Kamis, 13 Februari 2014

27. KITAB TERCELANYA KIKIR DAN TERCELANYA CINTA HARTA

KITAB TERCELANYA KIKIR DAN TERCELANYA CINTA HARTA
YAITU: KITAB KE 7 DARI RUBU YANG MEMBINASA­KAN, DARI KITAB IHYA' ULUMIDDIN.
Segala pujian bagi Allah, yang seharusnya menerima pujian, disebabkan rezeki yang berkembang, yang dianugerahkan Allah yang menghilangkan melarat sesudah putus asa, yang menjadikan makhluk dan meluaskan rezeki, Allah mencurahkan kepada orang‑orang bekerja, bermacam‑macam harta. Dan mencoba mereka pada harta‑harta itu, dengan pertukaran segala hal keadaan. Allah membulak‑balik mereka pa­da harta‑harta itu, diantara sukar dan mudah, kaya dan miskin, loba dan putus asa, kaya dan bangkerut(failit), lemah dan bertenaga, rakus dan qana'ah (mencukupkan Apa yang ada), kikir dan pemurah, gembira dengan yang ada dan sedih atas yang hilang, mengutamakan diri sendiri dan membelanjakan kepada orang lain, merasa lapang dan takut miskin, memboros dan terlalu menghemat, rela dengan sedikit dan memandang hina dengan yang banyak. Semua mereka itu untuk dicoba Allah, siapakah diantara mereka yang lebih baik amal perbuatannya. Dan Allah melihat, siapakah diantara mereka yang memilih dunia, untuk ganti akhirat. Dan mencari ganti dan berpaling dari akhirat. Dan mengambil dunia sebagai simpanan dan pembantunya. Selawat kepada Muhammad yang telah memansukhkan (memba­talkan) Agama‑Agama yang lain, dengan Agama yang dibawanya. la melipatkan segala Agama dan kepercayaan, dengan Syareat yang di­sampaikannya. Dan kepada keluarga dan shahabat‑shahabatnya yang menjalani jalan Tuhannya dengan patuh. Curahkanlah kesejahteraan yang banyak kepada mereka ! Adapun kemudian, sesungguhnya fitnah dunia itu banyak cabang dan seginya, luas sudut dan sampingnya. Akan tetapi, harta itu yang terbesar fitnahnya dan lebih lengkap ujiannya. Lebih besarnya fitnah pada harta itu, ialah: bahwa tiada seorangpun yang tiada memerlukan kepada harta. Kemudian, Apabila harta itu diperoleh, maka tiada selamat (dari kejahatan yang ditimbul­kan oleh harta). Kalau harta itu tidak dipunyai, maka terjadilah kemiskinan yang mendekatkan kepada kekafiran. Dan kalau harta itu diperoleh, niscaya terjadilah kedurhakaan, yang akibatnya tiada lain, selain kerugian. Kesimpulannya, bahwa harta itu tiada terlepas dari faedah dan bahaya. Faedahnya termasuk yang melepaskan dan bahayanya terma­suk yang membinasakan. Membedakan antara kebajikan dan kejahat­annya itu termasuk hal yang sulit, yang tidak mampu membedakan­nya, selain orang‑orang yang mempunyai mata hati (bashirah) pada agama, dari ulama‑ulama yang mendalam ilmunya. Tidaklah mereka yang tahu hanya gambaran ilmu, lagi yang tertipu. Uraian yang demikian itu penting secara tersendiri. Maka Apa yang telah kami sebutkan pada "Kilab Tercelanya Dunia”, tidaklah ditinjau mengenai harta khususnya. Akan tetapi, mengenai dunia umumnya. Karena dunia itu, mencakup tiap-tiap keuntungan yang sege­ra. Dan harta itu setengah dari bahagian‑bahagian dunia. Kemegah­an itu setengah bahagian dunia. Mengikuti nafsu‑keinginan perut dan kemaluan itu setengah bahagian dunia. Kesembuhan dari marah, de­ngan hukum amarah dan dengki itu setengah bahagian dunia. Som­bong dan mencari ketinggian itu setengah bahagian dunia. Dunia itu mempunyai bahagian‑bahagian yang banyak. Dan semuanya itu, dikumpulkan oleh setiap apa yang ada keuntungan yang segera bagi manusia padanya. Dan tinjauan kami sekarang pada Kitab ini, adalah mengenai harta  saja. Karena pada harta itu, banyak baha­ya dan kebinasaan. Dan manusia lantaran tidak mempunyai harta, bersifat miskin. Dan dari adanya harta, bersifat kaya. Miskin dan kaya itu adalah dua keadaan yang mendatangkan percobaan dan uji­an. Kemudian, orang yang tiada mempunyai harta, mempunyai dua keadaan: qanaah (merasa cukup apa adanya) dan loba. Yang satu adalah tercela dan yang satu lagi adalah terpuji. Dan orang yang loba, mempunyai dua keadaan:  loba Pada yang ada di tangan manusia lain. Dan menyiapkan diri bagi peker­jaan-pekerjaan dan perusahaan‑perusahaan, serta tiada mengharap ­dari bantuan makhluk. Loba itu yang terjahat dari dua keadaan tersebut. Dan orang yang memperoleh (yang berpunya), mempunyai dua keadaan juga: menahan, disebabkan kuatnya kekikiran dan kelobaan dan mem­belanjakan. Yang satu tercela dan yang satu lagi terpuji. Orang yang membelanjakan hartanya itu, mempunyai dua ke­adaan; memboros dan berhemat. Yang terpuji ialah: berhemat. Inilah hal-hal yang menyerupai satu dengan lainnya. Dan menyingkapkan tutup dari yang tidak terang ini, adalah penting. Dan kami akan menguraikan yang demikian pada 14 pasal insya Allah Ta’ala. Yaitu: penjelasan tercelanya harta, kemudian terpu­jinya. Kemudian, penguraian faedah harta dan bahayanya. Kemudian, tercelanya rakus dan loba. Kemudian obat rakus dan loba. Kemudian, keutamaan sifat pemurah. Kemudian, hikayat (ceritera) orang‑orang pemurah. Kemudian, tercelanya kikir. Kemudian, ceritera orang‑orang kikir. Kemudian, mengutamakan orang lain (al-itsar) dan kelebih­annya. Kemudian, batas keMurahan dan kekikiran. Kemudian, obat kikir. Kemudian, kumpulan tugas‑tugas mengenai harta. Kemudian, tercelanya kaya dan terpujinya miskin‑insya Allah Ta’ala.
PENJELASAN: tercelanya harta dan makruh mencintainya.
Allah Ta’ala berfirman: "Hai orang‑orang yang beriman  ! Janganlah harta‑bendamu dan anak‑anakmu melalaikan, kamu dari mengingati Allah. Dan siapa yang berbuat begitu, itulah orang‑orang yang menderita kerugian". S 63 Al Munafiquun ayat 9. Allah Ta’ala berfirman: "Harta‑benda dan anak‑anakmu hanyalah menjadi fitnah. Dan disisi Allah ada pahala yang besar". S 64 Ath Taghabun ayat 15. Maka siapa yang memilih harta dan anaknya atas apa yang pada sisi Allah, niscaya ia merugi dan tertipu dengan kerugian besar. Allah 'Azza wa Jalla berfirman: ”Siapa yang ingin kepada kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami sempurnkan kepadanya perbuatannya itu di dunia ini dan mereka tidak dirugikan". S 11 Huud ayat 15. Allah Ta’ala berfirman: "Sesungguhnya manusia itu bertindak melanggar batas. Disebabkan dia melihat dirinya serba cukup”. S 96 Al ‘Alaq ayat 6‑7. Maka tiada daya dan upaya, melainkan dengan Allah yang Maha tinggi dan Maha besar. Allah Ta’ala berfirman: "Kamu di Ialaikan oleh perlombaan memperbanyak (kekayaan)”. S 102 At Takaatsur ayat 1. Rasulullah saw bersabda:  “Cinta harta dan kemuliaan itu menumbuhkan nifaq (sifat orang munafik) dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan sayuran”. Nabi saw bersabda: "Tidaklah dua ekor serigala yang buas, yang dilepaskan dalam kandang kambing lebih banyak merusakkan, dibandingkan dengan cinta harta dan kemegahan, pada agama seorang muslim". Nabi saw bersabda: "Binasalah orang‑orang yang membanyakkan, harta, selain orang yang berbuat dengan hartanya pada hamba Allah: begini‑begini. Dan amat sedikit mereka yang begitu". Ditanyakan kepada Nabi saw: "Wahai Rasulullah ! Yang manakah dari ummatmu yang jahat? Nabi saw menjawab: "Orang­-orang kaya". Nabi saw bersabda: "Akan datang sesudahmu suatu kaum, yang memakan makanan dunia yang baik‑baik dan berwarna‑warna. Mereka mengendarai kuda yang cantik dan berwarna‑warna. Mengawini wanita tercantik dan berwarna‑warna. Memakai kain yang ter­cantik dan berwarna‑warna. Mereka mempunyai perut yang tiada kenyang dari makanan sedikit. Mempunyai nafsu yang tidak merasa cukup dengan yang banyak. Mereka berhenti diatas dunia, berpagi dan bersore hari kepada dunia. Mereka mengambil dunia itu menjadi Tuhan yang disembah, tidak Tuhan yang disembah mereka sendiri. Mereka mengambil Tuhan, selain Tuhan mereka. Kepada urusan du­nialah, mereka berkesudahan. Mereka mengikuti hawa‑nafsunya. Ma­ka cita‑cita dari Muhammad bin Abdullah, bagi siapa yang mendapati zaman itu, dari sesudah, sesudah kamu dan di belakang, belakang kamu, bahwa ia tidak memberi salam kepada mereka. Tidak mengun­jungi orang‑orang sakit mereka. Tidak turut mengantar jenazah‑jena­zah mereka. Dan tidak memuliakan orang besar mereka. Maka siapa yang berbuat demikian, niscaya ia telah menolong menghancurkan Islam". Nabi saw bersabda: "Tinggalkanlah dunia, untuk yang mempunyainya ! Siapa yang meng­ambil dari dunia di atas yang mencukupi nya, niscaya ia telah meng­ambil kebinasaannya. Dan ia tidak merasa yang demikian. Nabi saw bersabda: "Anak Adam itu berkata: "Hartaku‑hartaku !" Adakah bagimu dari hartamu, selain apa yang telah engkau makan? Maka telah engkau hancur‑binasakan. Atau yang engkau pakai. Maka telah engkau burukkan. Atau telah engkau sedekahkan. Maka telah engkau lakukan. Seorang laki‑laki bertanya: "Wahai Rasulullah ! Mengapa aku tidak menyukai mati ? Lalu Rasulullah saw bertanya: "Adakah padamu harta?". la menjawab: "Ya, ada wahai Rasulullah". Maka Nabi saw bersabda: “Bawalah hartamu di hadapanmu  ! Sesungguhnya hati orang mukmin itu bersama hartanya. Jikalau di­bawanya di depannya, niscaya ia menyukai untuk menghubunginya. Dan jikalau dibawanya di belakangnya, niscaya ia menyukai untuk meninggalkannya". Nabi saw bersabda: “Teman anak Adam itu 3: yang satu mengikutinya sampai kepada nyawanya diambil. Yang ke 2 sampai kekuburannya. Dan yang ke ­3 sampai ke tempat berkumpulnya (di padang mahsyar). Maka yang mengikutinya sampai kepada nyawanya diambil, ialah: hartanya. Yang mengikutinya sampai ke kuburannya, ialah: keluarganya. Dan yang mengikutinya sampai ke padang mahsyar, ialah: amaInya. Sahabat‑sahabat Nabi Isa as (al-hawariyyun) bertanya kepada Nabi Isa as: “Bagaimana engkau dapat berjalan atas air dan kami tidak sanggup yang demikian ?” Lalu Nabi Isa as bertanya kepada mereka: "Apa kedudukan dinar dan dirham padamu ?". Mereka itu menjawab: "Baik !". Nabi Isa as lalu berkata: "Tetapi keduanya itu dan lumpur padaku sama". Salman Al Farisi menulis surat kepada Abid‑Darda ra, yang isinya: “Hai saudaraku  ! Awaslah, bahwa engkau mengumpulkan dari dunia, apa yang tidak engkau tunaikan ke syukurannya. Sesung­guhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Dibawakan orang yang mempunyai dunia, yang menta'ati Allah di dalam ­dunia. Dan hartanya di hadapannya. Setiap kali titian (Ash‑shi­ratul‑mustaqim) mereng, disebabkan orang itu, lalu hartanya berkata kepadanya: “Lalulah terus ! Sesungguhnya engkau telah menunaikan hak Allah padaku". Kemudian, dibawakan orang yang mempunyai dunia, yang tiada menta'ati Allah di dalam dunia. Dan hartanya di antara dua ba­hunya. Setiap kali titian (Ash‑shiratul‑mustaqim) mereng, disebabkan orang itu, lalu hartanya berkata kepadanya: "Celaka engkau, bahwa engkau tidak menunaikan hak Allah padaku". Maka senantiasalah seperti yang demikian, sehingga harta itu mendo'akan dengan kecelakaan dan kebinasaan. Tiap-tiap apa yang telah kami bentangkan pada Kitab Zuhud dan kemiskinan, tentang tercelanya kaya dan terpujinya miskin, semuanya itu kembali kepada: tercelanya harta. Maka kami tiada akan memanjangkan, dengan mengulang‑ulanginya. Demikian pula tiap‑tiap apa yang telah kami sebutkan tentang: tercelanya dunia, maka men­cakup tercelanya harta, secara umum. Karena harta itu sendi dunia yang terbesar. Dan sesungguhnya akan kami sebutkan sekarang apa yang datang dari agama, mengenai harta khususnya. Nabi saw bersabda: "Apabila mati seorang hamba, maka malaikat bertanya: "apa yang dibawanya ? Dan manusia bertanya: "apa yang ditinggalkannya?" . Nabi saw bersabda: “Jangan engkau mengambil sawah ladang, nanti engkau mencintai dunia !". AI‑atsar (ucapan para shahabat dan orang‑orang terkemuka), di­antara lain, ialah: Di riwayatkan, bahwa seorang laki‑laki memaki Abid‑Darda' ra. Dan diperlihatkannya Abid‑Darda' itu orang jahat. Lalu Abid‑Darda' berdo'a: "Wahai Allah Tuhanku ! siapa yang ber­buat jahat kepadaku, maka sehatkanlah tubuhnya, panjangkanlah umurnya dan banyakkanlah hartanya !". Maka perhatikanlah, bagaimana ia melihat, bahwa banyaknya harta itu bencana penghabisan, serta sehatnya badan dan panjangnya umur. Karena, tak boleh tidak, bahwa harta itu akan membawa kedur­hakaan. Ali ra meletakkan uang sedirham di atas telapak tangannya. Kemudian, berkata: "Sesungguhnya engkau, selama engkau tidak keluar dari pada aku, niscaya engkau tidak bermanfa'at bagiku". Di riwayatkan, bahwa Umar ra mengirim suatu pemberian (hadiah) kepada Zainab binti Jahsyin (istri Nabi saw). Lalu Zainab bertanya: "apa ini?". Mereka, yang membawa hadiah itu menjawab: "Dikirim oleh Umar bin Khattab kepada engkau”. Beliau menjawab: "Kiranya Allah mengampuni Umar !". Kemudian, beliau buka tutupnya yang ada padanya. Lalu beliau potong dan menjadikannya beberapa berkas. Dan dibagi‑bagikannya pada keluarganya, familinya dan anak‑anak yatim. Kemudian, ia mengangkat kedua tangannya dan berdoa: "Wahai Allah Tuhanku ! Janganlah aku memperoleh lagi pemberian Umar sesudah tahunku ini  !" Maka adalah Zainab binti Jahsyin istri Rasulullah saw yang pertama, yang mengikutinya ke alam baka. Al-Hasan AI‑Bashar (melihat)i ra berkata: "Demi Allah ! Tiadalah seseorang yang memuliakan dirham, melainkan dia di hinakan oleh Allah". Ada yang mengatakan, bahwa dinar dan dirham pertama yang diperbuat itu, telah diangkat oleh Iblis. Kemudian, diletakkannya atas dahinya. Kemudian, dipeluknya, seraya ia berkata: "Siapa Yang mencintai engkau berdua, maka dia itu budakku yang sebenarnya". Sumaid bin 'AjIan berkata: "Sesungguhnya dirham dan dinar itu kesusahan orang‑orang munafik, mereka dihalau dengan dirham dan dinar itu ke neraka". Yahya bin Ma’adz berkata: “Dirham itu kalajengking. Jikalau engkau tidak mengetahui jampinya, maka janganlah engkau mengambil­nya ! Karena, jikalau ia menyengat engkau, niscaya engkau dibunuh oleh racunnya". Lalu orang bertanya: "Apakah jampinya itu?" Yahya bin Ma’adz menjawab: "Mengambilnya dari yang halal dan meletakkannya pada yang benar". AI‑'Ala bin Ziyad berkata: "Tergambar bagiku dunia dan di atasnya dari Semua perhiasan. Lalu aku berkata: "Aku berlindung dengan Allah dari kejahatan engkau”. Dunia itu Ialu menjawab. "Jikalau menyukakan kamu, bahwa Allah melindungi engkau daripadaku, maka marahilah dirham dan dinar ! Yang demikian itu, karena dirham dan dinar, keduanya itu dunia seluruhnya. Karena dengan dirham dan dinar, orang akan sampai kepada Semua macam dunia. Maka siapa yang sabar dari dirham dan dinar, niscaya ia sabar dari dunia". Mengenal yang demikian, di katakan dengan madah:
Sesungguhnya aku mendapat,
maka jangan engkau menyangka yang lain.
Bahwa wara' itu,
adalah di sisi dirham ini.
Apabila engkau telah menguasai dirham,
kemudian engkau tinggalkan.
Maka ketahuilah,
bahwa taqwamu itu taqwa muslim sejati.
Pada yang demikian itu, dikatakan orang pula dengan madah:
Jangan engkau tertipu,
oleh manusia yang bajunya bertambal !
Atau kain sarungnya Yang terangkat
diatas tulang betisnya.
Atau tepi dahinya,
yang tampak padanya
bekas yang sudah
di hilangkannya.
Perlihatkanlah
kepadanya dirham,
niscaya engkau akan ketahui
cintanya atau wara'nya !
Diriwayatkan dari Maslamah bin Abdulmalik, bahwa ia berkun­jung kepada Umar bin Abdul‑aziz ra ketika sedang sakit yang mem­bawa kepada wafatnya. Maslamah berkata: "Wahai Amirul‑mukmi­nin ! Engkau telah berbuat suatu perbuatan, yang belum pernah diper­buat oleh seseorang sebelum engkau. Engkau tinggalkan anak engkau, yang tiada bagi mereka dirham dan dinar". Dan adalah Umar bin Abdul Aziz mempunyai 13 orang anak. Umar bin Abdul‑aziz ra. Lalu menjawab: "Dudukanlah aku  !". Lalu mereka mengangkatnya untuk dapat duduk. Maka ia ber­kata: "Adapun katamu, bahwa aku tiada meninggalkan dinar dan dirham bagi mereka, maka sesungguhnya aku tiada melarang mereka untuk berhak. Dan tiada aku berikan mereka, hak orang lain. Sesung­guhnya anakku adalah salah satu dari dua orang: adakalanya, ia orang ta’at kepada Allah. Maka Allah cukup baginya dan Allah itu melindungi orang‑orang shalih. Adakalanya, ia orang maksiat (durha­ka) kepada Allah. Maka aku tiada perduli apa yang terjadi". Diriwayatkan, bahwa Muhammad bin K’ab Al-qaradhi (terma­suk golongan tabiin, penduduk Madinah) memperoleh harta banyak. Orang lalu berkata kepadanya: “Kalaulah kiranya engkau simpan untuk anak engkau, sesudah engkau”. Muhammad bin Ka’ab menjawab: “Tidak  !” akan tetapi, aku akan menyimpanya bagi diriku pada sisi Tuhanku. Dan aku petaruh Tuhanku bagi anakku”. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Abu Abdirabbih (seorang jahit di Damsik): “Wahai saudaraku ! Jangan engkau pergi dengan buruk dan engkau tinggalkan anak-anak engkau dengan baik”. Abu Abdi Rabbih lalu mengeluarkan dari hartanya, 100.000 dirham. Yahya bin Ma’adz berkata: “Dua malapetaka yang belum pernah didengar oleh orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian seperti itu, bagi seorang hamba Allah mengenai hartanya, ketika matinya”. Lalu ia tanyakan: “Apakah 2 malapetaka itu ?”. Yahya bin Ma’adz menjawab: “Diambil dari padanya semuanya dan ditanyakan kepadanya semuanya”.
PENJELASAN. terpujinya harta dan berhimpun diantara puji dan cela.
Ketahuilah kiranya, bahwa Allah Ta’ala menamakan harta itu kebajikan (khair) pada beberapa tempat dari Kitab Allah yang mulia. Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Kalau ia meninggalkan khair (harta), supaya berwasiat untuk ibu­ bapaknya dan kerabat menurut patut. Hal yang patut bagi orang-orang yang memelihara dirinya dari kejahatan”. S 2 AI‑Baqarah ayat 180. Rasulullah saw bersabda: “Alangkah baiknya harta yang baik bagi orang yang baik”. Setiap yang datang pada Agama (tersebut pada AI‑Qur'an dan hadits), tentang pahala sedekah dan hajji, maka itu adalah pujian kepada harta. Karena tidak mungkin tercapai yang dua tadi, selain dengan harta. Allah Ta’ala berfirman: "Dan keduanya (dua orang anak yatim) itu, akan mengambil simpanannya, hal ini adalah suatu karunia (rahmat) dari Tuhan engkau". S 18 Al Kahfi ayat 82. Allah Ta'ala berfirman, yang mengaruniakan kepada hamba‑hamba Allah: “Diberikan Allah kepada kamu harta dan anak‑anak dan diadakan Allah kebun‑kebun dan sungai‑sungai untuk kamu” S 71 Nuh ayat 12. Nabi saw bersabda: ”Hampirlah ke miskinan itu menjadi ke kufuran”. Itu adalah pujian kepada harta. Dan anda  tiada akan mengerti, segi mengumpulkan harta itu, sesudah dicela dan dipuji. Kecuali de­ngan anda mengetahui hikmah harta, maksudnya, bahayanya dan celakanya. Sehingga tersingkap, bagi anda, bahwa harta itu baik dari suatu segi dan buruk dari suatu segi. Dan harta itu terpuji dari segi dia itu baik dan tercela dari segi dia itu jahat. Maka tidaklah harta itu baik semata‑mata dan tidaklah harta itu jahat semata‑mata. Akan tetapi, harta itu sebab bagi dua hal tersebut ke seluruhannya. Tidak ini sifatnya, lalu terpuji ‑ tidak mustahil ‑ sekali dan tercela, pada kali lainnya. Akan tetapi, orang yang mempunyai bashirah (mata‑hati) yang dapat membedakan, akan mengetahui, bahwa yang terpuji dari harta itu, tidak tercela. Dan penjelasannya, ialah dengan memahami dari apa yang telah kami sebutkan, pada "Kitab Syukur", dari pen­jelasan kebajikan‑kebajikan dan penguraian tingkat‑tingkat nikmat. Dan kadar yang mencukupi padanya, ialah: bahwa yang menjadi tujuan orang‑orang yang pintar dan yang mempunyai bashirah, ialah: kebahagiaan akhirat. Yaitu: nikmat yang kekal dan milik yang tetap. Dan tujuan kepada, ini, adalah kebiasaan orang‑orang mulia dan orang‑orang pintar. Karena ada orang bertanya kepada Rasulullah saw: "Siapakah manusia yang termulia, dan terpandai?". Maka Rasulullah saw menjawab: ”Mereka yang terbanyak ingat kepada mati dan yang sangat siap bagi mati". Kebahagiaan ini tiada akan tercapai, selain dengan tiga jalan di dunia. Yaitu: keutamaan‑keutamaan jiwa, seperti ilmu dan baik akhlak, keutamaan‑keutamaan jasmaniah, seperti: kesehatan dan ke­sejahteraan dan keutamaan‑keutamaan di luar badan, seperti: harta dan sebab‑sebab lainnya. Dan yang tertinggi, ialah: kejiwaan, kemudian: jasmaniah, kemudian: yang diluar. Maka yang diluar itu, yang paling buruk. Dan harta termasuk jumlah: yang di luar. Dan yang terhina dari yang di luar itu, ialah: dirham dan dinar. Keduanya sesungguhnya adalah khadim (jongos). Dan keduanya tiada mempunyai khadim. Keduanya menjadi maksud bagi yang lain. Dan keduanya tidak dimaksudkan bagi dirinya. Karena jiwa itu adalah zat yang paling berharga, yang dicari kebahagiaannya. Dan jiwa itu berkhidmat kepada ilmu, ma'rifah dan ahklak mulia, untuk diperoleh­nya suatu sifat pada dirinya. Dan badan itu berkhidmat kepada jiwa, dengan perantaraan panca‑indra dan anggota badan. Makanan dan pakaian itu berkhidmat kepada badan. Dan telah diterangkan dahulu, bahwa yang dimaksud dari makanan, ialah mengekalkan badan. Dan dari perkawinan, ialah mengekalkan keturunan. Dan dari badan, ialah menyempurnakan jiwa, membersihkan dan menghiasinya dengan ilmu dan akhlak. Siapa yang mengetahui susunan ini, maka ia telah mengetahui kedudukan harta dan segi mulianya. Dan harta itu dari segi pentingnya bagi makanan dan pakaian adalah menjadi pentingnya bagi kekekalan badan, yang menjadi pentingnya bagi kesempurnaan jiwa, dimana itu adalah kebajikan. Orang yang mengetahui faedah, tujuan dan maksud sesuatu dan dipakainya untuk tujuan itu, dengan memperhatikan dan tidak melupakan kepadanya, maka ia telah berbuat baik dan mengambil manfa'at daripadanya. Dan apa yang menghasil­kan maksud baginya itu terpuji pada haknya. Jadi, harta itu alat dan jalan kepada maksud yang sah. Dan dapat pula diambil menjadi alat dan jalan kepada maksud‑maksud yang batil/salah. Yaitu: maksud‑maksud yang mencegah dari kebahagiaan akhirat. Dan menyumbat jalannya ilmu dan amal. Jadi, harta itu terpuji dan tercela. Terpuji, dengan disandarkan kepada maksud terpuji. Dan tercela, dengan disandarkan kepada mak­sud tercela. Maka siapa yang mengambil dari dunia, lebih banyak da­ripada yang memadai baginya, maka ia telah mengambil kebinasaan­nya. Dan ia tidak merasa yang demikian, sebagaimana yang datang pada hadits (telah disebutkan dahulu). Tatkala adalah tabi'at manusia itu cenderung kepada mengikut nafsu‑syahwat yang memotong jalan Allah dan harta itu memudahkan dan alat baginya, niscaya besarlah bahaya, pada apa yang melebihi kadar mencukupi. Para nabi‑nabi berlindung dari kejahatan harta. Sehingga Nabi kita saw berdo'a: “Wahai Allah Tuhanku ! Jadikanlah makanan keluarga Muhammad sekedar mencukupi saja". Maka Nabi saw tidak meminta bagi keluarganya, selain yang semata‑mata kebajikan Nabi saw berdo'a: "Wahai Allah Tuhanku ! Hidupkanlah aku miskin ! Matikanlah aku miskin ! Dan kumpulkanlah aku (di padang mahsyar.) dalam golongan orang‑orang miskin !". Nabi Ibrahim as berlindung, maka ia berdoa (sebagaimana tersebut dalam Al-Qur‑an): “Dan jauhkanlah aku dan anak‑anakku dari menyembah berhala”. S 14 Ibrahim ayat 35. Yang dimaksudkan dengan berhala itu. yaitu: dua batu ini: emas dan perak. Karena pangkat kenabian itu, maha agung, daripada di­takuti untuk diitikadkan ketuhanan pada sesuatu dari batu tersebut. Karena telah memadai sebelum kenabiannya, akan ibadahnya sewaktu kecil. Dan sesungguhnya arti penyembahan itu ialah: mencintai emas dan perak, tertipu dan cenderung kepadanya. Nabi kita saw bersabda: “Binasalah budak dan binasa­lah budak dirham ! la binasa dan ia tidak bangun dari rebahnya. Dan Apabila ia kena duri, maka tidak dicabutnya duri itu". Nabi saw menjelaskan, bahwa pencinta emas dan perak itu penyembah‑nya. Siapa yang menyembah batu, maka dia itu penyembah berhala, tiap-tiap orang yang menjadi hamba bagi selain Allah, maka dia itu penyembah berhala. Artinya, siapa yang dipotong oleh yang demikian daripada mengingat Allah Ta’ala dan daripada menunaikan hak Allah, maka dia itu seperti penyembah berhala. Dan itu syirik (mempersatukan Tuhan). Hanya syirik itu dua macam: Syirik khafi (syirik tersembunyi), yang tidak mengharuskan kekal da­lam neraka. Dan sedikitlah orang‑orang mukmin yang terlepas daripa­danya. Sesungguhnya syirik tersebut, lebih tersembunyi dari jalannya semut. Dan syirik jaliy (syirik nyata), yang mengharuskan kekal dalam neraka. Kita berlindung dengan Allah daripada semua itu.
PENJELASAN: penguraian bahaya harta dan faedahnya.
Ketahuilah, bahwa harta itu seperti ular. Padanya ada racun dan obat. Maka faedahnya itu obatnya dan bahayanya itu racunnya. Siapa yang mengetahui bahaya dan faedahnya, niscaya memungkinkan ia untuk menjaga diri daripada kejahatannya dan mengalir faedah daripada kebajikannya. Adapun faedahnya, maka terbagi kepada faedah keduniaan dan faedah keagamaan. Mengenai faedah keduniaan, maka tiada memerlu­kan lagi kepada menyebutkannya di sini. Karena pengenalannya sudah terkenal, yang bersekutu di antara segala jenis makhluk. Dan jikalau tidaklah demikian, niscaya mereka tidak binasa pada mencarinya. Adapun faedah keagamaan, maka semuanya terbatas pada 3 bahagian:
Bahagian Pertama. bahwa ia membelanjakan harta itu kepada diri‑nya. Adakalanya pada ibadah atau pada yang menolong kepada iba­dah. Adapun yang pada ibadah, yaitu: seperti yang menolong kepada hajji dan jihad. Karena tiada akan sampai kepada yang dua itu, selain dengan harta. Dan yang dua tersebut, termasuk sebahagian dari ibu ibadah, mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Dan orang miskin tidak akan memperoleh (mahrum) keutamaan yang dua tadi. Adapun mengenai yang mengatakan kepada ibadah, maka yang demikian itu, ialah: makanan, pakaian, tempat tinggal, perkawinan dan kepentingan‑kepentingan hidup lainnya. Semua keperluan ini Apabila tidak Mudah tercapai, niscaya hati terarah kepada mengusahakannya. Lalu hati itu tiada lega untuk agama. Dan semua yang menyampaikan kepada ibadah, maka itu adalah ibadah. Mengambil sekedar mencukupi dari dunia, karena untuk jalan menolong kepada agama, adalah termasuk sebahagian dari faedah-faedah keagamaan. Dan tidak masuk bersenang senang melebihi diatas keperluan, pada yang demikian. Karena yang demikian itu, termasuk sebagian keuntungan duniawi saja.
Bahagian kedua: Apa yang diserahkannya kepada manusia. Yaitu 4 bahagian: sedekah, muruah, menjaga kehormatan dan ongkos pelayaran. Adapun sedekah, maka tiada tersembunyi pahalanya. Dan sedekah itu sesungguhnya memadamkan kemarahan Tuhan yang Maha Tinggi. Dan sudah kami sebutkan keutamaannya pada uraian yang lalu. Adapun muruah ( kepribadian, kehormatan diri ), maka yang kami maksudkan, ialah: menyerahkan harta kepada orang-orang kaya dan orang-orang mulia (bangsawan-bangsawaan) pada perjamuan, hadiah, pertolongan dan yang menyerupai yang demikian. Maka ini sesungguhnya tidak dinamai sedekah. Akan tetapi sedekah itu yang diserahkan kepada orang yang memerlukan. Hanya ini termasuk sebahagian dari faedah-faedah keagamaan. Karena dengan ini, hamba Allah itu berusaha memperoleh saudara dan teman. Dan dengan ini ia berusaha memperoleh sifat kemurahan. Dan menghubungkan diri dengan golongan orang-orang pemurah. Maka tidak disifatkan dengan: Kemurahan, selain orang yang berbuat baik (berbuat makruf) dan menempuh jalan muruah dan kemurahan hati. Dan ini  juga termasuk yang membesarkan pahala. Maka telah banyaklah hadist yang membentangkan tentang hadiah, perjamuan dan memberi makanan, tanpa syarat kemiskinan dan keperluan pada pembelanjaannya. Adapun menjaga kehormatan, maka yang kami maksudkan, ialah: memberikan harta untuk menolak serangan (kritik), penyair‑penyair, celaan orang‑orang tidak berpikiran sehat (orang safih), memo­tong lidah mereka (menyetop lidahnya atau menutup mulutnya) dan menolak kejahatan mereka. Dan itu juga serta cepat timbul faedahnya pada waktu yang segera, adalah termasuk sebahagian dan keuntungan keagamaan. Nabi saw bersabda: “Apa yang dipergunakan oleh manusia untuk memelihara kehormat­annya, niscaya dituliskan menjadi sedekahnya”. Betapa tidak ! Pada perbuatan tersebut, mencegah si pengupat dari kemaksiatan pengumpatan. Dan menjaga dari perkataannya, ber­kobarnya permusuhan yang membawa pada tindakan seimbang dan balas dendam, melampaui batas‑batas hukum agama. Adapun pelayanan, yaitu: bahwa perbuatan‑perbuatan yang diperlukan oleh manusia, untuk penyediaan sebab‑sebabnya pelayanan itu banyak. Jikalau perbuatan‑perbuatan itu dikerjakan sendiri, maka habislah waktunya. Dan sukarlah kepadanya menempuh jalan akhirat dengan fikir dan dzikir, yang menjadi tingkat tertinggi bagi orang‑o­rang salikin (orang suluk, yang menempuh jalan kepada Allah). Orang yang tiada mempunyai harta, maka ia memerlukan untuk mengerjakan sendiri, mengurus dirinya sendiri, dari membeli makanan dan menumbuknya. Menyapu rumah, sampai kepada menyalin buku yang diperlukannya. Tiap-tiap apa yang tergambar dapat dikerjakan oleh orang lain dan dengan demikian, maksudmu berhasil, maka kamu menjadi pa­yah, Apabila kamu mengerjakan sendiri. Karena kamu harus menger­jakan sendiri, dari hal: ilmu, amal, dzikir dan fikir, Apa yang tidak tergambar dapat dikerjakan oleh orang lain. Maka menghabiskan waktu pada lainnya, adalah rugi.
Bahagian Ketiga: Apa yang tidak diserahkan kepada manusia tertentu. Akan tetapi berhasil dengan perbuatan tersebut kebajikan umum, seperti: pembangunan mesjid, jembatan, langgar, rumah orang sakit, mendirikan tempat penyimpanan air pada jalan raya dan lain­nya, dari usaha‑usaha wakaf yang ditujukan untuk amal kebajikan. Dan itu: termasuk sebahagian kebajikan yang berjalan lama, yang mengalir pahalanya sesudah mati, yang menarik barakah do'a orang­-orang shalih, sampai kepada waktu yang panjang. Dan jagalah diri‑mu, jangan sampai tidak memperoleh kebajikan dengan perbuatan-­perbuatan tersebut ! Maka inilah sejumlah faedah harta pada agama, selain Apa yang menyangkut dengan keuntungan yang segera, berupa kelepasan dari kehinaan meminta‑minta, kehinaan miskin, sampai kepada ketinggian dan kemuliaan diantara makhluk, banyak saudara, pembantu, teman, kehormatan dan kemuliaan dalam hati. Maka setiap yang demikian, dari Apa yang dikehendaki oleh harta itu, termasuk dalam keuntungan duniawi. Adapun bahaya, maka ada bahaya keagamaan dan bahaya kedu­niaan (bahaya duniawi). Bahaya keagamaan, maka ada tiga perkara:
          Pertama: menghela (menarik) kepada perbuatan maksiat. Se­sungguhnya nafsu‑syahwat itu berlebih‑kurang. Kelemahan itu, ka­dang‑kadang mendindingkan di antara manusia dan kemaksiatan. Dan termasuk memeliharakan diri, bahwa tidak terdapat kelemahan itu. Dan manakala manusia itu berputus‑asa dari semacam maksiat, nis­caya tidaklah tergerak pemanggilnya. Maka Apabila ia merasa mampu kepada sesuatu perbuatan maksiat, niscaya terbangkitlah pemanggil­nya. Dan harta itu semacam dari kemampuan, yang menggerakkan pemanggil perbuatan‑perbuatan maksiat dan pekerjaan kezaliman. Maka Jikalau dikerjakannya Apa yang dikehendaki oleh hawa‑nafsu­nya, niscaya ia binasa. Dan jikalau ia menahan diri (sabar), niscaya jatuh dalam kesukaran. Karena sabar (menahan diri) serta ada ke­mampuan itu sangat berat. Dan percobaan waktu senang itu, lebih besar dari percobaan waktu melarat.
          Kedua:  menghela (menarik) kepada bersenang‑senang pada hal-­hal yang diperbolehkan (hal mubah). Dan ini permulaan tingkat. Ma­ka manakala orang yang mempunyai harta (orang berada) sanggup memperoleh roti dari tepung syair (semacam tepung gandum), memakai kain kasar dan meninggalkan segala kelezatan makanan, sebagai­mana yang disanggupi oleh Nabi Sulaiman bin Dawud as dalam kerajaannya, lalu keadaannya yang terbaik, ialah, bahwa ia berse­nang‑senang dengan dunia dan mencobakan dirinya kepada dunia, maka jadilah bersenang‑senang itu kebiasaan padanya dan kecintaan yang tidak dapat ia menahan diri (bersabar) daripadanya. Dan akan ditarik oleh sebahagian daripadanya. kepada sebahagian yang lain. Apabila bersangatan kejinakan hatinya kepada yang demikian, niscaya kadang‑kadang ia tidak mampu untuk sampai kepadanya  de­ngan usaha halal. Lalu dikerjakannya perbuatan‑perbuatan syubhah (yang tidak jelas halal dan haramnya). Dan ia terjerumus pada perbu­atan ria, berminyak air, dusta, nafiq dan budi pekerti yang hina lainnya. Supaya teratur urusan duniawinya dan memudahkan baginya bersenang‑senang. Maka sesungguhnya siapa yang banyak hartanya, niscaya banyaklah keperluannya kepada manusia. Dan siapa yang memerlukan kepada manusia, maka tidak dapat tidak, membawa ia menjadi munafik dan mendurhakai Allah, pada mencari kerelaan ma­nusia. Jikalau manusia itu selamat dari bahaya pertama, yaitu: langsung memperoleh keuntungan, maka ia sekali‑kali tidak akan selamat dari ini. Dan dari keperluan kepada makhluk (manusia ramai) itu, berkobarlah permusuhan dan persahabatan. Dan daripadanya, terjadi­lah dengki, iri hati, ria, tekebur, dusta, lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang, umpatan dan kemaksiatan‑kemaksiatan lainnya, yang khusus dengan hati dan lidah. Dan tidak pula terlepas daripada menular kepada anggota‑anggota badan lainnya. Dan setiap yang demikian itu menjadi keharusan dari nasib malangnya harta, keperluan kepada memelihara dan memper­baikinya.
Ketiga: yaitu, yang tidak terlepas seorang juapun daripadanya. Yaitu: bahwa akan dilalaikan oleh kepentingan hartanya, daripada mengingati Allah Ta’ala. Dan tiap-tiap yang menyibukkan hamba daripada mengingati Allah, maka itu kerugian. Dan karena itulah, nabi Isa as berkata: bahwa pada harta itu: 3 bahaya:
         1. Bahwa diambilnya dari yang tidak halal.
         2. Lalu ditanyakan, jikalau diambilnya dari yang halal? Isa as lalu menjawab: akan diletakkannya harta itu pada yang tidak benar.
         3. Lalu ditanyakan, jikalau diletakkannya pada yang benar? Isa as lalu menjawab: Ia akan disibukkan oleh kepentingan harta daripada mengingati Allah Ta’ala.
Inilah penyakit yang mencelakakan. Sesungguhnya pokok, otak dan rahasia segala ibadah, ialah: mengingati Allah (dzikrul‑laah) dan bertafakkur tentang keagungan­ Allah. Dan yang demikian itu, akan memanggil hati yang kosong. Orang yang mempunyai harta‑benda itu bersore dan berpagi, selalu bertafakkur (asyik berfikir) tentang permusuhan petani dan perhitungan hasil pertanian. Tentang permusuhan orang‑orang yang berkongsi dan pertentangan mereka tentang pembahagian air dan ba­tas‑batas tanah. Dan permusuhan pembantu‑pembantu sultan (pengua­sa), tentang pajak. Permusuhan kuli‑kuli (orang‑orang yang digaji), diatas keteledoran pada pembangunan. Dan permusuhan petani‑petani tentang pengkhianatan dan pencurian yang dilakukan mereka. Orang yang mempunyai perniagaan, adalah bertafakkur (asyik berfikir) tentang pengkhianatan kongsinya, ingin sendirian memper­oleh laba, keteledoran pada bekerja dan kesia‑siaan pengurusan harta. Begitu pula orang yang mempunyai binatang temak. Dan begitu­lah segala jenis harta lainnya. Dan yang lebih jauh dari banyaknya kesibukan, ialah: uang yang disimpan di bawah tanah. Dan pikiran senantiasa bulak‑balik mengenai penggunaan uang tersebut, bagaimana menjaganya, takut dari orang yang akan melihat uang itu. Dan bagaimana menolak kelobaan manusia daripadanya. Obat pikiran tentang dunia itu, tiada kesudahannya. Orang yang ada padanya makanan seharinya itu, dalam keselamatan dari semua yang demikian. Maka inilah sejumlah bahaya‑bahaya duniawiyah, selain Apa yang dideritai oleh orang‑orang yang mempunyai harta di dunia: dari ketakutan, kesedihan, dukacita, kekuatiran dan kepayahan, pada me­nolak orang‑orang yang dengki, menanggung kesukaran‑kesukaran pa­da menjaga dan mengusahakan harta. Jadi, obat harta, ialah mengambil untuk makanan daripadanya dan membelanjakan sisanya kepada jalan kebajikan. Dan selain yang demikian itu, racun dan bahaya. Kita bermohon pada Allah Ta'ala, akan keselamatan dan kebaikan pertolongan dengan kemurahan dan kemuliaan Allah, Sesungguhnya Allah atas yang demikian itu Maha‑kua­sa.
PENJELASAN: tercelanya rakus dan loba dan terpuji qana'ah dan tidak mengharap dari Apa yang di tangan manusia.
Ketahuilah, bahwa kemiskinan itu terpuji, sebagaimana telah kami kemukakan pada Kitab Kemiskinan. Akan tetapi, sayogialah bahwa orang miskin itu bersifat qanaah (merasa cukup Apa adanya), terputus loba (tidak bersifat loba) dari harta orang lain. Tidak menoleh kepada apa yang di tangan mereka. Dan tidak bersifat rakus mengusahakan harta, bagaimanapun adanya jalan yang akan ditem­puh. Yang demikian itu, tiada akan mungkin, selain dengan bersikap qana'ah sekedar perlu (dharurat), dari makanan, pakaian dan tempat tinggal. Dan menyingkatkan kepada kadar yang paling sedikit dan macam yang paling buruk. Angan‑angannya dikembalikannya kepada seharinya atau sebulannya. Dan ia tidak menyibukkan hatinya dengan apa yang sesudah sebulan itu. Jikalau ia ingin kepada yang banyak atau panjang angan‑angan­nya, niscaya hilanglah keagungan sifat qanaah. Dan tidak mustahil, ia menjadi kotor dengan loba dan kehinaan rakus. Rakus dan loba itu, menghelakannya kepada budi‑pekerti jahat dan mengerjakan per­buatan‑perbuatan mungkar yang merusakkan muruah. Sesungguhnya telah menjadi sifat anak Adam itu, rakus, loba dan kurang qana'ah/cukup Apa adanya. Rasulu'llah saw bersabda: ”Jikalau anak Adam (manusia) itu mempunyai dua lembah emas; niscaya ia akan mencari yang ketiga untuk tambahan dua lembah tadi. Dan rongga anak Adam itu tidak akan penuh selain oleh tanah. Dan Allah menerima tobat terhadap siapa yang bertobat”. Dari Abi Waqid Al-Laitsi  yang menerangkan, bahwa: "Adalah Rasulu'llah saw, Apabila diturunkan wahyu kepada nya, lalu kami datang kepadanya, Ia mengajarkan kami, Apa yang diwahyukan kepa­danya. Maka pada suatu hari, aku datang kepadanya, lalu ia bersab­da: "Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Sesungguhnya Kami menurunkan harta untuk didirikan shalat dan diberikan zakat. Dan jikalau anak Adam itu mempunyai sebuah lembah emas, niscaya ia mengingini untuk mempunyai yang kedua. Dan jikalau ia mempu­nyai yang kedua, niscaya ia mengingini untuk mempunyai yang ketiga. Dan tiada akan penuh rongga anak Adam, selain oleh tanah. Dan Allah menerima tobat, terhadap siapa yang bertobat". Abu Musa AI‑Asy'ari ra berkata: "Surat seperti surat Bara‑ah telah turun, Kemudian, diangkat kembali. Dan dihapalkan daripada­nya: "Bahwa Allah menguatkan Agama ini, dengan golongan‑golongan (kaum‑kaum) yang tiada berakhlak. Dan jikalau anak Adam itu mempunyai harta dua lembah, niscaya ia bercita‑cita mempunyai lem­bah yang ketiga. Dan tiada akan penuh rongga anak Adam, selain oleh tanah. Dan Allah menerima tobat terhadap orang yang bertobat". Nabi saw bersabda: "Dua orang yang loba tiada akan kenyang‑kenyang, yaitu: yang lobak kepada ilmu dan yang loba kepada harta”. Nabi saw bersabda: "Anak Adam itu akan tua dan akan muda yang bersamanya itu dua, yaitu: angan‑angan dan cinta harta". Atau sebagaimana disabdakan Nabi saw pada hadits lainnya. Tatkala yang tersebut itu adalah tabiat Anak Adam, yang menye­satkan dan sifat (instinc) yang membinasakan, maka Allah Ta’ala dan RasuINya memuji qana'ah.  Nabi saw bersabda: “Amal baik bagi siapa yang memperoleh petunjuk kepada Agama Islam. Hidupnya adalah sekedar perlu dan merasa cukup (qanaah) dengan yang demikian”. Nabi saw bersabda: “Tiada seorangpun, baik miskin dan kaya, melainkan ia ingin pada hari kiamat, bahwa ia diberi makanan yang dalam dunia". Nabi saw bersabda:"Tidaklah Orang itu kaya, lantaran banyak benda. Sesungguhnya orang kaya itu, ialah: “orang Yang kaya jiwa”. Nabi saw melarang bersangatan loba dan berlebih‑lebihan mencari harta. la saw bersabda: "Ketahuilah, wahai manusia ! Berbaik‑baiklah pada mencari harta. Maka sesungguhnya, hamba itu tiada akan mempunyai, selain Apa yang telah ditulis (pada Lauhul mahfudh) baginya. Dan hamba itu tiada akan pergi dari dunia, sebelum datang kepadanya, Apa yang ditulis baginya dari dunia. Dan dunia itu memaksa". Diriwayatkan, bahwa Musa as bertanya kepada Tuhannya. Musa as bertanya: "Manakah hambamu yang paling kaya?" Allah Ta’ala menjawab:  “Yang paling qanaah/merasa cukup dengan apa yang AKU anugerahkan". Musa as bertanya lagi: "Manakah mereka yang paling adil?" Allah Ta’ala menjawab: "Siapa yang menginsyafi dirinya sendiri”. Ibnu Mas'ud ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: "Bahwa Ruhul‑qudus mengilhamkan dalam hatiku, yaitu: "Bahwa seseorang (suatu jiwa) itu tiada mati sebelum menerima dengan sempurna rezekinya. Maka bertaqwalah kepada Allah dan berbaik‑baiklah (bersikap baik) pada mencari rezeki”. Abu Hurairah ra berkata: Rasulu'llah saw bersabda kepadaku: "Hai Abu Hurairah ! Apabila bersangatan laparmu, maka harus engkau makan sepotong roti dan segela air. Dan kebinasaan itu atas dunia". Abu hurairah ra berkata: "Rasululllah saw bersabda: "Hendaklah kamu itu orang yang wara, niscaya adalah kamu orang yang paling beribadah. Hendaklah kamu orang yang qanaah, niscaya adalah kamu orang yang paling bersyukur. Dan cintailah untuk manu­sia, Apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri. niscaya adalah kamu orang mu'min !". Rasulu'llah saw melarang loba, menurut Apa yang dirawikan Abu Ayyub AI‑Anshari ra bahwa: seorang Arab desa datang kepada Nabi saw, seraya berkata: "Wahai Rasulu'llah ! Berilah aku pelajar­an dan ringkaskan !" Nabi saw Ialu menjawab: “Apabila engkau mengerjakan shalat, maka bershalatlah sebagai sha­lat orang yang mengucapkan selamat tinggal  ! Dan janganlah engkau berbicara dengan suatu pembicaraan, yang akan engkau meminta ma'af besok ! Dan kumpulkan pikiranmu, bahwa kamu tidak mengha­rap (al-ya's) dari Apa yang dalam tangan manusia !". 'Auf bin Malik AI‑Asy‑ja'i ra berkata: "Adalah kami di sisi Rasulu'llah saw 9 atau 8 atau 7 orang. Lalu Rasu­lu'llah saw bersabda: "Apakah kamu tidak melakukan bai'ah (sum­pah setia) dengan utusan Allah?" Kami Ialu menjawab: "Bukankah kami sudah melakukan bai'ah dengan engkau, wahai Rasulu'llah ?”. Kemudian Rasulu'llah saw bersabda: "Tidakkah kamu melakukan bai'ah dengan utusan Allah ?" Kami lalu membuka tangan kami. Maka kami melakukan bai'ah dengan beliau. Lalu berkata seorang dari kami: "Kami telah melakukan bai'ah dengan engkau. Maka di atas Apakah kami akan melakukan bai’ah dengan engkau?" Nabi saw menjawab: "Bahwa kamu menyembah Allah dan tidak kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu. Kamu mengerjakan shalat 5 waktu. Bahwa kamu mendengar dan mentaati". Dan beliau ucapkan suatu perkataan yang tersembunyi, dengan cara raha­sia: "Dan janganlah kamu meminta pada manusia sesuatu !". 'Auf bin Malik Al-Asy‑ja'i berkata pula: "Adalah sebahagian rombongan itu jatuh cambuknya. Lalu ia tidak meminta pada se­orangpun, untuk mengambil cambuk tersebut baginya". Al-atsar ( kata‑kata shahabat dan orang‑orang terkemuka ) diantara lain, ialah Umar ra berkata: "Sesungguhnya loba itu suatu kemiskinan. Dan tidak mengharap dari orang itu suatu kekayaan. Se­sungguhnya siapa yang tidak mengharap dari Apa yang dalam tangan manusia, niscaya ia tidak memerlukan kepada manusia itu". Ditanyakan kepada sebahagian ahli hikmah (filosuf): "Apakah kaya itu ?” Filosuf tersebut menjawab: "Sedikit angan‑anganmu dan relamu dengan Apa yang memadai bagimu". Mengenai yang demikian, orang bermadah:
Hidup itu,
sa'at‑sa'at yang lalu.
Keadaan hari‑harian itu,
berulang‑ulang selalu.
Ber‑qana’ahlah dengan hidupmu,
niscaya akan menyenangkan kamu.
Tinggalkan hawa‑nafsumu,
niscaya kamu hidup tidak terbelenggu !
Sesungguhnya banyak kebinasaan,
yang ditarik oleh emas,
oleh batu delima
dan oleh mutiara
Adalah Muhammad bin Wasi’ membasahkan roti kering dengan air dan memakannya, seraya berkata: "Siapa yang ber‑qana'ah de­ngan ini, niscaya ia tidak memerlukan kepada seseorang". Sufyan Ats‑Tsauri ra berkata: "Sebaik‑baik duniamu, ialah Apa yang kamu tidak diuji dengan itu. Dan sebaik‑baik Apa yang kamu diuji dengan dia, ialah Apa yang keluar dari tanganmu". lbnu Mas'ud ra berkata: “Tiada dari suatu haripun, melainkan malaikat itu berseru: "Hai anak Adam ! Sedikit yang memadai bagimu itu, lebih baik daripada banyak yang menganiaya kamu". Sumaid bin 'Ajlam berkata: "Sesungguhnya perutmu, wahai anak Adam itu sejengkal dalam sejengkal. Maka mengapakah kamu dimasukkan oleh neraka !" Orang bertanya kepada seorang ahli hikmah (filosuf): "Apakah hartamu ?" Filosuf itu menjawab: "Cantik pada jahir, sederhana pada batin dan tidak mengharap dari apa, yang dalam tangan manusia". Dirawikan, bahwa Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Hai anak Adam ! Jikalau adalah dunia seluruhnya untukmu, niscaya tiadalah yang untukmu daripadanya, selain makanan yang kamu makan (al­qaut). Dan Apabila AKU berikan kepadamu makanan dari dunia itu dan AKU jadikan perhitungannya atas orang lain, maka AKU itu ber­buat baik kepadamu". lbnu Mas'ud ra berkata: "Apabila seseorang daripadamu mencari keperluannya, maka hendaklah dicarinya dengan cara yang mudah. Dan tidak adalah orang yang datang, lalu mengatakan, bahwa engkau demikian, bahwa engkau demikian (maksudnya ia memuji), lalu dipotong punggungnya. Maka sesungguhnya datang kepadanya, apa yang dibagikan untuknya, dari rezeki atau apa yang direzekikan" Setengah Bani Ummiyah menulis surat kepada Abi Hazim, yang bermaksud, kiranya Abi Hazim menyampaikan keperluan‑keper­luannya kepada orang Bani Ummiyah itu. Maka Abi Hazim membalas surat itu, yang isinya, diantara lain: "Telah aku sampaikan keperluan-­keperluanku kepada Tuhanku. Maka Apa yang dianugerahkan Allah kepadaku dari keperluan‑keperluan itu, niscaya aku terima. Dan Apa yang ditahankan Allah daripadaku, maka aku ber‑qana'ah (mencukup­kan dengan Apa yang ada)". Orang bertanya kepada setengah ahli hikmah: ”Barang Apakah yang paling menggembirakan bagi orang yang berakal ? Barang mana­kah yang lebih menolong untuk menolak kesedihan?" Filosuf itu lalu menjawab: "Yang paling menggembirakan kepa­danya, ialah Apa yang dikerjakannya dari amalan yang baik. Dan yang lebih menolong kepadanya pada menolak kesedihan, ialah: rela dengan yang ditentukan oleh qodo (ketetapan Tuhan)". Sebahagian ahli hikmah berkata: "Aku dapati, bahwa manusia yang paling lama susah, ialah: pendengki. Dan yang paling tenang hidupnya, ialah: orang yang qana'ah. Dan yang paling sabar di atas kesakitan, ialah; orang yang rakus, Apabila ia loba. Dan yang paling rendah kehidupannya, ialah: mereka yang menolak dunia. Dan yang paling besar penyesalannya, ialah: orang yang berilmu yang melam­paui batas. Mengenai yang demikian itu, orang bermadah:
Sangat menyenangkan keadaan,
ialah pemuda yang senantiasa atas kepercayaan.
Sesungguhnya orang yang membagi‑bagikan
rezeki, maka ia akan dibagikan.
Kehormatannya terpelihara,
tidak akan dikotorkan.
Wajahnya selalu gembira,
tidak dicobakan.
Qana'ah itu, sesungguhnya,
orang yang menempatkannya dengan lapang.
la tidak menjumpai pada masanya,
sesuatu yang menyusahkan.
Ada pula orang yang bermadah:
Sampai kapan aku ini,
berada di tempat dan dalam kepergian,
banyak usaha dan penyelesaian
serta menghadapi pekerjaan?
Meninggalkan rumah
dan selalu berjauhan
dari orang‑orang yang dikasihi,
yang tidak mengetahui, bagaimana keadaanku.
Sekali di bagian bumi yang sebelah Timur,
kemudian di bagian Baratnya.
Tidak terguris akan mati,
pada hatiku dari karena rakusku.
Kalau kiranya aku bersifat qanaah,
niscaya datang rezekiku dalam ketenangan.
Orang qana'ah itulah yang kaya,
bukan orang yang banyak harta.
Umar ra berkata: "Apakah tidak aku kabarkan kepadamu, apa yang aku pandang halal dari harta Allah Ta’ala? Yaitu: dua helai pakaian, untuk musim dinginku dan musim panasku dan apa yang memuatkan bagiku dari punggungku untuk hajjiku dan 'umrahku. Dan sesudah itu, makananku adalah seperti makanan seorang laki‑laki dari kaum Quraisy. Tidaklah aku lebih tinggi dari mereka dan tidak lebih rendah. Demi Allah ! aku tidak tahu, adakah halal yang demiki­an atau tidak?" Seakan‑akan Umar ra ragu tentang kadar tersebut. Adakah itu lebih daripada mencukupi yang mengharuskan qana'ah dengan dia? Seorang Arab desa memaki saudaranya diatas rakusnya. Orang desa itu berkata: "Hai saudaraku ! Engkau itu pencari dan yang dica­ri. Engkau dicari oleh orang yang tidak hilang engkau daripadanya. Dan engkau mencari Apa yang engkau pandang telah mencukupi. Se­akan‑akan apa yang telah jauh dari engkau, telah tersingkap bagi engkau. Dan Apa yang engkau padanya, engkau telah pindah daripa­danya. Seakan‑akan engkau, hai saudaraku, tidak pernah melihat o­rang rakus, yang tidak pernah mendapat dan orang zuhud yang mem­peroleh rezeki". Mengenai yang demikian, orang bermadah:
Aku melihat kamu,
bertambah rakus kepada dunia ini,
lantaran kekayaan,
seakan‑akan kamu tiada akan mati.
Adakah bagimu kesudahan,
jikalau pada suatu hari, kamu jadi kepadanya?
Kamu lalu menjawab:
mencukupi, aku telah rela.
Asy‑Sya’bi ra berkata: “Diceriterakan, bahwa seorang laki‑laki menangkap burung qunbarah (semacam burung pipit). Lalu burung itu bertanya: "Apakah yang kamu ingin berbuat dengan aku?" Laki‑laki itu menjawab: "Akan aku sembelih engkau & akan aku makan engkau". Burung itu menjawab: "Demi Allah!  Tidak akan menyembuh­kan dari kesangatan rindu kepada makan ! Dan tidak akan mengenyangkan dari kelaparan ! Akan tetapi, aku akan memberitahukan kepadamu 3 perkara, yang lebih baik bagi engkau daripada mema­kan aku:
                  Adapun pertama, maka aku beritahukan kepadamu dan aku di tanganmu.
                              Adapun kedua, maka apabila aku berada di atas pohon kayu.
                              Adapun ketiga, maka apabila aku berada di atas bukit.
Laki‑laki itu lalu menjawab: "Katakanlah yang pertama !" Burung tadi lalu berkata: "Janganlah engkau gundahkan, apa yang telah hilang daripada engkau !” Lalu laki‑laki tersebut melepaskan burung itu. Tatkala ia, telah berada di atas pohon kayu, maka laki‑laki itu berkata: "Katakanlah yang kedua  !". Burung itu berkata: "Janganlah engkau benarkan, apa yang tidak ada, bahwa ia akan ada". Kemudian, burung itu terbang, lalu berada di atas bukit. Maka ia berkata: "Hai orang yang celaka ! Jikalau engkau sembelihkan aku, niscaya akan engkau keluarkan dari perutku dua biji mutiara. Berat tiap-tiap mutiara itu 20 gram". Kata yang empunya ceritera: “Lalu laki‑laki itu menggigit bibirnya dan mengeluh, seraya berkata: "Katakanlah yang ketiga !"  burung itu berkata: “engkau telah lupa yang 2 tadi. Maka bagaimanakah aku terangkan kepada engkau yang ke3 ? Apakah aku tidak mengatakan kepada engkau, bahwa engkau jangan mengeluh terhadap Apa yang telah hilang dari engkau ? dan jangan engkau benarkan apa yang tidak ada  ! aku, dagingku, darahku dan buluku, tidak akan ada 20 gram. Maka bagaimanakah akan ada dalam perutku 2 biji mutiara, dimana tiap-tiap 1 biji itu beratnya 20 gram ?” Kemudian, burung itu terbang. Lalu ia hilang. Ini adalah contoh bersangatan lobanya anak adam. Lalu membutakannya dari mengetahui kebenaran. Hingga ia mentakdirkan, apa yang tidak ada bahwa akan ada. Ibnus-Sammak ra berkata: “Sesungguhnya harap (ar- raja”) itu, tali pada hatimu dan rantai pada kakimu. Maka keluarkanlah harap dari hatimu, niscaya akan dikeluarkan rantai dari kakimu  !”. Abu Muhammad Al-Yazidi berkata: “Aku masuk ketempat Harun Ar Rasyid. Lalu aku mendapatinya sedang memandang pada sehelai kertas yang tertulis padanya dengan emas. Tatkala ia melihat aku, maka ia tersenyum lalu Aku berkata, dengan mengharap ada faedahnya: “Kiranya Allah menganugrahkan perbaikkan pada  amirul mukminin  !”. ia menjawab: “Ya, aku dapati 2 kuntum syair dalam sebahagiaan simpanan bani Umiyah. Aku memandang baik ke 2 kuntum syair tersebut dan aku tambahkan kuntum yang ke 3, kepada yang ke 2 itu”. Harun ar rasyid lalu bermadah kepadaku, sebagai berikut:
Apabila tertutup pintu daripadamu,
tanpa tercapai keperluan.
Maka tinggalkanlah untuk yang lain,
niscaya akan terbuka bagimu pintunya.
Perut yang mendekati penuh,
cukuplah bagimu kepenuhannya.
Mencukupilah bagimu perbuatan jahat,
untuk menjauhkannya.
JanganIah engkau banyak memberikan,
untuk kehormatan engkau !
Jauhilah dari perbuatan kemaksiatan,
niscaya akan jauh siksaannya dari engkau !
Abdullah bin Salam ra bertanya kepada Ka’bul‑Ahbar ra “Apakah yang menghilangkan ilmu dari hati ulama, sesudah dihapalkan­nya dan dipahaminya?" Ka’bul‑Ahbar menjawab: “Loba, nafsunya rakus dan mencari banyak keperluan". Seorang laki‑laki bertanya kepada Fudhlail: "Jelaskanlah kepadaku perkataan Ka'bul‑Ahbar itu !" Fudlail menjawab: "Orang loba pada sesuatu yang dicarinya. Maka hilanglah Agamanya atas yang demikian. Adapun rakus, maka nafsu rakus pada ini dan ini. Sehingga nafsunya tidak suka, akan hilang suatupun daripadanya. Dan engkau mempunyai keperluan ke­pada si ini dan keperluan kepada si ini. Maka Apabila dilaksanakan­nya keperluan itu bagimu, niscaya hidungmu terikat dan dihalaunya kamu kemana dikehendakinya. Dan ia menguasai kamu dan kamu tunduk kepadanya. Maka siapa yang mencintai engkau karena dunia, niscaya engkau memberi salam, kepadanya, Apabila engkau lalai diha­dapannya. Dan engkau kunjungi dia Apabila ia sakit. Engkau tidak memberi salam, kepadanya, karena Allah 'Azza wa Jalla. Dan tidak engkau berkunjung kepadanya karena Allah ! Maka jikalau engkau tidak mempunyai keperluan kepadanya, niscaya adalah yang demikian itu lebih baik bagi engkau". Kemudian, Fudlail menyambung: "Ini adalah lebih baik bagi engkau, dari 100 hadits dari si anu, dari si anu". Setengah ahli hikmah berkata: “Diantara, yang mengheran kan dari keadaan manusia, ialah: bahwa kalau manusia itu diserukan dengan terusnya kekal pada hari‑hari dunia, niscaya tidak ada pada kekuatan kejadiannya (phisiknya) dari kerakusan, untuk mengumpul­kan itu, lebih banyak dari Apa yang telah dipakainya, serta singkatnya masa bersenang‑senang dan harapan hilang". Abdul‑wahid bin Zaid Al-Bashari  ra berkata: "Aku singgah ditempat seorang rahib (pendeta Nasrani), lalu Aku bertanya kepada­nya: “Dari mana engkau makan?" Ia menjawab. “Dari lumbung Tuhan Yang Maha Penyantun, dan Maha‑Tahu, yang telah menjadikan tempat gilingan, yang dida­tangkan Allah dengan yang digilingkan. Lalu ia menunjuk dengan tangannya kepada gilingan giginya. Maha suci Allah Yang Maha‑kuasa dan Maha‑tahu.
PENJELASAN: obatnya rakus dan loba dan obat yang dapat diusahakan untuk sifat qana’ah.
Ketahuilah, bahwa obat ini tersusun dari 3 dasar, Yaitu: sabar, ilmu  dan amal. Kumpulan yang demikian itu: lima perkara:
Pertama, yaitu, perbuatan: sederhana (perbuatan ekonomis) pada penghidupan dan lemah‑lembut pada perbelanjaan. Siapa yang menghendaki kemegahan qana'ah, maka sayogialah ia menutup dari dirinya, segala pintu keluar, sedapat mungkin. Dan mengembalikan dirinya kepada sesuatu yang tidak boleh tidak baginya. Maka siapa yang banyak pengeluarannya dan luas perbelanjaannya, niscaya tidak memungkinkan ia berqana’ah. Akan tetapi, jikalau ia sendirian, maka sayogialah dicukupkannya dengan sehelai kain kasar. Dan dicukup­kannya dengan makanan, Apa saja yang ada. Disedikitkannya lauk‑pa­uk, Apa yang memungkinkannya saja. Dan menyiapkan dirinya kepada yang demikian. Jikalau ia mempunyai keluarga, maka masing‑masing anggota keluarga itu dikembalikan kepada kadar tersebut. Sesungguhnya kadar itu, akan mudah tercapai dengan sedikit tenaga. Dan bersama yang demikian, mungkin diperelokkan pada mencari rezeki dan keseder­hanaan (bersifat ekonomis) pada penghidupan. Dan itulah pokok pada qana'ah. Dan kami maksudkan dengan yang demikian, ialah: lemah lembut pada perbelanjaan. Dan meninggalkan kebodohan pada per­belanjaan. Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah menyukai kelemah‑lembutan pada semua urusan". Nabi saw bersabda: “Tiada akan miskin orang yang hidup sederhana”. Nabi saw bersabda: "Tiga perkara yang melepaskan dari bencana: takut kepada Allah pada tersembunyi dan pada terang, sederhana pada waktu kaya dan miskin dan berlaku adil pada waktu rela (senang) dan pada waktu marah”.  Diriwayatkan, bahwa seorang laki‑laki melihat dengan mata sen­diri, Abud Darda' memungut sebutir biji‑bijian dari tanah. Dan Abud­ Darda' berkata: "Sesungguhnya orang yang mengerti kepadamu, nis­caya ia lemah‑lembut pada kehidupanmu". Ibnu Abbas ra berkata: "Nabi saw bersabda: "Kesederha­naan, bagus kelakuan dan petunjuk yang baik itu sebahagian dari 20 bahagian lebih, dari sifat kenabian" Pada hadits, terdapat bahwa: "Teratur itu setengah penghi­dupan". Nabi saw bersabda: “Siapa yang bersifat sederhana, niscaya dikayakan oleh Allah. Siapa yang boros (Mubazir), niscaya dimiskinkan oleh Allah. Dan siapa yang berzikir (mengingati Allah 'Azza wa Jala) niscaya dikasihi oleh Allah“. Nabi saw bersabda: “Apabila engkau menghendaki sesuatu urusan, maka haruslah dengan at‑tu‑adah (Pelan-pelan). Sehingga Allah menjadikan bagimu kelapangan dan jalan keluar"  Pelan‑pelan pada perbelanjaan itu termasuk hal yang terpenting.
Kedua, bahwa Apabila Mudah baginya pada masa sekarang, Apa yang mencukupi baginya, maka tiada sayogialah bahwa ia berada pada sangat kegoncangan, bagi masa depan. Untuk demikian, ia dapat ditolong oleh pendek angan‑angan dan keyakinan, bahwa rezeki yang ditakdirkan baginya, pasti akan datang kepadanya, walaupun tidak bersangatan rakusnya. Sesungguhnya, kesangatan rakus itu, tidaklah menjadi sebab bagi sampainya rezeki. Akan tetapi sayogialah ia percaya dengan janji Allah Ta’ala. Karena Allah 'Azza wa Jalla berfirman: “Tidak ada binatang di bumi ini, melainkan Allah yang menanggung rezekinya“. S 11 Huud ayat 6. Yang demikian itu, dikarenakan bahwa setan menjanjikan ke­miskinan dan menyuruh kekejian. Setan itu berkata: "Jikalau engkau tidak rakus kepada mengumpulkan dan menyimpan, maka kadang-­kadang engkau itu sakit dan kadang‑kadang engkau itu lemah. Dan engkau akan memerlukan kepada menanggung kehinaan pada me­minta". Maka senantiasalah panjang umur itu, dipayahkan oleh setan pada mencari (berusaha). Karena takut dari payah. Dan setan tertawa, kepadanya, tentang ditanggungnya kepayahan sekarang, serta lupa kepada Allah. Karena sangkaan (tidak yakin) akan kepayahan pada keadaan kedua (nanti). Kadang‑kadang payah itu tidak akan ada. Pada seperti yang demikian, orang bermadah:
Siapa yang menggunakan berjam‑jam,
pada mengumpulkan harta,
karena takut kemiskinan.
Maka itulah yang membuat kemiskinan.
Dua orang putera Khalid masuk ke tempat Rasulullah saw,  lalu Rasulullah saw bersabda kepada dua orang putera tersebut: "Janganlah kamu berputus asa dari rezeki selama bergerak‑gerak kepala kamu berdua  !  Sesungguhnnya manusia dilahirkan oleh ibunya merah, tiada padanya kulit kemudian ia diberikan rezeki oleh Allah Ta’ala”. Rasulullah saw Ialu di tempat ibnu Mas'ud. Dan Ibnu Masud itu sedang susah. Lalu Rasulullah bersabda kepadanya: "Jangan eng­kau banyakkan ke gundahanmu ! Apa yang ditakdirkan, niscaya akan ada. Dan Apa yang akan menjadi rezeki engkau, niscaya akan datang kepada engkau". Nabi saw bersabda: "Ketahuilah, hai manusia ! Ber‑elok‑elok­lah pada mencari rezeki ! Sesungguhnya tiadalah bagi seorang hamba, selain apa yang telah dituliskan (pada Luhul‑mahfudh) baginya. Dan tiada akan pergi seorang hamba dari dunia, sebelum datang kepada­nya, apa yang dituliskan baginya dari dunia. Dan dunia itu memaksa". Tiada terlepaslah manusia dari kerakusan, selain dengan baik ke­percayaannya dengan pengaturan Allah Ta'ala, mengenai takdir rezeki hamba‑hambaNya. Dan bahwa yang demikian itu tiada mustahil akan berhasil serta keelokan pada mencari rezeki. Bahkan seyogialah di­ketahuinya, bahwa rezeki yang diberikan oleh Allah bagi hambaNya, dari tempat yang tidak disangka‑sangka itu lebih banyak. Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang bertaqwa (memenuhi kewajiban) kepada Allah, DIA mengadakan untuk orang itu jalan keluar (dari kesulitan). Dan memberikan rezeki kepadanya dari (sumber) yang tiada pernah dipikirkannya (yang tidak disangkanya sama sekali)". S 65 Ath Thalaaq ujung ayat 2 ‑ 3. Apabila tersumbat kepadanya suatu pintu, yang ditunggunya re­zeki dari pintu itu, maka tiada sayogialah hatinya kacau dikarenakan itu. Nabi saw bersabda: “AIlah Ta'ala enggan memberi rezeki kepada hambaNYA yang mukmin selain dari sumber yang tidak disangka‑sangkanya". Sufyan Ats‑Tsauri ra berkata: "Bertaqwalah kepada Allah ! Sesungguhnya Aku tiada melihat orang yang taqwa itu, memerlukan (kepada orang)”. Artinya: orang yang taqwa itu tidak dibiarkan berketiadaan bagi kepentingannya. Akan tetapi dilemparkan oleh Allah dalam hati kaum muslimin, supaya mereka menyampaikan rezeki kepadanya. AI‑Fadlal Adl‑Dlabbi berkata: "Aku bertanya kepada seorang Arab desa: "Dari mana penghidupanmu?"  Orang itu, menjawab: "Nazar orang haji". Aku bertanya lagi: "Apabila orang‑orang haji itu sudah kembali ?”. Orang itu Ialu menangis, seraya berkata: "Jikalau kami tidak hidup, selain dari sumber yang kami ketahui, niscaya kami tidak hidup". Abu Hazim ra berkata: "Aku dapati dunia itu dua perkara. Suatu perkara daripadanya adalah untukku. Maka tidaklah Aku segerakan sebelum waktunya, walaupun aku mencarinya dengan kekuatan langit dan bumi. Dan suatu perkara dari padanya, adalah untuk orang lain. Maka karena itulah, aku tidak mencapainya pada masa yang lalu. Maka aku tiada mengharapnya, pada Apa yang masih ada, yang dilarang oleh yang bagi orang lain, daripadaku, sebagai­mana dilarang oleh yang bagiku dari orang lain. Maka pada yang mana dari dua ini, yang menghabiskan umurku?" Maka inilah obat dari segi makrifah (ilmu), yang tidak boleh tidak daripadanya, untuk menolak yang dipertakutkan dan yang di­ancam oleh setan dengan kemiskinan.
          Ketiga:  bahwa diketahui Apa yang pada qana'ah itu dari kemuliaan, tidak memerlukan  kepada orang. Dan apa yang pada rakus dan loba itu, dari kehinaan. Maka Apabila telah timbul keyakinan yang demikian padanya, niscaya tergeraklah keinginannya kepada qanaah. Karena pada kerakusan itu tiada akan terlepas dari kepayahan. Dan nada kelobaan, tiada akan terlepas dari kehinaan. Dan tidak ada pada qana’ah selain kepedihan sabar dari nafsu‑syahwat dan hal-hal yang tidak penting. Dan ini adalah kepedihan, yang tiada dilihat oleh seorang pun, selain oleh Allah. Dan padanya pahala akhirat. Dan yang demikian itu termasuk apa yang ditambahkan kepadanya pandangan manusia. Pa­danya becana dan tempat dosa. Kemudian, akan dihilangkan oleh kemuliaan diri dan kemampuan mengikuti kebenaran. Maka sesung­guhnya, siapa yang banyak loba dan rakusnya niscaya banyaklah keperluannya kepada manusia. Maka tidak memungkinkannya meng­ajak mereka kepada kebenaran. Dan mengharuskannya berminyak ­minyak air dengan mereka. Dan yang demikian itu, akan membina­sakan agamanya. Dan siapa yang tiada memilih kemuliaan diri, di atas nafsu keinginan perut, maka adalah tidak teratur akaInya dan kurang imannya. Nabi saw bersabda: "Kemuliaan orang mukmin itu, ialah: ia tidak memerlukan kepada manusia". Maka pada qana'ah itu kemerdekaan dan kemuliaan. Dan karena itulah, dikatakan: "Merasa kayalah engkau dari orang yang engkau kehendaki, niscaya adalah engkau sebanding (sama) dengan dia!  Dan perlukanlah kepada orang yang engkau kehendaki, niscaya adalah engkau tawanan nya ! Dan berbuat baiklah kepada orang yang engkau kehendaki, niscaya adalah engkau amirnya (rajanya)”.
          Keempat: bahwa banyaklah yang menjadi angan‑angannya, tentang kesenangan orang Yahudi, Nasrani, manusia‑manusia hina, orang‑orang bodoh dari bangsa Kurdi. orang‑orang badui Arab yang kasar dan orang‑orang yang tiada agama dan akal. Kemudian, ia melihat kepada hal ihwal nabi‑nabi dan wali‑wali dan kepada tingkah laku Khulafa’-rasyidin, para shahabat dan tabi'in lainnya. la mem­perhatikan hadits‑hadits (ucapan‑ucapan) mereka dan menoleh kepada keadaan mereka. AkaInya akan memilih, di antara: Menyerupai de­ngan manusia-manusia hina itu, atau mengikuti orang yang lebih mulia jenis budi‑pekertinya pada sisi Allah. Sehingga dengan demikian, memudahkan kepadanya kesabaran di atas kesempitan dan qana'ah dengan yang sedikit. Sesungguhnya, jikalau la bersenang­ senang pada perut, maka keledai itu lebih banyak makannya dari­padanya. Dan jikalau ia bersenang‑senang pada bersetubuh (sex), maka babi itu lebih tinggi tingkatnya daripadanya. Jikalau ia menghiasi diri pada pakaian dan kuda kendaraan, maka pada Yahudi ada orang yang lebih tinggi perhiasannya daripadanya. Dan jikalau ia merasa cukup (berqana'ah) dengan yang sedikit dan ia rela dengan demikian, niscaya tiada yang mengambil saham (bahagian) pada kepangkatannya, selain nabi‑nabi dan wali‑wali.
          Kelima: bahwa ia memahami akan bahaya pada mengumpulkan harta, sebagaimana telah kami sebutkan pada: bahaya harta. Dan pada pengumpulan harta itu, ditakutkan dari kecurian, perampokan dan kehilangan. Dan pada sunyinya tangan dari harta (tiada memegang harta), terdapat keamanan dan selesai pikiran (tidak terganggu dengan hal-hal di atas). Dan diperhatikannya, apa yang telah kami sebutkan dahulu pada bahaya harta, serta apa yang hilang daripadanya, dari­pada tolak‑menolak dari pintu sorga sampai 500 tahun. Maka sesungguhnya Apabila ia tidak merasa cukup ( tidak berqana'ah), de­ngan apa yang memadai baginya, niscaya ia dimasukkan dalam go­longan orang‑orang kaya. Dan dikeluarkan dari kumpulan orang-­orang miskin. Dan yang demikian itu akan sempurna, dengan selalu memandang kepada orang yang lebih rendah daripadanya dalam dunia. Tidak kepada orang yang di atasnya. Sesungguhnya setan, selalu memalingkan pemandangan manusia dalam dunia, kepada orang yang di atasnya, seraya setan itu berkata: "Jangan malas mencari ! Orang‑orang yang berharta itu bersenang‑senang pada ma­kanan dan pakaian. Dan setan itu, memalingkan pemandangan ma­nusia pada agama, kepada orang yang di bawahnya, seraya setan itu berkata: "Mengapa engkau sempitkan atas dirimu dan engkau takut kepada Allah? Si anu lebih berpengetahuan dari engkau dan ia tidak takut kepada Allah. Manusia sibuk dengan bersenang-senang. Maka mengapa engkau mau berbeda dari mereka?". Abu Dzar ra berkata: "Diberi wasiat kepadaku oleh temanku Nabi saw, supaya aku melihat kepada orang yang kurang dari aku. Tidak kepada orang yang di atas aku" Artinya: dalam dunia. Abu Hurairah ra berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang kamu memandang kepada orang yang dilebihkan oleh Allah pada harta dan bentuk kejadian, maka hendaklah ia memandang kepada orang yang di bawahnya dari orang yang dilebihkan itu". Maka dengan hal-hal yang tersebut, akan mampu mengusahakan akh­lak qana'ah. Dan tiang hal itu, ialah: sabar dan pendek angan‑angan. Dan tahu, bahwa kesudahan sabarnya dalam dunia itu hari-hari yang sedikit, untuk bersenang‑senang pada masa yang panjang. Maka adalah ia seperti orang sakit, yang sabar atas pahitnya obat, kerena sangat lobanya pada menunggu sembuh.
PENJELASAN keutamaan sifat pemurah.
Ketahuilah, bahwa harta itu jikalau tidak ada, maka sayogialah hamba itu berkeadaaan qana'ah dan sedikit loba. Dan jikalau harta itu ada, maka sayogialah keadaannya itu mengutamakan orang lain, pemurah, berbuat maruf dan menjauhkan diri dari kikir dan bakhil. Maka Sesungguhnya sifat pemurah itu, adalah sebahagian dari akhlak Nabi‑nabi as dan pemurah itu pokok dari pokok‑pokok keselamatan. Dari hal sifat pemurah itu, diibaratkan oleh Nabi saw, dimana beliau bersabda: "Sifat pemurah itu adalah sepohon kayu dari kayu sorga. Dahan‑dahan­nya terkulai ke bumi. Maka siapa yang mengambil sedahan dari padanya, niscaya dahan itu membawanya ke sorga”.  Jabir berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Jibril as ber­kata: "Allah Ta'ala berfirman:"Bahwa ini adalah Agama yang AKU rela bagi diriKu sendiri. Dan  tiada akan diperbaiki agama ini, selain oleh sifat pemurah dan bagus akhlak. Maka muliakanlah agama ini dengan dua sifat tersebut, menurut kesangupanmu !". Pada suatu riwayat, berbunyi: "Maka muliakanlah dia dengan dua sifat tersebut, apa yang kamu mempunyainya". Dari Aisyah Ash‑Shidiqiy‑yah (puteri Abubakar Siddik) ra, yang berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Allah Ta’ala tidak membuat tabiat (karakter) waliNya, selain diatas tabiat baik akhlak dan pemurah.  Dari Jabir, yang berkata: "Ditanyakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah ! Amal Apakah yang paling utama?" Rasulallah saw menjawab: “Sabar dan pemaaf”.  Abdullah bin Amr berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Dua perangai yang disukai oleh Allah 'Azza wa Jalla dan dua perangai yang dimarahi oleh Allah 'Azza wa Jalla. Adapun dua perangai yang disukai oleh Allah Ta’ala. ialah: bagus perangai (bagus akhlak) dan pemurah. Adapun dua perangai yang dimarahi oleh Allah Ta'ala, ialah: jahat perangai (jahat akhlak) dan kikir. Apabila Allah menghendaki kebajikan pada seorang hamba, niscaya dipakaiNya hamba itu pada menunaikan hajat (keperluan) manusia". Dirawikan oleh AI‑Miqdam bin Syuraih, dari ayahnya dan ayahnya merawikan dari neneknya, yang mengatakan: "Aku berkata: "Wahai Rasulullah ! Tunjukilah aku kepada amal, yang memasukkan aku kesorga !". Nabi saw Ialu menjawab: "Sesungguhnya sebahagian dari yang mengharuskan pengampunan dosa, ialah: memberi makanan, mengem­bangkan salam (selalu memberi salam) dan bagus perkataan". Abu Hurairah ra berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Pemurah itu sepohon kayu dalam sorga. Maka siapa yang pemurah niscaya ia akan mengambil sedahan dan pohon itu.  Maka dahan tersebut tidak akan meninggalkannya sehingga dimasukkannya kesorga. Dan kikir itu sepohon kayu dalam neraka. Maka siapa yang kikir niscaya ia mengambil sedahan dari dahan‑dahannya. Maka dahan tersebut tidak akan meninggalkannya, sehingga dimasukkannya ke neraka". Abu Sa'id Al Khudri ra berkata: "Nabi saw bersabda: "Allah Ta’ala berfirman: "Carilah kelebihan itu pada orang‑orang yang kasih sayang dari hamba‑hambaKu, niscaya kamu akan hidup pada pangkuan mereka ! Sesungguhnya AKU jadikan pada mereka rahmatKu. Dan jangan kamu carikan kelebihan itu pada orang‑orang yang kesat hatinya ! Maka Sesungguhnya AKU menjadikan kemarahan­Ku pada mereka". Dari Ibnu Abbas, yang berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Minta ampunlah dosa orang pemurah ! Sesungguhnya Allah meng­ambil tangannya, setiap‑kali ia tergelincir pada kesalahan". Ibnu Mas'ud ra berkata: "Nabi saw bersabda: "Rezeki ke­pada yang memberikan makanan itu lebih cepat daripada pisau ke leher unta. Dan Sesungguhnya Allah Ta'ala berbangga pada malaikat, dengan orang yang memberikan makanan". Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Maha pemurah, menyukai sifat pemurah. Dan menyukai akhlak mulia. Dan Ia benci kepada akhlak buruk". Anas berkata: "Bahwa Rasulullah saw tidak memintakan se­suatu, atas Islamnya seorang, melainkan diberikannya kepada yang meminta itu. Seorang laki‑laki datang kepadanya, lalu meminta se­suatu. Maka Rasulullah saw menyuruh orang tersebut, supaya pergi ke tempat banyak kambing di antara dua bukit, dari kambing‑kam­bing sedekah (zakat). Maka orang itu kembali kepada kaumnya, seraya berkata: "Hai kaumku ! Masuklah Agama Islam ! Sesungguhnya Muhammad akan memberikan pemberian orang, yang tidak takut kepada kemiskinan". Ibnu Umar berkata: "Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba, yang ditentukan Allah mereka dengan nikmat‑nikmat untuk kemanfaatan hamba Allah. Maka siapa yang kikir dengan nikmat‑nikmat itu kepada hamba‑hamba Allah, niscaya Allah Ta’ala memindahkan nikmat‑nikmat itu daripadanya dan memutar­kannya kepada orang lain". Dari Al Hilali, yang mengatakan: "Dibawa kepada Rasulullah saw beberapa orang tawanan dari suku Banil‑Anbar. Lalu beliau menyuruh bunuh mereka dan supaya ditinggalkan seorang, tidak di­bunuh. Lalu Ali bin Abi Thalib ra bertanya: "Wahai Rasulullah ! Tuhan itu Esa. Agama itu satu. Dan dosa itu satu. Maka Apakah halnya orang yang satu ini, dari mereka yang lain?". Nabi saw menjawab: "Telah turun kepadaku Jibril. lalu mengatakan: "Bunuhlah mereka dan tinggalkan yang ini ! Sesungguhnya Allah Ta’ala berterima kasih kepadanya, karena kemurahannya". Nabi saw bersabda: "Bahwa tiap-tiap sesuatu itu berbuah dan buah pekerjaan baik (perbuatan ma’ruf) itu, segera bebas". Dari Nafi’ sedang Nafi’ menerima dari Ibnu Umar, yang mengatakan: "Rasulullah saw bersabda: "Makanan orang pemurah itu obat dan makanan orang kikir itu penyakit". Nabi saw bersabda: "Barangsiapa, nikmat Allah besar padanya, niscaya besarlah perbelan­jaan manusia atasnya". Siapa yang tidak mau menanggung perbelanjaan itu, niscaya nikmat tersebut akan tertimpa kehilangan. Nabi Isa as berkata: "Carilah banyak akan sesuatu, yang tidak dimakan api neraka !" Lalu orang bertanya: "Apakah yang sesuatu itu?". Nabi Isa as menjawab: "Perbuatan baik (amal maruf)". Aisyah berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Sorga itu kampung orang‑orang pemurah”. Abu Hurairah ra berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya orang pemurah itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan sorga dan jauh dari neraka. Dan Sesungguhnya orang kikir itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari sorga dan dekat dengan neraka. Orang bodoh yang pemurah itu lebih di‑kasihi oleh Allah, daripada orang berilmu yang kikir. Dan penyakit yang paling berbahaya, ialah: kikir. Nabi saw bersabda: "Berbuat baiklah kepada orang yang tahu berbuat baik dan kepada orang yang tidak tahu berbuat baik. Maka jikalau betul engkau kepada orang yang tahu berbuat baik, nis­caya engkau telah betul kepada orang yang tahu berbuat baik. Dan ji­kalau engkau tidak betul kepada orang yang tahu berbuat baik, maka engkau adalah dari orang yang tahu berbuat baik”. Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya orang‑orang mulia dari umatku tidak akan masuk sorga dengan shalat dan puasa. Tetapi mereka masuk sorga, dengan jiwa yang pemurah, dada yang sejahtera dan karena nasehat kepada orang‑orang muslim”. Abu Said Al Khudri ra berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla menjadikan bagi perbuatan baik, golongan‑golongan dari makhluk Allah, yang disukakan Allah kepada me­reka perbuatan baik dan disukakan Allah kepada mereka mengerjakannya. Diarahkan Allah muka orang‑orang yang men­cari perbuatan baik, kepada mereka. Dan dimudahkan Allah kepada mereka, untuk memberikannya, sebagaimana dimudahkan Allah hujan kepada negeri yang tak subur. Maka dihidupkan Allah negeri itu dan dengan hujan itu, dihidupkan Allah penduduknya". Nabi saw bersabda: "Tiap-tiap perbuatan ma'ruf itu sedekah. Tiap-tiap yang dibelanjakan oleh seseorang kepada dirinya dan kepada keluarganya, niscaya dituliskan baginya menjadi sedekah. Apa yang dipeliharakan oleh seseorang akan kehormatannya dengan sesuatu, maka itu menjadi sedekah baginya. Dan Apa yang dibelanjakan oleh seseorang dari sesuatu perbelanjaan, maka atas Allah menggantikan nya". Nabi saw bersabda: “Tiap-tiap perbuatan baik itu sedekah. Orang yang menunjukkan ke­pada kebajikan itu seperti orang yang membuatnya. Dan Allah menyu­kai pertolongan kepada orang‑orang yang susah”. Nabi saw bersabda: "Tiap-tiap perbuatan baik yang engkau perbuat kepada orang kaya atau orang miskin itu sedekah". Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as, yang isinya: "Jangan engkau bunuh As‑Samiri ! Sesungguhnya dia itu orang pemurah “. Jabir mengatakan "Rasulullah saw mengutus suatu pasukan tentara, di bawah pimpinan Qais bin Saad bin Ubadah. Lalu mereka kehabisan tenaga. Maka Qais menyembelih 9 ekor unta untuk mereka. Lalu mereka ceriterakan yang demikian kepada Rasulullah saw. Maka Nabi saw menjawab: "Bahwa sifat pemurah, adalah menjadi sifat keluarga rumah tangga itu" Adapun al atsar, maka diantara lain, ialah kata  Ali ra: "Apabila dunia menghadap (datang) kepada engkau, maka belanjakanlah daripadanya kepada yang berhak menerimanya. Sesungguhnya dunia itu tidak akan musnah. Dan Apabila dunia itu membelakangi (mening­galkan) engkau, maka belanjakanlah daripadanya. Sesungguhnya dunia itu tiada akan kekal. Dan Ali ra Ialu bemadah:
Janganlah engkau kikir dengan dunia
dan dunia itu sedang datang.
Tidaklah akan dikurangkan dunia
oleh pemborosan dan berlebih-lebihan.
Kalau dunia itu telah pergi,
maka lebih layak engkau bermurah hati kepadanya.
Apabila dunia itu telah membelakangi,
maka pujian itu menyalahi dari yang semestinya.
Mu'awiyah bertanya kepada Al-Hasan bin Ali ra tentang al-muru‑ah, an‑najdah dan al-karam. Al-Hasan lalu menjawab:
          "Adapun al-muru‑ah yaitu: orang menjaga agamanya, mengawasi dirinya, membaguskan pengurusan de­ngan tamunya dan membaguskan pada pertengkaran dan tampil
           kedepan pada hal-hal yang tidak disukai.
          “Adapun an‑najdah, yaitu:    mempertahankan tetangga dan sabar pada semua tempat.
          “Adapun al-­karam, yaitu:  memberi dengan senang hati pada perbuatan baik sebe­lum diminta, memberi makanan pada waktu kemarau dan kasihan kepada yang meminta
           serta memberikan kepada yang ingin memper­olehnya”.
Seorang laki-laki menyerahkan sepucuk surat kepada Al-Hasan bin Ali ra. Al-Hasan lalu mengatakan: “Hajatmu akan dipenuhi”. Lalu orang itu bertanya kepada Al-Hasan: “Hai putera (cucu) Rasulullah ! Kalau kiranya, engkau melihat suratnya terlebih dahulu, kemudian, engkau membalas jawaban sekedar yang demikian?. Maka Al-Hasan menjawab: “Aku akan ditanya oleh Allah ‘Azza wa Jalla, dari kehinaan berdirinya orang ini dihadapanku, lalu aku membaca suratnya”. Ibnus-Sammak berkata: “Aku heran terhadap orang yang membeli budak-budak dengan hartanya dan tidak membeli orang-orang merdeka dengan perbuatan baiknya”. Setengah orang desa ditanyakan: “siapa tuanmu?”. Orang itu menjawab: "Siapa yang dapat menahan makian kami, memberikan kepada yang meminta dari kami dan memaafkan (bertoleransi) kepada yang bodoh dari kami". Ali bin Al-Husain ra berkata: "Siapa yang disebutkan memberi hartanya kepada peminta‑pemintanya, niscaya tidaklah dia itu orang pemurah. Sesungguhnya orang pemurah, ialah orang yang memulai dengan hak‑hak Allah Ta’ala pada orang‑orang yang mentaatiNya. Dan tidak didesak oleh nafsunya, ingin diucapkan terima kasih kepa­danya, Apabila keyakinannya sempurna dengan memperoleh pahala daripada Allah Ta’ala". Ditanyakan kepada AI‑Hasan AI‑Bashar (melihat)i ra: "Apakah as‑sa‑khaa' (sifat pemurah) itu?" Lalu ia menjawab: "Bahwa engkau bermurah hati dengan harta engkau, pada jalan Allah 'Azza wa JalIa". Kemudian, ditanyakan: ”Apakah al-hazam (berhati‑hati) itu?”  Al-Hasan AI‑Bashar (melihat)i ra menjawab: "Bahwa engkau melarang harta engkau, pada jalan Allah Ta’ala". Kemudian ditanyakan pula: "Apakah al-israf (royal) itu?" Beliau menjawab: "Membelanjakan harta karena suka menjadi kepala”. Jafar Ash‑Shidiq ra berkata: "Tidaklah harta yang lebih me­nolong dari akal. Tidak ada musibah (mala‑petaka) yang lebih besar dari bodoh. Dan tidaklah tolong‑menolong (mudha harah) itu, seperti musyawarah. Ketahuilah, bahwa Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Se­sungguhnya Aku Maha‑Pemurah dan Maha‑Mulia. Tidak akan berdekatan dengan Aku, orang yang kikir. Kikir itu dari kekufuran. Orang kufur itu dalam neraka. Sifat pemurah dan baik hati itu dari iman. Dan orang yang beriman itu dalam sorga". Hudzaifah bin Al-Yaman ra berkata: “Banyaklah orang yang zalim pada agamanya, yang mengoyakkan pada penghidupannya itu, masuk sorga dengan kelapangan hatinya (pada memberikan harta)”. Diriwayatkan, bahwa Al-Ahnaf bin Qais melihat seorang laki-la­ki, dalam tangannya uang sedirham. Maka ia bertanya: "Untuk siapa dirham ini?" Orang itu menjawab: "Bagi aku sendiri”. Lalu AI‑Ahnaf bin Qais berkata: "Sesungguhnya dirham ini tidaklah bagimu, sebelum ia keluar dari tanganmu". Dan searti dengan demikian, yang dimadahkan orang:
Engkau untuk harta,
Apabila harta itu engkau pegang
Apabila engkau belanjakan,
baru harta itu untuk engkau.
Dinamakan Washil bin 'Atha’ dengan gelar AI‑Ghazzal (Pemin­tal benang). Karena ia duduk pada orang‑orang pemintal benang. Apabila ia melihat wanita yang lemah keadaannya, niscaya ia membe­rikannya sedikit uang. Al Husain bin Ali ra, yang mencelanya, lantaran memberikan uang kepada penyair‑penyair. Lalu Al-Husain bin Ali membalas kepada Al-Hasan bin Ali yang isinya, diantara lain: "Harta yang baik, ialah yang dipelihara kehormatan dengan harta itu". Ditanyakan kepada Sufyan bin Uyainah. "Apakah sifat pemurah itu?" Sufyan bin Uyainah menjawab: "Pemurah itu, ialah berbuat baik kepada teman‑teman dan bersifat pemurah dengan harta". Sufyan meneruskan ceriteranya: "Ayahku menerima pusaka 50.000 dirham Lalu ia mengirim dari uang tersebut beberapa bungkus kepada teman‑temannya. Dan mengatakan: "Aku selalu ber­mohon kepada Allah Ta’ala dalam shalatku, akan sorga bagi teman-­temanku. Maka adakah layak Aku kikir kepada mereka dengan harta ?” Al-Hasan AI‑Bashar (melihat)i ra berkata: "Memberikan tenaga pada memberikan yang ada itu, penghabisan sifat pemurah”. Ditanyakan kepada setengah ahli  filosuf: "Siapakah manusia yang paling engkau cintai?" Ahli hikmat itu menjawab: "Siapa yang banyak nikmat kebaik­annya kepadaku". Lalu ditanyakan lagi: "Jikalau itu tidak ada?" Ahli hikmat tersebut menjawab: "Siapa yang banyak nikmat kebaikkanku kepadanya". Abdul‑'aziz bin Marwan berkata: "Apabila seseorang yang me­mungkinkan aku dari dirinya, sehingga aku letakkan perbuatan baik­ku (amal ma'rufku) padanya, maka tangannya padaku itu, seperti tanganku padanya”. AI‑Mahdi bertanya kepada Syubaib bin Syabbah: “Bagaimana engkau melihat manusia pada rumahku?  Syubaib bin Syabbah menjawab: "Wahai Amirul‑muminin ! Se­sungguhnya seorang dari mereka, masuk dengan harapan dan keluar dengan kerelaan". Seorang yang pandai memberi contoh lalu memberi contoh pada Abdullah bin Ja’far seraya bermadah:
Bahwa perusahaan itu,
tidaklah dia, itu perusahaan,
sebelum dibetulkan pada perusahaan itu,
jalan tempat perusahaan
apabila engkau membuat perusahaan
maka tegakkanlah tiangnya karena Allah
atau tinggalkanlah
untuk kaum keluarga ............
Lalu Abdullah bin Ja’far mengatakan "Bahwa dua kuntum syair itu mengajarkan kikir kepada manusia. Akan tetapi hujanilah perbuatan baik (amal ma’ruf) dengan hujan merata. Maka jikalau kena pada orang‑orang mulia hati, niscaya mereka adalah berhak kepadanya. Dan jikalau kena, pada orang‑orang jahat, maka engkau­lah yang berhak kepadanya".
CERITERA (HIKAYAH): tentang orang‑orang pemurah.
Dari Muhammad bin Al Munkadir dan ia menerima dari Ummi Durrah. Dan Ummi Durrah ini adalah pembantu (khadam) Aisyah. Ummi Durrah berkata: "Bahwa Muawiyah mengirimkan uang kepada Aisyah dalam 2 karung. Banyaknya 180.000 dirham. Aisyah lalu meminta sebuah baqi. Maka dibagi-bagikannya uang itu kepada manusia. Maka tatkala hari sudah sore, Aisyah mengatakan: "Hai pembantu ! Bawalah kemari bukaan puasaku !" Ummu Durrah lalu membawa kepada 'Aisyah roti dan mi­nyak zaitun. Kemudian Ummu Durrah bertanya kepada 'Aisyah: "Tidakkah engkau sanggup, pada Apa yang engkau bagi‑bagikan hari ini, untuk engkau belikan daging bagi kita dengan sedirham yang akan kita berbuka puasa dengan daging itu?" 'Aisyah lalu menjawab: "Jikalau tadi engkau memperingatkan aku, niscaya akan aku laksanakan”. Dari Abban bin Usman yang mengatakan: "Seorang laki‑laki bermaksud, supaya Ubaidullah bin Abbas mendapat kesulitan (mela­rat). Lalu orang itu datang kepada pembesar‑pembesar Quraisy, sera­ya mengatakan: "Ubaidullah mengatakan kepada kamu: "Makan pa­gilah padaku hari ini !”. Maka datanglah mereka kepada Ubaidullah bin Abbas, sehingga memenuhi rumahnya. Lalu Ubaidullah bin Abbas bertanya: "Apa ini?" Lalu diceriterakan kepadanya berita itu. Maka Ubaidullah menyuruh belikan buah‑buahan. Dan menyuruh suatu rombongan, la­lu mereka memasak dan membuat roti. Dan dibawa buah‑buahan tadi kepada mereka. Lalu, belum lagi selesai daripada memakan buah-­buahan, sehingga hidangan makananpun sudah diletakkan. Maka merekapun makan, sehingga mereka kenyang sekali (sampai ke dada mereka makanannya). Ubaidullah lalu bertanya kepada pembantu‑pembantunya: "Ada­kah ini bagi kita setiap hari?" Mereka itu menjawab: "Ada!” Ubaidulah lalu berkata: "Maka hendaklah mereka makan pagi pada kita setiap hari !” Mush'ab bin Az‑Zubair berkata: "Mu'awiyah naik hajji. Maka tatkala ia berjalan, ia melalui Madinah. Lalu Al Husain bin Ali berkata kepada saudaranya AI Hasan: "Jangan engkau jumpai dia dan jangan engkau memberi salam kepadanya !" Tatkala Mu'awiyah telah keluar dari kota, lalu AI‑Hasan berkata: "Sesungguhnya atas kita ada hutang. Maka tak boleh tidak kita mendatanginya" Lalu AI‑Hasan bin Ali mengendarai kendaraannya di belakang Mu'awiyah dan dapat menemui Mu'awiyah. Lalu ia memberi salam kepadanya. Dan menerangkan pada Mu'awiyah, tentang hutangnya. "Pergilah kepada Mu'awiyah, dengan membawa bakiku ini !" Ujar Al-Hasan. “Padanya ada uang 80.000 dinar". Al Hasan sudah letih dan tertinggal di belakang dari unta. Dan orang banyak mendukungnya. Lalu Muawiyah bertanya: "Apa ini ? Al-Hasan Ialu menerangkan kepada Muawiyah. Maka Muawiyah menjawab: "Kamu sekalian  ! Serahkanlah dengan apa yang ada padanya kepada Abi Muhammad !" Dari Waqid bin Muhammad Al Waqidi mengatakan "Diceriterakan oleh ayahku kepadaku, bahwa beliau menyerahkan sepu­cuk surat kepada Khalifah AI‑Ma’mun. Disebutkannya dalam surat itu tentang banyaknya hutang dan kurang sabarnya atas hutang itu. AI‑Ma'mun Ialu menulis pada belakang surat tersebut (membuat disposisi yang isinya: "Sesungguhnya engkau seorang laki‑laki yang terkumpul pada engkau dua perkara yaitu: pemurah dan pemalu. Adapun pemurah maka itulah yang melepaskan (yang menghabiskan), apa yang ada dalam tangan engkau. Adapun pemalu, maka itulah yang melarang engkau untuk menyampaikannya kepada kami apa yang engkau alami. Aku telah perintahkan supaya diserahkan untukmu uang sebanyak 100.000 dirham. Jikalau aku benar, maka tambahkanlah pada menghamparkan tangan engkau (dengan pemberi­an)  !  Dan jikalau aku tidak benar, maka kesalahan engkau atas diri engkau sendiri ! Engkau telah menceriterakan kepadaku dan engkau waktu itu pada masa pemerintahan Harun Nurrasyid, suatu hadits dari Muhammad bin Ishak, dari Az-Zuhri, dari Anas: "Bahwa Nabi saw bersabda kepada Az‑Zubair bin AI‑'Awwam, yang bunyinya: "Hai Zubair !  Ketahuilah bahwa kunci rezeki hamba itu ditentang Arasy, Yang dikirim oleh AIlah 'Azza wa Jalla kepada tiap-tiap hamba sekedar nafkahnya. Maka barangsiapa membanyakkan pemberian kepada Orang lain, niscaya Allah membanyakkan baginya. Dan barang siapa menyedikitkan, niscaya Allah menyedikitkan baginya”. Dan engkau lebih tahu. Al Waqidi berkata: "Demi Allah ! Maka bersoal jawab (al ­mudzakarah) AI‑Ma’mun bagiku dengan hadits itu, lebih aku sukai daripada hadiah tadi. Yaitu: 100.000 dirham itu". Seorang laki‑laki meminta suatu keperluannya pada Al-Hasan bin Ali ra Lalu Al-Hasan berkata kepada orang itu: “Hai saudara ini ! Kebenaran permintaanmu kepadaku, amatlah besar padaku. Pengetahuanku tentang apa yang harus untukmu. amatlah berat atasku. Tanganku lemah daripada memberikan kepadamu, dengan apa yang berhak engkau mempunyainya. Banyak pada Zat Allah Ta’ala itu sedikit. Dan apa yang ada pada kepunyaanku itu, penyempurnaan teri­ma kasih kepadamu. Maka jikalau engkau terima apa yang mudah dan engkau tidak minta daripadaku belanja membawanya dan kepen­tingan untuk apa yang menjadi pikulanku dari kewajiban hakmu, niscaya aku perbuat". Laki‑laki itu Ialu menjawab: "Wahai putera (cucu) RasuluIllah aku terima dan aku bersyukur atas pemberian itu. Dan ku maafkan atas tidak diberikan !”. Al-Hasan Ialu memanggil pembantunya dan dibuatnya perkiraan atas perbelanjaan orang tersebut, sehingga kepada penghabisannya. Al-Hasan Ialu mengatakan: "Ambillah yang lebih dari 300.000 dirham !" Lalu dibawa kesitu 50.000. Al-Hasan Ialu ber­tanya: "Apa yang engkau perbuat dengan 500 dinar ?” Pembantu Al-Hasan menjawab: "Ada padaku". Al-Hasan menjawab: "Bawalah yang 500 dinar itu kemari  !” Maka uang itupun dibawalah di muka Al-Hasan. Lalu Al-Hasan menyerahkan dinar dan dirham itu kepada laki‑laki tadi, seraya berka­ta: "Ambilah siapa yang akan membawanya bagi engkau !" Lalu didatangkan dua orang pembawa. Maka diserahkan oleh Al Hasan kepadanya kain selimutnya, untuk ongkos dua orang pembawa itu. Lalu pembantu‑pembantu Al Hasan berkata kepada Al Hasan: "Demi Allah ! Tidak ada sedirhampun pada kita, lagi". Maka Al-Hasan menjawab: "Aku berharap, bahwa bagiku pahala besar di sisi Allah". Telah berkumpul para qari’ (ahli pembaca AI‑Quran) kota Basrah pada Ibnu Abbas. Dan Ibnu Abbas waktu itu petugas di Basrah. Mereka Ialu berkata kepada Ibnu Abbas: "Kami mempunyai seorang tetangga yang berpuasa pada siang hari (shawwam) dan menegakkan shalat pada malam hari (qawwam). Masing‑masing kami bercita‑cita menjadi seperti dia. la telah mengawinkan anak perempuannya de­ngan anak laki‑laki saudaranya. Dan tetangga itu miskin. Dan tidak ada padanya sesuatu, yang akan disiapkan nya kepada anak perempu­annya, dengan perkawinan itu". Abdullah Ibnu Abbas lalu berdiri memegang tangan mereka dan membawa masuk ke rumahnya. la membuka peti uang. Lalu dikeluar­kannya dari peti itu uang, sebanyak enam badrah (satu badrah adalah 10.000 dirham). Lalu Ibnu Abbas berkata: "Bawalah !" Mereka itu malu membawa uang tersebut. Maka Ibnu Abbas berkata: "Apa yang kita menginsafinya, maka kita berikan kepada­nya, Apa yang menyibukkannya dari menegakkan shalat dan puasa­nya. Kembalilah dengan kami ! Kita akan menjadi pembantunya dalam menyiapkan perkawinan anaknya. Maka tidaklah kepunyaan dunia, dari sekedar yang menyibukkan orang mukmin daripada ibadah kepa­da Tuhannya. Dan tidaklah pada kita, dari kesombongan, apa yang tidak kita melayani aulia‑aulia Allah Ta’aIa". Lalu Ibnu Abbas berbuat dan merekapun berbuat demikian. Diceriterakan, bahwa tatkala datang musim kemarau kepada penduduk Mesir dan Abdul‑hamid bin Sa’ad amir mereka, lalu Abdul­-hamid itu berkata: "Demi Allah ! Sesungguhnya aku beritahukan ke­pada, setan, bahwa aku musuhnya !”. Lalu ia menanggung orang‑orang miskin dari penduduk itu, sampai‑sampai harga‑harga itu menjadi murah. Kemudian, ia tidak menanggung lagi perbelanjaan orang‑orang miskin tersebut. la Ialu berangkat pergi. Dan para saudagar mempunyai uang sebagai hutang pada Abdul‑hamid bin Sa’ad, sebanyak satu juta dirham. Lalu Abdul-­hamid menggadaikan kepada para saudagar tersebut perhiasan isteri­nya. Dan nilainya sebanyak limaratus juta dirham. Tatkala sukar bagi Abdul‑hamid bin Sa’ad untuk menebus kembali perhiasan itu, maka dituliskannya surat kepada mereka untuk menjualnya. Dan diserah­kannya uang yang lebih dari hak saudagar‑saudagar itu, kepada orang yang tiada sampai kepadanya, keadaan orang itu di Mesir. Abu Tahir bin Katsir adalah seorang syi’ah. Lalu seorang laki-­laki mengatakan kepadanya: "Dengan kebenaran Ali bin Abi Talib, tatkala engkau berikan kepadaku lebah engkau di tempat anu dan anu". Abu Tahir bin Katsir Ialu menjawab: "Sesungguhnya aku telah berbuat demikian. Demi kebenarannya, akan aku berikan kepada eng­kau, apa yang berhubungan dengan lebah tersebut". Dan adalah yang demikian itu, berlipat‑ganda dari apa yang dimintakan oleh laki‑laki itu. Abu mursad adalah seorang pemurah. Lalu ia dipuji oleh sete­ngah penyair. Maka ia mengatakan kepada penyair itu: "Demi Allah ! Tidak ada padaku, apa yang akan aku berikan kepadamu. Akan tetapi, bawalah aku kepada hakim ! Dan dakwakan atas diriku berhu­tang 10.000 dirham. Sehingga aku mengaku kepunyaanmu itu, dengan demikian. Kemudian, tahanlah aku. Maka sesungguhnya kaum keluargaku, tiada akan membiarkan aku ditahan !”. Penyair tadi Ialu berbuat demikian. Maka tidak sampai sore hari, sehingga diserahkan kepadanya uang 10.000 dirham. Dan Abu Mursad dikeluarkan dari tahanan. Adalah Ma’an bin Zaidah seorang petugas pada Irak Arab dan Irak Parsi di Basrah. Maka datanglah seorang penyair di pintu rumah­nya. Penyair itu berdiri beberapa waktu dan ingin masuk ke tempat Ma’an. Tetapi Ma’an tidak bersedia menerimanya. Maka pada suatu hari penyair itu berkata kepada setengah pem­bantu (khadam) Ma’an: "Apabila amir masuk di taman, maka berita­hukan kepadaku !" Tatkala amir masuk di taman, Ialu pembantu itu memberitahukan kepada penyair tadi. Maka penyair itu menulis sekuntum sajak pada sepotong papan. Dan dilemparkannya dalam air yang masuk ke taman itu. Dan Ma’an berada di ulu air. Maka tatkala Ma’an melihat papan itu, Ialu diambilnya dan dibacanya. Tiba‑tiba yang tertulis pada papan itu, adalah:
Hai kemurahan Ma`an !
Berbicaralah tentang keperluanku dengan Ma’an !
Maka tiada bagiku kepada Ma’an,
selain engkau yang memberi pertolongan.
Lalu amir Ma’an itu bertanya: "Siapa yang punya papan ini?”
Maka laki‑laki penyair itu dipanggil. Lalu Ma’an bertanya kepa­danya. "Bagaimana engkau mengucapkannya?". Penyair tersebut lalu bermadah dengan madah tadi. Ma’an Ialu memerintahkan, supaya diberikan kepada penyair itu uang sebanyak sepuluh badrah (satu badrah, ialah 10.000 dirham). Penyair itu Ialu mengambilnya. Dan amir Ma’an meletakkan papan itu di bawah hambalnya. Maka tatkala datang hari kedua, Ma’an mengeluarkan papan itu dari bawah hambalnya, seraya membacanya. Dan dipanggilnya laki‑la­ki penyair itu. Lalu diserahkannya lagi kepada penyair itu 100.000 dirham. Sewaktu laki‑laki penyair tadi telah mengambilnya, maka ia bertafakkur dan takut, bahwa Ma’an akan mengambilnya kembali, apa yang telah diberikannya. Lalu penyair itu ke luar. Tatkala pada hari ketiga, Ma’an membaca lagi apa yang tertulis pada papan itu. Lalu dipanggilnya laki‑laki penyair Itu. Maka dicari, tetapi tidak bertemu. Lalu Ma’an berkata: “Memang berhak atasku untuk memberikannya, sehingga tidak lagi tinggal dalam rumah, har­taku sedirham dan sedinar”. Abul‑Hasan AI‑Madaini berkata: "Adalah Al-Hasan, Al Husain dan Abdullah bin Ja’far pergi mengerjakan haji. Lalu hilang perbekal­an mereka dalam perjalanan. Mereka Ialu lapar dan haus maka mereka menemui seorang wanita tua dalam kemahnya, seraya mereka bertanya: “Ada minuman ?” Wanita tua itu menjawab: “Ada!” Lalu mereka singgah pada tempat wanita tadi. Dan Wanita itu hanya mempunyai seekor kambing kecil di sudut kemahnya. Lalu ia mengatakan: "Perahlah kambing itu dan minumlah air susunya !" Mereka lalu berbuat demikian. Kemudian mereka bertanya lagi kepada wanita tersebut: "Ada makanan?" Wanita itu menjawab: “Tidak ada, selain kambing ini. Maka hendaklah disembelihkan oleh salah seorang kamu, sehingga aku siapkan bagimu apa yang akan kamu makan”. Lalu berdirilah salah seorang dari mereka mengambil kambing itu, menyembelih dan mengulitinya. Kemudian, wanita tersebut menyiapkan makanan bagi mereka. Lalu mereka makan dan tinggal di situ, sampai masuk waktu dingin sore hari. Tatkala mereka akan berangkat, Ialu mereka mengatakan kepada wanita tadi: "Kami adalah rombongan dari orang‑orang Quraisy, yang bermaksud menuju Baitullah. Maka Apabila kami sudah kembali nanti dengan selamat, maka singgahlah pada kami ! Kami akan berbuat baik kepada engkau”. Kemudian, merekapun berangkatlah. Lalu datanglah suami wanita itu. Maka wanita itu menceriterakan kepada suaminya, tentang hal orang‑orang tersebut dan kambing yang telah disembelihkannya. Maka laki‑laki itu marah, seraya berkata: "Celakalah engkau ! Engkau sembelihkan kambingku, untuk orang‑orang yang tidak engkau kenal. Kemudian, engkau katakan: “suatu rombongan dari orang Quraisy”. Abul‑Hasan AI‑Madaini meneruskan ceriteranya: "Kemudian, sesudah beberapa waktu lamanya, suami‑isteri itu ada keperluan untuk datang di kota Madinah. Maka keduanyapun masuk di Madinah ser­ta membawa seekor unta, yang akan dijuaInya. Dan harganya akan dipergunakannya untuk belanja hidup. Wanita tua tersebut Ialu melewati sebagian jalan kota Madinah. Tiba‑tiba Al-Hasan bin Ali sedang duduk pada pintu rumahnya. Ia mengenal, wanita tua tersebut dan wanita itu tidak mengenal lagi kepada Al-Hasan bin Ali. Al-Hasan bin Ali Ialu mengutus pembantunya. Maka dipanggilnya wanita tua tadi, seraya bertanya kepadanya: "Hai, hamba Allah ! Apakah engkau tidak kenal lagi kepadaku?" Wanita itu menjawab: “Tidak !” Al-Hasan bin Ali berkata: "Aku adalah tamu engkau pada hari itu dan hari itu". Wanita tua itu menjawab: "Demi ayah dan ibuku ! Engkau tamu itu?" Al-Hasan bin Ali menjawab: “Ya !” Kemudian, Al-Hasan menyuruh pembantunya. Lalu mereka membelikan untuk wanita tersebut dari kambing zakat, seribu ekor. Dan disuruhnya memberikan kepada wanita itu bersama kambing tadi, uang seribu dinar. Dan diutusnya wanita tadi bersama pembantu­nya, pergi kepada AI Husain. Lalu Al-Husain bertanya kepada wanita tersebut: "Berapa disampaikan oleh saudaraku kepada engkau?" Wanita itu menjawab: "Seribu ekor kambing dan uang seribu dinar." Lalu Al-Husain memerintahkan kepada pembantunya, supaya diberikan pula seperti itu. Kemudian, Al-Husain, mengutus wanita itu bersama pembantunya kepada Abdullah bin Ja'far. Lalu Abdullah bin Ja’far bertanya kepada wanita tersebut. "Berapa disampaikan kepada engkau, oleh AI‑Hasan dan Al-Husain?" Wanita itu menjawab: “Dua ribu ekor kambing dan uang dua ribu dinar". Maka Abdullah bin Ja’far memerintahkan kepada pembantunya supaya diberikan kepada wanita tersebut, dua ribu ekor kambing dan uang dua ribu dinar. Dan mengatakan kepada wanita tersebut: "Jikalau engkau mulai dengan aku lebih dahulu, niscaya aku payahkan mereka berdua". Wanita tua itu lalu kembali kepada suaminya, dengan empat ribu ekor kambing dan uang empat ribu dinar. Abdullah bin 'Amir bin Kuraiz ke luar dari masjid, bermaksud kembali ke rumahnya. Dan dia adalah sendirian. Maka berdirilah menuju kepadanya, seorang anak Iaki‑laki dari Tsaqif. Anak itu berjalan ke samping Abdullah bin 'Amir tadi. Lalu Abdullah bertanya kepada anak itu: "Apakah engkau ada keperluan, hai anak?" Anak itu menjawab. "Kebaikan engkau dan kemenangan engkau. Aku melihat engkau berjalan sendirian. Lalu aku berkata kepada diriku: "Akan aku jaga engkau dengan diriku. Dan aku berlindung dengan Allah, jikalau terbang yang tiada disukai disamping engkau". Lalu Abdullah memegang tangan anak itu dan berjalan bersama dia ke rumah nya. Kemudian, dipanggilnya pembantunya untuk mengambil uang seribu dinar. Lalu diserahkannya uang tersebut kepada anak itu, seraya berkata: "Belanjakanlah dengan uang ini ! Alangkah baiknya Apa yang dididik engkau oleh keluarga engkau !" Diceritakan, bahwa suatu kaum dari orang Arab, datang ber­ziarah ke kuburan setengah orang‑orang pemurah dari mereka. Lalu mereka mengambil tempat di sisi kuburannya dan bermalam di situ. Adalah mereka itu datang dari perjalanan yang jauh. Lalu seorang dari mereka, bermimpi bertemu dengan yang punya kuburan Itu. Dan yang punya kuburan itu bertanya kepadanya: "Maukah engkau menukarkan unta engkau dengan untaku?" Dan adalah orang pemurah yang telah meninggal itu, meninggalkan seekor unta yang terkenal baik. Dan laki‑laki yang bermimpi itu mempunyai seekor unta gemuk. Lalu laki‑laki tersebut menjawab dalam tidurnya: "Ya, saya mau !" Lalu dijualnya dalam tidurnya untanya dengan unta orang yang telah meninggal itu. Maka tatkala telah terjadi 'aqad (jual-beli) di antara keduanya, lalu laki‑laki itu menuju kepada untanya. Lantas disembelihkannya dalam tidur. Laki‑laki itu lalu terbangun dari tidurnya. Tiba‑tiba dilihatnya darah mengalir dari leher untanya. Maka laki‑laki itu bangun berdiri. Lalu disembelihkannya untanya itu dan dibagi‑bagikannya daging­nya. Lalu mereka memasak daging unta itu dan mereka menunaikan hajat keperluannya, memakan daging unta tersebut. Kemudian, mere­ka berangkat dan berjalan. Tatkala pada hari kedua dan mereka masih di jalan, lalu berhadapan dengan mereka, suatu rombongan penunggang‑penunggang unta. Seorang laki‑laki dari rombongan itu bertanya: "Siapakah si anu anak si anu dari kamu ini?" Lalu disebutnya nama laki‑laki yang dimaksudkannya. Lalu laki‑laki yang bermimpi itu menjawab: "Saya !" Laki‑laki dari rombongan penunggang unta itu bertanya pula: "Adakah engkau menjual sesuatu dengan si anu anak si anu?" Lalu disebutnya nama orang yang telah meninggal,  yang punya kuburan tadi. Laki‑laki yang bermimpi tersebut lalu menjawab: "Ada ! aku jual untaku kepadanya dengan untanya, dalam tidurku". Maka laki‑laki dari rombongan penunggang unta itu menjawab: "Ambillah ini untanya !" Kemudian, laki‑laki penunggang itu menyambung: "Dia itu ayahku. Aku bermimpi melihatnya dalam tidur. Dan ia mengatakan: "Jikalau engkau anakku, maka serahkanlah untaku kepada si anu anak si anu !" dan disebutnya namanya. Seorang laki‑laki dari suku Quraisy, datang dari perjalanan jauh. Maka ia menemui seorang laki‑laki badui Arab di tengah jalan, yang telah terduduk sekian lama. Dan menderita sakit. Lalu Arab badui itu berkata: "Hai orang ini ! Tolonglah kami di atas mala-petaka yang ditimpakan oleh masa !" Lalu laki‑laki Quraisy itu bertanya kepada pembantunya: "Apa yang masih ada padamu, dari perbelanjaan, maka serahkanlah kepadanya !" Pembantu itu lalu meletakkan pada pangkuan Arab badui tadi, uang sebanyak 4000 dirham. Lalu Arab badui tersebut bangun untuk berdiri. Akan tetapi, ia tidak sanggup dari karena lemahnya. Maka ia menangis. Lalu laki‑laki Quraisy itu bertanya kepadanya. "Apakah yang menyebabkan engkau menangis? mungkin engkau me­mandang sedikit apa yang kami berikan kepada engkau?" Badui itu menjawab: " Tidak ! Akan tetapi, aku teringat apa yang akan dimakan oleh bumi dari kemurahan engkau. Maka memba­wa aku tertangis". Abdullah bin 'Amir membeli dari Khalid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith rumahnya yang di pasar, dengan harga 90.000 dirham. Maka tatkala malam harinya, Abdullah bin 'Amir mendengar tangisan keluarga Khalid. Lalu Abdullah bertanya kepada keluarga­nya: "Ada apa mereka itu?" Keluarga Abdullah bin 'Amir menjawab: "Mereka menangis karena rumahnya”. Abdullah bin 'Amir lalu mengatakan. "Hai pembantuku ! Datangilah mereka ! Beritahukan kepada mereka, bahwa harta semua dan rumah bagi mereka !" Diceriterakan, bahwa Harun nu’rrasyid mengirim uang kepada Malik bin Anas ra sebanyak 500 dinar. Lalu berita itu sampai kepada AI‑Laits bin Sa’ad. Maka AI‑Laits bin Sa’ad lalu mengirim uang kepada Malik bin Anas, sebanyak 1000 dinar. Lalu Harun nu'rra­syid marah, seraya berkata: "Aku berikan kepadanya limaratus dan engkau berikan kepadanya seribu. Padahal engkau adalah sebagian dari rakyatku". Maka AI‑Laits bin Sa’ad menjawab: "Wahai amirul mukminin Bahwa aku mempunyai hasil tanahku setiap hari seribu dinar. Maka aku malu memberikan kepada orang yang seperti beliau, kurang dari pemasukan sehari". Diceriterakan, bahwa tidak wajib zakat atas AI‑Laits bin Sa’ad, sedang pemasukannya setiap hari, 1000 dinar. Diceriterakan, bahwa seorang wanita meminta pada Al-Laits bin Sa’ad ra sedikit madu lebah. Lalu AI‑Laits menyuruh pembantu­nya, supaya diserahkannya kepada wanita tadi segeriba madu. (Geriba adalah tempat air atau madu, terbuat dari kulit kambing atau unta). Lalu dikatakan kepada AI‑Laits, bahwa wanita tersebut merasa cukup, kurang dari itu. Maka AI‑Laits menjawab: "Dia meminta sekedar keperluannya. Dan kami memberi kepadanya, sekedar nikmat yang menjadi tanggungan kami". Al-Laits bin Sa’ad tiada berkata‑kata setiap hari sebelum ia bersedekah, kepada 360 orang miskin. Al-a'masy berkata: "Bahwa seekor kambing betina yang ada padaku, menderita sakit. Khaitsaman bin Abdurrahman selalu me­ngunjungi kambing tersebut, pagi dan sore. Dan menanyakan kepadaku, adalah cukup umpannya. Dan bagaimanakah kanak‑kanak dapat bersabar, semenjak mereka tidak memperoleh susu kambing betina tersebut. Dan dibawahku ada sehelai permadani, di mana aku duduk atas permadani itu. Maka apabila Khaitsaman bin Abdurrahman ke luar, ia berkata: "Ambillah apa yang di bawah permadani itu !" Sehingga sampailah kepadaku, mengenai penyakit kambing itu, lebih dari 300 dinar dari kebaikannya. Sehingga aku bercita‑cita, bah­wa kambing itu, tidak sembuh‑sembuh”. Khalifah Abdulmalik bin Marwan berkata kepada Asma' bin Kharijah: "Telah sampai kepadaku beberapa hal daripadamu. Maka ceriterakanlah semuanya kepadaku !"  Lalu Asma' bin Kharijah menjawab: "Semua hal itu yang dari orang lain, adalah lebih baik yang daripadaku". Abdulmalik bin Marwan lalu menjawab: "Aku mengharap pada­mu, supaya engkau ceriterakan kepadaku semuanya". Maka Asma' menjawab: "Wahai amirul mukminin aku tiada memanjangkan (melepaskan) sekali‑kali kakiku, di hadapan orang yang duduk bersama aku. Tiada sekali‑kali aku perbuat makanan, lalu aku undang orang‑orang kepadanya, selain mereka yang merasa lebih aman kepadaku, daripada aku kepada mereka. Dan tiada sekali-kali orang yang menegakkan wajahnya kepadaku, yang meminta sesuatu padaku, melainkan aku perbanyakkan sesuatu yang aku berikan kepadanya". Sa’id bin Khalid masuk ke tempat Sulaiman bin Abdulmalik. Sa’id tersebut adalah seorang laki‑laki pemurah. Apabila ia tiada memperoleh sesuatu, lalu ditulisnya bagi orang yang meminta pada­nya, sebagai pengakuan hutang (hampir sama dengan cek) atas diri­nya, sampai keluarlah pemberiannya. Tatkala Sulaiman bin Abdulmalik menoleh kepada Sa'id bin Khalid, lalu Sulaiman memberi perumpamaan dengan sekuntum syair ini, seraya bermadah:
Sesungguhnya aku mendengar,
seorang penyeru di pagi hari:
Hai orang yang membantu,
kepada pemuda yang meminta tolong ini !
Kemudian, baru Sulaiman bin Abdulmalik bertanya: "Apa hajatmu?” Sa'id bin Khalid menjawab: "Hutangku !" Sulaiman Ialu bertanya: "Berapa hutang itu?" Sa’id bin Khalid menjawab: "Tigapuluh ribu dinar". Lalu Sulaiman bin Abdul Malik menjawab: "Aku berikan bagimu hutangmu dan sebanyak itu pula tambahannya". Diceriterakan orang, bahwa Qais bin Sa’ad bin 'Ubbadah sakit. Teman‑temannya terlambat mengunjunginya. Lalu orang mengatakan kepadanya: "Bahwa teman‑teman itu malu dari hartamu atas mereka, yang merupakan hutang". Maka Qais bin Sa’ad bin 'Ubbadah menjawab: "Dihinakan Allah kiranya, harta yang mencegah teman-teman dari berkunjung". Kemudian, Qais menyuruh seorang penyeru. Lalu penyeru itu berseru: "Siapa yang ada padanya, kepunyaan Qais bin Sa’ad. maka orang itu terlepas dari kepunyaan Qais tersebut". Kata yang punya riwayat, maka patahlah tangganya di sore hari, lantaran banyaknya orang yang menziarahi dan mengunjunginya. Dari Abi Ishak, yang mengatakan. "Aku mengerjakan shalat fajar di masjid AI Asy’ats di Kufah, di mana aku mencari orang yang berpiutang bagiku. Lalu tatkala aku sudah shalat, maka diletakkan orang dihadapanku sehelai pakaian dan sepasang sandal. Aku Ialu mengatakan: "Aku bukan pengurus masjid ini”. Mereka menjawab: "Bahwa AI‑Asy'ats bin Qais Al-Kindi da­tang kemarin dari Makkah. la menyuruh supaya diberikan kepada tiap‑tiap orang yang mengerjakan shalat pada masjid ini sehelai pa­kaian dan sepasang sandal. Asy‑Syaikh Abu Sa'id, Al-Harkusyi An-Naisaburi ra berkata: "Aku mendengar Muhammad bin Muhammad Al-Hafidh berkata: "Aku mendengar Asy‑Syafi’i, yang berkunjung ke Makkah, berkata: "Di Mesir ada seorang laki‑laki yang terkenal mengumpulkan sesuatu untuk orang‑orang miskin. Lalu sebahagian orang miskin itu, mem­peroleh anak. Maka yang memperoleh anak itu, berkata: "Aku datang kepada seorang laki-laki tersebut. Dan aku katakan kepadanya: "Aku telah memperoleh seorang anak dan tiada padaku suatupun". Lalu laki‑laki tersebut bangun berdiri bersama aku dan masuk ke tempat suatu kumpulan orang banyak. Akan tetapi tiada suatupun diberikan orang. Laki‑laki tersebut Ialu datang kesuatu kuburan seorang laki‑laki. Dan ia duduk di sisi kuburan itu, seraya berkata: "Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada engkau ! Engkau telah berbuat dan beru­saha. Dan aku hari ini telah berkeliling pada suatu kumpulan orang banyak. Aku beratkan kepada mereka, untuk menyerahkan sesuatu bagi anak yang baru lahir. Kebetulan, tiada suatupun, yang diberikan kepadaku". Yang mempunyai anak itu meneruskan ceriteranya: "Kemudian, laki‑laki tersebut bangun berdiri dan mengeluarkan uang sedinar dan dibagikannya dua bahagian. Diserahkannya kepadaku sebahagian, se­raya berkata: "Ini hutang atasmu, sampai diberikan orang, sesuatu kepadamu". Yang mempunyai anak itu meneruskan ceriteranya: "Maka aku ambil yang separuh itu dan aku pergi. Lalu aku perbaiki, uang sepa­ruh dinar yang kebetulan diserahkan kepadaku". Yang mempunyai anak itu, meneruskan ceriteranya: "Laki-laki yang membuat perhitungan pada malam itu, bermimpi bertemu dengan orang yang punya kuburan. Maka orang yang punya kuburan tersebut berkata: "Aku telah mendengar semua yang engkau katakan. Jadi, kami tiada mempunyai jawaban apa-apa. Akan tetapi, datanglah kerumahku dan katakanlah kepada anak‑anakku, supaya mereka menggali pada tempat dapur. Dan mengeluarkan suatu geriba, yang didalamnya ada uang sebanyak limaratus dinar. Maka bawalah uang tersebut kepada laki‑laki ini (Laki‑laki yang mempunyai anak) !" Maka pada keesokan harinya, laki-laki yang bermimpi itu, da­tang ke rumah orang yang meninggal (yang punya kuburan). Dan diceriterakannya kisah tadi kepada anak‑anaknya. Mereka Ialu berka­ta kepada orang yang bermimpi itu: "Duduklah dulu !" Dan mereka menggali tempat tersebut dan mengeluarkan dinar‑dinar itu. Mereka datang dengan membawa dinar‑dinar tadi dan meletakkannya di ha­dapan orang yang bermimpi itu. Lalu orang itu berkata: "Ini harta kamu ! Mimpiku itu tiada mempunyai hukum apa-apa". Anak‑anak dari yang punya kuburan itu menjawab: "Dia (al marhum) berbuat kemurahan, sebagai orang yang sudah meninggal. Dan kami tidak berbuat kemurahan, pada hal kami hidup". Tatkala anak‑anak orang dari yang punya kuburan itu, mendesak kepada orang yang bermimpi itu, lalu dibawanya dinar‑dinar ter­sebut kepada orang yang mempunyai anak itu. Diceriterakannya kepa­danya kissah tadi. Yang mempunyai anak itu meneruskan ceriteranya, bahwa ia Ialu mengambil sedinar dari dinar‑dinar itu. Maka dipecahkannya menjadi dua bahagiaan. Lalu diberikannya yang separuh kepada 0­rang yang bermimpi itu, yang telah memperhutangkannya dahulu. Dan dibawanya yang separuh lagi untuk dia, seraya berkata: “Men­cukupilah bagiku yang ini saja ! Dan yang lain disedekah kannya kepa­da fakir miskin. Abu Sa'id Al-Harkusyi An‑Naisaburi ( yang punya kisah ini ) berkata: "Yang manakah di antara mereka yang paling pemurah?" Diriwayatkan, bahwa Asy‑Syafi ra tatakala sakit di Mesir yang membawa kepada meninggalnya, mengatakan: "SuruhLah si anu yang akan, memandikan aku !" Tatkala Asy‑Syafi ra telah wafat, maka sampailah kepada orang tadi, berita kewafatannya. Waktu orang itu telah datang, lalu mengatakan: "Berikanlah kepadaku catatan AI‑Imam‑Asy‑Syafi. Lalu diberikan kepadanya dan dilihatnya. Tiba‑tiba dijumpai bahwa Asy‑Syafi ra mempunyai hutang sebanyak 70.000 dirham. Maka orang tadi menulis hutang tersebut menjadi hutangnya dan lalu dibayarnya, seraya berkata: "Inilah pemandianku akan Al-Imam Asy‑Syafi Artinya: “yang beliau maksudkan  inilah".  Abu Sa'id Al-Wa’idh Al-Harkusyi berkata: "Tatkala aku datang di Mesir. Aku mencari tempat tinggal laki‑laki itu. Lalu mereka menunjukkan kepadaku tempat tinggaInya. Maka aku melihat sekum­pulan cucu‑cucunya dan aku berkunjung kepada mereka. Lalu aku melihat pada mereka, tanda kebajikan dan bekas‑bekas keutamaan. Maka aku mengatakan: "Telah sampai bekasnya pada kebajikan kepada mereka dan telah lahir brakahnya pada mereka, berdalilkan firman Allah Ta’ala: ”Adalah bapak kedua pemuda yatim itu orang yang baik". S 18 Al Kahfi ayat 82. Asy‑Syafi'i ra berkata: "Senantiasa aku mencintai Hammad bin Abi Sulaiman, karena sesuatu yang sampai kepadaku daripadanya. Yaitu, bahwa pada suatu hari, ia mengendarai keledainya, lalu keledai itu menggerak‑gerakkannya. Maka putuslah kancing bajunya. Lalu ia melalui tempat seorang penjahit. Ia bermaksud turun ke tempat penja­hit itu, untuk membetulkan kancing bajunya. Maka penjahit itu ber­kata: "Demi Allah ! Tak usah engkau turun !" Penjahit tadi lalu bangun berdiri, menemui Hammad bin Abi Sulaiman. Lalu membetulkan kancing bajunya. Maka Hammad mengeluarkan sebungkus tempat uang yang isinya sepuluh dinar. Lalu diserahkannya kepada penjahit tersebut. Dan ia meminta ma'af dari sedikitnya. Al-Imam Asy‑Syafi’i ra bermadah bagi dirinya:
Wahai nasib diriku,
atas harta yang aku dermakan,
kepada orang‑orang yang memerlukan,
dari orang‑orang yang berkepribadian.
Bahwa permintaan ma'afku,
kepada orang yang datang meminta padaku,
tidaklah itu padaku,
termasuk salah satu mala‑petaka.
Dari Ar‑Rabi’ bin Sulaiman, yang mengatakan: "Seorang laki­-laki memegang tempat pijak kaki di pelana kuda Asy‑Syafi ra. Lalu Asy‑Syafi ra berkata: "Hai Rabi Berikanlah kepadanya empat dinar dan minta‑maaflah kepadanya daripadaku !” Ar‑Rabi berkata: "Aku mendengar Al-Hamidi mengatakan, bahwa AI‑Imam Asy‑Syafi ra datang dari San’a (Yaman) ke Mak­kah, dengan membawa uang sebanyak 10.000 dinar. Lalu didiri­kannya khemah pada suatu tempat diluar kota Makkah. Dan uang tadi dihamburkannya di atas sehelai kain. Kemudian, ia berjumpa dengan setiap orang yang masuk ketempatnya, dimana ia menggeng­gam suatu genggaman untuk orang tersebut. Dan diberikannya kepada orang itu. Sehingga ia mengerjakan shalat Dhuhur dan dilipatkannya kain itu. Dan tak ada suatupun lagi di atas kain tersebut". Dari Abi Tsaur yang mengatakan: "Asy‑Syafi ra bermaksud pergi ke Makkah dan padanya ada uang. Dan adalah jarang sekali ia memakan sesuatu, dari karena kemurahan hatinya. Maka aku menga­takan kepadanya: "Sayogialah engkau membeli dengan uang ini, ta­nah yang akan menjadi milik engkau dan anak engkau”. Abi Tsaur meneruskan ceriteranya: "Asy‑Syafi itu Ialu ke luar. Kemudian ia datang ke tempat kami. Maka aku tanyakan kepadanya, tentang uang itu. Lalu ia menjawab: "Aku tiada mendapati tanah di Makkah, yang memungkinkan aku membelinya. Karena aku mengeta­hui, asal-usul tanah Makkah itu. Dan telah mewakafkan bahagian terbanyak dari padanya. Akan tetapi, aku telah membangun di Mina sebuah khemah besar, untuk teman-teman kita. Apabila mereka naik haji supaya bertempat pada khemah tersebut".  Asy Syafi ra Ialu bermadah bagi dirinya sendiri yang mengatakan:
Aku melihat diriku,
rindu kepada beberapa hal.
Kuranglah hartaku
tidak akan sampai semuanya.
Diriku tidak akan patuh,
kepadaku disebabkan kikir.
Dan hartaku tidak menyampaikan aku,
kepada kedermawanan.
Muhammad bin 'Ubbad Al Mahlabi berkata: "Ayahku masuk ke tempat khalifah AI‑Ma’mun. Lalu AI‑Ma’mun menyampaikan kepada­nya uang 100.000 dirham Tatkala ayahku telah pergi dari sisi AI‑Ma'mun Ialu uang tersebut disedekahkannya kepada orang. Lalu yang demikian itu, diceriterakan orang kepada AI‑Ma'mun. Tatkala ayahku datang kembali kepada AI‑Ma’mun, Ialu ia di­marahi oleh AI Ma'mun pada yang demikian. Maka ayahku menja­wab: "Wahai amirul mukminin ! Mencegah memberikan yang ada, itu, adalah jahat sangka kepada Yang Disembah”. Lalu AI‑Ma’mun menyampaikan kepadanya uang sebanyak 100.000 dirham lagi. Seorang laki‑laki bangun berdiri, menghadap Sa'id bin Al-'Ash. Lalu ia meminta padanya sesuatu. Maka Sa'id bin Al-'Ash menyuruh pembantunya, memberikan kepada laki‑laki tadi, uang sebanyak seratus ribu dirham. Laki‑laki tersebut, lalu menangis. Maka Sa’id bertanya: "Apakah yang membawa engkau menangis?" Laki‑laki itu menjawab: "Aku menangis kepada bumi, bahwa ia akan memakan orang yang seperti engkau". Sa’id Ialu menyuruh pembantunya, supaya memberikan kepada orang itu 100.000 dirham lagi. Abu Tammam masuk ke tempat Ibrahim bin Syaklah, dengan menyajikan beberapa bait (kuntum) syair, dimana Abu Tammmam memujikan Ibrahim dengan syair tersebut. Abu Tammam mendapati Ibrahim bin Syaklah dalam keadaan sakit. Lalu Ibrahim menerima pujian dari Abu Tammam tersebut. Dan Ibrahim menyuruh pengawalnya, supaya memberikan kepada A­bu Tammam, apa yang layak baginya. Ibrahim mengatakan: "Semoga aku dapat bangun dari sakitku. Maka aku akan membalas kebaikan­nya”. Lalu Abu Tammam tinggal di situ selama 2 bulan. Maka membosankannya oleh lamanya tinggal di situ. Lalu dituliskannya madah kepada, Ibrahim bin Syaklah, dengan katanya:
Sesungguhnya adalah haram
menerima pujian kami.
Dan meninggalkan apa yang kami harapkan,
daripada pemberian .......
Sebagaimana dirham dan dinar,
pada penjualan,
adalah haram,
selain tangan dengan tangan
Tatkala kedua bait tersebut sampai kepada, Ibrahim bin Syaklah, Ialu ia mengatakan kepada pengawalnya: "Berapa lama sudah Abu Tammam tinggal di pintu?" Pengawal itu menjawab: “Dua bulan !"  Ibrahim Ialu berkata: "Berikanlah kepadanya, 30.000 ribu dirham. Dan bawalah kepadaku tinta !". Lalu Ibrahim bin Syaklah menulis madah, yang di bawah ini kepada Abu Tammam:
Engkau tergesa‑gesa datang kepada kami
maka datanglah, kepada engkau, tergesa‑gesa sedikit kebajikan kami.
Jikalau engkau memberi waktu kepada kami
niscaya kami, tidak menyedikitkan pemberian kami
maka ambillah yang sedikit ini,
seakan‑akan engkau tidak pernah mengatakan apa-apa
Dan kami mengatakan ini
seakan‑akan kami tidak pernah berbuat apa-apa.
Diriwayatkan, bahwa Usman bin Affan ra mempunyai uang pada Thalhah bin Ubaidillah ra sebanyak 50.000 dirham. Pada suatu hari Usman ke luar dari rumahnya, pergi ke mesjid. Lalu Thalhah berkata kepadanya: "Harta engkau telah tersedia, maka teri­malah !" Usman Ialu menjawab: “Itu untukmu hai Aba Muhammad. Bantuan kepadamu di atas Muru’ahmu !" Su'da  binti uf mengatakan: "Aku masuk ketempat Thalhah. Maka Aku melihat dari padanya, perlengkapan untuk perjalanan jauh. Lalu Aku bertanya kepadanya: "Harta engkau?" Thalhah menjawab: "Telah berkumpul padaku harta dan telah menyusahkan Aku". Lalu Aku menjawab: "Apakah yang menyusahkan engkau? “Panggillah kaum engkau !" Thalhah Ialu menjawab: "Hai pembantu ! Atasku dengan kaumku". Maka harta itu dibagi‑bagikannya kepada mereka. Lalu Aku bertanya kepada pembantu: "Berapa ada harta itu?" Pembantu itu menjawab: "400.000".  Seorang badui Arab datang kepada Thalhah. Lalu ia meminta sesuatu pada Thalhah. Ia mendekati Thalhah dengan jalan kefamilian. Lalu Thalhah menjawab: "Bahwa kefamilian ini belum pernah se­orang pun sebelum engkau, meminta padaku dengan sebab kefamili­an. Aku mempunyai sebidang tanah, yang telah diberikan kepadaku, Dibelinya tanah itu oleh Usman, dengan 300.000. Kalau engkau mau, maka terimalah tanah tersebut. Dan kalau engkau mau, Aku jual tanah itu, dengan setahu Usman. Dan Aku serahkan kepada engkau harganya". Badui itu menjawab: "Harganya saja". Maka Thalhah menjual tanah tersebut dengan setahu Usman. Dan diserahkannya harganya kepada badui Arab itu. Diceriterakan orang, bahwa pada suatu hari Ali ra menangis. Lalu orang bertanya kepadanya: "Apakah yang menyebabkan maka engkau menangis?". Ali ra lalu menjawab: “Tidak datang kepadaku seorang tamu­pun semenjak 7 hari. Aku takut, bahwa Allah telah menghinakan Aku”. Seorang laki‑laki datang kepada temannya. Lalu ia mengetuk pintunya. Maka teman yang punya rumah itu bertanya: "Apakah yang menyebabkan kamu datang?". Laki‑laki itu menjawab: "Atasku hutang sebanyak 400 dirham. Lalu ia menimbang uang 400 dirham. Dan dikeluarkannya uang itu, kepada yang punya rumah tadi. Dan ia kembali sambil menangis. Lalu isterinya bertanya: “mengapa engkau berikan uang itu, karena rupanya menyulitkan kepada engkau?". Maka laki‑laki itu menjawab: "Sesungguhnya Aku menangis, karena Aku tidak memeriksa keadaannya. Sehingga ia memerlukan kepada membuka pintunya bagiku". Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada siapa, yang ini men­jadi sifat mereka. Dan kiranya Ia mengampuni dosa mereka semua !
PENJELASAN: tercelanya kikir.
Allah Ta` ala berfirman: “Dan siapa yang terpelihara dari kekikiran jiwanya, merekalah orang-orang yang beruntung ".  S 59 AI Hasyr ujung ayat 9. Allah Ta’ala berfirman: "Janganlah orang‑orang yang kikir memberikan dengan apa yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya mengira, bahwa kekikiran itu membaikkan mereka. Tidak ! Melainkan memburukkan mereka. Nanti harta yang mereka kikirkan itu akan digantungkan di lehernya dihari kiamat S 3 AAli ‘Imran ayat 180. Allah Ta’ala berfirman: "Yaitu orang‑orang yang kikir, menyuruh manusia supaya bersifat kikir dan menyembunyikan kurnia yang diberikan oleh Allah kepada‑nya”. S 4 An Nisaa’ ayat 37. Nabi saw bersabda: “Jagalah dirimu dari sifat kikir ! Sesungguhnya telah binasa orang-­orang sebelum kamu yang membawa mereka kepada menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan". Nabi saw bersabda: "Jagalah dirimu dan sifat kikir ! Sesung­guhnya kikir itu mengajak orang‑orang sebelum kamu. Lalu mereka menumpahkan darah mereka. Dan mengajak mereka, Ialu mereka menghalalkan yang diharamkan. Dan mengajak mereka, lalu memu­tuskan silaturrahim diantara mereka". Nabi saw bersabda: "Tiada akan masuk sorga orang kikir, penipu, penghianat dan yang jahat sifatnya". Pada suatu riwayat disebut: "pemaksa”. Dan pada suatu ri­wayat lagi: “Dan yang membangkit‑bangkitkan pemberiannya". Nabi saw bersabda: "Tiga perkara yang membinasakan: me­matuhi sifat kikir, mengikuti hawa‑nafsu dan manusia yang menghe­rani (membanggakan) dirinya sendiri". Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah marah kepada tiga jenis manusia: “orang tua yang berzina, orang kikir yang menyebut‑nyebutkan pemberiannya dan orang yang mempunyai tanggungan yang sombong”. Nabi saw bersabda: "Contohnya orang yang berbelanja dan orang yang kikir, adalah seperti dua orang laki‑laki, yang keduanya memakai baju besi dari sejak teteknya sampai kepada tulang dadanya. Adapun orang yang berbelanja itu, maka ia tidak membelanjakan sesuatu, melainkan baju itu memanjang atau sempurna menutup kulit­nya. Sehingga menutupkan ujung jari‑jarinya. Adapun orang yang kikir itu, ia tidak berkehendak membelanjakan sesuatu, melainkan baju itu meninggi dan tiap‑tiap bahagiannya tetap pada tempatnya. Sehingga baju itu melekat dengan tulang dadanya. Ia berusaha me­longgarkan baju itu, tetapi ia tidak mau longgar". Nabi saw bersabda: “Dua perkara tidak akan berkumpul pada orang Mu'min yaitu: “kikir dan jahat akhlak”. Nabi saw berdo'a: “Ya Allah ! Sesungguhnya hamba berlindung padamu dari kekikiran. Dan hamba berlindung padamu dari sifat pengecut. Serta hamba berlindung pula padamu dari ketuaan yang menyusahk'an (pikun)”. Nabi saw bersabda: "Jagalah dirimu dari perbuatan zalim ! Se­sungguhnya kezaliman itu adalah kegelapan pada hari kiarnat. Jagalah dirimu dari perbuatan keji ! Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat keji dan memperdengarkan perkataan keji. Jagalah dirimu dari sifat kikir ! Sesungguhnya telah binasa orang‑orang sebelum kamu, oleh karena kikir, yang menyuruh mereka berdusta. Lalu mere­ka berdusta. Yang menyuruh mereka berbuat zalim. Lalu mereka ber‑buat zalim. Dan yang menyuruh mereka memutuskan silaturrahim. Lalu mereka memutuskan silaturrahim itu”. Nabi saw bersabda: “Yang jahat pada seseorang itu ialah kikir yang rakus dan pengecut yang sangat”. Seorang syahid terbunuh pada masa RasuluIllah saw. Lalu ia ditangisi oleh seorang wanita yang menangisinya, seraya berkata: "Wahai yang syahid !" Maka Nabi saw bertanya: "Apakah yang memberitahukan kepada engkau, bahwa dia itu syahid? Mungkin ia berkata‑kata ten­tang apa yang tidak perlu atau ia kikir dengan apa yang tidak mengu­rangkannya".  Jubair bin Mut’im berkata: "Sewaktu kami sedang berjalan ber­sama Rasulu'llah saw dan bersama beliau manusia banyak, kembali dari Khaibar, tiba‑tiba orang‑orang badui Arab itu bergantung pada Rasulu'llah saw. Mereka meminta padanya sesuatu. Sehingga mereka memaksakannya supaya menyerahkan sesuatu tadi kepada Samurah Ummu Khailan. Lalu wanita ini mengambil kain selimut Rasulu'llah saw. Maka Rasulullah saw berhenti berjalan, seraya bersabda: "Berikanlah kepadaku kain selimutku ! Demi Allah yang diriku di TanganNya ! Jikalau Aku mempunyai sebanyak bilangan kayu‑kayuan desa ini sebagai nikmat, niscaya akan Aku bagi‑bagikan diantara kamu. Kemudian, kamu tiada akan mendapati Aku sebagai orang kikir, pendusta dan pengecut". Umar ra berkata: "Rasulu'llah saw membagi‑bagikan seba­hagian harta, kepada sekumpulan orang banyak. Lalu Aku mengata­kan, bahwa selain mereka ini, adalah lebih berhak dengan bahagian tersebut". Maka Rasulu'llah saw menjawab: "Sesungguhnya mere­ka menyuruh Aku memilih, antara mereka meminta padaku dengan sikap keji atau mereka memandang Aku orang kikir. Dan tidaklah Aku itu orang kikir". Abu Said Al Khudri ra berkata: "Dua orang laki‑laki masuk ke tempat Rasulu'llah saw Lalu meminta pada Rasulu'llah saw harga unta. Maka beliau memberikan kepada keduanya uang dua dinar. Lalu kedua orang tersebut ke luar dari tempat Rasulu'llah saw. Maka kedua orang itu dijumpai oleh Umar bin Khattab ra Kedua orang itu memuji Rasulu'llah saw dan mengatakan: perbuatan baik dan teri­ma kasih terhadap apa yang diperbuat oleh Rasulu'llah saw  kepada keduanya. Kemudian, Umar ra masuk ke tempat Rasulu'llah saw dan menceriterakan apa yang dikatakan oleh kedua orang tadi. Maka Nabi saw menjawab: "Akan tetapi, si anu Aku berikan kepadanya, antara sepuluh sampai seratus. Dan ia tidak mengatakan yang demikian. Bahwa seseorang dari kamu meminta padaku. Maka ia lancar pada permintaannya, dengan memasukkannya di bawah ketiaknya. Dan itu adalah api neraka". Lalu Umar ra bertanya: "Maka mengapakah engkau berikan kepada mereka, apa yang disebut neraka itu". Nabi saw Ialu menjawab: "Mereka enggan, selain mereka me­minta padaku. Dan Allah enggan bahwa Aku kikir". Dari ibnu Abbas ra yang mengatakan: "Rasulu'llah saw bersabda: "Kemurahan itu adalah dari kemurahan Allah Ta’ala. Ma­ka bersikaplah kamu pemurah, niscaya Allah bermurah kepadamu. Ketahuilah, bahwa Allah 'Azza wa Jalla, menjadikan sifat pemurah. Lalu Ia menjadikannya dalam bentuk seorang laki‑laki. Dan dijadi­kanNya kepala orang itu melekat pada pokok sebatang kayu yang baik. Dahan‑dahannya diikatkanNya dengan dahan Sadratul Munta­ha. Sebahagian dahan‑dahannya, dikulaikanNya ke dunia. Maka siapa yang bergantung dengan suatu dahan daripadanya, niscaya dimasuk­kanNya orang itu ke sorga. Ketahuilah, bahwa sifat pemurah itu setengah daripada iman. Dan iman itu dalam sorga. Dan Allah men­jadikannya sifat kikir dari kemarahanNya. DijadikanNya kepala kekikiran itu melekat pada pokok kayu zaqum. Dan dikulaikanNya sebahagian dahan‑dahannya kedunia. Maka siapa yang bergantung dengan suatu dahan daripadanya, nisca­ya ia dimasukkanNya ke neraka. Ketahuilah, bahwa kikir itu dari kufur. Dan kufur itu  dalam neraka" . Nabi saw bersabda: "Pemurah itu adalah sebatang kayu yang tumbuh dalam sorga. Maka tiada akan masuk sorga, selain orang yang pemurah. Dan kikir itu adalah sebatang kayu yang tumbuh dalam neraka. Maka tidak akan masuk neraka, selain orang yang kikir". Abu Hurairah ra berkata: "Rasulu'llah saw bertanya kepada utusan kabilah (suku) Bani Lahyan: "Siapakah kepalamu (pemimpinmu) hai Bani Lahyan?" Mereka menjawab: “Kepala kami Jadd bin Qais, Hanya dia seorang laki‑laki, yang bersifat kikir". Nabi saw Ialu bersabda: "Manakah penyakit yang lebih parah dari kikir. Akan tetapi kepalamu adalah 'Amr bin AI‑Jamuh”. Pada suatu riwayat, utusan itu menjawab: "Kepala kami Jadd bin Qais". Lalu Nabi saw bertanya: "Dengan apa kamu mengangkat dia menjadi kepala?"  Mereka menjawab: "Dia banyak harta. Dan kami, di atas yang demikian, kami melihat dia itu kikir". Nabi saw Ialu bersabda: "Manakah penyakit yang lebih parah dari kikir? Orang itu bukan kepalamu" Mereka Ialu bertanya: "Jadi, siapa kepala kami, wahai Rasulullah. Nabi saw mejawab: "Kepala kamu, ialah: “Bisyir bin AI‑Barra". Ali ra mengatakan: "Rasulu'llah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah marah kepada orang yang kikir dalam hidupnya, yang pemurah ketika matinya.” Abu Hurairah ra berkata: "Rasulu'llah saw bersabda: “Orang pemurah yang bodoh itu lebih dikasihi oleh Allah dari pada orang yang banyak ibadahnya (‘abid yang kikir)”. Abu Hurairah berkata pula: “Nabi saw bersabda: “Kikir dan iman, tiada akan berkumpul dalam hati seorang hamba Allah”. Nabi saw bersabda pula: “Dua perkara tiada akan berkumpul pada seorang Mu’min, yaitu: “Kikir dan jahat ahklak”. Nabi saw bersabda: “Tiada seyogyalah bagi orang Mu’min itu menjadi orang kikir dan orang pengecut”. Nabi saw bersabda: “berkata orang yang berkata dari kamu, bahwa orang kikir itu lebih dimaafkan dari orang yang zolim” Manakah kezoliman yang lebih zolim pada sisi Allah dibandingkan dengan kikir ? Allah Ta’ala bersumpah dengan keMuliaan, kebesaran dan keagunganNya, bahwa tiada akan masuk sorga orang yang kikir dan orang yang bahil. Diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw: “Mengerjakan tawaf di Baitullah. Tiba-tiba seorang laki-laki bergantung ditirai kabah. Dan orang itu berdoa: “Dengan kehormatan baitullah ini, apakah tidak engkau ampunkan dosaku ?”. Nabi saw lalu bertanya: “Apakah dosamu ? terangkanlah kepadaku  !” laki-laki itu menjawab: “Dosa itu lebih besar dari pada untuk Aku terangkan kepada engkau”. Nabi lalu menjawab: “Kasihan engkau ! dosa engkaulah yang lebih besar atau bumi?” orang itu menjawab: “Bahkan dosaku itu yang lebih besar, wahai Rasulullah”. Nabi saw bertanya lagi: “Dosa engkaukah yang lebih besar atau gunung ?” laki-laki itu menjawab: “Bahkan dosaku yang lebih besar, wahai Rasulullah !” Nabi saw bertanya pula: “Dosa engkaukah yang lebih besar atau laut ?” Laki-laki itu menjawab: “bahkan dosaku yang lebih besar, wahai Rasulullah  !” Nabi saw bertanya kembali: “Dosa engkaukah yang lebih besar atau langit ?” laki-laki itu menjawab: “Bahkan dosaku yang lebih besar wahai Rasulullah !”. Nabi saw bertanya lagi: “Dosa engkaukah yang lebih besar atau Arasy?” Laki-laki itu menjawab: “Bahkan dosaku yang lebih besar, wahai Rasulullah  !” Nabi saw bertanya lagi: “Dosa engkaukah yang lebih besar atau Allah ?” Laki-laki itu menjawab: “Bahkan Allah yang Maha Besar dan Maha Tinggi”. Nabi saw lalu bersabda: “Kasihan engkau !” Terangkanlah kepadaku dosa engkau  !” laki-laki itu lalu menjawab: “Wahai Rasulullah !Sesungguhnya Aku ini seorang yang kaya harta. Dan seorang wanita peminta datang kepadaku. Ia meminta kepadaku. Maka seolah-olah ia menghadapi Aku dengan nyala api”  lalu nabi saw bersabda: “Jauhilah engkau dari padaku” jangan engkau bakarkan Aku dengan api engkau demi Allah, yang mengutuskan Aku dengan petunjuk dan kemulian !  Jikalau engkau berdiri diantara sudut Ka’bah dan maqam Ibrahim as, kemudian engkau mengerjakan sholat 2 juta tahun, kemudian engkau menangis, sehingga mengalir dari air mata engkau sungai-sungai dan disirami kayu-kayuan dengan sungai-sungai itu, kemudian engkau mati dan engkau hina, sesungguhnya engkau akan ditelungkupkan oleh Allah dalam neraka. Kasihan engkau  ! Apakah engkau tidak mengetahui, bahwa kikir itu kufur. Dan kufur itu dalam neraka. Kasihan engkau  ! apakah engkau tidak mengetahui, bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Dan siap yang kikir, hanyalah dia kikir terhadap dirinya sendiri”. S 47 Muhammad ayat 38. Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang terpelihara dari kekikiran jiwanya, merekalah orang-orang yang beruntung”. S 59 Al Hasyr ayat 9. Adapun Al atsar, maka diantara lain: “Ibnu Abbas ra berkata: “Tatkala Allah Ta’ala menjadikan sorga Aden, maka IA berfirman kepadanya: “Berhiaslah  !” maka sorga aden itupun berhiaslah. Kemudian Allah berfirman kepadanya: “Tanpalah sungai-sungai engkau  !” Lalu sorga Aden itu menampakkan mata air Sal Sabil, mata air kafur dan mata air Tasmin. Maka terpancarlah dari mata air-mata air itu dalam sorga sungai sungai hamar, sungai madu dan sungai susu. Kemudian, Allah berfirman kepada sorga Aden: “Tanpalah tempat tidur engkau, kelambu engkau, kursi engkau, perhiasan engkau, pakaian engkau dan bidadari engkau  !” Maka sorga Aden pun menampakkannya. Lalu Allah melihat kepadanya, seraya berfirman: “Bekata-katalah !” Lalu sorga Aden itu berkata: “Berbahagialah siapa yang masuk kepadaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Demi kebesaranKU ! Tiada akan AKU tempatkan kepada engkau orang yang kikir. Ummul Banim saudara perempuan Umar bin Abdul Azis berkata: “Cis bagi orang yang kikir ! Jikalau kikir itu baju, maka Aku tiada akan memakainya. Dan jikalau kikir itu jalan, maka Aku tiada akan menjalaninya”. Thalhah bin Ubaidillah ra berkata: “Sesungguhnya kita akan mendapati dengan harta kita, apa yang didapati oleh orang-orang kikir. Akan tetapi, kita bersabar”.  Muhammad bin Al Munkadir berkata: “Ada dikatakan orang, bahwa; Allah apabila berkehendak kejahatan pada suatu kaum (golongan), niscaya dijadikanNYA  amir (kepala) kepada mereka, orag-orang jahat mereka. Dan dijadikanNYA rezeki mereka, di tangan orang-orang kikir mereka”. Ali ra berkata dalam khutbahnya: “sesungguhnya akan datang kepada manusia, suatu masa yang sangat menggigit, dimana orang kaya menggigit apa yang dalam tangannya dan tidak disuruh yang demikian Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu lupa pemberian sukarela sesamamu”. S 2 Al baqarah Ayat 237. Abdullah bin Amr berkata: “Asy-syuhhu (kedekut atau kikir) adalah lebih berat dari Al bukh-lu (bakhil atau kikir) karena orang yang Asy-syuhhu ialah: orang yang kedekut/kikir diatas apa yang tidak ada ditangan orang lain, sampai dapat diambilnya. Dan ia kedekut dengan apa yang ada ditangannya, maka ditahannya. Dan orang yang Al bukh-lu (Al bakhil), ialah: orang yang kikir dengan apa yang ada ditangannya”. Asy-sya’bi berkata: “Aku tidak tahu, mana lebih dalam di neraka jahannam: kikir atau dusta”. Diceritakan, bahwa datang kepada Anu syirwan, seorang ahli hikmah dari India dan seorang filosuf dari rumawi. Lalu Anu syirwan berkata kepada orang India tadi: “Berbicaralah !”. Orang India itu menyahut: “Manusia yang terbaik, ialah: siapa yang dijumpai dalam keadaan pemurah, dapat menahan diri ketika marah, berbicara dengan pelan-pelan, merendahkan diri pada kedudukan tinggi dan kasih sayang kepada keluarga”. Dan orang Rumawi tadi bangun berdiri, seraya berkata: “Barangsiapa kikir, niscaya musuhnya mewarisi hartanya. Barangsiapa sedikit syukurnya, niscaya tiada mencapai kemenangan. Dan orang yang dusta itu tercela. Dan orang lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang itu akan mati dalam keadaan miskin. Dan barangsiapa yang tidak berbelas kasihan, niscaya ia akan dikuasai oleh orang yang tidak dikasihaninya”.  Adl-dlahhak mengatakan, mengenai firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya kami letakkan belenggu ditengkuk mereka”. S 36 Yaasiin  Ayat 8. Yaitu kata Adl-dlahhak: maksudnya: kikir. Allah Ta’ala menahan tangan mereka daripada berbelanja pada jalan Allah maka mereka tidak melihat petunjuk atau hidayah. Ka’bul-Ahbar mengatakan; “Tiada suatu pagipun, melainkan telah diserahkan kepada dua orang malaikat untuk menyerukan, yaitu: “Wahai Allah Tuhanku ! Segerakanlah kebinasaan bagi orang yang menahan hartanya. Dan segeralah penggantian bagi orang yang membelanjakan hartanya”. Al Ashma’i ra berkata: “Aku mendengar seorang Arab Badui, yang menerangkan tentang seorang laki-laki, dengan katanya: “kecillah si anu pada mataku, karena besarnya dunia pada matanya. Dan seakan-akan orang yang meminta itu melihat malaikat maut, apabila mendatanginya”.  Abu Hanifah ra berkata: “Aku tidak melihat, bahwa orang itu akan bersikap adil, sedang ia orang kikir. Karena kekikiran itu membawanya kepada berlebih-lebihan memeriksanya. Lalu diambilnya yang melebihi haknya, karena takut ia akan rugi. Maka orang yang seperti itu, niscaya tidak akan ada kepercayaan memegang amanah. Ali ra mengatakan: “Demi Allah ! orang pemurah sekali-kali tidak akan berlebih-lebihan memeriksa haknya”. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Diterangkannya sebahagian dan dihilangkannya sebahagian”. S 66 At Tahrim Ayat 3. Al Jahidh berkata: “Tiada tinggal dari yang lezat, selain tiga: mencela orang-orang kikir, memakan daging yang dipotong-potong dan menggaruk kudis”. Bisyir bin Al Hars mengatakan: “Orang kikir tak ada umpatan baginya”. Karena Nabi saw bersabda: “Jadi engkau itu, sesungguhnya seorang kikir”. Seorang wanita dipujikan dihadapan Rasulullah saw mereka mengatakan, bahwa wanita itu banyak berpuasa dan mengerjakan shalat, hanya dia itu kikir. Lalu Nabi saw menjawab: “Jadi, apa kebajikannya?” Bisyir berkata pula: “Memandang kepada orang kikir itu, mengesatkan hati. Menjumpai orang-orang kikir itu bencana kepada hati orang-orang mu’min”. Yahya bin Mu’adz berkata: “Tiada dalam hati orang-orang pemurah itu, selain kasih sayang, walaupun mereka orang-orang yang fasik. Dan orang-orang kikir itu hanya mempunyai kemarahan, walaupun mereka orang-orang baik”. Ibnul-Mu’taz berkata: “orang yang paling kikir dengan hartanya ialah orang yang paling pemurah dengan kehormatannya”. Nabi Yahya bin Zakaria as bertemu dengan iblis dalam bentuknya. Lalu ia berkata kepada iblis itu: “Hai iblis!” Terangkanlah kepadaku, manusia yang paling engkau kasihi dan manusia yang paling engkau marahi !”. Iblis itu lalu menjawab: “manusia yang paling Aku kasihi, ialah orang mu’min yang kikir. Dan manusia yang paling Aku  marahi, ialah orang fasik yang pemurah”. Nabi Yahya bertanya: “mengapa demikian?”. Iblis itu menjawab: “Karena orang kikir itu telah memuaskan bagiku oleh kekikirannya. Dan orang fasik yang pemurah itu, Aku takut nanti Allah melihat kepadanya pada kemurahannya, lalu diterima Allah”. Kemudian iblis itu pergi, sambil berkata:  “Jikalau engkau itu bukanlah Yahya, niscaya tidak akan Aku kabarkan kepada engkau”.
CERITERA-CERITERA: TENTANG ORANG-ORANG KIKIR
Diceriterakan orang, bahwa di Basrah ada seorang laki-laki kaya yang kikir. Lalu ia diundang oleh setengah tetangganya. Dan dihidangkan kepadanya daging goreng dengan telur. Maka dimakannya dengan lahap dan banyak diminumnya air. Lalu perutnya mengembung. Dan menjadi bahaya dan kematian baginya. Ia berpaling ke kanan dan ke kiri. Tatkala keadaannya telah menyulitkannya, lalu diterangkan keadaannya kepada dokter. Dokter itu menjawab: “Tidak apa-apa ! muntahlah apa yang kamu makan !” laki-laki itu lalu menjawab: “Wah, Aku muntahkan daging goreng dengan telur. Mati dan tidak itu”. Diceriterakan orang, bahwa seorang Arab Badui datang, mencari seorang laki-laki. Dan dihadapannya buah delima. Lalu ditutupnya buah delima tadi dengan pakaiannya. Dan Arab Badui tersebut lalu duduk. Laki-laki tadi bertanya kepada Arab Badui itu: “Pandaikah engkau membaca sesuatu dari Al Qur’an?”. Badui itu menjawab: “Ya, pandai !” lalu diibacanya: “Buah Zaitun dan gunung Tursina”. Laki-laki itu lalu bertanya: “Mana At-tiin?” Arab Badui tersebut lalu menjawab: “Di bawah pakaianmu !” Setengah mereka menggundang temannya dan tidak diberinya makanan suatupun. Orang itu ditahannya sampai waktu Ashar, sehingga bersangatanlah laparnya. Dan membawanya seperti gila. Lalu yang punya rumah mengambil gitar, seraya bertanya kepada temannya itu: “Demi hidupku ! Bunyi mana yang engkau ingini, untuk Aku perdengarkan kepada engkau?” Teman itu menjawab: “Bunyi daging goreng”. Diceriterakan, bahwa Muhammad bin Yahya bin Khalid bin Barmak, adalah seorang kikir yang keji kikirnya. Lalu ditanyakan kepada saudaranya yang mengenalnya. Penanya itu bertanya kepada saudaranya yang tadi: “Terangkanlah kepadaku hidangannya !”. Saudara itu lalu menjawab: “Hidangannya ialah: diantara tepi ibu jari dan tepi telunjuk dalam tepi ibu jari dan tepi telunjuk. Piringnya dikorek dari biji buah Khasykhay”. Dan ditanya lagi: “Siapa yang menghadiri hidangannya?” saudaranya itu menjawab: “Para malaikat penulis amal”. Lalu ditanyakan lagi: “Apa tidak ada seorangpun yang makan bersama dia?” Saudaranya itu menjawab: “Ada, yaitu: lalat”. Yang bertanya itu bertanya lagi: “kemaluanmu telah tampak dan engkau keluarga khusus dengan dia, pakaianmu sudah koyak”. Saudaranya itu menjawab: “Demi Allah ! Aku tidak mampu membeli jarum untuk menjahit pakaianku. Dan kalau engkau kiranya Muhammad bi Yahya memiliki rumah dari Baghdad ke An-naubah-Sudan yang penuh dengan jarum, kemudian datang kepadanya Jibril dan Mikail dan bersama mereka Nabi Ya’kub as yang mencari dari Muhammad bin Yahya itu jarum dan meminta padanya untuk dipinjamkan kepada mereka, untuk dijahit baju Yusuf yang telah koyak dari belakang, niscaya Muhammad bin Yahya itu tidak akan mau memperbuatnya”. Diceriterakan orang, bahwa Marwan bin Abi Hafsah tidak makan daging karena kikirnya, sampai ia ingin betul kepada daging. Maka apabila ia sudah ingin betul kepada daging itu, lalu diutusnya pembantunya. Maka pembantu itu membeli daging baginya, kepala kambing bakar, lalu dimakannya. Orang lalu bertanya kepadanya: “Kami melihat engkau, tidak engkau makan,  selain kepala, pada musim panas dan musim dingin. Maka mengapakah engkau memilih yang demikian?”. Muhamad bin Yahya itu menjawab: “Ya, kepala itu Aku tahu harganya. Maka Aku merasa aman dari pengkianatan pembantuku. Ia tidak akan sanggup merugikan Aku pada kepala kambing itu. Dan tidaklah kepala  itu daging yang akan dimasak oleh pembantuku. Lalu ia sanggup akan memakan daripadanya, jika ia menyentuh mata atau telinga atau pipi. Aku tetap pada yang demikian. Aku makan dari kepala itu, bermacam-macam warnanya. Matanya satu warna. Telinganya satu warna. Lidahnnya satu warna. Kepala urat lehernya satu warna. Dan otaknya satu warna. Dan Aku mencukupkan belanja pemasakannya. Sesungguhnya telah berkumpul bagiku pada kepala kambing itu banyak kemanfa’atannya”. Pada suatu hari, Muhamad bin Yahya itu keluar dari rumahnya, bermaksud menghadap khalifah Al Mahdi. Lalu seorang wanita dari kelurganya, bertanya kepada Muhamad bin Yahya: “Apakah untukku dari engkau, kalau engkau kembali nanti, dengan mendapat hadiah?”. Muhamad bin Yahya menjawab: ”Jikalau Aku berikan nanti 100.000 dirham, niscaya akan Aku berikan kepada engkau satu dirham”. Lalu ia diberikan 60 ribu dirham. Maka diberikannya kepada wanita itu 4 daniq. Diceritakan pula, bahwa Muhamad bin Yahya pada suatu kali membeli daging satu dirham. Maka ia diundang oleh temannya kerumahnya. Lalu dikembalikannya daging tadi kepada tukang jual daging dengan dipotong harga satu daniq. Ia mengatakan: “Saya tidak suka berlebih-lebihan”. Al-A’masy mempunyai seorang tetangga. Dan selalu tetangga itu mengemukakan kepada Al-A’masy, supaya datang kerumahnya. Tetangga itu mengatakan: “Jikalau engkau masuk ke rumahku, maka engkau akan memakan sepotong roti dan garam”. Maka Al-A’masy enggan datang ke rumah itu. Pada suatu hari, dikemukakannya lagi, supaya Al-A’masy datang ke rumahnya. Kebetulan Al-A’masy lapar, lalu menjawab: “Marilah kita pergi !”. Lalu Al-A’masy masuk ke rumah tetangganya tadi. Maka didekatkan kepadanya sepotong roti dan garam. Maka datanglah seorang peminta, seraya mengatakan: “Wahai tuan rumah ! Diberi barakah kiranya pada engkau”. Lalu peminta tadi mengulangi permintaannya, seraya mengatakan: “Diberi barakah kiranya pada engkau !”. Tatkala peminta itu meminta kali ketiga, lalu tuan rumah itu menjawab: “Pergi ! Dan kalau tidak, demi Allah, akan aku keluar kepada engkau dengan tongkat !”. Kata yang punya riwayat. Lalu peminta itu dipanggil oleh Al-A’masy, seraya berkata: “Pergilah ! Kasihan engkau, demi Allah ! belum pernah aku melihat seseorang yang lebih benar pada janjinya. Dia, semenjak beberapa masa yang lampau, mengundang aku untuk memakan sepotong roti dan garam. Demi Allah, dia tidak menambahkan kepadaku atas roti dan garam itu”.
PENJELASAN: MENGUTAMAKAN ORANG LAIN (AL-IITSAAR) DAN KELEBIHAN SIFAT AL-IITSAAR INI.
Ketahuilah, bahwa sifat pemurah dan kikir itu, masing-masing daripadanya terbagi kepada tingkat-tingkat. Tingkat pemurah yang tinggi, ialah: mengutamakan orang lain (Al-iitsaar). Yaitu: Ia bermurah hati memberikan harta, serta ia sendiri memerlukan kepada harta itu. Dan pemurah itu seseungguhnya, ibarat: memberikan apa yang diperlukan kepada orang lain yang memerlukan atau tidak memerlukan. Dan memberikan serta memerlukan sendiri kepada benda itu, adalah lebih berat. Sebagaimana sifat pemurah, kadang-kadang berkesudahan kepada manusia itu, memberikan kepada orang lain, serta ia sendiri memerlukan kepadanya, maka kikir itu, kadang-kadang berkesudahan kepada ia bersikap kikir terhadap dirinya sendiri, serta ia memerlukan kepadanya. Maka banyaklah orang yang kikir, yang memegang harta dan ia sakit, lalu tidak mau berobat. Ia ingin kepada sesuatu keinginan, lalu tiada yang mencegahnya dari keinginan tersebut, selain oleh kikir dengan harga barang yang diingininnya. Kalau diperolehnya dengan cuma-cuma, niscaya akan dimakannya. Maka inilah orang yang kikir terhadap dirinya sendiri, serta ia memerlukan kepada barang tersebut. Dan yang demikian itu, ia mengutamakan orang lain, terhadap dirinya sendiri, sedang ia memerlukan kepada barang tersebut. Maka perhatikanlah perbedaan diantara dua orang itu ! Sesungguhnya akhlak itu adalah pemberian, yang diletakkan oleh Allah dimana dikehendakiNYA. Dan tiada tingkat lain, sesudah Al-iitsaar itu, pada sifat pemurah. Allah memuji para sahabat ra dengan firmanNYA: “Dan mereka mengutamakan (kawannya) lebih dari mereka sendiri, meskipun mereka dalam kesusahan”. S 59 Al Hasyr Ayat 9. Nabi saw bersabda: “Manusia manapun yang mengingini sesuatu keinginan, lalu ditolaknya keinginan itu dan ia mengutamakan orang lain dari dirinya sendiri, niscaya diampunkan dosanya”. ‘Aisyah berkata: “Adalah Rasulullah saw tiada kenyang tiga hari berturut-turut, sampai ia berpisah dengan dunia. Dan kalau kami kehendaki, niscaya kami kenyang. Akan tetapi, kami mengutamakan orang lain dari diri kami sendiri”. Seorang tamu singgah pada Rasulullah saw dan Rasulullah saw tiada memperoleh pada keluarganya sesuatu. Lalu masuklah orang laki-laki dari golongan Anshor ke tempat Rasulullah saw maka dibawanya tamu tersebut kepada keluarganya. Kemudian, diletakkan makanan dimukanya. Disuruh isterinya, memadamkan lampu. Dan ia mengulurkan tangannya kepada makanan, seolah-olah ia makan. Padahal ia tidak makan. Sehingga tamu itu makan. Tatkala telah pagi hari, lalu Rasululllah saw bersabda kepada laki-laki Anshor itu: “Allah takjub dari perbuatanmu pada malam tadi kepada tamumu”. Dan turunlah ayat: “Dan mereka mengutamakan (kawannya) lebih dari diri mereka sendiri, meskipun mereka dalam kesusahan”. S 59 Al-Hasyr Ayat 9. Maka sifat pemurah itu salah satu dari akhla’ Allah Ta’ala. Dan Al-iitsaar adalah yang tertinggi dari tingkat-tingkat pemurah. Dan yang demikian itu adalah dari adab kesopanan Rasulullah saw. Sehingga ia dinamakan oleh Allah Ta’ala khuluq yang besar (tinggi). Allah Ta’ala berfirman: “Dan engkau sesungguhnya mempunyai budi pekerti yang tinggi”. S 68 Al Qalam Ayat 4. Sahal bin Abdullah At-tusturi berkata: “Musa as berdo’a: “Hai Tuhanku ! Perlihatkanlah kepadaku sebagian pangkat Muhamad saw dan umatnya !”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Hai Musa ! Sesungguhnya engkau tiada sanggup yang demikian. Tetapi AKU akan memperlihatkan kepada engkau sesuatu tingkat dari tingkatnya, yang mulia lagi besar. AKU melebihkannya dengan tingkat itu diatas engkau dan di atas semua makhlukKU”. Yang meriwayatkan meneruskan riwayatnya: “Lalu dibukakanNYA kepada Musa as dari alam malakut langit. Maka Musa as memandang kepada suatu tingkat, yang hampir membinasakan dirinya dari nur cahaya tingkat itu. Dan didekatkannya dari Allah Ta’ala. Maka Musa as bertanya: “Wahai Tuhan ! Dengan apa engkau sampaikan Muhamad kepada kemuliaan ini?”. Allah Ta’ala berfirman: “Dengan budi pekerti (khuluq) yang AKU khususkan kepadanya dari antara mereka. Yaitu: Al-iitsaar. Hai Musa ! Tiada seorangpun dari mereka yang datang kepadaKU, yang telah berbuat dengan itu pada suatu waktu dari umurnya, melainkan AKU malu mengadakan perhitungan (hisab amalnya). Dan AKU tempatkan dia di sorgaKU, dimana saja ia kehendaki”.  Diceriterakan orang, bahwa Abdullah bin Ja’far keluar pergi ke kebunnya (di luar kota Madinah). Lalu ia singgah duduk atas pohon kurma suatu kaum. Dan padanya ada seorang budak hitam yang sedang bekerja. Tiba-tiba datang seorang budak dengan makanannya. Lalu masuk ke kebun itu seekor anjing dan mendekati budak tadi. Maka budak itu melemparkan anjing tadi dengan sepotong roti. Lalu roti itu dimakan oleh anjing tersebut. Kemudian, dilemparinya yang kedua dan yang ketiga. Lalu dimakan oleh anjing itu. Abdullah bin Ja’far melihat kepada budak itu, seraya bertanya: “Hai anak ! Berapa potong roti makananmu setiap hari?”. Budak itu menjawab: “Aku tidak mengetahui banyaknya”. Abdullah bin Ja’far bertanya lagi: “Maka mengapakah engkau utamakan anjing ini dengan roti itu?”. Budak tadi menjawab: “Tidaklah tempat ini, bumi yang ada anjing. Anjing ini datang dari jarak jauh dalam keadaan lapar. Maka aku tiada suka, bahwa aku kenyang dan anjing ini lapar”. Abdullah bin Ja’far lalu bertanya lagi: “Apakah yang akan engkau perbuat pada hari ini?”. Budak itu menjawab: “Biarlah aku lapar hariku ini”. Lalu Abdullah bin Ja’far berkata: “Kepedihan diatas kemurahan hati. Sesungguhnya budak ini lebih pemurah daripadaku”. Lalu Abdullah bin Ja’far membeli kebun dan budak itu dan alat-alat yang ada didalamnya. Lalu dimerdekakannya budak itu dan diberikannya kebun itu kepada budak tadi. Umar ra berkata: “Dihadiahkan kepada seorang laki-laki dari sahabat rasululllah saw kepala kambing”. Lalu laki-laki tersebut berkata: “Bahwa temanku lebih memerlukan kepada kepala kambing ini daripadaku”. Maka dikirimkannya kepala kambing itu kepada temannya. Maka senantiasalah masing-masingnya mengirimkan kepala kambing itu kepada yang lain, sehingga berkeliling sampai tujuh tempat. Dan kembali lagi ke tempat pertama. Ali ra bermalam pada suatu malam pada tempat tidur Rasulullah saw Maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada Jibril as dan Mikail as: “Sesungguhnya AKU mempersaudarakan diantara kamu berdua. Aku jadikan umur salah seorang dari kamu berdua, lebih panjang dari umur yang lain. Maka siapa dari kamu berdua, yang mengutamakan temannya dengan kehidupan?”. Maka masing-masing keduanya memilih hidup dan mencintai hidup. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla mewahyukan kepada keduanya: “Apakah tidak kamu berdua seperti Ali bin Abi Thalib, yang aku persaudarakan diantara dia dan NabiKu Muhamad saw Ia tidur pada tempat tidur Muhamad saw Ia menebuskan Muhamad saw Dengan nyawanya. Ia mengutamakan Muhamad dengan hidup. Turunlah kami berdua ke bumi ! Peliharalah dia dari musuhnya !”. Maka adalah Jibril pada kepala Ali dan Mikail pada dua kakinya. Jibril as: “Bikhin-bikhin (kata-kata untuk pujian), seperti engkau hai putera Abi thalib !. Allah Ta’ala membanggakan engkau pada para malaikat”. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat: “Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan diri sepenuhnya, untuk mencari keridhoan Allah. Dan Allah itu penyantun terhadap hambaNYA”. S 2 Al baqarah Ayat 207. Dari Habil-Hassan Al-Anthaki, menceritakan bahwa telah berkumpul kepadanya lebih 30 orang. Mereka itu semua berada di suatu desa dekat Ar-rai (Iran). Mereka mempunyai beberapa potong roti yang tidak akan mengenyangkan semua mereka. Lalu mereka pecahkan roti-roti itu dan mereka padamkan lampu. Dan mereka duduk untuk makan. Tatkala makanan itu diangkat, rupanya masih dalam keadaan semula. Seorangpun tiada yang memakan makanan tersebut sedikitpun. Karena mengutamakan temannya daripada dirinya sendiri. Diriwayatkan, bahwa Syu’bah, telah datang kepadanya seorang peminta. Dan tak ada pada Syu’bah suatupun. Lalu Syu’bah membuka sepotong papan dari atap rumahnya. Maka diberikannya kepada peminta tersebut. Kemudian, ia meminta ma’af kepada peminta itu. Hudzaifah Al-‘Adawi menceritakan: “Pada hari peperangan Yarmuk (nama suatu tempat di negri Syam-Suriah). Aku berjalan, mencari anak pamanku. Dan padaku hanya sedikit air. Aku mengatakan kepada diriku sendiri, bahwa kalau anak pamanku itu dalam keadaan mengkhawatirkan bagi hidupnya (sebagai akibat dalam perang), niscaya aku beri minum dan aku sapu mukanya dengan air ini. Tiba-tiba aku bertemu dengan dia. Lalu aku bertanya kepadanya: “Aku beri minum engkau?” Ia lalu mengisyaratkan kepadaku: “Ya !” Tiba-tiba dekat disitu, seorang laki-laki mengaduh: “Ah !”. Maka anak pamanku itu, mengisyaratkan kepadaku, supaya aku pergi membawa air kepada orang itu. Lalu aku datangi dia. Rupanya laki-laki tersebut, adalah: Hisyam bin Al-‘Ash. Maka aku bertanya kepadanya: “Aku beri minum engkau?”. Lalu terdengar pula orang lain, mengaduh mengatakan: “Ah !”. Hisyam lalu mengisyaratkan, supaya aku pergi ke tempat orang tersebut. Maka aku datangi orang itu. Tiba-tiba ia sudah meninggal. Lalu aku kembali kepada Hisyam, tiba-tiba iapun sudah meninggal. Lalu aku kembali kepada anak pamanku, tiba-tiba iapun sudah meninggal Rahmat Allah kiranya kepada mereka sekalian !. Abbas bin Dahqan mengatakan, bahwa tiada seorangpun keluar dari dunia, sebagaimana ia masuk ke dalam dunia (dalam keadaan telanjang, tiada berpakaian), selain Bisyir bin Al-Hars. Telah datang seorang laki-laki kepada Bisyir dalam sakitnya. Orang itu mengadu kepada Bisyir, ada keperluan penting. Lalu Bisyir membuka bajunya dan memberikannya kepada laki-laki tersebut. Dan ia sendiri meminjam kain pada orang lain. Maka ia meninggal pada kain pinjaman tersebut. Dari sebahagian orang-orang sufi, yang mengatakan: “Bahwa kami berada di Thursus (nama suatu kota di tepi pantai Suriah-Syam). Kami berkumpul merupakan suatu rombongan. Dan kami keluar ke pintu Al-Jihad. Lalu kami diikuti oleh seekor anjing kampung itu. Tatkala kami sudah sampai dimuka pintu, tiba-tiba kami jumpai seekor hewan yang sudah mati. Maka kami naik ke tempat yang tinggi dan kami duduk disitu. Maka tatkala anjing itu melihat kepada bangkai tadi, lalu ia kembali ke desa. Kemudian, tidak berapa lama sesudah itu, anjing tadi kembali bersama kurang lebih 20 ekor anjing lainnya. Lalu ia datang kepada bangkai itu dan ia duduk pada suatu sudut. Dan anjing-anjing lain berkerumun pada bangkai. Semuanya terus memakan bangkai itu. Dan anjing yang seekor itu tetap duduk melihat kepada anjing-anjing tadi, sehingga bangkai itu habis dimakannya. Dan tinggalah tulang. Kemudian, anjing-anjing itu semua pulang kembali ke desa. Maka bangunlah anjing yang seekor tadi. Dan ia datang ke tulang belulang itu. Lalu dimakannya apa yang masih tinggal sedikit itu. Kemudian, ia pergi. Sesungguhnya kami telah membentangkan sejumlah berita-berita Al-iitsaar dan keadaan wali-wali pada “Kitab miskin dan zuhud”. Maka tidak perlu lagi kami ulangi disini. Kepada Allah kita memohonkan taufik dan kepada Allah ‘Azza wa Jalla kita menyerahkan diri kepada yang diridhoi Allah.
PENJELASAN: BATAS SIFAT PEMURAH & KIKIR & HAKIKAT/MAKNA SIFAT PEMURAH & KIKIR ITU.
Mudah-Mudahan anda mengatakan, bahwa telah diketahui dengan pembuktian-pembuktian agama, bahwa kikir itu termasuk yang membinasakan. Akan tetapi, apakah batas kikir dan dengan apa, manusia menjadi kikir? Dan tiada dari manusia, selain melihat dirinya itu pemurah. Dan kadang-kadang ia dilihat oleh orang lain, bahwa dia itu orang kikir. Kadang-kadang timbul suatu perbuatan dari seorang insan. Lalu manusia banyak berselisih pendapat tentang perbuatan tersebut. Maka suatu golongan, mengatakan: ini kikir. Dan yang lain mengatakan: ini tidak termasuk kikir. Dan tiadalah dari insan itu, selain mendapati pada dirinya, cinta kepada harta. Dan karena itulah, ia menjaga harta dan menahannya teguh-teguh. Maka jikalau insan itu, menjadi orang kikir dengan harta itu, maka tiada seorangpun yang terlepas dari kekikiran. Dan apabila menahan harta itu secara mutlak, tidak mengharuskan kekikiran dan tiada arti kekikiran, selain dari menahan harta, maka apakah kekikiran yang mengharuskan kebinasaan? Dan apakah batas kemurahan yang memberi hak kepada seorang hamba, untuk bersifat pemurah dan pahalanya? Maka atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, kami akan jawab sebagai berikut: Orang-orang yang mengatakan, bahwa batas kekikiran itu, mencegah yang harus diberikan. Maka tiap-tiap orang yang menunaikan, apa yang wajib atas dirinya, maka dia itu bukan orang kikir. Penjelasan yang demikian itu tidak mencukupi. Sesungguhnya, orang yang mengembalikan daging, kepada tukang penjual daging-umpamanya dan mengembalikan roti kepada tukang roti, disebabkan kekurangan sebiji atau setengah biji, maka sudah sepakat, bahwa orang itu dihitung orang kikir. Dan begitu pula, orang yang menyerahkan kepada keluarganya, yang menjadi tanggungannya, sekedar yang diharuskan oleh hakim (kadli), kemudian ia persempitkan mereka mengenai sesuap makanan yang dimintakan mereka, tambahan kepadannya atau sebiji tamar yang dimakan mereka dari hartanya, adalah orang itu dihitung orang kikir. Dan siapa yang ada dihadapannya roti, lalu datang orang yang disangkanya akan makan bersama dia, lalu disembunyikannya, niscaya orang tersebut dihitung orang kikir. Orang-orang mengatakan, bahwa: orang kikir itu, ialah orang yang payah benar memberi. Dan itu juga kurang lengkap artinya. Maka sesungguhnya, jikalau dimasukkan dengan orang kikir itu, bahwa ia merasa payah pada tiap-tiap pemberian, maka berapa banyak orang kikir, yang tidak merasa payah pada pemberian yang sedikit, seperti sebiji dan yang mendekati sebiji itu. Dan ia merasa payah, diatas yang demikian. Dan jikalau yang dimaksudkan dengan orang kikir itu, bahwa ia merasa payah sebagian pemberian, maka tidaklah termasuk orang pemurah, melainkan kadang-kadang merasa  payah sebagian pemberian. Yaitu: apa yang menghabiskan semua hartanya atau bahagian besar dari hartanya. Maka ini, tidak mengharuskan dihukum dengan kekikiran. Dan begitupula, mereka memperkatakan mengenai kemurahan hati. lalu dikatakan: bahwa kemurahan hati itu, ialah: memberi dengan menyebut-nyebut dan memberi pretolongan, tanpa melihat bahwa itu pertolongan. Dan ada yang mengatakan, bahwa kemurahan hati itu, ialah: memberi tanpa diminta, dengan melihat, bahwa yang diberikan itu adalah sedikit. Dan ada yang mengatakan, bahwa: kemurahan hati itu, ialah: kegembiraan dengan orang yang meminta dan kesenangan dengan memberi, bagi apa yang memungkinkan. Dan ada yang mengatakan, bahwa kemurahan hati itu, ialah: atas dasar melihat, bahwa harta itu kepunyaan Allah ta’ala. Dan hamba itu kepunyaan Allah ‘Azza wa Jalla. Maka ia memberikan kepada hamba Allah akan harta Allah, tanpa melihat kepada kemiskinan. Dan ada yang mengatakan, bahwa siapa yang memberikan sebahagian dan meninggalkan sebahagian, maka ia itu: orang pemurah. Dan siapa yang memberikan lebih banyak dan ditinggalkannya untuk dirinya sendiri sedikit, maka dia itu, orang yang mempunyai sifat kemurahan hati dan siapa yang menderita kemelaratan bagi dirinya dan mengutamakan orang lain dengan memberikan hartanya, maka dia itu orang yang melaksanakan Al-iitsaar. Dan siapa yang tiada memberikan sesuatu, maka dia itu orang yang kikir. Kesimpulan kata-kata itu semua, tidaklah meliputi dengan hakikat/maknanya sifat pemurah dan kikir. Akan tetapi, kami mengatakan, bahwa: harta itu dijadikan untuk suatu hikmat dan maksud. Yaitu: pantasnya harta itu bagi keperluan makhluk. Dan Mungkin menahannya dari pengeluarannya, kepada apa yang dijadikan harta itu untuk dikeluarkan. Dan Mungkin memberikannya dengan pengeluaran, kepada apa yang tidak baik dikeluarkan. Dan Mungkin pengeluaran itu dengan adil. Yaitu: bahwa harta itu dijaga, dimana yang harus dijaga dan diberikan dimana yang harus diberikan. Maka menahannya dimana harus diberikan itu kikir. Dan memberikanya, dimana seharusnya ditahan itu pemborosan (Mubazir) dan diantara yang dua ini, terdapat: tengah-tengah (wasath) dan itulah: yang terpuji. Dan seyogyalah, bahwa sifat pemurah dan kemurahan hati itu, ibarat dari yang demikian. Karena Rasulullah saw tidak disuruh, selain dengan: sifat murah. Dan dikatakan kepadanya: “dan janganlah engkau jadikan tangan engkau terbelenggu ke kuduk dan jangan (pula) engkau kembangkan seluas-luasnya, supaya engkau jangan duduk tercela dan sengsara”. S 17 Al Israa’ Ayat 29. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka itu, apabila membelanjakan hartanya, tiada melampaui batas dan tiada (pula) bersifat kikir, tetapi pertengahan antara keduanya”. S 25 Al Furqaan Ayat 67. Maka sifat kemurahan hati itu ditengah-tengah (wasath) antara berlebih-lebihan (Al-israaf) dan tidak mencukupkan perbelanjaan (Al-iqtaar) dan antara membuka tangan seluas-luasnya dan menggenggam tangan. Yaitu: bahwa ia menentukan kadar pemberiannya dan penahanannya sekedar yang wajib. Dan tida memadai berbuat yang demikian, dengan anggota badan saja, selama hatinya tidak baik dengan yang demikian. Dan tidak menantang pada yang demikian. Maka jikalau diberinya pada tempat yang harus diberikan dan jiwanya menantang yang demikian dan ia menahan sabar, maka dia itu adalah berbuat-buat pemurah. Dan dialah bukan orang pemurah. Akan tetapi, seyogyalah hatinya tiada mempunyai hubungan  bersama harta, selain, dimana harta itu dimaksudkan untuknya. Yaitu: mengeluarkannya kepada apa yang wajib dikeluarkan kepadanya. Kalau anda mengatakan: bahwa ini menjadi terletak mengetahuinya yang wajib, maka apakah yang wajib diberikan? Maka aku jawab, bahwa yang wajib itu dua macam: yang wajib pada agama (syara’ (agama)) dan wajib pada Muru’ah dan adat kebiasaan. Dan orang pemurah, yaitu: yang tiada melarang (mencegah) yang wajib pada agama dan yang wajib pada muru’ah. Kalau dicegahnya salah satu dari yang dua itu, maka dia itu orang kikir. Akan tetapi orang yang mencegah yang wajib pada agama, adalah lebih kikir. Seperti orang yang mencegah pembayaran zakat dan tidak memberi nafaqah kepada orang, yang menjadi tanggungannya dan keluarganya atau dilaksanakannya akan tetapi sangat sulit baginya. Maka orang tersebut itu, orang kikir yang sebenarnya. Hanya ia membuat-buat menjadi orang pemurah dengan memaksakan diri (takaliuf) atau ia maksudkan yang keji dari hartanya. Dan hatinya tidak baik untuk memberikan dari hartanya yag terbaik atau dari yang pertengahan. Maka ini semuanya kikir. Adapun yang wajib pada muru’ah, maka yaitu: meninggalkan penyempitan dan penyelidikan pada barang-barang yang tidak berharga. Maka yang demikian itu sifat yang terpandang keji. Dan kekejian yang demikian itu, berlainan menurut keadaan dan orang. Maka orang yang banyak hartanya, niscaya terpandang keji padanya, apa yang tidak terpandang keji pada orang miskin, dari hal penyempitan. Dan terpandang keji dari seseorang, penyempitan kepada keluarganya, kerabatnya dan hamba sahayanya, apa yang tidak terpandang keji terhadap orang-orang lain. Dan terpandang keji dari tetangga, akan apa yang tidak terpandang keji bersama orang yang berjauhan. Dan terpandang keji mengenai tamu dari hal penyempitan, akan apa yang tidak terpandang keji, mengenai mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) (berjual-beli). Maka yang demikian itu, berbeda dengan penyempitan yang pada tamu atau mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan dengan penyempitan yang dari makanan atau pakaian. Karena terpandang keji pada makanan, apa yang tidak terpandang keji pada lainnya. Dan terpandang keji pada membeli kain kafan-umpamanya-atau membeli binatang yang tidak dikorbankan (binatang udl-hiyah) atau membeli roti untuk sedekah, apa yang tidak terpandang keji dari penyempitan pada lainnya. Begitu pula dengan orang, terhadap dia penyempitan. Yaitu: teman atau kerabat atau saudara atau isteri atau anak atau orang lain. Dan dengan orang, yang daripadanya penyempitan. Yaitu: anak kecil atau wanita atau orang tua atau pemuda atau orang berilmu atau orang bodoh atau orang kaya atau orang miskin. Maka orang kikir, ialah yang mencegah (tidak mau) memberikan, dimana yang seyogyanya dia tidak mencegahnya. Adakalanya dengan hukum Agama dan adakalanya dengan hukum Muru’ah. Dan yang demikian itu, tidak Mungkin di-nashkan (dipastikan dengan dalil) kadarnya. Semoga batas kikir itu, ialah: menahan harta dari suatu maksud. Dan maksud yang demikian itu, adalah lebih penting daripada menjaga harta. Maka sesungguhnya, memelihara Agama itu lebih penting daripada menjaga harta. Maka orang yang tidak mau membayar zakat dan nafaqah keluarga itu orang kikir. Dan memelihara Muru’ah itu lebih penting dari menjaga harta. Orang yang menyempitkan pada urusan-urusan kecil, terhadap orang yang tidak baik berpenyempitan padanya, itu adalah menutupkan Muru’ah, karena kecintaan kepada harta. Maka orang itu, orang kikir. Kemudian, tinggalah tingkat yang lain. Yaitu: bahwa adalah orang tu termasuk orang yang menunaikan kewajiban dan menjaga muru’ah: akan tetapi, padanya banyak harta yang telah dikumpulkannya. Ia tidak menyerahkannya kepada sedekah dan orang-orang memerlukan. Maka ia telah bertentangan dengan maksud menjaga harta, supaya ada baginya senjata menghadapi malapetaka yang ditimbulkan oleh masa. Dan maksud pahala, supaya adalah harta itu mengangkat derajatnya, pada hari akhirat. Dan menahan harta dari maksud tersebut itu, kikir pada orang-orang pintar. Dan tidak dipandang kikir pada orang awam. Yang demikian itu, karena pandangan orang awam terbatas kepada kebahagiaan duniawi. Lalu mereka melihat bahwa menahan harta, untuk menolak malapetaka yang akan ditimbulkan oleh masa itu penting. Kadang-kadang tampak juga, pada orang awam itu tanda kekikiran, kalau ada pada tetangganya orang yang memerlukan. Lalu dicegahnya (tidak diberikannya). Dan ia mengatakan: “Aku telah menunaikan zakat wajib dan tak ada yang wajib atasku yang lain”. Berbeda pandangan kekejian itu, dengan berbeda kadarnya harta dan dengan berbeda sangatnya keperluan orang yang memerlukan, kebagusan agamanya dan keberhakannya. Maka siapa yang menunaikan kewajiban agama dan kewajiban Muru’ah yang layak dengan dia, maka ia telah terlepas dari kekikiran. Ya, sebenarnya ia tidak bersifat dengna sifat kemurahan hati dan sifat pemurah, sebelum diberinya melebihi dari yang demikian, untuk mencari keutamaan dan mencapai derajat tinggi. Maka apabila jiwanya meluas untuk memberikan harta, dimana yang tidak diwajibkan oleh agama dan tidak dihadapkan kepadanya celaan pada adat kebiasaan, maka dia itu orang pemurah, sekedar apa yang meluas jiwanya untuk yang demikian, sedikit atau banyak. Dan tingkat-tingkat yang demikian itu tidak terhingga. Sebagian manusia itu lebih pemurah dari sebagian yang lain. Maka membuat-buat perbuatan baik (amal-ma’ruf), dibalik apa yang diwajibkan oleh adat kebiasaan dan Muru’ah, itu adalah kemurahan hati akan tetapi dengan syarat, bahwa adanya yang demikian itu, dengan baik hati dan tidak dari sifat kelobaan, harapan pelayanan atau balasan atau terimakasih atau pujian. Sesungguhnya orang yang loba pada terima kasih dan pujian, maka dia itu adalah penjual (saudagar) dan bukan orang pemurah. Dia membeli pujian dengan hartanya. Dan pujian itu enak. Dan itu yang menjadi maksud pada dirinya. Dan kemurahan hati, ialah memberi sesuatu, tanpa gantinya. Inilah pemurah itu yang sebenarnya. Dan yang demikian itu, tiada akan tergambar, selain dari Allah Ta’ala. Adapun anak Adam (manusia). Maka nama pemurah padanya, adalah Majasi (tidak hakiki). Karena manusia itu tiada akan memberikan sesuatu, selain karena sesuatu maksud. Akan tetapi, apabila tidak ada maksudnya, selain pahala di akhirat atau mengusahakan keutamaan sifat pemurah dan mensucikan jiwa dari kehinaan kikir, maka ia dinamakan: orang pemurah. Maka kalau penggerakannya itu takut dari umpatan-umpatannya atau dari cacian orang banyak atau ada yang diharapnya dari kemanfaatan yang diperolehnya dari orang yang dianugerahkan kepadanya, maka semua itu: tidaklah termasuk sifat pemurah. Karena ia terpaksa pada yang demikian, disebabkan penggerak-penggerak tersebut. Dan itu adalah gantinya yang segera baginya dari orang yang diberikan itu. Maka dia itu orang yang memperoleh gantian bukan orang yang pemurah. Sebagaimana diriwayatkan dari sebahagian wanita yang banyak ibadahnya, bahwa wanita itu diberi dihadapan Hibban bin Hilal. Dan Hibban itu sedang duduk bersama dengan teman-temannya. Wanita itu lalu bertanya: “Adakah pada kamu, orang yang akan aku tanyakan sesuatu persoalan?”. Lalu mereka itu menjawab kepada wanita tadi: “tanyalah apa yang engkau kehendaki !” dan mereka mengisyaratkan kepada Hibban bin Hilal. Wanita itu lalu bertanya: “apakah sifat pemurah itu pada kamu?” mereka menjawab: “memberi, menyerahkan dan Al-iitsaar”. Wanita itu menjawab: “ini kemurahan pada dunia. Maka apakah kemurahan pada agama?” mereka menjawab: “bahwa kita beribadah kepada Allah Ta’ala, karena kemurahan diri kita, tanpa dipaksakan”. Wanita tadi bertanya lagi: “adakah kamu kehendaki diatas yang demikian akan pahala?” mereka menjawab: “Ya !” wanita tadi bertanya lagi: “mengapa?” mereka itu menjawab: “karena Allah Ta’ala menjanjikan kepada kita kebaikan, 10 kali banyaknya”. Wanita itu lalu mengatakan: “Subhaanallah ! Maka apabila kamu memberikan satu dan kamu mengambil sepuluh, maka manakah yang kamu bermurah hati padanya?”. Mereka itu lalu bertanya kepada wanita tersebut: “maka apakah sifat pemurah itu pada engkau?” kiranya Allah mencurahkan rahmatNYA kepada engkau !” wanita itu lalu menjawab: “sifat pemurah padaku, ialah: bahwa kamu beribadah kepada Allah, dengan merasa nikmat dan lezat dengan mentaatinya, dengan kesukaan hati. Tiada kamu menghendaki pahala atas yang demikian itu. Sehingga adalah Tuhanmu itu berbuat apa yang dikehendakinya kepada kamu apakah kamu tidak merasa malu kepada Allah, bahwa ia melihat pada hatimu, maka diketahuinya dari hatimu, bahwa kamu menghendaki sesuatu dengan sesuatu? Sesungguhnya ini pada dunia itu, sangat keji”. Sebahagian wanita yang banyak ibadahnya berkata: “adakah kamu menyangka, bahwa sifat kemurahan itu, pada dirham dan dinar saja?” lalu ditanyakan: “kalau begitu, maka pada apa?” wanita itu menjawab: “sifat pemurah padaku ialah: pada memberikan harta pada jalan Allah”. Al-Muhasibi berkata: “Sifat pemurah pada agama, ialah: bahwa engkau bermurah hati dengan diri engkau, yang engkau hilangkan kepentingan diri itu, karena Allah ‘Azza wa Jalla. Hati engkau bermurah dengan memberikan jiwa engkau dan menumpahkan darah engkau karena Allah Ta’ala dengan senang hati, tanpa paksaan. Dan tiada engkau kehendaki dengan demikian pahala, yang segera (di dunia) dan pahala yang lambat (di akhirat) walaupun engkau  memerlukan kepada pahala. Akan tetapi, mengeras pada sangkaan engkau, bagusnya kesempurnaan sifat pemurah, dengan menyerahkan pilihan kepada Allah. Sehingga adalah Tuhan engkau yang berbuat bagi engkau, apa yang engkau pandang tidak baik yang engkau pilihkan bagi diri engkau sendiri”.
PENJELASAN: OBATNYA KEKIKIRAN
Ketahuilah, bahwa kikir itu sebabnya, ialah cinta harta. Dan cinta harta itu mempunyai dua sebab:
     Sebab pertama: cinta nafsu keinginan, yang tidak sampai kepadanya, selain dengan harta, serta panjang angan-angan. Sesungguhnya manusia itu, jikalau diketahuinya ia akan mati sesudah sehari, maka kadang-kadang ia tiada akan kikir dengan hartanya. Karena kadar yang diperlukannya pada sehari & pada sebulan atau pada setahun itu dekat  kalau ia pendek angan-angan, akan tetapi ia mempunyai banyak anak, niscaya ia menegakkan anak itu, pada tempat tegaknya angan-angan. Maka ia mengumpamakan kekalnya anak-anak nya, seperti kekalnya dirinya sendiri. Lalu ia menahan hartanya, karena anak-anak itu. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Anak itu yang menjadikan kikir, pengecut & bodoh”. Maka apabila bertambah kepada demikian, oleh ketakutan kepada kemiskinan & kekurangan kepercayaan dengan kedatangan rezeki, niscaya sudah pasti berkuatnya kekikiran.
     Sebab kedua: bahwa dicintainya harta itu sendiri. Maka sebahagian manusia, ada orang yang padanya harta, yang mencukupi bagi sisa umurnya, apabila ia memendekkan pada kebiasaannya yang berlaku dengan perbelanjaannya dan akan melebihi ribuan. Dan dia itu seorang tua yang tidak mempunyai anak. Dan padanya harta banyak dan ia tidak membolehkan dirinya mengeluarkan zakat dan mengobati dirinya ketika sakit. Akan tetapi ia menjadi pencinta dinar, yang asyik dengan dinar, merasa lezat dengan adanya dinar itu ditangannya dan dengan dikuasainya dinar itu. Maka disimpannya dibawah tanah. Dan ia tahu bahwa dia akan mati, lalu dinar-dinar itu akan lenyap atau diambil oleh Musuh-Musuhnya. Dan dalam pada itu, ia tidak membolehkan dirinya, untuk memakan atau menyedekahkan, walau sebutir sekalipun. Inilah penyakit hati yang besar, yang sukar diobati. Lebih-lebih pada orang yang berusia lanjut. Dan itu adalah penyakit yang melumpuhkan, yang tiada diharap akan sembuhnya. Orang yang seperti itu, adalah seperti seorang laki-laki yang merindui seseorang. Lalu mencintai utusannya bagi dirinya. Kemudian melupakan yang dicintainya. Dan ia menjadi sibuk dengan utusannya itu. Sesungguhnya dinar-dinar  itu adalah utusan, yang menyampaikan kepada segala keperluan. Lalu karena yang demikian, dinar-dinar itu menjadi yang dicintai. Karena yang menyampaikan kepada kesenangan itu, kesenangan. Kemudian, kadang-kadang segala keperluan itu lalu dilupakan. Dan jadilah emas itu padanya, seakan-akan itu yang dicintai pada dirinya. Itu adalah kesudahan kesesatan. Bahkan, orang-orang yang melihat ada perbedaan diantara emas dan batu, maka itu adalah orang bodoh, selain dari segi dapat dipenuhi keperluan dengan emas itu. Maka emas yang lebih daripada sekedar keperluannya dan batu itu adalah sama (satu kumpulan). Inilah sebab-sebab kecintaan harta. Dan sesungguhnya obat tiap-tiap penyakit  itu, ialah dengan lawan sebabnya. Maka kecintaan nafsu syahwatnya, diobati dengan mencukupkan (qana’ah) dengan sedikit dan dengan sabar. Dan panjang angan-angan, diobati dengan banyak mengingati mati dan melihat pada kematian teman-teman yang sebaya dan lamanya payah mereka mengumpulkan harta dan lenyapnya harta itu sesudah mereka. Dan diobati berpalingnya hati kepada anak, dengan: bahwa khaliq (yang maha pencipta)nya telah menjadikan rezekinya bersama anak itu lahir. Berapa banyak anak, yang tidak menerima pusaka harta dari ayahnya dan keadaannya adalah lebih baik dari orang yang menerima pusaka. Dan dengan diketahuinya, bahwa ia mengumpulkan harta untuk anaknya, ia bermaksud untuk meninggalkan anaknya, dengan keadaan baik. Dan anak itu bertukar kepada jahat. Dan bahwa anaknya itu, jikalau ia bertaqwa dan shalih, maka Allah yang mencukupkannya. Dan jikalau ia fasik, maka dengan hartanya itu ia mendapat pertolongan kepada kemaksiatan. Dan kezalimannya itu kembali kepadanya. Dan juga ia mengobati hatinya itu, dengan banyak memperhatikan pada hadits-hadits (al-akhbar) yang membentangkan tentang tercelanya kikir dan terpujinya kemurahan hati. Dan apa yang dijanjikan oleh Allah atas kekikiran, dari siksaan besar dan Termasuk obat yang bermanfa’at, ialah banyak memperhatikan tentang keadaan orang-orang kikir dan larinya tabiat manusia dari mereka dan anggapan kekejian dari manusia kepadanya. Maka sesungguhnya, tiada seorangpun dari orang kikir, melainkan kekikiran itu, dipandang keji oleh orang lain. Dan setiap orang kikir itu, merasa berat dari teman-temannya. Lalu ia tahu, bahwa kekikiran itu suatu hal yang dipandang berat dan jijik pada hati manusia, seperti orang-orang kikir yang lain pada hatinya. Dan juga hatinya dapat diobati dengan bertafakkur (merenungkan), tentang maksud-maksud harta dan sesungguhnya untuk apa harta itu dijadikan. Dan ia tidak menjaga hartanya, selain sekedar keperluannya kepada harta itu. Dan sisanya disimpannya untuk dirinya di akhirat, dengan memperoleh pahala pemberiannya. Maka inilah obat-obatnya dari segi ma’rifah dan ilmu ! Apabila diketahuinya dengan nur mata hati, bahwa memberikan itu lebih baik baginya daripada menahannya, pada dunia dan akhirat, niscaya berkobarlah keinginannya pada memberikan, kalau dia orang berakal. Jikalau nafsu syahwatnya bergerak, maka seyogyalah ia menjawab gurisan pertama dan ia tidak berhenti. Karena sesungguhnya setan, menjanjikan kepadanya kemiskinan dan menakutinya dan melarangnya dari yang demikian. Diceriterakan orang, bahwa Abul-Hasan Al-Busyanji pada suatu hari, berada di kakus (untuk membuang air besar). Lalu dipanggilnya muridnya, seraya ia mengatakan: “Bukalah bajuku dan serahkanlah kepada si anu !”. murid itu lalu bertanya: “Apakah tidak Bapak sabar, sehingga Bapak keluar?” Abul-Hasan menjawab: “Aku tidak percaya kepada diriku, bahwa diriku itu tidak akan berobah. Dan sesungguhnya sudah terguris di hatiku untuk memberikannya kepada orang itu”. Sifat kekikiran itu tiada akan hilang, selain dengan memberi secara takalluf (perasaan berat). Sebagaimana kerinduan, tiada akan hilang, selain dengan berpisah dari yang dirindukan, dengan berjalan jauh dari tempat tinggalnya. Sehingga apabila ia bermusafir dan berpisah dengan takalluf/perasaan berat dan bersabar dari yang demikian pada masa tertentu, niscaya terhiburlah hatinya daripadanya. Maka begitupula, orang yang bermaksud mengobati sifat kekikiran, seyogyalah berpisah dengan harta itu, dengan takalluf/perasaan berat, dengan memberikannya. Bahkan, kalau dilemparkannya dalam air, niscaya adalah lebih utama, daripada ditahannya harta itu serta dicintainya. Diantara daya upaya yang halus-halus, pada pengobatan sifat kekikiran itu, ialah bahwa ia menipu dirinya dengan baik nama dan kemahsyuran dengan sifat pemurah. Lalu ia memberikan dengan maksud ria’ (ingin memperlihatkan kepada orang). Sehingga dirinya membolehkan memberi, dengan mengharapkan pada sifat pemurah. Maka ia telah menghilangkan dari dirinya kekejian kikir. Dan mengusahakan dengan demikian kekejian ria’. Akan tetapi, sesudah itu, ia membengkokkan dirinya atas ria’ dan menghilangkannya dengan mengobatinya. Dan adalah mencari nama itu, sebagai hiburan bagi diri, ketika menceraikan dari harta, sebagaimana anak kecil, kadang-kadang dihiburkan ketika berpisah dari tetek ibunya, dengan bermain-main dengan burung-burung pipit dan lainnya. Tidak untuk ia dibiarkan buat bermain, akan tetapi supaya ia terlepas dari tetek ibunya, kepada permainan. Kemudian, ia dipindahkan dari yang demikian, kepada lainnya. Maka demikian pulalah sifat-sifat yang keji itu, seyogyalah sebahagian-nya menguasai terhadap sebahagian, sebagaimana nafsu syahwat menguasai terhadap sifat marah. Dan tingkat kemarahan itu dipecahkan dengan nafsu syahwat. Dan marah itu akan menguasai nafsu syahwat dan memecahkan kelalaiannya dengan marah. Hanya ini, memberi faedah terhadap orang yang kekikiran itu mengerasi padanya, dan kecintaan dan ria’. Maka ia menggantikan yang lebih kuat, dengan yang lebih lemah. Kalau kemegahan itu tercinta kepadanya, seperti harta, maka tak ada faedah pada yang demikian. Karena ia mencabut dari suatu penyakit dan ia menambahkan pada penyakit yang lain, yang seperti itu. Hanya tanda yang demikian, tidak memberatkan kepadanya memberi karena ria’. Maka dengan demikian, jelaslah bahwa ria’ itu telah mengerasi kepadanya. Jikalau memberi itu sukar kepadanya bersama ria’, maka seyogyalah ia memberi. Karena yang demikian itu menunjukkan, bahwa penyakit kekikiran itu, lebih keras pada hatinya. Contoh penolakan sifat-sifat tersebut, sebahagiannya dengan sebahagian, adalah apa yang dikatakan, bahwa mayit (orang yang sudah mati) itu akan berubah semua bahagiannya kepada ulat. Kemudian sebahagian ulat-ulat itu akan memakan sebahagian lainnya. Sehingga sedikitlah bilangannya. Kemudian, sebahagiannya akan memakan sebahagian yang lain, sehingga kembali kepada dua yang kuat lagi besar. Kemudian, senantiasalah yang dua itu berbunuh-bunuhan, sampai salah satunya mengalahkan lainnya. Lalu dimakannya dan gemuklah dia dengan makanan itu. Kemudian satu yang masih tinggal itu, selalu dalam keadan lapar sendirian, sampai ia mati. Maka begitulah sifat-sifat yang keji, Mungkin akan dikuasai oleh sebahagiannya atas sebahagian lainnya, sehingga dikalahkannya. Dan dijadikannya yang lebih lemah, menjadi makanan bagi yang lebih kuat, sampai tiada yang tinggal, selain satu. Kemudian, jatuhlah (terdapatlah) pertolongan dengan penghapusannya dan penghancurannya dengan Mujahadah (perjuangan hebat) yaitu: mencegah makanan daripada sifat-sifat itu. Mencegah makanan dari sifat-sifat itu, ialah bahwa tidak berbuat  menurut yang dikehendakinya. Karena sesungguhnya, sifat-sifat tersebut tidak mustahil menghendaki perbuatan-perbuatan. Dan apabila perbuatan-perbuatan itu ditantang, niscaya sifat-sifat itu padam dan mati. Seperti kikir, maka ia menghendaki menahan harta. Maka apabila dicegah kehendaknya dan diberikan harta serta dengan kesungguhan, berkali-kali, niscaya matilah sifat kekikiran itu. Dan jadilah sifat memberi itu suatu tabiat (karakter) dan hilanglah kepayahan pada memberi. Karena sesungguhnya obat kikir itu, dengan ilmu dan perbuatan (amal). Ilmu itu kembali kepada mengetahui bahaya kikir dan faedah sifat pemurah. Dan amal itu kembali kepada pemurah dan memberi dengan jalan takalluf (perasaan berat) akan tetapi, kadang-kadang kikir itu kuat, dimana ia membutakan dan menulikan lalu mencegah keyakinan ma’rifah tentang kekikiran itu. Dan apabila ma’rifah itu tidak diyakini, niscaya tidaklah tergerak keinginan. Maka tidak Mudahlah ‘amal perbuatan. Maka tinggallah penyakit itu melumpuhkan, seperti penyakit yang mencegah mengetahui obat dan kemungkinan pemakaiannya. Maka tiada upaya padanya, selain sabar sampai mati. Dan adalah sebahagian adat kebiasaan setengah guru-guru sufi pada pengobatan penyakit kikir pada murid-muridnya, ialah melarang mereka mengambil tempat khusus (tempat tertentu) dari pesantren mereka. Apabila guru sufi tersebut menyangka pada muridnya, ada kegirangan dengan pojok yang ditempatinya apa yang ada pada pojok itu, niscaya dipindahkannya ke pojok lainnya. Dan dipindahkannya murid yang lain ke pojok tadi. Dan dikeluarkannya murid tersebut dari semua yang dimilikinya. Apabila dilihatnya muridnya berpaling hatinya (timbul kesukaan hatinya), kepada kain baru yang dipakainya atau kain sajadah yang disukainya, niscaya disuruhnya supaya diserahkan kepada murid yang lain. Dan disuruhnya supaya dipakai kain tua, yang tidak cenderung hatinya kepada kain tua itu. Maka dengan jalan ini, kosonglah hatinya dari harta-benda dunia. Maka siapa yang tidak menempuh jalan ini, niscaya ia akan jinak dengan dunia dan akan mencintai dunia. Maka jikalau ia mempunyai seribu mata benda dunia, niscaya ia mempunyai seribu kecintaan. Dan karena itu, apabila tiap-tiap satu benda tersebut dicuri orang, niscaya ia menderita musibah (malapetaka) menurut kadar kecintaan nya kepada benda tersebut. Apabila ia mati, niscaya turunlah kepada seribu macam musibah sekaligus. Karena ia mencintai tiap-tiap benda itu. Dan  benda itu telah ditarik daripadanya. Bahkan pada waktu hidupnya, ia berada atas bahaya musibah, dengan hilang dan binasanya benda itu. Sebuah mangkok permata fairuzaj yang bertahta dengan permata, dibawa orang pada sebagian raja-raja, mangkok mana, belum pernah terlihat bandingannya. Maka raja itu amat gembira dengan demikian. Lalu ia bertanya kepada sebahagian ahli hikmat (filosuf) yang ada di sisinya: “Bagaimana anda melihat ini?” Ahli hikmat itu menjawab: “Aku melihatnya musibah atau kemiskinan”. Raja itu lalu menyahut: “Bagaimana maka demikian?” Ahli hikmat tadi menjawab: “Jikalau mangkok ini pecah, niscaya adalah musibah, tidak dapat ditampalkan. Dan jikalau dicuri orang niscaya anda menjadi amat menghajati kepadanya. Dan anda tiada akan mendapati lagi yang seperti mangkok ini. Dan adalah anda sebelum mangkok ini dibawa kepada anda, berada dalam keadaan aman dari musibah dan dari memerlukannya. Kemudian, pada suatu hari, kebetulan mangkok itu pecah atau dicuri orang dan besarlah musibah yang diderita raja itu. Maka ia berkata: “Benarlah ahli hikmat itu ! Mudah-Mudahan tidak dibawa lagi kepada kami !” inilah keadaan semua sebab-sebab duniawi. Sesungguhnya dunia itu musuh bagi musuh-musuh Allah. Karena dunia itu menghela mereka ke neraka dan musuh bagi wali-wali Allah, karena ia menyusahkan mereka dengan bersabar daripadanya. Dan musuh Allah, karena dunia itu memotong jalan Allah kepada hamba-hambanya. Dan musuh bagi dunia itu sendiri, karena dunia itu memakan dirinya. Sesungguhnya harta itu, tiada akan terpelihara, selain di gudang-gudang dan dengan penjaga-penjaga. Gudang-gudang dan penjaga-penjaga itu, tidak Mungkin diperoleh, selain dengan harta. Yaitu: Memberikan (mengeluarkan) dirham dan dinar. Maka harta itu memakan dirinya dan melawani zatnya (dirinya), sehingga ia lenyap. Dan siapa yang mengetahui bahaya harta, niscaya tiada akan jinak hatinya dengan harta. Dan tiada akan gembira dengan harta. Dan ia tiada akan mengambil dari harta, selain sekedar keperluannya. Siapa yang merasa cukup (qana’ah) sekedar keperluan itu, maka ia tidak akan kikir. Karena yang ditahannya untuk keperluannya, maka tidaklah itu kikir dan apa yang tidak diperlukannya kepadanya, maka ia tidak akan memayahkan dirinya dengan menjaganya. Maka akan diberikannya. Bahkan harta itu adalah seperti air di tepi sungai Dajlah (di Irak) karena seorangpun tiada akan kikir dengan air itu. Karena manusia merasa cukup daripadanya sekedar diperlukan.
PENJELASAN: KUMPULAN TUGAS-TUGAS YANG TERPIKUL KEPADA HAMBA ALLAH PADA HARTANYA
Ketahuilah, bahwa harta sebagaimana telah kami terangkan, adalah baik dari suatu segi dan jahat dari satu segi. Contohnya adalah, seperti ular yang diambil oleh orang yang mengetahui ada obat pada ular (ar-raqi). Dan dikeluarkannya obat dari ular itu. Dan ular itu, diambil oleh orang lalai (orang bodoh). Maka ia akan dibunuh oleh racunnya, dimana ia tidak mengetahuinya. Dan seorangpun tiada akan terlepas dari racun harta, selain dengan menjaga diri, diatas 5 tugas:
          Pertama: bahwa mengetahui maksud harta dan untuk apa harta itu dijadikan. Dan bahwa ia tidak memerlukan kepada harta itu, sebelum ia mengusahakannya. Dan ia tidak memeliharakan nya, selain sekedar keperluan. Dan tidak diberikannya kepada orang, yang cita-citanya, diatas apa yang dimustahakkannya/yang layak dimilikinya.
          Kedua: bahwa dijaganya segi masuknya harta. Maka dijauhkannya yang semata-mata haram dan apa yang kebanyakkannya haram, seperti harta sultan (raja). Dan dijauhkan segi-segi makruh yang merusakkan Muru’ah. Seperti hadiah-hadiah yang ada padanya campuran sogokan(rasywah). Dan seperti meminta, yang padanya kehinaan & membinasakan Muru’ah/kehormatan diri. Dan hal-hal yang berlaku seperti itu
          Ketiga:  mengenai kadar yang diusahakannya. Maka tidak diperbanyakkannya dan tidak sedikitkannya dari harta itu. Akan tetapi, kadar yang harus (wajib). Dan ukurannya, ialah: keperluan. Dan keperluan itu, ialah: pakaian, tempat tinggal dan makanan. Masing-masing daripadanya, mempunyai 3 tingkat: rendah, menengah dan tinggi. Dan selama ia cenderung kepada pihak sedikit dan mendekati kepada batas darurat (batas yang perlu), niscaya adalah dia itu benar. Dan ia datang termasuk jumlah orang-orang Muhaqqiqin (orang-orang yang berilmu hakikat/makna). Dan jikalau ia melampaui yang demikian, niscaya ia jatuh dalam neraka hawiyah, yang tiada penghabisan dalamnya. Dan telah kami sebutkan uraian tingkat-tingkat ini pada “kitab Zuhud”.
          Keempat: bahwa dipeliharakan segi keluar uang di-sederhanakan pada perbelanjaan tanpa Mubazir (memboros) dan tanpa menyempitkan perbelanjaan, sebagaimana telah kami sebutkan terdahulu. Maka diletakkannya apa yang diusahakannya dari yang halal pada yang benar. Dan tidak diletakkannya pada yang tidak benar. Sesungguhnya dosa itu sama, pada mengambil dari yang tidak haknya dan meletakkan pada tidak haknya.
          Kelima: bahwa ia membaikkan niatnya pada mengambil dan meninggalkan, pada membelanjakan dan menahan. Maka diambilnya apa yang akan diambilnya, untuk memperoleh pertolongan dengan harta itu, kepada ibadah. Dan ditinggalkannya apa yang akan ditinggalkannya. Karena zuhud padanya dan penghinaan bagi harta itu. Apabila diperbuatnya demikian, niscaya tidak mendatangkan melarat baginya oleh adanya harta itu. Dan karena itulah, Ali ra berkata: “Jikalau seorang laki-laki mengambil semua yang di bumi dan dikehendakinya dengan yang demikian itu wajah Allah Ta’ala, maka ia itu orang zahid (bersifat zuhud). Dan jikalau ditinggalkannya semua dan tidak dikehendakinya dengan yang demikian itu wajah Allah Ta’ala, maka dia tidaklah orang zahid. Maka hendaklah semua gerak engkau dan tetap engkau itu karena Allah, tertuju pada ibadah atau apa yang menolong kepada ibadah. Maka sesungguhnya yang paling jauh gerakan dari ibadah, ialah: makan dan qodo’ hajat (membuang air besar) dan keduanya itu menolong kepada ibadah. Apabila ada yang demikian itu maksud engkau, dengan makan dan qodo’, hajat tadi, niscaya jadilah yang demikian itu, ibadah pada pihak engkau. Dan seperti yang demikian, seyogyalah ada niat engkau pada tiap-tiap apa saja yang memelihara engkau, seperti: kemeja, kain sarung, tempat tidur dan bejana (tempat air). Karena tiap-tiap yang demikian itu, termasuk yang diperlukan pada agama. Dan apa yang melebihi dari keperluan, maka seyogyalah bahwa dimaksudkan, untuk dapat dimanfaatkan oleh seseorang dari hamba Allah. Dan tidak akan mencegahnya dari yang demikian ketika diperlukannya. Dan siapa yang berbuat demikian, maka dia adalah orang yang mengambil dari ular harta, Mutiara dan obatnya. Dan ia menjaga dari racunnya. Maka tidaklah mendatangkan melarat oleh banyaknya harta. Akan tetapi, yang demikian tidak Mungkin, selain bagi orang yang telah mendalam pada agama tapak kakinya. Dan telah tinggi ilmunya padanya. Dan orang awam apabila ia menyerupakan dengan orang alim (orang berilmu), pada membanyakkan harta dan mendakwakan bahwa ia menyerupakan dirinya dengan para sahabat Nabi saw yang kaya, niscaya ia menyerupakan dirinya dengan anak kecil yang melihat orang yang berazam lagi pintar, yang mengambil ular dan berbuat apa yang dikehendakinya pada ular itu. Maka dikeluarkannya obatnya. Lalu anak kecil itu tadi mengikuti orang tersebut. Dan menyangka, bahwa ia mengambil ular itu, karena memandang baik rupanya dan bentuknya, memandang lembut kulitnya. Maka diambilnya ular tersebut, karena mengikuti orang itu. Lalu ular tadi membunuhnya pada waktu itu juga. Hanya, orang yang terbunuh oleh ular, diketahuinya, bahwa ia sudah terbunuh. Dan orang yang terbunuh oleh harta, kadang-kadang ia tidak tahu. Dan sesungguhnya dunia itu telah diserupakan dengan ular. Maka ada orang yang bermadah:
Itulah dunia, seperti ular,
Yang mengeluarkan racun.
Walaupun adannya ular itu
Bila disentuh ia lembut.
Sebagaimana mustahilnya orang buta menyerupai dengan orang yang dapat melihat, pada melangkahi puncak-puncak bukit, tepi-tepi laut dan jalan-jalan yang berduri, maka mustahil pula orang awam menyerupai dengan orang berilmu, yang sempurna pada memperoleh harta.
PENJELASAN: TERECELANYA KAYA DAN TERPUJINYA MISKIN
Ketahuilah, bahwa manusia berselisih pendapat, tentang melebihkan orang kaya yang bersyukur (al-ghaniyyusy-syakir) diatas orang miskin yang sabar (al-faqirush-shabir) dan sesungguhnya telah kami bentangkan yang demikian itu, pada “Kitab kemiskinan dan zuhud”. Dan telah kami buka dari hal pembuktian kebenaran padanya. Akan tetapi, kami pada kitab ini, akan menunjukkan, bahwa miskin itu lebih utama dan lebih tinggi daripada kaya secara keseluruhan, tanpa menoleh kepada penguraian hal-ikhwalnya. Dan akan kami singkatkan pada yang demikian, atas cerita uraian, yang disebutkan oleh Al-Hars Al-Muhasibi ra pada sebahagian kitab-kitabnya (karangan-karangannya) pada menolak sebahagian ulama yang kaya, dimana ia berdalihkan dengan para sahabat Nabi saw yang kaya dan dengan banyaknya harta Abdurrahman bin ‘Auf. Dan ia menyerupakan dirinya dengan mereka. Al-Hars Al-Muhasibi ra itu kebanggaan umat dalam ilmu Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)/ilmu pengurusan. Ia terkemuka diatas semua ahli-ahli bahas (pembahas-pembahas), tentang kekurangan-kekurangan manusia, bahaya-bahaya amal dan lubang-lubang ibadah. Perkataannya itu patut diceriterakan diatas caranya. Ia telah mengatakan, sesudah perkataan nya pada menolak terhadap ulama-ulama jahat, yaitu: "Telah sampai riwayat kepada kami, bahwa Isa putera Maryam as mengatakan: “Hai ulama jahat ! Kamu berpuasa, mengerjakan shalat, bersedekah. Kamu tidak mengerjakan apa yang disuruh. Dan kamu mengajarkan apa yang tiada kamu ketahui. Maka wahai jahatnya, apa yang kamu hukumkan ! Kamu bertaubat dengan perkataan dan angan-angan. Kamu berbuat dengan hawa nafsu. Dan tidak mencukupi bagimu, bahwa kamu membersihkan kulitmu dan hatimu kotor. Dengan sebenarnya, aku mengatakan kepadamu: “Janganlah kamu itu seperti ayak tepung, yang keluar daripadanya, tepung yang baik. Dan ditinggal padanya antahnya. Seperti demikian pulalah, kamu mengeluarkan hukum dari mulutmu dan tinggalah iri hati dari dadamu. Hai budak-budak dunia ! Bagaimana akan diperoleh akhirat, oleh orang yang tidak hilang nafsu syahwatnya dari dunia. Dan tidak terputus kegemarannya dari dunia. Dengan sebenarnya aku mengatakan kepadamu, bahwa hatimu akan menangis dari amal perbuatanmu. Kamu jadikan dunia di bawah lidahmu dan amal perbuatan di bawah tapak kakimu. Dengan sebenarnya aku mengatakan kepadamu, bahwa kamu telah merusakkan akhiratmu. Maka kebaikan dunia itu, lebih kamu cintai daripada kebaikan akhirat. Maka manakah manusia yang lebih merugi daripada kamu, jikalau kamu mengetahuinya ? Celakalah kamu, hingga kapan kamu menerangkan keadaan jalan, kepada orang-orang yang berjalan dalam kegelapan? Dan kamu bertempat tinggal pada tempat orang-orang yang keheranan? Seakan-akan kamu memanggil orang-orang dunia, supaya mereka meninggalkan dunia itu bagimu. Pelan-pelanlah ! Kecelakaanlah bagimu ! Apakah yang mencukupkan pada rumah yang gelap, bahwa diletakkan lampu diatas puncaknya, sedang dalam rumah itu mengerikan dan gelap gulita? Seperti itu pula, tiada akan mencukupkan bagimu, bahwa nur ilmu itu ada di mulutmu. Dan rongga badanmu mengerikan dan kosong daripadanya. Hai budak-budak dunia, tidaklah seperti budak-budak yang bertaqwa dan tidaklah seperti orang-orang merdeka yang mulia ! Hampirlah dunia itu mencabut kamu dari asal-usul kamu, lalu dicampakkan kamu atas muka kamu. Kemudian, dunia itu melungkupkan kamu atas hidung kamu. Kemudian, ia mengambil segala kesalahan kamu dengan dahi kamu. Kemudian, ditolaknya kamu dari belakang kamu, sehingga diserahkannya kamu kepada raja yang perkasa, dalam keadaan telanjang sendirian. Lalu ditegakkannya kamu dalam keadaan yang memalukan kamu. Kemudian dibalaskannya kamu, dengan kejahatan amal perbuatanmu”. Kemudian, Al-Hars ra mengatakan: “Saudara-saudaraku ! Maka mereka itu ulama-ulama jahat, setan-setan manusia dan malapetaka kepada manusia. Mereka gemar kepada harta benda dunia dan ketinggian dunia. Mereka mengutamakan dunia dari akhirat. Mereka menghinakan agama karena dunia. Maka mereka pada masa yang dekat (dunia) itu, malu dan kekurangan. Dan di akhirat mereka itu merugi. Atau dimaafkan oleh Tuhan yang Maha Mulia dengan kurniaNYA. Kemudian, sesungguhnya aku melihat orang yang binasa, yang mengutamakan dunia bahwa kegembiraannya itu tercampur dengan kekeruhan. Lalu terpancar daripadanya, berbagai macam dukacita dan berbagai seni kemaksiatan. Dan kepada kebinasaan dan kehancuranlah kesudahannya. Orang yang binasa itu bergembira dengan harapan nya. Maka dunianya tidak kekal dan agamanya tidak selamat. Ia merugi dunia dan akhirat. Dan itulah kerugian yang nyata. Wahai malapetaka ! Alangkah kejinya ! Dan memperoleh kebajikan ! Alangkah agungnya ! Ketahuilah ! Maka bermuraqabahlah dengan Allah, wahai saudara-saudaraku ! Dan janganlah kamu ditipu oleh setan dan wali-walinya, dari orang-orang yang berpegang dengan hujjah-hujjah (dalil-dalil) yang batil/salah di sisi Allah ! karena mereka itu sesungguhnya rakus kepada dunia. Kemudian, mereka mencari bagi diri mereka sendiri, alasan-alasan dan keterangan-keterangan. Dan mereka mendakwakan, bahwa para sahabat Rasulullah saw itu mempunyai harta. Lalu orang-orang yang tertipu itu menghiasi dirinya dengan menyebutkan sahabat-sahabat. Supaya mereka dimaafkan oleh manusia pada mengumpulkan harta. Dan sesungguhnya mereka telah ditipu oleh setan dan mereka tidak menyadarinya. Kasihan engkau, wahai orang yang hilang akal lantaran fitnah ! Sesungguhnya, alasan engkau dengan harta Abdurrahman bin ‘Auf itu tipuan dari setan, yang dituturkannya dengan lidah engkau. Maka engkau menjadi binasa. Karena engkau, manakala engkau didakwakan, bahwa sahabat-sahabat pilihan menghendaki harta itu untuk berbanyak-banyakan, kemuliaan dan hiasan, lalu engkau mengumpat mereka yang mulia itu. Dan engkau sandarkan mereka kepada urusan yang besar. Dan manakala engkau mendakwakan, bahwa mengumpulkan harta halal itu lebih tinggi dan lebih utama daripada meninggalkannya, maka sesungguhnya engkau telah menghinakan Muhamad saw dan rasul-rasul. Dan engkau sandarkan mereka kepada sedikitnya kegemaran dan zuhud pada kebajikan ini, yang engkau dan sahabat-sahabat engkau menggemarinya pada mengumpulkan harta. Dan engkau sandarkan mereka kepada kebodohan, karena mereka tiada mengumpulkan harta, sebagaimana engkau kumpulkan. Manakala engkau mendakwakan, bahwa mengumpulkan harta halal itu lebih tinggi kedudukannya daripada meninggalkannya, maka sesungguhnya engkau telah mendakwakan bahwa Rasulullah saw tidak menasehati umatnya. Karena ia melarang mereka daripada mengumpulkan harta. Dan sesungguhnya diketahui, bahwa mengumpulkan harta itu baik bagi umat. Maka Rasulullah saw telah menipu ummat, dengan dakwaan engkau, ketika dilarangnya mereka dari mengumpulkan harta. Demi Tuhan yang menguasai langit ! Engkau telah berdusta atas Rasulullah saw. Maka sesungguhnya Rasulullah saw itu penasehat bagi umat, kasih sayang dan belas kasihan kepada mereka ! Manakala engkau mendakwakan, bahwa mengumpulkan harta itu lebih utama, maka sesungguhnya engkau telah mendakwakan, bahwa Allah Ta'ala tidak melihat kepada hamba-hambaNYA, ketika dilarangNYA  mereka, daripada mengumpulkan harta. Dan sesungguhnya diketahui bahwa mengumpulkan harta itu lebih baik bagi mereka. Atau engkau mendakwakan, bahwa Allah Ta’ala tidak mengetahui, bahwa keutamaan itu pada mengumpulkan harta. Maka karena itulah dilarangNYA mereka dari mengumpulkan itu. Dan engkau lebih mengetahui dengan kebajikan dan keutamaan pada harta. Maka karena itulah, engkau ingin pada membanyakkan harta. Seakan-akan engkau lebih mengetahui dengan tempat kebajikan dan keutamaan daripada Tuhan engkau. Maha Suci Allah dari kebodohan engkau, wahai orang yang kurang akal, lantaran fitnah ! Pahamilah dengan akal engkau, apa yang telah ditipu engkau oleh setan, ketika setan itu menghiasi engkau dengan berdalilkan harta para sahabat ! Kasihan engkau ! Tiada akan bermanfaat bagi engkau, dengan berdalilkan harta Abdurrahman bin ‘Auf. Dan sesungguhnya Abdurrahman bin ‘Auf itu lebih menyukai pada kiamat, bahwa ia tidak diberikan harta dari dunia, selain untuk dimakan. Dan telah sampai padaku ceritera, bahwa tatkala Abdurrahman bin ‘Auf ra wafat, lalu banyak orang dari sahabat-sahabat Rasulullah saw mengatakan: “Sesungguhnya kami takut kepada Abdurrahman mengenai apa yang ditinggalkannya”. Lalu ka’ab menjawab: “Subhaanallah !” Apakah yang kamu takutkan kepada Abdurrahman? Ia berusaha dengan baik, ia membelanjakan dengan baik dan ia tinggalkan dengan baik”. Lalu berita itu sampai kepada Abu Dzar. Maka Abu Dzar keluar dari rumahnya dengan marah, bermaksud bertemu dengan Ka’ab. Waktu ia lalu di jalan, lalu menemui tulang rahang unta. Maka diambilnya dengan tangannya. Kemudian ia meneruskan perjalanan bermaksud menemui Ka’ab. Lalu orang mengatakan kepada Ka’ab: “Bahwa Abu Dzar mencari engkau”. Ka’ab lalu keluar berlarian dari rumahnya, sehingga ia masuk ke tempat Usman. Ia meminta bantuan kepada Usman dan diterangkannya kepada Usman berita tersebut. Dan Abu Dzar menuju mengikuti jejak, mencari Ka’ab. Sehingga ia sampai ke rumah Usman. Tatkala Abu Dzar masuk, lalu Ka’ab bangun berdiri dan duduk di belakang Usman, lari dari Abu Dzar. Abdurrahman bin ‘Auf menyukai pada hari kiamat, bahwa ia tidak diberikan harta dari dunia, selain untuk dimakan (qut). Dan telah sampai padaku ceritera, bahwa tatkala Abdurrahman bin ‘Auf ra wafat, lalu banyak orang dari sahabat-sahabat Rasulullah saw mengatakan: “Sesungguhnya kami takut kepada Abdurrahman bin ‘Auf mengenai apa yang ditinggalkannya”. Maka Abu Dzar berkata kepada Ka’ab: “Hai anak perempuan Yahudi ! Engkau mendakwakan, bahwa tiada mengapa, dengan apa yang ditinggalkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf. Dan sesungguhnya pada suatu hari, Rasulullah saw keluar ke arah bukit Uhud dan aku bersama beliau. Maka Rasulullah mengatakan: “Hai Abu Dzar !” Aku lalu menyahut: “Saya, wahai Rasulullah !”. Rasulullah lalu bersabda: “Mereka yang banyak, ialah mereka yang sedikit pada hari kiamat, selain orang yang mengatakan: begini dan begini dari kanannya dan kirinya, depannya dan belakangnya. Dan sedikitpun tiada dari mereka”. Kemudian, Rasulullah saw menyambung: “Hai Abu Dzar !”. Aku menyahut: “Demi bapakku, engkau dan ibuku ! Ya, hai Rasulullah !”. Rasulullah saw bersabda: “Tiada akan menggembirakan aku, bahwa aku mempunyai seperti bukit Uhud, yang akan aku belanjakan pada jalan Allah. Aku mati pada hari yang akan aku mati. Dan akan aku tinggalkan dari harta itu dua qirath (adalah timbangan permata)”. Lalu aku bertanya: “Atau dua qinthar, wahai Rasulullah?”. Rasulullah menjawab: “Tetapi dua qirath”. Kemudian Rasulullah bersabda: “Hai Abu Dzar ! Engkau menghendaki yang banyak. Dan aku menghendaki yang sedikit”. Rasulullah saw  menghendaki yang ini dan engkau hai anak perempuan Yahudi mengatakan: “Tiada mengapa dengan apa yang ditinggalkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf. Engkau dusta dan dustalah orang yang mengatakan”. Ka’ab tidak menjawab perkataan Abu Dzar tadi, karena takut. Sehingga iapun keluar. Sampai kepada kami berita, bahwa Abdurrahman bin ‘Auf, datang kepadanya suatu kafilah dari Yaman. Maka dengan serentak gemparlah kota Madinah. Lalu ‘Aisyah bertanya: “Apa ini?”. Orang menjawab: “Suatu kafilah datang kepada Abdurrahman“. ‘Aisyah menjawab: “Benarlah Allah dan RasulNYA saw”. Maka sampailah yang demikian itu kepada Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu ia bertanya kepada ‘Aisyah. Maka ‘Aisyah menjawab: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya aku melihat sorga. Lalu aku lihat orang-orang muhajirin dan orang-orang muslim yang miskin, masuk ke sorga dengan berjalan cepat. Dan tiada seorangpun dari orang-orang kaya, yang aku lihat masuk ke sorga bersama mereka itu, selain Abdurrahman bin ‘Auf. Aku melihat ia bersama mereka ke sorga dengan merangkak”. Lalu Abdurrahman menyambung: “Bahwa kafilah dan apa yang diatas kafilah itu, pada jalan Allah. Dan sesungguhnya budak-budaknya itu menjadi merdeka. Mudah-Mudahan aku akan masuk sorga bersama mereka itu dengan berjalan cepat”. Sampai kepada kami riwayat, bahwa Nabi saw kepada  Abdurrahman bin ‘Auf: “Adapun engkau sesungguhnya adalah orang pertama yang akan masuk ke sorga dari orang-orang kaya dari umatku. Dan engkau tiada akan memasukinya, selain dengan merangkak”. Kasihan engkau, wahai yang hilang akal, lantaran fitnah. Maka apakah alasan engkau dengan harta itu? Dan inilah Abdurrahman tentang keutamaan , ketaqwaan, perbuatan-perbuatannya yang baik dan pemberiannya akan harta pada jalan Allah, serta persahabatannya dengan Rasulullah saw dan berita kegembiraannya juga dengan sorga”. Ia disuruh berdiri di lapangan hari kiamat dan huru-haranya, disebabkan harta yang diusahakannya dari yang halal, untuk menjaga diri dan perbuatan-perbuatan baik (ma’ruf). Ia membelanjakan dari harta itu dengan kesederhanaan. Memberikan pada jalan Allah dengan Mudah. Ia dilarang berjalan cepat ke sorga, bersama orang-orang muhajirin yang miskin. Dan jadi ia merangkak dalam bekas-bekas perjalanan mereka. Maka apakah persangkaanmu, dengan orang-orang yang seperti kita, yang tenggelam dalam fitnah duniawi? Kemudian dari itu, maka heran, seluruh heran bagi engkau, hai orang yang hilang akal ! Engkau berguling dalam percampuran harta syubhat (diragukan) (yang diragukan halalnya). Dan harta haram. Engkau melompat-lompat diatas kotoran manusia dan berbalik-balik pada nafsu syahwat, perhiasan dan bermegah-megahan. Engkau berbaik-baik pada fitnah duniawi. Kemudian, engkau mengemukakan dalil (hujjah) dengan Abdurrahman. Dan mendakwakan, bahwa engkau, jikalau engkau telah mengumpulkan harta, maka telah dikumpulkan terlebih dahulu oleh para sahabat. Seakan-akan engkau telah menyerupai salaf (orang-orang terdahulu) dan perbuatan mereka. Wahai kasihan engkau sesungguhnya ini termasuk qias (analogi) iblis dan fatwanya kepada pembantu-pembantunya. Dan akan aku sifatkan (terangkan) kepada engkau, hal keadaan engkau dan hal keadaan keutamaan para sahabat. Demi umurku, sesungguhnya setengah para sahabat itu mempunyai harta, yang dikehendakinya untuk menjaga diri dan memberikan pada jalan Allah. Lalu mereka mengusahakan yang halal, memakan yang baik, membelanjakan dengan sederhana dan mendahulukan keutamaan. Mereka tiada melarang yang benar (hak) dari harta itu. Dan mereka tidak kikir dengan dia. Tetapi mereka berbuat kemurahan karena Allah, dengan kebanyakan harta itu. Dan sebahagian mereka berbuat kemurahan dengan semuanya. Dan pada waktu kesulitan, mereka banyak yang mengutamakan Allah dari dirinya sendiri. Maka demi Allah, adakah engkau seperti yang demikian? Demi Allah, sesungguhnya engkau itu jauh dari keserupaan dengan kaum (para sahabat) itu. Kemudian, sesungguhnya para sahabat pilihan adalah mencintai kemiskinan dan rasa aman dari ketakutan kemiskinan. Mereka percaya kepada Allah tentang rezeki mereka. Mereka bergembira dengan takdir Allah. Rela dengan percobaan, bersyukur pada waktu senang, bersabar pada waktu susah dan memuji Allah (mengucapkan Alhamdulillah) pada waktu gembira. Adalah mereka merendahkan diri, karena Allah, wara’ (menjaga diri) dari kesukaan tinggi dan berbanyak harta. Mereka tiada mengambil dari dunia, selain yang diperbolehkan (mubah) bagi mereka. Mereka rela dari dunia sekedar yang menyampaikan ke akhirat. Mereka jauhkan dunia dan bersabar diatas segala yang tiada disukai  dari dunia. Mereka teguh kepahitan dunia dan zuhud pada kenikmatan dan kembang dunia. Maka demi Allah, adakah engkau seperti demikian? Telah sampai kepada kami riwayat, bahwa adalah mereka, apabila dunia menghadap kepada mereka, niscaya mereka gundah dan mengatakan: “Dosa yang segeralah siksaannya dari Allah”. apabila mereka melihat kemiskinan datang menghadap, niscaya mereka mengatakan: “Selamat datang kepada syi’ar orang-orang shalih”. Telah sampai kepada kami, riwayat, bahwa setengah mereka (kaum sufi), apabila telah pagi hari dan ada pada keluarganya sesuatu (yang akan dimakan), maka ia menjadi susah dan gundah hatinya. Dan apabila tidak ada pada mereka sesuatu, niscaya ia menjadi gembira dan sukacita. Lalu ditanyakan kepadanya: “Bahwa manusia, apabila tidak ada pada mereka sesuatu, niscaya mereka berhati gundah. Dan apabila ada pada mereka sesuatu, maka mereka bergembira. Sedang engkau tidaklah yang demikian”. Orang sufi tersebut menjawab: “Sesungguhnya aku apabila aku pagi hari dan tidak ada pada keluargaku sesuatu, niscaya aku bergembira. Karena aku mempunyai contoh, dengan Rasulullah saw dan apabila ada pada keluargaku sesuatu, niscaya aku berduka cita. Karena aku tiada mempunyai contoh dengan keluarga Muhamad”. Dan telah sampai kepada kami riwayat, bahwa mereka (kaum sufi) apabila berjalan kepada mereka, jalan kemewahan, niscaya mereka berduka cita dan mereka kasihan kepada dirinya. Dan mereka mengatakan: “Apalah bagi kita dunia ini ! Dan apakah yang dikehendaki dengan dunia?”. Maka seolah-olah mereka diatas sayap ketakutan. Dan apabila berjalan kepada mereka, jalan percobaan, niscaya mereka bergembira dan bersukaria, seraya mengatakan:  “Sekarang, kita telah diadakan mu’ahadah (perjanjian) oleh Tuhan kita”. Maka inilah hal-ikhwalnya orang-orang salaf dan sifat mereka. Pada mereka itu, lebih banyak keutamaan, daripada apa yang telah kami terangkan. Maka demi Allah ! adakah anda seperti yang demikian? Sesungguhnya anda adalah jauh dari keserupaan dengan kaum (para sahabat dan kaum sufi) itu. Dan akan aku sifatkan  (terangkan) kepada anda, hal keadaan anda, hai orang yang kurang akal, yang berlawanan dengan hal keadaan mereka. Dan yang demikian, bahwa anda berbuat kedurhakaan ketika kaya dan anda kufur (tiada bersyukur) ketika mewah, menyombong ketika senang dan lalai daripada mensyukuri yang empunya nikmat. Anda berputus asa ketika melarat, marah ketika datang percobaan dan tidak rela dengan qodo’ (taqdir). Ya, engkau marah kepada ke-papa-an dan engkau benci kepada kemiskinan. Dan yang demikian itu kebanggaan rasul-rasul. Dan engkau benci dari kebanggaan rasul-rasul itu. Engkau menyimpan harta dan mengumpulkannya, karena takut dari kepapan. Dan yang demikian itu, termasuk sebahagian dari jahat sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan kurang yakin dengan jaminannya. Dan mencukupilah dosa dengan yang demikian. Dan kiranya engkau mengumpulkan harta bagi kenikmatan duniawi, kebagusan, nafsu syahwat dan kelezatan duniawi. Dan sesungguhnya telah sampai riwayat kepada kami, bahwa Rasulullah saw bersabda: “sejahat-jahat umatku, ialah mereka yang diberi makan dengan kenikmatan. Lalu bertambahlah gemuk badan mereka”. Telah sampai riwayat kepada kami, bahwa setengah ahli ilmu mengatakan: “Sesungguhnya akan datang pada hari kiamat suatu kaum (golongan), yang mencari kebaikan bagi mereka. Lalu dikatakan kepada mereka: “Kesenangan telah kamu habiskan dalam kehidupanmu di dunia dan kamu telah bersenang-senang dengan yang demikian itu”. Dan engkau dalam kelalaian. Engkau sesungguhnya telah mengharamkan nikmat akhirat, disebabkan nikmat dunia. Wahai penyesalan dan musibah ! Benar, kiranya engkau mengumpulkan harta, untuk berbanyak-banyakan harta, untuk ketinggian kemegahaan dan perhiasan dalam dunia”. Telah sampai riwayat kepada kami, bahwa orang yang mencari dunia untuk berbanyak-banyakan harta atau untuk menyombongkan diri, niscaya ia menjumpai Allah. Dan Allah marah kepadanya. Dan engkau tidak memperdulikan dengan kemarahan Tuhan engkau, yang tertimpa kepada engkau, ketika engkau menghendaki berbanyak-banyakan harta dan ketinggian. Ya, benar, kiranya engkau, berdiam di dunia lebih engkau sukai dari berpindah dekat dengan Allah. Maka engkau tiada menyukai menemui Allah. Dan Allah lebih lagi tiada menyukai menemui engkau. Dan engkau itu dalam kelalaian. Kiranya engkau merasa sedih, kepada apa yang hilang dari engkau, dari harta benda dunia. Dan sesungguhnya telah sampai riwayat kepada kami, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang merasa sedih kepada dunia yang hilang daripadanya, niscaya ia mendekati kepada neraka seperjalanan sebulan”. Dan ada yang meriwayatkan: “seperjalanan setahun”. Engkau merasa sedih terhadap apa yang hilang dari engkau, tanpa memperdulikan dengan dekatnya engkau dari azab Allah. Ya, kadang-kadang sewaktu-waktu engkau keluar dari agama engkau, untuk penyempurnaan dunia engkau. Engkau gembira dengan menghadapnya dunia kepada engkau. Dan engkau merasa tentram karena yang demikian, karena kegembiraan dengan dunia. Sesungguhnya telah sampai riwayat kepada kami, bahwa Rasulullah bersabda: “Siapa yang mencintai dunia dan gembira dengan dunia, niscaya hilang ketakutan kepada akhirat dari hatinya”. Telah sampai riwayat kepada kami, bahwa sebagian ahli ilmu mengatakan: “Bahwa engkau memperhitungkan atas kegundahan, terhadap apa yang hilang dari engkau tentang dunia. Dan engkau memperhitungkan dengan kegembiraan engkau pada dunia, Apabila engkau sanggup atas yang demikian. Dan engkau gembira dengan dunia engkau. Dan engkau cabut ketakutan kepada Allah Ta’ala. Kiranya engkau bersungguh-sungguh dengan urusan dunia engkau, berlipat ganda dari apa yang engkau bersungguh-sungguh, dengan urusan akhirat engkau. Dan kiranya engkau melihat musibah engkau pada perbuatan-perbuatan maksiat yang engkau lakukan itu, lebih Mudah dari musibah engkau pada pengurangan dunia engkau. Ya, ketakutan engkau dari hilangnya harta engkau itu lebih banyak, dari ketakutan engkau dari dosa. Kiranya, engkau yang memberikan kepada manusia, apa yang engkau kumpulkan dari daki dunia seluruhnya, untuk ketinggian dan keagungan dalam dunia. Dan kiranya engkau yang rela kepada makhluk, yang marah kepada Allah Ta’ala, bagaimana engkau memuliakan dan membesarkan. Kasihan engkau ! Maka seakan-akan penghinaan Allah Ta’ala kepada engkau pada hari kiamat itu, lebih Mudah bagi engkau dari pada penghinaan manusia kepada engkau. Kiranya engkau yang menyembunyikan pada makhluk kejahatan-kejahatan engkau.  Dan engkau tidak memperdulikan dengan penglihatan Allah kepada engkau pada kejahatan itu. Seakan-akan keaiban engkau pada sisi Allah itu lebih Mudah bagi engkau daripada keaiban manusia. Seakan-akan budak-budak itu lebih tinggi tingkatnya pada engkau, daripada Allah Ta’ala. Maha Suci Allah Ta’ala dari kebodohan engkau !. Maka bagaimana engkau berbicara pada orang-orang yang berakal dan kekurangan-kekurangan ini pada engkau? Cis, bagi engkau, yang berlumuran dengan kotoran dan engkau membuat alasan dengan harta orang baik-baik. Amat jauh-amat jauh ! ! Alangkah jauhnya engkau dari orang-orang salaf, yang pilihan. Demi Allah. Sesungguhnya telah sampai riwayat kepada kami, bahwa mereka (orang-orang salaf), pada apa yang dihalalkan bagi mereka itu, lebih zuhud daripada kamu, pada apa yang diharamkan kepada kamu. Bahwa hal yang tiada mengapa pada kamu, adalah pada mereka termasuk yang membinasakan. Dan adalah mereka untuk kesilapan kecil saja, menjadi sangat besar pada kamu, untuk perbuatan-perbuatan kemaksiatan yang besar. Kiranya, hartamu yang terbaik dan yang paling halal itu, seperti harta mereka yang syubhat (diragukan)/yang diragukan halalnya. Kiranya engkau merasa kasihan atas kejahatan engkau, sebagaimana mereka merasa kasihan atas kebaikan mereka, bahwa tiada diterima. Kiranya puasa engkau itu, seperti berbukanya (tiada berpuasanya) mereka. Kiranya kesungguhan engkau pada ibadah itu, seperti kelesuan dan ketiduran mereka. Kiranya semua kebaikan engkau itu seperti satu dari kejahatan-kejahatan mereka. Telah sampai riwayat kepada kami, dari setengah sahabat, yang mengatakan: “Harta rampasan bagi orang-orang yang shiddiq, ialah: Apa yang hilang bagi mereka dari dunia. Dan yang sedap bagi mereka, ialah: apa yang dijauhkan mereka dari dunia”. Maka siapa yang tidak ada seperti yang demikian, niscaya tidaklah dia bersama mereka di dunia. Dan tidak pula bersama mereka di akhirat. Subhaanallah ! Berapakah kiranya berlebih kurang diantara dua golongan tersebut: golongan sahabat-sahabat pilihan, pada ketinggian di sisi Allah dan golongan orang-orang yang seperti kamu, pada di bawah. Atau Allah Yang Maha Pemurah dengan kurniaNYA, memaafkannya. Kemudian sesungguhnya engkau, jikalau engkau mendakwakan, bahwa engkau mengikuti para sahabat pada mengumpulkan harta untuk menjaga diri dan untuk memberi pada jalan Allah, maka berpikirlah akan urusan engkau itu ! Kasihan engkau ! Adakah engkau dapati dari hal yang halal, pada masa engkau, sebagaimana mereka mendapatinya pada masa mereka? Atau engkau mengira, bahwa engkau berhati-hati pada mencari yang halal, sebagaimana mereka itu berhati-hati?. Sesungguhnya telah sampai riwayat kepada kami, bahwa setengah sahabat mengatakan: “Sesungguhnya kami meninggalkan 70 pintu dari harta halal, karena ketakutan kami akan jatuh pada suatu pintu haram. Adakah engkau loba dari diri engkau, pada berhati-hati seperti ini? Tidak. Demi Tuhan yang empunya Ka’bah ! Aku tiada menyangka engkau seperti yang demikian. Kasihan engkau ! Hendaklah engkau atas keyakinan, bahwa mengumpulkan harta untuk amal kebajikan itu, tipuan dari setan. Supaya setan itu dapat menjatuhkan engkau dengan sebab kebajikan itu, dalam usaha harta syubhat (diragukan)/yang diragukan halalnya yang bercampur keji dan haram. Dan sesungguhnya telah sampai riwayat kepada kami, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang berani diatas syubhat (diragukan)/yang diragukan halalnya, niscaya mendekatkannya untuk jatuh pada yang haram”. Hai orang yang tertipu ! Apakah tidak kamu ketahui, bahwa ketakutanmu dari mengerjakan yang syubhat (diragukan)/yang diragukan halalnya itu lebih tinggi, lebih utama dan lebih besar untuk nilaimu di sisi Allah, daripada usaha harta syubhat (diragukan)/yang diragukan halalnya dan memberikannya pada jalan Allah dan jalan kebajikan?. Telah sampai kepada kami riwayat yang demikian, dari setengah ahli ilmu yang mengatakan: “Sesungguhnya untuk engkau tinggalkan satu dirham karena takut bahwa itu tidak halal, adalah lebih baik bagi engkau, daripada engkau bersedekah seribu dinar harta syubhat (diragukan)/yang diragukan halalnya, yang tidak engkau ketahui, adakah dia itu halal bagi engkau atau tidak. Jikalau engkau mendakwakan, bahwa engkau lebih taqwa dan lebih wara’, daripada yang meragukan engkau dari harta syubhat (diragukan)/yang diragukan halalnya dan sesungguhnya engkau mengumpulkan harta dengan dakwaan engkau itu dari yang halal, untuk diberikan pada jalan Allah, maka kasihan engkau jikalau ada engkau seperti yang engkau dakwakan itu telah sampai wara’. Lalu engkau tidak mengemukakan bagi perhitungan. Maka sesungguhnya para sahabat yang pilihan, mereka itu takut meminta. Dan telah sampai riwayat kepada kami, bahwa setengah sahabat itu mengatakan: “Tiada menyukakan aku, bahwa aku berusaha setiap hari seribu dinar dari yang halal dan aku belanjakannya pada menta’ati Allah. Dan tidak menyibukkan aku oleh usaha itu dari shalat berjama’ah”. Para sahabat lalu bertanya: “Karena apa maka demikian?” Kiranya engkau dicurahkan rahmat oleh Allah”. Sahabat itu menjawab: “Karena aku tidak memerlukan tempat berdiri pada hari kiamat, maka Tuhan menanyakan: “Hai hambaKU ! Dari mana engkau mengusahakannya?. Dan pada apa engkau membelanjakannya?”. Mereka, orang-orang yang bertaqwa itu, pada permulaan kesungguhan Islam. Dan yang halal ada pada mereka. Mereka tinggalkan harta, karena takut dari hisab (perhitungan amal). Karena takut, bahwa harta yang baik tidak berdiri pada tempat harta yang jahat. Dan engkau pada masa engkau itu, tidak ada dengan berkesudahan aman dan halal. Engkau melompat-lompat diatas kotoran. Kemudian, engkau dakwakan, bahwa engkau mengumpulkan harta dari yang halal. Kasihan engkau ! Dimanakah yang halal itu, maka engkau mengumpul kannya ? Kemudian, maka jikalau adalah yang halal itu terdapat pada engkau, apakah engkau tidak takut, bahwa hati engkau akan berobah ketika kaya? Dan sesungguhnya telah sampai riwayat kepada kami, bahwa setengah sahabat itu menerima pusaka harta halal. Lalu ditinggalkannya, karena takut hatinya akan rusak. Adakah engkau mengharap bahwa hati engkau akan ada lebih taqwa dari hati para sahabat? Lalu tiada hilang suatupun dari kebenaran, pada urusan engkau dan hal ikhwal engkau. Sesungguhnya, jikalau engkau menyangka yang demikian, niscaya engkau telah membaguskan sangkaan dengan hawa nafsu engkau, yang menyuruh dengan kejahatan. Kasihan engkau ! Sesungguhnya aku penasehat bagi engkau. Aku melihat bagi engkau, bahwa engkau merasa qana’ah (cukup) dengan barang yang memadai dari kehidupan (al-bulghah). Dan engkau tiada mengumpulkan harta bagi amal perbuatan kebajikan. Dan engkau tdak mendatangi untuk perhitungan amal (al-hisab). Sesungguhnya, telah sampai riwayat kepada kami, dari Rasulullah s.a.w, bahwa beliau bersabda: “Siapa yang diperdebatkan al-hisab (perhitungan amalnya), niscaya ia diazabkan”. Nabi saw bersabda: “Seorang laki-laki dibawa pada hari kiamat dan telah mengumpulkan harta dari yang haram dan dibelanjakannya pada yang haram. Lalu dikatakan: “Bawalah orang ini ke neraka ! Dan dibawa pula seorang laki-laki yang lain, yang telah mengumpulkan harta dari yang halal dan dibelanjakannya pada yang haram, lalu dikatakan: “Bawalah orang ini ke neraka !”. Dan dibawa lagi seorang laki-laki yang telah mengumpulkan harta dari yang haram dan dibelanjakannya pada yang halal. Lalu dikatakan: “Bawalah orang ini ke neraka ! Dan dibawa pula seorang laki-laki yang telah mengumpulkan harta dari yang halal dan dibelanjakan pula pada yang halal. Lalu dikatakan kepadanya: “Berhentilah ! Mudah-Mudahan engkau teledor pada mencari ini, dengan sesuatu, yang telah AKU wajibkan atas engkau, dari shalat yang tidak engkau kerjakan pada waktunya. Dan engkau sia-siakan pada sesuatu dari ruku’nya, sujudnya dan wudlu’nya. Maka laki-laki itu menjawab: “Tidak, wahai Tuhanku ! Aku usahakan dari yang halal dan aku belanjakan pada yang halal. Dan aku tidak menyia-nyiakan sesuatu dari apa yang Engkau wajibkan atas diriku”. Lalu dikatakan kepadanya: “Kiranya engkau telah menyombong pada harta ini, tentang sesuatu: dari kendaraan atau pakaian, yang engkau banggakan dengan dia”. Orang itu lalu menjawab: “Tidak, wahai Tuhanku ! Aku tidak menyombong dan tidak membanggakan pada sesuatu”. Maka dikatakan kepadanya: “Kiranya engkau melarang hak seseorang, yang AKU suruhkan engkau memberikannya: kepada keluarga, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang musafir”. Ia lalu menjawab: “Tidak, wahai Tuhanku ! Aku usahakan dari yang halal dan aku belanjakan pada yang halal. Aku tidak menyia-nyiakan sesuatu, dari apa yang engkau wajibkan atas diriku. Aku tidak menyombong dan tidak membanggakan. Aku tidak menyia-nyiakan hak seseorang yang Engkau suruhkan aku memberikan nya”. Nabi saw lalu meneruskan sabdanya: “Maka merekapun datang, lalu bertengkar dengan laki-laki itu, seraya mereka mengatakan: “Hai Tuhanku ! Engkau berikan kepadanya dan engkau kayakan dia. Engkau jadikan dia yang terkemuka diantara kami. Engkau suruhkan dia untuk memberikan kepada kami. Kalau ada, niscaya ia memberikan kepada mereka dan bersamaan dengan demikian, ia tidak menyia-nyiakan sesuatu yang diwajibkan. Dan ia tidak menyombong pada sesuatu”. Lalu dikatakan kepadanya: “Berhentilah sekarang ! Berilah kepadaKU kesyukuran setiap nikmat yang AKU anugerahkan kepadamu, dari makan atau minum atau kesenangan !” maka senantiasalah ia diminta yang demikian”. Kasihan engkau ! Maka siapakah yang mengemukakan persolan ini, yang ada bagi laki-laki itu, yang berbalik-balik pada yang halal, berdiri dengan semua hak-hak dan menunaikan segala kewajiban dengan batas-batasnya, yang diperhitungkan dengan perhitungan ini ? Maka bagaimanakah engkau melihat, adanya dia seperti hal keadaan kita, yang tenggelam dalam fitnah dunia, percampur-bauran, syubhat (diragukan)/yang diragukan halalnya, nafsu syahwat dan perhiasan dunia?. Kasihan engkau, lantaran persoalan-persoalan ini, lalu orang-orang yang taqwa takut bercampur dengan dunia. Maka mereka rela mencegah diri dari dunia. Dan berbuat amal dengan segala macam kebajikan, daripada mengusahakan harta. Maka bagi engkau hati-hati harus meneladani orang-orang pilihan itu.  Jikalau engkau enggan yang demikian dan mendakwakan, bahwa engkau telah sampai pada wara’ taqwa dan engkau tiada mengumpulkan harta, selain dari yang halal, dengan dakwaan engkau untuk menjaga diri dan untuk memberi pada jalan Allah dan engkau tidak membelanjakan dari yang halal itu, selain dengan yang hak dan hati engkau tiada berobah dengan sebab harta, dari apa yang disukai oleh Allah dan engkau tidak memarahkan Allah pada sesuatu, dari perbuatan bathiniyah engkau dan zahiriyah engkau, hati-hati maka jikalau adalah seperti itu dan sebenarnya tidaklah engkau seperti itu, maka sesungguhnya seyogyalah bagi engkau, bahwa engkau rela dengan yang mencukupi pada kehidupan (al-bulghah). Dan engkau mengasingkan diri dari orang-orang yang mempunyai harta, apabila mereka bangun berdiri untuk meminta. Dan engkau mendahului bersama rombongan pertama, dalam rombongan Nabi Pilihan saw Tiada yang menahan engkau untuk meminta dan perhitungan amal (al-hisab). Maka adakalanya selamat dan adakalanya binasa. Karena sesungguhnya telah sampai riwayat kepada kami, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Akan masuk ke sorga orang-orang muhajirin yang miskin sebelum orang-orang muhajirin yang kaya, dengan 500 tahun”. Nabi saw bersabda: “Akan masuk ke sorga orang-orang mu’min yang miskin, sebelum orang-orang mu’min yang kaya. Mereka lalu makan dan bersenang-senang. Dan yang lain duduk berjongkok atas lulut mereka. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Sebelum kamu ada tuntutanKU. Kamu adalah penguasa dan raja manusia. Maka perlihatkanlah kepadaKU, apa yang kamu perbuat, pada apa yang AKU berikan kepadamu !”. Telah sampai riwayat kepada kami, bahwa setengah ahli ilmu mengatakan: “Tiada menggembirakan aku, bahwa aku mempunyai binatang kendaraan yang cantik, sedang aku tidak berada dalam rombongan pertama bersama Muhamad saw dan barisannya. Hai kaumku ! Maka berlomba-lombalah dalam perlombaan bersama orang-orang yang kurang harta, dalam rombongan rasul-rasul as ! hendaklah kamu itu orang-orang yang takut dari  terkebelakang dan terputus dari Rasulullah saw, sebagai takutnya orang-orang yang taqwa”. Sesungguhnya telah sampai riwayat kepadaku, bahwa sebagian sahabat, yaitu: Abu bakar ra merasa haus. Lalu beliau meminta minum. Maka dibawa kepadanya minuman dari air dan madu. Tatkala ia rasakannya, lalu ia tercekik oleh setitik air mata. Kemudian, ia menangis dan membawa tertangisnya orang-orang yang berada di situ. Kemudian, ia menyapu air mata dari mukanya dan ia pergi untuk berbicara. Maka ia kembali dalam menangis. Tatkala banyak tangisannya, maka orang bertanya kepadanya: “Adakah semua ini dari karena minuman itu?”. Abu bakar ra menjawab: “Ya ! Sewaktu aku pada suatu hari, berada di sisi Rasulullah saw dan tiada seorangpun bersama beliau di rumah, selain aku. Lalu beliau menolak dari dirinya dan beliau bersabda: “Jauhkan engkau daripadaku !”. Lalu aku bertanya kepadanya: “Demi bapakku dan ibuku ! Aku tidak melihat seorangpun di hadapan engkau. Maka dengan siapa engkau berbicara?”. Rasulullah saw lalu menjawab: “Dunia ini memanjangkan badannya melihat kepadaku dengan leher dan kepalanya. Lalu ia mengatakan kepadaku: “hai Muhamad ! Ambillah aku !” lalu aku menjawab: “Jauhkan engkau daripadaku !” Dunia itu lalu menggatakan: “Jika engkau terlepas daripadaku hai Muhamad, maka sesungguhnya, tiada akan terlepas daripadaku, orang-orang sesudah engkau”. Maka aku takut, kata Abu bakar, bahwa dunia ini telah menghubungi aku. Ia memutuskan aku dari Rasulullah s.a.w”. hai kaumku ! Maka mereka orang-orang pilihan itu menangis, karena takut akan diputuskan mereka dari Rasulullah saw oleh minuman dari hal yang halal. Kasihan ! Engkau berada dalam bermacam-macam nikmat dan nafsu syahwat dari usaha-usaha haram dan syubhat (diragukan)/yang diragukan halalnya, yang tidak engkau takut akan terputus. Cis, bagi engkau ! Alangkah besarnya kebodohan engkau ! Kasihan engkau ! Maka jikalau engkau tertinggal pada hari kiamat dari Rasulullah saw. Muhamad Al-Musthafa (yang pilihan), niscaya engkau akan melihat huru hara, dimana para malaikat dan nabi-nabi takut daripadanya. Sesungguhnya, jikalau engkau teledor daripada perlombaan, maka sesungguhnya akan panjanglah jalan bagi engkau untuk menghubunginya. Dan jikalau engkau menghendaki banyaknya harta benda dunia, niscaya akan jadilah engkau pada perhitungan amal hisap yang sukar. Dan jikalau engkau tiada merasa qana’ah (cukup) dengan sedikit, niscaya akan jadilah engkau pada lama berhenti (di hari kiamat), berteriak meminta tolong dan meratap. Dan jikalau engkau rela dengan hal keadaan orang-orang yang tinggal dibelakang, sesungguhnya engkau akan terputus dari orang-orang golongan kanan (ash-haabul-yamiin) dan dari utusan Tuhan seru sekalian alam dan akan terlambat engkau dari kenikmatan orang-orang yang memperoleh nikmat. Dan jikalau engkau menyalahi dari perihal keadaan orang-orang Muttaqin (orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhan), niscaya sesungguhnya engkau berada dalam golongan orang-orang yang terkurung dalam huru hara hari agama (hari kiamat). Maka pahamilah apa yang kamu dengar ! Kasihan engkau !. Kemudian, jikalau engkau mendakwakan, bahwa engkau dalam contoh orang-orang terdahulu yang pilihan, yang merasa cukup/qana’h dengan sedikit, zuhhud pada yang halal, engkau memberikan harta engkau, mengutamakan orang lain atas diri engkau sendiri, engkau tidak takut miskin, engkau tidak menyimpan sesuatu untuk hari besok engkau, marah untuk membanyak-banyakan harta dan kekayaaan, rela dengan kemiskinan dan percobaan, kena malapetaka gembira dengan sedikit dan kemiskinan, senang dengan hinaan dan kerendahan, benci kepada ketinggian dan diangkat-angkat, kuat pada urusan engkau dan tiada berobah hati engkau dari petunjuk, maka sesungguhnya engkau telah memperhitungkan diri engkau sendiri pada Allah. Engkau telah mengokohkan urusan engkau semua, menurut apa yang bersesuaian dengan kerelaan Allah. Engkau tidak berdiri pada meminta-minta dan tidak akan diadakan perhisaban (perhitungan amal), dari orang-orang yang bertaqwa seperti engkau. Sesungguhnya engkau mengumpulkan harta halal untuk diberikan pada jalan Allah. kasihan engkau ! Hai orang yang tertipu ! Maka pahamilah akan urusan dan tunjukkanlah perhatian ! Apakah engkau tidak mengetahui bahwa meninggalkan kesibukan dengan harta dan mengosongkan hati dari yang lain, untuk berzikir, tadzakkur (mengingatkan diri), tidzkar (mengingatkan orang lain), fikir dan mengambil ibarat itu (ittibar) itu, lebih menyelamatkan agama, lebih memudahkan hisab, lebih meringankan pertanyaan, lebih mengamankan dari ketakutan hari kiamat, lebih membanyakkan pahala dan lebih meninggikan kadar engkau berlipat ganda pada sisi Allah. Telah sampai riwayat kepada kami, dari sebagian sahabat, bahwa sahabat tersebut mengatakan: “Jikalau adalah seorang laki-laki mempunyai banyak dinar dalam kamarnya, yang akan diberikannya kepada orang-orang yang memerlukan dan ada laki-laki yang lain yang berzikir kepada Allah, niscaya yang berzikir itu, yang lebih afdhol-lebih utama. Ditanyakan kepada setengah ahli ilmu, tentang orang-orang yang mengumpulkan harta, untuk amal kebajikan, maka ahli ilmu itu menjawab: “Meninggalkan mengumpulkan harta itu lebih baik baginya”. Telah sampai riwayat kepada kami, bahwa setengah tabi’in (pengikut) pilihan, ditanyakan dua orang laki-laki. Yang seorang mencari dunia yang halal, maka diperolehnya. Lalu disambungkannya silaturrahim dengan dunia itu dan didahulukannya untuk dirinya, adapun yang seorang lagi, ia mengenyampingkan dunia. Maka tidak dicarinya dan tidak diperolehnya. Maka manakah yang lebih afdhol?” Tabi’in itu menjawab: “Demi Allah, adalah amat jauh diantara keduanya. Yang mengenyampingkan dunia itu lebih afdhol, sebagaimana diantara masyrik (tempat terbit matahari) dan maghrib (tempat terbenam matahari) dari bumi”. Kasihan engkau ! Maka keutamaan ini bagi engkau, dengan meninggalkan dunia terhadap orang yang mencari dunia. Dan bagi engkau pada masa dekat (pada masa didunia), jikalau engkau meninggalkan kesibukan dengan harta, bahwa yang demikian itu lebih menyenangkan (lebih mendatangkan istirahat) bagi badan engkau, lebih menyedikitkan kepayahan engkau, lebih mendatangkan nikmat bagi kehidupan engkau, lebih merelakan bagi hati engkau dan lebih menyedikitkan kesusahan engkau. Maka apa alasan engkau pada mengumpulkan harta dan engkau dengan meninggalkan harta itu, lebih utama daripada orang yang mencari harta untuk amal kebajikan? Ya, benar. Dan kesibukan engkau dengan dzikir kepada Allah itu, lebih afdhol daripada memberikan harta pada jalan Allah. maka berhimpunlah bagi engkau kesenangan masa yang dekat (masa di dunia), serta selamat dan kelebihan pada masa yang lambat (masa di akhirat). Kemudian, maka jikalau ada pada mengumpulkan harta itu besar kelebihan, niscaya haruslah atas engkau dalam akhlak luhur, mengikuti nabi engkau. Karena Allah telah memberi petunjuk (hidayah) kepada engkau, dengan sebabnya nabi saw dan engkau rela apa yang dipilih oleh nabi saw bagi dirinya, dengan menjauhkan dunia. Kasihan engkau ! Pahamilah apa yang engkau dengar ! Dan hendaklah engkau dengan keyakinan, bahwa kebahagiaan dan kemenangan itu pada menjauhkan dunia ! Maka berjalanlah bersama bendera nabi pilihan, yang mendahului ke sorga tempat kediaman (jannatul ma’wa). Sesungguhnya telah sampai riwayat kepada kami, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Penghulu orang-orang Mu’min dalam sorga, ialah: orang, apabila ia memakan siang, niscaya ia tidak memperoleh untuk makanan malam. Apabila ia meminta pinjam (berhutang) pada orang, niscaya ia tidak memperoleh pinjaman. Ia tiada mempunyai kelebihan pakaian, selain apa yang menutupi badannya. Ia tidak sangggup berusaha apa yang tidak diperlukannya. Ia bersore hari dan berpagi hari serta yang demikian, yang rela apa yang ada dari Tuhannya. Maka mereka bersama orang-orang yang dianugerahkan oleh Allah nikmat kepada mereka, yaitu: nabi-nabi, orang-orang siddik, orang-orang zahid dan orang-orang shalih. Dan baiklah mereka itu menjadi teman”. Ketahuilah, wahai saudaraku ! Manakala engkau mengumpulkan harta ini sesudah penjelasan tersebut, maka sesungguhnya engkau membatalkan apa yang engkau dakwakan, bahwa engkau mengumpulkan harta itu untuk kebajikan dan keutamaan. Tidak ! Akan tetapi, engkau mengumpulkannya karena takut dari kemiskinan. Engkau mengumpulkannya, untuk kenikmatan, perhiasan, berbanyak-banyakkan, kesombongan, ketinggian, ria’, sum’ah (untuk didengar orang) keagungan dan keMuliaan. Kemudian, engkau mendakwakan, bahwa engkau mengumpulkan harta itu untuk amal kebajikan. Kasihan engkau ! BerMuraqabahlah akan Allah dan malulah dari dakwaan engkau itu, hai orang yang tertipu ! Kasihan engkau, jikalau engkau tergoda dengan kecintaan kepada harta dan dunia. Maka hendaklah engkau mengakui, bahwa keutamaan dan kebajikan itu, pada kerelaan (senang hati) dengan yang tercapai saja dan menjauhkan hal-hal yang tidak perlu (hal-hal yang berlebihan). Ya, hendaklah engkau ketika mengumpulkan harta itu, mencela diri engkau, mengakui dengan keburukan engkau, takut dari hisab (perhitungan amal). Maka itulah yang lebih melepaskan engkau dan yang lebih mendekatkan engkau kepada keutamaan, daripada mencari alasan-alasan untuk mengumpulkan harta. Saudara-saudaraku ! Ketahuilah, bahwa masa para sahabat itu, adalah yang halal itu ada. Dan bersama yang demikian, mereka itu adalah manusia yang sangat wara’ dan sangat zuhud pada yang diperolehnya bagi mereka. Sedang kita ini pada masa, dimana yang halal itu tidak ada. Dan bagaimana bagi kita dari yang halal itu, sekedar makanan dan yang menutupkan aurat? Adapun mengumpulkan harta pada masa kita sekarang, maka kiranya kami dan engkau dilindungi oleh Allah daripadanya ! Kemudian, maka dimanakah bagi kita seperti taqwanya para sahabat dan wara’nya mereka? Dan seperti zuhudnya dan kehati-hatiannya mereka? Dan dimana bagi kita seperti dlamir (isi hati) mereka dan kebagusan niat mereka? Kita melakukan pekerjaan demi Tuhan yang menguasai langit dengan segala penyakit dan keinginan hawa nafsu. Dan dari masa yang dekat, akan adalah yang datang itu. Maka wahai kebahagiaan bagi orang-orang yang meringankan tanggungan pada hari pengumpulan manusia (hari kiamat) dan kesedihan yang panjang bagi orang yang membanyak-banyakan dan mencampur adukan harta. Aku sesungguhnya menasehati kamu, jikalau kamu terima. Dan orang-orang yang menerima untuk ini adalah sedikit. Kiranya Allah mencurahkan taufik kepada kami dan kepada kamu, bagi tiap-tiap kebajikan dengan rahmatNYA-Amin. Inilah akhir perkataannya Al-Harts bin Asad Al-Muhasibi itu ! Dan pada perkataan ini, mencukupilah kiranya pada melahirkan keutamaan miskin dari kaya dan tiada yang menambahkan lagi kepada yang demikian. Untuk yang demikian itu, disaksikan oleh semua hadits-hadits, yang telah kami bentangkan pada “Kitab Tercelanya Dunia” dan pada “Kitab Miskin dan Zuhud”. Dan disaksikan pula bagi yang demikian, oleh apa yang dirawikan dari Abi umamah Al-Bahili, bahwa Tsa’labah bin Hathib berkata: “Wahai Rasulullah ! Berdoalah kepada Allah, kiranya IA memberikan aku rezeki harta !” hai Tsa’labah ! Harta yang sedikit, dimana engkau melaksanakan kesyukurannya itu lebih baik daripada yang banyak, dimana engkau tiada sanggup melaksanakan kesyukurannya”. Tsa’labah menjawab: “Wahai Rasulullah ! Berdoalah kepada Allah, kiranya IA memberikan aku rezeki harta !” Rasulullah saw menjawab: “Hai Tsa’labah ! Apakah tidak ada pada engkau, keinginan mengikuti jalanku? Apakah engkau tidak rela bahwa engkau itu seperti nabi Allah Ta’ala? Demi Tuhan yang jiwaku ditanganNYA (dalam kekuasaanNYA) ! Apakah tidak, jikalau aku berkehendak, bahwa bukit-bukit itu berjalan bersama aku sebagai emas dan perak, niscaya ia akan berjalan”. Lalu Tsa’labah menjawab: “Demi Tuhan yang mengutuskan engkau dengan kebenaran menjadi nabi ! Jikalau sekiranya engkau berdoa kepada Allah, bahwa ia memberikan aku rezeki harta, niscaya aku akan diberikan. Setiap yang berhak, akan mengambil haknya. Dan sesungguhnya akan aku laksankan ! Sesungguhnya akan aku laksankan ! mengerjakan yang baik dan bersedekah”. Rasulullah saw lalu berdo’a: “Wahai Allah Tuhanku ! Anugerahilah Tsa’labah rezeki harta !”.  Tsa’labah lalu berternak kambing. Maka kambing itu berkembang biak, seperti berkembang biaknya ulat. Lalu sempitlah kota Madinah baginya. Maka ia pindah dari kota itu bersama kambingnya. Lalu ia bertempat pada suatu lembah-dari lembah-lembahnya. Sehingga membuat ia mengerjakan shalat zuhur dan Ashar dengan berjamaah. Dan meninggalkan berjamaah yang lainnya. Kemudian, kambing itu semakin berkembang biak dan bertambah banyak. Lalu Tsa’labah pindah lagi. Sehingga ia meninggalkan berjamaah, selain shalat jumat. Dan kambing itu berkembang biak terus, seperti berkembang biaknya ulat. Sehingga ia meninggalkan shalat Jumat. Pada suatu hari Jumat, kebetulan ia bertemu dengan orang-orang yang berkendaraan yang lewat. Lalu ia bertanya kepada mereka tentang berita di Madinah. Dan Rasulullah saw menanyakan tentang Tsa’labah itu, seraya bersabda: “Apakah yang diperbuat Tsa’labah bin Hathib?”. Lalu ada yang menjawab: “Wahai Rasulullah ! Tsa’labah itu berternak kambing. Lalu sempitlah kota Madinah kepadanya”. Lalu orang tersebut menceritakan urusan Tsa’labah semuanya. Rasulullah saw lalu bersabda: “Kasihan Tsa’labah ! Kasihan Tsa’labah ! Wahai kasihan Tsa’labah !”. Yang merawikan riwayat ini meneruskan riwayatnya: “Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat: “Ambillah sedekah dari sebagian harta benda mereka untuk membersihkan dan mensucikan mereka dan doakanlah untuk mereka, sesungguhnya doa engkau itu ketentraman untuk mereka”. S 9 At Taubah ayat 103. Allah Ta’ala menurunkan ayat wajib-fardhu zakat itu. Lalu Rasulullah saw mengutus seorang laki-laki dari suku Juhainah dan seorang laki-laki dari suku bani Salim, untuk menerima zakat. Nabi saw menyuruh membuat surat untuk orang dua tadi, buat mengambil zakat. Dan Rasulullah saw menyuruh keduanya untuk keluar. Lalu mengambil zakat dari kaum Muslimin. Dan Rasulullah saw bersabda: “Pergilah kamu berdua ke tempat Tsa’labah bin Hathib dan ke tempat si anu ! Seorang laki-laki dari bani salim, dan ambillah zakat dari keduanya !”. Maka kedua orang tersebut keluar, lalu mendatangi Tsa’labah dan meminta zakat kepadanya. Dan membacakan kepada Tsa’labah surat Rasulullah saw lalu Tsa’labah menjawab: “Tidaklah  ini, melainkan pajak (jizyah). Tidaklah ini, melainkan pajak. Tidaklah ini, melainkan saudara pajak. Pergilah dahulu, sehingga selesai pekerjaanmu ! Kemudian, kembalilah kepadaku !” lalu kedua utusan tersebut pergi menuju kepada laki-laki dari bani salim. Laki-laki bani salim itu mendengar dengan baik, pembicaraan kedua utusan tersebut. Lalu bangun pergi kepada untanya yang terbaik giginya. Maka diasingkannya untuk zakat. Kemudian, dihadapkannya unta tersebut kepada kedua utusan tadi. Tatkala mereka itu melihatnya, lalu berkata: “tidak wajib atas engkau yang demikian. Kami tidak menghendaki mengambil ini daripada engkau”. Laki-laki bani salim itu menjawab: “Ya, ambillah ! Diriku senang dengan menyerahkan unta tersebut. Sesungguhnya unta ini untuk kamu ambil bagi zakatku”. Setelah kedua utusan tadi mengambil zakat itu, lalu kembali dan melewati tempat Tsa’labah dan meminta zakat kepadanya. Maka Tsa’labah menjawab: “Perlihatkanlah kepadaku surat kamu berdua !” lalu Tsa’labah melihat surat itu, seraya berkata: “Ini adalah saudara pajak. Pergilah, sehingga aku berpendapat menurut pendapatku !” maka keduanyapun pergilah, sehingga keduanya mendatangi nabi saw. Tatkala nabi saw melihat kedua orang tadi, lalu bersabda: “Wahai kasihan Tsal’labah !”, sebelum kedua orang tadi berbicara dengan nabi saw. Dan nabi saw berdoa untuk orang bani salim itu. Kedua utusan tersebut lalu menceritakan kepada nabi saw apa yang diperbuat oleh Tsa’labah dan apa yang diperbuat oleh laki-laki dari bani salim. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat mengenai Tsa’labah, yaitu: “Dan diatara mereka ada yang telah menjanjikan kepada Allah: demi, jika Allah memberikan karuniaNYA  kepada kami, sesungguhnya kami akan bersedekah dan kami akan termasuk orang yang baik-baik. Tetapi setelah Allah memberikan sebagian dari kurniaNYA kepada mereka, lantas mereka menjadi kikir dan berputar dan mereka jadi menentanng. Hal itu mengakibatkan kepalsuan iman di dalam hati mereka, sampai di hari mereka bertemu dengan Allah, karena mereka memungkiri apa yang telah mereka janjikan kepada Allah dan karena mereka telah berdusta”. S 9 At Taubah ayat 75,76,77. Di sisi Rasulullah saw ada seorang laki-laki dari keluarga Tsa’labah. Maka setelah didengarnya apa yang telah diturunkan oleh Allah mengenai Tsa’labah, lalu ia keluar. Maka ia datang pada Tsa’labah, seraya berkata: “Kamu tidak punya ibu, hai Tsa’labah ! Sesungguhnya Allah telah menurunkan mengenai kamu demikian, demikian”. Maka keluarlah Tsa’labah, lalu ia mendatangi nabi saw. Maka ia meminta pada nabi saw supaya menerima sedekahnya/zakatnya. Lalu nabi saw menjawab: “Sesungguhnya Allah melarang aku untuk menerima daripadamu sedekahmu/zakatmu”. Lalu ia meletakkan tanah atas kepalanya dan menangis. Rasulullah saw lalu bersabda: “Inilah pekerjaanmu ! aku suruh engkau, lalu engkau tiada mentaati aku”. Tatkala nabi saw enggan menerima sesuatu dari Tsa’labah, lalu Tsa’labah kembali ke tempatnya. Tatkala Rasulullah saw telah wafat, lalu Tsa’labah datang dengan membawa zakatnya kepada Abu bakar siddik ra. Tetapi Abu bakar ra  enggan menerima zakat itu dari Tsa’labah. Dan Tsa’labah lalu datang dengan membawa zakatnya kepada Umar bin Khattab ra. Maka Umarpun enggan menerima zakat dari Tsa’labah itu. Dan Tsa’labah itu meninggal kemudian, pada masa pemerintahan Usman”. Maka inilah kedurhakaan dan malangnya harta ! Dan sesungguhnya engkau dapat mengetahuinya dari hadits tersebut. Dan karena barangkali miskin dan malangnya kaya, maka Rasulullah saw mengutamakan miskin bagi dirinya dan bagi ahli bainya-keluarganya. Sehingga, dirawikan dari Imran bin Hushain ra bahwa Imran itu berkata: “Aku mempunyai kedudukan dan kemegahan dari Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda: “Hai Imran ! Sesungguhnya engkau mempunyai kedudukan dan kemegahan disisi kami. Adakah engkau ingin berkunjung kepada fatimah binti Rasulullah saw?”. lalu aku menjawab: ”Ada, demi bapakku, engkau dan ibuku, wahai Rasulullah !”. Lalu Rasulullah saw bangun berdiri dan akupun bangun berdiri bersama beliau. Sehingga aku berdiri di pintu tempat tinggal Fatimah. Maka rasulullah saw mengetuk pintu dan bersabda: “Assalaamu’alaikum (keselamatan dan rahmat Allah semoga tetap untuk kamu sekalian). Apakah aku masuk?”. Lalu fatimah ra menyahut: “Masuklah, wahai Rasulullah !”. Rasulullah saw lalu menyambung: “Aku dan orang bersama aku?”. Fatimah ra lalu bertanya: “Siapa bersama engkau wahai Rasulullah?”. Rasulullah saw lalu menjawab: “Imran bin Hushain !”. Lalu fatimah r.a menjawab: “Demi Tuhan yang mengutuskan engkau dengan kebenaran selaku nabi ! Tidak ada padaku, selain baju kurung, lalu nabi saw menjawab: “Perbuatlah dengan baju itu begini, begini !”. Dan nabi saw mengisyaratkan dengan tangannya”. Lalu fatimah ra menjawab: “Ini tubuhku, sudah aku menutupkannya. Maka bagaimana dengan kepalaku?”. Maka rasulullah saw melemparkan kepada Fatimah ra Kain Mula-ah (kain sarungnya), yang biasanya ada pada Rasulullah saw, seraya beliau bersabda: “Ikatkan kain Mula-ah itu atas kepala engkau”. Kemudian baru Fatimah mengizinkan Rasulullah saw masuk. Maka beliaupun masuk, seraya bersabda: “Salam sejahtera kepada engkau, hai puteriku ! Bagaimana engkau berpagi-pagi ?”. Fatimah ra menjawab: “Aku berpagi hari demi Allah dalam keadaan sakit. Dan menambahkan aku sakit diatas apa yang ada padaku. Sesungguhnya aku tiada sanggup memperoleh makanan yang akan aku makan. Maka sesungguhnya aku telah dibebani oleh kelaparan”. Maka menangislah Rasulullah saw seraya bersabda: “Jangan engkau gundah, hai puteriku ! Demi Allah, akupun tiada merasakan makanan sejak tiga hari. Dan sesungguhnya aku lebih mulia pada Allah daripada engkau. Jikalau aku minta pada Tuhanku, niscaya akan dianugerahinya aku makanan. Tetapi aku mengutamakan akhirat dari dunia”. Kemudian, Rasulullah saw menepuk dengan tangannya atas bahu fatimah r.a, seraya bersabda: “gembiralah ! Maka demi Allah, engkau sesungguhnya penghulu wanita penduduk sorga”. Fatimah ra lalu bertanya: “Maka dimanakah Asiah isteri Fir’aun dan Mariyam anak perempuan Imran”. Nabi saw lalu menjawab: “Asiah penghulu wanita alamnya. Mariyam penghulu wanita alamnya. Khadijah penghulu wanita alamnya. Dan engkau penghulu wanita alam engkau. Sesungguhnya engkau semua dalam rumah dari bambu. Tak ada penyakit dan teriakan padanya”. Kemudian, Rasulullah saw bersabda kepada Fatimah r.a: “Cukupkanlah dengan putera paman engkau ! Demi Allah, aku telah kawinkan engkau dengan seorang penghulu di dunia, lagi penghulu di akhirat”. Maka perhatikanlah sekarang kepada keadaan Fatimah ra padahal dia adalah sepotong daging Rasulullah saw !. Bagaimana ia mengutamakan kemiskinan dan meninggalkan harta. Dan siapa yang memperhatikan keadaaan nabi-nabi, wali-wali, ucapan-ucapan mereka dan apa yang tersebut dari berita dan peninggalan (atsar) mereka, niscaya tiada akan ragu, tentang tidak adanya harta itu adalah lebih utama (afdhol) daripadanya. Walaupun harta itu dipergunakan kepada amal kebajikan (al-khairat). Karena sekurang-kurangnya pada harta itu, pada menunaikan hak-hak, menjaga dari yang syubhat (diragukan)/yang diragukan halalnya dan menyerahkan kepada amal kebajikan, menggunakan perhatian untuk kepentingan harta tersebut dan memalingkan dia daripada mengingati Allah (dzikrullah). Karena tiada dzikir (mengingati Allah). selain sedang waktu kosong. Dan tiada waktu kosong, bersama kesibukan harta. Sesungguhnya diriwayatkan dari Jarir. Dan Jarir meriwayatkan dari Laits, yang mengatakan: “Seorang laki-laki menemani nabi Isa putera Mariyam as. Maka orang tersebut mengatakan: “Adalah aku bersama engkau dan akan menemani engkau”. Keduanya lalu berjalan. Maka keduanyapun sampai di tepi sebuah sungai. Lalu keduanya duduk untuk makan siang. Dan padanya ada tiga potong roti. Lalu dimakannya dua potong dan ditinggal sepotong lagi. Isa as bangun pergi ke sungai, lalu minum. Kemudian ia kembali. Maka tiada didapatinya lagi, roti yang sepotong itu. Lalu ia bertanya kepada laki-laki tersebut: “Siapakah yang mengambil roti itu?”. Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak tahu”. Kemudian, keduanya sampai ke suatu lembah berair, lalu Isa as memegang tangan laki-laki itu. Lalu keduanya berjalan di atas air. Tatkala sudah melewati lembah berair itu, lalu Isa as bertanya kepada laki-laki tersebut: “Aku bertanya kepada engkau, dengan yang aku perlihatkan kepada engkau tanda-tanda ini. Siapakah yang mengambil roti itu?”. Lalu laki-laki tersebut menjawab: “Aku tidak tahu”. Lalu keduanya sampai ke suatu padang pasir. Maka keduanyapun duduk. Lalu Isa as mengambil dan mengumpulkan tanah dan debu tebal. Kemudian, berkata: “Jadilah engkau emas dengan izin Allah Ta’ala”. Maka jadilah emas. Lalu Isa as membaginya tiga pertiga. Kemudian, ia berkata: “sepertiga bagiku, sepertiga bagimu dan sepertiga lagi bagi orang yang mengambil roti itu”. Lalu laki-laki itu menjawab: “Aku yang mengambil roti itu”. Maka Isa as berkata: “Semuanya untuk engkau”. Dan Isa as memisahkan diri dari laki-laki tersebut. Lalu sampailah kepada laki-laki itu, dua orang laki-laki lain pada padang pasir. Dan bersama orang itu harta tadi. Maka kedua laki-laki itu bermaksud mengambil harta tadi dan membunuh orang yang empunya harta itu. lalu berkata seorang dari mereka: “Sekarang kita ini bertiga. Maka utuslah salah seorang ke desa, sehingga akan membeli makanan untuk kita, yang akan kita makan”. Yang empunya riwayat meneruskan riwayatnya: “Lalu mereka mengutuskan salah seorang dari mereka”. Lalu yang diutus itu berkata kepada dirinya: “Untuk apa, aku bagi-bagikan harta itu kepada mereka? Akan tetapi aku letakkan saja racun dalam makanan ini. Lalu aku dapat membunuh keduanya dan harta itu aku ambil bagi diriku sendiri”. Kata yang empunya riwayat: “Lalu yang membeli itu melakukan maksudnya”. Dan dua laki-laki lagi mengatakan: “Untuk apa kita bagikan sepertiga harta untuk orang itu? Akan tetapi, apabila ia kembali nanti, terus saja kita bunuh. Dan harta ini kita bagikan diantara kita berdua”. Tatkala yang seorang itu kembali, lalu dibunuhnya. Dan mereka berdua terus memakan nakanan itu. Lalu keduanyapun matilah. Maka tinggalah harta tersebut di padang pasir itu. Dan mereka bertiga sudah mati. Maka lalulah Isa as kepada mereka dalam keadaan yang demikian, lalu Isa as mengatakan kepada para sahabatnya: “Inilah, maka awaslah kamu dari ini !”. Diceriterakan, bahwa Zulkarnaen datang kepada suatu umat (golongan) yang tidak ada di tangan mereka satupun, yang dapat manusia bersenang-senang dari dunianya. Umat itu sudah menggali kuburan. Maka apabila sudah pagi hari, lalu mereka sudah mempersiapkan kuburan itu, menyapunya dan mengerjakan shalat di sisinya. Dan apabila mereka lapar, lalu memakan sayur-sayuran, sebagaimana binatang ternak memakan rumput Allah. Allah Ta’ala telah menyiapkan bagi mereka pada yang demikian itu, penghidupan dari tumbuh-tumbuhan bumi. Zulkarnaen lalu mengutus kepada raja mereka. Maka utusan itu berkata kepada raja tersebut: “Perkenankanlah panggilan Zulkarnaen !”. Raja umat itu lalu menjawab: “Aku tidak mempunyai keperluan kepadanya. Jikalau ia ada mempunyai keperluan, maka hendaklah ia datang kepadaku !” mendengar yang demikian, lalu Zulkarnaen menjawab: “Benar dia”. Lalu Zulkarnaen datang kepada raja tersebut. Zulkarnaen berkata kepada raja itu: “Aku mengutus orang kepada engkau, supaya engkau datang kepadaku. Tetapi engkau enggan. Maka inilah aku telah datang !”. Raja itu lalu menjawab: “Jikalau aku ada mempunyai keperluan kepadamu, niscaya aku akan datang kepadamu”. Maka Zulkarnaen lalu menjawab: “Apakah kiranya aku melihat kamu dalam suatu keadaan, yang belum pernah aku melihat seorangpun dari umat-umat dalam keadaan yang demikian?”. Raja itu bertanya: “Apakah yang demikian itu?”. Zulkarnaen menjawab: “Tiada bagi kamu dunia dan tiada suatupun yang lain. Mengapa kamu tidak mengambil emas dan perak, lalu kamu bersenang-senang dengan emas dan perak itu?”. Lalu mereka menjawab: “Sesungguhnya kami benci kepada emas dan perak. Karena seseorang tiada akan memberikan sesuatu dari emas dan perak, melainkan dirinya rindu dan mengajaknya kepada yang lebih utama daripadanya. Maka Zulkarnaen bertanya lagi: “apakah kiranya keadaaan kamu, yang telah mengorek (membuat) kuburan? Lalu apabila kamu berpagi hari, kamu persiapkan kuburan itu. Lalu kamu sapu dan kamu mengerjakan shalat disisinya”. Mereka itu menjawab: “Kami bermaksud, bahwa apabila kami memandang kepada kuburan itu dan kami berangan-angan kepada dunia, niscaya kuburan kami itu mencegah kami dari angan-angan tersebut”. Zulkarnaen mengatakan lagi: “Aku melihat kamu, tiada mempunyai makanan, selain sayur-sayuran bumi. Apakah kamu tidak mengambil binatang ternak dari hewan-hewan itu, lalu kamu mengambil susunya dan kamu pakai untuk kendaraan. Maka dapatlah kiranya kamu bersenang-senang dengan binatang ternak itu”. Mereka itu menjawab: “Kami tidak suka menjadikan perut kami, kuburan binatang ternak itu. Dan kami memandang pada tumbuh-tumbuhan bumi dapat menyampaikan hajat keperluan. Sesungguhnya memadailah bagi anak adam (manusia) serendah-rendahnya penghidupan dari makanan. Dan makanan manapun yang melewati langit-langit (dalam mulut), niscaya kita tiada akan memperoleh rasa apa-apa. Bagaiamana adanya makanan itu”. Kemudian raja negri itu (raja tersebut tadi), menghamparkan tangannya dibelakang Zulkarnaen. Lalu mengambil sebuah tengkorak manusia. Lalu raja tadi bertanya: “Hai Zulkarnaen ! Tahukah engkau, siapa ini?”. Zulkarnaen menjawab: “Tidak ! Siapakah dia itu?”. Raja itu menjawab: “seorang dari raja di bumi. Ia telah dberikan oleh Allah kekuasaan atas penduduk bumi. Lalu ia berbuat sewenang-wenang, saling dan melampaui batas. Tatkala Allah Ta’ala melihat yang demikian daripada raja itu, lalu diputuskannya dengan kematian. Maka jadilah raja tersebut seperti batu yang terlempar. Dan Allah Ta’ala telah menghitungkan amal perbuatannya. Sehingga akan dibalasnya nanti di akhirat”. Kemudian, raja itu mengambil tengkorak yang lain, yang busuk, seraya bertanya: “Hai Zulkarnaen ! Tahukah engkau, siapa ini?”. Zulkarnaen menjawab: “Aku tidak tahu. Siapakah dia?”. Raja itu menjawab: ”Inilah raja yang dirajakan oleh Allah, sesudah raja yang tersebut diatas. Raja ini sudah melihat apa yang diperbuat oleh raja sebelumnya, dengan manusia, dari kesewenang-wenangan, kezaliman dan pemaksaan. Lalu ia tawadhu’ (merendahkan diri) dan khusyu’ kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ia menyuruh dengan keadilan pada warga kerajaannya. Maka jadilah dia sebagaimana yang engkau lihat. Allah telah menghitung amal perbuatannya, sehingga akan dibalasinya di akhirat”. Kemudian, raja itu memegang tengkorak Zulkarnaen, seraya berkata: “Tengkorak ini adalah seperti dua tengkorak tersebut. Maka perhatikanlah, hai Zulkarnaen, apa yang engkau perbuat !” Zulkarnaen lalu menjawab: “Adakah engkau mempunyai persahabatan dengan aku?. Maka aku akan mengambil engkau menjadi saudara, menjadi menteri dan sekutu pada apa yang diberikan Allah kepadaku dan harta ini”. Raja itu menjawab: “Alangkah baiknya aku dan engkau pada suatu tempat. Dan tiada akan ada kita pada semua hal”. Zulkarnaen lalu bertanya: “Mengapa?”. Raja itu menjawab: “Dari karena manusia semuanya adalah musuh bagi engkau dan teman bagi aku”  Zulkarnain bertanya: “Mengapa?” Raja itu menjawab: “Mereka memusuhi engkau karena apa yang dalam tangan engkau, dari kerajaan, harta dan dunia. Dan tiada aku dapati seorangpun yang memusuhi aku, karena aku menolak yang demikkian. Dan karena apa yang padaku, dari keperluan dan sedikitnya sesuatu”. Kata yang empunya riwayat: “Maka pergilah Zulkarnaen dari raja tersebut, dengan penuh keheranan dan mengambil pelajaran dari peristiwa tadi”. Maka inilah cerita-cerita yang menunjukkan kepada anda, tentang bahaya-bahaya kaya, serta apa yang telah kami kemukakan sebelumnya. Wabillahit taufiq ! Tamatlah sudah ”Kitab Tercelanya Harta dan Kikir” dengan pujian kepada Allah Ta’ala dan pertolonganNYA. Dan akan diiringi oleh “Kitab Tercelanya Kemegahan dan Ria’”.