Kamis, 13 Februari 2014

28. KITAB TERCELANNYA KEMEGAHAN DAN RIA’

KITAB TERCELANNYA KEMEGAHAN DAN RIA’
Yaitu: kitab ke 8 dari “Rubu’ yang membinasakan”  Dari “KITAB IHYA’ ‘ULUMIDDIN”.
Segala pujian bagi Allah yang Maha Mengetahui yang ghaib-ghaib, yang melihat rahasia-rahasia hati, yang memaafkan dari dosa-dosa besar, yang mengetahui apa yang disembunyikan oleh dlamir (yang dalam hati) dari yang ghaib-ghaib yang tersembunyi, Yang Maha Melihat rahasia-rahasia niat dan yang tersembunyi dalam lipatan hati, yang tiada akan menerima amal perbuatan, selain apa yang telah sempurna, lengkap, bersih dari campuran ria dan syirik (mempersekutukan Tuhan) dan murni. Maka Dialah tersendiri dengan kekuasaan. Dialah Yang Maha Kaya dari segala yang kaya, dari persekutuan. Salawat dan salam kepada Muhammad, keluarganya dan sahabat-sahabatnya, yang bersih dari sifat kekhianatan dan kepalsuan. Anugerahilah kesejahteraan yang banyak. Adapun kemudian, maka sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku takuti dari apa yang aku takuti atas umatku, ialah ria dan nafsu syahwat yang tersembunyi, dimana dia lebih tersembunyi dari merangkaknya semut hitam atas batu besar yang hitam pekak, dalam malam yang gelap”. Dan karena itulah, maka para ulama yang terkenal, lemah daripada mengetahui tipu dayanya. Lebih-lebih lagi orang-orang ‘abid (yang banyak beribadah) yang awam dan orang-orang yang taqwa. Dan itulah yang termasuk penghabisan tipuan hawa nafsu dan batin tipu dayanya. Sesungguhnya, dicoba dengan yang demikian, alim ulama, orang-orang ‘abid dan orang-orang yang rajin, daripada kesungguhan berjalan untuk menempuh jalan akhirat. Bahwa mereka, manakala memaksakan dirinya, berkesungguhan dan menceraikan dirinya dari nafsu syahwat, menjaga dirinya dari perbuatan yang syubhat (diragukan) dan membawakan dirinya lemah dari kelobaan pada perbuatan-perbuatan maksiat yang terang, yang terjadi atas anggota badannya. Lalu dirinya mencari ketentraman (istirahat) kepada berbuat-buat melahirkan yang kebajikan dan melahirkan amal dan ilmu. Lalu diri itu mendapat kelepasan dari kesukaran kesungguhan, kepada kesenangan penerimaan pada makhluk. Dan pandangan mereka kepadanya dengan pandangan kemuliaan dan pengagungan. Maka diri itu bersegera kepada melahirkan keta’atan dan menyampaikan kepada penglihatan orang banyak. Diri itu tidak merasa cukup dengan penglihatan Pencipta Alam (Allah Ta’ala). Diri itu merasa gembira dengan pujian manusia. Dan tidak merasa cukup dengan pujian Allah Yang Maha Esa. Dan diri itu mengetahui, bahwa makhluk apabila mengetahui dia itu meninggalkan nafsu syahwat dan menjaga diri dari harta syubhat (diragukan) serta menanggung kesulitan-kesulitan ibadah, niscaya makhluk itu akan melepaskan lidah mereka dengan pujian dan sanjungan. Dan mereka berlebih-lebihan pada memuji dan memuja. Dan memandang kepadanya dengan pandangan kemuliaan dan kehormatan. Mereka mengambil berkah dengan memandang dan menemuinya. Mereka ingin pada barakah doanya dan sangat ingin mengikuti pendapatnya. Mereka mendahulukannya dengan pelayanan dan memberi salam dan memuliakannya dengan berlebih-lebihan pada upacara-upacara. Mereka memaafkannya pada jual-beli dan segala mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) (hubungan dalam pergaulan). Mereka mendahulukannya pada majelis-majelis dan mengutamakannya dengan makanan dan pakaian. Mereka merasa dirinya rendah demi kebesarannya, dengan merendahkan diri dan menurutinya pada maksud-maksudnya, dengan menghormatinya. Maka diri itu pada yang demikian, memperoleh kesenangan (kelezatan). Yaitu: kelezatan yang paling besar. Ia memperoleh nafsu syahwat. Yaitu: nafsu syahwat yang paling banyak. Lalu diri itu, memandang hina meninggalkan perbuatan maksiat dan kesalahan. Merasa lunak kekasaran kerajinan kepada ibadah-ibadah, untuk memperoleh pada batin, kelezatan segala yang lezat dan keinginan nafsu segala syahwat. Ia menyangka bahwa hidupnya dengan Allah dan dengan ibadahnya yang diridhoi. Dan sesungguhnya hidupnya adalah dengan nafsu syahwat yang tersembunyi itu, yang membutakan akalnya yang tembus dan kuat daripada mengetahuinya. Ia melihat bahwa ia ikhlas pada mentaati Allah dan menjauhkan segala yang diharamkan oleh Allah. Nafsu dirinya telah menyembunyikan nafsu syahwat tersebut, karena penghiasan bagi semua hamba dan berbuat-buat bagi makhluk. Dan merasa gembira dengan apa yang diperolehnya, dari kedudukan dan kemuliaan. Dan dengan yang demikian, menghapuskan pahala taat dan amal perbuatan yang baik. Namanya telah dicantumkan pada halaman suratan orang-orang munafik. Dan ia menyangka, bahwa dia pada sisi Allah, termasuk orang muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah). Inilah suatu penipuan bagi diri, yang tiada selamat daripadanya, selain orang-orang siddik. Dan suatu jurang yang tidak dapat di daki, selain oleh orang-orang muqarrabin. Dan karena itulah, dikatakan, bahwa penghabisan yang keluar dari kepala orang-orang siddik. Ialah: Hubbu’rriyasah (ingin menjadi kepala). Apabila adalah ria itu penyakit yang tertanam, yang menjadi jala yang terbesar bagi setan-setan, niscaya haruslah ada penguraian perkataan ria, tentang: sebab, hakikat/makna, derajat, bahagian, jalan-jalan pengobatan dan penjagaan daripadanya. Dan jelaslah maksud dari yang demikian itu, pada penyusunan kitab ini, diatas dua bagian: Bagian pertama: tentang ingin kemegahan dan kemahsyuran. Dan padanya penjelasan tercelanya kemahsyuran, penjelasan keutamaan khumul (tidak mahsyur atau tidak terkenal), penjelasan tercelanya kemegahan, penjelasan arti kemegahan dan hakikat/maknanya, penjelasan sebab adanya kemegahan itu lebih dicintai dari kecintaan kepada harta, penjelasan bahwa kemegahan itu kesempurnaan bayangan dan tidaklah kesempurnaan yang sebenarnya (kamal haqiqi), penjelasan apa yang terpuji dari kecintaan kemegahan dan apa yang tercela, penjelasan sebab tentang kecintaan pujian dan sanjungan dan kebencian celaan, penjelasan obat tentang kecintaan kemegahan, penjelasan obat kecintaan pujian, penjelasan obat kebencian celaan dan penjelasan perbedaan keadaan manusia tentang pujian dan celaan. Maka itu adalah 12 pasal. Dari padanyalah terjadi pengertian ria. Maka tak boleh tidak mendahulukannya. Kiranya Allah mencurahkan taufiq kepada kebenaran, dengan kasih-sayang, kenikmatan dan kemurahan Allah.
PENJELASAN: TERCELANYA KEMAHSYURAN DAN TERSIARNYA SUARA.
Ketahuilah, kiranya Allah mencurahkan perbaikan bagi anda, bahwa asal kemegahan itu, ialah: tersiarnya suara dan kemahsyuran. Dan itu tercela. Bahkan yang terpuji, ialah: khumul (tidak termahsyur), selain orang yang dimahsyurkan oleh Allah Ta’ala, karena mengembangkan agama Allah, tanpa memberatkan mencari kemahsyuran daripadanya. Anas ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Mencukupi seseorang itu dari kejahatan, bahwa manusia menunjukkan kepadanya dengan anak jari, tentang agama dan dunianya, kecuali orang yang dipelihara oleh Allah”. Jabir bin Abdullah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Mencukupilah seseorang dari kejahatan, selain orang yang dipelihara oleh Alah dari yang jahat, bahwa manusia menunjukkan kepadanya dengan anak jari, tentang agama dan dunianya. Sesungguhnya Allah tiada memandang kepada rupamu. Akan tetapi IA memandang kepada hatimu dan amal perbuatanmu”. Al-Hasan Al-Basri ra menyebutkan penafsiranbagi hadits tersebut. Dan tiada mengapa dengan penafsiranitu. Karena ia yang merawikan hadits tadi. Lalu ditanyakan kepadanya: “Hai Abu Sa’id! Sesungguhnya manusia, apabila melihat engkau, niscaya mereka menunjukkan kepada engkau dengan anak-anak jari”. Al-Hasan Al-Basri ra lalu menjawab: “Sesungguhnya tidak dimaksudkan ini. Yang dimaksudkan sesungguhnya ialah: orang yang mengada-adakan pada agamanya dan yang fasik pada dunianya”. Ali ra berkata: “Engkau memberi dan engkau tidak termahsyur (terkenal). Dan janganlah engkau mengangkat diri engkau, supaya engkau disebut orang. Belajarlah dan sembunyikanlah! Dan diamlah, niscaya engkau selamat! Engkau gembirakan orang baik-baik dan engkau marahi orang zalim!”. Ibrahim bin Adham ra berkata: “Tiada membenarkan akan Allah, oleh orang yang menyukai kemahsyuran”. Ayyub As-Sakhtiani berkata: “Demi Allah ! Tiadalah hamba itu membenarkan akan Allah, selain oleh batinnya (sirr/rahasia-nya). Bahwa ia tiada mengetahui tempat sirr/rahasia itu”. Dari Khalid bin Ma’dan, bahwa Khalid, apabila halqahnya (duduk berkeliling) banyak, niscaya ia bangun pergi, karena takut (terkenal). Dari Abil-‘aliyah, bahwa apabila duduk padanya lebih banyak dari 3 orang, maka ia bangun pergi. Thalhah melihat suatu kaum berjalan bersama dia, kira-kira 10 orang. Lalu ia mengatakan: “Lalat loba dan kupu-kupu api”. Salim bin Handhalah berkata: “Sewaktu kami berada keliling Ubai bin Kaab, dimana kami berjalan dibelakangnya, tiba-tiba dilihat oleh Umar ra. Lalu Umar mengangkat ke atasnya cemeti. Maka Ubai berkata: “Hai Amirul-Mu’minin ! Apa yang engkau perbuat?”. Umar ra lalu menjawab: “Bahwa ini adalah kehinaan bagi pengikut dan fitnah bagi yang diikut”. Dari Al-Hasan Al-Basri ra yang mengatakan: “Pada suatu hari, Ibnu Mas’ud keluar dari tempat tinggalnya. Lalu ia diikuti oleh manusia. Maka Ibnu Mas’ud berpaling kepada mereka, seraya berkata: “Dengan maksud apa kamu mengikuti aku? Demi Allah ! jikalau kamu mengetahui apa yang dikuncikan pintuku atasnya, niscaya tiada akan mengikuti aku, oleh dua orang daripada kamu”. Al-Hasan Al-Basri ra berkata: “Sesungguhnya bunyi sandal-sandal dikeliling orang-orang, maka sedikitlah dapat menetap kan hati orang-orang bodoh”. Pada suatu hari Al-Hasan ra keluar dari rumahnya. Lalu ia diikuti oleh suatu kaum (suatu golongan orang banyak). Maka Al-Hasan mengatakan: “Apakah kamu ada keperluan? jikalau tidak, maka tidaklah diharapkan ini akan terus-menerus pada hati orang mu’min”. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki menemani Ibnu Muhairiz dalam perjalanan jauh (dalam bermusafir). Maka tatkala orang itu akan berpisah dengan Ibnu Muhairiz, lalu ia berkata: “Berilah aku nasehat !”. Ibnu Muhairiz lalu menjawab: “Jikalau engkau sanggup untuk mengenal dan engkau tidak dikenal, engkau berjalan dan orang tidak berjalan kepada engkau, engkau bertanya dan engkau tidak ditanyakan, maka berbuatlah !”. Ayyub As-Sakhtiani keluar dari rumahnya untuk suatu perjalanan jauh. Lalu ia di songsong oleh orang banyak. Maka ia mengatakan: “Jikalau tidaklah aku mengetahui, bahwa Allah tahu dari hatiku, bahwa aku tidak suka begini, niscaya aku takut akan kutukan daripada Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar”. Ma’mar berkata: ”Aku cela Ayyub karena panjang kemejanya”. Lalu ia menyambung: “Sesungguhnya kemahsyuran pada masa yang lalu, adalah pada panjangnya kemeja. Dan pada hari ini, kemahsyuran itu adalah penyingsingan baju”. Setengah mereka berkata: “Adalah aku bersama Abi Qallabah, tatkala masuk kepadanya seorang laki-laki, yang pada tubuhnya banyak pakaian. Lalu Abi Qallabah berkata: “Jagalah dirimu, dari keledai yang memekik ini !”. Maksudnya, ia menunjukkan dengan demikian, kepada mencari kemahsyuran. Ats-Tsauri berkata: “Adalah mereka tiada menyukai kemahsyuran, dari kain-kain yang baik dan kain-kain yang buruk. Karena mata memperhatikan kepada kain-kain itu semua”. Seorang laki-laki berkata kepada Bisyir bin Al-Harits: ”Berilah aku nasehat ! Lalu Bisyir menjawab: “Buatlah sebutanmu tidak terkenal dan baikanlah makananmu !”. Adalah Hausyab bin ‘Uqail Al-Basyari menangis, seraya berkata: “Namaku telah sampai ke masjid jami”. Bisyir berkata: “Tiada seorang laki-lakipun yang aku kenal, yang menyukai ia dikenal orang, selain hilangnya agamanya dan terbukalah kekurangan-nya”. Bisyir berkata pula: “Tiada akan diperoleh kemanisan akhirat, oleh orang yang suka dikenal oleh manusia”. Kiranya rahmat Allah kepada Bisyir dan kepada mereka sekalian !”.
PENJELASAN: KEUTAMAAN KHUMUL ( TIDAK TERMASYUR )
Rasulullah saw bersabda: “Banyaklah orang yang kusut rambutnya, berdebu badannya, mempunyai pakaian buruk, tidak diperdulikan orang. Jika ia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah menganugerahkan kebajikan kepadanya. Diantara mereka, ialah: Al-Barra’ bin Malik. Sekarang Ibnu Mas’ud berkata: “Nabi saw bersabda: “Banyaklah orang yang berpakaian buruk, yang tidak diperdulikan orang. Jikalau ia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah mencurahkan kebajikan kepadanya. Jikalau ia berdoa: “Wahai Allah, Tuhanku ! Sesungguhnya aku bermohon kepadaMU sorga”, niscaya Allah menganugerahkannya sorga itu. Dan tidak dianugerahkan Allah kepadanya dari dunia sesuatupun”. Nabi saw bersabda: “Apakah tidak aku tunjukkan kepadamu penduduk sorga? Yaitu: setiap orang yang lemah dan dipandang lemah. Jikalau ia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah mencurahkan kebajikan kepadanya. Dan penduduk neraka, yaitu: tiap-tiap orang yang sombong dan terpandang sombong, yang angkuh dalam gerak-geriknya”. Abu Hurairah berkata: “Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya penduduk sorga itu, ialah setiap orang yang kusut rambutnya, berdebu badannya, mempunyai pakaian buruk, yang tidak diperdulikan orang. Apabila mereka meminta izin untuk menjumpai amir-amir, niscaya tidak diizinkan mereka untuk menjumpainya. Apabila mereka meminang wanita, niscaya tidak mau dikawinkan dengan mereka. Apabila mereka berkata-kata, maka orang tidak diam untuk mendengar perkataannya. Keperluan seseorang dari mereka itu berantakan dalam dadanya. Jikalau nurnya/cahayanya pada hari kiamat, dibagi-bagikan kepada manusia, niscaya akan meluasi semua mereka”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya dari umatku, ada orang yang kalau datang kepada seseorang kamu, meminta uang sedinar, niscaya tidak diberikannya. Dan jikalau dimintanya sedirham, niscaya tidak juga diberikan nya. Dan jikalau dimintanya uang tembaga. Niscaya tidak juga diberikannya. Dan jikalau ia meminta sorga pada Allah, niscaya  diberikan Allah. Dan jikalau ia meminta dunia, niscaya tidak diberikannya. Dan tiada tercegahnya dunia kepadanya, selain karena hinanya dunia kepadanya. Banyaklah orang yang berpakaian buruk, yang tidak diperdulikan orang, jikalau ia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah menganugerahkan kebajikan kepadanya”. Diriwayatkan, bahwa Umar ra masuk ke masjid. Lalu ia melihat Mu’az bin Jabal menangis di sisi kuburan Rasulullah saw. Maka Umar ra bertanya: “Apakah yang menjadikan engkau menangis?”. Mu’az bin Jabal menjawab: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Bahwa sedikit ria itu, sebagian dari syirik. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taqwa yang menyembunyikan amal perbuatannya. Mereka, jikalau gaib (tidak datang), orang tidak merasa kehilangan. Dan jikalau mereka hadir, orang tidak mengenalnya. Hati mereka itu lampu petunjuk. Mereka terlepas dari setiap bumi yang gelap”. Muhammad bin Suaid berkata: “Telah datang kemarau bagi penduduk Madinah. Dan ada di Madinah seorang laki-laki yang sholeh, yang tiada diperdulikan orang. Ia selalu berada di masjid nabi saw. Ketika penduduk Madinah itu sedang berdoa, tiba-tiba datang kepada mereka, seorang laki-laki yang memakai pakaian buruk. Lalu orang tersebut mengerjakan shalat dua rakaat, yang dipendekkannya. Kemudian, ia membentangkan kedua tangannya, seraya berdoa: “Wahai Tuhanku ! Aku bersumpah kepadaMU, kecuali Engkau turunkan kepada kami hujan sesaat”. Laki-laki tersebut tidak menarik kedua tangannya dan tidak memutuskan doanya, sehingga itu tertutup dengan mengandung. Dan mereka diturunkan hujan, sehingga penduduk Madinah itu berteriak, dari ketakutan tenggelam dalam air. Lalu orang tadi berdoa: “Hai Tuhanku ! Jikalau Engkau mengetahui, bahwa mereka telah merasa cukup, maka angkatlah hujan itu dari mereka !” Maka hujan itupun berhenti. Dan laki-laki tadi diikuti oleh temannya yang mengerjakan shalat Istisqa (shalat minta hujan), sehingga diketahui tempat tinggalnya. Kemudian, pada pagi hari, lalu teman itu datang kepada laki-laki tersebut, seraya berkata: “Sesungguhnya aku datang kepadamu, ada suatu keperluan”. Laki-laki itu lalu bertanya: “Apakah keperluan itu?”. Teman tadi lalu menjawab: “Tentukanlah kepadaku suatu doa !”. Maka laki-laki itu menjawab: “Subhaanallah ! Engkau-engkau ! Engkau meminta kepadaku, bahwa aku tentukan bagimu suatu doa?”. Teman itu kemudian bertanya lagi: “Apakah yang sampai kepada engkau, dari apa yang aku lihat?”. Laki-laki tersebut  menjawab: “Aku taat kepada Allah, tentang apa yang disuruh NYA aku dan yang dilarangNYA aku. Lalu aku meminta kepada Allah, maka diberikanNYA kepadaku”. Ibnu Mas’ud berkata: “Hendaklah kamu itu mata air ilmu, lampu petunjuk, selalu di rumah, pelita malam, sunyi hati dari  selain Allah, mempunyai pakaian kain buruk. Kamu terkenal pada penduduk langit dan tersembunyi pada penduduk bumi”. Abu Umamah berkata: “Rasulu’llah saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya waliKU yang paling digemari, ialah: hamba yang mu’min, sedikit harta, mempunyai kesenangan dengan shalat, membaikkan ibadah kepada Tuhannya dan mentaatiNYA pada waktu tersembunyi. Ia tertutup pada manusia, tidak ditunjukkan kepadanya dengan anak jari. Kemudian, ia bersabar atas yang demikian”. Abu Umamah meneruskan riwayatnya: “Kemudian Rasulullah saw memukul dengan tangannya, seraya bersabda: “Orang tersebut cepat matinya, sedikit pusaka yang ditinggalkannya dan sedikit orang yang menangisinya”. Abdullah bin Umar ra berkata: “Hamba Allah yang paling dikasihi oleh Allah, ialah: “orang-orang perantau”. Lalu ditanyakan: “Siapakah orang-orang perantau itu?” Abdullah bin Umar ra menjawab: “Orang-orang yang lari dengan agamanya. Mereka berkumpul pada hari kiamat kepada Isa Al-Masih as”. Al-Fudlail bin ‘Iyadl ra berkata: “Sampai kepadaku riwayat, bahwa Allah Ta’ala berfirman pada sebagian apa yang dianugerahkanNYA kepadaNYA: ”Apakah tidak AKU anugerahkan nikmat kepadamu? Apakah tidak AKU tutup kekuranganmu? Apakah tidak AKU sembunyikan sebutanmu?”. Al-Khalil bin Ahmad mengucapkan dalam doanya: “Wahai Allah, Tuhanku ! Jadikanlah aku pada sisiMU, termasuk yang tertinggi dari makhlukMU ! Jadikanlah aku daripada diriku, termasuk yang terendah dari makhlukMU ! Jadikanlah aku pada sisi manusia, termasuk yang ditengah-tengah dari makhlukMU !”. Ats-Tsauri berkata: “Aku dapati hatiku pantas di Mekkah dan di Madinah, serta kaum perantau, yang mempunyai makanan dan kesungguhan”. Ibrahim bin Adham berkata: “Tiada aku gembira sekali-kali seharipun dalam dunia, kecuali sekali, dimana aku bermalam pada suatu malam di sebagian masjid desa negri Syam/Syiria. Dan aku ketika itu sakit perut. Lalu aku ditarik oleh Muazzin/juru azan dengan memegang kakiku. Sehingga aku dikeluarkannya dari masjid”. Al-Fudlail bin ‘Iyadl berkata: “Jikalau engkau sanggup untuk tidak dikenal, maka perbuatlah ! Dan tidaklah atas engkau untuk tidak dikenal. Dan tidaklah atas engkau untuk tidak dipuji. Dan tidaklah atas engkau untuk dicela manusia, apabila ada engkau terpuji pada sisi Allah Ta’ala”. Maka inilah atsar dan cerita, yang memperkenalkan kepadamu tercelanya kemahsyuran dan keutamaan tidak termahsyur. Sesungguhnya yang dicari dengan kemahsyuran dan tersebarnya suara, ialah: kemegahan dan kedudukan pada hati manusia. Dan suka kemegahan itu adalah tempat terjadinya tiap-tiap kerusakan. Jikalau anda bertanya: “Maka manakah kemahsyuran yang melebihi dari kemahsyuran nabi-nabi, khulafa’rasyidin dan ulama-ulama yang terkemuka? Maka bagaimana hilangnya keutamaan tidak termahsyur bagi mereka?”. Maka ketahuilah, bahwa yang tercela, ialah: mencari kemahsyuran. Adapun adanya dari pihak Allah Ta’ala, tanpa pemaksaan dari hamba itu, maka tidaklah tercela. Benar, padanya fitnah atas orang-orang yang lemah, tidak atas orang-orang yang kuat. Mereka itu seperti orang karam yang lemah, apabila ada bersama dia serombongan orang-orang karam. Maka yang lebih utama baginya, bahwa dia tidak dikenal oleh seorangpun dari mereka. Lalu mereka itu bergantung padanya. Maka ia lemah dari mereka. Maka ia binasa bersama mereka. Adapun orang yang kuat, maka yang lebih utama, bahwa ia dikenal oleh orang-orang yang karam, supaya mereka bergantung padanya. Maka ia dapat melepaskan mereka dan ia akan memperoleh pahala atas yang demikian.
PENJELASAN: TERCELANYA SUKA KEMEGAHAN
Allah Ta’ala berfirman: “Kampung akhirat itu kami berikan kepada mereka yang tidak menghendaki ketinggian dan kerusakan di muka bumi”. S 28 Al Qashash ayat 83. Allah Ta’ala mengumpulkan diantara kehendak kerusakan dan ketinggian. Dan ia menjelaskan bahwa kampung akhirat itu, bagi orang yang terlepas dari dua kehendak tersebut sekalian. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang ingin kepada kehidupan yang dekat (dunia) dan perhiasannya, Kami cukupkan kepadanya perbuatannya itu di dunia ini dan mereka tidak dirugikan. Orang-orang itu tiada mendapat di hari kemudian (hari akhirat), selain dari neraka. Di sana tiada berguna apa-apa yang telah mereka usahakan dan terbuang percuma apa yang telah mereka kerjakan”. S 11 Huud ayat 15-16. Ini juga, dengan umumnya firman itu, melengkapi kepada suka kemegahan. Sesungguhnya kemegahan itu kesenangan yang paling besar dari kesenangan-kesenangan hidup duniawi. Dan perhiasan yang terbanyak dari perhiasan duniawi. Rasulullah saw bersabda: “Cinta harta dan kemegahan itu menumbuhkan nifaq (kemunafikan) di dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan sayur-sayuran”. Nabi saw bersabda: “Tidaklah dua ekor srigala yang buas yang dilepaskan dalam kandang kambing, lebih cepat membuat bencana, dibandingkan dengan cinta kemuliaan dan harta, terhadap agama seorang muslim”. Nabi saw bersabda kepada Ali ra: “Sesungguhnya binasanya manusia itu, ialah disebabkan mengikuti hawa nafsu dan cinta pujian”. Kita mohon kepada Allah akan kemaafan dan keafiatan dengan nikmat dan kurnia Allah.
PENJELASAN: ARTI KEMEGAHAN DAN HAKIKAT/MAKNANYA.
Ketahuilah kiranya, bahwa kemegahan dan harta adalah: dua sendi dunia. Dan arti harta, ialah: memiliki benda-benda yang dapat dimanfaatkan. Dan arti kemegahan, ialah: memiliki hati yang dicari pengagungan dan ketaatan bagi hati. Sebagaimana orang kaya, ialah: yang memiliki dirham dan dinar. Artinya: ia berkuasa atas dirham dan dinar itu, untuk menyampaikannya kepada maksud, tujuan, memenuhi nafsu syahwat dan kesenangan-kesenangan jiwa lainnya. Maka begitu pulalah orang yang mempunyai kemegahan. Yaitu: orang yang memiliki hati manusia. Artinya: ia sanggup untuk berbuat pada hati manusia itu, untuk dipakaikannya dengan perantaraan hati itu, orang-orang yang punya hati itu, pada maksud-maksud dan tujuan-tujuannya. Dan sebagaimana ia mengusahakan harta dengan bermacam-macam usaha dan perusahaan, maka demikian pula ia mengusahakan hati makhluk dengan bermacam-macam mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Dan tidaklah hati itu menuruti, selain dengan pengetahuan dan keyakinan-keyakinan (i’tiqad (keyakinan)at). Maka setiap orang yang diyakini oleh hati, padanya suatu sifat dari sifat-sifat kesempurnaan, niscaya hati itu menuruti dan mematuhi kepadanya, menurut kuatnya keyakinan hati tadi dan menurut tingkat kesempurnaan tersebut padanya. Dan tidaklah diisyaratkan bahwa ada sifat itu sempurna pada diri sifat itu sendiri. Akan tetapi memadailah, bahwa sifat itu sempurna pada hati dan pada keyakinan hati. Kadang-kadang hati itu meyakini, apa yang tidak sempurna itu, diyakini sempurna. Dan hatinya meyakini bagi orang yang bersifat demikian, untuk mematuhinya dengan mudah, menurut keyakinannya. Maka sesungguhnya kepatuhan hati itu bertempat pada hati.  Dan hal keadaan hati itu, mengikuti bagi keyakinan hati, pengetahuannya dan khayalannya (imajinasinya). Dan sebagaimana orang yang mencintai harta itu, mencari jalan untuk memiliki budak-budak dan hambasahaya-hambasahaya, maka orang yang mencari kemegahan itu mencari untuk memperbudakkan orang-orang merdeka, memperhambakan dan memiliki leher mereka dengan memiliki hati mereka. Bahkan perbudakan yang dicari oleh orang yang mencari kemegahan itu, lebih besar. Karena orang yang berpunya itu, memiliki budak dengan cara paksaan. Dan budak itu tidak mau menurut tabiatnya. Dan jikalau diserahkan kepada pendapatnya, niscaya budak itu menarik diri dari kepatuhan. Dan orang yang punya kemegahan itu, mencari kepatuhan orang dengan tanpa paksaan. Dan ia mau orang-orang merdeka itu menjadi budaknya, dengan tabiat dan kepatuhan, serta senang dengan perbudakan dan kepatuhan kepadanya. Maka apa yang dicari oleh orang yang punya kemegahan, adalah di atas apa yang dicari oleh orang yang memiliki budak, dengan lebih banyak lagi. Jadi, arti kemegahan itu, ialah: berdirinya kedudukan (manzilah) pada hati manusia. Artinya: hati manusia itu meyakini, ada sesuatu dari sifat-sifat kesempurnaan pada orang tersebut. Maka menurut kadar kesempurnaan yang diyakini mereka pada orang itu, lalu hati mereka mengakui orang tersebut. Dan menurut kadar pengakuan hati itu, adalah kemampuannya kepada hati. Dan dengan kadar kemampuannya pada hati, adalah kegembiraan dan kecintaannya pada kemegahan. Maka inilah arti kemegahan dan hakikat/makna kemegahan ! Kemegahan itu mempunyai buah (berbuah), seperti: pujian dan berlebih-lebihan pada pujian. Karena orang yang berkeyakinan pada kesempurnaan itu, tidak akan diam daripada menyebutkan apa yang diyakininya. Lalu dipujinya di atas kesempurnaan itu. Dan seperti pelayanan dan pertolongan, maka orang yang berkeyakinan itu, tiada akan kikir, dengan menyerahkan dirinya pada mentaati orang yang dipandangnya sempurna itu, menurut kadar keyakinannya. Lalu ia dijadikan baginya, seperti budak pada maksud-maksudnya. Dan seperti mengutamakan orang lain, meninggalkan perbantahan, membesarkan dan memuliakan dengan memulai memberi salam, menyerahkan tempat yang tertinggi pada perayaan-perayaan dan mendahulukannya pada semua maksud. Maka inilah atsar (bekas dan kesan) yang terjadi dari tegaknya kemegahan dalam hati. Dan arti tegaknya kemegahan dalam hati, ialah: Lengkapnya hati kepada keyakinan sifat-sifat kesempurnaan pada seseorang. Adakalanya, disebabkan ilmu atau ibadah, atau bagus akhlak atau keturunan atau kekuasaan atau kecantikan pada rupa atau kekuatan pada badan atau sesuatu yang diyakini oleh manusia sebagai suatu kesempurnaan. Maka sifat-sifat ini semua, membesarkan tempatnya pada hati orang. Lalu menjadi sebab untuk tegaknya kemegahan. Wallahu Ta’ala A’lam ! Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui.
PENJELASAN:  SEBABNYA KEMEGAHAN ITU DISUKAI MENURUT TABIAT, SEHINGGA TIADA HATI MANUSIA YANG TERLEPAS DARIPADANYA, SELAIN DENGAN KERASNYA MUJAHADAH (kesungguhan)
Ketahuilah kiranya, bahwa sebab yang menjadikan emas, perak dan berbagai macam harta lainnya disukai (dicintai), maka itu pulalah yang menjadi sebab kemegahan itu disukai. Bahkan, yang menjadikan kemegahan itu lebih disukai dari harta, sebagaimana yang menjadikan emas itu lebih disukai daripada perak, walaupun keduanya bersamaan pada kadarnya. Yaitu, bahwa anda mengetahui, bahwa dirham dan dinar, tidaklah maksudnya pada benda itu sendiri. Karena dia tidak pantas untuk makanan, minuman, dikawinkan dan pakaian. Dia itu dan batu adalah satu tingkat. Akan tetapi, emas dan perak itu disukai, karena menjadi jalan (wasilah) kepada semua yang disukai dan jalan kepada menunaikan nafsu syahwat. Maka begitu pulalah kemegahan. Karena arti kemegahan, ialah: memiliki hati manusia. Dan sebagaimana memiliki emas dan perak itu memberi faedah kemampuan, yang menyampaikan manusia kepada maksud-maksudnya yang lain, maka begitu pulalah memiliki hati orang-orang merdeka dan sanggup menggunakannya, akan memberi faedah kesanggupan untuk sampai kepada semua maksud. Maka terdapatnya kesamaan pada sebab itu, menjadikan kesamaan pada kesukaan. Dan menguatkan kemegahan atas harta, menjadikan kemegahan itu lebih disukai (dicintai) dari harta. Penguatan bagi pemilikan kemegahan diatas pemilikan harta itu, dari tiga segi:
          pertama: Bahwa sampainya kepada harta dengan kemegahan itu, lebih mudah daripada sampainya kepada kemegahan dengan harta. Orang alim (orang berilmu) atau orang zuhud, yang telah tetap baginya kemegahan dalam hati manusia, jikalau ia bermaksud mengusahakan harta, niscaya lebih mudah baginya. Sesungguhnya harta orang-orang yang mempunyai hati mulia itu, dijadikan bagi hati. Dan diberikan bagi orang yang diyakini padanya kesempurnaan. Adapun orang yang hina, yang tidak bersifat dengan sifat kesempurnaan, apabila ia memperoleh suatu gudang harta dan tiada baginya kemegahan yang akan memelihara hartanya dan ia menghendaki untuk sampai kepada kemegahan dengan harta itu, niscaya tidak mudah baginya. Jadi, kemegahan itu alat dan jalan kepada harta. Maka siapa yang memiliki kemegahan, maka sesungguhnya ia telah memiliki harta. Dan siapa yang memiliki harta, niscaya ia tidak memiliki kemegahan dengan setiap hal. Maka karena itulah, kemegahan itu lebih disukai (dicintai).
          Kedua: yaitu, bahwa harta itu mendatangkan bencana dan hilang, dengan dicuri orang dan dirampas orang. Raja-raja dan orang-orang zalim loba kepada harta itu. Dan diperlukan pada harta itu kepada penjaga-penjaga, pengawal-pengawal dan gudang-gudang. Dan datang kepada harta itu banyak bahaya. Adapun hati manusia, apabila telah dimiliki, maka tidak akan datang pada bahaya-bahaya tersebut. Maka pada hakikat/maknanya hati manusia itu gudang-gudang yang kokoh, yang tidak sanggup pencuri-pencuri mencurinya. Dan tidak akan dicapai oleh tangan-tangan perampok dan perampas-perampas. Harta yang paling tetap, ialah: sawah ladang. Dan tidak aman dari perampasan dan kezaliman pada sawah ladang itu. Dan diperlukan kepada penjagaan dan pemeliharaan. Adapun gudang hati, maka itu dengan sendirinya terpelihara dan terkawal. Dan kemegahan itu berada dalam keamanan dan aman dari perampasan dan kecurian, pada gudang hati itu. Benar, sesungguhnya hati itu dirampas, dengan pemalingan, memburuknya keadaan dan berobahnya keyakinan, pada apa yang dibenarkan dari sifat-sifat kesempurnaan. Dan yang demikian itu termasuk mudah menolaknya. Dan tidak mudah mengerjakannya bagi orang yang mengusahakannya.
          Ketiga: bahwa pemilikan hati itu menjalar, berkembang dan bertambah, tanpa diperlukan kepada kepayahan dan penderitaan. Sesungguhnya hati itu apabila telah meyakini kepada seseorang dan meyakini kesempurnaannya, dengan ilmu atau amal atau lainnya, niscaya tidak mustahil lidah akan lancar menyebutkan apa yang ada padanya. Lalu disifatkannya apa yang diyakininya ada, kepada orang lain. Dan hati orang lain itu menangkapnya pula. Dan karena pengertian ini, maka tabiat manusia menyukai suara baik bagi dirinya dan tersiar sebutannya. Karena yang demikian, apabila berterbangan pada daerah-daerah, niscaya menangkapkan hati. Dan membawa hati itu kepada keyakinan dan penghormatan. Maka senantiasalah akan menjalar dari seorang ke seorang dan akan terus bertambah dan tiada baginya penolakan yang tertentu. Adapun harta, maka siapa yang memiliki sesuatu daripadanya, maka dia itu pemiliknya. Dan ia tidak akan sanggup mengembangkannya, selain dengan kepayahan dan penderitaan. Dan kemegahan itu selalu berkembang dengan sendirinya. Dan tiada penolakan untuk terjadinya. Dan harta itu berhenti (statis). Karena itulah, apabila kemegahan itu sudah besar, suara sudah tersiar dan lidah sudah lancar dengan pujian, niscaya harta memandang dirinya hina untuk menghadapi kemegahan. Maka inilah kumpulan penguatan kemegahan, diatas harta. Dan apabila diuraikan lebih lanjut, niscaya akan banyaklah cara penguatan itu. Jikalau anda mengatakan, bahwa kesulitan itu sama-sama terdapat pada harta dan kemegahan. Maka tidak seyogyalah manusia itu mencintai harta dan kemegahan. Benar, bahwa kadar yang menyampaikan kepada diperoleh kesenangan dan tertolaknya kemelaratan itu dapat dimaklumi. Seperti: orang yang memerlukan kepada pakaian, tempat tinggal dan makanan. Atau seperti: orang yang mendapat percobaan dengan sakit atau siksaan. Apabila ia tidak sampai kepada penolakan siksaan daripada dirinya, selain dengan harta atau kemegahan, maka cintanya kepada harta dan kemegahan itu dapat dimaklumi. Karena tiap-tiap sesuatu yang tidak akan sampai kepada yang dicintai, selain dengan sesuatu tersebut, maka sesuatu yang tersebut itu akan dicintai. Dan pada tabiat manusia, ada hal yang menakjubkan dibalik itu. Yaitu: kecintaan dan mengumpulkan harta, menggudangkan gudang-gudang, menyimpan simpanan-simpanan dan memperbanyakkan barang-barang simpanan, dibalik semua keperluan. Sehingga jikalau seorang hamba mempunyai dua lembah emas, niscaya ia mencari lembah ketiga. Begitu pula, manusia itu menyukai meluasnya kemegahan dan tersiarnya suara ke pelosok-pelosok negeri, yang ia ketahui dengan pasti bahwa ia tidak akan menginjakkan kakinya di negeri tersebut. Dan ia tidak akan melihat penduduk negeri itu datang untuk menghormatinya atau memberikannya harta atau menolonginya atas salah satu dari maksud-maksudnya. Maka walaupun ia tidak mengharapkan yang demikian, tetapi ia merasa enak sekali. Dan mencintai yang demikian itu sudah tetap menjadi tabiat manusia. Dan hampirlah dapat disangka, bahwa yang demikian itu suatu kebodohan. Karena itu adalah mencintai apa yang tiada berfaedah, tidak di dunia dan tidak di akhirat. Maka kami mengatakan, bahwa benar, kecintaan ini tiada terlepas hati daripadanya. Dan mempunyai dua sebab: sebab pertama: jelas, dapat diketahui oleh orang banyak. Dan sebab yang satu lagi: tersembunyi. Dan itulah sebab yang terbesar diantara dua sebab tersebut. Akan tetapi lebih halus, lebih tersembunyi dan lebih jauh daripada dapat dipahami oleh orang-orang yang cerdik. Lebih-lebih lagi orang-orang yang dungu. Yang demikian, adalah karena memahaminya dari sifat yang tersembunyi pada diri. Dan tabiat yang tersembunyi dalam tabiat itu. Hampir tidak akan diketahui, selain oleh orang-orang yang benar-benar menyelaminya. Adapun sebab pertama yang jelas tadi, ialah: menolak kesakitan takut. Karena orang yang sayang terhadap dirinya itu, suka dengan jahat sangka. Dan manusia itu, walaupun ia berada sekarang dalam keadaan yang mencukupi, akan tetapi ia panjang angan-angan. Dan terguris di hatinya bahwa harta yang mencukupi itu kadang-kadang hilang. Lalu ia memerlukan kepada harta lain. Apabila terguris yang demikian pada hatinya, niscaya menggeloralah ketakutan dari hatinya. Dan tidak akan menolak kepedihan takut itu, selain oleh perasaan aman, yang diperoleh dengan adanya harta yang lain, dimana ia akan takut pula, jikalau harta ini akan tertimpa bahaya. Maka orang tersebut, karena sayangnya kepada dirinya dan cintanya kepada hidup itu, ia mentakdirkan lama hidup dan mentakdirkan datangnya serangan-serangan keperluan. Dan ia mentakdirkan, akan kemungkinan datangnya bahaya-bahaya kepada hartanya. Dan ia merasa ketakutan dari yang demikian. Lalu ia mencari apa yang dapat menolak ketakutannya. Yaitu: banyak harta. Sehingga, kalau mendapat bencana dengan segolongan dari hartanya, niscaya ia masih merasa cukup dengan yang lain. Dan ini adalah ketakutan, yang tiada akan berhenti, dengan jumlah tertentu dari harta. Maka karena itulah, tiada bagi orang yang seperti demikian tempat berhenti, sampai ia memiliki semua yang dalam dunia. Dan karena itulah, Rasulullah saw bersabda: “Dua orang yang berselera, tiada akan kenyang; orang yang berselera ilmu dan orang yang berselera harta”. Penyakit yang seperti ini, akan datang pada kecintaan memperoleh kedudukan dan kemegahan pada hati orang-orang yang jauh dari tanah air dan negrinya. Ia tiada akan terlepas daripada mentakdirkan sesuatu sebab yang mengejutkannya dari tanah air. Atau yang mengejutkan mereka dari tanah air mereka, kepada tanah airnya. Dan ia memerlukan kepada pertolongan mereka. Manakala yang demikian itu mungkin dan keperluannya kepada mereka tidak mustahil menurut zahiriah, niscaya adalah kegembiraan dan kesenangan bagi diri, dengan tegaknya kemegahan pada hati mereka. Karena padanya terdapat keamanan dari ketakutan itu. Adapun sebab kedua yang tersembunyi itu dan yang lebih kuat, ialah: bahwa roh itu adalah urusan keTuhanan, yang telah disifatkan demikian oleh Allah Ta’ala. Karena Allah berfirman: “Mereka bertanya kepada engkau tentang roh. Jawablah; roh itu termasuk urusan Tuhan”. S 17 Al Israa’ ayat 85. Dan arti urusan keTuhanan itu ialah: termasuk rahasia ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Dan tidak mudah melahirkannya. Karena tidak dilahirkan oleh Rasulullah saw. Akan tetapi, anda sebelum mengetahui yang demikian, anda tahu, bahwa hati itu mempunyai kecendrungan kepada sifat-sifat kebinatangan seperti: makan dan bersetubuh. Dan kepada sifat-sifat kebuasan, seperti: membunuh, memukul dan menyakiti. Dan kepada sifat-sifat kesetanan, seperti: tipu daya, menipu dan menyesatkan. Dan kepada sifat-sifat keTuhanan, seperti: takabur, keperkasaan, pemaksaan dan mencari ketinggian. Yang demikian, karena hati itu tersusun dari asal usul yang bermacam-macam, yang panjang penguraian dan penafsirannya. Maka hati, lantaran padanya termasuk urusan keTuhanan, maka ia mencintai keTuhanan dengan tabiatnya. Dan arti keTuhanan, ialah: keesaan dengan kesempurnaan dan kesendirian dengan wujud, atas jalan berdiri sendiri (istiqlal). Maka kesempurnaan itu menjadi sebahagian dari sifat-sifat keTuhanan. Lalu kesempurnaan itu menurut tabiatnya, disukai oleh manusia. Dan kesempurnaan itu dengan kesendirian wujud (adanya). Maka sesungguhnya perkongsian (musyarakah) pada wujud itu sudah pasti suatu kekurangan. Kesempurnaan matahari, adalah: bahwa matahari itu adanya sendirian. Maka jikalau ada matahari lain bersama matahari, niscaya adalah yang demikian itu, suatu kekurangan pada diri matahari. Karena dia tidak sendirian dengan kesempurnaan arti kemataharian. Dan yang sendirian dengan wujud, ialah: ALLAH TA’ALA. Karena tidak ada bersamaNYA yang wujud, selain DIA. Karena apa yang selain Dia itu, adalah suatu bekas dari bekas-bekas Qudrah ( kuasa )NYA, yang tidak dapat berdiri sendiri. Akan tetapi berdiri dengan Dia. Maka tidaklah yang lain itu maujud (yang berwujud) bersama Dia. Karena kebersamaan itu mengharuskan persamaan pada tingkat. Dan persamaan pada tingkat itu suatu kekurangan pada kesempurnaan. Bahkan yang sempurna (al-kamil) itu, ialah: siapa yang tiada bandingan pada tingkatnya. Dan sebagaimana memancarnya sinar matahari pada semua tepi ufuk, tidaklah suatu kekurangan pada matahari, bahkan adalah termasuk dari jumlah kesempurnaannya. Dan sesungguhnya kekurangan matahari itu, ialah: dengan adanya matahari lain, yang menyamainya pada tingkat, serta tidak diperlukan kepadanya. Maka begitu pulalah adanya tiap-tiap sesuatu dalam alam itu, kembali kepada memancarnya nur (cahaya) QUDRAH ( KUASA ). Maka sesuatu itu adalah pengikut dan tidaklah yang diikuti. Jadi, arti keTuhanan, ialah: sendirian dengan wujud. Dan itulah kesempurnaan. Dan tiap-tiap manusia, menurut tabiatnya, menyukai (mencintai), supaya ada ia sendirian dengan kesempurnaan. Dan karena itulah, setengah masya-ikh (guru-guru) sufi, mengatakan: “Tidaklah dari seorang manusiapun, melainkan pada batin nya itu, apa yang ditegaskan oleh Fir’aun dengan ucapannya: “Akulah tuhanmu yang tertinggi”. Akan tetapi, manusia itu tidak memperoleh jalan untuk yang demikian. Dan itu adalah kata setengah masya-ikh tadi. Sesungguhnya, perhambaan itu paksaan atas diri dan keTuhanan itu disukai dengan tabiat. Dan yang demikian, karena tilikan keTuhanan yang diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala: “Quli ‘rruuhu min amri Rabbi” (Jawablah roh itu termasuk urusan Tuhan). Akan tetapi, tatkala diri manusia, itu lemah daripada mengetahui penghabisan kesempurnaan, niscaya nafsu syahwatnya tidak jatuh bagi kesempurnaan. Maka ia mencintai kesempurnaan, merindui kesempurnaan dan merasa lezat karena kelezatan kesempurnaan. Tidak karena pengertian yang lain, dibalik kesempurnaan itu. Dan setiap yang maujud (yang ada) itu, mencintai dirinya dan untuk kesempurnaan dirinya. Dan memarahi kebinasaan yang meniadakan dirinya atau meniadakan sifat kesempurnaan dari dirinya. Dan sesungguhnya kesempurnaan itu adalah sesudah selamat kesendirian dengan wujud, pada menguasai atas segala yang maujud. Maka kesempurnaan yang lebih sempurna (maha sempurna), ialah: adanya yang lain dari engkau itu berasal dari engkau. Maka jikalau yang lain itu adanya tidak dari engkau, maka bahwa ada engkau itu menguasainya. Lalu jadilah penguasaan atas tiap-tiap sesuatu itu disukai menurut tabiat. Karena penguasaan itu semacam kesempurnaan. Dan tiap-tiap yang maujud itu mengenal dirinya. Maka ia mencintai dirinya dan mencintai kesempurnaan dirinya, serta merasa lezat dengan demikian. Hanya penguasaan atas sesuatu itu, ialah dengan mampu (qudrah ( kuasa )) mempengaruhi dan mengubahnya menurut kemauan. Dan adanya sesuatu itu dibawah perintah engkau, yang engkau membulak-baliknya menurut kehendak engkau. Maka yang paling disukai manusia, ialah bahwa ia mempunyai kekuasaan atas tiap-tiap sesuatu yang ada bersamanya. Hanya yang ada itu (al-maujudat), terbagi kepada: yang tidak menerima perobahan pada dirinya, seperti: Zat Allah Ta’ala dan sifatnya. Dan kepada yang menerima perobahan. Akan tetapi, ia tidak dikuasai oleh kemampuan (kesanggupan) makhluk, seperti: cakrawala, bintang-bintang, alam malaikat tinggi, diri malakut tinggi, diri malaikat-malaikat, jin dan setan. Dan seperti: gunung dan laut dan yang di bawah gunung dan laut. Dan kepada yang menerima perobahan, dengan kemampuan hamba Allah, seperti: bumi dan bahagian-bahagiannya dan apa yang pada bumi, dari barang-barang tambang, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Dan termasuk dari jumlah tersebut ini, hati manusia, maka sesungguhnya hati manusia itu, menerima pengaruh dan perobahan, seperti tubuhnya dan tubuh binatang-binatang. Jadi, yang maujud itu terbagi kepada: yang dikuasai manusia berbuat padanya, seperti: bumi. Dan kepada: yang tidak dikuasai manusia, seperti: Zat Allah Ta’ala, malaikat-malaikat dan langit. Manusia itu menyukai untuk menguasai langit dengan: ilmu pengetahuan, keliputan pengetahuannya dan mengetahui rahasia-rahasianya. Sesungguhnya yang demikian itu semacam penguasaan. Karena yang diketahui, yang meliputi pengetahuannya, adalah seperti orang yang masuk di bawah ilmu. Dan orang yang berilmu itu adalah seperti orang yang menguasainya. Maka karena itulah ia menyukai mengenal Allah Ta’ala, malaikat-malaikat, cakrawala, bintang-bintang, semua keajaiban langit, semua keajaiban laut, gunung-gunung dan lainnya. Karena yang demikian itu semacam penguasaan atasnya. Dan penguasaan itu semacam kesempurnaan. Dan ini menyerupai dengan keinginan orang yang lemah dari perusahaan yang ajaib (yang mengherankan), untuk mengetahui jalan perusahaan padanya. Seperti orang yang lemah dari meletakkan catur, maka kadang-kadang ia ingin (merindukan) untuk mengetahui permainan catur. Dan bagaimana catur itu diletakkan. Dan seperti orang yang melihat perusahaan yang menakjubkan pada ilmu ukur (hindasah) atau permainan sulap atau menarik barang berat atau lainnya. Ia merasa pada dirinya sebahagian kelemahan dan pendek tenaga padanya. Akan tetapi, ia rindu untuk mengetahui caranya. Lalu ia merasa sakit dengan sebahagian kelemahan dan merasa enak dengan kesempurnaan ilmu, jikalau ia mengetahui nya. Adapun bahagian kedua, yaitu: bumi yang dikuasai oleh umat manusia. Maka manusia itu menurut tabiatnya, menyukai untuk menguasai bumi itu, dengan kekuasaan kepada berbuat padanya, bagaimana yang dikehendakinya. Bumi itu dua bahagian: tubuh (jasad) dan roh (nyawa).
          Adapun jasad bahagian pertama, maka yaitu: dirham, dinar dan harta benda lainnya. Maka haruslah manusia itu menguasainya. Ia berbuat pada jasad itu, apa yang dikehendakinya, dari mengangkat dan meletakkan, menyerahkan dan tidak mau menyerahkan. Maka yang demikian itu adalah: kekuasaan (qudrah ( kuasa )). Dan kekuasaan itu suatu kesempurnaan. Dan kesempurnaan itu termasuk sifat keTuhanan. Dan keTuhanan itu disukai  (dicintai) dengan tabiat. Maka karena itulah, manusia menyukai harta, walaupun ia tidak memerlukan kepada harta tersebut untuk pakaiannya, makanannya dan nafsu syahwat dirinya. Dan seperti itu pula, mencari perbudakan hamba sahaya dan perbudakan orang-orang yang merdeka, walaupun dengan paksaan dan kekerasan. Sehingga ia berbuat pada tubuh mereka dan diri mereka dengan mengambil manfaatnya, walaupun ia tidak memiliki hati mereka. Karena hati mereka itu, kadang-kadang tidak mempercayai kesempurnaan orang itu, sehingga ia jadi dikasihi oleh hati mereka. Dan tegaklah paksaan untuk kedudukan orang tersebut pada hati mereka. Maka pelayanan paksaan juga enak, karena ada padanya kekuasaan.
          Adapun Roh (nyawa) Bahagian kedua, yaitu: diri anak Adam dan hatinya. Yaitu: yang paling bernilai dari apa yang ada diatas permukaan bumi. Maka manusia itu menyukai untuk mempunyai kekuasaan dan kemampuan atas diri dan hati anak Adam itu. Supaya bermanfaat baginya dan berbuat dibawah petunjuk dan kehendaknya. Karena pada yang demikian itu terdapat kesempurnaan kekuasaan dan penyerupaan dengan sifat keTuhanan. Dan hati manusia itu, sesungguhnya dapat dimanfaatkan, disebabkan kecintaan. Dan hati manusia itu tidak akan cinta, selain disebabkan kepercayaan akan kesempurnaan yang dicintainya. Maka tiap-tiap kesempurnaan itu dicintai. Karena kesempurnaan termasuk sebahagian sifat-sifat keTuhanan. Dan sifat-sifat keTuhanan itu semua dicintai dengan tabiat. Karena pengertian keTuhanan itu termasuk dalam jumlah pengertian manusia. Yaitu: yang tidak akan busuk oleh mati. Lalu ditiadakannya. Dan tidak akan dikuasai oleh tanah, lalu dimakannya. Sesungguhnya manusia itu tempat iman dan ma’rifah/tahu/mengerti. Dan itulah, yang menyampaikan kepada menemui Allah Ta’ala dan yang berjalan kepadaNYA. Jadi, arti kemegahan itu membuat hati manusia bekerja, tanpa upah. Dan siapa yang mempunyai hati manusia yang bekerja baginya, tanpa upah, niscaya adalah ia mempunyai kemampuan dan kekuasaan pada hati manusia. Kemampuan dan kekuasaan itu suatu kesempurnaan. Dan itu termasuk dari sifat-sifat keTuhanan. Jadi, yang dikasihi oleh hati manusia menurut tabiatnya, ialah: kesempurnaan dengan ilmu dan kekuasaan. Harta dan kemegahan itu termasuk dari sebab-sebab kekuasaan. Dan tiada berkesudahan bagi yang diketahui dan tiada berkesudahan bagi yang dikuasai. Dan selama ada yang diketahui/yang dikuasai, maka kerinduan keinginan itu tiada akan berhenti. Dan kekurangan itu tiada akan hilang. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Dua orang yang berselera, tiada akan kenyang”. Jadi yang dicari oleh hati, ialah : kesempurnaan. 
Dan kesempurnaan itu, ialah: dengan ilmu dan kekuasaan. Berlebih‑kurangnya tingkat pada yang demikian itu, tidak terbatas. Maka kegembiraan dan kesenangan setiap manusia itu, sekadar apa yang diperolehnya dari kesempurnaan. Maka inilah sebabnya tentang keadaan ilmu, harta dan kemegahan itu disukai (dicinta). Dan itulah suatu keadaan, dibalik adanya itu disukai, untuk sampai tercapainya nafsu keinginan. Maka alasan tersebut, kadang‑kadang terus tetap, serta telah hilangnya nafsu keinginan. Bahkan manusia itu menyukai (mencintai) di antara ilmu pengetahuan, apa yang tiada layak untuk menyampaikannya kepada maksud. Tetapi kadang‑kadang luput (hilang) daripadanya sejumlah dari maksud‑maksud dan nafsu‑syahwat. Akan tetapi tabiat manusia menghendaki mencari ilmu pengetahuan pada semua yang ajaib‑ajaib dan yang sulit‑sulit. Karena pada ilmu pengetahuan itu ada penguasaan pada yang diketahui. Dan itu adalah semacam kesempurnaan, yang termasuk dari sifat‑sifat keTuhanan. Maka jadilah yang demikian itu disukai (dicintai) dengan tabiat. Hanya, pada kesukaan (kecintaan) kesempurnaan ilmu pengetahuan dan kekuasaan itu terdapat kesalahan‑kesalahan, yang tak boleh tidak, daripada penjelasan insya Allah Ta’ala.
PENJELASAN: Kesempurnaan hakiki dan kesempurnaan bayangan yang tiada hakikat/makna baginya.
Sesungguhnya anda telah mengetahui, bahwa tiada kesempurna­an sesudah hilangnya kesendirian dengan wujud, selain pada ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Tetapi, kesempurnaan hakiki padanya itu, bercampur dengan kesempurnaan bayangan. Penjelasan-nya, ialah, bahwa kesempurnaan ilmu itu, bagi Allah Ta’ala. Dan yang demikian itu, dari: tiga segi:
Pertama: Dari segi banyaknya yang diketahui & meluasnya. Maka ilmu Allah Ta’ala itu meliputi dengan semua yang diketahui. Maka karena itulah, setiap kali ilmu‑pengetahuan hamba bertambah banyak, niscaya ia bertambah dekat kepada Allah Ta’ala.
Kedua: Dari segi menyangkutnya ilmu dengan yang di‑ilmu‑i (yang diketahui), menurut apa yang dengan ilmu itu. Dan keadaan ilmu itu terbuka bagi Allah dengan sangat sempurna. Maka semua yang diketahui (di‑ilmu‑i) itu terbuka bagi Allah Ta’ala, dengan sangat sempurna macam‑macamnya pembukaan, menurut apa yang sebenar­nya kepada Allah Ta’ala. Maka karena itulah, manakala ilmu pengetahuan hamba itu lebih jelas, lebih yakin, lebih benar dan lebih bersesuaian bagi yang diketahui pada penguraian‑penguraian sifat ilmu, niscaya adalah ia lebih mendekati kepada Allah Ta'ala.
Ketiga: Dari segi kekalnya ilmu untuk selama‑lamanya, dari segi tidak berobah dan tidak hilang. Maka sesungguhnya ilmu Allah Ta’ala itu kekal, tiada tergambar akan berobah. Maka seperti itu pulalah, manakala ada ilmu pengetahuan hamba dengan maklumat (pengetahu­an yang diketahui) itu, tiada menerima perobahan dan pertukaran, niscaya adalah ia lebih mendekati kepada Allah Ta’ala. Maklumat (pengetahuan yang diketahui) itu dua bahagian: yang berobah‑obah (Mutaghayyirat) dan yang tidak berobah‑robah (azali ( tida kesudahan / permulaan )yyaat).
Adapun yang: yang berobah‑obah/mutaghayyirat, maka contohnya, ialah: ilmu (tahu) dengan adanya si Zaid di rumah. Maka itu adalah ilmu (pengetahuan), yang ada baginya yang diketahui (yang dimaklumi). Akan tetapi akan tergambar, bahwa si Zaid itu akan keluar dari rumah. Dan tetap keyakinan adanya si Zaid itu di rumah, sebagaimana ia telah ada, lalu akan bertukar dengan tidak tahu. Maka itu adalah suatu kekurangan, tidak suatu kesempurnaan. Maka setiap kali, anda berkeyakinan dengan suatu keyakinan yang bersesuaian dengan kebenaran dan anda menggambarkan, bahwa yang diyakini itu akan bertukar dari apa yang telah anda yakini, niscaya adalah anda dengan keadaan berputarnya kesempurnaan anda kepada kekurangan. Dan kembalilah pengetahuan anda kepada kebodohan. Dan dapat dihubungi dengan contoh ini, semua perobahan alam dunia. Umpamanya, seperti pengetahuan anda dengan ketinggian gunung, pengukuran bumi, bilangan negeri dan berjauhan di antara negeri‑negeri itu dengan mil dan farsakh. Dan apa‑apa yang lain, yang disebutkan pada perjalanan‑perjalanan dan kerajaan‑kerajaan. Begitu pula pengetahuan dengan bahasa‑bahasa yang menjadi istilah‑istilah, yang akan berobah dengan perobahan masa, bangsa dan kebiasaan. Maka inilah ilmu‑pengetahuan, yang diketa­hui daripadanya, adalah seperti: air raksa, yang berobah dari suatu keadaan kepada suatu keadaan. Maka tidak adalah padanya kesempurnaan, selain pada waktu itu. Dan tiada akan kekal sempurna didalam hati.
Bahagian kedua, yaitu ma'luumaat azali ( tida kesudahan / permulaan )yyat/yang tidak berobah-obah. Yaitu: Jawaazul jaaizaat (boleh ada atau tidaknya apa yang boleh ada atau tidaknya), wujuubul‑waajibaat (wajib adanya apa yang wajib adanya) dan istihaalatul‑mustahiilaat (mustahil adanya apa yang mustahil adanya). Maka inilah maIuumaat azali ( tida kesudahan / permulaan )yyaat yang abadi!  Karena sekali-­kali tiada mustahil yang wajib adanya itu akan jaiz (boleh ada atau tidaknya). Yang jaiz itu tiada mustahil akan mustahil. Dan yang mustahil itu tiada mustahil akan wajib. Maka setiap bahagian ini masuk dalam ma’rifah/mengerti Allah, apa yang wajib bagiNya, apa yang mustahil pada sifat‑sifatNya dan yang jaiz pada Af’al ( perbuatan-perbuatan) Nya (perbuatan‑perbuatanNya). Maka ilmu yang menyangkut dengan Allah Ta’ala, dengan sifat­-sifatNya, Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya dan HikmahNya pada alam malakut langit dan bumi, susunan dunia dan akhirat dan apa yang berbubungan dengan yang tersebut, adalah kesempurnaan hakiki, yang mendekatkan orang yang bersifat demikian kepada Allah Ta'ala. Dan akan kekal sebagai kesempurnaan bagi jiwa sesudah mati. Adalah ma’rifah/tahu/mengerti ini nur (cahaya) bagi orang‑orang yang 'arif (yang berilmu marifat) sesudah mati, yang berjalan di hadapan mereka dan di kanan mereka. Mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami ! Sempurnakanlah bagi kami cahaya kami".  Adalah ma’rifah/tahu/mengerti tersebut modal yang akan menyampaikan kepada tersingkapnya, apa yang tiada tersingkap di dunia, sebagaimana orang yang bersamanya pelita yang tersembunyi. Maka bolehlah yang demikian itu, menjadikan sebab untuk penambahan cahaya dengah pelita yang lain, yang akan diambil cahaya daripadanya. Maka akan sempurnalah cahaya itu dengan cahaya yang tersembunyi tadi, sebagai jalan menyempurnakan. Dan orang yang tiada padanya pokok pelita, maka tiada harapan baginya pada yang demikian. Maka orang yang tiada padanya pokok marifah (pokok pengenalan) Allah Ta'ala, niscaya tiada baginya harapan pada cahaya tersebut. Maka kekallah dia seperti orang, yang seumpama dia dalam kegelapan, yang tiada jalan ke luar daripadanya. Bahkan "keadaan mereka, sebagai kegelapan di laut yang dalam, dipukul gelombang demi gelombang, di atasnya awan (gelap) dan kegelapan itu tindih bertindih" Jadi, tiada kebahagiaan, selain pada ma'rifah (mengenal) Allah Ta'ala. Adapun selain itu dari ma'rifah‑ma'rifah yang lain, maka sebahagian daripadanya, tiada mempunyai faedah sama‑sekali, seperti: mengenal pantun, keturunan‑keturunan orang Arab dan lainnya. Sebahagian daripadanya, bermanfa'at pada menolong mengenal (ma'rifah) Allah Ta’ala, seperti: mengetahui bahasa Arab, tafsir, fikih dan hadits. Maka mengetahui bahasa Arab itu menolong kepada mengetahui tafsir AI‑Quran. Dan mengetahui tafsir itu, menolong kepada mengetahui apa yang dalam AI‑Qur‑an, dari cara ibadah dan amal, yang akan memfaedahkan pembersihan jiwa. Dan mengetahui jalan pembersihan jiwa itu, memfaedahkan persiapan jiwa untuk menerima hidayah (petunjuk) kepada mengenal (ma'rifah) Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firmanNya: "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan (jiwa) nya". S 91 Asy Syams ayat 9. Allah ‘Azza wa Jalla (Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar) berfirman: “Dan orang‑orang yang bersungguh-sungguh pada  jalan Kami, sungguh akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”  S 29 Al 'Ankabuut  ayat 69. Maka adalah jumlah ma'rifah‑ma'rifah ini, sebagai jalan (wasilah) kepada meyakini ma'rifah (mengenal) Allah Ta'ala.  Sesungguhnya kesempurnaan itu pada mengenal Allah, mengenal sifat‑sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Dan terkandung di dalamnya semua ma'rifah yang meliputi dengan segala yang ada (al‑maujudat). Karena al‑maujudat  itu semua, adalah dari Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Maka siapa yang mengetahuinya, dari segi al‑maujudat itu afal Allah Ta’ala dan dari segi terikatnya dengan qudrah ( kuasa ), Kemauan dan hikmah, maka itu adalah termasuk dari kesempurnaan ma'rifah (mengenal) Allah Ta’ala. Dan inilah hukum kesempurnaan ilmu yang telah kami sebutkan dahulu, walaupun tidak layak dengan hukum kemegahan dan ria. Akan tetapi, telah kami membentangkannya, untuk kesempurnaan bahagian‑bahagian kesempurnaan itu. Adapun qudrah ( kuasa ), maka tak ada padanya kesempurnaan hakiki bagi hamba. Akan tetapi, bagi hamba itu ilmu hakiki. Dan hamba itu tidak mempunyai qudrah ( kuasa ) hakiki. Dan sesungguhnya qudrah ( kuasa ) hakiki itu bagi Allah. Dan apa yang terjadi dari segala sesuatu di belakang Kemauan hamba, kudrah dan geraknya, maka itu terjadi dengan dijadikan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana telah kami tegaskan pada Kitab Sabar dan Syukur dan Kitab Tawakkal dan pada berbagai tempat dari "Rubu' Yang Melepaskan”. Maka kesempurnaan ilmu itu kekal bersama hamba sesudah mati. Dan akan menyampaikannya kepada Allah Ta’ala. Adapun kesempurnaan kudrah itu, maka tidak benar hamba itu mempunyai kesempurnaan, dari segi qudrah ( kuasa ), dibandingkan kepada masa sekarang. Dan qudrah ( kuasa ) itu jalan baginya kepada kesempurnaan ilmu, seperti keselamatan dua kaki tangannya, kekuatan tangannya untuk memegang, kakinya untuk berjalan dan pancaindranya untuk mengetahui. Maka kekuatan ini adalah alat untuk menyampaikan kepada hakikat/makna kesempurnaan ilmu. Kadang‑kadang memerlukan pada kesempurnaan kekuatan ini, kepada kemampuan (qudrah ( kuasa )) dengan harta dan kemegahan untuk menyampaikannya kepada makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Dan yang demikian itu, kepada kadar yang dimaklumi. Maka jikalau tidak dipakaikannya untuk menyampaikannya kepada ma’rifah (mengenal/tahu/ mengerti) keagungan Allah Ta’ala, maka tiadalah sekali‑kali kebajikan padanya. Kecuali dari segi kelezatan yang sekarang, yang akan berlalu (habis) pada masa dekat. Dan siapa yang menyangka demikian itu suatu kesempurnaan, maka sesungguhnya dia itu bodoh. Maka makhluk, kebanyakannya binasa pada kesengsaraan kebodohan ini. Mereka itu menyangka, bahwa kekuasaan atas tubuh manusia dengan paksaan marah, atas benda‑benda harta dengan keluasan kekayaan dan atas penghormatan hati manusia dengan meluasnya kemegahan itu, suatu kesempurnaan. Maka manakala mereka berkeyakinan yang demikian, niscaya mereka mencintainya (menyukainya). Manakala mereka mencintainya, niscaya mereka akan mencarinya. Dan manakala mereka mencarinya, niscaya mereka akan sibuk dengan yang demikian dan akan binasa. Lalu mereka melupakan kesempurnaan hakiki, yang mewajibkan kedekatan kepada Allah Ta'ala dan malaikat‑malaikatNya. Yaitu: ilmu dan kemerdeka­an. Adapun ilmu, maka apa yang telah kami sebutkan dahulu dari ma'rifah (mengenal) Allah Ta'ala. Adapun kemerdekaan, maka yaitu, kelepasan dari tawanan nafsu‑syahwat, dari kesusahan dunia dan menguasainya dengan paksaan. Karena menyerupakan dengan malai­kat‑malaikat yang tidak dapat dilompati oleh nafsu‑syahwat dan tidak dikenakan oleh kemarahan. Maka penolakan bekas‑bekas nafsu‑syah­wat dan kemarahan dari jiwa itu, termasuk kesempurnaan yang menjadi sebahagian sifat malaikat. Dan termasuk sifat kesempurnaan bagi Allah Ta’ala, ialah: mustahil berobah dan membekas padaNya. Maka siapa yang berada lebih jauh dari perobahan dan pembekasan dengan hal‑hal mendatang, niscaya adalah ia lebih dekat kepada Allah Ta’ala. Dan ia  lebih menyerupai dengan malaikat. Dan kedudukannya di sisi Allah lebih tinggi. Dan inilah kesempurnaan ketiga, selain kesempurnaan ilmu dan kekuasaan (qudrah ( kuasa )). Dan kami tidak membentangkan kesempurnaan ketiga itu pada bahagian‑bahagian kesempurnaan, karena hakikat/maknanya kembali kepada tidak dan kekurangan. Karena perobahan itu suatu kekurangan. Karena kekurangan adalah ibarat, dari tidak adanya sifat yang ada dan binasanya. Dan kebinasaan itu suatu kekurangan pada kelezatan dan pada sifat kesempurnaan. Jadi, kesempurnaan itu tiga, kalau kita hitung, tiada perobahan dengan nafsu syahwat dan tiada mematuhi kepada nafsu‑syahwat itu, suatu kesempurnaan, seperti kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan kemerdekaan. Dan aku maksudkan, ialah: tiada perbudakan bagi nafsu‑syahwat dan kehendak sebab‑sebab duniawi. Kesempurnaan kemampuan bagi hamba itu, jalan kepada pengusahaan kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan kemerdekaan. Dan tiada jalan bagi yang demikian, kepada pengusahaan kesempur­naan kemampuan, yang terus ada sesudah matinya. Karena kemam­puan nya kepada benda‑benda harta dan kepada penggunaan hati dan badan manusia, akan terputus dengan kematian. Dari ma’rifah/mengenal/tahu/mengerti serta kemerdekaannya, tiada akan terus tiada, dengan kematian. Akan tetapi, akan kekal sebagai kesempurnaan padanya dan jalan kepada kedekatan kepada Allah Ta’ala. Maka perhatikanlah, bagaimana berputarnya orang‑orang bodoh  dan menelengkup atas mukanya, sebagaimana telengkupnya orang-­orang buta. Lalu mereka menghadap kepada mencari kesempurnaan kemampuan dengan kemegahan dan harta. Dan itu, kesempurnaan yang tiada akan selamat. Dan jikalau selamat, maka tiada akan kekal. Dan mereka berpaling dari kesempurnaan kemerdekaan dan ilmu, dimana apabila berhasil, niscaya akan abadi, yang tiada akan putus‑putus. Dan merekalah orang‑orang yang membeli kehidupan dunia dengan akhirat. Maka tidak syak lagi, tidak akan diringankan azab dari mereka. Mereka tiada akan ditolong. Dan mereka tiada memahami firman Allah Ta’ala: "Kekayaan ! dan anak‑anak adalah perhiasan kehidupan dunia dan pekerjaan baik yang kekal lebih baik pahalanya pada sisi Tuhan engkau dan  pengharapan yang lebih elok". S 18 AI‑Kahfi ayat 46. Maka ilmu dan kemerdekaan, adalah sisa‑sisa amalan yang baik, yang akan kekal sebagai kesempurnaan pada jiwa. Harta dan kemegahan itu yang akan berlalu (habis) pada waktu dekat.  Yaitu, seperti yang dicontohkan oleh Allah Ta'ala, dimana la berfirman: "Perumpamaan kehidupan dunia ini, ialah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, Ialu tumbuh karenanya tanam‑tanaman bumi”. S 10 Yunus ayat 24. Allah Ta'ala berfirman: “Dan buatlah untuk mereka perumpamaan kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit (awan) dan karenanya tumbuh‑tumbuhan di bumi ini menjadi subur. Kemudian itu dia menjadi kering, diterbangkan angin". S 18 Al Kahfi ayat 45. Tiap‑tiap apa yang diterbangkan oleh angin kematian, maka adalah kembang kehidupan dunia. Dan tiap‑tiap apa yang tidak diputuskan oleh kematian, maka adalah sisa‑sisa amalan yang baik. Maka dengan ini, anda telah mengetahui, bahwa kesempurnaan kemampuan dengan harta dan kemegahan, adalah kesempurnaan sangkaan (bayangan), tiada mempunyai dasar. Dan orang yang membataskan waktunya untuk mencarinya dan menyangka bahwa itu yang dimaksud, maka orang itu bodoh. Dan kepada yang demikian itulah, diisyaratkan oleh Abuth‑Thayyib AI‑Mutanabbi, dengan madahnya:
Orang yang menggunakan jamnya,
pada mengumpulkan harta,
karena takut papa,
maka dia telah berbuat papa.
Kecuali, sekedar dari harta & kemegahan itu yang akan menyampaikan kepada: kesempurnaan hakiki. Wahai Allah Tuhan kami ! Jadikanlah kami termasuk orang yang Engkau beri taufiq kepada kebajikan & Engkau beri petunjuk, dengan kasih sayang Engkau!
PENJELASAN. apa yang dipuji dan kecintaan kemegahan dan apa yang dicela.
Manakala anda telah mengetahui, bahwa arti kemegahan itu memiliki hati manusia dan menguasainya, maka hukumnya, ialah: hukum memiliki harta. Maka kemegahan itu menjadi suatu mata benda dari mata benda‑mata benda kehidupan dunia. Dan akan terputus dengan kematian seperti harta. Dan dunia itu tempat bercocok tanam bagi akhirat. Maka setiap yang dijadikan dalam dunia, mungkin akan diambil daripadanya, menjadi perbekalan bagi akhirat. Dan sebagaimana tak boleh tidak daripada sedikit harta untuk keperluan makanan, minuman dan pakaian, maka tak boleh tidak pula, daripada sedikit kemegahan untuk keperluan penghidupan bersama makhluk. Dan manusia, sebagaimana ia tidak terlepas dari makanan yang akan dimakannya, lalu boleh ia menyukai makanan itu atau harta yang akan dibelinya makanan itu, maka seperti itu pulalah manusia itu tidak terlepas dari keperluan kepada pelayan yang akan melayaninya, teman yang akan menolonginya, guru yang akan menunjuk jalan kepadanya dan sultan (penguasa) yang akan menjaganya. Dan menolak daripadanya kezaliman orang‑orang jahat. Maka kecintaannya, supaya ia mempunyai dalam hati pelayannya tempat yang akan mengajak pelayan itu kepada melayaninya, tidaklah tercela Kecintaan nya supaya ia mempunyai dalam hati temannya tempat yang akan membaikkan persahabatan dan pertolongannya, tidaklah tercela. Kecintaan nya supaya ia mempunyai dalam hati gurunya tempat, yang akan membaikkan petunjuk, pengajaran dan ketolongannya, tidaklah tercela. Dan kecintaannya supaya ia mempunyai tempat dalam hati penguasanya, yang akan menggerakkannya oleh yang demikian kepada penolakan kejahatan daripadanya, tidaklah tercela. Maka kemegahan itu sesungguhnya jalan kepada maksud seperti harta. Maka tiada perbedaan di antara kemegahan dan harta, selain, bahwa pemastian pada ini, akan membawa kepada tidaknya harta dan kemegahan itu dengan benda‑bendanya, yang menjadi kecintaannya. Akan letapi, yang demikian itu berkedudukan sebagaimana kedudukan kecintaan manusia, bahwa mempunyai tempat buang air (kakus) di rumahnya. Karena ia memerlukan kepada tempat buang air itu, untuk qodo-hajatnya (membuang air besar dan air kecil). Dan ia mengingini, bahwa jikalau ia tidak memerlukan kepada qodo‑hajat, lalu ia tidak memerlukan kepada tempat buang air. Maka ini di atas pemastian tersebut, ia tidak mencintai tempat buang air. Maka tiap‑tiap apa yang dikehendaki untuk menyampai­kan kepada yang dicintai, maka yang dicintai itulah yang dimaksud mencapainya. Perbedaan itu akan diperoleh dengan contoh yang lain. Yaitu: bahwa seorang laki‑laki kadang‑kadang mencintai isterinya, dari segi­ bahwa ia dapat menolak sisa nafsu‑syahwat nya dengan isterinya itu: sebagaimana ia menolak ampas makanan dengan tempat buang air. Dan jikalau ia telah merasa cukup belanja nafsu‑syahwatnya, niscaya ia akan meninggalkan isterinya, sebagaimana kalau ia telah merasa cukup dengan qodo‑hajat, niscaya ia tiada akan masuk kamar buang air. Dan ia tiada akan berkeliling padanya. Kadang‑kadang manusia itu, mencintai isterinya karena isteri itu sendiri, sebagai cintanya orang‑orang yang asyik‑maksyuk. Dan jikalau ia telah merasa cukup nafsu syahwatnya, maka ia terus kekal menyertainya karena perkawinannya. Maka inilah yang dinamai: cinta. Tidak yang pertama tadi. Begitu pula kemegahan dan harta. Kadang‑kadang salah satu dari keduanya itu, dicintai, di atas 2 cara tersebut. Maka mencintainya untuk mencapai kepentingan‑kepentingan tubuh dengan kemegahan dan harta itu, tidak tercela. Dan mencintainya untuk demi kemegahan dan harta, pada yang melampaui kepentingan badan dan keperluannya itu, adalah tercela. Akan tetapi, orang yang bersifat demikian, tidak akan dikatakan fasik dan maksiat, selama kecintaan­nya itu tidak membawa kepada melakukan perbuatan maksiat. Dan selama tidak menyampaikannya kepada usaha tersebut, dengan kedustaan, penipuan dan mengerjakan perbuatan terlarang. Dan selama ia tidak sampai kepada usahanya itu, dengan menggunakan ibadah keagamaan. Maka sampainya kepada kemegahan dan harta dengan menggunakan ibadah keagamaan itu, adalah penganiayaan kepada Agama. Dan itu haram. Dan kepada yang demikianlah, ditujukan arti ria yang terlarang, sebagaimana akan diterangkan nanti. Kalau anda berkata, bahwa orang mencari kedudukan dan kemegahan pada hati gurunya, pelayannya, temannya, sultannya dan orang yang ada hubungan urusan dengan dia itu, diperbolehkan mutlak, bagaimanapun adanya atau diperbolehkan kepada batas tertentu dengan cara tertentu, maka aku menjawab, bahwa yang demikian itu dicari di atas 3 cara: dua cara yang diperbolehkan & satu cara yang dilarang. Adapun cara yang dilarang, maka yaitu: bahwa ia mencari tegaknya kedudukan pada hati mereka, dengan keyakinan mereka bahwa padanya ada suatu sifat (kelebihan), dimana ia tidak bersifat dengan sifat tersebut, seperti: ilmu, wara' dan keturunan (nasab). Maka ia melahirkan kepada mereka itu, bahwa ia orang alawi (keturunan Ali bin Abi Talib, yakni: bangsa Said) atau orang yang berilmu atau orang wara'. Padahal, ia tidak seperti yang demikian. Maka ini adalah haram. Karena yang demikian itu bohong dan penipuan. Adakalanya dengan perkataan atau dengan perbuatan. Adapun salah satu dari 2 yang diperbolehkan itu, ialah: bahwa ia mencari kedudukan dengan suatu sifat (kelebihan), dimana ia bersifat dengan, sifat tersebut. Seperti kata Nabi Yusuf as, menurut apa yang diterangkan oleh Tuhan Rabbul Alamin: "Berkata Yusuf "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". S 12 Yusuf ayat 55. Yusuf as itu mencari kedudukan pada hati pembesar Mesir, dengan mengatakan, bahwa ia pandai menjaga, lagi berpengetahuan. Lalu pembesar Mesir itu memerlukan kepada Yusuf as. Dan Yusuf itu benar pada perkataan  nya. Kedua, bahwa dicarinya (diusahakannya) penyembunyian sesua­tu kekurangan dari kekurangan‑kekurangannya dan sesuatu perbuatan maksiat dari maksiat‑maksiatnya. Sehingga tidak diketahui orang. Maka tidak hilanglah kedudukannya dengan yang demikian. Maka ini juga diperbolehkan. Karena menjaga penutupan atas perbuatan‑perbuatan keji itu diperbolehkan. Dan tidak diperbolehkan merusakkan penutupan itu dan melahirkan perbuatan kekejian. Dan ini, tak ada padanya penipuan. Akan tetapi, adalah menyumbat jalan, untuk diketahui, apa yang tak ada faedah pada mengetahuinya. Seperti orang yang menyembunyikan dari sultan (penguasa), bahwa ia meminum khamar (minuman yang memabukkan). Dan tidak dikata­kan kepadanya, bahwa dia itu orang wara' (orang yang menjaga diri dari perbuatan maksiat). Sesungguhnya katanya: "Bahwa aku ini orang wara”, itu penipuan. Dan tidak ada pengakuannya dengan meminum, tidaklah mengharuskan orang percaya bahwa dia itu orang wara'. Akan tetapi, perkataan itu mencegah untuk dapat diketahui, bahwa dia itu meminum khamar. Termasuk dalam jumlah yang terlarang, ialah: membaguskan shalat di hadapan penguasa. Supaya baik kepercayaannya kepadanya. Sesungguhnya yang demikian itu ria (memperlihatkan amal‑ibadah kepada orang lain). Dan dia itu penipu. Karena, agar orang menyangka, bahwa dia termasuk orang‑orang ikhlas lagi khusuk karena Allah. Dan itu adalah berbuat ria dengan apa yang dikerjakannya. Bagaimana, maka dia menjadi orang yang ikhlas? Maka mencari kemegahan dengan jalan tersebut itu haram. Dan demikian juga dengan tiap‑tiap perbuatan maksiat. Dan yang demikian itu berlaku, sebagaimana berlaku nya mengusahakan harta haram, tanpa ada perbedaan. Dan sebagaimana tidak diperbolehkan ia memiliki harta orang lain, dengan penipuan pada harganya atau pada lainnya, maka tidak diperbolehkan pula ia memiliki hati orang lain (supaya mencintainya), dengan pemalsuan dan penipuan. Sesungguhnya memiliki hati orang itu lebih besar akibatnya daripada memiliki harta.
PENJELASAN Sebab pada mencintai pujian dan sanjungan, senangnya jiwa dengan pujian, kecenderungan tabiat (karakter) manusia kepadanya, marahnya jiwa kepada celaan dan larinya jiwa kepada celaan.
Ketahuilah, bahwa kecintaan (kesukaan) dipuji dan hati merasa tidak enak dengan pujian itu, mempunyai empat sebab:
Sebab Pertama: yaitu yang lebih kuat, ialah: perasaan jiwa dengan kesempurnaan. Sesungguhnya kami telah menerangkan, bahwa kesempurnaan itu dicintai (disukai) orang dan tiap‑tiap yang disukai, maka memperolehnya itu kesenangan. Manakala jiwa merasa dengan kesempurnaannya, niscaya ia merasa senang, tergerak dan merasai enak (lezat). Dan pujian itu, merasakan kepada jiwa orang yang dipuji dengan kesempurnaannya. Sesungguhnya sifat, dimana dengan sifat itu memperoleh pujian, maka tidak terlepas, adakalanya sifat itu jelas terang atau sifat itu diragukan. Jikalau sifat itu jelas, terang lagi dirasakan, niscaya kelezatan dengan sifat tersebut adalah kurang. Akan tetapi, tidak terlepas dari kelezatan, seperti pujian kepadanya, bahwa dia itu tinggi semampai, putih warnanya. Ini adalah semacam kesempurnaan. Akan tetapi, jiwa akan lupa daripadanya, lalu jiwa itu terlepas dari kelezatannya. Maka apabila jiwa itu merasakannya, niscaya tidaklah terlepas datangnya perasaan, daripada datangnya kelezatan. Dan jikalau sifat itu termasuk yang datang kepadanya keraguan, maka kelezatan padanya adalah lebih besar. Seperti pujian kepadanya dengan kesempurnaan ilmu atau kesempurnaan wara' atau dengan kebagusan mutlak. Maka sesungguhnya manusia, kadang‑kadang ia ragu pada kesempurnaan kebaikannya, pada kesempurnaan ilmunya dan kesempurnaan waranya. Dan ia ingin hilangnya keraguan itu, dengan jadinya ia berkeyakinan, bahwa keadaannya, tiada bandingan pada hal‑hal yang tersebut di atas. Karena jiwanya tenteram kepada yang demikian. Maka apabila orang lain menyebutkannya, niscaya yang demiki­an itu mendatangkan kepadanya ketenteraman dan kepercayaan, dengan merasakan kesempurnaan yang demikian. Lalu besarlah kelezatannya. Sesungguhnya besarlah kelezatan itu dengan alasan tersebut, manakala pujian itu datang dari orang yang melihat sifat‑sifat itu, lagi mengetahuinya, dimana ia tidak berkata dengan sembarangan, melainkan dari pemastian. Dan yang demikian itu, seperti: gembiranya murid sekolah dengan pujian gurunya kepadanya, dengan kepintaran, kecerdikan dan banyak kelebihan. Maka sesungguhnya yang demikian itu, pada penghabisan kelezatan. Dan jikalau pujian itu datang dari orang yang sembarangan pada perkataannya atau ia tidak melihat sifat yang demikian, niscaya lemahlah kelezatan. Dan dengan alasan ini, ia memarahi juga celaan dan tiada menyukainya. Karena ia merasa dengan kekurangan dirinya. Dan kekurangan itu adalah lawan kesempurnaan yang dicintai (disukai). Maka kekurangan itu tercela. Dan merasakan kekurangan itu menyakitkan. Dan karena itulah, kesakitan itu membesar apabila datang celaan dari orang yang melihat, yang dipercayai, sebagaimana telah kami sebutkan pada pujian dahulu.
Sebab Kedua: bahwa pujian itu menunjukkan bahwa hati si pemuji itu dimiliki oleh si terpuji. Bahwa si pemuji itu muridnya, yang percaya kepadanya dan yang berbuat atas kehendaknya. Memiliki hati, orang itu disukai (dicintai). Dan merasakan hasilnya itu lezat. Dan dengan alasan tersebut, membesarlah kelezatan, manakala pujian itu datang dari orang yang meluas kekuasaannya. Dan diambil manfa'at dengan menangkap hatinya, seperti raja‑raja dan orang-­orang besar. Dan menjadi lemah, manakala si pemuji itu, termasuk orang yang tidak mendapat perhatian dan tidak berkuasa pada sesuatu. Maka kekuasaan atas orang tersebut dengan memiliki hatinya itu kekuasaan atas hal yang tiada berharga. Maka pujian itu tiada menunjukkan, selain kepada kekuasaan yang terbatas. Dan dengan alasan ini juga, celaan itu tidak disukai dan hati merasa sakit dengan celaan itu. Dan apabila celaan itu dari orang‑orang besar, niscaya tikamannya adalah lebih besar. Karena yang hilang dengan yang demikian itu, adalah lebih besar.
Sebab Ketiga, bahwa sanjungan penyanjung dan pujian pemuji adalah sebab bagi menawan hati setiap orang yang mendengarnya. Lebih‑lebih lagi, apabila yang demikian itu termasuk orang yang diperhatikan perkataannya dan dihitung pujiannya. Dan ini tertentu dengan pujian, yang terjadi kepada orang banyak. Maka tidak dapat dielakkan, bahwa manakala kumpulan orang itu lebih banyak dan si pemuji itu lebih pantas untuk diperhatikan perkataannya, niscaya pujian itu menjadi lebih lezat. Dan celaan menjadi lebih menyakitkan kepada jiwa.
Sebab Keempat: bahwa pujian itu menunjukkan kepada malunya si terpuji dan memaksakan si pemuji melepaskan lidahnya dengan pujian kepada si terpuji. Adakalanya atas kemauan sendiri dan adakalanya dengan paksaan. Maka malunya juga melezatkan (meng­enakkan), karena padanya ada paksaan dan kekuasaan. Dan kelezatan itu berhasil. Jikalau si pemuji itu tiada meyakini pada batiniyahnya, apa yang dipujikannya, akan tetapi dia itu terpaksa menyebutkannya, sebagai semacam paksaan dan penguasaan atas dirinya, maka tidak dapat dibantah, adalah kelezatan itu sekedar yang mencegah si pemuji dan kekuatannya. Maka adalah kelezatan pujian orang yang kuat, yang tidak mau merendahkan diri dengan pujian itu, lebih keras. Maka keempat sebab ini, kadang‑kadang berkumpul pada suatu pujian si pemuji yang seorang. Lalu membesarlah kelezatan dengan sebab‑sebab itu. Dan kadang‑kadang bercerai‑berai, maka kuranglah kelezatan dengan sebab‑sebab tersebut. Adapun alasan pertama, yaitu: perasaan kesempurnaan. Maka alasan itu akan tertolak dengan diketahui oleh si terpuji, bahwa si pemuji itu tidak benar perkataannya. Seperti, apabila si pemuji itu memujikan, bahwa dia orang berbangsa atau orang pemurah atau orang yang berilmu dengan suatu pengetahuan khusus atau orang yang wara' (yang menjaga diri) dari perbuatan‑perbuatan yang terlarang. Dan ia tahu, dari dirinya yang berlawanan demikian. Maka hilanglah kelezatan, yang menjadi sebabnya adalah perasaan kesem­purnaan. Dan tinggallah kelezatan penguasaan atas hatinya dan lidahnya serta kelezatan‑kelezatan yang lain. Jikalau si terpuji itu tahu, bahwa si pemuji tiada meyakini apa yang dikatakannya dan ia tahu bahwa dirinya tidak ada sifat tersebut, niscaya batil/salahlah (lenyaplah) kelezatan kedua. Yaitu kekuasaannya atas hati si pemuji. Dan tinggallah kelezatan kekuasaan dan perasaan malu, di atas terpaksanya lidah si pemuji, mengatakan dengan pujian. Dan jikalau yang demikian itu, tidak dari karena ketakutan, akan tetapi untuk main‑main, niscaya batil/salahlah semua kelezatan. Maka tak adalah padanya sekali‑kali kelezatan, karena hilangnva sebab‑se­bab yang ketiga itu. Maka inilah apa yang menyingkapkan tutup dari alasan kelezatan jiwa dengan pujian dan sakitnya jiwa dengan sebab celaan. Dan sesungguhnya kami sebutkan yang demikian, supaya diketahui jalan pengobatan bagi kesukaan kemegahan, kesukaan pujian dan ketakutan celaan. Maka orang yang tiada mengetahui sebabnya, niscaya tiada mungkin mengobatinya. Karena pengobatan itu adalah ibarat dari menguraikan sebab‑sebab sakit. Kiranya Allah memberi taufiq dengan kemurahan dan kasih‑sa­yangNya. Dan kiranya rahmat Allah kepada tiap‑tiap hamba yang pilihan.
PENJELASAN: pengobatan kesukaan kemegahan.
Ketahuilah, bahwa orang yang mengeras pada hatinya kesukaan kemegahan, niscaya jadilah cita‑citanya terarah kepada menjaga orang ramai (makhluk), tergantung dengan kesayangan kepada mereka dan memperlihatkan (bersikap ria), lantaran mereka. Dan senantiasalah dia pada perkataan dan perbuatannya, memperhatikan kepada yang meninggikan kedudukannya pada mereka. Dan yang demikian itu bibit kemunafikan (nifaq) dan asal kerusakan. Dan, tidak mustahil, yang demikian itu akan menghela kepada bermudah‑mudah pada ibadah, berbuat ria dengan ibadah dan kepada mengerjakan perbuatan yang terlarang, untuk sampai kepada menawan hati mereka. Dan karena itulah, diserupakan oleh Rasulu'llah saw kesukaan kemuliaan dan harta dan perusakan keduanya bagi agama, dengan dua ekor serigala yang buas. Beliau saw bersabda, bahwa yang demikian itu akan menumbuhkan nifaq dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan sayuran. Karena nifaq itu, ialah berselisih zahir dengan batin, baik dengan perkataan atau dengan perbuatan. Dan setiap orang yang mencari kedudukan pada hati manusia, maka ia memerlukan kepada bersikap nifaq bersama mereka. Dan kepada melahirkan hal‑hal yang terpuji, dimana dia tidak mempunyai hal‑hal itu. Dan itulah yang disebut: nifaq. Jadi, maka kecintaan kemegahan itu termasuk hal‑hal yang membinasakan. Maka haruslah mengobatinya dan menghilangkannya dari hati. Karena kecintaan kemegahan itu adalah tabiat, dimana hati telah dijadikan atas tabiat tersebut, sebagaimana hati telah dijadikan atas kecintaan kepada harta. Dan pengobatannya itu tersusun dari: ilmu dan amal. Adapun ilmu, maka yaitu; mengetahui sebab, yang lantaran sebab itu, Ialu menyukai kemegahan. Yaitu: kesempurnaan kekuasaan atas diri manusia dan hatinya. Dan telah kami terangkan dahulu, bahwa yang demikian itu jikalau bersih dan sejahtera, maka akhirnya itu mati. Maka tidaklah itu termasuk amalan kekal yang baik. Bahkan jikalau bersujud kepada engkau, semua orang dipermukaan bumi, dari tempat matahari terbit (masyriq) ke tempat matahari terbenam (maghrib), maka sampai kepada 50 tahun, yang tiada tinggal lagi orang yang bersujud dan orang yang disujudkan. Dan keadaan engkau adalah seperti keadaan orang yang sudah mati sebelum engkau, dari orang‑orang yang mempunyai kemegahan, serta orang-­orang yang merendahkan diri kepadanya. Maka ini, tiada sayogialah dengan yang demikian, bahwa ditinggalkan agama, dimana agama itu, ialah kehidupan abadi, yang tiada akan putus‑putus. Dan barangsiapa memahami kesempurnaan hakiki dan kesempurnaan bayangan, sebagaimana telah disebutkan dahulu, niscaya kecil lah kemegahan pada matanya. Kecuali, bahwa yang demikian itu, sesungguhnya kecil pada, mata orang yang memandang ke akhirat, seakan‑akan ia menyaksikan akhirat itu dan ia menghinakan dunia. Dan adalah kematian itu seperti hal yang telah terjadi padanya. Dan keadaannya adalah seperti keadaan Al Hasan AI‑Bashar (melihat)i ra, ketika beliau menulis surat kepada Khalifah Umar bin Abdul‑'Aziz, yang di antara lain, isinya: "Adapun kemudian, maka seakan‑akan engkau di penghabisan orang yang dituliskan kepadanya kematian, yang telah mati. Maka perhatikanlah, bagaimana ia memanjangkan perhatiannya ke arah masa depan dan ditakdirkannya sebagai sudah terjadi". Dan begitu pula keadaan Umar bin Abdul‑'aziz, ketika beliau menulis pada jawabannya, yang di antara lain, berbunyi: "Adapun kemudian, maka seakan‑akan engkau di dunia yang tidak ada dan seakan‑akan engkau di akhirat yang senantiasa ada". Maka adalah mereka itu bersepaham kepada kesudahan (akibat). Lalu amal mereka bagi akibat itu dengan taqwa. Karena mereka mengetahui, bahwa baik kesudahan itu bagi orang‑orang yang bertaqwa. Lalu mereka menghinakan kemegahan dan harta didunia. Pandangan mata kebanyakan makhluk itu lemah, lagi terbatas kepada dunia. Sinar pandangan matanya tiada memanjang kepada menyaksikan akibat‑akibat. Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfir­man: "Tetapi, kamu mengutamakan kehidupan dunia. Sedang hari kemudian (hari akhirat) itu lebih baik dan lebih kekal". S 87 Al A’laa ayat 16‑17. Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar berfirman: “Jangan! Tetapi kamu mencintai yang cepat (kehidupan dunia). Dan meninggalkan hari kemudian (hari akhirat)". S 75 Al Qiyaamah ayat 20‑21. Maka dari inilah batasnya! Maka sayogialah hati itu diobati dari kesukaan kemegahan, dengan ilmu (mengetahui) bahaya‑bahaya yang cepat datangnya. Yaitu: bahwa bertafakkur tentang bahaya‑bahaya yang menjadi sasaran orang‑orang yang mempunyai kemegahan di dunia. Maka sesungguhnya setiap orang yang mempunyai kemegahan itu didengki orang, dimaksudkan untuk disakiti, takut kekal kemegahan­nya dan orang itu menjaga daripada perobahan kedudukannya, pada hati manusia. Dan hati itu sangat cepat berobah dari kadar menggelegaknya. Dan hati itu pulang‑pergi (bimbang) dia antara menghadap (menerima) dan berpaling (menolak). Maka tiap‑tiap yang dibina (dibangun) di atas hati makhluk itu menyerupai dengan apa yang dibina di atas ombak laut. Maka tiadalah mempunyai ketetapan (tiada akan tetap). Dan menyibukkan diri dengan menjaga hati orang, memelihara kemegahan, menolak tipu‑daya orang‑orang yang dengki dan mencegah kesakitan dari musuh‑musuh, adalah semua itu kesedihan hati yang cepat datangnya dan mengeruhkan kelezatan kemegahan. Maka tiada sempurna di dunia di antara yang diharap dengan yang ditakuti. Lebih‑lebih lagi dari apa yang akan hilang di akhirat. Maka dengan ini, sayogialah mata‑hati yang lemah itu diobati. Adapun orang yang tembus mata‑hatinya dan kuat imannya, maka ia tiada berpaling kepada dunia. Maka inilah obat itu dari segi ilmu! Adapun dari segi amal, maka yaitu: menjatuhkan kemegahan itu dari hati makhluk, dengan mengerjakan perbuatan‑perbuatan yang dicaci orang. Sehingga ia jatuh dari mata makhluk, diceraikan oleh kelezatan peneriman. Hati suka dengan hilangnya sebutan dan penolakan makhluk. Dan merasa puas dengan peneriman dari Khaliq (yang maha pencipta). Inilah aliran (mazhab) AI‑Malamatiyah  (Yaitu suatu golongan orang‑orang fakir). Azas aliran mereka untuk membentuk kesempurnaan ikhIas. Perkataan AI‑malamatiyah terambil dari malamati. Artinya: cacian. Mereka berbuat yang dicaci orang, supaya menguatkan sabar, hati dan mendatangkan ikhlas ).  Karena mereka mengerjakan perbuatan yang keji‑keji pada bentuknya. Supaya mereka dapat menjatuhkan diri mereka dari mata manusia. Lalu mereka selamat dari bahaya kemegahan. Ini tidak dibolehkan bagi orang yang diikuti orang banyak. Karena akan melemahkan agama, pada hati kaum muslimin, yang menjadi pengikutnya. Adapun orang yang tiada diikuti orang banyak, maka tidak dibolehkan, bahwa ia mengerjakan perbuatan terlarang untuk yang demikian. Akan tetapi, boleh baginya berbuat dari yang diperboleh­kan, apa yang menjatuhkan nilainya pada manusia, sebagaimana diriwayatkan, bahwa sebahagian raja‑raja menuju kepada sebahagian orang‑orang zuhud. Maka tatkala orang zuhud itu, mengetahui bahwa raja tersebut telah dekat dengan dia, lalu dipanggilnya makanan dan sayur‑sayuran. Maka dimakannya dengan rakus dan dibesarkannya suap. Maka tatkala raja itu memandang kepadanya, niscaya jatuhlah nama orang zuhud itu dari mata raja tadi. Dan raja itupun pergi. Lalu orang zuhud tersebut berkata: “Segala pujian bagi Allah yang memalingkan engkau daripadaku". Sebahagian mereka, ada yang meminum minuman halal, pada gelas yang warnanya warna khamar. Sehingga orang menyangka, bahwa ia meminum khamar. Lalu jatuhlah dia dari mata manusia. Dan ini tentang bolehnya itu, dipandang dari segi ilmu fikh. Hanya, orang‑orang yang mempunyai hal‑ihwal yang demikian, kadang‑kadang mengobatkan dirinya, dengan apa yang tidak difatwa­ kan oleh ahli Fiqih, manakala mereka melihat perbaikan hatinya pada yang demikian. Kemudian, mereka memperbaiki kembali apa yang telah berlebihan padanya, dalam bentuk keteledoran, sebagaimana telah diperbuat oleh sebahagian mereka. Karena ia terkenal dengan zuhud dan manusia datang kepadanya. Lalu ia masuk ke tempat permandian umum dan memakai pakaian orang lain, lalu ia ke luar. Lantas ia berhenti di jalan, sehingga mereka mengenalinya. Lalu mereka mengambilnya (menangkapnya), memukulinya dan mengambil kembali kain yang dipakainya seraya mereka berkata: “Bahwa dia itu orang yang tidak memberi nafkah kepada keluarganya". Dan mereka meninggalkannya. Jalan yang terkuat pada memutuskan (menghilangkan) kemegahan, ialah: mengasing kan diri ('uzlah) dari manusia. Dan berhijrah (berpindah) ke tempat yang tidak disebut‑sebut orang. Maka sesungguhnya orang yang ber'uzlah (mengasingkan diri) dalam rumahnya. Di negeri yang dikenal orang, niscaya ia tiada akan terlepas dari kesukaan kepada kedudukan yang akan melekat baginya dalam hati manusia, disebabkan 'uzIahnya. Kadang‑kadang ia menyangka, bahwa dia tidak menyukai kemegahan itu. Dan dia itu tertipu. Sesungguhnya, dirinya tenang, karena sudah memperoleh maksudnya. Dan jikalau manusia berobah dari apa yang diyakini mereka terhadap dia, lalu mereka mencelanya atau menyangkutkannya pada suatu keadaan yang  tiada layak baginya, niscaya gundahlah hatinya dan merasa pedih. Dan kadang‑kadang sampai ia meminta ma'af dari yang demikian dan menyapu debu itu dari hati mereka. Kadang‑kadang ia memerlukan pada menghilangkan yang demikian, dari hati mereka. kepada berdusta dan berbuat kepalsuan. Dan ia tiada perduli dengan yang demikian itu. Dengan yang tersebut di atas, nyatalah kemudian, bahwa dia menyukai kemegahan dan kedudukan. Dan orang yang menyukai kemegahan dan kedudukan, adalah seperti orang yang menyukai harta. Bahkan lebih jahat daripadanya. Karena fitnah kemegahan itu lebih besar. Dan tiada mungkin ia tiada menyukai kedudukan (tempat) pada hati manusia, selama ia mengharap sesuatu pada manusia. Maka apabila ia telah menjaga makanannya dari usahanya sendiri atau dari segi yang lain dan ia memutuskan harapannya pada manusia dengan tegas, niscaya jadilah manusia semua pada sisinya seperti barang‑barang yang tiada berharga. la tiada memperdulikan, adakah ia mempunyai kedudukan (tempat) pada hati manusia itu atau tidak ada, sebagaimana ia tiada memperdulikan dengan apa yang dalam hati orang‑orang yang berada di bagian daerah tempat terbit matahari yang paling jauh. Karena ia tiada melihat mereka dan tiada mengharap apa‑apa dari mereka. Dan tiada dapat diputuskan kelobaan (harapan) kepada manusia, selain dengan: qana’ah (merasa puas dengan apa yang ada). Maka siapa yang ber‑qana'ah, niscaya ia tiada memerlukan kepada manusia. Dan apabila ia tiada memerlukan kepada manusia, niscaya hatinya tiada akan sibuk dengan manusia. Dan tiada mempunyai nilai padanya untuk tegak kedudukannya pada hati manusia. Dan tiada akan sempurna meninggalkan kemegahan, selain dengan: qana’ah dan memutuskan harapan pada manusia. Dan untuk semua yang demikian itu, dapat diminta pertolongan dengan berita‑berita (ucapan orang‑orang terkemuka), yang menyebutkan tentang tercelanya kemegahan, terpujinya tidak menyukai disebut‑se­but orang yang kehinaan. Seperti kata mereka: "Orang mu'min itu tiada terlepas dari kehinaan atau kekurangan atau penyakitan. Dan diperhatikannya tentang keadaan orang‑orang terdahulu dan pemilih­an mereka kepada kehinaan, daripada kemuliaan. Dan kegemaran mereka pada pahala akhirat. Kiranya Allah ridla kepada mereka semua !
PENJELASAN  Cara pengobatan kesukaan dipuji dan kebencian dicaci.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya bahagian terbanyak manusia itu binasa, disebabkan takut dicaci orang dan suka dipuji orang. Maka jadilah gerak‑gerik mereka itu semua terhenti, menurut yang sesuai dengan kerelaan orang banyak. Karena mengharapkan pujian dan takut dari cacian. Dan yang demikian itu termasuk di antara yang membinasakan diri. Maka haruslah mengobatinya. Jalannya, ialah: memperhatikan sebab‑sebab, yang lantaran sebab‑sebab itu, lalu menyukai pujian dan tidak menyukai cacian.
Adapun sebab pertama, yaitu: merasa sempurna, disebabkan perkataan orang yang memuji. Maka jalan engkau pada yang demikian, ialah: bahwa engkau kembali kepada akal pikiran engkau. Dan engkau bertanya kepada diri engkau, mengenai sifat yang dipuji engkau dengan sifat itu. Apakah benar engkau bersifat dengan sifat itu atau tidak? Kalau benar engkau bersifat dengan sifat itu, maka sifat tersebut, adakalanya sifat yang berhak engkau mendapat pujian, seperti: ilmu dan wara'. Dan adakalanya sifat yang tiada berhak engkau mendapat pujian, seperti: kaya, megah dan sifat‑sifat keduniaan. Jikalau sifat itu termasuk sifat‑sifat keduniaan, maka kegembira­an dengan sifat tersebut, adalah seperti kegembiraan dengan tumbuh‑tumbuhan bumi, yang pada waktu dekat, akan menjadi kering, yang akan diterbangkan angin. Dan ini dari kekurangan akal. Bahkan orang yang berakal akan mengatakan, sebagaimana dikatakan AI‑Mutanabbi:
Yang sangat mendukacitakan pada aku,
ialah: pada kegembiraan,
yang diyakini oleh yang mempunyai itu,
akan kepindahan ...........
Maka tiada sayogialah manusia itu bergembira dengan benda-­benda dunia. Dan kalau ia gembira, maka tiada sayogialah ia gembira, dengan pujian orang yang memuji, kepada benda‑benda dunia tersebut. Akan tetapi, dengan adanya benda‑benda itu. Dan pujian itu tidaklah yang menjadi sebab adanya benda‑benda tadi.  Jikalau sifat itu termasuk sifat  yang berhak dipuji, seperti: ilmu dan wara'  maka sayogialah, bahwa ia tiada bergembira dengan sifat tersebut. Karena, kesudahannya (alkhatimah) itu tiada diketahui. Dan ini sesungguhnya menghendaki kegembiraan, karena akan mendekatkan pada sisi Allah. Dan bahaya, al‑khatimah (kesudahan­nya) itu, tetap ada. Maka pada ketakutan su‑ul‑khatimah (buruknya kesudahan) itu, membimbangkan hati dari kegembiraan dengan setiap apa yang dalam dunia. Bahkan dunia itu adalah negeri kesedihan dan ke‑dukacita‑an. Bukan negeri, kegembiraan dan kesukaan. Kemudian, kalau engkau bergembira dengan sifat tersebut, dengan harapan husnul‑khatimah (baik kesudahan), maka sayogialah adanya kegembiraan engkau itu, disebabkan kurnia Allah kepada engkau, dengan ilmu dan taqwa. Tidak disebabkan pujian orang yang memujikan. Sesungguhnya kelezatan itu pada merasakan kesempurna­an. Dan kesempurnaan itu ada dari kurnia Allah.  Tidak dari pujian. Dan pujian itu mengikuti kurnia Allah. Maka tiada sayogialah engkau bergembira dengan pujian. Dan pujian itu tiada menambahkan engkau keutamaan. Dan kalau ada sifat yang dipujikan engkau dengan sifat itu, dimana engkau tiada bersifat dengan sifat tersebut, maka kegembiraan engkau dengan pujian itu, adalah sangat gila. Contoh engkau itu adalah seperti contoh orang yang diejek oleh manusia, yang mengatakan: "Subhana'llah! Alangkah banyaknya minyak wangi (minyak athar) dalam lipatan perutnya! Alangkah baiknya bau‑bauan yang berbau semerbak daripadanya, apabila ia ber‑qodo hajat (membuang air besar)". la tahu, apa yang dikandung perut besarnya dari kotoran dan yang membusukkan. Kemudian, ia gembira dengan demikian. Maka seperti itu pulalah, apabila mereka memuji engkau dengan sifat shalih dan wara', lalu engkau bergembira dengan yang demikian. Dan Allah mengetahui kekejian batin engkau, tipu daya hati kecil engkau dan kekotoran sifat‑sifat engkau. Maka adalah yang demikian, termasuk yang paling bodoh. Apabila si pemuji itu benar, maka hendaklah kegembiraan engkau, lantaran sifat engkau sendiri, yang adanya dari kurnia Allah kepada engkau. Dan jikalau ia dusta, maka sayogialah yang demikian itu menyusahkan engkau. Dan tidak engkau bergembira dengan yang demikian.
Adapun sebab kedua, yaitu: penunjukan pujian kepada penggu­naan hati si pemuji dan adanya hati si pemuji itu menjadi sebab bagi penggunaan hati orang lain. Maka ini kembali kepada kesukaan kemegahan dan kedudukan pada hati orang banyak. Dan cara pengobatannya telah diterangkan dahulu. Yang demikian itu, ialah: dengan memutuskan harapan dari manusia dan mencari kedudukan pada sisi Allah. Dan dengan engkau mengetahui, bahwa tuntutan engkau akan kedudukan pada hati manusia dan senangnya engkau dengan yang demikian itu, menjatuhkan kedudukan engkau pada sisi Allah. Maka bagaimanakah engkau senang dengan yang demikian?
Adapun sebab ketiga, yaitu: malu yang memaksakan si pemuji kepada pujian. Maka itu juga kembali kepada kekuasaan yang mendatang, yang tiada tetap. Dan engkau tiada berhak bergembira. Akan tetapi, sayogialah menyusahkan engkau oleh pujian si pemuji. Engkau membenci dan memarahinya sebagaimana dinukilkan yang demikian dari orang‑orang salaf (orang‑orang terdahulu). Karena bahaya pujian atas si terpuji itu besar, sebagaimana telah kami sebutkan pada, "Kitab Bahaya Lidah". Sebahagian salaf mengatakan: "barangsiapa gembira dengan pujian, maka sesungguhnya telah memungkinkan setan untuk masuk dalam perutnya". Sebahagian mereka berkata: "Apabila orang mengatakan kepa­da engkau, bahwa: orang yang baik, ialah engkau, lalu perkataan itu lebih menyukakan engkau daripada dikatakan kepada engkau bahwa: orang yang buruk  ialah engkau, maka demi Allah, adalah engkau orang buruk". Diriwayatkan pada sebahagian hadits dan kalau hadits ini shahih, maka akan mematahkan kemunculan. Yaitu: bahwa seorang laki‑laki memuji dengan kebajikan seorang laki‑laki lain, di sisi Rasulullah saw. Lalu beliau menjawab: "Jikalau adalah teman mu itu hadir, Ialu ia rela yang engkau katakan tadi, kemudian ia mati di atas yang demikian, niscaya ia masuk neraka”  Pada suatu kali Nabi saw bersabda kepada si pemuji: “Celaka engkau! Engkau potong belakangnya. Jikalau ia mendengar apa yang engkau katakan, niscaya ia tiada memperoleh kemenangan sampai kepada hari kiamat” Nabi saw bersabda: "Ketahuilah! Janganlah kamu puji memuji! Dan apabila kamu melihat orang‑orang yang memuji orang lain, maka lemparkanlah tanah pada mukanya!"  Maka karena inilah, para shahabat sekalian ra. sangat takut dari pujian dan fitnah pujian dan apa yang akan masuk ke dalam hati dari sangat gembira dengan pujian itu. Sehingga setengah khulafa' rasyidin bertanya kepada seorang laki‑laki, dari hal sesuatu. Lalu laki‑laki itu menjawab: "Engkau wahai Amirul‑mu'minin lebih baik daripadaku dan lebih mengetahui". Lalu khalifah ltu marah, seraya berkata: "Aku tidak menyuruh engkau dengan membersihkan aku". Ada orang yang berkata kepada setengah shahabat: “Senantiasa­lah manusia itu dalam kebajikan, selama Allah mengekalkan engkau (selama engkau masih ada)". Maka shahabat itu marah. Dan berkata: "Aku menyangka bahwa engkau orang lrak” Sebahagian mereka menjawab tatkala ia dipuji:  “Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya hambaMu mendekatkan dirinya kepadaku, dengan kemarahanMU, maka aku naik saksi akan Engkau kepada memarahinya". Sesungguhnya mereka tiada suka pujian, karena takut bahwa mereka gembira dengan pujian makhluk. Dan mereka tercela pada sisi Khaliq (yang maha pencipta). Maka adalah kesibukan hati mereka dengan keadaan mereka pada sisi Allah itu, memarahkan mereka oleh pujian makhluk. Karena yang dipuji, ialah: orang yang mendekatkan diri di sisi Allah. Dan yang dicela sebenarnya, ialah: orang yang menjauhkan diri daripada Allah, yang dilemparkan dalam neraka bersama orang‑orang jahat. Maka orang yang dipuji ini, kalau ia pada Allah termasuk penduduk neraka, maka alangkah sangat bodohnya, apabila ia bergembira dengan pujian orang kepadanya. Dan kalau ia termasuk penduduk sorga, maka tiada sayogialah ia bergembira, selain dengan kurnia Allah Ta'ala dan pujianNya kepadanya. Karena tiadalah urusannya di tangan makhluk. Dan manakala diketahuinya, bahwa rezeki dan ajal di tangan Allah Ta'ala, niscaya sedikitlah perhatiannya kepada pujian makhluk dan celaan mereka. Dan gugurlah dari hatinya kesukaan pujian. Dan ia sibuk dengan yang penting baginya, dari urusan agamanya. Kiranya Allah mencurahkan taufiq kepada kebenaran dengan rahmatNya!
PENJELASAN  obat kebencian cacian.
Dahulu telah diterangkan, bahwa penyakit pada kebencian celaan adalah lawannya penyakit pada kesukaan pujian. Maka obatnya juga dapat dipahami daripadanya. Perkataan yang singkat pada yang demikian, ialah, bahwa orang yang mencela engkau itu tiada terlepas dari tiga haL Adakalanya dia itu benar pada apa yang dikatakannya dan ia maksudkan nasehat dan kasih‑sayang. Adakalanya dia itu benar, akan tetapi maksudnya menyakiti dan menyusahkan. Dan adakalanya ia dusta. Kalau dia itu benar dan maksudnya nasehat, maka tiada sayogialah engkau mencacinya, marah kepadanya dan sakit hati dengan sebabnya. Akan tetapi, sayogialah engkau mengikuti kebaikan­nya. Maka sesungguhnya orang yang menunjukkan kepada engkau kekurangan‑kekurangan engkau, maka sesungguhnya ia telah menun­jukkan engkau kepada yang membinasakan. Sehingga engkau dapat menjaga diri daripadanya. Maka sayogialah engkau bergembira dengan yang demikian. Dan engkau bekerja menghilangkan sifat yang tercela ltu dari diri engkau, jikalau engkau sanggup kepada yang demikian. Adapun susahnya engkau dengan sebabnya, bencinya engkau kepadanya dan celaan engkau akan orang tersebut, maka itu adalah sangat bodoh. Dan kalau maksudnya untuk menyusahkan, maka engkau dapat mengambil manfaat dengan perkataannya. Karena ia telah menunjuk­kan engkau kepada kekurangan engkau, kalau engkau tiada mengeta­huinya. Atau ia mengingatkan engkau akan kekurangan engkau, kalau engkau lalai dari kekurangan tersebut. Atau ia memburukkan engkau pada mata  engkau, supaya tergerak kesungguhan engkau untuk menghilangkannya, kalau engkau sudah memandang baik kekurangan ilu. Semua itu adalah sebab‑sebab kebahagiaan  engkau. Dan engkau dapat mengambil faedahnya daripadanya. Maka bekerjalah mencari kebahagiaan! Sesungguhnya telah diberikan kepada engkau sebab‑se­bab kebahagiaan itu, dengan sebab Engkau mendengarnya dari celaan. Manakala engkau bermaksud masuk ke hadapan raja dan pakaian engkau berlumuran dengan kotoran, sedang engkau tiada mengetahui­nya dan kalau terus engkau masuk dalam hal yang demikian, niscaya Engkau takut akan dipancung leher engkau, karena pelumuran engkau akan majlisnya dengan kotoran. Lalu berkata kepada engkau, orang yang mengatakan: "Hai yang berlumuran dengan kotoran! Bersihkanlah dirimu!" Maka sayogialah engkau bergembira dengan orang yang mengatakan itu. Karena memperingati engkau dengan perkataannya itu adalah suatu harta rampasan (ghanimah). Semua kejahatan akhlak itu membinasakan di akhirat. Dan manusia dapat mengetahuinya, dari perkataan musuh‑musuhnya. Maka sayogialah engkau merampas perkataan itu. Adapun maksud musuh untuk menyusahkan, maka itu adalah penganiayaan daripadanya kepada agamanya sendiri. Dan itu suatu nikmat daripadanya kepada engkau. Maka tidaklah engkau memarahi­nya, disebabkan perkataan yang dapat engkau mengambil manfa'at daripadanya. Dan mendatangkan melarat kepada orang itu sendiri. Hal ketiga bahwa orang mengada‑adakan terhadap engkau, dengan sesuatu, dimana engkau bersih daripadanya pada sisi Allah Ta’ala. Maka sayogialah engkau tidak benci yang demikian dan tidak menyibukkan diri dengan mencacinya. Tetapi engkau bertafakkur (merenungkan) pada: tiga keadaan:
Pertama: bahwa jikalau engkau terlepas (bersih) dari kekurangan yang demikian, maka engkau tiada terlepas, dari yang seperti dan yang menyerupai dengan kekurangan tersebut. Dan apa yang ditutup oleh Allah dari kekurangan engkau itu lebih banyak. Maka bersyukurlah kepada Allah Ta’ala, karena tidak diperlihatkanNya kekurangan‑kekurangan engkau dan ditolakkanNya dari Engkau, dengan menyebutkan apa yang terlepas (yang bersih) engkau daripadanya.
Kedua: bahwa yang demikian itu adalah kaffarah (penutupan) bagi kejahatan‑kejahatan dan dosa‑dosa engkau yang lain. Maka seakan‑akan orang itu menuduh engkau dengan kekurangan, dimana Engkau bersih daripadanya. Ia mensucikan engkau dari dosa-dosa, dimana engkau berlumuran dengan dosa itu. Dan seorang yang mengumpati engkau, maka sesungguhnya ia telah menghadiahkan kepada engkau, kebaikan‑kebaikannya. Dan setiap orang yang memuji engkau, maka sesungguhnya ia telah memotong punggung engkau. Maka bagaimana engkau bergembira dengan dipotongnya punggung dan engkau berdukacita bagi hadiah‑hadiah kebaikan yang mendekat­kan engkau kepada Allah Ta’ala. Engkau mendakwakan, bahwa engkau menyukai kedekatan dengan Allah.  
ketiga, yaitu: bahwa orang yang patut dikasihani itu, telah berbuat aniaya kepada agamanya, sehingga ia jatuh dari pandangan (mata) Allah. Ia membinasakan dirinya dengan mengada-­adakan sesuatu dan mendatangkan dirinya kepada siksaan Allah yang pedih. Maka tiada sayogialah engkau marah kepadanya, serta marahnya Allah kepadanya. Lalu engkau mengharap tipuan setan kepadanya dan engkau mendoakan: "Wahai Allah Tuhanku, binasa­kanlah dia!" Akan tetapi sayogialah engkau mendoakan: "Wahai Allah Tuhanku, perbaikilah dia ! Wahai Allah Tuhanku, tobatkanlah dia! Wahai Allah Tuhanku, curahkanlah rahmat kepadanya!", sebagaimana Nabi saw. berdoa: "Wahai Allah Tuhanku, ampunilah kaumku! Wahai Allah Tuhanku, tunjukilah kaumku! Sesungguhnya mereka itu tiada tahu".  Tatkala mereka (kaumnya) memecahkan giginya, melukai mukanya dan membunuh pamannya Hamzah pada hari perang Uhud. Ibrahim bin Adham mendoakan orang yang melukainya kepalanya, dengan maghfirah (minta diampunkan Tuhan kiranya dosa orang itu). Lalu orang bertanya kepadanya tentang yang demikian. Maka beliau menjawab: “Aku tahu, bahwa aku memperoleh pahala dengan sebabnya. Dan tiada aku peroleh daripadanya, selain kebajikan. Maka aku tidak rela, bahwa dia mendapat siksaan dengan sebab aku”. Diantara yang mengentengkan engkau daripada membenci celaan, ialah: memutuskan loba kepada manusia. Sesungguhnya orang yang tiada engkau perlukan kepadanya, manakala ia mencaci engkau, niscaya tidak besar bekas yang demikian pada hati engkau. Dan pokok agama itu qana’ah (merasa cukup dengan yang sudah ada). Dan dengan qana’ah, terputuslah loba kepada harta dan kemegahan. Dan selama loba itu masih tegak berdiri, maka kesukaan kemegahan dan pujian pada hati orang yang engkau lobakan padanya itu, yang menang. Dan cita-cita engkau terarah kepada memperoleh tempat pada hatinya. Dan yang demikian itu tiada akan tercapai, selain dengan meruntuhkan agama. Maka tiada seyogialah pencari harta dan kemegahan, yang suka pujian dan yang memarahi celaan, mengharapkan pada keselamatan agamanya. Karena yang demikian itu jauh sekali.
PENEJELASAN: perbedaan keadaan manusia tentang pujian dan celaan.
Ketahuilah, bahwa manusia mempunyai 4 keadaan dibandingkan kepada pencela dan pemuji:
Keadaan pertama, bahwa manusia itu gembira dengan pujian dan terima kasih kepada si pemujinya. Ia marah dari celaan dan sakit hatinya kepada si pencela. Dan akan dibalasnya yang setimpal atau ia ingin membalaskannya. Inilah keadaan kebanyakan makhluk (manusia). Dan itulah kesudahan derajat maksiat pada bab ini.
Keadaan kedua, bahwa ia menggigit pada batinnya terhadap si pencela. Tetapi ia menahan lidahnya dan anggota badannya daripada membalaskannya. Batinnya gembira dan merasa senang bagi si pemujinya. Akan tetapi, ia menjaga zahiriahnya, daripada melahirkan kegembiraan. Ini termasuk kekurangan. Akan tetapi dibandingkan kepada yang sebelumnya adalah suatu kesempurnaan
Keadaan ketiga, yaitu: permulaan derajat kesempurnaan, bahwa sama saja padanya, orang yang mencela dan yang memujinya. Ia tidak disusahkan oleh celaan dan tidak digembirakan oleh pujian. Dan ini kadang-kadang disangka yang demikian, oleh setengah ‘abid (orang yang banyak ibadahnya) pada dirinya. Dan ia menjadi tertipu, jikalau ia tidak menguji dirinya dengan tanda-tanda yang ada padanya. Tanda-tanda itu, diantaranya, bahwa: ia tidak mendapati pada dirinya keberatan, bagi si pencela, ketika lama duduknya di sisinya, lebih banyak daripada yang didapatinya pada si pemuji. Bahwa, ia tidak mendapati pada dirinya tambahan gerakan dan kerajinan pada menunaikan keperluan si pemuji, di atas apa yang didapatinya pada menunaikan keperluan si pencela. Bahwa tidaklah terputusnya si pencela dari majelisnya itu lebih mengentengkan kepadanya daripada terputusnya si pemuji. Bahwa matinya si pemuji yang berlebih-lebihan kepadanya tidaklah lebih menyusahkan hatinya daripada matinya si pencela. Bahwa tidaklah kesusahan dengan bencana yang menimpa si pemuji dan apa yang diperolehnya dari musuh-musuhnya itu, lebih banyak dari apa yang ada, dengan bencana yang menimpa si pencela. Bahwa, tidaklah tergelincirnya si pemuji itu, lebih ringan pada hatinya dan matanya daripada tergelincirnya si pencela. Maka manakala ringanlah si pencela pada hatinya, sebagaimana ringannya si pemuji dan keduanya sama dari setiap segi, maka sesungguhnya ia telah memperoleh tingkat tersebut. Tiadalah lebih jauh yang demikian dan tiadalah yang lebih memberatkan kepada hati! kebanyakan hamba Allah itu, senangnya dengan pujian manusia kepadanya, yang disembunyikannya pada hatinya. Dan mereka tiada merasa, di mana mereka tiada memuji dirinya dengan tanda-tanda itu. Kadang-kadang seorang ‘abid, merasa kecenderungan hatinya kepada si pemuji, tidak kepada si pencela. Dan setan berbuat baik yang demikian baginya dan mengatakan: “Si pencela itu telah mendurhakai Allah dengan mencela engkau. Dan si pemuji itu telah menta’ati Allah dengan memuji engkau. Maka bagaimanakah engkau samakan di antara keduanya?”. Sesungguhnya keberatan engkau kepada si pencela itu, dari agama semata-mata. Dan ini adalah penipuan setan semata-mata. Sesungguhnya seorang ‘abid, kalau bertafakkur (merenungkan), niscaya tahu bahwa dalam kalangan manusia, orang yang mengerjakan perbuatan maksiat yang berdosa besar itu, lebih banyak daripada yang dikerjakan oleh si pencela pada celaannya. Kemudian, ia tidak merasa berat terhadap manusia itu dan ia tidak lari dari mereka. Dan ia tahu, bahwa si pemuji yang telah memujinya, tiada terlepas dari celaan lain. Dan ia tiada mendapati pada dirinya, lari dari orang tersebut dengan celaan orang lain itu, sebagaimana ia dapati karena celaan terhadap dirinya. Dan celaan itu dari segi kemaksiatannya, tiada berbeda, dengan yang tercela itu dia atau orang lain. Jadi, orang ‘abid yang tertipu dirinya itu marah dan ia menggigit karena hawa nafsunya. Kemudian, setan mengkhayalkan kepadanya, bahwa sikap tersebut termasuk agama. Sehingga ia membuat alasan kepada Allah, dengan hawa nafsunya. Maka yang demikian itu, menambahkan kejauhannnya daripada Allah. Orang yang tidak memperhatikan kepada tipu daya setan dan bahaya-bahaya jiwa, maka kebanyakan ibadahnya itu kepayahan yang sia-sia, yang menghilangkan kepadanya dunia dan merugikannya di akhirat. Dan terhadap mereka , Allah Ta’ala berfirman: “Katakan: Adakah Kami beritakan kepadamu, orang-orang yang paling rugi dalam pekerjaannya? Orang-orang yang terbuang saja usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira, bahwa mereka melakukan usaha-usaha yang baik”.  S 18 Al Kahfi ayat 103-104.
Keadaan keempat: Yaitu, benar pada ibadah, bahwa ia benci kepada pujian dan tidak senang kepada si pemuji. Karena ia tahu, bahwa pujian itu fitnah kepadanya, yang mematahkan punggungnya, yang mendatangkan melarat baginya pada agama. Dan ia menyukai si pencela, karena ia tahu, bahwa si pencela itu menunjukkan kekurangannya, menunjukkan kepada yang penting baginya dan menunjukkan kebaikan-kebaikan kepadanya. Nabi saw bersabda: “Kepala (pokok) merendahkan diri, ialah bahwa engkau tidak menyukai bahwa engkau disebutkan, dengan kebaikan dan taqwa”. Diriwayatkan pada setengah hadits, apa yang mematahkan punggung orang-orang yang seperti kita, jikalau hadits itu shahih. Karena diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “Neraka bagi orang yang berpuasa, neraka bagi orang yang menegakkan shalat dan neraka bagi orang yang mempunyai bulu wol (orang shufi), kecuali: siapa....”. Lalu orang menanyakan: “Wahai Rasulullah! Kecuali siapa?”. Maka Nabi saw  menjawab: “Kecuali siapa yang bersih dirinya dari dunia. Ia marah kepada pujian dan menyukai celaan”. Ini bersangatan sekali! Tujuan orang-orang yang seperti kita, ialah: loba pada keadaan kedua. Yaitu: bahwa ia menyembunyikan kesenangan dan kebencian kepada si pencela dan si pemuji. Dan ia tidak menampakkan yang demikian itu, dengan perkataan dan perbuatan. Adapun keadaan ketiga, yaitu: persamaan antara si pemuji dan si pencela. Maka kita tidak mengharap pada hal tersebut. Kemudian, kalau kita mencari diri kita dengan tanda keadaan kedua, maka tidak mencukupi dengan yang demikian. Karena –tak dapat tidak- engkau akan bersegera kepada memuliakan si pemuji dan memenuhi hajat keperluannya. Dan engkau merasa berat memuliakan si pencela, memuji dan memenuhi hajat keperluannya. Dan kita tidak akan sanggup menyamakan di antara keduanya, pada perbuatan zahiriah, sebagaimana kita tidak sanggup berbuat kepadanya dalam lubuk hati. Dan siapa yang sanggup menyamakan diantara si pemuji dan si pencela pada perbuatan zahiriah, maka orang itu patut diambil menjadi ikutan pada zaman sekarang ini, kalau ada. Dia itu adalah belerang merah, yang diperkatakan manusia dan tidak pernah dijumpai. Maka bagaimana dengan dua tingkat yang sesudahnya? Setiap satu dari tingkat-tingkat itu juga padanya derajat-derajat. Adapun derajat-derajat pada pujian, yaitu: bahwa sebahagiaan manusia, mengingini pujian, sanjungan dan terkenal (menjadi masyhur). Lalu ia berusaha untuk mencapai yang demikian, dengan jalan apa saja yang mungkin ditempuh. Sehingga ia berbuat ria (memperlihatkan) amal-ibadahnya. Ia tidak memperdulikan dengan mengerjakan perbuatan terlarang, untuk menarik hati manusia dan meminta lidah mereka menuturkan pujian. Dan ini termasuk orang yang binasa. Diantara mereka, ada orang yang menghendaki demikian dan mencarikannya dengan perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan (perbuatan mubah). Tidak dicarinya dengan ibadah-ibadah dan tidak diperbuatnya perbuatan-perbuatan terlarang. Dan ini adalah di atas tepi tebing yang menjatuhkan. Maka sesungguhnya batas-batas perkataan yang cenderung hati kepadanya dan batas-batas perbuatan, tidak mungkin ia menghinggakannya. Lalu besar kemungkinan, bahwa ia akan jatuh pada yang tidak halal, untuk memperoleh pujian. Maka ia dekat sekali termasuk orang-orang yang binasa. Diantara mereka, ada orang yang tiada mengingini pujian dan tiada berusaha untuk mencari pujian. Akan tetapi, apabila ia dipuji, lalu mendahuluilah kesenangan kepada hatinya. Maka jikalau ia tidak menghadapi yang demikian dengan mujahadah/kesungguhan (perjuangan menentang demikian) dan ia tidak memberatkaan diri kepada yang tidak disukai, maka ia dekat, daripada akan dihela oleh kesangatan gembira, kepada pangkat yang sebelumnya. Jikalau ia berkesungguhan melawan hawa nafsunya dan memberatkan hatinya kepada yang tidak disukai dan ia benci kepada kesenangan kepadanya dengan bertafakkur (merenungkan) pada bahaya-bahaya pujian, maka ia adalah dalam bahaya kesungguhan. Sekali adalah kekuatan itu baginya. Dan pada kali yang lain, adalah kekuatan itu memukul dirinya. Diantaranya, ada orang, apabila mendengar pujian, ia tidak bergembbira dan tidak berduka cita dengan pujian itu. Dan tiada membekas padanya. Dan ini adalah baik, walaupun masih ada padanya sisa dari keikhlasan. Diantaranya, ada orang yang tidak senang kepada pujian, apabila ia mendengarnya. Akan tetapi, tidak berkesudahan dengan yang demikian, kepada memarahi si pemuji dan menantangnya. Dan tingkatnya yang paling jauh, ialah, bahwa ia tidak menyukai dan marah serta ia melahirkan kemarahan itu. Dan ia benar pada yang demikian. Tidak bahwa ia melahirkan kemarahan, sedang hatinya suka kepada si pemuji itu. Maka yang demikian itu munafik yang sebenarnya. Karena ia menghendaki melahirkan dari dirinya keikhlasan dan kebenaran, padahal ia jatuh terjerembab daripadanya. Begitu juga dengan lawan daripada itu. Berlebih kurang hal-ikhwal terhadap pencela. Permulaan derajatnya, ialah: melahirkan kemarahan dan akhirnya melahirkan kegembiraan. Kegembiraan dan melahirkan kegembiraan (dari celaan orang) itu, tidak akan ada, selain dari orang, yang dalam hatinya cemburu dan sakit hati kepada dirinya, karena kedurhakaan diri kepadanya, banyak kekurangannya, janji-janjinya yang bohong dan kekeliruan-kekeliruannya yang keji. Maka ia marah kepada dirinya, sebagai kemarahan musuh. Dan manusia itu gembira, kepada orang yang mencela musuhnya. Dan orang ini, adalah orang yang musuhnya, ialah: dirinya. Maka ia bergembira, apabila mendengar cacian terhadap dirinya. Dan ia berterima kasih kepada pencaci di atas yang demikian. Dan ia percaya akan kecerdikan dan kepintaran si pencaci. karena ia mengetahui akan kekurangan-kekurangannya. Maka adalah yang demikian itu seperti mencari kesembuhan dari dirinya. Dan adalah yang demikian itu ghanimah (harta rampasan perang) padanya. Karena ia dengan celaan itu, menjadi lebih rendah pada mata manusia. Sehingga ia tidak mendapat bencana (percobaan) dengan fitnah manusia. Apabila dihalau (dibawa) kepadanya kebaikan-kebaikan, niscaya ia tidak bersusah payah memperolehnya. Maka mudah-mudahan yang demikian itu, adalah kebajikan bagi kekurangan-kekurangan, dimana ia lemah menghilangkannya. Kalau murid (penuntut shufi) itu, melawan hawa nafsunya sepanjang umurnya pada perkara yang satu ini, yaitu: bahwa bersamaan padanya antara pencela dan pemujinya, niscaya ia akan mempunyai kesibukan yang menyibukkannya, yang tiada akan selesai bersamaan dengan kesibukan itu, untuk hal yang lain. Dan diantara dia dan kebahagiaan, terdapat banyak rintangan. Dan inilah salah satu daripadanya. Ia tidak  akan dapat memotong sedikitpun daripadanya, selain dengan kesungguhan yang keras dalam umur yang panjang.
BAHAGIAN KEDUA DARI KITAB: TENTANG MENCARI KEMEGAHAN DAN KEDUDUKAN DENGAN IBADAH.
Yaitu: ria. Dan padanya: penjelasan tercelanya ria, penjelasan hakikat/maknanya ria dan apa yang di riakan, penjelasan derajat ria, penjelasan ria tersembunyi, penjelasan dari ria yang membatalkan amal dan yang tidak membatalkan, penjelasan obat ria dan pengobatannya, penjelasan keringanan pada melahirkan ketaatan, penjelasan keringanan pada menyembunyikan dosa-dosa, penjelasan meninggalkan ketaatan, karena takut dari dia dan bahaya-bahayanya, penjelasan apa yang sah, dari kerajinan hamba Allah bagi ibadah, disebabkan dilihat oleh makhluk dan penjelasan apa yang wajib bagi murid, bahwa diharuskannya hatinya kepada yang demikian, sebelum taat dan sesudahnya taat. Yaitu: 10 pasal. Wa billaahi’ttaufiiq/Dan dengan taufik Allah.
PENJELASAN: tercelanya ria.
Ketahuilah, bahwa ria itu haram. Dan orang yang berbuat ria itu terkutuk pada sisi Allah. ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar menjadi saksi bagi yang demikian. Adapun ayat, yaitu: firman Allah Ta’ala: “Sebab itu, celaka untuk orang-orang yang bersembahyang. Yang lalai dari sembahyangnya. Yang mengerjakan (kebajikan) untuk dilihat orang (ria)”. S 107 Al Maa’uun ayat 4-5-6. Dan firman Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Mereka yang merencanakan kejahatan, mereka akan mendapat siksaan yang sangat (keras). Dan rencana mereka akan gagal”. S 35 Faathir ayat 10. Kata Mujahid: “Mereka itu, ialah: orang-orang ria”. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kamu, hanyalah karena perintah Allah, kami tiada mengingini balasan dan tiada pula terima kasih”. S 76 Al Insaan ayat 9. Allah memuji orang-orang yang ikhlas, yang menidakkan semua kehendak, selain karena Allah. Dan ria itu lawannya. Allah Ta’ala berfirman: “Maka siapa yang mengharap akan menemui Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan pekerjaan yang baik dan janganlah mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya (peribadatan) dengan siapapun”. S 18 Al Kahfi ayat 110. Turun ayat ini, mengenai orang yang mencari pahala dan pujian dengan ibadah dan amalnya. Adapun hadits, ialah: bahwa Nabi saw menjawab, ketika seorang laki-laki bertanya kepadanya, dengan katanya: “Wahai Rasulullah! Pada apa kelepasan dari azab?”. Nabi saw lalu menjawab: “Bahwa hamba itu tidak mengerjakan taat kepada Allah, dimana maksudnya dengan taat itu, ialah: manusia”. Abu Hurairah mengatakan tentang hadits: 3 orang, yaitu: yang tewas pada perang sabilullah, yang bersedekah dengan hartanya dan yang membaca (qari’) kitab Allah, sebagaimana telah kami bentangkan pada “Kitab Ikhlas” dahulu. Dan Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar berfirman bagi mereka: “Engkau dusta, tetapi yang engkau kehendaki, ialah: supaya dikatakan orang: “Si Anu itu pemurah”. Engkau dusta, tetapi yang engkau kehendaki, ialah: supaya dikatakan orang: “Si Anu itu berani”. Engkau dusta, tetapi yang engkau kehendaki, ialah: supaya dikatakan orang: “Si Anu itu qari’ (ahli membaca Alquran)”. Lalu Rasulullah saw menerangkan: “Bahwa mereka tidak diberi pahala. Dan rianya mereka itu, yang membatalkan amal mereka”. Ibnu Umar ra berkata: “Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang berbuat dengan ria, niscaya Allah memandang ria dengan perbuatan tersebut. Dan barangsiapa memperdengarkan manusia dengan perbuatannya, niscaya diperdengarkan oleh Allah dengan perbuatan itu”. Pada hadits lain yang panjang, yaitu: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikatNya: “Bahwa orang ini, tidak berkehendak kepadaKu dengan amalnya. Maka masukkanlah dia ke dalam neraka!”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku takuti padamu, ialah: syirik kecil”. Lalu para sahabat bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab: “R i a ! Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar berfirman pada hari kiamat, apabila Ia memberi balasan kepada hamba-hambaNya dengan amal mereka: “Pergilah kepada mereka, dimana kamu mengerjakan amalmu, untuk diperlihatkan kepada mereka (berbuat ria) di dunia! Maka lihatlah, adakah kamu memperoleh balasan dari mereka?”. Nabi saw bersabda: “Berlindunglah dengan Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar dari lobang kesedihan (jubbil-huzni)!” Beliau lalu ditanyakan: “Apakah lobang kesedihan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Suatu lembah dalam neraka jahanam, yang disediakan bagi qari’-qari’ yang ria”. Nabi saw bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar berfirman: “Siapa yang berbuat amal bagiKu, yang dipersekutukannya padanya dengan yang lain daripadaKu, maka amal itu baginya semuanya. Dan Aku terlepas daripadanya dan Aku itu yang terkaya dari segala yang kaya dari kesekutuan (syirik)”. Isa Al-Masih as berkata: “Apabila ada hari puasa seseorang kamu, maka hendaklah ia meminyakkan kepalanya dan jenggotnya. Dan ia menyapu dua bibirnya. Supaya tidak dilihat orang, bahwa ia berpuasa. Dan apabila ia memberi dengan tangan kanannya, maka hendaklah ia menyembunyikan dari tangan kirinya. Dan apabila ia mengerjakan shalat, maka hendaklah diturunkannya tabir pintunya. Sesungguhnya Allah membagikan pujian, sebagaimana Ia membagikan rezeki”. Nabi saw bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar tiada menerima amal, yang ada padanya ria seberat atom”. Umar ra bertanya kepada Mu’az bin Jabal ketika dilihatnya ia menangis: “Apakah yang menjadikan engkau menangis?” Muaz bin Jabal menjawab: “Suatu hadits yang aku dengar dari yang empunya kuburan ini, yakni: Nabi saw, yang bersabda: “Bahwa ria yang paling rendah, ialah: syirik”. Nabi saw bersabda: “Yang paling aku takuti padamu, ialah: ria dan nafsu syahwat yang tersembunyi”. Nafsu syahwat yang tersembunyi juga kembali kepada kesalahan-kesalahan ria dan yang halus-halus dari ria. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya pada naungan ‘Arasy, pada hari yang tiada naungan, selain dari naungan ‘Arasy, ada seorang laki-laki yang bersedekah dengan tangan kanannya, lalu disembunyikannya dari tangan kirinya”. Karena itulah, tersebut pada hadits: “Bahwa keutamaan amal yang dirahasiakan dari amal yang tidak dirahasiakan, adalah dengan 70 ganda”. Nabi saw bersabda: “Bahwa orang yang berbuat ria itu akan dipanggil pada hari kiamat: “Hai orang yang zalim! Hai orang yang menyeleweng! Hai orang yang berbuat ria! Amalmu sesat dan pahalamu sia-sia. Pergilah! Maka ambillah pahalamu dari orang yang engkau berbuat amal baginya!”. Syaddad bin Aus berkata: “Aku melihat Nabi saw menangis. Lalu aku bertanya: “Apakah yang membawa engkau menangis, wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab: “Aku sangat takut syirik pada umatku. Walaupun mereka tidak menyembah berhala, matahari, bulan dan batu. Akan tetapi, mereka memperlihatkan kepada orang (berbuat ria) dengan amal mereka”. Nabi saw bersabda: “Tatkala Allah Ta’ala menjadikan bumi, lalu bumi itu bergoncang dengan isinya. Maka Allah Ta’ala menjadikan gunung-gunung. Maka dijadikanNya gunung-gunung itu pasak bagi bumi. Lalu para malaikat berkata: “Tuhan kita tiada menjadikan makhluk yang lebih keras dari gunung”. Lalu Allah menjadikan besi. Maka besi itu memotong gunung. Kemudian Ia menjadikan api. Lalu api itu mencairkan besi. Kemudian, Allah menyuruh air memadamkan api. Dan Ia menyuruh angin, lalu angin itu mengeruhkan air. Maka berselisihlah para malaikat. Lalu malaikat itu berkata: “Kita bertanya kepada Allah Ta’ala”. Seraya mereka bertanya: “Wahai Tuhan! Apakah yang sangat keras dari apa yang Engkau jadikan dari makhluk Engkau?”. Allah Ta’ala menjawab: “Tiada Aku jadikan suatu makhlukpun yang lebih keras kepadaKu, daripada hati anak Adam. Ketika ia bersedekah dengan sesuatu sedekah dengan tangan kanannya, lalu disembunyikannya dari tangan kirinya. Maka inilah makhluk yang lebih keras, yang Aku jadikan”. Abdullah bin al-Mubarak meriwayatkan dengan isnadnya dari seorang laki-laki, dimana laki-laki tersebut berkata kepada Mu’az bin Jabal: “Terangkanlah kepadaku suatu hadits yang engkau dengar dari Rasulullah saw”. laki-laki itu meneruskan riwayatnya: “Maka Mu’az menangis, sehingga aku menyangka bahwa dia tidak akan diam. Kemudian ia diam”. Kemudian, ia berkata: “Aku mendengar Nabi saw berkata kepadaku: “Hai Ma’az!” Lalu aku menjawab: “Aku bersedia, demi ayahku, engkau dan ibuku, wahai Rasulullah?”. Maka Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku menyampaikan kepada engkau, suatu hadits, jika engkau hafal, niscaya bermanfaat bagi engkau. Dan jika engkau sia-siakan dan tidak engkau hafal, niscaya terputuslah alasanmu di sisi Allah pada hari kiamat. Hai Ma’az! Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan 7 malaikat, sebelum Ia menjadikan langit dan bumi. Kemudian Ia menjadikan langit. Lalu dijadikanNya bagi tiap-tiap dari 7 langit itu, seorang malaikat penjaga pintunya, di mana ia telah mengagungkkan langit itu dengan kebesaran. Lalu naiklah para malaikat penjaga amal manusia, membawa amal hamba (manusia) yang dikerjakannya dari pagi sampai sore. Amal itu mempunyai nur (cahaya) seperti cahaya matahari. Sehingga apabila para malaikat penjaga amal itu, naik dengan amal tadi ke langit dunia, niscaya dibersihkannya, lalu diperbanyakkannya amal itu. Maka malaikat penjaga pintu itu berkata kepada para malaikat penjaga amal tersebut: “Pukullah dengan amal ini, muka yang punya! Akulah yang punya umpatan. Aku disuruh oleh Tuhanku, bahwa aku tidak membiarkan amal orang yang mengumpat manusia, melewati aku kepada yang lain daripadaku”. Nabi saw meneruskan haditsnya: “Kemudian, datang malaikat penjaga amal, dengan amal shalih, dari amalan hamba Allah. Maka dibawanya amal tersebut, lalu dibersihkannya dan diperbanyakkannya. Sehingga sampai ia ke langit kedua. Lalu malaikat yang diserahkan tugas ke langit kedua itu, berkata kepada malaikat penjaga amal: ‘’Berhenti! Dan pukullah dengan amal ini muka yang punya. Dia bermaksud dengan amalnya ini, harta benda dunia. Aku disuruh oleh Tuhanku, bahwa aku tidak membiarkan amalnya melewati aku kepada yang lain daripadaku. Yang empunya amal ini menyombong dengan amalnya, kepada manusia pada majelis-majelis mereka”. Nabi saw meneruskan haditsnya: “Para malaikat penjaga amal itu naik lagi dengan amal hamba, di mana amal tersebut gemilang dengan nur sedekah, puasa dan shalat, yang menakjubkan para malaikat penjaga amal itu. Lalu meraka melewati dengan amal tadi, ke langit ke 3. Lalu berkata kepada mereka, malaikat yang ditugaskan pada langit ke 3 tadi: “Berhenti! Pukullah dengan amal ini muka yang punya! Aku malaikat takabur (yang mengurus takabur). Aku disuruh oleh tuhanku supaya tidak membiarkan amalnya, melewati aku kepada yang lain daripadaku. Yang empunya amal ini bersikap takabur (sombong) kepada manusia pada majelis-majelis mereka”. Nabi saw meneruskan haditsnya: “Para malaikat penjaga amal itu, naik lagi dengan amal hamba, yang bercahaya, sebagaimana bercahayanya bintang berkilauan, mempunyai suara dari tasbih, shalat, haji dan umrah. Sehingga mereka melewati dengan amal itu ke langit ke 4. Lalu berkata kepada mereka, malaikat yang ditugaskan ke langit itu: “Berhenti! Dan pukullah dengan amal ini muka yang punya! Pukullah dengan amal ini punggungnya dan perutnya! Aku yang empunya ‘ujub (menyombongkan diri). Aku disuruh oleh Tuhanku, supaya tidak membiarkan amalnya, melewati aku kepada yang lain daripadaku. Sesungguhnya, dia apabila berbuat suatu amal, niscaya dimasukkannya ‘ujub pada amalnya”. Nabi saw meneruskan haditsnya: “Para malaikat penjaga amal itu, naik lagi dengan amal hamba. Sehingga mereka melewati dengan amal itu ke langit ke 5. Seakan-akan amal itu pengantin puteri yang diserahkan kepada suaminya. Lalu malaikat yang ditugaskan ke langit itu, berkata kepada para malaikat yang menjaga amal: “Berhenti! Dan pukullah dengan amal ini, muka yang punya! Dan bawalah amal tersebut ke atas bahunya! Aku malaikat dengki. Sesungguhnya orang itu dengki kepada manusia. Yaitu: siapa yang belajar dan berbuat seperti perbuatannya. Dan setiap orang yang mengambil keutamaan dari ibadah, ia dengki kepada mereka. Dan ia mencaci mereka. Aku disuruh oleh Tuhanku, bahwa aku tidak membiarkan amalnya, melewati aku kepada yang lain daripadaku”. Nabi meneruskan haditsnya: “Para malaikat penjaga amal itu, naik lagi dengan amal hamba, dari shalat zakat, haji, umrah dan puasa. Lalu mereka melewati dengan ibadah-ibadah tersebut ke langit ke 6. Lalu malaikat yang ditugaskan di langit ke 6 itu, berkata kepada para malaikat penjaga amal: “Berhenti! Dan pukullah dengan amal ini, muka yang punya! Sesungguhnya dia itu tiada sekali-kali mengasihani manusia dari hamba-hamba Allah, yang ditimpa bencana atau melarat yang melaratkannya. Akan tetapi, ia gembira orang itu mendapat bencana. Aku malaikat rahmat. Aku disuruh oleh Tuhanku, bahwa aku tidak membiarkan amalnya, melewati aku kepada yang lain daripadaku”. Nabi meneruskan haditsnya: “Para malaikat penjaga amal itu naik lagi, dengan amal hamba ke langit ke 7, amal mana terdiri dari: puasa, shalat, nafkah (belanja kepada keluarga), zakat, kesungguhan beramal dan wara’. Ia mempunyai suara, seperti bunyi petir. Mempunyai cahaya, seperti cahaya matahari. Bersama amal itu, 3000 malaikat. Lalu para malaikat penjaga amal itu, melewati dengan amal tersebut, ke langit ke 7. Maka berkata malaikat yang ditugaskan di langit itu, kepada para malaikat penjaga amal: “Berhenti! Dan pukullah dengan amal ini, muka yang punya! Pukullah dengan amal ini anggota badannya! Tutuplah dengan amal ini akan hatinya! Sesungguhnya aku akan meletakkan hijab (dinding) dari Tuhanku, setiap amal, yang tidak dimaksudkannya akan Wajah Tuhanku. Sesungguhnya ia bermaksud dengan amalnya, yang lain dari Allah Ta’ala. Ia berkehendak ketinggian dari ulama-ulama fiqh, sebutan dari ulama-ulama dan suara (tersebut namanya) di kota-kota. Tuhanku menyuruh aku, bahwa aku tidak membiarkan amalnya, melewati aku kepada yang lain dari aku. Dan setiap amal yang tidak ikhlas bagi Allah, maka itu ria. Dan Allah tiada menerima amal orang ria”. Nabi saw meneruskan haditsnya: “Para malaikat penjaga amal itu, naik lagi dengan amal hamba, yang terdiri dari: shalat, zakat, puasa, haji, umrah, baik akhlak, diam dan dzikir kepada Allah Ta’ala. Para malaikat langit mengantarkannya, sehingga mereka dapat melewati hijab semuanya, kepada Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar. Lalu mereka berdiri di hadapanNya dan naik saksi kepadaNya dengan amal shalih, yang ikhlas bagi Allah. Nabi saw meneruskan riwayatnya: “Lalu Allah berfirman kepada mereka: “Kamu semua penjaga amal, terhadap amal hambaKu. Dan Aku mengintip (ar-raqib) terhadap dirinya. Sesungguhnya dia tiada menghendaki Aku dengan amal ini. Ia menghendaki yang lain daripadaKu. Maka kepadanya kutukanKu”. Lalu para malaikat itu semua menjawab: “Kepadanya kutukan Engkau dan kutukan kami”. Dan langit semua berkata: “Kepadanya kutukan Allah dan kutukan kami. Ia dikutuk oleh langit 7, bumi dan orang-orang padanya”. Ma’az berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah! Engkau Rasul Allah dan aku Ma’az”. Nabi saw menjawab: “Ikutilah aku, walaupun ada pada amalmu kekurangan! Hai Ma’az! Peliharalah lidahmu dari mencaci saudara-saudaramu, dari para pembawa Alquran! Bawalah dosamu kepadamu dan jangan engkau bawa kepada mereka! Janganlah engkau membersihkan dirimu dengan mencela mereka! Janganlah engkau mengangkat dirimu atas mereka! Janganlah engkau masukkan amal duniawi dalam amal akhirat! Janganlah engkau takabur dalam majelis engkau! Supaya manusia takut dari jahatnya akhlak engkau! Janganlah engkau berbicara dengan seseorang dan di sisi engkau ada orang lain! Janganlah engkau membesarkan diri kepada manusia, maka akan terputus dari engkau kebajikan dunia! Dan janganlah engkau koyakkan daging manusia, maka akan dikoyakkan daging engkau oleh anjing neraka, pada hari kiamat dalam neraka! Allah Ta’ala berfirman: “Dan yang menarik dengan perlahan”. S 79 An Naazi’aat ayat 2 “Tahukah engkau, siapa yang menarik itu, hai Ma’az?” Aku menjawab: “Siapakah dia, demi ayahku, engkau dan ibuku, wahai Rasulullah?”. Nabi saw menjawab: “Anjing-anjing dalam neraka, yang menarik daging dan tulang”. Aku lalu bertanya: “Demi ayahku, engkau dan ibuku, wahai Rasulullah! Siapakah yang sanggup menahan perkara ini? Dan siapakah yang terlepas daripadanya?”. Nabi saw menjawab: “Hai Ma’az! Sesungguhnya mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah kepadanya”. Laki-laki itu meneruskan ceriteranya: “Aku tidak melihat orang yang lebih banyak membaca Alquran dari Ma’az. Karena ia takut dari apa yang disebutkan pada hadits tadi”. Adapun atsar, maka diantaranya, ialah: diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin Al-Khattab ra melihat seorang laki-laki menundukkan lehernya. Lalu Umar ra berkata: “Hai yang punya leher! Angkatlah lehermu! Khusuk itu tidaklah pada leher. Sesungguhnya khusuk itu pada hati”. Abu Amamah Al-Bahili ra melihat seorang laki-laki dalam masjid, menangis dalam sujudnya. Lalu Abu Amamah berkata: “Engkau-engkau, jikalau ini di rumah engkau!”. Ali ra berkata: “Orang yang ria itu mempunyai 3 tanda: malas apabila ia sendirian, rajin apabila ia berada pada orang banyak dan ia menambahkan amal, apabila ia dipuji dan dikurangkan, apabila ia dicela”. Seorang laki-laki berkata kepada ‘Ubadah bin Ash-Shamit: “Aku berperang dengan pedangku pada jalan Allah (sabilullah). Aku bermaksud dengan perang itu, wajah Allah Ta’ala dan pujian manusia”. ‘Ubadah bin Ash-Shamit menjawab: “Tak ada suatupun bagimu”. Lalu laki-laki tersebut bertanya kepada ‘Ubadah 3 kali. Tiap kali pertanyaan itu, dijawab oleh ‘Ubadah: “Tak ada suatupun bagimu”. Kemudian, pada kali ke 3, ‘Ubadah menjawab: “Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku yang terkaya dari yang kaya daripada dipersekutukan (syirik)”.....sampai akhir hadits. Seorang laki-laki bertanya kepada Sa’id bin Al-Musayyab, dengan katanya: “Bahwa salah seorang kami berbuat perbuatan baik (perbuatan ma’ruf), dimana ia suka dipuji dan diberi upah”. Sa’id bin Al-Musayyab lalu menjawab: “Sukakah engkau dicaci?” Orang itu menjawab: “Tidak!” Maka Sa’id berkata: “Apabila engkau berbuat suatu amal karena Allah, maka ikhlaskanlah!”. Adl-Dlahhak berkata: “Tidaklah seseorang kamu itu mengatakan: “Ini karena Allah dan karena keluarga. Sesungguhnya Allah Ta’ala tiada mempunyai sekutu”. Umar ra memukul seorang laki-laki dengan cemeti. Kemudian, Umar berkata kepada orang itu: “Ambillah bela dengan cemeti ini daripadaku!”. Laki-laki itu lalu menjawab: “Tidak! Tetapi, aku tinggalkan cemeti itu, bagi Allah dan bagi engkau”. Maka Umar berkata kepada orang tersebut: “Apa yang engkau perbuatkan dari sesuatu, adakalanya, bahwa engkau tinggalkan bagiku. Maka aku ketahui yang demikian. Atau engkau tinggalkan bagi Allah sendirian”. Laki-laki itu menjawab: “Aku tinggalkan cemeti itu bagi Allah sendirian”. Lalu Umar berkata: “Jadi, ialah yang demikian”. Al-Hasan Al-Bashari  ra berkata: “Sesungguhnya aku telah menemani beberapa kaum. Kalau ada salah seorang dari mereka, untuk dikemukakan kepadanya ilmu hikmah (filsafat). Jikalau ia bertutur kata dengan ilmu hikmah itu, niscaya bermanfaat baginya dan bermanfaat bagi teman-temannya. Dan tiada yang mencegahnya daripada itu, selain takut dikenal orang (syuhrah). Dan kalau ada salah seorang dari mereka lalu di jalan, maka dilihatnya yang merusakkan di jalan. Maka tiada yang melarangnya untuk menyingkirkan yang merusakkan itu, selain takut dikenal orang”. Dikatakan, bahwa orang yang berbuat ria itu, dipanggil pada hari kiamat dengan 4 nama, yaitu: “Hai yang berbuat ria, Hai yang menyeleweng, Hai yang merugi, Hai yang zalim. Pergilah! Maka ambillah pahalamu, dari orang yang engkau berbuat untuk orang itu! Tiada pahala bagimu pada Kami”. Al-Fudlail bin ‘Iyadl ra berkata: “Adalah mereka berbuat ria dengan apa yang diperbuat mereka. Dan pada hari ini, jadilah mereka berbuat ria dengan apa yang tidak diperbuat mereka”. ‘Akramah berkata: “Sesungguhnya Allah memberikan kepada hamba di atas niatnya, apa yang tidak diberikanNya di atas amal perbuatannya. Karena niat itu, tak ada ria padanya”. Al-Hasan Al-Bashari  ra berkata: “Orang yang berbuat ria itu bermaksud mengalahkan qadar (takdir) Allah Ta’ala. Dia itu orang jahat, bermaksud supaya manusia mengatakan, bahwa dia: orang baik (shalih). Bagaimana mereka mengatakan, sedang dia telah bertempat dari Tuhannya pada tempat orang-orang hina. Maka tak boleh tidak bagi hati orang-orang mu’min untuk mengenalinya”. Qatadah bin Da’amah Al-Bashari  berkata: “Apabila hamba itu berbuat ria, maka Allah Ta’ala berfirman: “Lihatlah kepada hambaKu, yang mempermain-mainkan Aku!”. Malik bin Dinar berkata: “Para qari’ (ahli membaca Alquran) itu 3 golongan: qari’ Tuhan Yang Maha Pengasih, qari’ dunia dan qari’ raja-raja. Bahwa Muhammad bin Wasi’ termasuk qari’ Tuhan Yang Maha Pengasih (min-qurraa-i ‘rrahmaan)’. Al-Fudlail berkata: “Siapa yang bermaksud memandang kepada orang yang berbuat ria, maka hendaklah ia memandang kepadaku!”. Muhammad bin Al-Mubarak Ash-Shuwari berkata: “Lahirkanlah tanda kebaikan di malam hari! Sesungguhnya yang di malam hari itu, lebih mulia dari tanda kebaikanmu di siang hari. Karena tanda kebaikan di siang hari itu bagi makhluk. Dan tanda kebaikan di malam hari itu bagi Tuhan semesta alam”. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Menjaga amal itu lebih sukar dari amal”. Ibnul-Mubarak berkata: “Jikalau adalah orang yang sesungguhnya bertawaf di Baitullah dan dia sendiri (hatinya) di Khurasan”. Lalu ditanyakan kepada Ibnul-Mubarak tadi: “Bagaimana bisa demikian?”. Ibnul-Mubarrak menjawab: “Ia suka disebutkan, bahwa dia itu bertetangga dengan Makkah”. Ibrahim bin Adham berkata: “Tiada membenarkan Allah, orang yang menghendaki bahwa dia itu terkenal (termasyhur)”.
PENJELASAN: hakikat/makna ria dan apa yang diriakan.
Ketahuilah, bahwa perkataan ria terambil (musytaqq) dari perkataan ru’yah (melihat). Dan perkataan sum’ah terambil dari perkataan sima’ (mendengar). Sesungguhnya ria itu, pokoknya, ialah: mencari tempat (kedudukan) pada hati manusia, dengan memperlihatkan kepada mereka, hal-hal kebajikan. Selain bahwa kemegahan dan kedudukan itu, sekali dicari dalam hati manusia dengan perbuatan-perbuatan selain ibadah. Dan pada kali yang lain, dicari dengan perbuatan ibadah. Dan nama ria itu dikhususkan menurut hukum kebiasaan, dengan mencari kedudukan pada hati manusia, dengan ibadah dan melahirkannya. Maka batas ria itu, ialah: kehendak hamba dengan mentaati Allah. Maka orang yang berbuat ria itu, ialah: orang ‘abid (orang banyak ibadahnya). Dan orang yang dibuatkan kepadanya, ialah: manusia yang dicari penglihatannya, dengan mencari kedudukan dalam hatinya. Dan perbuatan yang diriakan, ialah: hal-hal yang dimaksudkan oleh orang yang berbuat ria, untuk dilahirkannya. Dan ria, ialah: maksudnya melahirkan yang demikian. Perbuatan yang diriakan itu banyak. Dan dikumpulkan oleh 5 perkara. Yaitu: kumpulan apa-apa yang dihiasi oleh hamba (hamba Allah yang beribadah itu) bagi manusia. Yaitu: tubuh, pakaian, perkataan, perbuatan, pengikut dan hal-hal yang diluar itu. Dan begitu pula penduduk dunia berbuat ria dengan sebab-sebab yang 5 tadi. Kecuali, bahwa mencari kemegahan dan maksud ria dengan perbuatan-perbuatan yang tidak termasuk dalam jumlah amalan taat itu, lebih mudah dari ria dengan amalan taat.
Bahagian pertama: ria pada Agama dengan tubuh. Yang demikian itu, dengan melahirkan (memperlihatkan) kurus dan pucat muka. Supaya dengan demikian, menimbulkan sangkaan, bahwa ia sangat rajin, sangat gundahnya atas urusan agama dan keras takutnya kepada hari akhirat. Dan dengan kurus itu, untuk menunjukkan sedikit makan. Dan dengan pucat muka itu, untuk menunjukkan tidak tidur malam, sangat rajin dan sangat gundahnya atas agama. Begitu pula, ia berbuat ria dengan mengusutkan rambut, untuk menunjukkan bahwa ia menghabiskan cita-citanya dengan agama. Dan tiada memperoleh kesempatan untuk menyisirkan rambut. Sebab-sebab inilah, manakala tentu menampak diperlihatkan, niscaya manusia mengambil dalil dengan sebab-sebab tersebut, di atas hal-hal yang demikian. Lalu hati merasa senang karena diketahui mereka. Maka karena itulah, nafsu memanggilnya kepada melahirkan (menampakkan) hal-hal tadi, untuk memperoleh kesenangan itu. Dan mendekati dari ini, ialah: merendahkan suara, mencekungkan dua mata dan mengeringkan dua bibir, untuk menunjukkan dengan demikian, bahwa ia selalu (rajin) berpuasa. Dan bahwa kesopanan agama, itulah yang merendahkan (mengecilkan) suaranya. Atau kelemahan lapar itulah yang melemahkan kekuatannya. Dan dari inilah, Isa Al-Masih as berkata: “Apabila salah seorang dari kamu berpuasa, maka hendaklah ia meminyakkan kepalanya, menyisirkan rambutnya dan meletakkan celak pada dua matanya”. Dan begitu pula, diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Dan semua yang demikian itu, karena ditakuti dari tikaman setan dengan ria. Karena itulah, Ibnu Mas’ud ra berkata: “Jadikanlah kamu berpuasa dengan memakai minyak!”. Inilah pencerminan orang-orang agama dengan tubuh! Adapun orang-orang dunia, maka mereka berbuat ria dengan melahirkan (memperlihatkan) gemuk, bersih warna kulit, berdiri tegak lurus, bagus wajahnya, bersih tubuh, kuat anggota badan dan terdapat keseimbangan di antara anggota-anggota badan.
Bahagian kedua:  ria dengan cara dan pakaian. Maka dengan mengusutkan rambut kepala, mencukur kumis, menundukkan kepala pada waktu berjalan, tenang pada gerakan, tetap adanya bekas sujud pada muka, tebal pakaian, memakai bulu, menyingsingkan pakaian kepada mendekati betis, memendekkan lengan baju, meninggalkan kebersihan kain dan membiarkan kain itu koyak, semua yang demikian dibuat ria, untuk melahirkan dari dirinya, bahwa dia pengikut sunnah pada yang demikian dan mengikuti hamba-hamba Allah yang shaleh. Dan termasuk pada yang demikian, memakai pakaian dari kain yang disambung-sambung, shalat atas kain sajadah, memakai kain berwarna biru, karena menyerupakan dengan orang-orang shufi, serta tidak ada sama sekali hakikat/makna ke-tasawwuf/ahli suffian pada batinnya. Dan termasuk pada yang demikian juga, berbuat kecukupan dengan kain sarung di atas serban dan menjatuhkan kain selendang atas dua mata, untuk diperlihatkan (berbuat ria) dengan yang demikian, bahwa dia telah berkesudahan kesengsaraan hidupnya, kepada ketakutan dari debu jalan. Dan supaya berpaling kepadanya semua mata, disebabkan berbedanya dengan tanda tersebut. Dan termasuk pada yang demikian juga, baju jubah yang terbuka bagian depan (durra’ah) dan pakaian hitam 4 segi (thailasan), yang dipakai oleh orang yang kosong dari ilmu pengetahuan, untuk menimbulkan sangkaan orang bahwa dia termasuk ahli ilmu. Orang-orang yang berbuat ria dengan pakaian itu bertingkat-tingkat. Diantara mereka, ada yang mencari kedudukan pada orang-orang shalih, dengan melahirkan (menampakkan) zuhud. Lalu ia memakai kain-kain yang koyak, yang kotor, yang pendek dan yang tebal. Supaya ia memperlihatkan dengan tebalnya, kotornya, pendeknya dan koyaknya kain-kain tersebut, bahwa dia tidak menghiraukan dunia. Kalau dipaksakan untuk dipakainya kain yang sedang lagi bersih, dari apa yang dipakai oleh orang-orang terdahulu (ulama salaf), niscaya adalah yang demikian itu padanya seperti disembelih. Yang demikian itu, karena takutnya dikatakan orang, bahwa telah menampak baginya zuhud dan ia kembali dari jalan itu. Dan ia gemar kepada dunia. Tingkat yang lain, ialah: mereka mencari penerimaan pada orang-orang baik (orang-orang shalih) dan pada orang-orang yang mempunyai dunia, dari raja-raja, wazir-wazir (menteri-menteri) dan saudagar-saudagar. Kalau mereka memakai kain-kain yang megah, niscaya mereka ditolak oleh para qari’. Dan kalau mereka memakai kain koyak lagi buruk, niscaya mereka dihinakan oleh mata raja-raja dan orang-orang kaya. Maka mereka bermaksud mengumpulkan diantara penerimaan ahli agama dan dunia. Maka karena itulah, mereka mencari kain bulu yang halus, pakaian yang tipis, potongan kain yang tercelup dan kain handuk yang tinggi tingkatnya. Lalu dipakainya. Mudah-mudahan nilainya kain salah seorang dari mereka itu, nilainya kain salah seorang dari orang-orang kaya. Warna dan caranya itu, warna kain orang-orang shalih. Lalu mereka mencari penerimaan pada dua golongan tersebut. Dan kalau mereka dipaksakan memakai kain kasar atau kotor, niscaya adalah dia pada sisi mereka, seperti disembelih. Karena takut jatuh dari pandangan mata raja-raja dan orang-orang kaya. Dan kalau mereka dipaksakan memakai kain dubaiq (bikinan orang Dubaiq, yang ditenun dengan sutera), kain kattan (dibuat dari tumbuh-tumbuhan kattan) halus putih dan kain yang disetrika yang bergambar, walaupun nilainya kurang dari nilai kain mereka, niscaya sungguh berat yang demikian atas mereka. Karena takut akan dikatakan oleh orang-orang shalih, bahwa mereka gemar pada pakaian orang-orang dunia. Dan tiap-tiap lapisan dari mereka melihat kedudukannya pada pakaian khusus. Maka beratlah baginya berpindah kepada yang kurang daripadanya atau kepada yang di atasnya, walaupun yang demikian itu mubah (diperbolehkan). Karena takut dari celaan. Adapun orang-orang dunia, maka ke-ria-an mereka ialah: dengan kain-kain yang indah, kendaraan yang tinggi harganya dan segala macam keluasan, keelokan pada pakaian, tempat tinggal, perabot rumah, kuda cantik dan dengan kain yang dicelup dengan warna-warni dan baju hitam pakaian alim-ulama yang indah. Yang demikian itu menonjol diantara manusia. Mereka memakai di rumah, kain-kain kasar. Dan sukarlah kepada mereka, jikalau mereka tampak kepada manusia di atas bentuk yang demikian, selama mereka tidak berlebih-lebihan pada perhiasan.
Ketiga: ria dengan perkataan:  Dan ria orang-orang agama, ialah: dengan pengajaran (nasehat), peringatan, penuturan dengan hikmah, penghapalan hadits dan atsar, karena dipakai pada muhawarah (bersoal-jawab), karena melahirkan (menampakkan) banyak ilmu, menunjukkan kepada kesangatan bersungguh-sungguh dengan hal-ikhwal orang-orang terdahulu (salaf) yang shalih, menggerakkan dua bibir dengan dzikir di hadapan orang banyak, amar ma’ruf dan nahi munkar dengan disaksikan makhluk, melahirkan kemarahan bagi perbuatan-perbuatan munkar, melahirkan kesedihan atas perbuatan manusia dengan pekerjaan maksiat, melemahkan suara ada berkata-kata, menghaluskan suara dengan pembacaan Alquran, untuk menunjukkan dengan yang demikian kepada takut dan gundah, mendakwakan menghapal hadits, bertemu dengan syaikh-syaikh (guru-guru) dan mengetok (menolak) terhadap orang-orang yang merawikan hadits, dengan penjelasan sumbang (rusak) pada kata-katanya. Supaya dikenal orang, bahwa dia lebih tahu dengan hadits-hadits. Dan bersegera kepada penjelasan, bahwa hadits itu shahih atau tidak shahih, untuk melahirkan kelebihan padanya. Dan bertukar-pikiran dengan maksud mendiamkan lawan dengan hujjah/alasan, melahirkan kepada manusia, akan kekuatannya pada ilmu agama. Ria dengan perkataan itu banyak dan macamnya tidak terhingga. Adapun orang-orang dunia, maka rianya dengan perkataan, ialah: dengan menghapal pantun-pantun dan pepatah-pepatah, berbicara dengan lancar pada penyusunan kata-kata, menghapalkan tata bahasa yang ganjil (jarang terdengar) bagi orang-orang yang mengherani kepada orang yang mempunyai keutamaan. Dan melahirkan kasih-sayang kepada manusia, untuk menarik hati orang banyak.
Keempat: ria dengan amal, seperti: rianya orang yang mengerjakan shalat dengan melamakan berdiri, memanjangkan tulang belakang (tulang punggung), melamakan sujud dan ruku’, menundukkan kepala, meninggalkan berpaling, melahirkan ketenangan dan ketetapan, menyamakan dua tapak kaki dan dua tangan. Begitu pula dengan puasa, perang dan haji. Dengan sedekah, dengan memberikan makanan dan dengan merendahkan diri pada berjalan ketika bertemu dengan orang. Seperti: melembutkan pelupuk  mata, menundukkan kepala dan sopan pada berkata-kata. Sehingga orang yang berbuat ria itu kadang-kadang bersegera pada berjalan kepada keperluannya. Maka apabila dilihat kepadanya oleh seseorang dari orang agama, niscaya ia kembali kepada sopan dan menundukkan kepala. Karena takut daripada dikatakan bahwa ia tergopoh-gopoh dan kurang sopan. Maka kalau orang agama itu sudah menghilang, niscaya ia kembali kepada ketergopohannya. Dan apabila orang agama itu melihatnya, niscaya ia kembali kepada ke-khusu’annya. Dan ia tidak didatangkan oleh ingatan kepada Allah (dzikrullah), sebelum dzikrullah itu membarukan ke-khusu’annya. Bahkan itu, adalah untuk dilihat manusia kepadanya. Ia takut, bahwa ia tidak dipercayai, bahwa dia termasuk sebagian dari orang-orang yang banyak ibadah dan orang-orang shalih. Setengah dari mereka, ada orang, apabila mendengar ini, niscaya ia merasa malu, bahwa berlainan perjalanannya pada tempat sunyi, daripada perjalanannya dengan dilihat manusia. Lalu ia memaksakan dirinya dengan berjalan baik di tempat sunyi (tidak dilihat orang). Sehingga apabila ia dilihat oleh manusia, niscaya ia tidak memerlukan lagi kepada merobahnya. Dan ia menyangka, bahwa ia sudah terlepas dari ria. Dan dengan yang demikian itu, sebenarnya rianya telah terlipat ganda. Karena ia dalam kesunyiannya itu, telah menjadi orang yang berbuat ria juga. Maka sesungguhnya ia membaguskan perjalanannya pada tempat yang sunyi itu, supaya adalah dia seperti yang di hadapan orang banyak. Tidak karena takut kepada Allah dan malu kepadaNya. Adapun orang-orang dunia, maka ke-ria-an mereka, ialah: dengan berjalan kesombongan, keangkuhan, penggerakkan dua tangan, pendekatan langkah, mengambil dengan tepi ujung kain dan memutar dua ketiak (mengangkat dua bahu). Supaya mereka tunjukkan dengan yang demikian, kepada rasa megah dan malu.
Kelima: keriaan dengan banyak teman, banyak pengunjung dan orang-orang yang bercampur baur, seperti orang yang berbuat pura-pura berat menerima kunjungan (ziarah) seseorang dari alim ulama, supaya dikatakan bahwa si Anu telah berkunjung (berziarah) kepada si Anu. Atau menerima kunjungan seseorang dari orang ‘abid, supaya dikatakan: bahwa orang-orang agama mengambil barakah dengan menziarahinya dan pulang-pergi kepadanya. Atau menerima kunjungan salah seorang raja atau salah seorang pegawai sultan. Supaya dikatakan: bahwa mereka mengambil barakah padanya, karena besar martabat (kedudukan)nya pada agama. Dan seperti orang yang banyak menyebutkan syaikh-syaikh (guru-guru), untuk memperlihatkan (berbuat ria), bahwa dia bertemu dengan banyak syaikh (guru) dan memperoleh faedah daripada guru-guru itu. Lalu ia membanggakan diri dengan guru-gurunya. Kebanggaan dan keriaannya itu menonjol padanya, ketika pertengkarannya. Maka ia mengatakan kepada orang lain: “Siapa yang engkau jumpai dari guru-guru (syaikh-syaikh). Dan aku telah menjumpai si Anu dan si Anu. Aku sudah mengelilingi negeri-negeri dan aku sudah melayani guru-guru”. Dan kata-kata lain yang serupa dengan yang demikian. Maka inilah kumpulan, yang dibuat ria oleh orang-orang yang berbuat ria. Semua mereka, dengan yang demikian itu, mencari kemegahan dan kedudukan pada hati hamba Allah. Diantara mereka, ada orang yang merasa puas dengan tekad baik orang pada dirinya. Maka banyaklah rahib (pendeta) bertekun di sudut gereja, bertahun-tahun. Banyaklah orang abid yang mengasingkan diri ke puncak gunung, dalam waktu yang panjang. Dan sesungguhnya persembunyiannya itu, adalah dari segi diketahuinya, dengan tegaknya kemegahan bagi dirinya pada hati orang banyak. Jikalau ia tahu, bahwa mereka mengatakannya berbuat dosa di gerejanya atau di kelentengnya, niscaya mengacaukan hatinya. Dan ia tidak merasa puas dengan diketahui oleh Allah, dengan kesucian dirinya. Bahkan, karena yang demikian itu, bersangatlah dukacitanya. Dan ia berusaha dengan segala daya upaya, pada menghilangkan yang demikian dari hati orang banyak serta putus harapannya pada harta orang banyak itu. Akan tetapi, ia hanya mengingini kemegahan semata-mata. Karena kemegahan itu enak, sebagaimana telah kami sebutkan pada sebab-sebab kemegahan itu. Maka sesungguhnya kemegahan itu, semacam kekuasaan dan kesempurnaan pada masa sekarang juga. Walaupun ia segera hilang. Tidaklah tertipu dengan yang demikian, selain orang-orang bodoh. Tetapi kebanyakan manusia itu bodoh. Diantara orang-orang yang berbuat ria itu, ialah orang yang tiada merasa puas dengan tegak kedudukannya. Akan tetapi, bersama yang demikian itu, ia mencari kelancaran lidah manusia dengan sanjungan dan pujian. Diantara manusia, ada orang yang menghendaki tersiarnya suara pujian dalam negeri. Supaya banyaklah orang pergi kepadanya. Diantara mereka, ada orang yang menghendaki termasyhur (terkenal) pada raja-raja. Supaya diterima syafa’ah (restu)nya dan dipenuhi segala hajat keperluan atas tangan (usaha)nya. Lalu tegaklah baginya dengan demikian, kemegahan pada rakyat umum. Diantara mereka, ada orang yang bermaksud dengan yang demikian itu, untuk menyampaikan, kepada menghimpunkan harta benda dunia dan usaha harta, walaupun dari harta waqaf, harta anak-anak yatim dan harta-harta haram lainnya. Mereka itu adalah lapisan orang yang berbuat ria yang jahat, yang berbuat ria dengan sebab-sebab yang telah kami sebutkan. Maka inilah hakikat/makna ria dan apa yang menjadi sebab terjadinya ria. Jikalau anda bertanya: “Maka ria itu haram atau makruh atau mubah atau padanya penguraian?. Maka aku menjawab, pada ria itu penguraian. Sesungguhnya ria itu, ialah: mencari kemegahan. Adakalanya, kemegahan itu dengan ibadah. Maka jikalau tidak dengan ibadah, maka itu seperti: mencari harta. Maka tidak haram dari segi, bahwa kemegahan itu mencari kedudukan pada hati hamba Allah. Akan tetapi, sebagaimana mungkin mengusahakan harta dengan penipuan-penipuan dan sebab-sebab yang terlarang, maka begitu pula kemegahan. Dan sebagaimana, mengusahakan sedikit harta, yaitu yang diperlukan oleh manusia, adalah terpuji, maka mengusahakan sedikit kemegahan, yaitu: yang menyelamatkan manusia dari bahaya-bahaya, adalah juga terpuji. Dan itulah, yang dicari oleh Yusuf as, dimana ia mengatakan: “Sungguh aku menjaga lagi mengetahui”. S 12 Yusuf ayat 55. Sebagaimana pada harta itu, racun yang terendam dan obat yang bermanfaat pada menolak racun, maka begitu pula kemegahan. Dan sebagaimana banyaknya harta itu mempermainkan, mendurhakakan dan melupakan mengingati Allah dan hari akhirat, maka begitu pula banyaknya kemegahan. Bahkan lebih parah lagi. Dan fitnah kemegahan itu, lebih besar dari fitnah harta. Dan sebagaimana kita tidak mengatakan, bahwa memiliki harta banyak itu haram, maka juga kita tidak mengatakan, bahwa memiliki banyak hati manusia itu haram. Kecuali apabila dibawa oleh banyak harta dan banyak kemegahan, kepada mengerjakan apa yang tidak diperbolehkan. Benar, berpalingnya cita-cita kepada keluasan kemegahan adalah permulaan kejahatan, seperti berpalingnya cita-cita kepada banyaknya harta. Dan orang yang mencintai kemegahan dan harta itu, tidak sanggup meninggalkan segala maksiat hati, lisan dan lainnya. Adapun keluasan kemegahan, tanpa rakusnya engkau kepada mencarinya dan tanpa kesedihan dengan hilangnya, jikalau hilang, maka tidak melarat padanya. Maka tidak adalah kemegahan yang lebih luas, dari kemegahan Rasulullah saw, kemegahan para khulafa’rasyidin dan orang-orang sesudah mereka, daripada alim ulama agama. Akan tetapi, berpalingnya cita-cita kepada mencari kemegahan itu, kekurangan pada agama, dan tidak dikatakan: diharamkan. Maka berdasarkan ini, kami berkata, bahwa membaguskan kain yang dipakai oleh manusia, ketika keluar kepada manusia itu suatu keriaan. Dia itu tidak haram. Karena ia tidak ria dengan ibadah, akan tetapi dengan dunia. Dan bandingkanlah kepada ini, akan setiap perbuatan kecantikan dan perhiasan bagi manusia!. Dalilnya, ialah apa yang dirawikan dari ‘Aisyah: “Bahwa Rasulullah saw bermaksud pada suatu hari, keluar menemui sahabat-sahabat. Lalu ia melihat kepada tong air. Dan beliau membetulkan surban dan rambutnya. Lalu ‘Aisyah bertanya: “Mengapakah engkau berbuat demikian, wahai Rasulullah?”. Nabi saw  menjawab: “Ya! Sesungguhnya Allah Ta’ala menyukai dari hambaNya, bahwa ia menghiasi diri untuk teman-temannya, apabila ia keluar kepada mereka”. Ya, ini adalah dari Rasulullah saw suatu ibadah. Karena beliau disuruh mengajak makhluk dan menggembirakan mereka pada mengikuti dan menarik hati mereka. Dan kalau jatuh Rasulullah saw dari mata (pandangan) mereka, niscaya mereka tiada akan gemar mengikutinya. Maka haruslah beliau melahirkan kepada mereka, kebagusan hal-ikhwalnya. Supaya tidak dilecehkan oleh mata (pandangan) mereka. Karena mata kebanyakan makhluk itu, memanjang kepada zahir. Tidak kepada yang batin (yang tersembunyi). Maka itulah yang menjadi maksud Rasulullah saw. Akan tetapi, kalau orang yang bermaksud demikian, dengan maksud untuk membaguskan dirinya pada pandangan mata manusia, karena takut dari cacian dan celaan mereka dan untuk menggerakkan pemuliaan dan penghormatan mereka, niscaya sesungguhnya ia telah bermaksud suatu maksud yang mubah (yang diperbolehkan). Karena manusia itu berhak menjaga diri dari kepedihan cacian. Dan mencari kesenangan kejinakan hati dengan teman-teman. Dan manakala mereka merasa berat kepadanya dan merasa jijik, niscaya tidak akan jinak hatinya dengan mereka. Jadi, keriaan dengan hal yang tiada berhubungan dengan ibadah, kadang-kadang adalah mubah. Dan kadang-kadang adalah tha’at. Dan kadang-kadang adalah tercela. Dan yang demikian itu, menurut maksud yang dicari dengan keriaan itu. Karena itulah, kami mengatakan, bahwa seseorang, apabila membelanjakan (mengeluarkan) hartanya, kepada sekumpulan orang-orang kaya, tidak dalam bidang ibadah dan sedekah, akan tetapi, untuk diyakini manusia, bahwa dia itu orang pemurah, maka ini suatu keriaan. Dan tidak haram. Dan begitu pula, contoh-contoh yang seperti itu. Adapun ibadah, seperti: sedekah, shalat, puasa, perang sabilullah dan haji, maka bagi orang yang berbuat keriaan, padanya dua hal. Salah satu daripadanya, ialah maksudnya tidak lain, melainkan ria semata-mata, tidak pahala. Dan ini membatalkan ibadahnya. Karena segala amal itu dengan niat. Dan ini tidak dengan maksud ibadah. Kemudian, tidak terbatas kepada kebatalan ibadahnya saja, sehingga kita mengatakan, bahwa dia menjadi, sebagaimana adanya sebelum ibadah. Bahkan, ia berbuat maksiat dengan yang demikian dan ia berdosa, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits dan ayat-ayat. Yang dimaksudkan padanya dua perkara:
Pertama: menyangkut dengan hamba (manusia). Yaitu: pemalsuan dan penipuan. Karena ia menimbulkan anggapan kepada mereka, bahwa ia ikhlas dan taat kepada Allah. Dan ia dari orang-orang agama. Padahal tidak seperti yang demikian. Pemalsuan pada urusan dunia haram juga. Sehingga kalau ia membayar hutang suatu jamaah dan menimbulkan anggapan bagi manusia, bahwa ia bertabarru’ (berbuat baik) kepada mereka, supaya mereka meyakini kemurahannya, niscaya ia berdosa dengan yang demikian. Karena padanya ada pemalsuan. Dan pemilikan hati manusia dengan pengicuhan dan penipuan.
Kedua: menyangkut dengan Allah. Yaitu: manakala ia bermaksud dengan menyembah Allah Taala itu makhluk Allah, maka dia itu mempermain-mainkan Allah. Dan karena itulah Qatadah berkata: “Apabila hamba Allah itu berbuat ria, maka Allah berfirman kepada malaikat-malaikatNya: “Lihatlah kepada hamba itu! Bagaimana ia mempermain-mainkan Aku”. Contohnya yang seperti itu, ialah tegak berdirinya seseorang dihadapan seorang raja sepanjang hari, sebagaimana berlakunya kebiasaan pelayan-pelayan. Dan sesungguhnya berdirinya itu, untuk memperhatikan seseorang dari budak wanita raja atau seseorang dari budak prianya. Maka ini adalah mempermain-mainkan raja. Karena ia tidak bermaksud untuk mendekatkan diri kepada raja dengan segala pelayannya. Akan tetapi, ia bermaksud dengan yang demikian itu, ialah seseorang dari budak-budak raja. Maka manakah penghinaan yang melebihi, diatas yang dimaksud oleh hamba dengan mentaati Allah Taala, akan memperlihatkan amalnya kepada seorang hamba yang lemah, yang tidak mempunyai kesanggupan untuk mendatangkan melarat dan manfaat! Adakah yang demikian, selain karena ia menyangka, bahwa hamba yang lemah itu, lebih berkuasa untuk menghasilkan maksud-maksudnya, daripada Allah? dan hamba itu lebih utama dengan didekati daripada Allah? karena ia mengutamakan hamba tersebut dari Maharaja Diraja (Allah). Lalu dijadikannya maksud tujuan ibadahnya (kebaktiannya). Dan manakah mempermain-mainkan yang melebihi, daripada mengangkat kan hamba di atas Tuannya? Maka ini termasuk diantara dosa besar yang membinasakan. Dan karena itulah, dinamakan oleh Rasulullah saw: Syirik kecil (asy-syirkul-ash-ghar). Ya, sebahagian derajat ria itu, lebih berat dari sebahagian yang lain, sebagaimana akan datang penjelasannya pada derajat-derajat ria Insya Allah Ta’ala. Dan tidak terlepas sesuatupun daripadanya, dari dosa berat atau dosa ringan, menurut keriaan yang ada padanya. Dan jikalaupun tidak ada ia dalam ria, kecuali ia sujud dan ruku’ bagi selain Allah, maka sesungguhnya sudah mencukupi padanya. Karena jikalau ia tidak bermaksud mendekatkan diri kepada Allah, maka sesungguhnya ia bermaksud selain Allah. Demi umurku, jikalau ia agungkan selain Allah dengan sujud, maka sesungguhnya ia telah menjadi kafir dengan jelas. Kecuali ria itu, ialah kufur yang tersembunyi. Karena orang yang berbuat ria, telah mengagungkan dalam hatinya akan manusia. Maka keagungan itu menghendaki untuk ia sujud dan ruku’. Lalu adalah manusia yang diagungkan dengan sujud dari suatu segi. Dan manakala telah hilang maksud mengagungkan Allah dengan sujud dan tinggal mengagungkan makhluk, niscaya adalah yang demikian itu, mendekati kepada syirik. Hanya jikalau ia maksudkan pengagungan dirinya pada hati orang yang mengagungkannya, dengan melahirkannya dari dirinya akan bentuk pengagungan kepada Allah, maka dari segi ini, dia itu syirik tersembunyi, tidak syirik terang. Dan itu adalah paling bodoh. Dan tidak tampil kepadanya, selain orang yang telah kena tipu daya setan. Dan setan itu menimbulkan sangkaan padanya, bahwa hamba-hamba itu memiliki kemampuan untuk mendatangkan melarat dan manfaat, rezeki, ajal dan segala kepentingannya sekarang dan masa yang akan datang, lebih banyak daripada yang dimiliki Allah Ta’ala. Maka karena itulah, ia memalingkan mukanya dari Allah kepada orang-orang itu. Dan ia menghadapkan dengan hatinya kepada mereka, supaya dengan demikian, hati mereka, cenderung kepadanya. Dan jikalau orang itu, diwakilkan oleh Allah Ta’ala kepada mereka, di dunia dan di akhirat, niscaya adalah yang demikian itu, kurang sesuai bagiNya kepada yang dijadikanNya. Karena hamba itu semuanya lemah dari dirinya masing-masing, tiada memiliki manfaat dan melarat bagi dirinya. Maka bagaimana pula mereka memiliki ini untuk orang lain di dunia? Maka bagaimana pula pada hari, dimana bapak tidak dapat membalas sesuatu kepada anaknya. Dan anak tidak dapat membalas kepada bapaknya. Bahkan nabi-nabi berkata pada hari itu: “Masing-masing urus sendiri (nafsi-nafsi)”. Maka bagaimana orang yang bodoh meminta ganti dari pahala akhirat dan memperoleh kedekatan pada sisi Allah, apa yang diintip dengan rakusnya oleh manusia yang bohong di dunia? Maka tiada seyogyalah kita ragu, bahwa orang yang berbuat ria dengan mentaati Allah itu, dalam kemarahan Allah, dari sekalian segi naqal dan qias. Ini, apabila ia tidak maksudkan pahala. Maka apabila ia maksudkan pahala dan pujian, pada sedekah atau shalatnya, maka itu syirik yang berlawanan dengan ikhlas. Dan kami telah sebutkan hukumnya pada Kitab Ikhlas. Dan ditunjukkan kepada apa yang kami nukilkan dari atsar, oleh perkataan Sa’id bin Al-Musayyab dan Ubbadah bin Ash-Shamit, bahwa tak ada pahala sekali-kali baginya pada yang tersebut itu.
PENJELASAN: tingkat-tingkat ria.
Ketahuilah, bahwa setengah dari pintu-pintu ria itu lebih keras dan tebal, dibandingkan dengan setengah yang lain. Perbedaannya itu disebabkan berbeda sendi-sendinya dan berlebih kurangnya tingkat pada ria itu. Sendi-sendinya itu 3, yaitu: yang diriakan, yang diriakan karenanya dan maksud dari ria itu sendiri.
               Sendi pertama: dari maksud ria itu sendiri. Yang demikian itu, tidak terlepas, adakalanya ria itu semata-mata, tanpa kehendak ibadah kepada Allah Ta’ala dan pahala. Adakalanya ria itu serta kehendak pahala. Maka jikalau ada seperti yang demikian, maka tidak terlepas, adakalanya kehendak pahala itu lebih kuat dan lebih banyak. Atau lebih lemah atau sama bagi kehendak ibadah. Maka tingkat-tingkat itu ada 4:
Pertama: yaitu: yang lebih tebal tingkatnya, bahwa tidaklah maksudnya sekali-kali itu pahala. Seperti orang yang mengerjakan shalat dihadapan manusia. Dan kalau sendirian, niscaya ia tidak shalat. Akan tetapi, kadang-kadang ia shalat tanpa suci (thaharah) bersama manusia. Maka ini adalah maskudnya semata-mata ria. Maka yang demikian itu terkutuk pada Allah Ta’ala. Dan begitu pula orang yang mengeluarkan sedekah, karena takut dari celaan manusia. Dan ia tidak bermaksud pahala. Dan jikalau ia bersunyi sendirian, niscaya tidak diberikannya sedekah itu. Maka inilah tingkat tertinggi dari ria.
Kedua: bahwa ia mempunyai maksud pahala juga. Akan tetapi, suatu maksud yang lemah, dimana jikalau ia berada pada tempat sunyi sendirian, niscaya tidak akan diperbuatkannya. Dan maksud tersebut tidak akan membawanya kepada perbuatan (amal) tersebut. Dan jikalau tidak akan maksud pahala, niscaya adalah maksud ria akan membawanya kepada perbuatan itu. Maka ini dekat dengan apa yang sebelumnya. Dan apa yang ada padanya, dari campuran maksud pahala, yang tidak berdiri sendiri dengan membawanya kepada perbuatan, niscaya tidaklah menidakkan kutuk dan dosa daripadanya.
Ketiga: bahwa ia mempunyai maksud pahala dan maksud ria yang bersamaan, dimana jikalau masing-masing dari yang dua tadi terlepas dari yang lain, niscaya tidak akan menggerakkannya kepada berbuat. Maka manakala keduanya berkumpul, niscaya timbullah kegemarannya. Atau adalah masing-masing dari yang dua itu, jikalau sendirian, niscaya berdiri sendirilah membawanya kepada berbuat. Maka ini sesungguhnya merusakkan, seperti apa yang membaikkan. Maka kita berharap kiranya ia selamat, satu dalam pengaruh yang lain, tidak baginya dan tidak atasnya. Atau ada baginya pahala, seperti apa yang ada atasnya dari siksa. Menurut yang zahiriah dari hadits-hadits menunjukkan, bahwa ia tiada akan selamat (sejahtera). Dan kami telah memperkatakannya dahulu pada Kitab Ikhlas.
Keempat: bahwa adanya diliihat oleh manusia itu meneguhkan dan menguatkan kerajinannya. Dan jikalau tidak, sesungguh nya ia tidak akan meninggalkan ibadah. Dan jikalau maksud ria saja, niscaya ia tidak tampil kepada perbuatan tersebut. Maka yang kami sangka -dan ilmu adalah di sisi Allah- bahwa tidaklah menghancurkan pokok pahala. Akan tetapi, kurang daripadanya atau ia disiksa sekedar maksud ria. Dan diberi pahala sekedar maksud pahala. Adapun sabda Nabi saw: “Allah Ta’ala berfirman: “Aku yang terkaya dari segala yang kaya dari syirik”, maka itu dibawa kepada keadaan, apabila bersamaan dua maksud tadi. Atau adalah maksud ria itu yang lebih kuat.
                   Sendi kedua: yang diriakan, yaitu: amalan taat. Dan yang demikian itu, terbagi kepada: ria dengan pokok-pokok ibadah dan kepada: ria dengan sifat-sifat ibadah.
Bahagian pertama, yaitu: yang lebih berat, ialah: ria dengan pokok-pokok ibadah. Yaitu di atas 3 tingkat:
                   Tingkat pertama, ria dengan pokok iman. Dan ini yang paling berat dari pintu-pintu ria. Dan orang yang bersifat demikian, kekal dalam neraka. Yaitu: orang yang melahirkan ucapan dua kalimat syahadat. Dan batinnya, terisi dengan pendustaan. Akan tetapi, ia berbuat ria (memperlihatkan) pada zahiriahnya Islam. Yaitu: orang yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam kitabNya pada banyak tempat, seperti firmanNya ‘Azza wa Jalla: “Apabila orang-orang munafiq (beriman palsu) datang kepada engkau, mereka berkata: Kami mengakui, bahwa engkau sesungguhnya Utusan Allah. Dan Allah mengetahui, bahwa engkau sesungguhnya utusanNya dan Allah mengakui, bahwa sesungguhnya orang-orang munafiq itu dusta”. S 63 Al Munafiquun ayat 1. Artinya: pada penunjukkan mereka dengan kata mereka atas isi hatinya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan diantara manusia itu ada yang sangat menarik hatimu perkataannya tentang kehidupan dunia ini dan dipersaksikannya kepada Allah apa yang dalam hatinya, sedang dia adalah musuh yang paling keras. Dan bila dia pergi, dia berjalan di muka bumi membuat bencana dan merusakkan sawah ladang dan binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan”. S 2 Al Baqarah ayat 204-205. Allah Ta’ala berfirrman: “Dan bila mereka menemui kamu, mereka mengatakan: Kami beriman: dan bila mereka sendirian, digigitnya anak jarinya karena sangat marah kepadamu”. S 3 Ali Imran ayat 119. Allah Taala berfirman: “Mereka mengerjakannya supaya dilihat manusia saja. Mereka tiada mengingati Allah, hanya sedikit saja. Mereka masih ragu-ragu antara ini dan itu”. S 4 An Nisa’ ayat 142-143. Ayat-ayat mengenai orang munafiq itu banyak. Dan nifaq (kemunafikan) itu banyak pada permulaan Islam, dari orang-orang yang masuk Islam pada mulanya secara zahiriah/yang nampak, karena sesuatu maksud. Dan yang demikian itu sedikit pada masa kita ini (masa Al-Imam Al-Ghazali ( tida kesudahan / permulaan )). Akan tetapi yang banyak, ialah nifaqnya orang-orang yang menarik diri dari agama pada batinnya. Lalu ia mengingkari sorga, neraka dan hari akhirat. Karena cenderung kepada perkataan orang mulhid (atheis). Atau ia meyakini kelipatan hamparan syara’ (agama) dan hukum, karena cenderung kepada orang-orang ibahah. Atau orang yang i’tiqad (keyakinan)nya kufur atau bid’ah (yang diada-adakan) dan dilahirkannya sebaliknya. Maka mereka itu termasuk orang-orang munafiq dan orang-orang yang berbuat ria yang kekal dalam neraka. Dan tidak adalah di belakang ria ini, ria lagi. Dan keadaan mereka itu lebih buruk dari keadaan kafir yang berterus terang kekafirannya. Karena mereka mengumpulkan diantara kufur batin dan nifaq zahir.
                  Tingkat kedua: ria dengan pokok-pokok ibadah, serta membenarkan pokok agama. Dan ini juga besar pada sisi Allah. akan tetapi banyak kurangnya, dari yang pertama tadi. Contohnya, yaitu: bahwa harta orang itu ada pada tangan orang lain. Lalu disuruhnya mengeluarkan zakat, karena takut dari celaan orang. Dan Allah tahu, bahwa jikalau harta tersebut dalam tangannya sendiri, niscaya tidak akan dikeluarkannya zakat itu. Atau masuk waktu shalat dan ia berada bersama orang banyak. Dan kebiasaannya meninggalkan shalat waktu sendirian. Dan begitu juga ia mengerjakan puasa Ramadhan. Dan ia ingin terlepas dari penglihatan makhluk, supaya dapat ia berbuka. Dan begitu pula ia menghadiri shalat Jum’at. Jikalau tidak karena takut cacian orang, niscaya tidak dihadirinya. Atau ia menyambung silaturrahim atau berbuat baik bagi ibu bapaknya. Tidak dari kesukaan hati, akan tetapi karena takut dari manusia. Atau ia berperang sabilullah atau menunaikan haji begitu pula. Maka ini adalah ria, yang bersama dengan ria itu ada pokok iman dengan Allah. Ia imani bahwa tiada yang disembah, selain Dia. Dan kalau ia dipaksakan supaya ia menyembah selain Allah atau ia sujud bagi selain Allah, niscaya tidak akan dilakukannya. Akan tetapi, ia meninggalkan ibadah, karena malas. Dan ia rajin ketika dilihat manusia. Maka kedudukannya pada makhluk, lebih disukainya daripada kedudukannya pada Khaliq (yang maha pencipta). Dan takutnya dari cacian manusia itu lebih besar dari takutnya akan siksaan Allah. Kesukaannya pada pujian manusia itu jauh melebihi dari kesukaannya pada pahala daripada Allah. Inilah yang paling bodoh! Alangkah pantasnya orang yang bersifat demikian itu, mendapat kutukan, walaupun ia tidak menarik diri dari pokok iman dari segi i’tiqad (keyakinan).
                  Tingkat ketiga: bahwa ia tidak berbuat ria dengan iman dan amal ibadah wajib. Tetapi, ia berbuat ria dengan amal ibadah nafilah dan sunat, dimana kalau ditinggalkannya, ia tidak berbuat maksiat. Akan tetapi, ia malas dari ibadah tersebut pada waktu sendirian, karena lemah kegemarannya pada pahala ibadah itu. Dan karena diutamakannya keenakan malas, dari apa yang diharapnya dari pahala. Kemudian, ia digerakkan oleh ria kepada mengerjakan ibadah itu. Yang demikian, seperti menghadiri jama’ah pada shalat, mengunjungi orang sakit, mengikuti jenazah dan memandikan mayit. Dan seperti shalat tahajjud pada malam hari, puasa hari ‘Arafah, hari ‘Asura, hari Senin dan Kamis. Kadang-kadang diperbuat oleh orang yang ria itu, sejumlah yang demikian, karena takut dari cacian atau karena mencari pujian. Dan Allah Ta’ala tahu daripadanya, bahwa kalau ia sendirian, niscaya ia tidak lebih daripada mengerjakan yang wajib (yang fardhu) saja. Maka inipun soal besar. Akan tetapi, kurang dari yang sebelumnya. Sesungguhnya, yang sebelumnya itu, ia mengutamakan pujian makhluk di atas pujian Khaliq (yang maha pencipta). Dan ini juga, ia telah berbuat yang demikian. Dan ia menjaga dari cacian makhluk, tidak dari cacian Khaliq (yang maha pencipta). Maka adalah cacian makhluk padanya lebih besar dari siksaan Allah. Adapun ini, maka ia tidak berbuat yang demikian. Karena ia tidak takut akan siksaan, pada meninggalkan nafilah (sunat); kalau ditinggalkannya. Dan seakan-akan ia atas sebahagian dari yang pertama. Dan siksaannya itu setengah dari siksaan yang pertama. Maka inilah ria dengan pokok-pokok ibadah!
Bahagian kedua: ria dengan sifat-sifat ibadah, tidak dengan pokok-pokoknya. Dan itu juga terbagi kepada 3 tingkat:
     Tingkat pertama: bahwa ia berbuat ria dengan perbuatan, yang pada meninggalkan perbuatan itu, kekurangan bagi ibadah. Seperti orang yang maksudnya meringankan ruku’ dan sujud. Dan tidak memanjangkan qira’ah (bacaan). Maka apabila dilihat orang, niscaya ia membaguskan ruku’ dan sujudnya, meninggalkan berpaling muka dan menyempurnakan duduk antara dua sujud. Ibnu Mas’ud berkata, bahwa orang yang berbuat demikian, maka itu adalah penghinaan, dimana ia menghinakan Tuhannya ‘Azza wa Jalla. Artinya: ia tidak memperdulikan, dilihat oleh Allah kepadanya pada waktu ia sendirian. Maka apabila dilihat kepadanya oleh anak Adam, lalu dibaguskannya shalat. Dan orang yang duduk dihadapan manusia, dengan bersila atau berjongkok, lalu masuk budak orang itu, maka ia meluruskan dan membaguskan duduknya, adalah yang demikian itu mendahulukan budak dari tuan dan sudah pasti suatu penghinaan kepada tuan. Inilah keadaan orang yang berbuat ria, dengan membaguskan shalat di muka orang banyak, tidak pada waktu sendirian. Dan begitu juga, orang yang membiasakan mengeluarkan zakat dari dinar (uang emas) yang buruk atau dari biji-bijian yang jelek. Maka apabila dilihat orang lain, niscaya dikeluarkannya dari yang bagus, karena takut dari celaannya. Begitu pula orang yang berpuasa, yang melakukan puasanya, dengan menjauhkan diri dari mencaci orang dan rafats (bergaul dengan isterinya), karena makhluk. Tidak karena penyempurnaan bagi ibadah puasa. Karena takut dari celaan. Maka ini juga termasuk ria yang dilarang. Karena padanya mendahulukan makhluk atas Khaliq (yang maha pencipta). Akan tetapi, kurang dari ria dengan pokok-pokok amalan taat. Kalau orang yang berbuat ria itu mengatakan: “Bahwa aku berbuat demikian, karena menjaga lidah mereka dari umpatan. Bahwa mereka apabila melihat peringanan ruku’ dan sujud dan banyak berpaling (ke kanan atau ke kiri), niscaya mereka melepaskan lidahnya dengan cacian dan umpatan. Sesungguhnya maksudku, menjaga mereka dari kemaksiatan tersebut”. Maka dijawab kepada orang tadi: “Ini adalah tipuan setan padamu dan suatu pemalsuan. Dan tidaklah keadaan itu seperti yang demikian. Maka sesungguhnya kemelaratan engkau, dari kurangnya shalat engkau, yaitu: pengkhidmatan engkau bagi Tuhan engkau, adalah lebih besar dari kemelaratan engkau, dengan umpatan orang kepada engkau. Maka jikalau yang menggerakkan engkau itu agama, niscaya adalah kasih-sayang engkau kepada diri engkau itu lebih banyak. Dan tidaklah engkau pada hal ini, kecuali seperti orang yang menghadiahkkan budak wanita kepada raja, untuk memperoleh dari padanya, kurnia dan wilayah yang akan diperintahnya. Lalu ia menghadiahkan budak wanita tersebut kepada raja tadi. Sedang budak wanita itu buta sebelah matanya, buruk rupanya dan terpotong anggota badannya. Ia tidak memperdulikan yang demikian, apabila raja itu sendirian. Dan apabila ada pada raja tadi sebagian dari budak-budaknya, niscaya ia mencegah dirinya dari berbuat demikian, karena takut dari celaan budak-budaknya. Yang demikian itu adalah mustahil. Akan tetapi, orang yang menjaga pihak budak raja, seyogyalah bahwa perhatiannya kepada raja itu lebih banyak. Ya, bagi yang diriakan itu 2 hal:
       Pertama: bahwa ia mencari dengan yg demikian itu, kedudukan & pujian pada manusia. Dan yang demikian itu pasti haram.
       Kedua: bahwa ia mengatakan: “Tidaklah datang kepadaku ikhlas pada membaguskan ruku’ dan sujud. Dan jikalau aku ringankan, niscaya adalah shalatku pada sisi Allah
itu kurang. Dan aku disakiti oleh manusia dengan cacian dan umpatan mereka. Maka aku mengambil faedah dengan membaguskan kehebatan, untuk menolak cacian
mereka. Dan aku tiada mengharap padanya pahala. Maka itu lebih baik, daripada aku meninggalkan pembaikan shalat. Lalu hilanglah pahala dan berhasil cacian orang”.
Maka dalam hal ini, ada sedikit penelitian. Dan yang benar, bahwa yang wajib atas dirinya, ialah: membaguskan dan ikhlas. Dan jikalau tidak datang kepadanya niat, maka seyogyalah ia berkekalan atas kebiasaannya dalam kesendirian. Maka tak ada baginya, bahwa ia menolak cacian dengan berbuat ria dengan ketaatan kepada Allah. Sesungguhnya yang demikian itu, adalah mempermain-mainkan, sebagaimana telah diterangkan dahulu.
     Tingkat kedua: bahwa ia berbuat ria, dengan mengerjakan apa yang tidak mengurangkan pada meninggalkannya. Akan tetapi mengerjakannya itu adalah dalam hukum kelengkap an dan kesempurnaan bagi ibadahnya. Seperti: melamakan ruku’ dan sujud, melamakan tegak berdiri, membaguskan cara shalat, mengangkat dua tangan, bersegera kepada takbir pertama, membaguskan i’tidal dan menambahkan bacaan dari surat yang dibiasakan. Begitu pula membanyakkan sendirian (berkhilwah) pada puasa Ramadhan dan melamakan berdiam diri. Dan seperti memilih yang lebih baik, atas yang baik pada zakat. Dan memerdekakan budak, yang mahal harganya, pada memberikan kafarat. Semua itu, termasuk sebahagian dari keadaan, dimana jikalau ia sendirian, niscaya tidak akan dikerjakannya.
     Tingkat ketiga: bahwa ia berbuat ria pula dengan tambahan-tambahan yang diluar dari amal nafilah itu sendiri. Seperti datangnya kepada shalat jama’ah sebelum orang banyak, maksudnya bagi shaf (baris) pertama, arahannya kepada kanan imam shalat dan hal-hal lain yang seperti itu. Semua itu adalah diantara apa yang diketahui oleh Allah daripadanya, bahwa jikalau ia sendirian, niscaya ia tidak akan memperdulikan, dimana ia akan berdiri dan kapan ia bertakbiratul-ihram dengan shalat. Maka inilah tingkat-tingkat ria, dikaitkan kepada apa yang diriakannya. Sebahagian daripadanya, lebih keras dari sebahagian yang lain. Dan semua itu tercela.
Sendi ketiga: ialah yang diriakan karenanya. Sesungguhnya orang yang berbuat ria itu, sudah pasti mempunyai sesuatu maksud. Ia berbuat ria untuk memperoleh harta/kemegahan/sudah pasti untuk sesuatu maksud. Dan sendi ke 3 ini juga mempunyai 3 tingkat:
     Pertama: yaitu yang paling berat dan yang paling besar, ialah bahwa maksudnya, ketetapan dari perbuatan maksiat. Seperti orang yang berbuat ria dengan ibadahnya. Dan melahirkan taqwa dan wara’ dengan membanyakkan ibadah nafilah (ibadah sunat) dan mencegah diri daripada memakan harta syubhah (harta yang diragukan halalnya). Maksudnya, ialah supaya ia terkenal amanah. Lalu diserahkan kepadanya jabatan hakim (qodo’) atau harta wakaf atau harta wasiat atau harta anak yatim. Maka diambilnya. Atau diserahkan kepadanya membagi zakat atau sedekah, untuk dipilihnya bagi dirinya menurut yang disanggupinya dari harta-harta itu. Atau diserahkan kepadanya harta simpanan (wadi’ah), lalu diambilnya bagi dirinya dan diingkarinya akan harta simpanan tersebut. Atau diserahkan kepadanya harta yang akan dibelanjakan pada jalan haji. Lalu dipotongnya sebagian atau seluruhnya. Atau ia menyampaikan dirinya dengan harta-harta itu, kepada mengikuti orang-orang haji. Dan dengan kekuatan mereka, lalu ia menyampaikan dirinya kepada maksud-maksudnya yang merusak pada perbuatan-perbuatan maksiat. Kadang-kadang sebahagian mereka, tampak dengan pakaian tasawuf, dalam bentuk khusyu’, perkataan hikmah, di atas jalan memberi nasehat pelajaran dan peringatan. Dan maksudnya sesungguhnya kecintaan kepada seseorang wanita atau budak, untuk perbuatan cabul. Kadang-kadang mereka menghadiri majelis ilmu pengetahuan, nasehat peringatan dan golongan jama’ah Alquran. Mereka melahirkan kegemaran pada mendengarkan ilmu dan Alquran. Dan maksud mereka, ialah memperhatikan wanita-wanita dan anak-anak muda belia. Atau ia keluar pergi haji. Dan maksudnya ialah mendapati orang dalam persahabatan, dari wanita atau budak sahaya. mereka yang tersebut tadi, adalah orang-orang yang berbuat ria yang sangat dimarahi oleh Allah Ta’ala. Karena mereka menjadikan taat kepada Tuhannya, sebagai anak tangga kemaksiatan kepada Tuhan. Mereka mengambil ketaatan itu sebagai alat, tempat perniagaan dan benda pada kefasiqannya. Dan mendekati dengan mereka ini, walaupun kurang dari mereka, ialah: orang yang melakukan perbuatan terlarang (jarimah), yang dituduhkan dengan perbuatan tersebut. Dan ia terus melakukan perbuatan jarimah itu. Ia bermaksud untuk meniadakan tuduhan tadi dari dirinya. Lalu ia melahirkan taqwa, untuk meniadakan tuduhan itu. Seperti orang yang mengingkari harta simpanan dan ia dituduh oleh manusia, dengan barang simpanan tersebut padanya. Maka ia bersedekah dengan harta, supaya dikatakan orang, bahwa ia bersedekah dengan harta kepunyaannya sendiri. Maka bagaimana ia menghalalkan harta orang lain itu? Begitu pula orang yang dituduh berbuat cabul dengan seorang wanita atau budak laki-laki. Lalu ia menolak tuduhan itu dari dirinya, dengan bersikap khusyu’ dan melahirkan taqwa.
     Kedua: adalah maksudnya untuk memperoleh keuntungan yang diperbolehkan dari keuntungan-keuntungan duniawi, dari harta atau menikahi wanita cantik atau wanita syarifah (keturunan said atau keturunan Ali dengan Siti Fatimah). Seperti orang yang melahirkan kegundahan dan tangisan. Dan ia bekerja dengan nasehat pengajaran dan peringatan, supaya diberikan harta kepadanya. Ia ingin kawin dengan wanita-wanita. Maka ia bermaksud, adakalanya seorang wanita tertentu, untuk dinikahinya. Atau seorang wanita syarifah pada umumnya. Dan seperti orang yang ingin mengawini, dengan puteri seorang ulama yang abid. Lalu ia melahirkan pada ulama tadi, ilmu dan ibadahnya. Supaya ulama tersebut ingin mengawinkannya dengan puterinya. Maka inilah ria yang terlarang. Karena ia mencari dengan mentaati Allah, benda kehidupan dunia. Akan tetapi, itu kurang dari yang pertama diatas. Karena yang dicari dengan ini, adalah yang diperbolehkan (mubah) pada dirinya.
     Ketiga: bahwa ia tidak bermaksud memperoleh keuntungan dan mendapat harta atau perkawinan. Akan tetapi ia melahirkan ibadahnya, karena takut daripada dipandang orang kepadanya, dengan pandangan kekurangan. Dan ia tidak dihitung dari orang-orang khusus dan orang zuhud. Dan ia yakin bahwa dirinya, termasuk dalam jumlah orang awam. Seperti orang yang berjalan kaki cepat. Maka ia dilihat oleh manusia. Lalu ia membaguskan jalannya dan meninggalkan berjalan tergopoh-gopoh. Supaya ia tidak dikatakan, bahwa ia termasuk orang-orang suka main dan lupa. Tidak dari orang-orang yang terhormat. Begitu pula, jikalau ia terlanjur tertawa atau tampak daripadanya bergurau. Maka ia takut dipandang orang, dengan pandangan kehinaan. Lalu diikutinya yang demikian, dengan mengucapkan istighfar (memohonkan ampunan Allah), nafas turun naik dan melahirkan kegundahan. Dan ia mengatakan: “Alangkah besarnya kelalaian anak Adam pada dirinya. Allah tahu dari anak Adam itu, bahwa jikalau ia berada dalam kesunyian, niscaya tidaklah memberatkan yang demikian itu kepadanya”. Sesungguhnya ia takut, bahwa ia dipandang orang, dengan pandangan kehinaan. Tidak dengan pandangan kemuliaan. Dan seperti orang yang melihat suatu jama’ah (orang banyak) yang mengerjakan shalat tarawih atau shalat tahajjud atau melakukan puasa Kamis dan Senin atau mengeluarkan sedekah. Maka ia menyesuaikan dirinya dengan mereka tadi, karena takut dikatakan malas dan dihubungkan dengan orang awam. Dan jikalau ia sendirian, niscaya tidak dikerjakannya suatupun dari yang demikian. Dan seperti orang yang dahaga pada hari ‘Arafah atau hari ‘Asyura atau pada bulan haram. Maka ia tidak minum, karena takut diketahui orang bahwa ia tidak berpuasa. Maka apabila mereka menyangka ia berpuasa, niscaya ia mencegah dirinya dari makan, karena yang demikian itu. Atau ia diundang makan, lalu ia menolaknya. Supaya orang menyangka, bahwa ia berpuasa. Kadang-kadang tidak dengan tegas ia mengatakan: “Bahwa aku berpuasa”. Akan tetapi, ia mengatakan: “Aku mempunyai halangan”. Ia mengumpulkan diantara dua kekejian. Ia memperlihatkan dirinya (ia berbuat ria), bahwa ia berpuasa. Kemudian, ia memperlihatkan dirinya, bahwa dia orang yang ikhlas, tidak dengan ria. Ia menjaga daripada disebutkan bahwa ibadahnya karena manusia. Lalu adalah dia orang yang berbuat ria. Maka ia menghendaki, bahwa dikatakan orang, dia itu menutupkan ibadahnya. Kemudian, jikalau ia memerlukan kepada minum, niscaya ia tidak sabar daripada menyebut bagi dirinya, akan halangan secara tegas atau sindiran, dengan mengemukakan alasan sakit yang membawa sangat haus. Dan mencegah daripada berpuasa. Atau ia mengatakan: “Aku berbuka, untuk menyenangkan hati si Anu. Kemudian, kadang-kadang ia tidak menyebutkan yang demikian, yang berhubungan dengan minumnya. Supaya tidak disangka orang, bahwa ia mengemukakan halangan itu, karena ria. Akan tetapi ia sabar. Kemudian, ia sebutkan halangannya (‘uzurnya) dalam bentuk ceritera, secara sampingan. Umpamanya, ia mengatakan: “Bahwa si Anu itu orang yang mencintai teman, sangat suka orang makan dari makanannya. Dan pada hari ini, ia mendesakkan aku dan aku tidak mendapat jalan lain, untuk menyenangkan hatinya”. Dan umpamanya ia mengatakan: “Bahwa ibuku lemah hati, sangat sayang padaku. Ia menyangka, jikalau aku berpuasa sehari, niscaya aku sakit. Maka ia membiarkan aku berpuasa”. Maka yang tersebut ini dan yang berlaku seperti ini, dari bahaya-bahaya (bencana-bencana) ria, maka tiada yang terlanjur kepada lisan, selain untuk memantapkan sifat ria pada batin. Adapun orang yang ikhlas, maka ia tidak memperdulikan, bagaimana pandangan makhluk kepadanya. Jikalau ia tidak ingin berpuasa dan Allah mengetahui yang demikian daripadanya, maka ia tidak menghendaki untuk dipercayai orang, akan yang menyalahi dengan ilmu Allah. Lalu ia menjadi orang yang memalsukan. Dan jikalau ia mempunyai keinginan berpuasa karena Allah, niscaya ia merasa puas dengan ilmu Allah Ta’ala. Dan ia tidak menyekutukan (mensyirikkan) akan yang lain dari Allah padanya. Kadang-kadang terguris dalam hatinya, bahwa pada melahirkannya itu, karena mengikuti orang lain. Dan menggerakkan kegemaran manusia padanya. Dan pada yang demikian itu, tipu daya dan penipuan. Dan akan datang uraian yang demikian dan syarat-syaratnya. Maka inilah tingkat-tingkat ria dan pangkat kedudukan segala jenis orang-orang yang berbuat ria. Dan semua mereka itu dibawah kutukan Allah dan amarahNya. Dan itu adalah termasuk yang sangat membinasakan. Dan diantara kesangatannya, ialah bahwa padanya itu campuran-campuran, yang lebih tersembunyi dari merangkaknya semut, sebagaimana yang tersebut pada hadits, yang tergelincir padanya ulama-ulama yang terkemuka. Apalagi orang-orang abid, yang bodoh dengan bahaya-bahaya jiwa dan tipuan-tipuan hati. Wallaahu A’lam/Allah Yang Maha Tahu!
PENJELASAN: ria yang tersembunyi, yang lebih tersembunyi dari merangkaknya semut.
Ketahuilah, bahwa ria itu ada yang jelas dan ada yang tersembunyi. Maka yang jelas (terang), ialah: yang menggerakkan kepada amal dan yang membawa kepadanya. Jikalau ia bermaksud pahala dan itu adalah yang paling jelas (terang). Dan yang tersembunyi daripadanya, yang sedikit itu, ialah: yang tidak membawanya kepada amal, dengan semata-mata pahala tadi. Hanya yang sedikit itu, meringankan amal yang dikehendakinya akan Wajah Allah. Seperti orang yang membiasakan shalat tahajjud pada setiap malam. Dan berat yang demikian kepadanya. Maka apabila menumpang padanya tamu, niscaya ia rajin dan ringan baginya mengerjakan tahajjud itu. Dan ia tahu, jikalau tidak karena harapan akan pahala, niscaya ia tidak akan mengerjakan shalat itu, karena semata-mata ria (memperlihatkan) kepada tamu. Dan yang lebih tersembunyi dari yang demikian, ialah apa yang tidak membekas pada amal perbuatan. Dan tidak juga dengan memudahkan dan meringankan. Akan tetapi, bersamaan dengan yang demikian, ada yang tersembunyi dalam hati. Dan manakala tidak membekas pada ajakan doa kepada amal perbuatan, niscaya tidak dapat dikenal, selain dengan tanda-tanda. Dan tandanya yang paling jelas, ialah: bahwa ia gembira dengan dilihat manusia akan amal ketaatannya. Banyaklah hamba Allah yang ikhlas pada amalnya. Dan tidak beriktikad kepada ria. Bahkan, ia benci dan menolak ria. Dan ia menyempurnakan amal seperti yang demikian. Akan tetapi, apabila dilihat manusia kepadanya, niscaya menggembirakannya yang demikian dan menyenangkannya. Dan mengentengkan yang demikian dari hatinya, akan kesulitan ibadah. Kesukaan ini menunjukkan kepada ria yang tersembunyi. Dari ria itulah tersaringnya kegembiraan. Dan jikalau tidak berpaling hati kepada manusia, niscaya tidaklah lahir kegembiraannya ketika dilihat oleh manusia. Sesungguhnya ria itu tersembunyi dalam hati, sebagaimana tersembunyinya api dalam batu (kalau kita, dalam sekam). Maka dengan dilihat oleh makhluk, ia melahirkan kesan kesenangan dan kegembiraan. Kemudian, apabila ia telah merasakan lezatnya kegembiraan dengan penglihatan manusia dan tidak ditantanginya yang demikian dengan kebencian, maka jadilah yang demikian itu, makanan dan santapan bagi akar yang tersembunyi dari ria. Sehingga ia bergerak atas jiwanya, sebagai gerakan tersembunyi. Lalu ia mengambil keputusan secara tersembunyi, bahwa ia memberatkan bagi dirinya, suatu sebab yang menonjol kepadanya, dengan sindiran dan mengeluarkan perkataan secara sampingan. Walaupun tidak membawa kepada terus terang. Kadang-kadang tersembunyi, lalu ia tidak mengajak kepada melahirkan dengan tutur kata, secara sindiran dan terus terang. Akan tetapi dengan sifat-sifat diri, seperti: melahirkan kekurusan badan, kekuningan muka, kerendahan suara, kekeringan dua bibir, kekeringan keringat, bekas-bekas air mata dan kesangatan mengantuk yang menunjukkan, lamanya shalat tahajjud. Yang lebih tersembunyi dari yang demikian ialah, bahwa ia bersembunyi, dimana ia tidak menghendaki dilihat orang. Dan tidak bergembira dengan menonjol ketaatannya. Akan tetapi, bersama dengan yang demikian, apabila ia melihat manusia, niscaya ia menyukai untuk memulainya dengan salam. Dan menghadapinya dengan muka tersenyum dan penghormatan. Dan bahwa mereka memujinya dan bergembira menolong pada segala keperluannya. Dan bahwa mereka bertoleransi dengan dia, pada penjualan dan pembelian. Dan bahwa mereka meluaskan baginya pada tempat duduk. Maka jikalau ada orang yang terlanjur kepadanya, niscaya beratlah yang demikian pada hatinya. Dan ia dapati karenanya, kejauhan hati pada dirinya. Seakan-akan ia mencari kehormatan serta amalan taat, yang disembunyikannya, sedang ia tidak menonjolkan kepada yang demikian. Dan jikalau tidak telah terdahulu daripadanya amal taat itu, niscaya tidaklah ia merasa hatinya jauh akan keterlanjuran orang pada hak dirinya. Dan manakala tidak ada, wujud ibadah itu seperti tidak adanya, pada setiap yang berhubungan dengan makhluk, niscaya tidaklah ia sudah merasa puas dengan diketahui oleh Allah. Dan tidaklah ia terlepas dari campuran yang tersembunyi dari ria itu, lebih tersembunyi dari merangkaknya semut. Setiap yang demikian itu hampir membinasakan pahala, dan tidak selamat daripadanya, selain orang-orang shiddiq. Diriwayatkan dari Ali ra, bahwa ia mengatakan: “Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar berfirman kepada qari’-qari’ pada hari kiamat: “Apakah tidak dimurahkan kepadamu harga? Apakah tidak kamu memulai salam? Apakah tidak dilaksanakan hajat keperluanmu?”. Dan pada hadits: “Tiada pahala bagimu. Sesungguhnya telah kamu terima dengan sempurna pahala-pahalamu”. Abdullah bin Al-Mubarak ra berkata: “Diriwayatkan dari Wahab bin Munabbih, bahwa Wahab mengatakan: “Seorang laki-laki dari orang-orang yang mengembara, berkata kepada sahabatnya: “Sesungguhnya kami telah berpisah dengan harta dan anak-anak, karena takut durhaka. Maka kami takut bahwa telah masuk kedurhakaan kepada kami dalam urusan kami ini, lebih banyak dari apa yang telah masuk, kepada orang-orang yang berharta, pada hartanya. Tiadalah seseorang dari kami apabila dijumpai, menyukai dihormati, karena kedudukan agamanya. Dan kalau ia membeli sesuatu, niscaya ia menyukai untuk dimurahkan, karena kedudukan agamanya”. Maka sampailah yang demikian itu, kepada raja mereka. Lalu raja itu berkendaraan dalam suatu arakan manusia. Maka tiba-tiba tanah datar dan bukit telah penuh dengan manusia. Lalu pengembara tadi bertanya: “Apa ini?”. Lalu dijawab orang: “Raja ini telah menaungi engkau”. Pengembara tersebut berkata kepada budak itu: “Bawakanlah kepadaku makanan!”. Maka budak tersebut membawakan kepadanya sayur-sayuran, minyak dan hati kayu. Lalu ia isikan rahangnya dan memakannya dengan keras. Maka raja bertanya: “Mana temanmu?”. Lalu mereka menjawab: “Ini!”. Maka raja bertanya: “Bagaimana engkau? Pengembara itu menjawab: “Seperti orang lain”. Pada lain riwayat, pengembara itu menjawab: “Baik!”. Lalu raja berkata: “Tidaklah pada orang ini kebaikan”. Maka raja itu pergi daripadanya. Maka pengembara itu berkata: “Alhamdulillah, segala pujian bagi Allah, yang memalingkan engkau daripadaku. Dan engkau yang mencela aku”. Senantiasalah orang-orang itu, takut dari ria yang tersembunyi. Karena itulah mereka memperhatikan sungguh-sungguh mengenai tertipunya manusia, dari amal-amal mereka yang baik. Mereka berusaha sungguh-sungguh menyembunyikannya, lebih banyak dari apa, yang diusahakan oleh manusia pada menyembunyikan kekejiannya. Semua itu, karena mengharap untuk keikhlasan amal perbuatan mereka yang baik. Maka mereka akan dibalas oleh Allah pada hari kiamat, dengan keikhlasannya dihadapan jama’ah ramai dari makhluk. Karena mereka tahu, bahwa Allah tiada menerima pada hari kiamat, selain yang bersih. Mereka tahu akan kesangatan hajat mereka dan keperluan mereka pada hari kiamat. Dan sesungguhnya itu adalah hari yang tiada bermanfaat harta dan anak. Dan tiada akan dibalasi bapak dari amal anaknya. Dan orang-orang shiddiq itu, sibuk dengan dirinya masing-masing. Lalu masing-masingnya berkata: nafsi-nafsi (sendiri-sendiri). Tidak memerlukan orang lain. Adalah mereka seperti pengunjung-pengunjung (zuwwar) Baitullah. Apabila mereka menghadap ke Makkah, maka mereka membawa bersama mereka masing-masing, emas Magribi yang bersih (tulen). Karena mereka tahu, bahwa orang-orang yang berpunya di dusun-dusun badui, tidak laku pada mereka, uang palsu dan uang buruk yang penuh tipuan. Dan keperluan sangat meminta di dusun badui. Tiada tanah air, tempat meminta tolong. Tiada teman yang akan dipegangi. Maka tiada yang melepaskan, selain uang yang  bersih. Maka demikianlah, yang dipersaksikan oleh orang-orang yang berhati ikhlas pada hari kiamat. Dan bekal yang menjadi perbekalan baginya, ialah dari: taqwa. Jadi, campuran ria yang tersembunyi itu banyak, tiada terhinggakan. Dan manakala ia mengetahui dari dirinya, perbedaan, antara dilihat kepada ibadahnya oleh manusia atau hewan, maka pada yang demikian itu, suatu cabang dari ria. Karena manakala ia memutuskan kelobaannya dari binatang ternak, niscaya ia tidak memperdulikannya. Adakah di depannya binatang-binatang ternak atau anak-anak yang masih menyusu atau tidak ada. Mereka melihat kepada gerak-geriknya atau tidak mereka lihat. Maka jikalau ia ikhlas, yang merasa puas dengan diketahui oleh Allah, niscaya ia memandang hina kepada hamba-hamba yang berakal itu, sebagimana ia memandang hina kepada anak-anak kecil dan orang-orang gila dari mereka. Dan ia tahu, bahwa orang-orang berakal itu, tiada akan sanggup memberi rezeki kepadanya. Tiada sanggup menentukan ajal, tambahan pahala dan kurangnya siksa. Sebagaimana tiada disanggupi kepadanya, oleh binatang-binatang ternak, anak-anak kecil dan orang-orang gila. Apabila ia tiada memperoleh yang demikian, maka padanya campuran yang tersembunyi. Akan tetapi, tidaklah tiap-tiap campuran itu membinasakan pahala dan merusakkan amal. Akan tetapi, padanya ada uraian. Maka kalau anda berkata: “Tiada kami melihat seorangpun yang terlepas dari kegembiraan, apabila diketahui orang ketaatannya. Maka kegembiraannya itu tercela semuanya atau sebahagiannya terpuji dan sebahagiannya tercela?”. Maka kami menjawab: pertama: setiap kegembiraan itu tidaklah tercela. Akan tetapi, kegembiraan itu terbagi kepada: terpuji dan tercela. Adapun yang terpuji, maka 4 bahagian:
Pertama: bahwa adalah maksudnya menyembunyikan taat dan ikhlas karena Allah. Akan tetapi, tatkala dilihat oleh makhluk, niscaya ia tahu, bahwa Allah yang memperlihatkannya kepada mereka. Allah melahirkan keelokan dari hal-ikhwalnya. Lalu ia mengambil dalil dengan yang demikian, atas kebagusan ciptaan Allah baginya, pandangan Allah kepadanya dan kasih sayang Allah dengan dia. Ia menutupkan taat dan maksiat. Kemudian, Allah yang menutup maksiat daripadanya dan melahirkan taat. Dan tiadalah kasih sayang yang lebih besar, daripada tertutupnya kekejian dan terbukanya keelokan. Maka adalah kegembiraannya dengan keelokan pandangan Allah baginya. Tidak dengan pujian manusia dan tegaknya kedudukan pada hati manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira!”. S 10 Yunus ayat 58. Seolah-olah telah menampak baginya, bahwa dia pada sisi Allah diterima. Lalu ia bergembira dengan yang demikian.
Kedua: bahwa ia mengambil dalil dengan dilahirkan Allah, keelokan dan ditutupNya keburukan padanya di dunia. Bahwa demikian juga akan diperbuatNya di akhirat. Karena Rasulullah saw bersabda: “Allah menutup dosa pada seorang hambaNya di dunia, melainkan  ditutupNya (pula) dosa itu di akhirat”. Maka adalah yang pertama itu, kegembiraan dengan penerimaan pada masa sekarang, tanpa memperhatikan pada masa yang akan datang. Dan ini adalah perhatian kepada masa yang akan datang.
Ketiga: bahwa ia menyangka kegemaran orang-orang yang melihat, kepada mengikutinya pada taat. Lalu berlipat ganda dengan demikian pahalanya. Maka baginya pahala terang (‘alaniyah) dengan apa yang dilahirkan pada penghabisan. Dan pahala rahasia (sirr/rahasia) dengan apa yang dimaksudkannya pada permulaan. Dan barangsiapa mengikutinya pada taat, maka baginya seperti pahala amal orang-orang yang mengikutinya, tanpa ada kurang sesuatu dari pahala mereka. Dan mengharap terjadinya yang demikian itu, pantas menjadi sebabnya gembira. Karena sesungguhnya, lahir khayalan laba itu enak (lezat) dan sudah pasti mengharuskan kegembiraan.
Keempat: bahwa ia dipuji oleh orang-orang yang melihat ketaatannya. Lalu ia bersuka cita, dengan ketaatan mereka kepada Allah, pada pemujian mereka dan kecintaan mereka bagi orang yang berbuat taat. Dan dengan kecenderungan hati mereka kepada ketaatan. Karena ada diantara orang yang beriman, orang yang melihat orang yang taat, lalu dimakinya dan dihasudnya. Atau dicelanya dan dipermain-mainkannya. Atau dikaitkannya karena ria dan tidak dipujinya. Maka ini adalah suka cita dengan bagusnya iman hamba-hamba Allah. Dan tanda keikhlasan pada yang semacam ini, ialah, bahwa adanya suka citanya dengan pujian mereka kepada orang lain, seperti suka citanya pujian mereka kepadanya. Adapun yang tercela, yaitu: yang kelima, ialah: bahwa adanya suka citanya itu karena tegak kedudukannya pada hati manusia. Sehingga mereka memujinya dan membesarkannya. Dan mereka bangun menunaikan segala hajat keperluannya. Dan menghadapinya dengan pemuliaan pada waktu timbulnya dan waktu datangnya. Maka ini makruh. Wallahu Ta’ala a’lam/Allah Yang Maha Tahu.
PENJELASAN: Apa yang membinasakan amal dari ria yang tersembunyi dan yang terang dan apa yang tidak membinasakan.
Maka kami katakan mengenai ini: apabila hamba itu mengikatkan ibadahnya di atas keikhlasan, kemudian datang kepadanya yang datang dari ria, maka tidak terlepas adakalanya, bahwa ia menolak atas yang demikian, sesudah selesainya dari amal. Atau sebelum selesai. Maka jikalau datang sesudah selesai, kegembiraan yang semata-mata lahir, tanpa dilahirkan, maka ini tidak merusakkan amal. Karena amal itu, telah sempurna di atas sifat ikhlas, yang selamat dari keriaan. Maka apa yang datang sesudahnya, kita mengharap, bahwa tiada akan terlipat kepadanya bekasnya. Lebih-lebih lagi, apabila ia tiada memberatkan dirinya untuk melahirkannya dan memperkatakannya. Dan ia tidak berangan-angan melahirkannya dan menyebutkannya. Akan tetapi telah bersesuaian lahirnya dengan dilahirkan oleh Allah. Dan tidak ada daripadanya, selain apa yang masuk pada hatinya, dari kegembiraan dan perasaan senang. Ya, jikalau telah sempurna amal di atas keikhlasan, tanpa ikatan ria, akan tetapi lahir baginya kemudian, keinginan pada melahirkannya, lalu ia berbicara tentang amal itu dan dilahirkannya, maka ini ditakutkan. Pada atsar dan akhbar (hadits), ada yang menunjukkan, bahwa yang demikian itu membinasakan amal. Telah dirawikan dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia mendengar seorang laki-laki berkata: “Aku telah membaca kemarin Surat Al Baqarah”. Lalu Ibnu Mas’ud menjawab: “Itulah keuntungannya dari Surat Al Baqarah itu”. Diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda kepada seorang laki-laki, yang berkata kepadanya: “Aku puasa sepanjang masa, wahai Rasulullah!”. Rasulullah saw lalu bersabda kepadanya: “Kamu tidak berpuasa dan tidak berbuka”. Setengah mereka (kaum shufi) berkata: “Sesungguhnya Nabi saw bersabda demikian, karena orang itu melahirkannya”. Dan ada yang mengatakan, bahwa itu suatu isyarat kepada makruhnya berpuasa sepanjang masa. Dan bagaimana adanya, maka mungkin adanya yang demikian itu dari Rasulullah saw dan dari Ibnu Mas’ud, karena mengambil dalil, bahwa hatinya dari ibadah itu, tiada terlepas dari ikatan ria dan maksudnya bagi ria. Karena telah lahir daripadanya, pembicaraan dengan ria itu. Karena jauhlah bahwa ada yang datang sesudah amal itu, yang membatalkan pahala amal. Bahkan yang lebih sesuai dengan qias (analogi), dikatakan: bahwa ia diberi pahala di atas amalnya yang telah lalu. Dan disiksa diatas keriaannya pada mentaati Allah, sesudah selesai dari ketaatan itu. Sebaliknya, jikalau berubah ikatannya kepada ria sebelum selesai dari shalat, maka yang demikian itu, kadang-kadang membatalkan shalat dan membinasakan amal. Adapun apabila datang sesuatu, yang datang dari ria sebelum selesai dari shalat umpamanya dan ia telah mengikatkan hatinya di atas keikhlasan, akan tetapi telah datang di tengah-tengahnya, yang datang dari ria, maka tidak terlepas, adakalanya, ada yang demikian itu semata-mata kegembiraan, yang tiada membekas pada amal. Dan adakalanya, ada ia ria yang membangkitkan kepada amal. Maka jikalau ria itu membangkitkan kepada amal dan ia menyudahkan ibadahnya dengan ria tadi, niscaya binasalah pahalanya. Contohnya: bahwa ia berada dalam shalat sunat (shalat tathawwu’). Lalu membaru baginya ingatan pemandangan indah atau datang seorang raja dari raja-raja yang megah. Maka ia ingin melihatnya. Atau ia teringat sesuatu yang telah dilupakannya dari hartanya. Dan ia bermaksud mencarikannya. Dan jikalau tidak adalah manusia, niscaya ia akan memutuskan shalatnya. Maka disempurnakannya, karena takut dari cacian manusia. Maka binasalah pahalanya. Dan harus ia mengulanginya jikalau pada shalat fardhu (shalat wajib). Nabi saw bersabda: “Amal itu seperti tempat simpan barang (karung). Apabila baik kesudahannya, niscaya baiklah permulaannya”. Artinya: Dipandang kepada kesudahannya. Diriwayatkan: “Bahwa orang yang berbuat ria dengan amalnya sesaat, niscaya binasalah amalnya yang telah ada sebelumnya”. Ini tempatnya pada shalat dalam bentuk itu. Tidak pada sedekah dan bacaan Alquran (qiraah). Karena tiap-tiap bahagian  daripadanya sendiri-sendiri (tidak terikat seperti shalat). Maka apa yang datang itu, akan merusakkan yang sisa. Tidak merusakkan yang sudah lalu. Puasa dan haji termasuk sama dengan shalat. Adapun apabila ada kedatangan ria itu, dimana ia tidak mencegahnya daripada maksud menyempurnakan karena pahala, seperti: kalau datang suatu rombongan orang, pada waktu ia sedang shalat, lalu ia gembira dengan kedatangan mereka itu. Dan ia mengikatkan ria pada dirinya dan bermaksud membaguskan shalatnya karena dilihat mereka. Dan kalau rombongan itu tidak datang, ia akan menyempurnakan juga shalat tersebut. Maka ini adalah ria yang telah membekas pada amal. Dan yang menggerakkan pembangkit kepada gerakan-gerakan badan. Maka jikalau pembangkitan itu keras, sehingga terhapus perasaan dengan maksud ibadah dan pahala. Dan maksud ibadah itu menjadi terbenam, maka ini juga seyogyalah merusakkan ibadah, manakala berlalu salah satu dari rukun-rukun shalat itu atas bentuk tersebut. Karena kita mencukupkan dengan niat yang dahulu ketika takbiratul-ihram, dengan syarat tidak datang kepadanya, apa yang mengalahkan dan yang menenggelamkannya. Dan mungkin dikatakan, bahwa tidak merusakkan ibadah, karena memandang kepada keadaan ikatan ria dan kepada masih adanya maksud pokok pahala, walaupun sudah lemah, disebabkan serangan maksud itu, yang lebih keras daripadanya. Al-Harts Al-Muhasibi ra beraliran, kepada membinasakan pahala, pada keadaan yang lebih enteng (lebih mudah) dari ini. Ia mengatakan: “Apabila ia tidak menghendaki, selain semata-mata kegembiraan dengan dilihat manusia, yakni: kegembiraan, seperti kesukaan kedudukan dan kemegahan”. Al-Harts Al-Muhasibi mengatakan: “Telah berbeda pendapat orang banyak (para ahli) dalam hal ini. Suatu golongan berpendapat, bahwa itu membinasakan amal. Karena meruntuhkan cita-cita (‘azam) yang pertama dan cenderung kepada pujian makhluk. Dan ia tidak menyudahkan amalnya dengan ikhlas. Dan sesungguhnya amal itu sempurna dengan kesudahannya (khatimahnya)”. Kemudian Al-Harts berkata lagi: “Aku tidak putuskan (tidak yakin) dengan binasa amal, walaupun ia tidak bertambahan pada amal dan tidak merasa aman atas amal itu. Aku bersikap menunggu (tawaqquf) pada yang demikian, karena perbedaan pendapat manusia. Dan yang lebih kuat pada hatiku, bahwa amal itu binasa, apabila amal itu disudahi dengan ria”. Kemudian Al-Harts Al-Muhasibi berkata: kalau dikatakan, bahwa Al-Hasan Al-Bashari  ra mengatakan: “Bahwa itu dua hal. Apabila hal pertama karena Allah, niscaya tidak mendatangkan melarat kepadanya (tidak merugikan) oleh hal kedua”. Sesungguhnya, diriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah! Aku merahasiakan amal. Aku tidak suka dilihat orang. Lalu ada yang melihatnya, maka itu menggembirakan aku”. Rasulullah saw menjawab: “Bagi engkau dua pahala: pahala rahasia dan pahala terang (‘alaniyah)”. Kemudian Al-Harts mempertahankan atas dasar hadits dan atsar. Ia mengatakan: “Adapun Al-Hasan Al-Bashari , maka yang ia maksudkan dengan perkataannya di atas: tidak mendatangkan melarat, artinya: ia tidak meninggalkan amalnya dan tidak mendatangkan melarat (tidak merugikannya) oleh bahaya. Dan ia menghendaki Allah”. Al-Hasan Al-Bashri ra tidak mengatakan: “Apabila ia ikatkan ria sesudah mengikatkan ikhlas, niscaya tidak mendatangkan melarat baginya (tidak merugikannya)”. Adapun hadits, maka Al-Hasan Al-Bashari  ra telah mempertahankannya dengan panjang lebar, yang hasilnya (kesimpulannya) kembali kepada 3 segi:
     Pertama: mungkin ia bermaksud melahirkan amalnya sesudah selesai. Dan tidak ada pada hadits, bahwa itu sebelum selesai.
     Kedua:   bahwa ia bermaksud merahasiakan amalnya itu, untuk diikuti orang. Atau untuk kegembiraan yang lain, yang terpuji, dari apa yang telah kami sebutkan dahulu. Tidak kegembiraan yang disebabkan suka pujian dan kedudukan, dengan dalil, bahwa dia menjadikan baginya pahala dengan amal itu. Dan tidak ada dari ummat yang beraliran (berpendapat), bahwa kegembiraan dengan pujian itu ada pahala. Dan tujuannya untuk dimaafkan daripadanya. Maka bagaimana bagi orang yang ikhlas, mempunyai satu pahala dan orang yang berbuat ria dua pahala?
     Ketiga: bahwa kebanyakan perawi hadits mengatakan, bahwa ia merawikannya tidak bersambung (tidak muttashil) kepada Abi Hurairah. Akan tetapi kebanyakan mereka mentawaqqufkannya (sebagai hadits mauquf=perkataan atau perbuatan sahabat yang baik sanadnya bersambung atau terputus) kepada Abi Shalih. Dan sebagian mereka ada yang merafa’kannya (sebagai hadits marfu’=hadist yang sanadnya tidak terang sampai kepada Nabi tetapi disampaikan juga sedang diantara perawai yang terang namanya dan Nabi ada perawi-perawi yang tidak diketahui atau dilampaui). Maka hukum dengan secara umum yang datang mengenai ria, adalah lebih utama. Inilah apa yang disebutkan oleh Al-Harts Al-Muhasibi ra. Ia tidak memutuskannya dengan tegas. Akan tetapi, ia melahirkan kecenderungan kepada membinasakan amal. Dan yang lebih sesuai dengan qias (analogi) pada kami, ialah: bahwa kadar ini, apabila bekasnya tidak tampak pada amal, akan tetapi, amal itu tetap menjadi sumber penggerak agama dan hanya bertambah kepadanya kegembiraan dengan dilihat orang, maka tidaklah merusakkan amal. Karena tidak hilang pokok niatnya dengan kegembiraan tersebut. Dan tetaplah niat itu yang menggerakkan kepada amal dan yang membawa kepada penyempurnaan amal. Adapun hadits yang datang tentang ria, maka dibawa kepada keadaan, apabila ia tidak menghendaki dengan ria itu, selain makhluk. Adapun apa yang datang pada penyekutuan (antara Khaliq (yang maha pencipta) dan makhluk), maka dibawa kepada keadaan, apabila adanya maksud ria itu, menyamai bagi maksud pahala. Atau lebih keras daripadanya. Apabila maksud ria itu lemah, dibandingkan kepada maksud pahala, maka tidaklah secara keseluruhan, membinasakan pahala sedekah dan amal-amal lainnya. Dan tiada seyogyalah ria itu merusakkan shalat. Dan tidak jauh pula untuk dikatakan, bahwa yang diwajibkan kepadanya itu, shalat yang murni (yang ikhlas) karena Wajah Allah. Dan yang murni itu, tidak dicampuri oleh sesuatu. Maka tidaklah dia menunaikan yang wajib serta campuran itu. Dan ilmu adalah pada Allah yang demikian. Dan telah kami sebutkan pada Kitab Ikhlas, pembicaraan (uraian) yang lebih sempurna, dari apa yang kami kemukakan sekarang ini. Maka hendaklah kembali kesana! Maka inilah hukum ria, yang datang sesudah pelaksanaan ibadah. Adakalanya sebelum selesai atau sesudah selesai.
Bahagian ketiga: Ialah yang menyertai pada waktu melaksanakan ibadah, dengan dimulainya shalat itu dengan maksud ria. Maka jikalau terus-menerus diatas yang demikian, sehingga ia memberi salam, maka tiada khilaf (tiada perbedaan pendapat diantara ahli agama) lagi, bahwa ia berbuat maksiat dan shalatnya tidak dihitung. Walaupun ia menyesal pada yang demikian pada waktu sedang dikerjakannya. Dan ia meminta ampun dan kembali sebelum shalat itu sempurrna (siap). Maka tentang apa yang harus atasnya, adalah 3 pendapat. Suatu golongan mengatakan: tidak sah shalatnya, serta maksud ria. Maka hendaklah ia mengulang kembali. Suatu golongan mengatakan: harus ia mengulangi perbuatan-perbuatan shalat, seperti: ruku’ dan sujud. Dan semua perbuatannya rusak atau (batal), tidak takbiratul-ihram shalat. Karena takbiratul-ihram itu suatu ikatan pelaksanaan. Dan ria itu suatu gurisan pada hatinya, yang tidak mengeluarkan takbiratul-ihram dari keadaannya itu ikatan pelaksanaan. Dan suatu golongan mengatakan, tiada harus mengulangi sesuatu. Akan tetapi, ia mengucapkan istighfar dengan hatinya dan menyempurnakan ibadah diatas keikhlasan dan memandang kepada kesudahan ibadah. Sebagaimana jikalau dimulainya dengan ikhlas dan disudahinya dengan ria, niscaya adalah merusakkan amalnya. Mereka menyerupakan yang demikian, dengan kain putih yang berlumuran dengan najis yang mendatang. Maka apabila yang mendatang itu dihilangkan, niscaya kain itu kembali kepada asal. Lalu mereka mengatakan: bahwa shalat, ruku’ dan sujud, tidak ada, selain karena Allah. Jikalau ia sujud karena selain Allah, niscaya adalah dia itu kafir. Akan tetapi, disertai baginya kedatangan ria, kemudian ria itu hilang dengan penyesalan dan tobat dan ia jadi kepada keadaan, dimana ia tidak memperdulikan dengan pujian dan celaan manusia, maka sah lah shalatnya. Mazhab (aliran) dua golongan yang penghabisan itu, keluar benar dari qias (analogi) fikih. Lebih-lebih orang yang mengatakan: harus mengulangi ruku’ dan sujud, tidak doa iftitah. Karena ruku’ dan sujud itu, jikalau tidak sah, niscaya menjadi perbuatan yang berlebih pada shalat. Lalu rusaklah shalat. Demikian pula perkataan orang yang mengatakan: jikalau disudahinya dengan ikhlas, niscaya sah. Karena memandang kepada penghabisan. Maka ini juga lemah (dha’if). Karena ria itu merusakkan pada niat. Dan waktu yang paling utama memelihara hukum niat, ialah pada waktu membaca doa iftitah. Maka yang lurus diatas qias fikih, ialah bahwa dikatakan: jikalau penggeraknya itu semata-mata ria pada permulaan pelaksanaan amal, tidak mencari pahala dan mengikuti suruh (amar Tuhan), niscaya tiada sah iftitahnya (pembukaannnya). Dan tiada sah apa yang sesudah iftitah itu. Dan yang demikian, mengenai orang, apabila ia berada sendirian, niscaya ia tidak mengerjakan shalat. Dan manakala ia melihat orang, lalu ia mengucapkan takbiratul-ihram dengan shalat itu. Dan walaupun kainnya itu najis pula, niscaya ia mengerjakan shalat karena manusia. Maka inilah shalat yang tak ada niat padanya. Karena niat itu adalah ibarat daripada memperkenankan penggerak agama. Dan disini, tiada penggerak dan tiada perkenan. Adapun, apabila tak ada manusia, tetapi ia mengerjakan shalat juga, hanya lahir baginya kegembiraan pula pada pujian, maka terkumpul disini dua penggerak. Maka ini, adakalanya, bahwa ada pada sedekah, qira’ah (pembacaan Alquran) dan apa yang tak ada padanya yang menghalalkan dan yang mengharamkan. Atau pada pelaksanaan shalat dan haji. Jikalau ada pada sedekah, maka ia telah berbuat maksiat dengan mempertahankan penggerak ria. Dan berbuat taat dengan memperkenan penggerak pahala: “Maka siapa yang berbuat seberat atom kebajikan, niscaya akan dilihatnya. Dan siapa yang berbuat seberat atom kejahatan, niscaya akan dilihatnya”. S 99 Az Zalzalah ayat 7&8. Maka baginya pahala, menurut kadar maksudnya yang sah dan siksa menurut kadar maksudnya yang batil/salah (fasid). Dan tidaklah salah satu dari yang dua tersebut membinasakan yang lain. Jikalau ia berada dalam shalat yang bisa rusak (fasid) dengan masuknya kecederaan kepada niat, maka tidak terlepas, adakalanya shalat itu fardhu (wajib) atau shalat sunat. Jikalau shalat sunat, maka hukumnya juga seperti hukum sedekah. Ia berbuat maksiat dari satu segi dan berbuat taat dari satu segi, apabila berkumpul dalam hatinya dua penggerak. Dan tidak mungkin dikatakan: bahwa shalatnya itu batal (fasid) dan mengikutinya (berimam padanya) itu batil/salah. Sehingga orang yang mengerjakan shalat tarawih dan ternyata dari qarinah (tanda-tanda) keadaannya, bahwa maksudnya ria, dengan melahirkan bagusnya membaca dan jikalau tidak berkumpul manusia di belakangnya dan ia berada sendirian dalam rumahnya, niscaya ia tidak shalat, maka tidaklah sah mengikutinya (berimam kepadanya). Maka kesudahan kepada ini adalah jauh sekali. Bahkan disangka pada orang Islam, bahwa dia bermaksud juga pahala dengan amal sunatnya. Maka sahlah shalat dengan memandang maksud tersebut. Dan sah mengikutinya sebagai imam shalat. Dan walaupun disertai maksud yang lain dan dia menjadi maksiat dengan yang demikian. Adapun, apabila ia berada pada amal fardhu (ibadah wajib) dan berhimpun dua penggerak dan masing-masing dari dua penggerak itu tidak berdiri sendiri dan sesungguhnya penggerakan itu terjadi dengan berkumpul keduanya, maka ini tidak menggugurkan yang wajib daripadanya. Karena yang mewajibkan itu, tidak membangkitkan penggerak pada hak dirinya, dengan semata-mata yang mewajibkan dan dengan berdiri sendiri. Dan jikalau masing-masing penggerak itu berdiri sendiri, sehingga jikalau tidak ada penggerak ria, niscaya ia menunaikan segala yang fardlu dan jikalau tidak ada penggerak amal fardlu, niscaya ia jadikan shalat sunat, karena ria, maka ini tempat pemerhatian. Dan itu kemungkinan sekali. Maka mungkin dikatakan: Bahwa yang wajib ialah shalat yang semata-mata karena Wajah Allah. Dan ia tidak menunaikan yang wajib semata-mata itu. Dan mungkin dikatakan, bahwa wajib itu, menuruti perintah (amar Ilahy), dengan penggerak yang berdiri sendiri. Dan telah diperolehnya. Maka penyertaan yang lain dengan yang wajib itu, tidaklah mencegah gugurnya (terlepasnya) yang fardlu daripadanya. Seperti jikalau ia mengerjakan shalat pada rumah yang dirampok, maka walaupun ia berbuat maksiat dengan mengerjakan shalat pada rumah yang dirampok itu, tetapi dia berbuat taat dengan pokok shalat. Dan menggugurkan fardlu (terlepas fardlu) dari dirinya. Dan bertentangan kemungkinan pada pertentangan penggerak-penggerak pada asalnya shalat. Adapun apabila ada ria itu pada penyegeraan umpamanya, tidak pada asalnya shalat, seperti orang yang bersegera kepada shalat pada awal waktunya, karena hadirnya suatu rombongan (jama’ah) dan kalau ia sendirian, niscaya dikemudiannya shalat itu kepada tengah waktu dan jikalau tidak shalat fardlu, niscaya ia tidak memulai shalat, karena ria, maka ini termasuk yang diyakini (diputuskan dengan yakin), sah shalatnya. Dan gugur fardlu (ia terlepas dari fardlu) itu dengan yang demikian. Karena penggerak asalnya shalat, dari segi dia itu shalat, tidak ditantangi oleh yang lain. Akan tetapi, hanya dari segi penentuan waktu saja. Maka ini amat jauh daripada celaan pada niat. Ini adalah pada ria, yang menjadi penggerak kepada amal dan pembawa kepada amal. Adapun semata-mata kegembiraan dengan dilihat manusia kepadanya, apabila bekasnya tidak sampai, kepada kira-kira yang membekas pada amal, maka jauhlah untuk merusakkan (membatalkan) shalat. Ini adalah apa yang kita lihat, layak (sesuai) dengan undang-undang fikih. Dan masalah tersebut sulit dari segi, bahwa ulama-ulama fikih tidak membentangkannya pada ilmu fikih. Dan orang-orang yang mendalami pada masalah tersebut dan melakukan pembahasan, tidak memperhatikan undang-undang fikih dan yang dikehendaki oleh fatwa-fatwa para ulama fikih mengenai sahnya shalat dan batalnya. Akan tetapi, mereka dibawa oleh kelobaan pada pembersihan hati dan mencari keikhlasan diatas perusakan ibadah, dengan segala yang terguris dalam hati dan apa yang telah kami sebutkan dahulu, itulah yang lebih dimaksudkan, menurut apa yang kami lihat. Dan ilmu yang sebenarnya adalah pada sisi Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar. Dialah yang mengetahui yang ghaib (tidak tampak) dan yang tampak. Dialah yang Maha pemurah lagi Maha pengasih.
PENJELASAN: obat ria dan jalan mengobati hati tentang ria.
Telah anda ketahui, dari yang telah disebutkan dahulu, bahwa ria itu membinasakan amal. Dan sebab terkutuk pada sisi Allah Ta’ala. Dan ria itu termasuk pembinasa yang terbesar. Dan apa yang ini sifatnya, maka pantaslah dengan segera dari segala kesungguhan menghilangkannya. Dan walau dengan kesungguhan dan menanggung kesukaran. Maka tiada sembuh, selain dengan meminum obat-obat yang pahit, lagi buruk bentuknya. Inilah kesungguhan yang diperlukan oleh hamba Allah semua. Karena anak kecil itu dijadikan lemah pikiran. Dan pembedaan (antara baik dan buruk) itu, memanjang matanya kepada makhluk, yang banyak kelobaannya pada mereka. Maka ia melihat manusia, berbuat sebahagian nya bagi sebahagian yang lain. Lalu mengeraslah padanya yang mudah, kesukaan berbuat-buat. Dan mantaplah yang demikian pada dirinya. Dan sesungguhnya ia merasa keadaan yang demikian itu membinasakan, sesudah sempurna akal pikirannya. Dan setelah tertanam ria itu pada hatinya dan mantap, maka ia tidak sanggup mencegahnya, selain dengan kesungguhan yang berat dan penderitaan karena kuatnya nafsu syahwat. Maka tiada seorangpun terlepas dari keperluan kepada kesungguhan ini. Akan tetapi, kesungguhan tersebut pada permulaannya adalah sukar (berat) dan pada penghabisannya adalah ringan. Dan pada pengobatannya ada dua tingkat:
Pertama: mencabut akar-akar dan pokok-pokoknya, yang dari akar dan pokok itulah, ria tadi bercabang dan beranting.
Kedua:    menolak apa yang terguris daripadanya, pada waktu itu juga.
Tingkat pertama tadi pada mencabut akar-akar dan menarik pokok-pokoknya. Dan pokoknya itu, ialah: kecintaan kedudukan dan kemegahan. Dan apabila diuraikan, niscaya kembali kepada tiga pokok. Yaitu: keenakan pujian, lari dari kepedihan celaan dan loba pada apa yang ada dalam tangan manusia. Dan disaksikan bagi ria dengan sebab-sebab tersebut dan sebab-sebab tersebut yang menggerakkan orang yang berbuat ria, oleh apa yang dirawikan Abu Musa Al-Asy’ari: “Bahwa seorang Arab Badui bertanya kepada Rasulullah saw, dengan katanya: “Wahai Rasulullah! Orang itu berperang, karena panas hati”. Artinya: ia benci untuk dipaksakan atau dicela, bahwa dia orang yang dipaksakan, lagi dikalahkan. Dan orang Badui itu berkata: “Dan laki-laki itu berperang, untuk memperlihatkan tempatnya dari keberanian”. Inilah mencari kelezatan kemegahan dan kadar pada hati manusia. “Dan laki-laki itu berperang untuk disebut”. Dan ini, ialah: pujian dengan lisan. Lalu Nabi saw menjawab: “Barangsiapa berperang, supaya Kalimah Allah itu yang tertinggi, maka dia pada perang sabilullah”. Ibnu Mas’ud berkata: “Apabila bertemu dua barisan perang, niscaya turunlah malaikat. Lalu mereka menulis manusia menurut tingkatnya. Si Anu berperang untuk disebut (dipuji). Dan si Anu berperang untuk memiliki kekayaan. Dan berperang untuk memiliki kekayaan itu, menunjukkan kepada kelobaan pada dunia”. Umar ra berkata: “Mereka mengatakan, bahwa si Anu itu mati syahid. Dan mungkin telah penuh kedua kemudi kendaraannya dengan perak”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa berperang, yang tidak mengingini, selain tali untuk pengikat untanya, maka baginya apa yang diniatkannya”. Maka ini menunjukkan kepada kelobaan. Kadang-kadang ia tidak ingin pujian dan tidak loba pada pujian. Akan tetapi, ia menjaga diri dari kepedihan celaan, seperti orang kikir diantara orang-orang pemurah. Orang-orang pemurah itu bersedekah dengan harta banyak. Lalu orang kikir itu bersedekah dengan sedikit, supaya dia tidak dipandang kikir. Dan ia tidak loba pada pujian. Dan ia telah didahului oleh orang lain, dengan pujian itu. Dan seperti orang pengecut diantara orang-orang berani. Ia tidak lari dari barisan perang, karena takut dari celaan. Ia tidak loba pada pujian. Dan orang lain sudah menyerang pada barisan perang. Akan tetapi apabila ia telah putus asa dari pujian, niscaya ia benci kepada celaan. Dan seperti orang yang berada diantara suatu kaum (rombongan) yang mengerjakan shalat sepanjang malam. Lalu ia bershalat beberapa raka’at yang terhitung jumlahnya. Sehingga ia tidak dicela orang, dengan kemalasan. Ia tidak loba pada pujian. Kadang-kadang manusia itu sanggup bersabar dari kelezatan pujian. Dan tidak sanggup bersabar atas kepedihan celaan. Dan karena itulah, kadang-kadang manusia itu, meninggalkan bertanya tentang sesuatu ilmu yang diperlukannya. Karena takut dicela orang, dengan kebodohan. Ia berfatwa tanpa ilmu. Ia mendakwakan mengetahui ilmu hadits, padahal ia bodoh tentang hadits itu. Semua itu adalah karena menjaga diri dari celaan. Maka 3 perkara ini, adalah yang menggerakkan orang yang berbuat ria, kepada ria. Dan obatnya ialah, apa yang telah kami sebutkan pada bagian pertama dari kitab ini secara keseluruhan. Akan tetapi, sekarang akan kami sebutkan yang khusus dengan ria. Dan tiadalah tersembunyi, bahwa manusia itu sesungguhnya bemaksud sesuatu dan suka padanya. Karena sangkanya, bahwa sesuatu itu baik, bermanfaat dan enak baginya. Adakalanya pada waktu sekarang dan adakalanya pada masa yang akan datang. Jiikalau ia ketahui, bahwa sesuatu itu enak pada waktu sekarang, akan tetapi mendatangkan melarat pada masa yang akan datang, niscaya mudah kepadanya memutuskan kegemaran dari sesuatu itu. Seperti orang yang mengetahui, bahwa madu itu enak. Akan tetapi, apabila terang baginya, bahwa dalam madu itu ada racun, niscaya ia berpaling dari madu tersebut. Maka begitu pula jalan memutuskan kegemaran itu, bahwa diketahuinya, ada yang mendatangkan melarat padanya. Manakala hamba itu mengetahui akan melaratnya ria dan apa yang dihilangkan oleh ria itu, dari kebaikan hatinya dan apa yang tidak diperolehnya sekarang dari taufiq dan di akhirat dari kedudukan di sisi Allah dan apa yang datang kepadanya dari siksaan besar, kutukan berat dan kehinaan yang nyata, dimana ia akan dipanggil dihadapan khalayak banyak: “Hai orang zalim! Hai yang menyeleweng! Hai yang berbuat ria! Apakah kamu tidak malu, ketika engkau membeli dengan ketaatan kepada Allah, akan harta benda dunia? Engkau mengintip hati hamba-hamba Allah. Engkau mempermainkan ketaatan kepada Allah. Engkau mencari kecintaan kepada hamba, dengan kemarahan kepada Allah. Engkau menghiasi mereka dengan yang memalukan pada sisi Allah. Engkau mendekati kepada mereka dengan menjauhkan daripada Allah. Engkau mencari pujian kepada mereka, dengan memperoleh celaan pada sisi Allah. dan engkau cari kerelaan mereka, dengan mendatangkan sesuatu bagi kemarahan Allah. Apakah tidak ada seorangpun yang lebih mudah kepada engkau, daripada Allah?”. Maka manakala hamba itu berpikir pada kehinaan ini dan ia membandingkan apa yang berhasil baginya dari hamba-hamba Allah dan hiasan bagi mereka dalam dunia, dengan apa yang tidak diperolehnya di akhirat dan dengan apa yang membinasakan kepadanya dari pahala amal ibadah, serta satu amal itu kadang-kadang seberat timbangan segala kebaikannya, jikalau ia bersih, maka apabila rusak dengan ria, niscaya dipalingkan dia kepada daun neraca kejahatan. Lalu beratlah daun neraca itu dengan ria dan ia dijatuhkan ke dalam neraka. Jikalau tidak ada pada ria itu, selain membinasakan satu ibadah saja, niscaya adalah yang demikian itu, memadai pada mengenali melaratnya. Dan jikakalu ada serta yang demikian, kebaikan-kebaikan lain yang kuat (berat), maka adalah dia mencapai dengan kebaikan ini, ketinggian pangkat pada sisi Allah, dalam rombongan nabi-nabi dan orang-orang shiddiq. Sesungguhnya diturunkan mereka disebabkan ria. Dan ditolakkan kepada barisan sepatu (tempat meletakkan sepatu) dari tingkat wali-wali. Ini adalah bersama yang datang baginya dalam dunia, dari kehancuran cita-cita, disebabkan memperhatikan hati makhluk. Sesungguhnya rela manusia itu adalah suatu tujuan yang tidak akan tercapai. Setiap apa yang disenangi suatu golongan, maka akan memarahkan golongan lain. Rela sebahagian mereka itu adalah pada kemarahan sebahagian lainnya. Barangsiapa mencari kerelaan mereka pada kemarahan Allah, niscaya Allah marah kepadanya. Dan memarahkan mereka juga kepadanya. Kemudian, maksud manakah baginya pada pujian mereka dan memilih cacian Allah karena pujian mereka? Dan pujian mereka itu tiada akan menambahkan baginya rezeki dan ajal. Dan tiada akan bermanfaat baginya pada hari kemiskinan dan kepapaannya. Yaitu: hari kiamat. Adapun loba pada apa yang dalam tangan mereka, maka dengan diketahuinya, bahwa Allah Ta’ala yang menjadikan hati, untuk tidak memberi dan memberi. Dan bahwa makhluk itu memerlukan kepadaNya. Dan tiada yang memberikan rezeki, selain Allah. Dan barangsiapa yang loba pada makhluk, niscaya ia tidak terlepas dari kehinaan dan kekecewaan. Dan jikalau ia sampai kepada maksud, niscaya ia tidak terlepas dari omelan dan hinaan. Maka bagaimana ia meninggalkan apa yang ada di sisi Allah, dengan harapan yang bohong dan sangkaan yang batil/salah? Kadang-kadang ia benar dan kadang-kadang ia salah. Dan apabila ia benar, maka tiada sempurna kelezatannya dengan kepedihan omelan dan kehinaannya. Adapun cacian mereka, maka ia tiada terpelihara daripadanya. Dan cacian mereka, tiada menambahkan kepadanya sesuatu, apa yang tiada dituliskan oleh Allah kepadanya. Dan tidak akan menyegerakan ajalnya. Tiada akan mengemudiankan rezekinya. Dan tiada akan menjadikannya isi neraka, jikalau ia dari isi sorga. Dan tiada akan memarahkannya kepada Allah, jikalau ia terpuji pada sisi Allah. Dan tiada akan menambahkannya kutukan, jikalau ia terkutuk pada sisi Allah. Hamba itu semua lemah, tiada memiliki bagi dirinya yang melarat dan yang bermanfaat. Mereka tiada memiliki mati, hidup dan pengumpulan di hari kebangkitan. Maka apabila telah tetap dalam hatinya, bahaya sebab-sebab ini dan melaratnya, niscaya lemahlah keinginannya. Dan menghadaplah kepada Allah hatinya. Maka sesungguhnya orang yang berakal itu, tiada menyukai pada apa yang banyak melaratnya dan sedikit manfaatnya. Dan mencukupilah baginya, bahwa jikalau tahulah manusia apa yang dalam batinnya, dari maksud ria dan melahirkan ikhlas, niscaya mereka mengutuknya. Dan akan dibuka oleh Allah rahasianya, sehingga manusia memarahinya. Dan Allah memperkenalkannya kepada manusia, bahwa dia itu orang yang berbuat ria dan terkutuk di sisi Allah. Dan jikalau ia ikhlas karena Allah, niscaya Allah membuka kepada manusia keikhlasannya. Dan Allah mencurahkan kecintaan manusia kepadanya, menjadikan mereka bagi kemanfaatannya. Dan melancarkan lidah mereka dengan pujian dan sanjungan kepadanya. Sedang sesungguhnya tiada kesempurnaan pada pujian mereka itu. Dan tiada kekurangan pada caciannya. Sebagaimana kata seorang penyair dari Bani Tamim: “Sesungguhnya pujianku itu hiasan dan cacianku itu memalukan”. Lalu Rasulullah saw bersabda kepadanya: “Engkau bohong. Yang demikian itu Allah, yang tiada Tuhan, selain Dia”. Karena tiada hiasan, selain pada pujianNya dan tiada yang memalukan, selain pada celaanNya. Maka manakah yang lebih baik bagi engkau, pada pujian manusia dan engkau pada sisi Allah itu tercela dan dari isi neraka? Dan manakah kejahatan bagi engkau dari celaan manusia dan engkau pada sisi Allah itu terpuji, dalam rombongan orang-orang yang dekat dengan Allah? Maka barangsiapa yang menghadirkan dalam hatinya akan akhirat dan nikmatnya yang abadi dan kedudukan tinggi pada sisi Allah, niscaya ia memandang hina apa yang menyangkut dengan makhluk pada hari-hari hidup ini, serta apa yang didalamnya dari segala kekotoran dan kesempitan. Cita-citanya berkumpul dan menjurus kepada Allah hatinya. Dan terlepas dari kehinaan ria dan kekesatan hati makhluk. Dan terlipatlah cahaya dari keikhlasannya kepada hatinya, yang lapanglah dadanya dengan cahaya itu. Dan terbuka dengan cahaya tadi baginya, dari kehalusan diminta untuk mengetahuinya saja (tersingkap alam ghaib), apa yang menambahkan kejinakan hatinya dengan Allah dan keliaran hatinya dari makhluk. Kehinaan pandangannya kepada dunia dan keagungan pandangannya kepada akhirat. Dan gugurlah (hilanglah) tempat makhluk dari hatinya. Dan terlepas daripadanya panggilan ria. Dan mudahlah baginya jalan ke-ikhlasan-an. Maka pahamlah ini! Dan apa yang telah kami dahulukan itu pada bahagian pertama, ialah obat-obat ilmiyah yag mencabut segala tanaman ria. Adapun obat amaliyah, maka yaitu: membiasakan diri menyembunyikan ibadah dan menguncikan pintu pada ibadah, sebagaimana menguncikan pintu pada perbuatan keji. Sehingga puas hatinya dengan diketahui oleh Allah dan dilihatNya kepada ibadahnya. Dan nafsunya tidak berebutan kepada mencari diketahui oleh selain Allah. Diriwayatkan, bahwa sebahagian sahabat Abi Hafazh Al-Hadad, mencela dunia dan penduduknya. Ia mengatakan: “Engkau lahirkan, apa yang ada jalan engkau untuk menyembunyikannya. Engkau jangan duduk-duduk lagi dengan kami sesudah ini!”. Ia tidak memberi kesempatan pada melahirkan sekedar itu. Karena dalam kandungan mencela dunia itu, mengajak zuhud pada dunia. Maka tiada obat bagi ria, seperti menyembunyikan itu. Dan yang demikian, sukar pada permulaan kesungguhan. Dan apabila sabar pada yang demikian, sekejap waktu dengan perasaan berat, niscaya hilanglah daripadanya beratnya. Dan mudahlah kepadanya yang demikian, dengan sambung-menyambung bantuan Allah dan apa yang dibantuNya, kepada hambaNya, dari kebagusan taufiq, perbantuan dan penunjukkan jalan kebenaran. Akan tetapi, Allah tiada merobah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merobah keadaan pada diri mereka itu sendiri. Maka dari hamba itu kesungguhan. Dan dari Allah itu hidayah. Dari hamba itu ketukan pintu. Dan dari Allah itu pembukaan pintu. Dan Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan jikalau ada baik, niscaya dilipat-gandakan oleh Allah kebaikan itu. Dan didatangkanNya dari pihakNya pahala yang besar.
Tingkat kedua: pada penolakan yang datang dari ria, pada waktu sedang ibadah. Yang demikian itu tidak boleh tidak daripada mempelajarinya juga. Maka sesungguhnya orang yang berkesungguhan melawan hawa nafsunya, mencabut tanaman-tanaman ria dari hatinya dengan qana’ah/merasa cukup, memutuskan kelobaan, menjatuhkan dirinya dari pandangan orang banyak, menghinakan pujian orang banyak dan celaannya, maka setan tidak akan meninggalkannya pada waktu sedang ibadah. Akan tetapi, ditantangnya dengan gurisan-gurisan ria. Dan tiada putus-putusnya tikamannya. Hawa nafsu dan kecenderungannya tiada akan terhapus dengan cara keseluruhan. Maka tak dapat tidak, berjalan terus menolak apa yang datang dari gurisan ria itu. Gurisan ria itu 3. Kadang-kadang terguris sekaligus, seperti satu gurisan. Dan kadang-kadang berturut-turut dengan berangsur-angsur.
1.      Maka yang pertama ialah: tahu dengan dilihat makhluk dan mengharap dilihatnya.
2.      Kemudian, diiringi oleh mengelegaknya keinginan dari diri pada pujian mereka dan berhasil kedudukan pada mereka.
3.      Kemudian, diiringi oleh menggelegaknya keinginan pada penerimaan orang banyak bagi dirinya, kecenderungan kepadanya dan terikatnya hati kepada pentahkikannya.
Maka yang pertama itu: ma’rifah(mengenal/tahu/mengerti) namanya. Yang kedua itu: keadaan yang dinamakan: nafsu syahwat dan keinginan. Dan yang ketiga: perbuatan yang dinamakan: ‘azam dan memantapkan pelaksanaan. Sesungguhnya sempurnanya kekuatan, ialah: pada penolakan gurisan pertama dan mengembalikannya, sebelum diiringi oleh yang kedua. Maka apabila terguris baginya ma’rifah (tahu) dilihat makhluk atau mengharap dilihat mereka, niscaya ia ditolak yang demikian, dengan mengatakan: “Apalah bagi makhluk itu! Mereka tahu atau tidak tahu. Dan Allah Maha Tahu dengan halmu. Maka apakah faedahnya, pada diketahui oleh yang lain dari Allah?”. Jikalau menggelegaklah keinginan kepada lezatnya pujian, niscaya ia ingat, apa yang telah mantap dalam hatinya, sebelumnya bahaya ria dan datangnya kutukan pada sisi Allah di hari kiamat. Dan kekecewaannya pada waktu-waktunya yang sangat diperlukan kepada amal-amalnya. Maka sebagaimana mengetahui dilihat manusia itu mengobarkan nafsu dan keinginan pada ria, maka mengetahui bahaya ria itu, mengobarkan kebenciannya, yang akan berhadapan dengan nafsu keinginan itu. Karena ia berfikir pada datangnya kutukan Allah dan siksaanNya yang pedih. Dan nafsu keinginan itu, mengajaknya kepada menerima. Dan kebencian itu mengajaknya kepada menolak. Dan nafsu itu sudah pasti akan menuruti yang terkuat dan yang terbanyak dari yang dua itu. Jadi, tidak boleh tidak pada penolakan ria, dari 3 perkara: mengetahui (ma’rifah), benci (kirahah) dan menolak menerimanya (i-ba’). Kadang-kadang hamba itu masuk dalam ibadah dengan azam ikhlas. Kemudian, datang gurisan ria, lalu diterimanya. Dan tidak hadir (datang) padanya ma’rifah(mengenal/tahu/mengerti) dan kirahah (benci), dimana hati terlipat (terlambat) kepadanya. Sebabnya yang demikian itu sesungguhnya, ialah: penuhnya hati dengan ketakutan kepada celaan, kesukaan kepada pujian dan dikuasai oleh kelobaan kepadanya, dimana tiada tinggal dalam hati, tempat yang lapang bagi yang lain. Lalu jauhlah dari hati, ma’rifah (tahu) yang dahulu, dengan bahaya-bahaya ria dan buruk akibatnya. Karena tiada tinggal tempat dalam hati, yang terlepas dari keinginan (kerinduan) pujian atau takut celaan. Dia itu seperti orang yang mengatakan dirinya sopan santun dan mencela marah. Dan ia berazam diatas kesopan-santunan, ketika berlaku sebab marah. Kemudian, ia berlaku dari sebab-sebab itu, apa yang membawa kepada kesangatan amarahnya. Maka ia lupa akan kedahuluan azamnya. Dan penuhlah hatinya dengan kemarahan, yang mencegah daripada teringatnya bahaya marah. Dan sibuklah hatinya tidak dengan ingatan itu. Maka begitu pula manisnya nafsu syahwat yang memenuhi hati. Dan menolak nur-ma’rifah, seperti pahitnya marah. Dan kepada maksud itulah, Jabir bin Abdullah Al-Anshari mengisyaratkan dengan katanya: “Kami mengadakan bai’ah (sumpah setia) di bawah pohon (tahtasy-syajarah), bahwa kami tidak lari. Dan kami tidak melakukan sumpah setia tersebut untuk sehidup-semati. Lalu kami lupa sumpah setia itu pada hari Hunain. Sehingga diserukan: “Hai teman-teman yang bersumpah setia dibawah pohon!”. Lalu mereka itu kembali”. Yang demikian itu, karena hati telah penuh dengan takut. Lalu lupa kepada janji yang lalu, sehingga mereka itu diperingati. Dan kebanyakan nafsu syahwat yang menyerang secara tiba-tiba itu, adalah demikian adanya. Karena dilupakan ma’rifah melaratnya yang masuk dalam ikatan iman. Dan manakala lupa kepada ma’rifah, niscaya tiada lahir kirahah (benci). Karena benci itu buah ma’rifah/tahu. Kadang-kadang manusia itu teringat. Lalu ia tahu bahwa gurisan yang terguris baginya, ialah: gurisan ria yang mendatangkan kemarahan Allah. Akan tetapi, ia terus menerus padanya, karena kesangatan nafsu syahwatnya. Lalu hawa nafsunya mengalahkan akal pikirannya. Dan ia tidak sanggup meninggalkan kelezatan yang sekarang. Lalu ia bersikap nanti saja tobat. Atau ia menyibukkan dirinya, tidak bertafakkur pada yang demikian, karena kesangatan nafsu syahwat. Maka berapa banyak orang yang berilmu, yang didatangi perkataan, bahwa tidak mengajak kepada memperbuatnya, selain oleh ria (memperlihatkan) kepada makhluk. Ia tahu yang demikian. Akan tetapi, ia terus-menerus pada yang demikian. Maka alasan yang merugikan dirinya adalah lebih kuat. Karena ia menerima panggilan ria, serta diketahuinya tipu daya ria. Dan ria itu terkutuk pada sisi Allah. Dan tiada bermanfaat ma’rifatnya, apabila ma’rifah(tahu/mengerti) itu terlepas, tanpa terlepasnya kirahah (kebencian). Kadang-kadang datang ma’rifah(tahu/mengerti) dan benci itu. Akan tetapi bersamaan dengan demikian, ia menerima pemanggil ria dan berbuat menurut ria itu. Karena bencinya lemah, dibandingkan kepada kuatnya nafsu syahwat. Ini juga, ia tidak mengambil manfaat dengan bencinya. Karena maksud dari benci itu, bahwa ia memalingkan diri dari perbuatan. Jadi, tidak ada faedahnya, selain pada berkumpulnya 3 perkara: tahu, benci dan i-ba’ (enggan berbuat). I-ba’ itu buah benci. Dan benci itu buah ma’rifah(tahu/mengerti). Kuatnya ma’rifah(tahu/mengerti), ialah menurut kuatnya iman dan nur ilmu. Dan lemahnya ma’rifah, ialah menurut kelalaian, kecintaan kepada dunia, lupa kepada akhirat, sedikit bertafakkur pada apa yang di sisi Allah dan sedikit memperhatikan pada bahaya-bahaya hidup dunia dan keagungan nikmat akhirat. Dan sebahagian daripadanya menghasilkan sebahagian yang lain dan membuahkannya. Dan pokoknya yang demikian itu semua, ialah: kecintaan kepada dunia dan kekerasan nafsu syahwat. Maka itulah kepala tiap-tiap kesalahan dan mata air setiap dosa. Karena manisnya kecintaan kepada kemegahan, kedudukan dan nikmat duniawi itulah yang memarahkan hati, yang merebutkan hati dan yang menghalangi hati daripada merenungkan akibat dan mengambil cahaya dengan nur Al-Kitab, As-Sunnah dan nur ilmu pengetahuan. Kalau anda bertanya, mengenai orang yang kebetulan mendapat dari dirinya benci (kirahah) kepada ria dan benci itu membawanya kepada i-ba’, akan tetapi bersama dengan demikian, ia tidak terlepas dari kecenderungan tabiatnya kepada ria, sukanya kepada ria dan tertariknya kepada ria, hanya ia benci untuk menyukai ria, kecenderungannya kepada ria dan ia tiada menjadikan ria itu kecintaannya, maka adakah orang itu berada dalam rombongan orang-orang yang berbuat ria? Ketahuilah kiranya, bahwa Allah tidak memberatkan hamba-hambaNya, selain yang disanggupinya. Dan tidaklah dalam kesanggupan hamba itu, melarang setan daripada tikaman-tikamannya. Dan tidak pula sanggup mencegah tabiat (karakter), sehingga ia tidak cenderung kepada nafsu syahwat dan tidak ingin kepadanya. Sesungguhnya tujuannya, ialah: bahwa ia pertentangkan nafsu syahwat itu dengan kebencian berkobarnya, dari karena mengetahui akibat-akibatnya dan karena ilmu agama dan pokok-pokok iman dengan Allah dan hari akhirat. Apabila ia telah berbuat demikian, maka itulah tujuan pada melaksanakan apa yang diberatkan kepadanya. Dalilnya kepada yang demikian itu, dari hadits, ialah: dirawikan, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw: “Mengadu kepadanya dan mengatakan: Didatangkan segala sesuatu bagi hati kami, dimana sekiranya kami jatuh dari langit, lalu kami disambar oleh burung atau kami dibawa angin pada tempat yang dalam itu, lebih suka kami daripada kami berbicara dengan hati itu”. Lalu Nabi saw menjawab: “Apakah kamu telah memperolehnya?! Mereka menjawab: “Ya, sudah!”. Maka Nabi saw bersabda: “Itu adalah ketegasan iman”. Tiada mereka dapati, selain waswas (bisikan setan) dan benci kepada ria. Dan tidak mungkin dikatakan, bahwa Nabi saw bermaksud dengan: ketegasan iman itu waswas. Lalu tiada tinggal lagi, selain membawa iman itu kepada kebencian (kirahah) yang mengikuti bagi waswas. Dan ria itu, walaupun dia itu besar, maka adalah kurang daripada waswas, terhadap hak Allah Ta’ala. Apabila tertolak kemelaratan bagi yang lebih besar dengan benci, maka dengan tertolaknya kemelaratan bagi yang lebih kecil, adalah lebih utama lagi. Dan seperti demikian juga dirawikan dari Nabi saw pada hadits Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda: “Segala pujian bagi Allah yang menolak tipu daya setan kepada waswas”. Ibnu Hazim berkata: “Apa yang ada dari diri engkau dan dibencikan oleh diri engkau bagi diri engkau, maka tidak memelaratkan engkau, oleh apa yang dari musuh engkau. Dan apa yang ada dari diri engkau, lalu disenangi oleh diri engkau bagi diri engkau, maka celalah diri engkau di atas yang demikian!”. Jadi, bisikan setan dan tertariknya nafsu itu, tidak akan mendatangkan melarat bagi engkau, manakala engkau tolak kehendaknya setan dan nafsu itu, dengan i-ba’ dan benci. Dan segala gurisan di dalam hati, dimana dia itu ilmu, ingatan-ingatan dan khayalan-khayalan bagi sebab-sebab yang menggerakkan ria, adalah dari setan. Keinginan dan kecenderungan sesudah gurisan-gurisan tadi, adalah dari nafsu. Dan benci itu dari iman dan dari bekas-bekas akal pikiran. Hanya setan disini mempunyai tipu-daya. Yaitu, apabila setan tadi lemah dari membawa orang tersebut kepada menerima ria, niscaya dikhayalkannya kepada orang tadi, bahwa baik hatinya itu pada kesibukan bertengkar, dengan setan dan berkepanjangan pada tolakan dan pertengkaran. Sehingga ia dicabut oleh pahala ikhlas dan kehadiran hati. Karena kesibukan bertengkar dengan setan dan menolaknya itu, meninggalkan rahasia munajah bersama Allah. Maka yang demikian itu mengharuskan kekurangan pada kedudukannya di sisi Allah. Orang-orang yang melepaskan diri dari ria, pada penolakan segala gurisan ria itu, diatas 4 tingkat:
Pertama: bahwa ia kembalikan ria itu kepada setan. Lalu didustakannya setan itu dan ia tidak merasa cukup kepada setan. Akan tetapi, ia menyibukkan diri bertengkar dengan setan dan memanjangkan waktu pertengkaran dengan setan itu. Karena sangkaannya, bahwa yang demikianlah yang lebih menyelamatkan hatinya. Itu sebenarnya adalah kekurangan. Karena ia menyibukkan diri, yang menjauhkannya dari munajah kepada Allah dan dari kebajikan yang menjadi tujuannya. Ia berpaling kepada memerangi perampok-perampok jalanan. Dan berpegang kepada kegiatan memerangi perampok-perampok jalanan itu, adalah kekurangan pada tingkah laku.
Kedua: ia mengetahui, bahwa pertengkaran dan peperangan itu kekurangan pada tingkah laku. Maka ia menyingkatkan kepada mendustakan dan menolaknya. Dan ia tidak menyibukkan diri dengan pertengkaran melawannya.
Ketiga: bahwa ia tidak pula menyibukkan dirinya dengan mendustakannya. Karena yang demikian itu suatu kehentian pada tingkah laku, walaupun sedikit. Tetapi ia telah menetapkan pada lipatan hatinya, kebencian kepada ria dan kedustaan kepada setan. Lalu ia terus menerus atas apa yang telah ada padanya, yang disertai dengan benci, tiada menyibukkan diri dengan pendustaan dan permusuhan.
Keempat: sesungguhnya ia tahu, bahwa setan itu akan menghasutnya ketika berlaku sebab-sebab ria. Maka ia berazam, bahwa manakala setan itu melakukan tikaman, niscaya ia menambahkan keikhlasan pada apa yang ada padanya dan kesibukan mengingati Allah, menyembunyikan sedekah dan ibadah, karena memarahkan setan. Dan yang demikian itu, memarahkan setan, mencegahnya dan mengharuskan putus asa dan hilang harapannya. Sehingga setan itu tidak kembali lagi. Diriwayatkan dari Al-Fudhail bin Ghazwan (wafat Th.40 H), bahwa dikatakan kepadanya: “Bahwa si Anu itu menyebut (memaki) engkau”. Lalu Al-Fudlail bin Ghazwan menjawab: “Demi Allah! sesungguhnya aku marah kepada yang menyuruhnya”. Maka ia ditanyakan: “Siapakah yang menyuruhnya?”. Al-Fudlail menjawab: “Setan! Wahai Allah Tuhanku! Ampunilah orang yang disuruh setan itu! Artinya: Sesungguhnya aku marah kepada setan, dengan aku mentaati Allah pada yang demikian”. Manakala setan itu tahu dari seorang hamba Allah akan kebiasaan ini, niscaya setan itu mencegah dirinya dari orang tersebut. Karena takut orang itu, bertambah kebaikannya. Ibrahim At-Taimi berkata: “Setan itu sesungguhnya mengajak hamba Allah kepada pintu dosa. Maka janganlah hamba itu menurutinya!. Dan hendaklah ia memperkatakan kebajikan, ketika yang demikian itu!. Maka apabila setan tersebut melihat hamba itu seperti demikian, niscaya ditinggalkannya”. Ibrahim At-Taimi berkata pula: “Apabila setan melihat engkau dalam keadaan ragu-ragu, niscaya ia berusaha dengan penuh harapan pada engkau. Dan apabila ia melihat engkau demikian, niscaya ia jemu kepada engkau dan ia memarahkan engkau (ia berbuat supaya engkau marah)”. Al-Harts Al-Muhasibi ra membuat contoh bagi 4 itu, yang baik sekali. Beliau berkata: “Contoh mereka itu, adalah seperti 4 orang yang menuju ke suatu majelis ilmu dan hadits. Supaya mereka memperoleh faedah, keutamaan, hidayah dan petunjuk. Lalu mereka dihasut atas yang demikian, oleh seorang sesat pembuat bid’ah (yang diada-adakan). Orang itu takut mereka yang ber-4 tadi, mengetahui kebenaran. Lalu ia datang kepada salah seorang dari mereka. Maka dilarangnya orang itu dan dialihkan nya dari yang demikian. Diajaknya kepada majelis kesesatan. Akan tetapi orang itu tidak mau (i-ba’). Tatkala ia tahu i-ba’nya orang itu, lalu disibukkannya dengan pertengkaran (perdebatan (perdebatan (mujadalah) ) ). Maka sibuklah orang itu serta orang sesat pembuat bid’ah (yang diada-adakan) tadi, untuk dikembalikannya kesesatannya. Orang itu menyangka, bahwa yang demikian itu suatu kemuslihatan baginya. Itulah maksud orang yang sesat itu, supaya hilang faedah majelis ilmu tadi bagi orang itu, sekedar terlambatnya hadir di majelis itu. Tatkala pergi orang kedua kepada majelis, maka dilarangnya dan dimintanya berhenti. Lalu orang itu berhenti. Maka ditolaknya pada leher si sesat tadi. Dan ia tidak meneruskan perang tanding itu. Dan ia bersegera pergi ke majelis ilmu dan hadits tersebut. Dan si sesat tadi merasa gembira dengan demikian, sekedar berhentinya orang itu, untuk menolaknya. Dan datang orang ke-3. Maka orang ini tiada menoleh kepada si sesat tadi. Dan tiada berbuat apa-apa untuk menolak dan memeranginya. Akan tetapi ia meneruskan menurut maksudnya. Maka kecewalah harapan si sesat itu secara keseluruhan. Maka datang orang ke-4, lalu si sesat itu tiada meminta, supaya ia berhenti. Dan ia bermaksud mendatangkan kemarahan kepada orang ke-4 tadi. Lalu orang itu menambahkan kecepatannya berjalan. Dan tidak berjalan pelan-pelan. Si sesat itu mengharap, jikalau orang 4 tersebut kembali dan melewatinya pada lain kali, akan diulanginya kepada mereka sekalian, selain orang yang terakhir itu. Ia tiada akan mengulanginya, karena takut bertambahnya faedah datangnya di majelis ilmu, disebabkan kecepatan berjalannya. Kalau anda bertanya, bahwa apabila tidak dirasakan aman dari tikaman setan itu, maka adakah wajib mengintainya, sebelum datangnya, untuk menjaga diri daripadanya, karena menunggu kedatangannya? Atau wajibkah bertawakkal (menyerah diri) kepada Allah, supaya kiranya Allah yang menolaknya? Atau wajibkah menyibukkan diri dengan ibadah dan melupakan setan itu? Kami menjawab, bahwa manusia berselisih pendapat dalam hal ini, kepada 3 pendapat. Segolongan dari ulama negeri Basarah (nama sebuah kota di Irak), berpendapat, bahwa orang-orang yang kuat imannya, tidak memerlukan menjaga diri dari setan. Karena mereka telah menyendiri kepada Allah dan menyibukkan diri mencintaiNya. Maka setan akan meninggalkan mereka, berputus asa dan mundur dari mereka, sebagaimana setan itu merasa tidak perlu, dari hamba-hamba yang lemah, pada mengajak kepada khamar dan zina. Maka jadilah kelezatan dunia itu pada mereka, walaupun mubah, dipandangnya seperti khamar dan babi. Maka mereka pergi secara keseluruhan daripada mencintai kelezatan dunia. Lalu tiada tinggal lagi jalan bagi setan kepada mereka. Maka tiada perlu bagi mereka menjaga diri. Segolongan dari ulama negeri Syam (Syiria) berpendapat, bahwa mengintip untuk menjaga diri dari setan, sesungguhnya diperlukan oleh orang yang sedikit yakinnya dan kurang tawakkalnya. Maka siapa yang yakin, bahwa tiada sekutu bagi Allah pada pengaturanNya, maka tiada perlu ia menjaga diri dari yang lain. Dan ia tahu, bahwa setan itu hina, makhluk yang tiada mempunyai urusan. Dan tidak akan ada, selain apa yang dikehendaki oleh Allah. Hanya Allah yang memberi melarat dan manfaat. Orang yang arif akan malu kepada Allah, bahwa menjaga diri dari yang lain dari Allah. Maka yakin dengan keesaan Allah itu, tidak memerlukannya kepada penjagaan diri. Dan segolongan ahli ilmu mengatakan, bahwa tak boleh tidak daripada menjaga diri dari setan. Dan apa yang disebutkan oleh orang-orang Basarah, bahwa orang-orang yang kuat iman, tidak memerlukan kepada menjaga diri dan hati mereka secara keseluruhan, kosong dari kecintaan kepada dunia, maka itu adalah jalan setan, yang hampir menjadi suatu penipuan. Karena nabi-nabi as tidak juga mereka terlepas dari bisikan dan tikaman setan. Maka bagaimana dapat terlepas orang lain dari mereka? Dan tidaklah bisikan setan itu terdiri dari nafsu syahwat dan kecintaan dunia. Akan tetapi juga mengenai sifat-sifat Allah Ta’ala dan nama-namaNya, pada membaguskan perbuatan bid’ah (yang diada-adakan) dan kesesatan serta yang lain dari itu. Dan tiada seorangpun yang lepas daripada bahaya tersebut. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Dan tiadalah Kami mengutus Rasul dan Nabi sebelum engkau, melainkan apabila dia bercita-cita, lantas setan membisikkan ke dalam meragukan cita-citanya. Tetapi Allah menghapuskan apa yang dibisikkan setan itu. Kemudian, Allah menguatkan keterangan-keteranganNya”. S 22 Al Hajj ayat 52. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya mau ditipu hatiku”. Sedang setan yang bersama Nabi saw itu, telah memeluk agama Islam. Dan ia tidak menyuruh Nabi saw, selain yang baik”. Maka siapa yang menyangka, bahwa kesibukannya mencintai Allah itu, lebih banyak dari kesibukan Rasulullah saw dan nabi-nabi yang lain as, maka orang itu tertipu. Dan yang demikian itu tidak mendatangkan keamanan bagi mereka, dari tipu daya setan. Dan karena itulah, Adam dan Hawa’ tidak selamat dari tipuan setan dalam sorga, dimana sorga itu negeri aman dan gembira, sesudah Allah Ta’ala berfirman kepada keduanya: “Lalu Kami berkata: “Hai Adam! Sesungguhnya iblis ini adalah musuh engkau dan musuh isteri engkau. Sebab itu janganlah dibiarkan dia sampai mengeluarkan engkau dari sorga ini, nanti engkau menjadi celaka. Sesungguhnya di sana, engkau tiada akan merasa lapar dan tiada pula bertelanjang. Dan sesungguhnya di sana, engkau tiada akan merasa dahaga dan tiada merasakan panas matahari”. S 20 Thaahaa ayat 117-118-119. Sedang Nabi Adam as itu tiada dilarang, selain dari satu pohon saja. Dan selain dari itu, ia dibebaskan menurut kehendaknya. Maka apabila salah seorang dari nabi-nabi tidak aman dari godaan setan, sedang ia berada dalam sorga, negeri aman dan bahagia, maka bagaimana boleh bagi orang lain, merasa aman dalam negeri dunia ini?. Padahal dunia itu adalah sumbernya cobaan, fitnah, tambang kelezatan dan nafsu syahwat yang dilarang. Nabi Musa as berkata, tentang apa yang dikabarkan oleh Allah Ta’ala: “Ini adalah dari perbuatan setan”. S  28 Al Qashash ayat 15. Dan karena itulah Allah Ta’ala memperingatkan semua makhluk daripada tipuan setan. Allah Ta’ala berfirman; “Hai anak-anak Adam! Janganlah kamu dapat dibujuk oleh setan, sebagaimana dia telah dapat mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari sorga”. S 7 Al A’raaf ayat 27. Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar berfirman: “Sesungguhnya setan itu, dia dan kaumnya dapat melihatmu, dari tempat yang kamu tak dapat melihat mereka”. S 7 Al A’raaf ayat 27. Alquran dari permulaannya sampai kepada penghabisan nya, memperingatkan dari hal setan itu. Maka bagaimana didakwakan aman dari setan?. Mengambil perhatian darimana yang diperintahkan oleh Allah itu, tidak meniadakan kesibukan hati dengan mencintai Allah. Sesungguhnya termasuk dari mencintai Allah itu mematuhi perintahNya. Ia memerintahkan berhati-hati dari musuh, sebagaimana Ia memerintahkan berhati-hati dari orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman: “Hendaklah mereka mempersiapkan penjagaan dan senjatanya”. S 4 An Nisa’ ayat 102. Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapkanlah kekuatan untuk menghadapi mereka sekuat kesanggupan kamu, dengan pasukan kuda yang terpaut di perbatasan negeri”. S 8 Al Anfaal ayat 60. Jadi, haruslah bagimu dengan perintah Allah, menjaga diri dari musuh kafir dan engkau melihatnya. Maka untuk harusnya engkau menjaga diri dari musuh yang melihat engkau dan engkau tiada melihatnya, adalah lebih utama. Dan karena itulah, Abdullah bin Muhairiz (wafat Th. 99 H) berkata: “Binatang buruan yang engkau lihat dan dia tidak melihat engkau, mendekatilah untuk engkau dapat memperolehnya. Dan binatang buruan yang melihat engkau dan engkau tidak melihatnya, mendekatilah untuk dia, bahwa ia memperoleh engkau”. Beliau isyaratkan dengan perkataan tadi kepada setan. Maka bagaimana, bukankah pada kelalaian dari permusuhan dengan kafir, selain mati terbunuh dan itu adalah syahid? Dan pada kelengahan penjagaan dari setan itu mendatangkan ke neraka dan siksaan pedih? Maka tidaklah dari kesibukan dengan mencintai Allah itu, berpaling dari yang diperingatkan oleh Allah. Dan dengan ini, batil/salahlah aliran golongan kedua, pada sangkaan mereka, bahwa yang demikian itu celaan pada tawakal. Sesungguhnya mengambil perisai, senjata, mengumpulkan tentara dan menggali parit pertahanan (khandaq), tidaklah membawa celaan pada tawakkalnya Rasulullah saw. Maka bagaimana dicela pada tawakkal, oleh ketakutan dari apa yang dipertakutkan oleh Allah Ta’ala dan penjagaan diri, dari apa yang diperintahkan oleh Allah, untuk menjaga diri daripadanya. Dan telah kami sebutkan pada Kitab Tawakkal, apa yang menerangkan kesalahan orang yang mendakwakan, bahwa arti tawakkal, ialah: mencabut diri dari segala sebab secara keseluruhan. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan siapkanlah kekuatan untuk menghadapi mereka sekuat kesanggupan kamu, dengan pasukan kuda yang terpaut di perbatasan negeri”, yang tersebut di atas tadi (S Al Anfaal ayat 60), tiada bertentangan dengan mematuhi tawakkal, manakala hati berkeyakinan (beri’tikad), bahwa yang mendatangkan melarat dan manfaat, yang menghidupkan dan yang mematikan itu adalah: Allah Ta’ala. Maka demikian juga, menjaga diri dari setan. Dan ia beri’tikad, bahwa yang memberi petunjuk (hidayah) dan yang menyesatkan, adalah: Allah Ta’ala jua. Dan ia melihat sebab-sebab itu adalah perantaraan yang dijadikan oleh Allah, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu pada “Tawakkal”. Inilah apa yang menjadi pilihan dari Al-Harts Al-Muhasibi ra. Dan itulah yang benar, yang disaksikan oleh cahaya (sinar) ilmu. Dan apa yang sebelumnya, adalah menyerupai dengan apa yang ada dari perkataan orang-orang abid, yang tidak banyak ilmunya. Dan mereka menyangka, bahwa yang menyerbu kepada mereka dari bermacam keadaan, pada sebahagian waktu, adalah dari tenggelamnya dengan mencintai Allah, yang berkekalan terus-menerus. Dan itu adalah jauh dari kebenaran. Kemudian, golongan ini berselisih pendapat kepada 3 pendapat, tentang caranya menjaga diri: Suatu golongan mengatakan, bahwa apabila diri kita dijaga oleh Allah Ta’ala dari musuh, maka tiada seyogyalah ada sesuatu yang lebih banyak pada hati kita, dari mengingati Allah, menjaga diri dari musuh dan mengintainya. Sesungguhnya kita, jikalau lalai daripadanya sekejap mata saja, maka mendekatilah bahwa ia membinasakan kita. Suatu golongan mengatakan, bahwa yang demikian itu membawa kepada sunyinya hati daripada mengingati Allah (dzikrullah). Dan sibuknya cita-cita seluruhnya dengan setan. Dan yang demikian itu, kehendak setan dari kita. Akan tetapi, kita sibuk dengan ibadah dan dengan mengingati Allah Ta’ala. Dan kita tidak melupakan setan, permusuhannya dan keperluan menjaga diri daripadanya. Maka kita mengumpulkan diantara dua hal. Maka sesungguhnya jikalau kita lupa, kadang-kadang ia datang dari segi yang tiada kita sangka. Dan jikalau kita mengingatinya semata-mata, maka kita sudah menyia-nyiakan mengingati Allah. Maka mengumpulkan yang demikian itu lebih utama. Para ulama muhaqqiq (ulama yang ahli memberi dalil dengan tahqiqnya) berkata: kedua golongan tadi itu salah.  Adapun yang pertama, maka ia semata-mata mengingati setan dan lupa mengingati Allah. Maka tiada tersembunyi salahnya. Dan sesungguhnya kita disuruh menjaga diri dari setan, supaya setan itu tidak mencegah kita daripada mengingati Allah. Maka bagaimanakah kita jadikan mengingati setan itu, hal yang paling banyak atas hati kita? Dan itu adalah kesudahan melarat dari musuh. Kemudian, yang demikian itu membawa kepada sunyinya hati dari nur dzikrullah Ta’ala. Maka apabila setan bermaksud seperti hati ini dan tiada padanya nur dzikrullah Ta’ala dan kekuatan kesungguhan kepadanya, maka mendekatilah untuk setan mendapatinya (menyenanginya). Dan ia tiada akan kuat menolaknya. Maka tiadalah kita disuruh menunggu setan dan tidak pula selalu mengingatinya (menyebutnya). Adapun golongan kedua, maka ia telah bersekutu dengan golongan pertama. Karena ia mengumpulkan dalam hati, antara dzikrullah (mengingati Allah) dan mengingati setan. Dan sekedar apa yang menyibukkan hati dengan mengingati setan itu, mengurangkan dari mengingati Allah. Dan Allah menyuruh makhlukNya dengan mengingatiNya dan melupakan lainNya. Yaitu: iblis dan lainnya. Maka yang benar, ialah: bahwa hamba Allah itu mengharuskan hatinya menjaga diri dari setan. Dan menetapkan atas dirinya, bermusuhan dengan setan. Maka apabila ia beri’tikad yang demikian, membenarkan dan menetapkan penjagaannya pada yang demikian, lalu ia menyibukkan diri dengan dzikrullah dan ia bertelungkup kepadanya dengan semua kemauan dan tiada terguris hatinya urusan setan, maka sesungguhnya apabila ia berbuat dengan demikian, sesudah mengetahui permusuhannya, kemudian terguris setan baginya, niscaya ia terbangun dengan sadar untuk itu. Dan ketika menyadarinya, maka ia sibuk menolaknya. Dan sibuk dengan mengingati Allah itu, tiada mencegah daripada terbangun ketika datang tikaman setan. Bahkan orang itu tidur, padahal ia takut daripada hilangnya yang penting baginya ketika datang waktu subuh. Maka ia mengharuskan dirinya, penjagaan. Dan ia tidur atas dasar ia akan bangun pada waktu tersebut. Maka ia terbangun pada malam hari berkali-kali sebelum waktunya. Karena ia telah memantapkan dalam hatinya dengan penjagaan, sedang dia dengan tidur itu, lalai daripadanya. Maka sibuknya dengan mengingati Allah itu, bagaimana dapat mencegah bangunnya? Hati yang seperti ini, ialah hati yang kuat menolak musuh, apabila ada kesibukannya semata-mata mengingati Allah Ta’ala, yang telah mematikan hawa nafsunya. Dan menghidupkan nur akal dan ilmu padanya. Dan menghilangkan kegelapan nafsu keinginannya. Maka orang yang bermata hati (ahlul bashirah), memberi rasa kepada hatinya akan permusuhan dengan setan dan pengintaiannya. Dan mengharuskan hati itu berjaga diri. Kemudian, mereka tiada menyibukkan diri dengan mengingati setan, akan tetapi dengan mengingati Allah. Mereka menolak dengan dzikrullah itu, kejahatan setan. Mereka memperoleh cahaya dengan cahaya dzikrullah, sehingga mereka dapat menyingkirkan gurisan-gurisan musuh. Maka contohnya hati, adalah seperti sumur, yang dimaksudkan membersihkannya dari air kotor. Supaya terpancarlah daripadanya air yang bersih. Maka orang yang menyibukkan dirinya dengan mengingati setan, sesungguhnya ia telah meninggalkan dalam sumur itu air kotor. Dan orang yang mengumpulkan antara mengingati setan dan mengingati Allah, sesungguhnya ia telah membuang air kotor dari satu pihak. Akan tetapi, ia tinggalkan air kotor itu mengalir ke dalam sumur tadi, dari pihak yang lain. Maka lamalah payahnya. Dan sumur itu tidak akan kering dari air kotor. Dan orang yang bermata hati itu, ialah orang yang membuat tutup, pada tempat mengalirnya air kotor itu. Dan dipenuhkannya dengan air bersih. Maka apabila datang air kotor, niscaya ditolaknya dengan empangan dan tutup, tanpa berat, belanja dan tambahan payah.
PENJELASAN: keringanan pada maksud melahirkan taat.
Ketahuilah, bahwa pada merahasiakan amal itu, ada faedah keikhlasan dan kelepasan dari ria. Dan pada melahirkannya, ada faedah dituruti orang dan penggemaran manusia pada kebajikan. Akan tetapi, padanya bahaya ria. Al-Hasan Al-Bashari  ra berkata: “Sesungguhnya, kaum muslimin itu mengetahui, bahwa merahasiakan itu, paling memelihara dua amal. Akan tetapi pada melahirkan itu ada juga faedahnya. Dan karena itulah, Allah Ta’ala memujikan di atas rahasia (disembunyikan amal itu) dan di atas terang (dilahirkan amal itu kepada orang). Allah Ta’ala berfirman: “Kalau kamu memberikan sedekah dengan terang, itu baik. Dan kalau kamu sembunyikan memberikannya kepada orang-orang miskin, itu lebih baik untukmu”. S 2 Al Baqarah ayat 271. Melahirkan itu ada dua bagian. Pertama pada diri amal itu sendiri. Dan yang lain dengan memperkatakan, apa yang diperbuat. Bahagian pertama tadi: melahirkan amal itu sendiri, seperti: memberi sedekah di muka orang banyak, untuk menggemarkan manusia pada bersedekah. Sebagaimana diriwayatkan dari Al-Anshari yang datang, dengan membawa satu tempat uang yang penuh  uangnya. Lalu berkerumunlah manusia dengan pemberian itu, tatkala mereka melihatnya. Maka Nabi saw bersabda: “Barangsiapa membuat sunnah (tradisi) yang baik, lalu dikerjakannya, niscaya baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya”. Dan berlakulah amal-amal lainnya seperti ini. Seperti shalat, puasa, haji, perang sabilullah dan lainnya. Akan tetapi, orang mengikuti pada memberikan sedekah atas tabiat (karakter) itu, lebih banyak. Ya, bahwa orang yang berperang itu, apabila bercita-cita keluar ke medan perang, maka ia bersiap dan mengikatkan kendaraannya, sebelum orang banyak, untuk membangkitkan mereka bergerak, maka yang demikian itu lebih utama baginya. Karena peperangan itu pada pokoknya, termasuk amal terang, yang tidak mungkin merahasiakannya. Maka bersegera kepada perang, tidaklah termasuk mereklamekan (mengiklankan). Akan tetapi itu, semata-mata menggerakkan orang ramai untuk tampil. Begitu pula orang, yang kadang-kadang meninggikan suaranya dalam shalat di malam hari, untuk membangunkan tetangganya dan keluarganya. Lalu ia akan diikuti pada amal tersebut. Maka setiap amal yang tidak mungkin dirahasiakan, seperti haji, jihad fi sabilillah dan shalat Jum’at, maka yang lebih utama ialah menyegerakan pergi kepadanya dan melahirkan kegemaran padanya, untuk membangkitkan orang lain, dengan syarat bahwa tak ada padanya campuran ria. Adapun yang mungkin merahasiaknnya, seperti: sedekah dan shalat, maka jikalau melahirkan sedekah itu menyakitkan hati orang yang disedekahi dan menggemarkan manusia pada bersedekah, maka merahasiakannya lebih utama. Karena menyakitkan orang itu haram hukumnya. Maka jikalau tak ada padanya yang menyakitkan, sesungguhnya berbeda pendapat orang tentang yang lebih utama. Suatu golongan mengatakan, bahwa: merahasiakan lebih utama daripada melahirkan. Walaupun pada melahirkan itu diikuti orang. Suatu golongan mengatakan, bahwa merahasiakan itu lebih utama dari pada melahirkan, yang tak ada ikutan orang padanya. Adapun melahirkan, karena ada yang mengikutinya, maka lebih utama daripada merahasiakan. Menunjukkan kepada yang demikian, ialah, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla/Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, menyuruh nabi-nabi melahirkan amal untuk diikuti. Dan ia mengkhususkan mereka dengan pangkat kenabian. Dan tidak boleh disangka, bahwa mereka mengharamkan yang lebih utama dari dua amal itu. Dan menunjukkan kepada yang demikian, sabda Nabi saw, “Baginya pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya”. Diriwayatkan pada hadits: “Bahwa amal secara rahasia itu dilipat-gandakan atas amal yang terang dengan 70 ganda. Dan dilipat-gandakan amal yang terang, apabila telah menjadi sunnah (tradisi) bagi yang mengamalkannya, 70 ganda, atas amal yang dirahasiakannya”. Dan ini tiada jalan untuk berselisih pendapat (khilaf). Sesungguhnya, manakala terlepas hati dari campuran-campuran ria dan sempurna keikhlasan atas suatu pendapat pada dua keadaan, maka apa yang diikuti itu –sudah pasti- lebih utama. Hanya yang ditakuti, ialah: timbulnya ria. Dan  manakala ada campuran ria, niscaya tiada bermanfaat diikuti orang lain. Dan ia binasa dengan yang demikian. Maka tiada khilaf, bahwa merahasiakan itu lebih utama daripadanya. Akan tetapi, atas orang yang melahirkan amal itu, ada dua hal:
Pertama, bahwa dilahirkannya itu, dimana ia mengetahui, bahwa ia akan diikuti orang. Atau ia menyangka yang demikian, sebagai suatu sangkaan saja. Dan banyak orang yang diikuti oleh keluarganya. Tidak oleh tetangganya. Kadang-kadang ia diikuti oleh tetangganya. Tidak oleh orang-orang pasar. Dan kadang-kadang diikuti oleh orang yang di tempat tinggalnya. Sesungguhnya orang alim yang terkenal, ialah: yang diikuti oleh manusia pada umumnya. Maka orang yang tidak alim, apabila melahirkan sebahagian amal taat, kadang-kadang dikaitkan kepada ria dan nifaq. Dan orang-orang mencacinya dan tidak mengikutinya. Maka tidaklah baginya melahirkan, tanpa ada faedah. Dan sesungguhnya sah (boleh) dilahirkan, dengan niat diikuti orang (qudwah), dari orang yang pada tempat ikutan, terhadap orang yang di tempat ikutan itu.
Kedua, bahwa ia mengintip hatinya. Karena kadang-kadang, ada padanya kesukaan ria yang tersembunyi. Maka mengajaknya kepada melahirkan, dengan alasan diikuti orang. Sesungguhnya keinginannya, ialah: memperlihatkan baik amalnya dan adanya amal itu akan diikuti orang. Inilah keadaannya setiap orang yang melahirkan amalnya. Kecuali orang-orang yang kuat imannya, lagi ikhlas. Dan sedikitlah mereka itu. Maka tiada seyogyalah orang yang lemah menipu dirinya sendiri dengan yang demikian. Maka ia binasa dan ia tidak merasakannya. Sesungguhnya orang yang lemah itu, contohnya adalah seperti orang karam, yang pandai berenang, tidak bertenaga (lemah). Lalu ia melihat segolongan orang-orang, yang karam (tenggelam dalam air). Maka timbul belas kasihan terhadap mereka itu. Lalu ia menuju kepada mereka. Sehingga mereka itu bergantungan padanya. Maka binasalah mereka dan iapun binasa. Karam dengan air di dunia itu, kepedihan sesaat. Dan semoga kebinasaan dengan ria itu, seperti itu. Tidak demikian. Akan tetapi, azabnya berkekalan pada masa yang lama. Dan inilah tempat tergelincirnya tapak kaki ‘abid-‘abid dan para alim ulama. Sesungguhnya mereka itu menyerupakan dirinya dengan orang-orang yang kuat imannya, pada melahirkan amal. Dan hati mereka tidak kuat di atas keikhlasan. Maka binasalah pahala amal mereka dengan ria. Pemahaman untuk yang demikian itu sulit. Dan tempatnya, ialah bahwa ia mengemukakan kepada dirinya, bahwa jikalau dikatakan kepadanya: “Sembunyikan amalmu, sehingga manusia mengikuti abid yang lain, dari teman-temanmu! Dan adalah bagimu dalam merahasiakan itu seperti pahala memberitahukan”. Jikalau cenderung hatinya, kepada adanya dia diikuti orang dan dia melahirkan amal itu, maka penggeraknya itu: ria. Tidak mencari pahala, ikutan manusia kepadanya dan kegemaran mereka pada kebajikan. Dan sesungguhnya mereka itu sudah gemar pada kebajikan, dengan melihat kepada orang lain. Dan pahalanya telah sempurna kepadanya serta merahasiakannya. Maka apalah hal hatinya yang cenderung kepada melahirkan, jikalau tidak perhatiannya kepada mata makhluk dan memperlihatkan  (berbuat ria) bagi mereka. Maka hendaklah hamba itu menjaga dirinya dari tipuan nafsu. Sesungguhnya nafsu itu banyak tipuannya. Dan setan itu mengintip. Dan kesukaan kepada kemegahan pada hati itu yang menang. Dan sedikitlah amalan zhahir itu, yang selamat dari bahaya. Maka tiada seyogyalah, dipersamakan sesuatu dengan keselamatan itu. Dan keselamatan adalah pada menyembunyikan. Dan pada melahirkan itu, banyak bahaya, yang tidak kuat menentangnya, orang-orang seperti kita. Maka menjaga daripada melahirkan itu, lebih utama bagi kita dan bagi semua orang-orang yang lemah.
Bahagian kedua: Bahwa ia memperkatakan apa yang dibuatnya sesudah selesai. Dan hukumnya, ialah: hukum melahirkan amal itu sendiri. Dan bahaya pada ini lebih berat. Karena biaya bertutur kata itu ringan pada lisan. Kadang-kadang berlaku pada ceritera itu tambahan dan berlebihan. Dan bagi nafsu itu mempunyai kesenangan yang besar, pada melahirkan dakwaan-dakwaan. Kecuali, jikalau berjalan kepadanya ria, yang tidak membekas pada merusakkan ibadah yang lalu, sesudah selesai daripadanya. Maka dari segi ini adalah lebih mudah (lebih ringan). Dan hukumnya, ialah: bahwa orang yang kuat hatinya, sempurna ikhlasnya, kecil manusia pada matanya, sama padanya pujian dan celaan mereka dan ia menyebutkan yang demikian, pada orang yang diharapnya akan mengikutinya dan gemar pada kebajikan dengan sebabnya. Maka itu boleh (jaiz). Bahkan itu disunatkan, jikalau bersih niat. Dan selamat niat itu dari semua bahaya. Karena itu menggemarkan kepada kebajikan. Dan menggemarkan kepada kebajikan itu kebajikan. Dan telah dinukilkan seperti yang demikian, dari segolongan ulama terdahulu (salaf) yang kuat imannya. Sa’ad bin Ma’adz mengatakan: “Tiada aku mengerjakan suatu shalatpun semenjak aku memeluk agama Islam, lalu diriku berbicara dengan yang lain. Dan tiada aku mengikuti suatu janazahpun, lalu diriku membicarakan, dengan bukan yang ia katakan dan bukan yang dikatakan orang kepadanya. Aku tiada mendengar Nabi saw sekali-kali, mengatakan suatu perkataan, melainkan aku tahu bahwa perkataan itu benar”. Umar ra berkata: “Aku tiada memperdulikan, bila aku atas keadaan susah atau senang. Karena aku tidak tahu, manakah diantara yang dua itu, yang lebih baik bagiku”. Ibnu Mas’ud berkata: “Tiadalah bila aku pada suatu keadaan, lalu aku bercita-cita, supaya aku berada pada keadaan yang lain”. Usman ra berkata: “Tiadalah aku bernyanyi, berangan-angan dan menyentuhkan zakarku (kemaluanku) dengan tangan kananku, semenjak aku melakukan bai’ah (janji setia) dengan Rasulullah saw”. Syaddad bin Aus berkata: “Tiada aku berkata-kata dengan suatu perkataanpun, semenjak aku memeluk agama Islam, sebelum perkataan itu aku ikat dengan pengikat dan tali hidung, selain perkataan ini”. Dan ia telah mengatakan kepada budaknya: “Bawalah kepada kami kain alas meja, supaya kami bermain-main (melalaikan diri) dengan kain itu, sehingga kami dapati makanan tengah hari”. Abu Sufyan berkata kepada keluarganya, ketika akan meninggal: “Jangan kamu tangisi aku! Sesungguhnya aku tiada berbuat suatu dosapun semenjak aku memeluk agama Islam”. Umar bin Abdul-‘aziz ra berkata: “Tiada sekali-kali ditakdirkan oleh Allah padaku dengan suatu takdir (qodo’), lalu menggembirakan aku bahwa Ia mentakdirkan itu bagiku, dengan sebab orang lain. Tiada yang menjadi keinginanku, selain pada tempat-tempat takdir Allah”. Maka ini semua adalah melahirkan hal-hal yang mulia. Dan padanya tujuan memperlihatkan amal (berbuat ria), apabila datang dari orang yang berbuat ria dengan hal tersebut. Dan padanya ada tujuan menggemarkan (targhib), apabila datang dari orang yang diikuti orang. Maka yang demikian, dengan maksud diikuti orang itu, boleh (jaiz) bagi orang-orang yang kuat imannya, dengan syarat-syarat yang telah kami sebutkan dahulu. Maka tiada seyogyalah ditutup pintu melahirkan amal. Dan tabiat (karakter) manusia itu, menjadi sifat kepada menyukai menyerupakan dan mengikuti orang. Bahkan yang dilahirkan oleh orang yang berbuat ria bagi ibadah, apabila tidak diketahui orang bahwa itu ria, adalah padanya banyak kebajikan bagi manusia. Akan tetapi, buruk bagi yang membuat ria itu sendiri. Berapa banyak dari orang yang ikhlas, adalah sebab keikhlasannya itu, mengikuti orang yang berbuat ria pada sisi Allah. Diriwayatkan, bahwa seorang mukhlis (orang yang sangat ikhlas) melewati orang ramai pada jalan kota Basarah, ketika waktu subuh. Lalu ia mendengar suara orang-orang mengerjakan shalat membaca Alquran di rumah-rumah. Maka sebahagian mereka lalu menyusun (mengarang) buku, mengenai “Detik-detik Ria”. Lalu mereka tinggalkan buku itu. Dan ditnggalkan oleh manusia akan kegemaran padanya. Maka mereka itu mengatakan: “Semoga buku itu tidak dikarang”. Maka dilahirkan oleh orang yang berbuat ria pada yang demikian itu, banyak kebajikannya bagi orang lain, apabila orang tidak mengetahui rianya. Dan sesungguhnya Allah Ta’ala menguatkan agama ini dengan orang zalim dan dengan golongan-golongan yang tiada berakhlak”, sebagaimana tersebut pada hadits-hadits. Dan sebahagian orang-orang yang berbuat ria itu, sebahagian dari orang-orang yang menjadi ikutan manusia. Wallahu Ta’ala A’lam – Allah Yang Maha Tahu.
PENJELASAN: keringanan pada menyembunyikan dosa, kebencian dilihat manusia kepadanya & kebencian dicela manusia kepada dirinya
Ketahuilah, bahwa pokok pada keikhlasan itu, ialah: kesamaan batin dan lahir, sebagaimana dikatakan Umar ra kepada seorang laki-laki: “Haruslah engkau dengan amal lahir (amal ‘alaniyah)!”. Orang itu lalu bertanya: “Wahai Amirul-mu’minin! Apakah amal lahir itu?”. Umar ra menjawab: “Yaitu, apabila dilihat orang kepadamu, maka kamu tidak malu daripadanya”. Abu Muslim Al-Khaulani mengatakan: “Tiada aku mengerjakan suatu perbuatan (amal), dimana aku memperdulikan dilihat oleh manusia kepadanya, selain kedatanganku kepada keluargaku (isteriku), membuang air kecil dan membuang air besar”. Hanya ini, adalah tingkat besar (tinggi), yang tiada akan dicapai oleh setiap orang. Dan manusia itu tiada terlepas dari dosa, dengan hatinya atau dengan anggota tubuhnya. Padahal ia menyembunyikannya. Dan tidak suka dilihat orang kepada dosa-dosa itu. Lebih-lebih apa yang digerakkan oleh segala yang terguris dalam hawa nafsu dan angan-angan. Dan Allah Ta’ala melihat kepada semua yang demikian. Maka kehendak hamba untuk menyembunyikannya kepada hamba-hamba yang lain, kadang-kadang disangka itu ria yang terlarang, padahal tidak seperti yang demikian. Akan tetapi yang dilarang, ialah menutupkan yang demikian, supaya dilihat oleh manusia, bahwa dia itu orang wara’, yang takut kepada Allah Ta’ala. Padahal yang sebenarnya, tidaklah dia seperti yang demikian. Maka ini adalah suatu tutup dari orang yang berbuat ria! Adapun orang yang benar, yang tidak berbuat ria, maka baginya menutup segala perbuatan maksiat. Dan sah (benar) maksudnya pada yang demikian. Dan sah kesedihannya dengan dilihat manusia kepadanya pada 8 segi:
Pertama: bahwa ia gembira dengan ditutup oleh Allah kepadanya. Dan apabila terbuka, maka ia bersedih, dengan dirusakkan oleh Allah tutupnya itu. Dan ia takut akan dirusakkan oleh Allah tutupnya pada hari kiamat. Karena tersebut pada hadits: “Sesungguhnya orang yang ditutup oleh Allah di dunia dosanya, niscaya akan ditutup oleh Allah dosanya di akhirat”. Ini adalah tutup yang terjadi dari kuatnya iman.
Kedua: bahwa ia tahu, bahwa Allah Ta’ala tidak menyukai lahirnya perbuatan-perbuatan maksiat dan menyukai tertutupnya, sebagaimana disabdakan Nabi saw: “Barangsiapa mengerjakan sesuatu dari kotoran-kotoran ini, maka hendaklah ia minta ditutup dengan tutup daripada Allah”. Orang itu, walaupun mendurhakai Allah dengan dosa, maka hatinya tiada terlepas daripada mencintai apa yang disukai oleh Allah. Dan ini terjadi daripada kuatnya iman, dengan bencinya Allah atas lahirnya perbuatan maksiat. Dan bekas kebenarannya, ialah bahwa: ia tidak menyukai pula lahirnya dosa itu dari orang lain. Dan ia merasa sedih dengan sebab yang demikian.
Ketiga: bahwa ia tidak menyukai celaan manusia kepadanya dengan sebab dosa itu, dari segi bahwa yang demikian menyedihkannya, membimbangkan hati dan akalnya daripada ketaatan kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya tabiat manusia itu, merasa sakit dengan celaan, bertentangan dengan akal pikiran dan membimbangkan dari ketaatan. Dan dengan sebab ini juga, seyogyalah bahwa ia membenci pujian yang membimbangkannya dari dzikrullah. Menenggelamkan hatinya dan memalingkannya dari dzikir itu. Dan ini juga dari kuatnya iman. Karena benarnya keinginan pada kosongnya hati karena ketaatan adalah dari iman.
Keempat: bahwa adanya tutup dan kegemarannya pada menutup itu, ialah karena bencinya kepada celaan manusia, dari segi menyakitkan tabiatnya. Maka sesungguhnya celaan itu menyakitkan hati, sebagaimana pukulan menyakitkan badan. Takutnya kesakitan hati dengan celaan, tidaklah haram. Dan tidaklah manusia menjadi maksiat dengan sebab yang demikian. Sesungguhnya manusia itu menjadi maksiat, apabila dirinya gundah daripada celaan manusia. Dan dirinya itu mengajaknya kepada yang tidak diperbolehkan, karena menjaga daripada celaan manusia itu. Dan tiadalah wajib atas manusia, bahwa ia tidak bersusah hati dengan celaan makhluk dan tidak merasa pedih dengan celaan itu. Ya, sempurnanya kebenaran itu, ialah: bahwa hilang daripadanya penglihatannya kepada makhluk. Lalu sama padanya orang yang mencela dan yang memuji. Karena diketahuinya, bahwa yang memberi melarat dan manfaat, ialah: Allah. Dan bahwa hamba-hamba itu semua, adalah lemah. Yang demikian itu adalah sedikit sekali. Dan kebanyakan tabiat manusia, ialah merasa pedih dengan celaan. Karena padanya ada perasaan dengan kekurangan. Dan kadang-kadang merasa sakit dengan celaan itu, terpuji, apabila pencela itu dari orang yang bermata hati (ahlil-bashirah) dalam agama. Karena, mereka itu adalah saksi-saksi Allah. Dan celaan kepada mereka itu menunjukkan celaan kepada Allah Ta’ala. Dan di atas kekurangannya pada agama. Maka bagaimana ia tidak bersedih dengan yang demikian? Ya, kesusahan yang disusahkan, ialah: bahwa ia susah karena hilangnya pujian dengan wara’. Seakan-akan ia suka dipuji dengan sebab wara’nya. Dan tidak boleh ia suka dipuji dengan ketaatan kepada Allah. Maka dengan demikian, dia itu menuntut dengan ketaatan kepada Allah, akan pahala dari yang lain dari Allah. Maka jikalau ia mendapati yang demikian pada dirinya, niscaya harus ditantangnya dengan kebencian dan penolakan. Adapun benci kepada celaan dengan kemaksiatan, dari segi tabiat (karakter), maka tiada tercela. Maka baginya boleh menutupkannya, untuk menjaga diri yang demikian. Dan tergambarlah, bahwa hamba itu berada dari segi tiada menyukai pujian, akan tetapi, benci kepada celaan. Dan maksudnya, ialah, bahwa ia ditinggalkan oleh manusia dari pujian dan celaan. Maka banyaklah orang yang sabar dari kelezatan pujian, yang tiada sabar di atas kepedihan celaan. Karena pujian itu mencari kelezatan. Dan tiada adanya kelezatan itu tidaklah memedihkan hati. Adapun celaan maka itu memedihkan hati. Maka mencari pujian di atas ketaatan itu adalah mencari pahala diatas ketaatan pada masa sekarang. Dan kebencian kepada celaan diatas perbuatan maksiat, maka tiada yang dijaga padanya, kecuali satu perkara. Yaitu: bahwa ia disibukkan oleh kesusahannya, dengan dilihat manusia kepada dosanya, daripada dilihat oleh Allah. Maka yang demikian itu, adalah sangatnya berkekurangan pada agama. Akan tetapi seyogyanya kesusahannya itu dengan dilihat oleh Allah. Dan celaan Allah kepadanya itu lebih banyak.
Kelima: bahwa ia tiada menyukai celaan, dari segi bahwa pencela itu telah berbuat kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dengan perbuatannya itu. Dan ini setengah dari iman. Dan tandanya, bahwa ia tiada menyukai juga celaan itu bagi orang lain. Maka kesakitan itu tiada berbeda diantara dia & orang lain, kecuali kesakitan dari segi tabiat (karakter).
Keenam: bahwa ia menutup yang demikian, supaya tidak dimaksudkan dengan kejahatan, apabila dosanya sudah diketahui orang. Dan ini adalah dibalik kepedihan celaan. Maka sesungguhnya celaan itu memedihkan, dari segi dirasakan oleh hati dengan kekurangannya dan keburukannya, walaupun dari orang yang dirasa aman dari kejahatannya. Kadang-kadang ditakuti kejahatan orang, yang melihat kepada dosanya, disebabkan sesuatu sebab. Maka baginya menutupkan yang demikian, untuk menjaga daripadanya.
Ketujuh: malu semata-mata. Maka malu itu adalah semacam kepedihan, dibalik kepedihan celaan dan maksud jahat. Dan malu itu suatu akhlak (budi pekerti) mulia yang timbul pada permulaan masa kecil, manakala telah bersinar kepadanya nur akal. Lalu ia malu dari perbuatan-perbuatan keji, apabila dipersaksikan orang daripadanya. Dan itu adalah sifat terpuji, karena Rasulullah saw bersabda: “Malu itu baik semua”. Nabi saw bersabda: “Malu itu suatu cabang dari iman”. Nabi saw bersabda: “Malu itu tidak datang, selain dengan kebajikan”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang pemalu, yang penyantun”. Maka orang yang berbuat fasik (dosa) dan tiada menghiraukan bahwa kefasikannya itu kelihatan kepada manusia, maka dia telah mengumpulkan kepada fasik akan kebinasaan diri, tebal muka dan tidak malu. Maka itu keadaannya lebih berat daripada orang yang menutupi dosanya dan merasa malu. Kecuali, bahwa malu itu bercampur dengan ria dan sangat menyerupai dengan ria. Sedikitlah orang yang memperhatikan yang demikian. Dan setiap orang yang berbuat ria itu mendakwakan, bahwa dia itu malu. Dan sebab dibaguskannya ibadah itu, ialah: malu kepada manusia. Dan yang demikian itu dusta. Akan tetapi malu itu suatu tingkah laku yang tergerak dari tabiat (karakter) mulia. Dan digoncangkan akan kemudiannya, oleh panggilan ria dan panggilan ikhlas. Dan tergambarlah, bahwa ia ikhlas bersama dengan ria. Dan tergambarlah bahwa ia berbuat ria bersama ikhlas. Penjelasannya, ialah: bahwa orang yang mencari dari temannya pinjaman dan dirinya sendiri tiada akan bermurah hati dengan meminjamkannya, kecuali bahwa ia merasa malu daripada menolakkannya. Dan ia tahu, jikalau ia kirim mengirim kabar dengan lisan orang lain (tidak disampaikannya sendiri), niscaya ia tidak merasa malu. Dan ia tidak meminjamkan karena ria dan tidak karena mencari pahala. Maka baginya ketika itu, ada beberapa hal: salah satu daripadanya, bahwa ia berbicara dengan lisan, menolaknya dengan terus-terang. Dan ia tidak memperdulikan akan akibatnya. Maka orang tersebut dapat dikaitkan kepada kurang malu. Dan ini adalah perbuatan orang yang tiada mempunyai malu. Sesungguhnya orang yang malu, adakalanya ia mencari alasan atau ia memperutangkan. Jikalau ia berikan, maka tergambarlah baginya 3 keadaan:
Pertama: bahwa ia mencampurkan ria dengan malu, dengan menggalakkan ria. Maka buruklah padanya penolakan. Lalu ia menggalakkan gurisan ria dan mengatakan: “Seyogyalah engkau berikan, sehingga engkau disanjung dan dipuji. Dan tersiarlah namamu dengan sifat pemurah. Atau seyogyalah engkau berikan, sehingga engkau tidak dicela dan tidak dikatakan kikir”. Maka apabila ia berikan, maka sesungguhnya, ia berikan dengan ria. Dan yang menggerakkan ria itu, ialah menggelagaknya malu.
Kedua: bahwa sukar baginya menolak, disebabkan malu. Dan kekallah pada dirinya sifat kikir. Lalu sukarlah memberi. Maka ia gerakkan pemanggil ikhlas. Dan berkata kepadanya, bahwa bersedekah dengan satu dan meminjamkan dengan 18, maka padanya pahala besar dan memasukkan kegembiraan kepada hati teman. Dan yang demikian itu, terpuji pada sisi Allah Ta’ala. Lalu bermurahlah diri dengan memberikan, karena yang demikian. Maka ini orang yang ikhlas, yang digerakkan oleh malu akan keikhlasannya.
Ketiga: bahwa ia tiada mempunyai keinginan pada pahala. Tiada takut dari celaan. Dan tiada suka kepada pujian. Karena jikalau orang meminta padanya dengan cara surat-menyurat (murasalah), niscaya tidak akan diberikannya. Maka diberikannya itu adalah disebabkan malu semata-mata. Yaitu: apa yang didapatnya dalam hatinya, dari kepedihan malu. Dan jikalau tidak malu, niscaya ditolaknya. Dan jikalau datang orang kepadanya, yang ia tidak malu kepada orang itu, dari orang-orang asing atau orang-orang hina, niscaya ditolaknya. Walaupun banyak pujian dan pahala padanya. Maka inilah yang semata-mata malu. Dan tidak ada ini, selain pada hal-hal kekejian, seperti: kikir dan mengerjakan dosa. Orang yang berbuat ria itu merasa malu juga dari perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan (mubahat). Sehingga, jikalau ia terlihat berjalan dengan cepat-cepat, maka ia kembali kepada ketenangan. Atau ia sedang tertawa, maka ia kembali dengan menahan ketawanya. Dan ia mendakwakan, bahwa yang demikian itu malu. Padahal itulah ria yang sebenarnya. Ada yang mengatakan, bahwa sebahagian ria itu lemah. Dan itu benar. Dan yang dimaksudkan, ialah: malu dari apa yang tidak keji, seperti: malu daripada memberi nasehat kepada manusia dan mengimami manusia pada shalat. Itu adalah terpuji pada anak-anak dan kaum wanita. Dan pada orang-orang yang berakal itu, tidak terpuji. Kadang-kadang anda menyaksikan perbuatan maksiat dari seorang tua. Lalu anda malu dari ketuaannya itu menentangnya. Karena diantara mengagungkan Allah, ialah memuliakan orang tua muslim. Malu ini adalah baik. Dan yang lebih baik daripadanya, ialah, bahwa anda malu kepada Allah. Maka anda tidak menyia-nyiakan amar ma’ruf. Orang kuat itu mengutamakan malu kepada Allah, daripada malu kepada manusia. Dan orang lemah itu, kadang-kadang tidak sanggup yang demikian. Maka inilah sebab-sebab, yang karenanya boleh menutupkan segala perbuatan keji dan dosa.
Kedelapan: ia takut dari kelihatan dosanya itu, bahwa orang lain berani mengerjakan dosa tersebut dan mengikutinya. Dan alasan yang satu ini saja, adalah yang berlaku pada memperlihatkan taat. Dan itulah: ikutan (qudwah). Dan yang demikian itu khusus bagi imam-imam (pemuka-pemuka masyarakat) atau orang yang menjadikan ikutan orang lain. Dan dengan alasan ini, seyogyalah pula, orang yang berbuat maksiat itu, menyembunyikan juga perbuatan maksiat kepada keluarga dan anaknya. Karena mereka akan mempelajari daripadanya. Maka pada menutupkan dosa itu, 8 halangan ini. Dan tiada pada melahirkan taat itu halangan, selain satu halangan ini. Dan manakala ia bermaksud dengan menutupkan perbuatan maksiat tersebut, untuk mengkhayalkan kepada manusia, bahwa dia itu orang wara’, niscaya adalah dia itu orang yang berbuat ria, sebagaimana apabila ia maksudkan yang demikian, dengan melahirkan taat. Jikalau anda bertanya, bahwa: bolehkah bagi hamba itu menyukai pujian manusia kepadanya, disebabkan dia itu orang baik (orang saleh) dan cintainya mereka kepadanya disebabkan baiknya itu? Dan sesungguhnya seorang laki-laki mengatakan kepada Nabi saw: “Tunjukilah aku kepada sesuatu yang dikasihi Allah akan daku dan dikasihi aku oleh manusia!”. Nabi saw menjawab: “Zuhudlah di dunia, niscaya engkau dikasihi oleh Allah! Dan lemparkanlah kepada mereka harta benda dunia itu, niscaya mereka mencintai engkau!”. Maka kami menjawab, bahwa sukanya engkau untuk dikasihi manusia kepada engkau itu, kadang-kadang diperbolehkan (mubah). Kadang-kadang terpuji dan kadang-kadang tercela. Yang terpuji, ialah bahwa engkau menyukai yang demikian, untuk engkau mengetahui kecintaan Allah kepada engkau. Maka sesungguhnya Allah Ta’ala apabila menyukai seorang hamba, niscaya disukakannya hamba tersebut dalam hati hamba-hambaNya. Dan yang tercela, ialah bahwa engkau menyukai kecintaan dan pujian mereka kepada haji engkau, perang sabil engkau, shalat engkau dan kepada taat itu sendiri. Maka sesungguhnya yang demikian itu, tuntutan ganti atas ketaatan kepada Allah Ta’ala, yang segera, selain pahala yang diberikan oleh Allah. Dan yang diperbolehkan (mubah), ialah bahwa engkau menyukai mereka, yang menyukai engkau. Karena sifat-sifat yang terpuji, selain taat-taat yang terpuji, yang tertentu. Maka kecintaan engkau akan yang demikian, adalah seperti kecintaan engkau kepada harta. Karena memiliki hati itu jalan kepada maksud, seperti memiliki harta. Maka tiada berbeda diantara keduanya.
PENJELASAN: meninggalkan taat, karena takut ria dan masuk bahaya.
Ketahuilah, bahwa diantara manusia ada orang yang meninggalkan amal, karena takut, bahwa dia menjadi orang berbuat ria. Dan itu adalah salah dan sesuai dengan setan. Akan tetapi, yang benar, mengenai apa yang ditinggalkan dari amal dan yang tidak ditinggalkan, karena takut bahaya, ialah: apa yang akan kami sebutkan ini. Yaitu, bahwa taat itu terbagi kepada: yang tiada lezat pada taat itu sendiri. Seperti: shalat, puasa, haji dan perang sabil. Semuanya itu penderitaan dan kesungguhan. Sesungguhnya dapat menjadi lezat (enak), dari segi bahwa taat tersebut akan menyampaikannya kepada pujian manusia. Dan pujian manusia itu lezat (enak). Dan yang demikian itu, ketika dilihat oleh manusia kepadanya. Dan kepada: apa yang lezat. Dan itu lebih banyak, yang tidak terbatas kepada badan saja. Akan tetapi menyangkut dengan makhluk, seperti: jabatan khalifah (penguasa), jabatan hakim (qadli), memperoleh wilayah kekuasaan, kebangsawanan, mengimami shalat, menasehati orang, mengajar, membelanjakan harta kepada makhluk dll, yang besar bahaya padanya, karena menyangkut dengan makhluk. Dan karena padanya ada kelezatan. Bahagian pertama, ialah: perbuatan taat yang harus bagi badan, yang tiada menyangkut dengan orang lain. Dan tiada lezat pada taat itu sendiri. Seperti: puasa, shalat, dan haji. Maka bahaya ria padanya 3:
             Pertama: yang masuk sebelum amal itu dimulai. Maka ria itu menggerakkan untuk memulainya, karena dilihat manusia. Dan tidak ada bersamaan dengan itu, yang digerakkan oleh agama. Maka ini termasuk yang seyogyanya ditinggalkan. Karena itu maksiat, tak ada taat padanya. Sesungguhnya itu, dipakai dengan bentuk taat, kepada mencari kedudukan. Jikalau sangguplah manusia menolak dari dirinya penggerak ria dan mengatakan kepada dirinya: “Apakah engkau tidak malu kepada Tuhan engkau, engkau tidak bermurah hati dengan amal karenaNya? Dan engkau bermurah hati dengan amal karena hamba-hambaNya? Sehingga tertolaklah penggerak ria dan diri itu bermurah hati dengan amal, karena Allah, sebagai siksaan bagi diri atas gurisan ria dan penutupan dosa (kaffarah). Maka dalam hal yang tersebut tadi hendaklah ia berbuat dengan amal itu!.
          Kedua: bahwa ia tergerak karena Allah. Akan tetapi, dilintangi oleh ria serta penunaian ibadah dan permulaannya. Maka tiada seyogyalah amal itu ditinggalkan. Karena ia telah memperoleh penggerak keagamaan. Maka hendaklah ia masuk dalam amal itu! Dan hendaklah ia berkesungguhan melawan dirinya (nafsunya) pada menolak ria. Dan menghasilkan keikhlasan dengan pengobatan-pengobatan yang telah kami sebutkan dahulu, dari mengharuskan diri membenci ria dan segan menerimanya.
          Ketiga: bahwa ia mengikatkan amal diatas keikhlasan. Kemudian, datang ria dan pengajak-pengajaknya. Maka seyogyalah ia bermuhajah dan menolaknya. Dan tidak ditinggalkan amal. Supaya ia kembali kepada ikatan ikhlas. Dan ia mengembalikan dirinya kepada keikhlasan itu dengan kekerasan. Sehingga ia dapat menyempurnakan amal itu. Karena setan sesungguhnya mengajak engkau, pertama-tama kepada meninggalkan amal. Maka apabila tidak engkau perkenankan dan engkau terus mengerjakan amal itu, lalu diajaknya engkau kepada ria. Maka apabila tidak engkau perkenankan dan engkau tolak, lalu ia mengatakan kepada engkau: “Amal ini tidak murni. Engkau itu berbuat ria. Dan kepayahanmu sia-sia. Maka apa faedahnya bagi engkau pada amal yang tiada ikhlas padanya?”. Sehingga setan itu membawa engkau dengan demikian, kepada meninggalkan amal. Maka apabila amal itu engkau tinggalkan, sesungguhnya engkau telah menghasilkan maksud setan. Contoh orang yang meninggalkan amal, karena takut ia menjadi orang yang berbuat karena ria, adalah seperti orang yang diserahkan kepadanya oleh tuannya, tepung gandum, yang didalamnya ada biji-biji gandum. Tuannya itu mengatakan: “Bersihkanlah tepung gandum ini, dari biji-bijinya dan bersihkanlah sehingga bersih benar-benar!”. Lalu orang itu meninggalkan pokok pekerjaan dan mengatakan: “Aku takut, jikalau aku kerjakan, bahwa gandum itu tidak bersih benar-benar”. Lalu ia tinggalkan, tidak dikerjakannya karenanya. Maka itu adalah meninggalkan keikhlasan serta pokok pekerjaan (amal). Maka tiada arti baginya. Dan termasuk dalam golongan ini, bahwa ia meninggalkan amal, karena takut kepada manusia, yang mengatakan, bahwa dia itu berbuat dengan ria. Maka mereka itu telah berbuat maksiat kepada Allah, dengan demikian. Dan ini termasuk sebahagian dari tipu-daya setan. Karena dia pertama-tama telah jahat sangka kepada orang-orang muslim. Dan tidak menjadi haknya, bahwa ia menyangka kepada mereka, akan yang demikian. Kemudian, jikalau ada yang demikian itu, maka tidaklah mendatangkan melarat perkataan mereka kepadanya dan menghilangkan pahala ibadah. Dan meninggalkan amal, karena takut dari perkataan mereka, bahwa itu perbuatan ria, maka itulah ria yang sebenarnya. Jikalau tidak ada kesukaannya kepada pujian mereka dan takutnya dari celaan mereka, maka apalah kiranya baginya dengan perkataan mereka itu, yang mengatakan: bahwa ia berbuat ria atau mereka mengatakan, bahwa: dia ikhlas? Dan apakah bedanya antara dia meninggalkan amal karena takut dikatakan, bahwa dia berbuat karena ria dan antara dia berbuat dengan baik amal itu, karena takut daripada dikatakan, bahwa: dia itu lalai lagi lengah. Akan tetapi, meninggalkan amal itu, lebih berat dari yang demikian. Ini semuanya adalah tipu daya setan kepada hamba-hamba Allah yang bodoh. Kemudian, bagaimana ia mengharap, bahwa ia dapat melepaskan diri dari setan, dengan meninggalkan amal dan setan itu tidak melepaskannya. Bahkan setan itu mengatakan kepadanya: sekarang manusia mengatakan, bahwa engkau meninggalkan amal, supaya dikatakan orang: bahwa dia itu orang yang ikhlas, tidak mengingini terkenal (syuhrah). Maka memerlukan engkau dengan yang demikian, kepada melarikan diri. Maka jikalau engkau melarikan diri dan engkau masuk ke suatu jalan di bawah tanah, niscaya telah dilemparkan dalam hati engkau kemanisan dikenal manusia, untuk menzuhudkan engkau, larinya engkau dari mereka dan penghormatan mereka kepada engkau dengan hatinya diatas yang demikian. Maka bagaimanakah engkau melepaskan diri dari padanya? Bahkan tiada terlepas daripadanya, selain dengan engkau mengharuskan hati engkau mengenal bahaya ria. Dan yaitu: bahwa ria itu sesungguhnya suatu kemelaratan di akhirat dan tiada bermanfaat di dunia. Supaya engkau dapat mengharuskan kebencian dan keengganan kepada hati engkau. Dan engkau terus-menerus serta yang demikian, atas amal. Dan engkau tidak memperdulikan, walaupun musuh itu menikam sebagai tikaman tabiat (karakter). Maka sesungguhnya yang demikian itu tiada akan putus. Dan meninggalkan amal karena yang demikian, akan menarik kepada tidak ada kerja (bithalah) dan meninggalkan amal kebajikan (al-khairat). Maka selama engkau memperoleh penggerak keagamaan kepada amal, maka janganlah engkau meninggalkan amal! Dan berkesungguhanlah melawan gurisan ria! Dan haruskanlah bagi hatimu, malu kepada Allah, apabila engkau diajak oleh diri (nafsu) engkau, kepada menggantikan pujian kepada Allah, dengan pujian kepada makhluk. Dan dia itu melihat kepada hati engkau. Dan jikalau makhluk itu melihat kepada hati engkau dan engkau menghendaki pujian mereka, niscaya mereka akan mengutuk engkau. Bahkan, jikalau engkau sanggup menambahkan pada amal, akan malu kepada Tuhan engkau dan siksaan bagi diri engkau, maka berbuatlah!. Jikalau setan mengatakan kepada engkau, bahwa engkau itu berbuat dengan ria, maka ketahuilah akan bohong dan tipuannya setan itu, dengan apa yang engkau peoleh pada hati engkau, dari kebencian kepada ria, enggan menerima ria, takutnya engkau kepada ria dan malunya engkau kepada Allah Ta'ala’. Jikalau engkau tidak mendapati dalam hati engkau, kebencian kepada ria dan takut kepada ria dan tidak ada penggerak keagamaan, akan tetapi semata-mata penggerak ria yang ada, maka tinggalkanlah amal itu pada keadaan yang demikian. Dan itu adalah jauh dari kebenaran. Maka siapa yang masuk pada amal karena Allah, niscaya tidak dapat tidak, bahwa ada padanya pokok maksud pahala. Jikalau anda bertanya, bahwa telah dinukilkan dari beberapa kaum (golongan) dari ulama-ulama terdahulu, supaya meninggalkan amal, karena takut dikenal orang (syuhrah). Diantaranya, dirawikan bahwa Ibrahim An-Nakha’i, telah masuk ke tempatnya seorang manusia dan beliau sedang membaca Alquran. Lalu beliau tutup dan meninggalkan membaca. Dan beliau mengatakan: “Tidak dilihat oleh si Ini, bahwa aku membaca Alquran setiap saat”. Dan Ibrahim At-Taimi mengatakan: “Apabila menakjubkan (mengkagumkan) engkau oleh perkataan engkau, maka diamlah! Dan apabila mengagumkan engkau oleh diam engkau, maka berkatalah!”. Dan Al-Hasan Al-Bashari  ra mengatakan, bahwa seseorang dari ulama terdahulu, yang lalu di jalan yang ada padanya yang mengganggu, lalu tidak ada yang mencegahnya membuang yang mengganggu itu, selain oleh karena bencinya kepada terkenal. Dan ada seseorang mereka yang didatangi tangisan, lalu memutarkannya kepada ketawa, karena takut dari terkenal itu. Dan terdapat pada yang demikian, banyak atsar (ucapan orang-orang terkemuka dan para sahabat Nabi saw). Maka kami menjawab, bahwa ini bertentangan dengan apa yang tersebut pada atsar, tentang melahirkan taat dari orang-orang yang tiada terhingga banyaknya. Dilahirkan oleh Al-Hasan Al-Bashari  perkataan tersebut pada mengemukakan pengajaran itu lebih mendekati kepada takut terkenal, daripada menangis dan membuang yang menyakiti dari jalan. Kemudian, tidak ditinggalkannya. Kesimpulannya, meninggalkan amal nafilah (amal sunat) itu boleh. Dan berkata-kata pada yang afdhal (pada yang lebih utama). Dan yang afdhal itu, ialah yang disanggupi oleh orang-orang kuat, tidak oleh orang-orang lemah. Maka yang afdhal, ialah: menyempurnakan amal dan bersungguh-sungguh pada keikhlasan. Dan tidak meninggalkannya. Orang-orang yang mempunyai amal itu, kadang-kadang mengobati dirinya, dibalik yang afdhal, karena sangat takutnya. Maka mengikuti itu seyogya nya adalah kepada orang-orang kuat. Adapun Ibrahim An-Nakha’i menutup Alquran, maka mungkin yang demikian, karena ia tahu, bahwa ia memerlukan kepada meninggalkan membaca ketika masuknya orang itu. Dan mengulanginya kembali ketika orang itu keluar. Karena kesibukan berbicara dengan orang tersebut. Lalu ia berpendapat, bahwa tidak dilihat oleh orang tadi, bahwa dia dalam membaca, adalah lebih menjauhkan dari ria. Dan ia berazam meninggalkan membaca itu, untuk meladeni orang tersebut. Sehingga ia kembali kepada Alquran itu kemudian. Adapun meninggalkan membuang yang menyakiti di jalanan, maka yang demikian itu, termasuk diantara orang yang takut kepada dirinya, bahaya terkenal, perhatian manusia kepadanya dan mereka akan mengganggunya dari ibadah. Dan itu adalah lebih besar daripada mengangkat sepotong kayu dari jalanan. Maka meninggalkan yang demikian itu, adalah karena memelihara ibadah, yang lebih besar daripadanya. Tidak disebabkan semata-mata takut ria. Adapun perkataan Ibrahim At-Taimi: “Apabila menakjubkan engkau oleh perkataan engkau, maka diamlah!”, boleh ada yang demikian, dimana yang dimaksudkannya, ialah: perkataan-perkataan yang mubah, seperti: lancar pada menerangkan ceritera-ceritera dan lainnya. Maka yang demikian itu, mewariskan ujub (mengherani diri dan membanggakannya). Dan seperti demikian juga, ujub dengan diam yang mubah itu dilarang. Itu adalah berpaling dari yang mubah kepada yang mubah, karena menjaga dari ujub. Adapun perkataan benar yang disunatkan, maka tak ada nash (dalil yang tegas) padanya, bahwa bahaya itu termasuk yang besar pada berkata-kata. Maka itu termasuk pada bahagian kedua. Sesungguhnya perkataan kami pada ibadah yang khusus, dengan badan hamba itu, termasuk yang tiada menyangkut dengan manusia dan tiada besar padanya bahaya. Kemudian, perkataan Al-Hasan Al-Bashari , tentang mereka meninggalkan menangis dan membuang benda yang menyakiti di jalanan, karena takut terkenal, kadang-kadang adanya itu, ceritera keadaan orang-orang yang lemah, yang tiada mengenal yang afdhal. Dan tiada mengetahui yang halus-halus ini. Dan sesungguhnya Al-Hasan Al-Bashari  menyebutkannya, adalah untuk menakutkan manusia dari bahaya syuhrah/terkenal dan melarang daripada mencarinya.
          Bahagian kedua: yang menyangkut dengan makhluk. Dan besar padanya bahaya dan malapetaka. Yang terbesar diantara yang menyangkut dengan makhluk itu, ialah: jabatan khalifah (penguasa), kemudian jabatan hakim (jabatan qadli). Kemudian, memberi peringatan kepada manusia, mengajar dan memberi fatwa. Dan kemudian, mengeluarkan (membelanjakan) harta. Adapun jabatan khalifah dan jabatan amir (raja), maka adalah termasuk ibadah yang afdhal, apabila ada yang demikian itu, disertai keadilan dan keikhlasan. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya sehari dari imam (penguasa) yang adil itu lebih baik daripada ibadah seseorang sendirian dalam masa 60 tahun”. Maka lebih besar dari ibadah, yang menyamai sehari daripadanya, dengan ibadah 60 tahun. Nabi saw bersabda: “Orang pertama yang masuk sorga, ialah: tiga. Imam yang adil salah seorang dari mereka yang tiga itu”. Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tiga golongan, tidak ditolak doa mereka. Diantaranya: imam yang adil, salah seorang dari mereka”. Nabi saw bersabda: “Manusia yang terdekat kepadaku tempatnya pada hari kiamat, ialah: imam yang adil”, diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri. Maka jabatan amir (al-imarah) dan jabatan khalifah (al-khilafah) itu, termasuk ibadah terbesar. Dan senantiasalah orang-orang yang taqwa (al-muttaqun) meninggalkannya. Mereka menjaga diri daripadanya dan melarikan diri daripada mengikutinya. Yang demikian itu, karena padanya besar bahaya. Karena dengan jabatan tersebut, tergeraklah sifat-sifat batiniah. Dan mengerasi kepada diri seseorang, suka kemegahan, kelezatan penguasaan dan tembusnya perintah. Dan itu adalah kelezatan dunia yang terbesar. Apabila jabatan memegang wilayah (menjadi penguasa) itu disukai, niscaya adalah wali (penguasa) itu berusaha pada keuntungan diri. Dan mendekatilah ia untuk mengikuti hawa nafsunya. Lalu ia mencegah dari tiap-tiap yang mencederakan kemegahan dan kekuasaannya, walaupun itu benar. Dan ia mendahulukan apa saja yang menambahkan keteguhan kedudukannya, walaupun itu batil/salah. Dan ketika itu ia binasa. Dan adalah sehari dari raja yang zalim itu, lebih jahat daripada perbuatan fasik 60 tahun, menurut pemahaman hadits yang telah kami sebutkan diatas. Dan karena bahaya besar ini, adalah Umar ra mengatakan: “Siapakah yang mengambil al-imarah (jabatan amir) dengan apa yang ada padanya?”. Bagaimana tidak? Sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Tiadalah dari wali (penguasa) sesuatu kaum, melainkan dia akan datang pada hari kiamat, dengan tangannya terbelenggu ke lehernya, yang akan dilepaskan oleh keadilannya atau dibinasakan oleh kezalimannya”. Hadits ini dirawikan oleh Ma’qal bin Yasar. Dia diangkat oleh ‘Umar ra menjadi wali negeri. Lalu ia bertanya: “Wahai Amirul-mu’minin! Burukkah jabatan ini kepadaku?”. Umar ra menjawab: “Duduklah dan sembunyikanlah kepadaku!”. Dirawikan oleh Al-Hasan Al-Bashari  ra: “Bahwa seorang laki-laki diangkat oleh Nabi saw menjadi wali negeri. Lalu ia mengatakan kepada Nabi saw: “Jatuh telungkuplah aku”. Nabi saw menjawab: “Duduklah!”. Begitu juga hadits Abdurrahman bin Samrah, ketika Nabi saw bersabda kepadanya: “Hai Abdurrahman! Jangan engkau minta jabatan al-imarah (menjadi amir)! Maka sesungguhnya jikalau diberikan kepada engkau jabatan al-imarah itu, tanpa diminta, niscaya engkau ditolong kepadanya. Dan jikalau diberikan kepada engkau dengan diminta, niscaya diwakilkan (dipertanggung-jawabkan) engkau, kepada jabatan itu”. Abu Bakar ra mengatakan kepada Rafi’ bin Umar Ath-Tha’i: “Jangan engkau menjadi amir (kepala) atas dua orang!”. Kemudian, Abu Bakar ra itu diangkat menjadi khalifah, lalu ia bangun menjabat pangkat itu. Maka Rafi’ bertanya kepada Abu Bakar: “Apakah engkau tidak mengatakan kepadaku: “Jangan engkau menjadi amir atas dua orang dan engkau sekarang, sudah menjadi wali (mengurus) urusan umat Muhammad saw?”. Maka Abu Bakar ra menjawab: “Benar, aku mengatakan yang demikian kepadamu. Maka siapa yang tidak adil pada jabatan itu, niscaya atas dirinya kutukan Allah. Yakni: laknat Allah”. Semoga orang yang sedikit bashirah (mata hati), melihat apa yang tersebut itu, tentang keutamaan al-imarah, serta apa yang tersebut, tentang larangannya, bahwa itu bertentangan. Dan tidaklah demikian. Akan tetapi yang benar padanya, ialah bahwa orang-orang khusus yang kuat pada agama, tiada seyogyalah mencegah dirinya daripada memegang wilayah pemerintahan. Dan orang-orang lemah, tiada seyogyalah berkisar diri dengan jabatan tersebut. Maka mereka akan binasa nanti. Yang dimaksudkan dengan orang kuat, ialah: orang yang tidak dicenderungi oleh dunia, tidak dilompati oleh kerakusan dan tidak diambil oleh cacian orang yang mencaci pada hak Allah. Merekalah orang-orang yang telah gugur (hilang) harga makhluk daripada matanya. Mereka zuhud pada dunia, bosan dengan dunia dan dengan bercampur-baur dengan makhluk. Mereka dapat memaksakan dirinya dan memilikinya. Mereka mengalahkan setan, lalu setan itu putus asa daripada mereka. Maka mereka tidak digerakkan, selain oleh kebenaran. Dan tidak ditempati mereka, selain oleh kebenaran. Walaupun nyawa mereka binasa padanya. Maka mereka itu orang-orang yang memperoleh keutamaan pada al-imarah dan al-khilafah. Dan siapa yang mengetahui, bahwa dia tidak mempunyai sifat ini, maka haramlah ia terjun dalam pemerintahan. Dan barangsiapa mencoba dirinya, lalu melihat dirinya sabar atas kebenaran, dapat mencegah dari nafsu keinginan pada bukan pemerintahan, akan tetapi ia takut pada dirinya akan berobah, apabila ia merasakan enaknya pemerintahan dan bahwa dirinya, akan terhias dengan kemegahan dan merasa enak berlaku perintahnya, lalu ia tidak suka berhenti, maka ia bersikap berminyak-minyak air (bersikap palsu), karena takut dari pemberhentian, maka ini sesungguhnya telah terdapat perselisihan ulama, mengenai: adakah harus ia lari dari memegang jabatan pemerintahan itu? Segolongan mengatakan: tidak wajib. Karena ini adalah takut sesuatu hal pada masa mendatang. Dan pada masa sekarang, ia tidak mengetahui dirinya, selain kuat pada memegang kebenaran dan meninggalkan kesenangan diri. Yang benar, ia harus memelihara diri. Karena nafsu itu penipu, mendakwakan kebenaran, menjanjikan kebajikan. Maka jikalau nafsu itu menjanjikan kebajikan dengan yakin, niscaya ia takut nafsu itu akan berobah ketika memegang wilayah (pemerintahan). Maka bagaimana, apabila nafsu itu melahirkan keragu-raguan? Dan mencegah daripada menerima jabatan pemerintahan itu, lebih mudah daripada berhenti sesudah masuk di dalamnya. Berhenti itu menyakitkan. Dan itu adalah seperti dikatakan: “Berhenti (melepaskan jabatan) itu adalah seperti laki-laki menceraikan isterinya”. Apabila ia telah masuk, niscaya tidak membolehkan dirinya berhenti. Dan dirinya cenderung kepada berminyak-minyak air dan menyiai-nyiakan kebenaran. Dan menjatuhkannya dalam neraka jahannam. Dan ia tidak sanggup mencabut diri daripadanya, sampai mati. Kecuali, ia melepaskan diri (berhenti) dengan memaksakan diri. Dan ada padanya azab yang segera atas tiap-tiap orang yang menyukai memegang pemerintahan. Manakala nafsu cenderung kepada mencari jabatan pemerintahan dan nafsu itu membawa kepada meminta dan mencari, maka itu adalah tanda kejahatan. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya kami tiada akan mengangkat untuk mengurus urusan kami, orang yang meminta pada kami”. Maka apabila anda telah memahami perbedaan hukum orang yang kuat dan orang yang lemah, niscaya anda ketahui, bahwa larangan Abu Bakar ra kepada Rafi’ dari jabatan memegang pemerintahan, kemudian Abu Bakar ra sendiri memegang jabatan khalifah, tidaklah bertentangan. Adapun jabatan hakim, walaupun itu kurang dari jabatan al-khilafah dan al-imarah, akan tetapi dalam pengertian dengan yang dua itu. Sesungguhnya tiap-tiap yang mempunyai wilayah itu  adalah: amir. Artinya: mempunyai amar (perintah) yang berlaku. Dan jabatan amir itu disukai dengan tabiat (karakter). Dan pahala pada jabatan hakim itu besar, serta mengikuti kebenaran. Dan siksanya juga besar, serta berpaling daripada kebenaran. Nabi saw telah bersabda: “Hakim (qadli) itu 3. Dua hakim dalam neraka dan seorang hakim dalam sorga”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang diangkat menjadi hakim, maka sesungguhnya ia telah disembelih, tanpa pisau”. Maka hukumnya jabatan hakim itu seperti hukumnya jabatan amir (penguasa). Seyogyalah ditinggalkan oleh orang-orang lemah. Setiap orang bagi dunia dan kelezatannya itu, mempunyai timbangan pada matanya. Dan hendaklah dipegang jabatan itu, oleh orang-orang kuat, yang tidak dapat diambil (dipengaruhi) oleh cacian orang yang mencacikan, pada jalan Allah. Manakala sultan-sultan (penguasa-penguasa) itu orang-orang zalim dan hakim tidak sanggup atas kehakiman, selain dengan berminyak-minyak air dengan mereka dan menyia-nyiakan sebahagian hak karena mereka dan karena orang-orang yang berhubungan dengan mereka, karena hakim itu tahu, bahwa jikalau ia melaksanakan hukum kepada mereka dengan benar, niscaya mereka akan memberhentikannya atau tiada akan mentaatinya. Maka orang yang akan menjadi hakim itu, tak usah menerima jabatan hakim tersebut. Dan jikalau diterimanya, maka haruslah ia menuntut pada mereka dengan hak-haknya. Dan tidaklah sekali-kali, takut diberhentikan itu, menjadi halangan yang meringankan baginya, pada menyia-nyiakan hak. Akan tetapi, apabila ia diberhentikan, niscaya gugurlah janji tugas daripadanya. Maka seyogyalah ia bergembira dengan pemberhentian itu, jikalau ia menjadi hakim karena Allah. Maka jikalau ia tidak membolehkan dirinya dengan demikian, maka dia jadinya menerima jabatan hakim itu, karena mengikuti hawa nafsu dan setan. Maka bagaimana ia mengharap pahala padanya, sedang dia bersama orang-orang yang zalim, pada lapisan yang terbawah dari api neraka? Adapun pengajaran, fatwa, mengajar, merawikan hadits, mengumpulkan isnad-isnad hadits yang tinggi dan tiap-tiap sesuatu yang meluaskan kemegahan dan membesarkan kedudukan, maka bahayanya juga besar, seperti bahaya memegang pemerintahan. Ulama-ulama terdahulu yang mempunyai rasa takut, adalah mereka tolak-menolak pada memberi fatwa, selama mereka mendapat jalan untuk itu. Adalah mereka mengatakan: “Diberitakan kepada kami oleh salah satu dari pintu-pintu dunia”. Dan orang yang mengatakan: diberitakan kepada kami (haddatsanaa) itu, sesungguhnya (mengandung arti) bahwa ia mengatakan: mereka telah melapangkan bagiku. Abu Nashar Bisyir bin Al-Harts menanamkan sekian gerobak dari hadits (yang dituliskannya dengan tangannya). Dan ia mengatakan: “Aku dilarang dari memperkatakan hadits oleh karena aku ingin untuk memperkatakan hadits. Jikalau aku ingin untuk tidak memperkata kan hadits, maka aku memperkatakan hadits itu”. Orang yang memberi pengajaran (nasehat), bahwa pada pengajarannya, pada membekas hati manusia dengan pengajarannya, sambung-menyambung tangisan mereka, jeritan jiwa mereka dan menghadapnya mereka kepadanya, ia memperoleh kelezatan yang tidak dapat dibandingi dengan kelezatan lainnya. Apabila mengerasi yang demikian pada hatinya, niscaya tabiatnya (karakternya) cenderung kepada tiap-tiap perkataan yang terhias (berirama), yang laku pada orang awam. Walaupun perkataan itu batil/salah. Dan ia lari daripada tiap-tiap perkataan, yang dirasa berat oleh orang awam. Walaupun perkataan itu benar. Dan jadilah serahan cita-cita secara keseluruhan, kepada yang menggerakkan hati orang awam. Dan yang akan membesarkan kedudukannya pada hati orang awam itu. Maka ia tidak mendengar hadits dan hikmah, melainkan ada kegembiraannya dengan pendengarannya itu, dari segi bahwa pantas untuk disebutkannya diatas puncak mimbar. Dan adalah seyogyanya kegembiraannya itu, dari segi bahwa ia mengetahui jalan bahagia dan jalan yang menuju jalan agama. Pertama untuk diamalkannya. Kemudian ia mengatakan: “Apabila Allah mencurahkan nikmat kepadaku dengan nikmat ini dan memberi menfaat kepadaku dengan hikmah ini, maka akan aku ceritakan, supaya berkongsi dengan aku pada manfaatnya, saudara-saudaraku kaum muslimin”. Maka ini juga termasuk yang besar padanya ketakutan dan fitnah. Maka hukumnya adalah seperti hukum memegang kekuasaan pemerintahan. Maka barangsiapa yang tiada mempunyai penggerak, selain oleh mencari kemegahan dan kedudukan, makan dengan memperalatkan agama, menyombong dan membanyak-banyakkan harta, maka seyogyalah ditinggalkannya. Dan dilawan hawa nafsunya, sampai dirinya terlatih dan kuat cita-citanya pada agama. Dan merasa aman dirinya dari fitnah. Maka ketika itu ia kembali kepadanya. Kalau anda mengatakan, bahwa manakala hukumnya yang demikian kepada ahli ilmu, niscaya terbengkalailah ilmu dan merosot. Dan meratalah kebodohan kepada makhluk seluruhnya. Maka kami mengatakan, bahwa Rasulullah saw melarang daripada mencari al-imarah dan Nabi saw mengancam dengan siksaan, sehingga beliau bersabda: “Sesungguhnya kamu loba kepada jabatan al-imarah. Bahwa al-imarah itu suatu keluhan dan sesalan pada hari kiamat, selain orang yang mengambilnya dengan sebenarnya”. Nabi saw bersabda: “Amatlah mendapat nikmat wanita yang menyusukan dan tidak mendapat nikmat wanita yang memberhentikan penyusuannya”. Dan sebagai dimaklumi, bahwa pangkat kesultanan (as-sulthanah) dan pangkat keamiran (al-imarah), jikalau kosong, niscaya rusaklah agama dan dunia semua. Berkobarlah peperangan antara makhluk, hilanglah keamanan, robohlah negeri dan kosonglah penghidupan. Maka dengan demikian, mengapa dilarang dari jabatan tersebut? Dan Umar ra memukul Ubai bin Kaab, dimana beliau melihat suatu kaum mengikuti Ubai. Padahal dalam pada itu, Umar ra mengatakan: “Ubai itu penghulu kaum muslimin”. Dan Ubai membaca Alquran kepada Umar ra, lalu Umar ra melarang orang mengikuti Ubai. Dan Umar ra mengatakan: “Yang demikian itu fitnah kepada yang diikuti dan kehinaan kepada yang diikuti”. Dan Umar ra itu sendiri berpidato (berkhutbah), memberi pengajaran dan ia tidak dilarang daripada yang demikian. Seorang laki-laki meminta izin pada Umar ra untuk memberi pengajaran kepada manusia, apabila ia telah selesai daripada shalat subuh. Lalu Umar ra melarang orang tersebut, maka orang itu bertanya: “Engkau larang aku daripada menasehati manusia?”. Lalu Umar ra menjawab: “Aku takut engkau bersuara keras, sehingga sampai ke bintang surayya”, karena Umar ra melihat pada orang itu tempat sangkaan kegemaran kepada kemegahan pengajaran dan penerimaan makhluk. Jabatan kehakiman dan khalifahan itu termasuk daripada yang diperlukan manusia pada agamanya, seperti: memberi pengajaran, mengajar dan berfatwa. Dan pada masing-masing daripada keduanya terdapat fitnah dan lezat. Maka tiada beda antara keduanya itu. Adapun kata orang yang mengatakan, bahwa dilarangnya engkau daripada yang demikain tu, membawa kepada merosotnya ilmu pengetahuan. Maka itu salah. Karena Rasulullah saw melarang dari jabatan kehakiman itu, yang tidak membawa kepada kekosongan kehakiman. Akan tetapi jabatan menjadi kepala (ar-riasah) dan menyukainya itu, memerlukan bahwa makhluk mencarinya. dan seperti demikian juga, kesukaan menjadi kepala itu tidak meninggalkan ilmu pengetahuan menjadi merosot. Bahkan jikalau makhluk itu ditahan dan diikat dengan rantai dan belenggu, daripada mencari ilmu pengetahuan, yang padanya ada penerimaan orang banyak dan jabatan kepala, niscaya mereka melepaskan diri dari tahanan itu. Mereka akan memotong rantai dan pergi mencari ilmu pengetahuan. Sesungguhnya Allah Ta’ala menjanjikan akan menguatkan agama ini, dengan kaum (golongan) yang tiada berakhlak (tiada berbudi pekerti yang baik). Maka janganlah engkau menyibukkan hati engkau dengan urusan manusia. Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan mereka. Dan perhatikanlah kepada dirimu sendiri! Kemudian, bersama ini aku mengatakan, bahwa apabila ada dalam negeri, suatu golongan yang bangun memberi pengajaran, umpamanya, maka tiadalah pada melarang daripada memberi pengajaran itu, selain sebagian mereka yang tidak mau. Jikalau tidak, maka akan diketahui, bahwa semua mereka itu mau. Dan mereka tiada akan meninggalkan kelezatan menjadi kepala (ar-riasah). Jikalau tidak ada dalam negeri, selain seorang saja dan pengajarannya bermanfaat bagi manusia, dari segi bagus perkataannya dan bagus kelakuannya pada zahir dan pengkhayalannya kepada orang awam, bahwa dia dengan pengajarannya itu menghendaki Wajah Allah dan meninggalkan dunia dan berpaling dari dunia, maka janganlah kita melarangnya daripada memberi pengajaran. Dan kita mengatakan kepadanya: “Bekerjalah dan berkesungguhanlah akan diri engkau!” jikalau ia menjawab: “Aku tidak sanggup atas diriku”, maka kita jawab: “Bekerjalah dan berkesungguhan!”. Karena kita mengetahui, bahwa jikalau ia meninggalkan yang demikian itu, niscaya binasalah manusia semua. Karena tiada orang yang tegak berdiri mengerjakan yang demikian itu, selain dia. Jikalau orang itu rajin dan maksudnya mencari kemegahan, maka dia itu binasa sendiri. Dan keselamatan agama semua orang, lebih kita sukai daripada keselamatan agamanya dia itu sendiri. Maka kita jadikan dia itu tebusan bagi kaum (golongan). Dan kita mengatakan: “Mudah-mudahan dia ini yang disabdakan oleh Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menguatkan agama ini, dengan kaum (orang-orang) yang tiada berakhlak”. Kemudian, yang memberi pengajaran (waidh) itu, ialah: orang yang ingin pada akhirat dan zuhud pada dunia, dengan pekataannya dan dengan zahiriah jalan hidupnya. Adapun yang dikemukakan para waidh pada masa sekarang ini (masa Al Imam Al Ghazali ( tida kesudahan / permulaan ) peny), ialah: dari kalimat-kalimat yang dihiasi, kata-kata yang bersajak, yang dibarengi dengan pantun-pantun, yang tak ada padanya pengagungan urusan agama dan penakutan kepada kaum muslimin. Akan tetapi, padanya yang memberi harapan dan keberanian kepada perbuatan-perbuatan maksiat, dengan senda gurau yang ganjil-ganjil. Maka wajiblah dikosongkan negeri dari mereka itu. Sesungguhnya mereka adalah pengganti-pengganti dajjal dan khalifah-khalifah setan. Dan sesungguhnya pembicaraan kita ialah pada waidh, yang bagus pengajarannya, elok zahiriahnya. Ia menyembunyikan pada dirinya, akan kesukaan penerimaan orang. Dan ia tidak bermaksud yang lain. Dan mengenai apa yang telah kami kemukakan pada Kitab Ilmu dahulu, dari hal janjian siksa (al-wa-iidh), yang datang pada diri ulama jahat adalah yang menerangkan, harusnya penjagaan diri dari fitnah-fitnah ilmu dan marabahayanya. Dan karena inilah, Nabi Isa as mengatakan: “Hai ulama jahat! Kamu mengerjakan puasa, mengerjakan shalat dan bersedakah. Dan kamu tiada mengerjakan apa yang kamu suruh. Dan kamu ajarkan apa yang tiada kamu kerjakan. Maka alangkah jahatnya apa yang kamu hukum. Kamu bertobat dengan perkataan dan angan-angan. Dan kamu kerjakan dengan hawa nafsu. Dan tiadalah mencukupi bagimu membersihkan kulitmu dan hatimu kotor. Dengan sebenarnya, aku mengatakan kepadamu; “Janganlah ada kamu itu seperti alat pengayak (pembersihan) tepung, yang keluar daripadanya tepung yang baik dan tinggal padanya antahnya. Seperti itu pula. Kamu keluarkan hukum dari mulutmu dan tinggallah iri hati dalam dadamu. Wahai budak dunia! Bagaimana akan diperoleh akhirat, oleh orang yang tidak habis nafsu syahwatnya dari dunia. Dan tidak putus dari dunia kegemarannya. Dengan sebenarnya, aku mengatakan kepadamu, bahwa hatimu itu menangis dari amal perbuatanmu. Kamu jadikan dunia dibawah lidahmu dan amal di bawah tapak kakimu. Dengan sebenarnya, aku mengatakan kepadamu. Kamu rusakkan akhiratmu dengan kebaikan duniamu. Maka kebaikan dunia itu lebih kamu cintai daripada kebaikan akhirat. Maka manakah manusia yang lebih rugi daripada kamu? Jikalau kamu ketahui akan celakanya kamu, sehingga kapan kamu membersihkan jalan bagi orang-orang yang berjalan malam. Dan kamu bermukim (berada), pada tempat orang-orang yang tiada tahu jalan. Seakan-akan kamu mengajak orang-orang dunia, supaya meninggalkan dunia itu untukmu. Pelan-pelan! Celaka bagimu! Apakah mencukupi bagi rumah yang gelap, bahwa diletakkan pelita di atas belakangnya dan di dalamnya meliarkan hati, lebih gelap? Maka begitu pula, tiada mencukupi bagimu, bahwa nur ilmu itu ada di mulutmu. Dan ronggamu itu meliarkan hati, lagi kosong dari nur ilmu itu. Wahai budak-budak dunia! Kamu tidak seperti budak-budak (hamba-hamba) yang taqwa. Dan tidak seperti orang-orang merdeka yaang mulia. Mendekatilah dunia itu mencabutmu dari asal usul kamu. Lalu dilemparkannya kamu di atas mukamu. Kemudian, ditelungkupkannya kamu atas hidungmu. Kemudian, diambilnya kesalahan-kesalahan kamu, dengan dahimu. Kemudian, kamu tolak oleh ilmu dari belakangmu. Kemudian, diserahkannya kamu kepada raja yang mendatangkan agama, dalam keadaan kaki tiada beralas dan badan telanjang, sendirian. Maka diberitahukan kepadamu akan kejelekan kamu. Kemudian, diberi balasan kepadamu, disebabkan keburukan amalmu”. Dirawikan Al-Harts Al-Muhasibi hadits ini pada sebagian kitab-kitabnya, ia mengatakan: “Mereka itu ulama jahat, setan manusia dan fitnah kepada manusia. Mereka gemar pada harta benda dunia dan ketinggian dunia. Mereka lebih mengutamakan dunia dari  akhirat. Mereka menghinakan agama untuk dunia. Maka mereka di dunia itu malu dan memalukan. Dan di akhirat mereka itu merugi. Jikalau anda mengatakan: bahaya-bahaya ini nyata. Akan tetapi, telah tersebut pada hadits-hadits, mengenai ilmu dan pengajaran, hal-hal yang digemarkan, dalam jumlah yang banyak. Sehingga Rasulullah saw bersabda: “Bila diberi hidayah (petunjuk) oleh Allah dengan engkau seseorang maka adalah itu lebih baik bagi engkau dari dunia dan isinya. Nabi saw bersabda: “Siapa saja pengajak yang mengajak pada petunjuk dan dia itu diikuti, maka baginya pahala dan pahala yang mengikutinya”. Dan hadits-hadits lain, yang menerangkan keutamaan ilmu. Maka seyogyalah dikatakan kepada orang yang berilmu: “Bekerjalah dengan ilmu dan tinggalkanlah berbuat ria dengan makhluk!” sebagaimana dikatakan kepada orang yang telah digerakkan oleh ria pada shalat:  “Jangan engkau meninggalakan amal! Akan tetapi sempurnakanlah amal itu dan berkesungguhanlah melawan hawa nafsumu!”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa keutamaan ilmu itu besar, dan bahayanya lebih besar. seperti keutamaan al-khilafah dan al-imarah. Dan tidak kita mengatakan kepada seseorang dari hamba Allah: “Tinggalkanlah ilmu!”. Karena tidak ada, pada diri ilmu itu bahaya. Dan bahaya itu sesungguhnya, pada melahirkan ilmu itu, dengan menghadapi pengajaran (nasehat), palajaran dan periwayatan hadits. Dan juga tidak kita mengatakan kepadanya: “Tinggalkanlah ilmu! Selama dia mendapati pada dirinya, penggerak keagamaan, yang bercampur dengan penggerak ria. Adapun apabila dia tidak digerakkan, selain oleh ria, maka ditinggalkan melahirkan itu lebih bermanfaat dan lebih menyelamatkannya. Demikian juga shalat-shalat nafilah (shalat sunat), apabila semata-mata padanya penggerak ria, niscaya wajiblah meninggalkan shalat nafilah tersebut. Adapun apabila digariskan kepadanya oleh bisikan ria, pada waktu sedang shalat, dan ia benci kepada bisikan itu, maka janganlah ditinggalkan shalat. Karena bahaya ria pada ibadah itu lemah. Dan bahaya itu besar pada jabatan pemerintahan dan pada menghadapi kedudukan-kedudukan tinggi pada ilmu pengetahuan. Kesimpulan, tingkat-tingkat itu 3:
          Pertama: Memegang pemerintahan. Dan bahaya padanya besar. Dan telah ditinggalkan oleh segolongan dari salaf (orang-orang terdahulu), karena takut dari bahaya itu.
          Kedua: puasa, shalat, haji dan perang. Dan para salaf yang kuat dan yang lemah, telah mengerjakan ibadah tersebut. Dan tidak dipilih oleh mereka untuk meninggalkannya, karena takut bahaya. Dan yang demikian itu, karena lemahnya bahaya yang masuk padanya. Dan sanggup meniadakannya, serta menyempurnakan amal karena Allah, dengan kekuatan yang paling kurang.
          Ketiga: yaitu: diantara dua tingkat tadi. Yaitu: menghadapi kedudukan pengajaran (nasehat), fatwa, riwayat hadits dan mengajar. Dan bahaya padanya sangat sedikit, dibandingkan dengan bahaya pada pemerintahan. Dan lebih banyak daripada yang pada shalat. Maka shalat itu, seyogyalah tidak ditinggalkan oleh orang yang lemah dan orang yang kuat. Akan tetapi, ditolak gurisan ria itu. Dan pemerintahan, seyogyalah ditinggalkan terus, oleh orang-orang yang lemah, tidak oleh orang-orang yang kuat. Dan kedudukan ilmu pengetahuan itu, diantara yang dua tadi. Siapa yang mencoba bahaya kedudukan ilmu, niscaya ia tahu, bahwa kedudukan ilmu itu lebih menyerupai dengan pemerintahan. Dan menjaga diri daripadanya, pada pihak orang yang lemah itu lebih menyelamatkan. Wallahu A’lam Allah Yang Maha Tahu. Dan disini ada tingkat keempat. Yaitu: mengumpulkan harta dan mengambilnya untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak. Maka pada membelanjakan harta dan melahirkan kemurahan, karena menarik pujian dan memasukkan kesenangan kepada hati manusia itu, suatu kelezatan bagi diri. Dan bahaya padanya juga banyak. Dan karena itulah, ditanyakan Al-Hasan Al-Bashari  ra dari hal seorang laki-laki yang mencari makanan pokok (qut). Kemudian sesudah diperolehnya makanan itu ditahannya. Dan seorang laki-laki yang lain, yang mencari lebih dari qutnya. Kemudian ia sedekahkan. Lalu Al-Hasan Al-Bashari  ra menjawab: “Orang yang duduk (tidak mencari) itu, lebih utama (lebih afdhal). Karena apa yang diketahui mereka, dari sedikitnya keselamatan di dunia. Dan sesungguhnya sebahagian dari zuhud itu, meninggal kan dunia, karena mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Abud-Darda ra mengatakan: “Tiadalah menyukakan aku, bahwa aku bermukim pada tangga masjid Damaskus. Lalu aku peroleh setiap hari 50 dinar, yang akan aku sedekahkan. Sesungguhnya aku tidak mengharamkan bagi diriku berjual beli. Akan tetapi aku menghendaki, bahwa aku ini termasuk diantara orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan berjualan, daripada mengingati Allah (dzikrullah)”. Sesungguhnya berselisih pendapat diantara para ulama. Maka segolongan mengatakan, bahwa apabila mencari dunia dari yang halal dan selamat daripada dunia dan menyedekahkannya, maka itu adalah lebih afdhal, daripada menyibukkan diri dengan ibadah dan amal nafilah (amalan sunat). Segolongan mengatakan, bahwa duduk berkekalan pada mengingati Allah (dzikrullah) itu lebih afdhal. Mengambil dan memberi itu mengganggu daripada dzikrullah. Sesungguhnya Nabi Isa Al-Masih as mengatakan: “Hai pencari dunia! Hendaklah memperoleh kebajikan dengan dunia! Engkau tinggalkan dunia itu lebih mendatangkan kebajikan lagi”. Nabi Isa as berkata pula: “Sesedikitnya pada mencari dunia itu, ialah bahwa ia diganggu oleh perbaikannya, daripada dzikrullah. Dan dzikrullah itu lebih agung dan lebih afdhal”. Ini adalah pada orang yang selamat dari bahaya-bahaya. Adapun orang yang mendatangi bahaya ria, maka ditinggalkannya dunia itu lebih mendatangkan kebajikan. Dan sibuk dengan dzikir tiada berselisih pendapat lagi bahwa itu lebih afdhal. Kesimpulannya, bahwa apa yang menyangkut dengan makhluk dan bagi diri ada kelezatan padanya, maka itu adalah tempat berkembangnya bahaya. Dan yang lebih disukai, ialah berbuat amal dan menolak bahaya-bahaya. Jikalau lemah, maka hendaklah memperhatikan dan berusaha sungguh-sungguh. Dan hendaklah meminta fatwa pada hati dan menimbang, apa yang ada padanya kebajikan, dengan apa yang ada padanya kejahatan. Dan hendaklah diperbuat, apa yang ditunjukkan oleh nur ilmu, tidak yang dicenderungi oleh tabiat (karakter). Kesimpulannya, bahwa apa yang didapati lebih ringan pada hati, maka pada kebanyakannya itu lebih mendatangkan melarat kepadanya. Karena nafsu itu tidak mengisyaratkan, selain dengan kejahatan. Dan sedikitlah nafsu itu memperoleh kelezatan pada kebajikan dan cenderung kepada kebajikan. Walaupun ada, yang demikian itu, tidak jauh pula pada sebahagian keadaan. Inilah hal-hal yang tidak mungkin hukumnya, diatas uraian-uraiannya dengan negatif (nafi) dan positif (itsbat). Itu adalah terserah kepada kesungguhan (ijtihad) hati. Supaya ia melihat padanya, karena agamanya. Dan meninggalkan apa yang meragukan, kepada yang tidak meragukan. Kemudian, kadang-kadang terjadi dari apa yang kami sebutkan itu, tipuan bagi orang bodoh. Lalu ia memegang harta dan tidak membelanjakannya, karena takut dari bahaya. Dan itu adalah kikir yang sebenarnya. Dan tiada berselisih pendapat diantara para ulama, tentang membagikan harta pada hal yang mubah (yang diperbolehkan), lebih-lebih lagi hal sedekah itu, lebih afdhal daripada menahannya. Dan berselisih pendapat itu, ialah mengenai orang yang memerlukan kepada usaha, bahwa yang afdhal: usaha dan membelanjakan atau semata-mata berdzikir. Dan yang demikian, karena pada usaha itu terdapat bahaya-bahaya. Adapun harta yang diperoleh dari yang halal, maka membagikannya adalah lebih afdhal daripada menahannya dalam segala hal. Jikalau anda bertanya: dengan tanda apa anda ketahui, bahwa orang alim dan orang yang memberi pengajaran (nasehat) itu, orang yang benar, lagi ikhlas pada pengajarannya, tiada menghendaki memperlihatkan (ria) kepada manusia?. Maka ketahuilah, bahwa yang demikian itu mempunyai tanda-tanda: salah satu daripadanya, bahwa kalau muncul orang yang lebih baik pengajarannya daripadanya atau lebih banyak ilmunya daripadanya dan manusia sangat menerima pengajaran orang itu, niscaya ia bergembira dan tidak dengki kepadanya. Ya, tiada mengapa ghibthah. Yaitu: bercita-cita bagi dirinya sendiri, seperti ilmu orang itu. Tanda yang lain, bahwa apabila pembesar-pembesar hadir pada majelisnya, niscaya tidak berobah perkataannya. Akan tetapi, tetap sebagaimana yang sudah-sudah. Ia melihat kepada makhluk dengan satu mata penglihatan (tidak ada perbedaan penglihatannya diantara seorang dengan lainnya). Tanda yang lain, bahwa ia tidak menyukai orang mengikutinya di jalan dan orang berjalan di belakangnya di pasar-pasar. Dan bagi yang demikian, banyak tanda-tanda, yang panjang penghinggaan nya. Diriwayatkan dari Sa’id bin Abi Marwan, yang mengatakan: “Adalah aku duduk di samping Al-Hasan, ketika masuk ke tempat kami Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, dari sebahagian pintu masjid. Dan bersama Al-Hajjaj itu pengawalnya. Al-Hajjaj itu mengendarai kuda Rum berwarna kuning (burdzun ashfar). Lalu Al-Hajjaj itu masuk ke halaman masjid dengan mengendarai burdzunnya. Maka ia menoleh ke sana ke mari dalam masjid. Lalu tidak dilihatnya di belakangnya, lebih ramai dari kelompok (halqah) Al-Hasan. Maka ia menuju ke halqah tersebut, sehingga ia sampai dekat halqah itu. Kemudian, ia melipatkan pahanya, lalu turun dari kuda dan berjalan menuju Al-Hasan. Tatkala Al-Hasan melihat Al-Hajjaj menuju kepadanya, lalu beliau renggangkan tempat untuk Al-Hajjaj di samping tempat duduknya. Sa’id –perawi riwayat ini- mengatakan: “Akupun merenggangkan pula untuk Al-Hajjaj di samping tempat dudukku. Sehingga, diantara aku dan Al-Hasan, terdapat renggang dan tempat duduk bagi Al-Hajjaj. Lalu Al-Hajjaj datang dan ia duduk antara aku dan Al-Hasan. Dan Al-Hasan terus berbicara dengan pembicaraan yang dibicarakannya pada setiap hari. Al-Hasan tiada memutuskan perkataannya”. Sa’id meneruskan riwayatnnya: “Lalu aku mengatakan pada diriku. Aku akan mencoba Al-Hasan hari ini. Akan aku lihat, adakah terbawa Al-Hasan oleh duduknya Al-Hajjaj di sampingnya, untuk menambahkan pada perkataannya, yang mendekatkan dia kepada Al-Hajjaj? Atau terbawa Al-Hasan oleh kehebatan Al-Hajjaj, bahwa ia mengurangi perkataannya?”. Maka Al-Hasan itu berkata-kata dengan suatu perkataan, yang serupa dengan apa yang diperkatakannya pada setiap hari. Sehingga ia selesai kepada akhir perkataannya. Tatkala Al-Hasan telah selesai daripada perkataannya dan dia tidak perduli dengan Al-Hajjaj, lalu Al-Hajjaj mengangkat tangannya dan memukul bahu Al-Hasan. Kemudian, Al-Hajjaj mengatakan: “Benarlah Asy-Syaikh dan telah berbuat baik!”. Maka haruslah kamu semua dengan majelis ini dan yang serupa dengan majelis ini! Maka buatlah majelis ini menjadi tingkah laku dan kebiasaan. Sesungguhnya sampai kepadaku dari Rasulullah saw yang mengatakan: “Bahwa majelis dzikir itu adalah kebun sorga”. Jikalau tidaklah apa yang kami tanggung dari urusan manusia, niscaya tidaklah kamu mengalahkan kami atas majelis ini. Karena kami ketahui dengan kelebihannya”. Sa’id meneruskan riwayatnya: “Kemudian, Al-Hajjaj membuka mulutnya, lalu berkata, yang menakjubkan Al-Hasan dan orang-orang yang hadir, dari kemahirannya berbicara (balaghahnya). Tatkala Al-Hajjaj telah selesai berbicara, lalu ia bangun berdiri. Maka datanglah seorang laki-laki dari penduduk negeri Syam (Syiria) ke majelis Al-Hasan tersebut, ketika Al-Hajjaj sudah bangun berdiri, seraya mengatakan: “Wahai hamba Allah yang muslimin! Apakah kamu tidak heran, bahwa aku ini seorang tua yang telah lanjut usianya? Aku disuruh berperang, lalu aku mengeluarkan perbelanjaan berupa kuda, baghal (seperti keledai) dan aku mengeluarkan perbelanjaan membuat kemah. Dan aku mempunyai 300 dirham dari pemberianku. Dan aku mempunyai 7 orang anak perempuan dari keluargaku”. Lalu orang tua tersebut mengadukan halnya, sehingga hancurlah hati Al-Hasan dan sahabat-sahabatnya. Dan Al-Hasan menelungkupkan kepalanya. Tatkala orang itu selesai dari berbicara, lalu Al-Hasan mengangkat kepalanya, seraya mengatakan: “Apakah kiranya mereka! Mereka diperangi oleh Allah! Mereka mengambil hamba-hamba Allah itu menjadi pelayan dan harta Allah itu bergiliran. Mereka membunuh manusia atas dinar dan dirham. Maka apabila ia memerangi musuh Allah, niscaya ia berperang dalam kemah yang hebat dan di atas baghal yang cepat. Dan apabila ia suruh berperang saudaranya, niscaya disuruhnya berperang dalam keadaan lapar, lagi berjalan kaki”. Maka tidaklah Al-Hasan itu tenang, sehingga disebutnya mereka itu, dengan kekurangan yang paling keji dan sangat buruk. Lalu orang yang dari penduduk negeri Syam tadi, bangun berdiri, yang tadinya ia duduk dekat Al-Hasan. Lalu ia berjalan kepada Al-Hajjaj. Dan diceritakannya kepada Al-Hajjaj perkataan Al-Hasan. Al-Hasan tetap pada tempat semula, sehingga datanglah kepadanya utusan-utusan Al-Hajjaj. Para utusan itu lalu mengatakan: “Perkenankanlah permintaan Amir!”. Lalu Al-Hasan bangun berdiri. Dan kami kasihan kepadanya, dari sangat keras perkataannya, yang diperkatakannya. Maka demikianlah Al-Hasan itu, sehingga ia kembali ke tempat duduknya yang semula. Dan dia itu tersenyum dan sedikitlah aku melihat mulutnya terbuka, yang ia tertawa. Sesungguhnya dia itu tersenyum. Lalu ia menghadap kedepan sehingga ia duduk pada tempatnya yang semula. Ia mengagungkan amanah dan mengatakan: “Sesungguhnya kamu duduk-duduk dengan amanah. Seakan-akan kamu menyangka, bahwa hiyanat itu tidak ada, selain pada dinar dan dirham. Sesungguhnya kihanat yang paling besar, ialah: bahwa duduk-duduk bersama kita, seorang laki-laki. Lalu kita merasa tentram duduk di sampingnya. Kemudian, orang itu berjalan, lalu ia berjalan pelan-pelan dengan kita, kepada bunga api neraka. Sesungguhnya aku datang kepada orang itu, lalu ia mengatakan: “Aku pendekkan atasmu dari lidahmu!” dan perkataanmu!” Apabila orang itu memerangi musuh Allah begitu-begitu dan apabila ia menyuruh saudaranya berperang, niscaya disuruhnya berperang begitu Tak ada bapakmu! Kamu gerakkan manusia atas kami? Adapun aku adalah di atas yang demikian. Dilembutkan mereka oleh nasehatmu. Maka aku pendekkan atasmu dari lidahmu”. Sa’id meneruskan riwayatnya: “Lalu Al-Hajjaj itu ditolak oleh Allah daripadaku”. Dan Al-Hasan mengendarai keladainya, bermaksud pulang ke rumahnya. Maka tiba-tiba waktu ia sedang berjalan, ketika ia berpaling, lalu dilihatnya orang banyak mengikutinya. Maka ia berhenti, seraya bertanya: “Adakah kamu mempunyai hajat keperluan? Atau kamu mau menanyakan sesuatu? Jikalau tidak, maka kembalilah!”. Maka tidaklah tinggal ini dari hati hamba Allah. Dengan tanda-tanda tersebut dan yang seperti tanda-tanda itu, jelaslah rahasia batin. Dan manakala anda melihat alim ulama, yang berlainan satu sama lain dan berdengki-dengkian, tidak jinak-menjinakkan hati dan tidak bertolong-tolongan, maka ketahuilah, bahwa mereka itu telah membeli kehidupan dunia dengan harganya akhirat. Maka mereka itu rugi. Wahai Allah Tuhan kami! Kasihanilah kami dengan kasih-sayangMu, wahai yang Maha Pengasih dari yang pengasih!.
PENJELASAN: apa yang shah dari kerajinan hamba bagi ibadah, disebabkan dilihat makhluk dan apa yang tidak shah.
Ketahuilah, bahwa seseorang itu kadang-kadang bermalam bersama orang banyak pada suatu tempat. Lalu mereka itu bangun malam untuk shalat tahajjud. Atau bangun sebahagian mereka. Lalu mereka itu mengerjakan shalat malam seluruhnya atau sebagiannya. Dan orang yang tersebut di atas tadi, adalah termasuk orang yang bangun malam di rumahnya, mendekati sesaat saja. Maka apabila ia melihat orang banyak, lalu bangkit kerajinannya, untuk menyesuaikan diri. Sehingga ia menambahkan di atas yang dibiasakannya. Atau ia mengerjakan shalat, sedang dia tidak pernah membiasakan sekali-kali mengerjakan shalat malam (shalat tahajjud). Demikian pula, kadang-kadang ia berada pada suatu tempat, dimana orang tempat tersebut mengerjakan puasa. Maka membangkitlah baginya kerajinan pada berpuasa. Dan jikalau mereka tidak ada, niscaya tidaklah membangkit kerajinan itu. Maka ini, kadang-kadang disangka orang bahwa itu ria. Dan yang wajib (yang perlu) ialah meninggalkan penyesuaian dengan mereka itu. Dan tidaklah seperti yang demikian, secara mutlak. Akan tetapi ada penguraian. Karena setiap orang mukmin itu gemar pada ibadah kepada Allah Ta’ala, pada bangun malam untuk shalat tahajjud dan puasa pada siang hari. Akan tetapi, kadang-kadang dihalangi oleh penghalang-penghalang, dicegah oleh kesibukan dan dikerasi oleh ketekunan pada hawa nafsu. Atau ditarik oleh kelalaian. Maka kadang-kadang, adanya dilihat oleh orang lain itu menjadi sebab hilangnya kelalaian. Atau tertolaknya penghalang-penghalang dan kesibukan pada sebahagian tempat. Lalu membangkitlah kerajinan. Kadang-kadang orang itu di tempatnya sendiri. Lalu dipotong oleh beberapa sebab, daripada mengerjakan shalat tahajjud. Seperti: nyenyaknya tidur di atas tempat tidur yang empuk. Atau tetapnya bersenang-senang dengan isterinya. Atau bercakap-cakap bersama keluarga dan kaum kerabatnya. Atau sibuk dengan anak-anaknya. Atau membaca perhitungan bersama orang-orang yang berjual beli dengan dia. Maka apabila ia berada pada tempat tinggal yang jauh, niscaya tertolaklah segala yang menyibukkan itu, yang melemahkan kegemarannya dari kebajikan. Dan berhasillah sebab-sebab baginya, yang membangkitkan kepada kebajikan, seperti: dilihatnya mereka. Dan mereka itu sudah menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling daripada dunia. Maka ia melihat kepada mereka. Lalu ia berlomba-lomba dengan mereka. Dan sulitlah baginya, oleh sebab mereka itu telah mendahuluinya dengan ketaatan kepada Allah. Maka tergeraklah pengajaknya karena agama, tidak karena ria. Atau kadang-kadang ia dipisahkan oleh tidur, karena tidak disenanginya tempat itu ataupun sebab yang lain. Maka ia memperoleh hilangnya tidur. Dan pada tempatnya sendiri, kadang-kadang ia dikerasi oleh tidur. Dan kadang-kadang bertambah kepadanya, bahwa ia selalu pada tempatnya sendiri. Dan dirinya tidak membolehkan selalu dengan mengerjakan shalat tahajjud. Dan dirinya itu membolehkan shalat tahajjud tersebut pada waktu yang sedikit saja. Maka adalah yang demikian itu, sebabnya kerajinan ini, serta tertolaknya penghalang-penghalang lainnya. Kadang-kadang sukar kepadanya berpuasa di tempatnya sendiri dan bersama dia makanan-makanan yang enak. Dan sulit ia bersabar dari makanan itu. Maka apabila ia berhajat kepada makanan tersebut, niscaya tidak sukar kepadanya. Lalu tergeraklah ajakan agama untuk berpuasa. Maka nafsu-syahwat yang ada itu adalah penghalang-penghalang dan pendorong-pendorong yang mengalahkan penggerak agama. Apabila ia selamat daripadanya, niscaya kuatlah penggerak itu. Maka ini dan sebab-sebab yang lain yang seumpama ini, dapatlah tergambar akan terjadi. Dan yang menjadi sebab padanya, ialah: dilihat manusia dan adanya dia bersama manusia itu.  Dan setan serta yang demikian, kadang-kadang menghalangi dari amal. Dan mengatakan: “Jangan engkau melakukan amal! Sesungguhnya engkau itu adalah berbuat ria. Karena engkau tidak melakukan amal di rumah engkau sendiri. Dan jangan engkau tambahkan atas shalat engkau yang biasa!”. Kadang-kadang ada kegemarannya itu pada menambahkan, karena dilihat mereka. Dan karena takut dari celaan mereka. Dan karena dikaitkan mereka, bahwa dia itu malas. Lebih-lebih lagi, apabila mereka itu menyangka, bahwa dia bangun malam untuk shalat tahajjud. Dan dirinya tidak membolehkan, bahwa dia jatuh derajatnya (gengsinya) dari mata mereka. Lalu ia menghendaki memelihara kedudukannya. Dan ketika itu, kadang-kadang setan mengatakan: “Bershalatlah, sesungguhnya engkau itu orang yang ikhlas! Dan engkau tidak mengerjakan shalat lantaran mereka. Akan tetapi karena Allah. Dan sesungguhnya engkau tidak mengerjakan shalat pada setiap malam, karena banyaknya penghalang-penghalang. Dan sesungguhnya yang mengajak engkau kepada shalat itu, adalah karena hilangnya penghalang-penghalang. Tidak karena dilihat oleh mereka”. Dan ini adalah hal yang meragukan, kecuali bagi orang-orang yang mempunyai bashirah (mata hati). Maka apabila diketahui, bahwa penggerak itu ria, lalu tiada seyogyalah ia menambahkan, daripada yang dibiasakannya. Dan tidak, walau satu rakaatpun. Karena ia menjadi maksiat kepada Allah, dengan mencari pujian manusia, dengan ketaatan kepada Allah. Dan jikalau kebangkitannya untuk menolak penghalang-penghalang dan tergeraknya kegemaran dan perlombaan, disebabkan ibadah mereka, maka hendaklah ia menyesuaikan dengan mereka. Tanda yang demikian, ialah mengemukakan kepada dirinya bahwa jikalau ia melihat mereka mengerjakan shalat, dari tempat yang kira-kira mereka tidak melihat dia. Akan tetapi dari balik tabir. Dan dia pada tempat itu sendiri. Adakah dirinya bermurah hati dengan shalat dan mereka itu tidak melihatnya? Jikalau dirinya bermurah hati dengan shalat itu, maka hendaklah ia shalat! Maka sesungguhnya, ialah kebenaran. Dan jikalau ada yang demikian itu berat atas dirinya, jikalau ia jauh dari mata mereka, maka hendaklah ditinggalkannya shalat itu. Maka sesungguhnya penggeraknya, ialah: ria. Begitu pula, kadang-kadang manusia itu datang pada hari Jum’at pada masjid Jami’ (masjid yang dipakai untuk shalat Jum’at), dari rajinnya shalat, apa yang tidak didatanginya setiap hari. Dan mungkin ada yang demikian itu, karena suka pujian mereka. Dan mungkin ada kerajinannya itu, disebabkan kerajinan mereka. Dan hilang kelalaiannya, disebabkan menghadapnya mereka kepada Allah Ta’ala. Kadang-kadang dengan yang demikian, tergeraklah penggerak agama dan dibarengi oleh tertariknya nafsu kepada kesukaan pujian. Maka manakala diketahuinya, bahwa yang mengeras pada hatinya, ialah kehendak agama, maka tiada seyogyalah, ia meninggalkan amal, dengan apa yang didapatinya, daripada kesukaan pujian. Akan tetapi seyogyalah, ditolaknya yang demikian itu atas dirinya dengan kebencian. Dan ia berbuat mengerjakan ibadah. Begitu pula, kadang-kadang suatu jama’ah (rombongan ibadah) itu menangis. Lalu ia melihat kepada mereka. Maka datanglah tangisnya, karena takut kepada Allah Ta’ala, tidak karena ria. Dan jikalau ia mendengar perkataan itu sendirian, niscaya dia tidak menangis. Akan tetapi, tangisan manusia membekas pada melunakkan hatinya. Kadang-kadang tidak datang tangisnya. Lalu ia turut menangis, sekali karena ria dan pada lain kali, serta kebenaran. Karena ia takut atas dirinya, akan kekesatan hati, ketika mereka itu menangis dan dia tidak keluar air matanya. Lalu ia turut menangis, dengan paksaan. Dan itu adalah terpuji. Dan tanda kebenaran padanya, ialah bahwa ia kemukakan kepada dirinya, bahwa jkalau ia mendengar tangisan mereka, dari tempat yang kira-kira mereka tiada melihatnya, maka adakah ia takut atas dirinya, akan kekesatan hati, lalu ia membuat dirinya menangis atau tidak? Maka jikalau ia tidak mendapati yang demikian, ketika diumpamakan tersembunyi dari mata mereka, maka sesungguhnya takutnya itu, adalah dari dikatakan, bahwa dia itu kesat hati. Maka seyogyalah, ia meninggalkan membuat tangisan itu. Lukman as mengatakan kepada puteranya: “Janganlah engkau memperlihatkan kepada manusia, bahwa engkau takut kepada Allah, supaya mereka memuliakan engkau! Dan hatimu itu zalim”. Begitu pula memekik, menarik nafas dan mengerang (mengatakan aduh dsb) ketika mendengar pembacaan Alquran atau dzikir atau pada sebahagian keadaan yang berlaku. Sekali ada yang demikian itu dari kebenaran, kesedihan, ketakutan, penyesalan dan keluhan. Dan kali yang lain, ada yang demikian itu, karena dilihatnya kesedihan orang lain dan kekesatan hatinya. Lalu ia memberatkan dirinya (memaksakan dirinya) untuk menarik nafas dan mengeluh. Dan ia turut bersedih. Yang demikian itu terpuji. Kadang-kadang dibarengi oleh kegemaran pada yang demikian, untuk menunjukkan bahwa dia itu banyak kesedihan. Supaya ia dikenal orang dengan yang demikian. Jikalau semata-mata itu mengajaknya, maka itu ria namanya, walaupun pengajak itu dibarengi dengan pengajak kesedihan. Jikalau ajakan itu ditolaknya, tidak diterimanya dan tidak disukainya, niscaya selamatlah tangisannya dan turutnya dalam tangisan itu. Dan jikalau diterimanya yang demikian dan ia cenderung kepadanya dengan hatinya, niscaya binasalah pahalanya. Lenyaplah usahanya. Dan ia mendatangi bagi kemarahan Allah Ta’ala. Dan kadang-kadang asal keluhan itu dari kesedihan. Akan tetapi, dipanjangkannya dan ditambahkannya pada meninggikan suara. Maka tambahan itu adalah ria. Dan itu terlarang. Karena tambahan itu pada hukum permulaannya, adalah karena semata-mata ria. Kadang-kadang berkobar dari ketakutan itu, apa yang tiada dikuasai oleh hamba itu akan dirinya. Akan tetapi didahului oleh gurisan ria. Lalu diterimanya. Maka gurisan ria itu mengajak kepada tambahan penyedihan suara. Atau meninggikan suara. Atau menjaga terus air mata mengalir pada muka. Sehingga air mata itu dilihat orang, sesudah turunnya, karena takut kepada Allah. Akan tetapi dipelihara bekasnya pada muka, untuk karena ria. Begitu pula, kadang-kadang ia mendengar dzikir. Lalu lemah kekuatannya dari ketakutan. Lalu ia jatuh. Kemudian, ia malu untuk dikatakan, bahwa dia jatuh dari bukan hilangnya akal dan keadaan yang berat bagi dirinya. Lalu ia menjerit dan memperlihatkan dirinya sedih, secara paksaan. Supaya ia memperlihatkan, bahwa ia jatuh karena pingsan. Sesungguhnya adalah permulaan jatuh itu dari kebenaran. Dan kadang-kadang hilang akalnya, lalu ia jatuh. Akan tetapi, ia segera sembuh. Lalu dirinya gundah, bahwa dikatakan: keadaannya itu tidak tetap. Sesungguhnya, keadaannya itu seperti petir yang menyambar. Lalu ia berkekalan memekik dan menari, supaya dilihat keterusan keadaannya yang demikian. Begitu pula kadang-kadang ia sembuh, sesudah lemah. Akan tetapi, kelemahannya hilang dengan segera. Lalu ia gundah, bahwa dikatakan: pingsannya itu tidak benar. Kalau benar, tentu lemahnya itu berjalan terus. Lalu ia meneruskan melahirkan kelemahan dan pengeluhan. Maka ia bersandar pada orang lain, supaya dilihat orang, bahwa dia lemah daripada berdiri. Dan ia membuat terhoyong pada berjalan dan mendekatkan langkah kakinya, untuk melahirkan, bahwa dia itu lemah daripada berjalan cepat. Maka ini semua, adalah tipu daya setan dan tikaman nafsu. Dan apabila sudah berbahaya, maka obatnya, ialah dia harus ingat, bahwa jikalau manusia mengetahui akan nifaq (kemunafikan)nya pada batiniyahnya dan mereka melihat kepada dlamirnya (hati kecilnya), niscaya manusia itu akan mengutuknya. Dan sesungguhnya Allah Ta’ala melihat kepada dlamirnya. Dan Dia lebih lagi mengutuknya. Sebagaimana diriwayatkan dari Dzin Nun ra, bahwa Dzin Nun itu bangun berdiri dan memekik. Lalu bangun berdiri bersama dia seorang syaikh lain, dimana Dzin Nun melihat padanya tanda pemaksaan diri. Lalu Dzin Nun mengatakan: Hai syaikh, yang melihat engkau ketika engkau bangun berdiri!”. Lalu syaikh itu duduk. Semua itu termasuk amal perbuatan orang-orang munafik. Dan tersebut pada hadits: “Berlindunglah dengan Allah dari khusuknya kemunafikan!”. Sesungguhnya khusuk kemunafikan itu, ialah: khusuknya semua anggota badan, sedang hati tidak khusuk. Dan termasuk diantara yang demikian itu: memohonkan ampun (istighfar) dan berlindung (isti’adzah) dengan Allah dari azab dan marahNya. Yang demikian itu, kadang-kadang adanya karena gurisan ketakutan, teringat dosa dan penyesalan atas dosa. Dan kadang-kadang, karena berbuat ria. Maka ini adalah gurisan-gurisan yang datang kepada hati, yang berlawanan, yang bersamaan, yang berdekatan antara satu dengan lainnya. Yaitu: serta berdekatan satu sama lainnya, adalah terdapat keserupaan. Maka intiplah hatimu, pada tiap-tiap yang terguris bagi kamu! Perhatikanlah, apa dia itu dan dari mana dia itu! Maka jikalau dia itu, karena Allah, maka teruskanlah! Dan jagalah serta yang demikian, bahwa ada yang tersembunyi kepada engkau, sesuatu dari ria yang dia itu, seperti: merangkulnya semut! Dan hendaklah engkau di atas ketakutan dari ibadah engkau, adakah ibadah itu diterima atau tidak? Karena takutnya engkau di atas keikhlasan padanya. Dan jagalah bahwa selalu membaru bagi engkau, gurisan kecenderungan kepada pujian mereka, sesudah masuk pada amal dengan ikhlas! Maka sesungguhnya yang demikian itu, termasuk yang banyak sekali. Apabila terguris bagi engkau, maka bertafakurlah, pada dilihat oleh Allah atas engkau dan kutukanNya kepada engkau! Dan ingatlah, apa yang dikatakan oleh salah seorang dari 3 orang, yang bermusuhan dengan Ayyub as, ketika ia mengatakan: “Hai Ayyub! Apakah engkau tidak tahu, bahwa hamba itu disesatkan oleh keterus-terangnya (‘alaniyah)nya, dimana ia menipu dirinya sendiri dan dibalasi dengan kerahasiaan (sarirah)nya”. Dan doa setengah mereka: “Aku berlindung dengan ENGKAU, bahwa dilihat oleh manusia, bahwa aku takut kepada ENGKAU dan ENGKAU mengutuk aku”. Dan adalah diantara doa Ali bin Al-Husain ra, yaitu: “Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung dengan ENGKAU, bahwa ENGKAU baguskan pada kilatan mata, akan ‘alaniyahku/keterus-terangku. Dan ENGKAU kejikan bagi ENGKAU, pada apa yang aku sembunyikan akan sarirah/kerahasiaan, yang memelihara kepada dilihat manusia dari diriku. Dan menyia-nyiakan bagi apa yang ENGKAU melihatnya daripadaku. Aku lahirkan kepada manusia, yang terbaik urusanku. Dan aku membawa kepada ENGKAU dengan amalku yang terjahat. Karena mendekatkan diri kepada manusia dengan kebaikan-kebaikanku. Dan lari daripada mereka, kepada ENGKAU dengan keburukan-keburukanku. Maka turunlah kepadaku kutukan ENGKAU. Dan haruslah atasku, kemarahan ENGKAU. Lindungilah aku daripada yang demikian, wahai Tuhan seru sekalian alam!”. Salah seorang dari orang yang 3 itu yang datang kepada Ayyub as, mengatakan: “Hai Ayyub! Apakah engkau tidak tahu, bahwa mereka memelihara ‘alaniyahnya/keterus-terangannya dan menyia-nyiakan sarirahnya/kerahasiaan, ketika meminta hajatnya kepada Tuhan Yang Maha Pengasih? Muka mereka itu hitam”. Maka inilah kesimpulan bahaya ria! Maka hendaklah hamba itu mengintip hatinya, supaya mengetahui bahaya-bahaya itu. Pada hadits ada tersebut: “Bahwa ria hati itu mempunyai 70 pintu”. Dan engkau telah mengetahui, bahwa sebahagiannya itu lebih tersembunyi dari sebahagian yang lain. Sehingga sebahagiannya itu, seperti: merangkaknya semut. Dan bagaimana dapat diketahui apa yang lebih tersembunyi daripada merangkaknya semut, selain dengan bersangatan mencari dan mengintip. Mudah-mudahan dapat mengetahuinya sesudah memberikan tenaga. Maka bagaimana diharap dapat mengetahuinya, tanpa mencari bagi hati dan ujian bagi diri dan pemeriksaan daripada tipuannya. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala, akan sehat-afiat dengan nikmat, kurnia dan kebaikanNya.
PENJELASAN: apa yang seyogyanya bagi murid untuk mengharuskan dirinya sebelum amal, sesudah amal & dalam amal.
Ketahuilah, bahwa yang lebih utama, dari apa yang diharuskan oleh murid akan hatinya, pada semua waktunya, ialah: merasa cukup (qana’ah), dengan diketahui oleh Allah (ilmu Allah), pada semua taatnya. Dan tiada yang merasa cukup/qana’ah dengan ilmu Allah, selain orang yang tiada takut selain Allah. Dan tiada mengharap, selain Allah. Adapun orang yang takut kepada selain Allah dan menaruh harapan kepada selain Allah, niscaya ia ingin dilihat orang kepada kebagusan keadaannya. Maka kalau ia berada pada tingkat ini, maka hendaklah ia mengharuskan hatinya, membenci yang demikian dari pihak akal dan iman. Karena padanya, bahaya yang mendatangkan kutukan. Dan hendaklah ia mengintip dirinya ketika taat yang besar, lagi yang sukar, yang tiada mampu orang lain kepada ketaatan itu. Sesungguhnya nafsu ketika itu, hampirlah mendidih, karena mengharapkan kepada tersiar (terkenal). Nafsu itu mengatakan: “Seperti amal yang besar ini atau takut yang besar ini atau tangis yang besar ini, jikalau diketahui oleh makhluk, dari engkau, niscaya mereka sujud kepada engkau. Tiada dari makhluk, orang yang sanggup seperti itu. Maka bagaimana engkau rela (setuju) dengan menyembunyikannya? Lalu manusia tidak mengetahui tempat engkau, mereka mengingkari kedudukan engkau dan mereka tidak membolehkan mengikuti engkau”. Maka pada keadaan yang seperti ini, seyogyalah ia menetapkan tapak kakinya. Dan mengingati pada membanding besar amalnya, dengan kebesaran Raja akhirat, nikmat sorga, berkekalannya selama-lamanya. Besar kemarahan Allah dan kutukanNya atas orang, yang mencari dengan ketaatannya, akan pahala dari hamba-hambaNya. Ia tahu, bahwa melahirkan amal itu kepada yang lain dari Allah Ta’ala, adalah menjadi kesukaannya, jatuh daripada Allah dan membinasakan amal besar. Maka ia mengatakan: “Bagaimanakah aku mengikutkan seperti amal ini, dengan pujian makhluk, padahal makhluk itu lemah, tiada sanggup memberikan rezeki kepadaku dan tidak sanggup menentukan ajal?”. Maka ia mengharuskan yang demikian, akan hatinya. Dan tiada seyogyalah, ia berputus asa daripada yang demikian. Lalu ia mengatakan: “Sesungguh nya yang mampu kepada keikhlasan, hanyalah orang-orang yang kuat. Adapun orang-orang yang mencampur-adukkan, maka tiadalah demikian dari keadaan mereka”. Lalu ia meninggalkan kesungguhan pada keikhlasan. Karena orang yang mencampur-adukkan itu, lebih memerlukan kepada yang demikian, daripada orang yang taqwa. Karena orang yang taqwa, jikalau rusak amal nafilahnya (amal sunatnya), niscaya masih ada amal fardlunya, dalam keadaan lengkap dan sempurna. Dan orang yang mencampur adukkan itu, tiada terlepas amal fardlunya daripada kekurangan. Dan memerlukan kepada penambalan dengan amal nafilah (amal sunat). Maka jikalau tidak selamat, niscaya jadilah dia itu diambil dengan amal fardlu dan ia binasa. Maka orang yang mencampur-adukkan kepada keikhlasan itu, lebih lagi memerlukan. Dirawikan oleh Tamim Ad-Dari, dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Hamba itu akan diadakan perhitungan (hisab) amalnya pada hari kiamat. Maka jikalau kurang amal fardlunya, niscaya dikatakan: “Lihatlah, adakah ia mempunyai amal sunat? Jikalau ada ia mempunyai amal sunat, niscaya disempurnakan dengan amal sunat itu, amal fardlunya. Dan jikalau ia tiada mempunyai amal sunat, niscaya ia diambilkan dengan kedua bahagian badannya. Lalu dilemparkan dalam neraka”. Maka orang yang mencampur-adukkan itu, datang pada hari kiamat dan amal fardlunya kurang. Dan ia mempunyai banyak dosa. Maka usahanya, ialah pada menambalkan amal fardlu dan menutupkan perbuatan-perbuatan buruk. Dan tidak mungkin yang demikian. Selain dengan ikhlasnya amal-amal nafilah. Adapun orang yang taqwa, maka usahanya, ialah: pada menambahkan derajat (tingkat). Jikalau amal sunatnya binasa, maka tinggal dari kebaikan-kebaikannya, apa yang kuat diatas perbuatan-perbuatan jahat. Maka ia masuk ke sorga. Jadi, seyogyalah ia mengharuskan hatinya, takut dilihat oleh selain Allah kepadanya. Supaya sah amal nafilahnya. Kemudian, ia mengharuskan hatinya yang demikian, sesudah selesai dari amal. Sehingga ia tidak melahirkan dan memperkatakan akan amalnya. Apabila ia berbuat semua yang demikian, maka seyogyalah bahwa dia itu takut dari amalnya, takut bahwa amalnya dimasuki ria, yang tersembunyi, selama ia tidak mengetahuinya. Maka adalah ia ragu, tentang diterima dan ditolak amalnya, yang jaiz (yang boleh saja), bahwa Allah menentukan kepadanya dari niatnya yang tersembunyi, akan apa yang dikutukNya dan apa yang ditolakNya, disebabkan niat yang tersembunyi itu. Dan adalah keraguan dan ketakutan itu, pada waktu berlangsungnya amal dan sesudahnya amal. Tidak pada permulaan pelaksanaan amal. Akan tetapi, seyogyalah ia meyakini pada permulaan amalnya, bahwa dia ikhlas. Ia tiada menghendaki dengan amalnya, selain Allah. Sehingga sahlah amalnya. Apabila ia sudah masuk pada amal dan telah berlaku sejenak, yang mungkin lalai dan lupa pada masa yang sejenak itu, niscaya adalah takutnya dari lalai, dari campuran yang tersembunyi, yang membinasakan amalnya, dari ria atau ‘ujub (mengherani diri) itu, lebih utama. Akan tetapi, adalah harapannya itu lebih keras daripada takutnya. Karena ia berkeyakinan, bahwa ia telah masuk pada amal dengan ikhlas. Dan ia ragu, tentang: adakah ia telah merusakkan amalnya dengan ria, lalu adalah harapan diterima itu, lebih banyak. Dan dengan demikian, besarlah kelezatannya pada munajah (berbicara langsung dengan Allah) dan taat. Maka ikhlas itu yakin dan ria itu ragu. Dan takutnya bagi ragu itu patut untuk menutupkan gurisan ria, jikalau ria itu sudah terdahulu. Dan ia lalai daripadanya. Dan orang yang mendekatkan diri kepada Allah, dengan usaha pada memenuhi segala keperluan manusia dan menggunakan ilmu itu, seyogyalah bahwa ia mengharuskan dirinya mengharap pahala atas masuknya kegembiraan pada hati orang, yang telah ditunaikannya hajat keperluan orang itu saja. Dan harapan pahala kepada amal orang yang belajar dengan ilmunya saja, tanpa terima kasih (syukur), balasan, pujian dan sanjungan daripada yang belajar dan yang memperoleh nikmat. Maka yang demikian itu membinasakan pahala. Maka manakala ia mengharap dari murid (yang belajar) akan pertolongan pada pekerjaan dan pelayanan atau menemaninya pada perjalanan di jalan, supaya menjadi banyak dengan pengikutannya atau pulang-pergi daripadanya pada keperluan, maka sesungguhnya ia telah mengambil pahalanya. Maka tiada pahala baginya yang lain. Ya, jikalau ia tidak mengharap dan tidak bermaksud, selain pahala atas amalnya dengan ilmunya, sesungguhnya adalah baginya seperti pahalanya. Bahkan, ia dilayani oleh murid dengan dirinya sendiri, lalu ia menerima layanan itu, maka kita berharap, bahwa tiada yang demikian itu, membinasakan pahalanya, apabila ia tidak menantikan dan tiada menghendaki nya dari murid itu. Dan ia tidak merasa jauh dari murid tersebut, jikalau murid itu memutuskan hubungan dengan dia. Dan bersama ini, sesungguhnya ada ulama yang menjaga diri dari ini. Sehingga setengah mereka jatuh dalam sumur. Lalu datang serombongan orang, mengulurkan tali, untuk mengangkatnya ke atas. Maka ia bersumpah kepada mereka, bahwa ia tidak menjumpai bersama mereka, orang yang membaca kepadanya sesuatu ayat dari Alquran. Atau ia mendengar dari orang itu suatu hadits. Karena takut binasa pahalanya. Syaqiq Al-Balkhi mengatakan: “Aku menghadiahkan kepada Sufyan Ats-Tsauri sehelai kain. Lalu dikembalikannya kepadaku. Maka aku mengatakan kepadanya: “Hai Abu Abdillah!. Tidaklah aku ini termasuk orang yang mendengar hadits, sehingga engkau kembalikan kain itu kepadaku?”. Sufyan At-Tsauri menjawab: “Aku tahu yang demikian. Akan tetapi saudara engkau mendengar daripadaku hadits. Maka aku takut, bahwa lembut hatiku bagi saudara engkau itu, lebih banyak daripada lembutnya bagi orang lain”. Seorang laki-laki datang kepada Sufyan, dengan membawa uang 1 badrah (10 ribu dirham) atau 2 badrah (20 ribu dirham). Dan bapak laki-laki tadi adalah teman Sufyan. Dan Sufyan datang kepada bapak laki-laki itu banyak kali. Maka laki-laki tersebut mengatakan kepada Sufyan: “Hai Abu Abdillah! Ada sesuatu untuk diri engkau dari bapakku”. Maka Sufyan menjawab: “Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada bapakmu! Yang sudah, sudahlah”. Dan Sufyan memuji ayah laki-laki tersebut. Lalu laki-laki itu menjawab: “Hai Abu Abdillah ! sesungguhnya engkau tahu, bagaimana jadinya harta ini kepadaku. Maka aku sangat suka, bahwa engkau ambil harta ini. Engkau memperoleh pertolongan dengan harta ini kepada keluarga engkau”. Kata laki-laki itu: lalu Sufyan menerima uang tersebut. Laki-laki tersebut mengatakan, bahwa tatkala ia keluar, lalu Sufyan mengatakan kepada anaknya: “Hai Mubarak ! hubungilah laki-laki itu !”. Maka dikembalikannya lagi harta itu kepadaku. Lalu anak itu kembali”. Lalu laki-laki tersebut mengatakan: “Aku sangat suka untuk engkau ambil harta engkau”. Maka senantiasalah yang demikian, sehingga harta tersebut dikembalikan kepada laki-laki itu. Seakan-akan persaudaraannya dengan bapak laki-laki itu, adalah pada jalan Allah Ta’ala. Maka ia tidak suka mengambil harta itu. Anak Sufyan itu mengatakan: “Maka tatkala laki-laki itu telah keluar, aku tiada menguasai diriku untuk datang kepadanya. Maka aku katakan: “Celaka engkau ! barang apakah kiranya, hatimu ini batu? Hitunglah, bahwa engkau tiada mempunyai keluarga. Apakah engkau tiada kasihan kepadaku? Apakah engkau tiada kasihan kepada saudara-saudara engkau? Apakah engkau tiada kasihan kepada keluarga engkau? Maka aku banyakkan perkataan kepadanya. Lalu ia mengatakan kepadaku: “Hai Mubarak ! engkau makanlah harta itu dengan mengenyangkan dan memuaskan ! dan aku minta, tak usahlah harta itu bagiku”. Jadi, wajiblah bagi orang berilmu (orang alim), mengharuskan hatinya mencari pahala daripada Allah, pada menunjukkan manusia saja. Dan wajib atas orang yang belajar, bahwa mengharuskan hatinya memuji Allah, mencari pahala daripada Allah dan memperoleh kedudukan pada sisi Allah. Tidak pada sisi yang mengajar (guru) dan pada sisi makhluk. Kadang-kadang ia menyangka, bahwa ia boleh berbuat ria dengan taatnya. Supaya ia memperoleh pada sisi guru suatu tingkat. Lalu ia belajar pada guru itu. Dan itu salah. Karena kehendaknya dengan taatnya itu, bukan Allah, adalah kerugian pada waktu itu juga. Dan ilmu itu, kadang-kadang memberi faedah. Dan kadang-kadang tidak memberi faedah. Dan bagaimana ia merugi pada waktu itu juga, akan amal yang sekarang, atas persangkaan ilmu? Dan yang demikian itu tidak boleh. Dan seyogaylah ia belajar karena Allah dan beribadah karena Allah. Dan melayani guru karena Allah. Tidak supaya ada baginya kedudukan pada hati gurunya, jikalau ia bermaksud bahwa belajarnya itu suatu ketaatan. Maka sesungguhnya hamba-hamba itu disuruh untuk tidak menyembah, selain Allah. Dan tidak menghendaki dengan taatnya, selain Allah. begitu pula orang yang melayani dua ibu bapaknya. Tiada seyogyalah ia melayani keduanya, karena mencari kedudukan di sisi keduanya. Kecuali, dari segi bahwa kerelaan Allah itu, pada kerelaan kedua ibu bapak. Dan tidak boleh ia berbuat ria, dengan ketaatannya itu, untuk memperoleh kedudukan pada kedua ibu bapaknya. Maka sesungguhnya yang demikian itu, suatu maksiat pada waktu itu juga. Dan akan dibukakan oleh Allah dari hal rianya. Dan jatuh kedudukannya dari hati ibu bapaknya juga. Adapun orang zuhud, yang mengasingkan diri dari manusia, maka seyogyalah ia mengharuskan hatinya mengingati Allah (dzikrullah) dan merasa cukup (qanaah) dengan ilmunya. Dan tiada terguris pada hatinya, bahwa manusia mengetahui zuhudnya dan diagungkan mereka tempatnya. Maka
Mubarak ! engkau makanlah harta itu dengan mengenyangkan dan memuaskan ! dan aku minta, tak usahlah harta itu bagiku”. Jadi, wajiblah bagi orang berilmu (orang alim), mengharuskan hatinya mencari pahala daripada Allah, pada menunjukkan manusia saja. Dan wajib atas orang yang belajar, bahwa mengharuskan hatinya memuji Allah, mencari pahala daripada Allah dan memperoleh kedudukan pada sisi Allah. Tidak pada sisi yang mengajar (guru) dan pada sisi makhluk. Kadang-kadang ia menyangka, bahwa ia boleh berbuat ria dengan taatnya. Supaya ia memperoleh pada sisi guru suatu tingkat. Lalu ia belajar pada guru itu. Dan itu salah. Karena kehendaknya dengan taatnya itu, bukan Allah, adalah kerugian pada waktu itu juga. Dan ilmu itu, kadang-kadang memberi faedah. Dan kadang-kadang tidak memberi faedah. Dan bagaimana ia merugi pada waktu itu juga, akan amal yang sekarang, atas persangkaan ilmu? Dan yang demikian itu tidak boleh. Dan seyogaylah ia belajar karena Allah dan beribadah karena Allah. dan melayani guru karena Allah. Tidak supaya ada baginya kedudukan pada hati gurunya, jikalau ia bermaksud bahwa belajarnya itu suatu ketaatan. Maka sesungguhnya hamba-hamba itu disuruh untuk tidak menyembah, selain Allah. Dan tidak menghendaki dengan taatnya, selain Allah. begitu pula orang yang melayani dua ibu bapaknya. Tiada seyogyalah ia melayani keduanya, karena mencari kedudukan di sisi keduanya. Kecuali, dari segi bahwa kerelaan Allah itu, pada kerelaan kedua ibu bapak. Dan tidak boleh ia berbuat ria, dengan ketaatannya itu, untuk memperoleh kedudukan pada kedua ibu bapaknya. Maka sesungguhnya yang demikian itu, suatu maksiat pada waktu itu juga. Dan akan dibukakan oleh Allah dari hal rianya. Dan jatuh kedudukannya dari hati ibu bapaknya juga. Adapun orang zuhud, yang mengasingkan diri dari manusia, maka seyogyalah ia mengharuskan hatinya mengingati Allah (dzikrullah) dan merasa cukup (qanaah) dengan ilmunya. Dan tiada terguris pada hatinya, bahwa manusia mengetahui zuhudnya dan diagungkan mereka tempatnya. Maka sesungguhnya yang demikian itu, menanamkan ria dalam dadanya. Sehingga mudahlah kepadanya ibadah dalam khilwahnya (kesunyiannya). Dan sesungguhnya tenangnya, adalah karena diketahui manusia dengan pengasingannya dan pengagungan mereka bagi tempatnya. Dan ia tidak tahu, bahwa yang demikian itu meringankan bagi amalnya. Ibrahim bin Adham ra mengatakan: “Aku mempelajari ma’rifah (mengenal Alalh) dari seorang rahib (pendeta), yang namanya dikatakan: Sam’an. Aku datang kepadanya, dalam biaranya. Aku menanyakan: “Hai Sam’an ! semenjak kapan engkau dalam biara engkau?”. Sam’an menjwab: “Semenjak 70 tahun”. Lalu aku tanyakan lagi: “Apakah makanan engkau?”. Ia menjawab: “Hai Hunaifi: Apakah yang mengajak engkau kepada pertanyaan ini?”. Aku menjawab: “Aku ingin mengetahui nya”. Sam’an itu menjawab: “Pada setiap malam, satu biji kacang putih”. Aku bertanya lagi: “Apakah yang menggerakkan dari hati engkau, sehingga mencukupkan bagi engkau satu biji kacang putih itu?”. Ia menjawab: “Engkau lihat biara yang dihadapan engkau? Aku menjawab: “Ya !”. Lalu ia mengatakan: “Sesungguhnya mereka datang kepadaku pada setiap tahun, sehari. Lalu mereka menghiasi biaraku. Mereka mengelilingi di kelilingnya. Dan mereka membesarkan aku. Maka setiap kali, terasa berat diriku daripada ibadah niscaya diperingatkan diriku itu oleh kemuliaan saat itu. Maka aku pikul kesungguhan setahun untuk kemuliaan sesaat. Maka pikullah, hai Hunaifi, kesungguhan sesaat bagi kemuliaan abadi !”. Maka mentaplah ma’rifah itu pada hatiku. Sam’an lalu menanyakan: “Cukuplah yang demikian bagimu atau aku tambahkan lagi?”. Aku menjawab: “Ya tambahkan !”. Ia menjawab: “Turunlah dari biara !”. Lalu aku turun. Maka diberikannya kepadaku sebuah tabung, yang di dalamnya ada 20 biji kacang putih. Lalu ia mengatakan kepadaku: “Masuklah ke biara itu ! maka mereka akan melihat apa yang aku berikan kepada engkau”. Maka taatkala aku masuk ke biara itu, lalu berkumpullah orang-orang Nasrani kepadaku, seraya bertanya: “Hai Hunaifi ! apakah yang diberikan oleh guru itu kepada kamu?”. Aku menjawab: “Dari makanannya”. Mereka lalu menanyakan: “Apakah yang akan engkau perbuat dengan makanan itu? Dan kami lebih berhak dengan makanan tersebut”. Kemudian, mereka menyambung pertanyaannya: “Tentukan harganya, berapa? Aku menjawab: “20 dinar !”. Lalu mereka memberikan kepadaku 20 dinar. Maka aku kembali kepada pendeta itu. Lalu ia mengatakan: “Hai Hunaifi ! apakah yang engkau perbuat?”. Aku menjawab: “Telah aku jual kepada mereka”. Pendeta itu lalu menanyakan: “Berapa?”. Aku menjawab: “Dengan 20 dinar”. Pendeta itu berkata: “Engkau salah. Jikalau engkau tawarkan kepada mereka dengan 20 ribu dinar, niscaya mereka berikan kepada engkau. Ini adalah kemuliaan orang yang tiada engkau sembah. Maka perhatikanlah, bagaimana adanya kemuliaan yang engkau sembah? Hai Hunaifi ! menghadaplah kepada Tuhan engkau dan tinggalkanlah kepergian dan kedatangan !”. Maksudnya, bahwa perasaan diri kemuliaan keagungan dalam hati itu, adalah penggerak dalam kesunyian (khilwah). Kadang-kadang hamba itu tiada merasakannya. Maka seyogyalah ia mengharuskan dirinya menjaga daripadanya. Dan tiada keselamatannya, ialah: bahwa makhluk dan hewan padanya itu adalah pada satu tingkat (tiada berbeda). Maka jikalau mereka berobah dari kepercayaan mereka kepadanya, niscaya ia tidak gelisah dan tidak sempit (lemah) tenaganya, selain kebencian yang sedikit. Jikalau didapatinya pada hatinya, maka dikembalikannya pada waktu itu juga, dengan akal dan imannya. Maka sesungguhnya jikalau ia ada dalam ibadah dan manusia semua melihat kepadanya, niscaya tidaklah menambahkan yang demikian itu akan khusyu’nya. Dan tidak akan masuk kegembiraan kepadanya, disebabkan dilihat mereka. Kalau masuk sedikit kegembiraan, maka itu dalil kelemahannya. Akan tetapi, apabila ia sanggup menolaknya dengan kebencian akal dan iman dan ia bersegera kepada yang demikian dan ia tidak menerima kegembiraan itu dengan kecenderungan hati kepadanya, maka diharapkan bahwa tiada sia-sia usahanya. Selain bahwa ia menambahkan ketika dilihat mereka, akan kekhusyu’an dan kekecutan hati. supaya mereka tidak bersuka cita kepadanya. Maka yang demikian itu tiada mengapa. Akan tetapi padanya ada tipu daya. Karena diri itu, kadang-kadang nafsu syahwatnya yang tersembunyi, melahirkan khusyu’ dan membuat alasan dengan mencari kekecutan hati. maka ia menuntut dirinya pada dakwaannya, akan maksud kekecutan hati, dengan kepercayaan yang tebal kepada Allah. Dan dia itu, jikalau diketahuinya, bahwa kekecutan hati mereka daripadanya, sesungguhnya berhasil, dengan ia lari cepat atau ia tertawa banyak atau ia makan banyak. Maka dirinya membolehkan dengan yang demikian. Apabila dirinya tidak membolehkan dengan yang demikian dan membolehkan dengan ibadah, maka menyerupailah bahwa kehendaknya, adalah kedudukan pada mereka. Dan tiada terlepas dari yang demikian, selain orang yang menetapkan dalam hatinya, bahwa tidak ada seorangpun pada wujud, selain Allah. Lalu ia mengerjakan amal, sebagai amal orang, yang jikalau ia berada sendirian di permukaan bumi, niscaya ia akan mengamalkannya. Maka hatinya tiada berpaling kepada makhluk, selain gurisan-gurisan lemah yang tidak sukar baginya menghilangkannya. Apabila ada seperti yang demikian, niscaya ia tidak berobah dengan dilihat makhluk. Dan diantara tanda kebenaran padanya, ialah: bahwa, jikalau ia mempunyai dua orang teman, yang seorang kaya dan yang seorang lagi miskin. Maka ia tidak mendapati pada dirinya, ketika datang teman yang kaya itu, bertambahnya keguncangan pada dirinya dan tiada pemuliaan. Kecuali, apabila ada pada teman yang kaya itu, kelebihan ilmu atau kelebihan wara’. Maka adalah ia memuliakannya, disebabkan sifatnya yang demikian. Tidak disebabkan karena kaya. Orang yang kesenangannya lebih banyak pada menyaksikan orang-orang kaya, maka dia itu adalah orang yang berbuat ria atau orang yang rakus. Dan jikalau tidak, maka perhatiannya kepada orang-orang miskin itu, akan menambahkan kegemaran kepada akhirat. Dan menyukakan kepada hatinya ketentraman. Dan perhatian kepada orang-orang kaya itu adalah sebaliknya. Maka bagaimanakah ia merasa senang dengan melihat kepada orang kaya itu, lebih banyak daripada kesenangannya kepada orang miskin? Diceritakan, bahwa ada orang yang tiada melihat orang-orang kaya pada majelis, yang lebih hina, dari majelis Sufyan Ats-Tsauri, dimana majelis itu mendudukan orang-orang kaya di belakang shaf (baris). Dan mendudukkan orang-orang miskin di shaf yang di muka. Sehingga mereka itu berangan-angan kiranya, menjadi orang-orang miskin pada majelis Sufyan Ats-Tsauri. Ya, bagi engkau dapat menambahkan permuliaan kepada orang kaya, apabila orang kaya tersebut keluarga terdekat kepada engkau. Atau ada diantara engkau dan dia, suatu hak atau teman dahulu. Akan tetapi, kira-kira ada yang demikian, jikalau terdapat hubungan yang demikian pada yang miskin, niscaya engkau tidak mendahulukan sekali-kali yang kaya daripada yang miskin pada pemuliaan dan penghormatan. Maka sesungguhnya orang miskin itu lebih mulia pada Allah daripada orang kaya. Maka engkau mengutamakan orang kaya, tiadalah yang demikian, selain karena rakus pada kekayaannya dan berbuat ria kepadanya. Kemudian, apabila engkau samakan antara orang kaya dan orang miskin pada duduk-duduk, maka ditakuti kepada engkau, bahwa engkau melahirkan kebijaksanaan dan kekhusyu’an kepada orang kaya itu, lebih banyak daripada yang engkau lahirkan kepada orang miskin. Sesungguhnya yang demikian itu, ria yang tersembunyi atau loba yang tersembunyi. Sebagaimana dikatakan Ibnus-Samak kepada budak wanitanya: “Apakah kiranya, apabila aku datang di Baghdad, niscaya dibukakan bagiku ilmu hikmah?”. Budak itu lalu menjawab: “Loba itu menajamkan lidah engkau”. Sungguh benar budak wanita itu. Karena lidah itu akan lancar pada orang kaya, dengan apa yang tidak lancar pada orang miskin. Begitu juga, datang daripada kekhusyu’an pada orang kaya, apa yang tidak datang pada orang miskin. Tipu daya hawa nafsu dan segala yang tersembunyi bagi hawa nafsu, pada pengetahuan ini, adalah tiada terhingga. Dan tiada yang melepaskan engkau daripadanya, selain bahwa engkau keluarkan yang selain Allah, dari hati engkau. Dan menjurus semata-mata dengan kasih sayang kepada diri engkau, dari sisa umur engkau. Dan engkau tidak rela dengan neraka bagi diri engkau, disebabkan nafsu syahwat yang kotor pada hari-hari yang berdekatan. Dan adalah engkau dalam dunia, seperti salah seorang raja dunia, yang telah dimungkinkannya oleh nafsu syahwat dan ditolongkannya oleh kelezatan-kelezatan. Akan tetapi, pada badannya sakit. Dan ia takut binasa atas dirinya, pada setiap saat, jikalau ia memperoleh keluasan pada nafsu syahwat. Dan ia mengetahui, bahwa jikalau ia menjaga diri dan berkesungguhan melawan nafsu syahwatnya, niscaya ia hidup dan kekal kerajaannya. Manakala ia mengetahui yang demikian. Lalu ia duduk-duduk dengan tabib-tabib (dokter-dokter) dan ia bergaul dengan orang-orang yang menjual obat-obatan. Ia membiasakan dirinya meminum obat-obat pahit dan bersabar atas buruknya obat itu. Ia meninggalkan semua kelezatan dan ia sabar bercerai dengan kelezatan-kelezatan itu. Maka badannya setiap hari bertambah kurus, karena kurang makannya. Akan tetapi, penyakitnya bertambah kurang setiap hari, karena sangat keras penjagaannya. Maka manakala ditarik oleh nafsunya kepada sesuatu keinginan, niscaya ia berpikir pada berturut-turutnya kesakitan dan kepedihan atas dirinya nanti. Dan yang demikian membawanya kepada kematian, yang menceraikan dia dari kerajaannya, yang membawa kepada makian musuh-musuhnya. Manakala bertambah sulit kepadanya meminum obat, niscaya ia berpikir, tentang apa yang dapat diambilnya faedah dari obat itu, dari kesembuhan yang menjadi sebab ia dapat bersenang-senang dengan kerajaannya dan kenikmatannya, dalam kehidupan yang enak, badan yang sehat, hati yang lapang dan perintah yang tembus. Maka ringanlah kepadanya, meninggalkan kelezatan-kelezatan dan bersabar dari segala yang tidak disenangi. Maka seperti itu pulalah orang mu’min, yang menghendaki Raja akhirat. Ia menjaga dirinya dari setiap yang membinasakannya pada akhiratnya. Yaitu: kelezatan dunia dan kecantikannya. Maka ia mencukupkan dari dunia itu dengan sedikit saja dan memilih kurus, lesu, sepi, gundah, takut dan meninggalkan berjinak-jinakan dengan makhluk. Karena takut daripada bertempatnya kemarahan Allah padanya. Maka ia binasa. Dan mengharap akan kelepasan dari azabNya. Maka ringanlah yang demikian itu semua pada dirinya, ketika sangat yakinnya dan imannya dengan akibat pekerjaannya. Dan dengan apa yang disediakan oleh Allah, baginya dan nikmat yang tetap pada kerelaan Allah untuk selama-lamanya. Kemudian, ia mengetahui, bahwa Allah itu Maha Pemurah, lagi Maha Pengasih, yang senantiasa memberi pertolongan kepada hamba-hambaNya yang menghendaki kerelaanNya. Yang kasihan kepada mereka dan Yang belas kasihan kepada mereka. Jikalau Ia menghendaki, niscaya tidak diperlukanNya dari mereka itu kepayahan. Akan tetapi, Ia menghendaki mencoba mereka dan mengetahui kebenaran kehendak mereka, sebagai hikmah dan keadilanNya. Kemudian, apabila hamba itu menanggung kepayahan pada permulaannya, niscaya Allah menghadapkan kepadanya pertolongan dan kemudahan. Dan menyingkirkan daripadanya kepayahan dan memudahkan kepadanya sabar. Menyukakan kepadanya taat dan memberikan rezeki kepadanya, daripada kelezatan munajah, yang akan melengahkannya dari kelezatan-kelazatan lainnya. Dan menguatkannya kepada mematikan nafsu syahwatnya. Dan menguasai siasat dan penguatannya. Dan menolongnya dengan ma’unah (pertolongan)Nya. Maka sesungguhnya Tuhan Yang Maha Pemurah dan tiada menyia-nyiakan orang yang mengharap dan tiada mengecewakan cita-cita orang yang mecintaiNya. Dialah yang berfirman: “Siapa yang mendekati sejengkal kepadaKu, niscaya Aku mendekatinya sehasta". Ia Yang Maha Tinggi berfirman: “Sesungguhnya telah lamalah kerinduan orang-orang yang baik pada menjumpaiKu. Dan sesungguhnya Aku sangat rindu kepada menjumpai mereka”. Maka hendaklah hamba itu melahirkan pada permulaan akan kesungguhan, kebenaran dan keikhlasannya. Maka tidak memerlukan baginya daripada Allah Ta’ala, pada masa dekat, apa yang layak dengan kemurahan, kemuliaan, kesayangan dan kerahmatanNya. Telah tammat Kitab Tercelanya Kemegahan dan Keriaan. Dan segala pujian itu bagi Allah Tuhan Yang Maha Esa.