Rabu, 04 Januari 2017

31. KITAB TAUBAT

KITAB TAUBAT
Yaitu: yang pertama dari: Rubu’ Yang Melepaskan, dari Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah, yang dengan pemujianNya, dimulai setiap kitab. Dan dengan menyebut namaNya dimulai setiap pembicaraan. Dan dengan pujian kepadaNya, maka orang yang memperoleh nikmat, akan menikmati dalam negeri pahala (sorga). Dan dengan namaNya, orang-orang celaka (munafiq) menghibur kan hatinya, walaupun telah dijatuhkan hijab (dinding) pada pihak mereka. Dan dijadikan diantara mereka dan orang-orang bahagia, dinding yang mempunyai pintu (tempat masuk orang-orang mu’min). Batinnya dinding itu, di dalamnya rahmat (karena bersambung dengan sorga). Dan zahirnya, dari arah dinding itu azab (karena bersambung dengan neraka).
Kitab bertaubat kepada Allah, sebagai taubatnya orang yang yakin, bahwa Allah lah pemilik dari segala yang memiliki dan penyebab dari segala sebab. Kita mengharap kepadaNya, sebagai harapannya orang yang mengetahui, bahwa DIAlah yang memiliki, yang Maha Pengasih, yang Maha Pengampun dan yang maha penerima taubat. Kita campurkan takut dengan harapan kita itu, sebagaimana dicampurkan oleh orang yang tidak ragu, bahwa DIA itu bersama Dianya Pengampun dosa dan Penerima taubat, adalah sangat pedih siksaanNya. Kita berselawat kepada NabiNya Muhammad saw, kepada keluarganya dan para sahabatnya, selawat yang melepaskan kita dari huru-hara ketakutan dari tempat melihat, pada hari dibawa kepada Allah (yaumul-‘ardl) dan hitungan amal (yaumul-hisab). Dan selawat yang menyediakan bagi kita pada sisi Allah, kedekatan dan baik tempat kembali.
Adapun kemudian, maka sesungguhnya taubat dari dosa, dengan kembali kepada Tuhan Yang Maha penutup segala kekurangan dan Yang Maha Tahu segala yang ghaib itu, adalah permulaan jalan orang-orang yang berjalan kepada Allah (orang-orang salik), modal orang-orang yang memperoleh kemenangan, permulaan tampilnya orang-orang yang berkehendak pada jalan Allah, kunci kelurusan tegak orang-orang yang cenderung pada hal-hal yang syubhat (diragukan), tempat muncul pemilihan dan penyaringan bagi orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah (al-muqarrabin). Dan bagi bapak kita Adam as rahmat dan sejahtera dan kepada nabi-nabi lainnya semua.
Alangkah layaknya bagi anak-anak, mengikuti bapak-bapak dan nenek-nenek. Maka tidak ragu lagi, bahwa anak Adam telah berbuat dosa dan berbuat kesalahan. Maka itu adalah tabiatnya (sifatnya), yang diketahuinya dari Akhzam, yang mengatakan: “Siapa yang menyerupai ayahnya, maka dia itu tidak berbuat zalim (menganiaya)”. Akan tetapi bapak, apabila ia menempelkan sesudah ia pecahkan, niscaya ia bangunkan sesudah ia runtuhkan. Maka hendaklah mengikuti bapak itu pada masing-masing dua tepi: pada negatif dan pada positif, pada ada dan pada tidak.
Sesungguhnya nabi Adam as telah mengetuk gigi penyesalan (menyatakan penyesalannya). Ia sangat menyesal atas apa yang telah diperbuatnya dahulu dan telah berlalu itu. Maka siapa yang mengambilnya menjadi ikutan pada dosa, tanpa taubat, niscaya dengan yang demikian, telah tergelincirlah tapak kakinya. Akan tetapi, menjurus kepada semata-mata kebajikan, adalah sifat para malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah. Dan menjurus kepada kejahatan, tanpa kembali kepada kebaikan, adalah sifat setan-setan. Dan kembali kepada kebajikan, sesudah jatuh dalam kejahatan, adalah perlu (penting) bagi para anak Adam.
Maka yang menjuruskan dirinya bagi kebajikan, adalah malaikat yang mendekatkan dirinya pada sisi Raja Yang memiliki hari agama (Allah Ta’ala). Dan yang menjuruskan dirinya bagi kejahatan, adalah setan. Dan yang membaik dari kejahatan, dengan kembali kepada kebajikan, pada hakikat/maknanya itulah insan. Sesungguhnya telah bercampur pada tanah kejadian insan, dua campuran. Dan menyertai padanya dua sifat (tabiat). Dan setiap hamba (manusia) itu, dishahkan keturunannya, adakalanya kepada malaikat atau kepada Adam atau kepada setan. Maka orang yang bertaubat itu, telah menegakkan dalil, atas shah keturunannya kepada Adam, dengan selalu menggunakan batas insan. Dan orang yang berkekalan atas kezaliman, mendaftarkan dirinya pada keturunan setan.
Adapun pengesahan keturunan kepada malaikat, dengan menjurus semata-mata kebajikan, maka ia keluar dari batas kemungkinan. Sesungguhnya kejahatan itu diremas (digodok) bersama kebajikan, pada tanah kejadian Adam, penggodokan yang teguh sekali, yang tidak dapat dilepaskan, selain oleh salah satu dua api: api penyesalan atau api neraka jahannam. Maka dibakarkan dengan api itu perlu, pada memurnikan zat (jauhar/benda/barang) insan, dari kekejian setan. Dan terserah kepada anda sekalian, memilih yang termudah dari dua api tersebut. Dan bersegera kepada yang lebih ringan dari dua kejahatan itu, sebelum dilipatkan (digulungkan) kain permadani pemilihan. Dan dihalaukan ke negeri darurat. Adakalanya, ke sorga dan adakalanya ke neraka.
Apabila adalah taubat itu, kedudukannya pada agama, kedudukan ini, niscaya wajiblah mendahulukannya pada memulai “Rubu Yang Melepaskan”, dengan penguraian hakikat/maknanya, syarat-syaratnya, sebabnya, alamatnya, buahnya, bahaya-bahaya yang mencegah daripadanya dan obat-obat yang memudahkan baginya. Dan akan jelas yang demikian itu, dengan menyebutkan 4 sendi (4 rukun):
Sendi pertama: mengenai diri taubat sendiri, penjelasan batasnya dan hakikat/maknanya. Dan bahwa taubat itu wajib segera dan atas semua orang dan dalam semua hal. Dan taubat itu apabila telah shah, niscaya diterima.
Sendi kedua: tentang apa, yang daripadanya itu taubat, yaitu: dosa. Dan penjelasan pembahagian dosa, kepada dosa kecil dan dosa besar. Dan apa yang menyangkut dengan hamba dan apa yang menyangkut dengan hak Allah Ta’ala. Dan penjelasan begaimana pembahagian derajat-derajat dan tingkat-tingkat kepada kebaikan dan keburukan. Dan penjelasan sebab-sebab, yang dengan sebab-sebab itu, menjadi besar dosa kecil.
Sendi ketiga: mengenai penjelasan syarat-syarat taubat, berkekalannya dan bagaimana memperbaiki kembali apa yang telah lalu, dari perbuatan-perbuatan zalim. Bagaimana menutup dosa-dosa itu. Dan penjelasan bahagian-bahagian orang-orang yang taubat pada berkekalan taubatnya.
Sendi keempat: tentang sebab yang menggerakkan kepada taubat dan bagaimana cara pengobatan pada melepaskan ikatan kekekalan dari orang-orang yang berbuat dosa. Dan akan sempurnalah maksud dengan sendi-sendi yang 4 ini, insya Allah ‘Azza wa Jalla.
SENDI PERTAMA: tentang diri taubat itu sendiri.
PENJELASAN: hakikat/makna taubat dan batasnya.
Ketahuilah, bahwa taubat itu ibarat dari suatu pengertian yang tersusun dan bersedaging dari 3 perkara yang bertartib. Yaitu: ilmu, keadaan dan perbuatan. Maka ilmu yang pertama, keadaan yang kedua dan perbuatan yang ketiga. Yang pertama mengharuskan yang kedua dan yang kedua mengharuskan yang ketiga, karena positif yang dikehendaki oleh datangnya sunnah Allah pada alamul-mulki dan alamul-malakut. Adapun ilmu (pengetahuan), yaitu: mengetahui besarnya melarat dosa. Dan adanya dosa itu menjadi hijab (dinding) antara hamba dan tiap-tiap yang dikasihi.
Apabila ia mengetahui yang demikian dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala yang teguh, dengan keyakinan yang mengerasi atas hatinya, niscaya berkobarlah dari ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, perasaan pedih bagi hati, disebabkan hilangnya yang dikasihi itu. Sesungguhnya hati, manakala merasa kehilangan yang dikasihinya, niscaya ia merasa pedih. Kalau hilangnya itu dengan perbuatannya, niscaya ia merasa sedih atas perbuatan yang menghilangkan itu. Lalu perasaan pedihnya itu dinamakan sesal, disebabkan perbuatannya sendiri yang menghilangkan kekasihnya itu. Apabila kepedihan ini mengerasi atas hati dan menguasainya, niscaya membangkit kan dari kepedihan ini di dalam hati, suatu keadaan yang lain, yang dinamai: kehendak dan maksud kepada perbuatan yang mempunyai kaitan dengan waktu sekarang, waktu yang lalu dan waktu yang akan datang. Adapun kaitannya dengan waktu sekarang, maka yaitu: dengan meninggalkan dosa yang dikerjakannya. Dan yang menyangkut dengan waktu yang akan datang, maka yaitu: dengan bercita-cita meninggalkan dosa yang menghilangkan kekasih itu sampai kepada penghabisan umurnya. Dan yang menyangkut dengan waktu yang lalu, maka yaitu: dengan memperbaiki kembali apa yang hilang itu, dengan penampalan dan mengerjakan kembali (qodo’), jikalau dapat ditampalkan.
Maka ilmu, adalah yang pertama. Ilmulah tempat munculnnya segala kebajikan ini. Dan aku kehendaki dengan ilmu ini, ialah: iman dan yakin. Iman adalah ibarat dari pembenaran, bahwa dosa itu racun yang membinasakan. Dan yakin, adalah ibarat dari penguatan pembenaran ini, meniadakan keraguan daripadanya dan menguatkannya atas hati. Lalu berbuahlah nur iman ini, manakala telah bercahaya atas hati, api penyesalan. Maka hati merasa pedih dengan dosa-dosa itu, dimana ia melihat dengan cahaya nur iman, bahwa telah terjadi ia terdinding dari kekasihnya. Seperti orang yang bercahaya kepadanya cahaya matahari dan ia berada dalam gelap. Lalu bersinarlah cahaya kepadanya dengan tersingkap awan atau terbuka dinding (hijab). Maka dilihatnya kekasihnya dan kekasih itu hampir binasa. Lalu bergolaklah api kecintaan dalam hatinya. Dan menggeraklah api-api itu dengan kehendaknya, untuk bangkit memperbaiki kembali.
Maka ilmu, sesal dan maksud yang menyangkut dengan meninggalkan itu, pada masa sekarang, masa yang akan datang dan memperbaiki kembali bagi masa yang lalu itu, 3 pengertian yang tersusun pada hasilnya. Lalu disebutlah nama taubat itu, di atas keseluruhannya. Dan banyaklah disebut nama taubat itu, di atas pengertian sesal satu saja. Dan dijadikan ilmu itu seperti yang mendahului dan pembukaannya. Dan meninggalkan itu seperti buah dan yang mengikuti yang terakhir. Dan dengan ibarat ini, Nabi saw bersabda: “Sesal itu taubat”. Karena tidak terlepas sesal itu dari ilmu yang mewajibkannya dan yang membuah kannya. Dan dari cita-cita yang mengikutinya dan mengiringinya. Lalu sesal itu adalah yang mengelilingi dengan dua tepinya. Aku maksudkan: buah dan yang membuahkannya. Dan dengan ibarat ini, dikatakan mengenai batas taubat itu, bahwa batasnya itu pencairan isi perut, karena apa yang telah terdahulu dari kesalahan. Maka ini mendatangkan kepedihan semata-mata. Dan karena itulah, dikatakan: itu adalah api dalam hati yang menyala-nyala dan pecahan dalam jantung yang tidak dapat bersedaging lagi. Dengan ibarat pengertian meninggalkan, dikatakan mengenai batas taubat, bahwa batas taubat itu, mencabut / membuka pakaian yang menjauhkannya dan mengembangkan permadani kesetiaan (kepada yang dikasihinya).
Sahal bin Abdullah At-Tusturi mengatakan: “Taubat itu penggantian gerakan-gerakan yang tercela, dengan gerakan-gerakan yang terpuji. Dan yang demikian tiada akan sempurna, selain dengan khilwah (bersemadi), berdiam diri dan memakan yang halal. Dan seakan-akan Sahal bin Abdullah At-Tusturi tadi mengisyaratkan kepada pengertian ketiga dari taubat. Dan ucapan-ucapan orang yang terkemuka tentang batas taubat itu, tidak terhingga banyaknya. Apabila anda telah memahami pengertian yang 3 ini, yang bergantung dengan dia dan susunannya, niscaya anda mengetahui, bahwa semua yang dikatakan tentang batas-batas taubat itu, tidak sampai untuk mengetahui semua pengertiannya. Mencari ilmu dengan hakikat/makna segala hal itu lebih penting daripada mencari kata-kata semata-mata.
PENJELASAN: wajib taubat dan keutamaannya.
Ketahuilah, bahwa wajib taubat itu nyata dengan hadits-hadits dan ayat-ayat. Dan itu terang dengan nur mata hati pada orang yang terbuka mata hatinya. Dan Allah membuka dengan nur iman, dadanya. Sehingga ia sanggup berusaha dengan cahayanya, yang dihadapannya, dalam gelap-gulita kebodohan. Tidak memerlu kan kepada penunjuk jalan, yang menunjukkannya pada setiap langkah. Orang yang berjalan itu, adakalanya buta, yang memerlukan kepada penunjuk jalan pada langkah yang dilangkahkannya.
Adakalanya ia melihat, yang diberi petunjuk kepada permulaan jalan. Kemudian, ia mendapat petunjuk sendiri. Begitu juga, manusia pada jalan agama, yang terbagi mereka akan pembahagian ini. Maka orang yang pendek ilmunya, yang tidak sanggup melampaui taqlid (turut/menurut) dalam langkahnya, maka ia memerlukan kepada mendengar pada setiap langkah, akan dalil dari Kitab Allah atau Sunnah RasulNya. Kadang-kadang memerlukan yang demikian kepadanya, lalu ia terheran-heran. Perjalanan orang tersebut, walaupun panjang umurnya dan sangat kesungguhannya itu singkat. Dan langkah-langkahnya pendek. Dan dari orang yang berbahagia, yang dilapangkan oleh Allah dadanya bagi agama Islam, maka dia itu diatas nur dari Tuhan nya. Lalu ia sadar dengan sedikit isyarat untuk menempuh jalan yang susah dan memotong rintangan-rintangan yang memayahkan. Dan bersinarlah dalam hatinya, cahaya Alquran dan cahaya iman. Dan karena sangat bersinar batinnya, ia merasa cukup dengan sedikit penjelasan saja.
Maka dia seakan-akan menghampiri minyak yang bercahaya, walaupun tidak disentuh oleh api. Maka apabila disentuh oleh api, niscaya dia itu cahaya di atas cahaya, yang diberi petunjuk oleh Allah bagi cahayaNya, akan siapa yang dikehendakiNya. Dan ini tidak memerlukan kepada dalil yang dinuqilkan (dari Alquran dan Al-Hadits) pada setiap kejadian. Maka orang yang ini keadaannya, apabila berkehendak mengetahui wajib taubat, maka pertama-tama ia melihat dengan cahaya mata hati kepada taubat, apakah taubat itu? Kemudian, ia melihat kepada wajib, apakah artinya? Kemudian, ia mengumpulkan antara arti wajib dan taubat. Maka ia tidak ragu, pada adanya wajib itu bagi taubat. Dan yang demikian itu, dengan diketahuinya, bahwa arti wajib, ialah: apa yang menjadi wajib pada sampainya kepada kebahagiaan abadi dan kelepasan dari kebinasaan abadi.
Maka sesungguhnya jikalau tidaklah ada sangkutan kebahagiaan dan kebinasaan dengan memperbuat sesuatu dan meninggalkannya, niscaya tidaklah mempunyai arti bagi sifatnya itu, dengan dia itu wajib. Perkataan orang yang mengatakan: dia itu telah menjadi wajib dengan diwajibkan, adalah perkataan semata-mata (tiada faedahnya). Maka apa yang tiada maksudnya bagi kita, sekarang dan masa yang akan datang, pada membuatnya dan meninggalkannya, niscaya tiada artinya bagi pekerjaan kita dengan perbuatan tersebut. Diwajibkan atas diri kita oleh orang lain atau tidak diwajibkannya. Apabila telah diketahui arti wajib dan bahwa wajib itu jalan kepada kebahagiaan abadi dan ia tahu, bahwa tiada kebahagiaan pada negeri kekal, selain pada menjumpai Allah Ta’ala dan bahwa setiap yang terdinding daripadaNya, tidak mustahil ia merasa celaka, yang mendindingi, diantara dia dan yang dirinduinya, yang terbakar dengan api perceraian dan api neraka jahannam dan ia tahu, bahwa tidaklah yang menjauhkan dia daripada menemui Allah, selain mengikuti nafsu syahwat dan jinak hati dengan dunia yang fana ini dan menelungkup mencintai apa yang sudah pasti akan diceraikan dan ia tahu bahwa tidak ada yang mendekatkan kepada menemui Allah, selain memutuskan hubungan hati dari perhiasan dunia ini dan menghadapkan diri secara keseluruhan kepada Allah, karena mencari kejinakan hati kepadaNya, dengan berkekalan berzikir kepadaNya dan karena mencintaiNya, dengan mengenal kebesaranNya dan keelokanNya, menurut kadar kemampuannya dan ia tahu, bahwa dosa itu, ialah: berpaling dari Allah, mengikuti yang disayangi setan, musuh Allah, yang menjauhkan dari hadlaratNya, maka itu adalah sebab adanya dia itu terdinding, terjauh daripada Allah Ta’ala.
Maka tidak diragukan, bahwa berpaling dari jalan jauh itu wajib, untuk sampai kepada dekat. Dan sesungguhnya sempurna berpaling itu, dengan: ilmu, sesal dan cita-cita. Sesungguhnya selama ia tidak tahu, bahwa dosa itu menjadi sebab jauh dari yang dikasihi, niscaya ia tidak menyesal dan tidak merasa sakit, dengan sebab jalannya pada jalan jauh. Dan selama ia tidak merasa sakit, maka ia tidak kembali. Dan arti kembali itu, ialah: meninggalkan apa yang dikerjakan dan bercita-cita tidak kembali lagi kepada dosa itu. Maka tidak diragukan lagi, bahwa pengertian yang tiga itu penting untuk sampai kepada yang dikasihi. Dan begitulah adanya iman yang hasilnya dari nur mata hati.
Adapun orang yang tidak ahli bagi kedudukan yang seperti ini, yang tinggi tingkatnya, dari batas-batas kebanyakan orang, maka pada turut/menurut dan mengikutinya itu jalan yang lapang, yang menyampaikannya kepada kelepasan daripada kebinasaan. Maka hendaklah diperhatikan, padanya firman Allah, sabda RasulNya dan perkataan ulama terdahulu yang shalih-shalih.
Allah Ta’ala berfirman:”Dan bertaubatlah(kembalilah) kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang beriman, mudah-mudahan kamu beroleh kemenangan”. S 24 An Nur ayat 31. Ini adalah perintah secara umum. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah (kembalilah) kamu kepada Allah, sebagai taubat nashuha (taubat yang sebenarnya)”. S 66 At Tahrim ayat 8. Arti nashuha, ialah: bersih, semata-mata karena Allah Ta’ala , terlepas dari segala campuran. Perkataan nashuha, diambil (asal katanya) dari nash-hu: atas kelebihan taubat itu, ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang membersihkan dirinya”. S 2 Al Baqarah ayat 222. Nabi saw bersabda: “Orang yang bertaubat itu kekasih Allah. Orang yang bertaubat dari dosa, adalah seperti orang yang tiada mempunyai dosa”. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah lebih suka dengan taubatnya hamba yang beriman, dari seorang laki-laki yang tinggal pada bumi daratan yang membinasakan.
Bersama orang laki-laki tersebut unta kendarannya. Atas unta kendaraan itu makanan dan minumannya. Lalu ia meletakkan kepalanya (atas bumi). Maka ia tertidur. Kemudian, ia terbangun. Dan unta kendaraannya sudah pergi. Lalu ia mencari unta kendaraan itu. Sehingga tatkala telah bersangatan panas hari padanya dan haus – atau apa yang dikehendaki oleh Allah, maka ia mengatakan (pada dirinya): “Aku akan kembali ke tempatku semula, dimana aku ada padanya. Maka aku tidur di situ sampai aku mati”. Maka diletakkannya kepalanya atas lengannya, supaya ia mati. Kemudian, ia terbangun. Tiba-tiba unta kendaraannya itu sudah ada di sisinya, yang di atasnya perbekalan dan minumannya. Maka Allah Ta’ala sangat gembira dengan taubatnya hamba yang beriman dari laki-laki ini, dengan unta kendaraannya”. Pada setengah bunyi hadits: “Allah Ta’ala berfirman, dari sangat gembiraNya, apabila orang itu berkehendak bersyukur kepada Allah: “Aku Tuhanmu dan engkau hambaKU”.
Diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashari ra yang mengatakan: “Ketika Allah ‘Azza wa Jalla menerima taubatnya Adam as, lalu para malaikat mengucapkan tahni-ah (selamat) kepada Adam as. Jibril as dan Mikail as turun kepadanya, seraya mengatakan: “Hai Adam! Telah tenang dirimu dengan diterima oleh Allah taubatmu”. Maka Adam as menjawab: “Hai Jibril! Kalau ada persoalan sesudah taubat ini, maka dimana tempatku?”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Adam: “Hai Adam! Aku pusakakan kepada keturunanmu (anak cucumu) akan payah dan kerja berat. Dan Aku pusakakan kepada mereka taubat. Maka siapa diantara mereka yang berdoa kepadaKU, niscaya Aku perkenankan, sebagaimana Aku perkenankan kepadamu. Dan siapa yang meminta ampun kepadaKu, niscaya Aku tidak kikir kepadanya. Karena sesungguhnya Aku itu dekat, lagi yang memperkenankan doa. Hai Adam! Aku akan bangkitkan orang-orang yang bertaubat, dari kuburan, dalam keadaan gembira dan tertawa. Dan doa mereka diterima”. Hadits dan atsar tentang yang demikian, tidak terhingga banyaknya. Dan Ijma’ (sepakat) itu shah dari umat, atas wajibnya taubat. Karena artinya: tahu, bahwa dosa dan perbuatan maksiat itu membinasakan dan menjauhkan daripada Allah Ta’ala. Dan ini masuk dalam kewajiban iman. Akan tetapi, kadang-kadang orang-orang yang lalai itu, merasa heran dari yang demikian. Maka arti tahu ini (ilmu ini), ialah: menghilangkan kelalaian tersebut. Dan tiada perbedaan pendapat, tentang wajibnya taubat itu. Dan diantara arti taubat, ialah: meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat sekarang juga. Dan bercita-cita akan meninggalkannya pada masa depan. Dan memperoleh kembali apa yang telah teledor pada hal-hal yang lalu. Dan yang demikian itu, tidak diragukan lagi tentang wajibnya.
Adapun penyesalan terhadap apa yang telah lalu dan bersedih hati terhadapnya, maka itu wajib. Dan itulah nyawanya taubat. Dan dengan itu sempurnalah memperoleh kembali. Bagaimanakah itu tidak wajib? Bahkan itu adalah semacam kepedihan, yang sudah pasti – terjadi, akibat mengenal yang hakiki, dengan apa yang telah hilang dari umur dan lenyap dalam kemarahan Allah. Kalau anda mengatakan, bahwa kepedihan hati itu hal yang mudah terjadi, yang tidak masuk dalam usaha manusia, maka bagaimana disifatkan (dikatakan): wajib? Maka ketahuilah kiranya, bahwa sebabnya, ialah pentahkikan ilmu dengan hilangnya yang dicintai. Dan baginya jalan untuk memperoleh sebabnya. Dan dengan arti yang seperti ini, masuklah ilmu itu dalam wajib. Tidak dengan arti, bahwa ilmu itu dijadikan oleh hamba dan didatangkannya pada dirinya. Yang demikian itu mustahil. Bahkan, ilmu, penyesalan, perbuatan, Kemauan, kuasa dan orang yang  berkuasa (mempunyai tenaga) itu, semuanya termasuk makhluk dan perbuatan Allah. “Dan –sesungguhnya- Allah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat”. S 37 Ash Shaffaat ayat 96.
Inilah yang benar pada orang-orang yang bermata hati. Dan selain dari ini, adalah sesat. Kalau anda mengatakan: apakah hamba itu tiada mempunyai ikhtiar (pilihan atau usaha), pada memperbuat dan meninggalkan (tidak memperbuatnya) sesuatu? Kami menjawab: “Ya! Dan itu tidak bertentangan dengan perkataan kami, bahwa semua itu dari ciptaan Allah Ta’ala. Bahkan ikhtiar juga termasuk sebahagian daripada ciptaan Allah. Dan hamba itu memerlukan pada ikhtiar yang dipunyainya. Maka sesungguhnya Allah Ta’ala, apabila menjadikan tangan yang sehat, menjadikan makanan yang lezat, menjadikan keinginan (syahwah) bagi makanan itu dalam perut, menjadikan pengetahuan dalam hati, bahwa makanan tersebut menenteramkan syahwah dan menjadikan yang terguris di hati, yang berlawanan satu dengan lainnya, tentang makanan itu, adakah padanya melarat, serta makanan itu menenteramkan syahwah? Adakah dengan tidak memakannya itu suatu halangan, yang berhalangan pada makanan itu memakannya atau tidak? Kemudian Allah menjadikan pengetahuan (ilmu), bahwa tidak ada halangan. Kemudian, ketika berkumpul sebab-sebab tersebut, lalu menjadi yakinlah kehendak (Kemauan) yang menggerakkan kepada memakannya. Maka yakinnya kehendak sesudah ragunya yang terguris di hati, yang berlawanan satu dengan lainnya dan sesudah adanya keinginan kepada makanan itu, maka itu dinamakan: ikhtiar. Dan tidak boleh tidak daripada memperolehnya, ketika telah sempurna sebab-sebabnya.
Apabila telah berhasil keyakinan Kemauan, yang dia dijadikan oleh Allah Ta’ala, niscaya tergeraklah tangan yang sehat –sudah pasti –ke arah makanan itu. Karena sesudah sempurnanya Kemauan dan qudrah ( kuasa ), maka berhasillah perbuatan itu adalah: hal yang mudah. Lalu berhasillah gerak. Dan gerak itu adalah dengan dijadikan oleh Allah, sesudah berhasilnya qudra (kesanggupan) dan yakinnya Kemauan (kehendak). Dan yang dua ini (qudrah/kuasa) dan Kemauan juga dari yang dijadikan oleh Allah. Dan yakinnya Kemauan itu berhasil sesudah benarnya syahwat dan ilmu dengan tidak adanya halangan-halangan (mawani’). Dan yang dua ini juga dari yang dijadikan oleh Allah Ta’ala. Akan tetapi, sebahagian makhluk-makhluk ini tersusun dengan tartib dan teratur di atas sebahagian yang lain, yang telah berlaku sunnah Allah Ta’ala pada makhlukNya:  “Dan tiada akan engkau dapati ketetapan Allah itu berobah”. S 33 Al Ahzab ayat 62. Maka Allah Ta’ala tidak menjadikan gerak tangan dengan tulisan yang teratur, sebelum dijadikanNya pada tangan itu suatu sifat, yang dinamakan: qudrah ( kuasa ), sebelum dijadikanNya padanya hayah (hidup) dan sebelum dijadikanNya Kemauan yang diyakini. Dan IA tidak menjadikan Kemauan yang diyakini, sebelum dijadikanNya syahwat dan kecenderungan pada diri. Dan kecenderungan ini tidak tergerak dengan sempurna, sebelum dijadikanNya ilmu (tahu), bahwa itu bersesuaian bagi diri. Adakalanya pada waktu itu juga atau pada waktu mendatang. Dan IA tidak pula menjadikan ilmu, selain dengan sebab-sebab lain, yang kembali kepada: gerak, kehendak dan ilmu. Maka ilmu dan kecenderungan tabiat, selalu mengikuti kehendak yang diyakini. Dan kemampuan (qudrah/ kuasa) dan kehendak (Kemauan) selalu sama artinya dengan gerak. Dan begitulah teraturnya pada setiap perbuatan. Dan semua itu adalah dari ciptaan Allah Ta’ala. Akan tetapi sebahagian makhlukNya menjadi syarat bagi sebahagian lainnya. Maka karena itulah, harus didahulukan sebahagian dan dikemudian kan sebahagian. Sebagaimana kehendak tidak dijadikan, selain sesudah ilmu. Dan ilmu tidak dijadikan, selain sesudah hidup. Dan hidup tidak dijadikan, selain sesudah tubuh. Maka adalah kejadian tubuh itu syarat bagi datangnya hidup. Tidaklah bahwa hidup itu terjadi dari tubuh. Dan adalah kejadian hidup itu syarat bagi kejadian ilmu. Tidaklah bahwa ilmu itu terjadi dari hidup. Akan tetapi, tidaklah disediakan tempat bagi menerima ilmu, selain apabila ada ia hidup. Dan adalah jadinya ilmu itu syarat bagi yakinnya kehendak. Tidaklah bahwa ilmu itu memperanakkan kehendak. Akan tetapi tidaklah yang menerima kehendak itu, selain oleh tubuh yang hidup, lagi tahu. Dan tidak masuk dalam wujud (Ada), selain yang mungkin ada. Dan bagi mungkin ada itu mempunyai tartib (susunan teratur), yang tidak menerima pengobahan. Karena pengobahannya itu mustahil.
Maka manakala telah diperoleh syarat bagi sesuatu sifat, niscaya disediakan tempat baginya untuk menerima sifat itu. Maka berhasillah sifat tersebut dari kemurahan Ilahi dan kuasa yang tidak kesudahan/permulaan, ketika berhasilnya penyediaan. Dan manakala bagi penyediaan itu dengan sebab syarat-syarat, mempunyai susunan teratur, niscaya bagi kehasilan segala yang terjadi, dengan perbuatan Allah itu, mempunyai susunan teratur. Dan hamba itu tempat berlakunya segala kejadian yang bertartib tersebut. Dan itu adalah susunan teratur pada qodo’ Allah Ta’ala, yang Dia Maha Esa, seperti sekejap mata memandang, suatu susunan teratur keseluruhan yang tiada berobah-obah. Dan zahirnya itu dengan penguraian, yang ditaqdirkan dengan qadar, yang tiada akan dilampauinya. Dan dari itulah, diibaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya segala sesuatu telah Kami jadikan, dengan ukuran”. S54 Al Qamar ayat49. Dan dari qodo(hukum taqdir) keseluruhan tidak kesudahan/permulaan, diibaratkan dengan firman Allah Ta’ala:“Dan perintah Kami hanya satu, bagai sekejap mata”. S54 Al Qamar ayat 50.
Adapun hamba (manusia), maka sesungguhnya mereka itu dijadikan menurut berlakunya qodo (hukum taqdir) dan qadar/takdir. Dan termasuk dalam jumlah qadar/takdir, ialah: terjadinya gerak pada tangan penulis, sesudah terjadinya sifat tertentu pada tangannya, yang dinamai: qudrah/kuasa/kesanggupan. Dan sesudah terjadinya kecenderungan yang kuat, yang meyakinkan pada dirinya, yang dinamai: maksud. Dan sesudah tahu (ilmu), dengan apa yang menjadi kecenderungan, yang dinamai: mengetahui dan mengenal. Maka apabila telah lahir dari batinnya alam malakut, hal-hal yang 4 tersebut, atas tubuh hamba yang dijadikan di bawah paksaan taqdir, niscaya mendahuluilah penduduk ‘alamul-mulki wasy-syahadah (tubuh dalam alam penyaksian), yang terdinding dari ‘alamul-ghaibi wal-malakut (alam akhirat yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata). Dan mereka mengatakan: “Hai orang itu! Engkau telah bergerak, melempar dan menulis!”. Ia dipanggil dari belakang hijab dan khemah-khemah alam malakut: “Dan tidaklah engkau melempar, ketika engkau melempar. Akan tetapi Allah yang melempar”. S 8 Al Anfal ayat 17. Tidaklah engkau yang membunuh ketika engkau membunuh. Akan tetapi: “Perangilah mereka. Allah akan menyiksa mereka dengan tanganmu”. S 9 At Taubah ayat 14. Ketika inilah, lalu heranlah akal orang-orang yang duduk di tengah-tengah alam asy-syahadah (alam yang disaksikan dengan mata). Maka sebahagian mengatakan: bahwa itu paksaan semata-mata. Sebahagian mengatakan: bahwa itu ciptaan orang itu sendiri semata-mata. Dan dari yang bersikap di tengah-tengah, cenderung, bahwa itu usaha. Dan jikalau terbukalah bagi mereka pintu-pintu langit, maka mereka melihat kepada alam akhirat yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata (kebalikan daripada alamusy-syahadah), niscaya nampaklah bagi mereka, bahwa masing-masing tadi benar dari satu segi. Dan keteledoran itu meratai bagi semua mereka.
Masing-masing dari mereka tidak mengetahui hakikat/makna hal tersebut. Dan ilmunya tidak meliputi dengan semua seginya. Dan kesempurnaan ilmunya itu diperoleh dengan cemerlangnya cahaya dari lobang dinding yang tembus ke alamul-ghaibi (alam ghaib). Dan sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Tahu akan ‘alamul-ghaibi wasy-syahadah(alam akhirat yg bisa dipersaksikan dengan mata), yang tidak dinampakkanNya kegoibannya itu kepada siapa juapun, selain dari kepada Utusan yang diridhaiNya”. Kadang-kadang diperhatikanNya kepada alam asy-syahadah(alam penyaksian), orang yang tidak masuk dalam bagian keridhaanNya. Dan orang yang dapat menggerakkan ikatan hubungan sebab dan musabbab dan mengetahui cara ikatan hubungannya dan cara ikatan yang menyangkut dengan pertaliannya, dengan menyebabkan sebab-sebab, niscaya terbukalah baginya rahasia qadar (taqdir). Dan ia tahu dengan penuh keyakinan, bahwa tiada Khaliq (yang maha pencipta), selain Allah dan tiada pencipta, selain DIA. Kalau engkau bertanya: “Anda telah menghukum kepada setiap orang yang mengatakan: dengan paksaan, dengan ciptaan dan dengan usaha, bahwa orang itu benar dari satu segi. Dan orang tersebut serta kebenarannya itu teledor. Dan ini bertentangan. Maka bagaimana mungkin memahami yang demikian? Adakah mungkin menyampaikan yang demikian kepada pemahaman dengan contoh?”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa segolongan orang-orang buta telah mendengar bahwa sudah dibawa ke kampungnya, seekor hewan yang ajaib, yang dinamai: gajah. Mereka belum pernah sekali-kali melihat bentuk binatang itu dan tidak pernah mendengar namanya. Lalu mereka mengatakan: “Tak boleh tidak, kami harus melihatnya dan mengenalinya dengan menyentuhnya yang dapat kami sanggupi”. Lalu mereka meminta gajah itu. Tatkala mereka sampai kepadanya, lalu mereka menyentuhnya. Maka jatuhlah tangan sebahagian orang-orang buta itu atas dua kaki gajah. Sebahagian yang lain jatuh tangannya atas belalai gajah. Dan sebahagian yang lain, jatuh tangannya atas telinga gajah. Lalu mereka mengatakan: “Kami telah mengenal gajah”. Sesudah mereka pulang, lalu mereka ditanyakan oleh orang-orang buta yang lain. Maka berselisihlah jawaban mereka. Menjawab yang menyentuh kaki, bahwa gajah itu, tidaklah, melainkan seperti tiang yang kasar luarnya. Hanya dia itu lebih lembut dari tiang itu. Menjawab yang menyentuh belalai: Tidak seperti yang dikatakan orang tadi. Akan tetapi gajah itu keras, tidak lembut padanya. Licin, tidak kasar padanya. Dan tidak sekali-kali menurut tebalnya tiang, akan tetapi adalah seperti tonggak. Dan menjawab yang menyentuh telinga: “Demi umurku, gajah itu lembut dan padanya kasar kulitnya”. Ia membenarkan salah seorang dari yang dia tadi tentang gajah itu. Akan tetapi ia mengatakan: “Tidaklah gajah itu seperti tonggak dan tidaklah seperti tiang. Hanya dia seperti kulit yang lebar tebal”. Maka masing-masing dari mereka tadi benar dari satu segi, apabila masing-masing menerangkan dari apa yang diperolehnya tentang pengenalan gajah itu. Dan tiada seorangpun keluar dalam ceritanya itu, dari sifat gajah. Akan tetapi, dengan kesimpulan mereka itu, mereka telah teledor (tidak sanggup) mengetahui hakikat/makna bentuk gajah itu. Maka lihatlah dengan contoh ini dan ambillah ibarat daripadanya! Itu adalah contoh kebanyakan yang diperselisihkan manusia. Walaupun ini adalah perkataan yang bertolak-tolakan dengan ilmu diminta untuk mengetahuinya saja dan yang menggerakkan ombak-ombaknya. Dan tidaklah itu termasuk maksud kami. Maka hendaklah kita kembali kepada yang sedang kita perbincangkan. Yaitu: penjelasan, bahwa taubat itu wajib dengan semua bahagian-bahagiannya yang 3: ilmu (tahu), sesal dan meninggalkan. Dan sesal itu masuk dalam wajib. Karena adanya itu terjadi dalam jumlah perbuatan Allah, yang terbatas antara tahu hamba, Kemauannya (kehendaknya) dan qudrah ( kuasa )nya (kemampuannya), yang menyelang-nyelangi diantaranya. Dan tidaklah ini sifatnya. Maka nama wajib itu melengkapinya.
PENJELASAN: bahwa wajibnya taubat itu dengan segera.
Adapun wajibnya  taubat dengan segera itu, maka tidak diragukan lagi. Karena mengetahui adanya perbuatan maksiat itu membinasakan pada diri iman. Dan itu wajib dengan segera. Dan yang menghendaki wajibnya itu, ialah: yang diketahuinya sebagai mengenal takutnya yang demikian, dari perbuatan yang tidak disukai. Maka ilmu mengenal Allah Ta’ala ini tidaklah termasuk sebahagian dari ilmu diminta untuk mengetahuinya saja, yang tidak menyangkut dengan amal (perbuatan). Akan tetapi, dia termasuk sebahagian dari ilmu mu’amalah (perniagaan). Setiap ilmu itu dimaksudkan, supaya menjadi penggerak kepada amal. Maka tidaklah terjadi kelepasan dari tanggungannya, selama tidak jadi ilmu itu penggerak kepadanya. Maka ilmu (mengetahui) dengan melaratnya dosa, sesungguhnya dimaksudkan, supaya ilmu itu penggerak kepada meninggalkan dosa. Maka orang yang tidak meninggalkan dosa, adalah orang yang ketiadaan bahagian ini dari iman. Dan itulah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw: “Tidaklah penzina itu berzina, ketika dia itu orang mu’min”.
Tidaklah dimaksudkan dengan demikian, ketiadaan iman, yang kembali kepada ilmu diminta untuk mengetahuinya saja, seperti mengetahui akan Allah, keesaanNya, sifat-sifatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Sesungguhnya yang demikian itu, tidak ditiadakan oleh perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan maksiat. Sesungguhnya, dimaksudkan ketiadaan iman itu, karena adanya zina itu menjauhkan dari Allah Ta’ala, yang mengharuskan kutukanNya. Sebagaimana apabila dokter mengatakan: “Ini racun, maka jangan engkau meminumnya!”. Maka apabila ia minum, niscaya dikatakan: “Dia telah minum dan dia itu tidak percaya (beriman)”. Tidak berarti, bahwa dia tidak percaya dengan adanya tabib dan adanya orang itu tabib. Dan dia tidak membenarkannya. Akan tetapi, yang dimaksudkan, ialah: bahwa orang itu tidak membenarkan perkataan tabib, bahwa itu: racun yang membinasakan. Sesungguhnya orang yang tahu dengan racun, niscaya tidaklah sekali-kali akan diminumnya. Orang yang berbuat maksiat, dengan mudah itu kurang iman. Dan tidaklah iman itu satu pintu. Akan tetapi, lebih 70 pintu. Yang tertinggi, ialah: pengakuan, bahwa: tiada yang disembah, selain Allah. Dan pintu yang paling rendah, ialah: membuang yang menyakitkan dari jalan raya. Contohnya, ialah: kata orang yang mengatakan: “Tidaklah manusia itu suatu wujud yang satu. Akan tetapi, lebih dari 70 wujud. Yang tertinggi, ialah hati dan nyawa. Dan yang terendah, ialah: membuang yang menyakiti dari kulit, dengan adanya manusia itu menggunting kumis, memotong kuku, membersihkan kulit dari kotoran. Sehingga ia berbeda dari hewan yang terlepas, yang berlumuran dengan beraknya, yang tidak disukai bentuknya, dengan panjang kukunya (kuku burung) dan kukunya (kuku hewan). Inilah contoh yang sesuai.
Maka iman itu, seperti insan. Dan ketiadaannya pengakuan keesaan itu menjadikan batil/salah keseluruhan, seperti tidak adanya nyawa. Dan orang yang tidak mempunyai, selain pengakuan keesaan (pengakuan keesaan Tuhan) dan pengakuan kerasulan (pengakuan kerasulan Muhammad saw), adalah seperti insan yang terpotong sendi-sendinya, buta kedua matanya, ketiadaan semua anggota badannya, zahiriah dan batiniyah. Tidak hilang pokok nyawa. Dan sebagaimana orang yang ini keadaannya, yang mendekati ia kepada mati, lalu ia dicerai beraikan oleh nyawa yang lemah, yang tersendiri, yang ditinggalkan oleh anggota-anggota tubuh yang menolongnya dan yang menguatkannya. Maka seperti demikianlah, orang yang tidak mempunyai, selain pokok iman. Dan ia teledor pada semua amal, yang mendekati untuk dicabut pohon imannya, apabila dilanda oleh angin kencang, yang menggerakkan iman pada permulaan datangnya malikul-maut dan tibanya. Maka setiap iman yang tidak tetap pokoknya pada keyakinan dan tidak berkembang cabang-cabangnya pada amal, niscaya tidak akan tetap di atas datangnya angin kekencangan huru-hara, ketika tampak dahi malikul-maut. Dan ditakuti terhadap manusia tersebut, akan su-ul khatimah (buruk kesudahan). Tidaklah apa yang disirami dengan berbagai taat, sepanjang hari dan saat, sehingga mendalam dan tetap. Perkataan orang maksiat kepada orang taat: “Sesungguh nya aku ini orang mu’min, sebagaimana engkau orang mu’min”, adalah seperti kata batang labu air kepada pohon shanaubar (seperti pohon cempedak): “Saya pohon dan engkau pohon”. Alangkah bagusnya jawaban pohon shanaubar, tatkala ia menjawab: “Engkau akan mengetahui tertipunya engkau dengan samanya nama itu, apabila berhembus angin kencang musim semi (musim kharif, sesudah musim panas). Maka ketika itu, menjadi terputus-putuslah batang-batang engkau dan beterbanganlah daun-daun engkau. Dan tersingkaplah tertipunya engkau, dengan sama-sama nama pohon, serta lupa dari sebab-sebab teguh tetapnya pohon-pohonan.
Anda akan melihat,
apabila telah hilang debu.
Kuda kah di bawah anda
ataukah keledai itu?
Ini adalah keadaan yang tampak pada hari kesudahan! Sesungguhnya terputuslah urat hati orang-orang arifin (orang-orang yang berilmu mengenal Allah Ta’ala akan Allah), karena takut, dari panggilan maut dan pendahuluan-pendahuluannya yang dahsyat, yang tidak tetap di atas jalan yang lurus, selain orang-orang yang sedikit jumlahnya. Maka orang yang berbuat maksiat, apabila tidak takut kekal dalam neraka, disebabkan kemaksiatannya, adalah seperti orang yang sehat yang terjerumus dalam nafsu syahwat yang mendatangkan melarat, apabila ia tidak takut kepada mati, dengan sebab kesehatannya. Dan mati itu biasanya terjadi dengan tiba-tiba. Lalu dikatakan kepadanya: bahwa orang sehat itu takut sakit. Kemudian, apabila ia sakit, maka ia takut mati. Dan begitu juga orang yang berbuat perbuatan maksiat, takut kepada su-ul khatimah/buruk kesudahan. Kemudian, apabila ia berkesudahan dengan su-ul khatimah –kita berlindung dengan Allah –niscaya wajiblah kekal dalam neraka. Maka perbuatan-perbuatan maksiat bagi iman, adalah seperti makanan yang mendatangkan melarat bagi badan. Maka senantiasalah ia berkumpul dalam batin, sehingga berobahlah godokan segala campuran. Dan ia tidak merasa dengan yang demikian, sampai rusaklah gosokan itu. Lalu ia sakit serta merta. Kemudian ia mati serta merta. Begitu pulalah perbuatan-perbuatan maksiat. Maka apabila ada orang yang takut dari kebinasaan dalam dunia ini yang menghancur kan, niscaya wajiblah kepadanya meninggalkan racun dan apa yang mendatangkan melarat dari segala rupa makanan, dalam setiap keadaan dan dengan segera. Maka orang yang takut dari binasa abadi, itu, lebih utama wajib yang demikian atasnya.
 Apabila ada orang yang meminum racun, apabila ia menyesal, niscaya wajiblah atasnya memuntahkan dan kembali dari meminum racun itu dengan membatalkannya dan mengeluarkannya dari perut, dengan jalan segera dan cepat, untuk memperoleh kembali badannya yang hampir binasa, yang tidak lenyap daripadanya, selain dunia yang fana ini. Maka orang yang meminum racun agama, yaitu: dosa, adalah lebih utama kepadanya harus kembali dari dosa-dosa itu, dengan berbuat baik kembali yang mungkin, selama masih ada kesempatan untuk berbuat baik kembali itu. Yaitu: umur. Maka yang ditakuti dari racun ini, ialah hilangnya akhirat yang masih ada, yang padanya nikmat yang menetap dan Raja Yang Maha Agung. Dan pada luputnya akhirat itu, neraka jahannam dan azab yang menetap, yang menghabiskan gandaan umur dunia, tanpa 1/100 masanya. Karena tidak ada sekali-kali masanya itu berpenghabisan. Maka bersegera dengan sangat segera kepada taubat, sebelum racun dosa berbuat dengan nyawa iman, suatu perbuatan, yang keadaan padanya melewati kesanggupan tabib-tabib dan usahanya. Dan tidaklah bermanfaat sesudah itu, penjagaan lagi. Maka tidak bermanfaat sesudah itu, nasehat orang-orang yang menasehatkan dan pengajaran orang-orang yang memberi pengajaran. Dan berhaklah dikatakan kepadanya, bahwa dia termasuk orang-orang yang binasa. Dan ia termasuk dalam umumnya firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami letakkan belenggu di tengkuk mereka dan sampai ke dagu, maka kepala mereka tertengadah. Dan Kami adakan tutup di hadapan dan di belakang mereka. Lalu mereka Kami tutup, sebab itu mereka tiada menampak. Sama saja bagi mereka, engkau beri peringatan atau tidak, mereka tiada juga mau percaya”. S 36 Ya Sin ayat 8-9-10. Janganlah engkau ditipu oleh perkataan iman. Maka engkau katakan: bahwa yang dimaksud dengan ayat itu, orang kafir. Karena telah diterangkan kepada engkau, bahwa iman itu lebih dari 70 pintu. Dan orang yang berzina, tidak akan berzina ketika ia berzina dan dia itu orang mu’min. Maka yang terdinding dari iman yang menjadi cabang dan ranting, akan terdinding nanti pada kesudahan (khatimah), dari iman yang menjadi pokok. Sebagaimana orang yang ketiadaan semua sendi tubuhnya, yang menjadi samping dan cabang, akan dihalau kepada maut, yang meniadakan nyawa, dimana nyawa itu pokok. Maka tiada kekal pokok, tanpa cabang. Dan tidak ada cabang, tanpa pokok. Dan tiada berbeda antara pokok dan cabang, selain pada satu hal. Yaitu: bahwa adanya cabang dan kekalnya, meminta kepada adanya pokok. Adapun adanya pokok, maka tidak meminta kepada adanya cabang. Maka kekalnya pokok itu dengan cabang. Dan adanya cabang itu dengan pokok. Maka ilmu-ilmu diminta untuk mengetahuinya saja dan ilmu-ilmu mu’amalah (perniagaan) itu, perlu memerlukan, seperti perlu-memerlukan cabang dan pokok. Maka tidak terlepas salah satu dari keduanya, dari yang lain. Walaupun yang satu pada tingkat pokok dan yang lain pada tingkat pengikut. Dan ilmu-ilmu mu’amalah (perniagaan), apabila ia tidak menjadi penggerak kepada amal, maka tidak adanya, adalah lebih baik daripada adanya. Kalau ilmu perniagaan itu tidak berbuat amalnya yang dimaksudkan, niscaya ia berdiri untuk menguatkan alasan yang memberatkan atas yang punya ilmu itu sendiri. Dan karena itulah, ditambahkan pada azab orang berilmu yang zalim atas azab orang bodoh yang zalim, sebagaimana telah kami kemukakan hadits-hadits dalam Kitab Ilmu dahulu.
PENJELASAN: bahwa wajib taubat itu umum pada semua orang dan keadaan. Maka tiada seorangpun sekali-kali terlepas daripadanya.
Ketahuilah, bahwa zahiriah bunyi Kitab suci Alquran, telah menunjukkan kepada yang tersebut. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung”. S 24 An Nur ayat 31. Allah berfirman secara umum firmanNya. Dan cahaya mata hati juga menunjukkan kepada yang demikian. Karena arti taubat itu kembali kepada Allah dan menjauhkan diri dari jalan setan. Dan tidak tergambar yang demikian, selain dari orang yang berakal. Dan tidak sempurna gharizah (instink) akal, selain sesudah sempurna gharizah nafsu syahwat, marah dan lain-lain sifat tercela, yang menjadi jalan-jalan setan, kepada menipu manusia. Karena kesempurnaan akal itu hanya ada ketika berumur sekitar 40. Dan pokok akal itu, sesungguhnya sempurna ketika hampir dewasa. Dan permulaannya tampak sesudah berumur 7 tahun. Dan nafsu syahwat itu tentara setan. Dan akal itu tentara malaikat. Apabila keduanya berkumpul, lalu dengan sendirinya timbul peperangan di antara keduanya. Karena salah satu daripada keduanya tidak mengakui yang lain. Karena keduanya itu berlawanan. Maka tolak-menolak di antara keduanya, adalah seperti tolak- menolak di antara malam dan siang, terang dan gelap. Manakala menang salah satu daripada keduanya, niscaya dengan sendirinya mengejutkan yang lain.
Apabila nafsu syahwat itu sempurna pada masa kecil dan muda, sebelum sempurna akal, maka tentara setan telah mendahului. Dan ia menguasai tempat. Dan sudah pasti, jatuhlah kejinakan dan kemesraan hati kepadanya, hal-hal yang biasanya dikehendaki oleh nafsu syahwat. Dan yang demikian itu mengerasi kepadanya. Dan akan sukarlah mencabut diri daripadanya. Kemudian, bersinarlah akal yang menjadi barisan dan tentara Allah dan yang melepaskan wali-waliNya dari tangan musuh-musuhNya, sedikit demi sedikit dengan berangsur-angsur. Kalau akal itu tidak kuat dan tidak sempurna, niscaya terserahlah kerajaan hati bagi setan. Dan setan yang terkutuk itu melaksanakan janjinya, dimana ia mengatakan, sebagaimana tersebut dalam Alquran: “Sudah tentu aku akan membinasakan (menyesatkan) turunannya, selain dari sebahagian kecil”. S 17 Al Isra’ ayat 62.
Jikalau akal itu sempurna dan kuat, niscaya awal kesibukannya, ialah mencegah tentara setan, dengan menghancurkan nafsu syahwat, berpisah dari adat kebiasaan dan mengembalikan tabiat dengan jalan paksaan kepada ibadah. Dan tidak ada arti taubat, selain ini. Yakni: kembali dari jalan, yang penunjuknya nafsu syahwat dan pengawalnya setan, kepada jalan Allah Ta’ala. Dan tidak adalah dalam wujud itu anak Adam (manusia), selain nafsu syahwatnya, yang mendahului atas akalnya. Dan kharizahnya (instink) yang menjadi alat senjata setan, yang mendahului atas kharizahnya yang menjadi alat senjata malaikat. Maka adalah kembalinya dari apa yang telah mendahului kepadanya, atas perbantuan nafsu syahwat itu perlu pada pihak setiap insan, nabi dia ataupun orang bodoh. Maka janganlah anda menyangka bahwa kepentingan ini tertentu dengan Nabi Adam as saja. Dan orang telah bersajak:
Janganlah engkau menyangka,
Hindun seorang saja yang menyalahi janji.
Sifat diri perempuan cantik semua,
Adalah seperti Hindun tadi.
Bahkan itu adalah hukum azali ( tida kesudahan / permulaan ), yang termaktub atas jenis insan, yang tidak mungkin harus menyalahinya, selama tidak berganti sunnah Ilahi, yang tidak dapat diharap pada pergantiannya. Jadi, setiap orang yang telah dewasa, menjadi kafir yang bodoh, maka haruslah ia bertaubat dari kebodohan dan kekufurannya. Apabila ia telah dewasa sebagai orang muslim, karena mengikuti ibu bapaknya, yang lengah dari hakikat/makna keIslamannya, maka haruslah ia bertaubat daripada kelalaiannya, dengan memahami arti Islam. Karena tidak memadai keIslaman ibu bapaknya sedikitpun kepadanya, selama ia tidak Islam sendiri.
Kalau ia telah memahami yang demikian, maka haruslah ia kembali dari adat kebiasaannya dan kesukaannya untuk meluas di belakang nafsu syahwat, tanpa ada yang memalingkan, dengan kembali kepada acuan batas-batas hukum Allah, tentang larangan, pelepasan, terbuka dan meluas. Dan itu adalah termasuk diantara pintu-pintu taubat yang tersukar. Dan padanya telah binasa kebanyakan orang, apabila mereka itu lemah daripadanya. Dan semua ini adalah kembali dan taubat. Maka menunjukkan, bahwa taubat itu fardlu ‘ain/wajib terhadap setiap orang, yang tidak tergambar, bahwa ada seseorang dari manusia, yang tidak memerlukan kepada taubat, sebagaimana diperlukan oleh Adam as. Maka kejadian anak tidak akan meluas sekali-kali, bagi apa yang tidak meluas padanya kejadian bapak.
Adapun penjelasan wajibnya taubat itu terus-menerus dan dalam segala keadaan, maka adalah, bahwa setiap manusia itu tiada terlepas dari perbuatan maksiat dengan anggota tubuhnya. Karena tidak terlepas daripadanya nabi-nabi, sebagaimana tersebut dalam Alquran dan hadits-hadits, dari hal kesalahan nabi-nabi, taubat mereka dan tangisan mereka atas kesalahannya. Maka jikalau terlepas pada sebahagian keadaan daripada perbuatan maksiat anggota tubuh, niscaya tidak akan terlepas daripada cita-cita berdosa, dengan hati. kalau terlepas pada sebahagian keadaan, daripada cita-cita, maka tiada akan terlepas daripada bisikan setan, dengan mendatangkan gurisan-gurisan hati yang berpisah-pisah, yang melumpuhkan daripada mengingati (berdzikir) kepada Allah. Kalau terlepas juga daripada yang demikian, maka tiada akan terlepas daripada kelalaian dan keteledoran pada mengetahui Allah, sifat-sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Semua itu adalah kekurangan dan mempunyai sebab. Dan meninggalkan sebab-sebabnya, dengan berbuat yang lawannya, adalah kembali dari suatu jalan, kepada lawannya. Dan yang dimaksud dengan taubat itu, ialah: kembali. Dan tidaklah tergambar akan terlepasnya diri anak Adam (manusia) daripada kekurangan ini. Hanya mereka itu berlebih-kurang pada kadarnya.
Adapun pokoknya, maka tidak boleh tidak. Karena inilah, Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya ditutupkan oleh hawa nafsu atas hatiku, sehingga aku memohonkan ampun kepada Allah dalam sehari semalam 70 kali” –bacalah sampai akhir hadits.
Karena itulah, ia dimuliakan oleh Allah Ta’ala, dengan firmanNya: “Supaya Allah mengampuni kesalahan engkau yang telah lalu dan yang akan datang”. S 48 Al Fath ayat 2. Apabila adalah ini keadaan Nabi saw, maka bagaimanakah keadaan orang lain?. Kalau anda mengatakan: tidaklah tersembunyi, bahwa apa yang datang kepada hati, dari kegundahan-kegundahan dan gurisan-gurisan itu adalah kekurangan. Dan sesungguhnya kesempurnaan adalah pada terlepas daripadanya. Dan keteledoran dari mengenal (ilmu mengenal Allah Ta’ala) hakikat/makna keagungan Allah adalah kekurangan. Dan manakala berrtambah ilmu mengenal Allah Ta’ala itu, niscaya bertambahlah kesempurnaan. Dan berpindah kepada kesempurnaan dari sebab-sebab kekurangan, adalah: kembali. Dan kembali itu: taubat. Akan tetapi, ini adalah hal-hal keutamaan (fadlilah), tidak hal-hal yang fardlu (wajib). Dan anda, telah berkata secara mutlak, dengan wajibnya taubat pada segala keadaan. Dan taubat dari keadaan-keadaan ini, tidaklah wajib. Karena memperoleh kesempurnaan itu, tidak wajib pada syara’(Agama).
Maka apakah yang dimaksud dengan kata anda: taubat itu wajib pada segala keadaan? Maka ketahuilah kiranya, bahwa telah terdahulu kami katakan, bahwa manusia itu tidak terlepas pada permulaan kejadiannya sekali-kali, daripada mengikuti nafsu syahwat. Dan tidaklah arti taubat itu meninggalkan nafsu syahwat itu saja. Akan tetapi, kesempurnaan taubat adalah dengan memperoleh kembali apa yang telah lalu. Dan tiap-tiap nafsu syahwat yang dituruti oleh insan, maka terangkatlah dari nafsu syahwat itu kegelapan kepada hatinya, sebagaimana terangkat dari nafas insan itu, kegelapan ke muka cermin yang berkilat. Maka  jikalau bertindis-lapis kegelapan nafsu syahwat itu, niscaya menjadi karat pada hati. Sebagaimana uap nafas pada muka cermin ketika ia bertindis-lapis, menjadi kotoran, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Jangan berpikir begitu! Bahkan, apa yang telah mereka kerjakan itu menjadi karat bagi hati mereka”. S 83 Al Muthaffifin ayat 14. Apabila karat pada hati itu telah bertindis-lapis, lalu melekat atas hatinya, seperti kotoran atas muka cermin. Apabila telah bertindis-lapis dan lama waktunya, niscaya ia menyelam dalam tubuh besi dan merusakkannya. Dan jadilah tidak dapat berkilat lagi sesudahnya. Dan jadilah seperti yang melekat dari kotoran. Dan tidak memadai pada memperbaiki kembali dari menuruti nafsu syahwat, dengan meninggalkannya pada masa mendatang. Akan tetapi, tidak boleh tidak, daripada menghapuskan karat-karat itu, yang telah melekat pada hati. Sebagaimana tidak memadai pada mengangkatkan bentuk-bentuk pada cermin (kaca), dengan tidak bernafas lagi dan uap-uap hitam ke muka kaca pada masa mendatang, selama tidak dikerjakan menghapus karat-karat yang telah melekat padanya. Dan sebagaimana terangkat kepada hati kegelapan maksiat dan nafsu syahwat, maka terangkatlah kepada hati itu nur (cahaya) taat dan meninggalkan nafsu syahwat. Lalu terhapuslah kegelapan maksiat, dengan cahaya taat. Dan kepada inilah diisyaratkan dengan sabda Nabi saw: “Ikutkanlah kejahatan itu dengan kebajikan, niscaya engkau sudah menghapusinya”. Jadi, hamba itu memerlukan dalam semua hal-ikhwalnya, kepada menghapuskan bekas-bekas kejahatan dari hatinya, dengan mengerjakan kebajikan-kebajikan, yang bekas-bekasnya melawan akan bekas-bekas kejahatan tersebut. Ini adalah pada hati, yang pertama-tama telah berhasil kebersihan dan kecemerlangannya. Kemudian, menjadi gelap, dengan sebab-sebab yang datang. Adapun mengkilap pertama, maka lamalah kilapan itu padanya. Karena, tidaklah usaha pengkilapan pada menghilangkan karat pada cermin itu, seperti usaha pada membuat cermin itu sendiri. Maka ini adalah usaha-usaha yang panjang, yang tidak sekali-kali terputus. Semua itu kembali kepada taubat.
Adapun kata anda: bahwa ini tidak dinamakan: wajib. Akan tetapi: keutamaan (perbuatan utama) dan mencari kesempurnaan. Maka ketahuilah, bahwa wajib itu mempunyai dua arti.
Yang pertama: ialah: apa yang masuk pada fatwa agama (syara’) dan bersekutu padanya keseluruhan makhluk. Yaitu: kadar, jikalau dikerjakan oleh keseluruhan makhluk, niscaya tidak merobohkan alam ini. Maka jikalau diberatkan manusia semua untuk bertaqwa kepada Allah dengan taqwa yang sebenarnya, niscaya mereka akan meninggalkan kehidupan dan menolak dunia keseluruhannya. Kemudian, yang demikian itu membawa kepada batalnya taqwa secara keseluruhan. Sesungguhnya, manakala telah rusak kehidupan, niscaya tiada seorangpun yang dapat mengosongkan waktunya untuk taqwa. Bahkan, pekerjaan menenun, membajak sawah dan membuat roti, akan menghabiskan semua umur dari tiap-tiap orang, pada apa yang diperlukannya. Maka semua tingkat ini tidaklah wajib dengan pemikiran tersebut.
Kewajiban kedua, yaitu: yang tidak boleh tidak daripadanya, untuk sampai kepada kedekatan yang dicari dari Tuhan semesta alam dan tempat yang terpuji di antara orang-orang shiddiq. Dan taubat dari semua yang telah kami sebutkan itu, adalah wajib untuk sampai kepadaNya. Sebagaimana dikatakan: bahwa bersuci itu wajib pada shalat sunat. Artinya: bagi orang yang bermaksud mengerjakannya. Maka dia tidak akan sampai kepada shalat sunat tersebut, selain dengan bersuci. Adapun orang yang rela dengan kekurangan dan tidak memperoleh keutamaan shalat sunat, maka bersuci itu tidak wajib atasnya karena shalat itu. Sebagaimana dikatakan: mata, telinga, tangan dan kaki itu syarat pada adanya insan. Yakni: bahwa yang tersebut itu adalah syarat bagi orang yang menghendaki, bahwa dia itu insan yang sempurna (insan kamil), yang memperoleh manfaat dengan keinsanannya. Dan ia akan sampai dengan keinsanannya itu kepada tingkat tinggi di dunia.
Adapun orang yang merasa puas dengan asal hidup saja dan ia rela, bahwa dia itu seperti daging atas lapik tempat memotong daging dan seperti sepotong kain tua yang dicampakkan orang, maka tidaklah disyaratkan untuk hidup yang seperti ini, ada mata, tangan dan kaki. Maka pokok kewajiban yang masuk dalam fatwa orang awam itu, tiada akan menyampaikan, selain kepada pokok kelepasan. Dan pokok kelepasan itu adalah seperti pokok kehidupan. Dan apa yang di belakang pokok kelepasan itu, dari kebahagiaan, yang dengan kebahagiaan itu berkesudahan hidup, berlaku sebagai berlakunya anggota tubuh dan alat-alat, yang terselenggarakan hidup dengan dia. Dan pada itulah usaha nabi-nabi, wali-wali, alim ulama dan orang-orang yang seperti mereka. Dan kepada itulah keinginan mereka. Dan di kelilingnya itulah, adanya mereka berkeliling. Dan karenanyalah, tolakan mereka akan kelezatan dunia secara keseluruhan. Sehingga sampailah Nabi Isa as berbantal dengan batu pada tidurnya. Maka datanglah setan kepadanya, seraya berkata: “Apakah engkau meninggalkan dunia karena akhirat?”. Nabi Isa as menjawab: “Ya! Dan apa yang terjadi?”. Lalu setan menjawab: “Engkau berbantal dengan batu ini, adalah bernikmat-nikmat dalam dunia. Maka mengapa tidak engkau letakkan saja kepala engkau atas bumi?”. Nabi Isa as lalu melemparkan batu itu dan meletakkan kepalanya atas bumi. Dan ia melemparkan batu itu adalah taubat dari bernikmat-nikmat itu.
Apakah anda berpendapat, bahwa Isa as tidak tahu bahwa meletakkan kepala atas bumi itu tidak dinamai: wajib pada fatwa-fatwa orang awam? Apakah anda berpendapat, bahwa Nabi kita Muhammad saw tatkala ia terganggu oleh kain yang ada padanya, yang diketahuinya dalam shalatnya, lalu kain itu dibukanya. Dan ia terganggu oleh tali sandalnya yang baru diperbaruinya. Lalu dikembalikannya tali sandal yang lama, bahwa beliau tidak tahu yang demikian itu tidak wajib pada agamanya, yang diagamakannya bagi seluruh hamba? Maka apabila beliau tahu yang demikian, maka mengapa baliau bertaubat daripadanya dengan meninggalkannya? Adakah yang demikian itu, selain karena dilihatnya membekas pada hatinya, bekas yang mencegahnya sampai kepada kedudukan terpuji yang dijanjikan kepadanya? Adakah anda berpendapat, bahwa Abubakar Ash-Shiddiq ra sesudah meminum susu dan tahu bahwa yang demikian itu tidak di atas caranya, lalu beliau memasukkan anak jarinya dalam kerongkongannya, untuk mengeluarkan susu tersebut, sehingga hampir keluar nyawanya? Tidaklah beliau tahu sekadar ini dari ilmu fiqh? Yaitu: bahwa apa yang dimakannya dari karena tidak tahu, maka dia tidak berdosa dengan yang demikian. Dan tidak wajib pada fatwa ilmu fiqih mengeluarkannya. Maka mengapa ia bertaubat dari meminumnya, dengan mengeluarkan kembali sedapat mungkin, dengan mengosongkan perutnya dari susu itu? Adakah yang demikian itu, selain karena rahasia, yang menetap dalam dadanya, dimana rahasia tersebut memperkenalkan kepadanya, bahwa fatwa orang awam itu adalah suatu hadits yang lain? Dan bahwa bahaya jalan akhirat, tidak dikenal, selain oleh orang-orang shiddiq?.
Maka perhatikanlah hal-ikhwal mereka itu, dimana mereka adalah makhluk Allah yang lebih mengenal (berma’rifah) akan Allah, jalan Allah, rencana Allah dan tempat-tempat tersembunyi ke-terperdayaan pada jalan Allah. Jagalah dirimu satu kali, bahwa engkau ditipu oleh hidup dunia! Jagalah, kemudian jagalah beribu-ribu kali, bahwa engkau ditipu oleh penipuan pada jalan Allah! maka inilah rahasia orang yang menghirup permulaan baunya, tahu, bahwa harusnya taubat nashuha (taubat yang benar-benar tidak akan berbuat dosa lagi), menjadi harus bagi hamba yang berjalan pada jalan Allah Ta’ala, pada setiap nafas dari nafas-nafasnya. Walaupun ia ditakdirkan berusia, sebanyak usia Nabi Nuh as. Dan yang demikian itu wajib dengan segera, tanpa ada tangguhan. Maka benarlah Abu Sulaiman Ad-Darani ra, yang mengatakan: “Jikalau orang yang berakal tidak menangis pada apa yang masih ada dari umurnya, selain atas kehilangan masa yang lalu dari umurnya, pada tidak perbuatan taat, niscaya sesungguhnya adalah pantas bahwa yang demikian itu menyusahkannya sampai kepada mati”.
 Maka bagaimanakah orang yang menghadapi apa yang menjadi sisa dari umurnya, dengan contoh apa yang telah lalu dari kebodohannya? Sesungguhnya Abu Sulaiman Ad-Darani ra mengatakan itu, karena orang yang berakal, apabila memiliki mutiara yang berharga dan mutiara itu hilang daripadanya, tanpa faedah, niscaya –sudah pasti, ia menangis atas kehilangan itu. Dan jikalau hilangnya mutiara tadi daripadanya dan hilangnya itu menjadi sebab binasanya, niscaya tangisannya adalah lebih keras dan setiap saat dari umurnya. Akan tetapi, setiap nafas itu, adalah mutiara yang berharga, tiada ganti dan tukaran daripadanya. Maka mutiara yang berharga ini pantas untuk menyampaikan engkau kepada bahagia abadi. Dan melepaskan engkau dari kesengsaraan abadi. Dan manakah mutiara yang lebih berharga daripada ini? Maka apabila engkau menyia-nyiakannya dalam kelalaian, niscaya merugilah engkau dengan kerugian yang nyata. Dan kalau engkau mempergunakannya kepada kemaksiatan, maka sesungguhnya engkau telah binasa dengan kebinasaan yang keji. Jikalau engkau tidak menangis di atas musibah (bencana) ini, maka yang demikian itu, adalah karena kebodohan engkau. Dan musibah bagi engkau disebabkan kebodohan engkau itu, lebih besar dari setiap musibah. Akan tetapi, kebodohan itu musibah, yang tidak diketahui oleh yang memperoleh musibah itu, bahwa dia yang punya musibah tersebut.
Sesungguhnya tidur kelalaian itu menghalangi di antara dia dan mengenalnya. Dan manusia itu tidur. Apabila mereka mati, niscaya mereka terbangun. Maka ketika itulah, tersingkap bagi setiap orang yang jatuh, akan kejatuhannya. Dan bagi setiap orang yang kena musibah, akan musibahnya. Dan manusia itu terangkat (tidak dapat) memperolehnya kembali. Sebahagian orang-orang ‘arif (orang-orang yang mengenal dengan Allah), mengatakan: “Bahwa malakul-maut apabila datang kepada seorang hamba, niscaya ia memberitahukan kepada hamba tersebut: bahwa masih ada sesaat, sisa dari umur engkau. Dan engkau tidak akan terkemudian daripadanya sekejap matapun. Maka tampaklah bagi hamba itu, kesedihan dan penyesalan. Jikalau adalah dunia itu dengan isi-isinya kepunyaannya, niscaya ia keluar daripadanya untuk menggabungkan kepada saat itu, suatu saat yang lain. Supaya ia dapat meratapi dirinya pada saat itu dan memperoleh kembali keteledorannya. Ia tidak memperoleh jalan kepada yang demikian. Dan itulah permulaan yang tampak dari hikmah firman Allah Ta’ala: “Dan diantara mereka dengan apa yang diingininya, diletakkan batas”. S saba ayat 54. Dan kepada itulah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Sebelum kematian datang kepada seseorang diantara kamu, lalu ia berkata: “Wahai Tuhanku! Mengapa aku tidak engkau beri tangguh barang sedikit waktu, supaya aku memberikan sedekah dan termasuk orang-orang yang mengerjakan perbuatan baik? Dan Allah tiada akan memberi tangguh kepada suatu nyawa, apabila janjinya (ajalnya) telah sampai”. S Al Munafiqun ayat 10-11. Lalu dikatakan, bahwa ajal dekat yang dimintanya itu, artinya: orang itu mengatakan ketika terbuka tutup bagi hamba: “Hai Malakul-maut! Tangguhkanlah aku sehari, dimana aku akan meminta maaf kepada Tuhanku, aku bertaubat dan akan mencari bekal amal shalih bagi diriku". Malakul-maut itu lalu menjawab: “Engkau telah menghabiskan hari-hari itu, maka tiada seharipun lagi”. Orang itu lalu menjawab: “Tangguhkanlah aku sesaat saja!”. Malakul-maut menjawab: “Engkau telah menghabiskan saat-saat itu. Maka tiada sesaatpun lagi”. Maka terkuncilah baginya pintu taubat. Lalu bulak-baliklah nyawanya dalam kerongkongannya. Nafasnya pulang-pergi dalam buruk kesedihannya. Dan ia mennghirup kedukaan putus asa daripada dapat memperoleh kembali dan kesedihan penyesalan pada menyia-nyiakan umur. Maka bergoncanglah pokok imannya pada berantakan hal-ikhwal itu. Apabila nafasnya telah penghabisan, maka jikalau telah mendahului kebajikan baginya daripada Allah, niscaya keluarlah nyawanya di atas keesaan. Maka yang demikian itu husnul-khatimah (baik kesudahan) namanya. Dan jikalau telah terdahulu baginya qodo (hukum Allah) dengan kesengsaraan –berlindunglah kita kiranya dengan Allah –niscaya nyawanya keluar di atas keraguan dan kegoncangan. Dan yang demikian itu, su-ul khatimah (buruk kesudahan) namanya.
Untuk contoh seperti ini, dikatakan, sebagaimana tersebut dalam Alquran: “Dan tidaklah diterima taubat orang-orang yang mengerjakan kejahatan apabila sampai kematian datang kepada salah seorang mereka, baru mengatakan: “aku taubat sekarang”. S4 An Nisa’ ayat18. Dan firmanNya: “Hanyalah Allah menerima taubat dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan karena kebodohannya, kemudian itu, mereka bertaubat dengan segera”. S 4 An Nisa’ ayat 17. Artinya, dari dekat masa dengan kesalahan, dengan ia menyesal di atas kesalahan itu. Dan ia menghapuskan bekasnya dengan perbuatan baik, yang diikutkannya kesalahan itu dengan perbuatan baik tadi, sebelum bertindis-lapis karatan atas hati. maka, lalu tiada menerima penghapusan lagi.
Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Ikutkanlah kejahatan itu dengan kebajikan, niscaya engkau sudah menghapusinya”. Karena itulah, Lukamnul-hakim mengatakan kepada putranya: “Hai anakku! Janganlah engkau tangguhkan bertaubat! Sesunggguhnya maut itu akan datang dengan tiba-tiba”. Orang yang meninggalkan bersegera kepada taubat, dengan biar nanti saja, adalah dia diantara dua bahaya besar:
-        pertama: bahwa bertindis-lapislah kegelapan atas hatinya dairpada perbuatan-perbuatan maksiat. Sehingga menjadi karatan dan melekat. Lalu tidak lagi dapat dihapuskan.
-        Kedua: bahwa ia segera didatangi sakit atau maut. Maka ia tidak mendapat kesempatan untuk berbuat menghapuskan itu. Dan karena itulah, datang pada hadits: “Sesungguhnya kebanyakan pekikan isi neraka, ialah: dari karena katanya: nanti-nanti”. Maka tiadalah binasa orang yang telah binasa itu, selain dengan kata-kata nanti tadi. Lalu penghitaman hatinya adalah sekarang dan pembersihannya dengan taat itu ditangguhkan, sampai ia disambar oleh maut. Maka ia datang kepada Allah dengan hati yang tidak sejahtera. Dan tiada terlepas dari neraka, selain: orang yang datang kepada Allah dengan hati sejahtera (qalbin salim).
Hati itu amanat Allah Ta’ala pada hambaNya. Umur itu amanah Allah Ta’ala pada hambaNya. Dan begitu pula, sebab-sebab taat lainnya. Siapa yang berkhianat pada amanah dan tidak mendapat kembali yang dikhianatinya, maka keadaan orang itu berbahaya. Setengah orang arifin itu berkata, bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai 2 rahasia pada hambaNya, yang dirahasiakanNya kepada hamba itu dengan jalan ilham:
pertama: apabila hamba itu telah keluar dari perut ibunya, maka Allah berfirman kepadanya: “Hai hambaKu! Aku telah keluarkan engkau ke dunia, dalam keadaan suci bersih. Aku simpankan pada engkau umur engkau dan Aku amanahkan umur itu pada engkau. Maka Aku perhatikan, bagaiamana engkau menjaga amanah. Dan perhatikanlah kepadaku, bagaimana engkau menemui Aku”.
Rahasia kedua: ketika keluar nyawanya, Allah berfirman: “Hai hambaKu! Apakah yang engkau perbuat, tentang amanahKu pada engkau? Adakah engkau menjaganya, sehingga engkau menemui Aku menurut janji? Maka Aku menemui engkau dengan memenuhi janji itu atau engkau sia-siakan amanah. Lalu Aku menemui engkau dengan tuntutan dan siksaan? Kepada yang demikianlah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala! “Dan penuhilah janjimu kepadaKU, niscaya Aku penuhilah pula janjiKu kepadamu”. S2 Al Baqarah ayat 40. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan orang yang beriman dan beruntung juga orang-orang yang memelihara kepercayaan yang diberikan kepadanya serta janji yang dibuatnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 8.
PENJELASAN: bahwa taubat, apabila terkumpul syarat-syaratnya, maka sudah pasti diterima.
Ketahuilah, bahwa anda apabila telah memahami arti: qabul (diterima), niscaya anda tidak ragu lagi, bahwa setiap taubat yang syah, maka taubat itu diterima. Orang-orang yang memandang dengan cahaya mata hati, yang mengambil pemahamannya dari cahaya Alquran, niscaya mereka mengetahui bahwa setiap hati yang sejahtera itu, diterima pada sisi Allah. Dan memperoleh nikmat di akhirat pada dekat Allah Ta’ala. Dan disediakan untuk dia memandang dengan matanya yang terus-menerus kepada Wajah Allah Ta’ala. Dan mereka mengetahui, bahwa hati itu dijadikan sejahtera pada asalnya. Dan setiap anak itu dilahirkan atas fitrah (suci – tidak berdosa).
Dan sesungguhnya hilang kesejahteraan hatinya oleh kekeruhan yang menganiayai mukanya dari debu dan kegelapan dosa. Dan mereka mengetahui, bahwa api penyesalan, membakar debu itu. Dan bahwa cahaya kebaikan menghapuskan dari muka hati, gelap kejahatan. Dan sesungguhnya, tiada kemampuan bagi gelap kemaksiatan, serta cahaya kebaikan, sebagaimana tiada kemampuan bagi gelap malam serta cahaya siang. Bahkan, sebagaimana tiada kemampuan bagi keruhnya kotoran, serta putihnya sabun. Dan sebagaimana kain yang kotor, tiada diterima bagi raja untuk menjadi pakaiannya. Maka hati yang gelap, tiada akan diterima oleh Allah Ta’ala, untuk berada di sisiNya. Dan sebagaimana, memakai kain pada perbuatan buruk mengotorkan kain itu. Dan membasuhnya dengan sabun dan air panas –sudah pasti –membersihkannya. Maka memakai hati pada nafsu syahwat itu, mengotorkan hati. Dan membasuhnya dengan air mata berderai dan membakar penyesalan itu, akan membersihkannya, mensucikannya, dan mencemerlangkannya. Dan setiap hati yang bersih, lagi suci maka diterima, sebagaimana setiap kain yang bersih, maka diterima. Sesungguhnya yang harus atas engkau itu, membersihkan dan mensucikannya.
Adapun diterima, maka itu adalah pemberian, yang telah dahulu qodo azali (hukum Tuhan) kepadanya, yang tiada penolakan baginya. Dan itulah yang dinamai keberuntungan pada firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan (jiwanya)” S91 Asy Syams ayat 9.
 Orang yang tiada mengenal atas jalan kebenaran, akan mengenal yang lebih kuat dan lebih terang daripada penyaksian dengan penglihatan, bahwa hati itu berbekas dengan perbuatan maksiat dan perbuatan taat, sebagai pembekasan yang berlawanan, yang dipinjamkan bagi salah satu kepada keduanya, akan perkataan gelap, sebagaimana dipinjamkan untuk: bodoh. Dan dipinjamkan untuk yang lain, perkataan: cahaya, sebagaimana dipinjamkan untuk: tahu (ilmu). Dan bahwa diantara cahaya dan gelap itu berlawanan yang penting, yang tiada tergambar dapat dikumpulkan antara keduanya.
Maka seakan-akan tiada yang tinggal dari agama, selain kulitnya. Dan tiada digantungkan pada agama itu, selain namanya. Dan hatinya dalam tutup tebal dari hakikat/makna agama. Bahkan dari hakikat/makna dirinya dan sifat-sifat dirinya. Orang yang tiada tahu akan dirinya, maka dia itu lebih tidak tahu lagi dengan diri orang lain. Dan yang dimaksudkan, ialah: hatinya. Karena dengan hatinya itu, ia akan mengenal lain dari hatinya. Maka bagaimana ia mengenal hati yang lain dan ia tidak mengenal hatinya? Maka orang yang menyangka, bahwa taubat itu syah dan tidak diterima, adalah seperti orang yang menyangka, bahwa matahari itu terbit dan gelap itu tidak hilang. Dan kain itu dibasuh dengan sabun dan kotorannya tidak hilang, kecuali bahwa kotoran itu menyelam (masuk benar), karena lama bertindis-lapisnya pada lobang-lobang kain dan celah-celahnya. Maka sabun tidak kuat mencabutnya. Maka seperti demikianlah, bahwa dosa itu bertindis-lapis, sehingga menjadi tabiat dan karatan di atas hatinya. Maka hati yang seperti ini, tiada akan kembali dan tiada akan taubat. Benar, kadang-kadang orang itu mengatakan dengan lisannya: “Aku telah bertaubat”. Maka adalah yang demikian itu, seperti kata tukang pembersih kain dengan lidahnya: “Sudah aku basuhkan kain itu”. Dan perkataan yang demikian itu, tiada sekali-kali akan membersihkan kain, selama ia tidak mengubahkan sifat kain, dengan memakai apa yang berlawanan dengan sifat yang ada pada kain itu.
Maka dengan inilah keadaan tercegahnya pokok taubat. Dan itu tidak jauh, bahkan itulah yang kebanyakan pada keseluruhan makhluk, yang menghadap kepada dunia, yang berpaling dari Allah secara keseluruhan. Penjelasan ini mencukupilah pada orang-orang yang mempunyai mata hati pada terkabulnya taubat. Akan tetapi, kami menguatkan sayapnya dengan menyalin ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar. Maka setiap pemandangan, yang tidak disaksikan oleh kitab dan sunnah, niscaya tidak dapat dipercayai. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dialah (Allah) yang menerima taubat hamba-hambaNya, memaafkan kesalahan”. S 42 Asy Syuura ayat25. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Pengampun dosa dan penerima taubat”. S23 Al Mukminuun ayat3. Nabi saw bersabda: “Sungguh Allah amat bergembira dengan taubatnya seseorang kamu”. Bacalah sampai akhir hadits tersebut! Gembira itu adalah dibelakang (sesudah) penerimaan. Maka itu menunjukkan kepada penerimaan dan lebih dari itu lagi. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla menghamparkan tanganNya (qudrah/kuasa Nya) dengan taubat bagi yang berbuat jahat malam, kepada siang dan bagi yang berbuat jahat siang kepada malam, sehingga terbitlah matahari dari tempat terbenamnya”.
Penghamparan tangan itu adalah perkataan dengan tidak terus terang daripada diminta taubat. Dan yang meminta itu adalah di belakang yang menerima. Maka kerapkali yang menerima itu tidak meminta. Dan tidaklah yang meminta itu, melainkan adalah ia yang menerima. Nabi saw bersabda: “Jikalau kamu berbuat kesalahan, sehingga sampai ke langit, kemudian kamu menyesal, niscaya diterima oleh Allah taubatmu”. Nabi saw bersabda pula: “Sesungguhnya hamba itu berbuat dosa, lalu ia masuk sorga”. Lalu ada yang menanyakan: “Bagaimana maka demikian, wahai Rasulullah?”. Nabi saw menjawab: “adalah yang menjadi didepan matanya, dia itu yang bertaubat, yang lari daripadanya, sehingga ia masuk sorga”. Nabi saw bersabda: “Sumpah dosa itu penyesalan”. Nabi saw bersabda: “Yang bertaubat dari dosa, adalah seperti orang yang tiada berdosa”. Diriwayatkan, bahwa: seorang Habsyi bertanya: “Wahai Rasulullah! Sesungguh nya aku ini berbuat perbuatan keji. Maka adakah bagiku taubat?”. Nabi saw menjawab: “Ada!”. Orang Habsyi itu lalu pergi. Kemudian ia kembali, lalu bertanya lagi: “Wahai Raasulullah! Adakah IA (Allah) melihat aku dan aku mengerjakan perbuatan keji itu?”. Nabi saw menjawab: “Ada!”. Maka orang Habsyi itu lalu memekik dengan pekikan, dimana nyawanya keluar dalam pekikan itu”.
Diriwayatkan, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla, tatkala menjatuhkan kutukan (laknat) kepada Iblis, lalu Iblis itu meminta kepada Allah Ta’ala, agar kutukan itu ditangguhkan. Maka Allah Ta’ala menangguhkannya sampai kepada hari kiamat. Lalu Iblis itu berkata: “Demi kemuliaan Engkau! Sesungguhnya tidak aku keluar dari hati anak Adam, selama ia masih bernyawa”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Demi kemuliaanKu dan keagunganKu! Sesungguhnya tidak terdinding dari anak Adam itu taubat, selama ia masih bernyawa”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya perbuatan baik itu menghilangkan perbuatan jahat, sebagaimana air menghilangkan kotoran”. Hadits-hadits tentang ini, tidak terhingga banyaknya. Adapun kata sahabat dan ulama-ulama terkemuka, maka di antara lain, kata Sa’id bin Al-Musayyab: “Diturunkan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah itu Pengampun terhadap orang-orang yang kembali kepadaNya”. S 17 Al Isra ayat25,
adalah mengenai orang yang berdosa, kemudian ia bertaubat. Kemudian ia berdosa, kemudian ia bertaubat”.
Al-Fudlail bin ‘Iyadl ra berkata: “Allah Ta’ala berfirman: “Berilah berita gembira kepada orang-orang yang berdosa, bahwa mereka itu jikalau bertaubat, niscaya AKU menerima taubatnya! Berilah peringatan kepada orang-orang shiddiq, bahwa AKU, jikalau AKU letakkan kepada mereka keadilanKu, niscaya AKU azabkan mereka”. Thilq bin Habib berkata: “Sesungguhnya hak Allah itu lebih besar, daripada dapat ditegakkan oleh hambaNya. Akan tetapi, mereka itu berpagi hari bertaubat dan bersore hari bertaubat”.
Abdullah bin Umar ra berkata: “Barangsiapa mengingati kesalahan, yang telah diperbuatnya, lalu hatinya takut dari kesalahan itu, niscaya kesalahan itu dihapuskan daripadanya pada Luh Mahfudh”. Diriwayatkan, bahwa salah seorang daripada nabi-nabi Bani Israil, telah berbuat dosa. Lalu diwahyukan oleh Allah Ta’ala kepadanya: “Demi kemuliaanKu! Jikalau engkau kembali mengerjakannya, niscaya AKU azabkan engkau”. Nabi Bani Israil itu menjawab: “Hai Tuhanku! Engkau-Engkau dan aku-aku! Demi kemuliaan ENGKAU! Jikalau Engkau tidak memelihara aku dari kesalahan, niscaya aku akan kembali mengerjakannya”. Maka Allah Ta’ala memeliharanya dari perbuatan yang salah. Sebahagian mereka mengatakan: bahwa sesungguhnya hamba itu berbuat dosa, maka senantiasa ia menyesal, sehingga ia masuk sorga. Lalu Iblis berkata: “Mudah-mudahan aku tidak menjatuhkannya dalam dosa”.
Habib bin Tsabit (seorang ahli fiqh, w. Th.119 H) berkata: “Pada hari kiamat, didatangkan kepada orang itu dosa-dosanya. Maka ia lalu dengan dosa itu, seraya mengatakan: “Sesungguhnya aku takut dari dosa itu”. Habib bin Tsabit tadi mengatakan, maka dosa orang tersebut itu diampunkan.
Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Mas’ud dari hal dosa yang telah diperbuatnya: “Adakah baginya dapat bertaubat? Maka Ibnu Mas’ud berpaling dari orang tersebut. Kemudian ia menoleh kepadanya. Lalu ia melihat kedua mata orang tadi bercucuran air mata. Maka Ibnu Ma’sud berkata kepadanya: “Bahwa sorga itu mempunyai 8 pintu. Semuanya terbuka dan terkunci, selain pintu taubat. Maka pada pintu taubat itu ada seorang malaikat yang diserahkan kepadanya, dimana ia tidak menguncikan pintu itu. Dari itu, maka beramallah dan janganlah engkau putus asa!”.
Abdurrahman bin Abil-Kasim berkata: “Kami memperbincangkan bersama Abdurrahim, tentang taubat orang kafir dan firman Allah Ta’ala:  “Kalau mereka berhenti menentang kebenaran Tuhan, niscaya diampuni apa yang telah lewat”. S 8 Al Anfal ayat 38. Lalu Abdurrahim menjawab: “Sesungguhnya aku mengharap, bahwa adalah orang muslim pada sisi Allah itu lebih baik keadaannya. Dan telah sampai kepadaku, bahwa taubat orang muslim itu adalah seperti Islam sesudah Islam”.
Abdullah bin Salam mengatakan: “Aku tidak akan berbicara dengan kamu, selain dari hal nabi yang menjadi rasul atau kitab yang diturunkan kepadanya. Bahwa hamba Allah, apabila berbuat sesuatu dosa, kemudian ia menyesal atas dosa itu dalam sekejap mata, niscaya dosa itu gugur daripadanya, lebih cepat dari sekejap mata itu”.
Umar ra berkata: “Duduklah bersama orang-orang yang bertaubat. Karena mereka adalah orang-orang yang halus hatinya”. Sebahagian mereka mengatakan: “Aku tahu, kapan Allah Ta’ala mengampuni aku”. Lalu orang menanyakan: “Kapan?”. Ia menjawab: “Apabila Allah menerima taubatku”. Yang lain berkata: “Aku daripada mengharamkan taubat, adalah aku lebih takut daripada mengharamkan pengampunan”. Artinya: pengampunan itu –sudah pasti –termasuk dari keharusan taubat dan yang mengikuti taubat.
Diriwayatkan, bahwa pada kaum Bani Israil, ada seorang pemuda yang berbuat ibadah kepada Allah Ta’ala 20 tahun lamanya. Kemudian ia berbuat maksiat keapda Allah Ta’ala 20 tahun lamanya. Kemudian ia memancang pada kaca. Maka ia melihat ubanan (sudah putih) pada janggutnya. Maka yang demikian itu tidak mengenakan baginya. Maka ia berdoa: “Hai Tuhanku! Aku telah mengerjakan taat kepadamu selama 20 tahun. Kemudian aku berbuat maksiat kepadaMu selama 20 tahun. Maka jikalau aku kembali kepadaMu, adakah Engkau akan menerima aku?”. Lalu pemuda tadi mendengar yang mengatakan, berkata dan ia tidak melihat seorang manusiapun: “Engkau mencintai Kami, maka Kami mencintai engkau. Engkau meninggalkan Kami, maka Kami meninggalkan engkau. Engkau berbuat maksiat kepada Kami, maka Kami tangguhkan azab atas engkau. Dan jika engkau kembali kepada Kami, niscaya Kami terima engkau”.
Dzun Nun Al-Misri ra berkata:  “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang menegakkan batang kayu kesalahan, sebagai penegakkan hajat hati. Mereka menyiraminya dengan air taubat. Lalu membuahkan penyesalan dan kegundahan. Mereka itu lalu gila, tanpa gila. Mereka itu menjadi bodoh, tanpa letih dan tuli. Mereka itu orang-orang yang lancar lagi pandai berbicara, ia mengenal Allah dan RasulNya. Kemudian, mereka meminum segelas kejernihan. Lalu mereka mengwarisi sabar sepanjang percobaan. Kemudian, hati mereka bimbang pada alam malakut. Dan menerawang pikiran mereka diantara istana dinding alam alam ruh. Mereka berteduh di bawah serambi penyesalan. Mereka membaca lebar kesalahan. Maka mereka mengwariskan kepada dirinya kegundahan. Sehingga mereka sampai kepada ketinggian zuhud dengan tangga wara’. Lalu mereka menerima azab pahitnya meninggalkan dunia. Mereka memandang lembut kekasaran tempat tidur. Sehingga mereka memperoleh tali kelepasan dan ikatan keselamatan. Dan terlepaslah nyawa mereka pada alam tinggi. Sehingga mereka tinggal dalam kebun kenikmatan. Dan mereka masuk dalam lautan hidup. Dan mereka timbun parit-parit kegundahan. Mereka lewati jembatan hawa nafsu. Sehingga, mereka turun di tanah lapang ilmu. Mereka minum dari anak sungai hikmah. Mereka menumpang kapal kecerdikan. Mereka mencabut dengan angin kelepasan, dalam lautan selamat. Sehingga mereka sampai ke taman kesenangan, tempat galian kemegahan dan kemuliaan”. Maka sekedar ini mencukupilah untuk penjelasan, bahwa setiap taubat yang shah –sudah pasti –diterima (makbul).
Kalau anda menanyakan: “Apakah tuan mengatakan, apa yang dikatakan oleh golonggan mu’tazilah (golongan yg menelan mentah-mentah arti dari al quran tanpa pemikiran), bahwa menerima taubat itu wajib atas Allah Ta’ala?”. Maka aku menjawab: bahwa aku tidak bermaksud dengan apa yang anda sebutkan itu, dari hal wajib penerimaan taubat atas Allah Ta’ala, kecuali apa yang dikehendaki oleh orang yang mengatakan, dengan katanya: bahwa kain, apabila dibasuh dengan sabun, niscaya wajiblah hilang kotorannya. Bahwa orang yang haus, apabila meminum air, niscaya wajib hilang hausnya. Dan apabila pada suatu masa ia tidak mau air, niscaya wajiblah ia haus. Dan apabila haus itu berkekalan dalam waktu lama, niscaya wajiblah mati. Dan tidaklah pada sesuatupun dari yang demikian itu, apa yang dikehendaki oleh kaum mu’tazilah, dengan mengwajib kan nya atas Allah Ta’ala. Akan tetapi, aku mengatakan, bahwa Allah Ta’ala menjadikan taat, yang menutupkan maksiat dan kebaikan yang menghapuskan kejahatan. Sebagaimana IA menjadikan air yang menghilangkan haus. Dan kuasa itu meluas dengan sebailknya, jikalau telah mendahului kehendakNya dengan yang demikian. Maka tiada wajib atas Allah Ta’ala. Akan tetapi, apa yang telah mendahului KemauanNya yang azali ( tidak kesudahan / permulaan ) –sudah pasti –wajib adanya.
Kalau anda mengatakan, bahwa tiadalah dari orang yang bertaubat itu, melainkan ia ragu tentang penerimaan taubatnya. Dan orang yang minum air itu tiada ragu pada hilang hausnya. Maka ia tidak ragu, pada hilang hausnya itu. Maka aku menjawab, bahwa ragunya pada penerimaan taubat itu, adalah seperti ragunya, pada adanya syarat-syarat shah. Sesungguhnya taubat itu mempunyai rukun-rukun (sendi-sendi) dan syarat-syarat yang harus, sebagaimana akan datang penjelasan nya. Dan ia tidak memeriksa dengan yakin adanya semua syarat-syaratnya, seperti orang yang ragu pada taubat, yang diminumnya untuk mencuci perut, tentang adakah itu mencuci perut. Yang demikian itu, karena ragunya pada berhasilnya syarat-syarat mencuci perut, pada obatnya, dengan memandang kepada keadaan, waktu, cara mencampur obat, memasak, bagus ramuan dan obat-obatnya. Maka pahamilah ini dan contoh-contohnya yang mengwajibkan takut sesudah bertaubat. Dan yang mengwajibkan ragu –sudah pasti –pada diterima taubat itu, menurut apa yang akan datang penjelasannya, tentang syarat-syaratnya insya Allahu Ta’ala.
SENDI KEDUA (RUKUN KEDUA): mengenai dari apa taubat itu, yaitu: dari dosa, yang kecil dan yang besar.
Ketahuilah, bahwa taubat itu meninggalkan dosa. Dan tidak mungkin meninggalkan sesuatu, selain sesudah mengenalnya. Dan apabila taubat itu wajib, niscaya apa yang tidak akan sampai kepadanya, selain dengan itu, maka itu menjadi wajib pula. Jadi, mengenal dosa itu wajib. Dan dosa itu ibarat dari setiap apa yang menyalahi perintah Allah Ta’ala, pada meninggalkan atau mengerjakan. Dan uraian yang demikian itu meminta uraian segala yang dipikulkan (disuruh), dari permulaannya sampai kepada penghabisannya. Dan tidaklah yang demikian itu maksud kami. Akan tetapi, kami akan menunjukkan kepada kumpulannya dan ikatan bahagian-bahagiannya. Kiranya Allah mencurahkan taufiq bagi kebenaran dengan rahmatNya.
PENJELASAN: bahagian-bahagian dosa, dengan dikaitkan kepada sifat-sifat hamba.
Ketahuilah, bahwa insan mempunyai sifat-sifat dan akhlak yang banyak macamnya, menurut apa yang telah diketahui uraiannya pada Kitab Keajaiban Hati dan Tipuannya. Akan tetapi, terbatas perkembangan dosa itu pada 4 sifat: sifat ketuhanan, sifat kesetanan, sifat kebinatangan dan sifat kebinatang-buasan. Yang demikian itu, karena tanah kejadian insan itu diperas dari campuran yang bermacam-macam. Lalu setiap dari campuran tersebut, menghendaki dalam yang diperas itu, bekasan dari bermacam-macam bekas. Sebagaimana dikehendaki oleh gula, cuka dan za’faran (sejenis bunga) pada sakanjabin (air diberi gula dan dicampur dengan cuka), akan bermacam-macam bekas.
1.Adapun apa yang menghendaki menyerupai kepada sifat-sifat ketuhanan, maka yaitu, seperti: sombong, bangga, perkasa, suka dipuji dan disanjung, mulia, kaya, suka tetap kekal dan mencari ketinggian atas manusia seluruhnya. Sehingga, seakan-akan ia berkehendak mengatakan: aku tuhanmu yang Maha Tinggi. Dan dari ini, bercabang sejumlah dosa besar, yang dilupakan oleh makhluk dan tidak dihitungnya dosa. Dan itulah pembinasa-pembinasa besar, yang menjadi seperti induk-induk bagi kebanyakan perbuatan maksiat, sebagaimana telah kami bahas secara mendalam pada Rubu’ Yang Membinasakan.
2. Ialah: sifat kesetanan, yang bercabang daripadanya: dengki, zalim, daya upaya, tipu, menyuruh dengan kerusakan dan perbuatan mungkar. Dan masuk di dalamnya: palsu, nifaq dan mengajak kepada perbuatan bid’ah (yang diada-adakan) dan sesat.
3. Sifat kebinatangan. Dan daripadanya, bercabang: rakus, sifat anjing dan loba pada memenuhi keinginan perut dan kemaluan. Dan daripadanya, bercabang: zina, homoseksual, curi, makan harta anak yatim dan mengumpulkan harta benda dunia untuk memenuhi keinginan hawa nafsu.
4. Sifat kebinatang-buasan. Dan daripadanya, bercabang: marah, busuk hati, menyerang manusia dengan pukulan, makian, bunuh dan membinasakan harta benda. Dan bercabang daripadanya: sejumlah dosa. Sifat-sifat tersebut berangsur-angsur pada kejadian manusia. Maka sifat kebinatangan yang pertama-tama menonjol. Kemudian, yang kedua, diiringi sifat kebinatang-buasan. Kemudian, apabila keduanya sudah berkumpul, lalu keduanya memakai akal pada penipuan, tipu daya dan daya upaya. Dan itu adalah sifat kesetanan. Kemudian, dengan sifat terakhir, menonjol sifat-sifat ketuhanan. Yaitu: angkuh, mulia, tinggi, mencari kebesaran dan bermaksud ketinggian atas semua makhluk. Maka inilah induk-induk dosa dan sumber-sumbernya. Kemudian, terpancarlah dosa-dosa itu dari sumber-sumber tersebut atas anggota tubuh. Sebahagiannya dalam hati khususnya, seperti: kufur, bid’ah (yang diada-adakan), bermuka dua dan menyembunyi kan keburukan bagi manusia. Sebahagiannya pada mata dan pendengaran. Sebahagiannya pada lisan, sebahagiannya pada perut dan kemaluan laki2. Sebahagian nya pada dua tangan dan dua kaki. Dan sebahagiannya pada semua badan. Dan tidak perlu kepada penjelasan penguraian yang demikian. Karena sudah terang (sebagai bahagian dosa menurut sifatnya).
Bahagian kedua: ketahuilah, bahwa dosa itu terbagi kepada: di antara hamba dan Allah Ta’ala dan kepada yang menyangkut dengan hak-hak hamba. Maka yang menyangkut dengan hamba khususnya, adalah seperti: meninggalkan shalat, meninggalkan puasa dan kewajiban-kewajiban khusus dengan hamba. Dan apa yang menyangkut dengan hak-hak hamba Allah, adalah seperti: meninggalkan zakat, membunuh orang, merampas hartanya dan memaki kehormatannya. Dan setiap yang diambil dari hak orang lain itu, adakalanya: nyawa atau anggota tubuh atau harta atau kehormatan atau agama atau kemegahan diri. Dan menggunakan agama dengan: menyesatkan, mengajak kepada perbuatan bid’ah (yang diada-adakan), menggalakkan pada perbuatan maksiat dan mengobarkan sebab-sebab keberanian kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana diperbuat oleh sebahagian juru pengajaran (juru nasehat), dengan menguatkan segi harap atas segi takut. Dan apa yang menyangkut dengan hamba-hamba Allah, maka urusan padanya adalah lebih berat. Dan apa yang di antara hamba dan Allah Ta’ala, apabila itu bukan syirik (mempersekutukan Allah), maka kemaafan padanya lebih besar harapan dan lebih dekat.
Dan tersebut pada hadits: “Buku besar itu 3: buku besar yang diampunkan, buku besar yang tidak diampunkan dan buku besar yang tidak ditinggalkan. Buku besar yang diampunkan, yaitu: dosa-dosa hamba, diantara mereka dan Allah Ta’ala. Buku besar yang tidak diampunkan, yaitu: menyekutukan (syirik) kepada Allah Ta’ala. Adapun buku besar yang tidak ditinggalkan, maka yaitu: perbuatan-perbuatan zalim yang diperbuat hamba”. Artinya: tidak boleh tidak, bahwa dituntut dengan perbuatan zalim tersebut, sehingga dimaafkan daripadanya.
Bahagian ketiga: ketahuilah kiranya, bahwa dosa itu terbagi kepada: dosa kecil dan dosa besar. banyaklah perbedaan pendapat manusia tentang dosa itu. Ada yang mengatakan: tidak ada yang kecil dan tidak ada yang besar. Akan tetapi, setiap yang menyalahi Allah (dari apa yang dilarangNya), maka itu dosa besar. Pendapat ini lemah, karena Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau kamu jauhi dosa-dosa besar yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami tutup kesalahanmu yang kecil-kecil dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”. S 4 An Nisa’ ayat 31. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, selain hanya teringat sepintas lalu”. S An Najm ayat 32. Nabi saw bersabda: “Shalat 5 waktu dan Jum’at ke Jum’at itu menutupkan apa yang ada diantaranya, kalau dijauhkan dosa-dosa besar”. Pada kata lain dari hadits tersebut:  “Adalah sumpah (penutup dosa) bagi apa yang diantaranya, selain dosa-dosa besar”. Nabi saw bersabda menurut yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash: “Dosa besar itu, ialah: mempersekutukan Allah, durhaka kepada ibu bapak, membunuh orang dan sumpah palsu”. Para sahabat dan para pengikut sahabat atau generasi sesudah shahabat, berbeda pendapat mengenai jumlah dosa-dosa besar, dari 4 kepada 7, kepada 9, kepada 11, lalu yang lebih dari itu. Maka Ibnu Mas’ud ra mengatakan: bahwa dosa-dosa besar itu 4. Ibnu ‘Umar ra mengatakan, dosa-dosa besar itu 7. Abdullah bin ‘Amr ra mengatakan: 9. Ibnu ‘Abbas ra ketika sampai kepadanya perkataan Ibnu ‘Umar ra, bahwa dosa besar itu 7, lalu beliau mengatakan: bahwa dosa besar itu lebih mendekati kepada 70 daripada kepada 7. Pada suatu kali Ibnu ‘Abbas ra mengatakan: bahwa setiap yang dilarang oleh Allah Ta’ala itu adalah: dosa besar. Yang lain mengatakan, bahwa setiap yang dijanjikan oleh Allah dengan neraka, maka itu sebahagian dari dosa-dosa besar. Dan sebahagian ulama mengatakan, bahwa setiap yang diwajibkan hukuman badan didunia, maka itu dosa besar. Ada yang mengatakan, bahwa dosa besar itu kurang terang, tiada diketahui bilangannya, seperti: malam lailatul qadar dan saat mustajabah hari Jum’at. Ibnu Mas’ud menjawab tatkala ia ditanyakan tentang jumlah dosa besar itu: “Bacalah dari permulaan Surat 4 An Nisa’ sampai kepada penghabisan ayat 30 daripadanya, pada firmanNya: “Dan kalau kamu jauhi dosa-dosa besar yang dilarang kamu mengerjakannya”. S 4 An Nisa’ ayat 31. Maka setiap yang dilarang oleh Allah pada surat tersebut, sampai di situ, itu adalah dosa besar.
Abu Thalib Al Makki mengatakan: “Dosa-dosa besar itu 17. Aku kumpulkan dari sejumlah hadits-hadits. Dan jumlah yang aku kumpulkan dari kata Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar dll itu, 4 pada hati, yaitu: menyekutukan (syirik) dengan Allah, berkekalan atas perbuatan maksiat, putus asa dari rahmatNya, dan merasa aman dari percobaanNya. Dan 4 pada lidah, yaitu: saksi palsu, tuduhan berzina orang muhshan (orang yang terpelihara dari perbuatan tersebut), sumpah palsu. Yaitu: kesaksian membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. Ada yang mengatakan, bahwa sumpah palsu itu, ialah: mengambil sepotong dari harta manusia muslim, secara batil/salah, walaupun satu sikat gigi dari kayu siwak. Dan sumpah itu dinamakan: yang menenggelamkan, karena sumpah itu menenggelamkan orang yang bersumpah ke dalam neraka. Dan sihir (yang ke-4 dari di atas tadi). Sihir itu, ialah: setiap perkataan, yang merobah manusia dan benda-benda lain, dari keadaan yang diletakkan menurut kejadiannya. Dan 3 pada perut, yaitu: minum khamar dan yang memabukkan dari setiap minuman, memakan harta anak yatim dengan zalim dan memakan riba dan ia tahu riba itu (bunga bank). Dan 2 pada kemaluan, yaitu: zina dan homoseksual. Dan 2 pada tangan, yaitu: bunuh dan curi. Dan 1 pada dua kaki, yaitu: lari dari barisan perang, yang 1 dari 2 dan 10 dari 20. Dan 1 pada seluruh tubuh, yaitu: durhaka kepada ibu bapak. Abu Tahalib Al-Makki mengatakan, bahwa jumlah durhaka kepada keduanya, ialah: bahwa ibu bapak itu membagi kepadanya tentang sesuatu hak, lalu ia tidak menerima dengan baik pembahagian ibu bapaknya itu. Dan kalau keduanya meminta padanya sesuatu keperluan, maka tidak diberikannya. Dan kalau ibu bapaknya memakinya, lalu dipukulnya ibu bapaknya. Dan keduanya lapar, maka tidak diberinya makanan. Inilah yang dikatakan oleh Abu Tahlib Al-Makki itu. Dan itu dekat kepada kebenaran. Akan tetapi, tiadalah berhasil dengan itu kesembuhan yang sempurna. Karena mungkin bertambah kepadanya dan berkurang daripadanya. Karena ia menjadikan makan riba dan harta anak yatim sebahagian dari dosa besar. Dan itu adalah penganiayaan atas harta. Dan ia tidak menyebutkan dalam dosa besar nyawa itu, selain bunuh. Adapun memecahkan mata, memotong dua tangan dan yang lain dari itu, yang termasuk menyiksakan kaum muslimin dengan pukulan dan berbagai macam azab siksaan, maka tidak dibentangkannya. Memukul anak yatim, menyiksakannya dan memotong kaki tangannya, tidaklah ragu bahwa yang demikian itu lebih besar daripada memakan hartanya.
Bagaimana? Dan pada hadits: “Termasuk di antara dosa besar, ialah dua makian disebabkan makian itu. Dan termasuk di antara dosa besar, diperdengarkan oleh seseorang tentang kehormatan saudaranya yang muslim”. Dan ini lebih dari menuduh berzina orang muhshan. Abu Sa’id Al Khudri dan sahabat lainnya berkata: “Sesungguhnya kamu akan mengerjakan perbuatan yang lebih halus pada matamu dari rambut. Kami menghitung perbuatan tersebut pada masa Rasulullah saw termasuk dosa besar”. Segolongan ulama mengatakan: “Setiap kesengajaan itu dosa besar. Dan setiap yang dilarang oleh Allah, maka itu dosa besar”. Dan menyingkapkan tutup dari ini, bahwa pandangan orang yang memandang pada curi, adakah itu dosa besar atau tidak, maka itu tidak shah sebelum yang memandang itu memahami arti dosa besar. yang dimaksudkan dengan yang tersebut, adalah seperti kata orang yang mengatakan: curi itu haram atau tidak? Tidak diingini pada ta’rifnya (definisinya), kecuali sesudah ditetapkan lebih dahulu: arti haram. Kemudian, dibahas tentang adanya haram pada curi itu. Maka dosa besar itu dari segi kata-kata, adalah kabur. Tidak mempunyai cara tertentu (khusus) pada bahasa dan pada agama. Yang demikian itu, karena besar dan kecil adalah termasuk relatif (tidak mutlak). Tiada suatu dosapun, melainkan dia itu besar, dibandingkan kepada yang di bawahnya. Dan kecil, dibandingkan kepada yang di atasnya. Maka bertiduran dengan wanita yang tidak halal baginya adalah dosa besar, dibandingkan dengan melihatnya. Dan dosa kecil, dibandingkan dengan berbuat zina.
Memotong tangan orang muslim adalah dosa besar, dibandingkan dengan memukulnya. Dan dosa kecil, dibandingkan kepada membunuhnya. Ya, manusia berhak bahwa menanamkan dengan nama dosa besar, terhadap apa yang dijanjikan dengan neraka, atas perbuatannya secara khusus. Dan kami maksudkan, dengan menyifatkannya, dengan dosa besar, ialah: bahwa siksaan dengan neraka itu hal besar. Dan manusia berhak menamakan terhadap apa yang mengharuskan hukuman badan yang terjadi kepada disegerakan di dunia sebagai siksaan wajib itu, adalah besar. Dan manusia berhak menamakan terhadap apa yang disebut dalam dalil Alquran itu dilarang, lalu ia mengatakan, bahwa: dengan mengkhususkan menyebutkannya dalam Alquran, menunjukkan atas kebesarannya. Kemudian, dia itu besar dan dosa besar –sudah pasti –dengan relatif (dihubungkan dengan yang lain). Karena semua yang di dalilkan dalam Alquran itu juga berlebih-kurang tingkatnya.
Penamaan secara mutlak itu tak ada dosa padanya. Dan apa yang dinukilkan dari kata-kata para sahabat itu bulak-balik di antara segi-segi ini. Dan tidak jauh menempatkannya atas sesuatu dari kemungkinan-kemungkinan itu. Ya, termasuk yang penting, bahwa anda mengetahui maksud firman Allah Ta’ala: “Dan kalau kamu jauhi dosa-dosa besar yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami tutup kesalahanmu yang kecil-kecil”. S4 An Nisa’ ayat31. Sabda Rasulullah saw:: “Shalat 5 waktu adalah penutup dosa untuk dosa-dosa yang terjadi di antara shalat-shalat itu, selain dosa-dosa besar”. Ini adalah penetapan hukum dosa-dosa besar ! yang benar pada yang demikian itu, bahwa dosa-dosa itu terbagi pada pandangan agama, kepada: apa yang diketahui dipandang besar oleh agama akan dosa-dosa tersebut. Kepada: apa yang diketahui, bahwa dosa-dosa tersebut terhitung dalam dosa-dosa kecil. Dan kepada: apa yang diragukan padanya. Lalu tidak diketahui hukumnya. Maka keinginan untuk mengetahui batas yang terhingga atau bilangan yang mengumpulkan, lagi mencegah masuk yang lain, adalah mencari apa yang tidak mungkin. Sesungguhnya yang demikian itu tidak mungkin, selain dengan mendengar dari Rasulullah saw, dengan ia bersabda: bahwa aku bermaksud dengan dosa-dosa besar itu 10 atau 5. Dan beliau menguraiakannya. Maka kalau tidak datang ini dari beliau, akan tetapi telah datang pada sebahagian kata-kata hadits: “3 termasuk dosa-dosa besar”. Dan pada sebahagian kata-kata hadits: “7 termasuk dosa-dosa besar”. Kemudian datang pada hadits: “Bahwa dua makian disebabkan dengan satu makian, termasuk dosa besar”. Dan ini di luar dari yang 7 dan 3. Niscaya diketahuilah, bahwa beliau tidak bermaksud dengan yang demikian itu, bilangan dengan apa yang tidak terbatas. Maka bagaimanakah dapat diharapkan tentang bilangan, yang tidak ditentukan bilangannya oleh agama ? Kadang-kadang agama itu bermaksud dengan mengaburkan, supaya hamba-hamba itu prihatin daripadanya, sebagaimana agama mengaburkan (tidak menegaskan) malam lailatul qadar, supaya besarlah kesungguhan manusia pada mencarinya.
Benar, kita mempunyai jalan secara keseluruhan, yang memungkinkan kita untuk mengetahui jenis-jenis dosa besar dan macam-macamnya dengan jalan menggunakan dalil-dalil. Adapun diri dosa besar itu sendiri, maka kita mengetahuinya dengan berat dugaan dan pendekatan. Dan kita dapat pula mengetahui dosa-dosa besar yang terbesar. Adapun dosa-dosa kecil yang terkecil, maka tiada jalan untuk mengenalinya. Penjelasannya, ialah bahwa kita mengetahui dengan penyaksian-penyaksian agama dan bersama cahaya mata hati, bahwa maksud agama-agama semua, ialah: membawa makhluk ke sisi Allah Ta’ala dan kebahagiaan menemuiNya. Dan tiada jalan bagi mereka kepada yang demikian, selain dengan mengenal Allah Ta’ala dan mengenal sifat-sifatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Dan kepada itulah, diisyaratkan dengan firmanNya yang Maha Tinggi: “Tidaklah Aku menjadikan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah (beribadah) kepadaKu”. S51 Adz Dzaariyaat ayat56. Artinya: supaya mereka itu menjadi hambaKu. Dan tidakah hamba itu menjadi hamba, sebelum ia mengenal Tuhannya, dengan sifat Ketuhanan dan mengenal dirinya dengan sifat kehambaan. Dan tidak boleh tidak, bahwa ia mengenal dirinya dan Tuhannya. Inilah maksud yang terjauh dengan pengutusan nabi-nabi. Akan tetapi, ini tiada sempurna, selain dalam hidup dunia. Dan itulah yang dimaksudkan dengan sabdanya saw: “Dunia itu ladang akhirat”. Maka memelihara dunia itu menjadi suatu maksud yang mengikuti bagi agama. Karena dia jalan kepada agama. Dan yang menyangkut dari dunia dengan akhirat itu 2 perkara: nyawa dan harta.
Maka setiap yang menutup pintu mengenal Allah Ta’ala, adalah yang terbesar dan dosa-dosa besar. Dan diiringi oleh yang menutup pintu hidup-nyawa. Lalu diiringi oleh yang menutup pintu kehidupan, yang dengan dia hidupnya nyawa itu. Maka inilah tiga tingkat! Maka memelihara mengenal pada hati, hidup pada badan dan harta pada masing-masing orang itu perlu dalam maksud agama-agama semuanya. Dan inilah tiga hal, yang tidak tergambar bahwa agama-agama itu berselisih padanya. Maka tidak diterima akal bahwa Allah Ta’ala, mengutus seorang nabi, yang bermaksud dengan pengutusannya untuk memperbaiki makhluk pada agamanya dan dunianya, lalu IA menyuruh mereka dengan yang mencegah mereka, daripada mengenalNya dan mengenal rasul-rasulNya. Atau IA menyuruh mereka dengan membinasakan nyawa dan membinasakan harta. Maka berhasillah dari yang tersebut ini, bahwa dosa benar itu atas 3 tingkat:
Pertama: apa yang mencegah daripada mengenal Allah Ta’ala dan mengenal rasul-rasulNya. Yaitu: kufur (kekafiran). Maka tiada dosa besar yang di atas kufur itu. Karena dinding diantara Allah dan hamba, ialah: kebodohan. Dan jalan yang mendekatkan hamba kepadaNya, ialah: ilmu dan pengenalan. Dan kedekatannya itu menurut kadar pengenalannya. Dan kejauhannya itu menurut kadar kebodohannya. Dan diiringi kebodohan yang dinamakan kufur itu, oleh perasaan aman dari percobaan Allah dan perasaan putus asa daripada rahmatNya. Maka ini juga diri kebodohan.
Maka siapa yang mengenal Allah, niscaya tidak tergambar bahwa ia merasa aman dan tidak tergambar bahwa ia merasa putus asa. Dan diiringi tingkat ini, oleh yang diada-adakan semua, yang menyangkut dengan dzat Allah, dengan sifat-sifatNya dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Dan sebahagiannya lebih berat dari yang lain. Dan lebih kurangnya itu, menurut berlebih kurangnya kebodohan dengan yang demikian. Dan menurut hubungannya dengan Dzat Allah SWT. Dan dengan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya dan agama-agamaNya. Dan dengan suruhan-suruhanNya dan larangan-laranganNya. Dan tingkat-tingkat yang demikian itu tidak terhingga jumlahnya. Yaitu: terbagi kepada: yang diketahui, bahwa dia itu masuk di bawah penyebutan dosa-dosa besar yang tersebut dalam Alquran. Dan kepada: yang diketahui, bahwa dia itu tidak masuk. Dan kepada: yang diragukan padanya. Dan mencari penolakan keraguan pada bahagian yang di tengah-tengah itu adalah harapan pada tempat yang tidak dapat diharapkan.
Tingkat kedua: nyawa. Karena dengan kekal dan terpeliharanya nyawa itu, kekallah hidup dan berhasillah pengenalan dengan Allah. Maka membunuh nyawa orang –sudah pasti –termasuk dosa besar, walaupun kurang dari kufur. Karena yang demikian ittu, bertumbukkan dengan maksud itu sendiri. Dan ini bertumbukkan dengan jalan (wasilah) kepada maksud. Karena hidup dunia itu, tidak dikehendaki, selain untuk akhirat. Dan sampai kepada akhirat itu dengan mengenal Allah Ta’ala. Dan diiringi dosa besar ini (membunuh orang) oleh memotong kaki tangan orang dan tiap-tiap yang membawa kepada binasa. Sehingga memukul sekalipun. Dan sebahagiannya lebih besar dari sebahagian. Dan termasuk pada tingkat ini, pengharaman zina dan homsexsual. Karena, jikalau sepakat manusia dengan mencukupkan dengan laki-laki saja pada memenuhi nafsu syahwatnya, niscaya terputuslah keturunan. Dan menolak yang ada itu, dekat daripada memutuskan adanya. Adapun zina, maka dia tidak menghilangkan pokok adanya manusia. Akan tetapi, mengacaukan bangsa (keturunan). Membatalkan hak mendapat pusaka dan bertolong-tolongan dan sejumlah hal keadaan, yang tiada akan teratur penghidupan, selain dengan yang tersebut itu. Bahkan, bagaimana akan sempurna peraturan, serta membolehkan zina? Dan tidak akan teratur urusan binatang ternak, selama tidak dapat dibedakan yang jantan daripadanya dengan yang betina, yang tertentu dengan dia dari jantan-jantan lainnya. Karena itulah, tidak akan tergambar pada pikiran, bahwa zina itu diperbolehkan pada pokok agama, yang dimaksudkan dengan agama itu perbaikan. Dan seyogyalah bahwa zina itu pada tingkat kurang dari pembunuhan. Karena zina itu tidak menghilangkan kekekalan ada. Dan tidak mencegah pokok ada. Akan tetapi, menghilangkan pembedaan bangsa (pembedaan keturunan). Dan menggerakkan dari sebab-sebabnya, apa yang mendekati kepada membawa pada bunuh-membunuh. Dan seyogyalah zina itu lebih keras dari homosexsual. Karena nafsu syahwat itu membawa kepada zina dari dua pihak. Lalu banyaklah terjadinya. Dan besarlah bekas melaratnya dengan banyaknya zina itu.
Tingkat ketiga: harta. Maka harta itu adalah alat kehidupan makhluk. Tiada boleh mengerasi (memaksakan) orang untuk memperolehnya, bagaimana yang dikehendakinya, sehingga dengan penguasaan, pencurian dll. Akan tetapi, seyogyalah harta itu dijaga, supaya nyawa kekal dengan kekalnya harta. Kecuali bahwa harta itu, apabila diambil, niscaya memungkinkan pengembaliannya. Dan kalau dimakan, niscaya memungkinkan pembayarannya. Maka tidaklah besar lagi urusan padanya. Ya, apabila berlakulah pengambilannya dengan jalan, yang sukar memperoleh kembali, maka seyogyalah yang demikian itu termasuk dosa besar. Dan yang demikian itu, dengan 4 jalan:
1. Dengan jalan sembunyi. Yaitu: curi. Maka apabila menurut kebiasaannya tidak dilihat, lalu bagaimana dapat diperoleh kembali?
2. Memakan harta anak yatim. Ini juga termasuk jalan sembunyi. Dan kami maksudkan pada diri wali dan orang yang tegak mengurusinya. Sesungguhnya orang itu dipercayakan pada pengurusannya. Dan ia tidak mempunyai lawan, selain anak yatim. Dan anak yatim itu masih kecil, yang tidak mengetahuinya. Maka membesarkan urusan padanya itu wajib. Lain halnya perampasan, maka itu terang, dapat diketahui. Dan lain halnya dengan pengkhianatan pada simpanan. Maka si penyimpan itu musuh padanya, yang insyaf bagi dirinya.
3. Ketiga: menghilangkan harta itu dengan kesaksian palsu.
4. Mengambil simpanan dan lainnya dengan sumpah yang menenggelamkan dalam neraka. Maka ini adalah jalan yang tidak mungkin diperoleh kembali padanya. Dan tidak boleh sekali-kali berselisih di antara agama-agama pada mengharamkannya. Sebahagiannya adalah lebih keras dari sebahagian. Dan semuanya itu kurang dari tingkat kedua, yang menyangkut dengan nyawa. Empat yang tersebut itu adalah pantas, bahwa dia itu yang dikehendaki dengan dosa besar. walaupun agama tidak mengwajibkan hukuman badan pada sebahagiannya. Akan tetapi, agama membanyakkan janji siksaan padanya. Dan besarlah bekasnnya pada kepentingan-kepentingan duniawi.
Adapun makan riba, maka tidak ada padanya, selain memakan harta orang lain, dengan persetujuan, serta pengrusakan syarat yang telah diletakkan oleh agama. Dan tidak jauh dari kebenaran, bahwa agama-agama itu berselisih pada persoalan yang seperti riba ini. Apabila perampasan, yaitu memakan harta orang lain, tanpa relanya dan tanpa rela agama, tidak dijadikan sebahagian dari dosa besar, maka makan riba itu ialah makan dengan rela si pemilik. Akan tetapi tidak rela agama. Dan jikalau agama memandang besar riba dengan larangan keras daripadanya, maka sesungguhnya agama juga memandang besar kezaliman dengan perampasan dan lainnya. Dan memandang besarnya pengkhianatan. Dan berkesudahan kepada memakan 1/6 uang dirham (satu daniq) dengan khianat atau rampas itu, termasuk sebahagian dari dosa besar, maka pada yang demikian itu, ada pandangan. Dan yang demikian itu terjadi pada tempat sangkaan keraguan. Dan yang terbanyak kecenderungan sangkaan, ialah bahwa itu tidak termasuk di bawah nama dosa besar. Akan tetapi, seyogyalah bahwa dosa besar itu dikhususkan dengan yang tidak ada perselisihan agama padanya. Supaya adalah yang demikian itu persoalan yang mudah pada agama. Maka tinggallah sekarang, sebahagian dari apa yang disebutkan oleh Abu Thalib Al Makki, ialah: menuduh orang berzina, minum yang memabukkan, sihir, lari dari barisan perang dan durhaka kepada ibu bapak.
Adapun minum apa yang menghilangkan akal, maka itu patut termasuk sebahagian dari dosa besar. Dan telah ditunjukkan kepada yang demikian, oleh pengerasan agama dan juga jalan pandangan. Karena akal itu beruntung, sebagaimana nyawa itu beruntung. Bahkan, tiada kebajikan pada nyawa, tanpa akal. Maka menghilangkan akal itu sebahagian dari dosa besar. Akan tetapi ini, tiada berlaku pada setitik khamar (barang yang memabukkan). Maka tidak syak lagi, bahwa jikalau diminum air, yang di dalamnya ada setitik khamar, niscaya tidaklah yang demikian itu dosa besar. Dan itu sesungguhnya adalah meminum air najis. Dan setitik saja adalah pada tempat keraguan. Dan diwajibkan oleh agama akan hukuman badan padanya itu menunjukkan kepada pembesaran urusannya. Lalu yang demikian itu dihitung pada agama, termasuk sebahagian dari dosa besar. Dan tidaklah pada kekuatan manusia, mengetahui semua rahasia agama. Jikalau telah ada kesepakatan ulama bahwa itu dosa besar, niscaya wajiblah dituruti. Dan jikalau tidak, maka jalan satu-satunya pada yang demikian, ialah dibiarkan begitu saja dahulu.
Adapun menuduh orang berzina, maka tidak ada padanya, selain mengambil kehormatan orang. Dan kehormatan itu, diragukan kurang nilainya dari harta. Dan untuk mengambil kehormatan itu mempunyai tingkat-tingkat. Tingkatnya yang tertinggi, ialah: mengambilnya dengan menuduh orang berzina, dikaitkan kepada kejinya zina. Dan agama memandang besar persoalan zina itu. Dan aku menyangka dengan sangkaan yang keras, bahwa para sahabat menghitung setiap yang mengwajibkan hukuman badan itu, dosa besar. Maka dengan ibarat (pandangan) ini, menuduh orang berzina itu tidak dapat ditutup oleh shalat 5 waktu. Dan itulah yang kami maksudkan sekarang, dengan dosa besar. Akan tetapi, dari segi bolehnya berselisih agama-agama padanya, maka qias (analogi) dengan menuduh orang berzina itu semata-mata, tidaklah menunjukkan kepada besarnya dan dahsyatnya. Akan tetapi, boleh ditolak oleh agama, bahwa seorang orang jujur apabila melihat seorang manusia berzina, maka ia dapat naik saksi. Dan orang yang dinaik-saksikan (penzina) itu, dihukum hukuman badan dengan kesaksian saksi tadi semata-mata. Kalau kesaksiannya tidak diterima (karena ia sendirian), maka hukuman badan itu tidak perlu pada kemuslihatan duniawi. Walaupun secara keseluruhan, termasuk sebahagian dari kemuslihatan zahiriah/luar, yang masuk pada tingkat keperluan. Jadi, ini juga dihubungkan dengan dosa-dosa besar, terhadap orang yang mengetahui hukum agama. Adapun orang yang menyangka, bahwa ia berhak naik saksi sendirian atau menyangka, bahwa ia akan dibantu atas kesaksian itu oleh orang lain, maka tiada seyogyalah menuduh orang berzina itu terhadap dia dijadikan sebahagian dari dosa besar.
Adapun sihir, maka jikalau pada sihir itu ada kekufuran, maka sihir itu dosa besar. jikalau tidak, maka kebesarannya, adalah menurut kemelaratan yang terjadi daripadanya, dari kebinasaan nyawa atau sakit atau lainnya. Adapun lari dari barisan perang dan durhaka kepada ibu bapak, maka ini juga seyogyalah adanya dari segi qias (analogi) itu, pada tempat ditangguhkan dulu. Apabila diyakini, bahwa memaki manusia dengan tiap-tiap sesuatu, selain zina, memukul mereka, berbuat zalim kepada mereka, dengan merampas hartanya dan mengeluarkan mereka dari tempat tinggalnya dan negerinya dan mengusir mereka dari tanah airnya, bahwa itu tidaklah termasuk dosa besar. Karena tidak dinukilkan yang demikian dalam 17 dosa besar. Dan memaki itu adalah yang terbesar apa yang diperkatakan padanya. Maka ditangguhkan pada ini juga tidak jauh dari kebenaran. Akan tetapi hadits menunjukkan kepada menamakannya dosa besar. Maka hendaklah dihubungkan dengan dosa-dosa besar. Jadi, maka hasil persoalan itu kembali, bahwa kami menghendaki dengan dosa besar itu, apa yang ditutup oleh shalat 5 waktu, menurut hukum agama. Dan yang demikian itu, termasuk daripada yang terbagi: kepada yang diketahui, bahwa dia tidak sekali-kali ditutup oleh shalat 5 waktu. Dan: kepada yang seyogyanya dapat ditutup dengan shalat 5 waktu. Dan: kepada yang padanya dilakukan penangguhan. Dan yang berlaku padanya penangguhan itu, sebahagiannya disangka: tidak dan ada. Dan sebahagiannya diragukan penangguhan tersebut. Dan itu adalah keraguan, yang tidak dapat dihilangkan, selain oleh dalil tegas Kitab atau Sunnah. Jadi, tak usah diharapkan padanya. Lalu mencari terangkatnya keraguan padanya itu mustahil.
Kalau anda mengatakan, bahwa ini menegakkan dalil kepada mustahilnya mengetahui batasnya, maka bagaimana ditolak oleh agama dengan yang mustahil mengetahui batasnya? Maka ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap yang tiada menyangkut padanya hukum didunia, maka boleh berlaku padanya dibentangkan dengan tidak tegas. Karena negeri berlakunya kewajiban yang diwajibkan oleh agama, ialah: negeri dunia. Dan dosa besar secara khusus, tak ada hukumnya di dunia, dari segi, bahwa dia itu dosa besar. Akan tetapi, tiap-tiap yang mengwajibkan hukuman badan itu, dimaklumi namanya, seperti: curi, zina dll. Dan sesunngguhnya hukum dosa besar itu, ialah: bahwa shalat 5 waktu tidak dapat menutupkannya. Dan ini adalah urusan yang menyangkut dengan akhirat. Dan secara tidak tegas atau kabur itu lebih layak. Sehingga manusia berada pada takut dan hati-hati. Lalu mereka tidak berani melakukan dosa-dosa kecil, karena berpegang kepada shalat 5 waktu itu. Seperti demikian pula, menjauhkan dosa-dosa besar itu menutupkan dosa-dosa kecil, dengan yang diharuskan oleh firman Allah Ta’ala: “Dan kalau kamu jauhi dosa-dosa besar yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami tutup kesalahanmu yang kecil-kecil”. S 4 An Nisa’ ayat 31. Akan tetapi, menjauhi dosa besar itu, sesungguhnya menutupkan dosa kecil, apabila dijauhkannya, serta ia mampu dan berkemauan untuk dosa besar itu. Sebagaimana orang yang memungkinkannya berbuat jahat dengan seorang wanita dan bersetubuh dengan wanita itu, lalu ia mencegah dirinya dari perbuatan zina. Maka ia berbuat sekedar memandang atau menyentuh. Maka dirinya berjuang dengan mencegah dari perbuatan zina itu, lebih sangat membekas pada mencemerlangkan hatinya, daripada majunya kepada memandang pada menggelapkan hatinya. Inilah arti penutupan itu! Kalau ia lemah syahwat (impoten) atau tidak ada kecegahannya, selain disebabkan terpaksa karena lemah atau ia mampu, akan tetapi ia mencegah dirinya, karena takut akan hal yang lain, maka ini tidak pantas sekali-kali untuk penutupan dosa itu.
Setiap orang yang tidak ingin meminum khamar dengan tabiatnya (karakternya) dan kalau diperbolehkan baginya, niscaya tidak diminumnya, maka penjauhannya itu tidak akan menutupkan daripadanya dosa-dosa kecil, yang menjadi pendahuluan dari minum khamar tadi, seperti mendengar permainan dan gitar. Ya, orang yang ingin minum khamar dan mendengar gitar (musik), lalu menahan dirinya dengan menahan nafsu dan berjuang daripada khamar dan ia melepaskannya pada mendengar, maka menahan nafsu dan perjuang nya akan nafsu itu dengan mencegahnya, kadang-kadang menghapuskan dari hatinya kegelapan yang meninggi kepadanya, dari kemaksiatan pendengaran itu. Semua itu adalah hukum akhirat. Dan boleh sebahagiannya kekal pada tempat keraguan dan berada dalam bahagian hal-hal yang kabur. Maka tidak diketahui penguraiannya, selain dengan dalil. Dan dalil itu tidak datang kemudian dan tidak ada batas yang menghimpunkan. Akan tetapi, datang dalil itu dengan kata-kata yang berbeda-beda. Telah diriwayatkan Abu Hurairah ra, bahwa ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: Shalat ke shalat itu menutupkan dosa. Dan Ramadlan ke Ramadlan itu menutupkan dosa, selain dari 3: mempersekutukan Allah, meninggalkan sunnah dan mengobah ikatan (janji)”. Ditanyakan: apakah meninggalkan sunnah itu? Dijawab: ialah: keluar dari jama’ah. Dan mengobah ikatan (janji), ialah: bahwa ia melakukan sumpah setia, dengan seorang laki-laki. Kemudian, ia keluar dari sumpah setianya kepada orang itu, dengan menggunakan pedang memerangi nya. Maka ini dan contoh-contoh seperti ini dari kata-kata, tidak dapat dihinggakan bilangannya semuanya. Dan tidak ada yang menunjukkan kepada batas yang mengumpulkan. Maka –sudah pasti –akan tetap tidak terang. Kalau anda mengatakan, bahwa kesaksian (untuk menjadi saksi dalam suatu perkara) itu, tidak dapat diterima, selain dari orang yang menjauhkan dosa-dosa besar dan menjaga diri dari dosa-dosa kecil, dimana menjaga diri itu tidaklah menjadi syarat pada penerimaan kesaksian. Dan ini termasuk hukum duniawi! Maka ketahuilah kiranya, bahwa kami tidak mengkhususkan penolakan kesaksian itu, dengan dosa-dosa besar. Maka tiada perbedaan pendapat, tentang orang yang mendengar permainan-permainan, memakai sutera, bercincin dengan cincin emas dan meminum pada bejana (gelas) emas dan perak, tidak diterima kesaksiannya. Dan tiada seorang ulamapun yang beraliran, bahwa hal-hal yang tersebut tadi, termasuk sebahagian dari dosa besar.
Al-Imam Asy-Syafi’i ra mengatakan: bahwa apabila orang yang bermazhab Hanafi meminum air anggur, niscaya aku lakukan hukuman badan atas orang tersebut. Dan aku tidak menolak kesaksiannya (kalau ia menjadi saksi). Maka Al-Imam Asy-Syafi’i ra telah menjadikan minum itu dosa besar, dengan mengwajibkan hukuman badan. Dan tidak menolak dengan minum itu akan kesaksian. Maka menunjukkan, bahwa kesaksian itu tidak dan ada, yang tidak berputar kesaksian itu kepada dosa kecil dan dosa besar. Akan tetapi, setiap dosa itu, merusakkan keadilan pada kesaksian, selain apa yang biasanya, tiada terlepas manusia daripadanya, dengan darurat berlakunya adat kebiasaan. Seperti: mengumpat, memata-matai, buruk sangka, dusta pada sebahagian perkataan, mendengar umpatan, meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, memakan harta diragukan (harta yang tidak terang halalnya), memaki anak dan pembantu rumah tangga dan memukulkannya disebabkan marah, melebihi dari kemuslihatan, memuliakan sultan-sultan (penguasa-penguasa) yang zalim, berteman dengan orang-orang fasiq, malas mengajarkan keluarga dan anak akan semua yang diperlukan mereka dari hal-ikhwal urusan agama. Maka semua yang tersebut ini adalah dosa, yang tidak akan tergambar, bahwa saksi itu akan terlepas dari sedikitnya atau banyaknya dari perbuatan-perbuatan dosa tadi. Kecuali dengan mengasingkan diri dari manusia dan menjuruskan dirinya bagi urusan akhirat. Dan ia berjihat melawan hawa nafsu akan dirinya dalam waktu, dimana akan tinggal di atas pundaknya, serta bercampur-baur sesudah itu. Dan jikalau tidak diterima, selain perkataan yang seperti itu, niscaya amat sukarlah adanya. Dan batallah hukum-hukum dan kesaksian-kesaksian. Dan tiadalah memakai sutera, mendengar permainan dan pertunjukkan dengan musik, duduk-duduk dengan orang-orang minum khamar pada waktu minum, bersepi-sepi (duduk berdua-dua) dengan wanita asing (bukan isterinya atau yang haram nikah dengan dia) dan contoh-contoh seperti dosa-dosa kecil itu, termasuk dalam golongan ini. Maka kepada jalan yang seperti ini, seyogyalah diperhatikan pada penerimaan kesaksian dan penolakannya. Tidak kepada dosa besar dan dosa kecil. Kemudian, masing-masing dosa-dosa kecil ini yang tidak ditolak kesaksian dengan dia, kalau selalu dikerjakannya, niscaya akan membekas pada penolakan kesaksian, seperti orang yang membuatkan umpatan dan mencela manusia menjadi kebiasaannya. Dan seperti ini juga, duduk-duduk dengan orang-orang fasiq dan berteman dengan mereka. Dosa kecil itu menjadi besar dengan selalu diperbuat, sebagaimana perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan akan menjadi dosa kecil, dengan selalu dikerjakan, seperti main catur, asyik bernyanyi selalu dll. Maka inilah penjelasan hukum dosa kecil dan dosa besar!
PENJELASAN: bagaimana membagikan tingkat-tingkat dan pangkat-pangkat diakhirat atas perbuatan-perbuatan kebaikan dan kejahatan didunia.
Ketahuilah kiranya, bahwa dunia itu adalah sebahagian dari ‘alamul-mulki wasy-syahadah (persaksian tubuh di alam dunia). Dan akhirat adalah sebahagian dari ‘alamul-ghaibi wal-malakut (alam akhirat yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata). Aku maksudkan dengan dunia, ialah: hal keadaan engkau sebelum mati. Dan dengan akhirat, ialah: hal keadaan engkau sesudah mati. Maka dunia engkau dan akhirat engkau, ialah: sifat-sifat engkau dan hal-ikhwal engkau, yang dinamakan yang hampir, lagi dekat daripadanya itu: dunia. Dan yang terakhir, dinamakan akhirat.
Kami sekarang akan memperkatakan dari hal dunia dalam akhirat. Maka kami sekarang memperkatakan tentang dunia. Yaitu: ‘alamul mulki (alam dunia), dan maksud kami menguraikan akhirat, yaitu : “alamul malakut”(alam yg tidak bisa dipersaksikan dengan mata). Dan tiada akan tergambar uraian “alamul malakut”(alam yg tidak bisa dipersaksikan dengan mata) pada ‘alamul mulki (alam dunia), kecuali dengan membuat perumpamaan-perumpamaan. Dan karena itulah Allah Ta’ala berfirman: “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buatkan untuk manusia dan hanyalah orang-orang yang berilmu dapat mengerti”. S 29 Al Ankabut ayat 43. Pahamilah itu! Karena ‘alamul-mulki (alam dunia) itu sesungguhnya tidur, dibandingkan kepada ‘alamul-malakut (alam akhirat). Dan karena itulah, bersabda Nabi saw: “Manusia itu tidur. Maka apabila mereka telah mati, niscaya mereka bangun”. Apa yang akan ada pada waktu terbangun itu, tidak terang bagi engkau pada waktu tidur, kecuali dengan perumpamaan-perumpamaan yang memerlukan kepada ta’bir (mengambil ibarat). Maka seperti demikian pula, apa yang akan ada pada waktu terbangun di akhirat, tiada akan terang dalam tidur dunia, selain pada banyaknya perumpamaan-perumpamaan. Dan aku maksudkan dengan banyaknya perumpamaan-perumpamaan itu, ialah apa yang anda ketahui dari ilmu ta’bir mimpi. Dan mencukupilah bagi anda daripadanya, jika anda cerdik, dengan 3 perumpamaan saja.
Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Sirin lalu berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi, seakan-akan dalam tanganku sebentuk cincin. Aku tutup dengan cincin itu, mulut laki-laki dan faraj (kemaluan) wanita”. Ibnu Sirin lalu menjawab: “Engkau sesungguhnya muadzin (melakukan adzan). Engkau melakukan adzan itu dalam bulan Ramadhan, sebelum terbit fajar”. Laki-laki tadi menjawab: “Benar engkau”. Datang pula seorang laki-laki lain, lalu berkata: “Aku bermimpi seakan-akan aku menuangkan minyak zait dalam buah zaitun”. Ibnu Sirin lalu menjawab: “Kalau ada di bawah kekuasaan engkau seorang budak perempuan, yang telah engkau belikan, maka periksalah tentang hal-ikhwalnya. Sesungguhnya dia ibumu yang ditawan pada waktu engkau masih kecil. Karena buah zaitun itu, asalnya minyak zait. Lalu ia dikembalikan kepada asalnya”. Lalu laki-laki tersebut menyelidiki. Maka tiba-tiba benarlah, budak perempuannya itu adalah ibunya sendiri. Dan ibunya itu ditawan dalam peperangan pada waktu ia masih kecil. Laki-laki lain berkata pula kepada Ibnu Sirin: “Aku bermimpi, seakan-akan aku mengikatkan mutiara pada leher babi”. Ibnu Sirin lalu menjawab: “Engkau sesungguhnya mengajarkan ilmu hikmah (ilmu ketuhanan) pada bukan ahlinya (tidak pada tempatnya)”. Maka benarlah apa yang dikatakan Ibnu Sirin itu. Ta’bir mimpi dari permulaan sampai akhirnya itu  adalah perumpamaan -perumpamaan yang memberitahukan kepada engkau jalan membuatnya perumpamaan-perumpamaan itu. Sesungguhnya, kami maksudkan dengan perumpamaan itu, ialah: memberi arti dalam suatu bentuk (rupa). Jikalau dipandang kepada artinya, niscaya didapati itu benar. Dan jikalau dipandang kepada bentuk nya, niscaya didapati dusta. Muadzdzin itu, kalau ia memandang kepada bentuk cincin dan menutupkannya atas kemaluan, niscaya ia melihat yang demikian itu bohong (dusta). Karena tidak sekali-kali ditutup dengan itu. Dan jikalau ia melihat kepada maknanya, niscaya ia mendapati benar. Karena terbit daripadanya jiwa tutup dan maksudnya. Yaitu: cegahan yang dikehendaki penutupan baginya.
Para nabi-nabi itu tidak berkata-kata bersama makhluk, selain dengan membuat perumpamaan-perumpamaan. Karena mereka diberati (disuruh) untuk berkata-kata dengan manusia, menurut kadar akal pikiran mereka. Dan kadar akal pikiran mereka itu, ialah, bahwa: mereka dalam tidur. Dan orang tidur itu tidak terbuka baginya dari hal sesuatu, selain dengan perumpamaan. Maka apabila mereka telah mati, niscaya mereka terbangun dari tidur itu. Dan mereka mengetahui, bahwa perumpamaan itu benar. Dan karena itulah bersabda Nabi saw: “Hati orang mu’min itu di antara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih”. Dan hadits ini termasuk di antara perumpamaan yang tidak dapat dipahami, selain oleh orang-orang yang berilmu.
Adapun orang bodoh, maka tidak melewati kadarnya dari zahiriah (terlihat saja) perumpamaan itu. Karena kebodohannya dengan penafsiran, yang dinamai: Ta’wil sebagaimana dinamai penafsiran apa yang dilihat dari perumpamaan-perumpamaan dalam tidur itu: Ta’bir mimpi. Lalu orang bodoh itu menetapkan, bahwa Allah Ta’ala mempunyai tangan dan anak jari. Maha sucilah Allah dengan suci yang sebenar-benarnya dari perkataan itu.
Dan seperti itu pula, pada sabda Nabi saw: “Allah Ta’ala sesungguhnya telah menjadikan Adam atas rupaNya”. Maka orang bodoh tidak memahami dari rupa itu, selain warna, bentuk dan keadaan. Lalu ia menetapkan bahwa Allah Ta’ala mempunyai seperti yang demikian. Maha sucilah Allah dengan suci yang sebenar-benarnya dari perkataannya itu. Dari sinilah tergelincir orang yang tergelincir tentang sifat-sifat ketuhanan. Sehingga tentang kalam (berkata-kata), lalu mereka jadikan kalam (berkata-kata) Tuhan itu suara dan huruf dll dari sifat-sifat ketuhanan. Dan perkataan tentang ini, akan panjang kalau dipanjangkan. Seperti demikian juga, kadang-kadang datang tentang urusan akhirat, pembuatan perumpamaan-perumpamaan, yang didustakan oleh orang mulhid (orang yang mengikari Tuhan). Disebabkan beku pemandangannya di atas zahiriah perumpamaan dan pertentangan perumpamaan itu padanya, seperti sabdanya Nabi saw: “Akan didatangkan pada hari kiamat mati itu dalam bentuk binatang kibasy (anak kambing) yang lebih manis ( hitam menampak bulunya yang putih), lalu disembelih”. Maka berontaklah orang mulhid/ateis yang goblok itu dan mendustakan. Dengan sabda itu, ia mengambil dalil kepada dustanya nabi-nabi. Dan ia mengatakan: “Wahai maha suci Allah ! mati itu sifat dan kibasy itu tubuh. Maka bagaimana berbalik sifat kepada tubuh ? adakah ini, selain mustahil semata ?”. Akan tetapi Allah Ta’ala mengasingkan mereka yang goblok itu, dari pada mengetahui rahasia-rahasiaNya. Ia berfirman: “Dan hanyalah orang-orang yang berilmu dapat mengerti”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 43. Orang yang pantas dikasihani itu, tidak tahu, bahwa orang yang mengatakan: “Aku bermimpi dalam tidurku, bahwa dibawa orang seekor kibasy”. Lalu dikatakan kepadanya, bahwa kibasy ini, ialah penyakit waba’ (kolera) dalam negeri dan disembelihkan. Lalu yang berta’bir mimpi itu, menjawab: “Benar engkau dan keadaan itu sebagaimana yang engkau mimpikan”. Ini menunjukkan, bahwa waba’ ini akan hilang dan tiada sekali-kali akan kembali lagi. Karena yang disembelihkan itu, telah terjadi keputusasaan padanya. Jadi, yang berta’bir mimpi itu benar pada pembenaran nya. Dan yang bermimpi itu benar pada mimpinya. Dan kembalilah hakikat/makna yang demikian itu kepada malaikat, yang diwakilkan menyampaikan mimpi. Dan malaikat itulah yang melihat nyawa-nyawa (al-arwah) ketika tidur, di atas yang pada Luh Mahfudh. Diperkenalkannya dengan yang pada Luh Al-Mahfudh itu, dengan perumpamaan, yang diperbuatnya bagi orang yang bermimpi itu. Karena orang yang tidur itu, sesungguhnya yang menanggung perumpamaan. Maka perumpamaannya itu benar. Dan artinya itu betul. Maka para rasul-rasul juga, sesungguhnya mereka berkata-kata dengan manusia di dunia. Dan dunia itu dikaitkan kepada akhirat adalah tidur. Lalu mereka menyampaikan arti-arti itu kepada pemahaman mereka, dengan perumpamaan-perumpamaan, sebagai hikmat dari Allah, kasih sayang kepada hamba-hambaNya dan memudahkan untuk mengetahui, apa yang dirasakan mereka lemah daripada mengetahuinya, tanpa diperbuat perumpamaan.
Maka sabdanya Nabi saw: “Akan didatangkan pada hari kiamat, mati itu dalam bentuk binatang kibasy yang manis”, adalah suatu perumpamaan, yang diperbuat, untuk menyampaikan kepada pemahaman, akan terjadinya keputusasaan dari mati. Dan hati manusia itu telah dijadikan bernaluri, untuk memperoleh kesan dengan perumpamaan-perumpamaan. Dan adanya arti-arti pada hati dengan perantaraan perumpamaan-perumpamaan tersebut. Karena itulah, diibaratkan oleh Alquran dengan firmanNya Allah Ta’ala: “Jadilah! Lalu jadi”. S 36 Ya Sin ayat 82. Dari penghabisan qudrah (kuasa). Dan diibaratkan oleh Nabi saw dengan sabdanya: “Hati orang mu’min itu di antara dua anak jari, dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih”, dari cepatnya hati itu bertukar (berobah pikiran). Dan sesungguhnya telah kami isyaratkan kepada hikmah yang demikian itu, pada Kitab Qawaidul-‘Aqaid dan Rubu’ Ibadah dahulu.
Sekarang, marilah kita kembali kepada maksud! Yang dimaksud, ialah: memperkenalkan pembahagian tingkat-tingkat dan pangkat-pangkat atas perbuatan kebaikan dan keburukan, yang tidak mungkin, selain dengan membuat perumpamaan. Maka hendaklah anda memahami dari perumpamaan yang akan kami buat itu, arti (makna)nya, tidak bentuknya. Maka sekarang kami terangkan, bahwa manusia di akhirat itu, terbagi kepada beberapa macam (jenis). Dan berlebih-kurang tingkat mereka dan pangkatnya pada kebahagiaan dan kesengsaraan, berlebih-kurangan mana, yang tidak masuk di bawah hinggaan (tidak terhingga banyaknya). Sebagaimana mereka berlebih-kurang pada kebahagian dunia dan kesengsaraannya. Dan dunia pada pengertian ini, tiada sekali-kali berbeda dengan akhirat. Karena sesungguhnya Yang Mengatur ‘alamul-mulki/dunia  dan ‘alamul-malakut/akhirat itu ESA, tiada mempunyai sekutu dan sunnahNya datang dari kehendakNya yang azaliyah (tidak kesudahan/permulaan), yang datang, tiada mempunyai pergantian. Hanya kita, jikalau lemah daripada menghinggakan jenis-jenisnya.
Maka kami terangkan sekarang, bahwa manusia terbagi di akhirat, dengan mudah saja dipahami, kepada 4 bahagian: yang binasa, yang diazabkan, yang lepas dari azab dan yang beruntung. Perumpamaannya di dunia, ialah: bahwa salah seorang dari raja-raja menguasai suatu daerah. Lalu dibunuhnya sebahagian penduduk daerah itu. Maka mereka ini adalah orang-orang yang binasa. Dan sebahagian mereka diazabkan pada sementara waktu dan tidak dibunuhnya mereka. Maka mereka ini adalah orang-orang yang diazabkan. Dan sebahagian mereka dilepaskan, maka mereka ini orang-orang yang terlepas dari azab. Dan dicabut azab tadi pada sebahagian mereka. Maka mereka ini orang-orang yang beruntung. Maka jikalau raja itu adil, niscaya tidak dibaginya mereka itu seperti demikian, melainkan dengan yang sebenarnya. Maka ia tidak membunuh, selain orang yang melawan akan hak raja, yang menentang kepadanya pada pokok kedaulatannya. Ia tidak mengazabkan, selain orang yang menyia-nyiakan pelayanannya, serta mengaku dengan kerajaannya dan ketinggian derajatnya. Dan ia tidak melepaskan, selain orang yang mengaku dengan kepangkatannya sebagai raja. Akan tetapi, orang itu tidak teledor untuk dijatuhkan azab (siksaan) dan tidak melayani supaya dicabut azab itu atas dirinya. Dan azab itu tidak dicabut, selain atas orang yang menyerahkan umurnya pada pelayanan dan penolongan. Kemudian, seyogyalah pencabutan azab bagi orang-orang yang beruntung itu, berlebih-kurang tingkatnya, menurut tingkat mereka pada pelayanan. Dan pembinasaan orang-orang yang binasa itu, adakalanya pemastian dengan pemancungan leher atau penyiksaan dengan siksaan, menurut tingkat mereka pada pengingkaran. Dan pengazaban orang-orang yang diazabkan, ringan dan berat, lama dan pendek masanya, satu macam dan bermacam-macamnya azab itu, adalah menurut tingkat keteledoran mereka. Maka masing-masing tingkat dari tingkat-tingkat ini, terbagi kepada derajat-derajat yang tiada terhingga dan terbatas.
Maka seperti demikian pula, pahamilah bahwa manusia di akhirat, begitulah berlebih-kurang. Lalu sebahagian yang binasa dan yang diazabkan pada masa tertentu. Dan sebahagian yang terlepas dari azab, yang menempati negeri sejahtera (sorga). Dan sebahagian yang beruntung. Dan orang-orang yang beruntung itu terbagi kepada: orang-orang yang ditempatkan dalam sorga Aden atau jannatul-Ma’wa atau jannatul-firdaus. Dan orang-orang yang diazabkan itu terbagi kepada: orang yang diazabkan sedikit. Dan kepada orang yang diazabkan 1000 tahun, sampai 7000 tahun. Dan itulah penghabisan orang yang dikeluarkan dari neraka, sebagaimana tersebut pada hadits. Dan seperti itu pula, orang-orang yang binasa, yang putus asa dari rahmat Allah, berlebih kurang tingkat mereka. Dan tingkat-tingkat ini adalah menurut perbedaan taat dan perbuatan maksiat.
Maka marilah kami sebutkan cara pembahagiannya itu kepada tingkat-tingkat tadi:
Tingkat pertama: yaitu: tingkat orang-orang yang binasa. Dan kami maksudkan dengan orang-orang binasa itu, ialah: orang-orang yang putus asa daripada rahmat Allah Ta’ala. Karena orang yang dibunuh oleh raja pada perumpamaan yang telah kami buat di atas tadi, ia putus asa dari rela raja dan kemurahannya. Maka janganlah anda lupa dari arti perumpamaan tersebut! Tingkat ini tidaklah, selain untuk orang-orang yang melawan dan berpaling, yang menjuruskan dirinya bagi dunia, yang mendustakan Allah, rasul-rasulNya dari kitab-kitabNya.
Maka kebahagiaan akhirat itu sesungguhnya pada berdekatan dengan Allah dan memandang kepada wajahNya. Dan yang demikian itu, sekali-kali tiada akan tercapai, selain dengan mengenal, yang diibaratkan daripadanya dengan: iman dan tashdiq (percaya dan membenarkan). Dan orang-orang yang menentang itu, ialah orang-orang yang melawan dan mendustakan.
Merekalah orang-orang yang merasa putus asa dari rahmat Allah Ta’ala untuk selama-lamanya. Merekalah orang-orang yang mendustakan Tuhan semesta alam dan nabi-nabiNya yang diutuskan. Sesungguhnya mereka pada hari itu –sudah pasti –terdinding dari Tuhannya. Dan setiap orang yang tedinding dari yang dicintainya, maka –sudah pasti –dibatasi antara dia dan yang diingininya. Maka dia itu –sudah pasti –adalah yang mengoyakkan api neraka jahannam dengan api perceraian. Karena itulah, orang-orang arif (yang kenal kepada Allah Ta’ala) berkata: “Tidaklah takut kami itu dari neraka jahannam dan tidaklah harapan kami itu bagi bidadari. Sesungguhnya tuntutan kami, ialah: bertemu dengan Allah. Dan larian kami dari hijab saja”. Mereka mengatakan: “Barangsiapa beribadah (menyembah) kepada Allah dengan ada imbalan, maka orang itu tercela, seperti: bahwa ia menyembahNya untuk mencari sorgaNya atau karena takut nerakaNya”. Akan tetapi, orang arif itu, menyembahNya karena DzatNya. Maka ia tidak mencari, melainkan DzatNya saja”.
Adapun bidadari dan buah-buahan, maka kadang-kadang tidak merindukannya. Adapun neraka, maka kadang-kadang tidak menakutkannya. Karena neraka perpisahan, apabila berkuasa, kadang-kadang mengalahkan api neraka yang membakar tubuh. Api neraka perpisahan itu sesungguhnya api neraka Allah yang menyala-nyala, yang muncul di atas hati. Dan api neraka jahanam itu tiada urusan baginya selain bersama tubuh. Dan kepedihan tubuh menjadi hina serta kepedihan hati. Karena itulah, orang bermadah:
Pada hati pencinta itu,
ada api pengasih.
Yang terpanas api jahannam itu,
yang terdingin daripadanya.
Tiada seyogyalah anda menentang ini pada alam akhirat. Karena ia mempunyai bandingan yang dapat disaksikan pada alam dunia. Maka sesungguhnya dapat dilihat, bahwa orang yang bersangatan padanya perasaan (emosi), lalu ia berpagi-pagi di atas api dan di atas pokok bambu yang melukakan tapak kaki. Ia tidak merasakan yang demikian, karena bersangatan kekerasan apa yang dalam hatinya. Anda dapat melihat orang-orang yang sangat marah, yang dikuasai atasnya oleh kemarahan dalam peperangan. Lalu ia terkena luka-luka parah. Dan ia tidak merasakan dengan luka-luka itu seketika. Karena marah itu api dalam hati.
Rasulullah saw bersabda: “Marah itu adalah sepotong dari api”. Terbakarnya hati itu lebih berat daripada terbakarnya tubuh. Dan yang lebih keras itu, membatalkan perasaan dengan yang lebih lemah, sebagaimana anda melihatnya. Maka tidaklah kebinasaan dari api dan pedang itu, selain dari segi bahwa kebinasaan itu menceraikan diantara dua bahagian. Yang satu daripadanya terikat dengan yang lain, dengan ikatan susunan yang memungkinkan pada tubuh. Maka yang menceraikan diantara hati dan yang dicintainya yang mengikatnya dengan ikatan susunan, adalah lebih sangat kokoh dari susunan tubuh. Maka dia itu lebih sangat memedihkan, jikalau anda ternasuk orang-orang yang mempunyai mata hati dan mempunyai hati. Dan tiadalah jauh dari kebenaran, bahwa tiada akan diketahui oleh orang yang tiada mempunyai hati, akan bersangatannya pedih ini. Dan dipandangnya leceh, dibandingkan kepada kepedihan tubuh. Maka anak kecil, jikalau disuruh pilih diantara pedihnya tidak dibolehkan main bola dan main tongkat permainan, dengan pedihnya tidak diberikan pangkat sultan (raja), niscaya ia tidak sekali-kali merasa pedihnya tidak diberikan pangkat sultan itu. Dan ia tidak menghitung yang demikian itu suatu kepedihan. Anak kecil itu akan mengatakan: “Lari di lapangan beserta tongkat permainan itu, lebih aku cintai daripada seribu tempat tidur sultan serta duduk di atasnya”.
Bahkan, orang yang dikerasi oleh nafsu syahwat perut, jikalau disuruh pilih di antara bubur masak daging dan roti manis, dengan perbuatan baik, yang memaksakan musuh dan menyenangkan teman, niscaya ia akan memilih bubur dan roti manis. Ini semuanya adalah, karena tidak adanya arti, yang menjadi kemegahan itu disukai dengan adanya. Dan adanya arti itu, dengan adanya, menjadilah makanan itu enak. Dan yang demikian itu, adalah bagi orang yang diperbudakkan oleh sifat-sifat binatang ternak dan binatang buas. Dan tidak menampak padanya sifat-sifat malaikat, yang tidak disesuaikannya dan tidak dirasakan enaknya, kepada kedekatan dengan Tuhan semesta alam. Dan tidak menyakitkannya, selain oleh kejauhan dan kedindingan. Sebagaimana rasa itu tidak ada, kecuali pada lidah dan mendengar itu kecuali pada telinga, maka tiadalah sifat ini, selain pada hati. Maka siapa yang tiada mempunyai hati, niscaya tidak ada baginya perasaan ini. Sebagaimana orang yang tiada mempunyai pendengaran dan penglihatan, niscaya tidak ada baginya keenakan nyanyian, bagus rupa dan warna. Dan tidaklah semua manusia itu mempunyai hati. Jikalau ada, niscaya tidaklah benar firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi pengajaran bagi siapa yang mempunyai hati”. S 50 Qaaf ayat 37. Tuhan menjadikan orang yang tiada memperoleh pengajaran dengan Alquran itu, orang yang tiada mempunyai hati. Aku tidak maksudkan dengan hati: yang dilingkungi oleh tulang dada. Akan tetapi, aku maksudkan, ialah: rahasia yang menjadi sebagian dari alam keadaan. Yaitu: daging, yang dia itu dari alam makhluk adalah ‘arasynya dan dada itu kursinya dan anggota-anggota badan lainnya itu alamnya dan kerajaannya. Dan kepunnyaan Allah semua makhluk dan urusan. Akan tetapi rahasia tersebut, yang difirmankan oleh Allah Ta’ala padanya: “Katakanlah: ruh (nyawa) itu termasuk urusan Tuhanku”. S 17 Al Isra’ ayat 85. Itulah amir dan raja. Karena di antara alam urusan dan alam makhluk itu, ada tartibnya/aturannya. Dan alam urusan itu amir atas alam makhluk. Itulah yang sangat halus, yang apabila ia baik, niscaya baiklah karenanya tubuh lainnya. Dan barangsiapa mengenalnya, maka ia mengenal dirinya. Dan siapa yang mengenal dirinya, maka sesungguhnya ia mengenal Tuhannya. Dan ketika itu, hamba akan mencium permulaan keharuman bau arti yang terlipat di bawah sabdanya Nabi saw: “Sesungguhnya Allah menjadikan nabi Adam itu atas rupaNya”. Allah memandang dengan penuh rahmat (kasih sayang) kepada mereka yang membawa hadits di atas menurut zahiriah kata-katanya dan kepada mereka yang menyimpang pada jalan penafsirannya. Walaupun rahmatNya bagi orang-orang yang membawa menurut kata-katanya itu lebih banyak daripada rahmatNya bagi orang-orang yang menyimpang pada penta’wilan (penafsiran). Karena rahmat itu adalah di atas kadar musibah (malapetaka). Dan musibah mereka itu lebih banyak, walaupun mereka itu berkongsi pada musibahnya tidak memperoleh dari hakikat/makna urusan itu. Hakikat/makna itu kurnia Allah, yang dianugerahkan Nya akan siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah itu mempunyai anugerah yang Maha Besar. Yaitu: hikmatNya yang ditentukanNya kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan siapa yang dianugerahkan hikmat, maka sesungguhnya ia telah dianugerahkan banyak kebajikan.
Marilah sekarang, kita kembali kepada maksud! Maka sesungguhnya kami telah melepaskan tali dan memanjangkan nafas, mengenai urusan, yang lebih tinggi daripada ilmu mu’amalah (perniagaan) yang kami maksudkan pada kitab ini. Telah menampak, bahwa tingkat kebinasaan itu tidaklah, selain bagi orang-orang bodoh yang mendustakan. Kesaksian yang demikian itu, dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya saw, yang tidak masuk di bawah hinggaan. Maka karena itulah, tidak kami membentangkannya.
Tingkat kedua: tingkat orang-orang yang diazabkan. Dan ini adalah tingkat orang yang menghiasi dirinya dengan pokok iman. Akan tetapi, ia teledor pada pelaksanaan menurut yang dikehendaki oleh iman. Kepala iman itu sesungguhnya, ialah: keesaan. Yaitu: bahwa tiada disembah, selain Allah. Dan siapa yang menuruti hawa nafsunya, maka ia telah mengambil Tuhannya itu hawa nafsunya. Ia berkeesaan dengan lidahnya, tidak dengan hakikat/makna yang sebenarnya. Bahkan arti perkataan anda: Laa ilaaha-illallaah (Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah) itu, arti firmannya Allah Ta’ala: “Katakan: Yang menurunkan itu Allah. Kemudian, biarkanlah mereka main-main dengan percakapan kosongnya”. S 6 Al An’aam ayat 91. Yaitu: bahwa engkau biarkan dengan keseluruhan, selain Allah. Dan arti firmannya Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Bahwa Tuhan kami itu Allah, kemudian, mereka itu berpendirian teguh”. S 41 Fussilat ayat 30. Tatkala adalah jalan lurus yang tidak menyempurnakan keesaan, selain dengan teguh pendirian (al-istiqamah) kepadanya itu, lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang, seperti jalan yang disifatkan di akhirat, maka senantiasalah manusia miring dari teguh pendirian, walaupun pada urusan yang mudah. Karena manusia itu tiada terlepas daripada mengikuti hawa nafsu, walaupun pada perbuatan yang sedikit. Dan itu mencederakan pada sempurnanya keesaan, menurut kadar miringnya dari jalan yang lurus. Maka yang demikian itu –sudah pasti –menghendaki kekurangan pada tingkat-tingkat kedekatan. Dan bersama tiap-tiap kekurangan itu, dua api neraka. Api neraka perpisahan bagi kesempurnaan itu, yang hilang disebabkan kekurangan. Dan api neraka jahannam, sebagaimana disifatkan oleh Alquran. Maka adalah tiap-tiap orang yang miring dari jalan yang lurus (ash-shirathul-mustaqim) itu diazabkan dua kali, dari dua segi. Akan tetapi, beratnya azab itu dan ringannya serta berlebih-kurangnya, adalah menurut panjangnya waktu. Sesungguhnya yang demikian itu, disebabkan dua keadaan:
Pertama: kuat iman dan lemahnya.
Kedua: banyak menuruti hawa nafsu dan sedikitnya.
Dan karena manusia, pada banyak hal, tiada terlepas dari salah satu dua keadaan tersebut tadi, Allah Ta’ala berfirman: “Dan tiada seorangpun di antara kamu, yang tiada masuk ke dalamnya, itulah keputusan Tuhanmu yang tak dapat dihindarkan. Kemudian, Kami lepaskan orang-orang yang menjaga dirinya (dari kejahatan) dan Kami biarkan orang-orang yang bersalah berlutut di dalamnya”. S 19 Maryam ayat 71-72.
Karena itulah, orang-orang salaf, yang takut, mengatakan: “Sesungguhnya ketakutan kami, ialah: karena kami yakin, bahwa kami akan masuk neraka. Dan kami ragu pada kelepasan dari neraka itu”. Dan karena yang diriwayatkan Al-Hasan Al-Bashari  ra, hadits yang menerangkan, mengenai orang yang keluar dari neraka sesudah 1000 tahun. Dan ia berseru: “Ya Hannan! Ya Mannan! (Hai Yang Maha Penyayang! Hai Yang Maha Pemberi nikmat!). Al-Hasan mengatakan: “Kiranya, aku ini laki-laki tersebut!”. Ketahuilah kiranya, bahwa pada hadits-hadits, ada yang menunjukkan, bahwa orang yang penghabisan keluar dari neraka, ialah: sesudah 7000 tahun. Dan perselisihan tentang lamanya masa itu, adalah: diantara sekejap saja dan 7000 ribu tahun itu. Sehingga, sebahagian mereka kadang-kadang boleh saja dalam neraka, seperti kilat yang menyambar. Dan tiada baginya perhentian dalam neraka. Dan di antara sekejap mata dan 7000 tahun itu, tingkat-tingkat yang berlebih kurang, dari sehari, seminggu, sebulan dan masa-masa lainnya.
Dan bahwa perbedaan tentang kerasnya azab itu, tiada berkesudahan bagi yang setinggi-tingginya. Dan yang sekurang-kurangnya, ialah: pengazaban dengan perdebatan pada al-hisab (perhitungan amal). Sebagaimana raja kadang-kadang menghukum (mengazabkan) sebahagian orang-orang yang teledor pada pekerjaan, dengan perbedaan pada perhitungan. Kemudian, raja itu memaafkan. Kadang-kadang ia memukul dengan cemeti. Dan kadang-kadang diazabkannya dengan macam yang lain dari azab itu. Dan berlaku kepada azab itu, perbedaan ketiga, pada bukan masa dan beratnya. Yaitu: perbedaan macamnya. Karena, tiadalah orang yang disiksa dengan mengambil harta saja, seperti orang yang disiksa dengan mengambil harta, membunuh anak-anak, mengambil isterinya, menyiksakan kaum familinya, memukul, memotong lidah, tangan, hidung, telinga dll. Perbedaan-perbedaan ini, ada pada azab akhirat, yang dibuktikan dalil-dalil agama yang meyakinkan. Dan itu, adalah menurut perbedaan kuatnya iman dan lemahnya, banyaknya taat dan sedikitnya, banyaknya kejahatan dan sedikitnya. Adapun beratnya azab, maka dengan sebab beratnya keburukan perbuatan-perbuatan jahat dan banyaknya. Adapun banyaknya azab, maka dengan banyaknya kejahatan itu. Dan perbedaan macam-macamnya, adalah dengan perbedaan macam-macam kejahatan.
Dan sesungguhnya telah terbukalah ini, bagi orang-orang yang mempunyai hati, serta kesaksian-kesaksian Alquran dengan cahaya iman. Dan itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan Tuhan engkau tiadalah berbuat sewenang-wenang atas hamba-hambaNya”. S 41 Fussilat ayat 46. Dan dengan firman Allah Ta’ala: “Pada hari itu, setiap diri menerima balasan, menurut yang diusahakannya”. S 40 Al Mukmin ayat 17. Dan dengan firmannya Allah Ta’ala: “Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh apa yang diusahakannya”. S 53 An Najm ayat 39. Dan dengan firmannya Allah Ta’ala: “Dan siapa yang mengerjakan perbuatan baik seberat atom, akan dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan perbuatan jahat seberat atom, akan dilihatnya”. S 99 Az Zilzal, ayat 7-8. Dan lain-lain dalil yang tersebut pada Kitab Alquran dan Sunnah Nabi saw, daripadanya siksa dan pahala, sebagai balasan dari amal-perbuatan. Semua itu dengan dalil, tiada sewenang-wenang padanya. Segi kemaafan dan kerahmatan adalah lebih kuat. Karena Allah Ta’ala berfirman, menurut yang disampaikan oleh Nabi saw tentang itu, yaitu: “Mendahului rahmatKU akan kemarahanKU”. Allah Ta’ala berfirman: “Meskipun perbuatan baik itu sebesar atom, akan dilipat gandakan oleh Allah juga dan akan diberiNya pahala yang besar dari sisiNya”. S 4 An Nisa’ ayat 40.
Jadi, hal keadaan ini keseluruhan, dari ikatan tingkat dan pangkat, dengan perbuatan baik dan buruk itu, diketahui dengan dalil agama yang meyakinkan dan cahaya pengenalan. Adapun penguraiannya, maka tidak diketahui, selain dengan berat sangkaan. Dan pegangannya adalah zahiriah/keterangan hadits-hadits. Dan macam rekaan itu diambil pemahamannya dari cahaya mata hati dengan jalan mengambil ibarat. Maka disini kami mengatakan, bahwa setiap orang yang mengokohkan pokok iman, menjauhkan semua dosa besar dan berbuat dengan baik semua yang fardlu (yang wajib pada agama), ya’ni: rukun 5 dan tidak ada daripadanya perbuatannya, selain dosa-dosa kecil yang berpisah-pisah, yang tidak selalu dikerjakannya, maka serupalah bahwa azabnya itu, ialah: perdebatan (munaqasyah) saja, pada perhitungan amal. Maka apabila ia dilakukan perhitungan amal (al-hisab), niscaya kuatlah perbuatan kebaikannya di atas kejahatannya. Karena tersebut pada hadits-hadits, bahwa shalat 5 waktu, shalat Jum’at dan puasa Ramadlan itu menjadi kaffarah (penutup dosa), bagi di antara ibadah-ibadah fardlu tersebut. Dan seperti itu juga menjauhkan dosa-dosa besar, dengan hukum dalil Alquran, menjadi kaffarah(penutup dosa) bagi dosa-dosa kecil. Dan sekurang-kurang tingkat penutup dosa itu, ialah: tertolak azab, jikalau tidak tertolak perhitungan amal. Dan setiap orang yang ini keadaannya, maka beratlah timbangan amalnya. Maka seyogyalah ia, sesudah nyata berat pada timbangan amal dan sesudah selesai dari perhitungan amal, berada dalam kehidupan yang menyenangkan (‘iisyah raadliyah). Ya, hubungannya dengan orang-orang kanan (ash-haabul-yamiin) atau dengan orang-orang al-muqarrabin (orang-orang yg dekat kepada Allah) dan tempatnya dalam sorga Aden atau dalam sorga Firdaus yang tertinggi. Maka seperti itu juga, ia mengikuti akan segala jenis iman. Karena iman itu dua macam: iman Taqlidi (iman ikut-ikutan), seperti iman orang awam. Mereka membenarkan apa yang didengarnya dan mereka terus-menerus di atas yang demikian. Dan iman Kasyafi (iman yang tersingkap hijabnya), yang berhasil dengan terbuka dada dengan cahaya Allah. Sehingga tersingkap padanya wujud seluruhnya, menurut apa adanya.
Lalu jelaslah, bahwa semua itu kepada Allah kembalinya dan kesudahannya. Karena tidak ada pada wujud, selain Allah Ta’ala, sifat-sifatNya dan Af’al (perbuatan-perbuatan)Nya. Maka yang jenis ini, ialah: orang-orang al-muqarrabin (oran-orang yang didekatkan kepada Allah), yang bertempat tinggal di sorga Al-Firdaus yang tertinggi. Dan mereka adalah sangat dekat dengan Tuhan Yang Maha Tinggi. Mereka juga terdiri dari beberapa jenis. Sebahagiannya: yang mendahului (as-sabiqun) dan sebahagiannya, ialah: orang-orang yang kurang dari mereka itu. Berlebih kurangnya mereka, adalah menurut berlebih kurangnya mengenal mereka kepada Allah Ta’ala. Dan tingkat orang-orang ‘arifin pada mengenal Allah Ta’ala itu, tiada terhingga. Karena mengetahui hakikat/makna keagungan Allah itu, tidak mungkin. Lautan pengenalan itu, tidak berpantai dan dalam sekali. Sesungguhnya menyelam padanya para penyelam menurut kadar kemampuan mereka dan menurut kadar yang telah mendahului bagi mereka daripada Allah Ta’ala pada azali ( tidak kesudahan / permulaan ). Maka jalan Allah Ta’ala, tiada berkesudahan bagi tempat-tempatnya. Maka orang-orang yang menjalani jalan Allah itu, tiada berkesudahan derajat mereka.
Adapun orang mu’min yang beriman dengan iman taqlidi (turut/menurut) itu, adalah termasuk ash-haabul yamiin (orang-orang kanan) . Tingkat mereka adalah kurang dari tingkat al-muqarrabin. Dan mereka juga di atas beberapa tingkat. Maka yang tertinggi dari tingkat ash-haabul-yamin itu, mendekati tingkatnya dengan tingkat yang terendah dari tingkat-tingkat al-muqarrabin. Inilah keadaan orang yang menjauhi semua dosa besar dan mengerjakan yang fardlu semuanya. Ya’ni: rukun yang 5, yaitu: mengucapkan syahadah dengan lisan, shalat, zakat, puasa dan hajji.
Adapun orang yang mengerjakan satu dosa besar atau dosa-dosa besar atau mengabaikan sebahagian rukun Islam, maka jikalau ia bertaubat dengan taubat nashuha (taubat benar-benar yang tidak akan dikerjakan lagi dosa itu), sebelum mendekati ajal, niscaya itu dihubungkan dengan orang yang tiada mengerjakan dosa. Karena orang yang bertaubat dari dosa itu, seperti orang yang tidak berdosa. Dan kain yang dicucikan itu, adalah seperti kain yang tiada kotor sekali-kali. Dan kalau ia mati sebelum taubat, maka ini keadaan yang berbahaya ketika mati. Karena kadang-kadang matinya itu di atas berkekalan dosa, menjadi sebab bagi berguncangnya keimanannya. Lalu berkesudahan baginya dengan su-ul-khatimah (buruk kesudahan). Apa lagi, bila imannya itu iman taqlidi (turut/menurut). Karena taqlid (turut/menurut), walaupun yakin, maka taqlid (turut/menurut) itu dapat terlepas dengan sedikit keraguan dan khayalan. Dan orang arif yang bermata hati itu amat jauh, untuk ditakuti kepadanya akan su-ul khatimah/buruk kesudahan. Keduanya itu, jikalau mati di atas iman, akan diazabkan, kecuali Allah Ta’ala memaafkan azab yang lebih dari azab perdebatan pada al-hisab. Dan banyaknya siksaan dari segi waktunya itu adalah menurut lamanya masa berkekalan dosa. Dan dari segi beratnya, adalah menurut kejinya dosa-dosa besar itu. Dan dari segi perbedaan macam adalah menurut perbedaan jenis-jenis kejahatan. Dan ketika selesai masa azab, lalu orang-orang bodoh yang bertaqlid (turut/menurut) itu menempati tingkat orang-orang kanan. Dan orang-orang arif yang bermata hati adalah dalam sorga yang tertinggi (a’la ‘illiyyin). Pada hadits disebutkan: “Orang yang terakhir keluar dari neraka, akan diberikan kepadanya seperti dunia seluruhnya, 10 kali ganda”. Maka janganlah engkau menyangka, bahwa yang dimaksud dengan yang tersebut pada hadits itu, menentukan kadarnya dengan sipatan bagi tepi-tepi tubuh, seperti: 1 farsakh (kira-kira 3 mil) diseimbangkan dengan 2 farsakh atau 10 dengan 20. Sangkaan ini adalah bodoh pada jalan membuat perumpamaan-perumpamaan. Akan tetapi, ini adalah seperti kata orang yang mengatakan: ia mengambil dari orang itu seekor unta dan diberikannya kepada orang itu 10 yang seperti demikian. Dan unta itu sama dengan 10 dinar. Lalu diberikannya 100 dinar. Jikalau tidak dipahami dari contoh ini, selain contoh pada timbangan dan berat, maka tidaklah 100 dinar itu, jikalau diletakkan pada daun neraca yang satu dan unta itu pada daun neraca yang lain, 1/100 daripadanya. Akan tetapi itu, adalah penimbangan pengertian tubuh dan nyawanya, bukan diri dan bentuknya. Unta itu sesungguhnya tidak dimaksudkan karena beratnya, panjangnya, lebarnya dan sifatannya. Akan tetapi, kehartaannya. Maka rohnya itu kehartaannya. Tubuhnya itu daging dan darah. Dan 100 dinar itu 10 yang sepertinya, dengan penimbangan rohaniyah, tidak dengan penimbangan jasmaniyah. Dan ini benar pada orang yang mengetahui roh kehartaan, dari emas dan perak. Bahkan, jikalau diberikannya mutiara, yang timbangannya 1 mitsqal (nama berat timbangan) dan nilainya 100 dinar dan ia mengatakan: “Aku berikan kepadanya 10 kali yang seperti itu”, niscaya dia itu benar. Akan tetapi, kebenarannya itu tidak diketahui, selain oleh orang-orang yang ahli tentang mutiara.
Sesungguhnya roh kemutiaraan itu tidak diketahui, dengan semata-mata melihat. Akan tetapi, dengan kecerdikan yang lain, dibalik penglihatan itu. Maka karena itulah, didustakan itu oleh anak kecil. Bahkan juga, oleh orang kampung dan orang badui. Dan ia mengatakan, bahwa mutiara ini, hanyalah batu, yang beratnya 1 mitsqal. Dan berat unta itu beribu-ribu mitsqal. Maka orang itu telah membohong tentang katanya: bahwa aku telah memberikan kepada orang itu 10 kali seperti unta itu. Yang dusta sebenarnya, adalah anak kecil itu. Akan tetapi, tiada jalan kepada meyakinkan yang demikian pada anak kecil tadi, selain dengan menuggu ia dewasa dan sempurna pikirannya. Dan bahwa berhasil pada hatinya, cahaya yang memberikan kepadanya pengertian tentang roh kemutiaraan dan harta-harta lainnya. Maka ketika itu, tersingkaplah baginya kebenaran. Dan orang ‘arif itu lemah pada memberi pemahaman kepada orang yang bertaqlid (turut/menurut), yang lengah.
Benarlah kiranya Rasulullah saw pada penimbangan ini. Karena beliau bersabda: “Sorga itu di langit”. Sebagaimana yang disebutkan pada hadits-hadits. Dan langit itu adalah sebahagian dari dunia. Maka bagaimana ada 10 kali dunia dalam dunia? Dan ini adalah, sebagaimana lemahnya orang dewasa memberi pengertian kepada anak kecil akan penimbangan itu. Dan seperti itu pula, memberi pemahaman kepada orang badui. Dan sebagaimana ahli mutiara dikasihani apabila mendapat percobaan dengan orang badui dan orang kampung, pada memberi pengertian akan penimbangan itu, maka orang ‘arif patut dikasihani apabila mendapat percobaan dengan orang bodoh, yang dungu, pada pemahaman penimbangan itu. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Kasihanilah 3 golongan: orang yang berilmu di antara orang-orang yang bodoh, orang yang kaya dari suatu golongan, yang membuat dirinya miskin dan orang mulia dari suatu golongan, yang hina".
Para nabi-nabi itu dikasihani di antara umat dengan sebab tersebut. Kepedihan mereka karena pendeknya pikiran umat itu, fitnah bagi mereka, ujian dan percobaan dari Allah Ta’ala. Dan percobaan itu diwakilkan (diserahkan) kepada mereka, yang telah terdahulu penyerahan itu oleh hukum Allah yang azali (tidak kesudahan / permulaan ). Dan itulah arti maksud dengan sabdanya Nabi saw: “Percobaan (bala bencana) itu diwakilkan kepada nabi-nabi, kemudian kepada wali-wali, kemudian kepada yang seperti mereka, lalu kepada yang seperti mereka". Maka janganlah anda menyangka, bahwa percobaan itu, ialah percobaan kepada nabi Ayyub as yaitu: yang diturunkan kepada tubuh. Maka percobaan kepada nabi Nuh as juga termasuk percobaan besar. Karena nabi Nuh as itu dicoba dengan suatu golongan, dimana seruannya ke jalan Allah, tidak menambahkan mereka melainkan lari. Dan karena itulah, tatkala Rasulullah saw merasa sakit dengan perkataan sebahagian manusia, lalu beliau bersabda: “Allah mencurahkan rahmat kepada saudaraku Musa. Ia sesungguhnya telah disakiti orang, lebih banyak dari ini. Maka ia sabar”. Jadi, nabi-nabi itu tiada terlepas daripada percobaan dengan orang-orang yang menentang.
Dan wali-wali dan para ulama tidak terlepas daripada percobaan dengan orang-orang bodoh. Dan karena itulah, sedikit sekali para wali yang terlepas dari bermacam-macam yang menyakitkan dan bermacam-macam percobaan, dengan dikeluarkan mereka dari negerinya, diusahakan membawa mereka kepada sultan sultan (penguasa), dinaik-saksikan terhadap mereka dengan kekafiran dan keluar dari agama. Dan haruslah orang-orang ilmu mengenal Allah Ta’ala itu berada pada orang-orang bodoh dari orang-orang kafir, sebagaimana harus ada penggantian dari unta besar itu, akan mutiara kecil pada orang-orang bodoh dari orang-orang yang membuang-buang harta, lagi yang menyia-nyiakannya.
Apabila anda telah mengetahui yang halus-halus ini, maka berimanlah dengan sabda Nabi saw, bahwa akan diberikan kepada orang yang penghabisan dikeluarkan dari neraka, seperti dunia, 10 kali. Dan jagalah dirimu, bahwa engkau membatasi kepercayaan engkau itu, kepada yang dapat diketahui oleh penglihatan dan perasaan saja. Maka adalah engkau itu keledai dengan dua kaki. Karena keledai itu berkongsi dengan engkau pada 5 pancaindra. Hanya engkau berbeda dengan keledai, dengan rahasia ketuhanan (rahasiaun ilahiyyun) yang ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Semuanya ini enggan memikulnya dan merasa takut daripadanya. Maka mengetahui apa yang keluar dari alam pancaindra yang 5, tiada akan dijumpai, selain pada alam rahasia itu, yang engkau berbeda dengan keledai dan hewan-hewan yang lain, lantaran rahasia tersebut. Maka siapa yang lupa dari yang demikian, mengosongkannya dan menyia-nyiakannya dan merasa puas dengan tingkat hewan-hewan dan ia tidak melewati dari yang dapat diketahui dengan pancaindra itu, maka dialah orang yang membinasakan dirinya dengan mengosongkannya dan melupakannya dengan berpaling daripadanya. Maka janganlah ada kamu, seperti mereka yang melupai Allah, maka Allah melupakan mereka akan dirinya. Maka setiap orang yang tidak mengenal, selain yang dapat diketahui dengan pancaindra, maka sesungguhnya orang itu telah melupai Allah. Karena tidaklah dzat Allah itu, diketahui pada alam ini, dengan panca indra yang 5. Dan setiap orang yang melupai Allah, niscaya –sudah pasti –Allah melupakan orang itu akan dirinya. Dan ia turun kepada tingkat hewan-hewan. Dan ia meninggalkan mendaki ke ufuk yang tertinggi. Dan ia berkhianat pada amanah yang disimpan oleh Allah padanya dan yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya menjadi nikmat. Ia kufur kepada nikmat-nikmatNya dan datang kepada bencanaNya. Kecuali dia itu adalah yang berkeadaan yang paling buruk dari hewan. Hewan itu sesungguhnya melepaskan diri dari mati. Adapun orang tadi, maka padanya ada amanah, yang sudah pasti, akan dikembalikan kepada YANG MENYIMPANnya. Maka kepadaNyalah kembali dan berkesudahan amanah itu. Amanah itu adalah seperti matahari yang cemerlang. Dan ia diturunkan kepada acuan yang fana ini dan terbenam padanya. Dan akan terbit matahari ini ketika roboh acuan itu, dari tempat terbenamnya. Dan ia kembali kepada Penciptanya dan Khaliq (yang maha pencipta)nya. Adakalanya berkeadaan gelap gerhana dan adakalanya cemerlang terang-benderang. Cemerlang terang benderang itu tidak terdinding dari Hadlarat Ketuhanan. Dan yang gelap juga kembali kepada HadlaratNya. Karena tempat kembali dan berkesudahan itu bagi semua, adalah kepada Allah. Kecuali dia itu menundukkan kepalanya, dari pihak yang  tertinggi dari yang tinggi, kepada pihak yang terbawah dari yang bawah. Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Sekiranya engkau lihat nanti, ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di sisi Tuhannya”. S 32 As-Sajadah ayat 12. Maka diterangkan, bahwa mereka itu di sisi Tuhannya, hanya mereka tertunduk kepala. Muka mereka terbalik kepada kuduknya dan kepala mereka tertunduk, dari pihak atas ke pihak bawah. Dan yang demikian itu hukum Allah, kepada siapa yang diharamkanNya akan taufiqNya. Dan tidak ditunjukiNya jalanNya. Kita berlindung dengan Allah dari kesesatan dan turun kepada tingkat orang-orang bodoh. Inilah hukum pembahagian orang yang dikeluarkan dari neraka. Dan ia diberikan seperti 10 kali dunia atau lebih banyak lagi. Dan tiada yang keluar dari neraka, kecuali orang yang berkeesaan. Aku tidak maksudkan dengan keesaan itu, bahwa ia mengatakan dengan lidahnya: laa ilaaha illallaah (Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah). Karena lidah itu adalah sebahagian dari ‘alamul-mulki wasy-syahadah (penyaksian tubuh di alam dunia). Maka ia tidak bermanfaat, selain pada alam dunia itu. Lalu tertolaklah pedang dari lehernya dan tangan orang-orang yang mengambil harta rampasan perang dari hartanya. Dan masa leher dan harta itu, adalah masa hidupnya. Maka dimana tidak kekal leher dan harta, niscaya tidaklah bermanfaat perkataan dengan lidah. Sesungguhnya bermanfaat kebenaran pada keesaan. Dan kesempurnaan keesaan, ialah, bahwa ia tidak melihat semua urusan itu, selain dari Allah. Dan tandanya, bahwa ia tidak marah kepada seseorang dari makhluk, dengan apa yang berlaku atas dirinya. Karena ia tidak melihat perantaraan-perantaraan. Dan sesungguhnya hanya ia melihat Yang Menjadikan sebab-sebab itu, sebagaimana akan datang pembuktiannya pada TAWAKKAL nanti.
Keesaan ini berlebih kurang Maka setengah manusia, ialah: orang yang mempunyai keesaan seperti gunung. Dan sebahagian mereka, orang yang mempunyai nya seberat mitsqal. Sebahagian mereka, orang yang mempunyainya sekedar biji sawi dan atom. Maka orang yang dalam hatinya seberat dinar dari iman, maka dia adalah orang pertama yang dikeluarkan dari neraka. Pada hadits disebutkan: “Dikeluarkan mereka dari neraka, yaitu: orang yang dalam hatinya ada iman seberat dinar”. Orang yang berpenghabisan keluar, ialah: orang yang dalam hatinya seberat atom dari iman. Dan yang diantara seberat mitsqal dan seberat atom adalah, menurut kadar berlebih kurangnya derajat mereka, akan dikeluarkan diantara lapisan yang seberat mitsqal dan lapisan yang seberat atom. Dan penimbangan dengan mitsqal dan atom itu, adalah atas jalan membuat perumpamaan. Sebagaimana telah kami sebutkan pada penimbangan di antara benda-benda harta dan uang. Dan yang terbanyak memasukkan orang-orang berkeesaan kedalam neraka, ialah kezaliman hamba-hamba itu sendiri. Maka dewan hamba-hamba itu, ialah: dewan yang tidak akan ditinggalkan begitu saja.
Adapun sisanya kejahatan-kejahatan yang lain, maka bersegeralah kemaafan dan penutupnya (ada penutup dosa baginya). Pada atsar (ucapan seseorang sahabat) disebutkan, bahwa hamba-hamba Allah itu, sesungguhnya akan berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Ia mempunyai perbuatan kebaikan, seperti gunung-gunung. Jikalau diserahkan kepadanya, niscaya ia menjadi isi sorga. Lalu bangun berdiri orang-orang yang teraniaya, dengan mengatakan: bahwa orang itu telah memaki kehormatan si ini, mengambil harta si ini dan memukul si ini. Lalu dibayar dari kebaikannya. Sehingga tiada tinggal lagi kebaikan baginya. Lalu para malaikat berdoa: “Hai Tuhan kami! Orang ini telah habis semua kebaikannya dan masih tinggal banyak orang yang menuntutnya”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Lemparkan dari kejahatan mereka atas kejahatannya ! dan tempelenglah dia sebagai tempeleng ke neraka !”. Sebagaimana orang itu binasa dengan kejahatan orang lain, dengan jalan tuntut bela, maka seperti demikian juga, akan terlepas orang yang teraniaya, dengan kebaikan orang yang berbuat aniaya. Karena, dipindahkan kepada yang teraniaya, sebagai ganti dari apa yang dianiayakan.
Diceritakan dari Ibnul-Jala’, bahwa sebahagian saudaranya mencacinya. Kemudian, saudaranya itu mengirim surat kepadanya, minta dimaafkan (dihalalkan). Lalu Ibnul-Jala’ menjawab:  “Aku tidak akan memaafkannya. Tidaklah dalam lembaran hidupku kebaikan, yang lebih baik dari itu. Maka bagaimana aku menghapuskannya ?”. Ibnul-Jala’ dan orang lain mengatakan: “Dosa saudara-saudaraku itu menjadi sebahagian dari kebaikanku. Aku bermaksud menghiasi dengan dia lembaran hidupku”. Maka inilah yang kami maksudkan menyebutkannya dari perbedaan hamba-hamba itu pada hari akhirat, tentang derajat-derajat kebahagiaan dan kesengsaraan. Semua itu adalah hukum dengan terlihat sebab-sebab, yang menyerupai hukum (ketetapan) dokter atas seorang sakit, bahwa dia –sudah pasti –akan mati. Dan tidak dapat diobati lagi. Dan terhadap orang sakit yang lain, bahwa penyakitnya itu ringan dan pengobatannya mudah. Yang demikian itu adalah sangkaan yang menimpa pada kebanyakan hal. Akan tetapi, kadang-kadang kembali kepada hampirnya kebinasaan dirinya, dimana tidak diketahui oleh dokter. Kadang-kadang ajal itu datang kepada orang yang mempunyai penyakit ringan, dimana tidak diketahui yang demikian. Itu adalah termasuk rahasia Allah Ta’ala yang tersembunyi pada roh orang-orang hidup. Dan tersembunyinya sebab-sebab yang diatur oleh Yang Menyebabkan sebab-sebab itu, dengan kadar yang dimaklumi. Karena tidaklah dalam kemampuan manusia, mengetahui hakikat/makna sebab-sebab itu. Maka seperti demikian pula, kelepasan dan keberuntungan di akhirat. Keduanya itu mempunyai sebab-sebab yang tersembunyi, yang tidak ada pada kemampuan manusia untuk melihatnya. Diibaratkan daripada sebab yang tersembunyi, yang membawa kepada kelepasan itu, dengan: maaf dan ridha. Dan dari apa yang membawa kepada kebinasaan itu, dengan: marah dan pembalasan. Dan dibalik yang demikian itu, adalah rahasia kehendak ketuhanan yang azali (tidak kesudahan/permulaan), yang tidak dapat dilihat oleh makhluk padanya. Maka karena demikianlah, harus atas kita membolehkan kemaafan kepada orang yang berbuat maksiat, walaupun banyak perbuatan kejahatannya yang terang. Dan membolehkan kemarahan atas orang yang berbuat kejahatannya yang terang. Dan membolehkan kemarahan atas orang yang berbuat taat, walaupun banyak perbuatan taatnya yang terang. Karena yang menjadi pegangan, ialah: taqwa. Dan taqwa itu dalam hati. Dan itu amat sukar untuk dapat dilihat oleh yang empunyanya sendiri. Maka bagaimana lagi orang lain ! akan tetapi, tersingkap bagi orang-orang yang mempunyai hati, bahwa tiada kemaafan dari seorang hamba Allah, selain dengan sebab yang tersembunyi padanya, yang menghendaki kemaafan itu. Dan tidak ada kemarahan, selain dengan sebab batiniah, yang menghendaki kejauhan daripada Allah Ta’ala. Jikalau tidak ada yang demikian, niscaya tidaklah kemaafan dan kemarahan itu balasan atas segala amal perbuatan dan sifat pekerjaan. Dan jikalau tidak ada balasan, niscaya tidak ada keadilan. Dan jikalau tidak ada keadilan, niscaya benar firman Allah Ta’ala: “Dan Tuhan engkau tiadalah berbuat sewenang-wenang atas hamba-hambaNya”. S 41 Fussilat ayat 46. Dan firmanNya Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tidak hendak menganiaya seseorang, barang sebesar atom sekalipun”. S 4 An Nisa’ ayat 40. Semua firman Allah Ta’ala itu benar. Maka tidak ada bagi manusia, selain apa yang diusahakannya. Dan usahanya itu, ialah yang dapat dilihatnya. Dan setiap diri tergadai dengan apa yang diusahakannya itu. Manakala mereka menyimpang, niscaya disimpangkan oleh Allah Ta’ala akan hati mereka. Dan manakala mereka merobah, apa yang pada dirinya, niscaya dirobah oleh Allah Ta’ala apa yang pada mereka sebagai pembuktian bagi firmanNya Yang Maha Tinggi: “Sesungguhnya Allah tiada merobah keadaan sesuatu kaum, sebelum mereka merobah keadaan diri mereka sendiri”. S13 Ar Ra’d ayat11. Ini semua telah tersingkap bagi orang-orang yang mempunyai hati, kesingkapan yang lebih terang daripada dipersaksikan dengan penglihatan. Karena penglihatan itu, mungkin salah. Karena kadang-kadang dilihat yang jauh itu dekat dan yang besar itu kecil. Dan penglihatan hati tidak mungkin salah. Dan hanya persoalannya, ialah: pada terbukanya penglihatan hati. Jikalau tidak, maka tidak terlihat dengan penglihatan hati itu, sesudah terbuka. Lalu tidak tergambar padanya dusta. Dan kepada itulah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Hati tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya”. S 53 An Najm ayat 11.
Tingkat ketiga: tingkat orang-orang yang terlepas. Aku maksudkan dengan terlepas itu: selamat saja, tanpa bahagia dan menang. Mereka itu suatu kaum yang tiada berbuat pelayanan, lalu dicabut azab dari mereka. Dan tiada berbuat keteledoran, lalu mereka diazabkan. Dan serupalah bahwa ini adalah keadaan orang-orang gila dan anak-anak kecil dari orang-orang kafir, orang-orang yang kurang akal dan orang-orang yang tidak sampai da’wah agama kepada mereka, di pinggir-pinggir negeri. Dan mereka hidup dalam kedunguan dan tiada berilmu mengenal Allah Ta’ala. Maka tiada bagi mereka itu ilmu mengenal Allah Ta’ala, tiada memungkiri, tiada taat dan tiada maksiat. Maka tiada jalan yang mendekatkan mereka dan penganiayaan yang menjauhkan mereka. Maka mereka itu tidak dari penduduk sorga dan tidak dari penduduk neraka. Akan tetapi, mereka itu ditempatkan pada suatu tempat di antara dua tempat dan pada suatu kedudukan di antara dua kedudukan, yang disebutkan oleh agama, namanya: Al-A’raf (menurut Mujahid: suatu hijab antara sorga dan neraka dan benteng yang mempunyai pintu. Dan menurut Hudzaifah, ialah benteng antara sorga dan neraka). Dan penempatan suatu golongan dari makhluk pada Al-A’raf itu, diketahui dengan yakin dari ayat-ayat Alquran, hadits-hadits dan dari nur i’tibar. Adapun hukum atas diri sesuatu, seperti umpamanya hukum, bahwa anak-anak kecil adalah sebahagian dari mereka. Maka ini adalah sangkaan. Dan tidak dengan diyakini. Dan melihat kepadanya dengan sungguh-sungguh, ialah: pada alam nubuwwah (alam kenabian). Dan jauhlah untuk dapat mendaki kepadanya, tingkat para wali dan ulama. Dan hadits-hadits mengenai anak-anak kecil juga bertentangan. Sehingga ‘Aisyah mengatakan tatkala mati sebahagian anak-anak kecil: “Burung dari burung-burung sorga”. Lalu Rasulullah saw membantah yang demikian dan bersabda: “Dimana engkau tahu ?”. Jadi, pertanyaan dan keraguan itu amat banyak pada tempat ini.
Tingkat keempat: tingkat orang-orang yang menang. Mereka ialah orang-orang ‘arif (ilmu mengenal Allah Ta’ala) bukan orang-orang yang bertaqlid (orang-orang yang menuruti tanpa dalil). Mereka itu orang-orang muqarrabin/dekat dengan Allah, yang terdahulu. Sesungguhnya orang yang bertaqlid (turut/menurut),  walaupun secara keseluruhan memperoleh kemenangan, dengan memperoleh tempat dalam sorga, adalah dia termasuk orang-orang kanan (ash-haabul-yamiin). Dan mereka itu, ialah orang-orang muqarrabin (yang dekat dengan Tuhan). Dan apa yang ditemui mereka itu, melewati batas penjelasan. Dan kadar yang mungkin menyebutkannya, ialah: apa yang diuraikan oleh Alquran. Maka tiadalah sesudah penjelasan Allah itu, penjelasan lagi. Dan yang tidak mungkin diperkatakan pada alam ini, adalah yang disimpulkan oleh firman Allah Ta’ala: “Seorangpun tiada mengetahui cahaya mata yang disembunyikan untuk mereka”. S 32 As-Sajadah ayat 17. Dan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “AKU sediakan bagi hamba-hambaKU yang salih, apa yang mata tidak pernah melihatnya, telinga tidak pernah mendengar dan tidak pernah terguris pada hati manusia”. Dan orang-orang yang berilmu mengenal (orang ‘arifin), yang menjadi tuntutan mereka, ialah keadaan itu, yang tiada tergambar akan terguris pada hati manusia di alam ini. Adapun bidadari, istana, buah-buahan, susu, madu, khamar, pakaian dan gelang, mereka itu sesungguhnya tiada loba kepadanya. Jikalau diberikan kepada mereka barang-barang tersebut, niscaya mereka tiada merasa puas dengan barang-barang itu. Dan tiada yang mereka cari, selain kelezatan memandang kepada Wajah Allah Ta’ala Yang Maha Pemurah. Itulah penghabisan kebahagiaan dan kesudahan kelezatan.
Dan karena itulah ditanyakan kepada Rabi’ah Al’Adawiyah ra: “Bagaimana kegemaran engkau kepada sorga ?”. Ia menjawab: “Tetangga, kemudian negeri”. Maka mereka adalah kamu yang disibukkan oleh kecintaan kepada yang punya negeri, tidak kepada negeri dan perhiasannya. Bahkan dari tiap-tiap sesuatu yang lain. Sehingga dari diri mereka itu sendiri. Contohnya, ialah contoh orang yang rindu, yang mengikuti keinginannya dengan yang dirinduinya, yang sempurna cita-citanya dengan memandang kepada wajah yang dirindui dan berpikir padanya. Ia adalah dalam keadaan tenggelam, yang lupa kepada dirinya. Tiada merasakan apa yang menimpa pada badannya. Dan diibaratkan dari keadaan ini, bahwa orang itu telah lenyap dari dirinya. Artinya, orang itu telah tenggelam dengan yang lain. Dan semua cita-citanya menjadi satu cita-cita. Yaitu: yang dicintainya. Dan tidak tinggal lagi padanya keluasan bagi yang tidak dicintainya. Sehingga ia berpaling kepada yang dicintainya itu, tidak kepada dirinya dan yang lain dari dirinya.
Keadaan ini, ialah yang menyampaikan pada akhirat kepada cahaya mata, yang tiada tergambar bahwa akan terguris pada alam ini atas hati manusia. Sebagaimana tiada tergambar bahwa akan terguris rupa warna-warna dan bunyi-bunyian atas hati orang tuli dan orang buta. Kecuali terangkat (terbuang) hijab (dinding) daripada pendengaran dan penglihatannya. Maka ketika itu, baru ia mengetahui keadaannya. Dan ia mengetahui dengan pasti, bahwa tiada akan tergambar, terguris di hatinya bentuknya sebelum itu. Dunia itu menurut sebenarnya adalah hijab. Dan dengan terangkatnya, terbukalah tutup. Maka ketika itu, diketahui rasa hidup yang baik. Dan bahwa negeri akhirat itu adalah hidup, jikalau mereka mengetahuinya. Maka sekadar ini mencukupilah pada penjelasan pembahagian tingkat-tingkat atas perbuatan kebaikan. Dan Allah kiranya mencurahkan taufiq dengan kasih sayangNya kepada kita semua.
PENJELASAN: tentang apa yang menjadi besarlah dosa-dosa kecil.
Ketahuilah kiranya, bahwa dosa kecil akan menjadi besar dengan beberapa sebab. Diantaranya: berkekalan dan selalu berbuat dosa kecil itu. Dan karena itulah dikatakan: tiada dosa kecil bila berkekalan dikerjakan dan tiada dosa besar bila dimintakan ampun. Maka satu dosa besar yang putus-putus dan tidak diikuti oleh dosa besar yang seperti itu- jikalau tergambaralah yang demikian- nicaya kemaafan daripadanya adalah lebih banyak harapan daripada dosa kecil, yang selalu dikerjakan hamba. Contohnya yang demikian itu, ialah: tetasan-tetasan air yang jatuh di atas batu secara berturut-turut. Maka tetesan-tetesan itu akan membekas pada batu tersebut. Dan kadar itu dari air tadi, jikalau dituangkan satu kali atas batu itu, niscaya tiada akan membekas. Dan karena itulah, Rasulullah saw bersabda: “Amal yang baik ialah yang terus-menerus, walaupun sedikit”.
Segala sesuatu itu dicari penjelasannya dengan lawannya. Dan kalau yang bermanfaat dari amal itu, ialah yang terus-menerus dikerjakan, walaupun sedikit. Maka yang banyak yang terputus-putus itu sedikit manfaatnya, pada penyinaran hati dan penyuciannya. Maka karena itulah, yang sedikit dari kejahatan, apabila berkekalan dikerjakan, niscaya besarlah pembekasannya pada menggelapkan hati. Kecuali, bahwa dosa besar itu sedikitlah tergambar bahwa diserbu kepadanya dengan tiba-tiba, tanpa ada hal-hal yang mendahului dan yang menyambungi dari sejumlah dosa-dosa kecil. Maka sedikitlah orang yang berzina itu berzina dengan tiba-tiba, tanpa ada bujukan dan pendahuluan-pendahuluan. Dan sedikitlah terjadi pembunuhan dengan tiba-tiba, tanpa ada pertentangan yang mendahului dan permusuhan. Maka setiap dosa besar itu dikelilingi oleh dosa-dosa kecil yang mendahului dan yang menyambungi. Dan jikalau tergambarlah suatu dosa besar sendirian dengan tiba-tiba dan tidak disetujui untuk diulangi kembali, niscaya kadang-kadang adalah kemaafan padanya lebih besar harapan daripada dosa kecil, yang dikerjakan selalu oleh manusia sepanjang umurnya.
Di antara sebab-sebab itu, ialah: ia memandang kecil dosa tersebut. Sesungguhnya dosa itu, manakala dipandang besar oleh hamba Allah pada dirinya, niscaya menjadi kecil pada sisi Allah Ta’ala. Dan manakala dipandangnya kecil, niscaya menjadi besar pada sisi Allah Ta’ala. Karena, memandang besarnya itu, akan menimbulkan lari hati daripadanya dan bencinya kepada dosa tersebut. Dan larinya hati itu, akan mencegah dari sangat membekasnya pada hati. Dan memandanganya kecil akan dosa itu, menimbulkan kejinakan hati kepadanya. Dan yang demikian itu, mengharuskan kesangatan bekas pada hati. dan hatilah yang dicari penyinarannya dengan taat. Dan yang diawasi, ialah: penghitaman hati dengan kejahatan-kejahatan. Dan karena itulah, tiada disiksa dengan apa yang berlaku padanya, dalam kelalaian. Karena hati itu tiada membekas dengan apa yang berlaku dalam kelalaian.
Dan disebutkan pada hadits: “Orang mu’min itu memandang dosanya seperti gunung di atasnya. Ia takut akan jatuh ke atas dirinya. Dan orang munafik itu memandang dosanya seperti seekor lalat, yang lalu di atas hidungnya. Lalu diusirnya”. Setengah mereka mengatakan, bahwa dosa yang tidak akan diampunkan, ialah: kata hamba Allah: “Mudah-mudahan setiap dosa yang aku kerjakan, ialah: seperti ini”. Sesungguhnya dosa itu besar pada hati seorang mu’min, ialah: karena diketahuinya akan keagungan Allah. Maka apabila ia memandang kepada besarnya orang yang berbuat maksiat kepada Allah, niscaya ia memandang yang kecil itu besar. Dan Allah Ta’ala telah mewahyukan kepada sebahagian para nabinya: “Janganlah engkau memandang kepada sedikitnya hadiah ! dan pandanglah kepada besarnya yang menganugerahkan pemberian itu! dan janganlah engkau memandang kepada kecilnya kesalahan ! dan pandanglah kepada kebesaran siapa yang engkau hadapi dengan kesalahan itu !”.
Dengan ibarat ini, setengah orang-orang ‘arifin mengatakan, bahwa: tiada dosa kecil, akan tetapi setiap yang menyalahi, maka itu dosa besar. Seperti itu juga, sebahagian para sahabat ra mengatakan kepada orang-orang tabi’in (para pengikut sahabat): “Sesungguhnya kamu mengerjakan amal-perbuatan, dimana pada matamu itu lebih halus dari rambut. Akan tetapi, kami pada masa Rasulullah saw menghitung nya sebahagian dari yang membinasakan”. Karena ilmu mengenal Allah Ta’ala para sahabat dengan keagungan Allah itu lebih sempurna. Maka dosa-dosa kecil pada mereka, dikaitkan kepada keagungan Allah Ta’ala itu, niscaya termasuk sebahagian dosa besar. Dengan sebab inilah, menjadi besar pada orang yang berilmu, apa yang tidak besar pada orang yang bodoh. Dan terlewat pada orang awam, hal-hal yang tidak akan terlewat yang seperti itu, pada orang yang ‘arif. Karena dosa dan penyalahan itu, menjadi besar menurut kadar pengenalan orang yang berbuat yang menyalahi tersebut. Di antara sebab-sebab itu, ialah: gembira dengan dosa kecil, senang dan merasa bangga dengan dosa kecil tersebut. Dan menyiapkan kemantapan dari yang demikian itu sebagai suatu nikmat. Dan lalai dari adanya itu menjadi sebab kesengsaraan. Maka manakala mengeras manisnya dosa kecil pada seorang hamba, niscaya dosa kecil itu menjadi besar. Dan membesarlah bekasnya pada penghitaman hatinya. Sehingga, sesungguhnya sebahagian dari orang-orang yang berbuat dosa itu, ada yang menerima pujian dengan dosa dan merasa bangga. Karena bersangatan gembiranya, dengan melakukan dosa tersebut. Seperti orang itu mengatakan: “Apakah anda tidak melihat bagaimana aku mengoyak-ngoyakkan kehormatannya ?”. Dan orang yang berdebat mengatakan dalam perdebatannya: “Apakah engkau tidak melihat, bagaimana aku mengejekkannya ? bagaimana aku menyebutkan keburukan-keburukan nya, sehingga aku memalukannya ? bagaimana aku memandang enteng kepadanya ? dan bagaimana aku kacaukan perkataan terhadapnya ?”. Orang yang bermu’amalah (perniagaan) melakukan perhubungan dalam perniagaan mengatakan: “Apakah anda tidak melihat, bagaimana aku melakukan barang palsu kepadanya ? bagaimana aku menipunya ? bagaimana aku melakukan tipu daya pada harta ? bagaimana aku membuatnya menjadi goblok ?”. Maka contoh tadi dan yang serupa dengan itu, dosa-dosa kecil menjadi dosa besar. Dosa-dosa itu sesungguhnya membinasakan. Dan apabila didorongkan hamba kepadanya dan setan menang pada membawanya kepada dosa itu, maka seyogyalah dia itu berada dalam malapetaka dan kesedihan, disebabkan menangnya musuh atas dirinya. Dan disebabkan jauhnya daripada Allah Ta’ala.
Maka orang sakit yang merasa gembira dengan pecah cangkirnya, yang di dalamnya ada obat, sehingga ia merasa terlepas dari kepedihan meminumnya, niscaya tidak ada harapan akan sembuhnya. Di antara sebab-sebab itu, ia memandang enteng, dengan ditutupkan oleh Allah kekurangannya, kesantunan Allah kepadanya dan ditangguhkan oleh Allah akan dirinya. Ia tidak tahu, bahwa Allah menangguhkan itu, adalah sebagai kutukan, supaya bertambah dengan ketangguhan tersebut, sebagai dosa. Lalu ia menyangka, bahwa ketetapannya dalam perbuatan-perbuatan maksiat, adalah pertolongan dari Allah Ta’ala. Maka yang demikian itu, karena ia merasa aman dari rencana Allah. Dan bodohnya dengan tempat-tempat terperdaya, pada jalan Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Mereka mengatakan dalam hati mereka: mengapa Allah tidak mengazabkan kita karena perkataan kita itu ? cukuplah untuk mereka neraka jahannam, mereka masuk kesitu dan itulah tempat yang amat buruk !”. S58 Al Mujaadalah ayat8. Di antara sebab-sebab itu, bahwa ia mengerjakan dosa itu dan dilahirkan nya, dengan menyebutkannya sesudah dikerjakannya. Atau dikerjakannya pada tempat yang dapat disaksikan orang lain. Maka yang demikian itu sesungguhnya penganiayaan daripadanya kepada yang ditutupkan oleh Allah, yang telah diturunkanNya tirai itu di atasnya. Dan menggerakkan kepada kegemaran kejahatan pada siapa yang diperdengarkannya akan dosanya. Atau dipersaksikan akan perbuatannya. Maka kedua macam ini, adalah penganiayaan yang bercampur kepada penganiayaannya. Maka beratlah penganiayaan itu dengan demikian. Jikalau bertambahlah kepada yang demikian itu, penggemaran kepada orang lain padanya, dan membawa orang lain kepadanya dan menyiapkan sebab-sebab bagi yang demikian, niscaya jadilah itu penganiayaan ke-4. Dan menjadi kejilah hal yang demikian. Dan pada hadits, disebutkan: “Setiap manusia itu dimaafkan, kecuali orang-orang yang mengatakan dengan suara keras. Salah seorang mereka tidur (bermalam) di atas dosa, yang telah ditutupkan oleh Allah. Lalu pada pagi hari, ia menyingkapkan yang ditutupkan Allah itu dan ia memperkatakan tentang dosanya”. Fahamilah ini ! karena di antara sifat-sifat Allah dan nikmatNya, ialah: melahirkan (menampakkan) yang bagus dan menutupkan yang keji. Dan IA tidak merusakkan yang tertutup itu. Maka melahirkannya (menampakkannya) adalah kufur bagi nikmat tersebut. Setengah mereka mengatakan: “Janganlah engkau berbuat dosa ! kalau telah terjadi dan tak dapat dielakkan, maka janganlah engkau menggalak kan orang lain kepadanya. Maka engkau menjadi berbuat dua dosa”. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang munafik yang laki-laki dan orang-orang yang munafik perempuan, satu dengan yang lain sebangsa (sama). Mereka menyuruh membuat yang salah dan melarang membuat yang baik”. S 9 At Taubah ayat 67. Setengah orang salaf (orang-orang terdahulu) mengatakan: “Tiadalah manusia membinasakan kehormatan saudaranya yang lebih besar, daripada menolongnya kepada perbuatan maksiat. Kemudian dipermudahkannya perbuatan maksiat tersebut kepada saudaranya itu”. Di antara sebab-sebab itu, bahwa yang berbuat dosa itu adalah orang yang berilmu (orang ‘alim), yang diikuti orang. Maka apabila diperbuatnya, dimana dilihat orang yang demikian itu daripadanya, niscaya besarlah dosanya. Seperti: orang ‘alim itu memakai sutera, mengendarai kendaraannya yang beremas, mengambil harta syubhat (yang diragukan halalnya) dari harta raja-raja, datangnya kepada raja-raja, pulang-perginya kepada raja-raja, menolong raja-raja itu dengan membiarkan perbuatan munkar dikerjakannya, melancarkan lidah memperkatakan kehormatan orang, melampaui batas dengan lidah pada perdebatan dan maksudnya memandang rendah orang itu, menyibukkan diri dengan ilmu, yang maksudnya, ialah kemegahan, seperti bertengkar dan berdebat. Maka semua yang tersebut itu, adalah dosa, yang akan dituruti orang berilmu itu di atas dosa-dosa tersebut. Maka matilah orang berilmu itu dan tinggallah kejahatannya beterbangan di alam ini, dalam masa yang panjang. Maka amat baiklah bagi orang, yang apabila ia mati, lalu matilah dosa-dosanya bersamanya.
Pada hadits disebutkan: “Barangsiapa membuat suatu sunnah yang jahat, maka atas dirinya sendiri dosanya dan dosa orang yang mengerjakan sunnah tersebut. Tiada akan kurang dari dosa mereka sedikitpun”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Kami tuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas peninggalan mereka”. S 36 Ya Sin ayat 12. Bekas-bekas itu, ialah: apa yang menyambung dari perbuatan-perbuatan, sesudah selesainya perbuatan itu dan yang mengerjakannya. Ibnu Abbas ra mengatakan: “Celaka bagi orang berilmu dari pengikut-pengikutnya. Ia tergelincir sesekali, lalu ia kembali dari kegelincirannya itu. Dan manusia memikul kegelinciran tersebut, lalu mereka berjalan dengan kegelinciran itu ke segala pelosok”. Sebahagian mereka mengatakan: “Contoh kegelinciran orang berilmu itu, adalah seperti pecahnya kapal yang akan tenggelam dan akan tenggelamlah isi-isinya”.
Dalam cerita-cerita Bani Israel (Yahudi), disebutkan, bahwa: seorang berilmu adalah menyesatkan manusia dengan perbuatan bid’ah (yang diada-adakan). Kemudian, datang kepadanya taubat, lalu ia berbuat untuk memperbaikinya dirinya dalam masa yang lama. Maka diwahyukan oleh Allah Ta’ala kepada nabi mereka: “Katakanlah kepada orang berilmu itu! sesungguhnya dosa engkau, jikalau ada yang menyangkut diantara Aku dan engkau, niscaya Aku mengampunkan nya karena engkau(nabi). Akan tetapi, bagaimana mengenai orang yang engkau sesatkan dari hamba-hambaKU ? Maka Aku masukkan mereka ke dalam neraka”. Maka dengan ini, jelaslah, bahwa urusan ulama itu membahayakan. Atas pundak mereka 2 tugas: pertama: meninggalkan dosa. Kedua: menyembunyikan dosa itu. Sebagaimana dosa-dosa mereka berlipat-ganda diatas dosa-dosa itu, maka begitu pula berlipat ganda pahala mereka diatas perbuatan-perbuatan kebaikan, apabila mereka dituruti orang banyak.
Apabila orang berilmu (‘alim) itu meninggalkan berbuat kecantikan dan kecenderungan kepada dunia dan ia merasa cukup dari dunia itu dengan sedikit saja, dari makanan dengan makanan penting saja, dari pakaian dengan kain tua saja, lalu ia diikuti orang dan para alim ulama dan orang awam mengikutinya, maka adalah baginya seperti pahala mereka. Dan jikalau orang berilmu itu cenderung kepada berbuat kecantikan, niscaya cenderunglah tabiat (karakter) orang-orang di bawahnya, kepada menyerupainya. Dan mereka itu tidak sanggup atas berbuat kecantikan itu, selain dengan berkhidmat (melayani) sultan-sultan (penguasa-penguasa) dan mengumpulkan harta benda haram. Dan itulah yang menjadi sebab pada semua yang demikian. Maka gerak-gerik para ulama pada dua perihal: tambah dan kurang itu, berlipat-gandalah bekas-bekasnya. Adakalanya: dengan untung dan adakalanya dengan rugi. Dan kadar ini mencukupilah kiranya pada penguraian-penguraian dosa, yang taubat itu, ialah: taubat daripadanya.
SENDI KETIGA: tentang kesempurnaan taubat, syarat-syaratnya dan kekekalannya sampai akhir umur.
Telah kami sebutkan dahulu, bahwa taubat itu, adalah ibarat dari penyesalan yang mewarisi cita-cita dan maksud. Dan penyesalan itu diwariskan oleh ilmu, dengan adanya perbuatan maksiat itu mendindingi antara dia dan yang dicintainya. Dan masing-masing dari ilmu, penyesalan dan cinta-cinta itu, mempunyai kekekalan (berjalan terus) dan kesempurnaan. Dan untuk kesempurnaannya itu ada tanda. Dan untuk kekekalannya itu, mempunyai syarat-syarat. Dari itu maka tidak boleh tidak daripada penjelasan syarat-syarat tersebut.
Adapun ilmu, maka memandang kepadanya adalah memandang tentang sebab taubat dan akan datang penjelasannya. Dan penyesalan, ialah: perasaan kesakitan hati ketika merasainya, dengan hilangnya yang dicintai. Dan tandanya, ialah: berkepanjangan keluhan, kegundahan hati, ketetesan air mata, berkepanjangan menangis dan berpikir. Orang yang merasakan sebagai siksaan yang menimpa kepada anaknya atau kepada sebahagian orang-orang yang dimuliakannya, niscaya lamalah atas dirinya musibah tersebut dan tangisnya. Dan manakah lagi yang mulia, yang lebih mulia kepadanya daripada dirinya sendiri? dan manakah siksaan yang lebih keras dari neraka ? dan manakah sesuatu yang lebih menunjukkan kepada turunnya siksaan, daripada perbuatan-perbuatan maksiat ? dan manakah yang memberitahukan, yang lebih benar daripada Allah dan rasulNya ? kalau diceritakan kepadanya oleh seorang insan, yang dinamakan: dokter, bahwa penyakit anaknya yang sakit itu, tiada akan sembuh dan anak itu akan mati, niscaya lamalah kegundahannya dari dalam ketika itu juga. Dan tidaklah anaknya itu, yang lebih mulia dari dirinya sendiri. Dan tidaklah dokter itu yang lebih tahu dan yang lebih benar daripada Allah dan RasulNya. Dan tidaklah mati itu, yang lebih berat dari neraka. Dan tidaklah sakit itu yang lebih menunjukkan kepada mati, daripada perbuatan-perbuatan maksiat, kepada kemarahan Allah Ta’ala dan yang membawanya ke neraka. Maka kepedihan penyesalan itu, manakala adalah lebih berat, niscaya untuk penutupan dosa dengan penyesalan tersebut, adalah lebih besar harapan. Dan tanda benarnya penyesalan itu, ialah: kehalusan hati dan berderainya air mata. Pada hadits disebutkan: “Duduk-duduklah bersama orang-orang yang bertaubat. Sesungguhnya mereka itu mempunyai hati yang lebih halus (halus perasaannya)”. Di antara tanda kehalusan hati itu, ialah: bahwa melekatnya kepahitan dosa-dosa itu dalam hatinya, sebagai ganti dari kemanisannya. Lalu bergantilah kecenderungan hati, dengan kebencian. Dan kegemaran, dengan keliaran hati daripadanya.
Dan cerita-cerita kaum Bani Israil (kaum Yahudi) disebutkan, bahwa Allah SWT berfirman kepada sebahagian nabi-nabiNya, dimana nabi itu telah bermohon kepada Allah Ta’ala, untuk diterima taubat seorang hamba, yang telah bersungguh-sungguh bertahun-tahun beribadah. Dan ia tidak melihat akan diterima taubatnya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Demi kemuliaanKu dan keagunganKu ! jikalau kiranya bersyafaat isi langit dan bumi untuk hamba itu, niscaya tidak juga AKU menerima taubatnya. Dan kemanisan dosa yang ia bertaubat daripadanya, ialah: dalam hatinya”. Kalau anda bertanya, bahwa dosa itu ialah amal perbuatan, yang disukai menurut tabiat (naluri). Maka bagaimana memperoleh kepahitannya ? maka aku menjawab, bahwa barangsiapa meminum air madu, yang ada di dalamnya racun dan tidak diketahuinya dengan perasaan lidah dan ia merasa enak dengan madu tersebut, kemudian ia sakit dan lama sakitnya dan kepedihannya dan berguguran rambutnya dan lumpuh anggota badannya, maka apabila diberikan lagi kepadanya air madu yang di dalamnya seperti racun itu dan ia dalam keadaan sangat lapar dan ingin kepada kemanisan, maka adakah dirinya lari dari madu tersebut atau tidak ? kalau anda menjawab: tidak, maka itu adalah perlawanan terhadap yang disaksikan dan yang mudah diketahui. Akan tetapi, kadang-kadang dirinya lari juga dari air madu, yang tidak ada di dalamnya racun. Karena serupa dengan yang ada racun. Maka didapatilah, bahwa orang yang bertaubat akan pahitnya dosa, seperti itu juga adanya. Dan yang demikian itu, karena diketahuinya bahwa setiap dosa, maka rasanya itu, adalah rasa air madu. Dan kerjanya adalah kerja racun. Dan tidaklah shah taubat dan tidak benar, kecuali dengan iman yang seperti ini. Tatkala sulitnya iman yang seperti ini, niscaya sulitlah taubat dan orang-orang yang taubat. Maka tidak ada yang anda lihat, selain orang yang berpaling daripada Allah Ta’ala. Karena memandang enteng dengan dosa, berkekalan di atas dosa-dosa itu. Maka inlah syaratnya kesempurnaan penyesalan. Dan seyogyalah bahwa penyesalan itu berkekalan sampai mati. Dan seyogyalah ia memperoleh akan kepahitan ini pada semua dosa, walaupun belum pernah dikerjakannya sebelumnya. Sebagaimana didapati oleh orang yang meminum racun dalam air madu, akan lari hatinya dari air dingin, manakala diketahuinya, bahwa dalam air dingin tersebut, ada racun seperti itu. Karena melarat itu tidaklah dari air madu, akan tetapi dari apa yang di dalam air madu itu. Dan tidaklah melaratnya orang yang bertaubat dari curi dan zina, dari segi bahwa itu curi dan zina. Akan tetapi dari segi bahwa yang demikian itu menyalahi perintah Allah Ta’ala. Dan yang demikian itu berlaku pada tiap-tiap dosa.
Adapun maksud yang tergerak daripadanya, ialah: kehendak memperoleh kembali yang telah terlanjur itu. Maka bagi yang demikian itu ada hubungannya dengan masa sekarang. Yaitu, yang mengwajibkan meninggalkan setiap yang terlarang. Yaitu: yang tiada begitu jelas baginya. Dan melaksanakan setiap yang fardlu (wajib), ialah: dihadapkan kepadanya pada sekarang juga. Dan mempunyai hubungan pula dengan masa yang lalu. Yaitu: memperoleh kembali apa yang telah telanjur. Dan juga hubungan dengan masa mendatang. Yaitu: berkekalan taat dan berkekalan meninggalkan maksiat sampai mati.
Syarat shahnya taubat pada yang menyangkut dengan masa yang lampau, ialah: bahwa ia mengembalikan pikirannya kepada hari pertama ia dewasa dengan umur atau dengan mimpi (ihtilam). Dan ia memeriksa dari apa yang telah lalu dari umurnya, tahun ke tahun, bulan ke bulan, hari ke hari dan nafas ke nafas. Dan ia memperhatikan kepada perbuatan-perbuatan taat, apa yang ia teledor daripadanya. Dan kepada perbuatan-perbuatan maksiat, apa yang telah diperbuatnya dari perbuatan maksiat itu. Kalau ia meninggalkan shalat atau ia mengerjakan shalat dengan kain bernajis atau ia mengerjakan shalat dengan niat yang tidak betul, karena kebodohannya dengan syarat niat, maka diqodokannya shalat itu dari akhirnya shalat yang dikerjakannya tadi. Kalau ia ragu tentang bilangan apa yang telah luput dari shalat itu, niscaya dihitungnya dari masa kedewasaannya. Dan ditinggalkannya kadar yang ia yakin, bahwa itu telah dilaksanakannya. Dan diqodokannya yang sisanya. Dan boleh ia mengambil yang demikian itu, dengan keras dugaannya. Dan ia sampai kepada yang demikian, di atas jalan penyelidikan dan berfikir sungguh‑sungguh (ijtihad).
Adapun puasa, maka kalau ditinggalkannya dalam perjalanan (bermusafir) dan tidak diqodokannya atau ia buka puasa itu dengan sengaja atau ia lupa niat di malam hari dan tidak diqodokannya, maka hendaknya diketahuinya semua yang tersebut itu dengan penyelidikan dan berfikir sungguh‑sungguh. Dan ia berbuat dengan mengqodokannya.
Adapun zakat, maka dihitungnya semua hartanya dan bilangan tahun, dari permulaan dimilikinya harta itu. Tidak dari masa ia dewasa. Karena zakat itu sesungguhnya wajib pada harta anak kecil. Maka dibayarnya apa yang diketahuinya dengan keras dugaan, bahwa itu dalam tanggungan nya. Kalau dibayarnya, tidak di atas cara yang sesuai dengan mazhabnya, seperti: tidak diserahkannya kepada 8 jenis atau ia mengeluarkan ganti, sedang dia atas mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i ra, maka ia qodo semua yang demikian. Karena yang demikian itu, tidak sekali-kali memadai. Hitungan (hisab) zakat dan mengetahui yang demikian itu, panjang uraiannya. Dan memerlukan padanya kepada penelitian yang jernih. Dan harus ia menanyakan cara mengeluarkan zakat itu pada para ulama.
Adapun haji, maka kalau ia telah mempunyai kesanggupan pada sebahagian tahun-tahun yang lalu dan tidak sepakat baginya untuk keluar pergi haji dan sekarang ia telah bangkrut, maka haruslah atasnya keluar ke haji itu. Kalau ia tidak mampu serta kebangkrutan itu, maka haruslah ia berusaha dari harta halal, kadar bekal yang mencukupi. Kalau ia tidak mempunyai usaha dan tidak mempunyai harta, maka harus ia meminta kepada manusia, untuk diserahkan kepadanya dari  zakat atau sedekah-sedekah, apa yang dapat ia melakukan haji itu. Karena, jikalau ia mati sebelum haji, niscaya ia mati dalam keadaan maksiat. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mati dan belum naik haji, maka hendaklah ia mati, kalau dikehendakinya Yahudi. Dan kalau dikehendakinya Nasrani”.
Kelemahan yang datang sesudah mampu, tidaklah gugur haji daripadanya. Maka ini adalah jalan pemeriksaannya dari perbuatan-perbuatan taat dan memperoleh nya kembali. Adapun perbuatan-perbuatan maksiat, maka wajib ia memeriksakannya dari permulaan dewasanya, dari pendengarannya, penglihatan nya, lidahnya, perutnya, tangannya, kakinya, kemaluannya dan anggota-anggota badannya yang lain. Kemudian, ia memperhatikan pada semua harinya dan jamnya. Dan ia uraikan pada dirinya, dewan perbuatan maksiatnya, sehingga ia melihat kepada semua perbuatan maksiat, dosa kecilnya dan dosa besarnya. Kemudian, ia memandang pada yang demikian itu. Maka yang ada dari yang demikian itu, di antaranya dan Allah Ta’ala, dari segi yang tiada menyangkut dengan perbuatan kezaliman kepada hamba-hamba Allah, seperti memandang kepada wanita yang bukan mahram, duduk dalam masjid serta berhadats janabah, memegang Mash-haf (Alquran), tanpa wudlu’, i’tiqad (keyakinan) bid’ah (yang diada-adakan), minum khamar, mendengar yang sia-sia dll dari itu, dari apa yang tidak menyangkut dengan perbuatan kezaliman kepada hamba-hamba Allah. Maka taubat dari yang demikian itu, ialah: dengan penyesalan dan bersedih hati atas perbuatan maksiat itu. Dan dengan menghitung kadarnya dari segi besar dan waktu. Dan dicari bagi tiap-tiap perbuatan maksiat, daripadanya yang baik, yang bersesuaian dengan maksud tersebut. Maka ia kerjakan dari perbuatan-perbuatan kebaikan, menurut kadar perbuatan-perbuatan kejahatan itu, karena mengambil dari sabda Nabi saw: “Bertaqwalah kepada Allah, di mana saja engkau berada. Dan iringilah kejahatan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskan kejahatan”. Akan tetapi juga dari firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik menghilangkan perbuatan-perbuatan buruk”. S 11 Hud ayat 114. Maka mendengar yang sia-sia itu ditutup (hilang dosanya) dengan mendengar pembacaan Alquran dan dengan duduk pada majlis dzikir (tempat berdzikir kepada Allah Ta’ala). Duduk dalam masjid dengan janabah (hadats besar) ditutup dengan i’tikaf dalam masjid serta melaksanakan ibadah. Memegang Mash-haf (Alquran) dengan berhadats ditutup dengan memuliakan Mash-haf, banyak membaca Alquran dari Mash-haf dan banyak menciumnya. Dan dengan menuliskan Alquran dan mewakafkannya. Minum khamar ditutup dengan menyedekahkan minuman halal, yang lebih baik dan yang lebih disukainya. Menghitung semua perbuatan maksiat itu tidak mungkin. Hanya dimaksudkan, ialah menempuh jalan yang berlawanan.
Penyakit itu diobati dengan lawannya. Maka setiap kegelapan yang meninggi pada hati dengan perbuatan maksiat, tiada akan dihapuskan, selain oleh nur (cahaya) yang meninggi padanya dengan perbuatan baik, yang melawani perbuatan maksiat tersebut. Yang berlawan-lawanan itu, ialah: yang bersesuaian. Maka karena itulah, seyogyanya bahwa setiap kejahatan dihapuskan dengan kebaikan dari jenisnya. Akan tetapi, yang berlawanan dengan dia. Maka putih itu dihilangkan dengan hitam. Tidak dengan panas dan dingin. Keberangsuran dan pentahkikan ini adalah: termasuk yang halus pada jalan penghapusan itu. Maka harapan padanya itu lebih benar dan kepercayaan kepadanya lebih besar, daripada selalu membiasakan kepada satu macam dari ibadah-ibadah. Walaupun yang demikian itu juga membekas pada penghapusan. Maka inilah hukum diantara hamba itu dan Allah Ta’ala. Dan menunjukkan, bahwa sesuatu itu ditutup (hilang dosanya) dengan lawannya. Bahwa mencintai dunia itu, adalah kepala setiap kesalahan. Dan bekas mengikuti dunia dalam hati itu, ialah: gembira dengan dunia dan sayang kepada dunia. Maka tak dapat tidak, bahwa setiap hal yang menyakitkan, yang menimpa orang muslim, yang tidak kena hatinya dengan sebab tersebut dari dunia, niscaya itu adalah kafarat (penutup dosa) baginya. Karena hati itu tidak tetap dengan sukacita dan kegelapan dari kampung dukacita. Nabi saw bersabda: “Setengah dari dosa-dosa itu, ialah: dosa-dosa yang tidak akan ditutup, selain oleh dukacita”. Dan pada susunan kata yang lain, berbunyi: “Selain dukacita pada mencari kehidupan”. Pada hadits ‘Aisyah menyebutkan: “Apabila dosa hamba Allah itu banyak dan ia tidak mempunyai amalan yang akan menutupkannya (yang menjadi penutup bagi dosa itu), niscaya dimasukkan oleh Allah Ta’ala kepada hamba tadi kedukacitaan. Maka adalah kedukacitaan itu kaffarah (yang menutupkan) dosa-dosanya”. Dan dikatakan, bahwa dukacita yang dimasukkan ke dalam hati dan hamba itu tidak mengetahui, ialah: kegelapan dosa dan dukacita dengan dosa-dosa itu. Dan hati merasakan dengan berdiri waktu hisab amal dan huru hara pemandangan.
Kalau anda mengatakan, bahwa kedukacitaan manusia itu, biasanya menyangkut dengan harta, anak dan kemegahannya. Dan itu suatu kesalahan. Maka bagaimana itu menjadi penutup dosa ?. Ketahuilah kiranya, bahwa kecintaan itu suatu kesalahan dan tidak mempunyai kecintaan itu suatu penutup dosa. Dan jikalau ia bersenang-senang dengan yang tersebut itu, niscaya sempurnalah kesalahan.
Diriwayatkan, bahwa Jibril as masuk ke tempat Yusuf as dalam penjara. Lalu Yusuf as bertanya kepadanya: “Bagaimana aku tinggalkan orang tua yang malang itu ?”. Lalu Jibril as menjawab: “Ia gundah hati kepada engkau, sebab gundahnya hati 100 kehilangan anak”. Yusuf as lalu bertanya: “Apakah yang diperolehnya di sisi Allah ?”. Jibril as menjawab: “Pahala 100 orang syahid”. Jadi, dukacita juga menutupkan (menjadi penutup dosa) bagi hak-hak Allah. Maka inilah hukum, apa yang di antaranya dan Allah Ta’ala !
Adapun perbuatan kezaliman terhadap hamba-hamba Allah, maka padanya juga maksiat dan pelanggaran atas hak Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala melarang juga daripada perbuatan zalim terhadap hamba. Maka apa yang menyangkut daripadanya dengan hak Allah Ta’ala, niscaya dapat diperolehnya kembali, dengan penyesalan dan pengeluhan. Dan meninggalkan yang seperti itu pada masa mendatang dan berbuat dengan kebaikan-kebaikan yang menjadi lawan dari kejahatan-kejahatan itu. Maka seimbanglah perbuatan menyakitkan manusia, dengan berbuat kebaikan kepadanya. Perampasan harta mereka ditutup dengan bersedekah, dengan miliknya yang halal. Mengambil kehormatan mereka dengan umpatan dan celaan, ditutup dengan pujian kepada ahli agama dan melahirkan apa yang dikenal dari perkara-perkara kebajikan, dari teman-teman dan orang-orang yang seperti ahli agama itu. Membunuh jiwa orang ditutup dengan memerdekakan budak. Karena yang demikian itu menghidupkan kembali. Karena hamba itu tidak ada (mafqud) bagi dirinya dan ada (maujud) bagi tuannya. Dan memerdekakan itu adalah pengadaan kembali, di mana manusia tidak mampu yang lebih banyak dari itu. Maka seimbanglah peniadaan dengan pengadaan. Dan dengan ini, anda dapat mengetahui, bahwa apa yang telah kami sebutkan dahulu, dari perjalanan jalan yang berlawanan pada penutupan dosa dan penghapusannya, dapat dipersaksikan pada agama, di mana penutupan dosa pembunuh itu, dengan memerdekakan budak. Kemudian, apabila diperbuat yang demikian seluruhnya, niscaya tidak melepaskannya dan tidak memadai, selama ia tidak keluar dari perbuatan zalim kepada hamba-hamba Allah. Perbuatan zalim kepada hamba-hamba itu, adakalanya pada diri atau harta atau kehormatan atau hati. Aku maksudkan dengan yang demikian, ialah: menyakiti semata-mata.
Adapun diri, maka kalau berlaku atasnya pembunuh karena tersalah, maka taubatnya, ialah: dengan menyerahkan diyat (denda dengan harta) dan sampainya diyat itu kepada yang berhak menerimanya. Adakalanya dari yang membunuh atau dari keluarganya. Dan itu dalam tanggungannya, sebelum sampai kepada yang berhak. Kalau pembunuhan itu karena sengaja, yang mengwajibkan qishash (ambil bela), maka taubatnya, ialah dengan qishash. Kalau pembunuh itu tidak dikenal, maka harus ia memperkenalkan diri pada wali yang terbunuh. Dan wali itu akan menghukumnya pada nyawanya. Kalau ia mau, ia dapat memaafkannya. Dan kalau ia mau, ia membunuhnya. Dan tidak gugur tanggungannya, kecuali dengan yang tersebut itu. Dan tidak boleh baginya menyembunyikan. Dan tidaklah ini, seperti kalau ia berzina atau meminum khamar atau mencuri atau merampok di jalanan atau memperbuat yang mewajibkan atasnya hukuman Allah Ta’ala. Maka yang tersebut ini, tidak harus ia dalam bertaubat, bahwa membuka kekurangan dirinya dan merusakkan apa yang tertutup dan menuntut dari wali si terbunuh menyempurnakan hak Allah Ta’ala. Bahkan harus atasnya mencari penutupan dengan ditutup oleh Allah Ta’ala. Dan ia menegakkan hukuman Allah atas dirinya, dengan bermacam-macam bersungguh‑sungguh dan penyiksaan. Maka kemaafan pada semata hak Allah Ta’ala itu dekat kepada orang-orang yang taubat, yang menyesal. Maka kalau urusan ini disampaikan kepada wali si terbunuh, sehingga ia menegakkan hukuman atas orang itu, nicaya jatuhlah hukuman ini pada tempatnya. Dan adalah taubatnya itu taubat yang hukuman, yang diterima pada sisi Allah Ta’ala, dengan dalil apa yang diriwayatkan: bahwa Ma’iz bin Malik datang kepada Rasulullah saw, seraya berkata: “Wahai Rasulullah ! aku sesungguhnya telah berbuat zalim kepada diriku sendiri dan aku berzina. Dan aku sesungguhnya bermaksud agar engkau mensucikan aku”. Rasulullah saw lalu menolak permintaan itu. Pada keesokan harinya, ia datang lagi kepada Rasulullah saw, seraya berkata: “Wahai Rasulullah ! aku sesungguhnya telah berbuat zina”. Rasulullah saw lalu menolak kali yang kedua itu. Tatkala Ma’iz bin Malik tadi datang pada kali ketiga, lalu Rasulullah saw menyuruhnya menggali sebuah lobang baginya. Kemudian, ia disuruh menyiapkan diri, lalu ia dijatuhkan hukuman rajam (dihukum dengan dilemparkan batu, sampai mati).
Manusia pada yang demikian itu menjadi 2 golongan. Ada yang berkata, mengatakan: “Telah binasa orang itu. Dan dia telah diliputi oleh kesalahannya”. Dan yang lain mengatakan: “Tidaklah taubat, yang lebih benar dari taubat orang itu”. Rasulullah saw lalu bersabda: “Orang itu telah bertaubat. Jikalau taubat itu dibagi-bagi di antara umat, niscaya meluasi mereka itu”.
Al-Ghamidiyah datang kepada Rasulullah saw, seraya berkata: “Wahai Rasulullah ! aku sesungguhnya telah berzina. Maka sucikanlah aku !”. Rasulullah lalu menolak permintaan wanita tersebut. Ketika pada keesokan harinya, wanita itu berkata lagi: “Wahai Rasulullah ! mengapa engkau menolak permintaanku? kiranya engkau mau membulak-balikkan aku, sebagaimana engkau dahulu membulak-balikkan Ma’iz ? demi Allah, sesungguhnya aku sudah hamil”. Rasulullah saw lalu menjawab: “Adapun sekarang, maka pergilah sehingga engkau sudah melahirkan. Tatkala wanita tersebut sudah melahirkan, lalu ia datang lagi dengan membawa bayinya dalam kain buruk, seraya ia mengatakan: “Inilah anak yang telah aku lahirkan”. Rasulullah saw lalu menjawab: “Pergilah, maka susuilah dia, sehingga nanti, engkau putuskan penyusuannya !”. Tatkala telah diputuskannya penyusuan bayi itu, lalu ia datang lagi dengan membawa anak kecil itu. Dan pada tangannya sekerat roti, seraya ia berkata: “Wahai Nabi Allah ! aku sudah putuskan penyusuan anak ini. Dan ia sudah memakan makanan”. Rasulullah saw lalu menyerahkan anak kecil itu kepada seorang laki-laki dari kaum muslimin. Kemudian, beliau menyuruh wanita itu untuk bersiap menerima hukuman. Lalu digali untuk wanita itu tanah, dalamnya sampai dadanya. Dan Rasulullah saw menyuruh manusia, lalu mereka merajamkannya (melemparkannya dengan batu, sampai ia mati). Lalu datang Khalid bin Walid membawa sebutir batu. Ia melemparkan kepala wanita itu dengan batu tersebut. Maka terperciklah darah atas muka Khalid. Lalu Khalid memaki wanita tersebut. Tatkala Rasulullah saw mendengar makian Khalid kepada wanita itu, maka beliau bersabda: “Hati-hati, hai Khalid ! demi Allah yang diriku di TanganNya ! wanita itu telah bertaubat. Jikalau sekiranya orang yang mengutip cukai barang, bertaubat seperti wanita itu, niscaya diampunkan dosanya”. Kemudian Nabi saw menyuruh disiapkan, lalu dilakukan shalat janazah atas wanita itu. Dan dikebumikan.
Adapun qishash (ambil bela atas pembunuhan) dan hadd qadzaf (hukuman karena menuduh orang berzina), maka tidak boleh tidak, daripada dihalalkan oleh yang punya hak pada yang demikian. Kalau yang diambil itu harta, yang diambilnya dengan merampas atau dengan khianat (melanggar kepercayaan) atau penipuan pada jual beli, dengan semacam mencampur-adukkan barang, seperti: melakukan penjualan barang palsu atau menutup kekurangan pada barang yang dijual atau mengurangi ongkos orang yang mencari upah atau tidak memberikan upahnya, maka semua yang demikian itu, harus diperiksa. Tidak dari sejak batas kedewasaannya, akan tetapi dari permulaan masa adanya. Karena apa yang wajib pada harta anak kecil, maka wajib atas anak kecil itu mengeluarkannya sesudah ia dewasa, kalau walinya teledor pada yang demikian itu. Kalau tidak diperbuatnya, niscaya dia itu zalim yang dituntut atas kezalimannya. Karena sama saja tentang hak-hak kehartaan, diantara anak kecil dan orang dewasa. Dan hendaklah ia memperhitungkan dirinya di atas biji-bijian dan mutiara, dari permulaan dari hidupnya, sampai kepada hari taubatnya, sebelum ia diperhitungkan (dihisab) pada hari kiamat. Dan hendaklah ia berdebat sendiri, sebelum dia diperdebatkan. Maka orang yang tidak memperhitungkan dirinya sendiri di dunia, niscaya lamalah di akhirat hisabnya (perhitungan amalnya). Maka kalau sudah ada hasil jumlahnya apa yang atas tanggungannya, dengan keras sangkaan dan semacam dari berfikir sungguh‑sungguh yang mungkin, maka hendaklah dituliskannya. Dan hendaklah dituliskannya nama-nama orang yang dianiayanya, seorang demi seorang. Dan hendaklah ia mengelilingi di sudut-sudut negeri dan hendaklah dicarinya mereka. Atau hendaklah dilunaskan hak-hak mereka. Dan hendaklah dimintanya kehalalan (kemaafan) dari mereka. Atau hendaklah dilunaskan hak-hak mereka. Taubat inilah yang sukar atas orang-orang yang berbuat zalim dan saudagar-saudagar. Karena mereka tidak sanggup mencari orang-orang yang pernah mereka bermu’amalah (berjual beli) dengan semua orang-orang itu. Dan tidak sanggup mencari para pewaris mereka. Akan tetapi, atas masing-masing orang yang berbuat zalim atau berniaga itu, bahwa ia berbuat dari yang demikian, apa yang disanggupinya. Kalau ia tidak sanggup (lemah), maka tidak tinggal baginya jalan, selain ia memperbanyak berbuat kebaikan. Sehingga kebajikan itu meluap banyaknya daripadanya pada hari kiamat. Lalu kebaikan-kebaikannya itu diambil dan diletakkan pada daun neraca orang-orang yang pernah dianiayanya.
Dan hendaklah banyaknya kebaikan itu, menurut kadar banyaknya kezalimannya. Maka sesungguhnya, jikalau tidak mencukupi kebaikannya untuk kezalimannya, niscaya diambil dari kejahatan orang-orang yang pernah dianiayanya. Maka ia binasa dengan kejahatan-kejahatan orang lain. Maka inilah jalan setiap orang yang bertaubat pada penolakan kezaliman. Dan ini mengharuskan tenggelamnya umur dalam kebaikan, jikalau panjanglah umur itu menurut lamanya masa kezaliman. Maka bagaimanakah kiranya yang demikian itu, yang termasuk tidak diketahui ? dan kadang-kadang ajal itu sangat dekat. Maka seyogyalah bahwa ia menyiapkan diri bagi kebaikan. Dan waktu itu sempit, lebih berat daripada ia menyiapkan dirinya dahulu pada perbuatan maksiat, dalam waktu yang lapang. Inilah hukum perbuatan-perbuatan zalim yang tetap dalam tanggungannya !
adapun harta-hartanya yang masih ada, maka hendaklah dikembalikannya kepada pemiliknya, apa yang diketahuinya dari pemilik yang tertentu. Dan apa yang tidak diketahuinya akan pemiliknya, maka haruslah ia bersedekah dengan harta tersebut. Kalau bercampur harta halal dengan harta haram, maka haruslah ia mengetahui kadar yang haram itu dengan berfikir sungguh‑sungguh. Dan ia bersedekah dengan kadar yang demikian, sebagaimana telah dahulu penguraiannya pada Kitab Halal dan Haram.
Adapun jinayah (penganiayaan) pada hati dengan memperkatakan hal orang, dengan yang menyakitinya atau yang memalukannya dengan umpatan, maka dituntut tiap-tiap orang yang berbuat demikian dengan lidahnya atau menyakitkan hati dengan sesuatu perbuatan dari perbuatan-perbuatannya dan hendaklah ia minta dimaafkan pada seorang demi seorang dari mereka. Dan siapa yang telah mati atau tidak dapat berjumpa (telah menghilang), maka habislah urusan dengan orang tersebut. Dan tidak dapat diperoleh kembali, selain dengan memperbanyakkan berbuat kebaikan. Supaya kebaikan itu dapat diambil daripadanya, sebagai ganti pada hari kiamat.
Adapun orang yang dapat dijumpainya dan orang itu memaafkannya dengan baik hati, maka yang demikian itu adalah yang menutupkan dosanya. Dan ia harus memberitahukan kepada orang itu, kadar penganiayaan nya dahulu dan dikemukakannya kepada orang tersebut. Maka meminta dimaafkan secara tidak jelas itu tidak mencukupi. Kadang-kadang, jikalau orang yang dianiayanya itu, tahu yang demikian dan banyaknya perbuatan yang melampaui batas terhadap dirinya, niscaya hatinya tidak mau dengan memaafkan. Dan disimpannya yang demikian itu pada hari kiamat, sebagai suatu simpanan yang akan diambilnya dari kebaikan-kebaikan orang yang berbuat kesalahan tadi. Atau orang itu menanggung dari kejahatan-kejahatannya. Kalau ada dalam jumlah penganiayaan nya atas orang lain, sesuatu, jikalau disebutkan dan diketahuinya, niscaya orang itu merasa sakit dengan mengetahuinya. Seperti: zinanya orang itu dengan budak wanitanya atau isterinya. Atau disebutkan dengan lidah salah satu kekurangan dari kekurangan-kekurangannya yang tersembunyi, yang sangat menyakitkannya, manakala diperkatakan dengan lidah. Maka yang demikian itu telah menyumbatkan kepadanya jalan meminta maaf. Maka tiada lagi baginya, selain ia meminta maaf, kemudian masih tinggal kezaliman itu. Lalu hendaklah ditampalkannya dengan kebaikan-kebaikan. Sebagaimana ia menampalkan akan perbuatan kezaliman terhadap orang yang sudah mati dan orang yang tidak dapat dijumpai (yang telah menghilang, yang tidak diketahui tempatnya).
Adapun menyebutkan dan memperkenalkan kekurangan orang, maka itu adalah kejahatan baru, yang wajib diminta penghalalan daripadanya. Dan manakala ia menyebutkan penganiayaannya dan diketahui oleh orang yang dianiayainya, lalu dirinya tidak mau meminta maaf, niscaya tinggallah kezaliman itu atas dirinya. Maka itu adalah haknya. Haruslah ia berkata dengan lemah lembut dan berusaha pada memenuhi kepentingan dan maksud-maksudnya. Ia melahirkan kecintaan dan kesayangannya kepada orang yang dianiayanya itu dengan sesuatu yang akan mencenderungkan hatinnya kepadanya.
 Sesungguhnya manusia itu adalah budak perbuatan kebaikan. Dan setiap orang yang lari hatinya, disebabkan perbuatan jahat, niscaya hatinya akan cenderung dengan perbuatan baik. Maka apabila hatinya telah baik dengan banyak kasih sayang dan lemah lembutnya, niscaya dirinya membolehkan untuk memberi maaf. Maka jikalau ia enggan juga, selain terus-menerus tidak mau memaafkan, maka adalah kelemah-lembutan dan keminta maafannya kepada orang tersebut, termasuk dalam jumlah perbuatan baiknya, yang mungkin akan menampalkan, pada hari kiamat akan penganiayaannya dan hendaklah kadar usahanya pada kesukaan dan kegembiraan hatinya dengan kasih sayang dan lemah lembutnya itu, seperti kadar usahanya pada menyakitinya. Sehingga, apabila salah satu daripada keduanya melawan akan yang lain atau bertambah atas yang lain, niscaya diambil yang demikian itu, sebagai ganti daripadanya pada hari kiamat dengan hukum Allah atasnya. Seperti orang yang menghilangkan harta orang lain di dunia, lalu ia datangkan dengan harta yang seperti harta tersebut, lalu orang yang punya harta itu tidak mau menerimanya dan tidak mau melepaskannya, maka hakim akan menetapkan (memutuskan) atas orang itu dengan menerimanya. Ia mau atau tidak mau. Maka seperti demikian juga, akan diputuskan pada dataran tinggi hari kiamat, oleh Maha hakim dari segala hakim dan Maha adil dari segala yang adil. Dan pada hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dari Kitab Ash-Shahihain (shahih Al Bukhari dan shahih Muslim) dari Abi SA’id Al Khudri, bahwa: Nabi Allah saw bersabda: “Adakah pada orang-orang sebelum kamu, seorang laki-laki, yang telah membunuh 99 orang. Lalu ia menanyakan tentang orang yang terpandai dari penduduk bumi. Maka ia ditunjukkan kepada seorang pendeta. Lalu ia datang kepada pendeta itu, seraya mengatakan, bahwa ia telah membunuh 99 orang. Adakah baginya jalan bagi taubat ? pendeta itu menjawab: “Tidak !”. Lalu dibunuhnya pendeta itu. Maka sempurnalah dengan yang demikian itu, 100 orang yang dibunuhnya. Kemudian, ia menanyakan lagi, tentang orang yang terpandai dari penduduk bumi. Lalu ditunjukkan kepada seorang alim. Maka ia mengatakan kepada orang itu, bahwa ia telah membunuh 100 orang. Adakah baginya jalan untuk taubat? Orang alim itu menjawab: “Ada! dan siapa yang mendindingi diantaranya dan taubat itu, maka pergilah ke bumi (negeri) itu dan itu ! disitu ada banyak manusia yang beribadah kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka beribadahlah kepada Allah bersama mereka ! dan jangan engkau kembali kepada bumimu (negerimu). Karena bumimu itu bumi jahat !”. Lalu orang itu berjalan, sehingga sampai setengah jalan maka ia meninggal dunia. Lalu bertengkarlah malaikat rahmat dan malaikat azab tentang orang tersebut. Malaikat rahmat mengatakan, bahwa orang itu datang bertaubat, menghadap Allah dengan hatinya. Dan malaikat azab mengatakan, bahwa orang itu tidak berbuat kebajikan sekali-kali. Lalu datang kepada mereka, malaikat dalam bentuk anak Adam (manusia). Maka mereka jadikan anak Adam itu sebagai orang penengah (hakam) diantara mereka. Lalu hakam itu mengatakan: “Ukurlah diantara 2 bumi (negeri) itu ! kemanakah diantara yang 2 itu, ia lebih dekat, maka kesitulah dia”. Lalu mereka ukur. Dan mereka dapati, bahwa dia lebih dekat ke bumi yang ditujunya. Maka orang itu diambil oleh malaikat rahmat”. Pada suatu riwayat: bahwa orang itu lebih dekat ke kampung yang baik, dengan sejengkal. Maka ia dijadikan termasuk penduduk kampung yang baik itu.
Pada suatu riwayat: maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada bumi ini: supaya engkau jauhkan. Dan kepada bumi ini: supaya engkau dekatkan. Dan ia berfirman: “Ukurlah diantara keduanya !”. Lalu mereka mendapatinya kepada ini lebih dekat dengan sejengkal. Maka diampunkan dosanya” maka dengan ini, anda ketahui, bahwa tiada kelepasan, selain dengan bertanya neraca kebaikan, walaupun dengan seberat atom. Maka tidak boleh tidak bagi orang yang bertaubat, daripada memperbanyak kan amal kebajikan. Dan inilah hukum maksud yang menyangkut dengan masa yang lalu.
Adapun ‘azam (cita-cita) yang menyangkut dengan zaman depan, maka yaitu: bahwa ia mengikat dengan Allah suatu ikatan yang kokoh. Dan berjanji dengan dia dengan janji yang dipercayai, bahwa ia tiada akan kembali kepada dosa-dosa itu. Dan tidak kepada dosa-dosa yang serupa dengan dosa-dosa itu. Seperti orang yang mengetahui, pada sakitnya, bahwa buah-buahan- umpamanya – mendatangkan melarat baginya. Maka ia bercita-cita dengan cita-cita yang meyakinkan, bahwa ia tiada akan memakan buah-buahan selama sakitnya belum hilang. Maka cita-cita ini menjadi kuat pada seketika, walaupun ada tergambar, bahwa ia akan dikalahkan oleh nafsu keinginan pada ketika yang kedua (masa mendatang). Akan tetapi, dia tidaklah orang yang bertaubat, sebelum kokoh cita-citanya pada seketika. Dan tidaklah akan tergambar, bahwa yang demikian itu akan sempurna bagi orang yang bertaubat pada permulaan keadaan, selain dengan mengasingkan diri (uzlah), berdiam diri sedikit makan dan tidur dan menjaga makanan halal. Kalau ia mempunyai harta pusaka yang halal atau ia mempunyai perusahaan, yang dapat diusahakannya dengan perusahaan tersebut, sekedar mencukupi, maka hendaklah dibatasi pada itu saja.
Maka sesungguhnya kepala segala kemaksiatan, ialah: memakan haram. Maka bagaimana ia menjadi orang yang bertaubat, serta berkekalan memakan yang haram itu ? dan tidak memadai dengan yang halal dan meninggalkan harta syubhat (diragukan), bagi orang yang tidak mampu meninggalkan nafsu syahwat pada yang dimakan dan dipakai. Setengah mereka mengatakan: “Siapa yang benar pada meninggalkan nafsu syahwat dan berjihat melawan hawa nafsu dengan dirinya karena Allah, 7 kali, niscaya ia tidak akan mendapat percobaan (mendapat bencana) dengan nafsu syahwat itu. Yang lain mengatakan: “Barangsiapa bertaubat daripada dosa dan ia tetap yang demikian 7 tahun, niscaya dosa itu tidak akan kembali kepadanya untuk selama-lamanya”. Di antara yang penting bagi orang yang bertaubat, apabila ia bukan orang yang berilmu, ialah: mempelajari apa yang wajib atas dirinya pada masa yang akan datang dan apa yang haram atasnya. Sehingga memungkinkan baginya al-istiqomah (tetap pendirian pada jalan yang lurus). Dan kalau ia tidak mengutamakan al-uzlah (mengasingkan diri), niscaya tidaklah al-istiqomah yang mutlak itu sempurna baginya. Kecuali ia bertaubat dari sebagian dosa, seperti: ia bertaubat dari minum khamar, zina dan merampas hak orang umpamanya. Dan tidaklah ini taubat mutlak namanya. Sebagian manusia mengatakan: bahwa taubat ini tidak shah. Dan ada orang-orang yang mengatakan: shah. Kata-kata: shah pada tempat ini, adalah mujmal (tidak terurai).
Akan tetapi, kami akan mengatakan kepada orang yang mengatakan: tidak shah, bahwa jikalau anda maksudkan dengan perkataan itu, bahwa meninggalkan sebagian dosa tidak berfaedah sekali-kali, bahkan adanya seperti tidak ada, maka alangkah besarnya kesalahan anda ! maka sesungguhnya kami mengetahui, bahwa banyaknya dosa itu adalah sebab bagi banyaknya siksaan. Dan sedikitnya dosa itu menjadi sebab bagi sedikitnya siksaan. Dan akan kami mengatakan kepada orang yang mengatakan: shah taubat itu, bahwa jikalau anda kehendaki dengan yang demikian, bahwa taubat dari sebagian dosa, adalah mewajibkan penerimaan, yang menyampaikan kepada kelepasan atau kemenangan, maka ini juga salah. Bahkan kelepasan dan kemenangan itu, adalah dengan meninggalkan semua. Dan ini adalah hukum zahiriah. Dan kami tidak memperkatakan mengenai yang tersembunyi daripada rahasia-rahasia kemaafan Allah. Kalau orang yang berpendirian bahwa taubat itu tidak shah, mengatakan: bahwa aku maksudkan dengan demikian itu, ialah: taubat itu ibarat daripada penyesalan. Dan sesungguh nya ia menyesal dari mencuri umpamanya, karena mencuri itu perbuatan maksiat. Tidak karena adanya pencurian itu. Dan mustahil bahwa ia menyesal atas mencuri itu dan tidak menyesal atas zina, kalau yang menyakitkannya itu karena perbuatan maksiat. Karena alasan itu, melengkapi bagi mencuri dan berzina. Sebab, orang yang merasa sakit atas pembunuhan anaknya dengan pedang, niscaya ia merasa sakit, atas terbunuhnya dengan pisau. Karena perasaan sakitnya itu adalah disebabkan hilang yang dikasihinya. Sama saja hilang itu, dengan pedang atau dengan pisau. Maka seperti itu juga, perasaan sakit bagi hamba dengan hilang yang dikasihinya. Dan yang demikian itu dengan perbuatan maksiat, sama saja ia berbuat maksiat dengan mencuri atau berzina. Maka bagaimana ia merasa sakit atas sebagian dan tidak kepada sebagian ? penyesalan itu adalah suatu keadaan, yang diharuskan oleh karena tahu, bahwa perbuatan maksiat itu menghilangkan yang dikasihi, dari segi, bahwa itu perbuatan maksiat. Maka tiadalah akan tergambar, bahwa penyesalan itu ada pada sebagian perbuatan maksiat, tidak pada sebagian. kalau boleh ini, niscaya boleh ia bertaubat dari minum khamar dari salah satu dua tong besar, tidak dari tong yang lain. Maka jikalau yang demikian itu mustahil, dari segi bahwa perbuatan maksiat pada dua khamar itu satu. Hanya dua tong besar itu, adalah merupakan tempat semata-mata. Maka seperti itu juga, bahwa maksiat itu sendiri alat bagi maksiat. Dan maksiat dari segi menyalahi perintah itu, satu. Jadi, arti tidak shah, ialah: bahwa Allah Ta’ala menjanjikan bagi orang-orang yang bertaubat itu, akan satu tingkat. Dan tingkat itu tidak akan tercapai, selain dengan penyesalan. Dan penyesalan itu tiada akan tergambar di atas sebagian hal-hal yang serupa. Maka penyesalan itu adalah seperti milik yang teratur di atas penyerahan dan penerimaan. Maka apabila penyerahan dan penerimaan itu, tidak sempurna, maka kita katakan: bahwa aqad (ikatan jual beli) itu tidak shah, yang tidak akan berhasil padanya, buah. Yaitu: milik. Pentahkikan ini, ialah: bahwa hasil semata-mata meninggalkan maksiat itu, akan terputus daripadanya siksaan dari apa yang ditinggalkannya. Dan buah penyesalan itu, ialah: penutupan dosa dari apa yang telah berlalu. Maka meninggalkan curi, tidak akan menutupkan curi. Akan tetapi: penyesalan atas curi itu. Dan penyesalan itu tiada akan tergambar, selain karena curi itu adalah perbuatan maksiat. Dan yang demikian itu meratai akan semua perbuatan maksiat. Itulah perkataan yang dapat dipahami, yang terjadi, yang meminta orang yang sadar untuk berbicara, yang dengan penguraiannya tersingkaplah tutup.
Maka kami akan mengatakan, bahwa taubat dari sebagian dosa itu, tiada akan terlepas, adakalanya taubat itu dari dosa-dosa besar, tidak dari dosa-dosa kecil. Atau dari dosa-dosa kecil, tidak dari dosa-dosa besar. Atau dari suatu dosa-dosa besar, tidak dari dosa besar lainnya.
Adapun taubat dari dosa-dosa besar, tidak dari dosa-dosa kecil, maka itu suatu urusan yang mungkin. Karena ia tahu, bahwa dosa-dosa besar itu, lebih besar pada sisi Allah dan lebih membawa kepada kemarahan Allah dan kutukanNya. Dan dosa-dosa kecil itu lebih dekat kepada jalan kemaafan kepadanya. Maka tiada mustahil, bahwa ia bertaubat dari yang lebih besar dan menyesal daripadanya. Seperti orang yang berbuat kesalahan kepada keluarga raja dan permaisurinya dan berbuat aniaya kepada kendaraannya. Maka dia itu takut pada berbuat aniaya kepada keluarga raja dan memandang enteng pada berbuat aniaya kepada kendaraan raja. Dan penyesalan itu, adalah menurut pandangan besarnya dosa dan berkeyakinan adanya dosa itu menjauhkan daripada Allah Ta’ala. Dan ini mungkin adanya, pada agama. Maka telah banyaklah orang-orang yang bertaubat pada masa-masa yang silam. Dan tiada seorangpun dari mereka itu yang terpelihara dari dosa (orang mashum). Maka tidaklah taubat itu meminta terpelihara dari dosa.
Dokter kadang-kadang memperingati orang sakit dari air madu, dengan peringatan keras. Dan memperingatinya dari gula, dengan peringatan yang lebih ringan dari itu, atas segi yang diketahuinya, bahwa kadang-kadang tidak menampak sekali-kali melaratnya gula. Maka si sakit itu bertaubat dengan katanya: dari air madu, tidak dari gula. Maka ini tidak mustahil adanya. Dan kalau dimakannya keduanya sekalian dengan hukum nafsu syahwatnya, niscaya ia menyesal atas meminum air madu dan tidak menyesal atas meminum air gula.
Kedua, bahwa ia bertaubat dari sebagian dosa besar dan tidak dari sebagian yang lain. Ini juga mungkin. Karena keyakinannya, bahwa sebagian dosa besar itu lebih berat dan lebih keras dari yang lain pada sisi Allah. Seperti: orang yang bertaubat dari membunuh, merampok, berbuat zalim dan perbuatan-perbuatan kezaliman terhadap hamba-hamba Allah. Karena diketahuinya, bahwa buku besar hamba-hamba itu tidak akan ditinggalkan begitu saja. Dan apa yang ada diantaranya dan Allah, akan bersegeralah kemaafan kepadanya. Maka ini juga mungkin, sebagaimana pada berlebih kurangnya dosa besar dan dosa kecil. Karena dosa besar juga berlebih kurang pada dirinya dan pada keyakinan yang memperbuatnya. Dan karena itulah, kadang-kadang ia bertaubat dari sebagian dosa besar, yang tiada menyangkut dengan hamba, sebagaimana ia bertaubat dari minum khamar, tidak dari zina umpamanya. Karena, jelas baginya bahwa khamar itu kunci segala kejahatan. Dan bahwa, apabila hilang akalnya, niscaya ia mengerjakan segala perbuatan maksiat dan dia tidak mengetahuinya. Maka menurut beratnya minum khamar padanya, lalu membangkitlah daripadanya ketakutan, yang mengharuskan demikian, untuk meninggalkan meminumnya pada masa mendatang dan penyesalan atas masa yang lampau.
Ketiga, bahwa ia bertaubat dari satu dosa kecil atau dosa-dosa kecil. Dan ia terus melakukan dosa besar, yang diketahuinya bahwa itu dosa besar. Seperti: ia bertaubat dari mengumpat orang atau dari memandang dari bukan mahramnya atau yang seperti itu, sedang ia berketerusan meminum khamar. Maka ini juga hal yang mungkin. Dan segi kemungkinannya ialah, bahwa: tiada seorangpun dari orang mu’min, melainkan dia itu takut dari perbuatan-perbuatannya yang maksiat. Dan menyesal atas perbuatannya, sebagai suatu penyesalan, yang adakalanya lemah dan adakalanya kuat. Akan tetapi, kesenangan nafsunya pada perbuatan maksiat tersebut, adalah lebih kuat, daripada kepedihan hatinya pada ketakutan padanya. Karena sebab-sebab, yang mengharuskan kelemahan takut itu, dari karena kebodohan dan kelengahan. Dan sebab-sebab yang mengharuskan kuatnya nafsu syahwat. Maka penyesalan itu ada. Akan tetapi, penyesalan itu tidak mampu menggerakkan cita-cita dan tidak pula kuat pada cita-cita itu. Jikalau ia selamat dari nafsu syahwat yang lebih kuat daripadanya, dengan tidak menantanginya, selain oleh yang lebih lemah, niscaya takut itu dapat memaksakan nafsu syahwat dan mengalahkannya. Dan yang demikian itu mengharuskan untuk ditinggalkannya perbuatan maksiat. Kadang-kadang bersangatan senangnya orang fasik itu kepada khamar. Lalu ia tidak sanggup bersabar daripadanya. Dan adalah kesenangannya begitu saja, mengenai umpatan, mencela orang dan memandang kepada bukan mahramnya. Dan takutnya kepada Allah telah sampai kepada tingkat, yang dapat mencegah dari nafsu syahwat ini, tidak yang kuat. Maka diwajibkan kepadanya oleh tentara takut, untuk membangkitkan cita-cita, bagi meninggalkan perbuatan maksiat. Bahkan orang fasik itu akan mengatakan pada dirinya: “Kalau aku dipaksakan oleh setan, dengan perantaraan kekerasan nafsu syahwat, pada sebagian perbuatan maksiat, maka tidak seyogyalah aku membuka tali kekang dan melepaskan talinya secara keseluruhan. Akan tetapi, aku akan bermujahadah (melawannya), pada sebagian perbuatan maksiat itu. Semoga aku dapat mengalahkan setan itu. Maka adalah paksaanku kepada setan pada sebagian dosa itu, menjadi penutup dosa bagi sebagian dosaku”. Jikalau tidak tergambarkan ini, niscaya tidak akan tergambar dari hal orang fasik, yang bersembahyang dan berpuasa. Dan dikatakan kepadanya: “Jikalau adalah shalatmu bukan karena Allah, maka tidak shah. Dan kalau karena Allah, maka tinggalkanlah perbuatan fasik itu karena Allah ! sesungguhnya perintah Allah padanya itu satu. Maka tidaklah tergambar, bahwa engkau masukkan dengan shalat engkau itu, mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, selama engkau tidak mendekatkan diri dengan meninggalkan perbuatan fasik”. Dan ini mustahil, bahwa ia mengatakan: “Allah Ta’ala mempunyai atas diriku 2 perintah. Dan bagiku atas menyalahi kedua perintah itu, 2 siksaan aku sanggup pada salah satu dari keduanya, dengan memaksakan setan dan lemah pada yang lain. Maka aku akan paksakan setan itu pada yang aku sanggupi. Dan aku harap dengan mujahadahku (melawannya) padanya, bahwa akan tertutup (menjadi penutup dosa) daripadaku, akan sebagian, yang aku lemah daripadanya, disebabkan bersangatan nafsu syahwatku”. Maka bagaimana tiada tergambar ini dan itu adalah keadaan tiap-tiap muslim ? karena tidak ada orang muslim, melainkan ia menghimpunkan antara taat dan maksiat kepada Allah. Dan tiada sebabnya, melainkan inilah ! apabila ini telah dipahami, niscaya dapat dipahami, bahwa kerasnya ketakutan bagi nafsu syahwat pada sebagian dosa itu, mungkin ada. Dan takut itu, apabila ada dari perbuatan yang lampau, niscaya mewariskan penyesalan. Dan penyesalan itu mewariskan cita-cita.
Dan Nabi saw bersabda: “Penyesalan itu taubat”. Dan tidak disyaratkan penyesalan itu atas setiap dosa. Dan Nabi saw bersabda: “Orang yang bertaubat dari dosa, adalah seperti orang yang tiada mempunyai dosa”. Nabi saw tidak mengatakan: orang yang bertaubat dari dosa-dosa semuanya. Dan dengan pengertian ini, jelaslah gugur perkataan orang yang mengatakan: bahwa taubat dari sebagian dosa itu tidak mungkin. Karena dia itu serupa, mengenai nafsu syahwat dan mengenai mendatangkan kemarahan Allah Ta’ala. Ya, boleh ia bertaubat dari minum khamar, tidak dari minum nabidz: (air buah anggur). Karena keduanya itu berlebih kurang pada kehendak kemarahan. Dan ia bertaubat dari yang banyak, tidak dari yang sedikit. Karena banyaknya dosa itu mempunyai pengaruh pada banyaknya siksaan. Maka ia menolong nafsu syahwat dengan kadar kelemahannya dari yang demikian. Dan ia meninggalkan sebahagian nafsu syahwatnya karena Allah Ta’ala. Seperti orang sakit, yang diperingati oleh dokter akan buah-buahan. Maka si sakit itu kadang-kadang makan sedikit dari buah-buahan itu. Akan tetapi, ia tidak memperbanyak dari buah-buahan tersebut. Maka dari ini, berhasillah, bahwa tidak mungkin ia bertaubat dari sesuatu dan ia tidak bertaubat dari yang serupa dengan sesuatu tersebut. Akan tetapi, tidak boleh tidak, bahwa adalah yang telah ditaubatinya itu, berbeda bagi yang masih tinggal.
Adakalanya pada bersangatan maksiat dan adakalanya pada kekerasan nafsu syahwat. Apabila berlebih kurangan ini telah berhasil pada keyakinan orang yang bertaubat tadi, niscaya tergambarlah perbedaan keadaannya, tentang takut dan sesal. Lalu tergambarlah perbedaan keadaannya pada meninggalkan kemaksiatan. Maka penyesalannya atas dosa dan kesetiaannya dengan cita-citanya kepada meninggalkannya, akan menghubungkannya dengan orang yang tidak berdosa. Walaupun ia tidak mentaati Allah pada semua perintah dan laranganNya.
Kalau anda bertanya, adakah shah taubat orang yang lemah syahwat (impoten) dari zina yang telah diperbuatnya sebelum datangnya impoten itu ? aku menjawab: tidak. Karena taubat itu ibarat dari penyesalan, yang menggerakkan cita-cita kepada meninggalkan apa yang sanggup dikerjakannya. Dan apa yang tidak sanggup dikerjakannya, maka menjadi tidak ada dengan sendirinya. Tidak dengan ditinggalkannya perbuatan itu. Akan tetapi, aku mengatakan, bahwa jikalau datang kepadanya sesudah impoten itu, terbuka hati dan mengetahui hakikat/makna kemelaratan dengan perbuatan zina yang telah dikerjakannya dan berkobar daripadanya kebakaran jiwa, perasaan kerugian dan penyesalan, dimana jikalau nafsu berzina masih ada padanya, niscaya kebakaran penyesalan itu akan mencegah nafsu syahwat tersebut dan akan mengalahkannya. Maka aku mengharap, bahwa adalah yang demikian itu menutupkan (menjadi penutup dosa) bagi dosanya dan yang menghapuskan kejahatannya. Karena tiada berbeda pendapat lagi, bahwa jikalau ia bertaubat sebelum datangnya impoten dan ia mati sesudah taubat itu, niscaya ia termasuk orang-orang yang bertaubat. Walaupun tidak datang kepadanya keadaan yang mengoncangkan nafsu syahwat dan memudahkan sebab-sebab memenuhi nafsu syahwat itu. Akan tetapi, dia itu orang yang bertaubat, dengan pandangan, bahwa penyesalannya telah sampai kepada tingkat yang mengharuskan berpaling maksudnya dari berzina, jikalau maksudnya itu menampak.
Jadi, tidak mustahil bahwa sampai kekuatan penyesalan itu pada orang yang impoten, akan tingkat tersebut. Hanya, ia tidak mengetahuinya dari diri nya sendiri. Sesungguhnya setiap orang yang tidak mengingini sesuatu, maka ia menaksir dirinya sanggup meninggalkan sesuatu tadi dengan sedikit ketakutan. Dan Allah Ta’ala meihat kepada isi hatinya dan kadar penyesalannya. Semoga ia diterima olehnya. Bahkan, menurut yang zahir, bahwa ia akan diterimanya. Hakikat/makna pada ini semua, kembali kepada: bahwa kegelapan maksiat itu akan tehapus dari hati dengan dua perkara: pertama: kebakaran penyesalan. Yang satu lagi: kesangatan berjihat melawan hawa nafsu dengan meninggalkan maksiat itu pada masa mendatang. Dan berjihat melawan hawa nafsu itu menjadi tercegah, dengan hilangnya nafsu syahwat. Akan tetapi, tidaklah mustahil, bahwa penyesalan itu akan kuat, dimana ia kuat menghapuskan nafsu syahwat itu tanpa berjihat melawan hawa nafsu. Dan jikalau tidak ini, niscaya kami mengatakan: bahwa taubat itu tidak akan diterima, selama yang bertaubat itu tidak hidup sesudah taubat, pada suatu masa, dimana ia berjihat melawan hawa nafsu akan dirinya pada nafsu syahwat itu sendiri, berkali-kali yang banyak. Yang demikian itu, termasuk yang tidak ditunjukkan oleh zahiriah agama sekali-kali atas persyaratannya. Jikalau anda mengatakan, bahwa: apabila kita umpamakan ada dua orang yang bertaubat. Yang seorang, dirinya telah tenang untuk meninggalkan dosa. Yang lain, masih ada pada dirinya keinginan pada dosa. Dan ia lawan (ia berjihat melawan hawa nafsu) dan ia cegah dirinya itu. Maka manakah yang lebih baik ? ketahuilah kiranya, bahwa ini terdapat perselisihan ulama padanya. Ahmad bin Abil-hawari dan para sahabat Abi Sulaiman Ad-Darani mengatakan, bahwa yang berjihat melawan hawa nafsu itu lebih baik. Karena ia bersama taubat, mempunyai kelebihan jihad (berjihat melawan hawa nafsu).
Para ulama Basrah mengatakan, bahwa yang lain itu yang lebih baik. Karena, jikalau ia lemah pada taubatnya, niscaya ia lebih mendekati kepada selamat, dibandingkan kepada orang yang berjihat melawan hawa nafsu, yang bisa saja datang kelesuan (kelemahan) dari berjihat melawan hawa nafsu. Apa yang dikatakan oleh masing-masing dua golongan tadi tidak terlepas dari kebenaran dan dari kekurangan dari kesempurnaan hakikat/makna. Yang benar, ialah: bahwa orang yang telah terputus keinginan dirinya kepada dosa itu, mempunyai dua keadaan:
Keadaan kesatu: Bahwa terputus keinginan dirinya itu disebabkan kelemahan pada diri nafsu syahwat saja, maka orang yang berjihat melawan hawa nafsu itu lebih baik dari orang ini. Karena ia tinggalkan dosa itu dengan berjihat melawan hawa nafsu, yang menunjukkan kepada kuat dirinya dan agamanya dapat menguasai nafsu syahwatnya. Maka itu dalil yang tegas kepada kuatnya keyakinan dan kuatnya agama. Aku maksudkan dengan kuatnya agama, ialah: kuatnya kemauan, yang tergerak dengan isyarat keyakinan dan dapat mencegah nafsu syahwat yang tergerak dengan isyarat setan-setan. Maka inilah dua kekuatan, yang ditunjukkan kepadanya dengan pasti oleh melawan hawa nafsu. Dan kata orang yang mengatakan, bahwa ini yang lebih selamat. Karena jikalau ia lemah, niscaya ia tiada akan kembali kepada dosa. Maka ini benar. Akan tetapi, menggunakan perkataan: lebih baik, padanya itu salah. Dan itu, adalah seperti kata orang yang mengatakan, bahwa: impoten lebih baik daripada jago. Karena impoten itu aman dari bahaya nafsu syahwat. Dan anak kecil lebih baik daripada orang dewasa. Karena dia lebih selamat. Dan orang yang tidak beruang itu lebih baik daripada raja yang perkasa, yang dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Karena orang yang tidak beruang itu tidak mempunyai musuh. Dan raja itu, kadang-kadang sekali ia dikalahkan dan walaupun ia memperoleh kemenangan berkali-kali. Ini adalah perkataan orang yang baik hati, terbatas pemandangannya atas yang zahiriah saja. Tidak mengetahui, bahwa kemuliaan itu dalam menghadapi berbagai bahaya. Dan bahwa ketinggian itu syaratnya, ialah menempuh tipu daya orang. Bahkan seperti di katakan oleh orang yang mengatakan: “Pemburu yang tidak mempunyai kuda dan anjing, adalah lebih baik dalam usaha pemburuan dan lebih tinggi tingkatnya daripada yang mempunyai anjing dan kuda. Karena yang tidak berpunya itu akan aman dari keliaran kudanya. Maka anggota tubuhnya akan hancur, ketika jatuh ke atas tanah. Dan akan aman daripada akan digigit oleh anjingnya dan dianiaya oleh anjing tersebut. Pendapat ini salah. Akan tetapi, yang mempunyai kuda dan anjing, apabila ia kuat, lagi tahu cara mendidik kuda dan anjingnya itu, lebih tinggi tingkat dan lebih layak memperoleh kebahagiaan memburu.
Keadaan kedua: bahwa hilangnya keinginan itu, disebabkan kuat keyakinan dan benarnya bersungguh‑sungguh yang lalu. Karena, ia telah sampai kepada tingkat, yang dapat mengalahkan berkobarnya nafsu syahwat. Sehingga syahwat itu berkesopanan dengan kesopanan agama. Nafsu syahwat itu tidak berkobar, selain dengan isyarat dari agama. Dan ia tenang, disebabkan penguasaan agama kepadanya. Maka ini adalah tingkat tertinggi, dari orang yang berbersungguh ‑sungguh, yang bertindak keras bagi berkobarnya nafsu syahwat dan mencegahkannya. Dan perkataan orang yang mengatakan, bahwa bagi yang demikian itu, tidak mempunyai kelebihan berjihad, adalah karena kurang mengetahui dengan maksud jihad itu. Sesungguhnya jihad itu tidaklah dimaksudkan jihad itu sendiri. Akan tetapi, yang dimaksudkan, ialah: memutuskan kebuasan musuh. Sehingga ia tidak menarikkan engkau kepada nafsu syahwatnya. Dan kalau ia lemah dari menarik engkau, maka ia tidak mencegah engkau dari menjalani jalan agama. Maka apabila engkau telah dapat memaksakan musuh dan engkau berhasil mencapai maksud, maka sesungguhnya engkau telah menang. Dan selama engkau berkekalan dalam bersungguh‑sungguh, maka engkau sesudah itu, dalam mencari kemenangan. Contohnya, adalah seperti: orang yang memaksakan musuh dan memperbudakkannya, dibandingkan kepada orang yang sibuk dengan jihad pada barisan perang. Dan ia tidak tahu, bagaimana ia menjadi selamat. Dan contohnya juga, seperti: orang yang mengajarkan anjing buruan dan melatih kuda. Lalu keduanya itu tidur di sisinya, sesudah anjing itu hilang buasnya dan kuda itu hilang larinya, dikaitkan kepada orang yang sibuk dengan kekasaran memberi pengajaran sesudahnya. Telah tergelincir tentang ini, suatu golongan. Lalu mereka menyangka, bahwa jihad itulah menjadi maksud terjauh (terakhir). Mereka itu tiada mengetahui, bahwa yang demikian itu adalah tuntutan untuk kelepasan dari penghalang-penghalang di jalan. Golongan yang lain menyangka, bahwa pencegahan nafsu syahwat dan menjauhkannya secara keseluruhan itulah yang dimaksud. Sehingga setengah mereka mencoba pada dirinya. Lalu ia lemah dari yang demikian itu. Maka ia lalu berkata: “Ini mustahil !” lalu ia mendustakan agama. Dan ia menempuh jalan pembolehan (aliran serba boleh). Dan melepaskan dirinya dalam mengikuti nafsu syahwat. Semua itu adalah bodoh dan sesat. Dan telah kami bentangkan yang demikian, dalam Kitab “Latihan Diri” dari “Rubu’ yang membinasakan”.
Kalau anda bertanya: “Maka apa kata anda, tentang 2 orang yang bertaubat. Yang seorang telah lupa kepada dosanya. Dan ia tidak berbuat untuk memikirkan dosa tersebut. Seorang lagi, menjadikan dosa itu di depan matanya. Dan senantiasa ia merenungkan dosa itu. Dan ia membakar hatinya dengan penyesalan atas dosa tersebut. Maka manakah di antara dua orang tadi, yang lebih utama ?". Ketahuilah kiranya, bahwa ini juga, mereka telah berselisih paham tentang ini. Sebagian mereka mengatakan, bahwa hakikat/makna taubat, ialah: bahwa anda menegakkan dosa di antara dua mata anda. Sebagian yang lain mengatakan, bahwa hakikat/makna taubat itu, ialah: bahwa anda melupakan dosa anda. Masing-masing dari dua aliran ini, pada kami itu benar. Akan tetapi, dibandingkan kepada dua keadaan. Dan perkataan golongan ahli suffi itu selalu dalam keadaan singkat. Karena kebiasaan masing-masing mereka, adalah untuk menerangkan keadaan dirinya saja. Dan tidak penting baginya keadaan orang lain. Lalu berbedalah penjawaban, karena berbedanya keadaan. Dan ini adalah kekurangan, dengan dikaitkan kepada cita-cita, kemauan dan kesungguhan, dimana yang empunya itu singkat perhatian atas keadaan dirinya sendiri, yang tidak penting baginya urusan orang lain. Karena jalannya kepada Allah, ialah dirinya. Dan tempatnya ialah hal keadaan dirinya sendiri. Kadang-kadang jalan hamba kepada Allah itu ilmu (pengetahuan). Maka jalan kepada Allah Ta’ala itu banyak, walaupun jalannya itu berbeda tentang dekat dan jauh. Dan Allah Yang Maha Tahu, siapa yang lebih mendapat petunjuk jalan, serta bersekutu pada pokok hidayah (petunjuk). Maka aku mengatakan, bahwa tergambarnya dosa, teringat dan merasa sakit atas dosa itu, adalah sempurna pada pihak orang permulaan. Karena apabila ia melupakan dosa itu, niscaya tidak banyak terbakar jiwanya dengan penyesalan. Maka tidak kuat kemauannya dan tergerak hatinya untuk menempuh jalan itu, karena yang demikian, mengeluarkan daripadanya, kegundahan dan ketakutan yang membagi daripada kembalinya kepada dosa yang seperti itu. Maka orang tersebut, dengan dikaitkan kepada orang yang lalai, adalah sempurna. Akan tetapi, dengan dikaitkan kepada orang yang menempuh jalan itu adalah kekurangan. Karena itu adalah pekerjaan yang mencegah dari pada menempuh jalan. Bahkan, yang menempuh jalan itu, seyogyalah bahwa ia tidak mendaki atas bukan jalan yang ditempuh. Maka jikalau telah menampak baginya pokok-pokok kesampaian dan terbuka baginya cahaya ilmu mengenal Allah Ta’ala dan kecemerlangan ghaib, niscaya yang demikian itu membenamkannya. Dan tidak tinggal lagi padanya kelapangan waktu, untuk menoleh kepada hal ikhwalnya yang lalu. Dan itu adalah kesempurnaan. Bahkan, jikalau musafir itu dicegah dari jalan kepada sesuatu negeri, oleh sungai yang membatasi, niscaya lamalah kepayahan musafir itu pada menyeberanginya, pada suatu masa, dimana ia telah menghancurkan jembatannya sebelumnya maka jikalau ia duduk di tepi sungai, sesudah diseberanginya, dimana ia menangis karena kesedihan atas pengrobohan jembatan itu, niscaya adalah ini suatu pencegah yang lain, yang diperbuatnya dari pencegah itu. Ya, jikalau waktu itu bukan waktu berangkat, dengan dia berada di malam hari, maka sukarlah berjalan. Atau ada jalan pada jalannya beberapa sungai dan ia takut atas dirinya melalui sungai-sungai itu, maka lamalah di malam itu tangisnya dan sedihnya atas pengrobohan jembatan. Supaya menjadi kokoh cita-citanya dengan lamanya kesedihan, untuk tidak kembali kepada yang seperti dosa itu. Kalau berhasil baginya dari peringatan, apa yang menjadi kepercayaan bagi dirinya, bahwa ia tidak akan kembali lagi kepada dosa yang seperti itu, maka menempuh jalan tersebut adalah lebih utama baginya, daripada menyibukkan diri dari mengingati pengrobohan jembatan dan menangisinya. Dan ini tidak diketahui, selain oleh orang yang mengetahui jalan, maksud, penghalang dan jalan yang ditempuh.
Dan telah kami isyaratkan kepada pengisyaratannya daripadanya, pada Kitab Ilmu dan pada rubu’ yang membinasakan. Bahkan kami mengatakan, bahwa syarat berkekalan taubat, ialah: bahwa banyak berpikir tentang nikmat di akhirat. Supaya bertambah keinginannya. Akan tetapi, jikalau ia seorang pemuda, maka tiada seyogyalah ia melamakan pikirannya pada tiap-tiap yang mempunyai bandingan di dunia, seperti: bidadari dan istana. Karena pikiran yang demikian itu kadang-kadang menggerakkan keinginannya. Lalu ia mencari yang segera adanya (yang di dunia) dan ia tidak senang yang lambat adanya (yang di akhirat). Akan tetapi, seyogyalah ia merenungkan kepada lezatnya memandang kepada wajah Allah Ta’ala saja. Dan yang demikian itu, tiada mempunyai bandingan di dunia, maka seperti yang demikian juga, mengingati dosa, kadang-kadang menggerakkan nafsu sayhwat. Maka orang permulaan (al-mubtadi) juga, kadang-kadang mendatangkan melarat baginya. Lalu lupa itu adalah lebih utama baginya, ketika itu.
Dan tidaklah mencegah anda dari pada membenarkan pentahkikkan ini, oleh apa yang diceritakan kepada anda, daripada tangisnya Daud as dan ratapnya. Karena engkau membanding diri engkau dengan nabi-nabi, adalah bandingan yang sangat membengkok. Karena nabi-nabi itu, kadang-kadang mereka menempat kan perkataan dan perbuatannya kepada tingkat yang layak dengan umatnya. Karena nabi-nabi itu, tidak diutus, selain untuk memberi petunjuk kepada umatnya. Maka haruslah atas mereka menggunakan dengan apa yang bermanfaat kepada umatnya, dengan penyaksiannya. Walaupun ada yang demikian itu turun dari tingkat kedudukan mereka. Sesungguhnya ada pada guru-guru (syaikh-syaikh), orang yang tidak menunjukkan kepada muridnya, dengan semacam latihan pun, kecuali ia sendiri masuk bersama muridnya dalam latihan itu. Dan ia sesungguhnya, tidak memerlukan kepada latihan tersebut. Karena ia baru selesai dari bersungguh‑sungguh dan mengajarkan jiwa, karena memudahkan menyuruh kepada murid.
Dan karena itulah Nabi saw bersabda: “Adapun aku ini sesungguhnya tidak lupa, akan tetapi aku lupa untuk mengagamakannya”. Dan pada kata yang lain: “Aku sesungguhnya lupa, untuk mensunnahkannya”. Janganlah anda heran dari ini ! sesungguhnya umat-umat itu dalam pangkuan kasih sayang nabi-nabi adalah, seperti anak-anak kecil dalam pangkaun kasih sayang bapak-bapaknya. Dan seperti binatang ternak dalam pangkuan penggembala-penggembala. Apakah anda tidak melihat seorang bapak, apabila bermaksud bertutur kata dengan anaknya yang masih kecil, bagaimana ia turun ke tingkat tutur kata anak kecil ? seperti Nabi saw berkata kepada Hasan (cucunya): “Kikh-kikh” tatkala Hasan mengambil sebutir kurma dari kurma zakat dan diletakkannya pada mulutnya dan tidaklah kefasihan Nabi saw terbatas daripada mengatakan: “Lemparlah biji kurma itu, karena dia itu haram !”. Akan tetapi, karena beliau tahu, bahwa Hasan tidak mengerti tutur kata Nabi saw yang demikian, lalu beliau tinggalkan tutur kata yang fasih. Dan beliau turun kepada tutur kata yang gagap itu. Bahkan orang yang mengajari kambing atau burung, maka ia bersuara seperti suara kambing atau bersiul, untuk menyerupai dengan hewan dan burung tersebut, demi kelemah-lembutan pada mengajarinya. Maka awaslah anda untuk melupakan dari contoh yang halus-halus ini ! karena itu adalah tempat tergelincir nya tapak kaki orang-oang ‘arif (al-‘arifin), lebih-lebih bagi orang-orang yang lalai. Kita bermohon kepada Allah akan baiknya taufiq, dengan kasih sayang dan kemurahanNya.
PENJELASAN: bagian-bagian hamba mengenai kekekalan taubat.
Ketahuilah kiranya, bahwa orang-orang bertaubat itu mengenai taubatnya, adalah atas 4 tingkat:
Tingkat pertama: bahwa orang maksiat itu bertaubat dan ia bersikap istiqomah di atas taubatnya, sampai akhir umurnya. Maka ia memperoleh kembali apa yang telah teledor dari pekerjaannya. Dan ia tidak memperkatakan dirinya dengan kembali kepada dosa-dosanya, selain oleh tergelincir yang tiada terlepas manusia daripadanya, menurut kebiasaan, manakala manusia itu tidak pada tingkatan kenabian. Maka inilah istiqomah di atas taubat. Dan orang yang bersifat demikian adalah orang yang mendahului kepada kebajikan, yang digantikan dengan kejahatan itu akan kebaikan. Dan nama taubat ini, ialah: taubat nashuha dan nama diri yang tenang ini ialah: diri yang tenteram, yang kembali kepada Tuhannya, yang rela dan direlai. Merekalah orang-orang, yang disyarat kan dengan sabda Nabi saw kepadanya: “Telah mendahului orang-orang yang tersendiri, yang membabi buta dengan berdzikir (mengingati Allah Ta’ala). Diletakkan oleh dzikir itu dari mereka, akan kesalahan-kesalahannya. Lalu mereka datang pada hari kiamat dengan ringan”. Pada hadits tersebut itu suatu isyarat, bahwa mereka berada di bawah kesalahan-kesalahannya, yang diletakkan oleh dzikir itu daripada mereka. Dan orang-orang tingkat ini berada di atas beberapa derajat, dari segi kecenderungan nya kepada nafsu syahwat. Maka dari orang yang bertaubat itu, ada yang tenang nafsu syahwatnya, di bawah paksaan ilmu mengenal Allah Ta’ala. Lalu lemahlah kecenderungannya dan ia tidak diganggu daripada menempuh jalan ibadah oleh bantingan nafsu syahwat. Dan kepada orang yang senantiasa dari kecenderungan nafsu. Akan tetapi ia sanggup berbersungguh‑sungguh dan menolaknya. Kemudian, derajat kecenderungan juga berlebih kurang, dengan banyak dan sedikitnya, dengan berbeda masa dan macam-macamnya. Dan seperti yang demikian juga, mereka berbeda dari segi panjang umur. Maka dari orang yang tiba-tiba mati, yang mendekati masanya dari taubatnya itu, bergembira, karena keselamatannya dan matinya sebelum sekejap dari ketaubatannya. Dan dari orang yang berpelan-pelan, yang panjang jihadnya dan sabarnya. Dan berkepanjangan istiqomahnya dan banyak kebaikan-kebaikannya. Keadaan orang yang tersebut ini, adalah lebih tinggi dan lebih utama. Karena setiap kejahatan itu, sesungguhnya akan dihapuskan oleh kebaikan. Sehingga sebagian ulama mengatakan: bahwa akan tertutup dosa yang dikerjakan oleh orang yang berbuat maksiat, dimana ia menetap pada dosa itu 10 kali, serta benarnya nafsu syahwat. Kemudian ia menahan diri dari dosa itu dan ia menghancurkan nafsu syahwatnya, karena takut kepada Allah Ta’ala. Membuat syarat yang demikian ini, adalah jauh dari kebenaran, walaupun tidak dimungkiri besarnya kesannya, kalau diumpamakan yang demikian. Akan tetapi, tiada seyogyalah bagi murid yang lemah, bahwa menempuh jalan ini. Lalu berkobarlah nafsu syahwatnya dan muncullah sebab-sebab, sehingga ia menetap pada yang demikian. Kemudian, ia ingin benar, pada mencegahnya. Karena ia tidak percaya akan keluar tali nafsu syahwat dari pilihannya. Lalu ia tampil kepada perbuatan maksiat dan meruntuhkan taubatnya. Akan tetapi, jalannya ialah lari daripada permulaan sebab-sebab dosa, yang memudahkan baginya. Sehingga ia menyumbatkan jalan-jalannya atas dirinya. Dan bersamaan dengan demikian, ia berusaha memecahkan nafsu syahwatnya, dengan apa yang disanggupinya. Maka dengan demikian, selamatlah taubatnya pada permulaan.
Tingkat kedua: orang yang bertaubat yang menempuh jalan istiqomah, pada induk-induk perbuatan taat dan meninggalkan perbuatan-perbuatan keji yang menjadi dosa besar seluruhnya. Hanya, dia itu tiada akan terlepas dari dosa-dosa yang menimpa dirinya. Tidak dari kesengajaan dan semata-mata bermaksud. Akan tetapi, ia mendapat percobaan dengan dosa-dosa tersebut dalam perjalanan hidup keadaan dirinya, tanpa ia mengemukakan cita-cita kepada mengerjakan dosa-dosa itu akan tetapi, tiap kali ia telah mengerjakan dosa-dosa itu, niscaya ia mengutuk dirinya, menyesali dan bersedih hati. Dan ia membarukan cita-citanya, untuk berkekalan menjaga diri dari sebab-sebab dosa yang mendatangkannya kepada dosa-dosa tersebut. Nafsu ini layak, bahwa dia itu: nafsu yang mencela dirinya. Karena nafsu tersebut mencela yang empunya nafsu itu, terhadap apa yang ditunjukkannya dari hal-ikhwal yang tercela. Tidak dari cita-cita yang benar-benar, rekaan pikiran dan maksud. Ini juga tingkat yang tinggi, walaupun turun dari tingkat pertama di atas. Dan itulah kebanyakan hal-ikhwal orang-orang yang bertaubat. Karena kejahatan itu diperas dengan tanah liat kejadian anak Adam, yang sedikitlah anak Adam itu terlepas daripadanya.
Dan penghabisan usaha sesungguhnya ialah: kebajikannya yang dapat mengalahkan kejahatannya. sehingga timbangannya menjadi berat. Lalu daun neraca kebajikannya menjadi lebih kuat. Adapun, bahwa daun neraca kejahatan akan kosong secara keseluruhan, maka yang demikian itu adalah terlalu jauh untuk dapat dicapai. Dan mereka itu mempunyai kebagusan janji daripada Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhan engkau itu luas dalam memberikan ampunan”. S 53 An Najm ayat 32. Setiap perbuatan dosa yang demikian itu terjadi dengan dosa kecil. Tidak dengan menetapkan dirinya di atas perbuatan dosa itu. Maka itu adalah pantas, bahwa yang demikian itu termasuk kesalahan yang dimaafkan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang itu, apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun kepadaNya terhadap dosa mereka”. S 3 Ali Imran ayat 135. Allah Ta’ala memuji mereka serta mereka itu menganaiya dirinya sendiri adalah karena penyesalan mereka dan mereka mencaci dirinya sendiri terhadap perbuatan dosa tersebut. Dan kepada tingkat yang seperti ini, diisyaratkan dengan sabda Nabi saw, menurut yang diriwayatkan Ali ra: “Yang terbaik dari kamu, ialah: tiap-tiap orang yang mendapat percobaan, yang bertaubat”. Pada hadits lain, ialah: “Orang mu’min itu adalah seperti tangkai padi, sewaktu-waktu ia berputar dan sewaktu-waktu ia cenderung. Pada hadits disebutkan: “Tak boleh tidak bagi orang mu’min, dari dosa yang diperbuatnya dari waktu ke waktu”. Artinya: dari ketika ke ketika yang lain. Semua yang demikian itu, adalah dalil-dalil yang meyakinkan, bahwa sekedar itu tidaklah meruntuhkan taubat. Dan orang yang mempunyai taubat tersebut, tidaklah dihubungkan dengan derajat orang-orang yang berkekalan dengan dosa. Dan orang yang menganggap putus asa, orang yang seperti ini dari  derajat orang-orang yang bertaubat, adalah seperti dokter (tabib) yang merasa putus asa orang sehat daripada kekal kesehatannya, disebabkan apa yang dimakannya, dari buah-buahan dan makanan-makanan panas, sekali-kali, tanpa terus-menerus dan berkekalan. Dan seperti seorang ahli fiqh (al-faqih), yang merasa putus asa bagi seorang yang mempelajari ilmu fiqh, untuk mencapai derajat al-fuqaha (ahli ilmu fiqh), disebabkan kelemahannya daripada meneruskan dengan berulang-ulang dan penyangkutan pada waktu-waktu yang jarang diperbuat, yang tiada berkepanjangan dan tiada banyak. Yang demikian itu menunjukkan kepada kekurangan dokter dan ahli fiqh. Bahkan ahli fiqh pada agama, ialah: orang yang tiada merasa putus asa bagi makhluk daripada derajat-derajat kebahagiaan, dengan yang bersesuaian bagi mereka, dari waktu-waktu terluang dan mengerjakan kejahatan-kejahatan yang terjadi sepintas lalu.
Nabi saw bersabda: “Setiap anak Adam itu berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan, ialah: orang-orang yang bertaubat, yang meminta ampun”. Nabi saw bersabda pula: “Orang mu’min itu lemah, lagi penampal. Maka mereka yang terbaik ialah: orang yang mati diatas penampalannya”. Artinya: lemah disebabkan dosa-dosa yang diperbuatnya, yang menampal dengan taubat dan penyesalan. Allah Ta’ala berfirman: “Kepada orang-orang itu diberikan upah 2 kali lipat, disebabkan kesabaran mereka dan menolak kejahatan dengan kebaikan”. S 28 Al Qashash ayat 54. Mereka tidak disifatkan sekali-kali, dengan tiada kejahatan.
Tingkat ketiga:  bahwa ia bertaubat dan berkekalan di atas istiqomah disewaktu-waktu. Kemudian, ia dikerasi oleh nafsu syahwat pada sebagian dosa. Lalu ia tampil pada dosa itu dengan benar cita-cita dan maksud hawa nafsu. Karena lemahnya daripada paksaan hawa nafsu. Hanya dia dalam pada itu rajin selalu mengerjakan amal taat dan meninggalkan sejumlah dosa, serta mampu memperbuatnya dan ada nafsu syahwatnya. Dia sesungguhnya dipaksakan oleh satu nafsu syahwat ini atau dua nafsu syahwat. Dan ia ingin, jikalau diberi kemampuan oleh Allah Ta’ala kepada mencegahnya. Dan mencukupilah baginya kejahatan nafsu syahwat ini, yang menjadi angan-angannya pada ketika melaksanakan nafsu syahwat tersebut. Dan ketika selesai kepadanya, lalu ia menyesal. Dan ia mengatakan: “Mudah-mudahan aku tidak memperbuatnya lagi. Aku akan bertaubat daripadanya dan akan berjihat melawan hawa nafsu dengan diriku pada memaksakannya”. Akan tetapi, ia menanyakan dirinya dan taubatnya dikatakannya “Akan sekali demi sekali dan hari demi hari. Maka dari ini, ialah yang dinamakan: diri yang menanyakan. Dan yang empunya diri tersebut, termasuk diantara orang-orang yang difirmankan oleh Allah Ta’ala tentang mereka: “Dan adapula yang lain, yang mengakui kesalahan mereka, telah mempercampur-baurkan pekerjaan baik dan buruk”. S 9 At Taubah ayat 102. Maka urusannya diharapkan dari segi kerajinannya mengerjakan taat dan kebenciannya kepada apa yang telah dikerjakannya. Mudah-mudahan Allah menerima taubatnya dan kesudahan orang tersebut itu dalam bahaya, dari segi bahwa ia “akan” bertaubat dan mengemudiankannya. Lalu kadang-kadang, ia disambar maut sebelum  taubat dan urusannya jatuh dalam kehendak Allah Ta’ala. Maka jikalau Allah Ta’ala memperbolehkan baginya kembali, dengan kurniaNya, menampalkan kepecahannya dan mengurniakan kepadanya dengan kenikmatan taubat, niscaya ia dapat berhubungan dengan orang-orang yang terdahulu. Dan kalau ia dikeraskan oleh ketidak beruntungan dan dipaksakan oleh nafsu syahwatnya, maka ditakutkan bahwa diberikan kepadanya pada akhir kesudahan, apa yang telah terdahulu kepadanya, dari perkataan pada azali ( tidak kesudahan / permulaan ). Karena, sesungguhnya manakala sukar kepada orang yang mempelajari ilmu fiqh umpamanya menjaga dari kesibukan belajar, maka kesukaran itu menunjukkan bahwa, telah terdahulu bagi orang tersebut pada azali ( tidak kesudahan / permulaan ), bahwa ia termasuk sebagian orang-orang yang bodoh. Lalu lemahlah harapan pada diri orang tersebut dan apabila mudah baginya sebab-sebab kerajinan pada menghasilkan ilmu tersebut, niscaya menunjukkan bahwa telah terdahulu baginya pada azali ( tidak kesudahan / permulaan ), bahwa dia termasuk dalam jumlah orang-orang yang berilmu. Maka seperti demikian juga, ikatan kebahagiaan akhirat dan memperolehnya dengan kebajikan dan kejahatan dengan hukum taqdir yang menyebabkan sebab-sebab itu, adalah seperti ikatan sakit dan sehat, dengan memakan makanan-makanan dan obat-obatan. Dan ikatan hasil faham diri, yang dengan itu berhak kedudukan tinggi di dunia, dengan meninggalkan kemalasan dan rajin kepada pemahaman diri. Maka sebagaimana tidak pantas bagi kedudukan kepala, jabatan hakim dan maju dalam bidang ilmu pengetahuan, selain diri yang menjadi ahli fiqh dengan lamanya mempelajarinya, maka tiada pantas bagi memiliki akhirat dan kenikmatannya dan dekat kepada Tuhan semesta alam, selain hati yang sejahtera, yang telah menjadi suci dengan lamanya pembersihan dan penyucian. Begitulah kiranya telah terdahulu pada azali ( tida kesudahan / permulaan ) dengan pengaturan Tuhan semesta alam.
Dan karena itulah, Allah Ta’ala berifman: “Dan jiwa dan kesempurnaannya. Dan diilhamkan kepadanya yang salah dan yang benar. Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan (jiwanya-dirinya). Dan sesungguhnya rugi besar orang yang mengotorkannya”. S 91 Asy Syams ayat 7-8-9-10.
Manakala hamba Allah itu telah jatuh dalam dosa, maka jadilah dosa itu ada sekarang dan taubat itu ada nantinya. Dan ini –adalah termasuk tanda-tanda kekecewaan. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya hamba itu berbuat dengan perbuatan isi surga 70 tahun lamanya. Sehingga manusia mengatakan, bahwa hamba tersebut adalah sebagian dari isi surga. Dan tidak ada lagi antara dia dan surga, kecuali sejengkal saja. Lalu Alkitab (suratan pada Luh Mahfudh) mendahului kepadanya, maka ia berbuat dengan perbuatan isi neraka. Maka ia masuk ke dalam neraka”. Jadi, takut dari akhir kesudahan itu, adalah sebelum taubat. Dan setiap nafas itu adalah akhir kesudahan dari yang sebelumnya. Karena, mungkin bahwa maut itu bersambung dengan yang tersebut. Maka hendaklah diintip nafas-nafas itu. Jikalau tidak, niscaya terjatuh pada yang ditakuti. Dan berkekalanlah kerugian, sehingga penyesalan itu tidak bermanfaat.
Tingkat keempat: bahwa ia bertaubat dan ia lalui pada suatu masa di atas istiqomah. Kemudian, ia kembali kepada memperbuat dosa atau dosa-dosa, tanpa ia membisikkan pada dirinya dengan taubat. Dan tanpa ia bersedih hati atas perbuatannya. Bahkan, ia terperosok sebagaimana terperosoknya orang yang lalai pada mengikuti nafsu syahwatnya. Maka orang ini termasuk dalam jumlah orang-orang yang berkekalan berbuat dosa. Dan diri ini, adalah diri yang menyuruh dengan kejahatan, yang lari dari kebajikan. Dan ditakuti terhadap orang ini, akan buruk akhir kesudahannya. Dan urusannya adalah menurut kehendak Allah. Kalau ia berkesudahan dengan buruk, niscaya ia sengsara (tidak berharga), dengan kesengsaraan yang tiada akhirnya. Dan kalau ia berkesudahan dengan baik, sehingga ia mati di atas keesaan, maka ia dapat ditunggu akan kelepasan dari neraka, walaupun sesudah masa yang tidak diketahui. Dan tidak mustahil bahwa ia akan dilengkapi oleh umurnya kemaafan dengan sebab yang tersembunyi, yang tidak kita melihatnya sebagaimana tidak mustahil bahwa manusia itu masuk pada tempat yang roboh, supaya diperolehnya suatu guci uang. Maka kebetulan ia mendapatinya. Dan ia duduk di rumah, supaya ia dijadikan oleh Allah seorang yang berilmu dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, tanpa dipelajarinya, sebagaimana adanya nabi-nabi as. Maka mencari keampunan dengan perbuatan taat, adalah seperti mencari ilmu dengan bersungguh-sungguh dan berulang-ulang. Mencari harta dengan berniaga dan menyeberangi lautan. Dan mencari keampunan itu dengan mengharap semata-mata, serta robohnya segala amal, adalah seperti mencari guci-guci itu, pada tempat-tempat reruntuhan. Dan mencari ilmu pengetahuan dari pengajaran malaikat-malaikat. Moga-moga orang yang bersungguh-sungguh (rajin) itu belajar. Moga-moga orang yang berniaga itu, memperoleh kekayaan. Moga-moga orang yang berpuasa dan mengerjakan shalat, diampunkan dosanya. Manusia itu seluruhnya diharamkan (tidak mendapat), selain orang-orang yang berilmu. Dan orang-orang yang berilmu itu seluruhnya, diharamkan (tidak mendapat), selain orang-orang yang bekerja (beramal). Dan orang-orang yang bekerja itu seluruhnya diharamkan (tidak mendapat), selain orang-orang yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas itu di atas bahaya besar. Sebagaimana orang yang merobohkan rumahnya, menyia-nyiakan hartanya dan membiarkan dirinya dan keluarganya lapar itu mendakwakan, bahwa ia menunggu kurnia Allah SWT, dengan diberikan kepadanya rezeki suatu gudang yang didapatinya di bawah tanah, pada rumahnya yang roboh, bahwa orang itu terhitung pada orang-orang yang bermata hati, termasuk orang yang dungu dan yang tertipu dengan dirinya sendiri. Walaupun apa yang ditunggunya itu tidak mustahil dalam kekuasaan Allah Ta’ala dan kurniaNya. Maka seperti itu pula, orang yang menunggu ampunan dari kurnia Allah Ta’ala. Dan ia teledor dari taat, berkekalan berbuat dosa, tidak menempuh jalan ampunan. Maka ia terhitung pada orang-orang yang mempunyai hati, termasuk orang-orang yang lemah akal pikiran. Dan yang mengherankan dari akal pikiran orang yang lemah akal ini dan mengobralkan kedunguannya itu dalam celupan yang bagus. Karena ia mengatakan: “Sesungguhnya Allah itu Maha Pemurah dan sorganya itu tidaklah sempit kepada orang-orang yang seperti aku. Dan kemaksiatanku tidaklah mendatangkan melarat kepadaNya”.
Kemudian, anda melihat orang tersebut, menyeberang lautan dan menempuh berbagai macam kesulitan pada mencari dinar (uang). Dan apabila dikatakan kepadanya, bahwa Allah itu Maha Pemurah dan uang dinar gudang-gudangNya, tidak akan melengahkan dari kemiskinan engkau. Dan kemalasan engkau dengan meninggalkan berniaga, tidaklah mendatangkan melarat bagi engkau. Maka duduklah di rumah engkau ! semoga IA akan memberi engkau rezeki, dari mana, yang tidak engkau menduga sama sekali. Lalu orang itu memandang bodoh orang yang mengatakan perkataan tersebut dan memperolok-olokkannya, seraya mengatakan: “Alangkah lemahnya akal orang ini ! langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak. Dan sesungguhnya itu akan diperoleh dengan usaha. Begitulah kiranya yang ditaqdirkan oleh YANG Menyebabkan segala sebab. Dan dengan yang demikian, IA memperlakukan sunnahNya. Dan tiadalah pergantian bagi sunnah Allah”. Orang yang terperdaya dirinya itu, tidak tahu, bahwa Tuhan akhirat dan Tuhan dunia itu SATU. Dan sunnahNya semua pada akhirat dan dunia itu tiada mempunyai pergantian. Dan IA telah menerangkan, dengan firmanNya: “Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh apa yang diusahakannya”. S 53 An Najm ayat 39. Maka bagaimana ia percaya bahwa Allah itu Maha Pemurah di akhirat dan IA tidak Maha Pemurah di dunia ? dan bagaimana ia mengatakan, bahwa tidaklah yang dikehendaki kemurahan itu lemah daripada mengusahakan harta. Dan yang dikehendaki, ialah lemah dari bekerja bagi milik yang tetap dan nikmat yang berkekalan. Dan bahwa yang demikian itu dengan hukum kemurahan, akan diberikannya di akhirat, tanpa kesungguhan. Dan ini mencegahnya serta kesangatan kesungguhan pada kebanyakan urusan di dunia. Dan ia lupa akan firman Allah Ta’ala: “Dan di langit ada rezekimu dan (juga) apa yang dijanjikan kepada kamu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 22. Maka kita berlindung dengan Allah dari kebutaan dan kesesatan ! maka tidaklah ini, selain menungging atas pundak kepala dan terbenam dalam kegelapan kebodohan. Dan orang yang mempunyai keadaan ini, pantas ia masuk dalam maksud firman Allah Ta’ala: “Sekiranya engkau lihat nanti, ketika orang-orang berdosa itu menundukkan kepalanya di sisi Tuhannya, (mereka mengatakan): “Wahai Tuhan kami ! kami telah melihat dan mendengar apa-apa yang Engkau katakan. Sebab itu, kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan perbuatan baik”. S 32 As Sajadah ayat 12. Artinya: kami telah melihat, bahwa Engkau benar, karena Engkau berfirman: “Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh apa yang diusahakannya”. Maka kembalikanlah kami, niscaya kami akan bekerja”. Pada yang demikian itu, tidak mungkin lagi terjadi sebaliknya. Dan berhaklah atas dirinya azab. Maka kita berlindung dengan Allah dari segala yang mengajak kepada kebodohan, keraguan dan kebimbangan, yang membawa secara darurat kepada buruknya tempat berbalik dan kembali.
PENJELASAN: apa yang seyogyanya disegerakan oleh orang yang bertaubat, jikalau terjadi atas dirinya dosa. Adakalanya dosa itu, dengan sengaja dan nafsu syahwat yang mengerasi atau dari perbuatan dosa dengan kebetulan yang demikian.
Ketahuilah, bahwa yang wajib atasnya ialah: taubat, penyesalan dan berbuat menutupi dosa itu dengan perbuatan kebaikan, yang berlawanan dengannya, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu jalannya. Kalau ia tidak ditolong oleh jiwanya kepada bercita-cita untuk meninggalkan dosa itu, karena kerasnya nafsu syahwat, maka sesungguhnya ia telah lemah dari salah satu dari dua yang wajib. Maka tiada seyogyalah ia meninggalkan wajib yang kedua. Yaitu: bahwa ia menolak kejahatan itu dengan kebaikan. Supaya ia menghapuskan kejahatan itu. Maka jadilah ia termasuk orang yang mencampurkan perbuatan baik dan yang lain, perbuatan buruk. Perbuatan-perbuatan baik yang menutupkan (menjadi penutup dosa) bagi perbuatan-perbuatan jahat, adakalanya dengan hati, adakalanya dengan lidah dan adakalanya dengan anggota badan. Dan hendaklah perbuatan baik itu berada pada tempat perbuatan jahat dan pada yang menyangkut dengan sebab-sebabnya.
Adapun dengan hati, maka hendaklah ditutupkannya dengan merendahkan diri kepada Allah Ta’ala, pada bermohon keampunan dan kemaafan. Dan menghinakan diri, sebagaimana menghina dirinya hamba yang lari dari tuannya. Dan penghinaan diri itu adalah, dimana ia melahirkannya kepada hamba-hamba yang lain. Yang demikian itu, ialah dengan kurang kesombongannya, pada hal-hal yang menyangkut di antara sesama mereka. Maka tidaklah bagi hamba yang melarikan diri dari tuannya, yang berdosa itu, jalan untuk sombong kepada hamba-hamba yang lain. Dan seperti yang demikian juga, ia menyembunyikan dengan hatinya, kebajikan-kebajikan bagi kaum muslimin dan bercita-cita kepada perbuatan-perbuatan taat.
Adapun dengan lidah, maka yaitu: dengan mengaku berbuat kezaliman dan meminta ampun. Lalu ia megucapkan: “Hai Tuhanku ! aku telah menganiaya diriku dan aku telah mengerjakan perbuatan jahat. Maka ampunilah bagiku dosa-dosaku !”. Dan seperti demikian juga, ia memperbanyak dengan berbagai macam istighfar (meminta ampun dengan membaca astaghfirullah), sebagaimana telah kami cantumkan pada Kitab Doa dan Dzikir dahulu.
Adapun dengan anggota badan, maka adalah: dengan perbuatan-perbuatan taat, memberi sedekah dan berbagai macam ibadah lainnya. Pada atsar (ucapan para sahabat dan ulama terkemuka), ada yang menunjukkan, bahwa dosa itu apabila diikutkan dengan 8 macam amal perbuatan, niscaya dapatlah diharapkan kemaafan itu. Yaitu: 4 dari amal perbuatan hati. yaitu: taubat atau bercita-cita kepada taubat, ingin mencabut diri dari dosa, takut siksaan atas dosanya dan mengharap keampunan baginya. Dan 4 dari amal perbuatan anggota badan, ialah: bahwa anda mengerjakan shalat 2 rakaat sesudah baru saja berbuat dosa. Kemudian, anda mengucapkan istighfar sesudah 2 rakaat shalat tadi, sebanyak 70 kali. Dan anda mengucapkan: “Subhaanallaahil-adhiimi wa bihamdih” 100 kali( Maha suci Allah dan Keagungan Nya dan dengan memuji kepadaNya). Kemudian, anda bersedekah, dengan sesuatu sedekah. Kemudian, anda berpuasa sehari.
Pada sebahagian atsar itu disebutkan, supaya anda melengkapkan dengan wudlu’ (mengambil air sembahyang), anda masuk ke masjid dan mengerjakan shalat 2 rakaat. Pada sebahagian hadits, disebutkan supaya anda mengerjakan shalat 4 rakaat. Pada hadits, ialah: “Apabila engkau mengerjakan kejahatan, maka ikutkanlah kejahatan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menutupkan kejahatan tersebut. Rahasia dengan rahasia dan terang dengan terang”. Karena itulah, dikatakan, bahwa sedekah rahasia itu menutupkan dosa-dosa malam. Dan sedekah terang itu menutupkan dosa-dosa siang. Dan pada hadits shahih, yaitu: “Bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: “Sesungguhnya aku membiasakan diri dengan seorang wanita, lalu aku memperoleh daripadanya segala sesuatu, selain bersetubuh. Maka hukumkanlah aku ini dengan hukum Allah Ta’ala !”. Rasulullah saw lalu menjawab: “Adakah engkau mengerjakan shalat bersama kami, shalat Shubuh ?”. Laki-laki itu menjawab: “Ada !”. Rasulullah saw lalu bersabda: “Bahwa kebajikan-kebajikan itu akan menghilangkan kejahatan-kejahatan”. Ini menunjukkan, bahwa yang bukan zina, daripada membiasakan diri dengan wanita itu, adalah dosa kecil. Karena dijadikan shalat menjadi penutup dosanya, menurut yang dikehendaki oleh sabda Nabi saw: “Shalat 5 waktu itu adalah penutup dosa bagi apa yang dikerjakan diantara shalat-shalat itu, selain dosa besar”. Maka di atas hal-ikhwal itu semua, seyogyalah hamba itu memperhitungkan dirinya setiap hari. Dikumpulkannya kejahatan-kejahatannya dan bersungguh-sungguh menolaknya dengan kebajikan-kebajikan.
Kalau anda bertanya: bagaimana kiranya membaca istighfar itu bermanfaat, tanpa dibuka ikatan berkekalan berbuat dosa ? dan pada hadits, diterangkan: “Orang yang meminta ampun dari dosa (membaca istighfar), sedang ia berkekalan di atas dosa itu, adalah seperti orang yang mengejek-ejek ayat-ayat Allah”. Dan sebahagian mereka membaca: “Astaghfirullah lahaa min qauli astaghfirullah”. Ada yang mengatakan: bahwa membaca istighfar dengan lidah itu, adalah taubat orang-orang pendusta.
Rabiah Al Adawiyah berkata: “Istighfar kami memerlukan kepada banyak istighfar/mohon ampun”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa telah datang hadits-hadits, di luar dari hingga, tentang keutamaan istighfar (memohonkan ampunan), yang telah kami sebutkan pada kita Dzikir dan Doa dahulu. Sehingga dihubungkan oleh Allah, istighfar itu dengan kekekalan Rasul saw. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Allah tiada menyiksa mereka, sedang engkau masih ada diantara mereka. Dan tiadalah Allah hendak menyiksa mereka, sedang mereka masih memohonkan ampun”. S 8 Al Anfal ayat 33.
 Ada sebahagian sahabat mengatakan: “Adalah kami mempunyai dua aman. Telah hilang satu dari yang 2 itu, yaitu: adanya Rasulullah bersama kami. Dan tinggallah istighfar bersama kami. Kalau istighfar itu hilang pula, niscaya kami binasa”. Maka kami jawab: bahwa istighfar yang menjadi taubat orang-orang pendusta, ialah: istighfar semata-mata dengan lidah, tanpa hati bersekutu padannya. Seperti: orang mengucapkan, disebabkan telah menjadi kebiasaan dan dari pokok kelalaian: Astaghfirullah (saya memohon ampunan kepada Allah) Dan seperti orang mengatakan, apabila mendengar sifat api neraka: “Naudzu billahi minha”. Tanpa membekas hatinya dengan ucapan tersebut. Dan ini kembali kepada gerakan lidah semata dan tiada faedah baginya.
Adapun apabila bertambah kepadanya kerendahan hati kepada Allah Ta’ala dan ke doanya pada permohonan keampunan, dengan kebenaran kehendak, keikhlasan niat dan keinginan, maka ini adalah kebaikan pada dirinya. Maka pantas untuk menolak kejahatan dengan yang demikian itu. Di atas inilah di bawah hadits-hadits yang datang, tentang keutamaan membaca istighfar, sehingga Nabi saw bersabda: “Tidaklah dipandang kekal berbuat dosa, orang yang meminta ampun (membaca istighfar) dari dosanya, walaupun ia kembali kepada dosa itu dalam sehari 70 kali. Yaitu ibarat dari meminta ampun dengan hati. Taubat dan istighfar itu mempunyai tingkat-tingkat. Tingkat-tingkat permulaannya itu tiada terlepas daripada faedah, walaupun tiada berkesudahan kepada tingkat-tingkat penghabisannya. Dan karena itulah, Sahl bin Abdullah At-Tusturi ra berkata: “Bahwa tak boleh tidak bagi hamba itu dalam setiap hal keadaannya, dari Tuhannya. Maka hal keadaannya yang terbaik, ialah: bahwa ia kembali kepada Tuhannya pada setiap sesuatu. Kalau ia berbuat maksiat, niscaya ia berdoa: “Hai Tuhanku ! tutuplah kemaksiatanku!”. Dan apabila ia telah selesai dari perbuatan maksiat, niscaya ia berdoa: “Hai Tuhanku ! taubatkanlah aku !”. Maka apabila ia telah bertaubat, niscaya ia berdoa: “Hai Tuhanku ! anugerahkanlah kepadaku terpelihara dari kesalahan !”. Dan apabila telah berbuat amal, niscaya ia berdoa: “Hai Tuhanku ! terimalah amalku !”.
Ditanyakan pula Sahl ra dari hal istighfar yang menutupkan (menjadi penutup dosa). Lalu beliau menjawab: “Permulaan istighfar itu istijabah (perkenan), kemudian: inabah (kembali), kemudian: taubat. Perkenan itu perbuatan anggota badan. kembali, perbuatan hati. Dan taubat itu menghadapnya kepada Tuhannya, dengan meninggalkan makhluk. Kemudian, ia meminta ampun dari keteledorannya, dimana ia sekarang dalam keteledoran itu. Dan dari kebodohan dengan nikmat dan meninggalkan syukur. Maka ketika itu, ia akan diampunkan. Dan ada tempatnya di sisiNya. Kemudian, berpindah kepada sendirian, kemudian tetap, kemudian jelas, kemudian pikir, kemudian mengenal, kemudian membisikkan segala isi hati, kemudian mensuci-membersihkan, kemudian menundukkan diri kepada Tuhan dengan sebenar-benarnya, kemudian bercakap-cakap rahasia. Dan itulah ketemanan. Dan ini tiada akan menetap dalam hati hamba, sehingga adalah ilmu itu makanannya, dzikir itu keteguhannya, ridha itu perbekalannya dan tawakkal itu sahabatnya. Kemudian, Allah Ta’ala memandang kepadanya. Lalu diangkatnya ke ‘Arasy/surga. Maka adalah tempat kedudukannya itu maqam pendukung-pendukung ‘Arasy.
Ditanyakan pula Sahl ra tentang sabda Nabi saw: “Orang yang bertaubat itu kekasih Allah”. Maka Sahl ra menjawab: “Sesungguhnya adalah orang yang bertaubat itu menjadi kekasih Allah, apabila ada padanya, semua yang disebutkan pada firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang taubat (kepada Tuhan), orang-orang yang menyembah (Tuhan), orang-orang yang memuji (Tuhan), orang-orang yang berpuasa, orang-orang yang ruku’, orang-orang yang sujud, orang-orang yang menyuruh mengerjakan perbuatan baik, orang-orang yang melarang mengerjakan kejahatan dan orang-orang yang menjaga batas-batas (aturan) Tuhan”. S 9 At Taubah ayat 112. Sahl ra berkata, bahwa orang yang dikasihi, ialah: orang yang tidak masuk (tidak mengerjakan), apa yang tidak disukai oleh kekasihnya. Yang dimaksud ialah, bahwa taubat itu mempunyai dua buah (2 hasil).
Yang pertama, ialah menutupkan kejahatan-kejahatan. Sehingga orang itu menjadi seperti orang yang tidak mempunyai dosa.
Yang kedua, ialah mencapai tingkat-tingkat, sehingga ia menjadi orang yang dikasihi.
Dan untuk menutupkan dosa itu, mempunyai tingkat-tingkat pula. Sebahagiannya menghapuskan pokok dosa secara keseluruhan. Dan sebahagiannya meringankan dosa itu. Dan yang demikian, berlebih kurang dengan berlebih kurangnya derajat taubat. Maka mengucapkan istighfar itu, dengan hati dan memperoleh kembali dengan kebaikan-kebaikan, walaupun kosong dari melepaskan ikatan kekekalan berbuat dosa, adalah termasuk sebahagian dari tingkat-tingkat permulaannya. Maka tidak kosong sekali-kali dari faedah. Maka tiada seyogyalah disangka, bahwa adanya taubat itu seperti tidak ada. Bahkan, orang-orang yang mempunyai penyaksian dan mempunyai hati mengetahui dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala, yang tak ragu lagi padanya, bahwa firman Allah Ta’ala: “Maka siapa yang mengerjakan perbuatan baik seberat atom, akan dilihatnya” itu benar. Dan sesungguhnya bahwa seberat atom kebajikan, tiada akan terlepas daripada bekas. Sebagaimana tiada akan terlepas dari bekas, sebiji syair (seperti gandum) yang diletakkan pada neraca. Dan kalau biji syair pertama terlepas dari bekas, niscaya biji syair kedua akan seperti itu pula. Dan akan ada neraca itu tiada berat dengan pembawaan atom-atom di dalamnya. Dan itu dengan mudah diketahui, adalah mustahil. Bahkan neraca kebaikan-kebaikan akan berat dengan atom-atom kebajikan, sehingga ia menjadi berat. Lalu terangkatlah daun neraca kejahatan. Maka jagalah bahwa anda memandang kecil atom-atom perbuatan taat, lalu anda tidak mendatanginya. Dan atom-atom kemaksiatan, lalu anda tidak meniadakannya, seperti wanita yang tidak bagus pekerjaannya, malas dari bertenun, dengan beralasan bahwa ia tidak mampu pada tiap-tiap jam, selain sehelai benang. Dan ia mengatakan: “Manakah orang kaya yang berhasil dengan jahitan ? dan tidaklah terjadi yang demikian pada kain-kain”. Wanita yang bodoh itu tidak mengetahui, bahwa kain-kain dunia itu terkumpul, benang demi benang. Dan tubuh-tubuh alam ini serta luas benua-benuanya. Terkumpul dari atom demi atom. Jadi, merendahkan diri dan beristighfar dengan hati itu adalah kebaikan, yang tidak sekali-kali tersia-siakan pada sisi Allah.
Bahkan aku mengatakan, bahwa istighfar dengan lisan juga suatu kebaikan. Karena gerakan lisan dengan kebaikan itu, secara lalai, adalah lebih baik daripada gerakan lisan pada saat itu dengan mencaci orang muslim atau perkataan yang sia-sia. Bahkan itu adalah lebih baik daripada diam daripadanya. Maka jelaslah kelebihannya, dengan dibandingkan kepada diam daripadanya. Hanya itu suatu kekurangan, dibandingkan kepada amalan hati. Dan karena itulah, setengah mereka mengatakan kepada gurunya Abi Usman Al Maghribi: “Lisanku sesungguhnya pada setengah keadaan itu berlalu dengan dzikir dan Alquran, sedang hatiku lalai”. Guru itu lalu menjawab: “Bersyukurlah kepada Allah, apabila Allah telah menggunakan salah satu anggota badan engkau pada kebajikan ! dan dibiasakannya anggota badan itu dengan dzikir. Tidak dipergunakannya pada kejahatan. Dan tidak dibiasakannya pada yang sia-sia. Dan apa yang disebutkannya itu benar. Sesungguhnya, membiasakan anggota-anggota badan untuk kebajikan, sehingga yang demikian itu menjadi baginya seperti naluri (tabiat), itu dapat menolak sejumlah perbuatan maksiat.
Orang yang membiasakan lisannya dengan istighfar, apabila ia mendengar dari orang lain kedustaan, niscaya mendahululah lisannya apa yang dibiasakannya itu. Lalu ia mengucapkan: “Astaghfirullah”. Dan orang yang membiasakan perkataan yang sia-sia (tidak bermanfaat), niscaya mendahululah lisannya kepada perkataan: “Alangkah dungunya engkau ! alangkah kejinya kedustaan engkau!”. Orang yang membiasakan membaca “Audzu billah” (al-istiadzah), apabila terjadi menampaknya permulaan kejahatan dari orang jahat, niscaya ia mengatakan, disebabkan mendahului lisannya: “Naudzu billah”. Apabila ia membiasakan perkataan yang sia-sia, lalu ia mengatakan: “Dikutuk oleh Allah dia”. Maka ia menjadi maksiat, pada salah satu dari dua perkataan. Dan ia selamat pada perkataan yang lain. Selamatnya itu adalah bekas kebiasaan lidahnya dengan kebajikan. Dan itu termasuk dalam jumlah arti firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan”. S 9 At Taubah ayat 120. Dan arti firman Allah Ta’ala: “Meskipun perbuatan baik itu sebesar atom, akan dilipat gandakan oleh Tuhan juga dan akan diberinya pahala yang besar dari sisiNya”. S 4 An Nisa’ ayat 40. Maka perhatikanlah, bagaimana Tuhan melipat gandakan kebaikan itu. Karena dijadikannya istighfar pada masa kelalaian itu, kebiasaan lisan. Sehingga dengan kebiasaan tersebut, tertolaklah kejahatan maksiat dengan mengumpat orang, mengutuk dan perkataan sia-sia. Dan ini adalah penggandaan di dunia untuk sekurang-kurang ketaatan. Dan penggandaan akhirat itu lebih besar, jikalau mereka mengetahuinya. Maka awaslah, bahwa anda menoleh pada perbuatan taat itu, bahaya semata-mata. Lalu lemahlah keinginan anda dari ibadah. Maka ini adalah tipuan, yang dilakukan oleh setan penjualannya dengan kutukannya atas orang-orang yang terperdaya.
Dan dikhayalkannya kepada mereka, bahwa mereka itu orang-orang yang mempunyai mata hati, orang-orang yang mempunyai kecerdikan bagi hal-hal yang tersembunyi dan rahasia-rahasia. Maka manakah kebajikan pada dzikir kita dengan lisan serta lalainya hati ?
Maka manusia pada tipuan ini terbagi kepada 3 bagian: yang menganiaya dirinya sendiri, yang sederhana dan yang mendahului dengan kebajikan. Yang mendahului itu, lalu mengatakan: “Benar engkau, hai yang terkutuk !”. Akan tetapi, itu adalah kata-kata benar, yang engkau kehendaki batil/salah. Maka tidak pelak lagi, engkau diazabkan dua kali. Dan dipaksakan hidung engkau mengenai tanah dari dua segi. Lalu ditambahkan kepada gerakan lidah akan gerakan hati. Maka yang demikian itu, adalah seperti orang yang mengobati kelukaan setan, dengan menaburkan garam padanya.
Adapun yang menganiaya dirinya, yang terperdaya, maka ia merasakan pada dirinya, kesombongan kecerdikan bagi yang halus ini. Kemudian, ia lemah dari keikhlasan dengan hati. Lalu ditinggalkannya bersama yang demikian itu, pembiasaan lisan dengan dzikir. Maka ia telah menolong setan dan melepaskan tali penipuannya. Lalu sempurnalah diantara dia dan setan itu, perkongsian dan pernyesuaian. Sebagaimana dikatakan orang: “Sesuailah keranjang makanan itu dengan tutupnya”. Ia sepakat dengan setan maka dipeluknya.
Adapun yang seperti orang yg lemah pada menulis, maka ia tidak mampu memaksakannya, dengan mempersekutukan hati pada perbuatan. Dan ia memahami kekurangan gerakan lisan, dibandingkan kepada hati. Akan tetapi, ia memperoleh petunjuk kepada kesempurnaannya, dibandingkan kepada diam dan perbuatan yang sia-sia. Lalu ia berketerusan atas yang demikian. Dan ia bermohon kepada Allah Ta’ala untuk mempersekutukan hati kepada lisan, pada membiasakan kebajikan. Maka orang yang mendahului itu adalah seperti perajut, yang dicela orang keperajutannya. Lalu ditinggalkannya. Dan ia menjadi juru tulis dan orang yang menganiaya dirinya, yang tertinggal di belakang, adalah seperti orang yang meninggalkan keperajutan pada pokoknya dan menjadi tukang sapu. Dan orang yg lemah pada menulis itu adalah seperti orang yang lemah daripada menulis. Lalu ia mengatakan: “Aku tidak mengingkari tercelanya keperajutan itu. Akan tetapi perajut itu tercela, dibandingkan kepada juru tulis. Tidak tercela, dibandingkan kepada tukang sapu. Maka apabila aku lemah dari menulis, maka aku tidak akan meninggalkan keperajutannya”.
Karena itulah, dikatakan oleh Rabiah Al-‘Adawiyah ra: “Istighfar kita itu memerlukan kepada banyak istighfar”. Maka jangan anda menyangka, bahwa Rabiah Al-‘Adawiyah itu mencela gerakan lisan, dari segi bahwa itu dzikrullah. Akan tetapi, ia mencela kelalaian hati. Maka orang itu memerlukan kepada istighfar, daripada kelalaian hatinya. Tidak daripada gerakan lidahnya. Kalau ia diam juga dari istighfar dengan lidah, niscaya ia memerlukan kepada dua istighfar. Tidak kepada satu istighfar. Maka begitulah, seyogyannya anda memahami celaan apa yang dicelakan dan pujian apa yang dipujikan. Kalau tidak, maka anda tidak memahami arti apa yang dikatakan oleh orang benar, yang berkata: “Kebaikan orang-orang yang berbuat baik itu, adalah kejahatan orang-orang muqarrabin (orang-orang mendekatkan diri kepada Allah)”. Ini adalah hal-hal yang tetap dengan relatif (ada kaitan dengan lainnya). Maka tiadalah seyogyanya bahwa hal-hal itu diambil, tanpa relatif. Akan tetapi, seyogyalah tidak dipandang hina atom-atom ketaatan dan kemaksiatan.
Dan karena itulah, Ja’far As-Shiddiq berkata: “Bahwa Allah Ta’ala menyembunyikan 3 dalam 3: ridhaNya dalam taat kepadaNya, maka janganlah kamu hinakan sesuatu daripadanya ! mudah-mudahan ridhaNya adalah pada sesuatu itu. MarahNya dalam perbuatan maksiat kepadaNya. Maka janganlah kamu hinakan sesuatu dari perbuatan maksiat itu ! mudah-mudahan marahNya ada padanya. Dan IA menyembunyikan kewalianNya pada hamba-hambaNya. Maka janganlah kamu hinakan seseorang dari mereka ! mudah-mudahan dia itu waliyullahi Ta’ala”. Dan ia menambahkan (yang ke-4): “Ia menyembunyikan perkenanNya pada doa kepadaNya. Maka janganlah kamu meninggalkan doa ! kadang-kadang perkenan itu ada pada doa tersebut”.
SENDI KEEMPAT: tentang obat taubat dan jalan pengobatan untuk melepaskan ikatan kekekalan berbuat dosa.
Ketahuilah kiranya, bahwa manusia itu 2 bahagian:
Bahagian pertama: pemuda yang tiada mempunyai kecenderungan kepada kemudaan. Ia tumbuh di atas kebajikan dan menjauhkan kejahatan. Itulah yang disabdakan oleh Rasulullah saw: “Tuhanmu itu merasa takjub dengan pemuda, yang tidak mempunyai kecenderungan kepada kemudaan”. Ini adalah sukar dan jarang terdapat.
Bahagian kedua: yang tidak terlepas daripada mengerjakan dosa. Kemudian, mereka terbagi kepada: yang berkekalan berbuat dosa dan kepada: yang bertaubat. Maksud kami, ialah: menerangkan pengobatan pada melepaskan ikatan kekekalan berbuat dosa itu. Dan kami akan menerangkan obatnya. Maka ketahuilah kiranya, bahwa sembuhnya taubat itu, tiada akan berhasil, selain dengan obat. Dan tiada akan mengerti kepada obat itu, orang yang tiada mengerti akan penyakit. Karena tiada arti bagi obat, selain perlawanan sebab-sebab penyakit. Maka setiap penyakit yang terjadi dari sesuatu sebab, maka obatnya, ialah: melepaskan sebab itu, membuangkannya dan merusakkannya. Dan sesuatu itu tiada akan rusak (batal), selain dengan lawannya. Dan tiada sebab bagi kekekalan berbuat dosa, selain oleh kelalaian dan nafsu syahwat. Dan tiada yang melawan kelalaian, selain ilmu. Tiada yang melawan nafsu syahwat, selain sabar dengan memotong sebab-sebab yang mengerakkan nafsu syahwat. Dan kelalaian itu kepala segala kesalahan.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan itulah orang-orang yang lalai. Tiada ragu lagi, bahwa di akhirat nanti merekalah orang-orang yang menderita kerugian”. S 16 An Nahl ayat 108-109. Jadi, tiada obat bagi taubat, selain perasaan yang diperas dari kemanisan ilmu dan kepahitan sabar. Dan sebagaimana as-sakanjabin, (dikumpulkan antara kemanisan gula dan kemasaman cuka). Dan dengan masing-masing yang dua itu, dimaksudkan suatu maksud yang lain pada pengobatan dengan kumpulan gula dan cuka tadi. Maka ia dapat mencegah sebab-sebab yang membangkitkan penyakit kuning. Maka begitulah seyogyanya anda memahami pengobatan hati, daripada yang ada padanya, yaitu: penyakit kekekalan berbuat dosa. Jadi, obat ini mempunyai dua pokok. Yang pertama: ilmu dan yang satu lagi: sabar. Dan tak boleh tidak dari penjelasan bagi ilmu dan sabar itu. Kalau anda bertanya: adakah bermanfaat setiap ilmu untuk melepaskan kekekalan berbuat dosa atau boleh tidak daripada ilmu yang khusus ? maka ketahuilah kiranya, bahwa ilmu-ilmu itu keseluruhannya adalah obat bagi semua penyakit hati. Akan tetapi, untuk masing-masing penyakit itu ada pengetahuan yang khusus. Sebagaimana ilmu kedokteran itu bermanfaat pada pengobatan semua penyakit secara keseluruhan. Akan tetapi, masing-masing penyakit mempunyai ilmu khusus. Maka demikian juga penyakit kekekalan berbuat dosa. Maka marilah kami terangkan kekhususan ilmu itu, atas dasar keseimbangan penyakit badan. Supaya lebih mendekatkan kepada pengertian. Maka kami katakan, bahwa orang sakit itu memerlukan kepada pembenaran dengan beberapa hal:
Pertama: bahwa ia membenarkan secara keseluruhan, bahwa penyakit dan sehat itu mempunyai sebab-sebab, yang dengan usaha, dapatlah sampai mengetahui nya, menurut apa yang diatur oleh yang menyebabkan sebab-sebab itu. Dan inilah, yang dinamakan: iman (percaya), dengan pokok kedokteran. Maka orang yang tidak percaya dengan yang tersebut, niscaya tak usah ia bekerja dengan pengobatan. Dan berhaklah atas dirinya kebinasaan. Dan ini, timbangannya dari apa yang kita perbincangkan ini, ialah: iman dengan pokok agama. Yaitu: bahwa kebahagiaan di akhirat itu ada sebabnya. Yaitu: taat. Dan kesengsaraan itu ada sebabnya. Yaitu: maksiat. Dan inilah, yang dinamakan: iman (percaya), dengan pokok agama-agama. Dan ini, tak boleh tidak memperolehnya. Adakalanya: dengan pentahkikan (dengan dicari dalil-dalil) atau dengan taqlid (mengikuti tanpa dalil). Masing-masing keduanya ini, adalah termasuk dalam jumlah iman.
Kedua: bahwa tak boleh tidak, orang sakit itu percaya kepada dokter tertentu, bahwa dokter itu berilmu kedokteran, yang mahir yang benar, pada apa yang dikatakannya. Tidak meragukan dan tidak dusta. Maka kepercayaan si sakit itu dengan pokok kedokteran, tidak bermanfaat baginya, dengan semata-mata yang tersebut, tanpa kepercayaan (iman) ini. Timbangannya, dari apa yang kita bicarakan ini, ialah: ilmu dengan kebenaran Rasulullah saw. Dan percaya (iman), bahwa tiap-tiap apa yang disabdakannya itu hak dan benar. Tak dusta padanya dan khilaf.
Ketiga: bahwa si sakit itu mendengar benar-benar kepada dokter, tentang apa yang diperingatinya, dari hal memakan buah-buahan dan sebab-sebab yang mendatangkan melarat secara keseluruhan. Sehingga si sakit itu dikerasi oleh ketakutan, pada meninggalkan penjagaan diri. Maka adalah sangatnya ketakutan itu membangkitkannya untuk menjaga diri. Dan timbangannya pada agama, ialah: mendengar benar-benar ayat-ayat dan hadits-hadits, yang melengkapi kepada penggemaran pada taqwa dan pentakutan mengerjakan dosa dan mengikuti hawa nafsu. Pembenaran itu, ialah dengan semua apa yang diperdengarkan kepada pendengarannya dari yang demikian itu, tanpa syak dan ragu. Sehingga membangkitlah ketakutan yang menguatkan kepada kesabaran, yang menjadi sendi terakhir pada pengobatan.
Keempat: bahwa ia mendengar benar-benar kepada perkataan dokter, mengenai yang khusus dengan penyakitnya dan apa yang harus pada dirinya untuk menjaganya. Supaya pertama-tama, dokter itu memperkenalkan kepadanya, penguraian apa yang mendatangkan melarat kepadanya, dari perbuatan-perbuatan dan hal-ikhwalnya, makanan dan minumannya. Maka tidaklah atas setiap orang sakit itu, menjaga diri dari segala sesuatu. Dan tidaklah bermanfaat kepada si sakit semua obat. Akan tetapi, bagi masing-masing penyakit khusus, mempunyai ilmu khusus dan pengobatan khusus. Dan timbangannya pada agama, ialah: bahwa setiap hamba Allah itu tidaklah dicobakan dengan semua nafsu syahwat dan mengerjakan semua dosa. Akan tetapi, setiap orang mu’min itu mempunyai dosa khusus atau dosa-dosa khusus. Keperluannya sekarang juga, sesungguhnya, bersegera mengetahui, bahwa itu adalah dosa. Kemudian, mengetahui bahaya-bahaya dosa itu dan kadar melaratnya. Kemudian, mengetahui, cara sampai kepada bersabar dari dosa-dosa tersebut. Kemudian, mengetahui, cara menutupkan (penutup dosa) yang telah berlalu dari dosa-dosa tadi. Maka inilah pengetahuan-penngetahuan yang tertentu bagi tabib-tabib (dokter-dokter) agama. Dan mereka, ialah: para ulama yang menjadi pewaris-pewaris nabi. Maka orang yang berbuat maksiat, kalau tahu akan kemaksiatannya, niscaya haruslah ia mencari pengobatan dari dokter. Yaitu: orang alim (orang yang berilmu). Dan kalau ia tidak tahu, bahwa yang dikerjakannya itu dosa, maka haruslah atas orang alim, memberitahukan kepadanya yang demikian. Yang demikian itu, ialah dengan setiap orang alim (ulama) menanggung satu daerah atau satu negeri atau satu tempat atau satu masjid atau satu perhimpunan (perkumpulan yang dihadiri orang ramai). Maka yang ahli agama itu mengajarkan mereka akan agamanya dan menerangkan perbedaan, yang mendatangkan melarat dari yang bermanfaat, yang mendatangkan kesengsaraan bagi mereka daripada yang mendatangkan kebahagiaan kepada mereka. Dan tiada seyogyalah orang alim itu bersabar, sampai ia ditanyakan dari hal agama itu. Akan tetapi, seyogyalah ia mendatangi, mengajak manusia kepadanya. Karena mereka itu adalah pewaris-pewaris nabi. Dan nabi-nabi itu tidak membiarkan manusia diatas kebodohan. Akan tetapi, mereka memanggil manusia pada tempat-tempat perkumpulan yang diadakan mereka. Nabi-nabi itu berkeliling pada pintu rumah-rumah manusia pada permulaannya. Mereka mencari seorang demi seorang. Lalu mereka memberi petunjuk kepada manusia-manusia itu.
Sesungguhnya orang-orang yang berpenyakit hati, tidak mengetahui penyakit mereka. Sebagaimana orang yang tumbuh pada mukanya penyakit supak/lepra dan tak ada cermin padanya, niscaya ia tidak tahu akan penyakit supaknya, sebelum ia diberitahukan oleh orang lain. Dan ini adalah fardlu ‘ain (wajib atas tiap-tiap pribadi) atas para ulama seluruhnya. Dan atas sultan-sultan (penguasa) seluruhnya, mengatur pada setiap desa dan pada setiap tempat, seorang faqih (ahli ilmu fiqh), yang beragama, yang akan mengajar manusia akan agamanya. Karena makhluk (manusia) itu sesungguhnya tidaklah dilahirkan selain dari keadaan bodoh. Maka tidak boleh tidak menyampaikan dakwah kepada mereka, mengenai pokok dan cabang. Dunia itu adalah negeri orang-orang sakit. Karena tidak ada dalam perut bumi selain mati. Dan tidak ada punggung bumi, selain orang sakit. Dan orang-orang yang berpenyakit hati itu lebih banyak daripada orang-orang yang berpenyakit badan. Dan para ulama itu adalah tabib-tabib (dokter-dokter). Dan sultan-sultan (penguasa) itu adalah yang memerintah negeri orang-orang sakit. Maka setiap orang sakit, yang tidak menerima pengobatan, dengan pengobatan orang alim (ulama) itu diserahkan kepada sultan (penguasa). Supaya mencegah kejahatannya. Sebagaimana dokter menyerahkan orang sakit yang tidak mau menjaga diri atau orang sakit yang telah keras gilanya, diserahkan kepada yang memerintah (pemerintah). Supaya diikatnya orang sakit itu dengan rantai dan belenggu. Dan mencegah kejahatannya dari diri orang sakit itu sendiri dan dari orang lain. Penyakit hati itu sesungguhnya lebih banyak daripada penyakit badan, karena 3 alasan:
Alsan pertama: bahwa orang yang sakit dengan penyakit hati itu, tidak tahu, bahwa dia itu orang sakit.
Alasan kedua: bahwa akibatnya tidak tampak di alam ini. Lain halnya dengan penyakit badan. Penyakit badan itu, akibatnya mati yang dapat disaksikan, dimana tabiat (naluri) manusia itu lari daripadanya. Dan yang sesudah mati itu tidak dapat disaksikan. Akibat dosa itu, ialah mati hati. Dan itu tidak dapat disaksikan di alam ini. Maka sedikitlah orang yang lari dari dosa, walaupun dosa itu diketahui oleh yang mengerjakannya. Maka karena itulah, anda melihat orang yang mengerjakan dosa itu, bertawakkal (menyerah) kepada kurnia Allah pada penyakit hati. Dan bersungguh-sungguh pada mengobati penyakit badan, tanpa bertawakkal (menyerah kepada Tuhan).
Alasan ketiga: ialah penyakit yang memayahkan, yang tidak ada tabib (dokter). Tabib-tabib itu ialah: para ulama. Dan mereka itulah parah sakitnya pada masa kini. Mereka lemah daripada mengobatinya. Dan pada umumnya penyakit itu menjadi penghibur bagi mereka. Sehingga tidak tampak kekurangan mereka. Lalu mereka memerlukan kepada menipu makhluk (orang banyak). Dan menunjukkan kepada mereka, dengan apa yang menambahkan sakit bagi mereka. Karena sesungguhnya penyakit yang membinasakan, ialah cinta dunia. Dan penyakit ini sudah banyak pada tabib-tabib. Lalu mereka tidak mampu mengingatkan manusia daripadanya, karena mencegah daripada dikatakan kepada mereka: “Apa kiranya kamu ini menyuruh dengan pengobatan dan kamu lupa akan dirimu sendiri”. Maka dengan sebab ini menjadi umumlah penyakit itu atas orang banyak dan besarlah bahayanya, putuslah obat dan binasalah orang banyak (makhluk). Karena ketiadaan tabib-tabib itu. Bahkan tabib-tabib tersebut berbuat dengan berbagai penipuan. Semoga mereka itu kiranya, karena tidak memberi nasehat, maka mereka tidak menipu. Dan karena mereka tidak memperbaiki, maka mereka tidak merusak. Semoga mereka itu kiranya berdiam diri dan tidak bertutur kata. Karena apabila mereka berkata-kata, niscaya tiada yang penting bagi mereka pada pengajarannya, selain apa yang menyenangkan orang awam dan menarik hati mereka. Dan mereka tiada sampai kepada yang demikian, selain dengan memberi harapan-harapan, membanyakkan sebab-sebab harapan itu dan menyebut kan dalil-dalil rahmat Tuhan. Karena yang demikian itu lebih enak pada pendengaran dan lebih ringan pada naluri. Lalu orang banyak itu meninggalkan majlis-majlis pengajaran. Dan mereka mengambil faedah dengan bertambah keberaniannya berbuat perbuatan maksiat dan bertambah percaya dengan kurnia Allah. Manakala tabib itu bodoh atau pengkhianat, niscaya ia mendatangkan kebinasaan dengan obatnya, dimana diletakkannya tidak pada tempatnya. Maka al-Raja’ (harap) dan al-khauf (takut) itu 2 obat. Akan tetapi bagi 2 orang yang berlawanan penyakitnya.
Adapun orang yang keras kepadanya harap, sehingga ia meninggalkan dunia dengan cara keseluruhan. Dan ia memaksakan dirinya apa yang tidak disanggupinya. Ia menyempitkan hidup atas dirinya secara keseluruhan. Maka pecahlah alamat berlebih-lebihannya pada takut, dengan menyebutkan sebab-sebab harap. Supaya ia kembali kepada: sedang (i’tidal). Dan seperti demikian juga, orang yang berkekalan berbuat dosa, yang ingin kepada berobat, yang tercegah dari taubat itu, disebabkan patah hati dan putus asa. Karena memandang besar dosa-dosanya yang telah terdahulu. Ia dapat juga berobat dengan sebab-sebab harap. Sehingga ia mengharap pada terkabulnya taubat. Maka ia bertaubat. Adapun pengobatan orang yang terperdaya, yang terlepas pada perbuatan-perbuatan maksiat, dengan mengingati sebab-sebab harap, maka ia menyerupai dengan pengobatan orang yang dipanasi dengan air madu, karena mencari kesembuhan. Dan yang demikian itu, termasuk kebiasaan orang-orang bodoh dan orang-orang dungu.
Jadi, kerusakan tabib-tabib itulah yang menyempitkan, lagi menyukarkan, yang berkali-kali tidak akan menerima obat. Kalau anda bertanya: sebutkanlah jalan yang seyogyanya akan ditempuh oleh orang yang memberi pengajaran, pada jalan pengajaran kepada orang banyak ! maka ketahuilah kiranya, bahwa yang demikian itu panjang dan tidak mungkin menghinggakan jauhnya. Ya, kami akan menunjukkan kepada bermacam-macam hal yang bermanfaat pada melepaskan ikatan kekekalan berbuat dosa. Dan membawa manusia kepada meninggalkan dosa. Yaitu 4 macam:
yang pertama: bahwa ia ingat apa yang ada dalam Alquran, dari ayat-ayat yang menakutkan kepada orang-orang yang berbuat dosa dan berbuat maksiat. Dan seperti demikian juga, apa yang datang pada hadits-hadits dan atsar. Seperti: sabda Nabi saw: “Tiada seharipun yang telah terbit fajarnya dan tiada semalampun yang telah hilang safaknya, melainkan ada 2 malaikat yang bersoal jawab dengan 4 suara: yang satu berkata: “Wahai kiranya makhluk ini tidak dijadikan”. Yang lain berkata: “Wahai kiranya mereka ! karena telah dijadikan, mereka tahu karena apa mereka dijadikan”. Lalu yang lain berkata: “Wahai kiranya mereka ! karena mereka tidak tahu, karena apa mereka dijadikan, mereka mengerjakan dengan apa yang diketahui mereka”. Pada setengah riwayat: “Wahai kiranya mereka duduk-duduk, lalu mereka sebut menyebutkan apa yang mereka ketahui”. Yang lain mengatakan: “Wahai kiranya mereka ! karena mereka tidak mengerjakan apa yang mereka ketahui mereka bertaubat dari apa yang dikerjakan mereka”. Setengah salaf (ulama terdahulu) mengatakan: “Apabila hamba itu berbuat dosa, maka malaikat yang disebelah kanan menyuruh malaikat yang disebelah kiri dan dia yang menjadi amir atas malaikat yang disebelah kiri itu, supaya kata-kata (pena) diangkat (tidak ditulis) daripadanya 6 jam. Kalau ia bertaubat dan meminta ampun, niscaya dosa itu tidak dituliskan kepadanya. Dan jikalau ia tidak meminta ampun, niscaya dituliskan dosa itu”. Setengah salaf berkata: “Tiada seorangpun dari hamba yang mengerjakan perbuatan maksiat, melainkan ia meminta izin tempatnya di bumi, untuk tenggelam dengan dia. Dan ia meminta izin atapnya dari langit, bahwa atap itu jatuh atas dirinya dengan terpotong-potong. Maka Allah Ta’ala berfirman kepada bumi dan langit: “Cegahlah daripada hambaKu dan tangguhkanlah ! sesungguhnya engkau berdua tidaklah menjadikan hambaKu itu. Dan jikalau engkau berdua yang menjadikan niscaya engkau mengasihaninya. Mudah-mudahan ia akan bertaubat kepadaKu. Maka akan Aku ampunkan dosanya. Mudah-mudahan ia akan berganti menjadi orang shalih (orang baik), maka akan Aku gantikan baginya akan segala kebaikan”. Yang demikian itu ialah arti firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah itulah yang menahan langit dan bumi, supaya jangan berhenti bekerja. Dan kalau keduanya berhenti bekerja, tiada seorangpun yang dapat menahan, selain daripadanya”. S 35 Faathir ayat 41.
Ada hadits ‘Umar bin Al Khattab ra: “Cap itu tergantung pada tiang ‘Arsy. Maka apabila kehormatan itu telah dirusakkan dan yang diharam-haram itu telah dihalalkan, nsicaya Allah Ta’ala mengutus cap itu. Lalu IA capkan atas hati, dengan apa yang ada padanya”. Pada hadits Mujahid: “Hati itu seperti tapak tangan yang terbuka. Tiap kali hamba itu berbuat sesuatu dosa, niscaya tergenggamlah satu anak jarinya, sehingga tergenggam anak jari itu semua. Lalu tersumbat atas hati. Maka yang demikian itulah: tabiat. Al Hasan Al Bashari ra berkata: “Sesungguhnya diantara hamba dan Allah, ada batas dari perbuatan-perbuatan maksiat, yang diketahui apabila hamba telah sampai kepada batas tersebut, niscaya dicapkan oleh Allah atas hatinya. Maka Allah Ta’ala tidak memberikan taufiq kepadanya lagi dengan kebajikan sesudah itu”. Hadits dan atsar tentang mencela perbuatan-perbuataan maksiat dan memuji orang-orang yang bertaubat itu tidak terhingga banyaknya. Maka seyogyalah orang yang memberi pengajaran. Membanyakkan hadits dan atsar itu, kalau dia pewaris Rasulullah saw. “Maka sesungguhnya beliau itu tidak meninggalkan dinar dan dirham. Hanya beliau meninggalkan ilmu dan hikmah. Dan diwarisi oleh setiap orang yang berilmu (ulama) menurut kadar yang diperolehnya”.  
Bahagian kedua: ialah cerita nabi-nabi dan orang-orang salaf yang salih dan apa yang terjadi atas diri mereka dari malapetaka. Malapetaka, disebabkan dosa mereka. Maka yang demikian itu sangat berkesan, nyata manfaatnya pada hati makhluk (manusia). Seperti keadaan Nabi Adam as mengenai kemaksiatannya dan apa yang ditemuinya, dari hal pegeluarannya dari sorga. Sehingga, diriwayatkan, bahwa tatkala ia memakan buah kayu yang terlarang, lalu berterbanganlah pakaian intan permata dari tubuhnya dan tampaklah auratnya. Maka malulah mahkota dan mahkota kebesarannya dari mukanya, bahwa keduanya itu terangkat tinggi daripadanya. Lalu datang kepadanya malaikat Jibril as. Maka Jibril as mengambil mahkota dari kepalanya dan mahkota kebesarannya dari tepi dahinya. Dan diserukan dari atas ‘Arasy: “Turunlah kamu berdua dari sisiKu ! sesungguhnya orang yang berbuat maksiat kepadaKu, tidak akan berada di sisiKu !”. Kata yang empunya riwayat: “Lalu Adam as menoleh kepada Hawa, dengan menangis, seraya berkata: “Inilah permulaan nasib buruk dari perbuatan maksiat. Kita dikeluarkan dari sisi yang dicintai”.
Diriwayatkan, bahwa Sulaiman bin Daud as tatkala mendapat siksaan atas kesalahannya, lantaran patung yang disembah di rumahnya, selama 40 hari. Dan dikatakan, karena seorang wanita (salah seorang dari isteri Sulaiman: Jarradah), meminta kepada Sulaiman, supaya ia menjatuhkan hukuman untuk kepentingan bapaknya. Lalu Sulaiman as menjawab: “Boleh !”. Tetapi tidak dilaksanakannya. Dan menurut riwayat, bahkan Sulaiman as suka dengan hatinya sendiri, bahwa hukuman itu demi untuk kepentingan bapak wanita (isterinya) itu. Terhadap musuhnya. Karena wanita tersebut mendapat kedudukan tersendiri pada Sulaiman as (yang lebih dicintainya dari isteri-isteri yang lain). Maka kerajaannya dicabut selama 40 hari. Lalu Sulaiman lari berkelana dengan tidak bertujuan. Ia meminta pada orang dengan tampak tangannya yang terbuka. Tetapi orang tidak mau memberi makanan kepadanya. Apabila ia mengatakan: “Berilah aku makanan ! aku ini Sulaiman putera Daud”. Lalu kepalanya dilukai, diusir dan dipukuli orang menurut cerita, bahwa Sulaiman itu meminta makanan pada rumah isterinya. Lalu isterinya itu mengusirnya dan meludahi mukanya. Pada suatu riwayat seorang wanita tua mengeluarkan kendi air, yang didalamnya kencing. Lalu dituangkannya ke atas kepala Sulaiman. Sehingga Allah Ta’ala mengeluarkan sebentuk cincin dari perut ikan paus. Maka cincin itu dipakai oleh Sulaiman sesudah berlalu 40 hari, masa hukuman. Riwayat itu seterusnya: “Maka datanglah burung-burung, lalu dihinggap di atas kepalanya. Datanglah jin, setan dan binatang-binatang liar. Semuanya berkumpul dikelilinginya. Lalu meminta maaf kepada Sulaiman, sebahagian dari orang yang pernah berbuat aniaya kepadanya. Maka Sulaiman menjawab: “Aku tidak mencaci kamu tetapi apa yang kamu perbuat sebelumnya. Dan aku tidak memuji kamu tentang permintaan maafmu sekarang. Ini sesungguhnya adalah perintah dari langit. Dan tak boleh tidak daripadanya”.
Diriwayatkan, dalam riwayat-riwayat kaum Bani Israil, bahwa seorang laki-laki kawin dengan seorang wanita dari negeri lain. Lalu laki-laki tersebut mengutus budaknya untuk membawa wanita tadi kepadanya. Maka wanita tersebut membujuk diri budak tadi dan ia meminta budak itu bergaul dengan dia. Lalu budak tersebut melawan dengan sungguh-sungguh kehendak wanita itu dan ia memelihara dari dosa. Cerita itu seterusnya: “Maka Allah Ta’ala mengangkat budak itu menjadi nabi dengan barakah taqwanya. Lalu ia menjadi seorang nabi pada kaum Bani Israil”. Dalam kisah-kisah Musa as ialah bahwa Musa as berkata kepada nabi Hidlir as: “Dengan apa engkau diperlihatkan dengan kepada alam ghaib ?”. Nabi Hidlir as menjawab: “Dengan sebab aku meninggalkan semua perbuatan maksiat karena Allah Ta’ala !”. Diriwayatkan, bahwa angin itu berjalan dengan nabi Sulaiman as lalu nabi Sulaiman as itu memandang kepada baju kemejanya sejenak dan baju itu adalah baju baru. Maka nabi Sulaiman as seakan-akan merasa bangga dengan bajunya itu. Riwayat tadi seterusnya: “Lalu angin itu meletakkan (memakaikan) baju tadi kepada Sulaiman as maka Sulaiman as bertanya: “Mengapa engkau berbuat ini dan aku tidak menyuruh engkau ?”. Angin itu menjawab: “Kami sesungguhnya taat kepada engkau, apabila engkau taat kepada Allah”.
Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Ya’kub as: “Tahukah engkau, mengapa Aku ceraikan engkau dari anak engkau Yusuf?”. Nabi Ya’kub as menjawab: “Tidak !”. Allah Ta’ala berfirman: “Karena engkau mengatakan kepada saudara-saudaranya: “Aku takut Yusuf itu dimakan nanti oleh srigala dan engkau semua lengah”. Mengapa engkau takut srigala kepadanya dan engkau tiada mengharap kepadaKu ? mengapa engkau memperhatikan kepada kelengahan saudara-saudaranya dan engkau tidak memperhatikan kepada pemeliharaanKu kepada Yusuf ? engkau tahu, mengapa Aku kembalikan Yusuf kepada engkau ?”. Nabi Ya’kub as menjawab: “Tidak”. Allah Ta’ala berfirman: “Karena engkau mengharap kepadaKu dan engkau berkata: “Mudah-mudahan Allah mendatangkan kepadaku mereka semua !”. S 12 Yusuf ayat 83. Dan disebabkan apa yang engkau katakan: “Pergilah cari Yusuf dan saudaranya dan janganlah berputus harapan kepada kurnia Allah !”. S 12 Yusuf ayat 87. Begitulah tatkala Yusuf mengatakan kepada teman raja: “Ingatkanlah aku kepada Tuhanmu !”. S 12 Yusuf ayat 42. Allah Ta’ala berfirman: “Tetapi setan, menyebabkan dia lupa menyebutkannya kepada tuannya. Maka teruslah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya”. S 12 Yusuf ayat 42. Cerita-cerita yang seperti ini tidak terhingga jumlahnya. Dan tidak dikemukakan oleh Alquran dan hadits-hadits untuk diperbincangkan waktu duduk-duduk pada malam hari. Akan tetapi maksudnya. Adalah untuk menjadi ibarat dan direnungkan dengan mata hati. Supaya diketahui bahwa para nabi-nabi as tidak dibiarkan dari mereka tentang dosa-dosa kecil. Maka bagaimana dibiarkan dari orang-orang yang bukan mereka tentang dosa-dosa besar ? benar adalah kebahagiaan mereka tentang disegerakan dengan siksaan dan tidak dilambatkan sampai nanti di akhirat. Dan orang-orang yang durhaka itu dilambatkan siksanya, supaya mereka tambah berdosa. Dan karena azab di akhirat itu lebih keras dan lebih besar. Maka ini juga termasuk hal yang seyogyanya banyak jenisnya. Pada pendengaran orang-orang yang berkekalan berbuat dosa. Maka itu adalah bermanfaat pada menggerakkan panggilan-panggilan taubat.
Bagian ketiga: bahwa tetaplah pada mereka. Bahwa penyegeraan siksaan di dunia itu akan terjadi atas segala dosa. Dan bahwa setiap yang ditimpakan atas hamba dari segala musibah. Maka adalah disebabkan penganiayaan-penganiayaannya. Maka kerapkali hamba itu memandang engkau urusan akhirat. Dan ia takut dengan siksaan Allah di dunia itu lebih banyak, karena terlalu bodohnya. Maka seyogyalah ia ditakutkan dengan yang demikian itu. Bahwa dosa-dosa itu seluruhnya akan disegerakan di dunia keburukannya pada kebanyakan hal. Sebagaimana diceritakan tentang kisah Daud as dan Sulaiman as. Sehingga kadang-kadang menjadi sempit atas hamba itu rezekinya. Disebabkan dosa-dosanya. Kadang-kadang kedudukannya jatuh dari hati manusia dan ia dikuasai oleh musuh-musuhnya. Nabi saw bersabda: “Hamba itu sesungguhnya akan tidak diberikan rezeki, disebabkan dosa yang diperbuatnya”. Ibnu Mas’ud mengatakan: “Aku sesungguhnya menduga, bahwa hamba itu akan lupa kepada pengetahuannya, disebabkan dosa yang diperbuatnya”. Dan itu adalah maksud sabda Nabi saw: “Barangsiapa mengerjakan suatu dosa, niscaya ia akan bercerai dengan akal (ilmu)nya. Yang tiada akan kembali kepadanya untuk selama-lamanya. Sebagian salaf (ulama terdahulu) mengatakan: “Tidaklah laknat (kena kutukan) itu hitam pada muka dan kurang pada harta. Sesungguhnya laknat itu, tidak akan keluar dari suatu dosa, melainkan dia telah terjatuh pada dosa yang seperti dosa itu atau lebih jahat daripadanya”. Dan itu adalah seperti yang dikatakan oleh sebagian salaf. Karena laknat itu, ialah pengusiran dan penjauhan. Maka apabila tiada diberi taufiq kepada kebajikan dan disukakan kepadanya kejahatan, niscya ia telah dijauhkan. Dan diharamkan (tidak diberikan) rezeki taufiq itu adalah pengharaman yag terbesar. Dan setiap dosa itu sesungguhnya mengajak kepada dosa yang lain dan akan berlipat ganda. Lalu hamba itu dengan sebab tersebut tidak memperoleh rezeki yang bermanfaat dari duduk-duduk dengan ulama-ulama yang menantang dosa-dosa dan dari duduk-duduk dengan orang-orang shalih. Akan tetapi ia akan dikutuk oleh Allah Ta’ala karena ia dikutuk oleh orang-orang shalih.
 Diceritakan dari sebagian orang-orang yang berilmu ilmu mengenal Allah Ta’ala, bahwa beliau berjalan kaki dalam lumpur dengan mengumpulkan kain-kainnya menjaga dari tergelincir kakinya. Lalu kakinya tergelincir dan ia jatuh. Maka ia bangun berdiri dan terus berjalan kaki di tengah-tengah lumpur itu dan menangis, seraya mengatakan: “Inilah contohnya hamba Allah yang senantiasa menjaga diri daripada dosa dan menjauhkannya. Lalu ia jatuh dalam suatu dosa dan dua dosa. Maka di sisi dosa-dosa itu, ia termasuk lagi dalam dosa-dosa”. Itu adalah isyarat, bahwa dosa-dosa itu akan segera siksaan dengan berhela kepada dosa-dosa yang lain. Dan karena itulah, Al Fudhail bin Iyadl ra mengatakan: “Sesungguhnya aku, tidak mengingkari dari perubahan zaman dan kemasaman muka teman-teman. Maka dosa-dosamu mewariskan yang demikian kepadamu”. Yang lain mengatakan pula: “Aku sesungguhnya mengetahui siksaan dosa itu pada jahat perangainya keledaiku”. Yang lain berkata: “Aku mengetahui siksaan sehingga pada tikus rumahku”. Setengah kaum sufi negeri Syam (suriah) mengatakan: “Aku memandang kepada seorang anak laki-laki Nasrani, yang cantik mukanya. Lalu aku berhenti memandang kepadanya. Maka lalulah dekatku Ibnul-Jala’ Ad-Damsyiqi. Lalu ia memegang tanganku. Maka aku malu kepadanya, seraya aku berkata: “Hai ayah Abdullah ! subhaanallah ! aku merasa takjub dari bentuk yang cantik ini dan bikinan yang kokoh ini bagaimana ia dijadikan untuk api neraka ?”. Lalu Ibnul Jala’ menggenggam tanganku, seraya mengatakan: “Engkau sesungguhnya akan memperoleh siksaannya sesudah seketika nanti”. Sufi tersebut meneruskan ceritanya: “Maka aku disiksakan dengan sebab dosa tersebut, sesudah 30 tahun kemudian”.
Abu Sulaiman Ad-Darani ra mengatakan: “Al ihtilam (bermimpi, sehingga mengeluarkan mani) itu suatu siksaan”. Abu Sulaiman Ad Darani ra meneruskan: “Tiada seseorangpun akan luput dari shalat jamaah, selain dari dosa yang diperbuatnya”. Pada hadits, yang berbunyi: “Apa yang kamu tantang dari zamanmu, maka adalah dengan apa yang kamu rubah dari perbuatanmu”. Pada hadits: “Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya sekurang-kurang apa yang Aku perbuat kepada hambaKu, apabila ia mengutamakan nafsu syahwatnya daripada berbuat taat kepadaKu, ialah Aku haramkan (tidak Aku berikan kepadanya), kelezatan bermunajah (bercakap-cakap dengan Aku)”.
Diceritakan dari Ibnu Amir bin Ulwan, pada suatu kisah yang panjang ceritanya, dimana Ibnu Amir bin Ulwan itu menerangkan dalam ceritanya: “Adalah aku pada suatu hari berdiri mengerjakan shalat. Lalu bercampurlah hatiku dengan kecenderungan nafsu, yang lama aku terbawa kepadanya dengan pikiranku. Sehingga terjadi daripadanya, nafsu syahwat laki-laki. Lalu aku jatuh tersungkur ke bumi. Tubuhku hitam seluruhnya. Maka aku menutup diri di rumah. Tiada aku keluar rumah selama 3 hari. Aku mengobatinya dengan mandi pada sumur air panas dengan sabun. Maka semakin bertambah hitam tubuhku. Sehingga aku menampakkan diri sesudah 3 hari. Maka aku bertemu dengan Al Junaid ra ia telah menghadapkan mukanya kepadaku. Lalu ia minta datang aku di Ariqqah (suatu negeri di Irak). Maka tatkala aku mendatanginya itu, ia berkata kepadaku: “Apakah engkau tidak malu kepada Allah Ta’ala ? engkau berdiri di hadapanNya lalu engkau gembirakan diri engkau dengan nafsu syahwat. Sehingga nafsu itu menguasai engkau dengan halus. Dan nafsu itu mengeluarkan engkau dari hadapan Allah Ta’ala ? maka jikalau tidaklah aku berdoa kepada Allah Ta’ala bagi engkau dan aku minta taubat kepadanya untuk engkau, niscaya engkau menemui Allah Ta’ala dengan warna yang demikian”.
Ibnu Amir bin Ulwan mengatakan: “Aku sangat heran, bagaimana ia tahu yang demikian. Sedang dia itu di Baghdad dan aku di Ariqqah”. Ketahuilah kiranya, bahwa tidaklah seorang hamba itu berbuat suatu dosa, melainkan akan hitam wajah hatinya. Kalau ia orang berbahagia, niscaya warna hitam itu akan kelihatan pada yang terang di tubuhnya, supaya ia takut. Dan kalau ia tiada orang berbahagia, niscaya disembunyikan warna hitam itu. Sehingga ia binasa dan harus memperoleh neraka. Hadits-hadits itu banyak tentang bahaya dosa di dunia dari kemiskinan, kesakitan dll. Bahkan dari celakanya dosa di dunia atas keseluruhannya, ialah dosa itu mengusahakan sesudahnya akan sifatnya. Kalau ia mendapat percobaan dengan sesuatu, niscaya adalah itu siksaan baginya. Dan ia tidak memperoleh keelokan rezeki, sehingga berlipat gandalah kesengsaraannya. Dan kalau ia memperoleh nikmat, maka itu adalah suatu penipuan baginya. Dan ia tidak akan memperoleh keindahan syukur. Sehingga ia akan disiksakan atas kehidupannya (tidak bersyukur). Adapun orang yang taat, maka dari barakah ketaatannya, bahwa semua nikmat itu adalah menjadi haknya, sebagai balasan atas ketaatannya. Ia diberi taufiq untuk mensyukuri nikmat itu. Dan setiap bencana adalah menjadi penutup dosa bagi dosanya dan menambahkan derajatnya.
Bagian keempat: menyebutkan apa yang datang dari agama, dari hal segala siksaan atas masing-masing dosa, seperti: minum khamar, zina, mencuri, membunuh, mengumpat, sombong dan dengki. Semua itu termasuk yang tidak mungkin terhingga banyaknya. Dan menyebutkan yang demkian itu, pada yang bukan ahlinya, adalah ibarat meletakkan obat pada bukan tempatnya. Akan tetapi, seyogyalah, bahwa orang berilmu (orang alim) itu seperti tabib (dokter) yang mahir. Lalu pertama-tama, ia mengambil dalil dengan denyut urat nadi, panas badan dan adanya gerak-gerak, yang menunjukkan kepada penyakit dalam. Dan ia berusaha mengobatinya. Lalu ia mengambil dalil dengan tanda-tanda keadaan, kepada sifat-sifat yang tersembunyi. Dan hendaklah ia mengemukakan, bagi apa yang diketahuinya, untuk mengikuti jejak Rasulullah saw, dimana salah seorang sahabat berkata kepadannya: “Berilah aku nasehat wahai Rasulullah ! dan jangan engkau banyakkan nasehat itu kepadaku !”. Rasulullah saw menjawab: “Jangan engkau marah !”. Sahabat yang lain berkata: “Berilah aku nasehat, wahai Rasulullah !”.  Rasulullah saw lalu menjawab: “Haruslah engkau jangan mengharap apa yang dalam tangan orang ! maka yang demikian itu sesungguhnya adalah kaya. Jagalah dirimu dari sifat loba ! maka itu sesungguhnya adalah kemiskinan yang sekarang. Kerjakanlah shalat, sebagai shalat orang yang akan berpsiah ! jagalah dirimu dari apa yang menjadi halangan daripadanya!”.
Seorang laki-laki berkata kepada Muhammad bin Wasi’ Al Bashari ra: “Berilah aku nasehat !” Muhammad bin Wasi’ Al Bashari ra menjawab: “Aku memberi nasehat kepadamu, ialah, bahwa adalah kamu itu raja di dunia dan di akhirat”. Laki-laki itu menjawab:”Bagaimana aku dapat demikian?”. Muhammad bin Wasi Al Basahari ra itu menjawab: “Haruslah kamu zuhud di dunia!”. Maka Nabi saw pada jawabannya itu, seakan-akan membekas pada penanya pertama tanda-tanda kemarahan. Lalu dilarangnya dari kemarahan itu. Dan pada penanya kedua, tanda-tanda loba pada hak manusia dan panjang angan-angan. Dan Muhammad bin Wasi berkhayal pada penanyanya tanda-tanda kerakusan pada dunia.
Seorang laki-laki berkata kepada Ma’adz: “Berilah aku nasehat !”. Ma’adz lalu menjawab: “Hendaklah engkau itu penyayang, niscaya aku menjadi pemimpinmu di sorga !”. Maka dengan jawabannya itu, Ma’adz seakan-akan berfirasat akan bekas-bekas kekasaran dan kekerasan hati pada laki-laki itu. Seorang laki-laki berkata kepada Ibrahim bin Adham: “Berilah aku nasehat !”. Ibrahim bin Adham lalu menjawab: “Awaslah kepada manusia ! kamu harus dengan mansuia dan tak boleh tidak dari manusia ! sesungguhnya manusia itu adalah manusia. Dan tidaklah semua manusia itu dengan manusia. Pergilah, hilanglah manusia dan tinggallah manusia-manusiaan. Aku tidaklah melihat mereka dengan manusia. Akan tetapi, mereka itu terbenam dalam air putus asa”. Dengan jawabannya itu, Ibrahim bin Adham seakan-akan berfirasat, akan bahayanya bercampur-baur dengan manusia. Dan ia menceritakan dari hal keadaan yang banyak terjadi pada masanya. Dan biasanya adalah ia disakiti oleh manusia. Berbicara menurut kadar orang yang bertanya itu lebih utama, daripada menurut keadaan orang yang menjawab.
Muawiyah ra menulis surat kepada Aisyah ra, yang isinya diantara lain: “Tulislah kepadaku, sepucuk surat, dimana anda menasehati aku di dalamnya ! dan jangan anda banyakkan !”. Lalu Aisyah ra menulis surat kepada Muawiyah, yang isinya: dari Aisyah kepada Muawiyah! Salam sejahtera kepadamu! Adapun kemudian, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mencari rela Allah, dengan marahnya manusia, niscaya ia dicukupkan oleh Allah dari perbelanjaan manusia. Dan barangsiapa mencari kemarahan Allah dengan rela manusia, niscaya ia diserahkan oleh Allah kepada manusia. Salam sejahtera kepadamu!. Maka perhatikanlah kepada kepahaman (ilmu fiqhnya) Aisyah ! bagaimana ia membentangkan bahaya  yang dihadapi penguasa-penguasa (wali-wali negeri). Yaitu: menjaga manusia dan mencari kerelaan mereka. Pada kali lain, Aisyah ra menulis pula kepada Muawiyah, sbb:
Adapun kemudian, maka takutlah (bertaqwalah) kepada Allah ! maka engkau sesungguhnya apabila sudah bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah mencukupkan bagi engkau kepada manusia. Dan apabila engkau takut kepada manusia, nsicaya tiada suatupun yang cukup bagi mereka daripada engkau , selain dari Allah.
Wassalam.
Jadi, maka haruslah atas setiap juru nasehat, bahwa kesungguhannya (perhatiannya) adalah terarah kepada mencari firasat sifat-sifat yang tersembunyi dan mencari tanda-tanda hal-hal yang layak. Supaya pekerjaannya itu adalah menyangkut dengan yang penting. Sesungguhnya menceritakan semua pengajaran agama pada setiap seseorang itu tidak mungkin. Dan menyibukkan diri dengan memberi pengajaran, dengan apa yang tidak diperlukan mengajarinya itu, adalah membuang-buang waktu. Kalau anda bertanya: “Jikalau juru nasehat itu berbicara pada kumpulan manusia (di hadapan manusia banyak) atau ia diminta oleh orang yang tidak mengetahui keadaan batinnya, supaya memberi pengajaran kepadanya, maka bagaimana ia berbuat ?”.
Ketahuilah kiranya, bahwa jalannya pada yang demikian itu, ialah supaya ia memberi pengajaran kepada orang tersebut, menurut apa yang terdapat persamaan diantara seluruh manusia, yang diperlukannya. Adakalanya di atas umumnya yang demikian atau menurut yang kebanyakan. Sesungguhnya pada ilmu-ilmu syara itu, adalah makanan dan obat-obatan. Maka makanan itu, adalah bagi seluruh manusia. Dan obat-obatan itu bagi orang-orang yang sakit. Contohnya, ialah: apa yang diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Abi Sa’id Al Khudri: “Berilah aku nasehat !”. Abi Said Al Khudri ra menjawab: “Haruslah engkau bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla ! karena taqwa itu, adalah kepala tiap-tiap kebajikan. Dan haruslah engkau berjihad! Karena jihad itu adalah jalan pertapaan Islam. Haruslah engkau berpegang teguh dengan Alquran! Karena Alquran itu sinar bagi engkau pada penduduk bumi dan dzikir (peringatan) bagi engkau pada penduduk langit. Haruslah engkau berdiam diri, kecuali dari kebajikan ! sesungguhnya engkau dengan yang demikian itu, dapat mengalahkan setan”.
Seorang laki-laki berkata kepada Al Bashari ra: “Berilah aku nasehat !”. Al Hasan Al Bashari ra lalu menjawab: “Muliakanlah perintah Allah, niscaya Allah memuliakan engkau”.
Lukman berkata kepada anaknya: “Hai anakku! Berdesak-desaklah kamu dengan ulama dengan dua lututmu! Janganlah kamu berperdebatan (bertengkar) dengan mereka! Lalu mereka nanti akan mengutukmu. Ambillah dari dunia, sekadar yang menyampaikan engkau ke akhirat! Belanjakanlah kelebihan usahamu bagi akhiratmu ! janganlah kamu menolak dunia secara keseluruhannya! Lalu adalah kamu itu nanti menyandar diri kepada orang dan berpegang atas leher orang. Janganlah sekali-kali demikian! Puasalah dengan puasa yang menghancurkan nafsu syahwatmu! Janganlah kamu berpuasa dengan suatu puasa yang mendatangkan melarat dengan shalatmu! Karena shalat itu sesungguhnya lebih utama daripada puasa. Janganlah kamu duduk-duduk dengan orang yang kurang pikiran! Dan janganlah kamu bercampur baur dengan orang yang bermuka dua!”. Lukman berkata pula kepada anaknya: “Hai anakku! Janganlah kamu tertawa dari hal yang menakjubkan ! janganlah kamu berjalan pada yang tak ada maksud ! janganlah kamu bertanya pada hal yang tidak perlu bagimu! Janganlah kamu menyia-nyiakan hartamu dan berbuat baik bagi harta orang lain ! hartamu sesungguhnya, ialah yang kamu kemukakan dan harta orang lain ialah yang kamu tinggalkan. Hai anakku sesungguhnya siapa yang mengasihani orang, niscaya ia dikasihani. Dan siapa berdiam diri, niscaya selamat. Siapa yang mengatakan kebajikan, niscaya memperoleh hasil. Siapa yang mengatakan kejahatan, niscaya berdosa. Dan siapa yang tidak memiliki (menguasai) lidahnya niscaya menyesal”.
Seorang laki-laki berkata kepada Abi Hazim At-Tabi’i ra: “Berilah aku nasehat !”. Abi Hazim At-Tabii ra menjawab: “Setiap sesuatu, jikalau datanglah maut (kematian) kepadamu pada suatu itu lalu kamu memandangnya sebagai harta rampasan perang (ghanimah) maka teruskanlah! Dan setiap sesuatu, jikalau datanglah kematian kepadamu padanya, lalu kamu memandangnya sebagai musibah, maka jauhilah!”.
Nabi Musa as berkata kepada nabi Khidlir as: “Berilah aku nasehat !”. Lalu nabi Khidlir as menjawab: “Hendaklah engkau itu tersenyum ! janganlah engkau itu pemarah. Hendaklah engkau itu bermanfaat ! janganlah engkau itu pembawa melarat ! cabutlah dirimu dari sifat keras kepala ! janganlah engkau pergi pada yang tidak perlu ! janganlah engkau tertawa pada yang tidak menakjubkan ! janganlah engkau memalukan orang-orang yang bersalah, dengan kesalahan mereka! menangislah di atas kesalahan engkau, hai Ibnu ‘Imran !”.
Seorang laki-laki berkata kepada Muhammad bin Kiram: “Berilah aku nasehat !”. Muhammad bin Kiram lalu menjawab: “Bersungguh-sungguhlah mencari keridhaan Khaliq (yang maha pencipta)mu, menurut kadar kamu bersungguh-sungguh mencari keridhaanmu sendiri !”. Seorang laki-laki berkata kepada Hamid Al-Laffaf: “Berilah aku nasehat !”. Hamid Al-Laffaf menjawab: “Buatlah bagi agamamu itu suatu sampul, seperti sampulnya Al-Mash-haf (Alquran), daripada dikotorkan oleh bahaya-bahaya !”. Laki-laki tersebut bertanya: “Apakah sampul agama itu ?”. Hamid Al-Laffaf menjawab: “Meninggalkan mencari dunia, selain yang tidak boleh tidak. Meninggalkan banyak perkataan, selain pada yang tidak boleh tidak. Meninggalkan bercampur baur dengan manusia, selain pada yang tidak boleh tidak”.
Al-Hasan Al-Bashari  ra menulis surat kepada khalifah ‘Umar bin Abdul-‘aziz ra:
Adapun kemudian, maka takutlah dari apa yang dipertakutkan oleh Allah ! berhati-hatilah daripada apa yang disuruh berhati-hati oleh Allah ! dan ambillah dari apa yang dalam dua tangan engkau, untuk apa yang di hadapan engkau ! maka ketika mati, akan datang kepada engkau berita yang yakin.
Wassalam.
‘Umar bin Abdul-‘aziz ra menulis surat kepada Al-Hasan Al-Bashari  ra, meminta kepada Al-Hasan Al-Bashari  ra supaya menasehatinya. Lalu Al-Hasan Al-Bashari  ra membalas surat ‘Umar bin Abdul-‘aziz, sbb:
Adapun kemudian, maka sesungguhnya huru hara yang terbesar dan hal keadaan yang sangat tidak baik, ialah yang dihadapan engkau. Dan tak boleh tidak bagi engkau daripada menyaksikannya yang demikian. Adakalanya dengan mendapat kelepasan dan adakalanya dengan kebinasaan. Dan ketahuilah, bahwa orang yang mengadakan perhitungan terhadap dirinya sendiri, niscaya ia beruntung. Dan orang yang lengah daripadanya, niscaya ia merugi. Dan siapa yang memperhati kan kepada akibat sesuatu, niscaya ia lepas dari bahaya. Siapa yang menuruti hawa nafsunya, niscaya ia sesat. Siapa yang penyantun, niscaya memperoleh. Siapa yang takut, niscaya mendapat keamanan. Siapa yang merasa aman, niscaya dapat mengambil ibarat. Siapa yang dapat mengambil ibarat, niscaya dapat melihat dengan mata hati. Siapa yang dapat melihat dengan mata hati, niscaya dapat memahami. Dan siapa yang dapat memahami, niscaya mengetahui. Maka apabila engkau tergelincir, lalu kembalilah ! apabila engkau menyesal, maka cabutlah dari perbuatan itu ! apabila engkau tidak tahu, maka bertanyalah ! dan apabila engkau marah, maka tahanlah !.
Muthrif bin Abdillah menulis surat kepada ‘Umar bin Abdul-‘aziz ra sbb:
Adapun kemudian, maka dunia itu sesungguhnya, negeri siksaan. Dan untuk dunia dikumpulkan oleh orang tak berakal. Dengan dunia tetipu orang tidak mempunyai ilmu. Maka hendaklah engkau dalam dunia itu, wahai Amirul mu’minin, seperti orang yang mengobati lukanya. Ia bersabar atas bersangatan pedihnya obat, karena ia takut dari akibatnya penyakit.
‘Umar bin Abdul-‘aziz ra menulis surat kepada ‘Uda bin Arthah, sbb:
Adapun kemudian, maka dunia itu sesungguhnya musuh wali-wali Allah dan musuh-musuh Allah. Adapun wali-wali Allah, maka dunia itu membuat mereka kelang-kabut. Adapun musuh-musuh Allah, maka dunia itu menipu mereka.
‘Umar bin Abdul-‘aziz ra menulis surat kepada sebahagian pegawai-pegawainya, sbb:
Adapun kemudian, maka sesungguhnya memungkinkan engkau mampu berbuat zalim kepada hamba-hamba Allah. Maka apabila engkau bercita-cita berbuat zalim terhadap seseorang, maka ingatlah akan kekuasaan Allah atas engkau ! dan ketahuilah, bahwa engkau tidak datang sedikitpun kepada manusia, melainkan yang sedikit itu hilang dari mereka dan kekal atas diri engkau. Dan ketahuilah, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla mengambil untuk orang-orang yang dizalimi, dari orang-orang yang zalim !
Wassalam.
Maka begitulah seyogyanya pengajaran bagi orang awam. Dan pengajaran bagi orang yang tidak tahu akan kekhususan kejadiannya. Pengajaran-pengajaran tersebut adalah seperti makanan, yang keseluruhan manusia berkongsi mengambil manfaatnya. Dan karena tidak adanya juru-juru pengajaran seperti mereka itu, maka tertutuplah pintu pengajaran. Menanglah perbuatan-perbuatan maksiat dan berkembanglah kerusakan. Dan manusia mendapat percobaan, dengan juru-juru pengajaran yang menghiasi pidatonya dengan sajak-sajak dan bernyanyi dengan rangkuman-rangkuman pantun. Mereka memaksakan dirinya menerangkan apa yang tidak ada pada keluasan ilmunya. Mereka ingin menyerupai dengan keadaan orang lain. Maka jatuhlah dari hati orang awam, kemuliaan mereka. Dan perkataan mereka itu tidaklah terbit dari hati, supaya sampai kepada hati, akan tetapi, yang berkata itu menyombong dan yang mendengar itu memaksakan diri. Masing-masing dari dua orang tersebut, membelakangi dan menyalahi. Jadi, mencari tabib adalah permulaan (langkah pertama) pengobatan orang-orang sakit. Dan mencari ulama adalah permulaan pengobatan orang-orang maksiat. Maka inilah salah satu sendi dan pokok pengobatan !
Pokok kedua: ialah: sabar, segi perlunya kepada sabar itu, ialah: bahwa orang sakit sesungguhnya lama sakitnya untuk diperolehnya apa yang mendatangkan melarat baginya. Dan sesungguhnya ia memperoleh yang demikian, adakalanya karena kelengahannya dari kemeralatan itu. Dan adakalanya dari bersangatan keras nafsu syahwatnya. Lalu ia mempunyai dua sebab. Maka apa yang kami sebutkan itu, ialah: pengobatan orang-orang yang lalai. Maka tinggallah lagi pengobatan nafsu syahwat. Dan jalan pengobatannya telah kami sebutkan dahulu pada Kitab Latihan Jiwa. Hasilnya, ialah: bahwa orang sakit, apabila bersangatan bangkitnya penyakit itu, karena makanan yang melarat dimakan, maka jalannya, ialah: bahwa ia merasakan besarnya melarat itu. Kemudian, hilang yang demikian dari matanya. Lalu tidak timbul lagi. Kemudian, ia terhibur dengan yang mendekati daripadanya dalam bentuknya dan tidak banyak melaratnya. Kemudian, ia bersabar dengan kuatnya ketakutan atas kepedihan yang akan diperolehnya pada meninggalkan pengobatan itu. Maka tidak boleh tidak dalam segala keadaan, daripada kepahitan sabar. Maka seperti demikianlah, ia mengobati nafsu syahwat pada perbuatan-perbuatan maksiat. Seperti pemuda-umpamanya-apabila ia dikerasi oleh nafsu syahwat, lalu ia menjadi tidak sanggup menjaga matanya, menjaga hatinya atau menjaga anggota badannya, pada berjalan di belakang nafsu syahwat itu. Maka seyogyalah bahwa ia merasakan akan melaratnya dosa, dengan ia menyelidiki hal-hal yang menakutkan. Yang datang padanya dari Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah RasulNya saw. Apabila telah bersangatan takutnya, niscaya ia menjauhkan diri dari sebab-sebab yang mengobarkan nafsu syahwatnya. Dan yang mengobarkan nafsu syahwat itu dari luar, ialah adanya yang diinginkan itu dan memandang kepadanya. Pengobatannya, ialah lari dan mengasingkan diri. Dan dari dalam, ialah memakan makanan yang lezat-lezat rasanya. Maka pengobatannya, ialah lapar dan selalu berpuasa. Semua itu tiada akan sempurna, selain dengan sabar. Tiada ia sabar, selain dari takut. Tiada ia takut, selain dari ilmu (tahu). Dan tiada ia tahu, selain dari mata hati dan berpikir atau dari mendengar dan bertaqlid(menuruti). Maka urusan yang pertama, ialah menghadiri majlis-najlis dzikir. Kemudian, mendengar dari hati, yang terlepas dari segala gangguan, yang terserah kepada mendengar. Kemudian, bertafakkur padanya, untuk kesempurnaan pemahaman. Dan dari sempurnanya pemahaman sudah pasti membangkitlah ketakutan. Dan apabila ketakutan itu telah kuat, niscaya dengan pertolongan ketakutan tersebut, mudahlah sabar. Dan membangkitlah pengajak-pengajak untuk mencari pengobatan. Taufiq Allah dan kemudahannya adalah di belakang yang demikian itu. Barangsiapa yang memberikan dari hatinya kebagusan memperhatikan dan merasakan akan takut, lalu ia bertaqwa, menunggu pahala dan membenarkan yang baik, maka ia akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala bagi yang lebih mudah.
Adapun siapa yang kikir, merasa kaya dan mendustakan yang baik, maka ia akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala bagi yang lebih sukar. Lalu tidak mencukupi baginya, apa yang dikerjakannya daripada kesenangan duniawi, manakala ia binasa dan terjerumus. Dan tiadalah atas nabi-nabi, selain menguraikan jalan-jalan petunjuk. Dan Allah sesungguhnya yang punya akhirat dan dunia. Kalau anda mengatakan, bahwa semua urusan itu kembali kepada iman. Karena meninggalkan dosa itu tidak mungkin, selain dengan menahan diri (sabar). Sabar itu tidak mungkin, selain dengan mengenal takut. Takut itu tidak ada, selain dengan ilmu. Ilmu tidak berhasil, selain dengan membenarkan besarnya melarat dosa. Dan membenarkan besarnya melarat dosa ialah: membenarkan Allah dan RasulNya. Dan itu, ialah: iman. Maka seakan-akan orang yang berkekalan mengerjakan dosa itu, ia tidak berkekalan di atas yang demikian, selain karena dia tidak beriman. Maka ketahuilah kiranya, bahwa yang tersebut itu tidak ada, karena ketiadaan iman, akan tetapi adalah, karena kelemahan iman. Karena setiap orang yang beriman itu membenarkan, bahwa perbuatan maksiat itu sebab jauhnya hamba dari Allah Ta’ala. Dan sebab tersiksanya di akhirat. Akan tetapi sebab jatuhnya dalam dosa itu ada beberapa hal:
Pertama: bahwa siksaan yang dijanjikan itu adalah hal ghaib (tidak dapat disaksikan dengan pancaindra). Tidak hadir di depan kita. Dan jiwa itu, menjadi tabiatnya berkesan dengan yang hadir. Maka berkesannya dengan yang dijanjikan itu adalah: lemah, dibandingkan kepada kesannya yang hadir.
Kedua: bahwa nafsu syahwat yang membangkitkan kepada dosa itu, kesenangan tunai (sekarang juga) dan sekarang juga nafsu syahwat itu mencekik lehernya. Dan yang demikian itu semakin kuat dan menguasai dirinya, disebabkan telah biasa dan kejinakan hati. Dan kebiasaan itu adalah tabiat ke-5. Mencabut dari hal yang sekarang karena takutnya yang akan datang itu adalah sangat berat atas jiwa. Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Jangan ! tetapi kamu mencintai yang cepat (kehidupan dunia). Dan meninggalkan hari akhirat”. S 75 Al Qiamah ayat 20-21. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Tetapi, kamu memilih kehidupan dunia”. S 87 Al A’la ayat 16. Telah diibaratkan dari hal beratnya keadaan itu, dengan sabda Rasulullah saw: “Sorga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai dan neraka itu dikelilingi dengan nafsu syahwat itu. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan neraka lalu berfirman kepada Jibril as: “Pergilah, lalu lihatlah neraka itu !”. Maka Jibril as pergi melihatnya. Maka ia berkata: “Demi kemuliaanMu ! tiada seorangpun mendengar neraka itu, lalu memasukinya”. Maka Allah Ta’ala menjadikan dikeliling neraka itu, dengan hal-hal yang diingini (nafsu syahwat). Kemudian, ia berfirman kepada Jibril as:”Pergilah, lalu lihatlah neraka itu !”. Lalu Jibril as pergi melihatnya. Maka ia berkata: “Demi kemuliaanMu ! sesungguhnya aku takut, bahwa tiada seorangpun yang tinggal, selain memasukinnya”. Allah Ta’ala menjadikan surga, lalu berfirman kepada Jibril as: “Pergilah, maka lihatlah surga itu !”. Jibril as lalu pergi melihatnya. Maka ia berkata: “Demi kemuliaanMu! Tiada seorangpun yang mendengar dengan sorga itu, melainkan memasukinya”. Maka Allah Ta’ala menjadikan dikeliling surga itu, dengan hal-hal yang tidak disukai. Kemudian Allah Ta’ala berfirman kepada Jibril as: “Pergilah, maka lihatlah sorga itu!”. Lalu Jibril as pergi melihatnya. Maka ia berkata: “Demi kemuliaanMu !  sesungguhnya aku takut, bahwa tiada seorangpun yang akan masuk sorga itu”. Jadi, adanya nafsu syahwat yang membawa tanggungan sekarang dan adanya siksaan yang dikemudiankan kepada masa mendatang nanti, adalah dua sebab nyata, pada meluasnya dosa, serta adanya pokok iman. Maka tidaklah setiap orang yang meminum air es dalam sakitnya, karena sangat hausnya itu, mendustakan pokok ketabiban. Dan tidak pula ia mendustakan, bahwa yang demikian itu, mendatangkan melarat terhadap dirinya. Akan tetapi, nafsu syahwat yang mengerasinya. Dan kepahitan sabar itu ada sekarang juga dari yang demikian. Maka mudahlah baginya kepedihan yang ditunggu adanya nanti.
Ketiga: bahwa tiada seorangpun orang mu’min yang berdosa, melainkan biasanya ia berazam (cita-cita) kepada taubat. Dan menutupkan kejahatan-kejahatan itu dengan perbuatan-perbuatan kebaikan. Dan telah dijanjikan, bahwa yang demikian itu akan menampalkan dosanya. Hanya, bahwa panjang angan-anganlah yang memenangi atas tabiatnya. Lalu ia senantiasa berjanji akan bertaubat dan menutupkan dosa. Maka dari segi harapannya akan memperoleh taufiq iu untuk bertaubat itu, kadang-kadang membawa kepadanya beserta iman.
Keempat: bahwa tiada seorangpun dari orang mu’min yang yakin, melainkan ia berkeyakinan, bahwa dosa-dosa itu tiada mewajibkan siksaan, yang tidak mungkin dimaafkan daripadanya. Maka ia berbuat dosa dan menunggu kemaafan daripadanya, karena berpegang dari kurnia Allah Ta’ala. Maka inilah 4 sebab yang mengharuskan orang yang berkekalan kepada dosa, serta kekalnya pokok iman dalam hatinya. Ya, kadang-kadang orang yang berbuat dosa itu, tampil kepada dosa dengan sebab ke-5 yang mencederakan pada pokok imannya. Yaitu: adanya keraguannya tentang kebenaran rasul-rasul. Dan ini adalah kekafiran (kufur). Seperti orang yang diperingati oleh dokter, daripada memakan sesuatu yang mendatangkan melarat pada penyakit. Jikalau orang yang diperingati itu termasuk orang yang tidak percaya pada dokter itu, bahwa ia ahli dengan kedokteran, lalu didustakannya atau ia ragu pada dokter itu, maka ia tidak memperduli kan dengan nasehatnya. Maka ini, adalah kufur (menantang atau tidak percaya). Jikalau anda bertanya, apakah obatnya sebab-sebab yang 5 itu ? maka aku menjawab, ialah pikir. Dan yang demikian itu ialah: bahwa ia menetapkan atas dirinya pada sebab pertama. Yaitu: terkemudiannya siksaan. Bahwa setiap yang akan datang itu, akan datang. Dan hari esok bagi orang-orang yang memperhatikan itu, adalah: dekat. Dan mati itu adalah lebih dekat kepada masing-masing orang dari tali sandalnya. Tidak ada yang memberitahukan kepadanya, semoga hari kiamat itu dekat. Dan yang terkemudian (terlambat) itu, apabila telah terjadi, niscaya menjadi kejadian yang sekarang. Dan ia mengingatkan dirinya, bahwa bila ia selamanya dalam dunianya, tentu akan memayahkannya sekarang. Karena ketakutan pada keadaan masa mendatang. Karena ia akan mengarungi lautan dan merasakan penderitaan berjalan jauh. Karena keuntungan yang disangkalnya, bahwa terkadang ia memerlukan kepadanya pada keadaan kedua yang nanti. Bahkan, jikalau ia sakit, lalu diberitahukan kepadanya oleh dokter Nasrani, bahwa meminum air dingin akan mendatangkan melarat kepadanya dan akan membawanya kepada mati. Dan air dingin itu adalah yang paling enak baginya. Niscaya akan ditinggalkannya. Sedang mati itu, kepedihannya adalah sebentar, apabila ia tidak takut akan apa yang sesudahnya. Berpisah dengan dunia, adalah hal yang tidak boleh tidak. Maka berapa perbandingan adanya di dunia, kepada tidak adanya, pada azali ( tida kesudahan / permulaan ) dan pada selama-lamanya ? maka hendaklah diperhatikan, bagaimana ia segera meninggalkan kesenangannya, dengan kata seorang kafir dzimmi (orang kafir yang dibawah naungan pemerintahan Islam), yang tidak tegak mukjizat atas ketabibannya ? lalu ia bertanya: “Bagaimana patut dengan akalku, bahwa adalah perkataan nabi-nabi yang dikuatkan dengan mukjizat-mukjizat pada pihakku itu, kurang dari perkataan seorang Nasrani, yang mendakwakan ketabiban bagi dirinya, tanpa mukjizat atas ketabibannya? dan tidak disaksikan atas perkataanya itu, selain oleh orang-orang awam ? bagaiamana adanya azab neraka pada pihakku, lebih ringan daripada azab (kesengsaraan) sakit ? dan setiap hari di akhirat itu adalah kadar 50 ribu tahun dari hari dunia. Dengan bertafakkur ini dengan sendirinya, ia akan mengobati kelezatan yang mengerasi atas dirinya. Dan ia memaksakan dirinya kepada meninggalkan kelezatan itu. Dan ia mengatakan: “Apabila aku tidak mampu meninggalkan kelezatanku pada hari-hari usiaku dan itu adalah hari-hari yang sedikit, maka bagaimanakah aku mampu atas yang demikian, pada masa yang berabad-abad lamanya itu ? apabila aku tidak mampu atas kepedihan sabar, maka bagaimanakah aku mampu atas kepedihan neraka ? dan apabila aku tidak bisa sabar dari hiasan duniawi, serta keruh dan kotornya dan bercampur jernihnya dengan keruhnya, maka bagaimanakah aku akan sabar dari nikmat akhirat ?
Adapun janjinya akan taubat itu, maka hendaklah diobatinya dengan berpikir, bahwa kebanyakan teriakan penduduk neraka itu, dari janjinya akan bertaubat. Karena orang yang menjanjikan dirinya akan berbuat itu, adalah membangun sesuatu keadaan atas apa yang tidak ada kepadanya. Yaitu: kekal (terus hidup). Semoga, dia itu tidak kekal. Dan kalau ia kekal (terus hidup), maka ia tidak sanggup meninggalkannya besok. Sebagaimana ia tidak sanggup meninggalkannya hari ini. Maka mudah-mudahan kiranya, adakah dia lemah sekarang, selain karena kekerasan nafsu syahwat ? dan nafsu syahwat itu tiada akan bercerai dengan dia esok hari. Akan tetapi, akan berlipat ganda, karena menjadi teguh kuat, disebabkan terbiasa. Maka tidaklah nafsu syahwat yang telah dikokohkan oleh manusia dengan kebiasaan, seperti yang tidak dikokohkannya. Dari penjelasan ini, teranglah orang-orang yang menjanjikan nanti akan bertaubat itu, akan binasa. Karena mereka itu menyangka akan ada perbedaan diantara orang-orang yang serupa. Dan mereka tidak menyangka, bahwa hari-hari itu serupa, tentang meninggalkan nafsu syahwat padanya itu selalau sukar. Dan orang yang menjanjikan akan bertaubat itu, tidak ada contohnya, selain contoh orang yang berhajat mencabut sepohon kayu. Lalu dilihatnya pohon kayu itu kuat, yang tidak akan tercabut, selain dengan sangat sukar. Maka yang mengatakan: “Akan aku kemudiankan mencabut pohon itu setahun. Kemudian, akan aku kembali kepadanya”. Ia tahu, bahwa pohon kayu itu kian tetap hidupnya, maka kian bertambah kuat urat akarnya. Dan dia setiap kali bertambah umurnya, maka kian bertambah lemahnya. Maka tiadalah kebodohan dalam dunia, yang lebih besar dari kebodohannya. Karena ia lemah serta kuatnya, daripada melawan yang lemah itu. Maka lalu ia menuggu akan kemenangan atasnya, apabila ia telah lemah pada dirinya dan yang lemah itu telah kuat.
Adapun arti keempat: yaitu: menunggu kemaafan Allah Ta’ala. Maka pengobatannya, ialah apa yang telah dahulu diterangkan. Yaitu: seperti orang yang membelanjakan semua hartanya dan meninggalkan dirinya serta keluarganya dalam kemiskinan. Ia menunggu dari kurnia Allah Ta’ala, bahwa ia akan diberi rezeki memperoleh gudang dalam bumi yang runtuh. Maka kemungkinan kemaafan dari dosa, seperti kemungkinan ini, adalah seperti orang yang menduga akan terjadi perampokan dari orang-orang zalim dalam negerinya. Dan ia meninggalkan semua simpanan hartanya dalam lemari rumahnya. Padahal ia sanggup menanamkannya dan menyembunyikannya. Tetapi tidak diperbuatnya. Dan ia mengatakan: “Aku menunggu daripada kurnia Allah Ta’ala, bahwa Allah akan mengeraskan kelalaian atau siksaan atas orang zalim perampok itu. Sehingga ia tidak mempunyai peluang ke rumahku. Atau apabila ia telah sampai ke rumahku, niscaya ia mati di pintu rumah! sesungguhnya mati itu mungkin & lalai itupun mungkin. Dan telah diceritakan dalam hikayat-hikayat masa yang lampau, bahwa yang seperti itu telah pernah terjadi. Maka aku menunggu dari kurnia Allah Ta’ala yang seperti itu”. Maka orang yang menunggu seperti ini, adalah orang yang menunggu hal yang mungkin terjadi. Akan tetapi, orang itu adalah sangat dungu dan bodoh. Karena hal itu kadang-kadang tidak mungkin & tidak  akan ada.
Adapun kelima, yaitu: ragu. Maka ini adalah kufur. Dan obatnya, ialah: sebab-sebab yang memperkenalkan kepadanya, akan kebenaran rasul-rasul. Dan yang demikian itu panjang keterangannya. Akan tetapi, mungkin diobati dengan ilmu yang dekat, yang layak dengan ketajaman akalnya. Lalu dikatakan kepadanya: apa yang telah dikatakan oleh nabi-nabi yang dikuatkan dengan mukjizat-mukjizat, adakah kebenarannya itu hal yang mungkin ? atau engkau mengatakan: aku tahu bahwa itu mustahil, sebagaimana aku tahu mustahilnya ada orang seorang pada dua tempat pada satu ketika. Kalau ia mengatakan: “Aku tahu kemustahilannya seperti yang demikian”, maka dia itu adalah orang yang luar biasa, yang lemah pikiran. Dan seakan-akan tak ada orang yang seperti ini dalam golongan orang-orang yang berakal. Kalau ia mengatakan: “Bahwa aku ragu pada yang demikian”, lalu dikatakan kepadanya: “Kalau diberitahukan kepadamu oleh seorang, yang tidak dikenal, ketika engkau meninggalkan makanan engkau di rumah sekejap waktu, bahwa makanan itu telah dijilat oleh ular dan ular itu telah mencampakkan racunnya dalam makanan tersebut. Dan engkau memandang bahwa orang itu boleh saja benar. Maka adakah engkau akan memakan makanan tadi atau akan engkau tinggalkan, walaupun makanan itu paling enak ? maka ia akan menjawab: sudah pasti aku akan meninggalkannya. Karena aku mengatakan: “Kalau ia dusta maka aku tidak rugi, kecuali makanan tersebut. Dan bersabar dari makanan itu, walaupun berat, maka itu soal dekat. Dan kalau orang itu benar, maka hilanglah bagiku hidup. Dan mati dibandingkan kepada kepedihan sabar dari makanan dan hilangnya makanan itu, adalah lebih berat”. Maka dikatakan kepada orang tersebut: “Wahai subhaanallah ! bagaimana engkau mengemudiankan kebenaran nabi-nabi semua, serta apa yang tampak bagimu dari mukjizat-mukjizatnya, kebenaran keseluruhan para wali, ulama dan ahli-ahli hikmah. Bahkan semua jenis orang-orang yang berakal”. Aku tidak maksudkan dengan mereka orang-orang awam yang bodoh. Akan tetapi, yang mempunyai akal pikiran, dari membenarkan seorang laki-laki yang tidak dikenal. Mudah-mudahan ia mempunyai maksud tentang apa yang dikatakannya”. Maka tidaklah termasuk dalam golongan orang-orang yang berakal, kecuali orang yang membenarkan dengan hari akhirat dan mengaku adanya pahala dan siksa, walaupun mereka berbeda tentang caranya. Kalau mereka benar, maka engkau telah mendekati pada azab yang akan kekal untuk selama-lamanya. Dan kalau mereka dusta, maka tidak ada yang hilang bagi engkau, selain sebagian nafsu syahwat dunia yang fana, yang keruh ini. Maka tidaklah tinggal lagi baginya tawaqquf (dibiarkan begitu saja dulu), kalau ia berakal serta pikiran ini. Karena tiada bandingan bagi masa umur kepada masa yang selama-lamanya itu. Bahkan, kalau kita umpamakan, bahwa dunia ini penuh dengan atom dan kita umpamakan seekor burung yang mengambil dengan paruhnya pada tiap-tiap sejuta tahun, sebiji dari atom itu, niscaya habislah atom tadi. Dan tiada berkurang sedikitpun dari masa yang selama-lamanya itu. Maka bagaimanakah akan lemah pendapat orang yang berakal tentang sabar dari nafsu sayhwat, 100 tahun umpamanya. Karena kebahagiaan yang selama-lamanya itu ? dan karena itulah, Abdul A’la Ahmad bin Sulaiman At-Tanukhi Al-Mu’arri berpantun:
Kata ahli bintang dan tabib:
Engkau tidak dapat membangkitkan orang mati
Lalu aku katakan kepada kamu berdua:
Kalau benar katamu itu, maka aku tidak rugi.
Atau benarlah kataku,
Maka yang rugi, adalah kamu berdua.
Karena itulah, Ali ra berkata kepada sebagian orang yang pendek akal pikirannya daripada memahami benar-benar hakikat/makna keadaan. Dan orang itu ragu tentang akhirat: “Kalau benarlah apa yang engkau katakan, niscaya kita ini terlepas semua dari kebinasaan. Dan kalau tidak benar, maka sesungguhnya aku terlepas dan engkau binasa”. Artinya: orang yang berakal itu, menempuh jalan aman pada semua hal keadaan. Kalau engkau mengatakan, bahwa: semua keadaan ini sudah jelas. Akan tetapi tidak akan tercapai, selain dengan berpikir. Maka betapakah keadaan hati yang meninggalkan berpikir padanya dan yang memberatkannya ? dan apakah pengobatan hati untuk mengembalikannya kepada berpikir ? lebih-lebih orang yang beriman dengan pokok agama dan penguraiannya ? maka ketahuilah kiranya, bahwa yang mencegah dari berpikir itu 2 hal:
Pertama: bahwa berpikir yang bermanfaat, ialah: berpikir tentang siksaan akhirat, huru haranya, kesukaran-kesukarannya dan penyesalan-penyesalan yang mengerjakan perbuatan maksiat, tentang tidak memperoleh kenikmatan yang kekal. Ini adalah pikiran yang menyengatkan, yang memedihkan hati. Lalu hati lari daripadanya. Dan ia merasa enak dengan berpikir tentang urusan duniawi, di atas jalan bersenang-senang dan beristirahat (tidak bekerja apa-apa).
Kedua: bahwa berpikir itu menyibukkan pada waktu sekarang, mencegah dari kelezatan duniawi dan memenuhi nafsu syahwat. Dan tidak ada manusia, melainkan mempunyai nafsu syahwat dalam setiap hal keadaannya dan setiap nafas yang dihembuskannya, yang menguasainya dan yang memperbudakkannya. Lalu akal pikirannya itu diperuntukkan bagi nafsu syahwatnya. Maka dia itu sibuk dengan mengatur daya upayannya. Dan kesenangannya itu adalah pada mencari daya upayanya atau pada kelangsungan terpenuhi nafsu syahwatnya. Dan berpikir itu mencegahnya dari yang demikian.
Adapun pengobatan dua hal pencegah tersebut, maka yaitu: bahwa ia mengatakan kepada hatinya: “ Alangkah sangat bodohnya engkau pada menjaga daripada berpikir tentang mati dan apa yang sesudah mati. Karena merasa pedih dengan mengingatinya, serta memandang enteng kepedihan akan kejadiannya ! maka bagaimana engkau bersabar atas penderitaan-penderitaan daripadanya, apabila telah terjadi ? dan engkau lemah daripada bersabar atas taqdirnya mati dan apa yang sesudah mati. Dan merasa kepedihan dengan mati itu.

Adapun yang kedua, yaitu: adanya pikiran yang melenyapkan kelezatan duniawi. Yaitu: bahwa ia meyakini hilangnya kelezatan akhirat itu lebih berat dan lebih besar akibatnya. Karena akhirat itu tiada berkesudahan lagi. Dan tak ada kekeruhan padanya. Dan kelezatan duniawi itu cepat hapusnya. Dan bercampur dengan kekeruhan-kekeruhan. Tak ada padanya kelezatan yang bersih dari kekeruhan. Bagaimanakah tentang taubat dari perbuatan-perbuatan maksiat dan menghadapkan diri kepada perbuatan taat, yang melezatkan dengan munajah dengan Allah Ta’ala. Dan merasa tenteram dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala dan taat kepadanya dan lamanya kejinakan hati dengan dia ? jikalau tidaklah ada bagi orang yang taat itu balasan atas amalnya, selain apa yang diperolehnya dari kemanisan taat dan jiwa kejinakan hati dengan munajah dengan Allah Ta’ala, niscaya adalah yang demikian itu memadai. Maka bagaimana lagi dengan tambahan kepadanya, daripada kenikmatan akhirat ? benar, kelezatan ini tidak ada pada permulaan taubat. Akan tetapi sesudah bersabar atas taubat itu pada masa yang panjang. Dan kebajikan itu telah menjadi tabiat dan kebiasaannya, sebagaimana kejahatan itu telah menjadi tabiat dan kebiasaannya. Maka diri itu menerima apa yang telah dibiasakannya, menjadi kebiasaan. Kebajikan itu adalah kebiasaan dan kejahatan itu adalah ketekunan. Jadi, pikiran-pikiran ini, adalah yang menggerakkan takut, dimana takut itu yang menggerakkan kuatnya sabar daripada kelezatan-kelezatan hidup. Dan yang menggerakkan pikiran-pikiran tersebut, ialah: pengajaran juru-juru nasehat dan peringatan-peringatan yang jatuh dalam hati, dengan sebab-sebab yang bersesuaian, yang tiada terhingga jumlahnya. Lalu jadilah pikiran itu bersesuaian dengan tabiat (karakter). Maka hatipun cenderung kepadanya. Dan sebab yang menjadikan kesesuaian antara tabiat dan pikiran, yang menjadi sebab bagi kebajikan itu, dinamakan: taufiq. Karena taufiq itu, ialah: penyusunan antara kemauan dan maksudnya, yang tak lain, ialah: taat yang bermanfaat di akhirat. Diriwayatkan pada suatu hadits yang panjang, bahwa Amar bin Yasir bangun berdiri, lalu bertanya kepada Ali bin Abi Thalib ra: “Hai Amirul mu’minin ! terangkanlah pada kami tentang kufur ! di atas apa kufur itu dibangun ?”. Ali ra lalu menjawab: “Kufur itu dibangun diatas 4 tonggak: atas kekasaran, buta, lengah dan ragu. Siapa yang kasar tabiatnya, niscaya ia melecehkan kebenaran, keras suaranya dengan kebatil/salahan. Dan mencaci ulama. Siapa yang buta, nsicaya lupa pada dzikir (mengingati Allah Ta’ala). Siapa yang lalai, niscaya mereng dari petunjuk. Dan siapa yang ragu, niscaya ia ditipu oleh angan-angan. Lalu ia diambil oleh kesedihan dan penyesalan. Dan tampaklah baginya daripada Allah Ta’ala, apa yang tidak disangkanya sama sekali. Maka apa yang kami sebutkan itu, adalah penjelasan bagi sebagian bahaya kelengahan, daripada bertafakkur. Dan sekedar mengenai taubat itu, sudah mencukupi. Apabila sabar itu adalah salah satu sendi berkekalannya taubat, maka tidak boleh tidak, daripada penjelasan: sabar, maka akan kami bentangkan tentang sabar itu pada kitab sendiri Insya Allah Ta’ala.