KITAB YANG MENERANGKAN TENTANG MENGHANCURKAN DUA MACAM NAFSU
SYAHWAT.
Yaitu: Kitab Ke-3 dari Rubu’
Al-Muhlikat (Yang membinasakan)
Ini ketikkan dari Gedung Pernikahan di jakarta
selatan MEWAH~MURAH BB 2B3DFF39 hp
081574545007 semoga bermanfaat untuk kita semua. amin http://www.hotelhouseofeva.com/
Dengan nama Allah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala pujian bagi Allah yang sendirian dengan
kemuliaan pada kebesaran dan ketinggianNya. Yang Berhak untuk pemujian,
peng-qudusan, pentasbihan dan pensucian. Yang Berdiri dengan keadilan mengenai
apa yang dihukumkan dan yang ditentukanNya, Yang Berkepanjangan kelimpahan
mengenai apa yang dini’matkan dan yang disampaikanNya. Yang Menanggung
pemeliharaan hambaNya pada semua yang datang dan yang berlalu. Yang
Menganugerahkan ni’mat kepada hambaNya dengan yang melebihi diatas kepentingan
maksud-maksudnya. Bahkan dengan yang menyempurnakan segala cita-citanya. IA
yang menunjukkan jalan akan hamba dan yang menganugerahkan hidayahNya. IA yang
mematikan dan yang menghidupkan. Dan apabila hambaNya itu sakit, maka IA yang
menyembuhkan. Apabila lemah, maka IA yang menguatkan. IA yang menganugerahkan
taufik untuk taat dan Yang Merelakannya. IA yang menganugerahkan makanan dan
minuman, yang memelihara daripada kebinasaan. Yang menjaga dan mengawal dengan
makanan dan minuman itu daripada yang membinasakan dan yang merusakkannya. Dan
yang memungkinkannya dengan perasaan cukup dengan sedikit makanan dan
menguatkannya. Sehingga sempitlah jalan setan yang memusuhinya. Dengan itu
dapatlah menghancurkan keinginan hawa nafsu yang memusuhinya. Lalu menolak
kejahatannya. Kemudian, ia menyembah Tuhannya dan bertaqwa kepadaNya. Ini,
adalah sesudah diluaskan oleh Tuhan kepadanya, apa yang mengenakkan dan yang
dirinduinya. Dan diperbanyak kepadanya, apa yang menggerakkan segala pembangkit
dan yang menguatkan segala pengajak. Semua itu dicoba olehNya dan diujikanNya.
Lalu dilihat, bagaimana hamba itu memilih terhadap yang dirinduinya dan yang
dicenderunginya. Bagaimana ia menjaga segala perintahNya dan mencegah segala
laranganNya. Rajin mentaatiNya dan menjauhkan diri daripada segala perbuatan maksiat
kepadaNya. Dan rahmat kepada Muhammad hambaNya yang mulia dan rasulNya yang
megah, Rahmat yang mendekatkannya kepadaNya, yang memberi pangkat kepadanya,
yang mengangkat kedudukannya dan yang meninggikannya. Dan rahmat itu pula
kepada yang berbuat baik, daripada keturunannya dan kaum kerabatnya dan kepada
yang pilihan dari para sahabat dan pengikutnya. Kemudian, maka pembinasa yang
paling besar bagi anak Adam (manusia), ialah keinginan perut (hawa nafsu
perut). Disebabkan hawa nafsu ini, Nabi Adam as dan Hawwa’ dikeluarkan dari
negeri ketetapan (sorga), ke negeri kehinaan dan kehayatan (bumi ini). Karena
keduanya dilarang memakan buah kayu. Lalu keduanya dikalahkan oleh nafsunya,
sehingga dimakannya. Maka terbukalah auratnya. Pada hakikatnya, perut itu
sumber segala nafsu syahwat dan tempat tumbuh segala penyakit dan bahaya.
Karena: syahwat perut itu, diiringi oleh syahwat kemaluan dan bersangatan
keinginan kepada wanita yang dikawini. Kemudian keinginan kepada makanan dan
perkawinan itu, diikuti oleh bersangatan keinginan kepada kemegahan dan harta,
yang menjadi jalan kepada meluasnya wanita yang dikawini dan makanan yang
dimakan. Kemudian, oleh kebanyakan harta dan kemegahan, lalu diikuti oleh
bermacam-macam sifat kebodohan, berbagai rupa perlombaan dan kedengkian.
Kemudian, diantara keduanya itu, beranaklah bahaya ria, malapetaka kebanggaan,
kebanyakkan harta dan kesombongan. Kemudian, yang demikian itu mengajak kepada
kebusukan hati, kedengkian, permusuhan dan kemarahan. Kemudian, membawa orang
yang bersifat demikian, kepada mengerjakan perbuatan durhaka, mungkar dan keji.
Semua itu, adalah hasil daripada menyia-nyiakan perut dan apa yang terjadi
daripadanya, dari anggapan mudah kepada kekenyangan dan penuhnya perut. Jikalau
hamba Allah menghinakan dirinya dengan kelaparan dan sempitnya jalan lalunya
setan, niscaya sesungguhnya dirinya telah yakin untuk mentaati Allah ‘Azza Wa
Jalla dan tidak akan menempuh jalan sombong dan durhaka. Dan tidaklah yang
demikian itu membawanya terperosok pada dunia dan mengutamakan dunia dari
akhirat. Dan tidaklah berterus-terang begitu rupa kepada dunia. Apabila bahaya
nafsu syahwat perut telah menghebat sampai kepada batas itu, niscaya haruslah
diuraikan segala malapetaka dan bahayanya, untuk pengawasan daripadanya. Haruslah
dijelaskan jalan mujahadah dan peringatan kepada keutamaannya, untuk
menggemarinya. Begitupula penguraian nafsu syahwat kemaluan, karena dia
mengikuti nafsu syahwat perut. Kami akan menjelaskan yang demikian dengan
pertolongan Allah Ta’ala pada beberapa pasal, yang akan dikumpulkan oleh
penjelasan keutamaan lapar. Kemudian faedah-faedahnya. Kemudian jalan latihan
pada menghancurkan nafsu syahwat perut dengan menyedikitkan makanan dan
melambatkan makan. Kemudian, penjelasan perbedaan hukum lapar dan keutamaannya
dengan perbedaan keadaan manusia. Kemudian, penjelasan latihan pada
meninggalkan nafsu syahwat. Kemudian, membicarakan tentang nafsu syahwat
kemaluan. Kemudian, penjelasan apa yang harus atas murid, meninggalkan
perkawinan dan melakukannya. Kemudian, penjelasan keutamaan orang yang
menentang nafsu syahwat perut, kemaluan dan mata.
PENJELASAN: keutamaan lapar
dan kecelaan kenyang.
Rasulullah saw bersabda:
“Bermujahadahlah (berjuanglah) terhadap dirimu (nafsumu) dengan lapar dan haus.
Sesungguhnya pahala yang demikian, seperti pahala orang yang berjuang fi
sabilillah (perang sabil). Sesungguhnya tiada amal yang paling disukai oleh
Allah, selain dari lapar dan haus”. Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah saw
bersabda: “Tiada akan masuk ke kerajaan langit, orang yang memenuhkan
perutnya”. Orang bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! manusia manakah
yang lebih utama ?”. Beliau menjawab: “Orang yang sedikit makannya dan
tertawanya. Dan ia rela dengan apa saja yang dapat menutupi auratnya”. Nabi saw
bersabda: “Penghulu segala amal, ialah lapar. Dan kehinaan diri, ialah pakaian
bulu”. Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Pakailah,
makanlah dan minumlah setengah perut ! karena itu adalah sebahagian dari
kenabian”. Al-Hasan berkata: “Nabi saw bersabda: “Berpikir itu setengah ibadah
dan sedikit makanan, itulah ibadah”. Al-Hasan berkata pula: “Rasulullah saw
bersabda: “Yang paling utama kedudukanmu pada Allah di hari kiamat, ialah yang
paling lama lapar dan bertafakkur tentang Allah swt diantara kamu. Dan yang
paling dimarahi kamu oleh Allah ‘Azza Wa Jalla pada hari kiamat, ialah yang
banyak tidur, banyak makan dan banyak minum”. Pada suatu hadits disebut: “Bahwa
Nabi saw adalah lapar, tanpa perlu”, artinya: beliau memilih lapar. Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala membanggakan dengan malaikat, akan orang yang
sedikit makannya dan minumnya di dunia. Allah Ta’ala berfirman: “Lihatlah
kepada hambaKu ! Aku mencobanya dengan makanan dan minuman di dunia, lalu ia
sabar dan tinggalkan makan dan minum itu. Lihatlah wahai malaikatKu ! tiap
makanan yang ditinggalkannya, akan Aku gantikan dengan beberapa tingkat sorga”.
Nabi saw bersabda: “Janganlah engkau matikan hati dengan banyak makanan dan
minuman ! sesungguhnya hati itu seperti tanaman yang akan mati, apabila banyak
airnya”. Nabi saw bersabda: “Tiada bejana yang dipenuhkan oleh anak Adam, yang
lebih jahat, dari perutnya. Mencukupilah bagi anak Adam itu, beberapa suap
kecil, yang akan menegakkan tulang pinggangnya. Kalau mesti ia berbuat, maka
1/3 untuk makanannya, 1/3 untuk minumannya dan 1/3 untuk dirinya (nafsunya)”.
Pada hadits panjang yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid dan Abi Hurairah,
disebutkan keutamaan lapar. Karena Nabi saw bersabda pada hadits tersebut:
“Manusia yang paling dekat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla pada hari kiamat, ialah
orang yang lama laparnya, hausnya dan gundahnya di dunia, yang berjalan tidak
beralas kaki, yang bertaqwa kepada Allah, yang kalau mereka menyaksikan
(hadir), mereka tidak dikenal. Dan kalau mereka tidak kelihatan (tidak hadir),
niscaya orang tidak merasa kehilangan. Mereka dikenal oleh tempat-tempat di
bumi dan dikelilingi mereka oleh para malaikat langit. Manusia berni’mat-ni’mat
di dunia dan mereka berni’mat-ni’mat dengan mentaati Allah ‘Azza Wa Jalla.
Manusia tidur di kasur empuk, sedang mereka tidur dengan dahi dan lutut.
Manusia menyia-nyiakan perbuatan dan akhlak nabi-nabi dan mereka menjagainya.
Mereka ditangisi oleh bumi apabila telah hilang. Dan Tuhan Yang Maha Perkasa
marah pada tiap-tiap negeri yang tiada seorangpun daripada mereka padanya.
Mereka tiada melompat-lompat di dunia, sebagaimana anjing melompat-lompat
diatas bangkai. Mereka makan sedikit makanan, memakai pakaian buruk, rambutnya
kusut dan mukanya berdebu. Mereka dilihat oleh manusia, lalu menyangka bahwa
mereka itu sakit, padahal mereka tidak sakit. Dan dikatakan orang, mereka itu
telah dicampur aduk, lalu hilanglah akal mereka. Padahal akal mereka tidak
hilang. Tetapi kaum itu melihat dengan hatinya kepada perintah Allah, yang menghilangkan
kecintaan mereka kepada dunia. Lalu menurut orang dunia, mereka itu berjalan,
tanpa akal. Mereka berakal ketika akal manusia telah hilang. Mereka mempunyai
kehormatan pada hari akhirat. Hai Usamah ! apabila engkau melihat mereka pada
suatu negeri, maka ketahuilah, bahwa mereka yang membawa keamanan bagi penduduk
negeri itu. Allah tiada akan mengazabkan sesuatu kaum, dimana mereka itu berada
pada kaum itu. Bumi gembira kepada mereka. Dan Tuhan Yang Maha Perkasapun rela
kepada mereka. Ambillah mereka menjadi teman bagi dirimu ! mudah-mudahan engkau
terlepas dengan sebab mereka. Kalau engkau sanggup, bahwa kematian mendatangi
engkau dan perut engkau itu lapar dan hati engkau itu haus, maka perbuatlah !
karena dengan demikian, engkau akan mengetahui kemuliaan tingkat. Dan engkau
akan menempati bersama nabi-nabi. Para malaikat gembira dengan kedatangan roh
engkau dan Tuhan Yang Maha Perkasa mencurahkan rahmat kepada engkau”. Al-Hasan
meriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda: “Pakailah pakaian bulu
(wol) dan sinsinglah lengan baju ! makanlah setengah perut, niscaya kamu akan
masuk dalam kerajaan langit !”. Nabi Isa as bersabda: “Wahai para sahabatku !
laparkanlah hatimu dan telanjangilah tubuhmu ! mudah-mudahan hatimu akan
melihat Allah ‘Azza Wa Jalla !”. Yang demikian diriwayatkan pula dari Nabi kita
saw yang diriwayatkan oleh Thawus. Dan ada yang mengatakan, sudah tertulis
dalam Taurat: bahwa sesungguhnya Allah marah kepada orang berilmu yang gemuk.
Karena gemuk itu menunjukkan kepada kelalaian dan kebanyakan makan. Yang
demikian itu keji, lebih-lebih bagi orang berilmu. Dan karena itulah, Ibnu
Mas’ud ra berkata: “Sesungguhnya Allah marah kepada qari’ (ahli pembacaan
Alquran) yang gemuk”. Tersebut pada suatu hadits mursal/shohi: “Bahwa setan itu
berjalan pada tubuh anak Adam, pada tempat lalu darah. Maka sempitkanlah tempat
lalunya dengan lapar dan dahaga !”. Pada suatu hadits tersebut: “Bahwa makan
pada waktu kenyang itu mewarisi penyakit supak”. Nabi saw bersabda: “Orang
mu’min itu makan pada satu perut dan orang munafik itu makan pada 7 perut”.
Artinya: orang munafik itu makan 7 kali lipat daripada yang dimakan oleh orang
mu’min. Atau nafsu syahwat orang munafik itu 7 kali nafsu syahwat orang mu’min.
Dan disebutkan: perut di sini, adalah sindiran (kinayah) dari nafsu-keinginan.
Karena nafsulah yang menerima makanan dan yang mengambilnya, sebagaimana yang
diambil oleh perut. Dan tidaklah artinya, bilangan perut orang munafik
bertambah dari perut orang mu’min. Diriwayatkan Al-Hasan dari ‘Aisyah, bahwa
‘Aisyah berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Terus-meneruslah
kamu mengetuk pintu sorga, niscaya akan dibuka bagimu !”. Lalu saya bertanya:
“Bagaimana kami terus-menerus mengetuk pintu sorga ?”. Nabi saw menjawab:
“Dengan lapar dan dahaga”. Diriwayatkan: “Bahwa Abu Juhaifah bersendawa
dihadapan Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw bersabda kepadanya: “Pendekkan
sendawamu ! sesunguhnya manusia yang paling lama lapar di hari akhirat, ialah:
yang paling banyak kenyang di dunia”. ‘Aisyah berkata: “Sesungguhnya Rasulullah
saw tidak pernah sekali-kali kenyang. Kadang-kadang aku menangis karena kasihan
melihat ia lapar. Lalu aku sapu perutnya dengan tanganku dan aku berkata:
“Diriku menjadi tebusan bagimu, jikalau sampailah engkau dari dunia ini sekedar
yang menguatkan engkau dan mencegah engkau dari kelaparan”. Lalu beliau
menjawab: “Wahai ‘Aisyah ! saudara-saudaraku para rasul Ulul-‘azmi telah
bersabar dalam hal yang lebih berat dari ini. Mereka terus dalam keadaan
mereka, lalu mereka datang kepada Tuhan. Maka Tuhan memuliakan kembalinya
mereka dan membanyakkan pahalanya. Aku merasa malu jika aku bermewah-mewah
dalam hidupku, bahwa Ia menyingkatkan untukku besok, sedang untuk mereka itu
tidak. Bersabar dalam hari-hari yang mudah, adalah lebih aku sukai daripada
dikurangi bahagianku besok di akhirat. Dan tiada suatupun yang lebih aku sukai,
selain berhubungan dengan teman-temanku dan saudara-saudaraku”. ‘Aisyah
berkata: “Demi Allah ! tiada sampai seminggu sesudah itu, iapun diambil oleh
Allah ke hadiratNya”. Diriwayatkan dari Anas, yang menerangkan: “Fatimah ra
datang kepada Rasulullah saw dengan membawa sepotong roti. Lalu Rasulullah saw
bertanya: “Sepotong apa ini ?”. Fatimah menjawab: “Sepotong roti. Hati ananda
tidak enak sebelum membawa sepotong roti ini kepada ayahanda”. Maka Rasulullah
saw menjawab: “Sesungguhnya inilah makanan pertama yang masuk ke mulut ayahmu
semenjak 3 hari ini”. Abu Hurairah berkata: “Tiada dikenyangkan oleh Nabi saw
keluarganya 3 hari berturut-turut, dari roti gandum, sehingga ia bercerai
dengan dunia”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya orang yang lapar di dunia,
adalah orang yang kenyang di akhirat. Orang yang paling dimarahi oleh Allah,
ialah orang yang banyak makan, yang penuh perutnya. Seorang hamba yang meninggalkan
makanan yang disukainya, maka berhaklah baginya suatu tingkat dalam sorga”.
Adapun atsar (kata-kata sahabat Nabi saw), diantaranya, Umar ra berkata:
“Jagalah daripada perut kenyang ! karena berat dalam hidup dan busuk pada
mati”. Syaqiq Al-Balakhi berkata: “Ibadah itu suatu pekerjaan. Gudangnya
khilwah (menyendiri) dan alatnya lapar”. Lukman berkata kepada anaknya: “Hai
anakku ! apabila perut penuh, niscaya tidurlah pikiran, bisulah ilmu-hikmah dan
duduklah (malaslah) anggota tubuh daripada beribadah”. Al-Fudlail bin Iyadl
berkata kepada dirinya: “Apakah yang engkau takuti ? adakah engkau takut lapar
? jangan engkau takut yang demikian itu ! engkau lebih senang dari yang
demikian kepada Allah. Sesungguhnya Muhammad saw dan para sahabatnya itu
lapar”. Kahmas bin Al-Hasan (semasa dengan Al-Hasan Al-Bashari, golongan
tabi’in) berdoa: “Wahai Tuhanku ! Engkau laparkan aku dan Engkau tiada memberi
pakaian bagiku. Dalam kegelapan malam, dengan tiada lampu, Engkau dudukkan aku.
Maka dengan wasilah (jalan) apakah Engkau sampaikan aku, akan apa yang telah
Engkau sampaikan aku ?”. Adalah Fathul-Mausuli apabila bersangatan sakit dan
laparnya, lalu berdoa: “Wahai Tuhanku ! Engkau coba aku dengan sakit dan lapar.
Dan seperti itu juga Engkau perbuat dengan para wali Engkau. Maka dengan amalan
apakah, aku laksanakan untuk mensyukuri apa yang telah Engkau nikmatkan
kepadaku ?”. Malik bin Dinar berkata: “Aku berkata kepada Muhammad bin Wasi’:
“Wahai Abu Abdillah ! berbahagialah orang yang mempunyai penghasilan, yang
menjadi makanannya dan tidak memerlukannya untuk meminta pada manusia”. Lalu
Muhammad bin Wasi’ berkata kepadaku: “Wahai Abu Yahya: “Berbahagialah orang
pada petang dan pagi dalam keadaan lapar, sedang ia rela kepada Allah”.
Al-Fudlail bin Iyadl berdoa: “Wahai Tuhanku ! Engkau laparkan aku dan Engkau
laparkan keluargaku. Engkau tinggalkan aku dalam kegelapan malam, dengan tiada
lampu. Sesungguhnya Engkau perbuat demikian kepada para waliMu. Maka dengan
tempat mana, aku mencapai ini daripadaMu ?”. Yahya bin Ma’adz berkata: “Lapar
orang-orang yang gemar itu peringatan. Lapar orang-orang yang taubat itu
percobaan. Lapar orang-orang yang rajin (mujtahid) itu kemuliaan. Lapar
orang-orang yang sabar itu kebijaksanaan. Dan lapar orang-orang zuhud itu
hikmah”. Dalam Taurat tersebut: “Bertaqwalah kepada Allah ! apabila engkau
kenyang, maka ingatlah kepada orang-orang yang lapar !”. Abu Sulaiman berkata:
“Lebih aku sukai meninggalkan sesuap makanan dari makanan malamku, daripada
bangun malam sampai waktu subuh”. Ia berkata pula: “Kelaparan pada Allah dalam
perbendaharaanNya, tiada diberikan kecuali kepada orang yang dicintaiNya”.
Adalah Sahal bin Abdillah At-Tusturi, melalui 20 hari lebih tiada makan. Dan
mencukupi satu dirham untuk makanannya setahun. Ia mengagungkan lapar dan bersangatan
pada lapar, sehingga ia berkata: “Tiada datang amal kebajikan pada hari kiamat,
yang lebih baik daripada meninggalkan makanan yang tidak perlu, karena
mengikuti Nabi saw pada makannya”. Dan ia berkata pula: “Orang yang berakal
tiada melihat sesuatu yang lebih bermanfaat, daripada lapar, karena agama dan
dunia. Ia berkata lagi: “Aku tiada mengetahui sesuatu yang lebih memelaratkan
penuntut akhirat, selain daripada makan”. Dan berkata pula: “Hikmah dan ilmu
itu diletakkan pada lapar. Maksiat dan kebodohan itu diletakkan pada kenyang”.
Seterusnya, ia berkata: “Tiadalah sesuatu, yang lebih utama bagi hamba Allah,
daripada melawan hawa nafsu untuk meninggalkan yang halal”. Dan tersebut pada
hadits: “1/3 bagi makanan. Siapa yang melebihkan dari itu, maka sesungguhnya ia
makan daripada kebaikannya”. Sahal tadi ditanyakan, tentang lebih itu. Lalu ia
menjawab: “Tidak diperoleh lebih, sebelum lebih disukai meninggalkannya
daripada makan. Dan apabila ia lapar pada suatu malam, lalu ia bermohon pada
Allah untuk dijadikanNya satu malam itu menjadi dua malam. Apabila ada
demikian, niscaya ia memperoleh lebih itu”. Sahal berkata pula: “Wali itu tidak
menjadi wali, selain dengan kempisnya perut, tidak tidur malam, diam dan
menyendiri (khilwah)”. Sahal berkata lagi: “Kepala setiap kebajikan yang turun
dari langit ke bumi, ialah: lapar. Dan kepala setiap kezaliman diantara bumi
dan langit itu, ialah: kenyang”. Seterusnya, ia berkata: “Barangsiapa
melaparkan dirinya niscaya terputuslah segala waswas daripadanya”. Ia berkata
pula “Berhadapan Allah ‘Azza Wa Jalla kepada hambaNya, dengan lapar, sakit dan
bencana. Selain orang yang dikehendaki Allah Ta’ala”. Sahal berkata lagi:
“Ketahuilah, bahwa sekarang ini suatu zaman, yang tiada akan diperoleh
seseorang kelepasan padanya, kecuali dengan menyembelih nafsunya dan
membunuhnya dengan lapar, tidak tidur malam dan bersungguh-sungguh mentaati
Allah”. Seterusnya Sahal berkata: “Tiada seorangpun yang lalu diatas permukaan
bumi, yang meminum dari air ini, sehingga ia puas, lalu ia selamat dari
perbuatan maksiat, walaupun ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Maka bagaimanakah
dengan kenyang daripada makanan ?”. Ditanyakan seorang ahli hikmah (filosof):
“Dengan ikatan apakah, aku ikat nafsuku ?”. Ahli hikmah itu menjawab:
“Ikatkanlah nafsu itu dengan lapar dan haus ! hinakanlah dia dengan memadamkan
sebutan dan meninggalkan kemegahan ! kecilkanlah dia dengan meletakkannya
dibawah kaki putera-putera akhirat ! hancurkanlah dia dengan meninggalkan
pakaian para qari’ dari zahiriahnya ! lepaskanlah dia dari bahaya-bahayanya,
dengan berterus-terusan jahat sangka kepadanya ! dan kawanilah dia dengan
melawan keinginannya !”. Abdul-wahid bin Zaid bersumpah dengan nama Allah
Ta’ala, bahwa Allah Ta’ala tiada memilih seseorang dengan kasih-sayangNya,
selain dengan lapar. Mereka itu tiada dapat berjalan diatas air, kecuali dengan
lapar. Dan bumi tiada dilipatkan bagi mereka (dapat dilintasinya), selain
dengan lapar. Dan Allah Ta’ala tiada memberi kekuasaan kepada mereka, selain
dengan lapar”. Abu Thalib Al-Makki berkata: “Perut itu adalah seperti rebab.
Yaitu kayu yang berlobang, mempunyai tali-tali. Sesungguhnya bagus bunyinya,
karena ringan dan tipisnya. Dan karena ia berlobang, tiada berisi penuh.
Begitupula rongga perut ! apabila ia kosong, niscaya adalah lebih manis untuk
membaca (tilawatil-quran), lebih lama untuk berdiri shalat dan lebih
menyedikitkan tidur”. Abubakar bin Abdullah Al-Mazani berkata: “3 macam orang
yang dikasihi oleh Allah Ta’ala: orang yang sedikit tidur, sedikit makan dan
sedikit istirahat”. Diriwayatkan bahwa Isa as berdiam pada suatu tempat,
bermunajah dengan Tuhan 60 pagi, yang ia tiada makan. Lalu tergurislah di
hatinya roti, maka ia putuskan (berhenti) daripada munajah. Tiba-tiba roti itu
terletak dihadapannya. Lalu ia duduk menangis karena putusnya munajah.
Tiba-tiba muncul seorang tua menaunginya. Maka berkata Isa as kepadanya:
“Kiranya diberi barakah oleh Allah padamu, wahai wali Allah ! berdoalah pada
Allah Ta’ala bagiku ! sesungguhnya aku berada dalam suatu keadaan, lalu
tergurislah roti pada hatiku, maka terputuslah keadaan itu daripadaku”. Maka
orang tua itu berdoa: “Ya Allah Tuhanku ! jikalau Engkau tahu bahwa roti telah
terguris di hatiku semenjak aku mengenal Engkau, maka janganlah Engkau ampunkan
aku. Tetapi adalah dia, apabila telah ada sesuatu dihadapanku, niscaya aku
makan, dengan tiada pikiran dan gurisan pada hati”. Diriwayatkan, bahwa Musa as
tatkala didekatkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla kelepasan, niscaya ia meninggalkan
makan 40 hari, 30, kemudian 10, sepanjang yang tersebut dalam Alquran. Karena
ia menahan tanpa bermalam satu hari, lalu ditambahkan 10 lantaran itu.
PENJELASAN: faedah-faedah
lapar dan bahaya-bahaya kenyang.
Rasulullah saw bersabda:
“Bermujahadahlah (berjuanglah) terhadap dirimu (nafsumu) dengan lapar dan haus.
Sesungguhnya pahala pada yang demikian”. Semoga anda bertanya: “Keutamaan yang
besar ini bagi lapar, darimana datangnya ? dan apa sebabnya ? dan tak ada
padanya, selain menyakitkan perut dan menderita kesakitan. Jikalau adalah
seperti demikian, maka seyogyalah, bahwa besar pahalanya pada tiap-tiap sesuatu
yang dirasa sakit oleh manusia, seperti memukul dirinya, memotong dagingnya,
memperoleh hal-hal yang tidak disukai dsb”. Ketahuilah, bahwa ini menyerupai
kata-kata orang yang meminum obat, lalu ia mengambil manfaat dengan obat
tersebut. Dan menyangka bahwa kemanfaatannya itu karena obat itu tidak disukai
dan karena pahitnya. Lalu ia memakan setiap yang tidak disukai rasanya. Itu
adalah salah. Akan tetapi, kemanfaatannya itu pada khasiat obat. Bukan karena
obat itu pahit. Khasiat itu hanya diketahui oleh dokter-dokter. Maka begitu
pulalah, alasan kemanfaatan lapar, tiada diketahui, selain oleh ulama-ulama
yang ulung. Dan siapa yang melaparkan dirinya karena membenarkan apa yang akan
datang pada agama, tentang pemujian lapar dan ia memperoleh manfaat dengan
lapar itu, walaupun ia tidak tahu alasan kemanfaatannya, adalah seperti orang
yang meminum obat, yang memperoleh manfaat dengan obat itu, walaupun ia tiada
mengetahui cara obat itu mendatangkan kemanfaatan. Tetapi kami akan menguraikan
kepada anda yang demikian, jikalau anda ingin meningkat dari derajat iman
kepada derajat ilmu. Allah Ta’ala berfirman: “Allah akan mengangkat orang-orang
yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan kepada
derajat yang tinggi”. S 58 Al Mujaadalah ayat 11. Maka akan kami terangkan
mengenai lapar, ada 10 faedah:
Faedah pertama: bersihnya hati, bersinar kepintaran dan
tembusnya penglihatan mata hati. Dan kekenyangan itu mewarisi kebodohan,
membutakan hati dan membanyakkan uap pada otak, menyerupai gula. Sehingga
meliputi kepada tambang-tambang pikiran. Lalu dengan sebabnya itu, beratlah
hati pada berlalunya pikiran dan dari cepatnya pengertian. Bahkan anak kecil,
apabila ia banyak makan, niscaya hafalannya salah dan hatinya rusak. Pahamnya
dan pengertiannya menjadi lambat. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Haruslah
engkau lapar ! karena lapar itu kehinaan bagi nafsu dan kehalusan bagi hati.
Dan lapar itu mewarisi pengetahuan samawi”. Nabi saw bersabda: “Hidupkanlah
hatimu dengan sedikit tertawa dan sedikit kenyang ! dan sucikanlah hatimu
dengan lapar ! niscaya hati itu bersih dan halus”. Dikatakan, lapar itu seperti
guruh. Qana’ah (merasa cukup menurut yang ada) itu, seperti kabut. Dan hikmah
itu seperti hujan. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa melaparkan perutnya,
niscaya tinggilah pikirannya dan cerdiklah hatinya”. Ibnu Abbas berkata: “Nabi
saw bersabda: “Barangsiapa kenyang dan tidur, niscaya kesatlah hatinya”.
Kemudian Nabi saw bersabda: “Tiap sesuatu itu mempunyai zakat dan zakat tubuh
itu lapar”. Asy-Syibli berkata: “Kalau aku lapar sehari karena Allah, maka aku
melihat pada hatiku pintu terbuka dari hikmah dan i’tibar, yang belum pernah
sekali-kali aku melihatnya”. Tiadalah tersembunyi, bahwa kesudahan maksud dari
ibadah, ialah pikiran yang menyampaikan kepada ma’rifah dan melihat dengan mata
hati, akan hakekat-hakekat kebenaran. Dan kenyang itu mencegah daripadanya. Dan
lapar itu membuka pintunya. Dan ma’rifah itu salah satu daripada pintu sorga.
Maka sudah selayaknya, bahwa membiasakan lapar itu mengetuk pintu sorga. Karena
itulah, Lukman berkata kepada anaknya: “Hai anakku ! apabila perut penuh,
niscaya pikiran tidur, hikmah bisu dan anggota-anggota tubuh duduk tidak
beribadah”. Abu Zaid Al-Bustami berkata: “Lapar itu kabut. Apabila hamba Allah
itu lapar niscaya hati menghujani hikmah”. Nabi saw bersabda: “Cahaya hikmah
itu lapar. Menjauhkan diri daripada Allah ‘Azza Wa Jalla itu kenyang.
Mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza Wa Jalla itu mencintai orang miskin dan
mendekatinya. Janganlah kamu kenyang, lalu kamu memadamkan cahaya hikmah dari
hatimu ! orang yang bermalam dalam keadaan ringan dari makanan, maka
bermalamlah bidadari kelilingnya, hingga pagi hari”.
Faedah kedua: halus dan bersihnya hati, yang dengan itu
disiapkan untuk memperoleh lezat ketekunan dan berkesan dengan dzikir. Berapa
banyak dzikir berlalu pada lisan serta kehadiran hati. Akan tetapi hati tiada
memperoleh kelezatan dan tiada berkesan. Sehingga seakan-akan terdapat
kekesatan hati yang menjadi hijab (dinding) diantara hati dan dzikir.
Kadang-kadang pada setengah keadaan, hati itu menghalus. Lalu besar kesannya
dengan dzikir dan kelezatannya dengan munajah. Dan kekosongan perut, adalah
sebab yang menonjol padanya. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Adalah ibadah
yang paling manis kepadaku, ialah apabila bertemu belakangku dengan perutku”.
Al-Yunaid berkata: “Salah seorang mereka membuat uncang makanan, diantaranya
dan dadanya. Ia ingin memperoleh kemanisan munajah”. Abu Sulaiman berkata:
“Apabila hati itu lapar dan haus, niscaya ia jernih dan halus. Dan apabila
kenyang, niscaya ia buta dan menebal. Apabila hati itu berkesan dengan
kelezatan munajah, niscaya ia melalui di belakang pemudahan pikiran dan
pemburuan ma’rifah”. Itulah faedah kedua !.
Faedah ketiga: pecah (tawar) dan hinanya nafsu, hilang
memandang mudah kepada ni’mat, hilang gembira dan tiada mensyukuri ni’mat, yang
menjadi pokok pangkal penganiayaan dan lengah kepada Allah Ta’ala. Maka nafsu
itu tiada pecah dan tiada merasa hina dengan sesuatu, sebagaimana ia merasa
hina dengan lapar. Maka ketika itu ia tenang dan khusu’ kepada Tuhannya. Tahu
ia kepada kelemahan dan kehinaannya. Karena lemah kekuatannya dan sempit
dayanya, disebabkan sesuap kecil makanan yang tiada diperolehnya. Dan gelaplah
dunia kepadanya karena seteguk air yang terlambat didapatinya. Selama manusia
tiada melihat kehinaan dan kelemahan dirinya, maka ia tiada melihat kemuliaan
dan keperkasaan Tuhannya. Sesungguhnya kebahagiaan manusia itu, pada adanya
selalu, ia melihat dirinya dengan pandangan kehinaan dan kelemahan. Dan melihat
Tuhannya dengan pandangan kemuliaan, kekuasaan dan keperkasaan. Maka hendaklah
selalu ia dalam keadaan lapar, berhajat kepada Tuhannya, melihat kehajatan itu
dengan perasaan. Dan karena itulah, ketika diserahkan dunia dan
perbendaharaannya kepada Nabi saw, lalu beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku
akan lapar sehari dan kenyang sehari. Maka apabila aku lapar, niscaya aku sabar
dan merendahkan diri. Dan apabila aku kenyang, niscaya aku bersyukur”. Atau
sebagaimana dikatakan Nabi saw ada hadits-hadits lain. Maka perut dan kemaluan
itu salah satu dari pintu neraka. Dan asalnya itu kenyang. Hina dan pecah nafsu
itu salah satu dari pintu sorga. Dan asalnya itu lapar. Barangsiapa menguncikan
salah satu dari pintu neraka, maka sesungguhnya ia membuka salah satu dari
pintu sorga dengan mudah. Karena keduanya itu berlawanan, seperti masyrik
(tempat terbit matahari) dan magrib (tempat terbenam matahari). Dekat kepada
salah satu daripada keduanya, adalah jauh dari yang lain.
Faedah keempat: bahwa ia tidak melupakan percobaan dan azab
Allah. Dan tidak melupakan orang-orang yang mendapat percobaan. Sesungguhnya
orang yang kenyang itu, lupa kepada orang yang lapar dan lupa kepada lapar. Hamba
Allah yang cerdik itu, tiada melihat akan percobaan pada orang lain, melainkan
ia teringat akan percobaan akhirat. Maka ia teringat dari kehausannya, akan
kehausan makhluk dilapangan kiamat. Ia teringat dari laparnya akan laparnya
penduduk neraka. Sehingga sesungguhnya mereka itu lapar, lalu memakan kayu
berduri dan pohon zaqum (nama pohon yang sangat pahit buahnya). Dan mereka
minum air yang sangat dingin dan logam hancuran. Maka tiada seyogyalah bahwa
lenyap dari seorang hamba Allah, akan azab dan kepedihan akhirat. Karena itulah
yang menggerakkan takut. Maka orang yang tidak dalam kehinaan, penyakitan,
kekurangan dan percobaan, niscaya ia lupa akan azab akhirat. Dan tidak
tergambar azab itu pada dirinya dan tidak mengerasi pada hatinya. Maka seyogyalah
seorang hamba Allah itu berada dalam kekasaran percobaan (bala-bencana) atau
dalam penyaksian percobaan. Dan yang paling utama dari percobaan yang
dideritanya ialah: lapar karena padanya banyak faedahnya selain daripada
mengingati azab akhirat. Inilah salah satu sebab yang menghendaki ketentuan
percobaan itu kepada nabi-nabi, wali-wali dan orang-orang yang lebih mulia dari
kita, lalu yang lebih mulia lagi. Karena itulah ditanyakan kepada nabi Yusuf
as: “Mengapa engkau lapar, sedang dalam kedua tanganmu perbendaharaan bumi ?”.
Nabi Yusuf as menjawab: “Aku takut bahwa aku kenyang. Nanti aku lupa kepada
orang lapar”. Maka teringat kepada orang-orang lapar dan orang-orang yang
memerlukan, adalah salah satu faedah lapar. Maka yang demikian itu membawa
kepada rahmat, memberi makanan dan kasih sayang kepada makhluk Allah ‘Azza Wa
Jalla. Dan orang kenyang itu, lupa akan penderitaan orang lapar.
Faedah kelima: yaitu faedah yang terbesar, ialah:
menghancurkan seluruh nafsu syahwat kepada perbuatan maksiat dan menguasai
nafsu yang menyuruh kepada perbuatan jahat. Karena sumber seluruh perbuatan
maksiat, ialah nafsu syahwat dan tenaga. Dan unsur tenaga dan nafsu syahwat
–sudah pasti –ialah makanan. Mengurangi makanan itu melemahkan seluruh nafsu
syahwat dan tenaga. Sesungguhnya seluruh kebahagiaan itu, terletak pada
seseorang yang dapat menguasai dirinya. Dan kesengsaraan itu pada orang yang
dikuasai oleh dirinya. Sebagaimana anda tidak dapat menguasai binatang yang
melawan, selain dengan lapar yang melemahkannya. Maka apabila ia kenyang,
niscaya ia kuat, lari memencilkan diri dan melawan. Maka begitulah nafsu,
sebagaimana ditanyakan kepada sebahagian mereka: “Apa hal anda serta lanjutnya
usia anda, tiada yang mengurus badan anda dan sudah rusak ?”. Orang itu
menjawab: “Karena badan itu lekas rajin dan keji melupakan ni’mat. Aku takut
bahwa ia, tiada mematuhi aku, lalu aku dibawanya terperosok. Maka aku lebih
suka membawanya kepada kesengsaraan, daripada dibawanya aku kepada kekejian.
Dzunnun Al-Misri berkata: “Kalau aku kenyang, maka aku berbuat maksiat atau
bercita-cita kepada perbuatan maksiat”. ‘Aisyah berkata: “Bid’ah pertama yang
terjadi sesudah Rasulullah saw ialah kenyang. Bahwa orang banyak, manakala
perut mereka telah kenyang, niscaya nafsu mereka tidak tertahan kepada dunia
ini”. Ini tidaklah satu faedah saja. Akan tetapi, dia adalah gudang segala
faedah. Karena itulah dikatakan: lapar itu salah satu dari gudang-gudang Allah
Ta’ala. Dan sekurang-kurang yang tertolak dengan lapar, ialah nafsu syahwat
kemaluan dan keinginan berkata-kata. Sesungguhnya orang yang lapar itu,
tidaklah ia tergerak kepada keinginan berkata-kata yang berlebihan. Maka
terlepaslah ia dari bahaya lidah, seperti: umpat, kata keji, dusta, lalat
merah/suka menceritakan kekurangan orang dll. Semua itu dapat dicegah oleh
lapar. Apabila kenyang, niscaya memerlukan kepada kata-kata yang lucu. Maka
tidak mustahil, lalu ia berbuat lucu dengan kehormatan manusia lain. Orang
tidak meringkuk dalam neraka diatas hidungnya, selain oleh perbuatan lidahnya.
Adapun nafsu syahwat kemaluan, maka tidaklah tersembunyi tipuannya. Dan lapar
itu akan mencukupkan (tidak membangkitkan) kejahatannya. Apabila orang kenyang,
niscaya ia tidak lagi menguasai kemaluannya. Dan kalau dicegah oleh taqwanya,
maka ia tidak menguasai lagi matanya. Maka matanya berzina, sebagaimana
kemaluannya berzina. Kalau ia menguasai matanya dengan memicingkan mata, maka
ia tiada menguasai pikirannya. Lalu tergurislah ia pikiran-pikiran hina dan
bisikan jiwa dengan sebab-sebab nafsu syahwat dan apa-apa yang mengganggu
munajahnya. Kadang-kadang yang demikian itu datang, ketika ia sedang shalat.
Sesungguhnya kami sebutkan bahaya lidah dan kemaluan tu sebagai contoh. Kalau
bukan demikian, maka semua maksiat anggota badan yang 7 itu, sebabnya adalah kekuatan
yang diperoleh dengan kekenyangan. Seorang ahli hikmah berkata: “Setiap murid
yang sabar diatas kebijaksanaan, lalu bersabar dengan roti saja selama setahun,
dimana ia tidak mencampurkan sesuatu dari keinginannya dan ia makan setengah
perut, niscaya diangkat oleh Allah daripadanya perbelanjaan wanita”.
Faedah keenam: menolak tidur dan berkekalan berjaga malam.
Sesungguhnya orang yang kenyang, akan minum banyak. Orang yang banyak minumnya,
niscaya banyak tidurnya. Dan karena itulah, sebahagian syaikh (guru) berkata
ketika datang makanan: “Hai semua para murid ! jangan kamu makan banyak, lalu
kamu minum banyak, maka kamu akan tidur banyak. Lalu kamu merugi banyak”. Telah
sepakat pendapat 70 orang shiddiq, bahwa banyak tidur itu, dari banyak minum.
Dan pada banyak tidur itu menyia-nyiakan umur, luput shalat tahajjud, dungu
tabiat dan kesat hati. Dan umur itu mutiara yang paling berharga. Itulah modal
seorang hamba Allah. Padanyalah ia berniaga. Dan tidur itu mati. Maka
membanyakkannya itu, mengurangkan umur. Kemudian, keutamaan tahajjud itu
tidaklah tersembunyi. Dan dengan tidur, hilanglah keutamaan tahajjud itu.
Manakala telah mengeras tidur, maka kalaupun ia mengerjakan shalat tahajjud,
niscaya ia tidak memperoleh kemanisan ibadah. Kemudian, orang membujang apabila
tidur dalam kekenyangan, niscaya bermimpi (ihtilam). Dan yang demikian itu,
mencegah pula ia dari shalat tahajjud. Dan ia memerlukan kepada mandi.
Adakalanya dengan air dingin, lalu ia merasa tidak enak. Atau ia memerlukan
kepada sumur air panas. Dan kadang-kadang ia tidak sanggup kepada sumur itu,
disebabkan malam. Lalu hilanglah shalat witir, jikalau ia kemudiankan kepada
shalat tahajjud. Kemudian ia memerlukan kepada pembayaran sumur air panas.
Kadang-kadang terjatuh pandangan matanya kepada aurat orang pada memasuki sumur
air panas itu. Maka disitupun banyak bahaya yang telah kami sebutkan dahulu
pada “Kitab Besuci”. Dan semua itu adalah akibat kekenyangan. Abu Sulaiman
Ad-Darani berkata: “Bermimpi (ihtilam) itu siksaan”. Ia mengatakan demikian,
karena mimpi itu mencegah banyak ibadah, disebabkan sukarnya mandi dalam segala
hal. Maka tidur itu sumber bahaya. Kenyang itu menarik sumber tersebut dan
lapar yang memotongnya.
Faedah ketujuh: memudahkan kerajinan kepada ibadah.
Sesungguhnya makan itu mencegah daripada banyaknya ibadah. Karena memerlukan
kepada waktu yang dipergunakan untuk makan. Kadang-kadang memerlukan kepada
waktu membeli makanan dan memasaknya. Kemudian, memerlukan kepada mencuci
tangan dan membersihkan gigi. Kemudian banyak pula pulang-perginya ke tempat
buang air (untuk kencing) karena banyak minumnya. Dan waktu yang dipergunakan
kepada ini semua, jikalau dipergunakan untuk dzikir, munajah dan ibadah-ibadah
lain, niscaya banyaklah untungnya. As-Sirri As-Saqati berkata: “Aku melihat
syair kepunyaan Ali bin Ibrahim Al-Jurjani, yang diambilnya tanpa diaduk dengan
air. Lalu aku bertanya: “Apakah yang mendorong anda kepada yang seperti ini ?”.
Lalu ia menjawab: “Sesungguhnya aku hitung diantara mengunyah kepada mengambil
tepung tanpa diaduk dengan air itu 70 kali membaca tasbih. Aku tiada mengunyah
roti semenjak 40 tahun yang lalu”. Lihatlah bagaimana ia sayang kepada waktunya
dan tidak disia-siakannya waktu itu pada mengunyah roti. Setiap tarikan nafas
dari umur itu adalah mutiara yang berharga, yang tidak ternilai. Maka
seyogyalah mengambil dengan sempurna waktu itu, yang merupakan suatu simpanan
yang kekal pada hari akhirat, yang tiada berkesudahan. Caranya, ialah: dengan
mempergunakannya berdzikir kepada Allah dan mentaatiNya. Diantara yang sukar
diperoleh dengan banyak makan, ialah tahan lama berwudlu’ (dalam keadaan tiada
hilang air sembahyang) dan mulazamah (tidak berpisah) dengan masjid. Karena ia
memerlukan keluar dari masjid lantaran banyak minum air dan membuangnya.
Diantara yang sukar juga dengan banyak makan, ialah: puasa. Sesungguhnya puasa
itu mudah bagi orang yang membiasakan lapar. Maka puasa, berterusan i’tikaf,
berterusan ada wudlu’ dan menyerahkan kepada ibadah semua waktu yang
dipergunakan untuk makan hal-hal yang menyangkut dengan makan, adalah
keuntungan yang sangat banyak. Keuntungan itu dipandang leceh oleh orang-orang
yang lalai, yang tidak mengetahui harga agama. Tetapi mereka rela dengan
kehidupan duniawi dan merasa tentram dengan kehidupan itu. “Mereka mengetahui
(perkara) yang zahir dari kehidupan dunia ini dan mengenai hari akhirat, mereka
lalaikan”. S 30 Ar Ruum ayat 7. Abu Sulaiman Ad-Darani telah mengisyaratkan 6
bahaya kenyang. Ia berkata: “Siapa yang kenyang, niscaya masuklah kepadanya 6
bahaya: hilang kemanisan munajah, sukar memelihara hikmah, tidak mempunyai
belas-kasihan kepada manusia, karena apabila ia telah kenyang, niscaya
disangkanya semua orang kenyang, berat melakukan ibadah, bertambah nafsu
syahwat dan kaum muslimin yang lain berputar keliling masjid dan orang-orang
kenyang itu berputar keliling kakus”.
Faedah kedelapan: dari sedikitnya makan, ia memperoleh faedah
badan sehat dan tertolaknya semua penyakit. Sesungguhnya, sebabnya penyakit itu
karena banyak makan dan hasil sisa campuran makanan dalam perut besar dan
urat-urat. Kemudian, penyakit itu mencegah ibadah dan mengganggu ketentraman
hati. Mencegah berdzikir dan berpikir, menyempitkan kehidupan, memerlukan
kepada membetik, membekam, obat dan dokter. Semua itu memerlukan kepada
perongkosan dan perbelanjaan, yang tidak terlepas manusia daripadanya, sesudah
payah dengan bermacam-macam perbuatan maksiat dan menuruti nafsu syahwat. Dan
dengan lapar, semua hal itu dapat tercegah. Menurut sahibul-hikayah, Khalifah
Harun Ar-Rasyid mengumpulkan 4 orang tabib: India, Rumawi, Irak dan
Suadil-Irak. Khalifah bersabda: “Hendaklah masing-masing saudara menerangkan
obat yang tak ada penyakit padanya !”. Lalu tabib India menjawab: “Obat yang
tak ada penyakit padanya, ialah: hulailij hitam”. Dan tabib Irak menjawab:
“Yaitu, biji batang rasyad yang putih”. Lalu menjawab tabib Rumawi: “Menurut
pendapatku, ialah: air panas”. Kemudian, menjawab tabib Suadil-Irak, yang
terpintar diantara semua mereka: “Hulailij itu melipatkan perut besar. Dan ini
penyakit. Biji batang rasyad itu menjauhkan perut besar dari tempatnya. Dan ini
penyakit. Dan air panas itu melembutkan perut besar. Dan ini penyakit”. Lalu
mereka bertanya: “Jadi, apa menurut pendapat anda ?”. Maka tabib Suadil-Irak
itu menjawab: “Menurut aku, obat yang tak ada penyakit padanya, ialah: tidak
engkau makan, sebelum engkau mengingininya dan engkau mengangkatkan tangan
sedang engkau masih ingin kepada makanan itu”. Lalu semuanya menjawab: “Benar
engkau !”. Diterangkan sabda Nabi saw kepada sebagian filosof dari tabib-tabib
ahlil-kitab (Yahudi dan Nasrani) yang maksudnya: “1/3 untuk makanan, 1/3 untuk
minuman dan 1/3 untuk nafas”, maka filosof itu sangat ta’jub dan berkata:
“Belum pernah saya mendengar perkataan tentang sedikit makanan, yang lebih
berhikmah dari ini. Benar-benar itu suatu perkataan yang mengandung hikmah”.
Nabi saw bersabda: “Perut kenyang itu asal penyakit dan menjaganya itu asal
obat. Biasakanlah tiap-tiap tubuh apa yang dibiasakannya”. Berat dugaan saya,
akan keta’juban tabib tadi dari hadits ini, tidak dari hadits diatas tadi. Ali
bin Salim Al-Bashari berkata: “Siapa yang makan roti gandum saja dengan adab,
niscaya ia tidak akan sakit, kecuali sakit mati”. Lalu ia ditanyakan: “Apakah
adab itu ?”. Ali bin Salim menjawab: “Engkau makan sesudah lapar dan engkau
mengangkat tangan sebelum kenyang”. Setengah para tabib utama berkata mengenai
tercelanya banyak makan: “Sesungguhnya yang lebih berguna, apa yang dimasukkan
seseorang ke dalam perutnya, ialah: buah delima. Dan yang lebih melarat dari apa
yang dimasukkannya ke dalam perutnya, ialah: garam. Karena menyedikitkan garam
itu, adalah lebih baik daripada membanyakkan buah delima”. Pada suatu hadits
tersebut: “Berpuasalah niscaya kamu sehat !”. Pada puasa, lapar dan
menyedikitkan makanan itu kesehatan tubuh dari penyakit-penyakit dan kesehatan
hati dari penyakit melampaui batas, kesombongan dll.
Faedah kesembilan: ringan perbelanjaan. Siapa
yang membiasakan sedikit makan, niscaya mencukupilah baginya kadar sedikit dari
harta. Dan yang membiasakan kenyang, niscaya jadilah perutnya itu berhutang,
yang terus-menerus setiap hari mengambil dengan menyerat lehernya. Lalu ia
menanyakan: “Apakah yang akan engkau makan hari ini ?”. Maka berhajatlah ia
kepada memasuki segala tempat yang bisa dimasuki. Lalu ia berusaha dari yang
haram, maka durhakalah ia. Atau dari yang halal, maka hinalah ia. Kadang-kadang
ia memerlukan kepada memanjangkan mata kerakusannya kepada manusia. Dan itu
adalah yang paling hina dan papa. Sedang orang mukmin itu ringan perbelanjaannya.
Setengah ahli hikmat (hukama’) berkata: “Sesungguhnya aku laksanakan umumnya
keperluanku dengan meninggalkannya. Maka yang demikian adalah lebih
menyenangkan bagi hatiku”. Yang lain berkata: “Apabila aku bermaksud berhutang
pada orang lain, karena suatu keinginan atau penambahan, maka aku berhutang
pada diriku (nafsuku). Lalu aku tinggalkan keinginan (nafsu syahwat) itu.
Dialah yang lebih baik berpiutang kepadaku”. Adalah Ibrahim bin Adham ra
bertanya kepada teman-temannya tentang harga makanan. Lalu mendapat jawaban,
bahwa makanan itu mahal. Maka ia berkata: “Murahkanlah dengan meninggalkannya
!”. Sahl At-Tusturi ra berkata: “Orang yang banyak makan itu tercela pada 3
hal. Kalau ia termasuk ahli ibadah, maka ia malas. Kalau ia pengusaha, maka ia
tidak selamat dari marabahaya. Dan kalau ia termasuk orang yang memperoleh
sesuatu tanpa usaha, maka ia tidak insaf kepada Allah Ta’ala dari dirinya.
Kesimpulannya, bahwa sebab binasanya manusia, ialah rakusnya kepada dunia. Dan
sebabnya rakusnya kepada dunia itu perut dan kemaluan. Dan sebab nafsu syahwat
kemaluan itu nafsu keinginan perut. Dan pada menyedikitkan makan itu dapatlah
memutuskan (menghilangkan) semua hal tersebut. Itulah pintu-pintu neraka. Dan
pada menutupkannya itulah pembukaan pintu-pintu sorga, sebagaimana disabdakan
oleh Nabi saw: “Berkekalanlah (terus-meneruslah) kamu mengetuk pintu sorga
dengan lapar !”. Orang yang merasa cukup dengan sepotong roti tiap-tiap hari,
niscaya ia merasa cukup pula pada keinginan-keinginan yang lain. Dan jadilah ia
orang merdeka. Ia tidak memerlukan kepada manusia. Ia beristirahat dari
kepayahan dan dapat menyerahkan dirinya kepada ibadah (menyembah) Allah Ta’ala
dan perniagaan akhirat. Maka adalah ia termasuk dalam golongan orang-orang yang
tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual-beli daripada mengingati Allah
(berdzikir). Mereka sesungguhnya tidak dilalaikan, karena mereka tidak
memerlukan kepadanya, disebabkan merasa cukup dengan apa yang ada (qana’ah).
Dan orang yang memerlukan, maka sudah pasti, akan dilalaikan oleh hal-hal
tersebut.
Faedah kesepuluh: memungkinkan ia untuk memilih dan bersedekah
dari makanan yang berlebih, kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Maka
adalah ia pada hari kiamat dalam naungan sedekahnya, sebagaimana yang tersebut
pada hadits. Maka apa yang dimakannya itu, gudangnya adalah kakus. Dan apa yang
disedekahkannya itu, gudangnya adalah kurnia Allah Ta’ala. Maka tiadalah bagi
hamba Allah itu, daripada hartanya, selain apa yang telah disedekahkannya. Maka
itulah yang kekal. Atau yang dimakannya, maka lenyaplah atau yang dipakainya
maka buruklah. Maka bersedekah dengan makanan yang berlebih itu lebih utama
daripada memenuhkan perut dan kenyang. Adalah Al-Hasan Al-Bashari ra, apabila
ia membaca firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami telah memberikan amanah
(tanggung jawab) kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan
untuk memikulnya dan takut terhadap itu, sedang manusia mau memikulnya,
sesungguhnya manusia itu amat tiada jujur dan amat bodohnya”. S 33 Al Ahzab
ayat 72. Lalu ia menerangkan, bahwa Allah Ta’ala memberikan amanah itu kepada
langit yang 7 lapis, kepada jalan-jalan yang dihiasiNya dengan bintang-bintang
dan pembawa-pembawa ‘Arasy Agung. Maka Allah swt berfirman kepada langit yang 7
itu: “Maukah engkau memikul amanah dengan apa yang di dalam amanah itu ?”. Lalu
langit itu bertanya: “Apakah yang di dalam amanah itu ?”. Allah Ta’ala
menjawab: “Jika engkau berbuat baik, niscaya engkau mendapat balasan. Dan jika
engkau berbuat jahat, niscaya engkau mendapat siksaan”. Lalu langit itu
menjawab: “Tidak !”. Kemudian, Allah Ta’ala memberikan amanah itu, seperti
demikian juga kepada bumi. Maka bumi enggan menerimanya. Kemudian, Allah Ta’ala
memberikan amanah itu kepada bukit-bukit yang tinggi menjulang langit, keras
dan sukar ditempuh. Allah berfirman kepadanya: “Maukah engkau memikul amanah,
dengan apa yang di dalamnya amanah itu ?”. Maka bukit-bukit itu bertanya:
“Apakah yang di dalam amanah itu ?”. Lalu Allah Ta’ala menyebutkan balasan dan
siksaan. Maka bukit-bukit itu menjawab: “Tidak !”. Kemudian, Allah Ta’ala
memberikan amanah itu kepada manusia, lalu dipikulnya. Sesungguhnya manusia itu
amat tiada jujur (zalim) bagi dirinya dan amat bodoh terhadap perintah
Tuhannya. Demi Allah ! kami telah melihat mereka itu membeli amanah dengan
hartanya. Lalu mereka mendapat beribu-ribu. Apakah yang mereka perbuat padanya
? dengan uang beribu-ribu itu mereka meluaskan rumahnya, mereka menyempitkan
kuburannya, mereka menggemukkan kudanya, mereka menguruskan agamanya dan mereka
meletihkan dirinya dengan pagi dan sore, ke pintu sultan. Mereka datang untuk
bahaya, padahal mereka dari Allah Ta’ala dalam sehat wal-‘afiat. Salah seorang
mereka berkata: “Jualkanlah kepadaku tanah sekian-sekian dan akan aku tambahkan
kepadamu sekian-sekian !”. Ia duduk bersandar diatas kirinya. Ia makan tidak
dari hartanya. Pembantu-pembantunya (khadam-khadamnya) terhina dan hartanya
haram. Sehingga apabila ia tersiksa oleh berat perut dengan makanan dan menimpa
dirinya oleh kepenuhan perut, lalu ia memanggil: “Hai budak ! bawalah kepadaku
sesuatu yang dapat menghancurkan makananku !”. Hai orang bodoh ! apakah
makananmu yang engkau hancurkan ? sesungguhnya agamamu yang engkau hancurkan.
Dimana orang fakir ? dimana perempuan janda ? dimana orang miskin ? dimana anak
yatim yang disuruh engkau oleh Allah Ta’ala memelihara mereka ? Inilah suatu
isyarat kepada faedah tersebut ! yaitu penyerahan makanan yang berlebih kepada
orang fakir, supaya dengan itu, ia menyimpan pahala. Dan itu adalah lebih baik
baginya daripada memakannya, sehingga berlipat-ganda dosanya. Rasulullah saw
pernah memandang kepada seorang laki-laki yang gemuk perutnya. Lalu beliau
menunjuk kepada perut orang itu dengan jarinya, seraya bersabda: “Jikalau ini
pada lain dari ini, adalah lebih baik bagimu”. Artinya: “Jikalau engkau
dahulukan untuk akhiratmu dan engkau utamakan akan orang lain daripadamu”.
Diceritakan dari Al-Hasan Al-Bashari ra yang mengatakan: “Demi Allah !
sesungguhnya aku mendapati beberapa kaum, dimana seorang laki-laki dari mereka
pada sore harinya, ada padanya makanan yang mencukupi baginya. Jikalau ia mau,
niscaya dimakannya. Lalu ia berkata: “Demi Allah ! tiada akan aku jadikan semua
ini untuk perutku. Tetapi aku jadikan setengahnya bagi Allah”. Inilah 10 faedah
lapar, yang bercabang-cabang dari tiap-tiap faedah itu, faedah-faedah yang
tiada terhingga bilangannya. Dan tiada berkesudahan faedahnya. Maka lapar itu
gudang besar untuk faedah-faedah akhirat. Dan karena inilah, setengah ulama
terdahulu (ulama salaf) berkata: “Lapar itu kunci akhirat dan pintu zuhud. Dan
kenyang itu kunci dunia dan pintu kegemaran”. Bahkan yang demikian itu, tegas
pada hadits-hadits yang telah kami riwayatkan. Dengan mengetahui uraian
faedah-faedah tersebut, dapatlah diketahui pengertian hadits-hadits itu dengan
pengertian ilmu dan mata hati. Maka apabila anda tiada mengenal ini dan anda
membenarkan keutamaan lapar, niscaya adalah anda mempunyai tingkat pengikut
(muqallid) pada iman. Allah Maha Tahu dengan yang benar !.
PENJELASAN: jalannya latihan
dalam menghancurkan nafsu keinginan perut.
Ketahuilah, bahwa atas murid
terhadap perutnya dan yang dimakannya itu, 3 tugas:
Tugas Pertama: bahwa tidak dimakannya, kecuali yang halal. Sesungguhnya ibadah
serta memakan yang haram, adalah seperti bangunan diatas ombak laut. Dan telah
kami sebutkan apa yang wajib dijaga, dari tingkat-tingkat wara’, pada “Kitab
Halal dan Haram”. Dan tinggallah 3 tugas lagi, yang khusus dengan makan. Yaitu:
menentukan batas makanan tentang sedikit dan banyaknya, menentukan waktunya
tentang lambat dan cepatnya dan menentukan jenis yang dimakan, tentang
mengambil yang diingini dan meninggalkannya. Adapun tugas pertama: tentang
menyedikitkan makanan. Jalan latihan pada yang demikian, ialah:
berangsur-angsur. Siapa yang membiasakan makan banyak dan berpindah sekaligus
kepada sedikit, niscaya tidak dapat ditanggung oleh badannya. Ia akan lemah dan
besar kesulitannya. Maka seyogyalah ia berangsur-angsur, sedikit demi sedikit.
Yang demikian itu, dengan dikuranginya sedikit demi sedikit dari makanannya
yang biasa. Jikalau ia makan dua potong roti umpamanya dan ia bermaksud membawa
dirinya kepada sepotong roti, maka dikuranginya setiap hari 1/28 roti. Yaitu:
dikuranginya sebagian dari 28 bagian. Atau sebagian dari 30 bagian roti. Maka
ia akan kembali kepada sepotong roti dalam sebulan. Ia tidak akan melarat
dengan demikian dan tidak menampak bekasnya. Jikalau ia mau, maka diperbuatnya
yang demikian dengan timbangan. Dan jikalau ia mau dengan cara yang disaksikan
oleh mata. Maka ditinggalkannya setiap hari sekedar sesuap. Dan dikuranginya
yang demikian daripada yang dimakannya kemarin. Kemudian, mengenai ini ada 4
tingkat:
1. Tingkat yang
paling tinggi: bahwa ia mengembalikan dirinya kepada sekedar yang perlu, dimana
ia tidak dapat kekal (hidup) tanpa yang demikian. Yaitu: adat kebiasaan
orang-orang siddik. Yaitu: pilihan Sahl At-Tusturi ra karena ia berkata:
“Sesungguhnya Allah memperhambakan makhluk dengan 3 perkara: dengan hidup, akal
dan kekuatan. Jikalau hamba itu takut kepada dua daripadanya, yaitu: hidup dan
akal, niscaya ia makan dan berbuka kalau ia berpuasa. Dan ia memberatkan
dirinya mencari, jikalau ia miskin. Dan jikalau ia tidak takut kepada yang dua
tadi, tetapi ia takut kepada kekuatan (ia takut hilangnya tenaga dan kekuatan
dengan kurang makan), maka At-Tusturi berkata: “Seyogyalah ia tidak
memperdulikannya, bahkan walau ia lemah sekalipun, sehingga ia mengerjakan
shalat dengan duduk. Dan ia berpendapat, bahwa shalatnya dengan duduk serta
lemah badan karena lapar, adalah ia lebih utama daripada shalatnya dengan
berdiri serta banyak makan”. Ditanyakan Sahl At-Tusturi dari permulaannya dan
apa yang dimakannya. Lalu Sahl menjawab: “Adalah makananku pada setiap tahun 3
dirham. Dengan satu dirham aku beli dibs (air manis berasal dari buah anggur atau
kurma). Dengan satu dirham aku beli tepung beras. Dan dengan satu dirham lagi
minyak samin. Aku aduk semuanya dan aku bagi sama menjadi 360 butir. Aku ambil
pada setiap malam sebutir, untuk makanan pagi bagiku”. Lalu ia ditanyakan:
“Tentang jamnya, bagaimana anda makan ?”. Ia menjawab: “Dengan tiada batas dan
waktu tertentu”. Menurut cerita dari orang-orang yang berkhilwah (yang
mengasingkan diri dari orang ramai), bahwa mereka kadang-kadang mengembalikan
dirinya kepada makanan sekedar sedirham.
2. Tingkat
kedua: bahwa ia membawa dirinya dengan latihan pada siang dan malam kepada ½
mud (1 mud = 2 kati). Yaitu sepotong roti dan sesuatu, dimana 4 kali
daripadanya menjadi satu mann (nama sukatan pada masa dahulu, yang beratnya 180
mitsqal). Dan serupa, bahwa ada ini sekedar 1/3 perut pada kebanyakan orang,
sebagaimana disebut oleh Nabi saw. Yaitu lebih sedikit (diatas) beberapa suap
kecil. Karena kata-kata ini pada jama’ (plural) untuk jama’ qillah (jumlah
sedikit). Maka yaitu, untuk kurang dari 10. Adalah yang demikian itu kebiasaan
Umar ra. Karena ia makan 7 atau 9 suap.
3. Tingkat
ketiga: bahwa ia membawa dirinya kepada sekedar 1 mud. Yaitu: 2,5 potong roti.
Dan ini melebihi dari 1/3 perut pada kebanyakan orang. Hampir berkesudahan
kepada 2/3 perut. Dan tinggallah 1/3 untuk minuman. Dan tiada tinggal
sedikitpun untuk dzikir. Dan pada sebahagian kata-kata hadits, ialah 1/3 untuk
dzikir, sebagai ganti perkataannya untuk bernafas.
4. Tingkat
keempat: bahwa ia menambahkan dari 1 mud kepada 1 mann. Dan menyerupailah bahwa
dibalik 1 mann itu berlebih-lebihan, yang menyalahi firman Allah Ta’ala:
“Janganlah kamu berlebih-lebihan !”. S 7 Al A’raaf ayat 31. Ya’ni: pada hak
kebanyakan orang. Sesungguhnya kadar keperluan kepada makanan itu, berbeda
dengan umur, orang dan pekerjaan yang dikerjakannya. Disini ada jalan kelima,
yang tak ada kadar padanya. Akan tetapi, dia itu tempat kesalahan. Yaitu: bahwa
ia makan apabila sudah benar lapar. Dan kemudian, ia menggenggam tangannya,
walaupun ia masih ingin benar. Akan tetapi, yang kebanyakan, bahwa orang yang
tiada menentukan untuk dirinya sepotong atau dua potong roti, maka tiada terang
baginya, batas lapar yang benar dan yang demikian itu meragukan kepadanya,
dengan keinginan yang bohong. Dan telah disebutkan bagi lapar yang benar itu,
tanda-tanda. Salah satu daripadanya, ialah: nafsu makan itu tidak meminta
lauk-pauk. Tetapi ia makan roti saja, dengan penuh keinginan. Roti apapun
adanya. Maka manakala nafsu itu, meminta roti tertentu atau meminta dengan
lauk-pauk, maka tidaklah yang demikian itu lapar yang sebenarnya. Ada yang
mengatakan, bahwa diantara tanda lapar yang sebenarnya itu, ialah: bahwa ia
meludah, lalu lalat tidak jauh diatas ludahnya. Artinya: tak ada pada ludah itu
yang berminyak dan berlemak. Maka yang demikian itu menunjukkan, kepada
kosongnya perut. Dan mengetahui yang demikian itu sulit. Yang betul bagi
seorang murid, ialah: bahwa ia menentukan makanan bagi dirinya, sekedar yang
tidak melemahkannya dari ibadah, yang ada di depannya. Maka apabila ia sampai kepadanya,
niscaya ia berhenti, walaupun keinginannya masih ada. Kesimpulannya, maka
penentuan kadar makanan itu tidak mungkin. Karena ia berbeda menurut keadaan
dan orang. Benar, ada makanan segolongan sahabat Nabi saw itu segantang gandum
pada tiap-tiap Jum’at (seminggu). Maka apabila mereka makan tamar (kurma
kering), lalu mereka makan sebanyak satu gantang setengah. Satu gantang gandum
itu 4 mud. Maka setiap hari itu, mendekati setengah mud. Dan itulah apa yang
telah kami sebutkan, bahwa setengah mud itu kadar 1/3 perut. Dan diperlukan
pada tamar, kepada tambahan, karena dikeluarkan biji daripadanya. Adalah Abu
Dzar ra berkata: “Makananku pada tiap-tiap Jum’at (minggu) iu satu sha’ syair,
pada masa Rasulullah saw. Demi Allah ! aku tiada menambahkan sedikitpun
daripadanya, sehingga aku bertemu dengan beliau. Aku mendengar beliau bersabda:
“Yang paling dekat tempatnya kepadaku pada hari kiamat diantara kamu dan yang
paling aku kasihi, ialah siapa yang meninggal, menurut apa ia padanya, hari
ini”. Abu Dzar ra berkata tentang penantangannya terhadap sebahagian sahabat:
“Kamu telah mengubah sunnah. Tepung syair diayak untukmu, padahal dahulu tidak
diayak. Kamu membuat roti dari tepung halus. Kamu kumpulkan dua macam
lauk-pauk. Kepadamu dihidangkan bermacam-macam warna makanan. Pada pagi hari,
salah seorang kamu memakai semacam pakaian dan pada sorenya macam yang lain.
Dan tidak adalah kamu demikian, pada masa Rasulullah saw dahulu”. Adalah
makanan para sahabat Nabi saw yang tinggal di shuffah (tempat berteduh dekat
masjid Nabi saw) itu, 1 mud tamar untuk 2 orang tiap-tiap hari. 1 mud itu 1 1/3
kati. Dan dibuang bijinya. Al-Hasan Al-Bashari ra berkata: “Orang mukmin itu
seperti kambing kecil. Mencukupi baginya segenggam tamar buruk, sekepal tepung
syair dan seteguk air. Dan orang munafik itu seperti binatang buas yang ganas,
menelan banyak dan menelan suapnya. Ia tidak melipatkan perutnya (mengurangi
makanannya) untuk tetangganya. Dan ia tidak mengutamakan temannya dengan
kelebihan makanannya. Mereka hadapkan kelebihan-kelebihan itu di hadapan kamu”.
Sahl At-Tusturi berkata: “Jikalau dunia itu darah mentah, niscaya makanan orang
mukmin halal daripadanya. Karena makanan orang mukmin itu ketika terpaksa,
adalah sekedar kuat berdiri saja.
Tugas kedua: mengenai waktu makan dan
kadar perlambatan makan. Mengenai hal ini juga 3 tingkat:
1. Tingkat
tertinggi: bahwa ia menahan lapar 3 hari dan lebih dari 3 hari. Diantara
murid-murid, ada yang mengembalikan latihan itu kepada tahan lapar. Tidak
kepada kadarnya makan. Sehingga sebahagian mereka sampai 30 hari dan 40 hari.
Dan sampai kepada yang demikian, segolongan ulama yang banyak bilangannya.
Diantara mereka itu, ialah: Muhammad bin ‘Amr Al-Qarni, Abdurrahman bin Ibrahim
Duhaim, Ibrahim At-Tamimi, Hajjaj bin Furafishah, Hafash Al-‘Abid Al-Mushaishi,
Al-Muslim bin Sa’id, Zuhair, Sulaiman Al-Khawwash, Sahl bin Abdullah At-Tusturi
dan Ibrahim bin Ahmad Al-Khawwash. Adalah Abubakar Ash-Shiddiq ra menahan lapar
6 hari. Dan Abdullah bin Az-Zubair menahan lapar 7 hari. Dan Abdul-Jauza’ teman
Ibnu Abbas, menahan lapar 7 hari. Diriwayatkan, bahwa Ats-Tsauri dan Ibrahim
bin Adham menahan lapar tiga hari-tiga hari. Semua itu mereka meminta tolong
dengan lapar, kepada jalan akhirat. Sebahagian ulama berkata: “Siapa yang
menahan dari lapar 40 hari karena Allah, niscaya menampaklah baginya kekuasaan
dari alam malakut. Artinya: terbuka dengan sebahagian rahasia-rahasia
ketuhanan. Diceritakan, bahwa sebahagian ahli golongan ini (golongan kaum
shufi), lewat di tempat seorang pendeta Nasrani. Lalu ia bertukar-pikiran
dengan pendeta itu mengenai keadaannya. Dan ia mengharap benar untuk
mengislamkan pendeta tersebut dan meninggalkan tipuan yang menjadi pegangannya.
Lalu ahli shufi itu berbicara banyak dengan pendeta tadi dalam hal tersebut,
sehingga pendeta itu berkata kepadanya: “Bahwa Isa Al-Masih menahan lapar 40
hari. Dan yang demikian adalah mu’jizat, yang tak terdapat, kecuali bagi nabi
atau orang siddik (orang benar)”. Lalu orang shufi tadi menjawab: “Jikalau aku
menahan lapar 50 hari, apakah anda akan meninggalkan agama anda dan anda
bersedia masuk Islam ? dan anda tahu bahwa Islam itu benar, sedang anda berada
diatas agama batil ?”. Pendeta itu menjawab: “Ya, baik !”. Maka orang shufi
tadi, terus-menerus duduk disitu, dimana dilihat oleh pendeta tadi. Sehingga ia
sudah menahan lapar 50 hari lamanya. Kemudian, orang shufi tersebut berkata:
“Aku ingin menambahkan pula untukmu”. Lalu orang shufi itu menahan lapar lagi,
sampai cukup 60 hari. Maka amat menakjubkan pendeta tersebut, seraya ia berkata:
“Aku tiada menyangka sama sekali, bahwa ada orang yang melampaui Al-Masih”.
Maka adalah yang demikian itu, menjadi sebab keislamannya. Dan inilah tingkat
tinggi. Sedikitlah orang yang sampai ke tingkat itu, kecuali orang yang terbuka
hijab (dinding), yang terbawa kepadanya, yang sibuk dengan musyahadah/penyaksian,
memutuskan dia dari tabiat dan adat-kebiasaannya. Ia menyempurnakan dirinya
pada kelezatan itu dan melupakannya kelaparan dan keperluannya.
2. Tingkat
kedua: bahwa ia menahan lapar, 2 sampai 3 hari. Dan yang demikian, tidaklah
keluar dari kebiasaan. Tetapi itu hal yang dekat, yang mungkin sampai
kepadanya, dengan kesungguhan dan mujahadah.
3. Tingkat
ketiga: yaitu yang paling rendah, dimana ia memendekkan, pada sehari semalam,
dengan sekali makan. Inilah yang paling sedikit ! dan yang melampaui demikian,
itu pemborosan dan berkekalan kenyang. Sehingga ia tidak mempunyai keadaan
lapar. Dan itulah perbuatan orang-orang pemboros. Dan itu jauh dari sunnah Nabi
saw. Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri ra, bahwa Nabi saw apabila makan
siang, lalu beliau tiada makan malam. Dan apabila makan malam, lalu beliau
tidak makan siang. Adalah ulama salaf (ulama terdahulu) makan pada tiap-tiap
hari sekali. Dan Nabi saw bersabda kepada ‘Aisyah: “Awaslah daripada pemborosan
! sesungguhnya 2 kali makan sehari itu termasuk pemborosan. Sekali makan dalam
tiap-tiap dua hari itu kikir. Dan sekali makan pada tiap-tiap hari itu sedang
diantara yang demikian. Dan itu terpuji pada Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla”. Siapa
yang memendekkan sehari sekali makan saja, maka disunatkan ia makan pada waktu
sahur, sebelum terbit fajar. Maka makanannya itu adalah sesudah tahajjud dan
sebelum Shubuh. Maka ia berhasil lapar siang untuk puasa, lapar malam untuk
berdiri shalat, kesunyian hati untuk kekosongan perut, halusnya pikiran,
terkumpulnya cita-cita dan tentramnya jiwa kepada yang diketahui. Maka tidaklah
mendesakkannya sebelum waktunya. Pada hadits yang dirawikan ‘Ashim bin Kulaib
dari ayahnya, dari Abi Hurairah, dimana Abi Hurairah berkata: “Rasulullah saw
tiada sekali-kali berdiri (untuk shalat) sebagaimana berdirinya kamu ini. Dan
jikalau ada beliau berdiri, niscaya beliau sendiri, sehingga bengkaklah kedua
tapak kakinya. Dan beliau tiada sekali-kali menyambung sebagaimana penyambunganmu
ini, selain beliau menta’khirkan (melambatkan) berbuka sampai kepada sahur”.
Pada hadits ‘Aisyah, dimana ‘Aisyah berkata: “Adalah Nabi saw menyambung sampai
kepada sahur”. Kalau ada hati orang yang berpuasa itu sesudah maghrib berpaling
kepada makanan dan yang demikian itu, mengganggunya dari kehadiran hati pada
shalat tahajjud, maka yang lebih utama, ia membagikan makanannya dua bahagian.
Kalau ada dua potong roti –umpamanya –niscaya dimakannya sepotong ketika
berbuka dan sepotong lagi ketika sahur. Supaya tentram jiwanya dan ringan
badannya ketika shalat tahajjud. Dan tidak bersangatan laparnya di siang hari,
karena memakan sahur. Maka ia mendapat pertolongan dengan roti pertama untuk
shalat tahajjud dan dengan roti kedua untuk puasa. Dan siapa yang berpuasa
sehari dan berbuka sehari, maka tiada mengapa ia makan tiap-tiap hari
berbukanya (hari ia tiada berpuasa) pada waktu zuhur. Dan hari puasanya, ia
makan waktu sahur. Jalan-jalan ini adalah mengenai waktu-waktu makan, berjauhan
dan berdekatan makan itu.
Tugas ketiga: tentang macam makanan dan meninggalkan lauk-pauk. Makanan yang
tertinggi, ialah: tepung gandum. Kalau diayak, maka adalah terlalu mewah.
Makanan yang sedang: ialah syair yang sudah diayak. Dan makanan yang paling
rendah, ialah: syair yang tidak diayak. Lauk-pauk yang tertinggi: ialah daging
dan manisan. Yang terendah, ialah: garam dan cuka. Dan yang sedang, ialah:
makanan yang bercampur dengan minyak, tanpa daging. Kebiasaan orang-orang yang
berjalan ke jalan akhirat, ialah: mencegah terus-menerus dari lauk-pauk. Bahkan
mencegah pula dari segala nafsu keinginan. Sesungguhnya setiap yang enak, yang
diingini oleh manusia lalu dimakannya, niscaya yang demikian, menghendaki akan
kesombongan pada dirinya, kekesatan pada hatinya dan menjinakkannya dengan
kelezatan dunia. Sehingga ia suka kepada kelezatan dunia dan benci kepada mati
dan menemui Allah Ta’ala. Jadilah dunia itu sorga padanya dan mati itu penjara
baginya. Dan apabila ia mencegah dirinya dari keinginan-keinginan dunia, ia
menyempitkannya dan ia haramkan kelezatannya, niscaya jadilah dunia itu penjara
baginya dan menyempitkan kepadanya. Maka dirinya ingin terlepas dari dunia.
Maka matilah yang melepaskannya. Kepada itulah diisyaratkan dengan perkataan
Yahya bin Ma’az, dimana ia berkata: “Wahai para orang-orang shiddiq !
laparkanlah dirimu untuk pesta sorga firdaus ! sesungguhnya keinginan kepada
makanan itu ‘ala kadar melaparkan jiwa”. Maka semua yang telah kami sebutkan
dari bahaya kekenyangan, sesungguhnya berlaku pada semua nafsu keinginan dan
memperoleh keenakan. Maka tiada kami perpanjangkan lagi dengan mengulanginya.
Maka karena itu, besarlah pahala pada meninggalkan nafsu syahwat dari segala
yang mubah (yang diperbolehkan). Dan besarlah bahaya pada mengambilkannya.
Sehingga Nabi saw bersabda: “Yang jahat dari umatku, ialah mereka yang memakan
tepung gandum”. Ini tidaklah diharamkan. Bahkan itu diperbolehkan (mubah),
dengan pengertian, bahwa siapa yang memakannya sekali atau dua kali, niscaya ia
tidak berbuat maksiat. Dan siapa yang terus-menerus pula pada yang demikian, ia
tidak berbuat maksiat dengan memakannya. Tetapi nafsunya terdidik dengan
kenikmatan, lalu ia jinak dengan dunia dan menyukai kesenangan. Dan berusaha
mencarinya. Maka yang demikian itu membawanya kepada perbuatan maksiat. Maka
mereka menjadi umat yang jahat. Karena tepung gandum itu membawa mereka kepada
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan. Dan pekerjaan itu maksiat. Nabi saw bersabda:
“Yang jahat dari umatku, ialah mereka yang makan dengan yang enak-enak (penuh
kenikmatan) dan tubuh mereka tumbuh atas makanan itu. Dan cita-cita mereka
ialah macam-macam warna makanan dan berbagai macam bentuk pakaian. Mereka
berbicara banyak, tanpa dijaga dan hati-hati”. Allah Ta’ala menurunkan wahyu
kepada Musa as: “Ingatlah bahwa engkau itu menetap di kubur. Dan yang demikian
itu melarang engkau dari banyak nafsu keinginan”. Para ulama terdahulu (ulama
salaf) sangat takut memakan makanan yang lezat-lezat dan mencobakan diri
kepadanya. Mereka berpendapat, bahwa yang demikian itu tanda kecelakaan. Mereka
melihat akan larangan Allah Ta’ala daripadanya itu, kebahagiaan yang
penghabisan. Sehingga diriwayatkan, bahwa Wahab bin Manbah Al-Yamani berkata:
“Bertemu 2 orang malaikat pada langit keempat, lalu bertanya salah seorang
daripada keduanya kepada yang lain: “Dari mana ?”. Maka yang ditanya itu
menjawab: “Aku disuruh menghalau ikan dari laut, yang diingini oleh si
Anu-Yahudi itu, yang kena kutukan Allah Ta’ala. Lalu yang lain berkata: “Aku
disuruh menuangkan minyak, yang diingini oleh si Anu yang banyak beribadah
itu”. Maka inilah suatu peringatan, bahwa memudahkan sebab-sebab nafsu
keinginan itu, tidaklah termasuk tanda-tanda kebajikan. Dan karena inilah, Umar
ra tidak mau meminum air dingin dengan madu. Dan beliau berkata: “Nyahkanlah
daripadaku perhitungannya !”. Maka tiada ibadah kepada Allah Ta’ala yang lebih
besar, daripada menyalahi nafsu keinginan dan meninggalkan yang lezat-lezat,
sebagaimana telah kami kemukakan dahulu pada “Kitab Latihan Jiwa”. Diriwayatkan
Nafi’, bahwa Ibnu Umar ra itu sakit. Ia ingin ikan panggang, lalu saya carikan
di kota, maka tidak dapat. Kemudian saya peroleh, sesudah beberapa hari. Lalu
saya belikan dengan harga satu setengah dirham. Lalu saya goreng dan saya
bawakan kepadanya atas roti. Maka berdiri di pintu seorang peminta-minta. Lalu
berkata Ibnu Umar kepada budaknya (yaitu: Nafi’ sendiri): “Bungkuskanlah ikan
itu dengan rotinya dan berikanlah kepada peminta itu !”. Lalu menjawab budak
(Nafi’): “Kiranya Allah membaikkan engkau ! engkau ingin akan ikan itu semenjak
beberapa hari yang lalu, tetapi kami tiada mendapatinya. Waktu kami
mendapatinya, lalu kami belikan dengan harga satu setengah dirham. Kami berikan
saja kepadanya harganya”. Ibnu Umar berkata lagi: “Bungkuslah dan serahkanlah
kepada peminta itu !”. Kemudian, budak itu (Nafi’) bertanya kepada peminta itu:
“Maukah engkau mengambil uang sedirham dan engkau tinggalkan ikan ini ?”.
Peminta tadi menjawab: “Ya, boleh !”. Lalu diserahkan oleh Nafi’ uang sedirham
kepada peminta tersebut. Dan ikan itu diambilnya. Dan dibawanya, seraya
diletakkannya dihadapan Ibnu Umar. Dan ia berkata: “Sudah aku berikan kepada
peminta itu uang sedirham dan ikan aku ambil kembali”. Maka Ibnu Umar menjawab:
“Bungkuslah ikan itu dan serahkanlah kepada peminta itu ! dan uang yang satu
dirham itu, jangan engkau ambil daripadanya. Karena aku mendengar Rasulullah
saw bersabda: “Siapapun yang ingin akan sesuatu keinginan, lalu menolak
keinginannya dan mengutamakan orang lain dengan keinginan itu daripada dirinya,
niscaya diampunkan oleh Allah akan dosanya”. Nabi saw bersabda: “Apabila engkau
sumbat keinginan makan banyak dengan roti dan segelas air bersih, maka
kebinasaanlah atas dunia dan penduduknya”. Nabi saw mengisyaratkan, bahwa yang
dimaksud, ialah: menolak kepedihan lapar dan haus dan menolak kemelaratannya,
tanpa bersenang-senang dengan keenakan duniawi. Sampai berita kepada Umar ra
bahwa Yazid bin Abi Sufyan makan dengan bermacam-macam makanan. Lalu Umar ra
berkata kepada pembantu Yazid (bekas budaknya, bernama: Yarfa): “Apabila engkau
tahu, bahwa telah datang waktu makan malam, maka beritahukanlah kepadaku !”.
Lalu pembantu Yazid itu memberitahukan kepada Umar ra. Maka masuklah Umar ra.
Lalu hampirlah waktu makanan malam itu. Maka mereka membawa kepada Yazid daging
yang dipotong-potong, lalu Umar ra memakannya bersama Yazid. Kemudian,
didekatkan daging goreng. Yazid membuka tangannya untuk mengambil daging itu.
Maka dicegah oleh Umar ra tangan Yazid, seraya berkata: “Allah ! Allah ! hai
Yazid bin Abi Sufyan ! adakah makanan sesudah makanan ? demi Allah yang jiwa
Umar di dalam tanganNya ! sesungguhnya jikalau engkau menyalahi dari sunnah
mereka, niscaya mereka akan menyalahi dengan kamu dari jalan mereka !”. Yassar
bin Umair, dimana ia berkata: “Tiada pernah sekali-kali aku mengayak tepung
untuk Umar ra. Kalau aku lakukan, maka aku durhaka kepadanya”. Diriwayatkan,
bahwa ‘Athbah Al-Ghallam meramas tepungnya dengan air dan mengeringkannya pada
matahari, kemudian memakannya. Dan mengatakan: “Sepotong roti dan garam,
sehingga tersedialah di akhirat sepotong daging goreng dan makanan yang baik”.
Ia mengambil gelas, lalu diciduknya air dari kendi besar, yang ada pada
siangnya di matahari. Maka berkata babunya (bekas budak wanitanya yang sudah
dimerdekakan): “Wahai ‘Athbah ! jikalau engkau berikan tepungmu itu kepadaku,
niscaya aku buat roti untukmu dan aku dinginkan air untukmu”. Maka menjawab
‘Athbah: “Hai ibu si Anu ! sudah aku usir daripadaku kesangatan lapar”. Syaqiq
bin Ibrahim berkata: “Aku bertemu dengan Ibrahim bin Adham di Makkah di kampung
Sauqul-lail -tempat lahirnya Nabi saw- sedang menangis. Ia duduk di suatu sudut
jalan. Lalu aku berpulang kepadanya dan aku duduk di sisinya, seraya bertanya:
“Apakah tangisan ini, wahai Abu Ishak ?”. Lalu ia menjawab: “Baik !”. Maka aku
mengulangi menanyakannya sekali-dua kali tiga kali. Lalu ia menjawab: “Hai
Syaqiq ! tutuplah aku !”. Lalu aku menjawab: “Hai saudaraku ! katakanlah apa
yang engkau kehendaki !”. Maka ia berkata kepadaku: “Nafsuku ingin sejak 30
tahun yang lalu akan sikbaj (gulai yang diperbuat dari daging dan cuka). Aku
cegah nafsu itu dengan segenap tenagaku. Sehingga kemarin, adalah aku sedang
duduk dan aku sangat mengantuk. Tiba-tiba datanglah seorang anak muda.
Ditangannya mangkok hijau, yang meninggi uap dan bau sikbaj daripadanya”.
Syaqiq berkata: “Maka aku kumpulkan dengan cita-citaku dari hal Ibrahim bin
Adham itu. Lalu pemuda tersebut mendekatinya, seraya berkata: “Hai Ibrahim,
makanlah !”. Ibrahim bin Adham menerangkan selanjutnya: “Maka aku menjawab:
“Tiada akan aku makan. Aku sudah meninggalkannya karena Allah ‘Azza Wa Jalla”.
Lalu pemuda itu mengatakan kepadaku: “Sesungguhnya engkau telah diberi makan
oleh Allah, maka makanlah ! maka tiada lagi bagiku jawaban, selain aku lalu
menangis”. Pemuda itu berkata lagi kepadaku: “Makanlah ! semoga Allah
mencurahkan rahmat kepadamu !”. Maka aku menjawab lagi: “Kami sudah disuruh,
supaya kami tidak mencampakkan dalam perut kami, selain dari kira-kira yang
kami ketahui”. Pemuda itu lalu berkata pula: “Makanlah ! kiranya engkau diberi sehat
dan afiat oleh Allah ! sesungguhnya aku berikan sikbaj tersebut, lalu dikatakan
kepadaku: “Hai Khidlir ! pergilah dengan makanan ini dan berikanlah makanan ini
untuk memenuhi keinginan Ibrahim bin Adham ! Allah telah mencurahkan rahmat
kepada keinginan nafsu Ibrahim, dari lama kesabarannya diatas tanggungannya
mencegah nafsu keinginan itu. Ketahuilah, wahai Ibrahim ! sesungguhnya aku
mendengar para malaikat itu berkata: “Orang yang diberikan, lalu tidak
mengambil, niscaya ia mencari, lalu tidak diberi”. Maka aku berkata: “Jikalau
ada seperti demikian, maka inilah aku dihadapan engkau, lantaran karena ikatan
serta Allah Ta’ala”. Kemudian, aku menoleh, maka tiba-tiba aku bersama pemuda
lain, yang memberikan sesuatu kepada Ibrahim bin Adham, seraya berkata: “Hai
Khidlir ! engkau suapkanlah !”. Maka terus-menerulah ia menyuapkan aku,
sehingga aku tertidur. Waktu aku terbangun, kemanisannya itu dalam mulutku”.
Syaqiq berkata: “Lalu aku berkata: “Perlihatkanlah tapak tanganmu kepadaku !”.
Lalu aku ambil tapak tangannya. Maka aku cium tapak tangannya, seraya aku
berdoa: “Wahai Yang Memberi makanan orang-orang yang lapar akan nafsu
keinginan, apabila mereka itu benar-benar mencegahnya ! wahai Yang Mencela
dalam batin akan keyakinan ! wahai Yang Menyembuhkan hati mereka dari
kecintaanNya ! adakah Engkau melihat sesuatu keadaan bagi Syaqiq pada sisi
Engkau ?”. Kemudian, aku angkat tangan Ibrahim ke langit, seraya aku berdoa:
“Menurut kadar tapak tangan ini pada sisi Engkau dan menurut kadar yang
mempunyainya. Dan dengan kemurahan yang ia peroleh daripada Engkau, ia
bersungguh-sungguh kepada hamba Engkau yang berhajat kelimpahan, kebaikan dan
rahmat Engkau, walaupun ia tidak berhak yang demikian”. Syaqiq lalu menyambung:
“Maka bangunlah Ibrahim dan berjalan, sehingga kami mendapati Baitullah
(Ka’bah)”. Diriwayatkan dari Malik bin Dinar, bahwa beliau selama 40 tahun
ingin roti dengan susu, tetapi tidak dimakannya. Dan pada suatu hari,
dihadiahkan orang kepadanya tamar masak, lalu ia berkata kepada teman-temannya:
“Makanlah ! aku tiada pernah merasakannya semenjak 40 tahun yang lalu”. Ahmad
bin Abil-Hawari berkata: “Abu Sulaiman Ad-Darani ingin kepada roti panas dengan
garam. Lalu aku bawa roti tersebut kepadanya. Maka digigitnya sekali gigit.
Kemudian dicampakkannya dan terus menangis, sambil berkata: “Aku tergopoh-gopoh
kepada keinginanku, sesudah lama aku berusaha menjauhkannya. Alangkah celakanya
aku ! aku bercita-cita akan taubat. Maka kurangilah dosaku !”. Ahmad bin
Abil-Hawari berkata: “Maka tiada aku melihat lagi ia memakan roti dengan garam,
sampai ia bertemu dengan Allah Ta’ala (meninggal)”. Malik bin Dlaigham berkata:
“Aku lalu di Basrah di pasar, maka aku melihat sayur-sayuran, lalu nafsuku
berkata kepadaku: “Jikalau aku makan nanti makan sayuran ini ! lalu aku bersumpah,
bahwa tiada akan aku makan sayuran selama 40 malam”. Malik bin Dinar bertempat
di Basrah 50 tahun lamanya. Ia tiada memakan sekali-kali tamar masak dan tamar
muda. Ia berkata: “Hai penduduk Basrah ! aku telah hidup bersamamu 50 tahun,
tiada pernah aku makan tamar masak dan tamar muda kepunyaanmu. Maka tidaklah
bertambah pada kamu apa yang kurang daripadaku. Dan tiada berkurang daripadaku,
apa yang bertambah padamu”. Ia berkata lagi: “Aku ceraikan dunia semenjak 50
tahun. Diriku ingin kepada susu semenjak 40 tahun yang lalu. Demi Allah, aku
tiada memakannya, sehingga aku menghubungi Allah Ta’ala (meninggal)”. Hammad
bin Abi Hanifah berkata: “Aku datangi Daud Ath-Tha-i dan pintunya terkunci.
Maka aku mendengar ia berkata: “Nafsuku ! engkau ingin kepada lobak, maka aku
berikan makananmu lobak itu. Kemudian, engkau ingin tamar, maka aku bersumpah
supaya tiada engkau memakannya selama-lamanya”. Kata Hammad seterusnya: “Lalu
aku memberi salam dan aku masuk. Tiba-tiba ia sendirian”. Pada suatu hari Abu Hazim
lalu di pasar. Maka ia melihat buah-buahan, lalu ingin ia akan buah-buah itu.
Ia berkata kepada puteranya: “Belilah untuk kita dari buah-buahan ini, yang
terpotong, lagi terlarang ! mudah-mudahan kita akan pergi kepada buah-buahan
yang tiada terpotong dan tiada terlarang”. Sesudah dibeli oleh anaknya dan
dibawanya kepadanya, lalu ia berkata kepada dirinya: “Engkau telah menipuku,
sehingga aku melihat dan ingin. Engkau telah mengalahkan aku, sehingga
buah-buahan itu dibeli. Demi Allah ! tidak engkau akan merasakannya !”. Lalu
dikirimkannya buah-buahan itu kepada anak-anak yatim yang miskin. Dari Musa
Al-Asyaj, dimana ia mengatakan: “Nafsuku ingin kepada garam yang tidak
tertumbuk halus, semenjak 20 tahun yang lalu”. Dari Ahmad bin Khalifah, yang
berkata: “Nafsuku ingin semenjak 20 tahun yang lalu, dimana ia tidak meminta
padaku, selain air untuk menghilangkan hausnya. Maka aku tidak menghilangkan
hausnya itu”. Diriwayatkan, bahwa ‘Atabah Al-Ghallam mengingini daging sudah 7
tahun lamanya. Lalu sesudah itu ia berkata: “Aku malu pada diriku menolaknya
semenjak 7 tahun yang lalu, tahun demi tahun. Maka aku beli sepotong daging
atas roti. Aku goreng dan aku tinggalkan diatas roti. Lalu aku bertemu dengan
seorang anak kecil, seraya aku bertanya: “Bukankah engkau anak si Anu dan
ayahmu sudah meninggal ?”. Anak itu menjawab: “Benar !”. Maka aku berikan
kepadanya daging itu”. Mereka mengatakan, bahwa ‘Atabah lalu menangis, seraya
membaca ayat: “Mereka memberikan makanan dengan kasih-sayangnya kepada orang
miskin, anak yatim dan orang tawanan (terpenjara)”. S 76 Al Insaan ayat 8.
Kemudian, sesudah itu ia tidak pernah merasakannya lagi. Bertahun-tahun ‘Atabah
ingin kepada tamar. Maka pada suatu hari, ia membeli tamar dengan harga 1
qirath (1/20 dinar). Dan diangkatnya sampai malam untuk ia makan pagi. ‘Atabah
berkata: “Lalu berhembuslah angin kencang, sehingga menggelapkan dunia. Maka
manusiapun terkejut. Lalu ‘Atabah menghadap kepada dirinya, seraya berkata:
“Inilah karena keberanianku kepada engkau dan pembelianku tamar dengan qirath
itu”. Kemudian ia berkata kepada dirinya: “Aku tiada menyangka siksaan manusia,
selain disebabkan dosa engkau. Atas tanggunganku, bahwa engkau tiada merasakan
tamar itu”. Daud Ath-Tha-i membeli sayur dengan harga setengah fals (uang tembaga
pada masa itu) dan dengan 1 fals. Ia menghadap malam seluruhnya, dengan
mengatakan kepada dirinya: “Celaka engkau hai Daud ! alangkah panjangnya hisab
(perhitungan amal) kamu pada hari akhirat !”. Kemudian, tiada ia makan sesudah
itu, selain roti tiada berlauk. Pada suatu hari ‘Atabah Al-Ghallam berkata
kepada Abdulwahid bin Zaid: “Bahwa si Anu menyifatkan dari dirinya suatu tempat
yang tiada aku kenal dari diriku”. Lalu Abdulwahid menjawab: “Karena engkau
memakan tamar serta roti engkau. Dan dia tidak menambahkan sesuatu diatas
roti”. Maka ‘Atabah menjawab: “Jikalau aku meninggalkan makan tamar, niscaya
aku kenal tempat itu ?”. Lalu Abdulwahid menjawab: “Ya dan tempat yang lain
dari itu lagi”. ‘Atabah pun lalu menangis. Maka berkatalah sebahagian sahabat ‘Atabah
kepadanya: “Kiranya Allah tidak mempertangiskan mata engkau ! adakah engkau
menangis diatas tamar ?”. Lalu Abdulwahid berkata: “Biarkanlah dia ! karena
dirinya sudah mengetahui akan kebenaran cita-citanya tentang meninggalkan itu.
Yaitu, apabila ia meninggalkan sesuatu, niscaya tidak akan diulanginya lagi”.
Ja’far bin Nasar berkata: “Aku disuruh oleh Junaid membeli untuknya buah tin
al-waziri (nama semacam buah-buahan). Sesudah aku beli, lalu diambilnya sebuah
ketika makan pagi. Diletakkannya dalam mulutnya, kemudian dicampakkannya dan
terus ia menangis. Kemudian ia berkata: “Bawalah !”. Lalu aku bertanya
kepadanya tentang yang demikian. Maka ia menjawab: “Dipanggil aku oleh
Pemanggil dengan kata-kata: “Apakah engkau tidak malu ? telah engkau tinggalkan
dari karenaKu, kemudian engkau kembali lagi kepadanya”. Saleh Al-Mari berkata:
“Aku berkata kepada ‘Atha As-Salmi: “Sesungguhnya aku dengan rasa berat membuat
sesuatu untukmu. Maka janganlah engkau tolak demi kehormatanku !”. Lalu ‘Atha
menjawab: “Buatlah apa yang engkau kehendaki !”. Saleh menerangkan seterusnya:
“Lalu aku bawa kepadanya bersama puteraku, minuman dari tepung yang sudah aku
ramas dengan minyak samin dan air madu. Aku katakan kepadanya: “Silakan !”.
Sehingga diminumnya. Pada keesokan harinya, aku buat lagi seperti itu. Tetapi
ditolaknya dan tidak diminumnya. Lalu aku maki dan mencacinya diatas sikapnya
yang demikian. Dan aku mengatakan: “Subhaanallah ! engkau tolak aku atas
kehormatanku”. Demi ia melihat perasaanku disebabkan yang demikian, lalu ia
menjawab: “Jangan menyakitkan engkau oleh sikapku ini ! sesungguhnya aku sudah
meminumnya pada kali pertama. Dan aku mencoba diriku pada kali kedua untuk
meminumnya. Lalu aku tidak sanggup yang demikian. Tiap kali aku bermaksud
demikian, lalu aku teringat akan firman Allah Ta’ala: “Dihirupnya sedikit dan
hampir tidak dapat diteguknya dan kematian datang kepadanya dari segala
penjuru, tetapi dia tidak mati dan dibelakangnya siksaan yang keras”. S 14 Ibrahim
ayat 17. Saleh berkata: “Lalu aku menangis dan aku berkata pada diriku: “Aku
berada pada suatu lembah dan engkau berada pada lembah yang lain”. As-Sirri
As-Saqati berkata: “Semenjak 30 tahun yang lalu, nafsuku meminta padaku untuk
aku rendamkan daging sembelihan dalam air manis. Tetapi aku tidak memakannya”.
Abubakar Al-Jalla’ berkata: “Aku kenal seorang laki-laki yang dikatakan
kepadanya oleh nafsunya: “Aku bersabar karena engkau, tidak makan 10 hari.
Berikanlah kepadaku sesudah itu, suatu keinginan yang aku ingini”. Lalu
laki-laki tersebut menjawab kepada nafsunya: “Aku tiada menghendaki engkau
tahan lapar 10 hari. Tetapi tinggalkanlah nafsu keinginan itu !”. Diriwayatkan,
bahwa seorang ‘abid (yang banyak beribadah) memanggil sebahagian temannya. Lalu
‘abid tersebut mendekatkan roti kepadanya. Maka temannya itu membalik-balikkan
roti, untuk dipilihnya yang terbaik. Lalu ‘abid itu berkata kepadanya: “Hai !
apa yang anda perbuat ! apakah tidak anda ketahui, bahwa dalam roti yang tidak
anda sukai itu, terdapat demikian banyak hikmahnya ? dan telah bekerja padanya
sekian banyak pembuatnya. Sehingga ia berputar dari awan yang membawa air dan
air yang menyirami bumi, angin, bumi, binatang ternak dan anak Adam (manusia).
Sehingga jadilah roti itu kepada anda. Kemudian, anda sesudah yang tersebut
ini, anda membalik-balikkannya. Dan tidak merelainya”. Pada hadits, disebut,
yang maksudnya: “Roti itu tidak berputar dan terletak dihadapan engkau, sebelum
bekerja 360 pembuat padanya. Yang pertama, malaikat Mikail as yang menyukati
air dari gudang rahmat. Kemudian para malaikat yang menghalau awan, matahari
bulan, bintang-bintang, para malaikat angin dan binatang bumi. Dan yang
terakhir dari mereka itu, ialah: tukang roti. “Kalau kamu hitung nikmat Allah,
niscaya tidak akan sanggup kamu menghitungnya”. S 14 ayat 34. Sebahagian mereka mengatakan: “Aku
datangi Qasim Al-Jau’i. Lalu aku tanyakan tentang zuhud. Yang manakah yang
dikatakan zuhud ?”. Maka Qasim Al-Jau’i menjawab: “Apa saja yang engkau dengar
padanya ? maka engkau hitung kata-kata”. Lalu Qasim itu diam. Maka aku
tanyakan: “Apakah yang engkau katakan lagi ?”. Lalu ia menjawab: “Ketahuilah,
bahwa perut itu dunia hamba Allah. Maka sekedar yang dimilikinya dari perutnya
itu, dimilikinya dari zuhud. Dan dengan kadar yang dimiliki oleh perutnya itu,
ia dimiliki oleh dunia”. Pada suatu kali Bisyr bin Al-Harts sakit. Lalu ia
datang kepada Abdurrahman tabib, menanyakan tentang sesuatu makanan yang sesuai
dengan dia. Maka menjawab tabib: “Anda menanyakan aku. Apabila aku terangkan
kepada anda, niscaya anda tidak akan menerima daripadaku ?”. Bisyr bin Al-Harts
menjawab: “Terangkanlah kepadaku, supaya aku dengar !”. Tabib menjawab: “Anda
minum sakanjabin (terbuat dari cuka dan madu). Anda menghirup safarjal dan
sesudah itu anda makan isfidzibaj”. Lalu Bisyr bertanya: “Tahukah anda sesuatu
yang lebih murah dari sakanjabin, yang dapat menggantikannya ?”. Abdurrahman
tabib menjawab: “Tidak !”. Lalu Bisyr menjawab: “Aku tahu”. “Apakah itu ?,
tanya tabib. Bisyr menjawab: “Al-handaba dengan cuka”. Kemudian, Bisyr bertanya
lagi: “Tahukah anda sesuatu yang lebih murah dari safarjal, yang dapat
menggantikannya ?”. Tabib menjawab: “Tidak !”. Bisyr menjawab: “Aku tahu”.
“Apakah itu ?”, tanya tabib. Bisyr menjawab: “Al-Khurnub Asy-Syami”. Bisyr
bertanya pula: “Tahukah anda sesuatu yang lebih murah dari isfidzibaj, yang
dapat menggantikannya ?”. Tabib menjawab: “Tidak !”. Bisyr menjawab: “Aku tahu,
yaitu: air himmish (kacang putih) dengan minyak samin sapi dan yang serupa
dengan dia”. Lalu Abdurrahman tabib berkata kepada Bisyr: “Anda lebih tahu
daripadaku, tentang ketabiban. Maka mengapakah anda bertanya kepadaku ?”.
Dengan ini tahulah kita bahwa mereka itu, mencegah diri dari keinginan nafsu
syahwat dan dari kekenyangan dengan makanan. Mereka mencegah itu karena
faedah-faedah yang telah kami sebutkan. Dan pada setengah waktu, karena mereka
berada dalam keadaan tidak dibersihkan oleh yang halal. Maka mereka tidak
mempermudahkan untuk dirinya, selain sekadar darurat. Dan keinginan nafsu
syahwat itu tidak termasuk bahagian darurat. Sehingga Abu Sulaiman pernah
berkata: “Garam itu suatu keinginan, karena tambahan atas roti. Dan dibalik
roti itu nafsu keinginan”. Inilah tingkat penghabisan ! orang yang tak sanggup
atas yang demikian, maka seyogyalah tidak lalai tentang dirinya dan tidak terjerumus
dalam keinginan nafsu syahwat. Maka cukuplah keborosan bagi manusia, bahwa ia
makan setiap yang diingininya dan berbuat setiap yang menjadi hawa nafsunya.
Maka seyogyalah ia tidak membiasakan memakan daging. Ali ra berkata: “Siapa
yang meninggalkan makan daging 40 hari, niscaya buruklah kejadiannya. Dan siapa
yang terus-menerus makan daging 40 hari, niscaya kesatlah hatinya”. Dan ada
yang mengatakan, bahwa terus-menerus makan daging itu mempunyai kecanduan,
seperti kecanduan khamar. Bagaimanapun ia lapar dan nafsunya ingin bersetubuh,
maka tiada seyogyalah ia makan dan bersetubuh. Ia memberikan kepada nafsunya
dua keinginan, maka kuatlah keinginan itu kepadanya. Kadang-kadang nafsu itu
meminta makan, untuk rajin bersetubuh. Disunatkan tidak tidur waktu kenyang,
karena ia mengumpulkan antara dua kelalaian. Lantaran itu, maka terbiasalah ia
kelesuan tubuh. Dan kesatlah hatinya karena yang demikian. Tetapi hendaklah ia
mengerjakan shalat atau duduk, lalu berdzikir kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya
itulah yang lebih mendekatkan kepada syukur. Pada hadits tersebut:
“Hancurkanlah makananmu dengan dzikir dan shalat. Dan janganlah kamu tidur atas
makanan (tidur sedang kekenyangan), maka kesatlah hatimu”. Sekurang-kurangnya
yang demikian itu mengerjakan shalat 4 rakaat atau membaca tasbih 100 kali atau
membaca sejuz Alquran sesudah baru saja makan. Adalah Sufyan Ats-Tsauri apabila
kenyang pada malam hari, lalu ia hidupkan malam tersebut dengan ibadah. Dan
apabila ia kenyang pada siang hari, niscaya disambungkannya dengan shalat dan
dzikir. Ia mengatakan: “Telah kenyang budak hitam itu dan memayahkannya untuk
melayani tuannya”. Pada suatu kali Sufyan berkata: “Keledai itu kekenyangan dan
menyusahkannya”. Manakala mengingini sesuatu makanan dan buah-buahan yang baik,
maka seyogyalah meninggalkan roti dan memakan buah-buahan itu, sebagai ganti
dari roti. Supaya menjadi makanan dan tidak menjadi penyedapan semata-mata.
Agar tidak terkumpul bagi nafsu antara kebiasaan dan keinginan. Sahl memandang
kepada Ibnu Salim dan dalam tangannya roti dan tamar. Lalu Sahl berkata
kepadanya: “Mulailah dengan tamar ! kalau terdapat kecukupan bagi engkau dengan
tamar itu, maka baik sekali. Kalau tidak, ambillah roti sesudah itu sekedar
keperluan engkau !”. Manakala diperoleh makanan halus dan kasar, maka hendaklah
didahulukan makanan halus. Karena tidak akan mengingini lagi makanan kasar
sesudahnya. Kalau didahulukan makanan kasar, niscaya akan makan lagi makanan
halus, karena kehalusannya. Setengah mereka berkata kepada sahabat-sahabatnya:
“Jangan engkau makan yang diingini ! kalau engkau makan, maka jangan engkau
cari. Kalau engkau cari, maka jangan engkau cintai. Dan mencari sebahagian dari
bermacam-macam roti itu nafsu keinginan namanya”. Abdullah bin Umar ra berkata:
“Tiada buah-buahan yang datang kepada kami dari Irak yang paling kami sukai,
selain dari roti”. Ia memandang roti itu sebagai buah-buahan. Kesimpulannya,
tiada jalan kepada menyia-nyiakan nafsu dalam keinginan-keinginan yang
diperbolehkan dan menurutinya dalam setiap hal. Maka dengan kadar yang
dicukupkan oleh seorang hamba Allah dari nafsu keinginannya itu, ditakuti akan
dikatakan kepadanya pada hari kiamat: “Kesenanganmu telah kamu habiskan dalam
kehidupanmu di dunia dan kamu telah bersuka cita dengan itu”. S 46 Al Ahqaaf
ayat 20. Dan dengan kadar ia menentang hawa nafsunya dan meninggalkan
keinginannya itu, ia akan memperoleh kesenangan pada hari akhirat dengan
keinginan-keinginannya. Setengah ulama dari penduduk Basrah berkata: “Nafsuku
bertengkar dengan aku, karena ingin kepada roti beras dan ikan. Lalu aku cegah
keinginan itu. Maka kuatlah tuntutannya dan sangat beratlah perjuanganku
menentangnya, selama 20 tahun”. Tatkala ulama tersebut tadi meninggal, lalu
berkata sebahagian mereka: “Aku bermimpi dia dalam tidurku, lalu aku bertanya
kepadanya: “Apakah yang diperbuat oleh Allah dengan engkau ?”. Ia menjawab:
“Tiada yang lebih baik untuk aku terangkan, apa yang dipertemukan aku oleh
Tuhanku dari berbagai macam nikmat dan kemuliaan. Dan adalah yang mula pertama,
Ia menerimakan aku itu, roti beras dan ikan. Ia berfirman: “Makanlah hari ini
menurut keinginanmu dengan puas, tanpa perhitungan !”. Sesungguhnya Allah
Ta’ala berfirman: “Makan dan minumlah dengan penuh kepuasan, disebabkan
(perbuatan baik) yang telah kamu kirimkan lebih dahulu di hari yang lampau”. S
69 Al Haaqqah ayat 24. Mereka telah mendahului dengan meninggalkan nafsu
syahwat. Karena itulah Abu Sulaiman berkata: “Meninggalkan sesuatu nafsu
syahwat dari nafsu-nafsu syahwat itu, lebih bermanfaat bagi hati daripada puasa
setahun dan bangun mendirikan shalat setahun. Kiranya Allah memberi taufiq
kepada kita bagi yang diridlaiNya !
PENJELASAN: perbedaan hukum
lapar dan keutamaannya dan perbedaan keadaan manusia tentang lapar.
Ketahuilah, bahwa tuntutan
yang paling jauh pada semua pekerjaan dan budi pekerti, ialah: ditengah-tengah
(sedang). Karena pekerjaan yang baik, ialah: ditengah-tengah. Masing-masing
dari kedua tepi pekerjaan yang dimaksud, adalah tercela. Dan apa yang telah
kami bentangkan tentang keutamaan lapar, kadang-kadang menunjukkan kepada
bersangatan padanya itu diminta (dituntut). Dan jauhlah yang demikian ! akan
tetapi setengah dari rahasia hikmah Syari’at, ialah, bahwa tiap-tiap yang
diminta oleh tabiat manusia itu, tepi yang terjauh. Dan ada padanya kerusakan.
Maka datanglah Syari’at dengan keras mencegah (melarang)nya, diatas cara yang
menunjukkan pada orang bodoh, bahwa yang dicari (yang dituntut), ialah:
melawani apa yang dikehendaki oleh tabiat manusia itu, sejauh mungkin. Dan
orang yang berilmu mengetahui, bahwa yang dimaksud, ialah: ditengah-tengah.
Karena tabiat manusia apabila menuntut sangat kenyang, maka syariat seyogyalah
memuji sangat lapar. Sehingga tabiat manusia itu adalah penggerak dan syariat
itu pencegah. Lalu keduanya berlawanan. Dan berhasil: yang sedang
(ditengah-tengah). Karena orang yang sanggup secara keseluruhan mencegah
keinginan tabiatnya itu, amat jauh dari kenyataan. Maka ia tahu, bahwa ia tidak
berkesudahan kepada penghabisan. Karena jikalau ada orang yang berlebih-lebihan
melawan tabiatnya, niscaya pada syariat juga ada yang menunjukkan atas buruknya
yang demikian, sebagaimana syariat bersangatan memuji bangun malam hari (untuk
shalat) dan puasa siang hari. Kemudian, ketika diketahui oleh Nabi saw tentang
keadaan sebahagian mereka (sahabatnya) berpuasa sepanjang waktu dan bangun
malam seluruhnya, lalu beliau melarang yang demikian. Apabila anda telah
mengetahui ini, maka ketahuilah, bahwa yang lebih utama (afdhal) dengan
mendasarkan kepada sifat (tabiat) manusia yang sedang itu, bahwa: makan
kira-kira tidak merasa berat perut dan tidak merasa dengan pedih lapar. Tetapi
ia lupa kepada perutnya, lalu tidak sekali-kali membekas lapar padanya.
Sesungguhnya yang dimaksud dari makan itu, kekekalan hidup, kekuatan ibadah.
Dan berat perut itu mencegah ibadah. Dan pedih lapar juga membimbangkan hari
dan mencegah dari ibadah. Maka yang dimaksud itu, bahwa makan dengan makan yang
tidak meninggalkan bekas bagi yang dimakan. Supaya adalah ia menyerupai dengan
malaikat. Dan para malaikat itu sesungguhnya qudus (suci) dari beratnya makanan
dan pedihnya lapar. Dan maksud manusia itu mengikuti para malaikat. Apabila
tidak ada bagi manusia, dari kenyang dan lapar, maka keadaan yang terjauh dari
dua tepi itu, ialah: ditengah-tengah. Yaitu: sedang (i’tidal). Tuntutan manusia
buat jauh dari tepi-tepi yang berhadapan ini dengan kembali kepada:
ditengah-tengah, adalah seperti semut yang dicampakkan ditengah-tengah
lingkaran yang dipanaskan atas api, yang dicampakkan diatas lantai. Maka semut
itu lari dari kepanasan lingkaran. Dan lingkaran itu mengelilinginya. Ia tidak
sanggup keluar dari lingkaran tersebut. Maka senantiasalah ia lari, sehingga ia
tetap pada pusat (markaz), yaitu: ditengah-tengah. Kalau ia mati, maka matilah
ia ditengah-tengah. Karena ditengah-tengah itu adalah tempat terjauh dari
kepanasan yang ada dalam lingkaran yang mengelilinginya. Maka seperti demikian
juga nafsu keinginan yang mengelilingi manusia, sebagai pengelilingan lingkaran
tersebut dengan semut. Dan para malaikat diluar dari lingkaran itu. Dan tak ada
harapan bagi manusia untuk keluar. Manusia itu ingin menyerupai malaikat pada
kelepasan. Maka yang lebih menyerupainya dengan para malaikat, ialah: jauh.
Yang terjauh tempat dari tepi-tepi itu, ialah: tengah-tengah. Maka jadilah
tengah-tengah itu yang dicari pada semua hal yang berhadapan ini. Dan mengenai
itulah yang disabdakan oleh Nabi saw: “Sebaik-baik pekerjaan, ialah: yang
ditengah-tengah”. Dan kepadanyalah disyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan
makanlah dan minumlah dan jangan melampaui batas !”. S 7 Al A’raaf ayat 31.
Manakala manusia tiada lapar dan kenyang, niscaya mudahlah baginya ibadah dan
berpikir. Ringanlah pada dirinya dan kuatlah beramal dengan keringanan itu.
Akan tetapi ini adalah sesudah kesederhanaan tabiat. Adapun pada permulaan
pekerjaan, apabila nafsu itu galak, rindu kepada segala keinginan, cenderung
kepada berlebih-lebihan, maka kesederhanaan (i’tidal) tiada bermanfaat. Tetapi
tak boleh tidak dengan bersangatan menyakitkan nafsu itu dengan kelaparan,
sebagaimana menyakitkan hewan yang tidak terlatih, dengan kelaparan, pukulan
dll. Sehingga ia sederhana (lurus). Apabila hewan itu telah terlatih, lurus dan
kembali kepada kesederhanaan, niscaya ditinggalkan penyiksaan dan
menyakitkannya. Dan karena rahasia inilah, guru (syaikh) itu menyuruh muridnya
dengan apa yang tidak dilakukannya pada dirinya sendiri. Ia menyuruh muridnya
lapar dan ia sendiri tidak lapar. Ia melarang muridnya buah-buahan dan
keinginan-keinginan dan ia sendiri kadang-kadang tidak melarang daripadanya.
Karena ia telah selesai mendidik dirinya, lalu tidak perlu lagi menyiksakannya.
Manakala kebanyakan keadaan nafsu itu rakus, mempunyai keinginan, liar dan tak
mau beribadah, niscaya yang lebih pantas bagi nafsu itu lapar, yang merasakan
dengan kepedihannya dalam banyak hal, supaya nafsu itu hancur. Dan yang
dimaksud, bahwa ia hancur, sehingga ia lurus. Maka dikembalikan sesudah itu,
pada makanan juga, kepada kelurusan (i’tidal). Sesungguhnya dilarang
terus-menerus lapar pada orang-orang yang menjalani jalan akhirat, apakah ia
orang siddiq atau orang tertipu, yang bodoh. Adapun orang siddiq, karena
ketegakan dirinya diatas jalan yang lurus dan ketidakperluannya lagi, ia
dihalau dengan cambuk kelaparan kepada kebenaran. Mengenai orang yang tertjpu,
maka lantaran persangkaannya kepada dirinya, bahwa ia orang siddiq, yang tidak
memerlukan lagi kepada mendidik dirinya, yang menyangka dirinya orang baik. Dan
ini adalah tipuan besar. Dan itulah yang terbanyak. Sesungguhnya diri (jiwa)
amat sedikit memperoleh pendidikan yang sempurna. Kebanyakannya tertipu, lalu
memandang kepada orang siddiq dan mentolerir (bersikap membolehkan) dirinya
pada yang demikian. Maka bersikap membolehkan dirinya seperti orang sakit yang
memandang kepada orang yang telah sembuh
dari penyakitnya. Lalu memakan apa yang dimakan oleh orang yang sudah sembuh
itu. Dan menyangka dirinya sudah sehat. Maka binasalah dia. Dan yang
menunjukkan bahwa pengkadaran makanan dengan kadar yang sedikit, pada waktu
tertentu dan macam tertentu, tidaklah itu yang dimaksudkan padanya.
Sesungguhnya yang menjadi maksud, ialah: melawan nafsu yang jauh dari
kebenaran, yang tidak sampai kepada tingkat kesempurnaan. Rasulullah saw tidak
mempunyai pengkadaran dan pengwaktuan bagi makanannya. ‘Aisyah berkata: “Adalah
Rasulullah saw berpuasa, sehingga kami mengatakan: ia tiada berbuka. Dan ia
berbuka, sehingga kami mengatakan: ia tiada berpuasa”. Rasulullah saw datang
kepada isterinya, lalu bertanya: “Adakah padamu sesuatu (untuk dimakan) ?”.
Kalau dijawab: ada, maka Rasulullah saw makan. Kalau dijawab: tidak ada, lalu
beliau berkata: “Kalau begitu, aku puasa”. Adalah dibawa kepada beliau sesuatu,
lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tadinya bermaksud puasa”. Kemudian
beliau makan makanan yang dibawa itu. Pada suatu hari, Rasulullah saw mau pergi
keluar, seraya bersabda: “Aku berpuasa !”. Lalu ‘Aisyah menjawab: “Orang telah
menghadiahkan hais (tamar yang sudah dikeluarkan bijinya, dihancurkan dan
diramas dengan minyak samin) kepada kita”. Maka beliau menjawab: “Tadinya aku
bermaksud puasa. Tetapi bawalah kemari !”. Karena itulah diceritakan dari Sahl,
bahwa orang bertanya kepadanya: “Bagaimana anda pada permulaan anda ?”. Lalu ia
menceritakan dengan bermacam-macam latihan. Diantaranya, ia makan pada suatu
waktu daun nabiq. Diantaranya, ia makan buah tin yang ditumbuk pada masa 3
tahun. Kemudian, ia menerangkan, bahwa dengan 3 dirham, ia makan untuk 3 tahun.
Lalu orang bertanya kepadanya: “Bagaimana engkau pada waktu sekarang ini ?”. Ia
menjawab: “Aku makan tanpa batasan dan pengwaktuan”. Dan tidaklah dimaksud
dengan katanya: tanpa batas dan pengwaktuan, bahwa: aku makan banyak. Tetapi,
yang dimaksud, ialah: bahwa aku tidak kadarkan dengan suatu kadar tertentu, apa
yang akan aku makan. Dihadiahkan orang makanan yang baik-baik kepada Ma’ruf
Al-Karkhi. Lalu ia makan. Maka orang bertanya kepadanya: “Saudara anda Bisyr
tidak makan seperti ini”. Lalu ia menjawab: “Saudaraku Bisyr telah dipegang
oleh sifat wara’. Dan aku sendiri, disenangi oleh ilmu ma’rifah”. Kemudian,
Ma’ruf menyambung: “Sesungguhnya aku adalah tamu pada rumah tuan-hamba. Apabila
aku diberi makan, niscaya aku makan. Apabila aku dilaparkan, niscaya aku sabar.
Tak ada padaku menentang dan membeda-bedakan”. Ibrahim bin Adham menyerahkan
uang beberapa dirham kepada sebahagian temannya, seraya berkata: “Belilah untuk
kita dengan dirham-dirham ini: zubdah (kepala dadih), madu dan roti hawari !”.
Lalu ia ditanyakan: “Hai Aba Ishak ! dengan ini semuanya ?”. Ibrahim bin Adham
menjawab: “Kasihan engkau ! apabila kita dapat, niscaya kita makan sebagaimana
makanan laki-laki. Apabila kita dalam keadaan tidak ada, niscaya kita sabar,
sebagaimana sabarnya laki-laki”. Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham menyediakan
banyak makanan dan mengundang sejumlah kecil teman-temannya. Diantaranya:
Al-Auza’i dan Ats-Tsauri. Lalu Ats-Tsauri berkata kepadanya: “Hai Aba Ishak !
apakah anda tidak takut, bahwa ini berlebih-lebihan ?”. Ibrahim bin Adham
menjawab: “Tidak ada berlebih-lebihan pada makanan. Berlerbih-lebihan itu hanya
pada pakaian dan perabot rumah tangga”. Maka orang yang mengambil ilmu dengan
mendengar dan menyalin secara taqlis (mengikuti begitu saja), melihat yang
demikian ini dari Ibrahim bin Adham. Dan mendengar dari Malik bin Dinar, bahwa
ia berkata: “Tidak masuk garam ke rumahku semenjak 20 tahun yang lalu”. Dan
dari Sirri As-Saqathi, didapat kabar, bahwa ia semenjak 40 tahun yang lalu,
ingin merendamkan daging yang sudah dipotong dalam dibs (air manis dari buah
anggur atau tamar). Tetapi tidak dilakukannya. Maka orang yang mengambil ilmu
tadi, melihat ada pertentangan (antara ulama-ulama tersebut). Lalu ia heran
atau memutuskan, bahwa salah seorang dari keduanya itu salah. Dan orang yang
dapat melihat rahasia-rahasia perkataan itu tahu, bahwa semua itu benar. Tetapi
didasarkan kepada perbedaan keadaan. Kemudian keadaan-keadaan yang berbeda ini,
akan didengar oleh orang cerdik yang hati-hati atau orang dungu yang tertipu
dengan dirinya. Lalu orang yang hati-hati itu berkata: “Tidaklah aku termasuk
dalam kumpulan orang-orang yang arif (arifin), sehingga aku bertoleransi akan
diriku (nafsuku). Tidaklah diriku (nafsuku) itu, lebih taat dari diri (nafsu)
Sirri As-Saqathi dan Malik bin Dinar. Dan mereka ini, termasuk sebagian dari
orang-orang yang mencegah nafsunya dari segala keinginan hawa nafsu. Lalu ia
mengikuti mereka itu. Orang yang tertipu dengan dirinya berkata: “Tiadalah
nafsuku lebih durhaka daripada nafsu Ma’ruf Al-Karkhi dan Ibrahim bin Adham,
lalu aku ikuti mereka. Dan aku buang pengkadaran pada makananku. Maka aku tamu
pula pada rumah tuan-hambaku (penghuluku). Lalu bagaimana aku mengelaknya ?”.
Kemudian, kalau seseorang menyingkatkan mengenai hak dan kemuliaannya atau
mengenai harta dan kemegahannya dengan suatu jalan saja, niscaya datanglah
kiamat kepadanya. Dan ia sibuk dengan pengelakan. Dan ini adalah jalan yang
lapang bagi setan bersama orang-orang dungu. Bahkan membuang pengkadaran pada
makanan dan puasa dan memakan segala yang diingini itu, tiada akan selamat,
kecuali bagi orang yang melihat dari lobang kewalian dan kenabian. Lalu ada
tanda diantara dia dan Allah pada pelepasan dan penggenggamannya. Dan yang
demikian itu tidak akan ada, kecuali sesudah keluar diri daripada mengikuti
hawa nafsu dan adat kebiasaan secara keseluruhan. Sehingga adalah makannya itu,
apabila ia makan diatas niat, sebagaimana imsaknya (menahan diri tidak makan)
itu, dengan niat. Maka ia adalah beramal karena Allah pada makannya dan
berbukanya. Maka seyogyalah dipelajari tentang berhati-hatinya Umar ra. Adalah
Umar ra melihat Rasulullah saw menyukai madu dan memakannya. Lalu Umar ra tidak
mengkiaskan (membandingkan) dirinya kepada Nabi saw. Bahkan ketika dibawa
kepada Umar ra minuman dingin bercampur dengan madu, ia memutar-mutarkan gelas
itu di tangannya, seraya berkata: “Aku minum dia dan hilanglah kemanisannya dan
tinggallah ikutannya. Nyahkanlah daripadaku perhitungannya dan ketinggalannya
!”. Rahasia-rahasia ini tiada boleh bagi seorang guru membukakannya kepada
muridnya. Tetapi ia pendekkan saja kepada memujikan lapar. Dan tidak diajaknya
kepada i’tidal (sedang atau di tengah-tengah). Karena –tidak mustahil –bahwa
murid itu akan memendekkan dari apa yang diajakkan dia kepadanya. Maka
seyogyalah, bahwa ia diajak kepada kesudahan lapar, sehingga memudahkan baginya
i’tidal. Dan tidak disebutkan kepada murid itu, bahwa orang arif yang sempurna,
tidak memerlukan kepada latihan. Maka sesungguhnya, setan itu memperoleh tempat
bergantung dari hatinya. Lalu setan itu, membisikkan kepadanya setiap saat:
“Bahwa engkau itu orang arif yang sempurna. Dan apa yang menghilangkan ma’rifah
dan kesempurnaan daripada engkau ?”. Bahkan diantara kebiasaan Ibrahim
Al-Khawwash itu, ia masuk bersama muridnya dalam setiap latihan (riadlah) yang
disuruhnya. Supaya tidak terguris di hati murid itu, bahwa guru tidak
menyuruhnya dengan apa yang tiada diperbuatnya. Lalu yang demikian melarikan
murid itu dari latihan. Orang kuat, apabila sibuk dengan latihan dan
memperbaiki orang lain, niscaya harus turun ke batas orang-orang lemah, untuk
menyerupai dengan mereka dan berlemah-lembutan dalam membawa mereka kepada
kebahagiaan. Dan ini percobaan besar bagi nabi-nabi dan wali-wali ! Apabila
batas i’tidal itu tersembunyi pada semua orang, maka seyogyalah tidak
ditinggalkan kehati-hatian dan penjagaan dalam semua hal. Karena itulah, Umar
ra mendidik puteranya Abdullah, tatkala ia masuk ke tempatnya, lalu didapatinya
puteranya sedang memakan daging yang dimasak dengan minyak samin. Maka
dipukulnya dengan cambuk, seraya berkata: “Kamu tak punya ibu ! makanlah sehari
roti dan daging, sehari roti dan susu, sehari roti dan minyak samin, sehari
roti dan minyak zait, sehari roti dan garam dan sehari roti saja !”. Inilah
yang dinamakan i’tidal ! adapun terus-menerus daging dan keinginan-keinginan
lainnya, maka itu keterlaluan dan berlebih-lebihan. Dan meninggalkan daging
secara keseluruhan itu kikir. Dan ini (yang tersebut tadi diatas) adalah sedang
diantara yang demikian. Allah Ta’ala Maha Tahu !
PENJELASAN: bahaya ria yang
berjalan kepada orang yang meninggalkan memakan segala yang diingini dan
menyedikitkan makanan.
Ketahuilah, bahwa akan masuk
kepada orang yang meninggalkan segala keinginan, 2 bahaya besar. Kedua bahaya
tersebut itu lebih besar daripada memakan segala keinginan itu:
Bahaya Pertama: bahwa tidak sanggup nafsu meninggalkan
setengah dari segala keinginan, lalu mengingininya. Akan tetapi tidak bermaksud
diketahui orang, bahwa ia mengingininya. Maka disembunyikan keinginan itu. Dan
ia memakan pada tempat tersembunyi, apa yang tidak dimakannya serta orang
banyak. Inilah yang dinamai: syirik tersembunyi ! Ditanyakan kepada setengah
ulama tentang sebahagian orang-orang zahid (orang yang bersifat zuhud,
meninggalkan duniawi, melakukan segala amal akhirat). Lalu ulama itu diam. Maka
ditanyakan lagi kepadanya: “Adakah anda mengetahui apa-apa padanya ?”. Ulama
tadi menjawab: “Ia makan pada tempat tersembunyi, apa yang tidak dimakannya
serta orang banyak”. Inilah bahaya besar ! tetapi menjadi hak seorang hamba,
apabila ia mendapat percobaan dengan segala keinginan hawa nafsu dan
menyukainya, bahwa ia melahirkannya. Karena ini adalah keadaan yang benar. Dan
itu menunjukkan daripada hilangnya mujahadah dengan segala amal perbuatan.
Sesungguhnya menyembunyikan kekurangan dan melahirkan lawannya, yaitu:
kesempurnaan, adalah dua kekurangan yang berganda. Kedustaan serta
menyembunyikan itu, dua kedustaan. Maka adalah ia berhak bagi dua cacian. Dan
ia tidak akan diridhai daripadanya, kecuali dengan dua taubat yang benar.
Karena itulah urusan orang munafik itu, diperkeras. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling
bawah dalam neraka”. S 4 An Nisaa’ ayat 145. Karena orang kafir itu, ia telah
kafir dan melahirkannya. Dan ini (orang munafik), ia kafir dan menutupkannya.
Maka ditutupkannya kekafirannya itu, kekafiran lain lagi. Karena ia memandang
ringan pandangan Allah swt kepada hatinya. Dan membesarkan pandangan makhluk.
Lalu ia menghapuskan kekafiran dari zahiriahnya. Dan orang-orang arif itu,
dicoba dengan nafsu-nafsu keinginan, bahkan dengan berbagai macam maksiat. Dan
mereka tidak dicoba dengan ria, tipuan dan penyembunyian. Tetapi orang yang
sempurna arif itu, meninggalkan semua nafsu keinginan, karena Allah Ta’ala. Dan
melahirkan dari dirinya keinginan itu, karena menjatuhkan martabatnya
(kedudukannya) dari hati makhluk. Sebahagian mereka membeli keinginan-keinginan
itu dan menggantungkannya di rumah, sedang ia termasuk orang zahid pada
keinginan-keinginan tersebut. Maksudnya dengan yang demikian, ialah untuk
meragukan orang dengan keadaannya. Supaya terpaling hati orang-orang lalai
daripada dirinya. Sehingga orang-orang itu tidak mengganggu keadaannya. Maka
penghabisan zuhud, ialah: zuhud dalam zuhud dengan melahirkan lawannya. Dan
inilah amalan orang-orang siddiq. Ia mengumpulkan diantara dua sidq
(kebenaran). Sebagaimana orang yang pertama itu, mengumpulkan diantara dua
kedustaan. Dan ini telah membebankan kepada diri, dua beban berat. Dan
menegukkan kepada diri, gelas kesabaran dua kali. Sekali dengan meminumnya dan
sekali dengan melemparkannya. Maka tidak ragu lagi, mereka diberi pahala dua
kali dengan kesabarannya. Ini menyerupai jalan orang yang diberikan kepadanya
sesuatu secara terang-terangan, lalu diambilnya. Dan dikembalikannya pemberian
itu dengan jalan rahasia, untuk menghancurkan jiwanya dengan kehinaan secara
terang-terangan dan dengan kemiskinan secara rahasia. Maka siapa yang hilang
jalan ini, maka tiada seyogyalah ia dihilangkan oleh lahirnya nafsu
keinginannya, kekurangannya dan kebenaran padanya. Dan tiada seyogyalah ia
tertipu oleh perkataan setan: “Bahwa anda apabila anda lahirkan, niscaya anda
diikuti oleh orang lain. Maka tutupilah, demi perbaikan bagi orang lain !”.
Karena kalau dimaksud perbaikan orang lain, maka perbaikan diri sendiri adalah
lebih penting dari orang lain. Sesungguhnya ini yang dimaksudkan adalah ria
semata-mata. Dan dilakukan oleh setan kepadanya dalam semboyan perbaikan orang
lain. Maka karena itulah, berat lahirnya yang demikian daripadanya, walau ia
tahu bahwa orang yang melihatnya, tidak akan mengikutinya pada perbuatan
tersebut. Atau tidak ia tercegah, disebabkan keyakinannya, bahwa ia
meninggalkan segala nafsu keinginan.
Bahaya kedua: bahwa ia sanggup meninggalkan segala nafsu
keinginan. Akan tetapi, ia merasa gembira, bahwa ia dikenal dengan demikian.
Lalu menjadi masyhur dengan kesanggupannya, menjaga diri dari segala nafsu
keinginan. Maka ia telah menentang nafsu syahwat yang lemah, yaitu: nafsu
keinginan makan. Dan ia mematuhi suatu nafsu keinginan yang lebih jahat, yaitu:
nafsu keinginan kemegahan. Dan itu adalah nafsu keinginan yang tersembunyi.
Manakala ia merasakan demikian dari dirinya, maka menghancurkan nafsu keinginan
ini lebih penting daripada menghancurkan nafsu keinginan makanan. Maka
hendaklah ia makan ! dan itu adalah lebih utama baginya. Abu Sulaiman berkata:
“Apabila datang kepada engkau suatu keinginan, dan engkau sudah meninggalkan
keinginan tersebut, maka penuhilah barang sedikit daripadanya. Dan janganlah
engkau berikan dirimu menjadi mangsanya. Dengan demikian, engkau sudah
menjatuhkan nafsu keinginan dari diri engkau. Dan sudah engkau sempitkan nafsu
itu, karena tiada engkau berikan keinginannya”. Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq
berkata: “Apabila datang kepadaku suatu keinginan, lalu aku memandang kepada
diriku. Kalau ia melahirkan keinginannya, niscaya aku berikan makanannya. Dan
yang demikian adalah lebih utama daripada mencegahnya. Dan kalau nafsuku itu
menyembunyikan keinginannya dan melahirkan keinginan membujang, niscaya aku
siksakan dia, dengan meninggalkan nafsu keinginan itu. Dan tiada aku berikan
sedikitpun daripadanya”. Inilah jalan penyiksaan diri (nafsu) diatas keinginan
yang tersembunyi itu !. Kesimpulan, siapa yang meninggalkan nafsu keinginan
makan dan ia jatuh dalam nafsu keinginan ria, adalah seperti orang yang lari
dari kalajengking dan dikejuti kepada ular. Karena nafsu keinginan ria itu,
lebih banyak melaratnya daripada nafsu keinginan makan. Allah yang mencurahkan
taufiq !.
PEMBICARAAN: tentang nafsu
keinginan kemaluan.
Ketahuilah, bahwa nafsu keinginan
bersetubuh itu, telah menguasai manusia untuk dua faedah:
Faedah Pertama: bahwa ia memperoleh kelezatannya. Lalu ia
memperbandingkan dengan kelezatan tersebut, akan kelezatan akhirat.
Sesungguhnya kelezatan bersetubuh itu jikalau terus-menerus, niscaya adalah
yang terkuat kelezatan tubuh, sebagaimana api dan kepedihannya, adalah yang
terbesar kepedihan tubuh. Penggemaran dan penakutan itu, membawa manusia kepada
kebahagiaannya. Tiadalah yang demikian itu, kecuali dengan kepedihan dan
kelezatan yang dirasakan dan yang dapat diketahui. Apa yang tidak diketahui
dengan rasa, maka tidaklah besar kerinduan kepadanya.
Faedah kedua: kekalnya keturunan dan terus-menerusnya ada
manusia. Inilah faedahnya ! akan tetapi, padanya bahaya-bahaya yang
membinasakan agama dan dunia, jikalau tidak dikendalikan dan tidak dikuasai.
Dan tidak dikembalikan kepada batas: i’tidal. Ada orang yang mengatakan tentang
penta’wilan firman Allah Ta’ala: “Wahai Tuhan kami ! janganlah engkau pikulkan
kepada kami apa yang tidak bisa kami pikul !”. S 2 Al Baqarah ayat 286.
Maksudnya: sangat birahi kepada wanita. Dari Ibnu Abbas: “Tentang firman Allah
Ta’ala: “Dan dari bahaya kegelapan (malam) ketika ia telah datang”. S 113 Al
Falaq ayat 3. Ibnu Abbas berkata: yaitu bangunnya dzakar (kemaluan laki-laki).
Dan setengah dari perawi hadits, menyandarkan perkataan tadi kepada Rasulullah
saw. Kecuali perawi tersebut, mengatakan tentang penafsirannya: “Dzakar itu
apabila telah masuk. Dan dikatakan, apabila dzakar laki-laki itu bangun,
niscaya hilanglah 2/3 akalnya”. Adalah Nabi saw mengucapkan dalam doanya: “Aku
berlindung dengan engkau dari kejahatan pendengaranku, penglihatanku, hatiku,
kesenanganku dan air maniku”. Nabi saw bersabda: “Wanita itu jaringan setan”.
Jikalau tidaklah nafsu syahwat ini, niscaya wanita tidak mempunyai kekuasaan
atas laki-laki. Diriwayatkan, bahwa Musa as duduk pada sebahagian majelisnya.
Tiba-tiba datang Iblis menghadap kepadanya. Iblis itu memakai burnus (kopiah
yang bersambung dengan baju), yang berwarna dengan berbagai macam warna.
Tatkala Iblis itu sudah dekat dengan Musa as, lalu dibukanya burnus dan
diletakkannya. Kemudian, ia mendatangi Musa as, seraya memberi salam:
“Assalamu’alaika yaa Muusa”. Artinya: “Salam sejahtera kepada engkau, hai
Musa”. Lalu Nabi Musa as menjawab: “Siapa engkau ?”. Iblis itu menjawab: “Aku
Iblis”. Lalu Nabi Musa as berkata: “Tiada diberi penghormatan kepada engkau
oleh Allah. Apakah yang membawa engkau datang kemari ?”. Iblis itu menjawab:
“Aku datang untuk mengucapkan selamat kepada engkau, karena kedudukan engkau
dan tempat engkau daripada Allah”. Lalu Nabi Musa as bertanya: “Apakah yang aku
lihat di kepala engkau ?”. Iblis menjawab: “Burnus, untuk aku rebut dengan
burnus ini, hati anak Adam”. Maka Musa as bertanya: “Apabila manusia itu
berbuat sesuatu, maka bagaimanakah engkau memperoleh kemenangan diatas manusia
itu ?”. Iblis menjawab: “Apabila manusia itu mengherani dirinya sendiri (takjub
kepada dirinya), merasa banyak amalnya dan lupa akan dosanya. Aku peringatkan
engkau (hai Musa) 3 perkara:
(1). Jangan engkau pada
tempat sepi (berdua-dua) dengan wanita yang tiada halal bagi engkau. Karena
apabila seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita yang tiada halal
baginya, maka akulah temannya, tanpa teman-temanku. Lalu aku goda laki-laki itu
dengan wanita tersebut dan wanita tersebut dengan laki-laki itu.
(2). Jangan engkau berjanji dengan nama Allah
sesuatu janji, kecuali engkau tepati janji itu.
(3). Tidak engkau
mengeluarkan sedekah, kecuali engkau laksanakan terus dengan perbuatan.
Sesungguhnya tiadalah seseorang yang mau mengeluarkan sedekah, lalu tidak
dilaksanakannya, maka aku menjadi temannya, tanpa teman-temanku. Aku halangi
dia daripada menepati sedekahnya itu”.
Kemudian Iblis
itu pergi, seraya mengeluh: “Aduh ! telah diketahui oleh Musa, apa yang
menakutkan anak Adam”. Dari Sa’id bin Al-Musayyab, dimana ia mengatakan:
“Apabila Allah Ta’ala mengutus seseorang nabi pada musa yang lalu, maka Iblis
tiada berputus asa untuk membinakan nabi itu dengan wanita. Tiada suatupun yang
lebih aku takuti, selain kaum wanita. Dan tiada sebuah rumahpun di Madinah,
yang aku masuki, selain rumahku dan rumah puteriku. Aku mandi di rumah itu pada
hari Jum’at, kemudian aku pergi”. Setengah mereka berkata: “Bahwa setan itu
berkata kepada wanita: “Engkau setengah tentaraku. Engkau mata-panahku yang aku
lemparkan, maka aku tidak salah. Engkaulah tempat rahasiaku. Engkaulah utusanku
pada keperluanku !”. Maka setengah tentaranya itu nafsu syahwat dan setengahnya
lagi sifat marah. Nafsu syahwat yang terbesar, ialah nafsu syahwat kepada
wanita. Dan nafsu syahwat ini mempunyai pula: keterlaluan, sangat berkurang dan
sedang. Keterlaluan itu memaksakan akal, sehingga mengalihkan cita-cita
laki-laki kepada bersenang-senang dengan kaum wanita dan budak-budak perempuan.
Lalu ia tidak memperoleh jalan untuk menempuh jalan akhirat. Atau ia memaksakan
agama, sehingga ia terhela kepada mengerjakan perbuatan keji. Kadang-kadang
keterlaluan nafsu syahwat itu pada suatu golongan, berkesudahan kepada 2 hal
yang sangat buruk:
Pertama: bahwa
mereka memakan yang menguatkan nafsu syahwatnya untuk dapat banyak bersetubuh,
sebagaimana setengah manusia memakan obat-obat, yang menguatkan perut, supaya
besar nafsu makan. Contoh yang demikian, adalah seperti orang yang dicoba dengan
binatang buas dan ular berbisa. Lalu binatang dan ular itu tidur pada sebagian
waktu. Maka orang itu berusaha untuk membangunkan dan menggerak-gerakkannya.
Kemudian ia bekerja memperbaiki dan mengobatinya. Sesungguhnya nafsu keinginan
makan dan bersetubuh pada hakikatnya itu, penderitaan yang dikehendaki oleh
manusia, melepaskan diri daripadanya. Lalu ia memperoleh kelezatan disebabkan
kelepasan itu. Jikalau anda berkata, bahwa diriwayatkan pada hadits gharib
(hadits yang sangat asing dan lemah), bahwa Rasulullah saw bersabda: “Aku
mengadu kepada Jibril akan kelemahan bersetubuh, lalu Jibril menyuruh aku
memakan harisah (bubur masak daging)”. Maka ketahuilah, bahwa Nabi saw
mempunyai 9 isteri. Dan harus memelihara mereka dengan hak batin. Dan haram orang
lain menikahi isteri-isteri Nabi saw, walaupun sudah diceraikannya. Maka
permintaan Nabi saw akan ketakutan itu, adalah karena sebab tersebut, tidak
karena untuk mencari kesenangan.
Hal kedua: bahwa
kadang-kadang nafsu syahwat itu dengan sebab setengah kesesatan, berkesudahan
kepada asyik-wal-maksyuk (penuh kerinduan). Dan itu adalah sangat bodoh, dengan
maksudnya bersetubuh. Dan itu melampaui pada kebinatangan bagi batas
binatang-binatang. Karena orang yang asyik-wal-maksyuk itu, tidak merasa puas
dengan menumpahkan nafsu syahwat persetubuhan. Dan itu adalah nafsu syahwat
yang paling keji. Dan yang paling wajar, bahwa ia merasa malu daripadanya.
Sehingga aku berkeyakinan, bahwa nafsu syahwat itu tidak terselesaikan, kecuali
dari satu tempat. Dan binatang itu, melaksanakan nafsu syahwatnya, dimana
kebetulan terdapat saja. Lalu ia merasa cukup dengan demikian. Sedang ini tidak
merasa cukup, kecuali dengan satu orang tertentu. Sehingga dengan demikian, ia
bertambah hina di atas kehinaan dan perbudakan di atas perbudakan. Dan sampai
ia menggunakan akal-pikiran untuk memenuhi nafsu syahwat. Padahal ia dijadikan
supaya menjadi orang yang taat, tidak untuk menjadi pelayan hawa nafsu dan
berdaya-upaya karena hawa nafsu. Dan asyik-wal-maksyuk itu adalah meluasnya kesangatan
nafsu syahwat. Dan itu adalah penyakit hati kosong, yang tidak bercita-cita.
Sesungguhnya haruslah dijaga dari permulaannya, dengan meninggalkan
berulang-ulang kembali melihat dan berpikir tentang itu. Jikalau tidak, maka
apabila telah kokoh, niscaya sulitlah menolaknya. Maka begitupula kerinduan
kepada harta, kemegahan, tanah ladang dan anak, sampai kepada kesukaan bermain
dengan burung, gitar dan catur. Semua hal-ikhwal tersebut itu, kadang-kadang
sampai menguasai segolongan manusia, yang dapat mengeruhkan agama dan dunianya.
Dan tidak dapat lagi sekali-kali, mereka menahan diri daripadanya. Orang yang
menghancurkan tanda-tanda asyik-wal-maksyuk pada permulaan kebangkitannya,
adalah seperti orang yang menarik tali kekang binatang kendaraan, ketika
binatang itu menuju ke pintu untuk dimasukinya. Alangkah mudah melarang hewan
tersebut dengan menarik tali kekangnya ! orang yang mengobati tanda-tanda itu
sesudah kokoh kuat, adalah seperti orang yang membiarkan binatang tadi, sampai
ia masuk dan melewati pintu. Kemudian baru dipegang ekornya dan ditariknya ke
belakang. Alangkah besarnya berlebih-kurangnya diantara kedua keadaan itu,
tentang mudah dan sulitnya ! maka hendaklah berhati-hati pada permulaan segala
pekerjaan ! adapun pada penghabisan segala pekerjaan, maka tidak akan menerima
pengobatan, kecuali dengan kesungguhan yang sungguh-sungguh, yang mendekati
membawa kepada tercabutnya nyawa. Sesungguhnya berlebih-lebihan nafsu syahwat
itu, dapat mengalahkan akal-pikiran sampai kepada batas tersebut. Dan itu
sangat tercela. Dan sangat berkurangnya nafsu syahwat dengan kehilangan tenaga
(impoten) atau dengan kelemahan daripada memberi kesenangan kepada isteri,
itupun tercela. Dan yang terpuji, ialah nafsu syahwat itu sedang, mematuhi
akal-pikiran dan agama tentang kuncup dan berkembangnya. Manakala nafsu syahwat
itu berlebih-lebihan, maka hancurkanlah dengan lapar dan kawin ! Nabi saw
bersabda: “Hai para pemuda ! kawinlah ! siapa yang tidak sanggup, maka haruslah
berpuasa. Puasa itu, dapat memutuskannya”.
PENJELASAN: apa yang harus
atas murid, tentang meninggalkan perkawinan dan melaksanakan perkawinan.
Ketahuilah, bahwa pada
permulaan pekerjaannya, seyogyalah murid itu tidak menyibukkan dirinya dengan
perkawinan. Perkawinan itu menyibukkan orang yang sibuk, yang mencegahnya
daripada suluk (menempuh jalan ibadah). Dan menariknya kepada berjinak-jinakan
dengan isteri. Siapa yang berjinak-jinakan dengan selain Allah Ta’ala, niscaya
ia menjadi sibuk, jauh dari Allah. Dan janganlah ia tertipu dengan banyaknya
kawin Rasulullah saw. Karena semua yang dalam dunia itu, tiada mengganggu hati
Rasulullah saw untuk mengingati Allah Ta’ala. Maka tidaklah dibandingkan para
malaikat dengan tukang-tukang besi. Karena itulah Abu Sulaiman Ad-Darani
berkata: “Siapa yang kawin, maka sesungguhnya ia telah cenderung kepada dunia”.
Seterusnya Ad-Darani berkata: “Tiada pernah aku melihat seorang murid yang
kawin, lalu ia tetap dalam keadaannya yang pertama”. Pada suatu kali, orang
berkata kepadanya: “Alangkah perlunya anda kepada seorang wanita, yang dapat
anda berjinak-jinakan hati dengan dia !”. Lalu Ad-Darani menjawab: “Tidak dapat
aku berjinak-jinakan hati dengan Allah bersama wanita”. Maksudnya:
“Berjinak-jinakan hati dengan wanita akan mencegah berjinak-jinakan hati dengan
Allah Ta’ala”. Ad-Darani berkata pula: “Setiap yang mengganggu engkau daripada
mengingati Allah, baik keluarga, harta dan anak, maka itu tercela kepadamu”.
Maka bagaimanakah dibandingkan yang lain dari Rasulullah saw dengan Rasulullah
saw ? Adalah tenggelamnya dalam mencintai Allah Ta’ala itu, dimana ia
memperoleh keterbakarannya padanya kepada batas, yang ditakuti pada sebagian
keadaan, bahwa menjalar yang demikian kepada tubuhnya. Lalu merobohkan tubuh
itu. Maka karena itulah, pada sesuatu ketika, Rasulullah saw meletakkan
tangannya atas paha ‘Aisyah, seraya berkata: “Berkatalah kepadaku, wahai
‘Aisyah !”. Supaya ‘Aisyah menyibukkan Nabi saw dengan perkataannya, daripada
mengingati pekerjaan besar yang dihadapinya. Karena kurang kemampuan tubuhnya
daripadanya. Adalah sifat pribadi Rasulullah saw itu, berjinak-jinakan hati
dengan Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan adalah kejinakan hatinya dengan makhluk itu,
keadaan mendatang, karena kasihan kepada tubuhnya. Kemudian, Rasulullah saw
itu, tidak sanggup bersabar lama bersama orang banyak, apabila beliau
duduk-duduk dengan mereka. Apabila telah sempit dadanya, lalu beliau berkata:
“Senangkanlah kami, dengan shalat, wahai Bilal !”. Sehingga beliau kembali,
kepada yang menjadi cahaya matanya. Orang yang lemah, apabila memperhatikan
hal-ihwal Rasulullah saw dalam keadaan yang seperti ini, maka ia tertipu.
Karena pemahamannya itu singkat, daripada dapat mengetahui segala rahasia
perbuatan Rasulullah saw. Maka menjadi syarat bagi seorang murid pada
permulaannya, meninggalkan kawin, sehingga ia kuat dalam mengenali Allah
(ma’rifah). Hal ini apabila nafsu syahwatnya tidak mengeras. Jikalau nafsu
syahwat mengerasinya, maka hendaklah dihancurkannya dengan lapar panjang dan
puasa terus-menerus ! kalau nafsu syahwat itu tidak terbendung dengan demikian
dan ia tidak mampu –umpamanya –menjaga mata, walaupun ia mampu menjaga
kemaluan, maka lebih utama ia kawin, supaya tentram nafsu syahwat. Kalau tidak
demikian, maka manakala ia tidak menjaga matanya, niscaya tidaklah terjaga
pikirannya dan bercerai-berailah cita-citanya. Kadang-kadang ia terperosok
dalam bencana, yang tidak sanggup dipikulnya. Dan zina mata itu termasuk
sebahagian dari dosa kecil yang besar. Dan membawa kepada mendekati dosa besar
yang keji. Yaitu: zina kemaluan. Orang yang tidak mampu memicingkan matanya,
niscaya tidak mampu menjaga kemaluannya. Nabi Isa as bersabda: “Jagalah
daripada memandang ! karena pandangan itu menanamkan nafsu syahwat dalam hati
dan cukuplah dengan itu menjadi fitnah”. Sa’id bin Jubair berkata: “Sesungguhnya
datanglah fitnah kepada Nabi Daud as dari karena memandang. Karena itulah, ia
bersabda kepada puteranya (Sulaiman) as: “Hai anakku ! berjalanlah di belakang
singa dan singa-singa ! janganlah engkau berjalan di belakang wanita !”. Orang
bertanya kepada Nabi Yahya as: “Apakah permulaan zina ?”. Nabi Yahya as
menjawab: “Melihat dan berangan-angan”. Al-Fudlail berkata: “Kata Iblis itu
adalah busur lamaku dan anak panahku yang tidak akan aku salah”. Maksudnya:
memandang. Rasulullah saw bersabda: “Memandang (wanita) itu adalah panah
beracun dari panah Iblis. Siapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah
Ta’ala, niscaya ia dianugerahi oleh Allah Ta’ala iman, yang didapatinya
kemanisannya di dalam hati”. Nabi saw bersabda: “Tiada aku tinggalkan suatu
fitnahpun sesudahku yang lebih mendatangkan kemelaratan kepada laki-laki,
selain: wanita”. Nabi saw bersabda: “Jagalah dari fitnah dunia dan fitnah
wanita ! fitnah pertama bagi kaum Bani Israil, adalah dari pihak kaum wanita”.
Allah Ta’ala berfirman: “Katakan kepada laki-laki yang beriman itu, supaya
mereka menahan penglihatan dan menjaga kehormatannya. Yang demikian lebih suci
bagi mereka”. S 24 An Nur ayat 30. Nabi saw bersabda: “Tiap-tiap anak Adam
(manusia) itu, mempunyai bahagian dari zina. Dua matanya berzina. Dan zina dua
mata itu, ialah: memandang. Dua tangannya berzina. Dan zinanya itu memegang.
Dua kakinya berzina. Dan zinanya itu berjalan. Mulutnya itu berzina dan zinanya
itu: mencium. Dan hati itu bercita-cita atau berangan-angan. Dan dibenarkan
yang demikian oleh kemaluan atau didustakannya”. Ummu Salmah berkata: “Ibnu
Maktum yang buta itu meminta izin masuk kepada Rasulullah saw, sedang aku dan
Maimunah duduk disitu. Lalu Nabi saw bersabda: “Masuklah dalam tabir (hijab)
!”. Lalu kami menjawab: “Bukankah ia buta, tidak dapat melihat kami ?”. Lalu
Nabi saw menjawab: “Engkau berdua tidak melihatnya ?”. Hadits ini menunjukkan,
bahwa tidak boleh bagi wanita duduk-duduk bersama orang buta, sebagaimana
berlaku adat-kebiasaan pada waktu-waktu musibah dan pestaan. Maka haram orang
buta bersunyi-sunyi (duduk dua-duaan) dengan kaum wanita. Dan haram wanita
duduk-duduk dengan orang buta dan menunjukkan pandangan kepada orang buta,
tanpa ada keperluan. Diperbolehkan kepada wanita berbicara dengan laki-laki dan
memandang kepada mereka, karena ada keperluan. Jikalau sanggup menjaga mata
dari wanita dan tidak sanggup menjaganya dari anak-anak muda-belia, maka dalam
hal ini, kawin lebih utama. Karena kejahatan pada anak-anak muda belia itu
lebih banyak. Sesungguhnya kalau hati cenderung kepada seorang wanita, niscaya
mungkin sampai kepada pembolehannya dengan kawin. Dan memandang kepada anak
muda belia dengan nafsu syahwat itu haram. Bahkan, setiap orang yang membekas
di hatinya, kecantikan rupa anak muda belia, dimana ia memperoleh perbedaan
diantara anak muda-belia dan orang yang berjanggut, maka tidak halal ia
memandang kepada anak muda belia itu. Jikalau anda berkata, bahwa setiap yang
mempunyai perasaan, sudah pasti mengetahui perbedaan antara cantik dan jelek
dan muka anak-anak muda belia itu selalu terbuka. Maka aku menjawab, bahwa
tidaklah aku maksudkan perbedaan mata saja. Akan tetapi seyogyalah terdapatnya
perbedaan itu, seperti terdapatnya perbedaan antara pohon yang hijau dan yang
lain kering, antara air yang bersih dan air yang keruh. Antara pohon yang
berbunga dan berbunga-bungaan putih dan pohon yang telah berguguran
daun-daunnya. Maka sesungguhnya, ia cenderung kepada salah satu dari yang dua
itu, dengan matanya dan tabiatnya. Tetapi kecenderungan yang kosong dari nafsu
syahwat. Dan karena itu, ia tidak bernafsu keinginan, menyentuh bunga-bungaan,
bunga-bungaan putih dan menciuminya. Dan tidak menciumi air yang putih bersih.
Begitupula wanita tua yang cantik, kadang-kadang cenderung mata kepadanya dan
diketahui perbedaan antara wanita tua dan wajah lain yang jelek. Akan tetapi,
perbedaan yang tak ada nafsu syahwat padanya. Yang demikian itu dapat
diketahui, dengan kecenderungan hati untuk mendekati dan menyentuhinya.
Manakala kecenderungan itu telah terdapat pada hatinya dan diperoleh perbedaan
antara muka yang cantik dan tumbuh-tumbuhan yang bagus, kain-kain yang
berlukisan dan loteng-loteng yang berkeemasan, lalu pandangannya itu, pandangan
nafsu syahwat, maka itu haram. Dan ini termasuk diantara hal-hal yang
dipermudah-mudahkan oleh manusia. Dan yang demikian, menghelakan mereka kepada
kebinasaan, sedang mereka sendiri tiada mengetahuinya. Setengah ulama tabi’in
berkata: “Tiada yang lebih aku takuti dari binatang buas, atas pemuda yang
banyak ibadahnya, dari anak muda belia yang duduk dekat pemuda itu”. Sufyan
berkata: “Jikalau seorang laki-laki bermain-main dengan anak muda belia,
diantara dua anak jari kakinya, dengan maksud memenuhi nafsu syahwat, maka itu
adalah liwath (homoseks). Dari setengah ulama terdahulu (ulama salaf), ada yang
mengatakan, bahwa akan ada pada umat ini 3 jenis orang homoseks: sejenis
memandang, sejenis berpegang tangan dan sejenis berbuat. Jadi, bahaya memandang
kepada anak-anak muda itu besar. Maka manakala murid itu lemah daripada
memicingkan matanya dan mengendalikan pikirannya, maka yang betul baginya,
ialah: menghancurkan nafsu syahwatnya dengan kawin. Banyak nafsu yang tidak
tentram keinginannya dengan lapar. Setengah mereka berkata: “Telah keras nafsu
syahwatku pada permulaan kehendakku, dengan apa yang tidak disanggupi. Lalu aku
perbanyakkan memekik mengadu kepada Allah Ta’ala. Maka aku bermimpi dalam
tidurku melihat seseorang. Orang itu bertanya: “Apa kabar ?”. Maka aku mengadu
kepadanya. Lalu ia berkata: “Maju kemari kehadapanku !”. Lalu aku datang
kepadanya. Maka ia meletakkan tangannya atas dadaku. Aku memperoleh dinginnya
pada hatiku dan seluruh tubuhku. Maka waktu pagi-pagi aku merasa, telah hilang
apa yang ada padaku. Dan aku tinggal sehat wal-afiat selama setahun. Kemudian,
orang itu kembali lagi kepadaku seperti demikian. Maka aku perbanyak meminta
tolong kepada Allah Ta’ala. Lalu datanglah seseorang kepadaku dalam tidur. Ia
bertanya kepadaku: “Sukakah kamu hilang apa yang kamu peroleh itu dan aku
memukul lehermu ?”. Aku menjawab: “Ya !”. Lalu orang itu berkata: “Panjangkan
lehermu !”. Lalu aku panjangkan. Maka dicabutnya pedang dari nur (cahaya). Lalu
dipukulnya leherku. Maka aku merasa pada paginya, telah hilang apa yang ada
padaku. Dan tinggallah aku sehat wal-afiat selama setahun. Kemudian, orang itu
datang lagi kepadaku seperti demikian atau lebih keras dari itu. Aku melihat,
seolah-olah orang itu antara lembungku dan dadaku berbicara dengan aku. Dan
berkata: “Kasihan ! berapa kali kamu sudah bermohon pada Allah Ta’ala supaya
dihilangkan apa yang tidak disukai untuk dihilangkan”. Lalu orang tersebut
berkata: “Maka aku kawin. Lalu hilanglah yang demikian daripadaku dan aku
memperoleh anak”. Manakala murid itu berhajat kawin, maka tiada seyogyalah ia
meninggalkan syarat kemauan pada permulaan kawin dan kekalnya perkawinan.
Adapun pada permulaan kawin, maka dengan niat yang baik. Dan pada kekalnya
perkawinan itu, dengan baiknya akhlak, betulnya jalan hidup dan menegakkan
segala hak kewajiban, sebagaimana telah kami uraikan semuanya pada “Kitab Adab
Perkawinan”. Maka tidak kami perpanjangkan mengulanginya. Tanda benar kemauan,
ialah ia kawini wanita miskin yang beragama. Ia tidak mencari wanita yang kaya.
Setengah mereka berkata: “Siapa yang kawin dengan wanita kaya, niscaya adalah
baginya dari wanita itu, 5 perkara, yaitu: mahalnya mas kawin,
melambat-lambatkan peresmian perkawinan, hilangnya layanan isteri (kurang) dan
banyaknya perbelanjaan. Dan apabila ia mau menceraikannya, niscaya ia tidak
sanggup, karena takut hilang hartanya. Dan wanita yang miskin adalah
sebaliknya. Setengah mereka berkata: “Seyogyalah wanita itu, kurang dari
laki-laki dalam 4 hal. Kalau tidak, niscaya wanita itu akan menghina laki-laki.
Yaitu: tentang umur, tinggi badan, harta dan keturunan. Dan hendaklah wanita
itu diatas laki-laki dalam 4 hal, yaitu: tentang cantik, adab sopan wara’ dan
akhlak. Dan tanda benarnya kemauan untuk kekalnya perkawinan, ialah: akhlak.
Sebahagian murid dari orang-orang shufi itu kawin dengan seorang wanita. Lalu
selalulah murid itu (suami wanita tadi) melayani isterinya. Sehingga wanita itu
merasa malu. Dan mengadukan yang demikian kepada ayahnya. Wanita itu berkata:
“Aku heran tentang laki-laki ini. Aku berada di rumahnya semenjak beberapa
tahun yang lalu. Tiada pernah sekali-kali aku pergi ke kakus (wc), melainkan ia
sudah mendahului aku membawa air ke kakus”. Sebahagian mereka kawin dengan
seorang wanita yang cantik. Sewaktu telah mendekati hari pengantinnya, wanita
tersebut diserang penyakit cacar. Maka sangatlah berduka-cita keluarga wanita
itu karena yang demikian. Karena takut laki-laki itu akan memandang keji kepada
calon isterinya. Lalu laki-laki tersebut memperlihatkan kepada keluarga calon
isterinya, bahwa ia telah diserang oleh penyakit mata. Kemudian, ia memperlihatkan
kepada mereka, bahwa penglihatannya sudah hilang. Sehingga wanita itu
dilaksanakan pengantinnya dengan laki-laki tersebut. Maka hilanglah kegundahan
hati kaum keluarganya. Wanita tersebut tetap bersama suaminya (laki-laki) itu,
selama 20 tahun. Kemudian wanita itu meninggal. Maka pada ketika itulah,
laki-laki itu membuka kedua matanya. Lalu orang bertanya kepadanya tentang yang
demikian. Maka ia menjawab: “Aku sengaja berbuat demikian, demi kaum
keluarganya, sehingga mereka itu tidak berduka-cita”. Lalu orang mengatakan
kepadanya: “Engkau telah mendahului saudara-saudaramu dengan akhlak ini”.
Sebahagian orang shufi kawin dengan seorang wanita yang buruk akhlaknya. Maka
ia bersabar atas akhlak wanita itu. Lalu orang bertanya kepadanya: “Mengapa tidak
engkau ceraikan saja ?”. Orang shufi tadi menjawab: “Aku takut nanti ia
dikawini oleh orang yang tidak sabar atas sikapnya. Lalu ia sakiti wanita itu”.
Maka kalau murid itu kawin, maka beginilah seyogyanya ia berada. Dan kalau
sanggup ia meninggalkan perkawinan, maka adalah lebih utama, apabila tidak
mungkin ia mengumpulkan antara keutamaan kawin dan menempuh jalan ke akhirat.
Dan ia tahu bahwa yang demikian menyibukkannya dari hal-ihwalnya. Sebagaimana
diriwayatkan, bahwa Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi memiliki hasil dunia
sebanyak 80 ribu dirham setiap hari. Lalu ia menulis surat kepada penduduk dan
ulama Basrah tentang seorang wanita yang akan dikawininya. Maka sepakatlah
mereka semua pada Rabi’ah Al-‘Adawiyah ra. Lalu Muhammad bin Sulaiman itu menulis
surat kepada Rabi’ah, sbb:
Bismillaahir-rahmaanir-rahiim.
“Amma ba’du, sesungguhnya
Allah Ta’ala telah menganugerahkan menjadi milikku hasil dunia sebanyak 80 ribu
dirham setiap hari. Dan tidak akan lalu beberapa hari dan malam lagi, sehingga
sempurnalah 100 ribu dirham. Dan aku jadikan bagi engkau seperti itu. Maka
perkenankanlah permintaanku”. Maka dibalas oleh Rabi’ah kepadanya, sbb:
Bismillaahir-rahmaanir-rahiim.
“Amma ba’du, sesungguhnya
zuhud di dunia itu menyenangkan hati dan badan. Dan gemar pada dunia mempusakai
rusuh hati dan duka-cita. Maka apabila sampai suratku ini kepadamu, maka
sediakanlah perbekalanmu dan kemukakanlah untuk akhiratmu ! hendaklah engkau
itu menerima wasiat bagi dirimu dan janganlah engkau jadikan laki-laki lain
yang menerima wasiatmu ! lalu mereka nanti akan membagi-bagikan pusakamu.
Puasalah sepanjang masa ! dan hendaklah pembukaan puasamu itu mati ! adapun
aku, jikalau sekiranya dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepadaku, seperti yang
dianugerahkanNya kepadamu dan berlipat-ganda lagi, maka tidaklah menyenangkan
aku untuk lengah daripada mengingati Allah, walau sekejap mata sekalipun”. Ini
suatu isyarat, bahwa setiap yang mengganggu daripada mengingati Allah Ta’ala,
maka itu adalah kekurangan. Maka hendaklah murid itu memandang kepada
keadaannya dan hatinya. Jikalau diperolehnya ketenangan hati pada tidak kawin,
maka itu lebih mendekati kepada suluknya (didalam peribadatannya). Dan jikalau
ia lemah daripada yang demikian, maka kawin adalah lebih utama baginya. Obat
penyakit ini 3 perkara: lapar, memicingkan mata dan bekerja dengan pekerjaan
yang menguasai hati. Jikalau 3 perkara ini tidak bermanfaat, maka perkawinanlah
saja yang akan mencabut maddahnya (materinya). Dan karena inilah, para ulama
terdahulu (ulama salaf) bersegera kawin dan mengawinkan puteri-puterinya. Sa’id
bin Al-Musayyab berkata: “Iblis itu tiada berputus asa dari seorangpun. Ia akan
mendatanginya dari pihak kaum wanita”. Sa’id tadi berkata pula, sedang ia waktu
itu berusia 84 tahun dan telah hilang salah satu dari kedua matanya. Dan ia
melihat waktu malam, dengan matanya yang satu itu. Katanya: “Tiada yang lebih
aku takuti, selain kaum wanita”. Dari Abdullah bin Abi Wida’ah, yang berkata:
“Aku duduk-duduk dengan Sa’id bin Al-Musayyab. Lalu ia tiada bertemu dengan aku
beberapa hari lamanya. Tatkala aku mendatanginya, maka ia bertanya: “Dimana
engkau dalam beberapa hari ini ?”. Aku menjawab: “Isteriku meninggal. Lalu aku
sibuk mengurusnya. Maka ia bertanya: “Mengapa tidak engkau beri kabar kepada
kami, supaya dapat kami menghadiri jenazahnya ?”. Abdullah bin Abi Wida’ah
meneruskan ceritanya: “Kemudian, aku ingin berdiri dari duduk, lalu Sa’id bin
Al-Musayyab bertanya: “Adakah engkau bicarakan wanita lain ?”. Maka aku
menjawab: “Kiranya Allah mencurahkan rahmatNya kepada engkau ! siapakah kiranya
yang akan mengawinkan aku, sedang aku tiada mempunyai uang, selain 2 atau 3
dirham ?”. Lalu Sa’id bin Al-Musayyab menjawab: “Aku !”. Maka aku menyambung:
“Sanggup engkau laksanakan ?”. Ia menjawab: “Ya, sanggup !”. Lalu ia memuji
Allah Ta’ala dan berselawat kepada Nabi saw. Dan dikawinkannya aku dengan uang
2 atau 3 dirham saja”. Abdullah bin Abi Wida’ah meneruskan ceritanya: “Lalu aku
bangun berdiri. Dan aku tidak tahu apa yang akan aku perbuat, lantaran gembira.
Maka aku menuju ke rumahku. Dan aku berpikir, dari siapa aku mengambil dan pada
siapa aku berhutang. Lalu aku bershalat Maghrib. Dan aku kembali ke rumahku dan
aku pasang lampu. Dan tadi aku berpuasa. Lalu aku makan makanan malam untuk
berbuka. Makanan itu hanyalah roti dan minyak zaitun. Tiba-tiba pintu rumahku
diketok orang. Lalu aku bertanya: “Siapa itu ?”. Ia menjawab: “Sa’id !”.
Abdullah bin Abi Wida’ah meneruskan ceritanya: “Lalu aku terpikir pada setiap
orang yang namanya Sa’id, selain Sa’id bin Al-Musayyab. Sebabnya, orang tiada
melihatnya selama 40 tahun, selain dia diantara rumahnya dan masjid”. Abdullah
bin Abi Wida’ah meneruskan ceritanya: “Lalu aku keluar menemui tamu tersebut.
Tiba-tiba benarlah kiranya Sa’id bin Al-Musayyab. Lalu aku menyangka, telah ada
pikiran dan pendapat baginya. Lalu aku berkata: “Hai Aba Muhammad ! jikalau
engkau mengirim surat kepadaku, niscaya aku datang kepada engkau”. Sa’id bin
Al-Musayyab menjawab: “Tidak ! engkau lebih berhak untuk didatangi”. Lalu aku
menjawab: “Apa yang engkau perintahkan ?”. Sa’id bin Al-Musayyab menjawab:
“Engkau adalah laki-laki yang tidak beristeri. Maka engkau kawin. Aku tiada
suka engkau tidur malam sendirian. Inilah perempuanmu !”. Tiba-tiba perempuan
itu berdiri di belakang Sa’id, setinggi dia. Kemudian dipegangnya tangannya,
lalu didorongnya ke pintu dan ditutupnya pintu. Lalu wanita itu jatuh karena
malu. Lalu ia berpegang pada pintu. Kemudian aku datang ke piring besar, yang
didalamnya roti dan minyak zaitun. Lalu aku letakkan piring tersebut pada bayang-bayang
lampu, supaya ia tiada melihatnya. Kemudian aku naik ke bahagian atas rumah,
lalu aku lemparkan tetangga dengan batu-batu kecil. Maka tetangga itu datang
kepadaku. Mereka itu bertanya: “Apa kabar ?”. Lalu aku menjawab: “Wahai
saudara-saudara ! Sa’id bin Al-Musayyab telah mengawinkan aku dengan puterinya
pada hari ini. Dia sudah datang membawa puterinya dengan diam-diam kemari malam
ini”. Lalu mereka itu bertanya: “Sa’id mengawinkan engkau ?”. Aku menjawab: “Ya
!”. Mereka bertanya lagi: “Wanita itu sekarang di kamar ?”. “Ya !”, jawabku.
Lalu mereka turun dari bagian atas ke tempat wanita itu. Kejadian ini sampai
kepada ibuku. Maka beliau datang dan berkata: “Mukaku haram memandang mukamu,
jikalau engkau menyentuhnya, sebelum aku memperbaikinya sampai 3 hari”.
Abdullah bin Abi Wida’ah meneruskan ceritanya: “Maka aku tinggal sendirian 3
hari. Kemudian baru aku bersetubuh dengan dia. Rupanya dia termasuk wanita yang
tercantik, manusia yang terpandai menghafal Kitab Allah Ta’ala (Alquran), yang
terbanyak pengetahuannya tentang Sunnah Rasulullah saw dan yang paling
mengetahui tentang hak suami”. Abdullah bin Abi Wida’ah meneruskan ceritanya:
“Maka aku berdiam sebulan, Sa’id tidak datang kepadaku dan aku tidak datang
kepadanya. Maka sesudah sebulan, baru aku datang kepadanya. Dan ia berada di
pondoknya (halqahnya). Lalu aku memberi salam kepadanya. Ia menjawab salamku
dan tidak berkata-kata dengan aku, sampai orang banyak pergi dari majelisnya.
Lalu ia bertanya: “Apa kabar manusia itu ?”. Aku menjawab: “Baik, wahai Aba
Muhammad, menurut yang disukai teman dan dibenci musuh”. Lalu Sa’id bin
Al-Musayyab menyambung: “Jikalau meragukan engkau sesuatu dari manusia itu,
ambillah tongkat !”. Maka aku kembali ke rumahku. Lalu Sa’id memberikan
kepadaku 20 ribu dirham”. Abdullah bin Abi Sulaiman (salah seorang perawi kisah
ini) berkata: “Adalah puteri Sa’id bin Al-Musayyab ini telah dipinang oleh
khalifah Abdul-malik bin Marwan untuk puteranya Al-Walid ketika dilantik
menjadi putera mahkota. Sa’id enggan mengawinkannya dengan Al-Walid. Dan selalu
Abdulmalik mencari jalan pada Sa’id, sampai dipukulnya Sa’id 100 kali dengan
cambuk pada suatu hari yang dingin. Dan dituangkannya seember air ke badan
Sa’id. Dan diselimutinya Sa’id dengan baju jubah bulu”. Bersegeranya Sa’id
mengawinkan puterinya pada malam itu, memberikan pengertian kepada kita akan
bahayanya nafsu syahwat. Dan harus bersegera –menurut agama –memadamkan apinya
dengan kawin. Allah Ta’ala meridhai dan mencurahkan rahmatNya kepada Sa’id bin
Al-Musayyab !
PENJELASAN: keutamaan orang
yang menentang nafsu syahwat kemaluan dan mata.
Ketahuilah, bahwa nafsu
syahwat ini adalah yang paling mengerasi pada manusia dan yang paling
mendurhakai akal pikiran ketika ia berkobar. Kecuali, yang dikehendakinya itu
keji. Orang malu daripadanya dan takut mengerjakannya. Dan tidak maunya
kebanyakan manusia daripada yang dikehendaki oleh nafsu syahwat itu, adakalanya
karena lemah atau karena takut atau karena malu atau karena menjaga
jasmaniahnya. Dan tidak ada pada suatupun dari yang demikian itu, pahala.
Karena yang demikian itu mengutamakan sesuatu bahagian dari bahagian-bahagian
nafsu, terhadap bahagian lainnya. Benar, termasuk sebagian dari penjagaan,
bahwa ia tidak mampu mengerjakan sesuatu yang menyalahi. Maka pada pencegahan-pencegahan
ini, ada faedahnya. Yaitu: tertolaknya dosa. Maka orang yang meninggalkan zina,
niscaya tertolaklah daripadanya dosanya, dengan sebab apapun adanya ia
meninggalkan zina itu. Sesungguhnya keutamaan dan banyaknya pahala pada
meninggalkan zina itu, karena takut kepada Allah Ta’ala, serta mampu dan
menghilangkan halangan-halangan serta mudahnya sebab-sebab untuk zina itu.
Apalagi ketika nafsu syahwat itu sudah benar-benar. Inilah tingkat orang-orang
shiddiq. Karena itulah Nabi saw bersabda: “Siapa yang sudah rindu sekali, lalu
menjaga diri serta menyembunyikan, lalu ia meninggal, maka orang itu syahid”.
Nabi saw bersabda: “7 orang akan dilindungi oleh Allah pada hari kiamat pada
naungan ‘ArasyNya, pada hari yang tak ada naungan, selain naungannya”. Dan
terhitung dari orang 7 tersebut, laki-laki yang dipanggil oleh seorang wanita
cantik dan bangsawan, kepada dirinya. Lalu laki-laki tadi menjawab: “Aku takut
kepada Allah Tuhan semesta alam”. Kisah Nabi Yusuf as dan tidak maunya dengan Zulaiha,
serta mampu dan sukanya Zulaiha itu terkenal. Dan Allah Ta’ala memuji Yusuf as
dengan demikian dalam Kitab SuciNya. Dan Yusuf itu pemuka (imam) bagi setiap
orang yang mendapat taufik untuk berjuang melawan setan pada nafsu-syahwat yang
besar ini. Diriwayatkan, bahwa Sulaiman bin Yassar, adalah termasuk manusia
yang tercantik wajahnya. Lalu masuklah seorang wanita ke tempatnya. Wanita itu
menanyakan Sulaiman akan nafsunya. Sulaiman tidak mau kepada perempuan itu dan
keluar, lari dari tempatnya. Dan ditinggalkannya wanita itu disitu. Sulaiman
berkata: “Maka pada malam itu aku bermimpi bertemu dengan Yusuf as. Seakan-akan
aku berkata kepadanya: “Engkau Yusuf ?”. Orang itu menjawab: “Ya, saya Yusuf
yang suka (hamamtu) dan engkau Sulaiman yang tidak suka”. Ia mengisyaratkan
kepada firman Allah Ta’ala: “Dan perempuan itu memang suka kepadanya. Dan dia
suka pula kepada perempuan itu, kalau dia tidak melihat keterangan dari
Tuhannya”. S 12 Yusuf ayat 24. Dari Sulaiman juga, yang lebih ajaib dari ini
lagi. Yaitu: Sulaiman itu keluar dari Madinah untuk naik haji. Dan bersamanya
seorang teman. Sehingga keduanya sampailah di Abwa’. Lalu temannya bangun
berdiri dan mengambil alas meja dan pergi ke pasar untuk membeli sesuatu. Dan
Sulaiman duduk dalam kemah. Sulaiman itu termasuk orang yang paling cantik
mukanya dan paling wara’. Lalu ia dilihat oleh seorang wanita desa dari puncak
bukit. Wanita itu lalu turun, datang kepada Sulaiman dan berdiri dihadapannya.
Wanita itu memakai kain tudung muka dan dua sarung tangan. Lalu dibukanya mukanya,
seakan-akan mukanya itu bulan purnama. Dan wanita itu berkata: “Berilah aku
kepuasan !”. Sulaiman menyangka, bahwa wanita itu menghendaki makanan. Lalu ia
bangun berdiri mengambil makanan diatas alas meja, untuk diberikannya kepada
wanita tersebut. Wanita itu menjawab: “Aku tidak bermaksud kepada ini. Aku
bermaksud apa yang dari laki-laki kepada isterinya”. Lalu Sulaiman menjawab:
“Rupanya Iblis menyediakan engkau kepadaku”. Kemudian, Sulaiman meletakkan
kepalanya diantara dua lututnya dan terus menangis dengan suara keras. Ia
menangis terus-menerus, tiada berhenti. Maka sewaktu wanita tadi melihat
demikian, lalu menurunkan kain tudung muka ke atas mukanya dan terus pergi
kembali. Sehingga sampailah ia kepada keluarganya. Teman Sulaimanpun datang. Lalu
ia melihat Sulaiman, kedua matanya sudah bengkak lantaran menangis dan suaranya
sudah putus-putus. Lalu bertanya: “Apakah yang membuat engkau menangis ?”.
Sulaiman menjawab: “Baik ! aku teringat kepada anak kecilku”. Teman itu
menyambung: “Tidak, demi Allah ! kecuali engkau mempunyai kisah sendiri. Masa
engkau berpisah dengan anak kecil engkau, baru semenjak 3 hari atau kira-kira
demikian”. Teman itu terus bertanya, sehingga Sulaiman menceritakan kepadanya
berita tentang wanita desa itu. Lalu temannya itu meletakkan alas meja dan
terus menangis dengan suara keras. Lalu Sulaiman bertanya: “Apakah yang membawa
engkau kepada menangis ?”. Teman itu menjawab: “Aku lebih berhak menangis
dibandingkan dengan engkau. Karena aku takut, sekiranya aku berada pada tempat
engkau, niscaya aku tidak akan sabar terhadap wanita itu”. Maka senantiasalah
kedua menangis. Tatkala. Sulaiman sudah sampai di Makkah, lalu ia mengerjakan
sa’i dan thawaf. Kemudian ia datang ke Hajar-aswad. Lalu duduk dengan
membelitkan kain dari pinggang ke lutut (duduk ihtiba’). Matanya meminta tidur,
lalu ia tertidur. Maka ia bermimpi, seorang laki-laki yang cantik parasnya
tinggi semampai, mempunyai pembawaan bagus dan bau yang harum. Sulaiman lalu
bertanya kepada laki-laki tersebut: “Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada
engkau. Siapakah engkau ini ?”. Laki-laki itu menjawab: “Aku Yusuf !”. Sulaiman
bertanya lagi: “Yusuf Siddik (yang selalu benar) ?”. Orang itu menjawab: “Ya
!”. Lalu Sulaiman menyambung: “Keadaan engkau dengan wanita yang mulia itu,
sungguh mena’jubkan”. Maka Yusuf menjawab: “Keadaan engkau dengan wanita Abwa’
itu lebih mena’jubkan lagi”. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, yang
mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “3 orang dari orang-orang
sebelum kamu pergi berjalan, sehingga datanglah malam, lalu mereka bermalam di
suatu gua. Maka mereka masuk ke gua itu. Lalu jatuhlah sebuah batu besar dari
bukit. Maka menutup pintu gua. Mereka itu berkata sesamanya: “Sesungguhnya
tiada yang melepaskan kita dari batu besar ini, selain kita berdoa kepada Allah
Ta’ala dengan amal shalih (amal yang baik). Lalu seorang dari mereka bertiga
itu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya Engkau mengetahui, bahwa aku
mempunyai ibu bapak yang sudah tua dan lanjut usianya. Aku tiada memberi
minuman kepada anak isteriku dan budak hartaku, sebelum keduanya. Pada suatu
hari aku pergi jauh tempat menggembala ternak. Maka aku tiada sampai kepada ibu
bapakku pada sore hari. Sehingga keduanya sudah tidur. Lalu aku sediakan
minuman malam untuk keduanya. Maka aku dapati keduanya masih tidur. Aku tiada
senang, memberi minuman anak isteriku dan budak hartaku sebelum keduanya (ibu
bapakku). Maka terus aku menunggu sampai keduanya bangun, sedang gelas minuman
itu dalam tanganku, sampai terbit fajar. Anak-anakku yang kecil-kecil
memekik-mekik menangis karena lapar keliling tapakku. Maka bangunlah keduanya,
lalu meminum minumannya. Wahai Allah Tuhanku ! jikalau adalah aku berbuat
demikian, karena mencari keridhaan Engkau, maka renggangkanlah kami dari batu
besar ini yang sedang kami alami sekarang !”. Lalu batu besar itu renggang
sedikit, dimana mereka belum sanggup keluar daripadanya. Yang lain berdoa pula:
“Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku mempunyai anak
perempuan pamanku, yang sangat aku cintai. Lalu aku bujuk dia. Tetapi ia tidak
mau kepadaku. Sehingga aku menderita setahun lamanya. Lalu ia datang kepadaku,
maka aku berikan kepadanya uang 120 dinar, asal ia menyerahkan dirinya
kepadaku. Maka ia perbuat demikian, sehingga tatkala aku telah berkuasa
terhadap dirinya, lalu ia berkata: “Takutlah kepada Allah ! jangan engkau
membawa cincin, kecuali dengan yang sebenarnya (ikatan perkawinan) !”. Lalu aku
menjauhkan diriku daripada bersetubuh dengan dia. Aku berpaling daripadanya, sedang
dia adalah manusia yang paling aku cintai. Aku tinggalkan emas yang aku berikan
kepadanya. Wahai Allah Tuhanku ! jikalau aku telah berbuat itu, karena
mengharap keridhaanMu, maka lapangkanlah dari kami, apa yang kami alami
sekarang !”. Maka rengganglah batu besar itu dari mereka, tetapi mereka belum
sanggup keluar daripadanya. Yang ketiga berdoa pula: “Wahai Allah, Tuhanku !
sesungguhnya aku memakai tenaga beberapa orang karyawan. Aku berikan kepada
mereka upahnya, selain seorang saja. Ia meninggalkan upah yang menjadi miliknya
dan terus pergi. Maka bertambah-tambahlah upahnya itu, sehingga menjadi harta
yang banyak. Sesudah beberapa lama kemudian, ia pun datang kepadaku, lalu ia
berkata: “Hai hamba Allah ! berilah kepadaku upahku !”. Lalu aku menjawab:
“Semua yang engkau lihat dari upahmu itu, unta, sapi, kambing dan budak”. Orang
itu lalu menjawab: “Hai hamba Allah ! apakah engkau bermain-main dengan aku ?”.
Lalu aku jawab: “Aku tidak mempermain-mainkan engkau, ambillah !”. Lalu
dihalaunya dan diambilnya semuanya. Tidak ditinggalkannya sedikitpun. Wahai
Allah Tuhanku ! jikalau aku berbuat demikian karena mencari keridhaanMu, maka
renggangkanlah dari kami, apa yang kami alami sekarang ini !”. Maka rengganglah
batu besar itu, lalu mereka keluar dan pergi”. Maka ini, adalah kelebihan dari
kemampuan penunaian nafsu syahwat. Lalu ia menjaga diri daripadanya. Dan lebih
dekat daripadanya, kemampuan penunaian nafsu syahwat mata. Sesungguhnya mata
itu permulaan zina. Maka menjaganya penting dan itu sukar, dimana kadang-kadang
dipandang mudah dan tidak besar ketakutan daripadanya. Padahal semua bahaya,
terjadi daripadanya. Dan pandangan pertama, apabila tidak disengaja, maka tidak
berdosa. Mengulang kembali melihatnya itu yang disiksa (berdosa). Nabi saw
bersabda: “Bagimu yang pertama dan atasmu (tanggung jawabmu) yang kedua”.
Artinya: pandangan pertama dan kedua. Al-‘Ala’ bin Ziyad berkata: “Janganlah
engkau ikutkan penglihatanmu kepada selendang wanita ! sesungguhnya pandangan
itu menanamkan nafsu syahwat dalam hati”. Sedikitlah manusia itu terlepas dalam
pulang perginya, dari jatuhnya pandangan kepada kaum wanita dan kanak-kanak
muda belia. Manakala terkhayal kepadanya kecantikan, niscaya tabiat (instink)
yang menghendaki pengulangan kembali melihatnya. Dan seyogyalah pada ketika
itu, ia menetapkan pada dirinya, bahwa pengulangan melihat itu adalah kebodohan
sejati. Karena jikalau ia meneguhkan betul pandangan itu, lalu ia memandang
baik, niscaya berkobarlah nafsu syahwat. Dan ia lemah sampai kepada yang
dimaksud. Maka tiada hasilnya baginya, kecuali keluhan. Jikalau ia memandang
buruk, nicaya ia tiada memperoleh kelezatan. Dan ia merasa kepedihan. Karena ia
bermaksud kelezatan, maka diperbuatnya apa yang dirasakan kepedihannya. Lalu
dalam dua hal tersebut, ia tiada terlepas dari maksiat, dari kepedihan dan
kekeluhan. Manakala dipeliharanya mata dengan jalan tersebut, niscaya
tertolaklah banyak bahaya dari hatinya. Jikalau matanya bersalah dan ia
memelihara kemaluannya dengan ketetapan hati, maka yang demikian mengajak
kekuatan yang dituju dan taufik yang penghabisan. Diriwayatkan dari Abubakar
bin Abdullah Al-Mazani, bahwa seorang tukang potong tertarik kepada seorang
budak perempuan, kepunyaan sebahagian tetangganya. Lalu oleh keluarganya, budak
itu diutus untuk suatu keperluan mereka, pada desa lain. Maka tukang potong
tadi mengikuti budak itu dan mencoba membujuknya untuk berbuat jahat. Lalu
budak wanita itu berkata kepadanya: “Jangan engkau berbuat demikian !
sesungguhnya aku sangat mencintai engkau, dibandingkan dengan engkau kepadaku.
Akan tetapi, aku takut kepada Allah”. Lalu tukang potong itu menjawab: “Jadi,
engkau takut kepadaNya dan aku tiada takut kepadaNya !”. Lalu Abubakar bin
Abdullah itu meneruskan riwayatnya: “Maka tukang potong itupun kembali ke tempatnya
dan bertaubat. Lalu ia ditimpa kehausan, sehingga hampir ia binasa. Tiba-tiba
ia bersama seorang utusan dari sebahagian nabi Bani Israil. Lalu utusan itu
bertanya, seraya berkata: “Apakah yang engkau deritai ?”. Tukang potong itu
menjawab: “Haus !”. Maka utusan itu berkata: “Mari kita berdoa pada Allah,
kiranya dilindungi kita oleh awan, sehingga kita masuk ke desa”. Tukang potong
itu menjawab: “Tiada bagiku amal shalih, untuk aku berdoa. Berdoalah engkau
saja !”. Utusan itu menyahut: “Aku yang berdoa dan engkau mengaminkan doaku”.
Maka utusan itu berdoa dan tukang potong itu mengaminkan. Lalu keduanya
dilindungi oleh awan, sehingga keduanya sampai di desa. Kemudian, tukang potong
itu kembali ke tempatnya. Lalu awan itu condong kepadanya. Maka utusan tadi
berkata kepadanya: “Engkau mendakwakan, bahwa engkau tiada mempunyai amal
saleh. Aku yang berdoa dan engkau yang mengaminkan. Lalu kita dilindungi oleh
awan. Kemudian, awan itu mengikuti engkau. Hendaknya engkau ceritakan kepadaku
keadaan engkau”. Tukang potong itu lalu menceritakannya. Maka utusan itu
berkata: “Sesungguhnya orang yang bertaubat itu, pada sisi Allah Ta’ala di
suatu tempat, yang tiada seorangpun dari manusia di tempatnya”. Dari Ahmad bin
Sa’id Al-‘Abid, dari ayahnya, yang mengatakan: “Pada kami di Kufah, ada seorang
pemuda yang banyak beribadah, yang selalu di masjid jami’. Hampir tidak pernah
ia berpisah dengan masjid itu. Ia mempunyai wajah cantik, bagus bentuknya, baik
kelakuannya. Lalu seorang wanita cantik dan berakal memandang kepadanya. Maka
wanita itupun amat tertarik kepadanya. Dan lamanya yang demikian itu bagi
wanita tersebut. Maka pada suatu hari, wanita itu berdiri di jalan. Dan pemuda
itu bermaksud ke masjid. Lalu ia menegur: “Hai pemuda ! dengarlah daripadaku
beberapa kalimat, yang akan kukatakan kepada engkau ! kemudian, berbuatlah apa
yang engkau kehendaki !”. Pemuda tadi terus berjalan dan tiada berkata-kata
dengan wanita tersebut. Sesudah itu, wanita tadi berdiri pula di jalan, yang
dilalui pemuda tersebut. Dan pemuda itu bermaksud pulang ke rumahnya. Wanita
itu menegur lagi: “Wahai pemuda ! dengarlah beberapa kalimat daripadaku yang
akan aku katakan kepadamu !”. Pemuda tersebut menundukkan kepalanya sebentar,
seraya berkata: “Ini tempat perhentian kecurigaan. Aku tidak suka, bahwa aku
adalah tempat kecurigaan”. Wanita itu menjawab: “Demi Allah ! aku tidak
berhenti pada tempat perhentianku ini, lantaran kebodohanku dengan keadaanmu.
Tetapi dengan berlindung kepada Allah, hendaknya orang-orang ‘abid itu
menjernihkan hal yang seperti ini daripadaku. Dan yang membawa aku berjumpa
dengan engkau, dalam keadaan yang seperti ini dengan diriku sendiri. Karena aku
tahu, bahwa yang sedikit dari ini, pada manusia itu banyak. Engkau hai para
‘abid, adalah seperti botol (keranjang sampah), hal yang paling kecilpun, akan
diejek orang. Kesimpulan yang akan kukatakan kepadamu, ialah bahwa anggota
badanku seluruhnya sibuk dengan engkau. Allah-Allah, tentang urusanku dan
urusanmu”. Ahmad bin Sa’id meneruskan ceritanya: “Maka pemuda tersebut terus
pulang ke rumahnya. Ia bermaksud mengerjakan shalat. Lalu pikirannya terganggu,
bagaimana ia mengerjakan shalat itu. Lalu diambilnya sehelai kertas dan
ditulisnya sepucuk surat. Kemudian ia keluar dari rumahnya. Tiba-tiba wanita
itu berdiri di tempat yang sudah-sudah. Lalu dicampakkannya surat itu kepada
wanita tadi. Dan ia terus kembali ke rumahnya. Surat itu, bunyinya:
Bismillaahir-rahmaanir-rahiim.
Ketahuilah, wahai wanita,
bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla, apabila seorang hambaNya berbuat maksiat kepadaNya,
niscaya Ia amat penyantun. Apabila hamba itu kembali kepada perbuatan maksiat
pada kali yang lain, niscaya Allah menutupkan dosanya. Apabila hamba tersebut
memakai bagi maksiat itu, pakaian-pakaiannya, niscaya Allah Ta’ala marah
kepadanya, suatu kemarahan, dimana langit, bumi, gunung-gunung, pohon kayu dan
hewan menjadi sempit daripadanya. Siapakah yang sanggup menahan kemarahanNya ?
Kalau apa yang aku sebutkan itu batil, maka aku peringatkan engkau akan hari,
dimana langit pada hari itu seperti hancuran tembaga dan gunung-gunung menjadi
seperti bulu yang dicelup. Dan umat-umat itu duduk diatas lututnya karena
qudrahNya Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Agung. Sesungguhnya aku, demi Allah,
sudah merasa lemah untuk memperbaiki diriku sendiri, maka betapa lagi untuk
memperbaiki orang lain. Jikalau yang aku sebutkan itu benar, maka sesungguhnya
aku menunjukkan engkau, kepada tabib penunjuk jalan, yang mengobati luka-luka
yang menyakitkan dan sakit-sakit yang membakar. Yaitu: Allah Rabbul-‘alamin.
Maka tujukanlah itu dengan benar persoalan. Sesungguhnya aku sibuk dari engkau
dengan firman Allah Ta’ala: “Peringatkanlah kepada mereka akan hari yang sudah
dekat waktunya; ketika itu hati (menyesak sampai) kepada kerongkongan, perih
menahan hati. Orang-orang yang bersalah itu tiada mempunyai teman yang setia
dan penolong yang dipatuhi. (Tuhan) mengetahui kekhianatan mata dan apa yang
tersembunyi didalam hati”. S 40 Al Mukmin ayat 18-19. Kemanakah jalan lari ayat
ini ?”. Kemudian, sesudah beberapa hari sesudah itu, wanita itu datang lagi.
Lalu berdiri di jalan untuk bertemu dengan pemuda tersebut. Sewaktu pemuda tadi
melihat wanita itu dari jauh, lalu ia mau kembali ke rumahnya. Supaya ia tidak
melihatnya. Lalu wanita tersebut menegur: “Hai pemuda ! jangan pulang dulu !
tidak ada lagi perjumpaan sesudah hari ini untuk selama-lamanya, kecuali besok
dihadapan Allah Ta’ala”. Kemudian wanita itu menangis dengan keras sekali,
seraya berkata: “Aku bermohon kepada Allah, dimana di dalam tanganNya anak
kunci hati engkau, kiranya IA memudahkan apa yang sulit dari urusan engkau !”.
Kemudian, wanita tadi mengikuti pemuda itu, seraya berkata: “Anugerahilah
kepadaku pelajaran, yang akan aku bawa dari engkau ! wasiatkanlah kepadaku
sesuatu wasiat, yang akan aku laksanakan wasiat itu !”. Pemuda tadi lalu
menjawab: “Aku wasiatkan engkau menjaga diri engkau, dari diri engkau sendiri.
Dan aku ingatkan engkau akan firman Allah Ta’ala: “Dan Dialah yang mengambil
jiwa kamu di malam hari (waktu tidur) dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan
di waktu siang”. S 6 Al An’aam ayat 60. Ahmad bin Sa’id meneruskan ceritanya:
“Wanita itu lalu menundukkan kepalanya dan terus menangis dengan keras sekali,
lebih keras dari tangisannya yang pertama tadi. Kemudian, ia sadar akan dirinya
dan terus menetap di rumahnya mengerjakan ibadah. Terus-meneruslah wanita itu
demikian, sehingga ia meninggal dalam keadaan buta. Adalah pemuda tersebut
menyebut-nyebutkan wanita tadi sesudah meninggalnya. Kemudian ia menangis. Ada
orang bertanya kepadanya: “Mengapa engkau menangis ? bukankah engkau yang
memutus asanya dari diri engkau ?”. Pemuda tersebut menjawab: “Sesungguhnya aku
telah menyembelihkan harapannya pada permulaan urusannya. Aku jadikan
perpindahannya wanita itu, simpanan bagiku di sisi Allah Ta’ala. Maka aku malu
pada Allah untuk menarik kembali, simpanan yang sudah aku simpankan padaNya”.
Tamatlah sudah “Kitab Menghancurkan Dua Nafsu Syahwat” dengan pujian dan
kemurahan Allah Ta’ala. Akan diiringi –insya Allah –oleh “Kitab Bahaya Lidah”.
Segala pujian bagi Allah pada awal dan pada akhir, pada zahir dan pada batin.
RahmatNya kepada penghulu kita Muhammad makhlukNya yang terbaik dan kepada
semua hamba pilihan dari penduduk bumi dan langit. Anugerahilah kiranya ya
Tuhan kesejahteraan yang banyak !.