan yang sangat
(keras). Dan rencana mereka akan gagal”. S 35 Faathir ayat 10. Kata Mujahid:
“Mereka itu, ialah: orang-orang ria”. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
kami memberikan makanan kepada kamu, hanyalah karena perintah Allah, kami tiada
mengingini balasan dan tiada pula terima kasih”. S 76 Al Insaan ayat 9. Allah
memuji orang-orang yang ikhlas, yang menidakkan semua kehendak, selain karena
Allah. Dan ria itu lawannya. Allah Ta’ala berfirman: “Maka siapa yang mengharap
akan menemui Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan pekerjaan yang baik dan
janganlah mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya (peribadatan) dengan
siapapun”. S 18 Al Kahfi ayat 110. Turun ayat ini, mengenai orang yang mencari
pahala dan pujian dengan ibadah dan amalnya. Adapun hadits, ialah: bahwa Nabi
saw menjawab, ketika seorang laki-laki bertanya kepadanya, dengan katanya:
“Wahai Rasulullah! Pada apa kelepasan dari azab?”. Nabi saw lalu menjawab:
“Bahwa hamba itu tidak mengerjakan taat kepada Allah, dimana maksudnya dengan
taat itu, ialah: manusia”. Abu Hurairah mengatakan tentang hadits: 3 orang,
yaitu: yang tewas pada perang sabilullah, yang bersedekah dengan hartanya dan
yang membaca (qari’) kitab Allah, sebagaimana telah kami bentangkan pada “Kitab
Ikhlas” dahulu. Dan Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar
berfirman bagi mereka: “Engkau dusta, tetapi yang engkau kehendaki, ialah:
supaya dikatakan orang: “Si Anu itu pemurah”. Engkau dusta, tetapi yang engkau
kehendaki, ialah: supaya dikatakan orang: “Si Anu itu berani”. Engkau dusta,
tetapi yang engkau kehendaki, ialah: supaya dikatakan orang: “Si Anu itu qari’
(ahli membaca Alquran)”. Lalu Rasulullah saw menerangkan: “Bahwa mereka tidak
diberi pahala. Dan rianya mereka itu, yang membatalkan amal mereka”. Ibnu Umar
ra berkata: “Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang berbuat dengan ria, niscaya
Allah memandang ria dengan perbuatan tersebut. Dan barangsiapa memperdengarkan
manusia dengan perbuatannya, niscaya diperdengarkan oleh Allah dengan perbuatan
itu”. Pada hadits lain yang panjang, yaitu: “Sesungguhnya Allah Ta’ala
berfirman kepada para malaikatNya: “Bahwa orang ini, tidak berkehendak kepadaKu
dengan amalnya. Maka masukkanlah dia ke dalam neraka!”. Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku takuti padamu, ialah: syirik kecil”. Lalu para
sahabat bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Nabi saw
menjawab: “R i a ! Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar
berfirman pada hari kiamat, apabila Ia memberi balasan kepada hamba-hambaNya
dengan amal mereka: “Pergilah kepada mereka, dimana kamu mengerjakan amalmu,
untuk diperlihatkan kepada mereka (berbuat ria) di dunia! Maka lihatlah, adakah
kamu memperoleh balasan dari mereka?”. Nabi saw bersabda: “Berlindunglah dengan
Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar dari lobang
kesedihan (jubbil-huzni)!” Beliau lalu ditanyakan: “Apakah lobang kesedihan
itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Suatu lembah dalam neraka jahanam,
yang disediakan bagi qari’-qari’ yang ria”. Nabi saw bersabda: “Allah ‘Azza wa
Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar berfirman: “Siapa yang berbuat
amal bagiKu, yang dipersekutukannya padanya dengan yang lain daripadaKu, maka
amal itu baginya semuanya. Dan Aku terlepas daripadanya dan Aku itu yang
terkaya dari segala yang kaya dari kesekutuan (syirik)”. Isa Al-Masih as
berkata: “Apabila ada hari puasa seseorang kamu, maka hendaklah ia
meminyakkan kepalanya dan jenggotnya. Dan ia menyapu dua bibirnya. Supaya tidak
dilihat orang, bahwa ia berpuasa. Dan apabila ia memberi dengan tangan
kanannya, maka hendaklah ia menyembunyikan dari tangan kirinya. Dan apabila ia
mengerjakan shalat, maka hendaklah diturunkannya tabir pintunya. Sesungguhnya
Allah membagikan pujian, sebagaimana Ia membagikan rezeki”. Nabi saw
bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar tiada
menerima amal, yang ada padanya ria seberat atom”. Umar ra bertanya kepada
Mu’az bin Jabal ketika dilihatnya ia menangis: “Apakah yang menjadikan engkau
menangis?” Muaz bin Jabal menjawab: “Suatu hadits yang aku dengar dari yang
empunya kuburan ini, yakni: Nabi saw, yang bersabda: “Bahwa ria yang paling
rendah, ialah: syirik”. Nabi saw bersabda: “Yang paling aku takuti padamu, ialah:
ria dan nafsu syahwat yang tersembunyi”. Nafsu syahwat yang tersembunyi juga
kembali kepada kesalahan-kesalahan ria dan yang halus-halus dari ria. Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya pada naungan ‘Arasy, pada hari yang tiada naungan,
selain dari naungan ‘Arasy, ada seorang laki-laki yang bersedekah dengan tangan
kanannya, lalu disembunyikannya dari tangan kirinya”. Karena itulah, tersebut
pada hadits: “Bahwa keutamaan amal yang dirahasiakan dari amal yang tidak
dirahasiakan, adalah dengan 70 ganda”. Nabi saw bersabda: “Bahwa orang yang
berbuat ria itu akan dipanggil pada hari kiamat: “Hai orang yang zalim! Hai
orang yang menyeleweng! Hai orang yang berbuat ria! Amalmu sesat dan pahalamu
sia-sia. Pergilah! Maka ambillah pahalamu dari orang yang engkau berbuat amal
baginya!”. Syaddad bin Aus berkata: “Aku melihat Nabi saw menangis. Lalu aku
bertanya: “Apakah yang membawa engkau menangis, wahai Rasulullah?” Nabi saw
menjawab: “Aku sangat takut syirik pada umatku. Walaupun mereka tidak menyembah
berhala, matahari, bulan dan batu. Akan tetapi, mereka memperlihatkan kepada
orang (berbuat ria) dengan amal mereka”. Nabi saw bersabda: “Tatkala Allah
Ta’ala menjadikan bumi, lalu bumi itu bergoncang dengan isinya. Maka Allah
Ta’ala menjadikan gunung-gunung. Maka dijadikanNya gunung-gunung itu pasak bagi
bumi. Lalu para malaikat berkata: “Tuhan kita tiada menjadikan makhluk yang
lebih keras dari gunung”. Lalu Allah menjadikan besi. Maka besi itu memotong
gunung. Kemudian Ia menjadikan api. Lalu api itu mencairkan besi. Kemudian,
Allah menyuruh air memadamkan api. Dan Ia menyuruh angin, lalu angin itu
mengeruhkan air. Maka berselisihlah para malaikat. Lalu malaikat itu berkata:
“Kita bertanya kepada Allah Ta’ala”. Seraya mereka bertanya: “Wahai Tuhan!
Apakah yang sangat keras dari apa yang Engkau jadikan dari makhluk Engkau?”.
Allah Ta’ala menjawab: “Tiada Aku jadikan suatu makhlukpun yang lebih keras
kepadaKu, daripada hati anak Adam. Ketika ia bersedekah dengan sesuatu sedekah
dengan tangan kanannya, lalu disembunyikannya dari tangan kirinya. Maka inilah
makhluk yang lebih keras, yang Aku jadikan”. Abdullah bin al-Mubarak
meriwayatkan dengan isnadnya dari seorang laki-laki, dimana laki-laki tersebut
berkata kepada Mu’az bin Jabal: “Terangkanlah kepadaku suatu hadits yang engkau
dengar dari Rasulullah saw”. laki-laki itu meneruskan riwayatnya: “Maka Mu’az
menangis, sehingga aku menyangka bahwa dia tidak akan diam. Kemudian ia diam”.
Kemudian, ia berkata: “Aku mendengar Nabi saw berkata kepadaku: “Hai Ma’az!”
Lalu aku menjawab: “Aku bersedia, demi ayahku, engkau dan ibuku, wahai
Rasulullah?”. Maka Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku menyampaikan kepada
engkau, suatu hadits, jika engkau hafal, niscaya bermanfaat bagi engkau. Dan
jika engkau sia-siakan dan tidak engkau hafal, niscaya terputuslah alasanmu di
sisi Allah pada hari kiamat. Hai Ma’az! Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan 7
malaikat, sebelum Ia menjadikan langit dan bumi. Kemudian Ia menjadikan langit.
Lalu dijadikanNya bagi tiap-tiap dari 7 langit itu, seorang malaikat penjaga
pintunya, di mana ia telah mengagungkkan langit itu dengan kebesaran. Lalu
naiklah para malaikat penjaga amal manusia, membawa amal hamba (manusia) yang
dikerjakannya dari pagi sampai sore. Amal itu mempunyai nur (cahaya) seperti
cahaya matahari. Sehingga apabila para malaikat penjaga amal itu, naik dengan
amal tadi ke langit dunia, niscaya dibersihkannya, lalu diperbanyakkannya amal
itu. Maka malaikat penjaga pintu itu berkata kepada para malaikat penjaga amal
tersebut: “Pukullah dengan amal ini, muka yang punya! Akulah yang punya
umpatan. Aku disuruh oleh Tuhanku, bahwa aku tidak membiarkan amal orang yang
mengumpat manusia, melewati aku kepada yang lain daripadaku”. Nabi saw
meneruskan haditsnya: “Kemudian, datang malaikat penjaga amal, dengan amal
shalih, dari amalan hamba Allah. Maka dibawanya amal tersebut, lalu
dibersihkannya dan diperbanyakkannya. Sehingga sampai ia ke langit kedua. Lalu
malaikat yang diserahkan tugas ke langit kedua itu, berkata kepada malaikat
penjaga amal: ‘’Berhenti! Dan pukullah dengan amal ini muka yang punya. Dia
bermaksud dengan amalnya ini, harta benda dunia. Aku disuruh oleh Tuhanku,
bahwa aku tidak membiarkan amalnya melewati aku kepada yang lain daripadaku.
Yang empunya amal ini menyombong dengan amalnya, kepada manusia pada
majelis-majelis mereka”. Nabi saw meneruskan haditsnya: “Para malaikat penjaga
amal itu naik lagi dengan amal hamba, di mana amal tersebut gemilang dengan nur
sedekah, puasa dan shalat, yang menakjubkan para malaikat penjaga amal itu.
Lalu meraka melewati dengan amal tadi, ke langit ke 3. Lalu berkata kepada
mereka, malaikat yang ditugaskan pada langit ke 3 tadi: “Berhenti! Pukullah
dengan amal ini muka yang punya! Aku malaikat takabur (yang mengurus takabur).
Aku disuruh oleh tuhanku supaya tidak membiarkan amalnya, melewati aku kepada
yang lain daripadaku. Yang empunya amal ini bersikap takabur (sombong) kepada
manusia pada majelis-majelis mereka”. Nabi saw meneruskan haditsnya: “Para
malaikat penjaga amal itu, naik lagi dengan amal hamba, yang bercahaya,
sebagaimana bercahayanya bintang berkilauan, mempunyai suara dari tasbih,
shalat, haji dan umrah. Sehingga mereka melewati dengan amal itu ke langit ke
4. Lalu berkata kepada mereka, malaikat yang ditugaskan ke langit itu:
“Berhenti! Dan pukullah dengan amal ini muka yang punya! Pukullah dengan amal
ini punggungnya dan perutnya! Aku yang empunya ‘ujub (menyombongkan diri). Aku
disuruh oleh Tuhanku, supaya tidak membiarkan amalnya, melewati aku kepada yang
lain daripadaku. Sesungguhnya, dia apabila berbuat suatu amal, niscaya
dimasukkannya ‘ujub pada amalnya”. Nabi saw meneruskan haditsnya: “Para
malaikat penjaga amal itu, naik lagi dengan amal hamba. Sehingga mereka
melewati dengan amal itu ke langit ke 5. Seakan-akan amal itu pengantin puteri yang
diserahkan kepada suaminya. Lalu malaikat yang ditugaskan ke langit itu,
berkata kepada para malaikat yang menjaga amal: “Berhenti! Dan pukullah dengan
amal ini, muka yang punya! Dan bawalah amal tersebut ke atas bahunya! Aku
malaikat dengki. Sesungguhnya orang itu dengki kepada manusia. Yaitu: siapa
yang belajar dan berbuat seperti perbuatannya. Dan setiap orang yang mengambil
keutamaan dari ibadah, ia dengki kepada mereka. Dan ia mencaci mereka. Aku
disuruh oleh Tuhanku, bahwa aku tidak membiarkan amalnya, melewati aku kepada
yang lain daripadaku”. Nabi meneruskan haditsnya: “Para malaikat penjaga amal
itu, naik lagi dengan amal hamba, dari shalat zakat, haji, umrah dan puasa.
Lalu mereka melewati dengan ibadah-ibadah tersebut ke langit ke 6. Lalu malaikat
yang ditugaskan di langit ke 6 itu, berkata kepada para malaikat penjaga amal:
“Berhenti! Dan pukullah dengan amal ini, muka yang punya! Sesungguhnya dia itu
tiada sekali-kali mengasihani manusia dari hamba-hamba Allah, yang ditimpa
bencana atau melarat yang melaratkannya. Akan tetapi, ia gembira orang itu
mendapat bencana. Aku malaikat rahmat. Aku disuruh oleh Tuhanku, bahwa aku
tidak membiarkan amalnya, melewati aku kepada yang lain daripadaku”. Nabi
meneruskan haditsnya: “Para malaikat penjaga amal itu naik lagi, dengan amal
hamba ke langit ke 7, amal mana terdiri dari: puasa, shalat, nafkah (belanja
kepada keluarga), zakat, kesungguhan beramal dan wara’. Ia mempunyai suara,
seperti bunyi petir. Mempunyai cahaya, seperti cahaya matahari. Bersama amal itu,
3000 malaikat. Lalu para malaikat penjaga amal itu, melewati dengan amal
tersebut, ke langit ke 7. Maka berkata malaikat yang ditugaskan di langit itu,
kepada para malaikat penjaga amal: “Berhenti! Dan pukullah dengan amal ini,
muka yang punya! Pukullah dengan amal ini anggota badannya! Tutuplah dengan
amal ini akan hatinya! Sesungguhnya aku akan meletakkan hijab (dinding) dari
Tuhanku, setiap amal, yang tidak dimaksudkannya akan Wajah Tuhanku.
Sesungguhnya ia bermaksud dengan amalnya, yang lain dari Allah Ta’ala. Ia
berkehendak ketinggian dari ulama-ulama fiqh, sebutan dari ulama-ulama dan
suara (tersebut namanya) di kota-kota. Tuhanku menyuruh aku, bahwa aku tidak
membiarkan amalnya, melewati aku kepada yang lain dari aku. Dan setiap amal
yang tidak ikhlas bagi Allah, maka itu ria. Dan Allah tiada menerima amal orang
ria”. Nabi saw meneruskan haditsnya: “Para malaikat penjaga amal itu, naik lagi
dengan amal hamba, yang terdiri dari: shalat, zakat, puasa, haji, umrah, baik
akhlak, diam dan dzikir kepada Allah Ta’ala. Para malaikat langit
mengantarkannya, sehingga mereka dapat melewati hijab semuanya, kepada Allah
‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar. Lalu mereka berdiri di
hadapanNya dan naik saksi kepadaNya dengan amal shalih, yang ikhlas bagi Allah.
Nabi saw meneruskan riwayatnya: “Lalu Allah berfirman kepada mereka: “Kamu
semua penjaga amal, terhadap amal hambaKu. Dan Aku mengintip (ar-raqib)
terhadap dirinya. Sesungguhnya dia tiada menghendaki Aku dengan amal ini. Ia
menghendaki yang lain daripadaKu. Maka kepadanya kutukanKu”. Lalu para malaikat
itu semua menjawab: “Kepadanya kutukan Engkau dan kutukan kami”. Dan langit
semua berkata: “Kepadanya kutukan Allah dan kutukan kami. Ia dikutuk oleh
langit 7, bumi dan orang-orang padanya”. Ma’az berkata: Aku berkata: “Wahai
Rasulullah! Engkau Rasul Allah dan aku Ma’az”. Nabi saw menjawab: “Ikutilah
aku, walaupun ada pada amalmu kekurangan! Hai Ma’az! Peliharalah lidahmu dari
mencaci saudara-saudaramu, dari para pembawa Alquran! Bawalah dosamu kepadamu
dan jangan engkau bawa kepada mereka! Janganlah engkau membersihkan dirimu
dengan mencela mereka! Janganlah engkau mengangkat dirimu atas mereka!
Janganlah engkau masukkan amal duniawi dalam amal akhirat! Janganlah engkau
takabur dalam majelis engkau! Supaya manusia takut dari jahatnya akhlak engkau!
Janganlah engkau berbicara dengan seseorang dan di sisi engkau ada orang lain!
Janganlah engkau membesarkan diri kepada manusia, maka akan terputus dari
engkau kebajikan dunia! Dan janganlah engkau koyakkan daging manusia, maka akan
dikoyakkan daging engkau oleh anjing neraka, pada hari kiamat dalam neraka!
Allah Ta’ala berfirman: “Dan yang menarik dengan perlahan”. S 79 An Naazi’aat
ayat 2 “Tahukah engkau, siapa yang menarik itu, hai Ma’az?” Aku menjawab: “Siapakah
dia, demi ayahku, engkau dan ibuku, wahai Rasulullah?”. Nabi saw menjawab:
“Anjing-anjing dalam neraka, yang menarik daging dan tulang”. Aku lalu
bertanya: “Demi ayahku, engkau dan ibuku, wahai Rasulullah! Siapakah yang
sanggup menahan perkara ini? Dan siapakah yang terlepas daripadanya?”. Nabi saw
menjawab: “Hai Ma’az! Sesungguhnya mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah
kepadanya”. Laki-laki itu meneruskan ceriteranya: “Aku tidak melihat orang yang
lebih banyak membaca Alquran dari Ma’az. Karena ia takut dari apa yang
disebutkan pada hadits tadi”. Adapun atsar, maka diantaranya, ialah:
diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin Al-Khattab ra melihat seorang laki-laki
menundukkan lehernya. Lalu Umar ra berkata: “Hai yang punya leher! Angkatlah
lehermu! Khusuk itu tidaklah pada leher. Sesungguhnya khusuk itu pada hati”.
Abu Amamah Al-Bahili ra melihat seorang laki-laki dalam masjid, menangis dalam
sujudnya. Lalu Abu Amamah berkata: “Engkau-engkau, jikalau ini di rumah
engkau!”. Ali ra berkata: “Orang yang ria itu mempunyai 3 tanda: malas
apabila ia sendirian, rajin apabila ia berada pada orang banyak dan ia
menambahkan amal, apabila ia dipuji dan dikurangkan, apabila ia dicela”.
Seorang laki-laki berkata kepada ‘Ubadah bin Ash-Shamit: “Aku berperang dengan
pedangku pada jalan Allah (sabilullah). Aku bermaksud dengan perang itu, wajah
Allah Ta’ala dan pujian manusia”. ‘Ubadah bin Ash-Shamit menjawab: “Tak ada
suatupun bagimu”. Lalu laki-laki tersebut bertanya kepada ‘Ubadah 3 kali. Tiap
kali pertanyaan itu, dijawab oleh ‘Ubadah: “Tak ada suatupun bagimu”. Kemudian,
pada kali ke 3, ‘Ubadah menjawab: “Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku yang
terkaya dari yang kaya daripada dipersekutukan (syirik)”.....sampai akhir
hadits. Seorang laki-laki bertanya kepada Sa’id bin Al-Musayyab, dengan
katanya: “Bahwa salah seorang kami berbuat perbuatan baik (perbuatan ma’ruf),
dimana ia suka dipuji dan diberi upah”. Sa’id bin Al-Musayyab lalu menjawab:
“Sukakah engkau dicaci?” Orang itu menjawab: “Tidak!” Maka Sa’id berkata: “Apabila
engkau berbuat suatu amal karena Allah, maka ikhlaskanlah!”. Adl-Dlahhak
berkata: “Tidaklah seseorang kamu itu mengatakan: “Ini karena Allah dan karena
keluarga. Sesungguhnya Allah Ta’ala tiada mempunyai sekutu”. Umar ra memukul
seorang laki-laki dengan cemeti. Kemudian, Umar berkata kepada orang itu:
“Ambillah bela dengan cemeti ini daripadaku!”. Laki-laki itu lalu menjawab:
“Tidak! Tetapi, aku tinggalkan cemeti itu, bagi Allah dan bagi engkau”. Maka
Umar berkata kepada orang tersebut: “Apa yang engkau perbuatkan dari sesuatu,
adakalanya, bahwa engkau tinggalkan bagiku. Maka aku ketahui yang demikian.
Atau engkau tinggalkan bagi Allah sendirian”. Laki-laki itu menjawab: “Aku
tinggalkan cemeti itu bagi Allah sendirian”. Lalu Umar berkata: “Jadi, ialah yang
demikian”. Al-Hasan Al-Bashari ra
berkata: “Sesungguhnya aku telah menemani beberapa kaum. Kalau ada salah
seorang dari mereka, untuk dikemukakan kepadanya ilmu hikmah (filsafat).
Jikalau ia bertutur kata dengan ilmu hikmah itu, niscaya bermanfaat baginya dan
bermanfaat bagi teman-temannya. Dan tiada yang mencegahnya daripada itu, selain
takut dikenal orang (syuhrah). Dan kalau ada salah seorang dari mereka lalu di
jalan, maka dilihatnya yang merusakkan di jalan. Maka tiada yang melarangnya
untuk menyingkirkan yang merusakkan itu, selain takut dikenal orang”.
Dikatakan, bahwa orang yang berbuat ria itu, dipanggil pada hari kiamat dengan
4 nama, yaitu: “Hai yang berbuat ria, Hai yang menyeleweng, Hai yang merugi,
Hai yang zalim. Pergilah! Maka ambillah pahalamu, dari orang yang engkau
berbuat untuk orang itu! Tiada pahala bagimu pada Kami”. Al-Fudlail bin ‘Iyadl
ra berkata: “Adalah mereka berbuat ria dengan apa yang diperbuat mereka. Dan
pada hari ini, jadilah mereka berbuat ria dengan apa yang tidak diperbuat
mereka”. ‘Akramah berkata: “Sesungguhnya Allah memberikan kepada hamba di atas
niatnya, apa yang tidak diberikanNya di atas amal perbuatannya. Karena niat
itu, tak ada ria padanya”. Al-Hasan Al-Bashari
ra berkata: “Orang yang berbuat ria itu bermaksud mengalahkan qadar
(takdir) Allah Ta’ala. Dia itu orang jahat, bermaksud supaya manusia
mengatakan, bahwa dia: orang baik (shalih). Bagaimana mereka mengatakan, sedang
dia telah bertempat dari Tuhannya pada tempat orang-orang hina. Maka tak boleh
tidak bagi hati orang-orang mu’min untuk mengenalinya”. Qatadah bin Da’amah
Al-Bashari berkata: “Apabila hamba itu
berbuat ria, maka Allah Ta’ala berfirman: “Lihatlah kepada hambaKu, yang
mempermain-mainkan Aku!”. Malik bin Dinar berkata: “Para qari’ (ahli membaca
Alquran) itu 3 golongan: qari’ Tuhan Yang Maha Pengasih, qari’ dunia dan qari’
raja-raja. Bahwa Muhammad bin Wasi’ termasuk qari’ Tuhan Yang Maha Pengasih
(min-qurraa-i ‘rrahmaan)’. Al-Fudlail berkata: “Siapa yang bermaksud memandang
kepada orang yang berbuat ria, maka hendaklah ia memandang kepadaku!”. Muhammad
bin Al-Mubarak Ash-Shuwari berkata: “Lahirkanlah tanda kebaikan di malam hari!
Sesungguhnya yang di malam hari itu, lebih mulia dari tanda kebaikanmu di siang
hari. Karena tanda kebaikan di siang hari itu bagi makhluk. Dan tanda kebaikan
di malam hari itu bagi Tuhan semesta alam”. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata:
“Menjaga amal itu lebih sukar dari amal”. Ibnul-Mubarak berkata: “Jikalau
adalah orang yang sesungguhnya bertawaf di Baitullah dan dia sendiri (hatinya)
di Khurasan”. Lalu ditanyakan kepada Ibnul-Mubarak tadi: “Bagaimana bisa
demikian?”. Ibnul-Mubarrak menjawab: “Ia suka disebutkan, bahwa dia itu
bertetangga dengan Makkah”. Ibrahim bin Adham berkata: “Tiada membenarkan
Allah, orang yang menghendaki bahwa dia itu terkenal (termasyhur)”.
PENJELASAN: hakikat/makna ria dan apa yang diriakan.
Ketahuilah, bahwa perkataan ria terambil
(musytaqq) dari perkataan ru’yah (melihat). Dan perkataan sum’ah terambil dari
perkataan sima’ (mendengar). Sesungguhnya ria itu, pokoknya, ialah: mencari
tempat (kedudukan) pada hati manusia, dengan memperlihatkan kepada mereka,
hal-hal kebajikan. Selain bahwa kemegahan dan kedudukan itu, sekali dicari
dalam hati manusia dengan perbuatan-perbuatan selain ibadah. Dan pada kali yang
lain, dicari dengan perbuatan ibadah. Dan nama ria itu dikhususkan menurut
hukum kebiasaan, dengan mencari kedudukan pada hati manusia, dengan ibadah dan
melahirkannya. Maka batas ria itu, ialah: kehendak hamba dengan mentaati Allah.
Maka orang yang berbuat ria itu, ialah: orang ‘abid (orang banyak ibadahnya).
Dan orang yang dibuatkan kepadanya, ialah: manusia yang dicari penglihatannya,
dengan mencari kedudukan dalam hatinya. Dan perbuatan yang diriakan, ialah:
hal-hal yang dimaksudkan oleh orang yang berbuat ria, untuk dilahirkannya. Dan
ria, ialah: maksudnya melahirkan yang demikian. Perbuatan yang diriakan itu
banyak. Dan dikumpulkan oleh 5 perkara. Yaitu: kumpulan apa-apa yang dihiasi
oleh hamba (hamba Allah yang beribadah itu) bagi manusia. Yaitu: tubuh,
pakaian, perkataan, perbuatan, pengikut dan hal-hal yang diluar itu. Dan begitu
pula penduduk dunia berbuat ria dengan sebab-sebab yang 5 tadi. Kecuali, bahwa
mencari kemegahan dan maksud ria dengan perbuatan-perbuatan yang tidak termasuk
dalam jumlah amalan taat itu, lebih mudah dari ria dengan amalan taat.
Bahagian pertama: ria pada Agama dengan tubuh. Yang demikian itu,
dengan melahirkan (memperlihatkan) kurus dan pucat muka. Supaya dengan
demikian, menimbulkan sangkaan, bahwa ia sangat rajin, sangat gundahnya atas
urusan agama dan keras takutnya kepada hari akhirat. Dan dengan kurus itu,
untuk menunjukkan sedikit makan. Dan dengan pucat muka itu, untuk menunjukkan
tidak tidur malam, sangat rajin dan sangat gundahnya atas agama. Begitu pula,
ia berbuat ria dengan mengusutkan rambut, untuk menunjukkan bahwa ia
menghabiskan cita-citanya dengan agama. Dan tiada memperoleh kesempatan untuk
menyisirkan rambut. Sebab-sebab inilah, manakala tentu menampak diperlihatkan,
niscaya manusia mengambil dalil dengan sebab-sebab tersebut, di atas hal-hal
yang demikian. Lalu hati merasa senang karena diketahui mereka. Maka karena
itulah, nafsu memanggilnya kepada melahirkan (menampakkan) hal-hal tadi, untuk
memperoleh kesenangan itu. Dan mendekati dari ini, ialah: merendahkan suara,
mencekungkan dua mata dan mengeringkan dua bibir, untuk menunjukkan dengan
demikian, bahwa ia selalu (rajin) berpuasa. Dan bahwa kesopanan agama, itulah
yang merendahkan (mengecilkan) suaranya. Atau kelemahan lapar itulah yang
melemahkan kekuatannya. Dan dari inilah, Isa Al-Masih as berkata: “Apabila
salah seorang dari kamu berpuasa, maka hendaklah ia meminyakkan kepalanya,
menyisirkan rambutnya dan meletakkan celak pada dua matanya”. Dan begitu pula,
diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Dan semua yang demikian itu, karena ditakuti
dari tikaman setan dengan ria. Karena itulah, Ibnu Mas’ud ra berkata:
“Jadikanlah kamu berpuasa dengan memakai minyak!”. Inilah pencerminan
orang-orang agama dengan tubuh! Adapun orang-orang dunia, maka mereka berbuat
ria dengan melahirkan (memperlihatkan) gemuk, bersih warna kulit, berdiri tegak
lurus, bagus wajahnya, bersih tubuh, kuat anggota badan dan terdapat
keseimbangan di antara anggota-anggota badan.
Bahagian kedua:
ria dengan cara dan pakaian. Maka dengan mengusutkan rambut kepala,
mencukur kumis, menundukkan kepala pada waktu berjalan, tenang pada gerakan,
tetap adanya bekas sujud pada muka, tebal pakaian, memakai bulu, menyingsingkan
pakaian kepada mendekati betis, memendekkan lengan baju, meninggalkan
kebersihan kain dan membiarkan kain itu koyak, semua yang demikian dibuat ria,
untuk melahirkan dari dirinya, bahwa dia pengikut sunnah pada yang demikian dan
mengikuti hamba-hamba Allah yang shaleh. Dan termasuk pada yang demikian,
memakai pakaian dari kain yang disambung-sambung, shalat atas kain sajadah,
memakai kain berwarna biru, karena menyerupakan dengan orang-orang shufi, serta
tidak ada sama sekali hakikat/makna ke-tasawwuf/ahli suffian pada batinnya. Dan
termasuk pada yang demikian juga, berbuat kecukupan dengan kain sarung di atas
serban dan menjatuhkan kain selendang atas dua mata, untuk diperlihatkan
(berbuat ria) dengan yang demikian, bahwa dia telah berkesudahan kesengsaraan
hidupnya, kepada ketakutan dari debu jalan. Dan supaya berpaling kepadanya
semua mata, disebabkan berbedanya dengan tanda tersebut. Dan termasuk pada yang
demikian juga, baju jubah yang terbuka bagian depan (durra’ah) dan pakaian
hitam 4 segi (thailasan), yang dipakai oleh orang yang kosong dari ilmu
pengetahuan, untuk menimbulkan sangkaan orang bahwa dia termasuk ahli ilmu.
Orang-orang yang berbuat ria dengan pakaian itu bertingkat-tingkat. Diantara
mereka, ada yang mencari kedudukan pada orang-orang shalih, dengan melahirkan
(menampakkan) zuhud. Lalu ia memakai kain-kain yang koyak, yang kotor, yang
pendek dan yang tebal. Supaya ia memperlihatkan dengan tebalnya, kotornya,
pendeknya dan koyaknya kain-kain tersebut, bahwa dia tidak menghiraukan dunia.
Kalau dipaksakan untuk dipakainya kain yang sedang lagi bersih, dari apa yang
dipakai oleh orang-orang terdahulu (ulama salaf), niscaya adalah yang demikian
itu padanya seperti disembelih. Yang demikian itu, karena takutnya dikatakan
orang, bahwa telah menampak baginya zuhud dan ia kembali dari jalan itu. Dan ia
gemar kepada dunia. Tingkat yang lain, ialah: mereka mencari penerimaan pada orang-orang
baik (orang-orang shalih) dan pada orang-orang yang mempunyai dunia, dari
raja-raja, wazir-wazir (menteri-menteri) dan saudagar-saudagar. Kalau mereka
memakai kain-kain yang megah, niscaya mereka ditolak oleh para qari’. Dan kalau
mereka memakai kain koyak lagi buruk, niscaya mereka dihinakan oleh mata
raja-raja dan orang-orang kaya. Maka mereka bermaksud mengumpulkan diantara
penerimaan ahli agama dan dunia. Maka karena itulah, mereka mencari kain bulu
yang halus, pakaian yang tipis, potongan kain yang tercelup dan kain handuk
yang tinggi tingkatnya. Lalu dipakainya. Mudah-mudahan nilainya kain salah
seorang dari mereka itu, nilainya kain salah seorang dari orang-orang kaya.
Warna dan caranya itu, warna kain orang-orang shalih. Lalu mereka mencari
penerimaan pada dua golongan tersebut. Dan kalau mereka dipaksakan memakai kain
kasar atau kotor, niscaya adalah dia pada sisi mereka, seperti disembelih.
Karena takut jatuh dari pandangan mata raja-raja dan orang-orang kaya. Dan
kalau mereka dipaksakan memakai kain dubaiq (bikinan orang Dubaiq, yang ditenun
dengan sutera), kain kattan (dibuat dari tumbuh-tumbuhan kattan) halus putih
dan kain yang disetrika yang bergambar, walaupun nilainya kurang dari nilai
kain mereka, niscaya sungguh berat yang demikian atas mereka. Karena takut akan
dikatakan oleh orang-orang shalih, bahwa mereka gemar pada pakaian orang-orang
dunia. Dan tiap-tiap lapisan dari mereka melihat kedudukannya pada pakaian
khusus. Maka beratlah baginya berpindah kepada yang kurang daripadanya atau
kepada yang di atasnya, walaupun yang demikian itu mubah (diperbolehkan).
Karena takut dari celaan. Adapun orang-orang dunia, maka ke-ria-an mereka
ialah: dengan kain-kain yang indah, kendaraan yang tinggi harganya dan segala
macam keluasan, keelokan pada pakaian, tempat tinggal, perabot rumah, kuda
cantik dan dengan kain yang dicelup dengan warna-warni dan baju hitam pakaian
alim-ulama yang indah. Yang demikian itu menonjol diantara manusia. Mereka
memakai di rumah, kain-kain kasar. Dan sukarlah kepada mereka, jikalau mereka
tampak kepada manusia di atas bentuk yang demikian, selama mereka tidak
berlebih-lebihan pada perhiasan.
Ketiga: ria dengan perkataan: Dan ria orang-orang agama, ialah: dengan
pengajaran (nasehat), peringatan, penuturan dengan hikmah, penghapalan hadits
dan atsar, karena dipakai pada muhawarah (bersoal-jawab), karena melahirkan
(menampakkan) banyak ilmu, menunjukkan kepada kesangatan bersungguh-sungguh
dengan hal-ikhwal orang-orang terdahulu (salaf) yang shalih, menggerakkan dua bibir
dengan dzikir di hadapan orang banyak, amar ma’ruf dan nahi munkar dengan
disaksikan makhluk, melahirkan kemarahan bagi perbuatan-perbuatan munkar,
melahirkan kesedihan atas perbuatan manusia dengan pekerjaan maksiat,
melemahkan suara ada berkata-kata, menghaluskan suara dengan pembacaan Alquran,
untuk menunjukkan dengan yang demikian kepada takut dan gundah, mendakwakan
menghapal hadits, bertemu dengan syaikh-syaikh (guru-guru) dan mengetok
(menolak) terhadap orang-orang yang merawikan hadits, dengan penjelasan sumbang
(rusak) pada kata-katanya. Supaya dikenal orang, bahwa dia lebih tahu dengan
hadits-hadits. Dan bersegera kepada penjelasan, bahwa hadits itu shahih atau
tidak shahih, untuk melahirkan kelebihan padanya. Dan bertukar-pikiran dengan
maksud mendiamkan lawan dengan hujjah/alasan, melahirkan kepada manusia, akan
kekuatannya pada ilmu agama. Ria dengan perkataan itu banyak dan macamnya tidak
terhingga. Adapun orang-orang dunia, maka rianya dengan perkataan, ialah:
dengan menghapal pantun-pantun dan pepatah-pepatah, berbicara dengan lancar
pada penyusunan kata-kata, menghapalkan tata bahasa yang ganjil (jarang
terdengar) bagi orang-orang yang mengherani kepada orang yang mempunyai
keutamaan. Dan melahirkan kasih-sayang kepada manusia, untuk menarik hati orang
banyak.
Keempat: ria dengan amal, seperti: rianya orang yang mengerjakan
shalat dengan melamakan berdiri, memanjangkan tulang belakang (tulang
punggung), melamakan sujud dan ruku’, menundukkan kepala, meninggalkan
berpaling, melahirkan ketenangan dan ketetapan, menyamakan dua tapak kaki dan
dua tangan. Begitu pula dengan puasa, perang dan haji. Dengan sedekah, dengan
memberikan makanan dan dengan merendahkan diri pada berjalan ketika bertemu
dengan orang. Seperti: melembutkan pelupuk
mata, menundukkan kepala dan sopan pada berkata-kata. Sehingga orang
yang berbuat ria itu kadang-kadang bersegera pada berjalan kepada keperluannya.
Maka apabila dilihat kepadanya oleh seseorang dari orang agama, niscaya ia
kembali kepada sopan dan menundukkan kepala. Karena takut daripada dikatakan
bahwa ia tergopoh-gopoh dan kurang sopan. Maka kalau orang agama itu sudah
menghilang, niscaya ia kembali kepada ketergopohannya. Dan apabila orang agama
itu melihatnya, niscaya ia kembali kepada ke-khusu’annya. Dan ia tidak
didatangkan oleh ingatan kepada Allah (dzikrullah), sebelum dzikrullah itu
membarukan ke-khusu’annya. Bahkan itu, adalah untuk dilihat manusia kepadanya.
Ia takut, bahwa ia tidak dipercayai, bahwa dia termasuk sebagian dari
orang-orang yang banyak ibadah dan orang-orang shalih. Setengah dari mereka,
ada orang, apabila mendengar ini, niscaya ia merasa malu, bahwa berlainan
perjalanannya pada tempat sunyi, daripada perjalanannya dengan dilihat manusia.
Lalu ia memaksakan dirinya dengan berjalan baik di tempat sunyi (tidak dilihat
orang). Sehingga apabila ia dilihat oleh manusia, niscaya ia tidak memerlukan
lagi kepada merobahnya. Dan ia menyangka, bahwa ia sudah terlepas dari ria. Dan
dengan yang demikian itu, sebenarnya rianya telah terlipat ganda. Karena ia
dalam kesunyiannya itu, telah menjadi orang yang berbuat ria juga. Maka
sesungguhnya ia membaguskan perjalanannya pada tempat yang sunyi itu, supaya
adalah dia seperti yang di hadapan orang banyak. Tidak karena takut kepada
Allah dan malu kepadaNya. Adapun orang-orang dunia, maka ke-ria-an mereka,
ialah: dengan berjalan kesombongan, keangkuhan, penggerakkan dua tangan,
pendekatan langkah, mengambil dengan tepi ujung kain dan memutar dua ketiak
(mengangkat dua bahu). Supaya mereka tunjukkan dengan yang demikian, kepada
rasa megah dan malu.
Kelima: keriaan dengan banyak teman, banyak pengunjung dan
orang-orang yang bercampur baur, seperti orang yang berbuat pura-pura berat
menerima kunjungan (ziarah) seseorang dari alim ulama, supaya dikatakan bahwa
si Anu telah berkunjung (berziarah) kepada si Anu. Atau menerima kunjungan
seseorang dari orang ‘abid, supaya dikatakan: bahwa orang-orang agama mengambil
barakah dengan menziarahinya dan pulang-pergi kepadanya. Atau menerima
kunjungan salah seorang raja atau salah seorang pegawai sultan. Supaya
dikatakan: bahwa mereka mengambil barakah padanya, karena besar martabat
(kedudukan)nya pada agama. Dan seperti orang yang banyak menyebutkan
syaikh-syaikh (guru-guru), untuk memperlihatkan (berbuat ria), bahwa dia bertemu
dengan banyak syaikh (guru) dan memperoleh faedah daripada guru-guru itu. Lalu
ia membanggakan diri dengan guru-gurunya. Kebanggaan dan keriaannya itu
menonjol padanya, ketika pertengkarannya. Maka ia mengatakan kepada orang lain:
“Siapa yang engkau jumpai dari guru-guru (syaikh-syaikh). Dan aku telah
menjumpai si Anu dan si Anu. Aku sudah mengelilingi negeri-negeri dan aku sudah
melayani guru-guru”. Dan kata-kata lain yang serupa dengan yang demikian. Maka
inilah kumpulan, yang dibuat ria oleh orang-orang yang berbuat ria. Semua
mereka, dengan yang demikian itu, mencari kemegahan dan kedudukan pada hati
hamba Allah. Diantara mereka, ada orang yang merasa puas dengan tekad baik
orang pada dirinya. Maka banyaklah rahib (pendeta) bertekun di sudut gereja,
bertahun-tahun. Banyaklah orang abid yang mengasingkan diri ke puncak gunung,
dalam waktu yang panjang. Dan sesungguhnya persembunyiannya itu, adalah dari
segi diketahuinya, dengan tegaknya kemegahan bagi dirinya pada hati orang
banyak. Jikalau ia tahu, bahwa mereka mengatakannya berbuat dosa di gerejanya
atau di kelentengnya, niscaya mengacaukan hatinya. Dan ia tidak merasa puas
dengan diketahui oleh Allah, dengan kesucian dirinya. Bahkan, karena yang
demikian itu, bersangatlah dukacitanya. Dan ia berusaha dengan segala daya
upaya, pada menghilangkan yang demikian dari hati orang banyak serta putus
harapannya pada harta orang banyak itu. Akan tetapi, ia hanya mengingini
kemegahan semata-mata. Karena kemegahan itu enak, sebagaimana telah kami
sebutkan pada sebab-sebab kemegahan itu. Maka sesungguhnya kemegahan itu,
semacam kekuasaan dan kesempurnaan pada masa sekarang juga. Walaupun ia segera
hilang. Tidaklah tertipu dengan yang demikian, selain orang-orang bodoh. Tetapi
kebanyakan manusia itu bodoh. Diantara orang-orang yang berbuat ria itu, ialah
orang yang tiada merasa puas dengan tegak kedudukannya. Akan tetapi, bersama
yang demikian itu, ia mencari kelancaran lidah manusia dengan sanjungan dan
pujian. Diantara manusia, ada orang yang menghendaki tersiarnya suara pujian
dalam negeri. Supaya banyaklah orang pergi kepadanya. Diantara mereka, ada
orang yang menghendaki termasyhur (terkenal) pada raja-raja. Supaya diterima
syafa’ah (restu)nya dan dipenuhi segala hajat keperluan atas tangan (usaha)nya.
Lalu tegaklah baginya dengan demikian, kemegahan pada rakyat umum. Diantara
mereka, ada orang yang bermaksud dengan yang demikian itu, untuk menyampaikan,
kepada menghimpunkan harta benda dunia dan usaha harta, walaupun dari harta
waqaf, harta anak-anak yatim dan harta-harta haram lainnya. Mereka itu adalah
lapisan orang yang berbuat ria yang jahat, yang berbuat ria dengan sebab-sebab
yang telah kami sebutkan. Maka inilah hakikat/makna ria dan apa yang menjadi
sebab terjadinya ria. Jikalau anda bertanya: “Maka ria itu haram atau makruh
atau mubah atau padanya penguraian?. Maka aku menjawab, pada ria itu
penguraian. Sesungguhnya ria itu, ialah: mencari kemegahan. Adakalanya,
kemegahan itu dengan ibadah. Maka jikalau tidak dengan ibadah, maka itu
seperti: mencari harta. Maka tidak haram dari segi, bahwa kemegahan itu mencari
kedudukan pada hati hamba Allah. Akan tetapi, sebagaimana mungkin mengusahakan
harta dengan penipuan-penipuan dan sebab-sebab yang terlarang, maka begitu pula
kemegahan. Dan sebagaimana, mengusahakan sedikit harta, yaitu yang diperlukan
oleh manusia, adalah terpuji, maka mengusahakan sedikit kemegahan, yaitu: yang
menyelamatkan manusia dari bahaya-bahaya, adalah juga terpuji. Dan itulah, yang
dicari oleh Yusuf as, dimana ia mengatakan: “Sungguh aku menjaga lagi
mengetahui”. S 12 Yusuf ayat 55. Sebagaimana pada harta itu, racun yang
terendam dan obat yang bermanfaat pada menolak racun, maka begitu pula
kemegahan. Dan sebagaimana banyaknya harta itu mempermainkan, mendurhakakan dan
melupakan mengingati Allah dan hari akhirat, maka begitu pula banyaknya
kemegahan. Bahkan lebih parah lagi. Dan fitnah kemegahan itu, lebih besar dari
fitnah harta. Dan sebagaimana kita tidak mengatakan, bahwa memiliki harta
banyak itu haram, maka juga kita tidak mengatakan, bahwa memiliki banyak hati
manusia itu haram. Kecuali apabila dibawa oleh banyak harta dan banyak
kemegahan, kepada mengerjakan apa yang tidak diperbolehkan. Benar, berpalingnya
cita-cita kepada keluasan kemegahan adalah permulaan kejahatan, seperti berpalingnya
cita-cita kepada banyaknya harta. Dan orang yang mencintai kemegahan dan harta
itu, tidak sanggup meninggalkan segala maksiat hati, lisan dan lainnya. Adapun
keluasan kemegahan, tanpa rakusnya engkau kepada mencarinya dan tanpa kesedihan
dengan hilangnya, jikalau hilang, maka tidak melarat padanya. Maka tidak adalah
kemegahan yang lebih luas, dari kemegahan Rasulullah saw, kemegahan para
khulafa’rasyidin dan orang-orang sesudah mereka, daripada alim ulama agama.
Akan tetapi, berpalingnya cita-cita kepada mencari kemegahan itu, kekurangan
pada agama, dan tidak dikatakan: diharamkan. Maka berdasarkan ini, kami
berkata, bahwa membaguskan kain yang dipakai oleh manusia, ketika keluar kepada
manusia itu suatu keriaan. Dia itu tidak haram. Karena ia tidak ria dengan
ibadah, akan tetapi dengan dunia. Dan bandingkanlah kepada ini, akan setiap
perbuatan kecantikan dan perhiasan bagi manusia!. Dalilnya, ialah apa yang
dirawikan dari ‘Aisyah: “Bahwa Rasulullah saw bermaksud pada suatu hari, keluar
menemui sahabat-sahabat. Lalu ia melihat kepada tong air. Dan beliau
membetulkan surban dan rambutnya. Lalu ‘Aisyah bertanya: “Mengapakah engkau
berbuat demikian, wahai Rasulullah?”. Nabi saw
menjawab: “Ya! Sesungguhnya Allah Ta’ala menyukai dari hambaNya, bahwa
ia menghiasi diri untuk teman-temannya, apabila ia keluar kepada mereka”. Ya,
ini adalah dari Rasulullah saw suatu ibadah. Karena beliau disuruh mengajak
makhluk dan menggembirakan mereka pada mengikuti dan menarik hati mereka. Dan
kalau jatuh Rasulullah saw dari mata (pandangan) mereka, niscaya mereka tiada
akan gemar mengikutinya. Maka haruslah beliau melahirkan kepada mereka,
kebagusan hal-ikhwalnya. Supaya tidak dilecehkan oleh mata (pandangan) mereka.
Karena mata kebanyakan makhluk itu, memanjang kepada zahir. Tidak kepada yang
batin (yang tersembunyi). Maka itulah yang menjadi maksud Rasulullah saw. Akan
tetapi, kalau orang yang bermaksud demikian, dengan maksud untuk membaguskan
dirinya pada pandangan mata manusia, karena takut dari cacian dan celaan mereka
dan untuk menggerakkan pemuliaan dan penghormatan mereka, niscaya sesungguhnya
ia telah bermaksud suatu maksud yang mubah (yang diperbolehkan). Karena manusia
itu berhak menjaga diri dari kepedihan cacian. Dan mencari kesenangan kejinakan
hati dengan teman-teman. Dan manakala mereka merasa berat kepadanya dan merasa
jijik, niscaya tidak akan jinak hatinya dengan mereka. Jadi, keriaan dengan hal
yang tiada berhubungan dengan ibadah, kadang-kadang adalah mubah. Dan
kadang-kadang adalah tha’at. Dan kadang-kadang adalah tercela. Dan yang
demikian itu, menurut maksud yang dicari dengan keriaan itu. Karena itulah,
kami mengatakan, bahwa seseorang, apabila membelanjakan (mengeluarkan)
hartanya, kepada sekumpulan orang-orang kaya, tidak dalam bidang ibadah dan sedekah,
akan tetapi, untuk diyakini manusia, bahwa dia itu orang pemurah, maka ini
suatu keriaan. Dan tidak haram. Dan begitu pula, contoh-contoh yang seperti
itu. Adapun ibadah, seperti: sedekah, shalat, puasa, perang sabilullah dan
haji, maka bagi orang yang berbuat keriaan, padanya dua hal. Salah satu
daripadanya, ialah maksudnya tidak lain, melainkan ria semata-mata, tidak
pahala. Dan ini membatalkan ibadahnya. Karena segala amal itu dengan niat. Dan
ini tidak dengan maksud ibadah. Kemudian, tidak terbatas kepada kebatalan
ibadahnya saja, sehingga kita mengatakan, bahwa dia menjadi, sebagaimana adanya
sebelum ibadah. Bahkan, ia berbuat maksiat dengan yang demikian dan ia berdosa,
sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits dan ayat-ayat. Yang dimaksudkan padanya
dua perkara:
Pertama:
menyangkut dengan hamba (manusia). Yaitu: pemalsuan dan penipuan. Karena ia
menimbulkan anggapan kepada mereka, bahwa ia ikhlas dan taat kepada Allah. Dan
ia dari orang-orang agama. Padahal tidak seperti yang demikian. Pemalsuan pada
urusan dunia haram juga. Sehingga kalau ia membayar hutang suatu jamaah dan
menimbulkan anggapan bagi manusia, bahwa ia bertabarru’ (berbuat baik) kepada
mereka, supaya mereka meyakini kemurahannya, niscaya ia berdosa dengan yang
demikian. Karena padanya ada pemalsuan. Dan pemilikan hati manusia dengan
pengicuhan dan penipuan.
Kedua: menyangkut
dengan Allah. Yaitu: manakala ia bermaksud dengan menyembah Allah Taala itu
makhluk Allah, maka dia itu mempermain-mainkan Allah. Dan karena itulah Qatadah
berkata: “Apabila hamba Allah itu berbuat ria, maka Allah berfirman kepada
malaikat-malaikatNya: “Lihatlah kepada hamba itu! Bagaimana ia
mempermain-mainkan Aku”. Contohnya yang seperti itu, ialah tegak berdirinya
seseorang dihadapan seorang raja sepanjang hari, sebagaimana berlakunya
kebiasaan pelayan-pelayan. Dan sesungguhnya berdirinya itu, untuk memperhatikan
seseorang dari budak wanita raja atau seseorang dari budak prianya. Maka ini
adalah mempermain-mainkan raja. Karena ia tidak bermaksud untuk mendekatkan
diri kepada raja dengan segala pelayannya. Akan tetapi, ia bermaksud dengan
yang demikian itu, ialah seseorang dari budak-budak raja. Maka manakah
penghinaan yang melebihi, diatas yang dimaksud oleh hamba dengan mentaati Allah
Taala, akan memperlihatkan amalnya kepada seorang hamba yang lemah, yang tidak
mempunyai kesanggupan untuk mendatangkan melarat dan manfaat! Adakah yang
demikian, selain karena ia menyangka, bahwa hamba yang lemah itu, lebih
berkuasa untuk menghasilkan maksud-maksudnya, daripada Allah? dan hamba itu
lebih utama dengan didekati daripada Allah? karena ia mengutamakan hamba
tersebut dari Maharaja Diraja (Allah). Lalu dijadikannya maksud tujuan
ibadahnya (kebaktiannya). Dan manakah mempermain-mainkan yang melebihi,
daripada mengangkat kan hamba di atas Tuannya? Maka ini termasuk diantara dosa
besar yang membinasakan. Dan karena itulah, dinamakan oleh Rasulullah saw:
Syirik kecil (asy-syirkul-ash-ghar). Ya, sebahagian derajat ria itu, lebih
berat dari sebahagian yang lain, sebagaimana akan datang penjelasannya pada
derajat-derajat ria Insya Allah Ta’ala. Dan tidak terlepas sesuatupun
daripadanya, dari dosa berat atau dosa ringan, menurut keriaan yang ada
padanya. Dan jikalaupun tidak ada ia dalam ria, kecuali ia sujud dan ruku’ bagi
selain Allah, maka sesungguhnya sudah mencukupi padanya. Karena jikalau ia
tidak bermaksud mendekatkan diri kepada Allah, maka sesungguhnya ia bermaksud
selain Allah. Demi umurku, jikalau ia agungkan selain Allah dengan sujud, maka
sesungguhnya ia telah menjadi kafir dengan jelas. Kecuali ria itu, ialah kufur
yang tersembunyi. Karena orang yang berbuat ria, telah mengagungkan dalam
hatinya akan manusia. Maka keagungan itu menghendaki untuk ia sujud dan ruku’.
Lalu adalah manusia yang diagungkan dengan sujud dari suatu segi. Dan manakala
telah hilang maksud mengagungkan Allah dengan sujud dan tinggal mengagungkan
makhluk, niscaya adalah yang demikian itu, mendekati kepada syirik. Hanya
jikalau ia maksudkan pengagungan dirinya pada hati orang yang mengagungkannya,
dengan melahirkannya dari dirinya akan bentuk pengagungan kepada Allah, maka
dari segi ini, dia itu syirik tersembunyi, tidak syirik terang. Dan itu adalah
paling bodoh. Dan tidak tampil kepadanya, selain orang yang telah kena tipu
daya setan. Dan setan itu menimbulkan sangkaan padanya, bahwa hamba-hamba itu
memiliki kemampuan untuk mendatangkan melarat dan manfaat, rezeki, ajal dan
segala kepentingannya sekarang dan masa yang akan datang, lebih banyak daripada
yang dimiliki Allah Ta’ala. Maka karena itulah, ia memalingkan mukanya dari
Allah kepada orang-orang itu. Dan ia menghadapkan dengan hatinya kepada mereka,
supaya dengan demikian, hati mereka, cenderung kepadanya. Dan jikalau orang
itu, diwakilkan oleh Allah Ta’ala kepada mereka, di dunia dan di akhirat,
niscaya adalah yang demikian itu, kurang sesuai bagiNya kepada yang
dijadikanNya. Karena hamba itu semuanya lemah dari dirinya masing-masing, tiada
memiliki manfaat dan melarat bagi dirinya. Maka bagaimana pula mereka memiliki
ini untuk orang lain di dunia? Maka bagaimana pula pada hari, dimana bapak
tidak dapat membalas sesuatu kepada anaknya. Dan anak tidak dapat membalas
kepada bapaknya. Bahkan nabi-nabi berkata pada hari itu: “Masing-masing urus
sendiri (nafsi-nafsi)”. Maka bagaimana orang yang bodoh meminta ganti dari
pahala akhirat dan memperoleh kedekatan pada sisi Allah, apa yang diintip
dengan rakusnya oleh manusia yang bohong di dunia? Maka tiada seyogyalah kita
ragu, bahwa orang yang berbuat ria dengan mentaati Allah itu, dalam kemarahan
Allah, dari sekalian segi naqal dan qias. Ini, apabila ia tidak maksudkan
pahala. Maka apabila ia maksudkan pahala dan pujian, pada sedekah atau
shalatnya, maka itu syirik yang berlawanan dengan ikhlas. Dan kami telah
sebutkan hukumnya pada Kitab Ikhlas. Dan ditunjukkan kepada apa yang kami
nukilkan dari atsar, oleh perkataan Sa’id bin Al-Musayyab dan Ubbadah bin
Ash-Shamit, bahwa tak ada pahala sekali-kali baginya pada yang tersebut itu.
PENJELASAN:
tingkat-tingkat ria.
Ketahuilah, bahwa setengah dari pintu-pintu
ria itu lebih keras dan tebal, dibandingkan dengan setengah yang lain.
Perbedaannya itu disebabkan berbeda sendi-sendinya dan berlebih kurangnya
tingkat pada ria itu. Sendi-sendinya itu 3, yaitu: yang diriakan, yang diriakan
karenanya dan maksud dari ria itu sendiri.
Sendi pertama: dari
maksud ria itu sendiri. Yang demikian itu, tidak terlepas, adakalanya ria itu
semata-mata, tanpa kehendak ibadah kepada Allah Ta’ala dan pahala. Adakalanya
ria itu serta kehendak pahala. Maka jikalau ada seperti yang demikian, maka
tidak terlepas, adakalanya kehendak pahala itu lebih kuat dan lebih banyak.
Atau lebih lemah atau sama bagi kehendak ibadah. Maka tingkat-tingkat itu ada
4:
Pertama: yaitu:
yang lebih tebal tingkatnya, bahwa tidaklah maksudnya sekali-kali itu pahala.
Seperti orang yang mengerjakan shalat dihadapan manusia. Dan kalau sendirian,
niscaya ia tidak shalat. Akan tetapi, kadang-kadang ia shalat tanpa suci
(thaharah) bersama manusia. Maka ini adalah maskudnya semata-mata ria. Maka
yang demikian itu terkutuk pada Allah Ta’ala. Dan begitu pula orang yang
mengeluarkan sedekah, karena takut dari celaan manusia. Dan ia tidak bermaksud
pahala. Dan jikalau ia bersunyi sendirian, niscaya tidak diberikannya sedekah
itu. Maka inilah tingkat tertinggi dari ria.
Kedua: bahwa ia
mempunyai maksud pahala juga. Akan tetapi, suatu maksud yang lemah, dimana
jikalau ia berada pada tempat sunyi sendirian, niscaya tidak akan
diperbuatkannya. Dan maksud tersebut tidak akan membawanya kepada perbuatan
(amal) tersebut. Dan jikalau tidak akan maksud pahala, niscaya adalah maksud
ria akan membawanya kepada perbuatan itu. Maka ini dekat dengan apa yang
sebelumnya. Dan apa yang ada padanya, dari campuran maksud pahala, yang tidak
berdiri sendiri dengan membawanya kepada perbuatan, niscaya tidaklah menidakkan
kutuk dan dosa daripadanya.
Ketiga: bahwa ia
mempunyai maksud pahala dan maksud ria yang bersamaan, dimana jikalau
masing-masing dari yang dua tadi terlepas dari yang lain, niscaya tidak akan
menggerakkannya kepada berbuat. Maka manakala keduanya berkumpul, niscaya
timbullah kegemarannya. Atau adalah masing-masing dari yang dua itu, jikalau
sendirian, niscaya berdiri sendirilah membawanya kepada berbuat. Maka ini
sesungguhnya merusakkan, seperti apa yang membaikkan. Maka kita berharap
kiranya ia selamat, satu dalam pengaruh yang lain, tidak baginya dan tidak
atasnya. Atau ada baginya pahala, seperti apa yang ada atasnya dari siksa.
Menurut yang zahiriah dari hadits-hadits menunjukkan, bahwa ia tiada akan
selamat (sejahtera). Dan kami telah memperkatakannya dahulu pada Kitab Ikhlas.
Keempat: bahwa
adanya diliihat oleh manusia itu meneguhkan dan menguatkan kerajinannya. Dan
jikalau tidak, sesungguh nya ia tidak akan meninggalkan ibadah. Dan jikalau
maksud ria saja, niscaya ia tidak tampil kepada perbuatan tersebut. Maka yang
kami sangka -dan ilmu adalah di sisi Allah- bahwa tidaklah menghancurkan pokok
pahala. Akan tetapi, kurang daripadanya atau ia disiksa sekedar maksud ria. Dan
diberi pahala sekedar maksud pahala. Adapun sabda Nabi saw: “Allah Ta’ala
berfirman: “Aku yang terkaya dari segala yang kaya dari syirik”, maka itu
dibawa kepada keadaan, apabila bersamaan dua maksud tadi. Atau adalah maksud
ria itu yang lebih kuat.
Sendi kedua: yang
diriakan, yaitu: amalan taat. Dan yang demikian itu, terbagi kepada: ria dengan
pokok-pokok ibadah dan kepada: ria dengan sifat-sifat ibadah.
Bahagian pertama, yaitu: yang lebih berat,
ialah: ria dengan pokok-pokok ibadah. Yaitu di atas 3 tingkat:
Tingkat pertama, ria dengan pokok iman.
Dan ini yang paling berat dari pintu-pintu ria. Dan orang yang bersifat
demikian, kekal dalam neraka. Yaitu: orang yang melahirkan ucapan dua kalimat
syahadat. Dan batinnya, terisi dengan pendustaan. Akan tetapi, ia berbuat ria
(memperlihatkan) pada zahiriahnya Islam. Yaitu: orang yang disebutkan oleh
Allah Ta’ala dalam kitabNya pada banyak tempat, seperti firmanNya ‘Azza wa
Jalla: “Apabila orang-orang munafiq (beriman palsu) datang kepada engkau,
mereka berkata: Kami mengakui, bahwa engkau sesungguhnya Utusan Allah. Dan
Allah mengetahui, bahwa engkau sesungguhnya utusanNya dan Allah mengakui, bahwa
sesungguhnya orang-orang munafiq itu dusta”. S 63 Al Munafiquun ayat 1.
Artinya: pada penunjukkan mereka dengan kata mereka atas isi hatinya. Allah
Ta’ala berfirman: “Dan diantara manusia itu ada yang sangat menarik hatimu
perkataannya tentang kehidupan dunia ini dan dipersaksikannya kepada Allah apa
yang dalam hatinya, sedang dia adalah musuh yang paling keras. Dan bila dia
pergi, dia berjalan di muka bumi membuat bencana dan merusakkan sawah ladang
dan binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan”. S 2 Al Baqarah ayat
204-205. Allah Ta’ala berfirrman: “Dan bila mereka menemui kamu, mereka
mengatakan: Kami beriman: dan bila mereka sendirian, digigitnya anak jarinya
karena sangat marah kepadamu”. S 3 Ali Imran ayat 119. Allah Taala berfirman:
“Mereka mengerjakannya supaya dilihat manusia saja. Mereka tiada mengingati
Allah, hanya sedikit saja. Mereka masih ragu-ragu antara ini dan itu”. S 4 An
Nisa’ ayat 142-143. Ayat-ayat mengenai orang munafiq itu banyak. Dan nifaq
(kemunafikan) itu banyak pada permulaan Islam, dari orang-orang yang masuk
Islam pada mulanya secara zahiriah/yang nampak, karena sesuatu maksud. Dan yang
demikian itu sedikit pada masa kita ini (masa Al-Imam Al-Ghazali ( tida
kesudahan / permulaan )). Akan tetapi yang banyak, ialah nifaqnya orang-orang
yang menarik diri dari agama pada batinnya. Lalu ia mengingkari sorga, neraka
dan hari akhirat. Karena cenderung kepada perkataan orang mulhid (atheis). Atau
ia meyakini kelipatan hamparan syara’ (agama) dan hukum, karena cenderung
kepada orang-orang ibahah. Atau orang yang i’tiqad (keyakinan)nya kufur atau
bid’ah (yang diada-adakan) dan dilahirkannya sebaliknya. Maka mereka itu
termasuk orang-orang munafiq dan orang-orang yang berbuat ria yang kekal dalam
neraka. Dan tidak adalah di belakang ria ini, ria lagi. Dan keadaan mereka itu
lebih buruk dari keadaan kafir yang berterus terang kekafirannya. Karena mereka
mengumpulkan diantara kufur batin dan nifaq zahir.
Tingkat kedua: ria dengan
pokok-pokok ibadah, serta membenarkan pokok agama. Dan ini juga besar pada sisi
Allah. akan tetapi banyak kurangnya, dari yang pertama tadi. Contohnya, yaitu:
bahwa harta orang itu ada pada tangan orang lain. Lalu disuruhnya mengeluarkan
zakat, karena takut dari celaan orang. Dan Allah tahu, bahwa jikalau harta
tersebut dalam tangannya sendiri, niscaya tidak akan dikeluarkannya zakat itu.
Atau masuk waktu shalat dan ia berada bersama orang banyak. Dan kebiasaannya
meninggalkan shalat waktu sendirian. Dan begitu juga ia mengerjakan puasa
Ramadhan. Dan ia ingin terlepas dari penglihatan makhluk, supaya dapat ia
berbuka. Dan begitu pula ia menghadiri shalat Jum’at. Jikalau tidak karena
takut cacian orang, niscaya tidak dihadirinya. Atau ia menyambung silaturrahim
atau berbuat baik bagi ibu bapaknya. Tidak dari kesukaan hati, akan tetapi
karena takut dari manusia. Atau ia berperang sabilullah atau menunaikan haji begitu
pula. Maka ini adalah ria, yang bersama dengan ria itu ada pokok iman dengan
Allah. Ia imani bahwa tiada yang disembah, selain Dia. Dan kalau ia dipaksakan
supaya ia menyembah selain Allah atau ia sujud bagi selain Allah, niscaya tidak
akan dilakukannya. Akan tetapi, ia meninggalkan ibadah, karena malas. Dan ia
rajin ketika dilihat manusia. Maka kedudukannya pada makhluk, lebih disukainya
daripada kedudukannya pada Khaliq (yang maha pencipta). Dan takutnya dari
cacian manusia itu lebih besar dari takutnya akan siksaan Allah. Kesukaannya
pada pujian manusia itu jauh melebihi dari kesukaannya pada pahala daripada
Allah. Inilah yang paling bodoh! Alangkah pantasnya orang yang bersifat
demikian itu, mendapat kutukan, walaupun ia tidak menarik diri dari pokok iman
dari segi i’tiqad (keyakinan).
Tingkat ketiga: bahwa ia
tidak berbuat ria dengan iman dan amal ibadah wajib. Tetapi, ia berbuat ria
dengan amal ibadah nafilah dan sunat, dimana kalau ditinggalkannya, ia tidak
berbuat maksiat. Akan tetapi, ia malas dari ibadah tersebut pada waktu
sendirian, karena lemah kegemarannya pada pahala ibadah itu. Dan karena
diutamakannya keenakan malas, dari apa yang diharapnya dari pahala. Kemudian,
ia digerakkan oleh ria kepada mengerjakan ibadah itu. Yang demikian, seperti
menghadiri jama’ah pada shalat, mengunjungi orang sakit, mengikuti jenazah dan
memandikan mayit. Dan seperti shalat tahajjud pada malam hari, puasa hari
‘Arafah, hari ‘Asura, hari Senin dan Kamis. Kadang-kadang diperbuat oleh orang yang
ria itu, sejumlah yang demikian, karena takut dari cacian atau karena mencari
pujian. Dan Allah Ta’ala tahu daripadanya, bahwa kalau ia sendirian, niscaya ia
tidak lebih daripada mengerjakan yang wajib (yang fardhu) saja. Maka inipun
soal besar. Akan tetapi, kurang dari yang sebelumnya. Sesungguhnya, yang
sebelumnya itu, ia mengutamakan pujian makhluk di atas pujian Khaliq (yang maha
pencipta). Dan ini juga, ia telah berbuat yang demikian. Dan ia menjaga dari
cacian makhluk, tidak dari cacian Khaliq (yang maha pencipta). Maka adalah
cacian makhluk padanya lebih besar dari siksaan Allah. Adapun ini, maka ia
tidak berbuat yang demikian. Karena ia tidak takut akan siksaan, pada
meninggalkan nafilah (sunat); kalau ditinggalkannya. Dan seakan-akan ia atas sebahagian
dari yang pertama. Dan siksaannya itu setengah dari siksaan yang pertama. Maka
inilah ria dengan pokok-pokok ibadah!
Bahagian
kedua: ria dengan sifat-sifat ibadah, tidak dengan pokok-pokoknya. Dan itu juga
terbagi kepada 3 tingkat:
Tingkat pertama: bahwa ia berbuat ria dengan perbuatan, yang pada
meninggalkan perbuatan itu, kekurangan bagi ibadah. Seperti orang yang
maksudnya meringankan ruku’ dan sujud. Dan tidak memanjangkan qira’ah (bacaan).
Maka apabila dilihat orang, niscaya ia membaguskan ruku’ dan sujudnya,
meninggalkan berpaling muka dan menyempurnakan duduk antara dua sujud. Ibnu
Mas’ud berkata, bahwa orang yang berbuat demikian, maka itu adalah penghinaan,
dimana ia menghinakan Tuhannya ‘Azza wa Jalla. Artinya: ia tidak memperdulikan,
dilihat oleh Allah kepadanya pada waktu ia sendirian. Maka apabila dilihat
kepadanya oleh anak Adam, lalu dibaguskannya shalat. Dan orang yang duduk
dihadapan manusia, dengan bersila atau berjongkok, lalu masuk budak orang itu,
maka ia meluruskan dan membaguskan duduknya, adalah yang demikian itu
mendahulukan budak dari tuan dan sudah pasti suatu penghinaan kepada tuan.
Inilah keadaan orang yang berbuat ria, dengan membaguskan shalat di muka orang
banyak, tidak pada waktu sendirian. Dan begitu juga, orang yang membiasakan
mengeluarkan zakat dari dinar (uang emas) yang buruk atau dari biji-bijian yang
jelek. Maka apabila dilihat orang lain, niscaya dikeluarkannya dari yang bagus,
karena takut dari celaannya. Begitu pula orang yang berpuasa, yang melakukan
puasanya, dengan menjauhkan diri dari mencaci orang dan rafats (bergaul dengan
isterinya), karena makhluk. Tidak karena penyempurnaan bagi ibadah puasa.
Karena takut dari celaan. Maka ini juga termasuk ria yang dilarang. Karena
padanya mendahulukan makhluk atas Khaliq (yang maha pencipta). Akan tetapi,
kurang dari ria dengan pokok-pokok amalan taat. Kalau orang yang berbuat ria
itu mengatakan: “Bahwa aku berbuat demikian, karena menjaga lidah mereka dari
umpatan. Bahwa mereka apabila melihat peringanan ruku’ dan sujud dan banyak
berpaling (ke kanan atau ke kiri), niscaya mereka melepaskan lidahnya dengan
cacian dan umpatan. Sesungguhnya maksudku, menjaga mereka dari kemaksiatan
tersebut”. Maka dijawab kepada orang tadi: “Ini adalah tipuan setan padamu dan
suatu pemalsuan. Dan tidaklah keadaan itu seperti yang demikian. Maka
sesungguhnya kemelaratan engkau, dari kurangnya shalat engkau, yaitu:
pengkhidmatan engkau bagi Tuhan engkau, adalah lebih besar dari kemelaratan
engkau, dengan umpatan orang kepada engkau. Maka jikalau yang menggerakkan
engkau itu agama, niscaya adalah kasih-sayang engkau kepada diri engkau itu
lebih banyak. Dan tidaklah engkau pada hal ini, kecuali seperti orang yang
menghadiahkkan budak wanita kepada raja, untuk memperoleh dari padanya, kurnia
dan wilayah yang akan diperintahnya. Lalu ia menghadiahkan budak wanita
tersebut kepada raja tadi. Sedang budak wanita itu buta sebelah matanya, buruk
rupanya dan terpotong anggota badannya. Ia tidak memperdulikan yang demikian,
apabila raja itu sendirian. Dan apabila ada pada raja tadi sebagian dari
budak-budaknya, niscaya ia mencegah dirinya dari berbuat demikian, karena takut
dari celaan budak-budaknya. Yang demikian itu adalah mustahil. Akan tetapi,
orang yang menjaga pihak budak raja, seyogyalah bahwa perhatiannya kepada raja
itu lebih banyak. Ya, bagi yang diriakan itu 2 hal:
Pertama: bahwa ia mencari dengan yg demikian itu, kedudukan & pujian
pada manusia. Dan yang demikian itu pasti haram.
Kedua: bahwa ia mengatakan: “Tidaklah datang kepadaku ikhlas pada
membaguskan ruku’ dan sujud. Dan jikalau aku ringankan, niscaya adalah shalatku
pada sisi Allah
itu kurang. Dan aku disakiti oleh manusia
dengan cacian dan umpatan mereka. Maka aku mengambil faedah dengan membaguskan
kehebatan, untuk menolak cacian
mereka. Dan aku tiada mengharap padanya
pahala. Maka itu lebih baik, daripada aku meninggalkan pembaikan shalat. Lalu
hilanglah pahala dan berhasil cacian orang”.
Maka dalam hal ini, ada sedikit
penelitian. Dan yang benar, bahwa yang wajib atas dirinya, ialah: membaguskan
dan ikhlas. Dan jikalau tidak datang kepadanya niat, maka seyogyalah ia
berkekalan atas kebiasaannya dalam kesendirian. Maka tak ada baginya, bahwa ia
menolak cacian dengan berbuat ria dengan ketaatan kepada Allah. Sesungguhnya
yang demikian itu, adalah mempermain-mainkan, sebagaimana telah diterangkan
dahulu.
Tingkat kedua: bahwa ia berbuat ria, dengan mengerjakan apa yang tidak
mengurangkan pada meninggalkannya. Akan tetapi mengerjakannya itu adalah dalam
hukum kelengkap an dan kesempurnaan bagi ibadahnya. Seperti: melamakan ruku’
dan sujud, melamakan tegak berdiri, membaguskan cara shalat, mengangkat dua
tangan, bersegera kepada takbir pertama, membaguskan i’tidal dan menambahkan
bacaan dari surat yang dibiasakan. Begitu pula membanyakkan sendirian
(berkhilwah) pada puasa Ramadhan dan melamakan berdiam diri. Dan seperti
memilih yang lebih baik, atas yang baik pada zakat. Dan memerdekakan budak,
yang mahal harganya, pada memberikan kafarat. Semua itu, termasuk sebahagian
dari keadaan, dimana jikalau ia sendirian, niscaya tidak akan dikerjakannya.
Tingkat ketiga: bahwa ia berbuat ria pula dengan tambahan-tambahan yang
diluar dari amal nafilah itu sendiri. Seperti datangnya kepada shalat jama’ah
sebelum orang banyak, maksudnya bagi shaf (baris) pertama, arahannya kepada
kanan imam shalat dan hal-hal lain yang seperti itu. Semua itu adalah diantara
apa yang diketahui oleh Allah daripadanya, bahwa jikalau ia sendirian, niscaya
ia tidak akan memperdulikan, dimana ia akan berdiri dan kapan ia
bertakbiratul-ihram dengan shalat. Maka inilah tingkat-tingkat ria, dikaitkan
kepada apa yang diriakannya. Sebahagian daripadanya, lebih keras dari
sebahagian yang lain. Dan semua itu tercela.
Sendi ketiga: ialah yang
diriakan karenanya. Sesungguhnya orang yang berbuat ria itu, sudah pasti
mempunyai sesuatu maksud. Ia berbuat ria untuk memperoleh harta/kemegahan/sudah
pasti untuk sesuatu maksud. Dan sendi ke 3 ini juga mempunyai 3 tingkat:
Pertama: yaitu yang paling berat dan yang paling besar, ialah bahwa
maksudnya, ketetapan dari perbuatan maksiat. Seperti orang yang berbuat ria
dengan ibadahnya. Dan melahirkan taqwa dan wara’ dengan membanyakkan ibadah
nafilah (ibadah sunat) dan mencegah diri daripada memakan harta syubhah (harta
yang diragukan halalnya). Maksudnya, ialah supaya ia terkenal amanah. Lalu
diserahkan kepadanya jabatan hakim (qodo’) atau harta wakaf atau harta wasiat
atau harta anak yatim. Maka diambilnya. Atau diserahkan kepadanya membagi zakat
atau sedekah, untuk dipilihnya bagi dirinya menurut yang disanggupinya dari
harta-harta itu. Atau diserahkan kepadanya harta simpanan (wadi’ah), lalu
diambilnya bagi dirinya dan diingkarinya akan harta simpanan tersebut. Atau
diserahkan kepadanya harta yang akan dibelanjakan pada jalan haji. Lalu
dipotongnya sebagian atau seluruhnya. Atau ia menyampaikan dirinya dengan
harta-harta itu, kepada mengikuti orang-orang haji. Dan dengan kekuatan mereka,
lalu ia menyampaikan dirinya kepada maksud-maksudnya yang merusak pada
perbuatan-perbuatan maksiat. Kadang-kadang sebahagian mereka, tampak dengan
pakaian tasawuf, dalam bentuk khusyu’, perkataan hikmah, di atas jalan memberi
nasehat pelajaran dan peringatan. Dan maksudnya sesungguhnya kecintaan kepada
seseorang wanita atau budak, untuk perbuatan cabul. Kadang-kadang mereka
menghadiri majelis ilmu pengetahuan, nasehat peringatan dan golongan jama’ah
Alquran. Mereka melahirkan kegemaran pada mendengarkan ilmu dan Alquran. Dan
maksud mereka, ialah memperhatikan wanita-wanita dan anak-anak muda belia. Atau
ia keluar pergi haji. Dan maksudnya ialah mendapati orang dalam persahabatan,
dari wanita atau budak sahaya. mereka yang tersebut tadi, adalah orang-orang
yang berbuat ria yang sangat dimarahi oleh Allah Ta’ala. Karena mereka
menjadikan taat kepada Tuhannya, sebagai anak tangga kemaksiatan kepada Tuhan.
Mereka mengambil ketaatan itu sebagai alat, tempat perniagaan dan benda pada
kefasiqannya. Dan mendekati dengan mereka ini, walaupun kurang dari mereka,
ialah: orang yang melakukan perbuatan terlarang (jarimah), yang dituduhkan
dengan perbuatan tersebut. Dan ia terus melakukan perbuatan jarimah itu. Ia
bermaksud untuk meniadakan tuduhan tadi dari dirinya. Lalu ia melahirkan taqwa,
untuk meniadakan tuduhan itu. Seperti orang yang mengingkari harta simpanan dan
ia dituduh oleh manusia, dengan barang simpanan tersebut padanya. Maka ia
bersedekah dengan harta, supaya dikatakan orang, bahwa ia bersedekah dengan
harta kepunyaannya sendiri. Maka bagaimana ia menghalalkan harta orang lain
itu? Begitu pula orang yang dituduh berbuat cabul dengan seorang wanita atau
budak laki-laki. Lalu ia menolak tuduhan itu dari dirinya, dengan bersikap
khusyu’ dan melahirkan taqwa.
Kedua: adalah maksudnya untuk memperoleh keuntungan yang diperbolehkan
dari keuntungan-keuntungan duniawi, dari harta atau menikahi wanita cantik atau
wanita syarifah (keturunan said atau keturunan Ali dengan Siti Fatimah).
Seperti orang yang melahirkan kegundahan dan tangisan. Dan ia bekerja dengan
nasehat pengajaran dan peringatan, supaya diberikan harta kepadanya. Ia ingin
kawin dengan wanita-wanita. Maka ia bermaksud, adakalanya seorang wanita
tertentu, untuk dinikahinya. Atau seorang wanita syarifah pada umumnya. Dan
seperti orang yang ingin mengawini, dengan puteri seorang ulama yang abid. Lalu
ia melahirkan pada ulama tadi, ilmu dan ibadahnya. Supaya ulama tersebut ingin
mengawinkannya dengan puterinya. Maka inilah ria yang terlarang. Karena ia
mencari dengan mentaati Allah, benda kehidupan dunia. Akan tetapi, itu kurang
dari yang pertama diatas. Karena yang dicari dengan ini, adalah yang
diperbolehkan (mubah) pada dirinya.
Ketiga: bahwa ia tidak bermaksud memperoleh keuntungan dan mendapat
harta atau perkawinan. Akan tetapi ia melahirkan ibadahnya, karena takut
daripada dipandang orang kepadanya, dengan pandangan kekurangan. Dan ia tidak
dihitung dari orang-orang khusus dan orang zuhud. Dan ia yakin bahwa dirinya,
termasuk dalam jumlah orang awam. Seperti orang yang berjalan kaki cepat. Maka
ia dilihat oleh manusia. Lalu ia membaguskan jalannya dan meninggalkan berjalan
tergopoh-gopoh. Supaya ia tidak dikatakan, bahwa ia termasuk orang-orang suka
main dan lupa. Tidak dari orang-orang yang terhormat. Begitu pula, jikalau ia terlanjur
tertawa atau tampak daripadanya bergurau. Maka ia takut dipandang orang, dengan
pandangan kehinaan. Lalu diikutinya yang demikian, dengan mengucapkan istighfar
(memohonkan ampunan Allah), nafas turun naik dan melahirkan kegundahan. Dan ia
mengatakan: “Alangkah besarnya kelalaian anak Adam pada dirinya. Allah tahu
dari anak Adam itu, bahwa jikalau ia berada dalam kesunyian, niscaya tidaklah
memberatkan yang demikian itu kepadanya”. Sesungguhnya ia takut, bahwa ia
dipandang orang, dengan pandangan kehinaan. Tidak dengan pandangan kemuliaan.
Dan seperti orang yang melihat suatu jama’ah (orang banyak) yang mengerjakan
shalat tarawih atau shalat tahajjud atau melakukan puasa Kamis dan Senin atau
mengeluarkan sedekah. Maka ia menyesuaikan dirinya dengan mereka tadi, karena
takut dikatakan malas dan dihubungkan dengan orang awam. Dan jikalau ia
sendirian, niscaya tidak dikerjakannya suatupun dari yang demikian. Dan seperti
orang yang dahaga pada hari ‘Arafah atau hari ‘Asyura atau pada bulan haram.
Maka ia tidak minum, karena takut diketahui orang bahwa ia tidak berpuasa. Maka
apabila mereka menyangka ia berpuasa, niscaya ia mencegah dirinya dari makan,
karena yang demikian itu. Atau ia diundang makan, lalu ia menolaknya. Supaya
orang menyangka, bahwa ia berpuasa. Kadang-kadang tidak dengan tegas ia
mengatakan: “Bahwa aku berpuasa”. Akan tetapi, ia mengatakan: “Aku mempunyai
halangan”. Ia mengumpulkan diantara dua kekejian. Ia memperlihatkan dirinya (ia
berbuat ria), bahwa ia berpuasa. Kemudian, ia memperlihatkan dirinya, bahwa dia
orang yang ikhlas, tidak dengan ria. Ia menjaga daripada disebutkan bahwa
ibadahnya karena manusia. Lalu adalah dia orang yang berbuat ria. Maka ia
menghendaki, bahwa dikatakan orang, dia itu menutupkan ibadahnya. Kemudian,
jikalau ia memerlukan kepada minum, niscaya ia tidak sabar daripada menyebut
bagi dirinya, akan halangan secara tegas atau sindiran, dengan mengemukakan
alasan sakit yang membawa sangat haus. Dan mencegah daripada berpuasa. Atau ia
mengatakan: “Aku berbuka, untuk menyenangkan hati si Anu. Kemudian,
kadang-kadang ia tidak menyebutkan yang demikian, yang berhubungan dengan
minumnya. Supaya tidak disangka orang, bahwa ia mengemukakan halangan itu,
karena ria. Akan tetapi ia sabar. Kemudian, ia sebutkan halangannya (‘uzurnya)
dalam bentuk ceritera, secara sampingan. Umpamanya, ia mengatakan: “Bahwa si
Anu itu orang yang mencintai teman, sangat suka orang makan dari makanannya.
Dan pada hari ini, ia mendesakkan aku dan aku tidak mendapat jalan lain, untuk
menyenangkan hatinya”. Dan umpamanya ia mengatakan: “Bahwa ibuku lemah hati,
sangat sayang padaku. Ia menyangka, jikalau aku berpuasa sehari, niscaya aku
sakit. Maka ia membiarkan aku berpuasa”. Maka yang tersebut ini dan yang
berlaku seperti ini, dari bahaya-bahaya (bencana-bencana) ria, maka tiada yang
terlanjur kepada lisan, selain untuk memantapkan sifat ria pada batin. Adapun
orang yang ikhlas, maka ia tidak memperdulikan, bagaimana pandangan makhluk
kepadanya. Jikalau ia tidak ingin berpuasa dan Allah mengetahui yang demikian
daripadanya, maka ia tidak menghendaki untuk dipercayai orang, akan yang
menyalahi dengan ilmu Allah. Lalu ia menjadi orang yang memalsukan. Dan jikalau
ia mempunyai keinginan berpuasa karena Allah, niscaya ia merasa puas dengan
ilmu Allah Ta’ala. Dan ia tidak menyekutukan (mensyirikkan) akan yang lain dari
Allah padanya. Kadang-kadang terguris dalam hatinya, bahwa pada melahirkannya
itu, karena mengikuti orang lain. Dan menggerakkan kegemaran manusia padanya.
Dan pada yang demikian itu, tipu daya dan penipuan. Dan akan datang uraian yang
demikian dan syarat-syaratnya. Maka inilah tingkat-tingkat ria dan pangkat
kedudukan segala jenis orang-orang yang berbuat ria. Dan semua mereka itu
dibawah kutukan Allah dan amarahNya. Dan itu adalah termasuk yang sangat
membinasakan. Dan diantara kesangatannya, ialah bahwa padanya itu
campuran-campuran, yang lebih tersembunyi dari merangkaknya semut, sebagaimana
yang tersebut pada hadits, yang tergelincir padanya ulama-ulama yang terkemuka.
Apalagi orang-orang abid, yang bodoh dengan bahaya-bahaya jiwa dan
tipuan-tipuan hati. Wallaahu A’lam/Allah Yang Maha Tahu!
PENJELASAN: ria
yang tersembunyi, yang lebih tersembunyi dari merangkaknya semut.
Ketahuilah, bahwa ria itu ada yang jelas
dan ada yang tersembunyi. Maka yang jelas (terang), ialah: yang menggerakkan
kepada amal dan yang membawa kepadanya. Jikalau ia bermaksud pahala dan itu
adalah yang paling jelas (terang). Dan yang tersembunyi daripadanya, yang
sedikit itu, ialah: yang tidak membawanya kepada amal, dengan semata-mata
pahala tadi. Hanya yang sedikit itu, meringankan amal yang dikehendakinya akan
Wajah Allah. Seperti orang yang membiasakan shalat tahajjud pada setiap malam.
Dan berat yang demikian kepadanya. Maka apabila menumpang padanya tamu, niscaya
ia rajin dan ringan baginya mengerjakan tahajjud itu. Dan ia tahu, jikalau
tidak karena harapan akan pahala, niscaya ia tidak akan mengerjakan shalat itu,
karena semata-mata ria (memperlihatkan) kepada tamu. Dan yang lebih tersembunyi
dari yang demikian, ialah apa yang tidak membekas pada amal perbuatan. Dan
tidak juga dengan memudahkan dan meringankan. Akan tetapi, bersamaan dengan
yang demikian, ada yang tersembunyi dalam hati. Dan manakala tidak membekas
pada ajakan doa kepada amal perbuatan, niscaya tidak dapat dikenal, selain
dengan tanda-tanda. Dan tandanya yang paling jelas, ialah: bahwa ia gembira
dengan dilihat manusia akan amal ketaatannya. Banyaklah hamba Allah yang ikhlas
pada amalnya. Dan tidak beriktikad kepada ria. Bahkan, ia benci dan menolak ria.
Dan ia menyempurnakan amal seperti yang demikian. Akan tetapi, apabila dilihat
manusia kepadanya, niscaya menggembirakannya yang demikian dan menyenangkannya.
Dan mengentengkan yang demikian dari hatinya, akan kesulitan ibadah. Kesukaan
ini menunjukkan kepada ria yang tersembunyi. Dari ria itulah tersaringnya
kegembiraan. Dan jikalau tidak berpaling hati kepada manusia, niscaya tidaklah
lahir kegembiraannya ketika dilihat oleh manusia. Sesungguhnya ria itu
tersembunyi dalam hati, sebagaimana tersembunyinya api dalam batu (kalau kita,
dalam sekam). Maka dengan dilihat oleh makhluk, ia melahirkan kesan kesenangan
dan kegembiraan. Kemudian, apabila ia telah merasakan lezatnya kegembiraan
dengan penglihatan manusia dan tidak ditantanginya yang demikian dengan
kebencian, maka jadilah yang demikian itu, makanan dan santapan bagi akar yang
tersembunyi dari ria. Sehingga ia bergerak atas jiwanya, sebagai gerakan
tersembunyi. Lalu ia mengambil keputusan secara tersembunyi, bahwa ia
memberatkan bagi dirinya, suatu sebab yang menonjol kepadanya, dengan sindiran
dan mengeluarkan perkataan secara sampingan. Walaupun tidak membawa kepada
terus terang. Kadang-kadang tersembunyi, lalu ia tidak mengajak kepada
melahirkan dengan tutur kata, secara sindiran dan terus terang. Akan tetapi
dengan sifat-sifat diri, seperti: melahirkan kekurusan badan, kekuningan muka,
kerendahan suara, kekeringan dua bibir, kekeringan keringat, bekas-bekas air
mata dan kesangatan mengantuk yang menunjukkan, lamanya shalat tahajjud. Yang
lebih tersembunyi dari yang demikian ialah, bahwa ia bersembunyi, dimana ia
tidak menghendaki dilihat orang. Dan tidak bergembira dengan menonjol
ketaatannya. Akan tetapi, bersama dengan yang demikian, apabila ia melihat
manusia, niscaya ia menyukai untuk memulainya dengan salam. Dan menghadapinya
dengan muka tersenyum dan penghormatan. Dan bahwa mereka memujinya dan
bergembira menolong pada segala keperluannya. Dan bahwa mereka bertoleransi
dengan dia, pada penjualan dan pembelian. Dan bahwa mereka meluaskan baginya
pada tempat duduk. Maka jikalau ada orang yang terlanjur kepadanya, niscaya
beratlah yang demikian pada hatinya. Dan ia dapati karenanya, kejauhan hati
pada dirinya. Seakan-akan ia mencari kehormatan serta amalan taat, yang
disembunyikannya, sedang ia tidak menonjolkan kepada yang demikian. Dan jikalau
tidak telah terdahulu daripadanya amal taat itu, niscaya tidaklah ia merasa
hatinya jauh akan keterlanjuran orang pada hak dirinya. Dan manakala tidak ada,
wujud ibadah itu seperti tidak adanya, pada setiap yang berhubungan dengan
makhluk, niscaya tidaklah ia sudah merasa puas dengan diketahui oleh Allah. Dan
tidaklah ia terlepas dari campuran yang tersembunyi dari ria itu, lebih
tersembunyi dari merangkaknya semut. Setiap yang demikian itu hampir membinasakan
pahala, dan tidak selamat daripadanya, selain orang-orang shiddiq. Diriwayatkan
dari Ali ra, bahwa ia mengatakan: “Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha
Mulia & Maha Besar berfirman kepada qari’-qari’ pada hari kiamat: “Apakah
tidak dimurahkan kepadamu harga? Apakah tidak kamu memulai salam? Apakah tidak
dilaksanakan hajat keperluanmu?”. Dan pada hadits: “Tiada pahala bagimu.
Sesungguhnya telah kamu terima dengan sempurna pahala-pahalamu”. Abdullah bin
Al-Mubarak ra berkata: “Diriwayatkan dari Wahab bin Munabbih, bahwa Wahab
mengatakan: “Seorang laki-laki dari orang-orang yang mengembara, berkata kepada
sahabatnya: “Sesungguhnya kami telah berpisah dengan harta dan anak-anak,
karena takut durhaka. Maka kami takut bahwa telah masuk kedurhakaan kepada kami
dalam urusan kami ini, lebih banyak dari apa yang telah masuk, kepada
orang-orang yang berharta, pada hartanya. Tiadalah seseorang dari kami apabila
dijumpai, menyukai dihormati, karena kedudukan agamanya. Dan kalau ia membeli
sesuatu, niscaya ia menyukai untuk dimurahkan, karena kedudukan agamanya”. Maka
sampailah yang demikian itu, kepada raja mereka. Lalu raja itu berkendaraan
dalam suatu arakan manusia. Maka tiba-tiba tanah datar dan bukit telah penuh
dengan manusia. Lalu pengembara tadi bertanya: “Apa ini?”. Lalu dijawab orang:
“Raja ini telah menaungi engkau”. Pengembara tersebut berkata kepada budak itu:
“Bawakanlah kepadaku makanan!”. Maka budak tersebut membawakan kepadanya
sayur-sayuran, minyak dan hati kayu. Lalu ia isikan rahangnya dan memakannya
dengan keras. Maka raja bertanya: “Mana temanmu?”. Lalu mereka menjawab:
“Ini!”. Maka raja bertanya: “Bagaimana engkau? Pengembara itu menjawab:
“Seperti orang lain”. Pada lain riwayat, pengembara itu menjawab: “Baik!”. Lalu
raja berkata: “Tidaklah pada orang ini kebaikan”. Maka raja itu pergi
daripadanya. Maka pengembara itu berkata: “Alhamdulillah, segala pujian bagi
Allah, yang memalingkan engkau daripadaku. Dan engkau yang mencela aku”.
Senantiasalah orang-orang itu, takut dari ria yang tersembunyi. Karena itulah
mereka memperhatikan sungguh-sungguh mengenai tertipunya manusia, dari
amal-amal mereka yang baik. Mereka berusaha sungguh-sungguh menyembunyikannya,
lebih banyak dari apa, yang diusahakan oleh manusia pada menyembunyikan
kekejiannya. Semua itu, karena mengharap untuk keikhlasan amal perbuatan mereka
yang baik. Maka mereka akan dibalas oleh Allah pada hari kiamat, dengan
keikhlasannya dihadapan jama’ah ramai dari makhluk. Karena mereka tahu, bahwa
Allah tiada menerima pada hari kiamat, selain yang bersih. Mereka tahu akan
kesangatan hajat mereka dan keperluan mereka pada hari kiamat. Dan sesungguhnya
itu adalah hari yang tiada bermanfaat harta dan anak. Dan tiada akan dibalasi
bapak dari amal anaknya. Dan orang-orang shiddiq itu, sibuk dengan dirinya
masing-masing. Lalu masing-masingnya berkata: nafsi-nafsi (sendiri-sendiri).
Tidak memerlukan orang lain. Adalah mereka seperti pengunjung-pengunjung
(zuwwar) Baitullah. Apabila mereka menghadap ke Makkah, maka mereka membawa
bersama mereka masing-masing, emas Magribi yang bersih (tulen). Karena mereka
tahu, bahwa orang-orang yang berpunya di dusun-dusun badui, tidak laku pada
mereka, uang palsu dan uang buruk yang penuh tipuan. Dan keperluan sangat
meminta di dusun badui. Tiada tanah air, tempat meminta tolong. Tiada teman
yang akan dipegangi. Maka tiada yang melepaskan, selain uang yang bersih. Maka demikianlah, yang dipersaksikan
oleh orang-orang yang berhati ikhlas pada hari kiamat. Dan bekal yang menjadi
perbekalan baginya, ialah dari: taqwa. Jadi, campuran ria yang tersembunyi itu
banyak, tiada terhinggakan. Dan manakala ia mengetahui dari dirinya, perbedaan,
antara dilihat kepada ibadahnya oleh manusia atau hewan, maka pada yang
demikian itu, suatu cabang dari ria. Karena manakala ia memutuskan kelobaannya
dari binatang ternak, niscaya ia tidak memperdulikannya. Adakah di depannya
binatang-binatang ternak atau anak-anak yang masih menyusu atau tidak ada.
Mereka melihat kepada gerak-geriknya atau tidak mereka lihat. Maka jikalau ia
ikhlas, yang merasa puas dengan diketahui oleh Allah, niscaya ia memandang hina
kepada hamba-hamba yang berakal itu, sebagimana ia memandang hina kepada
anak-anak kecil dan orang-orang gila dari mereka. Dan ia tahu, bahwa
orang-orang berakal itu, tiada akan sanggup memberi rezeki kepadanya. Tiada
sanggup menentukan ajal, tambahan pahala dan kurangnya siksa. Sebagaimana tiada
disanggupi kepadanya, oleh binatang-binatang ternak, anak-anak kecil dan
orang-orang gila. Apabila ia tiada memperoleh yang demikian, maka padanya
campuran yang tersembunyi. Akan tetapi, tidaklah tiap-tiap campuran itu
membinasakan pahala dan merusakkan amal. Akan tetapi, padanya ada uraian. Maka
kalau anda berkata: “Tiada kami melihat seorangpun yang terlepas dari
kegembiraan, apabila diketahui orang ketaatannya. Maka kegembiraannya itu
tercela semuanya atau sebahagiannya terpuji dan sebahagiannya tercela?”. Maka
kami menjawab: pertama: setiap kegembiraan itu tidaklah tercela. Akan tetapi,
kegembiraan itu terbagi kepada: terpuji dan tercela. Adapun yang terpuji, maka
4 bahagian:
Pertama: bahwa
adalah maksudnya menyembunyikan taat dan ikhlas karena Allah. Akan tetapi,
tatkala dilihat oleh makhluk, niscaya ia tahu, bahwa Allah yang
memperlihatkannya kepada mereka. Allah melahirkan keelokan dari hal-ikhwalnya.
Lalu ia mengambil dalil dengan yang demikian, atas kebagusan ciptaan Allah
baginya, pandangan Allah kepadanya dan kasih sayang Allah dengan dia. Ia
menutupkan taat dan maksiat. Kemudian, Allah yang menutup maksiat daripadanya
dan melahirkan taat. Dan tiadalah kasih sayang yang lebih besar, daripada
tertutupnya kekejian dan terbukanya keelokan. Maka adalah kegembiraannya dengan
keelokan pandangan Allah baginya. Tidak dengan pujian manusia dan tegaknya
kedudukan pada hati manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: Dengan kurnia
Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira!”. S 10 Yunus ayat
58. Seolah-olah telah menampak baginya, bahwa dia pada sisi Allah diterima.
Lalu ia bergembira dengan yang demikian.
Kedua: bahwa ia
mengambil dalil dengan dilahirkan Allah, keelokan dan ditutupNya keburukan
padanya di dunia. Bahwa demikian juga akan diperbuatNya di akhirat. Karena
Rasulullah saw bersabda: “Allah menutup dosa pada seorang hambaNya di dunia,
melainkan ditutupNya (pula) dosa itu di
akhirat”. Maka adalah yang pertama itu, kegembiraan dengan penerimaan pada masa
sekarang, tanpa memperhatikan pada masa yang akan datang. Dan ini adalah
perhatian kepada masa yang akan datang.
Ketiga: bahwa ia
menyangka kegemaran orang-orang yang melihat, kepada mengikutinya pada taat.
Lalu berlipat ganda dengan demikian pahalanya. Maka baginya pahala terang
(‘alaniyah) dengan apa yang dilahirkan pada penghabisan. Dan pahala rahasia
(sirr/rahasia) dengan apa yang dimaksudkannya pada permulaan. Dan barangsiapa
mengikutinya pada taat, maka baginya seperti pahala amal orang-orang yang
mengikutinya, tanpa ada kurang sesuatu dari pahala mereka. Dan mengharap
terjadinya yang demikian itu, pantas menjadi sebabnya gembira. Karena
sesungguhnya, lahir khayalan laba itu enak (lezat) dan sudah pasti mengharuskan
kegembiraan.
Keempat: bahwa ia
dipuji oleh orang-orang yang melihat ketaatannya. Lalu ia bersuka cita, dengan
ketaatan mereka kepada Allah, pada pemujian mereka dan kecintaan mereka bagi
orang yang berbuat taat. Dan dengan kecenderungan hati mereka kepada ketaatan.
Karena ada diantara orang yang beriman, orang yang melihat orang yang taat,
lalu dimakinya dan dihasudnya. Atau dicelanya dan dipermain-mainkannya. Atau
dikaitkannya karena ria dan tidak dipujinya. Maka ini adalah suka cita dengan
bagusnya iman hamba-hamba Allah. Dan tanda keikhlasan pada yang semacam ini,
ialah, bahwa adanya suka citanya dengan pujian mereka kepada orang lain,
seperti suka citanya pujian mereka kepadanya. Adapun yang tercela, yaitu: yang
kelima, ialah: bahwa adanya suka citanya itu karena tegak kedudukannya pada
hati manusia. Sehingga mereka memujinya dan membesarkannya. Dan mereka bangun
menunaikan segala hajat keperluannya. Dan menghadapinya dengan pemuliaan pada
waktu timbulnya dan waktu datangnya. Maka ini makruh. Wallahu Ta’ala
a’lam/Allah Yang Maha Tahu.
PENJELASAN: Apa
yang membinasakan amal dari ria yang tersembunyi dan yang terang dan apa yang
tidak membinasakan.
Maka kami katakan mengenai ini: apabila
hamba itu mengikatkan ibadahnya di atas keikhlasan, kemudian datang kepadanya
yang datang dari ria, maka tidak terlepas adakalanya, bahwa ia menolak atas
yang demikian, sesudah selesainya dari amal. Atau sebelum selesai. Maka jikalau
datang sesudah selesai, kegembiraan yang semata-mata lahir, tanpa dilahirkan,
maka ini tidak merusakkan amal. Karena amal itu, telah sempurna di atas sifat
ikhlas, yang selamat dari keriaan. Maka apa yang datang sesudahnya, kita
mengharap, bahwa tiada akan terlipat kepadanya bekasnya. Lebih-lebih lagi,
apabila ia tiada memberatkan dirinya untuk melahirkannya dan memperkatakannya.
Dan ia tidak berangan-angan melahirkannya dan menyebutkannya. Akan tetapi telah
bersesuaian lahirnya dengan dilahirkan oleh Allah. Dan tidak ada daripadanya,
selain apa yang masuk pada hatinya, dari kegembiraan dan perasaan senang. Ya,
jikalau telah sempurna amal di atas keikhlasan, tanpa ikatan ria, akan tetapi
lahir baginya kemudian, keinginan pada melahirkannya, lalu ia berbicara tentang
amal itu dan dilahirkannya, maka ini ditakutkan. Pada atsar dan akhbar
(hadits), ada yang menunjukkan, bahwa yang demikian itu membinasakan amal.
Telah dirawikan dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia mendengar seorang laki-laki berkata:
“Aku telah membaca kemarin Surat Al Baqarah”. Lalu Ibnu Mas’ud menjawab:
“Itulah keuntungannya dari Surat Al Baqarah itu”. Diriwayatkan dari Rasulullah
saw, bahwa beliau bersabda kepada seorang laki-laki, yang berkata kepadanya:
“Aku puasa sepanjang masa, wahai Rasulullah!”. Rasulullah saw lalu bersabda
kepadanya: “Kamu tidak berpuasa dan tidak berbuka”. Setengah mereka (kaum
shufi) berkata: “Sesungguhnya Nabi saw bersabda demikian, karena orang itu
melahirkannya”. Dan ada yang mengatakan, bahwa itu suatu isyarat kepada
makruhnya berpuasa sepanjang masa. Dan bagaimana adanya, maka mungkin adanya
yang demikian itu dari Rasulullah saw dan dari Ibnu Mas’ud, karena mengambil
dalil, bahwa hatinya dari ibadah itu, tiada terlepas dari ikatan ria dan
maksudnya bagi ria. Karena telah lahir daripadanya, pembicaraan dengan ria itu.
Karena jauhlah bahwa ada yang datang sesudah amal itu, yang membatalkan pahala
amal. Bahkan yang lebih sesuai dengan qias (analogi), dikatakan: bahwa ia
diberi pahala di atas amalnya yang telah lalu. Dan disiksa diatas keriaannya
pada mentaati Allah, sesudah selesai dari ketaatan itu. Sebaliknya, jikalau
berubah ikatannya kepada ria sebelum selesai dari shalat, maka yang demikian
itu, kadang-kadang membatalkan shalat dan membinasakan amal. Adapun apabila
datang sesuatu, yang datang dari ria sebelum selesai dari shalat umpamanya dan
ia telah mengikatkan hatinya di atas keikhlasan, akan tetapi telah datang di
tengah-tengahnya, yang datang dari ria, maka tidak terlepas, adakalanya, ada
yang demikian itu semata-mata kegembiraan, yang tiada membekas pada amal. Dan
adakalanya, ada ia ria yang membangkitkan kepada amal. Maka jikalau ria itu
membangkitkan kepada amal dan ia menyudahkan ibadahnya dengan ria tadi, niscaya
binasalah pahalanya. Contohnya: bahwa ia berada dalam shalat sunat (shalat
tathawwu’). Lalu membaru baginya ingatan pemandangan indah atau datang seorang
raja dari raja-raja yang megah. Maka ia ingin melihatnya. Atau ia teringat
sesuatu yang telah dilupakannya dari hartanya. Dan ia bermaksud mencarikannya.
Dan jikalau tidak adalah manusia, niscaya ia akan memutuskan shalatnya. Maka
disempurnakannya, karena takut dari cacian manusia. Maka binasalah pahalanya.
Dan harus ia mengulanginya jikalau pada shalat fardhu (shalat wajib). Nabi saw
bersabda: “Amal itu seperti tempat simpan barang (karung). Apabila baik
kesudahannya, niscaya baiklah permulaannya”. Artinya: Dipandang kepada
kesudahannya. Diriwayatkan: “Bahwa orang yang berbuat ria dengan amalnya
sesaat, niscaya binasalah amalnya yang telah ada sebelumnya”. Ini tempatnya
pada shalat dalam bentuk itu. Tidak pada sedekah dan bacaan Alquran (qiraah).
Karena tiap-tiap bahagian daripadanya
sendiri-sendiri (tidak terikat seperti shalat). Maka apa yang datang itu, akan
merusakkan yang sisa. Tidak merusakkan yang sudah lalu. Puasa dan haji termasuk
sama dengan shalat. Adapun apabila ada kedatangan ria itu, dimana ia tidak
mencegahnya daripada maksud menyempurnakan karena pahala, seperti: kalau datang
suatu rombongan orang, pada waktu ia sedang shalat, lalu ia gembira dengan
kedatangan mereka itu. Dan ia mengikatkan ria pada dirinya dan bermaksud
membaguskan shalatnya karena dilihat mereka. Dan kalau rombongan itu tidak
datang, ia akan menyempurnakan juga shalat tersebut. Maka ini adalah ria yang
telah membekas pada amal. Dan yang menggerakkan pembangkit kepada gerakan-gerakan
badan. Maka jikalau pembangkitan itu keras, sehingga terhapus perasaan dengan
maksud ibadah dan pahala. Dan maksud ibadah itu menjadi terbenam, maka ini juga
seyogyalah merusakkan ibadah, manakala berlalu salah satu dari rukun-rukun
shalat itu atas bentuk tersebut. Karena kita mencukupkan dengan niat yang
dahulu ketika takbiratul-ihram, dengan syarat tidak datang kepadanya, apa yang
mengalahkan dan yang menenggelamkannya. Dan mungkin dikatakan, bahwa tidak
merusakkan ibadah, karena memandang kepada keadaan ikatan ria dan kepada masih
adanya maksud pokok pahala, walaupun sudah lemah, disebabkan serangan maksud
itu, yang lebih keras daripadanya. Al-Harts Al-Muhasibi ra beraliran, kepada
membinasakan pahala, pada keadaan yang lebih enteng (lebih mudah) dari ini. Ia
mengatakan: “Apabila ia tidak menghendaki, selain semata-mata kegembiraan
dengan dilihat manusia, yakni: kegembiraan, seperti kesukaan kedudukan dan
kemegahan”. Al-Harts Al-Muhasibi mengatakan: “Telah berbeda pendapat orang
banyak (para ahli) dalam hal ini. Suatu golongan berpendapat, bahwa itu
membinasakan amal. Karena meruntuhkan cita-cita (‘azam) yang pertama dan
cenderung kepada pujian makhluk. Dan ia tidak menyudahkan amalnya dengan
ikhlas. Dan sesungguhnya amal itu sempurna dengan kesudahannya (khatimahnya)”.
Kemudian Al-Harts berkata lagi: “Aku tidak putuskan (tidak yakin) dengan binasa
amal, walaupun ia tidak bertambahan pada amal dan tidak merasa aman atas amal
itu. Aku bersikap menunggu (tawaqquf) pada yang demikian, karena perbedaan
pendapat manusia. Dan yang lebih kuat pada hatiku, bahwa amal itu binasa,
apabila amal itu disudahi dengan ria”. Kemudian Al-Harts Al-Muhasibi berkata:
kalau dikatakan, bahwa Al-Hasan Al-Bashari
ra mengatakan: “Bahwa itu dua hal. Apabila hal pertama karena Allah,
niscaya tidak mendatangkan melarat kepadanya (tidak merugikan) oleh hal kedua”.
Sesungguhnya, diriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah
saw: “Wahai Rasulullah! Aku merahasiakan amal. Aku tidak suka dilihat orang.
Lalu ada yang melihatnya, maka itu menggembirakan aku”. Rasulullah saw
menjawab: “Bagi engkau dua pahala: pahala rahasia dan pahala terang
(‘alaniyah)”. Kemudian Al-Harts mempertahankan atas dasar hadits dan atsar. Ia
mengatakan: “Adapun Al-Hasan Al-Bashari , maka yang ia maksudkan dengan
perkataannya di atas: tidak mendatangkan melarat, artinya: ia tidak
meninggalkan amalnya dan tidak mendatangkan melarat (tidak merugikannya) oleh
bahaya. Dan ia menghendaki Allah”. Al-Hasan Al-Bashri ra tidak mengatakan:
“Apabila ia ikatkan ria sesudah mengikatkan ikhlas, niscaya tidak mendatangkan
melarat baginya (tidak merugikannya)”. Adapun hadits, maka Al-Hasan
Al-Bashari ra telah mempertahankannya
dengan panjang lebar, yang hasilnya (kesimpulannya) kembali kepada 3 segi:
Pertama: mungkin ia bermaksud melahirkan
amalnya sesudah selesai. Dan tidak ada pada hadits, bahwa itu sebelum selesai.
Kedua: bahwa ia bermaksud
merahasiakan amalnya itu, untuk diikuti orang. Atau untuk kegembiraan yang
lain, yang terpuji, dari apa yang telah kami sebutkan dahulu. Tidak kegembiraan
yang disebabkan suka pujian dan kedudukan, dengan dalil, bahwa dia menjadikan
baginya pahala dengan amal itu. Dan tidak ada dari ummat yang beraliran
(berpendapat), bahwa kegembiraan dengan pujian itu ada pahala. Dan tujuannya
untuk dimaafkan daripadanya. Maka bagaimana bagi orang yang ikhlas, mempunyai
satu pahala dan orang yang berbuat ria dua pahala?
Ketiga: bahwa kebanyakan perawi hadits mengatakan, bahwa ia merawikannya
tidak bersambung (tidak muttashil) kepada Abi Hurairah. Akan tetapi kebanyakan
mereka mentawaqqufkannya (sebagai hadits mauquf=perkataan atau perbuatan
sahabat yang baik sanadnya bersambung atau terputus) kepada Abi Shalih. Dan
sebagian mereka ada yang merafa’kannya (sebagai hadits marfu’=hadist yang
sanadnya tidak terang sampai kepada Nabi tetapi disampaikan juga sedang
diantara perawai yang terang namanya dan Nabi ada perawi-perawi yang tidak
diketahui atau dilampaui). Maka hukum dengan secara umum yang datang mengenai
ria, adalah lebih utama. Inilah apa yang disebutkan oleh Al-Harts Al-Muhasibi
ra. Ia tidak memutuskannya dengan tegas. Akan tetapi, ia melahirkan
kecenderungan kepada membinasakan amal. Dan yang lebih sesuai dengan qias
(analogi) pada kami, ialah: bahwa kadar ini, apabila bekasnya tidak tampak pada
amal, akan tetapi, amal itu tetap menjadi sumber penggerak agama dan hanya
bertambah kepadanya kegembiraan dengan dilihat orang, maka tidaklah merusakkan
amal. Karena tidak hilang pokok niatnya dengan kegembiraan tersebut. Dan
tetaplah niat itu yang menggerakkan kepada amal dan yang membawa kepada
penyempurnaan amal. Adapun hadits yang datang tentang ria, maka dibawa kepada
keadaan, apabila ia tidak menghendaki dengan ria itu, selain makhluk. Adapun
apa yang datang pada penyekutuan (antara Khaliq (yang maha pencipta) dan
makhluk), maka dibawa kepada keadaan, apabila adanya maksud ria itu, menyamai
bagi maksud pahala. Atau lebih keras daripadanya. Apabila maksud ria itu lemah,
dibandingkan kepada maksud pahala, maka tidaklah secara keseluruhan,
membinasakan pahala sedekah dan amal-amal lainnya. Dan tiada seyogyalah ria itu
merusakkan shalat. Dan tidak jauh pula untuk dikatakan, bahwa yang diwajibkan
kepadanya itu, shalat yang murni (yang ikhlas) karena Wajah Allah. Dan yang murni
itu, tidak dicampuri oleh sesuatu. Maka tidaklah dia menunaikan yang wajib
serta campuran itu. Dan ilmu adalah pada Allah yang demikian. Dan telah kami
sebutkan pada Kitab Ikhlas, pembicaraan (uraian) yang lebih sempurna, dari apa
yang kami kemukakan sekarang ini. Maka hendaklah kembali kesana! Maka inilah
hukum ria, yang datang sesudah pelaksanaan ibadah. Adakalanya sebelum selesai
atau sesudah selesai.
Bahagian ketiga:
Ialah yang menyertai pada waktu melaksanakan ibadah, dengan dimulainya shalat
itu dengan maksud ria. Maka jikalau terus-menerus diatas yang demikian,
sehingga ia memberi salam, maka tiada khilaf (tiada perbedaan pendapat diantara
ahli agama) lagi, bahwa ia berbuat maksiat dan shalatnya tidak dihitung.
Walaupun ia menyesal pada yang demikian pada waktu sedang dikerjakannya. Dan ia
meminta ampun dan kembali sebelum shalat itu sempurrna (siap). Maka tentang apa
yang harus atasnya, adalah 3 pendapat. Suatu golongan mengatakan: tidak sah
shalatnya, serta maksud ria. Maka hendaklah ia mengulang kembali. Suatu
golongan mengatakan: harus ia mengulangi perbuatan-perbuatan shalat, seperti:
ruku’ dan sujud. Dan semua perbuatannya rusak atau (batal), tidak
takbiratul-ihram shalat. Karena takbiratul-ihram itu suatu ikatan pelaksanaan.
Dan ria itu suatu gurisan pada hatinya, yang tidak mengeluarkan
takbiratul-ihram dari keadaannya itu ikatan pelaksanaan. Dan suatu golongan
mengatakan, tiada harus mengulangi sesuatu. Akan tetapi, ia mengucapkan
istighfar dengan hatinya dan menyempurnakan ibadah diatas keikhlasan dan
memandang kepada kesudahan ibadah. Sebagaimana jikalau dimulainya dengan ikhlas
dan disudahinya dengan ria, niscaya adalah merusakkan amalnya. Mereka
menyerupakan yang demikian, dengan kain putih yang berlumuran dengan najis yang
mendatang. Maka apabila yang mendatang itu dihilangkan, niscaya kain itu
kembali kepada asal. Lalu mereka mengatakan: bahwa shalat, ruku’ dan sujud,
tidak ada, selain karena Allah. Jikalau ia sujud karena selain Allah, niscaya
adalah dia itu kafir. Akan tetapi, disertai baginya kedatangan ria, kemudian
ria itu hilang dengan penyesalan dan tobat dan ia jadi kepada keadaan, dimana
ia tidak memperdulikan dengan pujian dan celaan manusia, maka sah lah
shalatnya. Mazhab (aliran) dua golongan yang penghabisan itu, keluar benar dari
qias (analogi) fikih. Lebih-lebih orang yang mengatakan: harus mengulangi ruku’
dan sujud, tidak doa iftitah. Karena ruku’ dan sujud itu, jikalau tidak sah,
niscaya menjadi perbuatan yang berlebih pada shalat. Lalu rusaklah shalat.
Demikian pula perkataan orang yang mengatakan: jikalau disudahinya dengan
ikhlas, niscaya sah. Karena memandang kepada penghabisan. Maka ini juga lemah
(dha’if). Karena ria itu merusakkan pada niat. Dan waktu yang paling utama
memelihara hukum niat, ialah pada waktu membaca doa iftitah. Maka yang lurus
diatas qias fikih, ialah bahwa dikatakan: jikalau penggeraknya itu semata-mata
ria pada permulaan pelaksanaan amal, tidak mencari pahala dan mengikuti suruh
(amar Tuhan), niscaya tiada sah iftitahnya (pembukaannnya). Dan tiada sah apa
yang sesudah iftitah itu. Dan yang demikian, mengenai orang, apabila ia berada
sendirian, niscaya ia tidak mengerjakan shalat. Dan manakala ia melihat orang,
lalu ia mengucapkan takbiratul-ihram dengan shalat itu. Dan walaupun kainnya
itu najis pula, niscaya ia mengerjakan shalat karena manusia. Maka inilah
shalat yang tak ada niat padanya. Karena niat itu adalah ibarat daripada
memperkenankan penggerak agama. Dan disini, tiada penggerak dan tiada perkenan.
Adapun, apabila tak ada manusia, tetapi ia mengerjakan shalat juga, hanya lahir
baginya kegembiraan pula pada pujian, maka terkumpul disini dua penggerak. Maka
ini, adakalanya, bahwa ada pada sedekah, qira’ah (pembacaan Alquran) dan apa
yang tak ada padanya yang menghalalkan dan yang mengharamkan. Atau pada
pelaksanaan shalat dan haji. Jikalau ada pada sedekah, maka ia telah berbuat
maksiat dengan mempertahankan penggerak ria. Dan berbuat taat dengan
memperkenan penggerak pahala: “Maka siapa yang berbuat seberat atom kebajikan,
niscaya akan dilihatnya. Dan siapa yang berbuat seberat atom kejahatan, niscaya
akan dilihatnya”. S 99 Az Zalzalah ayat 7&8. Maka baginya pahala, menurut
kadar maksudnya yang sah dan siksa menurut kadar maksudnya yang batil/salah
(fasid). Dan tidaklah salah satu dari yang dua tersebut membinasakan yang lain.
Jikalau ia berada dalam shalat yang bisa rusak (fasid) dengan masuknya
kecederaan kepada niat, maka tidak terlepas, adakalanya shalat itu fardhu
(wajib) atau shalat sunat. Jikalau shalat sunat, maka hukumnya juga seperti
hukum sedekah. Ia berbuat maksiat dari satu segi dan berbuat taat dari satu
segi, apabila berkumpul dalam hatinya dua penggerak. Dan tidak mungkin dikatakan:
bahwa shalatnya itu batal (fasid) dan mengikutinya (berimam padanya) itu
batil/salah. Sehingga orang yang mengerjakan shalat tarawih dan ternyata dari
qarinah (tanda-tanda) keadaannya, bahwa maksudnya ria, dengan melahirkan
bagusnya membaca dan jikalau tidak berkumpul manusia di belakangnya dan ia
berada sendirian dalam rumahnya, niscaya ia tidak shalat, maka tidaklah sah
mengikutinya (berimam kepadanya). Maka kesudahan kepada ini adalah jauh sekali.
Bahkan disangka pada orang Islam, bahwa dia bermaksud juga pahala dengan amal
sunatnya. Maka sahlah shalat dengan memandang maksud tersebut. Dan sah
mengikutinya sebagai imam shalat. Dan walaupun disertai maksud yang lain dan
dia menjadi maksiat dengan yang demikian. Adapun, apabila ia berada pada amal
fardhu (ibadah wajib) dan berhimpun dua penggerak dan masing-masing dari dua
penggerak itu tidak berdiri sendiri dan sesungguhnya penggerakan itu terjadi
dengan berkumpul keduanya, maka ini tidak menggugurkan yang wajib daripadanya.
Karena yang mewajibkan itu, tidak membangkitkan penggerak pada hak dirinya,
dengan semata-mata yang mewajibkan dan dengan berdiri sendiri. Dan jikalau
masing-masing penggerak itu berdiri sendiri, sehingga jikalau tidak ada
penggerak ria, niscaya ia menunaikan segala yang fardlu dan jikalau tidak ada
penggerak amal fardlu, niscaya ia jadikan shalat sunat, karena ria, maka ini
tempat pemerhatian. Dan itu kemungkinan sekali. Maka mungkin dikatakan: Bahwa
yang wajib ialah shalat yang semata-mata karena Wajah Allah. Dan ia tidak
menunaikan yang wajib semata-mata itu. Dan mungkin dikatakan, bahwa wajib itu,
menuruti perintah (amar Ilahy), dengan penggerak yang berdiri sendiri. Dan
telah diperolehnya. Maka penyertaan yang lain dengan yang wajib itu, tidaklah
mencegah gugurnya (terlepasnya) yang fardlu daripadanya. Seperti jikalau ia
mengerjakan shalat pada rumah yang dirampok, maka walaupun ia berbuat maksiat
dengan mengerjakan shalat pada rumah yang dirampok itu, tetapi dia berbuat taat
dengan pokok shalat. Dan menggugurkan fardlu (terlepas fardlu) dari dirinya.
Dan bertentangan kemungkinan pada pertentangan penggerak-penggerak pada asalnya
shalat. Adapun apabila ada ria itu pada penyegeraan umpamanya, tidak pada
asalnya shalat, seperti orang yang bersegera kepada shalat pada awal waktunya,
karena hadirnya suatu rombongan (jama’ah) dan kalau ia sendirian, niscaya
dikemudiannya shalat itu kepada tengah waktu dan jikalau tidak shalat fardlu,
niscaya ia tidak memulai shalat, karena ria, maka ini termasuk yang diyakini
(diputuskan dengan yakin), sah shalatnya. Dan gugur fardlu (ia terlepas dari
fardlu) itu dengan yang demikian. Karena penggerak asalnya shalat, dari segi
dia itu shalat, tidak ditantangi oleh yang lain. Akan tetapi, hanya dari segi
penentuan waktu saja. Maka ini amat jauh daripada celaan pada niat. Ini adalah
pada ria, yang menjadi penggerak kepada amal dan pembawa kepada amal. Adapun
semata-mata kegembiraan dengan dilihat manusia kepadanya, apabila bekasnya
tidak sampai, kepada kira-kira yang membekas pada amal, maka jauhlah untuk merusakkan
(membatalkan) shalat. Ini adalah apa yang kita lihat, layak (sesuai) dengan
undang-undang fikih. Dan masalah tersebut sulit dari segi, bahwa ulama-ulama
fikih tidak membentangkannya pada ilmu fikih. Dan orang-orang yang mendalami
pada masalah tersebut dan melakukan pembahasan, tidak memperhatikan
undang-undang fikih dan yang dikehendaki oleh fatwa-fatwa para ulama fikih
mengenai sahnya shalat dan batalnya. Akan tetapi, mereka dibawa oleh kelobaan
pada pembersihan hati dan mencari keikhlasan diatas perusakan ibadah, dengan
segala yang terguris dalam hati dan apa yang telah kami sebutkan dahulu, itulah
yang lebih dimaksudkan, menurut apa yang kami lihat. Dan ilmu yang sebenarnya
adalah pada sisi Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar.
Dialah yang mengetahui yang ghaib (tidak tampak) dan yang tampak. Dialah yang
Maha pemurah lagi Maha pengasih.
PENJELASAN: obat
ria dan jalan mengobati hati tentang ria.
Telah anda ketahui, dari yang telah
disebutkan dahulu, bahwa ria itu membinasakan amal. Dan sebab terkutuk pada
sisi Allah Ta’ala. Dan ria itu termasuk pembinasa yang terbesar. Dan apa yang
ini sifatnya, maka pantaslah dengan segera dari segala kesungguhan
menghilangkannya. Dan walau dengan kesungguhan dan menanggung kesukaran. Maka
tiada sembuh, selain dengan meminum obat-obat yang pahit, lagi buruk bentuknya.
Inilah kesungguhan yang diperlukan oleh hamba Allah semua. Karena anak kecil
itu dijadikan lemah pikiran. Dan pembedaan (antara baik dan buruk) itu,
memanjang matanya kepada makhluk, yang banyak kelobaannya pada mereka. Maka ia
melihat manusia, berbuat sebahagian nya bagi sebahagian yang lain. Lalu
mengeraslah padanya yang mudah, kesukaan berbuat-buat. Dan mantaplah yang
demikian pada dirinya. Dan sesungguhnya ia merasa keadaan yang demikian itu
membinasakan, sesudah sempurna akal pikirannya. Dan setelah tertanam ria itu
pada hatinya dan mantap, maka ia tidak sanggup mencegahnya, selain dengan
kesungguhan yang berat dan penderitaan karena kuatnya nafsu syahwat. Maka tiada
seorangpun terlepas dari keperluan kepada kesungguhan ini. Akan tetapi,
kesungguhan tersebut pada permulaannya adalah sukar (berat) dan pada
penghabisannya adalah ringan. Dan pada pengobatannya ada dua tingkat:
Pertama: mencabut
akar-akar dan pokok-pokoknya, yang dari akar dan pokok itulah, ria tadi
bercabang dan beranting.
Kedua: menolak apa yang terguris daripadanya, pada
waktu itu juga.
Tingkat pertama tadi pada mencabut
akar-akar dan menarik pokok-pokoknya. Dan pokoknya itu, ialah: kecintaan
kedudukan dan kemegahan. Dan apabila diuraikan, niscaya kembali kepada tiga
pokok. Yaitu: keenakan pujian, lari dari kepedihan celaan dan loba pada apa
yang ada dalam tangan manusia. Dan disaksikan bagi ria dengan sebab-sebab
tersebut dan sebab-sebab tersebut yang menggerakkan orang yang berbuat ria,
oleh apa yang dirawikan Abu Musa Al-Asy’ari: “Bahwa seorang Arab Badui bertanya
kepada Rasulullah saw, dengan katanya: “Wahai Rasulullah! Orang itu berperang,
karena panas hati”. Artinya: ia benci untuk dipaksakan atau dicela, bahwa dia
orang yang dipaksakan, lagi dikalahkan. Dan orang Badui itu berkata: “Dan
laki-laki itu berperang, untuk memperlihatkan tempatnya dari keberanian”.
Inilah mencari kelezatan kemegahan dan kadar pada hati manusia. “Dan laki-laki
itu berperang untuk disebut”. Dan ini, ialah: pujian dengan lisan. Lalu Nabi
saw menjawab: “Barangsiapa berperang, supaya Kalimah Allah itu yang tertinggi,
maka dia pada perang sabilullah”. Ibnu Mas’ud berkata: “Apabila bertemu dua
barisan perang, niscaya turunlah malaikat. Lalu mereka menulis manusia menurut
tingkatnya. Si Anu berperang untuk disebut (dipuji). Dan si Anu berperang untuk
memiliki kekayaan. Dan berperang untuk memiliki kekayaan itu, menunjukkan
kepada kelobaan pada dunia”. Umar ra berkata: “Mereka mengatakan, bahwa si Anu
itu mati syahid. Dan mungkin telah penuh kedua kemudi kendaraannya dengan
perak”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa berperang, yang tidak mengingini,
selain tali untuk pengikat untanya, maka baginya apa yang diniatkannya”. Maka
ini menunjukkan kepada kelobaan. Kadang-kadang ia tidak ingin pujian dan tidak
loba pada pujian. Akan tetapi, ia menjaga diri dari kepedihan celaan, seperti
orang kikir diantara orang-orang pemurah. Orang-orang pemurah itu bersedekah
dengan harta banyak. Lalu orang kikir itu bersedekah dengan sedikit, supaya dia
tidak dipandang kikir. Dan ia tidak loba pada pujian. Dan ia telah didahului
oleh orang lain, dengan pujian itu. Dan seperti orang pengecut diantara
orang-orang berani. Ia tidak lari dari barisan perang, karena takut dari
celaan. Ia tidak loba pada pujian. Dan orang lain sudah menyerang pada barisan
perang. Akan tetapi apabila ia telah putus asa dari pujian, niscaya ia benci
kepada celaan. Dan seperti orang yang berada diantara suatu kaum (rombongan)
yang mengerjakan shalat sepanjang malam. Lalu ia bershalat beberapa raka’at
yang terhitung jumlahnya. Sehingga ia tidak dicela orang, dengan kemalasan. Ia
tidak loba pada pujian. Kadang-kadang manusia itu sanggup bersabar dari
kelezatan pujian. Dan tidak sanggup bersabar atas kepedihan celaan. Dan karena
itulah, kadang-kadang manusia itu, meninggalkan bertanya tentang sesuatu ilmu
yang diperlukannya. Karena takut dicela orang, dengan kebodohan. Ia berfatwa
tanpa ilmu. Ia mendakwakan mengetahui ilmu hadits, padahal ia bodoh tentang
hadits itu. Semua itu adalah karena menjaga diri dari celaan. Maka 3 perkara
ini, adalah yang menggerakkan orang yang berbuat ria, kepada ria. Dan obatnya
ialah, apa yang telah kami sebutkan pada bagian pertama dari kitab ini secara
keseluruhan. Akan tetapi, sekarang akan kami sebutkan yang khusus dengan ria.
Dan tiadalah tersembunyi, bahwa manusia itu sesungguhnya bemaksud sesuatu dan
suka padanya. Karena sangkanya, bahwa sesuatu itu baik, bermanfaat dan enak
baginya. Adakalanya pada waktu sekarang dan adakalanya pada masa yang akan
datang. Jiikalau ia ketahui, bahwa sesuatu itu enak pada waktu sekarang, akan
tetapi mendatangkan melarat pada masa yang akan datang, niscaya mudah kepadanya
memutuskan kegemaran dari sesuatu itu. Seperti orang yang mengetahui, bahwa
madu itu enak. Akan tetapi, apabila terang baginya, bahwa dalam madu itu ada
racun, niscaya ia berpaling dari madu tersebut. Maka begitu pula jalan
memutuskan kegemaran itu, bahwa diketahuinya, ada yang mendatangkan melarat
padanya. Manakala hamba itu mengetahui akan melaratnya ria dan apa yang
dihilangkan oleh ria itu, dari kebaikan hatinya dan apa yang tidak diperolehnya
sekarang dari taufiq dan di akhirat dari kedudukan di sisi Allah dan apa yang
datang kepadanya dari siksaan besar, kutukan berat dan kehinaan yang nyata,
dimana ia akan dipanggil dihadapan khalayak banyak: “Hai orang zalim! Hai yang
menyeleweng! Hai yang berbuat ria! Apakah kamu tidak malu, ketika engkau
membeli dengan ketaatan kepada Allah, akan harta benda dunia? Engkau mengintip
hati hamba-hamba Allah. Engkau mempermainkan ketaatan kepada Allah. Engkau
mencari kecintaan kepada hamba, dengan kemarahan kepada Allah. Engkau menghiasi
mereka dengan yang memalukan pada sisi Allah. Engkau mendekati kepada mereka
dengan menjauhkan daripada Allah. Engkau mencari pujian kepada mereka, dengan
memperoleh celaan pada sisi Allah. dan engkau cari kerelaan mereka, dengan
mendatangkan sesuatu bagi kemarahan Allah. Apakah tidak ada seorangpun yang
lebih mudah kepada engkau, daripada Allah?”. Maka manakala hamba itu berpikir
pada kehinaan ini dan ia membandingkan apa yang berhasil baginya dari
hamba-hamba Allah dan hiasan bagi mereka dalam dunia, dengan apa yang tidak
diperolehnya di akhirat dan dengan apa yang membinasakan kepadanya dari pahala
amal ibadah, serta satu amal itu kadang-kadang seberat timbangan segala
kebaikannya, jikalau ia bersih, maka apabila rusak dengan ria, niscaya
dipalingkan dia kepada daun neraca kejahatan. Lalu beratlah daun neraca itu
dengan ria dan ia dijatuhkan ke dalam neraka. Jikalau tidak ada pada ria itu,
selain membinasakan satu ibadah saja, niscaya adalah yang demikian itu, memadai
pada mengenali melaratnya. Dan jikakalu ada serta yang demikian,
kebaikan-kebaikan lain yang kuat (berat), maka adalah dia mencapai dengan
kebaikan ini, ketinggian pangkat pada sisi Allah, dalam rombongan nabi-nabi dan
orang-orang shiddiq. Sesungguhnya diturunkan mereka disebabkan ria. Dan
ditolakkan kepada barisan sepatu (tempat meletakkan sepatu) dari tingkat
wali-wali. Ini adalah bersama yang datang baginya dalam dunia, dari kehancuran
cita-cita, disebabkan memperhatikan hati makhluk. Sesungguhnya rela manusia itu
adalah suatu tujuan yang tidak akan tercapai. Setiap apa yang disenangi suatu
golongan, maka akan memarahkan golongan lain. Rela sebahagian mereka itu adalah
pada kemarahan sebahagian lainnya. Barangsiapa mencari kerelaan mereka pada
kemarahan Allah, niscaya Allah marah kepadanya. Dan memarahkan mereka juga
kepadanya. Kemudian, maksud manakah baginya pada pujian mereka dan memilih
cacian Allah karena pujian mereka? Dan pujian mereka itu tiada akan menambahkan
baginya rezeki dan ajal. Dan tiada akan bermanfaat baginya pada hari kemiskinan
dan kepapaannya. Yaitu: hari kiamat. Adapun loba pada apa yang dalam tangan
mereka, maka dengan diketahuinya, bahwa Allah Ta’ala yang menjadikan hati,
untuk tidak memberi dan memberi. Dan bahwa makhluk itu memerlukan kepadaNya.
Dan tiada yang memberikan rezeki, selain Allah. Dan barangsiapa yang loba pada
makhluk, niscaya ia tidak terlepas dari kehinaan dan kekecewaan. Dan jikalau ia
sampai kepada maksud, niscaya ia tidak terlepas dari omelan dan hinaan. Maka
bagaimana ia meninggalkan apa yang ada di sisi Allah, dengan harapan yang
bohong dan sangkaan yang batil/salah? Kadang-kadang ia benar dan kadang-kadang
ia salah. Dan apabila ia benar, maka tiada sempurna kelezatannya dengan
kepedihan omelan dan kehinaannya. Adapun cacian mereka, maka ia tiada
terpelihara daripadanya. Dan cacian mereka, tiada menambahkan kepadanya
sesuatu, apa yang tiada dituliskan oleh Allah kepadanya. Dan tidak akan
menyegerakan ajalnya. Tiada akan mengemudiankan rezekinya. Dan tiada akan
menjadikannya isi neraka, jikalau ia dari isi sorga. Dan tiada akan
memarahkannya kepada Allah, jikalau ia terpuji pada sisi Allah. Dan tiada akan
menambahkannya kutukan, jikalau ia terkutuk pada sisi Allah. Hamba itu semua
lemah, tiada memiliki bagi dirinya yang melarat dan yang bermanfaat. Mereka
tiada memiliki mati, hidup dan pengumpulan di hari kebangkitan. Maka apabila
telah tetap dalam hatinya, bahaya sebab-sebab ini dan melaratnya, niscaya
lemahlah keinginannya. Dan menghadaplah kepada Allah hatinya. Maka sesungguhnya
orang yang berakal itu, tiada menyukai pada apa yang banyak melaratnya dan
sedikit manfaatnya. Dan mencukupilah baginya, bahwa jikalau tahulah manusia apa
yang dalam batinnya, dari maksud ria dan melahirkan ikhlas, niscaya mereka
mengutuknya. Dan akan dibuka oleh Allah rahasianya, sehingga manusia
memarahinya. Dan Allah memperkenalkannya kepada manusia, bahwa dia itu orang
yang berbuat ria dan terkutuk di sisi Allah. Dan jikalau ia ikhlas karena
Allah, niscaya Allah membuka kepada manusia keikhlasannya. Dan Allah
mencurahkan kecintaan manusia kepadanya, menjadikan mereka bagi kemanfaatannya.
Dan melancarkan lidah mereka dengan pujian dan sanjungan kepadanya. Sedang
sesungguhnya tiada kesempurnaan pada pujian mereka itu. Dan tiada kekurangan
pada caciannya. Sebagaimana kata seorang penyair dari Bani Tamim: “Sesungguhnya
pujianku itu hiasan dan cacianku itu memalukan”. Lalu Rasulullah saw bersabda
kepadanya: “Engkau bohong. Yang demikian itu Allah, yang tiada Tuhan, selain
Dia”. Karena tiada hiasan, selain pada pujianNya dan tiada yang memalukan,
selain pada celaanNya. Maka manakah yang lebih baik bagi engkau, pada pujian
manusia dan engkau pada sisi Allah itu tercela dan dari isi neraka? Dan manakah
kejahatan bagi engkau dari celaan manusia dan engkau pada sisi Allah itu
terpuji, dalam rombongan orang-orang yang dekat dengan Allah? Maka barangsiapa
yang menghadirkan dalam hatinya akan akhirat dan nikmatnya yang abadi dan
kedudukan tinggi pada sisi Allah, niscaya ia memandang hina apa yang menyangkut
dengan makhluk pada hari-hari hidup ini, serta apa yang didalamnya dari segala
kekotoran dan kesempitan. Cita-citanya berkumpul dan menjurus kepada Allah
hatinya. Dan terlepas dari kehinaan ria dan kekesatan hati makhluk. Dan
terlipatlah cahaya dari keikhlasannya kepada hatinya, yang lapanglah dadanya
dengan cahaya itu. Dan terbuka dengan cahaya tadi baginya, dari kehalusan
diminta untuk mengetahuinya saja (tersingkap alam ghaib), apa yang menambahkan
kejinakan hatinya dengan Allah dan keliaran hatinya dari makhluk. Kehinaan
pandangannya kepada dunia dan keagungan pandangannya kepada akhirat. Dan
gugurlah (hilanglah) tempat makhluk dari hatinya. Dan terlepas daripadanya
panggilan ria. Dan mudahlah baginya jalan ke-ikhlasan-an. Maka pahamlah ini!
Dan apa yang telah kami dahulukan itu pada bahagian pertama, ialah obat-obat
ilmiyah yag mencabut segala tanaman ria. Adapun obat amaliyah, maka yaitu:
membiasakan diri menyembunyikan ibadah dan menguncikan pintu pada ibadah,
sebagaimana menguncikan pintu pada perbuatan keji. Sehingga puas hatinya dengan
diketahui oleh Allah dan dilihatNya kepada ibadahnya. Dan nafsunya tidak
berebutan kepada mencari diketahui oleh selain Allah. Diriwayatkan, bahwa
sebahagian sahabat Abi Hafazh Al-Hadad, mencela dunia dan penduduknya. Ia
mengatakan: “Engkau lahirkan, apa yang ada jalan engkau untuk
menyembunyikannya. Engkau jangan duduk-duduk lagi dengan kami sesudah ini!”. Ia
tidak memberi kesempatan pada melahirkan sekedar itu. Karena dalam kandungan
mencela dunia itu, mengajak zuhud pada dunia. Maka tiada obat bagi ria, seperti
menyembunyikan itu. Dan yang demikian, sukar pada permulaan kesungguhan. Dan
apabila sabar pada yang demikian, sekejap waktu dengan perasaan berat, niscaya
hilanglah daripadanya beratnya. Dan mudahlah kepadanya yang demikian, dengan
sambung-menyambung bantuan Allah dan apa yang dibantuNya, kepada hambaNya, dari
kebagusan taufiq, perbantuan dan penunjukkan jalan kebenaran. Akan tetapi,
Allah tiada merobah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merobah keadaan pada
diri mereka itu sendiri. Maka dari hamba itu kesungguhan. Dan dari Allah itu
hidayah. Dari hamba itu ketukan pintu. Dan dari Allah itu pembukaan pintu. Dan
Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan jikalau
ada baik, niscaya dilipat-gandakan oleh Allah kebaikan itu. Dan didatangkanNya
dari pihakNya pahala yang besar.
Tingkat kedua:
pada penolakan yang datang dari ria, pada waktu sedang ibadah. Yang demikian
itu tidak boleh tidak daripada mempelajarinya juga. Maka sesungguhnya orang
yang berkesungguhan melawan hawa nafsunya, mencabut tanaman-tanaman ria dari
hatinya dengan qana’ah/merasa cukup, memutuskan kelobaan, menjatuhkan dirinya
dari pandangan orang banyak, menghinakan pujian orang banyak dan celaannya,
maka setan tidak akan meninggalkannya pada waktu sedang ibadah. Akan tetapi,
ditantangnya dengan gurisan-gurisan ria. Dan tiada putus-putusnya tikamannya. Hawa
nafsu dan kecenderungannya tiada akan terhapus dengan cara keseluruhan. Maka
tak dapat tidak, berjalan terus menolak apa yang datang dari gurisan ria itu.
Gurisan ria itu 3. Kadang-kadang terguris sekaligus, seperti satu gurisan. Dan
kadang-kadang berturut-turut dengan berangsur-angsur.
1.
Maka yang pertama ialah: tahu dengan dilihat makhluk dan
mengharap dilihatnya.
2.
Kemudian, diiringi oleh mengelegaknya keinginan dari diri
pada pujian mereka dan berhasil kedudukan pada mereka.
3.
Kemudian, diiringi oleh menggelegaknya keinginan pada
penerimaan orang banyak bagi dirinya, kecenderungan kepadanya dan terikatnya
hati kepada pentahkikannya.
Maka yang pertama itu:
ma’rifah(mengenal/tahu/mengerti) namanya. Yang kedua itu: keadaan yang
dinamakan: nafsu syahwat dan keinginan. Dan yang ketiga: perbuatan yang
dinamakan: ‘azam dan memantapkan pelaksanaan. Sesungguhnya sempurnanya
kekuatan, ialah: pada penolakan gurisan pertama dan mengembalikannya, sebelum
diiringi oleh yang kedua. Maka apabila terguris baginya ma’rifah (tahu) dilihat
makhluk atau mengharap dilihat mereka, niscaya ia ditolak yang demikian, dengan
mengatakan: “Apalah bagi makhluk itu! Mereka tahu atau tidak tahu. Dan Allah
Maha Tahu dengan halmu. Maka apakah faedahnya, pada diketahui oleh yang lain dari
Allah?”. Jikalau menggelegaklah keinginan kepada lezatnya pujian, niscaya ia
ingat, apa yang telah mantap dalam hatinya, sebelumnya bahaya ria dan datangnya
kutukan pada sisi Allah di hari kiamat. Dan kekecewaannya pada waktu-waktunya
yang sangat diperlukan kepada amal-amalnya. Maka sebagaimana mengetahui dilihat
manusia itu mengobarkan nafsu dan keinginan pada ria, maka mengetahui bahaya
ria itu, mengobarkan kebenciannya, yang akan berhadapan dengan nafsu keinginan
itu. Karena ia berfikir pada datangnya kutukan Allah dan siksaanNya yang pedih.
Dan nafsu keinginan itu, mengajaknya kepada menerima. Dan kebencian itu
mengajaknya kepada menolak. Dan nafsu itu sudah pasti akan menuruti yang
terkuat dan yang terbanyak dari yang dua itu. Jadi, tidak boleh tidak pada
penolakan ria, dari 3 perkara: mengetahui (ma’rifah), benci (kirahah) dan
menolak menerimanya (i-ba’). Kadang-kadang hamba itu masuk dalam ibadah dengan
azam ikhlas. Kemudian, datang gurisan ria, lalu diterimanya. Dan tidak hadir
(datang) padanya ma’rifah(mengenal/tahu/mengerti) dan kirahah (benci), dimana
hati terlipat (terlambat) kepadanya. Sebabnya yang demikian itu sesungguhnya,
ialah: penuhnya hati dengan ketakutan kepada celaan, kesukaan kepada pujian dan
dikuasai oleh kelobaan kepadanya, dimana tiada tinggal dalam hati, tempat yang
lapang bagi yang lain. Lalu jauhlah dari hati, ma’rifah (tahu) yang dahulu,
dengan bahaya-bahaya ria dan buruk akibatnya. Karena tiada tinggal tempat dalam
hati, yang terlepas dari keinginan (kerinduan) pujian atau takut celaan. Dia
itu seperti orang yang mengatakan dirinya sopan santun dan mencela marah. Dan
ia berazam diatas kesopan-santunan, ketika berlaku sebab marah. Kemudian, ia
berlaku dari sebab-sebab itu, apa yang membawa kepada kesangatan amarahnya.
Maka ia lupa akan kedahuluan azamnya. Dan penuhlah hatinya dengan kemarahan,
yang mencegah daripada teringatnya bahaya marah. Dan sibuklah hatinya tidak
dengan ingatan itu. Maka begitu pula manisnya nafsu syahwat yang memenuhi hati.
Dan menolak nur-ma’rifah, seperti pahitnya marah. Dan kepada maksud itulah,
Jabir bin Abdullah Al-Anshari mengisyaratkan dengan katanya: “Kami mengadakan
bai’ah (sumpah setia) di bawah pohon (tahtasy-syajarah), bahwa kami tidak lari.
Dan kami tidak melakukan sumpah setia tersebut untuk sehidup-semati. Lalu kami
lupa sumpah setia itu pada hari Hunain. Sehingga diserukan: “Hai teman-teman
yang bersumpah setia dibawah pohon!”. Lalu mereka itu kembali”. Yang demikian
itu, karena hati telah penuh dengan takut. Lalu lupa kepada janji yang lalu, sehingga
mereka itu diperingati. Dan kebanyakan nafsu syahwat yang menyerang secara
tiba-tiba itu, adalah demikian adanya. Karena dilupakan ma’rifah melaratnya
yang masuk dalam ikatan iman. Dan manakala lupa kepada ma’rifah, niscaya tiada
lahir kirahah (benci). Karena benci itu buah ma’rifah/tahu. Kadang-kadang
manusia itu teringat. Lalu ia tahu bahwa gurisan yang terguris baginya, ialah:
gurisan ria yang mendatangkan kemarahan Allah. Akan tetapi, ia terus menerus
padanya, karena kesangatan nafsu syahwatnya. Lalu hawa nafsunya mengalahkan
akal pikirannya. Dan ia tidak sanggup meninggalkan kelezatan yang sekarang.
Lalu ia bersikap nanti saja tobat. Atau ia menyibukkan dirinya, tidak
bertafakkur pada yang demikian, karena kesangatan nafsu syahwat. Maka berapa banyak
orang yang berilmu, yang didatangi perkataan, bahwa tidak mengajak kepada
memperbuatnya, selain oleh ria (memperlihatkan) kepada makhluk. Ia tahu yang
demikian. Akan tetapi, ia terus-menerus pada yang demikian. Maka alasan yang
merugikan dirinya adalah lebih kuat. Karena ia menerima panggilan ria, serta
diketahuinya tipu daya ria. Dan ria itu terkutuk pada sisi Allah. Dan tiada
bermanfaat ma’rifatnya, apabila ma’rifah(tahu/mengerti) itu terlepas, tanpa
terlepasnya kirahah (kebencian). Kadang-kadang datang ma’rifah(tahu/mengerti)
dan benci itu. Akan tetapi bersamaan dengan demikian, ia menerima pemanggil ria
dan berbuat menurut ria itu. Karena bencinya lemah, dibandingkan kepada kuatnya
nafsu syahwat. Ini juga, ia tidak mengambil manfaat dengan bencinya. Karena
maksud dari benci itu, bahwa ia memalingkan diri dari perbuatan. Jadi, tidak
ada faedahnya, selain pada berkumpulnya 3 perkara: tahu, benci dan i-ba’
(enggan berbuat). I-ba’ itu buah benci. Dan benci itu buah
ma’rifah(tahu/mengerti). Kuatnya ma’rifah(tahu/mengerti), ialah menurut kuatnya
iman dan nur ilmu. Dan lemahnya ma’rifah, ialah menurut kelalaian, kecintaan
kepada dunia, lupa kepada akhirat, sedikit bertafakkur pada apa yang di sisi
Allah dan sedikit memperhatikan pada bahaya-bahaya hidup dunia dan keagungan
nikmat akhirat. Dan sebahagian daripadanya menghasilkan sebahagian yang lain
dan membuahkannya. Dan pokoknya yang demikian itu semua, ialah: kecintaan
kepada dunia dan kekerasan nafsu syahwat. Maka itulah kepala tiap-tiap
kesalahan dan mata air setiap dosa. Karena manisnya kecintaan kepada kemegahan,
kedudukan dan nikmat duniawi itulah yang memarahkan hati, yang merebutkan hati
dan yang menghalangi hati daripada merenungkan akibat dan mengambil cahaya
dengan nur Al-Kitab, As-Sunnah dan nur ilmu pengetahuan. Kalau anda bertanya,
mengenai orang yang kebetulan mendapat dari dirinya benci (kirahah) kepada ria
dan benci itu membawanya kepada i-ba’, akan tetapi bersama dengan demikian, ia
tidak terlepas dari kecenderungan tabiatnya kepada ria, sukanya kepada ria dan
tertariknya kepada ria, hanya ia benci untuk menyukai ria, kecenderungannya
kepada ria dan ia tiada menjadikan ria itu kecintaannya, maka adakah orang itu
berada dalam rombongan orang-orang yang berbuat ria? Ketahuilah kiranya, bahwa
Allah tidak memberatkan hamba-hambaNya, selain yang disanggupinya. Dan tidaklah
dalam kesanggupan hamba itu, melarang setan daripada tikaman-tikamannya. Dan
tidak pula sanggup mencegah tabiat (karakter), sehingga ia tidak cenderung
kepada nafsu syahwat dan tidak ingin kepadanya. Sesungguhnya tujuannya, ialah:
bahwa ia pertentangkan nafsu syahwat itu dengan kebencian berkobarnya, dari
karena mengetahui akibat-akibatnya dan karena ilmu agama dan pokok-pokok iman
dengan Allah dan hari akhirat. Apabila ia telah berbuat demikian, maka itulah
tujuan pada melaksanakan apa yang diberatkan kepadanya. Dalilnya kepada yang
demikian itu, dari hadits, ialah: dirawikan, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah
saw: “Mengadu kepadanya dan mengatakan: Didatangkan segala sesuatu bagi hati
kami, dimana sekiranya kami jatuh dari langit, lalu kami disambar oleh burung
atau kami dibawa angin pada tempat yang dalam itu, lebih suka kami daripada
kami berbicara dengan hati itu”. Lalu Nabi saw menjawab: “Apakah kamu telah
memperolehnya?! Mereka menjawab: “Ya, sudah!”. Maka Nabi saw bersabda: “Itu
adalah ketegasan iman”. Tiada mereka dapati, selain waswas (bisikan setan) dan
benci kepada ria. Dan tidak mungkin dikatakan, bahwa Nabi saw bermaksud dengan:
ketegasan iman itu waswas. Lalu tiada tinggal lagi, selain membawa iman itu
kepada kebencian (kirahah) yang mengikuti bagi waswas. Dan ria itu, walaupun
dia itu besar, maka adalah kurang daripada waswas, terhadap hak Allah Ta’ala.
Apabila tertolak kemelaratan bagi yang lebih besar dengan benci, maka dengan
tertolaknya kemelaratan bagi yang lebih kecil, adalah lebih utama lagi. Dan
seperti demikian juga dirawikan dari Nabi saw pada hadits Ibnu Abbas, bahwa
Nabi saw bersabda: “Segala pujian bagi Allah yang menolak tipu daya setan
kepada waswas”. Ibnu Hazim berkata: “Apa yang ada dari diri engkau dan
dibencikan oleh diri engkau bagi diri engkau, maka tidak memelaratkan engkau,
oleh apa yang dari musuh engkau. Dan apa yang ada dari diri engkau, lalu
disenangi oleh diri engkau bagi diri engkau, maka celalah diri engkau di atas
yang demikian!”. Jadi, bisikan setan dan tertariknya nafsu itu, tidak akan
mendatangkan melarat bagi engkau, manakala engkau tolak kehendaknya setan dan
nafsu itu, dengan i-ba’ dan benci. Dan segala gurisan di dalam hati, dimana dia
itu ilmu, ingatan-ingatan dan khayalan-khayalan bagi sebab-sebab yang
menggerakkan ria, adalah dari setan. Keinginan dan kecenderungan sesudah
gurisan-gurisan tadi, adalah dari nafsu. Dan benci itu dari iman dan dari
bekas-bekas akal pikiran. Hanya setan disini mempunyai tipu-daya. Yaitu,
apabila setan tadi lemah dari membawa orang tersebut kepada menerima ria,
niscaya dikhayalkannya kepada orang tadi, bahwa baik hatinya itu pada kesibukan
bertengkar, dengan setan dan berkepanjangan pada tolakan dan pertengkaran.
Sehingga ia dicabut oleh pahala ikhlas dan kehadiran hati. Karena kesibukan
bertengkar dengan setan dan menolaknya itu, meninggalkan rahasia munajah
bersama Allah. Maka yang demikian itu mengharuskan kekurangan pada kedudukannya
di sisi Allah. Orang-orang yang melepaskan diri dari ria, pada penolakan segala
gurisan ria itu, diatas 4 tingkat:
Pertama: bahwa ia
kembalikan ria itu kepada setan. Lalu didustakannya setan itu dan ia tidak
merasa cukup kepada setan. Akan tetapi, ia menyibukkan diri bertengkar dengan
setan dan memanjangkan waktu pertengkaran dengan setan itu. Karena sangkaannya,
bahwa yang demikianlah yang lebih menyelamatkan hatinya. Itu sebenarnya adalah
kekurangan. Karena ia menyibukkan diri, yang menjauhkannya dari munajah kepada
Allah dan dari kebajikan yang menjadi tujuannya. Ia berpaling kepada memerangi
perampok-perampok jalanan. Dan berpegang kepada kegiatan memerangi
perampok-perampok jalanan itu, adalah kekurangan pada tingkah laku.
Kedua: ia
mengetahui, bahwa pertengkaran dan peperangan itu kekurangan pada tingkah laku.
Maka ia menyingkatkan kepada mendustakan dan menolaknya. Dan ia tidak
menyibukkan diri dengan pertengkaran melawannya.
Ketiga: bahwa ia
tidak pula menyibukkan dirinya dengan mendustakannya. Karena yang demikian itu
suatu kehentian pada tingkah laku, walaupun sedikit. Tetapi ia telah menetapkan
pada lipatan hatinya, kebencian kepada ria dan kedustaan kepada setan. Lalu ia
terus menerus atas apa yang telah ada padanya, yang disertai dengan benci,
tiada menyibukkan diri dengan pendustaan dan permusuhan.
Keempat:
sesungguhnya ia tahu, bahwa setan itu akan menghasutnya ketika berlaku
sebab-sebab ria. Maka ia berazam, bahwa manakala setan itu melakukan tikaman,
niscaya ia menambahkan keikhlasan pada apa yang ada padanya dan kesibukan
mengingati Allah, menyembunyikan sedekah dan ibadah, karena memarahkan setan.
Dan yang demikian itu, memarahkan setan, mencegahnya dan mengharuskan putus asa
dan hilang harapannya. Sehingga setan itu tidak kembali lagi. Diriwayatkan dari
Al-Fudhail bin Ghazwan (wafat Th.40 H), bahwa dikatakan kepadanya: “Bahwa si
Anu itu menyebut (memaki) engkau”. Lalu Al-Fudlail bin Ghazwan menjawab: “Demi
Allah! sesungguhnya aku marah kepada yang menyuruhnya”. Maka ia ditanyakan:
“Siapakah yang menyuruhnya?”. Al-Fudlail menjawab: “Setan! Wahai Allah Tuhanku!
Ampunilah orang yang disuruh setan itu! Artinya: Sesungguhnya aku marah kepada
setan, dengan aku mentaati Allah pada yang demikian”. Manakala setan itu tahu
dari seorang hamba Allah akan kebiasaan ini, niscaya setan itu mencegah dirinya
dari orang tersebut. Karena takut orang itu, bertambah kebaikannya. Ibrahim
At-Taimi berkata: “Setan itu sesungguhnya mengajak hamba Allah kepada pintu
dosa. Maka janganlah hamba itu menurutinya!. Dan hendaklah ia memperkatakan
kebajikan, ketika yang demikian itu!. Maka apabila setan tersebut melihat hamba
itu seperti demikian, niscaya ditinggalkannya”. Ibrahim At-Taimi berkata pula:
“Apabila setan melihat engkau dalam keadaan ragu-ragu, niscaya ia berusaha
dengan penuh harapan pada engkau. Dan apabila ia melihat engkau demikian,
niscaya ia jemu kepada engkau dan ia memarahkan engkau (ia berbuat supaya
engkau marah)”. Al-Harts Al-Muhasibi ra membuat contoh bagi 4 itu, yang baik
sekali. Beliau berkata: “Contoh mereka itu, adalah seperti 4 orang yang menuju
ke suatu majelis ilmu dan hadits. Supaya mereka memperoleh faedah, keutamaan,
hidayah dan petunjuk. Lalu mereka dihasut atas yang demikian, oleh seorang
sesat pembuat bid’ah (yang diada-adakan). Orang itu takut mereka yang ber-4
tadi, mengetahui kebenaran. Lalu ia datang kepada salah seorang dari mereka.
Maka dilarangnya orang itu dan dialihkan nya dari yang demikian. Diajaknya
kepada majelis kesesatan. Akan tetapi orang itu tidak mau (i-ba’). Tatkala ia
tahu i-ba’nya orang itu, lalu disibukkannya dengan pertengkaran (perdebatan
(perdebatan (mujadalah) ) ). Maka sibuklah orang itu serta orang sesat pembuat
bid’ah (yang diada-adakan) tadi, untuk dikembalikannya kesesatannya. Orang itu
menyangka, bahwa yang demikian itu suatu kemuslihatan baginya. Itulah maksud
orang yang sesat itu, supaya hilang faedah majelis ilmu tadi bagi orang itu,
sekedar terlambatnya hadir di majelis itu. Tatkala pergi orang kedua kepada
majelis, maka dilarangnya dan dimintanya berhenti. Lalu orang itu berhenti.
Maka ditolaknya pada leher si sesat tadi. Dan ia tidak meneruskan perang
tanding itu. Dan ia bersegera pergi ke majelis ilmu dan hadits tersebut. Dan si
sesat tadi merasa gembira dengan demikian, sekedar berhentinya orang itu, untuk
menolaknya. Dan datang orang ke-3. Maka orang ini tiada menoleh kepada si sesat
tadi. Dan tiada berbuat apa-apa untuk menolak dan memeranginya. Akan tetapi ia
meneruskan menurut maksudnya. Maka kecewalah harapan si sesat itu secara
keseluruhan. Maka datang orang ke-4, lalu si sesat itu tiada meminta, supaya ia
berhenti. Dan ia bermaksud mendatangkan kemarahan kepada orang ke-4 tadi. Lalu
orang itu menambahkan kecepatannya berjalan. Dan tidak berjalan pelan-pelan. Si
sesat itu mengharap, jikalau orang 4 tersebut kembali dan melewatinya pada lain
kali, akan diulanginya kepada mereka sekalian, selain orang yang terakhir itu.
Ia tiada akan mengulanginya, karena takut bertambahnya faedah datangnya di
majelis ilmu, disebabkan kecepatan berjalannya. Kalau anda bertanya, bahwa
apabila tidak dirasakan aman dari tikaman setan itu, maka adakah wajib
mengintainya, sebelum datangnya, untuk menjaga diri daripadanya, karena
menunggu kedatangannya? Atau wajibkah bertawakkal (menyerah diri) kepada Allah,
supaya kiranya Allah yang menolaknya? Atau wajibkah menyibukkan diri dengan ibadah
dan melupakan setan itu? Kami menjawab, bahwa manusia berselisih pendapat dalam
hal ini, kepada 3 pendapat. Segolongan dari ulama negeri Basarah (nama sebuah
kota di Irak), berpendapat, bahwa orang-orang yang kuat imannya, tidak
memerlukan menjaga diri dari setan. Karena mereka telah menyendiri kepada Allah
dan menyibukkan diri mencintaiNya. Maka setan akan meninggalkan mereka,
berputus asa dan mundur dari mereka, sebagaimana setan itu merasa tidak perlu,
dari hamba-hamba yang lemah, pada mengajak kepada khamar dan zina. Maka jadilah
kelezatan dunia itu pada mereka, walaupun mubah, dipandangnya seperti khamar
dan babi. Maka mereka pergi secara keseluruhan daripada mencintai kelezatan
dunia. Lalu tiada tinggal lagi jalan bagi setan kepada mereka. Maka tiada perlu
bagi mereka menjaga diri. Segolongan dari ulama negeri Syam (Syiria)
berpendapat, bahwa mengintip untuk menjaga diri dari setan, sesungguhnya
diperlukan oleh orang yang sedikit yakinnya dan kurang tawakkalnya. Maka siapa
yang yakin, bahwa tiada sekutu bagi Allah pada pengaturanNya, maka tiada perlu
ia menjaga diri dari yang lain. Dan ia tahu, bahwa setan itu hina, makhluk yang
tiada mempunyai urusan. Dan tidak akan ada, selain apa yang dikehendaki oleh
Allah. Hanya Allah yang memberi melarat dan manfaat. Orang yang arif akan malu
kepada Allah, bahwa menjaga diri dari yang lain dari Allah. Maka yakin dengan
keesaan Allah itu, tidak memerlukannya kepada penjagaan diri. Dan segolongan
ahli ilmu mengatakan, bahwa tak boleh tidak daripada menjaga diri dari setan.
Dan apa yang disebutkan oleh orang-orang Basarah, bahwa orang-orang yang kuat
iman, tidak memerlukan kepada menjaga diri dan hati mereka secara keseluruhan,
kosong dari kecintaan kepada dunia, maka itu adalah jalan setan, yang hampir
menjadi suatu penipuan. Karena nabi-nabi as tidak juga mereka terlepas dari
bisikan dan tikaman setan. Maka bagaimana dapat terlepas orang lain dari
mereka? Dan tidaklah bisikan setan itu terdiri dari nafsu syahwat dan kecintaan
dunia. Akan tetapi juga mengenai sifat-sifat Allah Ta’ala dan nama-namaNya,
pada membaguskan perbuatan bid’ah (yang diada-adakan) dan kesesatan serta yang
lain dari itu. Dan tiada seorangpun yang lepas daripada bahaya tersebut. Karena
itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Dan tiadalah Kami mengutus Rasul dan Nabi
sebelum engkau, melainkan apabila dia bercita-cita, lantas setan membisikkan ke
dalam meragukan cita-citanya. Tetapi Allah menghapuskan apa yang dibisikkan
setan itu. Kemudian, Allah menguatkan keterangan-keteranganNya”. S 22 Al Hajj
ayat 52. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya mau ditipu hatiku”. Sedang setan yang
bersama Nabi saw itu, telah memeluk agama Islam. Dan ia tidak menyuruh Nabi
saw, selain yang baik”. Maka siapa yang menyangka, bahwa kesibukannya mencintai
Allah itu, lebih banyak dari kesibukan Rasulullah saw dan nabi-nabi yang lain
as, maka orang itu tertipu. Dan yang demikian itu tidak mendatangkan keamanan
bagi mereka, dari tipu daya setan. Dan karena itulah, Adam dan Hawa’ tidak
selamat dari tipuan setan dalam sorga, dimana sorga itu negeri aman dan
gembira, sesudah Allah Ta’ala berfirman kepada keduanya: “Lalu Kami berkata:
“Hai Adam! Sesungguhnya iblis ini adalah musuh engkau dan musuh isteri engkau.
Sebab itu janganlah dibiarkan dia sampai mengeluarkan engkau dari sorga ini, nanti
engkau menjadi celaka. Sesungguhnya di sana, engkau tiada akan merasa lapar dan
tiada pula bertelanjang. Dan sesungguhnya di sana, engkau tiada akan merasa
dahaga dan tiada merasakan panas matahari”. S 20 Thaahaa ayat 117-118-119.
Sedang Nabi Adam as itu tiada dilarang, selain dari satu pohon saja. Dan selain
dari itu, ia dibebaskan menurut kehendaknya. Maka apabila salah seorang dari
nabi-nabi tidak aman dari godaan setan, sedang ia berada dalam sorga, negeri
aman dan bahagia, maka bagaimana boleh bagi orang lain, merasa aman dalam
negeri dunia ini?. Padahal dunia itu adalah sumbernya cobaan, fitnah, tambang
kelezatan dan nafsu syahwat yang dilarang. Nabi Musa as berkata, tentang apa
yang dikabarkan oleh Allah Ta’ala: “Ini adalah dari perbuatan setan”. S 28 Al Qashash ayat 15. Dan karena itulah
Allah Ta’ala memperingatkan semua makhluk daripada tipuan setan. Allah Ta’ala
berfirman; “Hai anak-anak Adam! Janganlah kamu dapat dibujuk oleh setan,
sebagaimana dia telah dapat mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari sorga”. S 7 Al
A’raaf ayat 27. Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar
berfirman: “Sesungguhnya setan itu, dia dan kaumnya dapat melihatmu, dari
tempat yang kamu tak dapat melihat mereka”. S 7 Al A’raaf ayat 27. Alquran dari
permulaannya sampai kepada penghabisan nya, memperingatkan dari hal setan itu.
Maka bagaimana didakwakan aman dari setan?. Mengambil perhatian darimana yang
diperintahkan oleh Allah itu, tidak meniadakan kesibukan hati dengan mencintai
Allah. Sesungguhnya termasuk dari mencintai Allah itu mematuhi perintahNya. Ia
memerintahkan berhati-hati dari musuh, sebagaimana Ia memerintahkan
berhati-hati dari orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman: “Hendaklah mereka
mempersiapkan penjagaan dan senjatanya”. S 4 An Nisa’ ayat 102. Allah Ta’ala
berfirman: “Dan siapkanlah kekuatan untuk menghadapi mereka sekuat kesanggupan
kamu, dengan pasukan kuda yang terpaut di perbatasan negeri”. S 8 Al Anfaal
ayat 60. Jadi, haruslah bagimu dengan perintah Allah, menjaga diri dari musuh
kafir dan engkau melihatnya. Maka untuk harusnya engkau menjaga diri dari musuh
yang melihat engkau dan engkau tiada melihatnya, adalah lebih utama. Dan karena
itulah, Abdullah bin Muhairiz (wafat Th. 99 H) berkata: “Binatang buruan yang
engkau lihat dan dia tidak melihat engkau, mendekatilah untuk engkau dapat
memperolehnya. Dan binatang buruan yang melihat engkau dan engkau tidak
melihatnya, mendekatilah untuk dia, bahwa ia memperoleh engkau”. Beliau
isyaratkan dengan perkataan tadi kepada setan. Maka bagaimana, bukankah pada
kelalaian dari permusuhan dengan kafir, selain mati terbunuh dan itu adalah
syahid? Dan pada kelengahan penjagaan dari setan itu mendatangkan ke neraka dan
siksaan pedih? Maka tidaklah dari kesibukan dengan mencintai Allah itu,
berpaling dari yang diperingatkan oleh Allah. Dan dengan ini, batil/salahlah
aliran golongan kedua, pada sangkaan mereka, bahwa yang demikian itu celaan
pada tawakal. Sesungguhnya mengambil perisai, senjata, mengumpulkan tentara dan
menggali parit pertahanan (khandaq), tidaklah membawa celaan pada tawakkalnya
Rasulullah saw. Maka bagaimana dicela pada tawakkal, oleh ketakutan dari apa
yang dipertakutkan oleh Allah Ta’ala dan penjagaan diri, dari apa yang
diperintahkan oleh Allah, untuk menjaga diri daripadanya. Dan telah kami
sebutkan pada Kitab Tawakkal, apa yang menerangkan kesalahan orang yang
mendakwakan, bahwa arti tawakkal, ialah: mencabut diri dari segala sebab secara
keseluruhan. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan siapkanlah kekuatan untuk menghadapi
mereka sekuat kesanggupan kamu, dengan pasukan kuda yang terpaut di perbatasan
negeri”, yang tersebut di atas tadi (S Al Anfaal ayat 60), tiada bertentangan
dengan mematuhi tawakkal, manakala hati berkeyakinan (beri’tikad), bahwa yang
mendatangkan melarat dan manfaat, yang menghidupkan dan yang mematikan itu
adalah: Allah Ta’ala. Maka demikian juga, menjaga diri dari setan. Dan ia
beri’tikad, bahwa yang memberi petunjuk (hidayah) dan yang menyesatkan, adalah:
Allah Ta’ala jua. Dan ia melihat sebab-sebab itu adalah perantaraan yang
dijadikan oleh Allah, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu pada “Tawakkal”.
Inilah apa yang menjadi pilihan dari Al-Harts Al-Muhasibi ra. Dan itulah yang
benar, yang disaksikan oleh cahaya (sinar) ilmu. Dan apa yang sebelumnya,
adalah menyerupai dengan apa yang ada dari perkataan orang-orang abid, yang
tidak banyak ilmunya. Dan mereka menyangka, bahwa yang menyerbu kepada mereka
dari bermacam keadaan, pada sebahagian waktu, adalah dari tenggelamnya dengan
mencintai Allah, yang berkekalan terus-menerus. Dan itu adalah jauh dari
kebenaran. Kemudian, golongan ini berselisih pendapat kepada 3 pendapat,
tentang caranya menjaga diri: Suatu golongan mengatakan, bahwa apabila diri
kita dijaga oleh Allah Ta’ala dari musuh, maka tiada seyogyalah ada sesuatu
yang lebih banyak pada hati kita, dari mengingati Allah, menjaga diri dari
musuh dan mengintainya. Sesungguhnya kita, jikalau lalai daripadanya sekejap
mata saja, maka mendekatilah bahwa ia membinasakan kita. Suatu golongan
mengatakan, bahwa yang demikian itu membawa kepada sunyinya hati daripada
mengingati Allah (dzikrullah). Dan sibuknya cita-cita seluruhnya dengan setan.
Dan yang demikian itu, kehendak setan dari kita. Akan tetapi, kita sibuk dengan
ibadah dan dengan mengingati Allah Ta’ala. Dan kita tidak melupakan setan,
permusuhannya dan keperluan menjaga diri daripadanya. Maka kita mengumpulkan
diantara dua hal. Maka sesungguhnya jikalau kita lupa, kadang-kadang ia datang
dari segi yang tiada kita sangka. Dan jikalau kita mengingatinya semata-mata, maka
kita sudah menyia-nyiakan mengingati Allah. Maka mengumpulkan yang demikian itu
lebih utama. Para ulama muhaqqiq (ulama yang ahli memberi dalil dengan
tahqiqnya) berkata: kedua golongan tadi itu salah. Adapun yang pertama, maka ia semata-mata
mengingati setan dan lupa mengingati Allah. Maka tiada tersembunyi salahnya.
Dan sesungguhnya kita disuruh menjaga diri dari setan, supaya setan itu tidak
mencegah kita daripada mengingati Allah. Maka bagaimanakah kita jadikan
mengingati setan itu, hal yang paling banyak atas hati kita? Dan itu adalah
kesudahan melarat dari musuh. Kemudian, yang demikian itu membawa kepada
sunyinya hati dari nur dzikrullah Ta’ala. Maka apabila setan bermaksud seperti
hati ini dan tiada padanya nur dzikrullah Ta’ala dan kekuatan kesungguhan
kepadanya, maka mendekatilah untuk setan mendapatinya (menyenanginya). Dan ia
tiada akan kuat menolaknya. Maka tiadalah kita disuruh menunggu setan dan tidak
pula selalu mengingatinya (menyebutnya). Adapun golongan kedua, maka ia telah
bersekutu dengan golongan pertama. Karena ia mengumpulkan dalam hati, antara
dzikrullah (mengingati Allah) dan mengingati setan. Dan sekedar apa yang
menyibukkan hati dengan mengingati setan itu, mengurangkan dari mengingati
Allah. Dan Allah menyuruh makhlukNya dengan mengingatiNya dan melupakan
lainNya. Yaitu: iblis dan lainnya. Maka yang benar, ialah: bahwa hamba Allah
itu mengharuskan hatinya menjaga diri dari setan. Dan menetapkan atas dirinya,
bermusuhan dengan setan. Maka apabila ia beri’tikad yang demikian, membenarkan
dan menetapkan penjagaannya pada yang demikian, lalu ia menyibukkan diri dengan
dzikrullah dan ia bertelungkup kepadanya dengan semua kemauan dan tiada
terguris hatinya urusan setan, maka sesungguhnya apabila ia berbuat dengan
demikian, sesudah mengetahui permusuhannya, kemudian terguris setan baginya,
niscaya ia terbangun dengan sadar untuk itu. Dan ketika menyadarinya, maka ia
sibuk menolaknya. Dan sibuk dengan mengingati Allah itu, tiada mencegah
daripada terbangun ketika datang tikaman setan. Bahkan orang itu tidur, padahal
ia takut daripada hilangnya yang penting baginya ketika datang waktu subuh.
Maka ia mengharuskan dirinya, penjagaan. Dan ia tidur atas dasar ia akan bangun
pada waktu tersebut. Maka ia terbangun pada malam hari berkali-kali sebelum
waktunya. Karena ia telah memantapkan dalam hatinya dengan penjagaan, sedang
dia dengan tidur itu, lalai daripadanya. Maka sibuknya dengan mengingati Allah
itu, bagaimana dapat mencegah bangunnya? Hati yang seperti ini, ialah hati yang
kuat menolak musuh, apabila ada kesibukannya semata-mata mengingati Allah
Ta’ala, yang telah mematikan hawa nafsunya. Dan menghidupkan nur akal dan ilmu
padanya. Dan menghilangkan kegelapan nafsu keinginannya. Maka orang yang
bermata hati (ahlul bashirah), memberi rasa kepada hatinya akan permusuhan
dengan setan dan pengintaiannya. Dan mengharuskan hati itu berjaga diri.
Kemudian, mereka tiada menyibukkan diri dengan mengingati setan, akan tetapi
dengan mengingati Allah. Mereka menolak dengan dzikrullah itu, kejahatan setan.
Mereka memperoleh cahaya dengan cahaya dzikrullah, sehingga mereka dapat
menyingkirkan gurisan-gurisan musuh. Maka contohnya hati, adalah seperti sumur,
yang dimaksudkan membersihkannya dari air kotor. Supaya terpancarlah
daripadanya air yang bersih. Maka orang yang menyibukkan dirinya dengan
mengingati setan, sesungguhnya ia telah meninggalkan dalam sumur itu air kotor.
Dan orang yang mengumpulkan antara mengingati setan dan mengingati Allah,
sesungguhnya ia telah membuang air kotor dari satu pihak. Akan tetapi, ia
tinggalkan air kotor itu mengalir ke dalam sumur tadi, dari pihak yang lain.
Maka lamalah payahnya. Dan sumur itu tidak akan kering dari air kotor. Dan
orang yang bermata hati itu, ialah orang yang membuat tutup, pada tempat
mengalirnya air kotor itu. Dan dipenuhkannya dengan air bersih. Maka apabila
datang air kotor, niscaya ditolaknya dengan empangan dan tutup, tanpa berat,
belanja dan tambahan payah.
PENJELASAN:
keringanan pada maksud melahirkan taat.
Ketahuilah, bahwa pada merahasiakan amal
itu, ada faedah keikhlasan dan kelepasan dari ria. Dan pada melahirkannya, ada
faedah dituruti orang dan penggemaran manusia pada kebajikan. Akan tetapi,
padanya bahaya ria. Al-Hasan Al-Bashari
ra berkata: “Sesungguhnya, kaum muslimin itu mengetahui, bahwa
merahasiakan itu, paling memelihara dua amal. Akan tetapi pada melahirkan itu
ada juga faedahnya. Dan karena itulah, Allah Ta’ala memujikan di atas rahasia
(disembunyikan amal itu) dan di atas terang (dilahirkan amal itu kepada orang).
Allah Ta’ala berfirman: “Kalau kamu memberikan sedekah dengan terang, itu baik.
Dan kalau kamu sembunyikan memberikannya kepada orang-orang miskin, itu lebih
baik untukmu”. S 2 Al Baqarah ayat 271. Melahirkan itu ada dua bagian. Pertama
pada diri amal itu sendiri. Dan yang lain dengan memperkatakan, apa yang
diperbuat. Bahagian pertama tadi: melahirkan amal itu sendiri, seperti: memberi
sedekah di muka orang banyak, untuk menggemarkan manusia pada bersedekah.
Sebagaimana diriwayatkan dari Al-Anshari yang datang, dengan membawa satu
tempat uang yang penuh uangnya. Lalu
berkerumunlah manusia dengan pemberian itu, tatkala mereka melihatnya. Maka
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa membuat sunnah (tradisi) yang baik, lalu
dikerjakannya, niscaya baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya”.
Dan berlakulah amal-amal lainnya seperti ini. Seperti shalat, puasa, haji,
perang sabilullah dan lainnya. Akan tetapi, orang mengikuti pada memberikan
sedekah atas tabiat (karakter) itu, lebih banyak. Ya, bahwa orang yang
berperang itu, apabila bercita-cita keluar ke medan perang, maka ia bersiap dan
mengikatkan kendaraannya, sebelum orang banyak, untuk membangkitkan mereka
bergerak, maka yang demikian itu lebih utama baginya. Karena peperangan itu
pada pokoknya, termasuk amal terang, yang tidak mungkin merahasiakannya. Maka
bersegera kepada perang, tidaklah termasuk mereklamekan (mengiklankan). Akan
tetapi itu, semata-mata menggerakkan orang ramai untuk tampil. Begitu pula
orang, yang kadang-kadang meninggikan suaranya dalam shalat di malam hari,
untuk membangunkan tetangganya dan keluarganya. Lalu ia akan diikuti pada amal
tersebut. Maka setiap amal yang tidak mungkin dirahasiakan, seperti haji, jihad
fi sabilillah dan shalat Jum’at, maka yang lebih utama ialah menyegerakan pergi
kepadanya dan melahirkan kegemaran padanya, untuk membangkitkan orang lain,
dengan syarat bahwa tak ada padanya campuran ria. Adapun yang mungkin
merahasiaknnya, seperti: sedekah dan shalat, maka jikalau melahirkan sedekah
itu menyakitkan hati orang yang disedekahi dan menggemarkan manusia pada
bersedekah, maka merahasiakannya lebih utama. Karena menyakitkan orang itu
haram hukumnya. Maka jikalau tak ada padanya yang menyakitkan, sesungguhnya
berbeda pendapat orang tentang yang lebih utama. Suatu golongan mengatakan,
bahwa: merahasiakan lebih utama daripada melahirkan. Walaupun pada melahirkan
itu diikuti orang. Suatu golongan mengatakan, bahwa merahasiakan itu lebih
utama dari pada melahirkan, yang tak ada ikutan orang padanya. Adapun
melahirkan, karena ada yang mengikutinya, maka lebih utama daripada
merahasiakan. Menunjukkan kepada yang demikian, ialah, bahwa Allah ‘Azza wa
Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, menyuruh nabi-nabi melahirkan
amal untuk diikuti. Dan ia mengkhususkan mereka dengan pangkat kenabian. Dan
tidak boleh disangka, bahwa mereka mengharamkan yang lebih utama dari dua amal
itu. Dan menunjukkan kepada yang demikian, sabda Nabi saw, “Baginya pahalanya
dan pahala orang yang mengamalkannya”. Diriwayatkan pada hadits: “Bahwa amal
secara rahasia itu dilipat-gandakan atas amal yang terang dengan 70 ganda. Dan
dilipat-gandakan amal yang terang, apabila telah menjadi sunnah (tradisi) bagi
yang mengamalkannya, 70 ganda, atas amal yang dirahasiakannya”. Dan ini tiada
jalan untuk berselisih pendapat (khilaf). Sesungguhnya, manakala terlepas hati
dari campuran-campuran ria dan sempurna keikhlasan atas suatu pendapat pada dua
keadaan, maka apa yang diikuti itu –sudah pasti- lebih utama. Hanya yang
ditakuti, ialah: timbulnya ria. Dan
manakala ada campuran ria, niscaya tiada bermanfaat diikuti orang lain.
Dan ia binasa dengan yang demikian. Maka tiada khilaf, bahwa merahasiakan itu
lebih utama daripadanya. Akan tetapi, atas orang yang melahirkan amal itu, ada
dua hal:
Pertama, bahwa
dilahirkannya itu, dimana ia mengetahui, bahwa ia akan diikuti orang. Atau ia
menyangka yang demikian, sebagai suatu sangkaan saja. Dan banyak orang yang
diikuti oleh keluarganya. Tidak oleh tetangganya. Kadang-kadang ia diikuti oleh
tetangganya. Tidak oleh orang-orang pasar. Dan kadang-kadang diikuti oleh orang
yang di tempat tinggalnya. Sesungguhnya orang alim yang terkenal, ialah: yang
diikuti oleh manusia pada umumnya. Maka orang yang tidak alim, apabila
melahirkan sebahagian amal taat, kadang-kadang dikaitkan kepada ria dan nifaq.
Dan orang-orang mencacinya dan tidak mengikutinya. Maka tidaklah baginya
melahirkan, tanpa ada faedah. Dan sesungguhnya sah (boleh) dilahirkan, dengan
niat diikuti orang (qudwah), dari orang yang pada tempat ikutan, terhadap orang
yang di tempat ikutan itu.
Kedua, bahwa ia
mengintip hatinya. Karena kadang-kadang, ada padanya kesukaan ria yang
tersembunyi. Maka mengajaknya kepada melahirkan, dengan alasan diikuti orang.
Sesungguhnya keinginannya, ialah: memperlihatkan baik amalnya dan adanya amal
itu akan diikuti orang. Inilah keadaannya setiap orang yang melahirkan amalnya.
Kecuali orang-orang yang kuat imannya, lagi ikhlas. Dan sedikitlah mereka itu.
Maka tiada seyogyalah orang yang lemah menipu dirinya sendiri dengan yang
demikian. Maka ia binasa dan ia tidak merasakannya. Sesungguhnya orang yang
lemah itu, contohnya adalah seperti orang karam, yang pandai berenang, tidak
bertenaga (lemah). Lalu ia melihat segolongan orang-orang, yang karam
(tenggelam dalam air). Maka timbul belas kasihan terhadap mereka itu. Lalu ia
menuju kepada mereka. Sehingga mereka itu bergantungan padanya. Maka binasalah
mereka dan iapun binasa. Karam dengan air di dunia itu, kepedihan sesaat. Dan
semoga kebinasaan dengan ria itu, seperti itu. Tidak demikian. Akan tetapi, azabnya
berkekalan pada masa yang lama. Dan inilah tempat tergelincirnya tapak kaki
‘abid-‘abid dan para alim ulama. Sesungguhnya mereka itu menyerupakan dirinya
dengan orang-orang yang kuat imannya, pada melahirkan amal. Dan hati mereka
tidak kuat di atas keikhlasan. Maka binasalah pahala amal mereka dengan ria.
Pemahaman untuk yang demikian itu sulit. Dan tempatnya, ialah bahwa ia
mengemukakan kepada dirinya, bahwa jikalau dikatakan kepadanya: “Sembunyikan
amalmu, sehingga manusia mengikuti abid yang lain, dari teman-temanmu! Dan
adalah bagimu dalam merahasiakan itu seperti pahala memberitahukan”. Jikalau
cenderung hatinya, kepada adanya dia diikuti orang dan dia melahirkan amal itu,
maka penggeraknya itu: ria. Tidak mencari pahala, ikutan manusia kepadanya dan
kegemaran mereka pada kebajikan. Dan sesungguhnya mereka itu sudah gemar pada
kebajikan, dengan melihat kepada orang lain. Dan pahalanya telah sempurna
kepadanya serta merahasiakannya. Maka apalah hal hatinya yang cenderung kepada
melahirkan, jikalau tidak perhatiannya kepada mata makhluk dan
memperlihatkan (berbuat ria) bagi
mereka. Maka hendaklah hamba itu menjaga dirinya dari tipuan nafsu.
Sesungguhnya nafsu itu banyak tipuannya. Dan setan itu mengintip. Dan kesukaan
kepada kemegahan pada hati itu yang menang. Dan sedikitlah amalan zhahir itu,
yang selamat dari bahaya. Maka tiada seyogyalah, dipersamakan sesuatu dengan
keselamatan itu. Dan keselamatan adalah pada menyembunyikan. Dan pada
melahirkan itu, banyak bahaya, yang tidak kuat menentangnya, orang-orang
seperti kita. Maka menjaga daripada melahirkan itu, lebih utama bagi kita dan
bagi semua orang-orang yang lemah.
Bahagian kedua:
Bahwa ia memperkatakan apa yang dibuatnya sesudah selesai. Dan hukumnya, ialah:
hukum melahirkan amal itu sendiri. Dan bahaya pada ini lebih berat. Karena
biaya bertutur kata itu ringan pada lisan. Kadang-kadang berlaku pada ceritera
itu tambahan dan berlebihan. Dan bagi nafsu itu mempunyai kesenangan yang
besar, pada melahirkan dakwaan-dakwaan. Kecuali, jikalau berjalan kepadanya
ria, yang tidak membekas pada merusakkan ibadah yang lalu, sesudah selesai
daripadanya. Maka dari segi ini adalah lebih mudah (lebih ringan). Dan
hukumnya, ialah: bahwa orang yang kuat hatinya, sempurna ikhlasnya, kecil
manusia pada matanya, sama padanya pujian dan celaan mereka dan ia menyebutkan
yang demikian, pada orang yang diharapnya akan mengikutinya dan gemar pada
kebajikan dengan sebabnya. Maka itu boleh (jaiz). Bahkan itu disunatkan,
jikalau bersih niat. Dan selamat niat itu dari semua bahaya. Karena itu
menggemarkan kepada kebajikan. Dan menggemarkan kepada kebajikan itu kebajikan.
Dan telah dinukilkan seperti yang demikian, dari segolongan ulama terdahulu
(salaf) yang kuat imannya. Sa’ad bin Ma’adz mengatakan: “Tiada aku mengerjakan
suatu shalatpun semenjak aku memeluk agama Islam, lalu diriku berbicara dengan
yang lain. Dan tiada aku mengikuti suatu janazahpun, lalu diriku membicarakan,
dengan bukan yang ia katakan dan bukan yang dikatakan orang kepadanya. Aku
tiada mendengar Nabi saw sekali-kali, mengatakan suatu perkataan, melainkan aku
tahu bahwa perkataan itu benar”. Umar ra berkata: “Aku tiada memperdulikan,
bila aku atas keadaan susah atau senang. Karena aku tidak tahu, manakah
diantara yang dua itu, yang lebih baik bagiku”. Ibnu Mas’ud berkata: “Tiadalah
bila aku pada suatu keadaan, lalu aku bercita-cita, supaya aku berada pada
keadaan yang lain”. Usman ra berkata: “Tiadalah aku bernyanyi, berangan-angan
dan menyentuhkan zakarku (kemaluanku) dengan tangan kananku, semenjak aku melakukan
bai’ah (janji setia) dengan Rasulullah saw”. Syaddad bin Aus berkata: “Tiada
aku berkata-kata dengan suatu perkataanpun, semenjak aku memeluk agama Islam,
sebelum perkataan itu aku ikat dengan pengikat dan tali hidung, selain
perkataan ini”. Dan ia telah mengatakan kepada budaknya: “Bawalah kepada kami
kain alas meja, supaya kami bermain-main (melalaikan diri) dengan kain itu,
sehingga kami dapati makanan tengah hari”. Abu Sufyan berkata kepada
keluarganya, ketika akan meninggal: “Jangan kamu tangisi aku! Sesungguhnya aku
tiada berbuat suatu dosapun semenjak aku memeluk agama Islam”. Umar bin
Abdul-‘aziz ra berkata: “Tiada sekali-kali ditakdirkan oleh Allah padaku dengan
suatu takdir (qodo’), lalu menggembirakan aku bahwa Ia mentakdirkan itu bagiku,
dengan sebab orang lain. Tiada yang menjadi keinginanku, selain pada
tempat-tempat takdir Allah”. Maka ini semua adalah melahirkan hal-hal yang
mulia. Dan padanya tujuan memperlihatkan amal (berbuat ria), apabila datang
dari orang yang berbuat ria dengan hal tersebut. Dan padanya ada tujuan
menggemarkan (targhib), apabila datang dari orang yang diikuti orang. Maka yang
demikian, dengan maksud diikuti orang itu, boleh (jaiz) bagi orang-orang yang
kuat imannya, dengan syarat-syarat yang telah kami sebutkan dahulu. Maka tiada
seyogyalah ditutup pintu melahirkan amal. Dan tabiat (karakter) manusia itu,
menjadi sifat kepada menyukai menyerupakan dan mengikuti orang. Bahkan yang
dilahirkan oleh orang yang berbuat ria bagi ibadah, apabila tidak diketahui
orang bahwa itu ria, adalah padanya banyak kebajikan bagi manusia. Akan tetapi,
buruk bagi yang membuat ria itu sendiri. Berapa banyak dari orang yang ikhlas,
adalah sebab keikhlasannya itu, mengikuti orang yang berbuat ria pada sisi
Allah. Diriwayatkan, bahwa seorang mukhlis (orang yang sangat ikhlas) melewati
orang ramai pada jalan kota Basarah, ketika waktu subuh. Lalu ia mendengar
suara orang-orang mengerjakan shalat membaca Alquran di rumah-rumah. Maka
sebahagian mereka lalu menyusun (mengarang) buku, mengenai “Detik-detik Ria”.
Lalu mereka tinggalkan buku itu. Dan ditnggalkan oleh manusia akan kegemaran
padanya. Maka mereka itu mengatakan: “Semoga buku itu tidak dikarang”. Maka
dilahirkan oleh orang yang berbuat ria pada yang demikian itu, banyak
kebajikannya bagi orang lain, apabila orang tidak mengetahui rianya. Dan
sesungguhnya Allah Ta’ala menguatkan agama ini dengan orang zalim dan dengan
golongan-golongan yang tiada berakhlak”, sebagaimana tersebut pada
hadits-hadits. Dan sebahagian orang-orang yang berbuat ria itu, sebahagian dari
orang-orang yang menjadi ikutan manusia. Wallahu Ta’ala A’lam – Allah Yang Maha
Tahu.
PENJELASAN:
keringanan pada menyembunyikan dosa, kebencian dilihat manusia kepadanya &
kebencian dicela manusia kepada dirinya
Ketahuilah, bahwa pokok pada keikhlasan
itu, ialah: kesamaan batin dan lahir, sebagaimana dikatakan Umar ra kepada
seorang laki-laki: “Haruslah engkau dengan amal lahir (amal ‘alaniyah)!”. Orang
itu lalu bertanya: “Wahai Amirul-mu’minin! Apakah amal lahir itu?”. Umar ra
menjawab: “Yaitu, apabila dilihat orang kepadamu, maka kamu tidak malu
daripadanya”. Abu Muslim Al-Khaulani mengatakan: “Tiada aku mengerjakan suatu
perbuatan (amal), dimana aku memperdulikan dilihat oleh manusia kepadanya,
selain kedatanganku kepada keluargaku (isteriku), membuang air kecil dan
membuang air besar”. Hanya ini, adalah tingkat besar (tinggi), yang tiada akan
dicapai oleh setiap orang. Dan manusia itu tiada terlepas dari dosa, dengan
hatinya atau dengan anggota tubuhnya. Padahal ia menyembunyikannya. Dan tidak
suka dilihat orang kepada dosa-dosa itu. Lebih-lebih apa yang digerakkan oleh
segala yang terguris dalam hawa nafsu dan angan-angan. Dan Allah Ta’ala melihat
kepada semua yang demikian. Maka kehendak hamba untuk menyembunyikannya kepada
hamba-hamba yang lain, kadang-kadang disangka itu ria yang terlarang, padahal
tidak seperti yang demikian. Akan tetapi yang dilarang, ialah menutupkan yang
demikian, supaya dilihat oleh manusia, bahwa dia itu orang wara’, yang takut
kepada Allah Ta’ala. Padahal yang sebenarnya, tidaklah dia seperti yang
demikian. Maka ini adalah suatu tutup dari orang yang berbuat ria! Adapun orang
yang benar, yang tidak berbuat ria, maka baginya menutup segala perbuatan
maksiat. Dan sah (benar) maksudnya pada yang demikian. Dan sah kesedihannya
dengan dilihat manusia kepadanya pada 8 segi:
Pertama: bahwa ia
gembira dengan ditutup oleh Allah kepadanya. Dan apabila terbuka, maka ia
bersedih, dengan dirusakkan oleh Allah tutupnya itu. Dan ia takut akan
dirusakkan oleh Allah tutupnya pada hari kiamat. Karena tersebut pada hadits:
“Sesungguhnya orang yang ditutup oleh Allah di dunia dosanya, niscaya akan
ditutup oleh Allah dosanya di akhirat”. Ini adalah tutup yang terjadi dari
kuatnya iman.
Kedua: bahwa ia
tahu, bahwa Allah Ta’ala tidak menyukai lahirnya perbuatan-perbuatan maksiat
dan menyukai tertutupnya, sebagaimana disabdakan Nabi saw: “Barangsiapa
mengerjakan sesuatu dari kotoran-kotoran ini, maka hendaklah ia minta ditutup
dengan tutup daripada Allah”. Orang itu, walaupun mendurhakai Allah dengan
dosa, maka hatinya tiada terlepas daripada mencintai apa yang disukai oleh
Allah. Dan ini terjadi daripada kuatnya iman, dengan bencinya Allah atas
lahirnya perbuatan maksiat. Dan bekas kebenarannya, ialah bahwa: ia tidak
menyukai pula lahirnya dosa itu dari orang lain. Dan ia merasa sedih dengan
sebab yang demikian.
Ketiga: bahwa ia
tidak menyukai celaan manusia kepadanya dengan sebab dosa itu, dari segi bahwa
yang demikian menyedihkannya, membimbangkan hati dan akalnya daripada ketaatan
kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya tabiat manusia itu, merasa sakit dengan
celaan, bertentangan dengan akal pikiran dan membimbangkan dari ketaatan. Dan
dengan sebab ini juga, seyogyalah bahwa ia membenci pujian yang
membimbangkannya dari dzikrullah. Menenggelamkan hatinya dan memalingkannya
dari dzikir itu. Dan ini juga dari kuatnya iman. Karena benarnya keinginan pada
kosongnya hati karena ketaatan adalah dari iman.
Keempat: bahwa
adanya tutup dan kegemarannya pada menutup itu, ialah karena bencinya kepada
celaan manusia, dari segi menyakitkan tabiatnya. Maka sesungguhnya celaan itu
menyakitkan hati, sebagaimana pukulan menyakitkan badan. Takutnya kesakitan
hati dengan celaan, tidaklah haram. Dan tidaklah manusia menjadi maksiat dengan
sebab yang demikian. Sesungguhnya manusia itu menjadi maksiat, apabila dirinya
gundah daripada celaan manusia. Dan dirinya itu mengajaknya kepada yang tidak
diperbolehkan, karena menjaga daripada celaan manusia itu. Dan tiadalah wajib
atas manusia, bahwa ia tidak bersusah hati dengan celaan makhluk dan tidak
merasa pedih dengan celaan itu. Ya, sempurnanya kebenaran itu, ialah: bahwa
hilang daripadanya penglihatannya kepada makhluk. Lalu sama padanya orang yang
mencela dan yang memuji. Karena diketahuinya, bahwa yang memberi melarat dan
manfaat, ialah: Allah. Dan bahwa hamba-hamba itu semua, adalah lemah. Yang
demikian itu adalah sedikit sekali. Dan kebanyakan tabiat manusia, ialah merasa
pedih dengan celaan. Karena padanya ada perasaan dengan kekurangan. Dan
kadang-kadang merasa sakit dengan celaan itu, terpuji, apabila pencela itu dari
orang yang bermata hati (ahlil-bashirah) dalam agama. Karena, mereka itu adalah
saksi-saksi Allah. Dan celaan kepada mereka itu menunjukkan celaan kepada Allah
Ta’ala. Dan di atas kekurangannya pada agama. Maka bagaimana ia tidak bersedih
dengan yang demikian? Ya, kesusahan yang disusahkan, ialah: bahwa ia susah
karena hilangnya pujian dengan wara’. Seakan-akan ia suka dipuji dengan sebab
wara’nya. Dan tidak boleh ia suka dipuji dengan ketaatan kepada Allah. Maka
dengan demikian, dia itu menuntut dengan ketaatan kepada Allah, akan pahala
dari yang lain dari Allah. Maka jikalau ia mendapati yang demikian pada
dirinya, niscaya harus ditantangnya dengan kebencian dan penolakan. Adapun
benci kepada celaan dengan kemaksiatan, dari segi tabiat (karakter), maka tiada
tercela. Maka baginya boleh menutupkannya, untuk menjaga diri yang demikian.
Dan tergambarlah, bahwa hamba itu berada dari segi tiada menyukai pujian, akan
tetapi, benci kepada celaan. Dan maksudnya, ialah, bahwa ia ditinggalkan oleh
manusia dari pujian dan celaan. Maka banyaklah orang yang sabar dari kelezatan
pujian, yang tiada sabar di atas kepedihan celaan. Karena pujian itu mencari
kelezatan. Dan tiada adanya kelezatan itu tidaklah memedihkan hati. Adapun
celaan maka itu memedihkan hati. Maka mencari pujian di atas ketaatan itu
adalah mencari pahala diatas ketaatan pada masa sekarang. Dan kebencian kepada
celaan diatas perbuatan maksiat, maka tiada yang dijaga padanya, kecuali satu
perkara. Yaitu: bahwa ia disibukkan oleh kesusahannya, dengan dilihat manusia
kepada dosanya, daripada dilihat oleh Allah. Maka yang demikian itu, adalah
sangatnya berkekurangan pada agama. Akan tetapi seyogyanya kesusahannya itu
dengan dilihat oleh Allah. Dan celaan Allah kepadanya itu lebih banyak.
Kelima: bahwa ia
tiada menyukai celaan, dari segi bahwa pencela itu telah berbuat kemaksiatan
kepada Allah Ta’ala dengan perbuatannya itu. Dan ini setengah dari iman. Dan
tandanya, bahwa ia tiada menyukai juga celaan itu bagi orang lain. Maka
kesakitan itu tiada berbeda diantara dia & orang lain, kecuali kesakitan
dari segi tabiat (karakter).
Keenam: bahwa ia
menutup yang demikian, supaya tidak dimaksudkan dengan kejahatan, apabila
dosanya sudah diketahui orang. Dan ini adalah dibalik kepedihan celaan. Maka
sesungguhnya celaan itu memedihkan, dari segi dirasakan oleh hati dengan
kekurangannya dan keburukannya, walaupun dari orang yang dirasa aman dari
kejahatannya. Kadang-kadang ditakuti kejahatan orang, yang melihat kepada
dosanya, disebabkan sesuatu sebab. Maka baginya menutupkan yang demikian, untuk
menjaga daripadanya.
Ketujuh: malu
semata-mata. Maka malu itu adalah semacam kepedihan, dibalik kepedihan celaan
dan maksud jahat. Dan malu itu suatu akhlak (budi pekerti) mulia yang timbul
pada permulaan masa kecil, manakala telah bersinar kepadanya nur akal. Lalu ia
malu dari perbuatan-perbuatan keji, apabila dipersaksikan orang daripadanya.
Dan itu adalah sifat terpuji, karena Rasulullah saw bersabda: “Malu itu baik
semua”. Nabi saw bersabda: “Malu itu suatu cabang dari iman”. Nabi saw
bersabda: “Malu itu tidak datang, selain dengan kebajikan”. Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang pemalu, yang penyantun”. Maka orang
yang berbuat fasik (dosa) dan tiada menghiraukan bahwa kefasikannya itu
kelihatan kepada manusia, maka dia telah mengumpulkan kepada fasik akan
kebinasaan diri, tebal muka dan tidak malu. Maka itu keadaannya lebih berat
daripada orang yang menutupi dosanya dan merasa malu. Kecuali, bahwa malu itu
bercampur dengan ria dan sangat menyerupai dengan ria. Sedikitlah orang yang
memperhatikan yang demikian. Dan setiap orang yang berbuat ria itu mendakwakan,
bahwa dia itu malu. Dan sebab dibaguskannya ibadah itu, ialah: malu kepada
manusia. Dan yang demikian itu dusta. Akan tetapi malu itu suatu tingkah laku
yang tergerak dari tabiat (karakter) mulia. Dan digoncangkan akan kemudiannya,
oleh panggilan ria dan panggilan ikhlas. Dan tergambarlah, bahwa ia ikhlas
bersama dengan ria. Dan tergambarlah bahwa ia berbuat ria bersama ikhlas.
Penjelasannya, ialah: bahwa orang yang mencari dari temannya pinjaman dan
dirinya sendiri tiada akan bermurah hati dengan meminjamkannya, kecuali bahwa
ia merasa malu daripada menolakkannya. Dan ia tahu, jikalau ia kirim mengirim
kabar dengan lisan orang lain (tidak disampaikannya sendiri), niscaya ia tidak
merasa malu. Dan ia tidak meminjamkan karena ria dan tidak karena mencari
pahala. Maka baginya ketika itu, ada beberapa hal: salah satu daripadanya,
bahwa ia berbicara dengan lisan, menolaknya dengan terus-terang. Dan ia tidak
memperdulikan akan akibatnya. Maka orang tersebut dapat dikaitkan kepada kurang
malu. Dan ini adalah perbuatan orang yang tiada mempunyai malu. Sesungguhnya
orang yang malu, adakalanya ia mencari alasan atau ia memperutangkan. Jikalau
ia berikan, maka tergambarlah baginya 3 keadaan:
Pertama: bahwa ia
mencampurkan ria dengan malu, dengan menggalakkan ria. Maka buruklah padanya
penolakan. Lalu ia menggalakkan gurisan ria dan mengatakan: “Seyogyalah engkau
berikan, sehingga engkau disanjung dan dipuji. Dan tersiarlah namamu dengan
sifat pemurah. Atau seyogyalah engkau berikan, sehingga engkau tidak dicela dan
tidak dikatakan kikir”. Maka apabila ia berikan, maka sesungguhnya, ia berikan
dengan ria. Dan yang menggerakkan ria itu, ialah menggelagaknya malu.
Kedua: bahwa sukar
baginya menolak, disebabkan malu. Dan kekallah pada dirinya sifat kikir. Lalu
sukarlah memberi. Maka ia gerakkan pemanggil ikhlas. Dan berkata kepadanya,
bahwa bersedekah dengan satu dan meminjamkan dengan 18, maka padanya pahala
besar dan memasukkan kegembiraan kepada hati teman. Dan yang demikian itu,
terpuji pada sisi Allah Ta’ala. Lalu bermurahlah diri dengan memberikan, karena
yang demikian. Maka ini orang yang ikhlas, yang digerakkan oleh malu akan
keikhlasannya.
Ketiga: bahwa ia
tiada mempunyai keinginan pada pahala. Tiada takut dari celaan. Dan tiada suka
kepada pujian. Karena jikalau orang meminta padanya dengan cara surat-menyurat
(murasalah), niscaya tidak akan diberikannya. Maka diberikannya itu adalah
disebabkan malu semata-mata. Yaitu: apa yang didapatnya dalam hatinya, dari
kepedihan malu. Dan jikalau tidak malu, niscaya ditolaknya. Dan jikalau datang
orang kepadanya, yang ia tidak malu kepada orang itu, dari orang-orang asing
atau orang-orang hina, niscaya ditolaknya. Walaupun banyak pujian dan pahala
padanya. Maka inilah yang semata-mata malu. Dan tidak ada ini, selain pada
hal-hal kekejian, seperti: kikir dan mengerjakan dosa. Orang yang berbuat ria
itu merasa malu juga dari perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan (mubahat).
Sehingga, jikalau ia terlihat berjalan dengan cepat-cepat, maka ia kembali
kepada ketenangan. Atau ia sedang tertawa, maka ia kembali dengan menahan
ketawanya. Dan ia mendakwakan, bahwa yang demikian itu malu. Padahal itulah ria
yang sebenarnya. Ada yang mengatakan, bahwa sebahagian ria itu lemah. Dan itu
benar. Dan yang dimaksudkan, ialah: malu dari apa yang tidak keji, seperti:
malu daripada memberi nasehat kepada manusia dan mengimami manusia pada shalat.
Itu adalah terpuji pada anak-anak dan kaum wanita. Dan pada orang-orang yang
berakal itu, tidak terpuji. Kadang-kadang anda menyaksikan perbuatan maksiat
dari seorang tua. Lalu anda malu dari ketuaannya itu menentangnya. Karena diantara
mengagungkan Allah, ialah memuliakan orang tua muslim. Malu ini adalah baik.
Dan yang lebih baik daripadanya, ialah, bahwa anda malu kepada Allah. Maka anda
tidak menyia-nyiakan amar ma’ruf. Orang kuat itu mengutamakan malu kepada
Allah, daripada malu kepada manusia. Dan orang lemah itu, kadang-kadang tidak
sanggup yang demikian. Maka inilah sebab-sebab, yang karenanya boleh menutupkan
segala perbuatan keji dan dosa.
Kedelapan: ia
takut dari kelihatan dosanya itu, bahwa orang lain berani mengerjakan dosa
tersebut dan mengikutinya. Dan alasan yang satu ini saja, adalah yang berlaku
pada memperlihatkan taat. Dan itulah: ikutan (qudwah). Dan yang demikian itu
khusus bagi imam-imam (pemuka-pemuka masyarakat) atau orang yang menjadikan
ikutan orang lain. Dan dengan alasan ini, seyogyalah pula, orang yang berbuat
maksiat itu, menyembunyikan juga perbuatan maksiat kepada keluarga dan anaknya.
Karena mereka akan mempelajari daripadanya. Maka pada menutupkan dosa itu, 8
halangan ini. Dan tiada pada melahirkan taat itu halangan, selain satu halangan
ini. Dan manakala ia bermaksud dengan menutupkan perbuatan maksiat tersebut,
untuk mengkhayalkan kepada manusia, bahwa dia itu orang wara’, niscaya adalah
dia itu orang yang berbuat ria, sebagaimana apabila ia maksudkan yang demikian,
dengan melahirkan taat. Jikalau anda bertanya, bahwa: bolehkah bagi hamba itu
menyukai pujian manusia kepadanya, disebabkan dia itu orang baik (orang saleh)
dan cintainya mereka kepadanya disebabkan baiknya itu? Dan sesungguhnya seorang
laki-laki mengatakan kepada Nabi saw: “Tunjukilah aku kepada sesuatu yang
dikasihi Allah akan daku dan dikasihi aku oleh manusia!”. Nabi saw menjawab:
“Zuhudlah di dunia, niscaya engkau dikasihi oleh Allah! Dan lemparkanlah kepada
mereka harta benda dunia itu, niscaya mereka mencintai engkau!”. Maka kami
menjawab, bahwa sukanya engkau untuk dikasihi manusia kepada engkau itu,
kadang-kadang diperbolehkan (mubah). Kadang-kadang terpuji dan kadang-kadang
tercela. Yang terpuji, ialah bahwa engkau menyukai yang demikian, untuk engkau
mengetahui kecintaan Allah kepada engkau. Maka sesungguhnya Allah Ta’ala
apabila menyukai seorang hamba, niscaya disukakannya hamba tersebut dalam hati
hamba-hambaNya. Dan yang tercela, ialah bahwa engkau menyukai kecintaan dan pujian
mereka kepada haji engkau, perang sabil engkau, shalat engkau dan kepada taat
itu sendiri. Maka sesungguhnya yang demikian itu, tuntutan ganti atas ketaatan
kepada Allah Ta’ala, yang segera, selain pahala yang diberikan oleh Allah. Dan
yang diperbolehkan (mubah), ialah bahwa engkau menyukai mereka, yang menyukai
engkau. Karena sifat-sifat yang terpuji, selain taat-taat yang terpuji, yang
tertentu. Maka kecintaan engkau akan yang demikian, adalah seperti kecintaan
engkau kepada harta. Karena memiliki hati itu jalan kepada maksud, seperti
memiliki harta. Maka tiada berbeda diantara keduanya.
PENJELASAN:
meninggalkan taat, karena takut ria dan masuk bahaya.
Ketahuilah, bahwa
diantara manusia ada orang yang meninggalkan amal, karena takut, bahwa dia
menjadi orang berbuat ria. Dan itu adalah salah dan sesuai dengan setan. Akan
tetapi, yang benar, mengenai apa yang ditinggalkan dari amal dan yang tidak
ditinggalkan, karena takut bahaya, ialah: apa yang akan kami sebutkan ini.
Yaitu, bahwa taat itu terbagi kepada: yang tiada lezat pada taat itu sendiri.
Seperti: shalat, puasa, haji dan perang sabil. Semuanya itu penderitaan dan
kesungguhan. Sesungguhnya dapat menjadi lezat (enak), dari segi bahwa taat
tersebut akan menyampaikannya kepada pujian manusia. Dan pujian manusia itu
lezat (enak). Dan yang demikian itu, ketika dilihat oleh manusia kepadanya. Dan
kepada: apa yang lezat. Dan itu lebih banyak, yang tidak terbatas kepada badan
saja. Akan tetapi menyangkut dengan makhluk, seperti: jabatan khalifah
(penguasa), jabatan hakim (qadli), memperoleh wilayah kekuasaan, kebangsawanan,
mengimami shalat, menasehati orang, mengajar, membelanjakan harta kepada
makhluk dll, yang besar bahaya padanya, karena menyangkut dengan makhluk. Dan
karena padanya ada kelezatan. Bahagian pertama, ialah: perbuatan taat yang
harus bagi badan, yang tiada menyangkut dengan orang lain. Dan tiada lezat pada
taat itu sendiri. Seperti: puasa, shalat, dan haji. Maka bahaya ria padanya 3:
Pertama: yang masuk sebelum amal
itu dimulai. Maka ria itu menggerakkan untuk memulainya, karena dilihat
manusia. Dan tidak ada bersamaan dengan itu, yang digerakkan oleh agama. Maka
ini termasuk yang seyogyanya ditinggalkan. Karena itu maksiat, tak ada taat
padanya. Sesungguhnya itu, dipakai dengan bentuk taat, kepada mencari
kedudukan. Jikalau sangguplah manusia menolak dari dirinya penggerak ria dan
mengatakan kepada dirinya: “Apakah engkau tidak malu kepada Tuhan engkau,
engkau tidak bermurah hati dengan amal karenaNya? Dan engkau bermurah hati dengan
amal karena hamba-hambaNya? Sehingga tertolaklah penggerak ria dan diri itu
bermurah hati dengan amal, karena Allah, sebagai siksaan bagi diri atas gurisan
ria dan penutupan dosa (kaffarah). Maka dalam hal yang tersebut tadi hendaklah
ia berbuat dengan amal itu!.
Kedua: bahwa ia tergerak karena
Allah. Akan tetapi, dilintangi oleh ria serta penunaian ibadah dan
permulaannya. Maka tiada seyogyalah amal itu ditinggalkan. Karena ia telah
memperoleh penggerak keagamaan. Maka hendaklah ia masuk dalam amal itu! Dan
hendaklah ia berkesungguhan melawan dirinya (nafsunya) pada menolak ria. Dan
menghasilkan keikhlasan dengan pengobatan-pengobatan yang telah kami sebutkan
dahulu, dari mengharuskan diri membenci ria dan segan menerimanya.
Ketiga: bahwa ia mengikatkan amal
diatas keikhlasan. Kemudian, datang ria dan pengajak-pengajaknya. Maka
seyogyalah ia bermuhajah dan menolaknya. Dan tidak ditinggalkan amal. Supaya ia
kembali kepada ikatan ikhlas. Dan ia mengembalikan dirinya kepada keikhlasan itu
dengan kekerasan. Sehingga ia dapat menyempurnakan amal itu. Karena setan
sesungguhnya mengajak engkau, pertama-tama kepada meninggalkan amal. Maka
apabila tidak engkau perkenankan dan engkau terus mengerjakan amal itu, lalu
diajaknya engkau kepada ria. Maka apabila tidak engkau perkenankan dan engkau
tolak, lalu ia mengatakan kepada engkau: “Amal ini tidak murni. Engkau itu
berbuat ria. Dan kepayahanmu sia-sia. Maka apa faedahnya bagi engkau pada amal
yang tiada ikhlas padanya?”. Sehingga setan itu membawa engkau dengan demikian,
kepada meninggalkan amal. Maka apabila amal itu engkau tinggalkan, sesungguhnya
engkau telah menghasilkan maksud setan. Contoh orang yang meninggalkan amal,
karena takut ia menjadi orang yang berbuat karena ria, adalah seperti orang
yang diserahkan kepadanya oleh tuannya, tepung gandum, yang didalamnya ada
biji-biji gandum. Tuannya itu mengatakan: “Bersihkanlah tepung gandum ini, dari
biji-bijinya dan bersihkanlah sehingga bersih benar-benar!”. Lalu orang itu
meninggalkan pokok pekerjaan dan mengatakan: “Aku takut, jikalau aku kerjakan,
bahwa gandum itu tidak bersih benar-benar”. Lalu ia tinggalkan, tidak
dikerjakannya karenanya. Maka itu adalah meninggalkan keikhlasan serta pokok
pekerjaan (amal). Maka tiada arti baginya. Dan termasuk dalam golongan ini,
bahwa ia meninggalkan amal, karena takut kepada manusia, yang mengatakan, bahwa
dia itu berbuat dengan ria. Maka mereka itu telah berbuat maksiat kepada Allah,
dengan demikian. Dan ini termasuk sebahagian dari tipu-daya setan. Karena dia
pertama-tama telah jahat sangka kepada orang-orang muslim. Dan tidak menjadi
haknya, bahwa ia menyangka kepada mereka, akan yang demikian. Kemudian, jikalau
ada yang demikian itu, maka tidaklah mendatangkan melarat perkataan mereka
kepadanya dan menghilangkan pahala ibadah. Dan meninggalkan amal, karena takut
dari perkataan mereka, bahwa itu perbuatan ria, maka itulah ria yang
sebenarnya. Jikalau tidak ada kesukaannya kepada pujian mereka dan takutnya
dari celaan mereka, maka apalah kiranya baginya dengan perkataan mereka itu,
yang mengatakan: bahwa ia berbuat ria atau mereka mengatakan, bahwa: dia
ikhlas? Dan apakah bedanya antara dia meninggalkan amal karena takut dikatakan,
bahwa dia berbuat karena ria dan antara dia berbuat dengan baik amal itu, karena
takut daripada dikatakan, bahwa: dia itu lalai lagi lengah. Akan tetapi,
meninggalkan amal itu, lebih berat dari yang demikian. Ini semuanya adalah tipu
daya setan kepada hamba-hamba Allah yang bodoh. Kemudian, bagaimana ia
mengharap, bahwa ia dapat melepaskan diri dari setan, dengan meninggalkan amal
dan setan itu tidak melepaskannya. Bahkan setan itu mengatakan kepadanya:
sekarang manusia mengatakan, bahwa engkau meninggalkan amal, supaya dikatakan
orang: bahwa dia itu orang yang ikhlas, tidak mengingini terkenal (syuhrah).
Maka memerlukan engkau dengan yang demikian, kepada melarikan diri. Maka
jikalau engkau melarikan diri dan engkau masuk ke suatu jalan di bawah tanah,
niscaya telah dilemparkan dalam hati engkau kemanisan dikenal manusia, untuk menzuhudkan
engkau, larinya engkau dari mereka dan penghormatan mereka kepada engkau dengan
hatinya diatas yang demikian. Maka bagaimanakah engkau melepaskan diri dari
padanya? Bahkan tiada terlepas daripadanya, selain dengan engkau mengharuskan
hati engkau mengenal bahaya ria. Dan yaitu: bahwa ria itu sesungguhnya suatu
kemelaratan di akhirat dan tiada bermanfaat di dunia. Supaya engkau dapat
mengharuskan kebencian dan keengganan kepada hati engkau. Dan engkau
terus-menerus serta yang demikian, atas amal. Dan engkau tidak memperdulikan,
walaupun musuh itu menikam sebagai tikaman tabiat (karakter). Maka sesungguhnya
yang demikian itu tiada akan putus. Dan meninggalkan amal karena yang demikian,
akan menarik kepada tidak ada kerja (bithalah) dan meninggalkan amal kebajikan
(al-khairat). Maka selama engkau memperoleh penggerak keagamaan kepada amal,
maka janganlah engkau meninggalkan amal! Dan berkesungguhanlah melawan gurisan
ria! Dan haruskanlah bagi hatimu, malu kepada Allah, apabila engkau diajak oleh
diri (nafsu) engkau, kepada menggantikan pujian kepada Allah, dengan pujian
kepada makhluk. Dan dia itu melihat kepada hati engkau. Dan jikalau makhluk itu
melihat kepada hati engkau dan engkau menghendaki pujian mereka, niscaya mereka
akan mengutuk engkau. Bahkan, jikalau engkau sanggup menambahkan pada amal,
akan malu kepada Tuhan engkau dan siksaan bagi diri engkau, maka berbuatlah!.
Jikalau setan mengatakan kepada engkau, bahwa engkau itu berbuat dengan ria,
maka ketahuilah akan bohong dan tipuannya setan itu, dengan apa yang engkau
peoleh pada hati engkau, dari kebencian kepada ria, enggan menerima ria,
takutnya engkau kepada ria dan malunya engkau kepada Allah Ta'ala’. Jikalau
engkau tidak mendapati dalam hati engkau, kebencian kepada ria dan takut kepada
ria dan tidak ada penggerak keagamaan, akan tetapi semata-mata penggerak ria
yang ada, maka tinggalkanlah amal itu pada keadaan yang demikian. Dan itu
adalah jauh dari kebenaran. Maka siapa yang masuk pada amal karena Allah,
niscaya tidak dapat tidak, bahwa ada padanya pokok maksud pahala. Jikalau anda
bertanya, bahwa telah dinukilkan dari beberapa kaum (golongan) dari ulama-ulama
terdahulu, supaya meninggalkan amal, karena takut dikenal orang (syuhrah).
Diantaranya, dirawikan bahwa Ibrahim An-Nakha’i, telah masuk ke tempatnya
seorang manusia dan beliau sedang membaca Alquran. Lalu beliau tutup dan
meninggalkan membaca. Dan beliau mengatakan: “Tidak dilihat oleh si Ini, bahwa
aku membaca Alquran setiap saat”. Dan Ibrahim At-Taimi mengatakan: “Apabila
menakjubkan (mengkagumkan) engkau oleh perkataan engkau, maka diamlah! Dan
apabila mengagumkan engkau oleh diam engkau, maka berkatalah!”. Dan Al-Hasan
Al-Bashari ra mengatakan, bahwa
seseorang dari ulama terdahulu, yang lalu di jalan yang ada padanya yang
mengganggu, lalu tidak ada yang mencegahnya membuang yang mengganggu itu,
selain oleh karena bencinya kepada terkenal. Dan ada seseorang mereka yang
didatangi tangisan, lalu memutarkannya kepada ketawa, karena takut dari
terkenal itu. Dan terdapat pada yang demikian, banyak atsar (ucapan orang-orang
terkemuka dan para sahabat Nabi saw). Maka kami menjawab, bahwa ini
bertentangan dengan apa yang tersebut pada atsar, tentang melahirkan taat dari
orang-orang yang tiada terhingga banyaknya. Dilahirkan oleh Al-Hasan Al-Bashari perkataan tersebut pada mengemukakan
pengajaran itu lebih mendekati kepada takut terkenal, daripada menangis dan
membuang yang menyakiti dari jalan. Kemudian, tidak ditinggalkannya.
Kesimpulannya, meninggalkan amal nafilah (amal sunat) itu boleh. Dan
berkata-kata pada yang afdhal (pada yang lebih utama). Dan yang afdhal itu,
ialah yang disanggupi oleh orang-orang kuat, tidak oleh orang-orang lemah. Maka
yang afdhal, ialah: menyempurnakan amal dan bersungguh-sungguh pada keikhlasan.
Dan tidak meninggalkannya. Orang-orang yang mempunyai amal itu, kadang-kadang
mengobati dirinya, dibalik yang afdhal, karena sangat takutnya. Maka mengikuti
itu seyogya nya adalah kepada orang-orang kuat. Adapun Ibrahim An-Nakha’i
menutup Alquran, maka mungkin yang demikian, karena ia tahu, bahwa ia
memerlukan kepada meninggalkan membaca ketika masuknya orang itu. Dan
mengulanginya kembali ketika orang itu keluar. Karena kesibukan berbicara
dengan orang tersebut. Lalu ia berpendapat, bahwa tidak dilihat oleh orang
tadi, bahwa dia dalam membaca, adalah lebih menjauhkan dari ria. Dan ia berazam
meninggalkan membaca itu, untuk meladeni orang tersebut. Sehingga ia kembali
kepada Alquran itu kemudian. Adapun meninggalkan membuang yang menyakiti di
jalanan, maka yang demikian itu, termasuk diantara orang yang takut kepada
dirinya, bahaya terkenal, perhatian manusia kepadanya dan mereka akan
mengganggunya dari ibadah. Dan itu adalah lebih besar daripada mengangkat
sepotong kayu dari jalanan. Maka meninggalkan yang demikian itu, adalah karena
memelihara ibadah, yang lebih besar daripadanya. Tidak disebabkan semata-mata
takut ria. Adapun perkataan Ibrahim At-Taimi: “Apabila menakjubkan engkau oleh
perkataan engkau, maka diamlah!”, boleh ada yang demikian, dimana yang
dimaksudkannya, ialah: perkataan-perkataan yang mubah, seperti: lancar pada
menerangkan ceritera-ceritera dan lainnya. Maka yang demikian itu, mewariskan
ujub (mengherani diri dan membanggakannya). Dan seperti demikian juga, ujub
dengan diam yang mubah itu dilarang. Itu adalah berpaling dari yang mubah
kepada yang mubah, karena menjaga dari ujub. Adapun perkataan benar yang
disunatkan, maka tak ada nash (dalil yang tegas) padanya, bahwa bahaya itu
termasuk yang besar pada berkata-kata. Maka itu termasuk pada bahagian kedua.
Sesungguhnya perkataan kami pada ibadah yang khusus, dengan badan hamba itu,
termasuk yang tiada menyangkut dengan manusia dan tiada besar padanya bahaya.
Kemudian, perkataan Al-Hasan Al-Bashari , tentang mereka meninggalkan menangis
dan membuang benda yang menyakiti di jalanan, karena takut terkenal,
kadang-kadang adanya itu, ceritera keadaan orang-orang yang lemah, yang tiada
mengenal yang afdhal. Dan tiada mengetahui yang halus-halus ini. Dan
sesungguhnya Al-Hasan Al-Bashari
menyebutkannya, adalah untuk menakutkan manusia dari bahaya
syuhrah/terkenal dan melarang daripada mencarinya.
Bahagian kedua: yang menyangkut
dengan makhluk. Dan besar padanya bahaya dan malapetaka. Yang terbesar diantara
yang menyangkut dengan makhluk itu, ialah: jabatan khalifah (penguasa),
kemudian jabatan hakim (jabatan qadli). Kemudian, memberi peringatan kepada
manusia, mengajar dan memberi fatwa. Dan kemudian, mengeluarkan (membelanjakan)
harta. Adapun jabatan khalifah dan jabatan amir (raja), maka adalah termasuk
ibadah yang afdhal, apabila ada yang demikian itu, disertai keadilan dan
keikhlasan. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya sehari dari imam (penguasa) yang
adil itu lebih baik daripada ibadah seseorang sendirian dalam masa 60 tahun”.
Maka lebih besar dari ibadah, yang menyamai sehari daripadanya, dengan ibadah
60 tahun. Nabi saw bersabda: “Orang pertama yang masuk sorga, ialah: tiga. Imam
yang adil salah seorang dari mereka yang tiga itu”. Abu Hurairah ra berkata:
Rasulullah saw bersabda: “Tiga golongan, tidak ditolak doa mereka. Diantaranya:
imam yang adil, salah seorang dari mereka”. Nabi saw bersabda: “Manusia yang
terdekat kepadaku tempatnya pada hari kiamat, ialah: imam yang adil”,
diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri. Maka jabatan amir (al-imarah) dan jabatan
khalifah (al-khilafah) itu, termasuk ibadah terbesar. Dan senantiasalah
orang-orang yang taqwa (al-muttaqun) meninggalkannya. Mereka menjaga diri
daripadanya dan melarikan diri daripada mengikutinya. Yang demikian itu, karena
padanya besar bahaya. Karena dengan jabatan tersebut, tergeraklah sifat-sifat
batiniah. Dan mengerasi kepada diri seseorang, suka kemegahan, kelezatan
penguasaan dan tembusnya perintah. Dan itu adalah kelezatan dunia yang
terbesar. Apabila jabatan memegang wilayah (menjadi penguasa) itu disukai,
niscaya adalah wali (penguasa) itu berusaha pada keuntungan diri. Dan
mendekatilah ia untuk mengikuti hawa nafsunya. Lalu ia mencegah dari tiap-tiap
yang mencederakan kemegahan dan kekuasaannya, walaupun itu benar. Dan ia
mendahulukan apa saja yang menambahkan keteguhan kedudukannya, walaupun itu
batil/salah. Dan ketika itu ia binasa. Dan adalah sehari dari raja yang zalim
itu, lebih jahat daripada perbuatan fasik 60 tahun, menurut pemahaman hadits
yang telah kami sebutkan diatas. Dan karena bahaya besar ini, adalah Umar ra
mengatakan: “Siapakah yang mengambil al-imarah (jabatan amir) dengan apa yang
ada padanya?”. Bagaimana tidak? Sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Tiadalah dari
wali (penguasa) sesuatu kaum, melainkan dia akan datang pada hari kiamat,
dengan tangannya terbelenggu ke lehernya, yang akan dilepaskan oleh keadilannya
atau dibinasakan oleh kezalimannya”. Hadits ini dirawikan oleh Ma’qal bin
Yasar. Dia diangkat oleh ‘Umar ra menjadi wali negeri. Lalu ia bertanya: “Wahai
Amirul-mu’minin! Burukkah jabatan ini kepadaku?”. Umar ra menjawab: “Duduklah
dan sembunyikanlah kepadaku!”. Dirawikan oleh Al-Hasan Al-Bashari ra: “Bahwa seorang laki-laki diangkat oleh
Nabi saw menjadi wali negeri. Lalu ia mengatakan kepada Nabi saw: “Jatuh
telungkuplah aku”. Nabi saw menjawab: “Duduklah!”. Begitu juga hadits
Abdurrahman bin Samrah, ketika Nabi saw bersabda kepadanya: “Hai Abdurrahman!
Jangan engkau minta jabatan al-imarah (menjadi amir)! Maka sesungguhnya jikalau
diberikan kepada engkau jabatan al-imarah itu, tanpa diminta, niscaya engkau
ditolong kepadanya. Dan jikalau diberikan kepada engkau dengan diminta, niscaya
diwakilkan (dipertanggung-jawabkan) engkau, kepada jabatan itu”. Abu Bakar ra
mengatakan kepada Rafi’ bin Umar Ath-Tha’i: “Jangan engkau menjadi amir
(kepala) atas dua orang!”. Kemudian, Abu Bakar ra itu diangkat menjadi
khalifah, lalu ia bangun menjabat pangkat itu. Maka Rafi’ bertanya kepada Abu
Bakar: “Apakah engkau tidak mengatakan kepadaku: “Jangan engkau menjadi amir
atas dua orang dan engkau sekarang, sudah menjadi wali (mengurus) urusan umat
Muhammad saw?”. Maka Abu Bakar ra menjawab: “Benar, aku mengatakan yang
demikian kepadamu. Maka siapa yang tidak adil pada jabatan itu, niscaya atas
dirinya kutukan Allah. Yakni: laknat Allah”. Semoga orang yang sedikit bashirah
(mata hati), melihat apa yang tersebut itu, tentang keutamaan al-imarah, serta
apa yang tersebut, tentang larangannya, bahwa itu bertentangan. Dan tidaklah
demikian. Akan tetapi yang benar padanya, ialah bahwa orang-orang khusus yang
kuat pada agama, tiada seyogyalah mencegah dirinya daripada memegang wilayah
pemerintahan. Dan orang-orang lemah, tiada seyogyalah berkisar diri dengan
jabatan tersebut. Maka mereka akan binasa nanti. Yang dimaksudkan dengan orang
kuat, ialah: orang yang tidak dicenderungi oleh dunia, tidak dilompati oleh
kerakusan dan tidak diambil oleh cacian orang yang mencaci pada hak Allah.
Merekalah orang-orang yang telah gugur (hilang) harga makhluk daripada matanya.
Mereka zuhud pada dunia, bosan dengan dunia dan dengan bercampur-baur dengan
makhluk. Mereka dapat memaksakan dirinya dan memilikinya. Mereka mengalahkan
setan, lalu setan itu putus asa daripada mereka. Maka mereka tidak digerakkan,
selain oleh kebenaran. Dan tidak ditempati mereka, selain oleh kebenaran.
Walaupun nyawa mereka binasa padanya. Maka mereka itu orang-orang yang
memperoleh keutamaan pada al-imarah dan al-khilafah. Dan siapa yang mengetahui,
bahwa dia tidak mempunyai sifat ini, maka haramlah ia terjun dalam
pemerintahan. Dan barangsiapa mencoba dirinya, lalu melihat dirinya sabar atas
kebenaran, dapat mencegah dari nafsu keinginan pada bukan pemerintahan, akan
tetapi ia takut pada dirinya akan berobah, apabila ia merasakan enaknya
pemerintahan dan bahwa dirinya, akan terhias dengan kemegahan dan merasa enak
berlaku perintahnya, lalu ia tidak suka berhenti, maka ia bersikap
berminyak-minyak air (bersikap palsu), karena takut dari pemberhentian, maka
ini sesungguhnya telah terdapat perselisihan ulama, mengenai: adakah harus ia
lari dari memegang jabatan pemerintahan itu? Segolongan mengatakan: tidak
wajib. Karena ini adalah takut sesuatu hal pada masa mendatang. Dan pada masa
sekarang, ia tidak mengetahui dirinya, selain kuat pada memegang kebenaran dan
meninggalkan kesenangan diri. Yang benar, ia harus memelihara diri. Karena
nafsu itu penipu, mendakwakan kebenaran, menjanjikan kebajikan. Maka jikalau
nafsu itu menjanjikan kebajikan dengan yakin, niscaya ia takut nafsu itu akan
berobah ketika memegang wilayah (pemerintahan). Maka bagaimana, apabila nafsu
itu melahirkan keragu-raguan? Dan mencegah daripada menerima jabatan
pemerintahan itu, lebih mudah daripada berhenti sesudah masuk di dalamnya.
Berhenti itu menyakitkan. Dan itu adalah seperti dikatakan: “Berhenti
(melepaskan jabatan) itu adalah seperti laki-laki menceraikan isterinya”.
Apabila ia telah masuk, niscaya tidak membolehkan dirinya berhenti. Dan dirinya
cenderung kepada berminyak-minyak air dan menyiai-nyiakan kebenaran. Dan
menjatuhkannya dalam neraka jahannam. Dan ia tidak sanggup mencabut diri
daripadanya, sampai mati. Kecuali, ia melepaskan diri (berhenti) dengan
memaksakan diri. Dan ada padanya azab yang segera atas tiap-tiap orang yang
menyukai memegang pemerintahan. Manakala nafsu cenderung kepada mencari jabatan
pemerintahan dan nafsu itu membawa kepada meminta dan mencari, maka itu adalah
tanda kejahatan. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya kami tiada
akan mengangkat untuk mengurus urusan kami, orang yang meminta pada kami”. Maka
apabila anda telah memahami perbedaan hukum orang yang kuat dan orang yang
lemah, niscaya anda ketahui, bahwa larangan Abu Bakar ra kepada Rafi’ dari
jabatan memegang pemerintahan, kemudian Abu Bakar ra sendiri memegang jabatan
khalifah, tidaklah bertentangan. Adapun jabatan hakim, walaupun itu kurang dari
jabatan al-khilafah dan al-imarah, akan tetapi dalam pengertian dengan yang dua
itu. Sesungguhnya tiap-tiap yang mempunyai wilayah itu adalah: amir. Artinya: mempunyai amar
(perintah) yang berlaku. Dan jabatan amir itu disukai dengan tabiat (karakter).
Dan pahala pada jabatan hakim itu besar, serta mengikuti kebenaran. Dan
siksanya juga besar, serta berpaling daripada kebenaran. Nabi saw telah
bersabda: “Hakim (qadli) itu 3. Dua hakim dalam neraka dan seorang hakim dalam
sorga”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang diangkat menjadi hakim, maka
sesungguhnya ia telah disembelih, tanpa pisau”. Maka hukumnya jabatan hakim itu
seperti hukumnya jabatan amir (penguasa). Seyogyalah ditinggalkan oleh
orang-orang lemah. Setiap orang bagi dunia dan kelezatannya itu, mempunyai
timbangan pada matanya. Dan hendaklah dipegang jabatan itu, oleh orang-orang
kuat, yang tidak dapat diambil (dipengaruhi) oleh cacian orang yang mencacikan,
pada jalan Allah. Manakala sultan-sultan (penguasa-penguasa) itu orang-orang
zalim dan hakim tidak sanggup atas kehakiman, selain dengan berminyak-minyak
air dengan mereka dan menyia-nyiakan sebahagian hak karena mereka dan karena
orang-orang yang berhubungan dengan mereka, karena hakim itu tahu, bahwa
jikalau ia melaksanakan hukum kepada mereka dengan benar, niscaya mereka akan
memberhentikannya atau tiada akan mentaatinya. Maka orang yang akan menjadi
hakim itu, tak usah menerima jabatan hakim tersebut. Dan jikalau diterimanya,
maka haruslah ia menuntut pada mereka dengan hak-haknya. Dan tidaklah
sekali-kali, takut diberhentikan itu, menjadi halangan yang meringankan
baginya, pada menyia-nyiakan hak. Akan tetapi, apabila ia diberhentikan,
niscaya gugurlah janji tugas daripadanya. Maka seyogyalah ia bergembira dengan
pemberhentian itu, jikalau ia menjadi hakim karena Allah. Maka jikalau ia tidak
membolehkan dirinya dengan demikian, maka dia jadinya menerima jabatan hakim
itu, karena mengikuti hawa nafsu dan setan. Maka bagaimana ia mengharap pahala
padanya, sedang dia bersama orang-orang yang zalim, pada lapisan yang terbawah
dari api neraka? Adapun pengajaran, fatwa, mengajar, merawikan hadits,
mengumpulkan isnad-isnad hadits yang tinggi dan tiap-tiap sesuatu yang
meluaskan kemegahan dan membesarkan kedudukan, maka bahayanya juga besar,
seperti bahaya memegang pemerintahan. Ulama-ulama terdahulu yang mempunyai rasa
takut, adalah mereka tolak-menolak pada memberi fatwa, selama mereka mendapat
jalan untuk itu. Adalah mereka mengatakan: “Diberitakan kepada kami oleh salah
satu dari pintu-pintu dunia”. Dan orang yang mengatakan: diberitakan kepada
kami (haddatsanaa) itu, sesungguhnya (mengandung arti) bahwa ia mengatakan:
mereka telah melapangkan bagiku. Abu Nashar Bisyir bin Al-Harts menanamkan
sekian gerobak dari hadits (yang dituliskannya dengan tangannya). Dan ia
mengatakan: “Aku dilarang dari memperkatakan hadits oleh karena aku ingin untuk
memperkatakan hadits. Jikalau aku ingin untuk tidak memperkata kan hadits, maka
aku memperkatakan hadits itu”. Orang yang memberi pengajaran (nasehat), bahwa
pada pengajarannya, pada membekas hati manusia dengan pengajarannya,
sambung-menyambung tangisan mereka, jeritan jiwa mereka dan menghadapnya mereka
kepadanya, ia memperoleh kelezatan yang tidak dapat dibandingi dengan kelezatan
lainnya. Apabila mengerasi yang demikian pada hatinya, niscaya tabiatnya
(karakternya) cenderung kepada tiap-tiap perkataan yang terhias (berirama),
yang laku pada orang awam. Walaupun perkataan itu batil/salah. Dan ia lari
daripada tiap-tiap perkataan, yang dirasa berat oleh orang awam. Walaupun
perkataan itu benar. Dan jadilah serahan cita-cita secara keseluruhan, kepada
yang menggerakkan hati orang awam. Dan yang akan membesarkan kedudukannya pada
hati orang awam itu. Maka ia tidak mendengar hadits dan hikmah, melainkan ada
kegembiraannya dengan pendengarannya itu, dari segi bahwa pantas untuk
disebutkannya diatas puncak mimbar. Dan adalah seyogyanya kegembiraannya itu,
dari segi bahwa ia mengetahui jalan bahagia dan jalan yang menuju jalan agama.
Pertama untuk diamalkannya. Kemudian ia mengatakan: “Apabila Allah mencurahkan
nikmat kepadaku dengan nikmat ini dan memberi menfaat kepadaku dengan hikmah
ini, maka akan aku ceritakan, supaya berkongsi dengan aku pada manfaatnya,
saudara-saudaraku kaum muslimin”. Maka ini juga termasuk yang besar padanya
ketakutan dan fitnah. Maka hukumnya adalah seperti hukum memegang kekuasaan
pemerintahan. Maka barangsiapa yang tiada mempunyai penggerak, selain oleh
mencari kemegahan dan kedudukan, makan dengan memperalatkan agama, menyombong
dan membanyak-banyakkan harta, maka seyogyalah ditinggalkannya. Dan dilawan
hawa nafsunya, sampai dirinya terlatih dan kuat cita-citanya pada agama. Dan
merasa aman dirinya dari fitnah. Maka ketika itu ia kembali kepadanya. Kalau
anda mengatakan, bahwa manakala hukumnya yang demikian kepada ahli ilmu,
niscaya terbengkalailah ilmu dan merosot. Dan meratalah kebodohan kepada
makhluk seluruhnya. Maka kami mengatakan, bahwa Rasulullah saw melarang
daripada mencari al-imarah dan Nabi saw mengancam dengan siksaan, sehingga
beliau bersabda: “Sesungguhnya kamu loba kepada jabatan al-imarah. Bahwa
al-imarah itu suatu keluhan dan sesalan pada hari kiamat, selain orang yang
mengambilnya dengan sebenarnya”. Nabi saw bersabda: “Amatlah mendapat nikmat
wanita yang menyusukan dan tidak mendapat nikmat wanita yang memberhentikan
penyusuannya”. Dan sebagai dimaklumi, bahwa pangkat kesultanan (as-sulthanah)
dan pangkat keamiran (al-imarah), jikalau kosong, niscaya rusaklah agama dan
dunia semua. Berkobarlah peperangan antara makhluk, hilanglah keamanan,
robohlah negeri dan kosonglah penghidupan. Maka dengan demikian, mengapa
dilarang dari jabatan tersebut? Dan Umar ra memukul Ubai bin Kaab, dimana
beliau melihat suatu kaum mengikuti Ubai. Padahal dalam pada itu, Umar ra
mengatakan: “Ubai itu penghulu kaum muslimin”. Dan Ubai membaca Alquran kepada
Umar ra, lalu Umar ra melarang orang mengikuti Ubai. Dan Umar ra mengatakan:
“Yang demikian itu fitnah kepada yang diikuti dan kehinaan kepada yang
diikuti”. Dan Umar ra itu sendiri berpidato (berkhutbah), memberi pengajaran
dan ia tidak dilarang daripada yang demikian. Seorang laki-laki meminta izin
pada Umar ra untuk memberi pengajaran kepada manusia, apabila ia telah selesai
daripada shalat subuh. Lalu Umar ra melarang orang tersebut, maka orang itu
bertanya: “Engkau larang aku daripada menasehati manusia?”. Lalu Umar ra
menjawab: “Aku takut engkau bersuara keras, sehingga sampai ke bintang
surayya”, karena Umar ra melihat pada orang itu tempat sangkaan kegemaran
kepada kemegahan pengajaran dan penerimaan makhluk. Jabatan kehakiman dan
khalifahan itu termasuk daripada yang diperlukan manusia pada agamanya,
seperti: memberi pengajaran, mengajar dan berfatwa. Dan pada masing-masing
daripada keduanya terdapat fitnah dan lezat. Maka tiada beda antara keduanya
itu. Adapun kata orang yang mengatakan, bahwa dilarangnya engkau daripada yang
demikain tu, membawa kepada merosotnya ilmu pengetahuan. Maka itu salah. Karena
Rasulullah saw melarang dari jabatan kehakiman itu, yang tidak membawa kepada
kekosongan kehakiman. Akan tetapi jabatan menjadi kepala (ar-riasah) dan
menyukainya itu, memerlukan bahwa makhluk mencarinya. dan seperti demikian
juga, kesukaan menjadi kepala itu tidak meninggalkan ilmu pengetahuan menjadi
merosot. Bahkan jikalau makhluk itu ditahan dan diikat dengan rantai dan
belenggu, daripada mencari ilmu pengetahuan, yang padanya ada penerimaan orang
banyak dan jabatan kepala, niscaya mereka melepaskan diri dari tahanan itu.
Mereka akan memotong rantai dan pergi mencari ilmu pengetahuan. Sesungguhnya
Allah Ta’ala menjanjikan akan menguatkan agama ini, dengan kaum (golongan) yang
tiada berakhlak (tiada berbudi pekerti yang baik). Maka janganlah engkau
menyibukkan hati engkau dengan urusan manusia. Sesungguhnya Allah tiada
menyia-nyiakan mereka. Dan perhatikanlah kepada dirimu sendiri! Kemudian,
bersama ini aku mengatakan, bahwa apabila ada dalam negeri, suatu golongan yang
bangun memberi pengajaran, umpamanya, maka tiadalah pada melarang daripada
memberi pengajaran itu, selain sebagian mereka yang tidak mau. Jikalau tidak,
maka akan diketahui, bahwa semua mereka itu mau. Dan mereka tiada akan
meninggalkan kelezatan menjadi kepala (ar-riasah). Jikalau tidak ada dalam
negeri, selain seorang saja dan pengajarannya bermanfaat bagi manusia, dari
segi bagus perkataannya dan bagus kelakuannya pada zahir dan pengkhayalannya
kepada orang awam, bahwa dia dengan pengajarannya itu menghendaki Wajah Allah
dan meninggalkan dunia dan berpaling dari dunia, maka janganlah kita
melarangnya daripada memberi pengajaran. Dan kita mengatakan kepadanya:
“Bekerjalah dan berkesungguhanlah akan diri engkau!” jikalau ia menjawab: “Aku
tidak sanggup atas diriku”, maka kita jawab: “Bekerjalah dan berkesungguhan!”.
Karena kita mengetahui, bahwa jikalau ia meninggalkan yang demikian itu,
niscaya binasalah manusia semua. Karena tiada orang yang tegak berdiri
mengerjakan yang demikian itu, selain dia. Jikalau orang itu rajin dan
maksudnya mencari kemegahan, maka dia itu binasa sendiri. Dan keselamatan agama
semua orang, lebih kita sukai daripada keselamatan agamanya dia itu sendiri.
Maka kita jadikan dia itu tebusan bagi kaum (golongan). Dan kita mengatakan:
“Mudah-mudahan dia ini yang disabdakan oleh Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah
Ta’ala menguatkan agama ini, dengan kaum (orang-orang) yang tiada berakhlak”.
Kemudian, yang memberi pengajaran (waidh) itu, ialah: orang yang ingin pada
akhirat dan zuhud pada dunia, dengan pekataannya dan dengan zahiriah jalan
hidupnya. Adapun yang dikemukakan para waidh pada masa sekarang ini (masa Al
Imam Al Ghazali ( tida kesudahan / permulaan ) peny), ialah: dari
kalimat-kalimat yang dihiasi, kata-kata yang bersajak, yang dibarengi dengan
pantun-pantun, yang tak ada padanya pengagungan urusan agama dan penakutan
kepada kaum muslimin. Akan tetapi, padanya yang memberi harapan dan keberanian
kepada perbuatan-perbuatan maksiat, dengan senda gurau yang ganjil-ganjil. Maka
wajiblah dikosongkan negeri dari mereka itu. Sesungguhnya mereka adalah
pengganti-pengganti dajjal dan khalifah-khalifah setan. Dan sesungguhnya
pembicaraan kita ialah pada waidh, yang bagus pengajarannya, elok zahiriahnya.
Ia menyembunyikan pada dirinya, akan kesukaan penerimaan orang. Dan ia tidak
bermaksud yang lain. Dan mengenai apa yang telah kami kemukakan pada Kitab Ilmu
dahulu, dari hal janjian siksa (al-wa-iidh), yang datang pada diri ulama jahat
adalah yang menerangkan, harusnya penjagaan diri dari fitnah-fitnah ilmu dan
marabahayanya. Dan karena inilah, Nabi Isa as mengatakan: “Hai ulama jahat!
Kamu mengerjakan puasa, mengerjakan shalat dan bersedakah. Dan kamu tiada
mengerjakan apa yang kamu suruh. Dan kamu ajarkan apa yang tiada kamu kerjakan.
Maka alangkah jahatnya apa yang kamu hukum. Kamu bertobat dengan perkataan dan
angan-angan. Dan kamu kerjakan dengan hawa nafsu. Dan tiadalah mencukupi bagimu
membersihkan kulitmu dan hatimu kotor. Dengan sebenarnya, aku mengatakan
kepadamu; “Janganlah ada kamu itu seperti alat pengayak (pembersihan) tepung,
yang keluar daripadanya tepung yang baik dan tinggal padanya antahnya. Seperti
itu pula. Kamu keluarkan hukum dari mulutmu dan tinggallah iri hati dalam
dadamu. Wahai budak dunia! Bagaimana akan diperoleh akhirat, oleh orang yang
tidak habis nafsu syahwatnya dari dunia. Dan tidak putus dari dunia kegemarannya.
Dengan sebenarnya, aku mengatakan kepadamu, bahwa hatimu itu menangis dari amal
perbuatanmu. Kamu jadikan dunia dibawah lidahmu dan amal di bawah tapak kakimu.
Dengan sebenarnya, aku mengatakan kepadamu. Kamu rusakkan akhiratmu dengan
kebaikan duniamu. Maka kebaikan dunia itu lebih kamu cintai daripada kebaikan
akhirat. Maka manakah manusia yang lebih rugi daripada kamu? Jikalau kamu
ketahui akan celakanya kamu, sehingga kapan kamu membersihkan jalan bagi
orang-orang yang berjalan malam. Dan kamu bermukim (berada), pada tempat
orang-orang yang tiada tahu jalan. Seakan-akan kamu mengajak orang-orang dunia,
supaya meninggalkan dunia itu untukmu. Pelan-pelan! Celaka bagimu! Apakah
mencukupi bagi rumah yang gelap, bahwa diletakkan pelita di atas belakangnya dan
di dalamnya meliarkan hati, lebih gelap? Maka begitu pula, tiada mencukupi
bagimu, bahwa nur ilmu itu ada di mulutmu. Dan ronggamu itu meliarkan hati,
lagi kosong dari nur ilmu itu. Wahai budak-budak dunia! Kamu tidak seperti
budak-budak (hamba-hamba) yang taqwa. Dan tidak seperti orang-orang merdeka
yaang mulia. Mendekatilah dunia itu mencabutmu dari asal usul kamu. Lalu
dilemparkannya kamu di atas mukamu. Kemudian, ditelungkupkannya kamu atas
hidungmu. Kemudian, diambilnya kesalahan-kesalahan kamu, dengan dahimu.
Kemudian, kamu tolak oleh ilmu dari belakangmu. Kemudian, diserahkannya kamu
kepada raja yang mendatangkan agama, dalam keadaan kaki tiada beralas dan badan
telanjang, sendirian. Maka diberitahukan kepadamu akan kejelekan kamu.
Kemudian, diberi balasan kepadamu, disebabkan keburukan amalmu”. Dirawikan
Al-Harts Al-Muhasibi hadits ini pada sebagian kitab-kitabnya, ia mengatakan:
“Mereka itu ulama jahat, setan manusia dan fitnah kepada manusia. Mereka gemar
pada harta benda dunia dan ketinggian dunia. Mereka lebih mengutamakan dunia
dari akhirat. Mereka menghinakan agama
untuk dunia. Maka mereka di dunia itu malu dan memalukan. Dan di akhirat mereka
itu merugi. Jikalau anda mengatakan: bahaya-bahaya ini nyata. Akan tetapi,
telah tersebut pada hadits-hadits, mengenai ilmu dan pengajaran, hal-hal yang
digemarkan, dalam jumlah yang banyak. Sehingga Rasulullah saw bersabda: “Bila
diberi hidayah (petunjuk) oleh Allah dengan engkau seseorang maka adalah itu
lebih baik bagi engkau dari dunia dan isinya. Nabi saw bersabda: “Siapa saja
pengajak yang mengajak pada petunjuk dan dia itu diikuti, maka baginya pahala
dan pahala yang mengikutinya”. Dan hadits-hadits lain, yang menerangkan
keutamaan ilmu. Maka seyogyalah dikatakan kepada orang yang berilmu: “Bekerjalah
dengan ilmu dan tinggalkanlah berbuat ria dengan makhluk!” sebagaimana
dikatakan kepada orang yang telah digerakkan oleh ria pada shalat: “Jangan engkau meninggalakan amal! Akan
tetapi sempurnakanlah amal itu dan berkesungguhanlah melawan hawa nafsumu!”.
Maka ketahuilah kiranya, bahwa keutamaan ilmu itu besar, dan bahayanya lebih
besar. seperti keutamaan al-khilafah dan al-imarah. Dan tidak kita mengatakan
kepada seseorang dari hamba Allah: “Tinggalkanlah ilmu!”. Karena tidak ada,
pada diri ilmu itu bahaya. Dan bahaya itu sesungguhnya, pada melahirkan ilmu
itu, dengan menghadapi pengajaran (nasehat), palajaran dan periwayatan hadits.
Dan juga tidak kita mengatakan kepadanya: “Tinggalkanlah ilmu! Selama dia
mendapati pada dirinya, penggerak keagamaan, yang bercampur dengan penggerak
ria. Adapun apabila dia tidak digerakkan, selain oleh ria, maka ditinggalkan
melahirkan itu lebih bermanfaat dan lebih menyelamatkannya. Demikian juga
shalat-shalat nafilah (shalat sunat), apabila semata-mata padanya penggerak ria,
niscaya wajiblah meninggalkan shalat nafilah tersebut. Adapun apabila
digariskan kepadanya oleh bisikan ria, pada waktu sedang shalat, dan ia benci
kepada bisikan itu, maka janganlah ditinggalkan shalat. Karena bahaya ria pada
ibadah itu lemah. Dan bahaya itu besar pada jabatan pemerintahan dan pada
menghadapi kedudukan-kedudukan tinggi pada ilmu pengetahuan. Kesimpulan,
tingkat-tingkat itu 3:
Pertama: Memegang pemerintahan. Dan
bahaya padanya besar. Dan telah ditinggalkan oleh segolongan dari salaf
(orang-orang terdahulu), karena takut dari bahaya itu.
Kedua: puasa, shalat, haji dan
perang. Dan para salaf yang kuat dan yang lemah, telah mengerjakan ibadah
tersebut. Dan tidak dipilih oleh mereka untuk meninggalkannya, karena takut bahaya.
Dan yang demikian itu, karena lemahnya bahaya yang masuk padanya. Dan sanggup
meniadakannya, serta menyempurnakan amal karena Allah, dengan kekuatan yang
paling kurang.
Ketiga: yaitu: diantara dua tingkat
tadi. Yaitu: menghadapi kedudukan pengajaran (nasehat), fatwa, riwayat hadits
dan mengajar. Dan bahaya padanya sangat sedikit, dibandingkan dengan bahaya
pada pemerintahan. Dan lebih banyak daripada yang pada shalat. Maka shalat itu,
seyogyalah tidak ditinggalkan oleh orang yang lemah dan orang yang kuat. Akan
tetapi, ditolak gurisan ria itu. Dan pemerintahan, seyogyalah ditinggalkan
terus, oleh orang-orang yang lemah, tidak oleh orang-orang yang kuat. Dan
kedudukan ilmu pengetahuan itu, diantara yang dua tadi. Siapa yang mencoba
bahaya kedudukan ilmu, niscaya ia tahu, bahwa kedudukan ilmu itu lebih
menyerupai dengan pemerintahan. Dan menjaga diri daripadanya, pada pihak orang
yang lemah itu lebih menyelamatkan. Wallahu A’lam Allah Yang Maha Tahu. Dan
disini ada tingkat keempat. Yaitu: mengumpulkan harta dan mengambilnya untuk
dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak. Maka pada membelanjakan harta
dan melahirkan kemurahan, karena menarik pujian dan memasukkan kesenangan
kepada hati manusia itu, suatu kelezatan bagi diri. Dan bahaya padanya juga
banyak. Dan karena itulah, ditanyakan Al-Hasan Al-Bashari ra dari hal seorang laki-laki yang mencari
makanan pokok (qut). Kemudian sesudah diperolehnya makanan itu ditahannya. Dan
seorang laki-laki yang lain, yang mencari lebih dari qutnya. Kemudian ia
sedekahkan. Lalu Al-Hasan Al-Bashari ra
menjawab: “Orang yang duduk (tidak mencari) itu, lebih utama (lebih afdhal).
Karena apa yang diketahui mereka, dari sedikitnya keselamatan di dunia. Dan
sesungguhnya sebahagian dari zuhud itu, meninggal kan dunia, karena mendekatkan
diri kepada Allah Ta’ala. Abud-Darda ra mengatakan: “Tiadalah menyukakan aku,
bahwa aku bermukim pada tangga masjid Damaskus. Lalu aku peroleh setiap hari 50
dinar, yang akan aku sedekahkan. Sesungguhnya aku tidak mengharamkan bagi diriku
berjual beli. Akan tetapi aku menghendaki, bahwa aku ini termasuk diantara
orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan berjualan, daripada
mengingati Allah (dzikrullah)”. Sesungguhnya berselisih pendapat diantara para
ulama. Maka segolongan mengatakan, bahwa apabila mencari dunia dari yang halal
dan selamat daripada dunia dan menyedekahkannya, maka itu adalah lebih afdhal,
daripada menyibukkan diri dengan ibadah dan amal nafilah (amalan sunat).
Segolongan mengatakan, bahwa duduk berkekalan pada mengingati Allah
(dzikrullah) itu lebih afdhal. Mengambil dan memberi itu mengganggu daripada
dzikrullah. Sesungguhnya Nabi Isa Al-Masih as mengatakan: “Hai pencari dunia!
Hendaklah memperoleh kebajikan dengan dunia! Engkau tinggalkan dunia itu lebih
mendatangkan kebajikan lagi”. Nabi Isa as berkata pula: “Sesedikitnya pada
mencari dunia itu, ialah bahwa ia diganggu oleh perbaikannya, daripada
dzikrullah. Dan dzikrullah itu lebih agung dan lebih afdhal”. Ini adalah pada
orang yang selamat dari bahaya-bahaya. Adapun orang yang mendatangi bahaya ria,
maka ditinggalkannya dunia itu lebih mendatangkan kebajikan. Dan sibuk dengan
dzikir tiada berselisih pendapat lagi bahwa itu lebih afdhal. Kesimpulannya,
bahwa apa yang menyangkut dengan makhluk dan bagi diri ada kelezatan padanya,
maka itu adalah tempat berkembangnya bahaya. Dan yang lebih disukai, ialah
berbuat amal dan menolak bahaya-bahaya. Jikalau lemah, maka hendaklah
memperhatikan dan berusaha sungguh-sungguh. Dan hendaklah meminta fatwa pada
hati dan menimbang, apa yang ada padanya kebajikan, dengan apa yang ada padanya
kejahatan. Dan hendaklah diperbuat, apa yang ditunjukkan oleh nur ilmu, tidak
yang dicenderungi oleh tabiat (karakter). Kesimpulannya, bahwa apa yang
didapati lebih ringan pada hati, maka pada kebanyakannya itu lebih mendatangkan
melarat kepadanya. Karena nafsu itu tidak mengisyaratkan, selain dengan
kejahatan. Dan sedikitlah nafsu itu memperoleh kelezatan pada kebajikan dan
cenderung kepada kebajikan. Walaupun ada, yang demikian itu, tidak jauh pula
pada sebahagian keadaan. Inilah hal-hal yang tidak mungkin hukumnya, diatas
uraian-uraiannya dengan negatif (nafi) dan positif (itsbat). Itu adalah
terserah kepada kesungguhan (ijtihad) hati. Supaya ia melihat padanya, karena
agamanya. Dan meninggalkan apa yang meragukan, kepada yang tidak meragukan.
Kemudian, kadang-kadang terjadi dari apa yang kami sebutkan itu, tipuan bagi
orang bodoh. Lalu ia memegang harta dan tidak membelanjakannya, karena takut
dari bahaya. Dan itu adalah kikir yang sebenarnya. Dan tiada berselisih
pendapat diantara para ulama, tentang membagikan harta pada hal yang mubah
(yang diperbolehkan), lebih-lebih lagi hal sedekah itu, lebih afdhal daripada
menahannya. Dan berselisih pendapat itu, ialah mengenai orang yang memerlukan
kepada usaha, bahwa yang afdhal: usaha dan membelanjakan atau semata-mata
berdzikir. Dan yang demikian, karena pada usaha itu terdapat bahaya-bahaya.
Adapun harta yang diperoleh dari yang halal, maka membagikannya adalah lebih
afdhal daripada menahannya dalam segala hal. Jikalau anda bertanya: dengan
tanda apa anda ketahui, bahwa orang alim dan orang yang memberi pengajaran
(nasehat) itu, orang yang benar, lagi ikhlas pada pengajarannya, tiada
menghendaki memperlihatkan (ria) kepada manusia?. Maka ketahuilah, bahwa yang
demikian itu mempunyai tanda-tanda: salah satu daripadanya, bahwa kalau muncul
orang yang lebih baik pengajarannya daripadanya atau lebih banyak ilmunya
daripadanya dan manusia sangat menerima pengajaran orang itu, niscaya ia
bergembira dan tidak dengki kepadanya. Ya, tiada mengapa ghibthah. Yaitu:
bercita-cita bagi dirinya sendiri, seperti ilmu orang itu. Tanda yang lain,
bahwa apabila pembesar-pembesar hadir pada majelisnya, niscaya tidak berobah
perkataannya. Akan tetapi, tetap sebagaimana yang sudah-sudah. Ia melihat
kepada makhluk dengan satu mata penglihatan (tidak ada perbedaan penglihatannya
diantara seorang dengan lainnya). Tanda yang lain, bahwa ia tidak menyukai
orang mengikutinya di jalan dan orang berjalan di belakangnya di pasar-pasar.
Dan bagi yang demikian, banyak tanda-tanda, yang panjang penghinggaan nya.
Diriwayatkan dari Sa’id bin Abi Marwan, yang mengatakan: “Adalah aku duduk di
samping Al-Hasan, ketika masuk ke tempat kami Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi,
dari sebahagian pintu masjid. Dan bersama Al-Hajjaj itu pengawalnya. Al-Hajjaj
itu mengendarai kuda Rum berwarna kuning (burdzun ashfar). Lalu Al-Hajjaj itu
masuk ke halaman masjid dengan mengendarai burdzunnya. Maka ia menoleh ke sana
ke mari dalam masjid. Lalu tidak dilihatnya di belakangnya, lebih ramai dari
kelompok (halqah) Al-Hasan. Maka ia menuju ke halqah tersebut, sehingga ia
sampai dekat halqah itu. Kemudian, ia melipatkan pahanya, lalu turun dari kuda
dan berjalan menuju Al-Hasan. Tatkala Al-Hasan melihat Al-Hajjaj menuju
kepadanya, lalu beliau renggangkan tempat untuk Al-Hajjaj di samping tempat
duduknya. Sa’id –perawi riwayat ini- mengatakan: “Akupun merenggangkan pula
untuk Al-Hajjaj di samping tempat dudukku. Sehingga, diantara aku dan Al-Hasan,
terdapat renggang dan tempat duduk bagi Al-Hajjaj. Lalu Al-Hajjaj datang dan ia
duduk antara aku dan Al-Hasan. Dan Al-Hasan terus berbicara dengan pembicaraan
yang dibicarakannya pada setiap hari. Al-Hasan tiada memutuskan perkataannya”.
Sa’id meneruskan riwayatnnya: “Lalu aku mengatakan pada diriku. Aku akan
mencoba Al-Hasan hari ini. Akan aku lihat, adakah terbawa Al-Hasan oleh
duduknya Al-Hajjaj di sampingnya, untuk menambahkan pada perkataannya, yang
mendekatkan dia kepada Al-Hajjaj? Atau terbawa Al-Hasan oleh kehebatan
Al-Hajjaj, bahwa ia mengurangi perkataannya?”. Maka Al-Hasan itu berkata-kata
dengan suatu perkataan, yang serupa dengan apa yang diperkatakannya pada setiap
hari. Sehingga ia selesai kepada akhir perkataannya. Tatkala Al-Hasan telah
selesai daripada perkataannya dan dia tidak perduli dengan Al-Hajjaj, lalu
Al-Hajjaj mengangkat tangannya dan memukul bahu Al-Hasan. Kemudian, Al-Hajjaj
mengatakan: “Benarlah Asy-Syaikh dan telah berbuat baik!”. Maka haruslah kamu
semua dengan majelis ini dan yang serupa dengan majelis ini! Maka buatlah
majelis ini menjadi tingkah laku dan kebiasaan. Sesungguhnya sampai kepadaku
dari Rasulullah saw yang mengatakan: “Bahwa majelis dzikir itu adalah kebun
sorga”. Jikalau tidaklah apa yang kami tanggung dari urusan manusia, niscaya
tidaklah kamu mengalahkan kami atas majelis ini. Karena kami ketahui dengan
kelebihannya”. Sa’id meneruskan riwayatnya: “Kemudian, Al-Hajjaj membuka
mulutnya, lalu berkata, yang menakjubkan Al-Hasan dan orang-orang yang hadir,
dari kemahirannya berbicara (balaghahnya). Tatkala Al-Hajjaj telah selesai
berbicara, lalu ia bangun berdiri. Maka datanglah seorang laki-laki dari
penduduk negeri Syam (Syiria) ke majelis Al-Hasan tersebut, ketika Al-Hajjaj
sudah bangun berdiri, seraya mengatakan: “Wahai hamba Allah yang muslimin!
Apakah kamu tidak heran, bahwa aku ini seorang tua yang telah lanjut usianya?
Aku disuruh berperang, lalu aku mengeluarkan perbelanjaan berupa kuda, baghal
(seperti keledai) dan aku mengeluarkan perbelanjaan membuat kemah. Dan aku mempunyai
300 dirham dari pemberianku. Dan aku mempunyai 7 orang anak perempuan dari
keluargaku”. Lalu orang tua tersebut mengadukan halnya, sehingga hancurlah hati
Al-Hasan dan sahabat-sahabatnya. Dan Al-Hasan menelungkupkan kepalanya. Tatkala
orang itu selesai dari berbicara, lalu Al-Hasan mengangkat kepalanya, seraya
mengatakan: “Apakah kiranya mereka! Mereka diperangi oleh Allah! Mereka
mengambil hamba-hamba Allah itu menjadi pelayan dan harta Allah itu bergiliran.
Mereka membunuh manusia atas dinar dan dirham. Maka apabila ia memerangi musuh
Allah, niscaya ia berperang dalam kemah yang hebat dan di atas baghal yang
cepat. Dan apabila ia suruh berperang saudaranya, niscaya disuruhnya berperang
dalam keadaan lapar, lagi berjalan kaki”. Maka tidaklah Al-Hasan itu tenang,
sehingga disebutnya mereka itu, dengan kekurangan yang paling keji dan sangat
buruk. Lalu orang yang dari penduduk negeri Syam tadi, bangun berdiri, yang
tadinya ia duduk dekat Al-Hasan. Lalu ia berjalan kepada Al-Hajjaj. Dan
diceritakannya kepada Al-Hajjaj perkataan Al-Hasan. Al-Hasan tetap pada tempat
semula, sehingga datanglah kepadanya utusan-utusan Al-Hajjaj. Para utusan itu
lalu mengatakan: “Perkenankanlah permintaan Amir!”. Lalu Al-Hasan bangun
berdiri. Dan kami kasihan kepadanya, dari sangat keras perkataannya, yang
diperkatakannya. Maka demikianlah Al-Hasan itu, sehingga ia kembali ke tempat
duduknya yang semula. Dan dia itu tersenyum dan sedikitlah aku melihat mulutnya
terbuka, yang ia tertawa. Sesungguhnya dia itu tersenyum. Lalu ia menghadap
kedepan sehingga ia duduk pada tempatnya yang semula. Ia mengagungkan amanah
dan mengatakan: “Sesungguhnya kamu duduk-duduk dengan amanah. Seakan-akan kamu
menyangka, bahwa hiyanat itu tidak ada, selain pada dinar dan dirham.
Sesungguhnya kihanat yang paling besar, ialah: bahwa duduk-duduk bersama kita,
seorang laki-laki. Lalu kita merasa tentram duduk di sampingnya. Kemudian,
orang itu berjalan, lalu ia berjalan pelan-pelan dengan kita, kepada bunga api
neraka. Sesungguhnya aku datang kepada orang itu, lalu ia mengatakan: “Aku
pendekkan atasmu dari lidahmu!” dan perkataanmu!” Apabila orang itu memerangi
musuh Allah begitu-begitu dan apabila ia menyuruh saudaranya berperang, niscaya
disuruhnya berperang begitu Tak ada bapakmu! Kamu gerakkan manusia atas kami?
Adapun aku adalah di atas yang demikian. Dilembutkan mereka oleh nasehatmu.
Maka aku pendekkan atasmu dari lidahmu”. Sa’id meneruskan riwayatnya: “Lalu
Al-Hajjaj itu ditolak oleh Allah daripadaku”. Dan Al-Hasan mengendarai
keladainya, bermaksud pulang ke rumahnya. Maka tiba-tiba waktu ia sedang
berjalan, ketika ia berpaling, lalu dilihatnya orang banyak mengikutinya. Maka
ia berhenti, seraya bertanya: “Adakah kamu mempunyai hajat keperluan? Atau kamu
mau menanyakan sesuatu? Jikalau tidak, maka kembalilah!”. Maka tidaklah tinggal
ini dari hati hamba Allah. Dengan tanda-tanda tersebut dan yang seperti
tanda-tanda itu, jelaslah rahasia batin. Dan manakala anda melihat alim ulama,
yang berlainan satu sama lain dan berdengki-dengkian, tidak jinak-menjinakkan
hati dan tidak bertolong-tolongan, maka ketahuilah, bahwa mereka itu telah
membeli kehidupan dunia dengan harganya akhirat. Maka mereka itu rugi. Wahai
Allah Tuhan kami! Kasihanilah kami dengan kasih-sayangMu, wahai yang Maha
Pengasih dari yang pengasih!.
PENJELASAN: apa
yang shah dari kerajinan hamba bagi ibadah, disebabkan dilihat makhluk dan apa
yang tidak shah.
Ketahuilah, bahwa
seseorang itu kadang-kadang bermalam bersama orang banyak pada suatu tempat.
Lalu mereka itu bangun malam untuk shalat tahajjud. Atau bangun sebahagian
mereka. Lalu mereka itu mengerjakan shalat malam seluruhnya atau sebagiannya.
Dan orang yang tersebut di atas tadi, adalah termasuk orang yang bangun malam
di rumahnya, mendekati sesaat saja. Maka apabila ia melihat orang banyak, lalu
bangkit kerajinannya, untuk menyesuaikan diri. Sehingga ia menambahkan di atas
yang dibiasakannya. Atau ia mengerjakan shalat, sedang dia tidak pernah
membiasakan sekali-kali mengerjakan shalat malam (shalat tahajjud). Demikian
pula, kadang-kadang ia berada pada suatu tempat, dimana orang tempat tersebut
mengerjakan puasa. Maka membangkitlah baginya kerajinan pada berpuasa. Dan
jikalau mereka tidak ada, niscaya tidaklah membangkit kerajinan itu. Maka ini,
kadang-kadang disangka orang bahwa itu ria. Dan yang wajib (yang perlu) ialah
meninggalkan penyesuaian dengan mereka itu. Dan tidaklah seperti yang demikian,
secara mutlak. Akan tetapi ada penguraian. Karena setiap orang mukmin itu gemar
pada ibadah kepada Allah Ta’ala, pada bangun malam untuk shalat tahajjud dan
puasa pada siang hari. Akan tetapi, kadang-kadang dihalangi oleh
penghalang-penghalang, dicegah oleh kesibukan dan dikerasi oleh ketekunan pada
hawa nafsu. Atau ditarik oleh kelalaian. Maka kadang-kadang, adanya dilihat
oleh orang lain itu menjadi sebab hilangnya kelalaian. Atau tertolaknya
penghalang-penghalang dan kesibukan pada sebahagian tempat. Lalu membangkitlah
kerajinan. Kadang-kadang orang itu di tempatnya sendiri. Lalu dipotong oleh
beberapa sebab, daripada mengerjakan shalat tahajjud. Seperti: nyenyaknya tidur
di atas tempat tidur yang empuk. Atau tetapnya bersenang-senang dengan
isterinya. Atau bercakap-cakap bersama keluarga dan kaum kerabatnya. Atau sibuk
dengan anak-anaknya. Atau membaca perhitungan bersama orang-orang yang berjual
beli dengan dia. Maka apabila ia berada pada tempat tinggal yang jauh, niscaya
tertolaklah segala yang menyibukkan itu, yang melemahkan kegemarannya dari
kebajikan. Dan berhasillah sebab-sebab baginya, yang membangkitkan kepada
kebajikan, seperti: dilihatnya mereka. Dan mereka itu sudah menghadapkan
dirinya kepada Allah dan berpaling daripada dunia. Maka ia melihat kepada
mereka. Lalu ia berlomba-lomba dengan mereka. Dan sulitlah baginya, oleh sebab
mereka itu telah mendahuluinya dengan ketaatan kepada Allah. Maka tergeraklah
pengajaknya karena agama, tidak karena ria. Atau kadang-kadang ia dipisahkan
oleh tidur, karena tidak disenanginya tempat itu ataupun sebab yang lain. Maka
ia memperoleh hilangnya tidur. Dan pada tempatnya sendiri, kadang-kadang ia
dikerasi oleh tidur. Dan kadang-kadang bertambah kepadanya, bahwa ia selalu
pada tempatnya sendiri. Dan dirinya tidak membolehkan selalu dengan mengerjakan
shalat tahajjud. Dan dirinya itu membolehkan shalat tahajjud tersebut pada
waktu yang sedikit saja. Maka adalah yang demikian itu, sebabnya kerajinan ini,
serta tertolaknya penghalang-penghalang lainnya. Kadang-kadang sukar kepadanya
berpuasa di tempatnya sendiri dan bersama dia makanan-makanan yang enak. Dan
sulit ia bersabar dari makanan itu. Maka apabila ia berhajat kepada makanan
tersebut, niscaya tidak sukar kepadanya. Lalu tergeraklah ajakan agama untuk
berpuasa. Maka nafsu-syahwat yang ada itu adalah penghalang-penghalang dan
pendorong-pendorong yang mengalahkan penggerak agama. Apabila ia selamat
daripadanya, niscaya kuatlah penggerak itu. Maka ini dan sebab-sebab yang lain
yang seumpama ini, dapatlah tergambar akan terjadi. Dan yang menjadi sebab
padanya, ialah: dilihat manusia dan adanya dia bersama manusia itu. Dan setan serta yang demikian, kadang-kadang
menghalangi dari amal. Dan mengatakan: “Jangan engkau melakukan amal!
Sesungguhnya engkau itu adalah berbuat ria. Karena engkau tidak melakukan amal
di rumah engkau sendiri. Dan jangan engkau tambahkan atas shalat engkau yang
biasa!”. Kadang-kadang ada kegemarannya itu pada menambahkan, karena dilihat
mereka. Dan karena takut dari celaan mereka. Dan karena dikaitkan mereka, bahwa
dia itu malas. Lebih-lebih lagi, apabila mereka itu menyangka, bahwa dia bangun
malam untuk shalat tahajjud. Dan dirinya tidak membolehkan, bahwa dia jatuh
derajatnya (gengsinya) dari mata mereka. Lalu ia menghendaki memelihara kedudukannya.
Dan ketika itu, kadang-kadang setan mengatakan: “Bershalatlah, sesungguhnya
engkau itu orang yang ikhlas! Dan engkau tidak mengerjakan shalat lantaran
mereka. Akan tetapi karena Allah. Dan sesungguhnya engkau tidak mengerjakan
shalat pada setiap malam, karena banyaknya penghalang-penghalang. Dan
sesungguhnya yang mengajak engkau kepada shalat itu, adalah karena hilangnya
penghalang-penghalang. Tidak karena dilihat oleh mereka”. Dan ini adalah hal
yang meragukan, kecuali bagi orang-orang yang mempunyai bashirah (mata hati).
Maka apabila diketahui, bahwa penggerak itu ria, lalu tiada seyogyalah ia
menambahkan, daripada yang dibiasakannya. Dan tidak, walau satu rakaatpun.
Karena ia menjadi maksiat kepada Allah, dengan mencari pujian manusia, dengan ketaatan
kepada Allah. Dan jikalau kebangkitannya untuk menolak penghalang-penghalang
dan tergeraknya kegemaran dan perlombaan, disebabkan ibadah mereka, maka
hendaklah ia menyesuaikan dengan mereka. Tanda yang demikian, ialah
mengemukakan kepada dirinya bahwa jikalau ia melihat mereka mengerjakan shalat,
dari tempat yang kira-kira mereka tidak melihat dia. Akan tetapi dari balik
tabir. Dan dia pada tempat itu sendiri. Adakah dirinya bermurah hati dengan
shalat dan mereka itu tidak melihatnya? Jikalau dirinya bermurah hati dengan
shalat itu, maka hendaklah ia shalat! Maka sesungguhnya, ialah kebenaran. Dan
jikalau ada yang demikian itu berat atas dirinya, jikalau ia jauh dari mata
mereka, maka hendaklah ditinggalkannya shalat itu. Maka sesungguhnya penggeraknya,
ialah: ria. Begitu pula, kadang-kadang manusia itu datang pada hari Jum’at pada
masjid Jami’ (masjid yang dipakai untuk shalat Jum’at), dari rajinnya shalat,
apa yang tidak didatanginya setiap hari. Dan mungkin ada yang demikian itu,
karena suka pujian mereka. Dan mungkin ada kerajinannya itu, disebabkan
kerajinan mereka. Dan hilang kelalaiannya, disebabkan menghadapnya mereka
kepada Allah Ta’ala. Kadang-kadang dengan yang demikian, tergeraklah penggerak
agama dan dibarengi oleh tertariknya nafsu kepada kesukaan pujian. Maka
manakala diketahuinya, bahwa yang mengeras pada hatinya, ialah kehendak agama,
maka tiada seyogyalah, ia meninggalkan amal, dengan apa yang didapatinya,
daripada kesukaan pujian. Akan tetapi seyogyalah, ditolaknya yang demikian itu atas
dirinya dengan kebencian. Dan ia berbuat mengerjakan ibadah. Begitu pula,
kadang-kadang suatu jama’ah (rombongan ibadah) itu menangis. Lalu ia melihat
kepada mereka. Maka datanglah tangisnya, karena takut kepada Allah Ta’ala,
tidak karena ria. Dan jikalau ia mendengar perkataan itu sendirian, niscaya dia
tidak menangis. Akan tetapi, tangisan manusia membekas pada melunakkan hatinya.
Kadang-kadang tidak datang tangisnya. Lalu ia turut menangis, sekali karena ria
dan pada lain kali, serta kebenaran. Karena ia takut atas dirinya, akan
kekesatan hati, ketika mereka itu menangis dan dia tidak keluar air matanya.
Lalu ia turut menangis, dengan paksaan. Dan itu adalah terpuji. Dan tanda
kebenaran padanya, ialah bahwa ia kemukakan kepada dirinya, bahwa jkalau ia mendengar
tangisan mereka, dari tempat yang kira-kira mereka tiada melihatnya, maka
adakah ia takut atas dirinya, akan kekesatan hati, lalu ia membuat dirinya
menangis atau tidak? Maka jikalau ia tidak mendapati yang demikian, ketika
diumpamakan tersembunyi dari mata mereka, maka sesungguhnya takutnya itu,
adalah dari dikatakan, bahwa dia itu kesat hati. Maka seyogyalah, ia
meninggalkan membuat tangisan itu. Lukman as mengatakan kepada puteranya:
“Janganlah engkau memperlihatkan kepada manusia, bahwa engkau takut kepada
Allah, supaya mereka memuliakan engkau! Dan hatimu itu zalim”. Begitu pula
memekik, menarik nafas dan mengerang (mengatakan aduh dsb) ketika mendengar
pembacaan Alquran atau dzikir atau pada sebahagian keadaan yang berlaku. Sekali
ada yang demikian itu dari kebenaran, kesedihan, ketakutan, penyesalan dan
keluhan. Dan kali yang lain, ada yang demikian itu, karena dilihatnya kesedihan
orang lain dan kekesatan hatinya. Lalu ia memberatkan dirinya (memaksakan
dirinya) untuk menarik nafas dan mengeluh. Dan ia turut bersedih. Yang demikian
itu terpuji. Kadang-kadang dibarengi oleh kegemaran pada yang demikian, untuk
menunjukkan bahwa dia itu banyak kesedihan. Supaya ia dikenal orang dengan yang
demikian. Jikalau semata-mata itu mengajaknya, maka itu ria namanya, walaupun
pengajak itu dibarengi dengan pengajak kesedihan. Jikalau ajakan itu
ditolaknya, tidak diterimanya dan tidak disukainya, niscaya selamatlah
tangisannya dan turutnya dalam tangisan itu. Dan jikalau diterimanya yang
demikian dan ia cenderung kepadanya dengan hatinya, niscaya binasalah
pahalanya. Lenyaplah usahanya. Dan ia mendatangi bagi kemarahan Allah Ta’ala.
Dan kadang-kadang asal keluhan itu dari kesedihan. Akan tetapi, dipanjangkannya
dan ditambahkannya pada meninggikan suara. Maka tambahan itu adalah ria. Dan
itu terlarang. Karena tambahan itu pada hukum permulaannya, adalah karena
semata-mata ria. Kadang-kadang berkobar dari ketakutan itu, apa yang tiada
dikuasai oleh hamba itu akan dirinya. Akan tetapi didahului oleh gurisan ria. Lalu
diterimanya. Maka gurisan ria itu mengajak kepada tambahan penyedihan suara.
Atau meninggikan suara. Atau menjaga terus air mata mengalir pada muka.
Sehingga air mata itu dilihat orang, sesudah turunnya, karena takut kepada
Allah. Akan tetapi dipelihara bekasnya pada muka, untuk karena ria. Begitu
pula, kadang-kadang ia mendengar dzikir. Lalu lemah kekuatannya dari ketakutan.
Lalu ia jatuh. Kemudian, ia malu untuk dikatakan, bahwa dia jatuh dari bukan
hilangnya akal dan keadaan yang berat bagi dirinya. Lalu ia menjerit dan
memperlihatkan dirinya sedih, secara paksaan. Supaya ia memperlihatkan, bahwa
ia jatuh karena pingsan. Sesungguhnya adalah permulaan jatuh itu dari
kebenaran. Dan kadang-kadang hilang akalnya, lalu ia jatuh. Akan tetapi, ia
segera sembuh. Lalu dirinya gundah, bahwa dikatakan: keadaannya itu tidak
tetap. Sesungguhnya, keadaannya itu seperti petir yang menyambar. Lalu ia
berkekalan memekik dan menari, supaya dilihat keterusan keadaannya yang
demikian. Begitu pula kadang-kadang ia sembuh, sesudah lemah. Akan tetapi,
kelemahannya hilang dengan segera. Lalu ia gundah, bahwa dikatakan: pingsannya
itu tidak benar. Kalau benar, tentu lemahnya itu berjalan terus. Lalu ia
meneruskan melahirkan kelemahan dan pengeluhan. Maka ia bersandar pada orang
lain, supaya dilihat orang, bahwa dia lemah daripada berdiri. Dan ia membuat
terhoyong pada berjalan dan mendekatkan langkah kakinya, untuk melahirkan,
bahwa dia itu lemah daripada berjalan cepat. Maka ini semua, adalah tipu daya
setan dan tikaman nafsu. Dan apabila sudah berbahaya, maka obatnya, ialah dia
harus ingat, bahwa jikalau manusia mengetahui akan nifaq (kemunafikan)nya pada
batiniyahnya dan mereka melihat kepada dlamirnya (hati kecilnya), niscaya
manusia itu akan mengutuknya. Dan sesungguhnya Allah Ta’ala melihat kepada
dlamirnya. Dan Dia lebih lagi mengutuknya. Sebagaimana diriwayatkan dari Dzin
Nun ra, bahwa Dzin Nun itu bangun berdiri dan memekik. Lalu bangun berdiri
bersama dia seorang syaikh lain, dimana Dzin Nun melihat padanya tanda pemaksaan
diri. Lalu Dzin Nun mengatakan: Hai syaikh, yang melihat engkau ketika engkau
bangun berdiri!”. Lalu syaikh itu duduk. Semua itu termasuk amal perbuatan
orang-orang munafik. Dan tersebut pada hadits: “Berlindunglah dengan Allah dari
khusuknya kemunafikan!”. Sesungguhnya khusuk kemunafikan itu, ialah: khusuknya
semua anggota badan, sedang hati tidak khusuk. Dan termasuk diantara yang
demikian itu: memohonkan ampun (istighfar) dan berlindung (isti’adzah) dengan
Allah dari azab dan marahNya. Yang demikian itu, kadang-kadang adanya karena
gurisan ketakutan, teringat dosa dan penyesalan atas dosa. Dan kadang-kadang,
karena berbuat ria. Maka ini adalah gurisan-gurisan yang datang kepada hati,
yang berlawanan, yang bersamaan, yang berdekatan antara satu dengan lainnya.
Yaitu: serta berdekatan satu sama lainnya, adalah terdapat keserupaan. Maka
intiplah hatimu, pada tiap-tiap yang terguris bagi kamu! Perhatikanlah, apa dia
itu dan dari mana dia itu! Maka jikalau dia itu, karena Allah, maka
teruskanlah! Dan jagalah serta yang demikian, bahwa ada yang tersembunyi kepada
engkau, sesuatu dari ria yang dia itu, seperti: merangkulnya semut! Dan
hendaklah engkau di atas ketakutan dari ibadah engkau, adakah ibadah itu
diterima atau tidak? Karena takutnya engkau di atas keikhlasan padanya. Dan
jagalah bahwa selalu membaru bagi engkau, gurisan kecenderungan kepada pujian
mereka, sesudah masuk pada amal dengan ikhlas! Maka sesungguhnya yang demikian
itu, termasuk yang banyak sekali. Apabila terguris bagi engkau, maka bertafakurlah,
pada dilihat oleh Allah atas engkau dan kutukanNya kepada engkau! Dan ingatlah,
apa yang dikatakan oleh salah seorang dari 3 orang, yang bermusuhan dengan
Ayyub as, ketika ia mengatakan: “Hai Ayyub! Apakah engkau tidak tahu, bahwa
hamba itu disesatkan oleh keterus-terangnya (‘alaniyah)nya, dimana ia menipu
dirinya sendiri dan dibalasi dengan kerahasiaan (sarirah)nya”. Dan doa setengah
mereka: “Aku berlindung dengan ENGKAU, bahwa dilihat oleh manusia, bahwa aku
takut kepada ENGKAU dan ENGKAU mengutuk aku”. Dan adalah diantara doa Ali bin
Al-Husain ra, yaitu: “Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung dengan
ENGKAU, bahwa ENGKAU baguskan pada kilatan mata, akan
‘alaniyahku/keterus-terangku. Dan ENGKAU kejikan bagi ENGKAU, pada apa yang aku
sembunyikan akan sarirah/kerahasiaan, yang memelihara kepada dilihat manusia
dari diriku. Dan menyia-nyiakan bagi apa yang ENGKAU melihatnya daripadaku. Aku
lahirkan kepada manusia, yang terbaik urusanku. Dan aku membawa kepada ENGKAU
dengan amalku yang terjahat. Karena mendekatkan diri kepada manusia dengan
kebaikan-kebaikanku. Dan lari daripada mereka, kepada ENGKAU dengan
keburukan-keburukanku. Maka turunlah kepadaku kutukan ENGKAU. Dan haruslah
atasku, kemarahan ENGKAU. Lindungilah aku daripada yang demikian, wahai Tuhan
seru sekalian alam!”. Salah seorang dari orang yang 3 itu yang datang kepada
Ayyub as, mengatakan: “Hai Ayyub! Apakah engkau tidak tahu, bahwa mereka
memelihara ‘alaniyahnya/keterus-terangannya dan menyia-nyiakan
sarirahnya/kerahasiaan, ketika meminta hajatnya kepada Tuhan Yang Maha
Pengasih? Muka mereka itu hitam”. Maka inilah kesimpulan bahaya ria! Maka
hendaklah hamba itu mengintip hatinya, supaya mengetahui bahaya-bahaya itu.
Pada hadits ada tersebut: “Bahwa ria hati itu mempunyai 70 pintu”. Dan engkau
telah mengetahui, bahwa sebahagiannya itu lebih tersembunyi dari sebahagian
yang lain. Sehingga sebahagiannya itu, seperti: merangkaknya semut. Dan
bagaimana dapat diketahui apa yang lebih tersembunyi daripada merangkaknya
semut, selain dengan bersangatan mencari dan mengintip. Mudah-mudahan dapat
mengetahuinya sesudah memberikan tenaga. Maka bagaimana diharap dapat
mengetahuinya, tanpa mencari bagi hati dan ujian bagi diri dan pemeriksaan
daripada tipuannya. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala, akan sehat-afiat dengan
nikmat, kurnia dan kebaikanNya.
PENJELASAN: apa
yang seyogyanya bagi murid untuk mengharuskan dirinya sebelum amal, sesudah
amal & dalam amal.
Ketahuilah, bahwa yang lebih utama, dari apa yang diharuskan
oleh murid akan hatinya, pada semua waktunya, ialah: merasa cukup (qana’ah),
dengan diketahui oleh Allah (ilmu Allah), pada semua taatnya. Dan tiada yang
merasa cukup/qana’ah dengan ilmu Allah, selain orang yang tiada takut selain
Allah. Dan tiada mengharap, selain Allah. Adapun orang yang takut kepada selain
Allah dan menaruh harapan kepada selain Allah, niscaya ia ingin dilihat orang
kepada kebagusan keadaannya. Maka kalau ia berada pada tingkat ini, maka
hendaklah ia mengharuskan hatinya, membenci yang demikian dari pihak akal dan
iman. Karena padanya, bahaya yang mendatangkan kutukan. Dan hendaklah ia
mengintip dirinya ketika taat yang besar, lagi yang sukar, yang tiada mampu
orang lain kepada ketaatan itu. Sesungguhnya nafsu ketika itu, hampirlah
mendidih, karena mengharapkan kepada tersiar (terkenal). Nafsu itu mengatakan:
“Seperti amal yang besar ini atau takut yang besar ini atau tangis yang besar
ini, jikalau diketahui oleh makhluk, dari engkau, niscaya mereka sujud kepada
engkau. Tiada dari makhluk, orang yang sanggup seperti itu. Maka bagaimana
engkau rela (setuju) dengan menyembunyikannya? Lalu manusia tidak mengetahui
tempat engkau, mereka mengingkari kedudukan engkau dan mereka tidak membolehkan
mengikuti engkau”. Maka pada keadaan yang seperti ini, seyogyalah ia menetapkan
tapak kakinya. Dan mengingati pada membanding besar amalnya, dengan kebesaran
Raja akhirat, nikmat sorga, berkekalannya selama-lamanya. Besar kemarahan Allah
dan kutukanNya atas orang, yang mencari dengan ketaatannya, akan pahala dari
hamba-hambaNya. Ia tahu, bahwa melahirkan amal itu kepada yang lain dari Allah
Ta’ala, adalah menjadi kesukaannya, jatuh daripada Allah dan membinasakan amal
besar. Maka ia mengatakan: “Bagaimanakah aku mengikutkan seperti amal ini,
dengan pujian makhluk, padahal makhluk itu lemah, tiada sanggup memberikan
rezeki kepadaku dan tidak sanggup menentukan ajal?”. Maka ia mengharuskan yang
demikian, akan hatinya. Dan tiada seyogyalah, ia berputus asa daripada yang
demikian. Lalu ia mengatakan: “Sesungguh nya yang mampu kepada keikhlasan,
hanyalah orang-orang yang kuat. Adapun orang-orang yang mencampur-adukkan, maka
tiadalah demikian dari keadaan mereka”. Lalu ia meninggalkan kesungguhan pada
keikhlasan. Karena orang yang mencampur-adukkan itu, lebih memerlukan kepada
yang demikian, daripada orang yang taqwa. Karena orang yang taqwa, jikalau
rusak amal nafilahnya (amal sunatnya), niscaya masih ada amal fardlunya, dalam
keadaan lengkap dan sempurna. Dan orang yang mencampur adukkan itu, tiada
terlepas amal fardlunya daripada kekurangan. Dan memerlukan kepada penambalan
dengan amal nafilah (amal sunat). Maka jikalau tidak selamat, niscaya jadilah
dia itu diambil dengan amal fardlu dan ia binasa. Maka orang yang
mencampur-adukkan kepada keikhlasan itu, lebih lagi memerlukan. Dirawikan oleh
Tamim Ad-Dari, dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Hamba itu akan diadakan
perhitungan (hisab) amalnya pada hari kiamat. Maka jikalau kurang amal
fardlunya, niscaya dikatakan: “Lihatlah, adakah ia mempunyai amal sunat?
Jikalau ada ia mempunyai amal sunat, niscaya disempurnakan dengan amal sunat
itu, amal fardlunya. Dan jikalau ia tiada mempunyai amal sunat, niscaya ia
diambilkan dengan kedua bahagian badannya. Lalu dilemparkan dalam neraka”. Maka
orang yang mencampur-adukkan itu, datang pada hari kiamat dan amal fardlunya
kurang. Dan ia mempunyai banyak dosa. Maka usahanya, ialah pada menambalkan
amal fardlu dan menutupkan perbuatan-perbuatan buruk. Dan tidak mungkin yang
demikian. Selain dengan ikhlasnya amal-amal nafilah. Adapun orang yang taqwa, maka
usahanya, ialah: pada menambahkan derajat (tingkat). Jikalau amal sunatnya
binasa, maka tinggal dari kebaikan-kebaikannya, apa yang kuat diatas
perbuatan-perbuatan jahat. Maka ia masuk ke sorga. Jadi, seyogyalah ia
mengharuskan hatinya, takut dilihat oleh selain Allah kepadanya. Supaya sah
amal nafilahnya. Kemudian, ia mengharuskan hatinya yang demikian, sesudah
selesai dari amal. Sehingga ia tidak melahirkan dan memperkatakan akan amalnya.
Apabila ia berbuat semua yang demikian, maka seyogyalah bahwa dia itu takut
dari amalnya, takut bahwa amalnya dimasuki ria, yang tersembunyi, selama ia
tidak mengetahuinya. Maka adalah ia ragu, tentang diterima dan ditolak amalnya,
yang jaiz (yang boleh saja), bahwa Allah menentukan kepadanya dari niatnya yang
tersembunyi, akan apa yang dikutukNya dan apa yang ditolakNya, disebabkan niat
yang tersembunyi itu. Dan adalah keraguan dan ketakutan itu, pada waktu
berlangsungnya amal dan sesudahnya amal. Tidak pada permulaan pelaksanaan amal.
Akan tetapi, seyogyalah ia meyakini pada permulaan amalnya, bahwa dia ikhlas.
Ia tiada menghendaki dengan amalnya, selain Allah. Sehingga sahlah amalnya.
Apabila ia sudah masuk pada amal dan telah berlaku sejenak, yang mungkin lalai
dan lupa pada masa yang sejenak itu, niscaya adalah takutnya dari lalai, dari
campuran yang tersembunyi, yang membinasakan amalnya, dari ria atau ‘ujub
(mengherani diri) itu, lebih utama. Akan tetapi, adalah harapannya itu lebih
keras daripada takutnya. Karena ia berkeyakinan, bahwa ia telah masuk pada amal
dengan ikhlas. Dan ia ragu, tentang: adakah ia telah merusakkan amalnya dengan
ria, lalu adalah harapan diterima itu, lebih banyak. Dan dengan demikian,
besarlah kelezatannya pada munajah (berbicara langsung dengan Allah) dan taat.
Maka ikhlas itu yakin dan ria itu ragu. Dan takutnya bagi ragu itu patut untuk
menutupkan gurisan ria, jikalau ria itu sudah terdahulu. Dan ia lalai
daripadanya. Dan orang yang mendekatkan diri kepada Allah, dengan usaha pada
memenuhi segala keperluan manusia dan menggunakan ilmu itu, seyogyalah bahwa ia
mengharuskan dirinya mengharap pahala atas masuknya kegembiraan pada hati
orang, yang telah ditunaikannya hajat keperluan orang itu saja. Dan harapan
pahala kepada amal orang yang belajar dengan ilmunya saja, tanpa terima kasih
(syukur), balasan, pujian dan sanjungan daripada yang belajar dan yang
memperoleh nikmat. Maka yang demikian itu membinasakan pahala. Maka manakala ia
mengharap dari murid (yang belajar) akan pertolongan pada pekerjaan dan
pelayanan atau menemaninya pada perjalanan di jalan, supaya menjadi banyak
dengan pengikutannya atau pulang-pergi daripadanya pada keperluan, maka
sesungguhnya ia telah mengambil pahalanya. Maka tiada pahala baginya yang lain.
Ya, jikalau ia tidak mengharap dan tidak bermaksud, selain pahala atas amalnya
dengan ilmunya, sesungguhnya adalah baginya seperti pahalanya. Bahkan, ia
dilayani oleh murid dengan dirinya sendiri, lalu ia menerima layanan itu, maka
kita berharap, bahwa tiada yang demikian itu, membinasakan pahalanya, apabila
ia tidak menantikan dan tiada menghendaki nya dari murid itu. Dan ia tidak
merasa jauh dari murid tersebut, jikalau murid itu memutuskan hubungan dengan
dia. Dan bersama ini, sesungguhnya ada ulama yang menjaga diri dari ini.
Sehingga setengah mereka jatuh dalam sumur. Lalu datang serombongan orang,
mengulurkan tali, untuk mengangkatnya ke atas. Maka ia bersumpah kepada mereka,
bahwa ia tidak menjumpai bersama mereka, orang yang membaca kepadanya sesuatu
ayat dari Alquran. Atau ia mendengar dari orang itu suatu hadits. Karena takut
binasa pahalanya. Syaqiq Al-Balkhi mengatakan: “Aku menghadiahkan kepada Sufyan
Ats-Tsauri sehelai kain. Lalu dikembalikannya kepadaku. Maka aku mengatakan
kepadanya: “Hai Abu Abdillah!. Tidaklah aku ini termasuk orang yang mendengar
hadits, sehingga engkau kembalikan kain itu kepadaku?”. Sufyan At-Tsauri
menjawab: “Aku tahu yang demikian. Akan tetapi saudara engkau mendengar
daripadaku hadits. Maka aku takut, bahwa lembut hatiku bagi saudara engkau itu,
lebih banyak daripada lembutnya bagi orang lain”. Seorang laki-laki datang
kepada Sufyan, dengan membawa uang 1 badrah (10 ribu dirham) atau 2 badrah (20
ribu dirham). Dan bapak laki-laki tadi adalah teman Sufyan. Dan Sufyan datang
kepada bapak laki-laki itu banyak kali. Maka laki-laki tersebut mengatakan
kepada Sufyan: “Hai Abu Abdillah! Ada sesuatu untuk diri engkau dari bapakku”.
Maka Sufyan menjawab: “Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada bapakmu! Yang
sudah, sudahlah”. Dan Sufyan memuji ayah laki-laki tersebut. Lalu laki-laki itu
menjawab: “Hai Abu Abdillah ! sesungguhnya engkau tahu, bagaimana jadinya harta
ini kepadaku. Maka aku sangat suka, bahwa engkau ambil harta ini. Engkau
memperoleh pertolongan dengan harta ini kepada keluarga engkau”. Kata laki-laki
itu: lalu Sufyan menerima uang tersebut. Laki-laki tersebut mengatakan, bahwa
tatkala ia keluar, lalu Sufyan mengatakan kepada anaknya: “Hai Mubarak !
hubungilah laki-laki itu !”. Maka dikembalikannya lagi harta itu kepadaku. Lalu
anak itu kembali”. Lalu laki-laki tersebut mengatakan: “Aku sangat suka untuk
engkau ambil harta engkau”. Maka senantiasalah yang demikian, sehingga harta
tersebut dikembalikan kepada laki-laki itu. Seakan-akan persaudaraannya dengan
bapak laki-laki itu, adalah pada jalan Allah Ta’ala. Maka ia tidak suka mengambil
harta itu. Anak Sufyan itu mengatakan: “Maka tatkala laki-laki itu telah
keluar, aku tiada menguasai diriku untuk datang kepadanya. Maka aku katakan:
“Celaka engkau ! barang apakah kiranya, hatimu ini batu? Hitunglah, bahwa
engkau tiada mempunyai keluarga. Apakah engkau tiada kasihan kepadaku? Apakah
engkau tiada kasihan kepada saudara-saudara engkau? Apakah engkau tiada kasihan
kepada keluarga engkau? Maka aku banyakkan perkataan kepadanya. Lalu ia
mengatakan kepadaku: “Hai Mubarak ! engkau makanlah harta itu dengan
mengenyangkan dan memuaskan ! dan aku minta, tak usahlah harta itu bagiku”.
Jadi, wajiblah bagi orang berilmu (orang alim), mengharuskan hatinya mencari
pahala daripada Allah, pada menunjukkan manusia saja. Dan wajib atas orang yang
belajar, bahwa mengharuskan hatinya memuji Allah, mencari pahala daripada Allah
dan memperoleh kedudukan pada sisi Allah. Tidak pada sisi yang mengajar (guru)
dan pada sisi makhluk. Kadang-kadang ia menyangka, bahwa ia boleh berbuat ria
dengan taatnya. Supaya ia memperoleh pada sisi guru suatu tingkat. Lalu ia
belajar pada guru itu. Dan itu salah. Karena kehendaknya dengan taatnya itu,
bukan Allah, adalah kerugian pada waktu itu juga. Dan ilmu itu, kadang-kadang
memberi faedah. Dan kadang-kadang tidak memberi faedah. Dan bagaimana ia merugi
pada waktu itu juga, akan amal yang sekarang, atas persangkaan ilmu? Dan yang
demikian itu tidak boleh. Dan seyogaylah ia belajar karena Allah dan beribadah
karena Allah. Dan melayani guru karena Allah. Tidak supaya ada baginya kedudukan
pada hati gurunya, jikalau ia bermaksud bahwa belajarnya itu suatu ketaatan.
Maka sesungguhnya hamba-hamba itu disuruh untuk tidak menyembah, selain Allah.
Dan tidak menghendaki dengan taatnya, selain Allah. begitu pula orang yang
melayani dua ibu bapaknya. Tiada seyogyalah ia melayani keduanya, karena
mencari kedudukan di sisi keduanya. Kecuali, dari segi bahwa kerelaan Allah
itu, pada kerelaan kedua ibu bapak. Dan tidak boleh ia berbuat ria, dengan
ketaatannya itu, untuk memperoleh kedudukan pada kedua ibu bapaknya. Maka
sesungguhnya yang demikian itu, suatu maksiat pada waktu itu juga. Dan akan
dibukakan oleh Allah dari hal rianya. Dan jatuh kedudukannya dari hati ibu
bapaknya juga. Adapun orang zuhud, yang mengasingkan diri dari manusia, maka seyogyalah
ia mengharuskan hatinya mengingati Allah (dzikrullah) dan merasa cukup (qanaah)
dengan ilmunya. Dan tiada terguris pada hatinya, bahwa manusia mengetahui
zuhudnya dan diagungkan mereka tempatnya. Maka
Mubarak ! engkau makanlah harta itu dengan
mengenyangkan dan memuaskan ! dan aku minta, tak usahlah harta itu bagiku”.
Jadi, wajiblah bagi orang berilmu (orang alim), mengharuskan hatinya mencari
pahala daripada Allah, pada menunjukkan manusia saja. Dan wajib atas orang yang
belajar, bahwa mengharuskan hatinya memuji Allah, mencari pahala daripada Allah
dan memperoleh kedudukan pada sisi Allah. Tidak pada sisi yang mengajar (guru)
dan pada sisi makhluk. Kadang-kadang ia menyangka, bahwa ia boleh berbuat ria
dengan taatnya. Supaya ia memperoleh pada sisi guru suatu tingkat. Lalu ia
belajar pada guru itu. Dan itu salah. Karena kehendaknya dengan taatnya itu,
bukan Allah, adalah kerugian pada waktu itu juga. Dan ilmu itu, kadang-kadang
memberi faedah. Dan kadang-kadang tidak memberi faedah. Dan bagaimana ia merugi
pada waktu itu juga, akan amal yang sekarang, atas persangkaan ilmu? Dan yang
demikian itu tidak boleh. Dan seyogaylah ia belajar karena Allah dan beribadah
karena Allah. dan melayani guru karena Allah. Tidak supaya ada baginya
kedudukan pada hati gurunya, jikalau ia bermaksud bahwa belajarnya itu suatu
ketaatan. Maka sesungguhnya hamba-hamba itu disuruh untuk tidak menyembah,
selain Allah. Dan tidak menghendaki dengan taatnya, selain Allah. begitu pula
orang yang melayani dua ibu bapaknya. Tiada seyogyalah ia melayani keduanya,
karena mencari kedudukan di sisi keduanya. Kecuali, dari segi bahwa kerelaan
Allah itu, pada kerelaan kedua ibu bapak. Dan tidak boleh ia berbuat ria,
dengan ketaatannya itu, untuk memperoleh kedudukan pada kedua ibu bapaknya.
Maka sesungguhnya yang demikian itu, suatu maksiat pada waktu itu juga. Dan
akan dibukakan oleh Allah dari hal rianya. Dan jatuh kedudukannya dari hati ibu
bapaknya juga. Adapun orang zuhud, yang mengasingkan diri dari manusia, maka
seyogyalah ia mengharuskan hatinya mengingati Allah (dzikrullah) dan merasa
cukup (qanaah) dengan ilmunya. Dan tiada terguris pada hatinya, bahwa manusia
mengetahui zuhudnya dan diagungkan mereka tempatnya. Maka sesungguhnya yang
demikian itu, menanamkan ria dalam dadanya. Sehingga mudahlah kepadanya ibadah
dalam khilwahnya (kesunyiannya). Dan sesungguhnya tenangnya, adalah karena
diketahui manusia dengan pengasingannya dan pengagungan mereka bagi tempatnya.
Dan ia tidak tahu, bahwa yang demikian itu meringankan bagi amalnya. Ibrahim
bin Adham ra mengatakan: “Aku mempelajari ma’rifah (mengenal Alalh) dari
seorang rahib (pendeta), yang namanya dikatakan: Sam’an. Aku datang kepadanya,
dalam biaranya. Aku menanyakan: “Hai Sam’an ! semenjak kapan engkau dalam biara
engkau?”. Sam’an menjwab: “Semenjak 70 tahun”. Lalu aku tanyakan lagi: “Apakah
makanan engkau?”. Ia menjawab: “Hai Hunaifi: Apakah yang mengajak engkau kepada
pertanyaan ini?”. Aku menjawab: “Aku ingin mengetahui nya”. Sam’an itu
menjawab: “Pada setiap malam, satu biji kacang putih”. Aku bertanya lagi:
“Apakah yang menggerakkan dari hati engkau, sehingga mencukupkan bagi engkau
satu biji kacang putih itu?”. Ia menjawab: “Engkau lihat biara yang dihadapan
engkau? Aku menjawab: “Ya !”. Lalu ia mengatakan: “Sesungguhnya mereka datang
kepadaku pada setiap tahun, sehari. Lalu mereka menghiasi biaraku. Mereka
mengelilingi di kelilingnya. Dan mereka membesarkan aku. Maka setiap kali,
terasa berat diriku daripada ibadah niscaya diperingatkan diriku itu oleh
kemuliaan saat itu. Maka aku pikul kesungguhan setahun untuk kemuliaan sesaat.
Maka pikullah, hai Hunaifi, kesungguhan sesaat bagi kemuliaan abadi !”. Maka
mentaplah ma’rifah itu pada hatiku. Sam’an lalu menanyakan: “Cukuplah yang
demikian bagimu atau aku tambahkan lagi?”. Aku menjawab: “Ya tambahkan !”. Ia
menjawab: “Turunlah dari biara !”. Lalu aku turun. Maka diberikannya kepadaku
sebuah tabung, yang di dalamnya ada 20 biji kacang putih. Lalu ia mengatakan
kepadaku: “Masuklah ke biara itu ! maka mereka akan melihat apa yang aku
berikan kepada engkau”. Maka taatkala aku masuk ke biara itu, lalu berkumpullah
orang-orang Nasrani kepadaku, seraya bertanya: “Hai Hunaifi ! apakah yang
diberikan oleh guru itu kepada kamu?”. Aku menjawab: “Dari makanannya”. Mereka
lalu menanyakan: “Apakah yang akan engkau perbuat dengan makanan itu? Dan kami
lebih berhak dengan makanan tersebut”. Kemudian, mereka menyambung
pertanyaannya: “Tentukan harganya, berapa? Aku menjawab: “20 dinar !”. Lalu
mereka memberikan kepadaku 20 dinar. Maka aku kembali kepada pendeta itu. Lalu
ia mengatakan: “Hai Hunaifi ! apakah yang engkau perbuat?”. Aku menjawab:
“Telah aku jual kepada mereka”. Pendeta itu lalu menanyakan: “Berapa?”. Aku
menjawab: “Dengan 20 dinar”. Pendeta itu berkata: “Engkau salah. Jikalau engkau
tawarkan kepada mereka dengan 20 ribu dinar, niscaya mereka berikan kepada
engkau. Ini adalah kemuliaan orang yang tiada engkau sembah. Maka
perhatikanlah, bagaimana adanya kemuliaan yang engkau sembah? Hai Hunaifi !
menghadaplah kepada Tuhan engkau dan tinggalkanlah kepergian dan kedatangan !”.
Maksudnya, bahwa perasaan diri kemuliaan keagungan dalam hati itu, adalah
penggerak dalam kesunyian (khilwah). Kadang-kadang hamba itu tiada
merasakannya. Maka seyogyalah ia mengharuskan dirinya menjaga daripadanya. Dan
tiada keselamatannya, ialah: bahwa makhluk dan hewan padanya itu adalah pada
satu tingkat (tiada berbeda). Maka jikalau mereka berobah dari kepercayaan
mereka kepadanya, niscaya ia tidak gelisah dan tidak sempit (lemah) tenaganya,
selain kebencian yang sedikit. Jikalau didapatinya pada hatinya, maka
dikembalikannya pada waktu itu juga, dengan akal dan imannya. Maka sesungguhnya
jikalau ia ada dalam ibadah dan manusia semua melihat kepadanya, niscaya
tidaklah menambahkan yang demikian itu akan khusyu’nya. Dan tidak akan masuk
kegembiraan kepadanya, disebabkan dilihat mereka. Kalau masuk sedikit
kegembiraan, maka itu dalil kelemahannya. Akan tetapi, apabila ia sanggup
menolaknya dengan kebencian akal dan iman dan ia bersegera kepada yang demikian
dan ia tidak menerima kegembiraan itu dengan kecenderungan hati kepadanya, maka
diharapkan bahwa tiada sia-sia usahanya. Selain bahwa ia menambahkan ketika
dilihat mereka, akan kekhusyu’an dan kekecutan hati. supaya mereka tidak
bersuka cita kepadanya. Maka yang demikian itu tiada mengapa. Akan tetapi
padanya ada tipu daya. Karena diri itu, kadang-kadang nafsu syahwatnya yang
tersembunyi, melahirkan khusyu’ dan membuat alasan dengan mencari kekecutan
hati. maka ia menuntut dirinya pada dakwaannya, akan maksud kekecutan hati,
dengan kepercayaan yang tebal kepada Allah. Dan dia itu, jikalau diketahuinya,
bahwa kekecutan hati mereka daripadanya, sesungguhnya berhasil, dengan ia lari
cepat atau ia tertawa banyak atau ia makan banyak. Maka dirinya membolehkan
dengan yang demikian. Apabila dirinya tidak membolehkan dengan yang demikian
dan membolehkan dengan ibadah, maka menyerupailah bahwa kehendaknya, adalah
kedudukan pada mereka. Dan tiada terlepas dari yang demikian, selain orang yang
menetapkan dalam hatinya, bahwa tidak ada seorangpun pada wujud, selain Allah.
Lalu ia mengerjakan amal, sebagai amal orang, yang jikalau ia berada sendirian
di permukaan bumi, niscaya ia akan mengamalkannya. Maka hatinya tiada berpaling
kepada makhluk, selain gurisan-gurisan lemah yang tidak sukar baginya
menghilangkannya. Apabila ada seperti yang demikian, niscaya ia tidak berobah
dengan dilihat makhluk. Dan diantara tanda kebenaran padanya, ialah: bahwa,
jikalau ia mempunyai dua orang teman, yang seorang kaya dan yang seorang lagi
miskin. Maka ia tidak mendapati pada dirinya, ketika datang teman yang kaya
itu, bertambahnya keguncangan pada dirinya dan tiada pemuliaan. Kecuali,
apabila ada pada teman yang kaya itu, kelebihan ilmu atau kelebihan wara’. Maka
adalah ia memuliakannya, disebabkan sifatnya yang demikian. Tidak disebabkan
karena kaya. Orang yang kesenangannya lebih banyak pada menyaksikan orang-orang
kaya, maka dia itu adalah orang yang berbuat ria atau orang yang rakus. Dan
jikalau tidak, maka perhatiannya kepada orang-orang miskin itu, akan
menambahkan kegemaran kepada akhirat. Dan menyukakan kepada hatinya
ketentraman. Dan perhatian kepada orang-orang kaya itu adalah sebaliknya. Maka
bagaimanakah ia merasa senang dengan melihat kepada orang kaya itu, lebih
banyak daripada kesenangannya kepada orang miskin? Diceritakan, bahwa ada orang
yang tiada melihat orang-orang kaya pada majelis, yang lebih hina, dari majelis
Sufyan Ats-Tsauri, dimana majelis itu mendudukan orang-orang kaya di belakang
shaf (baris). Dan mendudukkan orang-orang miskin di shaf yang di muka. Sehingga
mereka itu berangan-angan kiranya, menjadi orang-orang miskin pada majelis
Sufyan Ats-Tsauri. Ya, bagi engkau dapat menambahkan permuliaan kepada orang
kaya, apabila orang kaya tersebut keluarga terdekat kepada engkau. Atau ada
diantara engkau dan dia, suatu hak atau teman dahulu. Akan tetapi, kira-kira
ada yang demikian, jikalau terdapat hubungan yang demikian pada yang miskin,
niscaya engkau tidak mendahulukan sekali-kali yang kaya daripada yang miskin
pada pemuliaan dan penghormatan. Maka sesungguhnya orang miskin itu lebih mulia
pada Allah daripada orang kaya. Maka engkau mengutamakan orang kaya, tiadalah
yang demikian, selain karena rakus pada kekayaannya dan berbuat ria kepadanya.
Kemudian, apabila engkau samakan antara orang kaya dan orang miskin pada
duduk-duduk, maka ditakuti kepada engkau, bahwa engkau melahirkan kebijaksanaan
dan kekhusyu’an kepada orang kaya itu, lebih banyak daripada yang engkau
lahirkan kepada orang miskin. Sesungguhnya yang demikian itu, ria yang
tersembunyi atau loba yang tersembunyi. Sebagaimana dikatakan Ibnus-Samak
kepada budak wanitanya: “Apakah kiranya, apabila aku datang di Baghdad, niscaya
dibukakan bagiku ilmu hikmah?”. Budak itu lalu menjawab: “Loba itu menajamkan
lidah engkau”. Sungguh benar budak wanita itu. Karena lidah itu akan lancar
pada orang kaya, dengan apa yang tidak lancar pada orang miskin. Begitu juga,
datang daripada kekhusyu’an pada orang kaya, apa yang tidak datang pada orang
miskin. Tipu daya hawa nafsu dan segala yang tersembunyi bagi hawa nafsu, pada
pengetahuan ini, adalah tiada terhingga. Dan tiada yang melepaskan engkau
daripadanya, selain bahwa engkau keluarkan yang selain Allah, dari hati engkau.
Dan menjurus semata-mata dengan kasih sayang kepada diri engkau, dari sisa umur
engkau. Dan engkau tidak rela dengan neraka bagi diri engkau, disebabkan nafsu
syahwat yang kotor pada hari-hari yang berdekatan. Dan adalah engkau dalam
dunia, seperti salah seorang raja dunia, yang telah dimungkinkannya oleh nafsu
syahwat dan ditolongkannya oleh kelezatan-kelezatan. Akan tetapi, pada badannya
sakit. Dan ia takut binasa atas dirinya, pada setiap saat, jikalau ia
memperoleh keluasan pada nafsu syahwat. Dan ia mengetahui, bahwa jikalau ia
menjaga diri dan berkesungguhan melawan nafsu syahwatnya, niscaya ia hidup dan
kekal kerajaannya. Manakala ia mengetahui yang demikian. Lalu ia duduk-duduk
dengan tabib-tabib (dokter-dokter) dan ia bergaul dengan orang-orang yang
menjual obat-obatan. Ia membiasakan dirinya meminum obat-obat pahit dan
bersabar atas buruknya obat itu. Ia meninggalkan semua kelezatan dan ia sabar
bercerai dengan kelezatan-kelezatan itu. Maka badannya setiap hari bertambah
kurus, karena kurang makannya. Akan tetapi, penyakitnya bertambah kurang setiap
hari, karena sangat keras penjagaannya. Maka manakala ditarik oleh nafsunya
kepada sesuatu keinginan, niscaya ia berpikir pada berturut-turutnya kesakitan
dan kepedihan atas dirinya nanti. Dan yang demikian membawanya kepada kematian,
yang menceraikan dia dari kerajaannya, yang membawa kepada makian
musuh-musuhnya. Manakala bertambah sulit kepadanya meminum obat, niscaya ia
berpikir, tentang apa yang dapat diambilnya faedah dari obat itu, dari
kesembuhan yang menjadi sebab ia dapat bersenang-senang dengan kerajaannya dan
kenikmatannya, dalam kehidupan yang enak, badan yang sehat, hati yang lapang
dan perintah yang tembus. Maka ringanlah kepadanya, meninggalkan
kelezatan-kelezatan dan bersabar dari segala yang tidak disenangi. Maka seperti
itu pulalah orang mu’min, yang menghendaki Raja akhirat. Ia menjaga dirinya
dari setiap yang membinasakannya pada akhiratnya. Yaitu: kelezatan dunia dan
kecantikannya. Maka ia mencukupkan dari dunia itu dengan sedikit saja dan
memilih kurus, lesu, sepi, gundah, takut dan meninggalkan berjinak-jinakan
dengan makhluk. Karena takut daripada bertempatnya kemarahan Allah padanya.
Maka ia binasa. Dan mengharap akan kelepasan dari azabNya. Maka ringanlah yang
demikian itu semua pada dirinya, ketika sangat yakinnya dan imannya dengan
akibat pekerjaannya. Dan dengan apa yang disediakan oleh Allah, baginya dan
nikmat yang tetap pada kerelaan Allah untuk selama-lamanya. Kemudian, ia
mengetahui, bahwa Allah itu Maha Pemurah, lagi Maha Pengasih, yang senantiasa
memberi pertolongan kepada hamba-hambaNya yang menghendaki kerelaanNya. Yang
kasihan kepada mereka dan Yang belas kasihan kepada mereka. Jikalau Ia
menghendaki, niscaya tidak diperlukanNya dari mereka itu kepayahan. Akan
tetapi, Ia menghendaki mencoba mereka dan mengetahui kebenaran kehendak mereka,
sebagai hikmah dan keadilanNya. Kemudian, apabila hamba itu menanggung
kepayahan pada permulaannya, niscaya Allah menghadapkan kepadanya pertolongan
dan kemudahan. Dan menyingkirkan daripadanya kepayahan dan memudahkan kepadanya
sabar. Menyukakan kepadanya taat dan memberikan rezeki kepadanya, daripada
kelezatan munajah, yang akan melengahkannya dari kelezatan-kelazatan lainnya.
Dan menguatkannya kepada mematikan nafsu syahwatnya. Dan menguasai siasat dan
penguatannya. Dan menolongnya dengan ma’unah (pertolongan)Nya. Maka
sesungguhnya Tuhan Yang Maha Pemurah dan tiada menyia-nyiakan orang yang
mengharap dan tiada mengecewakan cita-cita orang yang mecintaiNya. Dialah yang
berfirman: “Siapa yang mendekati sejengkal kepadaKu, niscaya Aku mendekatinya
sehasta". Ia Yang Maha Tinggi berfirman: “Sesungguhnya telah lamalah
kerinduan orang-orang yang baik pada menjumpaiKu. Dan sesungguhnya Aku sangat
rindu kepada menjumpai mereka”. Maka hendaklah hamba itu melahirkan pada
permulaan akan kesungguhan, kebenaran dan keikhlasannya. Maka tidak memerlukan
baginya daripada Allah Ta’ala, pada masa dekat, apa yang layak dengan
kemurahan, kemuliaan, kesayangan dan kerahmatanNya. Telah tammat Kitab
Tercelanya Kemegahan dan Keriaan. Dan segala pujian itu bagi Allah Tuhan Yang
Maha Esa.