Kamis, 13 Februari 2014

30. KITAB TERCELANYA TERPERDAYA

KITAB TERCELANYA TERPERDAYA
Yaitu: Kitab ke-10 dari Rubu’ Yang Membinasakan dari KITAB IHYA’ ‘ULUMIDDIN.

Segala pujian bagi Allah, yang di tanganNya gudang segala urusan. Dengan qudrah ( kuasa )Nya kunci segala kebajikan dan kejahatan. Yang mengeluarkan para waliNya dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang. Dan yang mendatangkan musuh-musuhNya ke lembah terperdaya. Salawat kepada Muhammad yang mengeluarkan khalayak ramai (manusia banyak) dari kegelapan keraguan. Dan kepada keluarga dan para sahabatnya, yang mereka tidak terperdaya oleh kehidupan duniawi. Dan tidak terperdaya terhadap Allah oleh yang memperdayakan. Salawat yang beriring-iringan sepanjang masa dan berlalunya jam dan bulan. Adapun kemudian, maka kunci bahagia itu kejagaan diri dan kecerdikan. Dan sumber celaka itu terperdaya dan lalai. Maka tiada nikmat bagi Allah kepada hambaNya yang lebih besar dari iman dan ma’rifah. Dan tiada jalan kepadanya, selain dengan terbuka dada dengan nur mata hati (nur bashirah). Dan tiada bencana yang lebih besar dari kufur dan maksiat. Dan tiada yang mengajak kepada kufur dan maksiat tadi, selain buta hati dengan kegelapan bodoh. Maka orang-orang pintar dan orang-orang yang bermata hati, adalah hati mereka itu seperti: “Sebuah lobang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu di dalam kaca. Kaca itu bagai bintang (yang berkilauan) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari kayu yang banyak berkahnya, yaitu: pohon zaitun, yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak di sebelah barat. Hampir minyaknya memancarkan cahaya (sendirinya), walaupun tidak disinggung api. Cahaya berlapis cahaya”. Orang-orang yang terperdaya, hati mereka itu adalah “Sebagai kegelapan di laut yang dalam, dipukul gelombang demi gelombang, di atasnya awan (gelap) dan kegelapan itu tindih bertindih. Apabila dikeluarkannya tangannya, hampir tidak kelihatan. Siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, tidaklah akan mendapat cahaya (terang)”. Maka orang-orang yang pintar, ialah mereka yang dikehendaki oleh Allah memberi mereka petunjuk. Maka Allah melapangkan dada mereka bagi agama Islam dan petunjuk. Dan orang-orang yang terperdaya, ialah mereka yang dikehendaki oleh Allah menyesatkan mereka. Lalu dijadikanNya dada mereka sempit lagi sesak, seakan-akan naik dalam langit. Dan orang yang terperdaya, ialah orang yang tidak terbuka mata hatinya, supaya ia dengan petunjuk dirinya itu terjamin. Dan ia tetap dalam kebutaan. Lalu mengambil hawa nafsu menjadi panglima dan setan menjadi penunjuk. Siapa yang buta di dunia ini, maka dia di akhirat itu buta dan lebih lagi sesat jalannya. Apabila diketahui, bahwa terperdaya itu induk ketidak beruntungan dan sumber kebinasaan, maka tidak boleh tidak daripada penguraian jalan masuk dan lalunya serta penguraian apa yang banyak terjadi keterperdayaan padanya. Supaya murid (orang yang menuntut ilmu) itu dapat menjaga diri sesudah mengetahuinya. Lalu memelihara dirinya. Yang memperoleh taufiq dari hamba-hamba Allah, ialah orang yang mengenal tempat masuk bahaya dan kerusakan. Lalu ia mengambil daripadanya penjagaan diri. Dan ia membina urusannya dengan memikirkan akibat dan dengan mata hati. Dan kami akan menguraikan jenis-jenis tempat lalunya terperdaya dan jenis orang-orang yang terperdaya dari hakim-hakim (qadli-qadli), ulama-ulama dan orang-orang shalih, yang terperdaya dengan pokok-pokok urusan, yang bagus zahiriyahnya, yang keji batiniyahnya. Dan akan kami tunjukkan kepada cara keterperdayaan mereka dengan hal-hal itu dan kelalaian mereka daripadanya. Bahwa yang demikian itu, walaupun lebih banyak daripada dapat dihinggakan, akan tetapi mungkin berjaga-jaga di atas contoh-contoh yang tidak perlu dihinggakan. Dan golongan orang-orang yang terperdaya itu banyak. Akan tetapi mereka dikumpulkan oleh 4 jenis:
Jenis pertama: dari ulama-ulama.
Jenis kedua: dari orang-orang abid (yang rajin beribadah kepada Allah).
Jenis ketiga: dari orang-orang sufi.
Jenis keempat: dari orang-orang yang mempunyai harta.
Yang terperdaya dari masing-masing jenis tadi banyak golongannya. Dan segi ke-terperdayaan mereka itu bermacam-macam. Sebahagian mereka, ialah: orang yang melihat perbuatan munkar itu baik, seperti orang yang membuat masjid dan menghiasinya dari harta haram. Sebahagian mereka, ialah: orang yang tidak membedakan antara apa yang diperbuatnya bagi dirinya sendiri dan apa yang diperbuatnya karena Allah Ta’ala. Seperti: orang yang memberi pengajaran, yang maksudnnya supaya dia diterima dan memperoleh kemegahan. Sebahagian mereka, ialah: orang yang meninggalkan yang lebih penting dan mengerjakan yang tidak penting. Sebahagian mereka, ialah: orang yang meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang sunat. Dan sebahagian mereka, ialah: orang yang meninggalkan isi dan mengerjakan kulit. Seperti: orang yang cita-citanya dalam shalat itu terbatas kepada membetulkann makhraj (bunyi) huruf. Dan yang lain-lain dari yang tersebut tadi, dari tempat-tempat masuk yang tidak terang, selain dengan penguraian golongan-golongan dan penyajian contoh-contoh. Marilah pertama-tama kali mulai dengan menyebutkan terperdayanya ulama-ulama. Akan tetapi sesudah penjelasan tercelanya terperdaya dan penjelasan hakikat/makna dan batasnya.
PENJELASAN: tercelanya terperdaya, hakikat/makna dan contoh-contohnya.
Ketahuilah, bahwa fiman Allah Ta’ala: “Maka janganlah kamu terperdaya oleh kehidupan duniawi dan janganlah kamu terperdaya terhadap Allah oleh pendaya”. S 31 Lukman ayat 33. Dan firman Allah Ta’ala: “Akan tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menanti-nanti (kehancuran kami) dan ragu-ragu (terhadap janji Tuhan) dan kamu terperdaya oleh angan-angan kosong, sehingga datang perintah Allah dan kamu telah terperdaya terhadap Allah oleh padanya”. S 57 Al Hadiid ayat 14. Itu mencukupi pada menjelaskan tercelanya terperdaya. Rasulullah saw bersabda: “Baiklah kiranya tidur orang-orang pintar dan berbuka (tidak puasa) mereka. Bagaimana mereka lupa kepada tidak tidurnya orang-orang dungu dan kesungguhan mereka. Sesungguhnya seberat biji sawi dari orang yang mempunyai taqwa dan yakin itu lebih utama dari penuhnya bumi dengan orang-orang yang terperdaya”. Nabi saw bersabda: “Orang pintar itu, ialah yang mengagamakan dirinya dan berbuat untuk sesudah mati. Dan orang dungu itu, ialah orang yang mengikutkan dirinya dengan hawa nafsunya dan berangan-angan atas Allah”. Semua yang tersebut pada hadits tentang kelebihan ilmu dan tercelanya kebodohan itu menunjukkan kepada tercelanya terperdaya. Karena terperdaya itu ibarat dari sebahagian macam-macam kebodohan. Karena kebodohan itu, ialah meyakini sesuatu dan memandanganya di balik yang sebenarnya. Dan terperdaya itu kebodohan. Hanya tidaklah setiap kebodohan itu terperdaya namanya. Akan tetapi, pendaya itu membawa yang terperdaya padanya, yang tertentu. Dan yang terperdaya dengan dia itu, ialah yang diperdayakannya. Manakala adalah yang tidak diketahui lagi diyakini itu, sesuatu yang bersesuaian dengan hawa nafsu dan sebab yang mengharuskan bagi kebodohan itu kesangsian dan khayalan yang tidak benar, yang disangka bahwa itu dalil dan yang sebenarnya itu bukan dalil, niscaya kebodohan yang terjadi dengan yang demikian itu, dinamakan terperdaya. Maka terperdaya itu, ialah: ketetapan diri kepada yang bersesuaian dengan hawa nafsu. Dan cenderung tabiat kepadanya dari kesangsian dan tipuan setan. Orang yang meyakini bahwa dia di atas kebajikan, maka adakalanya pada masa dekat (di dunia) atau pada masa nanti (di akhirat), dari kesangsian yang tidak benar, maka orang itu terperdaya. Dan kebanyakan manusia menyangka dirinya itu baik. Padahal mereka bersalah padanya. Jadi, kebanyakan manusia itu terperdaya, walaupun jenis ke-terperdayaan mereka berbeda dan tingkat mereka berlainan. Sehingga adalah terperdayanya sebahagian mereka itu lebih terang dan lebih keras dari yang sebahagian. Dan yang lebih terang dan yang lebih keras, ialah terperdayanya orang-orang kafir, terperdayanya orang-orang maksiat dan orang-orang fasiq. Maka akan kami kemukakan bagi keduanya itu contoh-contoh hakikat/maknanya terperdaya:
Contoh pertama: terperdayanya orang-orang kafir. Maka diantara mereka, ialah yang terperdaya oleh kehidupan duniawi. Dan diantara mereka, ialah orang diperdayakan terhadap Allah oleh pendaya. Mereka yang terperdaya oleh kehidupan duniawi, ialah mereka yang mengatakan; yang tunai itu lebih baik dari yang ditangguhkan. Dunia itu tunai (sekarang) dan akhirat itu yang ditangguhkan (nanti). Jadi, dunia itu lebih baik. Maka tidak boleh tidak mengutamakannya. Dan mereka mengatakan: yakin itu lebih baik dari ragu. Kelezatan dunia itu yakin dan kelezatan akhirat ittu ragu. Maka tidaklah kita meninggalkan yakin dengan mengambil ragu. Inilah kiasan-kiasan yang merusak, yang menyerupai kiasan Iblis, dimana ia mengatakan: “Aku lebih baik daripadanya (daripada Adam). Engkau jadikan aku dari api dan Engkau jadikan Adam dari tanah”. Kepada mereka itulah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Itulah orang-orang yang mengambil kehidupan dunia untuk ganti akhirat. Sebab itu tiada diringankan siksaan mereka dan mereka tidak ditolong”. S 2 Al Baqarah ayat 86. Pengobatan keterperdayaan ini, adakalanya dengan pembenaran iman dan adakalanya dengan dalil. Adapun pembenaran dengan semata-mata iman, yaitu: bahwa ia membenarkan Allah Ta’ala pada firmanNya: “Apa yang di sisi kamu itu akan hilang, akan tetapi apa yang di sisi Allah itulah yang kekal”. S 16 An Nahl ayat 96. Dan pada firmanNya ‘Azza wa Jalla: “Dan apa yang di sisi Allah itu lebih baik”. S 28 Al Qashash ayat 60. Dan firmanNya: “Dan hari kemudian itu lebih baik dan lebih kekal”. S 87 Al A’la ayat 17. Dan firmanNya: “Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan tipuan belaka”. S 3 Ali Imran ayat 185. Dan firmanNya: “Maka janganlah kamu terperdaya oleh kehidupan dunia”. S 31 Lukman ayat 33. Rasulullah saw telah menceritakan kepada beberapa golongan dari orang-orang kafir dengan yang demikian itu. Lalu mereka mengikuti Rasulullah saw, membenarkan dan beriman kepadanya. Dan mereka tidak meminta dalil (keterangan) padanya. Di antara mereka ada yang mengatakan: “aku bersumpah dengan engkau pada Allah. Apakah Allah mengutus engkau sebagai rasul?”. Nabi saw lalu menjawab: “Ya!”. Maka orang itu lalu membenarkan. Inilah iman orang awam (orang kebanyakan). Dan ia keluar dari keterperdayaan. Dan ini ditempatkan pada kedudukan pembenaran anak kecil akan bapaknya, mengenai pergi ke sekolah itu lebih baik daripada pergi ke tempat permainan. Sedang anak kecil itu tidak tahu, segi kebaikannya itu. Adapun mengetahui dengan penjelasan dan dalil (keterangan) maka, yaitu: bahwa ia tahu segi tidak betulnya kias (perbandingan) ini yang diatur dalam hatinya oleh setan. Maka tiap-tiap orang yang terperdaya itu, mempunyai sebab atas keterperdayaannya. Dan sebab itu ialah dalil. Dan tiap-tiap dalil, adalah semacam kias yang ada pada diri dan mengwariskan ketetapan hati kepadanya, walaupun yang empunyanya itu tidak merasakannya. Dan tidak mampu menyusunkannya dengan kata-kata ulama. Kias yang disusun oleh setan itu, ada 2 pokok padanya: salah satu dari 2 pokok itu, ialah: bahwa dunia itu tunai (sekarang) dan akihrat itu ditangguhkan (nanti). Dan ini benar. Pokok yang satu lagi, ialah: katanya: bahwa yang sekarang itu lebih baik dari yang nanti. Dan ini tempat yang mengacaukan. Maka tidaklah persoalan itu seperti yang demikian. Akan tetapi, kalau ada yang sekarang itu seperti yang nanti tentang kadar dan maksud, maka itu lebih baik. Dan kalau berkurang daripadanya, maka yang nanti itu yang lebih baik. Orang kafir yang terperdaya, memberikan pada perniagaannya sedirham, untuk diambilnya nanti 10 dirham. Dan ia tidak mengatakan: sekarang itu lebih baik dari nanti, maka aku tidak meninggalkan yang sekarang. Apabila tabib (dokter) memperingatinya akan buah-buahan dan makanan-makanan enak, niscaya akan ditinggalkannya yang demikian itu sekarang juga. Karena takut dari kepedihan sakit pada masa mendatang. Maka ia meninggalkan yang sekarang dan rela (senang) dengan yang nanti. Kaum saudagar itu umumnya melayari lautan dan berpayah-payah dalam perjalanan sekarang. Karena untuk kesenangan dan keuntungan nanti. Kalau ada 10 pada keadaan nanti itu lebih baik daripada satu pada keadaan sekarang, maka lebih sesuailah kesenangan duniawi dari segi masanya kepada masa akhirat. Sesungguhnya sejauh-jauh umur manusia itu 100 tahun. Dan tidaklah itu 1/10 dari bahagian 10 dari bahagian sejuta bahagian dari akhirat. Maka seakan-akan ia meninggalkan satu, untuk diambilnya sejuta. Bahkan untuk diambilnya apa yang tiada berkesudahan dan tiada berbatas. Kalau dipandangnya dari segi macam, niscaya ia melihat kelezatan duniawi itu keruh, lagi bercampur dengan bermacam-macam kotoran. Dan kelezatan akhirat itu bersih, tiada keruh. Jadi, ia salah pada katanya: sekarang itu lebih baik dari nanti. Maka ini adalah terperdaya, yang terjadinya oleh penerimaan perkataan umum yang terkenal, yang disebut secara mutlak dan dimaksud khusus. Lalu orang yang terperdaya itu lupa dari kekhususan artinya. Sesungguhnya orang yang mengatakan: sekarang itu lebih baik dari nanti, yang dimaksudkannya, ialah lebih baik dari nanti, yang seperti itu, walaupun tidak ditegaskannya. Dan pada ini, menyusahkan setan kepada perbandingan yang akhir itu. Yaitu: bahwa yakin itu lebih baik dari ragu. Dan akhirat (keadaannya) itu ragu. Qias ini lebih banyak kerusakannya dari yang pertama. Karena tiap-tiap kedua pokoknya itu batil/salah. Karena yakin itu lebih baik dari ragu, apabila ada yakin itu seperti ragu. Kalau tidak demikian, maka saudagar pada kepayahannya itu di atas keyakinan dan pada keuntungannya di atas keraguan. Dan orang yang belajar ilmu fikih pada kesungguhannya itu di atas keyakinan dan pada diperolehnya tingkat ilmu itu di atas keraguan. Pemburu pada bulak-baliknya pada yang diburunya itu di atas keyakinan dan pada memperoleh yang diburunya itu di atas keraguan. Demikianlah hati-hati dengan memikirkan akibat itu, sepakat dikatakan, menjadi sifat (sikap) orang yang berakal. Semua itu meninggalkan yakin dengan sebab ragu. Akan tetapi, saudagar itu mengatakan: “Jikalau aku tidak berniaga, niscaya aku tetap lapar dan besarlah kemelaratanku. Dan kalau aku berniaga, niscaya adalah kepayahanku sedikit dan keuntunganku banyak”. Begitu pula orang yang sakit, yang meminum obat pahit, yang tidak disukai. Dan dia itu ragu dari sembuhnya dan yakin tentang pahitnya obat itu. Akan tetapi, ia mengatakan: melarat pahitnya obat itu sedikit, dibandingkan kepada apa, yang aku takutkan dari sakit dan mati. Maka seperti demikian juga, orang yang ragu tentang hari kiamat. Maka haruslah kepadanya, menurut hukum berhati-hati, bahwa ia berkata: hari-hari sabar itu sedikit. Yaitu: kesudahan umur, dibandingkan kepada apa, yang dikatakan dari hal akhirat. Maka kalau ada apa yang dikatakan padanya itu bohong, maka tiada yang luput padaku, selain kenikmatan pada hari-hari hidupku. Dan adalah aku pada “tidak ada” dari masa azali ( tida kesudahan / permulaan ) sampai sekarang, tiada aku bersenang-senang dengan kenikmatan. Maka aku menghitung, bahwa aku tinggal pada “tidak ada”. Dan kalau apa yang dikatakan itu benar, maka aku kekal dalam neraka untuk selama-lamanya. Dan ini tidaklah disanggupi. Dan karena inilah, Ali ra mengatakan kepada sebahagian orang-orang mulhid (yang tidak bertuhan): “Jikalau apa yang engkau katakan itu benar, maka engkau itu terlepas dan kamipun terlepas. Dan jikalau apa yang kami katakan itu benar, maka kami terlepas dan engkau binasa”. Tidaklah Ali ra mengatakan ini, dari keraguannya tentang akhirat, akan tetapi, ia berbicara dengan orang mulhid itu menurut kadar akalnya. Dan ia menerangkan kepadanya, bahwa jikalau ia tidak yakin, maka dia terperdaya. Adapun pokok yang kedua dari perkataannya, ialah bahwa akhirat itu diragukan. Maka itu juga salah. Bahkan itu adalah keyakinan pada orang mu’min. Dan bagi keyakinannya itu 2 alat untuk mengetahuinya:
Yang pertama: iman dan pembenaran (tash-diq), karena mengikuti nabi-nabi dan ulama-ulama. Dan yang demikian juga menghilangkan ke-terperdayaannya. Dan itu alat memperoleh keyakinan bagi orang awam dan kebanyakan orang-orang tertentu. Contohnya adalah seperti orang sakit yang tidak tahu obat penyakitnya. Dan telah sepakat tabib-tabib dan orang-orang yang mempunyai perusahaan obat, sampai kepada yang terakhir dari mereka, bahwa obatnya itu, ialah: tumbuh-tumbuhan anu. Maka tenanglah hati orang sakit itu kepada pembenaran mereka. Dan ia tidak menuntut mereka dengan pengesahan yang demikian itu dengan dalil-dalil ketabiban. Akan tetapi, ia percaya dengan perkataan tabib-tabib dan yang empunya perusahaan obat itu dan ia berbuat dengan yang demikian. Dan jikalau tinggallah orang yang lalai atau orang yang lemah pikiran, yang mendustakan mereka pada yang demikian dan si sakit itu tahu dengan berita orang ramai dan dalil-dalil keadaan, bahwa tabib-tabib dan orang yang empunya perusahaan obat itu, lebih banyak bilangannya dari orang yang lemah pikiran itu, lebih banyak kelebihannya dan lebih tahu dengan ketabiban, bahkan orang yang lemah akal itu tak ada ilmunya dengan ketabiban, sehingga ia tahu akan kedustaan tabib-tabib itu dengan perkataan mereka dan ia tidak yakin akan kedustaan orang lemah pikiran itu dengan perkataannya dan ia tidak terperdaya pada ilmunya dengan sebab yang demikian. Dan jikalau ia berpegang pada perkataan orang yang lemah pikiran itu dan ia tinggalkan perkataan tabib-tabib, niscaya adalah dia orang yang lemah pikiran, yang terperdaya. Maka seperti demikianlah orang yang memperhatikan orang-orang yang mengakui akhirat, yang memberitakan akhirat dan yang mengatakan, bahwa taqwa itu obat yang bermanfaat untuk sampai kepada kebahagiaan akhirat dan mendapati mereka sebagai makhluk Allah yang terbaik dan tertinggi pangkat pada mata hati, ma’rifah dan akal. Dan mereka itu, ialah: para nabi, wali, hukama’ (ahli ilmu hikmah) dan ulama. Dan makhluk akan mengikuti mereka atas yang demikian di atas segala macamnya. Dan amat sedikitlah dari mereka perorangan seseorang dari orang-orang yang berbuat batil/salah, yang dikerasi oleh nafsu syahwat atas mereka dan cenderung dirinya kepada bersenang-senang. Maka besarlah urusannya (beratlah) atas mereka untuk meninggalkan nafsu syahwat. Dan beratlah kepada mereka mengakui, bahwa mereka termasuk isi neraka. Lalu mereka mengingkari akhirat dan mendustakan nabi-nabi. Maka bagaimana perkataan anak kecil dan orang yang lalai, tiada menghilangkan ketentraman hati kepada apa yang telah disepakati tabib-tabib (dokter-dokter), maka begitu juga perkataan orang dungu ini yang telah diperbudak oleh nafsu syahwat, tiada akan meragukan pada benarnya perkataan nabi-nabi, wali-wali dan para ulama. Dan sekedar ini dari keimanan, mencukupilah bagi sejumlah makhluk. Yaitu: keyakinan yang meyakinkan, yang sudah pasti menggerakkan kepada amal. Dan terperdaya akan hilang dengan yang demikian itu.
Alat yang mengetahui yang kedua untuk mengetahui akhirat, ialah: wahyu bagi nabi-nabi dan ilham bagi wali-wali. Dan anda jangan menyangka, bahwa pengetahuan Nabi saw tentang urusan akhirat dan urusan agama itu mengikuti (taqlid (turut/menurut)) kepada Jibril as dengan mendengar daripadanya, sebagaimana pengetahuan anda itu mengikuti (taqlid (turut/menurut)) kepada Nabi saw. Sehingga adalah pengetahuan anda seperti pengetahuannya. Dan hanya alat mengetahui yang kedua untuk mengetahui akhirat, ialah: wahyu bagi nabi-nabi dan ilham bagi wali-wali. Dan anda jangan menyangka, bahwa pengetahuan Nabi saw tentang urusan akhirat dan urusan agama itu mengikuti (taqlid (turut/menurut)) kepada Jibril as dengan mendengar daripadanya, sebagaimana pengetahuan anda itu mengikuti (taqlid (turut/menurut)) kepada Nabi saw. Sehingga adalah pengetahuan anda seperti pengetahuannya. Dan hanya berbeda yang diikuti saja. Amat jauh dari itu. Karena taqlid (turut/menurut) itu tidaklah dinamakan ma’rifah. Akan tetapi adalah keyakinan (kepercayaan) yang benar. Dan para nabi itu mempunyai ma’rifah. Dan arti ma’rifah mereka, ialah: terbuka bagi mereka hakikat/makna segala sesuatu, sebagaimana adanya. Lalu mereka menyaksikannya dengan bashirah bathinah (penglihatan mata hati bathiniyah), sebagaimana anda menyaksikan segala yang terasa dengan pancaindra (al-mahsusat) dengan penglihatan zahiriyah. Lalu para nabi itu menceritakan dari penglihatan penyaksian (musyahadah). Tidak dari pendengaran dan taqlid (turut/menurut). Dan yang demikian itu, dengan terbuka bagi mereka hakikat/makna roh. Dan itu adalah perintah Allah Ta’ala. Tidaklah dimaksudkan dengan suruhan (amar) Allah itu, perintah yang menjadi lawan dari larangan. Karena perintah itu perkataan. Dan roh itu bukan perkataan. Dan tidak dimaksud dengan amar itu keadaan (asy-sya’n), sehingga adalah yang dimaksud, bahwa amar itu sebahagian dari makhluk Allah saja. Karena yang demikian itu umum pada semua makhluk. Akan tetapi alam itu dua: ‘alamul-amri (alam amar) dan ‘alamul-khalqi (alam makhluk). Wa lillahil-khalqu wal-amru (Bagi Allah itu menciptakan dan menyuruh). Segala tubuh (tubuh) yang mempunyai bilangan dan takaran itu, adalah termasuk alam makhluk (yang dijadikan oleh Allah). Karena makhluk itu adalah ibarat dari taqdir pada letakan lisan. Dan setiap yang maujud yang bersih dari bilangan dan takaran, maka itu termasuk ‘alamul-amri. Dan uraian yang demikian itu adalah rahasia roh (sirr/rahasiau-rrohi). Dan tidak diperbolehkannya menyebutkannya. Karena bagi kebanyakan orang memperoleh melarat dengan mendengarnya, seperti rahasia qadar (taqdir) yang dilarang menyiarkannya. Maka siapa yang mengenal rahasia roh, maka ia telah mengenal dirinya. Dan apabila ia telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya. Dan apabila ia telah mengenal dirinya dan Tuhannya, niscaya ia mengenal bahwa itu urusan ketuhanan (amru rabbaniyyun) dengan tabiat dan fitrahnya. Dan itu pada alam jasmani adalah asing (gharib). Dan terjun kepadanya tidaklah menurut kehendak tabiat pada dirinya. Akan tetapi dengan keadaan yang mendatang, yang asing dari dirinya. Dan yang mendatang yang asing itu, telah datang kepada Adam as. Dan diibaratkan daripadanya itu dengan: maksiat. Yaitu: yang menurunkannya dari sorga yang lebih layak baginya, menurut kehendak dirinya. Sorga itu sesungguhnya berdekatan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi. Dan itu adalah urusan ketuhanan. Dan keinginan berdekatan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi itu baginya adalah tabiaat ke-diri-an. Hanya ia alihkan dari kehendak tabiatnya, oleh hal-hal yang mendatang bagi alam gharib dari dirinya. Lalu ia lupa ketika itu akan dirinya dan Tuhannya. Dan manakala ia berbuat demikian, maka ia telah menganiaya dirinnya. Karena dikatakan kepadanya: “Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah melupakan mereka kepada diri sendiri. Itulah orang-orang yang fasiq”. Artinya: mereka yang keluar dari yang dikehendaki oleh tabiat dan kesangkaan berhaknya mereka. Dikatakan: “Telah fasiq buah apel itu dari tangkainya, apabila ia telah keluar dari tempat tergantungnya yang fithrah (yang asli). Ini adalah isyarat kepada rahasia-rahasia yang tergerak orang-orang arifin (orang berilmu ma’rifah) untuk menghirup bau keharumannya. Dan menolak orang-orang yang teledor daripada mendengar kata-katanya. Sesungguhnya bau yang harum itu memberi melarat bagi mereka, sebagaimana bau bunga mawar memberi melarat bagi ju’al (kembang tanduk). Dan mengalahkan mata mereka yang lemah, sebagaimana matahari mengalahkan mata kelelawar. Terbukanya pintu ini dari rahasia hati kepada ‘alamul-malakut, dinamai: ma’rifah dan wilayah. Dan orang yang mempunyainya, dinamai: wali (dari wilayah) dan ‘arif (dari ma’rifah). Yaitu: pokok-pokok permulaan maqam (tingkat) nabi-nabi. Dan akhir maqam wali-wali itu adalah permulaan maqam nabi-nabi. Marilah kita kembali kepada maksud yang dicari! Maka maksud bahwa tipuan setan itu dengan akhirat itu diragukan, dapatlah ditolak. Adakalanya: dengan yakin taqlid (turut/menurut)iyah (keyakinan oleh taqlid (turut/menurut) yang telah mendarah daging). Dan adakalanya dengan bashirah (mata hati) dan musyahadah, dari segi batiniyah. Dan orang-orang mu’min (yang beriman) dengan lisan dan aqidah mereka, apabila menyia-nyiakan perintah Allah Ta’ala, berhijrah (meninggalkan) amal shalih dan memakai (selalu mengerjakan) perbuatan nafsu syahwat dan perbuatan maksiat, maka mereka itu bersekutu dengan orang-orang kafir pada ke-terperdayaan ini. Karena mereka mengutamakan hidup duniawi dari akhirat. Benar, urusan mereka itu lebih ringan, karena pokok iman itu memelihara mereka dari siksaan abadi. Mereka akan dikeluarkan dari neraka, walaupun sesudah suatu ketika kemudian. Akan tetapi mereka juga termasuk orang-orang yang terperdaya. Mereka sesungguhnya mengaku bahwa akhirat itu lebih baik dari dunia. Akan tetapi mereka cenderung kepada dunia dan mengutamakannya. Dan semata-mata iman itu tidak memadai bagi memperoleh kemenangan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun kepada siapa yang kembali kepadaKu, beriman dan mengerjakan perbuatan baik, kemudian itu ia mengikuti jalan yang benar”. S 20 Thaahaa ayat 82. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan (kepada orang lain)”. S 7 Al A’raf ayat 56. Kemudian, Nabi saw bersabda: “Ihsan (berbuat kebaikan) itu ialah: engkau menyembah Allah (beribadah kepada Allah), seakan-akan engkau melihatNya”. Allah Ta’ala berfirman: “Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Selain dari orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik dan mewasiatkan (memesankan) satu sama lain dengan kebenaran dan mewasiatkan satu sama lain supaya berhati teguh (bersabar)”. S 103 Al ‘Ashr ayat 1-2-3. Janji memperoleh pengampunan pada semua yang tersebut dalam Kitab Allah itu tergantung dengan iman dan bersama amal shalih. Tidak dengan iman sendirian saja. Maka mereka juga terperdaya. Aku maksudkan: mereka yang merasa tenang kepada duina, yang gembira dengan dunia, berlebih-lebihan dengan kenikmatan dunia, mencintai dunia, tidak suka kepada mati, karena takut hilangnya kelezatan dunia. Bukan tidak suka kepada mati, karena takut apa yang terjadi sesudah mati. Inilah contoh keterperdayaan dengan dunia dari orang-orang kafir dan orang-orang mu’min sekalian. Dan marilah kami sebutkan terperdaya dengan mempergunakan nama Allah, dua contoh dari terperdayanya orang-orang kafir dan orang-orang maksiat. Adapun terperdayanya orang-orang kafir dengan mempergunakan nama Allah itu, maka contohnya, ialah kata setengah mereka pada dirinya dan dengan lidah mereka, bahwa jikalau Allah mempunyai tempat kembali, maka kami lebih berhak, dengan tempat kembali itu dari orang lain. Kami lebih sempurna mempunyai keberuntungan padanya dan lebih berbahagia keadaan kami, sebagaimana dikhabarkan oleh Allah Ta’ala tentang perkataan dua orang laki-laki yang bertukar pikiran, ketika ia mengatakan: “Dan aku tidak mengira, bahwa sa’at (kiamat) itu akan datang dan kalau kiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, tentu aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari ini”. Kesimpulan urusan kedua laki-laki tersebut, sebagaimana dinukilkan dalam tafsir, bahwa yang kafir dari keduanya itu membangun sebuah istana dengan biaya seribu dinar emas. Dan membeli sebuah kebun dengan harga seribu dinar emas dan pelayan-pelayan dengan seribu dinar emas. Dan ia kawin seorang wanita dengan biaya seribu dinar emas. Pada yang demikian itu semua, ia dinasehati oleh yang beriman dengan mengatakan: “Engkau membeli istana yang akan binasa dan akan roboh. Mengapa engkau tidak membeli istana dalam sorga, yang tiada akan binasa? Engkau membeli kebun yang akan roboh dan binasa. Mengapa engkau tidak membeli kebun dalam sorga, yang tiada akan binasa dan pelayan-pelayan yang tiada akan binasa dan tiada akan mati? Dan isteri dari bidadari yang tiada akan mati?”. Pada semua yang demikian itu, ditolak oleh yang kafir dan mengatakan: “Tiada di sana suatupun. Dan apa yang dikatakan dari yang demikian itu, adalah bohong. Dan kalau ada, maka akan ada bagiku dalam sorga lebih baik dari ini”. Begitu pula disifatkan oleh Allah Ta’ala perkataan Al-‘Ash bin Wail, karena ia mengatakan: “Sesungguhnya aku, benar-benar akan diberi kekayaan dan anak-anak”. Maka Allah Ta’ala berfirman, menolak perkataannya: “Adakah ia mengetahui perkara yang tersembunyi atau dia telah mengadakan perjanjian dengan Tuhan Yang Maha Pemurah? Tidaklah begitu!”. Diriwayatkan dari Khabbab bin Al-Aratt, yang mengatakan: “Aku mempunyai pada Al-‘Ash bin Wail hutang. Lalu aku datang kepadanya, meminta supaya hutang itu dibayar. Ia tidak mau membayar kepunyaanku itu. Lalu aku mengatakan: “Aku akan mengambilnya di akhirat”. Lalu ia menjawab kepadaku: “Apabila engkau jadi ke akhirat, maka aku mempunyai di sana harta dan anak, yang akan aku bayar kepada engkau daripadanya”. Maka Allah Ta’ala menurunkan firmanNya: “Sudahkah engkau lihat orang yang tidak mempercayai keterangan-keterangan Kami? Katanya: Sesungguhnya aku, benar-benar akan diberi kekayaan dan anak-anak”. S 19 Maryam ayat 77. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan jika Kami berikan kepadanya kurnia Kami, sesudah kesengsaraan datang menimpa mereka, sudah tentu dia akan berkata: “Ini sudah semestinya buat aku dan aku tiada menduga sa’at itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku, sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan (yang banyak) di sisi Tuhan”. S 41 Ha Mim As Sajadah ayat 50. Ini semuanya termasuk sebahagian terperdaya dengan mempergunakan nama Allah. Sebabnya ialah suatu qias (perbandingan) dari perbandingan-perbandingan yang dibuat Iblis. Kita berlindung dengan Allah daripadanya! Yang demikian itu, ialah: bahwa mereka memandang, sekali kepada nikmat-nikmat Allah kepada mereka di dunia. Lalu mereka qiaskan (membandingkan) nikmat itu akan nikmat akhirat. Mereka memandang pada kali yang lain kepada pengunduran azab siksaan dari mereka. Lalu mereka qiaskan kepada yang demikian itu akan azab akhirat, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Mereka mengatakan dalam hati mereka: “Mengapa Allah tidak menyiksa kita karena perkataan kita itu?”. S 58 Al Mujaadalah ayat 8. Maka Allah Ta’ala berfirman, sebagai jawaban atas perkataan mereka: “Cukuplah untuk mereka neraka jahannam, mereka masuk ke situ dan itulah tempat yang amat buruk!”. S 58 Al Mujaadalah ayat 8. Pada lain kali, mereka memandang kepada orang-orang mu’min. Dan orang-orang mu’min itu orang-orang miskin, kusut-musut rambutnya, lagi badannya berdebu. Lalu mereka melecehkan orang-orang mu’min itu dan menghinakannya. Mereka mengatakan: “Adakah mereka yang dikurniakan oleh Allah diantara kami?”. Dan mereka mengatakan: “Kalau sekiranya itu suatu hal yang baik, sudah tentu mereka tiada akan lebih dahulu menerimanya dari kamu”. Teraturnya qias yang disusun oleh setan dalam hati mereka, ialah: mereka itu mengatakan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berbuat baik kepada kita dengan memberikan nikmat dunia. Dan tiap-tiap yang berbuat baik itu maka ia dicintai. Dan tiap-tiap yang dicintai, maka ia akan berbuat baik pula pada masa mendatang, sebagaimana kata penyair:
Sesungguhnya Allah Ta’ala,
telah berbuat baik pada masa yang lalu.
maka begitu pula,
Ia akan berbuat baik pada masa yang sisa itu.
Ia qiaskan masa yang akan datang kepada masa yang lalu, dengan perantaraan kiramah (pemuliaan) dan kecintaan. Karena ia mengatakan: “Jikalau tidaklah aku ini mulia di sisi Allah dan dicintai, niscaya Allah tidak berbuat baik kepadaku”. Tertipunya itu lantaran persangkaannya, bahwa tiap-tiap yang berbuat baik itu dicintai. Tidak ! akan tetapi lantaran persangkaannya, bahwa kenikmatan Allah kepadanya di dunia itu adalah ihsan (berbuat baik). Maka ia telah terperdaya dengan mempergunakan nama Allah. Karena ia menyangka, bahwa dia orang mulia di sisiNya, dengan dalil yang tidak menunjukkan kepada kiramah. Akan tetapi pada orang-orang yang mempunyai bashirah (mata hati) itu menunjukkan kepada penghinaan. Contohnya, bahwa seorang laki-laki mempunyai dua orang hamba sahaya yang masih kecil. Yang seorang dimarahinya dan yang seorang lagi dikasihinya. Yang dikasihinya, dilarangnya bermain-main. Diharuskannya selalu di sekolah (tempat belajar) dan dikurungnya di situ, untuk diajarinya adab kesopanan. Dilarangnya memakan buah-buahan dan makanan-makanan lezat yang mendatangkan melarat kepadanya. Dan disuruhnya minum obat-obat yang bermanfaat baginya. Dan hamba sahaya yang dimarahinya, disia-siakannya, supaya ia hidup menurut kemauannya. Lalu hamba sahaya itu bermain-main. Tidak masuk sekolah dan memakan tiap-tiap yang disukainya. Lalu hamba sahaya yang disia-siakan ini, menyangka bahwa dia pada tuannya, adalah orang yang dikasihi, yang dimuliakan. Karena tuannya memungkinkannya berbuat menurut nafsu syahwat dan lezat-lezat baginya. Dan menolong kepada semua maksudnya. Maka tuannya tidak melarang dan tidak mencegahnya. Itu adalah terperdaya semata-mata! Begitulah kenikmatan dunia dan kelezatannya! Dan itu membinasakan dan menjauhkan daripada Allah. “Sesungguhnya Allah menjaga hambaNya dari dunia dan Ia mencintai hambaNya itu, sebagaimana seseorang daripada kamu menjaga orang sakitnya dari makanan dan minuman dan ia mencintai orang sakitnya itu”. Begitulah yang datang pada hadits daripada penghulu manusia! Orang-orang yang mempunyai mata hati, apabila dunia datang menghadap kepadanya, maka mereka bergundah hati dan mengatakan: “Dosa yang segeralah siksaannya”. Mereka melihat yang demikian itu tanda kutukan dan disia-siakan. Dan apabila datang menghadap kepadanya kemiskinan, maka mereka mengatakan: “Selamat datang syiar orang-orang shalih!”. Orang yang terperdaya, apabila datang menghadap kepadanya dunia, maka ia menyangka, bahwa dunia itu suatu kiramah daripada Allah. Dan apabila dunia itu berpaling daripadanya (meninggalkannya), maka ia menyangka bahwa itu suatu penghinaan, sebagaimana dikhabarkan oleh Allah Ta’ala dari yang demikian, dengan firmanNya: “Adapun manusia itu apabila diuji oleh Tuhannya, diberiNya kemuliaan dan kesenangan hidup, dia mengatakan: “Tuhanku memuliakan aku”. Tetapi apabila Tuhan mengujinya dan dibatasi oleh Tuhan rezekinya, dia mengatakan: “Tuhanku menghinakan aku”. S 89 Al Fajr ayat 15-16. Maka Allah Ta’ala menjawab dari yang demikian: “K a l l a a !”, artinya: tidaklah seperti yang dikatakannya itu!". Sesungguhnya itu adalah percobaan. Kita berlindung dengan Allah dari jahatnya percobaan. Dan kita bermohon pada Allah akan ketetapan hati kita. Kiranya Allah menerangkan kepada kita, bahwa yang demikian itu terperdaya (tertipu). Al-Hasan Al-Bashari  ra berkata: “Allah Ta’ala mendustakan kedua orang tersebut, dengan firmanNya: “K a l l a a!”. Ia berfirman: “Tidaklah ini dengan pemuliaanKu dan tidak pula ini dengan penghinaanKu. Tetapi orang mulia itu, ialah orang yang AKU muliakan dengan mentaati AKU. Kaya dia atau miskin. Dan orang yang hina, ialah orang yang AKU hinakan dengan berbuat maksiat kepadaKU. Kaya dia atau miskin. Keterperdayaan ini, obatnya, ialah: mengetahui dalil-dalil kiramah (pemuliaan) dan penghinaan. Adakalanya dengan bashirah (mata hati) atau dengan taqlid (turut/menurut). Adapun bashirah, maka dengan mengetahui segi berpalingnya hati kepada nafsu syahwat duniawi, yang menjauhkan daripada Allah. Dan mengetahui segi menjauhkan dari nafsu syahwat duniawi, dengan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Dan yang demikian itu dapat diketahui dengan ilham, pada tingkat-tingkat orang-orang ‘arifin dan wali-wali. Penguraiannya ini termasuk sebahagian dari jumlah ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Dan tidak layak dengan ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Adapun mengetahuinya dengan jalan taqlid (turut/menurut) dan membenarkan, maka yaitu: bahwa beriman dengan Kitab Allah Ta’ala dan membenarkan RasulNya. Allah Ta’ala berfirman: “Adakah mereka mengira, bahwa Kami memberikan kepada mereka kekayaan dan anak-anak? Kami berarti hendak menyegerakan mereka memberi kebaikan? Tidak ! mereka tidak mengerti”. S 23 Al Mukminuun ayat 55-56. Allah Ta’ala berfirman: “Akan Kami tarik (ke arah kebinasaan) dari tempat yang tidak mereka ketahui”. S 7 Al A’raf ayat 182. Allah TA’ala berfirman: “Kami bukakan kepada mereka pintu segala sesuatu. Sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, lalu Kami dengan sekonyong-konyong mendatangkan siksa kepada mereka. Ketika itu mereka menjadi putus harapan”. S 6 Al An’aam ayat 44. Dan pada penafsiran firman Allah Ta’ala: “Sanudrijuhum min haitsu laa ya’-la-muuna” di atas tadi, ayat 182. S 7 Al A’raf – bahwa mereka setiap kali mengerjakan suatu dosa, niscaya kami datangkan kepada mereka nikmat, supaya bertambah terperdayanya. Allah Ta’ala berfirman: “Tetapi, hanyalah Kami beri tangguh mereka supaya bertambah dosanya”. S 3 Ali Imran ayat 178. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu menganggap bahwa Allah tidak memperdulikan perbuatan orang-orang yang aniaya itu. Hanyalah Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari, dimana ketika itu pemandanngan terbuka”. S 14 Ibrahim ayat 42. Dan yang lain dari itu, yang tersebut dalam Kitab Allah Ta’ala dan sunnah RasulNya. Siapa yang beriman kepada yang tersebut tadi, niscaya ia terlepas dari keterperdayaan itu. Sesungguhnya sumber keterperdayaan ini, ialah: bodoh tentang Allah dan sifat-sifatNya. Siapa yang mengenal Allah, niscaya ia tidak merasa aman daripada rencanaNya. Dan ia tidak terperdaya dengan contoh-contoh khayalan yang merusakkan. Ia akan memperhatikan kepada Fir’aun, Hamman dan Karun dan kepada raja-raja di bumi ini dan apa yang telah berlaku bagi mereka. Bagaimana Allah telah berbuat baik kepada mereka pada mulanya. Kemudian, Allah menghancurkan mereka dengan serta-merta. Lantas Allah Ta’ala berfirman: “Adakah engkau lihat agak seorang diantara mereka atau apakah engkau dengar rintihannya (keluhannya)?”. S 19 Maryam ayat 98. Allah Ta’ala memperingatkan mereka daripada rencanaNya dan tarikan ke arah kebinasaan. Lantas Allah Ta’ala berfirman: “Tiada yang merasa aman dari rencana Allah, kecuali orang-orang yang merugi”. S 7 Al A’raf ayat 99. Allah Ta’ala berfirman: “Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari”. S 27 An Naml ayat 50. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Orang-orang kafir itu membuat rencana, Allah membalas rencana mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas rencana”. S 3 Ali Imran ayat 54. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. Karena itu, beri tangguhlah orang-orang kafir itu, yaitu: beri tangguhlah mereka itu barang sebentar”. S 86 Ath Thariq ayat 15-16-17. Sebagaimana tiada boleh bagi hamba yang lengah, mengambil dalil dengan kelengahan tuannya kepadanya dan memungkinkannya bersenang-senang dengan kenikmatan, di atas kasihan tuannya. Akan tetapi seyogyalah ia menjaga diri, bahwa ada yang demikian itu suatu rencana makar daripadanya dan suatu tipu daya. Sedang tuannya itu tidak menjaganya dari perbuatan makar dirinya. Maka dengan mencintai yang demikian pada hak Allah Ta’ala, serta penjagaannya, akan tertariknya ke arah kebinasaan (istidraj) itu lebih utama. Jadi, barangsiapa merasa aman dari rencana Allah, maka dia itu orang yang terperdaya (tertipu). Dan sumber keterperdayaan ini, ialah: bahwa ia mengambil dalil dengan kenikmatan duniawi, bahwa dia itu orang mulia pada sisi Yang Memberi nikmat tersebut. Dan mungkin bahwa yang demikian itu dalil kehinaan. Akan tetapi, kemungkinan yang demikian, tiada sesuai dengan hawa nafsu. Maka setan dengan perantaraan hawa nafsu itu, mencenderungkan hati orang tersebut kepada apa yang bersesuaian dengan yang demikian. Yaitu: pembenaran dengan dalilnya kepada kiramah. Dan inilah batasnya terperdaya itu! Contoh kedua: terperdayanya orang-orang berbuat maksiat dari orang-orang mu’min, dengan kata mereka, bahwa Allah itu Maha Pemurah dan kami mengharap akan kemaafanNya. Bertawakkalnya mereka kepada yang demikian, kelengahan mereka akan amal dan pembagusan yang demikian, dengan menamakan: angan-angan dan terperdayanya mereka itu harapan. Kesangkaan mereka, bahwa harapan itu maqam terpuji pada agama. Bahwa nikmat Allah itu luas, rahmatNya melengkapi dan kemurahanNya meratai. Dimanakah kemaksiatan hamba itu dalam lautan rahmatNya? Dan kita ini orang-orang yang berkeesaan dan beriman. Maka kita mengharap kepadaNya dengan jalan (wasilah) iman. Kadang-kadang sandaran harapan mereka itu, ialah: berpegang teguh dengan keshalihan nenek moyangnya dan ketinggian martabat mereka. Seperti terperdayanya keturunan Ali ra (Al-‘Alawiyah) dengan keturunan mereka. Dan penyalahan dengan perjalanan hidup nenek moyang mereka tentang takut, taqwa dan wara’. Mereka menyangka, bahwa mereka yang termulia pada sisi Allah dari nenek moyang mereka. Karena nenek moyang mereka serta kesangatan wara’ dan taqwa, adalah orang-orang yang takut. Dan mereka itu sendiri serta bersangatan fasiq dan zalim itu merasa aman (tidak ada perasaan takut). Yang demikian itu adalah sangat terperdaya (tertipu) dengan mempergunakan nama Allah Ta’ala. Maka qiasan setan kepada Al-‘Alawiyah, ialah, bahwa siapa yang mencintai insan, niscaya mencintai akan anak-anaknya. Dan bahwa Allah mencintai nenek moyang kamu. Maka IA mencintai kamu. Maka kamu tidak memerlukan kepada taat. Dan orang yang terperdaya itu lupa, bahwa nabi Nuh as menghendaki anaknya menyertainya dalam kapal. Lantas anak itu tidak mau, lalu ia termasuk orang yang tenggelam. Nabi Nuh as itu berdoa: “Wahai Tuhanku! Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Hai Nuh! Sesungguhnya dia bukan keluarga engkau. Sesungguhnya dia (melakukan) pekerjaan yang tidak baik”. S 11 Hud ayat 46. Nabi Ibrahim as memohonkan ampunan dari tuhan bagi ayahnya. Tetapi tidak bermanfaat. Nabi Muhammad saw, kiranya rahmat Allah padanya dan kepada tiap-tiap hambaNya yang pilihan, memohonkan izin pada Tuhannya, untuk menziarahi kuburan ibunya. Dan meminta ampunan baginya. Lalu beliau diizinkan oleh Allah berziarah dan tidak diizinkan pada memohonkan ampunan. Maka beliau duduk menangis di samping kuburan ibunya, lantaran cintanya kepadanya, disebabkan kedekatan (al-qarabah). Sehingga membawa kepada tangisnya orang-orang di sekeliling”. Ini juga terperdaya dengan jalan Allah Ta’ala. Dan pahamilah ini! Karena Allah Ta’ala menyukai orang yang taat dan memarahi orang yang maksiat. Maka bagaimana IA tidak memarahi bapak yang taat, dengan marahNya kepada anak yang maksiat, maka begitu pula IA tidak mencintai anak yang maksiat, dengan kecintaanNya kepada bapak yang taat. Dan jikalau adalah kecintaan itu mengalir dari bapak kepada anak, niscaya mendekati juga kemarahan itu mengalir. Akan tetapi, yang benar, ialah: bahwa seorang pemikul beban, tiada dapat memikul beban orang lain. Dan siapa yang menyangka, bahwa ia terlepas dengan taqwa bapaknya, adalah seperti orang yang menyangka, bahwa ia kenyang dengan bapaknya makan. Dan hilang haus dengan ibunya minum. Ia menjadi orang berilmu (orang alim) dengan bapaknya belajar. Dan sampai ke Ka’bah dan melihatnya, dengan bapaknya pergi kesana. Maka takwa itu fadhu ‘ain (wajib atas tiap-tiap pribadi). Maka tidak diberi balasan kepada bapak akan sesuatu dari amal anaknya. Dan demikian pula sebaliknya. Dan pada sisi Allah itu balasan taqwa. Di hari seorang manusia lari dari saudaranya. Dan dari ibunya dan bapaknya”. Selain dengan jalan syafaat, bagi orang yang tidak bersangatan kemarahan Allah kepadanya. Maka diizinkan oleh Allah kesyafaatan baginya, sebagaimana telah disebutkan dahulu pada Kitab Takabur dan Ujub. Jikalau anda bertanya, dimana salahnya tentang perkataan orang-orang maksiat dan orang-orang zalim: bahwa Allah itu Maha Pemurah dan kami mengharapkan rahmatNya dan keampunanNya. Dan Ia telah berfirman: “Aku adalah pada kesangkaan hambaKu dengan Aku. Maka hendaklah ia menyangka kepadaKU dengan yang baik!”. Maka tidaklah ini, melainkan perkataan yang benar, yang diterima zahiriyahnya dalam hati. Maka ketahuilah kiranya, bahwa setan itu tidak memperdayakan manusia, selain dengan perkataan yang zahiriyahnya diterima, yang tertolak baitniyahnya. Dan jikalau tidaklah bagus zahiriyahnya, niscaya tidaklah tertipu hati dengan dia. Akan tetapi Nabi saw menyikapkan dari yang demikian. Lalu beliau bersabda: “Orang pintar, ialah siapa yang mengagamakan dirinya dan beramal untuk sesudah mati. Dan orang bodoh, ialah siapa yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya dan berangan-anngan kepada Allah”. Inilah angan-angan kepada Allah Ta’ala, yang dirobah namanya oleh setan. Lalu dinamainya harapan. Sehingga tertipulah orang-orang bodoh. Allah Ta’ala telah menguraikan harapan itu. Ia berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berpindah dari negrinya dan bekerja keras di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 218. Yakni: harapan bagi mereka itu lebih layak. Dan pahamilah ini, karena Allah Ta’ala menyebutkan, bahwa pahala akhirat itu upah dan balasan kepada amal. Allah Ta’ala berfirman: “Sebagai pembalasan apa yang telah mereka kerjakan”. S As Sajadah ayat 17. Allah Ta’ala berfirman: “Dan bahwa pahalamu akan dicukupkan di hari kiamat”. S 3 Ali Imran ayat 185. Adakah anda melihat, bahwa orang yang disewakan tenaganya untuk memperbaiki bejana (tempat air) dan disyaratkan baginya memperoleh upah atas pekerjaannya? Dan yang memnbuat syarat (yang menyuruh) itu seorang pemurah yang menepati janjinya, manakala ia telah berjanji. Dia tidak akan menyalahi janji. Bahkan ia akan menambah. Lalu datanglah orang yang disuruh mengerjakan itu. Ia memecahkan bejana-bejana itu. Dan merusakkan semuanya. Kemudian ia duduk, menunggu upah dan mendakwakan, bahwa orang yang menyuruhnya itu, orang pemurah. Adakah orang-orang yang berakal berpendapat, bahwa orang yang disuruh itu, dalam menunggu upah itu sebagai orang yang berangan-angan, yang terperdaya atau sebagai orang yang mengharap? Ini adalah karena bodoh, akan perbedaan antara harap dan terperdaya. Dikatakan kepada Al-Hasan Al-Bashari  ra, bahwa ada suatu kaum yang mengatakan: “Kami mengharap kepada Allah”, sedang mereka itu menyia-nyiakan amal. Lalu Al-Hasan Al-Bashari  ra menjawab: “Amat jauh amat jauh yang demikian! Itu adalah angan-angan mereka, yang mereka kuatkan padanya. Barangsiapa mengharapkan sesuatu, niscaya dicarinya. Dan barangsiapa takut kepada sesuatu, nsicaya ia lari daripadanya”. Muslim bin Yassar Al Bashar (melihat)i (w. Disekitar Th.100 H) mengatakan: “Aku telah sujud (dalam shalat), sehingga tanggal 2 gigi depanku”. Lalu seorang laki-laki mengatakan kepadanya: “Kami sesungguhnya mengharap kepada Allah. Muslim bin Yassar lalu menjawab: “Amat jauh amat jauh yang demikian! Barangsiapa mengharap sesuatu, niscaya dicarinya. Dan barangsiapa takut kepada sesuatu, niscaya ia lari dariapdanya”. Sebagaimana orang yang mengharap di dunia ini mendapat anak dan dia tidak kawin, atau dia kawin, tetapi ia tidak bersetubuh dengan  isterinya, atau ia bersetubuh dan ia tidak inzal (tidak keluar air maninya), maka orang ini adalah orang yang lemah akal. Maka begitu pula orang yang mengharap rahmat Allah dan ia tidak beriman. Atau ia beriman dan tidak mengerjakan amal shalih. Atau ia kerjakan dan tidak meninggalkan perbuatan maksiat. Maka orang itu terperdaya (tertipu). Sebagaimana apabila ia telah kawin, bersetubuh dan inzal, niscaya dia masih juga ragu-ragu tentang anak itu. Ia takut dan mengharap kurnia Allah pada menciptakan anak dan tertolaknya bahaya-bahaya dari rahim ibu dan dari ibu itu sendiri, sehingga sempurnalah kejadian anak itu. Maka orang itu adalah orang pintar. Seperti demikian pula, apabila ia beriman, mengerjakan amal-amal shalih dan meninggalkan perbuatan-perbuatan keji dan ia masih ragu diantara takut dan harap. Ia takut akan tidak diterima amalnya dan ia tidak kekal atas amalan itu. Dan ia mendapat kesudahan (khatimah) dengan buruk. Ia mengharap daripada Allah Ta’ala bahwa menetapkannya dengan  kata tetap. Dan memelihara agamanya dari petir-petir sakaraul maut. Sehingga ia mati di atas keesaan. Dan menjaga hatinya dari kecenderungan kepada nafsu syahwat sepanjang umurnya. Sehingga ia tidak cenderung kepada perbuatan-perbuatan maksiat. Maka orang itu adalah orang pintar. Dan selain dari mereka, maka adalah orang-orang yang terperdaya pada jalan Allah. “Dan nanti mereka akan mengetahui ketika melihat siksaan, siapakah yang lebih tersesat jalannya”. “Dan sudah tentu kamu akan mengetahui beritanya (kebenarannya) sesudah datang ketikanya”. Ketika itu, mereka mengatakan sebagaimana dikhabarkan oleh Allah dari hal mereka: “Wahai Tuhan kami! Kami telah melihat dan mendengar – apa yang Engkau katakan - . sebab itu, kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan perbuatan baik. Sesungguhnya kami telah yakin”. S As Sajadah ayat 12. Artinya: kami ketahui, bahwa sebagaimana tidak akan beranak, selain dengan bersetubuh dan perkawinan dan tumbuh-tumbuhan tiada akan tumbuh, selain dengan membajak tanah dan menaburkan bibit, maka demikian pula, tiada akan berhasil pahala dan pembalasan, selain dengan amal shalih. Maka kembalikanlah kami, untuk kami mengerjakan amal shalih. Sesungguhnya sekarang kami telah mengetahui kebenaran engkau pada firman Engkau. “Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh apa yang diusahakannya. Dan bahwa (hasil) usahanya nanti akan dilihatnya”. Setiap suatu kaum dijatuhkan ke dalamnya, penjaga-penjaga neraka itu menanyakan: “Belumkah – ada orang yang memberikan peringatan datang kepada kamu? Mereka menjawab: “Ya, ada! Sesungguhnya orang yang memberikan peringatan telah datang kepada kami”. Artinya apakah tidak kami perdengarkan kepada kamu, sunnah Allah pada hamba-hambaNya? Dan sesungguhnya –“Dicukupkannya kepada setiap diri pembayaran (pembalasan) apa yang telah diusahakannya”. Dan bahwa: “Setiap diri tergadai karena perbuatannya”. Apakah yang memperdayakan kamu pada jalan Allah, sesudah kamu mendengar dan berpikir? Dan “Mereka berkata: “Kalau kiranya kami mendengarkan dan mempergunakan pikiran kami tiadalah kami akan menjadi penghuni api yang menyala. Mereka mengakui dosanya, tetapi jauhlah kiranya penghuni api neraka itu (dari ampunan Tuhan)!”. Kalau anda bertanya: “Dimanakah tempat sangkaan harap itu dan tempatnya yang terpuji? Maka ketahuilah kiranya, bahwa harap itu terpuji pada 2 tempat:
 Pertama: pada diri orang maksiat yang terjerumus, apabila terguris baginya taubat. Lalu setan berkata kepadanya:  “Dari mana taubatmu diterima?”. Maka setan itu memutus asakan orang maksiat tersebut, dari rahmat Allah Ta’ala. Lalu haruslah ketika ini, orang maksiat itu mencegah keputus asaan dengan harap dan mengingatkan dirinya, bahwa Allah mengampunkan segenap dosa”. Dan bahwa Allah Maha Pemurah, menerima taubat dari hambaNya. Dan taubat itu taat, yang menutupkan dosa. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah! Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas mencelakakan dirinya sendiri! Janganlah kamu putus harapan dari rahmat Allah! sesungguhnya Allah itu mengampuni segenap dosa. Sesungguhnya DIA Maha Pengampun dan Penyayang. Dan kembalilah kamu (bertobat) kepada Tuhanmu!”. S Az Zumar ayat 53-54. Allah Ta’ala menyuruh mereka kembali. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun kepada siapa yang bertaubat, beriman dan mengerjakan perbuatan baik. Kemudian, ia mengikuti jalan yang benar”. S 20 Thaahaa ayat 82. Apabila ia menantikan ampunan serta taubat, maka ia itu orang yang mengharap dan kalau ia menantikan ampunan serta berkekalan berbuat maksiat, maka dia itu orang yang terperdaya (orang yang tertipu). Sebagaimana orang yang telah sempit kepadanya waktu shalat Jum’at dan dia sedang berada di pasar. Lalu terguris kepadanya untuk pergi ke Jum’at lantas berkata kepadanya: “Engkau sesungguhnya tidak akan mendapat Jum’at. Maka tetaplah di tempat engkau!”. Lalu orang itu mendustakan setan. Ia terus pergi berlari-larian. Ia mengharap akan mendapat Jum’at. Maka orang itu, adalah: orang yang mengharap. Dan kalau ia terus berjualan dan ia mengharap iman mengemudiankan shalat karenanya, hingga ke tengah-tengah waktu atau karena orang lain atau karena sesuatu sebab yang tidak diketahuinya, maka orang itu terperdaya (tertipu).
Kedua: bahwa dirinya lemah dari amal-amal fadhilah (amal-amal utama dan sunat). Ia menyingkatkan saja (mencukupkan saja) dengan amal-amal fardhu (amal wajib). Lalu ia mengharapkan dirinya akan memperoleh nikmat Allah Ta’ala dan apa yang dijanjikannya kepada orang-orang shalih. Sehingga terjera dari harapan itu, kerajinan ibadah. Lalu ia menghadap kepada amal-amal fadhilah dan mengingati firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman itu. Mereka yang khusyu’ dalam sembahyangnya. Dan yang menjauhkan diri dari perkataan yang sia-sia. Dan yang membayarkan zakat. Dan yang menjaga kehormatannya (tidak melepaskan syahwatnya). Melainkan kepada isterinya atau kepunyaan tangan kanannya (sahaya perempuan). Maka sesungguhnya mereka itu tiada tercela. Tetapi, orang-orang yang mencari selain dari itu, maka merekalah orang-orang yang melanggar batas. Dan orang beriman yang beruntung juga-, orang-orang yang memelihara kepercayaan yang diberikan kepadanya serta janji yang dibuatnya. Dan yang menjaga sembahyangnya. Itulah orang-orang yang mempusakai. Mereka yang mempusakai sorga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 1 sampai 11. Harapan pertama itu mencegah keputus asaan yang melarang dari taubat. Dan harapan kedua, mencegah kelemahan yang mencegah dari kerajinan dan kekalan bekarja. Maka tiap-tiap menantikan itu membangkitkan kepada taubat atau kepada berkekalan pada taat. Maka itulah harapan. Dan setiap harapan yang mengharuskan kelemahan pada ibadah dan kecenderungan kepada amal batil/salah, maka itu terperdaya. Sebagaimana, apabila terguris kepadanya, untuk meninggalkan dosa dan berbuat amal. Lalu setan berkata kepadanya: “Apa engkau ini menyakitkan diri dan menyiksakannya? Engkau mempunyai Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Lalu dengan demikian, lantas ia lemah dari bertaubat dan beribadah. Maka itu terperdaya. Dan ketika itu, maka haruslah (wajiblah) atas hamba mempergunakan takut. Ia menakutkan dirinya dengan kemarahan Allah dan besar siksaanNya. Dan ia mengatakan: “Bahwa Allah Ta’ala, serta IA Pengampun dosa dan Penerima taubat itu sangat pedih siksaanNya. Dan serta IA Maha Pemurah, itu mengekalkan orang-orang kafir dalam neraka untuk selama-lamanya, serta tidak mendatangkan melarat bagiNya oleh kekafiran mereka. Akan tetapi, IA mengeraskan azab, cobaan, penyakitan, sakit, kemiskinan dan kelaparan kepada sejumlah dari hamba-hambaNya dalam dunia. Dan IA berkuasa menghilangkannya. Maka siapa, yang inilah sunnahNya pada hamba-hambaNya dan IA telah menakutkan aku akan siksaanNya, maka bagaimana aku tidak takut kepadaNya? Dan bagaimana aku terperdaya dengan yang demikian? Maka takut dan harap itu dua panglima dan dua penghalau yang membangkitkan manusia kepada amal. Maka yang tidak membangkitkan kepada amal, itu adalah angan-angan dan terperdaya. Dan harapan makhluk seluruhnya, itulah sebabnya kelumpuhan mereka, sebabnya mereka menghadap kepada dunia, sebabnya mereka berpaling daripada Allah Ta’ala dan menyia-nyiakan usaha bagi akhirat. Maka yang demikian itu terperdaya. Nabi saw sesungguhnya telah mengkhabarkan dan menyebutkan, bahwa terperdaya (tertipu) itu akan mengerasi atas hati yang terakhir dari umat ini. Sesungguhnya telah ada apa yang dijanjikan oleh Nabi saw. Adalah manusia itu pada masa pertama dahulu rajin pada ibadah. Mereka berikan apa yang diberikan kepada mereka (mereka berikan zakat dari harta mereka). Hati mereka takut, bahwa sesungguhnya mereka kembali kepada Tuhan, mereka takut atas dirinya. Sepanjang malam dan siang, mereka dalam ketaatan kepada Allah. Mereka bersangatan (mubalaghah) pada taqwa dan menjaga diri dari harta syubhah (harta yang diragukan halalnya) dan nafsu syahwat. Mereka menangis atas dirinya pada tempat sunyi (khilwah). Sekarang, anda melihat makhluk itu merasa aman, gembira, tentram, tidak merasa takut, serta merta bertekun atas perbuatan maksiat, terjerumus dalam dunia dan berpaling dari Allah Ta’ala. Mereka mendakwakan, bahwa mereka percaya dengan kemurahan Allah Ta’ala dan kelimpahanNya. Mereka mengharap kemaafan dan keampunanNya. Seakan-akan mereka mendakwakan, bahwa mereka mengetahui dari kelimpahan dan kemurahanNya, akan apa yang tidak diketahui oleh nabi-nabi, para shahabat dan orang-orang shalih yang terdahulu. Jikalau keadaan ini didapati dengan angan-angan dan dicapai dengan mudah, maka atas dasar apa, adanya tangisan mereka, takut dan gundahnya mereka? Dan kami telah sebutkan dahulu pentahkikan segala keadaan ini pada Kitab Takut dan Harao. Dan Rasulullah saw telah bersabda, menurut apa yang diriwayatkan oleh Ma’qal bin Yassar: “Aku datang kepada manusia, suatu zaman, dimana Alquran akan lusuh dalam hati orang-orang, sebagaimana lusuhnya kain pada tubuh manusia. Urusan mereka semuanya adalah karena loba, tak ada ketakutan padanya. Kalau seseorang dari mereka berbuat baik, lalu mengatakan: “Akan diterima daripadaku”. Dan kalau ia berbuat jahat, lalu ia mengatakan: “Akan diampunkan dosaku”. Nabi saw telah menerangkan, bahwa mereka meletakkan loba di tempat takut. Karena kebodohan mereka dengan penakutan-penakutan Alquran dan apa yang ada dalam Alquran. Dan seperti yang demikian itu, diterangkan tentang kaum Nasrani, karena Allah Ta’ala berfirman: “Sesudah itu datang angkatan baru (yang jahat) menggantikan mereka. Mereka mempusakai Kitab, mengambil harta benda kehidupan dunia ini saja (dengan cara yang tidak halal). Kata mereka: Nanti (kesalahan) kami akan diampuni”. S 7 Al A’raf ayat 169. Artinya, bahwa mereka mempusakai Kitab. Ya’ni: mereka kaum alim ulama. Mereka mengambil harta benda kehidupan dunia ini. Artinya: nafsu syahwat mereka dari dunia, haram atau halal. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang takut terhadap waktu berdiri di hadapan Tuhannya, dia memperoleh dua taman (sorga)”. S 55 Ar Rahman ayat 46. Allah Ta’ala berfirman: “Yang demikian itu adalah untuk orang yang takut kepada KebesaranKu dan takut akan janji siksaKu”. S 14 Ibrahim ayat 14. Alquran dari permulaannya sampai kepada penghabisannya itu memberi peringatan dan penakutan. Tidak akan bertafakkur (merenungkan) oleh yang merenungkan dalam Alquran, selain akan lemahlah kegundahannya dan besarlah ketakutannya, kalau ia beriman dengan apa yang ada dalam Alquran. Anda melihat manusia membaca dengan cepat Alquran ini. Mereka mengeluarkan (membaca) huruf-huruf Alquran dengan bunyinya yang baik (menurut makhrajnya). Mereka berdebat tentang baris bawah (baris khafadl), baris depan (baris rafa’) dan baris di atas (nashab). Seakan-akan mereka membaca syair (pantun) dari syair-syair Arab. Tidak penting bagi mereka memperhatikan arti (maskud) Alquran dan mengamalkan apa yang tersebut dalam Alquran. Adakah dalam dunia (alam) ini, terperdaya yang lebih dari ini? Inilah contoh-contoh terperdaya dengan menggunakan agama Allah dan penjelasan perbedaan di antara hidup dan terperdaya. Dan mendekati dengan yang demikian, terperdayanya golongan-golongan yang mempunyai ketaatan dan kemaksiatan. Hanya perbuatan maksiat dari mereka itu lebih banyak. Dan mereka menunggu (mengharap) keampunan. Dan menyangka bahwa daun neraca kebaikan mereka itu lebih berat, sedang apa yang ada pada daun neraca kejahatan itu lebih banyak. Dan ini kesudahan kebodohan. Maka anda melihat seseorang yang bersedekah dengan beberapa dirham yang dapat dihitung dengan mudah, dari harta halal dan haram. Dan yang diterimanya dari harta kaum musliminn dan harta yang diragukan halalnya (harta syubhat (diragukan)), berlipat ganda banyaknya. Dan mungkin apa yang disedekahkannya itu adalah dari harta kaum muslimin. Ia berpegang kepadanya dan menyangka, bahwa memakan seribu dirham haram, akan dapat diimbangi oleh bersedekah sepuluh dirham haram atau halal. Dan tidaklah orang yang tersebut tadi, selain seperti orang yang meletakkan sepuluh dirham pada sebuah daun neraca dan pada neraca yang lain seribu. Ia bermaksud mengangkat daun neraca yang berat dengan daun neraca yang ringan. Dan itu adalah kesudahan kebodohannya. Ya, benar! Diantara mereka ada orang yang menyangka, bahwa perbuatan taatnya itu lebih banyak dari perbuatan maksiatnya. Karena ia tidak memperkirakan akan dirinya dan tidak memperhatikan perbuatan maksiatnya. Apabila ia mengerjakan taat, lalu dihafalnya dan dihitungkannya, seperti orang yang mengucapkan istighfar (memohonkan ampun) kepada Allah dengan lisannya atau mengucapkan tasbih kepada Allah dalam sehari 100 kali. Kemudian, ia mengumpat kaum muslimin, mengoyak-ngoyakkan kehormatan mereka dan berkata-kata dengan yang tidak diridhai Allah sepanjang hari, tanpa tehingga dan terhitung. Dan adalah perhatian orang tadi kepada bilangan alat tasbihnya, bahwa ia telah mengucapkan istighfar kepada Allah 100 kali. Ia lupa dari perkataannya yang sia-sia sepanjang harinya, yang kalau dituliskannya, niscaya adalah seperti tasbihnya 100 kali atau 1000 kali. Dan telah dituliskan oleh malaikat-malaikat penulis amal. Dan telah dijanjikan oleh Allah dengan siksaan atas tiap-tiap kalimat. Allah Ta’ala berfirman: “Tiada suatu perkataan yang diucapkan –manusia-, melainkan di dekatnya ada pengawas, siap sedia (mencatatnya)”. S 50 Qaaf ayat 18. Maka orang ini selalu memperhatikan pada keutamaan pembacaan tasbih dan tahlil (pembacaan: Laa ilaaha illallaah). Dan ia tidak menoleh kepada apa yang datang dari siksaan orang-orang pengumpat, pendusta, lalat merah/suka menceritakan kekurangan orang dan orang-orang munafiq, yang melahirkan kata-kata yang tidak disembunyikannya dan lain-lain dari bahaya-bahaya lisan. Yang demikian itu terperdaya (tertipu) semata-mata. Demi umurku, jikalau adalah malaikat-malaikat penulis amal itu meminta daripadanya ongkos penulisan, bagi apa yang mereka menuliskannya, dari kata-katanya yang sia-sia, yang melebihi daripada tasbihnya, niscaya adalah ia pada yang demikian itu akan mencegah lidahnya, sehingga dari sejumlah dari yang penting-penting saja baginya. Dan apa yang diucapkannya pada waktu-waktu kesenggangannya, adalah dihitungnya, dikirakan dan ditimbangkannya dengan tasbih-tasbihnya. Sehingga tidak berlebih ongkos penulisannya atas dirinya. Maka alangkah mengharapkan terhadap orang yang memperhitungkan dirinya dan berhati-hati, karena takut kepada satu karat permata, yang hilang pada ongkos atas penulisan itu. Dan ia tidak berhati-hati, takut daripada hilangnya sorga Firdaus tinggi dan kenikmatannya. Ini tidak, melainkan suatu bencana besar bagi orang yang merenungkannya. Sesungguhnya kita didorong kepada suatu keadaan, jikalau kita ragu-ragu padanya, niscaya adalah kita dari orang-orang kafir yang mengingkari Tuhan. Dan jikalau kita benar padanya, niscaya adalah kita dari orang-orang dungu yang terperdaya (tertipu). Maka tidaklah ini amal perbuatan orang yang membenarkan apa yang dibawa oleh Alquran. Dan kita sesungguhnya memohon kelepasan kepada Allah, bahwa kita termasuk dari orang-orang tertutup hati. Maka Maha Sucilah Tuhan yang mencegah kita dengan kesadaran dan keyakinan serta penjelasan ini! Alangkah layaknya bagi orang yang sanggup menguasai kelalaian seperti ini dan keterperdayaan atas hati, bahwa ia takut dan bertakwa. Dan ia tidak terperdaya dengan yang demikian, karena berpegang kepada batil/salahnya angan-angan dan alasan-alasan setan serta hawa nafsu. Wallahu A’lam! Allah Yang Maha Tahu!.
PENJELASAN: jenis-jenis orang yang terperdaya dan bahagian-bahagian golongan setiap jenis. Dan mereka itu 4 jenis.
Jenis pertama: ahli ilmu. Dan yang terperdaya dari mereka itu, ada beberapa golongan. Segolongan, mereka kokoh pemahamannya pada ilmu agama dan ilmu akal. Mereka mendalaminya dan bekerja menurut ilmu-ilmu tersebut. Dan mereka menyia-nyiakan mencari (memperhatikan) anggota badannya dan memeliharanya, daripada perbuatan-perbuatan maksiat dan mengharuskannya perbuatan-perbuatan taat. Mereka tertipu dengan ilmunya dan menyangka bahwa mereka pada sisi Allah di suatu tempat. Dan bahwa mereka telah sampai dari ilmunya ke suatu tingkat, dimana Allah tiada akan mengazabkan yang seperti mereka. Bahkan Allah menerima untuk orang banyak, akan pertolongan (syafaat) mereka. Dan Allah tidak akan menuntut mereka dengan dosa dan kesalahan mereka, karena mulianya (kiramahnya) mereka pada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang tertipu (terperdaya)! Jikalau mereka melihat dengan mata hati, niscaya mereka tahu, bahwa ilmu itu dua macam: ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Yaitu: ilmu mengenai Allah dan sifat-sifatNya, yang dinamai menurut kebiasaan: ilmu ma’rifah. Adapun ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan), seperti mengetahui halal dan haram, mengetahui akhlak diri yang tercela dan terpuji, bagaimana mengobatinya dan lari daripadanya. Maka itu adalah ilmu, yang tidak dimaksudkan, selain untuk diamalkan (dilaksanakan). Jikalau tidak ada keinginan kepada diamalkan, maka ilmu tersebut tidak ada nilainya. Setiap ilmu yang dimaksudkan untuk diamalkan, maka tiada mempunyai nilai, tanpa amal. Contohnya, adalah orang sakit, yang padanya penyakit, yang tidak akan hilang, selain oleh obat yang tersusun dari banyak camnpuran, yang tidak diketahui, selain oleh tabib-tabib yang ahli. Lalu ia berusaha mencari tabib, sesudah ia meninggalkan tanah airnya. Sehingga ia menjumpai seorang tabib yang ahli. Lalu tabib tersebut memberitahukan kepadanya obat dan menguraikan kepadanya campuran-campuran, macam-macamnya, kadar campuran dan bahan-bahan pertambangan, dimana campuran-campuraan tersebut diambil daripadanya. Dan tabib ahli tadi mengajarkannya bagaimana menumbuk masing-masing campuran itu dan bagaimana mencampurkan dan mengadukkannya. Lalu ia pelajari yang demikian dan ia tuliskan suatu naskah (copy) yang bagus, dengan tulisan yang cantik. Kemudian, ia pulang ke rumah, diulang-ulanginya membaca dan diajarkannya kepada orang-orang sakit. Dan tidak dilaksanakannya dengan meminum dan memakainya. Adakah anda berpendapat, bahwa yang demikian itu memberi faedah sesuatu kepadanya dari penyakitnya? Amat jauh-amat jauh yang demikian! Jikalau dituilsnya 1000 copy dan diajarkannya kepada 1000 orang sakit, sehingga sembuh semua mereka dan diulang-ulanginya setiap malam 1000 kali, niscaya tidak mendatangkan faedah yang demikian itu, suatupun kepada sakitnya. Selain, bahwa ia menimbangkan emas, membelikan obat dan mencampurkannya, sebagaimana yang dipelajarinya. Ia meminumnya dan bersabar atas kepahitannya. Dan adalah minumnya itu pada waktunya dan sesudah mendahulukan penjagaan serta semua syarat-syaratnya. Apabila ia berbuat semua itu, lalu dia masih juga dalam bahaya dari kesembuhannya, maka bagaimanakah apabila ia tidak sekali-kali meminumnya? Manakala ia menyangka bahwa yang demikian mencukupi dan menyembuhkannya, maka telah teranglah tertipu (terperdaya)nya. Begitu pula, ahli ilmu fiqih (al-fiqih) yang memahami dengan teguh ilmu ketaatan dan tidak diamalkannya. Ia memahami dengan teguh ilmu kemaksiatan dan tidak dijauhkannya. Ia memahami dengan teguh ilmu akhlak yang tercela dan ia tidak membersihkan dirinya dari akhlak tercela itu. Ia memahami dengan teguh ilmu akhlak yang terpuji dan ia tidak bersifat dengan akhlak yang terpuji itu. Maka orang itu tertipu. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan (jiwa)nya”. S 91 Asy Syams ayat 9. Tuhan tidak berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mempelajari bagaimana membersihkannya, menuliskan ilmu tersebut dan mengajarkannya kepada manusia”. Dan ketika ini, setan mengatakan kepadanya: “Janganlah anda terperdaya oleh contoh itu! Bahwa mengetahui obat, tidaklah menghilangkan penyakit. Dan bahwa tuntutan anda, ialah mendekatkan diri kepada Allah dan pahalaNya. Ilmu itu menarik pahala”. Dan setan itu membacakan kepadanya hadits-hadits yang membentangkan kelebihan ilmu. Kalau orang yang patut dikasihani ini, lemah pikiran, lagi tertipu niscaya bersesuaianlah yang demikian dengan maskud dan hawa nafsunya. Lalu tenanglah hatinya kepada yang demikian dan ia menyia-nyiakan amal. Kalau ia orang pintar, maka ia akan bertanya kepada setan: “Adakah engkau memperingatkan aku keutamaan ilmu dan engkau melupakan aku apa yang datang dari agama, mengenai orang berilmu yang zalim, yang tidak mengamalkan menurut ilmunya? Seperti firman Allah Ta’ala: “Perumpamaannya sebagai anjing”. S 7 Al A’raf ayat 176. Dan seperti firman Allah Ta’ala: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Kitab Taurat, tetapi tiada mereka pikul, bagai keledai yang memikul kitab-kitab tebal (tetapi tiada mengerti isinya)”. S 62 Al Jumu’ah ayat 5. Maka manakah kehinaan yang lebih besar daripada diumpamakan dengan anjing dan keledai? Nabi saw bersabda: “Siapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah petunjuk, niscaya ia tidak bertambah dekat kepada Allah, melainkan jauh”. Nabi saw bersabda pula: “Dilemparkan orang berilmu dalam api neraka. Lalu keluar perut panjangnya. Maka ia berputar dengan perut itu dalam api neraka, sebagaimana berputar keledai pada gilingan gandum”. Dan seperti sabda Nabi saw: “Manusia yang paling jahat, ialah: ulama jahat”. Kata Abid Darda ra: “Azab bagi orang yang tidak berilmu, satu kali. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya diberiNya ilmu. Dan azab bagi orang yang berilmu dan tidak mengamalkan, 7 kali”. Artinya: ilmu itu menjadi alasan, yang memberatkan atas dirinya. Karena dikatakan kepadanya: “Apakah yang kamu perrbuat pada apa yang kamu ketahui? Bagaimana kamu tunaikan terima kasih (syukur) kepada Allah?”. Nabi saw bersabda: “Manusia yang paling keras azabnya pada hari kiamat, ialah orang yang berilmu, yang tidak diberi manfaat oleh Allah dengan ilmunya”. Maka ini dan yang seperti ini dari apa yang telah kami bentangkan pada Kitab Ilmu dahulu pada Bab Tanda ‘Ulama Akhirat itu, lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Kecuali, bahwa ini mengenai apa yang tidak bersesuaian dengan hawa nafsu orang berilmu yang zalim. Dan apa yang tersebut pada Kelebihan Ilmu itu, bersesuaian dengan dia. Lalu setan mencenderungkan hatinya kepada yang disukainya. Dan itulah terperdaya yang sebenarnya. Karena kalau ia memandangnya dengan mata hati, maka perumpamaannya, ialah yang telah kami sebutkan dahulu. Dan kalau ia memandang dengan mata keimanan, maka yang menceritakan kepadanya, dengan keutamaan ilmu, ialah yang menceritakan kepadanya, dengan tercelanya ulama jahat. Dan keadaan mereka di sisi Allah adalah lebih buruk dari keadaan orang-orang bodoh. Sesudah itu, kepercayaannya, bahwa dia di atas kebajikan, serta keteguhan keterangan Allah atas dirinya, adalah sangat terperdaya (tertipu). Adapun orang yang mendakwakan mengetahui ilmu diminta untuk mengetahuinya saja, seperti: mengetahui tentang Allah, sifat-sifatNya dan nama-namaNya dan serta yang demikian, ia lengah tentang amal dan menyia-nyiakan perintah Allah dan batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah, maka terperdayanya itu lebih berat. Contohnya, adalah seperti orang yang bermaksud melayani seorang raja. Lalu ia mengenal raja itu. Ia mengenal akhlaknya, sifatnya, warnanya, bentuknya, tingginya, lebarnya, kebiasaannya dan majlisnya. Ia tidak berusaha untuk mengenali, apa yang disukai raja itu, apa yang tidak disukainya, apa yang dimarahinya dan apa yang disenanginya. Atau ia kenal yang demikian, hanya ia bermaksud melayaninya saja, sedang dia mengetahui benar, semua apa, yang menyebabkan raja marah dan kepada siapa ia marah. Dan ia kosong (tidak tahu sama sekali) dari semua yang disukai raja, dari pakaian, sikap, perkataan, gerak dan diam. Lalu ia datang kepada raja. Ia bermaksud mendekatkan diri kepada raja dan mengkhususkan dirinya kepada raja, sedang dia berlumuran dengan semua yang tidak disukai oleh raja. Dia kosong dari semua yang disukai oleh raja. Ia mencari jalan kepada raja, untuk mengenal raja, keturunannya, namanya, negerinya, rupanya, bentuknya, adat kebiasaannya pada menyiasati budak-budaknya dan bergaul dengan rakyatnya. Maka orang tersebut itu terperdaya sekali. Karena, jikalau ditinggalkannya semua yang diketahuinya dan ia berpegang dengan mengenal raja saja dan mengetahui apa yang tidak disukai dan yang disukai raja itu, maka sesungguhnya yang demikian itu adalah lebih mendekati kepada tercapainya maksud mendekatinya dan mengkhususkan diri kepadanya. Bahkan, keteledorannya pada taqwa dan diikutinya nafsu syahwat itu menunjukkan, bahwa tidak terbuka baginya daripada ma’rifah (mengenal) Allah, selain: nama, tanpa makna. Karena kalau ia mengenal Allah dengan kenal yang sebenar-benarnya, niscaya ia takut kepada Allah dan berbuat taqwa kepadaNya. Maka tidak tergambar, bahwa orang yang berakal mengenal singa, kemudian ia tidak menjaga diri dan tidak takut kepada singa itu. Allah Ta’ala sesungguhnya telah mengwahyukan kepada Nabi Daud as: “Takutlah kepadaKu, sebagaimana engkau takut kepada binatang buas yang ganas”. Benar, orang yang mengenal dari singa akan warnanya, bentuknya dan namanya, kadang-kadang ia tidak takut kepadanya. Dan seakan-akan ia tidak mengenal singa. Maka orang yang mengenal Allah Ta’ala, niscaya ia mengenal dari sifat-sifatNya, bahwa IA membinasakan alam semesta dan tidak memperdulikannya. Dan ia tahu, bahwa ia dijadikan dalam qudrah ( kuasa ) Allah, yang kalau membinasakan seperti dia beribu-ribu orang dan mengabadikan azab kepada mereka untuk selama-lamanya, niscaya yang demikian itu tidak membekas pada Allah suatu bekasan, tidak dipengaruhi kepadaNya oleh belas-kasihan dan tidak menimpa kepadaNya oleh kegundahan. Dan karena inilah, Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, ialah orang-orang yang berilmu (ulama) di antara hamba-hambaNya". S 35 Faathir ayat 28. Pembukaan (fatihahnya) kitab Az Zabur, ialah: “Pokok hikmah, ialah: takut kepada Allah”. Ibnu Mas’ud ra mengatakan: “Cukuplah dengan takut kepada Allah itu ilmu. Dan cukuplah dengan terperdaya menggunakan nama Allah itu, kebodohan”. Orang meminta fatwa dari Al Hasan Al Bashar (melihat)i ra tentang suatu masalah. Al Hasan lalu menjawabnya. Maka dikatakan kepada Al Hasan: “Ulama fuqaha’ (ahli fiqih) kita tidak mengatakan demikian”. Lalu Al Hasan Al Bashar (melihat)i ra menjawab: “Adakah sekali-kali engkau melihat seorang faqih (ahli fiqih)? Ahli fiqih itu yang berdiri (mengerjakan shalat) pada malamnya, berpuasa pada siangnya, yang zuhud di dunia?”. Pada suatu kali, Al Hasan Al Bashar (melihat)i ra mengatakan: “Faqih itu tidak mengejek-ejek dan tidak bermusuh-musuhan. Ia menebarkan hikmah Allah (ilmu yang penuh hikmah dari Allah). Kalau engkau terima daripadanya, maka ia memuji Allah. Dan kalau engkau tolak kepadanya, ia memuji Allah”. Jadi, orang faqih itu, ialah: orang yang memahami dari Allah akan perintahNya dan laranganNya. Ia mengetahui dari sifat-sifat Allah, apa yang disukaiNya dan apa yang tidak disukaiNya. Dia itu orang berilmu (orang alim).- Siapa yang dikehendaki oleh Allah mmeperoleh kebajikan, niscaya dianugerahkanNya pemahaman pada agama. Apabila orang tersebut tidak dengan sifat ini, maka dia termasuk orang yang tertipu (terperdaya). Suatu golongan lain: mereka itu mengokohkan ilmu dan amal. Mereka rajin mengerjakan taat yang tampak terlihat (taat zahiriyah). Mereka meninggalkan perbuatan maksiat. Hanya mereka tidak mencari pada hati mereka, untuk menyapu dari hatinya, sifat-sifat yang tercela pada Allah, dari takabur, dengki, ria, mencari untuk menjadi kepala, bermaksud jahat kepada teman-teman dan orang-orang yang sebaya, mencari terkenal dalam negeri dan pada hamba-hamba Allah. Kadang-kadang sebahagian mereka tidak mengetahui, bahwa yang demikian itu tercela. Lantas ia bertelungkup padanya, tidak menjaga diri daripadanya. Ia tidak menoleh kepada sabda Nabi saw: “Sekurang-kurang ria itu syirik”. Dan kepada sabda Nabi saw: “Tiada akan masuk sorga orang yang dalam hatinya, seberat atom bari takabur (sombong)”. Dan pada sabda Nabi saw: “Dengki itu makan amal yang baik, sebagaimana api memakan kayu kering”. Dan kepada sabda Nabi saw: “Menyukai kemuliaan dan harta itu menumbuhkan nifaq (kemunafikan), sebagaimana air menumbuhkan sayur-sayuran”. Dan lain-lain dari hadits-hadits yang telah kami bentangkan dahulu pada semua Rubu’ Yang Membinaskan pada akhlak tercela. Mereka itu menghiasi zahiriyahnya dan menyia-nyiakan batiniyahnya. Mereka lupa akan sabda Nabi saw: “Bahwa Allah tiada memandang kepada rupamu dan tiada kepada hartamu. IA sesungguhnya memandang kepada hatimu dan amalmu”. Mereka membarukan amal dan tidak membarukan hati. Padahal hati itu pokok. Karena tiada terlepas, selain orang yang datang kepada Allah dengan hati sejahtera. Contoh mereka itu adalah seperti: rumah dalam kebun kurma, zahirnya (di luar) bercat putih dan batinnya (dalamnya) busuk. Atau seperti: kuburan orang-orang mati, zahirnya (di luar) dihiasi dan batinnya (di dalam) bangkai. Atau seperti rumah yang gelap. Batinnya (di dalamnya) diletakkan lampu atas lotengnya. Lalu teranglah luarnya. Dan batinnya (dalamnya) itu gelap. Atau seperti seorang laki-laki, yang bermaksud agar raja menjadi tetamunya ke rumahnya. Lalu ia mengkapurkan pintu rumahnya dan tidak mengkapurkan tempat sampah di depan rumahnya. Maka tidaklah tersembunyi, bahwa yang demikian itu tertipu (terperdaya). Bahkan contoh yang lebih dekat kepadanya, ialah: seorang laki-laki yang menanami suatu tanaman, lalu tumbuh. Dan tumbuh bersama tanaman tadi, rumput yang akan merusakkannya. Lalu ia menyuruh membersihkan tanaman tadi dengan menghilangkan rumput, dengan mencabutnya dari akarnya. Lalu dicabut ujung dan daun-daun rumput itu. Maka lantaran akarnya masih kuat, lalu tumbuh lagi. Karena tempat tumbuhnya kemaksiatan itu, ialah: akhlak tercela di dalam hati. siapa yang hatinya tidak suci dari akhlak tercela itu, niscaya tiada sempurna taatnya yang zahiriyah, selain disertai banyak bahaya. Bahkan dia seperti orang sakit, yang telah menampak padanya penyakit kurab. Ia menggosok kulitnya dengan minyak obat dan meminum obat. Minyak obat itu untuk menghilangkan apa yang tumbuh pada kulitnya. Dan obat untuk menghabiskan unsur penyakit dari dalamnya. Lalu dicukupkannya denagn minyak obat dan tidak dipakainya obat. Dan tinggallah diperolehnya apa yang bertambah pada unsur penyakit. Lalu senantiasalah ia menggosok yang zahir pada kulitnya. Dan penyakit kurab itu terus berkekalan padanya, yang terpancar dari unsur yang ada dalam batin tubuhnya. Suatu golongan lain: mereka mengetahui, bahwa akhlak batiniyah ini tercela dari pihak agama. Hanya karena mereka mengherani (bersifat ‘ujub) pada dirinya, lalu menyangka bahwa mereka terlepas daripadanya. Dan bahwa mereka lebih tinggi pada sisi Allah, daripada Allah akan mencoba mereka dengan yang demikian. Dan sesungguhnya yang dicoba, ialah: orang-orang awam. Tidak orang yang telah sampai tingkat mereka dalam ilmu. Adapun mereka maka lebih besar di sisi Allah, daripada untuk dicobakan. Kemudian, apabila telah menampak pada mereka, tanda-tanda kesombongan, riasah (ingin jadi kepala), mencari ketinggian dan kemuliaan, lantas mereka mengatakan: “Ini bukan sombong. Hanya mencari kemuliaan agama, melahirkan kemuliaan ilmu, menolong agama Allah, menghina kekerasan hidung orang-orang yang menantang, dari orang-orang pembuat bid’ah (yang diada-adakan). Dan aku, jikalau aku pakai pakaian buruk dan aku duduk pada tempat hina, niscaya aku dikacaukan oleh musuh-musuh agama. Dan mereka bergembira dengan demikian. Kehinaanku adalah kehinaan kepada Islam”. Orang terperdaya itu lupa, bahwa musuhnya yang harus ia berhati-hati daripadanya, ialah: tuannya. Yaitu: setan. Dan setanlah yang bergembira dengan apa yang diperbuatnya dan yang menyuruh memperbuatnya. Ia lupa, bahwa Nabi saw, dengan apa beliau menolong agama? Dengan apa beliau menghina orang-orang kafir? Ia lupa, apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tentang: merendahkan diri, suka memberi, merasa cukup (qana’ah) dengan kepapaan dan kemiskinan. Sehingga Umar ra dicaci orang tentang buruk pakaiannya, ketika tiba di negeri Syam. Lalu Umar ra menjawab: “Kami itu suatu kaum, yang telah ditinggalkan oleh Allah dengan Islam. Maka kami tidak mencari ketinggian pada yang lain”. Kemudian, orang yang terperdaya itu, mencari ketinggian agama dengan kain-kain yang halus, yang dihiasi dengan mutiara, hiasan dan sutera yang diharamkan. Dan dengan kuda yang terhias dan kendaraan-kendaraan yang dibanggakan. Ia mendakwakan, bahwa dengan yang demikian itu, ia mencari ketinggian ilmu dan kemuliaan agama. Begitu pula, manakala ia melancarkan lidahnya, dengan dengki kepada teman-temannya atau kepada orang yang menolak sesuatu dari perkataannya. Dia tidak menyangka, bahwa yang demikian itu dengki. Akan tetapi, ia mengatakan, bahwa ini marah karena kebenaran dan menolak atas orang yang berbuat batil/salah, mengenai permusuhan dan kezalimannya. Ia tidak menyangka pada dirinya dengki, sehingga ia berkeyakinan bahwa jikalau ia menikam orang lain dari ahli ilmu atau ia melarang orang lain, dari menjadi kepala, lantas ia didesak pada yang demikian, adakah kemarahannya dan permusuhannya itu, seperti kemarahannya yang sekarang? Lantas adakah kemarahannya karena Allah atau ia tidak marah, manakala ia menikam orang berilmu yang lain dan ia melarang? Bahkan kadang-kadang ia bergembira dengan yang demikian itu? Lantas adalah kemarahannya karena dirinya sendiri dan dengkinya kepada teman-temannya, dari kekejian batinnya. Begitulah ia berbuat ria (memperlihatkan kepada orang) dengan amal dan ilmunya. Dan apabila terguris kepadanya gurisan ria, lantas ia mengatakan: “Amat jauh dari ria! Sesunguhnya maksudku dari melahirkan ilmu dan amal itu, agar orang banyak mengikuti aku. Supaya mereka memperoleh petunjuk kepada agama Allah Ta’ala. Lalu mereka itu terlepas dari siksaan Allah Ta’ala”. Orang yang terperdaya itu tidak memperhatikan, bahwa dia tidak bergembira dengan orang banyak mengikuti orang lain, sebagaimana ia bergembira dengan orang banyak mengikutinya. Jikalau maksudnya itu perbaikan orang banyak, niscaya ia bergembira dengan perbaikan mereka pada tangan siapa saja. Seperti orang yang mempunyai budak-budak yang sakit, dimana ia bermaksud mengobatinya. Maka dia tidak memperbedakan, di antara berhasil sembuhnya budak-budak itu pada tangannya atau pada tangan tabib yang lain. Kadang-kadang disebutkan ini kepadanya, lalu ia tidak dibiarkan pula oleh setan. Dan ia mengatakan: “Sesungguhnya yang demikian itu, karena orang banyak apabila memperoleh petunjuk dengan sebabku, maka adalah pahala bagiku dan balasan bagiku. Sesungguhnya kegembiraanku dengan pahala yang diberikan oleh Allah, tidak dengan penerimaan orang banyak akan perkataanku”. Inilah yang disangkakan orang itu dengan dirinya. Dan Allah melihat apa yang dalam hatinya, bahwa jikalau diterangkan kepadanya oleh Nabi saw, bahwa pahalanya pada kemalasan dan menyembunyikan ilmu itu lebih banyak, daripada pahalanya pada pada melahirkan ilmu. Dan bersamaan dengan itu, ia ditahan dalam penjara dan diikat dengan rantai besi. Niscaya ia berdaya upaya untuk merobohkan penjara dan melepaskan rantai besi. Sehingga ia kembali ke tempatnya, dimana di situ menampak ke-kepala-annya, dari mengajar atau memberi nasehat atau lainnya. Dan begitu juga, ia masuk ke tempat sultan (penguasa), mengharap kasih sayang daripada penguasa, memuji dan merendahkan diri kepadanya. Apabila terguris baginya, bahwa merendahkan diri (tawadlu’) kepada penguasa-penguasa yang zalim itu haram, lantas setan mengatakan kepadanya: “Amat jauh dari itu! Yang demikian itu sesungguhnya, ketika loba pada harta mereka. Adapun engkau, maka maksud engkau, ialah: untuk menolong kaum muslimin, menolak melarat dari mereka dan menolak kejahatan musuh-musuh engkau dari diri engkau”. Allah mengetahui dari batin orang itu, bahwa jikalau menampak bagi setengah teman-temannya, penerimaannya pada sultan itu, lantas jadilah ia menolong (memberi syafaat) kepada tiap-tiap muslim, sehingga tertolaklah melarat dari semua kaum muslimin, niscaya beratlah yang demikian kepadanya. Dan kalau diumpamakan, bahwa keadaannya itu buruk pada sisi sultan, dengan mencaci dan membohonginya, niscaya ia perbuat yang demikian (memberi syafaat itu). Begitu pula, kadang-kadang berkesudahan terperdayanya sebagian mereka, kepada mengambil dari harta penguasa. Dan apaibla terguris kepadanya bahwa harta itu haram, lalu setan mengatakan kepadanya: “Ini harta yang tidak mempunyai pemiliknya. Harta ini untuk kemuslihatan kaum muslimin. Dan engkau itu imam kaum muslimin dan orang alim mereka. Dengan engkau tegaknya agama. Apakah tidak halal bagi engkau mengambil sekedar keperluan engkau?”. Lalu ia terperdaya dengan penipuan ini pada 3 perkara:
Pertama: tentang itu harta yang tidak ada pemiliknya. Dia tahu, bahwa raja itu mengambil pajak dari kaum muslimin dan orang-orang yang banyak harta. Dan mereka yang diambil pajak itu, masih hidup. Anak-anaknya dan ahli warisnya masih hidup. Kesudahan keadaan itu, ialah, terjadinya percampuran pada harta mereka. Dan orang yang merampas 100 dinar emas dari 10 orang dan dicampurkannya uang tersebut pada suatu tempat, maka tidak ada perbedaan paham, bahwa itu harta haram. Dan tidak dikatakan, bahwa itu harta yang tida ada pemiliknya. Dan haruslah dibagikan diantara 10 orang itu dan dikembalikan kepada masing-masing, 10 dinar emas, walaupun harta masing-masing telah bercampur dengan harta orang lain.
Kedua: tentang katanya: bahwa engkau termasuk kepentingan kaum muslimin dan dengan engkau tegaknya agama. Kiranya mereka yang telah rusak agamanya, yang menghalalkan harta raja-raja dan ingin mencari dunia, menghadapkan diri kepada menjadi kepala dan dengan sebab yang demikian, berpaling dari akhirat, adalah lebih banyak dari mereka yang zuhud di dunia, menolak dunia dan menghadapkan diri kepada Allah. Orang itu sebenarnya dajjal agama dan penegak mazhab setan-setan. Bukan imam agama. Karena imam, ialah: orang yang diikuti pada berpaling dari dunia dan menghadapkan diri kepada Allah, seperti: nabi-nabi as dan para sahabat dan ulama-ulama terdahulu (ulama salaf). Dan dajjal, ialah: yang diikuti pada berpalingnya dari Allah dan menghadapkan diri kepada dunia. Semoga matinya orang ini, lebih bermanfaat kepada kaum muslimin, daripada hidupnya. Ia mendakwakan, bahwa dia tiang agama. Contohnya, adalah seperti yang dikatakan oleh nabi Isa as kepada orang berilmu yang jahat. Bahwa orang itu, seperti batu besar yang jatuh pada mulut parit air. Batu besar itu tidak meminum air dan tidak membiarkan air terlepas kepada tanaman. Jenis tertipunya ahli ilmu pada masa-masa yang akhir ini, di luar hinggaan. Dan pada apa yang telah kami sebutkan itu, adalah pemberitahuan dengan yang sedikit atas yang banyak. Suatu golongan lain: mereka meneguhkan ilmu, mensucikan anggota badannya, menghiasinya dengan ketaatan, menjauhkan segala maksiat zahir, mencari akhlak diri dan sifat hati, dari ria, dengki, busuk hati, sombong, mencari ketinggian, lalu memperjuangkan (bermujahadah) dirinya pada melepaskan diri dari sifat-sifat buruk itu. Mereka mencabut dari hati, tempat tumbuhnya sifat-sifat buruk itu, yang jelas dan kuat. Tetapi, kemudian mereka itu terperdaya. Karena masih ada dalam sudut-sudut hati, yang tersembunyi dari tipuan setan dan bungkusan penipuan diri, apa yang halus dan sulit mengetahuinya. Lalu mereka tidak memahaminya dan menyia-nyiakannya. Perumpamaannya, ialah: orang yang bermaksud membersihkan tanaman dari rumput. Lalu ia berkeliling dan memeriksa dari masing-masing rumput, yang dilihatnya, lalu dicabutnya. Hanya ia tidak memeriksa pada yang tidak keluar ujungnya (pucuknya) dari bawah tanah. Ia menyangka bahwa semua sudah tampak dan telah muncul. Dan telah tumbuh dari pangkal rumput, suatu cabangnya yang halus. Lalu menjalar di bawah tanah. Maka ini disia-siakannya. Ia menyangka, bahwa sudah dicabutnya. Jadi, dengan kelalaiannya itu, rumput tadi terus tumbuh, kuat dan merusakkan pokok-pokok tanaman, dimana ia tidak mengetahuinya. Maka begitu pula, orang berilmu, kadang-kadang berbuat semua yang demikian. Ia lengah dari mengamat-amati yang tersembunyi dan mencari yang tertanam. Lantas anda melihat orang berilmu tersebut, tidak tidur malamnya dan siangnya pada mengumpulkan ilmu, menyusunkannya, membaguskan lafal-lafalnya dan mengumpulkan karangan-karangan mengenai ilmu-ilmu itu. Ia melihat, bahwa penggeraknya, ialah: ingin melahirkan agama Allah dan menyiarkan agamaNya. Mungkin penggeraknya yang tersembunyi, ialah: mencari namanya disebut orang, tersiar suaranya di tepi-tepi desa, banyak orang datang kepadanya dari segala penjuru, lancarnya lidah manusia kepadanya dengan sanjungan dan pujian dengan zuhud, wara’ dan ilmu, mendahulukannya pada segala kepentingan, mengutamakannya pada segala maksud, berkumpul di sekelilingnya untuk menerima faedah keilmuannya, merasa enak dengan bagus didengar suaranya ketika bagus kata-katanya dan bagus mengemukakannya, bersenang-senang dengan menggerak-gerakkan kepala kepada perkataannya, menangis kepadanya, merasa takjub daripadanya, gembira dengan banyak teman, banyak pengikut dan orang-orang yang mengambil faedah padanya, gembira dengan penentuan pada kekhususan ini, dari teman-teman dan bentuk-bentuk pikiran yang lain, untuk mengumpulkan di antara ilmu, wara’ dan kelahiran zuhud dan menetapnya yang demikian, dengan lancarnya lidah cacian pada umumnya manusia yang menghadap kepada dunia. Tidak dari kesusahan dengan bencana yang menimpa agama. Akan tetapi, dari penunjukkan dengan pembedaan dan penyediaan dengan penentuan. Semoga orang yang patut dikasihani, yang tertipu ini, hidup batiniyahnya dengan yang teratur baginya, dari perintah, kekuasaan, ketinggian, kepatuhan, pemuliaan dan bagus pujian. Jikalau berobah hati manusia kepadanya dan mereka berkeyakinan padanya sebalik dari zuhud, dengan apa yang tampak dari amal-perbuatannya, maka kiranya akan mengacaukan hatinya dan bercampur aduk pekerjaan ibadah yang biasa dikerjakannya (wiridnya) dan tugas-tugas pekerjaannya. Dan kiranya ia akan mencari alasan dengan semua jalan bagi dirinya. Kadang-kadang ia memerlukan kepada berdusta pada menutupi kekurangannya. Dan kiranya ia akan mengutamakan, dengan kemuliaan dan pemeliharaan, akan orang yang dipercayainya padanya zuhud dan wara’, walaupun ia telah meyakini pada orang itu, di atas takarannya. Dan tidak setuju hatinya pada orang yang dikenalnya batas kelebihan dan kewara’annya, walaupun ada yang demikian di atas kesesuaian keadaannya. Dan kiranya ia akan mengutamakan sebahagian temannya dari sebahagian. Dan ia melihat bahwa ia mengutamakannya itu, karena terkemukanya pada kelebihan dan kewara’an. Yang demikian itu sesungguhnya, karena ia lebih menuruti dan mengikuti bagi kehendaknya, lebih banyak pujian manusia kepadanya, lebih kuat perhatian manusia kepada kata-katanya dan lebih suka manusia kepada melayaninya. Semoga mereka mengambil faedah daripadanya dan gemar pada ilmunya. Ia menyangka bahwa penerimaan manusia kepadanya, karena keikhlasannya, kebenarannya dan tegaknya dengan kebenaran pengetahuannya. Lalu ia memuji Allah Ta’ala, atas apa yang dimudahkanNya pada lidahnya, daripada kemanfaatan makhlukNya. Ia melihat bahwa yang demikian itu menutupkan segala dosa. Dan ia tidak mencari serta dirinya pembetulan niat padanya. Kiranya, jikalau ia berjanji dengan pahala seperti itu, pada mengutamakan namanya untuk tidak terkenal, mengasingkan diri dan menyembunyikan ilmu, niscaya ia tidak suka pada yang demikian. Karena ia menghilang dalam pengasingan diri, karena tersembunyinya keenakan penerimaan orang dan kemuliaan menjadi kepala. Kiranya contoh ini, yang dimaksud dengan kata setan: “Siapa dari anak Adam (manusia) yang mendakwakan, bahwa dia dengan ilmunya tercegah daripadaku, maka dengan kebodohannya, ia jatuh dalam perangkapku”. Kiranya orang itu mengarang dan bersungguh-sungguh pada pengarangannya, dengan menyangka bahwa ia mengumpulkan ilmu Allah, untuk diambil manfaatnya. Sesungguhnya ia bermaksud dengan yang demikian, untuk membumbung tinggi namanya, dengan bagus pengarangannya. Kalau ada orang yang mendakwakan itu karangannya, lalu orang itu menghapuskan nama pengarangnya dan mengatakan karangannya sendiri, niscaya beratlah yang demikian kepadanya, serta diketahuinya, bahwa pahala penerimaan faedah dari pengarangan, sesungguhnya kembali kepada pengarang. Dan Allah mengetahui bahwa orang itu pengarang. Tidak yang mendakwakannya. Mungkin pada pengarangannya itu, ia tidak terlepas dari pujian kepada dirinya. Adakalanya terus-terang dengan dakwaan-dakwaan yang terentang panjang. Adakalanya mengandung cacian kepada orang lain, supaya terang dari caciannya kepada orang lain, bahwa dia lebih utama daripada orang yang dicacinya dan lebih banyak ilmunya dari orang itu. Sesungguhnya dia tidak perlu pada cacian itu. Kiranya ia menceritakan dari kata-kata yang dipalsukan, apa yang ia lebihkan pemalsuannya. Lalu disandarkannya kepada yang mengatakannya. Dan apa yang dipandangnya baik, lalu tidak disandarkannya kepada yang mengatakannya. Supaya disangka orang, bahwa itu dari perkataannya. Lalu dinukilkannya perkataan itu dengan selengkapnya, seperti: pencuri kata-kata itu. Atau dirobahnya dengan sedikit perobahan, seperti orang yang mencuri baju kemeja, lalu dibuatnya menjadi baju kurung. Sehingga tidak diketahui, bahwa itu baju curian. Kiranya ia bersungguh-sungguh pada menghiasi kata-katanya, mensajakkan dan membaguskan susunannya, supaya tidak dikatakan tidak teratur susunan (ar-rakakah). Ia melihat, bahwa maksudnya melakukan hikmah, membaguskan dan menghiasinya, supaya lebih dekat kepada kemanfaatan bagi manusia. Kiranya ia lupa, apa yang diriwayatkan, bahwa setengah hukama’ (ahli ilmu hikmah) mengarang 300 buku dalam ilmu hikmah (ilmu filsafat atau ilmu yang mendalam). Lalu Allah menurunkan wahyu kepada Nabi zaman pengarang tadi: “Katakanlah kepada pengarang itu! Sesungguhnya telah penuh bumi oleh kemunafikan. Dan AKU tidak menerima sesuatu dari kemunafikanmu itu”. Kiranya segolongan dari orang-orang tertipu jenis ini, apabila mereka berkumpul, lalu masing-masing menyangka dirinya selamat dari kekurangan dan yang tersembunyi di dalam hati. Jikalau mereka sudah bercerai-berai dan masing-masing dari mereka mengikuti segolongan dari teman-temannya, niscaya masing-masing melihat kepada banyaknya orang yang mengikutinya. Dia yang banyak pengikut atau orang lain. Lalu ia bergembira, kalau pengikutnya lebih banyak walaupun diketahuinya, bahwa orang lain yang lebih berhak dengan banyak pengikut itu. Kemudian, apabila mereka telah bercerai-berai dan sibuk dengan mengambil faedahnya, niscaya mereka cemburu-mencemburu dan hasut-menghasut. Dan dapat saja, orang yang berpihak kepada seseorang dari mereka, apabila orang itu memutuskan untuk berpindah kepada orang lain, niscaya beratlah yang demikian atas hatinya. Dan ia merasa pada dirinya, liar hati daripada orang itu. Lalu kemudian, batinnya tidak tergerak untuk memuliakannya. Dan ia tidak bersedia untuk memenuhi segala keperluannya, sebagaimana ia telah bersedia sebelumnya. Ia tidak ingin memujinya, sebagaimana ia telah memujinya dahulu, serta diketahuinya, bahwa ia sibuk dengan mengambil faedahnya. Mungkin berpihaknya kepada golongan lain itu, lebih bermanfaat baginya pada agamanya, karena sesuatu bahaya yang mengenainya pada golongan ini dan selamatnya dari bahaya itu pada golongan tersebut. Dan bersama yang demikian, senantiasalah liar hatinya. Mungkin seseorang dari mereka, apabila tergerak padanya titik-titik permulaan kedengkian, niscaya ia tidak sanggup menampakkannya. Lalu ia mencari sebab dengan mencaci pada agamanya dan wara’nya, supaya terbawa kemarahannya kepada yang demikian. Dan ia mengatakan: “Sesungguhnya aku marah karena agama Allah, tidak karena diriku”. Manakala disebutkan kekurangannya di mukanya, kadang-kadang ia bergemibra bagi yang demikian. Dan kalau dipuji, kadang-kadang menyakitkannya dan tidak menyenanginya. Kadang-kadang masam mukanya apabila disebutkan kekurangannya. Ia melahirkan bahwa ia tidak senang untuk mengumpat kaum muslimin. Dan rahasia hatinya senang dengan demikian dan mengingininya. Dan Allah melihat kepadanya pada yang demikian. Maka inilah dan contoh-contohnya dari sifat-sifat yang tersembunyi dalam hati, yang tidak diketahui, selain oleh orang-orang cerdik. Tidak mensucikan diri daripadanya, selain orang-orang yang kuat imannya. Dan tidak ada harapan padanya bagi orang-orang lemah seperti kita. Kecuali, bahwa tingkat yang paling rendah, ialah: bahwa manusia mengetahui kekurangan dirinya, memburukkan yang demikian baginya dan tidak disukainya dan ia berusaha memperbaikinya. Maka apabila Allah menghendaki kebajikan bagi seorang hambaNya, niscaya diperlihatkanNya kepada orang itu akan kekurangan dirinya. Siapa yang menyenangkan baginya oleh kebaikannya dan memburukkan baginya oleh keburukannya, maka orang itu, keadaannya ada harapan. Urusannya lebih dekat dari orang yang tertipu, yang membersihkan dirinya, yang berangan-angan kepada Allah dengan amal dan ilmunya. Yang menyangka, bahwa dia termasuk makhlukNya yang pilihan. Kita berlindung dengan Allah, dari kelalaian dan tertipu dan dari mengetahui kekurangan-kekurangan yang tersembunyi, serta menyia-nyiakannya. Inilah tertipunya mereka yang berhasil mempunyai ilmu-ilmu penting. Tetapi, teledor pada mengamalkan dengan ilmu itu. Dan marilah sekarang, kami sebutkan tertipunya mereka yang merasa cukup dengan ilmu-ilmu yang tidak penting bagi mereka dan mereka tinggalkan yang penting. Mereka dengan demikian itu terperdaya. Adakalanya, karena mereka merasa tidak memerlukan kepada pokok ilmu itu. Dan adakalanya, karena mereka menyingkatkan kepada ilmu itu saja. Di antara mereka ada golongan, yang menyingkatkan kepada ilmu fatwa (cara mengeluarkan fatwa) pada pemerintahan, perselisihan-perselisihan dan penguraian mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) duniawiyah, yang berlaku di antara makhluk bagi kepentingan hamba-hamba Allah. Mereka khususkan nama fiqih untuk itu. Dan mereka menamakannya: fiqih dan ilmu mazhab. Kadang-kadang, bersamaan dengan yang demikian, mereka menyia-nyiakan amal zahiriyah dan batiniyah. Lalu mereka tidak mencari anggota badannya (untuk amal). Mereka tidak membisukan lidahnya dari mengumpat, perutnya dari yang haram dan kakinya dari pergi kepada sultan-sultan (penguasa-penguasa). Dan demikian juga, anggota-anggota tubuhnya yang lain. Mereka tidak membisukan hatinya dari sombong, dengki, ria dan hal-hal yang membinasakan lainnya. Maka mereka itu tertipu dari 2 segi: Pertama: dari segi amal. Dan yang lain dari segi ilmu. Adapun amal, maka telah kami sebutkan dahulu segi terperdaya padanya. Dan contoh mereka, adalah contoh orang sakit, apabila ia mempelajari buku (nuskhah) obat. Ia sibuk dengan mengulang-ulang membacanya dan mengajarinya. Tidaklah bermanfaat yang demikian. Bahkan contoh mereka, adalah seperti orang yang ada padanya penyakit bawazir dan bengkak dalam perut. Ia mendekati kepada binasa dan memerlukan kepada mempelajari obat dan memakainya. Lalu ia berusaha mempelajari obat istihadlah (obat keluar darah wanita sesudah bersalin). Dan mengulang-ulangi yang demikian, malam dan siang, serta diketahuinya bahwa dia laki-laki yang tidak berhaid (datang kotoran) dan tidak beristihadlah. Akan tetapi, ia mengatakan: “Kadang-kadang timbul penyakit istihadlah bagi wanita dan ia bertanya kepadaku dari yang demikian”. Yang demikian itu, terperdaya benar! Begitu pula, orang yang mempelajari fiqih yang patut dikasihani, yang telah menguasainya oleh kecintaan kepada dunia, mengikuti nafsu syahwat, dengki, sombong, ria dan sifat-sifat batiniyah yang membinasakan. Kadang-kadang ia disambar oleh kematian, sebelum taubat dan menyadari diri. Maka ia menemui Allah dan Allah marah kepadanya. Ditinggalkannya itu semua dan ia sibuk dengan ilmu: jual-beli dengan menyerahkan barang (baius-silmi), sewa menyewa, dhihar (menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibu, sehingga mendatangkan perceraian), li’an (tuduhan pihak suami, isterinya berbuat serong, sehingga menimbulkan perceraian), luka-luka, diat, selang sengketa, keterangan-keterangan pada selang sengketa dan dengan kitab haid. Dan ia tidak memerlukan sekali-kali kepada suatupun dari yang demikian, selama umurnya, bagi dirinya sendiri. Dan apabila orang lain memerlukannya, maka dalam kalangan mufti-mufti itu banyak yang mengetahuinya. Maka ia menyibukkan diri dengan yang demikian dan ia berusaha mengetahuinya, karena padanya kemegahan, menjadi kepala dan memperoleh harta. Ia telah digoda oleh setan dan ia tidak menyadarinya. Karena disangka oleh orang yang terperdaya dengan dirinya itu, bahwa dia itu bekerja dengan kewajiban agamanya. Ia tidak tahu, bahwa mengerjakan fardlu kifayah(jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu), sebelum selesai dari fardlu ‘ain itu perbuatan maksiat. Ini, kalau niatnya benar, seperti yang dikatakannya. Ia bermaksud dengan ilmu fiqih itu wajah Allah Ta’ala. Sesungguhnya walaupun ia bermaksud akan wajah Allah, maka dengan kesibukannya dengan fiqih itu, dia telah berpaling dari fardlu ‘ainnya pada anggota badan dan hatinya. Maka ini terperdayanya dari segi: amal. Adapun terperdayanya dari segi: ilmu, maka dimana ia menyingkatkan ilmunya atas ilmu fatwa saja. Ia menyangka bahwa itu ilmu agama. Ia meninggalkan ilmu Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw. Kadang-kadang ia mencari ulama-ulama hadits. Ia mengatakan, bahwa mereka itu penyalin-penyalin hadits dan pembawa-pembawa kitab, yang tidak memahami apa-apa. Ia meninggalkan juga ilmu Tahdzibul-Akhlak dan ia meninggalkan pemahaman dari hal Allah Ta’ala, dengan mengetahui keagungan dan kebesaranNya. Yaitu: ilmu yang mewarisi takut, gemetar dan khusyu’ dan yang membawa kepada ketaqwaan. Lalu engkau melihatnya merasa aman dari azab Allah. Ia terperdaya dengan demikian. Ia berpegang, bahwa yang demikian itu sudah pasti (tak boleh tidak), bahwa Tuhan merahmatinya. Karena dia menegakkan agamaNya. Dan kalau dia tidak bekerja untuk memberi fatwa, niscaya kosonglah halal dan haram. Maka ia tinggalkan ilmu-ilmu yang lebih penting. Ia lalai, tertipu. Dan sebab tertipunya, ialah: apa yang didengarnya pada agama, daripada: membesarkan ilmu fiqih. Ia tidak tahu, bahwa fiqih itu, ialah: fiqih (memahami)  dari hal Allah, mengetahui sifat-sifatNya yang membawa kepada takut dan harap. Supaya hati merasa akan takut dan selalu bertaqwa. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Mengapa tidak pula berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan itu untuk mempelajari perkara agama, supaya mereka dapat memberikan peringatan kepada kaumnya bila telah kembali kepada mereka. Mudah-mudahan mereka berhati-hati (menjaga dirinya)”. S At Taubah ayat 122. Yang berhasil peringatan dengan yang tersebut, bukanlah ilmu ini. Yang dimaksud dari ilmu ini, ialah: memelihara harta dengan syarat-syarat mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) dan menjaga badan dengan harta, dengan menolak pembunuhan dan pelukaan-pelukaan. Dan harta pada jalan Allah itu merupakan alat. Dan badan itu kendaraan. Dan ilmu yang penting, ialah: mengetahui jalan yang ditempuh dan memotong segala yang menghalangi hati. yaitu: sifat-sifat yang tercela. Maka itu adalah dinding (hijab) antara hamba dan Allah Ta’ala. Apabila ia mati, berlumuran dengan sifat-sifat itu, niscaya ia terdinding dari Allah. contohnya pada menyingkatkan atas ilmu fiqh saja, ialah: seperti orang yang menyingkatkan pada menempuh perrjalanan haji, kepada ilmu menjahit kulit tempat air  dan muza (alas kaki) saja. Dan tidak ragu lagi kiranya, bahwa jikalau itu tidak ada, niscaya terhalanglah haji itu. Akan tetapi orang yang mencukupkan dengan tempat air dan muza tadi saja, niscaya tidaklah sedikitpun ia dalam haji dan tidak dengan jalan haji. Telah kami sebutkan dahulu uraian itu pada Kitab Ilmu. Diantara mereka ialah: orang yang menyingkatkan dari ilmu fiqih, atas masalah khilafiyah saja. Tidak penting baginya, selain mempelajari jalan bertengkar (perdebatan (mujadalah) ), mengharuskan, mendiamkan lawan, menolak kebenaran karena kemenangan dan membanggakan diri. Dia sepanjang malam dan siang itu pada memeriksa hal-hal yang bertentangan dari ahli-ahli mazhab, mencari kekurangan-kekurangan teman dan memperoleh dengan cepat bermacam sebab yang menyakitkan. Mereka itu adalah binatang buas berbentuk manusia. Tabiat mereka menyakitkan orang. Cita-cita mereka membodohkan mereka. Tiada mereka maksudkan dengan ilmu, selain untuk kepentingan apa yang harus bagi mereka, untuk membanggakan dari teman. Maka semua ilmu, yang tiada mereka perlukan pada membanggakan diri, seperti: ilmu hati, ilmu menjalani jalan kepada Allah Ta’ala, dengan mengikiskan sifat-sifat tercela dan menggantikannya dengan sifat-sifat terpuji, maka mereka lecehkan dan menamakannya: membagus-baguskan kata dan perkataan juru-juru nasehat. Yang menjadi kesungguhan pada mereka, ialah: mengetahui uraian-uraian pertengkaran yang berlaku diantara orang-orang yang berkelahi dalam berperdebatan (perdebatan (mujadalah) ) . Mereka sudah mengumpulkan, apa yang telah dikumpulkan oleh orang-orang sebelumnya, pada ilmu fatwa. Akan tetapi, mereka menambahkan lagi, karena mereka melakukan apa yang tidak termasuk pula dari fardlu kifayah(jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu). Bahkan semua pertengkaran-pertengkaran yang halus dalam ilmu fiqih itu bid’ah (yang diada-adakan) yang tidak dikenal oleh orang-orang terdahulu (orang salaf). Adapun dalil-dalil hukum, maka melengkapi padanya ilmu mazhab. Yaitu: Kitab Allah, Sunnah Rasulullah saw dan memahami arti keduanya. Adapun daya upaya dalam pertengkaran, yang merupakan: menghancur, menukar, merusakkan letak, penyusunan dan pelampauan batas, maka sesungguhnya diada-adakan, untuk melahirkan kemenangan, mendiamkan lawan dan menegakkan pasaran pertengkaran dengan yang tersebut itu. Terperdayanya mereka itu sangat banyaknya dan lebih keji dari terperdayanya orang-orang yang sebelum mereka. Suatu golongan lain: sibuk dengan ilmu kalam (berkata-kata), bertengkar menurut hawa nafsu, menolak orang-orang yang menyalahinya dan mengikuti pertentangan-pertentangan mereka. Mereka memperbanyak untuk mengetahui karangan-karangan yang berlainan. Mereka sibuk dengan mempelajari jalan-jalan pada mendebatkan mereka dan mendiamkan mereka dengan dalil-dalil keterangan. Mereka bercerai-berai pada yang demikian, menjadi banyak golongan. Mereka berkeyakinan, bahwa tiada bagi hamba itu amal, selain dengan iman. Dan iman itu tidak sah, selain dengan mempelajari perdebatan (mujadalah)  mereka dan apa yang mereka namakan: dalil-dalil akidah mereka. Mereka menyangka, bahwa tiada seorangpun yang lebih mengenal Allah dan sifat-sifatNya, selain mereka. Bahwa tiada iman, bagi orang yang tiada meyakini mazhab (aliran) mereka dan tidak mempelajari ilmu mereka. Masing-masing golongan dari mereka, mengajak kepada dirinya. Kemudian, mereka itu 2 golongan: yang sesat dan yang benar. Yang sesat ialah: yang mengajak kepada bukan sunnah. Dan yang benar. Ialah: yang mengajak kepada sunnah dan terperdaya itu meratai bagi semua mereka. Adapun yang sesat, maka karena lalainya dari kesesatannya dan karena sangkaannya dengan dirinya itu kelepasan dari kesesatan. Dan mereka itu banyak golongan, yang mengkafirkan sebahagian akan sebahagian yang lain. Dikemukakan golongan yang sesat ini, dari segi bahwa  ia tidak curiga kepada pendapatnya. Pertama-tama ia tidak mengokohkan syarat-syarat dalil dan jalannya. Lalu seseorang dari mereka memandang syubhah (hal yang diragukan) itu dalil dan dalil itu syubhah. Golongan yang benar, bahwa tertipunya itu, ialah: dari segi bahwa ia menyangka, perdebatan itu, hal yang terpenting dan pendekatan diri yang paling utama pada Agama Allah. ia mendakwakan, bahwa tiada sempurna bagi seseorang agamanya, selama ia tidak menyelidiki dan meneliti. Bahwa orang yang membenarkan Allah dan RasulNya, tanpa penelitian dan penguraian dalil, maka orang itu bukan orang mu’min. Atau ia tidak sempurna imannya dan tidak didekatkan di sisi Allah. Karena sangkaan yang batil/salah ini, maka habislah umurnya pada mempelajari bertengkar dan meneliti karangan-karangan, kata sia-sia dari golongan bid’ah (yang diada-adakan) dan pertentangan mereka. Dan menyia-nyiakan dirinya dan hatinya, sehingga mereka menjadi buta dosa dan kesalahan yang zahir dan yang batin. Seseorang dari mereka, menyangka bahwa kesibukannya dengan pertengkaran itu lebih utama, lebih dekat di sisi Allah dan lebih afdhal. Tetapi, lantaran ia memperoleh kesenangan dengan kemenangan, mendiamkan lawan dengan dalil, keenakan menjadi kepala dan ketinggian julukan mempertahankan agama Allah Ta’ala, lalu butalah mata hatinya. Lalu ia tidak menoleh kepada kurun (abad) pertama. Nabi saw menyaksikan bahwa mereka (yang pada kurun pertama) itu, adalah makhluk yang baik. Mereka banyak mengetahui tentang ahli bid’ah (yang diada-adakan) dan hawa nafsu. Mereka tidak menjadikan umurnya dan agamanya, sebagai suatu maksud untuk permusuhan dan pertengkaran. Mereka tiada berbuat demikian, dari karena mencari hatinya, anggota badannya dan perihal-ikhwalnya. Bahkan mereka tiada memperkatakan pada yang demikian, selain dari segi mereka melihat ada sesuatu keperluan dan mereka melihat kenyataan tanda-tanda akan diterima. Lalu mereka sebutkan sekadar perlu, apa yang menunjukkan orang yang sesat atas kesesatannya. Apabila mereka melihat orang berkekalan di atas kesesatannya, niscaya mereka tinggalkan orang itu. Mereka berpaling daripadanya dan memarahinya karena Allah. Mereka tidak mengharuskan permusuhan dengan orang itu sepanjang umur. Tetapi mereka mengatakan, bahwa kebenaran, ialah: da’wah kepada Sunnah. Dan termasuk sebahagian dari Sunnah, ialah: meninggalkan pertengkaran dalam berda’wah kepada Sunnah itu. Karena diriwayatkan oleh Abu Amamah Al-Bahili, dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Tiada sekali-kali sesat suatu kaum sesudah memperoleh petunjuk yang ada padanya, selain mereka yang suka bertengkar”. Pada suatu hari, Rasulullah saw keluar menemui sahabat-sahabatnya. Mereka itu sedang bertengkar dan bermusuh-musuhan. Maka beliau marah kepada mereka. Sehingga seakan-akan muncul pada wajahnya biji buah delima, karena kemerahan dari marah. Lalu beliau bersabda: “Adakah untuk ini, engkau diutus? Adakah dengan ini engkau disuruh untuk memukul Kitab Allah, sebahagian dengan sebahagian? Lihatlah kepada apa yang kamu perintahkan, maka kerjakanlah! Dan apa yang dilarang kamu daripadanya, maka hentikanlah!”. Rasulullah saw memperingatkan mereka dari yang demikian. Mereka adalah makhluk Allah yang utama dengan berhujjah dan berperdebatan (mujadalah) . Kemudian, mereka itu melihat Rasulullah saw dan beliau diutus kepada semua orang beragama seluruhnya. Beliau tidak pernah duduk bersama mereka pada majlis perdebatan (mujadalah) , untuk memaksakan, mendiamkan dengan dalil, menguatkan alasan, menolak pertanyaan dan mendatangkan pemaksaan. Beliau tiada berperdebatan (mujadalah)  dengan mereka, selain pada pembacaan Alquran yang diturunkan kepada mereka. Beliau tidak menambahkan pada perdebatan (mujadalah)  itu di atas yang tadi. Karena yang demikian akan mengacaukan hati, menimbulkan kesulitan-kesulitan dan keraguan. Kemudian, tidak mampu mengikiskannya dari hati mereka. Beliau tidak lemah dari berperdebatan (mujadalah)  dengan mereka, dengan pembahagian-pembahagian persoalan dan kias-kias yang halus dan untuk mengajarkan para sahabatnya, cara berdebat dan memaksakan. Akan tetapi, orang-orang yang cerdik dan berpemandangan jauh, tidaklah tetipu dengan yang tersebut. Dan mereka mengatakan: “Jikalau lepaslah penduduk bumi dan kami binasa, niscaya tidaklah bermanfaat bagi kami kelepasan mereka. Dan kalau kami lepas dan mereka binasa, niscaya tidak mendatangkan melarat bagi kami, oleh kebinasaan mereka. Tidaklah atas kami, pada perdebatan (mujadalah)  itu, lebih banyak daripada apa yang ada atas para sahhabat bersama orang Yahudi, orang Nasrani dan pemeluk-pemeluk agama lain. Mereka tidak menyia-nyiakan umur, dengan menguraikan perdebatan (mujadalah)  mereka. Maka tidaklah bagi kami menyia-nyiakan umur. Dan tidaklah menggunakannya kepada yang bermanfaat bagi kami, pada hari kemiskinan dan kepapaan kami? Dan kenapa kami terjun pada yang tidak kami merasa aman atas diri kami, dari kesalahan pada penguraian-penguraiannya? Kemudian, kami melihat bahwa orang yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan) itu, tidak meninggalkan bid’ah (yang diada-adakan)nya dengan perdebatan (mujadalah) nya. Akan tetapi, menambahkan kepadanya fanatik (ta’ash-shub) dan permusuhan, yang bersangatan pada bid’ah (yang diada-adakan)nya. Maka pekerjaanku dengan memusuhi diriku, berperdebatan (mujadalah)  dan bermujahadah dengan dia, supaya diriku itu meninggalkan dunia untuk akhirat, adalah lebih utama. Ini, jikalau aku tidak dilarang dari pertengkaran dan permusuhan. Maka bagaimana dan aku sesungguhnya sudah dilarang daripadanya? Bagaimana aku mengajak kepada Sunnah, dengan meninggalkan Sunnah? Maka yang lebih utama, aku mencari diriku dan memperhatikan dari sifat-sifatnya, yang memarahkan Allah Ta’ala dan menyukaiNya. Supaya aku membersihkan diriku dari yang memarahiNya dan aku berpegang teguh, dengan yang menyukaiNya”. Suatu golongan lain: yang bergiat dalam bidang memberi pengajaran dan peringatan. Yang tertinggi pangkat dari mereka, ialah: orang yang memperkatakan tentang akhlak diri dan sifat-sifat hati, yaitu: takut, harap, sabar, syukur, tawakkal, zuhud, yakin, ikhlas, benar dan yang lain-lain yang sebanding dengan yang tersebut. Mereka itu terperdaya. Mereka menyangka, dengan diri mereka, bahwa mereka, apabila memperkatakan sifat-sifat tersebut dan mengajak manusia banyak kepadanya, lalu mereka bersifat dengan sifat-sifat tadi. Padahal mereka itu terlepas dari sifat-sifat tersebut, pada sisi Allah, selain kadar sedikit, yang tidak terlepas daripadanya, orang muslimin awam. Tertipunya mereka itu lebih sangat lagi, karena mereka sangat mengherani diri sendiri (bersifat ‘ujub). Dan menyangka bahwa mereka tidak mendalam pada ilmu mahabbah (ilmu mencintai Allah), selain karena adalah mereka itu mencintai Allah. Dan mereka tidak mampu menyelidiki yang halus-halus dari keikhlasan, selain karena adalah mereka itu orang-orang yang ikhlas. Mereka tidak mengetahui yang tersembunyi dari kekurangan diri, selain karena adalah mereka itu bersih daripada kekurangan-kekurangan. Jikalau tidaklah dia itu didekatkan pada sisi Allah, niscaya Allah tidak memperkenalkan kepadanya, arti pendekatan, penjauhan, ilmu berjalan kepada Allah dan bagaimana memotong tingkat-tingkat pada jalan Allah. Orang yang patut dikasihani dengan sangkaan-sangkaan itu, melihat, bahwa dia termasuk orang-orang yang takut, padahal ia merasa aman pada Allah Ta’ala. Ia melihat, bahwa dia termasuk orang-orang yang mengharap, padahal ia termasuk orang-orang yang terperdaya, yang menyia-nyiakan. Ia melihat bahwa dia termasuk orang-orang yang ridha dengan qodo (hukum atau ketetapan) Allah, padahal dia termasuk orang-orang yang marah. Ia melihat bahwa dia termasuk orang-orang tawakkal kepada Allah, padahal dia termasuk orang-orang yang berpegang kepada ketinggian, kemegahan, harta dan sebab-sebab lainnya. Ia melihat, bahwa dia termasuk orang-orang yang ikhlas, padahal ia termasuk orang-orang yang ria. Bahkan ia menyifatkan ikhlas itu, lalu meninggalkan ikhlas pada sifatnya. Dan ia menyifatkan ria dan menyebutkannya, padahal ia berbuat ria dengan menyebutkannya. Supaya orang mempercayakan kepadanya, bahwa jikalau dia bukan orang ikhlas, niscaya ia tidak mendapat petunjuk kepada yang halus-halus dan ria. Ia menyifatkan zuhud dalam dunia, karena sangat rakusnya kepada dunia dan kuat keinginannya pada dunia. Lalu ia melahirkan doa kepada Allah, padahal ia lari daripadaNya. Ia mentakutkan dirinya kepada Allah Ta’ala, padahal ia merasa aman daripadaNya. Ia menyebut-nyebut (mengingati) Allah Ta’ala, padahal ia lupa kepadaNya. Ia menghampirkan diri kepada Allah, padahal ia menjauhkan diri daripadaNya. Ia menggerakkan kepada ikhlas, padahal ia tidak ikhlas. Ia mencela sifat-sifat yang tercela, padahal ia bersifat dengan sifat-sifat itu. Ia memalingkan manusia dari menghadap kepada makhluk, padahal dia sendiri sangat loba kepada makhluk. Jikalau ia dilarang dari majlisnya yang mengajak manusia kepada Allah, niscaya sempitlah bumi kepadanya, dengan lapangnya bumi itu. Dan ia mendakwakan, bahwa maksudnya, ialah perbaikan makhluk. Dan kalau tampak dari teman-temannya, ada yang diterima oleh orang banyak dan orang banyak menjadi baik atas usaha dua tangan teman tadi, niscaya ia mati dengan kesedihan dan kedengkian. Kalau seseorang yang sering datang kepadanya memujikan sebahagian temannya, niscaya orang itu menjadi makhluk yang sangat dimarahinya. Maka mereka yang tersebut tadi, adalah manusia yang paling besar terperdaya dan yang paling jauh dari kesadaran dan kembali kepada kebenaran. Karena orang yang gemar kepada budi pekerti yang terpuji dan lari dari budi pekerti yang tercela, itulah ilmu dengan segala bahaya dan faedahnya. Dan orang tersebut sudah mengetahui yang demikian dan tidak bermanfaat kepadanya. Ia disibukkan oleh kesukaan mengajak orang banyak kepadanya, tanpa mengamalkannya. Maka sesudah itu, dengan apa mengobatinya? Bagaimana jalan menakutkannya? Yang menakutkannya sesungguhnya, ialah: apa yang dibacanya kepada hamba-hamba Allah. Lalu mereka itu takut dan dia sendiri tidak takut. Ya, benar, kalau ia menyangka dirinya bersifat dengan sifat-sifat terpuji itu, maka mungkin ia ditunjuk dengan jalan ujian dan percobaan. Umpamanya, ia mendakwakan mencintai Allah, maka apakah yang meninggalkannya dari mencintai dirinya karena mancintai Allah? Ia mendakwakan takut, maka apakah yang mencegahkan takut daripadanya? Ia mendakwakan zuhud, maka apakah yang meninggalkan zuhud, serta ia mampu kepada zuhud itu karena wajah Allah Ta’ala? Ia mendakwakan kejinakan hati kepada Allah, maka kapankah baiknya khilwah (bersemadi) baginya? Dan kapankah liar hatinya (tidak menyukai) melihat orang banyak? Tidak, bahkan ia melihat hatinya penuh dengan kemanisan, apabila murid-murid melihat dengan mantap kepadanya. Dan engkau melihat, ia merasa liar, apabila ia berkhilwah dengan Allah Ta’ala. Adakah engkau melihat orang yang mencintai yang liar hatinya dari yang dicintainya? Dan ia merasa senang kepada orang lain (yang bukan kecintaannya)?. Maka orang-orang yang pintar itu mencoba dirinya dengan sifat-sifat ini. Mereka mencarikannya dengan hakikat/makna yang sebenarnya. Mereka tidak merasa puas daripadanya dengan tazwiq (membaguskan kata-kata). Akan tetapi dengan kepercayaan yang tebal kepada Allah. Dan orang-orang yang terperdaya itu membaguskan sangkaan dengan dirinya. Dan apabila terbuka tutup dari mereka pada hari akhirat, niscaya tersiarlah keburukan mereka. Bahkan mereka itu dilemparkan dalam api neraka. Lalu keluarlah perut panjang mereka. Maka salah seorang mereka mengelilingi dengan perut panjangnya itu, seperti keledai mengelilingi dengan alat penggiling gandum, sebagaimana tersebut pada hadits. Karena mereka menyuruh dengan kebajikan dan tidak mengerjakannya. Mereka melarang dari kejahatan dan mengerjakannya. Sesungguhnya terjadilah terperdaya bagi mereka, dimana mereka itu menjumpai dalam hatinya, suatu yang lemah, dari pokok-pokok makna ini. Yaitu: kecintaan kepada Allah, takut kepadaNya dan ridha dengan perbuatanNya. Kemudian, bersama yang demikian, mereka sanggup kepada menyifatkan tingkat-tingkat yang tinggi pada makna-makna ini. Lalu mereka menyangka, bahwa mereka tiada mampu kepada menyifatkan yang demikian. Tiada dianugerahkan oleh Allah kepada mereka ilmuNya. Tiada dimanfaatkan oleh manusia perkataan mereka padanya, kecuali karena mereka bersifat dengan dia. Jalan pikiran mereka, ialah: bahwa penerimaan itu bagi perkataan. Dan perkataan itu bagi ma’rifah. Berlakunya lisan dan ma’rifah itu bagi ilmu. Dan tiap-tiap yang demikian, tidaklah bersifat dengan sifat. Maka ia tidak berbeda dengan seseorang kaum muslimin pada bersifat dengan sifat cinta dan takut, bahkan pada kemampuan menyifatkan. Akan tetapi kadang-kadang, lebih rasa amannya, sedikit takutnya, menampak kecenderungannya kepada makhluk dan lemah dalam hatinya kecintaan kepada Allah Ta’ala. Contohnya, seperti seorang sakit yang menyifatkan sakit, menyifatkan obatnya dengan bahasa yang jelas dan menyifatkan sehat dan sembuh. Dan orang sakit yang lain, tidak sanggup menyifatkan sehat dan sembuh, sebab-sebabnya, derajat-derajatnya dan jenis-jenisnya. Ia tidak berbeda dengan mereka pada sifat sakit dan bersifat dengan sakit itu. Hanya ia berbeda dengan mereka, pada menyifatkan dan pengetahuan dengan ketabiban (kedokteran). Maka sangkaannya ketika diketahuinya hakikat/makna kesehatan, bahwa dia itu sehat, adalah sangat bodoh. Maka begitu pula ilmu dengan takut, cinta, tawakkal, zuhud dll dari sifat-sifat ini, yang dia tidak bersifat dengan hakikat/makna yang sebenarnya. Orang yang samar-samar kepadanya sifat hakikat/makna, dengan bersifat dengan hakikat/makna, maka orang itu terperdaya. Ini adalah keadaan orang-orang yang memberi pengajaran, yang tiada kekurangan pada perkataan mereka. Bahkan sistem pengajaran mereka itu sistem pengajaran Alquran, Hadits, pengajaran Al-Hasan Al-Bashari  dan orang-orang lain, yang seperti dia. Kiranya rahmat Allah kepada mereka. Suatu golongan lain: sebahagian dari mereka berpaling dari sistem yang wajib ditempuh pada pengajaran. Dan mereka itu adalah pemberi-pemberi pengajaran penduduk zaman ini seluruhnya, selain orang yang dipelihara oleh Allah, yang jarang adanya pada sebahagian pinggiir-pinggir negeri, kalaupun ada. Dan kita tidak meengenalnya. Maka mereka itu berbuat dengan ath-thammah (kata-kata yang menyakitkan), asy-syathah (kata-kata yang mengandung dakwaan yang tidak disenangi) dan melempetkan kata-kata yang keluar dari qanun (peraturan) agama dan akal, karena mencari keganjilan (kepada para pendengarnya). Suatu golongan tertarik hatinya dengan masalah-masalah halus beterbangan, mensajakkan kata-kata dan melempetkannya. Maka kebanyakan cita-cita mereka itu, ialah dengan sajak dan mengambil dalil dengan syair-syair yang menyambung dan menceraikan. Maksud mereka supaya banyak sorak dan sambutan pada majlis mereka, walaupun dengan maksud yang tidak betul. Maka mereka itu setan-setan manusia, yang telah sesat dan menyesatkan dari jalan yang benar. Orang-orang dahulu, walaupun mereka tidak memperbaiki dirinya sendiri, tetapi telah memperbaiki orang lain, membetulkan perkataan dan pengajaran mereka. Adapun mereka ini, sesungguhnya mereka mencegah dari jalan Allah dan menarik makhluk kepada tertipu di jalan Allah, dengan kata-kata: harap. Lalu menambahkan kepada mereka perkataan yang berani atas perbuatan maksiat dan gemar kepada dunia. Lebih-lebih lagi, apabila yang memberi pengajaran (nasehat agama) itu, orang yang menghiasi diri dengan kain yang cantik, kuda yang dibanggakan dan kendaraan-kendaraan yang bagus. Lalu disaksikan keadaannya dari pundaknya sampai ke tapak kakinya, dengan kesangatan lobbanya kepada dunia. Maka apa yang dirusakkan oleh orang terperdaya ini adalah lebih banyak daripada apa yang diperbaikinya. Bahkan, ia tidak ada sama sekali memperbaiki. Ia menyesatkan makhluk banyak. Dan tidak tersembunyi wajah dirinya itu orang yang terperdaya. Suatu golongan lain dari mereka itu, merasa puas dengan menghapal perkataan orang-orang zahid dan pembicaraan mereka pada mencela dunia. Maka mereka menghapal kata-kata menurut adanya dan mereka bawakan tanpa mengerti maksudnya. Lalu sebahagian mereka berbuat demikian di atas mimbar. Sebahagian mereka di mihrab-mihrab masjid dan sebahagian mereka di pasar-pasar, bersama orang-orang yang duduk-duduk. Masing-masing dari mereka, menyangka, bahwa apabila ia berbeda dengan takaran ini dari orang-orang pasar dan tentara, karena ia telah menghapal perkataan orang-orang zahid dan ahli agama, sedang mereka yang lain tidak, maka dia telah memperoleh kemenangan. Dan mencapai maksud, menjadi orang yang diampuni dan merasa aman dari siksaan Allah, tanpa ia menjaga zahir dan batinnya dari dosa-dosa. Akan tetapi ia menyangka, bahwa hapalannya perkataan ahli agama, akan memadai baginya. Tertipunya mereka itu lebih terang dari tertipunnya orang-orang yang sebelumnya. Suatu golongan lain: menghabiskan waktunya pada ilmu hadits. Yakni: pada mendengar hadits, mengumpulkan riwayat-riwayat yang banyak dari hal hadits dan mencari sanad-sanad yang ganjil dan tinggi. Maka cita-cita seseorang dari mereka, ialah: mengelilingi negeri dan menjumpai syaikh-syaikh (guru-guru), supaya ia dapat mengatakan: “Aku merawikan dari si Anu. Padaku dari isnad, yang tidak ada pada orang lain”. Terperdayanya mereka itu dari beberapa segi:
Diantaranya, mereka itu seperti pembawa-pembawa buku. Mereka tidak mencurahkan kesungguhan kepada memahami makna Sunnah. Pengetahuan mereka itu singkat, tidak ada pada mereka, selain naql (memindahkan dari mulut ke mulut atau hapalan). Mereka menyangka bahwa yang demikian itu mencukupi bagi mereka.
Diantara segi-segi itu, ialah: bahwa mereka apabila tidak memahami maknanya, niscaya mereka tidak mengamalkannya. Kadang-kadang juga dipahami mereka sebahagiannya tidak mereka mengamalkannya.
Diantara segi-segi itu, bahwa mereka meninggalkan ilmu yang menjadi fardlu ‘ain. Yaitu: ma’rifah (mengetahui) pengobatan hati. Mereka berbuat dengan memperbanyakkan isnad-isnad dan mencari yang tinggi dari isnad-isnad itu. Dan mereka tidak memerlukan kepada sedikitpun dari yang demikian.
Diantara segi-segi itu, ialah orang yang penduduk zamannya bertiarap kepadanya. Mereka juga tidak tegak berdiri menurut syarat mendengar. Bahwa dengan semata-mata mendengar, walaupun tak ada baginya faedah, akan tetapi itu penting pada dirinya, untuk sampai kepada penetapan hadits. Karena pemahaman itu sesudah penetapan dan amal itu sesudah pemahaman. Maka yang pertama, ialah: mendengar, kemudian memahami, kemudian menghapal, kemudian mengamalkan, kemudian menyiarkan. Dan mereka pada umumnya menyingkatkan kepada mendengar saja. Kemudian, mereka tinggalkan hakikat/makna mendengar. Anda melihat anak kecil datang pada majlis syaikh (tempat guru mengajar). Dan hadits itu dibacakan, guru itu tidur dan anak kecil itu main-main. Kemudian, dituliskan nama anak kecil tersebut dalam golongan yang mendengar. Apabila anak kecil itu telah besar, lalu ia mengemukakan hadits supaya didengar daripadanya. Dan orang dewasa yang hadir, kadang-kadang lengah. Tidak mendengar, tidak memperhatikan dan tidak menguasai apa yang dibacakan itu. Kadang-kadang ia sibuk dengan hadits atau penulisan hadits. Dan syaikh yang membacakan kepadanya, kalau sudah dibukukan (ditulis) dan dirobah, apa yang dibacakan kepadanya, niscaya syaikh itu tidak merasakan dan tidak mengetahuinya. Dan semua itu adalah kebodohan dan terperdaya. Karena yang pokok pada hadits, ialah: didengarnya dari Rasulullah saw. Lalu dihapalkan seperti yang telah didengarrnya. Dan dirawikannya seperti yang telah dihapalnya. Maka adalah riwayat itu dari hapalan dan hapalan itu dari pendengaran. Jikalau anda lemah daripada mendengarnya dari Rasulullah saw, niscaya mendengarnya dari para sahabat atau tabi’in. Jadi pendengaran anda dari perawi, adalah seperti pendengaran orang yang mendengar dari Rasulullah saw. Yaitu: anda memasang telinga untuk mendengar. Lalu anda hapal dan anda rawikan, sebagaimana yang telah anda hapal. Dan anda hapal sebagaimana yang telah anda dengar, dimana anda tidak merobahkan sehurufpun daripadanya. Kalau orang lain yang merobahkan sehuruf daripadanya dan ia bersalah, niscaya anda tahu kesalahannya. Bagi hapalan anda itu mempunyai 2 jalan:
Pertama bahwa anda menghapalnya dengan hati dan selalu anda itu menyebut dan mengulang-ulanginya, sebagaimana anda menghapal apa yang berlaku atas pendengaran anda, pada berlalunya hal-hal dalam kehidupan anda.
Kedua bahwa anda menuliskan, sebagaimana yang anda dengar. Anda koreksi (tashhih) yang tertulis itu dan anda menghapalkannya. Sehingga tidak sampai kepada hadits itu, tangan orang yang akan mengobahkannya. Dan hapalan anda itu adalah bagi kitab (tulisan) yang ada pada anda dan pada khazanah anda. Karena jikalau memanjang kepada hadits tersebut, tangan orang selain anda, niscaya kadang-kadang dirobahnya. Maka apabila anda tidak menghapalnya, niscaya anda tidak merasa (mengetahui) dengan pengobahan itu. Maka adalah hadits itu terhapal dengan hati anda atau dengan tulisan (buku) anda. Lalu buku anda itu yang memperingati bagi yang anda dengar. Dan anda merasa aman daripada pengobahan dan penggeseran. Apabila anda tidak menghapal, tidak dengan hati dan tidak dengan tulisan dan berlaku atas pendengaran anda suara kelupaan dan anda berpisah dengan majlis itu, kemudian anda melihat suatu nuskhah (copy) kepunyaan syaikh dan anda memandang, boleh jadi ada padanya yang mengobah atau yang berbeda suatu huruf daripadanya bagi nuskhah yang anda dengar, niscaya tidak boleh bagi anda, mengatakan: “Aku telah mendengar tulisan (kitab) ini”. Karena anda tidak mengetahui, mungkin anda tidak mendengar apa yang didalamnya. Akan tetapi, anda mendengar sesuatu yang menyalahi dengan apa yang di dalamnya,  walaupun suatu kalimat. Apabila tidak ada hapalan dengan hati anda pada anda dan tidak ada nuskhah yang betul, yang dapat anda percaya untuk anda membandingnya, maka darimana anda ketahui, bahwa anda telah mendengar yang demikian? Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau turut apa yang tidak engkau ketahui”. S 17 Al Israa’ ayat 36. Perkataan guru-guru (syaikh-syaikh) semua pada zaman ini, ialah: “Sesungguhnya kami telah mendengar apa yang dalam buku (tulisan) ini. Apabila tidak didapati syarat yang telah kami sebutkan, maka itu dusta yang tegas”. Sekurang-kurang syarat mendengar, ialah: bahwa berlaku sekalian itu atas pendengaran, serta semacam dari hapalan, yang dapat ia rasakan serta hapalan itu dengan pengobahan. Dan jikalau boleh ditulis pendengaran anak kecil, orang yang lengah, orang tidur dan yang dimansukhkan (yang tidak boleh dipakai lagi), niscaya bolehlah ditulis pendengaran orang gila dan anak kecil dalam ayunan. Kemudian apabila anak kecil itu telah dewasa dan orang gila itu telah sembuh dari kegilaannya, niscaya diperdengarkan kepadanya. Dan tidak ada perbedaan pendapat pada tidak bolehnya. Dan jikalau yang demikian itu boleh, niscaya bolehlah ditulis pendengaran bayi (al-janin) dalam perut. Maka jikalau tidak ada dituliskan pendengaran anak kecil dalam ayunan, karena ia tidak memahami dan tidak menghapalkan, maka anak kecil yang bermain, orang-orang lalai dan orang yang sibuk dengan mengupayakan (menulis), daripada mendengar itu, tidak memahami dan menghapalkan. Dan jikalau seorang bodoh memberanikan diri, lalu mengatakan: “Dituliskan pendengaran anak kecil dalam ayunan, maka hendaklah dituliskan pendengaran janin dalam perut. Jikalau diperbedakan di antara keduanya, dengan bayi dalam perut itu tidak mendengar suara dan ini mendengar suara, maka tidaklah ini bermanfaat. Yaitu: bahwa dinukilkan hadits tanpa suara. Maka hendaklah ia ringkaskan, karena ia telah menjadi syaikh, dengan mengatakan: “Aku mendengar sesudah aku dewasa, bahwa aku pada masa kecilku telah menghadiri suatu majlis, yang diriwayatkan hadits padanya, yang mengetuk pendengaranku oleh suaranya. Dan aku tidak mengetahui, apakah itu?”. Maka tidak khilaf bahwa riwayat, seperti yang demikian itu tidak shah. Dan apa yang lebih daripadanya, adalah dusta yang tegas. Dan jikalau boleh diakui pendengaran orang Turki yang tidak memahami bahasa Arab, karena ia telah mendengar suara secara alpa, niscaya bolehlah diakui pendengaran anak kecil dalam ayunan. Dan yang demikian itu sangat bodoh. Dari mana diambilkan ini? Adakah bagi pendengaran itu tempat perpegangan, selain sabda Rasulullah saw: “Allah memandang baik orang yang mendengar perkataanku, lalu menghapalnya. Maka disampaikannya kepada orang lain, seperti yang didengarnya”. Maka bagaimana disampaikan seperti yang didengar, oleh orang yang tidak mengetahui apa yang didengarnya? Maka ini yang terkeji dari segala macam terperdaya. Dan telah mendapat bencana penduduk zaman ini, dengan yang demikian. Jikalau penduduk zaman ini berhati-hati, niscaya mereka tidak akan memperoleh guru (syaikh), selain mereka yang telah mendengar hadits pada masa kecil, di atas cara ini, serta alpa. Kecuali, bahwa bagi orang-orang ahli hadits pada yang demikian itu, kemegahan dan penerimaan. Lalu ia takut kepada orang-orang miskin, bahwa membuat syarat yang demikian. Lalu sedikitlah orang yang berkumpul untuk yang demikian, pada halqah (tempat mengajar) mereka. Maka kuranglah kemegahan mereka. Dan sedikit pula pembicaraan-pembicaraan mereka yang telah didengarnya dengan syarat tersebut. Bahkan kadang-kadang mereka tidak mempunyai yang demikian. Dan tersiarlah kekurangan mereka. Lalu mereka sepakat untuk tidak diisyaratkan, selain pendengarannya mengetuk kata-kata yang memarahkan, walaupun ia tidak mengerti apa yang berlaku. Shahnya pendengaran itu tidak diketahui dari perkataan orang-orang ahli hadits. Karena tidak yang demikian itu dari ilmu pengetahuan mereka. Akan tetapi dari ilmu pengetahuan ulama ushul fiqh. Dan apa yang kami sebutkan itu diyakini dalam qanun (undang-undang) ushul fiqh. Maka inilah terperdayanya mereka! Dan jikalau mereka mendengar di atas syarat, niscaya ada juga mereka tertipu pada terbatasnya mereka atas menukilkan (hadits-hadits) itu dan pada menghabiskan umur mereka pada mengumpulkan riwayat-riwayat dan isnad-isnad. Dan berpalingnya mereka dari kepentingan agama dan mengetahui makna hadits-hadits. Bahkan yang dimaksud dari hadits, ialah menempuh jalan akhirat. Kadang-kadang mencukupi baginya satu hadits selama umurnya, seperti yang diriwayatkan dari sebahagian guru-guru (syaikh-syaikh), bahwa ia menghadiri majlis mendengar pengajaran. Lalu permulaan hadits yang diriwayatkannya ialah: sabda Nabi saw: “Sebahagian dari bagusnya Islam seseorang, ialah ditinggalkannya apa yang tidak penting baginya”. Lalu ia bangun berdiri dan mengatakan: “Memadailah bagiku ini, sehingga aku selesai daripadanya. Kemudian, aku akan mendengar hadits yang lain”. Maka begitulah adanya pendengaran orang-orang pintar, yang menjaga dirinya dari terperdaya. Suatu golongan lain: mereka sibuk dengan ilmu nahwu (pengetahuan bahasa Arab), bahasa, syair dan yang ganjil dari bahasa. Mereka terperdaya dengan yang demikian dan mendakwakan, bahwa mereka telah diampunkan dosanya. Dan mereka sebahagian dari ulama umat. Karena tegaknya agama itu dengan Kitab dan Sunnah. Dan tegaknya Kitab dan Sunnah itu dengan ilmu bahasa dan nahwu. Lalu mereka menghabiskan umurnya pada yang halus-halus dari nahwu, pada menyusun syair dan pada yang ganjil-ganjil dari bahasa. Contohnya mereka, adalah seperti orang yang menghabiskan semua umurnya pada mempelajari tulisan, mengoreksi huruf dan membaguskannya. Ia mendakwakan, bahwa ilmu pengetahuan itu tidak mungkin dipelihara, selain dengan penulisan. Maka tidak boleh tidak, daripada mempelajari penulisan dan mengoreksinya. Dan jikalau ia berpikir, niscaya ia mengetahui, bahwa mencukupi baginya untuk mempelajari yang pokok dari tulisan, dimana ia mungkin membacanya, betapa adanya. Dan sisanya itu tambahan di atas yang mencukupi. Dan begitu pula ahli sastra. Jikalau ia berpikir, niscaya ia tahu, bahwa bahasa Arab itu seperti bahasa Turki. Orang yang menyia-nyiakan umurnya pada mengetahui bahasa Arab, adalah seperti orang yang menyia-nyiakan umurnya pada mengetahui bahasa Turki dan India. Hanya bahasa Arab berbeda dengan bahasa tersebut, adalah karena datangnya Agama agama dengan bahasa Arab. Maka memadailah dari bahasa, mengetahui yang ganjil-ganjil pada hadits dan Kitab (Alquran). Dan dari nahwu, apa yang menyangkut dengan hadits dan Kitab. Adapun mendalami padanya, kepada tingkat yang tiada berkesudahan, maka itu kelebihan yang tidak diperlukan. Kemudian, jikalau ia menyingkatkan kepada yang demikian dan ia berpaling daripada mengetahui makna Agama dan mengamalkannya, maka ini juga orang yang terperdaya. Bahkan contohnya, seperti orang yang menyia-nyiakan umurnya pada mentashhihkan (mengoreksi) bunyi huruf dalam Alquran dan menyingkatkan kepada yang demikian. Itu juga terperdaya. Karena yang dimaksud dari huruf-huruf itu, ialah: makna (arti)nya. Dan huruf-huruf itu karung dan alat. Siapa yang berhajat kepada meminum saknajin (obat yang terdiri dari cuka dan madu), supaya hilang daripadanya penyakit kuning dan menyia-nyiakan waktunya pada membaguskan gelas, yang diminumnya saknajin itu di dalamnnya, maka orang itu termasuk orang bodoh yang terperdaya. Maka begitu pula terperdayanya ahli ilmu nahwu, bahasa, sastra, qiraah (ilmu membaca Alquran) dan berhalus-halusan pada bunyi huruf, manakala mereka mendalamkan padanya, menjuruskan semua waktu untuk itu dan mendaki kepadanya, lebih banyak daripada yang diperlukan pada mempelajari ilmu yang menjadi fardlu ‘ain. Maka isi yang terjauh, ialah: amal. Dan yang di atasnya, ialah: mengetahui amal. Dan itu adalah seperti kulit bagi amal dan seperti isi dengan dikaitkan kepada yang di atasnya. Dan yang di atasnya itu, ialah: mendengar kata-kata dan menghapalkannnya dengan jalan riwayat (merawikannya). Dan itulah kulit dengan jalan dikaitkan kepada ma’rifah. Dan isi dengan dikaitkan kepada yang di atasnya. Dan yang di atasnya, ialah: ilmu dengan bahasa dan nahwu. Dan di atas yang demikian yaitu: kulit tertinggi, ialah: ilmu mengenai bunyi huruf. Orang-orang yang merasa puas dengan tingkat ini, semuanya itu orang-orang yang terperdaya, selain orang yang membuat derajat-derajat ini menjadi tingkat-tingkat. Lalu ia tidak naik ke derajat itu, melainkan sekadar hajatnya. Maka ia melampaui kepada yang di belakang itu, sehingga ia sampai kepada isi amal. Lalu ia mencari dengan hakikat/makna amal itu, hatinya dan anggota badannya. Ia mengharap umurnya pada membawa diri kepadanya, membetulkan amal dan membersihkannya dari campuran-campuran dan bahaya-bahaya. Inilah yang dimaksud, yang dilayani dari sejumlah ilmu syara’ (agama). Dan ilmu-ilmu lainnya itu adalah pelayanan kepada maksud tersebut, jalan, kulit dan tingkat baginya, dengan dikaitkan kepadanya. Dan setiap orang yang tidak sampai kepada maksud, maka dia kecewa. Sama saja pada tempat yang dekat atau pada tempat yang jauh. Ilmu-ilmu tersebut, tatkala ia bergantung dengan ilmu-ilmu Syara’ (agama), maka tertipulah orang-orang yang mempunyai ilmu-ilmu itu. Adapun ilmu ketabiban, ilmu hitung, ilmu perusahaan (ilmu industri) dan apa yang diketahui, bahwa dia tidak termasuk di antara ilmu-ilmu syara’ (agama), maka orang-orang yang mempunyainya tidak berkeyakinan, bahwa mereka akan memperoleh pengampunan (maghfirah) dengan ilmu-ilmu tersebut, dari segi bahwa dia itu ilmu-ilmu. Maka terperdaya dengan dia, adalah berkurang sedikit, dari terperdaya dengan ilmu-ilmu syara’ (agama). Karena ilmu-ilmu syara’ (agama) itu berkongsi tentang dia itu terpuji, sebagaimana berkongsinya kulit dengan isi tentang dia itu terpuji. Tetapi yang terpuji daripadanya karena dirinya (‘ainnya), itulah yang berkesudahan. Dan yang kedua itu terpuji, karena sampai dengan dia kepada yang dimaksud yang terjauh. Maka siapa yang membuat kulit itu menjadi maksud dan mendaki kepadanya, maka dia itu terperdaya dengan yang demikian. Suatu golongan lain: besarnya terperdaya mereka pada ilmu fiqh. Mereka menyangka, bahwa hukuman hamba, diantara hamba itu dan Allah, mengikuti hukumannya pada majlis hukum (majlis al-qodo’). Lalu mereka meletakkan (membuat) daya upaya pada penolakan hak. Mereka berbuat jahat pada menterjemahkan (memutarkan) kata-kata yang tidak tegas. Mereka tertipu dengan yang zahiriyah dan bersalah padanya. Ini termasuk dari pihak kesalahan pada fatwa dan tertipu padanya. Dan kesalahan pada fatwa-fatwa itu termasuk yang banyak. Akan tetapi ini semacam yang umum pada keseluruhannya, selain orang-orang yang pintar dari mereka. Maka kami isyaratkan kepada contoh-contoh berikut: Diantara yang demikian, ialah: fatwa mereka, bahwa wanita manakala melepaskan haknya dari mas kawin, niscaya terlepaslah suami, diantara suami itu dan Allah Ta’ala. Yang demikian itu salah. Bahkan si suami kadang-kadang berbuat buruk kepada si isteri, dimana dia menyempitkan hal-hal kepada si isteri, dengan jahatnya akhlak. Lalu terpaksa si isteri meminta lepas. Maka dilepaskannya si suami dari mas kawin itu, supaya ia terlepas dari si suami. Maka itu pelepasan, tidak di atas jiwa yang baik. Allah Ta’ala berfirman: “Maka jika mereka (kaum wanita) dengan kesukaan hatinya memberikan kepadamu sebagian, boleh kamu makan dengan cukup dan puas”. S 4 An Nisa’ ayat 4. Kebaikan diri itu bukan kebaikan hati. kadang-kadang manusia berkehendak dengan hatinya, apa yang tidak dipandang baik oleh dirinya. Dia menghendaki pembekaman dengan hatinya, akan tetapi, tidak disukai oleh dirinya. Kebaikan diri itu memperbolehkan dirinya dengan pelepasan hak. Tidak dari darurat yang bertentangan dengan pelepasan hak itu. Sehingga apabila diri itu bimbang diantara dua hal yang melarat, niscaya ia memilih yang termudah di antara dua hal itu. Maka ini adalah penuntutan yang berulang-ulang (al-mushadarah) di atas ketahkikan, dengan pemaksaan batin. Benar, hakim di dunia tidak melihat kepada hati dan maksud. Maka ia memandang kepada pelepasan zahiriyah. Dan diri itu tidak dipaksakan dengan sebab zahiriyah. Dan paksaan batiniyah itu tidak dilihat oleh makhluk. Akan tetapi manakala HAKIM YANG MAHA AGUNG bertindak di dataran tinggi kiamat untuk melaksanakan hukum, niscaya tidaklah ini diperhitungkan dan tidak mendatangkan faedah pada menghasilkan pelepasan. Karena itu, tidak dihalalkan mengambil harta manusia, selain dengan baik hati daripadanya. Maka jikalau meminta dari manusia akan harta di hadapan banyak orang, lalu ia malu dari manusia bahwa tidak diberikannya dan ia menyukai bahwa adalah permintaan itu di tempat sepi, sehingga tidak diberikannya. Akan tetapi ia takut kepedihan celaan manusia dan ia takut kepedihan penyerahan harta dan ia bimbang pada dirinya di antara dua hal itu, lalu ia memilih yang termudah di antara dua kepedihan tersebut. Yaitu: kepedihan penyerahan harta. Lalu diserahkannya. Maka tiada berbeda di antara ini dan penuntutan yang berulang-ulang (al-mushadarah). Karena arti al-mushadarah itu menyakitkan badan dengan suara. Sehingga yang demikian itu lebih kuat dari kepedihan hati dengan memberikan harta. Lalu ia memilih yang termudah dari dua kepedihan. Meminta itu dalam sangkaan malu. Ria itu pukulan bagi hati dengan cemeti. Dan tidak ada bedanya antara pukulan batin dan pukulan zahir pada sisi Allah Ta’ala. Karena batin pada sisi Allah Ta’ala itu zahir. Dan hakim dunia, ialah yang menghukum dengan milik, dengan zahiriyah perkataannya: “Aku telah berikan”. Karena ia tidak mungkin tahu apa yang dalam hati. Dan begitu juga, orang yang memberikan, karena menjaga kejahatan lidah orang itu atau kejahatan usahanya. Maka itu haram baginya. Begitu pula, tiap-tiap harta yang diambil dengan cara ini, maka itu haram. Apakah anda tidak mengetahui apa yang telah datang pada kisah Daud as, ketika ia berdoa, sesudah dosanya diampunkan: “Hai Tuhanku! Bagaimana aku dengan musuhku?”. Maka Allah menyuruh Daud as supaya minta dihalalkan dari musuhnya dan musuhnya itu sudah meninggal. Nabi Daud as disuruh memanggil musuhnya itu pada batu Baitul-maqdis. Lalu beliau memanggilnya: “Hai Auria!”. Orang itu lalu menyahut: “Ya, wahai Nabi Allah! engkau keluarkan aku dari sorga, maka apa maksud engkau?”. Nabi Daud as menjawab: “Aku sesungguhnya telah berbuat buruk kepada engkau pada suatu perkara. Maka berikanlah itu kepadaku!”. Orang itu menjawab: “Aku telah berbuat demikian, wahai Nabi Allah!”. Nabi Daud as lalu pergi dan hatinya telah cenderung kepada yang demikian. Maka Jibril as bertanya kepadanya: “Adakah engkau sebutkan kepadanya, apa yang telah engkau perbuat yang menyakitkannya itu?”. Nabi Daud as menjawab: “Tidak!”. Jibril as berkata: “Kembalilah, lalu terangkanlah kepadanya perbuatanmu yang menyakitkannya itu!”. Nabi Daud as lalu kembali ke tempat batu Baitul-maqdis itu dan memanggilkannya. Lalu orang itu menjawab: “Ya, wahai Nabi Allah!”. Nabi Daud as lalu mengatakan: “Aku sesungguhnya telah berbuat dosa kepada engkau”. Orang itu menjawab: “Apakah tidak aku berikan itu kepada engkau?’. Nabi Daud as berkata: “Apakah tidak engkau tanyakan kepadaku apakah dosa itu?”. Orang itu bertanya: “Apakah dosa itu wahai Nabi Allah?”. Nabi Daud as menjawab: “Itu-itu!”. Lalu Nabi Daud as menyebutkan keadaan wanita, seperti pada cerita itu. Dan putuslah jawaban dari orang itu. Lalu Nabi Daud as bertanya: “Hai Auria! Mengapa engkau tidak menjawab kepadaku?”. Orang itu menjawab: “Wahai Nabi Allah! tidaklah begitu diperbuat oleh nabi-nabi, sehingga aku berdiri bersama engkau di hadapan Allah?”. Lalu Nabi Daud as terus menangis dan memekik-mekik, sehingga ia dijanjikan oleh Allah untuk minta diberikan oleh orang itu kepadanya pada hari kiamat nanti. Maka kisah ini menyadarkan engkau, bahwa pemberian dari bukan baik hati, tidaklah berfaedah. Dan baik hati itu tidak akan berhasil, kecuali dengan ma’rifah. Maka demikian pula baik hati itu tidak ada pada melepaskan hak, memberi dan lainnya, kecuali apabila manusia itu dibiarkan menurut pilihannya. Sehingga tergeraklah pendorong dari dirinya sendiri. Tidak dipaksakan penggerak-penggerak kepada gerakan itu, dengan tipu daya dan paksaan. Dan termasuk yang demikian, orang memberi harta zakat pada akhir tahun dari harta zakat isterinya dan penerimaannya pemberian dari harta isterinya, bagi menggugurkan kewajiban zakat. Lalu ulama fiqh (al-faqih) mengatakan: “Telah gugur zakat (tidak wajib lagi zakat)”. Kalau ia maksudkan dengan gugur zakat itu, bahwa penuntutan sultan (penguasa) dan pengumpul zakat menjadi gugur dari orang itu, maka itu benar. Karena pokok pandangan mereka, ialah: nyatanya ada milik. Dan sekarang milik itu sudah hilang (tak ada lagi), walaupun disangkanya bahwa ia akan menyerahkan nanti pada hari kiamat. Dan adalah ia seperti orang yang tiada mempunyai harta atau seperti orang yang menjual, karena keperluannya kepada menjual, yang tidak atas maksud ini. Maka alangkah sangat bodohnya dengan fiqh agama dan rahasia zakat (hikmat zakat). Sesungguhnya rahasia zakat itu mensucikan hati dari kehinaan kikir. Dan kikir itu membinasakan. Nabi saw bersabda: “Tiga perkara membinasakan: kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti dan manusia mengherani (membanggakan) diri sendiri”. Sesungguhnya kikir itu dituruti dengan apa yang diperbuatnya. Dan sebelumnya kikir itu tidak dituruti. Maka kebinasaannya itu menjadi sempurna, dengan sangkaannya bahwa padanya itu ada jalan kelepasan. Sesungguhnya Allah melihat pada hatinya, kecintaannya kepada harta dan kerakusannya kepada harta. Dan telah sampai dari kerakusannya kepada harta itu, bahwa ia mencari daya upaya. Sehingga ia menyumbat atas dirinya jalan kelepasan dari kikir, dengan kebodohan dan terperdaya. Dan termasuk yang demikian, diperbolehkan oleh Allah harta kepentingan umum bagi orang ahli fiqh (al-faqih) dan lainnya sekadar hajat. Dan golongan ahli fiqh (al-fuqaha’) yang terperdaya itu, tidak dapat membedakan antara angan-angan, barang yang tidak perlu dan nafsu syahwat dengan hajat keperluan. Akan tetapi, tiap-tiap yang tidak sempurna kebodohannya, selain dengan itu, lalu dipandangnya keperluannya. Dan itu adalah terperdaya semata-mata. Bahkan dunia itu diciptakan karena hajat hamba-hamba Allah kepadanya, pada ibadah dan menempuh jalan akhirat. Maka tiap-tiap yang dicapai oleh hamba untuk menolongnya kepada agama dan ibadah, maka itu adalah hajat keperluannya. Dan selain itu, adalah hal yang tidak perlu dan nafsu syahwatnya. Kalau kita jalani menyifatkan tertipunya ulama fuqaha’ pada contoh-contoh ini, niscaya kita telah penuhkan padanya berjilid-jilid. Dan maksud dari demikian itu, ialah memperingati kepada contoh-contoh yang memperkenalkan jenis-jenisnya, tidak secara lengkap. Karena yang demikian itu akan panjang.
Jenis kedua: orang-orang yang beribadah dan beramal. Yang terperdaya dari mereka itu banyak golongan. Di antara mereka yang terperdayanya pada shalat. Di antara mereka yang terperdayanya pada tilawah (pembacaan) Alquran. Di antara mereka pada haji. Di antara mereka pada perang. Dan di antara mereka pada zuhud. Demikian pula, setiap orang yang berbuat dengan sesuatu cara dari cara-cara amal. Maka tidak terlepas dari terperdaya, selain orang-orang yang pandai. Dan sedikitlah mereka itu. Di antara mereka, ada golongan yang menyia-nyiakan yang fardlu (wajib). Mereka mengerjakan yang utama dan yang sunat. Kadang-kadang mereka mendalami pada yang utama itu, sehingga mereka keluar kepada permusuhan dan berlebih-lebihan. Seperti orang yang dikerasi oleh bisikan setan (waswas) pada wudlu’ (mengambil air sembahyang). Lalu ia bersangatan (berlebih-lebihan) pada wudlu’. Ia tidak setuju (rela) dengan air yang menurut hukum adalah suci menurut fatwa agama (hukum agama). Ia mentakdirkan (mengumpamakan) kemungkinan-kemungkinan yang jauh yang mendekati pada kenajisan. Dan apabila kembali urusan kepada memakan halal, lalu ia mentakdirkan (mengumpamakan) kemungkinan-kemungkinan yang dekat itu jauh. Kadang-kadang ia memakan haram semata-mata. Dan jikalau terbalik kehati-hatian ini, dari air kepada makanan, niscaya adalah dia lebih menyerupai dengan perjalanan hidup para sahabat. Karena Umar ra mengambil wudlu’ dengan air dalam ember orang Nasrani, serta nampak kemungkinan najis. Dan bersamaan dengan ini, ia meninggalkan pintu-pintu halal, karena takut daripada terjatuhnya pada yang haram. Kemudian, di antara mereka, ada orang yang keluar kepada berlebih-lebihan pada menuangkan air. Dan yang demikian itu dilarang. Kadang-kadang ia memanjangkan urusan wudlu’, sehingga ia menyia-nyiakan shalat dan mengeluarkannya dari waktunya. Dan walaupun tidak dikeluarkannya dari waktunya, maka dia itu terperdaya, karena telah lenyap daripadanya keutamaan awal waktu. Dan walaupun tidak lenyap awal waktu itu, dia terperdaya juga, karena keborosannya pada memakai air. Dan walaupun ia tidak memboros pada pemakaian air, ia terperdaya juga, karena ia meyia-nyiakan umurnya, yang menjadi sesuatu yang paling berharga, dimana dia mempunyai kebebasan padanya. Selain bahwa setan itu mencegah makhluk dari Allah dengan bermacam-macam jalan. Dan setan itu tidak sanggup mencegah hamba, selain dengan apa, yang membuat hamba itu berkhayal, bahwa itu ibadah. Lalu setan menjauhkan hamba-hamba itu dari Allah dengan cara yang demikian. Suatu golongan lain: telah keras kepadanya bisikan setan (waswas) pada niat shalat. Lalu ia tidak ditinggalkan oleh setan, sehingga ia ikatkan niat yang shah. Bahkan setan itu mengacau kepadanya, sehingga membawa ia luput berjama’ah dan mengeluarkan shalat dari waktu. Dan kalau sempurna takbirnya, maka ada yang demikian dalam hatinya, sesudah bimbang pada shah niatnya. Kadang-kadang mereka diwaswaskan pada takbiratul-ihram, sehingga kadang-kadang mereka berobah bunyi takbir, karena sangat kehati-hatiannya. Mereka berbuat demikian pada permulaan shalat. Kemudian, mereka lalai pada seluruh shalat. Lalu mereka tidak menghadirkan hatinya dan mereka terperdaya dengan yang demikian. Mereka menyangka, bahwa mereka apabila telah melelahkan dirinya pada membetulkan niat pada permulaan shalat dan mereka membedakan diri dari orang umum (orang awam) dengan kesungguhan dan kehati-hatian ini, maka mereka di atas yang kebajikan pada Tuhan. Suatu golongan lain: telah keras kepadanya bisikan setan, pada mengeluarkan huruf-huruf Al-Fatihah dan dzikir-dzikir lain dari makhrajnya (bunyinya yang benar). Maka senantiasalah ia berhati-hati pada tasydid-tasydid, perbedaan antara dlad dan dha dan membetulkan makhraj huruf pada seluruh shalatnya, yang tidak penting kepadanya yang lain dan ia tidak berpikir pada yang lain. Ia lupa dari arti Alquran, mengambil pengajaran dengan Alquran dan menyerahkan pemahaman kepada rahasia-rahasia (hikmah) Alquran. Ini termasuk yang terkeji dari segala macam terperdaya. Sesungguhnya tidak diberati makhluk pada membaca Alquran dengan pengokohan makhraj huruf, selain menurut yang berlaku kebiasaan mereka waktu berkata-kata. Contoh mereka itu adalah seperti orang yang membawa risalah (surat) kepada majlis sultan (penguasa). Ia disuruh membacakannya menurut caranya. Lalu diambilnya surat itu dibacanya dan diperelokkannya benar-benar pada makhraj huruf, diulang-ulanginya dan diulanginya lagi berkali-kali. Orang itu pada yang demikian lupa tentang maksud surat dan penjagaan kehormatan majlis. Alangkah layaknya orang itu dilakukan kepadanya penyelidikan, ditolak ke rumah orang-orang gila dan hukum dengan kehilangan akal. Suatu golongan lain: mereka tertipu dengan pembacaan (qira’ah) Alquran. Maka mereka bergegas-gegas ini. Kadang-kadang mengkhatamkan (menamatkan bacaan Alquran) sekali dalam sehari semalam. Lidah seseorang mereka berlalu dengan yang demikian. Hatinya bulak-balik dalam lembah angan-angan. Karena ia tidak memikirkan makna Alquran, supaya memperoleh peringatan dengan peringatan-peringatannya. Mendapat pengajaran dengan pengajaran-pengajarannya. Tegak berdiri pada perintah-perintahnya dan larangan-larangannya. Dan mengambil ibarat dengan tempat-tempat yang dapat diambil ibaratnya dan lain-lain, dari yang telah kami sebutkan dahulu pada Kitab Tilawatil-Quran, dari hal maksud-maksud tilawah. Maka orang itu terperdaya, yang menyangka bahwa maksud dari turunnya Alquran itu membaca saja, serta melupakan pemahaman maksudnya. Contohnya: seperti seorang budak, yang dituliskan kepadanya oleh tuan dan pemiliknya sepucuk surat. Dalam surat itu, diisyaratkan dengan perintah-perintah dan larangan-larangan. Lalu budak tersebut tidak menumpahkan perhatiannya kepada memahami dan mengamalkan isi surat itu. Akan tetapi ia cukupkan kepada menghapalnya. Dan ia selalu menyalahi dari apa yang disuruh oleh tuannya, selain ia mengulang-ulangi membaca surat tersebut, dengan suara dan lagunya setiap hari seratus kali. Maka budak tadi berhak disiksa. Dan manakala ia menyangka, bahwa yang demikian itu yang dimaksud, maka dia itu terperdaya. Ya, benar, tilawahnya itu hanya dimaksudkan, supaya dia tidak lupa. Akan tetapi, untuk dihapalnya. Dan hapalan itu dimaksudkan untuk artinya. Dan artinya itu dimaksudkan untuk diamalkan dan diambil manfaat dengan arti-artinya. Kadang-kadang ia mempunyai suara merdu. Maka dibacanya, diperolehnya kesenangan dengan pembacaan itu dan ia terperdaya dengan kesenangan tersebut. Ia menyangka bahwa yang demikian itu kesenangan  membisikkan segala isi hati dengan Allah Ta’ala dan mendengar kalam (berkata-kata)Nya. Sesungguhnya itu adalah kesenangannya pada suaranya. Dan kalau ia mengulang-ulangi lagunya dengan syair atau perkataan lain, niscaya ia memperoleh keenakan juga oleh keenakan itu. Maka dia itu terperdaya. Karena ia tidak mencari hatinya. Lalu ia memperkenalkan kepada hatinya, bahwa kelazatannya dengan Kalam (berkata-kata) Allah Ta’ala, dari segi bagus susunannya dan maknanya atau dengan suaranya. Suatu golongan lain: mereka terperdaya dengan puasa. Kadang-kadang mereka berpuasa sepanjang masa atau mereka berpuasa pada hari-hari mulia. Dan mereka pada hari-hari itu tiada menjaga lidahnya dari mengumpat, gurisan hatinya dari ria, perutnya dari yang haram ketika berbuka dan lidahnya dari perkataan yang sia-sia, dengan berbagai macam kata yang tidak perlu, sepanjang hari. Dan bersama dengan demikian, ia menyangka dirinya dalam kebajikan. Lalu ia melengahkan yang fardlu dan mencari yang sunat. Kemudian, ia tidak tegak dengan haknya. Dan yang demikian itu paling terperdaya. Suatu golongan lain: mereka terperdaya dengan haji. Mereka keluar pergi haji, tanpa keluar dari perbuatan zalim, membayar hutang, meminta kerelaan ibu bapak dan mencari perbekalan yang halal. Kadang-kadang mereka berbuat yang demikian, sesudah gugur tidak wajib lagi haji Islam (haji pertama). Mereka menyia-nyiakan shalat dan yang fardlu di jalan. Mereka lemah dari mencuci pakaian dan tubuh. Mereka datang untuk diambil pajak oleh orang-orang zalim, sehingga pajak itu diambil dari mereka. Dan mereka tidak menjaga diri di jalan, dari perkataan kotor dan permusuhan. Kadang-kadang sebahagian mereka mengumpulkan harta haram dan membelanjakannya kepada teman-teman di jalan. Ia mencari dengan yang demikian itu, keharuman nama dan ria. Maka ia berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala, pertama pada mengusahakan yang haram. Dan kedua, pada membelanjakannya dengan ria. Maka dia tidak mengambilkannya dari kehalalannya dan dia tidak meletakkannya pada yang benar. Kemudian dia datang di Baitullah dengan hati yang berlumuran dengan akhlak yang hina dan sifat-sifat yang tercela. Dia tidak mendahulukan pensucian hatinya atas kedatangannya itu. Dan dalam pada itu, ia menyangka bahwa dia di atas kebajikan dari Tuhannya. Maka dia itu orang yang terperdaya. Suatu golongan lain: ia mengambil pada jalan karena Allah, amar ma’ruf dan nahi munkar, yang munkar kepada manusia. Ia menyuruh mereka dengan kebajikan serta ia melupakan dirinya sendiri. Apabila ia menyuruh mereka dengan kebajikan, maka dengan cara kasar. Ia mencari pangkat menjadi kepala dan mulia. Apabila ia berbuat munkar dan ia ditolak, maka ia marah. Dan mengatakan: “Aku berbuat dengan karena Allah, maka bagaimana engkau menentang aku?”. Kadang-kadang ia mengumpulkan manusia ke masjidnya. Siapa yang terlambat, niscaya ia mengkasarkan perkataan kepada orang itu, maksudnya, ialah: ria dan suka menjadi kepala. Dan kalau bangun orang lain mengurus masjid, niscaya ia marah kepada orang itu. Bahkan diantara mereka, ada yang mengerjakan adzan (menjadi muadzin) dan disangkanya bahwa ia adzan karena Allah. Dan kalau datang orang lain dan mengerjakan adzan pada waktu ia tidak ada, niscaya berdirilah kiamat dan mengatakan: “Mengapa hakku diambil? Dan aku didesak pada martabatku?”. Dan begitu pula, kadang-kadang ia mengikat diri menjadi imam masjid. Ia menyangka, bahwa dia di atas kebajikan. Dan maksudnya, supaya orang mengatakan, bahwa dia itu imam masjid. Maka kalau orang lain tampil ke depan, walaupun orang itu lebih wara’ dan lebih alim daripadanya, maka ia berkeberatan. Suatu golongan lain: yang tinggalnya bertetangga dengan Makkah atau Madinah. Mereka terperdaya dengan tinggal di Makkah itu. Mereka tidak mengintip hatinya dan tidak mensucikan zahirnya dan batinnya. Hatinya tersangkut dengan negerinya, menoleh kepada perkataan orang yang dikenalnya, yang mengatakan: “Bahwa si Anu itu bertetangga dengan yang demikian”. Engkau melihat dia bercakap-cakap dan mengatakan: “Aku telah bertetangga dengan Makkah sekian tahun”. Apabila dia mendengar bahwa yang demikian itu perkataan keji, niscaya ditinggalkannya percakapan yang tegas itu. Dan dia suka, bahwa dia dikenal orang dengan yang demikian. Kemudian, kadang-kadang ia bertetangga dan memanjangkan mata kerakusannya kepada harta-harta manusia yang kotor itu. Dan apabila ia kumpulkan dari yang demikian itu sesuatu, lalu ia kikir dan dipegangnya erat-erat. Dirinya tidak membolehkan dengan sesuappun untuk disedekahkannya kepada orang miskin. Maka menonjollah padanya sifat ria, kikir, rakus dan sejumlah lain dari sifat-sifat yang membinasakan, dimana ia dahulunya jauh dari sifat-sifat tersebut, jikalau ia tinggalkan bertetangga dengan tempat-tempat tadi. Akan tetapi, kesukaan kepada pujian dan supaya dikatakan, bahwa dia termasuk diantara orang-orang yang bertetangga (dengan Makkah dan Madinah), maka memaksakan dia untuk bertetangga itu, serta berlumuran dengan sifat-sifat hina tadi. Maka orang itu juga terperdaya. Dan tiada suatu amalpun dari segala macam amal dan suatu ibadahpun dari bermacam-macam ibadah, melainkan ada padanya bahaya. Maka orang yang tidak mengetahui tempat masuknya bahaya itu dan ia berpegang kepadanya, maka dia itu orang terperdaya. Dan tidak akan diketahui uraian yang demikian, selain dari sejumlah kitab-kitab IHYA ‘ULUMIDDIN. Maka ia akan mengetahui tempat-tempat masuk terperdaya itu dalam shalat, dari Kitab Shalat, pada haji dari Kitab Haji, zakat, tilawat dan lain-lain hal yang mendekatkan diri kepada Allah, dari kitab-kitab yang telah kami susun mengenai hal-hal itu. Yang menjadi maksud sekarang, ialah menunjuk kepada kumpulan yang telah terdahulu pada kitab-kitab itu. Suatu golongan lain: zuhud pada harta. Ia merasa cukup dari pakaian dan makanan yang kurang. Dan dari tempat, dengan tinggal di masjid. Ia menyangka, bahwa ia telah memperoleh pangkat orang-orang zuhud. Dan bersama dengan demikian, ia gemar menjadi kepala dan memperoleh kemegahan. Adakalanya dengan ilmu atau dengan memberi pengajaran atau dengan semata-mata zuhudnya. Ia telah meninggalkan yang termudah dari dua perkara dan ia kembali dengan yang terbesar dari dua yang membinasakan. Bahwa kemegahan itu lebih besar dari harta. Jikalau ia meninggalkann kemegahan dan mengambil harta, niscaya ia lebih mendekati kepada selamat. Maka orang tersebut itu terperdaya. Karena menyangka bahwa dia termasuk orang zahid dalam dunia. Dan ia tidak memahami arti dunia. Dan ia tidak mengetahui, bahwa kesudahan kesenangan dunia itu suka menjadi kepala. Bahwa orang yang gemar kepada dunia, tak boleh tidak, bahwa orang itu munafiq, pendengki, penyombong, bersifat ria dan bersifat dengan semua akhlak yang keji. Ya benar, kadang-kadang ia meninggalkan suka menjadi kepala, memilih khilwah (menyendiri) dan ‘uzlah (mengasingkan diri). Dan dia bersama dengan demikian itu terperdaya. Karena, ia menyebut-nyebut dengan demikian, kepada orang-orang kaya. Ia berkata kasar kepada mereka. Ia memandang kepada mereka dengan mata penghinaan, ia mengharap bagi dirinya lebih banyak, daripada yang diharapnya bagi mereka. Ia membanggakan diri (merasa ‘ujub) dengan amalnya. Ia bersifat dengan sejumlah sifat-sifat hati yang keji dan ia tidak mengetahuinya. Kadang-kadang, ia diberikan orang harta, maka tidak diambilnya. Karena takut nanti dikatakan orang, bahwa zuhudnya telah rusak (batil/salah). Kalau dikatakan orang kepadanya, bahwa harta itu halal, maka ambilkanlah pada zahir dan kembalikanlah secara tersembunyi, niscaya dirinya tidak membolehkan, karena takut dari celaan manusia. Maka dia itu orang yang gemar pada pujian manusia. Dan pujian itu termasuk diantara pintu dunia yang paling enak. Ia melihat dirinya, bahwa dia itu orang zuhud di dunia. Dan dia itu terperdaya. Dan bersama dengan demikian, maka kadang-kadang ia tidak terlepas daripada memuliakan orang-orang kaya, mendahulukan mereka atas orang-orang miskin, cenderung hatinya kepada orang-orang yang menghendaki kepadanya (murid-muridnya) dan orang-orang yang memujinya. Dan hatinya lari dari orang-orang yang cenderung kepada orang-orang zahid yang lain. Semua itu tertipu dan terperdaya dari setan. Kita berlindung dengan Allah daripada setan. Dan dalam kalangan hamba-hamba Allah, ada orang yang bersikap keras atas dirinya pada amal-amal anggota badannya. Sehingga kadang-kadang, ia mengerjakan shalat pada sehari semalam-umpamanya, 1000 rakaat. Dan ia meng-khatamkan Alquran. Dan dia pada semua itu, tidak terguris baginya memeliharakan hati, mencari hati dan mensucikannya dari ria, takabur, ‘ujub dll dari sifat yang membinasakan. Ia tidak tahu, bahwa yang demikian itu membinasakan. Dan kalau ia mengetahui yang demikian, maka ia akan menyangka yang demikian dengan dirinya. Dan kalau ia menyangka dengan dirinya yang demikian, lalu ia menduga, bahwa ia akan diampunkan dosanya, karena amal zahirnya. Dan ia tidak akan disiksa dengan hal-ikhwal hatinya. Dan kalau ia menduga, lalu ia menyangka, bahwa ibadah zahiriyah itu akan memberatkan daun neraca perbuatan baiknya. Padahal amat jauh dari itu. Seberat biji sawi dari orang yang bertaqwa dan suatu akhlak dari akhlak orang-orang yang pintar itu, lebih utama daripada seumpama bukit-bukit amalan dengan anggota badan. Kemudian, orang yang terperdaya ini, tiada terlepas serta jahat akhlaknya bersama manusia, kasarnya, berlumuran batinnya dengan ria dan suka pujian. Apabila dikatakan kepadanya: “Engkau termasuk tiang negeri, wali Allah dan kekasihNya”, niscaya orang yang terperdaya itu gembira dengan demikian. Ia benarkan dan dengan demikian bertambahlah ke-terperdayaannya. Ia menyangka, bahwa manusia mensucikannya itu menjadi dalil atas dirinya memperoleh rela daripada Allah. Ia tidak mengetahui, bahwa yang demikian itu, karena bodohnya manusia dengan kekejian-kekejian batiniyah. Suatu golongan lain: loba kepada ibadah-ibadah sunat dan tidak besar persediaannya dengan ibadah-ibadah fardlu. Anda melihat seseorang dari mereka, bergembira dengan shalat Dluha, dengan shalat malam dan ibadah-ibadah sunat yang seperti ini. Ia tidak memperoleh kelezatan bagi ibadah fardlu. Tidak bersangatan keinginannya untuk menyegerakan ibadah fardlu itu pada awal waktu. Ia lupa akan sabda Nabi saw, yang dirawikannya dari Tuhannya: “Tidaklah mendekati orang-orang yang mendekati kepadaKu, yang seumpama dengan menunaikan apa yang AKU fardlukan kepada mereka”. Meninggalkan tartib di antara amal-amal kebajikan itu, termasuk dalam jumlah amal kejahatan. Bahkan, kadang-kadang tertentu atas manusia dua kewajiban: yang satu luput waktunya dan yang lain tidak luput waktunya. Atau dua kelebihan: yang satu sempit waktunya dan yang lain, luas waktunya. Kalau ia tidak menjaga tartib padanya, niscaya adalah dia terperdaya. Bandingan yang demikian itu lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Perbuatan maksiat itu terang dan perbuatan taat itu terang. Dan yang tidak terang (kabur), ialah: mendahulukan sebahagian amal taat atas sebahagian yang lain. Seperti mendahulukan ibadah fardlu seluruhnya atas ibadah sunat. Mendahulukan fardlu ‘ain atas fardlu kifayah(jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu). Mendahulukan fardlu kifayah, yang tak ada orang yang mengerjakannya, atas apa yang dikerjakan orang lain. Mendahulukan yang lebih penting dari fardlu-fardlu ‘ain atas yang kurang penting. Mendahulukan yang luput waktunya atas yang tidak luput waktunya. Dan ini adalah seperti wajib mendahulukan hajat ibu atas hajat bapak. Karena: “Rasulullah saw ditanyakan. Orang bertanya kepadanya: “”Siapakah yang lebih berhak memperoleh kebaikan dari kita, wahai Rasulullah?”. Nabi saw menjawab: “Ibumu!”. “Kemudian, siapa?”. Nabi saw menjawab: “Ibumu!”. “Kemudian, siapa?”. Nabi saw menjawab: “Ibumu!”. Orang itu bertanya lagi: “Kemudian, siapa?”. Nabi saw menjawab: “Bapakmu!”. Orang itu bertanya pula: “Kemudian, siapa?”. Nabi saw menjawab: “Yang lebih dekat kepada engkau, lalu yang lebih dekat”. Maka seyogyalah dimulai pada hubungan silaturrahim, dengan yang lebih dekat. Kalau keduanya sama, maka dimulai dengan yang lebih memerlukan. Kalau keduanya sama, maka yang lebih taqwa dan lebih wara’. Begitu pula orang yang tidak cukup hartanya untuk nafkah ibu bapaknya dan naik haji. Maka kadang-kadang ia naik haji dan dia itu terperdaya. Bahkan seyogyalah ia mendahulukan hak ibu bapak di atas haji. Dan ini termasuk mendahulukan fardlu yang lebih penting atas fardlu yang kurang daripadanya. Begitu pula, apabila ada janji atas seorang hamba Allah dan masuk waktu Jum’at. Maka Jum’at itu akan luput waktunya dan melaksanakan penepatan janji itu maksiat, walaupun penepatan janji itu pada asalnya suatu amal taat. Begitu juga, kadang-kadang kainnya kena najis, lalu kasarlah katanya atas dua ibu bapak dan keluarganya dengan sebab yang demikian. Maka najis itu harus dijaga dan menyakitkan ibu bapa juga harus dijaga. Menjaga daripada menyakiti itu lebih penting daripada menjaga dari najis. Contoh-contoh yang menghadapi hal-hal yang harus dijaga dan amal taat itu tidak terhingga jumlahnya. Dan siapa yang meninggalkan tartib pada semua itu, maka dia terperdaya. Dan ini adalah ke-terperdayaan yang sangat kabur. Karena yang terperdaya padanya dalam hal taat. Hanya ia tidak cerdik, karena amal taat itu menjadi maksiat, dari segi ia meninggalkan taat yang wajib, yang lebih penting daripadanya. Termasuk dalam jumlah tersebut, menyibukkan diri dengan mazhab dan khilafiah dari ilmu fiqh, terhadap orang yang masih ada atasnya perbuatan taat, maksiat zahir dan batin, yang menyangkut dengan anggota badan dan yang menyangkut dengan hati. Karena maksud ilmu fiqh itu mengetahui apa yang diperlukan orang lain kepadanya, pada segala keperluannya. Maka mengetahui apa yang diperlukannya dalam hatinya itu lebih utama. Kecuali bahwa suka menjadi kepala, kemegahan, kesenangan membanggakan diri, memaksakan teman dan mendahului teman itu, membutakan kepadanya. Sehingga ia terperdaya dengan yang demikian pada dirinya. Dan ia menyangka bahwa ia berbuat untuk kepentingan agamanya.
Jenis ketiga: orang yang berbuat-buat tasawwuf/ahli suffi. Alangkah banyak terperdaya bagi mereka! Dan yang terperdaya dari mereka itu banyak golongan. Segolongan dari mereka – yaitu: orang-orang yang berbuat-buat tasawwuf/ahli suffi zaman sekarang, selain orang yang dipelihara oleh Allah. mereka itu terperdaya dengan pakaian, bentuk dan tuturkata. Lalu mereka membantu orang-orang yang benar dari kaum sufi, pada pakaian mereka, bentuk mereka, kata-kata mereka, adab-sopan mereka, adat-istiadat mereka dan kata-kata istilah mereka. Pada keadaan mereka yang zahiriyah, tentang pendengaran, menari, bersuci, shalat, duduk atas tikar sajadah serta menundukkan kepala dan memasukkannya dalam saku baju, seperti orang yang bertafakkur, pada menarikkan nafas ke atas dan pada merendahkan suara pada pembicaraan dan lain-lain dari segala sifat dan bentuk. Manakala mereka berbuat semua hal ini dengan memberatkan diri dan mereka menyerupakan dengan orang-orang sufi yang benar pada hal-hal itu, niscaya mereka menyangka pula bahwa mereka orang sufi. Dan mereka tidak memayahkan dirinya sekali-kali pada mujahadah, riyadlah (latihan), mengintipkan hati, mensucikan batin dan zahir dari dosa-dosa yang tersembunyi dan yang terang. Dan semua itu termasuk dari permulaan derajat tasawwuf/ahli suffi. Dan kalau mereka telah selesai dari semuanya, tidak juga boleh bagi mereka menghitungkan dirinya dalam kalangan orang sufi. Betapa tidak demikian? Mereka tidak sekali-kali mengelilingi di kelilingnya dan mereka tidak merasakan dirinya akan sesuatu daripadanya. Bahkan mereka itu berterang-terangan atas yang haram, harta syubhat (diragukan) dan harta sultan-sultan (penguasa-penguasa). Mereka berlomba-lomba pada sepotong roti, uang logam dan sebiji buah-buahan. Mereka dengki-mendengki pada titik dalam biji buah-buahan (an-naqir) dan kulit yang masuk dalam biji buah-buahan (al-qithmir). Sebahagian mereka merobek-robek kehormatan sebahagian yang lain, manakala ia berselisih pada sesuatu dari maksudnya. Terperdayanya mereka itu jelas. Contohnya, seperti seorang wanita tua yang mendengar, bahwa orang-orang yang berani dan pahlawan-pahlawan dari orang-orang yang berperang, nama mereka telah tetap dalam daftar kerajaan. Dan bagi masing-masing mereka, ditulis suatu daerah dari daerah kerajaan dengan keberaniannya. Lalu wanita tua itu merindukan dirinya, untuk dituliskan baginya sepotong dari kerajaan. Lalu ia memakai baju besi, meletakkan diatas kepalanya topi waja, mempelajari beberapa bait nyanyian pahlawan-pahlawan dan ia membiasakan membawa bait-bait nyanyian itu dengan lagu pahlawan-pahlawan tersebut. Sehingga menjadi mudah kepadanya. Dan ia mempelajari cara berjalan dalam barisan. Bagaimana cara mereka menggerakkan tangan. Dan mencapai semua sifat mereka pada pakaian, tutur kata, gerak-gerik dan diam. Kemudian wanita tadi menuju ke tempat tentara, supaya namanya dicantum pada daftar orang-orang berani. Dan tatkala ia sampai ke tempat tentara itu, lalu ia dibawa ke kantor penerimaan tentara. Kantor itu memerintahkan, supaya wanita itu membuka topi waja dan baju besi dan dilihat apa yang di bawahnya. Dan ia diuji dengan mengadakan perlawanan dengan sebahagian orang-orang berani, untuk diketahui nilai kemampuannya pada keberanian. Tatkala ia dilepaskan dari topi waja dan baju besi, rupannya ia seorang wanita tua, lemah dan lumpuh, tidak sanggup membawa baju besi dan topi waja. Lalu ditanyakan kepadanya: “Apakah engkau datang untuk mempermain-mainkan raja, untuk menghina keluarga raja dan menipu mereka? Ambillah wanita ini dan lemparkanlah pada tapak gajah, supaya dipijaknya!”. Maka wanita itu dilemparkan kepada gajah. Maka begitulah adanya keadaan orang-orang yang mendakwakan tasawwuf/ahli suffi pada hari kiamat, apabila tersingkap dari mereka tutupnya. Dan mereka dibawa kepada Hakim Yang Maha Agung, yang tidak memandang kepada pakaian dan kain yang ditenun. Akan tetapi, memandang kepada rahasia hati. Suatu golongan lain: yang bertambah di atas mereka tadi pada ke-terperdayaan. Karena sulitlah kepadanya mengikuti mereka pada buruknya pakaian dan rela dengan kekurangan. Lalu golongan ini bermaksud menampakkan diri dengan tasawwuf/ahli suffi. Dan tidak boleh tidak, daripada berhias dengan pakaian mereka. Lalu mereka meninggalkan sutera dan sutera mentah. Dan mereka mencari kain terjahit yang mahal, baju yang halus dan kain sajadah yang dicelup. Mereka memakai dari kain, yang harganya leibh tinggi dari sutera dan sutera mentah. Seseorang dari mereka menyangka bersama yang demikian, bahwa dia berbuat-buat menjadi orang sufi, dengan semata-mata warna kain. Dan adanya kain itu terjahit. Ia lupa bahwa mereka memberi warna kainnya, supaya tidak memerlukan kepada mereka mencucinya setiap saat, untuk menghilangkan daki. Sesungguhnya mereka memakai kain yang terjahit bagus, karena kain mereka itu koyak. Lalu mereka menjahitkannya dan mereka tidak memakai yang baru. Adapun memotong-motong kain baju yang tipis berpotong-potong dan menjahitkan yang berpotong-potong daripadanya, maka dari manakah menyerupai dengan yang dibiasakan mereka? Maka mereka lebih tampak kedunguannya dari umumnya orang-orang yang terperdaya. Mereka bersenang-senang dengan kecantikan kain dan kelezatan makanan. Mereka mencari kecukupan hidup dan memakan harta sultan-sultan (penguasa-penguasa). Mereka tidak menjauhkan perbuatan-perbuatan maksiat zahir, lebih-lebih maksiat batin. Dan serta yang demikian, mereka menyangka kebajikan dengan dirinya. Dan kejahatan mereka termasuk yang menjalar kepada makhluk. Karena binasa orang yang mengikuti mereka. Dan orang yang tidak mengikuti mereka, maka rusak aqidahnya pada ahli tasawwuf/ahli suffi seluruhnya. Ia menyangka, bahwa semua ahli tasawwuf/ahli suffi iatu adalah termasuk jinisnya. Lalu panjanglah lidah pada orang-orang yang benar dari mereka. Dan semua itu termasuk sebahagian dari jahatnya orang-orang yang menyerupakan dengan mereka dan kejahatan mereka. Suatu golongan lain: mendakwakan ilmu ma’rifah, menyaksikan kebenaran (Al-Haqq), melewati maqam-maqam dan hal-ihwal, selalu (mulazamah) pada Zat yang disaksikan (‘Ainusy-syuhud) dan sampai kepada mendekatiNya. Dan ia tiada mengenal perkara-perkara ini, selain nama-nama dan kata-kata. Karena ia memperoleh dari kata-kata kiamat, akan kalimat-kalimat. Lalu ia mengulang-ulanginya. Ia menyangka, bahwa yang demikian itu lebih tinggi dari ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian. lalu ia memandang kepada ahli-ahli fiqh, ahli-ahli tafsir, ahli-ahli hadits dan jenis-jenis ulama dengan mata kehinaan. Lebih-lebih orang awam. Sehingga orang petani meninggalkan ladangnya dan penjahit meninggalkan jahitannya. Dan ia selalu bersama mereka beberapa hari tertentu dan memperoleh dari mereka kalimat-kalimat palsu itu. Lalu diulang-ulanginya, seakan-akan ia berkata-kata dari wahyu. Dan menceritakan dari rahasia segala rahasia. Dan ia menghina dengan demikian, semua hamba Allah dan ulama. Lalu ia mengatakan tentang hamba-hamba itu, bahwa mereka orang-orang yang dipekerjakan, yang capek. Ia mengatakan tentang ulama, bahwa ulama itu terdinding dengan hadits daripada Allah. Dan ia mendakwakan bagi dirinya, bahwa dia yang sampai kepada Yang Maha Benar. Dan dia termasuk di antara orang-orang yang didekatkan kepadaNya (al-muqarrabin). Padahal dia pada sisi Allah, termasuk di antara orang-orang zalim yang munafiq. Dan dia pada orang-orang yang mempunyai hati, termasuk di antara orang-orang dungu, yang bodoh. Ia tidak sekali-kali berpaham teguh suatu ilmupun. Tidak terdidik dengan akhlak mulia. Tidak menyusun dengan tartib suatu amal. Tidak mengintip hati, selain mengikuti hawa nafsu. Dan ia memperoleh kata-kata yang tidak berfaedah dan menghapalkannya. Suatu golongan lain: jatuh pada serba boleh (al-ibahah). Mereka melipatkan tikar permadani agama, menolak segala hukum dan menyamakan antara halal dan haram. Setengah mereka mendakwkan, bahwa Allah tidak memerlukan kepada amalku, maka mengapa aku memayahkan diriku? Setengah mereka mengatakan, bahwa manusia itu telah memberatkan dirinya mensucikan hati dari nafsu syahwat dan dari mencintai dunia. Dan itu adalah mustahil. Mereka telah memberatkan apa yang tidak mungkin. Dan yang terperdaya dengan demikian, ialah orang yang tidak berpengalaman. Adapun kami telah mencoba (telah berpengalaman) dan kami telah mengetahui, bahwa yang demikian itu mustahil. Dan orang yang dungu tidak mengetahui, bahwa manusia tidak diberati mencabut nafsu syahwat dan marah dari pokoknya. Akan tetapi, mereka diberati mencabut unsurnya (maddahnya), di mana masing-masing yang dua itu mengikuti hukum akal dan hukum syara’ (agama). Sebahagian mereka mengatakan, bahwa amal perbautan itu dengan anggota badan yang tiada timbangannya. Dan hanya dipandang kepada hati. Dan hati kita itu bimbang dengan kasih Allah dan sampainya kepada ma’rifah (mengenal) Allah. Dan sesungguhnya kita masuk dalam dunia dengan tubuh kita dan hati kita berhenti di Hadlarat KeTuhanan. Maka kita bersama nafsu syahwat itu dengan badan zikir, tidak dengan hati. Mereka mendakwakan, bahwa mereka telah mendaki tinggi dari tingkat orang awam. Mereka tidak memerlukan membersihkan jiwa dengan amal badaniyah (amal ibadah yang dikerjakan dengan badan, seperti: shalat,dll). Dan bahwa nafsu syahwat tidak mencegah mereka dari jalan Allah, karena kuatnya mereka pada nafsu syahwat itu. Mereka mengangkat derajat diri mereka atas derajat nabi-nabi as. Karena pernah mencegah nabi-nabi itu dari jalan Allah oleh satu kesalahan. Sehingga mereka itu menangis di atas kesalahan tersebut dan meratapinya bertahun-tahun, berturut-turut. Jenis tertipunya orang-orang al-ibahah dari orang-orang yang menyerupakan diri dengan orang-orang sufi itu, tidak terhingga. Semua itu didasarkan atas kesalahan-kesalahan dan bisikan-bisikan setan. Mereka ditipu oleh setan, karena sibuknya mereka dengan mujahadah, sebelum mengokohkan ilmu dan tanpa meengikuti seorang syaikh (guru) yang teguh pada agama dan ilmu, yang pantas diikuti. Dan menghitung jenis-jenis mereka ini akan panjang waktunya. Suatu golongan lain: melewati batas mereka di atas. Ia menjauhkan segala amal. Ia mencari yang halal dan berbuat mencari hati. dan jadilah seseorang mereka mendakwakan mendapat kedudukan tinggi dari zuhud, tawakkal, rela dan cinta, tanpa mengetahui hakikat/makna kedudukan-kedudukan (al-maqamat) ini, syarat-syaratnya, tanda-tandanya dan bahaya-bahayanya. Termasuk di antara mereka, orang yang mendakwakan sayang dan cinta kepada Allah Ta’ala. Ia mendakwakan, bahwa dia bimbang dengan Allah. Mungkin ia telah berkhayal mengenai Allah dengan khayalan-khayalan, yang bid’ah (yang diada-adakan) atau kufur (membawa kepada kekafiran). Lalu ia mendakwakan mencintai Allah sebelum mengenalNya. Kemudian, ia tidak terlepas daripada mengerjakan yang tidak disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Dan daripada mengutamakan hawa nafsunya dari perintah Allah dan daripada meninggalkan sebahagian hal-hal, karena malu daripada makhluk. Dan kalau ia pada tempat sepi (sendirian), niscaya tidak ditinggalkannya, karena malu kepada Allah Ta’ala. Ia tidak mengetahui, bahwa semua itu berlawanan dengan cinta kepada Allah. Sebahagian mereka kadang-kadang, cenderung kepada qana’ah (merasa puas apa adanya) dan tawakkal. Lalu ia masuk ke desa-desa, tanpa perbekalan, untuk membenarkan dakwaan tawakkalnya. Ia tidak mengetahui, bahwa yang demikian itu perbuatan bid’ah (yang diada-adakan), yang tidak dinukilkan dari salaf (orang-orang terdahulu) dan para sahabat. Dan adalah salaf dan para sahabat itu lebih mengetahui tawakkal daripadanya. Mereka tidak memahami, bahwa tawakkal itu gurisan dengan jiwa dan meninggalkan perbekalan. Akan tetapi, mereka mengambil perbekalan. Dan mereka bertawakkal kepada Allah Ta’ala, tidak atas perbekalan. Pahamilah ini! Kadang-kadang ia meninggalkan perbekalan dan ia bertawakkal atas satu dari sebab-sebab yang dipercayainya. Dan tiadalah suatupun dari kedudukan-kedudukan (Al-maqamat) yang melepaskan itu, melainkan ada padanya ke-terperdayaan. Dan telah tertipu dengan itu suatu kaum. Dan telah kami sebutkan dahulu, tempat-tempat masuknya bahaya, pada Rubu’ Yang Melepaskan dari Kitab ini. Maka tidak mungkin sekarang mengulanginya lagi. Suatu golongan lain: ia menyempitkan atas dirinya tentang urusan makanan yang dimakannya. Sehingga ia mencari yang halal benar-benar. Mereka melengahkan mencari hati dan anggota badan, pada bukan perkara yang satu ini. Diantara mereka, termasuk orang yang melengahkan halal pada makanan, pakaian dan tempat tinggalnya. Dan ia masuk mendalami pada yang lain dari itu. Dan orang yang patut dikasihani ini, tidak mengetahui bahwa Allah Ta’ala tidak rela dari hambaNya, dengan mencari yang halal saja. Dan IA tidak rela dengan amal-amal lainnya, tanpa mencari yang halal. Bahkan IA tidak rela, selain mencari semua amalan taat dan maksiat. Maka siapa yang menyangka, bahwa sebahagian hal-hal ini mencukupi baginya dan melepaskannya dari bahaya, maka orang itu terperdaya. Suatu golongan lain: mereka mendakwakan bagus akhlak, tawadlu’ dan suka memaafkan (as-simahah). Maka mereka datang untuk melayani kaum sufi. Mereka mengumpulkan suatu kaum dan memberati diri melayani mereka. Mereka buat yang demikian, sebagai jalan untuk menjadi kepala dan mengumpulkan harta. Maksud mereka, ialah: sombong. Mereka menampakkan pelayanan dan kerendahan diri. Dan maksud mereka, ialah: ketinggian. Mereka menampakkan, bahwa maksud mereka, ialah: kasih sayang. Dan maksud mereka menuruti. Mereka menampakkan bahwa, maksud mereka itu pelayanan dan pengikutan. Kemudian, mereka mengumpulkan dari harta haram dan syubhat (diragukan) (yang diragukan halalnya). Mereka membelanjakan kepada kaum itu, supaya banyak pengikut mereka. Ia menyiarkan dengan pelayanan itu, nama mereka. Sebahagian mereka mengambil harta sultan-sultan (penguasa-penguasa), yang dibelanjakannya kepada mereka. Dan sebahagian mereka mengambil harta itu, untuk dibelanjakannya pada jalan haji kepada orang-orang sufi. Ia mendakwakan, bahwa maksudnya kebajikan dan perbelanjaan pada yang baik (al-infaq). Dan pembangkit semua mereka, ialah: ria dan sum’ah (keharuman nama). Tandanya itu, ialah: kelengahan mereka bagi semua perintah Allah Ta’ala atas mereka, zahir dan batin. Dan relanya mereka mengambil yang haram dan membelanjakan dari yang haram itu. Contoh orang yang membelanjakan yang haram itu pada jalan haji, untuk menghendaki kebajikan, adalah seperti orang yang membangun (menta’mirkan) masjid-masjid Allah. Lalu dikapurinya dengan kotoran hewan. Dan ia mendakwakan, bahwa maksudnya, ialah: ta’mir masjid. Suatu golongan lain: mereka sibuk dengan mujahadah, membersihkan akhlak dan mensucikan jiwa dari segala kekurangan. Mereka mendalami pada yang tersebut itu. Lalu mereka mengambil pembahasan (penelitian) tentang kekurangan jiwa dan mengenali tipuannya, untuk ilmu dan pekerjaan. Maka mereka pada semua keadaannya, sibuk dengan pembahasan dari hal kekurangan jiwa dan memahami kata yang halus pada bahaya-bahayanya. Lalu mereka mengatakan, bahwa ini pada jiwa itu suatu kekurangan. Dan lalai dari dia itu kekurangan, adalah suatu kekurangan. Dan menoleh kepada adanya itu kekurangan adalah kekurangan. Mereka tertarik padanya, dengan kalimat-kalimat yang sambung-menyambung, yang menyia-nyiakan waktu pada pelempetannya. Orang yang menjadikan sepanjang umurnya pada pemeriksaan dari kekurangan-kekurangan dan penguraian ilmu pengobatannya, adalah seperti orang yang sibuk dengan pemeriksaan halangan-halangan haji dan bahaya-bahayanya. Dan ia tidak menjalani jalan haji. Maka yang demikian itu tidak diperlukan. Suatu golongan lain: mereka melewati tingkat ini dan memulai menempuh jalan kepada Allah. Dan terbukalah bagi mereka pintu-pintu ma’rifah. Maka setiap kali mereka mencium dari pokok-pokok ma’rifah, suatu bau yang harum, niscaya merasa heran daripadanya dan mereka bergembira dengan yang demikian. Dan mena’jubkan mereka oleh keganjilannya. Lalu terikatlah hati mereka, dengan berpaling kepadanya dan bertafakkur padanya. Dan pada cara terbuka pintunya kepada mereka dan tertutupnya kepada orang lain. Semua itu terperdaya. Karena keajaiban-keajaiban jalan Allah itu, tiada baginya kesudahan. Jikalau ia berhenti pada setiap keajaiban dan ia terikat dengan dia, niscaya singkatlah langkah-langkahnya. Dan tidak akan sampai kepada maksud. Contohnya, adalah seperti orang yang bermaksud menghadap seorang raja. Lalu ia melihat pada pintu lapangannya, sebuah taman, yang di dalamnya bunga-bungaan dan cahaya gilang-gemilang, yang belum pernah dilihatnya seperti itu sebelumnya. Lalu ia berhenti, memandang kepadanya. Dan ia merasa takjub sekali, sehingga luputlah waktu yang mungkin padanya menemui raja. Suatu golongan lain: mereka melampaui mereka tadi. Mereka tidak menoleh kepada yang melimpah-limpah kepada mereka, dari cahaya yang gilang-gemilang pada jalan. Dan tidak menoleh kepada yang memudahkan urusan bagi mereka, dari pemberian-pemberian yang banyak. Mereka tidak memuncak kepada kesenangan dengan yang demikian dan penolehan kepadanya. Keadaan mereka terus rajin pada perjalanan, sehingga mereka mendekati. Lalu mereka sampai kepada batas pendekatan kepada Allah Ta’ala. Lalu mereka menyangka, bahwa mereka sudah sampai kepada Allah. Lalu mereka berhenti dan mereka salah. Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai 70 hijab (dinding) dari nur. Tiada sampai yang menjalani kepada suatu hijab dari hijab-hijab itu di jalan, melainkan ia akan menyangka, bahwa ia sudah sampai. Kepada itulah, diisyaratkan dengan perkataan Ibrahim as, karena Allah Ta’ala berfirman, menerangkan tentang hal itu, yaitu: “Ketika malam telah gelap, dilihatnya sebuah bintang. Katanya: Inikah Tuhanku?”. S 6 Al An’aam ayat 76. Bukankah maksudnya tubuh-tubuh yang bercahaya ini. Itu adalah dilihatnya dalam bentuk kecil. Dan ia tahu bahwa itu bukan tuhan. Dan tubuh-tubuh itu banyak, bukan satu. Orang-orang bodoh itu tahu, bahwa bintang itu bukan tuhan. Maka seperti Ibrahim as tidak akan ditipu oleh bintang, yang tidak akan menipu orang-orang bodoh itu. Akan tetapi, yang dimaksudkan, ialah: bahwa itu nur (cahaya) dari nu-nur, yang termasuk diantara hijab-hijab Allah ‘Azza wa Jalla. Dan itu adalah di atas jalan orang-orang yang berjalan kepada Allah Ta’ala (as-salikin). Dan tidaklah tergambar akan sampai kepada Allah Ta’ala, selain dengan sampai kepada hijab-hijab ini. Yaitu: hijab-hijab dari nur, yang sebahagiannya lebih besar dari sebahagian yang lain. Dan nur yang terkecil, ialah: bintang. Maka dipinjamkan kata-kata bintang itu bagi: nur. Dan nur yang terbesar, ialah: matahari. Dan di antara bintang dan matahari itu, derajat bulan. Maka senantiasalah Nabi Ibrahim as tatkala melihat kerajaan langit, di mana Allah Ta’ala berfirman: “Dan begitulah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi dan supaya Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin”. S 6 Al An’aam ayat 75, Ibrahim itu sampai kepada nur sesudah nur. Dan terkhayallah kepadanya, pada permulaan yang dijumpainya, bahwa ia telah sampai. Kemudian, terbuka baginya, bahwa dibaliknya ada sesuatu. Lalu ia mendaki kepadanya dan mengatakan: “Aku sudah sampai”. Lalu terbuka lagi baginya di balik itu, sehingga ia sampai kepada hijab yang terdekat, yang tiada sampai, selain sesudahnya. Lalu ia mengatakan: “Ini lebih besar!”. Tatkala tampak baginya, bahwa hijab itu serta besarnya, tidak terlepas dari jatuhnya dalam lembah kekurangan dan kerendahan dari puncak kesempurnaan, lalu ia mengatakan: “Aku tidak menyukai yang tenggelam”. S 6 Al An’aam ayat 76. “Sesungguhnya aku mengarahkan tujuanku kepada Tuhan yang menjadikan langit dan bumi”. S 6 Al An’aam ayat 79. Orang yang menempuh jalan ini, kadang-kadang terperdaya pada berhentinya di atas sebahagian hijab-hijab ini. Kadang-kadang ia terperdaya dengan hijab pertama. Dan permulaan hijab di antara Allah dan hamba, ialah: dirinya sendiri. Itu juga urusan ketuhanan. Yaitu: nur dari nur-nur Allah Ta’ala. Aku maksudkan: rahasia hati, yang terang (tajalli) hakikat/makna kebenaran seluruhnya. Sehingga hati itu meluas bagi sejumlah alam dan meliputinya. Dan menampak padanya bentuk semua. Dan ketika itu, cemerlanglah cahayanya dengan sangat besar. Karena laihr pada wujud semua, di atas apa adanya. Dan pada permulaannya, dia itu terhijab dengan sebuah lobang. Lobang itu seperti tabir baginya. Maka apabila tajalli nurnya dan terbuka keelokan hati, sesudah cemerlang Nur Allah kepadanya dan kadang-kadang yang punya hati itu berpaling kepada hati, maka ia melihat dari keelokannya yang memuncak, apa yang mendahsyatkannya. Dan kadang-kadang terlanjur lidahnya pada kedahsyatan ini, lalu ia mengatakan: “Anal-haqq”. Jikalau tidak terang baginya, apa yang di belakang itu, niscaya ia terperdaya dengan yang demikian. Ia berhenti padanya dan ia binasa. Dan adalah ia sesungguhnya terperdaya dengan bintang kecil dari nur-nur Hadlarat Ketuhanan. Ia tidak sampai kemudian, kepada bulan, apalagi kepada matahari. Dan dia itu terperdaya. Inilah tempat kesamaran. Karena yang tajalli/yang terang itu menjadi samar dengan tempat tertajallinya, sebagaimana samarnya warna yang terlihat pada cermin dengan cermin. Lalu disangka bahwa itu warna cermin. Dan sebagaimana samarnya apa yang dalam botol dengan botol, seperti yang dikatakan pada sekuntum syair:
Haluslah botol dan haluslah khamar.
Maka keduanya serupa, lalu menjadi samar.
Seolah-olah khamar, bukan botol.
Dan seolah-olah botol, bukan khamar.
Dengan mata ini, orang Nasrani memandang kepada Isa Al-Masih. Lalu mereka melihat cemerlangnya Nur Allah, yang telah gilang-gemilang padanya. Maka mereka tersalah pada yang demikian, seperti orang yang melihat bintang pada cermin atau dalam air. Lalu menyangka, bahwa bintang itu pada cermin atau dalam air. Maka diulurkannya tangannya kepada bintang itu, untuk diambilnya. Dan dia itu terperdaya. Macam-macam keterperdayaan pada jalan yang ditempuh kepada Allah Ta’ala itu tidak dihinggakan jumlahnya dalam kitab yang berjilid-jilid tebalnya. Dan tidak terselidiki, selain sesudah uraian semua ilmu al-diminta untuk mengetahuinya saja. Dan yang demikian itu, termasuk di antara yang tidak mudah menyebutkannya. Mudah-mudahan sekadar yang telah kami sebutkan juga adalah lebih utama meninggalkannya. Karena orang yang menempuh jalan ini, tidak memerlukan kepada mendengarnya dari orang lain. Dan orang yang tidak menjalani jalan ini, niscaya tidak mengambil manfaat dengan mendengarnya. Bahkan kadang-kadang ia memperoleh melarat dengan yang demikian. Karena mendatangkan kebingungan oleh yang demikian kepadanya, dimana ia mendengar apa yang tidak dipahaminya. Tetapi ada padanya faedah, yaitu: mengeluarkannya dari keterperdayaan yang ada padanya. Bahkan kadang-kadang ia membenarkan, bahwa persoalan itu lebih besar dari apa yang disangkanya dan dari apa yang dikhayalkannya dengan hatinya yang singkat, khayalannya yang pendek dan pertengkarannya yang dihiasi dengan dalil-dalil sangkaan. Dan ia membenarkan pula dengan apa yang diceritakan kepadanya, dari hal diminta untuk mengetahuinya saja, yang diceritakan oleh wali-wali Allah. Dan orang yang sangat tertipunya, kadang-kadang ia berkekalan mendustakan apa yang didengarnya sekarang, sebagaimana ia mendustakan apa yang telah didengarnya sebelumnya.
Jenis keempat: orang-orang yang berharta. Yang terperdaya dari mereka itu adalah beberapa golongan. Segolongan dari mereka, bersungguh-sungguh membangun masjid-masjid, madrasah-madrasah,. Langgar-langgar, jembatan-jembatan dan apa yang menampak bagi manusia seluruhnya. Mereka menuliskan namanya dengan tembok pada bangunan-bangunan itu, supaya kekal sebutannya. Dan kekal bekas mereka sesudah mati. Mereka menyangka, bahwa mereka telah berhak memperoleh ampunan dengan demikian. Mereka terperdaya padanya, dari 2 segi: salah satu dari 2 segi itu, bahwa mereka membangun bangunan-bangunan tersebut dari harta yang diusahakannya dari kezaliman, kerampasan, uang suapan dan segi-segi yang terlarang. Mereka telah berbuat yang dimarahi oleh Allah pada mengusahakannya. Dan mereka berbuat bagi kemarahannya pada membelanjakannya. Dan yang wajib atas mereka, ialah: mencegah diri dari mengusahakannya itu. Jadi, mereka telah berbuat maksiat kepada Allah dengan usahanya. Maka yang wajib atas mereka, ialah: bertaubat dan kembali kepada Allah. Dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya. Adakalanya barang itu sendiri dan adakalanya mengembalikan gantinya, ketika tidak dapat mengembalikan barangnya. Kalau tidak dapat mereka mengembalikan kepada pemiliknya, maka wajiblah mengembalikannya kepada ahli warisnya. Dan kalau orang yang teraniaya itu tidak lagi mempunyai ahli waris maka haruslah menyerahkan harta itu kepada yang terpenting dari segala kepentingan umum. Kadang-kadang yang terpenting itu adalah membagikan kepada orang-orang miskin. Dan mereka tidak berbuat demikian, karena takut tampak yang demikian kepada manusia. Lalu mereka membangun bangunan-bangunan dengan tembok. Dan maksud mereka dari pembangunan itu, ialah: ria, menarik pujian dan ingin mereka kekalnya bangunan-bangunan itu, untuk kekalnya nama mereka yang tertulis itu padanya. Tidak untuk kekalnya kebajikan. Segi kedua: bahwa mereka menyangka dirinya itu ikhlas dan bermaksud kebajikan pada membelanjakan hartanya pada pembangunan-pembangunan tersebut. Dan kalau seseorang dari mereka diberati untuk membelanjakan satu dinar dan namanya tidak ditulis atas tempat yang dibelanjakannya, niscaya sukarlah yang demikian kepadanya dan ia tidak memperbolehkan dirinya kepada yang demikian. Dan Allah Ta’ala itu melihat, baik namanya ditulis atau tidak ditulis. Dan jikalau tidak bahwa ia bermaksud dengan perbuatan itu akan muka manusia, bukan wajah Allah, niscaya tidak ia menghendaki kepada yang demikian. Suatu golongan lain: kadang-kadang ia mengusahakan harta dari yang halal. Dan ia membelanjakan kepada masjid-masjid. Golongan ini juga tertipu dari 2 segi: salah satu dari ke-2 segi itu, ialah: ria dan mencari pujian. Karena kadang-kadang ada pada tetangganya atau kampungnya orang-orang miskin. Dan meyerahkan harta kepada mereka itu lebih penting, lebih afdlal dan lebih utama daripada menyerahkannya kepada pembangunan masjid-masjid dan menghiasinya. Dan sesungguhnya ringan kepada mereka menyerahkan harta itu kepada masjid-masjid, supaya tampak yang demikian itu diantara manusia. Yang kedua: bahwa ia menyerahkan hartanya kepada menghiasi masjid dan menghiaskannya dengan ukiran-ukiran yang terlarang, yang mengganggu hati orang-orang yang mengerjakan shalat dan menarik penglihatannya. Yang dimaksud dari shalat, ialah khusyu’ dan kehadiran hati. Dan yang demikian itu, merusakkan hati orang-orang yang mengerjakan shalat dan membatalkan pahala mereka dengan yang demikian. Dan bahaya yang demikian itu semuanya kembali kepadanya. Dan serta yang demikian, ia tertipu dengan itu. Ia melihat bahwa yang demikian termasuk diantara yang kebajikan. Dan ia menghitung yang demikian itu jalan (wasilah) kepada Allah Ta’ala. Padahal bersamaan dengan itu, ia telah berbuat bagi kemarahan Allah Ta’ala. Ia menyangka, bahwa ia mentaatiNya dan mengikuti perintahNya. Ia telah mengacaukan hati hamba-hamba Allah dengan apa yang dihiasinya pada masjid. Kadang-kadng ia telah menarik hamba-hamba Allah itu dengan yang demikian, kepada perhiasan dunia. Lalu mereka mengingini seperti yang demikian pada rumah-rumah mereka. Dan mereka berusaha mencarinya. Dan bahaya yang demikian itu semua adalah pada lehernya. Karena masjid itu adalah untuk tawadlu’ dan menghadirkan hati kepada Allah Ta’ala. Malik bin Dinar mengatakan: “Dua orang laki-laki datang di sebuah masjid. Lalu yang seorang berdiri di pintu dan mengatakan: “Orang seperti aku, tidak akan masuk Baitullah (rumah tempat menyembah Allah)”. Lalu dua orang malaikat menulisnya pada sisi Allah orang shiddiq (yang sangat membenarkan agama). Maka begitulah seyogyanya mengagungkan masjid. Yaitu: bahwa ia melihat pengotoran masjid dengan masuknya sendiri dalam masjid, sebagai penganiayaan kepada masjid. Tidak bahwa ia melihat pengotoran masjid dengan yang haram atau dengan hiasan dunia sebagai berbuat kebaikan kepada Allah Ta’ala. Orang-orang hawariyun (pembantu-pembantu Nabi Isa as) mengatakan kepada Nabi Isa as: “Lihatlah ke masjid ini! Alangkah bagusnya!” Lalu Nabi Isa as menjawab: “Hai umatku! Dengan sebenarnya aku akan mengatakan kepadamu. Allah Ta’ala tiada akan meninggalkan dari masjid ini sebuah batu yang berdiri di atas sebuah batu, melainkan akan dibinasakannya, disebabkan dosa yang punyanya (pengurusnya). Allah Ta’ala tidak memperdulikan dengan emas dan perak. Dan tidak memperdulikan dengan batu ini suatupun, yang menakjubkan kamu. Dan sesungguhnya yang sangat dikasihi Allah dari sesuatu itu, ialah: hati yang shalih. Dengan sebab hati yang shalih itu, Allah memakmurkan bumi. Dan dengan sebab hati itu, Allah merobohkannya, apabila hati itu tidak demikian”. Abud Darda ra mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Apabila kamu cantikkan masjid-masjidmu dengan ukiran-ukiran dan kamu hiasi mashhaf-mashhafmu dengan emas dan perak, maka kehancuran itu atas dirimu”. Al Hasan Al Bashar (melihat)i ra berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw tatkala mau membangun masjid Madinah, maka datang kepadanya malaikat Jibril as, seraya mengatakan: “Bangunkanlah masjid ini 7 hasta tingginya ke atas. Jangan engkau hiaskan dan jangan engkau ukirkan”. Maka tertipunya ini, adalah dari segi dia melihat perbuatan munkar itu baik dan ia berpegang kepada perbuatan munkar itu. Suatu golongan lain: mereka membelanjakan (mengeluarkan) harta pada bersedekah kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin. Mereka minta  dengan pemberian itu, diadakan perayaan-perayaan yang mengumpulkan manusia pada pemberian tersebut. Dan dari orang-orang fakir itu, menurut kebiasaannya, berterima kasih dan menyiarkan perbuatan baik itu. Mereka tiada menyukai bersedekah secara rahasia (disembunyikan). Mereka memandang penyembunyian orang  fakir terhadap apa yang diambilnya dari mereka itu, suatu penganiayaan dan tidak berterima kasih (kufur) kepada mereka. Kadang-kadang mereka berusaha membelanjakan (mengeluarkan) harta itu pada haji. Lalu mereka mengerjakan ibadah haji berkali-kali. Kadang-kadang mereka meninggalkan tetangganya dalam kelaparan. Karena itulah Ibnu Mas’ud ra mengatakan: “Pada akhir zaman, banyak orang haji, dengan tiada sebab yang memudahkan bagi mereka perjalanan dan melapangkan bagi mereka rezeki. Mereka kembali dengan diharamkan (tidak mendapat) pahala dan dicabut dari balasan. Ingin untanya dengan seseorang mereka di tempat-tempat pasir dan sepi dan tetangganya terikat gelembungnya (tidak ada yang dimakan), tidak ditolongnya”. Abu Nashir At Tamar (seorang abid yang keopercayaan, (w. Th. 28 H) mengatakan: “Seorang laki-laki datang mengucapkan selamat tinggal kepada Bishir bin Al Harts. Orang itu berkata: “Aku berazam (ingin sekali) naik haji. Maka suruhlah aku sesuatu yang akan aku kerjakan!”. Bishir bin Al Harts lalu mengatakan kepada laki-laki itu. “Berapa telah engkau sediakan belanjanya?”. Laki-laki itu menjawab: “2000 dirham”. Bishir bin Al Harts lalu bertanya: “Apakah yang engkau cari dengan hajimu itu? Zuhud atau rindu ke Baitullah atau mencari kerelaan Allah?”. Laki-laki itu menjawab: “Mencari kerelaan Allah”. Bishir berkata: “Kalau engkau memperoleh kerelaan Allah Ta’ala engkau tetap di rumah engkau, dan engkau belanjakan yang 2000 dirham itu dan engkau dengan yakin akan memperoleh kerelaan Allah Ta’ala, apakah engkau mau berbuat yang demikian?”. Laki-laki tersebut menjawab: “Ya mau!”. Bishir lalu berkata: “Pergilah, berikan uang itu kepada 10 orang: kepada orang berhutang, yang akan membayar hutangnya, kepada orang miskin yang akan membaikan keadaannya, kepada orang yang berkeluarga, yang akan mengayakan keluarganya, dan kepada anak yatim yang dididik, yang akan menggembirakannya. Dan kalau kuat hati engkau, berikanlah kepada seseorang. Kerjakanlah! Sesungguhnya engkau memasukkan kegembiraan kepada hati orang muslim, memberi pertolongan kepada orang-orang melarat, menghilangkan melarat dan menolong orang lemah, adalah lebih utama dari 100 kali haji sesudah haji Islam (sekali haji yang diwajibkan oleh agama Islam). Bangunlah, keluarkanlah harta itu, seperti yang kami suruhkan kepadamu! Kalau tidak, maka katakanlah kepada kami, apa yang dalam hatimu!”. Laki-laki itu lalu menjawab: “Hai Abu Nashr! Perjalananku lebih kuat pada hatiku”. Bishir ra lalu tersenyum, memandang kepada orang itu dan mengatakan kepadanya: “Harta itu bila dikumpulkan dari daki perniagaan dan harta-harta syubbah, niscaya jiwa menghendaki bahwa harta itu untuk menunaikan hajat keperluan lalu jiwa itu melahirkan amal-amal shalih. Dan Allah bersumpah kepada dirinya, bahwa ia tidak menerima, selain amal orang-orang yang taqwa (al-muttaqin)”. Suatu golongan lain: dari orang-orang yang mempunyai harta, yang sibuk dengan harta itu. Mereka menjaga harta-harta tadi dan memegangnya dengan kikir yang teguh. Kemudian, mereka sibuk dengan ibadah badaniyah, yang tidak memerlukan kepada perbelanjaan, seperti: puasa siang hari, menegakkan shalat malam hari dan mengkhatamkan (membaca sampai habis) Alquran. Dan mereka itu terperdaya. Karena kikir yang membinasakan, telah menguasai pada kebatinan mereka. Maka ia memerlukan kepada mencegahnya, dengan mengeluarkan harta. Ia telah berbaut dengan mencari perbuatan-perbuatan utama dan ia tidak memerlukaan kepadanya. Orang itu adalah seperti orang yang masuk ke dalam kainnya, seekor ular. Dan ia hampir binasa. Dan ia sibuk memasak sakajabin, untuk menenangkan orang yang terkena penyakit kuning. Dan orang yang dibunuh oleh ular, manakala ia memerlukan kepada sakajabin. Karena itulah dikatakan kepada Bishir, bahwa si Anu itu orang kaya, banyak puasa dan shalat. Lalu Bishir menjawab: “Orang miskin, ialah meninggalkan hal dirinya dan masuk dalam hal keadaan orang lain. Sesungguhnya hal orang ini, ialah: memberi makanan bagi orang-orang lapar dan membelanjakan kepada orang-orang miskin. Ini lebih utama baginya daripada melaparkan dirinya dan daripada shalatnya bagi dirinya, serta mengumpulkannya bagi dunia dan mencegahnya bagi orang-orang yang memerlukan (orang-orang fakir). Suatu golongan lain: mereka yang telah dikerasi oleh sifat kikir. Diri mereka tidak membolehkan, selain menunaikan zakt saja. Kemudian, mereka keluarkan zakat itu, dari harta yang buruk, yang rendah mutunya, yang tidak mereka sukai. Dan mereka cari dari orang-orang fakir itu, orang yang akan melayani mereka dan yang sekali datang untuk memenuhi keperluan mereka. Atau orang yang mereka perlukan kepadanya pada masa depan, untuk mempergunakan tenaganya pada pelayanan. Atau orang, yang pada umumnya mereka mempunyai maksud pada orang tersebut. Atau mereka serahkan yang demikian itu kepada orang yang ditentukan oleh seseorang pembesar, dari orang-orang yang memperoleh kekuatan dengan kekeluargaannya. Supaya dengan demikian, ia memperoleh kedudukan pada pembesar tersebut. Lalu pembesar itu bangun memenuhi keperluannya. Semua itu merusakkan niat dan membatalkan amal. Dan orang yang mempunyai sifat tersebut itu terperdaya. Ia menyangka bahwa ia orang yang mentaati Allah Ta’ala. Padahal dia orang yang zalim. Karena ia mencari dengan ibadah kepada Allah, gantinya dari selain Allah. Maka yang tersebut tadi dan yang serupa dengan itu, termasuk sebahagian dari tertipunya orang-orang yang berharta juga, yang tidak terhingga jumlahnya. Dan sesungguhnya kami sebutkan sekadar ini, untuk memperingati jenis-jenis terperdaya itu. Suatu golongan lain: dari orang-orang awam, orang-orang yang mempunyai harta dan orang-orang miskin, yang terperdaya dengan menghadiri majlis-majlis dzikir. Mereka berkeyakinan, bahwa yang demikian itu mengayakan mereka dan mencukupkannya. Mereka membuat yang demikian menjadi adat kebiasaan. Dan mereka menyangka, bahwa mereka memperoleh pahala, dengan semata-mata mendengar pengajaran, tanpa amal dan tanpa mengambil pengajaran dengan ajaran itu. Mereka itu terperdaya. Karena kelebihan majlis dzikir, adalah dia itu menggemarkan pada kebajikan. Dan jikalau ia tidak menggerakkan kegemaran, maka tak ada kebajikan padanya. Dan kegemaran itu terpuji. Karena ia membangkitkan kepada amal. Kalau kegemaran itu lemah daripadanya membawa kepada amal, maka tak ada kebajikan padanya. Dan apa yang dimaksudkan untuk yang lain, maka apabila ia tidak sanggup menunaikan kepada yang lain itu, niscaya tidak ada nilainya. Kadang-kadang ia tertipu, dengan apa yang didengarnya dari juru nasehat, tentang kelebihan menghadiri majlis dzikir dan kelebihan menangis. Kadang-kadang ia dimasuki oleh kelemahan hati, seperti lemahnya hati kaum wanita. Lalu ia menangis dan tidak ada cita-cita apapun. Kadang-kadang ia mendengar kata-kata yang menakutkan. Lalu ia tidak lebih daripada bertepuk dengan kedua tangannya. Dan mengatakan: “Ya Allah Yang menyelamatkan! Selamatkanlah!”. Atau “Na’uudzu billah” atau “Subhaanallaah!”. Ia menyangka, bahwa ia telah berbuat kebajikan seluruhnya. Dia itu tertipu! Contohnya, adalah seperti orang sakit yang menghadiri majlis tabib-tabib (dokter-dokter). Lalu ia mendengar apa yang berlaku di majlis tersebut. Atau seperti orang lapar, yang hadir di sisinya, orang yang menerangkan kepadanya sifat makanan-makanan yang enak, yang menggiurkan. Kemudian, orang itu pergi. Yang demikian itu, tidak ada gunanya baginya suatupun dari sakit-sakit dan laparnya. Maka begitu pula mendengar keterangan perbuatan-perbuatan taat, tanpa mengamalkannya, tidaklah mendatangkan faedah suatupun daripada Allah Ta’ala. Maka setiap pengajaran (nasehat) yang tidak mendatangkan bagi engkau perobahan suatu sifat, yang akan merobah perbuatan engkau, sehingga engkau menghadap kepada Allah, dengan penghadapan yang kuat atau yang lemah dan engkau berpaling dari dunia, maka pengajaran itu menambahkan hujjah (alasan) yang memberatkan engkau. Maka apabila engkau memandangnya suatu jalan (wasilah) bagi engkau, maka adalah engkau itu terperdaya. Kalau anda mengatakan: bahwa apa yang aku sebutkan dari tempat-tempat masuknya terperdaya itu, adalah suatu hal yang tiada seorangpun terlepas daripadanya dan tidak tidak mungkin menjaga diri daripadanya. Dan itu mengharuskan putus asa. Karena tiada seorang manusiapun yang kuat menjaga diri, dari hal-hal yang tersembunyi dari bahaya-bahaya tersebut. Maka aku menjawab, bahwa manusia, apabila luntur cita-citanya pada sesuatu, niscaya menampaklah keputus-asaan daripadanya. Ia menganggap hal itu soal besar dan ia memandang sukar jalannya. Dan apabila telah benar ada keinginan daripadanya, niscaya ia mencari petunjuk kepada daya-upaya. Dan mencari akal dengan perhatian yang mendalam, akan jalan-jalan yang tersembunyi, untuk sampai kepada maksud. Sehingga, bahwa manusia itu apabila bermaksud menurunkan burung yang terbang tinggi di udara langit, serta jauhnya daripadanya, niscaya dapat diturunkannya. Dan apabila ia bermaksud mengeluarkan ikan paus dari laut dalam, niscaya dapat dikeluarkannya. Dan apabila ia bermaksud mengeluarkan emas dan perak dari bawah gunung, niscaya dapat dikeluarkannya. Dan apabila ia bermaksud menangkap binatang liar yang terlepas dalam padang luas dan padang sahara, niscaya dapat ditangkapnya. Dan apabila ia bermaksud menggunakan binatang-binatang buas, gajah dan binatang-binatang besar lainnya, niscaya dapat digunakannya. Dan apabila ia bermaksud mengambil ular dan ular-ular besar dan ingin bermain dengan ular-ular itu, niscaya dapat diambilnya. Dan dapat dikeluarkannya racun dari mulutnya. Dan apabila ia bermaksud membuat kain sutera berwarna, yang terlukis, dari daun murbai, niscaya dapat dibuatnya. Dan apabila ia bermaksud mengetahui ukuran bintang-bintang, panjang dan lintangnya, niscaya dapat ia keluarkan yang demikian dengan kehalusan ilmu ukur (ilmu hindasah). Sedang dia tetap di atas bumi. Semua itu, dengan mencari pemahaman daya-upaya dan menyediakan alat-alat. Maka dapat dipergunakannya kuda untuk kendaraan dan anjing untuk berburu. Dapat dipergunakannya jerat untuk menangkap burung-burung. Dan disediakannnya jala untuk menangkap ikan dan lain-lainnya dari daya upaya manusia yang halus-halus. Semua itu, karena kepentingannya, ialah urusan dunianya. Dan yang demikian itu dapat menolongnya kepada dunianya. Jikalau yang penting baginya urusan akhiratnya, maka tidak ada baginya, selain satu urusan. Yaitu: meluruskan hatinya. Maka ia lemah daripada meluruskan hatinya dan ia kecewa, seraya mengatakan: “Ini mustahil dan siapakah yang sanggup kepadanya?”. Tidaklah yang demikian itu mustahil, jikalau cita-citanya itu menjadi cita-cita yang satu ini. Bahkan dia itu, sebagaimana dikatakan orang: “Jikalau benar dari engkau keinginan itu, niscaya keinginan itu menunjukkan untuk daya-upaya”. Maka ini adalah suatu, yang tidak lemah ulama-ulama terdahulu yang shalih-shalih daripadanya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya. Tidak pula lemah daripadanya, orang yang benar kemauannya dan kuat cita-citanya. Bahkan, ia tidak memerlukan kepada 1/10 kepayahan makhluk pada mencari pemahaman daya-upaya dunia dan menyusun sebab-sebabnya. Kalau anda mengatakan: “Engkau sesungguhnya telah mendekatkan urusan tentang itu, sedang engkau telah membanyakkan menyebut jalan-jalan masuknya terperdaya. Maka dengan apakah hamba itu dapat terlepas dari terperdaya?”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa hamba itu terlepas dari terperdaya, dengan: 3 perkara, yaitu: akal, ilmu dan ma’rifah. Maka inilah 3 perkara yang tidak boleh tidak daripadanya. Adapun akal, maka yang aku maksudkan, ialah: fithrah ghariziyah/instink dan nur asli, dimana dengan itu manusia dapat mengetahui hakikat/makna sesuatu. Cerdik dan pintar itu fithrah. Dungu dan bodoh itu fithrah. Orang yang bodoh tidak sanggup menjaga diri dari ke-terperdayaan. Keberhasilan akal dan kecerdikan pemahaman itu, tak boleh tidak pada asal fithrah itu. Maka yang demikian ini, jikalau tidak dijadikan fithrah manusia kepadanya, niscaya mengusahakannya tidak mungkin. Ya, apabila telah ada pokoknya, niscaya mungkinlah menguatkannya dengan selalu membiasakan diri dengan demikian. Sendi bahagia semua, ialah: akal dan kepintaran. Rasulullah saw bersabda: “Maha Sucilah Allah yang membagikan akal di antara hamba-hambaNya sendiri-sendiri. Bahwa dua orang itu dapat bersamaan amalnya, kebajikannya, puasanya dan shalatnya. Akan tetapi, dua orang tersebut berlebih kurang tentang akalnya, seperti semut halus pada tepi jabal Uhud. Dan apa yang dibagikan oleh Allah, yang merupakan suatu keuntungan bagi makhlukNya, adalah lebih utama daripada akal dan yakin. Dari Abid-darda’, diriwayatkan, bahwa ada orang yang bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah! Adakah engkau melihat orang yang berpuasa siang hari, bangun berdiri menegakkan shalat malam hari, mengerjakan haji, mengerjakan ‘umrah, bersedekah, berperang pada jalan Allah, mengunjungi orang sakit, mengantarkan janazah dan menolong orang lemah? Dan orang itu tidak mengetahui kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat?”. Rasulullah saw lalu menjawab: “Sesungguhnya ia memperoleh pembalasan sekadar akalnya”. Anas ra mengatakan: “Dipujikan seorang laki-laki di sisi Rasulullah saw. Mereka mengatakan: “Orang baik”. Maka Rasulullah saw bertanya: “Bagaimana akalnya?”. Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah ! kami katakan dari hal ibadahnya, kelebihannya dan akhlaknya”. Rasulullah saw bertanya lagi: “Bagaimana akalnya? Sesungguhnya orang dungu memperoleh bahaya dengan dengan kedunguannya, lebih besar daripada kezaliman orang zalim. sesungguhnya manusia didekatkan (kepada Allah) pada hari kiamat, menurut kadar akal mereka”. Abud-darda’ mengatakan: “Adalah Rasulullah saw, apabila disampaikan kepadanya dari hal seseorang, tentang kuat ibadahnya, lalu beliau menanyakan dari hal akalnya. Maka apabila mereka menjawab “baik”, lalu Rasulullah saw mengatakan: “Aku harap yang demikian”. Dan kalau mereka menjawab: “tidak demikian”, maka Rasulullah saw mengatakan: “Tidak sampai”. Disebutkan kepadanya, kuatnya ibadah seseorang, lalu beliau saw bertanya: “Bagaimana akalnya?”. Mereka menjawab: “Tidak ada artinya sedikitpun”. Lalu Nabi saw mengatakan: “Tidak sampai temanmu menurut yang kamu sangka”. Maka kecerdikan itu benar dan naluri (gharizah) akal itu suatu nikmat daripada Allah Ta’ala pada asal fithrah (asal kejadian). Jikalau nikmat itu hilang, disebabkan kebodohan dan kedunguan, maka tidak akan didapati lagi.
Kedua: ma’rifah. Aku maksudkan dengan ma’rifah itu, ialah: ia mengenal 4 perkara: ia mengenal dirinya, mengenal Tuhannya, mengenal dunia dan mengenal akhirat. Ia mengenal dirinya, dengan ‘ubudiyah (perhambaan) dan kehinaan. Dan dengan adanya dia itu perantau di alam ini dan orang asing dari segala nafsu syahwat kebinatangan ini. Sesungguhnya yang bersesuaian baginya menurut tabiat, ialah: mengenal (ma’rifah) Allah Ta’ala. Dan memandang kepada wajahNya saja. Maka tidak dapat tergambar, bahwa ia mengenal ini, selama tidak mengenal dirinya dan tidak mengenal Tuhannya. Maka hendaklah ia meminta tolong kepada ini, dengan apa yang telah kami sebutkan dahulu pada Kitab Kasih sayang, pada Kitab Uraian Keajaiban Hati, Kitab Tafakkur dan Kitab Syukur. Karena pada kitab-kitab tersebut ada isyarat-isyarat (petunjuk) kepada kesifatan diri dan kepada kesifatan keagungan Allah. Dan berhasil dengan yang demikian, kesadaran secara keseluruhan dan kesempurnaan ma’rifah di belakangnya. Maka ini sesungguhnya termasuk di antara ilmu-ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Dan tidak kami panjang lebarkan pada kitab ini, selain mengenai ilmu-ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Adapun mengenali dunia dan akhirat, maka ia dapat meminta tolong kepada yang demikian, dengan apa yang telah kami sebutkan dahulu pada Kitab Tercelanya Dunia dan Kitab Mengingati Mati. Supaya teranglah baginya, bahwa tiada perbandingan bagi dunia kepada akhirat. Apabila ia telah mengenal dirinya dan Tuhannya dan mengenal dunia dan akhirat, niscaya berkobarlah dari hatinya, dengan mengenal (ma’rifah) Allah itu, akan kecintaan kepada Allah. Dan dengan mengenal akhirat, akan bersangatan gemar kepadanya. Dan dengan mengenal dunia, akan bersangatan benci kepadanya. Dan jadilah urusannya yang terpenting, ialah: apa yang menyampaikannya kepada Allah Ta’ala dan yang bermanfaat baginya di akhirat. Apabila kehendak ini telah mengeras pada hatinya, niscaya shahlah niatnya pada semua urusannya. Kalau ia makan-umpamanya atau ia membuang air besar dan air kecil (berqodo hajat), niscaya adalah maksudnya daripadanya itu, untuk pertolongan kepada menempuh jalan akhirat. Dan shahlah niatnya. Dan tertolaklah daripadanya setiap terperdaya, tempat terjadinya tarik-menarik segala maksud, keinginan kepada dunia, kepada kemegahan dan harta. Maka yang demikian itu, adalah yang merusakkan niat. Dan selama dunia masih lebih dicintainya dari akhirat dan hawa nafsunya lebih disukainya daripada ridla Allah Ta’ala, maka tidak mungkin ia terlepas daripada ke-terperdayaan. Maka apabila kecintaan kepada Allah Ta’ala telah mengerasi pada hatinya, dengan ma’rifahnya kepada Allah dan dirinya sendiri, yang terbit dari kesempurnaan akalnya, maka ia memerlukan kepada arti ke-3, yaitu: ilmu. Aku maksudkan: ilmu dengan ma’rifah cara menjalani jalan kepada Allah, pengetahuan dengan apa yang mendekatkannya kepada Allah dan yang menjauhkannya daripada Allah. Dan pengetahuan tentang bahaya-bahaya jalan, halangan dan tipu dayanya. Semua itu telah kami simpan dalam kitab-kitab ‘Ihya ‘Ulumiddin. Maka akan diketahui dari Rubu’ Ibadah syarat-syaratnya. Lalu dapatlah memeliharainya. Dan dapat diketahui bahaya-bahayanya, lalu dapatlah menjagainya. Dan dari Rubu’ Adat Kebiasaan, dapat diketahui rahasia-rahasia hidup dan apa yang diperlukan kepadanya. Lalu diambilnya dengan adab agama. Dan apa yang tidak diperlukan, maka ia berpaling daripadanya. Dan dari Rubu’ Yang Membinasakan, ia dapat mengetahui semua halangan yang mencegah pada jalan Allah. Maka yang mencegah daripada Allah itu, ialah sifat-sifat yang tercela pada makhluk. Lalu diketahuinya yang tercela dan diketahuinya jalan pengobatannya. Ia mengetahui dari Rubu’ Yang Melepaskan, akan sifat-sifat yang terpuji, yang tidak boleh tidak. Dan supaya diletakkan di belakang daripada sifat-sifat yang tercela, sesudah menghapuskannya. Maka apabila telah diketahui dengan semua yang demikian, niscaya memungkinkan dia menjaga diri dari segala macam yang telah kami isyaratkan, dari ke-terperdayaan itu. Dan pokok yang demikian itu semua, ialah: kerasnya kecintaan kepada Allah dalam hati. Dan gugur kecintaan kepada dunia daripada hati. Sehingga kuatlah kehendaknya dan shahlah niatnya. Dan yang demikian itu tiada akan berhasil, selain dengan ma’rifah yang telah kami sebutkan dahulu. Kalau anda bertanya, bahwa apabila telah diperbuat semua itu, maka apakah yang ditakutkan atas yang demikian? Aku menjawab, bahwa yang ditakutkan, ialah: bahwa dia ditipu oleh setan dan diajaknya kepada menasehati makhluk, menyiarkan ilmu dan mendakwakan manusia kepada apa yang diketahuinya dari agama Allah. Sesungguhnya murid yang ikhlas, apabila ia telah selesai membersihkan dirinya dan akhlaknya dan ia mengintip hatinya, sehingga dapat dibersihkannya dari semua yang mengotorkan dan  menjadi lurus di atas jalan yang lurus dan dunia menjadi kecil pada matanya, lalu ditinggalkannya dan terputuslah harapannya kepada makhluk, lalu ia tidak menoleh kepada mereka. Dan tidak tinggal baginya, selain satu cita-cita. Yaitu: Allah Ta’ala, merasa lazat dengan mengingatiNya, dengan  membisikkan segala isi hati dengan DIA dan rindu menemuiNya. Dan setan lemah menipunya. Karena setan itu datang kepadanya dari segi dunia dan nafsu syahwat diri. Lalu ia tidak menuruti setan itu. Lalu setan itu datang kepadanya dari segi agama. Dan setan itu mengajaknya kepada kasih sayang kepada makhluk Allah dan belas kasihan kepada agama mereka, menasehati mereka dan mengajaknya kepada Allah. Maka hamba itu melihat dengan kasih sayangnya kepada hamba-hamba. Lalu dilihatnya mereka yang keheran-heranan dalam urusannya, yang mabuk pada agamanya, tuli dan buta. Mereka telah dikuasai oleh sakit dan mereka itu tidak merasakannya. Mereka ketiadaan dokter dan hampir mereka itu binasa. Lalu mengeraslah kasih sayang pada hatinya kepada mereka. Dan sesungguhnya sudah ada padanya hakikat/makna ma’rifah, dengan apa yang dapat menunjukkan mereka, menerangkan kepada mereka kesesatannya dan menunjukkan mereka kepada kebahagiaannya. Ia sanggup menyebutkan hakikat/makna ma’rifah itu, tanpa payah, perbelanjaan dan harus berhutang. Maka adalah dia itu, seperti seorang laki-laki, yang ada padanya penyakit parah, yang tidak sanggup menahan pedihnya. Dan adalah karena itu, ia tidak tidur malamnya dan ia tidak tenteram siangnya. Ia tidak makan, tidak minum, tidak bergerak dan tidak dapat berbuat apa-apa, karena sangatnya pukulan kepedihan sakit. Lalu ia memperoleh obat dengan percuma, bersih tanpa harga, tidak payah dan tidak pahit pada memakannya. Lalu dipakainya. Lalu ia sembuh dan sehat. Maka baguslah tidurnya di malam hari, sesudah lama tidak dapat tidur. Dan ia tenang di siang hari, sesudah bersangatan ketidak tenteraman. Dan baguslah hidupnya sesudah penghabisan keruh. Dan ia memperoleh lazatnya kesehatan, sesudah lamanya sakit. Kemudian, ia memandang kepada bilangan yang banyak dari kaum muslimin. Tiba-tiba, dilihatnya kepada mereka penyakit itu benar. Dan sudah lama mereka tidak tidur malam, telah bersangatan ketidak tenteraman dan telah meninggi sampai ke langit jeritan kesakitan mereka. Lalu ia teringat, bahwa obat mereka itu, ialah: obat yang diketahuinya. Dan ia sanggup menyembuhkan mereka dengan yang termudah dari apa yang ada dan dalam masa yang sesingkat-singkatnya. Maka timbul dalam hatinya belas kasihan dan kasih sayang. Dan ia tidak memperoleh kesempatan pada dirinya untuk melambatkan berbuat mengobati mereka. Maka seperti demikianlah hamba yang ikhlas, sesudah memperoleh petunjuk kepada jalan yang benar dan telah sembuh dari penyakit-penyakit hati, yang menyaksikan makhluk. Dan makhluk itu telah berpenyakit hatinya, telah payah penyakitnya, mendekati kebinasaannya dan penyembuhannya. Dan mudah padanya obat mereka. Lalu membangkitlah dari dirinya, cita-cita yang kuat, untuk berbuat menasehati mereka. Dan setan menggerakkannya kepada yang demikian, karena mengharap memperoleh jalan kepada fithrah. Maka tatkala ia berbuat dengan yang demikian, niscaya setan memperoleh jalan kepada fithrah. Lalu setan itu mengajaknya untuk menjadi kepala, dengan ajakan tersembunyi, yang lebih tersembunyi daripada merangkaknya semut, yang tiada dirasakan oleh murid itu. Lalu senantiasalah yang merangkak itu dalam hatinya, sehingga mengajaknya kepada berbuat-buat dan penghiasan kepada orang banyak, dengan membaguskan kata-kata, bunyi suara dan gerak-gerik, berbuat-buat pada pakaian dan cara geraknya. Lalu manusia menghadap kepadanya, membesarkannya, mengagungkannya dan memuliakannya, dengan pemuliaan yang melebihi daripada pemuliaan raja-raja. Karena mereka melihatnya, yang menyembuhkan penyakit mereka. Karena pengobatan mereka, dengan semata-mata belas kasihan dan kasih sayang, tanpa mengharap apa-apa. Maka jadilah dia yang paling dikasihi mereka, melebihi dari bapak, ibu dan keluarga mereka sendiri. Lalu mereka mengutamakannya dengan badan dan harta mereka. Dan jadilah mereka pengikutnya, seperti budak-budak dan pelayan-pelayan. Mereka lalu melayaninya dan mendahulukannya pada perayaan-perayaan. Dan mereka menjadikannya hakim di atas raja-raja dan sultan-sultan. Ketika itu berkembanglah tabiat, senanglah diri. Dan ia merasa kelazatan yang tidak dapat disifatkan. Diperolehnya dari dunia nafsu syahwat, yang dipandangnya tidak berarti semua nafsu syahwat yang lain. Dia telah meninggalkan dunia, lalu jatuh dalam kelazatannya yang terbesar. Maka ketika itu, setan mendapat kesempatan. Dan memanjanglah tangannya kepada hati orang tersebut. Lalu setan itu memakai hati orang tadi pada setiap yang dapat menjaga kelazatan itu. Tanda berkembangnya tabiat dan kecenderungan diri kepada setan, ialah: kalau orang itu bersalah, lalu ditolak kesalahannya di hadapan orang banyak, niscaya ia marah. Dan apabila orang itu menentang dirinya dari kemarahan yang didapatinya, niscaya bersegeralah setan, mengkhayalkan kepadanya, bahwa yang demikian itu kemarahan karena Allah. Karena apabila ia tidak membaguskan kepercayaan murid-murid kepadanya, niscaya mereka terputus dari jalan Allah. Lalu jatuh ia pada ke-terperdayaan. Kadang-kadang yang demikian itu mengeluarkannya kepada kejadian, pada orang yang tertolak pada suatu majlis. Lalu ia jatuh pada cacian yang terlarang, sesudah ditinggalkannya halal yang luas. Dan ia jatuh pada kesombongan yang menjadi keangkuhan daripada menerima kebenaran yang bersyukur kepadanya, sesudah ia menjaga diri dari jalan-jalan yang berbahaya. Begitu juga, apabila ia terlanjur tertawa atau lemah dari sebahagian wirid-wirid ibadah, niscaya dirinya menjadi gundah untuk dilihat orang. Maka jatuhlah penerimaannya pada orang banyak. Lalu diikutkannya yang demikian itu, dengan pembacaan istighfar (memohon ampunan Tuhan) dan menarik nafas panjang (tanda penyesalan). Kadang-kadang ia menambahkan amal dan wirid itu, karena yang demikian. Dan setan mengkhayalkan kepadanya: “Bahwa engkau sesungguhnya mengerjakan yang demikian, supaya tidak lemah pikiran mereka daripada jalan Allah. Lalu mereka meninggalkan jalan dengan meninggalkan pikiran itu”. Yang demikian itu sesungguhnya tipuan dan keterperdayaan. Bahkan itu kegundahan dari diri, karena takut kehilangan menjadi kepala. Dan karena itulah, dirinya tidak gundah daripada dilihat manusia kepada yang seperti demikian dari teman-temannya. Bahkan, kadang-kadang ia menyukai yang demikian itu dan bergembira dengan demikian. Dan kalau muncul dari kawan-kawannya, orang yang cenderung hati manusia kepada menerimanya dan bertambah kesan perkataannya pada penerimaan itu atas perkataannya, niscaya sukarlah yang demikian itu kepadanya (ia tidak senang yang demikian). Dan kalau tidaklah dirinya telah merasa gembira dan merasa lezat menjadi kepala, niscaya adalah dia merasa memperoleh rampasan dengan demikian. Karena contohnya, adalah seperti: seorang laki-laki melihat segolongan dari teman-temannya, telah jatuh dalam sumur dan telah tertutup muka sumur itu dengan batu besar. Lalu teman-teman itu lemah untuk naik dari sumur, dengan sebab batu besar tadi. Maka belas kasihanlah hatinya kepada teman-temannya. Lalu ia datang untuk mengangkatkan batu dari muka sumur. Tetapi sukar yang demikian kepadanya. Maka datang orang yang menolongnya kepada yang demikian, sehingga mudahlah perbuatan tersebut kepadanya. Atau cukup perbuatan itu olehnya sendiri dan dipindahkannya sendiri batu besar itu. Maka sudah pasti, sangatlah gembirannya dengan demikian. Karena maksudnya, terlepasnya teman-temannya dari sumur. Kalau maksud orang yang menjadi penasehat agama adalah terlepasnya saudara-saudaranya kaum muslimin dari neraka, maka apabila muncul orang yang menolongnya atau memadai dengan dia sendiri yang demikian, niscaya tidaklah ia berkeberatan atas yang demikian. Adakah anda melihat, jikalau semua mereka, memperoleh petunjuk dari diri mereka sendiri, adakah seyogyanya bahwa ia berkeberatan atas demikian, jikalau maksudnya adalah petunjuk (hidayah) bagi mereka itu? Maka apabila mereka mendapat petunjuk dengan orang lain, niscaya mengapa ia berkeberatan atas yang demikian? Dan manakala ia mendapat yang demikian pada dirinya, niscaya ia diajak oleh setan kepada semua dosa besar hati dan perbuatan keji anggota badan. Dan setan itu membinasakannya. Maka kita berlindung dengan Allah dari sesatnya hati, sesudah memperoleh petunjuk dan dari bengkoknya diri sesudah lurus. Jikalau anda mengatakan: “Kapan kiranya boleh ia berbuat menasehati manusia?”. Maka aku menjawab: apabila tidak ada baginya maksud, selain untuk petunjuk mereka bagi jalan Allah Ta’ala. Dan ia mengingini, kalau dia memperoleh orang yang akan menolongnya. Atau jikalau mereka memperoleh petunjuk dengan diri mereka sendiri. Dan terputuslah secara keseluruhan keinginannya kepada pujian mereka dan kepada harta mereka. Maka samalah padanya ketika itu pujian dan celaan mereka. Ia tidak perduli dengan cacian mereka, apabila adalah Allah memujinya. Ia tidak bergembira dengan pujian mereka, apabila tidak disertai oleh pujian Allah Ta’ala. Ia memandang kepada mereka, seperti ia memandang kepada tuan-tuan dan hewan-hewan. Adapun kepada tuan-tuan, maka dari segi bahwa dia tidak menyombong kepada mereka. Ia melihat semua mereka lebih baik daripadanya, karena bodohnya akan khatimah (kesudahan) nanti. Adapun kepada hewan-hewan, maka dari segi putus harapannya daripada mencari kedudukan pada hati mereka. Ia tidak memperdulikan, bagaimana ia dipandang oleh hewan-hewan. Maka ia tidak menghiaskan diri untuk hewan-hewan itu. Dan ia tidak berbuat-buat (at-tashannu’). Akan tetapi, penggembala hewan itu, maksudnya sesungguhnya, ialah: menggembala hewan dan menolak serigala daripadanya. Bukan pandangan hewan itu kepadanya. Maka manakala ia tidak memandang manusia lain seperti hewan, yang ia tidak menoleh kepada penglihatannya itu dan ia tidak memperdulikan dengan hewan tersebut, niscaya ia tidak akan selamat dari berbuat dengan memperbaiki mereka. Ya, kadang-kadang ia dapat memperbaiki mereka. Akan tetapi, ia merusakkan dirinya dnegan memperbaiki mereka itu. Maka adalah dia seperti lampu yang memberi cahaya kepada yang lain dan ia terbakar pada dirinya sendiri. Kalau anda mengatakan: bahwa jikalau juru-juru pengajaran itu meninggalkan pengajaran (nasehat), selain ketika memperoleh derajat ini, niscaya kosonglah dunia dari pengajaran dan robohlah hati manusia. Maka aku menjawab, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Kecintaan kepada dunia itu kepala (pokok) tiap-tiap kesalahan”. Jikalau manusia tidak mencintai dunia, niscaya alam itu binasa. Batallah segala kehidupan dan binasalah semua hati dan badan. Hanya bahwa Nabi saw tahu, bahwa kecintaan kepada dunia itu membinasakan. Dan bahwa menyebutkan adanya yang membinasakan itu, tidak akan mencabut kecintaan dari hati orang banyak dan tidak juga dari hati orang sedikit, yang dunia itu tidak akan roboh dengan ditinggalkan oleh mereka. Maka ia tidak meninggalkan nasehat dan ia sebutkan bahwa pada mencintai dunia itu ada bahayanya. Dan ia tidak meninggalkan menyebutnya, lantaran takut daripada meninggalkan dirinya dengan nafsu syahwat yang membinasakan, yang telah dikuasakan oleh Allah atas hamba-hambaNya. Supaya dengan nafsu syahwat itu, dihalauNya mereka ke neraka jahannam. Karena membenarkan firmanNya: “Tetapi perkataan daripadaKu sebenarnya akan terjadi: sesungguhnya Aku akan memenuhkan neraka jahannam dengan jin dan manusia semuanya”. S 32 As Sajadah ayat 13. Maka seperti itu pula, senantiaslah lisan juru-juru nasehat itu dilepaskan, untuk mencintai suka menjadi kepala. Tidak mereka tinggalkan lisan-lisan itu dengan perkataan orang yang mengatakan, bahwa: nasehat bagi menyukai menjadi kepala itu haram, sebagaimana makhluk itu tidak meninggalkan minuman khamar, zina, mencuri, ria, zalim dan maksiat-maksiat lainnya, dengan firman Allah dan RasulNya, bahwa itu haram. Maka lihatlah kepada dirimu sendiri! Hendaklah kamu itu kosong hati dari percakapan manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala memperbaiki makhluk banyak dengan merusakkan orang seorang dan beberapa orang – “Dan kalau tidak ada pembelaan Allah terhadap serangan manusia satu sama lain, niscaya binasalah bumi ini”. Dan sesungguhnya Allah Ta’ala menguatkan agama ini dengan kaum-kaum (orang-orang) yang tidak berakhlak. Sesungguhnya ditakuti akan rusak jalan penerimaan pengajaran (nasehat). Adapun bisunya lidah orang-orang juru nasehat dan di belakang mereka ada pembangkit ingin menjadi kepala dan kecintaan kepada dunia, maka tidak adalah yang demikian itu untuk selama-lamanya. Kalau anda berkata: bahwa, jiikalau murid itu mengetahui tipuan ini dari setan, lalu sibuk dengan urusannya sendiri, meninggalkan memberi nasehat kepada orang atau ia memberi nasehat dan ia menjaga syarat kebenaran dan keikhlasan padanya, maka apakah yang ditakutkan lagi pada murid itu? Dan apakah lagi yang masih ada di hadapannya, dari bahaya-bahaya dan jaring-jaring tipuan? Maka ketahuilah kiranya, bahwa masih ada padanya yang terbesar. Yaitu: bahwa setan mengatakan kepadanya: “Engkau telah melemahkan aku dan engkau telah terlepas daripada aku, dengan kecerdikan engkau dan kesempurnaan akal engkau. Aku telah sanggup menipu sejumlah wali-wali dan orang-orang besar. Dan aku tidak sanggup terhadapmu. Alangkah sabarnya engkau dan alangkah besarnya kadar engkau dan tempat engkau pada sisi Allah Ta’ala! Karena IA menguatkan engkau atas keperkasaanku. IA menetapkan engkau dengan kecerdikan bagi semua tempat masuk tipuanku”. Maka didengarnya perkataan setan itu dan dibenarkannya. Dan ia membanggakan diri, tentang dapat ia lari dari semua tipuan setan itu. Maka kebanggaan dirinya itu, adalah terperdaya yang penghabisan. Dan itulah pembinasa yang terbesar. Maka ‘ujub (mengherani diri atau membanggakan diri) itu, yang terbesar dari semua dosa. Dan karena itulah, setan mengatakan: “Hai anak Adam! Apabila engkau menyangka bahwa engkau dengan ilmu engkau, telah dapat melepaskan diri daripadaku, maka dengan kebodohan engkau, engkau telah jatuh dalam jaring-jaringku”. Kalau anda mengatakan: bahwa jikalau ia tidak membanggakan diri, karena ia tahu, bahwa yang demikian itu adalah daripada Allah Ta’ala, tidak daripada dirinya sendiri. Dan bahwa orang yang seperti dia, tidak akan kuat menolak setan, selain dengan taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala. Dan orang yang tahu akan kelemahan dirinya dan ketidak-sanggupannya dari hal yang paling sedikitpun, maka apabila ia sanggup kepada urusan besar yang seperti ini, niscaya ia tahu bahwa ia tidak kuat kepada yang demikian, dengan dirinya sendiri. Akan tetapi dengan Allah Ta’ala. Maka apakah yang ditakutkan padanya, sesudah tidak ada kebanggaan itu?. Maka aku menjawab: ditakutkan padanya terperdaya dengan kurnia Allah, kepercayaan dan kemurahanNya dan rasa aman dari percobaanNya. Sehingga ia menyangka, bahwa ia masih tinggal atas jalan ini pada masa mendatang. Dan ia tidak takut dari kekosongan dan pertukaran keadaan. Lalu adalah keadaannya itu berpegang kepada kurnia Allah saja, tanpa dibarengi oleh takut dari percobaanNya. Dan orang yang merasa aman daripada percobaan Allah, maka orang itu rugi sekali. Akan tetapi, jalannya, ialah: bahwa dia itu menyaksikan jumlah yang demikian, dari kurnia Allah. Kemudian, ia takut atas dirinya, bahwa telah tersumbat kepadanya salah satu dari sifat-sifat hatinya: dari kecintaan kepada dunia, ria, jahat akhlak dan berpaling kepada kemuliaan. Dan ia lengah daripadanya. Dan adalah dia itu takut juga, bahwa tercabut keadaannya dalam tiap sekejap mata, yang tidak merasa aman dari percobaan Allah. Dan tidak lengah daripada bahaya khatimah (kesudahan dari hidup). Ini adalah bahaya, yang tidak dapat lari daripadanya. Ketakutan yang tidak terlepas daripadanya. Selain sesudah melewati titian ash-shirathal-mustaqim di akhirat. Dan karena itulah, tatkala tampak setan bagi sebahagian wali-wali pada waktu tercabutnya nyawa (waktu naza’) dan yang masih tinggal, hanya sekali tarik nafas, lalu setan itu mengatakan: “Engkau terlepas daripadaku, hak Anu!”. Lalu wali tadi menjawab: “Tidak, baru nanti sesudah nafas terakhir keluar!”. Karena itulah, dikatakan: manusia itu semua binasa, selain orang-orang berilmu. Orang-orang berilmu itu semua binasa, selain orang-orang yang beramal, menurut ilmunya. Orang-orang yang beramal menurut ilmunya, semua itu binasa, selain orang-orang ikhlas. Dan orang-orang ikhlas itu di atas bahaya besar. jadi, orang yang terperdaya itu binasa. Dan orang ikhlas, yang lari dari ke-terperdayaan itu, di atas bahaya. Maka karena itulah, tidak terpisah dari takut dan menjaga diri, pada hati wali-wali Allah selama-lamanya. Maka kita bermohon pada Allah Ta’ala akan pertolongan, taufiq dan baik khatimah. Sesungguhnya segala pekerjaan itu adalah dengan khatimahnya. Telah tammat Kitab Tercelanya Terperdaya. Dan dengan ini, sempurnalah Rubu’ Yang Membinasakan. Dan akan diiringi pada awal Rubu’ Yang Melepaskan, oleh Kitab Taubat. Segala pujian bagi Allah, pada permulaan dan penghabisan. Rahmat Allah dan sejahteraNya kepada yang tidak ada lagi nabi sesudahnya. DIAlah yang mencukupkan bagiku dan sebaik-baik bagi menyerahkan diri. Tiada daya dan upaya, selain dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar!.