Rabu, 04 Januari 2017

3. Kitab rahasia bersuci

KITAB RAHASIA BERSUCI
Yaitu: Kitab Ke-3 dari Rubu’ ‘Ibadah.
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah yang berlemah lembut dengan hambaNya. Maka dianugerahiNya ibadah kepada mereka dengan kebersihan. Dicurahkannya ke dalam hati mereka untuk mensucikan bathinnya, cahaya dan kasih sayangNya. Dan disediakanNya bagi zahiriyah/fisik luar mereka, untuk mensucikan yang zhahir itu, air yang tertentu dengan cair dan bening.
Rahmat Allah kepada Nabi Muhammad yang meratai seluruh pelosok dan penjuru alam dengan nur/cahaya hidayah/petunjuk dan kepada keluarganya yang baik lagi suci, rahmat yang oleh berkahnya melepaskan kita pada hari ketakutan dan menegakkan benteng diantara kita dan setiap bahaya. Kemudian, maka bersabda Nabi saw: “Dibangun agama di atas kebersihan”. Dan bersabda Nabi saw: “Kunci shalat ialah kesucian”. Berfirman Allah Ta’ala: “Didalamnya ada beberapa orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. S 2 Al Baqarah ayat 108. Bersabda Nabi saw: “Kesucian itu setengah iman”. Berfirman Allah Ta’ala: “Allah tidak hendak menyusahkan kamu, tetapi hendak mensucikan kamu”. S 5 Al Maa-idah ayat 6. Maka berpikirlah orang-orang yang mempunyai mata hati dengan yang zahiriyah dari ayat-ayat dan hadits-hadits tadi, bahwa pekerjaan yang terpenting ialah mensucikan segala rahasia hati (as-saraair). Karena rasanya jauhlah dari paham yang benar, bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi saw: “Kesucian itu setengah iman”, adalah membangun fisik luar dengan pembersihan dengan menyiram dan menuangkan air. Dan meruntuhkan bathiniah/jiwa serta membiarkannya berlumuran dengan barang-barang keji dan kotor. Amat jauhlah dari itu !. bersuci itu 4 tingkat:
Tingkat pertama:   mensucikan zhahir dari segala hadats, kotoran dan benda yang menjijikan.
Tingkat kedua:      mensucikan anggota badan dari segala perbuatan jahat dan dosa.
Tingkat ketiga:      mensucikan hati dari segala pekerti yang tercela dan sifat-sifat rendah yang terkutuk.
Tingkat keempat:  mensucikan sirr/rahasia (rahasia dalam batihn) dari sesuatu selain dari Allah Ta’ala. Yaitu: besuci para nabi as dan para shiddiq !. Bersuci pada tiap-tiap tingkat tadi adalah setengah dari amal perbuatan yang ada di dalamnya. Dan tujuan penghabisan pada amalan rahasia ialah terbuka baginya kebesaran dan keagungan Allah Ta’ala. Dan tidaklah bertempat mengenal ilmu kepada Allah dengan sebenarnya pada jiwa, selama belum berangkat daripadanya segala sesuatu selain Allah. Dari itu berfirman Allah Ta’ala: “Katakan: yang menurunkan itu Allah. Kemudian biarkanlah mereka main-main dengan pecakapan kosongnya”. S 6 Al An’aam ayat 91.
Karena keduanya itu tidak dapat berkumpul di dalam hati. “Allah tidak menjadikan seseorang mempunyai 2 hati di dalam dadannya”. S 33 Al Ahzab ayat 4. Adapun amalan hati, maka tujuannya yang terakhir ialah membangunnya dengan budi pekerti yang terpuji dan keyakinan yang disuruh agama. Dan tidak bersifat hati itu dengan sifat-sifat tersebut, sebelum dibersihkan dari lawan-lawannya. Yaitu keyakinan yang salah dan sifat-sifat rendah yang terkutuk. Maka pensucian hati itu adalah salah satu dari dua bahagian, di mana dia adalah bahagian pertama yang menjadi syarat pada bahagian kedua. Maka adalah kesucian itu setengah iman menurut pengertian ini.
Begitu pula, pensucian anggota badan dari segala yang dilarang, adalah salah satu dari 2 bahagian. Yaitu: bahagian pertama yang menjadi syarat pada bahagian kedua. Maka pensucian hati adalah dari dua bahagian, yaitu bahagian pertama. Dan pembangunan anggota badan dengan segala macam taat, adalah bahagian kedua. Maka inilah maqam-maqam iman itu. Tiap-tiap maqam, mempunyai tingkat. Dan tidaklah sampai seorang hamba ke tingkat yang tinggi, melainkan setelah melampaui tingkat yang dibawah. Tidak sampai ia kepada kesucian bathin dari segala sifat yang tercela dan membangunnya dengan sifat yang terpuji, selama ia belum selesai dari pensucian hati dari budi pekerti yang tercela dan membangunnya dengan budi pekerti yang terpuji. Dan tidak sampai ke situ orang-orang yang belum menyelesaikan dari pensucian anggota badan dari segala yang dilarang dan membangunnya dari segala amalan taat. Tiap-tiap yang dicari itu tinggi dan mulia, maka sulit dan jauhlah jalannya dan banyaklah halangannya. Janganlah anda menyangka bahwa hal ini didapati dengan angan-angan dan dicapai dengan keinginan saja. Ya, siapa yang buta mata hatinya daripada berlebih-kurangnya tingkatan-tingkatan ini, niscaya ia tidak memahami dari tingkatan-tingkatan bersuci itu selain daripada tingkatan akhir, di mana dia merupakan seperti kulit terakhir yang zahir/luar, dibandingkan kepada isinya yang dicari. Maka jadilah dia memperhatikan pada kulit itu dan memeriksa jalan-jalannya. Dan menghabiskan segala waktunya pada beristinja’ mencuci kain, membersihkan zahiriah dan mencari air banyak yang mengalir. Karena timbul sangkaan daripadanya, karena bisikan setan dan khayalan akal pikiran, bahwa kesucian yang dicari lagi mulia, itulah saja. Dan tidak mengerti akan perjalanan hidup orang-orang dahulu dan mereka menghabiskan segala energi dan pikiran pada pensucian hati dan tidak mementingkan pada urusan zahir. Sehingga Umar ra dengan kedudukannya yang tinggi itu, berwudlu’ dari air di dalam kendi seorang Nasrani. Sehingga sesungguh nya orang-orang dahulu itu tidak membasuhkan tangannya itu dari debu dan bekas makanan. Tetapi mereka menyapukan tangannya dengan tumit kakinya. Dan mereka menghitung kain serbet (kain lap) itu termasuk bid’ah (yang diada-adakan). Mereka melakukan shalat di atas lantai di masjid, berjalan dengan kaki telanjang di jalan-jalan. Siapa yang tidak membuat alas diantaranya dan lantai pada tempat tidur, maka adalah dia termasuk orang besar daripada mereka. Dan mereka mencukupkan dengan batu saja pada beristinja’.
Berkata Abu Hurairah dan lainnya dari ahli tasawwuf: “Adalah kami memakan daging bakar, lalu dibacakan iqamat untuk shalat. Maka kami masukkan jari-jari kami di dalam batu-batu kecil. Kemudian kami gosok-gosokkan dia dengan tanah lalu bertakbir. Berkata Umar ra: “Tidak adalah kami mengenal kain lap pada masa Rasulullah saw. dan sesungguhnya sapu tangan kami adalah tapak kaki kami. Adalah kami apabila sudah memakan makanan yang beminyak, lalu kami sapukan dengan tapak kaki itu”. Ada orang mengatakan bahwa bid’ah yang pertama-tama lahir sesudah Rasulullah saw adalah 4: ayakan tepung, kain lap, meja makan dan kenyang. Dan adalah kesungguhan mereka seluruhnya pada kebersihan bathin. Sehingga berkatalah setengah mereka: “Mengerjakan shalat di dalam dua alas kaki/sepatu adalah lebih utama !”. Karena Rasulullah saw tatkala membuka kedua alas kakinya di dalam shalat, karena diterangkan oleh Jibril as kepadanya, bahwa pada kedua alas kakinya itu najis dan orang lainpun membuka alas kakinya, maka kemudian Nabi saw bertanya: “Mengapa kamu membuka alas kakimu ?”. Berkata An-Nakha’i, tentang orang yang membuka alas kakinya: “Aku suka, jikalau adalah orang yang memerlukan, lalu datang kepada alas-alas kaki itu dan mengambilnya”. Perkataan ini adalah sebagai pertanda bahwa An-Nakha’i menentang dibuka alas-alas kaki itu. Begitulah orang-orang dahulu itu memandang enteng dalam hal-hal tadi, bahkan adalah mereka berjalan kaki di atas tanah jalan dengan kaki terbuka. Mereka duduk diatasnya, mengerjakan shalat di masjid-masjid atas lantai. Mereka makan dari tepung gandum dan syair yang sudah dipijak dan dikencingi hewan. Tiada mereka memperdulikan dari keringat unta dan kuda serta banyak jatuhnya di dalam najis. Dan tidak adalah sekali-kali dinukilkan dari salah seorang dari mereka pertanyaan, mengenai najis yang halus-halus. Begitulah mereka memandang enteng pada najis-najis itu.
Sekarang telah sampai giliran pada suatu golongan, yang menamakan berdandan itu kebersihan. Lalu mereka mengatakan, kebersihan itu tempat tegaknya agama. Maka dipergunakannya sebagian besar waktunya untuk menghiasi zahiriah, seperti yang diperbuat oleh penghias rambut dengan anak daranya. Sedang bathinnya rusak, penuh dengan segala macam kekejian: takabur, ‘ujub, bodoh, ria dan nifaq. Mereka tidak membantah yang demikian dan merasa heran akan hal itu. Jikalau orang yang hanya beristinja’ dengan batu atau berjalan di atas tanah dengan kaki terbuka atau mengerjakan shalat di atas lantai atau berada masjid tanpa tikar sajadah yang terbentang atau berjalan pada lapangan luas tanpa alas tapak kaki dari kulit atau berwudlu’ dari kendi air seorang wanita tua atau lelaki yang berpakaian kumuh maka golongan itu tegak bangun berdiri, menentang orang ini. Dan menggelarkannya “kotor” serta mengusirkannya dari golongan mereka, menolak untuk makan bersama dan bergaul. Mereka menamakan sederhana yang menjadi sebahagian dari iman itu kotor dan berdandan itu kebersihan. Lihatlah, bagaimana yang keburukan itu telah menjadi kebaikkan dan yang kebaikan telah menjadi keburukkan. Dan bagaimana telah terbenam dari agama tandanya, sebagaimana telah terbenam hakikat/makna dan ilmunya.
Jika anda bertanya: “Apakah kata tuan, mengenai adat kebiasaan yang diadakan kaum shufi tentang keadaan dan kebersihan mereka, termasuk yang dilarang atau mungkar ?”. Maka aku menjawab, di mana aku berlindung dengan Allah dari memberi penjelasan tanpa perincian. Dengan tegas aku mengatakan bahwa membersihkan diri, memberatkan diri dengan perbuatan-perbuatan itu, menyediakan tempat-tempat air dan perkakas-perkakasnya, memakai sarung kaki dan kain sarung yang mencukupi untuk menolak debu dll daripada sebab-sebab itu maka kalau dipandang kepada diri hal-hal itu semata-mata, adalah termasuk barang mubah (dibolehkan). Kadang-kadang dia disertai oleh hal-hal dan niat-niat yang menghubungkannya, sekali dengan yang kebaikkan dan sekali dengan yang keburukkan. Adapun adanya itu dibolehkan pada dirinya maka tidaklah tersembunyi, bahwa orang itu adalah bertindak dengan hal-hal yang tersebut di atas pada hartanya, badannya dan kainnya. Maka ia berbuat sekehendaknya apabila tidak ada padanya perbuatan yang sia-sia dan pemborosan.
Adapun menjadi keburukkan, maka yaitu dengan menjadikan yang demikian itu pokok agama. Dan menafsirkan dengan demikian, sabda Nabi saw: “Agama itu dibangun atas kebersihan”. Sehingga dengan itu ditantangnya orang-orang yang mempermudah-mudahkannya seperti yang dipermudah-mudahkan oleh orang-orang terdahulu. Atau bermaksud dengan yang demikian itu, menghiasi zahiriah bagi manusia dan mencantikkan pandangan kepada mereka. Maka yang demikian itu adalah ria yang terlarang. Lalu jadilah dia itu keburukkan dengan dua pandangan tadi.
Adapun adanya itu kebaikkan maka adalah maksud daripadanya kebaikan, bukan penghiasan. Dan tidak ditantang terhadap yang meninggalkan nya dan tidak dikemudiankan sembahyang dari awal waktu, karenanya. Dan tidak terhalang dengan sebabnya, daripada mengerjakan perbuatan yang lebih utama daripadanya atau tidak terhalang daripada ilmu pengetahuan atau lainnya. Apabila tidak disertai oleh sesuatu daripada yang tersebut tadi, maka adalah dibolehkan, yang mungkin dijadikan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan niat. Tetapi tiadalah mudah yang demikian, kecuali bagi orang-orang yang berani di mana jikalau mereka itu tidak bekerja dengan menggunakan segala waktu untuknya, niscaya mereka menghabiskan waktunya dengan tidur ataupun berbicara yang tidak penting. Sehingga jadilah pekerjaan mereka dengan membersihkan itu lebih utama. Karena bekerja dengan bersuci itu adalah membarukan ingatan kepada Allah Ta’ala dan mengingatkan kepada ibadah. Maka tiada mengapa, apabila tidak menimbulkan kemungkaran atau pemborosan.
Adapun ahli ilmu dan amal maka tiada seyogyalah menyerahkan waktunya kepada membersihkan itu melainkan sekedar perlu saja. Melebihkan dari itu adalah keburukkan terhadap mereka dan membuang-buang umur yang amat berharga dan amat mulia bagi diri orang yang dapat menggunakannya. Dan tidaklah mengherankan yang demikian itu karena perbuatan baik bagi orang-orang baik, adalah kejahatan bagi orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah
Dan tidaklah layak bagi pahlawan, meninggalkan kebersihan dan menentang orang shufi. Dan mendakwakan bahwa dia menyerupai dengan sahabat-sahabat. Karena menyerupai mereka itu adalah tentang tidak menggunakan waktunya selain untuk sesuatu yang lebih penting. Sebagaimana ditanyakan kepada Daud Ath-Tha’i: “Mengapakah engkau tidak menyisirkan janggut engkau ?”. Lalu ia menjawab: “Jadi saya ini orang yang berbuat salah !”. Karena itulah saya tidak melihat bagi orang yang berilmu, yang belajar dan yang beramal, bahwa menyia-nyiakan waktunya untuk mencuci kain. Karena menjaga daripada memakai kain-kain yang dipakai oleh orang-orang yang rendah dan memberi sangkaan buruk dengan kerendahan itu, karena lengah menyucikannya”.
Adalah mereka pada masa pertama dahulu, mengerjakan shalat pada kulit hewan yang disamak. Dan tidak diketahui dari mereka orang-orang yang membedakan antara pakaian yang tidak dicuci dan pakaian dari kulit yang disamak, tentang suci dan najisnya. Tetapi adalah mereka menjauhkan diri daripada najis apabila dilihatnya dan tiada memperhatikan benar-benar untuk meneliti kemungkinan-kemungkinan kecil. Malahan mereka adalah amat memperhatikan mengenai ria dan zalim sampai kepada yang sekecil-kecilnya.
Sehingga berkatalah Sufyan Ats-Tsuri kepada seorang kawannya yang berjalan bersama-sama lalu memandang ke pintu sebuah rumah yang tinggi lagi besar: “Janganlah engkau perbuat yang demikian ! karena jikalau tidaklah manusia memandang kepada rumah itu, niscaya tidaklah pemiliknya berbuat pemborosan seperti itu. Maka orang yang memandang kepadanya adalah menolong kepada pemiliknya untuk melakukan pemborosan”. Orang-orang pada masa pertama dahulu itu, menyediakan seluruh jiwanya untuk memahami yang halus-halus seperti itu, tidak mengenai kemungkinan-kemungkinan ada najis. Kalau orang yang berilmu memperoleh seorang awam yang bekerja untuknya menyucikan kain untuk menjaga kebersihan, maka adalah yang demikian itu lebih utama. Karena yang demikian adalah lebih baik daripada menyia-nyiakan kebersihan. Dan orang awam itu memperoleh manfaat dengan perbuatannya karena dapat menggunakan dirinya yang mungkin terperosok kepada perbuatan jahat, dengan mengerjakan yang mubah tadi pada dirinya. Sehingga ia tercegah dari perbuatan maksiat di dalam hal tersebut.
Diri, jikalau tidak sibuk dengan sesuatu, maka akan menyibukkan yang mempunyai diri itu sendiri. Dan apabila orang awam tadi bermaksud dengan perbuatan itu, mendekatkan diri kepada orang yang berilmu itu, niscaya jadilah yang demikian baginya pengorbanan yang sebaik-baiknya dan waktu bagi orang yang berilmu itu adalah lebih mulia daripada diserahkannya kepada pekerjaan yang seperti itu (mencuci kain). Sehingga tinggalah waktu itu terpelihara baginya. Dan waktu bagi orang awam tadi adalah lebih mulia untuk berbuat seperti itu. Maka sempurnalah kebajikan kepadanya dari segala segi. Dan hendaklah diperhatikan dengan contoh di atas, kepada contoh-contoh yang lain yang seirama dengan itu, dari segala amal perbuatan. Dan menyusun segala kelebihannya dan segi kelebihan sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain.
Penelitian benar-benar dengan menghitung dan menjaga segala detik umur, dengan menggunakannya kepada yang lebih utama, adalah lebih penting daripada meneliti segala urusan duniawi dengan suka dukanya. Apabila telah dipahami pendahuluan ini dan telah tegas bahwa bersuci itu mempunyai 4 tingkat, maka ketahuilah bahwa kami pada kitab ini, tidak akan memperkatakan, melainkan mengenai tingkat ke-4 saja. Yaitu: kebersihan zahir, karena kami dalam bahagian pertama dari kitab ini, dengan sengaja tidak mengetengahkan melainkan persoalan-persoalan fisik/zahir saja. Maka kami jelaskah sekarang bahwa kesucian zahir itu 3 bahagian: kesucian dari najis, kesucian dari hadats dan kesucian dari benda-benda yang jijik pada badan. Yaitu yang diperoleh dengan pemotongan kuku, penajaman pisau, pemakaian obat yang menghilangkan bulu, pengkhitanan dan lainnya.
BAHAGIAN PERTAMA:  tentang bersuci daripada najis. Pandangan mengenai najis, yang berhubungan dengan ”yang dihilangkan”. “Dengan apa yang dihilangkan” dan “cara menghilangkannya”.
SEGI PERTAMA: mengenai apa yang dihilangkan. Yang dihilangkan ialah: najis. Benda itu 3: benda tidak bernyawa (jamadaat), hewan dan bagian-bagian dari badan hewan. Adapun benda yang tidak bernyawa: maka semuanya suci selain khamar dan tiap-tiap yang berasal dari buah anggur kering yang memabukkan. Hewan itu semuanya suci, selain anjing dan babi dan anak dari keduanya atau dari salah satu daripada keduanya. Apabila hewan itu mati, maka najis semuanya, kecuali 5: manusia, ikan, belalang, ulat buah tufah (buah-buahan). Dan dipandang seperti itu, tiap-tiap makanan yang berubah. Tiap-tiap yang tidak mempunyai darah yang mengalir, seperti lalat, lipas dll, maka tidaklah bernajis air dengan jatuhnya ke dalam air.
Adapun bagian dari badan hewan, maka dua macam:
pertama: yang dipotong daripadanya. Maka hukumnya seperti hukum bangkai. Rambut (bulu), tidak menjadi najis dengan dipotong dan dengan sebab mati yang mempunyai rambut itu. Dan tulang itu menjadi najis dengan sebab-sebab yang demikian.
Kedua: barang-barang basah yang keluar dari perut hewan. Maka tiap-tiap yang tidak berubah dan tidak mempunyai tempat tetap, maka adalah suci, seperti air mata, peluh, air liur dan ingus. Dan yang mempunyai tempat tetap, sedang dia itu berubah, maka adalah najis, kecuali benda itu adalah unsur bagi kejadian hewan, seperti mani dan telur. Nanah, darah, berak dan kencing itu najis dari seluruh hewan. Dan tidak dimaafkan sesuatu dari najis ini sedikit atau banyak,
selain dari 5:
1.      bekas tempat istinja’, sesudah beristinja’ dengan batu dimaafkan selama tidak melewati dari tempat keluarnya.
2.      tanah jalan raya dan debu dari berak di jalan besar dimaafkan daripadanya, walaupun diyakini bernajis, sekedar yang sukar menjaga daripadanya. Yaitu yang tidak dianggap terlalu berlumuran dengan debu itu atau terlalu banyak jatuh –pada orang yang kena debu itu.
3.      apa yang diperoleh dibawah sepatu, dari najis yang tidak terlepas jalan besar daripadanya. Maka dimaafkan daripadanya setelah digosok karena  diperlukan.
4.      darah, kutu, anjing, sedikit atau banyak daripadanya. Kecuali apabila melampaui batas kebiasaan. Biar adanya pada kain kita atau pada kain orang lain yang kita pakai.
5.      darah jerawat dan yang keluar daripadanya, yang merupakan nanah dan lendir.
Ibnu, Umar ra menggosok jerawat pada mukanya. Maka keluarlah darah, lalu ia mengerjakan shalat tanpa membasuhnya. Dan termasuk dalam pengertian itu sesuatu yang membening dari kotoran kutu-kutu yang biasanya tahan lama. Begitu pula bekas bekam, kecuali apa yang jarang terjadi, dari sesuatu yang keluar dari badan atau lainnya. Maka dihubungkan hukumnya dengan darah kotor wanita (istihadhah). Dan tidaklah ia termasuk dalam pengertian jerawat yang terlepas manusia daripadanya dalam segala keadaannya. Dengan dimaafkan oleh agama najis-najis yang 5 itu, memberitahukan kepada kita bahwa persoalan bersuci itu adalah didasarkan kepada dipermudahkan (tidak dipersulitkan). Dan apa yang dibuat-buat yang merupakan suatu kesaksian tentang najis-najis itu, tidaklah mempunyai dasar sama sekali.
SEGI KEDUA: mengenai dengan apa najis itu dihilangkan (dibersihkan). Yaitu, adakalanya barang beku, dan adakalanya barang cair.
Adapun barang beku, maka yaitu batu istinja’. Barang beku itu mensucikan sebagai penyucian yang mengeringkan, dengan syarat, barang beku itu keras, suci, kering dan tidak benda yang dihormati. Adapun benda cair, maka tidak dihilangkan (dibersihkan) najis dengan sesuatu daripadanya, selain air. Dan tidaklah semua air, tetapi yang suci saja, dimana tidak terlalu besar perobahannya dengan percampuran sesuatu yang tidak diperlukan air itu. Dan keluarlah air dari kesuciannya, disebabkan berobah rasanya atau warnanya atau baunya dengan jatuh najis ke dalamnya. Kalau air itu tidak berobah di mana dia mendekati 250 sukatan, yaitu 500 kati Iraq, niscaya ia tidak bernajis, karena sabda Nabi saw: “Apabila sampailah air itu 2 qullah, niscaya tidak membawa najis”. Kalau air itu kurang dari 2 qullah, maka menurut Asy-Syafi’i ra bernajis. Ini, adalah pada air yang tenang.
Adapun air yang mengalir, apabila berubah dengan najis, maka riak yang merubah sajalah yang najis, tidak yang di atas dan yang di bawah dari riak itu. Karena riak-riak air itu berpisah, satu dari lainnya. Demikian juga najis yang mengalir, apabila ia mengalir pada tempat mengalir air. Maka yang bernajis, ialah tempatnya dari air itu dan di kanan kirinya, apabila ia berkurang dari 2 qullah. Kalau mengalirnya air lebih deras dari mengalirnya najis, maka air yang di atas najis itu suci dan yang di bawahnnya najis, meskipun berjauhan air yang di bawah najis itu dan banyak. Kecuali apabila berkumpul pada suatu kolam sebanyak 2 qullah. Apabila dikumpulkan 2 qullah dari air najis, niscaya sucilah ia dan tidak kembali menjadi najis dengan dipisah-pisahkan kemudian. Inilah menurut madzhab Asy-Syafi’i ra.
Saya ingin supaya madzhab Asy-Syafi’i itu seperti madzhab Malik ra, tentang air itu. Yaitu meskipun sedikit, tidak bernajis, kecuali dengan berobah. Karena kepentingan memerlukan kepadanya. Dan melonjaknya kesangsian karena disyaratkan 2 qullah. Dari itu, yang demikian membawa kesukaran kepada orang banyak. Dan demi umurku, itulah sebab kesukaran dan diketahui oleh orang yang mencoba dan memperhatikannya. Dan termasuk diantara yang tidak saya ragukan lagi, bahwa kalau itu disyaratkan, sungguh tempat yang terutama sukarnya bersuci adalah Makkah dan Madinah. Karena pada dua tempat ini, tidak banyak air yang mengalir dan yang tenang. Dari permulaan masa Rasulullah saw sampai kepada akhir masa sahabat-sahabatnya, tidak ada dinukilkan sesuatu kejadian tentang bersuci dan tiada suatu persoalan tentang cara menjaga air dari najis. Dan tempat-tempat air mereka selalu dipergunakan oleh anak-anak dan budak-budak wanita yang tidak begitu menjaga dari najis-najis.
Umar ra pernah mengambil wudlu dengan air dari kendi seorang Nasrani. Ini, adalah sebagai suatu penegasan, bahwa tidak diperpegangi, selain pada tidak berobahnya air. Kalau tidak demikian, maka kenajisan kenasranian dan tempat airnya, adalah lumrah yang diketahui dengan berat dugaan yang mendekati kepada kebenaran. Apabila sulitlah berpegang kepada aliran ini dan tidak adanya terjadi persoalan pada masa-masa itu adalah dalil pertama dan perbuatan Umar ra menjadi dalil kedua. Dan Dalil ketiga, dibiarkan oleh Nabi saw kendi air untuk kucing dan tidak ditutupkannya dari kucing-kucing itu, sesudah Nabi saw melihat kucing itu memakan tikus dan tidak ada pada negeri mereka kolam-kolam, di mana kucing dapat membenamkan mulutnya ke dalam kolam-kolam itu dan tidak pula kucing-kucing itu turun ke sumur-sumur. Dan dalil keempat bahwa Imam Asy-Syafi’i ra telah mengeluarkan nash (ketetapan sesuatu masalah dengan dalil), bahwa air penyucian najis itu suci, apabila tidak berobah dan najis apabila berobah. Dan apa bedanya, diantara air itu menemukan najis dengan dituangkan keatas najis atau najis itu datang kepada air? dan apa artinya perkataan dari orang yang mengatakan, bahwa kekuatan kedatangan itu, menolakkan najis, serta kedatangan itu tidak mencegah percampuran najis. Jikalau dibawa yang demikian kepada diperlukan, maka juga keperluan meminta untuk itu. Sehingga tiada berbeda diantara menuangkan air ke dalam ember yang ada di dalamnya kain bernajis. Atau mencampakkan kain bernajis dalam ember yang ada padanya air. Dan semuanya adalah biasa pada menyucikan kain dan kendi-kendi air.
Dan dalil kelima, adalah mereka itu beristinja’ di tepi air sedikit yang mengalir. Dan tidak ada perselisihan pada madzhab Asy-Syafi’i ra bahwa apabila jatuh kencing ke dalam air yang mengalir dan air itu tidak berobah, bahwa bolehlah berwudlu dengan air itu, meskipun ia sedikit. Dan apakah bedanya diantara air yang mengalir dan air yang tenang ? dan menurut perasaanku kiranya, apakah berpegang kepada tiada berobah itu lebih utama atau kepada kekuatan air disebabkan mengalir ? kemudian manakah batas kekuatan itu, apakah berlaku pada air yang mengalir di dalam pipa-pipa kamar mandi atau tidak ? jika tidak berlaku, maka apakah bedanya ? dan jika berlaku, maka apakah bedanya diantara benda yang jatuh ke dalamnya dan diantara benda yang jatuh pada tempat lalunya air dari kendi-kendi kepada badan ? dan itu juga mengalir bukan ? kemudian air kecil itu (air kencing) adalah lebih berat percampurannya dengan air yang mengalir, daripada najis beku yang tetap, apabila diputuskan bahwa air yang mengalir kepadanya, biarpun tidak berobah itu najis, sampai air itu dikumpulkan menjadi 2 qullah pada suatu tempat. Maka apakah bedanya diantara benda beku dan benda cair, sedang air itu satu dan bercampur aduk (ikhtilath), adalah lebih berat daripada mujawarah (percampuran yang tidak bercampur aduk) ?.
Dan dalil keenam, bahwa apabila jatuh sekati kencing ke dalam air yang 2 qullah, kemudian air itu dipisah-pisahkan, maka tiap-tiap bahagian yang diambil daripadanya itu suci. Dan sebagai dimaklumi bahwa kencing itu bertebaran di dalamnya, sedang air itu adalah sedikit. Dan kiranya, menurut perasaanku, adakah menjadi sebab sucinya karena tidak berobah itu lebih diutamakan. Atau disebabkan kekuatan banyaknya air, setelah dipisah-pisahkan dan dihilangkan banyaknya, serta diyakini masih adanya bahagian-bahagian najis di dalamnya ?. Dan
dalil ketujuh bahwa tempat-tempat permandian itu pada masa-masa yang lampau, selalulah menjadi tempat berwudlu orang-orang yang hidupnya melarat. Mereka membenamkan tangan dan kendi-kendi air ke dalam kolam-kolam itu, sedang airnya sedikit, serta diketahui bahwa tangan-tangan yang bernajis dan bersih, datang silih berganti kepadanya. Maka segala hal ini, serta keperluan yang mendesak itu, meneguhkan di dalam jiwa, bahwa mereka itu memandang kepada tiada berobahnya air, bersandarkan kepada sabda Nabi saw: “Dijadikan air itu suci-menyucikan, tidak dinajiskannya oleh sesuatu, kecuali yang dapat mengobahkan rasanya atau warnanya atau baunya”. Dan ini dapat meyakinkan. Yaitu, sifat dari tiap-tiap yang cair, dapat membawa kepada sifatnya sendiri, tiap-tiap benda yang jatuh ke dalamnya. Dan adalah benda yang jatuh itu menjadi kalah, tidak dapat mempertahankan diri. Maka sebagaimana kita melihat anjing yang jatuh ke dalam gudang garam, lalu berobah menjadi garam. Dan ditetapkan hukumnya dengan suci, disebabkan telah menjadi garam dan hilang sifat keanjingan daripadanya. Maka demikian pula cuka yang jatuh ke dalam air. Begitupula susu yang jatuh  ke dalamnya, sedang dia itu sedikit, maka hilanglah sifatnya dan merupakanlah dia dengan sifat air dan berbentuklah dia dengan bentuk air. Kecuali apabila benda itu banyak dan menang. Dan dikenal kemenangannya itu dengan kemenangan rasanya atau warnanya atau baunya.
Maka ukuran ini dan agama telah memberi isyarat kepadanya, mengenai air yang kuat untuk menghilangkan najis, adalah lebih layak untuk menjadi pegangan. Sehingga tertolaklah dengan itu kesulitan dan lahirlah pengertian adanya air itu suci-menyucikan. Karena dia memenangkan atas benda itu, lalu menyucikannya. Sebagaimana telah terjadi seperti itu, mengenai air yang melebihi daripada 2 qullah, mengenai air cucian, mengenai air yang mengalir dan mengenai dibiarkan tempat air bagi kucing. Janganlah anda menyangka, yang demikian itu karena dimaafkan. Karena kalau benarlah begitu, maka adalah seperti bekas istinja’ dan darah kutu-kutu busuk, sehingga jadilah air yang terjatuh benda itu ke dalamnya najis. Dan tidak bernajislah, dengan air cucian dan dengan jilatan kucing ke dalam air yang sedikit.
Adapun sabda Nabi saw: “Air itu tidak membawa najis”, maka hadits itu meragukan. Karena air itu membawa najis, apabila ia telah berobah”. Kalau dikatakan, bahwa dimaksudkan dengan hadits itu, apabila tidak berobah, maka mungkin dijawab bahwa dimaksudkan dengan demikian, karena biasanya air itu tiada berobah dengan najis-najis biasa. Kemudian, dipegang dengan yang dipahami dari hadits itu (maksudnya: membawa najis), yaitu mengenai air apabila tiada sampai 2 qullah. Dan meninggalkan yang dipahami itu, dengan mempergunakan sedikit daripada dalil-dalil yang telah kami sebutkan itu, mungkin saja. Sabda Nabi saw: “Tidak membawa najis”, secara zahiriyah, ialah tidak membawanya. Artinya: membalikkan najis kepada sifat air itu sendiri, sebagaimana dikatakan bagi gudang garam itu tidak membawa anjing dan lainnya. Artinya: bertukar kepada garam. Maka demikian, karena manusia itu kadang-kadang beristinja’ pada air yang sedikit dan dengan potongan-potongan kecil dari tumbuh-tumbuhan dan membenamkan tempat-tempat air (bejana-bejana) yang bernajis ke dalam air yang sedikit. Kemudian mereka menjadi ragu, mengenai air itu, berobahkah, dia dengan kentara atau tidak ?. Maka jelaslah bahwa air itu apabila 2 qullah, niscaya tidak berobah dengan najis biasa. Kalau anda mengatakan, bahwa Nabi saw telah bersabda: “Tidak membawa najis”, maka manakala najis itu banyak, niscaya dibawanya”. Ini terbalik kepada anda. Karena bila najis itu banyak, maka air itu membawanya pada hukum sebagaimana membawanya pada pandangan. Dari itu, haruslah ditentukan dengan najis-najis biasa pada kedua madzhab itu (madzhab Malik dan Asy-Syafi’i).
Kesimpulannya, maka kecenderunganku mengenai persoalan najis-najis biasa kepada memudahkan, adalah karena memahami dari perjalanan orang-orang terdahulu dan karena menutupi pintu kebimbangan. Dengan sebab itulah, aku berfatwa dengan suci mengenai hal-hal yang terjadi perselisihan padanya dalam contoh-contoh daripada masalah-masalah itu.
SEGI KETIGA: mengenai cara menghilangkan najis. Najis itu, kalau najis hukmiyah, yaitu najis yang tiada mempunyai bentuk yang tanpa dilihat, maka mencukupilah melalukan air di atas seluruh tempat najis itu. Dan kalau najis ‘ainiyah (mempunyai bentuk yang tampak dilihat), maka haruslah dihilangkan bentuk najis itu. Kalau rasanya masih ada, maka itu menunjukkan kepada masih adanya najis itu. Begitupula kalau masih ada warnanya. Kecuali kalau sudah melekat betul, maka dimaafkan setelah dikikis dan digosok. Kalau baunya masih ada, maka menunjukkan masih adanya najis itu dan tidak dimaafkan, kecuali apabila benda itu mempunyai bau keras, yang sukar menghilangkannya. Maka menggosok dan memeraskannya beberapa kali berturut-turut, adalah merupakan seperti mengikis dan menggosok pada warna tadi. Cara menghilangkan kebimbangan hati (waswas), ialah mengetahuinya dengan keyakinan bahwa segala benda dijadikan suci. Maka sesuatu benda yang tiada kelihatan najis padanya dan tiada diketahui najis itu dengan yakin, maka bolehlah dilakukan shalat bersamanya. Dan tidak seyogyalah dipakai pemahaman secara mendalam untuk mengumpamakan adanya najis itu.
BAHAGIAN KEDUA: bersuci dari hadats.
Diantara cara besuci daripada hadats itu, ialah wudlu, mandi dan tayammum. Semuanya itu didahului oleh istinja’. Maka akan kami bentangkan semuanya itu secara berturut-turut, serta dengan adab dan sunatnya. Dimulai dengan sebabnya berwudlu’ dan adab melakukan qodo hajat (membuang air besar dan air kecil), insya Allah Ta’ala !.
BAB: MENGENAI ADAB QODO HAJAT.
Seyogyalah menjauhkan dari pandangan mata orang banyak, apabila berqodo hajat di lapangan lepas. Dan seharusnyalah menutupkan dirinya dengan sesuatu jika diperolehnya. Dan tidak membuka aurat, sebelum sampai ke tempat duduk berqodo hajat itu. Tidak menghadap matahari dan bulan. Tidak menghadap qiblat dan membelakanginya, kecuali berada di dalam kakus (bangunan). Tetapi mengelakkan dirinya dari qiblat itu, adalah lebih baik juga, meskipun di dalam kakus. Dan kalau ia menutupkan dirinya pada lapangan lepas dengan kendaraannya, maka itu boleh. Demikian juga dengan tepi kain sarungnya. Dan menjaga benar-benar, daripada duduk berqodo hajat pada tempat yang dipakai orang untuk bercakap-cakap. Dan tidak membuang air kecil (kencing) pada air tenang, di bawah pohon kayu yang berbuah dan di dalam lobang. Dan menjaga daripada membuang air kecil itu pada tempat keras dan arah hembusan angin karena menjaga daripada terperciknya air kecil itu. Dan bahwa tertekan pada duduknya atas kaki kiri. Dan jikalau berqodo hajat dalam bangunan (kakus), maka mendahulukan kaki kiri waktu masuk dan kaki kanan waktu keluar. Dan tidaklah membuang air kecil sedang berdiri.
Berkata ‘Aisyah:“Siapa yang menerangkan kepadamu bahwa Nabi saw membuang air kecil dengan berdiri, maka janganlah kamu membenarkannya!”
Berkata Umar ra: “Rasulullah saw melihat saya membuang air kecil dengan berdiri, lalu bersabda: “Hai Umar, janganlah membuang air kecil dengan berdiri”. Lalu Umar ra menyambung: “Maka tidaklah lagi aku membuang air kecil dengan berdiri sesudah itu”. Dalam pada itu, ada juga keringanan, karena Hudzaifah ra meriwayatkan: “Bahwa Nabi saw membuang air kecil dengan berdiri, maka aku bawa kepadanya air wudlu. Lalu beliau berwudlu dan menyapu kedua alas kakinya”.
Dan tidaklah membuang air kecil pada tempat mandi. Bersabda Nabi saw: “Umumnya kebimbangan (waswas) itu, dari membuang air kecil pada tempat mandi”. Berkata Ibnul-Mubarak: “Diberi kelapangan membuang air kecil di tempat mandi, apabila dilalukan air (disiram)”, demikian diterangkan oleh At-Tirmidzi. Bersabda Nabi saw: “Janganlah membuang air kecil seorang kamu pada tempat permandian, kemudian berwudlu padanya. Karena, umumnya kebimbangan hati itu daripadanya”. Berkata Ibnul-Mubarak: “Kalau air itu mengalir, maka tidak mengapa”. Dan tidaklah membawa ke tempat berqodo hajat, sesuatu yang ada padanya nama Allah atau nama Rasul saw. Dan tidaklah memasuki kakus dengan kepala terbuka. Dan membaca ketika masuk: “Dengan nama Allah, aku berlindung dengan Allah dari najis yang kotor, lagi keji yang dikejikan setan yang terkutuk”. Dan membaca ketika keluar: “Segala pujian bagi Allah yang telah menghilangkan daripadaku, apa yang menyakitkan aku dan mengekalkan bagiku apa yang bermanfaat kepadaku”. Dan adalah pembacaan ini ketika berada di luar tempat membuang air. Dan menyediakan batu untuk istinja’ sebelum duduk dan tidak beristinja’ dengan air pada tempat melakukan qodo hajat. Dan berusahalah menghabiskan keluar air kecil dengan berdehem-dehem dan bersin 3 kali dan melakukan tangan di bawah kemaluan. Dan tidaklah membanyakkan berfikir habis dan tidaknya keluar air kecil itu, karena dapat menimbulkan kebimbangan hati dan menyukarkan kepadanya urusan membuang air kecil itu. Dan apa yang dirasakannya ada basah, maka hendaklah diperkirakannya itu sisa air. Kalau tidak juga menyenangkan hatinya, maka hendaklah diperciknya air ke tempat itu, sehingga kuatlah keyakinannya yang demikian. Tidaklah kiranya ia dipengaruhi setan dengan kebimbangan hati itu. Pada hadits tersebut, bahwa Nabi saw: “Berbuat demikian, yaitu memercikkan air”. Yang paling mudah membuang air kecil, ialah orang yang lebih berpaham. Maka kebimbangan hati itu, menunjukkan kepada kekurangan paham.
Pada hadits yang diriwayatkan Salman ra tersebut: “Bahwa kami diajarkan oleh Rasulullah saw tiap-tiap perkara, sampai kepada bersuci daripada hadats. Maka disuruhnya kami, tidak beristinja’ dengan tulang dan berak keras. Dilarangnya kami menghadap qiblat waktu membuang air besar atau air kecil”. Berkata seorang laki-laki kepada setengah sahabat Nabi saw dari orang Arab, yang telah berselisih paham dengan dia: “Aku tidak menyangka engkau pandai bersuci dari hadats”. Maka menjawab sahabat itu: “Ya, saya pandai. Sungguh-sungguh saya pandai dan mengetahui betul. Saya jauhkan bekas-bekasnya, saya sediakan alat pembersihannya, saya menghadap ke asy-syih, saya membelakangkan angin, saya iq’a’ seperti iq’a’nya kijang dan saya ijfaal seperti ijfaalnya unta”. Asy-syih ialah tumbuh-tumbuhan yang harum baunya, tumbuh di desa, Iq’a’ disini, ialah menjongkok ke depan dua tapak kakinya. Dan ijfaal, ialah mengangkat punggungnya. Diantara keringanan, ialah bahwa manusia itu membuang air kecilnya dekat temannya, dengan menutupkan diri daripada teman itu. Rasulullah saw telah berbuat demikian, meskipun dengan perasaan malu yang sangat berat, gunanya untuk menerangkan kepada orang banyak, bolehnya demikian.
CARA ISTINJA’:
Kemudian beristinja’ pada tempatnya dengan 3 buah batu. Kalau bersih dengan 3 buah batu itu, maka mencukupilah. Dan jikalau tidak, maka hendaklah dipakai batu yang keempat. Kalau sudah bersih dengan batu yang keempat itu, maka ditambahilah dengan memakai batu yang kelima. Karena membersihkan itu wajib dan mengganjilkan itu sunat. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa beristinja’ dengan batu, maka hendaklah mengganjilkan batu itu”. Batu itu diambil dengan tangan kirinya dan diletakkan di muka tempat keluar najis sebelum tempat najis dan dilakukanlah batu itu dengan menyapu dan memutarkannya sampai ke ujung tempat najis. Kemudian diambil batu kedua dan diletakkan di ujung tempat najis tadi dan dilalukan ke muka. Kemudian diambil batu ketiga lalu diputarkan dikeliling tempat keluar najis sekali putar saja. Kalau sukar diputar dan disapu dari depan ke belakang, maka mencukupilah yang demikian. Kemudian diambil batu yang agak besar dengan tangan kanan dan dipegang kemaluan dengan tangan kiri dan disapukan batu dengan kemaluan dan digerakkan tangan kiri. Lalu menyapu 3 kali, pada 3 tempat dari sebuah batu atau pada 3 batu atau pada 3 tempat dari dinding (maksudnya menyapu kemaluan pada dinding sebagai alat istinja’). Sehingga tiada kelihatan lagi basah pada tempat yang disapu itu. Apabila berhasil yang demikian dengan 2 kali, maka ditambah dengan kali ketiga. Dan wajiblah yang demikian, kalau ia bermaksud menyingkatkan dengan batu saja. Dan kalau berhasil dengan 4 kali, maka disunatkan kali kelima supaya ganjil. Kemudian berpindahlah ke tempat lain dari tempat itu dan beristinja’lah dengan air, dengan menuangkannya dengan tangan kanan ke tempat yang diistinja’kan itu. Serta digosokkan dengan tangan kiri, sehingga tidak tinggal lagi bekasnya, yang dirasakan oleh tapak tangan dengan perasaan disentuh. Dan tidak dilakukan istinja’ itu dengan bersangatan benar, sampai-sampai ke dalamnya. Karena yang demikian itu adalah sumber kebimbangan. Dan hendaklah diketahui bahwa yang tidak sampai air kepadanya, maka itu adalah bathin (bahagian dalam). Dan tidaklah dihukum najis lendir-lendir yang di dalam badan sebelum lagi nyata keluar. Dan tiap-tiap yang sudah nyata keluar maka tetaplah baginya hukum najis. Batas ukuran sudah nyata keluar, ialah sampai air kepadanya. Maka air itu menghilangkannya. Dan tidak ada arti bagi kebimbangan. Dibacakan setelah selesai daripada istinja’: Ya Allah, ya Tuhanku ! sucikanlah hatiku daripada nifaq(bermuka 2) dan peliharakanlah kemaluanku dari kekejian !”. Digosokkannya tangannya pada dinding atau pada tanah, untuk menghilangkan bau kalau masih ada. Mengumpulkan antara air dan batu itu sunat. Diriwayatkan, bahwa tatkala turun firman Allah Ta’ala: “Di dalamnya ada beberapa orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih”. S 9 At Taubah ayat 108. Lalu bertanya Rasulullah saw kepada penduduk Quba’: “Bersuci yang manakah yang dipuji Allah akan kamu dengan sebab bersuci itu ?”. Maka mereka itu menjawab: “Kami kumpulkan diantara air dan batu”.
CARA WUDLU
Apabila telah selesai daripada istinja’, maka dikerjakan wudlu. Tidak pernah sekali-kali Rasulullah saw dilihat keluar dari kakus, melainkan terus berwudlu. Dimulai dengan menggosok gigi (bersugi), bersabda Nabi saw: “Mulutmu itu adalah jalan Alquran, maka buatkanlah dia baik dengan bersugi”. Seyogyalah diniatkan ketika menggosok gigi itu, membersihkan mulut untuk membaca Alquran dan berdzikir kepada Allah (menyebutkan nama Allah) di dalam shalat. Bersabda Nabi saw: “Satu shalat sesudah bersugi, adalah lebih utama daripada 75 shalat dengan tidak bersugi”. Dan bersabda Nabi saw: “Jikalau tidak aku takut kesukaran kepada umatku, niscaya aku suruh mereka dengan bersugi tiap-tiap shalat”. Bersabda Nabi saw: “Aku tidak ingin melihat kamu masuk ke tempatku dengan gigi kuning. Dari itu bersugilah !”. “Adalah Nabi saw bersugi pada malam hari beberapa kali”. Dari Ibnu Abbas ra diriwayatkan bahwa ia menerangkan: “Selalulah Rasulullah saw menyuruh kamu menggosok gigi, sehingga kami menyangka akan turun sesuatu mengenai bersugi itu kepadanya”. Bersabda Nabi saw: “Haruslah kamu bersugi, karena bersugi itu menyucikan mulut dan membawakan kerelaan Tuhan”.
Berkata Ali bin Abi Thalib ra: “Bersugi itu menambah terpelihara kesehatan dan menghilangkan dahak”. Adalah sahabat-sahabat Nabi saw berjalan-jalan dan sugi itu pada telinga mereka. Caranya: ialah bersugi itu dengan kayu arak atau dengan ranting kayu-kayu yang lain, di mana kayu itu kesat dan menghilangkan daki gigi. Bersugi itu pada lintang dan menurut panjang dari gigi. Jika diringkaskan, maka menurut lintangnya saja. Disunnahkan bersugi pada tiap-tiap shalat dan pada tiap-tiap wudlu, meskipun tidak melakukan shalat sesudah wudlu itu. Dan ketika berobah bau mulut dengan sebab tidur atau lama berdiam diri atau memakan sesuatu yang tiada enak baunya. Kemudian, setelah selesai daripada bersugi, duduklah untuk berwudlu, dengan menghadap qiblat dan membacakan: “Bismillaahirrahmaanirrahiim”. Bersabda Nabi saw: “Tiada wudlu bagi siapa yang tiada membaca: “Bismillah”. Artinya: tiada wudlu yang sempurna. Dan membaca doa ketika itu, yaitu: Aku berlindung dengan Engkau daripada gangguan setan dan aku berlindung dengan Engkau ya Tuhan, daripada kedatangan setan itu kepadaku !”.
Kemudian membasuh ke 2 tangan 3 X, sebelum memasukkannya kedalam tempat air. Dan membacakan doa, yang bunyinya: “Ya Allah ya Tuhanku! aku bermohon kepadaMu kebahagiaan & keberkatan, aku berlindung dengan Engkau daripada kecelakaan & kebinasaan”. Kemudian diniatkan mengangkat hadats atau membolehkan shalat & mengekalkan niat itu sampai kepada membasuh muka. Jikalau lupa berniat ketika pada muka, niscaya tidak boleh.
Kemudian, mengambil air dengan tangan kanan untuk mulut, maka berkumur-kumurlah dengan air tadi 3 kali dan memasukkannya ke lobang mulut. Kecuali berpuasa, maka hendaklah dengan pelan-pelan saja. Dan bacakan doa, yang bunyinya: “Ya Allah, ya Tuhanku ! tolonglah aku untuk membaca KitabMu dan membanyakkan dzikir kepadaMu”.
Kemudian, mengambil lagi air untuk hidung dan memasukkan air ke hidung (istinsyaq) 3 kali, lalu menaikkan air itu dengan nafas kerongga hidung, dan mengeluarkan apa yang ada didalam rongga hidung, seraya membaca ketika menghisapkan air tadi, doa yg berbunyi: “Ya Allah, ya Tuhanku! adakanlah untukku bau sorga & Engkau rela kepadaku”. Dan ketika mengeluarkan kotoran didalam hidung, maka membaca doa, yg berbunyi: “Ya Allah, ya Tuhanku! sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari bau neraka &  dari buruknya negeri tempat tinggal”. Karena menghisap ialah menyampaikan air kedalam & membersihkan ialah menghilangkan sesuatu yg ada di dalam hidung
Kemudian mengambil air untuk muka, maka membasuhkan muka itu dari permulaan dahi sampai ke penghabisan yang di hadapan dari dagu, menurut panjangnya dan dari telinga ke telinga menurut lebarnya. Dan tidak termasuk dalam batasan muka dua sulah yang terletak pada pinggir dua pelipis. Kedua sulah itu adalah bahagian dari kepala. Dan air itu disampaikan ke tempat andam, yaitu apa yang dibiasakan kaum wanita memotongnya. Yakni sekedar yang ada pada tepi muka, dimana diletakkan ujung benang atas puncak telinga dan ujungnya yang kedua pada sudut pelipis. Dan disampaikan air kepada tempat tumbuh bulu yang 4: dua alis mata, dua kumis, dua jambang dan bulu-bulu mata, karena bulu-bulu tersebut adalah biasanya tipis. Dan dua bulu jambang yaitu yang setentang dengan dua telinga dari permulaan janggut. Dan wajiblah disampaikan air kepada pangkal-pangkal janggut yang tipis, yakni yang termasuk bahagian muka. Adapun janggut yang tebal maka tidak diwajibkan. Dan bulu yang tumbuh diantara bibir bawah dan dagu dihukum seperti hukum janggut tentang tebal dan tipisnya. Kemudian diperbuat yang demikian itu 3 kali atau ditumpahkan air ke atas yang zhahir dari janggut yang terurai. Dan dimasukkan anak-anak jari ke dalam lobang mata, tempat pangkal mata, tempat penghimpunan celak dan dibersihkan kedua mata itu. Dan bercita-cita dengan penuh pengharapan ketika itu akan keluar segala kesalahan dari kedua mata. Dan seperti itu pula pada tiap-tiap anggota yang lain. Dan dibacakan ketika membasuh muka itu doa, yang bunyinya: “Ya Allah, ya Tuhanku ! putihkanlah mukaku dengan nur Engkau, pada hari yang putih segala muka-muka wali-wali Engkau. Dan janganlah Engkau hitamkan mukaku dengan kegelapan Engkau, pada hari hitam segala muka musuh Engkau”. Dan digosok-gosokkan janggut yang tebal ketika membasuh muka, karena yang demikian itu adalah sunat.
Kemudian dibasuhkan kedua tangan, sampai kedua siku, 3 kali. Digerak-gerakkan cincin, dipanjangkan  penyapuan tangan dan diratakan air sampai ke bahagian atas pangkal lengan. Karena yang berbuat demikian, dikumpulkan pada hari qiamat dengan cahaya yang gemilang pada pangkal lengannya dari bekasan wudlu. Begitulah telah datang hadits, di mana Nabi saw bersabda: “Siapa yang sanggup memanjangkan pemakaian air sampai ke pangkal lengan (qhurrah), maka hendaklah dikerjakannya”. Dan diriwayatkan bahwa: “Pakaian itu, sampai ke segala tempat wudlu”. Dimulai dengan tangan kanan, seraya dibacakan doa yang bunyinya: “Ya Allah, ya Tuhanku ! berikanlah akan daku kitabku pada tangan kananku dan hitunglah kiranya amalanku (hisab) dengan kiraan yang mudah”. Dan dibacakan ketika membasuh tangan kiri, doa yang bunyinya: “Ya Allah, ya Tuhanku ! sesungguhnya aku, berlindung dengan Engkau daripada Engkau berikan kepadaku kitabku pada tangan kiriku atau dari belakang punggungku”.
Kemudian diratakan kepala dengan menyapu, di mana dibasuhkan kedua tangan dan dipertemukan ujung anak-anak jari kedua tangan, yang kanan dengan yang kiri. Dan diletakkan kedua tangan itu pada hadapan kepala, lalu ditarikkan kedua tangan itu ke kuduk, kemudian dikembalikan ke hadapan kepala kembali. Dan ini adalah sekali sapu, di mana diperbuat yang demikian itu sampai 3 kali, seraya dibacakan doa yang artinya: “Ya Allah, ya Tuhanku ! tolonglah aku dengan rahmat Engkau, turunkanlah kepadaku segala berkat Engkau, naungilah aku di bawah naungan ‘Arasy Engkau, pada hari yang tak ada naungan selain dari naungan Engkau”.
Kemudian disapukan kedua telinga, luar dan dalamnya dengan air yang baru, dengan memasukkan kedua telunjuk ke dalam lobang kedua telinga itu dan diputar-putarkan kedua ibu jari pada luar kedua telinga. Kemudian diletakkan tapak tangan ke atas dua telinga itu sebagai tanda melahirkan ratanya air. Dan diulangi 3 kali serta dibacakan doa yang artinya: “Ya Allah, ya Tuhanku ! jadikanlah aku sebahagian dari mereka yang mendengar perkataan maka mengikuti yang baik daripadanya ! Ya Allah, ya Tuhanku ! perdengarkanlah kepadaku seruan penyeru sorga bersama orang baik-baik”.
Kemudian disapukan leher dengan air yang baru karena sabda Nabi saw: “Menyapu leher adalah menyelamatkan daripada rantai neraka pada hari qiamat”. Dan dibacakan doa yang artinya: “Ya Allah, ya Tuhanku ! lepaskanlah leherku dari api neraka ! dan aku berlindung dengan Engkau daripada rantai dan kalung api neraka”.
Kemudian dibasuhkan kaki yang kanan 3 kali dan diselang-selangi dengan tangan kiri dari bawah jari-jari kaki kanan. Dan dimulai dengan jari kelingking dari kaki kanan dan disudahi dengan kelingking dari kaki kiri. Dan dibacakan doa, yang artinya: “Ya Allah, ya Tuhanku ! tetapkanlah tapakku di atas titian yang lurus (ash-shiraathal mustaqiim) pada hari yang tergelincir segala tapak kaki ke dalam api neraka”. Dan dibacakan ketika membasuh kaki kiri, doa yang artinya: “Aku berlindung dengan Engkau daripada tergelincirnya tapakku dari titian, pada hari yang tergelincir padanya segala tapak kaki munafiq”. Dan naikkan air sampai ke tengah-tengah dua betis.
Apabila telah selesai wudlu maka diangkatlah kepala ke arah langit, seraya membaca doa yang bunyinya: “Aku mengaku bahwa tiada yang disembah melainkan Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagiNya. Aku mengaku bahwa Muhammad hambaNya dan utusanNya. Maha suci Engkau hai Tuhanku dan dengan memuji Engkau tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku telah perbuat yang jahat dan aku telah perbuat aniaya kepada diriku. Aku meminta ampun pada Engkau wahai Allah dan aku bertobat kepada Engkau. Maka ampunilah aku dan berilah taubat kepadaku, sesungguhnya Engkau menerima taubat dan Maha Penyayang. Ya Allah, ya Tuhanku ! jadikanlah aku daripada orang yang bertaubat dan jadikanlah aku daripada orang-orang yang bersih dan jadikanlah aku daripada hambaMu yang shalih. Dan jadikanlah aku hamba yang sabar, tahu berterima kasih dan jadikanlah aku banyak berdzikir kepada Engkau dan bertasbih kepada Engkau pada pagi dan pada petang”. Diriwayatkan bahwa siapa yang membaca doa ini sesudah wudlu, maka dicapkan wudlunya dengan suatu cap dan diangkatkan cap itu untuknya di bawah ‘Arasy. Maka senantiasalah cap itu bertasbih dan mengquduskan Allah dan dituliskan pahala itu untuknya sampai kepada hari qiamat.
Dimakruhkan pada wudlu beberapa perkara: Diantaranya melebihkan dari 3 kali. Barangsiapa melebihkannya, maka telah berbuat aniaya. Juga termasuk makruh, berlebih-lebihan memakai air. Adalah Nabi saw berwudlu tiga-tiga kali dan bersabda: “Barangsiapa melebihkannya maka telah berbuat aniaya dan berbuat jahat”. Dan bersabda lagi: Akan ada suatu kaum daripada umat ini, melampaui batas di dalam berdoa dan bersuci”. Dan diriwayatkan sabda Nabi saw: “Diantara kelemahan ilmu seseorang itu, ialah suka benar membanyakkan air di dalam bersuci”.
Berkata Ibrahim bin Adham: “Dikatakan bahwa kejadian yang pertama tadi orang yang berwudlu ialah, kebimbangan hati sebelum bersuci”. Berkata Al-Hasan: “Bahwa setan itu menertawakan orang yang di dalam wudlunya. Setan itu bernama Al-Walham”. Dimakruhkan menggoyang-goyangkan tangan, maka terperciklah air. Dimakruhkan berbicara sedang berwudlu, menamparkan muka dengan air. Segolongan ulama memandang makruh mengeringkan air wudlu, dan kata mereka: air wudlu itu ditimbang, demikian menurut Sa’id bin Al-Musayyab dan Az-Zuhri. Tetapi diriwayatkan oleh Ma’az ra bahwa: “Nabi saw menyapu mukanya dengan tepi kainnya”. Dan diriwayatkan oleh ‘Aisyah: “Bahwa Nabi saw mempunyai kain untuk mengeringkan air”. Tetapi riwayat ini dibantah benar-benar daripada ‘Aisyah”.
Dimakruhkan berwudlu dari bejana air tembaga kuning dan dengan air yang panas dengan matahari. Makruhnya itu dipandang dari segi kedokteran. Diriwayatkan daripada Ibnu Umar dan Abu Hurairah ra akan makruhnya bejana tembaga kuning itu. Dan berkata setengah mereka: “Aku serahkan kepada Syu’bah, air di dalam bejana tembaga kuning, maka enggan ia berwudlu daripadanya”. Dinukilkan makruh yang demikian itu, dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah ra. Tatkala telah selesailah daripada berwudlu dan menuju kepada shalat, maka hendaklah terlintas di hati bahwa ia telah suci zhahiriyahnya. Dan zhahiriyah itu adalah tempat pandangan orang ramai. Maka seyogyalah ia merasa malu bermunajah (berbicara dengan berbisik) dengan Allah Ta’ala tanpa mensucikan hatinya, yang menjadi tempat pandangan Tuhan Yang Maha Suci. Dan hendaklah ia yakin bahwa kesucian hati itu dengan bertaubat, menjauhkan diri daripada budi pekerti yang tercela. Dan bertingkah laku dengan budi pekerti terpuji, adalah lebih utama. Orang yang menyingkatkan kepada kesucian zhahiriyah saja, adalah seumpama orang yang bemaksud mengundang seorang raja ke rumahnya, dimana rumahnya itu dibiarkan penuh dengan kotoran dan hanya bergiat mencat pintu luar dari rumah. Alangkah tepatnya orang yang seperti lelaki ini mendapat cacian dan makian !. Allah yang maha suci dan yang maha tahu !
KEUTAMAAN WUDLU.
Bersabda Rasulullah saw: “Barangsiapa berwudlu, lalu dibaguskannya wudlunya dan dikerjakannya shalat dua rakaat di mana ia tidak berbicara dengan dirinya dalam wudlu dan shalat itu, sesuatu dari hal duniawi, niscaya keluarlah dia daripada segala dosanya seperti hari, ia dilahirkan oleh ibunya”. Dan pada riwayat yang lain. Dan ia tiada lalai di dalam wudlu dan shalat itu, niscaya diampunkan apa yang telah terdahulu daripada dosanya. Bersabda Nabi saw pula: “Adakah tidak aku kabarkan kepadamu, dengan apa yang ditutupkan oleh Allah segala kesalahan dan diangkat ke derajat tinggi ? yaitu: melengkapkan wudlu dengan terpeliharanya daripada yang makruh, mengangkatkan tapak kaki ke masjid dan menunggu shalat sesudah shalat. Maka kelengkapan wudlu itu tiga-tiga kali”. Dan Nabi saw berwudlu sekali-sekali, seraya bersabda: “Inilah wudlu yang tidak diterima oleh Allah shalat selain dengan ini”. Dan Nabi saw berwudlu dua-dua kali, seraya bersabda: “Barangsiapa berwudlu dua-dua kali, niscaya didatangkan oleh Allah kepadanya pahala dua kali”. Dan Nabi saw berwudlu tiga-tiga kali, seraya bersabda: “Inilah wudluku dan wudlu nabi-nabi sebelumku dan wudlu kesayangan Tuhan, Ibrahim as”. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa mengingati Allah ketika berwudlu, niscaya disucikan oleh Allah tubuhnya seluruhnya. Dan barangsiapa tiada mengingati Allah, niscaya tiada disucikan oleh Allah daripada tubuhnya selain yang kena air saja”. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa berwudlu, di mana ia masih di dalam suci (wudlu), niscaya dituliskan Allah baginya 10 kebaikan”. Bersabda Nabi saw: “Berwudlu di atas wudlu (artinya, masih lagi ada wudlu), maka itu adalah nur di atas nur”.
Hadits-hadits tadi semuanya adalah mengajak supaya membarukan wudlu, meskipun masih ada wudlu. Bersabda Nabi saw: “Apabila berwudlulah seorang hamba muslim, lalu ia berkumur-kumur, niscaya keluarlah segala kesalahan dari mulutnya. Dan apabila ia membersihkan hidungnya, maka keluarlah segala kesalahan dari hidungnya. Apabila ia membasuh mukanya, maka keluarlah segala kesalahan dari mukanya, sehingga keluarlah segala kesalahan itu dari pinggir bawah kedua matanya. Apabila ia membasuh kedua tangannya, niscaya keluarlah segala kesalahan dari kedua tangannya, sehingga keluarlah segala kesalahan itu dari bawah kuku-kukunya. Apabila ia menyapu kepalanya, niscaya keluarlah segala kesalahan dari kepalanya, sehingga keluarlah segala kesalahan itu dari bawah kedua telinganya. Dan apabila ia membasuh kedua kakinya, niscaya keluarlah segala kesalahan dari kedua kakinya, sehingga keluarlah dari bawah kuku-kuku kedua kakinya itu. Kemudian, adalah perjalanannya ke masjid dan shalatnya itu sunat baginya”.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya orang yang bersuci itu adalah seperti orang yang berpuasa”. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa berwudlu, lalu dibaguskannya wudlu itu, kemudian diangkatkannya matanya ke langit, lalu membaca: “Aku mengaku bahwasanya tiada yang disembah melainkan Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagiNya. Dan aku mengaku bahwa Muhammad hambaNya dan RasulNya”, niscaya dibukakan baginya pintu sorga 8, ia masuk ke mana yang disukainya”.
Berkata Umar ra: “Sesungguhnya wudlu yang baik, mengusirkan setan daripada engkau”. Berkata Mujahid: “Barangsiapa sanggup tiada tidur malam, selain dia di dalam keadaan suci, berdzikir dan bermohon keampunan Allah, maka hendaklah ia berbuat. Maka sesungguhnya segala nyawa itu dibangkitkan, di dalam keadaan waktu dia diambil dahulu”.
CARA MANDI:
Yaitu: meletakkan tempat air di sebelah kanan, kemudian membaca Bismillah, membasuhkan kedua tangan 3 kali, kemudian beristinja’, seperti yang telah diterangkan dahulu caranya. Dan membuang najis pada badan jikalau ada, kemudian berwudlu seperti wudlunya untuk shalat, sebagaimana telah kami terangkan dahulu. Kecuali membasuh kedua tapak kaki, maka dikemudiankan. Karena membasuh kedua tapak kaki itu, kemudian meletakkan di atas tanah, adalah membuang-buang air saja. Kemudian menuangkan air ke atas kepala 3 kali, kemudian ke pihak kanan 3 kali, kemudian ke pihak kiri 3 kali, kemudian menggosok bahagian depan dan bahagian belakang dari badan dan menyelang-nyelangi dengan anak jari, rambut kepala dan janggut. Dan menyampaikan air kepada pangkalnya, baik yang tebal atau yang tipis. Dan tidak diwajibkan atas wanita membuka sanggulnya, kecuali apabila diketahuinya, bahwa air itu tiada sampai ke celah-celah rambutnya. Dan hendaklah diusahakan menyampaikan air kepada segala lipatan badan. Dan hendaklah dijaga jangan sampai tersentuh kemaluan waktu sedang mandi itu. Jikalau terjadi yang demikian, maka hendaklah wudlunya diulangi. Kalau sudah berwudlu sebelum mandi maka tidak usah diulangi lagi sesudah mandi. Maka inilah sunnah-sunnah wudlu dan mandi. Kami sebutkan daripadanya, apa yang tak boleh tidak bagi orang yang berjalan di jalan akhirat, dari ilmunya dan amalnya. Dan masalah-masalah yang lain, yang diperlukan di dalam keadaan mendatang, maka hendaklah diperiksa di dalam kitab-kitab fiqih. Dan yang wajib dari keseluruhan yang kami sebutkan tentang mandi itu, ialah dua perkara: niat dan meratakan air pada badan dengan mandi. Dan yang diwajibkan pada wudlu ialah: niat, membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai kedua siku, menyapu apa yang termasuk di dalam nama kepala; membasuh kedua kaki sampai kedua tumit dan dengan tertib (yang dahulu didahulukan dan yang kemudian di kemudiankan). Adapun berturut-turut (muwalah), maka tidak diwajibkan. Mandi wajib adalah dengan 4 sebab: dengan keluar mani, bertemu dua khatan (bersetubuh), haid (datang bulan bagi wanita), dan nifas (darah yang keluar dari wanita setelah bersalin).
Selain daripada mandi-mandi tadi adalah sunat, seperti: mandi dua hari raya, mandi Jum’at, mandi pada hari-hari besar, mandi ihram, mandi wuquf di ‘Arafah dan di Muzdalifah, mandi karena masuk Makkah, mandi pada 3 hari tasyriq, mandi untuk thawaf wada’ menurut kata sebahagian ulama, mandi bagi kafir apabila masuk Islam, yang belum pernah berjunub, mandi orang gila apabila telah sembuh daripada gilanya dan mandi bagi orang yang memandikan mayat. Maka semuanya itu, adalah sunat hukumnya.
CARA TAYAMMUM:
Orang yang berhalangan memakai air, karena ketiadaan air setelah dicari atau ada halangan daripada berwudlu, karena binatang buas atau orang yang menahan atau air yang ada padanya diperlukan untuk diminum karena kehausannya sendiri atau kawannya atau air itu kepunyaan orang lain dan tidak dijualnya kecuali dengan harga yang tidak pantas atau ada padanya luka atau penyakit, yang ditakuti daripada memakai air itu akan kerusakan anggota tubuh atau bertambah penyakitnya. Maka seyogyalah bersabar, sampai masuklah waktu shalat fardlu.
Kemudian menujulah pada tanah yang baik, di mana bahagian atasnya ada debu yang suci bersih dan halus, kira-kira debu dapat beterbangan daripadanya. Lalu ditepukkan kedua tapak tangannya atas debu itu, dengan anak-anak jarinya yang dirapatkan. Kemudian disapukan dengan kedua tapak tangannya akan seluruh mukanya satu kali dan diniatkan ketika itu membolehkan shalat (istibahah). Dan tidak diberatkan dengan menyampaikan debu itu ke bawah bulu-bulu, baik yang tipis atau yang tebal. Dan hendaklah diusahakan supaya meratalah kulit mukanya dengan debu. Dan yang demikian itu berhasil dengan sekali tepukan tangan saja, karena lebar muka itu tiada lebih daripada lebar kedua tapak tangan. Dan mencukupilah pada meratanya debu itu dengan berat dugaan (dhan) saja. Kemudian membuka cincin (kalau ada di jari), lalu menepuk kali kedua, dengan merenggangkan anak-anak jari. Kemudian mempertemukan punggung anak-anak jari tangan kanan dengan perut anak-anak jari tangan kiri, kira-kira tidak melewati tepi ujung anak-anak jari itu dari satu pihak, daripada telunjuk dari pihak yang satu lagi. Kemudian melalukan tangannya yang kiri, di mana diletakkannya itu, di atas lengannya yang kanan sampai ke siku. Kemudian membalikkan perut tapak tangannya yang kiri di bahagian bawah lengannya yang kanan dan melalukannya sampai ke pergelangan dan melalukan perut ibu jarinya yang kiri ke atas ibu jarinya yang kanan. Kemudian diperbuatkan dengan yang kiri begitupula. Kemudian disapukan kedua tapak tangannya dan diselang-selangi diantara anak-anak jarinya. Maksudnya disuruh begini ialah supaya debu itu rata sampai kepada kedua siku dengan sekali tepukan. Apabila sukar yang demikian, maka tiada mengapa diratakan debu itu dengan dua kali tepukan atau lebih. Apabila telah bershalat satu shalat fardlu dengan tayammum itu, maka bolehlah baginya bershalat sunat sekehendak hatinya. Kalau ia menjama’ (menghimpunkan) antara dua shalat fardlu, maka hendaklah mengulangi tayammum bagi shalat fardlu yang kedua. Begitulah, masing-masing fardlu itu dengan satu tayammum. Wallaahu a’lam ! Allah Yang Maha Tahu !.

BAHAGIAN KETIGA: tentang kebersihan & pembersihan dari sisa-sisa sesuatu yang nyata. Yaitu 2 macam: daki dan bahagian-bahagian dari sisa sesuatu.
Yang pertama: daki dan segala yang basah yang menyerupai peluh, yaitu 8 perkara:
Pertama: yang berkumpul di dalam rambut kepala, dari kotoran dan kutu. Maka membersihkan daripadanya itu disunatkan, dengan mandi, disisir dan diberi minyak untuk menghilangkan kotoran itu. Dan: “Adalah Nabi saw meminyaki rambutnya, menyisirkannya sekali-sekali dan menyuruh dengan yang demikian”. Dan bersabda ia saw: “minyakilah sekali-sekali”. Bersabda ia saw: “Siapa yang mempunyai rambut maka hendaklah memuliakannya”. Artinya: memeliharanya daripada daki. Datang menghadap Nabi saw, seorang laki-laki, yang rambutnya kusut-musut, janggutnya centang-perenang, maka bersabda Nabi saw: “Apakah orang ini tidak mempunyai minyak untuk membereskan rambutnya ?”. Kemudian Nabi saw terus menyambung: “Salah seorang kamu masuk seolah-olah seperti setan”.
Kedua: daki yang berkumpul dalam lipatan-lipatan telinga. Dengan disapu, hilanglah yang zhahir daripadanya. Dan yang terkumpul di dalam lobang telinga itu, maka seyogyalah dibersihkan dengan pelan-pelan ketika keluar dari kamar mandi. Karena apabila daki itu banyak, kadang-kadang membawa melarat kepada pendengaran.
Ketiga: yang berkumpul di dalam hidung, daripada benda-benda basah dan keras, yang melekat pada tepi-tepi hidung. Menghilangkannya adalah dengan menghisap air ke hidung (istinsyaq) dan dengan membersihkan air tersebut (istintsar).
               Keempat: kotoran yang berkumpul pada gigi & pinggir lidah. Maka menghilangkannya adalah dengan bersugi & berkumur-kumur. Keduanya itu telah kami terangkan dahulu.
              Kelima: daki dan kutu yang berkumpul pada janggut apabila tiada diusahakan membersihkannya. Maka disunatkan menghilangkannya dengan mandi dan menyisirkannya dengan sisir. Pada suatu hadits yang masyhur, tersebut bahwa Nabi saw: “Tiada pernah berpisah dengan sisir, pisau kecil dan cermin muka, di dalam perjalanan atau di tempat tinggal”. Dan itu memang menjadi kebiasaan bagi orang-orang Arab. Pada suatu hadits yang tidak begitu terkenal (hadits gharib), bahwa Nabi saw menyisirkan janggutnya sehari dua kali dan adalah Nabi saw itu berjanggut tebal. Dan seperti itu pula Abu Bakar. Dan Usman adalah berjanggut panjang tetapi tipis. Dan Ali berjanggut lebar memenuhi diantara kedua tulang-rahangnya. Pada suatu hadits yang lebih tiada terkenal lagi, berkata ‘Aisyah: “Berkumpul suatu kaum pada pintu Rasulullah saw lalu beliau keluar menjumpai mereka. Saya melihat beliau kelihatan memakai baju kurung panjang dengan bersisir rambut dan janggutnya. Maka saya bertanya: “Mengapakah berbuat demikian ya Rasulullah ? maka menjawab beliau: “Ya, sesungguhnya Allah menyukai daripada hambaNya, berbuat keelokan untuk saudara-saudaranya apabila keluar ia menemui mereka”. Orang bodoh, kadang-kadang menyangka bahwa yang demikian itu karena suka menghias diri untuk memperlihatkan kepada manusia, karena membanding kepada budi pekerti orang-orang lain dan karena menyerupakan malaikat dengan tukang-tukang besi. Amat jauhlah yang demikian ! sesungguhnya adalah Rasulullah saw disuruh melakukan dakwah. Dan sebahagian dari tugasnya, ialah berusaha membesarkan keadaan dirinya dalam hati mereka, supaya mereka itu tidak menghinakannya. Dan baguslah bentuknya pada mata mereka. Supaya mereka tidak memandang kecil kepadanya, lalu menjauhkan mereka daripadannya. Dan orang-orang munafik itu bergantung dengan demikian, pada menjauhkan mereka. Maksud yang seperti itu harus ada pada tiap-tiap orang yang berilmu pengetahuan, yang menggunakan nya untuk mengajakan manusia kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Yaitu harus menjaga sesuatu yang zhahiriyah, yang tiada membawa manusia lari daripadanya. Dan berpegang di dalam keadaan yang seperti ini dengan niat yang baik. Karena itu adalah segala perbuatan, di dalam perbuatan itu sendiri diusahakan sifat-sifat daripada yang dimaksud. Maka menghias diri atas maksud yang tersebut tadi adalah disukai.
Membiarkan janggut di dalam keadaan kusut sebagai menyatakan zuhud dan kurang menghiraukan diri itu, dilarang. Dan kalau dibiarkan yang demikian disebabkan ada sesuatu yang lebih penting, maka itu disukai. Inilah keadaan-keadaan bathiniyah diantara hamba dan Allah ‘Azza Wa Jalla. Orang yang bersifat kritis adalah bermata hati. Dan yang suka mencampur-baurkan, adalah tiada beruntung dalam keadaan manapun juga. Berapa banyak orang bodoh yang memperbuat segala perbuatan itu karena memandang kepada manusia. Maka dia adalah mengacau terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Dan mendakwakan bahwa maksudnya itu baik. Maka kita melihat segolongan dari ulama, memakai pakaian mewah dan mendakwakan bahwa maksudnya adalah untuk menghinakan orang-orang bid’ah (yang diada-adakan) dan orang-orang yang suka berdebat dan dengan itu ia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Yang demikian adalah suatu perkara yang akan terbuka di hari segala rahasia terbuka, di hari dibongkar apa yang di dalam kubur dan dibukakan apa yang di dalam dosa, maka pada ketika itu berbedalah emas murni daripada tembaga. Kita berlindung dengan Allah daripada kehinaan pada hari kedatangan (hari mahsyar) yang agung itu.
Keenam: daki pada lipatan punggung anak-anak jari. Adalah orang Arab tidak banyak menyucikannya karena membiarkan tangannya tiada berbasuh sesudah makan. Maka berkumpullah daki pada tempat-tempat itu. Maka Rasulullah saw menyuruh mereka, dengan membersihkan sendi anak-anak jari.
Ketujuh: membersihkan ujung anak-anak jari dan di bawah kuku-kuku. Rasulullah saw menyuruh orang Arab membersihkannya. Yaitu: ujung anak-anak jari dan daki yang dibawah kuku. Karena tidak membawa pisau pemotong kuku, setiap waktu maka berkumpullah daki padanya. Lalu Rasulullah saw memberikan waktu bagi mereka untuk memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan di dalam 40 hari. Tetapi Rasulullah saw terus menyuruh mereka membersihkan daki yang ada di bawah kuku. Tersebut pada atsar, bahwa: “Nabi saw merasa lambat datangnya wahyu. Maka tatkala turun Jibril as kepadanya, lalu berkata ia kepada Nabi saw: “Bagaimana kami turun kepadamu, sedang kamu tiada membasuhkan lipatan belakang anak-anak jarimu dan tiada membersihkan ujung anak-anak jari dan bawah kuku-kukumu dan tiada bersugi dari kotoran gigimu ? suruhlah umatmu dengan yang demikian itu !”. Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah engkau mengatakan kepada ibu bapak perkataan uff (cis)”. S 17 Al Israa’ ayat 23. “Uff” itu menurut aslinya berarti: daki kuku. Jadi: janganlah dihinakan keduanya dengan: daki yang di bawah kuku itu. Adapula yang mengatakan bahwa maksudnya: janganlah engkau merasa disakiti dengan keduanya seperti engkau merasa disakiti dengan daki yang di bawah kuku.
Kedelapan: daki badan yang terdapat pada seluruh badan karena keringat dan debu jalan. Daki itu dapat dihilangkan dengan mandi. Dari itu, tiada mengapa memasuki tempat pemandian umum (hammam). Para sahabat Rasulullah saw memasuki tempat-tempat pemandian umum di negeri Syam (syiria) dan berkata sebagian dari mereka: “Sebaik-baik rumah ialah rumah yang mempunyai hamam, yang menyucikan badan dan mengingatkan kepada api neraka”. Diriwayatkan yang demikian dari Abid-Darda dan Abi Ayyub Al-Anshari ra berkata setengah mereka: “Sejahat-jahat rumah, ialah rumah yang menjadi tempat pemandian umum, yang menampakkan aurat dan menghilangkan malu”. Yang ini membentangkan bahayanya dan yang itu (di atas tadi) membentangkan faedahnya. Dan tiada mengapa mencari faedahnya ketika terpelihara daripada bahayanya. Tetapi orang yang masuk hammam itu, mempunyai beberapa tugas, yang merupakan sunat dan wajib. Ia mempunyai 2 kewajiban terhadap auratnya sendiri dan 2 kewajiban terhadap aurat orang lain. Adapun 2 kewajiban terhadap auratnya sendiri, yaitu menjaganya dari pandangan orang lain dan memeliharanya daripada sentuhan orang lain. Maka tiada yang mengurus auratnya dan membersihkan daki auratnya melainkan tangannya sendiri. Dan mencegah tukang gosok badan daripada menyentuh paha dan diantara pusat sampai kepada bulu kemaluannya. Dan mengenai bolehnya selain anggota dari menyentuh keluar najis, muka dan belakang (sau-ah), untuk menghilangkan daki, itu ada kemungkinan. Tetapi yang lebih dapat dikiaskan itu haram, karena dihubungkan menyentuh kedua sau-ah (baik yang dimuka dan yang dibelakang) itu, tentang haramnya, dengan memandang. Begitu pula hendaknya dengan bahagian aurat yang lain, yakni: kedua paha. Dan dua kewajiban mengenai aurat orang lain, yaitu memejamkan matanya sendiri daripada melihat aurat orang lain dan melarang orang lain daripada membuka auratnya. Karena melarang dari perbuatan mungkar itu, wajib. Dari itu harus atasnya mengingatkan yang demikian dan tidak harus atasnya menerima. Kewajiban memperingatkan itu tidak hilang, kecuali karena takut dipukul atau dimaki atau akan dilakukan terhadap dirinya suatu yang haram. Maka tidak boleh ia menantang yang haram itu, yang dipaksakan kepadanya nanti oleh orang yang ditantang, kepada mengerjakan suatu haram yang lain.
Adapun sekedar mengatakan: ketahuilah bahwa perbuatan itu tiada berfaedah dan janganlah dikerjakan perbuatan yang demikian maka yang seperti itu tiada mengapa. Bahkan harus diperingati secara yang demikian. Maka tiada terlepas hati, daripada berkesan dengan mendengar tantangan dan merasa berjaga-jaga diri ketika disebut perbuatan maksiat. Dan yang demikian memberi kesan tentang menjelekkan perbuatan itu dan menjauhkan diri daripadanya. Maka tidak boleh ditinggalkan !. Dan karena alasan yang seperti itulah, maka tidak memasuki tempat pemandian umum pada waktu sekarang menjadi tanda berhati-hati. Karena tiada terlepas daripada melihat aurat terbuka, lebih-lebih yang di bawah pusat hingga yang di atas bulu kemaluan. Karena manusia sekarang tidak memandangnya aurat lagi. Sedang agama menghitungkannya aurat dan menjadikan sebagai anggota yang terhormat bagi aurat itu. Dari itu, disunnatkan mengosongkan tempat pemandian umum itu. Berkata Bisyr bin Al-Harts: “Alangkah sulitnya seseorang yang tidak mempunyai uang selain sedirham yang dibayarkannya supaya boleh ia memakai tempat pemandian umum !”. Dilihat orang Ibnu Umar ra pada tempat pemandian umum dan mukanya ke dinding. Ia menutup kedua matanya dengan sepotong kain. Berkata setengah mereka: “Tidak mengapa masuk ke tempat pemandian umum, asal dengan dua helai kain, sehelai untuk penutup aurat dan sehelai lagi untuk penutup kepala, yang mencukupi untuk kepala itu dan untuk memelihara kedua matanya”.
Adapun sunat, maka 10:
Pertama: niat. Yaitu bahwa ia tidak masuk hammam/tempat pemandian umum itu karena dunia dan tidak untuk bermain-main karena dorongan hawa nafsu. Tetapi maksudnya ialah kebersihan yang amat disukai, karena penghiasan bagi shalat. Kemudian memberikan kepada penjaga tempat pemandian umum itu sewanya sebelum masuk. Maka sesungguhnya apa yang akan dipakai oleh orang itu secara maksimalnya tiada diketahui. Dan begitu pula apa yang ditunggu oleh penjaga tempat pemandian umum itu. Maka menyerahkan sewanya sebelum masuk adalah menolakkan kebodohan dari salah satu dari dua yang dipertukarkan itu dan untuk membaikkan bagi dirinya. Kemudian orang yang masuk ke dalam pemandian umum itu, mendahulukan kakinya yang kiri, ketika masuk seraya membaca doa yang artinya: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku berlindung dengan Allah dari kotoran yang najis, keji lagi dikejikan, setan yang terkutuk”. Kemudian masuk ke tempat pemandian itu di dalam keadaan yang sunyi atau menunggu kesunyian tempat pemandian umum itu. Karena jikalau tidak ada pada tempat pemandian umum itu, selain dari ahli agama dan orang-oarng yang memelihara auratnya, maka memandang kepada badan-badan yang terbuka, adalah banyak sedikitnya bercampur dengan perasaan malu. Dan itu mengingatkan kepada memandang aurat-aurat orang. Kemudian tidaklah terlepas manusia itu dalam gerak-geriknya dari terbuka aurat, disebabkan terangkat tepi kain sarungnya, lalu jatuhlah pandangan kepada aurat dengan tidak disengaja. Karena itulah Ibnu Umar ra menutup kedua matanya. Dan membasuh kedua bahagian tubuh ketika masuk. Dan janganlah bersegera masuk tempat pemandian yang sedang panas, sehingga keluarlah peluhnya pada pertamanya. Dan tidak membanyakkan penuangan air, tetapi menyingkatkan sekedar perlu saja. Karena demikianlah yang diizinkan, menurut tanda-tanda dari keadaan yang berlaku. Dan melebihkan air daripada yang diperlukan, kalau diketahui oleh penjaga tempat pemandian itu, niscaya tidak disukainya, lebih-lebih air panas. Karena memerlukan perongkosan yang lebih banyak dan tenaga yang meletihkan. Dan bahwa mengingati akan panasnya api neraka dengan panasnya tempat pemandian umum itu. Dan mengumpamakan dirinya terkurung pada tempat yang panas itu satu jam dan membandingkannya kepada neraka jahannam. Karena tempat pemandian umum itu adalah rumah yang lebih menyerupai dengan neraka jahannam, di mana, apinya di bawah dan gelapnya di atas. Kita berlindung dengan Allah dari yang demikian !. Bahkan, orang yang berakal, tidak lalai daripada mengingati akhirat pada tiap detik, karena akhirat itu adalah tempat kembali dan tempat ketetapannya. Maka pada tiap-tiap yang dilihatnya, baik air atau api ataupun lainnya, adalah menjadi ibarat dan pengajaran baginya.
Manusia itu memandang sesuatu menurut cita-citanya. Apabila masuklah seorang penjual kain, seorang tukang kayu, seorang pembangun gedung-gedung dan seorang tukang tenun ke dalam sebuah rumah besar yang terhias cantik, maka apabila kita perhatikan keadaan mereka itu masing-masing, niscaya kita lihat penjual kain itu memandang kepada alas lantai, memperhatikan nilainya. Tukang tenun itu memandang kepada kain-kain, memperhatikan tenunannya. Tukang kayu itu memandang ke atap, memperhatikan bagaimana susunannya. Dan pembangun gedung-gedung itu memandang kepada dinding batu, memperhatikan bagaimana keteguhan dan kelurusan bangunannya. Maka seperti itu pulalah orang yang berjalan di jalan akhirat, tidak memandang dari barang-barang yang banyak itu sesuatu, melainkan yang mengandung pengajaran dan peringatan bagi akhirat. Bahkan ia tiada melihat kepada sesuatu, melainkan dibukakan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla, jalan ibarat baginya. Jika ia melihat kepada sesuatu yang hitam, lalu teringatlah ia akan kegelapan di dalam kubur. Jika ia melihat kepada seekor ular, lalu teringatlah ia akan ular-ular di neraka jahannam. Jika ia melihat kepada suatu bentuk yang buruk lagi menakutkan, lalu teringatlah ia akan malaikat Munkar, Nakir dan Az-Zabaniah. Jika ia mendengar suatu suara yang dahsyat, lalu teringatlah akan bunyi sangkakala. Jika melihat sesuatu yang cantik, lalu teringatlah ia akan kenikmatan sorga. Jika ia mendengar kata bersoal-jawab di pasar atau di rumah, lalu teringatlah ia akan apa yang akan terbuka, dari akhir urusannya, setelah dihisab, ditolak atau diterima. Alangkah layaknya, kalaulah ini yang menjadi kebiasaan di dalam jiwa orang yang berakal! karena sebetulnya tiadalah yang memalingkan dia daripadanya selain oleh kepentingan-kepentingan duniawi. Apabila dibandingkan lama berdiam di dunia dengan lama berdiam di akhirat, niscaya dipandangnya hina dunia ini, kalau ia bukan termasuk orang yang telah lalai jiwanya dan buta mata hatinya.
Setengah daripada sunat, bahwa tiada memberi salam, ketika masuk ke tempat pemandian umum itu. Jika orang memberi salam kepadanya, maka jangan dijawabnya dengan kata-kata salam, tetapi berdiam diri saja, jika ada orang lain yang menjawabnya. Dan kalau ia suka, maka baiklah menjawab: “Kiranya Allah memberikan kesehatan kepadamu !”. Tiada mengapa ia berjabat tangan dengan orang yang masuk, seraya mengucapkan sebagai permulaan percakapan: “Kiranya Allah memberikan kesehatan kepadamu !”. Kemudian, tiada membanyakkan percakapan di dalam tempat pemandian umum itu dan tiada membaca ayat Alquran, kecuali dengan hati saja. Tiada mengapa membaca A’udzu billah, artinya memohonkan perlindungan dengan Allah daripada setan, dengan suara keras. Dimakruhkan masuk ke tempat pemandian umum diantara Maghrib dan ‘Isya dan mendekati matahari terbenam. Karena ketika itu adalah waktu berkeliaran setan-setan. Tiada mengapa badannya digosok orang lain. Telah dinukilkan demikian dari Yusuf bin ‘Asbath bahwa ia meninggalkan wasiat untuk dimandikan dia oleh orang yang bukan sahabatnya. Dia berkata: “Bahwa orang itu telah menggosokkan badanku sekali di tempat pemandian umum, maka aku bermaksud membalaskan jasanya dengan sesuatu yang disukainya. Dan sesungguhnya dia akan bergembira dengan yang demikian itu”. Dan dibuktikan kepada bolehnya, oleh apa yang diriwayatkan oleh sebahagian sahabat: “Bahwa Rasulullah saw bertempat pada suatu rumah dalam sebahagian perjalanannya. Maka tidurlah ia dengan menungkup dan seorang budak hitam memijit-mijit belakangnya. Maka aku bertanya: “Apakah ini ya Rasulullah ?”. Menjawab Nabi saw: “Bahwa unta ini mencebur kepadaku”. Kemudian, tatkala telah siap dari tempat pemandian umum itu, maka bersyukurlah kepada Allah ‘Azza Wa Jalla atas nikmatNya. Orang mengatakan bahwa air yang panas pada musim dingin adalah suatu nikmat yang diminta. Berkata Ibnu Umar ra: “Tempat pemandian umum itu adalah termasuk nikmat yang diadakan oleh manusia ramai”. Ini semuanya dari segi agama.
Adapun dari segi kesehatan, maka orang mengatakan bahwa mandi di tempat pemandian umum itu sesudah memakai obat yang membersihkan rambut kepala, menjamin daripada penyakit kusta. Dan ada yang mengatakan bahwa membersihkan rambut kepala pada tiap-tiap bulan sekali, menghilangkan bintik-bintik kuning pada badan, membersihkan warna kulit dan menambahkan kekuatan tenaga bersetubuh. Dan orang mengatakan bahwa membuang air kecil di tempat pemandian umum itu, dengan berdiri pada musim dingin, adalah lebih bermanfaat daripada minum obat. Dan ada yang mengatakan bahwa tidur pada musim panas sesudah mandi di halaman itu, menyamai dengan minum obat. Dan membasuh dua tapak kaki dengan air dingin, setelah keluar dari hammam, adalah menjamin daripada penyakit bengkak pada otot kaki. Dimakruhkan menuang air dingin ke atas kepala ketika keluar dari hammam. Demikian juga meminumnya. Yang tersebut itu adalah hukumnya mengenai laki-laki. Adapun wanita, maka telah bersabda Nabi saw: “Tidak halal bagi laki-laki memasukkan isterinya ke hammam dan dalam rumahnya mempunyai hammam”. Dan hadits masyhur: “Bahwa haram kepada laki-laki memasuki hammam, selain dengan berkain sarung. Dan haram atas wanita memasuki hammam, kecuali dia sedang bernifas atau sakit”. Dan ‘Aisyah telah memasuki hammam di waktu dia menderita sakit. Kalau wanita itu masuk hammam karena sesuatu kepentingan, maka janganlah masuk kecuali dengan kain sarung yang lengkap. Dimakruhkan bagi laki-laki memberikan kepada wanita sewa hammam, karena yang demikian itu adalah merupakan pertolongan kepada wanita untuk berbuat yang makruh.
BAHAGIAN KEDUA: tentang segala sesuatu yang mendatang pada tubuh manusia, dari bahagian-bahagian. Yaitu: 8.
Pertama: rambut kepala. Dan tiada mengapa mencukurnya bagi orang yang bermaksud kebersihan. Dan tiada mengapa membiarkannya bagi orang yang dapat meminyaki dan menyisirkannya. Kecuali apabila ditinggalkannya dengan memotong sebahagian dan tidak sebahagian, dari kepala. Dan itu adalah kebiasaan orang-orang terkutuk dan keji (ahlisy-syath-tharah). Atau dilepaskannya rambut terurai, ke kanan dan ke kiri seperti bentuk yang biasa diperbuat oleh golongan bangsawan, sebagai simbul mereka. Maka apabila ia bukan orang bangsawan, niscaya adalah yang demikian itu talbis (pemakai pakaian yang bukan pakaiannya).
Kedua: kumis. Bersabda Nabi saw: “Guntinglah kumismu”. Pada riwayat yang lain, berbunyi: “Potonglah kumismu”. Dan pada riwayat yang lain lagi, berbunyi: “Buatlah kumismu di tepi bibir (huffu) dan biarkanlah janggutmu sampai panjang (A’fu)”, artinnya: kumis itu dibuat dengan baik di keliling bibir, karena Nabi saw mengatakan pada sabdanya yang di atas, menurut bahasa aslinya dengan kata-kata “huffu”, yang berarti: buatlah kumis itu di keliling bibir sebab kata-kata itu mengandung keliling. Diantaranya dapat diperhatikan pada firman Allah Ta’ala: “Dan engkau akan melihat malaikat-malaikat berkerumun di keliling ‘Arasy itu”. S 39 Az Zumar ayat 75. Pada kata-kata lain “uhfuu”, dan ini memberitahukan dengan membuang sampai habis. Dan katanya “huffuu”, menunjukkan kurang dari demikian. Berfirman Allah Ta’ala: “Kalau itu dimintaNya kepada kamu, dan didesakNya kamu, niscaya kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37. Kata-kata “didesaknya”, bahasa Arabnya ialah: “yuhfi”, kata asalnya “ihfa”, artinya: didesaknya sampai habis, maka ini menunjukkan, menurut bahasa: membuang sampai habis.
Adapun mencukur kumis itu, tiada datang ketegasannya. Dan “ihfa”, tadi yang mendekati kepada mencukurnya, dinukilkan dari sahabat-sahabat Nabi saw: dilihat oleh sebahagian tabi’in (para pengikut sahabat), kepada seorang laki-laki yang membuat kumisnya demikian pendek, mendekati kepada dicukur, lalu berkata: “Disebutkan yang demikian kepadaku oleh sahabat-sahabat Rasulullah saw”.
Berkata Al-Mughirah bin Syu’bah: “Rasulullah saw memandang kepadaku dan telah panjanglah kumisku, seraya bersabda: “Mari guntinglah dia karenaku, bukan karena orang lain !”. Dan tiada mengapa membiarkan panjang kedua tepi kumis itu, yang telah diperbuat demikian oleh Umar dan orang lain. Karena yang demikian tidaklah menutupkan mulut dan tidak tertinggal padanya bekas makanan. Karena tepi kumis itu tidak sampai kepada mulut. Dan mengenai sabda Nabi saw di atas mengenai janggut, yang disuruhnya supaya dibiarkan, maksudnya adalah membiarkan janggut itu sampai banyak. Pada suatu hadits tersebut: “Bahwa orang Yahudi itu membanyakkan kumisnya dan mengguntingkan janggutnya. Maka hendaklah kamu berbeda dari mereka !”. Sebagian ulama memandang makruh menggunting janggut dan berpendapat itu bid’ah (yang diada-adakan).
Ketiga: bulu ketiak. Disunatkan mencabutnya sekali pada tiap-tiap 40 hari. Yang demikian itu adalah mudah bagi orang yang telah membiasakan mencabutnya dari bermula. Adapun orang yang telah membiasakan mencukurnya, maka memadailah dengan mencukurnya, karena kalau dicabut, maka mendatangkan kesakitan dan penderitaan. Yang dimaksud adalah kebersihan dan tidak berkumpul daki di celah-celah bulu ketiak itu. Dan yang demikian berhasil dengan dicukur.
Keempat: bulu kemaluan. Disunatkan menghilangkannya, adakalanya dengan dicukur atau dengan obat yang menghilangkan bulu. Dan tidak layaklah diperlambat menghilangkan bulu itu daripada 40 hari.
Kelima: kuku. Memotong kuku disunatkan karena buruk tampaknya apabila kuku itu panjang dan karena berkumpul daki di bawahnya. Bersabda Nabi saw: “Hai Abu Hurairah ! potonglah kukumu, karena setan duduk di atas kuku yang panjang itu”. Kalau ada daki di bawah kuku, maka tidaklah yang demikian itu mencegah syahnya wudlu. Karena daki itu tidak menghalangi sampainya air. Dan tidak diperkeras benar mengenai kuku itu karena ada perlunya, lebih-lebih mengenai kuku laki-laki. Dan tidak diperkeras benar mengenai daki yang berkumpul di atas punggung anak jari, punggung kaki dan tangan dari orang-orang Arab dan bangsa hitam. Rasulullah saw menyuruh mereka memotong kuku dan tidak senang melihat daki di bawah kuku mereka. Dan tidak disuruhnya mereka mengulangi shalat. Kalau disuruhnya demikian, maka menimbulkan faedah yang lain yaitu memberatkan dan menakutkan dari berbuat yang demikian. Dan tidak saya melihat dalam kitab-kitab, satu haditspun yang meriwayatkan tentang penertiban pemotongan kuku. Tetapi saya mendengar: “Bahwa Nabi saw memulai dengan telunjuknya yang kanan dan menyudahi dengan ibu jari yang kanan. Dan memulai tangan kiri dengan kelingking sampai kepada ibu jari”. Kalau kita perhatikan ini, niscaya terlintaslah pada hati kita, pengertian yang menunjukkan bahwa riwayat dari hadits-hadits itu benar. Karena seumpama pengertian ini tidaklah terbuka pada mulanya melainkan dengan Nur kenabian.
Adapun orang yang berilmu, yang bermata hati, maka tujuannya adalah memahami yang demikian itu dari akal sesudah dinukilkan perbuatan itu kepadanya. Yang jelas bagi saya mengenai hal tersebut dan pengetahuan yang sebenarnya adalah pada sisi Allah, bahwa tak boleh tidak memotong kuku tangan dan kuku kaki. Dan tangan adalah lebih mulia daripada kaki. Maka dimulailah dengan tangan. Kemudian yang kanan adalah lebih mulia dari yang kiri, maka dimulailah dengan yang kanan itu. Kemudian pada yang kanan itu ada 5 anak jari. Dan telunjuk adalah yang termulia diantara anak-anak jari itu, karena dialah yang menunjuk kan pada pengucapan dua kalimah syahadah, dari keseluruhan anak-anak jari itu. Kemudian, sesudah telunjuk, seyogyalah dimulai dengan anak-anak jari di sebelah kanannya, karena agama menyunatkan melakukan penyucian dan lainnya atas yang kanan. Kalau diletakkan punggung tapak tangan di atas lantai, maka adalah ibu jari itu yang kanan. Dan kalau diletakkan perut tapak tangan, maka adalah jari tengah itu yang kanan. Apabila tangan itu dilepaskan menurut keadaannya, maka adalah tapak tangan itu condong ke arah bumi. Karena arah gerakan tangan kanan adalah ke kiri dan kesempurnaan gerakan ke kiri itu membuat punggung tapak tangan menjadi lebih tinggi. Maka apa yang dikehendaki oleh keadaan dari kejadian manusia itu sendiri, adalah lebih utama. Kemudian apabila diletakkan tapak tangan yang satu ke atas tapak tangan yang lain, maka jadilah anak-anak jari itu dalam bentuk lingkaran yang bundar. Maka susunan gilirannya menghendaki akan perjalanan dari kanan telunjuk sampai kembali kepada telunjuk itu. Lalu terjadilah perrmulaan dengan kelingking tangan kiri dan disudahi dengan ibu jarinya. Dan tinggallah ibu jari tangan kanan. Maka disudahilah pemotongan kuku itu dengan ibu jari tangan kanan tadi.
Sesungguhnya diumpamakan, tapak tangan yang satu diletakkan di atas tapak tangan yang lain, sehingga anak-anak jari itu menjadi seperti orang-orang dalam satu lingkaran, supaya jelaslah susunannya. Perumpamaan yang demikian adalah lebih utama daripada perumpamaan meletakkan tapak tangan yang satu atas punggung tapak tangan yang lain. Atau meletakkan punggung tapak tangan yang satu atas punggung tapak tangan yang lain. Karena yang demikian tidaklah menurut yang dikehendaki oleh sifat dari kejadian manusia. Adapun anak-anak jari kaki maka yang lebih utama pada saya, kalau tidak ada riwayat yang dinukilkan tentang itu, ialah dimulai dengan kelingking kaki kanan dan disudahi dengan kelingking kaki kiri, seperti pada menyelang-nyelangi air pada wudlu. Karena segala maksud yang telah kami sebutkan pada tangan dahulu, tidaklah diperoleh di sini, sebab tak ada telunjuk pada kaki. Dan anak-anak jari kaki itu adalah dalam keadaan satu baris yang terletak di atas lantai (tanah). Maka dimulailah dari pihak yang kanan.
Karena mengumpamakannya sebagai suatu lingkaran dengan meletakkan tumit yang satu di atas tumit yang satu lagi, tidaklah sesuai dengan alam kejadian manusia. Lain halnya dengan dua tangan. Titik-titik halus dalam susunan ini, adalah terbuka dengan nur kenabian dalam sekejap mata. Hanya lamanya kepayahan menimpa kita. Kemudian kalau kita ditanyakan mengenai permulaan dari susunan mengenai hal yang tersebut di atas, maka kadang-kadang tidaklah ia terlintas bagi kita. Apabila kami sebutkan perbuatan Nabi saw dan susunan dari perbuatan itu, kadang-kadang memudahkan bagi kita dengan pertolongan Nabi saw dengan kesaksian hukum dan peringatannya kepada maksud, akan pemahaman maksud. Janganlah kita menyangka bahwa segala perbuatan Nabi saw dalam segala gerak-geriknya, adalah di luar timbangan, hukum dan tata tertib. Tetapi seluruh pekerjaan yang berdasarkan kepada usaha (ikhtiar), yang telah kami sebutkan itu, yang ragu-ragu orang yang mengerjakannya, diantara dua macam atau beberapa macam, maka adalah Nabi saw tidak mengerjakan suatu macam tertentu dengan kesepakatan. Tetapi adalah dengan pengertian yang menghendaki untuk dikerjakan dan diutamakan. Maka melepaskan begitu saja dengan menyia-nyiakan, sebagaimana yang biasa terjadi, adalah sifat hewan. Dan membatasi segala gerak-gerik dengan mempertimbangkan segala arti yang terkandung di dalamnya, adalah sifat bagi wali-wali Allah. Dan manakala gerak-gerik dan gurisan hati manusia itu, lebih mendekati kepada pembatasan dan lebih jauh daripada kelengahan dan pengabaian, maka adalah derajat manusia itu sudah lebih banyak mendekati kepada derajat nabi-nabi dan wali-wali. Dan adalah dekatnya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla lebih nyata lagi. Karena orang yang dekat kepada Nabi saw ialah orang yang dekat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan orang yang dekat kepada Allah, tak boleh tidak adalah dia yang dekat. Maka yang dekat daripada yang dekat itu, adalah lebih dekat, dibandingkan dari orang lain. Maka kita berlindung dengan Allah, bahwa ada genggaman gerak-gerik kita dan tetap tenang kita di dalam tangan setan dengan godaan hawa nafsu.
Ambillah ibarat mengenai pembatasan gerak-gerik dengan Nabi saw memakai celak: “Maka sesungguhnya Nabi saw adalah memakai celak pada matanya yang kanan 3 kali dan pada matanya yang kiri 2 kali. Di mulai Nabi dengan yang kanan, adalah karena mulianya”. Dan berlebih-kurang kiranya itu diantara dua mata, supaya jumlahnya menjadi ganjil (3 pada mata kanan dan 2 pada kiri). Karena ganjil itu lebih utama daripada genap. Bahwa Allah Ta’ala itu ganjil (ESA), menyukai yang ganjil. Maka tidak layaklah perbuatan hamba itu terlepas daripada kesesuaian dengan sesuatu dari sifat-sifat Allah. Dari itulah disunatkan ganjil pada istinja’. Dan tiada dicukupkan oleh Nabi saw atas 3 saja, di mana 3 itu adalah ganjil, karena kalau 3 saja maka berarti hanya satu kali saja bagi mata kiri. Dan biasanya satu kali itu, tiadalah meratai segala tepi kelopak mata itu dengan celak. Dan Nabi saw menentukan mata kanan dengan 3 kali, adalah disebabkan keutamaan yang mengharuskan untuk adanya bilangan yang ganjil itu. Dan kanan adalah lebih utama. Dari itu maka ia lebih berhak dengan lebih. Kalau anda bertanya, mengapa Nabi saw menentukan dua kali untuk mata kiri, sedang dua kali adalah genap. Maka jawabnya, adalah bahwa yang demikian itu karena terpaksa. Karena jikalau untuk tiap-tiap mata, dibuat ganjil, maka jadilah jumlahnya genap. Karena ganjil bersama ganjil, menjadi genap. Dan menjaganya supaya ganjil dalam jumlah perbuatan, di mana perbuatan itu berada di dalam suatu perkara, adalah lebih disukai daripada memeliharanya pada satu-satu. Karena itu pula, ada paham yang berpendapat, yaitu: supaya diletakkan celak itu pada tiap-tiap mata 3 kali, diqiaskan (dianalogikan) kepada wudlu. Pendapat ini dinukilkkan dalam pendapat yang benar. Dan adalah pendapat ini lebih utama. Jikalau aku teruskan pemeriksaan secara mendalam, pengertian-pengertian yang halus dari perbuatan-perbuatan yang dijaga oleh Nabi saw di dalam segala gerak-geriknya maka akan panjanglah urusannya. Dari itu qiaskanlah dengan apa yang telah anda dengar, akan apa yang belum anda dengar.
Ketahuilah, bahwa orang yang berilmu (orang ‘alim) itu, tidaklah menjadi pewaris bagi Nabi saw, kecuali apabila ia menjelajah segala pengertian agama. Sehingga tidak ada diantara dia dan Nabi saw, melainkan satu tingkat saja, yaitu tingkat kenabian. Itulah tingkat yang memisahkan diantara pewaris dan orang yang diwarisi. Karena yang diwarisi itu, ialah orang yang mempunyai harta, bekerja untuk memperoleh harta dan yang menguasai akan harta itu. Dan pewaris ialah orang yang tidak berusaha memperoleh harta dan tidak menguasainya, tetapi harta itu berpindah kepadanya dan diterimanya sesudah harta itu menjadi haknya. Maka pengertian-pengertian yang seperti ini, serta mudah memahaminya, dibandingkan dengan segala yang tersembunyi dan rahasia, tidaklah dapat diperoleh sendiri pada permulaannya, selain oleh nabi-nabi. Dan tidaklah terus dapat dipahami sendiri setelah ajaran dari nabi-nabi itu sampai, selain oleh para ulama, di mana mereka itu adalah pewaris daripada nabi-nabi as.
Keenam & ketujuh: lebihan pusat dan ujung kemaluan. Adapun pusat maka dipotong pada waktu mulai lahir. Adapun penyucian dengan khitan, maka adalah adat kebiasaan Yahudi pada hari ke-7 dari kelahiran. Dan menyalahi dengan Yahudi itu dengan mengemudiankan pengkhitanan sampai kepada masa tanggalnya gigi susu anak-anak, adalah lebih disukai dan lebih menjauhkan daripada bahaya. Bersabda Nabi saw: “Khitan itu adalah sunat bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita”. Dan seyogyalah tiada bersangatan pada pengkhitanan wanita. Bersabda Nabi saw kepada Ummi ‘Athiyyah, di mana ia mengkhitankan wanita: “Hai Ummi ‘Athiyyah ! sedangkanlah dan jangan engkau bersangatan ! karena itu menambah berseri-serinya muka dan bermesranya bagi suami”. Artinya: tambah berseri air dan darah muka dan membaikkan pada persetubuhan. Maka lihatlah kepada berisinya kata-kata Nabi saw secara kinayah (sindiran) dan kepada cemerlangnya nur kenabian dari kemuslihatan akhirat yang menjadi maksud terpenting dari kenabian, kepada kemuslihatan duniawi. Sehingga tersingkaplah baginya, padahal dia nabi yang ummi (tidak tahu tulis baca), dari persoalan yang menurun nilainya ini, di mana jikalau terjadilah kelalaian daripadanya, niscaya ditakuti akan timbul melaratnya. Maha sucilah Allah yang mengutus RasulNya menjadi rahmat bagi alam seluruhnya. Supaya dikumpulkan nya untuk alam ini dengan keberkatan kebangkitannya, segala kepentingan duniawi dan agama. Rahmat Allah dan salamNya kepadanya !.
Kedelapan: janggut yang panjang. Kami kemudiankan membicarakannya, karena kami hubungkan dengan janggut ini, beberapa sunat dan bid’ah (yang diada-adakan) mengenai janggut. Karena ini adalah tempat yang terdekat, yang layak menerangkan janggut padanya. Berselisih pendapat mengenai janggut yang panjang. Ada yang mengatakan, kalau digenggam seseorang akan janggutnya dan diambilnya (dipotongnya) yang berlebihan dari genggamannya itu, maka tidak mengapa. Telah dibuat yang demikian, oleh Ibnu Umar dan segolongan tabi’in. Dan dipandang baik oleh Asy-Sya’bi dan Ibnu Sirin. Dan dipandang makruh oleh Al-Hasan dan Qatadah, di mana keduanya mengatakan: “Membiarkan janggut itu dalam keadaan sehat wal ‘afiat adalah lebih disukai, karena sabda Nabi saw: “Perbanyakkanlah janggutmu”. Suruhan di sini adalah lebih mendekati, jika tidak berkesudahan kepada menggunting janggut dan membuatnya bulat dari segala pinggir. Karena panjang yang melewati batas kadang-kadang memburukkan bentuknya dan menjadi buah mulut orang-orang yang suka mencaci dengan kata-kata yang tidak menyedapkan, kepada yang empunya janggut itu. Dari itu tiada mengapa menjaga dari kata-kata itu atas niat tadi. Berkata An-Nakha’i: “Aku heran bagi orang yang berakal yang panjang janggutnya, bagaimana dia tidak mengambil dari janggutnya itu dan dijadikannya diantara dua janggut ? karena kesederhanaan pada tiap-tiap sesuatu itu adalah baik”. Dari itu orang mengatakan: “Semakin bertambah panjanglah janggut, maka akalpun bergegas-gegas pergi (berkurang)”.
Pasal: mengenai janggut itu ada 10 perkara yang makruh. Sebahagiannya lebih makruh dari sebahagian yang lain.
Yaitu: mencatnya dengan warna hitam, memutihkannya dengan belerang, mencabutkannya, mencabutkan yang putih daripadanya, mengurangkan daripadanya dan menambahkan, menyisirkannya dengan dibuat-buat karena ria, membiarkannya kusut-kusut untuk melahirkan zuhud, memandang kepada yang hitam daripadanya dengan kebanggaan diri karena masih muda dan memandang kepada yang putih daripadanya dengan takabur karena kelanjutan umur dan mencatnya dengan warna merah dan kuning tanpa niat apa-apa karena menyerupakan dengan orang-orang shalih.
Adapun yang pertama, yaitu mencatnya, dengan warna hitam, adalah dilarang karena sabda Nabi saw: “Sebaik-baik mudamu, ialah orang yang menyerupakan dengan yang tua daripada kamu. Dan sejahat-jahat orang tua daripada kamu ialah orang yang menyerupakan dengan yang muda daripada kamu”. Yang dimaksudkan dengan menyerupakan dengan orang tua, ialah mengenai kehormatan diri, tidak mengenai memutihkan rambut. Nabi saw melarang mencat nya dengan warna hitam dan bersabda: “Itu adalah penduduk neraka”. Dan pada riwayat yang lain dengan kata-kata: “Mencat dengan warna hitam adalah cat orang-orang kafir”.
Seorang laki-laki kawin pada masa Umar ra dan adalah ia mencat janggutnya dengan warna hitam. Maka lunturlah catnya dan tampaklah ubannya. Lalu oleh keluarga wanita itu, disampaikan kepada Umar ra. Maka Umar ra membatalkan nikahnya dan menderainya dengan pukulan, seraya Umar ra berkata: “Engkau tipu mereka ini dengan kemudaanmu dan engkau sembunyikan ketuaanmu pada mereka”. Orang mengatakan bahwa yang pertama mencat dengan warna hitam ialah Fir’aun, yang kena kutukan Allah. Dari Ibnu Abbas ra, ia meriwayatkan dari Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Akan ada pada akhir zaman suatu kaum yang mencat dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka tidak mencium bau sorga”.
Yang kedua: mencat janggut itu dengan warna kuning dan merah. Itu adalah jaiz (dibolehkan) untuk membuat keraguan tentang tua kepada kafir di dalam peperangan dan perjuangan. Maka kalau bukan atas niat ini, tetapi mau menyerupakan dengan ahli agama, maka ini tercela. Bersabda Nabi saw: “Kuning adalah warna cat bagi orang muslim dan merah adalah warna cat bagi orang mu’min”. Adalah mereka mencat dengan daun pacar untuk warna merah dan dengan khaluq (semacam tumbuh-tumbuhan yang harum) dan al-katam (semacam tumbuh-tumbuhan dipakai untuk rambut dan dapat diperbuat daripadanya dawat untuk menulis) untuk warna kuning. Sebahagian ulama mencat janggutnya dengan warna hitam untuk maju ke medan perang. Yang demikian itu tidak mengapa apabila telah betul niat dan tak ada padanya hawa nafsu dan keinginan buruk.
Yang ketiga: memutihkan janggut itu dengan belerang karena mau menyegerakan untuk melahirkan kelanjutan umur. Supaya memperoleh penghormatan, diterima menjadi saksi, dibenarkan riwayatnya dari orang-orang tua, mengangkat diri dari golongan muda dan melahirkan banyak ilmu pengetahuan, karena menyangka, bahwa dengan telah lama hidup, memberikan kepadanya keutamaan. Amat jauhlah dari yang demikian ! kelanjutan umur itu, tiada menambahkan bagi orang yang bodoh melainkan kebodohan. Ilmu itu adalah buah akal. Yaitu suatu gharizah (instinc) dan tidak berpengaruh kelanjutan umur padanya. Siapa yang gharizahnya bebal, maka lamanya waktu itu menguatkan kebebalannya. Dan adalah orang-orang tua itu mendahulukan akan orang-orang muda disebabkan ilmu.
Adalah Umar bin Al-Khaththab ra mendahulukan Ibnu Abbas, padahal dia masih muda, daripada sahabat-sahabat yang terkemuka. Dan Umar ra bertanya padanya dan tidak pada mereka. Berkata Ibnu Abbas ra: “Tidak didatangkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla kepada seorang hamba akan ilmu pengetahuan, melainkan dia seorang pemuda. Dan kebaikan seluruhnya adalah pada pemuda”. Lalu Ibnu Abbas ra membaca firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Mereka berkata: Kami dengar seorang pemuda yang menyebut-nyebut –menista tuhan-tuhan itu, namanya Ibrahim”. S 21 Al ‘Anbiyaa’ ayat60. Dan firman Allah Ta’ala: “Sesungguh nya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhannya dan Kami tambahi mereka dengan petunjuk”. S 18 Al Kahfi ayat 13. Dan firman Allah Ta’ala: “Dan Kami berikan kepadanya hikmah (kebijaksanaan) ketika dia masih kanak-kanak”. S 19 Maryam ayat 12. Anas ra pernah berkata: “Telah wafat Rasulullah saw dan tidak ada pada kepalanya dan pada janggutnya 20 helai rambut putih”. Maka ditanyakan kepadanya: “Hai Abu Hamzah, sudah tuakah dia ?”. Maka menjawab Anas: “Tiada diberi oleh Allah kepadanya kekurangan dengan tua !”. Kemudian ditanyakan lagi: “Adakah tua itu suatu kekurangan ?”. Menjawab Anas: “Semua kamu tiada menyukai tua”. Diceritakan orang, bahwa Yahya bin Aktsam diangkat menjadi hakim (qadli) ketika berumur 21 tahun. Maka bertanyalah kepadanya seorang laki-laki di dalam majlis dengan maksud hendak memberi malu kepada Yahya disebabkan umurnya masih kecil: “Berapakah umur qadli ? kiranya Allah memberi pertolongan kepadanya”. Maka menjawab Yahya: “Seperti umur ‘Attab bin As-yad ketika diangkat oleh Rasulullah saw menjadi amir dan qadli Makkah”. Maka hitamlah muka laki-laki itu.
Diriwayatkan dari Malik ra, bahwa ia berkata: “Saya baca di dalam sebahagian kitab-kitab: “Janganlah tertipu kamu oleh janggut karena kambing jantanpun berjanggut”. Berkata Abu ‘Amr bin Al-‘Ula: “Apabila engkau melihat orang laki-laki, berbadan tinggi kurus berjanggut lebat, maka hukumlah dia dengan kebodohan, meskipun dia Umayyah bin Abdi Syams”.
Berkata Ayyub As-Sakhtayani: “Saya menjumpai seorang tua berumur 80 tahun mengikuti seorang anak-anak, di mana ia belajar padanya”. Berkata Ali bin Al-Husain: “Siapa yang sudah lebih dahulu berilmu sebelum engkau, maka adalah dia imam engkau pada ilmu itu, meskipun dia lebih muda dari engkau”. Ditanyakan kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Ula: “Adakah baik bagi seorang tua belajar kepada anak kecil ?”. Maka menjawab Abu ‘Amr: “Kalau kebodohan itu dipandang buruk, maka belajar adalah baik pada anak kecil itu”.
Berkata Yahya bin Mu’in kepada Ahmad bin Hanbal, di mana dilihatnya Ahmad sedang berjalan kaki di belakang baghal betina Asy-Syafi’i: “Hai Abu Abdillah ! engkau tinggalkan pembicaraan dengan Sufyan dengan kebesarannya dan engkau berjalan kaki di belakang baghal betina pemuda ini dan engkau mendengar segala perkataannya”. Maka menjawab Ahmad kepada Yahya: “Kalaulah kiranya engkau mengetahui, maka sesungguhnya engkau akan berjalan kaki pula dari yang sebelah lagi. Bahwa ilmu Sufyan kalau luput bagiku dengan langsung, niscaya akan aku peroleh dengan perantaraan orang lain. Dan akal pikiran pemuda ini kalau luput bagiku, niscaya tiada akan aku peroleh lagi, baik dengan langsung atau dengan perantaraan.
Yang keempat: mencabut yang putih dari janggut, karena menjaga dari tua. Dan: “Telah dilarang Nabi saw daripada mencabut yang putih daripadanya. Dan bersabda ia: “Yang putih itu adalah nur bagi orang mu’min”. Mencabut yang putih itu adalah searti dengan mencatnya dengan warna hitam. Dan sebab makruhnya ialah yang telah tersebut dahulu. Dan yang putih itu adalah nur Allah Ta’ala. Benci kepadanya berarti benci kepada nur.
Yang kelima: mencabut janggut atau sebahagian daripadanya yang dapat merusakkan dan menjadikan kepala pening. Yang demikian itu makruh dan merusakkan bagi bentuk muka. Mencabut bulu di bawah bibir bawah itu adalah bid’ah (yang diada-adakan), di mana bulu itu tumbuh pada kedua belah bibir bawah itu. Seorang laki-laki yang datang pada khalifah Umar bin Abdul-‘aziz, sebagai saksi di dalam suatu perkara, maka ditolak kesaksiannya itu, karena dia adalah mencabut bulu di bawah bibirnya, Umar bin Khaththab dan Ibnu Abi Laila qadli madinah menolak menjadi saksi orang yang mencabut janggutnya. Adapun mencabut pada permulaan tumbuh karena akan menyerupai dengan anak muda-belia, maka termasuk diantara mungkar besar. Karena janggut itu adalah perhiasan bagi laki-laki. Bahwa Allah Ta’ala mempunyai malaikat-malaikat yang bersumpah: “Demi Allah yang telah menghiasi putra-putra Adam dengan janggut”. Janggut itu adalah sebahagian dari tanda kesempurnaan kejadian. Dengan janggut itu dapat dibedakan laki-laki daripada wanita. Ada orang yang mengatakan, dalam satu ta’wil yang tidak begitu terkenal (gharib), bahwa janggut, yang dimaksud pada firman Allah Ta’ala: “Tuhan menambah ciptaanNya sebagaimana yang dikehendakiNya”. S 35 Faathir ayat 1.
Berkata para sahabat Al-Ahnaf bin Qais: “Kami ingin membeli untuk Ahnaf janggut walaupun dengan harga 20 ribu”. Berkata Qadli Syuraih: “Aku ingin mempunyai janggut, walapun dengan harga 10 ribu”. Bagaimana janggut itu tidak disukai, padahal padanya tanda kebesaran seseorang dan memandang kepada orang itu dengan pandangan pengetahuan, kemuliaan, ketinggian, di dalam majlis-majlis, segala wajah menghadap kepadanya, didahulukan di dalam rombongan dan dipeliharakan kehormatannya. Orang yang mencaci akan ditentang dengan janggut, kalau yang dicaci itu mempunyai janggut. Ada yang mengatakan: “Bahwa penduduk sorga itu terdiri dari anak-anak muda belia, selain Harun saudara Musa as. Dia mempunyai janggut sampai ke pusatnya sebagai keistimewaan dan kelebihan baginya.
Yang keenam: pengguntingan janggut sebagai persediaan akan kemampuan atas kemampuan, untuk penghiasan bagi wanita dan membuat-buat. Berkata Ka’ab: “Akan ada pada akhir zaman beberapa kaum, yang menggunting janggutnya seperti ekor merpati dan mengusahakan alas kakinya seperti arit. Mereka adalah orang yang tiada berbudi”.
Yang ketujuh: menambahkan pada janggut, yaitu menambahkan pada bulu tudung dari dua pelipis, yakni dari rambut kepala sehingga melewati tulang rahang dan berkesudahan kepada setengah pipi. Dan yang demikian itu melaini/membedakan keadaan orang-orang yang suka kepada perbaikan.
Yang kedelapan: menyisir janggut itu karena manusia. Berkata Bisyr: “Pada janggut itu ada kejahatan, yaitu menyisirkannya karena manusia dan membiarkannya tersia-sia karena melahirkan zuhud”.

Yang kesembilan & yang kesepuluh: memandang pada hitamnya dan pada putihnya dengan pandangan “ujub” (perasaan bangga). Dan itu adalah tercela pada seluruh bahagian badan, bahkan pada seluruh budi pekerti dan perbuatan, sebagaimana akan datang keterangannya. Inilah yang kami maksudkan menyebutkan nya dari segala macam penghiasan dan kebersihan itu. Dan telah berhasil diperoleh dari 3 hadits dari hadits-hadits mengenai tubuh manusia, 12 perkara: 5 daripadanya mengenai kepala: yaitu membelah (menyebak) rambut kepala, berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung (istinsyaq), menggunting kumis dan bersugi: 3 pada tangan dan kaki, yaitu memotong kuku, membasuh belakang anak-anak jari dan membersihkan daki yang di bawah kuku: 4 pada tubuh, yaitu mencabut bulu ketiak, mengandam, berkhitan dan beristinja’ dengan air. Dan telah ada hadits mengenai dengan semuanya. Apabila adalah maksud Kitab ini membentangkan kesucian zhahiriyah, bukan kesucian bathiniyah, maka kami cukupkan hingga ini saja. Dan hendaklah dipahami bahwa semua yang jijik dan kotoran pada bathin yang wajib dibersihkan, adalah lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Dan akan datang penjelasannya pada “Rubu’ Yang Membinasakan” serta memperkenalkan jalan-jalan menghilangkannya dan mensucikan hati daripadanya insya Allah ‘Azza Wa Jalla (Allah yang maha mulai dan maha besar)!. Telah tammat kiranya Kitab Rahasia Bersuci dengan pujian kepada Allah dan dengan pertolonganNya. Dan diiringi –Insya Allah Ta’ala oleh Kitab Rahasia Shalat. Segala pujian bagi Allah Yang Maha Esa. Dan rahmat Allah kepada penghulu kita Muhammad dan kepada tiap-tiap hamba yang pilihan!.