KITAB RAHASIA BERSUCI
Yaitu: Kitab Ke-3 dari Rubu’ ‘Ibadah.
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.
Segala pujian bagi Allah yang berlemah lembut
dengan hambaNya. Maka dianugerahiNya ibadah kepada mereka dengan kebersihan.
Dicurahkannya ke dalam hati mereka untuk mensucikan bathinnya, cahaya dan kasih
sayangNya. Dan disediakanNya bagi zahiriyah/fisik luar mereka, untuk mensucikan yang zhahir itu, air yang tertentu dengan cair
dan bening.
Rahmat Allah kepada Nabi Muhammad
yang meratai seluruh pelosok dan penjuru alam dengan nur/cahaya
hidayah/petunjuk dan kepada keluarganya yang baik lagi suci, rahmat yang oleh
berkahnya melepaskan kita pada hari ketakutan dan menegakkan benteng diantara
kita dan setiap bahaya. Kemudian, maka bersabda Nabi saw: “Dibangun agama di
atas kebersihan”. Dan bersabda Nabi saw: “Kunci shalat ialah kesucian”.
Berfirman Allah Ta’ala: “Didalamnya ada beberapa orang yang ingin membersihkan
diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. S 2 Al Baqarah ayat 108.
Bersabda Nabi saw: “Kesucian itu setengah iman”. Berfirman Allah Ta’ala: “Allah
tidak hendak menyusahkan kamu, tetapi hendak mensucikan kamu”. S 5 Al Maa-idah
ayat 6. Maka berpikirlah orang-orang yang mempunyai mata hati dengan yang
zahiriyah dari ayat-ayat dan hadits-hadits tadi, bahwa pekerjaan yang terpenting
ialah mensucikan segala rahasia hati
(as-saraair). Karena rasanya jauhlah dari paham yang benar, bahwa yang
dimaksud dengan sabda Nabi saw: “Kesucian itu setengah iman”, adalah membangun fisik luar dengan
pembersihan dengan menyiram dan menuangkan air. Dan meruntuhkan bathiniah/jiwa serta membiarkannya berlumuran dengan barang-barang keji dan
kotor. Amat jauhlah dari itu !. bersuci itu 4 tingkat:
Tingkat pertama:
mensucikan zhahir dari segala hadats, kotoran dan benda yang menjijikan.
Tingkat kedua: mensucikan anggota badan dari segala
perbuatan jahat dan dosa.
Tingkat ketiga:
mensucikan hati dari segala pekerti yang tercela dan sifat-sifat rendah
yang terkutuk.
Tingkat keempat:
mensucikan sirr/rahasia (rahasia dalam batihn) dari sesuatu selain dari
Allah Ta’ala. Yaitu: besuci para nabi as dan para shiddiq !. Bersuci pada
tiap-tiap tingkat tadi adalah setengah dari amal perbuatan yang ada di
dalamnya. Dan tujuan penghabisan pada amalan rahasia ialah terbuka baginya
kebesaran dan keagungan Allah Ta’ala. Dan tidaklah bertempat mengenal ilmu
kepada Allah dengan sebenarnya pada jiwa, selama belum berangkat daripadanya
segala sesuatu selain Allah. Dari itu berfirman Allah Ta’ala: “Katakan: yang
menurunkan itu Allah. Kemudian biarkanlah mereka main-main dengan pecakapan
kosongnya”. S 6 Al An’aam ayat 91.
Karena keduanya itu tidak dapat
berkumpul di dalam hati. “Allah tidak menjadikan seseorang mempunyai 2 hati di
dalam dadannya”. S 33 Al Ahzab ayat 4. Adapun amalan hati, maka tujuannya yang
terakhir ialah membangunnya dengan budi pekerti yang terpuji dan keyakinan yang
disuruh agama. Dan tidak bersifat hati itu dengan sifat-sifat tersebut, sebelum
dibersihkan dari lawan-lawannya. Yaitu keyakinan yang salah dan sifat-sifat
rendah yang terkutuk. Maka pensucian hati itu adalah salah satu dari dua
bahagian, di mana dia adalah bahagian pertama yang menjadi syarat pada bahagian
kedua. Maka adalah kesucian itu setengah iman menurut pengertian ini.
Begitu pula, pensucian anggota
badan dari segala yang dilarang, adalah salah satu dari 2 bahagian. Yaitu:
bahagian pertama yang menjadi syarat pada bahagian kedua. Maka pensucian hati
adalah dari dua bahagian, yaitu bahagian pertama. Dan pembangunan anggota badan
dengan segala macam taat, adalah bahagian kedua. Maka inilah maqam-maqam iman
itu. Tiap-tiap maqam, mempunyai tingkat. Dan tidaklah sampai seorang hamba ke
tingkat yang tinggi, melainkan setelah melampaui tingkat yang dibawah. Tidak
sampai ia kepada kesucian bathin dari segala sifat yang tercela dan membangunnya
dengan sifat yang terpuji, selama ia belum selesai dari pensucian hati dari
budi pekerti yang tercela dan membangunnya dengan budi pekerti yang terpuji.
Dan tidak sampai ke situ orang-orang yang belum menyelesaikan dari pensucian
anggota badan dari segala yang dilarang dan membangunnya dari segala amalan
taat. Tiap-tiap yang dicari itu tinggi dan mulia, maka sulit dan jauhlah
jalannya dan banyaklah halangannya. Janganlah anda menyangka bahwa hal ini
didapati dengan angan-angan dan dicapai dengan keinginan saja. Ya, siapa yang
buta mata hatinya daripada berlebih-kurangnya tingkatan-tingkatan ini, niscaya
ia tidak memahami dari tingkatan-tingkatan bersuci itu selain daripada
tingkatan akhir, di mana dia merupakan seperti kulit terakhir yang zahir/luar, dibandingkan
kepada isinya yang dicari. Maka jadilah dia memperhatikan pada kulit itu dan
memeriksa jalan-jalannya. Dan menghabiskan segala waktunya pada beristinja’
mencuci kain, membersihkan zahiriah dan mencari air banyak yang mengalir.
Karena timbul sangkaan daripadanya, karena bisikan setan dan khayalan akal
pikiran, bahwa kesucian yang dicari lagi mulia, itulah saja. Dan tidak mengerti
akan perjalanan hidup orang-orang dahulu dan mereka menghabiskan segala energi
dan pikiran pada pensucian hati dan tidak mementingkan pada urusan zahir.
Sehingga Umar ra dengan kedudukannya yang tinggi itu, berwudlu’ dari air di
dalam kendi seorang Nasrani. Sehingga sesungguh nya orang-orang dahulu itu
tidak membasuhkan tangannya itu dari debu dan bekas makanan. Tetapi mereka
menyapukan tangannya dengan tumit kakinya. Dan mereka menghitung kain serbet
(kain lap) itu termasuk bid’ah (yang diada-adakan). Mereka melakukan shalat di
atas lantai di masjid, berjalan dengan kaki telanjang di jalan-jalan. Siapa
yang tidak membuat alas diantaranya dan lantai pada tempat tidur, maka adalah
dia termasuk orang besar daripada mereka. Dan mereka mencukupkan dengan batu
saja pada beristinja’.
Berkata Abu Hurairah dan lainnya
dari ahli tasawwuf: “Adalah kami memakan daging bakar, lalu dibacakan iqamat
untuk shalat. Maka kami masukkan jari-jari kami di dalam batu-batu kecil.
Kemudian kami gosok-gosokkan dia dengan tanah lalu bertakbir. Berkata Umar ra:
“Tidak adalah kami mengenal kain lap pada masa Rasulullah saw. dan sesungguhnya
sapu tangan kami adalah tapak kaki kami. Adalah kami apabila sudah memakan
makanan yang beminyak, lalu kami sapukan dengan tapak kaki itu”. Ada orang
mengatakan bahwa bid’ah yang pertama-tama lahir sesudah Rasulullah saw adalah
4: ayakan tepung, kain lap, meja makan dan kenyang. Dan adalah kesungguhan
mereka seluruhnya pada kebersihan bathin. Sehingga berkatalah setengah mereka:
“Mengerjakan shalat di dalam dua alas kaki/sepatu adalah lebih
utama !”. Karena Rasulullah saw tatkala membuka kedua alas kakinya di dalam
shalat, karena diterangkan oleh Jibril as kepadanya, bahwa pada kedua alas
kakinya itu najis dan orang lainpun membuka alas kakinya, maka kemudian Nabi
saw bertanya: “Mengapa kamu membuka alas kakimu ?”. Berkata An-Nakha’i, tentang
orang yang membuka alas kakinya: “Aku suka, jikalau adalah orang yang
memerlukan, lalu datang kepada alas-alas kaki itu dan mengambilnya”. Perkataan
ini adalah sebagai pertanda bahwa An-Nakha’i menentang dibuka alas-alas kaki
itu. Begitulah orang-orang dahulu itu memandang enteng dalam hal-hal tadi,
bahkan adalah mereka berjalan kaki di atas tanah jalan dengan kaki terbuka.
Mereka duduk diatasnya, mengerjakan shalat di masjid-masjid atas lantai. Mereka
makan dari tepung gandum dan syair yang sudah dipijak dan dikencingi hewan. Tiada
mereka memperdulikan dari keringat unta dan kuda serta banyak jatuhnya di dalam
najis. Dan tidak adalah sekali-kali dinukilkan dari salah seorang dari mereka
pertanyaan, mengenai najis yang halus-halus. Begitulah mereka memandang enteng
pada najis-najis itu.
Sekarang telah sampai giliran
pada suatu golongan, yang menamakan berdandan itu kebersihan. Lalu mereka
mengatakan, kebersihan itu tempat tegaknya agama. Maka dipergunakannya sebagian
besar waktunya untuk menghiasi zahiriah, seperti yang diperbuat oleh penghias
rambut dengan anak daranya. Sedang bathinnya rusak, penuh dengan segala macam
kekejian: takabur, ‘ujub, bodoh, ria dan nifaq. Mereka
tidak membantah yang demikian dan merasa heran akan hal itu. Jikalau orang yang
hanya beristinja’ dengan batu atau berjalan di atas tanah dengan kaki terbuka
atau mengerjakan shalat di atas lantai atau berada masjid tanpa tikar sajadah
yang terbentang atau berjalan pada lapangan luas tanpa alas tapak kaki dari
kulit atau berwudlu’ dari kendi air seorang wanita tua atau lelaki yang
berpakaian kumuh maka golongan itu tegak bangun berdiri, menentang orang ini.
Dan menggelarkannya “kotor” serta
mengusirkannya dari golongan mereka, menolak untuk makan bersama dan bergaul.
Mereka menamakan sederhana yang menjadi sebahagian dari iman itu kotor dan
berdandan itu kebersihan. Lihatlah, bagaimana yang keburukan itu telah menjadi
kebaikkan dan yang kebaikan telah menjadi keburukkan. Dan bagaimana telah
terbenam dari agama tandanya, sebagaimana telah terbenam hakikat/makna dan ilmunya.
Jika anda bertanya: “Apakah kata
tuan, mengenai adat kebiasaan yang diadakan kaum shufi tentang keadaan dan
kebersihan mereka, termasuk yang dilarang atau mungkar ?”. Maka aku menjawab,
di mana aku berlindung dengan Allah dari memberi penjelasan tanpa perincian.
Dengan tegas aku mengatakan bahwa membersihkan diri, memberatkan diri dengan
perbuatan-perbuatan itu, menyediakan tempat-tempat air dan
perkakas-perkakasnya, memakai sarung kaki dan kain sarung yang mencukupi untuk
menolak debu dll daripada sebab-sebab itu maka kalau dipandang kepada diri
hal-hal itu semata-mata, adalah termasuk barang mubah (dibolehkan).
Kadang-kadang dia disertai oleh hal-hal dan niat-niat yang menghubungkannya,
sekali dengan yang kebaikkan dan sekali dengan yang keburukkan. Adapun adanya
itu dibolehkan pada dirinya maka tidaklah tersembunyi, bahwa orang itu adalah
bertindak dengan hal-hal yang tersebut di atas pada hartanya, badannya dan
kainnya. Maka ia berbuat sekehendaknya apabila tidak ada padanya perbuatan yang
sia-sia dan pemborosan.
Adapun menjadi keburukkan, maka
yaitu dengan menjadikan yang demikian itu pokok agama. Dan menafsirkan dengan
demikian, sabda Nabi saw: “Agama itu dibangun atas kebersihan”. Sehingga dengan
itu ditantangnya orang-orang yang mempermudah-mudahkannya seperti yang
dipermudah-mudahkan oleh orang-orang terdahulu. Atau bermaksud dengan yang
demikian itu, menghiasi zahiriah bagi manusia dan mencantikkan pandangan kepada
mereka. Maka yang demikian itu adalah ria yang
terlarang. Lalu jadilah dia itu keburukkan dengan dua pandangan tadi.
Adapun adanya itu kebaikkan maka
adalah maksud daripadanya
kebaikan, bukan penghiasan. Dan tidak ditantang terhadap yang meninggalkan nya
dan tidak dikemudiankan sembahyang dari awal waktu, karenanya. Dan tidak
terhalang dengan sebabnya, daripada mengerjakan perbuatan yang lebih utama
daripadanya atau tidak terhalang daripada ilmu pengetahuan atau lainnya.
Apabila tidak disertai oleh sesuatu daripada yang tersebut tadi, maka adalah
dibolehkan, yang mungkin dijadikan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala
dengan niat. Tetapi tiadalah mudah yang demikian, kecuali bagi orang-orang yang
berani di mana jikalau mereka itu tidak bekerja dengan menggunakan segala waktu
untuknya, niscaya mereka menghabiskan waktunya dengan tidur ataupun berbicara
yang tidak penting. Sehingga jadilah pekerjaan mereka dengan membersihkan itu
lebih utama. Karena bekerja dengan bersuci itu adalah membarukan ingatan kepada
Allah Ta’ala dan mengingatkan kepada ibadah. Maka tiada mengapa, apabila tidak
menimbulkan kemungkaran atau pemborosan.
Adapun ahli ilmu dan amal maka
tiada seyogyalah menyerahkan waktunya kepada membersihkan itu melainkan sekedar
perlu saja. Melebihkan dari itu adalah keburukkan terhadap mereka dan
membuang-buang umur yang amat berharga dan amat mulia bagi diri orang yang
dapat menggunakannya. Dan tidaklah mengherankan yang demikian itu karena
perbuatan baik bagi orang-orang baik, adalah kejahatan bagi orang-orang yang
mendekatkan diri kepada Allah
Dan tidaklah layak bagi pahlawan,
meninggalkan kebersihan dan menentang orang shufi. Dan mendakwakan bahwa dia
menyerupai dengan sahabat-sahabat. Karena menyerupai mereka itu adalah tentang
tidak menggunakan waktunya selain untuk sesuatu yang lebih penting. Sebagaimana
ditanyakan kepada Daud Ath-Tha’i: “Mengapakah engkau tidak menyisirkan janggut
engkau ?”. Lalu ia menjawab: “Jadi saya ini orang yang berbuat salah !”. Karena
itulah saya tidak melihat bagi orang yang berilmu, yang belajar dan yang
beramal, bahwa menyia-nyiakan waktunya untuk mencuci kain. Karena menjaga
daripada memakai kain-kain yang dipakai oleh orang-orang yang rendah dan
memberi sangkaan buruk dengan kerendahan itu, karena lengah menyucikannya”.
Adalah mereka pada masa pertama
dahulu, mengerjakan shalat pada kulit hewan yang disamak. Dan tidak diketahui
dari mereka orang-orang yang membedakan antara pakaian yang tidak dicuci dan
pakaian dari kulit yang disamak, tentang suci dan najisnya. Tetapi adalah
mereka menjauhkan diri daripada najis apabila dilihatnya dan tiada
memperhatikan benar-benar untuk meneliti kemungkinan-kemungkinan kecil. Malahan
mereka adalah amat memperhatikan mengenai ria dan zalim sampai
kepada yang sekecil-kecilnya.
Sehingga berkatalah Sufyan
Ats-Tsuri kepada seorang kawannya yang berjalan bersama-sama lalu memandang ke
pintu sebuah rumah yang tinggi lagi besar: “Janganlah engkau perbuat yang
demikian ! karena jikalau tidaklah manusia memandang kepada rumah itu, niscaya
tidaklah pemiliknya berbuat pemborosan seperti itu. Maka orang yang memandang
kepadanya adalah menolong kepada pemiliknya untuk melakukan pemborosan”. Orang-orang pada masa pertama dahulu itu,
menyediakan seluruh jiwanya untuk memahami yang halus-halus seperti itu, tidak
mengenai kemungkinan-kemungkinan ada najis. Kalau orang yang berilmu memperoleh
seorang awam yang bekerja untuknya menyucikan kain untuk menjaga kebersihan,
maka adalah yang demikian itu lebih utama. Karena yang demikian adalah lebih
baik daripada menyia-nyiakan kebersihan. Dan orang awam itu memperoleh manfaat
dengan perbuatannya karena dapat menggunakan dirinya yang mungkin terperosok
kepada perbuatan jahat, dengan mengerjakan yang mubah tadi pada dirinya.
Sehingga ia tercegah dari perbuatan maksiat di dalam hal tersebut.
Diri, jikalau tidak sibuk dengan
sesuatu, maka akan menyibukkan yang mempunyai diri itu sendiri. Dan apabila
orang awam tadi bermaksud dengan perbuatan itu, mendekatkan diri kepada orang
yang berilmu itu, niscaya jadilah yang demikian baginya pengorbanan yang
sebaik-baiknya dan waktu bagi orang yang berilmu itu adalah lebih mulia
daripada diserahkannya kepada pekerjaan yang seperti itu (mencuci kain).
Sehingga tinggalah waktu itu terpelihara baginya. Dan waktu bagi orang awam
tadi adalah lebih mulia untuk berbuat seperti itu. Maka sempurnalah kebajikan
kepadanya dari segala segi. Dan hendaklah diperhatikan dengan contoh di atas,
kepada contoh-contoh yang lain yang seirama dengan itu, dari segala amal
perbuatan. Dan menyusun segala kelebihannya dan segi kelebihan sebahagian
daripadanya dengan sebahagian yang lain.
Penelitian benar-benar dengan
menghitung dan menjaga segala detik umur, dengan menggunakannya kepada yang
lebih utama, adalah lebih penting daripada meneliti segala urusan duniawi
dengan suka dukanya. Apabila telah dipahami pendahuluan ini dan telah tegas bahwa
bersuci itu mempunyai 4 tingkat, maka ketahuilah bahwa kami pada kitab ini,
tidak akan memperkatakan, melainkan mengenai tingkat ke-4 saja. Yaitu:
kebersihan zahir, karena kami dalam bahagian pertama dari kitab ini, dengan
sengaja tidak mengetengahkan melainkan persoalan-persoalan fisik/zahir saja.
Maka kami jelaskah sekarang bahwa kesucian zahir itu 3 bahagian: kesucian dari
najis, kesucian dari hadats dan kesucian dari benda-benda yang jijik pada
badan. Yaitu yang diperoleh dengan pemotongan kuku, penajaman pisau, pemakaian
obat yang menghilangkan bulu, pengkhitanan dan lainnya.
BAHAGIAN PERTAMA:
tentang bersuci daripada najis. Pandangan mengenai najis, yang
berhubungan dengan ”yang dihilangkan”. “Dengan apa yang dihilangkan” dan “cara menghilangkannya”.
SEGI PERTAMA: mengenai apa yang
dihilangkan. Yang dihilangkan ialah: najis. Benda itu 3: benda tidak bernyawa
(jamadaat), hewan dan bagian-bagian dari badan hewan. Adapun benda yang tidak
bernyawa: maka semuanya suci selain khamar dan tiap-tiap
yang berasal dari buah anggur kering yang memabukkan. Hewan itu semuanya suci,
selain anjing dan
babi dan anak dari keduanya atau dari salah satu
daripada keduanya. Apabila hewan itu mati, maka najis semuanya, kecuali 5:
manusia, ikan, belalang, ulat buah tufah (buah-buahan). Dan dipandang seperti
itu, tiap-tiap makanan yang berubah. Tiap-tiap yang tidak mempunyai darah yang
mengalir, seperti lalat, lipas dll, maka tidaklah bernajis air dengan jatuhnya
ke dalam air.
Adapun bagian dari badan hewan, maka
dua macam:
pertama: yang
dipotong daripadanya. Maka hukumnya seperti hukum bangkai. Rambut (bulu), tidak
menjadi najis dengan dipotong dan dengan sebab mati yang mempunyai rambut itu.
Dan tulang itu menjadi najis dengan sebab-sebab yang demikian.
Kedua:
barang-barang basah yang keluar dari perut hewan. Maka tiap-tiap yang tidak
berubah dan tidak mempunyai tempat tetap, maka adalah suci, seperti air mata,
peluh, air liur dan ingus. Dan yang mempunyai tempat tetap, sedang dia itu
berubah, maka adalah najis, kecuali benda itu adalah unsur bagi kejadian hewan,
seperti mani dan telur. Nanah, darah, berak dan kencing itu najis dari seluruh
hewan. Dan tidak dimaafkan sesuatu dari najis ini sedikit atau banyak,
selain dari 5:
1.
bekas tempat istinja’, sesudah beristinja’ dengan
batu dimaafkan selama tidak melewati dari tempat keluarnya.
2.
tanah jalan raya dan debu dari berak di jalan besar
dimaafkan daripadanya, walaupun diyakini bernajis, sekedar yang sukar menjaga
daripadanya. Yaitu yang tidak dianggap terlalu berlumuran dengan debu itu atau
terlalu banyak jatuh –pada orang yang kena debu itu.
3.
apa yang diperoleh dibawah sepatu, dari najis yang
tidak terlepas jalan besar daripadanya. Maka dimaafkan daripadanya setelah
digosok karena diperlukan.
4.
darah, kutu, anjing, sedikit atau banyak
daripadanya. Kecuali apabila melampaui batas kebiasaan. Biar adanya pada kain
kita atau pada kain orang lain yang kita pakai.
5.
darah jerawat dan yang keluar daripadanya, yang
merupakan nanah dan lendir.
Ibnu, Umar ra menggosok jerawat pada mukanya. Maka
keluarlah darah, lalu ia mengerjakan shalat tanpa membasuhnya. Dan termasuk
dalam pengertian itu sesuatu yang membening dari kotoran kutu-kutu yang
biasanya tahan lama. Begitu pula bekas bekam, kecuali apa yang jarang terjadi,
dari sesuatu yang keluar dari badan atau lainnya. Maka dihubungkan hukumnya
dengan darah kotor wanita (istihadhah). Dan tidaklah ia termasuk dalam
pengertian jerawat yang terlepas manusia daripadanya dalam segala keadaannya. Dengan dimaafkan
oleh agama najis-najis yang 5 itu, memberitahukan kepada kita
bahwa persoalan bersuci itu adalah didasarkan kepada dipermudahkan (tidak
dipersulitkan). Dan apa yang dibuat-buat yang merupakan suatu kesaksian tentang
najis-najis itu, tidaklah mempunyai dasar sama sekali.
SEGI KEDUA: mengenai dengan apa
najis itu dihilangkan (dibersihkan). Yaitu, adakalanya barang beku, dan
adakalanya barang cair.
Adapun barang beku, maka yaitu batu istinja’.
Barang beku itu mensucikan sebagai penyucian yang mengeringkan, dengan syarat,
barang beku itu keras, suci, kering dan tidak benda yang dihormati. Adapun
benda cair, maka tidak dihilangkan (dibersihkan) najis dengan sesuatu
daripadanya, selain air. Dan tidaklah semua air, tetapi yang suci saja, dimana
tidak terlalu besar perobahannya dengan percampuran sesuatu yang tidak
diperlukan air itu. Dan keluarlah air dari kesuciannya, disebabkan berobah
rasanya atau warnanya atau baunya dengan jatuh najis ke dalamnya. Kalau air itu
tidak berobah di mana dia mendekati 250 sukatan, yaitu 500 kati Iraq, niscaya
ia tidak bernajis, karena sabda Nabi saw: “Apabila sampailah air itu 2 qullah,
niscaya tidak membawa najis”. Kalau air itu kurang dari 2 qullah, maka menurut
Asy-Syafi’i ra bernajis. Ini, adalah pada air yang tenang.
Adapun air yang mengalir, apabila
berubah dengan najis, maka riak yang merubah sajalah yang najis, tidak yang di
atas dan yang di bawah dari riak itu. Karena riak-riak air itu berpisah, satu
dari lainnya. Demikian juga najis yang mengalir, apabila ia mengalir pada
tempat mengalir air. Maka yang bernajis, ialah tempatnya dari air itu dan di
kanan kirinya, apabila ia berkurang dari 2 qullah. Kalau mengalirnya air lebih
deras dari mengalirnya najis, maka air yang di atas najis itu suci dan yang di
bawahnnya najis, meskipun berjauhan air yang di bawah najis itu dan banyak.
Kecuali apabila berkumpul pada suatu kolam sebanyak 2 qullah. Apabila
dikumpulkan 2 qullah dari air najis, niscaya sucilah ia dan tidak kembali
menjadi najis dengan dipisah-pisahkan kemudian. Inilah menurut madzhab
Asy-Syafi’i ra.
Saya ingin supaya madzhab
Asy-Syafi’i itu seperti madzhab Malik ra, tentang air itu. Yaitu meskipun
sedikit, tidak bernajis, kecuali dengan berobah. Karena kepentingan memerlukan
kepadanya. Dan melonjaknya kesangsian karena disyaratkan 2 qullah. Dari itu,
yang demikian membawa kesukaran kepada orang banyak. Dan demi umurku, itulah
sebab kesukaran dan diketahui oleh orang yang mencoba dan memperhatikannya. Dan
termasuk diantara yang tidak saya ragukan lagi, bahwa kalau itu disyaratkan,
sungguh tempat yang terutama sukarnya bersuci adalah Makkah dan Madinah. Karena
pada dua tempat ini, tidak banyak air yang mengalir dan yang tenang. Dari
permulaan masa Rasulullah saw sampai kepada akhir masa sahabat-sahabatnya, tidak ada dinukilkan sesuatu kejadian tentang bersuci dan
tiada suatu persoalan tentang cara menjaga air dari najis. Dan
tempat-tempat air mereka selalu dipergunakan oleh anak-anak dan budak-budak
wanita yang tidak begitu menjaga dari najis-najis.
Umar ra pernah mengambil wudlu
dengan air dari kendi seorang Nasrani. Ini, adalah sebagai suatu penegasan,
bahwa tidak diperpegangi, selain pada tidak berobahnya air. Kalau tidak
demikian, maka kenajisan kenasranian dan tempat airnya, adalah lumrah yang
diketahui dengan berat dugaan yang mendekati kepada kebenaran. Apabila sulitlah
berpegang kepada aliran ini dan tidak adanya terjadi persoalan pada masa-masa
itu adalah dalil pertama dan perbuatan Umar ra menjadi dalil kedua. Dan Dalil
ketiga, dibiarkan oleh Nabi saw kendi air untuk kucing dan tidak ditutupkannya
dari kucing-kucing itu, sesudah Nabi saw melihat kucing itu memakan tikus dan
tidak ada pada negeri mereka kolam-kolam, di mana kucing dapat membenamkan
mulutnya ke dalam kolam-kolam itu dan tidak pula kucing-kucing itu turun ke
sumur-sumur. Dan dalil keempat bahwa Imam Asy-Syafi’i ra telah mengeluarkan
nash (ketetapan sesuatu masalah dengan dalil), bahwa air penyucian najis itu
suci, apabila tidak berobah dan najis apabila berobah. Dan apa bedanya,
diantara air itu menemukan najis dengan dituangkan keatas najis atau najis itu
datang kepada air? dan apa artinya perkataan dari orang yang mengatakan, bahwa
kekuatan kedatangan itu, menolakkan najis, serta kedatangan itu tidak mencegah
percampuran najis. Jikalau dibawa yang demikian kepada diperlukan, maka juga
keperluan meminta untuk itu. Sehingga tiada berbeda diantara menuangkan air ke
dalam ember yang ada di dalamnya kain bernajis. Atau mencampakkan kain bernajis
dalam ember yang ada padanya air. Dan semuanya adalah biasa pada menyucikan
kain dan kendi-kendi air.
Dan dalil kelima, adalah mereka
itu beristinja’ di tepi air sedikit yang mengalir. Dan tidak ada perselisihan
pada madzhab Asy-Syafi’i ra bahwa apabila jatuh kencing ke dalam air yang
mengalir dan air itu tidak berobah, bahwa bolehlah berwudlu dengan air itu,
meskipun ia sedikit. Dan apakah bedanya diantara air yang mengalir dan air yang
tenang ? dan menurut perasaanku kiranya, apakah berpegang kepada tiada berobah itu
lebih utama atau kepada kekuatan air disebabkan mengalir ? kemudian manakah
batas kekuatan itu, apakah berlaku pada air yang mengalir di dalam pipa-pipa
kamar mandi atau tidak ? jika tidak berlaku, maka apakah bedanya ? dan jika
berlaku, maka apakah bedanya diantara benda yang jatuh ke dalamnya dan diantara
benda yang jatuh pada tempat lalunya air dari kendi-kendi kepada badan ? dan
itu juga mengalir bukan ? kemudian air kecil itu (air kencing) adalah lebih
berat percampurannya dengan air yang mengalir, daripada najis beku yang tetap,
apabila diputuskan bahwa air yang mengalir kepadanya, biarpun tidak berobah itu
najis, sampai air itu dikumpulkan menjadi 2 qullah pada suatu tempat. Maka
apakah bedanya diantara benda beku dan benda cair, sedang air itu satu dan
bercampur aduk (ikhtilath), adalah lebih berat daripada mujawarah (percampuran
yang tidak bercampur aduk) ?.
Dan dalil keenam, bahwa apabila
jatuh sekati kencing ke dalam air yang 2 qullah, kemudian air itu
dipisah-pisahkan, maka tiap-tiap bahagian yang diambil daripadanya itu suci.
Dan sebagai dimaklumi bahwa kencing itu bertebaran di dalamnya, sedang air itu adalah
sedikit. Dan kiranya, menurut perasaanku, adakah menjadi sebab sucinya karena
tidak berobah itu lebih diutamakan. Atau disebabkan kekuatan banyaknya air,
setelah dipisah-pisahkan dan dihilangkan banyaknya, serta diyakini masih adanya
bahagian-bahagian najis di dalamnya ?. Dan
dalil ketujuh bahwa tempat-tempat
permandian itu pada masa-masa yang lampau, selalulah menjadi tempat berwudlu
orang-orang yang hidupnya melarat. Mereka membenamkan tangan dan kendi-kendi
air ke dalam kolam-kolam itu, sedang airnya sedikit, serta diketahui bahwa
tangan-tangan yang bernajis dan bersih, datang silih berganti kepadanya. Maka
segala hal ini, serta keperluan yang mendesak itu, meneguhkan di dalam jiwa,
bahwa mereka itu memandang kepada tiada berobahnya air, bersandarkan kepada
sabda Nabi saw: “Dijadikan air itu suci-menyucikan, tidak dinajiskannya oleh
sesuatu, kecuali yang dapat mengobahkan rasanya atau warnanya atau baunya”. Dan
ini dapat meyakinkan. Yaitu, sifat dari tiap-tiap yang cair, dapat membawa
kepada sifatnya sendiri, tiap-tiap benda yang jatuh ke dalamnya. Dan adalah
benda yang jatuh itu menjadi kalah, tidak dapat mempertahankan diri. Maka
sebagaimana kita melihat anjing yang jatuh ke dalam gudang garam, lalu berobah
menjadi garam. Dan ditetapkan hukumnya dengan suci, disebabkan telah menjadi
garam dan hilang sifat keanjingan daripadanya. Maka demikian pula cuka yang
jatuh ke dalam air. Begitupula susu yang jatuh
ke dalamnya, sedang dia itu sedikit, maka hilanglah sifatnya dan
merupakanlah dia dengan sifat air dan berbentuklah dia dengan bentuk air.
Kecuali apabila benda itu banyak dan menang. Dan dikenal kemenangannya itu
dengan kemenangan rasanya atau
warnanya atau baunya.
Maka ukuran ini dan agama telah
memberi isyarat kepadanya, mengenai air yang kuat untuk menghilangkan najis,
adalah lebih layak untuk menjadi pegangan. Sehingga tertolaklah dengan itu
kesulitan dan lahirlah pengertian adanya air itu suci-menyucikan. Karena dia
memenangkan atas benda itu, lalu menyucikannya. Sebagaimana telah terjadi seperti
itu, mengenai air yang melebihi daripada 2 qullah, mengenai air cucian,
mengenai air yang mengalir dan mengenai dibiarkan tempat air bagi kucing.
Janganlah anda menyangka, yang demikian itu karena dimaafkan. Karena kalau
benarlah begitu, maka adalah seperti bekas istinja’ dan darah kutu-kutu busuk,
sehingga jadilah air yang terjatuh benda itu ke dalamnya najis. Dan tidak
bernajislah, dengan air cucian dan dengan jilatan kucing ke dalam air yang
sedikit.
Adapun sabda Nabi saw: “Air itu
tidak membawa najis”, maka hadits itu meragukan. Karena air itu membawa najis,
apabila ia telah berobah”. Kalau dikatakan, bahwa dimaksudkan dengan hadits
itu, apabila tidak berobah, maka mungkin dijawab bahwa dimaksudkan dengan
demikian, karena biasanya air itu tiada berobah dengan najis-najis biasa.
Kemudian, dipegang dengan yang dipahami dari hadits itu (maksudnya: membawa
najis), yaitu mengenai air apabila tiada sampai 2 qullah. Dan meninggalkan yang
dipahami itu, dengan mempergunakan sedikit daripada dalil-dalil yang telah kami
sebutkan itu, mungkin saja. Sabda Nabi saw: “Tidak membawa najis”, secara
zahiriyah, ialah tidak membawanya. Artinya: membalikkan najis kepada sifat air
itu sendiri, sebagaimana dikatakan bagi gudang garam itu tidak membawa anjing
dan lainnya. Artinya: bertukar kepada garam. Maka demikian, karena manusia itu
kadang-kadang beristinja’ pada air yang sedikit dan dengan potongan-potongan
kecil dari tumbuh-tumbuhan dan membenamkan tempat-tempat air (bejana-bejana)
yang bernajis ke dalam air yang sedikit. Kemudian mereka menjadi ragu, mengenai
air itu, berobahkah, dia dengan kentara atau tidak ?. Maka jelaslah bahwa air
itu apabila 2 qullah, niscaya tidak berobah dengan najis biasa. Kalau anda
mengatakan, bahwa Nabi saw telah bersabda: “Tidak membawa najis”, maka manakala
najis itu banyak, niscaya dibawanya”. Ini terbalik kepada anda. Karena bila
najis itu banyak, maka air itu membawanya pada hukum sebagaimana membawanya
pada pandangan. Dari itu, haruslah ditentukan dengan najis-najis biasa pada
kedua madzhab itu (madzhab Malik dan Asy-Syafi’i).
Kesimpulannya, maka
kecenderunganku mengenai persoalan najis-najis biasa kepada memudahkan, adalah
karena memahami dari perjalanan orang-orang terdahulu dan karena menutupi pintu
kebimbangan. Dengan sebab itulah, aku berfatwa dengan
suci mengenai hal-hal yang terjadi perselisihan padanya dalam contoh-contoh
daripada masalah-masalah itu.
SEGI KETIGA:
mengenai cara menghilangkan najis. Najis itu, kalau najis hukmiyah, yaitu najis
yang tiada mempunyai bentuk yang tanpa dilihat, maka mencukupilah melalukan air
di atas seluruh tempat najis itu. Dan kalau najis ‘ainiyah (mempunyai bentuk
yang tampak dilihat), maka haruslah dihilangkan bentuk najis itu. Kalau rasanya
masih ada, maka itu menunjukkan kepada masih adanya najis itu. Begitupula kalau
masih ada warnanya. Kecuali kalau sudah melekat betul, maka dimaafkan setelah
dikikis dan digosok. Kalau baunya masih ada, maka menunjukkan masih adanya
najis itu dan tidak dimaafkan, kecuali apabila benda itu mempunyai bau keras, yang
sukar menghilangkannya. Maka menggosok dan memeraskannya beberapa kali
berturut-turut, adalah merupakan seperti mengikis dan menggosok pada warna
tadi. Cara menghilangkan kebimbangan hati (waswas), ialah mengetahuinya dengan
keyakinan bahwa segala benda dijadikan suci. Maka sesuatu benda yang tiada
kelihatan najis padanya dan tiada diketahui najis itu dengan yakin, maka
bolehlah dilakukan shalat bersamanya. Dan tidak seyogyalah dipakai pemahaman
secara mendalam untuk mengumpamakan adanya najis itu.
BAHAGIAN KEDUA:
bersuci dari hadats.
Diantara cara besuci daripada hadats itu, ialah
wudlu, mandi dan tayammum. Semuanya itu didahului oleh istinja’. Maka akan kami
bentangkan semuanya itu secara berturut-turut, serta dengan adab dan sunatnya.
Dimulai dengan sebabnya berwudlu’ dan adab melakukan qodo hajat (membuang air
besar dan air kecil), insya Allah Ta’ala !.
BAB: MENGENAI ADAB QODO HAJAT.
Seyogyalah menjauhkan dari pandangan mata orang
banyak, apabila berqodo hajat di lapangan lepas. Dan seharusnyalah menutupkan
dirinya dengan sesuatu jika diperolehnya. Dan tidak membuka aurat, sebelum
sampai ke tempat duduk berqodo hajat itu. Tidak menghadap matahari dan bulan.
Tidak menghadap qiblat dan membelakanginya, kecuali berada di dalam kakus
(bangunan). Tetapi mengelakkan dirinya dari qiblat itu, adalah lebih baik juga,
meskipun di dalam kakus. Dan kalau ia menutupkan dirinya pada lapangan lepas dengan
kendaraannya, maka itu boleh. Demikian juga dengan tepi kain sarungnya. Dan
menjaga benar-benar, daripada duduk berqodo hajat pada tempat yang dipakai
orang untuk bercakap-cakap. Dan tidak membuang air kecil (kencing) pada air
tenang, di bawah pohon kayu yang berbuah dan di dalam lobang. Dan menjaga
daripada membuang air kecil itu pada tempat keras dan arah hembusan angin
karena menjaga daripada terperciknya air kecil itu. Dan bahwa tertekan pada
duduknya atas kaki kiri. Dan jikalau berqodo hajat dalam bangunan (kakus), maka
mendahulukan kaki kiri waktu masuk dan kaki kanan waktu keluar. Dan tidaklah
membuang air kecil sedang berdiri.
Berkata ‘Aisyah:“Siapa yang
menerangkan kepadamu bahwa Nabi saw membuang air kecil dengan berdiri, maka
janganlah kamu membenarkannya!”
Berkata Umar ra: “Rasulullah saw melihat saya
membuang air kecil dengan berdiri, lalu bersabda: “Hai Umar, janganlah membuang
air kecil dengan berdiri”. Lalu Umar ra menyambung: “Maka tidaklah lagi aku
membuang air kecil dengan berdiri sesudah itu”. Dalam pada itu, ada juga
keringanan, karena Hudzaifah ra meriwayatkan: “Bahwa Nabi saw membuang air
kecil dengan berdiri, maka aku bawa kepadanya air wudlu. Lalu beliau berwudlu
dan menyapu kedua alas kakinya”.
Dan tidaklah membuang air kecil pada
tempat mandi. Bersabda Nabi saw: “Umumnya kebimbangan (waswas) itu, dari
membuang air kecil pada tempat mandi”. Berkata Ibnul-Mubarak: “Diberi
kelapangan membuang air kecil di tempat mandi, apabila dilalukan air
(disiram)”, demikian diterangkan oleh At-Tirmidzi. Bersabda Nabi saw:
“Janganlah membuang air kecil seorang kamu pada tempat permandian, kemudian
berwudlu padanya. Karena, umumnya kebimbangan hati itu daripadanya”. Berkata
Ibnul-Mubarak: “Kalau air itu mengalir, maka tidak mengapa”. Dan tidaklah
membawa ke tempat berqodo hajat, sesuatu yang ada padanya nama Allah atau nama
Rasul saw. Dan tidaklah memasuki kakus dengan kepala terbuka. Dan membaca
ketika masuk: “Dengan nama Allah, aku berlindung dengan Allah dari najis yang
kotor, lagi keji yang dikejikan setan yang terkutuk”. Dan membaca ketika
keluar: “Segala pujian bagi Allah yang telah menghilangkan daripadaku, apa yang
menyakitkan aku dan mengekalkan bagiku apa yang bermanfaat kepadaku”. Dan
adalah pembacaan ini ketika berada di luar tempat membuang air. Dan menyediakan
batu untuk istinja’ sebelum duduk dan tidak beristinja’ dengan air pada tempat
melakukan qodo hajat. Dan berusahalah menghabiskan keluar air kecil dengan
berdehem-dehem dan bersin 3 kali dan melakukan tangan di bawah kemaluan. Dan
tidaklah membanyakkan berfikir habis dan tidaknya keluar air kecil itu, karena
dapat menimbulkan kebimbangan hati dan menyukarkan kepadanya urusan membuang
air kecil itu. Dan apa yang dirasakannya ada basah, maka hendaklah
diperkirakannya itu sisa air. Kalau tidak juga menyenangkan hatinya, maka
hendaklah diperciknya air ke tempat itu, sehingga kuatlah keyakinannya yang
demikian. Tidaklah kiranya ia dipengaruhi setan dengan kebimbangan hati itu.
Pada hadits tersebut, bahwa Nabi saw: “Berbuat demikian, yaitu memercikkan
air”. Yang paling mudah membuang air kecil, ialah orang yang lebih berpaham.
Maka kebimbangan hati itu, menunjukkan kepada kekurangan paham.
Pada hadits yang diriwayatkan
Salman ra tersebut: “Bahwa kami diajarkan oleh Rasulullah saw tiap-tiap
perkara, sampai kepada bersuci daripada hadats. Maka disuruhnya kami, tidak
beristinja’ dengan tulang dan berak keras. Dilarangnya kami menghadap qiblat
waktu membuang air besar atau air kecil”. Berkata seorang laki-laki kepada
setengah sahabat Nabi saw dari orang Arab, yang telah berselisih paham dengan
dia: “Aku tidak menyangka engkau pandai bersuci dari hadats”. Maka menjawab
sahabat itu: “Ya, saya pandai. Sungguh-sungguh saya pandai dan mengetahui
betul. Saya jauhkan bekas-bekasnya, saya sediakan alat pembersihannya, saya
menghadap ke asy-syih, saya membelakangkan angin, saya iq’a’ seperti iq’a’nya
kijang dan saya ijfaal seperti ijfaalnya unta”. Asy-syih ialah tumbuh-tumbuhan
yang harum baunya, tumbuh di desa, Iq’a’ disini, ialah menjongkok ke depan dua
tapak kakinya. Dan ijfaal, ialah mengangkat punggungnya. Diantara keringanan,
ialah bahwa manusia itu membuang air kecilnya dekat temannya, dengan menutupkan
diri daripada teman itu. Rasulullah saw telah berbuat demikian, meskipun dengan
perasaan malu yang
sangat berat, gunanya untuk menerangkan kepada orang banyak,
bolehnya demikian.
CARA ISTINJA’:
Kemudian beristinja’ pada tempatnya dengan 3 buah
batu. Kalau bersih dengan 3 buah batu itu, maka mencukupilah. Dan jikalau
tidak, maka hendaklah dipakai batu yang keempat. Kalau sudah bersih dengan batu
yang keempat itu, maka ditambahilah dengan memakai batu yang kelima. Karena
membersihkan itu wajib dan mengganjilkan itu sunat. Bersabda Nabi saw:
“Barangsiapa beristinja’ dengan batu, maka hendaklah mengganjilkan batu itu”.
Batu itu diambil dengan tangan kirinya dan diletakkan di muka tempat keluar
najis sebelum tempat najis dan dilakukanlah batu itu dengan menyapu dan
memutarkannya sampai ke ujung tempat najis. Kemudian diambil batu kedua dan
diletakkan di ujung tempat najis tadi dan dilalukan ke muka. Kemudian diambil
batu ketiga lalu diputarkan dikeliling tempat keluar najis sekali putar saja.
Kalau sukar diputar dan disapu dari depan ke belakang, maka mencukupilah yang
demikian. Kemudian diambil batu yang agak besar dengan tangan kanan dan
dipegang kemaluan dengan tangan kiri dan disapukan batu dengan kemaluan dan
digerakkan tangan kiri. Lalu menyapu 3 kali, pada 3 tempat dari sebuah batu
atau pada 3 batu atau pada 3 tempat dari dinding (maksudnya menyapu kemaluan
pada dinding sebagai alat istinja’). Sehingga tiada kelihatan lagi basah pada
tempat yang disapu itu. Apabila berhasil yang demikian dengan 2 kali, maka
ditambah dengan kali ketiga. Dan wajiblah yang demikian, kalau ia bermaksud
menyingkatkan dengan batu saja. Dan kalau berhasil dengan 4 kali, maka
disunatkan kali kelima supaya ganjil. Kemudian berpindahlah ke tempat lain dari
tempat itu dan beristinja’lah dengan air, dengan menuangkannya dengan tangan
kanan ke tempat yang diistinja’kan itu. Serta digosokkan dengan tangan kiri,
sehingga tidak tinggal lagi bekasnya, yang dirasakan oleh tapak tangan dengan
perasaan disentuh. Dan tidak dilakukan istinja’ itu dengan bersangatan benar,
sampai-sampai ke dalamnya. Karena yang demikian itu adalah sumber kebimbangan.
Dan hendaklah diketahui bahwa yang tidak sampai air kepadanya, maka itu adalah
bathin (bahagian dalam). Dan tidaklah dihukum najis lendir-lendir yang di dalam
badan sebelum lagi nyata keluar. Dan tiap-tiap yang sudah nyata keluar maka
tetaplah baginya hukum najis. Batas ukuran sudah nyata keluar, ialah sampai air
kepadanya. Maka air itu menghilangkannya. Dan tidak ada arti bagi kebimbangan.
Dibacakan setelah selesai daripada istinja’: Ya Allah, ya Tuhanku ! sucikanlah
hatiku daripada nifaq(bermuka 2) dan peliharakanlah kemaluanku dari kekejian
!”. Digosokkannya tangannya pada dinding atau pada tanah, untuk menghilangkan
bau kalau masih ada. Mengumpulkan antara air dan batu itu sunat. Diriwayatkan,
bahwa tatkala turun firman Allah Ta’ala: “Di dalamnya ada beberapa orang yang
ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih”. S 9 At Taubah
ayat 108. Lalu bertanya Rasulullah saw kepada penduduk Quba’: “Bersuci yang
manakah yang dipuji Allah akan kamu dengan sebab bersuci itu ?”. Maka mereka
itu menjawab: “Kami kumpulkan diantara air dan batu”.
CARA WUDLU
Apabila telah selesai daripada istinja’, maka
dikerjakan wudlu. Tidak pernah sekali-kali Rasulullah saw dilihat keluar dari
kakus, melainkan terus berwudlu. Dimulai dengan menggosok gigi (bersugi),
bersabda Nabi saw: “Mulutmu itu adalah jalan Alquran, maka buatkanlah dia baik
dengan bersugi”. Seyogyalah diniatkan ketika menggosok gigi itu, membersihkan
mulut untuk membaca Alquran dan berdzikir kepada Allah (menyebutkan nama Allah)
di dalam shalat. Bersabda Nabi saw: “Satu shalat sesudah bersugi, adalah lebih
utama daripada 75 shalat dengan tidak bersugi”. Dan bersabda Nabi saw: “Jikalau
tidak aku takut kesukaran kepada umatku, niscaya aku suruh mereka dengan
bersugi tiap-tiap shalat”. Bersabda Nabi saw: “Aku tidak ingin melihat kamu
masuk ke tempatku dengan gigi kuning. Dari itu bersugilah !”. “Adalah Nabi saw
bersugi pada malam hari beberapa kali”. Dari Ibnu Abbas ra diriwayatkan bahwa
ia menerangkan: “Selalulah Rasulullah saw menyuruh kamu menggosok gigi,
sehingga kami menyangka akan turun sesuatu mengenai bersugi itu kepadanya”.
Bersabda Nabi saw: “Haruslah kamu bersugi, karena bersugi itu menyucikan mulut
dan membawakan kerelaan Tuhan”.
Berkata Ali bin Abi Thalib ra:
“Bersugi itu menambah terpelihara kesehatan dan menghilangkan dahak”. Adalah
sahabat-sahabat Nabi saw berjalan-jalan dan sugi itu pada telinga mereka.
Caranya: ialah bersugi itu dengan kayu arak atau dengan ranting kayu-kayu yang
lain, di mana kayu itu kesat dan menghilangkan daki gigi. Bersugi itu pada
lintang dan menurut panjang dari gigi. Jika diringkaskan, maka menurut
lintangnya saja. Disunnahkan bersugi pada tiap-tiap shalat dan pada tiap-tiap
wudlu, meskipun tidak melakukan shalat sesudah wudlu itu. Dan ketika berobah bau
mulut dengan sebab tidur atau lama berdiam diri atau memakan sesuatu yang tiada
enak baunya. Kemudian, setelah selesai daripada bersugi, duduklah untuk
berwudlu, dengan menghadap qiblat dan membacakan:
“Bismillaahirrahmaanirrahiim”. Bersabda Nabi saw: “Tiada wudlu bagi siapa yang
tiada membaca: “Bismillah”. Artinya:
tiada wudlu yang sempurna. Dan membaca doa ketika itu, yaitu: Aku berlindung
dengan Engkau daripada gangguan setan dan aku berlindung dengan Engkau ya
Tuhan, daripada kedatangan setan itu kepadaku !”.
Kemudian membasuh ke 2 tangan 3 X,
sebelum memasukkannya kedalam tempat air. Dan membacakan doa, yang bunyinya:
“Ya Allah ya Tuhanku! aku bermohon kepadaMu kebahagiaan & keberkatan, aku
berlindung dengan Engkau daripada kecelakaan & kebinasaan”. Kemudian
diniatkan mengangkat hadats atau membolehkan shalat & mengekalkan niat itu
sampai kepada membasuh muka. Jikalau lupa berniat ketika pada muka, niscaya
tidak boleh.
Kemudian, mengambil air dengan
tangan kanan untuk mulut, maka berkumur-kumurlah dengan air tadi 3 kali dan
memasukkannya ke lobang mulut. Kecuali berpuasa, maka hendaklah dengan
pelan-pelan saja. Dan bacakan doa, yang bunyinya: “Ya Allah, ya Tuhanku !
tolonglah aku untuk membaca KitabMu dan membanyakkan dzikir kepadaMu”.
Kemudian, mengambil lagi air
untuk hidung dan memasukkan air ke hidung (istinsyaq) 3 kali, lalu menaikkan
air itu dengan nafas kerongga hidung, dan mengeluarkan apa yang ada didalam
rongga hidung, seraya membaca ketika menghisapkan air tadi, doa yg berbunyi:
“Ya Allah, ya Tuhanku! adakanlah untukku bau sorga & Engkau rela kepadaku”.
Dan ketika mengeluarkan kotoran didalam hidung, maka membaca doa, yg berbunyi:
“Ya Allah, ya Tuhanku! sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari bau
neraka & dari buruknya negeri tempat
tinggal”. Karena menghisap ialah menyampaikan air kedalam & membersihkan
ialah menghilangkan sesuatu yg ada di dalam hidung
Kemudian mengambil air untuk
muka, maka membasuhkan muka itu dari permulaan dahi sampai ke penghabisan yang
di hadapan dari dagu, menurut panjangnya dan dari telinga ke telinga menurut
lebarnya. Dan tidak termasuk dalam batasan muka dua sulah yang terletak pada
pinggir dua pelipis. Kedua sulah itu adalah bahagian dari kepala. Dan air itu
disampaikan ke tempat andam, yaitu
apa yang dibiasakan kaum wanita memotongnya. Yakni sekedar yang ada pada tepi
muka, dimana diletakkan ujung benang atas puncak telinga dan ujungnya yang
kedua pada sudut pelipis. Dan disampaikan air kepada tempat tumbuh bulu yang 4:
dua alis mata, dua kumis, dua jambang dan bulu-bulu mata, karena bulu-bulu
tersebut adalah biasanya tipis. Dan dua bulu jambang yaitu yang setentang
dengan dua telinga dari permulaan janggut. Dan wajiblah disampaikan air kepada
pangkal-pangkal janggut yang tipis, yakni yang termasuk bahagian muka. Adapun
janggut yang tebal maka tidak diwajibkan. Dan bulu yang tumbuh diantara bibir
bawah dan dagu dihukum seperti hukum janggut tentang tebal dan tipisnya.
Kemudian diperbuat yang demikian itu 3 kali atau ditumpahkan air ke atas yang
zhahir dari janggut yang terurai. Dan dimasukkan anak-anak jari ke dalam lobang
mata, tempat pangkal mata, tempat penghimpunan celak dan dibersihkan kedua mata
itu. Dan bercita-cita dengan penuh pengharapan ketika itu akan keluar segala
kesalahan dari kedua mata. Dan seperti itu pula pada tiap-tiap anggota yang
lain. Dan dibacakan ketika membasuh muka itu doa, yang bunyinya: “Ya Allah, ya
Tuhanku ! putihkanlah mukaku dengan nur Engkau, pada hari yang putih segala
muka-muka wali-wali Engkau. Dan janganlah Engkau hitamkan mukaku dengan
kegelapan Engkau, pada hari hitam segala muka musuh Engkau”. Dan
digosok-gosokkan janggut yang tebal ketika membasuh muka, karena yang demikian
itu adalah sunat.
Kemudian dibasuhkan kedua tangan,
sampai kedua siku, 3 kali. Digerak-gerakkan cincin, dipanjangkan penyapuan tangan dan diratakan air sampai ke
bahagian atas pangkal lengan. Karena yang berbuat demikian, dikumpulkan pada
hari qiamat dengan cahaya yang gemilang pada pangkal lengannya dari bekasan
wudlu. Begitulah telah datang hadits, di mana Nabi saw bersabda: “Siapa yang
sanggup memanjangkan pemakaian air sampai ke pangkal lengan (qhurrah), maka
hendaklah dikerjakannya”. Dan diriwayatkan bahwa: “Pakaian itu, sampai ke
segala tempat wudlu”. Dimulai dengan tangan kanan, seraya dibacakan doa yang
bunyinya: “Ya Allah, ya Tuhanku ! berikanlah akan daku kitabku pada tangan
kananku dan hitunglah kiranya amalanku (hisab) dengan kiraan yang mudah”. Dan
dibacakan ketika membasuh tangan kiri, doa yang bunyinya: “Ya Allah, ya Tuhanku
! sesungguhnya aku, berlindung dengan Engkau daripada Engkau berikan kepadaku
kitabku pada tangan kiriku atau dari belakang punggungku”.
Kemudian diratakan kepala dengan
menyapu, di mana dibasuhkan kedua tangan dan dipertemukan ujung anak-anak jari
kedua tangan, yang kanan dengan yang kiri. Dan diletakkan kedua tangan itu pada
hadapan kepala, lalu ditarikkan kedua tangan itu ke kuduk, kemudian
dikembalikan ke hadapan kepala kembali. Dan ini adalah sekali sapu, di mana
diperbuat yang demikian itu sampai 3 kali, seraya dibacakan doa yang artinya:
“Ya Allah, ya Tuhanku ! tolonglah aku dengan rahmat Engkau, turunkanlah
kepadaku segala berkat Engkau, naungilah aku di bawah naungan ‘Arasy Engkau,
pada hari yang tak ada naungan selain dari naungan Engkau”.
Kemudian disapukan kedua telinga,
luar dan dalamnya dengan air yang baru, dengan memasukkan kedua telunjuk ke
dalam lobang kedua telinga itu dan diputar-putarkan kedua ibu jari pada luar
kedua telinga. Kemudian diletakkan tapak tangan ke atas dua telinga itu sebagai
tanda melahirkan ratanya air. Dan diulangi 3 kali serta dibacakan doa yang
artinya: “Ya Allah, ya Tuhanku ! jadikanlah aku sebahagian dari mereka yang
mendengar perkataan maka mengikuti yang baik daripadanya ! Ya Allah, ya Tuhanku
! perdengarkanlah kepadaku seruan penyeru sorga bersama orang baik-baik”.
Kemudian disapukan leher dengan
air yang baru karena sabda Nabi saw: “Menyapu leher adalah menyelamatkan
daripada rantai neraka pada hari qiamat”. Dan dibacakan doa yang artinya: “Ya
Allah, ya Tuhanku ! lepaskanlah leherku dari api neraka ! dan aku berlindung
dengan Engkau daripada rantai dan kalung api neraka”.
Kemudian dibasuhkan kaki yang
kanan 3 kali dan diselang-selangi dengan tangan kiri dari bawah jari-jari kaki
kanan. Dan dimulai dengan jari kelingking dari kaki kanan dan disudahi dengan
kelingking dari kaki kiri. Dan dibacakan doa, yang artinya: “Ya Allah, ya
Tuhanku ! tetapkanlah tapakku di atas titian yang lurus (ash-shiraathal
mustaqiim) pada hari yang tergelincir segala tapak kaki ke dalam api neraka”.
Dan dibacakan ketika membasuh kaki kiri, doa yang artinya: “Aku berlindung
dengan Engkau daripada tergelincirnya tapakku dari titian, pada hari yang
tergelincir padanya segala tapak kaki munafiq”. Dan naikkan air sampai ke
tengah-tengah dua betis.
Apabila telah selesai wudlu maka
diangkatlah kepala ke arah langit, seraya membaca doa yang bunyinya: “Aku mengaku bahwa
tiada yang disembah melainkan Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagiNya.
Aku mengaku bahwa Muhammad hambaNya dan utusanNya. Maha suci Engkau hai Tuhanku
dan dengan memuji Engkau tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku telah perbuat yang
jahat dan aku telah perbuat aniaya kepada diriku. Aku meminta ampun pada Engkau
wahai Allah dan aku bertobat kepada Engkau. Maka ampunilah aku dan berilah
taubat kepadaku, sesungguhnya Engkau menerima taubat dan Maha Penyayang. Ya
Allah, ya Tuhanku ! jadikanlah aku daripada orang yang bertaubat dan jadikanlah
aku daripada orang-orang yang bersih dan jadikanlah aku daripada hambaMu yang
shalih. Dan jadikanlah aku hamba yang sabar, tahu berterima kasih dan
jadikanlah aku banyak berdzikir kepada Engkau dan bertasbih kepada Engkau pada
pagi dan pada petang”. Diriwayatkan bahwa siapa yang
membaca doa ini sesudah wudlu, maka dicapkan wudlunya dengan suatu cap dan
diangkatkan cap itu untuknya di bawah ‘Arasy. Maka senantiasalah cap itu
bertasbih dan mengquduskan Allah dan dituliskan pahala itu untuknya sampai
kepada hari qiamat.
Dimakruhkan pada wudlu beberapa
perkara: Diantaranya melebihkan dari 3 kali. Barangsiapa melebihkannya, maka
telah berbuat aniaya. Juga termasuk makruh, berlebih-lebihan memakai air.
Adalah Nabi saw berwudlu tiga-tiga kali dan bersabda: “Barangsiapa melebihkannya
maka telah berbuat aniaya dan berbuat jahat”. Dan bersabda lagi: Akan ada suatu
kaum daripada umat ini, melampaui batas di dalam berdoa dan bersuci”. Dan
diriwayatkan sabda Nabi saw: “Diantara kelemahan ilmu seseorang itu, ialah suka
benar membanyakkan air di dalam bersuci”.
Berkata Ibrahim bin Adham:
“Dikatakan bahwa kejadian yang pertama tadi orang yang berwudlu ialah,
kebimbangan hati sebelum bersuci”. Berkata Al-Hasan: “Bahwa setan itu
menertawakan orang yang di dalam wudlunya. Setan itu bernama Al-Walham”.
Dimakruhkan menggoyang-goyangkan tangan, maka terperciklah air. Dimakruhkan
berbicara sedang berwudlu, menamparkan muka dengan air. Segolongan ulama
memandang makruh mengeringkan air
wudlu, dan
kata mereka: air wudlu itu ditimbang, demikian menurut Sa’id bin Al-Musayyab
dan Az-Zuhri. Tetapi diriwayatkan oleh Ma’az ra bahwa: “Nabi saw menyapu
mukanya dengan tepi kainnya”. Dan diriwayatkan oleh ‘Aisyah: “Bahwa Nabi saw
mempunyai kain untuk mengeringkan air”. Tetapi riwayat ini dibantah benar-benar
daripada ‘Aisyah”.
Dimakruhkan berwudlu dari bejana
air tembaga kuning dan dengan air yang panas dengan matahari. Makruhnya itu
dipandang dari segi kedokteran. Diriwayatkan daripada Ibnu Umar dan Abu
Hurairah ra akan makruhnya bejana tembaga kuning itu. Dan berkata setengah
mereka: “Aku serahkan kepada Syu’bah, air di dalam bejana tembaga kuning, maka
enggan ia berwudlu daripadanya”. Dinukilkan makruh yang demikian itu, dari Ibnu
Umar dan Abu Hurairah ra. Tatkala telah selesailah daripada berwudlu dan menuju
kepada shalat, maka hendaklah terlintas di hati bahwa ia telah suci
zhahiriyahnya. Dan zhahiriyah itu adalah tempat pandangan orang ramai. Maka
seyogyalah ia merasa malu bermunajah (berbicara dengan berbisik) dengan Allah
Ta’ala tanpa mensucikan hatinya, yang menjadi tempat pandangan Tuhan Yang Maha
Suci. Dan hendaklah ia yakin bahwa kesucian hati itu dengan bertaubat,
menjauhkan diri daripada budi pekerti yang tercela. Dan bertingkah laku dengan
budi pekerti terpuji, adalah lebih utama. Orang yang menyingkatkan kepada
kesucian zhahiriyah saja, adalah seumpama orang yang bemaksud mengundang
seorang raja ke rumahnya, dimana rumahnya itu dibiarkan penuh dengan kotoran
dan hanya bergiat mencat pintu luar dari rumah. Alangkah tepatnya orang yang
seperti lelaki ini mendapat cacian dan makian !. Allah yang maha suci dan yang
maha tahu !
KEUTAMAAN WUDLU.
Bersabda Rasulullah saw: “Barangsiapa berwudlu,
lalu dibaguskannya wudlunya dan dikerjakannya shalat dua rakaat di mana ia
tidak berbicara dengan dirinya dalam wudlu dan shalat itu, sesuatu dari hal
duniawi, niscaya keluarlah dia daripada segala dosanya seperti hari, ia
dilahirkan oleh ibunya”. Dan pada riwayat yang lain. Dan ia tiada lalai di
dalam wudlu dan shalat itu, niscaya diampunkan apa yang telah terdahulu
daripada dosanya. Bersabda Nabi saw pula: “Adakah tidak aku kabarkan kepadamu,
dengan apa yang ditutupkan oleh Allah segala kesalahan dan diangkat ke derajat
tinggi ? yaitu: melengkapkan wudlu dengan terpeliharanya daripada yang makruh,
mengangkatkan tapak kaki ke masjid dan menunggu shalat sesudah shalat. Maka
kelengkapan wudlu itu tiga-tiga kali”. Dan Nabi saw berwudlu sekali-sekali,
seraya bersabda: “Inilah wudlu yang tidak diterima oleh Allah shalat selain
dengan ini”. Dan Nabi saw berwudlu dua-dua kali, seraya bersabda: “Barangsiapa
berwudlu dua-dua kali, niscaya didatangkan oleh Allah kepadanya pahala dua
kali”. Dan Nabi saw berwudlu tiga-tiga kali, seraya bersabda: “Inilah wudluku
dan wudlu nabi-nabi sebelumku dan wudlu kesayangan Tuhan, Ibrahim as”. Bersabda
Nabi saw: “Barangsiapa mengingati Allah
ketika berwudlu, niscaya disucikan oleh Allah tubuhnya seluruhnya. Dan
barangsiapa tiada mengingati Allah, niscaya tiada disucikan oleh Allah daripada
tubuhnya selain yang kena air saja”. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa berwudlu,
di mana ia masih di dalam suci (wudlu), niscaya dituliskan Allah baginya 10
kebaikan”. Bersabda Nabi saw: “Berwudlu di atas wudlu (artinya, masih lagi ada
wudlu), maka itu adalah nur di atas nur”.
Hadits-hadits tadi semuanya
adalah mengajak supaya membarukan wudlu, meskipun masih ada wudlu. Bersabda
Nabi saw: “Apabila berwudlulah seorang hamba muslim, lalu ia berkumur-kumur,
niscaya keluarlah segala kesalahan dari mulutnya. Dan apabila ia membersihkan
hidungnya, maka keluarlah segala kesalahan dari hidungnya. Apabila ia membasuh
mukanya, maka keluarlah segala kesalahan dari mukanya, sehingga keluarlah
segala kesalahan itu dari pinggir bawah kedua matanya. Apabila ia membasuh
kedua tangannya, niscaya keluarlah segala kesalahan dari kedua tangannya,
sehingga keluarlah segala kesalahan itu dari bawah kuku-kukunya. Apabila ia
menyapu kepalanya, niscaya keluarlah segala kesalahan dari kepalanya, sehingga
keluarlah segala kesalahan itu dari bawah kedua telinganya. Dan apabila ia
membasuh kedua kakinya, niscaya keluarlah segala kesalahan dari kedua kakinya,
sehingga keluarlah dari bawah kuku-kuku kedua kakinya itu. Kemudian, adalah
perjalanannya ke masjid dan shalatnya itu sunat baginya”.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya orang yang bersuci itu adalah seperti orang yang berpuasa”.
Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa berwudlu, lalu dibaguskannya wudlu itu,
kemudian diangkatkannya matanya ke langit, lalu membaca: “Aku mengaku
bahwasanya tiada yang disembah melainkan Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu
bagiNya. Dan aku mengaku bahwa Muhammad hambaNya dan RasulNya”, niscaya
dibukakan baginya pintu sorga 8, ia masuk ke mana yang disukainya”.
Berkata Umar ra: “Sesungguhnya
wudlu yang baik, mengusirkan setan daripada engkau”. Berkata Mujahid:
“Barangsiapa sanggup tiada tidur malam, selain dia di dalam keadaan suci,
berdzikir dan bermohon keampunan Allah, maka hendaklah ia berbuat. Maka
sesungguhnya segala nyawa itu dibangkitkan, di dalam keadaan waktu dia diambil
dahulu”.
CARA MANDI:
Yaitu: meletakkan tempat air di sebelah kanan, kemudian
membaca Bismillah, membasuhkan kedua tangan 3 kali, kemudian beristinja’,
seperti yang telah diterangkan dahulu caranya. Dan membuang najis pada badan
jikalau ada, kemudian berwudlu seperti wudlunya untuk shalat, sebagaimana telah
kami terangkan dahulu. Kecuali membasuh kedua tapak kaki, maka dikemudiankan.
Karena membasuh kedua tapak kaki itu, kemudian meletakkan di atas tanah, adalah
membuang-buang air saja. Kemudian menuangkan air ke atas kepala 3 kali,
kemudian ke pihak kanan 3 kali, kemudian ke pihak kiri 3 kali, kemudian
menggosok bahagian depan dan bahagian belakang dari badan dan
menyelang-nyelangi dengan anak jari, rambut kepala dan janggut. Dan
menyampaikan air kepada pangkalnya, baik yang tebal atau yang tipis. Dan tidak
diwajibkan atas wanita membuka sanggulnya, kecuali apabila diketahuinya, bahwa
air itu tiada sampai ke celah-celah rambutnya. Dan hendaklah diusahakan
menyampaikan air kepada segala lipatan badan. Dan hendaklah dijaga jangan
sampai tersentuh kemaluan waktu sedang mandi itu. Jikalau terjadi yang
demikian, maka hendaklah wudlunya diulangi. Kalau
sudah berwudlu sebelum mandi maka tidak usah diulangi lagi sesudah mandi. Maka
inilah sunnah-sunnah wudlu dan mandi. Kami sebutkan daripadanya, apa yang tak
boleh tidak bagi orang yang berjalan di jalan akhirat, dari ilmunya dan
amalnya. Dan masalah-masalah yang lain, yang diperlukan di dalam keadaan
mendatang, maka hendaklah diperiksa di dalam kitab-kitab fiqih. Dan yang wajib
dari keseluruhan yang kami sebutkan tentang mandi itu, ialah dua perkara: niat
dan meratakan air pada badan dengan mandi. Dan yang diwajibkan pada wudlu
ialah: niat, membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai kedua siku, menyapu
apa yang termasuk di dalam nama kepala; membasuh kedua kaki sampai kedua tumit
dan dengan tertib (yang dahulu didahulukan dan yang kemudian di kemudiankan).
Adapun berturut-turut (muwalah), maka tidak diwajibkan. Mandi wajib adalah
dengan 4 sebab: dengan keluar mani, bertemu dua khatan (bersetubuh), haid
(datang bulan bagi wanita), dan nifas (darah yang keluar dari wanita setelah
bersalin).
Selain daripada mandi-mandi tadi
adalah sunat, seperti: mandi
dua hari raya, mandi Jum’at, mandi pada hari-hari besar, mandi ihram, mandi
wuquf di ‘Arafah dan di Muzdalifah, mandi karena masuk Makkah, mandi pada 3
hari tasyriq, mandi untuk thawaf wada’ menurut kata sebahagian ulama, mandi
bagi kafir apabila masuk Islam, yang belum pernah berjunub, mandi orang gila
apabila telah sembuh daripada gilanya dan mandi bagi orang yang memandikan
mayat. Maka semuanya itu, adalah sunat hukumnya.
CARA TAYAMMUM:
Orang yang berhalangan memakai air, karena
ketiadaan air setelah dicari atau ada halangan daripada berwudlu, karena
binatang buas atau orang yang menahan atau air yang ada padanya diperlukan
untuk diminum karena kehausannya sendiri atau kawannya atau air itu kepunyaan
orang lain dan tidak dijualnya kecuali dengan harga yang tidak pantas atau ada
padanya luka atau penyakit, yang ditakuti daripada memakai air itu akan
kerusakan anggota tubuh atau bertambah penyakitnya. Maka seyogyalah bersabar,
sampai masuklah waktu shalat fardlu.
Kemudian menujulah pada tanah
yang baik, di mana bahagian atasnya ada debu yang suci bersih dan halus,
kira-kira debu dapat beterbangan daripadanya. Lalu ditepukkan kedua tapak
tangannya atas debu itu, dengan anak-anak jarinya yang dirapatkan. Kemudian
disapukan dengan kedua tapak tangannya akan seluruh mukanya satu kali dan
diniatkan ketika itu membolehkan shalat (istibahah). Dan tidak diberatkan
dengan menyampaikan debu itu ke bawah bulu-bulu, baik yang tipis atau yang
tebal. Dan hendaklah diusahakan supaya meratalah kulit mukanya dengan debu. Dan
yang demikian itu berhasil dengan sekali tepukan tangan saja, karena lebar muka
itu tiada lebih daripada lebar kedua tapak tangan. Dan mencukupilah pada
meratanya debu itu dengan berat dugaan (dhan) saja. Kemudian membuka cincin
(kalau ada di jari), lalu menepuk kali kedua, dengan merenggangkan anak-anak
jari. Kemudian mempertemukan punggung anak-anak jari tangan kanan dengan perut
anak-anak jari tangan kiri, kira-kira tidak melewati tepi ujung anak-anak jari
itu dari satu pihak, daripada telunjuk dari pihak yang satu lagi. Kemudian
melalukan tangannya yang kiri, di mana diletakkannya itu, di atas lengannya
yang kanan sampai ke siku. Kemudian membalikkan perut tapak tangannya yang kiri
di bahagian bawah lengannya yang kanan dan melalukannya sampai ke pergelangan
dan melalukan perut ibu jarinya yang kiri ke atas ibu jarinya yang kanan.
Kemudian diperbuatkan dengan yang kiri begitupula. Kemudian disapukan kedua
tapak tangannya dan diselang-selangi diantara anak-anak jarinya. Maksudnya
disuruh begini ialah supaya debu itu rata sampai kepada kedua siku dengan
sekali tepukan. Apabila sukar yang demikian, maka tiada mengapa diratakan debu
itu dengan dua kali tepukan atau lebih. Apabila telah bershalat satu shalat
fardlu dengan tayammum itu, maka bolehlah baginya bershalat sunat sekehendak
hatinya. Kalau ia menjama’ (menghimpunkan) antara dua shalat fardlu, maka hendaklah mengulangi tayammum bagi shalat
fardlu yang kedua. Begitulah,
masing-masing fardlu itu dengan satu tayammum. Wallaahu a’lam ! Allah Yang
Maha Tahu !.
BAHAGIAN KETIGA:
tentang kebersihan & pembersihan dari sisa-sisa sesuatu yang nyata. Yaitu 2
macam: daki dan bahagian-bahagian dari sisa sesuatu.
Yang pertama: daki
dan segala yang basah yang menyerupai peluh, yaitu 8 perkara:
Pertama: yang
berkumpul di dalam rambut kepala, dari kotoran dan kutu. Maka membersihkan
daripadanya itu disunatkan, dengan mandi, disisir dan diberi minyak untuk
menghilangkan kotoran itu. Dan: “Adalah Nabi saw meminyaki rambutnya,
menyisirkannya sekali-sekali dan menyuruh dengan yang demikian”. Dan bersabda
ia saw: “minyakilah sekali-sekali”. Bersabda
ia saw: “Siapa yang mempunyai rambut maka hendaklah memuliakannya”. Artinya:
memeliharanya daripada daki. Datang menghadap Nabi saw, seorang laki-laki, yang
rambutnya kusut-musut, janggutnya centang-perenang, maka bersabda Nabi saw:
“Apakah orang ini tidak mempunyai minyak untuk membereskan rambutnya ?”.
Kemudian Nabi saw terus menyambung: “Salah seorang kamu masuk seolah-olah
seperti setan”.
Kedua: daki
yang berkumpul dalam lipatan-lipatan telinga. Dengan disapu, hilanglah yang
zhahir daripadanya. Dan yang terkumpul di dalam lobang telinga itu, maka
seyogyalah dibersihkan dengan pelan-pelan ketika keluar dari kamar mandi.
Karena apabila daki itu banyak, kadang-kadang membawa melarat kepada
pendengaran.
Ketiga: yang
berkumpul di dalam hidung, daripada benda-benda basah dan keras, yang melekat
pada tepi-tepi hidung. Menghilangkannya adalah dengan menghisap air ke hidung
(istinsyaq) dan dengan membersihkan air tersebut (istintsar).
Keempat: kotoran
yang berkumpul pada gigi & pinggir lidah. Maka menghilangkannya adalah
dengan bersugi & berkumur-kumur. Keduanya itu telah kami terangkan dahulu.
Kelima: daki dan kutu yang berkumpul
pada janggut apabila tiada diusahakan membersihkannya. Maka disunatkan
menghilangkannya dengan mandi dan menyisirkannya dengan sisir. Pada suatu
hadits yang masyhur, tersebut bahwa Nabi saw: “Tiada pernah berpisah dengan
sisir, pisau kecil dan cermin muka, di dalam perjalanan atau di tempat
tinggal”. Dan itu memang menjadi kebiasaan bagi orang-orang Arab. Pada suatu
hadits yang tidak begitu terkenal (hadits gharib), bahwa Nabi saw menyisirkan
janggutnya sehari dua kali dan adalah Nabi saw itu berjanggut tebal. Dan
seperti itu pula Abu Bakar. Dan Usman adalah berjanggut panjang tetapi tipis.
Dan Ali berjanggut lebar memenuhi diantara kedua tulang-rahangnya. Pada suatu
hadits yang lebih tiada terkenal lagi, berkata ‘Aisyah: “Berkumpul suatu kaum
pada pintu Rasulullah saw lalu beliau keluar menjumpai mereka. Saya melihat
beliau kelihatan memakai baju kurung panjang dengan bersisir rambut dan
janggutnya. Maka saya bertanya: “Mengapakah berbuat demikian ya Rasulullah ? maka
menjawab beliau: “Ya, sesungguhnya Allah menyukai daripada hambaNya, berbuat
keelokan untuk saudara-saudaranya apabila keluar ia menemui mereka”. Orang
bodoh, kadang-kadang menyangka bahwa yang demikian itu karena suka menghias
diri untuk memperlihatkan kepada manusia, karena membanding kepada budi pekerti
orang-orang lain dan karena menyerupakan malaikat dengan tukang-tukang besi.
Amat jauhlah yang demikian ! sesungguhnya adalah Rasulullah saw disuruh
melakukan dakwah. Dan sebahagian dari tugasnya, ialah berusaha membesarkan
keadaan dirinya dalam hati mereka, supaya mereka itu tidak menghinakannya. Dan
baguslah bentuknya pada mata mereka. Supaya mereka tidak memandang kecil
kepadanya, lalu menjauhkan mereka daripadannya. Dan orang-orang munafik itu bergantung
dengan demikian, pada menjauhkan mereka. Maksud yang seperti itu harus ada pada
tiap-tiap orang yang berilmu pengetahuan, yang menggunakan nya untuk mengajakan
manusia kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Yaitu harus menjaga sesuatu yang
zhahiriyah, yang tiada membawa manusia lari daripadanya. Dan berpegang di dalam
keadaan yang seperti ini dengan niat yang baik. Karena itu adalah segala perbuatan, di dalam perbuatan itu sendiri
diusahakan sifat-sifat daripada yang dimaksud. Maka menghias diri atas
maksud yang tersebut tadi adalah disukai.
Membiarkan janggut di dalam
keadaan kusut sebagai menyatakan zuhud dan kurang menghiraukan diri itu, dilarang. Dan kalau dibiarkan yang demikian disebabkan ada
sesuatu yang lebih penting, maka itu disukai. Inilah keadaan-keadaan bathiniyah
diantara hamba dan Allah ‘Azza Wa Jalla. Orang yang bersifat kritis adalah
bermata hati. Dan yang suka mencampur-baurkan, adalah tiada beruntung dalam
keadaan manapun juga. Berapa banyak orang bodoh yang memperbuat segala
perbuatan itu karena memandang kepada manusia. Maka dia adalah mengacau
terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Dan mendakwakan bahwa
maksudnya itu baik. Maka kita melihat segolongan dari ulama, memakai pakaian
mewah dan mendakwakan bahwa maksudnya adalah untuk menghinakan orang-orang
bid’ah (yang diada-adakan) dan orang-orang yang suka berdebat dan dengan itu ia
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Yang demikian adalah suatu perkara yang
akan terbuka di hari segala rahasia terbuka, di hari dibongkar apa yang di
dalam kubur dan dibukakan apa yang di dalam dosa, maka pada ketika
itu berbedalah emas murni daripada tembaga. Kita berlindung dengan Allah daripada
kehinaan pada hari kedatangan (hari mahsyar) yang agung itu.
Keenam: daki
pada lipatan punggung anak-anak jari. Adalah orang Arab tidak banyak
menyucikannya karena membiarkan tangannya tiada berbasuh sesudah makan. Maka
berkumpullah daki pada tempat-tempat itu. Maka Rasulullah saw menyuruh mereka,
dengan membersihkan sendi anak-anak jari.
Ketujuh:
membersihkan ujung anak-anak jari dan di bawah kuku-kuku. Rasulullah saw
menyuruh orang Arab membersihkannya. Yaitu: ujung anak-anak jari dan daki yang
dibawah kuku. Karena tidak membawa pisau pemotong kuku, setiap waktu maka
berkumpullah daki padanya. Lalu Rasulullah saw memberikan waktu bagi mereka
untuk memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan di dalam
40 hari. Tetapi Rasulullah saw terus menyuruh mereka membersihkan daki yang ada
di bawah kuku. Tersebut pada atsar, bahwa: “Nabi saw merasa lambat datangnya
wahyu. Maka tatkala turun Jibril as kepadanya, lalu berkata ia kepada Nabi saw:
“Bagaimana kami turun kepadamu, sedang kamu tiada membasuhkan lipatan belakang
anak-anak jarimu dan tiada membersihkan ujung anak-anak jari dan bawah
kuku-kukumu dan tiada bersugi dari kotoran gigimu ? suruhlah umatmu dengan yang
demikian itu !”. Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah engkau mengatakan kepada
ibu bapak perkataan uff (cis)”. S 17 Al Israa’ ayat 23. “Uff” itu menurut
aslinya berarti: daki kuku. Jadi: janganlah dihinakan keduanya dengan: daki
yang di bawah kuku itu. Adapula yang mengatakan bahwa maksudnya: janganlah
engkau merasa disakiti dengan keduanya seperti engkau merasa disakiti dengan
daki yang di bawah kuku.
Kedelapan: daki
badan yang terdapat pada seluruh badan karena keringat dan debu jalan. Daki itu
dapat dihilangkan dengan mandi. Dari itu, tiada mengapa memasuki tempat
pemandian umum (hammam). Para sahabat Rasulullah saw memasuki tempat-tempat
pemandian umum di negeri Syam (syiria) dan berkata sebagian dari mereka: “Sebaik-baik rumah ialah rumah yang
mempunyai hamam, yang menyucikan badan dan mengingatkan kepada api neraka”.
Diriwayatkan yang demikian dari Abid-Darda dan Abi Ayyub Al-Anshari ra berkata
setengah mereka: “Sejahat-jahat rumah, ialah rumah yang menjadi tempat
pemandian umum, yang menampakkan aurat dan menghilangkan malu”. Yang ini
membentangkan bahayanya dan yang itu (di atas tadi) membentangkan faedahnya.
Dan tiada mengapa mencari faedahnya ketika terpelihara daripada bahayanya.
Tetapi orang yang masuk hammam itu, mempunyai beberapa tugas, yang merupakan
sunat dan wajib. Ia mempunyai 2 kewajiban terhadap auratnya sendiri dan 2
kewajiban terhadap aurat orang lain. Adapun 2 kewajiban terhadap auratnya
sendiri, yaitu menjaganya dari pandangan orang lain dan memeliharanya daripada
sentuhan orang lain. Maka tiada yang mengurus auratnya dan membersihkan daki
auratnya melainkan tangannya sendiri. Dan mencegah tukang gosok badan daripada
menyentuh paha dan diantara pusat sampai kepada bulu kemaluannya. Dan mengenai
bolehnya selain anggota dari menyentuh keluar najis, muka dan belakang
(sau-ah), untuk menghilangkan daki, itu ada kemungkinan. Tetapi yang lebih
dapat dikiaskan itu haram, karena dihubungkan menyentuh kedua sau-ah (baik yang
dimuka dan yang dibelakang) itu, tentang haramnya, dengan memandang. Begitu
pula hendaknya dengan bahagian aurat yang lain, yakni: kedua paha. Dan dua kewajiban
mengenai aurat orang lain, yaitu memejamkan matanya sendiri daripada melihat
aurat orang lain dan melarang orang lain daripada membuka auratnya. Karena
melarang dari perbuatan mungkar itu, wajib. Dari itu harus atasnya mengingatkan
yang demikian dan tidak harus atasnya menerima. Kewajiban memperingatkan itu
tidak hilang, kecuali karena takut dipukul atau dimaki atau akan dilakukan
terhadap dirinya suatu yang haram. Maka tidak boleh ia menantang yang haram
itu, yang dipaksakan kepadanya nanti oleh orang yang ditantang, kepada
mengerjakan suatu haram yang lain.
Adapun sekedar mengatakan:
ketahuilah bahwa perbuatan itu tiada berfaedah dan janganlah dikerjakan
perbuatan yang demikian maka yang seperti itu tiada mengapa. Bahkan harus
diperingati secara yang demikian. Maka tiada terlepas hati, daripada berkesan
dengan mendengar tantangan dan merasa berjaga-jaga diri ketika disebut
perbuatan maksiat. Dan yang demikian memberi kesan tentang menjelekkan
perbuatan itu dan menjauhkan diri daripadanya. Maka tidak boleh ditinggalkan !.
Dan karena alasan yang seperti itulah, maka tidak memasuki tempat pemandian
umum pada waktu sekarang menjadi tanda berhati-hati. Karena tiada terlepas
daripada melihat aurat terbuka, lebih-lebih yang di bawah pusat hingga yang di
atas bulu kemaluan. Karena manusia sekarang tidak memandangnya aurat lagi.
Sedang agama menghitungkannya aurat dan menjadikan sebagai anggota yang
terhormat bagi aurat itu. Dari itu, disunnatkan mengosongkan tempat pemandian
umum itu. Berkata Bisyr bin Al-Harts: “Alangkah sulitnya seseorang yang tidak
mempunyai uang selain sedirham yang dibayarkannya supaya boleh ia memakai
tempat pemandian umum !”. Dilihat orang Ibnu Umar ra pada tempat pemandian umum
dan mukanya ke dinding. Ia menutup kedua matanya dengan sepotong kain. Berkata
setengah mereka: “Tidak mengapa masuk ke tempat pemandian umum, asal dengan dua
helai kain, sehelai untuk penutup aurat dan sehelai lagi untuk penutup kepala,
yang mencukupi untuk kepala itu dan untuk memelihara kedua matanya”.
Adapun sunat, maka
10:
Pertama: niat.
Yaitu bahwa ia tidak masuk hammam/tempat pemandian umum itu karena dunia dan
tidak untuk bermain-main karena dorongan hawa nafsu. Tetapi maksudnya ialah
kebersihan yang amat disukai, karena penghiasan bagi shalat. Kemudian
memberikan kepada penjaga tempat pemandian umum itu sewanya sebelum masuk. Maka
sesungguhnya apa yang akan dipakai oleh orang itu secara maksimalnya tiada
diketahui. Dan begitu pula apa yang ditunggu oleh penjaga tempat pemandian umum
itu. Maka menyerahkan sewanya sebelum masuk adalah menolakkan kebodohan dari
salah satu dari dua yang dipertukarkan itu dan untuk membaikkan bagi dirinya.
Kemudian orang yang masuk ke dalam pemandian umum itu, mendahulukan kakinya
yang kiri, ketika masuk seraya membaca doa yang artinya: “Dengan nama Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku berlindung dengan Allah dari
kotoran yang najis, keji lagi dikejikan, setan yang terkutuk”. Kemudian masuk
ke tempat pemandian itu di dalam keadaan yang sunyi atau menunggu kesunyian
tempat pemandian umum itu. Karena jikalau tidak ada pada tempat pemandian umum
itu, selain dari ahli agama dan orang-oarng yang memelihara auratnya, maka
memandang kepada badan-badan yang terbuka, adalah banyak sedikitnya bercampur
dengan perasaan malu. Dan itu mengingatkan kepada memandang aurat-aurat orang.
Kemudian tidaklah terlepas manusia itu dalam gerak-geriknya dari terbuka aurat,
disebabkan terangkat tepi kain sarungnya, lalu jatuhlah pandangan kepada aurat
dengan tidak disengaja. Karena itulah Ibnu Umar ra menutup kedua matanya. Dan
membasuh kedua bahagian tubuh ketika masuk. Dan janganlah bersegera masuk
tempat pemandian yang sedang panas, sehingga keluarlah peluhnya pada
pertamanya. Dan tidak membanyakkan penuangan air, tetapi menyingkatkan sekedar
perlu saja. Karena demikianlah yang diizinkan, menurut tanda-tanda dari keadaan
yang berlaku. Dan melebihkan air daripada yang diperlukan, kalau diketahui oleh
penjaga tempat pemandian itu, niscaya tidak disukainya, lebih-lebih air panas.
Karena memerlukan perongkosan yang lebih banyak dan tenaga yang meletihkan. Dan
bahwa mengingati akan panasnya api neraka dengan panasnya tempat pemandian umum
itu. Dan mengumpamakan dirinya terkurung pada tempat yang panas itu satu jam
dan membandingkannya kepada neraka jahannam. Karena tempat pemandian umum itu
adalah rumah yang lebih menyerupai dengan neraka jahannam, di mana, apinya di
bawah dan gelapnya di atas. Kita berlindung dengan Allah dari yang demikian !.
Bahkan, orang yang berakal, tidak lalai daripada mengingati akhirat pada tiap detik,
karena akhirat itu adalah tempat kembali dan tempat ketetapannya. Maka pada
tiap-tiap yang dilihatnya, baik air atau api ataupun lainnya, adalah menjadi
ibarat dan pengajaran baginya.
Manusia itu memandang sesuatu
menurut cita-citanya. Apabila masuklah seorang penjual kain, seorang tukang
kayu, seorang pembangun gedung-gedung dan seorang tukang tenun ke dalam sebuah
rumah besar yang terhias cantik, maka apabila kita perhatikan keadaan mereka
itu masing-masing, niscaya kita lihat penjual kain itu memandang kepada alas
lantai, memperhatikan nilainya. Tukang tenun itu memandang kepada kain-kain,
memperhatikan tenunannya. Tukang kayu itu memandang ke atap, memperhatikan
bagaimana susunannya. Dan pembangun gedung-gedung itu memandang kepada dinding
batu, memperhatikan bagaimana keteguhan dan kelurusan bangunannya. Maka seperti
itu pulalah orang yang berjalan di jalan akhirat, tidak memandang dari
barang-barang yang banyak itu sesuatu, melainkan yang mengandung pengajaran dan
peringatan bagi akhirat. Bahkan ia tiada melihat kepada sesuatu, melainkan
dibukakan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla, jalan ibarat baginya. Jika ia melihat
kepada sesuatu yang hitam, lalu teringatlah ia akan kegelapan di dalam kubur.
Jika ia melihat kepada seekor ular, lalu teringatlah ia akan ular-ular di
neraka jahannam. Jika ia melihat kepada suatu bentuk yang buruk lagi
menakutkan, lalu teringatlah ia akan malaikat Munkar, Nakir dan Az-Zabaniah.
Jika ia mendengar suatu suara yang dahsyat, lalu teringatlah akan bunyi
sangkakala. Jika melihat sesuatu yang cantik, lalu teringatlah ia akan
kenikmatan sorga. Jika ia mendengar kata bersoal-jawab di pasar atau di rumah,
lalu teringatlah ia akan apa yang akan terbuka, dari akhir urusannya, setelah
dihisab, ditolak atau diterima. Alangkah layaknya, kalaulah ini yang menjadi
kebiasaan di dalam jiwa orang yang berakal! karena sebetulnya tiadalah yang
memalingkan dia daripadanya selain oleh kepentingan-kepentingan duniawi.
Apabila dibandingkan lama berdiam di dunia dengan lama berdiam di akhirat,
niscaya dipandangnya hina dunia ini, kalau ia bukan
termasuk orang yang telah lalai jiwanya dan buta mata hatinya.
Setengah daripada sunat, bahwa
tiada memberi salam, ketika masuk ke tempat pemandian umum itu. Jika orang
memberi salam kepadanya, maka jangan dijawabnya dengan kata-kata salam, tetapi
berdiam diri saja, jika ada orang lain yang menjawabnya. Dan kalau ia suka,
maka baiklah menjawab: “Kiranya Allah memberikan kesehatan kepadamu !”. Tiada
mengapa ia berjabat tangan dengan orang yang masuk, seraya mengucapkan sebagai
permulaan percakapan: “Kiranya Allah memberikan kesehatan kepadamu !”.
Kemudian, tiada membanyakkan percakapan di dalam tempat pemandian umum itu dan
tiada membaca ayat Alquran, kecuali dengan hati saja. Tiada mengapa membaca
A’udzu billah, artinya memohonkan perlindungan dengan Allah daripada setan,
dengan suara keras. Dimakruhkan masuk ke tempat pemandian umum diantara Maghrib
dan ‘Isya dan mendekati matahari terbenam. Karena ketika itu adalah waktu
berkeliaran setan-setan. Tiada mengapa badannya digosok orang lain. Telah
dinukilkan demikian dari Yusuf bin ‘Asbath bahwa ia meninggalkan wasiat untuk
dimandikan dia oleh orang yang bukan sahabatnya. Dia berkata: “Bahwa orang itu
telah menggosokkan badanku sekali di tempat pemandian umum, maka aku bermaksud
membalaskan jasanya dengan sesuatu yang disukainya. Dan sesungguhnya dia akan
bergembira dengan yang demikian itu”. Dan dibuktikan kepada bolehnya, oleh apa
yang diriwayatkan oleh sebahagian sahabat: “Bahwa Rasulullah saw bertempat pada
suatu rumah dalam sebahagian perjalanannya. Maka tidurlah ia dengan menungkup
dan seorang budak hitam memijit-mijit belakangnya. Maka aku bertanya: “Apakah
ini ya Rasulullah ?”. Menjawab Nabi saw: “Bahwa unta ini mencebur kepadaku”.
Kemudian, tatkala telah siap dari tempat pemandian umum itu, maka bersyukurlah
kepada Allah ‘Azza Wa Jalla atas nikmatNya. Orang mengatakan bahwa air yang
panas pada musim dingin adalah suatu nikmat yang diminta. Berkata Ibnu Umar ra:
“Tempat pemandian umum itu adalah termasuk nikmat yang diadakan oleh manusia
ramai”. Ini semuanya dari segi agama.
Adapun dari segi kesehatan, maka
orang mengatakan bahwa mandi di tempat pemandian umum itu sesudah memakai obat
yang membersihkan rambut kepala, menjamin daripada penyakit kusta. Dan ada yang
mengatakan bahwa membersihkan rambut kepala pada tiap-tiap bulan sekali,
menghilangkan bintik-bintik kuning pada badan, membersihkan warna kulit dan
menambahkan kekuatan tenaga bersetubuh. Dan orang mengatakan bahwa membuang air
kecil di tempat pemandian umum itu, dengan berdiri pada musim dingin, adalah
lebih bermanfaat daripada minum obat. Dan ada yang mengatakan bahwa tidur pada
musim panas sesudah mandi di halaman itu, menyamai dengan minum obat. Dan
membasuh dua tapak kaki dengan air dingin, setelah keluar dari hammam, adalah
menjamin daripada penyakit bengkak pada otot kaki. Dimakruhkan menuang air
dingin ke atas kepala ketika keluar dari hammam. Demikian juga meminumnya. Yang
tersebut itu adalah hukumnya mengenai laki-laki. Adapun wanita, maka telah bersabda
Nabi saw: “Tidak halal bagi laki-laki memasukkan isterinya ke hammam dan dalam
rumahnya mempunyai hammam”. Dan hadits masyhur: “Bahwa haram kepada laki-laki
memasuki hammam, selain dengan berkain sarung. Dan haram atas wanita memasuki
hammam, kecuali dia sedang bernifas atau sakit”. Dan ‘Aisyah telah memasuki
hammam di waktu dia menderita sakit. Kalau wanita itu masuk hammam karena
sesuatu kepentingan, maka janganlah masuk kecuali dengan kain sarung yang
lengkap. Dimakruhkan bagi laki-laki memberikan kepada wanita sewa hammam,
karena yang demikian itu adalah merupakan pertolongan kepada wanita untuk
berbuat yang makruh.
BAHAGIAN KEDUA: tentang segala sesuatu yang mendatang pada
tubuh manusia, dari bahagian-bahagian. Yaitu: 8.
Pertama: rambut kepala. Dan tiada mengapa
mencukurnya bagi orang yang bermaksud kebersihan. Dan tiada mengapa
membiarkannya bagi orang yang dapat meminyaki dan menyisirkannya. Kecuali
apabila ditinggalkannya dengan memotong sebahagian dan tidak sebahagian, dari
kepala. Dan itu adalah kebiasaan orang-orang terkutuk dan keji
(ahlisy-syath-tharah). Atau dilepaskannya rambut terurai, ke kanan dan ke kiri
seperti bentuk yang biasa diperbuat oleh golongan bangsawan, sebagai simbul
mereka. Maka apabila ia bukan orang bangsawan, niscaya adalah yang demikian itu
talbis (pemakai pakaian yang bukan pakaiannya).
Kedua:
kumis. Bersabda Nabi saw: “Guntinglah kumismu”. Pada riwayat yang
lain, berbunyi: “Potonglah kumismu”. Dan pada riwayat yang lain lagi, berbunyi:
“Buatlah kumismu di tepi bibir (huffu) dan biarkanlah janggutmu sampai panjang
(A’fu)”, artinnya: kumis itu dibuat dengan baik di keliling bibir, karena Nabi
saw mengatakan pada sabdanya yang di atas, menurut bahasa aslinya dengan
kata-kata “huffu”, yang berarti: buatlah kumis itu di keliling bibir sebab
kata-kata itu mengandung keliling. Diantaranya dapat diperhatikan pada firman
Allah Ta’ala: “Dan engkau akan melihat malaikat-malaikat berkerumun di keliling
‘Arasy itu”. S 39 Az Zumar ayat 75. Pada kata-kata lain “uhfuu”, dan ini memberitahukan
dengan membuang sampai habis. Dan katanya “huffuu”, menunjukkan kurang dari
demikian. Berfirman Allah Ta’ala: “Kalau itu dimintaNya kepada kamu, dan
didesakNya kamu, niscaya kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37. Kata-kata
“didesaknya”, bahasa Arabnya ialah: “yuhfi”, kata asalnya “ihfa”, artinya:
didesaknya sampai habis, maka ini menunjukkan, menurut bahasa: membuang sampai
habis.
Adapun mencukur kumis itu, tiada
datang ketegasannya. Dan “ihfa”, tadi yang mendekati kepada mencukurnya,
dinukilkan dari sahabat-sahabat Nabi saw: dilihat oleh sebahagian tabi’in (para
pengikut sahabat), kepada seorang laki-laki yang membuat kumisnya demikian
pendek, mendekati kepada dicukur, lalu berkata: “Disebutkan yang demikian
kepadaku oleh sahabat-sahabat Rasulullah saw”.
Berkata Al-Mughirah bin Syu’bah:
“Rasulullah saw memandang kepadaku dan telah panjanglah kumisku, seraya
bersabda: “Mari guntinglah dia karenaku, bukan karena orang lain !”. Dan tiada
mengapa membiarkan panjang kedua tepi kumis itu, yang telah diperbuat demikian
oleh Umar dan orang lain. Karena yang demikian tidaklah menutupkan mulut dan
tidak tertinggal padanya bekas makanan. Karena tepi kumis itu tidak sampai
kepada mulut. Dan mengenai sabda Nabi saw di atas mengenai janggut, yang
disuruhnya supaya dibiarkan, maksudnya adalah membiarkan janggut itu sampai
banyak. Pada suatu hadits tersebut: “Bahwa orang Yahudi itu membanyakkan
kumisnya dan mengguntingkan janggutnya. Maka hendaklah kamu berbeda dari mereka
!”. Sebagian ulama memandang makruh menggunting janggut dan berpendapat itu
bid’ah (yang diada-adakan).
Ketiga: bulu ketiak. Disunatkan mencabutnya
sekali pada tiap-tiap 40 hari. Yang demikian itu adalah mudah bagi orang yang
telah membiasakan mencabutnya dari bermula. Adapun orang yang telah membiasakan
mencukurnya, maka memadailah dengan mencukurnya, karena kalau dicabut, maka
mendatangkan kesakitan dan penderitaan. Yang dimaksud adalah kebersihan dan
tidak berkumpul daki di celah-celah bulu ketiak itu. Dan yang demikian berhasil
dengan dicukur.
Keempat:
bulu kemaluan. Disunatkan menghilangkannya, adakalanya dengan
dicukur atau dengan obat yang menghilangkan bulu. Dan tidak layaklah
diperlambat menghilangkan bulu itu daripada 40 hari.
Kelima: kuku. Memotong kuku disunatkan karena
buruk tampaknya apabila kuku itu panjang dan karena berkumpul daki di bawahnya.
Bersabda Nabi saw: “Hai Abu Hurairah ! potonglah kukumu, karena setan duduk di
atas kuku yang panjang itu”. Kalau ada daki di bawah kuku, maka tidaklah yang
demikian itu mencegah syahnya wudlu. Karena daki itu tidak menghalangi
sampainya air. Dan tidak diperkeras benar mengenai kuku itu karena ada
perlunya, lebih-lebih mengenai kuku laki-laki. Dan tidak diperkeras benar
mengenai daki yang berkumpul di atas punggung anak jari, punggung kaki dan
tangan dari orang-orang Arab dan bangsa hitam. Rasulullah saw menyuruh mereka
memotong kuku dan tidak senang melihat daki di bawah kuku mereka. Dan tidak
disuruhnya mereka mengulangi shalat. Kalau disuruhnya demikian, maka
menimbulkan faedah yang lain yaitu memberatkan dan menakutkan dari berbuat yang
demikian. Dan tidak saya melihat dalam kitab-kitab, satu haditspun yang
meriwayatkan tentang penertiban pemotongan kuku. Tetapi saya mendengar: “Bahwa
Nabi saw memulai dengan telunjuknya yang kanan dan menyudahi dengan ibu jari
yang kanan. Dan memulai tangan kiri dengan kelingking sampai kepada ibu jari”.
Kalau kita perhatikan ini, niscaya terlintaslah pada hati kita, pengertian yang
menunjukkan bahwa riwayat dari hadits-hadits itu benar. Karena seumpama
pengertian ini tidaklah terbuka pada mulanya melainkan dengan Nur kenabian.
Adapun orang yang berilmu, yang
bermata hati, maka tujuannya adalah memahami yang demikian itu dari akal
sesudah dinukilkan perbuatan itu kepadanya. Yang jelas bagi saya mengenai hal
tersebut dan pengetahuan yang sebenarnya adalah pada sisi Allah, bahwa tak
boleh tidak memotong kuku tangan dan kuku kaki. Dan tangan adalah lebih mulia
daripada kaki. Maka dimulailah dengan tangan. Kemudian yang kanan adalah lebih
mulia dari yang kiri, maka dimulailah dengan yang kanan itu. Kemudian pada yang
kanan itu ada 5 anak jari. Dan telunjuk adalah yang termulia diantara anak-anak
jari itu, karena dialah yang menunjuk kan pada pengucapan dua kalimah syahadah,
dari keseluruhan anak-anak jari itu. Kemudian, sesudah telunjuk, seyogyalah
dimulai dengan anak-anak jari di sebelah kanannya, karena agama menyunatkan
melakukan penyucian dan lainnya atas yang kanan. Kalau diletakkan punggung
tapak tangan di atas lantai, maka adalah ibu jari itu yang kanan. Dan kalau
diletakkan perut tapak tangan, maka adalah jari tengah itu yang kanan. Apabila
tangan itu dilepaskan menurut keadaannya, maka adalah tapak tangan itu condong
ke arah bumi. Karena arah gerakan tangan kanan adalah ke kiri dan kesempurnaan
gerakan ke kiri itu membuat punggung tapak tangan menjadi lebih tinggi. Maka
apa yang dikehendaki oleh keadaan dari kejadian manusia itu sendiri, adalah
lebih utama. Kemudian apabila diletakkan tapak tangan yang satu ke atas tapak
tangan yang lain, maka jadilah anak-anak jari itu dalam bentuk lingkaran yang
bundar. Maka susunan gilirannya menghendaki akan perjalanan dari kanan telunjuk
sampai kembali kepada telunjuk itu. Lalu terjadilah perrmulaan dengan
kelingking tangan kiri dan disudahi dengan ibu jarinya. Dan tinggallah ibu jari
tangan kanan. Maka disudahilah pemotongan kuku itu dengan ibu jari tangan kanan tadi.
Sesungguhnya diumpamakan, tapak
tangan yang satu diletakkan di atas tapak tangan yang lain, sehingga anak-anak
jari itu menjadi seperti orang-orang dalam satu lingkaran, supaya jelaslah
susunannya. Perumpamaan yang demikian adalah lebih utama daripada perumpamaan
meletakkan tapak tangan yang satu atas punggung tapak tangan yang lain. Atau
meletakkan punggung tapak tangan yang satu atas punggung tapak tangan yang
lain. Karena yang demikian tidaklah menurut yang dikehendaki oleh sifat dari
kejadian manusia. Adapun anak-anak jari kaki maka yang lebih utama pada saya,
kalau tidak ada riwayat yang dinukilkan tentang itu, ialah dimulai dengan kelingking kaki kanan dan disudahi dengan
kelingking kaki kiri, seperti pada menyelang-nyelangi air pada wudlu.
Karena segala maksud yang telah kami sebutkan pada tangan dahulu, tidaklah
diperoleh di sini, sebab tak ada telunjuk pada kaki. Dan anak-anak jari kaki
itu adalah dalam keadaan satu baris yang terletak di atas lantai (tanah). Maka
dimulailah dari pihak yang kanan.
Karena mengumpamakannya sebagai
suatu lingkaran dengan meletakkan tumit yang satu di atas tumit yang satu lagi,
tidaklah sesuai dengan alam kejadian manusia. Lain halnya dengan dua tangan.
Titik-titik halus dalam susunan ini, adalah terbuka dengan nur kenabian dalam
sekejap mata. Hanya lamanya kepayahan menimpa kita. Kemudian kalau kita
ditanyakan mengenai permulaan dari susunan mengenai hal yang tersebut di atas,
maka kadang-kadang tidaklah ia terlintas bagi kita. Apabila kami sebutkan
perbuatan Nabi saw dan susunan dari perbuatan itu, kadang-kadang memudahkan
bagi kita dengan pertolongan Nabi saw dengan kesaksian hukum dan peringatannya
kepada maksud, akan pemahaman maksud. Janganlah kita menyangka bahwa segala
perbuatan Nabi saw dalam segala gerak-geriknya, adalah di luar timbangan, hukum
dan tata tertib. Tetapi seluruh pekerjaan yang berdasarkan kepada usaha (ikhtiar),
yang telah kami sebutkan itu, yang ragu-ragu orang yang mengerjakannya,
diantara dua macam atau beberapa macam, maka adalah Nabi saw tidak mengerjakan
suatu macam tertentu dengan kesepakatan. Tetapi adalah dengan pengertian yang
menghendaki untuk dikerjakan dan diutamakan. Maka melepaskan begitu saja dengan
menyia-nyiakan, sebagaimana yang biasa terjadi, adalah sifat hewan. Dan membatasi segala
gerak-gerik dengan mempertimbangkan segala arti yang terkandung di dalamnya,
adalah sifat bagi wali-wali
Allah. Dan
manakala gerak-gerik dan gurisan hati manusia itu, lebih mendekati kepada
pembatasan dan lebih jauh daripada kelengahan dan pengabaian, maka adalah
derajat manusia itu sudah lebih banyak mendekati kepada derajat nabi-nabi dan
wali-wali. Dan adalah dekatnya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla lebih nyata lagi.
Karena orang yang dekat kepada Nabi saw ialah orang yang dekat kepada Allah
‘Azza Wa Jalla. Dan orang yang dekat kepada Allah, tak boleh tidak adalah dia
yang dekat. Maka yang dekat daripada yang dekat itu, adalah lebih dekat,
dibandingkan dari orang lain. Maka kita berlindung dengan Allah, bahwa ada
genggaman gerak-gerik kita dan tetap tenang kita di dalam tangan setan dengan
godaan hawa nafsu.
Ambillah ibarat mengenai
pembatasan gerak-gerik dengan Nabi saw memakai celak: “Maka sesungguhnya Nabi
saw adalah memakai celak pada matanya yang kanan 3 kali dan pada matanya yang
kiri 2 kali. Di mulai Nabi dengan yang kanan, adalah karena mulianya”. Dan
berlebih-kurang kiranya itu diantara dua mata, supaya jumlahnya menjadi ganjil
(3 pada mata kanan dan 2 pada kiri). Karena ganjil itu lebih utama daripada
genap. Bahwa Allah Ta’ala itu ganjil (ESA), menyukai yang ganjil. Maka tidak
layaklah perbuatan hamba itu terlepas daripada kesesuaian dengan sesuatu dari
sifat-sifat Allah. Dari itulah disunatkan ganjil pada istinja’. Dan tiada
dicukupkan oleh Nabi saw atas 3 saja, di mana 3 itu adalah ganjil, karena kalau
3 saja maka berarti hanya satu kali saja bagi mata kiri. Dan biasanya satu kali
itu, tiadalah meratai segala tepi kelopak mata itu dengan celak. Dan Nabi saw
menentukan mata kanan dengan 3 kali, adalah disebabkan keutamaan yang
mengharuskan untuk adanya bilangan yang ganjil itu. Dan kanan adalah lebih
utama. Dari itu maka ia lebih berhak dengan lebih. Kalau anda bertanya, mengapa
Nabi saw menentukan dua kali untuk mata kiri, sedang dua kali adalah genap.
Maka jawabnya, adalah bahwa yang demikian itu karena terpaksa. Karena jikalau
untuk tiap-tiap mata, dibuat ganjil, maka jadilah jumlahnya genap. Karena ganjil
bersama ganjil, menjadi genap. Dan menjaganya supaya ganjil dalam jumlah
perbuatan, di mana perbuatan itu berada di dalam suatu perkara, adalah lebih
disukai daripada memeliharanya pada satu-satu. Karena itu pula, ada paham yang
berpendapat, yaitu: supaya diletakkan celak itu pada tiap-tiap mata 3 kali,
diqiaskan (dianalogikan) kepada wudlu. Pendapat ini dinukilkkan dalam pendapat
yang benar. Dan adalah pendapat ini lebih utama. Jikalau aku teruskan
pemeriksaan secara mendalam, pengertian-pengertian yang halus dari
perbuatan-perbuatan yang dijaga oleh Nabi saw di dalam segala gerak-geriknya
maka akan panjanglah urusannya. Dari itu qiaskanlah dengan apa yang telah anda
dengar, akan apa yang belum anda dengar.
Ketahuilah, bahwa orang yang
berilmu (orang ‘alim) itu, tidaklah menjadi pewaris bagi Nabi saw, kecuali
apabila ia menjelajah segala pengertian agama. Sehingga tidak ada diantara dia
dan Nabi saw, melainkan satu tingkat saja, yaitu tingkat kenabian. Itulah
tingkat yang memisahkan diantara pewaris dan orang yang diwarisi. Karena yang
diwarisi itu, ialah orang yang mempunyai harta, bekerja untuk memperoleh harta
dan yang menguasai akan harta itu. Dan pewaris ialah orang yang tidak berusaha
memperoleh harta dan tidak menguasainya, tetapi harta itu berpindah kepadanya
dan diterimanya sesudah harta itu menjadi haknya. Maka pengertian-pengertian
yang seperti ini, serta mudah memahaminya, dibandingkan dengan segala yang
tersembunyi dan rahasia, tidaklah dapat diperoleh sendiri pada permulaannya,
selain oleh nabi-nabi. Dan tidaklah terus dapat dipahami sendiri setelah ajaran
dari nabi-nabi itu sampai, selain oleh para ulama, di mana mereka itu adalah
pewaris daripada nabi-nabi as.
Keenam
& ketujuh: lebihan pusat dan ujung kemaluan. Adapun
pusat maka dipotong pada waktu mulai lahir. Adapun penyucian dengan khitan,
maka adalah adat kebiasaan Yahudi pada hari ke-7 dari kelahiran. Dan menyalahi dengan Yahudi itu dengan mengemudiankan
pengkhitanan sampai kepada masa tanggalnya gigi susu anak-anak, adalah
lebih disukai dan lebih menjauhkan daripada bahaya. Bersabda Nabi saw: “Khitan
itu adalah sunat bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita”. Dan seyogyalah tiada bersangatan pada
pengkhitanan wanita. Bersabda Nabi saw kepada Ummi ‘Athiyyah, di mana ia
mengkhitankan wanita: “Hai Ummi ‘Athiyyah ! sedangkanlah dan jangan engkau
bersangatan ! karena itu menambah berseri-serinya muka dan bermesranya bagi
suami”. Artinya: tambah berseri air dan darah muka dan membaikkan pada
persetubuhan. Maka lihatlah kepada berisinya kata-kata Nabi saw secara kinayah
(sindiran) dan kepada cemerlangnya nur kenabian dari kemuslihatan akhirat yang
menjadi maksud terpenting dari kenabian, kepada kemuslihatan duniawi. Sehingga
tersingkaplah baginya, padahal dia nabi yang ummi (tidak tahu tulis baca), dari
persoalan yang menurun nilainya ini, di mana jikalau terjadilah kelalaian
daripadanya, niscaya ditakuti akan timbul melaratnya. Maha sucilah Allah yang
mengutus RasulNya menjadi rahmat bagi alam seluruhnya. Supaya dikumpulkan nya
untuk alam ini dengan keberkatan kebangkitannya, segala kepentingan duniawi dan
agama. Rahmat Allah dan salamNya kepadanya !.
Kedelapan:
janggut yang panjang. Kami kemudiankan membicarakannya, karena kami
hubungkan dengan janggut ini, beberapa sunat dan bid’ah (yang diada-adakan)
mengenai janggut. Karena ini adalah tempat yang terdekat, yang layak
menerangkan janggut padanya. Berselisih pendapat mengenai janggut yang panjang.
Ada yang mengatakan, kalau digenggam seseorang akan janggutnya dan diambilnya (dipotongnya)
yang berlebihan dari genggamannya itu, maka tidak mengapa. Telah dibuat yang
demikian, oleh Ibnu Umar dan segolongan tabi’in. Dan dipandang baik oleh
Asy-Sya’bi dan Ibnu Sirin. Dan dipandang makruh oleh Al-Hasan dan Qatadah, di
mana keduanya mengatakan: “Membiarkan janggut itu dalam keadaan sehat wal
‘afiat adalah lebih disukai, karena sabda Nabi saw: “Perbanyakkanlah
janggutmu”. Suruhan di sini adalah lebih mendekati, jika tidak berkesudahan
kepada menggunting janggut dan membuatnya bulat dari segala pinggir. Karena
panjang yang melewati batas kadang-kadang memburukkan bentuknya dan menjadi
buah mulut orang-orang yang suka mencaci dengan kata-kata yang tidak
menyedapkan, kepada yang empunya janggut itu. Dari itu tiada mengapa menjaga
dari kata-kata itu atas niat tadi. Berkata An-Nakha’i: “Aku heran bagi orang
yang berakal yang panjang janggutnya, bagaimana dia tidak mengambil dari
janggutnya itu dan dijadikannya diantara dua janggut ? karena kesederhanaan
pada tiap-tiap sesuatu itu adalah baik”. Dari itu orang mengatakan: “Semakin
bertambah panjanglah janggut, maka akalpun bergegas-gegas pergi (berkurang)”.
Pasal: mengenai janggut itu ada 10 perkara yang makruh.
Sebahagiannya lebih makruh dari sebahagian yang lain.
Yaitu: mencatnya dengan warna hitam, memutihkannya
dengan belerang, mencabutkannya, mencabutkan yang putih daripadanya,
mengurangkan daripadanya dan menambahkan, menyisirkannya dengan dibuat-buat
karena ria, membiarkannya kusut-kusut untuk melahirkan zuhud, memandang kepada
yang hitam daripadanya dengan kebanggaan diri karena masih muda dan memandang
kepada yang putih daripadanya dengan takabur karena kelanjutan umur dan
mencatnya dengan warna merah dan kuning tanpa niat apa-apa karena menyerupakan
dengan orang-orang shalih.
Adapun
yang pertama, yaitu mencatnya, dengan warna hitam, adalah
dilarang karena sabda Nabi saw: “Sebaik-baik mudamu, ialah orang yang
menyerupakan dengan yang tua daripada kamu. Dan sejahat-jahat orang tua
daripada kamu ialah orang yang menyerupakan dengan yang muda daripada kamu”.
Yang dimaksudkan dengan menyerupakan dengan orang tua, ialah mengenai
kehormatan diri, tidak mengenai memutihkan rambut. Nabi saw melarang mencat nya
dengan warna hitam dan bersabda: “Itu adalah penduduk neraka”. Dan pada riwayat
yang lain dengan kata-kata: “Mencat dengan warna hitam adalah cat orang-orang
kafir”.
Seorang laki-laki kawin pada masa
Umar ra dan adalah ia mencat janggutnya dengan warna hitam. Maka lunturlah
catnya dan tampaklah ubannya. Lalu oleh keluarga wanita itu, disampaikan kepada
Umar ra. Maka Umar ra membatalkan nikahnya dan menderainya dengan pukulan,
seraya Umar ra berkata: “Engkau tipu mereka ini dengan kemudaanmu dan engkau
sembunyikan ketuaanmu pada mereka”. Orang mengatakan bahwa yang pertama mencat
dengan warna hitam ialah Fir’aun, yang kena kutukan Allah. Dari Ibnu Abbas ra,
ia meriwayatkan dari Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Akan ada pada akhir
zaman suatu kaum yang mencat dengan warna hitam seperti tembolok merpati.
Mereka tidak mencium bau sorga”.
Yang kedua: mencat
janggut itu dengan warna kuning dan merah. Itu adalah jaiz (dibolehkan) untuk
membuat keraguan tentang tua kepada kafir di dalam peperangan dan perjuangan.
Maka kalau bukan atas niat ini, tetapi mau menyerupakan dengan ahli agama, maka
ini tercela. Bersabda Nabi saw: “Kuning adalah warna cat bagi orang muslim dan
merah adalah warna cat bagi orang mu’min”. Adalah mereka mencat dengan daun
pacar untuk warna merah dan dengan khaluq (semacam tumbuh-tumbuhan yang harum)
dan al-katam (semacam tumbuh-tumbuhan dipakai untuk rambut dan dapat diperbuat
daripadanya dawat untuk menulis) untuk warna kuning. Sebahagian ulama mencat
janggutnya dengan warna hitam untuk maju ke medan perang. Yang demikian itu
tidak mengapa apabila telah betul niat dan tak ada padanya hawa nafsu dan
keinginan buruk.
Yang
ketiga: memutihkan janggut itu dengan belerang karena mau
menyegerakan untuk melahirkan kelanjutan umur. Supaya memperoleh penghormatan,
diterima menjadi saksi, dibenarkan riwayatnya dari orang-orang tua, mengangkat
diri dari golongan muda dan melahirkan banyak ilmu pengetahuan, karena
menyangka, bahwa dengan telah lama hidup, memberikan kepadanya keutamaan. Amat
jauhlah dari yang demikian ! kelanjutan umur itu, tiada menambahkan bagi orang
yang bodoh melainkan kebodohan. Ilmu itu adalah buah akal. Yaitu suatu gharizah
(instinc) dan tidak berpengaruh kelanjutan umur padanya. Siapa yang gharizahnya
bebal, maka lamanya waktu itu menguatkan kebebalannya. Dan adalah orang-orang
tua itu mendahulukan akan orang-orang muda disebabkan ilmu.
Adalah Umar bin Al-Khaththab ra
mendahulukan Ibnu Abbas, padahal dia masih muda, daripada sahabat-sahabat yang
terkemuka. Dan Umar ra bertanya padanya dan tidak pada mereka. Berkata Ibnu
Abbas ra: “Tidak didatangkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla kepada seorang hamba
akan ilmu pengetahuan, melainkan dia seorang pemuda. Dan kebaikan seluruhnya
adalah pada pemuda”. Lalu Ibnu Abbas ra membaca firman Allah ‘Azza Wa Jalla:
“Mereka berkata: Kami dengar seorang pemuda yang menyebut-nyebut –menista tuhan-tuhan
itu, namanya Ibrahim”. S 21 Al ‘Anbiyaa’ ayat60. Dan firman Allah Ta’ala:
“Sesungguh nya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhannya dan
Kami tambahi mereka dengan petunjuk”. S 18 Al Kahfi ayat 13. Dan firman Allah
Ta’ala: “Dan Kami berikan kepadanya hikmah (kebijaksanaan) ketika dia masih
kanak-kanak”. S 19 Maryam ayat 12. Anas ra pernah berkata: “Telah wafat
Rasulullah saw dan tidak ada pada kepalanya dan pada janggutnya 20 helai rambut
putih”. Maka ditanyakan kepadanya: “Hai Abu Hamzah, sudah tuakah dia ?”. Maka
menjawab Anas: “Tiada diberi oleh Allah kepadanya kekurangan dengan tua !”.
Kemudian ditanyakan lagi: “Adakah tua itu suatu kekurangan ?”. Menjawab Anas:
“Semua kamu tiada menyukai tua”. Diceritakan orang, bahwa Yahya bin Aktsam
diangkat menjadi hakim (qadli) ketika berumur 21 tahun. Maka bertanyalah
kepadanya seorang laki-laki di dalam majlis dengan maksud hendak memberi malu
kepada Yahya disebabkan umurnya masih kecil: “Berapakah umur qadli ? kiranya
Allah memberi pertolongan kepadanya”. Maka menjawab Yahya: “Seperti umur ‘Attab
bin As-yad ketika diangkat oleh Rasulullah saw menjadi amir dan qadli Makkah”.
Maka hitamlah muka laki-laki itu.
Diriwayatkan dari Malik ra, bahwa
ia berkata: “Saya baca di dalam sebahagian kitab-kitab: “Janganlah tertipu kamu
oleh janggut karena kambing jantanpun berjanggut”. Berkata Abu ‘Amr bin
Al-‘Ula: “Apabila engkau melihat orang laki-laki, berbadan tinggi kurus
berjanggut lebat, maka hukumlah dia dengan kebodohan, meskipun dia Umayyah bin Abdi
Syams”.
Berkata Ayyub As-Sakhtayani:
“Saya menjumpai seorang tua berumur 80 tahun mengikuti seorang anak-anak, di
mana ia belajar padanya”. Berkata Ali bin Al-Husain: “Siapa yang sudah lebih
dahulu berilmu sebelum engkau, maka adalah dia imam engkau pada ilmu itu,
meskipun dia lebih muda dari engkau”. Ditanyakan kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Ula:
“Adakah baik bagi seorang tua belajar kepada anak kecil ?”. Maka menjawab Abu
‘Amr: “Kalau kebodohan itu dipandang buruk, maka belajar adalah baik pada anak
kecil itu”.
Berkata Yahya bin Mu’in kepada
Ahmad bin Hanbal, di mana dilihatnya Ahmad sedang berjalan kaki di belakang
baghal betina Asy-Syafi’i: “Hai Abu Abdillah ! engkau tinggalkan pembicaraan
dengan Sufyan dengan kebesarannya dan engkau berjalan kaki di belakang baghal
betina pemuda ini dan engkau mendengar segala perkataannya”. Maka menjawab
Ahmad kepada Yahya: “Kalaulah kiranya engkau mengetahui, maka sesungguhnya
engkau akan berjalan kaki pula dari yang sebelah lagi. Bahwa ilmu Sufyan kalau
luput bagiku dengan langsung, niscaya akan aku peroleh dengan perantaraan orang
lain. Dan akal pikiran pemuda ini kalau luput bagiku, niscaya tiada akan aku
peroleh lagi, baik dengan langsung atau dengan perantaraan.
Yang
keempat: mencabut yang putih dari janggut, karena menjaga dari tua.
Dan: “Telah dilarang Nabi saw daripada mencabut yang putih daripadanya. Dan
bersabda ia: “Yang putih itu adalah nur bagi orang mu’min”. Mencabut yang putih
itu adalah searti dengan mencatnya dengan warna hitam. Dan sebab makruhnya
ialah yang telah tersebut dahulu. Dan yang putih itu adalah nur Allah Ta’ala.
Benci kepadanya berarti benci kepada nur.
Yang
kelima: mencabut janggut atau sebahagian daripadanya yang dapat
merusakkan dan menjadikan kepala pening. Yang demikian itu makruh dan merusakkan
bagi bentuk muka. Mencabut bulu di bawah bibir bawah itu adalah bid’ah (yang
diada-adakan), di mana bulu itu tumbuh pada kedua belah bibir bawah itu.
Seorang laki-laki yang datang pada khalifah Umar bin Abdul-‘aziz, sebagai saksi
di dalam suatu perkara, maka ditolak kesaksiannya itu, karena dia adalah
mencabut bulu di bawah bibirnya, Umar bin Khaththab dan Ibnu Abi Laila qadli
madinah menolak menjadi saksi orang yang mencabut janggutnya. Adapun mencabut
pada permulaan tumbuh karena akan menyerupai dengan anak muda-belia, maka
termasuk diantara mungkar besar. Karena janggut itu adalah perhiasan bagi
laki-laki. Bahwa Allah Ta’ala mempunyai malaikat-malaikat yang bersumpah: “Demi
Allah yang telah menghiasi putra-putra Adam dengan janggut”. Janggut itu adalah
sebahagian dari tanda kesempurnaan kejadian. Dengan janggut itu dapat dibedakan
laki-laki daripada wanita. Ada orang yang mengatakan, dalam satu ta’wil yang
tidak begitu terkenal (gharib), bahwa janggut, yang dimaksud pada firman Allah
Ta’ala: “Tuhan menambah ciptaanNya sebagaimana yang dikehendakiNya”. S 35
Faathir ayat 1.
Berkata para sahabat Al-Ahnaf bin
Qais: “Kami ingin membeli untuk Ahnaf janggut walaupun dengan harga 20 ribu”.
Berkata Qadli Syuraih: “Aku ingin mempunyai janggut, walapun dengan harga 10
ribu”. Bagaimana janggut itu tidak disukai, padahal padanya tanda kebesaran
seseorang dan memandang kepada orang itu dengan pandangan pengetahuan,
kemuliaan, ketinggian, di dalam majlis-majlis, segala wajah menghadap
kepadanya, didahulukan di dalam rombongan dan dipeliharakan kehormatannya.
Orang yang mencaci akan ditentang dengan janggut, kalau yang dicaci itu
mempunyai janggut. Ada yang mengatakan: “Bahwa penduduk sorga itu terdiri dari
anak-anak muda belia, selain Harun saudara Musa as. Dia mempunyai janggut
sampai ke pusatnya sebagai keistimewaan dan kelebihan baginya.
Yang
keenam: pengguntingan janggut sebagai persediaan akan kemampuan atas
kemampuan, untuk penghiasan bagi wanita dan membuat-buat. Berkata Ka’ab: “Akan
ada pada akhir zaman beberapa kaum, yang menggunting janggutnya seperti ekor
merpati dan mengusahakan alas kakinya seperti arit. Mereka adalah orang yang
tiada berbudi”.
Yang
ketujuh: menambahkan pada janggut, yaitu menambahkan pada bulu tudung
dari dua pelipis, yakni dari rambut kepala sehingga melewati tulang rahang dan
berkesudahan kepada setengah pipi. Dan yang demikian itu melaini/membedakan
keadaan orang-orang yang suka kepada perbaikan.
Yang
kedelapan: menyisir janggut itu karena manusia. Berkata Bisyr: “Pada
janggut itu ada kejahatan, yaitu menyisirkannya karena manusia dan
membiarkannya tersia-sia karena melahirkan zuhud”.
Yang
kesembilan & yang kesepuluh: memandang pada hitamnya dan pada
putihnya dengan pandangan “ujub” (perasaan bangga). Dan itu adalah tercela pada
seluruh bahagian badan, bahkan pada seluruh budi pekerti dan perbuatan,
sebagaimana akan datang keterangannya. Inilah yang kami maksudkan menyebutkan
nya dari segala macam penghiasan dan kebersihan itu. Dan telah berhasil
diperoleh dari 3 hadits dari hadits-hadits mengenai tubuh manusia, 12 perkara:
5 daripadanya mengenai kepala: yaitu membelah (menyebak) rambut kepala,
berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung (istinsyaq), menggunting kumis dan
bersugi: 3 pada tangan dan kaki, yaitu memotong kuku, membasuh belakang
anak-anak jari dan membersihkan daki yang di bawah kuku: 4 pada tubuh, yaitu
mencabut bulu ketiak, mengandam, berkhitan dan beristinja’ dengan air. Dan
telah ada hadits mengenai dengan semuanya. Apabila adalah maksud Kitab ini
membentangkan kesucian
zhahiriyah, bukan kesucian bathiniyah, maka kami cukupkan hingga ini
saja. Dan hendaklah dipahami bahwa semua yang jijik dan kotoran pada bathin
yang wajib dibersihkan, adalah lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Dan
akan datang penjelasannya pada “Rubu’ Yang Membinasakan” serta memperkenalkan
jalan-jalan menghilangkannya dan mensucikan hati daripadanya insya Allah ‘Azza
Wa Jalla (Allah yang maha mulai dan maha besar)!. Telah tammat kiranya Kitab
Rahasia Bersuci dengan pujian kepada Allah dan dengan pertolonganNya. Dan
diiringi –Insya Allah Ta’ala oleh Kitab Rahasia Shalat. Segala pujian bagi
Allah Yang Maha Esa. Dan rahmat Allah kepada penghulu kita Muhammad dan kepada
tiap-tiap hamba yang pilihan!.