KITAB
TAUBAT
Yaitu: yang pertama dari: Rubu’ Yang Melepaskan,
dari Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah, yang dengan pemujianNya,
dimulai setiap kitab. Dan dengan menyebut namaNya dimulai setiap pembicaraan.
Dan dengan pujian kepadaNya, maka orang yang memperoleh nikmat, akan menikmati
dalam negeri pahala (sorga). Dan dengan namaNya, orang-orang celaka (munafiq)
menghibur kan hatinya, walaupun telah dijatuhkan hijab (dinding) pada pihak
mereka. Dan dijadikan diantara mereka dan orang-orang bahagia, dinding yang
mempunyai pintu (tempat masuk orang-orang mu’min). Batinnya dinding itu, di
dalamnya rahmat (karena bersambung dengan sorga). Dan zahirnya, dari arah
dinding itu azab (karena bersambung dengan neraka).
Kitab bertaubat kepada Allah,
sebagai taubatnya orang yang yakin, bahwa Allah lah pemilik dari segala yang
memiliki dan penyebab dari segala sebab. Kita mengharap kepadaNya, sebagai
harapannya orang yang mengetahui, bahwa DIAlah yang memiliki, yang Maha
Pengasih, yang Maha Pengampun dan yang maha penerima taubat. Kita campurkan
takut dengan harapan kita itu, sebagaimana dicampurkan oleh orang yang tidak
ragu, bahwa DIA itu bersama Dianya Pengampun dosa dan Penerima taubat, adalah
sangat pedih siksaanNya. Kita berselawat kepada NabiNya Muhammad saw, kepada
keluarganya dan para sahabatnya, selawat yang melepaskan kita dari huru-hara
ketakutan dari tempat melihat, pada hari dibawa kepada Allah (yaumul-‘ardl) dan
hitungan amal (yaumul-hisab). Dan selawat yang menyediakan bagi kita pada sisi
Allah, kedekatan dan baik tempat kembali.
Adapun kemudian, maka
sesungguhnya taubat dari dosa, dengan kembali kepada Tuhan Yang Maha penutup
segala kekurangan dan Yang Maha Tahu segala yang ghaib itu, adalah permulaan
jalan orang-orang yang berjalan kepada Allah (orang-orang salik), modal
orang-orang yang memperoleh kemenangan, permulaan tampilnya orang-orang yang
berkehendak pada jalan Allah, kunci kelurusan tegak orang-orang yang cenderung
pada hal-hal yang syubhat (diragukan), tempat muncul pemilihan dan penyaringan
bagi orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah (al-muqarrabin). Dan bagi
bapak kita Adam as rahmat dan sejahtera dan kepada nabi-nabi lainnya semua.
Alangkah layaknya bagi
anak-anak, mengikuti bapak-bapak dan nenek-nenek. Maka tidak ragu lagi, bahwa
anak Adam telah berbuat dosa dan berbuat kesalahan. Maka itu adalah tabiatnya
(sifatnya), yang diketahuinya dari Akhzam, yang mengatakan: “Siapa yang
menyerupai ayahnya, maka dia itu tidak berbuat zalim (menganiaya)”. Akan tetapi
bapak, apabila ia menempelkan sesudah ia pecahkan, niscaya ia bangunkan sesudah
ia runtuhkan. Maka hendaklah mengikuti bapak itu pada masing-masing dua tepi:
pada negatif dan pada positif, pada ada dan pada tidak.
Sesungguhnya nabi Adam as telah
mengetuk gigi penyesalan (menyatakan penyesalannya). Ia sangat menyesal atas
apa yang telah diperbuatnya dahulu dan telah berlalu itu. Maka siapa yang
mengambilnya menjadi ikutan pada dosa, tanpa taubat, niscaya dengan yang demikian,
telah tergelincirlah tapak kakinya. Akan tetapi, menjurus kepada semata-mata
kebajikan, adalah sifat para malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah. Dan
menjurus kepada kejahatan, tanpa kembali kepada kebaikan, adalah sifat
setan-setan. Dan kembali kepada kebajikan, sesudah jatuh dalam kejahatan,
adalah perlu (penting) bagi para anak Adam.
Maka yang menjuruskan dirinya
bagi kebajikan, adalah malaikat yang mendekatkan dirinya pada sisi Raja Yang
memiliki hari agama (Allah Ta’ala). Dan yang menjuruskan dirinya bagi
kejahatan, adalah setan. Dan yang membaik dari kejahatan, dengan kembali kepada
kebajikan, pada hakikat/maknanya itulah insan. Sesungguhnya telah bercampur
pada tanah kejadian insan, dua campuran. Dan menyertai padanya dua sifat (tabiat).
Dan setiap hamba (manusia) itu, dishahkan keturunannya, adakalanya kepada
malaikat atau kepada Adam atau kepada setan. Maka orang yang bertaubat itu,
telah menegakkan dalil, atas shah keturunannya kepada Adam, dengan selalu
menggunakan batas insan. Dan orang yang berkekalan atas kezaliman, mendaftarkan
dirinya pada keturunan setan.
Adapun pengesahan keturunan
kepada malaikat, dengan menjurus semata-mata kebajikan, maka ia keluar dari
batas kemungkinan. Sesungguhnya kejahatan itu diremas (digodok) bersama
kebajikan, pada tanah kejadian Adam, penggodokan yang teguh sekali, yang tidak
dapat dilepaskan, selain oleh salah satu dua api: api penyesalan atau api
neraka jahannam. Maka dibakarkan dengan api itu perlu, pada memurnikan zat
(jauhar/benda/barang) insan, dari kekejian setan. Dan terserah kepada anda
sekalian, memilih yang termudah dari dua api tersebut. Dan bersegera kepada
yang lebih ringan dari dua kejahatan itu, sebelum dilipatkan (digulungkan) kain
permadani pemilihan. Dan dihalaukan ke negeri darurat. Adakalanya, ke sorga dan
adakalanya ke neraka.
Apabila adalah taubat itu,
kedudukannya pada agama, kedudukan ini, niscaya wajiblah mendahulukannya pada
memulai “Rubu Yang Melepaskan”, dengan penguraian hakikat/maknanya,
syarat-syaratnya, sebabnya, alamatnya, buahnya, bahaya-bahaya yang mencegah
daripadanya dan obat-obat yang memudahkan baginya. Dan akan jelas yang demikian
itu, dengan menyebutkan 4 sendi (4 rukun):
Sendi pertama:
mengenai diri taubat sendiri, penjelasan batasnya dan hakikat/maknanya. Dan
bahwa taubat itu wajib segera dan atas semua orang dan dalam semua hal. Dan
taubat itu apabila telah shah, niscaya diterima.
Sendi kedua:
tentang apa, yang daripadanya itu taubat, yaitu: dosa. Dan penjelasan
pembahagian dosa, kepada dosa kecil dan dosa besar. Dan apa yang menyangkut
dengan hamba dan apa yang menyangkut dengan hak Allah Ta’ala. Dan penjelasan
begaimana pembahagian derajat-derajat dan tingkat-tingkat kepada kebaikan dan
keburukan. Dan penjelasan sebab-sebab, yang dengan sebab-sebab itu, menjadi
besar dosa kecil.
Sendi ketiga:
mengenai penjelasan syarat-syarat taubat, berkekalannya dan bagaimana
memperbaiki kembali apa yang telah lalu, dari perbuatan-perbuatan zalim.
Bagaimana menutup dosa-dosa itu. Dan penjelasan bahagian-bahagian orang-orang
yang taubat pada berkekalan taubatnya.
Sendi keempat:
tentang sebab yang menggerakkan kepada taubat dan bagaimana cara pengobatan
pada melepaskan ikatan kekekalan dari orang-orang yang berbuat dosa. Dan akan
sempurnalah maksud dengan sendi-sendi yang 4 ini, insya Allah ‘Azza wa Jalla.
SENDI PERTAMA: tentang diri taubat itu sendiri.
PENJELASAN:
hakikat/makna taubat dan batasnya.
Ketahuilah, bahwa taubat itu
ibarat dari suatu pengertian yang tersusun dan bersedaging dari 3 perkara yang
bertartib. Yaitu: ilmu, keadaan dan perbuatan. Maka ilmu yang pertama, keadaan
yang kedua dan perbuatan yang ketiga. Yang pertama mengharuskan yang kedua dan
yang kedua mengharuskan yang ketiga, karena positif yang dikehendaki oleh
datangnya sunnah Allah pada alamul-mulki dan alamul-malakut. Adapun ilmu
(pengetahuan), yaitu: mengetahui besarnya melarat dosa. Dan adanya dosa itu
menjadi hijab (dinding) antara hamba dan tiap-tiap yang dikasihi.
Apabila
ia mengetahui yang demikian dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala yang teguh,
dengan keyakinan yang mengerasi atas hatinya, niscaya berkobarlah dari ilmu
mengenal Allah Ta’ala ini, perasaan pedih bagi hati, disebabkan hilangnya yang
dikasihi itu. Sesungguhnya hati, manakala merasa kehilangan yang dikasihinya,
niscaya ia merasa pedih. Kalau hilangnya itu dengan perbuatannya, niscaya ia
merasa sedih atas perbuatan yang menghilangkan itu. Lalu perasaan pedihnya itu
dinamakan sesal, disebabkan perbuatannya sendiri yang menghilangkan kekasihnya
itu. Apabila kepedihan ini mengerasi atas hati dan menguasainya, niscaya
membangkit kan dari kepedihan ini di dalam hati, suatu keadaan yang lain, yang
dinamai: kehendak dan maksud kepada perbuatan yang mempunyai kaitan dengan
waktu sekarang, waktu yang lalu dan waktu yang akan datang. Adapun kaitannya
dengan waktu sekarang, maka yaitu: dengan meninggalkan dosa yang dikerjakannya.
Dan yang menyangkut dengan waktu yang akan datang, maka yaitu: dengan
bercita-cita meninggalkan dosa yang menghilangkan kekasih itu sampai kepada
penghabisan umurnya. Dan yang menyangkut dengan waktu yang lalu, maka yaitu:
dengan memperbaiki kembali apa yang hilang itu, dengan penampalan dan mengerjakan
kembali (qodo’), jikalau dapat ditampalkan.
Maka
ilmu, adalah yang pertama. Ilmulah tempat munculnnya segala kebajikan ini. Dan
aku kehendaki dengan ilmu ini, ialah: iman dan yakin. Iman adalah ibarat dari
pembenaran, bahwa dosa itu racun yang membinasakan. Dan yakin, adalah ibarat
dari penguatan pembenaran ini, meniadakan keraguan daripadanya dan
menguatkannya atas hati. Lalu berbuahlah nur iman ini, manakala telah bercahaya
atas hati, api penyesalan. Maka hati merasa pedih dengan dosa-dosa itu, dimana
ia melihat dengan cahaya nur iman, bahwa telah terjadi ia terdinding dari
kekasihnya. Seperti orang yang bercahaya kepadanya cahaya matahari dan ia
berada dalam gelap. Lalu bersinarlah cahaya kepadanya dengan tersingkap awan
atau terbuka dinding (hijab). Maka dilihatnya kekasihnya dan kekasih itu hampir
binasa. Lalu bergolaklah api kecintaan dalam hatinya. Dan menggeraklah api-api
itu dengan kehendaknya, untuk bangkit memperbaiki kembali.
Maka
ilmu, sesal dan maksud yang menyangkut dengan meninggalkan itu, pada masa
sekarang, masa yang akan datang dan memperbaiki kembali bagi masa yang lalu
itu, 3 pengertian yang tersusun pada hasilnya. Lalu disebutlah nama taubat itu,
di atas keseluruhannya. Dan banyaklah disebut nama taubat itu, di atas
pengertian sesal satu saja. Dan dijadikan ilmu itu seperti yang mendahului dan
pembukaannya. Dan meninggalkan itu seperti buah dan yang mengikuti yang
terakhir. Dan dengan ibarat ini, Nabi saw bersabda: “Sesal itu taubat”. Karena
tidak terlepas sesal itu dari ilmu yang mewajibkannya dan yang membuah kannya.
Dan dari cita-cita yang mengikutinya dan mengiringinya. Lalu sesal itu adalah
yang mengelilingi dengan dua tepinya. Aku maksudkan: buah dan yang
membuahkannya. Dan dengan ibarat ini, dikatakan mengenai batas taubat itu,
bahwa batasnya itu pencairan isi perut, karena apa yang telah terdahulu dari
kesalahan. Maka ini mendatangkan kepedihan semata-mata. Dan karena itulah,
dikatakan: itu adalah api dalam hati yang menyala-nyala dan pecahan dalam
jantung yang tidak dapat bersedaging lagi. Dengan ibarat pengertian
meninggalkan, dikatakan mengenai batas taubat, bahwa batas taubat itu, mencabut
/ membuka pakaian yang menjauhkannya dan mengembangkan permadani kesetiaan
(kepada yang dikasihinya).
Sahal
bin Abdullah At-Tusturi mengatakan: “Taubat itu penggantian gerakan-gerakan
yang tercela, dengan gerakan-gerakan yang terpuji. Dan yang demikian tiada akan
sempurna, selain dengan khilwah (bersemadi), berdiam diri dan memakan yang
halal. Dan seakan-akan Sahal bin Abdullah At-Tusturi tadi mengisyaratkan kepada
pengertian ketiga dari taubat. Dan ucapan-ucapan orang yang terkemuka tentang
batas taubat itu, tidak terhingga banyaknya. Apabila anda telah memahami
pengertian yang 3 ini, yang bergantung dengan dia dan susunannya, niscaya anda
mengetahui, bahwa semua yang dikatakan tentang batas-batas taubat itu, tidak
sampai untuk mengetahui semua pengertiannya. Mencari ilmu dengan hakikat/makna
segala hal itu lebih penting daripada mencari kata-kata semata-mata.
PENJELASAN: wajib taubat dan keutamaannya.
Ketahuilah, bahwa wajib taubat itu nyata dengan
hadits-hadits dan ayat-ayat. Dan itu terang dengan nur mata hati pada orang
yang terbuka mata hatinya. Dan Allah membuka dengan nur iman, dadanya. Sehingga
ia sanggup berusaha dengan cahayanya, yang dihadapannya, dalam gelap-gulita
kebodohan. Tidak memerlu kan kepada penunjuk jalan, yang menunjukkannya pada
setiap langkah. Orang yang berjalan itu, adakalanya buta, yang memerlukan
kepada penunjuk jalan pada langkah yang dilangkahkannya.
Adakalanya ia melihat, yang
diberi petunjuk kepada permulaan jalan. Kemudian, ia mendapat
petunjuk sendiri. Begitu juga, manusia pada jalan agama, yang
terbagi mereka akan pembahagian ini. Maka orang yang pendek ilmunya, yang tidak
sanggup melampaui taqlid (turut/menurut) dalam langkahnya, maka ia memerlukan
kepada mendengar pada setiap langkah, akan dalil dari Kitab Allah atau Sunnah
RasulNya. Kadang-kadang memerlukan yang demikian kepadanya, lalu ia
terheran-heran. Perjalanan orang tersebut, walaupun panjang umurnya dan sangat
kesungguhannya itu singkat. Dan langkah-langkahnya pendek. Dan dari orang yang
berbahagia, yang dilapangkan oleh Allah dadanya bagi agama Islam, maka dia itu
diatas nur dari Tuhan nya. Lalu ia sadar dengan sedikit isyarat untuk menempuh
jalan yang susah dan memotong rintangan-rintangan yang memayahkan. Dan
bersinarlah dalam hatinya, cahaya Alquran dan cahaya iman. Dan karena sangat
bersinar batinnya, ia merasa cukup dengan sedikit penjelasan saja.
Maka dia seakan-akan menghampiri
minyak yang bercahaya, walaupun tidak disentuh oleh api. Maka apabila disentuh
oleh api, niscaya dia itu cahaya di atas cahaya, yang diberi petunjuk oleh
Allah bagi cahayaNya, akan siapa yang dikehendakiNya. Dan ini tidak memerlukan
kepada dalil yang dinuqilkan (dari Alquran dan Al-Hadits) pada setiap kejadian.
Maka orang yang ini keadaannya, apabila berkehendak mengetahui wajib taubat,
maka pertama-tama ia melihat dengan cahaya mata hati kepada taubat, apakah
taubat itu? Kemudian, ia melihat kepada wajib, apakah artinya? Kemudian, ia
mengumpulkan antara arti wajib dan taubat. Maka ia tidak ragu, pada adanya
wajib itu bagi taubat. Dan yang demikian itu, dengan diketahuinya, bahwa arti
wajib, ialah: apa yang menjadi wajib pada sampainya kepada kebahagiaan abadi
dan kelepasan dari kebinasaan abadi.
Maka sesungguhnya jikalau
tidaklah ada sangkutan kebahagiaan dan kebinasaan dengan memperbuat sesuatu dan
meninggalkannya, niscaya tidaklah mempunyai arti bagi sifatnya itu, dengan dia
itu wajib. Perkataan orang yang mengatakan: dia itu telah menjadi wajib dengan
diwajibkan, adalah perkataan semata-mata (tiada faedahnya). Maka apa yang tiada
maksudnya bagi kita, sekarang dan masa yang akan datang, pada membuatnya dan
meninggalkannya, niscaya tiada artinya bagi pekerjaan kita dengan perbuatan
tersebut. Diwajibkan atas diri kita oleh orang lain atau tidak diwajibkannya.
Apabila telah diketahui arti wajib dan bahwa wajib itu jalan kepada kebahagiaan
abadi dan ia tahu, bahwa tiada kebahagiaan pada negeri kekal, selain pada
menjumpai Allah Ta’ala dan bahwa setiap yang terdinding daripadaNya, tidak
mustahil ia merasa celaka, yang mendindingi, diantara dia dan yang dirinduinya,
yang terbakar dengan api perceraian dan api neraka jahannam dan ia tahu, bahwa
tidaklah yang menjauhkan dia daripada menemui Allah, selain mengikuti nafsu
syahwat dan jinak hati dengan dunia yang fana ini dan menelungkup mencintai
apa yang sudah pasti akan diceraikan dan ia tahu bahwa tidak ada yang
mendekatkan kepada menemui Allah, selain memutuskan hubungan hati dari
perhiasan dunia ini dan menghadapkan diri secara keseluruhan kepada Allah,
karena mencari kejinakan hati kepadaNya, dengan berkekalan berzikir kepadaNya
dan karena mencintaiNya, dengan mengenal kebesaranNya dan keelokanNya, menurut
kadar kemampuannya dan ia tahu, bahwa dosa itu, ialah: berpaling dari Allah,
mengikuti yang disayangi setan, musuh Allah, yang menjauhkan dari hadlaratNya,
maka itu adalah sebab adanya dia itu terdinding, terjauh daripada Allah Ta’ala.
Maka tidak diragukan, bahwa
berpaling dari jalan jauh itu wajib, untuk sampai kepada dekat. Dan
sesungguhnya sempurna berpaling itu, dengan: ilmu, sesal dan cita-cita.
Sesungguhnya selama ia tidak tahu, bahwa dosa itu menjadi sebab jauh dari yang
dikasihi, niscaya ia tidak menyesal dan tidak merasa sakit, dengan sebab
jalannya pada jalan jauh. Dan selama ia tidak merasa sakit, maka ia tidak
kembali. Dan arti kembali itu, ialah: meninggalkan apa yang dikerjakan dan
bercita-cita tidak kembali lagi kepada dosa itu. Maka tidak diragukan lagi,
bahwa pengertian yang tiga itu penting untuk sampai kepada yang dikasihi. Dan
begitulah adanya iman yang hasilnya dari nur mata hati.
Adapun orang yang tidak ahli
bagi kedudukan yang seperti ini, yang tinggi tingkatnya, dari batas-batas
kebanyakan orang, maka pada turut/menurut dan mengikutinya itu jalan yang
lapang, yang menyampaikannya kepada kelepasan daripada kebinasaan. Maka
hendaklah diperhatikan, padanya firman Allah, sabda RasulNya dan perkataan
ulama terdahulu yang shalih-shalih.
Allah Ta’ala berfirman:”Dan
bertaubatlah(kembalilah) kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang beriman,
mudah-mudahan kamu beroleh kemenangan”. S 24 An Nur ayat 31. Ini adalah perintah
secara umum. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman!
Bertaubatlah (kembalilah) kamu kepada Allah, sebagai taubat nashuha (taubat
yang sebenarnya)”. S 66 At Tahrim ayat 8. Arti nashuha, ialah: bersih,
semata-mata karena Allah Ta’ala , terlepas dari segala campuran. Perkataan
nashuha, diambil (asal katanya) dari nash-hu: atas kelebihan taubat itu,
ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang membersihkan dirinya”. S 2 Al
Baqarah ayat 222. Nabi saw bersabda: “Orang yang bertaubat itu kekasih Allah.
Orang yang bertaubat dari dosa, adalah seperti orang yang tiada mempunyai
dosa”. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah lebih suka dengan taubatnya
hamba yang beriman, dari seorang laki-laki yang tinggal pada bumi daratan yang
membinasakan.
Bersama orang laki-laki tersebut
unta kendarannya. Atas unta kendaraan itu makanan dan minumannya. Lalu ia
meletakkan kepalanya (atas bumi). Maka ia tertidur. Kemudian, ia terbangun. Dan
unta kendaraannya sudah pergi. Lalu ia mencari unta kendaraan itu. Sehingga
tatkala telah bersangatan panas hari padanya dan haus – atau apa yang
dikehendaki oleh Allah, maka ia mengatakan (pada dirinya): “Aku akan kembali ke
tempatku semula, dimana aku ada padanya. Maka aku tidur di situ sampai aku
mati”. Maka diletakkannya kepalanya atas lengannya, supaya ia mati. Kemudian,
ia terbangun. Tiba-tiba unta kendaraannya itu sudah ada di sisinya, yang di
atasnya perbekalan dan minumannya. Maka Allah Ta’ala sangat gembira dengan
taubatnya hamba yang beriman dari laki-laki ini, dengan unta kendaraannya”.
Pada setengah bunyi hadits: “Allah Ta’ala berfirman, dari sangat gembiraNya,
apabila orang itu berkehendak bersyukur kepada Allah: “Aku Tuhanmu dan engkau
hambaKU”.
Diriwayatkan dari Al Hasan Al
Bashari ra yang mengatakan: “Ketika Allah ‘Azza wa Jalla menerima taubatnya
Adam as, lalu para malaikat mengucapkan tahni-ah (selamat) kepada Adam as.
Jibril as dan Mikail as turun kepadanya, seraya mengatakan: “Hai Adam! Telah
tenang dirimu dengan diterima oleh Allah taubatmu”. Maka Adam as menjawab: “Hai
Jibril! Kalau ada persoalan sesudah taubat ini, maka dimana tempatku?”.
Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Adam: “Hai Adam! Aku pusakakan kepada
keturunanmu (anak cucumu) akan payah dan kerja berat. Dan Aku pusakakan kepada
mereka taubat. Maka siapa diantara mereka yang berdoa kepadaKU, niscaya Aku
perkenankan, sebagaimana Aku perkenankan kepadamu. Dan siapa yang meminta ampun
kepadaKu, niscaya Aku tidak kikir kepadanya. Karena sesungguhnya Aku itu dekat,
lagi yang memperkenankan doa. Hai Adam! Aku akan bangkitkan orang-orang yang
bertaubat, dari kuburan, dalam keadaan gembira dan tertawa. Dan doa mereka
diterima”. Hadits dan atsar tentang yang demikian, tidak terhingga banyaknya.
Dan Ijma’ (sepakat) itu shah dari umat, atas wajibnya taubat. Karena artinya:
tahu, bahwa dosa dan perbuatan maksiat itu membinasakan dan menjauhkan daripada
Allah Ta’ala. Dan ini masuk dalam kewajiban iman. Akan tetapi, kadang-kadang
orang-orang yang lalai itu, merasa heran dari yang demikian. Maka arti tahu ini
(ilmu ini), ialah: menghilangkan kelalaian tersebut. Dan tiada perbedaan
pendapat, tentang wajibnya taubat itu. Dan diantara arti taubat, ialah:
meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat sekarang juga. Dan bercita-cita akan
meninggalkannya pada masa depan. Dan memperoleh kembali apa yang telah teledor
pada hal-hal yang lalu. Dan yang demikian itu, tidak diragukan lagi tentang
wajibnya.
Adapun penyesalan terhadap apa
yang telah lalu dan bersedih hati terhadapnya, maka itu wajib. Dan itulah
nyawanya taubat. Dan dengan itu sempurnalah memperoleh kembali. Bagaimanakah
itu tidak wajib? Bahkan itu adalah semacam kepedihan, yang sudah pasti –
terjadi, akibat mengenal yang hakiki, dengan apa yang telah hilang dari umur
dan lenyap dalam kemarahan Allah. Kalau anda mengatakan, bahwa kepedihan hati
itu hal yang mudah terjadi, yang tidak masuk dalam usaha manusia, maka
bagaimana disifatkan (dikatakan): wajib? Maka ketahuilah kiranya, bahwa
sebabnya, ialah pentahkikan ilmu dengan hilangnya yang dicintai. Dan baginya
jalan untuk memperoleh sebabnya. Dan dengan arti yang seperti ini, masuklah
ilmu itu dalam wajib. Tidak dengan arti, bahwa ilmu itu dijadikan oleh hamba
dan didatangkannya pada dirinya. Yang demikian itu mustahil. Bahkan, ilmu,
penyesalan, perbuatan, Kemauan, kuasa dan orang yang berkuasa (mempunyai tenaga) itu, semuanya
termasuk makhluk dan perbuatan Allah. “Dan –sesungguhnya- Allah yang menjadikan
kamu dan apa yang kamu perbuat”. S 37 Ash Shaffaat ayat 96.
Inilah yang benar pada
orang-orang yang bermata hati. Dan selain dari ini, adalah sesat. Kalau anda
mengatakan: apakah hamba itu tiada mempunyai ikhtiar (pilihan atau usaha), pada
memperbuat dan meninggalkan (tidak memperbuatnya) sesuatu? Kami menjawab: “Ya!
Dan itu tidak bertentangan dengan perkataan kami, bahwa semua itu dari ciptaan
Allah Ta’ala. Bahkan ikhtiar juga termasuk sebahagian daripada ciptaan Allah.
Dan hamba itu memerlukan pada ikhtiar yang dipunyainya. Maka sesungguhnya Allah
Ta’ala, apabila menjadikan tangan yang sehat, menjadikan makanan yang lezat,
menjadikan keinginan (syahwah) bagi makanan itu dalam perut, menjadikan
pengetahuan dalam hati, bahwa makanan tersebut menenteramkan syahwah dan
menjadikan yang terguris di hati, yang berlawanan satu dengan lainnya, tentang
makanan itu, adakah padanya melarat, serta makanan itu menenteramkan syahwah?
Adakah dengan tidak memakannya itu suatu halangan, yang berhalangan pada
makanan itu memakannya atau tidak? Kemudian Allah menjadikan pengetahuan
(ilmu), bahwa tidak ada halangan. Kemudian, ketika berkumpul sebab-sebab
tersebut, lalu menjadi yakinlah kehendak (Kemauan) yang menggerakkan kepada
memakannya. Maka yakinnya kehendak sesudah ragunya yang terguris di hati, yang
berlawanan satu dengan lainnya dan sesudah adanya keinginan kepada makanan itu,
maka itu dinamakan: ikhtiar. Dan tidak boleh tidak daripada memperolehnya,
ketika telah sempurna sebab-sebabnya.
Apabila telah berhasil keyakinan
Kemauan, yang dia dijadikan oleh Allah Ta’ala, niscaya tergeraklah tangan yang
sehat –sudah pasti –ke arah makanan itu. Karena sesudah sempurnanya Kemauan dan
qudrah ( kuasa ), maka berhasillah perbuatan itu adalah: hal yang mudah. Lalu
berhasillah gerak. Dan gerak itu adalah dengan dijadikan oleh Allah, sesudah
berhasilnya qudra (kesanggupan) dan yakinnya Kemauan (kehendak). Dan yang dua
ini (qudrah/kuasa) dan Kemauan juga dari yang dijadikan oleh Allah. Dan
yakinnya Kemauan itu berhasil sesudah benarnya syahwat dan ilmu
dengan tidak adanya halangan-halangan (mawani’). Dan yang dua ini juga dari
yang dijadikan oleh Allah Ta’ala. Akan tetapi, sebahagian makhluk-makhluk ini
tersusun dengan tartib dan teratur di atas sebahagian yang lain, yang telah
berlaku sunnah Allah Ta’ala pada makhlukNya:
“Dan tiada akan engkau dapati ketetapan Allah itu berobah”. S 33 Al
Ahzab ayat 62. Maka Allah Ta’ala tidak menjadikan gerak tangan dengan tulisan
yang teratur, sebelum dijadikanNya pada tangan itu suatu sifat, yang dinamakan:
qudrah ( kuasa ), sebelum dijadikanNya padanya hayah (hidup) dan sebelum
dijadikanNya Kemauan yang diyakini. Dan IA tidak menjadikan Kemauan yang
diyakini, sebelum dijadikanNya syahwat dan kecenderungan pada diri. Dan kecenderungan ini tidak tergerak dengan sempurna, sebelum
dijadikanNya ilmu (tahu), bahwa itu bersesuaian bagi diri. Adakalanya pada
waktu itu juga atau pada waktu mendatang. Dan IA tidak pula menjadikan ilmu,
selain dengan sebab-sebab lain, yang kembali kepada: gerak, kehendak dan ilmu.
Maka ilmu dan kecenderungan tabiat, selalu mengikuti kehendak yang diyakini.
Dan kemampuan (qudrah/ kuasa) dan kehendak (Kemauan) selalu sama artinya dengan
gerak. Dan begitulah teraturnya pada setiap perbuatan. Dan semua itu adalah
dari ciptaan Allah Ta’ala. Akan tetapi sebahagian makhlukNya menjadi syarat
bagi sebahagian lainnya. Maka karena itulah, harus didahulukan sebahagian dan
dikemudian kan sebahagian. Sebagaimana kehendak tidak dijadikan, selain sesudah
ilmu. Dan ilmu tidak dijadikan, selain sesudah hidup. Dan hidup tidak dijadikan,
selain sesudah tubuh. Maka adalah kejadian tubuh itu syarat bagi datangnya
hidup. Tidaklah bahwa hidup itu terjadi dari tubuh. Dan adalah kejadian hidup
itu syarat bagi kejadian ilmu. Tidaklah bahwa ilmu itu terjadi dari hidup. Akan
tetapi, tidaklah disediakan tempat bagi menerima ilmu, selain apabila ada ia
hidup. Dan adalah jadinya ilmu itu syarat bagi yakinnya kehendak. Tidaklah
bahwa ilmu itu memperanakkan kehendak. Akan tetapi tidaklah yang menerima
kehendak itu, selain oleh tubuh yang hidup, lagi tahu. Dan tidak masuk dalam
wujud (Ada), selain yang mungkin ada. Dan bagi mungkin ada itu mempunyai tartib
(susunan teratur), yang tidak menerima pengobahan. Karena pengobahannya itu
mustahil.
Maka manakala telah diperoleh
syarat bagi sesuatu sifat, niscaya disediakan tempat baginya untuk menerima
sifat itu. Maka berhasillah sifat tersebut dari kemurahan Ilahi dan kuasa yang
tidak kesudahan/permulaan, ketika berhasilnya penyediaan. Dan manakala bagi
penyediaan itu dengan sebab syarat-syarat, mempunyai susunan teratur, niscaya
bagi kehasilan segala yang terjadi, dengan perbuatan Allah itu, mempunyai susunan
teratur. Dan hamba itu tempat berlakunya segala kejadian yang bertartib
tersebut. Dan itu adalah susunan teratur pada qodo’ Allah Ta’ala, yang Dia Maha
Esa, seperti sekejap mata memandang, suatu susunan teratur keseluruhan yang
tiada berobah-obah. Dan zahirnya itu dengan penguraian, yang ditaqdirkan dengan
qadar, yang tiada akan dilampauinya. Dan dari itulah, diibaratkan dengan firman
Allah Ta’ala: “Sesungguhnya segala sesuatu telah Kami jadikan, dengan ukuran”.
S54 Al Qamar ayat49. Dan dari qodo(hukum taqdir) keseluruhan tidak kesudahan/permulaan,
diibaratkan dengan firman Allah Ta’ala:“Dan perintah Kami hanya satu, bagai
sekejap mata”. S54 Al Qamar ayat 50.
Adapun hamba (manusia), maka
sesungguhnya mereka itu dijadikan menurut berlakunya qodo (hukum
taqdir) dan qadar/takdir. Dan termasuk dalam jumlah qadar/takdir, ialah:
terjadinya gerak pada tangan penulis, sesudah terjadinya sifat tertentu pada
tangannya, yang dinamai: qudrah/kuasa/kesanggupan. Dan sesudah terjadinya
kecenderungan yang kuat, yang meyakinkan pada dirinya, yang dinamai: maksud.
Dan sesudah tahu (ilmu), dengan apa yang menjadi kecenderungan, yang dinamai:
mengetahui dan mengenal. Maka apabila telah lahir dari batinnya alam malakut,
hal-hal yang 4 tersebut, atas tubuh hamba yang dijadikan di bawah paksaan
taqdir, niscaya mendahuluilah penduduk ‘alamul-mulki wasy-syahadah (tubuh dalam
alam penyaksian), yang terdinding dari ‘alamul-ghaibi
wal-malakut (alam akhirat yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata). Dan mereka mengatakan: “Hai orang itu! Engkau telah bergerak,
melempar dan menulis!”. Ia dipanggil dari belakang hijab dan khemah-khemah alam
malakut: “Dan tidaklah engkau melempar, ketika engkau melempar. Akan tetapi
Allah yang melempar”. S 8 Al Anfal ayat 17. Tidaklah engkau yang membunuh
ketika engkau membunuh. Akan tetapi: “Perangilah mereka. Allah akan menyiksa
mereka dengan tanganmu”. S 9 At Taubah ayat 14. Ketika inilah, lalu heranlah
akal orang-orang yang duduk di tengah-tengah alam asy-syahadah (alam yang
disaksikan dengan mata). Maka sebahagian mengatakan: bahwa itu paksaan semata-mata.
Sebahagian mengatakan: bahwa itu ciptaan orang itu sendiri semata-mata. Dan
dari yang bersikap di tengah-tengah, cenderung, bahwa itu usaha. Dan jikalau
terbukalah bagi mereka pintu-pintu langit, maka mereka melihat kepada alam
akhirat yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata (kebalikan daripada
alamusy-syahadah), niscaya nampaklah bagi mereka, bahwa masing-masing tadi
benar dari satu segi. Dan keteledoran itu meratai bagi semua mereka.
Masing-masing dari mereka tidak
mengetahui hakikat/makna hal tersebut. Dan ilmunya tidak meliputi dengan semua
seginya. Dan kesempurnaan ilmunya itu diperoleh dengan cemerlangnya cahaya dari
lobang dinding yang tembus ke alamul-ghaibi (alam ghaib). Dan sesungguhnya
Allah Ta’ala Maha Tahu akan ‘alamul-ghaibi wasy-syahadah(alam akhirat yg bisa
dipersaksikan dengan mata), yang tidak dinampakkanNya
kegoibannya itu kepada siapa juapun, selain dari kepada Utusan yang
diridhaiNya”. Kadang-kadang diperhatikanNya kepada alam asy-syahadah(alam
penyaksian), orang yang tidak masuk dalam bagian
keridhaanNya. Dan orang yang dapat menggerakkan ikatan hubungan sebab dan
musabbab dan mengetahui cara ikatan hubungannya dan cara ikatan yang menyangkut
dengan pertaliannya, dengan menyebabkan sebab-sebab, niscaya terbukalah baginya
rahasia qadar (taqdir). Dan ia tahu dengan penuh keyakinan, bahwa tiada Khaliq (yang
maha pencipta), selain Allah dan tiada pencipta, selain DIA. Kalau engkau
bertanya: “Anda telah menghukum kepada setiap orang yang mengatakan: dengan
paksaan, dengan ciptaan dan dengan usaha, bahwa orang itu benar dari satu segi.
Dan orang tersebut serta kebenarannya itu teledor. Dan ini bertentangan. Maka
bagaimana mungkin memahami yang demikian? Adakah mungkin menyampaikan yang
demikian kepada pemahaman dengan contoh?”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa
segolongan orang-orang buta telah mendengar bahwa sudah dibawa ke kampungnya,
seekor hewan yang ajaib, yang dinamai: gajah. Mereka belum pernah sekali-kali
melihat bentuk binatang itu dan tidak pernah mendengar namanya. Lalu mereka
mengatakan: “Tak boleh tidak, kami harus melihatnya dan mengenalinya dengan
menyentuhnya yang dapat kami sanggupi”. Lalu mereka meminta gajah itu. Tatkala
mereka sampai kepadanya, lalu mereka menyentuhnya. Maka jatuhlah tangan
sebahagian orang-orang buta itu atas dua kaki gajah. Sebahagian yang lain jatuh
tangannya atas belalai gajah. Dan sebahagian yang lain, jatuh tangannya atas
telinga gajah. Lalu mereka mengatakan: “Kami telah mengenal gajah”. Sesudah
mereka pulang, lalu mereka ditanyakan oleh orang-orang buta yang lain. Maka
berselisihlah jawaban mereka. Menjawab yang menyentuh kaki, bahwa gajah itu,
tidaklah, melainkan seperti tiang yang kasar luarnya. Hanya dia itu lebih
lembut dari tiang itu. Menjawab yang menyentuh belalai: Tidak seperti yang
dikatakan orang tadi. Akan tetapi gajah itu keras, tidak lembut padanya. Licin,
tidak kasar padanya. Dan tidak sekali-kali menurut tebalnya tiang, akan tetapi
adalah seperti tonggak. Dan menjawab yang menyentuh telinga: “Demi umurku,
gajah itu lembut dan padanya kasar kulitnya”. Ia membenarkan salah seorang dari
yang dia tadi tentang gajah itu. Akan tetapi ia mengatakan: “Tidaklah gajah itu
seperti tonggak dan tidaklah seperti tiang. Hanya dia seperti kulit yang lebar
tebal”. Maka masing-masing dari mereka tadi benar dari satu segi, apabila
masing-masing menerangkan dari apa yang diperolehnya tentang pengenalan gajah
itu. Dan tiada seorangpun keluar dalam ceritanya itu, dari sifat gajah. Akan
tetapi, dengan kesimpulan mereka itu, mereka telah teledor (tidak sanggup)
mengetahui hakikat/makna bentuk gajah itu. Maka lihatlah dengan contoh ini dan
ambillah ibarat daripadanya! Itu adalah contoh kebanyakan yang
diperselisihkan manusia. Walaupun ini adalah
perkataan yang bertolak-tolakan dengan ilmu diminta untuk mengetahuinya saja
dan yang menggerakkan ombak-ombaknya. Dan tidaklah itu termasuk maksud kami.
Maka hendaklah kita kembali kepada yang sedang kita perbincangkan. Yaitu:
penjelasan, bahwa taubat itu wajib dengan semua bahagian-bahagiannya yang 3:
ilmu (tahu), sesal dan meninggalkan. Dan sesal itu masuk dalam wajib. Karena
adanya itu terjadi dalam jumlah perbuatan Allah, yang terbatas antara tahu
hamba, Kemauannya (kehendaknya) dan qudrah ( kuasa )nya (kemampuannya), yang
menyelang-nyelangi diantaranya. Dan tidaklah ini sifatnya. Maka nama wajib itu
melengkapinya.
PENJELASAN: bahwa wajibnya taubat itu dengan segera.
Adapun wajibnya
taubat dengan segera itu, maka tidak diragukan lagi. Karena mengetahui
adanya perbuatan maksiat itu membinasakan pada diri iman. Dan itu wajib dengan
segera. Dan yang menghendaki wajibnya itu, ialah: yang diketahuinya sebagai
mengenal takutnya yang demikian, dari perbuatan yang tidak disukai. Maka ilmu
mengenal Allah Ta’ala ini tidaklah termasuk sebahagian dari ilmu diminta untuk
mengetahuinya saja, yang tidak menyangkut dengan amal (perbuatan). Akan tetapi,
dia termasuk sebahagian dari ilmu mu’amalah (perniagaan). Setiap ilmu itu
dimaksudkan, supaya menjadi penggerak kepada amal. Maka tidaklah terjadi
kelepasan dari tanggungannya, selama tidak jadi ilmu itu penggerak kepadanya.
Maka ilmu (mengetahui) dengan melaratnya dosa, sesungguhnya dimaksudkan, supaya
ilmu itu penggerak kepada meninggalkan dosa. Maka orang yang tidak meninggalkan
dosa, adalah orang yang ketiadaan bahagian ini dari iman. Dan itulah yang
dimaksudkan dengan sabda Nabi saw: “Tidaklah penzina itu berzina, ketika dia
itu orang mu’min”.
Tidaklah dimaksudkan dengan
demikian, ketiadaan iman, yang kembali kepada ilmu diminta untuk mengetahuinya
saja, seperti mengetahui akan Allah, keesaanNya, sifat-sifatNya, kitab-kitabNya
dan rasul-rasulNya. Sesungguhnya yang demikian itu, tidak ditiadakan oleh
perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan maksiat. Sesungguhnya, dimaksudkan
ketiadaan iman itu, karena adanya zina itu menjauhkan dari Allah Ta’ala, yang
mengharuskan kutukanNya. Sebagaimana apabila dokter mengatakan: “Ini racun,
maka jangan engkau meminumnya!”. Maka apabila ia minum, niscaya dikatakan: “Dia
telah minum dan dia itu tidak percaya (beriman)”. Tidak berarti, bahwa dia
tidak percaya dengan adanya tabib dan adanya orang itu tabib. Dan dia tidak membenarkannya.
Akan tetapi, yang dimaksudkan, ialah: bahwa orang itu tidak membenarkan
perkataan tabib, bahwa itu: racun yang membinasakan. Sesungguhnya orang yang
tahu dengan racun, niscaya tidaklah sekali-kali akan diminumnya. Orang yang
berbuat maksiat, dengan mudah itu kurang iman. Dan tidaklah iman itu satu
pintu. Akan tetapi, lebih 70 pintu. Yang tertinggi, ialah: pengakuan, bahwa:
tiada yang disembah, selain Allah. Dan pintu yang paling rendah, ialah:
membuang yang menyakitkan dari jalan raya. Contohnya, ialah: kata orang yang
mengatakan: “Tidaklah manusia itu suatu wujud yang satu. Akan tetapi, lebih
dari 70 wujud. Yang tertinggi, ialah hati dan nyawa. Dan yang terendah, ialah:
membuang yang menyakiti dari kulit, dengan adanya manusia itu menggunting kumis,
memotong kuku, membersihkan kulit dari kotoran. Sehingga ia berbeda dari hewan
yang terlepas, yang berlumuran dengan beraknya, yang tidak disukai bentuknya,
dengan panjang kukunya (kuku burung) dan kukunya (kuku hewan). Inilah contoh
yang sesuai.
Maka iman itu, seperti insan.
Dan ketiadaannya pengakuan keesaan itu menjadikan batil/salah keseluruhan,
seperti tidak adanya nyawa. Dan orang yang tidak mempunyai, selain pengakuan
keesaan (pengakuan keesaan Tuhan) dan pengakuan kerasulan (pengakuan kerasulan
Muhammad saw), adalah seperti insan yang terpotong sendi-sendinya, buta kedua
matanya, ketiadaan semua anggota badannya, zahiriah dan batiniyah. Tidak hilang
pokok nyawa. Dan sebagaimana orang yang ini keadaannya, yang mendekati ia
kepada mati, lalu ia dicerai beraikan oleh nyawa yang lemah, yang tersendiri,
yang ditinggalkan oleh anggota-anggota tubuh yang menolongnya dan yang
menguatkannya. Maka seperti demikianlah, orang yang tidak mempunyai, selain
pokok iman. Dan ia teledor pada semua amal, yang mendekati untuk dicabut pohon
imannya, apabila dilanda oleh angin kencang, yang menggerakkan iman pada
permulaan datangnya malikul-maut dan tibanya. Maka setiap iman yang tidak tetap
pokoknya pada keyakinan dan tidak berkembang cabang-cabangnya pada amal, niscaya
tidak akan tetap di atas datangnya angin kekencangan huru-hara, ketika tampak
dahi malikul-maut. Dan ditakuti terhadap manusia tersebut, akan su-ul khatimah
(buruk kesudahan). Tidaklah apa yang disirami dengan berbagai taat, sepanjang
hari dan saat, sehingga mendalam dan tetap. Perkataan orang maksiat kepada
orang taat: “Sesungguh nya aku ini orang mu’min, sebagaimana engkau orang
mu’min”, adalah seperti kata batang labu air kepada pohon shanaubar (seperti
pohon cempedak): “Saya pohon dan engkau pohon”. Alangkah bagusnya jawaban pohon
shanaubar, tatkala ia menjawab: “Engkau akan mengetahui tertipunya engkau
dengan samanya nama itu, apabila berhembus angin kencang musim semi (musim
kharif, sesudah musim panas). Maka ketika itu, menjadi terputus-putuslah
batang-batang engkau dan beterbanganlah daun-daun engkau. Dan tersingkaplah
tertipunya engkau, dengan sama-sama nama pohon, serta lupa dari sebab-sebab
teguh tetapnya pohon-pohonan.
Anda akan melihat,
apabila telah hilang debu.
Kuda kah di bawah anda
ataukah keledai itu?
Ini adalah keadaan yang tampak
pada hari kesudahan! Sesungguhnya terputuslah urat hati orang-orang arifin
(orang-orang yang berilmu mengenal Allah Ta’ala akan Allah), karena takut, dari
panggilan maut dan pendahuluan-pendahuluannya yang dahsyat, yang tidak tetap di
atas jalan yang lurus, selain orang-orang yang sedikit jumlahnya. Maka orang
yang berbuat maksiat, apabila tidak takut kekal dalam neraka, disebabkan
kemaksiatannya, adalah seperti orang yang sehat yang terjerumus dalam nafsu
syahwat yang mendatangkan melarat, apabila ia tidak takut kepada mati, dengan
sebab kesehatannya. Dan mati itu biasanya terjadi dengan tiba-tiba. Lalu
dikatakan kepadanya: bahwa orang sehat itu takut sakit. Kemudian, apabila ia
sakit, maka ia takut mati. Dan begitu juga orang yang berbuat perbuatan
maksiat, takut kepada su-ul khatimah/buruk kesudahan. Kemudian, apabila ia
berkesudahan dengan su-ul khatimah –kita berlindung dengan Allah –niscaya
wajiblah kekal dalam neraka. Maka perbuatan-perbuatan maksiat bagi iman, adalah
seperti makanan yang mendatangkan melarat bagi badan. Maka senantiasalah ia
berkumpul dalam batin, sehingga berobahlah godokan segala campuran. Dan ia
tidak merasa dengan yang demikian, sampai rusaklah gosokan itu. Lalu ia sakit
serta merta. Kemudian ia mati serta merta. Begitu pulalah perbuatan-perbuatan
maksiat. Maka apabila ada orang yang takut dari kebinasaan dalam dunia ini yang
menghancur kan, niscaya wajiblah kepadanya meninggalkan racun dan apa yang
mendatangkan melarat dari segala rupa makanan, dalam setiap keadaan dan dengan
segera. Maka orang yang takut dari binasa abadi, itu, lebih utama wajib yang
demikian atasnya.
Apabila ada orang yang meminum racun, apabila
ia menyesal, niscaya wajiblah atasnya memuntahkan dan kembali dari meminum
racun itu dengan membatalkannya dan mengeluarkannya dari perut, dengan jalan
segera dan cepat, untuk memperoleh kembali badannya yang hampir binasa, yang
tidak lenyap daripadanya, selain dunia yang fana ini. Maka orang yang meminum
racun agama, yaitu: dosa, adalah lebih utama kepadanya harus kembali dari
dosa-dosa itu, dengan berbuat baik kembali yang mungkin, selama masih ada
kesempatan untuk berbuat baik kembali itu. Yaitu: umur. Maka yang ditakuti dari
racun ini, ialah hilangnya akhirat yang masih ada, yang padanya nikmat yang
menetap dan Raja Yang Maha Agung. Dan pada luputnya akhirat itu, neraka
jahannam dan azab yang menetap, yang menghabiskan gandaan umur dunia, tanpa
1/100 masanya. Karena tidak ada sekali-kali masanya itu berpenghabisan. Maka
bersegera dengan sangat segera kepada taubat, sebelum racun dosa berbuat dengan
nyawa iman, suatu perbuatan, yang keadaan padanya melewati kesanggupan
tabib-tabib dan usahanya. Dan tidaklah bermanfaat sesudah itu, penjagaan lagi.
Maka tidak bermanfaat sesudah itu, nasehat orang-orang yang menasehatkan dan
pengajaran orang-orang yang memberi pengajaran. Dan berhaklah dikatakan
kepadanya, bahwa dia termasuk orang-orang yang binasa. Dan ia termasuk dalam
umumnya firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami letakkan belenggu di tengkuk
mereka dan sampai ke dagu, maka kepala mereka tertengadah. Dan Kami adakan
tutup di hadapan dan di belakang mereka. Lalu mereka Kami tutup, sebab itu
mereka tiada menampak. Sama saja bagi mereka, engkau beri peringatan atau
tidak, mereka tiada juga mau percaya”. S 36 Ya Sin ayat 8-9-10. Janganlah
engkau ditipu oleh perkataan iman. Maka engkau katakan: bahwa yang dimaksud
dengan ayat itu, orang kafir. Karena telah diterangkan kepada engkau, bahwa
iman itu lebih dari 70 pintu. Dan orang yang berzina, tidak akan berzina ketika
ia berzina dan dia itu orang mu’min. Maka yang terdinding dari iman yang
menjadi cabang dan ranting, akan terdinding nanti pada kesudahan (khatimah),
dari iman yang menjadi pokok. Sebagaimana orang yang ketiadaan semua sendi
tubuhnya, yang menjadi samping dan cabang, akan dihalau kepada maut, yang
meniadakan nyawa, dimana nyawa itu pokok. Maka tiada kekal pokok, tanpa cabang.
Dan tidak ada cabang, tanpa pokok. Dan tiada berbeda antara pokok dan cabang,
selain pada satu hal. Yaitu: bahwa adanya cabang dan kekalnya, meminta kepada
adanya pokok. Adapun adanya pokok, maka tidak meminta kepada adanya cabang.
Maka kekalnya pokok itu dengan cabang. Dan adanya cabang itu dengan pokok. Maka
ilmu-ilmu diminta untuk mengetahuinya saja dan ilmu-ilmu mu’amalah (perniagaan)
itu, perlu memerlukan, seperti perlu-memerlukan cabang dan pokok. Maka tidak
terlepas salah satu dari keduanya, dari yang lain. Walaupun yang satu pada
tingkat pokok dan yang lain pada tingkat pengikut. Dan ilmu-ilmu mu’amalah
(perniagaan), apabila ia tidak menjadi penggerak kepada amal, maka tidak
adanya, adalah lebih baik daripada adanya. Kalau ilmu perniagaan itu tidak
berbuat amalnya yang dimaksudkan, niscaya ia berdiri untuk menguatkan alasan
yang memberatkan atas yang punya ilmu itu sendiri. Dan karena itulah,
ditambahkan pada azab orang berilmu yang zalim atas azab orang bodoh yang
zalim, sebagaimana telah kami kemukakan hadits-hadits dalam Kitab Ilmu dahulu.
PENJELASAN: bahwa wajib taubat itu umum pada semua orang dan
keadaan. Maka tiada seorangpun sekali-kali terlepas daripadanya.
Ketahuilah, bahwa zahiriah bunyi
Kitab suci Alquran, telah menunjukkan kepada yang tersebut. Karena Allah Ta’ala
berfirman: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman, supaya kamu beruntung”. S 24 An Nur ayat 31. Allah berfirman secara
umum firmanNya. Dan cahaya mata hati juga menunjukkan kepada yang demikian.
Karena arti taubat itu kembali kepada Allah dan menjauhkan diri dari jalan
setan. Dan tidak tergambar yang demikian, selain dari orang yang berakal. Dan
tidak sempurna gharizah (instink) akal, selain sesudah sempurna gharizah nafsu
syahwat, marah dan lain-lain sifat tercela, yang menjadi jalan-jalan setan,
kepada menipu manusia. Karena kesempurnaan akal itu hanya ada ketika berumur
sekitar 40. Dan pokok akal itu, sesungguhnya sempurna ketika hampir dewasa. Dan
permulaannya tampak sesudah berumur 7 tahun. Dan nafsu syahwat itu tentara
setan. Dan akal itu tentara malaikat. Apabila keduanya berkumpul, lalu dengan
sendirinya timbul peperangan di antara keduanya. Karena salah satu daripada
keduanya tidak mengakui yang lain. Karena keduanya itu berlawanan. Maka
tolak-menolak di antara keduanya, adalah seperti tolak- menolak di antara malam
dan siang, terang dan gelap. Manakala menang salah satu daripada keduanya,
niscaya dengan sendirinya mengejutkan yang lain.
Apabila
nafsu syahwat itu sempurna pada masa kecil dan muda, sebelum sempurna akal,
maka tentara setan telah mendahului. Dan ia menguasai tempat. Dan sudah pasti,
jatuhlah kejinakan dan kemesraan hati kepadanya, hal-hal yang biasanya
dikehendaki oleh nafsu syahwat. Dan yang demikian itu mengerasi kepadanya. Dan
akan sukarlah mencabut diri daripadanya. Kemudian, bersinarlah akal yang
menjadi barisan dan tentara Allah dan yang melepaskan wali-waliNya dari tangan
musuh-musuhNya, sedikit demi sedikit dengan berangsur-angsur. Kalau akal itu
tidak kuat dan tidak sempurna, niscaya terserahlah kerajaan hati bagi setan.
Dan setan yang terkutuk itu melaksanakan janjinya, dimana ia mengatakan,
sebagaimana tersebut dalam Alquran: “Sudah tentu aku akan membinasakan (menyesatkan)
turunannya, selain dari sebahagian kecil”. S 17 Al Isra’ ayat 62.
Jikalau
akal itu sempurna dan kuat, niscaya awal kesibukannya, ialah mencegah tentara
setan, dengan menghancurkan nafsu syahwat, berpisah dari adat kebiasaan dan
mengembalikan tabiat dengan jalan paksaan kepada ibadah. Dan tidak ada arti
taubat, selain ini. Yakni: kembali dari jalan, yang penunjuknya nafsu syahwat
dan pengawalnya setan, kepada jalan Allah Ta’ala. Dan tidak adalah dalam wujud
itu anak Adam (manusia), selain nafsu syahwatnya, yang mendahului atas akalnya.
Dan kharizahnya (instink) yang menjadi alat senjata setan, yang mendahului atas
kharizahnya yang menjadi alat senjata malaikat. Maka adalah kembalinya dari apa
yang telah mendahului kepadanya, atas perbantuan nafsu syahwat itu perlu pada
pihak setiap insan, nabi dia ataupun orang bodoh. Maka janganlah anda menyangka
bahwa kepentingan ini tertentu dengan Nabi Adam as saja. Dan orang telah
bersajak:
Janganlah
engkau menyangka,
Hindun
seorang saja yang menyalahi janji.
Sifat
diri perempuan cantik semua,
Adalah
seperti Hindun tadi.
Bahkan itu adalah hukum azali (
tida kesudahan / permulaan ), yang termaktub atas jenis insan, yang tidak
mungkin harus menyalahinya, selama tidak berganti sunnah Ilahi, yang tidak
dapat diharap pada pergantiannya. Jadi, setiap orang yang telah dewasa, menjadi
kafir yang bodoh, maka haruslah ia bertaubat dari kebodohan dan kekufurannya.
Apabila ia telah dewasa sebagai orang muslim, karena mengikuti ibu bapaknya,
yang lengah dari hakikat/makna keIslamannya, maka haruslah ia bertaubat
daripada kelalaiannya, dengan memahami arti Islam. Karena tidak memadai
keIslaman ibu bapaknya sedikitpun kepadanya, selama ia tidak Islam sendiri.
Kalau ia
telah memahami yang demikian, maka haruslah ia kembali dari adat kebiasaannya
dan kesukaannya untuk meluas di belakang nafsu syahwat, tanpa ada yang
memalingkan, dengan kembali kepada acuan batas-batas hukum Allah, tentang
larangan, pelepasan, terbuka dan meluas. Dan itu adalah termasuk diantara
pintu-pintu taubat yang tersukar. Dan padanya telah binasa kebanyakan orang,
apabila mereka itu lemah daripadanya. Dan semua ini adalah kembali dan taubat.
Maka menunjukkan, bahwa taubat itu fardlu ‘ain/wajib terhadap setiap orang,
yang tidak tergambar, bahwa ada seseorang dari manusia, yang tidak memerlukan
kepada taubat, sebagaimana diperlukan oleh Adam as. Maka kejadian anak tidak
akan meluas sekali-kali, bagi apa yang tidak meluas padanya kejadian bapak.
Adapun
penjelasan wajibnya taubat itu terus-menerus dan dalam segala keadaan, maka
adalah, bahwa setiap manusia itu tiada terlepas dari perbuatan maksiat dengan
anggota tubuhnya. Karena tidak terlepas daripadanya nabi-nabi, sebagaimana
tersebut dalam Alquran dan hadits-hadits, dari hal kesalahan nabi-nabi, taubat
mereka dan tangisan mereka atas kesalahannya. Maka jikalau terlepas pada
sebahagian keadaan daripada perbuatan maksiat anggota tubuh, niscaya tidak akan
terlepas daripada cita-cita berdosa, dengan hati. kalau terlepas pada
sebahagian keadaan, daripada cita-cita, maka tiada akan terlepas daripada
bisikan setan, dengan mendatangkan gurisan-gurisan hati yang berpisah-pisah,
yang melumpuhkan daripada mengingati (berdzikir) kepada Allah. Kalau terlepas
juga daripada yang demikian, maka tiada akan terlepas daripada kelalaian dan
keteledoran pada mengetahui Allah, sifat-sifatNya dan Af’al (
perbuatan-perbuatan)Nya. Semua itu adalah kekurangan dan mempunyai sebab. Dan
meninggalkan sebab-sebabnya, dengan berbuat yang lawannya, adalah kembali dari
suatu jalan, kepada lawannya. Dan yang dimaksud dengan taubat itu, ialah:
kembali. Dan tidaklah tergambar akan terlepasnya diri anak Adam (manusia)
daripada kekurangan ini. Hanya mereka itu berlebih-kurang pada kadarnya.
Adapun
pokoknya, maka tidak boleh tidak. Karena inilah, Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya ditutupkan oleh hawa nafsu atas hatiku, sehingga aku memohonkan
ampun kepada Allah dalam sehari semalam 70 kali” –bacalah sampai akhir hadits.
Karena
itulah, ia dimuliakan oleh Allah Ta’ala, dengan firmanNya: “Supaya Allah
mengampuni kesalahan engkau yang telah lalu dan yang akan datang”. S 48 Al Fath
ayat 2. Apabila adalah ini keadaan Nabi saw, maka bagaimanakah keadaan orang
lain?. Kalau anda mengatakan: tidaklah tersembunyi, bahwa apa yang datang
kepada hati, dari kegundahan-kegundahan dan gurisan-gurisan itu adalah
kekurangan. Dan sesungguhnya kesempurnaan adalah pada terlepas daripadanya. Dan
keteledoran dari mengenal (ilmu mengenal Allah Ta’ala) hakikat/makna keagungan
Allah adalah kekurangan. Dan manakala berrtambah ilmu mengenal Allah Ta’ala
itu, niscaya bertambahlah kesempurnaan. Dan berpindah kepada kesempurnaan dari
sebab-sebab kekurangan, adalah: kembali. Dan kembali itu: taubat. Akan tetapi,
ini adalah hal-hal keutamaan (fadlilah), tidak hal-hal yang fardlu (wajib). Dan
anda, telah berkata secara mutlak, dengan wajibnya taubat pada segala keadaan.
Dan taubat dari keadaan-keadaan ini, tidaklah wajib. Karena memperoleh
kesempurnaan itu, tidak wajib pada syara’(Agama).
Maka
apakah yang dimaksud dengan kata anda: taubat itu wajib pada segala keadaan?
Maka ketahuilah kiranya, bahwa telah terdahulu kami katakan, bahwa manusia itu
tidak terlepas pada permulaan kejadiannya sekali-kali, daripada mengikuti nafsu
syahwat. Dan tidaklah arti taubat itu meninggalkan nafsu syahwat itu saja. Akan
tetapi, kesempurnaan taubat adalah dengan memperoleh kembali apa yang telah
lalu. Dan tiap-tiap nafsu syahwat yang dituruti oleh insan, maka terangkatlah
dari nafsu syahwat itu kegelapan kepada hatinya, sebagaimana terangkat dari
nafas insan itu, kegelapan ke muka cermin yang berkilat. Maka jikalau bertindis-lapis kegelapan nafsu syahwat
itu, niscaya menjadi karat pada hati. Sebagaimana uap nafas pada muka cermin
ketika ia bertindis-lapis, menjadi kotoran, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Jangan berpikir begitu! Bahkan, apa yang telah mereka kerjakan itu menjadi
karat bagi hati mereka”. S 83 Al Muthaffifin ayat 14. Apabila karat pada hati
itu telah bertindis-lapis, lalu melekat atas hatinya, seperti kotoran atas muka
cermin. Apabila telah bertindis-lapis dan lama waktunya, niscaya ia menyelam
dalam tubuh besi dan merusakkannya. Dan jadilah tidak dapat berkilat lagi sesudahnya.
Dan jadilah seperti yang melekat dari kotoran. Dan tidak memadai pada
memperbaiki kembali dari menuruti nafsu syahwat, dengan meninggalkannya pada
masa mendatang. Akan tetapi, tidak boleh tidak, daripada menghapuskan
karat-karat itu, yang telah melekat pada hati. Sebagaimana tidak memadai pada
mengangkatkan bentuk-bentuk pada cermin (kaca), dengan tidak bernafas lagi dan
uap-uap hitam ke muka kaca pada masa mendatang, selama tidak dikerjakan
menghapus karat-karat yang telah melekat padanya. Dan sebagaimana terangkat
kepada hati kegelapan maksiat dan nafsu syahwat, maka terangkatlah kepada hati
itu nur (cahaya) taat dan meninggalkan nafsu syahwat. Lalu terhapuslah
kegelapan maksiat, dengan cahaya taat. Dan kepada inilah diisyaratkan dengan
sabda Nabi saw: “Ikutkanlah kejahatan itu dengan kebajikan, niscaya engkau
sudah menghapusinya”. Jadi, hamba itu memerlukan dalam semua hal-ikhwalnya,
kepada menghapuskan bekas-bekas kejahatan dari hatinya, dengan mengerjakan
kebajikan-kebajikan, yang bekas-bekasnya melawan akan bekas-bekas kejahatan
tersebut. Ini adalah pada hati, yang pertama-tama telah berhasil kebersihan dan
kecemerlangannya. Kemudian, menjadi gelap, dengan sebab-sebab yang datang.
Adapun mengkilap pertama, maka lamalah kilapan itu padanya. Karena, tidaklah
usaha pengkilapan pada menghilangkan karat pada cermin itu, seperti usaha pada
membuat cermin itu sendiri. Maka ini adalah usaha-usaha yang panjang, yang
tidak sekali-kali terputus. Semua itu kembali kepada taubat.
Adapun
kata anda: bahwa ini tidak dinamakan: wajib. Akan tetapi: keutamaan (perbuatan
utama) dan mencari kesempurnaan. Maka ketahuilah, bahwa wajib itu mempunyai dua
arti.
Yang pertama:
ialah: apa yang masuk pada fatwa agama (syara’) dan bersekutu padanya
keseluruhan makhluk. Yaitu: kadar, jikalau dikerjakan oleh keseluruhan makhluk,
niscaya tidak merobohkan alam ini. Maka jikalau diberatkan manusia semua untuk
bertaqwa kepada Allah dengan taqwa yang sebenarnya, niscaya mereka akan
meninggalkan kehidupan dan menolak dunia keseluruhannya. Kemudian, yang
demikian itu membawa kepada batalnya taqwa secara keseluruhan. Sesungguhnya,
manakala telah rusak kehidupan, niscaya tiada seorangpun yang dapat
mengosongkan waktunya untuk taqwa. Bahkan, pekerjaan menenun, membajak sawah
dan membuat roti, akan menghabiskan semua umur dari tiap-tiap orang, pada apa
yang diperlukannya. Maka semua tingkat ini tidaklah wajib dengan pemikiran
tersebut.
Kewajiban kedua,
yaitu: yang tidak boleh tidak daripadanya, untuk sampai kepada kedekatan yang
dicari dari Tuhan semesta alam dan tempat yang terpuji di antara orang-orang
shiddiq. Dan taubat dari semua yang telah kami sebutkan itu, adalah wajib untuk
sampai kepadaNya. Sebagaimana dikatakan: bahwa bersuci itu wajib pada shalat
sunat. Artinya: bagi orang yang bermaksud mengerjakannya. Maka dia tidak akan
sampai kepada shalat sunat tersebut, selain dengan bersuci. Adapun orang yang
rela dengan kekurangan dan tidak memperoleh keutamaan shalat sunat, maka
bersuci itu tidak wajib atasnya karena shalat itu. Sebagaimana dikatakan: mata,
telinga, tangan dan kaki itu syarat pada adanya insan. Yakni: bahwa yang
tersebut itu adalah syarat bagi orang yang menghendaki, bahwa dia itu insan
yang sempurna (insan kamil), yang memperoleh manfaat dengan keinsanannya. Dan
ia akan sampai dengan keinsanannya itu kepada tingkat tinggi di dunia.
Adapun
orang yang merasa puas dengan asal hidup saja dan ia rela, bahwa dia itu
seperti daging atas lapik tempat memotong daging dan seperti sepotong kain tua
yang dicampakkan orang, maka tidaklah disyaratkan untuk hidup yang seperti ini,
ada mata, tangan dan kaki. Maka pokok kewajiban yang masuk dalam fatwa orang
awam itu, tiada akan menyampaikan, selain kepada pokok kelepasan. Dan pokok
kelepasan itu adalah seperti pokok kehidupan. Dan apa yang di belakang pokok
kelepasan itu, dari kebahagiaan, yang dengan kebahagiaan itu berkesudahan
hidup, berlaku sebagai berlakunya anggota tubuh dan alat-alat, yang
terselenggarakan hidup dengan dia. Dan pada itulah usaha nabi-nabi, wali-wali,
alim ulama dan orang-orang yang seperti mereka. Dan kepada itulah keinginan
mereka. Dan di kelilingnya itulah, adanya mereka berkeliling. Dan karenanyalah,
tolakan mereka akan kelezatan dunia secara keseluruhan. Sehingga sampailah Nabi
Isa as berbantal dengan batu pada tidurnya. Maka datanglah setan kepadanya,
seraya berkata: “Apakah engkau meninggalkan dunia karena akhirat?”. Nabi Isa as
menjawab: “Ya! Dan apa yang terjadi?”. Lalu setan menjawab: “Engkau berbantal
dengan batu ini, adalah bernikmat-nikmat dalam dunia. Maka mengapa tidak engkau
letakkan saja kepala engkau atas bumi?”. Nabi Isa as lalu melemparkan batu itu
dan meletakkan kepalanya atas bumi. Dan ia melemparkan batu itu adalah taubat
dari bernikmat-nikmat itu.
Apakah
anda berpendapat, bahwa Isa as tidak tahu bahwa meletakkan kepala atas bumi itu
tidak dinamai: wajib pada fatwa-fatwa orang awam? Apakah anda berpendapat,
bahwa Nabi kita Muhammad saw tatkala ia terganggu oleh kain yang ada padanya,
yang diketahuinya dalam shalatnya, lalu kain itu dibukanya. Dan ia terganggu oleh
tali sandalnya yang baru diperbaruinya. Lalu dikembalikannya tali sandal yang
lama, bahwa beliau tidak tahu yang demikian itu tidak wajib pada agamanya, yang
diagamakannya bagi seluruh hamba? Maka apabila beliau tahu yang demikian, maka
mengapa baliau bertaubat daripadanya dengan meninggalkannya? Adakah yang
demikian itu, selain karena dilihatnya membekas pada hatinya, bekas yang
mencegahnya sampai kepada kedudukan terpuji yang dijanjikan kepadanya? Adakah
anda berpendapat, bahwa Abubakar Ash-Shiddiq ra sesudah meminum susu dan tahu
bahwa yang demikian itu tidak di atas caranya, lalu beliau memasukkan anak
jarinya dalam kerongkongannya, untuk mengeluarkan susu tersebut, sehingga
hampir keluar nyawanya? Tidaklah beliau tahu sekadar ini dari ilmu fiqh? Yaitu:
bahwa apa yang dimakannya dari karena tidak tahu, maka dia tidak berdosa dengan
yang demikian. Dan tidak wajib pada fatwa ilmu fiqih mengeluarkannya. Maka
mengapa ia bertaubat dari meminumnya, dengan mengeluarkan kembali sedapat
mungkin, dengan mengosongkan perutnya dari susu itu? Adakah yang demikian itu,
selain karena rahasia, yang menetap dalam dadanya, dimana rahasia tersebut
memperkenalkan kepadanya, bahwa fatwa orang awam itu adalah suatu hadits yang
lain? Dan bahwa bahaya jalan akhirat, tidak dikenal, selain oleh orang-orang
shiddiq?.
Maka
perhatikanlah hal-ikhwal mereka itu, dimana mereka adalah makhluk Allah yang
lebih mengenal (berma’rifah) akan Allah, jalan Allah, rencana Allah dan
tempat-tempat tersembunyi ke-terperdayaan pada jalan Allah. Jagalah dirimu satu
kali, bahwa engkau ditipu oleh hidup dunia! Jagalah, kemudian jagalah
beribu-ribu kali, bahwa engkau ditipu oleh penipuan pada jalan Allah! maka
inilah rahasia orang yang menghirup permulaan baunya, tahu, bahwa harusnya
taubat nashuha (taubat yang benar-benar tidak akan berbuat dosa lagi), menjadi
harus bagi hamba yang berjalan pada jalan Allah Ta’ala, pada setiap nafas dari
nafas-nafasnya. Walaupun ia ditakdirkan berusia, sebanyak usia Nabi Nuh as. Dan
yang demikian itu wajib dengan segera, tanpa ada tangguhan. Maka benarlah Abu
Sulaiman Ad-Darani ra, yang mengatakan: “Jikalau orang yang berakal tidak
menangis pada apa yang masih ada dari umurnya, selain atas kehilangan masa yang
lalu dari umurnya, pada tidak perbuatan taat, niscaya sesungguhnya adalah
pantas bahwa yang demikian itu menyusahkannya sampai kepada mati”.
Maka bagaimanakah orang yang menghadapi apa
yang menjadi sisa dari umurnya, dengan contoh apa yang telah lalu dari
kebodohannya? Sesungguhnya Abu Sulaiman Ad-Darani ra mengatakan itu, karena
orang yang berakal, apabila memiliki mutiara yang berharga dan mutiara itu
hilang daripadanya, tanpa faedah, niscaya –sudah pasti, ia menangis atas
kehilangan itu. Dan jikalau hilangnya mutiara tadi daripadanya dan hilangnya
itu menjadi sebab binasanya, niscaya tangisannya adalah lebih keras dan setiap
saat dari umurnya. Akan tetapi, setiap nafas itu, adalah mutiara yang berharga,
tiada ganti dan tukaran daripadanya. Maka mutiara yang berharga ini pantas untuk
menyampaikan engkau kepada bahagia abadi. Dan melepaskan engkau dari
kesengsaraan abadi. Dan manakah mutiara yang lebih berharga daripada ini? Maka
apabila engkau menyia-nyiakannya dalam kelalaian, niscaya merugilah engkau
dengan kerugian yang nyata. Dan kalau engkau mempergunakannya kepada
kemaksiatan, maka sesungguhnya engkau telah binasa dengan kebinasaan yang keji.
Jikalau engkau tidak menangis di atas musibah (bencana) ini, maka yang demikian
itu, adalah karena kebodohan engkau. Dan musibah bagi engkau disebabkan
kebodohan engkau itu, lebih besar dari setiap musibah. Akan tetapi, kebodohan
itu musibah, yang tidak diketahui oleh yang memperoleh musibah itu, bahwa dia
yang punya musibah tersebut.
Sesungguhnya
tidur kelalaian itu menghalangi di antara dia dan mengenalnya. Dan manusia itu
tidur. Apabila mereka mati, niscaya mereka terbangun. Maka ketika itulah,
tersingkap bagi setiap orang yang jatuh, akan kejatuhannya. Dan bagi setiap
orang yang kena musibah, akan musibahnya. Dan manusia itu terangkat (tidak
dapat) memperolehnya kembali. Sebahagian orang-orang ‘arif (orang-orang yang
mengenal dengan Allah), mengatakan: “Bahwa malakul-maut apabila datang kepada
seorang hamba, niscaya ia memberitahukan kepada hamba tersebut: bahwa masih ada
sesaat, sisa dari umur engkau. Dan engkau tidak akan terkemudian daripadanya
sekejap matapun. Maka tampaklah bagi hamba itu, kesedihan dan penyesalan.
Jikalau adalah dunia itu dengan isi-isinya kepunyaannya, niscaya ia keluar
daripadanya untuk menggabungkan kepada saat itu, suatu saat yang lain. Supaya
ia dapat meratapi dirinya pada saat itu dan memperoleh kembali keteledorannya.
Ia tidak memperoleh jalan kepada yang demikian. Dan itulah permulaan yang
tampak dari hikmah firman Allah Ta’ala: “Dan diantara mereka dengan apa yang
diingininya, diletakkan batas”. S saba ayat 54. Dan kepada itulah, diisyaratkan
dengan firman Allah Ta’ala: “Sebelum kematian datang kepada seseorang diantara
kamu, lalu ia berkata: “Wahai Tuhanku! Mengapa aku tidak engkau beri tangguh
barang sedikit waktu, supaya aku memberikan sedekah dan termasuk orang-orang
yang mengerjakan perbuatan baik? Dan Allah tiada akan memberi tangguh kepada
suatu nyawa, apabila janjinya (ajalnya) telah sampai”. S Al Munafiqun ayat
10-11. Lalu dikatakan, bahwa ajal dekat yang dimintanya itu, artinya: orang itu
mengatakan ketika terbuka tutup bagi hamba: “Hai Malakul-maut! Tangguhkanlah
aku sehari, dimana aku akan meminta maaf kepada Tuhanku, aku bertaubat dan akan
mencari bekal amal shalih bagi diriku". Malakul-maut itu lalu menjawab:
“Engkau telah menghabiskan hari-hari itu, maka tiada seharipun lagi”. Orang itu
lalu menjawab: “Tangguhkanlah aku sesaat saja!”. Malakul-maut menjawab: “Engkau
telah menghabiskan saat-saat itu. Maka tiada sesaatpun lagi”. Maka terkuncilah
baginya pintu taubat. Lalu bulak-baliklah nyawanya dalam kerongkongannya.
Nafasnya pulang-pergi dalam buruk kesedihannya. Dan ia mennghirup kedukaan
putus asa daripada dapat memperoleh kembali dan kesedihan penyesalan pada
menyia-nyiakan umur. Maka bergoncanglah pokok imannya pada berantakan
hal-ikhwal itu. Apabila nafasnya telah penghabisan, maka jikalau telah
mendahului kebajikan baginya daripada Allah, niscaya keluarlah nyawanya di
atas keesaan. Maka yang demikian itu husnul-khatimah (baik kesudahan) namanya.
Dan jikalau telah terdahulu baginya qodo (hukum Allah) dengan kesengsaraan
–berlindunglah kita kiranya dengan Allah –niscaya nyawanya keluar di atas
keraguan dan kegoncangan. Dan yang demikian itu, su-ul khatimah (buruk
kesudahan) namanya.
Untuk
contoh seperti ini, dikatakan, sebagaimana tersebut dalam Alquran: “Dan
tidaklah diterima taubat orang-orang yang mengerjakan kejahatan apabila sampai
kematian datang kepada salah seorang mereka, baru mengatakan: “aku taubat
sekarang”. S4 An Nisa’ ayat18. Dan firmanNya: “Hanyalah Allah menerima taubat
dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan karena kebodohannya, kemudian itu,
mereka bertaubat dengan segera”. S 4 An Nisa’ ayat 17. Artinya, dari dekat masa
dengan kesalahan, dengan ia menyesal di atas kesalahan itu. Dan ia menghapuskan
bekasnya dengan perbuatan baik, yang diikutkannya kesalahan itu dengan
perbuatan baik tadi, sebelum bertindis-lapis karatan atas hati. maka, lalu
tiada menerima penghapusan lagi.
Karena
itulah, Nabi saw bersabda: “Ikutkanlah kejahatan itu dengan kebajikan, niscaya
engkau sudah menghapusinya”. Karena itulah, Lukamnul-hakim mengatakan kepada
putranya: “Hai anakku! Janganlah engkau tangguhkan bertaubat! Sesunggguhnya
maut itu akan datang dengan tiba-tiba”. Orang yang meninggalkan bersegera
kepada taubat, dengan biar nanti saja, adalah dia diantara dua bahaya besar:
-
pertama: bahwa bertindis-lapislah kegelapan atas
hatinya dairpada perbuatan-perbuatan maksiat. Sehingga menjadi karatan dan
melekat. Lalu tidak lagi dapat dihapuskan.
-
Kedua: bahwa ia segera didatangi sakit atau maut.
Maka ia tidak mendapat kesempatan untuk berbuat menghapuskan itu. Dan karena
itulah, datang pada hadits: “Sesungguhnya kebanyakan pekikan isi neraka, ialah: dari karena
katanya: nanti-nanti”. Maka tiadalah binasa orang yang telah binasa
itu, selain dengan kata-kata nanti tadi. Lalu penghitaman hatinya adalah
sekarang dan pembersihannya dengan taat itu ditangguhkan, sampai ia disambar
oleh maut. Maka ia datang kepada Allah dengan hati yang tidak sejahtera. Dan
tiada terlepas dari neraka, selain: orang yang datang kepada Allah dengan hati
sejahtera (qalbin salim).
Hati itu
amanat Allah Ta’ala pada hambaNya. Umur itu amanah Allah Ta’ala pada hambaNya.
Dan begitu pula, sebab-sebab taat lainnya. Siapa yang berkhianat pada amanah
dan tidak mendapat kembali yang dikhianatinya, maka keadaan orang itu
berbahaya. Setengah orang arifin itu berkata, bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala
mempunyai 2 rahasia pada hambaNya, yang dirahasiakanNya kepada hamba itu dengan
jalan ilham:
pertama:
apabila hamba itu telah keluar dari perut ibunya, maka Allah berfirman
kepadanya: “Hai hambaKu! Aku telah keluarkan engkau ke dunia, dalam keadaan
suci bersih. Aku simpankan pada engkau umur engkau dan Aku amanahkan umur itu
pada engkau. Maka Aku perhatikan, bagaiamana engkau menjaga amanah. Dan
perhatikanlah kepadaku, bagaimana engkau menemui Aku”.
Rahasia
kedua: ketika keluar nyawanya, Allah berfirman: “Hai hambaKu! Apakah yang
engkau perbuat, tentang amanahKu pada engkau? Adakah engkau menjaganya,
sehingga engkau menemui Aku menurut janji? Maka Aku menemui engkau dengan
memenuhi janji itu atau engkau sia-siakan amanah. Lalu Aku menemui engkau
dengan tuntutan dan siksaan? Kepada yang demikianlah, diisyaratkan dengan
firman Allah Ta’ala! “Dan penuhilah janjimu kepadaKU, niscaya Aku penuhilah
pula janjiKu kepadamu”. S2 Al Baqarah ayat 40. Dan dengan firman Allah Ta’ala:
“Dan orang yang beriman dan beruntung juga orang-orang yang memelihara kepercayaan
yang diberikan kepadanya serta janji yang dibuatnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 8.
PENJELASAN: bahwa
taubat, apabila terkumpul syarat-syaratnya, maka sudah pasti diterima.
Ketahuilah, bahwa anda apabila
telah memahami arti: qabul (diterima), niscaya anda tidak ragu lagi, bahwa
setiap taubat yang syah, maka taubat itu diterima. Orang-orang yang memandang
dengan cahaya mata hati, yang mengambil pemahamannya dari cahaya Alquran,
niscaya mereka mengetahui bahwa setiap hati yang sejahtera itu, diterima pada
sisi Allah. Dan memperoleh nikmat di akhirat pada dekat Allah Ta’ala. Dan
disediakan untuk dia memandang dengan matanya yang terus-menerus kepada Wajah
Allah Ta’ala. Dan mereka mengetahui, bahwa hati itu dijadikan sejahtera pada asalnya.
Dan setiap anak itu dilahirkan atas fitrah (suci – tidak berdosa).
Dan sesungguhnya
hilang kesejahteraan hatinya oleh kekeruhan yang menganiayai mukanya dari debu
dan kegelapan dosa. Dan mereka mengetahui, bahwa api penyesalan, membakar debu
itu. Dan bahwa cahaya kebaikan menghapuskan dari muka hati, gelap kejahatan.
Dan sesungguhnya, tiada kemampuan bagi gelap kemaksiatan, serta cahaya
kebaikan, sebagaimana tiada kemampuan bagi gelap malam serta cahaya siang.
Bahkan, sebagaimana tiada kemampuan bagi keruhnya kotoran, serta putihnya
sabun. Dan sebagaimana kain yang kotor, tiada diterima bagi raja untuk menjadi
pakaiannya. Maka hati yang gelap, tiada akan diterima oleh Allah Ta’ala, untuk
berada di sisiNya. Dan sebagaimana, memakai kain pada perbuatan buruk
mengotorkan kain itu. Dan membasuhnya dengan sabun dan air panas –sudah pasti
–membersihkannya. Maka memakai hati pada nafsu syahwat itu, mengotorkan
hati. Dan membasuhnya dengan air mata berderai dan membakar penyesalan itu,
akan membersihkannya, mensucikannya, dan mencemerlangkannya. Dan setiap hati
yang bersih, lagi suci maka diterima, sebagaimana setiap kain yang bersih, maka
diterima. Sesungguhnya yang harus atas engkau itu, membersihkan dan
mensucikannya.
Adapun
diterima, maka itu adalah pemberian, yang telah dahulu qodo azali (hukum Tuhan)
kepadanya, yang tiada penolakan baginya. Dan itulah yang dinamai keberuntungan
pada firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan
(jiwanya)” S91 Asy Syams ayat 9.
Orang yang tiada mengenal atas jalan kebenaran,
akan mengenal yang lebih kuat dan lebih terang daripada penyaksian dengan
penglihatan, bahwa hati itu berbekas dengan perbuatan maksiat dan perbuatan
taat, sebagai pembekasan yang berlawanan, yang dipinjamkan bagi salah satu
kepada keduanya, akan perkataan gelap, sebagaimana dipinjamkan untuk: bodoh.
Dan dipinjamkan untuk yang lain, perkataan: cahaya, sebagaimana dipinjamkan
untuk: tahu (ilmu). Dan bahwa diantara cahaya dan gelap itu berlawanan yang
penting, yang tiada tergambar dapat dikumpulkan antara keduanya.
Maka
seakan-akan tiada yang tinggal dari agama, selain kulitnya. Dan tiada
digantungkan pada agama itu, selain namanya. Dan hatinya dalam tutup tebal dari
hakikat/makna agama. Bahkan dari hakikat/makna dirinya dan sifat-sifat dirinya.
Orang yang tiada tahu akan dirinya, maka dia itu lebih tidak tahu lagi dengan
diri orang lain. Dan yang dimaksudkan, ialah: hatinya. Karena dengan hatinya
itu, ia akan mengenal lain dari hatinya. Maka bagaimana ia mengenal hati yang
lain dan ia tidak mengenal hatinya? Maka orang yang menyangka, bahwa taubat itu
syah dan tidak diterima, adalah seperti orang yang menyangka, bahwa matahari
itu terbit dan gelap itu tidak hilang. Dan kain itu dibasuh dengan sabun dan
kotorannya tidak hilang, kecuali bahwa kotoran itu menyelam (masuk benar),
karena lama bertindis-lapisnya pada lobang-lobang kain dan celah-celahnya. Maka
sabun tidak kuat mencabutnya. Maka seperti demikianlah, bahwa dosa itu
bertindis-lapis, sehingga menjadi tabiat dan karatan di atas hatinya. Maka hati
yang seperti ini, tiada akan kembali dan tiada akan taubat. Benar,
kadang-kadang orang itu mengatakan dengan lisannya: “Aku telah bertaubat”. Maka
adalah yang demikian itu, seperti kata tukang pembersih kain dengan lidahnya:
“Sudah aku basuhkan kain itu”. Dan perkataan yang demikian itu, tiada
sekali-kali akan membersihkan kain, selama ia tidak mengubahkan sifat kain,
dengan memakai apa yang berlawanan dengan sifat yang ada pada kain itu.
Maka
dengan inilah keadaan tercegahnya pokok taubat. Dan itu tidak jauh, bahkan
itulah yang kebanyakan pada keseluruhan makhluk, yang menghadap kepada dunia,
yang berpaling dari Allah secara keseluruhan. Penjelasan ini mencukupilah pada
orang-orang yang mempunyai mata hati pada terkabulnya taubat. Akan tetapi, kami
menguatkan sayapnya dengan menyalin ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar. Maka
setiap pemandangan, yang tidak disaksikan oleh kitab dan sunnah, niscaya tidak
dapat dipercayai. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dialah (Allah) yang menerima
taubat hamba-hambaNya, memaafkan kesalahan”. S 42 Asy Syuura ayat25. Dan Allah
Ta’ala berfirman: “Pengampun dosa dan penerima taubat”. S23 Al Mukminuun ayat3.
Nabi saw bersabda: “Sungguh Allah amat bergembira dengan taubatnya seseorang
kamu”. Bacalah sampai akhir hadits tersebut! Gembira itu adalah dibelakang
(sesudah) penerimaan. Maka itu menunjukkan kepada penerimaan dan lebih dari itu
lagi. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla menghamparkan
tanganNya (qudrah/kuasa Nya) dengan taubat bagi yang berbuat jahat malam, kepada
siang dan bagi yang berbuat jahat siang kepada malam, sehingga terbitlah
matahari dari tempat terbenamnya”.
Penghamparan
tangan itu adalah perkataan dengan tidak terus terang daripada diminta taubat.
Dan yang meminta itu adalah di belakang yang menerima. Maka kerapkali yang
menerima itu tidak meminta. Dan tidaklah yang meminta itu, melainkan adalah ia
yang menerima. Nabi saw bersabda: “Jikalau kamu berbuat kesalahan, sehingga
sampai ke langit, kemudian kamu menyesal, niscaya diterima oleh Allah taubatmu”.
Nabi saw bersabda pula: “Sesungguhnya hamba itu berbuat dosa, lalu ia masuk
sorga”. Lalu ada yang menanyakan: “Bagaimana maka demikian, wahai Rasulullah?”.
Nabi saw menjawab: “adalah yang menjadi didepan matanya, dia itu yang
bertaubat, yang lari daripadanya, sehingga ia masuk sorga”. Nabi saw bersabda:
“Sumpah dosa itu penyesalan”. Nabi saw bersabda: “Yang bertaubat dari dosa,
adalah seperti orang yang tiada berdosa”. Diriwayatkan, bahwa: seorang Habsyi
bertanya: “Wahai Rasulullah! Sesungguh nya aku ini berbuat perbuatan keji. Maka
adakah bagiku taubat?”. Nabi saw menjawab: “Ada!”. Orang Habsyi itu lalu pergi.
Kemudian ia kembali, lalu bertanya lagi: “Wahai Raasulullah! Adakah IA (Allah)
melihat aku dan aku mengerjakan perbuatan keji itu?”. Nabi saw menjawab:
“Ada!”. Maka orang Habsyi itu lalu memekik dengan pekikan, dimana nyawanya
keluar dalam pekikan itu”.
Diriwayatkan,
bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla, tatkala menjatuhkan kutukan (laknat) kepada Iblis,
lalu Iblis itu meminta kepada Allah Ta’ala, agar kutukan itu ditangguhkan. Maka
Allah Ta’ala menangguhkannya sampai kepada hari kiamat. Lalu Iblis itu berkata:
“Demi kemuliaan Engkau! Sesungguhnya tidak aku keluar dari hati anak Adam,
selama ia masih bernyawa”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Demi kemuliaanKu dan
keagunganKu! Sesungguhnya tidak terdinding dari anak Adam itu taubat, selama ia
masih bernyawa”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya perbuatan baik itu
menghilangkan perbuatan jahat, sebagaimana air menghilangkan kotoran”.
Hadits-hadits tentang ini, tidak terhingga banyaknya. Adapun kata sahabat dan
ulama-ulama terkemuka, maka di antara lain, kata Sa’id bin Al-Musayyab:
“Diturunkan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah itu Pengampun terhadap
orang-orang yang kembali kepadaNya”. S 17 Al Isra ayat25,
adalah mengenai orang yang
berdosa, kemudian ia bertaubat. Kemudian ia berdosa, kemudian ia bertaubat”.
Al-Fudlail
bin ‘Iyadl ra berkata: “Allah Ta’ala berfirman: “Berilah berita gembira kepada
orang-orang yang berdosa, bahwa mereka itu jikalau bertaubat, niscaya AKU
menerima taubatnya! Berilah peringatan kepada orang-orang shiddiq, bahwa AKU,
jikalau AKU letakkan kepada mereka keadilanKu, niscaya AKU azabkan mereka”.
Thilq bin Habib berkata: “Sesungguhnya hak Allah itu lebih besar, daripada
dapat ditegakkan oleh hambaNya. Akan tetapi, mereka itu berpagi hari bertaubat
dan bersore hari bertaubat”.
Abdullah
bin Umar ra berkata: “Barangsiapa mengingati kesalahan, yang telah
diperbuatnya, lalu hatinya takut dari kesalahan itu, niscaya kesalahan itu dihapuskan
daripadanya pada Luh Mahfudh”. Diriwayatkan, bahwa salah seorang daripada
nabi-nabi Bani Israil, telah berbuat dosa. Lalu diwahyukan oleh Allah Ta’ala
kepadanya: “Demi kemuliaanKu! Jikalau engkau kembali mengerjakannya, niscaya
AKU azabkan engkau”. Nabi Bani Israil itu menjawab: “Hai Tuhanku! Engkau-Engkau
dan aku-aku! Demi kemuliaan ENGKAU! Jikalau Engkau tidak memelihara aku dari
kesalahan, niscaya aku akan kembali mengerjakannya”. Maka
Allah Ta’ala memeliharanya dari perbuatan yang salah. Sebahagian mereka
mengatakan: bahwa sesungguhnya hamba itu berbuat dosa, maka senantiasa ia
menyesal, sehingga ia masuk sorga. Lalu Iblis berkata: “Mudah-mudahan aku tidak
menjatuhkannya dalam dosa”.
Habib
bin Tsabit (seorang ahli fiqh, w. Th.119 H) berkata: “Pada hari kiamat,
didatangkan kepada orang itu dosa-dosanya. Maka ia lalu dengan dosa itu, seraya
mengatakan: “Sesungguhnya aku takut dari dosa itu”. Habib bin Tsabit tadi
mengatakan, maka dosa orang tersebut itu diampunkan.
Diriwayatkan,
bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Mas’ud dari hal dosa yang telah
diperbuatnya: “Adakah baginya dapat
bertaubat? Maka Ibnu Mas’ud berpaling dari orang tersebut. Kemudian ia
menoleh kepadanya. Lalu ia melihat kedua mata orang tadi bercucuran air mata.
Maka Ibnu Ma’sud berkata kepadanya: “Bahwa sorga itu mempunyai 8 pintu.
Semuanya terbuka dan terkunci, selain pintu taubat. Maka pada pintu taubat itu
ada seorang malaikat yang diserahkan kepadanya, dimana ia tidak menguncikan
pintu itu. Dari itu, maka beramallah dan janganlah engkau putus asa!”.
Abdurrahman
bin Abil-Kasim berkata: “Kami memperbincangkan bersama Abdurrahim, tentang
taubat orang kafir dan firman Allah Ta’ala:
“Kalau mereka berhenti menentang kebenaran Tuhan, niscaya diampuni apa
yang telah lewat”. S 8 Al Anfal ayat 38. Lalu Abdurrahim menjawab:
“Sesungguhnya aku mengharap, bahwa adalah orang muslim pada sisi Allah itu
lebih baik keadaannya. Dan telah sampai kepadaku, bahwa taubat orang muslim itu
adalah seperti Islam sesudah Islam”.
Abdullah
bin Salam mengatakan: “Aku tidak akan berbicara dengan kamu, selain dari hal
nabi yang menjadi rasul atau kitab yang diturunkan kepadanya. Bahwa hamba
Allah, apabila berbuat sesuatu dosa, kemudian ia menyesal atas dosa itu dalam
sekejap mata, niscaya dosa itu gugur daripadanya, lebih cepat dari sekejap mata
itu”.
Umar ra
berkata: “Duduklah bersama orang-orang yang bertaubat. Karena mereka adalah
orang-orang yang halus hatinya”. Sebahagian mereka mengatakan: “Aku tahu, kapan
Allah Ta’ala mengampuni aku”. Lalu orang menanyakan: “Kapan?”. Ia menjawab:
“Apabila Allah menerima taubatku”. Yang lain berkata: “Aku daripada mengharamkan
taubat, adalah aku lebih takut daripada mengharamkan pengampunan”. Artinya:
pengampunan itu –sudah pasti –termasuk dari keharusan taubat dan yang mengikuti
taubat.
Diriwayatkan,
bahwa pada kaum Bani Israil, ada seorang pemuda yang berbuat ibadah kepada
Allah Ta’ala 20 tahun lamanya. Kemudian ia berbuat maksiat keapda Allah Ta’ala
20 tahun lamanya. Kemudian ia memancang pada kaca. Maka ia melihat ubanan
(sudah putih) pada janggutnya. Maka yang demikian itu tidak mengenakan baginya.
Maka ia berdoa: “Hai Tuhanku! Aku telah mengerjakan taat kepadamu selama 20
tahun. Kemudian aku berbuat maksiat kepadaMu selama 20 tahun. Maka jikalau aku
kembali kepadaMu, adakah Engkau akan menerima aku?”. Lalu pemuda tadi mendengar
yang mengatakan, berkata dan ia tidak melihat seorang manusiapun: “Engkau
mencintai Kami, maka Kami mencintai engkau. Engkau meninggalkan Kami, maka Kami
meninggalkan engkau. Engkau berbuat maksiat kepada Kami, maka Kami tangguhkan
azab atas engkau. Dan jika engkau kembali kepada Kami, niscaya Kami terima
engkau”.
Dzun Nun
Al-Misri ra berkata: “Sesungguhnya Allah
mempunyai hamba-hamba yang menegakkan batang kayu kesalahan, sebagai penegakkan
hajat hati. Mereka menyiraminya dengan air taubat. Lalu membuahkan penyesalan
dan kegundahan. Mereka itu lalu gila, tanpa gila. Mereka itu menjadi bodoh,
tanpa letih dan tuli. Mereka itu orang-orang yang lancar lagi pandai berbicara,
ia mengenal Allah dan RasulNya. Kemudian, mereka meminum segelas kejernihan.
Lalu mereka mengwarisi sabar sepanjang percobaan. Kemudian, hati mereka bimbang
pada alam malakut. Dan menerawang pikiran mereka diantara istana dinding alam alam
ruh. Mereka berteduh di bawah serambi penyesalan. Mereka membaca lebar
kesalahan. Maka mereka mengwariskan kepada dirinya kegundahan. Sehingga mereka
sampai kepada ketinggian zuhud dengan tangga wara’. Lalu mereka menerima azab
pahitnya meninggalkan dunia. Mereka memandang lembut kekasaran tempat tidur.
Sehingga mereka memperoleh tali kelepasan dan ikatan keselamatan. Dan
terlepaslah nyawa mereka pada alam tinggi. Sehingga mereka tinggal dalam kebun
kenikmatan. Dan mereka masuk dalam lautan hidup. Dan mereka timbun parit-parit
kegundahan. Mereka lewati jembatan hawa nafsu. Sehingga, mereka turun di tanah
lapang ilmu. Mereka minum dari anak sungai hikmah. Mereka menumpang kapal
kecerdikan. Mereka mencabut dengan angin kelepasan, dalam lautan selamat.
Sehingga mereka sampai ke taman kesenangan, tempat galian kemegahan dan
kemuliaan”. Maka sekedar ini mencukupilah untuk penjelasan, bahwa setiap taubat
yang shah –sudah pasti –diterima (makbul).
Kalau
anda menanyakan: “Apakah tuan mengatakan, apa yang dikatakan oleh golonggan
mu’tazilah (golongan yg menelan mentah-mentah arti dari al quran tanpa
pemikiran), bahwa menerima taubat itu wajib atas Allah Ta’ala?”. Maka aku
menjawab: bahwa aku tidak bermaksud dengan apa yang anda sebutkan itu, dari hal
wajib penerimaan taubat atas Allah Ta’ala, kecuali apa yang dikehendaki oleh
orang yang mengatakan, dengan katanya: bahwa
kain, apabila dibasuh dengan sabun, niscaya wajiblah hilang kotorannya. Bahwa
orang yang haus, apabila meminum air, niscaya wajib hilang hausnya. Dan apabila
pada suatu masa ia tidak mau air, niscaya wajiblah ia haus. Dan apabila haus
itu berkekalan dalam waktu lama, niscaya wajiblah mati. Dan tidaklah pada
sesuatupun dari yang demikian itu, apa yang dikehendaki oleh kaum mu’tazilah,
dengan mengwajib kan nya atas Allah Ta’ala. Akan tetapi, aku mengatakan, bahwa
Allah Ta’ala menjadikan taat, yang menutupkan maksiat dan kebaikan yang menghapuskan
kejahatan. Sebagaimana IA menjadikan air yang menghilangkan haus. Dan kuasa itu
meluas dengan sebailknya, jikalau telah mendahului kehendakNya dengan yang
demikian. Maka tiada wajib atas Allah Ta’ala. Akan tetapi, apa yang telah
mendahului KemauanNya yang azali ( tidak kesudahan / permulaan ) –sudah pasti
–wajib adanya.
Kalau
anda mengatakan, bahwa tiadalah dari orang yang bertaubat itu, melainkan ia
ragu tentang penerimaan taubatnya. Dan orang yang minum air itu tiada ragu pada
hilang hausnya. Maka ia tidak ragu, pada hilang hausnya itu. Maka aku menjawab,
bahwa ragunya pada penerimaan taubat itu, adalah seperti ragunya, pada adanya
syarat-syarat shah. Sesungguhnya taubat itu mempunyai rukun-rukun (sendi-sendi)
dan syarat-syarat yang harus, sebagaimana akan datang penjelasan nya. Dan ia
tidak memeriksa dengan yakin adanya semua syarat-syaratnya, seperti orang yang
ragu pada taubat, yang diminumnya untuk mencuci perut, tentang adakah itu
mencuci perut. Yang demikian itu, karena ragunya pada berhasilnya syarat-syarat
mencuci perut, pada obatnya, dengan memandang kepada keadaan, waktu, cara
mencampur obat, memasak, bagus ramuan dan obat-obatnya. Maka pahamilah ini dan
contoh-contohnya yang mengwajibkan takut sesudah bertaubat. Dan yang mengwajibkan
ragu –sudah pasti –pada diterima taubat itu, menurut apa yang akan datang
penjelasannya, tentang syarat-syaratnya insya Allahu Ta’ala.
SENDI KEDUA (RUKUN
KEDUA): mengenai dari apa taubat itu, yaitu: dari dosa, yang kecil dan yang
besar.
Ketahuilah, bahwa taubat itu
meninggalkan dosa. Dan tidak mungkin meninggalkan sesuatu, selain sesudah
mengenalnya. Dan apabila taubat itu wajib, niscaya apa yang tidak akan sampai
kepadanya, selain dengan itu, maka itu menjadi wajib pula. Jadi, mengenal dosa
itu wajib. Dan dosa itu ibarat dari setiap apa yang menyalahi perintah Allah
Ta’ala, pada meninggalkan atau mengerjakan. Dan uraian yang demikian itu
meminta uraian segala yang dipikulkan (disuruh), dari permulaannya sampai
kepada penghabisannya. Dan tidaklah yang demikian itu maksud kami. Akan tetapi,
kami akan menunjukkan kepada kumpulannya dan ikatan bahagian-bahagiannya.
Kiranya Allah mencurahkan taufiq bagi kebenaran dengan rahmatNya.
PENJELASAN:
bahagian-bahagian dosa, dengan dikaitkan kepada sifat-sifat hamba.
Ketahuilah, bahwa insan mempunyai sifat-sifat dan
akhlak yang banyak macamnya, menurut apa yang telah diketahui uraiannya pada
Kitab Keajaiban Hati dan Tipuannya.
Akan tetapi, terbatas perkembangan dosa itu pada 4 sifat: sifat ketuhanan,
sifat kesetanan, sifat kebinatangan dan sifat kebinatang-buasan. Yang demikian
itu, karena tanah kejadian insan itu diperas dari campuran yang bermacam-macam.
Lalu setiap dari campuran tersebut, menghendaki dalam yang diperas itu, bekasan
dari bermacam-macam bekas. Sebagaimana dikehendaki oleh gula, cuka dan za’faran
(sejenis bunga) pada sakanjabin (air diberi gula dan dicampur dengan cuka),
akan bermacam-macam bekas.
1.Adapun
apa yang menghendaki menyerupai kepada sifat-sifat ketuhanan, maka yaitu,
seperti: sombong, bangga, perkasa, suka dipuji dan disanjung, mulia, kaya, suka
tetap kekal dan mencari ketinggian atas manusia seluruhnya. Sehingga,
seakan-akan ia berkehendak mengatakan: aku tuhanmu yang Maha Tinggi. Dan dari
ini, bercabang sejumlah dosa besar, yang dilupakan oleh makhluk dan tidak
dihitungnya dosa. Dan itulah pembinasa-pembinasa besar, yang menjadi seperti
induk-induk bagi kebanyakan perbuatan maksiat, sebagaimana telah kami bahas
secara mendalam pada Rubu’ Yang Membinasakan.
2. Ialah:
sifat kesetanan, yang bercabang daripadanya: dengki, zalim, daya upaya, tipu,
menyuruh dengan kerusakan dan perbuatan mungkar. Dan masuk di dalamnya: palsu,
nifaq dan mengajak kepada perbuatan bid’ah (yang diada-adakan) dan sesat.
3. Sifat
kebinatangan. Dan daripadanya, bercabang: rakus, sifat anjing dan loba pada
memenuhi keinginan perut dan kemaluan. Dan daripadanya, bercabang: zina,
homoseksual, curi, makan harta anak yatim dan mengumpulkan harta benda dunia
untuk memenuhi keinginan hawa nafsu.
4. Sifat
kebinatang-buasan. Dan daripadanya, bercabang: marah, busuk hati, menyerang
manusia dengan pukulan, makian, bunuh dan membinasakan harta benda. Dan
bercabang daripadanya: sejumlah dosa. Sifat-sifat tersebut berangsur-angsur
pada kejadian manusia. Maka sifat kebinatangan yang pertama-tama menonjol.
Kemudian, yang kedua, diiringi sifat kebinatang-buasan. Kemudian, apabila
keduanya sudah berkumpul, lalu keduanya memakai akal pada penipuan, tipu daya
dan daya upaya. Dan itu adalah sifat kesetanan. Kemudian, dengan sifat
terakhir, menonjol sifat-sifat ketuhanan. Yaitu: angkuh, mulia, tinggi, mencari
kebesaran dan bermaksud ketinggian atas semua makhluk. Maka inilah induk-induk
dosa dan sumber-sumbernya. Kemudian, terpancarlah dosa-dosa itu dari
sumber-sumber tersebut atas anggota tubuh. Sebahagiannya dalam hati khususnya,
seperti: kufur, bid’ah (yang diada-adakan), bermuka dua dan menyembunyi kan
keburukan bagi manusia. Sebahagiannya pada mata dan pendengaran. Sebahagiannya
pada lisan, sebahagiannya pada perut dan kemaluan laki2. Sebahagian nya pada
dua tangan dan dua kaki. Dan sebahagiannya pada semua badan. Dan tidak perlu
kepada penjelasan penguraian yang demikian. Karena sudah terang (sebagai
bahagian dosa menurut sifatnya).
Bahagian kedua: ketahuilah, bahwa dosa itu terbagi kepada: di antara hamba
dan Allah Ta’ala dan kepada yang menyangkut dengan hak-hak hamba. Maka yang
menyangkut dengan hamba khususnya, adalah seperti: meninggalkan shalat,
meninggalkan puasa dan kewajiban-kewajiban khusus dengan hamba. Dan apa yang
menyangkut dengan hak-hak hamba Allah, adalah seperti: meninggalkan zakat,
membunuh orang, merampas hartanya dan memaki kehormatannya. Dan setiap yang
diambil dari hak orang lain itu, adakalanya: nyawa atau anggota tubuh atau
harta atau kehormatan atau agama atau kemegahan diri. Dan menggunakan agama
dengan: menyesatkan, mengajak kepada perbuatan bid’ah (yang diada-adakan),
menggalakkan pada perbuatan maksiat dan mengobarkan sebab-sebab keberanian
kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana diperbuat oleh sebahagian juru pengajaran
(juru nasehat), dengan menguatkan segi harap atas segi takut. Dan apa yang
menyangkut dengan hamba-hamba Allah, maka urusan padanya adalah lebih berat.
Dan apa yang di antara hamba dan Allah Ta’ala, apabila itu bukan syirik (mempersekutukan
Allah), maka kemaafan padanya lebih besar harapan dan lebih dekat.
Dan
tersebut pada hadits: “Buku besar itu 3: buku besar yang diampunkan, buku besar
yang tidak diampunkan dan buku besar yang tidak ditinggalkan. Buku besar yang
diampunkan, yaitu: dosa-dosa hamba, diantara mereka dan Allah Ta’ala. Buku
besar yang tidak diampunkan, yaitu: menyekutukan (syirik) kepada Allah Ta’ala.
Adapun buku besar yang tidak ditinggalkan, maka yaitu: perbuatan-perbuatan
zalim yang diperbuat hamba”. Artinya: tidak boleh tidak, bahwa dituntut dengan
perbuatan zalim tersebut, sehingga dimaafkan daripadanya.
Bahagian ketiga: ketahuilah kiranya, bahwa dosa itu terbagi kepada: dosa
kecil dan dosa besar. banyaklah perbedaan pendapat manusia tentang dosa itu.
Ada yang mengatakan: tidak ada yang kecil dan tidak ada yang besar. Akan
tetapi, setiap yang menyalahi Allah (dari apa yang dilarangNya), maka itu dosa
besar. Pendapat ini lemah, karena Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau kamu jauhi
dosa-dosa besar yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami tutup
kesalahanmu yang kecil-kecil dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”. S 4
An Nisa’ ayat 31. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan keji, selain hanya teringat sepintas lalu”. S An Najm ayat
32. Nabi saw bersabda: “Shalat 5 waktu dan Jum’at ke Jum’at itu menutupkan apa
yang ada diantaranya, kalau dijauhkan dosa-dosa besar”. Pada kata lain dari hadits
tersebut: “Adalah sumpah (penutup dosa)
bagi apa yang diantaranya, selain dosa-dosa besar”. Nabi saw bersabda menurut
yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash: “Dosa besar itu, ialah:
mempersekutukan Allah, durhaka kepada ibu bapak, membunuh orang dan sumpah
palsu”. Para sahabat dan para pengikut sahabat atau generasi sesudah shahabat,
berbeda pendapat mengenai jumlah dosa-dosa besar, dari 4 kepada 7, kepada 9,
kepada 11, lalu yang lebih dari itu. Maka Ibnu Mas’ud ra mengatakan: bahwa
dosa-dosa besar itu 4. Ibnu ‘Umar ra mengatakan, dosa-dosa besar itu 7.
Abdullah bin ‘Amr ra mengatakan: 9. Ibnu ‘Abbas ra ketika sampai kepadanya
perkataan Ibnu ‘Umar ra, bahwa dosa besar itu 7, lalu beliau mengatakan: bahwa
dosa besar itu lebih mendekati kepada 70 daripada kepada 7. Pada suatu kali
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan: bahwa setiap yang dilarang oleh Allah Ta’ala itu
adalah: dosa besar. Yang lain mengatakan, bahwa setiap yang dijanjikan oleh
Allah dengan neraka, maka itu sebahagian dari dosa-dosa besar. Dan sebahagian ulama
mengatakan, bahwa setiap yang diwajibkan hukuman badan didunia, maka itu dosa
besar. Ada yang mengatakan, bahwa dosa besar itu kurang terang, tiada diketahui
bilangannya, seperti: malam lailatul qadar dan saat mustajabah hari Jum’at.
Ibnu Mas’ud menjawab tatkala ia ditanyakan tentang jumlah dosa besar itu:
“Bacalah dari permulaan Surat 4 An Nisa’ sampai kepada penghabisan ayat 30
daripadanya, pada firmanNya: “Dan kalau kamu jauhi dosa-dosa besar yang
dilarang kamu mengerjakannya”. S 4 An Nisa’ ayat 31. Maka setiap yang dilarang
oleh Allah pada surat tersebut, sampai di situ, itu adalah dosa besar.
Abu
Thalib Al Makki mengatakan: “Dosa-dosa besar itu 17. Aku kumpulkan dari
sejumlah hadits-hadits. Dan jumlah yang aku kumpulkan dari kata Ibnu ‘Abbas,
Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar dll itu, 4 pada hati, yaitu: menyekutukan (syirik)
dengan Allah, berkekalan atas perbuatan maksiat, putus asa dari rahmatNya, dan
merasa aman dari percobaanNya. Dan 4 pada lidah, yaitu: saksi palsu, tuduhan
berzina orang muhshan (orang yang terpelihara dari perbuatan tersebut), sumpah
palsu. Yaitu: kesaksian membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. Ada
yang mengatakan, bahwa sumpah palsu itu, ialah: mengambil sepotong dari harta
manusia muslim, secara batil/salah, walaupun satu sikat gigi dari kayu siwak.
Dan sumpah itu dinamakan: yang menenggelamkan, karena sumpah itu menenggelamkan
orang yang bersumpah ke dalam neraka. Dan sihir (yang ke-4 dari di atas tadi).
Sihir itu, ialah: setiap perkataan, yang merobah manusia dan benda-benda lain,
dari keadaan yang diletakkan menurut kejadiannya. Dan 3 pada perut, yaitu:
minum khamar dan yang memabukkan dari setiap minuman, memakan harta anak yatim
dengan zalim dan memakan riba dan ia tahu riba itu (bunga bank). Dan 2 pada kemaluan,
yaitu: zina dan homoseksual. Dan 2 pada tangan, yaitu: bunuh dan curi. Dan 1
pada dua kaki, yaitu: lari dari barisan perang, yang 1 dari 2 dan 10 dari 20.
Dan 1 pada seluruh tubuh, yaitu: durhaka kepada ibu bapak. Abu Tahalib Al-Makki
mengatakan, bahwa jumlah durhaka kepada keduanya, ialah: bahwa ibu bapak itu
membagi kepadanya tentang sesuatu hak, lalu ia tidak menerima dengan baik
pembahagian ibu bapaknya itu. Dan kalau keduanya meminta padanya sesuatu
keperluan, maka tidak diberikannya. Dan kalau ibu bapaknya memakinya, lalu
dipukulnya ibu bapaknya. Dan keduanya lapar, maka tidak diberinya makanan.
Inilah yang dikatakan oleh Abu Tahlib Al-Makki itu. Dan itu dekat kepada
kebenaran. Akan tetapi, tiadalah berhasil dengan itu kesembuhan yang sempurna.
Karena mungkin bertambah kepadanya dan berkurang daripadanya. Karena ia menjadikan
makan riba dan harta anak yatim sebahagian dari dosa besar. Dan itu adalah
penganiayaan atas harta. Dan ia tidak menyebutkan dalam dosa besar nyawa itu,
selain bunuh. Adapun memecahkan mata, memotong dua tangan dan yang lain dari
itu, yang termasuk menyiksakan kaum muslimin dengan pukulan dan berbagai macam
azab siksaan, maka tidak dibentangkannya. Memukul anak yatim, menyiksakannya
dan memotong kaki tangannya, tidaklah ragu bahwa yang demikian itu lebih besar
daripada memakan hartanya.
Bagaimana?
Dan pada hadits: “Termasuk di antara dosa besar, ialah dua makian disebabkan
makian itu. Dan termasuk di antara dosa besar, diperdengarkan oleh seseorang
tentang kehormatan saudaranya yang muslim”. Dan ini lebih dari menuduh berzina
orang muhshan. Abu Sa’id Al Khudri dan sahabat lainnya berkata: “Sesungguhnya
kamu akan mengerjakan perbuatan yang lebih halus pada matamu dari rambut. Kami
menghitung perbuatan tersebut pada masa Rasulullah saw termasuk dosa besar”.
Segolongan ulama mengatakan: “Setiap kesengajaan itu dosa besar. Dan setiap
yang dilarang oleh Allah, maka itu dosa besar”. Dan menyingkapkan tutup dari
ini, bahwa pandangan orang yang memandang pada curi, adakah itu dosa besar atau
tidak, maka itu tidak shah sebelum yang memandang itu memahami arti dosa besar.
yang dimaksudkan dengan yang tersebut, adalah seperti kata orang yang
mengatakan: curi itu haram atau tidak? Tidak diingini pada ta’rifnya
(definisinya), kecuali sesudah ditetapkan lebih dahulu: arti haram. Kemudian,
dibahas tentang adanya haram pada curi itu. Maka dosa besar itu dari segi
kata-kata, adalah kabur. Tidak mempunyai cara tertentu (khusus) pada bahasa dan
pada agama. Yang demikian itu, karena besar dan kecil adalah termasuk relatif
(tidak mutlak). Tiada suatu dosapun, melainkan dia itu besar, dibandingkan
kepada yang di bawahnya. Dan kecil, dibandingkan kepada yang di atasnya. Maka
bertiduran dengan wanita yang tidak halal baginya adalah dosa besar,
dibandingkan dengan melihatnya. Dan dosa kecil, dibandingkan dengan berbuat
zina.
Memotong
tangan orang muslim adalah dosa besar, dibandingkan dengan memukulnya. Dan dosa
kecil, dibandingkan kepada membunuhnya. Ya, manusia berhak bahwa menanamkan
dengan nama dosa besar, terhadap apa yang dijanjikan dengan neraka, atas
perbuatannya secara khusus. Dan kami maksudkan, dengan menyifatkannya, dengan
dosa besar, ialah: bahwa siksaan dengan neraka itu hal besar. Dan manusia
berhak menamakan terhadap apa yang mengharuskan hukuman badan yang terjadi
kepada disegerakan di dunia sebagai siksaan wajib itu, adalah besar. Dan
manusia berhak menamakan terhadap apa yang disebut dalam dalil Alquran itu
dilarang, lalu ia mengatakan, bahwa: dengan mengkhususkan menyebutkannya dalam
Alquran, menunjukkan atas kebesarannya. Kemudian, dia itu besar dan dosa besar
–sudah pasti –dengan relatif (dihubungkan dengan yang lain). Karena semua yang
di dalilkan dalam Alquran itu juga berlebih-kurang tingkatnya.
Penamaan
secara mutlak itu tak ada dosa padanya. Dan apa yang dinukilkan dari kata-kata
para sahabat itu bulak-balik di antara segi-segi ini. Dan tidak jauh
menempatkannya atas sesuatu dari kemungkinan-kemungkinan itu. Ya, termasuk yang
penting, bahwa anda mengetahui maksud firman Allah Ta’ala: “Dan kalau kamu
jauhi dosa-dosa besar yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami tutup
kesalahanmu yang kecil-kecil”. S4 An Nisa’ ayat31. Sabda Rasulullah saw:: “Shalat
5 waktu adalah penutup dosa untuk dosa-dosa yang terjadi di antara
shalat-shalat itu, selain dosa-dosa besar”. Ini adalah penetapan hukum
dosa-dosa besar ! yang benar pada yang demikian itu, bahwa dosa-dosa itu
terbagi pada pandangan agama, kepada: apa yang diketahui dipandang besar oleh
agama akan dosa-dosa tersebut. Kepada: apa yang diketahui, bahwa dosa-dosa
tersebut terhitung dalam dosa-dosa kecil. Dan kepada: apa yang diragukan
padanya. Lalu tidak diketahui hukumnya. Maka keinginan untuk mengetahui batas
yang terhingga atau bilangan yang mengumpulkan, lagi mencegah masuk yang lain,
adalah mencari apa yang tidak mungkin. Sesungguhnya yang demikian itu tidak
mungkin, selain dengan mendengar dari Rasulullah saw, dengan ia bersabda: bahwa
aku bermaksud dengan dosa-dosa besar itu 10 atau 5. Dan beliau menguraiakannya.
Maka kalau tidak datang ini dari beliau, akan tetapi telah datang pada
sebahagian kata-kata hadits: “3 termasuk dosa-dosa besar”. Dan pada sebahagian
kata-kata hadits: “7 termasuk dosa-dosa besar”. Kemudian datang pada hadits:
“Bahwa dua makian disebabkan dengan satu makian, termasuk dosa besar”. Dan ini
di luar dari yang 7 dan 3. Niscaya diketahuilah, bahwa beliau tidak bermaksud
dengan yang demikian itu, bilangan dengan apa yang tidak terbatas. Maka
bagaimanakah dapat diharapkan tentang bilangan, yang tidak ditentukan
bilangannya oleh agama ? Kadang-kadang agama itu bermaksud dengan mengaburkan,
supaya hamba-hamba itu prihatin daripadanya, sebagaimana agama mengaburkan
(tidak menegaskan) malam lailatul qadar, supaya besarlah kesungguhan manusia
pada mencarinya.
Benar,
kita mempunyai jalan secara keseluruhan, yang memungkinkan kita untuk
mengetahui jenis-jenis dosa besar dan macam-macamnya dengan jalan menggunakan
dalil-dalil. Adapun diri dosa besar itu sendiri, maka kita mengetahuinya dengan
berat dugaan dan pendekatan. Dan kita dapat pula mengetahui dosa-dosa besar
yang terbesar. Adapun dosa-dosa kecil yang terkecil, maka tiada jalan untuk
mengenalinya. Penjelasannya, ialah bahwa kita mengetahui dengan
penyaksian-penyaksian agama dan bersama cahaya mata hati, bahwa maksud
agama-agama semua, ialah: membawa makhluk ke sisi Allah Ta’ala dan kebahagiaan
menemuiNya. Dan tiada jalan bagi mereka kepada yang demikian, selain dengan
mengenal Allah Ta’ala dan mengenal sifat-sifatNya, kitab-kitabNya dan
rasul-rasulNya. Dan kepada itulah, diisyaratkan dengan firmanNya yang Maha
Tinggi: “Tidaklah Aku menjadikan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah
(beribadah) kepadaKu”. S51 Adz Dzaariyaat ayat56. Artinya: supaya mereka itu
menjadi hambaKu. Dan tidakah hamba itu menjadi hamba, sebelum ia mengenal
Tuhannya, dengan sifat Ketuhanan dan mengenal dirinya dengan sifat kehambaan.
Dan tidak boleh tidak, bahwa ia mengenal dirinya dan Tuhannya. Inilah maksud
yang terjauh dengan pengutusan nabi-nabi. Akan tetapi, ini tiada sempurna,
selain dalam hidup dunia. Dan itulah yang dimaksudkan dengan sabdanya saw:
“Dunia itu ladang akhirat”. Maka memelihara dunia itu menjadi suatu maksud yang
mengikuti bagi agama. Karena dia jalan kepada agama. Dan yang menyangkut dari
dunia dengan akhirat itu 2 perkara: nyawa dan harta.
Maka
setiap yang menutup pintu mengenal Allah Ta’ala, adalah yang terbesar dan
dosa-dosa besar. Dan diiringi oleh yang menutup pintu hidup-nyawa. Lalu
diiringi oleh yang menutup pintu kehidupan, yang dengan dia hidupnya nyawa itu.
Maka inilah tiga tingkat! Maka memelihara mengenal pada hati, hidup pada badan
dan harta pada masing-masing orang itu perlu dalam maksud agama-agama semuanya.
Dan inilah tiga hal, yang tidak tergambar bahwa agama-agama itu berselisih
padanya. Maka tidak diterima akal bahwa Allah Ta’ala, mengutus seorang nabi,
yang bermaksud dengan pengutusannya untuk memperbaiki makhluk pada agamanya dan
dunianya, lalu IA menyuruh mereka dengan yang mencegah mereka,
daripada mengenalNya dan mengenal rasul-rasulNya. Atau IA menyuruh mereka
dengan membinasakan nyawa dan membinasakan harta. Maka berhasillah dari yang
tersebut ini, bahwa dosa benar itu atas 3 tingkat:
Pertama: apa yang mencegah daripada mengenal Allah Ta’ala dan
mengenal rasul-rasulNya. Yaitu: kufur (kekafiran). Maka tiada dosa besar yang di
atas kufur itu. Karena dinding diantara Allah dan hamba, ialah: kebodohan. Dan
jalan yang mendekatkan hamba kepadaNya, ialah: ilmu dan pengenalan. Dan
kedekatannya itu menurut kadar pengenalannya. Dan kejauhannya itu menurut kadar
kebodohannya. Dan diiringi kebodohan yang dinamakan kufur itu, oleh perasaan
aman dari percobaan Allah dan perasaan putus asa daripada rahmatNya. Maka ini
juga diri kebodohan.
Maka
siapa yang mengenal Allah, niscaya tidak tergambar bahwa ia merasa aman dan
tidak tergambar bahwa ia merasa putus asa. Dan diiringi tingkat ini, oleh yang
diada-adakan semua, yang menyangkut dengan dzat Allah, dengan sifat-sifatNya
dan Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya. Dan sebahagiannya lebih berat dari yang
lain. Dan lebih kurangnya itu, menurut berlebih kurangnya kebodohan dengan yang
demikian. Dan menurut hubungannya dengan Dzat Allah SWT. Dan dengan Af’al (
perbuatan-perbuatan)Nya dan agama-agamaNya. Dan dengan suruhan-suruhanNya dan
larangan-laranganNya. Dan tingkat-tingkat yang demikian itu tidak terhingga
jumlahnya. Yaitu: terbagi kepada: yang diketahui, bahwa dia itu masuk di bawah
penyebutan dosa-dosa besar yang tersebut dalam Alquran. Dan kepada: yang
diketahui, bahwa dia itu tidak masuk. Dan kepada: yang diragukan padanya. Dan
mencari penolakan keraguan pada bahagian yang di tengah-tengah itu adalah
harapan pada tempat yang tidak dapat diharapkan.
Tingkat kedua: nyawa. Karena dengan kekal dan terpeliharanya nyawa itu,
kekallah hidup dan berhasillah pengenalan dengan Allah. Maka membunuh nyawa
orang –sudah pasti –termasuk dosa besar, walaupun kurang dari kufur. Karena
yang demikian ittu, bertumbukkan dengan maksud itu sendiri. Dan ini
bertumbukkan dengan jalan (wasilah) kepada maksud. Karena hidup dunia itu,
tidak dikehendaki, selain untuk akhirat. Dan sampai kepada akhirat itu dengan
mengenal Allah Ta’ala. Dan diiringi dosa besar ini (membunuh orang) oleh
memotong kaki tangan orang dan tiap-tiap yang membawa kepada binasa. Sehingga
memukul sekalipun. Dan sebahagiannya lebih besar dari sebahagian. Dan termasuk
pada tingkat ini, pengharaman zina dan homsexsual. Karena, jikalau sepakat
manusia dengan mencukupkan dengan laki-laki saja pada memenuhi nafsu
syahwatnya, niscaya terputuslah keturunan. Dan menolak yang ada itu, dekat
daripada memutuskan adanya. Adapun zina, maka dia tidak menghilangkan pokok
adanya manusia. Akan tetapi, mengacaukan bangsa (keturunan). Membatalkan hak
mendapat pusaka dan bertolong-tolongan dan sejumlah hal keadaan, yang tiada
akan teratur penghidupan, selain dengan yang tersebut itu. Bahkan, bagaimana
akan sempurna peraturan, serta membolehkan zina? Dan tidak akan teratur urusan
binatang ternak, selama tidak dapat dibedakan yang jantan daripadanya dengan
yang betina, yang tertentu dengan dia dari jantan-jantan lainnya. Karena
itulah, tidak akan tergambar pada pikiran, bahwa zina itu diperbolehkan pada
pokok agama, yang dimaksudkan dengan agama itu perbaikan. Dan seyogyalah bahwa
zina itu pada tingkat kurang dari pembunuhan. Karena zina itu tidak
menghilangkan kekekalan ada. Dan tidak mencegah pokok ada. Akan tetapi,
menghilangkan pembedaan bangsa (pembedaan keturunan). Dan menggerakkan dari
sebab-sebabnya, apa yang mendekati kepada membawa pada bunuh-membunuh. Dan
seyogyalah zina itu lebih keras dari homosexsual. Karena nafsu syahwat itu
membawa kepada zina dari dua pihak. Lalu banyaklah terjadinya. Dan besarlah
bekas melaratnya dengan banyaknya zina itu.
Tingkat ketiga: harta. Maka harta itu adalah alat kehidupan makhluk. Tiada
boleh mengerasi (memaksakan) orang untuk memperolehnya, bagaimana yang
dikehendakinya, sehingga dengan penguasaan, pencurian dll. Akan tetapi,
seyogyalah harta itu dijaga, supaya nyawa kekal dengan kekalnya harta. Kecuali
bahwa harta itu, apabila diambil, niscaya memungkinkan pengembaliannya. Dan
kalau dimakan, niscaya memungkinkan pembayarannya. Maka tidaklah besar lagi
urusan padanya. Ya, apabila berlakulah pengambilannya dengan jalan, yang sukar
memperoleh kembali, maka seyogyalah yang demikian itu termasuk dosa besar. Dan
yang demikian itu, dengan 4 jalan:
1. Dengan jalan sembunyi. Yaitu:
curi. Maka apabila menurut kebiasaannya tidak dilihat, lalu bagaimana dapat
diperoleh kembali?
2. Memakan harta anak yatim. Ini
juga termasuk jalan sembunyi. Dan kami maksudkan pada diri wali dan orang yang
tegak mengurusinya. Sesungguhnya orang itu dipercayakan pada pengurusannya. Dan
ia tidak mempunyai lawan, selain anak yatim. Dan anak yatim itu masih kecil,
yang tidak mengetahuinya. Maka membesarkan urusan padanya itu wajib. Lain
halnya perampasan, maka itu terang, dapat diketahui. Dan lain halnya dengan
pengkhianatan pada simpanan. Maka si penyimpan itu musuh padanya, yang insyaf
bagi dirinya.
3. Ketiga: menghilangkan harta
itu dengan kesaksian palsu.
4. Mengambil simpanan dan
lainnya dengan sumpah yang menenggelamkan dalam neraka. Maka ini adalah jalan
yang tidak mungkin diperoleh kembali padanya. Dan tidak boleh sekali-kali
berselisih di antara agama-agama pada mengharamkannya. Sebahagiannya adalah
lebih keras dari sebahagian. Dan semuanya itu kurang dari tingkat kedua, yang
menyangkut dengan nyawa. Empat yang tersebut itu adalah pantas, bahwa dia itu
yang dikehendaki dengan dosa besar. walaupun agama tidak mengwajibkan hukuman
badan pada sebahagiannya. Akan tetapi, agama membanyakkan janji siksaan
padanya. Dan besarlah bekasnnya pada kepentingan-kepentingan duniawi.
Adapun
makan riba, maka tidak ada padanya, selain memakan harta orang lain, dengan
persetujuan, serta pengrusakan syarat yang telah diletakkan oleh agama. Dan
tidak jauh dari kebenaran, bahwa agama-agama itu berselisih pada persoalan yang
seperti riba ini. Apabila perampasan, yaitu memakan harta orang lain, tanpa
relanya dan tanpa rela agama, tidak dijadikan sebahagian dari dosa besar, maka
makan riba itu ialah makan dengan rela si pemilik. Akan tetapi tidak rela
agama. Dan jikalau agama memandang besar riba dengan larangan keras
daripadanya, maka sesungguhnya agama juga memandang besar kezaliman dengan
perampasan dan lainnya. Dan memandang besarnya pengkhianatan. Dan berkesudahan
kepada memakan 1/6 uang dirham (satu daniq) dengan khianat atau rampas itu,
termasuk sebahagian dari dosa besar, maka pada yang demikian itu, ada
pandangan. Dan yang demikian itu terjadi pada tempat sangkaan keraguan. Dan
yang terbanyak kecenderungan sangkaan, ialah bahwa itu tidak termasuk di bawah
nama dosa besar. Akan tetapi, seyogyalah bahwa dosa besar itu dikhususkan
dengan yang tidak ada perselisihan agama padanya. Supaya adalah yang demikian
itu persoalan yang mudah pada agama. Maka tinggallah sekarang, sebahagian dari
apa yang disebutkan oleh Abu Thalib Al Makki, ialah: menuduh orang berzina,
minum yang memabukkan, sihir, lari dari barisan perang dan durhaka kepada ibu
bapak.
Adapun
minum apa yang menghilangkan akal, maka itu patut termasuk sebahagian dari dosa
besar. Dan telah ditunjukkan kepada yang demikian, oleh pengerasan agama dan
juga jalan pandangan. Karena akal itu beruntung, sebagaimana nyawa itu
beruntung. Bahkan, tiada kebajikan pada nyawa, tanpa akal. Maka menghilangkan
akal itu sebahagian dari dosa besar. Akan tetapi ini, tiada berlaku pada
setitik khamar (barang yang memabukkan). Maka tidak syak lagi, bahwa jikalau
diminum air, yang di dalamnya ada setitik khamar, niscaya tidaklah yang
demikian itu dosa besar. Dan itu sesungguhnya adalah meminum air najis. Dan
setitik saja adalah pada tempat keraguan. Dan diwajibkan oleh agama akan
hukuman badan padanya itu menunjukkan kepada pembesaran urusannya. Lalu yang
demikian itu dihitung pada agama, termasuk sebahagian dari dosa besar. Dan
tidaklah pada kekuatan manusia, mengetahui semua rahasia agama. Jikalau telah
ada kesepakatan ulama bahwa itu dosa besar, niscaya wajiblah dituruti. Dan
jikalau tidak, maka jalan satu-satunya pada yang demikian, ialah dibiarkan
begitu saja dahulu.
Adapun menuduh
orang berzina, maka tidak ada padanya, selain mengambil kehormatan orang. Dan
kehormatan itu, diragukan kurang nilainya dari harta. Dan untuk mengambil
kehormatan itu mempunyai tingkat-tingkat. Tingkatnya yang tertinggi, ialah:
mengambilnya dengan menuduh orang berzina, dikaitkan kepada kejinya zina. Dan
agama memandang besar persoalan zina itu. Dan aku menyangka dengan sangkaan
yang keras, bahwa para sahabat menghitung setiap yang mengwajibkan hukuman
badan itu, dosa besar. Maka dengan ibarat (pandangan) ini, menuduh orang
berzina itu tidak dapat ditutup oleh shalat 5 waktu. Dan itulah yang kami
maksudkan sekarang, dengan dosa besar. Akan tetapi, dari segi bolehnya
berselisih agama-agama padanya, maka qias (analogi) dengan menuduh orang
berzina itu semata-mata, tidaklah menunjukkan kepada besarnya dan dahsyatnya.
Akan tetapi, boleh ditolak oleh agama, bahwa seorang orang jujur apabila
melihat seorang manusia berzina, maka ia dapat naik saksi. Dan orang yang
dinaik-saksikan (penzina) itu, dihukum hukuman badan dengan kesaksian saksi tadi
semata-mata. Kalau kesaksiannya tidak diterima (karena ia sendirian), maka
hukuman badan itu tidak perlu pada kemuslihatan duniawi. Walaupun secara
keseluruhan, termasuk sebahagian dari kemuslihatan zahiriah/luar, yang masuk
pada tingkat keperluan. Jadi, ini juga dihubungkan dengan dosa-dosa besar,
terhadap orang yang mengetahui hukum agama. Adapun orang yang menyangka, bahwa
ia berhak naik saksi sendirian atau menyangka, bahwa ia akan dibantu atas
kesaksian itu oleh orang lain, maka tiada seyogyalah menuduh orang berzina itu
terhadap dia dijadikan sebahagian dari dosa besar.
Adapun
sihir, maka jikalau pada sihir itu ada kekufuran, maka sihir itu dosa besar.
jikalau tidak, maka kebesarannya, adalah menurut kemelaratan yang terjadi
daripadanya, dari kebinasaan nyawa atau sakit atau lainnya. Adapun lari dari
barisan perang dan durhaka kepada ibu bapak, maka ini juga seyogyalah adanya
dari segi qias (analogi) itu, pada tempat ditangguhkan dulu. Apabila diyakini,
bahwa memaki manusia dengan tiap-tiap sesuatu, selain zina, memukul mereka,
berbuat zalim kepada mereka, dengan merampas hartanya dan mengeluarkan mereka
dari tempat tinggalnya dan negerinya dan mengusir mereka dari tanah airnya,
bahwa itu tidaklah termasuk dosa besar. Karena tidak dinukilkan yang demikian
dalam 17 dosa besar. Dan memaki itu adalah yang terbesar apa yang diperkatakan
padanya. Maka ditangguhkan pada ini juga tidak jauh dari kebenaran. Akan tetapi
hadits menunjukkan kepada menamakannya dosa besar. Maka hendaklah dihubungkan
dengan dosa-dosa besar. Jadi, maka hasil persoalan itu kembali, bahwa kami
menghendaki dengan dosa besar itu, apa yang ditutup oleh shalat 5 waktu,
menurut hukum agama. Dan yang demikian itu, termasuk daripada yang terbagi:
kepada yang diketahui, bahwa dia tidak sekali-kali ditutup oleh shalat 5 waktu.
Dan: kepada yang seyogyanya dapat ditutup dengan shalat 5 waktu. Dan: kepada
yang padanya dilakukan penangguhan. Dan yang berlaku padanya penangguhan itu,
sebahagiannya disangka: tidak dan ada. Dan sebahagiannya diragukan penangguhan
tersebut. Dan itu adalah keraguan, yang tidak dapat dihilangkan, selain oleh dalil
tegas Kitab atau Sunnah. Jadi, tak usah diharapkan padanya. Lalu mencari
terangkatnya keraguan padanya itu mustahil.
Kalau
anda mengatakan, bahwa ini menegakkan dalil kepada mustahilnya mengetahui
batasnya, maka bagaimana ditolak oleh agama dengan yang mustahil mengetahui
batasnya? Maka ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap yang tiada menyangkut
padanya hukum didunia, maka boleh berlaku padanya dibentangkan dengan tidak
tegas. Karena negeri berlakunya kewajiban yang diwajibkan oleh agama, ialah:
negeri dunia. Dan dosa besar secara khusus, tak ada hukumnya di dunia, dari
segi, bahwa dia itu dosa besar. Akan tetapi, tiap-tiap yang mengwajibkan
hukuman badan itu, dimaklumi namanya, seperti: curi, zina dll. Dan
sesunngguhnya hukum dosa besar itu, ialah: bahwa shalat 5 waktu tidak dapat
menutupkannya. Dan ini adalah urusan yang menyangkut dengan akhirat. Dan secara
tidak tegas atau kabur itu lebih layak. Sehingga manusia berada pada takut dan
hati-hati. Lalu mereka tidak berani melakukan dosa-dosa kecil, karena berpegang
kepada shalat 5 waktu itu. Seperti demikian pula, menjauhkan dosa-dosa besar
itu menutupkan dosa-dosa kecil, dengan yang diharuskan oleh firman Allah
Ta’ala: “Dan kalau kamu jauhi dosa-dosa besar yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami tutup kesalahanmu yang kecil-kecil”. S 4 An Nisa’
ayat 31. Akan tetapi, menjauhi dosa besar itu, sesungguhnya menutupkan dosa
kecil, apabila dijauhkannya, serta ia mampu dan berkemauan untuk dosa besar
itu. Sebagaimana orang yang memungkinkannya berbuat jahat dengan seorang wanita
dan bersetubuh dengan wanita itu, lalu ia mencegah dirinya dari perbuatan zina.
Maka ia berbuat sekedar memandang atau menyentuh. Maka dirinya berjuang dengan
mencegah dari perbuatan zina itu, lebih sangat membekas pada mencemerlangkan
hatinya, daripada majunya kepada memandang pada menggelapkan hatinya. Inilah
arti penutupan itu! Kalau ia lemah syahwat (impoten) atau tidak ada kecegahannya,
selain disebabkan terpaksa karena lemah atau ia mampu, akan tetapi ia mencegah
dirinya, karena takut akan hal yang lain, maka ini tidak pantas sekali-kali
untuk penutupan dosa itu.
Setiap
orang yang tidak ingin meminum khamar dengan tabiatnya (karakternya) dan kalau
diperbolehkan baginya, niscaya tidak diminumnya, maka penjauhannya itu tidak
akan menutupkan daripadanya dosa-dosa kecil, yang menjadi pendahuluan dari
minum khamar tadi, seperti mendengar permainan dan gitar. Ya, orang yang ingin
minum khamar dan mendengar gitar (musik), lalu menahan dirinya dengan menahan
nafsu dan berjuang daripada khamar dan ia melepaskannya pada mendengar, maka menahan
nafsu dan perjuang nya akan nafsu itu dengan mencegahnya, kadang-kadang
menghapuskan dari hatinya kegelapan yang meninggi kepadanya, dari kemaksiatan
pendengaran itu. Semua itu adalah hukum akhirat. Dan boleh sebahagiannya kekal
pada tempat keraguan dan berada dalam bahagian hal-hal yang kabur. Maka tidak
diketahui penguraiannya, selain dengan dalil. Dan dalil itu tidak datang
kemudian dan tidak ada batas yang menghimpunkan. Akan tetapi, datang dalil itu
dengan kata-kata yang berbeda-beda. Telah diriwayatkan Abu Hurairah ra, bahwa
ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: Shalat ke shalat itu menutupkan dosa. Dan
Ramadlan ke Ramadlan itu menutupkan dosa, selain dari 3: mempersekutukan Allah,
meninggalkan sunnah dan mengobah ikatan (janji)”. Ditanyakan: apakah
meninggalkan sunnah itu? Dijawab: ialah: keluar dari jama’ah. Dan mengobah
ikatan (janji), ialah: bahwa ia melakukan sumpah setia, dengan seorang
laki-laki. Kemudian, ia keluar dari sumpah setianya kepada orang itu, dengan
menggunakan pedang memerangi nya. Maka ini dan contoh-contoh seperti ini dari
kata-kata, tidak dapat dihinggakan bilangannya semuanya. Dan tidak ada yang
menunjukkan kepada batas yang mengumpulkan. Maka –sudah pasti –akan tetap tidak
terang. Kalau anda mengatakan, bahwa kesaksian (untuk menjadi saksi dalam suatu
perkara) itu, tidak dapat diterima, selain dari orang yang menjauhkan dosa-dosa
besar dan menjaga diri dari dosa-dosa kecil, dimana menjaga diri itu tidaklah
menjadi syarat pada penerimaan kesaksian. Dan ini termasuk hukum duniawi! Maka
ketahuilah kiranya, bahwa kami tidak mengkhususkan penolakan kesaksian itu,
dengan dosa-dosa besar. Maka tiada perbedaan pendapat, tentang orang yang
mendengar permainan-permainan, memakai sutera, bercincin dengan cincin emas dan
meminum pada bejana (gelas) emas dan perak, tidak diterima kesaksiannya. Dan
tiada seorang ulamapun yang beraliran, bahwa hal-hal yang tersebut tadi,
termasuk sebahagian dari dosa besar.
Al-Imam
Asy-Syafi’i ra mengatakan: bahwa apabila orang yang bermazhab Hanafi meminum
air anggur, niscaya aku lakukan hukuman badan atas orang tersebut. Dan aku
tidak menolak kesaksiannya (kalau ia menjadi saksi). Maka Al-Imam Asy-Syafi’i ra
telah menjadikan minum itu dosa besar, dengan mengwajibkan hukuman badan. Dan
tidak menolak dengan minum itu akan kesaksian. Maka menunjukkan, bahwa
kesaksian itu tidak dan ada, yang tidak berputar kesaksian itu kepada
dosa kecil dan dosa besar. Akan tetapi, setiap dosa itu, merusakkan keadilan
pada kesaksian, selain apa yang biasanya, tiada terlepas manusia daripadanya,
dengan darurat berlakunya adat kebiasaan. Seperti: mengumpat, memata-matai,
buruk sangka, dusta pada sebahagian perkataan, mendengar umpatan, meninggalkan
amar ma’ruf dan nahi munkar, memakan harta diragukan (harta yang tidak terang
halalnya), memaki anak dan pembantu rumah tangga dan memukulkannya disebabkan
marah, melebihi dari kemuslihatan, memuliakan sultan-sultan (penguasa-penguasa)
yang zalim, berteman dengan orang-orang fasiq, malas mengajarkan keluarga dan
anak akan semua yang diperlukan mereka dari hal-ikhwal urusan agama. Maka semua
yang tersebut ini adalah dosa, yang tidak akan tergambar, bahwa saksi itu akan
terlepas dari sedikitnya atau banyaknya dari perbuatan-perbuatan dosa tadi.
Kecuali dengan mengasingkan diri dari manusia dan menjuruskan dirinya bagi
urusan akhirat. Dan ia berjihat melawan hawa nafsu akan dirinya dalam waktu,
dimana akan tinggal di atas pundaknya, serta bercampur-baur sesudah itu. Dan
jikalau tidak diterima, selain perkataan yang seperti itu, niscaya amat
sukarlah adanya. Dan batallah hukum-hukum dan kesaksian-kesaksian. Dan tiadalah
memakai sutera, mendengar permainan dan pertunjukkan dengan musik, duduk-duduk
dengan orang-orang minum khamar pada waktu minum, bersepi-sepi (duduk
berdua-dua) dengan wanita asing (bukan isterinya atau yang haram nikah dengan
dia) dan contoh-contoh seperti dosa-dosa kecil itu, termasuk dalam golongan
ini. Maka kepada jalan yang seperti ini, seyogyalah diperhatikan pada
penerimaan kesaksian dan penolakannya. Tidak kepada dosa besar dan dosa kecil.
Kemudian, masing-masing dosa-dosa kecil ini yang tidak ditolak kesaksian dengan
dia, kalau selalu dikerjakannya, niscaya akan membekas pada penolakan
kesaksian, seperti orang yang membuatkan umpatan dan mencela manusia menjadi
kebiasaannya. Dan seperti ini juga, duduk-duduk dengan orang-orang fasiq dan
berteman dengan mereka. Dosa kecil itu menjadi besar dengan selalu diperbuat,
sebagaimana perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan akan menjadi dosa kecil,
dengan selalu dikerjakan, seperti main catur, asyik bernyanyi selalu dll. Maka
inilah penjelasan hukum dosa kecil dan dosa besar!
PENJELASAN:
bagaimana membagikan tingkat-tingkat dan pangkat-pangkat diakhirat atas
perbuatan-perbuatan kebaikan dan kejahatan didunia.
Ketahuilah kiranya, bahwa dunia
itu adalah sebahagian dari ‘alamul-mulki wasy-syahadah (persaksian
tubuh di alam dunia). Dan akhirat adalah sebahagian dari ‘alamul-ghaibi
wal-malakut (alam akhirat yg tdk bisa dipersaksikan
dengan mata). Aku maksudkan dengan dunia, ialah: hal keadaan engkau sebelum
mati. Dan dengan akhirat, ialah: hal keadaan engkau sesudah mati. Maka dunia
engkau dan akhirat engkau, ialah: sifat-sifat engkau dan hal-ikhwal engkau,
yang dinamakan yang hampir, lagi dekat daripadanya itu: dunia. Dan yang
terakhir, dinamakan akhirat.
Kami sekarang akan memperkatakan dari hal dunia
dalam akhirat. Maka kami sekarang memperkatakan tentang dunia. Yaitu: ‘alamul mulki
(alam dunia), dan maksud kami menguraikan akhirat,
yaitu : “alamul malakut”(alam yg tidak bisa dipersaksikan dengan mata). Dan tiada akan tergambar uraian “alamul malakut”(alam
yg tidak bisa dipersaksikan dengan mata) pada ‘alamul
mulki (alam dunia), kecuali dengan membuat perumpamaan-perumpamaan.
Dan karena itulah Allah Ta’ala berfirman: “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami
buatkan untuk manusia dan hanyalah orang-orang yang berilmu dapat mengerti”. S
29 Al Ankabut ayat 43. Pahamilah itu! Karena ‘alamul-mulki (alam dunia) itu
sesungguhnya tidur, dibandingkan kepada ‘alamul-malakut (alam akhirat). Dan
karena itulah, bersabda Nabi saw: “Manusia itu tidur. Maka apabila mereka telah
mati, niscaya mereka bangun”. Apa yang akan ada pada waktu terbangun itu, tidak
terang bagi engkau pada waktu tidur, kecuali dengan perumpamaan-perumpamaan
yang memerlukan kepada ta’bir (mengambil ibarat). Maka seperti demikian pula,
apa yang akan ada pada waktu terbangun di akhirat, tiada akan terang dalam
tidur dunia, selain pada banyaknya perumpamaan-perumpamaan. Dan aku maksudkan
dengan banyaknya perumpamaan-perumpamaan itu, ialah apa yang anda ketahui dari
ilmu ta’bir mimpi. Dan mencukupilah bagi anda daripadanya, jika anda cerdik,
dengan 3 perumpamaan saja.
Seorang
laki-laki datang kepada Ibnu Sirin lalu berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi,
seakan-akan dalam tanganku sebentuk cincin. Aku tutup dengan cincin itu, mulut
laki-laki dan faraj (kemaluan) wanita”. Ibnu Sirin lalu menjawab: “Engkau
sesungguhnya muadzin (melakukan adzan). Engkau melakukan adzan itu dalam bulan
Ramadhan, sebelum terbit fajar”. Laki-laki tadi menjawab: “Benar engkau”.
Datang pula seorang laki-laki lain, lalu berkata: “Aku bermimpi seakan-akan aku
menuangkan minyak zait dalam buah zaitun”. Ibnu Sirin lalu menjawab: “Kalau ada
di bawah kekuasaan engkau seorang budak perempuan, yang telah engkau belikan,
maka periksalah tentang hal-ikhwalnya. Sesungguhnya dia ibumu yang ditawan pada
waktu engkau masih kecil. Karena buah zaitun itu, asalnya minyak zait. Lalu ia
dikembalikan kepada asalnya”. Lalu laki-laki tersebut menyelidiki. Maka
tiba-tiba benarlah, budak perempuannya itu adalah ibunya sendiri. Dan ibunya
itu ditawan dalam peperangan pada waktu ia masih kecil. Laki-laki lain berkata
pula kepada Ibnu Sirin: “Aku bermimpi, seakan-akan aku mengikatkan mutiara pada
leher babi”. Ibnu Sirin lalu menjawab: “Engkau sesungguhnya mengajarkan ilmu
hikmah (ilmu ketuhanan) pada bukan ahlinya (tidak pada tempatnya)”. Maka
benarlah apa yang dikatakan Ibnu Sirin itu. Ta’bir mimpi dari permulaan sampai
akhirnya itu adalah perumpamaan -perumpamaan
yang memberitahukan kepada engkau jalan membuatnya perumpamaan-perumpamaan itu.
Sesungguhnya, kami maksudkan dengan perumpamaan itu, ialah: memberi arti dalam
suatu bentuk (rupa). Jikalau dipandang kepada artinya, niscaya didapati itu benar. Dan
jikalau dipandang kepada bentuk nya, niscaya didapati dusta.
Muadzdzin itu, kalau ia memandang kepada bentuk cincin dan menutupkannya atas kemaluan,
niscaya ia melihat yang demikian itu bohong (dusta). Karena tidak sekali-kali
ditutup dengan itu. Dan jikalau ia melihat kepada maknanya, niscaya ia
mendapati benar. Karena terbit daripadanya jiwa tutup dan maksudnya. Yaitu:
cegahan yang dikehendaki penutupan baginya.
Para
nabi-nabi itu tidak berkata-kata bersama makhluk, selain dengan membuat
perumpamaan-perumpamaan. Karena mereka diberati (disuruh) untuk berkata-kata
dengan manusia, menurut kadar akal pikiran mereka. Dan kadar akal pikiran
mereka itu, ialah, bahwa: mereka dalam tidur. Dan orang tidur itu tidak terbuka
baginya dari hal sesuatu, selain dengan perumpamaan. Maka apabila mereka telah
mati, niscaya mereka terbangun dari tidur itu. Dan mereka mengetahui, bahwa
perumpamaan itu benar. Dan karena itulah bersabda Nabi saw: “Hati orang mu’min itu
di antara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih”. Dan
hadits ini termasuk di antara perumpamaan yang tidak dapat dipahami, selain
oleh orang-orang yang berilmu.
Adapun
orang bodoh, maka tidak melewati kadarnya dari zahiriah (terlihat saja)
perumpamaan itu. Karena kebodohannya dengan penafsiran, yang dinamai: Ta’wil
sebagaimana dinamai penafsiran apa yang dilihat dari perumpamaan-perumpamaan
dalam tidur itu: Ta’bir mimpi. Lalu orang bodoh itu menetapkan, bahwa Allah
Ta’ala mempunyai tangan dan anak jari. Maha sucilah Allah dengan suci yang
sebenar-benarnya dari perkataan itu.
Dan
seperti itu pula, pada sabda Nabi saw: “Allah Ta’ala sesungguhnya telah
menjadikan Adam atas rupaNya”. Maka orang bodoh tidak memahami dari rupa itu,
selain warna, bentuk dan keadaan. Lalu ia menetapkan bahwa Allah Ta’ala
mempunyai seperti yang demikian. Maha sucilah Allah dengan suci yang
sebenar-benarnya dari perkataannya itu. Dari sinilah tergelincir orang yang
tergelincir tentang sifat-sifat ketuhanan. Sehingga tentang kalam
(berkata-kata), lalu mereka jadikan kalam (berkata-kata) Tuhan itu suara dan
huruf dll dari sifat-sifat ketuhanan. Dan perkataan tentang ini, akan panjang
kalau dipanjangkan. Seperti demikian juga, kadang-kadang datang tentang urusan
akhirat, pembuatan perumpamaan-perumpamaan, yang didustakan oleh orang mulhid
(orang yang mengikari Tuhan). Disebabkan beku pemandangannya di atas zahiriah
perumpamaan dan pertentangan perumpamaan itu padanya, seperti sabdanya Nabi
saw: “Akan didatangkan pada hari kiamat mati itu dalam bentuk binatang kibasy
(anak kambing) yang lebih manis ( hitam menampak bulunya yang putih), lalu
disembelih”. Maka berontaklah orang mulhid/ateis yang goblok itu dan
mendustakan. Dengan sabda itu, ia mengambil dalil kepada dustanya nabi-nabi.
Dan ia mengatakan: “Wahai maha suci Allah ! mati itu sifat dan kibasy itu
tubuh. Maka bagaimana berbalik sifat kepada tubuh ? adakah ini, selain mustahil
semata ?”. Akan tetapi Allah Ta’ala mengasingkan mereka yang goblok itu, dari
pada mengetahui rahasia-rahasiaNya. Ia berfirman: “Dan hanyalah orang-orang
yang berilmu dapat mengerti”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 43. Orang yang pantas
dikasihani itu, tidak tahu, bahwa orang yang mengatakan: “Aku bermimpi dalam
tidurku, bahwa dibawa orang seekor kibasy”. Lalu dikatakan kepadanya, bahwa
kibasy ini, ialah penyakit waba’ (kolera) dalam negeri dan disembelihkan. Lalu
yang berta’bir mimpi itu, menjawab: “Benar engkau dan keadaan itu sebagaimana
yang engkau mimpikan”. Ini menunjukkan, bahwa waba’ ini akan hilang dan tiada
sekali-kali akan kembali lagi. Karena yang disembelihkan itu, telah terjadi
keputusasaan padanya. Jadi, yang berta’bir mimpi itu benar pada pembenaran nya.
Dan yang bermimpi itu benar pada mimpinya. Dan kembalilah hakikat/makna yang
demikian itu kepada malaikat, yang diwakilkan menyampaikan mimpi. Dan malaikat
itulah yang melihat nyawa-nyawa (al-arwah) ketika tidur, di atas yang pada Luh
Mahfudh. Diperkenalkannya dengan yang pada Luh Al-Mahfudh itu, dengan
perumpamaan, yang diperbuatnya bagi orang yang bermimpi itu. Karena orang yang
tidur itu, sesungguhnya yang menanggung perumpamaan. Maka perumpamaannya itu
benar. Dan artinya itu betul. Maka para rasul-rasul juga, sesungguhnya mereka
berkata-kata dengan manusia di dunia. Dan dunia itu dikaitkan kepada akhirat
adalah tidur. Lalu mereka menyampaikan arti-arti itu kepada pemahaman mereka,
dengan perumpamaan-perumpamaan, sebagai hikmat dari Allah, kasih sayang kepada
hamba-hambaNya dan memudahkan untuk mengetahui, apa yang dirasakan mereka lemah
daripada mengetahuinya, tanpa diperbuat perumpamaan.
Maka
sabdanya Nabi saw: “Akan didatangkan pada hari kiamat, mati itu dalam bentuk
binatang kibasy yang manis”, adalah suatu perumpamaan, yang diperbuat, untuk
menyampaikan kepada pemahaman, akan terjadinya keputusasaan dari mati. Dan hati
manusia itu telah dijadikan bernaluri, untuk memperoleh kesan dengan perumpamaan-perumpamaan.
Dan adanya arti-arti pada hati dengan perantaraan perumpamaan-perumpamaan
tersebut. Karena itulah, diibaratkan oleh Alquran dengan firmanNya Allah
Ta’ala: “Jadilah! Lalu jadi”. S 36 Ya Sin ayat 82. Dari penghabisan qudrah (kuasa).
Dan diibaratkan oleh Nabi saw dengan sabdanya: “Hati orang mu’min itu di antara
dua anak jari, dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih”, dari cepatnya
hati itu bertukar (berobah pikiran). Dan sesungguhnya telah kami isyaratkan
kepada hikmah yang demikian itu, pada Kitab Qawaidul-‘Aqaid dan Rubu’ Ibadah
dahulu.
Sekarang,
marilah kita kembali kepada maksud! Yang dimaksud, ialah: memperkenalkan
pembahagian tingkat-tingkat dan pangkat-pangkat atas perbuatan kebaikan dan
keburukan, yang tidak mungkin, selain dengan membuat perumpamaan. Maka
hendaklah anda memahami dari perumpamaan yang akan kami buat itu, arti
(makna)nya, tidak bentuknya. Maka sekarang kami terangkan, bahwa manusia di
akhirat itu, terbagi kepada beberapa macam (jenis). Dan berlebih-kurang tingkat
mereka dan pangkatnya pada kebahagiaan dan kesengsaraan, berlebih-kurangan
mana, yang tidak masuk di bawah hinggaan (tidak terhingga banyaknya).
Sebagaimana mereka berlebih-kurang pada kebahagian dunia dan kesengsaraannya.
Dan dunia pada pengertian ini, tiada sekali-kali berbeda dengan akhirat. Karena
sesungguhnya Yang Mengatur ‘alamul-mulki/dunia dan ‘alamul-malakut/akhirat itu ESA, tiada
mempunyai sekutu dan sunnahNya datang dari kehendakNya yang azaliyah (tidak
kesudahan/permulaan), yang datang, tiada mempunyai pergantian. Hanya kita,
jikalau lemah daripada menghinggakan jenis-jenisnya.
Maka
kami terangkan sekarang, bahwa manusia terbagi di akhirat, dengan mudah saja
dipahami, kepada 4 bahagian: yang binasa, yang diazabkan, yang lepas dari azab
dan yang beruntung. Perumpamaannya di dunia, ialah: bahwa salah seorang dari
raja-raja menguasai suatu daerah. Lalu dibunuhnya sebahagian penduduk daerah
itu. Maka mereka ini adalah orang-orang yang binasa. Dan sebahagian mereka
diazabkan pada sementara waktu dan tidak dibunuhnya mereka. Maka mereka ini
adalah orang-orang yang diazabkan. Dan sebahagian mereka dilepaskan, maka
mereka ini orang-orang yang terlepas dari azab. Dan dicabut azab tadi pada
sebahagian mereka. Maka mereka ini orang-orang yang beruntung. Maka jikalau
raja itu adil, niscaya tidak dibaginya mereka itu seperti demikian, melainkan
dengan yang sebenarnya. Maka ia tidak membunuh, selain orang yang melawan akan
hak raja, yang menentang kepadanya pada pokok kedaulatannya. Ia tidak
mengazabkan, selain orang yang menyia-nyiakan pelayanannya, serta mengaku
dengan kerajaannya dan ketinggian derajatnya. Dan ia tidak melepaskan, selain
orang yang mengaku dengan kepangkatannya sebagai raja. Akan tetapi, orang itu
tidak teledor untuk dijatuhkan azab (siksaan) dan tidak melayani supaya dicabut
azab itu atas dirinya. Dan azab itu tidak dicabut, selain atas orang yang
menyerahkan umurnya pada pelayanan dan penolongan. Kemudian, seyogyalah
pencabutan azab bagi orang-orang yang beruntung itu, berlebih-kurang tingkatnya,
menurut tingkat mereka pada pelayanan. Dan pembinasaan orang-orang yang binasa
itu, adakalanya pemastian dengan pemancungan leher atau penyiksaan dengan
siksaan, menurut tingkat mereka pada pengingkaran. Dan pengazaban orang-orang
yang diazabkan, ringan dan berat, lama dan pendek masanya, satu macam dan
bermacam-macamnya azab itu, adalah menurut tingkat keteledoran mereka. Maka
masing-masing tingkat dari tingkat-tingkat ini, terbagi kepada derajat-derajat
yang tiada terhingga dan terbatas.
Maka
seperti demikian pula, pahamilah bahwa manusia di akhirat, begitulah
berlebih-kurang. Lalu sebahagian yang binasa dan yang diazabkan pada masa
tertentu. Dan sebahagian yang terlepas dari azab, yang menempati negeri
sejahtera (sorga). Dan sebahagian yang beruntung. Dan orang-orang yang
beruntung itu terbagi kepada: orang-orang yang ditempatkan dalam sorga Aden
atau jannatul-Ma’wa atau jannatul-firdaus. Dan orang-orang yang diazabkan itu
terbagi kepada: orang yang diazabkan sedikit. Dan kepada orang yang diazabkan
1000 tahun, sampai 7000 tahun. Dan itulah penghabisan orang yang dikeluarkan
dari neraka, sebagaimana tersebut pada hadits. Dan seperti itu pula,
orang-orang yang binasa, yang putus asa dari rahmat Allah, berlebih kurang
tingkat mereka. Dan tingkat-tingkat ini adalah menurut perbedaan taat dan
perbuatan maksiat.
Maka
marilah kami sebutkan cara pembahagiannya itu kepada tingkat-tingkat tadi:
Tingkat pertama: yaitu:
tingkat orang-orang yang binasa. Dan kami maksudkan dengan orang-orang
binasa itu, ialah: orang-orang yang putus asa daripada rahmat Allah Ta’ala.
Karena orang yang dibunuh oleh raja pada perumpamaan yang telah kami buat di
atas tadi, ia putus asa dari rela raja dan kemurahannya. Maka janganlah anda
lupa dari arti perumpamaan tersebut! Tingkat ini tidaklah, selain untuk
orang-orang yang melawan dan berpaling, yang menjuruskan dirinya bagi dunia,
yang mendustakan Allah, rasul-rasulNya dari kitab-kitabNya.
Maka
kebahagiaan akhirat itu sesungguhnya pada berdekatan dengan Allah dan memandang
kepada wajahNya. Dan yang demikian itu, sekali-kali tiada akan tercapai, selain
dengan mengenal, yang diibaratkan daripadanya dengan: iman dan tashdiq (percaya
dan membenarkan). Dan orang-orang yang menentang itu, ialah orang-orang yang
melawan dan mendustakan.
Merekalah
orang-orang yang merasa putus asa dari rahmat Allah Ta’ala untuk
selama-lamanya. Merekalah orang-orang yang mendustakan Tuhan semesta alam dan
nabi-nabiNya yang diutuskan. Sesungguhnya mereka pada hari itu –sudah pasti
–terdinding dari Tuhannya. Dan setiap orang yang tedinding dari yang
dicintainya, maka –sudah pasti –dibatasi antara dia dan yang diingininya. Maka
dia itu –sudah pasti –adalah yang mengoyakkan api neraka jahannam dengan api
perceraian. Karena itulah, orang-orang arif (yang kenal kepada Allah Ta’ala)
berkata: “Tidaklah takut kami itu dari neraka jahannam dan tidaklah harapan
kami itu bagi bidadari. Sesungguhnya tuntutan kami, ialah: bertemu dengan
Allah. Dan larian kami dari hijab saja”. Mereka mengatakan: “Barangsiapa
beribadah (menyembah) kepada Allah dengan ada imbalan, maka orang itu tercela,
seperti: bahwa ia menyembahNya untuk mencari sorgaNya atau karena takut
nerakaNya”. Akan tetapi, orang arif itu, menyembahNya karena DzatNya. Maka ia
tidak mencari, melainkan DzatNya saja”.
Adapun
bidadari dan buah-buahan, maka kadang-kadang tidak merindukannya. Adapun
neraka, maka kadang-kadang tidak menakutkannya. Karena neraka perpisahan,
apabila berkuasa, kadang-kadang mengalahkan api neraka yang membakar tubuh. Api
neraka perpisahan itu sesungguhnya api neraka Allah yang menyala-nyala, yang
muncul di atas hati. Dan api neraka jahanam itu tiada urusan baginya selain
bersama tubuh. Dan kepedihan tubuh menjadi hina serta kepedihan hati. Karena
itulah, orang bermadah:
Pada
hati pencinta itu,
ada api
pengasih.
Yang
terpanas api jahannam itu,
yang
terdingin daripadanya.
Tiada seyogyalah anda menentang
ini pada alam akhirat. Karena ia mempunyai bandingan yang dapat disaksikan pada
alam dunia. Maka sesungguhnya dapat dilihat, bahwa orang yang bersangatan
padanya perasaan (emosi), lalu ia berpagi-pagi di atas api dan di atas pokok
bambu yang melukakan tapak kaki. Ia tidak merasakan yang demikian, karena
bersangatan kekerasan apa yang dalam hatinya. Anda dapat melihat orang-orang
yang sangat marah, yang dikuasai atasnya oleh kemarahan dalam peperangan. Lalu
ia terkena luka-luka parah. Dan ia tidak merasakan dengan luka-luka itu
seketika. Karena marah itu api dalam hati.
Rasulullah
saw bersabda: “Marah itu adalah sepotong dari api”. Terbakarnya hati itu lebih
berat daripada terbakarnya tubuh. Dan yang lebih keras itu, membatalkan
perasaan dengan yang lebih lemah, sebagaimana anda melihatnya. Maka tidaklah
kebinasaan dari api dan pedang itu, selain dari segi bahwa kebinasaan itu
menceraikan diantara dua bahagian. Yang satu daripadanya terikat dengan yang
lain, dengan ikatan susunan yang memungkinkan pada tubuh. Maka yang menceraikan
diantara hati dan yang dicintainya yang mengikatnya dengan ikatan susunan,
adalah lebih sangat kokoh dari susunan tubuh. Maka dia itu lebih sangat
memedihkan, jikalau anda ternasuk orang-orang yang mempunyai mata hati dan
mempunyai hati. Dan tiadalah jauh dari kebenaran, bahwa tiada akan diketahui
oleh orang yang tiada mempunyai hati, akan bersangatannya pedih ini. Dan
dipandangnya leceh, dibandingkan kepada kepedihan tubuh. Maka anak kecil,
jikalau disuruh pilih diantara pedihnya tidak dibolehkan main bola dan main
tongkat permainan, dengan pedihnya tidak diberikan pangkat sultan (raja),
niscaya ia tidak sekali-kali merasa pedihnya tidak diberikan pangkat sultan
itu. Dan ia tidak menghitung yang demikian itu suatu kepedihan. Anak kecil itu
akan mengatakan: “Lari di lapangan beserta tongkat permainan itu, lebih aku
cintai daripada seribu tempat tidur sultan serta duduk di atasnya”.
Bahkan,
orang yang dikerasi oleh nafsu syahwat perut, jikalau disuruh pilih di antara
bubur masak daging dan roti manis, dengan perbuatan baik, yang memaksakan musuh
dan menyenangkan teman, niscaya ia akan memilih bubur dan roti manis. Ini
semuanya adalah, karena tidak adanya arti, yang menjadi kemegahan itu disukai
dengan adanya. Dan adanya arti itu, dengan adanya, menjadilah makanan itu enak.
Dan yang demikian itu, adalah bagi orang yang diperbudakkan oleh sifat-sifat
binatang ternak dan binatang buas. Dan tidak menampak padanya sifat-sifat
malaikat, yang tidak disesuaikannya dan tidak dirasakan enaknya, kepada
kedekatan dengan Tuhan semesta alam. Dan tidak menyakitkannya, selain oleh
kejauhan dan kedindingan. Sebagaimana rasa itu tidak ada, kecuali pada lidah
dan mendengar itu kecuali pada telinga, maka tiadalah sifat ini, selain pada
hati. Maka siapa yang tiada mempunyai hati, niscaya tidak ada baginya perasaan
ini. Sebagaimana orang yang tiada mempunyai pendengaran dan penglihatan,
niscaya tidak ada baginya keenakan nyanyian, bagus rupa dan warna. Dan tidaklah
semua manusia itu mempunyai hati. Jikalau ada, niscaya tidaklah benar firman
Allah Ta’ala: “Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi pengajaran bagi
siapa yang mempunyai hati”. S 50 Qaaf ayat 37. Tuhan menjadikan orang yang
tiada memperoleh pengajaran dengan Alquran itu, orang yang tiada mempunyai
hati. Aku tidak maksudkan dengan hati: yang dilingkungi oleh tulang dada. Akan
tetapi, aku maksudkan, ialah: rahasia yang menjadi sebagian dari alam keadaan.
Yaitu: daging, yang dia itu dari alam
makhluk adalah ‘arasynya dan dada itu kursinya dan anggota-anggota badan
lainnya itu alamnya dan kerajaannya. Dan kepunnyaan Allah semua makhluk dan
urusan. Akan tetapi rahasia tersebut, yang difirmankan oleh Allah Ta’ala
padanya: “Katakanlah: ruh (nyawa) itu termasuk urusan Tuhanku”. S 17 Al
Isra’ ayat 85. Itulah amir dan raja. Karena di antara alam urusan dan alam
makhluk itu, ada tartibnya/aturannya. Dan alam urusan itu amir atas alam
makhluk. Itulah yang sangat halus, yang apabila ia baik, niscaya baiklah
karenanya tubuh lainnya. Dan barangsiapa mengenalnya, maka ia mengenal dirinya.
Dan siapa yang mengenal dirinya, maka sesungguhnya ia mengenal Tuhannya. Dan
ketika itu, hamba akan mencium permulaan keharuman bau arti yang terlipat di
bawah sabdanya Nabi saw: “Sesungguhnya Allah menjadikan nabi Adam itu atas
rupaNya”. Allah memandang dengan penuh rahmat (kasih sayang) kepada mereka yang
membawa hadits di atas menurut zahiriah kata-katanya dan kepada mereka yang
menyimpang pada jalan penafsirannya. Walaupun rahmatNya bagi orang-orang yang
membawa menurut kata-katanya itu lebih banyak daripada rahmatNya bagi
orang-orang yang menyimpang pada penta’wilan (penafsiran). Karena rahmat itu
adalah di atas kadar musibah (malapetaka). Dan musibah mereka itu lebih banyak,
walaupun mereka itu berkongsi pada musibahnya tidak memperoleh dari
hakikat/makna urusan itu. Hakikat/makna itu kurnia Allah, yang dianugerahkan Nya
akan siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah itu mempunyai anugerah yang Maha
Besar. Yaitu: hikmatNya yang ditentukanNya kepada siapa yang dikehendakiNya.
Dan siapa yang dianugerahkan hikmat, maka sesungguhnya ia telah dianugerahkan
banyak kebajikan.
Marilah
sekarang, kita kembali kepada maksud! Maka sesungguhnya kami telah melepaskan
tali dan memanjangkan nafas, mengenai urusan, yang lebih tinggi daripada ilmu
mu’amalah (perniagaan) yang kami maksudkan pada kitab ini. Telah menampak,
bahwa tingkat kebinasaan itu tidaklah, selain bagi orang-orang bodoh yang
mendustakan. Kesaksian yang demikian itu, dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya
saw, yang tidak masuk di bawah hinggaan. Maka karena itulah, tidak kami
membentangkannya.
Tingkat kedua: tingkat
orang-orang yang diazabkan. Dan ini adalah tingkat orang yang menghiasi
dirinya dengan pokok iman. Akan tetapi, ia teledor pada pelaksanaan menurut
yang dikehendaki oleh iman. Kepala iman itu sesungguhnya, ialah: keesaan.
Yaitu: bahwa tiada disembah, selain Allah. Dan siapa yang menuruti hawa
nafsunya, maka ia telah mengambil Tuhannya itu hawa nafsunya. Ia berkeesaan
dengan lidahnya, tidak dengan hakikat/makna yang sebenarnya. Bahkan arti
perkataan anda: Laa ilaaha-illallaah (Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah)
itu, arti firmannya Allah Ta’ala: “Katakan: Yang menurunkan itu Allah.
Kemudian, biarkanlah mereka main-main dengan percakapan kosongnya”. S 6 Al
An’aam ayat 91. Yaitu: bahwa engkau biarkan dengan keseluruhan, selain Allah.
Dan arti firmannya Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:
Bahwa Tuhan kami itu Allah, kemudian, mereka itu berpendirian teguh”. S 41
Fussilat ayat 30. Tatkala adalah jalan lurus yang tidak menyempurnakan keesaan,
selain dengan teguh pendirian (al-istiqamah) kepadanya itu, lebih halus dari
rambut dan lebih tajam dari pedang, seperti jalan yang disifatkan di akhirat,
maka senantiasalah manusia miring dari teguh pendirian, walaupun pada urusan
yang mudah. Karena manusia itu tiada terlepas daripada mengikuti hawa nafsu,
walaupun pada perbuatan yang sedikit. Dan itu mencederakan pada sempurnanya
keesaan, menurut kadar miringnya dari jalan yang lurus. Maka yang demikian itu
–sudah pasti –menghendaki kekurangan pada tingkat-tingkat kedekatan. Dan
bersama tiap-tiap kekurangan itu, dua api neraka. Api neraka perpisahan bagi
kesempurnaan itu, yang hilang disebabkan kekurangan. Dan api neraka jahannam,
sebagaimana disifatkan oleh Alquran. Maka adalah tiap-tiap orang yang miring
dari jalan yang lurus (ash-shirathul-mustaqim) itu diazabkan dua kali, dari dua
segi. Akan tetapi, beratnya azab itu dan ringannya serta berlebih-kurangnya,
adalah menurut panjangnya waktu. Sesungguhnya yang demikian itu, disebabkan dua
keadaan:
Pertama: kuat iman dan lemahnya.
Kedua: banyak menuruti hawa nafsu dan
sedikitnya.
Dan
karena manusia, pada banyak hal, tiada terlepas dari salah satu dua keadaan
tersebut tadi, Allah Ta’ala berfirman: “Dan tiada seorangpun di antara kamu,
yang tiada masuk ke dalamnya, itulah keputusan Tuhanmu yang tak dapat
dihindarkan. Kemudian, Kami lepaskan orang-orang yang menjaga dirinya (dari
kejahatan) dan Kami biarkan orang-orang yang bersalah berlutut di dalamnya”. S
19 Maryam ayat 71-72.
Karena
itulah, orang-orang salaf, yang takut, mengatakan: “Sesungguhnya ketakutan
kami, ialah: karena kami yakin, bahwa kami akan masuk neraka. Dan kami ragu
pada kelepasan dari neraka itu”. Dan karena yang diriwayatkan Al-Hasan
Al-Bashari ra, hadits yang menerangkan,
mengenai orang yang keluar dari neraka sesudah 1000 tahun. Dan ia berseru: “Ya
Hannan! Ya Mannan! (Hai Yang Maha Penyayang! Hai Yang Maha Pemberi nikmat!).
Al-Hasan mengatakan: “Kiranya, aku ini laki-laki tersebut!”. Ketahuilah
kiranya, bahwa pada hadits-hadits, ada yang menunjukkan, bahwa orang yang
penghabisan keluar dari neraka, ialah: sesudah 7000 tahun. Dan perselisihan
tentang lamanya masa itu, adalah: diantara sekejap saja dan 7000 ribu tahun
itu. Sehingga, sebahagian mereka kadang-kadang boleh saja dalam neraka, seperti
kilat yang menyambar. Dan tiada baginya perhentian dalam neraka. Dan di antara
sekejap mata dan 7000 tahun itu, tingkat-tingkat yang berlebih kurang, dari
sehari, seminggu, sebulan dan masa-masa lainnya.
Dan
bahwa perbedaan tentang kerasnya azab itu, tiada berkesudahan bagi yang
setinggi-tingginya. Dan yang sekurang-kurangnya, ialah: pengazaban dengan
perdebatan pada al-hisab (perhitungan amal). Sebagaimana raja kadang-kadang
menghukum (mengazabkan) sebahagian orang-orang yang teledor pada pekerjaan,
dengan perbedaan pada perhitungan. Kemudian, raja itu memaafkan. Kadang-kadang
ia memukul dengan cemeti. Dan kadang-kadang diazabkannya dengan macam yang lain
dari azab itu. Dan berlaku kepada azab itu, perbedaan ketiga, pada bukan masa
dan beratnya. Yaitu: perbedaan macamnya. Karena, tiadalah orang yang disiksa
dengan mengambil harta saja, seperti orang yang disiksa dengan mengambil harta,
membunuh anak-anak, mengambil isterinya, menyiksakan kaum familinya, memukul,
memotong lidah, tangan, hidung, telinga dll. Perbedaan-perbedaan ini, ada pada
azab akhirat, yang dibuktikan dalil-dalil agama yang meyakinkan. Dan itu,
adalah menurut perbedaan kuatnya iman dan lemahnya, banyaknya taat dan
sedikitnya, banyaknya kejahatan dan sedikitnya. Adapun beratnya azab, maka
dengan sebab beratnya keburukan perbuatan-perbuatan jahat dan banyaknya. Adapun
banyaknya azab, maka dengan banyaknya kejahatan itu. Dan perbedaan
macam-macamnya, adalah dengan perbedaan macam-macam kejahatan.
Dan
sesungguhnya telah terbukalah ini, bagi orang-orang yang mempunyai hati, serta
kesaksian-kesaksian Alquran dengan cahaya iman. Dan itulah yang dimaksudkan
dengan firman Allah Ta’ala: “Dan Tuhan engkau tiadalah berbuat sewenang-wenang
atas hamba-hambaNya”. S 41 Fussilat ayat 46. Dan dengan firman Allah Ta’ala:
“Pada hari itu, setiap diri menerima balasan, menurut yang diusahakannya”. S 40
Al Mukmin ayat 17. Dan dengan firmannya Allah Ta’ala: “Dan bahwa manusia itu
hanya memperoleh apa yang diusahakannya”. S 53 An Najm ayat 39. Dan dengan
firmannya Allah Ta’ala: “Dan siapa yang mengerjakan perbuatan baik seberat
atom, akan dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan perbuatan jahat seberat atom,
akan dilihatnya”. S 99 Az Zilzal, ayat 7-8. Dan lain-lain dalil yang tersebut
pada Kitab Alquran dan Sunnah Nabi saw, daripadanya siksa dan pahala, sebagai
balasan dari amal-perbuatan. Semua itu dengan dalil, tiada sewenang-wenang
padanya. Segi kemaafan dan kerahmatan adalah lebih kuat. Karena Allah Ta’ala
berfirman, menurut yang disampaikan oleh Nabi saw tentang itu, yaitu:
“Mendahului rahmatKU akan kemarahanKU”. Allah Ta’ala berfirman: “Meskipun
perbuatan baik itu sebesar atom, akan dilipat gandakan oleh Allah juga dan akan
diberiNya pahala yang besar dari sisiNya”. S 4 An Nisa’ ayat 40.
Jadi,
hal keadaan ini keseluruhan, dari ikatan tingkat dan pangkat, dengan perbuatan
baik dan buruk itu, diketahui dengan dalil agama yang meyakinkan dan cahaya
pengenalan. Adapun penguraiannya, maka tidak diketahui, selain dengan berat
sangkaan. Dan pegangannya adalah zahiriah/keterangan hadits-hadits. Dan macam
rekaan itu diambil pemahamannya dari cahaya mata hati dengan jalan mengambil
ibarat. Maka disini kami mengatakan, bahwa setiap orang yang mengokohkan pokok
iman, menjauhkan semua dosa besar dan berbuat dengan baik semua yang fardlu
(yang wajib pada agama), ya’ni: rukun 5 dan tidak ada daripadanya perbuatannya,
selain dosa-dosa kecil yang berpisah-pisah, yang tidak selalu dikerjakannya,
maka serupalah bahwa azabnya itu, ialah: perdebatan (munaqasyah) saja, pada
perhitungan amal. Maka apabila ia dilakukan perhitungan amal (al-hisab),
niscaya kuatlah perbuatan kebaikannya di atas kejahatannya. Karena tersebut
pada hadits-hadits, bahwa shalat 5 waktu, shalat Jum’at dan puasa Ramadlan itu
menjadi kaffarah (penutup dosa), bagi di antara ibadah-ibadah fardlu tersebut.
Dan seperti itu juga menjauhkan dosa-dosa besar, dengan hukum dalil Alquran,
menjadi kaffarah(penutup dosa) bagi dosa-dosa kecil. Dan sekurang-kurang
tingkat penutup dosa itu, ialah: tertolak azab, jikalau tidak tertolak perhitungan
amal. Dan setiap orang yang ini keadaannya, maka beratlah timbangan amalnya.
Maka seyogyalah ia, sesudah nyata berat pada timbangan amal dan sesudah selesai
dari perhitungan amal, berada dalam kehidupan yang menyenangkan (‘iisyah
raadliyah). Ya, hubungannya dengan orang-orang kanan (ash-haabul-yamiin) atau
dengan orang-orang al-muqarrabin (orang-orang yg dekat kepada Allah) dan
tempatnya dalam sorga Aden atau dalam sorga Firdaus yang tertinggi. Maka
seperti itu juga, ia mengikuti akan segala jenis iman. Karena iman itu dua
macam: iman Taqlidi (iman ikut-ikutan), seperti iman orang awam. Mereka
membenarkan apa yang didengarnya dan mereka terus-menerus di atas yang
demikian. Dan iman Kasyafi (iman yang tersingkap hijabnya), yang berhasil
dengan terbuka dada dengan cahaya Allah. Sehingga tersingkap padanya wujud
seluruhnya, menurut apa adanya.
Lalu
jelaslah, bahwa semua itu kepada Allah kembalinya dan kesudahannya. Karena
tidak ada pada wujud, selain Allah Ta’ala, sifat-sifatNya dan Af’al (perbuatan-perbuatan)Nya.
Maka yang jenis ini, ialah: orang-orang al-muqarrabin (oran-orang yang
didekatkan kepada Allah), yang bertempat tinggal di sorga Al-Firdaus yang
tertinggi. Dan mereka adalah sangat dekat dengan Tuhan Yang Maha Tinggi. Mereka
juga terdiri dari beberapa jenis. Sebahagiannya: yang mendahului (as-sabiqun)
dan sebahagiannya, ialah: orang-orang yang kurang dari mereka itu. Berlebih
kurangnya mereka, adalah menurut berlebih kurangnya mengenal mereka kepada
Allah Ta’ala. Dan tingkat orang-orang ‘arifin pada mengenal Allah Ta’ala itu,
tiada terhingga. Karena mengetahui hakikat/makna keagungan Allah itu, tidak
mungkin. Lautan pengenalan itu, tidak berpantai dan dalam sekali. Sesungguhnya
menyelam padanya para penyelam menurut kadar kemampuan mereka dan menurut kadar
yang telah mendahului bagi mereka daripada Allah Ta’ala pada azali ( tidak
kesudahan / permulaan ). Maka jalan Allah Ta’ala, tiada berkesudahan bagi
tempat-tempatnya. Maka orang-orang yang menjalani jalan Allah itu, tiada
berkesudahan derajat mereka.
Adapun
orang mu’min yang beriman dengan iman taqlidi (turut/menurut) itu, adalah
termasuk ash-haabul yamiin (orang-orang kanan) . Tingkat mereka
adalah kurang dari tingkat al-muqarrabin. Dan mereka juga di atas beberapa
tingkat. Maka yang tertinggi dari tingkat ash-haabul-yamin itu, mendekati
tingkatnya dengan tingkat yang terendah dari tingkat-tingkat al-muqarrabin.
Inilah keadaan orang yang menjauhi semua dosa besar dan mengerjakan yang fardlu
semuanya. Ya’ni: rukun yang 5, yaitu: mengucapkan syahadah dengan lisan,
shalat, zakat, puasa dan hajji.
Adapun
orang yang mengerjakan satu dosa besar atau dosa-dosa besar atau mengabaikan
sebahagian rukun Islam, maka jikalau ia bertaubat dengan taubat nashuha (taubat
benar-benar yang tidak akan dikerjakan lagi dosa itu), sebelum mendekati ajal,
niscaya itu dihubungkan dengan orang yang tiada mengerjakan dosa. Karena orang
yang bertaubat dari dosa itu, seperti orang yang tidak berdosa. Dan kain yang dicucikan
itu, adalah seperti kain yang tiada kotor sekali-kali. Dan kalau ia mati
sebelum taubat, maka ini keadaan yang berbahaya ketika mati. Karena
kadang-kadang matinya itu di atas berkekalan dosa,
menjadi sebab bagi berguncangnya keimanannya. Lalu berkesudahan baginya dengan
su-ul-khatimah (buruk kesudahan). Apa lagi, bila imannya itu iman taqlidi
(turut/menurut). Karena taqlid (turut/menurut), walaupun yakin, maka taqlid
(turut/menurut) itu dapat terlepas dengan sedikit keraguan dan khayalan. Dan
orang arif yang bermata hati itu amat jauh, untuk ditakuti kepadanya akan su-ul
khatimah/buruk kesudahan. Keduanya itu, jikalau mati di atas iman, akan
diazabkan, kecuali Allah Ta’ala memaafkan azab yang lebih dari azab perdebatan
pada al-hisab. Dan banyaknya siksaan dari segi waktunya itu adalah menurut
lamanya masa berkekalan dosa. Dan dari segi beratnya, adalah menurut kejinya
dosa-dosa besar itu. Dan dari segi perbedaan macam adalah menurut perbedaan
jenis-jenis kejahatan. Dan ketika selesai masa azab, lalu orang-orang bodoh
yang bertaqlid (turut/menurut) itu menempati tingkat orang-orang kanan. Dan
orang-orang arif yang bermata hati adalah dalam sorga yang tertinggi (a’la
‘illiyyin). Pada hadits disebutkan: “Orang yang terakhir keluar dari neraka,
akan diberikan kepadanya seperti dunia seluruhnya, 10 kali ganda”. Maka
janganlah engkau menyangka, bahwa yang dimaksud dengan yang tersebut pada
hadits itu, menentukan kadarnya dengan sipatan bagi tepi-tepi tubuh, seperti: 1
farsakh (kira-kira 3 mil) diseimbangkan dengan 2 farsakh atau 10 dengan 20.
Sangkaan ini adalah bodoh pada jalan membuat perumpamaan-perumpamaan. Akan
tetapi, ini adalah seperti kata orang yang mengatakan: ia mengambil dari orang
itu seekor unta dan diberikannya kepada orang itu 10 yang seperti demikian. Dan
unta itu sama dengan 10 dinar. Lalu diberikannya 100 dinar. Jikalau tidak
dipahami dari contoh ini, selain contoh pada timbangan dan berat, maka tidaklah
100 dinar itu, jikalau diletakkan pada daun neraca yang satu dan unta itu pada
daun neraca yang lain, 1/100 daripadanya. Akan tetapi itu, adalah penimbangan
pengertian tubuh dan nyawanya, bukan diri dan bentuknya. Unta itu sesungguhnya
tidak dimaksudkan karena beratnya, panjangnya, lebarnya dan sifatannya. Akan
tetapi, kehartaannya. Maka rohnya itu kehartaannya. Tubuhnya itu daging dan
darah. Dan 100 dinar itu 10 yang sepertinya, dengan penimbangan rohaniyah,
tidak dengan penimbangan jasmaniyah. Dan ini benar pada orang yang mengetahui
roh kehartaan, dari emas dan perak. Bahkan, jikalau diberikannya mutiara, yang
timbangannya 1 mitsqal (nama berat timbangan) dan nilainya 100 dinar dan ia
mengatakan: “Aku berikan kepadanya 10 kali yang seperti itu”, niscaya dia itu
benar. Akan tetapi, kebenarannya itu tidak diketahui, selain oleh orang-orang
yang ahli tentang mutiara.
Sesungguhnya
roh kemutiaraan itu tidak diketahui, dengan semata-mata melihat. Akan tetapi,
dengan kecerdikan yang lain, dibalik penglihatan itu. Maka karena itulah,
didustakan itu oleh anak kecil. Bahkan juga, oleh orang kampung dan orang
badui. Dan ia mengatakan, bahwa mutiara ini, hanyalah batu, yang beratnya 1
mitsqal. Dan berat unta itu beribu-ribu mitsqal. Maka orang itu telah membohong
tentang katanya: bahwa aku telah memberikan kepada orang itu 10 kali seperti
unta itu. Yang dusta sebenarnya, adalah anak kecil itu. Akan tetapi, tiada
jalan kepada meyakinkan yang demikian pada anak kecil tadi, selain dengan
menuggu ia dewasa dan sempurna pikirannya. Dan bahwa berhasil pada hatinya, cahaya
yang memberikan kepadanya pengertian tentang roh kemutiaraan dan harta-harta
lainnya. Maka ketika itu, tersingkaplah baginya kebenaran. Dan orang ‘arif itu
lemah pada memberi pemahaman kepada orang yang bertaqlid (turut/menurut), yang
lengah.
Benarlah
kiranya Rasulullah saw pada penimbangan ini. Karena beliau bersabda: “Sorga itu
di langit”. Sebagaimana yang disebutkan pada hadits-hadits. Dan langit itu
adalah sebahagian dari dunia. Maka bagaimana ada 10 kali dunia dalam dunia? Dan
ini adalah, sebagaimana lemahnya orang dewasa memberi pengertian kepada anak
kecil akan penimbangan itu. Dan seperti itu pula, memberi pemahaman kepada
orang badui. Dan sebagaimana ahli mutiara dikasihani apabila mendapat percobaan
dengan orang badui dan orang kampung, pada memberi pengertian akan penimbangan
itu, maka orang ‘arif patut dikasihani apabila mendapat percobaan dengan orang
bodoh, yang dungu, pada pemahaman penimbangan itu. Dan karena itulah, Nabi saw
bersabda: “Kasihanilah 3 golongan: orang yang berilmu di antara orang-orang
yang bodoh, orang yang kaya dari suatu golongan, yang membuat dirinya miskin
dan orang mulia dari suatu golongan, yang hina".
Para
nabi-nabi itu dikasihani di antara umat dengan sebab tersebut. Kepedihan mereka
karena pendeknya pikiran umat itu, fitnah bagi mereka, ujian dan percobaan dari
Allah Ta’ala. Dan percobaan itu diwakilkan (diserahkan) kepada mereka, yang
telah terdahulu penyerahan itu oleh hukum Allah yang azali (tidak kesudahan /
permulaan ). Dan itulah arti maksud dengan sabdanya Nabi saw: “Percobaan (bala
bencana) itu diwakilkan kepada nabi-nabi, kemudian kepada wali-wali, kemudian
kepada yang seperti mereka, lalu kepada yang seperti mereka". Maka
janganlah anda menyangka, bahwa percobaan itu, ialah percobaan kepada nabi Ayyub
as yaitu: yang diturunkan kepada tubuh. Maka percobaan kepada nabi Nuh as juga
termasuk percobaan besar. Karena nabi Nuh as itu dicoba dengan suatu golongan,
dimana seruannya ke jalan Allah, tidak menambahkan mereka melainkan lari. Dan
karena itulah, tatkala Rasulullah saw merasa sakit dengan perkataan sebahagian
manusia, lalu beliau bersabda: “Allah mencurahkan rahmat kepada saudaraku Musa.
Ia sesungguhnya telah disakiti orang, lebih banyak dari ini. Maka ia sabar”.
Jadi, nabi-nabi itu tiada terlepas daripada percobaan dengan orang-orang yang
menentang.
Dan
wali-wali dan para ulama tidak terlepas daripada percobaan dengan orang-orang
bodoh. Dan karena itulah, sedikit sekali para wali yang terlepas dari
bermacam-macam yang menyakitkan dan bermacam-macam percobaan, dengan
dikeluarkan mereka dari negerinya, diusahakan membawa mereka kepada sultan sultan
(penguasa), dinaik-saksikan terhadap mereka dengan kekafiran dan keluar dari
agama. Dan haruslah orang-orang ilmu mengenal Allah Ta’ala itu berada pada
orang-orang bodoh dari orang-orang kafir, sebagaimana harus ada penggantian
dari unta besar itu, akan mutiara kecil pada orang-orang bodoh dari orang-orang
yang membuang-buang harta, lagi yang menyia-nyiakannya.
Apabila
anda telah mengetahui yang halus-halus ini, maka berimanlah dengan sabda Nabi
saw, bahwa akan diberikan kepada orang yang penghabisan dikeluarkan dari
neraka, seperti dunia, 10 kali. Dan jagalah dirimu, bahwa engkau membatasi
kepercayaan engkau itu, kepada yang dapat diketahui oleh penglihatan dan perasaan
saja. Maka adalah engkau itu keledai dengan dua kaki. Karena keledai itu
berkongsi dengan engkau pada 5 pancaindra. Hanya engkau berbeda dengan keledai,
dengan rahasia ketuhanan (rahasiaun ilahiyyun) yang ditawarkan kepada langit,
bumi dan gunung-gunung. Semuanya ini enggan memikulnya dan merasa takut
daripadanya. Maka mengetahui apa yang keluar dari alam pancaindra yang 5, tiada
akan dijumpai, selain pada alam rahasia itu, yang engkau berbeda dengan keledai
dan hewan-hewan yang lain, lantaran rahasia tersebut. Maka siapa yang lupa dari
yang demikian, mengosongkannya dan menyia-nyiakannya dan merasa puas dengan
tingkat hewan-hewan dan ia tidak melewati dari yang dapat diketahui dengan
pancaindra itu, maka dialah orang yang membinasakan dirinya dengan
mengosongkannya dan melupakannya dengan berpaling daripadanya. Maka janganlah
ada kamu, seperti mereka yang melupai Allah, maka Allah melupakan mereka akan
dirinya. Maka setiap orang yang tidak mengenal, selain yang dapat diketahui
dengan pancaindra, maka sesungguhnya orang itu telah melupai Allah. Karena
tidaklah dzat Allah itu, diketahui pada alam ini, dengan panca indra yang 5.
Dan setiap orang yang melupai Allah, niscaya –sudah pasti –Allah melupakan
orang itu akan dirinya. Dan ia turun kepada tingkat hewan-hewan. Dan ia
meninggalkan mendaki ke ufuk yang tertinggi. Dan ia berkhianat pada amanah yang
disimpan oleh Allah padanya dan yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya menjadi
nikmat. Ia kufur kepada nikmat-nikmatNya dan datang kepada bencanaNya. Kecuali
dia itu adalah yang berkeadaan yang paling buruk dari hewan. Hewan itu
sesungguhnya melepaskan diri dari mati. Adapun orang tadi, maka padanya ada
amanah, yang sudah pasti, akan dikembalikan kepada YANG MENYIMPANnya. Maka
kepadaNyalah kembali dan berkesudahan amanah itu. Amanah itu adalah seperti
matahari yang cemerlang. Dan ia diturunkan kepada acuan yang fana ini dan
terbenam padanya. Dan akan terbit matahari ini ketika roboh acuan itu, dari
tempat terbenamnya. Dan ia kembali kepada Penciptanya dan Khaliq (yang maha
pencipta)nya. Adakalanya berkeadaan gelap gerhana dan adakalanya cemerlang
terang-benderang. Cemerlang terang benderang itu tidak terdinding dari Hadlarat
Ketuhanan. Dan yang gelap juga kembali kepada HadlaratNya. Karena tempat
kembali dan berkesudahan itu bagi semua, adalah kepada Allah. Kecuali dia itu
menundukkan kepalanya, dari pihak yang
tertinggi dari yang tinggi, kepada pihak yang terbawah dari yang bawah.
Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Sekiranya engkau lihat nanti, ketika
orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di sisi Tuhannya”. S 32
As-Sajadah ayat 12. Maka diterangkan, bahwa mereka itu di sisi Tuhannya, hanya
mereka tertunduk kepala. Muka mereka terbalik kepada kuduknya dan kepala mereka
tertunduk, dari pihak atas ke pihak bawah. Dan yang demikian itu hukum Allah,
kepada siapa yang diharamkanNya akan taufiqNya. Dan tidak ditunjukiNya
jalanNya. Kita berlindung dengan Allah dari kesesatan dan turun kepada tingkat
orang-orang bodoh. Inilah hukum pembahagian orang yang dikeluarkan dari neraka.
Dan ia diberikan seperti 10 kali dunia atau lebih banyak lagi. Dan tiada yang
keluar dari neraka, kecuali orang yang berkeesaan. Aku tidak maksudkan dengan
keesaan itu, bahwa ia mengatakan dengan lidahnya: laa ilaaha illallaah (Tiada
Tuhan yang disembah, selain Allah). Karena lidah itu adalah sebahagian dari
‘alamul-mulki wasy-syahadah (penyaksian tubuh di alam dunia). Maka ia tidak
bermanfaat, selain pada alam dunia itu. Lalu tertolaklah pedang dari lehernya
dan tangan orang-orang yang mengambil harta rampasan perang dari hartanya. Dan
masa leher dan harta itu, adalah masa hidupnya. Maka dimana tidak kekal leher
dan harta, niscaya tidaklah bermanfaat perkataan dengan lidah. Sesungguhnya
bermanfaat kebenaran pada keesaan. Dan kesempurnaan keesaan, ialah, bahwa ia
tidak melihat semua urusan itu, selain dari Allah. Dan tandanya, bahwa ia tidak
marah kepada seseorang dari makhluk, dengan apa yang berlaku atas dirinya. Karena
ia tidak melihat perantaraan-perantaraan. Dan sesungguhnya hanya ia melihat
Yang Menjadikan sebab-sebab itu, sebagaimana akan datang pembuktiannya pada
TAWAKKAL nanti.
Keesaan
ini berlebih kurang Maka setengah manusia, ialah: orang yang mempunyai keesaan
seperti gunung. Dan sebahagian mereka, orang yang mempunyai nya seberat
mitsqal. Sebahagian mereka, orang yang mempunyainya sekedar biji sawi dan atom.
Maka orang yang dalam hatinya seberat dinar dari iman, maka dia adalah orang
pertama yang dikeluarkan dari neraka. Pada hadits disebutkan: “Dikeluarkan
mereka dari neraka, yaitu: orang yang dalam hatinya ada iman seberat dinar”.
Orang yang berpenghabisan keluar, ialah: orang yang dalam hatinya seberat atom
dari iman. Dan yang diantara seberat mitsqal dan seberat atom adalah, menurut
kadar berlebih kurangnya derajat mereka, akan dikeluarkan diantara lapisan yang
seberat mitsqal dan lapisan yang seberat atom. Dan penimbangan dengan mitsqal
dan atom itu, adalah atas jalan membuat perumpamaan. Sebagaimana telah kami
sebutkan pada penimbangan di antara benda-benda harta dan uang. Dan yang
terbanyak memasukkan orang-orang berkeesaan kedalam neraka, ialah kezaliman
hamba-hamba itu sendiri. Maka dewan hamba-hamba itu, ialah: dewan yang tidak
akan ditinggalkan begitu saja.
Adapun
sisanya kejahatan-kejahatan yang lain, maka bersegeralah kemaafan dan
penutupnya (ada penutup dosa baginya). Pada atsar (ucapan seseorang sahabat)
disebutkan, bahwa hamba-hamba Allah itu, sesungguhnya akan berdiri di hadapan
Allah Ta’ala. Ia mempunyai perbuatan kebaikan, seperti gunung-gunung. Jikalau
diserahkan kepadanya, niscaya ia menjadi isi sorga. Lalu bangun berdiri
orang-orang yang teraniaya, dengan mengatakan: bahwa orang itu telah memaki
kehormatan si ini, mengambil harta si ini dan memukul si ini. Lalu dibayar dari
kebaikannya. Sehingga tiada tinggal lagi kebaikan baginya. Lalu para malaikat
berdoa: “Hai Tuhan kami! Orang ini telah habis semua kebaikannya dan masih
tinggal banyak orang yang menuntutnya”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Lemparkan
dari kejahatan mereka atas kejahatannya ! dan tempelenglah dia sebagai
tempeleng ke neraka !”. Sebagaimana orang itu binasa dengan kejahatan orang
lain, dengan jalan tuntut bela, maka seperti demikian juga, akan terlepas orang
yang teraniaya, dengan kebaikan orang yang berbuat aniaya. Karena, dipindahkan
kepada yang teraniaya, sebagai ganti dari apa yang dianiayakan.
Diceritakan
dari Ibnul-Jala’, bahwa sebahagian saudaranya mencacinya. Kemudian, saudaranya
itu mengirim surat kepadanya, minta dimaafkan (dihalalkan). Lalu Ibnul-Jala’
menjawab: “Aku tidak akan memaafkannya.
Tidaklah dalam lembaran hidupku kebaikan, yang lebih baik dari itu. Maka
bagaimana aku menghapuskannya ?”. Ibnul-Jala’ dan orang lain mengatakan: “Dosa
saudara-saudaraku itu menjadi sebahagian dari kebaikanku. Aku bermaksud
menghiasi dengan dia lembaran hidupku”. Maka inilah yang kami maksudkan menyebutkannya
dari perbedaan hamba-hamba itu pada hari akhirat, tentang derajat-derajat
kebahagiaan dan kesengsaraan. Semua itu adalah hukum dengan terlihat
sebab-sebab, yang menyerupai hukum (ketetapan) dokter atas seorang sakit, bahwa
dia –sudah pasti –akan mati. Dan tidak dapat diobati lagi. Dan terhadap orang
sakit yang lain, bahwa penyakitnya itu ringan dan pengobatannya mudah. Yang
demikian itu adalah sangkaan yang menimpa pada kebanyakan hal. Akan tetapi,
kadang-kadang kembali kepada hampirnya kebinasaan dirinya, dimana tidak
diketahui oleh dokter. Kadang-kadang ajal itu datang kepada orang yang
mempunyai penyakit ringan, dimana tidak diketahui yang demikian. Itu adalah
termasuk rahasia Allah Ta’ala yang tersembunyi pada roh orang-orang hidup. Dan
tersembunyinya sebab-sebab yang diatur oleh Yang Menyebabkan sebab-sebab itu,
dengan kadar yang dimaklumi. Karena tidaklah dalam kemampuan manusia,
mengetahui hakikat/makna sebab-sebab itu. Maka seperti demikian pula, kelepasan
dan keberuntungan di akhirat. Keduanya itu mempunyai sebab-sebab yang
tersembunyi, yang tidak ada pada kemampuan manusia untuk melihatnya.
Diibaratkan daripada sebab yang tersembunyi, yang membawa kepada kelepasan itu,
dengan: maaf dan ridha. Dan dari apa yang membawa kepada kebinasaan itu, dengan:
marah dan pembalasan. Dan dibalik yang demikian itu, adalah rahasia kehendak
ketuhanan yang azali (tidak kesudahan/permulaan), yang tidak dapat dilihat oleh
makhluk padanya. Maka karena demikianlah, harus atas kita membolehkan kemaafan
kepada orang yang berbuat maksiat, walaupun banyak perbuatan kejahatannya yang
terang. Dan membolehkan kemarahan atas orang yang berbuat kejahatannya yang
terang. Dan membolehkan kemarahan atas orang yang berbuat taat, walaupun banyak
perbuatan taatnya yang terang. Karena yang menjadi pegangan, ialah: taqwa. Dan
taqwa itu dalam hati. Dan itu amat sukar untuk dapat dilihat oleh yang
empunyanya sendiri. Maka bagaimana lagi orang lain ! akan tetapi, tersingkap
bagi orang-orang yang mempunyai hati, bahwa tiada kemaafan dari seorang hamba
Allah, selain dengan sebab yang tersembunyi padanya, yang menghendaki kemaafan
itu. Dan tidak ada kemarahan, selain dengan sebab batiniah, yang menghendaki
kejauhan daripada Allah Ta’ala. Jikalau tidak ada yang demikian, niscaya
tidaklah kemaafan dan kemarahan itu balasan atas segala amal perbuatan dan
sifat pekerjaan. Dan jikalau tidak ada balasan, niscaya tidak ada keadilan. Dan
jikalau tidak ada keadilan, niscaya benar firman Allah Ta’ala: “Dan Tuhan
engkau tiadalah berbuat sewenang-wenang atas hamba-hambaNya”. S 41 Fussilat
ayat 46. Dan firmanNya Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tidak hendak menganiaya
seseorang, barang sebesar atom sekalipun”. S 4 An Nisa’ ayat 40. Semua firman
Allah Ta’ala itu benar. Maka tidak ada bagi manusia, selain apa yang
diusahakannya. Dan usahanya itu, ialah yang dapat dilihatnya. Dan setiap diri
tergadai dengan apa yang diusahakannya itu. Manakala mereka menyimpang, niscaya
disimpangkan oleh Allah Ta’ala akan hati mereka. Dan manakala mereka merobah,
apa yang pada dirinya, niscaya dirobah oleh Allah Ta’ala apa yang pada mereka
sebagai pembuktian bagi firmanNya Yang Maha Tinggi: “Sesungguhnya Allah tiada
merobah keadaan sesuatu kaum, sebelum mereka merobah keadaan diri mereka
sendiri”. S13 Ar Ra’d ayat11. Ini semua telah tersingkap bagi orang-orang yang
mempunyai hati, kesingkapan yang lebih terang daripada dipersaksikan dengan
penglihatan. Karena penglihatan itu, mungkin salah. Karena kadang-kadang
dilihat yang jauh itu dekat dan yang besar itu kecil. Dan penglihatan hati
tidak mungkin salah. Dan hanya persoalannya, ialah: pada terbukanya penglihatan
hati. Jikalau tidak, maka tidak terlihat dengan penglihatan hati itu, sesudah
terbuka. Lalu tidak tergambar padanya dusta. Dan kepada itulah, diisyaratkan
dengan firman Allah Ta’ala: “Hati tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya”.
S 53 An Najm ayat 11.
Tingkat ketiga: tingkat orang-orang
yang terlepas. Aku maksudkan dengan terlepas
itu: selamat saja, tanpa bahagia dan menang. Mereka itu suatu kaum yang tiada
berbuat pelayanan, lalu dicabut azab dari mereka. Dan tiada berbuat
keteledoran, lalu mereka diazabkan. Dan serupalah bahwa ini adalah keadaan orang-orang
gila dan anak-anak kecil dari orang-orang kafir, orang-orang yang kurang akal
dan orang-orang yang tidak sampai da’wah agama kepada mereka, di
pinggir-pinggir negeri. Dan mereka hidup dalam kedunguan dan tiada berilmu
mengenal Allah Ta’ala. Maka tiada bagi mereka itu ilmu mengenal Allah Ta’ala,
tiada memungkiri, tiada taat dan tiada maksiat. Maka tiada jalan yang
mendekatkan mereka dan penganiayaan yang menjauhkan mereka. Maka mereka itu
tidak dari penduduk sorga dan tidak dari penduduk neraka. Akan tetapi, mereka
itu ditempatkan pada suatu tempat di antara dua tempat dan pada suatu kedudukan
di antara dua kedudukan, yang disebutkan oleh agama, namanya: Al-A’raf (menurut
Mujahid: suatu hijab antara sorga dan neraka dan benteng yang mempunyai pintu.
Dan menurut Hudzaifah, ialah benteng antara sorga dan neraka). Dan penempatan
suatu golongan dari makhluk pada Al-A’raf itu, diketahui dengan yakin dari
ayat-ayat Alquran, hadits-hadits dan dari nur i’tibar. Adapun hukum atas diri
sesuatu, seperti umpamanya hukum, bahwa anak-anak kecil adalah sebahagian dari
mereka. Maka ini adalah sangkaan. Dan tidak dengan diyakini. Dan melihat
kepadanya dengan sungguh-sungguh, ialah: pada alam nubuwwah (alam kenabian).
Dan jauhlah untuk dapat mendaki kepadanya, tingkat para wali dan ulama. Dan
hadits-hadits mengenai anak-anak kecil juga bertentangan. Sehingga ‘Aisyah
mengatakan tatkala mati sebahagian anak-anak kecil: “Burung dari burung-burung
sorga”. Lalu Rasulullah saw membantah yang demikian dan bersabda: “Dimana engkau
tahu ?”. Jadi, pertanyaan dan keraguan itu amat banyak pada tempat ini.
Tingkat keempat: tingkat orang-orang yang menang. Mereka
ialah orang-orang ‘arif (ilmu mengenal Allah Ta’ala) bukan orang-orang yang
bertaqlid (orang-orang yang menuruti tanpa dalil). Mereka itu orang-orang
muqarrabin/dekat dengan Allah, yang terdahulu. Sesungguhnya orang yang
bertaqlid (turut/menurut), walaupun
secara keseluruhan memperoleh kemenangan, dengan memperoleh tempat dalam sorga,
adalah dia termasuk orang-orang kanan (ash-haabul-yamiin). Dan mereka itu,
ialah orang-orang muqarrabin (yang dekat dengan Tuhan). Dan apa yang ditemui
mereka itu, melewati batas penjelasan. Dan kadar yang mungkin menyebutkannya,
ialah: apa yang diuraikan oleh Alquran. Maka tiadalah sesudah penjelasan Allah
itu, penjelasan lagi. Dan yang tidak mungkin diperkatakan pada alam ini, adalah
yang disimpulkan oleh firman Allah Ta’ala: “Seorangpun tiada mengetahui cahaya
mata yang disembunyikan untuk mereka”. S 32 As-Sajadah ayat 17. Dan firman Allah
‘Azza wa Jalla: “AKU sediakan bagi hamba-hambaKU yang salih, apa yang mata
tidak pernah melihatnya, telinga tidak pernah mendengar dan tidak pernah
terguris pada hati manusia”. Dan orang-orang yang berilmu mengenal (orang
‘arifin), yang menjadi tuntutan mereka, ialah keadaan itu, yang tiada tergambar
akan terguris pada hati manusia di alam ini. Adapun bidadari, istana,
buah-buahan, susu, madu, khamar, pakaian dan gelang, mereka itu sesungguhnya
tiada loba kepadanya. Jikalau diberikan kepada mereka barang-barang tersebut,
niscaya mereka tiada merasa puas dengan barang-barang itu. Dan tiada yang
mereka cari, selain kelezatan memandang kepada Wajah Allah Ta’ala Yang Maha
Pemurah. Itulah penghabisan kebahagiaan dan kesudahan kelezatan.
Dan
karena itulah ditanyakan kepada Rabi’ah Al’Adawiyah ra: “Bagaimana kegemaran
engkau kepada sorga ?”. Ia menjawab: “Tetangga, kemudian negeri”. Maka mereka
adalah kamu yang disibukkan oleh kecintaan kepada yang punya negeri, tidak
kepada negeri dan perhiasannya. Bahkan dari tiap-tiap sesuatu yang lain.
Sehingga dari diri mereka itu sendiri. Contohnya, ialah contoh orang yang
rindu, yang mengikuti keinginannya dengan yang dirinduinya, yang sempurna
cita-citanya dengan memandang kepada wajah yang dirindui dan berpikir padanya. Ia
adalah dalam keadaan tenggelam, yang lupa kepada dirinya. Tiada merasakan apa
yang menimpa pada badannya. Dan diibaratkan dari keadaan ini, bahwa orang itu
telah lenyap dari dirinya. Artinya, orang itu telah tenggelam dengan yang lain.
Dan semua cita-citanya menjadi satu cita-cita. Yaitu: yang dicintainya. Dan
tidak tinggal lagi padanya keluasan bagi yang tidak dicintainya. Sehingga ia
berpaling kepada yang dicintainya itu, tidak kepada dirinya dan yang lain dari
dirinya.
Keadaan
ini, ialah yang menyampaikan pada akhirat kepada cahaya mata, yang tiada
tergambar bahwa akan terguris pada alam ini atas hati manusia. Sebagaimana
tiada tergambar bahwa akan terguris rupa warna-warna dan bunyi-bunyian atas
hati orang tuli dan orang buta. Kecuali terangkat (terbuang) hijab (dinding)
daripada pendengaran dan penglihatannya. Maka ketika itu, baru ia mengetahui
keadaannya. Dan ia mengetahui dengan pasti, bahwa tiada akan tergambar,
terguris di hatinya bentuknya sebelum itu. Dunia itu menurut sebenarnya adalah
hijab. Dan dengan terangkatnya, terbukalah tutup. Maka ketika itu, diketahui
rasa hidup yang baik. Dan bahwa negeri akhirat itu adalah hidup, jikalau mereka
mengetahuinya. Maka sekadar ini mencukupilah pada penjelasan pembahagian
tingkat-tingkat atas perbuatan kebaikan. Dan Allah kiranya mencurahkan taufiq
dengan kasih sayangNya kepada kita semua.
PENJELASAN:
tentang apa yang menjadi besarlah dosa-dosa kecil.
Ketahuilah kiranya, bahwa dosa
kecil akan menjadi besar dengan beberapa sebab. Diantaranya: berkekalan dan
selalu berbuat dosa kecil itu. Dan karena itulah dikatakan: tiada dosa kecil
bila berkekalan dikerjakan dan tiada dosa besar bila dimintakan ampun. Maka
satu dosa besar yang putus-putus dan tidak diikuti oleh dosa besar yang seperti
itu- jikalau tergambaralah yang demikian- nicaya kemaafan daripadanya adalah
lebih banyak harapan daripada dosa kecil, yang selalu dikerjakan hamba.
Contohnya yang demikian itu, ialah: tetasan-tetasan air yang jatuh di atas batu
secara berturut-turut. Maka tetesan-tetesan itu akan membekas pada batu
tersebut. Dan kadar itu dari air tadi, jikalau dituangkan satu kali atas batu
itu, niscaya tiada akan membekas. Dan karena itulah, Rasulullah saw bersabda:
“Amal yang baik ialah yang terus-menerus, walaupun sedikit”.
Segala
sesuatu itu dicari penjelasannya dengan lawannya. Dan kalau yang bermanfaat
dari amal itu, ialah yang terus-menerus dikerjakan, walaupun sedikit. Maka yang
banyak yang terputus-putus itu sedikit manfaatnya, pada penyinaran hati dan
penyuciannya. Maka karena itulah, yang sedikit dari kejahatan, apabila
berkekalan dikerjakan, niscaya besarlah pembekasannya pada menggelapkan hati.
Kecuali, bahwa dosa besar itu sedikitlah tergambar bahwa diserbu kepadanya
dengan tiba-tiba, tanpa ada hal-hal yang mendahului dan yang menyambungi dari
sejumlah dosa-dosa kecil. Maka sedikitlah orang yang berzina itu berzina dengan
tiba-tiba, tanpa ada bujukan dan pendahuluan-pendahuluan. Dan sedikitlah
terjadi pembunuhan dengan tiba-tiba, tanpa ada pertentangan yang mendahului dan
permusuhan. Maka setiap dosa besar itu dikelilingi oleh dosa-dosa kecil yang
mendahului dan yang menyambungi. Dan jikalau tergambarlah suatu dosa besar
sendirian dengan tiba-tiba dan tidak disetujui untuk diulangi kembali, niscaya
kadang-kadang adalah kemaafan padanya lebih besar harapan daripada dosa kecil,
yang dikerjakan selalu oleh manusia sepanjang umurnya.
Di
antara sebab-sebab itu, ialah: ia memandang kecil dosa tersebut. Sesungguhnya
dosa itu, manakala dipandang besar oleh hamba Allah pada dirinya, niscaya
menjadi kecil pada sisi Allah Ta’ala. Dan manakala dipandangnya kecil, niscaya
menjadi besar pada sisi Allah Ta’ala. Karena, memandang besarnya itu, akan
menimbulkan lari hati daripadanya dan bencinya kepada dosa tersebut. Dan
larinya hati itu, akan mencegah dari sangat membekasnya pada hati. Dan
memandanganya kecil akan dosa itu, menimbulkan kejinakan hati kepadanya. Dan
yang demikian itu, mengharuskan kesangatan bekas pada hati. dan hatilah yang
dicari penyinarannya dengan taat. Dan yang diawasi, ialah: penghitaman hati
dengan kejahatan-kejahatan. Dan karena itulah, tiada disiksa dengan apa yang
berlaku padanya, dalam kelalaian. Karena hati itu tiada membekas dengan apa
yang berlaku dalam kelalaian.
Dan
disebutkan pada hadits: “Orang mu’min itu memandang dosanya seperti gunung di
atasnya. Ia takut akan jatuh ke atas dirinya. Dan orang munafik itu memandang
dosanya seperti seekor lalat, yang lalu di atas hidungnya. Lalu diusirnya”.
Setengah mereka mengatakan, bahwa dosa yang tidak akan diampunkan, ialah: kata
hamba Allah: “Mudah-mudahan setiap dosa yang aku kerjakan, ialah: seperti ini”.
Sesungguhnya dosa itu besar pada hati seorang mu’min, ialah: karena
diketahuinya akan keagungan Allah. Maka apabila ia memandang kepada besarnya
orang yang berbuat maksiat kepada Allah, niscaya ia memandang yang kecil itu
besar. Dan Allah Ta’ala telah mewahyukan kepada sebahagian para nabinya:
“Janganlah engkau memandang kepada sedikitnya hadiah ! dan pandanglah kepada
besarnya yang menganugerahkan pemberian itu! dan janganlah engkau memandang
kepada kecilnya kesalahan ! dan pandanglah kepada kebesaran siapa yang engkau
hadapi dengan kesalahan itu !”.
Dengan
ibarat ini, setengah orang-orang ‘arifin mengatakan, bahwa: tiada dosa kecil,
akan tetapi setiap yang menyalahi, maka itu dosa besar. Seperti itu juga,
sebahagian para sahabat ra mengatakan kepada orang-orang tabi’in (para pengikut
sahabat): “Sesungguhnya kamu mengerjakan amal-perbuatan, dimana pada matamu itu
lebih halus dari rambut. Akan tetapi, kami pada masa Rasulullah saw menghitung nya
sebahagian dari yang membinasakan”. Karena ilmu mengenal Allah Ta’ala para
sahabat dengan keagungan Allah itu lebih sempurna. Maka dosa-dosa kecil pada
mereka, dikaitkan kepada keagungan Allah Ta’ala itu, niscaya termasuk
sebahagian dosa besar. Dengan sebab inilah, menjadi besar pada orang yang
berilmu, apa yang tidak besar pada orang yang bodoh. Dan terlewat pada orang
awam, hal-hal yang tidak akan terlewat yang seperti itu, pada orang yang ‘arif.
Karena dosa dan penyalahan itu, menjadi besar menurut kadar pengenalan orang
yang berbuat yang menyalahi tersebut. Di antara sebab-sebab itu, ialah: gembira
dengan dosa kecil, senang dan merasa bangga dengan dosa kecil tersebut. Dan
menyiapkan kemantapan dari yang demikian itu sebagai suatu nikmat. Dan lalai
dari adanya itu menjadi sebab kesengsaraan. Maka manakala mengeras manisnya
dosa kecil pada seorang hamba, niscaya dosa kecil itu menjadi besar. Dan
membesarlah bekasnya pada penghitaman hatinya. Sehingga, sesungguhnya
sebahagian dari orang-orang yang berbuat dosa itu, ada yang menerima pujian
dengan dosa dan merasa bangga. Karena bersangatan gembiranya, dengan melakukan
dosa tersebut. Seperti orang itu mengatakan: “Apakah anda tidak melihat
bagaimana aku mengoyak-ngoyakkan kehormatannya ?”. Dan orang yang berdebat
mengatakan dalam perdebatannya: “Apakah engkau tidak melihat, bagaimana aku mengejekkannya
? bagaimana aku menyebutkan keburukan-keburukan nya, sehingga aku memalukannya
? bagaimana aku memandang enteng kepadanya ? dan bagaimana aku kacaukan
perkataan terhadapnya ?”. Orang yang bermu’amalah (perniagaan) melakukan
perhubungan dalam perniagaan mengatakan: “Apakah anda tidak melihat, bagaimana
aku melakukan barang palsu kepadanya ? bagaimana aku menipunya ? bagaimana aku
melakukan tipu daya pada harta ? bagaimana aku membuatnya menjadi goblok ?”.
Maka contoh tadi dan yang serupa dengan itu, dosa-dosa kecil menjadi dosa
besar. Dosa-dosa itu sesungguhnya membinasakan. Dan apabila didorongkan hamba
kepadanya dan setan menang pada membawanya kepada dosa itu, maka seyogyalah dia
itu berada dalam malapetaka dan kesedihan, disebabkan menangnya musuh atas
dirinya. Dan disebabkan jauhnya daripada Allah Ta’ala.
Maka
orang sakit yang merasa gembira dengan pecah cangkirnya, yang di dalamnya ada
obat, sehingga ia merasa terlepas dari kepedihan meminumnya, niscaya tidak ada
harapan akan sembuhnya. Di antara sebab-sebab itu, ia memandang enteng, dengan
ditutupkan oleh Allah kekurangannya, kesantunan Allah kepadanya dan
ditangguhkan oleh Allah akan dirinya. Ia tidak tahu, bahwa Allah menangguhkan
itu, adalah sebagai kutukan, supaya bertambah dengan ketangguhan tersebut,
sebagai dosa. Lalu ia menyangka, bahwa ketetapannya dalam perbuatan-perbuatan
maksiat, adalah pertolongan dari Allah Ta’ala. Maka yang demikian itu, karena
ia merasa aman dari rencana Allah. Dan bodohnya dengan tempat-tempat
terperdaya, pada jalan Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Mereka
mengatakan dalam hati mereka: mengapa Allah tidak mengazabkan kita karena
perkataan kita itu ? cukuplah untuk mereka neraka jahannam, mereka masuk kesitu
dan itulah tempat yang amat buruk !”. S58 Al Mujaadalah ayat8. Di antara
sebab-sebab itu, bahwa ia mengerjakan dosa itu dan dilahirkan nya, dengan
menyebutkannya sesudah dikerjakannya. Atau dikerjakannya pada tempat yang dapat
disaksikan orang lain. Maka yang demikian itu sesungguhnya penganiayaan
daripadanya kepada yang ditutupkan oleh Allah, yang telah diturunkanNya tirai
itu di atasnya. Dan menggerakkan kepada kegemaran kejahatan pada siapa yang
diperdengarkannya akan dosanya. Atau dipersaksikan akan perbuatannya. Maka
kedua macam ini, adalah penganiayaan yang bercampur kepada penganiayaannya.
Maka beratlah penganiayaan itu dengan demikian. Jikalau bertambahlah kepada
yang demikian itu, penggemaran kepada orang lain padanya, dan membawa orang
lain kepadanya dan menyiapkan sebab-sebab bagi yang demikian, niscaya jadilah
itu penganiayaan ke-4. Dan menjadi kejilah hal yang demikian. Dan pada hadits,
disebutkan: “Setiap manusia itu dimaafkan, kecuali orang-orang yang mengatakan
dengan suara keras. Salah seorang mereka tidur (bermalam) di atas dosa, yang
telah ditutupkan oleh Allah. Lalu pada pagi hari, ia menyingkapkan yang
ditutupkan Allah itu dan ia memperkatakan tentang dosanya”. Fahamilah ini !
karena di antara sifat-sifat Allah dan nikmatNya, ialah: melahirkan
(menampakkan) yang bagus dan menutupkan yang keji. Dan IA tidak merusakkan yang
tertutup itu. Maka melahirkannya (menampakkannya) adalah kufur bagi nikmat
tersebut. Setengah mereka mengatakan: “Janganlah engkau berbuat dosa ! kalau
telah terjadi dan tak dapat dielakkan, maka janganlah engkau menggalak kan
orang lain kepadanya. Maka engkau menjadi berbuat dua dosa”. Karena itulah,
Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang munafik yang laki-laki dan orang-orang
yang munafik perempuan, satu dengan yang lain sebangsa (sama). Mereka menyuruh
membuat yang salah dan melarang membuat yang baik”. S 9 At Taubah ayat 67.
Setengah orang salaf (orang-orang terdahulu) mengatakan: “Tiadalah manusia
membinasakan kehormatan saudaranya yang lebih besar, daripada menolongnya
kepada perbuatan maksiat. Kemudian dipermudahkannya perbuatan maksiat tersebut
kepada saudaranya itu”. Di antara sebab-sebab itu, bahwa yang berbuat dosa itu
adalah orang yang berilmu (orang ‘alim), yang diikuti orang. Maka apabila
diperbuatnya, dimana dilihat orang yang demikian itu daripadanya, niscaya
besarlah dosanya. Seperti: orang ‘alim itu memakai sutera, mengendarai
kendaraannya yang beremas, mengambil harta syubhat (yang diragukan halalnya)
dari harta raja-raja, datangnya kepada raja-raja, pulang-perginya kepada
raja-raja, menolong raja-raja itu dengan membiarkan perbuatan munkar
dikerjakannya, melancarkan lidah memperkatakan kehormatan orang, melampaui
batas dengan lidah pada perdebatan dan maksudnya memandang rendah orang itu,
menyibukkan diri dengan ilmu, yang maksudnya, ialah kemegahan, seperti
bertengkar dan berdebat. Maka semua yang tersebut itu, adalah dosa, yang akan
dituruti orang berilmu itu di atas dosa-dosa tersebut. Maka matilah orang
berilmu itu dan tinggallah kejahatannya beterbangan di alam ini, dalam masa
yang panjang. Maka amat baiklah bagi orang, yang apabila ia mati, lalu matilah
dosa-dosanya bersamanya.
Pada
hadits disebutkan: “Barangsiapa membuat suatu sunnah yang jahat, maka atas
dirinya sendiri dosanya dan dosa orang yang mengerjakan sunnah tersebut. Tiada
akan kurang dari dosa mereka sedikitpun”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Kami
tuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas peninggalan mereka”. S
36 Ya Sin ayat 12. Bekas-bekas itu, ialah: apa yang menyambung dari
perbuatan-perbuatan, sesudah selesainya perbuatan itu dan yang mengerjakannya.
Ibnu Abbas ra mengatakan: “Celaka bagi orang berilmu dari pengikut-pengikutnya.
Ia tergelincir sesekali, lalu ia kembali dari kegelincirannya itu. Dan manusia
memikul kegelinciran tersebut, lalu mereka berjalan dengan kegelinciran itu ke
segala pelosok”. Sebahagian mereka mengatakan: “Contoh kegelinciran orang
berilmu itu, adalah seperti pecahnya kapal yang akan tenggelam dan akan
tenggelamlah isi-isinya”.
Dalam
cerita-cerita Bani Israel (Yahudi), disebutkan, bahwa: seorang berilmu adalah
menyesatkan manusia dengan perbuatan bid’ah (yang diada-adakan). Kemudian,
datang kepadanya taubat, lalu ia berbuat untuk memperbaikinya dirinya dalam
masa yang lama. Maka diwahyukan oleh Allah Ta’ala kepada nabi mereka: “Katakanlah
kepada orang berilmu itu! sesungguhnya dosa engkau, jikalau ada yang menyangkut
diantara Aku dan engkau, niscaya Aku mengampunkan nya karena engkau(nabi). Akan
tetapi, bagaimana mengenai orang yang engkau sesatkan dari hamba-hambaKU ? Maka
Aku masukkan mereka ke dalam neraka”. Maka dengan ini,
jelaslah, bahwa urusan ulama itu membahayakan. Atas pundak mereka 2 tugas:
pertama: meninggalkan dosa. Kedua: menyembunyikan dosa itu. Sebagaimana
dosa-dosa mereka berlipat-ganda diatas dosa-dosa itu, maka begitu pula berlipat
ganda pahala mereka diatas perbuatan-perbuatan kebaikan, apabila mereka
dituruti orang banyak.
Apabila
orang berilmu (‘alim) itu meninggalkan berbuat kecantikan dan kecenderungan
kepada dunia dan ia merasa cukup dari dunia itu dengan sedikit saja, dari
makanan dengan makanan penting saja, dari pakaian dengan kain tua saja, lalu ia
diikuti orang dan para alim ulama dan orang awam mengikutinya, maka adalah
baginya seperti pahala mereka. Dan jikalau orang berilmu itu cenderung kepada
berbuat kecantikan, niscaya cenderunglah tabiat (karakter) orang-orang di
bawahnya, kepada menyerupainya. Dan mereka itu tidak sanggup atas berbuat
kecantikan itu, selain dengan berkhidmat (melayani) sultan-sultan
(penguasa-penguasa) dan mengumpulkan harta benda haram. Dan itulah yang menjadi
sebab pada semua yang demikian. Maka gerak-gerik para ulama pada dua perihal:
tambah dan kurang itu, berlipat-gandalah bekas-bekasnya. Adakalanya: dengan
untung dan adakalanya dengan rugi. Dan kadar ini mencukupilah kiranya pada penguraian-penguraian
dosa, yang taubat itu, ialah: taubat daripadanya.
SENDI KETIGA:
tentang kesempurnaan taubat, syarat-syaratnya dan kekekalannya sampai akhir
umur.
Telah kami sebutkan dahulu,
bahwa taubat itu, adalah ibarat dari penyesalan yang mewarisi cita-cita dan
maksud. Dan penyesalan itu diwariskan oleh ilmu, dengan adanya perbuatan
maksiat itu mendindingi antara dia dan yang dicintainya. Dan masing-masing dari
ilmu, penyesalan dan cinta-cinta itu, mempunyai kekekalan (berjalan terus) dan
kesempurnaan. Dan untuk kesempurnaannya itu ada tanda. Dan untuk kekekalannya
itu, mempunyai syarat-syarat. Dari itu maka tidak boleh tidak daripada
penjelasan syarat-syarat tersebut.
Adapun
ilmu, maka memandang kepadanya adalah memandang tentang sebab taubat dan akan
datang penjelasannya. Dan penyesalan, ialah: perasaan kesakitan hati ketika
merasainya, dengan hilangnya yang dicintai. Dan tandanya, ialah: berkepanjangan
keluhan, kegundahan hati, ketetesan air mata, berkepanjangan menangis dan
berpikir. Orang yang merasakan sebagai siksaan yang menimpa kepada anaknya atau
kepada sebahagian orang-orang yang dimuliakannya, niscaya lamalah atas dirinya
musibah tersebut dan tangisnya. Dan manakah lagi yang mulia, yang lebih mulia
kepadanya daripada dirinya sendiri? dan manakah siksaan yang lebih keras dari
neraka ? dan manakah sesuatu yang lebih menunjukkan kepada turunnya siksaan,
daripada perbuatan-perbuatan maksiat ? dan manakah yang memberitahukan, yang
lebih benar daripada Allah dan rasulNya ? kalau diceritakan kepadanya oleh
seorang insan, yang dinamakan: dokter, bahwa penyakit anaknya yang sakit itu,
tiada akan sembuh dan anak itu akan mati, niscaya lamalah kegundahannya dari
dalam ketika itu juga. Dan tidaklah anaknya itu, yang lebih mulia dari dirinya
sendiri. Dan tidaklah dokter itu yang lebih tahu dan yang lebih benar daripada
Allah dan RasulNya. Dan tidaklah mati itu, yang lebih berat dari neraka. Dan
tidaklah sakit itu yang lebih menunjukkan kepada mati, daripada
perbuatan-perbuatan maksiat, kepada kemarahan Allah Ta’ala dan yang membawanya
ke neraka. Maka kepedihan penyesalan itu, manakala adalah lebih berat, niscaya
untuk penutupan dosa dengan penyesalan tersebut, adalah lebih besar harapan.
Dan tanda benarnya penyesalan itu, ialah: kehalusan hati dan berderainya air
mata. Pada hadits disebutkan: “Duduk-duduklah bersama orang-orang yang
bertaubat. Sesungguhnya mereka itu mempunyai hati yang lebih halus (halus
perasaannya)”. Di antara tanda kehalusan hati itu, ialah: bahwa melekatnya
kepahitan dosa-dosa itu dalam hatinya, sebagai ganti dari kemanisannya. Lalu
bergantilah kecenderungan hati, dengan kebencian. Dan kegemaran, dengan
keliaran hati daripadanya.
Dan
cerita-cerita kaum Bani Israil (kaum Yahudi) disebutkan, bahwa Allah SWT
berfirman kepada sebahagian nabi-nabiNya, dimana nabi itu telah bermohon kepada
Allah Ta’ala, untuk diterima taubat seorang hamba, yang telah
bersungguh-sungguh bertahun-tahun beribadah. Dan ia tidak melihat akan diterima
taubatnya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Demi kemuliaanKu dan keagunganKu !
jikalau kiranya bersyafaat isi langit dan bumi untuk hamba itu, niscaya tidak
juga AKU menerima taubatnya. Dan kemanisan dosa yang ia bertaubat daripadanya,
ialah: dalam hatinya”. Kalau anda bertanya, bahwa dosa itu ialah amal
perbuatan, yang disukai menurut tabiat (naluri). Maka bagaimana memperoleh
kepahitannya ? maka aku menjawab, bahwa barangsiapa meminum air madu, yang ada
di dalamnya racun dan tidak diketahuinya dengan perasaan lidah dan ia merasa
enak dengan madu tersebut, kemudian ia sakit dan lama sakitnya dan kepedihannya
dan berguguran rambutnya dan lumpuh anggota badannya, maka apabila diberikan
lagi kepadanya air madu yang di dalamnya seperti racun itu dan ia dalam keadaan
sangat lapar dan ingin kepada kemanisan, maka adakah dirinya lari dari madu
tersebut atau tidak ? kalau anda menjawab: tidak, maka itu adalah perlawanan
terhadap yang disaksikan dan yang mudah diketahui. Akan tetapi, kadang-kadang
dirinya lari juga dari air madu, yang tidak ada di dalamnya racun. Karena
serupa dengan yang ada racun. Maka didapatilah, bahwa orang yang bertaubat akan
pahitnya dosa, seperti itu juga adanya. Dan yang demikian itu, karena
diketahuinya bahwa setiap dosa, maka rasanya itu, adalah rasa air madu. Dan
kerjanya adalah kerja racun. Dan tidaklah shah taubat dan tidak benar, kecuali
dengan iman yang seperti ini. Tatkala sulitnya iman yang seperti ini, niscaya
sulitlah taubat dan orang-orang yang taubat. Maka tidak ada yang anda lihat,
selain orang yang berpaling daripada Allah Ta’ala. Karena memandang enteng
dengan dosa, berkekalan di atas dosa-dosa itu. Maka inlah syaratnya
kesempurnaan penyesalan. Dan seyogyalah bahwa penyesalan itu berkekalan sampai
mati. Dan seyogyalah ia memperoleh akan kepahitan ini pada semua dosa, walaupun
belum pernah dikerjakannya sebelumnya. Sebagaimana didapati oleh orang yang
meminum racun dalam air madu, akan lari hatinya dari air dingin, manakala
diketahuinya, bahwa dalam air dingin tersebut, ada racun seperti itu. Karena
melarat itu tidaklah dari air madu, akan tetapi dari apa yang di dalam air madu
itu. Dan tidaklah melaratnya orang yang bertaubat dari curi dan zina, dari segi
bahwa itu curi dan zina. Akan tetapi dari segi bahwa yang demikian itu
menyalahi perintah Allah Ta’ala. Dan yang demikian itu berlaku pada tiap-tiap
dosa.
Adapun
maksud yang tergerak daripadanya, ialah: kehendak memperoleh kembali yang telah
terlanjur itu. Maka bagi yang demikian itu ada hubungannya dengan masa
sekarang. Yaitu, yang mengwajibkan meninggalkan setiap yang terlarang. Yaitu:
yang tiada begitu jelas baginya. Dan melaksanakan setiap yang fardlu (wajib),
ialah: dihadapkan kepadanya pada sekarang juga. Dan mempunyai hubungan pula
dengan masa yang lalu. Yaitu: memperoleh kembali apa yang telah telanjur. Dan
juga hubungan dengan masa mendatang. Yaitu: berkekalan taat dan berkekalan
meninggalkan maksiat sampai mati.
Syarat
shahnya taubat pada yang menyangkut dengan masa yang lampau, ialah: bahwa ia
mengembalikan pikirannya kepada hari pertama ia dewasa dengan umur atau dengan
mimpi (ihtilam). Dan ia memeriksa dari apa yang telah lalu dari umurnya, tahun
ke tahun, bulan ke bulan, hari ke hari dan nafas ke nafas. Dan ia memperhatikan
kepada perbuatan-perbuatan taat, apa yang ia teledor daripadanya. Dan kepada
perbuatan-perbuatan maksiat, apa yang telah diperbuatnya dari perbuatan maksiat
itu. Kalau ia meninggalkan shalat atau ia mengerjakan shalat dengan kain
bernajis atau ia mengerjakan shalat dengan niat yang tidak betul, karena
kebodohannya dengan syarat niat, maka diqodokannya shalat itu dari akhirnya
shalat yang dikerjakannya tadi. Kalau ia ragu tentang bilangan apa yang telah
luput dari shalat itu, niscaya dihitungnya dari masa kedewasaannya. Dan
ditinggalkannya kadar yang ia yakin, bahwa itu telah dilaksanakannya. Dan
diqodokannya yang sisanya. Dan boleh ia mengambil yang demikian itu, dengan
keras dugaannya. Dan ia sampai kepada yang demikian, di atas jalan penyelidikan
dan berfikir sungguh‑sungguh (ijtihad).
Adapun
puasa, maka kalau ditinggalkannya dalam perjalanan (bermusafir) dan tidak
diqodokannya atau ia buka puasa itu dengan sengaja atau ia lupa niat di malam
hari dan tidak diqodokannya, maka hendaknya diketahuinya semua yang tersebut
itu dengan penyelidikan dan berfikir sungguh‑sungguh. Dan ia berbuat dengan
mengqodokannya.
Adapun
zakat, maka dihitungnya semua hartanya dan bilangan tahun, dari permulaan dimilikinya
harta itu. Tidak dari masa ia dewasa. Karena zakat itu sesungguhnya wajib pada
harta anak kecil. Maka dibayarnya apa yang diketahuinya dengan keras dugaan,
bahwa itu dalam tanggungan nya. Kalau dibayarnya, tidak di atas cara yang
sesuai dengan mazhabnya, seperti: tidak diserahkannya kepada 8 jenis atau ia
mengeluarkan ganti, sedang dia atas mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i ra, maka ia qodo
semua yang demikian. Karena yang demikian itu, tidak sekali-kali memadai.
Hitungan (hisab) zakat dan mengetahui yang demikian itu, panjang uraiannya. Dan
memerlukan padanya kepada penelitian yang jernih. Dan harus ia menanyakan cara
mengeluarkan zakat itu pada para ulama.
Adapun
haji, maka kalau ia telah mempunyai kesanggupan pada sebahagian tahun-tahun
yang lalu dan tidak sepakat baginya untuk keluar pergi haji dan sekarang ia
telah bangkrut, maka haruslah atasnya keluar ke haji itu. Kalau ia tidak mampu
serta kebangkrutan itu, maka haruslah ia berusaha dari harta halal, kadar bekal
yang mencukupi. Kalau ia tidak mempunyai usaha dan tidak mempunyai harta, maka
harus ia meminta kepada manusia, untuk diserahkan kepadanya dari zakat atau sedekah-sedekah, apa yang dapat ia
melakukan haji itu. Karena, jikalau ia mati sebelum haji, niscaya ia mati dalam
keadaan maksiat. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mati dan belum naik haji, maka
hendaklah ia mati, kalau dikehendakinya Yahudi. Dan kalau dikehendakinya
Nasrani”.
Kelemahan
yang datang sesudah mampu, tidaklah gugur haji daripadanya. Maka ini adalah
jalan pemeriksaannya dari perbuatan-perbuatan taat dan memperoleh nya kembali.
Adapun perbuatan-perbuatan maksiat, maka wajib ia memeriksakannya dari
permulaan dewasanya, dari pendengarannya, penglihatan nya, lidahnya, perutnya,
tangannya, kakinya, kemaluannya dan anggota-anggota badannya yang lain.
Kemudian, ia memperhatikan pada semua harinya dan jamnya. Dan ia uraikan pada
dirinya, dewan perbuatan maksiatnya, sehingga ia melihat kepada semua perbuatan
maksiat, dosa kecilnya dan dosa besarnya. Kemudian, ia memandang pada yang
demikian itu. Maka yang ada dari yang demikian itu, di antaranya dan Allah
Ta’ala, dari segi yang tiada menyangkut dengan perbuatan kezaliman kepada
hamba-hamba Allah, seperti memandang kepada wanita yang bukan mahram, duduk
dalam masjid serta berhadats janabah, memegang Mash-haf (Alquran), tanpa
wudlu’, i’tiqad (keyakinan) bid’ah (yang diada-adakan), minum khamar, mendengar
yang sia-sia dll dari itu, dari apa yang tidak menyangkut dengan perbuatan
kezaliman kepada hamba-hamba Allah. Maka taubat dari yang demikian itu, ialah:
dengan penyesalan dan bersedih hati atas perbuatan maksiat itu. Dan dengan
menghitung kadarnya dari segi besar dan waktu. Dan dicari bagi tiap-tiap
perbuatan maksiat, daripadanya yang baik, yang bersesuaian dengan maksud
tersebut. Maka ia kerjakan dari perbuatan-perbuatan kebaikan, menurut kadar
perbuatan-perbuatan kejahatan itu, karena mengambil dari sabda Nabi saw:
“Bertaqwalah kepada Allah, di mana saja engkau berada. Dan iringilah kejahatan
itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskan kejahatan”. Akan
tetapi juga dari firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik
menghilangkan perbuatan-perbuatan buruk”. S 11 Hud ayat 114. Maka mendengar
yang sia-sia itu ditutup (hilang dosanya) dengan mendengar pembacaan Alquran
dan dengan duduk pada majlis dzikir (tempat berdzikir kepada Allah Ta’ala).
Duduk dalam masjid dengan janabah (hadats besar) ditutup dengan i’tikaf dalam masjid
serta melaksanakan ibadah. Memegang Mash-haf (Alquran) dengan berhadats ditutup
dengan memuliakan Mash-haf, banyak membaca Alquran dari Mash-haf dan banyak
menciumnya. Dan dengan menuliskan Alquran dan mewakafkannya. Minum khamar
ditutup dengan menyedekahkan minuman halal, yang lebih baik dan yang lebih
disukainya. Menghitung semua perbuatan maksiat itu tidak mungkin. Hanya
dimaksudkan, ialah menempuh jalan yang berlawanan.
Penyakit
itu diobati dengan lawannya. Maka setiap kegelapan yang meninggi pada hati
dengan perbuatan maksiat, tiada akan dihapuskan, selain oleh nur (cahaya) yang
meninggi padanya dengan perbuatan baik, yang melawani perbuatan maksiat
tersebut. Yang berlawan-lawanan itu, ialah: yang bersesuaian. Maka karena
itulah, seyogyanya bahwa setiap kejahatan dihapuskan dengan kebaikan dari
jenisnya. Akan tetapi, yang berlawanan dengan dia. Maka putih itu dihilangkan
dengan hitam. Tidak dengan panas dan dingin. Keberangsuran dan pentahkikan ini
adalah: termasuk yang halus pada jalan penghapusan itu. Maka harapan padanya
itu lebih benar dan kepercayaan kepadanya lebih besar, daripada selalu
membiasakan kepada satu macam dari ibadah-ibadah. Walaupun yang demikian itu
juga membekas pada penghapusan. Maka inilah hukum diantara hamba itu dan Allah
Ta’ala. Dan menunjukkan, bahwa sesuatu itu ditutup (hilang dosanya) dengan
lawannya. Bahwa mencintai dunia itu, adalah kepala setiap kesalahan. Dan
bekas mengikuti dunia dalam hati itu, ialah: gembira dengan dunia dan sayang
kepada dunia. Maka tak dapat tidak, bahwa setiap hal yang menyakitkan, yang
menimpa orang muslim, yang tidak kena hatinya dengan sebab tersebut dari dunia,
niscaya itu adalah kafarat (penutup dosa) baginya. Karena hati itu tidak tetap
dengan sukacita dan kegelapan dari kampung dukacita. Nabi saw bersabda:
“Setengah dari dosa-dosa itu, ialah: dosa-dosa yang tidak akan ditutup, selain
oleh dukacita”. Dan pada susunan kata yang lain, berbunyi: “Selain dukacita
pada mencari kehidupan”. Pada hadits ‘Aisyah menyebutkan: “Apabila dosa hamba Allah
itu banyak dan ia tidak mempunyai amalan yang akan menutupkannya (yang menjadi
penutup bagi dosa itu), niscaya dimasukkan oleh Allah Ta’ala kepada hamba tadi
kedukacitaan. Maka adalah kedukacitaan itu kaffarah (yang menutupkan)
dosa-dosanya”. Dan dikatakan, bahwa dukacita yang dimasukkan ke dalam hati dan
hamba itu tidak mengetahui, ialah: kegelapan dosa dan dukacita dengan dosa-dosa
itu. Dan hati merasakan dengan berdiri waktu hisab amal dan huru hara
pemandangan.
Kalau
anda mengatakan, bahwa kedukacitaan manusia itu, biasanya menyangkut dengan
harta, anak dan kemegahannya. Dan itu suatu kesalahan. Maka bagaimana itu
menjadi penutup dosa ?. Ketahuilah kiranya, bahwa kecintaan itu suatu kesalahan
dan tidak mempunyai kecintaan itu suatu penutup dosa. Dan jikalau ia
bersenang-senang dengan yang tersebut itu, niscaya sempurnalah kesalahan.
Diriwayatkan,
bahwa Jibril as masuk ke tempat Yusuf as dalam penjara. Lalu Yusuf as bertanya
kepadanya: “Bagaimana aku tinggalkan orang tua yang malang itu ?”. Lalu Jibril
as menjawab: “Ia gundah hati kepada engkau, sebab gundahnya hati 100 kehilangan
anak”. Yusuf as lalu bertanya: “Apakah yang diperolehnya di sisi Allah ?”.
Jibril as menjawab: “Pahala 100 orang syahid”. Jadi, dukacita juga menutupkan
(menjadi penutup dosa) bagi hak-hak Allah. Maka inilah hukum, apa yang di
antaranya dan Allah Ta’ala !
Adapun
perbuatan kezaliman terhadap hamba-hamba Allah, maka padanya juga maksiat dan
pelanggaran atas hak Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala melarang
juga daripada perbuatan zalim terhadap hamba. Maka apa yang menyangkut
daripadanya dengan hak Allah Ta’ala, niscaya dapat diperolehnya kembali, dengan
penyesalan dan pengeluhan. Dan meninggalkan yang seperti itu pada masa
mendatang dan berbuat dengan kebaikan-kebaikan yang menjadi lawan dari
kejahatan-kejahatan itu. Maka seimbanglah perbuatan menyakitkan manusia, dengan
berbuat kebaikan kepadanya. Perampasan harta mereka ditutup dengan bersedekah,
dengan miliknya yang halal. Mengambil kehormatan mereka dengan umpatan dan
celaan, ditutup dengan pujian kepada ahli agama dan melahirkan apa yang dikenal
dari perkara-perkara kebajikan, dari teman-teman dan orang-orang yang seperti
ahli agama itu. Membunuh jiwa orang ditutup dengan memerdekakan budak. Karena
yang demikian itu menghidupkan kembali. Karena hamba itu tidak ada (mafqud)
bagi dirinya dan ada (maujud) bagi tuannya. Dan memerdekakan itu adalah
pengadaan kembali, di mana manusia tidak mampu yang lebih banyak dari itu. Maka
seimbanglah peniadaan dengan pengadaan. Dan dengan ini, anda dapat mengetahui,
bahwa apa yang telah kami sebutkan dahulu, dari perjalanan jalan yang
berlawanan pada penutupan dosa dan penghapusannya, dapat dipersaksikan pada agama,
di mana penutupan dosa pembunuh itu, dengan memerdekakan budak. Kemudian,
apabila diperbuat yang demikian seluruhnya, niscaya tidak melepaskannya dan
tidak memadai, selama ia tidak keluar dari perbuatan zalim kepada hamba-hamba
Allah. Perbuatan zalim kepada hamba-hamba itu, adakalanya pada diri atau harta
atau kehormatan atau hati. Aku maksudkan dengan yang demikian, ialah: menyakiti
semata-mata.
Adapun
diri, maka kalau berlaku atasnya pembunuh karena tersalah, maka taubatnya,
ialah: dengan menyerahkan diyat (denda dengan harta) dan sampainya diyat itu
kepada yang berhak menerimanya. Adakalanya dari yang membunuh atau dari
keluarganya. Dan itu dalam tanggungannya, sebelum sampai kepada yang berhak.
Kalau pembunuhan itu karena sengaja, yang mengwajibkan qishash (ambil bela), maka
taubatnya, ialah dengan qishash. Kalau pembunuh itu tidak dikenal, maka harus
ia memperkenalkan diri pada wali yang terbunuh. Dan wali itu akan menghukumnya
pada nyawanya. Kalau ia mau, ia dapat memaafkannya. Dan kalau ia mau, ia
membunuhnya. Dan tidak gugur tanggungannya, kecuali dengan yang tersebut itu.
Dan tidak boleh baginya menyembunyikan. Dan tidaklah ini, seperti kalau ia
berzina atau meminum khamar atau mencuri atau merampok di jalanan atau
memperbuat yang mewajibkan atasnya hukuman Allah Ta’ala. Maka yang tersebut
ini, tidak harus ia dalam bertaubat, bahwa membuka kekurangan dirinya dan
merusakkan apa yang tertutup dan menuntut dari wali si terbunuh menyempurnakan
hak Allah Ta’ala. Bahkan harus atasnya mencari penutupan dengan ditutup oleh
Allah Ta’ala. Dan ia menegakkan hukuman Allah atas dirinya, dengan
bermacam-macam bersungguh‑sungguh dan penyiksaan. Maka kemaafan pada semata hak
Allah Ta’ala itu dekat kepada orang-orang yang taubat, yang menyesal. Maka
kalau urusan ini disampaikan kepada wali si terbunuh, sehingga ia menegakkan
hukuman atas orang itu, nicaya jatuhlah hukuman ini pada tempatnya. Dan adalah
taubatnya itu taubat yang hukuman, yang diterima pada sisi Allah Ta’ala, dengan
dalil apa yang diriwayatkan: bahwa Ma’iz bin Malik datang kepada Rasulullah
saw, seraya berkata: “Wahai Rasulullah ! aku sesungguhnya telah berbuat zalim
kepada diriku sendiri dan aku berzina. Dan aku sesungguhnya bermaksud agar
engkau mensucikan aku”. Rasulullah saw lalu menolak permintaan itu. Pada
keesokan harinya, ia datang lagi kepada Rasulullah saw, seraya berkata: “Wahai
Rasulullah ! aku sesungguhnya telah berbuat zina”. Rasulullah saw lalu menolak
kali yang kedua itu. Tatkala Ma’iz bin Malik tadi datang pada kali ketiga, lalu
Rasulullah saw menyuruhnya menggali sebuah lobang baginya. Kemudian, ia disuruh
menyiapkan diri, lalu ia dijatuhkan hukuman rajam (dihukum dengan dilemparkan
batu, sampai mati).
Manusia
pada yang demikian itu menjadi 2 golongan. Ada yang berkata, mengatakan: “Telah
binasa orang itu. Dan dia telah diliputi oleh kesalahannya”. Dan yang lain
mengatakan: “Tidaklah taubat, yang lebih benar dari taubat orang itu”.
Rasulullah saw lalu bersabda: “Orang itu telah bertaubat. Jikalau taubat itu
dibagi-bagi di antara umat, niscaya meluasi mereka itu”.
Al-Ghamidiyah
datang kepada Rasulullah saw, seraya berkata: “Wahai Rasulullah ! aku
sesungguhnya telah berzina. Maka sucikanlah aku !”. Rasulullah lalu menolak
permintaan wanita tersebut. Ketika pada keesokan harinya, wanita itu berkata
lagi: “Wahai Rasulullah ! mengapa engkau menolak permintaanku? kiranya engkau
mau membulak-balikkan aku, sebagaimana engkau dahulu membulak-balikkan Ma’iz ?
demi Allah, sesungguhnya aku sudah hamil”. Rasulullah saw lalu menjawab:
“Adapun sekarang, maka pergilah sehingga engkau sudah melahirkan. Tatkala
wanita tersebut sudah melahirkan, lalu ia datang lagi dengan membawa bayinya
dalam kain buruk, seraya ia mengatakan: “Inilah anak yang telah aku lahirkan”.
Rasulullah saw lalu menjawab: “Pergilah, maka susuilah dia, sehingga nanti,
engkau putuskan penyusuannya !”. Tatkala telah diputuskannya penyusuan bayi
itu, lalu ia datang lagi dengan membawa anak kecil itu. Dan pada tangannya
sekerat roti, seraya ia berkata: “Wahai Nabi Allah ! aku sudah putuskan
penyusuan anak ini. Dan ia sudah memakan makanan”. Rasulullah saw lalu
menyerahkan anak kecil itu kepada seorang laki-laki dari kaum muslimin.
Kemudian, beliau menyuruh wanita itu untuk bersiap menerima hukuman. Lalu
digali untuk wanita itu tanah, dalamnya sampai dadanya. Dan Rasulullah saw
menyuruh manusia, lalu mereka merajamkannya (melemparkannya dengan batu, sampai
ia mati). Lalu datang Khalid bin Walid membawa sebutir batu. Ia melemparkan
kepala wanita itu dengan batu tersebut. Maka terperciklah darah atas muka
Khalid. Lalu Khalid memaki wanita tersebut. Tatkala Rasulullah saw mendengar
makian Khalid kepada wanita itu, maka beliau bersabda: “Hati-hati, hai Khalid !
demi Allah yang diriku di TanganNya ! wanita itu telah bertaubat. Jikalau
sekiranya orang yang mengutip cukai barang, bertaubat seperti wanita itu,
niscaya diampunkan dosanya”. Kemudian Nabi saw menyuruh disiapkan, lalu
dilakukan shalat janazah atas wanita itu. Dan dikebumikan.
Adapun
qishash (ambil bela atas pembunuhan) dan hadd qadzaf (hukuman karena menuduh
orang berzina), maka tidak boleh tidak, daripada dihalalkan oleh yang punya hak
pada yang demikian. Kalau yang diambil itu harta, yang diambilnya dengan
merampas atau dengan khianat (melanggar kepercayaan) atau penipuan pada jual
beli, dengan semacam mencampur-adukkan barang, seperti: melakukan penjualan
barang palsu atau menutup kekurangan pada barang yang dijual atau mengurangi
ongkos orang yang mencari upah atau tidak memberikan upahnya, maka semua yang
demikian itu, harus diperiksa. Tidak dari sejak batas kedewasaannya, akan
tetapi dari permulaan masa adanya. Karena apa yang wajib pada harta anak kecil,
maka wajib atas anak kecil itu mengeluarkannya sesudah ia dewasa, kalau walinya
teledor pada yang demikian itu. Kalau tidak diperbuatnya, niscaya dia itu zalim
yang dituntut atas kezalimannya. Karena sama saja tentang hak-hak kehartaan,
diantara anak kecil dan orang dewasa. Dan hendaklah ia memperhitungkan dirinya
di atas biji-bijian dan mutiara, dari permulaan dari hidupnya, sampai kepada
hari taubatnya, sebelum ia diperhitungkan (dihisab) pada hari kiamat. Dan
hendaklah ia berdebat sendiri, sebelum dia diperdebatkan. Maka orang yang tidak
memperhitungkan dirinya sendiri di dunia, niscaya lamalah di akhirat hisabnya
(perhitungan amalnya). Maka kalau sudah ada hasil jumlahnya apa yang atas
tanggungannya, dengan keras sangkaan dan semacam dari berfikir sungguh‑sungguh
yang mungkin, maka hendaklah dituliskannya. Dan hendaklah dituliskannya
nama-nama orang yang dianiayanya, seorang demi seorang. Dan hendaklah ia
mengelilingi di sudut-sudut negeri dan hendaklah dicarinya mereka. Atau
hendaklah dilunaskan hak-hak mereka. Dan hendaklah dimintanya kehalalan
(kemaafan) dari mereka. Atau hendaklah dilunaskan hak-hak mereka. Taubat inilah
yang sukar atas orang-orang yang berbuat zalim dan saudagar-saudagar. Karena
mereka tidak sanggup mencari orang-orang yang pernah mereka bermu’amalah
(berjual beli) dengan semua orang-orang itu. Dan tidak sanggup mencari para
pewaris mereka. Akan tetapi, atas masing-masing orang yang berbuat zalim atau
berniaga itu, bahwa ia berbuat dari yang demikian, apa yang disanggupinya.
Kalau ia tidak sanggup (lemah), maka tidak tinggal baginya jalan, selain ia
memperbanyak berbuat kebaikan. Sehingga kebajikan itu meluap banyaknya
daripadanya pada hari kiamat. Lalu kebaikan-kebaikannya itu diambil dan
diletakkan pada daun neraca orang-orang yang pernah dianiayanya.
Dan
hendaklah banyaknya kebaikan itu, menurut kadar banyaknya kezalimannya. Maka
sesungguhnya, jikalau tidak mencukupi kebaikannya untuk kezalimannya, niscaya
diambil dari kejahatan orang-orang yang pernah dianiayanya. Maka ia binasa
dengan kejahatan-kejahatan orang lain. Maka inilah jalan setiap orang yang
bertaubat pada penolakan kezaliman. Dan ini mengharuskan tenggelamnya umur
dalam kebaikan, jikalau panjanglah umur itu menurut lamanya masa kezaliman.
Maka bagaimanakah kiranya yang demikian itu, yang termasuk tidak diketahui ?
dan kadang-kadang ajal itu sangat dekat. Maka seyogyalah bahwa ia menyiapkan
diri bagi kebaikan. Dan waktu itu sempit, lebih berat daripada ia menyiapkan
dirinya dahulu pada perbuatan maksiat, dalam waktu yang lapang. Inilah hukum
perbuatan-perbuatan zalim yang tetap dalam tanggungannya !
adapun
harta-hartanya yang masih ada, maka hendaklah dikembalikannya kepada
pemiliknya, apa yang diketahuinya dari pemilik yang tertentu. Dan apa yang
tidak diketahuinya akan pemiliknya, maka haruslah ia bersedekah dengan harta
tersebut. Kalau bercampur harta halal dengan harta haram, maka haruslah ia
mengetahui kadar yang haram itu dengan berfikir sungguh‑sungguh. Dan ia
bersedekah dengan kadar yang demikian, sebagaimana telah dahulu penguraiannya
pada Kitab Halal dan Haram.
Adapun
jinayah (penganiayaan) pada hati dengan memperkatakan hal orang, dengan yang
menyakitinya atau yang memalukannya dengan umpatan, maka dituntut tiap-tiap
orang yang berbuat demikian dengan lidahnya atau menyakitkan hati dengan
sesuatu perbuatan dari perbuatan-perbuatannya dan hendaklah ia minta dimaafkan
pada seorang demi seorang dari mereka. Dan siapa yang telah mati atau tidak
dapat berjumpa (telah menghilang), maka habislah urusan dengan orang tersebut.
Dan tidak dapat diperoleh kembali, selain dengan memperbanyakkan berbuat
kebaikan. Supaya kebaikan itu dapat diambil daripadanya, sebagai ganti pada
hari kiamat.
Adapun
orang yang dapat dijumpainya dan orang itu memaafkannya dengan baik hati, maka
yang demikian itu adalah yang menutupkan dosanya. Dan ia harus memberitahukan
kepada orang itu, kadar penganiayaan nya dahulu dan dikemukakannya kepada orang
tersebut. Maka meminta dimaafkan secara tidak jelas itu tidak mencukupi.
Kadang-kadang, jikalau orang yang dianiayanya itu, tahu yang demikian dan
banyaknya perbuatan yang melampaui batas terhadap dirinya, niscaya hatinya tidak
mau dengan memaafkan. Dan disimpannya yang demikian itu pada hari kiamat,
sebagai suatu simpanan yang akan diambilnya dari kebaikan-kebaikan orang yang
berbuat kesalahan tadi. Atau orang itu menanggung dari kejahatan-kejahatannya.
Kalau ada dalam jumlah penganiayaan nya atas orang lain, sesuatu, jikalau
disebutkan dan diketahuinya, niscaya orang itu merasa sakit dengan
mengetahuinya. Seperti: zinanya orang itu dengan budak wanitanya atau
isterinya. Atau disebutkan dengan lidah salah satu kekurangan dari
kekurangan-kekurangannya yang tersembunyi, yang sangat menyakitkannya, manakala
diperkatakan dengan lidah. Maka yang demikian itu telah menyumbatkan kepadanya
jalan meminta maaf. Maka tiada lagi baginya, selain ia meminta maaf, kemudian
masih tinggal kezaliman itu. Lalu hendaklah ditampalkannya dengan
kebaikan-kebaikan. Sebagaimana ia menampalkan akan perbuatan kezaliman terhadap
orang yang sudah mati dan orang yang tidak dapat dijumpai (yang telah
menghilang, yang tidak diketahui tempatnya).
Adapun
menyebutkan dan memperkenalkan kekurangan orang, maka itu adalah kejahatan
baru, yang wajib diminta penghalalan daripadanya. Dan manakala ia menyebutkan
penganiayaannya dan diketahui oleh orang yang dianiayainya, lalu dirinya tidak
mau meminta maaf, niscaya tinggallah kezaliman itu atas dirinya. Maka itu
adalah haknya. Haruslah ia berkata dengan lemah lembut dan berusaha pada
memenuhi kepentingan dan maksud-maksudnya. Ia melahirkan kecintaan dan
kesayangannya kepada orang yang dianiayanya itu dengan sesuatu yang akan
mencenderungkan hatinnya kepadanya.
Sesungguhnya manusia itu adalah budak perbuatan
kebaikan. Dan setiap orang yang lari hatinya, disebabkan perbuatan jahat,
niscaya hatinya akan cenderung dengan perbuatan baik. Maka apabila hatinya
telah baik dengan banyak kasih sayang dan lemah lembutnya, niscaya dirinya
membolehkan untuk memberi maaf. Maka jikalau ia enggan juga, selain
terus-menerus tidak mau memaafkan, maka adalah kelemah-lembutan dan keminta
maafannya kepada orang tersebut, termasuk dalam jumlah perbuatan baiknya, yang
mungkin akan menampalkan, pada hari kiamat akan penganiayaannya dan hendaklah
kadar usahanya pada kesukaan dan kegembiraan hatinya dengan kasih sayang dan
lemah lembutnya itu, seperti kadar usahanya pada menyakitinya. Sehingga,
apabila salah satu daripada keduanya melawan akan yang lain atau bertambah atas
yang lain, niscaya diambil yang demikian itu, sebagai ganti daripadanya pada
hari kiamat dengan hukum Allah atasnya. Seperti orang yang menghilangkan harta
orang lain di dunia, lalu ia datangkan dengan harta yang seperti harta
tersebut, lalu orang yang punya harta itu tidak mau menerimanya dan tidak mau
melepaskannya, maka hakim akan menetapkan (memutuskan) atas orang itu dengan
menerimanya. Ia mau atau tidak mau. Maka seperti demikian juga, akan diputuskan
pada dataran tinggi hari kiamat, oleh Maha hakim dari segala hakim dan Maha
adil dari segala yang adil. Dan pada hadits yang disepakati oleh Bukhari dan
Muslim dari Kitab Ash-Shahihain (shahih Al Bukhari dan shahih Muslim) dari Abi
SA’id Al Khudri, bahwa: Nabi Allah saw bersabda: “Adakah pada orang-orang
sebelum kamu, seorang laki-laki, yang telah membunuh 99 orang. Lalu ia
menanyakan tentang orang yang terpandai dari penduduk bumi. Maka ia ditunjukkan
kepada seorang pendeta. Lalu ia datang kepada pendeta itu, seraya mengatakan,
bahwa ia telah membunuh 99 orang. Adakah baginya jalan bagi taubat ? pendeta
itu menjawab: “Tidak !”. Lalu dibunuhnya pendeta itu. Maka sempurnalah dengan
yang demikian itu, 100 orang yang dibunuhnya. Kemudian, ia menanyakan lagi,
tentang orang yang terpandai dari penduduk bumi. Lalu ditunjukkan kepada
seorang alim. Maka ia mengatakan kepada orang itu, bahwa ia telah membunuh 100
orang. Adakah baginya jalan untuk taubat? Orang alim itu menjawab: “Ada! dan
siapa yang mendindingi diantaranya dan taubat itu, maka pergilah ke bumi
(negeri) itu dan itu ! disitu ada banyak manusia yang beribadah kepada Allah
‘Azza Wa Jalla. Maka beribadahlah kepada Allah bersama mereka ! dan jangan
engkau kembali kepada bumimu (negerimu). Karena bumimu itu bumi jahat !”. Lalu
orang itu berjalan, sehingga sampai setengah jalan maka ia meninggal dunia.
Lalu bertengkarlah malaikat rahmat dan malaikat azab tentang orang tersebut.
Malaikat rahmat mengatakan, bahwa orang itu datang bertaubat, menghadap Allah
dengan hatinya. Dan malaikat azab mengatakan, bahwa orang itu tidak berbuat
kebajikan sekali-kali. Lalu datang kepada mereka, malaikat dalam bentuk anak
Adam (manusia). Maka mereka jadikan anak Adam itu sebagai orang penengah
(hakam) diantara mereka. Lalu hakam itu mengatakan: “Ukurlah diantara 2 bumi
(negeri) itu ! kemanakah diantara yang 2 itu, ia lebih dekat, maka kesitulah
dia”. Lalu mereka ukur. Dan mereka dapati, bahwa dia lebih dekat ke bumi yang
ditujunya. Maka orang itu diambil oleh malaikat rahmat”. Pada suatu riwayat:
bahwa orang itu lebih dekat ke kampung yang baik, dengan sejengkal. Maka ia
dijadikan termasuk penduduk kampung yang baik itu.
Pada
suatu riwayat: maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada bumi ini: supaya engkau
jauhkan. Dan kepada bumi ini: supaya engkau dekatkan. Dan ia berfirman:
“Ukurlah diantara keduanya !”. Lalu mereka mendapatinya kepada ini lebih dekat
dengan sejengkal. Maka diampunkan dosanya” maka dengan ini, anda ketahui, bahwa
tiada kelepasan, selain dengan bertanya neraca kebaikan, walaupun dengan
seberat atom. Maka tidak boleh tidak bagi orang yang bertaubat, daripada
memperbanyak kan amal kebajikan. Dan inilah hukum maksud yang menyangkut dengan
masa yang lalu.
Adapun
‘azam (cita-cita) yang menyangkut dengan zaman depan, maka yaitu: bahwa ia
mengikat dengan Allah suatu ikatan yang kokoh. Dan berjanji dengan dia dengan
janji yang dipercayai, bahwa ia tiada akan kembali kepada dosa-dosa itu. Dan
tidak kepada dosa-dosa yang serupa dengan dosa-dosa itu. Seperti orang yang
mengetahui, pada sakitnya, bahwa buah-buahan- umpamanya – mendatangkan melarat
baginya. Maka ia bercita-cita dengan cita-cita yang meyakinkan, bahwa ia tiada
akan memakan buah-buahan selama sakitnya belum hilang. Maka cita-cita ini
menjadi kuat pada seketika, walaupun ada tergambar, bahwa ia akan dikalahkan
oleh nafsu keinginan pada ketika yang kedua (masa mendatang). Akan tetapi, dia
tidaklah orang yang bertaubat, sebelum kokoh cita-citanya pada seketika. Dan
tidaklah akan tergambar, bahwa yang demikian itu akan sempurna bagi orang yang
bertaubat pada permulaan keadaan, selain dengan mengasingkan diri (uzlah), berdiam diri sedikit makan dan tidur dan menjaga
makanan halal. Kalau ia mempunyai harta pusaka yang halal atau ia mempunyai
perusahaan, yang dapat diusahakannya dengan perusahaan tersebut, sekedar
mencukupi, maka hendaklah dibatasi pada itu saja.
Maka
sesungguhnya kepala segala kemaksiatan, ialah: memakan haram. Maka bagaimana ia
menjadi orang yang bertaubat, serta berkekalan memakan yang haram itu ? dan
tidak memadai dengan yang halal dan meninggalkan harta syubhat (diragukan),
bagi orang yang tidak mampu meninggalkan nafsu syahwat pada yang dimakan dan
dipakai. Setengah mereka mengatakan: “Siapa yang benar pada meninggalkan nafsu
syahwat dan berjihat melawan hawa nafsu dengan dirinya karena Allah, 7 kali,
niscaya ia tidak akan mendapat percobaan (mendapat bencana) dengan nafsu
syahwat itu. Yang lain mengatakan: “Barangsiapa bertaubat daripada dosa dan
ia tetap yang demikian 7 tahun, niscaya dosa itu tidak akan kembali kepadanya
untuk selama-lamanya”. Di antara yang penting bagi orang yang bertaubat,
apabila ia bukan orang yang berilmu, ialah: mempelajari apa yang wajib atas
dirinya pada masa yang akan datang dan apa yang haram atasnya. Sehingga
memungkinkan baginya al-istiqomah (tetap pendirian pada jalan yang lurus). Dan
kalau ia tidak mengutamakan al-uzlah (mengasingkan diri), niscaya tidaklah
al-istiqomah yang mutlak itu sempurna baginya. Kecuali ia bertaubat dari
sebagian dosa, seperti: ia bertaubat dari minum khamar, zina dan merampas hak
orang umpamanya. Dan tidaklah ini taubat mutlak namanya. Sebagian
manusia mengatakan: bahwa taubat ini tidak shah. Dan ada orang-orang yang
mengatakan: shah. Kata-kata: shah pada tempat ini, adalah mujmal (tidak
terurai).
Akan
tetapi, kami akan mengatakan kepada orang yang mengatakan: tidak shah, bahwa
jikalau anda maksudkan dengan perkataan itu, bahwa meninggalkan sebagian dosa
tidak berfaedah sekali-kali, bahkan adanya seperti tidak ada, maka alangkah
besarnya kesalahan anda ! maka sesungguhnya kami mengetahui, bahwa banyaknya
dosa itu adalah sebab bagi banyaknya siksaan. Dan sedikitnya dosa itu menjadi
sebab bagi sedikitnya siksaan. Dan akan kami mengatakan kepada orang yang
mengatakan: shah taubat itu, bahwa jikalau anda kehendaki dengan yang demikian,
bahwa taubat dari sebagian dosa, adalah mewajibkan penerimaan, yang
menyampaikan kepada kelepasan atau kemenangan, maka ini juga salah. Bahkan
kelepasan dan kemenangan itu, adalah dengan meninggalkan semua. Dan ini adalah
hukum zahiriah. Dan kami tidak memperkatakan mengenai yang tersembunyi daripada
rahasia-rahasia kemaafan Allah. Kalau orang yang berpendirian bahwa taubat itu
tidak shah, mengatakan: bahwa aku maksudkan dengan demikian itu, ialah: taubat
itu ibarat daripada penyesalan. Dan sesungguh nya ia menyesal dari mencuri
umpamanya, karena mencuri itu perbuatan maksiat. Tidak karena adanya pencurian
itu. Dan mustahil bahwa ia menyesal atas mencuri itu dan tidak menyesal atas
zina, kalau yang menyakitkannya itu karena perbuatan maksiat. Karena alasan
itu, melengkapi bagi mencuri dan berzina. Sebab, orang yang merasa sakit atas
pembunuhan anaknya dengan pedang, niscaya ia merasa sakit, atas terbunuhnya
dengan pisau. Karena perasaan sakitnya itu adalah disebabkan hilang yang
dikasihinya. Sama saja hilang itu, dengan pedang atau dengan pisau. Maka
seperti itu juga, perasaan sakit bagi hamba dengan hilang yang dikasihinya. Dan
yang demikian itu dengan perbuatan maksiat, sama saja ia berbuat maksiat dengan
mencuri atau berzina. Maka bagaimana ia merasa sakit atas sebagian dan tidak
kepada sebagian ? penyesalan itu adalah suatu keadaan, yang diharuskan oleh
karena tahu, bahwa perbuatan maksiat itu menghilangkan yang dikasihi, dari
segi, bahwa itu perbuatan maksiat. Maka tiadalah akan tergambar, bahwa
penyesalan itu ada pada sebagian perbuatan maksiat, tidak pada sebagian. kalau
boleh ini, niscaya boleh ia bertaubat dari minum khamar dari salah satu dua
tong besar, tidak dari tong yang lain. Maka jikalau yang demikian itu mustahil,
dari segi bahwa perbuatan maksiat pada dua khamar itu satu. Hanya dua tong
besar itu, adalah merupakan tempat semata-mata. Maka seperti itu juga, bahwa
maksiat itu sendiri alat bagi maksiat. Dan maksiat dari segi menyalahi perintah
itu, satu. Jadi, arti tidak shah, ialah: bahwa Allah Ta’ala menjanjikan bagi
orang-orang yang bertaubat itu, akan satu tingkat. Dan tingkat itu tidak akan
tercapai, selain dengan penyesalan. Dan penyesalan itu tiada akan tergambar di
atas sebagian hal-hal yang serupa. Maka penyesalan itu adalah seperti milik
yang teratur di atas penyerahan dan penerimaan. Maka apabila penyerahan dan penerimaan
itu, tidak sempurna, maka kita katakan: bahwa aqad (ikatan jual beli) itu tidak
shah, yang tidak akan berhasil padanya, buah. Yaitu: milik. Pentahkikan ini,
ialah: bahwa hasil semata-mata meninggalkan maksiat itu, akan terputus
daripadanya siksaan dari apa yang ditinggalkannya. Dan buah penyesalan itu,
ialah: penutupan dosa dari apa yang telah berlalu. Maka meninggalkan curi,
tidak akan menutupkan curi. Akan tetapi: penyesalan atas curi itu. Dan
penyesalan itu tiada akan tergambar, selain karena curi itu adalah perbuatan
maksiat. Dan yang demikian itu meratai akan semua perbuatan maksiat. Itulah
perkataan yang dapat dipahami, yang terjadi, yang meminta orang yang sadar
untuk berbicara, yang dengan penguraiannya tersingkaplah tutup.
Maka
kami akan mengatakan, bahwa taubat dari sebagian dosa itu, tiada akan terlepas,
adakalanya taubat itu dari dosa-dosa besar, tidak dari dosa-dosa kecil. Atau
dari dosa-dosa kecil, tidak dari dosa-dosa besar. Atau dari suatu dosa-dosa
besar, tidak dari dosa besar lainnya.
Adapun
taubat dari dosa-dosa besar, tidak dari dosa-dosa kecil, maka itu suatu urusan
yang mungkin. Karena ia tahu, bahwa dosa-dosa besar itu, lebih besar pada sisi
Allah dan lebih membawa kepada kemarahan Allah dan kutukanNya. Dan dosa-dosa
kecil itu lebih dekat kepada jalan kemaafan kepadanya. Maka tiada mustahil,
bahwa ia bertaubat dari yang lebih besar dan menyesal daripadanya. Seperti
orang yang berbuat kesalahan kepada keluarga raja dan permaisurinya dan berbuat
aniaya kepada kendaraannya. Maka dia itu takut pada berbuat aniaya kepada
keluarga raja dan memandang enteng pada berbuat aniaya kepada kendaraan raja.
Dan penyesalan itu, adalah menurut pandangan besarnya dosa dan berkeyakinan
adanya dosa itu menjauhkan daripada Allah Ta’ala. Dan ini mungkin adanya, pada
agama. Maka telah banyaklah orang-orang yang bertaubat pada masa-masa yang
silam. Dan tiada seorangpun dari mereka itu yang terpelihara dari dosa (orang
mashum). Maka tidaklah taubat itu meminta terpelihara dari dosa.
Dokter
kadang-kadang memperingati orang sakit dari air madu, dengan peringatan keras.
Dan memperingatinya dari gula, dengan peringatan yang lebih ringan dari itu,
atas segi yang diketahuinya, bahwa kadang-kadang tidak menampak sekali-kali
melaratnya gula. Maka si sakit itu bertaubat dengan katanya: dari air madu,
tidak dari gula. Maka ini tidak mustahil adanya. Dan kalau dimakannya keduanya
sekalian dengan hukum nafsu syahwatnya, niscaya ia menyesal atas meminum air
madu dan tidak menyesal atas meminum air gula.
Kedua, bahwa ia bertaubat dari sebagian dosa besar dan tidak dari
sebagian yang lain. Ini juga mungkin. Karena keyakinannya, bahwa sebagian dosa
besar itu lebih berat dan lebih keras dari yang lain pada sisi Allah. Seperti:
orang yang bertaubat dari membunuh, merampok, berbuat zalim dan
perbuatan-perbuatan kezaliman terhadap hamba-hamba Allah. Karena diketahuinya,
bahwa buku besar hamba-hamba itu tidak akan ditinggalkan begitu saja. Dan apa
yang ada diantaranya dan Allah, akan bersegeralah kemaafan kepadanya. Maka ini
juga mungkin, sebagaimana pada berlebih kurangnya dosa besar dan dosa kecil.
Karena dosa besar juga berlebih kurang pada dirinya dan pada keyakinan yang
memperbuatnya. Dan karena itulah, kadang-kadang ia bertaubat dari sebagian dosa
besar, yang tiada menyangkut dengan hamba, sebagaimana ia bertaubat dari minum
khamar, tidak dari zina umpamanya. Karena, jelas baginya bahwa khamar itu kunci
segala kejahatan. Dan bahwa, apabila hilang akalnya, niscaya ia mengerjakan
segala perbuatan maksiat dan dia tidak mengetahuinya. Maka menurut beratnya
minum khamar padanya, lalu membangkitlah daripadanya ketakutan, yang
mengharuskan demikian, untuk meninggalkan meminumnya pada masa
mendatang dan penyesalan atas masa yang lampau.
Ketiga, bahwa ia bertaubat dari satu dosa kecil atau dosa-dosa
kecil. Dan ia terus melakukan dosa besar, yang diketahuinya bahwa itu dosa
besar. Seperti: ia bertaubat dari mengumpat orang atau dari memandang dari
bukan mahramnya atau yang seperti itu, sedang ia berketerusan meminum khamar.
Maka ini juga hal yang mungkin. Dan segi kemungkinannya ialah, bahwa: tiada
seorangpun dari orang mu’min, melainkan dia itu takut dari
perbuatan-perbuatannya yang maksiat. Dan menyesal atas perbuatannya, sebagai
suatu penyesalan, yang adakalanya lemah dan adakalanya kuat. Akan tetapi,
kesenangan nafsunya pada perbuatan maksiat tersebut, adalah lebih kuat,
daripada kepedihan hatinya pada ketakutan padanya. Karena sebab-sebab, yang
mengharuskan kelemahan takut itu, dari karena kebodohan dan kelengahan. Dan
sebab-sebab yang mengharuskan kuatnya nafsu syahwat. Maka penyesalan itu ada.
Akan tetapi, penyesalan itu tidak mampu menggerakkan cita-cita dan tidak pula
kuat pada cita-cita itu. Jikalau ia selamat dari nafsu syahwat yang lebih kuat
daripadanya, dengan tidak menantanginya, selain oleh yang lebih lemah, niscaya
takut itu dapat memaksakan nafsu syahwat dan mengalahkannya. Dan yang demikian
itu mengharuskan untuk ditinggalkannya perbuatan maksiat. Kadang-kadang
bersangatan senangnya orang fasik itu kepada khamar. Lalu ia tidak sanggup
bersabar daripadanya. Dan adalah kesenangannya begitu saja, mengenai umpatan,
mencela orang dan memandang kepada bukan mahramnya. Dan takutnya kepada Allah
telah sampai kepada tingkat, yang dapat mencegah dari nafsu syahwat ini, tidak
yang kuat. Maka diwajibkan kepadanya oleh tentara takut, untuk membangkitkan cita-cita,
bagi meninggalkan perbuatan maksiat. Bahkan orang fasik itu akan mengatakan
pada dirinya: “Kalau aku dipaksakan oleh setan, dengan perantaraan kekerasan
nafsu syahwat, pada sebagian perbuatan maksiat, maka tidak seyogyalah aku
membuka tali kekang dan melepaskan talinya secara keseluruhan. Akan tetapi, aku
akan bermujahadah (melawannya), pada sebagian perbuatan maksiat itu. Semoga aku
dapat mengalahkan setan itu. Maka adalah paksaanku kepada setan pada sebagian
dosa itu, menjadi penutup dosa bagi sebagian dosaku”. Jikalau tidak
tergambarkan ini, niscaya tidak akan tergambar dari hal orang fasik, yang
bersembahyang dan berpuasa. Dan dikatakan kepadanya: “Jikalau adalah shalatmu
bukan karena Allah, maka tidak shah. Dan kalau karena Allah, maka tinggalkanlah
perbuatan fasik itu karena Allah ! sesungguhnya perintah Allah padanya itu
satu. Maka tidaklah tergambar, bahwa engkau masukkan dengan shalat engkau itu,
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, selama engkau tidak mendekatkan diri
dengan meninggalkan perbuatan fasik”. Dan ini mustahil, bahwa ia mengatakan:
“Allah Ta’ala mempunyai atas diriku 2 perintah. Dan bagiku atas menyalahi kedua
perintah itu, 2 siksaan aku sanggup pada salah satu dari keduanya, dengan
memaksakan setan dan lemah pada yang lain. Maka aku akan paksakan setan itu
pada yang aku sanggupi. Dan aku harap dengan mujahadahku (melawannya) padanya,
bahwa akan tertutup (menjadi penutup dosa) daripadaku, akan sebagian, yang aku
lemah daripadanya, disebabkan bersangatan nafsu syahwatku”. Maka bagaimana
tiada tergambar ini dan itu adalah keadaan tiap-tiap muslim ? karena tidak ada
orang muslim, melainkan ia menghimpunkan antara taat dan maksiat kepada Allah.
Dan tiada sebabnya, melainkan inilah ! apabila ini telah dipahami, niscaya
dapat dipahami, bahwa kerasnya ketakutan bagi nafsu syahwat pada sebagian dosa
itu, mungkin ada. Dan takut itu, apabila ada dari perbuatan yang lampau, niscaya
mewariskan penyesalan. Dan penyesalan itu mewariskan cita-cita.
Dan Nabi
saw bersabda: “Penyesalan itu taubat”. Dan tidak disyaratkan penyesalan itu
atas setiap dosa. Dan Nabi saw bersabda: “Orang yang bertaubat dari dosa,
adalah seperti orang yang tiada mempunyai dosa”. Nabi saw tidak mengatakan:
orang yang bertaubat dari dosa-dosa semuanya. Dan dengan pengertian ini,
jelaslah gugur perkataan orang yang mengatakan: bahwa taubat dari sebagian dosa
itu tidak mungkin. Karena dia itu serupa, mengenai nafsu syahwat dan mengenai
mendatangkan kemarahan Allah Ta’ala. Ya, boleh ia bertaubat dari minum khamar,
tidak dari minum nabidz: (air buah anggur). Karena keduanya itu berlebih kurang
pada kehendak kemarahan. Dan ia bertaubat dari yang banyak, tidak dari yang sedikit.
Karena banyaknya dosa itu mempunyai pengaruh pada banyaknya siksaan. Maka ia
menolong nafsu syahwat dengan kadar kelemahannya dari yang demikian. Dan ia
meninggalkan sebahagian nafsu syahwatnya karena Allah Ta’ala. Seperti orang
sakit, yang diperingati oleh dokter akan buah-buahan. Maka si sakit itu
kadang-kadang makan sedikit dari buah-buahan itu. Akan tetapi, ia tidak
memperbanyak dari buah-buahan tersebut. Maka dari ini, berhasillah, bahwa tidak
mungkin ia bertaubat dari sesuatu dan ia tidak bertaubat dari yang serupa
dengan sesuatu tersebut. Akan tetapi, tidak boleh tidak, bahwa adalah yang
telah ditaubatinya itu, berbeda bagi yang masih tinggal.
Adakalanya
pada bersangatan maksiat dan adakalanya pada kekerasan nafsu syahwat. Apabila
berlebih kurangan ini telah berhasil pada keyakinan orang yang bertaubat tadi,
niscaya tergambarlah perbedaan keadaannya, tentang takut dan sesal. Lalu
tergambarlah perbedaan keadaannya pada meninggalkan kemaksiatan. Maka
penyesalannya atas dosa dan kesetiaannya dengan cita-citanya kepada
meninggalkannya, akan menghubungkannya dengan orang yang tidak berdosa.
Walaupun ia tidak mentaati Allah pada semua perintah dan laranganNya.
Kalau
anda bertanya, adakah shah taubat orang yang lemah syahwat (impoten) dari zina
yang telah diperbuatnya sebelum datangnya impoten itu ? aku menjawab: tidak.
Karena taubat itu ibarat dari penyesalan, yang menggerakkan cita-cita kepada
meninggalkan apa yang sanggup dikerjakannya. Dan apa yang tidak sanggup
dikerjakannya, maka menjadi tidak ada dengan sendirinya. Tidak dengan
ditinggalkannya perbuatan itu. Akan tetapi, aku mengatakan, bahwa jikalau
datang kepadanya sesudah impoten itu, terbuka hati dan mengetahui hakikat/makna
kemelaratan dengan perbuatan zina yang telah dikerjakannya dan berkobar
daripadanya kebakaran jiwa, perasaan kerugian dan penyesalan, dimana jikalau
nafsu berzina masih ada padanya, niscaya kebakaran penyesalan itu akan mencegah
nafsu syahwat tersebut dan akan mengalahkannya. Maka aku mengharap, bahwa
adalah yang demikian itu menutupkan (menjadi penutup dosa) bagi dosanya dan
yang menghapuskan kejahatannya. Karena tiada berbeda pendapat lagi, bahwa
jikalau ia bertaubat sebelum datangnya impoten dan ia mati sesudah taubat itu,
niscaya ia termasuk orang-orang yang bertaubat. Walaupun tidak datang kepadanya
keadaan yang mengoncangkan nafsu syahwat dan memudahkan sebab-sebab memenuhi
nafsu syahwat itu. Akan tetapi, dia itu orang yang bertaubat, dengan pandangan,
bahwa penyesalannya telah sampai kepada tingkat yang mengharuskan berpaling
maksudnya dari berzina, jikalau maksudnya itu menampak.
Jadi,
tidak mustahil bahwa sampai kekuatan penyesalan itu pada orang yang impoten,
akan tingkat tersebut. Hanya, ia tidak mengetahuinya dari diri nya sendiri.
Sesungguhnya setiap orang yang tidak mengingini sesuatu, maka ia menaksir
dirinya sanggup meninggalkan sesuatu tadi dengan sedikit ketakutan. Dan Allah
Ta’ala meihat kepada isi hatinya dan kadar penyesalannya. Semoga ia diterima
olehnya. Bahkan, menurut yang zahir, bahwa ia akan diterimanya. Hakikat/makna
pada ini semua, kembali kepada: bahwa kegelapan maksiat itu akan tehapus dari
hati dengan dua perkara: pertama: kebakaran penyesalan. Yang satu lagi:
kesangatan berjihat melawan hawa nafsu dengan meninggalkan maksiat itu pada
masa mendatang. Dan berjihat melawan hawa nafsu itu menjadi tercegah, dengan
hilangnya nafsu syahwat. Akan tetapi, tidaklah mustahil, bahwa penyesalan itu
akan kuat, dimana ia kuat menghapuskan nafsu syahwat itu tanpa berjihat melawan
hawa nafsu. Dan jikalau tidak ini, niscaya kami mengatakan: bahwa taubat itu
tidak akan diterima, selama yang bertaubat itu tidak hidup sesudah taubat, pada
suatu masa, dimana ia berjihat melawan hawa nafsu akan dirinya pada nafsu
syahwat itu sendiri, berkali-kali yang banyak. Yang demikian itu, termasuk yang
tidak ditunjukkan oleh zahiriah agama sekali-kali atas persyaratannya. Jikalau
anda mengatakan, bahwa: apabila kita umpamakan ada dua orang yang bertaubat.
Yang seorang, dirinya telah tenang untuk meninggalkan dosa. Yang lain, masih
ada pada dirinya keinginan pada dosa. Dan ia lawan (ia berjihat melawan hawa
nafsu) dan ia cegah dirinya itu. Maka manakah yang lebih baik ? ketahuilah
kiranya, bahwa ini terdapat perselisihan ulama padanya. Ahmad bin Abil-hawari
dan para sahabat Abi Sulaiman Ad-Darani mengatakan, bahwa yang berjihat melawan
hawa nafsu itu lebih baik. Karena ia bersama taubat, mempunyai kelebihan jihad
(berjihat melawan hawa nafsu).
Para
ulama Basrah mengatakan, bahwa yang lain itu yang lebih baik. Karena, jikalau
ia lemah pada taubatnya, niscaya ia lebih mendekati kepada selamat,
dibandingkan kepada orang yang berjihat melawan hawa nafsu, yang bisa saja
datang kelesuan (kelemahan) dari berjihat melawan hawa nafsu. Apa yang
dikatakan oleh masing-masing dua golongan tadi tidak terlepas dari kebenaran
dan dari kekurangan dari kesempurnaan hakikat/makna. Yang benar, ialah: bahwa
orang yang telah terputus keinginan dirinya kepada dosa itu, mempunyai dua
keadaan:
Keadaan kesatu: Bahwa terputus keinginan dirinya itu disebabkan kelemahan
pada diri nafsu syahwat saja, maka orang yang berjihat melawan hawa nafsu itu
lebih baik dari orang ini. Karena ia tinggalkan dosa itu dengan berjihat
melawan hawa nafsu, yang menunjukkan kepada kuat dirinya dan agamanya dapat
menguasai nafsu syahwatnya. Maka itu dalil yang tegas kepada kuatnya keyakinan
dan kuatnya agama. Aku maksudkan dengan kuatnya agama, ialah: kuatnya kemauan,
yang tergerak dengan isyarat keyakinan dan dapat mencegah nafsu syahwat yang
tergerak dengan isyarat setan-setan. Maka inilah dua kekuatan, yang ditunjukkan
kepadanya dengan pasti oleh melawan hawa nafsu. Dan kata orang yang mengatakan,
bahwa ini yang lebih selamat. Karena jikalau ia lemah, niscaya ia tiada akan
kembali kepada dosa. Maka ini benar. Akan tetapi, menggunakan perkataan: lebih
baik, padanya itu salah. Dan itu, adalah seperti kata orang yang mengatakan,
bahwa: impoten lebih baik daripada jago. Karena impoten itu aman dari bahaya
nafsu syahwat. Dan anak kecil lebih baik daripada orang dewasa. Karena dia
lebih selamat. Dan orang yang tidak beruang itu lebih baik daripada raja yang
perkasa, yang dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Karena orang yang tidak beruang
itu tidak mempunyai musuh. Dan raja itu, kadang-kadang sekali ia dikalahkan dan
walaupun ia memperoleh kemenangan berkali-kali. Ini adalah perkataan orang yang
baik hati, terbatas pemandangannya atas yang zahiriah saja. Tidak mengetahui,
bahwa kemuliaan itu dalam menghadapi berbagai bahaya. Dan bahwa ketinggian itu
syaratnya, ialah menempuh tipu daya orang. Bahkan seperti di katakan oleh orang
yang mengatakan: “Pemburu yang tidak mempunyai kuda dan anjing, adalah lebih
baik dalam usaha pemburuan dan lebih tinggi tingkatnya daripada yang mempunyai
anjing dan kuda. Karena yang tidak berpunya itu akan aman dari keliaran
kudanya. Maka anggota tubuhnya akan hancur, ketika jatuh ke atas tanah. Dan
akan aman daripada akan digigit oleh anjingnya dan dianiaya oleh anjing
tersebut. Pendapat ini salah. Akan tetapi, yang mempunyai kuda dan anjing,
apabila ia kuat, lagi tahu cara mendidik kuda dan anjingnya itu, lebih tinggi
tingkat dan lebih layak memperoleh kebahagiaan memburu.
Keadaan kedua: bahwa hilangnya keinginan itu, disebabkan kuat keyakinan
dan benarnya bersungguh‑sungguh yang lalu. Karena, ia telah sampai kepada
tingkat, yang dapat mengalahkan berkobarnya nafsu syahwat. Sehingga syahwat itu
berkesopanan dengan kesopanan agama. Nafsu syahwat itu tidak berkobar, selain
dengan isyarat dari agama. Dan ia tenang, disebabkan penguasaan agama
kepadanya. Maka ini adalah tingkat tertinggi, dari orang yang berbersungguh ‑sungguh,
yang bertindak keras bagi berkobarnya nafsu syahwat dan mencegahkannya. Dan
perkataan orang yang mengatakan, bahwa bagi yang demikian itu, tidak mempunyai
kelebihan berjihad, adalah karena kurang mengetahui dengan maksud jihad itu.
Sesungguhnya jihad itu tidaklah dimaksudkan jihad itu sendiri. Akan tetapi,
yang dimaksudkan, ialah: memutuskan kebuasan musuh. Sehingga ia tidak
menarikkan engkau kepada nafsu syahwatnya. Dan kalau ia lemah dari menarik
engkau, maka ia tidak mencegah engkau dari menjalani jalan agama. Maka apabila
engkau telah dapat memaksakan musuh dan engkau berhasil mencapai maksud, maka
sesungguhnya engkau telah menang. Dan selama engkau berkekalan dalam bersungguh‑sungguh,
maka engkau sesudah itu, dalam mencari kemenangan. Contohnya, adalah seperti:
orang yang memaksakan musuh dan memperbudakkannya, dibandingkan kepada orang
yang sibuk dengan jihad pada barisan perang. Dan ia tidak tahu, bagaimana ia
menjadi selamat. Dan contohnya juga, seperti: orang yang mengajarkan anjing buruan
dan melatih kuda. Lalu keduanya itu tidur di sisinya, sesudah anjing itu hilang
buasnya dan kuda itu hilang larinya, dikaitkan kepada orang yang sibuk dengan
kekasaran memberi pengajaran sesudahnya. Telah tergelincir tentang ini, suatu
golongan. Lalu mereka menyangka, bahwa jihad itulah menjadi maksud terjauh
(terakhir). Mereka itu tiada mengetahui, bahwa yang demikian itu adalah
tuntutan untuk kelepasan dari penghalang-penghalang di jalan. Golongan yang
lain menyangka, bahwa pencegahan nafsu syahwat dan menjauhkannya secara
keseluruhan itulah yang dimaksud. Sehingga setengah mereka mencoba pada
dirinya. Lalu ia lemah dari yang demikian itu. Maka ia lalu berkata: “Ini
mustahil !” lalu ia mendustakan agama. Dan ia menempuh jalan pembolehan (aliran
serba boleh). Dan melepaskan dirinya dalam mengikuti nafsu syahwat. Semua itu
adalah bodoh dan sesat. Dan telah kami bentangkan yang demikian, dalam Kitab
“Latihan Diri” dari “Rubu’ yang membinasakan”.
Kalau
anda bertanya: “Maka apa kata anda, tentang 2 orang yang bertaubat. Yang
seorang telah lupa kepada dosanya. Dan ia tidak berbuat untuk memikirkan dosa
tersebut. Seorang lagi, menjadikan dosa itu di depan matanya. Dan senantiasa ia
merenungkan dosa itu. Dan ia membakar hatinya dengan penyesalan atas dosa tersebut.
Maka manakah di antara dua orang tadi, yang lebih utama ?". Ketahuilah
kiranya, bahwa ini juga, mereka telah berselisih paham tentang ini. Sebagian
mereka mengatakan, bahwa hakikat/makna taubat, ialah: bahwa anda menegakkan
dosa di antara dua mata anda. Sebagian yang lain mengatakan, bahwa
hakikat/makna taubat itu, ialah: bahwa anda melupakan dosa anda. Masing-masing
dari dua aliran ini, pada kami itu benar. Akan tetapi, dibandingkan kepada dua
keadaan. Dan perkataan golongan ahli suffi itu selalu dalam keadaan singkat.
Karena kebiasaan masing-masing mereka, adalah untuk menerangkan keadaan dirinya
saja. Dan tidak penting baginya keadaan orang lain. Lalu berbedalah penjawaban,
karena berbedanya keadaan. Dan ini adalah kekurangan, dengan dikaitkan kepada
cita-cita, kemauan dan kesungguhan, dimana yang empunya itu singkat perhatian
atas keadaan dirinya sendiri, yang tidak penting baginya urusan orang lain.
Karena jalannya kepada Allah, ialah dirinya. Dan tempatnya ialah hal keadaan
dirinya sendiri. Kadang-kadang jalan hamba kepada Allah itu ilmu (pengetahuan).
Maka jalan kepada Allah Ta’ala itu banyak, walaupun jalannya itu berbeda
tentang dekat dan jauh. Dan Allah Yang Maha Tahu, siapa yang lebih mendapat
petunjuk jalan, serta bersekutu pada pokok hidayah (petunjuk). Maka aku
mengatakan, bahwa tergambarnya dosa, teringat dan merasa sakit atas dosa itu, adalah sempurna
pada pihak orang permulaan. Karena apabila ia melupakan dosa itu, niscaya
tidak banyak terbakar jiwanya dengan penyesalan. Maka tidak kuat kemauannya dan
tergerak hatinya untuk menempuh jalan itu, karena yang demikian, mengeluarkan
daripadanya, kegundahan dan ketakutan yang membagi daripada kembalinya kepada
dosa yang seperti itu. Maka orang tersebut, dengan dikaitkan kepada orang yang
lalai, adalah sempurna. Akan tetapi, dengan dikaitkan kepada orang yang
menempuh jalan itu adalah kekurangan. Karena itu adalah pekerjaan yang mencegah
dari pada menempuh jalan. Bahkan, yang menempuh jalan itu, seyogyalah bahwa ia
tidak mendaki atas bukan jalan yang ditempuh. Maka jikalau telah menampak
baginya pokok-pokok kesampaian dan terbuka baginya cahaya ilmu mengenal Allah
Ta’ala dan kecemerlangan ghaib, niscaya yang demikian itu membenamkannya. Dan
tidak tinggal lagi padanya kelapangan waktu, untuk menoleh kepada hal ikhwalnya
yang lalu. Dan itu adalah kesempurnaan. Bahkan, jikalau musafir itu
dicegah dari jalan kepada sesuatu negeri, oleh sungai yang membatasi, niscaya
lamalah kepayahan musafir itu pada menyeberanginya, pada suatu masa, dimana ia
telah menghancurkan jembatannya sebelumnya maka jikalau ia duduk di tepi
sungai, sesudah diseberanginya, dimana ia menangis karena kesedihan atas
pengrobohan jembatan itu, niscaya adalah ini suatu pencegah yang lain, yang
diperbuatnya dari pencegah itu. Ya, jikalau waktu itu bukan waktu berangkat,
dengan dia berada di malam hari, maka sukarlah berjalan. Atau ada jalan pada
jalannya beberapa sungai dan ia takut atas dirinya melalui sungai-sungai itu,
maka lamalah di malam itu tangisnya dan sedihnya atas pengrobohan jembatan.
Supaya menjadi kokoh cita-citanya dengan lamanya kesedihan, untuk tidak kembali
kepada yang seperti dosa itu. Kalau berhasil baginya dari peringatan, apa yang
menjadi kepercayaan bagi dirinya, bahwa ia tidak akan kembali lagi kepada dosa
yang seperti itu, maka menempuh jalan tersebut adalah lebih utama baginya,
daripada menyibukkan diri dari mengingati pengrobohan jembatan dan
menangisinya. Dan ini tidak diketahui, selain oleh orang yang mengetahui jalan,
maksud, penghalang dan jalan yang ditempuh.
Dan
telah kami isyaratkan kepada pengisyaratannya daripadanya, pada Kitab Ilmu dan
pada rubu’ yang membinasakan. Bahkan kami mengatakan, bahwa syarat berkekalan
taubat, ialah: bahwa banyak berpikir tentang nikmat di akhirat. Supaya
bertambah keinginannya. Akan tetapi, jikalau ia seorang pemuda, maka tiada
seyogyalah ia melamakan pikirannya pada tiap-tiap yang mempunyai bandingan di
dunia, seperti: bidadari dan istana. Karena pikiran yang demikian itu
kadang-kadang menggerakkan keinginannya. Lalu ia mencari yang segera adanya
(yang di dunia) dan ia tidak senang yang lambat adanya (yang di akhirat). Akan
tetapi, seyogyalah ia merenungkan kepada lezatnya memandang kepada wajah Allah
Ta’ala saja. Dan yang demikian itu, tiada mempunyai bandingan di dunia, maka
seperti yang demikian juga, mengingati dosa, kadang-kadang menggerakkan nafsu
sayhwat. Maka orang permulaan (al-mubtadi) juga, kadang-kadang mendatangkan
melarat baginya. Lalu lupa itu adalah lebih utama baginya, ketika itu.
Dan tidaklah
mencegah anda dari pada membenarkan pentahkikkan ini, oleh apa yang diceritakan
kepada anda, daripada tangisnya Daud as dan ratapnya. Karena engkau membanding
diri engkau dengan nabi-nabi, adalah bandingan yang sangat membengkok. Karena
nabi-nabi itu, kadang-kadang mereka menempat kan perkataan dan perbuatannya
kepada tingkat yang layak dengan umatnya. Karena nabi-nabi itu, tidak diutus,
selain untuk memberi petunjuk kepada umatnya. Maka haruslah atas mereka
menggunakan dengan apa yang bermanfaat kepada umatnya, dengan penyaksiannya.
Walaupun ada yang demikian itu turun dari tingkat kedudukan mereka.
Sesungguhnya ada pada guru-guru (syaikh-syaikh), orang yang tidak menunjukkan
kepada muridnya, dengan semacam latihan pun, kecuali ia sendiri masuk bersama
muridnya dalam latihan itu. Dan ia sesungguhnya, tidak memerlukan kepada
latihan tersebut. Karena ia baru selesai dari bersungguh‑sungguh dan
mengajarkan jiwa, karena memudahkan menyuruh kepada murid.
Dan
karena itulah Nabi saw bersabda: “Adapun aku ini sesungguhnya tidak lupa, akan
tetapi aku lupa untuk mengagamakannya”. Dan pada kata yang lain: “Aku
sesungguhnya lupa, untuk mensunnahkannya”. Janganlah anda heran dari ini !
sesungguhnya umat-umat itu dalam pangkuan kasih sayang nabi-nabi adalah, seperti
anak-anak kecil dalam pangkaun kasih sayang bapak-bapaknya. Dan seperti
binatang ternak dalam pangkuan penggembala-penggembala. Apakah anda tidak
melihat seorang bapak, apabila bermaksud bertutur kata dengan anaknya yang
masih kecil, bagaimana ia turun ke tingkat tutur kata anak kecil ? seperti Nabi
saw berkata kepada Hasan (cucunya): “Kikh-kikh” tatkala Hasan mengambil sebutir
kurma dari kurma zakat dan diletakkannya pada mulutnya dan tidaklah kefasihan
Nabi saw terbatas daripada mengatakan: “Lemparlah biji kurma itu, karena dia
itu haram !”. Akan tetapi, karena beliau tahu, bahwa Hasan tidak mengerti tutur
kata Nabi saw yang demikian, lalu beliau tinggalkan tutur kata yang fasih. Dan
beliau turun kepada tutur kata yang gagap itu. Bahkan orang yang mengajari
kambing atau burung, maka ia bersuara seperti suara kambing atau bersiul, untuk
menyerupai dengan hewan dan burung tersebut, demi kelemah-lembutan pada
mengajarinya. Maka awaslah anda untuk melupakan dari contoh yang halus-halus
ini ! karena itu adalah tempat tergelincir nya tapak kaki orang-oang ‘arif
(al-‘arifin), lebih-lebih bagi orang-orang yang lalai. Kita bermohon kepada
Allah akan baiknya taufiq, dengan kasih sayang dan kemurahanNya.
PENJELASAN:
bagian-bagian hamba mengenai kekekalan taubat.
Ketahuilah kiranya, bahwa
orang-orang bertaubat itu mengenai taubatnya, adalah atas 4 tingkat:
Tingkat pertama: bahwa orang maksiat itu bertaubat dan ia bersikap istiqomah
di atas taubatnya, sampai akhir umurnya. Maka ia memperoleh kembali apa yang
telah teledor dari pekerjaannya. Dan ia tidak memperkatakan dirinya dengan
kembali kepada dosa-dosanya, selain oleh tergelincir yang tiada
terlepas manusia daripadanya, menurut kebiasaan, manakala manusia itu tidak
pada tingkatan kenabian. Maka inilah istiqomah di
atas taubat. Dan orang yang bersifat demikian adalah orang yang mendahului
kepada kebajikan, yang digantikan dengan kejahatan itu akan kebaikan. Dan nama
taubat ini, ialah: taubat nashuha dan nama diri yang tenang ini ialah: diri
yang tenteram, yang kembali kepada Tuhannya, yang rela dan direlai. Merekalah
orang-orang, yang disyarat kan dengan sabda Nabi saw kepadanya: “Telah
mendahului orang-orang yang tersendiri, yang membabi buta dengan berdzikir
(mengingati Allah Ta’ala). Diletakkan oleh dzikir itu dari mereka, akan
kesalahan-kesalahannya. Lalu mereka datang pada hari kiamat dengan ringan”.
Pada hadits tersebut itu suatu isyarat, bahwa mereka berada di bawah
kesalahan-kesalahannya, yang diletakkan oleh dzikir itu daripada mereka. Dan
orang-orang tingkat ini berada di atas beberapa derajat, dari segi
kecenderungan nya kepada nafsu syahwat. Maka dari orang yang bertaubat itu, ada
yang tenang nafsu syahwatnya, di bawah paksaan ilmu mengenal Allah Ta’ala. Lalu
lemahlah kecenderungannya dan ia tidak diganggu daripada menempuh jalan ibadah
oleh bantingan nafsu syahwat. Dan kepada orang yang senantiasa dari
kecenderungan nafsu. Akan tetapi ia sanggup berbersungguh‑sungguh dan
menolaknya. Kemudian, derajat kecenderungan juga berlebih kurang, dengan banyak
dan sedikitnya, dengan berbeda masa dan macam-macamnya. Dan seperti yang
demikian juga, mereka berbeda dari segi panjang umur. Maka dari orang yang
tiba-tiba mati, yang mendekati masanya dari taubatnya itu, bergembira, karena
keselamatannya dan matinya sebelum sekejap dari ketaubatannya. Dan dari orang
yang berpelan-pelan, yang panjang jihadnya dan sabarnya. Dan berkepanjangan
istiqomahnya dan banyak kebaikan-kebaikannya. Keadaan orang yang tersebut ini,
adalah lebih tinggi dan lebih utama. Karena setiap kejahatan itu, sesungguhnya
akan dihapuskan oleh kebaikan. Sehingga sebagian ulama mengatakan: bahwa akan
tertutup dosa yang dikerjakan oleh orang yang berbuat maksiat, dimana ia
menetap pada dosa itu 10 kali, serta benarnya nafsu syahwat. Kemudian ia
menahan diri dari dosa itu dan ia menghancurkan nafsu syahwatnya, karena takut
kepada Allah Ta’ala. Membuat syarat yang demikian ini, adalah jauh dari
kebenaran, walaupun tidak dimungkiri besarnya kesannya, kalau diumpamakan yang
demikian. Akan tetapi, tiada seyogyalah bagi murid yang lemah, bahwa menempuh
jalan ini. Lalu berkobarlah nafsu syahwatnya dan muncullah sebab-sebab,
sehingga ia menetap pada yang demikian. Kemudian, ia ingin benar, pada
mencegahnya. Karena ia tidak percaya akan keluar tali nafsu syahwat dari
pilihannya. Lalu ia tampil kepada perbuatan maksiat dan meruntuhkan taubatnya.
Akan tetapi, jalannya ialah lari daripada permulaan sebab-sebab dosa, yang
memudahkan baginya. Sehingga ia menyumbatkan jalan-jalannya atas dirinya. Dan
bersamaan dengan demikian, ia berusaha memecahkan nafsu syahwatnya, dengan apa
yang disanggupinya. Maka dengan demikian, selamatlah taubatnya pada permulaan.
Tingkat kedua: orang
yang bertaubat yang menempuh jalan istiqomah, pada induk-induk perbuatan taat
dan meninggalkan perbuatan-perbuatan keji yang menjadi dosa besar seluruhnya.
Hanya, dia itu tiada akan terlepas dari dosa-dosa yang menimpa dirinya. Tidak
dari kesengajaan dan semata-mata bermaksud. Akan tetapi, ia mendapat percobaan
dengan dosa-dosa tersebut dalam perjalanan hidup keadaan dirinya, tanpa ia
mengemukakan cita-cita kepada mengerjakan dosa-dosa itu akan tetapi, tiap kali
ia telah mengerjakan dosa-dosa itu, niscaya ia mengutuk dirinya, menyesali dan
bersedih hati. Dan ia membarukan cita-citanya, untuk berkekalan menjaga diri
dari sebab-sebab dosa yang mendatangkannya kepada dosa-dosa tersebut. Nafsu ini
layak, bahwa dia itu: nafsu yang mencela dirinya. Karena nafsu tersebut mencela
yang empunya nafsu itu, terhadap apa yang ditunjukkannya dari hal-ikhwal yang
tercela. Tidak dari cita-cita yang benar-benar, rekaan pikiran dan maksud. Ini
juga tingkat yang tinggi, walaupun turun dari tingkat pertama di atas. Dan
itulah kebanyakan hal-ikhwal orang-orang yang bertaubat. Karena kejahatan itu
diperas dengan tanah liat kejadian anak Adam, yang sedikitlah anak Adam itu
terlepas daripadanya.
Dan
penghabisan usaha sesungguhnya ialah: kebajikannya yang dapat mengalahkan
kejahatannya. sehingga timbangannya menjadi berat. Lalu daun neraca
kebajikannya menjadi lebih kuat. Adapun, bahwa daun neraca kejahatan akan
kosong secara keseluruhan, maka yang demikian itu adalah terlalu jauh untuk
dapat dicapai. Dan mereka itu mempunyai kebagusan janji daripada Allah Ta’ala,
karena Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan keji, selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhan
engkau itu luas dalam memberikan ampunan”. S 53 An Najm ayat 32. Setiap
perbuatan dosa yang demikian itu terjadi dengan dosa kecil. Tidak dengan
menetapkan dirinya di atas perbuatan dosa itu. Maka itu adalah pantas, bahwa
yang demikian itu termasuk kesalahan yang dimaafkan. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang itu, apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya
dirinya sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun kepadaNya
terhadap dosa mereka”. S 3 Ali Imran ayat 135. Allah Ta’ala memuji mereka serta
mereka itu menganaiya dirinya sendiri adalah karena penyesalan mereka dan
mereka mencaci dirinya sendiri terhadap perbuatan dosa tersebut. Dan kepada
tingkat yang seperti ini, diisyaratkan dengan sabda Nabi saw, menurut yang
diriwayatkan Ali ra: “Yang terbaik dari kamu, ialah: tiap-tiap orang yang
mendapat percobaan, yang bertaubat”. Pada hadits lain, ialah: “Orang mu’min itu
adalah seperti tangkai padi, sewaktu-waktu ia berputar dan sewaktu-waktu ia
cenderung. Pada hadits disebutkan: “Tak boleh tidak bagi orang mu’min, dari
dosa yang diperbuatnya dari waktu ke waktu”. Artinya: dari ketika ke ketika
yang lain. Semua yang demikian itu, adalah dalil-dalil yang meyakinkan, bahwa
sekedar itu tidaklah meruntuhkan taubat. Dan orang yang mempunyai taubat
tersebut, tidaklah dihubungkan dengan derajat orang-orang yang berkekalan dengan
dosa. Dan orang yang menganggap putus asa, orang yang seperti ini dari derajat orang-orang yang bertaubat, adalah
seperti dokter (tabib) yang merasa putus asa orang sehat daripada kekal
kesehatannya, disebabkan apa yang dimakannya, dari buah-buahan dan makanan-makanan
panas, sekali-kali, tanpa terus-menerus dan berkekalan. Dan seperti seorang
ahli fiqh (al-faqih), yang merasa putus asa bagi seorang yang mempelajari ilmu
fiqh, untuk mencapai derajat al-fuqaha (ahli ilmu fiqh), disebabkan
kelemahannya daripada meneruskan dengan berulang-ulang dan penyangkutan pada
waktu-waktu yang jarang diperbuat, yang tiada berkepanjangan dan tiada banyak.
Yang demikian itu menunjukkan kepada kekurangan dokter dan ahli fiqh. Bahkan
ahli fiqh pada agama, ialah: orang yang tiada merasa putus asa bagi makhluk
daripada derajat-derajat kebahagiaan, dengan yang bersesuaian bagi mereka, dari
waktu-waktu terluang dan mengerjakan kejahatan-kejahatan yang terjadi sepintas
lalu.
Nabi saw
bersabda: “Setiap anak Adam itu berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang
berbuat kesalahan, ialah: orang-orang yang bertaubat, yang meminta ampun”. Nabi
saw bersabda pula: “Orang mu’min itu lemah, lagi penampal. Maka mereka yang
terbaik ialah: orang yang mati diatas penampalannya”. Artinya: lemah disebabkan
dosa-dosa yang diperbuatnya, yang menampal dengan taubat dan penyesalan. Allah
Ta’ala berfirman: “Kepada orang-orang itu diberikan upah 2 kali lipat,
disebabkan kesabaran mereka dan menolak kejahatan dengan kebaikan”. S 28 Al
Qashash ayat 54. Mereka tidak disifatkan sekali-kali, dengan tiada kejahatan.
Tingkat
ketiga: bahwa ia
bertaubat dan berkekalan di atas istiqomah disewaktu-waktu. Kemudian, ia
dikerasi oleh nafsu syahwat pada sebagian dosa. Lalu ia tampil pada dosa itu
dengan benar cita-cita dan maksud hawa nafsu. Karena lemahnya daripada paksaan
hawa nafsu. Hanya dia dalam pada itu rajin selalu mengerjakan amal taat dan
meninggalkan sejumlah dosa, serta mampu memperbuatnya dan ada nafsu syahwatnya.
Dia sesungguhnya dipaksakan oleh satu nafsu syahwat ini atau dua nafsu syahwat.
Dan ia ingin, jikalau diberi kemampuan oleh Allah Ta’ala kepada mencegahnya.
Dan mencukupilah baginya kejahatan nafsu syahwat ini, yang menjadi
angan-angannya pada ketika melaksanakan nafsu syahwat tersebut. Dan ketika
selesai kepadanya, lalu ia menyesal. Dan ia mengatakan: “Mudah-mudahan aku
tidak memperbuatnya lagi. Aku akan bertaubat daripadanya dan akan berjihat
melawan hawa nafsu dengan diriku pada memaksakannya”. Akan tetapi, ia
menanyakan dirinya dan taubatnya dikatakannya “Akan sekali demi sekali dan hari
demi hari. Maka dari ini, ialah yang dinamakan: diri yang menanyakan. Dan yang
empunya diri tersebut, termasuk diantara orang-orang yang difirmankan oleh
Allah Ta’ala tentang mereka: “Dan adapula yang lain, yang mengakui kesalahan
mereka, telah mempercampur-baurkan pekerjaan baik dan buruk”. S 9 At Taubah
ayat 102. Maka urusannya diharapkan dari segi kerajinannya mengerjakan taat dan
kebenciannya kepada apa yang telah dikerjakannya. Mudah-mudahan Allah menerima
taubatnya dan kesudahan orang tersebut itu dalam bahaya, dari segi bahwa ia
“akan” bertaubat dan mengemudiankannya. Lalu kadang-kadang, ia disambar maut
sebelum taubat dan urusannya jatuh dalam
kehendak Allah Ta’ala. Maka jikalau Allah Ta’ala memperbolehkan baginya
kembali, dengan kurniaNya, menampalkan kepecahannya dan mengurniakan kepadanya
dengan kenikmatan taubat, niscaya ia dapat berhubungan dengan orang-orang yang
terdahulu. Dan kalau ia dikeraskan oleh ketidak beruntungan dan dipaksakan oleh
nafsu syahwatnya, maka ditakutkan bahwa diberikan kepadanya pada akhir
kesudahan, apa yang telah terdahulu kepadanya, dari perkataan pada azali ( tidak
kesudahan / permulaan ). Karena, sesungguhnya manakala sukar kepada orang yang
mempelajari ilmu fiqh umpamanya menjaga dari kesibukan belajar, maka kesukaran
itu menunjukkan bahwa, telah terdahulu bagi orang tersebut pada azali ( tidak
kesudahan / permulaan ), bahwa ia termasuk sebagian orang-orang yang bodoh.
Lalu lemahlah harapan pada diri orang tersebut dan apabila mudah baginya
sebab-sebab kerajinan pada menghasilkan ilmu tersebut, niscaya menunjukkan
bahwa telah terdahulu baginya pada azali ( tidak kesudahan / permulaan ), bahwa
dia termasuk dalam jumlah orang-orang yang berilmu. Maka seperti demikian juga,
ikatan kebahagiaan akhirat dan memperolehnya dengan kebajikan dan kejahatan
dengan hukum taqdir yang menyebabkan sebab-sebab itu, adalah seperti ikatan
sakit dan sehat, dengan memakan makanan-makanan dan obat-obatan. Dan ikatan
hasil faham diri, yang dengan itu berhak kedudukan tinggi di dunia, dengan
meninggalkan kemalasan dan rajin kepada pemahaman diri. Maka sebagaimana tidak
pantas bagi kedudukan kepala, jabatan hakim dan maju dalam bidang ilmu
pengetahuan, selain diri yang menjadi ahli fiqh dengan lamanya mempelajarinya,
maka tiada pantas bagi memiliki akhirat dan kenikmatannya dan dekat kepada
Tuhan semesta alam, selain hati yang sejahtera, yang telah menjadi suci dengan
lamanya pembersihan dan penyucian. Begitulah kiranya telah terdahulu pada azali
( tida kesudahan / permulaan ) dengan pengaturan Tuhan semesta alam.
Dan
karena itulah, Allah Ta’ala berifman: “Dan jiwa dan kesempurnaannya. Dan
diilhamkan kepadanya yang salah dan yang benar. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang membersihkan (jiwanya-dirinya). Dan sesungguhnya rugi besar orang yang
mengotorkannya”. S 91 Asy Syams ayat 7-8-9-10.
Manakala
hamba Allah itu telah jatuh dalam dosa, maka jadilah dosa itu ada sekarang dan
taubat itu ada nantinya. Dan ini –adalah termasuk tanda-tanda kekecewaan. Nabi
saw bersabda: “Sesungguhnya hamba itu berbuat dengan perbuatan isi surga 70
tahun lamanya. Sehingga manusia mengatakan, bahwa hamba tersebut adalah
sebagian dari isi surga. Dan tidak ada lagi antara dia dan surga, kecuali
sejengkal saja. Lalu Alkitab (suratan pada Luh Mahfudh) mendahului kepadanya,
maka ia berbuat dengan perbuatan isi neraka. Maka ia masuk ke dalam neraka”.
Jadi, takut dari akhir kesudahan itu, adalah sebelum taubat. Dan setiap nafas
itu adalah akhir kesudahan dari yang sebelumnya. Karena, mungkin bahwa maut itu
bersambung dengan yang tersebut. Maka hendaklah diintip nafas-nafas itu.
Jikalau tidak, niscaya terjatuh pada yang ditakuti. Dan berkekalanlah kerugian,
sehingga penyesalan itu tidak bermanfaat.
Tingkat keempat: bahwa ia bertaubat dan ia lalui pada suatu masa di
atas istiqomah. Kemudian, ia kembali kepada memperbuat dosa atau dosa-dosa,
tanpa ia membisikkan pada dirinya dengan taubat. Dan tanpa ia bersedih hati
atas perbuatannya. Bahkan, ia terperosok sebagaimana terperosoknya orang yang
lalai pada mengikuti nafsu syahwatnya. Maka orang ini termasuk dalam jumlah
orang-orang yang berkekalan berbuat dosa. Dan diri ini, adalah diri yang
menyuruh dengan kejahatan, yang lari dari kebajikan. Dan ditakuti terhadap
orang ini, akan buruk akhir kesudahannya. Dan urusannya adalah menurut kehendak
Allah. Kalau ia berkesudahan dengan buruk, niscaya ia sengsara (tidak
berharga), dengan kesengsaraan yang tiada akhirnya. Dan kalau ia berkesudahan
dengan baik, sehingga ia mati di atas keesaan, maka ia dapat ditunggu akan
kelepasan dari neraka, walaupun sesudah masa yang tidak diketahui. Dan tidak
mustahil bahwa ia akan dilengkapi oleh umurnya kemaafan dengan sebab yang
tersembunyi, yang tidak kita melihatnya sebagaimana tidak mustahil bahwa manusia
itu masuk pada tempat yang roboh, supaya diperolehnya suatu guci uang. Maka
kebetulan ia mendapatinya. Dan ia duduk di rumah, supaya ia dijadikan oleh
Allah seorang yang berilmu dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, tanpa
dipelajarinya, sebagaimana adanya nabi-nabi as. Maka mencari keampunan dengan
perbuatan taat, adalah seperti mencari ilmu dengan bersungguh-sungguh dan
berulang-ulang. Mencari harta dengan berniaga dan menyeberangi lautan. Dan
mencari keampunan itu dengan mengharap semata-mata, serta robohnya segala amal,
adalah seperti mencari guci-guci itu, pada tempat-tempat reruntuhan. Dan
mencari ilmu pengetahuan dari pengajaran malaikat-malaikat. Moga-moga orang
yang bersungguh-sungguh (rajin) itu belajar. Moga-moga orang yang berniaga itu,
memperoleh kekayaan. Moga-moga orang yang berpuasa dan mengerjakan shalat,
diampunkan dosanya. Manusia itu seluruhnya diharamkan (tidak mendapat), selain
orang-orang yang berilmu. Dan orang-orang yang berilmu itu seluruhnya,
diharamkan (tidak mendapat), selain orang-orang yang bekerja (beramal). Dan
orang-orang yang bekerja itu seluruhnya diharamkan (tidak mendapat), selain
orang-orang yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas itu di atas bahaya besar.
Sebagaimana orang yang merobohkan rumahnya, menyia-nyiakan hartanya dan
membiarkan dirinya dan keluarganya lapar itu mendakwakan, bahwa ia menunggu
kurnia Allah SWT, dengan diberikan kepadanya rezeki suatu gudang yang
didapatinya di bawah tanah, pada rumahnya yang roboh, bahwa orang itu terhitung
pada orang-orang yang bermata hati, termasuk orang yang dungu dan yang tertipu
dengan dirinya sendiri. Walaupun apa yang ditunggunya itu tidak mustahil dalam
kekuasaan Allah Ta’ala dan kurniaNya. Maka seperti itu pula, orang yang
menunggu ampunan dari kurnia Allah Ta’ala. Dan ia teledor dari taat, berkekalan
berbuat dosa, tidak menempuh jalan ampunan. Maka ia terhitung pada orang-orang
yang mempunyai hati, termasuk orang-orang yang lemah akal pikiran. Dan yang
mengherankan dari akal pikiran orang yang lemah akal ini dan mengobralkan
kedunguannya itu dalam celupan yang bagus. Karena ia mengatakan: “Sesungguhnya
Allah itu Maha Pemurah dan sorganya itu tidaklah sempit kepada orang-orang yang
seperti aku. Dan kemaksiatanku tidaklah mendatangkan melarat kepadaNya”.
Kemudian,
anda melihat orang tersebut, menyeberang lautan dan menempuh berbagai macam
kesulitan pada mencari dinar (uang). Dan apabila dikatakan kepadanya, bahwa
Allah itu Maha Pemurah dan uang dinar gudang-gudangNya, tidak akan melengahkan
dari kemiskinan engkau. Dan kemalasan engkau dengan meninggalkan berniaga,
tidaklah mendatangkan melarat bagi engkau. Maka duduklah di rumah engkau !
semoga IA akan memberi engkau rezeki, dari mana, yang tidak engkau menduga sama
sekali. Lalu orang itu memandang bodoh orang yang mengatakan perkataan tersebut
dan memperolok-olokkannya, seraya mengatakan: “Alangkah lemahnya akal orang ini
! langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak. Dan sesungguhnya itu akan
diperoleh dengan usaha. Begitulah kiranya yang ditaqdirkan oleh YANG Menyebabkan
segala sebab. Dan dengan yang demikian, IA memperlakukan sunnahNya. Dan
tiadalah pergantian bagi sunnah Allah”. Orang yang terperdaya dirinya itu,
tidak tahu, bahwa Tuhan akhirat dan Tuhan dunia itu SATU. Dan sunnahNya semua
pada akhirat dan dunia itu tiada mempunyai pergantian. Dan IA telah
menerangkan, dengan firmanNya: “Dan bahwa manusia itu hanya memperoleh apa yang
diusahakannya”. S 53 An Najm ayat 39. Maka bagaimana ia percaya bahwa Allah itu
Maha Pemurah di akhirat dan IA tidak Maha Pemurah di dunia ? dan bagaimana ia
mengatakan, bahwa tidaklah yang dikehendaki kemurahan itu lemah daripada
mengusahakan harta. Dan yang dikehendaki, ialah lemah dari bekerja bagi milik
yang tetap dan nikmat yang berkekalan. Dan bahwa yang demikian itu dengan hukum
kemurahan, akan diberikannya di akhirat, tanpa kesungguhan. Dan ini mencegahnya
serta kesangatan kesungguhan pada kebanyakan urusan di dunia. Dan ia lupa akan
firman Allah Ta’ala: “Dan di langit ada rezekimu dan (juga) apa yang dijanjikan
kepada kamu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 22. Maka kita berlindung dengan Allah
dari kebutaan dan kesesatan ! maka tidaklah ini, selain menungging atas pundak
kepala dan terbenam dalam kegelapan kebodohan. Dan orang yang mempunyai keadaan
ini, pantas ia masuk dalam maksud firman Allah Ta’ala: “Sekiranya engkau lihat
nanti, ketika orang-orang berdosa itu menundukkan kepalanya di sisi Tuhannya,
(mereka mengatakan): “Wahai Tuhan kami ! kami telah melihat dan mendengar
apa-apa yang Engkau katakan. Sebab itu, kembalikanlah kami (ke dunia), kami
akan mengerjakan perbuatan baik”. S 32 As Sajadah ayat 12. Artinya: kami telah
melihat, bahwa Engkau benar, karena Engkau berfirman: “Dan bahwa manusia itu
hanya memperoleh apa yang diusahakannya”. Maka kembalikanlah kami, niscaya kami
akan bekerja”. Pada yang demikian itu, tidak mungkin lagi terjadi sebaliknya.
Dan berhaklah atas dirinya azab. Maka kita berlindung dengan Allah dari segala
yang mengajak kepada kebodohan, keraguan dan kebimbangan, yang membawa secara
darurat kepada buruknya tempat berbalik dan kembali.
PENJELASAN: apa
yang seyogyanya disegerakan oleh orang yang bertaubat, jikalau terjadi atas
dirinya dosa. Adakalanya dosa itu, dengan sengaja dan nafsu syahwat yang
mengerasi atau dari perbuatan dosa dengan kebetulan yang demikian.
Ketahuilah, bahwa yang wajib
atasnya ialah: taubat, penyesalan dan berbuat menutupi dosa itu dengan
perbuatan kebaikan, yang berlawanan dengannya, sebagaimana telah kami sebutkan
dahulu jalannya. Kalau ia tidak ditolong oleh jiwanya kepada bercita-cita untuk
meninggalkan dosa itu, karena kerasnya nafsu syahwat, maka sesungguhnya ia
telah lemah dari salah satu dari dua yang wajib. Maka tiada seyogyalah ia
meninggalkan wajib yang kedua. Yaitu: bahwa ia menolak kejahatan itu dengan
kebaikan. Supaya ia menghapuskan kejahatan itu. Maka jadilah ia termasuk orang
yang mencampurkan perbuatan baik dan yang lain, perbuatan buruk.
Perbuatan-perbuatan baik yang menutupkan (menjadi penutup dosa) bagi
perbuatan-perbuatan jahat, adakalanya dengan hati, adakalanya dengan lidah dan
adakalanya dengan anggota badan. Dan hendaklah perbuatan baik itu berada pada
tempat perbuatan jahat dan pada yang menyangkut dengan sebab-sebabnya.
Adapun
dengan hati, maka hendaklah ditutupkannya dengan merendahkan diri kepada Allah
Ta’ala, pada bermohon keampunan dan kemaafan. Dan menghinakan diri, sebagaimana
menghina dirinya hamba yang lari dari tuannya. Dan penghinaan diri itu adalah,
dimana ia melahirkannya kepada hamba-hamba yang lain. Yang demikian itu, ialah
dengan kurang kesombongannya, pada hal-hal yang menyangkut di antara sesama
mereka. Maka tidaklah bagi hamba yang melarikan diri dari tuannya, yang berdosa
itu, jalan untuk sombong kepada hamba-hamba yang lain. Dan seperti yang
demikian juga, ia menyembunyikan dengan hatinya, kebajikan-kebajikan bagi kaum
muslimin dan bercita-cita kepada perbuatan-perbuatan taat.
Adapun
dengan lidah, maka yaitu: dengan mengaku berbuat kezaliman dan meminta ampun.
Lalu ia megucapkan: “Hai Tuhanku ! aku telah menganiaya diriku dan aku telah
mengerjakan perbuatan jahat. Maka ampunilah bagiku dosa-dosaku !”. Dan seperti
demikian juga, ia memperbanyak dengan berbagai macam istighfar (meminta ampun
dengan membaca astaghfirullah), sebagaimana telah kami cantumkan pada Kitab Doa
dan Dzikir dahulu.
Adapun
dengan anggota badan, maka adalah: dengan perbuatan-perbuatan taat, memberi
sedekah dan berbagai macam ibadah lainnya. Pada atsar (ucapan para sahabat dan
ulama terkemuka), ada yang menunjukkan, bahwa dosa itu apabila diikutkan dengan
8 macam amal perbuatan, niscaya dapatlah diharapkan kemaafan itu. Yaitu: 4 dari
amal perbuatan hati. yaitu: taubat atau bercita-cita kepada taubat, ingin
mencabut diri dari dosa, takut siksaan atas dosanya dan mengharap keampunan
baginya. Dan 4 dari amal perbuatan anggota badan, ialah: bahwa anda mengerjakan
shalat 2 rakaat sesudah baru saja berbuat dosa. Kemudian, anda mengucapkan
istighfar sesudah 2 rakaat shalat tadi, sebanyak 70 kali. Dan anda mengucapkan:
“Subhaanallaahil-adhiimi wa bihamdih” 100 kali( Maha suci Allah dan Keagungan
Nya dan dengan memuji kepadaNya). Kemudian, anda bersedekah, dengan sesuatu sedekah.
Kemudian, anda berpuasa sehari.
Pada
sebahagian atsar itu disebutkan, supaya anda melengkapkan dengan wudlu’ (mengambil
air sembahyang), anda masuk ke masjid dan mengerjakan shalat 2 rakaat. Pada
sebahagian hadits, disebutkan supaya anda mengerjakan shalat 4 rakaat. Pada
hadits, ialah: “Apabila engkau mengerjakan kejahatan, maka ikutkanlah kejahatan
itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menutupkan kejahatan tersebut.
Rahasia dengan rahasia dan terang dengan terang”. Karena itulah, dikatakan,
bahwa sedekah rahasia itu menutupkan dosa-dosa malam. Dan sedekah terang itu
menutupkan dosa-dosa siang. Dan pada hadits shahih, yaitu: “Bahwa seorang
laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: “Sesungguhnya aku membiasakan diri
dengan seorang wanita, lalu aku memperoleh daripadanya segala sesuatu, selain
bersetubuh. Maka hukumkanlah aku ini dengan hukum Allah Ta’ala !”. Rasulullah
saw lalu menjawab: “Adakah engkau mengerjakan shalat bersama kami, shalat
Shubuh ?”. Laki-laki itu menjawab: “Ada !”. Rasulullah saw lalu bersabda:
“Bahwa kebajikan-kebajikan itu akan menghilangkan kejahatan-kejahatan”. Ini
menunjukkan, bahwa yang bukan zina, daripada membiasakan diri dengan wanita
itu, adalah dosa kecil. Karena dijadikan shalat menjadi penutup dosanya,
menurut yang dikehendaki oleh sabda Nabi saw: “Shalat 5 waktu itu adalah penutup
dosa bagi apa yang dikerjakan diantara shalat-shalat itu, selain dosa besar”.
Maka di atas hal-ikhwal itu semua, seyogyalah hamba itu memperhitungkan dirinya
setiap hari. Dikumpulkannya kejahatan-kejahatannya dan bersungguh-sungguh
menolaknya dengan kebajikan-kebajikan.
Kalau
anda bertanya: bagaimana kiranya membaca istighfar itu bermanfaat, tanpa dibuka
ikatan berkekalan berbuat dosa ? dan pada hadits, diterangkan: “Orang yang
meminta ampun dari dosa (membaca istighfar), sedang ia berkekalan di atas dosa
itu, adalah seperti orang yang mengejek-ejek ayat-ayat Allah”. Dan sebahagian
mereka membaca: “Astaghfirullah lahaa min qauli astaghfirullah”. Ada yang
mengatakan: bahwa membaca istighfar dengan lidah itu, adalah taubat orang-orang
pendusta.
Rabiah
Al Adawiyah berkata: “Istighfar kami memerlukan kepada banyak istighfar/mohon
ampun”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa telah datang hadits-hadits, di luar dari
hingga, tentang keutamaan istighfar (memohonkan ampunan), yang
telah kami sebutkan pada kita Dzikir dan Doa dahulu. Sehingga dihubungkan oleh
Allah, istighfar itu dengan kekekalan Rasul saw. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
Allah tiada menyiksa mereka, sedang engkau masih ada diantara mereka. Dan
tiadalah Allah hendak menyiksa mereka, sedang mereka masih memohonkan ampun”. S
8 Al Anfal ayat 33.
Ada sebahagian sahabat mengatakan: “Adalah
kami mempunyai dua aman. Telah hilang satu dari yang 2 itu, yaitu: adanya
Rasulullah bersama kami. Dan tinggallah istighfar bersama kami. Kalau istighfar
itu hilang pula, niscaya kami binasa”. Maka kami jawab: bahwa istighfar yang menjadi
taubat orang-orang pendusta, ialah: istighfar semata-mata dengan lidah, tanpa
hati bersekutu padannya. Seperti: orang mengucapkan, disebabkan telah menjadi
kebiasaan dan dari pokok kelalaian: Astaghfirullah (saya memohon ampunan
kepada Allah) Dan seperti orang mengatakan, apabila
mendengar sifat api neraka: “Naudzu billahi minha”. Tanpa membekas hatinya
dengan ucapan tersebut. Dan ini kembali kepada gerakan lidah semata dan tiada
faedah baginya.
Adapun
apabila bertambah kepadanya kerendahan hati kepada Allah Ta’ala dan ke doanya
pada permohonan keampunan, dengan kebenaran kehendak, keikhlasan niat dan
keinginan, maka ini adalah kebaikan pada dirinya. Maka pantas untuk menolak
kejahatan dengan yang demikian itu. Di atas inilah di bawah hadits-hadits yang
datang, tentang keutamaan membaca istighfar, sehingga Nabi saw bersabda:
“Tidaklah dipandang kekal berbuat dosa, orang yang meminta ampun (membaca
istighfar) dari dosanya, walaupun ia kembali kepada dosa itu dalam sehari 70
kali. Yaitu ibarat dari meminta ampun dengan hati. Taubat dan istighfar itu
mempunyai tingkat-tingkat. Tingkat-tingkat permulaannya itu tiada terlepas
daripada faedah, walaupun tiada berkesudahan kepada tingkat-tingkat
penghabisannya. Dan karena itulah, Sahl bin Abdullah At-Tusturi ra berkata:
“Bahwa tak boleh tidak bagi hamba itu dalam setiap hal keadaannya, dari
Tuhannya. Maka hal keadaannya yang terbaik, ialah: bahwa ia kembali kepada
Tuhannya pada setiap sesuatu. Kalau ia berbuat maksiat, niscaya ia berdoa: “Hai
Tuhanku ! tutuplah kemaksiatanku!”. Dan apabila ia telah selesai dari perbuatan
maksiat, niscaya ia berdoa: “Hai Tuhanku ! taubatkanlah aku !”. Maka apabila ia
telah bertaubat, niscaya ia berdoa: “Hai Tuhanku ! anugerahkanlah kepadaku
terpelihara dari kesalahan !”. Dan apabila telah berbuat amal, niscaya ia
berdoa: “Hai Tuhanku ! terimalah amalku !”.
Ditanyakan
pula Sahl ra dari hal istighfar yang menutupkan (menjadi penutup dosa). Lalu
beliau menjawab: “Permulaan istighfar itu istijabah (perkenan), kemudian:
inabah (kembali), kemudian: taubat. Perkenan itu perbuatan anggota badan. kembali,
perbuatan hati. Dan taubat itu menghadapnya kepada Tuhannya, dengan
meninggalkan makhluk. Kemudian, ia meminta ampun dari keteledorannya, dimana ia
sekarang dalam keteledoran itu. Dan dari kebodohan dengan nikmat dan
meninggalkan syukur. Maka ketika itu, ia akan diampunkan. Dan ada tempatnya di
sisiNya. Kemudian, berpindah kepada sendirian, kemudian tetap, kemudian jelas,
kemudian pikir, kemudian mengenal, kemudian membisikkan segala isi hati,
kemudian mensuci-membersihkan, kemudian menundukkan diri kepada Tuhan dengan
sebenar-benarnya, kemudian bercakap-cakap rahasia. Dan itulah ketemanan. Dan ini
tiada akan menetap dalam hati hamba, sehingga adalah ilmu itu makanannya,
dzikir itu keteguhannya, ridha itu perbekalannya dan tawakkal itu sahabatnya.
Kemudian, Allah Ta’ala memandang kepadanya. Lalu diangkatnya ke ‘Arasy/surga.
Maka adalah tempat kedudukannya itu maqam pendukung-pendukung ‘Arasy.
Ditanyakan
pula Sahl ra tentang sabda Nabi saw: “Orang yang bertaubat itu kekasih Allah”.
Maka Sahl ra menjawab: “Sesungguhnya adalah orang yang bertaubat itu menjadi
kekasih Allah, apabila ada padanya, semua yang disebutkan pada firman Allah
Ta’ala: “Orang-orang yang taubat (kepada Tuhan), orang-orang yang menyembah
(Tuhan), orang-orang yang memuji (Tuhan), orang-orang yang berpuasa,
orang-orang yang ruku’, orang-orang yang sujud, orang-orang yang menyuruh mengerjakan
perbuatan baik, orang-orang yang melarang mengerjakan kejahatan dan orang-orang
yang menjaga batas-batas (aturan) Tuhan”. S 9 At Taubah ayat 112. Sahl ra
berkata, bahwa orang yang dikasihi, ialah: orang yang tidak masuk (tidak
mengerjakan), apa yang tidak disukai oleh kekasihnya. Yang dimaksud ialah,
bahwa taubat itu mempunyai dua buah (2 hasil).
Yang pertama, ialah menutupkan kejahatan-kejahatan. Sehingga orang itu
menjadi seperti orang yang tidak mempunyai dosa.
Yang kedua, ialah mencapai tingkat-tingkat, sehingga ia menjadi orang
yang dikasihi.
Dan untuk menutupkan dosa itu,
mempunyai tingkat-tingkat pula. Sebahagiannya menghapuskan pokok dosa secara
keseluruhan. Dan sebahagiannya meringankan dosa itu. Dan yang demikian, berlebih
kurang dengan berlebih kurangnya derajat taubat. Maka mengucapkan istighfar
itu, dengan hati dan memperoleh kembali dengan kebaikan-kebaikan, walaupun
kosong dari melepaskan ikatan kekekalan berbuat dosa, adalah termasuk
sebahagian dari tingkat-tingkat permulaannya. Maka tidak kosong sekali-kali
dari faedah. Maka tiada seyogyalah disangka, bahwa adanya taubat itu seperti
tidak ada. Bahkan, orang-orang yang mempunyai penyaksian dan mempunyai hati
mengetahui dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala, yang tak ragu lagi padanya, bahwa
firman Allah Ta’ala: “Maka siapa yang mengerjakan perbuatan baik seberat atom,
akan dilihatnya” itu benar. Dan sesungguhnya bahwa seberat atom kebajikan,
tiada akan terlepas daripada bekas. Sebagaimana tiada akan terlepas dari bekas,
sebiji syair (seperti gandum) yang diletakkan pada neraca. Dan kalau biji syair
pertama terlepas dari bekas, niscaya biji syair kedua akan seperti itu pula.
Dan akan ada neraca itu tiada berat dengan pembawaan atom-atom di dalamnya. Dan
itu dengan mudah diketahui, adalah mustahil. Bahkan neraca kebaikan-kebaikan
akan berat dengan atom-atom kebajikan, sehingga ia menjadi berat. Lalu
terangkatlah daun neraca kejahatan. Maka jagalah bahwa anda memandang kecil
atom-atom perbuatan taat, lalu anda tidak mendatanginya. Dan atom-atom
kemaksiatan, lalu anda tidak meniadakannya, seperti wanita yang tidak bagus
pekerjaannya, malas dari bertenun, dengan beralasan bahwa ia tidak mampu pada
tiap-tiap jam, selain sehelai benang. Dan ia mengatakan: “Manakah orang kaya
yang berhasil dengan jahitan ? dan tidaklah terjadi yang demikian pada
kain-kain”. Wanita yang bodoh itu tidak mengetahui, bahwa kain-kain dunia itu
terkumpul, benang demi benang. Dan tubuh-tubuh alam ini serta luas
benua-benuanya. Terkumpul dari atom demi atom. Jadi, merendahkan diri dan
beristighfar dengan hati itu adalah kebaikan, yang tidak sekali-kali
tersia-siakan pada sisi Allah.
Bahkan
aku mengatakan, bahwa istighfar dengan lisan juga suatu kebaikan. Karena
gerakan lisan dengan kebaikan itu, secara lalai, adalah lebih baik daripada
gerakan lisan pada saat itu dengan mencaci orang muslim atau perkataan yang
sia-sia. Bahkan itu adalah lebih baik daripada diam daripadanya. Maka jelaslah
kelebihannya, dengan dibandingkan kepada diam daripadanya. Hanya itu suatu
kekurangan, dibandingkan kepada amalan hati. Dan karena itulah, setengah mereka
mengatakan kepada gurunya Abi Usman Al Maghribi: “Lisanku sesungguhnya pada
setengah keadaan itu berlalu dengan dzikir dan Alquran, sedang hatiku lalai”.
Guru itu lalu menjawab: “Bersyukurlah kepada Allah, apabila Allah telah
menggunakan salah satu anggota badan engkau pada kebajikan ! dan dibiasakannya
anggota badan itu dengan dzikir. Tidak dipergunakannya pada kejahatan. Dan
tidak dibiasakannya pada yang sia-sia. Dan apa yang disebutkannya itu benar.
Sesungguhnya, membiasakan anggota-anggota badan untuk kebajikan, sehingga yang demikian
itu menjadi baginya seperti naluri (tabiat), itu dapat menolak sejumlah
perbuatan maksiat.
Orang
yang membiasakan lisannya dengan istighfar, apabila ia mendengar dari orang
lain kedustaan, niscaya mendahululah lisannya apa yang dibiasakannya itu. Lalu
ia mengucapkan: “Astaghfirullah”. Dan orang yang membiasakan perkataan yang
sia-sia (tidak bermanfaat), niscaya mendahululah lisannya kepada perkataan:
“Alangkah dungunya engkau ! alangkah kejinya kedustaan engkau!”. Orang yang
membiasakan membaca “Audzu billah” (al-istiadzah), apabila terjadi menampaknya
permulaan kejahatan dari orang jahat, niscaya ia mengatakan, disebabkan
mendahului lisannya: “Naudzu billah”. Apabila ia membiasakan perkataan yang
sia-sia, lalu ia mengatakan: “Dikutuk oleh Allah dia”. Maka ia menjadi maksiat,
pada salah satu dari dua perkataan. Dan ia selamat pada perkataan yang lain.
Selamatnya itu adalah bekas kebiasaan lidahnya dengan kebajikan. Dan itu
termasuk dalam jumlah arti firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang berbuat kebaikan”. S 9 At Taubah ayat 120. Dan arti
firman Allah Ta’ala: “Meskipun perbuatan baik itu sebesar atom, akan dilipat
gandakan oleh Tuhan juga dan akan diberinya pahala yang besar dari sisiNya”. S
4 An Nisa’ ayat 40. Maka perhatikanlah, bagaimana Tuhan melipat gandakan
kebaikan itu. Karena dijadikannya istighfar pada masa kelalaian itu, kebiasaan
lisan. Sehingga dengan kebiasaan tersebut, tertolaklah kejahatan maksiat dengan
mengumpat orang, mengutuk dan perkataan sia-sia. Dan ini adalah penggandaan di
dunia untuk sekurang-kurang ketaatan. Dan penggandaan akhirat itu lebih besar,
jikalau mereka mengetahuinya. Maka awaslah, bahwa anda menoleh pada perbuatan
taat itu, bahaya semata-mata. Lalu lemahlah keinginan anda dari ibadah. Maka
ini adalah tipuan, yang dilakukan oleh setan penjualannya dengan kutukannya
atas orang-orang yang terperdaya.
Dan
dikhayalkannya kepada mereka, bahwa mereka itu orang-orang yang mempunyai mata
hati, orang-orang yang mempunyai kecerdikan bagi hal-hal yang tersembunyi dan
rahasia-rahasia. Maka manakah kebajikan pada dzikir kita dengan lisan serta
lalainya hati ?
Maka
manusia pada tipuan ini terbagi kepada 3 bagian: yang menganiaya dirinya
sendiri, yang sederhana dan yang mendahului dengan kebajikan. Yang mendahului
itu, lalu mengatakan: “Benar engkau, hai yang terkutuk !”. Akan tetapi, itu
adalah kata-kata benar, yang engkau kehendaki batil/salah. Maka tidak pelak
lagi, engkau diazabkan dua kali. Dan dipaksakan hidung engkau mengenai tanah
dari dua segi. Lalu ditambahkan kepada gerakan lidah akan gerakan hati. Maka
yang demikian itu, adalah seperti orang yang mengobati kelukaan setan, dengan
menaburkan garam padanya.
Adapun
yang menganiaya dirinya, yang terperdaya, maka ia merasakan pada dirinya,
kesombongan kecerdikan bagi yang halus ini. Kemudian, ia lemah dari keikhlasan
dengan hati. Lalu ditinggalkannya bersama yang demikian itu, pembiasaan lisan
dengan dzikir. Maka ia telah menolong setan dan melepaskan tali penipuannya.
Lalu sempurnalah diantara dia dan setan itu, perkongsian dan pernyesuaian.
Sebagaimana dikatakan orang: “Sesuailah keranjang makanan itu dengan tutupnya”.
Ia sepakat dengan setan maka dipeluknya.
Adapun
yang seperti orang yg lemah pada menulis, maka ia tidak mampu memaksakannya,
dengan mempersekutukan hati pada perbuatan. Dan ia memahami kekurangan gerakan
lisan, dibandingkan kepada hati. Akan tetapi, ia memperoleh petunjuk kepada
kesempurnaannya, dibandingkan kepada diam dan perbuatan yang sia-sia. Lalu ia
berketerusan atas yang demikian. Dan ia bermohon kepada Allah Ta’ala untuk
mempersekutukan hati kepada lisan, pada membiasakan kebajikan. Maka orang yang
mendahului itu adalah seperti perajut, yang dicela orang keperajutannya. Lalu
ditinggalkannya. Dan ia menjadi juru tulis dan orang yang menganiaya dirinya,
yang tertinggal di belakang, adalah seperti orang yang meninggalkan keperajutan
pada pokoknya dan menjadi tukang sapu. Dan orang yg lemah pada menulis itu
adalah seperti orang yang lemah daripada menulis. Lalu ia mengatakan: “Aku
tidak mengingkari tercelanya keperajutan itu. Akan tetapi perajut itu tercela,
dibandingkan kepada juru tulis. Tidak tercela, dibandingkan kepada tukang sapu.
Maka apabila aku lemah dari menulis, maka aku tidak akan meninggalkan keperajutannya”.
Karena
itulah, dikatakan oleh Rabiah Al-‘Adawiyah ra: “Istighfar kita itu memerlukan
kepada banyak istighfar”. Maka jangan anda menyangka, bahwa Rabiah Al-‘Adawiyah
itu mencela gerakan lisan, dari segi bahwa itu dzikrullah. Akan tetapi, ia
mencela kelalaian hati. Maka orang itu memerlukan kepada istighfar, daripada
kelalaian hatinya. Tidak daripada gerakan lidahnya. Kalau ia diam juga dari
istighfar dengan lidah, niscaya ia memerlukan kepada dua istighfar. Tidak
kepada satu istighfar. Maka begitulah, seyogyannya anda memahami celaan apa
yang dicelakan dan pujian apa yang dipujikan. Kalau tidak, maka anda tidak
memahami arti apa yang dikatakan oleh orang benar, yang berkata: “Kebaikan
orang-orang yang berbuat baik itu, adalah kejahatan orang-orang muqarrabin (orang-orang
mendekatkan diri kepada Allah)”. Ini adalah hal-hal yang tetap dengan relatif
(ada kaitan dengan lainnya). Maka tiadalah seyogyanya bahwa hal-hal itu
diambil, tanpa relatif. Akan tetapi, seyogyalah tidak dipandang hina atom-atom
ketaatan dan kemaksiatan.
Dan
karena itulah, Ja’far As-Shiddiq berkata: “Bahwa Allah Ta’ala menyembunyikan 3
dalam 3: ridhaNya dalam taat kepadaNya, maka janganlah kamu hinakan sesuatu
daripadanya ! mudah-mudahan ridhaNya adalah pada sesuatu itu. MarahNya dalam
perbuatan maksiat kepadaNya. Maka janganlah kamu hinakan sesuatu dari perbuatan
maksiat itu ! mudah-mudahan marahNya ada padanya. Dan IA menyembunyikan
kewalianNya pada hamba-hambaNya. Maka janganlah kamu hinakan seseorang dari
mereka ! mudah-mudahan dia itu waliyullahi Ta’ala”. Dan ia menambahkan (yang
ke-4): “Ia menyembunyikan perkenanNya pada doa kepadaNya. Maka janganlah kamu
meninggalkan doa ! kadang-kadang perkenan itu ada pada doa tersebut”.
SENDI KEEMPAT:
tentang obat taubat dan jalan pengobatan untuk melepaskan ikatan kekekalan
berbuat dosa.
Ketahuilah kiranya, bahwa
manusia itu 2 bahagian:
Bahagian pertama: pemuda
yang tiada mempunyai kecenderungan kepada kemudaan. Ia tumbuh di atas kebajikan
dan menjauhkan kejahatan. Itulah yang disabdakan oleh Rasulullah saw: “Tuhanmu
itu merasa takjub dengan pemuda, yang tidak mempunyai kecenderungan kepada
kemudaan”. Ini adalah sukar dan jarang terdapat.
Bahagian kedua: yang
tidak terlepas daripada mengerjakan dosa. Kemudian, mereka terbagi kepada: yang
berkekalan berbuat dosa dan kepada: yang bertaubat. Maksud kami, ialah:
menerangkan pengobatan pada melepaskan ikatan kekekalan berbuat dosa itu. Dan
kami akan menerangkan obatnya. Maka ketahuilah kiranya, bahwa sembuhnya taubat
itu, tiada akan berhasil, selain dengan obat. Dan tiada akan mengerti kepada
obat itu, orang yang tiada mengerti akan penyakit. Karena tiada arti bagi obat,
selain perlawanan sebab-sebab penyakit. Maka setiap penyakit yang terjadi dari
sesuatu sebab, maka obatnya, ialah: melepaskan sebab itu, membuangkannya dan
merusakkannya. Dan sesuatu itu tiada akan rusak (batal), selain dengan
lawannya. Dan tiada sebab bagi kekekalan berbuat dosa, selain oleh kelalaian
dan nafsu syahwat. Dan tiada yang melawan kelalaian, selain ilmu. Tiada yang melawan nafsu syahwat, selain sabar dengan memotong
sebab-sebab yang mengerakkan nafsu syahwat. Dan
kelalaian itu kepala segala kesalahan.
Allah
Ta’ala berfirman: “Dan itulah orang-orang yang lalai. Tiada ragu lagi, bahwa di
akhirat nanti merekalah orang-orang yang menderita kerugian”. S 16 An Nahl ayat
108-109. Jadi, tiada obat bagi taubat, selain perasaan yang diperas dari
kemanisan ilmu dan kepahitan sabar. Dan sebagaimana as-sakanjabin, (dikumpulkan
antara kemanisan gula dan kemasaman cuka). Dan dengan masing-masing yang dua
itu, dimaksudkan suatu maksud yang lain pada pengobatan dengan kumpulan gula
dan cuka tadi. Maka ia dapat mencegah sebab-sebab yang membangkitkan penyakit
kuning. Maka begitulah seyogyanya anda memahami pengobatan hati, daripada yang
ada padanya, yaitu: penyakit kekekalan berbuat dosa.
Jadi, obat ini mempunyai dua pokok. Yang pertama: ilmu dan yang satu lagi:
sabar. Dan tak boleh tidak dari penjelasan bagi ilmu dan sabar itu. Kalau anda
bertanya: adakah bermanfaat setiap ilmu untuk melepaskan kekekalan berbuat dosa
atau boleh tidak daripada ilmu yang khusus ? maka ketahuilah kiranya, bahwa
ilmu-ilmu itu keseluruhannya adalah obat bagi semua penyakit hati. Akan tetapi,
untuk masing-masing penyakit itu ada pengetahuan yang khusus. Sebagaimana ilmu
kedokteran itu bermanfaat pada pengobatan semua penyakit secara keseluruhan.
Akan tetapi, masing-masing penyakit mempunyai ilmu khusus. Maka demikian juga
penyakit kekekalan berbuat dosa. Maka marilah kami terangkan kekhususan ilmu itu,
atas dasar keseimbangan penyakit badan. Supaya lebih mendekatkan kepada
pengertian. Maka kami katakan, bahwa orang sakit itu memerlukan kepada
pembenaran dengan beberapa hal:
Pertama: bahwa ia
membenarkan secara keseluruhan, bahwa penyakit dan sehat itu mempunyai
sebab-sebab, yang dengan usaha, dapatlah sampai mengetahui nya, menurut apa
yang diatur oleh yang menyebabkan sebab-sebab itu. Dan inilah, yang dinamakan:
iman (percaya), dengan pokok kedokteran. Maka orang yang tidak percaya dengan
yang tersebut, niscaya tak usah ia bekerja dengan pengobatan. Dan berhaklah
atas dirinya kebinasaan. Dan ini, timbangannya dari apa yang kita perbincangkan
ini, ialah: iman dengan pokok agama. Yaitu: bahwa kebahagiaan di akhirat itu
ada sebabnya. Yaitu: taat. Dan kesengsaraan itu ada sebabnya. Yaitu: maksiat.
Dan inilah, yang dinamakan: iman (percaya), dengan pokok agama-agama. Dan ini,
tak boleh tidak memperolehnya. Adakalanya: dengan pentahkikan (dengan dicari
dalil-dalil) atau dengan taqlid (mengikuti tanpa dalil). Masing-masing keduanya
ini, adalah termasuk dalam jumlah iman.
Kedua: bahwa
tak boleh tidak, orang sakit itu percaya kepada dokter tertentu, bahwa dokter
itu berilmu kedokteran, yang mahir yang benar, pada apa yang dikatakannya.
Tidak meragukan dan tidak dusta. Maka kepercayaan si sakit itu dengan pokok
kedokteran, tidak bermanfaat baginya, dengan semata-mata yang tersebut, tanpa
kepercayaan (iman) ini. Timbangannya, dari apa yang kita bicarakan ini, ialah:
ilmu dengan kebenaran Rasulullah saw. Dan percaya (iman), bahwa tiap-tiap apa
yang disabdakannya itu hak dan benar. Tak dusta padanya dan khilaf.
Ketiga: bahwa si
sakit itu mendengar benar-benar kepada dokter, tentang apa yang diperingatinya,
dari hal memakan buah-buahan dan sebab-sebab yang mendatangkan melarat secara
keseluruhan. Sehingga si sakit itu dikerasi oleh ketakutan, pada meninggalkan
penjagaan diri. Maka adalah sangatnya ketakutan itu membangkitkannya untuk
menjaga diri. Dan timbangannya pada agama, ialah: mendengar benar-benar
ayat-ayat dan hadits-hadits, yang melengkapi kepada penggemaran pada taqwa dan
pentakutan mengerjakan dosa dan mengikuti hawa nafsu. Pembenaran itu, ialah
dengan semua apa yang diperdengarkan kepada pendengarannya dari yang demikian
itu, tanpa syak dan ragu. Sehingga membangkitlah ketakutan yang menguatkan
kepada kesabaran, yang menjadi sendi terakhir pada pengobatan.
Keempat: bahwa ia mendengar benar-benar kepada perkataan
dokter, mengenai yang khusus dengan penyakitnya dan apa yang harus pada dirinya
untuk menjaganya. Supaya pertama-tama, dokter itu memperkenalkan kepadanya,
penguraian apa yang mendatangkan melarat kepadanya, dari perbuatan-perbuatan
dan hal-ikhwalnya, makanan dan minumannya. Maka tidaklah atas setiap orang
sakit itu, menjaga diri dari segala sesuatu. Dan tidaklah bermanfaat kepada si
sakit semua obat. Akan tetapi, bagi masing-masing penyakit khusus, mempunyai
ilmu khusus dan pengobatan khusus. Dan timbangannya pada agama, ialah: bahwa
setiap hamba Allah itu tidaklah dicobakan dengan semua nafsu syahwat dan
mengerjakan semua dosa. Akan tetapi, setiap orang mu’min itu mempunyai dosa
khusus atau dosa-dosa khusus. Keperluannya sekarang juga, sesungguhnya,
bersegera mengetahui, bahwa itu adalah dosa. Kemudian, mengetahui bahaya-bahaya
dosa itu dan kadar melaratnya. Kemudian, mengetahui, cara sampai kepada
bersabar dari dosa-dosa tersebut. Kemudian, mengetahui, cara menutupkan (penutup
dosa) yang telah berlalu dari dosa-dosa tadi. Maka inilah
pengetahuan-penngetahuan yang tertentu bagi tabib-tabib (dokter-dokter) agama.
Dan mereka, ialah: para ulama yang menjadi pewaris-pewaris nabi. Maka orang
yang berbuat maksiat, kalau tahu akan kemaksiatannya, niscaya haruslah ia
mencari pengobatan dari dokter. Yaitu: orang alim (orang yang berilmu). Dan
kalau ia tidak tahu, bahwa yang dikerjakannya itu dosa, maka haruslah atas
orang alim, memberitahukan kepadanya yang demikian. Yang demikian itu, ialah
dengan setiap orang alim (ulama) menanggung satu daerah atau satu negeri atau
satu tempat atau satu masjid atau satu perhimpunan (perkumpulan yang dihadiri
orang ramai). Maka yang ahli agama itu mengajarkan mereka akan agamanya dan
menerangkan perbedaan, yang mendatangkan melarat dari yang bermanfaat, yang
mendatangkan kesengsaraan bagi mereka daripada yang mendatangkan kebahagiaan
kepada mereka. Dan tiada seyogyalah orang alim itu bersabar, sampai ia
ditanyakan dari hal agama itu. Akan tetapi, seyogyalah ia mendatangi, mengajak
manusia kepadanya. Karena mereka itu adalah pewaris-pewaris nabi. Dan nabi-nabi
itu tidak membiarkan manusia diatas kebodohan. Akan tetapi, mereka memanggil
manusia pada tempat-tempat perkumpulan yang diadakan mereka. Nabi-nabi itu
berkeliling pada pintu rumah-rumah manusia pada permulaannya. Mereka mencari
seorang demi seorang. Lalu mereka memberi petunjuk kepada manusia-manusia itu.
Sesungguhnya
orang-orang yang berpenyakit hati, tidak mengetahui penyakit mereka.
Sebagaimana orang yang tumbuh pada mukanya penyakit supak/lepra dan tak ada
cermin padanya, niscaya ia tidak tahu akan penyakit supaknya, sebelum ia
diberitahukan oleh orang lain. Dan ini adalah fardlu ‘ain (wajib atas tiap-tiap
pribadi) atas para ulama seluruhnya. Dan atas sultan-sultan (penguasa)
seluruhnya, mengatur pada setiap desa dan pada setiap tempat, seorang faqih
(ahli ilmu fiqh), yang beragama, yang akan mengajar manusia akan agamanya.
Karena makhluk (manusia) itu sesungguhnya tidaklah dilahirkan selain dari
keadaan bodoh. Maka tidak boleh tidak menyampaikan dakwah kepada mereka,
mengenai pokok dan cabang. Dunia itu adalah negeri orang-orang sakit. Karena
tidak ada dalam perut bumi selain mati. Dan tidak ada punggung bumi, selain
orang sakit. Dan orang-orang yang berpenyakit hati itu lebih banyak daripada
orang-orang yang berpenyakit badan. Dan para ulama itu adalah tabib-tabib
(dokter-dokter). Dan sultan-sultan (penguasa) itu adalah yang memerintah negeri
orang-orang sakit. Maka setiap orang sakit, yang tidak menerima pengobatan,
dengan pengobatan orang alim (ulama) itu diserahkan kepada sultan (penguasa).
Supaya mencegah kejahatannya. Sebagaimana dokter menyerahkan orang sakit yang
tidak mau menjaga diri atau orang sakit yang telah keras gilanya, diserahkan
kepada yang memerintah (pemerintah). Supaya diikatnya orang sakit itu dengan
rantai dan belenggu. Dan mencegah kejahatannya dari diri orang sakit itu
sendiri dan dari orang lain. Penyakit hati itu sesungguhnya lebih banyak
daripada penyakit badan, karena 3 alasan:
Alsan pertama:
bahwa orang yang sakit dengan penyakit hati itu, tidak tahu, bahwa dia itu
orang sakit.
Alasan kedua:
bahwa akibatnya tidak tampak di alam ini. Lain halnya dengan penyakit badan.
Penyakit badan itu, akibatnya mati yang dapat disaksikan, dimana tabiat
(naluri) manusia itu lari daripadanya. Dan yang sesudah mati itu tidak dapat
disaksikan. Akibat dosa itu, ialah mati hati. Dan itu tidak dapat disaksikan di
alam ini. Maka sedikitlah orang yang lari dari dosa, walaupun dosa itu
diketahui oleh yang mengerjakannya. Maka karena itulah, anda melihat orang yang
mengerjakan dosa itu, bertawakkal (menyerah) kepada kurnia Allah pada penyakit
hati. Dan bersungguh-sungguh pada mengobati penyakit badan, tanpa bertawakkal
(menyerah kepada Tuhan).
Alasan ketiga:
ialah penyakit yang memayahkan, yang tidak ada tabib (dokter). Tabib-tabib itu
ialah: para ulama. Dan mereka itulah parah sakitnya pada masa kini. Mereka
lemah daripada mengobatinya. Dan pada umumnya penyakit itu menjadi penghibur
bagi mereka. Sehingga tidak tampak kekurangan mereka. Lalu mereka memerlukan
kepada menipu makhluk (orang banyak). Dan menunjukkan kepada mereka, dengan apa
yang menambahkan sakit bagi mereka. Karena sesungguhnya penyakit yang
membinasakan, ialah cinta dunia. Dan penyakit
ini sudah banyak pada tabib-tabib. Lalu mereka tidak mampu mengingatkan manusia
daripadanya, karena mencegah daripada dikatakan kepada mereka: “Apa kiranya
kamu ini menyuruh dengan pengobatan dan kamu lupa akan dirimu sendiri”. Maka
dengan sebab ini menjadi umumlah penyakit itu atas orang banyak dan besarlah
bahayanya, putuslah obat dan binasalah orang banyak (makhluk). Karena ketiadaan
tabib-tabib itu. Bahkan tabib-tabib tersebut berbuat dengan berbagai penipuan.
Semoga mereka itu kiranya, karena tidak memberi nasehat, maka mereka tidak
menipu. Dan karena mereka tidak memperbaiki, maka mereka tidak merusak. Semoga
mereka itu kiranya berdiam diri dan tidak bertutur kata. Karena apabila mereka
berkata-kata, niscaya tiada yang penting bagi mereka pada pengajarannya, selain
apa yang menyenangkan orang awam dan menarik hati mereka. Dan mereka tiada
sampai kepada yang demikian, selain dengan memberi harapan-harapan,
membanyakkan sebab-sebab harapan itu dan menyebut kan dalil-dalil rahmat Tuhan.
Karena yang demikian itu lebih enak pada pendengaran dan lebih ringan pada naluri.
Lalu orang banyak itu meninggalkan majlis-majlis pengajaran. Dan mereka
mengambil faedah dengan bertambah keberaniannya berbuat perbuatan maksiat dan
bertambah percaya dengan kurnia Allah. Manakala tabib itu bodoh atau
pengkhianat, niscaya ia mendatangkan kebinasaan dengan obatnya, dimana
diletakkannya tidak pada tempatnya. Maka al-Raja’ (harap) dan al-khauf
(takut) itu 2 obat. Akan tetapi bagi 2 orang yang
berlawanan penyakitnya.
Adapun
orang yang keras kepadanya harap, sehingga ia meninggalkan dunia dengan cara
keseluruhan. Dan ia memaksakan dirinya apa yang tidak disanggupinya. Ia
menyempitkan hidup atas dirinya secara keseluruhan. Maka pecahlah alamat
berlebih-lebihannya pada takut, dengan menyebutkan sebab-sebab harap. Supaya ia
kembali kepada: sedang (i’tidal). Dan seperti demikian juga, orang yang
berkekalan berbuat dosa, yang ingin kepada berobat, yang tercegah dari taubat
itu, disebabkan patah hati dan putus asa. Karena memandang besar dosa-dosanya
yang telah terdahulu. Ia dapat juga berobat dengan sebab-sebab harap. Sehingga
ia mengharap pada terkabulnya taubat. Maka ia bertaubat. Adapun pengobatan
orang yang terperdaya, yang terlepas pada perbuatan-perbuatan maksiat, dengan
mengingati sebab-sebab harap, maka ia menyerupai dengan pengobatan orang yang
dipanasi dengan air madu, karena mencari kesembuhan. Dan yang demikian itu,
termasuk kebiasaan orang-orang bodoh dan orang-orang dungu.
Jadi,
kerusakan tabib-tabib itulah yang menyempitkan, lagi menyukarkan, yang
berkali-kali tidak akan menerima obat. Kalau anda bertanya: sebutkanlah jalan
yang seyogyanya akan ditempuh oleh orang yang memberi pengajaran, pada jalan
pengajaran kepada orang banyak ! maka ketahuilah kiranya, bahwa yang demikian
itu panjang dan tidak mungkin menghinggakan jauhnya. Ya, kami akan menunjukkan
kepada bermacam-macam hal yang bermanfaat pada melepaskan ikatan kekekalan
berbuat dosa. Dan membawa manusia kepada meninggalkan dosa. Yaitu 4 macam:
yang pertama: bahwa ia ingat apa yang ada dalam Alquran, dari
ayat-ayat yang menakutkan kepada orang-orang yang berbuat dosa dan berbuat
maksiat. Dan seperti demikian juga, apa yang datang pada hadits-hadits dan
atsar. Seperti: sabda Nabi saw: “Tiada seharipun yang telah terbit fajarnya dan
tiada semalampun yang telah hilang safaknya, melainkan ada 2 malaikat yang
bersoal jawab dengan 4 suara: yang satu berkata: “Wahai kiranya makhluk ini
tidak dijadikan”. Yang lain berkata: “Wahai kiranya mereka ! karena telah
dijadikan, mereka tahu karena apa mereka dijadikan”. Lalu yang lain berkata:
“Wahai kiranya mereka ! karena mereka tidak tahu, karena apa mereka dijadikan,
mereka mengerjakan dengan apa yang diketahui mereka”. Pada setengah riwayat:
“Wahai kiranya mereka duduk-duduk, lalu mereka sebut menyebutkan apa yang
mereka ketahui”. Yang lain mengatakan: “Wahai kiranya mereka ! karena mereka
tidak mengerjakan apa yang mereka ketahui mereka bertaubat dari apa yang
dikerjakan mereka”. Setengah salaf (ulama terdahulu) mengatakan: “Apabila hamba
itu berbuat dosa, maka malaikat yang disebelah kanan menyuruh malaikat yang
disebelah kiri dan dia yang menjadi amir atas malaikat yang disebelah kiri itu,
supaya kata-kata (pena) diangkat (tidak ditulis) daripadanya 6 jam. Kalau ia
bertaubat dan meminta ampun, niscaya dosa itu tidak dituliskan kepadanya. Dan
jikalau ia tidak meminta ampun, niscaya dituliskan dosa itu”. Setengah salaf
berkata: “Tiada seorangpun dari hamba yang mengerjakan perbuatan maksiat,
melainkan ia meminta izin tempatnya di bumi, untuk tenggelam dengan dia. Dan ia
meminta izin atapnya dari langit, bahwa atap itu jatuh atas dirinya dengan
terpotong-potong. Maka Allah Ta’ala berfirman kepada bumi dan langit: “Cegahlah
daripada hambaKu dan tangguhkanlah ! sesungguhnya engkau berdua tidaklah
menjadikan hambaKu itu. Dan jikalau engkau berdua yang menjadikan niscaya
engkau mengasihaninya. Mudah-mudahan ia akan bertaubat kepadaKu. Maka akan Aku
ampunkan dosanya. Mudah-mudahan ia akan berganti menjadi orang shalih (orang
baik), maka akan Aku gantikan baginya akan segala kebaikan”. Yang demikian itu
ialah arti firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah itulah yang menahan langit
dan bumi, supaya jangan berhenti bekerja. Dan kalau keduanya berhenti bekerja,
tiada seorangpun yang dapat menahan, selain daripadanya”. S 35 Faathir ayat 41.
Ada
hadits ‘Umar bin Al Khattab ra: “Cap itu tergantung pada tiang ‘Arsy. Maka
apabila kehormatan itu telah dirusakkan dan yang diharam-haram itu telah
dihalalkan, nsicaya Allah Ta’ala mengutus cap itu. Lalu IA capkan atas hati,
dengan apa yang ada padanya”. Pada hadits Mujahid: “Hati itu seperti tapak
tangan yang terbuka. Tiap kali hamba itu berbuat sesuatu dosa, niscaya
tergenggamlah satu anak jarinya, sehingga tergenggam anak jari itu semua. Lalu
tersumbat atas hati. Maka yang demikian itulah: tabiat. Al Hasan Al Bashari ra
berkata: “Sesungguhnya diantara hamba dan Allah, ada batas dari
perbuatan-perbuatan maksiat, yang diketahui apabila hamba telah sampai kepada
batas tersebut, niscaya dicapkan oleh Allah atas hatinya. Maka Allah Ta’ala
tidak memberikan taufiq kepadanya lagi dengan kebajikan sesudah itu”. Hadits
dan atsar tentang mencela perbuatan-perbuataan maksiat dan memuji orang-orang
yang bertaubat itu tidak terhingga banyaknya. Maka seyogyalah orang yang
memberi pengajaran. Membanyakkan hadits dan atsar itu, kalau dia pewaris
Rasulullah saw. “Maka sesungguhnya beliau itu tidak meninggalkan dinar dan
dirham. Hanya beliau meninggalkan ilmu dan hikmah. Dan diwarisi oleh setiap
orang yang berilmu (ulama) menurut kadar yang diperolehnya”.
Bahagian kedua: ialah cerita nabi-nabi dan orang-orang salaf yang
salih dan apa yang terjadi atas diri mereka dari malapetaka. Malapetaka,
disebabkan dosa mereka. Maka yang demikian itu sangat berkesan, nyata
manfaatnya pada hati makhluk (manusia). Seperti keadaan Nabi Adam as mengenai
kemaksiatannya dan apa yang ditemuinya, dari hal pegeluarannya dari sorga.
Sehingga, diriwayatkan, bahwa tatkala ia memakan buah kayu yang terlarang, lalu
berterbanganlah pakaian intan permata dari tubuhnya dan tampaklah auratnya.
Maka malulah mahkota dan mahkota kebesarannya dari mukanya, bahwa keduanya itu
terangkat tinggi daripadanya. Lalu datang kepadanya malaikat Jibril as. Maka
Jibril as mengambil mahkota dari kepalanya dan mahkota kebesarannya dari tepi
dahinya. Dan diserukan dari atas ‘Arasy: “Turunlah kamu berdua dari sisiKu !
sesungguhnya orang yang berbuat maksiat kepadaKu, tidak akan berada di sisiKu
!”. Kata yang empunya riwayat: “Lalu Adam as menoleh kepada Hawa, dengan
menangis, seraya berkata: “Inilah permulaan nasib buruk dari perbuatan maksiat.
Kita dikeluarkan dari sisi yang dicintai”.
Diriwayatkan,
bahwa Sulaiman bin Daud as tatkala mendapat siksaan atas kesalahannya, lantaran
patung yang disembah di rumahnya, selama 40 hari. Dan dikatakan, karena seorang
wanita (salah seorang dari isteri Sulaiman: Jarradah), meminta kepada Sulaiman,
supaya ia menjatuhkan hukuman untuk kepentingan bapaknya. Lalu Sulaiman as
menjawab: “Boleh !”. Tetapi tidak dilaksanakannya. Dan menurut riwayat, bahkan
Sulaiman as suka dengan hatinya sendiri, bahwa hukuman itu demi untuk
kepentingan bapak wanita (isterinya) itu. Terhadap musuhnya. Karena wanita
tersebut mendapat kedudukan tersendiri pada Sulaiman as (yang lebih dicintainya
dari isteri-isteri yang lain). Maka kerajaannya dicabut selama 40 hari. Lalu
Sulaiman lari berkelana dengan tidak bertujuan. Ia meminta pada orang dengan
tampak tangannya yang terbuka. Tetapi orang tidak mau memberi makanan
kepadanya. Apabila ia mengatakan: “Berilah aku makanan ! aku ini Sulaiman
putera Daud”. Lalu kepalanya dilukai, diusir dan dipukuli orang menurut cerita,
bahwa Sulaiman itu meminta makanan pada rumah isterinya. Lalu isterinya itu
mengusirnya dan meludahi mukanya. Pada suatu riwayat seorang wanita tua
mengeluarkan kendi air, yang didalamnya kencing. Lalu dituangkannya ke atas
kepala Sulaiman. Sehingga Allah Ta’ala mengeluarkan sebentuk cincin dari perut
ikan paus. Maka cincin itu dipakai oleh Sulaiman sesudah berlalu 40 hari, masa
hukuman. Riwayat itu seterusnya: “Maka datanglah burung-burung, lalu dihinggap
di atas kepalanya. Datanglah jin, setan dan binatang-binatang liar. Semuanya
berkumpul dikelilinginya. Lalu meminta maaf kepada Sulaiman, sebahagian dari
orang yang pernah berbuat aniaya kepadanya. Maka Sulaiman menjawab: “Aku tidak
mencaci kamu tetapi apa yang kamu perbuat sebelumnya. Dan aku tidak memuji kamu
tentang permintaan maafmu sekarang. Ini sesungguhnya adalah perintah dari
langit. Dan tak boleh tidak daripadanya”.
Diriwayatkan,
dalam riwayat-riwayat kaum Bani Israil, bahwa seorang laki-laki kawin dengan
seorang wanita dari negeri lain. Lalu laki-laki tersebut mengutus budaknya
untuk membawa wanita tadi kepadanya. Maka wanita tersebut membujuk diri budak
tadi dan ia meminta budak itu bergaul dengan dia. Lalu budak tersebut melawan
dengan sungguh-sungguh kehendak wanita itu dan ia memelihara dari dosa. Cerita
itu seterusnya: “Maka Allah Ta’ala mengangkat budak itu menjadi nabi dengan
barakah taqwanya. Lalu ia menjadi seorang nabi pada kaum Bani Israil”. Dalam
kisah-kisah Musa as ialah bahwa Musa as berkata kepada nabi Hidlir as: “Dengan
apa engkau diperlihatkan dengan kepada alam ghaib ?”. Nabi Hidlir as menjawab:
“Dengan sebab aku meninggalkan semua perbuatan maksiat karena Allah Ta’ala !”.
Diriwayatkan, bahwa angin itu berjalan dengan nabi Sulaiman as lalu nabi
Sulaiman as itu memandang kepada baju kemejanya sejenak dan baju itu adalah
baju baru. Maka nabi Sulaiman as seakan-akan merasa bangga dengan bajunya itu.
Riwayat tadi seterusnya: “Lalu angin itu meletakkan (memakaikan) baju tadi
kepada Sulaiman as maka Sulaiman as bertanya: “Mengapa engkau berbuat ini dan
aku tidak menyuruh engkau ?”. Angin itu menjawab: “Kami sesungguhnya taat
kepada engkau, apabila engkau taat kepada Allah”.
Diriwayatkan,
bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Ya’kub as: “Tahukah engkau,
mengapa Aku ceraikan engkau dari anak engkau Yusuf?”. Nabi Ya’kub as menjawab:
“Tidak !”. Allah Ta’ala berfirman: “Karena engkau mengatakan kepada
saudara-saudaranya: “Aku takut Yusuf itu dimakan nanti oleh srigala dan engkau
semua lengah”. Mengapa engkau takut srigala kepadanya dan engkau tiada
mengharap kepadaKu ? mengapa engkau memperhatikan kepada kelengahan
saudara-saudaranya dan engkau tidak memperhatikan kepada pemeliharaanKu kepada
Yusuf ? engkau tahu, mengapa Aku kembalikan Yusuf kepada engkau ?”. Nabi Ya’kub
as menjawab: “Tidak”. Allah Ta’ala berfirman: “Karena engkau mengharap kepadaKu
dan engkau berkata: “Mudah-mudahan Allah mendatangkan kepadaku mereka semua !”.
S 12 Yusuf ayat 83. Dan disebabkan apa yang engkau katakan: “Pergilah cari
Yusuf dan saudaranya dan janganlah berputus harapan kepada kurnia Allah !”. S
12 Yusuf ayat 87. Begitulah tatkala Yusuf mengatakan kepada teman raja:
“Ingatkanlah aku kepada Tuhanmu !”. S 12 Yusuf ayat 42. Allah Ta’ala berfirman:
“Tetapi setan, menyebabkan dia lupa menyebutkannya kepada tuannya. Maka teruslah
dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya”. S 12 Yusuf ayat 42.
Cerita-cerita yang seperti ini tidak terhingga jumlahnya. Dan tidak dikemukakan
oleh Alquran dan hadits-hadits untuk diperbincangkan waktu duduk-duduk pada
malam hari. Akan tetapi maksudnya. Adalah untuk menjadi ibarat dan direnungkan
dengan mata hati. Supaya diketahui bahwa para nabi-nabi as tidak dibiarkan dari
mereka tentang dosa-dosa kecil. Maka bagaimana dibiarkan dari orang-orang yang
bukan mereka tentang dosa-dosa besar ? benar adalah kebahagiaan mereka tentang
disegerakan dengan siksaan dan tidak dilambatkan sampai nanti di akhirat. Dan
orang-orang yang durhaka itu dilambatkan siksanya, supaya mereka tambah
berdosa. Dan karena azab di akhirat itu lebih keras dan lebih besar. Maka ini
juga termasuk hal yang seyogyanya banyak jenisnya. Pada pendengaran orang-orang
yang berkekalan berbuat dosa. Maka itu adalah bermanfaat pada menggerakkan
panggilan-panggilan taubat.
Bagian ketiga: bahwa
tetaplah pada mereka. Bahwa penyegeraan siksaan di dunia itu akan terjadi atas
segala dosa. Dan bahwa setiap yang ditimpakan atas hamba dari segala musibah.
Maka adalah disebabkan penganiayaan-penganiayaannya. Maka kerapkali hamba itu
memandang engkau urusan akhirat. Dan ia takut dengan siksaan Allah di dunia itu
lebih banyak, karena terlalu bodohnya. Maka seyogyalah ia ditakutkan dengan
yang demikian itu. Bahwa dosa-dosa itu seluruhnya akan disegerakan di dunia
keburukannya pada kebanyakan hal. Sebagaimana diceritakan tentang kisah Daud as
dan Sulaiman as. Sehingga kadang-kadang menjadi sempit atas hamba itu
rezekinya. Disebabkan dosa-dosanya. Kadang-kadang kedudukannya jatuh dari hati
manusia dan ia dikuasai oleh musuh-musuhnya. Nabi saw bersabda: “Hamba itu
sesungguhnya akan tidak diberikan rezeki, disebabkan dosa yang diperbuatnya”.
Ibnu Mas’ud mengatakan: “Aku sesungguhnya menduga, bahwa hamba itu akan lupa
kepada pengetahuannya, disebabkan dosa yang diperbuatnya”. Dan itu adalah
maksud sabda Nabi saw: “Barangsiapa mengerjakan suatu dosa, niscaya ia akan
bercerai dengan akal (ilmu)nya. Yang tiada akan kembali kepadanya untuk
selama-lamanya. Sebagian salaf (ulama terdahulu) mengatakan: “Tidaklah laknat
(kena kutukan) itu hitam pada muka dan kurang pada harta. Sesungguhnya laknat
itu, tidak akan keluar dari suatu dosa, melainkan dia telah terjatuh pada dosa
yang seperti dosa itu atau lebih jahat daripadanya”. Dan itu adalah seperti
yang dikatakan oleh sebagian salaf. Karena laknat itu, ialah pengusiran dan
penjauhan. Maka apabila tiada diberi taufiq kepada kebajikan dan disukakan
kepadanya kejahatan, niscya ia telah dijauhkan. Dan diharamkan (tidak
diberikan) rezeki taufiq itu adalah pengharaman yag terbesar. Dan setiap dosa
itu sesungguhnya mengajak kepada dosa yang lain dan akan berlipat ganda. Lalu
hamba itu dengan sebab tersebut tidak memperoleh rezeki yang bermanfaat dari
duduk-duduk dengan ulama-ulama yang menantang dosa-dosa dan dari duduk-duduk
dengan orang-orang shalih. Akan tetapi ia akan dikutuk oleh Allah Ta’ala karena
ia dikutuk oleh orang-orang shalih.
Diceritakan dari sebagian orang-orang yang
berilmu ilmu mengenal Allah Ta’ala, bahwa beliau berjalan kaki dalam lumpur
dengan mengumpulkan kain-kainnya menjaga dari tergelincir kakinya. Lalu kakinya
tergelincir dan ia jatuh. Maka ia bangun berdiri dan terus berjalan kaki di
tengah-tengah lumpur itu dan menangis, seraya mengatakan: “Inilah contohnya
hamba Allah yang senantiasa menjaga diri daripada dosa dan menjauhkannya. Lalu
ia jatuh dalam suatu dosa dan dua dosa. Maka di sisi dosa-dosa itu, ia termasuk
lagi dalam dosa-dosa”. Itu adalah isyarat, bahwa dosa-dosa itu akan segera
siksaan dengan berhela kepada dosa-dosa yang lain. Dan karena itulah, Al
Fudhail bin Iyadl ra mengatakan: “Sesungguhnya aku, tidak mengingkari dari
perubahan zaman dan kemasaman muka teman-teman. Maka dosa-dosamu mewariskan
yang demikian kepadamu”. Yang lain mengatakan pula: “Aku sesungguhnya
mengetahui siksaan dosa itu pada jahat perangainya keledaiku”. Yang lain
berkata: “Aku mengetahui siksaan sehingga pada tikus rumahku”. Setengah kaum
sufi negeri Syam (suriah) mengatakan: “Aku memandang kepada seorang anak
laki-laki Nasrani, yang cantik mukanya. Lalu aku berhenti memandang kepadanya.
Maka lalulah dekatku Ibnul-Jala’ Ad-Damsyiqi. Lalu ia memegang tanganku. Maka
aku malu kepadanya, seraya aku berkata: “Hai ayah Abdullah ! subhaanallah ! aku
merasa takjub dari bentuk yang cantik ini dan bikinan yang kokoh ini bagaimana
ia dijadikan untuk api neraka ?”. Lalu Ibnul Jala’ menggenggam tanganku, seraya
mengatakan: “Engkau sesungguhnya akan memperoleh siksaannya sesudah seketika
nanti”. Sufi tersebut meneruskan ceritanya: “Maka aku disiksakan dengan sebab
dosa tersebut, sesudah 30 tahun kemudian”.
Abu
Sulaiman Ad-Darani ra mengatakan: “Al ihtilam (bermimpi, sehingga mengeluarkan
mani) itu suatu siksaan”. Abu Sulaiman Ad Darani ra meneruskan: “Tiada
seseorangpun akan luput dari shalat jamaah, selain dari dosa yang
diperbuatnya”. Pada hadits, yang berbunyi: “Apa yang kamu tantang dari zamanmu,
maka adalah dengan apa yang kamu rubah dari perbuatanmu”. Pada hadits: “Allah
Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya sekurang-kurang apa yang Aku perbuat kepada
hambaKu, apabila ia mengutamakan nafsu syahwatnya daripada berbuat taat
kepadaKu, ialah Aku haramkan (tidak Aku berikan kepadanya), kelezatan
bermunajah (bercakap-cakap dengan Aku)”.
Diceritakan
dari Ibnu Amir bin Ulwan, pada suatu kisah yang panjang ceritanya, dimana Ibnu
Amir bin Ulwan itu menerangkan dalam ceritanya: “Adalah aku pada suatu hari
berdiri mengerjakan shalat. Lalu bercampurlah hatiku dengan kecenderungan
nafsu, yang lama aku terbawa kepadanya dengan pikiranku. Sehingga terjadi
daripadanya, nafsu syahwat laki-laki. Lalu aku jatuh tersungkur ke bumi.
Tubuhku hitam seluruhnya. Maka aku menutup diri di rumah. Tiada aku keluar
rumah selama 3 hari. Aku mengobatinya dengan mandi pada sumur air panas dengan
sabun. Maka semakin bertambah hitam tubuhku. Sehingga aku menampakkan diri
sesudah 3 hari. Maka aku bertemu dengan Al Junaid ra ia telah menghadapkan
mukanya kepadaku. Lalu ia minta datang aku di Ariqqah (suatu negeri di Irak).
Maka tatkala aku mendatanginya itu, ia berkata kepadaku: “Apakah engkau tidak
malu kepada Allah Ta’ala ? engkau berdiri di hadapanNya lalu engkau gembirakan
diri engkau dengan nafsu syahwat. Sehingga nafsu itu menguasai engkau dengan
halus. Dan nafsu itu mengeluarkan engkau dari hadapan Allah Ta’ala ? maka
jikalau tidaklah aku berdoa kepada Allah Ta’ala bagi engkau dan aku minta
taubat kepadanya untuk engkau, niscaya engkau menemui Allah Ta’ala dengan warna
yang demikian”.
Ibnu
Amir bin Ulwan mengatakan: “Aku sangat heran, bagaimana ia tahu yang demikian.
Sedang dia itu di Baghdad dan aku di Ariqqah”. Ketahuilah kiranya, bahwa
tidaklah seorang hamba itu berbuat suatu dosa, melainkan akan hitam wajah hatinya.
Kalau ia orang berbahagia, niscaya warna hitam itu akan kelihatan pada yang
terang di tubuhnya, supaya ia takut. Dan kalau ia tiada orang berbahagia,
niscaya disembunyikan warna hitam itu. Sehingga ia binasa dan harus memperoleh
neraka. Hadits-hadits itu banyak tentang bahaya dosa di dunia dari kemiskinan,
kesakitan dll. Bahkan dari celakanya dosa di dunia atas keseluruhannya, ialah
dosa itu mengusahakan sesudahnya akan sifatnya. Kalau ia mendapat percobaan
dengan sesuatu, niscaya adalah itu siksaan baginya. Dan ia tidak memperoleh
keelokan rezeki, sehingga berlipat gandalah kesengsaraannya. Dan kalau ia memperoleh
nikmat, maka itu adalah suatu penipuan baginya. Dan ia tidak akan memperoleh
keindahan syukur. Sehingga ia akan disiksakan atas kehidupannya (tidak
bersyukur). Adapun orang yang taat, maka dari barakah ketaatannya, bahwa semua
nikmat itu adalah menjadi haknya, sebagai balasan atas ketaatannya. Ia diberi
taufiq untuk mensyukuri nikmat itu. Dan setiap bencana adalah menjadi penutup
dosa bagi dosanya dan menambahkan derajatnya.
Bagian keempat: menyebutkan apa yang datang dari agama, dari hal segala
siksaan atas masing-masing dosa, seperti: minum khamar, zina, mencuri,
membunuh, mengumpat, sombong dan dengki. Semua itu termasuk yang tidak mungkin
terhingga banyaknya. Dan menyebutkan yang demkian itu, pada yang bukan ahlinya,
adalah ibarat meletakkan obat pada bukan tempatnya. Akan tetapi, seyogyalah,
bahwa orang berilmu (orang alim) itu seperti tabib (dokter) yang mahir. Lalu
pertama-tama, ia mengambil dalil dengan denyut urat nadi, panas badan dan
adanya gerak-gerak, yang menunjukkan kepada penyakit dalam. Dan ia berusaha
mengobatinya. Lalu ia mengambil dalil dengan tanda-tanda keadaan, kepada
sifat-sifat yang tersembunyi. Dan hendaklah ia mengemukakan, bagi apa yang
diketahuinya, untuk mengikuti jejak Rasulullah saw, dimana salah seorang
sahabat berkata kepadannya: “Berilah aku nasehat wahai Rasulullah ! dan jangan
engkau banyakkan nasehat itu kepadaku !”. Rasulullah saw menjawab: “Jangan
engkau marah !”. Sahabat yang lain berkata: “Berilah aku nasehat, wahai
Rasulullah !”. Rasulullah saw lalu
menjawab: “Haruslah engkau jangan mengharap apa yang dalam tangan orang ! maka
yang demikian itu sesungguhnya adalah kaya. Jagalah dirimu dari sifat loba !
maka itu sesungguhnya adalah kemiskinan yang sekarang. Kerjakanlah shalat,
sebagai shalat orang yang akan berpsiah ! jagalah dirimu dari apa yang menjadi
halangan daripadanya!”.
Seorang
laki-laki berkata kepada Muhammad bin Wasi’ Al Bashari ra: “Berilah aku nasehat
!” Muhammad bin Wasi’ Al Bashari ra menjawab: “Aku memberi nasehat kepadamu,
ialah, bahwa adalah kamu itu raja di dunia dan di akhirat”. Laki-laki itu
menjawab:”Bagaimana aku dapat demikian?”. Muhammad bin Wasi Al Basahari ra itu
menjawab: “Haruslah kamu zuhud di dunia!”. Maka Nabi saw pada jawabannya itu,
seakan-akan membekas pada penanya pertama tanda-tanda kemarahan. Lalu
dilarangnya dari kemarahan itu. Dan pada penanya kedua, tanda-tanda loba pada
hak manusia dan panjang angan-angan. Dan Muhammad bin Wasi berkhayal pada
penanyanya tanda-tanda kerakusan pada dunia.
Seorang
laki-laki berkata kepada Ma’adz: “Berilah aku nasehat !”. Ma’adz lalu menjawab:
“Hendaklah engkau itu penyayang, niscaya aku menjadi pemimpinmu di sorga !”.
Maka dengan jawabannya itu, Ma’adz seakan-akan berfirasat akan bekas-bekas
kekasaran dan kekerasan hati pada laki-laki itu. Seorang laki-laki berkata
kepada Ibrahim bin Adham: “Berilah aku nasehat !”. Ibrahim bin Adham lalu
menjawab: “Awaslah kepada manusia ! kamu harus dengan mansuia dan tak boleh
tidak dari manusia ! sesungguhnya manusia itu adalah manusia. Dan tidaklah
semua manusia itu dengan manusia. Pergilah, hilanglah manusia dan tinggallah
manusia-manusiaan. Aku tidaklah melihat mereka dengan manusia. Akan tetapi, mereka
itu terbenam dalam air putus asa”. Dengan jawabannya itu, Ibrahim bin Adham
seakan-akan berfirasat, akan bahayanya bercampur-baur dengan manusia. Dan ia
menceritakan dari hal keadaan yang banyak terjadi pada masanya. Dan biasanya
adalah ia disakiti oleh manusia. Berbicara menurut kadar orang yang bertanya
itu lebih utama, daripada menurut keadaan orang yang menjawab.
Muawiyah
ra menulis surat kepada Aisyah ra, yang isinya diantara lain: “Tulislah
kepadaku, sepucuk surat, dimana anda menasehati aku di dalamnya ! dan jangan
anda banyakkan !”. Lalu Aisyah ra menulis surat kepada Muawiyah, yang isinya:
dari Aisyah kepada Muawiyah! Salam sejahtera kepadamu! Adapun kemudian,
sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mencari rela
Allah, dengan marahnya manusia, niscaya ia dicukupkan oleh Allah dari
perbelanjaan manusia. Dan barangsiapa mencari kemarahan Allah dengan rela
manusia, niscaya ia diserahkan oleh Allah kepada manusia. Salam sejahtera
kepadamu!. Maka perhatikanlah kepada kepahaman (ilmu fiqhnya) Aisyah !
bagaimana ia membentangkan bahaya yang
dihadapi penguasa-penguasa (wali-wali negeri). Yaitu: menjaga manusia dan
mencari kerelaan mereka. Pada kali lain, Aisyah ra menulis pula kepada
Muawiyah, sbb:
Adapun kemudian, maka takutlah
(bertaqwalah) kepada Allah ! maka engkau sesungguhnya apabila sudah bertaqwa
kepada Allah, niscaya Allah mencukupkan bagi engkau kepada manusia. Dan apabila
engkau takut kepada manusia, nsicaya tiada suatupun yang cukup bagi mereka
daripada engkau , selain dari Allah.
Wassalam.
Jadi,
maka haruslah atas setiap juru nasehat, bahwa kesungguhannya (perhatiannya)
adalah terarah kepada mencari firasat sifat-sifat yang tersembunyi dan mencari
tanda-tanda hal-hal yang layak. Supaya pekerjaannya itu adalah menyangkut
dengan yang penting. Sesungguhnya menceritakan semua pengajaran agama pada
setiap seseorang itu tidak mungkin. Dan menyibukkan diri dengan memberi
pengajaran, dengan apa yang tidak diperlukan mengajarinya itu, adalah membuang-buang
waktu. Kalau anda bertanya: “Jikalau juru nasehat itu berbicara pada kumpulan
manusia (di hadapan manusia banyak) atau ia diminta oleh orang yang tidak
mengetahui keadaan batinnya, supaya memberi pengajaran kepadanya, maka
bagaimana ia berbuat ?”.
Ketahuilah
kiranya, bahwa jalannya pada yang demikian itu, ialah supaya ia memberi
pengajaran kepada orang tersebut, menurut apa yang terdapat persamaan diantara
seluruh manusia, yang diperlukannya. Adakalanya di atas umumnya yang demikian
atau menurut yang kebanyakan. Sesungguhnya pada ilmu-ilmu syara itu, adalah
makanan dan obat-obatan. Maka makanan itu, adalah bagi seluruh manusia. Dan
obat-obatan itu bagi orang-orang yang sakit. Contohnya, ialah: apa yang
diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Abi Sa’id Al Khudri:
“Berilah aku nasehat !”. Abi Said Al Khudri ra menjawab: “Haruslah engkau
bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla ! karena taqwa itu, adalah kepala
tiap-tiap kebajikan. Dan haruslah engkau berjihad! Karena jihad itu adalah jalan
pertapaan Islam. Haruslah engkau berpegang teguh dengan Alquran! Karena Alquran
itu sinar bagi engkau pada penduduk bumi dan dzikir (peringatan) bagi engkau
pada penduduk langit. Haruslah engkau berdiam diri, kecuali dari kebajikan !
sesungguhnya engkau dengan yang demikian itu, dapat mengalahkan setan”.
Seorang
laki-laki berkata kepada Al Bashari ra: “Berilah aku nasehat !”. Al Hasan Al
Bashari ra lalu menjawab: “Muliakanlah perintah Allah, niscaya Allah memuliakan
engkau”.
Lukman
berkata kepada anaknya: “Hai anakku! Berdesak-desaklah kamu dengan ulama dengan
dua lututmu! Janganlah kamu berperdebatan (bertengkar) dengan mereka! Lalu
mereka nanti akan mengutukmu. Ambillah dari dunia, sekadar yang menyampaikan
engkau ke akhirat! Belanjakanlah kelebihan usahamu bagi akhiratmu ! janganlah
kamu menolak dunia secara keseluruhannya! Lalu adalah kamu itu nanti menyandar
diri kepada orang dan berpegang atas leher orang. Janganlah sekali-kali
demikian! Puasalah dengan puasa yang menghancurkan nafsu syahwatmu! Janganlah
kamu berpuasa dengan suatu puasa yang mendatangkan melarat dengan shalatmu!
Karena shalat itu sesungguhnya lebih utama daripada puasa. Janganlah kamu
duduk-duduk dengan orang yang kurang pikiran! Dan janganlah kamu bercampur baur
dengan orang yang bermuka dua!”. Lukman berkata pula kepada anaknya: “Hai
anakku! Janganlah kamu tertawa dari hal yang menakjubkan ! janganlah kamu
berjalan pada yang tak ada maksud ! janganlah kamu bertanya pada hal yang tidak
perlu bagimu! Janganlah kamu menyia-nyiakan hartamu dan berbuat baik bagi harta
orang lain ! hartamu sesungguhnya, ialah yang kamu kemukakan dan harta orang
lain ialah yang kamu tinggalkan. Hai anakku sesungguhnya siapa yang mengasihani
orang, niscaya ia dikasihani. Dan siapa berdiam diri, niscaya selamat. Siapa
yang mengatakan kebajikan, niscaya memperoleh hasil. Siapa yang mengatakan
kejahatan, niscaya berdosa. Dan siapa yang tidak memiliki (menguasai) lidahnya
niscaya menyesal”.
Seorang
laki-laki berkata kepada Abi Hazim At-Tabi’i ra: “Berilah aku nasehat !”. Abi
Hazim At-Tabii ra menjawab: “Setiap sesuatu, jikalau datanglah maut (kematian)
kepadamu pada suatu itu lalu kamu memandangnya sebagai harta rampasan perang
(ghanimah) maka teruskanlah! Dan setiap sesuatu, jikalau datanglah kematian
kepadamu padanya, lalu kamu memandangnya sebagai musibah, maka jauhilah!”.
Nabi
Musa as berkata kepada nabi Khidlir as: “Berilah aku nasehat !”. Lalu nabi
Khidlir as menjawab: “Hendaklah engkau itu tersenyum ! janganlah engkau itu
pemarah. Hendaklah engkau itu bermanfaat ! janganlah engkau itu pembawa melarat
! cabutlah dirimu dari sifat keras kepala ! janganlah engkau pergi pada yang
tidak perlu ! janganlah engkau tertawa pada yang tidak menakjubkan ! janganlah
engkau memalukan orang-orang yang bersalah, dengan kesalahan mereka!
menangislah di atas kesalahan engkau, hai Ibnu ‘Imran !”.
Seorang
laki-laki berkata kepada Muhammad bin Kiram: “Berilah aku nasehat !”. Muhammad
bin Kiram lalu menjawab: “Bersungguh-sungguhlah mencari keridhaan Khaliq (yang
maha pencipta)mu, menurut kadar kamu bersungguh-sungguh mencari keridhaanmu
sendiri !”. Seorang laki-laki berkata kepada Hamid Al-Laffaf: “Berilah aku
nasehat !”. Hamid Al-Laffaf menjawab: “Buatlah bagi agamamu itu suatu sampul,
seperti sampulnya Al-Mash-haf (Alquran), daripada dikotorkan oleh bahaya-bahaya
!”. Laki-laki tersebut bertanya: “Apakah sampul agama itu ?”. Hamid Al-Laffaf
menjawab: “Meninggalkan mencari dunia, selain yang tidak boleh tidak.
Meninggalkan banyak perkataan, selain pada yang tidak boleh tidak. Meninggalkan
bercampur baur dengan manusia, selain pada yang tidak boleh tidak”.
Al-Hasan
Al-Bashari ra menulis surat kepada
khalifah ‘Umar bin Abdul-‘aziz ra:
Adapun kemudian, maka takutlah
dari apa yang dipertakutkan oleh Allah ! berhati-hatilah daripada apa yang
disuruh berhati-hati oleh Allah ! dan ambillah dari apa yang dalam dua tangan
engkau, untuk apa yang di hadapan engkau ! maka ketika mati, akan datang kepada
engkau berita yang yakin.
Wassalam.
‘Umar bin
Abdul-‘aziz ra menulis surat kepada Al-Hasan Al-Bashari ra, meminta kepada Al-Hasan Al-Bashari ra supaya menasehatinya. Lalu Al-Hasan
Al-Bashari ra membalas surat ‘Umar bin
Abdul-‘aziz, sbb:
Adapun kemudian, maka
sesungguhnya huru hara yang terbesar dan hal keadaan yang sangat tidak baik,
ialah yang dihadapan engkau. Dan tak boleh tidak bagi engkau daripada
menyaksikannya yang demikian. Adakalanya dengan mendapat kelepasan dan
adakalanya dengan kebinasaan. Dan ketahuilah, bahwa orang yang mengadakan
perhitungan terhadap dirinya sendiri, niscaya ia beruntung. Dan
orang yang lengah daripadanya, niscaya ia merugi. Dan siapa yang memperhati kan
kepada akibat sesuatu, niscaya ia lepas dari bahaya. Siapa yang menuruti hawa
nafsunya, niscaya ia sesat. Siapa yang penyantun, niscaya memperoleh. Siapa
yang takut, niscaya mendapat keamanan. Siapa yang merasa aman, niscaya dapat
mengambil ibarat. Siapa yang dapat mengambil ibarat, niscaya dapat melihat
dengan mata hati. Siapa yang dapat melihat dengan mata hati, niscaya dapat
memahami. Dan siapa yang dapat memahami, niscaya mengetahui. Maka apabila
engkau tergelincir, lalu kembalilah ! apabila engkau menyesal, maka cabutlah
dari perbuatan itu ! apabila engkau tidak tahu, maka bertanyalah ! dan apabila
engkau marah, maka tahanlah !.
Muthrif
bin Abdillah menulis surat kepada ‘Umar bin Abdul-‘aziz ra sbb:
Adapun kemudian, maka dunia itu
sesungguhnya, negeri siksaan. Dan untuk dunia dikumpulkan oleh orang tak
berakal. Dengan dunia tetipu orang tidak mempunyai ilmu. Maka hendaklah engkau
dalam dunia itu, wahai Amirul mu’minin, seperti orang yang mengobati lukanya.
Ia bersabar atas bersangatan pedihnya obat, karena ia takut dari akibatnya
penyakit.
‘Umar
bin Abdul-‘aziz ra menulis surat kepada ‘Uda bin Arthah, sbb:
Adapun kemudian, maka dunia itu
sesungguhnya musuh wali-wali Allah dan musuh-musuh Allah. Adapun wali-wali
Allah, maka dunia itu membuat mereka kelang-kabut. Adapun musuh-musuh Allah,
maka dunia itu menipu mereka.
‘Umar
bin Abdul-‘aziz ra menulis surat kepada sebahagian pegawai-pegawainya, sbb:
Adapun kemudian, maka
sesungguhnya memungkinkan engkau mampu berbuat zalim kepada hamba-hamba Allah.
Maka apabila engkau bercita-cita berbuat zalim terhadap seseorang, maka
ingatlah akan kekuasaan Allah atas engkau ! dan ketahuilah, bahwa engkau tidak
datang sedikitpun kepada manusia, melainkan yang sedikit itu hilang dari mereka
dan kekal atas diri engkau. Dan ketahuilah, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla
mengambil untuk orang-orang yang dizalimi, dari orang-orang yang zalim !
Wassalam.
Maka
begitulah seyogyanya pengajaran bagi orang awam. Dan pengajaran bagi orang yang
tidak tahu akan kekhususan kejadiannya. Pengajaran-pengajaran tersebut adalah
seperti makanan, yang keseluruhan manusia berkongsi mengambil manfaatnya. Dan
karena tidak adanya juru-juru pengajaran seperti mereka itu, maka tertutuplah
pintu pengajaran. Menanglah perbuatan-perbuatan maksiat dan berkembanglah
kerusakan. Dan manusia mendapat percobaan, dengan juru-juru pengajaran yang
menghiasi pidatonya dengan sajak-sajak dan bernyanyi dengan rangkuman-rangkuman
pantun. Mereka memaksakan dirinya menerangkan apa yang tidak ada pada keluasan
ilmunya. Mereka ingin menyerupai dengan keadaan orang lain. Maka jatuhlah dari
hati orang awam, kemuliaan mereka. Dan perkataan mereka itu tidaklah terbit
dari hati, supaya sampai kepada hati, akan tetapi, yang berkata itu menyombong
dan yang mendengar itu memaksakan diri. Masing-masing dari dua orang tersebut,
membelakangi dan menyalahi. Jadi, mencari tabib adalah permulaan (langkah
pertama) pengobatan orang-orang sakit. Dan mencari ulama adalah permulaan
pengobatan orang-orang maksiat. Maka inilah salah satu sendi dan pokok
pengobatan !
Pokok kedua:
ialah: sabar, segi perlunya kepada sabar itu, ialah: bahwa orang sakit
sesungguhnya lama sakitnya untuk diperolehnya apa yang mendatangkan melarat
baginya. Dan sesungguhnya ia memperoleh yang demikian, adakalanya karena
kelengahannya dari kemeralatan itu. Dan adakalanya dari bersangatan keras nafsu
syahwatnya. Lalu ia mempunyai dua sebab. Maka apa yang kami sebutkan itu,
ialah: pengobatan orang-orang yang lalai. Maka tinggallah lagi pengobatan nafsu
syahwat. Dan jalan pengobatannya telah kami sebutkan dahulu pada Kitab Latihan
Jiwa. Hasilnya, ialah: bahwa orang sakit, apabila bersangatan bangkitnya
penyakit itu, karena makanan yang melarat dimakan, maka jalannya, ialah: bahwa
ia merasakan besarnya melarat itu. Kemudian, hilang yang demikian dari matanya.
Lalu tidak timbul lagi. Kemudian, ia terhibur dengan yang mendekati daripadanya
dalam bentuknya dan tidak banyak melaratnya. Kemudian, ia bersabar dengan
kuatnya ketakutan atas kepedihan yang akan diperolehnya pada meninggalkan
pengobatan itu. Maka tidak boleh tidak dalam segala keadaan, daripada kepahitan
sabar. Maka seperti demikianlah, ia mengobati nafsu syahwat pada
perbuatan-perbuatan maksiat. Seperti pemuda-umpamanya-apabila ia dikerasi oleh
nafsu syahwat, lalu ia menjadi tidak sanggup menjaga matanya, menjaga hatinya
atau menjaga anggota badannya, pada berjalan di belakang nafsu syahwat itu.
Maka seyogyalah bahwa ia merasakan akan melaratnya dosa, dengan ia menyelidiki hal-hal
yang menakutkan. Yang datang padanya dari Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah
RasulNya saw. Apabila telah bersangatan takutnya, niscaya ia menjauhkan diri
dari sebab-sebab yang mengobarkan nafsu syahwatnya. Dan yang mengobarkan nafsu
syahwat itu dari luar, ialah adanya yang diinginkan itu dan memandang
kepadanya. Pengobatannya, ialah lari dan mengasingkan diri. Dan dari dalam,
ialah memakan makanan yang lezat-lezat rasanya. Maka pengobatannya, ialah lapar
dan selalu berpuasa. Semua itu tiada akan sempurna, selain dengan sabar. Tiada
ia sabar, selain dari takut. Tiada ia takut, selain dari ilmu (tahu). Dan tiada
ia tahu, selain dari mata hati dan berpikir atau dari mendengar dan bertaqlid(menuruti).
Maka urusan yang pertama, ialah menghadiri majlis-najlis dzikir. Kemudian,
mendengar dari hati, yang terlepas dari segala gangguan, yang terserah kepada
mendengar. Kemudian, bertafakkur padanya, untuk kesempurnaan pemahaman. Dan
dari sempurnanya pemahaman sudah pasti membangkitlah ketakutan. Dan apabila
ketakutan itu telah kuat, niscaya dengan pertolongan ketakutan tersebut,
mudahlah sabar. Dan membangkitlah pengajak-pengajak untuk mencari pengobatan.
Taufiq Allah dan kemudahannya adalah di belakang yang demikian itu. Barangsiapa
yang memberikan dari hatinya kebagusan memperhatikan dan merasakan akan takut,
lalu ia bertaqwa, menunggu pahala dan membenarkan yang baik, maka ia akan
dimudahkan oleh Allah Ta’ala bagi yang lebih mudah.
Adapun
siapa yang kikir, merasa kaya dan mendustakan yang baik, maka ia akan dimudahkan
oleh Allah Ta’ala bagi yang lebih sukar. Lalu tidak mencukupi baginya, apa yang
dikerjakannya daripada kesenangan duniawi, manakala ia binasa dan terjerumus.
Dan tiadalah atas nabi-nabi, selain menguraikan jalan-jalan petunjuk. Dan Allah
sesungguhnya yang punya akhirat dan dunia. Kalau anda mengatakan, bahwa semua
urusan itu kembali kepada iman. Karena meninggalkan dosa itu tidak mungkin,
selain dengan menahan diri (sabar). Sabar itu tidak mungkin, selain dengan
mengenal takut. Takut itu tidak ada, selain dengan ilmu. Ilmu tidak berhasil,
selain dengan membenarkan besarnya melarat dosa. Dan membenarkan besarnya
melarat dosa ialah: membenarkan Allah dan RasulNya. Dan itu, ialah: iman. Maka
seakan-akan orang yang berkekalan mengerjakan dosa itu, ia tidak berkekalan di
atas yang demikian, selain karena dia tidak beriman. Maka ketahuilah kiranya,
bahwa yang tersebut itu tidak ada, karena ketiadaan iman, akan tetapi adalah,
karena kelemahan iman. Karena setiap orang yang beriman itu membenarkan, bahwa
perbuatan maksiat itu sebab jauhnya hamba dari Allah Ta’ala. Dan sebab
tersiksanya di akhirat. Akan tetapi sebab jatuhnya dalam dosa itu ada beberapa
hal:
Pertama: bahwa siksaan yang dijanjikan itu adalah hal ghaib (tidak
dapat disaksikan dengan pancaindra). Tidak hadir di depan kita. Dan jiwa itu,
menjadi tabiatnya berkesan dengan yang hadir. Maka berkesannya dengan yang
dijanjikan itu adalah: lemah, dibandingkan kepada kesannya yang hadir.
Kedua: bahwa nafsu syahwat yang membangkitkan kepada dosa itu,
kesenangan tunai (sekarang juga) dan sekarang juga nafsu syahwat itu mencekik
lehernya. Dan yang demikian itu semakin kuat dan menguasai dirinya, disebabkan
telah biasa dan kejinakan hati. Dan kebiasaan itu adalah tabiat ke-5. Mencabut
dari hal yang sekarang karena takutnya yang akan datang itu adalah sangat berat
atas jiwa. Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Jangan ! tetapi kamu
mencintai yang cepat (kehidupan dunia). Dan meninggalkan hari akhirat”. S 75 Al
Qiamah ayat 20-21. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Tetapi, kamu memilih
kehidupan dunia”. S 87 Al A’la ayat 16. Telah diibaratkan dari hal beratnya
keadaan itu, dengan sabda Rasulullah saw: “Sorga itu dikelilingi dengan hal-hal
yang tidak disukai dan neraka itu dikelilingi dengan nafsu syahwat itu. Nabi
saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan neraka lalu berfirman
kepada Jibril as: “Pergilah, lalu lihatlah neraka itu !”. Maka Jibril as pergi melihatnya.
Maka ia berkata: “Demi kemuliaanMu ! tiada seorangpun mendengar neraka itu,
lalu memasukinya”. Maka Allah Ta’ala menjadikan dikeliling neraka itu, dengan
hal-hal yang diingini (nafsu syahwat). Kemudian, ia berfirman kepada Jibril
as:”Pergilah, lalu lihatlah neraka itu !”. Lalu Jibril as pergi melihatnya.
Maka ia berkata: “Demi kemuliaanMu ! sesungguhnya aku takut, bahwa tiada
seorangpun yang tinggal, selain memasukinnya”. Allah Ta’ala menjadikan surga,
lalu berfirman kepada Jibril as: “Pergilah, maka lihatlah surga itu !”. Jibril
as lalu pergi melihatnya. Maka ia berkata: “Demi kemuliaanMu! Tiada seorangpun
yang mendengar dengan sorga itu, melainkan memasukinya”. Maka Allah Ta’ala
menjadikan dikeliling surga itu, dengan hal-hal yang tidak disukai. Kemudian Allah Ta’ala berfirman kepada Jibril as:
“Pergilah, maka lihatlah sorga itu!”. Lalu Jibril as pergi melihatnya. Maka ia
berkata: “Demi kemuliaanMu !
sesungguhnya aku takut, bahwa tiada seorangpun yang akan masuk sorga
itu”. Jadi, adanya nafsu syahwat yang membawa tanggungan sekarang dan adanya
siksaan yang dikemudiankan kepada masa mendatang nanti, adalah dua sebab nyata,
pada meluasnya dosa, serta adanya pokok iman. Maka tidaklah setiap orang yang
meminum air es dalam sakitnya, karena sangat hausnya itu, mendustakan pokok
ketabiban. Dan tidak pula ia mendustakan, bahwa yang demikian itu, mendatangkan
melarat terhadap dirinya. Akan tetapi, nafsu syahwat yang mengerasinya. Dan
kepahitan sabar itu ada sekarang juga dari yang demikian. Maka mudahlah baginya
kepedihan yang ditunggu adanya nanti.
Ketiga: bahwa tiada seorangpun orang mu’min yang berdosa, melainkan
biasanya ia berazam (cita-cita) kepada taubat. Dan menutupkan
kejahatan-kejahatan itu dengan perbuatan-perbuatan kebaikan. Dan telah
dijanjikan, bahwa yang demikian itu akan menampalkan dosanya. Hanya, bahwa
panjang angan-anganlah yang memenangi atas tabiatnya. Lalu ia senantiasa
berjanji akan bertaubat dan menutupkan dosa. Maka dari segi harapannya akan
memperoleh taufiq iu untuk bertaubat itu, kadang-kadang membawa kepadanya
beserta iman.
Keempat: bahwa tiada seorangpun dari orang mu’min yang yakin,
melainkan ia berkeyakinan, bahwa dosa-dosa itu tiada mewajibkan siksaan, yang
tidak mungkin dimaafkan daripadanya. Maka ia berbuat dosa dan menunggu kemaafan
daripadanya, karena berpegang dari kurnia Allah Ta’ala. Maka inilah 4 sebab
yang mengharuskan orang yang berkekalan kepada dosa, serta kekalnya pokok iman
dalam hatinya. Ya, kadang-kadang orang yang berbuat dosa itu, tampil kepada
dosa dengan sebab ke-5 yang mencederakan pada pokok imannya. Yaitu: adanya
keraguannya tentang kebenaran rasul-rasul. Dan ini adalah kekafiran (kufur).
Seperti orang yang diperingati oleh dokter, daripada memakan sesuatu yang
mendatangkan melarat pada penyakit. Jikalau orang yang diperingati itu termasuk
orang yang tidak percaya pada dokter itu, bahwa ia ahli dengan kedokteran, lalu
didustakannya atau ia ragu pada dokter itu, maka ia tidak memperduli kan dengan
nasehatnya. Maka ini, adalah kufur (menantang atau tidak percaya). Jikalau anda
bertanya, apakah obatnya sebab-sebab yang 5 itu ? maka aku menjawab, ialah
pikir. Dan yang demikian itu ialah: bahwa ia menetapkan atas dirinya pada sebab
pertama. Yaitu: terkemudiannya siksaan. Bahwa setiap yang akan datang itu, akan
datang. Dan hari esok bagi orang-orang yang memperhatikan itu, adalah: dekat.
Dan mati itu adalah lebih dekat kepada masing-masing orang dari tali sandalnya.
Tidak ada yang memberitahukan kepadanya, semoga hari kiamat itu dekat. Dan yang
terkemudian (terlambat) itu, apabila telah terjadi, niscaya menjadi kejadian
yang sekarang. Dan ia mengingatkan dirinya, bahwa bila ia selamanya dalam
dunianya, tentu akan memayahkannya sekarang. Karena ketakutan pada keadaan masa
mendatang. Karena ia akan mengarungi lautan dan merasakan penderitaan berjalan
jauh. Karena keuntungan yang disangkalnya, bahwa terkadang ia memerlukan
kepadanya pada keadaan kedua yang nanti. Bahkan, jikalau ia sakit, lalu
diberitahukan kepadanya oleh dokter Nasrani, bahwa meminum air dingin akan mendatangkan
melarat kepadanya dan akan membawanya kepada mati. Dan air dingin itu adalah
yang paling enak baginya. Niscaya akan ditinggalkannya. Sedang mati itu,
kepedihannya adalah sebentar, apabila ia tidak takut akan apa yang sesudahnya.
Berpisah dengan dunia, adalah hal yang tidak boleh tidak. Maka berapa
perbandingan adanya di dunia, kepada tidak adanya, pada azali ( tida kesudahan
/ permulaan ) dan pada selama-lamanya ? maka hendaklah diperhatikan, bagaimana
ia segera meninggalkan kesenangannya, dengan kata seorang kafir dzimmi (orang
kafir yang dibawah naungan pemerintahan Islam), yang tidak tegak mukjizat atas
ketabibannya ? lalu ia bertanya: “Bagaimana patut dengan akalku, bahwa adalah
perkataan nabi-nabi yang dikuatkan dengan mukjizat-mukjizat pada pihakku itu,
kurang dari perkataan seorang Nasrani, yang mendakwakan ketabiban bagi dirinya,
tanpa mukjizat atas ketabibannya? dan tidak disaksikan atas perkataanya itu,
selain oleh orang-orang awam ? bagaiamana adanya azab neraka pada pihakku,
lebih ringan daripada azab (kesengsaraan) sakit ? dan setiap hari di akhirat
itu adalah kadar 50 ribu tahun dari hari dunia. Dengan bertafakkur ini dengan
sendirinya, ia akan mengobati kelezatan yang mengerasi atas dirinya. Dan ia
memaksakan dirinya kepada meninggalkan kelezatan itu. Dan ia mengatakan:
“Apabila aku tidak mampu meninggalkan kelezatanku pada hari-hari usiaku dan itu
adalah hari-hari yang sedikit, maka bagaimanakah aku mampu atas yang demikian,
pada masa yang berabad-abad lamanya itu ? apabila aku tidak mampu atas
kepedihan sabar, maka bagaimanakah aku mampu atas kepedihan neraka ? dan
apabila aku tidak bisa sabar dari hiasan duniawi, serta keruh dan kotornya dan
bercampur jernihnya dengan keruhnya, maka bagaimanakah aku akan sabar dari
nikmat akhirat ?
Adapun
janjinya akan taubat itu, maka hendaklah diobatinya dengan berpikir, bahwa
kebanyakan teriakan penduduk neraka itu, dari janjinya akan bertaubat. Karena
orang yang menjanjikan dirinya akan berbuat itu, adalah membangun sesuatu
keadaan atas apa yang tidak ada kepadanya. Yaitu: kekal (terus hidup). Semoga,
dia itu tidak kekal. Dan kalau ia kekal (terus hidup), maka ia tidak sanggup
meninggalkannya besok. Sebagaimana ia tidak sanggup meninggalkannya hari ini.
Maka mudah-mudahan kiranya, adakah dia lemah sekarang, selain karena kekerasan
nafsu syahwat ? dan nafsu syahwat itu tiada akan bercerai dengan dia esok hari.
Akan tetapi, akan berlipat ganda, karena menjadi teguh kuat, disebabkan
terbiasa. Maka tidaklah nafsu syahwat yang telah dikokohkan oleh manusia dengan
kebiasaan, seperti yang tidak dikokohkannya. Dari penjelasan ini, teranglah
orang-orang yang menjanjikan nanti akan bertaubat itu, akan binasa. Karena
mereka itu menyangka akan ada perbedaan diantara orang-orang yang serupa. Dan
mereka tidak menyangka, bahwa hari-hari itu serupa, tentang meninggalkan nafsu
syahwat padanya itu selalau sukar. Dan orang yang menjanjikan akan bertaubat
itu, tidak ada contohnya, selain contoh orang yang berhajat mencabut sepohon
kayu. Lalu dilihatnya pohon kayu itu kuat, yang tidak akan tercabut, selain
dengan sangat sukar. Maka yang mengatakan: “Akan aku kemudiankan mencabut pohon
itu setahun. Kemudian, akan aku kembali kepadanya”. Ia tahu, bahwa pohon kayu
itu kian tetap hidupnya, maka kian bertambah kuat urat akarnya. Dan dia setiap
kali bertambah umurnya, maka kian bertambah lemahnya. Maka tiadalah kebodohan
dalam dunia, yang lebih besar dari kebodohannya. Karena ia lemah serta kuatnya,
daripada melawan yang lemah itu. Maka lalu ia menuggu akan kemenangan atasnya,
apabila ia telah lemah pada dirinya dan yang lemah itu telah kuat.
Adapun arti
keempat: yaitu: menunggu kemaafan Allah Ta’ala. Maka
pengobatannya, ialah apa yang telah dahulu diterangkan. Yaitu: seperti orang
yang membelanjakan semua hartanya dan meninggalkan dirinya serta keluarganya
dalam kemiskinan. Ia menunggu dari kurnia Allah Ta’ala, bahwa ia akan diberi
rezeki memperoleh gudang dalam bumi yang runtuh. Maka kemungkinan kemaafan dari
dosa, seperti kemungkinan ini, adalah seperti orang yang menduga akan terjadi
perampokan dari orang-orang zalim dalam negerinya. Dan ia meninggalkan semua
simpanan hartanya dalam lemari rumahnya. Padahal ia sanggup menanamkannya dan
menyembunyikannya. Tetapi tidak diperbuatnya. Dan ia mengatakan: “Aku menunggu
daripada kurnia Allah Ta’ala, bahwa Allah akan mengeraskan kelalaian atau
siksaan atas orang zalim perampok itu. Sehingga ia tidak mempunyai peluang ke
rumahku. Atau apabila ia telah sampai ke rumahku, niscaya ia mati di pintu
rumah! sesungguhnya mati itu mungkin & lalai itupun mungkin. Dan telah
diceritakan dalam hikayat-hikayat masa yang lampau, bahwa yang seperti itu
telah pernah terjadi. Maka aku menunggu dari kurnia Allah Ta’ala yang seperti
itu”. Maka orang yang menunggu seperti ini, adalah orang yang menunggu hal yang
mungkin terjadi. Akan tetapi, orang itu adalah sangat dungu dan bodoh. Karena
hal itu kadang-kadang tidak mungkin & tidak
akan ada.
Adapun kelima, yaitu: ragu. Maka ini adalah kufur. Dan obatnya, ialah:
sebab-sebab yang memperkenalkan kepadanya, akan kebenaran rasul-rasul. Dan yang
demikian itu panjang keterangannya. Akan tetapi, mungkin diobati dengan ilmu
yang dekat, yang layak dengan ketajaman akalnya. Lalu dikatakan kepadanya: apa
yang telah dikatakan oleh nabi-nabi yang dikuatkan dengan mukjizat-mukjizat,
adakah kebenarannya itu hal yang mungkin ? atau engkau mengatakan: aku tahu
bahwa itu mustahil, sebagaimana aku tahu mustahilnya ada orang seorang pada dua
tempat pada satu ketika. Kalau ia mengatakan: “Aku tahu kemustahilannya seperti
yang demikian”, maka dia itu adalah orang yang luar biasa, yang lemah pikiran.
Dan seakan-akan tak ada orang yang seperti ini dalam golongan orang-orang yang
berakal. Kalau ia mengatakan: “Bahwa aku ragu pada yang demikian”, lalu
dikatakan kepadanya: “Kalau diberitahukan kepadamu oleh seorang, yang tidak
dikenal, ketika engkau meninggalkan makanan engkau di rumah sekejap waktu,
bahwa makanan itu telah dijilat oleh ular dan ular itu telah mencampakkan
racunnya dalam makanan tersebut. Dan engkau memandang bahwa orang itu boleh
saja benar. Maka adakah engkau akan memakan makanan tadi atau akan engkau
tinggalkan, walaupun makanan itu paling enak ? maka ia akan menjawab: sudah
pasti aku akan meninggalkannya. Karena aku mengatakan: “Kalau ia dusta maka aku
tidak rugi, kecuali makanan tersebut. Dan bersabar dari makanan itu, walaupun
berat, maka itu soal dekat. Dan kalau orang itu benar, maka hilanglah bagiku
hidup. Dan mati dibandingkan kepada kepedihan sabar dari makanan dan hilangnya
makanan itu, adalah lebih berat”. Maka dikatakan kepada orang tersebut: “Wahai
subhaanallah ! bagaimana engkau mengemudiankan kebenaran nabi-nabi semua, serta
apa yang tampak bagimu dari mukjizat-mukjizatnya, kebenaran keseluruhan para
wali, ulama dan ahli-ahli hikmah. Bahkan semua jenis orang-orang yang berakal”.
Aku tidak maksudkan dengan mereka orang-orang awam yang bodoh. Akan tetapi,
yang mempunyai akal pikiran, dari membenarkan seorang laki-laki yang tidak
dikenal. Mudah-mudahan ia mempunyai maksud tentang apa yang dikatakannya”. Maka
tidaklah termasuk dalam golongan orang-orang yang berakal, kecuali orang yang
membenarkan dengan hari akhirat dan mengaku adanya pahala dan siksa, walaupun
mereka berbeda tentang caranya. Kalau mereka benar, maka engkau telah mendekati
pada azab yang akan kekal untuk selama-lamanya. Dan kalau mereka dusta, maka
tidak ada yang hilang bagi engkau, selain sebagian nafsu syahwat dunia yang
fana, yang keruh ini. Maka tidaklah tinggal lagi baginya tawaqquf (dibiarkan
begitu saja dulu), kalau ia berakal serta pikiran ini. Karena tiada bandingan
bagi masa umur kepada masa yang selama-lamanya itu. Bahkan, kalau kita
umpamakan, bahwa dunia ini penuh dengan atom dan kita umpamakan seekor burung
yang mengambil dengan paruhnya pada tiap-tiap sejuta tahun, sebiji dari atom
itu, niscaya habislah atom tadi. Dan tiada berkurang sedikitpun dari masa yang
selama-lamanya itu. Maka bagaimanakah akan lemah pendapat orang yang berakal
tentang sabar dari nafsu sayhwat, 100 tahun umpamanya. Karena kebahagiaan yang
selama-lamanya itu ? dan karena itulah, Abdul A’la Ahmad bin Sulaiman
At-Tanukhi Al-Mu’arri berpantun:
Kata
ahli bintang dan tabib:
Engkau
tidak dapat membangkitkan orang mati
Lalu aku
katakan kepada kamu berdua:
Kalau
benar katamu itu, maka aku tidak rugi.
Atau
benarlah kataku,
Maka
yang rugi, adalah kamu berdua.
Karena itulah, Ali ra berkata
kepada sebagian orang yang pendek akal pikirannya daripada memahami benar-benar
hakikat/makna keadaan. Dan orang itu ragu tentang akhirat: “Kalau benarlah apa
yang engkau katakan, niscaya kita ini terlepas semua dari kebinasaan. Dan kalau
tidak benar, maka sesungguhnya aku terlepas dan engkau binasa”. Artinya: orang
yang berakal itu, menempuh jalan aman pada semua hal keadaan. Kalau engkau
mengatakan, bahwa: semua keadaan ini sudah jelas. Akan tetapi tidak akan
tercapai, selain dengan berpikir. Maka betapakah keadaan hati yang meninggalkan
berpikir padanya dan yang memberatkannya ? dan apakah pengobatan hati untuk
mengembalikannya kepada berpikir ? lebih-lebih orang yang beriman dengan pokok
agama dan penguraiannya ? maka ketahuilah kiranya, bahwa yang mencegah dari berpikir itu 2
hal:
Pertama: bahwa berpikir yang bermanfaat, ialah: berpikir tentang
siksaan akhirat, huru haranya, kesukaran-kesukarannya dan penyesalan-penyesalan
yang mengerjakan perbuatan maksiat, tentang tidak memperoleh kenikmatan yang
kekal. Ini adalah pikiran yang menyengatkan, yang memedihkan hati. Lalu hati
lari daripadanya. Dan ia merasa enak dengan berpikir tentang urusan duniawi, di
atas jalan bersenang-senang dan beristirahat (tidak bekerja apa-apa).
Kedua: bahwa berpikir itu menyibukkan pada waktu sekarang, mencegah
dari kelezatan duniawi dan memenuhi nafsu syahwat. Dan tidak ada manusia,
melainkan mempunyai nafsu syahwat dalam setiap hal keadaannya dan setiap nafas
yang dihembuskannya, yang menguasainya dan yang memperbudakkannya. Lalu akal
pikirannya itu diperuntukkan bagi nafsu syahwatnya. Maka dia itu sibuk dengan
mengatur daya upayannya. Dan kesenangannya itu adalah pada mencari daya
upayanya atau pada kelangsungan terpenuhi nafsu syahwatnya. Dan berpikir itu
mencegahnya dari yang demikian.
Adapun
pengobatan dua hal pencegah tersebut, maka yaitu: bahwa ia mengatakan kepada
hatinya: “ Alangkah sangat bodohnya engkau pada menjaga daripada berpikir
tentang mati dan apa yang sesudah mati. Karena merasa pedih dengan
mengingatinya, serta memandang enteng kepedihan akan kejadiannya ! maka bagaimana
engkau bersabar atas penderitaan-penderitaan daripadanya, apabila telah terjadi
? dan engkau lemah daripada bersabar atas taqdirnya mati dan apa yang sesudah
mati. Dan merasa kepedihan dengan mati itu.
Adapun
yang kedua, yaitu: adanya pikiran yang melenyapkan kelezatan duniawi. Yaitu:
bahwa ia meyakini hilangnya kelezatan akhirat itu lebih berat dan lebih besar
akibatnya. Karena akhirat itu tiada berkesudahan lagi. Dan tak ada kekeruhan
padanya. Dan kelezatan duniawi itu cepat hapusnya. Dan bercampur dengan
kekeruhan-kekeruhan. Tak ada padanya kelezatan yang bersih dari kekeruhan.
Bagaimanakah tentang taubat dari perbuatan-perbuatan maksiat dan menghadapkan
diri kepada perbuatan taat, yang melezatkan dengan munajah dengan Allah Ta’ala.
Dan merasa tenteram dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala dan taat kepadanya dan
lamanya kejinakan hati dengan dia ? jikalau tidaklah ada bagi orang yang taat
itu balasan atas amalnya, selain apa yang diperolehnya dari kemanisan taat dan
jiwa kejinakan hati dengan munajah dengan Allah Ta’ala, niscaya adalah yang
demikian itu memadai. Maka bagaimana lagi dengan tambahan kepadanya, daripada
kenikmatan akhirat ? benar, kelezatan ini tidak ada pada permulaan taubat. Akan
tetapi sesudah bersabar atas taubat itu pada masa yang panjang. Dan kebajikan
itu telah menjadi tabiat dan kebiasaannya, sebagaimana kejahatan itu telah
menjadi tabiat dan kebiasaannya. Maka diri itu menerima apa yang telah
dibiasakannya, menjadi kebiasaan. Kebajikan itu adalah kebiasaan dan kejahatan
itu adalah ketekunan. Jadi, pikiran-pikiran ini, adalah yang menggerakkan
takut, dimana takut itu yang menggerakkan kuatnya sabar daripada
kelezatan-kelezatan hidup. Dan yang menggerakkan pikiran-pikiran tersebut,
ialah: pengajaran juru-juru nasehat dan peringatan-peringatan yang jatuh dalam
hati, dengan sebab-sebab yang bersesuaian, yang tiada terhingga jumlahnya. Lalu
jadilah pikiran itu bersesuaian dengan tabiat (karakter). Maka hatipun
cenderung kepadanya. Dan sebab yang menjadikan kesesuaian antara tabiat dan pikiran,
yang menjadi sebab bagi kebajikan itu, dinamakan: taufiq. Karena taufiq itu,
ialah: penyusunan antara kemauan dan maksudnya, yang tak lain, ialah: taat yang
bermanfaat di akhirat. Diriwayatkan pada suatu hadits yang panjang, bahwa Amar
bin Yasir bangun berdiri, lalu bertanya kepada Ali bin Abi Thalib ra: “Hai
Amirul mu’minin ! terangkanlah pada kami tentang kufur ! di atas apa kufur itu
dibangun ?”. Ali ra lalu menjawab: “Kufur itu dibangun diatas 4 tonggak: atas
kekasaran, buta, lengah dan ragu. Siapa yang kasar tabiatnya, niscaya ia
melecehkan kebenaran, keras suaranya dengan kebatil/salahan. Dan mencaci ulama.
Siapa yang buta, nsicaya lupa pada dzikir (mengingati Allah Ta’ala). Siapa yang
lalai, niscaya mereng dari petunjuk. Dan siapa yang ragu, niscaya ia ditipu
oleh angan-angan. Lalu ia diambil oleh kesedihan dan penyesalan. Dan tampaklah
baginya daripada Allah Ta’ala, apa yang tidak disangkanya sama sekali. Maka apa
yang kami sebutkan itu, adalah penjelasan bagi sebagian bahaya kelengahan, daripada
bertafakkur. Dan sekedar mengenai taubat itu, sudah mencukupi. Apabila sabar
itu adalah salah satu sendi berkekalannya taubat, maka tidak boleh tidak,
daripada penjelasan: sabar, maka akan kami bentangkan tentang sabar itu pada
kitab sendiri Insya Allah Ta’ala.