KITAB TERCELANYA
TERPERDAYA
Yaitu: Kitab ke-10 dari Rubu’ Yang Membinasakan dari KITAB IHYA’
‘ULUMIDDIN.
Segala pujian bagi Allah, yang di
tanganNya gudang segala urusan. Dengan qudrah ( kuasa )Nya kunci segala
kebajikan dan kejahatan. Yang mengeluarkan para waliNya dari kegelapan kepada
cahaya terang-benderang. Dan yang mendatangkan musuh-musuhNya ke lembah
terperdaya. Salawat kepada Muhammad yang mengeluarkan khalayak ramai (manusia
banyak) dari kegelapan keraguan. Dan kepada keluarga dan para sahabatnya, yang
mereka tidak terperdaya oleh kehidupan duniawi. Dan tidak terperdaya terhadap
Allah oleh yang memperdayakan. Salawat yang beriring-iringan sepanjang masa dan
berlalunya jam dan bulan. Adapun kemudian, maka kunci bahagia itu kejagaan diri
dan kecerdikan. Dan sumber celaka itu terperdaya dan lalai. Maka tiada nikmat
bagi Allah kepada hambaNya yang lebih besar dari iman dan ma’rifah. Dan tiada
jalan kepadanya, selain dengan terbuka dada dengan nur mata hati (nur
bashirah). Dan tiada bencana yang lebih besar dari kufur dan maksiat. Dan tiada
yang mengajak kepada kufur dan maksiat tadi, selain buta hati dengan kegelapan
bodoh. Maka orang-orang pintar dan orang-orang yang bermata hati, adalah hati
mereka itu seperti: “Sebuah lobang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita.
Pelita itu di dalam kaca. Kaca itu bagai bintang (yang berkilauan) seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari kayu yang banyak berkahnya, yaitu:
pohon zaitun, yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak di sebelah barat.
Hampir minyaknya memancarkan cahaya (sendirinya), walaupun tidak disinggung
api. Cahaya berlapis cahaya”. Orang-orang yang terperdaya, hati mereka itu
adalah “Sebagai kegelapan di laut yang dalam, dipukul gelombang demi gelombang,
di atasnya awan (gelap) dan kegelapan itu tindih bertindih. Apabila
dikeluarkannya tangannya, hampir tidak kelihatan. Siapa yang tidak diberi
cahaya oleh Allah, tidaklah akan mendapat cahaya (terang)”. Maka orang-orang
yang pintar, ialah mereka yang dikehendaki oleh Allah memberi mereka petunjuk.
Maka Allah melapangkan dada mereka bagi agama Islam dan petunjuk. Dan
orang-orang yang terperdaya, ialah mereka yang dikehendaki oleh Allah
menyesatkan mereka. Lalu dijadikanNya dada mereka sempit lagi sesak,
seakan-akan naik dalam langit. Dan orang yang terperdaya, ialah orang yang
tidak terbuka mata hatinya, supaya ia dengan petunjuk dirinya itu terjamin. Dan
ia tetap dalam kebutaan. Lalu mengambil hawa nafsu menjadi panglima dan setan
menjadi penunjuk. Siapa yang buta di dunia ini, maka dia di akhirat itu buta
dan lebih lagi sesat jalannya. Apabila diketahui, bahwa terperdaya itu induk
ketidak beruntungan dan sumber kebinasaan, maka tidak boleh tidak daripada
penguraian jalan masuk dan lalunya serta penguraian apa yang banyak terjadi
keterperdayaan padanya. Supaya murid (orang yang menuntut ilmu) itu dapat
menjaga diri sesudah mengetahuinya. Lalu memelihara dirinya. Yang memperoleh
taufiq dari hamba-hamba Allah, ialah orang yang mengenal tempat masuk bahaya
dan kerusakan. Lalu ia mengambil daripadanya penjagaan diri. Dan ia membina
urusannya dengan memikirkan akibat dan dengan mata hati. Dan kami akan
menguraikan jenis-jenis tempat lalunya terperdaya dan jenis orang-orang yang
terperdaya dari hakim-hakim (qadli-qadli), ulama-ulama dan orang-orang shalih,
yang terperdaya dengan pokok-pokok urusan, yang bagus zahiriyahnya, yang keji
batiniyahnya. Dan akan kami tunjukkan kepada cara keterperdayaan mereka dengan
hal-hal itu dan kelalaian mereka daripadanya. Bahwa yang demikian itu, walaupun
lebih banyak daripada dapat dihinggakan, akan tetapi mungkin berjaga-jaga di
atas contoh-contoh yang tidak perlu dihinggakan. Dan golongan orang-orang yang
terperdaya itu banyak. Akan tetapi mereka dikumpulkan oleh 4 jenis:
Jenis pertama: dari ulama-ulama.
Jenis kedua: dari orang-orang abid (yang rajin beribadah
kepada Allah).
Jenis ketiga: dari orang-orang sufi.
Jenis keempat: dari orang-orang yang mempunyai harta.
Yang terperdaya dari masing-masing jenis tadi banyak
golongannya. Dan segi ke-terperdayaan mereka itu bermacam-macam. Sebahagian
mereka, ialah: orang yang melihat perbuatan munkar itu baik, seperti orang yang
membuat masjid dan menghiasinya dari harta haram. Sebahagian mereka, ialah:
orang yang tidak membedakan antara apa yang diperbuatnya bagi dirinya sendiri
dan apa yang diperbuatnya karena Allah Ta’ala. Seperti: orang yang memberi
pengajaran, yang maksudnnya supaya dia diterima dan memperoleh kemegahan.
Sebahagian mereka, ialah: orang yang meninggalkan yang lebih penting dan
mengerjakan yang tidak penting. Sebahagian mereka, ialah: orang yang
meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang sunat. Dan sebahagian mereka,
ialah: orang yang meninggalkan isi dan mengerjakan kulit. Seperti: orang yang
cita-citanya dalam shalat itu terbatas kepada membetulkann makhraj (bunyi)
huruf. Dan yang lain-lain dari yang tersebut tadi, dari tempat-tempat masuk
yang tidak terang, selain dengan penguraian golongan-golongan dan penyajian
contoh-contoh. Marilah pertama-tama kali mulai dengan menyebutkan terperdayanya
ulama-ulama. Akan tetapi sesudah penjelasan tercelanya terperdaya dan
penjelasan hakikat/makna dan batasnya.
PENJELASAN: tercelanya terperdaya, hakikat/makna dan
contoh-contohnya.
Ketahuilah, bahwa fiman Allah Ta’ala: “Maka janganlah kamu
terperdaya oleh kehidupan duniawi dan janganlah kamu terperdaya terhadap Allah
oleh pendaya”. S 31 Lukman ayat 33. Dan firman Allah Ta’ala: “Akan tetapi kamu
mencelakakan dirimu sendiri dan menanti-nanti (kehancuran kami) dan ragu-ragu
(terhadap janji Tuhan) dan kamu terperdaya oleh angan-angan kosong, sehingga
datang perintah Allah dan kamu telah terperdaya terhadap Allah oleh padanya”. S
57 Al Hadiid ayat 14. Itu mencukupi pada menjelaskan tercelanya terperdaya.
Rasulullah saw bersabda: “Baiklah kiranya tidur orang-orang pintar dan berbuka
(tidak puasa) mereka. Bagaimana mereka lupa kepada tidak tidurnya orang-orang
dungu dan kesungguhan mereka. Sesungguhnya seberat biji sawi dari orang yang
mempunyai taqwa dan yakin itu lebih utama dari penuhnya bumi dengan orang-orang
yang terperdaya”. Nabi saw bersabda: “Orang pintar itu, ialah yang mengagamakan
dirinya dan berbuat untuk sesudah mati. Dan orang dungu itu, ialah orang yang
mengikutkan dirinya dengan hawa nafsunya dan berangan-angan atas Allah”. Semua
yang tersebut pada hadits tentang kelebihan ilmu dan tercelanya kebodohan itu
menunjukkan kepada tercelanya terperdaya. Karena terperdaya itu ibarat dari
sebahagian macam-macam kebodohan. Karena kebodohan itu, ialah meyakini sesuatu
dan memandanganya di balik yang sebenarnya. Dan terperdaya itu kebodohan. Hanya
tidaklah setiap kebodohan itu terperdaya namanya. Akan tetapi, pendaya itu
membawa yang terperdaya padanya, yang tertentu. Dan yang terperdaya dengan dia
itu, ialah yang diperdayakannya. Manakala adalah yang tidak diketahui lagi diyakini
itu, sesuatu yang bersesuaian dengan hawa nafsu dan sebab yang mengharuskan
bagi kebodohan itu kesangsian dan khayalan yang tidak benar, yang disangka
bahwa itu dalil dan yang sebenarnya itu bukan dalil, niscaya kebodohan yang
terjadi dengan yang demikian itu, dinamakan terperdaya. Maka terperdaya itu,
ialah: ketetapan diri kepada yang bersesuaian dengan hawa nafsu. Dan cenderung
tabiat kepadanya dari kesangsian dan tipuan setan. Orang yang meyakini bahwa
dia di atas kebajikan, maka adakalanya pada masa dekat (di dunia) atau pada
masa nanti (di akhirat), dari kesangsian yang tidak benar, maka orang itu
terperdaya. Dan kebanyakan manusia menyangka dirinya itu baik. Padahal mereka
bersalah padanya. Jadi, kebanyakan manusia itu terperdaya, walaupun jenis ke-terperdayaan
mereka berbeda dan tingkat mereka berlainan. Sehingga adalah terperdayanya
sebahagian mereka itu lebih terang dan lebih keras dari yang sebahagian. Dan
yang lebih terang dan yang lebih keras, ialah terperdayanya orang-orang kafir,
terperdayanya orang-orang maksiat dan orang-orang fasiq. Maka akan kami
kemukakan bagi keduanya itu contoh-contoh hakikat/maknanya terperdaya:
Contoh pertama: terperdayanya orang-orang kafir. Maka
diantara mereka, ialah yang terperdaya oleh kehidupan duniawi. Dan diantara
mereka, ialah orang diperdayakan terhadap Allah oleh pendaya. Mereka yang
terperdaya oleh kehidupan duniawi, ialah mereka yang mengatakan; yang tunai itu
lebih baik dari yang ditangguhkan. Dunia itu tunai (sekarang) dan akhirat itu
yang ditangguhkan (nanti). Jadi, dunia itu lebih baik. Maka tidak boleh tidak
mengutamakannya. Dan mereka mengatakan: yakin itu lebih baik dari ragu.
Kelezatan dunia itu yakin dan kelezatan akhirat ittu ragu. Maka tidaklah kita
meninggalkan yakin dengan mengambil ragu. Inilah kiasan-kiasan yang merusak,
yang menyerupai kiasan Iblis, dimana ia mengatakan: “Aku lebih baik daripadanya
(daripada Adam). Engkau jadikan aku dari api dan Engkau jadikan Adam dari
tanah”. Kepada mereka itulah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Itulah
orang-orang yang mengambil kehidupan dunia untuk ganti akhirat. Sebab itu tiada
diringankan siksaan mereka dan mereka tidak ditolong”. S 2 Al Baqarah ayat 86.
Pengobatan keterperdayaan ini, adakalanya dengan pembenaran iman dan adakalanya
dengan dalil. Adapun pembenaran dengan semata-mata iman, yaitu: bahwa ia
membenarkan Allah Ta’ala pada firmanNya: “Apa yang di sisi kamu itu akan
hilang, akan tetapi apa yang di sisi Allah itulah yang kekal”. S 16 An Nahl
ayat 96. Dan pada firmanNya ‘Azza wa Jalla: “Dan apa yang di sisi Allah itu
lebih baik”. S 28 Al Qashash ayat 60. Dan firmanNya: “Dan hari kemudian itu
lebih baik dan lebih kekal”. S 87 Al A’la ayat 17. Dan firmanNya: “Dan
kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan tipuan belaka”. S 3 Ali Imran ayat 185.
Dan firmanNya: “Maka janganlah kamu terperdaya oleh kehidupan dunia”. S 31
Lukman ayat 33. Rasulullah saw telah menceritakan kepada beberapa golongan dari
orang-orang kafir dengan yang demikian itu. Lalu mereka mengikuti Rasulullah
saw, membenarkan dan beriman kepadanya. Dan mereka tidak meminta dalil
(keterangan) padanya. Di antara mereka ada yang mengatakan: “aku bersumpah
dengan engkau pada Allah. Apakah Allah mengutus engkau sebagai rasul?”. Nabi
saw lalu menjawab: “Ya!”. Maka orang itu lalu membenarkan. Inilah iman orang
awam (orang kebanyakan). Dan ia keluar dari keterperdayaan. Dan ini ditempatkan
pada kedudukan pembenaran anak kecil akan bapaknya, mengenai pergi ke sekolah
itu lebih baik daripada pergi ke tempat permainan. Sedang anak kecil itu tidak
tahu, segi kebaikannya itu. Adapun mengetahui dengan penjelasan dan dalil
(keterangan) maka, yaitu: bahwa ia tahu segi tidak betulnya kias (perbandingan)
ini yang diatur dalam hatinya oleh setan. Maka tiap-tiap orang yang terperdaya
itu, mempunyai sebab atas keterperdayaannya. Dan sebab itu ialah dalil. Dan
tiap-tiap dalil, adalah semacam kias yang ada pada diri dan mengwariskan
ketetapan hati kepadanya, walaupun yang empunyanya itu tidak merasakannya. Dan
tidak mampu menyusunkannya dengan kata-kata ulama. Kias yang disusun oleh setan
itu, ada 2 pokok padanya: salah satu dari 2 pokok itu, ialah: bahwa dunia itu
tunai (sekarang) dan akihrat itu ditangguhkan (nanti). Dan ini benar. Pokok
yang satu lagi, ialah: katanya: bahwa yang sekarang itu lebih baik dari yang
nanti. Dan ini tempat yang mengacaukan. Maka tidaklah persoalan itu seperti
yang demikian. Akan tetapi, kalau ada yang sekarang itu seperti yang nanti
tentang kadar dan maksud, maka itu lebih baik. Dan kalau berkurang daripadanya,
maka yang nanti itu yang lebih baik. Orang kafir yang terperdaya, memberikan
pada perniagaannya sedirham, untuk diambilnya nanti 10 dirham. Dan ia tidak
mengatakan: sekarang itu lebih baik dari nanti, maka aku tidak meninggalkan
yang sekarang. Apabila tabib (dokter) memperingatinya akan buah-buahan dan
makanan-makanan enak, niscaya akan ditinggalkannya yang demikian itu sekarang
juga. Karena takut dari kepedihan sakit pada masa mendatang. Maka ia
meninggalkan yang sekarang dan rela (senang) dengan yang nanti. Kaum saudagar itu
umumnya melayari lautan dan berpayah-payah dalam perjalanan sekarang. Karena
untuk kesenangan dan keuntungan nanti. Kalau ada 10 pada keadaan nanti itu
lebih baik daripada satu pada keadaan sekarang, maka lebih sesuailah kesenangan
duniawi dari segi masanya kepada masa akhirat. Sesungguhnya sejauh-jauh umur
manusia itu 100 tahun. Dan tidaklah itu 1/10 dari bahagian 10 dari bahagian
sejuta bahagian dari akhirat. Maka seakan-akan ia meninggalkan satu, untuk
diambilnya sejuta. Bahkan untuk diambilnya apa yang tiada berkesudahan dan
tiada berbatas. Kalau dipandangnya dari segi macam, niscaya ia melihat
kelezatan duniawi itu keruh, lagi bercampur dengan bermacam-macam kotoran. Dan
kelezatan akhirat itu bersih, tiada keruh. Jadi, ia salah pada katanya: sekarang
itu lebih baik dari nanti. Maka ini adalah terperdaya, yang terjadinya oleh
penerimaan perkataan umum yang terkenal, yang disebut secara mutlak dan
dimaksud khusus. Lalu orang yang terperdaya itu lupa dari kekhususan artinya.
Sesungguhnya orang yang mengatakan: sekarang itu lebih baik dari nanti, yang
dimaksudkannya, ialah lebih baik dari nanti, yang seperti itu, walaupun tidak
ditegaskannya. Dan pada ini, menyusahkan setan kepada perbandingan yang akhir
itu. Yaitu: bahwa yakin itu lebih baik dari ragu. Dan akhirat (keadaannya) itu
ragu. Qias ini lebih banyak kerusakannya dari yang pertama. Karena tiap-tiap
kedua pokoknya itu batil/salah. Karena yakin itu lebih baik dari ragu, apabila
ada yakin itu seperti ragu. Kalau tidak demikian, maka saudagar pada kepayahannya
itu di atas keyakinan dan pada keuntungannya di atas keraguan. Dan orang yang
belajar ilmu fikih pada kesungguhannya itu di atas keyakinan dan pada
diperolehnya tingkat ilmu itu di atas keraguan. Pemburu pada bulak-baliknya
pada yang diburunya itu di atas keyakinan dan pada memperoleh yang diburunya
itu di atas keraguan. Demikianlah hati-hati dengan memikirkan akibat itu,
sepakat dikatakan, menjadi sifat (sikap) orang yang berakal. Semua itu
meninggalkan yakin dengan sebab ragu. Akan tetapi, saudagar itu mengatakan:
“Jikalau aku tidak berniaga, niscaya aku tetap lapar dan besarlah
kemelaratanku. Dan kalau aku berniaga, niscaya adalah kepayahanku sedikit dan
keuntunganku banyak”. Begitu pula orang yang sakit, yang meminum obat pahit,
yang tidak disukai. Dan dia itu ragu dari sembuhnya dan yakin tentang pahitnya
obat itu. Akan tetapi, ia mengatakan: melarat pahitnya obat itu sedikit,
dibandingkan kepada apa, yang aku takutkan dari sakit dan mati. Maka seperti
demikian juga, orang yang ragu tentang hari kiamat. Maka haruslah kepadanya,
menurut hukum berhati-hati, bahwa ia berkata: hari-hari sabar itu sedikit.
Yaitu: kesudahan umur, dibandingkan kepada apa, yang dikatakan dari hal
akhirat. Maka kalau ada apa yang dikatakan padanya itu bohong, maka tiada yang
luput padaku, selain kenikmatan pada hari-hari hidupku. Dan adalah aku pada
“tidak ada” dari masa azali ( tida kesudahan / permulaan ) sampai sekarang,
tiada aku bersenang-senang dengan kenikmatan. Maka aku menghitung, bahwa aku
tinggal pada “tidak ada”. Dan kalau apa yang dikatakan itu benar, maka aku
kekal dalam neraka untuk selama-lamanya. Dan ini tidaklah disanggupi. Dan
karena inilah, Ali ra mengatakan kepada sebahagian orang-orang mulhid (yang
tidak bertuhan): “Jikalau apa yang engkau katakan itu benar, maka engkau itu
terlepas dan kamipun terlepas. Dan jikalau apa yang kami katakan itu benar,
maka kami terlepas dan engkau binasa”. Tidaklah Ali ra mengatakan ini, dari
keraguannya tentang akhirat, akan tetapi, ia berbicara dengan orang mulhid itu
menurut kadar akalnya. Dan ia menerangkan kepadanya, bahwa jikalau ia tidak
yakin, maka dia terperdaya. Adapun pokok yang kedua dari perkataannya, ialah
bahwa akhirat itu diragukan. Maka itu juga salah. Bahkan itu adalah keyakinan
pada orang mu’min. Dan bagi keyakinannya itu 2 alat untuk mengetahuinya:
Yang pertama: iman dan pembenaran (tash-diq), karena
mengikuti nabi-nabi dan ulama-ulama. Dan yang demikian juga menghilangkan
ke-terperdayaannya. Dan itu alat memperoleh keyakinan bagi orang awam dan
kebanyakan orang-orang tertentu. Contohnya adalah seperti orang sakit yang
tidak tahu obat penyakitnya. Dan telah sepakat tabib-tabib dan orang-orang yang
mempunyai perusahaan obat, sampai kepada yang terakhir dari mereka, bahwa
obatnya itu, ialah: tumbuh-tumbuhan anu. Maka tenanglah hati orang sakit itu
kepada pembenaran mereka. Dan ia tidak menuntut mereka dengan pengesahan yang
demikian itu dengan dalil-dalil ketabiban. Akan tetapi, ia percaya dengan
perkataan tabib-tabib dan yang empunya perusahaan obat itu dan ia berbuat
dengan yang demikian. Dan jikalau tinggallah orang yang lalai atau orang yang
lemah pikiran, yang mendustakan mereka pada yang demikian dan si sakit itu tahu
dengan berita orang ramai dan dalil-dalil keadaan, bahwa tabib-tabib dan orang
yang empunya perusahaan obat itu, lebih banyak bilangannya dari orang yang
lemah pikiran itu, lebih banyak kelebihannya dan lebih tahu dengan ketabiban,
bahkan orang yang lemah akal itu tak ada ilmunya dengan ketabiban, sehingga ia
tahu akan kedustaan tabib-tabib itu dengan perkataan mereka dan ia tidak yakin
akan kedustaan orang lemah pikiran itu dengan perkataannya dan ia tidak
terperdaya pada ilmunya dengan sebab yang demikian. Dan jikalau ia berpegang
pada perkataan orang yang lemah pikiran itu dan ia tinggalkan perkataan
tabib-tabib, niscaya adalah dia orang yang lemah pikiran, yang terperdaya. Maka
seperti demikianlah orang yang memperhatikan orang-orang yang mengakui akhirat,
yang memberitakan akhirat dan yang mengatakan, bahwa taqwa itu obat yang
bermanfaat untuk sampai kepada kebahagiaan akhirat dan mendapati mereka sebagai
makhluk Allah yang terbaik dan tertinggi pangkat pada mata hati, ma’rifah dan
akal. Dan mereka itu, ialah: para nabi, wali, hukama’ (ahli ilmu hikmah) dan
ulama. Dan makhluk akan mengikuti mereka atas yang demikian di atas segala
macamnya. Dan amat sedikitlah dari mereka perorangan seseorang dari orang-orang
yang berbuat batil/salah, yang dikerasi oleh nafsu syahwat atas mereka dan
cenderung dirinya kepada bersenang-senang. Maka besarlah urusannya (beratlah)
atas mereka untuk meninggalkan nafsu syahwat. Dan beratlah kepada mereka
mengakui, bahwa mereka termasuk isi neraka. Lalu mereka mengingkari akhirat dan
mendustakan nabi-nabi. Maka bagaimana perkataan anak kecil dan orang yang lalai,
tiada menghilangkan ketentraman hati kepada apa yang telah disepakati
tabib-tabib (dokter-dokter), maka begitu juga perkataan orang dungu ini yang
telah diperbudak oleh nafsu syahwat, tiada akan meragukan pada benarnya
perkataan nabi-nabi, wali-wali dan para ulama. Dan sekedar ini dari keimanan,
mencukupilah bagi sejumlah makhluk. Yaitu: keyakinan yang meyakinkan, yang
sudah pasti menggerakkan kepada amal. Dan terperdaya akan hilang dengan yang
demikian itu.
Alat yang mengetahui yang kedua untuk mengetahui akhirat,
ialah: wahyu bagi nabi-nabi dan ilham bagi wali-wali. Dan anda jangan
menyangka, bahwa pengetahuan Nabi saw tentang urusan akhirat dan urusan agama
itu mengikuti (taqlid (turut/menurut)) kepada Jibril as dengan mendengar
daripadanya, sebagaimana pengetahuan anda itu mengikuti (taqlid
(turut/menurut)) kepada Nabi saw. Sehingga adalah pengetahuan anda seperti
pengetahuannya. Dan hanya alat mengetahui yang kedua untuk mengetahui akhirat,
ialah: wahyu bagi nabi-nabi dan ilham bagi wali-wali. Dan anda jangan
menyangka, bahwa pengetahuan Nabi saw tentang urusan akhirat dan urusan agama
itu mengikuti (taqlid (turut/menurut)) kepada Jibril as dengan mendengar
daripadanya, sebagaimana pengetahuan anda itu mengikuti (taqlid
(turut/menurut)) kepada Nabi saw. Sehingga adalah pengetahuan anda seperti
pengetahuannya. Dan hanya berbeda yang diikuti saja. Amat jauh dari itu. Karena
taqlid (turut/menurut) itu tidaklah dinamakan ma’rifah. Akan tetapi adalah
keyakinan (kepercayaan) yang benar. Dan para nabi itu mempunyai ma’rifah. Dan
arti ma’rifah mereka, ialah: terbuka bagi mereka hakikat/makna segala sesuatu,
sebagaimana adanya. Lalu mereka menyaksikannya dengan bashirah bathinah
(penglihatan mata hati bathiniyah), sebagaimana anda menyaksikan segala yang
terasa dengan pancaindra (al-mahsusat) dengan penglihatan zahiriyah. Lalu para
nabi itu menceritakan dari penglihatan penyaksian (musyahadah). Tidak dari
pendengaran dan taqlid (turut/menurut). Dan yang demikian itu, dengan terbuka
bagi mereka hakikat/makna roh. Dan itu adalah perintah Allah Ta’ala. Tidaklah
dimaksudkan dengan suruhan (amar) Allah itu, perintah yang menjadi lawan dari
larangan. Karena perintah itu perkataan. Dan roh itu bukan perkataan. Dan tidak
dimaksud dengan amar itu keadaan (asy-sya’n), sehingga adalah yang dimaksud,
bahwa amar itu sebahagian dari makhluk Allah saja. Karena yang demikian itu
umum pada semua makhluk. Akan tetapi alam itu dua: ‘alamul-amri (alam amar) dan
‘alamul-khalqi (alam makhluk). Wa lillahil-khalqu wal-amru (Bagi Allah itu menciptakan
dan menyuruh). Segala tubuh (tubuh) yang mempunyai bilangan dan takaran itu,
adalah termasuk alam makhluk (yang dijadikan oleh Allah). Karena makhluk itu
adalah ibarat dari taqdir pada letakan lisan. Dan setiap yang maujud yang
bersih dari bilangan dan takaran, maka itu termasuk ‘alamul-amri. Dan uraian
yang demikian itu adalah rahasia roh (sirr/rahasiau-rrohi). Dan tidak
diperbolehkannya menyebutkannya. Karena bagi kebanyakan orang memperoleh
melarat dengan mendengarnya, seperti rahasia qadar (taqdir) yang dilarang
menyiarkannya. Maka siapa yang mengenal rahasia roh, maka ia telah mengenal
dirinya. Dan apabila ia telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal
Tuhannya. Dan apabila ia telah mengenal dirinya dan Tuhannya, niscaya ia
mengenal bahwa itu urusan ketuhanan (amru rabbaniyyun) dengan tabiat dan
fitrahnya. Dan itu pada alam jasmani adalah asing (gharib). Dan terjun
kepadanya tidaklah menurut kehendak tabiat pada dirinya. Akan tetapi dengan
keadaan yang mendatang, yang asing dari dirinya. Dan yang mendatang yang asing
itu, telah datang kepada Adam as. Dan diibaratkan daripadanya itu dengan:
maksiat. Yaitu: yang menurunkannya dari sorga yang lebih layak baginya, menurut
kehendak dirinya. Sorga itu sesungguhnya berdekatan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi.
Dan itu adalah urusan ketuhanan. Dan keinginan berdekatan dengan Tuhan Yang
Maha Tinggi itu baginya adalah tabiaat ke-diri-an. Hanya ia alihkan dari
kehendak tabiatnya, oleh hal-hal yang mendatang bagi alam gharib dari dirinya.
Lalu ia lupa ketika itu akan dirinya dan Tuhannya. Dan manakala ia berbuat
demikian, maka ia telah menganiaya dirinnya. Karena dikatakan kepadanya:
“Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
melupakan mereka kepada diri sendiri. Itulah orang-orang yang fasiq”. Artinya:
mereka yang keluar dari yang dikehendaki oleh tabiat dan kesangkaan berhaknya
mereka. Dikatakan: “Telah fasiq buah apel itu dari tangkainya, apabila ia telah
keluar dari tempat tergantungnya yang fithrah (yang asli). Ini adalah isyarat
kepada rahasia-rahasia yang tergerak orang-orang arifin (orang berilmu
ma’rifah) untuk menghirup bau keharumannya. Dan menolak orang-orang yang
teledor daripada mendengar kata-katanya. Sesungguhnya bau yang harum itu
memberi melarat bagi mereka, sebagaimana bau bunga mawar memberi melarat bagi
ju’al (kembang tanduk). Dan mengalahkan mata mereka yang lemah, sebagaimana
matahari mengalahkan mata kelelawar. Terbukanya pintu ini dari rahasia hati
kepada ‘alamul-malakut, dinamai: ma’rifah dan wilayah. Dan orang yang
mempunyainya, dinamai: wali (dari wilayah) dan ‘arif (dari ma’rifah). Yaitu:
pokok-pokok permulaan maqam (tingkat) nabi-nabi. Dan akhir maqam wali-wali itu
adalah permulaan maqam nabi-nabi. Marilah kita kembali kepada maksud yang
dicari! Maka maksud bahwa tipuan setan itu dengan akhirat itu diragukan,
dapatlah ditolak. Adakalanya: dengan yakin taqlid (turut/menurut)iyah
(keyakinan oleh taqlid (turut/menurut) yang telah mendarah daging). Dan
adakalanya dengan bashirah (mata hati) dan musyahadah, dari segi batiniyah. Dan
orang-orang mu’min (yang beriman) dengan lisan dan aqidah mereka, apabila
menyia-nyiakan perintah Allah Ta’ala, berhijrah (meninggalkan) amal shalih dan
memakai (selalu mengerjakan) perbuatan nafsu syahwat dan perbuatan maksiat,
maka mereka itu bersekutu dengan orang-orang kafir pada ke-terperdayaan ini.
Karena mereka mengutamakan hidup duniawi dari akhirat. Benar, urusan mereka itu
lebih ringan, karena pokok iman itu memelihara mereka dari siksaan abadi.
Mereka akan dikeluarkan dari neraka, walaupun sesudah suatu ketika kemudian.
Akan tetapi mereka juga termasuk orang-orang yang terperdaya. Mereka
sesungguhnya mengaku bahwa akhirat itu lebih baik dari dunia. Akan tetapi
mereka cenderung kepada dunia dan mengutamakannya. Dan semata-mata iman itu
tidak memadai bagi memperoleh kemenangan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
sesungguhnya Aku Maha Pengampun kepada siapa yang kembali kepadaKu, beriman dan
mengerjakan perbuatan baik, kemudian itu ia mengikuti jalan yang benar”. S 20
Thaahaa ayat 82. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat
kepada orang-orang yang berbuat kebaikan (kepada orang lain)”. S 7 Al A’raf
ayat 56. Kemudian, Nabi saw bersabda: “Ihsan (berbuat kebaikan) itu ialah:
engkau menyembah Allah (beribadah kepada Allah), seakan-akan engkau
melihatNya”. Allah Ta’ala berfirman: “Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu
dalam kerugian. Selain dari orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan
baik dan mewasiatkan (memesankan) satu sama lain dengan kebenaran dan mewasiatkan
satu sama lain supaya berhati teguh (bersabar)”. S 103 Al ‘Ashr ayat 1-2-3.
Janji memperoleh pengampunan pada semua yang tersebut dalam Kitab Allah itu
tergantung dengan iman dan bersama amal shalih. Tidak dengan iman sendirian
saja. Maka mereka juga terperdaya. Aku maksudkan: mereka yang merasa tenang
kepada duina, yang gembira dengan dunia, berlebih-lebihan dengan kenikmatan
dunia, mencintai dunia, tidak suka kepada mati, karena takut hilangnya
kelezatan dunia. Bukan tidak suka kepada mati, karena takut apa yang terjadi
sesudah mati. Inilah contoh keterperdayaan dengan dunia dari orang-orang kafir
dan orang-orang mu’min sekalian. Dan marilah kami sebutkan terperdaya dengan
mempergunakan nama Allah, dua contoh dari terperdayanya orang-orang kafir dan
orang-orang maksiat. Adapun terperdayanya orang-orang kafir dengan
mempergunakan nama Allah itu, maka contohnya, ialah kata setengah mereka pada
dirinya dan dengan lidah mereka, bahwa jikalau Allah mempunyai tempat kembali,
maka kami lebih berhak, dengan tempat kembali itu dari orang lain. Kami lebih
sempurna mempunyai keberuntungan padanya dan lebih berbahagia keadaan kami,
sebagaimana dikhabarkan oleh Allah Ta’ala tentang perkataan dua orang laki-laki
yang bertukar pikiran, ketika ia mengatakan: “Dan aku tidak mengira, bahwa
sa’at (kiamat) itu akan datang dan kalau kiranya aku dikembalikan kepada
Tuhanku, tentu aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari ini”.
Kesimpulan urusan kedua laki-laki tersebut, sebagaimana dinukilkan dalam
tafsir, bahwa yang kafir dari keduanya itu membangun sebuah istana dengan biaya
seribu dinar emas. Dan membeli sebuah kebun dengan harga seribu dinar emas dan
pelayan-pelayan dengan seribu dinar emas. Dan ia kawin seorang wanita dengan
biaya seribu dinar emas. Pada yang demikian itu semua, ia dinasehati oleh yang
beriman dengan mengatakan: “Engkau membeli istana yang akan binasa dan akan
roboh. Mengapa engkau tidak membeli istana dalam sorga, yang tiada akan binasa?
Engkau membeli kebun yang akan roboh dan binasa. Mengapa engkau tidak membeli
kebun dalam sorga, yang tiada akan binasa dan pelayan-pelayan yang tiada akan
binasa dan tiada akan mati? Dan isteri dari bidadari yang tiada akan mati?”.
Pada semua yang demikian itu, ditolak oleh yang kafir dan mengatakan: “Tiada di
sana suatupun. Dan apa yang dikatakan dari yang demikian itu, adalah bohong.
Dan kalau ada, maka akan ada bagiku dalam sorga lebih baik dari ini”. Begitu
pula disifatkan oleh Allah Ta’ala perkataan Al-‘Ash bin Wail, karena ia
mengatakan: “Sesungguhnya aku, benar-benar akan diberi kekayaan dan anak-anak”.
Maka Allah Ta’ala berfirman, menolak perkataannya: “Adakah ia mengetahui
perkara yang tersembunyi atau dia telah mengadakan perjanjian dengan Tuhan Yang
Maha Pemurah? Tidaklah begitu!”. Diriwayatkan dari Khabbab bin Al-Aratt, yang
mengatakan: “Aku mempunyai pada Al-‘Ash bin Wail hutang. Lalu aku datang
kepadanya, meminta supaya hutang itu dibayar. Ia tidak mau membayar kepunyaanku
itu. Lalu aku mengatakan: “Aku akan mengambilnya di akhirat”. Lalu ia menjawab kepadaku:
“Apabila engkau jadi ke akhirat, maka aku mempunyai di sana harta dan anak,
yang akan aku bayar kepada engkau daripadanya”. Maka Allah Ta’ala menurunkan
firmanNya: “Sudahkah engkau lihat orang yang tidak mempercayai
keterangan-keterangan Kami? Katanya: Sesungguhnya aku, benar-benar akan diberi
kekayaan dan anak-anak”. S 19 Maryam ayat 77. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan
jika Kami berikan kepadanya kurnia Kami, sesudah kesengsaraan datang menimpa
mereka, sudah tentu dia akan berkata: “Ini sudah semestinya buat aku dan aku
tiada menduga sa’at itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku,
sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan (yang banyak) di sisi Tuhan”. S 41 Ha
Mim As Sajadah ayat 50. Ini semuanya termasuk sebahagian terperdaya dengan
mempergunakan nama Allah. Sebabnya ialah suatu qias (perbandingan) dari
perbandingan-perbandingan yang dibuat Iblis. Kita berlindung dengan Allah
daripadanya! Yang demikian itu, ialah: bahwa mereka memandang, sekali kepada
nikmat-nikmat Allah kepada mereka di dunia. Lalu mereka qiaskan (membandingkan)
nikmat itu akan nikmat akhirat. Mereka memandang pada kali yang lain kepada
pengunduran azab siksaan dari mereka. Lalu mereka qiaskan kepada yang demikian
itu akan azab akhirat, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Mereka mengatakan
dalam hati mereka: “Mengapa Allah tidak menyiksa kita karena perkataan kita
itu?”. S 58 Al Mujaadalah ayat 8. Maka Allah Ta’ala berfirman, sebagai jawaban
atas perkataan mereka: “Cukuplah untuk mereka neraka jahannam, mereka masuk ke
situ dan itulah tempat yang amat buruk!”. S 58 Al Mujaadalah ayat 8. Pada lain
kali, mereka memandang kepada orang-orang mu’min. Dan orang-orang mu’min itu
orang-orang miskin, kusut-musut rambutnya, lagi badannya berdebu. Lalu mereka
melecehkan orang-orang mu’min itu dan menghinakannya. Mereka mengatakan:
“Adakah mereka yang dikurniakan oleh Allah diantara kami?”. Dan mereka
mengatakan: “Kalau sekiranya itu suatu hal yang baik, sudah tentu mereka tiada
akan lebih dahulu menerimanya dari kamu”. Teraturnya qias yang disusun oleh
setan dalam hati mereka, ialah: mereka itu mengatakan: “Sesungguhnya Allah
Ta’ala telah berbuat baik kepada kita dengan memberikan nikmat dunia. Dan
tiap-tiap yang berbuat baik itu maka ia dicintai. Dan tiap-tiap yang dicintai,
maka ia akan berbuat baik pula pada masa mendatang, sebagaimana kata penyair:
Sesungguhnya Allah Ta’ala,
telah berbuat baik pada masa yang lalu.
maka begitu pula,
Ia akan berbuat baik pada masa yang sisa itu.
Ia qiaskan masa yang akan datang kepada masa yang lalu,
dengan perantaraan kiramah (pemuliaan) dan kecintaan. Karena ia mengatakan:
“Jikalau tidaklah aku ini mulia di sisi Allah dan dicintai, niscaya Allah tidak
berbuat baik kepadaku”. Tertipunya itu lantaran persangkaannya, bahwa tiap-tiap
yang berbuat baik itu dicintai. Tidak ! akan tetapi lantaran persangkaannya,
bahwa kenikmatan Allah kepadanya di dunia itu adalah ihsan (berbuat baik). Maka
ia telah terperdaya dengan mempergunakan nama Allah. Karena ia menyangka, bahwa
dia orang mulia di sisiNya, dengan dalil yang tidak menunjukkan kepada kiramah.
Akan tetapi pada orang-orang yang mempunyai bashirah (mata hati) itu
menunjukkan kepada penghinaan. Contohnya, bahwa seorang laki-laki mempunyai dua
orang hamba sahaya yang masih kecil. Yang seorang dimarahinya dan yang seorang
lagi dikasihinya. Yang dikasihinya, dilarangnya bermain-main. Diharuskannya
selalu di sekolah (tempat belajar) dan dikurungnya di situ, untuk diajarinya
adab kesopanan. Dilarangnya memakan buah-buahan dan makanan-makanan lezat yang
mendatangkan melarat kepadanya. Dan disuruhnya minum obat-obat yang bermanfaat
baginya. Dan hamba sahaya yang dimarahinya, disia-siakannya, supaya ia hidup
menurut kemauannya. Lalu hamba sahaya itu bermain-main. Tidak masuk sekolah dan
memakan tiap-tiap yang disukainya. Lalu hamba sahaya yang disia-siakan ini,
menyangka bahwa dia pada tuannya, adalah orang yang dikasihi, yang dimuliakan.
Karena tuannya memungkinkannya berbuat menurut nafsu syahwat dan lezat-lezat
baginya. Dan menolong kepada semua maksudnya. Maka tuannya tidak melarang dan
tidak mencegahnya. Itu adalah terperdaya semata-mata! Begitulah kenikmatan
dunia dan kelezatannya! Dan itu membinasakan dan menjauhkan daripada Allah.
“Sesungguhnya Allah menjaga hambaNya dari dunia dan Ia mencintai hambaNya itu,
sebagaimana seseorang daripada kamu menjaga orang sakitnya dari makanan dan
minuman dan ia mencintai orang sakitnya itu”. Begitulah yang datang pada hadits
daripada penghulu manusia! Orang-orang yang mempunyai mata hati, apabila dunia
datang menghadap kepadanya, maka mereka bergundah hati dan mengatakan: “Dosa
yang segeralah siksaannya”. Mereka melihat yang demikian itu tanda kutukan dan
disia-siakan. Dan apabila datang menghadap kepadanya kemiskinan, maka mereka
mengatakan: “Selamat datang syiar orang-orang shalih!”. Orang yang terperdaya,
apabila datang menghadap kepadanya dunia, maka ia menyangka, bahwa dunia itu
suatu kiramah daripada Allah. Dan apabila dunia itu berpaling daripadanya
(meninggalkannya), maka ia menyangka bahwa itu suatu penghinaan, sebagaimana
dikhabarkan oleh Allah Ta’ala dari yang demikian, dengan firmanNya: “Adapun
manusia itu apabila diuji oleh Tuhannya, diberiNya kemuliaan dan kesenangan
hidup, dia mengatakan: “Tuhanku memuliakan aku”. Tetapi apabila Tuhan
mengujinya dan dibatasi oleh Tuhan rezekinya, dia mengatakan: “Tuhanku
menghinakan aku”. S 89 Al Fajr ayat 15-16. Maka Allah Ta’ala menjawab dari yang
demikian: “K a l l a a !”, artinya: tidaklah seperti yang dikatakannya
itu!". Sesungguhnya itu adalah percobaan. Kita berlindung dengan Allah
dari jahatnya percobaan. Dan kita bermohon pada Allah akan ketetapan hati kita.
Kiranya Allah menerangkan kepada kita, bahwa yang demikian itu terperdaya
(tertipu). Al-Hasan Al-Bashari ra
berkata: “Allah Ta’ala mendustakan kedua orang tersebut, dengan firmanNya: “K a
l l a a!”. Ia berfirman: “Tidaklah ini dengan pemuliaanKu dan tidak pula ini
dengan penghinaanKu. Tetapi orang mulia itu, ialah orang yang AKU muliakan
dengan mentaati AKU. Kaya dia atau miskin. Dan orang yang hina, ialah orang yang
AKU hinakan dengan berbuat maksiat kepadaKU. Kaya dia atau miskin.
Keterperdayaan ini, obatnya, ialah: mengetahui dalil-dalil kiramah (pemuliaan)
dan penghinaan. Adakalanya dengan bashirah (mata hati) atau dengan taqlid
(turut/menurut). Adapun bashirah, maka dengan mengetahui segi berpalingnya hati
kepada nafsu syahwat duniawi, yang menjauhkan daripada Allah. Dan mengetahui
segi menjauhkan dari nafsu syahwat duniawi, dengan bertaqarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah. Dan yang demikian itu dapat diketahui dengan ilham, pada
tingkat-tingkat orang-orang ‘arifin dan wali-wali. Penguraiannya ini termasuk
sebahagian dari jumlah ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Dan tidak layak
dengan ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah
diamalkan). Adapun mengetahuinya dengan jalan taqlid (turut/menurut) dan
membenarkan, maka yaitu: bahwa beriman dengan Kitab Allah Ta’ala dan
membenarkan RasulNya. Allah Ta’ala berfirman: “Adakah mereka mengira, bahwa
Kami memberikan kepada mereka kekayaan dan anak-anak? Kami berarti hendak
menyegerakan mereka memberi kebaikan? Tidak ! mereka tidak mengerti”. S 23 Al
Mukminuun ayat 55-56. Allah Ta’ala berfirman: “Akan Kami tarik (ke arah
kebinasaan) dari tempat yang tidak mereka ketahui”. S 7 Al A’raf ayat 182.
Allah TA’ala berfirman: “Kami bukakan kepada mereka pintu segala sesuatu.
Sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, lalu
Kami dengan sekonyong-konyong mendatangkan siksa kepada mereka. Ketika itu
mereka menjadi putus harapan”. S 6 Al An’aam ayat 44. Dan pada penafsiran
firman Allah Ta’ala: “Sanudrijuhum min haitsu laa ya’-la-muuna” di atas tadi,
ayat 182. S 7 Al A’raf – bahwa mereka setiap kali mengerjakan suatu dosa,
niscaya kami datangkan kepada mereka nikmat, supaya bertambah terperdayanya.
Allah Ta’ala berfirman: “Tetapi, hanyalah Kami beri tangguh mereka supaya
bertambah dosanya”. S 3 Ali Imran ayat 178. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
janganlah kamu menganggap bahwa Allah tidak memperdulikan perbuatan orang-orang
yang aniaya itu. Hanyalah Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari,
dimana ketika itu pemandanngan terbuka”. S 14 Ibrahim ayat 42. Dan yang lain
dari itu, yang tersebut dalam Kitab Allah Ta’ala dan sunnah RasulNya. Siapa
yang beriman kepada yang tersebut tadi, niscaya ia terlepas dari keterperdayaan
itu. Sesungguhnya sumber keterperdayaan ini, ialah: bodoh tentang Allah dan
sifat-sifatNya. Siapa yang mengenal Allah, niscaya ia tidak merasa aman
daripada rencanaNya. Dan ia tidak terperdaya dengan contoh-contoh khayalan yang
merusakkan. Ia akan memperhatikan kepada Fir’aun, Hamman dan Karun dan kepada
raja-raja di bumi ini dan apa yang telah berlaku bagi mereka. Bagaimana Allah
telah berbuat baik kepada mereka pada mulanya. Kemudian, Allah menghancurkan mereka
dengan serta-merta. Lantas Allah Ta’ala berfirman: “Adakah engkau lihat agak
seorang diantara mereka atau apakah engkau dengar rintihannya (keluhannya)?”. S
19 Maryam ayat 98. Allah Ta’ala memperingatkan mereka daripada rencanaNya dan
tarikan ke arah kebinasaan. Lantas Allah Ta’ala berfirman: “Tiada yang merasa
aman dari rencana Allah, kecuali orang-orang yang merugi”. S 7 Al A’raf ayat
99. Allah Ta’ala berfirman: “Dan merekapun merencanakan makar dengan
sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak
menyadari”. S 27 An Naml ayat 50. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Orang-orang
kafir itu membuat rencana, Allah membalas rencana mereka itu. Dan Allah
sebaik-baik pembalas rencana”. S 3 Ali Imran ayat 54. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan
sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.
Karena itu, beri tangguhlah orang-orang kafir itu, yaitu: beri tangguhlah
mereka itu barang sebentar”. S 86 Ath Thariq ayat 15-16-17. Sebagaimana tiada
boleh bagi hamba yang lengah, mengambil dalil dengan kelengahan tuannya
kepadanya dan memungkinkannya bersenang-senang dengan kenikmatan, di atas
kasihan tuannya. Akan tetapi seyogyalah ia menjaga diri, bahwa ada yang
demikian itu suatu rencana makar daripadanya dan suatu tipu daya. Sedang
tuannya itu tidak menjaganya dari perbuatan makar dirinya. Maka dengan
mencintai yang demikian pada hak Allah Ta’ala, serta penjagaannya, akan
tertariknya ke arah kebinasaan (istidraj) itu lebih utama. Jadi, barangsiapa
merasa aman dari rencana Allah, maka dia itu orang yang terperdaya (tertipu).
Dan sumber keterperdayaan ini, ialah: bahwa ia mengambil dalil dengan
kenikmatan duniawi, bahwa dia itu orang mulia pada sisi Yang Memberi nikmat
tersebut. Dan mungkin bahwa yang demikian itu dalil kehinaan. Akan tetapi,
kemungkinan yang demikian, tiada sesuai dengan hawa nafsu. Maka setan dengan
perantaraan hawa nafsu itu, mencenderungkan hati orang tersebut kepada apa yang
bersesuaian dengan yang demikian. Yaitu: pembenaran dengan dalilnya kepada
kiramah. Dan inilah batasnya terperdaya itu! Contoh kedua: terperdayanya
orang-orang berbuat maksiat dari orang-orang mu’min, dengan kata mereka, bahwa
Allah itu Maha Pemurah dan kami mengharap akan kemaafanNya. Bertawakkalnya
mereka kepada yang demikian, kelengahan mereka akan amal dan pembagusan yang
demikian, dengan menamakan: angan-angan dan terperdayanya mereka itu harapan.
Kesangkaan mereka, bahwa harapan itu maqam terpuji pada agama. Bahwa nikmat
Allah itu luas, rahmatNya melengkapi dan kemurahanNya meratai. Dimanakah
kemaksiatan hamba itu dalam lautan rahmatNya? Dan kita ini orang-orang yang
berkeesaan dan beriman. Maka kita mengharap kepadaNya dengan jalan (wasilah)
iman. Kadang-kadang sandaran harapan mereka itu, ialah: berpegang teguh dengan
keshalihan nenek moyangnya dan ketinggian martabat mereka. Seperti
terperdayanya keturunan Ali ra (Al-‘Alawiyah) dengan keturunan mereka. Dan
penyalahan dengan perjalanan hidup nenek moyang mereka tentang takut, taqwa dan
wara’. Mereka menyangka, bahwa mereka yang termulia pada sisi Allah dari nenek
moyang mereka. Karena nenek moyang mereka serta kesangatan wara’ dan taqwa,
adalah orang-orang yang takut. Dan mereka itu sendiri serta bersangatan fasiq
dan zalim itu merasa aman (tidak ada perasaan takut). Yang demikian itu adalah
sangat terperdaya (tertipu) dengan mempergunakan nama Allah Ta’ala. Maka qiasan
setan kepada Al-‘Alawiyah, ialah, bahwa siapa yang mencintai insan, niscaya
mencintai akan anak-anaknya. Dan bahwa Allah mencintai nenek moyang kamu. Maka
IA mencintai kamu. Maka kamu tidak memerlukan kepada taat. Dan orang yang
terperdaya itu lupa, bahwa nabi Nuh as menghendaki anaknya menyertainya dalam
kapal. Lantas anak itu tidak mau, lalu ia termasuk orang yang tenggelam. Nabi
Nuh as itu berdoa: “Wahai Tuhanku! Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku”.
Maka Allah Ta’ala berfirman: “Hai Nuh! Sesungguhnya dia bukan keluarga engkau.
Sesungguhnya dia (melakukan) pekerjaan yang tidak baik”. S 11 Hud ayat 46. Nabi
Ibrahim as memohonkan ampunan dari tuhan bagi ayahnya. Tetapi tidak bermanfaat.
Nabi Muhammad saw, kiranya rahmat Allah padanya dan kepada tiap-tiap hambaNya
yang pilihan, memohonkan izin pada Tuhannya, untuk menziarahi kuburan ibunya.
Dan meminta ampunan baginya. Lalu beliau diizinkan oleh Allah berziarah dan
tidak diizinkan pada memohonkan ampunan. Maka beliau duduk menangis di samping
kuburan ibunya, lantaran cintanya kepadanya, disebabkan kedekatan (al-qarabah).
Sehingga membawa kepada tangisnya orang-orang di sekeliling”. Ini juga
terperdaya dengan jalan Allah Ta’ala. Dan pahamilah ini! Karena Allah Ta’ala
menyukai orang yang taat dan memarahi orang yang maksiat. Maka bagaimana IA
tidak memarahi bapak yang taat, dengan marahNya kepada anak yang maksiat, maka
begitu pula IA tidak mencintai anak yang maksiat, dengan kecintaanNya kepada
bapak yang taat. Dan jikalau adalah kecintaan itu mengalir dari bapak kepada
anak, niscaya mendekati juga kemarahan itu mengalir. Akan tetapi, yang benar, ialah:
bahwa seorang pemikul beban, tiada dapat memikul beban orang lain. Dan siapa
yang menyangka, bahwa ia terlepas dengan taqwa bapaknya, adalah seperti orang
yang menyangka, bahwa ia kenyang dengan bapaknya makan. Dan hilang haus dengan
ibunya minum. Ia menjadi orang berilmu (orang alim) dengan bapaknya belajar.
Dan sampai ke Ka’bah dan melihatnya, dengan bapaknya pergi kesana. Maka takwa
itu fadhu ‘ain (wajib atas tiap-tiap pribadi). Maka tidak diberi balasan kepada
bapak akan sesuatu dari amal anaknya. Dan demikian pula sebaliknya. Dan pada
sisi Allah itu balasan taqwa. Di hari seorang manusia lari dari saudaranya. Dan
dari ibunya dan bapaknya”. Selain dengan jalan syafaat, bagi orang yang tidak
bersangatan kemarahan Allah kepadanya. Maka diizinkan oleh Allah kesyafaatan
baginya, sebagaimana telah disebutkan dahulu pada Kitab Takabur dan Ujub.
Jikalau anda bertanya, dimana salahnya tentang perkataan orang-orang maksiat
dan orang-orang zalim: bahwa Allah itu Maha Pemurah dan kami mengharapkan
rahmatNya dan keampunanNya. Dan Ia telah berfirman: “Aku adalah pada kesangkaan
hambaKu dengan Aku. Maka hendaklah ia menyangka kepadaKU dengan yang baik!”.
Maka tidaklah ini, melainkan perkataan yang benar, yang diterima zahiriyahnya
dalam hati. Maka ketahuilah kiranya, bahwa setan itu tidak memperdayakan
manusia, selain dengan perkataan yang zahiriyahnya diterima, yang tertolak
baitniyahnya. Dan jikalau tidaklah bagus zahiriyahnya, niscaya tidaklah tertipu
hati dengan dia. Akan tetapi Nabi saw menyikapkan dari yang demikian. Lalu
beliau bersabda: “Orang pintar, ialah siapa yang mengagamakan dirinya dan
beramal untuk sesudah mati. Dan orang bodoh, ialah siapa yang mengikutkan
dirinya kepada hawa nafsunya dan berangan-anngan kepada Allah”. Inilah
angan-angan kepada Allah Ta’ala, yang dirobah namanya oleh setan. Lalu
dinamainya harapan. Sehingga tertipulah orang-orang bodoh. Allah Ta’ala telah
menguraikan harapan itu. Ia berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
dan orang-orang yang berpindah dari negrinya dan bekerja keras di jalan Allah,
mereka itu mengharapkan rahmat Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 218. Yakni: harapan
bagi mereka itu lebih layak. Dan pahamilah ini, karena Allah Ta’ala
menyebutkan, bahwa pahala akhirat itu upah dan balasan kepada amal. Allah
Ta’ala berfirman: “Sebagai pembalasan apa yang telah mereka kerjakan”. S As
Sajadah ayat 17. Allah Ta’ala berfirman: “Dan bahwa pahalamu akan dicukupkan di
hari kiamat”. S 3 Ali Imran ayat 185. Adakah anda melihat, bahwa orang yang
disewakan tenaganya untuk memperbaiki bejana (tempat air) dan disyaratkan
baginya memperoleh upah atas pekerjaannya? Dan yang memnbuat syarat (yang
menyuruh) itu seorang pemurah yang menepati janjinya, manakala ia telah
berjanji. Dia tidak akan menyalahi janji. Bahkan ia akan menambah. Lalu
datanglah orang yang disuruh mengerjakan itu. Ia memecahkan bejana-bejana itu.
Dan merusakkan semuanya. Kemudian ia duduk, menunggu upah dan mendakwakan,
bahwa orang yang menyuruhnya itu, orang pemurah. Adakah orang-orang yang
berakal berpendapat, bahwa orang yang disuruh itu, dalam menunggu upah itu
sebagai orang yang berangan-angan, yang terperdaya atau sebagai orang yang
mengharap? Ini adalah karena bodoh, akan perbedaan antara harap dan terperdaya.
Dikatakan kepada Al-Hasan Al-Bashari ra,
bahwa ada suatu kaum yang mengatakan: “Kami mengharap kepada Allah”, sedang
mereka itu menyia-nyiakan amal. Lalu Al-Hasan Al-Bashari ra menjawab: “Amat jauh amat jauh yang
demikian! Itu adalah angan-angan mereka, yang mereka kuatkan padanya.
Barangsiapa mengharapkan sesuatu, niscaya dicarinya. Dan barangsiapa takut
kepada sesuatu, nsicaya ia lari daripadanya”. Muslim bin Yassar Al Bashar
(melihat)i (w. Disekitar Th.100 H) mengatakan: “Aku telah sujud (dalam shalat),
sehingga tanggal 2 gigi depanku”. Lalu seorang laki-laki mengatakan kepadanya:
“Kami sesungguhnya mengharap kepada Allah. Muslim bin Yassar lalu menjawab:
“Amat jauh amat jauh yang demikian! Barangsiapa mengharap sesuatu, niscaya
dicarinya. Dan barangsiapa takut kepada sesuatu, niscaya ia lari dariapdanya”.
Sebagaimana orang yang mengharap di dunia ini mendapat anak dan dia tidak
kawin, atau dia kawin, tetapi ia tidak bersetubuh dengan isterinya, atau ia bersetubuh dan ia tidak
inzal (tidak keluar air maninya), maka orang ini adalah orang yang lemah akal.
Maka begitu pula orang yang mengharap rahmat Allah dan ia tidak beriman. Atau
ia beriman dan tidak mengerjakan amal shalih. Atau ia kerjakan dan tidak
meninggalkan perbuatan maksiat. Maka orang itu terperdaya (tertipu).
Sebagaimana apabila ia telah kawin, bersetubuh dan inzal, niscaya dia masih
juga ragu-ragu tentang anak itu. Ia takut dan mengharap kurnia Allah pada
menciptakan anak dan tertolaknya bahaya-bahaya dari rahim ibu dan dari ibu itu
sendiri, sehingga sempurnalah kejadian anak itu. Maka orang itu adalah orang
pintar. Seperti demikian pula, apabila ia beriman, mengerjakan amal-amal shalih
dan meninggalkan perbuatan-perbuatan keji dan ia masih ragu diantara takut dan
harap. Ia takut akan tidak diterima amalnya dan ia tidak kekal atas amalan itu.
Dan ia mendapat kesudahan (khatimah) dengan buruk. Ia mengharap daripada Allah
Ta’ala bahwa menetapkannya dengan kata
tetap. Dan memelihara agamanya dari petir-petir sakaraul maut. Sehingga ia mati
di atas keesaan. Dan menjaga hatinya dari kecenderungan kepada nafsu syahwat
sepanjang umurnya. Sehingga ia tidak cenderung kepada perbuatan-perbuatan
maksiat. Maka orang itu adalah orang pintar. Dan selain dari mereka, maka
adalah orang-orang yang terperdaya pada jalan Allah. “Dan nanti mereka akan
mengetahui ketika melihat siksaan, siapakah yang lebih tersesat jalannya”. “Dan
sudah tentu kamu akan mengetahui beritanya (kebenarannya) sesudah datang
ketikanya”. Ketika itu, mereka mengatakan sebagaimana dikhabarkan oleh Allah
dari hal mereka: “Wahai Tuhan kami! Kami telah melihat dan mendengar – apa yang
Engkau katakan - . sebab itu, kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan
mengerjakan perbuatan baik. Sesungguhnya kami telah yakin”. S As Sajadah ayat
12. Artinya: kami ketahui, bahwa sebagaimana tidak akan beranak, selain dengan
bersetubuh dan perkawinan dan tumbuh-tumbuhan tiada akan tumbuh, selain dengan
membajak tanah dan menaburkan bibit, maka demikian pula, tiada akan berhasil
pahala dan pembalasan, selain dengan amal shalih. Maka kembalikanlah kami,
untuk kami mengerjakan amal shalih. Sesungguhnya sekarang kami telah mengetahui
kebenaran engkau pada firman Engkau. “Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh
apa yang diusahakannya. Dan bahwa (hasil) usahanya nanti akan dilihatnya”.
Setiap suatu kaum dijatuhkan ke dalamnya, penjaga-penjaga neraka itu
menanyakan: “Belumkah – ada orang yang memberikan peringatan datang kepada
kamu? Mereka menjawab: “Ya, ada! Sesungguhnya orang yang memberikan peringatan
telah datang kepada kami”. Artinya apakah tidak kami perdengarkan kepada kamu,
sunnah Allah pada hamba-hambaNya? Dan sesungguhnya –“Dicukupkannya kepada
setiap diri pembayaran (pembalasan) apa yang telah diusahakannya”. Dan bahwa:
“Setiap diri tergadai karena perbuatannya”. Apakah yang memperdayakan kamu pada
jalan Allah, sesudah kamu mendengar dan berpikir? Dan “Mereka berkata: “Kalau
kiranya kami mendengarkan dan mempergunakan pikiran kami tiadalah kami akan
menjadi penghuni api yang menyala. Mereka mengakui dosanya, tetapi jauhlah
kiranya penghuni api neraka itu (dari ampunan Tuhan)!”. Kalau anda bertanya:
“Dimanakah tempat sangkaan harap itu dan tempatnya yang terpuji? Maka
ketahuilah kiranya, bahwa harap itu terpuji pada 2 tempat:
Pertama: pada diri
orang maksiat yang terjerumus, apabila terguris baginya taubat. Lalu setan
berkata kepadanya: “Dari mana taubatmu
diterima?”. Maka setan itu memutus asakan orang maksiat tersebut, dari rahmat
Allah Ta’ala. Lalu haruslah ketika ini, orang maksiat itu mencegah keputus
asaan dengan harap dan mengingatkan dirinya, bahwa Allah mengampunkan segenap
dosa”. Dan bahwa Allah Maha Pemurah, menerima taubat dari hambaNya. Dan taubat
itu taat, yang menutupkan dosa. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah! Hai
hamba-hambaKu yang melampaui batas mencelakakan dirinya sendiri! Janganlah kamu
putus harapan dari rahmat Allah! sesungguhnya Allah itu mengampuni segenap
dosa. Sesungguhnya DIA Maha Pengampun dan Penyayang. Dan kembalilah kamu
(bertobat) kepada Tuhanmu!”. S Az Zumar ayat 53-54. Allah Ta’ala menyuruh
mereka kembali. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Aku Maha
Pengampun kepada siapa yang bertaubat, beriman dan mengerjakan perbuatan baik.
Kemudian, ia mengikuti jalan yang benar”. S 20 Thaahaa ayat 82. Apabila ia
menantikan ampunan serta taubat, maka ia itu orang yang mengharap dan kalau ia
menantikan ampunan serta berkekalan berbuat maksiat, maka dia itu orang yang
terperdaya (orang yang tertipu). Sebagaimana orang yang telah sempit kepadanya
waktu shalat Jum’at dan dia sedang berada di pasar. Lalu terguris kepadanya
untuk pergi ke Jum’at lantas berkata kepadanya: “Engkau sesungguhnya tidak akan
mendapat Jum’at. Maka tetaplah di tempat engkau!”. Lalu orang itu mendustakan
setan. Ia terus pergi berlari-larian. Ia mengharap akan mendapat Jum’at. Maka
orang itu, adalah: orang yang mengharap. Dan kalau ia terus berjualan dan ia
mengharap iman mengemudiankan shalat karenanya, hingga ke tengah-tengah waktu
atau karena orang lain atau karena sesuatu sebab yang tidak diketahuinya, maka
orang itu terperdaya (tertipu).
Kedua: bahwa dirinya lemah dari amal-amal fadhilah (amal-amal
utama dan sunat). Ia menyingkatkan saja (mencukupkan saja) dengan amal-amal
fardhu (amal wajib). Lalu ia mengharapkan dirinya akan memperoleh nikmat Allah
Ta’ala dan apa yang dijanjikannya kepada orang-orang shalih. Sehingga terjera
dari harapan itu, kerajinan ibadah. Lalu ia menghadap kepada amal-amal fadhilah
dan mengingati firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman itu. Mereka yang khusyu’ dalam sembahyangnya. Dan yang menjauhkan diri
dari perkataan yang sia-sia. Dan yang membayarkan zakat. Dan yang menjaga
kehormatannya (tidak melepaskan syahwatnya). Melainkan kepada isterinya atau
kepunyaan tangan kanannya (sahaya perempuan). Maka sesungguhnya mereka itu
tiada tercela. Tetapi, orang-orang yang mencari selain dari itu, maka merekalah
orang-orang yang melanggar batas. Dan orang beriman yang beruntung juga-,
orang-orang yang memelihara kepercayaan yang diberikan kepadanya serta janji
yang dibuatnya. Dan yang menjaga sembahyangnya. Itulah orang-orang yang
mempusakai. Mereka yang mempusakai sorga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya”. S
23 Al Mukminuun ayat 1 sampai 11. Harapan pertama itu mencegah keputus asaan
yang melarang dari taubat. Dan harapan kedua, mencegah kelemahan yang mencegah
dari kerajinan dan kekalan bekarja. Maka tiap-tiap menantikan itu membangkitkan
kepada taubat atau kepada berkekalan pada taat. Maka itulah harapan. Dan setiap
harapan yang mengharuskan kelemahan pada ibadah dan kecenderungan kepada amal
batil/salah, maka itu terperdaya. Sebagaimana, apabila terguris kepadanya,
untuk meninggalkan dosa dan berbuat amal. Lalu setan berkata kepadanya: “Apa
engkau ini menyakitkan diri dan menyiksakannya? Engkau mempunyai Tuhan Yang
Maha Pengasih, Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Lalu dengan demikian, lantas
ia lemah dari bertaubat dan beribadah. Maka itu terperdaya. Dan ketika itu,
maka haruslah (wajiblah) atas hamba mempergunakan takut. Ia menakutkan dirinya
dengan kemarahan Allah dan besar siksaanNya. Dan ia mengatakan: “Bahwa Allah
Ta’ala, serta IA Pengampun dosa dan Penerima taubat itu sangat pedih
siksaanNya. Dan serta IA Maha Pemurah, itu mengekalkan orang-orang kafir dalam
neraka untuk selama-lamanya, serta tidak mendatangkan melarat bagiNya oleh
kekafiran mereka. Akan tetapi, IA mengeraskan azab, cobaan, penyakitan, sakit,
kemiskinan dan kelaparan kepada sejumlah dari hamba-hambaNya dalam dunia. Dan
IA berkuasa menghilangkannya. Maka siapa, yang inilah sunnahNya pada
hamba-hambaNya dan IA telah menakutkan aku akan siksaanNya, maka bagaimana aku
tidak takut kepadaNya? Dan bagaimana aku terperdaya dengan yang demikian? Maka
takut dan harap itu dua panglima dan dua penghalau yang membangkitkan manusia
kepada amal. Maka yang tidak membangkitkan kepada amal, itu adalah angan-angan dan
terperdaya. Dan harapan makhluk seluruhnya, itulah sebabnya kelumpuhan mereka,
sebabnya mereka menghadap kepada dunia, sebabnya mereka berpaling daripada
Allah Ta’ala dan menyia-nyiakan usaha bagi akhirat. Maka yang demikian itu
terperdaya. Nabi saw sesungguhnya telah mengkhabarkan dan menyebutkan, bahwa
terperdaya (tertipu) itu akan mengerasi atas hati yang terakhir dari umat ini.
Sesungguhnya telah ada apa yang dijanjikan oleh Nabi saw. Adalah manusia itu
pada masa pertama dahulu rajin pada ibadah. Mereka berikan apa yang diberikan
kepada mereka (mereka berikan zakat dari harta mereka). Hati mereka takut,
bahwa sesungguhnya mereka kembali kepada Tuhan, mereka takut atas dirinya.
Sepanjang malam dan siang, mereka dalam ketaatan kepada Allah. Mereka bersangatan
(mubalaghah) pada taqwa dan menjaga diri dari harta syubhah (harta yang
diragukan halalnya) dan nafsu syahwat. Mereka menangis atas dirinya pada tempat
sunyi (khilwah). Sekarang, anda melihat makhluk itu merasa aman, gembira,
tentram, tidak merasa takut, serta merta bertekun atas perbuatan maksiat,
terjerumus dalam dunia dan berpaling dari Allah Ta’ala. Mereka mendakwakan,
bahwa mereka percaya dengan kemurahan Allah Ta’ala dan kelimpahanNya. Mereka
mengharap kemaafan dan keampunanNya. Seakan-akan mereka mendakwakan, bahwa
mereka mengetahui dari kelimpahan dan kemurahanNya, akan apa yang tidak
diketahui oleh nabi-nabi, para shahabat dan orang-orang shalih yang terdahulu.
Jikalau keadaan ini didapati dengan angan-angan dan dicapai dengan mudah, maka
atas dasar apa, adanya tangisan mereka, takut dan gundahnya mereka? Dan kami
telah sebutkan dahulu pentahkikan segala keadaan ini pada Kitab Takut dan
Harao. Dan Rasulullah saw telah bersabda, menurut apa yang diriwayatkan oleh
Ma’qal bin Yassar: “Aku datang kepada manusia, suatu zaman, dimana Alquran akan
lusuh dalam hati orang-orang, sebagaimana lusuhnya kain pada tubuh manusia.
Urusan mereka semuanya adalah karena loba, tak ada ketakutan padanya. Kalau
seseorang dari mereka berbuat baik, lalu mengatakan: “Akan diterima
daripadaku”. Dan kalau ia berbuat jahat, lalu ia mengatakan: “Akan diampunkan
dosaku”. Nabi saw telah menerangkan, bahwa mereka meletakkan loba di tempat
takut. Karena kebodohan mereka dengan penakutan-penakutan Alquran dan apa yang
ada dalam Alquran. Dan seperti yang demikian itu, diterangkan tentang kaum
Nasrani, karena Allah Ta’ala berfirman: “Sesudah itu datang angkatan baru (yang
jahat) menggantikan mereka. Mereka mempusakai Kitab, mengambil harta benda
kehidupan dunia ini saja (dengan cara yang tidak halal). Kata mereka: Nanti
(kesalahan) kami akan diampuni”. S 7 Al A’raf ayat 169. Artinya, bahwa mereka
mempusakai Kitab. Ya’ni: mereka kaum alim ulama. Mereka mengambil harta benda
kehidupan dunia ini. Artinya: nafsu syahwat mereka dari dunia, haram atau
halal. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang takut terhadap waktu berdiri
di hadapan Tuhannya, dia memperoleh dua taman (sorga)”. S 55 Ar Rahman ayat 46.
Allah Ta’ala berfirman: “Yang demikian itu adalah untuk orang yang takut kepada
KebesaranKu dan takut akan janji siksaKu”. S 14 Ibrahim ayat 14. Alquran dari
permulaannya sampai kepada penghabisannya itu memberi peringatan dan penakutan.
Tidak akan bertafakkur (merenungkan) oleh yang merenungkan dalam Alquran,
selain akan lemahlah kegundahannya dan besarlah ketakutannya, kalau ia beriman
dengan apa yang ada dalam Alquran. Anda melihat manusia membaca dengan cepat
Alquran ini. Mereka mengeluarkan (membaca) huruf-huruf Alquran dengan bunyinya
yang baik (menurut makhrajnya). Mereka berdebat tentang baris bawah (baris
khafadl), baris depan (baris rafa’) dan baris di atas (nashab). Seakan-akan
mereka membaca syair (pantun) dari syair-syair Arab. Tidak penting bagi mereka
memperhatikan arti (maskud) Alquran dan mengamalkan apa yang tersebut dalam
Alquran. Adakah dalam dunia (alam) ini, terperdaya yang lebih dari ini? Inilah
contoh-contoh terperdaya dengan menggunakan agama Allah dan penjelasan
perbedaan di antara hidup dan terperdaya. Dan mendekati dengan yang demikian,
terperdayanya golongan-golongan yang mempunyai ketaatan dan kemaksiatan. Hanya
perbuatan maksiat dari mereka itu lebih banyak. Dan mereka menunggu (mengharap)
keampunan. Dan menyangka bahwa daun neraca kebaikan mereka itu lebih berat,
sedang apa yang ada pada daun neraca kejahatan itu lebih banyak. Dan ini
kesudahan kebodohan. Maka anda melihat seseorang yang bersedekah dengan
beberapa dirham yang dapat dihitung dengan mudah, dari harta halal dan haram.
Dan yang diterimanya dari harta kaum musliminn dan harta yang diragukan halalnya
(harta syubhat (diragukan)), berlipat ganda banyaknya. Dan mungkin apa yang
disedekahkannya itu adalah dari harta kaum muslimin. Ia berpegang kepadanya dan
menyangka, bahwa memakan seribu dirham haram, akan dapat diimbangi oleh
bersedekah sepuluh dirham haram atau halal. Dan tidaklah orang yang tersebut
tadi, selain seperti orang yang meletakkan sepuluh dirham pada sebuah daun
neraca dan pada neraca yang lain seribu. Ia bermaksud mengangkat daun neraca
yang berat dengan daun neraca yang ringan. Dan itu adalah kesudahan
kebodohannya. Ya, benar! Diantara mereka ada orang yang menyangka, bahwa
perbuatan taatnya itu lebih banyak dari perbuatan maksiatnya. Karena ia tidak
memperkirakan akan dirinya dan tidak memperhatikan perbuatan maksiatnya.
Apabila ia mengerjakan taat, lalu dihafalnya dan dihitungkannya, seperti orang
yang mengucapkan istighfar (memohonkan ampun) kepada Allah dengan lisannya atau
mengucapkan tasbih kepada Allah dalam sehari 100 kali. Kemudian, ia mengumpat
kaum muslimin, mengoyak-ngoyakkan kehormatan mereka dan berkata-kata dengan
yang tidak diridhai Allah sepanjang hari, tanpa tehingga dan terhitung. Dan
adalah perhatian orang tadi kepada bilangan alat tasbihnya, bahwa ia telah
mengucapkan istighfar kepada Allah 100 kali. Ia lupa dari perkataannya yang
sia-sia sepanjang harinya, yang kalau dituliskannya, niscaya adalah seperti
tasbihnya 100 kali atau 1000 kali. Dan telah dituliskan oleh malaikat-malaikat
penulis amal. Dan telah dijanjikan oleh Allah dengan siksaan atas tiap-tiap
kalimat. Allah Ta’ala berfirman: “Tiada suatu perkataan yang diucapkan
–manusia-, melainkan di dekatnya ada pengawas, siap sedia (mencatatnya)”. S 50
Qaaf ayat 18. Maka orang ini selalu memperhatikan pada keutamaan pembacaan
tasbih dan tahlil (pembacaan: Laa ilaaha illallaah). Dan ia tidak menoleh
kepada apa yang datang dari siksaan orang-orang pengumpat, pendusta, lalat
merah/suka menceritakan kekurangan orang dan orang-orang munafiq, yang
melahirkan kata-kata yang tidak disembunyikannya dan lain-lain dari
bahaya-bahaya lisan. Yang demikian itu terperdaya (tertipu) semata-mata. Demi
umurku, jikalau adalah malaikat-malaikat penulis amal itu meminta daripadanya
ongkos penulisan, bagi apa yang mereka menuliskannya, dari kata-katanya yang
sia-sia, yang melebihi daripada tasbihnya, niscaya adalah ia pada yang demikian
itu akan mencegah lidahnya, sehingga dari sejumlah dari yang penting-penting
saja baginya. Dan apa yang diucapkannya pada waktu-waktu kesenggangannya,
adalah dihitungnya, dikirakan dan ditimbangkannya dengan tasbih-tasbihnya.
Sehingga tidak berlebih ongkos penulisannya atas dirinya. Maka alangkah
mengharapkan terhadap orang yang memperhitungkan dirinya dan berhati-hati,
karena takut kepada satu karat permata, yang hilang pada ongkos atas penulisan
itu. Dan ia tidak berhati-hati, takut daripada hilangnya sorga Firdaus tinggi
dan kenikmatannya. Ini tidak, melainkan suatu bencana besar bagi orang yang
merenungkannya. Sesungguhnya kita didorong kepada suatu keadaan, jikalau kita
ragu-ragu padanya, niscaya adalah kita dari orang-orang kafir yang mengingkari
Tuhan. Dan jikalau kita benar padanya, niscaya adalah kita dari orang-orang
dungu yang terperdaya (tertipu). Maka tidaklah ini amal perbuatan orang yang
membenarkan apa yang dibawa oleh Alquran. Dan kita sesungguhnya memohon
kelepasan kepada Allah, bahwa kita termasuk dari orang-orang tertutup hati.
Maka Maha Sucilah Tuhan yang mencegah kita dengan kesadaran dan keyakinan serta
penjelasan ini! Alangkah layaknya bagi orang yang sanggup menguasai kelalaian
seperti ini dan keterperdayaan atas hati, bahwa ia takut dan bertakwa. Dan ia
tidak terperdaya dengan yang demikian, karena berpegang kepada batil/salahnya
angan-angan dan alasan-alasan setan serta hawa nafsu. Wallahu A’lam! Allah Yang
Maha Tahu!.
PENJELASAN: jenis-jenis orang yang terperdaya dan
bahagian-bahagian golongan setiap jenis. Dan mereka itu 4 jenis.
Jenis pertama: ahli ilmu. Dan yang terperdaya dari
mereka itu, ada beberapa golongan. Segolongan, mereka kokoh pemahamannya pada
ilmu agama dan ilmu akal. Mereka mendalaminya dan bekerja menurut ilmu-ilmu
tersebut. Dan mereka menyia-nyiakan mencari (memperhatikan) anggota badannya
dan memeliharanya, daripada perbuatan-perbuatan maksiat dan mengharuskannya
perbuatan-perbuatan taat. Mereka tertipu dengan ilmunya dan menyangka bahwa
mereka pada sisi Allah di suatu tempat. Dan bahwa mereka telah sampai dari
ilmunya ke suatu tingkat, dimana Allah tiada akan mengazabkan yang seperti
mereka. Bahkan Allah menerima untuk orang banyak, akan pertolongan (syafaat)
mereka. Dan Allah tidak akan menuntut mereka dengan dosa dan kesalahan mereka,
karena mulianya (kiramahnya) mereka pada Allah. Mereka itu adalah orang-orang
yang tertipu (terperdaya)! Jikalau mereka melihat dengan mata hati, niscaya
mereka tahu, bahwa ilmu itu dua macam: ilmu mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan ilmu
diminta untuk mengetahuinya saja. Yaitu: ilmu mengenai Allah dan
sifat-sifatNya, yang dinamai menurut kebiasaan: ilmu ma’rifah. Adapun ilmu
mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah
diamalkan), seperti mengetahui halal dan haram, mengetahui akhlak diri yang
tercela dan terpuji, bagaimana mengobatinya dan lari daripadanya. Maka itu
adalah ilmu, yang tidak dimaksudkan, selain untuk diamalkan (dilaksanakan).
Jikalau tidak ada keinginan kepada diamalkan, maka ilmu tersebut tidak ada
nilainya. Setiap ilmu yang dimaksudkan untuk diamalkan, maka tiada mempunyai
nilai, tanpa amal. Contohnya, adalah orang sakit, yang padanya penyakit, yang
tidak akan hilang, selain oleh obat yang tersusun dari banyak camnpuran, yang
tidak diketahui, selain oleh tabib-tabib yang ahli. Lalu ia berusaha mencari
tabib, sesudah ia meninggalkan tanah airnya. Sehingga ia menjumpai seorang
tabib yang ahli. Lalu tabib tersebut memberitahukan kepadanya obat dan
menguraikan kepadanya campuran-campuran, macam-macamnya, kadar campuran dan
bahan-bahan pertambangan, dimana campuran-campuraan tersebut diambil
daripadanya. Dan tabib ahli tadi mengajarkannya bagaimana menumbuk masing-masing
campuran itu dan bagaimana mencampurkan dan mengadukkannya. Lalu ia pelajari
yang demikian dan ia tuliskan suatu naskah (copy) yang bagus, dengan tulisan
yang cantik. Kemudian, ia pulang ke rumah, diulang-ulanginya membaca dan
diajarkannya kepada orang-orang sakit. Dan tidak dilaksanakannya dengan meminum
dan memakainya. Adakah anda berpendapat, bahwa yang demikian itu memberi faedah
sesuatu kepadanya dari penyakitnya? Amat jauh-amat jauh yang demikian! Jikalau
dituilsnya 1000 copy dan diajarkannya kepada 1000 orang sakit, sehingga sembuh
semua mereka dan diulang-ulanginya setiap malam 1000 kali, niscaya tidak
mendatangkan faedah yang demikian itu, suatupun kepada sakitnya. Selain, bahwa
ia menimbangkan emas, membelikan obat dan mencampurkannya, sebagaimana yang
dipelajarinya. Ia meminumnya dan bersabar atas kepahitannya. Dan adalah
minumnya itu pada waktunya dan sesudah mendahulukan penjagaan serta semua
syarat-syaratnya. Apabila ia berbuat semua itu, lalu dia masih juga dalam
bahaya dari kesembuhannya, maka bagaimanakah apabila ia tidak sekali-kali
meminumnya? Manakala ia menyangka bahwa yang demikian mencukupi dan
menyembuhkannya, maka telah teranglah tertipu (terperdaya)nya. Begitu pula,
ahli ilmu fiqih (al-fiqih) yang memahami dengan teguh ilmu ketaatan dan tidak
diamalkannya. Ia memahami dengan teguh ilmu kemaksiatan dan tidak dijauhkannya.
Ia memahami dengan teguh ilmu akhlak yang tercela dan ia tidak membersihkan
dirinya dari akhlak tercela itu. Ia memahami dengan teguh ilmu akhlak yang terpuji
dan ia tidak bersifat dengan akhlak yang terpuji itu. Maka orang itu tertipu.
Karena Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan (jiwa)nya”. S 91 Asy Syams ayat 9. Tuhan tidak berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mempelajari bagaimana membersihkannya,
menuliskan ilmu tersebut dan mengajarkannya kepada manusia”. Dan ketika ini,
setan mengatakan kepadanya: “Janganlah anda terperdaya oleh contoh itu! Bahwa
mengetahui obat, tidaklah menghilangkan penyakit. Dan bahwa tuntutan anda,
ialah mendekatkan diri kepada Allah dan pahalaNya. Ilmu itu menarik pahala”.
Dan setan itu membacakan kepadanya hadits-hadits yang membentangkan kelebihan
ilmu. Kalau orang yang patut dikasihani ini, lemah pikiran, lagi tertipu
niscaya bersesuaianlah yang demikian dengan maskud dan hawa nafsunya. Lalu
tenanglah hatinya kepada yang demikian dan ia menyia-nyiakan amal. Kalau ia
orang pintar, maka ia akan bertanya kepada setan: “Adakah engkau memperingatkan
aku keutamaan ilmu dan engkau melupakan aku apa yang datang dari agama,
mengenai orang berilmu yang zalim, yang tidak mengamalkan menurut ilmunya?
Seperti firman Allah Ta’ala: “Perumpamaannya sebagai anjing”. S 7 Al A’raf ayat
176. Dan seperti firman Allah Ta’ala: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Kitab Taurat, tetapi tiada mereka pikul, bagai keledai yang memikul
kitab-kitab tebal (tetapi tiada mengerti isinya)”. S 62 Al Jumu’ah ayat 5. Maka
manakah kehinaan yang lebih besar daripada diumpamakan dengan anjing dan
keledai? Nabi saw bersabda: “Siapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah
petunjuk, niscaya ia tidak bertambah dekat kepada Allah, melainkan jauh”. Nabi
saw bersabda pula: “Dilemparkan orang berilmu dalam api neraka. Lalu keluar
perut panjangnya. Maka ia berputar dengan perut itu dalam api neraka,
sebagaimana berputar keledai pada gilingan gandum”. Dan seperti sabda Nabi saw:
“Manusia yang paling jahat, ialah: ulama jahat”. Kata Abid Darda ra: “Azab bagi
orang yang tidak berilmu, satu kali. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya
diberiNya ilmu. Dan azab bagi orang yang berilmu dan tidak mengamalkan, 7
kali”. Artinya: ilmu itu menjadi alasan, yang memberatkan atas dirinya. Karena
dikatakan kepadanya: “Apakah yang kamu perrbuat pada apa yang kamu ketahui?
Bagaimana kamu tunaikan terima kasih (syukur) kepada Allah?”. Nabi saw
bersabda: “Manusia yang paling keras azabnya pada hari kiamat, ialah orang yang
berilmu, yang tidak diberi manfaat oleh Allah dengan ilmunya”. Maka ini dan
yang seperti ini dari apa yang telah kami bentangkan pada Kitab Ilmu dahulu
pada Bab Tanda ‘Ulama Akhirat itu, lebih banyak daripada dapat dihinggakan.
Kecuali, bahwa ini mengenai apa yang tidak bersesuaian dengan hawa nafsu orang
berilmu yang zalim. Dan apa yang tersebut pada Kelebihan Ilmu itu, bersesuaian
dengan dia. Lalu setan mencenderungkan hatinya kepada yang disukainya. Dan
itulah terperdaya yang sebenarnya. Karena kalau ia memandangnya dengan mata
hati, maka perumpamaannya, ialah yang telah kami sebutkan dahulu. Dan kalau ia
memandang dengan mata keimanan, maka yang menceritakan kepadanya, dengan
keutamaan ilmu, ialah yang menceritakan kepadanya, dengan tercelanya ulama
jahat. Dan keadaan mereka di sisi Allah adalah lebih buruk dari keadaan
orang-orang bodoh. Sesudah itu, kepercayaannya, bahwa dia di atas kebajikan,
serta keteguhan keterangan Allah atas dirinya, adalah sangat terperdaya
(tertipu). Adapun orang yang mendakwakan mengetahui ilmu diminta untuk
mengetahuinya saja, seperti: mengetahui tentang Allah, sifat-sifatNya dan
nama-namaNya dan serta yang demikian, ia lengah tentang amal dan menyia-nyiakan
perintah Allah dan batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah, maka
terperdayanya itu lebih berat. Contohnya, adalah seperti orang yang bermaksud
melayani seorang raja. Lalu ia mengenal raja itu. Ia mengenal akhlaknya,
sifatnya, warnanya, bentuknya, tingginya, lebarnya, kebiasaannya dan majlisnya.
Ia tidak berusaha untuk mengenali, apa yang disukai raja itu, apa yang tidak
disukainya, apa yang dimarahinya dan apa yang disenanginya. Atau ia kenal yang
demikian, hanya ia bermaksud melayaninya saja, sedang dia mengetahui benar,
semua apa, yang menyebabkan raja marah dan kepada siapa ia marah. Dan ia kosong
(tidak tahu sama sekali) dari semua yang disukai raja, dari pakaian, sikap,
perkataan, gerak dan diam. Lalu ia datang kepada raja. Ia bermaksud mendekatkan
diri kepada raja dan mengkhususkan dirinya kepada raja, sedang dia berlumuran
dengan semua yang tidak disukai oleh raja. Dia kosong dari semua yang disukai
oleh raja. Ia mencari jalan kepada raja, untuk mengenal raja, keturunannya,
namanya, negerinya, rupanya, bentuknya, adat kebiasaannya pada menyiasati
budak-budaknya dan bergaul dengan rakyatnya. Maka orang tersebut itu terperdaya
sekali. Karena, jikalau ditinggalkannya semua yang diketahuinya dan ia
berpegang dengan mengenal raja saja dan mengetahui apa yang tidak disukai dan
yang disukai raja itu, maka sesungguhnya yang demikian itu adalah lebih
mendekati kepada tercapainya maksud mendekatinya dan mengkhususkan diri
kepadanya. Bahkan, keteledorannya pada taqwa dan diikutinya nafsu syahwat itu
menunjukkan, bahwa tidak terbuka baginya daripada ma’rifah (mengenal) Allah,
selain: nama, tanpa makna. Karena kalau ia mengenal Allah dengan kenal yang
sebenar-benarnya, niscaya ia takut kepada Allah dan berbuat taqwa kepadaNya.
Maka tidak tergambar, bahwa orang yang berakal mengenal singa, kemudian ia
tidak menjaga diri dan tidak takut kepada singa itu. Allah Ta’ala sesungguhnya
telah mengwahyukan kepada Nabi Daud as: “Takutlah kepadaKu, sebagaimana engkau
takut kepada binatang buas yang ganas”. Benar, orang yang mengenal dari singa
akan warnanya, bentuknya dan namanya, kadang-kadang ia tidak takut kepadanya.
Dan seakan-akan ia tidak mengenal singa. Maka orang yang mengenal Allah Ta’ala,
niscaya ia mengenal dari sifat-sifatNya, bahwa IA membinasakan alam semesta dan
tidak memperdulikannya. Dan ia tahu, bahwa ia dijadikan dalam qudrah ( kuasa )
Allah, yang kalau membinasakan seperti dia beribu-ribu orang dan mengabadikan
azab kepada mereka untuk selama-lamanya, niscaya yang demikian itu tidak
membekas pada Allah suatu bekasan, tidak dipengaruhi kepadaNya oleh
belas-kasihan dan tidak menimpa kepadaNya oleh kegundahan. Dan karena inilah,
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, ialah orang-orang
yang berilmu (ulama) di antara hamba-hambaNya". S 35 Faathir ayat 28.
Pembukaan (fatihahnya) kitab Az Zabur, ialah: “Pokok hikmah, ialah: takut
kepada Allah”. Ibnu Mas’ud ra mengatakan: “Cukuplah dengan takut kepada Allah
itu ilmu. Dan cukuplah dengan terperdaya menggunakan nama Allah itu,
kebodohan”. Orang meminta fatwa dari Al Hasan Al Bashar (melihat)i ra tentang
suatu masalah. Al Hasan lalu menjawabnya. Maka dikatakan kepada Al Hasan:
“Ulama fuqaha’ (ahli fiqih) kita tidak mengatakan demikian”. Lalu Al Hasan Al
Bashar (melihat)i ra menjawab: “Adakah sekali-kali engkau melihat seorang faqih
(ahli fiqih)? Ahli fiqih itu yang berdiri (mengerjakan shalat) pada malamnya,
berpuasa pada siangnya, yang zuhud di dunia?”. Pada suatu kali, Al Hasan Al Bashar
(melihat)i ra mengatakan: “Faqih itu tidak mengejek-ejek dan tidak
bermusuh-musuhan. Ia menebarkan hikmah Allah (ilmu yang penuh hikmah dari
Allah). Kalau engkau terima daripadanya, maka ia memuji Allah. Dan kalau engkau
tolak kepadanya, ia memuji Allah”. Jadi, orang faqih itu, ialah: orang yang
memahami dari Allah akan perintahNya dan laranganNya. Ia mengetahui dari
sifat-sifat Allah, apa yang disukaiNya dan apa yang tidak disukaiNya. Dia itu
orang berilmu (orang alim).- Siapa yang dikehendaki oleh Allah mmeperoleh
kebajikan, niscaya dianugerahkanNya pemahaman pada agama. Apabila orang
tersebut tidak dengan sifat ini, maka dia termasuk orang yang tertipu
(terperdaya). Suatu golongan lain:
mereka itu mengokohkan ilmu dan amal. Mereka rajin mengerjakan taat yang tampak
terlihat (taat zahiriyah). Mereka meninggalkan perbuatan maksiat. Hanya mereka
tidak mencari pada hati mereka, untuk menyapu dari hatinya, sifat-sifat yang
tercela pada Allah, dari takabur, dengki, ria, mencari untuk menjadi kepala,
bermaksud jahat kepada teman-teman dan orang-orang yang sebaya, mencari
terkenal dalam negeri dan pada hamba-hamba Allah. Kadang-kadang sebahagian
mereka tidak mengetahui, bahwa yang demikian itu tercela. Lantas ia
bertelungkup padanya, tidak menjaga diri daripadanya. Ia tidak menoleh kepada
sabda Nabi saw: “Sekurang-kurang ria itu syirik”. Dan kepada sabda Nabi saw:
“Tiada akan masuk sorga orang yang dalam hatinya, seberat atom bari takabur
(sombong)”. Dan pada sabda Nabi saw: “Dengki itu makan amal yang baik, sebagaimana
api memakan kayu kering”. Dan kepada sabda Nabi saw: “Menyukai kemuliaan dan
harta itu menumbuhkan nifaq (kemunafikan), sebagaimana air menumbuhkan
sayur-sayuran”. Dan lain-lain dari hadits-hadits yang telah kami bentangkan
dahulu pada semua Rubu’ Yang Membinaskan pada akhlak tercela. Mereka itu
menghiasi zahiriyahnya dan menyia-nyiakan batiniyahnya. Mereka lupa akan sabda
Nabi saw: “Bahwa Allah tiada memandang kepada rupamu dan tiada kepada hartamu.
IA sesungguhnya memandang kepada hatimu dan amalmu”. Mereka membarukan amal dan
tidak membarukan hati. Padahal hati itu pokok. Karena tiada terlepas, selain
orang yang datang kepada Allah dengan hati sejahtera. Contoh mereka itu adalah
seperti: rumah dalam kebun kurma, zahirnya (di luar) bercat putih dan batinnya
(dalamnya) busuk. Atau seperti: kuburan orang-orang mati, zahirnya (di luar)
dihiasi dan batinnya (di dalam) bangkai. Atau seperti rumah yang gelap.
Batinnya (di dalamnya) diletakkan lampu atas lotengnya. Lalu teranglah luarnya.
Dan batinnya (dalamnya) itu gelap. Atau seperti seorang laki-laki, yang
bermaksud agar raja menjadi tetamunya ke rumahnya. Lalu ia mengkapurkan pintu
rumahnya dan tidak mengkapurkan tempat sampah di depan rumahnya. Maka tidaklah
tersembunyi, bahwa yang demikian itu tertipu (terperdaya). Bahkan contoh yang
lebih dekat kepadanya, ialah: seorang laki-laki yang menanami suatu tanaman,
lalu tumbuh. Dan tumbuh bersama tanaman tadi, rumput yang akan merusakkannya.
Lalu ia menyuruh membersihkan tanaman tadi dengan menghilangkan rumput, dengan
mencabutnya dari akarnya. Lalu dicabut ujung dan daun-daun rumput itu. Maka
lantaran akarnya masih kuat, lalu tumbuh lagi. Karena tempat tumbuhnya
kemaksiatan itu, ialah: akhlak tercela di dalam hati. siapa yang hatinya tidak
suci dari akhlak tercela itu, niscaya tiada sempurna taatnya yang zahiriyah,
selain disertai banyak bahaya. Bahkan dia seperti orang sakit, yang telah
menampak padanya penyakit kurab. Ia menggosok kulitnya dengan minyak obat dan
meminum obat. Minyak obat itu untuk menghilangkan apa yang tumbuh pada
kulitnya. Dan obat untuk menghabiskan unsur penyakit dari dalamnya. Lalu
dicukupkannya denagn minyak obat dan tidak dipakainya obat. Dan tinggallah
diperolehnya apa yang bertambah pada unsur penyakit. Lalu senantiasalah ia menggosok
yang zahir pada kulitnya. Dan penyakit kurab itu terus berkekalan padanya, yang
terpancar dari unsur yang ada dalam batin tubuhnya. Suatu golongan lain: mereka mengetahui, bahwa akhlak batiniyah ini
tercela dari pihak agama. Hanya karena mereka mengherani (bersifat ‘ujub) pada
dirinya, lalu menyangka bahwa mereka terlepas daripadanya. Dan bahwa mereka
lebih tinggi pada sisi Allah, daripada Allah akan mencoba mereka dengan yang
demikian. Dan sesungguhnya yang dicoba, ialah: orang-orang awam. Tidak orang
yang telah sampai tingkat mereka dalam ilmu. Adapun mereka maka lebih besar di
sisi Allah, daripada untuk dicobakan. Kemudian, apabila telah menampak pada
mereka, tanda-tanda kesombongan, riasah (ingin jadi kepala), mencari ketinggian
dan kemuliaan, lantas mereka mengatakan: “Ini bukan sombong. Hanya mencari
kemuliaan agama, melahirkan kemuliaan ilmu, menolong agama Allah, menghina
kekerasan hidung orang-orang yang menantang, dari orang-orang pembuat bid’ah
(yang diada-adakan). Dan aku, jikalau aku pakai pakaian buruk dan aku duduk
pada tempat hina, niscaya aku dikacaukan oleh musuh-musuh agama. Dan mereka
bergembira dengan demikian. Kehinaanku adalah kehinaan kepada Islam”. Orang
terperdaya itu lupa, bahwa musuhnya yang harus ia berhati-hati daripadanya, ialah:
tuannya. Yaitu: setan. Dan setanlah yang bergembira dengan apa yang
diperbuatnya dan yang menyuruh memperbuatnya. Ia lupa, bahwa Nabi saw, dengan
apa beliau menolong agama? Dengan apa beliau menghina orang-orang kafir? Ia
lupa, apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tentang: merendahkan diri, suka
memberi, merasa cukup (qana’ah) dengan kepapaan dan kemiskinan. Sehingga Umar
ra dicaci orang tentang buruk pakaiannya, ketika tiba di negeri Syam. Lalu Umar
ra menjawab: “Kami itu suatu kaum, yang telah ditinggalkan oleh Allah dengan
Islam. Maka kami tidak mencari ketinggian pada yang lain”. Kemudian, orang yang
terperdaya itu, mencari ketinggian agama dengan kain-kain yang halus, yang
dihiasi dengan mutiara, hiasan dan sutera yang diharamkan. Dan dengan kuda yang
terhias dan kendaraan-kendaraan yang dibanggakan. Ia mendakwakan, bahwa dengan
yang demikian itu, ia mencari ketinggian ilmu dan kemuliaan agama. Begitu pula,
manakala ia melancarkan lidahnya, dengan dengki kepada teman-temannya atau
kepada orang yang menolak sesuatu dari perkataannya. Dia tidak menyangka, bahwa
yang demikian itu dengki. Akan tetapi, ia mengatakan, bahwa ini marah karena
kebenaran dan menolak atas orang yang berbuat batil/salah, mengenai permusuhan
dan kezalimannya. Ia tidak menyangka pada dirinya dengki, sehingga ia
berkeyakinan bahwa jikalau ia menikam orang lain dari ahli ilmu atau ia
melarang orang lain, dari menjadi kepala, lantas ia didesak pada yang demikian,
adakah kemarahannya dan permusuhannya itu, seperti kemarahannya yang sekarang?
Lantas adakah kemarahannya karena Allah atau ia tidak marah, manakala ia
menikam orang berilmu yang lain dan ia melarang? Bahkan kadang-kadang ia
bergembira dengan yang demikian itu? Lantas adalah kemarahannya karena dirinya
sendiri dan dengkinya kepada teman-temannya, dari kekejian batinnya. Begitulah
ia berbuat ria (memperlihatkan kepada orang) dengan amal dan ilmunya. Dan
apabila terguris kepadanya gurisan ria, lantas ia mengatakan: “Amat jauh dari
ria! Sesunguhnya maksudku dari melahirkan ilmu dan amal itu, agar orang banyak
mengikuti aku. Supaya mereka memperoleh petunjuk kepada agama Allah Ta’ala.
Lalu mereka itu terlepas dari siksaan Allah Ta’ala”. Orang yang terperdaya itu
tidak memperhatikan, bahwa dia tidak bergembira dengan orang banyak mengikuti
orang lain, sebagaimana ia bergembira dengan orang banyak mengikutinya. Jikalau
maksudnya itu perbaikan orang banyak, niscaya ia bergembira dengan perbaikan
mereka pada tangan siapa saja. Seperti orang yang mempunyai budak-budak yang
sakit, dimana ia bermaksud mengobatinya. Maka dia tidak memperbedakan, di
antara berhasil sembuhnya budak-budak itu pada tangannya atau pada tangan tabib
yang lain. Kadang-kadang disebutkan ini kepadanya, lalu ia tidak dibiarkan pula
oleh setan. Dan ia mengatakan: “Sesungguhnya yang demikian itu, karena orang
banyak apabila memperoleh petunjuk dengan sebabku, maka adalah pahala bagiku
dan balasan bagiku. Sesungguhnya kegembiraanku dengan pahala yang diberikan
oleh Allah, tidak dengan penerimaan orang banyak akan perkataanku”. Inilah yang
disangkakan orang itu dengan dirinya. Dan Allah melihat apa yang dalam hatinya,
bahwa jikalau diterangkan kepadanya oleh Nabi saw, bahwa pahalanya pada
kemalasan dan menyembunyikan ilmu itu lebih banyak, daripada pahalanya pada pada
melahirkan ilmu. Dan bersamaan dengan itu, ia ditahan dalam penjara dan diikat
dengan rantai besi. Niscaya ia berdaya upaya untuk merobohkan penjara dan
melepaskan rantai besi. Sehingga ia kembali ke tempatnya, dimana di situ
menampak ke-kepala-annya, dari mengajar atau memberi nasehat atau lainnya. Dan
begitu juga, ia masuk ke tempat sultan (penguasa), mengharap kasih sayang
daripada penguasa, memuji dan merendahkan diri kepadanya. Apabila terguris
baginya, bahwa merendahkan diri (tawadlu’) kepada penguasa-penguasa yang zalim
itu haram, lantas setan mengatakan kepadanya: “Amat jauh dari itu! Yang
demikian itu sesungguhnya, ketika loba pada harta mereka. Adapun engkau, maka
maksud engkau, ialah: untuk menolong kaum muslimin, menolak melarat dari mereka
dan menolak kejahatan musuh-musuh engkau dari diri engkau”. Allah mengetahui
dari batin orang itu, bahwa jikalau menampak bagi setengah teman-temannya,
penerimaannya pada sultan itu, lantas jadilah ia menolong (memberi syafaat)
kepada tiap-tiap muslim, sehingga tertolaklah melarat dari semua kaum muslimin,
niscaya beratlah yang demikian kepadanya. Dan kalau diumpamakan, bahwa
keadaannya itu buruk pada sisi sultan, dengan mencaci dan membohonginya,
niscaya ia perbuat yang demikian (memberi syafaat itu). Begitu pula,
kadang-kadang berkesudahan terperdayanya sebagian mereka, kepada mengambil dari
harta penguasa. Dan apaibla terguris kepadanya bahwa harta itu haram, lalu
setan mengatakan kepadanya: “Ini harta yang tidak mempunyai pemiliknya. Harta
ini untuk kemuslihatan kaum muslimin. Dan engkau itu imam kaum muslimin dan
orang alim mereka. Dengan engkau tegaknya agama. Apakah tidak halal bagi engkau
mengambil sekedar keperluan engkau?”. Lalu ia terperdaya dengan penipuan ini
pada 3 perkara:
Pertama: tentang itu harta yang tidak ada pemiliknya. Dia
tahu, bahwa raja itu mengambil pajak dari kaum muslimin dan orang-orang yang
banyak harta. Dan mereka yang diambil pajak itu, masih hidup. Anak-anaknya dan
ahli warisnya masih hidup. Kesudahan keadaan itu, ialah, terjadinya percampuran
pada harta mereka. Dan orang yang merampas 100 dinar emas dari 10 orang dan
dicampurkannya uang tersebut pada suatu tempat, maka tidak ada perbedaan paham,
bahwa itu harta haram. Dan tidak dikatakan, bahwa itu harta yang tida ada
pemiliknya. Dan haruslah dibagikan diantara 10 orang itu dan dikembalikan
kepada masing-masing, 10 dinar emas, walaupun harta masing-masing telah
bercampur dengan harta orang lain.
Kedua: tentang katanya: bahwa engkau termasuk kepentingan
kaum muslimin dan dengan engkau tegaknya agama. Kiranya mereka yang telah rusak
agamanya, yang menghalalkan harta raja-raja dan ingin mencari dunia,
menghadapkan diri kepada menjadi kepala dan dengan sebab yang demikian,
berpaling dari akhirat, adalah lebih banyak dari mereka yang zuhud di dunia,
menolak dunia dan menghadapkan diri kepada Allah. Orang itu sebenarnya dajjal
agama dan penegak mazhab setan-setan. Bukan imam agama. Karena imam, ialah:
orang yang diikuti pada berpaling dari dunia dan menghadapkan diri kepada
Allah, seperti: nabi-nabi as dan para sahabat dan ulama-ulama terdahulu (ulama
salaf). Dan dajjal, ialah: yang diikuti pada berpalingnya dari Allah dan
menghadapkan diri kepada dunia. Semoga matinya orang ini, lebih bermanfaat
kepada kaum muslimin, daripada hidupnya. Ia mendakwakan, bahwa dia tiang agama.
Contohnya, adalah seperti yang dikatakan oleh nabi Isa as kepada orang berilmu
yang jahat. Bahwa orang itu, seperti batu besar yang jatuh pada mulut parit
air. Batu besar itu tidak meminum air dan tidak membiarkan air terlepas kepada
tanaman. Jenis tertipunya ahli ilmu pada masa-masa yang akhir ini, di luar
hinggaan. Dan pada apa yang telah kami sebutkan itu, adalah pemberitahuan
dengan yang sedikit atas yang banyak. Suatu
golongan lain: mereka meneguhkan ilmu, mensucikan anggota badannya,
menghiasinya dengan ketaatan, menjauhkan segala maksiat zahir, mencari akhlak
diri dan sifat hati, dari ria, dengki, busuk hati, sombong, mencari ketinggian,
lalu memperjuangkan (bermujahadah) dirinya pada melepaskan diri dari sifat-sifat
buruk itu. Mereka mencabut dari hati, tempat tumbuhnya sifat-sifat buruk itu,
yang jelas dan kuat. Tetapi, kemudian mereka itu terperdaya. Karena masih ada
dalam sudut-sudut hati, yang tersembunyi dari tipuan setan dan bungkusan
penipuan diri, apa yang halus dan sulit mengetahuinya. Lalu mereka tidak
memahaminya dan menyia-nyiakannya. Perumpamaannya, ialah: orang yang bermaksud
membersihkan tanaman dari rumput. Lalu ia berkeliling dan memeriksa dari
masing-masing rumput, yang dilihatnya, lalu dicabutnya. Hanya ia tidak
memeriksa pada yang tidak keluar ujungnya (pucuknya) dari bawah tanah. Ia
menyangka bahwa semua sudah tampak dan telah muncul. Dan telah tumbuh dari
pangkal rumput, suatu cabangnya yang halus. Lalu menjalar di bawah tanah. Maka
ini disia-siakannya. Ia menyangka, bahwa sudah dicabutnya. Jadi, dengan
kelalaiannya itu, rumput tadi terus tumbuh, kuat dan merusakkan pokok-pokok
tanaman, dimana ia tidak mengetahuinya. Maka begitu pula, orang berilmu,
kadang-kadang berbuat semua yang demikian. Ia lengah dari mengamat-amati yang
tersembunyi dan mencari yang tertanam. Lantas anda melihat orang berilmu
tersebut, tidak tidur malamnya dan siangnya pada mengumpulkan ilmu,
menyusunkannya, membaguskan lafal-lafalnya dan mengumpulkan karangan-karangan
mengenai ilmu-ilmu itu. Ia melihat, bahwa penggeraknya, ialah: ingin melahirkan
agama Allah dan menyiarkan agamaNya. Mungkin penggeraknya yang tersembunyi,
ialah: mencari namanya disebut orang, tersiar suaranya di tepi-tepi desa,
banyak orang datang kepadanya dari segala penjuru, lancarnya lidah manusia
kepadanya dengan sanjungan dan pujian dengan zuhud, wara’ dan ilmu,
mendahulukannya pada segala kepentingan, mengutamakannya pada segala maksud,
berkumpul di sekelilingnya untuk menerima faedah keilmuannya, merasa enak
dengan bagus didengar suaranya ketika bagus kata-katanya dan bagus
mengemukakannya, bersenang-senang dengan menggerak-gerakkan kepala kepada
perkataannya, menangis kepadanya, merasa takjub daripadanya, gembira dengan
banyak teman, banyak pengikut dan orang-orang yang mengambil faedah padanya,
gembira dengan penentuan pada kekhususan ini, dari teman-teman dan
bentuk-bentuk pikiran yang lain, untuk mengumpulkan di antara ilmu, wara’ dan
kelahiran zuhud dan menetapnya yang demikian, dengan lancarnya lidah cacian
pada umumnya manusia yang menghadap kepada dunia. Tidak dari kesusahan dengan
bencana yang menimpa agama. Akan tetapi, dari penunjukkan dengan pembedaan dan
penyediaan dengan penentuan. Semoga orang yang patut dikasihani, yang tertipu
ini, hidup batiniyahnya dengan yang teratur baginya, dari perintah, kekuasaan,
ketinggian, kepatuhan, pemuliaan dan bagus pujian. Jikalau berobah hati manusia
kepadanya dan mereka berkeyakinan padanya sebalik dari zuhud, dengan apa yang
tampak dari amal-perbuatannya, maka kiranya akan mengacaukan hatinya dan
bercampur aduk pekerjaan ibadah yang biasa dikerjakannya (wiridnya) dan
tugas-tugas pekerjaannya. Dan kiranya ia akan mencari alasan dengan semua jalan
bagi dirinya. Kadang-kadang ia memerlukan kepada berdusta pada menutupi
kekurangannya. Dan kiranya ia akan mengutamakan, dengan kemuliaan dan
pemeliharaan, akan orang yang dipercayainya padanya zuhud dan wara’, walaupun
ia telah meyakini pada orang itu, di atas takarannya. Dan tidak setuju hatinya
pada orang yang dikenalnya batas kelebihan dan kewara’annya, walaupun ada yang
demikian di atas kesesuaian keadaannya. Dan kiranya ia akan mengutamakan
sebahagian temannya dari sebahagian. Dan ia melihat bahwa ia mengutamakannya
itu, karena terkemukanya pada kelebihan dan kewara’an. Yang demikian itu
sesungguhnya, karena ia lebih menuruti dan mengikuti bagi kehendaknya, lebih
banyak pujian manusia kepadanya, lebih kuat perhatian manusia kepada
kata-katanya dan lebih suka manusia kepada melayaninya. Semoga mereka mengambil
faedah daripadanya dan gemar pada ilmunya. Ia menyangka bahwa penerimaan
manusia kepadanya, karena keikhlasannya, kebenarannya dan tegaknya dengan
kebenaran pengetahuannya. Lalu ia memuji Allah Ta’ala, atas apa yang
dimudahkanNya pada lidahnya, daripada kemanfaatan makhlukNya. Ia melihat bahwa
yang demikian itu menutupkan segala dosa. Dan ia tidak mencari serta dirinya
pembetulan niat padanya. Kiranya, jikalau ia berjanji dengan pahala seperti
itu, pada mengutamakan namanya untuk tidak terkenal, mengasingkan diri dan
menyembunyikan ilmu, niscaya ia tidak suka pada yang demikian. Karena ia
menghilang dalam pengasingan diri, karena tersembunyinya keenakan penerimaan
orang dan kemuliaan menjadi kepala. Kiranya contoh ini, yang dimaksud dengan
kata setan: “Siapa dari anak Adam (manusia) yang mendakwakan, bahwa dia dengan
ilmunya tercegah daripadaku, maka dengan kebodohannya, ia jatuh dalam
perangkapku”. Kiranya orang itu mengarang dan bersungguh-sungguh pada
pengarangannya, dengan menyangka bahwa ia mengumpulkan ilmu Allah, untuk
diambil manfaatnya. Sesungguhnya ia bermaksud dengan yang demikian, untuk
membumbung tinggi namanya, dengan bagus pengarangannya. Kalau ada orang yang
mendakwakan itu karangannya, lalu orang itu menghapuskan nama pengarangnya dan
mengatakan karangannya sendiri, niscaya beratlah yang demikian kepadanya, serta
diketahuinya, bahwa pahala penerimaan faedah dari pengarangan, sesungguhnya
kembali kepada pengarang. Dan Allah mengetahui bahwa orang itu pengarang. Tidak
yang mendakwakannya. Mungkin pada pengarangannya itu, ia tidak terlepas dari
pujian kepada dirinya. Adakalanya terus-terang dengan dakwaan-dakwaan yang
terentang panjang. Adakalanya mengandung cacian kepada orang lain, supaya
terang dari caciannya kepada orang lain, bahwa dia lebih utama daripada orang
yang dicacinya dan lebih banyak ilmunya dari orang itu. Sesungguhnya dia tidak
perlu pada cacian itu. Kiranya ia menceritakan dari kata-kata yang dipalsukan,
apa yang ia lebihkan pemalsuannya. Lalu disandarkannya kepada yang
mengatakannya. Dan apa yang dipandangnya baik, lalu tidak disandarkannya kepada
yang mengatakannya. Supaya disangka orang, bahwa itu dari perkataannya. Lalu
dinukilkannya perkataan itu dengan selengkapnya, seperti: pencuri kata-kata
itu. Atau dirobahnya dengan sedikit perobahan, seperti orang yang mencuri baju
kemeja, lalu dibuatnya menjadi baju kurung. Sehingga tidak diketahui, bahwa itu
baju curian. Kiranya ia bersungguh-sungguh pada menghiasi kata-katanya,
mensajakkan dan membaguskan susunannya, supaya tidak dikatakan tidak teratur
susunan (ar-rakakah). Ia melihat, bahwa maksudnya melakukan hikmah, membaguskan
dan menghiasinya, supaya lebih dekat kepada kemanfaatan bagi manusia. Kiranya
ia lupa, apa yang diriwayatkan, bahwa setengah hukama’ (ahli ilmu hikmah)
mengarang 300 buku dalam ilmu hikmah (ilmu filsafat atau ilmu yang mendalam).
Lalu Allah menurunkan wahyu kepada Nabi zaman pengarang tadi: “Katakanlah
kepada pengarang itu! Sesungguhnya telah penuh bumi oleh kemunafikan. Dan AKU
tidak menerima sesuatu dari kemunafikanmu itu”. Kiranya segolongan dari
orang-orang tertipu jenis ini, apabila mereka berkumpul, lalu masing-masing
menyangka dirinya selamat dari kekurangan dan yang tersembunyi di dalam hati.
Jikalau mereka sudah bercerai-berai dan masing-masing dari mereka mengikuti
segolongan dari teman-temannya, niscaya masing-masing melihat kepada banyaknya
orang yang mengikutinya. Dia yang banyak pengikut atau orang lain. Lalu ia
bergembira, kalau pengikutnya lebih banyak walaupun diketahuinya, bahwa orang
lain yang lebih berhak dengan banyak pengikut itu. Kemudian, apabila mereka
telah bercerai-berai dan sibuk dengan mengambil faedahnya, niscaya mereka
cemburu-mencemburu dan hasut-menghasut. Dan dapat saja, orang yang berpihak
kepada seseorang dari mereka, apabila orang itu memutuskan untuk berpindah
kepada orang lain, niscaya beratlah yang demikian atas hatinya. Dan ia merasa
pada dirinya, liar hati daripada orang itu. Lalu kemudian, batinnya tidak
tergerak untuk memuliakannya. Dan ia tidak bersedia untuk memenuhi segala keperluannya,
sebagaimana ia telah bersedia sebelumnya. Ia tidak ingin memujinya, sebagaimana
ia telah memujinya dahulu, serta diketahuinya, bahwa ia sibuk dengan mengambil
faedahnya. Mungkin berpihaknya kepada golongan lain itu, lebih bermanfaat
baginya pada agamanya, karena sesuatu bahaya yang mengenainya pada golongan ini
dan selamatnya dari bahaya itu pada golongan tersebut. Dan bersama yang
demikian, senantiasalah liar hatinya. Mungkin seseorang dari mereka, apabila
tergerak padanya titik-titik permulaan kedengkian, niscaya ia tidak sanggup
menampakkannya. Lalu ia mencari sebab dengan mencaci pada agamanya dan
wara’nya, supaya terbawa kemarahannya kepada yang demikian. Dan ia mengatakan:
“Sesungguhnya aku marah karena agama Allah, tidak karena diriku”. Manakala
disebutkan kekurangannya di mukanya, kadang-kadang ia bergemibra bagi yang
demikian. Dan kalau dipuji, kadang-kadang menyakitkannya dan tidak
menyenanginya. Kadang-kadang masam mukanya apabila disebutkan kekurangannya. Ia
melahirkan bahwa ia tidak senang untuk mengumpat kaum muslimin. Dan rahasia
hatinya senang dengan demikian dan mengingininya. Dan Allah melihat kepadanya
pada yang demikian. Maka inilah dan contoh-contohnya dari sifat-sifat yang
tersembunyi dalam hati, yang tidak diketahui, selain oleh orang-orang cerdik.
Tidak mensucikan diri daripadanya, selain orang-orang yang kuat imannya. Dan
tidak ada harapan padanya bagi orang-orang lemah seperti kita. Kecuali, bahwa
tingkat yang paling rendah, ialah: bahwa manusia mengetahui kekurangan dirinya,
memburukkan yang demikian baginya dan tidak disukainya dan ia berusaha
memperbaikinya. Maka apabila Allah menghendaki kebajikan bagi seorang hambaNya,
niscaya diperlihatkanNya kepada orang itu akan kekurangan dirinya. Siapa yang
menyenangkan baginya oleh kebaikannya dan memburukkan baginya oleh
keburukannya, maka orang itu, keadaannya ada harapan. Urusannya lebih dekat
dari orang yang tertipu, yang membersihkan dirinya, yang berangan-angan kepada
Allah dengan amal dan ilmunya. Yang menyangka, bahwa dia termasuk makhlukNya
yang pilihan. Kita berlindung dengan Allah, dari kelalaian dan tertipu dan dari
mengetahui kekurangan-kekurangan yang tersembunyi, serta menyia-nyiakannya.
Inilah tertipunya mereka yang berhasil mempunyai ilmu-ilmu penting. Tetapi, teledor
pada mengamalkan dengan ilmu itu. Dan marilah sekarang, kami sebutkan
tertipunya mereka yang merasa cukup dengan ilmu-ilmu yang tidak penting bagi
mereka dan mereka tinggalkan yang penting. Mereka dengan demikian itu
terperdaya. Adakalanya, karena mereka merasa tidak memerlukan kepada pokok ilmu
itu. Dan adakalanya, karena mereka menyingkatkan kepada ilmu itu saja. Di
antara mereka ada golongan, yang menyingkatkan kepada ilmu fatwa (cara
mengeluarkan fatwa) pada pemerintahan, perselisihan-perselisihan dan penguraian
mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah
diamalkan) duniawiyah, yang berlaku di antara makhluk bagi kepentingan
hamba-hamba Allah. Mereka khususkan nama fiqih untuk itu. Dan mereka
menamakannya: fiqih dan ilmu mazhab. Kadang-kadang, bersamaan dengan yang
demikian, mereka menyia-nyiakan amal zahiriyah dan batiniyah. Lalu mereka tidak
mencari anggota badannya (untuk amal). Mereka tidak membisukan lidahnya dari
mengumpat, perutnya dari yang haram dan kakinya dari pergi kepada sultan-sultan
(penguasa-penguasa). Dan demikian juga, anggota-anggota tubuhnya yang lain.
Mereka tidak membisukan hatinya dari sombong, dengki, ria dan hal-hal yang
membinasakan lainnya. Maka mereka itu tertipu dari 2 segi: Pertama: dari segi
amal. Dan yang lain dari segi ilmu. Adapun amal, maka telah kami sebutkan
dahulu segi terperdaya padanya. Dan contoh mereka, adalah contoh orang sakit,
apabila ia mempelajari buku (nuskhah) obat. Ia sibuk dengan mengulang-ulang
membacanya dan mengajarinya. Tidaklah bermanfaat yang demikian. Bahkan contoh
mereka, adalah seperti orang yang ada padanya penyakit bawazir dan bengkak
dalam perut. Ia mendekati kepada binasa dan memerlukan kepada mempelajari obat
dan memakainya. Lalu ia berusaha mempelajari obat istihadlah (obat keluar darah
wanita sesudah bersalin). Dan mengulang-ulangi yang demikian, malam dan siang,
serta diketahuinya bahwa dia laki-laki yang tidak berhaid (datang kotoran) dan
tidak beristihadlah. Akan tetapi, ia mengatakan: “Kadang-kadang timbul penyakit
istihadlah bagi wanita dan ia bertanya kepadaku dari yang demikian”. Yang
demikian itu, terperdaya benar! Begitu pula, orang yang mempelajari fiqih yang
patut dikasihani, yang telah menguasainya oleh kecintaan kepada dunia,
mengikuti nafsu syahwat, dengki, sombong, ria dan sifat-sifat batiniyah yang
membinasakan. Kadang-kadang ia disambar oleh kematian, sebelum taubat dan
menyadari diri. Maka ia menemui Allah dan Allah marah kepadanya.
Ditinggalkannya itu semua dan ia sibuk dengan ilmu: jual-beli dengan
menyerahkan barang (baius-silmi), sewa menyewa, dhihar (menyerupakan punggung
isteri dengan punggung ibu, sehingga mendatangkan perceraian), li’an (tuduhan
pihak suami, isterinya berbuat serong, sehingga menimbulkan perceraian),
luka-luka, diat, selang sengketa, keterangan-keterangan pada selang sengketa
dan dengan kitab haid. Dan ia tidak memerlukan sekali-kali kepada suatupun dari
yang demikian, selama umurnya, bagi dirinya sendiri. Dan apabila orang lain
memerlukannya, maka dalam kalangan mufti-mufti itu banyak yang mengetahuinya.
Maka ia menyibukkan diri dengan yang demikian dan ia berusaha mengetahuinya,
karena padanya kemegahan, menjadi kepala dan memperoleh harta. Ia telah digoda
oleh setan dan ia tidak menyadarinya. Karena disangka oleh orang yang
terperdaya dengan dirinya itu, bahwa dia itu bekerja dengan kewajiban agamanya.
Ia tidak tahu, bahwa mengerjakan fardlu kifayah(jika ada 1 orang yg
mengerjakannya maka selesai urusan itu), sebelum selesai dari fardlu ‘ain itu
perbuatan maksiat. Ini, kalau niatnya benar, seperti yang dikatakannya. Ia
bermaksud dengan ilmu fiqih itu wajah Allah Ta’ala. Sesungguhnya walaupun ia
bermaksud akan wajah Allah, maka dengan kesibukannya dengan fiqih itu, dia
telah berpaling dari fardlu ‘ainnya pada anggota badan dan hatinya. Maka ini
terperdayanya dari segi: amal. Adapun terperdayanya dari segi: ilmu, maka
dimana ia menyingkatkan ilmunya atas ilmu fatwa saja. Ia menyangka bahwa itu
ilmu agama. Ia meninggalkan ilmu Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw.
Kadang-kadang ia mencari ulama-ulama hadits. Ia mengatakan, bahwa mereka itu
penyalin-penyalin hadits dan pembawa-pembawa kitab, yang tidak memahami
apa-apa. Ia meninggalkan juga ilmu Tahdzibul-Akhlak dan ia meninggalkan
pemahaman dari hal Allah Ta’ala, dengan mengetahui keagungan dan kebesaranNya.
Yaitu: ilmu yang mewarisi takut, gemetar dan khusyu’ dan yang membawa kepada
ketaqwaan. Lalu engkau melihatnya merasa aman dari azab Allah. Ia terperdaya
dengan demikian. Ia berpegang, bahwa yang demikian itu sudah pasti (tak boleh
tidak), bahwa Tuhan merahmatinya. Karena dia menegakkan agamaNya. Dan kalau dia
tidak bekerja untuk memberi fatwa, niscaya kosonglah halal dan haram. Maka ia
tinggalkan ilmu-ilmu yang lebih penting. Ia lalai, tertipu. Dan sebab
tertipunya, ialah: apa yang didengarnya pada agama, daripada: membesarkan ilmu
fiqih. Ia tidak tahu, bahwa fiqih itu, ialah: fiqih (memahami) dari hal Allah, mengetahui sifat-sifatNya
yang membawa kepada takut dan harap. Supaya hati merasa akan takut dan selalu
bertaqwa. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Mengapa tidak pula berangkat satu
rombongan dari tiap-tiap golongan itu untuk mempelajari perkara agama, supaya
mereka dapat memberikan peringatan kepada kaumnya bila telah kembali kepada
mereka. Mudah-mudahan mereka berhati-hati (menjaga dirinya)”. S At Taubah ayat
122. Yang berhasil peringatan dengan yang tersebut, bukanlah ilmu ini. Yang
dimaksud dari ilmu ini, ialah: memelihara harta dengan syarat-syarat mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan
menjaga badan dengan harta, dengan menolak pembunuhan dan pelukaan-pelukaan.
Dan harta pada jalan Allah itu merupakan alat. Dan badan itu kendaraan. Dan
ilmu yang penting, ialah: mengetahui jalan yang ditempuh dan memotong segala
yang menghalangi hati. yaitu: sifat-sifat yang tercela. Maka itu adalah dinding
(hijab) antara hamba dan Allah Ta’ala. Apabila ia mati, berlumuran dengan
sifat-sifat itu, niscaya ia terdinding dari Allah. contohnya pada menyingkatkan
atas ilmu fiqh saja, ialah: seperti orang yang menyingkatkan pada menempuh
perrjalanan haji, kepada ilmu menjahit kulit tempat air dan muza (alas kaki) saja. Dan tidak ragu
lagi kiranya, bahwa jikalau itu tidak ada, niscaya terhalanglah haji itu. Akan
tetapi orang yang mencukupkan dengan tempat air dan muza tadi saja, niscaya
tidaklah sedikitpun ia dalam haji dan tidak dengan jalan haji. Telah kami
sebutkan dahulu uraian itu pada Kitab Ilmu. Diantara mereka ialah: orang yang
menyingkatkan dari ilmu fiqih, atas masalah khilafiyah saja. Tidak penting
baginya, selain mempelajari jalan bertengkar (perdebatan (mujadalah) ),
mengharuskan, mendiamkan lawan, menolak kebenaran karena kemenangan dan
membanggakan diri. Dia sepanjang malam dan siang itu pada memeriksa hal-hal
yang bertentangan dari ahli-ahli mazhab, mencari kekurangan-kekurangan teman
dan memperoleh dengan cepat bermacam sebab yang menyakitkan. Mereka itu adalah
binatang buas berbentuk manusia. Tabiat mereka menyakitkan orang. Cita-cita
mereka membodohkan mereka. Tiada mereka maksudkan dengan ilmu, selain untuk
kepentingan apa yang harus bagi mereka, untuk membanggakan dari teman. Maka
semua ilmu, yang tiada mereka perlukan pada membanggakan diri, seperti: ilmu
hati, ilmu menjalani jalan kepada Allah Ta’ala, dengan mengikiskan sifat-sifat tercela
dan menggantikannya dengan sifat-sifat terpuji, maka mereka lecehkan dan
menamakannya: membagus-baguskan kata dan perkataan juru-juru nasehat. Yang
menjadi kesungguhan pada mereka, ialah: mengetahui uraian-uraian pertengkaran
yang berlaku diantara orang-orang yang berkelahi dalam berperdebatan
(perdebatan (mujadalah) ) . Mereka sudah mengumpulkan, apa yang telah
dikumpulkan oleh orang-orang sebelumnya, pada ilmu fatwa. Akan tetapi, mereka
menambahkan lagi, karena mereka melakukan apa yang tidak termasuk pula dari
fardlu kifayah(jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu).
Bahkan semua pertengkaran-pertengkaran yang halus dalam ilmu fiqih itu bid’ah
(yang diada-adakan) yang tidak dikenal oleh orang-orang terdahulu (orang
salaf). Adapun dalil-dalil hukum, maka melengkapi padanya ilmu mazhab. Yaitu:
Kitab Allah, Sunnah Rasulullah saw dan memahami arti keduanya. Adapun daya
upaya dalam pertengkaran, yang merupakan: menghancur, menukar, merusakkan
letak, penyusunan dan pelampauan batas, maka sesungguhnya diada-adakan, untuk
melahirkan kemenangan, mendiamkan lawan dan menegakkan pasaran pertengkaran
dengan yang tersebut itu. Terperdayanya mereka itu sangat banyaknya dan lebih
keji dari terperdayanya orang-orang yang sebelum mereka. Suatu golongan lain:
sibuk dengan ilmu kalam (berkata-kata), bertengkar menurut hawa nafsu, menolak
orang-orang yang menyalahinya dan mengikuti pertentangan-pertentangan mereka.
Mereka memperbanyak untuk mengetahui karangan-karangan yang berlainan. Mereka
sibuk dengan mempelajari jalan-jalan pada mendebatkan mereka dan mendiamkan
mereka dengan dalil-dalil keterangan. Mereka bercerai-berai pada yang demikian,
menjadi banyak golongan. Mereka berkeyakinan, bahwa tiada bagi hamba itu amal,
selain dengan iman. Dan iman itu tidak sah, selain dengan mempelajari
perdebatan (mujadalah) mereka dan apa
yang mereka namakan: dalil-dalil akidah mereka. Mereka menyangka, bahwa tiada
seorangpun yang lebih mengenal Allah dan sifat-sifatNya, selain mereka. Bahwa
tiada iman, bagi orang yang tiada meyakini mazhab (aliran) mereka dan tidak
mempelajari ilmu mereka. Masing-masing golongan dari mereka, mengajak kepada
dirinya. Kemudian, mereka itu 2 golongan: yang sesat dan yang benar. Yang sesat
ialah: yang mengajak kepada bukan sunnah. Dan yang benar. Ialah: yang mengajak
kepada sunnah dan terperdaya itu meratai bagi semua mereka. Adapun yang sesat,
maka karena lalainya dari kesesatannya dan karena sangkaannya dengan dirinya
itu kelepasan dari kesesatan. Dan mereka itu banyak golongan, yang mengkafirkan
sebahagian akan sebahagian yang lain. Dikemukakan golongan yang sesat ini, dari
segi bahwa ia tidak curiga kepada
pendapatnya. Pertama-tama ia tidak mengokohkan syarat-syarat dalil dan
jalannya. Lalu seseorang dari mereka memandang syubhah (hal yang diragukan) itu
dalil dan dalil itu syubhah. Golongan yang benar, bahwa tertipunya itu, ialah:
dari segi bahwa ia menyangka, perdebatan itu, hal yang terpenting dan
pendekatan diri yang paling utama pada Agama Allah. ia mendakwakan, bahwa tiada
sempurna bagi seseorang agamanya, selama ia tidak menyelidiki dan meneliti.
Bahwa orang yang membenarkan Allah dan RasulNya, tanpa penelitian dan
penguraian dalil, maka orang itu bukan orang mu’min. Atau ia tidak sempurna
imannya dan tidak didekatkan di sisi Allah. Karena sangkaan yang batil/salah
ini, maka habislah umurnya pada mempelajari bertengkar dan meneliti
karangan-karangan, kata sia-sia dari golongan bid’ah (yang diada-adakan) dan
pertentangan mereka. Dan menyia-nyiakan dirinya dan hatinya, sehingga mereka
menjadi buta dosa dan kesalahan yang zahir dan yang batin. Seseorang dari
mereka, menyangka bahwa kesibukannya dengan pertengkaran itu lebih utama, lebih
dekat di sisi Allah dan lebih afdhal. Tetapi, lantaran ia memperoleh kesenangan
dengan kemenangan, mendiamkan lawan dengan dalil, keenakan menjadi kepala dan
ketinggian julukan mempertahankan agama Allah Ta’ala, lalu butalah mata
hatinya. Lalu ia tidak menoleh kepada kurun (abad) pertama. Nabi saw
menyaksikan bahwa mereka (yang pada kurun pertama) itu, adalah makhluk yang
baik. Mereka banyak mengetahui tentang ahli bid’ah (yang diada-adakan) dan hawa
nafsu. Mereka tidak menjadikan umurnya dan agamanya, sebagai suatu maksud untuk
permusuhan dan pertengkaran. Mereka tiada berbuat demikian, dari karena mencari
hatinya, anggota badannya dan perihal-ikhwalnya. Bahkan mereka tiada
memperkatakan pada yang demikian, selain dari segi mereka melihat ada sesuatu
keperluan dan mereka melihat kenyataan tanda-tanda akan diterima. Lalu mereka
sebutkan sekadar perlu, apa yang menunjukkan orang yang sesat atas
kesesatannya. Apabila mereka melihat orang berkekalan di atas kesesatannya,
niscaya mereka tinggalkan orang itu. Mereka berpaling daripadanya dan
memarahinya karena Allah. Mereka tidak mengharuskan permusuhan dengan orang itu
sepanjang umur. Tetapi mereka mengatakan, bahwa kebenaran, ialah: da’wah kepada
Sunnah. Dan termasuk sebahagian dari Sunnah, ialah: meninggalkan pertengkaran
dalam berda’wah kepada Sunnah itu. Karena diriwayatkan oleh Abu Amamah
Al-Bahili, dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Tiada sekali-kali sesat
suatu kaum sesudah memperoleh petunjuk yang ada padanya, selain mereka yang
suka bertengkar”. Pada suatu hari, Rasulullah saw keluar menemui
sahabat-sahabatnya. Mereka itu sedang bertengkar dan bermusuh-musuhan. Maka
beliau marah kepada mereka. Sehingga seakan-akan muncul pada wajahnya biji buah
delima, karena kemerahan dari marah. Lalu beliau bersabda: “Adakah untuk ini,
engkau diutus? Adakah dengan ini engkau disuruh untuk memukul Kitab Allah, sebahagian
dengan sebahagian? Lihatlah kepada apa yang kamu perintahkan, maka kerjakanlah!
Dan apa yang dilarang kamu daripadanya, maka hentikanlah!”. Rasulullah saw
memperingatkan mereka dari yang demikian. Mereka adalah makhluk Allah yang
utama dengan berhujjah dan berperdebatan (mujadalah) . Kemudian, mereka itu
melihat Rasulullah saw dan beliau diutus kepada semua orang beragama
seluruhnya. Beliau tidak pernah duduk bersama mereka pada majlis perdebatan
(mujadalah) , untuk memaksakan, mendiamkan dengan dalil, menguatkan alasan,
menolak pertanyaan dan mendatangkan pemaksaan. Beliau tiada berperdebatan
(mujadalah) dengan mereka, selain pada
pembacaan Alquran yang diturunkan kepada mereka. Beliau tidak menambahkan pada
perdebatan (mujadalah) itu di atas yang
tadi. Karena yang demikian akan mengacaukan hati, menimbulkan
kesulitan-kesulitan dan keraguan. Kemudian, tidak mampu mengikiskannya dari
hati mereka. Beliau tidak lemah dari berperdebatan (mujadalah) dengan mereka, dengan pembahagian-pembahagian
persoalan dan kias-kias yang halus dan untuk mengajarkan para sahabatnya, cara
berdebat dan memaksakan. Akan tetapi, orang-orang yang cerdik dan
berpemandangan jauh, tidaklah tetipu dengan yang tersebut. Dan mereka
mengatakan: “Jikalau lepaslah penduduk bumi dan kami binasa, niscaya tidaklah
bermanfaat bagi kami kelepasan mereka. Dan kalau kami lepas dan mereka binasa,
niscaya tidak mendatangkan melarat bagi kami, oleh kebinasaan mereka. Tidaklah
atas kami, pada perdebatan (mujadalah)
itu, lebih banyak daripada apa yang ada atas para sahhabat bersama orang
Yahudi, orang Nasrani dan pemeluk-pemeluk agama lain. Mereka tidak
menyia-nyiakan umur, dengan menguraikan perdebatan (mujadalah) mereka. Maka tidaklah bagi kami menyia-nyiakan
umur. Dan tidaklah menggunakannya kepada yang bermanfaat bagi kami, pada hari
kemiskinan dan kepapaan kami? Dan kenapa kami terjun pada yang tidak kami
merasa aman atas diri kami, dari kesalahan pada penguraian-penguraiannya?
Kemudian, kami melihat bahwa orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) itu,
tidak meninggalkan bid’ah (yang diada-adakan)nya dengan perdebatan (mujadalah)
nya. Akan tetapi, menambahkan kepadanya fanatik (ta’ash-shub) dan permusuhan,
yang bersangatan pada bid’ah (yang diada-adakan)nya. Maka pekerjaanku dengan memusuhi
diriku, berperdebatan (mujadalah) dan
bermujahadah dengan dia, supaya diriku itu meninggalkan dunia untuk akhirat,
adalah lebih utama. Ini, jikalau aku tidak dilarang dari pertengkaran dan
permusuhan. Maka bagaimana dan aku sesungguhnya sudah dilarang daripadanya?
Bagaimana aku mengajak kepada Sunnah, dengan meninggalkan Sunnah? Maka yang
lebih utama, aku mencari diriku dan memperhatikan dari sifat-sifatnya, yang
memarahkan Allah Ta’ala dan menyukaiNya. Supaya aku membersihkan diriku dari
yang memarahiNya dan aku berpegang teguh, dengan yang menyukaiNya”. Suatu golongan lain: yang bergiat dalam
bidang memberi pengajaran dan peringatan. Yang tertinggi pangkat dari mereka,
ialah: orang yang memperkatakan tentang akhlak diri dan sifat-sifat hati,
yaitu: takut, harap, sabar, syukur, tawakkal, zuhud, yakin, ikhlas, benar dan
yang lain-lain yang sebanding dengan yang tersebut. Mereka itu terperdaya.
Mereka menyangka, dengan diri mereka, bahwa mereka, apabila memperkatakan
sifat-sifat tersebut dan mengajak manusia banyak kepadanya, lalu mereka
bersifat dengan sifat-sifat tadi. Padahal mereka itu terlepas dari sifat-sifat
tersebut, pada sisi Allah, selain kadar sedikit, yang tidak terlepas
daripadanya, orang muslimin awam. Tertipunya mereka itu lebih sangat lagi,
karena mereka sangat mengherani diri sendiri (bersifat ‘ujub). Dan menyangka
bahwa mereka tidak mendalam pada ilmu mahabbah (ilmu mencintai Allah), selain
karena adalah mereka itu mencintai Allah. Dan mereka tidak mampu menyelidiki
yang halus-halus dari keikhlasan, selain karena adalah mereka itu orang-orang
yang ikhlas. Mereka tidak mengetahui yang tersembunyi dari kekurangan diri,
selain karena adalah mereka itu bersih daripada kekurangan-kekurangan. Jikalau
tidaklah dia itu didekatkan pada sisi Allah, niscaya Allah tidak memperkenalkan
kepadanya, arti pendekatan, penjauhan, ilmu berjalan kepada Allah dan bagaimana
memotong tingkat-tingkat pada jalan Allah. Orang yang patut dikasihani dengan
sangkaan-sangkaan itu, melihat, bahwa dia termasuk orang-orang yang takut,
padahal ia merasa aman pada Allah Ta’ala. Ia melihat, bahwa dia termasuk
orang-orang yang mengharap, padahal ia termasuk orang-orang yang terperdaya,
yang menyia-nyiakan. Ia melihat bahwa dia termasuk orang-orang yang ridha
dengan qodo (hukum atau ketetapan) Allah, padahal dia termasuk orang-orang yang
marah. Ia melihat bahwa dia termasuk orang-orang tawakkal kepada Allah, padahal
dia termasuk orang-orang yang berpegang kepada ketinggian, kemegahan, harta dan
sebab-sebab lainnya. Ia melihat, bahwa dia termasuk orang-orang yang ikhlas,
padahal ia termasuk orang-orang yang ria. Bahkan ia menyifatkan ikhlas itu,
lalu meninggalkan ikhlas pada sifatnya. Dan ia menyifatkan ria dan
menyebutkannya, padahal ia berbuat ria dengan menyebutkannya. Supaya orang
mempercayakan kepadanya, bahwa jikalau dia bukan orang ikhlas, niscaya ia tidak
mendapat petunjuk kepada yang halus-halus dan ria. Ia menyifatkan zuhud dalam
dunia, karena sangat rakusnya kepada dunia dan kuat keinginannya pada dunia.
Lalu ia melahirkan doa kepada Allah, padahal ia lari daripadaNya. Ia
mentakutkan dirinya kepada Allah Ta’ala, padahal ia merasa aman daripadaNya. Ia
menyebut-nyebut (mengingati) Allah Ta’ala, padahal ia lupa kepadaNya. Ia
menghampirkan diri kepada Allah, padahal ia menjauhkan diri daripadaNya. Ia
menggerakkan kepada ikhlas, padahal ia tidak ikhlas. Ia mencela sifat-sifat
yang tercela, padahal ia bersifat dengan sifat-sifat itu. Ia memalingkan
manusia dari menghadap kepada makhluk, padahal dia sendiri sangat loba kepada
makhluk. Jikalau ia dilarang dari majlisnya yang mengajak manusia kepada Allah,
niscaya sempitlah bumi kepadanya, dengan lapangnya bumi itu. Dan ia
mendakwakan, bahwa maksudnya, ialah perbaikan makhluk. Dan kalau tampak dari
teman-temannya, ada yang diterima oleh orang banyak dan orang banyak menjadi
baik atas usaha dua tangan teman tadi, niscaya ia mati dengan kesedihan dan
kedengkian. Kalau seseorang yang sering datang kepadanya memujikan sebahagian
temannya, niscaya orang itu menjadi makhluk yang sangat dimarahinya. Maka
mereka yang tersebut tadi, adalah manusia yang paling besar terperdaya dan yang
paling jauh dari kesadaran dan kembali kepada kebenaran. Karena orang yang
gemar kepada budi pekerti yang terpuji dan lari dari budi pekerti yang tercela,
itulah ilmu dengan segala bahaya dan faedahnya. Dan orang tersebut sudah
mengetahui yang demikian dan tidak bermanfaat kepadanya. Ia disibukkan oleh
kesukaan mengajak orang banyak kepadanya, tanpa mengamalkannya. Maka sesudah
itu, dengan apa mengobatinya? Bagaimana jalan menakutkannya? Yang menakutkannya
sesungguhnya, ialah: apa yang dibacanya kepada hamba-hamba Allah. Lalu mereka
itu takut dan dia sendiri tidak takut. Ya, benar, kalau ia menyangka dirinya
bersifat dengan sifat-sifat terpuji itu, maka mungkin ia ditunjuk dengan jalan
ujian dan percobaan. Umpamanya, ia mendakwakan mencintai Allah, maka apakah
yang meninggalkannya dari mencintai dirinya karena mancintai Allah? Ia
mendakwakan takut, maka apakah yang mencegahkan takut daripadanya? Ia
mendakwakan zuhud, maka apakah yang meninggalkan zuhud, serta ia mampu kepada
zuhud itu karena wajah Allah Ta’ala? Ia mendakwakan kejinakan hati kepada
Allah, maka kapankah baiknya khilwah (bersemadi) baginya? Dan kapankah liar
hatinya (tidak menyukai) melihat orang banyak? Tidak, bahkan ia melihat hatinya
penuh dengan kemanisan, apabila murid-murid melihat dengan mantap kepadanya.
Dan engkau melihat, ia merasa liar, apabila ia berkhilwah dengan Allah Ta’ala.
Adakah engkau melihat orang yang mencintai yang liar hatinya dari yang
dicintainya? Dan ia merasa senang kepada orang lain (yang bukan kecintaannya)?.
Maka orang-orang yang pintar itu mencoba dirinya dengan sifat-sifat ini. Mereka
mencarikannya dengan hakikat/makna yang sebenarnya. Mereka tidak merasa puas
daripadanya dengan tazwiq (membaguskan kata-kata). Akan tetapi dengan
kepercayaan yang tebal kepada Allah. Dan orang-orang yang terperdaya itu
membaguskan sangkaan dengan dirinya. Dan apabila terbuka tutup dari mereka pada
hari akhirat, niscaya tersiarlah keburukan mereka. Bahkan mereka itu
dilemparkan dalam api neraka. Lalu keluarlah perut panjang mereka. Maka salah
seorang mereka mengelilingi dengan perut panjangnya itu, seperti keledai
mengelilingi dengan alat penggiling gandum, sebagaimana tersebut pada hadits.
Karena mereka menyuruh dengan kebajikan dan tidak mengerjakannya. Mereka
melarang dari kejahatan dan mengerjakannya. Sesungguhnya terjadilah terperdaya
bagi mereka, dimana mereka itu menjumpai dalam hatinya, suatu yang lemah, dari
pokok-pokok makna ini. Yaitu: kecintaan kepada Allah, takut kepadaNya dan ridha
dengan perbuatanNya. Kemudian, bersama yang demikian, mereka sanggup kepada
menyifatkan tingkat-tingkat yang tinggi pada makna-makna ini. Lalu mereka
menyangka, bahwa mereka tiada mampu kepada menyifatkan yang demikian. Tiada
dianugerahkan oleh Allah kepada mereka ilmuNya. Tiada dimanfaatkan oleh manusia
perkataan mereka padanya, kecuali karena mereka bersifat dengan dia. Jalan
pikiran mereka, ialah: bahwa penerimaan itu bagi perkataan. Dan perkataan itu
bagi ma’rifah. Berlakunya lisan dan ma’rifah itu bagi ilmu. Dan tiap-tiap yang
demikian, tidaklah bersifat dengan sifat. Maka ia tidak berbeda dengan
seseorang kaum muslimin pada bersifat dengan sifat cinta dan takut, bahkan pada
kemampuan menyifatkan. Akan tetapi kadang-kadang, lebih rasa amannya, sedikit
takutnya, menampak kecenderungannya kepada makhluk dan lemah dalam hatinya
kecintaan kepada Allah Ta’ala. Contohnya, seperti seorang sakit yang
menyifatkan sakit, menyifatkan obatnya dengan bahasa yang jelas dan menyifatkan
sehat dan sembuh. Dan orang sakit yang lain, tidak sanggup menyifatkan sehat
dan sembuh, sebab-sebabnya, derajat-derajatnya dan jenis-jenisnya. Ia tidak
berbeda dengan mereka pada sifat sakit dan bersifat dengan sakit itu. Hanya ia
berbeda dengan mereka, pada menyifatkan dan pengetahuan dengan ketabiban
(kedokteran). Maka sangkaannya ketika diketahuinya hakikat/makna kesehatan,
bahwa dia itu sehat, adalah sangat bodoh. Maka begitu pula ilmu dengan takut,
cinta, tawakkal, zuhud dll dari sifat-sifat ini, yang dia tidak bersifat dengan
hakikat/makna yang sebenarnya. Orang yang samar-samar kepadanya sifat
hakikat/makna, dengan bersifat dengan hakikat/makna, maka orang itu terperdaya.
Ini adalah keadaan orang-orang yang memberi pengajaran, yang tiada kekurangan
pada perkataan mereka. Bahkan sistem pengajaran mereka itu sistem pengajaran
Alquran, Hadits, pengajaran Al-Hasan Al-Bashari
dan orang-orang lain, yang seperti dia. Kiranya rahmat Allah kepada
mereka. Suatu golongan lain:
sebahagian dari mereka berpaling dari sistem yang wajib ditempuh pada
pengajaran. Dan mereka itu adalah pemberi-pemberi pengajaran penduduk zaman ini
seluruhnya, selain orang yang dipelihara oleh Allah, yang jarang adanya pada
sebahagian pinggiir-pinggir negeri, kalaupun ada. Dan kita tidak meengenalnya.
Maka mereka itu berbuat dengan ath-thammah (kata-kata yang menyakitkan),
asy-syathah (kata-kata yang mengandung dakwaan yang tidak disenangi) dan
melempetkan kata-kata yang keluar dari qanun (peraturan) agama dan akal, karena
mencari keganjilan (kepada para pendengarnya). Suatu golongan tertarik hatinya
dengan masalah-masalah halus beterbangan, mensajakkan kata-kata dan
melempetkannya. Maka kebanyakan cita-cita mereka itu, ialah dengan sajak dan
mengambil dalil dengan syair-syair yang menyambung dan menceraikan. Maksud
mereka supaya banyak sorak dan sambutan pada majlis mereka, walaupun dengan
maksud yang tidak betul. Maka mereka itu setan-setan manusia, yang telah sesat
dan menyesatkan dari jalan yang benar. Orang-orang dahulu, walaupun mereka
tidak memperbaiki dirinya sendiri, tetapi telah memperbaiki orang lain,
membetulkan perkataan dan pengajaran mereka. Adapun mereka ini, sesungguhnya
mereka mencegah dari jalan Allah dan menarik makhluk kepada tertipu di jalan
Allah, dengan kata-kata: harap. Lalu menambahkan kepada mereka perkataan yang
berani atas perbuatan maksiat dan gemar kepada dunia. Lebih-lebih lagi, apabila
yang memberi pengajaran (nasehat agama) itu, orang yang menghiasi diri dengan
kain yang cantik, kuda yang dibanggakan dan kendaraan-kendaraan yang bagus.
Lalu disaksikan keadaannya dari pundaknya sampai ke tapak kakinya, dengan
kesangatan lobbanya kepada dunia. Maka apa yang dirusakkan oleh orang
terperdaya ini adalah lebih banyak daripada apa yang diperbaikinya. Bahkan, ia
tidak ada sama sekali memperbaiki. Ia menyesatkan makhluk banyak. Dan tidak
tersembunyi wajah dirinya itu orang yang terperdaya. Suatu golongan lain dari mereka itu, merasa puas dengan menghapal
perkataan orang-orang zahid dan pembicaraan mereka pada mencela dunia. Maka
mereka menghapal kata-kata menurut adanya dan mereka bawakan tanpa mengerti
maksudnya. Lalu sebahagian mereka berbuat demikian di atas mimbar. Sebahagian
mereka di mihrab-mihrab masjid dan sebahagian mereka di pasar-pasar, bersama
orang-orang yang duduk-duduk. Masing-masing dari mereka, menyangka, bahwa apabila
ia berbeda dengan takaran ini dari orang-orang pasar dan tentara, karena ia
telah menghapal perkataan orang-orang zahid dan ahli agama, sedang mereka yang
lain tidak, maka dia telah memperoleh kemenangan. Dan mencapai maksud, menjadi
orang yang diampuni dan merasa aman dari siksaan Allah, tanpa ia menjaga zahir
dan batinnya dari dosa-dosa. Akan tetapi ia menyangka, bahwa hapalannya
perkataan ahli agama, akan memadai baginya. Tertipunya mereka itu lebih terang
dari tertipunnya orang-orang yang sebelumnya. Suatu golongan lain: menghabiskan waktunya pada ilmu hadits. Yakni:
pada mendengar hadits, mengumpulkan riwayat-riwayat yang banyak dari hal hadits
dan mencari sanad-sanad yang ganjil dan tinggi. Maka cita-cita seseorang dari
mereka, ialah: mengelilingi negeri dan menjumpai syaikh-syaikh (guru-guru),
supaya ia dapat mengatakan: “Aku merawikan dari si Anu. Padaku dari isnad, yang
tidak ada pada orang lain”. Terperdayanya mereka itu dari beberapa segi:
Diantaranya, mereka itu seperti
pembawa-pembawa buku. Mereka tidak mencurahkan kesungguhan kepada memahami
makna Sunnah. Pengetahuan mereka itu singkat, tidak ada pada mereka, selain
naql (memindahkan dari mulut ke mulut atau hapalan). Mereka menyangka bahwa
yang demikian itu mencukupi bagi mereka.
Diantara segi-segi
itu, ialah: bahwa
mereka apabila tidak memahami maknanya, niscaya mereka tidak mengamalkannya.
Kadang-kadang juga dipahami mereka sebahagiannya tidak mereka mengamalkannya.
Diantara segi-segi
itu, bahwa mereka
meninggalkan ilmu yang menjadi fardlu ‘ain. Yaitu: ma’rifah (mengetahui)
pengobatan hati. Mereka berbuat dengan memperbanyakkan isnad-isnad dan mencari
yang tinggi dari isnad-isnad itu. Dan mereka tidak memerlukan kepada sedikitpun
dari yang demikian.
Diantara segi-segi
itu, ialah orang yang
penduduk zamannya bertiarap kepadanya. Mereka juga tidak tegak berdiri menurut
syarat mendengar. Bahwa dengan semata-mata mendengar, walaupun tak ada baginya
faedah, akan tetapi itu penting pada dirinya, untuk sampai kepada penetapan
hadits. Karena pemahaman itu sesudah penetapan dan amal itu sesudah pemahaman.
Maka yang pertama, ialah: mendengar, kemudian memahami, kemudian menghapal,
kemudian mengamalkan, kemudian menyiarkan. Dan mereka pada umumnya
menyingkatkan kepada mendengar saja. Kemudian, mereka tinggalkan hakikat/makna
mendengar. Anda melihat anak kecil datang pada majlis syaikh (tempat guru
mengajar). Dan hadits itu dibacakan, guru itu tidur dan anak kecil itu
main-main. Kemudian, dituliskan nama anak kecil tersebut dalam golongan yang
mendengar. Apabila anak kecil itu telah besar, lalu ia mengemukakan hadits
supaya didengar daripadanya. Dan orang dewasa yang hadir, kadang-kadang lengah.
Tidak mendengar, tidak memperhatikan dan tidak menguasai apa yang dibacakan
itu. Kadang-kadang ia sibuk dengan hadits atau penulisan hadits. Dan syaikh
yang membacakan kepadanya, kalau sudah dibukukan (ditulis) dan dirobah, apa
yang dibacakan kepadanya, niscaya syaikh itu tidak merasakan dan tidak
mengetahuinya. Dan semua itu adalah kebodohan dan terperdaya. Karena yang pokok
pada hadits, ialah: didengarnya dari Rasulullah saw. Lalu dihapalkan seperti
yang telah didengarrnya. Dan dirawikannya seperti yang telah dihapalnya. Maka
adalah riwayat itu dari hapalan dan hapalan itu dari pendengaran. Jikalau anda
lemah daripada mendengarnya dari Rasulullah saw, niscaya mendengarnya dari para
sahabat atau tabi’in. Jadi pendengaran anda dari perawi, adalah seperti
pendengaran orang yang mendengar dari Rasulullah saw. Yaitu: anda memasang
telinga untuk mendengar. Lalu anda hapal dan anda rawikan, sebagaimana yang
telah anda hapal. Dan anda hapal sebagaimana yang telah anda dengar, dimana
anda tidak merobahkan sehurufpun daripadanya. Kalau orang lain yang merobahkan
sehuruf daripadanya dan ia bersalah, niscaya anda tahu kesalahannya. Bagi
hapalan anda itu mempunyai 2 jalan:
Pertama bahwa anda
menghapalnya dengan hati dan selalu anda itu menyebut dan mengulang-ulanginya,
sebagaimana anda menghapal apa yang berlaku atas pendengaran anda, pada
berlalunya hal-hal dalam kehidupan anda.
Kedua bahwa anda
menuliskan, sebagaimana yang anda dengar. Anda koreksi (tashhih) yang tertulis
itu dan anda menghapalkannya. Sehingga tidak sampai kepada hadits itu, tangan
orang yang akan mengobahkannya. Dan hapalan anda itu adalah bagi kitab (tulisan)
yang ada pada anda dan pada khazanah anda. Karena jikalau memanjang kepada
hadits tersebut, tangan orang selain anda, niscaya kadang-kadang dirobahnya.
Maka apabila anda tidak menghapalnya, niscaya anda tidak merasa (mengetahui)
dengan pengobahan itu. Maka adalah hadits itu terhapal dengan hati anda atau
dengan tulisan (buku) anda. Lalu buku anda itu yang memperingati bagi yang anda
dengar. Dan anda merasa aman daripada pengobahan dan penggeseran. Apabila anda
tidak menghapal, tidak dengan hati dan tidak dengan tulisan dan berlaku atas
pendengaran anda suara kelupaan dan anda berpisah dengan majlis itu, kemudian
anda melihat suatu nuskhah (copy) kepunyaan syaikh dan anda memandang, boleh
jadi ada padanya yang mengobah atau yang berbeda suatu huruf daripadanya bagi
nuskhah yang anda dengar, niscaya tidak boleh bagi anda, mengatakan: “Aku telah
mendengar tulisan (kitab) ini”. Karena anda tidak mengetahui, mungkin anda
tidak mendengar apa yang didalamnya. Akan tetapi, anda mendengar sesuatu yang
menyalahi dengan apa yang di dalamnya,
walaupun suatu kalimat. Apabila tidak ada hapalan dengan hati anda pada
anda dan tidak ada nuskhah yang betul, yang dapat anda percaya untuk anda
membandingnya, maka darimana anda ketahui, bahwa anda telah mendengar yang
demikian? Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau turut apa yang tidak
engkau ketahui”. S 17 Al Israa’ ayat 36. Perkataan guru-guru (syaikh-syaikh)
semua pada zaman ini, ialah: “Sesungguhnya kami telah mendengar apa yang dalam
buku (tulisan) ini. Apabila tidak didapati syarat yang telah kami sebutkan,
maka itu dusta yang tegas”. Sekurang-kurang syarat mendengar, ialah: bahwa
berlaku sekalian itu atas pendengaran, serta semacam dari hapalan, yang dapat
ia rasakan serta hapalan itu dengan pengobahan. Dan jikalau boleh ditulis
pendengaran anak kecil, orang yang lengah, orang tidur dan yang dimansukhkan
(yang tidak boleh dipakai lagi), niscaya bolehlah ditulis pendengaran orang
gila dan anak kecil dalam ayunan. Kemudian apabila anak kecil itu telah dewasa
dan orang gila itu telah sembuh dari kegilaannya, niscaya diperdengarkan
kepadanya. Dan tidak ada perbedaan pendapat pada tidak bolehnya. Dan jikalau
yang demikian itu boleh, niscaya bolehlah ditulis pendengaran bayi (al-janin)
dalam perut. Maka jikalau tidak ada dituliskan pendengaran anak kecil dalam
ayunan, karena ia tidak memahami dan tidak menghapalkan, maka anak kecil yang
bermain, orang-orang lalai dan orang yang sibuk dengan mengupayakan (menulis),
daripada mendengar itu, tidak memahami dan menghapalkan. Dan jikalau seorang
bodoh memberanikan diri, lalu mengatakan: “Dituliskan pendengaran anak kecil
dalam ayunan, maka hendaklah dituliskan pendengaran janin dalam perut. Jikalau
diperbedakan di antara keduanya, dengan bayi dalam perut itu tidak mendengar suara
dan ini mendengar suara, maka tidaklah ini bermanfaat. Yaitu: bahwa dinukilkan
hadits tanpa suara. Maka hendaklah ia ringkaskan, karena ia telah menjadi
syaikh, dengan mengatakan: “Aku mendengar sesudah aku dewasa, bahwa aku pada
masa kecilku telah menghadiri suatu majlis, yang diriwayatkan hadits padanya,
yang mengetuk pendengaranku oleh suaranya. Dan aku tidak mengetahui, apakah
itu?”. Maka tidak khilaf bahwa riwayat, seperti yang demikian itu tidak shah.
Dan apa yang lebih daripadanya, adalah dusta yang tegas. Dan jikalau boleh
diakui pendengaran orang Turki yang tidak memahami bahasa Arab, karena ia telah
mendengar suara secara alpa, niscaya bolehlah diakui pendengaran anak kecil
dalam ayunan. Dan yang demikian itu sangat bodoh. Dari mana diambilkan ini?
Adakah bagi pendengaran itu tempat perpegangan, selain sabda Rasulullah saw:
“Allah memandang baik orang yang mendengar perkataanku, lalu menghapalnya. Maka
disampaikannya kepada orang lain, seperti yang didengarnya”. Maka bagaimana
disampaikan seperti yang didengar, oleh orang yang tidak mengetahui apa yang
didengarnya? Maka ini yang terkeji dari segala macam terperdaya. Dan telah
mendapat bencana penduduk zaman ini, dengan yang demikian. Jikalau penduduk
zaman ini berhati-hati, niscaya mereka tidak akan memperoleh guru (syaikh),
selain mereka yang telah mendengar hadits pada masa kecil, di atas cara ini,
serta alpa. Kecuali, bahwa bagi orang-orang ahli hadits pada yang demikian itu,
kemegahan dan penerimaan. Lalu ia takut kepada orang-orang miskin, bahwa
membuat syarat yang demikian. Lalu sedikitlah orang yang berkumpul untuk yang
demikian, pada halqah (tempat mengajar) mereka. Maka kuranglah kemegahan
mereka. Dan sedikit pula pembicaraan-pembicaraan mereka yang telah didengarnya
dengan syarat tersebut. Bahkan kadang-kadang mereka tidak mempunyai yang
demikian. Dan tersiarlah kekurangan mereka. Lalu mereka sepakat untuk tidak
diisyaratkan, selain pendengarannya mengetuk kata-kata yang memarahkan,
walaupun ia tidak mengerti apa yang berlaku. Shahnya pendengaran itu tidak
diketahui dari perkataan orang-orang ahli hadits. Karena tidak yang demikian
itu dari ilmu pengetahuan mereka. Akan tetapi dari ilmu pengetahuan ulama ushul
fiqh. Dan apa yang kami sebutkan itu diyakini dalam qanun (undang-undang) ushul
fiqh. Maka inilah terperdayanya mereka! Dan jikalau mereka mendengar di atas
syarat, niscaya ada juga mereka tertipu pada terbatasnya mereka atas menukilkan
(hadits-hadits) itu dan pada menghabiskan umur mereka pada mengumpulkan
riwayat-riwayat dan isnad-isnad. Dan berpalingnya mereka dari kepentingan agama
dan mengetahui makna hadits-hadits. Bahkan yang dimaksud dari hadits, ialah
menempuh jalan akhirat. Kadang-kadang mencukupi baginya satu hadits selama
umurnya, seperti yang diriwayatkan dari sebahagian guru-guru (syaikh-syaikh),
bahwa ia menghadiri majlis mendengar pengajaran. Lalu permulaan hadits yang
diriwayatkannya ialah: sabda Nabi saw: “Sebahagian dari bagusnya Islam
seseorang, ialah ditinggalkannya apa yang tidak penting baginya”. Lalu ia
bangun berdiri dan mengatakan: “Memadailah bagiku ini, sehingga aku selesai
daripadanya. Kemudian, aku akan mendengar hadits yang lain”. Maka begitulah
adanya pendengaran orang-orang pintar, yang menjaga dirinya dari terperdaya. Suatu golongan lain: mereka sibuk dengan
ilmu nahwu (pengetahuan bahasa Arab), bahasa, syair dan yang ganjil dari
bahasa. Mereka terperdaya dengan yang demikian dan mendakwakan, bahwa mereka
telah diampunkan dosanya. Dan mereka sebahagian dari ulama umat. Karena
tegaknya agama itu dengan Kitab dan Sunnah. Dan tegaknya Kitab dan Sunnah itu
dengan ilmu bahasa dan nahwu. Lalu mereka menghabiskan umurnya pada yang
halus-halus dari nahwu, pada menyusun syair dan pada yang ganjil-ganjil dari
bahasa. Contohnya mereka, adalah seperti orang yang menghabiskan semua umurnya
pada mempelajari tulisan, mengoreksi huruf dan membaguskannya. Ia mendakwakan,
bahwa ilmu pengetahuan itu tidak mungkin dipelihara, selain dengan penulisan.
Maka tidak boleh tidak, daripada mempelajari penulisan dan mengoreksinya. Dan jikalau
ia berpikir, niscaya ia mengetahui, bahwa mencukupi baginya untuk mempelajari
yang pokok dari tulisan, dimana ia mungkin membacanya, betapa adanya. Dan
sisanya itu tambahan di atas yang mencukupi. Dan begitu pula ahli sastra.
Jikalau ia berpikir, niscaya ia tahu, bahwa bahasa Arab itu seperti bahasa
Turki. Orang yang menyia-nyiakan umurnya pada mengetahui bahasa Arab, adalah
seperti orang yang menyia-nyiakan umurnya pada mengetahui bahasa Turki dan
India. Hanya bahasa Arab berbeda dengan bahasa tersebut, adalah karena
datangnya Agama agama dengan bahasa Arab. Maka memadailah dari bahasa,
mengetahui yang ganjil-ganjil pada hadits dan Kitab (Alquran). Dan dari nahwu,
apa yang menyangkut dengan hadits dan Kitab. Adapun mendalami padanya, kepada
tingkat yang tiada berkesudahan, maka itu kelebihan yang tidak diperlukan.
Kemudian, jikalau ia menyingkatkan kepada yang demikian dan ia berpaling
daripada mengetahui makna Agama dan mengamalkannya, maka ini juga orang yang
terperdaya. Bahkan contohnya, seperti orang yang menyia-nyiakan umurnya pada
mentashhihkan (mengoreksi) bunyi huruf dalam Alquran dan menyingkatkan kepada
yang demikian. Itu juga terperdaya. Karena yang dimaksud dari huruf-huruf itu,
ialah: makna (arti)nya. Dan huruf-huruf itu karung dan alat. Siapa yang
berhajat kepada meminum saknajin (obat yang terdiri dari cuka dan madu), supaya
hilang daripadanya penyakit kuning dan menyia-nyiakan waktunya pada membaguskan
gelas, yang diminumnya saknajin itu di dalamnnya, maka orang itu termasuk orang
bodoh yang terperdaya. Maka begitu pula terperdayanya ahli ilmu nahwu, bahasa,
sastra, qiraah (ilmu membaca Alquran) dan berhalus-halusan pada bunyi huruf,
manakala mereka mendalamkan padanya, menjuruskan semua waktu untuk itu dan
mendaki kepadanya, lebih banyak daripada yang diperlukan pada mempelajari ilmu
yang menjadi fardlu ‘ain. Maka isi yang terjauh, ialah: amal. Dan yang di
atasnya, ialah: mengetahui amal. Dan itu adalah seperti kulit bagi amal dan
seperti isi dengan dikaitkan kepada yang di atasnya. Dan yang di atasnya itu,
ialah: mendengar kata-kata dan menghapalkannnya dengan jalan riwayat
(merawikannya). Dan itulah kulit dengan jalan dikaitkan kepada ma’rifah. Dan
isi dengan dikaitkan kepada yang di atasnya. Dan yang di atasnya, ialah: ilmu
dengan bahasa dan nahwu. Dan di atas yang demikian yaitu: kulit tertinggi,
ialah: ilmu mengenai bunyi huruf. Orang-orang yang merasa puas dengan tingkat
ini, semuanya itu orang-orang yang terperdaya, selain orang yang membuat
derajat-derajat ini menjadi tingkat-tingkat. Lalu ia tidak naik ke derajat itu,
melainkan sekadar hajatnya. Maka ia melampaui kepada yang di belakang itu,
sehingga ia sampai kepada isi amal. Lalu ia mencari dengan hakikat/makna amal
itu, hatinya dan anggota badannya. Ia mengharap umurnya pada membawa diri
kepadanya, membetulkan amal dan membersihkannya dari campuran-campuran dan
bahaya-bahaya. Inilah yang dimaksud, yang dilayani dari sejumlah ilmu syara’
(agama). Dan ilmu-ilmu lainnya itu adalah pelayanan kepada maksud tersebut,
jalan, kulit dan tingkat baginya, dengan dikaitkan kepadanya. Dan setiap orang
yang tidak sampai kepada maksud, maka dia kecewa. Sama saja pada tempat yang
dekat atau pada tempat yang jauh. Ilmu-ilmu tersebut, tatkala ia bergantung
dengan ilmu-ilmu Syara’ (agama), maka tertipulah orang-orang yang mempunyai
ilmu-ilmu itu. Adapun ilmu ketabiban, ilmu hitung, ilmu perusahaan (ilmu
industri) dan apa yang diketahui, bahwa dia tidak termasuk di antara ilmu-ilmu
syara’ (agama), maka orang-orang yang mempunyainya tidak berkeyakinan, bahwa
mereka akan memperoleh pengampunan (maghfirah) dengan ilmu-ilmu tersebut, dari
segi bahwa dia itu ilmu-ilmu. Maka terperdaya dengan dia, adalah berkurang
sedikit, dari terperdaya dengan ilmu-ilmu syara’ (agama). Karena ilmu-ilmu
syara’ (agama) itu berkongsi tentang dia itu terpuji, sebagaimana berkongsinya
kulit dengan isi tentang dia itu terpuji. Tetapi yang terpuji daripadanya
karena dirinya (‘ainnya), itulah yang berkesudahan. Dan yang kedua itu terpuji,
karena sampai dengan dia kepada yang dimaksud yang terjauh. Maka siapa yang
membuat kulit itu menjadi maksud dan mendaki kepadanya, maka dia itu terperdaya
dengan yang demikian. Suatu golongan
lain: besarnya terperdaya mereka pada ilmu fiqh. Mereka menyangka, bahwa
hukuman hamba, diantara hamba itu dan Allah, mengikuti hukumannya pada majlis
hukum (majlis al-qodo’). Lalu mereka meletakkan (membuat) daya upaya pada
penolakan hak. Mereka berbuat jahat pada menterjemahkan (memutarkan) kata-kata
yang tidak tegas. Mereka tertipu dengan yang zahiriyah dan bersalah padanya.
Ini termasuk dari pihak kesalahan pada fatwa dan tertipu padanya. Dan kesalahan
pada fatwa-fatwa itu termasuk yang banyak. Akan tetapi ini semacam yang umum
pada keseluruhannya, selain orang-orang yang pintar dari mereka. Maka kami
isyaratkan kepada contoh-contoh berikut: Diantara yang demikian, ialah: fatwa
mereka, bahwa wanita manakala melepaskan haknya dari mas kawin, niscaya
terlepaslah suami, diantara suami itu dan Allah Ta’ala. Yang demikian itu
salah. Bahkan si suami kadang-kadang berbuat buruk kepada si isteri, dimana dia
menyempitkan hal-hal kepada si isteri, dengan jahatnya akhlak. Lalu terpaksa si
isteri meminta lepas. Maka dilepaskannya si suami dari mas kawin itu, supaya ia
terlepas dari si suami. Maka itu pelepasan, tidak di atas jiwa yang baik. Allah
Ta’ala berfirman: “Maka jika mereka (kaum wanita) dengan kesukaan hatinya
memberikan kepadamu sebagian, boleh kamu makan dengan cukup dan puas”. S 4 An
Nisa’ ayat 4. Kebaikan diri itu bukan kebaikan hati. kadang-kadang manusia berkehendak
dengan hatinya, apa yang tidak dipandang baik oleh dirinya. Dia menghendaki
pembekaman dengan hatinya, akan tetapi, tidak disukai oleh dirinya. Kebaikan
diri itu memperbolehkan dirinya dengan pelepasan hak. Tidak dari darurat yang
bertentangan dengan pelepasan hak itu. Sehingga apabila diri itu bimbang
diantara dua hal yang melarat, niscaya ia memilih yang termudah di antara dua
hal itu. Maka ini adalah penuntutan yang berulang-ulang (al-mushadarah) di atas
ketahkikan, dengan pemaksaan batin. Benar, hakim di dunia tidak melihat kepada
hati dan maksud. Maka ia memandang kepada pelepasan zahiriyah. Dan diri itu
tidak dipaksakan dengan sebab zahiriyah. Dan paksaan batiniyah itu tidak
dilihat oleh makhluk. Akan tetapi manakala HAKIM YANG MAHA AGUNG bertindak di
dataran tinggi kiamat untuk melaksanakan hukum, niscaya tidaklah ini
diperhitungkan dan tidak mendatangkan faedah pada menghasilkan pelepasan.
Karena itu, tidak dihalalkan mengambil harta manusia, selain dengan baik hati
daripadanya. Maka jikalau meminta dari manusia akan harta di hadapan banyak
orang, lalu ia malu dari manusia bahwa tidak diberikannya dan ia menyukai bahwa
adalah permintaan itu di tempat sepi, sehingga tidak diberikannya. Akan tetapi
ia takut kepedihan celaan manusia dan ia takut kepedihan penyerahan harta dan
ia bimbang pada dirinya di antara dua hal itu, lalu ia memilih yang termudah di
antara dua kepedihan tersebut. Yaitu: kepedihan penyerahan harta. Lalu
diserahkannya. Maka tiada berbeda di antara ini dan penuntutan yang berulang-ulang
(al-mushadarah). Karena arti al-mushadarah itu menyakitkan badan dengan suara.
Sehingga yang demikian itu lebih kuat dari kepedihan hati dengan memberikan
harta. Lalu ia memilih yang termudah dari dua kepedihan. Meminta itu dalam
sangkaan malu. Ria itu pukulan bagi hati dengan cemeti. Dan tidak ada bedanya
antara pukulan batin dan pukulan zahir pada sisi Allah Ta’ala. Karena batin
pada sisi Allah Ta’ala itu zahir. Dan hakim dunia, ialah yang menghukum dengan
milik, dengan zahiriyah perkataannya: “Aku telah berikan”. Karena ia tidak
mungkin tahu apa yang dalam hati. Dan begitu juga, orang yang memberikan,
karena menjaga kejahatan lidah orang itu atau kejahatan usahanya. Maka itu
haram baginya. Begitu pula, tiap-tiap harta yang diambil dengan cara ini, maka
itu haram. Apakah anda tidak mengetahui apa yang telah datang pada kisah Daud
as, ketika ia berdoa, sesudah dosanya diampunkan: “Hai Tuhanku! Bagaimana aku
dengan musuhku?”. Maka Allah menyuruh Daud as supaya minta dihalalkan dari
musuhnya dan musuhnya itu sudah meninggal. Nabi Daud as disuruh memanggil
musuhnya itu pada batu Baitul-maqdis. Lalu beliau memanggilnya: “Hai Auria!”.
Orang itu lalu menyahut: “Ya, wahai Nabi Allah! engkau keluarkan aku dari
sorga, maka apa maksud engkau?”. Nabi Daud as menjawab: “Aku sesungguhnya telah
berbuat buruk kepada engkau pada suatu perkara. Maka berikanlah itu kepadaku!”.
Orang itu menjawab: “Aku telah berbuat demikian, wahai Nabi Allah!”. Nabi Daud
as lalu pergi dan hatinya telah cenderung kepada yang demikian. Maka Jibril as
bertanya kepadanya: “Adakah engkau sebutkan kepadanya, apa yang telah engkau
perbuat yang menyakitkannya itu?”. Nabi Daud as menjawab: “Tidak!”. Jibril as
berkata: “Kembalilah, lalu terangkanlah kepadanya perbuatanmu yang
menyakitkannya itu!”. Nabi Daud as lalu kembali ke tempat batu Baitul-maqdis
itu dan memanggilkannya. Lalu orang itu menjawab: “Ya, wahai Nabi Allah!”. Nabi
Daud as lalu mengatakan: “Aku sesungguhnya telah berbuat dosa kepada engkau”.
Orang itu menjawab: “Apakah tidak aku berikan itu kepada engkau?’. Nabi Daud as
berkata: “Apakah tidak engkau tanyakan kepadaku apakah dosa itu?”. Orang itu
bertanya: “Apakah dosa itu wahai Nabi Allah?”. Nabi Daud as menjawab:
“Itu-itu!”. Lalu Nabi Daud as menyebutkan keadaan wanita, seperti pada cerita
itu. Dan putuslah jawaban dari orang itu. Lalu Nabi Daud as bertanya: “Hai
Auria! Mengapa engkau tidak menjawab kepadaku?”. Orang itu menjawab: “Wahai
Nabi Allah! tidaklah begitu diperbuat oleh nabi-nabi, sehingga aku berdiri
bersama engkau di hadapan Allah?”. Lalu Nabi Daud as terus menangis dan
memekik-mekik, sehingga ia dijanjikan oleh Allah untuk minta diberikan oleh
orang itu kepadanya pada hari kiamat nanti. Maka kisah ini menyadarkan engkau,
bahwa pemberian dari bukan baik hati, tidaklah berfaedah. Dan baik hati itu
tidak akan berhasil, kecuali dengan ma’rifah. Maka demikian pula baik hati itu
tidak ada pada melepaskan hak, memberi dan lainnya, kecuali apabila manusia itu
dibiarkan menurut pilihannya. Sehingga tergeraklah pendorong dari dirinya
sendiri. Tidak dipaksakan penggerak-penggerak kepada gerakan itu, dengan tipu
daya dan paksaan. Dan termasuk yang demikian, orang memberi harta zakat pada
akhir tahun dari harta zakat isterinya dan penerimaannya pemberian dari harta
isterinya, bagi menggugurkan kewajiban zakat. Lalu ulama fiqh (al-faqih)
mengatakan: “Telah gugur zakat (tidak wajib lagi zakat)”. Kalau ia maksudkan
dengan gugur zakat itu, bahwa penuntutan sultan (penguasa) dan pengumpul zakat
menjadi gugur dari orang itu, maka itu benar. Karena pokok pandangan mereka,
ialah: nyatanya ada milik. Dan sekarang milik itu sudah hilang (tak ada lagi),
walaupun disangkanya bahwa ia akan menyerahkan nanti pada hari kiamat. Dan
adalah ia seperti orang yang tiada mempunyai harta atau seperti orang yang
menjual, karena keperluannya kepada menjual, yang tidak atas maksud ini. Maka
alangkah sangat bodohnya dengan fiqh agama dan rahasia zakat (hikmat zakat).
Sesungguhnya rahasia zakat itu mensucikan hati dari kehinaan kikir. Dan kikir
itu membinasakan. Nabi saw bersabda: “Tiga perkara membinasakan: kikir yang
dituruti, hawa nafsu yang diikuti dan manusia mengherani (membanggakan) diri
sendiri”. Sesungguhnya kikir itu dituruti dengan apa yang diperbuatnya. Dan
sebelumnya kikir itu tidak dituruti. Maka kebinasaannya itu menjadi sempurna,
dengan sangkaannya bahwa padanya itu ada jalan kelepasan. Sesungguhnya Allah
melihat pada hatinya, kecintaannya kepada harta dan kerakusannya kepada harta.
Dan telah sampai dari kerakusannya kepada harta itu, bahwa ia mencari daya
upaya. Sehingga ia menyumbat atas dirinya jalan kelepasan dari kikir, dengan
kebodohan dan terperdaya. Dan termasuk yang demikian, diperbolehkan oleh Allah
harta kepentingan umum bagi orang ahli fiqh (al-faqih) dan lainnya sekadar
hajat. Dan golongan ahli fiqh (al-fuqaha’) yang terperdaya itu, tidak dapat
membedakan antara angan-angan, barang yang tidak perlu dan nafsu syahwat dengan
hajat keperluan. Akan tetapi, tiap-tiap yang tidak sempurna kebodohannya,
selain dengan itu, lalu dipandangnya keperluannya. Dan itu adalah terperdaya
semata-mata. Bahkan dunia itu diciptakan karena hajat hamba-hamba Allah
kepadanya, pada ibadah dan menempuh jalan akhirat. Maka tiap-tiap yang dicapai
oleh hamba untuk menolongnya kepada agama dan ibadah, maka itu adalah hajat
keperluannya. Dan selain itu, adalah hal yang tidak perlu dan nafsu syahwatnya.
Kalau kita jalani menyifatkan tertipunya ulama fuqaha’ pada contoh-contoh ini,
niscaya kita telah penuhkan padanya berjilid-jilid. Dan maksud dari demikian
itu, ialah memperingati kepada contoh-contoh yang memperkenalkan
jenis-jenisnya, tidak secara lengkap. Karena yang demikian itu akan panjang.
Jenis kedua:
orang-orang yang beribadah dan beramal. Yang terperdaya dari mereka itu banyak
golongan. Di antara mereka yang terperdayanya pada shalat. Di antara mereka
yang terperdayanya pada tilawah (pembacaan) Alquran. Di antara mereka pada
haji. Di antara mereka pada perang. Dan di antara mereka pada zuhud. Demikian
pula, setiap orang yang berbuat dengan sesuatu cara dari cara-cara amal. Maka
tidak terlepas dari terperdaya, selain orang-orang yang pandai. Dan sedikitlah
mereka itu. Di antara mereka, ada golongan yang menyia-nyiakan yang fardlu
(wajib). Mereka mengerjakan yang utama dan yang sunat. Kadang-kadang mereka
mendalami pada yang utama itu, sehingga mereka keluar kepada permusuhan dan
berlebih-lebihan. Seperti orang yang dikerasi oleh bisikan setan (waswas) pada
wudlu’ (mengambil air sembahyang). Lalu ia bersangatan (berlebih-lebihan) pada
wudlu’. Ia tidak setuju (rela) dengan air yang menurut hukum adalah suci
menurut fatwa agama (hukum agama). Ia mentakdirkan (mengumpamakan)
kemungkinan-kemungkinan yang jauh yang mendekati pada kenajisan. Dan apabila
kembali urusan kepada memakan halal, lalu ia mentakdirkan (mengumpamakan) kemungkinan-kemungkinan
yang dekat itu jauh. Kadang-kadang ia memakan haram semata-mata. Dan jikalau
terbalik kehati-hatian ini, dari air kepada makanan, niscaya adalah dia lebih
menyerupai dengan perjalanan hidup para sahabat. Karena Umar ra mengambil wudlu’
dengan air dalam ember orang Nasrani, serta nampak kemungkinan najis. Dan
bersamaan dengan ini, ia meninggalkan pintu-pintu halal, karena takut daripada
terjatuhnya pada yang haram. Kemudian, di antara mereka, ada orang yang keluar
kepada berlebih-lebihan pada menuangkan air. Dan yang demikian itu dilarang.
Kadang-kadang ia memanjangkan urusan wudlu’, sehingga ia menyia-nyiakan shalat
dan mengeluarkannya dari waktunya. Dan walaupun tidak dikeluarkannya dari
waktunya, maka dia itu terperdaya, karena telah lenyap daripadanya keutamaan
awal waktu. Dan walaupun tidak lenyap awal waktu itu, dia terperdaya juga,
karena keborosannya pada memakai air. Dan walaupun ia tidak memboros pada
pemakaian air, ia terperdaya juga, karena ia meyia-nyiakan umurnya, yang menjadi
sesuatu yang paling berharga, dimana dia mempunyai kebebasan padanya. Selain
bahwa setan itu mencegah makhluk dari Allah dengan bermacam-macam jalan. Dan
setan itu tidak sanggup mencegah hamba, selain dengan apa, yang membuat hamba
itu berkhayal, bahwa itu ibadah. Lalu setan menjauhkan hamba-hamba itu dari
Allah dengan cara yang demikian. Suatu
golongan lain: telah keras kepadanya bisikan setan (waswas) pada niat
shalat. Lalu ia tidak ditinggalkan oleh setan, sehingga ia ikatkan niat yang
shah. Bahkan setan itu mengacau kepadanya, sehingga membawa ia luput berjama’ah
dan mengeluarkan shalat dari waktu. Dan kalau sempurna takbirnya, maka ada yang
demikian dalam hatinya, sesudah bimbang pada shah niatnya. Kadang-kadang mereka
diwaswaskan pada takbiratul-ihram, sehingga kadang-kadang mereka berobah bunyi
takbir, karena sangat kehati-hatiannya. Mereka berbuat demikian pada permulaan
shalat. Kemudian, mereka lalai pada seluruh shalat. Lalu mereka tidak
menghadirkan hatinya dan mereka terperdaya dengan yang demikian. Mereka
menyangka, bahwa mereka apabila telah melelahkan dirinya pada membetulkan niat
pada permulaan shalat dan mereka membedakan diri dari orang umum (orang awam)
dengan kesungguhan dan kehati-hatian ini, maka mereka di atas yang kebajikan
pada Tuhan. Suatu golongan lain:
telah keras kepadanya bisikan setan, pada mengeluarkan huruf-huruf Al-Fatihah
dan dzikir-dzikir lain dari makhrajnya (bunyinya yang benar). Maka
senantiasalah ia berhati-hati pada tasydid-tasydid, perbedaan antara dlad dan
dha dan membetulkan makhraj huruf pada seluruh shalatnya, yang tidak penting
kepadanya yang lain dan ia tidak berpikir pada yang lain. Ia lupa dari arti
Alquran, mengambil pengajaran dengan Alquran dan menyerahkan pemahaman kepada
rahasia-rahasia (hikmah) Alquran. Ini termasuk yang terkeji dari segala macam
terperdaya. Sesungguhnya tidak diberati makhluk pada membaca Alquran dengan
pengokohan makhraj huruf, selain menurut yang berlaku kebiasaan mereka waktu
berkata-kata. Contoh mereka itu adalah seperti orang yang membawa risalah
(surat) kepada majlis sultan (penguasa). Ia disuruh membacakannya menurut
caranya. Lalu diambilnya surat itu dibacanya dan diperelokkannya benar-benar
pada makhraj huruf, diulang-ulanginya dan diulanginya lagi berkali-kali. Orang
itu pada yang demikian lupa tentang maksud surat dan penjagaan kehormatan
majlis. Alangkah layaknya orang itu dilakukan kepadanya penyelidikan, ditolak
ke rumah orang-orang gila dan hukum dengan kehilangan akal. Suatu golongan lain: mereka tertipu
dengan pembacaan (qira’ah) Alquran. Maka mereka bergegas-gegas ini.
Kadang-kadang mengkhatamkan (menamatkan bacaan Alquran) sekali dalam sehari
semalam. Lidah seseorang mereka berlalu dengan yang demikian. Hatinya
bulak-balik dalam lembah angan-angan. Karena ia tidak memikirkan makna Alquran,
supaya memperoleh peringatan dengan peringatan-peringatannya. Mendapat
pengajaran dengan pengajaran-pengajarannya. Tegak berdiri pada
perintah-perintahnya dan larangan-larangannya. Dan mengambil ibarat dengan
tempat-tempat yang dapat diambil ibaratnya dan lain-lain, dari yang telah kami
sebutkan dahulu pada Kitab Tilawatil-Quran, dari hal maksud-maksud tilawah.
Maka orang itu terperdaya, yang menyangka bahwa maksud dari turunnya Alquran
itu membaca saja, serta melupakan pemahaman maksudnya. Contohnya: seperti
seorang budak, yang dituliskan kepadanya oleh tuan dan pemiliknya sepucuk
surat. Dalam surat itu, diisyaratkan dengan perintah-perintah dan
larangan-larangan. Lalu budak tersebut tidak menumpahkan perhatiannya kepada
memahami dan mengamalkan isi surat itu. Akan tetapi ia cukupkan kepada
menghapalnya. Dan ia selalu menyalahi dari apa yang disuruh oleh tuannya,
selain ia mengulang-ulangi membaca surat tersebut, dengan suara dan lagunya
setiap hari seratus kali. Maka budak tadi berhak disiksa. Dan manakala ia
menyangka, bahwa yang demikian itu yang dimaksud, maka dia itu terperdaya. Ya,
benar, tilawahnya itu hanya dimaksudkan, supaya dia tidak lupa. Akan tetapi,
untuk dihapalnya. Dan hapalan itu dimaksudkan untuk artinya. Dan artinya itu dimaksudkan
untuk diamalkan dan diambil manfaat dengan arti-artinya. Kadang-kadang ia
mempunyai suara merdu. Maka dibacanya, diperolehnya kesenangan dengan pembacaan
itu dan ia terperdaya dengan kesenangan tersebut. Ia menyangka bahwa yang
demikian itu kesenangan membisikkan
segala isi hati dengan Allah Ta’ala dan mendengar kalam (berkata-kata)Nya.
Sesungguhnya itu adalah kesenangannya pada suaranya. Dan kalau ia
mengulang-ulangi lagunya dengan syair atau perkataan lain, niscaya ia
memperoleh keenakan juga oleh keenakan itu. Maka dia itu terperdaya. Karena ia
tidak mencari hatinya. Lalu ia memperkenalkan kepada hatinya, bahwa
kelazatannya dengan Kalam (berkata-kata) Allah Ta’ala, dari segi bagus
susunannya dan maknanya atau dengan suaranya. Suatu golongan lain: mereka terperdaya dengan puasa. Kadang-kadang
mereka berpuasa sepanjang masa atau mereka berpuasa pada hari-hari mulia. Dan
mereka pada hari-hari itu tiada menjaga lidahnya dari mengumpat, gurisan
hatinya dari ria, perutnya dari yang haram ketika berbuka dan lidahnya dari
perkataan yang sia-sia, dengan berbagai macam kata yang tidak perlu, sepanjang
hari. Dan bersama dengan demikian, ia menyangka dirinya dalam kebajikan. Lalu
ia melengahkan yang fardlu dan mencari yang sunat. Kemudian, ia tidak tegak dengan
haknya. Dan yang demikian itu paling terperdaya. Suatu golongan lain: mereka terperdaya dengan haji. Mereka keluar
pergi haji, tanpa keluar dari perbuatan zalim, membayar hutang, meminta
kerelaan ibu bapak dan mencari perbekalan yang halal. Kadang-kadang mereka
berbuat yang demikian, sesudah gugur tidak wajib lagi haji Islam (haji
pertama). Mereka menyia-nyiakan shalat dan yang fardlu di jalan. Mereka lemah
dari mencuci pakaian dan tubuh. Mereka datang untuk diambil pajak oleh
orang-orang zalim, sehingga pajak itu diambil dari mereka. Dan mereka tidak
menjaga diri di jalan, dari perkataan kotor dan permusuhan. Kadang-kadang
sebahagian mereka mengumpulkan harta haram dan membelanjakannya kepada
teman-teman di jalan. Ia mencari dengan yang demikian itu, keharuman nama dan
ria. Maka ia berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala, pertama pada mengusahakan
yang haram. Dan kedua, pada membelanjakannya dengan ria. Maka dia tidak
mengambilkannya dari kehalalannya dan dia tidak meletakkannya pada yang benar.
Kemudian dia datang di Baitullah dengan hati yang berlumuran dengan akhlak yang
hina dan sifat-sifat yang tercela. Dia tidak mendahulukan pensucian hatinya
atas kedatangannya itu. Dan dalam pada itu, ia menyangka bahwa dia di atas
kebajikan dari Tuhannya. Maka dia itu orang yang terperdaya. Suatu golongan lain: ia mengambil pada
jalan karena Allah, amar ma’ruf dan nahi munkar, yang munkar kepada manusia. Ia
menyuruh mereka dengan kebajikan serta ia melupakan dirinya sendiri. Apabila ia
menyuruh mereka dengan kebajikan, maka dengan cara kasar. Ia mencari pangkat
menjadi kepala dan mulia. Apabila ia berbuat munkar dan ia ditolak, maka ia
marah. Dan mengatakan: “Aku berbuat dengan karena Allah, maka bagaimana engkau
menentang aku?”. Kadang-kadang ia mengumpulkan manusia ke masjidnya. Siapa yang
terlambat, niscaya ia mengkasarkan perkataan kepada orang itu, maksudnya,
ialah: ria dan suka menjadi kepala. Dan kalau bangun orang lain mengurus
masjid, niscaya ia marah kepada orang itu. Bahkan diantara mereka, ada yang
mengerjakan adzan (menjadi muadzin) dan disangkanya bahwa ia adzan karena
Allah. Dan kalau datang orang lain dan mengerjakan adzan pada waktu ia tidak
ada, niscaya berdirilah kiamat dan mengatakan: “Mengapa hakku diambil? Dan aku
didesak pada martabatku?”. Dan begitu pula, kadang-kadang ia mengikat diri
menjadi imam masjid. Ia menyangka, bahwa dia di atas kebajikan. Dan maksudnya,
supaya orang mengatakan, bahwa dia itu imam masjid. Maka kalau orang lain
tampil ke depan, walaupun orang itu lebih wara’ dan lebih alim daripadanya,
maka ia berkeberatan. Suatu golongan
lain: yang tinggalnya bertetangga dengan Makkah atau Madinah. Mereka
terperdaya dengan tinggal di Makkah itu. Mereka tidak mengintip hatinya dan
tidak mensucikan zahirnya dan batinnya. Hatinya tersangkut dengan negerinya,
menoleh kepada perkataan orang yang dikenalnya, yang mengatakan: “Bahwa si Anu
itu bertetangga dengan yang demikian”. Engkau melihat dia bercakap-cakap dan
mengatakan: “Aku telah bertetangga dengan Makkah sekian tahun”. Apabila dia
mendengar bahwa yang demikian itu perkataan keji, niscaya ditinggalkannya
percakapan yang tegas itu. Dan dia suka, bahwa dia dikenal orang dengan yang
demikian. Kemudian, kadang-kadang ia bertetangga dan memanjangkan mata
kerakusannya kepada harta-harta manusia yang kotor itu. Dan apabila ia
kumpulkan dari yang demikian itu sesuatu, lalu ia kikir dan dipegangnya
erat-erat. Dirinya tidak membolehkan dengan sesuappun untuk disedekahkannya
kepada orang miskin. Maka menonjollah padanya sifat ria, kikir, rakus dan sejumlah
lain dari sifat-sifat yang membinasakan, dimana ia dahulunya jauh dari
sifat-sifat tersebut, jikalau ia tinggalkan bertetangga dengan tempat-tempat
tadi. Akan tetapi, kesukaan kepada pujian dan supaya dikatakan, bahwa dia
termasuk diantara orang-orang yang bertetangga (dengan Makkah dan Madinah),
maka memaksakan dia untuk bertetangga itu, serta berlumuran dengan sifat-sifat
hina tadi. Maka orang itu juga terperdaya. Dan tiada suatu amalpun dari segala
macam amal dan suatu ibadahpun dari bermacam-macam ibadah, melainkan ada
padanya bahaya. Maka orang yang tidak mengetahui tempat masuknya bahaya itu dan
ia berpegang kepadanya, maka dia itu orang terperdaya. Dan tidak akan diketahui
uraian yang demikian, selain dari sejumlah kitab-kitab IHYA ‘ULUMIDDIN. Maka ia
akan mengetahui tempat-tempat masuk terperdaya itu dalam shalat, dari Kitab
Shalat, pada haji dari Kitab Haji, zakat, tilawat dan lain-lain hal yang
mendekatkan diri kepada Allah, dari kitab-kitab yang telah kami susun mengenai
hal-hal itu. Yang menjadi maksud sekarang, ialah menunjuk kepada kumpulan yang
telah terdahulu pada kitab-kitab itu. Suatu
golongan lain: zuhud pada harta. Ia merasa cukup dari pakaian dan makanan
yang kurang. Dan dari tempat, dengan tinggal di masjid. Ia menyangka, bahwa ia
telah memperoleh pangkat orang-orang zuhud. Dan bersama dengan demikian, ia
gemar menjadi kepala dan memperoleh kemegahan. Adakalanya dengan ilmu atau
dengan memberi pengajaran atau dengan semata-mata zuhudnya. Ia telah
meninggalkan yang termudah dari dua perkara dan ia kembali dengan yang terbesar
dari dua yang membinasakan. Bahwa kemegahan itu lebih besar dari harta. Jikalau
ia meninggalkann kemegahan dan mengambil harta, niscaya ia lebih mendekati
kepada selamat. Maka orang tersebut itu terperdaya. Karena menyangka bahwa dia
termasuk orang zahid dalam dunia. Dan ia tidak memahami arti dunia. Dan ia
tidak mengetahui, bahwa kesudahan kesenangan dunia itu suka menjadi kepala.
Bahwa orang yang gemar kepada dunia, tak boleh tidak, bahwa orang itu munafiq,
pendengki, penyombong, bersifat ria dan bersifat dengan semua akhlak yang keji.
Ya benar, kadang-kadang ia meninggalkan suka menjadi kepala, memilih khilwah
(menyendiri) dan ‘uzlah (mengasingkan diri). Dan dia bersama dengan demikian
itu terperdaya. Karena, ia menyebut-nyebut dengan demikian, kepada orang-orang
kaya. Ia berkata kasar kepada mereka. Ia memandang kepada mereka dengan mata
penghinaan, ia mengharap bagi dirinya lebih banyak, daripada yang diharapnya
bagi mereka. Ia membanggakan diri (merasa ‘ujub) dengan amalnya. Ia bersifat
dengan sejumlah sifat-sifat hati yang keji dan ia tidak mengetahuinya.
Kadang-kadang, ia diberikan orang harta, maka tidak diambilnya. Karena takut
nanti dikatakan orang, bahwa zuhudnya telah rusak (batil/salah). Kalau
dikatakan orang kepadanya, bahwa harta itu halal, maka ambilkanlah pada zahir
dan kembalikanlah secara tersembunyi, niscaya dirinya tidak membolehkan, karena
takut dari celaan manusia. Maka dia itu orang yang gemar pada pujian manusia.
Dan pujian itu termasuk diantara pintu dunia yang paling enak. Ia melihat
dirinya, bahwa dia itu orang zuhud di dunia. Dan dia itu terperdaya. Dan
bersama dengan demikian, maka kadang-kadang ia tidak terlepas daripada
memuliakan orang-orang kaya, mendahulukan mereka atas orang-orang miskin,
cenderung hatinya kepada orang-orang yang menghendaki kepadanya
(murid-muridnya) dan orang-orang yang memujinya. Dan hatinya lari dari
orang-orang yang cenderung kepada orang-orang zahid yang lain. Semua itu
tertipu dan terperdaya dari setan. Kita berlindung dengan Allah daripada setan.
Dan dalam kalangan hamba-hamba Allah, ada orang yang bersikap keras atas
dirinya pada amal-amal anggota badannya. Sehingga kadang-kadang, ia mengerjakan
shalat pada sehari semalam-umpamanya, 1000 rakaat. Dan ia meng-khatamkan
Alquran. Dan dia pada semua itu, tidak terguris baginya memeliharakan hati,
mencari hati dan mensucikannya dari ria, takabur, ‘ujub dll dari sifat yang
membinasakan. Ia tidak tahu, bahwa yang demikian itu membinasakan. Dan kalau ia
mengetahui yang demikian, maka ia akan menyangka yang demikian dengan dirinya.
Dan kalau ia menyangka dengan dirinya yang demikian, lalu ia menduga, bahwa ia
akan diampunkan dosanya, karena amal zahirnya. Dan ia tidak akan disiksa dengan
hal-ikhwal hatinya. Dan kalau ia menduga, lalu ia menyangka, bahwa ibadah
zahiriyah itu akan memberatkan daun neraca perbuatan baiknya. Padahal amat jauh
dari itu. Seberat biji sawi dari orang yang bertaqwa dan suatu akhlak dari
akhlak orang-orang yang pintar itu, lebih utama daripada seumpama bukit-bukit
amalan dengan anggota badan. Kemudian, orang yang terperdaya ini, tiada
terlepas serta jahat akhlaknya bersama manusia, kasarnya, berlumuran batinnya
dengan ria dan suka pujian. Apabila dikatakan kepadanya: “Engkau termasuk tiang
negeri, wali Allah dan kekasihNya”, niscaya orang yang terperdaya itu gembira
dengan demikian. Ia benarkan dan dengan demikian bertambahlah
ke-terperdayaannya. Ia menyangka, bahwa manusia mensucikannya itu menjadi dalil
atas dirinya memperoleh rela daripada Allah. Ia tidak mengetahui, bahwa yang
demikian itu, karena bodohnya manusia dengan kekejian-kekejian batiniyah. Suatu golongan lain: loba kepada
ibadah-ibadah sunat dan tidak besar persediaannya dengan ibadah-ibadah fardlu.
Anda melihat seseorang dari mereka, bergembira dengan shalat Dluha, dengan
shalat malam dan ibadah-ibadah sunat yang seperti ini. Ia tidak memperoleh
kelezatan bagi ibadah fardlu. Tidak bersangatan keinginannya untuk menyegerakan
ibadah fardlu itu pada awal waktu. Ia lupa akan sabda Nabi saw, yang
dirawikannya dari Tuhannya: “Tidaklah mendekati orang-orang yang mendekati
kepadaKu, yang seumpama dengan menunaikan apa yang AKU fardlukan kepada
mereka”. Meninggalkan tartib di antara amal-amal kebajikan itu, termasuk dalam
jumlah amal kejahatan. Bahkan, kadang-kadang tertentu atas manusia dua
kewajiban: yang satu luput waktunya dan yang lain tidak luput waktunya. Atau
dua kelebihan: yang satu sempit waktunya dan yang lain, luas waktunya. Kalau ia
tidak menjaga tartib padanya, niscaya adalah dia terperdaya. Bandingan yang
demikian itu lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Perbuatan maksiat itu
terang dan perbuatan taat itu terang. Dan yang tidak terang (kabur), ialah:
mendahulukan sebahagian amal taat atas sebahagian yang lain. Seperti
mendahulukan ibadah fardlu seluruhnya atas ibadah sunat. Mendahulukan fardlu
‘ain atas fardlu kifayah(jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan
itu). Mendahulukan fardlu kifayah, yang tak ada orang yang mengerjakannya, atas
apa yang dikerjakan orang lain. Mendahulukan yang lebih penting dari
fardlu-fardlu ‘ain atas yang kurang penting. Mendahulukan yang luput waktunya
atas yang tidak luput waktunya. Dan ini adalah seperti wajib mendahulukan hajat
ibu atas hajat bapak. Karena: “Rasulullah saw ditanyakan. Orang bertanya
kepadanya: “”Siapakah yang lebih berhak memperoleh kebaikan dari kita, wahai
Rasulullah?”. Nabi saw menjawab: “Ibumu!”. “Kemudian, siapa?”. Nabi saw
menjawab: “Ibumu!”. “Kemudian, siapa?”. Nabi saw menjawab: “Ibumu!”. Orang itu
bertanya lagi: “Kemudian, siapa?”. Nabi saw menjawab: “Bapakmu!”. Orang itu
bertanya pula: “Kemudian, siapa?”. Nabi saw menjawab: “Yang lebih dekat kepada
engkau, lalu yang lebih dekat”. Maka seyogyalah dimulai pada hubungan
silaturrahim, dengan yang lebih dekat. Kalau keduanya sama, maka dimulai dengan
yang lebih memerlukan. Kalau keduanya sama, maka yang lebih taqwa dan lebih
wara’. Begitu pula orang yang tidak cukup hartanya untuk nafkah ibu bapaknya
dan naik haji. Maka kadang-kadang ia naik haji dan dia itu terperdaya. Bahkan
seyogyalah ia mendahulukan hak ibu bapak di atas haji. Dan ini termasuk
mendahulukan fardlu yang lebih penting atas fardlu yang kurang daripadanya.
Begitu pula, apabila ada janji atas seorang hamba Allah dan masuk waktu Jum’at.
Maka Jum’at itu akan luput waktunya dan melaksanakan penepatan janji itu
maksiat, walaupun penepatan janji itu pada asalnya suatu amal taat. Begitu
juga, kadang-kadang kainnya kena najis, lalu kasarlah katanya atas dua ibu
bapak dan keluarganya dengan sebab yang demikian. Maka najis itu harus dijaga
dan menyakitkan ibu bapa juga harus dijaga. Menjaga daripada menyakiti itu
lebih penting daripada menjaga dari najis. Contoh-contoh yang menghadapi
hal-hal yang harus dijaga dan amal taat itu tidak terhingga jumlahnya. Dan
siapa yang meninggalkan tartib pada semua itu, maka dia terperdaya. Dan ini
adalah ke-terperdayaan yang sangat kabur. Karena yang terperdaya padanya dalam
hal taat. Hanya ia tidak cerdik, karena amal taat itu menjadi maksiat, dari
segi ia meninggalkan taat yang wajib, yang lebih penting daripadanya. Termasuk
dalam jumlah tersebut, menyibukkan diri dengan mazhab dan khilafiah dari ilmu
fiqh, terhadap orang yang masih ada atasnya perbuatan taat, maksiat zahir dan
batin, yang menyangkut dengan anggota badan dan yang menyangkut dengan hati.
Karena maksud ilmu fiqh itu mengetahui apa yang diperlukan orang lain
kepadanya, pada segala keperluannya. Maka mengetahui apa yang diperlukannya
dalam hatinya itu lebih utama. Kecuali bahwa suka menjadi kepala, kemegahan,
kesenangan membanggakan diri, memaksakan teman dan mendahului teman itu,
membutakan kepadanya. Sehingga ia terperdaya dengan yang demikian pada dirinya.
Dan ia menyangka bahwa ia berbuat untuk kepentingan agamanya.
Jenis ketiga:
orang yang berbuat-buat tasawwuf/ahli suffi. Alangkah banyak terperdaya bagi mereka!
Dan yang terperdaya dari mereka itu banyak golongan. Segolongan dari mereka –
yaitu: orang-orang yang berbuat-buat tasawwuf/ahli suffi zaman sekarang, selain
orang yang dipelihara oleh Allah. mereka itu terperdaya dengan pakaian, bentuk
dan tuturkata. Lalu mereka membantu orang-orang yang benar dari kaum sufi, pada
pakaian mereka, bentuk mereka, kata-kata mereka, adab-sopan mereka,
adat-istiadat mereka dan kata-kata istilah mereka. Pada keadaan mereka yang zahiriyah,
tentang pendengaran, menari, bersuci, shalat, duduk atas tikar sajadah serta
menundukkan kepala dan memasukkannya dalam saku baju, seperti orang yang
bertafakkur, pada menarikkan nafas ke atas dan pada merendahkan suara pada
pembicaraan dan lain-lain dari segala sifat dan bentuk. Manakala mereka berbuat
semua hal ini dengan memberatkan diri dan mereka menyerupakan dengan
orang-orang sufi yang benar pada hal-hal itu, niscaya mereka menyangka pula
bahwa mereka orang sufi. Dan mereka tidak memayahkan dirinya sekali-kali pada
mujahadah, riyadlah (latihan), mengintipkan hati, mensucikan batin dan zahir
dari dosa-dosa yang tersembunyi dan yang terang. Dan semua itu termasuk dari
permulaan derajat tasawwuf/ahli suffi. Dan kalau mereka telah selesai dari semuanya,
tidak juga boleh bagi mereka menghitungkan dirinya dalam kalangan orang sufi.
Betapa tidak demikian? Mereka tidak sekali-kali mengelilingi di kelilingnya dan
mereka tidak merasakan dirinya akan sesuatu daripadanya. Bahkan mereka itu
berterang-terangan atas yang haram, harta syubhat (diragukan) dan harta
sultan-sultan (penguasa-penguasa). Mereka berlomba-lomba pada sepotong roti,
uang logam dan sebiji buah-buahan. Mereka dengki-mendengki pada titik dalam
biji buah-buahan (an-naqir) dan kulit yang masuk dalam biji buah-buahan
(al-qithmir). Sebahagian mereka merobek-robek kehormatan sebahagian yang lain,
manakala ia berselisih pada sesuatu dari maksudnya. Terperdayanya mereka itu
jelas. Contohnya, seperti seorang wanita tua yang mendengar, bahwa orang-orang
yang berani dan pahlawan-pahlawan dari orang-orang yang berperang, nama mereka
telah tetap dalam daftar kerajaan. Dan bagi masing-masing mereka, ditulis suatu
daerah dari daerah kerajaan dengan keberaniannya. Lalu wanita tua itu
merindukan dirinya, untuk dituliskan baginya sepotong dari kerajaan. Lalu ia
memakai baju besi, meletakkan diatas kepalanya topi waja, mempelajari beberapa
bait nyanyian pahlawan-pahlawan dan ia membiasakan membawa bait-bait nyanyian
itu dengan lagu pahlawan-pahlawan tersebut. Sehingga menjadi mudah kepadanya.
Dan ia mempelajari cara berjalan dalam barisan. Bagaimana cara mereka
menggerakkan tangan. Dan mencapai semua sifat mereka pada pakaian, tutur kata,
gerak-gerik dan diam. Kemudian wanita tadi menuju ke tempat tentara, supaya
namanya dicantum pada daftar orang-orang berani. Dan tatkala ia sampai ke
tempat tentara itu, lalu ia dibawa ke kantor penerimaan tentara. Kantor itu
memerintahkan, supaya wanita itu membuka topi waja dan baju besi dan dilihat
apa yang di bawahnya. Dan ia diuji dengan mengadakan perlawanan dengan
sebahagian orang-orang berani, untuk diketahui nilai kemampuannya pada
keberanian. Tatkala ia dilepaskan dari topi waja dan baju besi, rupannya ia
seorang wanita tua, lemah dan lumpuh, tidak sanggup membawa baju besi dan topi
waja. Lalu ditanyakan kepadanya: “Apakah engkau datang untuk mempermain-mainkan
raja, untuk menghina keluarga raja dan menipu mereka? Ambillah wanita ini dan
lemparkanlah pada tapak gajah, supaya dipijaknya!”. Maka wanita itu dilemparkan
kepada gajah. Maka begitulah adanya keadaan orang-orang yang mendakwakan
tasawwuf/ahli suffi pada hari kiamat, apabila tersingkap dari mereka tutupnya.
Dan mereka dibawa kepada Hakim Yang Maha Agung, yang tidak memandang kepada
pakaian dan kain yang ditenun. Akan tetapi, memandang kepada rahasia hati. Suatu golongan lain: yang bertambah di
atas mereka tadi pada ke-terperdayaan. Karena sulitlah kepadanya mengikuti
mereka pada buruknya pakaian dan rela dengan kekurangan. Lalu golongan ini
bermaksud menampakkan diri dengan tasawwuf/ahli suffi. Dan tidak boleh tidak,
daripada berhias dengan pakaian mereka. Lalu mereka meninggalkan sutera dan
sutera mentah. Dan mereka mencari kain terjahit yang mahal, baju yang halus dan
kain sajadah yang dicelup. Mereka memakai dari kain, yang harganya leibh tinggi
dari sutera dan sutera mentah. Seseorang dari mereka menyangka bersama yang
demikian, bahwa dia berbuat-buat menjadi orang sufi, dengan semata-mata warna
kain. Dan adanya kain itu terjahit. Ia lupa bahwa mereka memberi warna kainnya,
supaya tidak memerlukan kepada mereka mencucinya setiap saat, untuk
menghilangkan daki. Sesungguhnya mereka memakai kain yang terjahit bagus,
karena kain mereka itu koyak. Lalu mereka menjahitkannya dan mereka tidak
memakai yang baru. Adapun memotong-motong kain baju yang tipis berpotong-potong
dan menjahitkan yang berpotong-potong daripadanya, maka dari manakah menyerupai
dengan yang dibiasakan mereka? Maka mereka lebih tampak kedunguannya dari
umumnya orang-orang yang terperdaya. Mereka bersenang-senang dengan kecantikan
kain dan kelezatan makanan. Mereka mencari kecukupan hidup dan memakan harta
sultan-sultan (penguasa-penguasa). Mereka tidak menjauhkan perbuatan-perbuatan
maksiat zahir, lebih-lebih maksiat batin. Dan serta yang demikian, mereka
menyangka kebajikan dengan dirinya. Dan kejahatan mereka termasuk yang menjalar
kepada makhluk. Karena binasa orang yang mengikuti mereka. Dan orang yang tidak
mengikuti mereka, maka rusak aqidahnya pada ahli tasawwuf/ahli suffi
seluruhnya. Ia menyangka, bahwa semua ahli tasawwuf/ahli suffi iatu adalah
termasuk jinisnya. Lalu panjanglah lidah pada orang-orang yang benar dari
mereka. Dan semua itu termasuk sebahagian dari jahatnya orang-orang yang
menyerupakan dengan mereka dan kejahatan mereka. Suatu golongan lain: mendakwakan ilmu ma’rifah, menyaksikan
kebenaran (Al-Haqq), melewati maqam-maqam dan hal-ihwal, selalu (mulazamah)
pada Zat yang disaksikan (‘Ainusy-syuhud) dan sampai kepada mendekatiNya. Dan
ia tiada mengenal perkara-perkara ini, selain nama-nama dan kata-kata. Karena
ia memperoleh dari kata-kata kiamat, akan kalimat-kalimat. Lalu ia
mengulang-ulanginya. Ia menyangka, bahwa yang demikian itu lebih tinggi dari
ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian. lalu ia memandang kepada
ahli-ahli fiqh, ahli-ahli tafsir, ahli-ahli hadits dan jenis-jenis ulama dengan
mata kehinaan. Lebih-lebih orang awam. Sehingga orang petani meninggalkan
ladangnya dan penjahit meninggalkan jahitannya. Dan ia selalu bersama mereka
beberapa hari tertentu dan memperoleh dari mereka kalimat-kalimat palsu itu.
Lalu diulang-ulanginya, seakan-akan ia berkata-kata dari wahyu. Dan
menceritakan dari rahasia segala rahasia. Dan ia menghina dengan demikian,
semua hamba Allah dan ulama. Lalu ia mengatakan tentang hamba-hamba itu, bahwa
mereka orang-orang yang dipekerjakan, yang capek. Ia mengatakan tentang ulama,
bahwa ulama itu terdinding dengan hadits daripada Allah. Dan ia mendakwakan
bagi dirinya, bahwa dia yang sampai kepada Yang Maha Benar. Dan dia termasuk di
antara orang-orang yang didekatkan kepadaNya (al-muqarrabin). Padahal dia pada
sisi Allah, termasuk di antara orang-orang zalim yang munafiq. Dan dia pada
orang-orang yang mempunyai hati, termasuk di antara orang-orang dungu, yang
bodoh. Ia tidak sekali-kali berpaham teguh suatu ilmupun. Tidak terdidik dengan
akhlak mulia. Tidak menyusun dengan tartib suatu amal. Tidak mengintip hati,
selain mengikuti hawa nafsu. Dan ia memperoleh kata-kata yang tidak berfaedah
dan menghapalkannya. Suatu golongan lain:
jatuh pada serba boleh (al-ibahah). Mereka melipatkan tikar permadani agama,
menolak segala hukum dan menyamakan antara halal dan haram. Setengah mereka
mendakwkan, bahwa Allah tidak memerlukan kepada amalku, maka mengapa aku
memayahkan diriku? Setengah mereka mengatakan, bahwa manusia itu telah
memberatkan dirinya mensucikan hati dari nafsu syahwat dan dari mencintai
dunia. Dan itu adalah mustahil. Mereka telah memberatkan apa yang tidak
mungkin. Dan yang terperdaya dengan demikian, ialah orang yang tidak
berpengalaman. Adapun kami telah mencoba (telah berpengalaman) dan kami telah
mengetahui, bahwa yang demikian itu mustahil. Dan orang yang dungu tidak
mengetahui, bahwa manusia tidak diberati mencabut nafsu syahwat dan marah dari
pokoknya. Akan tetapi, mereka diberati mencabut unsurnya (maddahnya), di mana
masing-masing yang dua itu mengikuti hukum akal dan hukum syara’ (agama).
Sebahagian mereka mengatakan, bahwa amal perbautan itu dengan anggota badan
yang tiada timbangannya. Dan hanya dipandang kepada hati. Dan hati kita itu
bimbang dengan kasih Allah dan sampainya kepada ma’rifah (mengenal) Allah. Dan
sesungguhnya kita masuk dalam dunia dengan tubuh kita dan hati kita berhenti di
Hadlarat KeTuhanan. Maka kita bersama nafsu syahwat itu dengan badan zikir,
tidak dengan hati. Mereka mendakwakan, bahwa mereka telah mendaki tinggi dari
tingkat orang awam. Mereka tidak memerlukan membersihkan jiwa dengan amal
badaniyah (amal ibadah yang dikerjakan dengan badan, seperti: shalat,dll). Dan
bahwa nafsu syahwat tidak mencegah mereka dari jalan Allah, karena kuatnya
mereka pada nafsu syahwat itu. Mereka mengangkat derajat diri mereka atas
derajat nabi-nabi as. Karena pernah mencegah nabi-nabi itu dari jalan Allah
oleh satu kesalahan. Sehingga mereka itu menangis di atas kesalahan tersebut
dan meratapinya bertahun-tahun, berturut-turut. Jenis tertipunya orang-orang
al-ibahah dari orang-orang yang menyerupakan diri dengan orang-orang sufi itu,
tidak terhingga. Semua itu didasarkan atas kesalahan-kesalahan dan
bisikan-bisikan setan. Mereka ditipu oleh setan, karena sibuknya mereka dengan
mujahadah, sebelum mengokohkan ilmu dan tanpa meengikuti seorang syaikh (guru)
yang teguh pada agama dan ilmu, yang pantas diikuti. Dan menghitung jenis-jenis
mereka ini akan panjang waktunya. Suatu
golongan lain: melewati batas mereka di atas. Ia menjauhkan segala amal. Ia
mencari yang halal dan berbuat mencari hati. dan jadilah seseorang mereka
mendakwakan mendapat kedudukan tinggi dari zuhud, tawakkal, rela dan cinta,
tanpa mengetahui hakikat/makna kedudukan-kedudukan (al-maqamat) ini,
syarat-syaratnya, tanda-tandanya dan bahaya-bahayanya. Termasuk di antara
mereka, orang yang mendakwakan sayang dan cinta kepada Allah Ta’ala. Ia
mendakwakan, bahwa dia bimbang dengan Allah. Mungkin ia telah berkhayal mengenai
Allah dengan khayalan-khayalan, yang bid’ah (yang diada-adakan) atau kufur
(membawa kepada kekafiran). Lalu ia mendakwakan mencintai Allah sebelum
mengenalNya. Kemudian, ia tidak terlepas daripada mengerjakan yang tidak
disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Dan daripada mengutamakan hawa nafsunya dari
perintah Allah dan daripada meninggalkan sebahagian hal-hal, karena malu
daripada makhluk. Dan kalau ia pada tempat sepi (sendirian), niscaya tidak
ditinggalkannya, karena malu kepada Allah Ta’ala. Ia tidak mengetahui, bahwa
semua itu berlawanan dengan cinta kepada Allah. Sebahagian mereka
kadang-kadang, cenderung kepada qana’ah (merasa puas apa adanya) dan tawakkal.
Lalu ia masuk ke desa-desa, tanpa perbekalan, untuk membenarkan dakwaan
tawakkalnya. Ia tidak mengetahui, bahwa yang demikian itu perbuatan bid’ah
(yang diada-adakan), yang tidak dinukilkan dari salaf (orang-orang terdahulu)
dan para sahabat. Dan adalah salaf dan para sahabat itu lebih mengetahui
tawakkal daripadanya. Mereka tidak memahami, bahwa tawakkal itu gurisan dengan
jiwa dan meninggalkan perbekalan. Akan tetapi, mereka mengambil perbekalan. Dan
mereka bertawakkal kepada Allah Ta’ala, tidak atas perbekalan. Pahamilah ini!
Kadang-kadang ia meninggalkan perbekalan dan ia bertawakkal atas satu dari
sebab-sebab yang dipercayainya. Dan tiadalah suatupun dari kedudukan-kedudukan
(Al-maqamat) yang melepaskan itu, melainkan ada padanya ke-terperdayaan. Dan
telah tertipu dengan itu suatu kaum. Dan telah kami sebutkan dahulu,
tempat-tempat masuknya bahaya, pada Rubu’ Yang Melepaskan dari Kitab ini. Maka
tidak mungkin sekarang mengulanginya lagi.
Suatu golongan lain: ia menyempitkan atas dirinya tentang urusan makanan
yang dimakannya. Sehingga ia mencari yang halal benar-benar. Mereka melengahkan
mencari hati dan anggota badan, pada bukan perkara yang satu ini. Diantara
mereka, termasuk orang yang melengahkan halal pada makanan, pakaian dan tempat
tinggalnya. Dan ia masuk mendalami pada yang lain dari itu. Dan orang yang
patut dikasihani ini, tidak mengetahui bahwa Allah Ta’ala tidak rela dari
hambaNya, dengan mencari yang halal saja. Dan IA tidak rela dengan amal-amal
lainnya, tanpa mencari yang halal. Bahkan IA tidak rela, selain mencari semua
amalan taat dan maksiat. Maka siapa yang menyangka, bahwa sebahagian hal-hal
ini mencukupi baginya dan melepaskannya dari bahaya, maka orang itu terperdaya.
Suatu golongan lain: mereka
mendakwakan bagus akhlak, tawadlu’ dan suka memaafkan (as-simahah). Maka mereka
datang untuk melayani kaum sufi. Mereka mengumpulkan suatu kaum dan memberati
diri melayani mereka. Mereka buat yang demikian, sebagai jalan untuk menjadi
kepala dan mengumpulkan harta. Maksud mereka, ialah: sombong. Mereka
menampakkan pelayanan dan kerendahan diri. Dan maksud mereka, ialah:
ketinggian. Mereka menampakkan, bahwa maksud mereka, ialah: kasih sayang. Dan
maksud mereka menuruti. Mereka menampakkan bahwa, maksud mereka itu pelayanan
dan pengikutan. Kemudian, mereka mengumpulkan dari harta haram dan syubhat
(diragukan) (yang diragukan halalnya). Mereka membelanjakan kepada kaum itu,
supaya banyak pengikut mereka. Ia menyiarkan dengan pelayanan itu, nama mereka.
Sebahagian mereka mengambil harta sultan-sultan (penguasa-penguasa), yang
dibelanjakannya kepada mereka. Dan sebahagian mereka mengambil harta itu, untuk
dibelanjakannya pada jalan haji kepada orang-orang sufi. Ia mendakwakan, bahwa
maksudnya kebajikan dan perbelanjaan pada yang baik (al-infaq). Dan pembangkit
semua mereka, ialah: ria dan sum’ah (keharuman nama). Tandanya itu, ialah:
kelengahan mereka bagi semua perintah Allah Ta’ala atas mereka, zahir dan
batin. Dan relanya mereka mengambil yang haram dan membelanjakan dari yang
haram itu. Contoh orang yang membelanjakan yang haram itu pada jalan haji,
untuk menghendaki kebajikan, adalah seperti orang yang membangun (menta’mirkan)
masjid-masjid Allah. Lalu dikapurinya dengan kotoran hewan. Dan ia mendakwakan,
bahwa maksudnya, ialah: ta’mir masjid. Suatu
golongan lain: mereka sibuk dengan mujahadah, membersihkan akhlak dan
mensucikan jiwa dari segala kekurangan. Mereka mendalami pada yang tersebut
itu. Lalu mereka mengambil pembahasan (penelitian) tentang kekurangan jiwa dan
mengenali tipuannya, untuk ilmu dan pekerjaan. Maka mereka pada semua
keadaannya, sibuk dengan pembahasan dari hal kekurangan jiwa dan memahami kata
yang halus pada bahaya-bahayanya. Lalu mereka mengatakan, bahwa ini pada jiwa
itu suatu kekurangan. Dan lalai dari dia itu kekurangan, adalah suatu
kekurangan. Dan menoleh kepada adanya itu kekurangan adalah kekurangan. Mereka
tertarik padanya, dengan kalimat-kalimat yang sambung-menyambung, yang
menyia-nyiakan waktu pada pelempetannya. Orang yang menjadikan sepanjang
umurnya pada pemeriksaan dari kekurangan-kekurangan dan penguraian ilmu
pengobatannya, adalah seperti orang yang sibuk dengan pemeriksaan
halangan-halangan haji dan bahaya-bahayanya. Dan ia tidak menjalani jalan haji.
Maka yang demikian itu tidak diperlukan. Suatu
golongan lain: mereka melewati tingkat ini dan memulai menempuh jalan
kepada Allah. Dan terbukalah bagi mereka pintu-pintu ma’rifah. Maka setiap kali
mereka mencium dari pokok-pokok ma’rifah, suatu bau yang harum, niscaya merasa
heran daripadanya dan mereka bergembira dengan yang demikian. Dan mena’jubkan
mereka oleh keganjilannya. Lalu terikatlah hati mereka, dengan berpaling
kepadanya dan bertafakkur padanya. Dan pada cara terbuka pintunya kepada mereka
dan tertutupnya kepada orang lain. Semua itu terperdaya. Karena
keajaiban-keajaiban jalan Allah itu, tiada baginya kesudahan. Jikalau ia
berhenti pada setiap keajaiban dan ia terikat dengan dia, niscaya singkatlah
langkah-langkahnya. Dan tidak akan sampai kepada maksud. Contohnya, adalah
seperti orang yang bermaksud menghadap seorang raja. Lalu ia melihat pada pintu
lapangannya, sebuah taman, yang di dalamnya bunga-bungaan dan cahaya
gilang-gemilang, yang belum pernah dilihatnya seperti itu sebelumnya. Lalu ia
berhenti, memandang kepadanya. Dan ia merasa takjub sekali, sehingga luputlah
waktu yang mungkin padanya menemui raja. Suatu
golongan lain: mereka melampaui mereka tadi. Mereka tidak menoleh kepada
yang melimpah-limpah kepada mereka, dari cahaya yang gilang-gemilang pada
jalan. Dan tidak menoleh kepada yang memudahkan urusan bagi mereka, dari
pemberian-pemberian yang banyak. Mereka tidak memuncak kepada kesenangan dengan
yang demikian dan penolehan kepadanya. Keadaan mereka terus rajin pada
perjalanan, sehingga mereka mendekati. Lalu mereka sampai kepada batas
pendekatan kepada Allah Ta’ala. Lalu mereka menyangka, bahwa mereka sudah
sampai kepada Allah. Lalu mereka berhenti dan mereka salah. Sesungguhnya Allah
Ta’ala mempunyai 70 hijab (dinding) dari nur. Tiada sampai yang menjalani
kepada suatu hijab dari hijab-hijab itu di jalan, melainkan ia akan menyangka,
bahwa ia sudah sampai. Kepada itulah, diisyaratkan dengan perkataan Ibrahim as,
karena Allah Ta’ala berfirman, menerangkan tentang hal itu, yaitu: “Ketika
malam telah gelap, dilihatnya sebuah bintang. Katanya: Inikah Tuhanku?”. S 6 Al
An’aam ayat 76. Bukankah maksudnya tubuh-tubuh yang bercahaya ini. Itu adalah
dilihatnya dalam bentuk kecil. Dan ia tahu bahwa itu bukan tuhan. Dan
tubuh-tubuh itu banyak, bukan satu. Orang-orang bodoh itu tahu, bahwa bintang
itu bukan tuhan. Maka seperti Ibrahim as tidak akan ditipu oleh bintang, yang
tidak akan menipu orang-orang bodoh itu. Akan tetapi, yang dimaksudkan, ialah:
bahwa itu nur (cahaya) dari nu-nur, yang termasuk diantara hijab-hijab Allah
‘Azza wa Jalla. Dan itu adalah di atas jalan orang-orang yang berjalan kepada
Allah Ta’ala (as-salikin). Dan tidaklah tergambar akan sampai kepada Allah
Ta’ala, selain dengan sampai kepada hijab-hijab ini. Yaitu: hijab-hijab dari
nur, yang sebahagiannya lebih besar dari sebahagian yang lain. Dan nur yang
terkecil, ialah: bintang. Maka dipinjamkan kata-kata bintang itu bagi: nur. Dan
nur yang terbesar, ialah: matahari. Dan di antara bintang dan matahari itu,
derajat bulan. Maka senantiasalah Nabi Ibrahim as tatkala melihat kerajaan
langit, di mana Allah Ta’ala berfirman: “Dan begitulah Kami perlihatkan kepada
Ibrahim kerajaan langit dan bumi dan supaya Ibrahim termasuk orang-orang yang
yakin”. S 6 Al An’aam ayat 75, Ibrahim itu sampai kepada nur sesudah nur. Dan
terkhayallah kepadanya, pada permulaan yang dijumpainya, bahwa ia telah sampai.
Kemudian, terbuka baginya, bahwa dibaliknya ada sesuatu. Lalu ia mendaki
kepadanya dan mengatakan: “Aku sudah sampai”. Lalu terbuka lagi baginya di balik
itu, sehingga ia sampai kepada hijab yang terdekat, yang tiada sampai, selain
sesudahnya. Lalu ia mengatakan: “Ini lebih besar!”. Tatkala tampak baginya,
bahwa hijab itu serta besarnya, tidak terlepas dari jatuhnya dalam lembah
kekurangan dan kerendahan dari puncak kesempurnaan, lalu ia mengatakan: “Aku
tidak menyukai yang tenggelam”. S 6 Al An’aam ayat 76. “Sesungguhnya aku
mengarahkan tujuanku kepada Tuhan yang menjadikan langit dan bumi”. S 6 Al
An’aam ayat 79. Orang yang menempuh jalan ini, kadang-kadang terperdaya pada
berhentinya di atas sebahagian hijab-hijab ini. Kadang-kadang ia terperdaya
dengan hijab pertama. Dan permulaan hijab di antara Allah dan hamba, ialah:
dirinya sendiri. Itu juga urusan ketuhanan. Yaitu: nur dari nur-nur Allah
Ta’ala. Aku maksudkan: rahasia hati, yang terang (tajalli) hakikat/makna
kebenaran seluruhnya. Sehingga hati itu meluas bagi sejumlah alam dan
meliputinya. Dan menampak padanya bentuk semua. Dan ketika itu, cemerlanglah
cahayanya dengan sangat besar. Karena laihr pada wujud semua, di atas apa
adanya. Dan pada permulaannya, dia itu terhijab dengan sebuah lobang. Lobang
itu seperti tabir baginya. Maka apabila tajalli nurnya dan terbuka keelokan
hati, sesudah cemerlang Nur Allah kepadanya dan kadang-kadang yang punya hati
itu berpaling kepada hati, maka ia melihat dari keelokannya yang memuncak, apa
yang mendahsyatkannya. Dan kadang-kadang terlanjur lidahnya pada kedahsyatan
ini, lalu ia mengatakan: “Anal-haqq”. Jikalau tidak terang baginya, apa yang di
belakang itu, niscaya ia terperdaya dengan yang demikian. Ia berhenti padanya
dan ia binasa. Dan adalah ia sesungguhnya terperdaya dengan bintang kecil dari
nur-nur Hadlarat Ketuhanan. Ia tidak sampai kemudian, kepada bulan, apalagi
kepada matahari. Dan dia itu terperdaya. Inilah tempat kesamaran. Karena yang
tajalli/yang terang itu menjadi samar dengan tempat tertajallinya, sebagaimana
samarnya warna yang terlihat pada cermin dengan cermin. Lalu disangka bahwa itu
warna cermin. Dan sebagaimana samarnya apa yang dalam botol dengan botol,
seperti yang dikatakan pada sekuntum syair:
Haluslah botol dan haluslah khamar.
Maka keduanya serupa, lalu menjadi samar.
Seolah-olah khamar, bukan botol.
Dan seolah-olah botol, bukan khamar.
Dengan mata ini, orang Nasrani memandang kepada Isa Al-Masih.
Lalu mereka melihat cemerlangnya Nur Allah, yang telah gilang-gemilang padanya.
Maka mereka tersalah pada yang demikian, seperti orang yang melihat bintang
pada cermin atau dalam air. Lalu menyangka, bahwa bintang itu pada cermin atau
dalam air. Maka diulurkannya tangannya kepada bintang itu, untuk diambilnya.
Dan dia itu terperdaya. Macam-macam keterperdayaan pada jalan yang ditempuh
kepada Allah Ta’ala itu tidak dihinggakan jumlahnya dalam kitab yang
berjilid-jilid tebalnya. Dan tidak terselidiki, selain sesudah uraian semua
ilmu al-diminta untuk mengetahuinya saja. Dan yang demikian itu, termasuk di
antara yang tidak mudah menyebutkannya. Mudah-mudahan sekadar yang telah kami
sebutkan juga adalah lebih utama meninggalkannya. Karena orang yang menempuh
jalan ini, tidak memerlukan kepada mendengarnya dari orang lain. Dan orang yang
tidak menjalani jalan ini, niscaya tidak mengambil manfaat dengan mendengarnya.
Bahkan kadang-kadang ia memperoleh melarat dengan yang demikian. Karena
mendatangkan kebingungan oleh yang demikian kepadanya, dimana ia mendengar apa
yang tidak dipahaminya. Tetapi ada padanya faedah, yaitu: mengeluarkannya dari
keterperdayaan yang ada padanya. Bahkan kadang-kadang ia membenarkan, bahwa
persoalan itu lebih besar dari apa yang disangkanya dan dari apa yang
dikhayalkannya dengan hatinya yang singkat, khayalannya yang pendek dan
pertengkarannya yang dihiasi dengan dalil-dalil sangkaan. Dan ia membenarkan
pula dengan apa yang diceritakan kepadanya, dari hal diminta untuk mengetahuinya
saja, yang diceritakan oleh wali-wali Allah. Dan orang yang sangat tertipunya,
kadang-kadang ia berkekalan mendustakan apa yang didengarnya sekarang,
sebagaimana ia mendustakan apa yang telah didengarnya sebelumnya.
Jenis keempat:
orang-orang yang berharta. Yang terperdaya dari mereka itu adalah beberapa golongan.
Segolongan dari mereka, bersungguh-sungguh membangun masjid-masjid,
madrasah-madrasah,. Langgar-langgar, jembatan-jembatan dan apa yang menampak
bagi manusia seluruhnya. Mereka menuliskan namanya dengan tembok pada
bangunan-bangunan itu, supaya kekal sebutannya. Dan kekal bekas mereka sesudah
mati. Mereka menyangka, bahwa mereka telah berhak memperoleh ampunan dengan
demikian. Mereka terperdaya padanya, dari 2 segi: salah satu dari 2 segi itu,
bahwa mereka membangun bangunan-bangunan tersebut dari harta yang diusahakannya
dari kezaliman, kerampasan, uang suapan dan segi-segi yang terlarang. Mereka
telah berbuat yang dimarahi oleh Allah pada mengusahakannya. Dan mereka berbuat
bagi kemarahannya pada membelanjakannya. Dan yang wajib atas mereka, ialah:
mencegah diri dari mengusahakannya itu. Jadi, mereka telah berbuat maksiat
kepada Allah dengan usahanya. Maka yang wajib atas mereka, ialah: bertaubat dan
kembali kepada Allah. Dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya. Adakalanya
barang itu sendiri dan adakalanya mengembalikan gantinya, ketika tidak dapat
mengembalikan barangnya. Kalau tidak dapat mereka mengembalikan kepada
pemiliknya, maka wajiblah mengembalikannya kepada ahli warisnya. Dan kalau
orang yang teraniaya itu tidak lagi mempunyai ahli waris maka haruslah
menyerahkan harta itu kepada yang terpenting dari segala kepentingan umum.
Kadang-kadang yang terpenting itu adalah membagikan kepada orang-orang miskin.
Dan mereka tidak berbuat demikian, karena takut tampak yang demikian kepada
manusia. Lalu mereka membangun bangunan-bangunan dengan tembok. Dan maksud
mereka dari pembangunan itu, ialah: ria, menarik pujian dan ingin mereka
kekalnya bangunan-bangunan itu, untuk kekalnya nama mereka yang tertulis itu
padanya. Tidak untuk kekalnya kebajikan. Segi kedua: bahwa mereka menyangka
dirinya itu ikhlas dan bermaksud kebajikan pada membelanjakan hartanya pada
pembangunan-pembangunan tersebut. Dan kalau seseorang dari mereka diberati
untuk membelanjakan satu dinar dan namanya tidak ditulis atas tempat yang
dibelanjakannya, niscaya sukarlah yang demikian kepadanya dan ia tidak
memperbolehkan dirinya kepada yang demikian. Dan Allah Ta’ala itu melihat, baik
namanya ditulis atau tidak ditulis. Dan jikalau tidak bahwa ia bermaksud dengan
perbuatan itu akan muka manusia, bukan wajah Allah, niscaya tidak ia
menghendaki kepada yang demikian. Suatu
golongan lain: kadang-kadang ia mengusahakan harta dari yang halal. Dan ia
membelanjakan kepada masjid-masjid. Golongan ini juga tertipu dari 2 segi:
salah satu dari ke-2 segi itu, ialah: ria dan mencari pujian. Karena
kadang-kadang ada pada tetangganya atau kampungnya orang-orang miskin. Dan
meyerahkan harta kepada mereka itu lebih penting, lebih afdlal dan lebih utama
daripada menyerahkannya kepada pembangunan masjid-masjid dan menghiasinya. Dan
sesungguhnya ringan kepada mereka menyerahkan harta itu kepada masjid-masjid,
supaya tampak yang demikian itu diantara manusia. Yang kedua: bahwa ia
menyerahkan hartanya kepada menghiasi masjid dan menghiaskannya dengan
ukiran-ukiran yang terlarang, yang mengganggu hati orang-orang yang mengerjakan
shalat dan menarik penglihatannya. Yang dimaksud dari shalat, ialah khusyu’ dan
kehadiran hati. Dan yang demikian itu, merusakkan hati orang-orang yang
mengerjakan shalat dan membatalkan pahala mereka dengan yang demikian. Dan
bahaya yang demikian itu semuanya kembali kepadanya. Dan serta yang demikian,
ia tertipu dengan itu. Ia melihat bahwa yang demikian termasuk diantara yang
kebajikan. Dan ia menghitung yang demikian itu jalan (wasilah) kepada Allah
Ta’ala. Padahal bersamaan dengan itu, ia telah berbuat bagi kemarahan Allah
Ta’ala. Ia menyangka, bahwa ia mentaatiNya dan mengikuti perintahNya. Ia telah
mengacaukan hati hamba-hamba Allah dengan apa yang dihiasinya pada masjid.
Kadang-kadng ia telah menarik hamba-hamba Allah itu dengan yang demikian,
kepada perhiasan dunia. Lalu mereka mengingini seperti yang demikian pada
rumah-rumah mereka. Dan mereka berusaha mencarinya. Dan bahaya yang demikian
itu semua adalah pada lehernya. Karena masjid itu adalah untuk tawadlu’ dan
menghadirkan hati kepada Allah Ta’ala. Malik bin Dinar mengatakan: “Dua orang
laki-laki datang di sebuah masjid. Lalu yang seorang berdiri di pintu dan mengatakan:
“Orang seperti aku, tidak akan masuk Baitullah (rumah tempat menyembah Allah)”.
Lalu dua orang malaikat menulisnya pada sisi Allah orang shiddiq (yang sangat
membenarkan agama). Maka begitulah seyogyanya mengagungkan masjid. Yaitu: bahwa
ia melihat pengotoran masjid dengan masuknya sendiri dalam masjid, sebagai
penganiayaan kepada masjid. Tidak bahwa ia melihat pengotoran masjid dengan
yang haram atau dengan hiasan dunia sebagai berbuat kebaikan kepada Allah
Ta’ala. Orang-orang hawariyun (pembantu-pembantu Nabi Isa as) mengatakan kepada
Nabi Isa as: “Lihatlah ke masjid ini! Alangkah bagusnya!” Lalu Nabi Isa as
menjawab: “Hai umatku! Dengan sebenarnya aku akan mengatakan kepadamu. Allah
Ta’ala tiada akan meninggalkan dari masjid ini sebuah batu yang berdiri di atas
sebuah batu, melainkan akan dibinasakannya, disebabkan dosa yang punyanya
(pengurusnya). Allah Ta’ala tidak memperdulikan dengan emas dan perak. Dan
tidak memperdulikan dengan batu ini suatupun, yang menakjubkan kamu. Dan
sesungguhnya yang sangat dikasihi Allah dari sesuatu itu, ialah: hati yang
shalih. Dengan sebab hati yang shalih itu, Allah memakmurkan bumi. Dan dengan
sebab hati itu, Allah merobohkannya, apabila hati itu tidak demikian”. Abud
Darda ra mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Apabila kamu cantikkan
masjid-masjidmu dengan ukiran-ukiran dan kamu hiasi mashhaf-mashhafmu dengan
emas dan perak, maka kehancuran itu atas dirimu”. Al Hasan Al Bashar (melihat)i
ra berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw tatkala mau membangun masjid Madinah,
maka datang kepadanya malaikat Jibril as, seraya mengatakan: “Bangunkanlah
masjid ini 7 hasta tingginya ke atas. Jangan engkau hiaskan dan jangan engkau
ukirkan”. Maka tertipunya ini, adalah dari segi dia melihat perbuatan munkar
itu baik dan ia berpegang kepada perbuatan munkar itu. Suatu golongan lain: mereka membelanjakan (mengeluarkan) harta pada
bersedekah kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin. Mereka minta dengan pemberian itu, diadakan
perayaan-perayaan yang mengumpulkan manusia pada pemberian tersebut. Dan dari
orang-orang fakir itu, menurut kebiasaannya, berterima kasih dan menyiarkan
perbuatan baik itu. Mereka tiada menyukai bersedekah secara rahasia
(disembunyikan). Mereka memandang penyembunyian orang fakir terhadap apa yang diambilnya dari
mereka itu, suatu penganiayaan dan tidak berterima kasih (kufur) kepada mereka.
Kadang-kadang mereka berusaha membelanjakan (mengeluarkan) harta itu pada haji.
Lalu mereka mengerjakan ibadah haji berkali-kali. Kadang-kadang mereka
meninggalkan tetangganya dalam kelaparan. Karena itulah Ibnu Mas’ud ra
mengatakan: “Pada akhir zaman, banyak orang haji, dengan tiada sebab yang
memudahkan bagi mereka perjalanan dan melapangkan bagi mereka rezeki. Mereka
kembali dengan diharamkan (tidak mendapat) pahala dan dicabut dari balasan.
Ingin untanya dengan seseorang mereka di tempat-tempat pasir dan sepi dan
tetangganya terikat gelembungnya (tidak ada yang dimakan), tidak ditolongnya”.
Abu Nashir At Tamar (seorang abid yang keopercayaan, (w. Th. 28 H) mengatakan:
“Seorang laki-laki datang mengucapkan selamat tinggal kepada Bishir bin Al
Harts. Orang itu berkata: “Aku berazam (ingin sekali) naik haji. Maka suruhlah
aku sesuatu yang akan aku kerjakan!”. Bishir bin Al Harts lalu mengatakan
kepada laki-laki itu. “Berapa telah engkau sediakan belanjanya?”. Laki-laki itu
menjawab: “2000 dirham”. Bishir bin Al Harts lalu bertanya: “Apakah yang engkau
cari dengan hajimu itu? Zuhud atau rindu ke Baitullah atau mencari kerelaan
Allah?”. Laki-laki itu menjawab: “Mencari kerelaan Allah”. Bishir berkata:
“Kalau engkau memperoleh kerelaan Allah Ta’ala engkau tetap di rumah engkau,
dan engkau belanjakan yang 2000 dirham itu dan engkau dengan yakin akan
memperoleh kerelaan Allah Ta’ala, apakah engkau mau berbuat yang demikian?”.
Laki-laki tersebut menjawab: “Ya mau!”. Bishir lalu berkata: “Pergilah, berikan
uang itu kepada 10 orang: kepada orang berhutang, yang akan membayar hutangnya,
kepada orang miskin yang akan membaikan keadaannya, kepada orang yang
berkeluarga, yang akan mengayakan keluarganya, dan kepada anak yatim yang
dididik, yang akan menggembirakannya. Dan kalau kuat hati engkau, berikanlah
kepada seseorang. Kerjakanlah! Sesungguhnya engkau memasukkan kegembiraan
kepada hati orang muslim, memberi pertolongan kepada orang-orang melarat,
menghilangkan melarat dan menolong orang lemah, adalah lebih utama dari 100
kali haji sesudah haji Islam (sekali haji yang diwajibkan oleh agama Islam).
Bangunlah, keluarkanlah harta itu, seperti yang kami suruhkan kepadamu! Kalau
tidak, maka katakanlah kepada kami, apa yang dalam hatimu!”. Laki-laki itu lalu
menjawab: “Hai Abu Nashr! Perjalananku lebih kuat pada hatiku”. Bishir ra lalu
tersenyum, memandang kepada orang itu dan mengatakan kepadanya: “Harta itu bila
dikumpulkan dari daki perniagaan dan harta-harta syubbah, niscaya jiwa
menghendaki bahwa harta itu untuk menunaikan hajat keperluan lalu jiwa itu
melahirkan amal-amal shalih. Dan Allah bersumpah kepada dirinya, bahwa ia tidak
menerima, selain amal orang-orang yang taqwa (al-muttaqin)”. Suatu golongan lain: dari orang-orang
yang mempunyai harta, yang sibuk dengan harta itu. Mereka menjaga harta-harta
tadi dan memegangnya dengan kikir yang teguh. Kemudian, mereka sibuk dengan
ibadah badaniyah, yang tidak memerlukan kepada perbelanjaan, seperti: puasa
siang hari, menegakkan shalat malam hari dan mengkhatamkan (membaca sampai
habis) Alquran. Dan mereka itu terperdaya. Karena kikir yang membinasakan,
telah menguasai pada kebatinan mereka. Maka ia memerlukan kepada mencegahnya,
dengan mengeluarkan harta. Ia telah berbaut dengan mencari perbuatan-perbuatan
utama dan ia tidak memerlukaan kepadanya. Orang itu adalah seperti orang yang
masuk ke dalam kainnya, seekor ular. Dan ia hampir binasa. Dan ia sibuk memasak
sakajabin, untuk menenangkan orang yang terkena penyakit kuning. Dan orang yang
dibunuh oleh ular, manakala ia memerlukan kepada sakajabin. Karena itulah
dikatakan kepada Bishir, bahwa si Anu itu orang kaya, banyak puasa dan shalat.
Lalu Bishir menjawab: “Orang miskin, ialah meninggalkan hal dirinya dan masuk
dalam hal keadaan orang lain. Sesungguhnya hal orang ini, ialah: memberi
makanan bagi orang-orang lapar dan membelanjakan kepada orang-orang miskin. Ini
lebih utama baginya daripada melaparkan dirinya dan daripada shalatnya bagi
dirinya, serta mengumpulkannya bagi dunia dan mencegahnya bagi orang-orang yang
memerlukan (orang-orang fakir). Suatu
golongan lain: mereka yang telah dikerasi oleh sifat kikir. Diri mereka
tidak membolehkan, selain menunaikan zakt saja. Kemudian, mereka keluarkan
zakat itu, dari harta yang buruk, yang rendah mutunya, yang tidak mereka sukai.
Dan mereka cari dari orang-orang fakir itu, orang yang akan melayani mereka dan
yang sekali datang untuk memenuhi keperluan mereka. Atau orang yang mereka
perlukan kepadanya pada masa depan, untuk mempergunakan tenaganya pada
pelayanan. Atau orang, yang pada umumnya mereka mempunyai maksud pada orang
tersebut. Atau mereka serahkan yang demikian itu kepada orang yang ditentukan
oleh seseorang pembesar, dari orang-orang yang memperoleh kekuatan dengan
kekeluargaannya. Supaya dengan demikian, ia memperoleh kedudukan pada pembesar
tersebut. Lalu pembesar itu bangun memenuhi keperluannya. Semua itu merusakkan
niat dan membatalkan amal. Dan orang yang mempunyai sifat tersebut itu
terperdaya. Ia menyangka bahwa ia orang yang mentaati Allah Ta’ala. Padahal dia
orang yang zalim. Karena ia mencari dengan ibadah kepada Allah, gantinya dari
selain Allah. Maka yang tersebut tadi dan yang serupa dengan itu, termasuk
sebahagian dari tertipunya orang-orang yang berharta juga, yang tidak terhingga
jumlahnya. Dan sesungguhnya kami sebutkan sekadar ini, untuk memperingati
jenis-jenis terperdaya itu. Suatu
golongan lain: dari orang-orang awam, orang-orang yang mempunyai harta dan
orang-orang miskin, yang terperdaya dengan menghadiri majlis-majlis dzikir.
Mereka berkeyakinan, bahwa yang demikian itu mengayakan mereka dan
mencukupkannya. Mereka membuat yang demikian menjadi adat kebiasaan. Dan mereka
menyangka, bahwa mereka memperoleh pahala, dengan semata-mata mendengar
pengajaran, tanpa amal dan tanpa mengambil pengajaran dengan ajaran itu. Mereka
itu terperdaya. Karena kelebihan majlis dzikir, adalah dia itu menggemarkan
pada kebajikan. Dan jikalau ia tidak menggerakkan kegemaran, maka tak ada
kebajikan padanya. Dan kegemaran itu terpuji. Karena ia membangkitkan kepada
amal. Kalau kegemaran itu lemah daripadanya membawa kepada amal, maka tak ada
kebajikan padanya. Dan apa yang dimaksudkan untuk yang lain, maka apabila ia
tidak sanggup menunaikan kepada yang lain itu, niscaya tidak ada nilainya.
Kadang-kadang ia tertipu, dengan apa yang didengarnya dari juru nasehat,
tentang kelebihan menghadiri majlis dzikir dan kelebihan menangis.
Kadang-kadang ia dimasuki oleh kelemahan hati, seperti lemahnya hati kaum
wanita. Lalu ia menangis dan tidak ada cita-cita apapun. Kadang-kadang ia
mendengar kata-kata yang menakutkan. Lalu ia tidak lebih daripada bertepuk
dengan kedua tangannya. Dan mengatakan: “Ya Allah Yang menyelamatkan!
Selamatkanlah!”. Atau “Na’uudzu billah” atau “Subhaanallaah!”. Ia menyangka,
bahwa ia telah berbuat kebajikan seluruhnya. Dia itu tertipu! Contohnya, adalah
seperti orang sakit yang menghadiri majlis tabib-tabib (dokter-dokter). Lalu ia
mendengar apa yang berlaku di majlis tersebut. Atau seperti orang lapar, yang
hadir di sisinya, orang yang menerangkan kepadanya sifat makanan-makanan yang
enak, yang menggiurkan. Kemudian, orang itu pergi. Yang demikian itu, tidak ada
gunanya baginya suatupun dari sakit-sakit dan laparnya. Maka begitu pula
mendengar keterangan perbuatan-perbuatan taat, tanpa mengamalkannya, tidaklah
mendatangkan faedah suatupun daripada Allah Ta’ala. Maka setiap pengajaran
(nasehat) yang tidak mendatangkan bagi engkau perobahan suatu sifat, yang akan
merobah perbuatan engkau, sehingga engkau menghadap kepada Allah, dengan
penghadapan yang kuat atau yang lemah dan engkau berpaling dari dunia, maka
pengajaran itu menambahkan hujjah (alasan) yang memberatkan engkau. Maka
apabila engkau memandangnya suatu jalan (wasilah) bagi engkau, maka adalah
engkau itu terperdaya. Kalau anda mengatakan: bahwa apa yang aku sebutkan dari
tempat-tempat masuknya terperdaya itu, adalah suatu hal yang tiada seorangpun
terlepas daripadanya dan tidak tidak mungkin menjaga diri daripadanya. Dan itu
mengharuskan putus asa. Karena tiada seorang manusiapun yang kuat menjaga diri,
dari hal-hal yang tersembunyi dari bahaya-bahaya tersebut. Maka aku menjawab,
bahwa manusia, apabila luntur cita-citanya pada sesuatu, niscaya menampaklah
keputus-asaan daripadanya. Ia menganggap hal itu soal besar dan ia memandang
sukar jalannya. Dan apabila telah benar ada keinginan daripadanya, niscaya ia
mencari petunjuk kepada daya-upaya. Dan mencari akal dengan perhatian yang
mendalam, akan jalan-jalan yang tersembunyi, untuk sampai kepada maksud.
Sehingga, bahwa manusia itu apabila bermaksud menurunkan burung yang terbang
tinggi di udara langit, serta jauhnya daripadanya, niscaya dapat diturunkannya.
Dan apabila ia bermaksud mengeluarkan ikan paus dari laut dalam, niscaya dapat
dikeluarkannya. Dan apabila ia bermaksud mengeluarkan emas dan perak dari bawah
gunung, niscaya dapat dikeluarkannya. Dan apabila ia bermaksud menangkap
binatang liar yang terlepas dalam padang luas dan padang sahara, niscaya dapat
ditangkapnya. Dan apabila ia bermaksud menggunakan binatang-binatang buas,
gajah dan binatang-binatang besar lainnya, niscaya dapat digunakannya. Dan
apabila ia bermaksud mengambil ular dan ular-ular besar dan ingin bermain
dengan ular-ular itu, niscaya dapat diambilnya. Dan dapat dikeluarkannya racun
dari mulutnya. Dan apabila ia bermaksud membuat kain sutera berwarna, yang
terlukis, dari daun murbai, niscaya dapat dibuatnya. Dan apabila ia bermaksud
mengetahui ukuran bintang-bintang, panjang dan lintangnya, niscaya dapat ia
keluarkan yang demikian dengan kehalusan ilmu ukur (ilmu hindasah). Sedang dia
tetap di atas bumi. Semua itu, dengan mencari pemahaman daya-upaya dan
menyediakan alat-alat. Maka dapat dipergunakannya kuda untuk kendaraan dan
anjing untuk berburu. Dapat dipergunakannya jerat untuk menangkap
burung-burung. Dan disediakannnya jala untuk menangkap ikan dan lain-lainnya
dari daya upaya manusia yang halus-halus. Semua itu, karena kepentingannya,
ialah urusan dunianya. Dan yang demikian itu dapat menolongnya kepada dunianya.
Jikalau yang penting baginya urusan akhiratnya, maka tidak ada baginya, selain
satu urusan. Yaitu: meluruskan hatinya. Maka ia lemah daripada meluruskan
hatinya dan ia kecewa, seraya mengatakan: “Ini mustahil dan siapakah yang
sanggup kepadanya?”. Tidaklah yang demikian itu mustahil, jikalau cita-citanya
itu menjadi cita-cita yang satu ini. Bahkan dia itu, sebagaimana dikatakan
orang: “Jikalau benar dari engkau keinginan itu, niscaya keinginan itu
menunjukkan untuk daya-upaya”. Maka ini adalah suatu, yang tidak lemah
ulama-ulama terdahulu yang shalih-shalih daripadanya dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya. Tidak pula lemah daripadanya, orang
yang benar kemauannya dan kuat cita-citanya. Bahkan, ia tidak memerlukan kepada
1/10 kepayahan makhluk pada mencari pemahaman daya-upaya dunia dan menyusun
sebab-sebabnya. Kalau anda mengatakan: “Engkau sesungguhnya telah mendekatkan
urusan tentang itu, sedang engkau telah membanyakkan menyebut jalan-jalan
masuknya terperdaya. Maka dengan apakah hamba itu dapat terlepas dari
terperdaya?”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa hamba itu terlepas dari
terperdaya, dengan: 3 perkara, yaitu: akal, ilmu dan ma’rifah. Maka inilah 3
perkara yang tidak boleh tidak daripadanya. Adapun akal, maka yang aku
maksudkan, ialah: fithrah ghariziyah/instink dan nur asli, dimana dengan itu
manusia dapat mengetahui hakikat/makna sesuatu. Cerdik dan pintar itu fithrah.
Dungu dan bodoh itu fithrah. Orang yang bodoh tidak sanggup menjaga diri dari
ke-terperdayaan. Keberhasilan akal dan kecerdikan pemahaman itu, tak boleh
tidak pada asal fithrah itu. Maka yang demikian ini, jikalau tidak dijadikan
fithrah manusia kepadanya, niscaya mengusahakannya tidak mungkin. Ya, apabila
telah ada pokoknya, niscaya mungkinlah menguatkannya dengan selalu membiasakan
diri dengan demikian. Sendi bahagia semua, ialah: akal dan kepintaran.
Rasulullah saw bersabda: “Maha Sucilah Allah yang membagikan akal di antara
hamba-hambaNya sendiri-sendiri. Bahwa dua orang itu dapat bersamaan amalnya,
kebajikannya, puasanya dan shalatnya. Akan tetapi, dua orang tersebut berlebih
kurang tentang akalnya, seperti semut halus pada tepi jabal Uhud. Dan apa yang
dibagikan oleh Allah, yang merupakan suatu keuntungan bagi makhlukNya, adalah
lebih utama daripada akal dan yakin. Dari Abid-darda’, diriwayatkan, bahwa ada
orang yang bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah! Adakah engkau melihat
orang yang berpuasa siang hari, bangun berdiri menegakkan shalat malam hari,
mengerjakan haji, mengerjakan ‘umrah, bersedekah, berperang pada jalan Allah,
mengunjungi orang sakit, mengantarkan janazah dan menolong orang lemah? Dan
orang itu tidak mengetahui kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat?”.
Rasulullah saw lalu menjawab: “Sesungguhnya ia memperoleh pembalasan sekadar
akalnya”. Anas ra mengatakan: “Dipujikan seorang laki-laki di sisi Rasulullah
saw. Mereka mengatakan: “Orang baik”. Maka Rasulullah saw bertanya: “Bagaimana
akalnya?”. Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah ! kami katakan dari hal
ibadahnya, kelebihannya dan akhlaknya”. Rasulullah saw bertanya lagi:
“Bagaimana akalnya? Sesungguhnya orang dungu memperoleh bahaya dengan dengan
kedunguannya, lebih besar daripada kezaliman orang zalim. sesungguhnya manusia
didekatkan (kepada Allah) pada hari kiamat, menurut kadar akal mereka”.
Abud-darda’ mengatakan: “Adalah Rasulullah saw, apabila disampaikan kepadanya
dari hal seseorang, tentang kuat ibadahnya, lalu beliau menanyakan dari hal
akalnya. Maka apabila mereka menjawab “baik”, lalu Rasulullah saw mengatakan:
“Aku harap yang demikian”. Dan kalau mereka menjawab: “tidak demikian”, maka
Rasulullah saw mengatakan: “Tidak sampai”. Disebutkan kepadanya, kuatnya ibadah
seseorang, lalu beliau saw bertanya: “Bagaimana akalnya?”. Mereka menjawab:
“Tidak ada artinya sedikitpun”. Lalu Nabi saw mengatakan: “Tidak sampai temanmu
menurut yang kamu sangka”. Maka kecerdikan itu benar dan naluri (gharizah) akal
itu suatu nikmat daripada Allah Ta’ala pada asal fithrah (asal kejadian).
Jikalau nikmat itu hilang, disebabkan kebodohan dan kedunguan, maka tidak akan
didapati lagi.
Kedua: ma’rifah. Aku maksudkan dengan ma’rifah itu, ialah: ia
mengenal 4 perkara: ia mengenal dirinya, mengenal Tuhannya, mengenal dunia dan
mengenal akhirat. Ia mengenal dirinya, dengan ‘ubudiyah (perhambaan) dan
kehinaan. Dan dengan adanya dia itu perantau di alam ini dan orang asing dari
segala nafsu syahwat kebinatangan ini. Sesungguhnya yang bersesuaian baginya
menurut tabiat, ialah: mengenal (ma’rifah) Allah Ta’ala. Dan memandang kepada
wajahNya saja. Maka tidak dapat tergambar, bahwa ia mengenal ini, selama tidak
mengenal dirinya dan tidak mengenal Tuhannya. Maka hendaklah ia meminta tolong
kepada ini, dengan apa yang telah kami sebutkan dahulu pada Kitab Kasih sayang,
pada Kitab Uraian Keajaiban Hati, Kitab Tafakkur dan Kitab Syukur. Karena pada
kitab-kitab tersebut ada isyarat-isyarat (petunjuk) kepada kesifatan diri dan
kepada kesifatan keagungan Allah. Dan berhasil dengan yang demikian, kesadaran
secara keseluruhan dan kesempurnaan ma’rifah di belakangnya. Maka ini
sesungguhnya termasuk di antara ilmu-ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Dan
tidak kami panjang lebarkan pada kitab ini, selain mengenai ilmu-ilmu mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Adapun
mengenali dunia dan akhirat, maka ia dapat meminta tolong kepada yang demikian,
dengan apa yang telah kami sebutkan dahulu pada Kitab Tercelanya Dunia dan
Kitab Mengingati Mati. Supaya teranglah baginya, bahwa tiada perbandingan bagi
dunia kepada akhirat. Apabila ia telah mengenal dirinya dan Tuhannya dan
mengenal dunia dan akhirat, niscaya berkobarlah dari hatinya, dengan mengenal
(ma’rifah) Allah itu, akan kecintaan kepada Allah. Dan dengan mengenal akhirat,
akan bersangatan gemar kepadanya. Dan dengan mengenal dunia, akan bersangatan
benci kepadanya. Dan jadilah urusannya yang terpenting, ialah: apa yang
menyampaikannya kepada Allah Ta’ala dan yang bermanfaat baginya di akhirat.
Apabila kehendak ini telah mengeras pada hatinya, niscaya shahlah niatnya pada
semua urusannya. Kalau ia makan-umpamanya atau ia membuang air besar dan air
kecil (berqodo hajat), niscaya adalah maksudnya daripadanya itu, untuk
pertolongan kepada menempuh jalan akhirat. Dan shahlah niatnya. Dan tertolaklah
daripadanya setiap terperdaya, tempat terjadinya tarik-menarik segala maksud,
keinginan kepada dunia, kepada kemegahan dan harta. Maka yang demikian itu,
adalah yang merusakkan niat. Dan selama dunia masih lebih dicintainya dari
akhirat dan hawa nafsunya lebih disukainya daripada ridla Allah Ta’ala, maka
tidak mungkin ia terlepas daripada ke-terperdayaan. Maka apabila kecintaan
kepada Allah Ta’ala telah mengerasi pada hatinya, dengan ma’rifahnya kepada
Allah dan dirinya sendiri, yang terbit dari kesempurnaan akalnya, maka ia memerlukan
kepada arti ke-3, yaitu: ilmu. Aku maksudkan: ilmu dengan ma’rifah cara
menjalani jalan kepada Allah, pengetahuan dengan apa yang mendekatkannya kepada
Allah dan yang menjauhkannya daripada Allah. Dan pengetahuan tentang
bahaya-bahaya jalan, halangan dan tipu dayanya. Semua itu telah kami simpan
dalam kitab-kitab ‘Ihya ‘Ulumiddin. Maka akan diketahui dari Rubu’ Ibadah
syarat-syaratnya. Lalu dapatlah memeliharainya. Dan dapat diketahui
bahaya-bahayanya, lalu dapatlah menjagainya. Dan dari Rubu’ Adat Kebiasaan,
dapat diketahui rahasia-rahasia hidup dan apa yang diperlukan kepadanya. Lalu
diambilnya dengan adab agama. Dan apa yang tidak diperlukan, maka ia berpaling
daripadanya. Dan dari Rubu’ Yang Membinasakan, ia dapat mengetahui semua
halangan yang mencegah pada jalan Allah. Maka yang mencegah daripada Allah itu,
ialah sifat-sifat yang tercela pada makhluk. Lalu diketahuinya yang tercela dan
diketahuinya jalan pengobatannya. Ia mengetahui dari Rubu’ Yang Melepaskan,
akan sifat-sifat yang terpuji, yang tidak boleh tidak. Dan supaya diletakkan di
belakang daripada sifat-sifat yang tercela, sesudah menghapuskannya. Maka
apabila telah diketahui dengan semua yang demikian, niscaya memungkinkan dia
menjaga diri dari segala macam yang telah kami isyaratkan, dari ke-terperdayaan
itu. Dan pokok yang demikian itu semua, ialah: kerasnya kecintaan kepada Allah
dalam hati. Dan gugur kecintaan kepada dunia daripada hati. Sehingga kuatlah
kehendaknya dan shahlah niatnya. Dan yang demikian itu tiada akan berhasil,
selain dengan ma’rifah yang telah kami sebutkan dahulu. Kalau anda bertanya,
bahwa apabila telah diperbuat semua itu, maka apakah yang ditakutkan atas yang
demikian? Aku menjawab, bahwa yang ditakutkan, ialah: bahwa dia ditipu oleh
setan dan diajaknya kepada menasehati makhluk, menyiarkan ilmu dan mendakwakan
manusia kepada apa yang diketahuinya dari agama Allah. Sesungguhnya murid yang
ikhlas, apabila ia telah selesai membersihkan dirinya dan akhlaknya dan ia
mengintip hatinya, sehingga dapat dibersihkannya dari semua yang mengotorkan
dan menjadi lurus di atas jalan yang
lurus dan dunia menjadi kecil pada matanya, lalu ditinggalkannya dan
terputuslah harapannya kepada makhluk, lalu ia tidak menoleh kepada mereka. Dan
tidak tinggal baginya, selain satu cita-cita. Yaitu: Allah Ta’ala, merasa lazat
dengan mengingatiNya, dengan membisikkan
segala isi hati dengan DIA dan rindu menemuiNya. Dan setan lemah menipunya.
Karena setan itu datang kepadanya dari segi dunia dan nafsu syahwat diri. Lalu
ia tidak menuruti setan itu. Lalu setan itu datang kepadanya dari segi agama.
Dan setan itu mengajaknya kepada kasih sayang kepada makhluk Allah dan belas
kasihan kepada agama mereka, menasehati mereka dan mengajaknya kepada Allah.
Maka hamba itu melihat dengan kasih sayangnya kepada hamba-hamba. Lalu
dilihatnya mereka yang keheran-heranan dalam urusannya, yang mabuk pada
agamanya, tuli dan buta. Mereka telah dikuasai oleh sakit dan mereka itu tidak
merasakannya. Mereka ketiadaan dokter dan hampir mereka itu binasa. Lalu
mengeraslah kasih sayang pada hatinya kepada mereka. Dan sesungguhnya sudah ada
padanya hakikat/makna ma’rifah, dengan apa yang dapat menunjukkan mereka,
menerangkan kepada mereka kesesatannya dan menunjukkan mereka kepada
kebahagiaannya. Ia sanggup menyebutkan hakikat/makna ma’rifah itu, tanpa payah,
perbelanjaan dan harus berhutang. Maka adalah dia itu, seperti seorang
laki-laki, yang ada padanya penyakit parah, yang tidak sanggup menahan
pedihnya. Dan adalah karena itu, ia tidak tidur malamnya dan ia tidak tenteram
siangnya. Ia tidak makan, tidak minum, tidak bergerak dan tidak dapat berbuat
apa-apa, karena sangatnya pukulan kepedihan sakit. Lalu ia memperoleh obat
dengan percuma, bersih tanpa harga, tidak payah dan tidak pahit pada
memakannya. Lalu dipakainya. Lalu ia sembuh dan sehat. Maka baguslah tidurnya
di malam hari, sesudah lama tidak dapat tidur. Dan ia tenang di siang hari,
sesudah bersangatan ketidak tenteraman. Dan baguslah hidupnya sesudah
penghabisan keruh. Dan ia memperoleh lazatnya kesehatan, sesudah lamanya sakit.
Kemudian, ia memandang kepada bilangan yang banyak dari kaum muslimin.
Tiba-tiba, dilihatnya kepada mereka penyakit itu benar. Dan sudah lama mereka
tidak tidur malam, telah bersangatan ketidak tenteraman dan telah meninggi
sampai ke langit jeritan kesakitan mereka. Lalu ia teringat, bahwa obat mereka
itu, ialah: obat yang diketahuinya. Dan ia sanggup menyembuhkan mereka dengan
yang termudah dari apa yang ada dan dalam masa yang sesingkat-singkatnya. Maka
timbul dalam hatinya belas kasihan dan kasih sayang. Dan ia tidak memperoleh
kesempatan pada dirinya untuk melambatkan berbuat mengobati mereka. Maka
seperti demikianlah hamba yang ikhlas, sesudah memperoleh petunjuk kepada jalan
yang benar dan telah sembuh dari penyakit-penyakit hati, yang menyaksikan
makhluk. Dan makhluk itu telah berpenyakit hatinya, telah payah penyakitnya,
mendekati kebinasaannya dan penyembuhannya. Dan mudah padanya obat mereka. Lalu
membangkitlah dari dirinya, cita-cita yang kuat, untuk berbuat menasehati
mereka. Dan setan menggerakkannya kepada yang demikian, karena mengharap
memperoleh jalan kepada fithrah. Maka tatkala ia berbuat dengan yang demikian,
niscaya setan memperoleh jalan kepada fithrah. Lalu setan itu mengajaknya untuk
menjadi kepala, dengan ajakan tersembunyi, yang lebih tersembunyi daripada
merangkaknya semut, yang tiada dirasakan oleh murid itu. Lalu senantiasalah
yang merangkak itu dalam hatinya, sehingga mengajaknya kepada berbuat-buat dan
penghiasan kepada orang banyak, dengan membaguskan kata-kata, bunyi suara dan
gerak-gerik, berbuat-buat pada pakaian dan cara geraknya. Lalu manusia
menghadap kepadanya, membesarkannya, mengagungkannya dan memuliakannya, dengan
pemuliaan yang melebihi daripada pemuliaan raja-raja. Karena mereka melihatnya,
yang menyembuhkan penyakit mereka. Karena pengobatan mereka, dengan semata-mata
belas kasihan dan kasih sayang, tanpa mengharap apa-apa. Maka jadilah dia yang
paling dikasihi mereka, melebihi dari bapak, ibu dan keluarga mereka sendiri.
Lalu mereka mengutamakannya dengan badan dan harta mereka. Dan jadilah mereka
pengikutnya, seperti budak-budak dan pelayan-pelayan. Mereka lalu melayaninya
dan mendahulukannya pada perayaan-perayaan. Dan mereka menjadikannya hakim di
atas raja-raja dan sultan-sultan. Ketika itu berkembanglah tabiat, senanglah
diri. Dan ia merasa kelazatan yang tidak dapat disifatkan. Diperolehnya dari
dunia nafsu syahwat, yang dipandangnya tidak berarti semua nafsu syahwat yang
lain. Dia telah meninggalkan dunia, lalu jatuh dalam kelazatannya yang terbesar.
Maka ketika itu, setan mendapat kesempatan. Dan memanjanglah tangannya kepada
hati orang tersebut. Lalu setan itu memakai hati orang tadi pada setiap yang
dapat menjaga kelazatan itu. Tanda berkembangnya tabiat dan kecenderungan diri
kepada setan, ialah: kalau orang itu bersalah, lalu ditolak kesalahannya di
hadapan orang banyak, niscaya ia marah. Dan apabila orang itu menentang dirinya
dari kemarahan yang didapatinya, niscaya bersegeralah setan, mengkhayalkan
kepadanya, bahwa yang demikian itu kemarahan karena Allah. Karena apabila ia
tidak membaguskan kepercayaan murid-murid kepadanya, niscaya mereka terputus
dari jalan Allah. Lalu jatuh ia pada ke-terperdayaan. Kadang-kadang yang
demikian itu mengeluarkannya kepada kejadian, pada orang yang tertolak pada
suatu majlis. Lalu ia jatuh pada cacian yang terlarang, sesudah ditinggalkannya
halal yang luas. Dan ia jatuh pada kesombongan yang menjadi keangkuhan daripada
menerima kebenaran yang bersyukur kepadanya, sesudah ia menjaga diri dari
jalan-jalan yang berbahaya. Begitu juga, apabila ia terlanjur tertawa atau
lemah dari sebahagian wirid-wirid ibadah, niscaya dirinya menjadi gundah untuk
dilihat orang. Maka jatuhlah penerimaannya pada orang banyak. Lalu diikutkannya
yang demikian itu, dengan pembacaan istighfar (memohon ampunan Tuhan) dan
menarik nafas panjang (tanda penyesalan). Kadang-kadang ia menambahkan amal dan
wirid itu, karena yang demikian. Dan setan mengkhayalkan kepadanya: “Bahwa
engkau sesungguhnya mengerjakan yang demikian, supaya tidak lemah pikiran
mereka daripada jalan Allah. Lalu mereka meninggalkan jalan dengan meninggalkan
pikiran itu”. Yang demikian itu sesungguhnya tipuan dan keterperdayaan. Bahkan
itu kegundahan dari diri, karena takut kehilangan menjadi kepala. Dan karena
itulah, dirinya tidak gundah daripada dilihat manusia kepada yang seperti
demikian dari teman-temannya. Bahkan, kadang-kadang ia menyukai yang demikian
itu dan bergembira dengan demikian. Dan kalau muncul dari kawan-kawannya, orang
yang cenderung hati manusia kepada menerimanya dan bertambah kesan perkataannya
pada penerimaan itu atas perkataannya, niscaya sukarlah yang demikian itu
kepadanya (ia tidak senang yang demikian). Dan kalau tidaklah dirinya telah
merasa gembira dan merasa lezat menjadi kepala, niscaya adalah dia merasa
memperoleh rampasan dengan demikian. Karena contohnya, adalah seperti: seorang
laki-laki melihat segolongan dari teman-temannya, telah jatuh dalam sumur dan
telah tertutup muka sumur itu dengan batu besar. Lalu teman-teman itu lemah
untuk naik dari sumur, dengan sebab batu besar tadi. Maka belas kasihanlah
hatinya kepada teman-temannya. Lalu ia datang untuk mengangkatkan batu dari
muka sumur. Tetapi sukar yang demikian kepadanya. Maka datang orang yang
menolongnya kepada yang demikian, sehingga mudahlah perbuatan tersebut
kepadanya. Atau cukup perbuatan itu olehnya sendiri dan dipindahkannya sendiri
batu besar itu. Maka sudah pasti, sangatlah gembirannya dengan demikian. Karena
maksudnya, terlepasnya teman-temannya dari sumur. Kalau maksud orang yang
menjadi penasehat agama adalah terlepasnya saudara-saudaranya kaum muslimin
dari neraka, maka apabila muncul orang yang menolongnya atau memadai dengan dia
sendiri yang demikian, niscaya tidaklah ia berkeberatan atas yang demikian.
Adakah anda melihat, jikalau semua mereka, memperoleh petunjuk dari diri mereka
sendiri, adakah seyogyanya bahwa ia berkeberatan atas demikian, jikalau
maksudnya adalah petunjuk (hidayah) bagi mereka itu? Maka apabila mereka
mendapat petunjuk dengan orang lain, niscaya mengapa ia berkeberatan atas yang
demikian? Dan manakala ia mendapat yang demikian pada dirinya, niscaya ia
diajak oleh setan kepada semua dosa besar hati dan perbuatan keji anggota
badan. Dan setan itu membinasakannya. Maka kita berlindung dengan Allah dari sesatnya
hati, sesudah memperoleh petunjuk dan dari bengkoknya diri sesudah lurus.
Jikalau anda mengatakan: “Kapan kiranya boleh ia berbuat menasehati manusia?”.
Maka aku menjawab: apabila tidak ada baginya maksud, selain untuk petunjuk
mereka bagi jalan Allah Ta’ala. Dan ia mengingini, kalau dia memperoleh orang
yang akan menolongnya. Atau jikalau mereka memperoleh petunjuk dengan diri
mereka sendiri. Dan terputuslah secara keseluruhan keinginannya kepada pujian
mereka dan kepada harta mereka. Maka samalah padanya ketika itu pujian dan
celaan mereka. Ia tidak perduli dengan cacian mereka, apabila adalah Allah
memujinya. Ia tidak bergembira dengan pujian mereka, apabila tidak disertai
oleh pujian Allah Ta’ala. Ia memandang kepada mereka, seperti ia memandang kepada
tuan-tuan dan hewan-hewan. Adapun kepada tuan-tuan, maka dari segi bahwa dia
tidak menyombong kepada mereka. Ia melihat semua mereka lebih baik daripadanya,
karena bodohnya akan khatimah (kesudahan) nanti. Adapun kepada hewan-hewan,
maka dari segi putus harapannya daripada mencari kedudukan pada hati mereka. Ia
tidak memperdulikan, bagaimana ia dipandang oleh hewan-hewan. Maka ia tidak
menghiaskan diri untuk hewan-hewan itu. Dan ia tidak berbuat-buat
(at-tashannu’). Akan tetapi, penggembala hewan itu, maksudnya sesungguhnya,
ialah: menggembala hewan dan menolak serigala daripadanya. Bukan pandangan
hewan itu kepadanya. Maka manakala ia tidak memandang manusia lain seperti
hewan, yang ia tidak menoleh kepada penglihatannya itu dan ia tidak memperdulikan
dengan hewan tersebut, niscaya ia tidak akan selamat dari berbuat dengan
memperbaiki mereka. Ya, kadang-kadang ia dapat memperbaiki mereka. Akan tetapi,
ia merusakkan dirinya dnegan memperbaiki mereka itu. Maka adalah dia seperti
lampu yang memberi cahaya kepada yang lain dan ia terbakar pada dirinya
sendiri. Kalau anda mengatakan: bahwa jikalau juru-juru pengajaran itu
meninggalkan pengajaran (nasehat), selain ketika memperoleh derajat ini,
niscaya kosonglah dunia dari pengajaran dan robohlah hati manusia. Maka aku
menjawab, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Kecintaan kepada dunia itu
kepala (pokok) tiap-tiap kesalahan”. Jikalau manusia tidak mencintai dunia,
niscaya alam itu binasa. Batallah segala kehidupan dan binasalah semua hati dan
badan. Hanya bahwa Nabi saw tahu, bahwa kecintaan kepada dunia itu
membinasakan. Dan bahwa menyebutkan adanya yang membinasakan itu, tidak akan
mencabut kecintaan dari hati orang banyak dan tidak juga dari hati orang
sedikit, yang dunia itu tidak akan roboh dengan ditinggalkan oleh mereka. Maka
ia tidak meninggalkan nasehat dan ia sebutkan bahwa pada mencintai dunia itu
ada bahayanya. Dan ia tidak meninggalkan menyebutnya, lantaran takut daripada
meninggalkan dirinya dengan nafsu syahwat yang membinasakan, yang telah dikuasakan
oleh Allah atas hamba-hambaNya. Supaya dengan nafsu syahwat itu, dihalauNya
mereka ke neraka jahannam. Karena membenarkan firmanNya: “Tetapi perkataan
daripadaKu sebenarnya akan terjadi: sesungguhnya Aku akan memenuhkan neraka
jahannam dengan jin dan manusia semuanya”. S 32 As Sajadah ayat 13. Maka
seperti itu pula, senantiaslah lisan juru-juru nasehat itu dilepaskan, untuk
mencintai suka menjadi kepala. Tidak mereka tinggalkan lisan-lisan itu dengan
perkataan orang yang mengatakan, bahwa: nasehat bagi menyukai menjadi kepala
itu haram, sebagaimana makhluk itu tidak meninggalkan minuman khamar, zina,
mencuri, ria, zalim dan maksiat-maksiat lainnya, dengan firman Allah dan
RasulNya, bahwa itu haram. Maka lihatlah kepada dirimu sendiri! Hendaklah kamu
itu kosong hati dari percakapan manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala memperbaiki
makhluk banyak dengan merusakkan orang seorang dan beberapa orang – “Dan kalau
tidak ada pembelaan Allah terhadap serangan manusia satu sama lain, niscaya
binasalah bumi ini”. Dan sesungguhnya Allah Ta’ala menguatkan agama ini dengan
kaum-kaum (orang-orang) yang tidak berakhlak. Sesungguhnya ditakuti akan rusak
jalan penerimaan pengajaran (nasehat). Adapun bisunya lidah orang-orang juru
nasehat dan di belakang mereka ada pembangkit ingin menjadi kepala dan
kecintaan kepada dunia, maka tidak adalah yang demikian itu untuk
selama-lamanya. Kalau anda berkata: bahwa, jiikalau murid itu mengetahui tipuan
ini dari setan, lalu sibuk dengan urusannya sendiri, meninggalkan memberi nasehat
kepada orang atau ia memberi nasehat dan ia menjaga syarat kebenaran dan
keikhlasan padanya, maka apakah yang ditakutkan lagi pada murid itu? Dan apakah
lagi yang masih ada di hadapannya, dari bahaya-bahaya dan jaring-jaring tipuan?
Maka ketahuilah kiranya, bahwa masih ada padanya yang terbesar. Yaitu: bahwa
setan mengatakan kepadanya: “Engkau telah melemahkan aku dan engkau telah
terlepas daripada aku, dengan kecerdikan engkau dan kesempurnaan akal engkau.
Aku telah sanggup menipu sejumlah wali-wali dan orang-orang besar. Dan aku
tidak sanggup terhadapmu. Alangkah sabarnya engkau dan alangkah besarnya kadar
engkau dan tempat engkau pada sisi Allah Ta’ala! Karena IA menguatkan engkau
atas keperkasaanku. IA menetapkan engkau dengan kecerdikan bagi semua tempat
masuk tipuanku”. Maka didengarnya perkataan setan itu dan dibenarkannya. Dan ia
membanggakan diri, tentang dapat ia lari dari semua tipuan setan itu. Maka
kebanggaan dirinya itu, adalah terperdaya yang penghabisan. Dan itulah
pembinasa yang terbesar. Maka ‘ujub (mengherani diri atau membanggakan diri)
itu, yang terbesar dari semua dosa. Dan karena itulah, setan mengatakan: “Hai
anak Adam! Apabila engkau menyangka bahwa engkau dengan ilmu engkau, telah
dapat melepaskan diri daripadaku, maka dengan kebodohan engkau, engkau telah
jatuh dalam jaring-jaringku”. Kalau anda mengatakan: bahwa jikalau ia tidak
membanggakan diri, karena ia tahu, bahwa yang demikian itu adalah daripada
Allah Ta’ala, tidak daripada dirinya sendiri. Dan bahwa orang yang seperti dia,
tidak akan kuat menolak setan, selain dengan taufiq dan pertolongan Allah
Ta’ala. Dan orang yang tahu akan kelemahan dirinya dan ketidak-sanggupannya
dari hal yang paling sedikitpun, maka apabila ia sanggup kepada urusan besar
yang seperti ini, niscaya ia tahu bahwa ia tidak kuat kepada yang demikian,
dengan dirinya sendiri. Akan tetapi dengan Allah Ta’ala. Maka apakah yang
ditakutkan padanya, sesudah tidak ada kebanggaan itu?. Maka aku menjawab:
ditakutkan padanya terperdaya dengan kurnia Allah, kepercayaan dan kemurahanNya
dan rasa aman dari percobaanNya. Sehingga ia menyangka, bahwa ia masih tinggal
atas jalan ini pada masa mendatang. Dan ia tidak takut dari kekosongan dan
pertukaran keadaan. Lalu adalah keadaannya itu berpegang kepada kurnia Allah
saja, tanpa dibarengi oleh takut dari percobaanNya. Dan orang yang merasa aman
daripada percobaan Allah, maka orang itu rugi sekali. Akan tetapi, jalannya,
ialah: bahwa dia itu menyaksikan jumlah yang demikian, dari kurnia Allah.
Kemudian, ia takut atas dirinya, bahwa telah tersumbat kepadanya salah satu
dari sifat-sifat hatinya: dari kecintaan kepada dunia, ria, jahat akhlak dan
berpaling kepada kemuliaan. Dan ia lengah daripadanya. Dan adalah dia itu takut
juga, bahwa tercabut keadaannya dalam tiap sekejap mata, yang tidak merasa aman
dari percobaan Allah. Dan tidak lengah daripada bahaya khatimah (kesudahan dari
hidup). Ini adalah bahaya, yang tidak dapat lari daripadanya. Ketakutan yang
tidak terlepas daripadanya. Selain sesudah melewati titian ash-shirathal-mustaqim
di akhirat. Dan karena itulah, tatkala tampak setan bagi sebahagian wali-wali
pada waktu tercabutnya nyawa (waktu naza’) dan yang masih tinggal, hanya sekali
tarik nafas, lalu setan itu mengatakan: “Engkau terlepas daripadaku, hak Anu!”.
Lalu wali tadi menjawab: “Tidak, baru nanti sesudah nafas terakhir keluar!”.
Karena itulah, dikatakan: manusia itu semua binasa, selain orang-orang berilmu.
Orang-orang berilmu itu semua binasa, selain orang-orang yang beramal, menurut
ilmunya. Orang-orang yang beramal menurut ilmunya, semua itu binasa, selain
orang-orang ikhlas. Dan orang-orang ikhlas itu di atas bahaya besar. jadi,
orang yang terperdaya itu binasa. Dan orang ikhlas, yang lari dari
ke-terperdayaan itu, di atas bahaya. Maka karena itulah, tidak terpisah dari
takut dan menjaga diri, pada hati wali-wali Allah selama-lamanya. Maka kita
bermohon pada Allah Ta’ala akan pertolongan, taufiq dan baik khatimah.
Sesungguhnya segala pekerjaan itu adalah dengan khatimahnya. Telah tammat Kitab
Tercelanya Terperdaya. Dan dengan ini, sempurnalah Rubu’ Yang Membinasakan. Dan
akan diiringi pada awal Rubu’ Yang Melepaskan, oleh Kitab Taubat. Segala pujian
bagi Allah, pada permulaan dan penghabisan. Rahmat Allah dan sejahteraNya
kepada yang tidak ada lagi nabi sesudahnya. DIAlah yang mencukupkan bagiku dan
sebaik-baik bagi menyerahkan diri. Tiada daya dan upaya, selain dengan Allah
Yang Maha Tinggi dan Maha Besar!.