Rabu, 04 Januari 2017

14. Kitab halal dan haram


KITAB HALAL DAN HARAM.
Yaitu: Kitab ke-4 dari “Rubu’ Adat-Kebiasaan” dari “Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin”.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah yang menjadikan insan dari tanah melekat dan kering. Kemudian, Ia menyusun bentuknya dalam bentuk yang amat baik dan dalam kesederhanaan yang amat sempurna. Kemudian Ia menyajikannya pada pemulaan kejadiannya dengan susu, yang dibersihkan dari antara tai dan darah, susu yang bersih, seperti air pancuran. Kemudian, Ia memeliharakannya dengan apa yang diberikan, dari rezeki yang baik, dari segala yang membawa kepada kelemahan dan kehancuran.
Kemudian mengungkung nafsu syahwatnya yang melampaui batas, dari pelanggaran dan perkosaan. Dan memaksakannya dengan yang diharuskan kepadanya, mencari makanan yang halal. Dan menghancurkan dengan pecahnya nafsu syahwat itu, akan tentara setan yang selalu berusaha untuk menyesatkan. Sesungguhnya tentara setan itu, mengalir dari anak Adam pada tempat mengalir darah yang cair. Maka disempitkannya kepada anak Adam itu kemegahan halal yang berlaku dan berjalan, apabila tidak dicerai-beraikannya sampai kepada urat yang paling dalam, selain oleh nafsu syahwat yang condong kepada kekerasan dan kelepasan.     Maka tinggallah anak Adam itu untuk apa yang diikatkan oleh nafsu syahwat dengan ikatan halal, dalam keadaan kecewa dan merugi. Tak ada baginya yang menolong dan yang membantu.
Dan selawat kepada Muhammad, yang memberi petunjuk dari kesesatan dan kepada keluarganya yang sebaik-baiknya. Anugerahilah kiranya keselamatan yang sebanyak-banyaknya ! Adapun kemudian, maka sesungguhnya Nabi saw telah bersabda: “Mencari yang halal itu, wajib/fardhu atas semua orang muslim”. Hadits ini diriwayatkan Ibnu Mas’ud ra. Kewajiban ini, bila dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban yang lain, adalah yang paling ditolak oleh akal untuk memahaminya dan yang paling berat kepada anggota badan untuk melaksanakannya. Dan karena itulah, ia terbenam secara keseluruhan, pada pengetahuan dan perbuatan. Dan jadilah kekaburan pengetahuannya itu, sebab bagi terbenam pelaksanaannya. Karena disangka oleh orang-orang bodoh, bahwa yang halal itu tidak ada. Dan jalan untuk sampai kepadanya tertutup. Dan tak ada lagi dari yang halal yang baik, selain air sungai Al-Furat dan rumput yang tumbuh pada tanah yang tak berpunya. Selain dari itu, telah dikotorkan oleh tangan-tangan pelanggar dan dirusakkan oleh mu’amalah-mu’amalah (jual beli) yang merusakkan. Maka apabila sulit memperoleh kecukupan dengan rumput dari tumbuh-tumbuhan, niscaya tidak adalah jalan yang masih tinggal, selain daripada berlapang-lapang pada yang diharamkan. Maka merekapun melemparkan yang mahapenting ini dari agama, akan pokoknya. Dan tiada mereka mengetahui lagi diantara harta-harta itu, pemisahan dan perceraian. Alangkah jauhnya dari kebenaran ! sedang yang halal itu terang dan yang haram itu terang. Dan diantara keduanya, adalah hal-hal yang syubhat (diragukan). Dan senantiasalah yang tiga ini berdampingan, bagaimanapun keadaan itu tukar-bertukar. Manakala adalah ini suatu bid’ah (yang diada-adakan), yang telah merata kemelaratannya pada agama dan beterbangan rabuk-apinya kepada orang banyak, niscaya wajiblah membuka tutup dari kerusakannya, dengan memberi petunjuk kepada pengetahuan yang membedakan antara halal, haram dan syubhat (diragukan), secara meyakinkan dan menjelaskan. Dan tidak dikeluarkan oleh penyempitan dari segi kemungkinan. Dan akan kami jelaskan yang demikian itu dalam 7 bab:
Bab Pertama:  tentang keutamaan mencari yang halal dan mencela yang haram, dan tingkat-tingkat halal dan haram.
Bab Kedua:     tentang tingkat-tingkat syubhat (diragukan), perkembangannya dan pembedaannya dari halal dan haram.
Bab Ketiga:     tentang pembahasan, pertanyaan, penuh perhatian, pelengahan dan tempat-tempat penyangkaan syubhat (diragukan) pada halal dan haram.
Bab Keempat:  tentang cara keluarnya orang yang bertaubat dari kezaliman-kezaliman kehartaan.
Bab Kelima:    tentang harta kurniaan dan pemberian sultan-sultan, apa yang halal dan yang haram daripadanya.
Bab Keenam:  tentang masuk dan bercampur-baur dengan sultan-sultan.
Bab Ketujuh:   tentang persoalan-persoalan yang bercerai-berai.
BAB PERTAMA: tentang keutamaan yang halal dan pencelaan yang haram. Dan penjelasan berbagai macam yang halal, tingkat-tingkatnya dan berbagai macam yang haram dan tingkat-tingkat penjagaan diri (wara’) padanya.
KEUTAMAAN YANG HALAL DAN PENCELAAN YANG HARAM.
Allah Ta’ala berfirman: “Makanlah dari yang bagus-bagus dan kerjakanlah yang baik-baik !”. S 23 Al Mukminuun ayat 51. Allah Ta’ala menyuruh makan dari yang bagus-bagus, sebelum bekerja. Dan dikatakan, bahwa yang dimaksud, ialah yang halal. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil/salah (yang tidak halal)”. S 2 Al Baqarah ayat 188. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim dengan cara zalim, sesungguhnya mereka akan memakan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala”. S 4 An Nisaa’ ayat 10. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! bertaqwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba, kalau kamu betul-betul orang yang beriman”. S 2 Al Baqarah ayat 278. Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau kamu tidak melakukannya, ketahuilah ada peperangan dari Allah dan RasulNya”. S 2 Al Baqarah ayat 279. Dan kemudian Allah Ta’ala menyambung: “Dan kalau kamu taubat (kembali kepada aturan Allah), maka kamu berhak atas pokok uangmu”. S 2 Al Baqarah ayat 279. Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang kembali pula mengerjakannya, mereka itulah isi neraka, mereka tetap didalamnya”. S 2 Al Baqarah ayat 275. Allah Ta’ala menjadikan orang pemakan riba, pada awal keadaannya dimaklumkan dengan memerangi Allah dan pada akhir keadaannya dibawa ke neraka.
Ayat-ayat yang datang mengenai yang halal dan yang haram, adalah tidak terhitung banyaknya. Ibnu Mas’ud ra meriwayatkan dari Nabi saw bahwa Nabi bersabda: “Mencari yang halal itu, adalah wajib/fardhu atas tiap-tiap orang muslim”. Tatkala Nabi saw bersabda: “Mencari ilmu itu, adalah fardhu atas tiap-tiap orang muslim”, lalu sebahagian ulama berkata, bahwa yang dimaksudkan dengan ilmu itu, ialah ilmu mengenai yang halal dan yang haram dan dijadikannya maksud dari kedua hadits itu satu. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa berusaha untuk keluarganya dari harta yang halal, maka adalah ia seperti orang yang berjihad fi sabilillah. Dan barangsiapa mencari dunia yang halal dalam menjaga diri dari yang haram, niscaya adalah ia pada derajat orang-orang syahid”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa memakan yang halal 40 hari, niscaya dianugerahi Allah nur dalam hatinya dan dialirkan mata air hikmat dari hatinya kepada lidahnya”. Dan pada suatu riwayat, tersebut: “niscaya dianugerahi Allah kepadanya zuhud di dunia”. Dan diriwayatkan, bahwa Sa’d meminta kepada Rasulullah saw supaya bermohon kepada Allah Ta’ala, untuk menjadikan Sa’d itu diterima doanya. Lalu Nabi saw menjawab: “Baguskan makananmu, niscaya diterima doamu !”. Tatkala Nabi saw menyebutkan orang yang loba kepada dunia, lalu beliau bersabda: “Banyaklah orang yang centang-perenang, berdebu, yang lari kesana-kemari dalam perjalanan jauh, makanannya haram, pakaiannya haram dan selalu memakan yang haram, yang mengangkatkan kedua tangannya, lalu mendoa: Wahai Tuhanku ! wahai Tuhanku !, maka bagaimanakah diterima doanya itu karena yang demikian ?”.
Dan pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas dari Nabi saw: “Bahwa Allah mempunyai malaikat pada Baitul-maqdis, yang menyerukan tiap-tiap malam:” Barangsiapa memakan yang haram, niscaya tidak diterima daripadanya: sharf dan ‘adl”. Maka ada ulama yang mengatakan sharf itu, ialah perbuatan sunat dan ‘adl, ialah perbuatan fardhu. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa membeli kain dengan harganya 10 dirham. Dan dalam harganya itu, satu dirham haram, niscaya tidak diterima oleh Allah akan shalatnya, selama sesuatu dari kain itu masih ada padanya”. Nabi saw bersabda:: “Tiap-tiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka api nerakalah yang lebih utama dengan daging itu”. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa tiada menghiraukan dari manakah ia memperoleh harta itu, niscaya Allah tidak menghiraukan, dari manakah ia dimasukkan ke neraka”. Nabi saw bersabda: “Ibadah itu, 10 bahagian. 9 bahagian daripadanya pada mencari yang halal”. Hadits ini, diriwayatkan sebagai hadits marfu’ (diangkatkan sampai kepada Nabi) dan hadits mauquf pula (yang terhentinya) sampai kepada sebahagian sahabat.
Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa memperoleh harta dari perbuatan yang berdosa, lalu dipergunakannya uang itu untuk menyambung silaturrahim atau bersedekah dengan uang itu atau membelanjakannya pada sabilullah, niscaya dikumpulkan oleh Allah itu semuanya, kemudian dilemparkannya ke dalam neraka”. Nabi saw bersabda: “Sebaik-baik agamamu, ialah wara”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menjumpai Allah dengan wara’, niscaya dianugerahi Allah kepadanya pahala Islam semuanya”. Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam setengah kitab-kitabNya: “Adapun orang-orang wara’, maka Aku malu menghisabkan (menghitung) amalan mereka”. Nabi saw bersabda: “Sedirham dari riba, adalah lebih berat pada sisi Allah dari 30 zina dalam Islam”. Dan pada hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Perut besar itu adalah kolam bagi badan dan urat-urat itu datang kepadanya. Apabila perut besar itu sehat, niscaya keluarlah segala urat dengan sehat. Dan apabila ia sakit, niscaya keluarlah urat-urat itu dengan sakit”. Dan makanan dalam agama adalah seperti fondasi dalam bangunan. Apabila fondasi itu telah teguh dan kuat, niscaya bangunan itu melurus dan meninggi. Dan apabila fondasi itu lemah dan membengkok, niscaya runtuh dan jatuhlah bangunan.
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Apakah orang yang mendirikan bangunannya diatas dasar taqwa dan kerelaan Allah, itukah yang lebih baik ataukah orang yang mendirikan bangunannya di pinggir jurang yang akan runtuh, lalu ia jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahannam? Dan Allah tiada memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim”. S 9 At Taubah ayat 109. Dan pada hadits, tersebut: “Barangsiapa mengusahakan harta dari yang haram, maka kalau ia bersedekah dengan harta itu, niscaya tidak diterima dan kalau ditinggalkannya di belakangnya, niscaya adalah menjadi perbekalannya ke neraka”.
Dan telah kami sebutkan sejumlah hadits pada: “Kitab Adab Berusaha”, yang membuka keutamaan mengusahakan yang halal. Adapun atsar (kata-kata para sahabat dan ulama-ulama terdahulu), maka telah datang berita, bahwa Abubakar Shiddiq ra meminum susu dari usaha hambanya. Kemudian ia bertanya kepada hambanya, darimana diperoleh susu itu. Maka hamba itu menjawab: “Aku bernujum bagi suatu kaum, lalu mereka berikan susu itu kepadaku”. Lalu Abubakar memasukkan anak jarinya ke dalam mulut dan jadilah beliau muntah-muntah, sehingga aku menyangka, nyawanya akan keluar. Kemudian beliau berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku meminta kemaafan kepadaMu, daripada yang dibawa oleh urat-urat dan yang bercampur di dalam perut”.
Dan pada sebahagian hadits, bahwa Nabi saw diberitahukan yang demikian, lalu beliau bersabda: “Apakah tidak kamu ketahui, bahwa Abubakar Ash-Shiddiq, tidak masuk ke dalam rongga tubuhnya, melainkan yang baik ?”. Begitupula, Umar ra meminum dari susu unta zakat karena tersalah. Maka beliau memasukkan anak jarinya dan memuntah. ‘Aisyah berkata: “Sesungguhnya kamu melupakan daripada ibadah yang utama, yaitu: “wara’.
Abdullah bin Umar ra berkata: “Jikalau kamu mengerjakan shalat, seperti busur melengkung dan kamu berpuasa, sehingga kamu seperti anak panah kekurusan, niscaya tidaklah itu diterima daripada kamu, melainkan dengan wara’ yang mendiding”. Ibrahim bin Adham ra berkata: “Tidaklah diperoleh oleh orang yang memperoleh, selain orang yang berpikir dengan akal, akan apa yang masuk kedalam rongga tubuhnya”. Al-Fudhail berkata: “Barangsiapa mengetahui akan apa yang masuk kedalam rongga tubuhnya, niscaya ia dituliskan oleh Allah sebagai orang shiddiq. Dari itu, maka perhatikanlah pada siapa engkau memakan pagi, wahai orang yang patut dikasihani !”.
Ada orang yang menanyakan kepada Ibrahim bin Adham ra: “Mengapakah tuan tidak meminum air Zamzam ?” Lalu beliau menjawab: “Jikalau aku mempunyai timba, niscaya aku minum daripadanya”. Sufyan Ats-Tsuri ra berkata: “Barangsiapa membelanjakan dari yang haram pada mentaati Allah, niscaya adalah ia seperti orang yang menyucikan kain yang bernajis dengan kencing. Dan kain yang bernajis itu, tidaklah dapat disucikan, selain oleh air. Dan dosa tidak akan ditutup, selain oleh yang halal”.
Yahya bin Ma’adz berkata: “Taat itu adalah suatu khazanah (gudang) dari khazanah-khazanah Allah, melainkan bahwa kuncinya adalah doa dan gigi doa itu ialah suap-suap makanan halal”. Ibnu Abbas ra berkata: “Tidak diterima oleh Allah shalat seseorang, yang didalam rongga tubuhnya ada yang haram”. Sahl At-Tusturi berkata: “Tidak akan sampai seorang hamba kepada hakikat/makna iman, sehingga ada padanya 4 perkara: mengerjakan yang fardhu/wajib dengan yang sunat, memakan yang halal dengan wara’, menjauhkan yang larangan dari zahir dan batin dan sabar diatas yang demikian, sampai kepada mati”. Dan beliau berkata lagi: “Barangsiapa menyukai akan memperoleh kasyaf (pembukaan hijab) dengan tanda-tanda orang-orang shiddiq, maka janganlah ia memakan, selain yang halal dan jangan bekerja, selain pada yang sunat atau pada yang darurat !”. Dan ada ulama yang mengatakan: “Barangsiapa memakan syubhat (diragukan) 40 hari,niscaya gelaplah hatinya”. Dan itu, adalah pena’wilan (penafsiran) firman Allah Ta’ala: “Jangan berpikir begitu ! bahkan, apa yang telah mereka kerjakan itu menjadi karat bagi hati mereka”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 14.
Ibnul-Mubarak berkata: "Mengembalikan sedirham dari harta syubhat (diragukan), adalah lebih menyukakan aku daripada aku bersedekah dengan 100 ribu dirham, 100 ribu dan 100 ribu, sehingga sampai kepada 600 ribu”.
Setengah salaf berkata: “Bahwa hamba itu memakan akan sesuatu makanan, lalu jantungnya terbalik-balik, maka busuk, sebagaimana busuknya kulit yang disamak dan tidaklah kembali kepada keadaannya semula selama-lamanya”. Sahl ra berkata: “Barangsiapa memakan yang haram, niscaya durhakalah segala anggota tubuhnya, ia mau atau ia enggan, ia tahu atau ia tidak tahu. Dan barangsiapa makanannya itu halal, niscaya ia ditaati oleh segala anggota tubuhnya dan diberi taufiq kepada kebajikan”. Sebahagian salaf berkata: “Sesungguhnya suap pertama yang dimakan oleh hamba dari yang halal, maka diampunkan apa yang terdahulu dari dosanya. Dan barangsiapa menegakkan dirinya pada tempat kehinaan pada mencari yang halal, niscaya berjatuhanlah segala dosanya daripadanya, seperti berjatuhan daun kayu kering”.
Diriwayatkan pada beberapa atsar orang-orang terdahulu, bahwa seorang juru nasehat (muballigh), adalah apabila ia duduk dihadapan orang banyak, lalu berkata:: “Ulama itu menghilang daripadanya 3 perkara: jikalau ia beri’tiqad (keyakinan) bid’ah (yang diada-adakan), maka janganlah kamu duduk-duduk bersama dia, karena ia berbicara dari lidah setan. Kalau ia bermakanan jahat, maka ia berbicara dari hawa nafsu. Maka kalau ia tidak berketetapan akal, niscaya dengan perkataannya itu, lebih banyak merusak daripada yang memperbaiki. Maka janganlah kamu duduk-duduk bersama dia !”.
Dan pada beberapa khabar yang terkenal dari Ali ra dan lainnya: “Bahwa dunia itu, yang halalnya ialah hisab (dihitungkan) dan yang haramnya, ialah azab”. Dan yang lain-lain menambahkan: “Dan syubhat (diragukan)nya, ialah ‘itab (cacian)”. Dan diriwayatkan, bahwa setengah orang-orang shalih menyugukan makanan kepada setengah abdal (para wali), lalu tidak mau memakannya. Maka orang shalih itu menanyakan kepada abdal tersebut. Lalu abdal itu menjawab: “Kami tidak akan memakan, melainkan yang halal. Maka karena itulah, hati kami menjadi lurus, keadaan kami berkekalan baik, kami memperoleh kasyaf akan alam malakut dan kami menyaksikan akan akhirat. Dan kalaulah kami memakan dari apa yang kamu makan 3 hari, niscaya tidaklah kami kembali kepada sesuatu dari Ilmu-yaqin dan hilanglah khauf (takut) kepada Allah dan penyaksian/musyahadah dari hati kami”. Maka berkata seorang laki-laki kepada abdal itu: “Sesungguhnya aku berpuasa untuk masa dan mengkhatamkan Alquran pada tiap-tiap bulan 30 kali”. Maka abdal itu menjawab kepadanya: “Minuman ini yang engkau lihat aku meminumnya dari malam tadi, adalah lebih menyukakan kepadaku daripada 30 kali khatam Alquran dalam 300 rakaat dari amalanmu”. Dan adalah minumannya itu, dari susu kijang hutan.
Adalah diantara Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Mu’in persahabatan yang sudah lama. Lalu Ahmad bin Hanbal tidak bercakap-cakap lagi dengan Yahya bin Mu’in itu, ketika beliau mendengar Yahya mengatakan: “Sesungguhnya aku tiada akan meminta pada seseorang suatupun. Dan kalau diberikan kepadaku sesuatu oleh setan, niscaya aku akan makan”. Sampai Yahya itu meminta maaf dan berkata: “Aku hanya bermain-main saja !”. Maka menjawab Ahmad bin Hanbal: “Engkau bermain-main dengan agama ? apakah engkau tidak tahu, bahwa makan itu setengah dari agama, yang didahulukan oleh Allah dari amalan shalih ?” –Lalu beliau membaca firman Allah Ta’ala: “Makanlah yang bagus-bagus dan kerjakanlah yang baik-baik”. S 23 Al Mukminuun ayat 51.
Dan menurut khabar, bahwa sesungguhnya tertulis dalam Taurat: “Barangsiapa tidak memperdulikan darimana makanannya, niscaya tidak diperdulikan oleh Allah, dari pintu yang mana dari neraka ia dimasukkan”.
Dari Ali ra, bahwa beliau tidak memakan sesuatu makanan, setelah terbunuh Usman ra dan rumahnya menjadi rampasan, selain makanan yang dicapkan, karena takut dari makanan syubhat (diragukan).
Al-Fudhail bin Iyadh, Ibnu ‘Uyainah dan Ibnul-Mubarak berkumpul pada Wahid bin Al-Ward di Makkah. Maka mereka menyebutkan ruthab (kurma yang belum kering). Lalu menjawab Wahib: “Ruthab adalah makanan yang amat aku sukai, kecuali aku tidak memakannya. Karena bercampur ruthab Makkah itu di kebun-kebun yang berbau musang jabat dan lainnya”. Lalu menjawab Ibnul-Mubarak: “Kalau engkau pandang seperti ini, niscaya sempitlah roti kepadamu”. Maka Wahib bertanya: “Apakah sebabnya ?”. Ibnul-Mubarak menjawab: “Sesungguhnya pokok-pokok kehilangan sudah bercampur-baur dengan orang-orang shufi”. Mendengar itu, lalu Wahib jatuh pingsan. Maka berkata Sufyan (Ibnu ‘Uyainah): “Engkau bunuh laki-laki ini ?”. Ibnul-Mubarak menjawab: “Tidak aku bermaksud, selain untuk memudahkan kepadanya”. Tatkala Wahib telah sembuh, lalu ia berkata: “Milik Allah diatas diriku, tidak akan memakan roti selama-lamanya, sehingga aku menemuiNya”. Wahib bercerita seterusnya, bahwa ia meminum susu. Ia berkata, maka dibawa oleh ibunya susu kepadanya. Maka ia bertanya kepada ibunya tentang susu itu. Ibunya menjawab: “Susu itu dari kambing suku Anu”. Lalu ia menanyakan tentang harganya dan darimana mereka memperoleh harganya itu. Maka ibunya pun menerangkannya. Tatkala susu itu didekatkannya ke mulutnya, lalu Wahib bertanya lagi: “Darimana kambing itu digembalakan ?”. Ibunya diam, tidak menjawab. Maka Wahib tidak jadi meminumnya. Karena kambing itu digembalakan dari tempat, yang padanya ada hak orang-orang Islam. Maka ibunya berkata: “Minumlah ! sesungguhnya Allah akan mengampunkan dosamu”. Wahib menjawab: “Aku tidak suka diampunkan dosaku, sedang aku telah meminumnya. Maka aku memperoleh pengampunanNya dengan berbuat kema’siatan kepadaNya”.
Bisyr Al-Hafi ra adalah dari orang wara’. Lalu orang menanyakan kepadanya: “Darimanakah tuan makan ?”. Ia menjawab: “Darimana kamu makan! tetapi, tidaklah orang yang memakan, dimana ia menangis, seperti orang yang memakan, dimana ia tertawa”. Dan seterusnya, ia berkata: “Tangan itu lebih pendek dari tangan dan suap itu lebih kecil dari suap”. Begitulah adanya mereka itu menjaga diri dari syubhat-syubhat (diragukan) !
JENIS-JENIS HALAL DAN CARA-CARA MASUK.
Ketahuilah kiranya, bahwa penguraian halal dan haram itu sesungguhnya yang bertugas menjelaskannya, ialah kitab-kitab fiqh. Dan mencukupilah bagi seorang murid tanpa memanjangkannya, dengan mempunyai makanan tertentu, yang dikenal dengan fatwa akan halalnya, dimana ia tidak memakan yang lain daripadanya. Adapun orang yang berluas-luas makanannya dari beberapa segi yang bermacam-macam maka berhajatlah ia kepada ilmu tentang yang halal dan yang haram semuanya, sebagaimana telah kami uraikan dalam kitab-kitan fiqh. Lam bentuk pembahagian. Yaitu: bahwa harta itu sesungguhnya haram, adakalanya karena sesuatu pengertian pada bendanya atau karena sesuatu kecederaan dalam segi mengusahakannya.
BAHAGIAN PERTAMA: Yang haram lantaran sesuatu sifat pada bendanya, ialah seperti khamar, babi dll.
Penguraiannya, ialah: bahwa segala benda yang dimakan diatas permukaan bumi ini, tidak melampaui dari 3 bahagian. Adakalanya: dari benda-benda tambangan, seperti garam, tanah liat dll atau dari tumbuh-tumbuhan atau dari hewan-hewan. Adapun benda-benda tambangan, maka yaitu: bahagian-bahagian dari bumi dan semua yang keluar daripadanya. Maka tidaklah haram memakannya, kecuali dari segi yang mendatangkan kemelaratan kepada yang memakannya. Pada sebahagiannya, adalah apa yang berlaku pada racun. Dan roti, kalau mendatangkan kemelaratan, niscaya haramlah memakannya. Dan tanah liat yang dibiasakan memakannya, niscaya tidak diharamkan, kecuali dari segi kemelaratannya. Dan faedahnya perkataan kami: bahwa dia itu tidak haram, sedang sesungguhnya, tidak dimakan, adalah: kalau terjatuh sedikit daripadanya ke dalam sayur atau makanan yang cair, niscaya tidaklah jadi dengan demikian itu, makanan tadi diharamkan. Adapun tumbuh-tumbuhan, maka tidaklah diharamkan daripadanya kecuali yang menghilangkan akal atau menghilangkan hidup atau kesehatan. Yang menghilangkan akal, ialah ganja, khamar dll yang memabukkan. Dan yang menghilangkan hidup, ialah racun-racun. Dan yang menghilangkan kesehatan, ialah obat-obatan pada bukan waktunya. Dan adalah semua ini, kembali kepada kemelaratan, selain dari khamar dan benda-benda yang memabukkan. Karena yang tidak memabukkan dari benda-benda yang memabukkan itu juga haram serta sedikitnya, lantaran bendanya dan sifatnya. Yaitu: kesangatan yang memainkan peranan. Adapun racun, apabila ia keluar dari adanya memberi kemelaratan, karena sedikitnya atau karena diramas dengan yang lain, maka tidak diharamkan. Adapun hewan, maka terbagi: kepada yang dimakan dan kepada yang tidak dimakan. Dan penguraiannya, adalah pada Kitab Makanan. Dan pandangan itu panjang tentang penguraiannya. Lebih-lebih tentang burung-burung yang ganjil, binatang darat dan laut. Dan yang halal memakannya, sesungguhnya halalnya itu, adalah apabila disembelihkan menurut penyembelihan agama, dimana dijaga padanya syarat-syarat: yang menyembelih, perkakas dan tempat penyembelihan.
Dan semua itu, tersebut pada Kitab Perburuan dan Penyembelihan. Dan yang tidak disembelih menurut penyembelihan agama atau binatang itu mati, maka itu haram. Dan tidak dihalalkan, kecuali dua bangkai: ikan dan belalang. Dan yang searti dengan keduanya, ialah apa yang berobah dari makanan, seperti ulat buah jambu (tufah), cuka dan susu keras. Karena menjaga daripadanya, adalah tidak mungkin. Adapun apabila ulat buah jambu dan sebagainya tadi, diasingkan dan dimakan, maka dalam hal ini, hukumnya adalah seperti hukum lalat, lipas dan kala. Dan tiap-tiap yang tidak mempunyai darah yang mengalir, tidaklah sebab pada mengharamkannya, kecuali oleh kejijikan. Kalau tidak ada kejijikan, niscaya adalah tidak dimakruhkan. Kalau diperoleh orang yang tidak jijik kepada yang tersebut tadi, niscaya janganlah menoleh kepada kepribadiannya yang khusus. Karena yang tersebut itu dapat dihubungkan dengan yang keji-keji lantaran umumnya kejijikan itu. Maka dimakruhkanlah memakannya. Sebagaimana kalau dikumpulkannya air hingus dan diminumnya niscaya makruhlah yang demikian itu. Dan tidaklah kemakruhannya itu, karena kenajisannya, sebab yang shalih, binatang-binatang itu tidaklah bernajis dengan matinya.
Karena Rasulullah saw menyuruh dengan membenamkan lalat ke dalam makanan, apabila ia jatuh ke dalamnya. Kadang-kadang makanan itu panas dan adalah itu yang menjadi sebab kematiannya. Dan kalau jatuhlah semut atau lalat ke dalam periuk, niscaya tidaklah wajib menuangkannya. Karena yang menjijikkan, ialah tubuhnya, apabila masih ada tubuhnya itu. Dan tidaklah tubuh itu bernajis, sehingga diharamkan disebabkan najis. Dan ini menunjukkan, bahwa pengharaman nya, adalah karena kejijikan. Dan karena itulah kami mengatakan, jikalau jatuhlah satu bagian dari anak Adam yang telah meninggal, ke dalam kuali, walaupun hanya seberat daniq(1/6 dirham), niscaya haramlah semuanya, bukan karena najisnya. Karena menurut yang shahih, bahwa anak Adam itu, tidaklah menjadi najis dengan kematiannya. Tetapi karena memakannya itu diharamkan lantaran penghormatan, tidak karena kejijikan.
Adapun hewan yang dimakan, apabila disembelih menurut syarat-syarat agama, maka tidaklah halal segala bagian-bagiannya. Tetapi diharamkan daripadanya darah dan tahi dan semua yang dihukum dengan kenajisannya. Bahkan memegang najis itu adalah haram mutlak. Tetapi tidaklah pada benda-benda itu, sesuatu yang diharamkan dan najis, kecuali dari hewan-hewan.
Adapun dari tumbuh-tumbuhan, maka yang memabukkan saja, tidak apa yang menghilangkan akal dan tidak memabukkan, seperti ganja. Karena kenajisan yang memabukkan, adalah menebalkan pencegahan daripadanya. Karena adanya pada tempat sangkaan penghiasan. Manakala terjatuhlah setitik dari najis atau sebahagian dari najis beku ke dalam sayur atau makanan atau minyak, niscaya haramlah memakan semuanya. Dan tidak diharamkan mengambil manfaat daripadanya, untuk bukan makan. Maka bolehlah memasang lampu dengan minyak najis. Dan demikian pula mencat kapal, hewan-hewan dll. Maka inilah kumpulan dari apa yang diharamkan, karena sesuatu sifat pada zat benda itu.
BAHAGIAN KEDUA: yang diharamkan karena kecederaan dari segi penetapan tangan (kekuasaan) padanya.
Pada bahagian kedua ini, meluaslah pemandangan. Maka kami katakan: memperoleh harta itu, adakalanya dengan usaha si pemilik atau dengan tidak usahanya. Yang tidak dengan usahanya, seperti: pusaka. Dan yang dengan usahanya adakalanya, tidak dari seseorang pemilik seperti: memperoleh barang tambang atau ada dari seseorang pemilik. Dan yang diperoleh dari seseorang pemilik, adakalanya diambil secara paksaan atau secara suka rela. Dan yang diambil secara paksaan, adakalanya, karena gugur kepemeliharaan hak si pemilik, seperti harta-harta rampasan peperangan atau karena berhak untuk diambil, seperti: zakat dari orang-orang yang tak mau membayar zakat dan perbelanjaan yang wajib dilunaskan. Dan yang diambil dengan suka rela, adakalanya diambil dengan pergantian (‘iwadl=penukaran dengan pembayaran harga), seperti: penjualan, emas kawin dan upah. Dan adakalanya diambil tanpa ‘iwadl, seperti: hibah dan wasiat. Maka hasillah dari pembawaan keterangan tersebut, 6 bahagian:
Pertama: yang diperoleh dari tanpa pemilik, seperti memperoleh barang tambang, menghidupkan tanah mati (mengerjakan tanah yang belum berpunya), berburu, memotong kayu di hutan, mengambil air dari sungai dan menyabit rumput. Maka ini semuanya halal, dengan syarat tidak adalah yang diambil itu, tertentu dengan kepentingan bagi orang banyak. Maka apabila terlepas dari ketentuan-ketentuan itu, niscaya barang-barang tersebut diatas menjadi milik pengambilnya. Dan uraian yang demikian itu, adalah pada Kitab Menghidupkan Tanah Mati (tanah tak berpemilik).
Kedua: yang diambil dengan paksaan dari orang yang tidak dihormati lagi hak miliknya, yaitu: pembayaran, perampasan dan harta-harta lainnya dari orang-orang kafir dan orang-orang yang memerangi kaum muslimin. Yang demikian itu, adalah halal bagi kaum muslimin, apabila mereka mengeluarkan daripadanya 1/5 dan membagikannya diantara orang-orang yang berhak secara adil. Dan tidaklah mereka mengambil harta tersebut dari orang kafir yang harus dihormati haknya, dijamin keamanannya dan telah mempunyai ikatan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Dan penguraian syarat-syarat ini adalah dalam Kitab Perjalanan dari Kitab Pengambilan harta, Perampasan dan Kitab Pajak.
Ketiga: yang diambil secara paksaan menurut hak, ketika menolak yang berkewajiban melunasinya. Maka diambillah tanpa persetujuannya. Dan yang demikian itu halal, apabila telah sempurna segala berhaknya diambil, telah sempurnan sifat yang berhak, dimana dengan sifat itu ia menjadi berhak. Dan terbatas pengambilan itu sekedar yang menjadi haknya dan ia memperoleh kesempurnaan hak itu dari orang yang mempunyai kekuasaan untuk menyempurnakannya, yaitu: hakim atau penguasa atau yang berhak itu sendiri. Penguraian yang demikian itu, adalah pada Kitab Pembahagian Sedekah (Zakat), Kitab Waqaf dan Kitab Nafakah. Karena padanya, terdapat pemandangan tentang sifat orang-orang yang berhak menerima zakat, waqaf, nafakah dan hak-hak yang lain. Maka apabila telah sempurnalah segala syaratnya, niscaya adalah yang diambil itu halal.
Keempat: yang diambil dengan persetujuan (sukarela), dengan ada gantinya (mu’awadlah). Dan yang demikian itu, adalah halal, apabila dijaga syarat dari kedua ‘iwadl (penukaran dengan pembayaran harga) itu (kedua benda yang dipertukarkan itu, yaitu: antara barang yang dijual dengan harga yang diterima dari si pembeli –Pent.). Dan dijaga syarat dari kedua orang yang melakukan aqad dan syarat dari kedua lafadh, ya’ni: ijab dan qabul, serta apa yang ditetapkan oleh agama, tentang menjauhkan segala syarat yang merusakkan aqad. Dan penjelasan yang demikian itu, adalah pada: Kitab Jual-beli, Kitab membeli dengan pesanan, Kitab Sewa-menyewa, Kitab tentang menugaskan pembayaran kepada orang ketiga (Kitab Al-Hiwalah), Kitab Menanggung pembayaran (Kitab Adl-Dlaman), Kitab Berkongsi keuntungan (Kitab Al-Qiradl), Kitab Perkongsian (Kitab Asy-Syirkah), Kitab tentang Penyiraman pohon kurma dan anggur (Kitab Al-Musaqah) Kitab Asy-Syuf’ah, Kitab Ash-Shulh, Kitab Al-Khulu’, Kitab AL-Kitabah, Kitab Ash-Shidaq (Emas kawin wanita) dll muawadlah.
Kelima: apa yang diambil dengan rela, tanpa ‘iwadl(penukaran dengan pembayaran harga). Dan itu, adalah halal, apabila dipelihara padanya syarat dari benda yang di’aqadkan, syarat kedua orang yang melakukan ‘aqad dan syarat ‘aqad. Dan tidak membawa kemelaratan kepada ahli waris atau orang lain. Dan yang demikian itu, tersebut pada kitab hibbah, wasiat dan sedekah.
Keenam: apa yang berhasil, tanpa usaha, seperti: pusaka. Dan itu adalah halal, apabila yang meninggalkan pusaka itu, telah mengusahakan harta yang menjadi pusaka dari sebahagian jurusan yang 5 dahulu tentang usaha, diatas cara yang halal. Kemudian, adalah pusaka itu, sesudah membayar hutang, melaksana kan segala wasiat dan membagi secara adil diantara segala ahli waris, mengeluarkan zakat, hajji dan kafarat (penebus), jikalau adalah yang tersebut ini wajib. Dan yang demikian itu, tersebut pada Kitab Wasiat dan Pembahagian pusaka (Faraidl). Maka inilah kumpulan jalan masuknya yang halal dan yang haram. Kami tunjukkan kepada keseluruhannya, adalah untuk diketahui oleh seorang murid, bahwa kalau adalah makanannya bermacam-macam jalan datangnya, tidak dari satu jurusan tertentu, maka tidak mencukupilah ia, tanpa mengetahui segala hal keadaan tersebut diatas. Maka tiap-tiap apa yang dimakannya, dari salah satu jurusan dari jurusan-jurusan tadi, sewajarnyalah ia meminnta fatwa dari ahli ilmu dan tidak tampil terus kepadanya dengan kebodohan. Karena, sebagaimana dikatakan kepada seorang yang berilmu: “Mengapakah kamu menyalahi dengan ilmumu ?”. Maka dikatakan pula kepada orang yang tak berilmu: “Mengapakah kamu terus-menerus dengan kebodohanmu dan engkau tidak belajar, sesudah dikatakan kepada engkau; menuntut ilmu itu wajib diatas tiap-ttiap muslim ?”.
TINGKAT HALAL DAN HARAM.
Ketahuilah kiranya, bahwa yang haram itu semuanya adalah keji. Tetapi setengahnya, adalah lebih keji dari yang lain. Dan yang halal itu semuanya adalah baik. Tetapi setengahnya adalah lebih baik dari yang lain dan lebih murni dari yang lain. Dan sebagaimana tabib itu menetapkan diatas tiap-tiap yang manis, dengan panas tetapi ia mengatakan, bahwa setengahnya, adalah panas pada tingkat pertama, seperti gula. Setengahnya, adalah panas pada tingkat kedua, seperti fanidz. Setengahnya adalah panas pada tingkat ketiga, seperti air nira yang dimasak. Dan setengahnya, adalah panas pada tingkat keempat, seperti manisan lebah. Begitupula yang haram, setengahnya, adalah keji pada tingkat pertama dan setengahnya pada tingkat kedua atau ketiga atau keempat. Dan begitupula yang halal, berlebih kurang tingkat sifatnya dan baiknya. Maka hendaklah kita mengikuti ahli ketabiban mengenai istilah kepada 4 tingkat lebih kurang, walaupun secara pembuktiannya, tidak mengharuskan kepada hinggaan tersebut. Karena berlaku pula kepada tiap-tiap tingkat, berlebih-berkurang yang tidak terhinggakan. Maka sebahagian gula, adalah yang lebih sangat panasnya dari gula lain. Dan begitu pula lainnya. Maka karena itulah, kami mengatakan, bahwa wara’ (penjagaan diri) dari yang haram itu, terbagi kepada 4 tingkat.
Pertama: wara’ (menjaga diri) orang-orang yang adil, yaitu: yang mengharuskan kefasikan dengan mengerjakannya dan gugurlah ‘adalah (sifat adil) dengan sebab mengerjakan itu. Dan melekatlah nama kedurhakaan (ma’siat) dan dibawa ke neraka dengan sebabnya. Yaitu wara’(menjaga diri)  dari tiap-tiap yang diharamkan oleh fatwa ulama-ulama fiqh.
Kedua: wara’ (menjaga diri) orang-orang shalih, yaitu: mencegah diri dari apa-apa yang menjuruskan kepadanya kemungkinan diharamkan. Tetapi oleh mufti (orang yang memberikan fatwa) melapangkan jalan untuk dikerjakan, didasarkan kepada yang zahir. Maka yang demikian itu, adalah setengah dari tempat-tempat terjadinya syubhat (diragukan) pada umumnya. Maka kita namakanlah, menjaga diri yang demikian, dengan nama: wara’(menjaga diri)  orang-orang shalih. Dan yaitu, adalah pada tingkat kedua.
Ketiga: apa yang tidak diharamkan oleh fatwa dan tak ada syubhat (diragukan) tentang kehalalannya. Tetapi ditakuti daripadanya, akan membawa kepada yang diharamkan. Dan yaitu, adalah meninggalkan sesuatu yang tidak mengapa dikerjakan, karena takut daripada apanya kalau dikerjakan. Dan inilah wara’ (menjaga diri) orang-orang yang taqwa (al-muttaqin). Nabi saw bersabda: “Tidak akan sampai hamba kepada tingkat al-muttaqin sebelum ia meninggalkan apa yang tidak mengapa dikerjakan, karena takut daripada ada apanya kalau dikerjakan”.
Keempat: apa yang tidak apa-apa sekali-kali kalau dikerjakan dan tidak ditakuti akan membawa kepada apa yang ada apa-apanya. Tetapi dikerjakan untuk selain Allah dan diatas bukan niat taqwa kepada beribadah kepada Allah. Atau menjuruskan kepada sebab-sebab yang memudahkan baginya perbuatan makruh atau ma’siat. Mencegah diri dari yang demikian, adalah wara’ orang shiddiq.
Maka inilah tingkat-tingkat halal secara umum, sampai kepada: yang akan kami uraikan nanti dengan contoh-contoh dan bukti-bukti. Adapun haram yang telah kami sebutkan pada tingkat pertama, yaitu: yang disyaratkan menjaga diri daripadanya pada sifat keadilan (‘adalah) dan mencampakkan tanda kefasikan. Maka itu juga diatas beberapa tingkat tentang kekejiannya. Maka barang yang diambil dengan ‘aqad yang batal, seperti: beri memberi, umpamanya pada barang yang tidak dibolehkan padanya beri-memberi adalah haram. Tetapi, tidaklah pada tingkat yang dimarahi diatas jalan paksaan. Tetapi yang dimarahi, adalah yang lebih berat lagi, karena padanya, meninggalkan jalan agama pada berusaha dan menyakiti orang lain. Dan tak adalah pada beri-memberi itu menyakitkan orang lain. Hanya padanya meninggalkan jalan ibadah saja.
Kemudian, meninggalkan jalan ibadah dengan beri-memberi itu, adalah lebih mudah daripada meninggalkannya dengan perbuatan riba. Berlebih-berkurang ini, diketahui dengan sangat tegasnya agama dan peringatannya serta peneguhannya pada sebahagian larangan-larangan, menurut apa yang akan datang pada Kitab Taubat nanti, ketika menyebutkan perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil. Tetapi, yang diambil secara zalim dari orang miskin atau orang shalih atau dari anak yatim, adalah lebih keji dan lebih besar akibatnya, daripada yang diambil dari orang yang kuat atau orang yang kaya atau orang yang fasiq. Karena tingkat menyakitkan, adalah berbeda-beda dengan berbedanya tingkat orang yang disakiti.
Maka inilah yang halus-halus tentang penguraian barang-barang, yang keji, yang tidak wajarlah dilengahkan daripadanya. Kalau tidaklah berbeda-beda tingkat orang-orang yang durhaka kepada Allah, niscaya tidaklah berbeda-beda lapisan neraka. Dan apabila telah diketahui tempat-tempat yang membangkitkan kesangatan, maka tidak perlulah kepada membatasinya kepada tiga tingkat atau empat. Karena yang demikian, adalah berlaku sebagai mencari-cari keputusan dan memenuhi keinginan. Yaitu: mencari hinggaan tentang sesuatu yang tak berhingga. Dan dibuktikan kepadamu diatas berlain-lainan tingkat haram tentang kekejian, oleh apa yang akan datang nanti, mengenai bertentangan satu sama lain dari hal-hal yang ditakuti dan menguatkan sebahagiannya diatas sebahagian yang lain. Sehingga apabila memerlukan kepada memakan bangkai atau memakan makanan orang lain atau memakan buruan tanah-haram maka kami akan mendahulukan sebagian dari itu dari sebahagian lainnya.
CONTOH-CONTOH YANG 4 TINGKAT TENTANG WARA’ (menjaga diri) DAN BUKTI-BUKTINYA.
Adapun tingkat pertama: yaitu: wara’(menjaga diri) orang-orang ‘adil. Maka tiap-tiap yang dikehendaki oleh fatwa akan pengharamannya, dari apa yang termasuk kedalam tempat pemasukan yang enam yang telah kami sebutkan dahulu dari tempat-tempat kemasukan haram, karena ketiadaan salah satu dari syarat-syaratnya, maka itu adalah haram mutlak yang dicapkan dengan fasiq dan maksiat, orang yang mengerjakannya. Dan itulah yang kami maksudkan dengan haram mutlak. Dan tidaklah ia memerlukan kepada contoh dan bukti.
Adapun tingkat kedua: maka contohnya, ialah segala syubhat (diragukan) yang tidak kita wajibkan menjauhkannya, tetapi disunatkan menjauhkannya, sebagaimana akan diterangkan nanti pada Bab Syubhat (diragukan). Karena sebagian dari yang syubhat (diragukan), adalah yang wajib dijauhkan. Maka dihubungkan dia dengan yang haram. Dan setengahnya ada yang dimakruhkan menjauhkannya. Maka menjaga diri  dari yang tersebut itu, ialah menjaga diri  orang-orang waswas, seperti orang yang tidak mau memburu, karena takut binatang buruan itu adalah binatang yang telah terlepas dari orang yang telah memperolehnya dan memilikinya. Dan ini, adalah waswas. Dan setengahnya, sunat dijauhkan dan tidak wajib. Yaitu yang termasuk kedalam sabda Nabi saw: “Tinggalkanlah yang meragukan kamu, kepada yang tidak meragukan kamu !”. Dan kami bawa sabda tersebut kepada larangan bagi pembersihan diri (at-tanzih). Dan begitu pula sabda Nabi saw: “Makanlah hewan buruan yang engkau bunuh dihadapanmu (ishma’) dan tinggalkanlah yang engkau tembakkan dengan panah, kemudian ia lari dan kamu temukan sudah mati (inma’)”. Inma’, yaitu: hewan buruan itu sudah dilukakan, lalu ia lari menghilang, kemudian didapati sudah mati. Karena mungkin matinya itu, disebabkan jatuh atau disebabkan yang lain. Dan pendapat yang kami pilih, sebagaimana akan datang nanti, ialah hewan buruan tadi, tidaklah haram. Tetapi meninggalkan memakannya, adalah menjaga diri bagi orang-orang shalih. Dan sabda Nabi saw: “Tinggalkanlah yang meragukan kepadamu!” adalah perintah: tanzih (membersihkan diri). Karena telah datang pada sebahagian riwayat: “Makanlah dari hewan buruan itu, walaupun ia telah menghilang daripada kamu, selama engkau tidak mendapati padanya bekas selain dari panahmu !”. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda kepada ‘Uda bin Hatim, tentang anjing buruan yang sudah ngerti (al-kalbul-mu’allim): “Kalau anjing itu memakannya, maka janganlah kamu makan, karena aku takut, bahwa anjing itu mengambil binatang buruan tadi untuk dirinya sendiri”, adalah atas jalan “tanzih”, lantaran takut yang tersebut tadi.
Karena Nabi saw berkata kepada Abi Tsa’labah Al-Khasyany: “Makanlah daripadanya !”. Lalu Abi Tsa’labah bertanya: “Kalau anjing itu memakan daripadanya ?”. Maka Nabi saw menjawab: “Walaupun ia makan”. Yang demikian itu, karena Abi Tsa’labah adalah seorang miskin yang rajin berusaha, yang tak sanggup menanggung wara’(menjaga diri) ini. Dan keadaan ‘Uda, ia dapat menanggungnya”.
Diceritakan dari Ibnu Sirin, bahwa Ibnu Sirin meninggalkan untuk kongsinya 4000 dirham, karena terguris dalam hatinya sesuatu, padahal telah sepakat ulama, bahwa tidak mengapa dengan gurisan hati yang demikian itu. Maka contoh-contoh tingkat ini, adalah kami sebutkan dalam membentangkan tingkat-tingkat syubhat (diragukan). Maka tiap-tiap yang syubhat (diragukan) tidaklah wajib dijauhkan. Itulah kiranya contoh untuk tingkat kedua tersebut !
Adapun tingkat ketiga: yaitu: wara’ orang-orang muttaqin (artinya ia meninggalkan sesuatu yang tak ada apa-apa padanya, karena takut kepada sesuatu yang ada apa-apanya). Dibuktikan untuk tingkat ini, oleh sabda Nabi saw: “Tidaklah sampai seorang hamba kepada tingkat muttaqin, sehingga ia meninggalkan sesuatu yang tak ada apa-apa padanya, karena takut kepada sesuatu yang ada apa-apanya”.
Umar ra berkata: “Kami meninggalkan 9/10 dari yang halal, karena takut kami jatuh kepada yang haram”. Dan ada yang mengatakan, bahwa ucapan Umar ra itu berasal dari Ibnu Abbas ra. Abud-Darda’ berkata: “Sesungguhnya setengah dari kesempurnaan taqwa, ialah bahwa hamba itu menjaga diri pada barang yang seberat biji sawi. Sehingga ia meninggalkan setengah dari apa yang dipangangnya halal, karena ia takut itu haram, sehingga menjadi hijab antara dia dan neraka”. Dan karena itulah, ada sebahagian mereka mempunyai 100 dirham pada seseorang, lalu orang itu membawa uang yang 100 tadi kepadanya. Maka diambilnya 99 dan berwara’, (berjaga diri) daripada mengambil semuanya, karena takut kelebihan. Adalah setengah mereka menjaga diri, lalu tiap-tiap yang dibayar orang kepadanya, maka diambilnya kurang sebiji. Dan apa yang diserahkannya kepada orang lain, dibayarkannya dengan kelebihan sebiji. Supaya adalah yang demikian itu menjadi dinding dari neraka. Dan dari tingkat ini, ialah menjaga diri dari apa yang bermaaf-maafkan manusia. Karena yang demikian itu, adalah halal menurut fatwa. Tetapi ditakuti daripada membuka pintunya, akan terjerumus kepada yang lain. Dan diri itu menyukai terlepas dan meninggalkan yang wara’. Maka dari yang demikian itulah, apa yang diriwayatkan dari Ali bin Mu’abbad , bahwa Ali bin Mu’abbad berkata: “Adalah aku tinggal di rumah sewaan, lalu aku menulis suatu surat dan aku bermaksud mengambil debu dinding tembok untuk aku letakkan keatas tulisan dan mengeringkan tulisan dengan debu itu. Kemudian aku berkata: “Dinding tembok itu bukan kepunyaanku”. Lalu berkatalah jiwaku: “Apalah artinya sedikit debu dinding itu !”. Lalu aku mengambil debu itu menurut keperluanku. Maka tatkala aku tidur, tiba-tiba aku bersama seorang yang tegak disampingku, berkata: “Hai Ali bin Mu’abbad ! akan diketahui besok oleh orang yang mengatakan: “Apalah artinya sedikit debu dinding itu !”. Mungkin artinya yang demikian itu, bahwa ia melihat, betapa Ali bin Mu’abbad turun dari kedudukannya. Karena taqwa itu mempunyai tingkat yang hilang dengan hilangnya menjaga diri orang-orang yang muttaqin. Dan tidaklah maksudnya, bahwa ia berhak mendapat siksaan, diatas perbuatannya itu.
Dan dari itulah, apa yang diriwayatkan, bahwa Umar ra sampai kepadanya kesturi dari Bahrain, lalu beliau berkata: “Aku suka kalau ada wanita yang menimbangkannya, sehingga dapat aku bagi-bagikan diantara kaum muslimin”. Maka menjawab isterinya ‘Atikah: “Aku pandai menimbang”. Mendengar itu Umar berdiam diri. Kemudian beliau mengulangi ucapannya yang tadi dan isterinya pun mengulangi jawabannya yang tersebut. Lalu Umar ra berkata: “Tidak ! aku ingin engkau letakkan kesturi itu pada tapak tangan. Kemudian engkau mengatakan bahwa, tapak tangan itu ada bekasan abu, lalu engkau sapukan dengan tapak tangan itu leher engkau. Maka aku peroleh dengan demikian kelebihan kepada kaum muslimin”.
Adalah ditimbang dihadapan Umar bin Abdul-‘aziz kesturi untuk kaum muslimin. Maka Umar mengambil dengan hidungnya, sehingga beliau tidak memperoleh lagi bau keharumannya, seraya berkata: “Adakah diambiil manfaat daripadanya, selain dengan baunya ? niscaya aku tidak akan menjauhkan yang demikian itu daripadanya”.
Al-Hasan ra mengambil sebiji tamar dari tamar sedekah (zakat) dan adalah Al-Hasan waktu itu masih kecil. Lalu Nabi saw bersabda kepadanya:  “Campakkan ! campakkan !”. Dan daripada yang demikian itu, adalah apa yang diriwayatkan oleh sebahagian mereka, bahwa ia berada disamping orang yang hampir meninggal. Maka meninggallah orang itu pada suatu malam. Lalu ulama tersebut mengatakan kepada orang banyak: “Padamkanlah lampu, karena para ahli waris telah berhak pada minyak lampu itu”.
Sulaiman At-Taimi meriwayatkan dari Na’imah Al-‘Ath-tharah, dimana Na’imah mengatakan: “Adalah Umar ra menyerahkan kepada isterinya bau-bauan kepunyaan kaum muslimin untuk dijualnya. Maka dijualnya kepada saya bau-bauan itu. Lalu ia berdiri. Melebihkan dan mengurangkan bau-bauan itu dan menghancurkannya dengan giginya. Maka melekatlah pada jarinya sedikit dari bau-bauan itu. Lalu ia mengatakan dengan bau-bauan yang sedikit itu, begitulah dengan jarinya. Kemudian ia sapu dengan bau-bauan tadi akan kudungnya. Lalu Umar ra masuk, seraya berkata: “Bau apakah ini ?”. Maka isterinya menerangkan hal yang demikian itu. Maka Umar ra menjawab: “Bau-bauan kepunyaan kaum muslimin, engkau ambil ?”. Lalu beliau buka kain kudung dari kepala isterinya itu dan beliau mengambil sekendi air, lalu beliau tuangkan keatas kain kudung itu. Kemudian beliau gosok-gosokkan pada tanah, kemudian beliau ciumkan, kemudian beliau tuangkan air lagi. Kemudian beliau gosok-gosokkan pada tanah dan beliau ciumkan, sehinggaa tidak ada lagi baunya. Na’imah menerangkan seterusnya: “Kemudian aku bawa kepada isteri Umar pada kali yang lain. Maka tatkala beliau telah menimbangnya, dimana melekat sedikit daripadanya pada jarinya, lalu ia masukkan jarinya itu ke mulutnya, kemudian menyapukan tanah dengan jarinya itu”. Maka inilah dari Umar ra wara’(menjaga diri), taqwa, karena beliau takuti yang demikian itu, membawa kepada yang lain. Dan kalau bukan demikian, maka membasuh kain kudung itu, tidaklah mengembalikan bau-bauan itu kepada kaum muslimin. Tetapi beliau buang itu, untuk peringatan kepada isterinya, menakutkan dan menjagakan daripada menjalar hal yang demikian itu kepada yang lain-lain.
Dan termasuk seperti yang demikian juga, mengenai apa yang ditanyakan kepada Ahmad bin Hanbal ra tentang seorang laki-laki yang ada di masjid, dimana ia membawa dupa kepunyaan setengah raja-raja dan ia membakar kayu cendana pada dupa itu di masjid tadi. Maka Imam Ahmad bin Hanbal menjawab: “Seyogyalah orang itu dikeluarkan dari masjid. Karena tidaklah diambil kemanfaatan dari kayu cendana itu, kecuali baunya. Dan ini kadang-kadang sudah mendekati haram. Karena kadar yang berkembang pada kainnya dari bau benda yang harum itu, kadang-kadang dimaksudkan yang demikian. Dan kadang-kadang orang kikir dengan bau-bauan itu. Lalu tidak diketahui, apakah orang bermaaf-maafan dengan bau-bauan itu atau tidak”.
Ditanyakan Ahmad bin Hanbal tentang orang yang jatuh daripadanya sehelai kertas, dimana pada kertas itu banyak tertulis hadits. Apakah boleh bagi orang yang mendapat kertas tadi, menyalin hadits-hadits itu, kemudian mengembalikan kepada yang mempunyainya. Maka Ahmad bin Hanbal menjawab: “Tidak boleh, tetapi ia harus meminta izin lebih dahulu, baru boleh menyalin”. Dan ini juga, kadang-kadang diragukan, tentang yang mempunyai kertas tersebut, apakah ia rela dengan penyalinan itu atau tidak ! maka apa yang pada tempat diragukan itu, asalnya adalah diharamkan. Jadi, itu adalah haram. Dan meninggalkannya termasuk tingkat pertama dahulu. Dan termasuk yang demikian juga, wara’(menjaga diri) dari perhiasan. Karena ditakuti daripadanya, membawa kepada yang lain-lain. Walaupun perhiasan itu diperbolehkan pada pokoknya.
Orang menanyakan Ahmad bin Hanbal tentang semacam selop (an-ni’al as-sabtiyah), maka beliau menjawab: “Adapun saya tidak akan memakaikan nya. Tetapi kalau karena menjaga dari abu tanah, maka aku harapkan. Adapun orang yang bermaksud untuk perhiasan, maka jangan !”. Dan dari yang demikian juga, bahwa Umar ra tatkala memegang jabatan khalifah, beliau mempunyai isteri yang dicintainya. Lalu diceraikannya, karena takut nanti ia menunjukkan kepadanya, untuk memberikan pertolongan pada yang batil/salah. Lalu beliau patuhi permintaannya dan mencari kesenangannya. Dan ini termasuk meninggalkan barang yang tidak ada apa-apa, karena takut daripada ada apa-apanya. Artinya: takut ia terbawa keadaan yang demikian. Dan kebanyakan yang dibolehkan (mubah) itu, membawa kepada yang dilarang. Sehingga membanyakkan makan dan memakai bau-bauan bagi orang yang membujang (tidak beristeri), sesungguhnya menggerakkan kepada nafsu syahwat. Kemudian nafsu syahwat itu membawa kepada berpikir. Dan berpikir itu membawa kepada memandang. Dan memandang itu membawa kepada lain-lain.
Dan begitu pula, memandang rumah orang-orang kaya dan berbaik-baik dengan mereka, adalah hal mubah pada pokoknya. Tetapi, menggerakkan kelobaan dan membawa kepada mencari seperti yang demikian itu. Dan lazimlah daripadanya mengerjakan sesuatu yang tidak halal untuk memperolehnya. Dan begitulah kiranya segala yang mubah itu semuanya, apabila tidak diambil sekedar yang perlu saja pada waktu yang diperlukan, serta menjaga diri dari segala gangguannya, dengan mengenalinya pada pertamanya, kemudian dengan mengawasinya pada keduanya, maka sedikitlah terlepas akibatnya dari bahaya. Dan begitupula tiap-tiap sesuatu yang diambil dengan nafsu syahwat, maka sedikitlah terlepas dari bahaya.
Sehingga Ahmad bin Hanbal memandang makruh mengkapuri dinding tembok rumah, dengan mengatakan: “Adapun mengkapuri lantai, maka ia akan mencegah abu tanah . Dan adapun mengkapuri dinding tembok, maka adalah perhiasan yang tak ada faedah padanya. Sehingga beliau membantah mengkapuri masjid dan menghiasinya. Dan beliau berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi saw: “Bahwa Nabi saw ditanyakan tentang mencat hijau pekat masjid. Lalu beliau menjawab: “Tak adalah rumah seperti rumah Musa. Dan itu adalah sesuatu seperti celak, yang akan dicatkan masjid dengan itu”. Maka Nabi saw tidak membolehkannya.
Ulama salaf memandang makruh kain tipis dan mereka mengatakan: “Barangsiapa tipis kainnya, niscaya tipislah agamanya”. Dan semuanya itu, karena dikuatirkan menjalarnya mengikuti hawa nafsu pada yang mubah, kepada yang tidak mubah nanti. Karena yang dilarang dan yang diperbolehkan, keduanya itu dirindukan oleh nafsu dengan kerinduan nafsu syahwat yang satu. Dan apabila telah dibiasakan oleh nafsu syahwat yang membolehkan niscaya ia terlepas. Lalu membawa ketakutan taqwa kepada menjaga diri’ dari ini semuanya.
Maka tiap-tiap yang halal yang terlepas daripada pembedaan yang seperti ini, maka itu adalah halal yang baik pada tingkat ketiga. Dan yaitu: tiap-tiap yang tidak ditakuti sekali-kali oleh pelaksanaannya, akan membawa kepada kema’siatan.
Adapun tingkat keempat: yaitu wara’(menjaga diri) orang-orang shiddiqin. Maka yang halal pada mereka, ialah tiap-tiap yang tidak didahului oleh ma’siat untuk menjadi sebab terjadinya. Dan tidak menolong kepada perbuatan ma’siat. Dan tidak dimaksudkan daripadanya, baik sekarang atau nanti, untuk mencapai sesuatu kepentingan. Tetapi mengerjakannya semata-mata karena Allah Ta’ala, karena bertaqwa memperhambakan diri kepadaNya dan meneruskan kehidupan karenaNya. Dan mereka adalah orang-orang yang memandang, bahwa tiap-tiap sesuatu yang bukan karena Allah, adalah haram, karena mengikuti firmanNya: “Katakan: yang menurunkan itu Allah. kemudian biarkanlah mereka main-main dengan percakapan kosongnya”. S 6 Al An’aam ayat 91. Dan inilah tingkat orang-orang muahhidin (orang-orang yang benar-benar berkeesaan kepada Allah), yang melepaskan segala kepentingan diri sendiri, mengesakan maksud dan tujuan kepada Allah Ta’ala semata-mata. Dan tak syak lagi bahwa orang berbuat wara’(menjaga diri) tanpa sesuatu yang menyampaikan kepada wara’ (menjaga diri)  atau mencari pertolongan kepada wara’ dengan perbuatan ma’siat, supaya ia menjadi wara’, tanpa disertakan dengan sebab-sebab dari usahanya, adalah ma’siat atau makruh.
Maka termasuklah yang demikian itu, apa yang diriwayatkan dari Yahya bin Kutsair, bahwa ia meminum obat. Lalu berkatalah isterinya kepadanya: “Jikalau berjalanlah tuan sedikit di rumah, sehingga obat itu bekerja !”. Maka Yahya menjawab: “Itu adalah perjalanan yang tidak aku kenal. Dan aku menghitung diriku sendiri semenjak 30 tahun yang lampau”. Seakan-akan tidak datanglah kepada Yahya, niat pada perjalanan itu, yang berhubungan dengan agama. Maka tidak bolehlah tampil mengerjakannya. Dan dari Sirri ra yang mengatakan: “Sampailah aku kepada rumput di bukit dan air yang keluar daripadanyya. Lalu aku ambil rumput itu dan aku minum air, seraya aku berkata kepada diriku sendiri: “Sesungguhnya jikalau adalah aku memakan pada suatu hari akan makanan yang halal dan baik, maka adalah itu pada hari ini. Maka berteriaklah kepadaku suara yang meneriakkan: “Bahwa kekuatan tenaga yang menyampaikan kamu ke tempat ini, dari manakah dia itu ?”. Maka aku minta maaf dan menyesal”. Dan termasuk ini juga, apa yang diriwayatkan dari Dzin-Nun Al-Misri, bahwa adalah ia lapar dan dipenjarakan. Lalu seorang wanita yang shalih mengirimkan makanan kepadanya dengan perantaraan penjaga penjara. Maka ia tidak mau makan dan meminta maaf, seraya mengatakan: “Makanan itu datang kepadaku diatas talam yang zalim, ya’ni: kekuatan yang menyampaikan makanan kepadaku, tidaklah kekuatan yang baik”. Inilah tujuan yang tertinggi pada wara’ !.
Dan sebahagian dari itu, bahwa Bisr ra tidak mau meminta air dari aliran-aliran air yang dikorek oleh amir-amir. Karena aliran air itu adalah sebab untuk mengalir air dan sampainya air itu kepadanya. Dan walaupun air itu mubah/dibolehkan pada asalnya, maka adalah ia seperti orang yang mengambil manfaat dari aliran air yang dikorek dengan tenaga orang-orang diongkosi, dimana mereka itu memberikan ongkos tadi dari harta yang haram.
Dan karena itulah, setengah mereka tidak mau kepada buah anggur, yang halal dan batangnya yang halal, seraya berkata kepada temannya: “Telah engkau rusakkan batang anggur itu, karena engkau sirami dari air yang mengalir dalam saluran air, yang digali oleh orang-orang zalim”. Dan ini sebenarnya, adalah jauh dari kezaliman dari segi minuman air itu sendiri, karena menjaga diri dari anggur yang tertolong dengan air itu.
Adalah setengah mereka, apabila melalui pada jalan hajji, tidak meminum dari perusahaan-perusahaan yang dikerjakan oleh orang-orang zalim, sedang air itu adalah mubah/dibolehkan. Tetapi air itu tinggal terpelihara di perusahaan yang diperbuat dengan harta haram. Dan tak maunya Dzin-Nun mengambil makanan dari tangan penjaga penjara, adalah lebih besar dari ini semuanya. Karena tangan pengawal penjara itu tidaklah disebutkan haram. Lain halnnya dengan talam yang dirampas, apabila makanan itu dibawa padanya. Tetapi makanan itu sampai kepadanya dengan kekuatan yang diusahakan dengan makanan yang haram. Dan karena itulah, Abubakar Ash-Shiddiq ra memuntahkan susu yang diminumnya. Karena takut daripada yang haram itu mendatangkan kekuatan kepadanya. Sedang ia meminumnya, tanpa mengetahui sama sekali dan sebenarnya tidaklah wajib mengeluarkannya. Tetapi mengosongkan perut dari yang keji, adalah termasuk wara’(menjaga diri) orang-orang shiddiq. Dan termasuk dalam wara’ tadi, menjaga dari usaha yang halal yang diusahakan oleh tukang jahit yang menjahit dalam masjid. Karena Ahmad ra memandang makruh duduk penjahit itu dalam masjid. Ditanyakan Imam Ahmad ra tentang tukang lawak yang duduk pada kubah kuburanm pada waktu ia takut dari kehujanan. Maka beliau menjawab: “Kubah itu adalah hal akhirat dan makruhlah duduknya disitu”. Sebahagian mereka memadamkan pelita yang dinyalakan oleh bujangnya, dimana pelita itu berasal dari orang-orang yang hartanya makruh. Dan tidak mau menyalakan api untuk pembakaran roti, dimana padanya terdapat bara api dari kayu pembakar yang makruh. Setengah mereka tidak mau memasang tali selopnya pada lentera sultan.
Maka inilah yang halus-halus dari wara’(menjaga diri) pada mereka yang menjalani jalan akhirat. Dan pentahkikan padanya, ialah bahwa wara’ itu, mempunyai permulaan, yaitu: mencegah dari apa yang diharamkan oleh fatwa para ulama, yaitu: wara orang-orang adil. Dan mempunyai kesudahan, yaitu: wara’ orang-orang shiddiq. Yaitu: mencegah dari tiap-tiap apa yang bukan karena Allah, dari sesuatu yang diambil dengan nafsu syahwat atau sampai kepadanya dengan jalan makruh atau dengan sebabnya bersambung dengan kemakruhan. Dan diantara yang dua tadi (diantara permulaan dan kesudahan), ada tingkat-tingkat tentang kewaspadaan (ihtiath).
Maka manakala hamba itu terlalu sangat menjaga terhadap dirinya, niscaya adalah lebih ringan punggungnya pada hari kiamat dan lebih segera melewati titian dan amat jauh daripada berat daun timbangan kejahatannya dari daun timbangan kebajikannya. Dan berlebih-kuranglah tingkat di akhirat menurut lebih-kurangnya tingkat-tingkat tersebut pada wara’nya (menjaga dirinya). Sebagaimana berlebih-berkurangnya lapisan-lapisan neraka terhadap orang-orang zalim, menurut berlebih-kurangnya yang haram tentang kekejian.
Apabila anda telah mengetahui hakikat/makna persoalannya, maka haruslah anda memilih. Kalau anda mau, maka perbanyakkanlah kewaspadaan. Dan kalau anda mau, maka permudahkanlah ! maka untuk diri anda sendirilah kalau anda waspada dan diri anda sendirilah yang merugi kalau anda mempermudah-mudahkan. wassalam !
BAB KEDUA: tentang tingkat-tingkat syubhat (diragukan), perkembangan-perkembangannya dan perbedaannya dari yang halal dan yang haram.
Rasulullah saw bersabda: “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan diantara keduanya, adalah hal-hal yang syubhat (diragukan), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa menjaga diri dari syubhat (diragukan), niscaya ia terlepas untuk kehormatannya dan agamanya. Dan barangsiapa jatuh kedalam syubhat (diragukan), niscaya terperosoklah ia kedalam yang haram, seperti pengembala yang menggembalakan keliling hutan larangan, maka besarlah kemungkinan terjatuh ia kedalamnya”.
Maka hadits ini, adalah bukti jelas (nash), tentang adanya tiga bahagian itu. Dan yang sulit daripadanya, ialah bahagian yang ditengah, yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang, yaitu: syubhat (diragukan). Dari itu maka tak boleh tidak menjelaskannya dan membuka tutupnya. Karena apa yang tidak diketahui oleh banyak orang, kadang-kadang diketahui oleh orang sedikit. Maka kami jelaskan: bahwa yang halal mutlak, ialah kosong pada benda itu, sifat-sifat yang mewajibkan kepada pengharaman, pada benda itu sendiri. Dan terlepaslah dari sebab-sebab, dimana mendatangkan kepada pengharaman atau kemakruhan. Contohnya, ialah: air yang diambiil orang dari hujan, sebelum jatuh menjadi milik seseorang. Dan dia sendiri berdiri menampungnya dan mengambilnya dari udara, dalam daerah miliknya sendiri atau pada tanah yang diperbolehkan (tanah mubah).
Haram semata, yaitu: ada padanya sifat yang mengharamkan; yang tidak diragukan lagi, seperti kesangatan yang mempersonakan pada khamar dan kenajisan pada kencing. Atau barang itu diperoleh dengan tegas, dengan sebab yang dilarang, seperti diperolah dengan kezaliman, riba dll yang sebanding dengan itu. Maka keduanya ini, adalah dua segi yang jelas. Dan diperhubungkan dengan kedua segi itu, apa yang diyakini persoalannya, tetapi ada kemungkinan perobahannya. Dan tidaklah untuk kemungkinan itu, ada sebab yang menunjukkan kepadanya.
Memburu binatang daratan dan lautan, adalah halal. Dan barangsiapa mengambil seekor kijang, maka mungkinlah kijang tadi, telah dimiliki oleh seorang pemburu, kemudian kijang itu terlepas daripadanya. Dan begitupula ikan, mungkin terlepas dari penangkapannya, setelah jatuh ke dalam tangannya dan bakulnya. Maka kemungkinan yang seperti ini, tidaklah mungkin mendatang kepada air hujan, yang ditampung dari udara. Tetapi dalam pengertian air hujan dan penjagaan daripadanya, adalah mengandung waswas. Dan marilah kami namakan cara yang begini, dengan: wara’ orang-orang waswas. Sehingga berhubunganlah padanya contoh-contoh tersebut. Sebabnya yang demikian, ialah: ini adalah sangkaan semata-mata, tak ada dalil baginya. Ya, kalau dibuktikan oleh sesuatu dalil, maka kalau dalil itu menyakinkan, seperti terdapat tali pada rahang ikan. Atau dalil itu memungkinkan, seperti terdapat pada kijang itu luka, dimana mungkin terjadi dari sengatan, yang tidak sanggup mengenalinya, kecuali setelah dipastikan. Dan mungkin bahwa itu luka. Maka inilah tempatnya wara’(menjaga diri).
Dan apabila ketiadaan dalil dari segala jurusan, maka kemungkinan tidak ada dalilnya itu, adalah seperti kemungkinan tidak ada barang itu sendiri. Dan dari yang sejenis dengan ini, ialah: orang yang meminjam sebuah rumah, maka menghilanglah yang meminjamkan. Lalu ia tampil mengatakan, mungkin, yang meminjamkan itu sudah meninggal dan jadilah rumah itu hak ahli warisnya. Maka ini, adalah waswas, karena tidak dibuktikan atas kematiannya oleh suatu sebab yang menyakinkan atau yang meragukan. Karena syubhat (diragukan) yang ditakuti, ialah yang terjadi dari syak-wasangka. Dan syak-wasangka itu, adalah ibarat dari dua kepercayaan yang bertentangan, yang terjadi dari dua sebab. Maka sesuatu yang tidak mempunyai sebab, niscaya tidak menetaplah ikatannya pada jiwa. Sehingga menyamakan dengan ikatan yang bertentangan dengan dia. Maka jadilah itu: syak (ragu) namanya.
Dan karena inilah, maka kami mengatakan: barangsiapa syak (ragu), bahwa ia telah bershalat 3 atau 4 rakaat, maka dia mengambil 3, karena asalnya, tidaklah lebih. Kalau ditanyakan kepada sesorang, bahwa shalat Dhuhur yang telah dikerjakannya sebelum ini, selama 10 tahun, adakah 3 atau 4 rakaat, niscaya ia tidak meyakini sekali-kali, bahwa shalat itu 4 rakaat. Dan apabila ia tidak meyakininya, niscaya boleh ada ia 3 rakaat. Dan kebolehan ini (tajwiz), tidaklah dia itu syak (ragu) namanya. Karena tidak ditimbulkan oleh sesuatu sebab yang mewajibkan keyakinan adanya 3 rakaat. Maka hendaklah dipahami akan hakikat/makna syak (ragu), sehingga tidak menyerupakan dengan: waham dan tajwiz/kebolehan dengan tanpa sebab ! Maka inilah mempunyai hubungan dengan halal mutlak ! Dan yang mempunyai hubungan dengan haram semata, ialah yang diyakini pengharamannya, walaupun mungkin datang yang menghalalkan. Tetapi tidak dibuktikan kepadanya oleh sesuatu sebab. Seperti orang yang pada tangannya makanan, kepunyaan pewarisnya, yang tak ada ahli waris yang lain, kecuali dia. Maka pewaris itu telah menghilang, lalu ia berkata: “Mungkin ia telah meninggal dan memindahlah hak miliknya kepadaku. Maka aku makan akan makanan ini”. Maka tampilnya memakan makanan itu, adalah tampil kepada yang haram semata. Karena meninggalnya itu hanya suatu kemungkinan, yang tak ada tempat perpegangan. Maka tidak seyogyalah dihitung yang semacam ini, termasuk dalam bahagian-bahagian syubhat (diragukan).
Sesungguhnya syubhat (diragukan) yang kami maksudkan, ialah: apa yang meragukan kepada kita persoalannya, dengan bertentangan bagi kita padanya dia keyakinan, yang datang dari dua sebab yang menghendaki kedua keyakinan tersebut. Perkembangan syubhat (diragukan) itu ada lima:
PERKEMBANGAN PERTAMA: syak (ragu) tentang sebab yang meghalalkan dan yang mengharamkan.
Dan yang demikian itu, tidak terlepas, adakalanya bersamaan atau lebih keras salah satu dari dua kemungkinan. Kalau kedua kemungkinan itu sama, niscaya hukumnya, adalah menurut apa yang dikenal sebelumnya. Maka disertakan hukum menurut itu dan tidak ditinggalkan yang dahulu itu, disebabkan timbulnya syak (ragu). Dan kalau lebih keras salah satu dari dua kemungkinan kepadanya, dengan datangnya yang lebih keras itu, dari dalil yang boleh menjadi perpegangan, niscaya hukum adalah bagi yang lebih keras. Dan tidaklah terang ini, kecuali dengan contoh-contoh dan bukti-bukti. Maka akan kami bagikan dia kepada 4 bahagian:
Bahagian pertama: bahwa adalah pengharaman itu dimaklumi sebelumnya. Kemudian terjadilah syak (ragu) tentang yang menghalalkannya (muhallil). Maka ini, adalah syubhat (diragukan) yang wajib dijauhkan dan haramlah tampil mengerjakannya. Contohnya: bahwa ia melemparkan dengan panah binatang buruan, maka binatang itu luka dan jatuh kedalam air. Kemudian diperolehnya sudah mati. Dan ia tidak tahu, bahwa matinnya itu, dengan sebab tenggelam atau dengan sebab luka. Maka hewan tersebut haram, karena asalnya ialah diharamkan. Kecuali apabila mati hewan itu dengan jalan tertentu. Dan telah menjadi syak (ragu) pada jalan yang tertentu itu. Maka tidaklah ditinggalkan yakin, dengan sebab syak (ragu), sebagaimana pada hadats, najis, rakaat shalat dan lainnya.
Dan diatas inilah, ditempatkan sabda Nabi saw kepada ‘Uda bin Hatim: “Janganlah engkau makan binatang buruan itu, mungkin dia dibunuh oleh bukan anjing engkau !”. Maka karena itulah, Nabi saw apabila dibawa kepadanya sesuatu yang meragukannya, apakah itu sedekah (zakat) atau hadiah, lalu beliau menanyakannya. Sehingga beliau mengetahui, yang mana diantara keduanya itu. Diriwayatkan, bahwa: “Nabi saw terbangun pada suatu malam. Lalu bertanya kepadanya sebahagian isterinya: “Terbangun engkau, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Ya ! aku dapati sebiji tamar, maka aku takuti tamar itu dari harta sedekah (zakat)”. Dan pada suatu riwayat: “Maka aku makan tamar tersebut, lalu aku takuti tamar itu dari zakat”. Dan termasuk yang demikian itu, apa yang diriwayatkan dari setengah mereka, yang mengatakan: “Adalah kami dalam perjalanan bersama Rasulullah saw. Lalu kami ditimpa kelaparan. Maka kami bertempat pada suatu tempat yang banyak binatang dlabb (bentuknya menyerupai biawak).  . Lalu diantara kami, terdapat belanga-belanga yang dijerangkan diatas api. Karena Rasulullah saw bersabda: “Suatu umat yang dibalikkan rupanya dari kaum Bani Israil, maka aku takut, bahwa umat itu adalah ini”, maka kami tuangkan segala periuk itu. Kemudian, sesudah itu, diberitahukan oleh Allah kepadanya, bahwa Allah tidak akan membalikkan rupa sesuatu makhluk, maka dijadikanNya bagi makhluk itu keturunan”. Adalah tidak maunya mula-mula, karena asalnya, adalah tidak halal. Dan timbullah syak (ragu), tentang adanya penyembelihan itu, dapat menghalalkan.
Bahagian kedua: bahwa diketahui halal yang disyakkan(diragukan), ialah tentang yang mengharamkan. Maka asalnya, adalah halal dan halallah hukumnya, sebagaimana, apabila dinikahi dua orang wanita oleh dua orang laki-laki. Dan terbanglah seekor burung, lalu berkata seorang dari keduanya: “Jikalau burung itu gagak, maka isteriku tertalak”. Dan berkata yang seorang lagi: “ jikalau bukan gagak, maka istriku tertalak”. Dan keadaan burung itu tidak jelas. Maka tidaklah dihukum pengharaman pada seorangpun dari kedua isteri itu. Dan tidaklah diwaajibkan kepada kedua suami itu menjauhkan isterinya. Tetapi wara’(menjaga diri) ialah keduanya menjauhkan dan menceraikan. Sehingga menjadi halal wanita-wanita itu bagi suami-suami yang lain. Dan Makhul menyuruh menjauhkan dari wanita pada masalah tersebut tadi.
Dan Asy-Sya’bi berfatwa dengan menjauhkan, mengenai dua orang laki-laki, dimana keduanya bertengkar. Lalu yang seorang berkata kepada seorang yang lain: “Engkau pendengki !”. Lalu menjawab yang lain: “Kami dengki, isterinya tertalak tiga !”. Maka menjawab yang tadi: “Ya !”. Dan persoalan ini menghadapi kemusykilan (kesulitan). Ini, kalau ia maksudkan menjauhkan wara’, maka adalah benar. Dan kalau ia maksudkan pengharaman yang meyakinkan, maka tiada jalan baginya yang demikian. Karena telah menjadi ketetapan pada air, najis, hadats dan shalat, bahwa “yakin” tidak harus ditinggalkan, disebabkan “syak (ragu)”. Dan persoalan yang tersebut tadi, adalah termasuk dalam pengertian ini.
Kalau anda bertanya: “Apakah penyesuaiannya diantara ini dan itu tadi ?”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa tidaklah memerlukan kepada penyesuaian. Karena haruslah dari bukan yang demikian, pada sebahagian gambaran-gambaran persoalan. Karena, manakala telah diyakini kesucian air, kemudian diragukan tentang najisnya, niscaya bolehlah ia berwudlu’ dengan air tersebut. Maka bagaimana pula tidak dibolehkan meminumnya ? dan apabila telah dibolehkan meminum, maka diterimalah, bahwa “yakin” tidak akan hilang dengan “syak (ragu)”, kecuali disitu ada persoalan yang halus pelik. Yaitu: bahwa bandingan air, ialah syaknya (ragunya), tentang ia telah mentalakkan isterinya atau tidak. Maka dalam hal ini, dijawab: yang pokok (menurut asalnya), dia tidak melakukan talak. Dan bandingan masalah burung, ialah bahwa ia meyakini najis salah satu dari dua bejana air. Dan ia ragu, yang mana bejana itu sebenarnya. Maka tidaklah dibolehkan memakan salah satu dari keduanya, tanpa ijtihad (mengeluarkan pendapat). Karena ia menghadapkan “yakin najis” dengan “yakin suci”. Maka batallah istishab (menyertakan hukum menurut keadaan yang sebelumnya). Maka seperti itu pulalah disini, sesungguhnya telah jatuh talak dengan pasti kepada salah seorang dari dua isteri. Dan yang meragukan, ialah: yang mana tertalak, dengan yang tidak tertalak. Maka kami menjawab, bahwa: telah berbeda pendapat diantara para sahabat Imam Asy-Syafi’i, tentang dua bejana air tersebut, kepada tiga pendapat:
Berkata segolongan: dipakai istishab (menyertakan hukum menurut keadaan yang sebelumnya), tanpa ijtihad (mengeluarkan pendapat).
Berkata segolongan lagi: sesudah diperoleh keyakinan najis, dalam menghadapi keyakinan suci, maka wajiblah dijauhkan pemakaiannya. Dan tidaklah perlu ijtihad (mengeluarkan pendapat). Dan berkata golongan tengah diantara yang dua tersebut (al-muqtashidun): hendaklah berijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan). Dan inilah yang benar. Tetapi bandingannya, ialah: bahwa ia mempunyai dua isteri, lalu berkata: “Kalau burung itu gagak, maka si Zainab yang tertalak. Dan kalau bukan gagak, maka si Umarah yang tertalak”. Maka sudah pasti, tidak bolehlah ia tertipu dengan menggunakan “istishab” (menyertakan hukum kepada yang sudah) dan tidak dibolehkan ijtihad(mengeluarkan pendapat), karena tak ada tanda untuk itu. Dan kami berpendapat, kedua wanita itu diharamkan kepadanya. Karena kalau disetubuhinya, niscaya sudah pasti ia mengerjakan yang haram. Dan kalau disetubuhinya seorang dari yang dua itu, seraya ia mengatakan: “Saya maksudkan terhadap yang ini saja”, niscaya ia telah menetapkan dengan menentukannya, tanpa ada yang menguatkan terhadap penentuannya itu. Maka dalam hal ini, berbedalah hukum terhadap seorang atau dua orang. Karena pengharaman terhadap seorang, adalah meyakinkan. Lain halnya dengan dua orang. Karena tiap-tiap seorang adalah syak (ragu) tentang pengharaman terhadap dirinya sendiri. Kalau dikatakan: jika kedua bejana air itu kepunyaan dua orang. Maka seyogyalah tidak memerlukan kepada ijtihad(mengeluarkan pendapat) dan masing-masing mengambil wudlu’ pada bejananya. Karena ia telah meyakini kesuciannya. Dan ia telah syak (ragu) sekarang mengenai yang tersebut. Maka kami menjawab, bahwa ini mungkin sepanjang ilmu fiqh. Dan yang telah kuat, menurut pendapatku yang mendekati kepada keyakinan, ialah: dilarang berwudlu’. Dan bilangan dua orang disini, adalah seperti seorang. Karena sahnya wudlu’ itu, tidak meminta kepada kepunyaan. Tetapi wudlu’nya seseorang dengan air orang lain untuk kesucian dari hadats (raf’ul-hadats), adalah seperti wudlu’nya dengan airnya sendiri. Maka tiada nyatalah sesuatu bekas karena berlainan kepunyaan dan bersatunya kepunyaan. Lain halnya bersetubuh dengan isteri orang, karena itu tidaklah halal. Dan karena tanda-tanda mempunyai hubungan langsung pada najis. Dan melakukan mengeluarkan pendapat itu mungkin pada air. Lain halnya dengan talak. Maka wajiblah memperkuatkan mengeluarkan pendapat dengan tanda, untuk menolak kuatnya “yakin najis”, yang berhadapan bagi “yakin suci”. Dan pintu-pintu mengeluarkan pendapat dan tarjih (menguatkan sesuatu pendirian dalam masalah fiqh), adalah setengah dari soal-soal yang sulit dan yang halus-halus dalam ilmu fiqh. Dan telah kami bahaskan secara mendalam dalam kitab-kitab fiqh. Dan tidaklah kami maksudkan menerangkannya sekarang, selain sekedar memperingati kepada qaedah-qaedahnya saja.
Bahagian ketiga: bahwa adalah asalnya itu pengharaman. Tetapi datanglah sesuatu yang mewajibkan penghalalannya, disebabkan keras dugaan. Maka jadilah diragukan padanya. Dan biasanya, adalah halal. Dari itu, persoalan ini harus mendapat perhatian. Kalau disandarkan keras dugaan, kepada suatu sebab yang dipandang pada agama, maka pendapat yang kami pilih padanya, bahwa itu halal. Dan menjauhkannya (tidak mengerjakannya) adalah termasuk wara’. Contohnya: ialah melemparkan dengan panah seekor binatang buruan. Lalu binatang buruan itu menghilang. Kemudian diperoleh sudah dalam keadaan mati dan tak ada padanya bekas, selain dari panah itu. Tetapi mungkin ia mati disebabkan jatuh kedalam lobang atau dengan sebab yang lain. Maka kalau menampak pada hewan buruan itu bekas tersandung atau luka yang lain, niscaya dihubungkan dengan “Bahagian Pertama” dahulu.
Dan pendapat Imam Asy-Syafi’i ra bermacam-macam pada bahagian ini. Dan pendapat yang terpilih, ialah halal. Karena luka itu, adalah sebab yang terang dan telah meyakinkan. Dan pada pokoknya (pada asalnya) tidaklah mendatang sebab yang lain kepada binatang buruan itu. Dan kedatangan sebab yang lain itu, adalah diragukan. Maka tidaklah tertolak yang yakin, dengan yang syak (ragu).
Kalau ada yang mengatakan, bahwa Ibnu Abbas telah berkata: “Makanlah tiap-tiap binatang buruan yang mati dihadapanmu, sesudah dipanahkan (ishma’) dan tinggalkanlah (jangan makan) yang mati bukan dihadapanmu (inma’)”. Dan ‘Aisyah meriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw dengan membawa arnab, seraya berkata: “Lemparanku memperkenalkan padanya panahku”. Lalu Nabi saw bertanya: “Apakah engkau ishma’ (matinya dimuka engkau) atau engkau inma’ (matinya dibelakang engkau) ?”. Maka laki-laki itu menjawab: “Aku inma”. Lalu Nabi saw menyambung: “Sesungguhnya malam adalah suatu makhluk dari makhluk Allah, yang tidak sanggup menentukan taqdirnya, kecuali Yang Menjadikannya. Maka mungkin arnab ini, ditolong oleh sesuatu kepada kematiannya”. Dan begitupula Nabi saw bersabda kepada ‘Uda bin Hatim, mengenai anjingnya yang telah terdidik: “Kalau anjing itu memakannya, maka janganlah engkau makan. Karena aku takut, anjing itu memegang (menahan) binatang buruan tersebut untuk dirinya sendiri”. Biasanya anjing yang terdidik (al-kalbul-mu’allim) itu, tidaklah jahat budinya. Dan tidaklah ia menahan buruannya, melainkan untuk tuannya. Dan meskipun demikian, Nabi saw melarang memakannya. Dan keteguhan pendapat ini (at-tahqiq), yaitu, bahwa halal adalah meyakinkan, apabila telah diyakini kesempurnaan sebab. Dan kesempurnaan sebab itu, adalah dengan membawanya kepada kematian, tanpa datang sebab-sebab yang lain kepada hewan buruan tersebut. Dan telah diragukan padanya. Maka yaitu: keraguan tentang kesempurnaan sebab. Sehingga menyerupai, bahwa kematiannya itu diatas halal atau diatas haram. Maka tidaklah ini, berada dalam pengertian yang meyakinkan matinya diatas yang halal pada saat kematiannya. Kemudian diragukan tentang apa yang mendatang kepada hewan buruan tersebut. Maka jawabannya, ialah: larangan Ibnu Abbas dan larangan Rasulullah saw, adalah dipertanggungkan diatas: wara’(menjaga diri) dan tanzih (pembersihan diri), dengan dalil apa yang diriwayatkan, pada setengah riwayat, bahwa Nabi saw bersabda: “Makanlah hewan buruan itu, meskipun ia telah menghilang dari engkau, selama tidak engkau peroleh padanya, bekas selain dari panah engkau !”.
Dan ini, adalah memperingatkan kepada pengertian yang telah kami sebutkan dahulu. Yaitu: kalau diperolehnya bekas yang lain maka bertentangan lah dua sebab, dengan bertentangannya sangkaan. Dan kalau tidak diperolehnya, selain lukanya, niscaya terdapatlah kerasnya sangkaan. Maka dapatlah dihukum dengan: istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  sebagaimana dihukum dengan istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), dengan berita dari seorang pemberita, qias/logika yang memberatkan sangkaan, keadaan umum yang memberatkan sangkaan dll. Adapun perkataan dari orang yang mengatakan, bahwa tidak terdapat yang meyakinkan matinya diatas yang halal pada saat itu, maka tidaklah itu merupakan syak (ragu) tentang sebabnya. Maka tidaklah benar seperti itu. Tetapi adalah sebab itu telah meyakinkan, karena lukanya, adalah sebab kematiannya. Maka datangnya sebab yang lain, adalah yang diragukan. Dan dibuktikan kepada syahnya ini, oleh Ijma’(kesepakatan ulama), bahwa orang yang dilukakan dan menghilang, lalu terdapat sudah meninggal, maka wajiblah qishash (hukum bela), atas orang yang melukakannya. Tetapi, kalau ia tidak menghilang, maka mungkin kematiannya itu, adalah dengan kegoncangan yang bercampur pada batinnya, sebagaimana matinya seseorang secara tiba-tiba. Maka seyogyalah qishash itu tidak wajib, selain dengan pemanggalan leher dan luka yang banyak mengeluarkan darah. Karena penyakit yang membunuh pada batin, tidaklah dirasa aman daripadanya. Dan karenanyalah, orang yang sehat itu mati dengan tiba-tiba. Dan yang mengatakan dengan yang demikian, sedang qishash itu, didasarkan kepada: syubhat (diragukan).
Dan begitupula, anak dalam kandungan hewan yang disembelih (janin) adalah halal. Dan mungkin ia telah mati sebelum disembelih induknya. Tidak disebabkan penyembelihan induknya atau belum ditiupkan kepadanya nyawa. Mencari penjelasan tentang janin itu, adalah wajib. Mungkin nyawa belum ditiupkan kepadanya. Atau telah mati sebelum penganiayaan itu, dengan sebab yang lain. Tetapi didasarkan kepada sebab-sebab yang zahir/terlihat. Karena kemungkinannya yang lain, apabila tidak disandarkan kepada suatu bukti yang menunjukkan kepadanya, niscaya dihubungkan dengan: waham dan waswas saja, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu. Maka begitu pulalah ini !
Adapun sabda Nabi saw: “Aku takut, bahwa adalah anjing terdidik itu menahan (memegang) binatang buruan untuk dirinya sendiri”, maka bagi Asy-Syafi’i ra pada persoalan ini, dua pendapat. Dan yang kami pilih, ialah menetapkan dengan: pengharaman. Karena sebab telah bertentangan. Sebab anjing terdidik itu, adalah seperti: perkakas dan wakil, yang memegang hewan itu untuk tuannya. Maka halallah hewan buruan tersebut. Kalau anjing terdidik itu terlepas sendiri pergi berburu, lalu memperoleh hewan buruan, niscaya tidaklah halal. Karena dapat digambarkan bahwa itu berburu untuk dirinya sendiri. Dan manakala anjing itu bangkit dengan isyarat tuannya, kemudian ia makan binatang buruan itu, maka menunjukkan, bahwa pada permulaan kebangkitannya, adalah ia berkedudukan sebagai alat dari tuannya. Dan ia berusaha sebagai wakil dan pengganti tuannya. Dan makannya itu menunjukkan pada akhirnya, bahwa ia menahan hewan buruan itu, adalah untuk dirinya sendiri, tidak untuk tuannya. Maka bertentanganlah sebab yang menunjukkan, lalu bertentanganlah kemungkinan. Dan pada asalnya (pada pokoknya), adalah: diharamkan. Maka dipakailah: istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  tanpa ijtihad (mengeluarkan pendapat). Dan senantiasalah syak (ragu) itu. Dan itu, adalah, seperti mewakili kepada seorang laki-laki untuk membelikan baginya seorang budak wanita. Lalu laki-laki tersebut membelinya. Dan ia mati sebelum menerangkan, bahwa ia telah membeli budak wanita itu untuk dirinya sendiri atau untuk yang mewakilinya. Maka tidaklah halal bagi yang mewakilkan (muakkil) bersetubuh dengan budak wanita tersebut. Karena wakil itu mempunyai kesanggupan membeli untuk dirinya sendiri dan untuk yang mewakilinya. Dan tak ada dalil yang menguatkan. Dan asalnya (pada pokoknya) adalah: diharamkan. Maka ini, dihubungkan dengan “bahagian pertama” dahulu, tidak dengan “bahagian ketiga”.
Bahagian keempat: bahwa adalah halal itu dimaklumi. Tetapi keras dugaan dengan mendatangnya yang mengharamkan, disebabkan suatu sebab yang terpandang tentang kerasnya dugaan pada agama. Maka dilepaskanlah istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  dan dihukum dengan: diharamkan. Karena telah terang bagi kita, bahwa istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  itu lemah. Dan tidak mempunyai hukum, bersama keras dugaan itu. Contohnya: bahwa dibawa oleh ijtihadnya/kesungguhannya kepada najis salah satu dari dua bejana, dengan berpegang kepada tanda tertentu, yang mewajibkan keras dugaan. Maka keras dugaan itu mewajibkan: pengharaman meminumnya, sebagaimana mewajibkan terlarang berwudlu’ dengan air itu. Dan begitu pula, apabila seseorang berkata: “Kalau si Zaid membunuh si Umar atau kalau si Zaid membunuh binatang buruan dengan sendirian membunuhnya, maka isteriku tertalak”. Lalu si Zaid itu melukakan si Umar atau binatang buruan dan si Umar atau binatang buruan itu menghilang daripadanya. Kemudian didapatinya mati. Maka haramlah isterinya bagi orang yang mengatakan kata-kata tersebut. Karena menurut yang zahir, dialah sendiri yang membunuhnya, sebagaimana diterangkan dahulu. Asy-Syafi’i ra telah mengeluarkan nash (keterangan yang tegas), bahwa orang yang memperoleh air yang sudah berobah dalam kolam, maka mungkin air itu berobah, disebabkan lama berhentinya atau disebabkan oleh najis. Maka bolehlah ia memakai air itu. Dan kalau dilihatnya seekor kijang, kencing didalamnya, kemudian didapatinya air itu berobah. Dan mungkin perobahan itu disebabkan kencing atau lama berhentinya. Niscaya tidaklah boleh memakainya. Karena kencing yang dilihat itu, menjadi dalil yang menguatkan kepada kemungkinan najis. Yaitu, seperti apa yang telah kami sebutkan dahulu. Dan ini adalah pada kerasnya dugaan, yang disandarkan kepada tanda yang berhubungan dengan sesuatu benda.
Adapun kerasnya dugaan, tidak dari segi tanda yang bersangkutan dengan benda, maka berselisihlah pendapat Asy-Syafi’i ra tentang asalnya halal, adakah halal itu dihilangkan, apabila pendapat Asy-Syafi’i telah berselisih tentang berwudlu’ pada bejana-bejana orang musyrik dan peminum khamar, shalat pada perkuburan yang terbongkar dan shalat serta abu jalan raya. Ya’ni: kadar yang melebihi dari apa yang sukar dijaga daripadanya.
Para sahabat Imam Asy-Syafi’i menerangkan tentang persoalan tadi, bahwa: apabila bertentangan asal dan yang biasa (yang ghalib), maka manakah yang dipegang ? dan ini, berlaku tentang halalnya meminum dari bejana-bejana peminum khamar dan orang-orang musyrik. Karena najis tidaklah halal meminumnya. Jadi, tempat pengambilan najis dan halal itu satu. Maka keragu-raguan pada salah satu dari keduanya, mengharuskan keragu-raguan pada yang lain. Dan pendapat yang aku pilih, ialah: bahwa asallah yang menjadi perpegangan. Dan tanda, apabila tidak berhubungan dengan benda yang diperpegangi, maka tidaklah mengharuskan penyingkiran akan asal. Dan akan datang penjelasannya itu nanti dan keterangannya pada: perkembangan kedua bagi syubhat (diragukan). Yaitu: syubhat (diragukan) campuran. Maka jelaslah dari ini, hukum halal syak (ragu) tentang datangnya yang mengharamkan kepadanya atau berat dugaan (zhan) dan hukum haram syak (ragu) tentang datangnya yang menghalalkan kepadanya atau berat dugaan. Dan jelaslah perbedaan diantara zhan yang disandarkan kepada tanda pada zat dari benda dan antara apa yang tidak disandarkan kepadanya. Dan semua yang kita hukumkan pada bahagian yang empat ini, dengan halalnya, maka yaitu halal pada tingkat pertama. Dan yang ihtijath (yang lebih teliti menjaganya), ialah meninggalkannya. Maka orang yang tampil mengerjakannya, tidaklah ia termasuk golongan orang-orang yang taqwa dan shalih. Tetapi termasuk golongan orang-orang ‘adil, yang tidak dihukum, menurut fatwa agama dengan fasiq, ma’siat dan berhaknya memperoleh siksaan, selain, hanya kita hubungkan dia kepada tingkat: waswas. Dan menjaga daripadanya, tidaklah sekali-kali termasuk: wara’(menjaga diri)
PERKEMBANGAN KEDUA: syubhat (diragukan) itu mempunyai keraguan, yang terjadinya, lantaran percampuran.
Yang demikian itu, dengan bercampur haram dengan halal, keadaannya menyerupakan dan tidak berbeda. Bercampur itu tidaklah terlepas, adakalanya: terjadi dalam jumlah yang tidak terhingga dari kedua belah pihak. Atau dari salah satu dari keduanya. Atau dengan jumlah yang terbatas. Maka jikalau bercampur dengan jumlah yang dapat dihinggakan, maka tidaklah terlepas, adakalanya percampuran itu, bercampur benar-benar, dimana tidak dapat dibedakan lagi dengan penunjukkan. Seperti bercampurnya benda cair. Atau percampuran yang meragukan, serta dapat dibedakan benda-bendanya. Seperti percampuran budak-budak, rumah-rumah dan kuda. Dan yang bercampur dengan yang meragukan maka tidaklah terlepas, adakalanya: terjadi dari sesuatu yang dimaksudkan bendanya. Seperti: barang-barang. Atau tidak dimaksudkan bendanya, seperti: uang. Maka keluarlah dari pembahagian ini, 3 bahagian:
Bahagian pertama: bahwa diragukan suatu benda dalam jumlah yang dapat dihinggakan. Seumpama: kalau bercampur bangkai dengan seekor hewan sembelihan atau dengan 10 ekor hewan sembelihan. Atau bercampur seorang wanita susuan dengan 10 orang wanita lain. Atau mengawini seorang dari dua wanita yang bersaudara, kemudian meragukan, yang mana diantara keduanya. Maka itu semua, adalah syubhat (diragukan), yang wajib dijauhkan, dengan sepakat seluruh kesepakatan ulama (Ijma’). Karena tak ada jalan untuk kesungguhan dan mencari tanda-tanda padanya. Dan apabila bercampur benda yang syubhat (diragukan) itu dengan jumlah yang dapat dihinggakan, niscaya jadilah jumlah itu seperti suatu barang. Lalu berhadap-hadapanlah padanya antara yakin haram dan yakin halal. Dan tak ada bedanya pada ini, diantara telah ternyata halal, lalu mendatang campuran dengan yang haram. Seperti: jikalau menjatuhkan talak kepada seorang dari dua isteri pada masalah burung dahulu. Atau bercampur sebelum ternyata halalnya, seperti kalau bercampur wanita susuan dengan wanita ajnabiah (wanita yang bukan keluarga, yang boleh dikawini). Maka ia bermaksud memperoleh yang halal seorang dari yang dua tersebut. Dan ini kadang-kadang menyulitkan tentang kedatangan pengharaman itu. Seperti: talak seorang dari dua isteri, karena apa yang telah tersebut dahulu, dari istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  itu. Dan telah kami beritahukan tentang cara jawabannya. Yaitu: bahwa keyakinan haram, berhadapan dengan keyakinan halal. Maka lemahlah istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), . Dan segi bahaya adalah lebih menonjol pada pandangan agama. Maka karena itulah, lebih dikuatkan segi bahaya itu. Dan ini, adalah apabila bercampur halal yang dapat dihinggakan jumlahnya dengan haram yang dapat dihinggakan jumlahnya pula. Maka jikalau bercampur halal yang dapat dihinggakan, dengan haram yang tidak dapat dihinggakan jumlahnya, maka tidaklah tersembunyi, bahwa wajibnya istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), , adalah lebih utama.
Bahagian kedua: bercampur antara yang terhingga jumlahnya, dengan halal yang tidak terhingga jumlahnya. Seperti: kalau bercampur seorang wanita susuan atau 10 wanita susuan dengan wanita-wanita disatu negeri besar. Maka tidaklah dengan sebab tersebut, memastikan menjauhkan perkawinan dengan wanita-wanita negeri itu. Tetapi ia boleh mengawini siapa yang disukainya dari wanita-wanita tersebut. Dan ini tidak boleh diartikan, bahwa sebabnya lantaran banyak wanita yang halal dikawini. Karena harus pada yang demikian, membolehkan kawin, apabila bercampur seorang wanita yang haram dikawini dengan 9 wanita yang halal dikawini. Dan tidak adalah orang yang mengatakan yang demikian. Tetapi yang menjadi sebab, ialah keras dugaan kepada halal dan bersama dengan keperluan untuk itu. Karena tiap-tiap orang yang telah hilang anak susuannya atau kerabatnya atau yang diharamkan nikah, disebabkan bersemanda atau sebab-sebab yang lain, maka tidaklah mungkin tertutup kepadanya pintu perkawinan.
Dan begitu pula, orang yang mengetahui, bahwa harta dunia yang sudah pasti bercampur dengan haram, tidaklah mengharuskan dia meninggalkan membeli dan memakan. Karena yang demikian itu, adalah menyulitkan. Dan tak ada pada agama itu yang menyulitkan. Dan ini diketahui, bahwa manakala telah dicuri orang pada zaman Rasulullah saw sebuah perisai dan seorang pencuri telah mengambil dengan diam-diam dari harta rampasan perang, sebuah ‘aba-ah (baju besar yang terbuka bagian muka, dipakai diatas pakaian lain), niscaya tidaklah terlarang seseorang untuk membeli perisai dan ‘aba-ah di dunia ini. Dan begitu pulalah tiap-tiap apa yang dicuri orang. Dan begitu pula, adalah dikenal, bahwa dalam kalangan manusia banyak, ada orang yang menjalankan riba pada dirham dan dinar. Dan dalam pada itu, tidaklah Rasulullah saw dan orang-orang lain, meninggalkan dirham, dan dinar keseluruhannya.
Kesimpulannya, sesungguhnya, dunia itu terlepas dari haram, apabila makhluk seluruhnya terpelihara dari perbuatan ma’siat. Dan yang demikian itu, adalah mustahil. Dan apabila tidak disyaratkan ini dalam dunia, niscaya tidak disyaratkan pula dalam sesuatu negeri. Kecuali apabila terjadi diantara golongan yang terhingga jumlahnya. Tetapi menjauhkan ini, termasuk wara’ orang-orang yang waswas. Karena tidak dinuqilkan yang demikian, dari Rasulullah saw dan dari seseorang sahabatnya. Dan tidaklah tergambar dapat dilaksanakan dalam sesuatu agamapun dan dalam sesuatu masapun. Kalau anda berkata, bahwa tiap-tiap bilangan itu terhingga dalam ilmu Allah, maka apakah batas yang terhingga itu ? dan kalau manusia berkehendak menghinggakan jumlah penduduk sesuatu kampung, niscaya sanggup juga ia kepada yang demikian, kalau ia bertetap hati melaksanakannya. Maka ketahuilah, bahwa menentukan batas hal-hal yang seperti ini, adalah tidak mungkin. Dan hanya dapat ditentukan, secara berlebih-kurang (taqrib). Maka kami menjawab, bahwa tiap-tiap bilangan jikalau berkumpul diatas suatu dataran tinggi, niscaya sungguh sukar kepada yang memandangnya untuk mengetahui bilangan mereka itu, dengan semata-mata memandang saja, seperti 1000 dan 2000. Maka itu adalah tidak terhinggakan. Dan apa yang mudah, seperti 10 dan 20, maka itu adalah terhinggakan. Dan diantara dua tepi ini, adalah tengah-tengah yang serupa satu dengan lainnya, yang menghubungkan dengan salah satu dari dua tepi dengan dugaan (zhan). Dan apa yang terjadi syak (ragu) padanya, bertanyalah kepada hati tentang yang syak (ragu) itu.
Sesungguhnya dosa itu, adalah penyakit bagi hati. Dan pada tempat yang seperti ini, Rasulullah saw bersabda kepada Wabishah: “Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun mereka telah memberi fatwa kepadamu, telah memberi fatwa kepadamu dan telah memberi fatwa kepadamu !”. Dan begitu pula bahagian yang 4 itu telah kami sebutkan dahulu pada Perkembangan Pertama, yang terjadi padanya segi-segi yang berhadapan satu sama lain, yang jelas tentang negatif dan positifnya, serta tengah-tengah yang serupa satu dengan lainnya. Maka mufti (yang memberi fatwa), itu berfatwa dengan berat dugaan (zhan). Dan haruslah bagi yang meminta fatwa, untuk meminta fatwa pada hatinya sendiri. Maka kalau terguris dalam dadanya sesuatu maka dia adalah berdosa antaranya dan antara Allah. Maka tidaklah ia dilepaskan di akhirat oleh fatwa dari yang berfatwa. Karena yang berfatwa itu mengeluarkan fatwanya menurut yang terlihat/zhahir. Dan Allah menguasai segala rahasia.
Bahagian ketiga: bahwa bercampur haram yang tidak terhinggakan dengan halal yang tidak terhinggakan, seperti hukum harta pada zaman kita ini. Maka orang yang mengambil hukum dari bentuknya, kadang-kadang menyangka, bahwa bandingan yang tidak terhinggakan kepada yang tidak terhinggakan, adalah seperti bandingan yang terhinggakan kepada yang terhinggakan. Dan telah kita hukumkan disitu dahulu dengan diharamkan, maka hendaklah kita hukumkan disini juga dengan diharamkan. Dan yang kami pilih, adalah sebalik yang demikian. Yaitu: bahwa tidaklah diharamkan dengan percampuran ini untuk diambilkan sesuatu bendanya, yang mungkin, dia itu haram dan mungkin pula dia itu halal. Kecuali disertakan dengan benda itu, suatu tanda yang menunjukkan, bahwa dia haram. Kalau tidak ada pada benda itu tanda yang menunjukkan, bahwa dia itu haram, maka meninggalkannya adalah wara’. Dan mengambilkannya adalah halal, yang tidak akan menjadi fasiq yang memakannya. Sebahagian dari tanda-tandanya, ialah mengambil dari tangan sultan yang zalim dan tanda-tanda yang lain dari itu, yang akan datang penjelasannya nanti. Dan ditunjukkan kepadanya oleh atsar (perkataan shahabat) dan qias (analogi, dari ilmu logika).
Adapun atsar, maka yaitu: yang diketahui pada zaman Rasulullah saw dan khulafa’-rasyidin sesudahnya. Karena adalah harga khamar dan dirham-dirham riba dari tangan kafir dzimmi (kafir yang dijamin keselamatannya oleh pemerintahan Islam), bercampur-baur dengan harta-harta lain. Dan begitu pula harta-harta yang diserobot secara sembunyian. Dan begitu pula harta-harta serobotan dari harta rampasan perang.
Dan dari waktu, dimana Nabi saw melarang riba, tatkala bersabda: “Riba yang pertama, aku hinakan ialah: riba Abbas”. Tidaklah manusia itu meninggalkan riba seluruhnya sebagaimana mereka tidak meninggalkan meminum khamar dan ma’siat-ma’siat yang lain. Sehingga diriwayatkan, bahwa setengah sahabat Nabi saw menjual khamar. Lalu berkata Umar ra: “Dikutuk Allah kiranya si Anu, dimana ia orang pertama yang menjalankan penjualan khamar. Karena ia tidak memahami, bahwa pengharaman khamar itu, adalah pengharaman akan menghela kedalam mereka, baju ‘aba-ah, yang diambilnya dengan diam-diam”.
Seorang laki-laki dibunuh, lalu mereka menyelidiki harta kekayaannya. Maka mereka dapati didalamnya beberapa batu cincin Yahudi, yang tidak sampai harganya dua dirham yang telah diambilnya dengan diam-diam. Dan begitu pula telah didapati oleh beberapa orang sahabat Rasulullah saw, akan amir-amir yang zalim. Dan tiada seorangpun dari mereka yang melarang berjual-beli di pasar, disebabkan perampokan di kota Madinah. Dan kota Madinah itu, telah dirampok oleh kawan-kawan Yazid 3 hari lamanya. Dan adalah orang yang mencegah penjual-belian dari harta-harta itu, ditunjukkan kepadanya tentang kewara’annya. Dan kebanyakan mereka tidak melarangnya, serta percampur-bauran dan banyaknya harta yang dirampok pada hari-hari berkuasa orang-orang zalim tersebut. Dan orang yang menjawabkan akan apa yang tidak diwajibkan oleh salaf yang shalih dan menda’wakan bahwa dia lebih cerdik memahami agama, apa yang tidak dipahami oleh salaf yang shalih, maka orang tersebut adalah orang yang diganggu oleh waswas, yang rusak akal pikiran. Dan kalau bolehlah ditambah terhadap salaf yang shalih itu pada contoh-contoh yang seperti ini, niscaya bolehlah menyalahi mereka dalam persoalan-persoalan yang tak ada sandaran padanya, selain dari kesepakatan mereka. Seperti kata mereka: bahwa nenek perempuan adalah seperti ibu pada pengharamannya dan anak laki-laki dari anak laki-laki, adalah seperti anak laki-laki. Dan bulu babi dan lemaknya adalah seperti daging yang tersebut pengharamannya dalam Alquran. Dan riba itu berlaku pada yang selain dari 6 macam barang-barang. Dan itu adalah mustahil. Karena salaf shalihlah yang lebih utama memahami agama dari orang-orang lain.
Adapun qias/logika, maka yaitu: jikalau pintu ini dibuka, niscaya tersumbatlah pintu semua pekerjaan. Dan runtuhlah dunia, karena fasiq telah begitu berpengaruh kepada manusia. Dan manusia itu akan memandang enteng dengan sebab qias tersebut, tentang syarat-syarat agama dalam segala ‘aqad perjanjian. Dan yang demikian tidak mustahil, akan membawa kepada percampur-bauran. Kalau ada yang berkata: “bahwa tuan-tuan telah menuqilkan, bahwa Nabi saw tidak mau memakan dlabb (binatang yang bentuknya menyerupai biawak) dan bersabda: “Aku takut bahwa dlabb itu, adalah termasuk makhluk yang telah berobah bentuknya oleh Allah”. Dan itu dalam percampur-bauran yang tidak terhinggakan. Maka kami menjawab, bahwa yang demikian itu ditempatkan kepada pembersihan diri dan wara’. Ataupun kami menjawab, bahwa dlabb itu bentuknya ganjil. Mungkin menunjukkan dia itu dari makhluk yang dirobah bentuknya. Maka itu adalah dalil yang menunjukkan pada benda yang diperpegangi. Maka kalu ada yang mengatakan, bahwa itu telah dimaklumi pada zaman Rasulullah saw dan zaman para sahabat, disebabkan riba, pencurian, perampokan, pengambilan secara diam-diam akan harta rampasan perang dsb. Tetapi adalah yang tersebut itu amat sedikit, dengan membandingkan kepada yang halal. Maka apakah yang akan anda katakan, pada zaman kita sekarang ini ? dan yang haram itu telah menjadi begitu banyak dalam tangan umat manusia. Karena rusaknya mu’amalah (perniagaan), disia-siakan syarat-syaratnya, banyaknya riba dan harta sultan-sultan yang zalim”. Maka barangsiapa mengambil harta yang tidak dipersaksikan padanya tanda tertentu pada bendanya untuk mengharamkan, maka apakah itu haram atau tidak ? Aku menjawab: tidaklah yang demikian itu haram! hanya wara’lah yang meninggalkannya. Dan wara’ ini, adalah lebih penting dari wara’, apabila dia itu sedikit. Tetapi penjawaban dari ini, bahwa perkataan dari orang yang mengatakan: kebanyakan harta pada zaman kita sekarang itu haram, adalah salah semata.
Dan terjadilah perkataan tersebut, ialah lupa dari perbedaan antara yang banyak dan yang lebih banyak. Maka kebanyakan manusia, bahkan kebanyakan ahli fiqh (fuqaha’) menyangka, bahwa sesuatu yang bukan jarang, adalah itu lebih banyak. Dan mereka menyangka bahwa keduanya itu (banyak dan lebih banyak), berhadapan satu sama lain, dimana tidak ada diantara keduanya yang ketiga. Sebenarnya tidaklah seperti yang demikian. Tetapi bahagian-bahagian itu adalah 3: sedikit, yaitu: yang jarang, banyak dan lebih banyak. Contohnya: orang banci (khuntsa) diantara makhluk, adalah jarang. Dan apabila ditambahkan kepadanya orang sakit, niscaya terdapatlah banyak. Dan begitu pula perjalanan jauh (bermusafir). Sehingga dapat dikatakan: sakit dan berjalan jauh, adalah termasuk halangan umum. Dan istihadlah (darah yang datang pada wanita diluar waktu haid), adalah termasuk halangan yang jarang terjadi. Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa sakit itu bukanlah barang yang jarang terjadi (nadir). Dan bukan pula lebih banyak, tetapi adalah banyak. Ahli fiqh itu, apabila bermudah-mudah dan mengatakan: sakit dan berjalan jauh itu, adalah biasa terjadi (ghalib). Dan itu, adalah halangan umum, dimana dimaksudkannya dengan itu, ialah: tidak itu jarang terjadi. Kalau tidak ini yang dimaksudkannya, maka itu salah. Orang yang sehat dan orang yang menetap (orang muqim) itulah yang lebih banyak. Dan orang musafir dan orang sakit itulah yang banyak. Dan wanita yang beristihadlah dan orang banci itulah yang jarang terjadi. Apabila ini telah dipahami, maka kami mengatakan: bahwa perkataan yang diucapkan oleh yang mengatakan: yang haram itu adalah yang lebih banyak, adalah salah. Karena sandaran ucapan tersebut, adakalanya yang ada itu: banyaknya orang-orang zalim dan tentara atau banyaknya riba dan mu’amalah (perniagaan) yang batal atau banyaknya tangan yang berulang-ulang, sejak dari permulaan Islam sampai kepada masa kita sekarang ini, diatas asal-usul harta yang terdapat hari ini.
Adapun sandaran pertama adalah batal. Sesungguhnyaa orang zalim itu banyak dan tidaklah ia lebih banyak. Maka mereka itu, adalah tentara. Karena tiada yang berbuat zalim, selain yang mempunyai kekerasan dan keperkasaan. Dan mereka itu, apabila dibandingkan kepada seluruh isi dunia, tidaklah sampai 1/100 dari mereka. Tiap-tiap sultan yang berkumpul padanya tentara 100 ribu umpamanya, maka ia merajai suatu daerah yang mengumpulkan rakyat sejuta jumlahnya dan lebih. Dan kadang-kadang suatu negeri dari negeri-negeri kerajaannya, bertambah bilangannya dari semua lasykarnya. Dan kalaulah bilangan sultan itu, lebih banyak dari bilangan rakyat, niscaya binasalah semuanya. Karena haruslah diatas tiap-tiap rakyat membelanjai 10 dari mereka umpamanya, serta raja-raja itu dengan kehidupan yang mewah. Dan tidaklah yang demikian itu tergambarkan. Tetapi yang mencukupi bagi seorang dari raja itu, ialah terkumpul 1000 rakyat dan lebih. Dan begitu pula, pembicaraan tentang: pencuri. Maka suatu negeri besar, adalah terdapat dari dari mereka jumlah yang sedikit.
Adapun sandaran kedua, yaitu: banyaknya riba dan mu’amalah(perniagaan) yang batal. Maka itu pula banyak. Dan tidaklah lebih banyak. Karena kebanyakan kaum muslimin melakukan mu’amalah(perniagaan) dengan syarat-syarat agama. Maka bilangan mereka, adalah lebih banyak. Dan yang melakukan mu’amalah (perniagaan)dengan ribu atau lainnya, maka kalau dihitung mu’amalah nya saja, sesungguhnya adalah yang sah daripadanya, melebihi dari yang batal. Kecuali manusia itu diminta dengan sangkaannya dalam negeri yang dikhususkan dengan kurang malu, keji dan kurang agama. Sehingga digambarkan untuk dikatakan: perniagaannya yang batal, adalah lebih banyak. Dan ketentuan yang seperti itu, adalah jarang. Dan kalau ia banyak, maka tidaklah ia lebih banyak, jikalau semua mu’amalah (perniagaan) nya batal. Maka bagaimanapun, tidak juga ia terlepas dari mu’amalah (perniagaan) yang sah, yang menyamai dengan yang batal atau melebihi dari yang batal itu. Dan ini adalah diyakini, bagi orang yang memperhatikannya. Dan hanya banyak mempengaruhi ini, pada jiwa. Karena banyaknya yang rusak, jauhnya dari yang tersebut dan memandang besar yang tersebut itu, walaupun jarang yang terjadi.
Sehingga kadang-kadang disangkan, bahwa zina dan minum khamar telah berkembang, sebagaimana berkembangnya yang haram. Lalu terkhayallah, bahwa mereka itu lebih banyak. Dan itu adalah salah. Karena mereka itu adalah sedikit, walaupun jumlah mereka banyak.  
Adapun sandaran ketiga: yaitu, yang paling merupakan khayalan, adalah dikatakan: bahwa harta-harta itu, sesungguhnya diperoleh dari tambang, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Tumbuh-tumbuhan dan hewan, adalah diperoleh dengan beranak (tawalud). Apabila kita melihat kepada seekor kambing umpamanya, dimana kambing itu beranak pada tiap-tiap tahun. Maka adalah bilangan asal usulnya, sampai kepada zaman Rasulullah saw (tentu ini dikira sampai kepada zaman Al-Ghazali ra –Pent.) lebih-kurang 500. Dan ini tidaklah terlepas, untuk mendatang kepada salah satu dari asal-usul kambing itu, perampokan atau perniagaan yang batal. Maka bagaimanakah diumpamakan, bahwa asal-usulnya itu selamat sejahtera dari pelaksanaan yang batil/salah, sampai kepada zaman kita sekarang ini ? Dan begitu pula bibit biji-bijian dan buah-buahan, memerlukan kepada 500 asal-usul atau 1000 asal usul umpamanya, sampai kepada permulaan agama. Dan tidaklah itu menjadi halal, selama asalnya dan asal-usulnya, tidak pula halal sampai kepada permulaan zaman kenabian itu.
Adapun barang-barang pertambangan, maka itulah yang mungkin diperoleh diatas jalan permulaan. Dan itu, adalah harta yang tersedikit. Dan kebanyakan yang dipergunakan daripadanya, ialah dirham dan dinar. Dan dia tidak keluar, selain dari tempat penempaan. Dan tempat penempaan itu, dalam tangan orang-orang zalim, adalah seperti pertambangan-pertambangan dalam tangan mereka, dimana mereka melarang manusia ramai daripadanya. Dan mengharuskan orang-orang miskin mengeluarkannya dengan pekerjaan-pekerjaan berat. Kemudian mereka mengambilnya dari orang-orang miskin tersebut, secara merampas. Maka apabila diperhatikan kepada ini, niscaya dapatlah diketahui, bahwa adanya uang sedinar, dimana tidak mendatang kepada aqad yang batil/salah, tak ada kezaliman pada waktu memperolehnya, pada waktu menempanya pada tempat penempaan dan masa sesudahnya dalam mu’amalah (perniagaan) keuangan dan riba, adalah jauh, jarang atau mustahil. Jadi, tidak adalah yang halal, kecuali binatang buruan, rumput pada padang sahara yang tak bertuan dan lapangan yang tak berair, serta kayu api yang diperbolehlah. Kemudian, orang yang memperoleh barang tersebut tadi, tidak mampu memakannya. Lalu memerlukan untuk membeli biji-bijian dan hewan dengan barang tersebut, dimana biji-bijian dan hewan itu, tidak diperoleh selain dengan penanaman  dan peranakan. Maka adalah ia telah menyerahkan yang halal, untuk menerima yang haram. Maka ini adalah jalan khayalan yang lebih menonjol sekali. Dan jawabannya: bahwa menonjolnya ini tidaklah terjadi dari banyaknya yang haram, yang bercampur baur dengan yang halal. Maka keluarlah dari bahagian, dimana kita berada didalamnya dan berhubunganlah dengan apa yang telah kita sebutkan dahulunya. Yaitu: bertentangan antara yang pokok dan yang biasa terjadi (ghalib).
Karena yang pokok pada segala harta itu, ialah penerimaannya untuk dipergunakan bagi segala urusan (tasharrufat). Dan boleh rela-merelai padanya. Dan ditantang yang tersebut itu oleh suatu sebab yang ghalib (yang biasa terjadi), yang mengeluarkannya dari yang membaguskan baginya. Maka ini menyerupai akan tempat dua pendapat bagi bagi Asy-Syafi’i ra tentang hukum najis. Dan yang shahih (yang lebih sah) pada kami, ialah: dibolehkan shalat pada jalan-jalan raya, apabila tidak terdapat padanya najis. Karena debu jalan-jalan besar itu, adalah suci. Dan berwudlu’ pada bejana-bejana orang musyrik itu diperbolehkan. Dan bershalat pada kuburan-kuburan yang terbongkar, adalah diperbolehkan. Maka pertama-tama kita menetapkan akan ini, kemudian kita qias/logikakan kepadanya akan persoalan, dimana kita berada padanya. Dan dibuktikan kepada yang demikian, oleh berwudlu’nya Rasulullah saw pada tempat air dari kulit kepunyaan seorang wanita musyrik. Dan berwudlu’nya Umar ra pada kendi air orang Nasrani, sedang minuman mereka adalah khamar dan makanan mereka adalah babi. Dan mereka itu tidak menjaga diri dari apa yang dipandang najis oleh agama kita. Maka bagaimanakah dapat selamat bejana mereka dari tangannya? bahkan kita mengatakan, bahwa dengan pasti kita mengetahui, bahwa adalah mereka memakai baju dari kulit hewan yang disamak (fira’-madbughah), pakaian yang dicelup dan diputihkan. Barangsiapa memperhatikan keadaan penyamak kulit, pembuat kain licin dan putih dan pencelup, niscayalah dia tahu bahwa yang banyak pada mereka, ialah najis. Dan kesucian pada kain-kain itu, adalah mustahil atau jarang. Bahkan kami mengatakan, bahwa kami tahu, adalah mereka itu memakan roti dari gandum dan syair, dimana mereka tidak membasuhnya. Sedang gandum dan syair itu, dipijak-pijakkan dengan lembu dan hewan-hewan lain. Dan kencing dan tai keatasnya. Dan amat sedikitlah yang terlepas dari yang demikian. Mereka itu mengendarai hewan-hewan, dimana hewan-hewan itu berpeluh. Dan mereka tidak membasuhkan punggung hewan-hewan itu, sedang hewan-hewan itu membalik-balikkan badannya pada najis. Bahkan semua hewan, adalah keluar dari perut induknya dan padanya basahan najis, yang kadang-kadang dihilangkan oleh hujan dan kadang-kadang tidak dihilangkannya. Dan tidak adalah dijaga dari najis tersebut.
Adalah mereka itu berjalan dengan kaki telanjang di jalan-jalan besar dan dengan memakai selop. Dan mereka melakukan shalat dengan selop itu. Mereka duduk diatas tanah dan berjala kaki dalam debu, tanpa ada keperluan. Adalah mereka tidak berjalan kaki pada tempat ada kencing dan tai. Dan tidak duduk pada dua tempat tersebut dan membersihkan diri daripadanya. Dan apabilakah jalan-jalan besar itu terpelihara dari najis, serta banyaknya anjing dan kencingnya, banyaknya hewan dan tainya ? Dan tiadak seyogyyalah kami menyangka, bahwa waktu atau kota-kota berbeda pada contoh yang seperti ini. Sehingga timbul sangkaan, bahwa jalan-jalan besar adalah dibasuhkan pada masa mereka. Atau adalah dijaga dari hewan-hewan. Amat jauhlah dari yang demikian !
Yang demikian itu, dapat dimaklumi dengan pasti kemustahilannya menurut kebiasaan. Maka yang demikian itu, membuktikan, bahwa mereka tidaklah menjaga, kecuali dari najis menampak atau tanda atas najis, yang menunjukkan kepada zat najis tersebut. Adapun sangkaan yang biasa, yang menggerak kan untuk mengembalikan dirham-dirham itu kepada hal-keadaan yang berlaku, maka tidaklah mereka memberi perhatian kepadanya. Dan ini, adalah pada Asy-Syafi’i ra. Beliau berpendapat, bahwa air yang sedikit, adalah menjadi bernajis tanpa berobah yang terjadi pada air itu. Karena selalulah para sahabat masuk ke tempat permandian air panas dan berwudlu’ di kolam-kolam, dimana airnya sedikit. Dan bermacam-macam tangan selalu dimasukkan ke dalamnya. Dan ini adalah tegas pada maksud tersebut. Dan manakala telah tetaplah pembolehan berwudlu’ pada kendi orang Nasrani, niscaya tetap pulalah boleh meminumnya. Dan berhubungan hukum halal dengan hukum najis. Kalau ada yang mengatakan, bahwa tidak boleh qias/logika halal kepada najis, karena mereka memperluas kan jalan tentang keadaan-keadaan suci dan mereka menjaga dari syubhat-syubhat (diragukan) haram dengan seteliti-telitinya, maka bagaimanakah diqiaskan kepada najis itu ? Maka kami mengatakan, kalau dimaksudkan dengan qias itu, bahwa mereka mengerjakan shalat bersama najid dan shalat bersama najis itu adalah perbuatan ma’siat, sedang shalat itu adalah tiang agama, maka amat buruklah dugaan itu. Tetapi wajiblah kita berkeyakinan pada mereka, bahwa mereka menjaga diri dari tiap-tiap najis yang wajib dijauhkan. Dan sesungguhnya mereka bermaaf-maafan, dimana yang tidak wajib dijauhkan. Dan adalah pada tempat kemaafan mereka itu, gambaran ini yang bertentangan padanya pokok dan yang biasa terjadi (ghalib). Maka jelaslah, bahwa yang biasa terjadi, yang tidak bersandar kepada sesuatu tanda yang bersangkutan dengan benda, dimana padanya pandangan itu, adalah dicampakkan (tidak dipakai).
Adapun wara’nya (menjaga diri) mereka pada yang halal, maka adalah ia dengan jalan taqwa. Yaitu: meninggalkan apa yang tidak ada apa-apa padanya, karena takut akan apa, yang padanya ada apa-apanya. Karena urusan harta itu, menakutkan. Dan nafsu condong kepadanya, jika tidak dapat dikekang daripadanya. Dan urusan kesucian, tidaklah seperti yang demikian. Maka segolongan dari mereka itu, menolak dari yang halal semata, karena takut mengganggu hatinya.
Diceritakan dari salah seorang mereka, bahwa ia menjaga diri dari berwudlu’ dengan air laut, padahal air laut itu, suci-menyucikan semata. Maka perbedaan pada yang demikian itu tidaklah merusakkan maksud yang telah kami sepakati padanya, dimana kami melakukan pada sandaran ini, kepada jawaban yang telah kami sebutkan dahulu pada 2 sandaran yang terdahulu. Dan kami tidak menerima apa yang disebutkan mereka, bahwa yang lebih banyak itu, ialah yang haram. Karena harta, walaupun banyak asal-usulnya, maka tidaklah seharusnya, bahwa pada asal-usulnya itu haram. Bahkan harta yang diperdapat sekarang, adalah termasuk yang didatangi kezaliman kepada asal-usul sebahagian daripadanya. Tidak pada sebahagian yang lain. Dan sebagaimana yang dimulai perampasan nya pada hari ini, adalah tersedikit dibandingkan kepada yang tidak dirampok dan dicuri. Maka begitu pulalah tiap-tiap harta pada setiap waktu dan setiap asal-usulnya. Maka yang dirampok dari harta dunia dan yang diperoleh pada tiap-tiap zaman dengan kebatalan, dibandingkan kepada lainnya, adalah sedikit sekali. Dan tidaklah kami mengetahui, bahwa cabang ini sendiri, dari bahagian yang mana dari kedua bahagian itu (bagian yang dirampok atau bagian yang tidak dirampok). Maka kami tidak menerima, bahwa yang biasa terjadi (ghalib) itu mengharamkannya. Karena, sebagaimana yang dirampas itu bertambah dengan beranak, maka begitu pula, yang tidak dirampas bertambah juga dengan beranak. Maka cabang yang lebih banyak, tidak mustahil, pada setiap masa dan zaman itu, adalah lebih banyak. Tetapi yang ghalib, adalah biji-bijian yang dirampas itu, dirampas untuk dimakan dan tidak untuk bibit. Dan begitu pula hewan-hewan yang dirampas, kebanyakkannya adalah dimakan. Dan tidak disimpan untuk beranak. Maka bagaimanakah dikatakan: bahwa cabang-cabang haram, adalah lebih banyak? dan senantiasalah asal-usul yang halal itu, yang lebih banyak dari asal usul yang haram. Dan hendaklah dipahami oleh yang mencari petunjuk dari yang tersebut, akan jalan mengenali yang lebih banyak itu.
Karena itu, adalah tempat tergelincirnya tapak kaki. Dan kebanyakan ulama, salah padanya. Maka betapa lagi orang awam ? ini, adalah pada yang beranak dari hewan dan biji-bijian. Adapun barang pertambangan, maka adalah terlepas yang diperbolehkan, dimana di negeri Turki dan lainnya, diambil oleh siapa saja yang mau. Tetapi kadang-kadang, diambil oleh sultan sebahagian daripadanya. Atau diambil mereka –bukan mustahil yang tersedikit, tidak yang terbanyak. Barangsiapa memperoleh dari sultan suatu pertambangan, maka zalimnya, ialah melarang orang lain daripadanya.
Adapun yang diambil oleh yang mengambil dari pertambangan, maka diambilkannya dari sultan dengan membayar sewa. Dan yang shalih, bolehlah pergantian tangan dan kekuasaan pada segala barang mubah (yang diperbolehkan) dan menerima persewaan padanya. Maka yang diongkosi tenaganya untuk memperoleh air minum, apabila telah memperoleh air, niscaya air itu menjadi milik yang menyuruh mencari air minum tersebut. Dan yang diongkosi tenaganya, berhak mendapat ongkos. Maka begitu pulalah di sungai Nil. Apabila kita telah selesai dari ini, niscaya tidaklah haram benda emas itu sendiri, kecuali menentukan kezalimannya dengan kekurangan ongkos kerja. Dan itu, adalah sedikit, dibandingkan kepada emas itu. Kemudian, tidak wajiblah mengharamkan zat emas itu. Tetapi ia zalim, adalah disebabkan masih tinggalnya ongkos dalam tanggungannya. Adapun rumah penempaan emas dan perak itu, maka tidaklah emas yang keluar daripadanya, termasuk benda-benda emas sultan yang telah dirampasnya dari rakyat dan diperbuatnya kezaliman kepada manusia dengan itu. Tetapi para saudagarlah yang membawa kepada mereka emas terurai atau naqad yang rendah mutunya. Lalu mereka mengongkosi orang-orang yang bekerja di tempat penempaan itu, untuk menghancurkan dan mencapkannya untuk menjadi uang. Dan mereka mengambil kembali seperti timbangan yang telah diserahkannya kepada orang-orang di tempat penempaan itu. Kecuali sedikit saja yang ditinggalkannya sebagai upah bagi mereka terhadap pekerjannya. Dan itu, adalah diperbolehkan. Dan kalau diumpamakan segala dinar yang ditempa itu dari dinar sultan, maka dibandingkan kepada harta kaum saudagar bukanlah mustahil adalah sedikit sekali. Ya, sultan itu berbuat zalim terhadap orang-orang yang mengambil upah bekerja pada tempat penempaan uang, dengan mengambil pajak dari mereka. Karena ia mengkhususkan para pekerja itu dengan pajak tersebut, diantara orang-orang lain. Sehingga terkumpullah harta itu diatas pundak mereka, disebabkan tindakan yang menyakitkan dari sultan. Maka apa yang diambil oleh sultan, adalah sebagai gantinya (‘iwadl) dari tindakannya yang menyakitkan. Dan itu, adalah termasuk pintu kezaliman. Dan adalah sedikit dibandingkan kepada apa yang dikeluarkan sebagai hasil kerja –dari tempat penempaan uang itu. Maka tidaklah diserahkan untuk pemilik tempat penempaan uang dan untuk sultan, dari jumlah yang dikeluarkan dari tempat itu, dari 100: 1. Dan itu, adalah 1/100. Maka bagaimanakah ada itu yang lebih banyak ? inilah kesalahan-kesalahan, yang mendahului kepada hati dengan sangkaan-sangkaan. Dan selalu dihiaskan oleh segolongan orang-orang yang tipis rasa keagamaannya, sehingga mereka itu melecehkan: wara’(menjaga diri) dan menutup pintunya. Dan mereka menjelekkan pembedaan orang yang membedakan antara harta yang satu dengan harta yang lain. Dan itulah bid’ah (yang diada-adakan) dan kesesatan yang sebenarnya. Kalau ada yang mengatakan: bahwa kalau diumpamakan haram yang lebih banyak dan telah bercampur yang tidak terhinggakan dengan yang tidak terhinggakan, maka apakah yang akan tuan-tuan katakan tentang itu, apabila tak ada pada benda yang dipegang itu, suatu benda tertentu ? Maka kami menjawab: bahwa menurut pendapat kami, meninggalkannya  adalah wara’ dan mengambilkannya tidaklah haram. Karena asalnya adalah halal. Dan halal itu tidaklah dikesampingkan, kecuali dengan suatu tanda yang tertentu, seperti pada debu tanah jalan-jalan besar dan yang seumpama dengan itu. Bahkan lebih lagi. Dan aku mengatakan: kalau meratalah haram itu ke seluruh dunia, sehingga diketahui dengan yakin, tak ada lagi halal di dunia, maka aku berkata: niscaya kita ulangi membuat syarat-syarat baru dari waktu kita sekarang ini dan kita maafkan apa yang telah lalu. Seraya kita mengatakan: “Apa yang telah melampaui batasnya, niscaya terbaliklah kepada lawannya. Maka manakala haram semua, niscaya halallah semua. Buktinya: apabila peristiwa ini terjadi, maka kemungkinan adalah 5:
1.      Bahwa dikatakan: manusia itu meninggalkan makan, sehingga matilah semuanya, sampai orang yang terakhir.
2.      Bahwa mereka mengurangkan makan, sekedar darurat saja dan menyumbat nyawa keluar. Maka berlari-lari diatas yang darurat itu, dalam beberapa hari kepada kematian.
3.      Bahwa dikatakan: mereka itu memperoleh sekedar yang perlu, dengan cara bagaimanapun yang mereka kehendaki, dengan mencuri, merampok dan suka sama suka, tanpa memperbedakan diantara harta yang satu dengan harta lainnya dan diantara segi yang satu dengan segi lainnya.
4.      Bahwa mereka itu mengikuti syarat-syarat agama dan mengulangi kembali kaedah-kaedahnya, tanpa menyingkatkan kepada sekedar yang perlu saja.
5.      Bahwa menyingkatkan beserta syarat-syarat agama itu, sekedar yang diperlukan.
Adapun yang pertama tadi, maka tidaklah tersembunyi tentang kebatalannya.
Adapun yang kedua, maka sudah pasti batil/salah. Karena, apabila manusia menyingkatkan kepada sekedar menyumbat nyawa jangan keluar saja dan mereka berlari-larian dengan segala waktunya kepada kelemahan, niscaya berkembanglah kematian pada mereka. Hancurlah segala perbuatan dan perusahaan. Dan robohlah dunia keseluruhannya. Dan dalam kerobohan dunia itu adalah kerobohan agama. Karena dunia itu adalah tempat bercocok tanam untuk akhirat, untuk segala hukum pemerintahan, kehakiman dan siasat. Bahkan kebanyakan hukum fiqh, maksudnya adalah memelihara kepentingan dunia. Supaya sempurnalah kepentingan agama dengan demikian.
Adapun yang ketiga, yaitu: menyingkatkan sekedar perlu saja, tanpa berlebih daripadanya, serta menyamakan diantara harta yang satu dengan harta lainnya, dengan perampokan, pencurian dan kerelaan satu sama lain. Dan bagaimanakah sesuai ? yaitu: berbuat untuk memenuhi permintaan agama, diantara orang-orang yang berbuat kerusakan dan diantara berbagai macam kerusakan. Lalu memanjangkan tangan dengan perampokan, pencurian dan berbagai macam kezaliman. Dan tidak mungkin menghardik mereka daripadanya, karena mereka mengatakan: “Tidaklah berbeda yang mempunyai tangan dengan berhak, dari kami. Karena barang itu haram kepadanya dan kepada kami. Dan yang mempunyai tangan dengan berhak itu, adalah sekedar perlu saja. Kalau ia memerlukan, maka kami juga memerlukan. Dan yang engkau ambil pada hakku, melebihi dari yang diperlukan. Maka sesungguhnya engkau mencuri dari orang, dimana barang itu berlebih dari keperluannya pada hari itu”. Dan apabila tidak dijaga keperluan hari ini dan tahun ini, maka apakah yang akan dijaga ? dan bagaimanakah menentukannya ? dan ini membawa kepada kebatalan siasat agama dan mendorong pembuat kerusakan dengan kerusakannya. Maka tidaklah tinggal lagi, selain dari kemungkinan yang
keempat. Yaitu: bahwa dikatakan: “Tiap-tiap yang mempunyai kekuasaan terhadap apa yang dalam tangannya, maka dialah yang lebih utama dengan yang dalam tangannya itu”. Tidak dibolehkan mengambil daripadanya dengan curian dan rampokan. Tetapi diambil dengan persetujuannya. Dan rela-merelakan itu adalah jalan agama. Dan apabila tidak diperbolehkan, selain dengan rela-merelakan, maka untuk rela-merelakan itu pula, mempunyai cara dalam agama, yang bersangkutan padanya, segala kemuslihatan. Kalau itu tidak diperhatikan, maka tidaklah tertentu pokok rela-merelakan itu dan kosonglah penguraian nya.
Adapun kemungkinan yang kelima, yaitu: menyingkatkan sekedar yang diperlukan, serta berusaha menurut jalan agama, dari orang-orang yang menguasai barang-barang itu. Maka itulah yang kami pandang layak disebutkan: wara’(menjaga diri), bagi orang yang menghendaki perjalanan ke jalan akhirat. Tetapi tiada cara untuk mewajibkannya secara keseluruhan. Dan tidak pula untuk memasukkannya dalam fatwa orang banyak. Karena tangan-tangan zalim memanjang kepada kelebihan dari sekedar yang diperlukan dalam tangan-tangan manusia lain. Dan begitu pula tangan-tangan pencuri. Dan tiap-tiap orang yang menang, niscaya merampas. Dan tiap-tiap yang memperoleh kesempatan niscaya mencuri. Dan mengatakan: “Tak ada hak baginya, selain sekedar yang diperlukan. Dan aku memerlukan”. Dan tidak ada caranya yang tinggal, selain wajiblah atas sultan (penguasa) mengeluarkan segala yang berlebih dari sekedar yang diperlukan, dari tangan-tangan pemiliknya. Dan diperlengkapkan dengan barang-barang itu kepada yang memerlukan. Dan mengalirlah harta-harta itu kepada semua, dari hari ke hari atau dari tahun ke tahun. Dan padanya memberatkan yang berlebih-lebihan dan menyia-nyiakan harta.
Adapun memberatkan yang berlebih-lebihan, ialah, bahwa sultan (penguasa) itu tidak sanggup menegakkan dengan yang tersebut, serta banyaknya manusia. Bahkan tidaklah tergambar sekali-kali yang demikian. Adapun menyia-nyiakan harta, yaitu: apa yang berlebih dari keperluan, dari buah-buahan, daging dan biji-bijian itu, sewajarnyalah dilemparkan ke laut atau ditinggalkan sehingga membusuk. Karena yang dijadikan oleh Allah dari buah-buahan dan biji-bijian, adalah berlebih dari jumlah yang memuaskan dan menyenangkan makhluk. Maka bagaimanakah atas sekedar keperluan mereka itu saja ? Kemudian yang demikian itu membawa kepada gugurnya kewajiban hajji, zakat, kafarat-kafarat (penebus) kehartaan dan segala ibadah yang mempunyai sangkutan dengan kekayaan manusia, apabila manusia itu menjadi tidak memiliki, selain sekedar keperluan mereka. Dan itu, adalah amat buruk sekali. Bahkan aku mengatakan, jikalau sekiranya datanglah seorang nabi pada zaman seperti sekarang ini, niscaya wajiblah atasnya mengulangi persoalan dan menyediakan penguraian sebab-sebab milik dengan rela-merelakan dan dengan jalan-jalan yang lain. Dan diperbuatnyalah apa yang akan diperbuatnya, jikalau diperolehnya semua harta itu halal, tanpa ada perbedaannya. Dan aku maksudkan dengan kataku: wajib atasnya, ialah: apabila nabi itu termasuk orang yang diutus untuk kemuslihatan manusia mengenai agama dan dunia mereka. Karena tiada sempurnalah perbaikan, dengan mengembalikan umumnya manusia kepada sekedar darurat dan keperluan saja. Kalau Nabi itu tidak diutus untuk perbaikan, maka tidaklah wajib yang tersebut tadi. Dan kita memandang jaiz (bukan wajib dan bukan mustahil), bahwa Allah Ta’ala mentaqdirkan suatu sebab, yang membinasakan dengan sebab tersebut segala makhluk, sampai ke penghabisan mereka. Maka lenyaplah dunia mereka dan sesatlah mereka pada keagamaannya. Sesungguhnya Allah Ta’ala menyesatkan siapa yang dikehendakiNya dan menunjukkan siapa yang dikehendakiNya, mematikan siapa yang dikehendakiNya dan menghidupkan siapa yang dikehendakiNya. Tetapi kita mengumpamakan keadaan yang berlaku menurut yang terbiasa dari sunnah Allah Ta’ala dalam mengutuskan nabi-nabi, untuk perbaikan agama dan dunia. Dan tidaklah aku mengumpamakan itu dan telah ada yang tidak aku umpamakan. Maka sesungguhnya Allah telah mengutuskan Nabi kita saw pada waktu kekosongan dari rasul-rasul.
Dan adalah agama Isa as telah berlalu mendekati 600 tahun. Dan manusia terbagi kepada yang mendustakannya, dari Yahudi dan penyembah-penyembah berhala dan kepada yang membenarkannya. Dan fisiq telah berkembang diantara mereka, sebagaimana telah berkembang pada masa kita sekarang. Dan orang-orang kafir itu, dihadapkan dengan cabang-cabang agama. dan harta-harta itu, berada dalam tangan orang-orang yang mendustakan dan yang membenarkannya. Adapun orang-orang yang mendustakannya, maka mereka itu adalah melakukan mu’amalah (perniagaan) dengan bukan agama Isa as. Adapun orang-orang yang membenarkannya, mereka itu memandang enteng serta pokok pembenaran itu, sebagaimana sekarang kaum muslimin memandang enteng. Sedang masa dengan kenabian itu masih dekat sekali. Sehingga harta itu semuanya atau yang terbanyak daripadanya atau yang kebanyakan daripadanya itu adalah haram. Dan Nabi saw telah memaafkan dari apa yang telah berlalu dan tidak menyinggung-nyinggungnya. Beliau menentukan pemegang-pemegangnya dengan harta-harta itu dan beliau menyediakan agama untuk yang dimaksud. Dan apa yang telah tetap pengharamannya dalam agama, maka tidaklah bertukar menjadi halal, karena dibangkitkan rasul. Dan tidak bertukar menjadi halal, dengan menyerahkan yang dalam tangannya itu yang haram. Kita tidak mengambil untuk pajak dari orang dzimmi, akan apa yang kita ketahui bendanya itu, adalah harga khamar atau harta riba. Dan adalah harta mereka pada masa itu, seperti harta kita pada masa sekarang. Dan keadaan orang Arab, adalah lebih keras lagi. Karena meratanya perampokan dan penggarongan dalam kalangan mereka.
Maka nyatalah, bahwa kemungkinan yang keempat adalah ditentukan dalam fatwa. Dan kemungkinan yang kelima, adalah jalan menjaga diri. Bahkan kesempurnaan menjaga diri itu, terbatas pada yang dibolehkan/mubah, menurut sekedar yang diperlukan. Dan meninggalkan berlapang-lapang dalam dunia secara keseluruhan nya. Dan itu, adalah jalan akhirat. Dan kita sekarang memperkatakan tentang fiqh yang berhubungan dengan kepentingan makhluk. Dan fatwa secara yang zahir, mempunyai hukum dan cara, menurut yang dikehendaki oleh kepentingan. Dan jalan agama yang tidak akan mampu menjalaninya, kecuali beberapa pribadi-pribadi. Jikalau semua makhluk mencempelungkan diri dengan itu, niscaya rusaklah peraturan dan hancurlah dunia. Karena yang demikian itu, adalah tuntutan kerajaan besar di akhirat. Jikalau semua makhluk melaksanakan tuntutan kerajaan dunia dan meninggalkan segala pekerjaan yang hina dan perusahaan yang rendah, niscaya rusaklah peraturan. Kemudian rusak pula kerajaan itu, dengan rusaknya peraturan tadi. Maka pekerja-pekerja itu, sesungguhnya menyerahkan tenaganya, adalah supaya tersusunlah kerajaan bagi raja-raja. Dan begitu pula orang-orang yang menghadap ke dunia, menyerahkan tenaganya, supaya selamatlah jalan agama bagi orang-orang agama. yaitu: kerajaan akhirat. Kalau tidaklah yang demikian, niscaya tidaklah pula selamat agama mereka, untuk orang-orang agama itu. Maka syarat keselamatan agama bagi mereka, ialah supaya kebanyakan mereka berpaling dari jalannya dan bekerja melaksanakan segala urusan dunia. Dan itu adalah bahagian yang telah dahulu kehendak azali ( tida kesudahan /permulaan ) dengan dia. Dan kepada itulah, isyarat dengan firman Allah Ta’ala: “Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan diantara mereka dalam kehidupan di dunia ini dan Kami tinggikan sebahagiannya dari yang lain beberapa tingkatan, supaya sebahagiannya dapat bekerja untuk yang lain”. S Az Zukhruuf ayat 32.
Kalau orang mengatakan: tidak memerlukan kepada mentakdirkan meratanya pengharaman, sehingga tidak ada lagi yang halal, karena yang demikian itu tidak pernah terjadi. Dan itu sama-sama telah dimaklumi. Dan tidak ragu lagi, bahwa sebahagian itu yang haram. Dan yang sebahagian itu, adalah yang tersedikit atau terbanyak, dimana padanya itu mendapat perhatian. Dan apa yang kamu sebutkan, bahwa yang diharamkan itu, adalah yang tersedikit, dibandingkan kepada semua, itu adalah jelas. Tetapi, tak boleh tidak daripada dalil, yang menghasilkan kepada pembolehannya, yang tidak termasuk, sebahagian dari kemuslihatan pelanjutan (al-mashaalihil-mursalah). Dan apa yang kamu sebutkan dari pembahagian itu seluruhnya, adalah: kepentingan pelanjutan. Maka tak boleh tidak baginya, dari dalil yang menentukan, dimana kepentingan pelanjutan itu, dilogikakan kepada dalil tersebut. Sehingga dalil itu diterima dengan kesepakatan (ittifaq). Karena sebahagian ulama tidak menerima: kepentingan pelanjutan itu. Maka aku menjawab: kalau diterima bahwa yang haram itu, adalah yang tersedikit maka memadailah bagi kita, masa Rasulullah saw dan para sahabat, menjadi dalil, serta adanya riba, pencurian, pengambilan harta orang secara diam-diam dan penggarongan. Dan kalau diumpamakan, ada suatu masa, dimana yang terbanyak, ialah yang haram, maka halal juga memperolehnya. Dalilnya, adalah 3 perkara:
Dalil pertama: pembahagian yang telah kita bataskan itu dan telah kita batalkan daripadanya: 4 dan kita tetapkan: bahagian kelima. Maka yang demikian itu, apabila berlaku, mengenai apabila seluruhnya itu haram, niscaya adalah lebih layak, apabila yang haram itu terbanyak atau tersedikit. Dan perkataan dari orang yang mengatakan: itu adalah kepentingan pelanjutan, adalah kelemahan pikiran. Karena yang demikian itu sesungguhnya ia berkhayal dari khayalan nya tentang hal-hal yang penuh sangkaan belaka. Dan ini adalah diyakini yang demikian. Dan kami tidaklah ragu, bahwa kemuslihatan agama dan dunia, adalah kehendak agama. Dan itu dimaklumi dengan mudah dan tidak dengan sangkaan-sangkaan. Dan tidak syak (ragu) lagi, bahwa mengembalikan seluruh manusia kepada sekedar diperlukan atau kepada rumput dan binatang buruan, adalah pertama-tama merobohkan dunia. Dan kedua, dengan perantaraan dunia, merobohkan agama. Maka apa yang tidak diragukan, tidaklah memerlukan kepada asal yang membuktikan kepadanya. Dan yang disaksikan, ialah atas khayalan-khayalan yang penuh dengan sangkaan, yang berhubungan dengan perseorang-perseorangan dari orang-orang.
Dalil kedua: bahwa diberikan alasan, dengan logika yang menguraikan, yang mengembalikan kepada pokok, dimana para ahli fiqh yang menyukai dengan: logika sebahagian (qias juz-i) menyetujuinya. Dan kalau bahagian-bahagian (aljuz-iyat) itu dipandang tidak berarti, pada orang-orang yang memperboleh kannya, dibandingkan kepada contoh yang telah kami sebutkan dahulu dari hal keseluruhan, yang menjadi pentingnya nabi, kalau sekiranya diutuskan pada zaman, dimana haram telah merata padanya. Sehingga jikalau dijalankan hukum yang lain, niscaya robohlah dunia. Qias/logika yang menguraikan yang bersifat bahagian, yaitu: telah bertentangan pokok dan yang biasa (ghalib), mengenai yang terputus padanya tanda-tanda yang menentukan, dari hal-hal yang tidak terbataskan. Maka dihukumkanlah dengan yang pokok, tidak dengan: yang biasa (ghalib). Karena mengiaskan kepada debu jalan, kendi wanita Nasrani dan bejana orang-orang musyrik. Dan yang demikian itu, telah kita buktikan dahulu dengan perbuatan para sahabat. Dan kata kami: terputus tanda-tanda yang menentukan, adalah menjaga dari bejana-bejana yang dijalankan mengeluarkan pendapat kepadanya. Dan kata kami: tidak terbataskan, adalah menjaga diri keserupaan: bangkai dan wanita susuan dengan yang disembelih dan wanita asing yang boleh dikawini (ajnabiah).
Kalau orang mengatakan: adanya air itu suci-menyucikan, adalah diyakini. Dan itu adalah asalnya (pokoknya). Dan siapakah menerima, bahwa asal pada segala harta itu: halal ? Tetapi asal pada harta itu, ialah pengharaman. Maka kami menjawab: bahwa segala keadaan yang tidak diharamkan karena sesuatu sifat pada zatnya, sebagaimana haramnya khamar dan babi, maka dijadikanlah kepada suatu sifat, yang tersedia untuk menerima mu’amalah (perniagaan) dengan rela-merelakan, sebagaimana dijadikan air tersedia untuk wudlu’. Dan sesungguhnya telah terjadi syak (ragu) mengenai batalnya persediaan itu pada khamar dan babi. Maka tak adalah perbedaan antara kedua keadaan itu. Karena dia keluar daripada menerima perniagaan dengan rela-merelakan, disebabkan masuknya kezaliman kepadanya. Sebagaimana keluarnya air daripada menerima wudlu’, disebabkan masuknya najis kepadanya. Dan tak adalah perbedaan diantara kedua keadaan itu. Penjawaban kedua, bahwa tangan, adalah bukti yang terang, yang menunjukkan kepada milik, yang berkedudukan seperti kedudukan: istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah). Dan malah lebih kuat dari istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), dengan dalil, bahwa agama menghubung kan milik itu dengan istishab. Karena barangsiapa terdakwa bahwa ia berhutang, maka yang didengar, ialah perkataan yang terdakwa itu. Karena pada asalnya, ia terlepas dari beban penghutangan itu. Dan ini, adalah istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  ! Dan barangsiapa menjadi terdakwa bahwa ada milik orang dalam tangannya, maka suara yang didengar disini juga adalah suaranya, karena menempatkan tangan itu, pada tempat istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah). Sehingga apa saja yang terdapat pada tangan seseorang manusia, maka yang pokok/asal adalah kepunyaannya, selama belum ada dalil yang menunjuk kan sebaliknya dengaan tanda-tanda yang tertentu.
Dalil ketiga: bahwa tiap-tiap sesuatu yang menunjukkan kepada jenis yang tidak terhinggakan dan tidak menunjukkan kepada suatu yang tertentu, niscaya tidak diperhatikan, walaupun dia itu dipastikan. Maka untuk tidak diperhatikan apabila menunjukkan dengan jalan sangkaan, adalah lebih-lebih lagi. Penjelasannya: bahwa sesuatu yang diketahui, bahwa itu kepunyaan si Zaid, maka adalah haknya melarang orang berbuat sesuatu pada miliknya itu, dengan tidak seizinnya. Jikalau diketahui, maka benda itu ada pemiliknya di dunia, tetapi terjadilah putus harapan untuk mengetahui pemilik itu dan ahli warisnya, maka adalah itu menjadi harta yang diuntukkan bagi kemuslihatan kaum muslimin, dimana boleh dilaksanakan pengurusan padanya, dengan memandang kepada hukum kepentingan umum. Kalau ada yang menunjukkan, bahwa barang itu mempunyai pemilik yang terbatas pada 10 orang umpamanya atau 20, niscaya terlaranglah melaksanakan urusan pada barang itu dengan menggunakan: hukum kepentingan umum. Maka yang diragukan: tentang adakah barang itu mempunyai pemilik lain, selain yang memegangnya atau tidak, tidaklah melebihi dari yang telah diyakini dengan pasti, bahwa barang itu mempunyai pemilik, tetapi tidak dikenal dirinya pemilik itu. Maka hendaklah diperbolehkan melakukan urusan pada barang itu untuk kepentingan umum. Dan kepentingan umum itu, ialah apa yang telah kami sebutkan dahulu pada bahagian yang lima. Maka adalah asal itu menjadi saksi baginya. Betapa tidak ! tiap-tiap harta yang hilang, yang ketiadaan pemiliknya, maka dipergunakan oleh sultan kepada kepentingan umum. Dan setengah dari kepentingan umum itu, ialah untuk orang-orang miskin dan lainnya. Maka kalau diserahkan untuk menggunakannya kepada seorang miskin, niscaya barang tersebut menjadi milik dari orang miskin itu. Dan berlakulah penggunaannya pada barang itu. Kalau ada yang mencuri barang tersebut dari si miskin tadi, niscaya tangan si pencuri itu dihukum potong. Maka bagaimanakah berlaku urusan itu pada milik orang lain, tentu tidaklah yang demikian itu, selain karena kita telah menetapkan, bahwa kepentingan umum menghendaki, untuk berpindahnya hak milik kepada si miskin tersebut dan halallah barang itu baginya. Maka kita telah menghukumkan dengan apa yang diwajibkan oleh kepentingan umum itu. Kalau orang mengatakan: “Itu adalah tertentu dengan pengurusan, dimana padanya sultan (penguasa)”. Maka kami menjawab, bahwa sultan, tidak diperbolehkan baginya pengurusan mengenai milik orang lain, dengan tidak seizinnya, dimana tidak ada sebab bagi sultan untuk mengurusinya, selain dari kepentingan umum. Yaitu: kalau barang itu ditinggalkan begitu saja, niscaya hilang. Maka barang itu bolak-balik, antara disia-siakan dan diserahkan kepada suatu kepentingan. Dan menyerahkan kepada sesuatu kepentingan, adalah lebih mengandung kemuslihatan daripada menyia-nyiakan. Maka kembalilah tanggung jawabnya ke pundak sultan.
Dan kemuslihatan tentang sesuatu yang diragukan padanya dan tidak diketahui pengharamannya, ialah ditetapkan pada sesuatu itu dengan penunjuk kan tangan (yang memegang barang tersebut). Dan dibiarkan atas tanggung jawab yang mempunyai tangan kekuasaan padanya. Karena mencabut dari tangan kekuasaan yang memegangnya, dengan alasan syak-wasangka dan memberatkan mereka menggunakan sekedar yang perlu saja, adalah membawa kepada kemelaratan yang telah kami sebutkan dahulu. Segi-segi kemuslihatan umum itu berlain-lainan. Karena sultan itu sekali memandang, bahwa kemuslihatan itu meminta supaya ia membangun dengan harta itu jembatan. Sekali meminta supaya ia menyerahkan harta itu kepada tentara Islam. Dan sekali meminta supaya ia menyerahkan kepada fakir miskin. Dan berkisarlah ia bersama kemuslihatan umum itu, sebagaimana kemuslihatan itu sendiri berkisar.
Dan begitu pula fatwa tentang hal yang seperti ini, berkisar menurut kemuslihatan. Dan dikeluarkan dari ini, bahwa orang tidak disiksa tentang benda-benda harta dengan sangkaan-sangkaan, yang tidak bersandarkan kepada dalil khusus tentang pemilikan benda-benda itu. Sebagaimana tidak dipersalahkan raja dan orang-orang miskin yang mengambil harta itu daripadanya, dengan tahunya mereka, bahwa harta itu mempunyai pemilik, dimana pengetahuan itu tidak sampai untuk mengetahui pribadi pemilik yang dimaksud. Dan tak ada bedanya antara diri pemilik itu sendiri, dengan barang-barang yang dimiliki dalam pengertian tersebut. Maka ini adalah penjelasan syubhat (diragukan) percampuran. Dan tak ada lagi, kecuali memperhatikan tentang percampuran benda-benda cair, dirham-dirham dan benda-benda lain pada tangan seorang pemilik. Dan akan datang penjelasannya pada “Bab Penguraian jalan keluarga dari kezaliman”.
PERKEMBANGAN KETIGA: bagi syubhat (diragukan), bahwa bersambung kema’siatan dengan sebab yang menghalalkan.
Adakalanya, pada tanda-tandanya. Adakalanya, pada yang menyambunginya. Adakalanya pada yang mendahuluinya atau pada penggantinya. Dan ma’siat itu, termasuk ma’siat yang tidak mengharuskan rusak ‘aqad (ikatan perjanjian) dan membatalkan sebab yang menghalalkan. Contoh ma’siat tentang tanda-tanda yang menunjukkan, ialah: berjual-beli pada waktu seruan (adzan) pada hari Jum’at, menyembelih dengan pisau rampokan, memotong kayu bakar dengan kapak rampokan, menjual diatas penjualan orang lain dan menawar diatas tawaran orang lain. Semua itu adalah larangan yang datang pada ‘aqad dan tidak menunjukkan kepada batal ‘aqad. Maka mencegah dari semua itu, adalah wara’, walaupun yang diperoleh dengan sebab-sebab tadi, tidak dihukum dengan haramnya. Dan menamakan yang semacam tersebut tadi dengan syubhat (diragukan), adalah secara tidak diperkirakan benar (secara tasamuh).
Karena syubhat (diragukan) itu pada biasanya ditujukan untuk kehendak keserupaan dan kebodohan. Dan tidak ada keserupaan disini. Tetapi kema’siatan penyembelihan dengan pisau orang lain, adalah sama-sama dimaklumi. Dan halalnya penyembelihan itu juga sama-sama dimaklumi. Tetapi kadang-kadang diambil kata-kata: syubhat (diragukan) itu dari: musyabahah (serupa menyerupakan). Dan memperoleh hasil dari hal-hal yang tersebut itu, adalah makruh. Dan kemakruhan itu menyerupakan dengan: pengharaman (tahrim). Kalau dimaksudkan dengan syubhat (diragukan), yang itu tadi, maka penamaannya dengan syubhat (diragukan), adalah mempunyai dasar. Dan kalau tidak demikian, maka seyogyalah dinamakan saja dengan: makruh (kirahah), bukan syubhat (diragukan). Dan apabila maksudnya telah diketahui, maka tiadalah perselisihan lagi, tentang: namanya. Karena adat kebiasaan ahli fiqh (Al-Fuqaha’), ialah tidak memperhitungkan benar, tentang: penamaan-penamaan (al-ithlaqat).
Kemudian, ketahuilah, bahwa kemakruhan itu mempunyai 3 tingkat. Yang pertama daripadanya, mendekati kepada yang haram. Dan wara’ daripadanya, adalah penting. Dan yang penghabisan daripadanya, berpenghabisan kepada semacam yang bersangatan, yang hampir-hampir menghubungi dengan: wara’ orang-orang waswas. Dan diantara yang dua itu, adalah tengah-tengah yang menarik kepada dua tepi tadi. Maka kemakruhan memakan binatang buruan dari anjing rampokan, adalah lebih berat dari hewan sembelihan dengan pisau rampokan. Atau yang ditangkap dengan panah rampokan. Karena anjing itu mempunyai usaha. Dan berbeda pendapat ulama, mengenai yang diperoleh anjing buruan itu, untuk pemilik anjing atau untuk pemburu yang memakai anjing rampokan tadi. Dan menyambung dengan itu, kesyubhatan (keraguan) bibit yang ditanam pada tanah rampokan. Karena tanaman itu, adalah untuk pemilik bibit. Tetapi padanya, terdapat syubhat (diragukan). Kalau kita akui, hak menahan bagi pemilik tanah, pada tanaman itu, niscaya adalah seperti harga yang haram. Tetapi yang lebih sesuai menurut logika, bahwa tidak diakui hak menahan itu, seperti jikalau ia menumbuk pada tempat tumbukan tepung rampokan dan menangkap burung dengan jaring rampokan. Karena tiada bersangkutan hak pemilik jaring pada kegunaannya dengan pemburuan. Dan diiringi yang tadi, oleh memotong kayu api dengan kapak rampokan. Kemudian penyembelihan kepunyaannya sendiri dengan pisau rampokan. Karena tiada seorangpun beraliran, kepada mengharamkan sembelihan itu. Dan diiringi oleh berjual-beli pada waktu adzan hari Jum’at. Karena ini, adalah lemah sangkutannya dengan maksud dari ‘aqad, walaupun segolongan ulama berpendapat, batal ‘aqadnya. Karena tak ada padanya, kecuali orang itu sibuk dengan berjual-beli, meninggalkan kewajiban lain yang menjadi tugasnya. Kalau penjualan itu batal dengan seperti ini, niscaya batallah jual-beli semua orang, yang ada padanya dirham zakat atau shalat qodo, yang wajib dilaksanakan dengan segera. Atau dalam tanggungannya sebuah daniq (1/6 dirham) kezaliman. Karena kesibukannya dengan berjual-beli, mencegahnya dari menunaikan kewajiban. Maka tidak adalah bagi Jum’at, selain dari wajibnya sesudah adzan (seruan). Dan yang demikian itu, menarik kepada tidak sahnya perkawinan anak-anak orang zalim dan tiap-tiap orang, yang ada dalam tanggungannya (dzimmahnya) sedirham. Karena ia sibuk dengan perkataannya, daripada perbuatan yang menjadi kewajibannya. Kecuali dari segi datangnya larangan secara khusus pada hari Jum’at itu, yang kadang-kadang mendahului kepada pemahaman, akan sesuatu keistimewaan pada hari Jum’at. Sehingga kemakruhan itu menjadi lebih berat. Dan tidak mengapa dengan memberi peringatan kepadanya. Tetapi, kadang-kadang menghela kepada waswas. Sehingga ia mempersempitkan daripada perkawinan anak-anak perempuan orang-orang zalim dan mu’amalah-mu’amalah (perniagaan-perniagaan) mereka yang lain.
Diceritakan dari sebahagian mereka, bahwa ia membeli sesuatu dan seorang laki-laki. Lalu ia mendengar kemudian, bahwa laki-laki tersebut membelinya dahulu pada hari Jum’at. Maka dikembalikannya barang tersebut, karena takut adanya barang itu, dari apa yang dibelinya pada waktu adzan. Ini, adalah terlalu bersangatan. Karena ia mengembalikan dengan ragu. Sangkaan yang seperti ini tentang penilaian larangan-larangan atau yang batal-batal, tidaklah terputus pada hari Sabtu dan hari-hari yang lain juga. Dan wara’(menjaga diri) itu, adalah baik. Dan bersangkutan padanya, adalah lebih baik. Tetapi sampai kepada batas yang dimaklumi. Nabi saw bersabda: “Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan pada memilih nafsunya”. Maka hendaklah menjaga diri dari berlebih-lebihan yang seperti itu. Karena, walaupun tidak mendatangkan kemelaratan kepada orang yang bersifat demikian, tetapi mungkin mendatangkan persangkaan kepada orang lain, bahwa keadaan yang seperti itu, adalah penting. Kemudian, ia sendiri lemah dari keadaan yang lebih mudah dari itu. Maka ia meninggalkan: pokok menjaga diri. Dan itu, adalah tempat sandaran kebanyakan manusia pada zaman kita ini. Karena telah sempit jalan kepada mereka. Lalu mereka putus asa daripada melaksanakan nya. Maka mereka mencampakkannya yang tersebut itu ! Maka sebagaimana orang yang waswas pada bersuci, kadang-kadang ia lemah dari bersuci, lalu ditinggalkannya. Maka seperti itu pula setengah orang-orang yang waswas tentang yang halal, yang menerobos kepada sangkaan nya, bahwa harta dunia semuanya itu haram. Lalu mereka berlapang-lapang tentang itu. Maka mereka meninggalkan pembedaan. Dan itu, adalah kesesatan sebenarnya.
Adapun contoh pada yang menyambunginya, yaitu: tiap-tiap pengurusan yang membawa dalam alunannya kepada kema’siatan. Yang paling tinggi daripadanya, ialah: menjual buah anggur kepada pembuat khamar, menjual budak kepada orang yang terkenal kejam kepada budak-budaknya dan menjual pedang kepada penyamun. Dan berbeda pendapat para ulama tentang sahnya yang demikian dan tentang halalnya harga yang diperoleh daripadanya. Dan lebih sesuai dengan logika, bahwa yang demikian itu shah dan uang yang diperoleh daripadanya halal. Hanya orang itu berbuat ma’siat dengan ‘aqadnya, sebagaimana ia ma’siat menyembelih dengan pisau rampokan, sedang hewan sembelihannya adalah halal. Tetapi ia ma’siat, sebagaimana ma’siatnya memberi pertolongan kepada perbuatan yang ma’siat. Karena tiada sangkutnya perbuatan tersebut dengan ‘aqad itu sendiri. Maka yang diperoleh daripadanya, adalah makruh, sebagai kemakruhan yang bersangatan. Dan tidaklah ia itu haram. Dan diiringi yang tadi pada tingkatan, oleh menjual buah anggur kepada orang yang meminum khamar dan ia bukan pembuat khamar. Dan menjual pedang kepada orang yang berperang dan juga berbuat zalim. Karena kemungkinan itu telah bertentangan.
Orang-orang terdahulu (salaf) memandang makruh penjualan pedang pada waktu kekacauan, karena ditakuti akan dibeli orang zalim. Maka ini adalah: menjaga diri, diatas yang pertama tadi. Dan kemakruhan padanya, adalah lebih ringan. Dan diiringi oleh yang lebih bersangatan lagi dan hampir menghubungi dengan waswas. Yaitu: kata suatu golongan, bahwa tidak diperbolehkan bermu’amalah (perniagaan) dengan kaum tani, dengan menjual alat-alat pertanian. Karena mereka mendapat pertolongan dengan alat-alat tersebut kepada membajak. Dan mereka menjual makanan yang diperolehnya kepada orang-orang zalim. Dan tidak dijual kepada para petani itu lembu, tanah dan alat-alat pertanian. Itu adalah menjaga diri orang-orang waswas. Karena menarik kepada tidak dijual kepada orang tani, akan makanan. Karena ia memperoleh kekuatan dengan makanan itu kepada bertani. Dan tidak diberi minum dari air umum, karena yang demikian itu. Dan berkesudahan ini kepada batas berlebih-lebihan memilik hawa nafsu yang dilarang. Dan tiap-tiap yang menuju kepada sesuatu dengan maksud kebajikan, niscaya tidak dapat tidak, untuk berlebih-lebihahan, kalau tidak dicela oleh ilmu yang sebenarnya. Kadang-kadang ia tampil kepada sesuatu yang menjadi bid’ah (yang diada-adakan) dalam agama. Supaya manusia mendapat melarat sesudahnya dengan bid’ah (yang diada-adakan) itu. Dan ia menyangka, bahwa ia telah berbuat dengan kebajikan. Dan karena inilah, Nabi saw bersabda: “Kelebihan orang yang berilmu terhadap orang yang beribadah, adalah seperti kelebihanku terhadap orang laki-laki yang terendah dari para sahabatku”. Orang-orang yang berbuat berlebih-lebihan pada nafsu itu, adalah orang-orang yang ditakuti berada sebahagian dari orang-orang yang dikatakan:: “Orang-orang yang terbuang saja usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira, bahwa mereka melakukan usaha-usaha yang baik”. S 18 Al Kahfi ayat 104.
Kesimpulannya, tiada seyogyalah bagi manusia menghabiskan waktunya dengan menjaga diri yang halus-halus, kecuali dengan berhadapan orang yang berilmu, yang mengerti benar. Karena, apabila ia melampaui dari apa yang digambarkan baginya dan ia berbuat dengan hatinya, tanpa mendengar dari orang yang mengetahui, niscaya adalah yang dirusakkannya itu, lebih banyak daripada yang diperbaikinya. Sesungguhnya diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, bahwa ia membakar buah anggurnya yang belum kering, karena takut terjual anggur keringnya nanti kepada orang yaang membuat khamar. Ini sebenarnya aku tidak mengetahui caranya, kalau tidak diketahui sebab khusus yang mengharuskan pembakaran itu. Karena tidaklah akan dibakar buah anggur yang belum kering dan batang kurma, oleh orang yang lebih tinggi derajat daripadanya, dari para sahabat. Kalau bolehlah ini, niscaya bolehlah memotong kemaluan laki-laki karena takut zina. Dan memotong lidah, karena takut membohong. Sampai kepada yang lain-lain lagi, dari segala perbuatan yang merusakkan. Adapun muqaddimah (pendahuluan), maka berjalanlah ma’siat kepada muqaddimah itu, dalam 3 tingkat:
Tingkat tertinggi, yang bersangatan makruh padanya, ialah yang masih tinggal bekasnya pada yang memperolehnya, seperti: memakan dari daging kambing, yang diberi umpan dengan umpan rampokan. Atau digembalakan pada tempat penggembalaan haram. Maka itu adalah ma’siat. Dan adalah menjadi sebab untuk kekalnya ma’siat tersebut. Kadang-kadang yang tinggal itu dari darahnya, dagingnya dan bahagian-bahagiannya dari umpan itu. Dan menjaga diri ini, adalah penting, walaupun tidak wajib. Dan dinuqilkan yang demikian dari segolongan salaf. Dan adalah Abu Abdillah Ath-Thusi At-Turughandi mempunyai seekor kambing, yang dipikulnya atas tengkuknya pada tiap-tiap hari ke tanah lapang. Dan digembalakannya disana dan ia mengerjakan shalat. Dan ia memakan dari susunya. Maka terlengahlah ia pada suatu saat dari kambing itu, lalu ia mengambil daun anggur pada pinggir sebuah kebun. Maka ditinggalkannya kambing tersebut dalam kebun itu dan ia tidak memandang halal mengambilkannya lagi.
Kalau ada yang mengatakan, bahwa telah diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dan ‘Ubaidillah, bahwa keduanya membeli seekor unta. Lalu membawanya ke hutan larangan. Maka unta itupun memakan rumput disitu, sehingga gemuk. Lalu Umar ra berkata: “Apakah kamu berdua menggembalakannya pada hutan larangan ?”. Keduanya menjawab: “Ya !”. Maka Umar memberikan kepada keduanya separoh dari unta itu. Ini menunjukkan, bahwa Umar berpendapat daging yang terjadi dari umpan itu, adalah bagi yang empunya umpan. Maka sesungguhnya ini mewajibkan pengharaman. Kami menjawab: “Bukanlah seperti yang demikian. Karena umpan itu rusak dengan dimakan. Dan daging itu adalah kejadian baru dan bukanlah ia umpan itu sendiri. Maka tidaklah berkongsi pada agama untuk yang empunya umpan. Tetapi Umar menagih pada keduanya itu, adalah harga rumput. Dan berpendapat yang demikian itu, adalah seharga separoh unta. Maka pengambilan separoh tersebut, adalah ijtihad/kesungguhan, sebagaimana Sa’ad bin Abi Waqqash memaroh hartanya tatkala ia datang dari kufah. Dan begitu pula Abu Hurairah ra memaroh harta karena berpendapat, bahwa semuannya itu bukan menjadi hak yang bekerja. Dan berpendapat separoh daripadanya mencukupi atas hak pekerjaan mereka. Dan ditentukannya dengan separoh, berdasarkan ijtihad/kesungguhan.
Tingkat tengah, yaitu: apa yang dinukilkan dari Bisyr bin Al-Harts, tentang ia menolak dari air minuman yang dialirkan dalam sungai, yang digali oleh orang-orang zalim. Karena sungai itu yang menyampaikan air kepadanya. Dan telah mendurhakai Allah dengan penggaliannya. Dan sebahagian yang lain, menolak buah anggur, yang batangnya disirami dengan air yang mengalir dalam sungai, yang digali dengan kezaliman. Dan ini adalah lebih tinggi dari yang tersebut dan lebih bersangatan tentang: menjaga diri. Yang lain menolak dari meminum dari perusahaan-perusahaan sultan (penguasa) pada jalan-jalan. Dan yang lebih tinggi dari itu lagi, ialah Dzin-Nun menolah makan yang halal yang disampaikan kepadanya dengan tangan penjaga penjara. Dan ia mengatakan: “Sesungguhnya makanan itu telah sampai kepadaku dari tangan orang zalim”. Dan derajat dari tingkat-tingkat ini, tidaklah terhingga adanya.
Tingkat ketiga: yaitu yang mendekat kepada waswas dan berlebih-lebihan, dimana ia menolak barang halal, yang sampai kepadanya dengan perantaraan tangan orang yang berbuat ma’siat kepada Allah, dengan zina atau menuduh orang berzina (al-qadzaf). Dan tidaklah itu, seperti: kalau ia berbuat ma’siat dengan memakan yang haram. Karena yang menyampaikan itu, kekuatannya yang diperoleh itu, dari makanan yang haram. Sedang zina dan menuduh orang berzina, tidaklah menimbulkan kekuatan yang memperoleh pertolongan dengan kekuatan itu untuk terbawa kepada sesuatu perbuatan. Tetapi menolak daripada mengambil barang yang halal yang disampaikan oleh tangan seorang kafir, adalah: waswas. Lain halnya dengan memakan yang haram. Karena kekufuran itu tidak adalah sangkutannya dengan membawa makanan. Dan ditarik oleh yang tersebut, kepada tidak akan diambil dari tangan orang yang berbuat ma’siat kepada Allah, walaupun ma’siat itu cacian atau membohong. Dan itu, adalah penghabisan melewati batas dan berlebih-lebihan. Maka hendaklah ditentukan hinggannya, akan apa yang dikenal dari kewara’an Dzin Nun dan Bisyr, dengan kema’siatan tentang sebab yang menyampaikan, seperti sungai dan kekuatan tangan yang diperoleh faedahnya dengan makanan haram. Jikalau sekiranya, ia menolak minum dari kendi, lantaran pembuat tembikar yang membuat kendi itu, telah berbuat ma’siat pada suatu hari kepada Allah, dengan memukul orang atau memakinya, maka ini adalah: waswas namanya. Jikalau ia menolak dari daging kambing, yang dibawa oleh orang yang memakan yang haram, maka ini adalah lebih jauh lagi dari tangan penjaga penjara itu. Karena makanan itu adalah dibawa oleh kekuatan penjaga penjara, sedang kambing itu berjalan sendiri. Dan yang membawanya hanya melarang kambing itu berjalan ke jalan lain saja. Maka ini adalah mendekati kepada waswas. Maka perhatikanlah bagaimana kita tingkatkan setingkat-demi setingkat menerangkan apa yang mendorong kepadanya segala hal keadaan itu. Dan ketahuilah, bahwa semua yang tersebut tadi, adalah diluar dari fatwa ulama zahir.
Fatwa ahli fiqh itu, hanya tertentu pada tingkat pertama yang mungkin membebankan manusia awam kepadanya. Dan jikalau mereka berkumpul kepadanya, niscaya dunia itu tidak akan roboh. Lain halnya kepada yang lebih dari itu, dari menjaga diri orang-orang muttaqin (artinya ia meninggalkan sesuatu yang tak ada apa-apa padanya, karena takut kepada sesuatu yang ada apa-apanya) dan orang-orang shalih. Dan fatwanya pada ini, ialah yang dikatakan Nabi saw kepada Wabishah, ketika beliau bersabda: “Mintalah fatwa pada hatimu, walaupun mereka telah memberi fatwa kepadamu, telah memberi fatwa kepadamu dan telah memberi fatwa kepadamu !”. Dan itu diketahui, karena Nabi saw bersabda: “Dosa itu, adalah penyakit hati”. Dan tiap-tiap yang terguris dalam dada seorang murid dari sebab-sebab yang tersebut, maka kalau ditempuhnya juga serta penyakit hati, niscaya ia memperoleh kemelaratan. Dan menganiaya hatinya sekedar penyakit yang diperolehnya. Bahkan kalau ditempuhnya kepada yang haram pada ilmu Allah, sedang ia sendiri menyangkanya halal, niscaya tidak membekaslah yang demikian pada kekesatan hatinya. Kalau ditempuhnya sesuatu yang halal menurut fatwa ulama zahir, tetapi ia memperoleh penyakit pada hatinya, maka yang demikian itu mendatangkan kemelaratan kepadanya.
Sesungguhnya apa yang telah kami sebutkan tentang larangan daripada berlebih-lebihan, adalah kami maksudkan, bahwa hati yang bersih dan sederhana, yaitu: yang tidak memperoleh penyakit pada hal-hal yang seperti itu. Jikalau hati yang dipenuhi dengan waswas itu, condong dari yang ditengah-tengah dan memperoleh penyakit, lalu menempuh bersama apa yang diperolehnya dalam hatinya, maka yang demikian itu mendatangkan kemelaratan kepadanya. Karena dia itu terambil tentang hak dirinya, antaranya dan antara Allah Ta’ala dengan fatwa hatinya. Dan begitu pula diperkeras kepada orang yang waswas, mengenai bersuci dan niat shalat. Apabila mengerasi pada hatinya, bahwa air tidak sampai kepada segala bahagian-bahagiannya, dengan 3 kali, lantaran kerasnya waswas, maka wajiblah ia memakai air kali yang ke-4. Dan yang demikian itu menjadi hukum terhadap dirinya, meskipun ia bersalah tentang dirinya itu. Merekalah golongan yang bersikap keras, maka dikeraskan oleh Allah kepada mereka. Dan karena itulah, dikeraskan kepada kaum Musa as tatkala mereka berhabis-habisan bertanya tentang: lembu betina (al-baqarah). Jikalau mereka pada pertamanya terus mengambil secara umum kata-kata: lembu betina dan mengambil menurut apa yang dibawa oleh kata-kata itu, niscaya mencukupilah yang demikian kepada mereka.
Maka janganlah anda melengahkan tentang yang halus-halus ini, yang telah kami tolak tadi, dengan negatifnya (nafi) dan positifnya (its-bat). Karena orang yang tidak melihat kepada hakikat/makna perkataan dan tidak mengetahui segala yang tersimpul padanya, niscaya mungkin akan tergelincir dalam memahami segala maksudnya.
Adapun ma’siat tentang ‘iwadl (jual-beli atau penyerahan ada ganti) mempunyai beberapa tingkat pula:
Tingkat tertinggi: yang sangat dimakruhkan padanya, ialah membeli sesuatu barang dalam tanggungan penjual (barang itu belum diserahkan). Dan membayar harganya dari rampokan atau harta haram. Maka dalam hal ini harus diperhatikan ! kalau diserahkan kepadanya makanan oleh penjual sebelum diterimanya harga, dengan kebaikan hati penjual, lalu dimakannya sebelum membayar harganya maka itu adalah halal. Dan meninggalkannya tidaklah wajib dengan Ijma’ (sepakat)  ulama. Saya maksudkan: sebelum membayar harganya. Dan tidak juga itu termasuk: menjaga diri yang dikuatkan (al-wara’-al-muakkad). Kalau dibayarnya harga dari yang haram sesudah makan, maka seolah-olah ia belum membayar harga itu. Dan kalau belum dibayarnya sekali-kali, niscaya adalah ia terikat bagi kezaliman, dengan meninggalkan tanggung jawabnya, tergadai dengan hutang. Dan tidaklah itu terbalik menjadi haram. Kalau dibayarnya harga dari yang haram dan oleh si penjual dibebaskannya si pembeli dari pembayaran itu, karena diketahuinya, bahwa harga itu barang haram, maka terlepaslah tanggungan si pembeli. Dan tak ada lagi diatas pundak si pembeli, selain dari kezaliman penggunaannya dirham haram, dengan menyerahkannya kepada si penjual. Dan kalau si penjual membebaskan si pembeli dari harga itu, berdasarkan sangkaan bahwa harga itu halal, maka tidaklah terjadi pembebasan itu. Karena itu membebaskan dari apa yang diambilnya dengan pembebasan penerimaan yang sempurna. Dan tidak pantaslah yang demikian untuk penyempurnaan dari yang haram itu. Inilah hukumnya barang yang dibeli, memakan daripadanya dan hukumnya tanggungan itu. Dan jikalau si penjual tidak menyerahkan kepada si pembeli dengan baik hati, tetapi si pembeli itu sendiri mengambilnya, maka memakannya itu haram. Sama saja dimakannya sebelum penyempurnaan harga dari yang haram atau sesudahnya. Karena yang ditunjukkan oleh fatwa, ialah adanya hak tahan barang yang dijual bagi si penjual. Sehingga tertentulah miliknya dengan penerimaan tunai, sebagaimana tertentunya milik si pembeli. Dan hak penahanan dari penjual itu batal, adakalanya dengan pembebasan atau dengan penerimaan harga. Dan tidak berlaku sesuatu daripada keduanya. Tetapi ia telah memakan miliknya sendiri, sedang ia berbuat ma’siat dengan yang demikian, sebagai ma’siat orang yang menggadaikan makanan, apabila dimakannya makanan itu, dengan tidak seizin yang menggadai. Diantara yang tersebut tadi dan memakan makanan orang lain itu, ada bedanya. Tetapi pokok pengharaman itu merata. Ini semuanya, apabila barang yang dijual itu, diterima sebelum penyempurnaan harga. Adakalanya dengan kebaikan hati si penjual atau tanpa kebaikan hatinya.
Adapun, apabila pertama-tama telah dilunaskan harga yang haram, kemudian barang itu diterima, maka jikalau si penjual tahu, bahwa harga itu haram dan bersama itu, diserahkannya juga barang yang dijual itu, niscaya batallah hak penahanannya. Dan tinggallah harga itu untuknya dalam tanggungan si pembeli. Karena apa yang telah diambilnya belumlah dengan harga. Dan tidaklah memakan barang yang dijual itu, menjadi haram, disebabkan masih ada harganya yang belum dilunaskan. Adapun, apabila si penjual itu tidak mengetahui, bahwa harga itu haram dan kalau tahulah dia, tentu tidak akan disetujuinya dan barang yang dijual itu belum diserahkan, maka hak menahannya tidaklah batal, dengan keraguan tersebut. Maka memakannya adalah haram, sebagai haramnya memakan barang yang digadaikan, sampai kepada si penjual itu membebaskan si pembeli dari pembayaran atau si pembeli itu melunaskannya dari yang halal atau si penjual itu menyetujui dengan harga yang haram dan membebaskan si pembeli dari pembayaran. Dan sahlah pembebasan itu. Dan tidaklah sah kerelaannya dengan yang haram tadi. Inilah menurut yang dikehendaki oleh fiqh dan penjelasan hukum pada tingkat pertama, dari halal dan haram. Adapun mencegah diri daripadanya, maka termasuklah wara’ yang penting. Karena ma’siat apabila telah menetap, dari sebab yang menyampaikan kepada sesuatu, niscaya bersangatan lah kemakruhan padanya, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan sebab yang terkuat yang menyampaikan itu, ialah harga. Dan jikalau tidaklah harga yang haram, niscaya tidaklah si penjual rela menyerahkan barangnya kepada si pembeli. Maka kerelaan si penjual, tidaklah membebaskan dari kemakruhan yang sangat itu. Tetapi keadilan (sebagai syarat untuk menjadi saksi) tidaklah rusak dengan itu. Dan hilanglah dengan sebabnya, derajat ketaqwaan dan kewara’an.
Jikalau sultan –umpamanya membeli kain atau tanah, dengan harga dalam tanggungan dan pembelian itu diterimanya dengan kerelaan si penjual sebelum melunaskan harganya. Dan sultan menyerahkan barang itu kepada seorang ahli fiqh (faqih) atau orang lain, secara pemberian terus-menerus atau secara sementara. Dan yang menerima pemberian itu (faqih atau lainnya) ragu, apakah sultan itu akan melunaskan harganya dari harta yang halal atau yang haram, maka disini terdapat perbedaan paham diantara para ulama. Karena keraguan itu terjadi mengenai berjalannya kema’siatan kepada harga. Dan berlebih-kurang keringanan keraguan itu, dengan berlebih-kurang banyak dan sedikitnya haram pada harta sultan itu. Dan apa yang lebih keras sangkaan padanya dan sebahagian nya lebih keras sangkaan dari sebahagian yang lain. Hal itu, adalah menurut apa yang tersimpan di dalam hati.
Tingkat tengah: bahwa tidaklah ‘iwadl (penukaran dengan pembayaran harga) itu barang rampokan atau barang haram. Tetapi barang itu dapat menjadi persediaan bagi kema’siatan. Seperti: kalau diserahkan, sebagai ‘iwadl(penukaran dengan pembayaran harga) dari harga, buah anggur dan yang menerima itu adalah peminum khamar. Atau pedang yang menerima itu adalah penyamun. Maka ini tidaklah mewajibkan pengharaman pada barang yang dijual itu, yang dibelinya dengan harga yang tidak tunai. Tetapi terdapat padanya kemakruhan, kurang dari kemakruhan yang terdapat pada rampokan. Dan berlebih-kurang pula derajat tingkat ini dengan berlebih kurang banyaknya kema’siatan pada yang menerima harga atau sedikitnya. Manakala ‘iwadl itu haram, maka memberikannya adalah haram.
Kalau pengharaman itu merupakan kemungkinan, tetapi diperbolehkan dengan sangkaan maka memberikannya adalah makruh. Dan berdasar inilah, maka menurut aku dilarang usaha berbekam dan dimakruhkan. Karena Nabi saw melarangnya beberapa kali. Kemudian beliau menyuruh supaya ongkos dari berbekam itu, dipergunakan untuk umpan unta yang mengangkut air penyiraman. Dan apa yang terbawa kepada sangkaan, bahwa sebabnya itu, lantaran bercampur-baur dengan najis dan kotoran, adalah tidak betul. Karena –kalau benarlah demikian tentu wajib pula ditolak pada orang yang menyamak kulit dan tukang sapu. Padahal, tidak ada yang mengatakan yang demikian. Dan kalau ada yang mengatakan demikian, maka tidak mungkin menolaknya pada tukang potong. Karena bagaimana usahanya itu makruh dan itu adalah gantian dari daging. Dan daging itu sendiri, tidaklah makruh. Dan tukang potong itu berlumuran dengan najis adalah lebih banyak dibandingkan dengan tukang bekam dan membetik. Karena tukang bekam itu mengambil darah dengan bekam dan menyapukannya dengan kapas. Tetapi, sebabnya adalah pada pembekaman dan pembetikan itu, merusakkan bentuk tubuh hewan dan mengeluarkan darahnya, dimana dengan darah itu tertegak kehidupannya. Dan pokoknya perbuatan itu adalah: diharamkan. Dan dihalalkan, hanyalah karena darurat. Dan mengetahui hajat dan darurat itu, adalah dengan kira-kiraan dan ijtihad (mengeluarkan pendapat).
Kadang-kadang disangka bermanfaat, sedang itu adalah melarat. Maka adalah haram pada sisi Allah Ta’ala. Tetapi dihukumkan halalnya, dengan sangkaan dan kira-kiraan. Dan karena itulah, tidak diperbolehkan bagi tukang pembetikan, membentik anak kecil, budak dan orang yang lemah akal pikiran. Kecuali dengan keizinan walinya dan persetujuan dokter. Jikalau tidaklah halal pada zahirnya, niscaya tidaklah Nabi saw menyerahkan ongkos pembekaman. Dan jikalau tidaklah bahwa perbuatan itu memungkinkan pengharamannya, niscaya tidaklah Nabi saw melarangnya. Maka tidaklah mungkin mengumpulkan antara penyerahan dan pelarangannya, kecuali dengan memahami arti yang tersebut itu. Dan adalah ini seyogya kami sebutkan pada tanda-tanda yang menyertai dengan sebab, karena adalah lebih mendekati kepada sebab itu.
Tingkat terbawah: yaittu derajat orang-orang waswas. Yang demikian, adalah umpamanya –seseorang bersumpah tidak akan memakai kain tenunan ibunya. Lalu dijualnya tenunan itu dan dibelinya dengan harganya kain lain. Maka ini tak ada kemakruhan padanya. Dan wara’ daripadanya itu, adalah ke-waswas-an belaka. Diriwayatkan dari Al-Mughirah, bahwa Al-Mughirah mengatakan tentang kejadian tersebut, tidak diperbolehkan. Ia memberi bukti, bahwa Nabi saw bersabda: “Allah memberi kutukan kepada orang Yahudi, diharamkan kepada mereka khamar, lalu dijualnya dan dimakannya harganya”. Ini adalah salah, karena penjualan khamar adalah batal. Sebab tak ada pada khamar kemanfaatan pada agama. Dan harga dari penjualan yang batal, adalah haram. Dan tidaklah ini termasuk sebahagian dari itu. Tetapi ini, contohnya adalah, bahwa seseorang laki-laki mempunyai seorang budak wanita, dimana budak wanita itu adalah saudaranya sesusuan. Lalu budak wanita itu dijualnya dengan seorang budak wanita yang lain, yang ajnabiah (yang boleh dikawininya, kalau wanita itu merdeka). Maka dalam hal ini, tiada seorangpun yang berlaku wara’ padanya. Dan penyerupaan yang tersebut dengan penjualan khamar, adalah terlalu berlebih-lebihan pada segi ini. Sesungguhnya telah kita ketahui segala derajat dan cara berangsur-angsur meningkat padanya. Walaupun berlebih-kurangnya derajat itu, tidak terbatas pada 3 atau 4 dan tidak dalam jumlah bilangannya. Tetapi yang dimaksud dari pembilangan itu, ialah pendekatan dan memberi pemahaman.
Kalau ada yang mengatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa membeli sehelai kain dengan 10 dirham dan didalamnya ada satu dirham haram, niscaya tidaklah diterima oleh Allah shalatnya selama kain itu pada badannya”. Kemudian Ibnu Umar memasukkan kedua anak jarinya ke dalam kedua telinganya, seraya berkata: “Diam, jikalau aku tidak mendengar yang demikian itu daripadanya !”. Maka kami menjawab: yang demikian itu dipahami kepada: jikalau dibelinya dengan 10 dirham dengan bayaran kontan, bukan dengan tangguhan. Dan apabila dibelinya dengan tangguhan, maka telah kami hukumkan dengan: haram pada kebanyakan masalah itu. Maka hendaklah dipahami kepada yang demikian ! kemudian, berapa banyak si pemilik yang diperingati, dengan tidak diterima shalatnya, lantaran ma’siat yang menjalani kepada sebab miliknya, walaupun yang demikian itu tidak menunjukkan kepada batal ‘aqad. Seperti: orang yang membeli pada waktu adzan kepada shalat (pada hari Jum’at) dsb.
PERKEMBANGAN KEEMPAT: perselisihan tentang dalil-dalil.
Maka sesungguhnya yang demikian itu, adalah seperti perselisihan tentang sebab. Karena sebab itu, adalah yang menjadi sebab untuk hukum halalnya dan haramnya. Dan dalil, adalah menjadi sebab untuk mengetahui yang halal dan yang haram. Maka dalil itu, adalah sebab pada pengetahuan yang sebenarnya. Dan selama dalil itu belum lagi menetapkan untuk mengetahui lainnya, maka tak adalah faedah untuk ketetapannya pada dirinya sendiri, walaupun sebabnya itu telah berlaku pada ilmu Allah. Yaitu: adakalanya karena: bertentangan dalil-dalil agama. Atau karena bertentangan tanda-tanda yang menunjukkan. Atau karena bertentangan keserupaan (tasyabuh).
Bahagian pertama: bahwa pertentangan dalil-dalil agama itu, umpamanya: bertentangan dua dalil umum dari Alquran atau As-Sunnah. Atau bertentangan dua logika atau bertentangan logika dan umum. Dan semuanya itu menimbulkan keraguan. Dan dikembalikan kepada istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  atau kepada asal yang dimaklumi sebelumnya, kalau tak ada tarjih (yang menguatkan satu dari yang dua pertentangan itu). Kalau telah nyata tarjih pada segi larangan, niscaya wajiblah mengambilnya. Dan kalau telah nyata tarjih pada segi halal, niscaya bolehlah mengambilnya. Tetapi yang menjaga diri, ialah meninggalkannya. Dan menjaga tempat-tempat perselisihan itu, adalah penting pada menjaga diri, bagi pihak yang memberi fatwa (mufti) dan yang mengikutinya (muqallid). Walaupun muqallid itu boleh mengambil, akan apa yang difatwakan oleh orang yang diikutinya dimana ia menyangka, bahwa orang yang diikutinya itu, adalah yang paling utama dari ulama negerinya. Ia mengenal yang demikian itu dengan mendengar dari mulut ke mulut, sebagaimana ia mengenal dokter yang terbaik dari negerinya dengan mendengar dan dengan tanda-tanda bukti kenyataan. Walaupun ia sendiri tidak mengetahui tentang kedokteran. Dan tidak boleh bagi orang yang menerima fatwa, mengecam mazhab-mazhab yang telah diluaskan uraiannya kepadanya. Tetapi haruslah ia membahas, sehingga keraslah sangkaannya, bahwa itulah yang lebih utama. Lalu diturutinya. Maka ia sekali-kali tidak akan menyalahinya. Ya, kalau berfatwa kepadanya imamnya dengan sesuatu dan bagi imamnya dalam hal itu, ada orang yang berselisih dengan pendapatnya, maka meninggalkan perselisihan dan lari kepada Ijma’ (kesepakatan ulama), adalah termasuk: wara’ yang muakkad (menjaga diri yang dikuatkan). Dan begitu pula orang yang berijtihad/berkesungguhan tentang hukum sesuatu, apabila bertentangan padanya beberapa dalil, lalu ia menguatkan (mentarjihkan) segi halal, dengan kira-kiraan, duga-dugaan dan sangka-sangkaan, maka yang menjaga diri baginya, ialah: menjauhkannya. Sesungguhnya adalah beberapa orang yang berfatwa, berfatwa dengan halal beberapa perkara, dimana mereka tidak tampil, mengerjakannya sekali-kali, karena menjaga dan takut dari syubhat (diragukan). Dari itu, hendaklah kita bagikan pula ini kepada 3 tingkat:
Tingkat pertama: ialah yang dikuatkan sunat menjaga diri daripadanya. Yaitu: yang kuat pada dalil bagi yang menyalahi. Dan diperhatikannya dengan mendalam cara menguatkan aliran (mazhab) yang lain, terhadap dalil bagi yang menyalahi itu. Maka termasuklah sebahagian dari yang penting, bersikap menjaga diri dari mangsa anjing yang terdidik, apabila anjing itu memakan mangsanya, walaupun diberi fatwa oleh yang berfatwa, bahwa itu halal. Karena bertarjih (yang menguatkan satu dari yang dua pertentangan itu) padanya adalah sukar. Dan kami telah memilih, bahwa yang demikian itu haram. Dan itu adalah lebih cocok dengan logika bagi dua perkataan Asy-Syafi’i ra. Dan manakala diperoleh bagi Asy-Syafi’i qaul-jadid (fatwanya yang baru, yang dikeluarkannya ketika telah berpindah ke Mesir), yang bersesuaian dengan mazhab Abu Hanifah ra atau lainnya dari imam-imam yang kenamaan, niscaya bersikap menjaga diri padanya adalah penting dan walaupun difatwakan oleh mufti dengan pendapat lain. Dan sebahagian dari itu, menjaga daripada meninggalkan: pembacaan Bismillah, walaupun tidak berselisih padanya perkataan Asy-Syafi’i ra. Karena ayat Alquran itu jelas mewajibkannya. Dan hadits-hadits mutawatir mengenai wajibnya. Nabi saw bersabda kepada tiap-tiap orang yang menanyakan kepadanya tentang memburu: “Apabila engkau lepaskan anjing buruanmu yang terdidik dan engkau sebutkan kepadanya: nama Allah (membaca Bismillah), maka makanlah !”. Dan dinuqilkan yang demikian itu berulang kali dari Nabi saw. Dan telah termasyhur penyembelihan itu dengan membacakan: Bismillah (dengan nama Allah). Dan itu semuanya menguatkan dalil mensyaratkan bacaan itu. Tetapi tatkala benar sabda Nabi saw: “Orang mu’min itu menyembelih diatas nama Allah Ta’ala, dibacakannya Bismillah atau tidak dibacakannya”, niscaya mungkin ini umum, yang mewajibkan, untuk dipalingkan ayat dan hadits-hadits yang lain dari pengertiannya yang zahir/terlihat. Dan mungkin dikhususkan ini kepada orang yang lupa. Dan dibiarkan pengertian yang zahir secara zahirnya dan tak ada penafsiran. Dan membawa pengertiannya kepada orang yang lupa adalah mungkin, sebagai permulaan bagi keuzurannya pada meninggalkan Bismillah, disebabkan lupa. Dan adalah melakukannya secara umum dan menterjemahkan ayat itu mungkin, sebagai kemungkinan yang amat mendekatkan kepada kebenaran. Kami yang menguatkan satu dari yang dua pertentangan itu yang demikian itu dan tidak kami bantah akan menyingkirkan kemungkinan yang bertentangan baginya. Maka menjaga diri dari hal yang seperti ini, adalah penting, yang terjadi pada derajat pertama.
Tingkat kedua: yaitu yang mendesak bagi derajat waswas, bahwa orang berlaku menjaga diri daripada memakan anak hewan (janin), yang diperoleh dalam perut hewan yang disembelih dan berlaku menjaga diri dari dlabb (bentuknya menyerupai biawak).  Dan telah sahlah dari hadits-hadits yang shahih, hadits tentang janin: “Bahwa penyembelihannya, adalah penyembelihan induknya”. Dimana sahnya hadits tersebut, yang tidak memungkinkan kesangsian, baik mengenai bunyinya atau kelemahan tentang sanadnya. Dan begitupula telah sah hadits, bahwa dlabb (bentuknya menyerupai biawak). itu telah dimakan diatas hidangan Rasulullah saw. Dan hadits tersebut telah dinuqilkan dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim).
Dan aku menyangka bahwa Abu Hanifah, tidak sampai kepada beliau hadits-hadits ini. Dan kalau sekiranya sampai, niscaya beliau tentu berkata menurut hadits-hadits tersebut, kalau beliau telah menyadarinya. Dan jikalau tidak ada yang menyadarkan beliau tentang itu, niscaya adalah selisihnya itu karena tersalah, yang tak harus diperkirakan. Dan tidak akan mewariskan keragukan, sebagaimana jikalau tidak ada yang diperselisihkan. Dan diketahui sesuatu itu dengan hadits dari seorang (hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja).
Tingkat ketiga: bahwa tidak terkenal sekali-kali pada masalah itu perselisihan. Tetapi halalnya adalah diketahui dengan hadits dari seorang. Maka berkatalah orang yang mengatakan: telah berselisih manusia tentang hadits dari orang seorang. Sebahagian mereka, tidak menerimanya. Maka aku bersikap wara’ (menjaga diri daripada menerimanya). Karena orang-orang yang menuqilkan hadits itu, walaupun mereka itu orang-orang adil, maka kesalahan itu boleh pada mereka. Dan dusta karena sesuatu maksud yang tersembunyi itu boleh pada mereka. Karena orang adil juga kadang-kadang membohong. Dan kesangsian boleh pada mereka. Karena kadang-kadang terdahulu kepada pendengaran mereka, yang berlainan dari apa yang diucapkan oleh yang mengatakannya. Dan begitupula kepada pemahaman mereka. Maka inilah menjaga diri, yang tidak dinuqilkan seperti itu dari para sahabat tentang apa yang didengar mereka dari seorang adil, yang tetap kepercayaan jiwa mereka kepadanya.
Adapun apabila telah menjalar syubhat (diragukan) dengan sesuatu sebab tertentu dan dalil yang tertentu terhadap orang yang meriwayatkannya, maka menghentikan dahulu, adalah mempunyai cara yang jelas. Walaupun orang yang meriwayatkan itu, orang adil. Dan perselisihan dari orang yang menyalahi tentang hadits-hadits dari orang seorang itu (hadits ahad), adalah diperkirakan. Dan itu adalah seperti berselisihnya An-Nadl-dlam, tentang asal Ijma’ (sepakat) . Dan katanya: “Ijma’ (sepakat)  itu tidaklah menjadi hujjah (tidak dapat dipakai untuk menjadi dalil dalam sesuatu masalah). Dan jikalau bolehlah menjaga diri yang seperti ini, niscaya adalah sebahagian dari menjaga diri, bahwa orang menolak mengambil pusaka dari kakek (bapak dari bapak). Dan mengatakan: “Tidak ada dalam Kitab Allah (Al-quran) disebut, selain untuk anak laki-laki”. Dan menghubungkan anak laki-laki dari anak laki-laki dengan anak laki-laki, adalah dengan Ijma’ (sepakat) para sahabat. Dan mereka itu tidak ma’shum (tidak terpelihara dari kesalahan). Dan kesalahan itu boleh pada mereka, karena An-Nadl-dlam menyalahi dengan Ijma’ (sepakat)  tersebut. Dan ini, adalah tanda kelemahan pikiran. Dan membawa untuk ditinggalkan akan apa yang diketahui dengan kata-kata umum dari Alquran. Karena sebahagian para ahli ilmu-kalam (ilmu Allah berkata-kata/ilmu keesaan), ada yang beraliran, bahwa kata-kata umum itu, tak mempunyai kata-kata (shighat). Dan yang diambil menjadi hujjah (dalil) ialah, apa yang dipahami para sahabat daripadanya, dengan tanda-tanda (qarinah) dan dalil-dalil. Dan semua itu, adalah waswas. Jadi, tak ada segi dari segi-segi syubhat (diragukan), kecuali padanya keterlaluan dan berlebih-lebihan. Maka hendaklah itu dipahamkan ! manakala sesuatu hal dari yang tersebut itu menghadapi kesulitan, maka hendaklah meminta fatwa pada hati.
Dan hendaklah orang menjaga diri meninggalkan apa yang diragukan, mengambil apa yang tidak diragukan ! dan hendaklah ditinggalkan penyakit hati dan gurisan-gurisan didalam dada ! dan yang demikian itu berlainan dengan berlainan orang dan peristiwa. Tetapi seyogyalah hati itu dipelihara dari segala gangguan waswas. Sehingga tidak dihukumkan, selain dengan kebenaran. Maka kebenaran itu tidak terbungkus diatas penyakit dalam purba sangka waswas. Dan tidak terlepas dari penyakit pada purbasangka kemakruhan. Alangkah mulianya hati yang seperti ini ! dan karena itulah, Nabi saw tidak menolak tiap-tiap orang kepada fatwa hatinya. Dan beliau katakan yang demikian kepada Wabishah, tatkala Nabi saw telah mengetahui keadaannya.
Bahagian kedua: bertentangan tanda-tanda yang menunjukkan kepada halal & haram. Karena kadang-kadang dirampas orang semacam barang pada suatu waktu. Dan jarang terjadi seperti yang demikian, tanpa perampasan. Maka terlihatlah barang tersebut umpamanya pada tangan seseorang yang shalih. Lalu ditunjukkan oleh keshalihannya, bahwa barang itu halal. Dan ditunjukkan oleh macam benda dan jarang adanya, dari bukan barang rampasan, bahwa barang itu haram. Maka bertentanganlah 2 keadaan. Dan begitupula, diterangkan oleh seorang adil, bahwa barang itu haram. Dan diterangkan oleh seorang adil lain, bahwa barang itu halal. Atau bertentangan kesaksian 2 orang fasiq atau perkataan anak kecil dan orang yang sudah dewasa. Maka kalau telah menampak pentarjihan (yang menguatkan satu dari yang dua pertentangan itu), niscaya dihukum dengan pentarjihan itu. Dan yang menjaga diri, ialah menjauhkannya. Dan kalau tidak menampak pentarjihan, niscaya wajiblah berhenti dahulu (tawaqquf). Dan akan datang penjelasannya pada “Bab Berkenalan, Berbahasan dan Bersoalan”.
Bahagian ketiga: bertentangan beberapa perkara tentang sifat-sifat yang disangkutkan kepadanya hukum. Umpamanya: seorang berwasiat dengan harta kepada beberapa ahli fiqh (fuqaha’). Maka diketahuinya bahwa yang  bertingkat lebih tentang ilmu fiqh itu, masuk ke dalamnya. Dan yang memulai belajar sehari atau sebulan, tidak dimasukkan ke dalamnya. Dan diantara keduanya itu terdapat beberapa derajat yang tidak terhingga, yang terjadi keragu-raguan padanya. Maka yang memberi fatwa (mufti) lalu berfatwa menurut persangkaan. Dan yang menjaga diri itu, menjauhkan diri daripadanya. Dan ini adalah tersulit dari segala perkembangan syubhat (diragukan). Karena didalamnya beberapa persoalan, yang mengherankan yang memberi fatwa itu, suatu keheranan yang harus, yang tak ada helah baginya padanya. Karena yang bersifat dengan sesuatu sifat pada derajat yang ditengah-tengah diantara dua derajat yang bertentangan, tidaklah menampak baginya kecondongan kepada salah satu dari keduanya. Dan begitupula, sedekah (zakat) yang diserahkan kepada orang-orang yang memerlukan. Maka orang yang tidak mempunyai apa-apa, dapatlah dimaklumi, bahwa dia ittu memerlukan. Dan orang yang mempunyai banyak harta, dapatlah dimaklumi bahwa dia itu orang kaya. Dan terbenturlah diantara keduanya itu, beberapa persoalan yang sulit, seperti orang yang mempunyai rumah, perabot rumah tangga, pakaian dan buku-buku. Maka sekedar yang memerlukan daripadanya, tidaklah dilarang daripada menyerahkan zakat kepadanya. Dan orang yang mempunyai kelebihan, mencegah dirinya daripada menerimanya. Keperluan itu tidaklah terbatas. Hanya diketahui dengan berlebih kurang. Dan melangkah dari yang tersebut itu, kepada memandang tentang batas lebarnya rumah, bangunan-bangunannya dan jumlah nilainya. Karena adanya ditengah-tengah negeri dan cukup memadai dengan suatu rumah yang lebih kurang dari rumah yang tersebut. Dan begitupula tentang macam perabot rumah tangga, apabila rumah itu terbuat dari pecahan batu, tidak dari tanah bakar. Dan begitu pula tentang jumlah perabot itu. Dan begitu pula tentang nilainya. Dan begitu pula tentang yang diperlukan pada tiap-tiap hari dan yang diperlukan tiap-tiap tahun dari perkakas-perkakas musim dingin. Dan yang tidak diperlukan kepadanya, selain dalam beberapa tahun. Dan sesuatu dari itu, tidaklah terbatas. Dan cara tentang ini, ialah apa yang dikatakan Nabi saw: “Tinggalkan apa yang meragukan kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu !”. Dan semua itu, adalah pada tempat keraguan.
Dan kalau yang berfatwa itu berhenti, maka tiadalah cara, kecuali berhenti. Dan kalau yang berfatwa itu dengan sangkaan dan kira-kiraan, maka yang menjaga diri, ialah menghentikan dahulu. Dan itulah yang terpenting dari segala tempat terjadinya menjaga diri. Dan begitu pula, apa yang harus dengan jumlah yang cukup, daripada perbelanjaan keluarga, pakaian dan isteri. Dan jumlah yang cukup bagi fuqaha’/ahli fikih dan ulama dari baital-mal (kas umum). Karena padanya terdapat dua tepi, yang diketahui, bahwa yang satu berkurang dan yang lain itu berlebih. Dan diantara keduanya hal-hal yang men-syubhat kan (diragukan), yang berlainan dengan berlainannya orang dan keadaan. Dan yang melihat kepada segala keperluan itu, ialah Allah Ta’ala. Dan tak adalah bagi manusia itu, mengetahui kepada batas-batasnya. Dan yang kurang dari sekati Makkah untuk sehari, adalah kurang dari mencukupi bagi seorang laki-laki yang gemuk. Dan yang melebihi diatas 3 kati, adalah melebihi dari cukup. Dan diantara dua itu, tidaklah menentu baginya batas. Maka hendaklah bagi seorang menjaga diri, meninggalkan apa yang meragukannya, kepada yang tidak meragukannya. Dan ini berlaku dalam tiap-tiap hukum yang bersangkutan dengan sesuatu sebab. Sebab itu diketahui dengan kata-kata Arab. Karena orang Arab dan ahli-ahli bahasa yang lain, tidak mampu mengetahui segala kandungan bahasa, dengan batas-batas yang tertentu, yang terputus segala tepinya dari segala yang bertentangan baginya. Seperti: kata-kata: sittah (enam). Maka tidaklah mungkin kurang atau berlebih dari: enam itu, dari bilangan-bilangan, kata-kata kiraan yang lain dan jumlah-jumlahnya. Maka tidaklah kata-kata bahasa seperti itu. Maka tak adalah kata-kata dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw, melainkan menjalarkan keraguan kepada ditengah-tengah dalam segala maksud dari kata-kata itu, yang berkisar diantara tepi-tepi yang bertentangan. Maka amat besarlah keperluan kepada pengetahuan ini, tentang wasiat dan wakaf. Wakaf pada orang-orang shufi umpamanya, termasuk barang yang sah. Dan siapakah yang masuk dibawah keharusan kata-kata tersebut ? maka inilah sebahagian dari yang tidak jelas. Maka begitu pulalah kata-kata yang lain. Dan akan kami tunjukkan kepada yang dikehendaki oleh kata-kata orang shufi pada khususnya. Supaya dengan itu, dapatlah diketahui cara menggunakan kata-kata. Kalau tidaklah yang demikian, maka tak ada harapan untuk dapat menyempurnakan kata-kata itu. Maka inilah syubhat-syubhat (diragukan) yang berkembang dari tanda-tanda yang bertentangan, yang menarik kepada dua tepi yang bertentangan. Dan semua itu, termasuk syubhat (diragukan) yang harus dijauhkan, apabila segi halalnya tidak dapat ditarjihkan dengan suatu dalil yang dapat memenangkan terhadap sangkaan atau dengan istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), menurut apa yang diharuskan oleh sabda Nabi saw: “Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu !”. Dan dengan apa yang diharuskan oleh dalil-dalil yang lain, yang telah disebutkan dahulu.
Maka inilah segala yang mengembangkan syubhat (diragukan). Setengah daripadanya, adalah lebih keras dari yang lain. Dan jikalau segala syubhat (diragukan) yang bermacam-macam itu berdemonstrasi terhadap sesuatu hal, niscaya keadaan menjadi lebih gawat. Umpamanya: seseorang mengambil makanan yang diperselisihkan padanya, sebagai ‘iwadl (gantian) dari buah anggur yang dijualkannya kepada seorang pembuat khamar, sesudah adzan pada hari Jum’at. Dan si penjual itu hartanya bercampur dengan haram. Dan tidaklah yang haram itu, yang terbanyak dari hartanya. Tetapi adalah hartanya itu menjadi harta syubhat (diragukan). Maka kadang-kadang oleh samanya syubhat (diragukan) itu, membawa kepada keadaan yang sulit memecahkannya. Maka inilah tingkat-tingkat yang telah kita kenal cara mengetahuinya. Dan tidaklah kekuatan manusia dapat menghinggakannya. Maka apa yang telah jelas dari uraian ini, hendaklah diambil menjadi perpegangan. Dan apa yang meragukan, maka hendaklah dijauhkan ! karena dosa itu, adalah penyakit bagi hati. Dan dimana kita menetapkan dengan meminta fatwa dari hati, adalah kita maksudkan, dimana yang diperbolehkan oleh yang mengeluarkan fatwa (mufti).
Adapun dimana yang diharamkan oleh pemberi fatwa, maka wajiblah mencegah diri daripadanya. Kemudian, maka tidaklah diperpegangi kepada semua hati. Karena banyaklah orang yang waswas, melarikan diri dari tiap-tiap sesuatu. Dan banyaklah orang yang loba, yang menganggap ringan, lalu merasa tenteram kepada segala sesuatu. Dan tidaklah dipandang kepada hati yang dua macam ini. Dan yang dipandang ialah: hati orang yang berilmu, yang memperoleh taufiq dan yang menyelidiki hal-hal yang halus. Dan yaitu gurisan yang diuji dengan dia segala hal-keadaan yang tersembunyi. Alangkah mulianya hati itu dalam segala hati ! Maka barangsiapa tidak percaya kepada hatinya sendiri, maka hendaklah ia mencari nur dari hati dengan sifat ini ! dan hendaklah mengemukakan peristiwanya kepadanya ! dan tersebut dalam Zabur: “Bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud as: “Katakanlah kepada kaum Bani Israil (kaum Yahudi) ! sesungguhnya Aku tidak memandang kepada shalatmu dan puasamu. Tetapi Aku memandang kepada orang yang ragu tentang sesuatu. Lalu ditinggalkannya karenaKu. Maka itulah orang yang Aku pandang kepadanya. Dan Aku kuatkannya dengan pertolonganKu. Dan Aku membanggakan dia dengan malaikat-malaikatKu”.
BAB KETIGA: tentang pemeriksaan, pertanyaan, penyerbuan, pelengahan dan tempat-tempat yang meragukan padanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap orang yang menyugukan makanan kepadamu atau hadiah atau engkau bermaksud membeli padanya atau menerima pemberiannya, maka tidak haruslah engkau memeriksa padanya dan menanyakan serta mengatakan: “Barang ini termasuk yang tidak saya yakini akan halalnya, maka saya tidak akan mengambilnya. Tetapi saya akan memeriksanya”. Dan tidak harus pula engkau meninggalkan pemeriksaan. Lalu engkau mengambil tiap-tiap apa yang tidak engkau yakini akan haramnya. Tetapi bertanya itu sekali wajib dan sekali haram, sekali sunat dan sekali makruh. Dari itu, tak boleh tidak daripada diuraikan. Kata-kata yang memuaskan tentang itu, ialah: bahwa tempat yang menyangkakan untuk pertanyaan adalah pada tempat-tempat yang meragukan. Dan tempat terjadinya keraguan & berkembangnya keraguan itu, adakalanya urusan yang bersangkutan dengan harta atau yang bersangkutan dengan yg empunya harta.
PERKEMBANGAN PERTAMA: tentang hal-keadaan pemilik harta.
Pemilik harta dibandingkan kepada pengetahuanmu, mempunyai 3 keadaan. Adakalanya dia itu tidak dikenal atau diragukan atau diketahui dengan semacam sangkaan, yang disandarkan kepada sesuatu dalil.
Keadaan pertama: bahwa pemilik itu tidak dikenal. Tidak dikenal ialah: tak ada padanya tanda yang menunjukkan kepada keburukan dan kezaliman nya, seperti pakaian seragam tentara. Dan tidak ada sesuatu yang menunjukkan kebaikannya, seperti pakaian ahli tasawwuf/ahli suffi, perniagaan, ilmu pengetahuan dan tanda-tanda yang lain. Apabila engkau memasuki suatu kampung, yang tidak engkau kenal, lalu melihat seorang laki-laki yang tidak engkau kenal sedikitpun tentang keadaannya dan tak ada padanya alamat yang menunjukkan ia orang baik atau orang buruk, maka dia itu orang yang tidak dikenal. Apabila engkau memasuki suatu negeri sebagai orang asing dan engkau masuk ke pasar, lalu engkau menjumpai seorang tukang roti atau tukang potong atau lainnya dan tak ada tanda yang menunjukkan dia itu pendidik atau pengkhianat dan tak ada pula yang menunjukkan kepada tidaknya yang tersebut, maka orang itu adalah tidak dikenal dan tidak diketahui keadaannya. Dan tidak kita katakan, bahwa orang itu diragukan, karena keraguan, adalah ibarat dua keyakinan yang berlawanan, dimana keduanya mempunyai dua sebab yang berlawanan. Dan kebanyakan fuqaha’ tidak mengetahui perbedaan, antara apa yang diketahuinya dan apa yang diragukannya. Dan telah anda ketahui dari apa yang terdahulu, bahwa orang menjaga diri, meninggalkan apa yang tidak diketahuinya.
Yusuf bin Asbath berkata: “Semenjak 30 tahun yang lampau, tidaklah terguris dalam hatiku sesuatu, melainkan terus aku tinggalkan”. Sekumpulan mereka memperkatakan tentang perbuatan yang paling sulit. Lalu mereka mengatakan: Yaitu: wara’/menjaga diri. Lalu Hasan bin Abi Sannan berkata kepada mereka: “Tidak adalah padaku sesuatu yang paling mudah, selain dari menjaga diri. Apabila terguris dalam dadaku sesuatu, niscaya terus aku tinggalkan”. Maka itulah syarat menjaga diri ! Sesungguhnya yang kami sebutkan sekarang, ialah: hukum zahir. Maka kami mengatakan: “Hukum keadaan ini, ialah bahwa orang yang tidak dikenal itu, kalau ia menyugukan makanan kepadamu atau ia membawa hadiah kepadamu atau engkau bermaksud membeli sesuatu pada tokonya, maka tidaklah semestinya kamu bertanya. Tetapi tangannya dan dianya orang muslim, adalah dua daliil yang mencukupi untuk menyerbu mengambilkannya. Dan tidaklah seharusnyya engkau mengatakan: “Bahwa kerusakan dan kezaliman itu sudah menjadi kebiasaan pada manusia”. Maka itu, adalah waswas dan buruk sangka terhadap orang muslimin itu sendiri. Dan setengah sangkaan itu, adalah dosa. Dan orang muslim itu dengan keislamannya berhak diatas engkau, untuk tidak berburuk sangka kepadanya. Kalau engkau berburuk sangka kepadanya tentang dirinya, karena engkau sesungguhnya melihat kerusakan pada orang lain, maka engkau telah berbuat penganiayaan kepadanya. Dan engkau terus berdosa waktu itu juga, tanpa ragu. Dan kalau engkau mengambil hartanya, maka adalah harta itu haram, yang diragukan. Dan dibuktikan kepadanya, bahwa kita mengetahui, bahwa sahabat di dalam peperangan dan perjalanan mereka, adalah bertempat tinggal di kampung-kampung. Dan mereka tidaklah menolak kampung-kampung itu. Dan mereka masuk ke negeri-negeri. Dan mereka tidak menjaga diri dari pasar-pasar. Dan adalah haram itu terdapat pula pada zaman mereka. Dan tidaklah dinuqilkan dari mereka pertanyaan, kecuali dari keraguan. Karena adalah Nabi saw tidak menanyakan dari tiap-tiap apa yang dibawakan kepadanya. Tetapi beliau bertanya pada permulaan kedatangannya ke Madinah, tentang apa yang dibawakan kepadanya: “Apakah ini sedekah atau hadiah ?”. Karena suasana dari keadaan menunjukkan, yaitu: masuknya orang-orang muhajirin ke Madinah, dimana mereka itu miskin. Maka beratlah dugaan, bahwa apa yang dibawakan kepada mereka adalah dengan jalan sedekah. Kemudian Islamnya yang memberi dan tangannya, tidaklah menunjukkan, bahwa itu bukan sedekah. Dan adalah Nabi saw diundang ke perjamuan-perjamuan, maka beliau memperkenan kan dan tiada beliau bertanya: “Apakah ini sedekah atau bukan ?”. Karena kebiasaan tidaklah berlaku sedekah pada perjamuan. Dan karena itulah, beliau diundang oleh Ummu Salim. Dan beliau diundang oleh tukang jahit (al-khayyath), seperti yang tersebut pada hadits yang dirawikan Anas bin Malik ra. Dan tukang jahit itu menyugukan kepada Nabi saw makanan, yang ada padanya buah labu-labu. Dan beliau diundang oleh seorang Parsi. Lalu beliau bertanya kepadanya: “Saya dan ‘Aisyah ?”. Laki-laki Parsi itu menjawab: “Tidak !”. Maka Nabi saw menyambung: “Kalau begitu, tidaklah !”. Kemudian laki-laki itu memperkenankan nya. Maka pergilah Nabi saw dan ‘Aisyah beriring-iring. Lalu orang itu menyugukan kepada keduanya suguan. Dan tidak dinuqilkan bahwa Nabi saw bertanya tentang sesuatu dari suguan itu.
Abubakar ra bertanya kepada bujangnya tentang usaha bujang itu, tatkala meragukan beliau dari hal keadaannya. Umar ra menanyakan kepada orang yang menyugukan kepadanya susu dari unta zakat, karena meragukannya dan mena’jubkannya tentang rasanya. Dan belum pernah dialaminya yang demikian tiap-tiap kali ia meminum susu. Inilah sebab-sebab keraguan !
Dan tiap-tiap orang yang memperoleh jamuan pada orang yang tidak dikenal, maka tidaklah ia berbuat ma’siat dengan memperkenankannya, tanpa pemeriksaan. Bahkan kalau ia melihat pada rumah orang itu kebagusan yang berlebih-lebihan dan harta yang banyak, maka tidaklah boleh ia mengatakan: “Yang halal itu adalah amat sulit dan ini adalah banyak. Maka darimanakah dikumpulkan ini dari yang halal ?”. Tetapi orang itu sendiri mungkin mewarisi harta atau berusaha. Maka dengan sendirinya ia berhak memperoleh baik sangkaan orang kepadanya. Dan aku menambahkan lagi kepada ini, dengan mengatakan, bahwa, tidaklah boleh ia menanyakannya. Tetapi kalau ia berlaku menjaga diri, maka janganlah dimasukkannya ke dalam rongganya, kecuali apa yang diketahuinya, dari mana asalnya. Maka itu, adalah lebih baik. Maka hendaklah ia bersikap lemah lembut pada meninggalkan yang disugukan itu. Dan kalau ada yang boleh tidak daripada memakannya, maka hendaklah ia makan, tanpa memajukan pertanyaan. Karena pertanyaan itu adalah menyakitkan, merusakkan kehormatan dan merenggangkan. Dan itu adalah haram, dengan tidak diragukan lagi.
Kalau anda berkata: “Mudah-mudahan tidak akan menyakiti !”. Maka aku menjawab: “Mudah-mudahan akan menyakiti”. Maka engkau menanyakan, bahwa takut mungkin harta itu dari yang haram. Kalau engkau cukupkan tanpa bertanya, maka mudah-mudahan hartanya itu halal. Dan tidaklah dosa yang ditakuti tentang menyakiti orang muslim itu, lebih berkurang dari dosa tentang memakan syubhat (diragukan) dan haram. Dan biasanya manusia itu, tidak menyukai pemeriksaan. Dan tidak boleh baginya menanyakan tentang orang lain, dimana ia mengetahui orang itu dengan pertanyaan tersebut. Karena menyakitkan padanya adalah lebih banyak. Dan kalau ia bertanya, dimana ia tidak mengetahui orang itu maka dalam hal ini, adalah memburukkan sangka dan merusakkan kehormatan orang. Dan padanya itu, adalah memata-matai dan berhubungan dengan cacian, walaupun yang demikian itu tidak tegas. Dan semuanya itu dilarang, yang tersebut pada suatu ayat. Allah Ta’ala berfirman: “Jauhilah kebanyakan purba sangka (kecurigaan), karena sebahagian dari purbasangka itu dosa ! dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah mengupat satu sama lain !”. S 49 Al Hujuraat ayat 12.
Banyaklah orang zuhud yang bodoh, membuat hati mereka liar dalam pemeriksaan itu. Dan berkata-kata dengan perkataan yang keji menyakitkan. Dan setan sesungguhnya memandang baik yang demikian pada orang yang bodoh tersebut, karena mencari kemasyhuran dengan memakan yang halal. Dan kalaulah yang menggerakkannya itu semata-mata agama, niscaya ketakutan pada hati muslim untuk menyakitkan orang adalah lebih berat dari ketakutannya kepada perutnya untuk dimasuki oleh sesuatu yang tidak diketahuinya. Dan ia tidak akan disiksakan dengan apa yang tidak diketahuinya. Karena tidak adalah disitu tanda yang mewajibkan untuk menjauhkannya. Maka hendaklah diketahui, bahwa jalan menjaga diri, ialah meninggalkan, bukan memata-matai.
Dan apabila tak boleh tidak daripada memakannya, maka yang menjaga diri, ialah memakannya dan membaikkan sangkaan. Ini adalah yang disukai para sahabat ra. Dan barangsiapa melebihkan menjaga dirinya daripada para sahabat itu, maka adalah ia sesat, yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan). Dan bukanlah ia orang yang mengikuti. Maka tidaklah seseorang akan sampai sepanjang seseorang dari sahabat dan tidaklah setengah daripadanya. Walaupun dibelanjakannya semua apa yang ada didalam bumi. Betapa tidak ! “Sesungguhnya Rasulullah saw telah memakan makanan Burairah. Lalu orang mengatakan kepada Nabi saw:: “Bahwa makanan itu sedekah”. Lalu Nabi saw menjawab: “Makanan itu bagi Burairah sedekah dan bagi kami hadiah”. Dan Nabi saw  tidak menanyakan terhadap yang disedekahkan. Dan adalah yang bersedekah itu tidak dikenal oleh Nabi saw. Dan beliau tidak menolak memakannya.
Keadaan kedua: adalah pemilik harta itu diragukan, disebabkan sesuatu keterangan yang mendatangkan keraguan. Maka marilah kami sebutkan bentuk keraguan, kemudian hukumnya !
Adapun bentuk keraguan, ialah ditunjukkan kepada haram apa yang ada pada tangannya, oleh sesuatu petunjuk. Adakalanya dari bentuknya atau dari pakaian dan kainnya atau dari perbuatan dan perkataannya.
Adapun bentuk, yaitu: ia berbentuk orang Turki, orang-orang Badui, orang-orang yang terkenal dengan kezaliman dan penyamun. Dan ia orang yang panjang kumis, rambutnya terbelah di kepalanya, seperti kebiasaan orang-orang yang berbudi rusak.
Adapun kain, maka dipakainya baju panjang, peci dan pakaian orang-orang zalim dan rusak, dari tentara dan lainnya.
Adapun perbuatan dan perkataan, maka yaitu: dipersaksikan daripadanya tampil mengerjakan apa yang tidak halal. Maka sesungguhnya yang demikian itu, menunjukkan bahwa ia juga bermudah-mudah tentang harta dan mengambil apa yang tidak halal. Maka inilah tempat-tempat yang meragukan ! Apabila bermaksud membeli sesuatu dari barang yang seperti ini atau mengambil daripadanya sebagai hadiah atau memperkenankan panggilannya pada sesuatu perjamuan, sedang orang itu adalah orang asing yang tidak dikenal, niscaya tidaklah jelas baginya dari orang itu, selain dari tanda-tanda tersebut. Maka mungkinlah untuk dikatakan, bahwa tangan (karena ia memegang barang tersebut) menunjukkan, kepada milik. Dan keterangan yang semacam ini, adalah lemah. Maka tampil mengambilkannya, dibolehkan. Dan meninggalkannya, adalah termasuk menjaga diri. Dan mungkin untuk dikatakan, bahwa tangan itu dalil yang lemah. Dan telah berhadapan dengan dia oleh dalil yang seperti itu, lalu mendatangkan keraguan. Maka menyerbu mengambilkannya, tidak diperbolehkan. Dan itulah yang kami pilih dan kami berfatwa, karena sabda Nabi saw: “Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada yang tidak meragukan kamu !”. Menurut yang zahir dari hadits ini, adalah perintah, walaupun mungkin sunat, karena sabda Nabi saw: “Dosa itu adalah penyakit bagi hati”. Dan itu mempunyai pengaruh ke dalam hati, yang tidak dapat dibantah.
Dan karena Nabi saw bertanya: “Adakah itu sedekah (zakat) atau hadiah ?”. Dan Abubakar ra bertanya kepada bujangnya dan Umar ra pun bertanya. Dan semua itu adalah pada tempat keraguan dan membawanya kepada menjaga diri, walaupun secara kemungkinan saja. Tetapi tidak memungkinkan yang demikian, selain dengan logika hukum (qias hukmi). Dan logika itu tidaklah membuktikan dengan penghalalan ini. Karena dalil “tangan dan Islam”, yang telah ditantang oleh dalil-dalil tersebut, adalah mendatangkan keragu-raguan. Apabila keduanya berhadap-hadapan, maka tak adalah sandaran bagi kehalalannya. Dan sesungguhnya tidak ditinggalkan hukum “tangan” (ia memegang barang tersebut) dan istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  dengan syak (ragu) yang tidak bersandarkan kepada sesuatu tanda. Sebagaimana apabila kita memperoleh air yang berobah. Dan mungkin berobah itu karena lama berhentinya. Kalau kita melihat seekor kijang kencing didalamnya, kemudian perobahan itu mungkin dengan yang demikian, niscaya kita tinggalkan istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  itu (menghukum menurut keadaan asalnya yang lama itu, yaitu: asalnya: suci). Dan ini adalah lebih dekat dari yang tersebut itu. Tetapi diantara dalil-dalil itu, berlebih kurang. Karena panjangnya kumis, memakai baju panjang dan berkeadaan tentara, adalah menunjukkan kepada kezaliman dengan harta.
Adapun perkataan dan perbuatan yang menyalahi bagi agama kalau berhubungan dengan kezaliman harta, maka itu juga dalil yang jelas. Sebagaimana kalau ia mendengar orang itu menyuruh merampok dan berbuat kezaliman atau mengadakan ‘aqad riba. Adapun apabila ia melihat orang itu memaki orang lain mengenai perampokan atau pandangannya mengikuti seorang wanita yang lalu dihadapannya, maka dalil ini, adalah lemah. Maka berapa banyak manusia bersusah payah mencari harta dan tidak mengusahakan, kecuali yang halal. Dan bersama yang demikian itu, ia tidak dapat menguasai dirinya ketika menggelagak kemarahan dan nafsu syahwat. Maka hendaklah diperhatikan kepada berlebih-kurangnya ini ! dan tidak mungkinlah dihinggakan itu dengan suatu batasan. Maka hendaklah hamba Allah itu meminta fatwa dalam keadaan yang seperti demikian kepada hatinya ! Dan aku mengatakan, bahwa ini kalau ia melihatnya dari orang yang tidak dikenal, maka baginyalah menetapkannya. Dan kalau dilihatnya dari orang yang dikenalnya menjaga diri, tentang bersuci, bershalat dan membaca Alquran, maka bolehlah baginya hukum (ketetapan) yang lain, apabila bertentangan dua keterangan yang bersangkutan dengan harta. Dan kedua keterangan itu lalu berjatuhan dan kembalilah orang itu seperti orang yang tidak dikenal. Karena tidak ada salah satu dari kedua keterangan itu, yang sesuai dengan harta pada khususnya. Maka berapa banyak orang yang berdosa tentang harta, dimana ia tidak berdosa pada lainnya. Dan berapa banyak orang yang berbuat baik untuk shalat wudlu’ dan pembacaan Alquran dan memakan darimana saja yang didapatinya. Maka hukumnya dalam segala kejadian ini, ialah apa yang condong hati kepadanya. Karena ini, adalah urusan diantara hamba dan Allah. Maka tidak jauhlah dari kebenaran untuk menggantungkannya dengan sesuatu sebab yang tersembunyi, yang tidak dilihat, kecuali olehnya dan oleh Tuhan serwa sekalian alam. Dan itulah hukum penyakit hati.
Kemudian, hendaklah diperhatikan kepada suatu yang halus yang lain. Yaitu: bahwa keterangan tersebut, seyogyalah adanya itu, dimana ia menunjuk kan, bahwa kebanyakan hartanya adalah haram, disebabkan dia itu tentara atau pegawai sultan atau wanita tukang tangis pada kematian atau wanita tukang nyanyi. Kalau menunjukkan, bahwa pada hartanya, haramnya itu sedikit, niscaya tidaklah bertanya itu wajib. Tetapi adalah bertanya itu termasuk menjaga diri.
Keadaan ketiga: adalah keadaan itu diketahui dengan semacam percobaan dan pengalaman, dimana yang demikian itu mewajibkan berat sangkaan tentang halalnya harta itu atau haramnya. Umpamanya: dikenal baiknya, beragamanya dan adilnya orang itu secara zahir. Dan memungkinkan batinnya adalah sebaliknya. Maka dalam hal ini tidaklah wajib menanyakan. Dan tidak diperbolehkan, sebagaimana pada orang yang tidak dikenal. Maka yang lebih utama, ialah tampil mengambilkannya. Dan tampil disini, adalah lebih jauh dari syubhat (diragukan), dibandingkan dengan tampil kepada makanan dari orang yang tidak dikenal. Maka yang demikian itu, adalah jauh dari menjaga diri, walaupun tidak haram.
Adapun memakan makanan orang-orang baik, maka itu adalah kebiasaan para nabi dan wali-wali. Nabi saw bersabda: “Janganlah engkau memakan, selain makanan orang yang taqwa dan makananmu jangan dimakan, selain oleh orang yang taqwa”. Apabila diketahuinya dengan percobaan, bahwa orang itu tentara atau penyanyi atau pembuat riba dan tidak memerlukan kepada dalil dengan keadaannya, bentuk dan kain, maka disini sudah pasti menanyakan itu wajib, sebagaimana pada tempat yang meragukan. Bahkan ini lebih utama lagi.
PERKEMBANGAN KEDUA: yang disandarkan keraguan padanya kepada sebab harta, tidak tentang keadaan pemiliknya.
Dan yang demikian itu, ialah dengan bercampurnya yang halal dengan yang haram. Seperti apabila dilemparkan kepasaran beberapa pikulan makanan rampokan dan dibeli oleh penduduk pasar. Maka tidaklah wajib kepada orang yang membeli pada negeri dan pasar itu, menanyakan tentang apa yang dibelinya, kecuali terang, bahwa yang terbanyak dalam tangan mereka itu, adalah haram. Maka ketika itu, wajiblah menanyakan. Jikalau tidaklah yang terbanyak, maka pemeriksaan itu, termasuk menjaga diri dan tidaklah wajib. Dan pasar yang besar, hukumnya seperti negeri. Dan dalil bahwa tidaklah wajib menanyakan dan memeriksa, apabila tidak yang terbanyak itu haram, ialah para sahabat ra tidak melarang pembelian di pasar-pasar, dimana di pasar-pasar itu terdapat dirham riba, harta rampasan perang yang diambil dengan diam-diam dll. Dan para sabahat itu tidak menanyakan pada tiap-tiap ‘aqad. Hanya pertanyaan itu dinuqilkan dari seorang-seorang dari mereka, secara jarang sekali dalam sebahagian hal-keadaan. Yaitu: tempat yang meragukan terhadap orang-orang yang tertentu itu sendiri. Dan begitupula, mereka mengambil harta rampasan dari orang-orang kafir, yang telah memerangi kaum muslimin. Dan kadang-kadang orang-orang kafir itu telah mengambil harta kaum muslimin. Dan mungkin dalam harta rampasan itu, ada sesuatu daripada apa yang diambil mereka dari kaum muslimin. Dan itu, adalah tidak halal mengambilnya dengan cuma-cuma, dengan ittifaq (dengan sepakat pendapat para ulama). Bahkan dikembalikan kepada pemiliknya, menurut Asy-Syafi’i ra. Dan pemiliknya itu, adalah lebih utama berhak dengan harganya, menurut Abu Hanifah ra. Dan tidaklah sekali-kali dinuqilkan pemeriksaan tentang ini.
Umar ra menulis surat ke Azerbaijan: “Sesungguhnya kamu berada dalam negeri yang disembelihkan padanya bangkai. Maka perhatikanlah yang disembelih dari yang mati !”. Beliau mengizinkan bertanya dan menyuruh bertanya. Dan beliau tidak menyuruh tanyakan tentang dirham-dirham, yang menjadi harganya. Karena kebanyakan dirham mereka, bukanlah harga kulit, walaupun kulit itu dijual juga. Dan kebanyakan kulit itu memanglah seperti yang demikian. Dan seperti demikianlah Ibnu Mas’ud ra mengatakan: “Sesungguhnya kamu berada dalam negeri, dimana kebanyakan tukang dagingnya orang Majusi (penyembah matahari dan api). Maka perhatikanlah yang disembelih dari yang bangkai !”.
Ibnu Mas’ud ra mengkhususkan dengan suruh menanyakan, disebabkan banyaknya mereka. Dan maksud dari bab ini tidak jelas, kecuali dengan menyebutkan gambaran-gambaran dan mengumpamakan persoalan-persoalan yang banyak terjadinya menurut kebiasaan. Maka di bawah ini, kami berikan contoh-contoh persoalan-persoalan (masalah) itu:
Suatu masalah.
Seorang tertentu, dimana hartanya bercampur dengan yang haram, umpamanya: hartanya itu dijualkan di kedai makanan rampokan atau harta yang dirampas. Dan seumpama: dia itu qadli (hakim) atau kepala atau pekerja atau ahli fiqh (faqih) yang selalu pergi kepada sultan yang zalim, dimana ia juga mempunyai harta warisan dan menjadi kepala sesuatu daerah atau perniagaan. Atau seorang saudagar yang mengadakan mu’amalah (perniagaan) secara sah dan juga mengerjakan riba. Maka jikalau adalah yang terbanyak dari hartanya itu haram, niscaya tidak boleh memakan dari jamuannya. Tidak boleh menerima hadiah dan sedekahnya, kecuali sesudah diperiksa. Maka jikalau telah terang, bahwa yang diambil dari segi yang halal, maka yang demikian itu sudah jelas. Dan kalau tidak, niscaya ditinggalkan. Dan kalau ada yang haram itu sedikit dan diambil itu meragukan, maka ini menjadi tempat perhatian. Karena berada pada suatu tingkat diantara dua tingkat.
Karena telah kita tetapkan, bahwa kalau serupalah hewan sembelihan dengan 10 bangkai umpamanya, niscaya wajiblah dijauhkan semuanya. Dan ini menyerupai yang itu dari segi, dimana harta dari orang seorang, adalah seperti jumlah yang terbatas. Lebih-lebih apabila banyaknya harta itu tidak seperti sultan. Dan menyalahi dari itu, dari segi, karena bangkai itu diketahui adanya sekarang dengan yakin. Dan yang haram yang mencampuri hartanya, mungkin telah keluar dari tangannya (Dari kepunyaannya). Dan tidak ada lagi sekarang padanya. Dan kalau harta itu sedikit dan diketahui dengan pasti, bahwa yang haram itu ada sekarang, maka ini dan masalah percampuran bangkai itu satu. Dan kalau banyaklah harta dan mungkin yang haram itu tidak ada sekarang, maka ini adalah lebih ringan dari itu. Dan menyerupakan dari segi campuran dengan yang tidak terbatas, seperti: di pasar-pasar dan di kampung-kampung. Tetapi lebih berat dari itu, karena tertentunya dengan orang seorang. Dan tidak diragukan, bahwa menyerbu mengambilkannya adalah jauh sekali dari menjaga diri. Tetapi memandang dia itu fasiq, adalah berlawanan bagi keadilan. Dan ini juga dari segi yang dinuqilkan, adalah tidak jelas. Karena tarik-menariknya barang-barang yang serupa. Dan dari segi yang dinuqilkan, adalah tidak jelas pula. Karena apa yang dinuqilkan dari para sahabat, tentang menolaknya mereka dalam hal yang seperti ini. Dan begitu pula dari para tabi’in, yang mungkin dipertanggungkan kepada menjaga diri. Dan tidak diperoleh padanya nash (dalil yang tegas) tentang pengharamannya. Dan apa yang dinuqilkan tentang tampil memakan, seperti makannya Abu Hurairah akan makanan Mu'’wiah umpamanya, jika diumpamakan pada jumlah yang ada dalam tangannya itu haram, maka yang demikian juga mungkin adanya tampil memakan itu, sesudah pemeriksaan. Dan ternyata bahwa yang dimakannya itu adalah dari segi yang mubah (diperbolehkan). Maka segala perbuatan tentang ini, adalah berdalilkan yang lemah. Dan mazhab-mazhab dari para ulama mutaakh-khirin (ulama-ulama yang terakhir sesudah abad ke-4 H), adalah berbeda-beda. Sehingga sebahagian mereka mengatakan: “Jikalau diberikan kepadaku oleh sultan sesuatu, niscaya aku mengambilkannya”. Dan ditolak pembolehan itu, mengenai barang, apabila adalah yang terbanyak juga yang haram, manakala barang yang diambil itu tidak dikenal dan mungkin dia itu halal. Dan diambil dalil, dengan sebahagian salaf itu mengambil harta-harta pemberian sultan, sebagaimana akan datang nanti pada “Bab Penjelasan Harta sultan-sultan”.
Apabila adalah yang haram itu tersedikit dan mungki tidak ada lagi sekarang, niscaya tidaklah memakannya itu haram. Dan kalau diyakini adanya sekarang, seperti: pada masalah serupa hewan sembelihan dengan bangkai, maka ini termasuk apa yang aku tidak tahu, apa yang akan aku katakan. Dan yaitu termasuk syubhat-syubhat (diragukan) yang mengherankan orang yang berfatwa (mufti). Karena meragukan antara syubhat (diragukan) yang terbatas dan yang tidak terbatas. Dan wanita susuan apabila serupa dengan 10 wanita lain di suatu kampung, niscaya wajiblah menjauhkan perkawinan. Dan kalau itu di suatu negeri yang berpenduduk 10 ribu, niscaya tidaklah wajib menjauhkan perkawinan. Dan diantara yang dua itu, terdapat bilangan-bilangan. Jikalau aku tanyakan tentang itu, niscaya tidaklah aku ketahui apa yang akan aku katakan.
Dan para ulama telah menghentikan dahulu mengenai beberapa masalah, yang lebih terang dari ini. Karena ditanyakan Ahmad bin Hanbal ra tentang seorang laki-laki yang menembak dengan panah binatang buruan. Lalu terjatuh ke dalam milik orang lain. Maka adakah binatang buruan tersebut kepunyaan si penembak atau si pemilik tanah tempat jatuh binatang buruan itu ? maka Imam Ahmad ra menjawab: “Aku tidak tahu (La adri)”. Kemudian ditanyakan lagi beliau beberapa kali, maka beliau selalu menjawab:: “Aku tidak tahu”. Dan banyaklah yang demikian kami ceritakan dari ulama salaf pada “Kitab Ilmu”. Maka hendaklah mufti memutuskan kelobaannya untuk mengetahui hukum tersebut pada segala rupa persoalannya.
Ibnul-Mubarak bertanya kepada temannya dari Basrah, tentang perniagaannya dengan orang-orang yang berdagang dengan sultan-sultan. Maka teman itu menjawab: “Jika orang-orang itu tiada berdagang selain dengan sultan, maka janganlah engkau berdagang dengan mereka. Dan jika mereka berdagang dengan sultan dan lainnya maka berdaganglah dengan mereka !”. Dan ini menunjukkan kepada berlapang dada (musamahah) mengenai yang sedikit. Dan mungkin juga berlapang dada pada yang banyak.
Kesimpulannya, tidaklah dinuqilkan dari para sahabat, bahwa mereka itu meninggalkan secara keseluruhan, akan perniagaan dengan tukang daging, tukang roti dan saudagar. Karena ia melakukan suatu ‘aqad yang batal atau karena sekali berdagang dengan sultan. Dan taksiran yang demikian itu mengenai tadi, akan diterangkan kemudian. Masalah itu dengan sendirinya sulit. Kalau ada yang mengatakan, bahwa telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa beliau memberi kelapangan tentang itu. Dan beliau berkata: “Ambillah apa yang diberikan kepadamu oleh sultan ! karena sesungguhnya diberikannya kepadamu dari yang halal. Dan apa yang diambilnya dari yang halal, adalah lebih banyak dari yang haram”. Ibnu Mas’ud ra ditanyakan orang tentang itu, lalu penanya itu berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku mempunyai tetangga, yang tidak aku ketahui dia, kecuali orang buruk, yang mengundang kami atau yang kami memerlukan. Lalu kami meminta pinjam padanya”. Maka Ibnu Mas’ud menjawab: “Apabila ia mengundang kamu, maka perkenankanlah. Dan apabila kamu memerlukan, maka pinjamkanlah padanya ! karena sesungguhnya kamu mempunyai kepuasan dan atasnyalah tempat dosa”. Salman berfatwa seperti yang demikian itu. Dan Ali memberi alasan, disebabkan banyak. Dan Ibnu Mas’ud ra memberi alasan, dengan jalan isyarat, bahwa keatas pundak orang itu dosa. Karena ia mengetahui yang demikian. Dan engkau sendiri mempunyai kepuasan. Artinya engkau tiada mengetahui yang demikian itu. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Mas’ud ra: “Sesungguhnya aku mempunyai tetangga yang memakan riba. Lalu ia mengundang kami kepada makanannya. Apakah kami datang ?”. Ibnu Mas’ud ra menjawab: “Ya, datanglah !”. Dan mengenai yang demikian itu, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra banyak riwayat yang bermacam-macam.
Asy-Syafi’i ra dan Malik ra mengambil pemberian khalifah-khalifah dan sultan-sultan, serta mengetahui, bahwa harta mereka itu bercampur dengan yang haram. Kami jelaskan, bahwa apa yang diriwayatkan dari Ali ra maka sesungguhnya telah terkenal dari menjaga dirinya Ali, akan keadaan yang menunjukkan sebaliknya dari yang demikian. Adalah ia menolak harta baitulmal, sampai ia menjual pedangnya. Dan ia tidak mempunyai, selain sehelai baju kemeja pada waktu mandi, dimana ia tiada memperoleh yang lain. Dan aku tidak membantah, bahwa kelapangan yang diberikannya, adalah tegas tentang pembolehannya. Dan perbuatannya itu, adalah mungkin karena menjaga dirinya. Tetapi jikalau benar, maka harta sultan itu baginya hukum yang lain. Karena dengan hukum banyaknya, hampirlah dihubungi dengan apa yang tidak terbatas. Dan akan datang penjelasan yang demikian. Dan begitupula perbuatan Asy-Syafi’i ra dan Malik ra adalah berhubungan dengan harta sultan. Dan akan datang penjelasan hukumnya. Dan sesungguhnya penjelasan kami tentang orang-orang seorang dari manusia dan harta mereka, adalah mendekati kepada hinggaan.
Adapun perkataan Ibnu Mas’ud ra maka ada yang mengatakan, bahwa perkataan itu dinuqilkan oleh Khuat At-Taimi. Dan Khuat itu hafalannya lemah. Dan yang terkenal dari Ibnu Mas’ud ra adalah menunjukkan kepada dijaganya benar dari syubhat-syubhat (diragukan). Karena ia mengatakan: “Janganlah seseorang kamu mengatakan: “Aku takut dan aku harap !”. Karena yang halal itu terang dan yang haram itu terang. Dan diantara yang demikian itu, hal-hal yang menjadi syubhat (diragukan). Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu !”. Dan Ibnu Mas’ud ra berkata: “Jauhkanlah segala gurisan hati ! maka padanya itu dosa !”. Kalau ada yang mengatakan: “Mengapakah kamu mengatakan, apabila adalah yang terbanyak itu haram, niscaya tiada dibolehkan mengambil. Sedang yang diambil itu tak ada padanya tanda yang menunjukkan kepada pengharamannya secara khusus. Sedang tangan, adalah tanda milik. Sehingga siapa yang mencuri harta orang yang seperti itu, niscaya dipotong tangannya. Dan banyak itu mewajibkan sangkaan yang terlepas, yang tiada berhubungan dengan benda itu sendiri. Maka hendaklah sangkaan itu, seperti kerasnya sangkaan pada debu jalan raya. Dan kerasnya sangkaan pada percampuran dengan tidak terabtas, apabila adalah yang terbanyak itu, ialah yang haram. Dan tidaklah boleh mengambil dalil kepada ini, dengan umumnya sabda Nabi saw: “Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu !”. Karena itu dikhususkan kepada sebahagian tempat dengan ittifaq (kesepakatan) para ulama. Yaitu: bahwa tidak meragukannya dengan suatu tanda pada benda yang dimilik itu, dengan dalil percampuran yang sedikit dengan yang tiada terbatas. Maka yang demikian itu mewajibkan keraguan. Dan bersama itu, kamu putuskan dengan tidak diharamkan. Maka jawabannya, adalah: bahwa tangan itu dalil yang lemah, seperti istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), . Dan baru dipilih (diambil), apabila tangan itu terpelihara dari penantang yang kuat.
Apabila telah kita yakini bercampur dan kita yakini bahwa haram yang bercampur itu ada sekarang dan harta itu tidak terlepas dari haram tadi dan kita yakini bahwa yang terbanyak ialah yang haram dan yang demikian itu terhadap hak orang seorang yang tertentu, yang mendekati hartanya dari hinggaan, niscaya jelaslah wajib berpaling dari kehendak tangan itu. Dan kalau tidak dibawa kepadanya sabda Nabi saw: “Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu !” niscaya tidak adalah baginya tempat pembawaan. Karena tidak mungkin dibawa kepada campuran yang sedikit, dengan halal yang tidak terbatas. Karena yang demikian itu terdapat pada zaman Nabi saw dan beliau tidak meninggalkannya. Dan ke tempat yang mana saja ini dibawa, adalah ini dalam pengertiannya. Dan membawanya kepada pembersihan (tanzih), adalah memalingkan dari yang zahir, tanpa logika. Karena mengharamkan yang demikian itu, tiada jauh dari logika tanda-tanda dan istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), . Dan banyaknya itu, mempunyai bekas pada menetapkan sangkaan. Dan begitupula bagi: hinggaan. Dan keduanya (banyak dan hinggaan) itu telah berkumpul. Sehingga  Abu Hanifah ra berkata: “Janganlah engkau berijtihad ( mengeluar kan pendapat) tentang bejana-bejana, kecuali apabila adalah yang suci itu terbanyak. Maka disyaratkan berkumpul: istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), mengeluarkan pendapat dengan tanda dan kekuatan banyaknya. Dan orang yang mengatakan, dimana ia mengambil bejana yang mana saja, adalah maksudnya, dengan tanpa mengeluarkan pendapat, berdasarkan kepada istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  semata-mata. Maka bolehlah meminum pula, lalu mengharuskan pembolehan disini, dengan semata-mata tanda dari tangan. Dan tidak dibolehkan yang demikian, pada kencing yang serupa dengan air. Karena tak ada istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  padanya. Dan tidak juga kita datangkan istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  pada bangkai yang serupa dengan binatang sembelihan. Karena tak ada istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  pada bangkai. Dan tangan tidak menunjukkan bahwa itu bukan bangkai. Dan tangan itu menunjukkan pada makanan yang mubah, dimana makanan itu telah rusak. Maka disini, terdapat 4 hal yang bersangkut-paut: istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), , sedikit pada yang bercampur atau banyak, terbatas atau meluas pada yang bercampur dan tanda khusus pada benda itu sendiri, yang bersangkutan mengeluarkan pendapat padanya. Maka siapa yang lalai dari kumpulan yang 4 ini, kadang-kadang ia tersalah. Lalu ia menyerupakan sebahagian masalah dengan yang tiada menyerupainya. Maka hasillah dari apa yang telah kami sebutkan dahulu, bahwa yang bercampur pada milik orang seorang, adakalanya yang haram itu terbanyak atau tersedikit. Dan masing-masingnya, adakalanya diketahui dengan yakin atau dengan sangkaan (zhan) tanpa tanda atau dengan dugaan. Maka menanyakan adalah wajib pada dua tempat. Yaitu: adalah yang haram itu terbanyak dengan yakin atau zhan. Seperti jikalau ia melihat orang Turki yang tidak dikenal, yang mungkin semua hartanya adalah dari rampasan perang. Dan kalau adalah yang tersedikit itu diketahui dengan yakin, maka itu adalah tempat menghentikan persoalan (tawaqquf). Dan hampirlah itu, berjalan menurut apa yang dijalani oleh kebanyakan ulama terdahulu (salaf). Dan hal-hal yang darurat, adalah kepada kecondongan kepada rukhshah (diberi kelapangan, tidak dipersempitkan). Adapun 3 bahagian yang tinggal, maka menanyakan padanya tidaklah wajib sekali-kali.
Suatu masalah.
Apabila datang makanan dari seseorang manusia, yang diketahui, bahwa telah masuk dalam tangannya barang yang haram dari perputaran yang ada, yang telah di ambilnya atau dari segi lain dan tidak diketahui, apakah yang haram itu masih ada sampai sekarang atau tidak ada lagi, maka bagi orang yang menerima makanan tersebut, boleh memakannya. Dan tidaklah harus ia memeriksa. Dan sesungguhnya pemeriksaan pada makanan tersebut, adalah termasuk: menjaga diri. Dan kalau diketahuinya, bahwa masih ada dari yang haram itu sesuatu, tetapi tidak diketahuinya, apakah tersedikit atau terbanyak, maka bolehlah diambilnya, disebabkan sesuatu itu tersedikit. Dan telah diterangkan bahwa keadaan yang tersedikit itu adalah menyulitkan. Dan ini mendekati kepada yang demikian itu.
Suatu masalah.
Apabila ada dalam tangan pengurus harta sosial atau waqaf atau wasiat, dua macam harta, dimana ia berhak salah satu dari keduanya dan ia tidak berhak yang satu lagi, karena yang satu lagi itu, bukanlah dari harta yang diterangkan tadi. Maka bolehkah ia mengambil apa yang diserahkan kepadanya oleh yang empunya waqaf ? disitu harus diperhatikan ! kalau sifat harta yang disebutkan diatas itu terang, yang dikenal oleh yang mengurus itu dan yang mengurus itu adalah terang keadilannya, maka bolehlah ia mengambil, tanpa penyelidikan. Karena sangkaan dengan yang mengurus, bahwa pengurus itu tidak menyerahkan kepadanya, apa yang diserahkannya, kecuali dari harta yang bermustahak (yang layak dimiliki) ia padanya. Dan kalau sifat dari harta itu tersembunyi dan yang mengurus itu termasuk orang yang dikenalnya keadaannya, bahwa ia mencampur-adukkan dan tidak memperhatikan bagaimana ia berbuat, maka haruslah menanyakan. Karena tidak adalah disini tangan dan istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),  yang dapat diperpegangi. Dan yaitu sejalan dengan pertanyaan Rasulullah saw dari sedekah dan hadiah, ketika meragukan beliau tentang keduanya. Karena tangan tidaklah dapat menentukan hadiah dari sedekah. Dan tidak istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah). Maka tidaklah terlepas daripadanya, kecuali dengan pertanyaan. Maka pertanyaan, dimana kita gugurkan pada orang yang tidak dikenal, maka gugurkan pula pada tanda dari tangan dan Islam. Sehingga, jikalau tidak diketahui, bahwa orang itu muslim dan bermaksud mengambil dari tangannya daging dari hewan sembelihannya dan mungkin dia itu orang Majusi, niscaya tidak dibolehkan mengambil, selama belum dikenal, bahwa dia itu muslim. Karena tangan tidak menunjukkan pada bangkai. Dan tidak pula bentuk menunjukkan kepada Islam. Kecuali apabila kebanyakan penduduk negeri itu orang muslimin. Maka bolehlah disangka, bahwa orang yang tak ada padanya tanda kufur, adalah muslim, walaupun ada kemungkinan kesalahan padanya. Maka tiada seyogyalah diragukan tempat-tempat yang diakui padanya tangan dan keadaan, dengan yang tiada diakui.
Suatu masalah.
Boleh membeli sebuah rumah dalam suatu negeri, walaupun diketahui bahwa rumah itu dalam lingkungan rumah-rumah yang dirampas. Karena yang demikian itu percampuran dengan tidak terbatas. Tetapi menanyakan, adalah tanda berhati-hati dan menjaga diri. Jika ada pada suatu jalan yang lurus, 10 buah rumah umpamanya, satu daripadanya adalah rampasan atau waqaf, niscaya tidaklah boleh dibeli, selama tidak dapat dibedakan. Dan wajiblah menyelidikinya. Barangsiapa masuk ke suatu kampung dan di kampung itu terdapat beberapa langgar, yang dikhususkan dengan pengwaqafannya oleh beberapa penganut dari berbagai mazhab dan dia menganut suatu mazhab dari kumpulan mazhab-mazhab tersebut. Maka tidaklah boleh baginya mendiami dimana saja dikehendakinya dan memakan dari harta waqaf langgar-langgar itu, tanpa bertanya. Karena yang demikian, adalah termasuk bab percampuran yang terbatas. Maka tak boleh tidak daripada membeda kan. Dan tidak boleh menyerbu terus serta keadaan yang meragukan itu. Karena langgar-langgar dan sekolah-sekolah dalam negeri, tak boleh tidak adalah dalam jumlah yang terbatas.
Suatu masalah.
Dimana kita menjadikan: pertanyaan, termasuk sebagian dari menjaga diri, maka tidaklah baginya menanyakan yang empunya makanan dan harta, apabila ia tiada merasa aman dari kemarahannya. Dan sesungguhnya kita mewajibkan: bertanya, apabila diyakini bahwa kebanyakan hartanya itu haram. Dan dalam hal ini, tidaklah perlu diperdulikan dengan kemarahan seperti tadi. Karena wajiblah menyakiti orang zalim dengan yang lebih banyak dari itu. Dan biasanya, bahwa keadaan yang seperti ini, tidaklah orang menjadi marah dengan ditanyakan. Ya, kalau ia mengambil dari tangan wakilnya atau bujangnya atau muridnya atau sebahagian keluarga, dari orang-orang yang berada di bawah pimpinannya, maka haruslah ia menanyakan, manakala ia mempunyai keraguan. Karena mereka itu tidak akan marah dengan pertanyaannya. Dan karena ia harus menanyakan untuk diajarinya mereka, jalan yang halal. Dan karena itulah, Abubakar ra menanyakan bujangnya. Dan Umar ra menanyakan orang yang menyugukan kepadanya minuman dari susu unta sedekah (zakat). Dan beliau menanyakan pula Abu Hurairah ra tatkala membawa kepadanya harta banyak, seraya berkata: “Hai, apakah semua ini bagus ?”, dimana beliau merasa ta’jub dari karena banyaknya. Dan Abu Hurairah ra itu adalah termasuk rakyatnya. Lebih-lebih beliau penuh kasih sayang pada kata-kata pertanyaan itu. Dan begitupula Ali ra berkata: “Tidaklah yang paling disukai Allah Ta’ala, selain dari keadilan imam dan kasih sayangnya. Dan tiadalah yang paling dimarahiNya, selain dari kezaliman imam dan kekasarannya”.
Suatu masalah.
Al-Harts Al-Muhasibi ra berkata: “Jikalau mempunyai teman atau saudara dan merasa aman dari kemarahannya jikalau ditanyakan, maka tiada seyogyalah menanyakannya, karena semata-mata: menjaga diri. Karena kadang-kadang menampak kepadanya apa yang tertutup daripadanya. Maka pertanyaan itu telah membawa kepada merusakkan kehormatan diri. Kemudian yang demikian itu membawa kepada kemarahan”. Dan apa yang disebutkan Al-Harts tadi, adalah baik. Karena menanyakan itu, apabila timbul dari menjaga diri, tidak dari karena wajib, maka menjaga diri dalam hal-keadaan yang seperti ini, untuk menjaga dari merusakkan kehormatan dan mengobarkan kemarahan, adalah lebih penting. Dan Al-Harts menambahkan dari ini, lalu berkata: “Dan jika meragukannya pula daripadanya sesuatu, niscaya tidaklah ditanyakannya. Dan menyangka bahwa makanan yang disugukan itu, adalah baik dan dijauhkannya dari makanan yang keji. Kalau hatinya tidak tenteram kepada keadaan makanan itu, maka hendaklah dijaganya dengan lemah-lembut. Dan janganlah merusakkan kehormatan nya dengan pertanyaan”. Ia berkata: “Karena sesungguhnya aku tiada melihat seorangpun dari para ulama yang melakukan pertanyaan itu”. Maka inilah ucapan dari Al-Harts Al-Muhasibi, serta dengan kemasyhurannya tentang zuhud, yang menunjukkan kepada musamahah (berlapang dada, maaf-memaafkan), mengenai sesuatu, apabila ia bercampur dengan harta haram yang sedikit. Tetapi yang demikian itu: adalah ketika ada persangkaan. Tidak ketika telah meyakinkan. Karena kata-kata: keraguan, menunjukkan kepada persangkaan, dengan dalil yang menunjukkan kepadanya. Dan tidak mendatangkan keyakinan. Maka hendaklah dijaga segala yang halus-halus ini, dengan sebab menanyakan itu !
Suatu masalah.
Kadang-kadang ada orang yang mengatakan: “Apakah faedahnya pertanyaan kepada orang, yang sebahagian hartanya haram dan orang yang memandang halal harta yang haram, yang kadang-kadang membohong ? kalau ia percaya dengan amanahnya, maka hendaklah ia mempercayai dengan keagamaannya mengenai yang halal itu !”. Maka aku menjawab, bahwa manakala diketahui bercampurnya harta seseorang dengan yang haram dan orang itu mempunyai maksud dengan kehadiranmu pada perjamuannya atau penerimaanmu akan hadiahnya, maka tidaklah berhasil kepercayaan dengan katanya: “Tiada faedah menanyakan itu”. Maka seyogyalah menanyakan kepada orang lain. Dan begitupula kalau dia itu penjual, dimana ia gemar berjualan, untuk mencari keuntungan. Maka tidaklah berhasil kepercayaan dengan katanya: “Bahwa barang itu halal”. Dan tak adalah faedah bertanya tentang barang itu. Dan sesungguhnya ia menanyakan pada orang lain. Dan ia menanyakan dari hal orang yang mempunyai tangan (kekuasaan) pada barang tersebut, apabila orang itu bukan orang tertuduh. Sebagaimana ditanyakan oleh orang yang mengusai harta sosial dahulu, terhadap harta yang diterimanya, bahwa harta itu dari pihak mana datangnya. Dan sebagaimana Rasulullah saw menanyakan tentang hadiah dan sedekah (zakat). Maka sesungguhnya yang demikian itu, tidaklah menyakitkan. Dan begitupula, apabila ia menuduhnya, bahwa ia tidak mengetahui jalan usaha yang halal, maka janganlah ia menuduh kepada perkataannya, apabila ia menerangkan jalan yang sah. Dan seperti itu pula, dengan menanyakan bujangnya dan pesuruhnya, adalah untuk mengetahui jalan usahanya. Maka dalam hal ini disini, pertanyaan itu adalah mendatangkan faedah. Apabila yang empunya harta itu tertuduh, maka hendaklah ditanyakan kepada orang lain. Kalau diterangkan oleh seorang adil, niscaya hendaklah diterimanya. Dan kalau diterangkan oleh orang fasiq, yang diketahuinya menurut keadaannya, bahwa orang itu tidak akan berdusta, dimana, tak ada maksud baginya pada pendustaan itu, niscaya bolehlah diterima keterangan itu. Karena ini adalah antara dia dan Allah Ta’ala. Dan yang dicari, ialah kepercayaan hati. Dan itu kadang-kadang berhasil dari kepercayaan dengan perkataan orang fasiq, akan apa yang tidak berhasil dengan perkataan orang adil, dalam sebahagian hal. Dan tidaklah tiap-tiap orang fasiq itu membohong. Dan tidaklah tiap-tiap orang yang engkau lihat adil pada zahirnya itu berkata benar. Dan sesungguhnya untuk menjadi saksi itu, dihubungkan dengan keadilan secara zahir, karena diperlukan oleh hukum. Karena hal yang batin, tiadalah yang dapat melihatnya. Dan Abu Hanifah ra menerima kesaksian orang fasiq. Dan berapa banyak orang yang engkau kenal dan engkau kenal dia itu mengerjakan perbuatan-perbuatan ma’siat. Kemudian apabila ia menerangkan sesuatu kepadamu, lalu kamu percaya. Dan begitupula apabila bercerita anak kecil yang telah dapat membedakan buruk dengan baik (mumayyiz), yang engkau kenal dia berpendirian tetap. Maka kadang-kadang memperoleh kepercayaan dengan perkataannya. Lalu bolehlah berpegang diatas perkataannya itu. Adapun apabila diterangkan oleh orang yang tidak dikenal, yang tidak diketahui sekali-kali, sesuatu dari keadaannya, maka ini termasuk orang yang kita perbolehkan memakan dari barang yang didalam tangan kekuasaannya. Karena tangannya itu, petunjuk yang nyata tentang miliknya. Dan kadang-kadang dikatakan, bahwa Islamnya itu petunjuk yang nyata tentang kebenarannya. Dan ini, sebenarnya haruslah ada penelitian. Dan tidaklah terlepas perkataannya itu dari membekas kedalam jiwa. Sehingga kalau berkumpullah dari mereka suatu kumpulan orang yang mendatangkan zhan yang kuat (hampir mendekati kepada yakin), selain, bahwa bekas orang seorang padanya adalah sangat lemah, maka hendaklah diperhatikan kepada batas membekasnya kedalam jiwa. Karena yang berfatwa itu, adalah hati pada tempat yang seperti ini. Dan bagi hati penolehan-penolehan kepada tanda-tanda yang tersembunyi, yang sempit daripadanya lapangan tutur bicara. Maka hendaklah diperhatikan pada yang demikiaan itu ! Dibuktikan kepada wajibnya penolehan kepada yang tersebut, ialah apa yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin Al-Hartas, bahwa “Uqbah datang kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Sesungguhnya aku telah mengawini seorang wanita, maka datanglah seorang budak wanita hitam, menda’wakan, bahwa ia telah menyusukan kami berdua, sedang ia sebenarnya dusta”. Lalu Rasulullah saw menjawab: “Tinggalkanlah wanita yang kamu kawini itu !”. Maka ‘Uqbah menjawab:  “Bahwa budak wanita itu hitam, yang keadaannya menampak kecil”. Lalu Nabi saw menjawab: “Ya, bagaimana, dia telah mendakwakan, bahwa dia telah menyusukan kamu berdua. Tak ada kebaikannya bagimu pada wanita yang kamu kawini itu. Tinggalkanlah dia, jangan menjadi isterimu lagi !”. Dan pada kata-kata yang lain: “Ya, bagaimana dan sudah dikatakan.........”. Walaupun tidak diketahui kedustaan orang yang tidak dikenal dan tidak menampak tanda sesuatu maksud baginya pada benda itu, tetapi tidak mustahil mempunyai pengaruh kedalam hati. Maka karena itulah, dikuatkan keadaan dengan pemeliharaan. Jikalau tenteramlah hati kepadanya, niscaya pemeliharaannya itu adalah wajib yang tidak dapat dielakkan.
Suatu masalah.
Dimana menanyakan itu wajib, maka jikalau bertentangan keterangan dua orang adil, niscaya kedua keterangan itu jatuh-menjatuhkan (keduanya tidak berlaku). Dan begitupula keterangan dua orang fasiq. Dan dibolehkan menjadi terkuat dalam hatinya keterangan seorang dari dua orang adil atau seorang dari dua orang fasiq. Dan bolehlah dikuatkan salah satu dari dua pihak itu dengan sebab banyaknya atau dengan sebab khusus dari pengalaman dan pengetahuannya. Dan yang demikian itu, adalah termasuk yang bercabang-cabang untuk menggambarkannya.
Suatu masalah.
Jikalau suatu benda tertentu dirampas orang, lalu ia menjumpai dari yang semacam itu, suatu benda dalam tangan orang dan ia bermaksud membelinya. Dan mungkin benda itu bukan dari benda yang dirampas tadi. Maka dalam hal ini, kalau orang itu termasuk orang yang dikenalnya baik, niscaya bolehlah membelinya. Dan meninggalkan membelinya, adalah setengah dari: wara”. Dan kalau orang itu tidak dikenal, yang tidak diketahuinya dari orang itu suatupun, maka jikalau banyaklah macam benda itu dari yang bukan benda rampasan, maka bolehlah ia membeli. Dan kalau benda itu tidak diperoleh pada tempat tersebut, kecuali jarang sekali dan banyaknya itu disebabkan rampasan, maka tidaklah yang menunjukkan kepada halal, selain oleh tangan (yang memegang barang itu). Dan telah ditentang oleh tanda khas tentang bentuk dan macam dari benda tersebut. Maka mencegah daripada membelinya, adalah termasuk menjaga diri yang penting. Tetapi wajiblah padanya diperhatikan, karena tanda itu bertentangan. Dan tidaklah aku sanggup menetapkan padanya suatu hukum, melainkan aku kembalikan kepada hati dari orang yang meminta fatwa, untuk diperhatikannya mana yang lebih kuat pada hatinya. Kalau yang lebih kuat, bahwa barang itu barang rampasan, niscaya haruslah ditinggalkannya. Dan jikalau bukan yang demikian, niscaya halallah baginya membelinya. Dan kebanyakan dari kejadian-kejadian ini, keadaan meragukan. Sehingga menjadi sebahagian dari syubhat-syubhat (diragukan) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Maka barangsiapa menjaga diri dari syubhat-syubhat (diragukan) itu, maka sesungguhnya ia terlepas untuk kehormatan dan agamanya. Dan barangsiapa mengerjakannya, maka sesungguhnya ia bermain keliling hutan larangan dan membahayakan bagi dirinya.
Suatu masalah.
Kalau ada yang mengatakan, bahwa Rasulullah saw telah menanyakan tentang susu yang disugukan kepadanya, lalu disebutkan bahwa susu itu dari seekor kambing. Maka beliau menanyakan tentang kambing tersebut: “Kambing dari mana ?”. Lalu diterangkan kepadanya, maka diamlah beliau dari bertanya. Maka wajibkah bertanya tentang asal harta atau tidak wajib ? dan kalau wajib, maka dari 1 asal atau 2 asal atau 3 ? dan apakah tanda yang menghinggakan padanya ? Maka aku menjawab: tak ada hinggaan dan taksiran padanya. Tetapi diperhatikan kepada kesangsian yang menghendaki kepada bertanya, adakalanya wajib atau menjaga diri. Dan tak ada maksud kepada pertanyaan, selain untuk dapatlah terputusnya kesangsian yang menghendaki kepada bertanya itu. Dan yang demikian itu berbeda dengan berbedanya keadaan. Dan kalau ada tuduhan dari segi tidak diketahui yang mempunyai tangan (yang menguasai barang itu), bagaimana jalan usaha itu yang halal ? maka kalau ia menjawab: “Aku beli”, niscaya selesailah dengan suatu pertanyaan saja. Dan kalau ia menjawab: “Dari kambingku”, niscaya timbullah keraguan tentang kambing tersebut. Maka apabila ia menjawab: “Aku beli”, niscaya selesailah. Dan kalau keraguan itu dari kezaliman dan yang demikian itu, mengenai barang yang berada dalam tangan orang-orang Arab dan terjadi dalam tangan mereka itu, barang rampokan, maka tidaklah kesangsian itu hilang, dengan katanya: “Bahwa itu dari kambingku”. Dan tidak pula dengan katanya: “Bahwa kambing itu, dilahirkan oleh kambingku”. Kalau disandarkan nya kepada warisan dari bapaknya dan keadaan bapaknya itu tidak diketahui, niscaya putuslah pertanyaan. Dan kalau diketahui bahwa semua harta bapakanya itu haram, maka telah teranglah haram. Dan jika diketahui, bahwa yang terbanyak hartanya haram, maka dengan banyaknya beranak, lamanya waktu dan berjalannya pusaka kepadanya, tidaklah mengobahkan hukum. Maka hendaklah diperhatikan tentang segala pengertian itu !
Suatu masalah.
Aku ditanyakan tentang suatu kumpulan dari penghuni Khanaqah Shufiah (tempat tinggal orang-orang shufi). Dan pada tangan pesuruh mereka yang menghidang
kan makanan kepada mereka, ada harta yang diwaqafkan untuk tempat tersebut. Dan ada lagi waqaf yang lain kepada pihak yang lain, selain dari mereka. Dan pesuruh tadi mencampur-adukkan semua dan membelanjakannya untuk mereka yang golongan ini dan mereka yang golongan itu. Maka memakan makanan itu halal atau haram atau syubhat (diragukan) ? Lalu aku menjawab, bahwa ini harus diperhatikan kepada 7 pokok:
          Pokok Pertama: bahwa makanan yang disugukan kepada mereka, biasanya dibelinya dengan cara beri-memberi (mu’athah). Dan yang kami pilih, ialah sahnya beri-memberi, lebih-lebih mengenai makanan dan barang-barang yang tidak berharga. Maka dalam hal ini tidak lain, selain dari diragukan perbedaan pendapat.
         Pokok Kedua: bahwa diperhatikan, apakah pesuruh itu membelinya dengan benda harta yang haram atau membeli tidak dengan kontan. Kalau dibelinya dengan benda harta yang haram, maka itu haram. Dan jika tidak diketahui, maka biasanya dibelinya dengan harga tidak kontan. Dan bolehlah berpegang dengan kebiasaan itu. Dan tidaklah terjadi pengharaman dari ini, bahkan diragukan pun suatu kemungkinan yang jauh. Yaitu membelinya dengan benda harta haram.
        Pokok Ketiga: bahwa dari manakah dibelinya ? kalau dibelinya dari orang yang kebanyakan hartanya haram, niscaya tidaklah diperbolehkan. Dan jika yang tersedikit hartanya itu haram, maka padanya pemerhatian yang telah diterangkan dahulu. Dan apabila tidak diketahui, niscaya bolehlah ia mengambil, bahwa dibelinya dari orang, yang hartanya halal. Atau dari orang yang tidak diketahui oleh si pembeli akan keadaannya dengan yakin, seperti orang yang tidak dikenal. Dan telah dahulu penjelasan, tentang bolehnya membeli dari orang yang tidak dikenal. Karean demikianlah biasanya. Maka tidaklah terjadi dari ini pengharaman, tetapi kemungkinan syubhat (diragukan).
          Pokok Keempat: bahwa dibelinya untuk dirinya sendiri atau untuk kaumnya. Maka yang mengurus dan pesuruh adalah seperti pengganti dari orang itu. Dan ia boleh membeli untuk orang itu dan untuk dirinya sendiri. Tetapi adalah yang demikian itu dengan niat atau kata-kata yang tegas. Dan apabila pembelian itu berlaku dengan mu’athah (beri-memberi), maka tidaklah berlaku lafadh (kata-kata). Dan biasanya, tidaklah diniatkan ketika mu’athah itu. Penjual daging, penjual roti dan orang-orang yang melakukan mu’amalah (perniagaan) dengan dia, adalah berpegang kepada yang demikian dan bermaksud penjualan daripadanya. Tidak dari orang-orang yang tidak datang ke tempat penjualan itu. Maka terjadilah penjualan dari pihaknya dan masuklah barang itu ke dalam miliknya. Dan pokok ini, tak adalah padanya pengharaman dan syubhat (diragukan). Tetapi tetaplah bahwa mereka itu memakan dari kepunyaan pesuruhnya.
         Pokok Kelima: bahwa pesuruh itu menyugukan makanan kepada mereka. Maka tidak mungkin makanan tersebut dijadikan sebagai jamuan dan hadiah, tanpa ‘iwadl (penggantinya atau harganya). Karena ia tidak akan rela dengan cara yang demikian. Dan sesungguhnya ia menyugukan karena berpegang kepada ‘iwadlnya dari harta waqaf. Maka itu adalah, ganti-menggantikan (mu’awadlah). Tetapi tidaklah itu penjualan dan penghutangan. Karena jikalau bangunlah ia untuk menuntut harga dari mereka, niscaya amat jauhlah yang demikian. Dan petunjuk dari keadaan, tidaklah menunjukkan kepadanya. Maka pokok yang terjadi padanya keadaan itu, lebih menyerupai dengan hibah dengan syarat mendapat pahala. Ya’ni: hadiah, yang tak ada kata-kata padanya dari seseorang, yang dikehendaki oleh petunjuk keadaannya, bahwa ia mengharap akan pahala. Dan itu adalah benar. Dan pahala itu sudah semestinya. Dan disini, pesuruh itu tidaklah mengharapkan untuk memperoleh pahala tentang apa yang disugukannya, kecuali hak mereka dari harta waqaf itu, untuk melunaskannya hutang pada tukang roti, tukang daging dan tukang sayur. Maka ini tak adalah syubhat (diragukan) padanya. Karena tidaklah diisyaratkan kata-kata pada hadiah dan pada penyuguan makanan dan walaupun ia menunggu pahala. Dan tak usah diperhatikan perkataan orang yang tidak mensahkan hadiah dengan menunggu pahala.
          Pokok Keenam: bahwa pahala yang lazim padanya terjadi pertikaian paham. Maka ada yang mengatakan, bahwa itu yang tersedikit dari barang yang berharga. Ada yang mengatakan: sekedar nilainya. Dan ada yang mengatakan: apa yang direlai oleh yang memberi. Sehingga baginya boleh tidak merelai dengan berlipat-ganda nilai harga. Dan yang sah (ash-shahih), ialah kerelaannya itu dituruti. Maka apabila ia tidak rela, niscaya dikembalikan kepadanya. Dan disini, pesuruh itu telah rela dengan apa yang diambilnya dari hak penghuni itu, atas harta waqaf. Kalau adalah hak mereka menurut apa yang dimakannya, maka telah selesailah persoalan. Dan kalau kurang dan pesuruh itu merelainya, niscaya sah pula yang demikian. Dan kalau diketahui bahwa pesuruh itu tidak rela, jikalau tidak adalah dalam tangannya, harta waqaf yang lain yang diambilnya dengan kekuatan para penghuni itu, maka seolah-olah ia telah merelai mengenai pahala, sekedar setengahya halal dan setengahnya lagi haram. Dan haram itu, tidak masuk dalam tangan para penghuni itu. Maka ini adalah seperti kecederaan yang menobros kepada harga. Dan telah kami terangkan hukumnya sebelum ini dahulu. Dan sesungguhnya apabilakah ia menghendaki pengharaman dan pabilakah ia menghendaki syubhat (diragukan) ? dan ini tidak menghendaki pengharaman, sepanjang apa yang telah kami uraikan dahulu. Maka tidaklah terbalik hadiah itu menjadi haram, dengan sampainya orang yang berhadiah dengan sebab hadiahnya kepada haram.
          Pokok Ketujuh: bahwa hutang untuk tukang roti, tukang daging dan tukang sayur, dibayar dari kemurahan orang-orang yang berwaqaf. Maka jikalau mencukupi apa yang diambil oleh pesuruh dari hak para penghuni itu untuk harga makanan yang disugukan kepada mereka, maka telah sahlah persoalan tersebut. Dan jika kurang daripada mencukupi, lalu tukang daging dan tukang roti itu rela dengan harga manapun juga, baik halal atau haram, maka ini adalah suatu kecederaan yang menular pula kepada harga makanan. Maka hendaklah diperhatikan kepada apa yang telah kami sebutkan dahulu, tentang harga yang tidak kontan. Kemudian harga itu dibayar dari yang haram. Ini, apabila diketahui, bahwa dibayarnya dari yang haram. Tetapi jikalau yang demikian itu merupakan suatu kemungkinan dan kemungkinan pula yang lain, maka kesyubhat (diragukan)an itu adalah amat jauh. Dan dapat dipahami dari ini, bahwa makanan yang tersebut itu tidaklah haram. Tetapi memakan syubhat (diragukan). Dan itu, adalah jauh dari: menjaga diri. Karena pokok-pokok ini, apabila telah banyak dan menjalar kemungkinan kepada masing-masingnya, niscaya kemungkinan haram, disebabkan banyaknya, menjadi lebih kuat dalam jiwa. Sebagaimana hadits, apabila telah panjang isnadnya (sandarannya yang sambung menyambung dari seorang ke seorang), menjadi kemungkinan dusta dan kesalahan padanya menjadi lebih kuat daripada apabila isnadnya masih dekat. Ini adalah hukum kejadian dan menjadi sebahagian dari fatwa-fatwa. Dan kami telah bentangkan semuanya, supaya diketahui cara mengeluarkan segala kejadian yang bertimbun-timbun yang serupa atau dengan lainnya. Dan bagaimana mengembalikannya kepada pokok-pokoknya. Dan itu adalah sebahagian dari apa yang tidak disanggupi oleh kebanyakan juru fatwa (mufti-mufti).
BAB KEEMPAT: tentang bagaimana keluarnya orang yang bertaubat dari kezaliman-kezaliman kehartaan.
Ketahuilah, bahwa siapa yang bertaubat dan dalam tangannya ada harta yang bercampur, maka keatas pudaknya tugas pada memperbedakan yang haram dan mengeluarkan yang haram itu. Dan suatu tugas lagi tentang tempat penggunaan yang dikeluarkan itu. Maka hendaklah diperhatikan pada dua tugas berikut:
PERHATIAN PERTAMA: tentang bagaimana memperbedakan dan mengeluarkan itu.
Ketahuilah, bahwa tiap-tiap orang yang bertaubat dan dalam tangannya sesuatu yang haram, yang diketahui bendanya, dari rampokan atau simpanan orang atau lainnya, maka dalam hal ini urusannya mudah. Maka haruslah ia memperbedakan yang haram itu. Dan kalau harta itu meragukan yang bercampur-baur, maka tidaklah terlepas, adakalanya berada dalam harta yang mempunyai keserupaan, seperti biji-bijian, uang emas dan perak (nuqud) dan minyak. Dan adakalanya berada dalam benda yang berbeda-beda, seperti: budak-budak belian, rumah-rumah dan kain-kain. Maka kalau ada dalam benda-benda yang keserupaan atau adanya meratai dalam harta semuanya, seperti: orang yang mengusahakan harta dengan berniaga, yang diketahui, bahwa orang itu berdusta pada sebahagian perniagaannya dalam mencari keuntungan dan bertindak benar pada sebahagian yang lain. Atau orang itu merampas minyak orang dan mencampurkannya dengan minyaknya sendiri. Atau ia berbuat demikian, pada biji-bijian atau dirham dan dinar. Maka tidak terlepaslah yang demikian itu, adakalanya jumlahnya diketahui atau tidak diketahui. Kalau jumlahnya diketahui, umpamanya: diketahui bahwa sejumlah setengah dari hartanya itu haram, maka haruslah ia memperbedakan yang setengah itu. Dan jika sulit, maka baginya 2 jalan: salah satu dari dua jalan itu, mengambil menurut yang diyakini. Dan satu jalan lagi, mengambil menurut yang berat dugaan.
             Dan keduanya itu, telah dikatakan oleh para ulama tentang keraguan jumlah rakaat shalat. Dan kami tidak membolehkan pada shalat, kecuali mengambil dengan yang diyakini. Karena asalnya, adalah masih dalam tanggungan. Lalu memakai istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah). Dan itu tidak berobah, kecuali dengan sesuatu tanda yang kuat. Dan tak adalah pada bilangan rakaat itu, tanda-tanda yang dapat dipercayai.
Adapun disini, maka tidaklah mungkin dikatakan, bahwa: yang asal ialah apa yang dalam tangannya itu haram. Tetapi itu adalah suatu kesulitan. Maka bolehlah ia mengambil dengan keras dugaan, secara ijtihad (mengeluarkan pendapat). Tetapi yang menjaga diri, ialah mengambil dengan yang diyakini. Kalau menghendaki menjaga diri maka jalan untuk menjaga dan berijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan), ialah tidak menetapkan yang tinggal, selain jumlah yang diyakininya, bahwa itu adalah halal. Dan kalau ia berkehendak mengambil dengan dugaan, maka jalannya -umpamanya- bahwa dalam tangannya ada harta perniagaan yang telah rusak sebahagiannya. Lalu ia yakin bahwa ½ halal dan 1/3 -umpamanya- haram dan tinggallah 1/6 yang diiragukannya. Maka ditetapkanlah pada yang 1/6 itu dengan keras dugaan. Dan begitulah kiranya, cara berhati-hati pada tiap-tiap harta. Yaitu: bawah dipotong kadar yang diyakini dari kedua pihak: tentang halal dan haramnya. Dan kadar yang diragukan itu, jika keras dugaannya haram, niscaya dikeluarkannya. Dan jika keras dugaannya halal, niscaya bolehlah baginya menahaninya. Dan yang menjaga diri ialah mengeluarkannya. Dan jika ia ragu padanya niscaya boleh menahan. Dan yang menjaga diri ialah mengeluarkan nya. Dan menjaga diri ini adalah lebih kuat, karena barang itu menjadi diragukan. Dan boleh menahannya, karena berpegang bahwa barang itu dalam tangannya. Maka adalah kehalalan itu mengerasinya. Dan telah menjadi lemah sesudah yakin bercampurnya dengan yang haram. Dan mungkin dikatakan, bahwa: yang asal ialah pengharaman. Dan ia tidak mengambil, kecuali apa yang keras dugaannya, bahwa barang itu halal. Dan tidaklah salah satu dari kedua pihak itu lebih utama dari yang lain. Dan tidaklah jelas bagiku sekarang tarjih (menguatkan salah satu daripadanya). Dan itu adalah sebahagian dari hal-hal yang menyulitkan. Kalau ada yang mengatakan: umpamakanlah, bahwa ia mengambil dengan yakin. Tetapi yang dikeluarkannya tidak diketahuinya, bahwa itu benda yang haram. Lalu mungkin yang haram itu, apa yang masih dalam tangannya. Maka bagaimanakah ia tampil kepada barang itu ? Jikalau ini boleh, niscaya bolehlah dikatakan: apabila bercampur bangkai dengan 9 hewan sembelihan, maka bangkai itu adalah 1/10. Lalu bolehlah ia melemparkan satu yang mana saja yang satu itu dan mengambil serta menghalalkan yang tinggal. Tetapi dapat dikatakan: mungkin bangkai itu termasuk dalam apa yang masih tinggal. Bahkan kalau dilemparkannya 9 dan tinggal satu, niscaya tidak juga halal. Karena mungkin yang satu itu yang haram. Maka kami menjawab, bahwa penimbangan ini adalah sah, jikalau tidaklah harta itu menjadi halal dengan mengeluarkan gantinya, supaya berjalanlah pergantian kepadanya. Adapun bangkai maka tidaklah berjalan pergantian padanya. Maka hendaklah dibukakan tabir dari kesulitan ini, dengan mengumpamakan, pada dirham tertentu yang serupa dengan dirham yang lain, pada orang yang mempunyai dua dirham. Salah satu dari keduanya itu haram, yang telah serupa bendanya. Dan Ahmad bin Hanbal ra ditanyakan tentang hal yang seperti ini. Lalu beliau menjawab: “Ditinggalkan semua, sehingga jelas”. Beliau telah menggadaikan bejananya. Maka tatkala beliau melunaskan hutangnya lalu oleh yang menerima gadaian itu membawa kepadanya dua bejana, seraya mengatakan: “Saya tidak tahu, yang mana dari dua ini bejana tuan”. Maka Ahmad bin Hanbal meninggalkan keduanya. Kemudian yang menerima gadaian itu berkata: “Ini yang bejana tuan. Aku sesungguhnya ingin mencoba tuan”. Maka Ahmad bin Hanbal melunaskan hutangnya, dan beliau tidak mengambil barang gadaian itu. Dan ini, adalah menjaga diri namanya. Tetapi kami mengatakan, bahwa yang demikian itu tidaklah wajib. Maka hendaklah kita umpamakan persoalan tentang uang dirham, yang mempunyai pemilik tertentu yang hadir disitu. Lalu kami mengatakan: apabila dikembalikan kepadanya salah satu dari dua dirham dan dia rela dengan demikian serta diketahuinya keadaan yang sebenarnya, niscaya halallah baginya dirham yang satu lagi. Karena tidaklah terlepas, adakalanya yang dikembali kan itu pada ilmu Allah itulah yang diambil dahulu. Maka dengan demikian telah berhasillah maksud. Dan jikalau bukanlah yang demikian, maka sesungguh nya telah berhasillah bagi masing-masing, sedirham ke dalam tangan pemiliknya. Untuk menjaga (ihtiath), ialah keduanya jual-menjual dengan mengucapkan kata-kata. Kalau tidak dilaksanakan yang demikian, niscaya terjadilah ambil-mengambilkan dan ganti menggantikan dengan semata-mata beri-memberi (mu’athah) itu. Dan kalau orang yang dirampok, telah hilang suatu dirham kepunyaannya dalam tangan perampok dan sukar memperoleh dirham itu sendiri dan ia berhak tanggungan dari si perampok itu, maka manakala diambilnya dirham dari si perampok, niscaya berhasillah pengembalian itu, tanpa tanggungan lagi dari si perampok, dengan semata-mata diterima oleh yang kena rampok. Dan ini pada pihak yang kena rampok itu sudah terang. Karena apa yang ditanggung oleh perampok untuknya, adalah dimilikinya tanggungan itu dengan semata-mata diterimanya, tanpa ada kata-kata.
Dan yang mengandung pertanyaan, ialah dari segi yang lain, bahwa dirham itu tidak masuk kedalam miliknya. Maka kami menjawab, karena dia juga kalau sudah menerima dirhamnya sendiri, niscaya luputlah pula baginya dirham yang dalam tangan orang lain. Maka tidaklah mungkin sampai kepadanya, lalu dirham itu seperti barang yang jauh. Maka jatuhlah ini kedalam miliknya, sebagai gantinya pada ilmu Allah –kalau benarlah keadaan seperti yang demikian. Dan terjadilah ganti-menggantikan itu pada ilmu Allah sebagaimana terjadinya ambil-mengambilkan, jikalau 2orang, masing-masing dari keduanya menghilang kan dirham kepunyaan temannya. Bahkan mengenai masalah kita ini sendiri, jikalau masing-masing melemparkan apa yang dalam tangannya kedalam laut atau membakarnya, niscaya adalah ia telah menghilangkannya. Dan tak adalah diatas seseorang janji untuk yang lain, dengan jalan ambil-mengambilkan. Maka begitupula apabila ia tidak menghilangkannya. Sesungguhnya mengatakan dengan itu, adalah lebih utama daripada kembali kepada pendirian, bahwa orang yang mengambil sedirham yang haram dan mencampakkannya kedalam beribu-ribu dirham kepunyaan orang lain, lalu jadilah semua harta itu dibekukan, tidak diperbolehkan melakukan sesuatu pada harta itu. Dan aliran ini membawa kepadanya. Maka perhatikanlah tentang jauhnya dari kebenaran mengenai ini ! dan tidaklah pada apa yang telah kami sebutkan, selain meninggalkan kata-kata. Dan mu’athah (beri-memberi) itu, adalah penjualan. Dan orang yang tidak menjadikan mu’athah itu penjualan, maka kiranya berjalan kepadanya kemungkinan. Karena perbuatan itu melemahkan keterangannya dan kiranya mungkin mengucapkan kata-kata. Dan disini, penyerahan dan penerimaan itu, adalah pasti untuk ganti-menggantikan. Dan penjualan itu tidak mungkin. Karena barang yang dijual tidak ditunjukkan dan tidak diketahui bendanya. Dan kadang-kadang, barang itu, termasuk barang yang tidak dapat dijual, sebagaimana kalau dicampurkan sekati tepung dengan 1000 kati tepung kepunyaan orang lain. Dan begitupula manisan lebah, buah tamar yang belum kering dan tiap-tiap barang yang tidak dapat dijual sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain. Kalau ada yang mengatakan: bahwa kamu telah memboleh kan penyerahan sekedar haknya pada persoalan yang seperti ini dan kamu menjadikannya penjualan. Maka kami menjawab, bahwa kami tidak menjadikannya penjualan. Tetapi kami mengatakan: itu adalah ganti dari apa yang telah hilang dari dalam tangannya. Maka dimilikinya, sebagaimana orang yang dihilangkan buah tamarnya, akan memiliki, apabila telah mengambil sebanyak barangnya. Ini adalah apabila ditolong oleh yang mempunyai harta. Maka jikalau tidak ditolongnya dan diberinya kemelaratan dan mengatakan: “Aku sekali-kali tidak akan mengambil dirham, kecuali benda dirham yang kepunyaanku. Kalau meragukan, maka aku tinggalkan, tidak akan aku berikan dan aku akan biarkan hartamu kepadamu”. Maka aku menjawab, bahwa haruslah hakim (qadli) menggantikannya pada penerimaan. Sehingga baiklah untuk orang itu hartanya. Karena ini adalah semata-mata kedengkian dan penyempitan. Dan agama tidaklah bermaksud dengan demikian. Kalau ia tidak sanggup mencari hakim dan tidak memperolehnya, maka hendaklah dicarinya seorang perantara (hakam) yang beragama, untuk menerima barang itu daripadanya.
Kalau ia tidak sanggup mencari orang perantara, maka diurus olehnya sendiri. Dan diasingkannya sedirham dengan niat akan menyerahkan kepada orang itu. Dan ditentukannya dirham itu untuk orang tersebut dan baiklah sisanya untuknya sendiri. Dan ini, mengenai campuran barang cair, adalah lebih jelas dan sudah semestinya yang demikian. Kalau ada yang mengatakan, bahwa seyogyalah halal baginya mengambil dan memindahkan hak kedalam tanggungan nya, maka apakah perlunya lagi, pertama-tama kepada mengeluarkan, kemudian menggunakan pada yang sisanya ? Kami menjawab, bahwa telah berkata orang-orang yang mengatakan, halallah baginya mengambil, selama masih ada sekedar yang haram dan tidaklah dibolehkan mengambil semuanya. Dan jikalau diambilnya, niscaya tidak dibolehkan yang demikian. Berkata ulama-ulama yang lain: tidaklah baginya mengambil, selama tidak dikeluarkan kadar haram dengan taubat dan bermaksud menggantikan.
Berkata ulama-ulama yang lain: diperbolehkan bagi yang mengambil pada penggunaannya, untuk mengambilkan daripadanya. Adapun dia maka janganlah memberi. Kalau diberikannya, niscaya ia berbuat ma’siat dan tidaklah ma’siat orang yang mengambil daripadanya. Dan apa yang diperbolehkan satu, niscaya diambillah semua. Dan yang demikian itu, karena si pemilik kalau telah jelaslah dia, maka dia boleh mengambil haknya dari jumlah tersebut. Karena ia mengatakan: “Moga-moga yang diserahkan kepadaku, adalah jatuh pada benda yang menjadi hakku sendiri”. Dan dengan penentuan pengeluaran hak orang lain dan pembedanya, maka tertolaklah kemungkinan itu. Maka harta tersebut menjadi kuat dengan kemungkinan ini terhadap lainnya. Dan apa yang mendekati kepada haknya, adalah didahulukan, sebagaimana didahulukan benda yang serupa dengan bendanya, daripada nilainya. Dan didahulukan benda itu sendiri daripada benda yang serupa baginya. Maka seperti itu pula, apa yang mungkin padanya dikembalikan nilainya. Dan yang mungkin padanya dikembalikan benda itu sendiri, didahulukan daripada apa, yang mungkin padanya dikembalikan barang yang serupa. Dan jikalau boleh untuk ini dikatakan demikian, niscaya bolehlah bagi pemilik dirham yang lain, untuk mengambil dua dirham dan menggunakan kedua dirham itu, seraya mengatakan: “Atas saya membayar hakmu dari tempat yang lain”. Karena percampuran itu dari dua pihak. Dan tidaklah milik salah seorang dari keduanya untuk ditakdirkan hilang itu, lebih utama dari milik yang lain. Kecuali diperhatikan kepada yang tersedikit. Lalu ditakdirkan hilang kedalamnya. Atau diperhatikan kepada yang bercampur, lalu dijadikan dengan perbuatannya itu, berimpit dengan hak orang lain. Keduanya itu, adalah jauh sekali. Dan ini jelas pada barang-barang yang mempunyai keserupaan. Karena ia terjadi sebagai ganti pada barang-barang yang dihilangkan, dari bukan aqad (jual-beli).
Adapun apabila serupa sebuah rumah dengan beberapa rumah atau seorang budak dengan beberapa orang budak, maka tiadalah jalan kepada damai-mendamaikan dan rela-meralakan. Kalau ia enggan mengambil, selain benda yang haknya sendiri dan ia tidak sanggup kepada yang demikian dan pihak yang lain bermaksud menghalangi terhadapnya semua miliknya, maka kalau barang-barang itu bersamaan nilainya, maka jalan yang harus ditempuh, ialah hakim (qadli) menjual semua rumah itu dan membagi-bagikan kepada mereka harganya dengan kadar sebanding. Dan kalau perbandingan itu berlebih kurang, niscaya hakim itu mengambil dari yang meminta dijual, akan nilainya rumah yang terbaik. Dan diserahkannya kepada yang mencegah penjualan, kadar nilai yang tersedikit. Dan dihentikan dulu jumlah yang berlebih-kurang itu, menunggu penjelasan atau perdamaian, karena itu mengandung kesulitan. Dan kalau tidak diperoleh hakim (qadli), maka bagi orang yang menghendaki penyelesaian sedang barang itu semua dalam tangannya, bahwa mengurus yang demikian itu oleh dirinya sendiri. Dan ini adalah suatu kemuslihatan. Dan selainnya dari kemungkinan-kemungkinan, adalah lemah, dimana kami tidak memilihnya. Dan pada yang dahulu itu, adalah peringatan kepada sebab-musababnya. Dan ini, adalah jelas pada gandum dan kurang jelas pada uang (nuqud). Dan pada benda adalah lebih kabur lagi. Karena tidaklah sebahagiannya dapat menjadi ganti dari sebahagian yang lain. Maka karena itulah, diperlukan kepada dijual. Dan marilah kami gambarkan dengan beberapa masalah, yang akan sempurna penjelasan pokok ini dengan masalah-masalah itu:
Suatu masalah.
Apabila mendapat warisan bersama sekumpulan orang lain dan adalah sultan telah merampas harta kepunyaan pewaris mereka. Lalu sultan itu mengembalikan kepada pewaris tadi sepotong yang tertentu dari harta itu, maka yang sepotong yang tersebut, menjadi milik bagi semua ahli waris. Dan kalau dikembalikan oleh sultan setengah dari harta tersebut, dimana yang setengah itu adalah kadar hak dari pewaris tadi, niscaya bersama-samalah ahli waris memperoleh bahagian daripadanya. Karena setengah yang untuknya itu tidaklah dapat diperbedakan. Sehingga dikatakan, bahwa yang setengah itu, ialah yang dikembalikan tadi dan yang masih tinggal itulah yang dirampas. Dan tidaklah yang setengah itu menjadi dapat diperbedakan dengan niat dari sultan dan maksudnya, membataskan yang dirampas itu, dalam bahagian para ahli waris yang lain.
Suatu masalah.
Apabila jatuh kedalam tangannya harta, yang diambilnya dari sultan yang zalim. Kemudian ia bertaubat. Dan harta itu adalah benda yang tidak bergerak. Dan telah berhasil dari benda itu keuntungan. Maka seyogyalah diperkirakan sewa yang pantas, karena lamanya benda itu dalam tangannya. Dan begitupula semua barang yang dirampas, yang bermanfaat atau berhasil daripadanya tambahan. Maka tidaklah sah taubatnya, selama tidak dikeluarkan sewa dari benda yang dirampas itu. Dan begitupula tiap-tiap tambahan yang berhasil dari benda itu. Dan penaksiran dari sewa budak-budak, kain-kain, bejana-bejana dan yang lain-lain yang seumpamanya, dari barang-barang yang tidak dibiasakan penyewaannya, adalah termasuk hal yang sukar. Dan yang demikian itu tidak dapat diketahui, kecuali dengan ijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan) dan kira-kiraan. Dan begitu pulalah tiap-tiap penilaian yang terjadi dengan ijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan). Dan jalan menjaga diri ialah mengambil dengan yang lebih jauh. Dan apa yang diperolehnya dari keuntungan pada harta rampokan pada segala ‘aqad jual-beli yang diadakannya dengan tidak kontan dan dibayarnya harga dari harta itu, maka adalah menjadi miliknya. Tetapi padanya syubhat (diragukan). Karena harganya adalah harta haram, sebagaimana telah disebutkan dahulu hukumnya. Dan kalau harga itu dibayar dengan benda dari harta itu, maka segala ‘aqadnya adalah batal. Dan sesungguhnya ada yang mengatakan: dilaksanakan ‘aqad-‘aqad itu dengan mempersewakan barang yang dirampok, karena  sesuatu kepentingan. Maka orang yang kena rampok itu adalah yang lebih utama berhak dengan yang demikian. Dan menurut logika, segala ‘aqad itu dibatalkan. Harganya minta dikembalikan dan barang-barang itu dikembalikan. Kalau tidak sanggup, karena banyaknya, maka semuanya itu adalah harta haram, yang diperoleh dalam tangannya. Maka bagi orang yang kena rampok, menurut modal hartanya. Dan yang lebih itu adalah haram, yang wajib dikeluarkan untuk disedekahkan. Dan tidaklah halal bagi yang merampok dan bagi yang kena rampok. Tetapi hukumnya adalah hukum tiap-tiap yang haram yang jatuh kedalam tangannya.
Suatu masalah.
Barang siapa memperoleh harta warisan dan ia tidak tahu, bahwa pewarisnya dari mana mengusahakannya. Adakah dari yang halal atau dari yang haram. Dan tidak ada disitu sesuatu tanda. Maka harta itu adalah halal dengan sepakat ulama-ulama. Dan kalau diketahuinya, bahwa pada harta warisan itu ada yang haram dan ia ragu tentang jumlahnya, niscaya dikeluarkan kadar yang haram itu dengan hati-hati. Kalau tidak diketahuinya yang demikian itu, tetapi diketahuinya bahwa pewarisnya adalah mengurus segala pekerjaan untuk sultan dan mungkin ia tidak ada mengambil sesuatu dalam pekerjaannya itu atau ada diambilnya dan tidak ada lagi dalam tangannya sedikitpun, karena sudah lama masanya, maka ini adalah harta syubhat (diragukan), yang baguslah dijaga (bersikap menjaga diri) daripadanya dan tidak wajib. Dan kalau diketahuinya bahwa sebahagian harta pewarisnya adalah dari kezaliman, maka haruslah dikeluarkan kadar yang zalim itu dengan ijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan) Berkata setengah ulama, bahwa tidaklah wajib yang demikian. Dan dosanya adalah keatas pundak pewaris. Ulama tersebut mengambil dalil dengan apa yang dirawikan, bahwa seorang laki-laki diantara orang-orang yang ditugaskan mengurus perbuatan sultan, meninggal. Lalu berkatalah seorang sahabat Nabi saw: “Sekarang baguslah bertanya”, Artinya: untuk ahli warisnya. Hadits tersebut adalah lemah (dla’if). Karena tidak disebutkan nama sahabat itu. Dan mungkin hadits itu timbul dari orang yang menganggap enteng terhadap hadits. Dan sesungguhnya ada dalam kalangan para sahabat itu, orang yang mempermudah-mudahkan hadits. Tetapi kami tidak akan menyebutkan namanya, karena demi kehormatan sahabat itu sendiri. Dan bagaimanakah adanya kematian seseorang itu membolehkan yang haram yang diyakini, yang bercampur aduk ? dan dari manakah harta ini diambil? Ya, apabila tidak diyakini, niscaya bolehlah dikatakan, bahwa harta itu tidak diambil dengan tidak diketahui. Maka baiklah bagi ahli waris, tidak mengetahui bahwa dalam harta itu ada yang haram yang diyakini.
PERHATIAN KEDUA: tentang penggunaan dari harta itu.
Apabila yang haram itu telah dikeluarkan, lalu mempunyai tiga keadaan. Adakalanya, bahwa barang haram yang dikeluarkan dari tangan seseorang itu mempunyai pemilik tertentu. Maka wajiblah diserahkan kepadanya atau kepada ahli warisnya. Dan kalau pemilik itu jauh, maka ditunggu kedatangannya atau berhubungan kepadanya. Dan kalau barang itu mempunyai tambahan dan kemanfaatan, maka hendaklah dikumpulkan segala faedahnya itu, menunggu waktu kedatangan pemiliknya. Adakalanya barang tersebut mempunyai pemilik tidak tertentu, dimana putus harapan daripada mengetahui siapa orangnya. Dan tidak diketahui, apakah ia sudah meninggal, dengan ada ahli waris atau tidak. Maka dalam hal ini, tidaklah mungkin dikembalikan kepada pemiliknya. Dan dihentikan dahulu, sampai persoalannya menjadi jelas. Dan kadang-kadang tidak mungkin dikembalikan, karena banyaknya pemilik, seperti harta rampasan perang yang dicuri dengan diam-diam. Maka setelah bercerai-berainya para pejuang, lalu bagaimanakah sanggup mengumpulkan mereka ? dan kalau sanggup maka bagaimanakah dipecahkan satu dinar umpamanya –kepada seribu atau dua ribu pejuang ? maka uang tersebut seyogyalah disedekahkan. Dan adakalanya dari harta perang dari benda yang tidak bergerak dan harta-harta yang ditujukan untuk kemuslihatan kaum muslimin seluruhnya. Maka diserahkan yang demikian itu, untuk jembatan-jembatan, masjid-masjid, surau-surau, usaha-usaha pada jalan ke Makkah dan hal-hal yang seperti ini, yang dapat bermanfaat untuk semua orang yang melalui jalan itu dari kaum muslimin. Supaya merata bagi kaum muslimin seluruhnya. Hukum dari bahagian pertama tadi, tak ada syubhat (diragukan) padanya. Adapun bersedekah dan membangun jembatan-jembatan, maka seyogyalah diurus oleh hakim. Maka diserahkanlah kepadanya harta, kalau diperoleh hakim (qadli) yang beragama. Dan kalau hakim itu orang yang menghalalkan apa yang tidak terang halal, maka dengan menyerahkan kepadanya, ia menanggung, jikalau dimulainya apa yang tidak menjadi tanggungannya. Maka bagaimanakah gugur daripadanya tanggungan yang telah tetap diatas pundaknya ? tetapi hendaklah dalam hal ini –diangkat seorang perantara (hakam) dari penduduk negeri yang berilmu dan yang beragama. Karena dengan pengangkatan hakam tersebut, adalah lebih utama daripada hakim itu sendirian. Kalau tidak sanggup daripada mengangkatkan hakam, maka hendaklah ia mengurus yang demikian itu, oleh dirinya sendiri saja. Karena yang dimaksudkan ialah pengurusan. Adapun orang yang mengurus itu sendiri, sesungguhnya kita minta dia untuk urusan-urusan yang halus-halus, tentang kemuslihatannya. Maka janganlah ditinggalkan pokok urusan itu, disebabkan lemah orang yang mengurusnya, dimana ia lebih utama ketika mempunyai kesanggupan untuk itu. Kalau ada yang menanyakan, apakah dalil harusnya bersedekah dengan barang yang haram ? bagaimanakah bersedekah dengan barang yang bukan milik sendiri ? dan segolongan ulama beraliran, bahwa yang demikian itu tidak dibolehkan. Karena dia itu haram. Diceritakan dari Al-Fudlail, bahwa jatuh kedalam tangannya dua dirham. Maka tatkala diketahuinya bahwa kedua dirham itu tidak menurut caranya, lalu dilemparkannya kedalam batu-batu, seraya berkata: “Aku tidak bersedekah, melainkan dengan yang baik. Dan aku tidak rela untuk orang lain dari aku, akan apa yang aku tidak rela untuk diriku sendiri”. Maka disini kami jawab, ya, yang demikian itu mempunyai alasan dan kemungkinan. Dan kami sesungguhnya memilih yang sebaliknya, karena hadits, atsar dan logika.
              Adapun hadits, maka perintah Rasulullah saw supaya disedekahkan kambing panggang yang disugukan kepadanya, maka perkataannya bahwa kambing itu haram, karena Nabi saw bersabda: “Berikanlah kambing panggang itu untuk makanan orang-orang tawanan !”. Dan tatkala turun wahyu Allah Ta’ala: “Alif, Lam, Mim. Dikalahkan kerajaan Rum. Di negeri yang dekat dan mereka sesudah itu akan menang lagi nanti”. S 30 Ar Ruum ayat 1-2-3. Lalu wahyu ini didustakan oleh kafir musyrik. Dan mereka mengatakan kepada para sahabat Nabi saw: “Apakah pendapatmu tentang yang dikatakan oleh temanmu (Nabi saw) yang mendakwakan, bahwa Rum itu akan kalah ?”. Lalu Abubakar ra bertaruh dengan mereka itu dengan seizin Rasulullah saw. Maka tatkala dibuktikan oleh Allah akan kebenarannya, lalu datanglah Abubakar membawa barang taruhan yang beliau menangkan dalam pertaruhan dengan kafir musyrik itu. Lalu Nabi saw bersabda: “Ini adalah haram, maka sedekahkanlah dia !”. Dan kaum mu’min amat bergembira dengan pertolongan Allah. dan turunlah ayat yang mengharamkan pertaruhan, sesudah diizinkan oleh Rasulullah saw kepada Abubakar ra dalam pertaruhan –menghadan bahaya –dengan kafir-kafir itu.
            Adapun atsar, maka yaitu: bahwa Ibnu Mas’ud ra membeli seorang budak perempuan. Lalu tidak berjumpa dengan pemiliknya untuk melunaskan harganya. Maka Ibnu Mas’ud mencari pemilik itu beberapa lamanya, tetapi tidak juga bertemu. Lalu ia bersedekah dengan harganya itu, seraya mendoa: “Wahai Allah, Tuhanku ! ini adalah dari pemilik itu kalau ia setuju. Dan kalau tidak, maka pahalanya bagiku”. Al-Hasan ra ditanyakan orang tentang taubat orang yang mengambil harta rampasan perang dengan diam-diam dan apa yang diambil daripadanya sesudah bercerai-berai tentara, maka beliau menjawab: “Harta itu supaya disedekahkan”. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki didorong oleh nafsunya, lalu mengambil dengan diam-diam 100 dinar dari harta rampasan perang. Kemudian, ia datang kepada amirnya, untuk mengembalikan uang itu. Maka amir tersebut enggan menerimanya dan menjawab: “Bagi-bagikanlah kepada orang banyak !”. Lalu orang tadi datang kepada Mu’awiyah, maka enggan pula Mu’awiyah menerimanya. Kemudian ia datang kepada sebagian orang zuhud yang kuat mengerjakan ibadah. Maka orang zuhud itu menjawab: “Serahkan 1/5 nya kepada Mu’awiyah dan bersedekahlah yang tinggal daripadanya !”. Maka sampailah kepada Mu’awiyah perkataan orang zuhud itu, lalu Mu’awiyah merasa sedih dan menyesal. Karena tiada terguris yang demikian dalam pikirannya. Dan telah berpendapat yang demikian Ahmad bin Hanbal, Al-Harts Al-Muhasibi dan segolongan orang-orang menjaga diri.
              Adapun logika, maka yaitu, dikatakan: bahwa harta tersebut terumbang-ambing antara disia-siakan dan diserahkan kepada jalan kebajikan. Karena telah putus-asalah daripada memperoleh pemiliknya. Dan dengan mudah dapat dimaklumi, bahwa menyerahkannya kepada kebajikan, adalah lebih utama daripada melemparkan nya kedalam laut. Karena kalau kita lemparkan kedalam laut, maka kita telah hilangkan harta itu terhadap diri kita sendiri dan terhadap pemiliknya. Dan tak ada faedah apa-apa dari tindakan yang demikian. Dan apabila kita lemparkan kedalam tangan orang miskin, yang berdoa kepada pemiliknya, niscaya berhasillah bagi pemiliknya keberkatan dari doa itu. Dan berhasil bagi si miskin itu memenuhi keperluan hidupnya. Dan berhasilnya pahala bagi si pemilik, tanpa usahanya sendiri dalam bersedekah itu, tidaklah seyogyanya dibantah. Karena pada suatu hadits shahih tersebut:  “Sesungguhnya bagi petani dan penanam, memperoleh pahala pada tiap-tiap apa yang diperoleh manusia dan burung dari buah-buahan dan tanamannya”. Dan yang demikian itu, adalah tanpa usahanya sendiri. Adapun perkataan orang yang mengatakan: “Janganlah kita bersedekah, kecuali dengan yang baik (halal)”, maka yang demikian itu, adalah apabila kita mencari pahala untuk diri kita sendiri. Dan kita sekarang mencari kelepasan dari kezaliman, bukan pahala. Dan kita ragu-ragu diantara menyia-nyiakan harta itu dan menyedekahkannya. Dan kita kuatkan segi menyedekahkan dari segi menyia-nyiakan. Dan perkataan orang yang mengatakan: “Kami tidak rela untuk orang lain dari kami, akan apa yang kami tidak rela untuk diri kami sendiri”, maka itu begitu pula. Tetapi haram untuk kita sendiri, karena kita tidak memerlukan kepada harta itu. Dan bagi orang miskin adalah halal, karena dihalalkan untuknya oleh dalil agama. Apabila dikehendaki oleh kemuslihatan akan penghalalannya, niscaya wajiblah penghalalan itu. Dan apabila telah halal, maka relalah kita yang halal itu untuknya. Dan kami mengatakan, bahwa baginya boleh bersedekah kepada dirinya sendiri dan keluarganya apabila keluarganya itu miskin. Adapun keluarga dan ahli familinya, maka tidaklah tersembunyi, karena kemiskinan berada pada mereka, dengan adanya mereka itu dari keluarga dan ahli familinya. Bahkan mereka adalah lebih utama orang-orang yang disedekahkan. Adapun ia sendiri, maka bolehlah mengambil sekedar keperluan, karena diapun orang miskin. Dan kalau ia bersedekah kepada orang miskin yang lain, niscaya dibolehkan. Dan demikian juga, apabila dia itu miskin. Dan marilah kami gambarkan pula dalam penjelasan pokok ini beberapa masalah:
Suatu masalah.
Apabila berada dalam tangannya harta yang berasal dari sultan, maka segolongan ulama mengatakan, supaya harta itu dikembalikan kepada sultan. Maka sultanlah yang lebih tahu apa yang akan diperbuatnya, lalu diturutinya menurut kebiasaan perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya. Dan itu, adalah lebih baik daripada harta itu disedekahkan. Al-Muhasibi memilih pendapat tersebut dan mengatakan: “Bagaimana harta itu disedekahkan ? karena mungkin harta itu ada pemiliknya yang tertentu. Dan jikalau diperbolehkan yang demikian, niscaya diperbolehkan mencuri dari harta yang ada dalam tangan sultan dan harta itu disedekahkan”.
Dan segolongan ulama mengatakan: “Harta itu disedekahkan apabila diketahui bahwa sultan itu tidak akan mengembalikannya kepada si pemiliknya. Karena yang demikian itu menolong orang zalim dan memperbanyakkan sebab kezalimannya. Maka mengembalikan harta itu kepada sultan, adalah menghilang kan hak pemiliknya. Dan pendapat yang terpilih (yang lebih benar), ialah: bahwa apabila diketahui dari kebiasaan sultan, bahwa ia tidak akan mengembalikan kepada pemiliknya, maka hendaklah ia menyedekahkannya sebagai ganti pemiliknya. Dan yang demikian itu, adalah lebih baik bagi si pemilik, kalau harta itu mempunyai pemilik yang tertentu, daripada dikembalikan kepada sultan. Karena kadang-kadang harta itu tidak mempunyai pemilik tertentu dan harta itu dalam milik kaum muslimin. Maka mengembalikannya kepada sultan, adalah menghilangkannya. Dan kalau ada pemiliknya yang tertentu, maka mengembalikannya kepada sultan adalah menghilangkannya. Dan menolong sultan yang zalim dan menghilangkan keberkatan doa orang miskin kepada si pemilik itu. Dan ini adalah jelas ! Apabila berada dalam tangannya harta pusaka orang dan ia tiada melampaui batas, dengan mengambilnya dari sultan, maka serupalah harta itu dengan barang yang diperoleh di jalanan (luqthah), yang tiada harapan diketahui pemiliknya. Karena tidak boleh baginya mempergunakan harta itu dengan menyedekah, sebagai ganti si pemiliknya. Tetapi baginya boleh niat memiliki harta itu. Kemudian, walaupun ia orang kaya, dimana ia telah mengusahakan harta itu dari cara mubah (cara yang diperbolehkan), yaitu: berniat memiliki harta luqthah. Dan disini (pada harta pusaka) itu, tidaklah harta itu diperoleh dari cara mubah. Maka diutamakan mencegahnya daripada niat memiliki dan tidak diutamakan mencegahnya daripada bersedekah.
Suatu masalah.
Apabila anda berada dalam tangannya harta yang tidak berpemilik dan kita perbolehkan baginya mengambil sekedar keperluannya, karena kemiskinannya, maka mengenai: kadar keperluannya itu, ada pandangan yang telah kami sebutkan dahulu pada “Kitab Rahasia Zakat”. Segolongan ulama mengatakan: “Ia mengambil untuk cukup setahun bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Dan kalau ia sanggup membeli barang atau berniaga, dimana ia berusaha dengan yang tersebut bagi keluarganya, maka hendaklah dikerjakannya. Dan inilah yang dipilih oleh Al-Muhasibi. Tetapi beliau berkata: “Yang lebih utama, ialah bersedekah dengan semuanya, jikalau ia memperoleh pada dirinya kekuatan tawakkal. Dan menunggu kemurahan Allah Ta’ala pada yang halal. Jikalau ia tidak sanggup, maka bolehlah ia membeli barang atau membuat modal, yang dapat ia hidup dengan hasil yang baik dari modal itu. Dan tiap-tiap hari ia memperoleh padanya yang halal, yang dapat menaham hari itu daripadanya. Maka apabila telah habis, lalu ia kembali mencarinya lagi. Apabila ia memperoleh halal yang tertentu, niscaya disedekahkannya, sebanyak yang telah dibelanjakannya sebelumnya. Dan adalah yang demikian itu hutang padanya. Kemudian ia memakan roti dan meninggal kan daging, jika sanggup ia secara yang demikian. Dan kalau tidak, niscaya dimakannya daging, tanpa berlebih-lebihan nikmat dan meluas. Dan apa yang disebutkannya, tak ada berlebihan. Tetapi dijadikannya apa yang dibelanjakannya sebagai hutang padanya. Maka mengenai ini ada pandangan. Dan tak ragu lagi, mengenai orang yang menjaga diri, akan menjadikannya sebagai hutang. Maka apabila ia memperoleh yang halal, niscaya ia bersedekah sebanyak hutang itu. Tetapi manakala yang demikian itu, tidak diwajibkan atas orang miskin yang disedekahkan kepadanya, maka tidaklah jauh, bahwa tidak pula wajib atasnya, apabila ia mengambilnya karena kemiskinannya. Lebih-lebih apabila jatuh kedalam tangannya harta pusaka dan ia tidak berbuat yang melampaui batas dengan perampokan dan usahanya. Sehingga beratlah urusan kepadanya dalam hal keadaan yang tersebut itu.
Suatu masalah.
Apabila ada dalam tangannya yang halal dan yang haram atau syubhat (diragukan) dan tidaklah semuanya itu melebihi dari keperluannya. Maka apabila ia mempunyai keluarga; niscaya hendaklah ditentukan bagi dirinya dengan yang halal. Karena alasan kepadanya, adalah lebih kuat pada dirinya sendiri daripada mengenai hambanya, keluarganya dan anak-anaknya yang kecil. Dan anak-anaknya yang besar, ia menjaga mereka itu dari yang haram, kalau yang demikian itu tidak membawa mereka kepada yang lebih sulit lagi. Dan kalau membawa kepada yang lebih berat, maka hendaklah diberinya mereka makanan sekedar diperlukan.
Kesimpulannya, tiap-tiap yang ditakutinya pada orang lain, maka itu adalah ditakutinya pada dirinya sendiri dan malah lebih lagi. Yaitu: yang mengenai ilmu pengetahuan dan kekeluargaan, yang kadang-kadang sukar, apabila tidak diketahui. Karena tidak mengurus keadaan itu oleh dirinya sendiri. Dari itu, maka hendaklah dimulai dengan yang halal untuk diri sendiri, kemudian dengan orang yang menjadi tanggungannya. Dan apabila meragukan tentang hak dirinya sendiri, antara yang khusus dengan makanan dan pakaiannya dan antara yang lainnya dari berbagai macam perbelanjaan, seperti: ongkos pembekam, pencelup, penggunting, pemikul, mencat dengan kapur dan minyak, pembangunan tempat tinggal, penyediaan kendaraan, pengisian lampu, harga kayu api dan minyak lampu, maka hendaklah dikhususkannya dengan yang halal akan makanan dan pakaiannya. Karena yang berhubungan dengan tubuhnya dan tak boleh tidak daripadanya, adalah lebih utama bahwa adanya itu baik. Dan apabila berkisar keadaan antara makanan dan pakaian, maka mungkinlah untuk dikatakan, bahwa ditentukan makanan dengan yang halal. Karena makanan itu bercampur dengan daging dan darahnya. Dan tiap-tiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka nerakalah yang lebih utama dengan dia. Adapun pakaian, maka faedahnya menutupi aurat, menolak panas dan dingin serta menolak kelihatan kulitnya. Dan inilah yang lebih terang kebenarannya padaku. Dan Al-Harts Al-Muhasibi berkata, bahwa didahulukan pakaian. Karena pakaian itu tinggal padanya beberapa lama. Dan makanan tidak tinggal padanya. Karena apa yang dirawikan, bahwa Nabi saw bersabda: “Tidak diterima oleh Allah, shalat orang yang padanya kain, yang dibelinya dengan 10 dirham, dimana padanya ada sedirham yang haram”. Ini mungkin. Tetapi contoh-contoh yang seperti ini, telah datang juga mengenai orang yang dalam perutnya haram dan dagingnya tumbuh dari yang haram. Maka memelihara daging dan tulang, bahwa ia tumbuh dari yang halal, adalah lebih utama. Dan karena itulah, Abubakar Ash-Shiddiq memuntahkan apa yang telah diminumnya dengan tidak tahu. Sehingga tidaklah tumbuh daripadanya daging, yang tetap dan kekal. Kalau ada yang mengatakan, bahwa: apabila adalah semuanya itu menjurus kepada maksudnya, maka apakah bedanya antara dirinya dan bukan dirinya dan antara satu pihak dan pihak yang lain dan apakah yang harus diketahui dari perbedaan ini ? Kami menjawab: Yang demikian itu diketahui dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Rafi’ bin Khudaij ra meninggal dunia dan meninggalkan seekor unta penyiram tanaman dan seorang budak pembekam. Lalu ditanyakan Rasulullah saw tentang yang demikian itu, maka Nabi saw melarang dari memakan usaha budak pembekam itu. Berkali-kali orang kembali menanyakan yang demikian kepada Nabi saw tetapi terus melarang. Lalu dikatakan kepada Nabi saw, bahwa Rafi’ mempunyai beberapa orang anak yatim, maka Nabi saw menjawab: “Berikanlah hasil usaha pembekaman itu untuk makanan unta penyiram tanaman !”. Maka ini menunjukkan kepada perbedaan, antara apa yang dimakan olehnya sendiri atau hewannya. Apabila telah terbuka jelas jalan perbedaan, maka qiaskanlah kepadanya uraian yang telah kami sebutkan itu !
Suatu masalah.
Harta haram yang berada dalam tangannya, kalau ia sedekahkan kepada orang-orang miskin, maka bolehlah ia memperluaskan pemberiannya kepada mereka. Dan apabila ia berbelanja kepada dirinya sendiri, maka hendaklah ia mempersempitkan pengeluarannya sekedar saja. Dan apa yang dibelanjakannya kepada keluargannya, maka hendaklah ia berhemat dan hendaklah sedang (ditengah-tengah) antara meluaskan dan menyempitkan. Dari itu, maka jadilah 3 tingkat. Kalau ia berbelanja untuk tamu yang datang kepadanya dan tamu itu orang miskin, maka hendaklah ia memperluaskan kepada tamu tersebut. Dan kalau tamu itu orang kaya, maka janganlah diberi makanan kepadanya. Kecuali apabila ia berada pada padang sahara atau ia datang pada malam hari dan ia tidak memperoleh sesuatu. Karena dia pada waktu itu, adalah orang fakir. Dan kalau orang miskin yang datang itu seorang tamu yang taqwa, jikalau tahulah ia yang demikian, niscaya ia bersikap menjaga diri daripadanya, maka hendaklah dibawa makanan dan diterangkan kepadanya, untuk mengumpulkan antara hak seorang tamu dan meninggalkan penipuan ! maka tiada seyogyalah ia memuliakan saudaranya dengan apa yang tiada disukainya. Dan tiada seyogyalah ia berpegang, bahwa ia tiada tahu, lalu tiada membawa kemelaratan kepadanya. Karena yang haram itu, apabila telah ada dalam perut, niscaya membekas kepada kekesatan hati, walaupun tidak diketahui oleh yang punya hati itu. Dan karena itulah, Abubakar dan Umar ra memuntahkan apa yang telah diminumnya, walaupun keduanya meminum itu, dengan tiada mengetahui sama sekali. Dan pahamilah ini ! dan kalau kami telah mengeluarkan fatwa dengan halalnya kepada orang-orang miskin, niscaya kami halalkan itu berdasarkan keperluan kepadanya. Maka itu adalah seperti babi dan khamar, apabila kita halalkan karena darurat. Maka tidaklah ia berhubungan dengan barang-barang yang baik.
Suatu masalah.
Apabila adalah yang haram atau yang syubhat (diragukan) itu, dalam tangan ibu bapaknya, maka hendaklah mencegah diri dari memakan bersama keduanya. Kalau keduanya marah, maka janganlah menyetujuinya pada yang semata-mata haram. Tetapi melarang keduanya. Maka tiadalah taat kepada makhluk dalam berbuat ma’siat kepada Allah Ta’ala. Kalau harta itu syubhat (diragukan) dan mencegah dari memakannya adalah untuk menjaga diri, maka ini bertentangan dengan itu, bahwa yang menjaga diri, ialah mencari kerelaan keduanya. Bahkan mencari kerelaan itu adalah wajib. Maka hendaklah dengan lemah-lembut pada tidak menurutinya ! Jikalau tidak sanggup berlemah-lembut itu, maka hendaklah ia menyetujuinya. Dan makanlah sedikit, dengan mengecilkaan suap melamakan pengunyahan makanan. Dan tidak meluaskan makan. Karena penolakan itu menimbulkan permusuhan. Saudara laki-laki dan saudara perempuan adalah mendekat kepada yang demikian. Karena hak keduanya juga kuat. Dan begitu pula, apabila ia diberi pakaian oleh ibunya dengan kain syubhat (diragukan) dan ibu itu marah kalau ditolak. Maka hendaklah diterima dan hendaklah dipakai dihadapannya. Dan hendaklah dibuka waktu di belakangnya. Dan hendaklah menjaga benar, tidak akan bershalat pada kain itu, kecuali ketika ada ibunya. Maka bershalatlah pada kain tadi, sebagai shalatnya orang yang terpaksa. Dan ketika bertentanganlah sebab-sebab menjaga diri, maka seyogyalah dianggap tidak ada detik-detik yang halus ini. Diceritakan dari Bisyr ra bahwa ibunya menyerahkan kepadanya buah tamar yang belum kering (buah ruthab), seraya mengatakan: “Haruslah engkau makan buah ruthab ini !”. Sedang Bisyr tidak suka memakan nya. Maka makanlah beliau. Kemudian beliau naik ke kamar atas, lalu ibunya pun naik di belakangnya. Maka ibunya melihatnya memuntah-muntah. Ia berbuat demikian, karena ia ingin mengumpulkan diantara kerelaan ibu dan pemeliharaan perut dari yang tidak halal. Ada orang yang mengatakan kepada Ahmad bin Hanbal, bahwa Bisyr ditanyakan: “Adakah mentaati ibu bapak itu pada yang syubhat (diragukan) ?”. Lalu Bisyr menjawab: “Tidak !”. Maka Ahmad bin Hanbal menjawab: “Ini keras sekali !”. Lalu dikatakan kepada Ahmad bin Hanbal, bahwa ditanyakan Muhammad bin Muqatil Al-‘Abbadani tentang syubhat (diragukan) itu. Lalu beliau menjawab: “Berbuat baiklah kepada ibu bapakmu !”. Apakah yang akan kamu katakan tentang itu ?”. Lalu Muhammad bin Muqatil mengatakan kepada yang bertanya itu: “Aku suka kiranya engkau memaafkan aku, karena sesungguhnya aku telah mendengar, apa yang dikatakan oleh ibu bapak itu”. Kemudian, Ahmad bin Hanbal menjawab: “Alangkah baiknya engkau berbuat kebajikan kepada ibu bapak itu”.
Suatu masalah.
Barangsiapa yang dalam tangannya harta haram semata-mata, maka tak adalah hajji atasnya dan tidak harus ia mengeluarkan kafarat (penebus) harta, karena dia itu orang pailit. Dan tak wajib atasnya zakat. Karena arti zakat, ialah: wajib mengeluarkan 1/40 harta umpamanya. Dan dalam hal ini, ia wajib mengeluarkan semuanya. Adakalanya, mengembalikan kepada pemilknya, kalau dikenalnya atau diserahkan kepada fakir miskin, kalau tidak dikenalnya pemiliknya. Adapun apabila harta itu harta syubhat (diragukan), yang mungkin bahwa harta itu halal, maka apabila tidak dikeluarkannya dari tangannya, niscaya haruslah ia mengerjakan hajji. Karena keadaannya halal itu mungkin. Dan hajji itu tidak gugur, kecuali dengan kemiskinan. Dan dalam hal ini kemiskinannya itu tidak diyakini. Allah Ta’ala berfirman: “Allah mewajibkan kepada manusia mengaja Rumah Suci (mengerjakan hajji), yaitu: orang yang kuasa mengadakan perjalanan kepadanya”. S 3 Ali ‘Imran ayat 97. Apabila wajib atasnya bersedekah dengan apa yang berlebih dari keperluannya, dimana berat dugaannya haramnya barang tersebut, maka zakatnya adalah lebih utama diwajibkan. Dan kalau harus ia mengeluarkan kafarat (penebus), maka hendaklah dikumpulkannya antara puasa dan memerdekakan budak. Supaya terlepaslah ia dengan yakin. Dan berkata suatu golongan, haruslah ia melakukan puasa, tidak mengeluarkan makanan. Karena ia tidak mempunyai kemampuan yang dimaklumi. Dan berkata Al-Muhasibi: “Mencukupilah ia dengan mengeluarkan makanan”. Dan pendapat yang kami pilih, ialah: bahwa tiap-tiap syubhat (diragukan) itu, kita hukumkan dengan wajib menjauhkannya dan kita teruskan mengeluarkannya dari tangannya. Karena kemungkinan haram adalah lebih keras, berdasarkan apa yang telah kami sebutkan dahulu. Maka haruslah ia mengumpulkan antara puasa dan memberi makanan. Adapun puasa maka pada hukum, adalah karena dia itu orang pailit. Dan adapun memberikan makanan, maka karena telah diwajibkan kepadanya bersedekah semuanya. Dan mungkin harta itu kepunyaannya maka adalah keharusan itu dari segi kafarat (penebus).
Suatu masalah.
Barangsiapa yang dalam tangannya harta haram, yang ditahannya untuk sesuatu keperluan, lalu ia bermaksud mengerjakan hajji sunat, maka kalau ia berjalan kaki, niscaya tiada mengapa. Karena ia akan memakan harta tersebut pada bukan ibadah. Lalu memakannya pada ibadah, adalah lebih utama. Kalau ia tidak sanggup berjalan kaki dan memerlukan kepada tambahan untuk kendaraan, maka tidaklah diperbolehkan mengambil untuk keperluan seperti ini di perjalanan, sebagaimana tidak diperbolehkan membeli kendaraan sewaktu di kampung (tidak di perjalanan). Kalau ia mengharap akan sanggup memperoleh yang halal, kalau ia terus tinggal di kampung, dimana ia tidak memerlukan kepada haram-haram yang lain, maka menetap di kampung untuk menunggu yang halal itu, adalah lebih utama daripada hajji dengan berjalan kaki, dengan harta yang haram.
Suatu masalah.
Barangsiapa keluar untuk mengerjakan hajji wajib dengan harta, yang padanya ada syubhat (diragukan), maka hendaklah ia bersungguh-sungguh berusaha supaya adalah makanannya dari yang halal (yang baik). Kalau ia tidak sanggup, maka hendaklah yang halal itu dari waktu ihram, sampai kepada waktu tahallul. Kalau tidak juga sanggup, maka hendaklah ia berusaha sungguh-sungguh pada hari ‘Arafah, bahwa tidak adalah tegaknya di hadapan Allah dan doanya, pada waktu makanannya itu haram dan pakaiannya itu haram. Maka hendaklah ia berusaha sungguh-sungguh bahwa tak adalah dalam perutnya itu yang haram dan tak ada pada punggungnya itu haram. Karena kita, walaupun kita perbolehkan ini disebabkan karena keperluan, maka itu adalah semacam darurat. Dan apa yang kita hubungkan itu, dengan yang baik-baik (yang halal). Karena tidak sanggup, maka hendaklah ia mengharuskan hatinya dengan takut dan susah. Karena dia itu terpaksa menggunakan sesuatu yang tidak baik (yang tidak halal) itu. Semoga Allah memandang kepadanya dengan pandangan rahmat. Dan melepaskan dia daripadanya, disebabkan kegundahan, ketakutan dan kebenciannya kepada yang tidak baik itu.
Suatu masalah.
Ditanyakan Ahmad bin Hanbal ra, dimana yang bertanya itu menerangkan kepadanya: “Ayahku telah meninggal dunia dan meninggalkan harta. Dan beliau mengadakan mu’amalah (perniagaan) dengan orang yang dimakruhkan bermu’amalah(perniagaan) ”. Lalu Imam Ahmad bin Hanbal menjawab: “Engkau tinggalkan dari hartanya sekedar dari keuntungannya”. Yang bertanya itu menyambung: “Ia mempunyai piutang dan hutang”. Maka Imam Ahmad menjawab: “Engkau bayar dan engkau menerima pembayaran”. Orang itu lalu bertanya: “Apakah tuan berpendapat demikian ?”. Maka Ahmad bin Hanbal ra menjawab: “Apakah engkau memberikannya ditahan, disebabkan hutangnya ?”. Apa yang disebutkan itu adalah benar. Yaitu menunjukkan, bahwa beliau melihat harus berhati-hati dengan mengeluarkan kadar yang haram. Karena beliau berkata: “dikeluarkan sekedar keuntungan”. Dan beliau melihat, bahwa segala benda dari hartanya itu adalah miliknya, sebagai ganti daripada apa yang diberikannya pada mu’amalah (perniagaan)  yang batal, dengan jalan balas-membalas dan terima-menerima. Manakala banyaklah pelaksanaan mu’amalah (perniagaan)  dan sukarnya pengembalian dan berpegang pada pembayaran hutangnya itu kepada keyakinan, maka tidaklah ditinggalkan, disebabkan syubhat (diragukan).
BAB KELIMA: mengenai segala harta kurnia sultan dan segala pemberian mereka, yang halal daripadanya dan yang haram.
Ketahuilah kiranya, bahwa barangsiapa mengambil harta dari seorang sultan (penguasa), maka tak boleh tidak harus memperhatikan 3 perkara: tentang masuknya harta itu kedalam tangan sultan, darimana harta itu, tentang sifatnya, yang dengan sifat itu, ia berhak mengambilnya dan tentang kadar yang diambilnya, adakah ia berhak apabila disandarkan kepada keadaannya dan keadaan sekutu-sekutunya dalam berhaknya itu.
PERHATIAN PERTAMA: tentang pihak-pihak masuknya uang bagi sultan.
Tiap-tiap yang halal bagi sultan, selain dari tempat-tempat orang ramai dan berkongsi padanya rakyat, ialah dua bahagian:
Bagian pertama: yang diambil dari orang-orang kafir. Yaitu: harta rampasan perang (ghanimah), yang diambil dengan paksaan dan harta fai’, yaitu: hasil yang diperoleh dari orang-orang kafir dalam tangan sultan, tanpa peperangan, pajak (jizyah) dan harta-harta yang diperoleh dengan pedamaian, yaitu: yang diambil dengan syarat-syarat dan perjanjian.
Bahagian kedua: yang diambil dari kaum muslimin. Maka tidak halal daripadanya, kecuali dua bahagian: harta warisan dll barang hilang yang tak tentu pemiliknya dan harta-harta waqaf yang tak mempunyai pengurus. Adapun sedekah (zakat) maka tidaklah terdapat pada masa ini. Dan selain dari itu, yang merupakan cukai yang diwajibkan atas orang-orang muslim, harta-harta yang diminta dengan paksaan dan bermacam-macam uang sogok (rasywah). Semuanya itu, adalah haram. Maka apabila sultan menetapkan untuk seorang ahli fiqh (faqih) atau orang yang lain, sesuatu kurnia, pemberian atau anugerah diatas suatu hal, maka tidaklah terlepas dia dari 8 hal: adakalanya sultan menetapkan yang demikian baginya atas jizyah atau harta warisan atau harta waqaf atau atas milik yang dihidupkan oleh sultan atau atas milik yang dibelinya atau atas pekerja uang cukai orang-orang Islam atau atas penjual dari sejumlah para saudagar atau atas harta simpanan negara.
Maka yang pertama, yaitu: jizyah. 4/5 daripadanya adalah untuk kepentingan umum dan 1/5 nya adalah untuk pihak-pihak tertentu. Maka apa yang ditentukan pada 1/5 dari pihak-pihak itu atau pada 4/5 untuk sesuatu yang ada padanya kemuslihatan umum dan dijaga padanya kehati-hatian, tentang kadarnya, maka itu adalah halal, dengan syarat, bahwa tak ada jizyah itu, kecuali diwajibkan secara agama. Tak ada padanya berlebih dari sedinar atau 4 dinar. Karena juga itu termasuk pada tempat ijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan). Dan bagi sultan boleh berbuat sesuatu, apa yang ada pada tempat ijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan). Dan dengan syarat bahwa orang dzimmi (orang yang bukan Islam, yang berada keamanannya dalam tanggung jawab pemerintah Islam) yang dikutip jizyah daripadanya itu, adalah orang yang berusaha dari cara yang tidak diketahui haramnya. Maka tidaklah pegawai sultan itu zalim dan juga tidak penjual khamar, anak-anak dan wanita. Karena jizyah itu tidak dikenakan atasnya. Maka inilah hal-hal yang harus diperhatikan, tentang cara mengenakan jizyah, kadarnya, sifat orang yang diserahkan jizyah kepadanya dan kadar yang akan diserahkan. Maka haruslah diperhatikan pada semua itu.
Yang kedua: harta warisan dan harta-harta hilang dari pemiliknya. Maka harta-harta ini, adalah untuk kepentingan umum. Dan diperhatikan, tentang orang yang meninggalkan harta itu, adakah hartanya semuanya itu haram atau yang terbanyak daripadanya atau bahagian yang tersedikit daripadanya. Dan telah diterangkan dahulu hukumnya. Kalau harta tersebut tidak haram, niscaya tinggallah memperhatikan tentang sifat orang yang akan diserahkan harta tersebut kepadanya, dengan adanya kemuslihatan umum pada penyerahan kepadanya. Kemudian, mengenai kadar yang diserahkan itu.
Yang ketiga: harta-harta waqaf. Dan demikian juga berlakulah perhatian padanya, sebagaimana berlakunya pada harta warisan, serta tambahan satu hal, yaitu: syarat orang yang mewaqafkan. Sehingga adalah yang diambil itu sesuai bagi yang mewaqafkan, dalam segala syarat-syaratnya.
Yang keempat: apa yang dihidupkan oleh sultan. Dan ini tidak dipandang padanya sesuatu syarat. Karena sultan itu boleh memberikan dari harta miliknya, apa yang dikehendakinya, kepada siapa yang dikehendakinya dan berapa yang dikehendakinya. Hanya yang diperhatikan, ialah tentang kebanyakan, bahwa sultan itu menghidupkan harta yang dimiliknya itu dengan memaksakan orang-orang yang diongkosinya. Atau dengan memberikan ongkos mereka dari harta yang haram. Karena yang dihidupkan oleh sultan itu, terjadi dengan menggalikan parit, tali air, membangun dinding, meratakan tanah. Dan itu tidaklah dikerjakan oleh sultan sendiri. Kalau orang-orang itu dipaksakan bekerja, niscaya tidaklah menjadi milik sultan. Dan itu adalah haram. Dan kalau orang-orang itu diongkosi, kemudian ongkosnya dibayar dari harta haram, maka ini mempusakai syubhat (diragukan), yang telah kami peringatkan dahulu tentang hubungan kemakruhan dengan ‘iwadl.
Yang kelima: apa yang dibeli oleh sultan dengan harga yang tak kontan, baik tanah atau kain pemberian atau kuda atau yang lain-lain. Maka itu adalah milknya dan ia boleh melakukan sesuatu pada harta tersebut. Tetapi dia akan melunaskan harganya dari yang haram, maka yang demikian itu pada suatu waktu mewajibkan pengharaman dan pada waktu yang lain, syubhat (diragukan). Dan telah disebutkan dahulu penguraiannya.
Yang keenam: bahwa sultan menetapkan atas pekerja uang cukai orang-orang Islam atau orang yang mengumpulkan harta-harta pembahagian dan harta yang diminta dengan paksaan. Dan itu adalah haram semata-mata, yang tak ada syubhat (diragukan) padanya. Dan itu adalah bahagian terbanyak dari harta-harta penganugerahan pada zaman ini. Kecuali atas tanah-tanah di Irak, karena itu adalah diwaqafkan menurut Imam Asy-Syafi’i ra untuk kemuslihatan kaum muslimin.
Yang ketujuh: apa yang ditetapkan sultan atas penjual yang melakukan mu’amalah (perniagaan)  dengan sultan. Kalau orang itu tidak melakukan mu’amalah (perniagaan)  dengan orang lain, maka hartanya adalah seperti harta simpanan sultan. Dan kalau ia ada melakukan mu’amalah (perniagaan)  yang lebih banyak dengan orang-orang selain dari sultan, maka apa yang diberikannya itu, adalah merupakah hutang atas sultan. Dan ia akan mengambil gantinya dari simpanan negara. Maka kecederaan itu menjalar kepada ‘iwadl. Dan telah diterangkan dahulu hukum harga dari barang yang haram.
Yang kedelapan: apa yang ditetapkan oleh sultan atas harta simpanan negara atau atas pekerja yang terkumpul padanya yang halal dan yang haram. Maka kalau tidak diketahui cara uang masuk bagi sultan, selain dari yang haram, maka itu adalah haram semata-mata. Dan kalau diketahui dengan yakin, bahwa harta simpanan negara itu terdiri dari harta halal dan harta haram dan mungkin yang diserahkan kepada yang diberikan itu, terdiri dari harta halal, dengan kemungkinan yang mendekati membekasnya kedalam jiwa dan mungkin dia itu harta haram dan ini adalah yang terbanyak, karena kebanyakan harta sultan itu adalah haram pada masa-masa sekarang ini dan yang halal dalam tangan mereka itu tidak ada atau sangat jarang sekali, maka berbedalah pendapat para ulama dalam hal ini.
Segolongan mengatakan: “Tiap-tiap yang tidak aku yakini bahwa itu haram, maka aku akan mengambilnya”. Golongan yang lain mengatakan: “Tidak lah halal diambil, selama tidak diyakini bahwa itu halal. Maka tidak halallah sekali-kali harta syubhat (diragukan)”. Kedua golongan tersebut, adalah berlebih-lebihan. Dan yang sedang, ialah apa yang telah kami sebutkan dahulu. Yaitu: hukum, bahwa apabila adalah kebanyakannya itu haram, niscaya haramlah dia. Dan kalau adalah kebanyakannya itu halal dan padanya ada yang diyakinkan haram, maka itu menjadi tempat yang kita hentikan dulu persoalannya, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Diberi alasan oleh orang yang membolehkan mengambil harta yang dianugerahkan oleh sultan, apabila dalam harta itu ada yang haram dan ada yang halal, manakala tidak diyakini bahwa benda yang diambil itu haram, dengan apa yang diriwayatkan dari segolongan sahabat, bahwa mereka mengetahui hari-hari imam yang zalim dan mereka mengambil harta dari imam-imam itu. Diantara mereka: Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Khudri, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari, Jarir bin Abdullah, Jabir. Anas bin Malik dan Al-Musawwar bin Makhramah. Abu Sa’id dan Abu Hurairah mengambil dari pemberian Marwan dan Jazid bin Abdul Malik. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dari pemberian Al-Hajjaj. Dan kebanyakan dari tabi’in mengambil dari imam-imam yang zalim itu, seperti Asy-Sya’bi, Ibrahim, Al-Hasan dan Ibnu Abi Laila. Dan Asy-Syafi’i mengambil dari Harunurrasyid 1000 dinar sekaligus. Dan Imam Malik mengambil harta banyak dari khalifah-khalifah.
Dan Ali ra berkata: “Ambillah apa yang diberikan kepadamu oleh sultan. Karena yang diberikan kepadamu itu, adalah dari yang halal. Dan apa yang diambilnya dari yang halal, adalah lebih banyak. Dan sesungguhnya ditinggalkan oleh orang yang meninggalkan (tidak mau menerima) pemberian dari imam-imam itu, adalah karena: menjaga diri, takut membahayakan kepada agamanya, bahwa ia terbawa kepada yang tidak halal. Tidaklah engkau ketahui ucapan Abi Dzar kepada Al-Ahnaf bin Qis: “Ambillah pemberian apa yang ada dari pemberian itu ! kalau pemberian itu menjadi harga agamamu, maka tinggalkanlah !”. Abu Hurairah ra berkata: “Apabila kepada kami, niscaya kami terima dan apabila tidak diberikan, maka kami tidak meminta”. Diriwayatkan dari Sa’id bin Al-Musayyab, bahwa Abu Hurairah ra apabila dia diberikan oleh Mu’awiyah, maka ia berdiam diri. Dan kalau tidak diberikan, beliau tidak merasa senang”. Dari Asy-Sya’bi, yang meriwayatkan dari Masruq, yang mengatakan: “Senantiasalah pemberian itu pada orang-orang yang menerima pemberian, sehingga mereka dimasukkan ke dalam neraka”. Artinya: ia dibawa oleh yang demikian kepada yang haram, bukan pemberian itu sendiri yang haram. Nafi’ meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwa Al-Mukhtar mengirimkan harta kepada Ibnu Umar, maka beliau menerima kiriman itu. Kemudian berkata: “Aku tidak meminta pada seseorang dan aku tidak menolak apa yang dianugerahi oleh Allah kepadaku”. Dan Al-Mukhtar menghadiahkan kepadanya seekor unta, maka beliau menerima unta tersebut. Dan orang mengatakan, bahwa unta itu adalah unta dari Al-Mukhtar. Tetapi ini berlawanan dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ra tidaklah menolak hadiah seseorang, selain dari hadiah Al-Mukhtar. Dan sandaran berita tentang penolakannya itu, adalah lebih teguh. Dan dari Nafi’ bahwa beliau berkata: “Ibnu Ma’mar mengirimkan kepada Ibnu Umar uang 60 ribu. Lalu dibagi-bagikannya kepada orang banyak. Kemudian datanglah kepadanya orang yang meminta. Maka beliau berhutang untuk orang itu, dari sebahagian orang yang telah diberikannya. Dan beliau berikan kepada orang yang meminta itu”. Tatkala datang Al-Hasan bin Ali ra kepada Mu’awiyah ra lalu Mu’awiyah berkata: “Akan aku berikan kepadamu suatu pemberian, yang belum pernah aku berikan, kepada seseorang sebelum kamu dari orang Arab dan tidak akan aku berikan kepada seseorang sesudah kamu dari orang Arab”. Orang yang meriwayatkan cerita ini menerangkan, bahwa lalu Mu’awiyah memberikan kepada Al-Hasan 400.000 dirham dan Al-Hasan terus mengambilnya. Diriwayatkan dari Habib bin Abi Tsabit, yang mengatakan: “Aku melihat pemberian Al-Mukhtar kepada Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, maka keduanya menerima hadiah itu”. Lalu orang menanyakan: “Apakah hadiah itu ?”. Habib bin Abi Tsabit menjawab: “Uang dan pakaian”.
Dari Az-Zubair bin ‘Uda, yang menerangkan, bahwa Salman berkata: “Apabila kamu mempunyai teman pekerja atau saudagar yang berbuat riba, lalu ia mengundang kamu makan atau sebagainya atau ia memberikan kepada kamu sesuatu, maka terimalah ! karena kesenangan adalah bagimu dan dosa adalah atasnya”. Kalau telah tetaplah yang demikian pada orang yang berbuat riba, maka orang zalim samalah halnya. Dari Ja’far, dimana ia meriwayatkan dari bapaknya, bahwa Al-Hasan dan Al-Husain ra, keduanya menerima pemberian Mu’awiyah. Hakim bin Jubair berkata: “Kami pergi kepada Sa’id bin Jubair, dimana ia tleah dipekerjakan di daerah bawahan sungai Al-Furat. Lalu ia mengirim kabar kepada orang-orang yang mengutip bahagian 1/10 dari hasil disitu: “Berikanlah kepada kami makanan, dari apa yang ada pada kamu !”. Lalu makanan itu dikirimkan oleh mereka, maka Sa’id memakannya dan kamipun memakan bersama dia”. Al-A’la bin Zuhair Al-Azadi berkata: “Telah datang Ibrahim kepada bapakku daan Ibrahim itu adalah pekerja di Halwan. Maka ia memberikan kepada bapakku sesuatu, lalu diterimanya. Dan Ibrahim itu berkata: “Tiada mengapa dengan pemberian kaum pekerja. Karena kaum pekerja itu mempunyai perbelanjaan dan rezeki dan masuklah ke rumah hartanya dari yang keji dan yang baik. Dan apa yang diberikannya kepada tuan itu, adalah dari hartanya yang baik”. Mereka itu semuanya menerima pemberian sultan-sultan yang zalim dan mereka itu mengutuk orang yang mentaati sultan-sultan pada jalaan ma’siat kepada Allah Ta’ala. Dan oleh segolongan ini mendakwakan, bahwa apa yang dinuqilkan tentang segolongan dari ulama terdahulu, tidak mau menerimanya, tidaklah yang demikian itu menunjukkan haram, tetapi: menjaga diri, seperti khulafa’-rasyidin, Abi Dzar dan orang-orang zuhud yang lain. Mereka tidak mau menerima dari yang halal mutlak karena zuhudnya dan dari yang halal yang ditakuti akan membawa kepada yang lebih ditakuti, lantaran: menjaga diri dan taqwa. Maka mereka kerjakan itu, adalah menunjukkan kepada bolehnya. Dan mereka tidak mau mengerjakannya, tidaklah menunjukkan kepada pengharaman nya. Dan apa yang dinuqilkan dari Sa’id bin Al-Musayyab, bahwa ia meninggalkan pemberian orang yang diterimanya dalam baital-mal (kas negara), sehingga terkumpul lebih dari 30.000. Dan apa yang dinuqilkan dari Al-Hasan, tentang katanya: “Aku tidak akan mengambil wudlu’ dari air orang yang pekerjaannya menukarkan uang (shairafi), walaupun waktu shalat itu telah sempit, karena aku tidak mengetahui asal hartanyya”, adalah semua itu: menjaga diri yang tidak dapat dibantah. Dan mengikuti mereka atas yang demikian, adalah lebih baik daripada mengikuti mereka pada yang lebih luas. Tetapi tidak pula haram mengikuti mereka pada yang lebih luas itu. Maka inilah dia syubhat (diragukan) bagi orang yang membolehkan mengambil harta sultan yang zalim. Jawaban untuk itu, ialah: bahwa apa yang dinuqilkan tentang mereka mengambil itu, adalah terbatas dan sedikit, dibandingkan kepada apa yang dinuqilkan dari penolakan dan penantangan mereka. Dan kalau berjalan kepada penolakan mereka itu oleh kemungkinan menjaga diri, maka berjalanlah kepada pengambilan dari orang yang mengambil itu, tiga kemungkinan, yang berlebih kurang derajatnya dengan berlebih kurangnya mereka tentang: menjaga diri. Maka menjaga diri itu terhadap hak sultan-sultan, mempunyai 4 derajat:
Derajat pertama: bahwa tidak mengambil sekali-kali dari harta sultan-sultan itu sedikitpun, sebagaimana diperbuat oleh orang-orang menjaga diri dari mereka. Dan sebagaimana yang diperbuat oleh para khulafa’-rasyidin. Sehingga Abubakar ra itu menghitung semua apa yang diambilnya dari baitul-mal, maka berjumlah 6000 dirham. Lalu dipandangnya itu selaku hutangnya pada Baital-mal. Sehingga Umar ra pada suatu hari sedang membagi-bagi harta baitul-mal, lalu masuklah anak perempuannya dan mengambil sedirham dari harta itu. Maka Umarpun bangun memintanya, sehingga jatuhlah kain penutup badan dari salah satu bahunya. Dan anak perempuannya itu masuk ke rumah familinya sambil menangis dan memasukkan dirham itu kedalam mulutnya. Maka Umar memasuk kan anak jarinya, lalu mengeluarkan dirham itu dari mulutnya. Dan melemparkannya kedalam uang pengeluaran negara, seraya mengatakan: “Wahai saudara-saudara ! tidaklah untuk Umar dan keluarga Umar, melainkan apa yang untuk kaum muslimin, yang dekat dan yang jauh dari mereka”. Abu Musa Al-Asy’ari menyapu baitul-mal, lalu menjumpai uang sedirham. Maka lewatlah dihadapannya anak Umar ra, lalu diberikannya uang itu kepadanya. Maka dilihat oleh Umar uang itu dalam tangan anak tersebut, lalu ditanyakannya. Anak itu menjawab: “Diberikan kepadaku oleh Abu Musa”. Maka Umar berkata: “Hai Abu Musa ! tidak ada pada penduduk Madinah rumah yang lebih mudah kepadamu dari keluarga Umar. Engkau bermaksud, bahwa tidak tinggal dari umat Muhammad saw seorangpun, melainkan menuntut kami dengan kezaliman”. Dan ia kembalikan dirham itu ke baitul-mal. Ini, sedang harta itu adalah halal. Tetapi ia takut, bahwa ia tidak berhak sebanyak itu. Maka ia melepaskan diri untuk agamanya dan menyingkatkan kepada yang tersedikit, karena mengikuti sabda Nabi saw: “Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu !”. Dan karena sabdanya: “Barangsiapa meninggalkannya, maka sesunguh nya ia telah melepaskan diri untuk kehormatannya dan agamanya”. Dan karena ia mendengar dari Rasulullah saw dari bersangatan kerasnya tentang harta-harta sultan. Sehingga Nabi saw bersabda ketika mengutus ‘Abbadah bin Ash-Shamit, untuk mengutip sedekah (zakat): “Takutlah akan Allah, wahai Ayah Al-Walid! janganlah engkau datang pada hari kiamat dengan unta, yang engkau pukul diatas tengkukmu, yang mempunyai suara keras atau lembu yang melenguh atau kambing yang mengembek !”. Lalu ‘Abbadah bertanya: “Wahai Rasulullah ! adakah begitu yang akan terjadi ?”. “Ya !” jawab Nabi saw: “Demi Allah yang nyawaku dalam kekuasaanNya, kecuali orang yang dikasihi Allah”. Maka ‘Abbadah menyambung: “Demi Allah yang mengutus engkau dengan sebenarnya ! tiada akan aku perbuat terhadap sesuatu selama-lamanya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku tiada takut, bahwa kamu akan mempersekutukan Allah sesudahku. Tetapi yang aku takut, ialah kamu akan berlomba-lomba (munafasah)”. Sesungguhnya Nabi saw takut akan bermunafasah mengenai harta. Dan karena itulah Umar ra berkata dalam pembicaraan yang panjang, yang menyebutkan didalamnya akan harta baitul-mal: “Sesungguhnya aku tiada mendapati diriku padanya, selain daripada seperti wali harta anak yatim. Jikalau aku tiada memerlukan, maka aku menjaga diriku daripada mengambilnya. Dan jikalau aku memerlukan, maka aku makan dengan yang baik (yang halal)”. Diriwayatkan, bahwa seorang putera Thaus menulis surat sebagai ganti lidah ayahnya kepada Umar bin Abdul-‘aziz. Lalu Umar memberikan kepadanya uang 300 dinar. Maka Thaus menjual barangnya dan mengirimkan harganya 300 dinar kepada Umar. Pahamilah ini, sedang sultan itu adalah seperti Umar bin Abdukl-‘aziz. Maka ini adalah derajat yang tertinggi, tentang: menjaga diri.
Derajat kedua: yaitu bahwa diambil harta sultan itu, tetapi sesungguhnya diambil, apabila diketahui, bahwa apa yang diambilnya itu dari pihak yang halal. Maka melengkapinya tangan sultan kepada harta haram yang lain, tidaklah mendatangkan kemelaratan kepada yang mengambil itu. Dan berdasar kepada inilah ditempatkan semua apa yang dinuqilkan dari atsar-atsar atau yang terbanyak dari atsar-atsar itu. Atau apa yang tertentu daripadanya, dengan para sahabat yang terbesar dan orang-orang menjaga diri dari mereka, seperti: Ibnu ‘Umar. Karena dia adalah setengah dari mereka yang sangat bersangatan menjaga diri. Maka bagaimanakah ia berlapang-lapang pada harta sultan ? sedang dia adalah termasuk orang-orang yang sangat menantang terhadap mereka dan yang mencela harta mereka. Yang demikian itu, adalah mereka berkumpul pada Ibnu ‘Amir, yang sedang sakit. Dan ia merasa sayang kepada dirinya dari pemerintahannya dan keadaannya tersiksa pada sisi Allah Ta’ala dengan pemerintahannya itu. Lalu mereka mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya kami mengharap bagimu kebajikan. Engkau telah menggali sumur-sumur, engkau berikan minuman kepada orang-orang yang mengerjakan hajji dan engkau telah perbuat dan engkau telah perbuat......”. Dan Ibnu ‘Umar berdiam diri saja. Lalu Ibnu ‘Amir bertanya: “Apakah yang akan engkau katakan, wahai Ibnu ‘Umar ?”. Ibnu ‘Umar menjawab: “Aku mengatakan yang demikian, apabila baiklah usaha, bersihlah perbelanjaan dan engkau akan dikembalikan, maka engkau akan melihat”. Pada pembicaraan yang lain, bahwa Ibnu ‘Umar mengatakan: “Sesungguhnya yang keji itu, tidak akan menutup yang keji. Dan sesungguhnya engkau telah menjadi wali negeri Basrah dan aku tidak mengira, melainkan engkau telah memperoleh daripadanya kejahatan”. Maka Ibnu ‘Amir berkata kepada Ibnu ‘Umar: “Apakah tidak tuan berdoa kepadaku ?”. Ibnu ‘Umar menjawab: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak diterima oleh Allah shalat dengan tiada suci dan sedekah dari harta yang diserobot”. Dan engkau telah menjadi wali negeri Basrah”. Maka ini adalah ucapannya tentang apa yang diserahkannya kepada segala jalan kebajikan. Dari Ibnu ‘Umar ra yang mengatakan pada masa pemerintahan Al-Hajjaj: “Tidaklah aku kenyang dari makanan sejak aku menguasai kampung itu, sampai kepada hariku ini”.
Diriwayatkan dari Ali ra bahwa ia mempunyai tepung gandum yang halus dalam bejana yang tertutup, dimana ia minum pada bejana itu. Maka orang menanyakan kepadanya: “Adakah tuan perbuat ini di Irak, serta banyak makanannya ?”. Ali ra menjawab: “Sesungguhnya aku tidak menutup bejana itu karena kikir, tetapi aku tidak suka dimasukkan kedalamnya, apa yang tidak daripadanya dan aku tidak suka masuk ke perutku yang tidak baik”. Maka inilah yang biasa dari mereka ! Adalah Ibnu ‘Umar, tiada sesuatu yang menakjubkannya, melainkan beliau keluar daripadanya. Maka Nafi’ meminta daripadanya 30 ribu, lalu beliau menjawab: “Sesungguhnya saya takut, akan terperdaya aku oleh dirham Ibnu ‘Amir dan adalah ia yang meminta. Pergilah ! engkau itu bebas”. Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Tiadalah dari kita seseorang, melainkan telah cenderung dunia dengan dia, selain Ibnu ‘Umar”. Maka dengan ini jelaslah, bahwa tidak timbul persangkaan apa-apa kepadanya dan dengan orang yang ada pada kedudukannya, bahwa beliau mengambil, apa yang tidak diketahuinya itu halal.
Derajat ketiga: bahwa ia mengambil apa yang diambilnya dari sultan untuk disedekahkannya kepada fakir miskin. Atau untuk dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak. Karena sesuatu yang tidak tentu pemiliknya, maka padanya ini hukum syara’ (agama). Apabila adalah sultan itu, jika tidak diambil daripadanya, niscaya tidak dibagi-bagikannya dan dipakainya uang itu pada kezaliman, maka kadang-kadang kami katakan: “Mengambilkan barang itu daripada nya dan membagi-bagikannya, adalah lebih utama daripada membiarkannya dalam tangannya”. Ini telah menjadi pendapat setengah ulama dan akan datang cara nya. Dan kepada inilah ditempatkan apa yang diambil oleh kebanyakan mereka. Dan karena itulah Ibnul-Mubarak berkata: “Bahwa mereka yang mengambil pemberian-pemberian pada hari ini dan berdalilkan dengan Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, tidaklah mereka itu mengikuti keduanya. Karena Ibnu ‘Umar membagi-bagikan apa yang diambilnya, sehingga ia berhutang pada tempat duduknya, sesudah dibagi-bagikannya uang itu sebanyak 60 ribu. Dan ‘Aisyah memperbuat seperti yang demikian. Dan Jabir bin Zaid, dibawa orang kepadanya harta, lalu ia menyedekahkan harta itu seraya berkata: “Aku berpendapat bahwa aku mengambil harta itu dari mereka dan aku menyedekahkannya, adalah lebih aku sukai daripada menyimpankannya dalam tangan mereka”. Dan begitulah diperbuat oleh Asy-Syafi’i ra dengan apa yang diterimanya dari Harunurrasyid. Sesungguhnya dibagi-bagikannya terus, sehingga tidak dipegangnya untuk diri nya sendiri sebiji pun.
Derajat keempat: bahwa ia tidak meyakini bahwa harta itu halal dan tidak dibagi-bagikannya, bahkan ditinggalkannya. Tetapi ia mengambil dari sultan, yang kebanyakan hartanya halal. Dan begitulah adanya para khalifah pada zaman sahabat ra dan tabi’in sesudah khulafa’-rasyidin. Dan tidak adalah kebanyakan harta mereka itu haram. Dan dibuktikan kepada yang demikian itu, oleh pernyataan alasan dari Ali ra dimana beliau mengatakan: “Bahwa apa yang diambilnya dari yang halal, adalah lebih banyak”. Maka inilah sebahagian dari apa yang diperbolehkan oleh segolongan ulama, karena berpegang kepada yang terbanyak. Dan kami sesungguhnya menhentikan persoalan ini mengenai hak seseorang perseorangan dari orang banyak. Dan harta sultan itu adalah lebih menyerupai diluar hinggaan. Maka tidaklah jauh untuk membawa ijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan) dari seseorang yang berijtihad (mengeluarkan pendapat /pertimbangan), kepada bolehnya mengambil apa yang tidak diketahui bahwa itu haram. Karena berpegang kepada yang terbanyak. Dan sesungguhnya kami larang mengambilnya, apabila adalah yang terbanyak itu haram. Maka apabila anda telah pahami segala derajat ini, niscaya dapatlah anda meyakini, bahwa pemberian-pemberian orang-orang zalim pada zaman kita ini, tidaklah berlaku menurut yang berlaku itu. Dan pemberian-pemberian itu berbeda daripadanya, dengan dua segi yang tegas.
Segi pertama: bahwa harta para sultan pada masa kita sekarang, adalah haram, semuanya atau yang terbanyak daripadanya. Bagaimana tidak ? yang halal itu, ialah sedekah (zakat), fai’, ghanimah dan harta-harta yang tersebut ini tidak ada dan tidak masuk daripadanya sedikitpun dalam tangan sultan. Dan tidak ada yang tinggal, selain dari pajak (jizyah). Dan jizyah itu dikutip dengan berbagai macam kezaliman, yang tidak halallah mengambilnnya dengan kezaliman. Para sultan itu melewati batas-batas agama mengenai barang yang diambil dan orang tempat diambil dan menyempurnakan syarat bagi barang yang diambil. Kemudian, apabila anda bandingkan yang demikian kepada apa yang membanjir kepada para sultan itu, dari pajak yang dikenakan kepada orang Islam, pengeluaran-pengeluaran, uang sogok dan bermacam-macam kezaliman, niscaya tidak akan sampai 1/10 - 1/10 nya.
Segi kedua: bahwa orang-orang zalim pada masa pertama dahulu, karena dekatnya masa mereka dengan zaman khulafa’-rasyidin, adalah mereka merasa dari kezalimannya, mengharap kepada kecondongan hati para sahabat dan tabi’in, berusaha supaya diterima pemberian dan antaran mereka. Dan adalah mereka mengirimkan pemberian itu kepada para sahabat dan tabi’in, tanpa diminta dan penghinaan. Bahkan mereka merasakan nikmat dengan penerimaan itu dan bergembira daripadanya. Dan para sahabat dan tabi’in tersebut mengambil daripada orang-orang zalim itu dan membagi-bagikannya. Dan tidak akan mentaati penguasa-penguasa itu dalam segala maksudnya. Tidak akan mendatangi majelis mereka, tidak akan membanyakkan berkumpul dengan mereka dan tidak akan suka mereka itu tetap terus-menerus. Tetapi mendoakan terhadap mereka dan melepaskan kata-kata kepada mereka dan menantang segala kemungkinan dari mereka kepada para sahabat dan tabi’in itu. Maka tidaklah ditakuti bahwa akan membahayakan kepada agama, dengan kadar apa yang membahayakan kepada dunia. Dan tidaklah mengapa pengambilan itu. Adapun sekarang, maka jiwa para sultan itu tidaklah membolehkan dengan sesuatu pemberian, kecuali untuk orang yang diharapnya pengkhidmatan, pembanyakan dan pertolongan dari mereka untuk maksud-maksudnya. Dan memperoleh keelokan dengan kedatangan mereka ke majelis-majelisnya, menugaskan mereka membiasakan mendoa, memuji, menyatakan bersih dan menyanjung dengan pujian yang berlebih-lebihan dihadapan dan dibelakangnya. Maka jikalau tidaklah yang mengambil itu, pertama-tama menghinakan dirinya dengan meminta, kedua dengan bulak-balik pengkhidmatan, ketiga dengan pujian dan doa, keempat dengan pertolongan kepadanya ketika dimintanya pertolongan, kelima dengan membanyakkan berkumpul pada majelis dan rombongannya, keenam dengan melahirkan kecintaan, kepatuhan dan penantangan terhadap musuh-musuhnya dan ketujuh dengan menutupi kezaliman, kekejian dan keburukan segala amal perbuatannya, niscaya ia tidak akan mengurniakan walau sedirham sekalipun, meskipun ia berada dalam keutamaan Asy-Syafi’i ra umpamanya.
Jadi, tidaklah boleh mengambil daripada mereka pada masa ini, apa yang diketahui, bahwa itu halal. Karena membawa kepada pengertian-pengertian tersebut. Maka bagaimana pula, apa yang diketahui bahwa itu haram atau diragukan padanya ? maka barangsiapa memberanikan diri mengambil harta mereka dan menyerupakan dirinya dengan sahabat dan tabi’in, maka sesungguhnya ia telah mengqiaskan malaikat dengan tukang besi. Maka pada mengambil harta para sultan itu, memerlukan kepada bercampur-gaul dengan mereka, menjaga, berkhidmat kepada pekerja-pekerja mereka, menanggung penghinaan dari mereka, memuji dan pulang pergi ke pintu-pintu mereka. Dan semua itu, adalah ma’siat, berdasarkan apa yang akan kami terangkan pada bab yang berikut. Jadi, telah jelaslah dari yang telah diterangkan itu, tempat masuk harta mereka, apa yang halal dan yang tidak halal daripadanya. Maka jikalau tergambarlah, bahwa orang mengambil daripadanya apa yang halal, sekedar yang mustahak dan ia duduk di rumahnya, dimana barang itu dibawa kepadanya, tidak memerlukan padanya kepada mencari yang bekerja dan pengkhidmatannya, tidak kepada pujian dan pernyataan bersih mereka dari kesalahan dan tidak kepada memberi pertolongan kepada mereka, maka tidaklah haram mengambil. Tetapi dimakruhkan, karena pengertian-pengertian, yang akan kami peringatkan padanya pada bab yang berikut ini.
PERHATIAN KEDUA: dari bab ini, mengenai kadar yang diambil dan sifat dari yang mengambil.
Kita umpamakan harta itu dari harta kepentingan umum, seperti 4/5 dari fai’ dan harta warisan. Maka yang selain dari yang tersebut, dari apa yang telah tertentu orang yang berhak padanya, kalau ada ia dari waqaf atau zakat atau 1/5 fai’ atau 1/5 ghanimah dan apa yang ada dari milik sultan, dari yang dihidupkannya atau yang dibelinya, maka bagi sultan itu memberi apa yang dikehendakinya, kepada siapa yang dikehendakinya. Sesungguhnya yang diperhatikan, ialah tentang harta yang hilang pemiliknya dan harta kepentingan umum. Maka tiada boleh diserahkan, kecuali kepada orang yang ada padanya kepentingan umum atau orang yang berhajat kepada barang itu, dimana ia lemah dari berusaha.
Adapun orang kaya, yang tak ada kepentingan umum padanya, maka tidak dibolehkan menyerahkan harta baital-mal kepadanya. Inilah yang benar, walaupun para ulama berbeda pendapat padanya. Dan pada ucapan Umar ra yang telah disebutkan dahulu, ada yang menunjukkan bahwa bagi masing-masing muslim berhak pada baitul-mal, karena dia muslim, yang membanyakkan kumpulan Islam. Tetapi dalam pada itu, tidaklah harta itu dibagikan kepada kaum muslimin seluruhnya. Tetapi kepada orang-orang yang ditentukan dengan beberapa sifat. Maka apabila telah tetap, lalu tiap-tiap orang yang mengurus sesuatu pekerjaan yang dikerjakannya, yang menjalar kepentingannya kepada kaum muslimin dan kalau ia mengerjakan sesuatu usaha, niscaya ia tidak dapat mengerjakan pekerjaan tersebut, maka ia berhak yang mencukupi pada baitul-mal. Dan termasuk dalam golongan orang tadi, para ulama semuanya (para ahli ilmu), ya’ni: ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan kepentingan agama, yaitu: ilmu fiqh, hadits, tafsir dan qiraah (pembacaan Alquran). Sehingga masuk ke dalamnya, guru-guru (para pengajar ilmu-ilmu tadi) dan orang-orang yang bertugas adzan. Dan para penuntut ilmu-ilmu tadi juga termasuk kedalamnya. Karena mereka, jikalau tidak mencukupi perbelanjaannya, niscaya tidak mungkin belajar. Dan termasuk kedalamnya para pekerja. Yaitu: mereka yang berhubungan kepentingan dunia dengan pekerjaan mereka. Yaitu: tentara yang digaji, yang menjaga kerajaan (negara) dengan pedang dari serangan musuh, orang-orang yang memberontak dan musuh-musuh Islam. Dan termasuk kedalamnya juru-juru tulis, penghitung-penghitung harta negara, wakil-wakil dari pemerintah dan semua orang yang diperlukan tenaganya untuk menyusun kantor cukai. Ya’ni: para pekerja pada segala harta halal, tidak pada harta haram. Maka harta tersebut, adalah untuk kepentingan umum. Dan kepentingan itu, adakalanya menyangkut dengan agama atau dengan dunia. Maka dengan ulama, terjaga agama. Dan dengan tentara, terjaga dunia. Agama dan kerajaan (pemerintahan) itu, adalah dua anak kembar, tidak mencukupi yang satu, tanpa yang lain. Dan dokter, walaupun tiada hubungan dengan pengetahuannya urusan keagamaan, tetapi berhubungan dengan dia kesehatan badan. Dan agama adalah mengikuti badan itu. Maka bolehlah untuknya dan untuk orang yang menjalankan seperti perjalanannya dalam lapangan ilmu pengetahuan yang diperlukan, pada kepentingan tubuh atau kepentingan negeri, mengambil pemberian dari harta-harta tersebut. Supaya mereka dapat menyerahkan dirinya untuk pengobatan kaum muslimin. Ya’ni: orang-orang yang diobati dari mereka, tanpa ongkos. Dan tidaklah disyaratkan keperluan bagi mereka. Tetapi boleh diberikan, biarpun mereka itu kaya. Karena khulafa-rasyidin memberikan kepada orang muhajirin dan anshar. Dan mereka tidak mengetahui dengan keperluannya. Dan tidak pula ditentukan dengan suatu kadar, tetapi terserah kepada ijtihad (pertimbangan) imam (penguasa). Ia boleh meluaskan dan mengayakan dan boleh mencukupkan sekedar mencukupi, menurut yang dikehendaki keadaan dan kesanggupan harta. Al-Hasan ra telah mengambil dari Mu’awiyah sekaligus sebanyak 400 ribu dirham. Dan Umar ra memberikan untuk suatu golongan (jama’ah), sebanyak 12 ribu dirham dalam setahun. Dan ‘Aisyah membenarkan berita tadi tentang pemberian Umar ra. Dan untuk golongan lain Umar ra memberikan 10 ribu dan untuk golongan yang lain lagi, sebanyak 6000. Dan begitulah seterusnya ! Itulah harta mereka ! maka dibagi-bagikan kepada mereka. Sehingga tidak tinggal sedikitpun daripadanya. Maka kalau ditentukan kepada seorang dari mereka dengan harta banyak, maka tiada mengapa.
Dan begitupula sultan boleh menentukan dari harta itu untuk orang-orang tertentu dengan pemberian dan anugerah. Dan yang demikian itu telah diperbuat pada orang-orang terdahulu (salaf). Tetapi seyogyalah diperhatikan kepada kepentingan umum. Manakala ditentukan kepada seorang ahli ilmu atau seorang yang berani, dengan sesuatu pemberian, niscaya adalah pada yang demikian itu, menggerakkan dan membangkitkan manusia kepada bekerja dan menyerupakan diri dengan orang itu. Maka itulah faedahnya pemberian, anugerah dan berbagai macam penentuan yang lain. Dan semuanya itu bergantung kepada ijtihad (pertimbangan) sultan. Dan sesungguhnya perhatian pada sultan-sultan yang zalim itu adalah mengenai dua hal:
Pertama: bahwa sultan yang zalim itu, dicegah dari memerintah. Adakalanya dengan berhenti atas kehendak sendiri atau harus diberhentikan. Maka bagaimanakah boleh diambil sesuatu daripadanya, sedang ia sebenarnya bukan sultan ?
Kedua: bahwa tidaklah diratakan harta sultan itu kepada semua yang bermustahak(orang miskin yg berhak menerima zakat). Maka bagaimanakah diperbolehkan bagi masing-masing perseorangan mengambilnya ? adakah boleh mereka itu mengambil sekedar bahagian mereka ? atau tiada diperbolehkan sekali-kali ? atau diperbolehkan bagi masing-masing mengambil apa yang diberikan ? Adapun yang pertama, maka menurut pendapat kami, bahwa tidak dilarang mengambil hak. Karena sultan zalim yang jahil, manakala ia dibantu oleh kekuasaan (syaukah) dan sulit menjatuhkannya dan pada menggantikannya timbul fitnah yang berkobar-kobar yang tak tertahan, maka wajib meninggalkan pergantian itu dan wajib mentaatinya sebagaimana wajib mentaati amir-amir. Karena telah datang amar (perintah) Nabi saw menyuruh taat kepada amir-amir. Dan melarang menarik dengan tangan daripada menolong mereka dengan beberapa amar dan peringatan. Maka menurut pendapat kami, bahwa khilafah (kekhalifahan) adalah sah bagi yang memangkunya dari Bani Abbas ra. Dan pemerintahan itu berjalan bagi para sultan di segala daerah negeri dan bagi orang-orang yang melakukan bai’ah (sumpah setia) kepada khalifah. Dan telah kami terangkan dalam Kitab Al-Mustadh-hari yang dipetik dari Kitab “Kasyful-Asrar wa Hatkul-Astar” karangan Al-Qadli Abith-Thayyib, untuk menolak bermacam-macam aliran dari golongan Rafidlah kebatinan (golongan yang menolak pemerintahan khilafah), apa yang menunjukkan kepada cara kemuslihatan padanya. Kesimpulan kata, bahwa kita menjaga sifat-sifat dan syarat-syarat mengenai sultan-sultan, karena memperhatikan kepada adanya kemuslihatan yang bertambah-tambah. Dan kalau kita putuskan dengan batalnya segala pemerintahan wilayah sekarang, maka dengan sendirinya terus batallah segala kemuslihatan itu. Maka bagaimanakah hilangnya modal pada mencari keuntungan? tetapi wilayah itu sekarang tidak diikuti, kecuali oleh kekuasaan. Maka barangsiapa dilakukan bai’ah(sumpah setia)  kepadanya oleh yang mempunyai kekuasaan, maka dia itu adalah: khalifah. Dan barangsiapa bertangan besi dengan syaukahnya dan ia taat kepada khalifah pada pokok pidato jabatannya dan jalan yang lurus yang ditempuhnya, maka dia itu adalah sultan yang berjalan hukum dan ketetapannya ke seluruh negeri, sebagai wilayah yang
berjalan segala hukum ketetapannya. Dan untuk pembuktian ini telah kami terangkan dahulu, pada hukum keimaman dari kitab “al-Iqtishad fil-i’tiqad (keyakinan)” –Kesederhanaan tentang i’tiqad (keyakinan) –maka tidaklah memerlukan lagi untuk kami memperpanjangkannya sekarang.
Adapun kesulitan lain, yaitu: bahwa sultan apabila tidak meratakan pemberian kepada semua yang mustahak (orang miskin yg patut menerima zakat), maka bolehkah bagi seseorang mengambil daripadanya ? Ini adalah termasuk hal yang diperselisihkan diantara para ulama kepada 4 tingkat. Setengah mereka bersangatan benar dan mengatakan: “Semua apa yang diambil sultan, maka kaum muslimin semuanya berkongsi padanya. Dan sultan itu tidak mengetahui, bahagiannya dari barang itu, sedaniq (1/6 dirham) atau sebiji. Maka hendaklah ia meninggalkan semuanya !”. Dan berkata segolongan dari ulama: “Sultan itu boleh mengambil sekedar makanan sehari saja. Maka kadar itu adalah ia berhak, karena perlunya atas kaum muslimin”. Dan berkata segolongan yang lain: “Bagi sultan itu makanan setahun. Kalau diambilnya yang mencukupi untuk tiap-tiap hari itu adalah sukar dan sultan itu mempunyai hak pada harta tersebut. Maka bagaimanakah ia meninggalkannya ?”. Berkata golongan lain, bahwa sultan itu mengambil apa yang diserahkannya. Dan yang teraniaya, ialah yang selebihnya. Dan ini, ialah qias (menggambungkan / menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan adalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama). Karena harta itu tiadalah berkongsi diantara kaum muslimin, seperti ghanimah (rampasan perang) diantara orang-orang yang merampasnya. Dan tidak seperti harta warisan diantara para ahli waris. Karena harta itu adalah milik mereka. Dan ini, jikalau tidak bersesuaian pembahagiannya sehingga mereka itu meninggal, niscaya tiada wajib dibagi-bagikan kepada para ahli waris mereka menurut hukum pusaka. Tetapi hak tersebut adalah tiada tertentukan dan hanya tertentu dengan digenggam (dipegang). Tetapi dia adalah seperti sedekah (zakat). Manakala telah diberikan kepada fakir miskin akan bahagian mereka dari zakat itu, niscaya jatuhlah menjadi milik mereka. Dan tidaklah tercegah dengan kezaliman si pemilik akan golongan-golongan yang lain yang berhak menerima zakat, dengan dilarang hak mereka ini, apabila tidak diserahkan kepadanya semua harta. Tetapi diserahkan kepadanya dari harta, akan apa, jikalau diserahkan kepadanya dengan jalan mengutamakan dan melebihkan, serta meratakan bagi yang lain-lain, niscaya bolehlah baginya mengambilkannya.
Dan pelebihan itu boleh pada pemberian. Abubakar ra menyamakan dalam pemberian, lalu ditinjau kembali oleh Umar ra, seraya berkata: “Sesungguhnya kelebihan mereka pada sisi Allah dan sesungguhnya dunia itu tempat menyampaikan hajat. Dan Umar ra melebihkan pemberian pada zamannya. Lalu beliau memberikan kepada ‘Aisyah 12 ribu, kepada Zainab 10 ribu dan kepada Juairiah 6 ribu dan begitupula kepada Shafiah. Dan diputuskan oleh Umar ra untuk Ali ra jumlah tertentu. Dan juga diputuskan oleh Usman ra dari daerah As-Sawad 5 petak kebun dan ditentukan oleh Usman ra kepada Ali ra kebun-kebun itu. Dan Ali menerimanya dan tidak menantangnya. Dan semuanya itu adalah dibolehkan pada tempat ijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan). Dan termasuk sebahagian dari ijtihad-ijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan) yang aku katakan, bahwa tiap-tiap yang berijtihad itu betul. Yaitu tiap-tiap masalah yang tak ada nash (dalil tegas) tentang diri masalah itu dan tidak pada masalah yang mendekatinya.
Maka adalah masalah itu dalam pengertiannya dengan qias yang nyata, seperti masalah tersebut dan masalah siksaan orang yang meminum yang memabukkan. Maka mereka itu disiksa dengan 40 kali pukul dan 80 kali pukul. Dan semuanya adalah sunnah dan benar. Dan masing-masing dari Abubakar ra dan Umar ra itu adalah betul dengan sepakat para sahabat ra. Karena yang dilebihkan ialah, apa yang dikembalikan pada zaman Umar dari sesuatu kepada yang lebih, dari apa yang telah diambilnya pada zaman Abubakar. Dan tidaklah yang lebih itu tercegah daripada menerima kelebihan pada zaman Umar. Dan bersekutu padanya semua sahabat dan mereka berkeyakinan, bahwa masing-masing dari kedua pemdapat itu adalah benar. Maka hendaklah diambil yang sejenis ini sebagai undang-undang dasar (dustur) bagi perselisihan-perselisihan, yang membetulkan semua orang yang berijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan) padanya. Adapun tiap-tiap masalah yang sedikit sekali nash atau qias yang terang padanya dari orang yang berijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan), disebabkan kelalaian atau salah pendapat dan ada dalam kekuatan, dimana hukum dari yang berijtihad itu dirombak, maka tidaklah kami mengatakan padanya: bahwa masing-masing itu benar. Tetapi yang benar, ialah: orang yang memperoleh nash (dalil yang tegas) atau yang dalam pengertian nash. Dan sesungguhnya telah diperoleh dari kumpulan ini, bahwa orang yang mendapat dari orang-orang tertentu, yang bersifat dengan sifat yang menyangkut segala kemuslihatan agama atau dunia padanya dan ia mengambil dari sultan anugerah atau kurnia atas peninggalan orang mati atau jizyah, niscaya tidaklah ia menjadi fasiq dengan semata-mata mengambilnya. Dan hanya ia fasiq dengan pelayanannya dan pertolongannya yang diberikannya kepada sultan-sultaan itu. Dan masuknya kepada mereka, memuji dan menyanjung mereka dsb, dari segala kelaziman, dimana biasanya harta itu tidak diserahkan, kecuali dengan hal-hal yang tersebut, sebagaimana akan kami jelaskan nanti.
BAB KEENAM: mengenai yang halal dan yang haram dari hal bercampur-baur dengan sultan-sultan yang zalim, hukum mendatangi majelis mereka, masuk ke tempat mereka dan memuliakan mereka.
Ketahuillah kiranya, bahwa anda bersama amir-amir, pegawai-pegawai dan orang-orang zalim, mempunyai 3 hal:
Hal pertama, yaitu yang terburuk, ialah bahwa anda masuk ke tempat mereka.
Hal kedua, yaitu yang kurang buruk dari itu, ialah, mereka masuk ke tempat anda.
Hal ketiga, yaitu yang lebih selamat, ialah, bahwa anda mengasingkan diri dari mereka. Maka anda tidak melihat mereka dan mereka tiada melihat anda.
Adapun hal pertama tadi, yaitu masuk ke tempat mereka, maka itu adalah tercela sekali pada agama. Mengenai itu terdapat ancaman yang berat dan sangat, yang tersebut dalam hadits dan atsar. Maka marilah kami nuqilkan supaya engkau ketahui akan celaan agama itu. Kemudian kami bentangkan bagi yang diharamkan, yang diperbolehkan dan yang dimakruhkan daripadanya, menurut yang dikehendaki oleh fatwa pada ilmu zahir. Adapun hadits: yaitu, tatkala Rasulullah saw menyifatkan amir-amir yang zalim, lalu beliau bersabda: “Maka barangsiapa mencampakkan mereka, niscaya terlepaslah ia dan barangsiapa mengasingkan diri dari mereka, niscaya selamatlah ia atau hampir ia akan selamat. Dan barangsiapa terperosok bersama mereka dalam keduniaan, maka ia termasuk sebagian dari mereka”. Dan yang demikian itu, adalah karena orang yang mengasing diri dari amir-amir itu, niscaya ia selamat dari kedosaan mereka. Tetapi tidak selamat dari azab yang meratai dia bersama mereka, kalau ia mengambil tempat bersama mereka, karena ditinggalkannya mencampakkan dan mencabutkan diri. Nabi saw bersaba: “Akan ada sesudahku amir-amir yang berdusta dan zalim. Maka barangsiapa membenarkan mereka dengan kedustaannya dan menolong mereka diatas kezalimannya, maka tidaklah ia daripadaku dan tidaklah aku daripadanya. Dan ia tidak akan datang ke kolam (kolam Nabi saw di negeri akhirat nanti”).
Diriwayatkan Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda: “Ahli qiraah (ahli pembacaan Alquran) yang sangat dimarahi Allah Ta’ala, ialah mereka yang mengunjungi amir-amir”. Dan pada suatu hadits, tersebut: “Amir yang baik, ialah yang datang kepada ulama dan ulama yang jahat, ialah yang datang kepada amir”. Dan pada suatu hadits, tersebut: “Ulama itu adalah pemegang amanah rasul pada hamba-hamba Allah, selama mereka tidak bercampur baur dengan sultan. Maka apabila mereka berbuat yang demikian, sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada rasul. Maka, waspadalah terhadap mereka dan jauhkanlah dirimu daripadanya !” hadits ini diriwayatkan oleh Anas ra.
Adapun atsar, maka berkatalah Hudzaifah: “Awasilah dari tempat-tempat firnah !”. Lalu orang bertanya: “Manakah tempat-tempat fitnah itu ?”. Hudzaifah menjawab: “Pintu-pintu para amir, yang dimasuki oleh seorang kamu ke tempat amir itu, lalu membenarkannya dengan kedustaan dan mengatakan apa yang tidak ada mengenai amir itu”. Abu Dzar mengatakan kepada Salmah: “Wahai Salmah ! janganlah engkau datangi pintu-pintu para sultan, karena engkau tidak akan dapat membahayakan sedikitpun dari dunia mereka, melainkan mereka telah membahayakan akan agamamu yang lebih utama daripadanya”. Berkata Sufyan: “Dalam neraka jahannam, ada sebuah lembah, yang tidak ditempati kecuali oleh para ahli qiraah (al-qurra’), yang mengunjungi raja-raja”. Al-Auza’i berkata: “Tiadalah sesuatu yang lebih dimarahi Allah, selain dari orang alim yang mengunjungi pegawai (yang bekerja) pada raja”. Samnun berkata: Alangkah kejinya seorang alim yang didatangi tempatnya, maka ia tidak didapati. Lalu ditanyakan, maka orang menjawab: “Dia pada amir”. Aku mendengar, ada orang mengatakan: “Apabila kamu melihat orang alim yang mencintai dunia, maka curigailah dia terhadap agamamu, sehingga aku cobakan yang demikian. Karena tiadalah sekali-kali aku masuk ke tempat sultan, melainkan aku perhitungkan diriku setelah keluar, lalu aku melihat pada diri itu, akan bekas perbuatan, bersama apa yang aku menampak pada mereka, dari kekasaran dan pertentangan dengan hawa nafsu mereka”. ‘
Abbadah bin Ash-Shamit berkata: “Kecintaan ahli qiraah yang kuat beribadah kepada amir-amir, adalah nifaq (sifat orang munafiq) dan kecintaannya kepada orang-orang kaya, adalah ria”. Abu Dzar berkata: “Barangsiapa membanyakkan harta segolongan orang, maka dia adalah setengah dari mereka. Artinya: barangsiapa membanyakkan harta orang-orang zalim”. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Sesungguhnya seorang laki-laki yang memasuki tempat sultan dan bersama orang itu agamanya, lalu ia keluar dan tak ada agamanya baginya lagi”. Lalu orang menanyakan kepadanya: “Mengapa ?”. Ibnu Mas’ud menjawab: “Karena ia akan mencari kerelaan sultan itu dengan kemarahan Allah”. Umar bin Abdul-‘aziz memperkerjakan seorang laki-laki, lalu orang mengatakan kepadanya bahwa laki-laki itu adalah pegawai Al-Hajjaj. Maka diberhentikannya. Lalu laki-laki itu berkata: “Sesungguhnya aku bekerja untuk Al-Hajjaj adalah sedikit sekali”. Maka Umar menjawab: “Mencukupilah engkau menyertainya sehari atau setengah hari karena keburukan dan kejahatan”. Al-Fudlail berkata: “Tiada bertambahlah seseorang dekatnya dengan seorang sultan, melainkan ia bertambah jauh daripada Allah”.
Adalah Sa’id bin Al-Musayyab berniaga minyak dan mengatakan: “Sesungguhnya pada minyak ini memperoleh kecukupan, daripada mendekati sultan-sultan itu”. Wuhaib berkata: “Mereka yang masuk ke tempat raja-raja, lebih mendatangkan kemelaratan kepada umat, daripada orang-orang yang bermain judi”. Berkata Muhammad bin Salmah: “Lalat diatas kotoran adalah lebih baik dari ahli qiraah (qari’) pada pintu mereka (raja-raja)”. Tatkala Az-Zuhri bercampur-baur dengan sultan, lalu seorang saudaranya seagama menulis surat kepadanya: “Kiranya Allah mendatangkan sehat wal-afiat kepada kita ! jagalah, wahai Abubakar (panggilan kepada Az-Zuhir) dari fitnah ! engkau telah menjadi dalam keadaan yang seyogyalah bagi orang yang mengenal engkau, untuk mendoa kepada Allah bagi engkau dan berbelas-kasihan kepada engkau. Engkau telah menjadi seorang syaikh besar, yang telah banyaklah ni’mat Allah kepadamu. Karena diberiNya kamu pemahaman akan KitabNya dan diajariNya kamu sunnah NabiNya Muhammad saw. Bukanlah demikian ? Allah telah mengambil ikatan perjanjian dengan para ulama. Allah Ta’ala berfirman: “Bahwa kamu akan menerangkan Kitab itu kepada manusia dan tidak akan menyembunyikannya”. S 3 Ali ‘Imran ayat 187. Ketahuilah, bahwa yang termudah dari apa yang telah engkau kerjakan dan yang teringan dari yang telah engkau pikulkan, ialah engkau telah berjinak-jinakkan dengan keliaran orang zalim dan engkau mudahkan jalan kedurhakaan, dengan engkau mendekati orang yang tidak menunaikan yang benar dan tidak meninggalkan yang salah, ketika ia mendekati engkau. Mereka membuat engkau menjadi pusat, yang berputar diatas engkau roda kezaliman mereka. Diambilnya engkau, menjadi jembatan yang dilaluinya diatas engkau, kepada bencana yang ditimbulkan mereka dan tangga yang dinaikinya pada tangga itu kepada kesesatan. Dan mereka masukkan dengan sebab engkau, keraguan kepada para ulama dan mereka patuhkan dengan sebab engkau, hati orang-orang bodoh. Maka alangkah mudahnya, apa yang mereka bangun untuk engkau, disamping apa yang mereka robohkan keatas pundak engkau ! alangkah banyaknya yang mereka ambil dari engkau, mengenai apa yang mereka rusakkan keatas engkau dari agama engkau ! maka tidaklah engkau aman dari menjadi sebahagian dari orang yang difirmankan oleh Allah Ta’ala tentang mereka: “Kemudian mereka digantikan oleh satu angkatan, yang meninggalkan sembahyang”. S 19 Maryam ayat 59. Sesungguhnya engkau bergaul dengan orang yang tidak bodoh dan menjaga terhadapmu orang yang tidak lalai. Maka obatilah agamamu, yang sesungguhnya telah masuk kepadanya penyakit ! dan sediakanlah perbekalanmu, yang sesungguhnya telah tiba saat bermusafir jauh! “Dan tidaklah tersembunyi pada Allah sesuatu di bumi dan di langit”. S 14 Ibrahim ayat 38. Wassalam”.
Maka segala hadits dan atsar tersebut, menunjukkan bahwa pada bercampur-baur dengan sultan-sultan itu terdapat firnah-fitnah dan berbagai macam kerusakan. Tetapi akan kami uraikan yang demikian itu, secara uraian fiqh, dimana kami akan memperbedakan padanya akan yang terlarang dari yang makruh dan yang mubah. Maka kami mulai: bahwa orang yang masuk ke tempat sultan, adalah datang untuk mendurhakai Allah Ta’ala. Adakalanya: dengan perbuatan nya atau dengan diamnya atau dengan perkataannya atau dengan i’tiqad (keyakinan)nya. Maka tidaklah terlepas dari salah satu hal-hal tersebut.
Adapun perbuatan, maka memasuki tempat raja-raja itu dalam banyak hal, adalah memasuki rumah-rumah rampokan. Melangkahkan kaki dan memasuki rumah-rumah tersebut, tanpa izin pemiliknya, adalah haram. Dan janganlah engkau tertipu dengan perkataan orang yang mengatakan, bahwa yang demikian itu, termasuk sebahagian dari apa yang bermaaf-maafan manusia padanya, seperti sebiji tamar atau beberapa hancuran roti. Sesungguhnya yang demikian itu benar pada bukan barang rampokan. Adapun barang rampokan, maka tidaklah demikian. Karena kalau dikatakan, bahwa tiap-tiap duduk yang ringan (yang sebentar), tidaklah mengurangkan milik, maka duduk yang demikian itu, adalah pada tempat bermaaf-maafan. Dan begitu pula singgah sebentar. Maka berlakulah ini pada tiap-tiap orang, lalu berlaku pula pada kumpulan orang. Dan perampokan itu hanya sempurna dengan perbuatan semua orang. Dan hanya bermaaf-maafan padanya, apabila sendirian. Karena kalau diketahui oleh pemiliknya, kadang-kadang tidak merasa benci hati kepadanya. Adapun apabila yang demikian itu menjadi jalan kepada menghabiskan dengan perkongsian, maka hukum pengharaman itu, tertarik kepada semua. Maka tidaklah boleh untuk mengambil milik seseorang menjadi jalan, karena berpegang, bahwa tiap-tiap seorang dari orang-orang yang lalu, sesungguhnnya ia melangkah akan suatu langkah, yang tidak mengurangkan milik. Karena jumlah orang itulah yang menghilangkan milik. Dan itu adalah seperti pukulan yang ringan pada pengajaran, adalah diperbolehkan, tetapi dengan syarat sendirian. Maka jikalau berkumpul segolongan orang memukul dengan pukulan-pukulan yang mengharuskan mati, niscaya wajiblah qishash (pembalasan) kepada semua. Sedangkan masing-masing dari pukulan itu, jikalau sendiri-sendiri, niscaya tidaklah mewajibkan qishash. Kalau diumpamakan adanya orang zalim itu pada tempat yang bukan rampokan, seperti pada tanah yang tak berpunya umpamanya, maka kalau ada dibawah khemah atau payung besar dari harta orang zalim tersebut, maka itu haram. Dan masuk kepadanya tidak dibolehkan. Karena yang demikian itu mengambil manfaat dengan yang haram dan bernaung di bawah yang haram. Kalau diumpamakan semuanya itu halal, maka tidaklah ma’siat dengan masuk kedalamnya, dari segi masuk itu. Dan tidaklah ma’siat dengan ucapannya: Assalamu’alaikum. Tetapi, jikalau ia sujud atau ruku’ atau ia berdiri tegak dalam salamnya dan pelayanannya, niscaya adalah ia memuliakan orang zalim disebabkan pemerintahannya, yang menjadi alat kezalimannya. Dan merendahkan diri (tawadlu’) kepada orang zalim, adalah perbuatan ma’siat. Tetapi orang yang tunduk merendahkan diri kepada orang kaya, yang tidak zalim karena kekayaannya, tidak karena sebab yang lain, yang menghendaki merendahkan diri itu, niscaya membawa kekurangan 2/3 agamanya. Maka bagaimana pula apabila tunduk merendahkan diri kepada orang zalim! maka tidak diperbolehkan, selain dari semata-mata salam saja.
Adapun mencium tangan dan membungkuk pada pelayanan, maka itu adalah ma’siat. Kecuali ketika takut atau bagi imam yang adil atau bagi orang alim atau bagi orang yang berhak demikian, disebabkan urusan keagamaan. Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah ra mencium tangan Ali ra tatkala berjumpa di negeri Syam. Ali ra tidak membantahnya. Sebahagian salaf bersangatan benar, sehingga tidak mau menjawab salam orang-orang zalim dan berpaling muka dari mereka, untuk menghinakan mereka. Dan dihitungnya yang demikian itu, sebahagian dari mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala yang sebaik-baiknya.
Adapun berdiam diri daripada menjawab salam, maka mengenai ini mendapat perhatian. Karena menjawab salam, adalah wajib. Maka tiada seyogyalah gugur kewajiban itu disebabkan kezaliman. Kalau orang yang masuk ke tempat orang zalim tersebut, meninggalkan semua yang tadi dan menyingkatkan kepada salam saja, maka tidaklah ia terlepas dari duduk pada tikar mereka. Dan apabila kebanyakan hartanya haram, maka tidaklah boleh duduk pada tikar mereka itu. Ini, adalah dari segi perbuatan !
Adapun diam, maka orang yang masuk itu akan melihat pada tempat duduk mereka, tikar sutera, bejana perak dan sutera yang dipakaikan pada mereka dan pada budak-budaknya, dari barang-barang yang haram. Dan tiap-tiap orang yang melihat kejahatan dan berdiam diri dari kejahatan itu, maka dia itu bersekutu pada kejahatan tersebut. Bahkan ia akan mendengar dari percakapan mereka, sesuatu yang keji, yang dusta, makian dan yang menyakitkan. Dan berdiam diri dari semua itu, adalah haram. Bahkan ia akan melihat mereka memakai kain haram, memakan makanan haram dan segala yang dalam tangan mereka itu adalah haram. Dan berdiam diri terhadap yang demikian adalah tidak boleh. Maka wajiblah diatas orang yang masuk itu, menyuruh dengan ma’ruf (yang baik) dan melarang dari yang munkar (yang dilarang agama) dengan lisannya, kalau ia tidak mampu dengan perbuatannya. Kalau anda menjawab: bahwa ia takut terhadap dirinya, maka dia itu dimaafkan berdiam diri. Itu benar ! tetapi ia tidaklah memerlukan untuk mendatangkan dirinya untuk mengerjakan apa yang tidak diperboleh kan, kecuali disebabkan ada halangan. Sesungguhnya kalau ia tidak masuk dan tidak menyaksikan kemungkaran-kemungkaran itu, niscaya tidaklah dihadapkan kepadanya tugas tadi. Sehingga gugurlah kewajiban itu disebabkan halangan tadi. Dan mengenai ini, aku berkata, bahwa barangsiapa mengetahui suatu kerusakan pada suatu tempat dan ia mengetahui bahwa ia tidak mampu menghilangkannya, maka tidaklah boleh ia datang ke tempat tersebut, sehingga berlakulah perbuatan itu dihadapannya dan ia menyaksikannya dan berdiam diri. Tetapi seyogyalah menjaga diri daripada menyaksikannya.
Adapun perkataan, yaitu: ia mendoa kepada orang zalim atau memujikannya atau membenarkannya apa yang dikatakannya dari yang batil/salah, dengan perkataannya yang tegas atau dengan menggerakkan kepalanya atau dengan kegembiraan yang membayang pada wajahnya. Atau ia menampakkan kasih-sayang, tunduk dan rindu untuk menjumpainya, mengharap panjang umurnya dan tetap kedudukannya. Maka yang demikian itu, biasanya tidak menyingkat sekedar memberi salam saja, tetapi ia berkata-kata. Dan kata-kata itu tidaklah melampaui akan segala macam yang tersebut tadi.
Adapun berdoa kepada orang zalim itu adalah tidak halal, selain dari mengucapkan: diperbaiki kiranya engkau oleh Allah atau diberi taufiq kiranya engkau oleh Allah kepada kebajikan atau dilanjutkan Allah kiranya umur engkau dalam mentaatiNya atau yang semacam yang tersebut ini. Adapun doa dengan: penjagaan dari Allah, lanjut umur dan berlimpah-limpah ni’mat, serta dengan sebutan: penghulu dan yang searti dengan itu, maka tidak boleh. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mendoa bagi orang zalim dengan kekekalan, maka sesungguhnya ia menyukai orang berbuat ma’siat kepada Allah di bumiNya”. Kalau doa itu melewati kepada pujian, lalu ia akan menyebutkan apa yang tak ada pada yang dipuji itu, maka adalah dia itu membohong, munafiq dan memuliakan orang zalim. Dan ini adalah 3 perbuatan ma’siat. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah marah apabila dipujikan orang fasiq”. Dan pada hadits lain tersebut: “Barangsiapa memuliakan orang fasiq, maka sesungguhnya ia telah menolong meruntuhkan Islam”. Kalau yang demikian itu melewati kepada membenarkan apa yang dikatakannya, membersihkan dan memujikan apa yang dikerjakannya, niscaya adalah ia itu berbuat ma’siat dengan membenarkan dan memberi pertolongan. Karena membersihkan dan memujikan itu adalah menolong kepada kema’siatan dan menggerakkan untuk gemar berbuat yang demikian. Sebagaimana mendustakan, mencela dan mengejikan itu adalah menghardik dari perbuatan itu dan melemahkan faktor-faktor yang membawa kepadanya. Dan menolong kepada perbuatan ma’siat adalah ma’siat, walaupun dengan sepotong perkataan.
Sesungguhnya Sufyan Ats-Tsuri ra ditanyakan orang tentang orang zalim yang hampir binasa di padang sahara, apakah diberikan air minum kepadanya? lalu beliau menjawab: “Biarkan saja sampai ia mati, karena yang demikian itu menolong kepadanya !”. Berkata ulama yang lain: “Diberikan ia minum, sehingga kembali kepadanya jiwanya. Kemudian, ia ditinggalkan”. Kalau melewati yang demikian, sampai kepada melahirkan kasih-sayang, rindu kepada menjumpainya dan panjang usianya, maka kalau dia itu membohong, niscaya ma’siatlah ia dengan ma’siat kebohongan dan kemunafikan. Dan kalau ia benar, niscaya ma’siatlah ia dengan sukanya kekal orang zalim itu. Sedang sebenarnya hendaklah dimarahinya dan dikutukinya demi karena Allah. Maka memarahi orang karena Allah, adalah wajib. Dan mencintai dan merelai ma’siat, adalah menjadi orang yang ma’siat.
Barangsiapa mencintai orang zalim, maka kalau dicintainya itu karena kezalimannya, maka ia itu ma’siat karena kecintaannya. Dan kalau dicintainya karena sebab lain, maka dia itu ma’siat dari segi, bahwa ia tidak memarahinya, sedang ia wajib memarahinya. Dan kalau berkumpul pada seseorang kebajikan dan kejahatan, niscaya wajiblah ia dikasihi karena kebajikannya dan dimarahi karena kejahatannya. Dan akan datang pada “Kitab Persaudaraan Dan Orang-orang Yang Berkasih-kasihan pada Jalan Allah” cara mengumpulkan antara marah dan sayang. Maka jikalau selamat dari yang demikian itu semua –dan amat jauhlah dari yang demikian –maka tidaklah selamat dari kerusakan yang menjalar kedalam hatinya. Karena ia memandang kepada meluasnya dalam keni’matan dan memandang ringan segala ni’mat Allah kepadanya dan adalah ia memperbuat larangan Rasulullah saw dimana beliau bersabda: “Wahai para kaum muhajirin! janganlah kamu masuk kepada penduduk dunia, karena dunia itu membawa kemarahan bagi rezeki !”. Dan ini serta apa yang padanya, dari mengikuti orang lain tentang masuk ke tempat orang zalim itu dan dari memperbanyakkan harta orang-orang zalin dengan dirinya sendiri dan memandang baik orang-orang zalim itu, jikalau ia termasuk orang yang memandang baik dengan yang demikian itu. Dan semuanya yang demikian, adakalanya termasuk makruh atau terlarang.
Sa’id bin Al-Musayyab diajak untuk melaksanakan bai’ah (sumpah setia) kepada Walid dan Sulaiman, keduanya adalah putera Abdul-malik bin Marwan. Maka Sa’id menjawab: “Aku tidak akan melakukan bai’ah pada 2 orang, selama bertukarlah malam dengan siang, karena Nabi saw melarang dari 2 bai’ah”. Lalu beliau menyambung: “Aku masuk dari pintu yang satu dan aku keluar dari pintu yang lain”. Maka beliau berkata dengan tegas: “Tidak ! demi Allah ! tiada seorangpun dari manusia yang mengikuti aku”. Maka beliau disiksa dengan pukulan 100 kali pukul. Dan diberi pakaian yang menghapuskan bekas pukulan. Tiadalah beliau masuk ke rumah orang-orang zalim, kecuali disebabkan dua hal yang membolehkan:
Pertama: Bahwa ada dari pihak mereka perintah yang mengharuskan, bukan perintah memuliakan. Dan ia tahu, bahwa kalau ia tidak mau, niscaya ia akan disiksa atau rusak kepatuhan rakyat kepada mereka. Dan bergoncanglah suasana politik terhadap mereka. Maka dalam hal yang demikian, wajiblah menyambut perintah itu. Bukan mentaati mereka. Tetapi menjaga kepentingan rakyat, sehingga tidaklah pemerintahan menjadi kacau balau.
Kedua: Bahwa memasuki tempat mereka itu karena menolak kezaliman pada orang muslim yang lain atau pada dirinya sendiri. Adakalannya dengan jalan berbuat kebaikan atau dengan jalan bersabar dari kezaliman. Maka yang demikian itu adalah suatu kelapangan (rukh-shah), dengan syarat bahwa ia tidak membohong, tiidak memujikan dan tidak meninggalkan nasehat, yang diharapnya diterima. Maka itulah hukum masuk !
Hal yang kedua: bahwa masuk kepadanya sultan yang zalim yang mengunjunginya. Maka menjawab salamnya, adalah tak boleh tidak. Adapu berdiri dan memuliakannya, maka tidaklah haram, sebagai timbalan diatas kemuliaan yang diberikannya dengan kunjungannya itu. Karena dengan memuliakan ilmu dan agama, adalah berhak untuk pujian, sebagaimana dengan kezaliman, adalah berhak untuk dijauhkan. Maka memuliakan, dibalas dengan dengan memuliakan dan dengan jawab salam. Tetapi yang lebih utama, bahwa tidaklah ia bangun berdiri, kalau ia bersama sultan yang datang itu pada suatu tempat khilwah (tempat sepi), supaya tampak dengan yang demikian itu, kemegahan agama dan kehinaan kezaliman. Dan melahirkan kemarahannya karena agama dan berpalingnya dari orang yang berpaling dari jalan Allah. Maka Allah Ta’ala berpaling daripadanya. Dan kalau sultan yang masuk kepadanya berada dalam suatu kumpulan manusia ramai, maka menjaga malunya orang-orang yang mempunyai wilayah diantara rakyat banyak, adalah penting. Maka tiadalah mengapa bangun berdiri diatas niat yang tadi. Dan jikalau diketahuinya bahwa yang demikian itu, tiada mendatangkan kerusakan pada rakyat dan tidak memperoleh siksaan dari kemarahannya, maka meninggalkan permuliaan dengan bangun berdiri, adalah lebih utama.
Kemudian, setelah terjadi pertemuan itu, wajiblah menasehatinya. Dan kalau sultan itu mengerjakan apa yang tiada diketahuinya haram dan ia mengharap akan meninggalkannya apabila ia telah tahu, maka hendaklah diberitahukan yang demikian kepadanya. Dan yang demikian itu adalah wajib. Adapun menyebutkan haram apa yang telah diketahuinya haram tentang berlebih-lebihan dan kezaliman, maka tak adalah faedah padanya. Tetapi haruslah ia mempertakutkan sultan itu mengenai apa yang dikerjakannya daripada segala ma’siat, manakala berat dugaannya, bahwa mempertakutkan itu membekas kepadanya. Dan haruslah ia menunjukkan kepada jalan kemuslihatan, jikalau ia mengetahui jalan kepada yang bersesuaian dengan agama, dimana berhasillah maksud dari orang yang zalim itu, tanpa ma’siat, untuk mencegahnya dengan yang demikian daripada sampai kepada maksudnya dengan kezaliman. Jadi, wajiblah ia memperkenalkan tempat kebodohannya itu dan mempertakutkan tentang apa yang berani ia mengerjakannya dan menunjukkan kepada apa yang lalai ia daripadanya, dari hal-hal yang tidak memerlukan kepada kezaliman. Maka inilah 3 hal yang harus diperbuatnya, apabila ia mengharap pada kata-katanya itu membekas. Dan juga yang demikian itu, adalah harus atas tiap-tiap orang yang kebetulan masuk ke tempat sultan dengan suatu hal yang membolehkan (‘udzur) atau tidak.
Dari Muhammad bin Shalih, yang mengatakan: “Adalah aku pada Hammad bin Salmah dan kebetulan, tidak ada dalam rumah itu selain sehelai tikar. Ia duduk padanya dan sebuah Mashhaf (Kitab Suci Alquran) yang dibacanya, sebuah bungkusan yang didalamnya ilmunya dan sebuah tempat bersuci, dimana ia mengambil wudlu’ daripadanya. Maka ketika saya padanya, tiba-tiba ada orang yang mengetok pintu diluar, yaitu: Muhammad bin Sulaiman. Lalu diizinkan ia masuk. Maka ia masuk dan duduk dihadapan Hammad bin Salmah. Kemudian Muhammad bin Sulaiman berkata kepada Hammad bin Salmah:  “Mengapakah aku, apabila melihat engkau, maka penuhlah ketakutan kepada engkau ?”. Hammad menjawab: “Karena Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya orang yang berilmu (orang alim), apabila ia menghendaki dengan ilmunya itu akan wajah Allah, niscaya takutlah kepadanya segala sesuatu. Dan kalau ia menghendaki akan memenuhkan gudang dengan ilmunya itu, niscaya takutlah ia dari tiap-tiap sesuatu”. Kemudian Hammad memberikan kepada Muhammad bin Sulaiman uang sebanyak 40 ribu dirham, seraya berkata: “Engkau ambil uang ini dan engkau memperoleh pertolongan dengan dia”. Muhammad bin Sulaiman menjawab: “Akan aku kembalikan uang ini kepada orang yang engkau aniaya dengan uang ini”. Maka Hammad menjawab: “Demi Allah, tiadalah aku berikan kepadamu, selain dari apa yang aku pusakai”. Muhammad bin Sulaiman menyambung: “Aku tiada memerlukan uang ini bagiku”. Hammad bin Salmah menjawab: “Ambillah uang ini dan bagi-bagikanlah !”. Lalu Muhammad bin Sulaiman menjawab: “Mudah-mudahan, jikalau aku adil dalam membagi-bagikannya, maka aku takut dikatakan oleh sebahagian orang yang tiada memperoleh daripadanya: “Bahwa ia tidak adil pada membagi-bagikannya”. Maka berdosalah orang itu, dimana orang-orang lain, memperoleh uang itu daripadaku”.
Hal yang ketiga: bahwa ia mengasingkan diri dari sultan-sultan. Maka tidaklah ia melihat mereka dan mereka tidak melihatnya. Dan itu adalah wajib. Karena tak ada keselamatan, selain pada yang demikian. Maka haruslah ia berkeyakinan akan kemarahan orang banyak atas kezaliman mereka dan tidak menyukai kekekalan mereka, tidak memujikan mereka, tidak menanyakan kabar tentang keadaan mereka, tidak mendekati orang-orang yang berhubungan dengan mereka dan tidak menaruh kesedihan terhadap apa yang hilang, disebabkan berpisah dengan mereka. Yang demikian itu, apabila terguris di hatinya, keadaan mereka. Dan jikalau ia melupakan tentang mereka itu, maka adalah lebih baik. Dan apabila terguris di hatinya akan kesenangan mereka, maka hendaklah mengingati akan apa yang diucapkan oleh Hatim Al-Ashamm: “Sesungguhnya antaraku dan raja-raja itu, adalah satu hari saja. Adapun kemarin, maka tidaklah mereka memperoleh kelezatannya. Dan sesungguhnya aku dan mereka pada hari esok adalah pada ketinggian dan kemuliaan. Dan sesungguhnya dia adalah hari ini dan apa yang diharap ada pada hari ini”.
Dan mengingati akan apa yang diucapkan oleh Abud-Darda’, karena beliau mengucapkan: “Orang-orang yang berharta itu makan dan kitapun makan. Mereka itu minum dan kitapun minum. Mereka itu berpakaian dan kitapun berpakaian. Mereka mempunyai kelebihan harta, yang dipandangnya kepada harta-harta itu dan kita memandang bersama mereka kepada harta-harta itu. Dan diatas mereka perhitungannya, sedang kita terlepas daripadanya”.
Tiap-tiap orang yang mengetahui akan kezalimannya orang yang zalim dan ma’siatnya orang yang ma’siat, maka seyogyalah derajat orang itu turun pada hatinya. Dan ini adalah wajib diatas orang yang mengetahui itu. Karena orang yang timbul daripadanya apa yang tidak disukainya, niscaya –tidak dapat dibantah –berkuranglah kedudukan orang itu dalam hatinya. Dan perbuatan ma’siat seyogyalah untuk tidak disenangi. Karena, adakalanya ia lalai dari perbuatan ma’siat itu atau ia senang atau ia benci. Dan tak adalah kelalaian serta mengetahuinya dan tiada jalan untuk disenangi kema’siatan itu. Maka tak boleh tidak dari kebencian kepadanya. Maka hendaklah penganiayaan tiap-tiap orang terhadap hak Allah, seperti penganiayaannya terhadap hakmu sendiri !. Maka jikalau engkau mengatakan, bahwa kebencian itu tidak masuk dalam ikhtiar (pilihan), maka bagaimanakah wajibnya kebencian itu ? Kami menjawab, bahwa tidaklah demikian. Karena orang yang mencintai itu, akan benci dengan panggilan tabiatnya sendiri –apa yang tidak disukai oleh yang dicintainya dan yang menyalahi dengan dia. Maka orang yang tidak benci kepada kema’siatan terhadap Allah, adalah ia tidak mencintai Allah. Dan sesungguhnya tiada mencintai Allah, orang yang tiada mengenalNya. Dan mengenal (ma’rifah) itu wajib dan mencintai Allah itu wajib. Apabila ia mencintai Allah, niscaya ia benci tiap-tiap yang dibenci oleh Allah dan suka tiap-tiap yang disukai oleh Allah. Dan akan datang penegasan itu dalam “Kitab Kecintaan dan Kerelaan” nanti. Kalau anda mengatakan, bahwa adalah ulama-ulama salaf dahulu masuk ke tempat sultan-sultan. Maka aku menjawab: ya, pelajarilah masuknya mereka, kemudian masuklah ! sebagaimana diceritakan, bahwa Hisyam bin Abdul-malik datang mengerjakan hajji ke Makkah. Maka tatkala ia memasuki Makkah, lalu berkata: “Bawalah kepadaku seorang sahabat Nabi saw !”. Maka lalu orang menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! mereka itu tiada lagi, sudah meninggal semuanya !”. Lalu Hisyam menyambung: “Dari tabi’in”. Maka dibawalah kepadanya Thaus Al-Yamani. Tatkala Thaus masuk ke hadapan khalifah Hisyam itu, beliau membuka alas kakinya dengan tepi permadaninya dan tidak menyalamkan kepadanya dengan panggilan: “amirul-mu’minin”. Tetapi beliau mengatakan: “Assalamu’alaika ya Hisyam ! (Selamat kepadamu, wahai Hisyam !) dan tidak beliau panggil dengan “kuniahnya” (kuniah, yaitu panggilan dengan: ayah si Anu bagi laki-laki dan ibu si Anu bagi wanita). Dan beliau terus duduk dihadapannya, seraya bertanya: “Kaifa anta ya Hisyam ?”. (Apa kabar engkau wahai Hisyam ?). maka amat murkalah Hisyam mendengar yang demikian. Sehingga ia bercita-cita membunuhnya. Lalu orang mengatakan kepada khalifah itu: “Engkau berada di tanah suci kepunyaan Allah dan RasulNya. Dan tidak mungkin dilakukan yang demikian !”. Maka Hisyam bertanya kepada Thaus: “Hai Thaus ! apakah yang mendorong engkau berbuat yang demikian ?”. Thaus menjawab: “Apakah yang saya perbuat ?”. Maka bertambah-tambahlah kemarahan dan kemurkaan Hisyam. Hisyam berkata: “Engkau buka kedua alas kakimu dengan tepi permadaniku. Engkau tidak mencium tanganku. Engkau tidak menyalamkan aku dengan panggilan “amirul-mu’minin”, engkau tidak menyebutkan kuniahku. Engkau duduk dihadapanku dengan tidak seizinku. Dan engkau mengatakan: “Kaifa anta ya Hisyam?”. Maka Thaus menjawab: “Adapun apa yang aku perbuat, membuka alas kakiku dengan tepi permadanimu, maka sesungguhnya aku buka kedua alas kaki itu dihadapan Tuhan Rabbul-‘Izzati tiap-tiap hari 5 kali dan Ia tidak menyiksakan aku dan tidak memarahi aku. Adapun katamu: “Engkau tidak mencium tanganku” maka sesungguhnya aku mendengar Amirul-mu’minin Ali bin Abi Thalib ra berkata: “Tiada halal bagi seseorang mencium tangan seseorang, kecuali isterinya dari karena nafsu syahwat atau anaknya dari karena penuh kasih sayang”. Adapun katamu: “Tidak engkau menyalamkan aku dengan panggilan amirul-mu’minin”, maka tidaklah semua orang suka kepada pemerintahanmu (keamiranmu). Dari itu, aku tidak suka membohong. Adapun katamu: “Aku tidak menyebutkan kuniahmu”, maka sesungguhnya Allah Ta’ala menyebutkan nama nabiNya dan auliaaNya. Allah Ta’ala memanggil: “Ya Daud ! ya Yahya ! ya Isa ! dan Allah Ta’ala menyebutkan kuniah musuh-musuhNya, dengan firmanNya: “Binasalah kiranya kedua tangan Abu Lahab”. S Al Lahab ayat 1.
 Adapun katamu: “Engkau duduk dihadapanku”, maka sesungguhnya aku mendengar Amirul-mu’minin Ali ra berkata: “Apabila engkau bermaksud melihat seseorang dari penduduk neraka, maka lihatlah kepada orang yang duduk dikelilingnya orang banyak berdiri”. Maka berkatalah Hisyam kepada Thaus: “Berilah aku pengajaran !”. Lalu menjawab Thaus: “Aku mendengar dari Amirul-mu’minin Ali ra berkata: “Sesungguhnya dalam neraka jahanam terdapat banyak ular seperti bukit dan kalajengking seperti baghal (menyerupai keledai) yang menggigit tiap-tiap amir yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya”. Kemudian Thaus itu bangun berdiri dan lari.....
Diriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsuri ra yang mengatakan: “Aku masuk ke tempat Abu Ja’far Al-Manshur di Mina. Lalu ia berkata kepadaku: “Sampaikanlah kepada kami hajatmu !” Maka aku berkata kepadanya: “Bertaqwalah kepada Allah ! sesungguhnya telah penuh bumi ini dengan kezaliman dan keangkara-murkaan”’. Berkata Sufyan seterusnya: “Lalu Abu Ja’far AL-Manshur menundukkan kepalanya, kemudian mengangkatkanya, lalu berkata: “Sampaikanlah kepada kami hajatmu !”. Maka aku menjawab: “Sesungguhnya engkau menempati kedudukan ini dengan pedang kaum Muhajirin dan Anshar, sedang anak-anak mereka mati kelaparan. Maka bertaqwalah kepada Allah dan sampaikanlah kepada mereka akan hak mereka !”. Lalu Abu Ja’far menundukkan kepalanya, kemudian mengangkatkannya, maka berkata: “Sampaikanlah kepada kami hajatmu !”. Maka aku menjawab: “Saidina Umar bin Al-Khaththab ra telah mengerjakan hajji, lalu menanyakan kepada juru keuangannya: “Berapakah engkau keluarkan belanja ?”. Juru keuangan itu menjawab: “10 dirham lebih sedikit”. Dan aku melihat disini banyak harta, yang tak mampu unta memikulnya”. Dan terus beliau keluar........
Begitulah kiranya mereka itu memasuki tempat sultan-sultan apabila terpaksa. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka untuk menuntut balas dari kezaliman sultan-sultan itu karena Allah. Ibnu Abi Syumailah masuk ke tempat Abdul-malik bin Marwan. Lalu khalifah Abdul-malik mengatakan kepadanya: “Berbicaralah !”. Maka berkatalah Ibnu Abi Syumailah kepada khalifah: “Sesungguhnya manusia tidaklah terlepas pada hari kiamat dari kesempitan dan kepahitan kiamat dan menyaksikan kebinasaan padanya, kecuali orang yang mencari kerelaan Allah dengan kemarahan dirinya”. Maka menangislah Abdul-malik, seraya berkata: “Sesungguhnya akan aku jadikan kalimat ini kata-kata berhikmat di depan mataku, selama hidupku”.
Tatkala diperkerjakan oleh Usman bin Affan ra akan Abdullah bin ‘Amir, lalu datang kepadanya para sahabat Rasulullah swa. Dan yang terlambat daripadanya, ialah Abu Dzar. Dan adalah Abu Dzar itu berteman baik dengan Abdullah. Lalu Abdullah menyesalinya. Maka berkatalah Abu Dzar: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya seseorang apabila memerintah sesuatu wilayah, niscaya berjauhanlah Allah daripadanya”. Malik bin Dinar memasuki tempat amir kota Basrah, lalu berkata: “Wahai Amir ! aku membaca pada sebagian kitab, bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Alangkah dungunya seorang sultan ! alangkah bodohnya orang yang mendurhakai Aku ! alangkah mulianya orang yang merasakan kemuliaan dengan Aku ! wahai penggembala kejahatan ! Aku serahkan kepadamu kambing yang gemuk dan sehat, lalu engkau makan dagingnya, engkau pakai bulunya dan engkau tinggalkan tulang-belulangnya kacau balau”. Maka bertanya kepadanya wali negeri Basrah itu: Adakah engkau tahu apakah yang memberanikan engkau terhadap kami dan yang menjauhkan kami daripada engkau ?”. Malik bin Dinar menjawab: “Tidak saya tahu”. Lalu menyambung wali Basrah: “Kurang loba apa yang ada pada kami dan meninggalkan tertahan bagi apa yang ada di tangan kami”.
Adalah Umar bin Abdul-aziz berdiri bersama Sulaiman bin Abdul-malik. Maka Sulaiman mendengar bunyi petir, lalu beliau gundah dan meletakkan dadanya pada bahagian depan kendaraan. Maka berkatalah Umar kepadanya: “Ini adalah suara rahmatNya, maka bagaimanakah apabila engkau mendengar suara azabNya ?”. Kemudian Sulaiman memandang kepada orang banyak, lalu berkata: “Alangkah ramainya manusia !”. Maka menjawab Umar: “Mereka itu adalah lawanmu, wahai Amirul-mu’minin”. Lalu Sulaiman berkata kepada Umar: “Dicoba engkau oleh Allah dengan mereka”. Menurut cerita, bahwa Sulaiman bin Abdul-malik datang ke Madinah dan ia bermaksud ke Makkah. Maka ia mengirim utusan kepada Abu Hazim, mengundang kedatangannya. Tatkala Abu Hazim masuk, maka berkata Sulaiman kepadanya: “Wahai Abu Hazim ! mengapakah kita tidak menyukai mati ?”. Abu Hazim menjawab: “Karena kamu meruntuhkan akhiratmu dan membangun duniamu. Maka kamu tidak suka berpindah dari pembangunan kepada keruntuhan”. Maka Sulaiman bertanya lagi: “Wahai Abu Hazim ! bagaimanakah datang kepada Allah ?”. Abu Hazim menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! adapun orang yang berbuat baik, maka seperti orang yang jauh datang kepada keluarganya. Adapun orang yang berbuat jahat, maka seperti budak yang lari datang kembali kepada tuannya”. Maka menangislah Sulaiman seraya berkata: “Wahai kiranya, bagaimanakah aku ini di sisi Allah ?”. Abu Hazim menjawab: “Datangkan dirimu kepada Kitab Allah Ta’ala, dimana IA berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang baik berada dalam kesenangan. Dan sesungguhnya orang-orang yang jahat berada dalam neraka”. S Al Infithaar ayat 13 & 14. Sulaiman bertanya: “Dimanakah rahmat Allah ?”. Abu Hazim menjawab: “Dekat dengan orang-orang yang berbuat kebaikan”. Kemudian Sulaiman bertanya: “Hai Abu Hazim ! hamba Allah yang manakah yang lebih mulia ?”. Abu Hazim menjawab: “Yang berbuat kebajikan dan taqwa !”. Sulaiman bertanya pula: “Perbuatan apakah yang lebih utama ?”. Abu Hazim menjawab: “Menunaikan yang fardlu (yang wajib) serta menjauhkan yang haram”. Sulaiman bertanya lagi: “Perkataan manakah yang lebih terdengar ?”. Abu Hazim menjawab: “Perkataan yang benar pada orang yang engkau takut dan engkau harap”. Sulaiman bertanya: “Orang mu’min manakah yang lebih pintar ?”. Abu Hazim menjawab: “Orang yang bekerja dengan mentaati Allah dan mengajak manusia kepadanya”. Sulaiman bertanya: “Mu’min manakah yang merugi ?”. Abu Hazim menjawab: “Orang yang melangkah dalam hawa nafsu saudaranya dan orang itu zalim. Maka dijualnya akhiratnya dengan mengambil dunia orang lain”. Bertanya Sulaiman lagi: “Apakah katamu tentang keadaan kami ?”. Abu Hazim menjawab: “Apakah engkau memaafkan aku ?”. Sulaiman menjawab: “Sudah pasti, karena itu adalah nasehat yang engkau berikan kepadaku”. Lalu Abu Hazim menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! bahwa bapak-bapakmu dahulu memaksakan manusia dengan pedang dan mengambil kerajaan ini secara kekerasan, tanpa musyawarah dengan kaum muslimin dan tanpa rela mereka. Sehingga terbunuhlah dari kaum muslimin itu dalam suatu pembunuhan yang dahsyat. Dan mereka itu semuanya telah pergi........ Maka jikalau engkau merasa apa yang dikatakan mereka dan apa yang dikatakan kepada mereka..... Lalu menyahut seorang dari orang-orang yang duduk bersama: “Amat buruklah apa yang kamu katakan itu !”. Abu Hazim menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengambil ikatan janji diatas para ulama, untuk menerangkannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya”. Sulaiman menyambung: “Bagaimanakah caranya kita memperbaiki kerusakan ini ?”. Abu Hazim menjawab: “Bahwa engkau ambil yang halal, lalu engkau letakkan pada yang hak”. Sulaiman menjawab: “Siapakah yang sanggup demikian itu ?”. Abu Hazim menjawab: “Orang yang mencari sorga dan takut dari neraka”. Lalu Sulaiman menyambung: “Mendoalah untukku”. Maka Abu Hazim membacakan doanya: “Wahai Allah Tuhanku ! jikalau adalah Sulaiman seorang waliMu, maka mudahkanlah dia untuk kebaikan dunia dan akhirat ! dan jika ia musuhMu, maka ambillah pundak kepalanya kepada apa yang Engkau sukai dan relai !”. Lalu Sulaiman berkata: “Berilah kepadaku wasiat (nasehat) !”. Maka Abu Hazim menjawab: “Aku nasehati engkau dan aku ringkaskan: agungkanlah Tuhanmu dan tanzihkanlah Dia (sucikanlah Dia), bahwa Ia melihat engkau dimana Ia melarang engkau atau tiada melihat engkau dimana Ia menyuruh engkau”.
Umar bin Abdul-aziz berkata kepada Abu Hazim: “Berilah aku pengajaran!”. Lalu Abu Hazim menjawab: “Berbaringlah ! kemudian jadikanlah mati itu pada kepalamu ! kemudian, lihatlah kepada yang engkau kasihi, bahwa ada ia padamu dan pada saat itu ! maka ambillah dia sekarang ! dan apa yang tiada engkau sukai, bahwa ada ia padamu pada saat itu, maka tinggalkanlah sekarang ! maka semoga saat itu, adalah dekat !”. Seorang Arab dusun masuk ke tempat Sulaiman bin Abdul-malik. Maka Sulaiman berkata: “Berbicaralah wahai Arab dusun !”. Arab dusun itu menyahut: “Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya aku akan berbicara dengan engkau dengan suatu pembicaraan, maka terimalah, walaupun tidak engkau sukai. Karena sebaliknya, ada yang engkau sukai, jika engkau sudi menerimanya”. Lalu Sulaiman menjawab: “Hai Arab dusun! sesungguhnya kami bermurah hati dengan luasnya penanggungan, terhadap orang yang tidak kami harapkan nasehatnya dan yang tidak kami merasa aman dari tipuannya. Maka bagaimana pula dengan orang yang kami merasa aman dari tipuannya dan kami mengharap akan nasehatnya ?”. Maka Arab dusun itu berkata: “Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya telah mengelilingi engkau, orang-orang yang berbuat jahat pilihan bagi diri mereka sendiri. Dan mereka membeli dunia mereka dengan agamanya dan kerelaan engkau dengan kemarahan Tuhannya. Mereka takut kepada engkau mengenai Allah Ta’ala dan mereka tiada takut akan Allah mengenai engkau. Dia perangi akhirat dan dia selamatkan dunia. Maka janganlah engkau letakkan amanah pada mereka, terhadap apa yang diamanahkan Allah Ta’ala kepada engkau padanya. Karena mereka tidak melambatkan pada amanah itu kesia-siaan dan pada umat itu kehinaan dan kezaliman. Engkau bertanggung jawab dari apa yang dikerjakan mereka dan mereka tidak bertanggung jawab dari apa yang engkau kerjakan. Maka tidaklah baik dunia mereka dengan rusaknya akhirat engkau. Maka sesungguhnya yang amat besar meruginya manusia, ialah orang yang menjual akhiratnya dengan dunia orang lain. Lalu berkata kepadanya Sulaiman: “Wahai Arab dusun ! sesungguhnya engkau telah engkau lepaskan lidahmu, yaitu: yang tertajam dari dua pedangmu”. Arab dusun itu menjawab: “Benar, wahai Amirul-mu’minin ? tetapi untuk keselamatanmu, bukan untuk kerugianmu”.
Diriwayatkan, bahwa Abubakrah masuk ke tempat Mu’awiyah, lalu berkata: “Bertaqwalah kepada Allah, wahai Mu’awiyah ! ketahuilah kiarnya, bahwa engkau pada tiap-tiap hari yang keluar dari engkau dan pada tiap-tiap malam yang datang kepada engkau, tidaklah menambahkan engkau dari dunia melainkan jauh dan dari akhirat, melainkan dekat. Dan diatas jejak engkau, ada yang mencari yang tidak dapat engkau hilangkan. Dan telah ditegakkannya bagi engkau pengetahuan yang tidak dapat engkau lampaui. Maka alangkah cepatnnya apa yang engkau sampaikan dengan ilmu itu ! dan hampirlah tidak dapat dihubungi dengan engkau oleh yang mencari itu ! sesungguhnya kita dan apa yang kita didalamnya, adalah hilang. Dan apa yang kita kerjakan, menuju kepadanya, adalah kekal ! kalau baik, maka balasannya adalah baik dan kalau jahat, maka balasannya adalah jahat. Maka begitulah adanya masuk orang-orang yang berilmu ke tempat sultan-sultan. Ya’ni: para ahli ilmu akhirat (ulama akhirat). Adapun ulama dunia, maka mereka masuk untuk mendekatkan diri kepada hati mereka. Lalu mereka mengulurkan timbanya kepada sultan-sultan itu dengan harga murah. Dan mereka melakukan istinbath (mencari dalil) untuk sultan-sultan itu, dengan daya upaya yang halus-halus, akan jalan keluasan, mengenai apa yang bersesuaian dengan maksud mereka. Dan kalau mereka berkata-kata, seperti apa yang kami sebutkan dahulu tentang pembentangan pengajaran, bukanlah mereka itu untuk perbaikan. Tetapi untuk mencari kemegahan dan penerimaan dari sultan-sultan itu. Dan pada ini, adalah dua penipuan, yang tertipu orang-orang bodoh dengan dia:
Penipuan pertama: bahwa ia melahirkan dengan kata-kata: bahwa maksudku masuk ke tempat sultan-sultan itu, ialah memperbaiki mereka dengan nasehat. Kadang-kadang mereka serupakan kepada dirinya yang demikian itu. Dan sesungguhnya yang menggerakkan mereka berbuat demikian, ialah nafsu keinginan yang tersembunyi untuk memperoleh kemasyhuran dan menghasilkan perkenalan bagi mereka. Dan tanda kebenaran pada mencari perbaikan, ialah kalau dilaksanakan nasehat itu oleh orang lain, dari orang-orang yang menjadi temannya dalam ilmu pengetahuan dan mendapat sambutan serta menampak bekasnya perbaikan, maka seyogyalah ia bergembira dan bersyukur kepada Allah Ta’ala atas dapat terlaksananya dengan memuaskan usaha yang penting tersebut, seperti orang yang harus mengobati orang sakit yang tak berkeluarga. Maka bangunlah orang lain mengobatinya, maka alangkah besar kegembiraannya. Maka kalau ia menjumpai dalam hatinya untuk memperkuatkan perkataannya terhadap perkataan orang lain, maka dia itu tertipu.
Penipuan kedua: bahwa ia mendakwakan: sesungguhnya maksudku adalah menolong sesama muslim pada menolak kezaliman. Dan ini juga adalah tempat sangkaan penipuan. Dan ukurannya, adalah apa yang telah tersebut dahulu. Dan apabila telah nyata jalan masuk kepada sultan-sultan itu, maka haruslah kami gambarkan dalam hal-hal yang mendatang, mengenai bercampur-baur dengan sultan-sultan dan memegang harta benda mereka, dengan beberapa masalah:
Suatu masalah.
Apabila sultan mengirimkan kepada anda uang untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin, maka kalau uang itu kepunyaan seorang pemilik tertentu, maka tidaklah halal mengambilnya. Dan kalau tak ada pemiliknya yang tertentu, tetapi adalah hukumnya, wajib menyedekahkan kepada orang-orang miskin, sebagaimana telah diterangkan dahulu, maka bolehlah anda mengambilnya dan mengurus pembagian itu. Dan tidaklah anda ma’siat dengan mengambilnya. Tetapi sebagian ulama melarang mengambilnya. Maka dalam hal ini, diperhatikan pada  yang lebih utama, lalu kami jelaskan: bahwa yang lebih utama, ialah mengambilnya, jikalau anda merasa aman dari 3 godaan
Godaan pertama: bahwa sultan itu menyangka dengan sebab anda ambil, bahwa hartanya itu baik. Dan jikalau tidaklah hartanya itu baik, tentu anda tidak akan mengulurkan tangan kepadanya. Dan tidak akan anda masukkan kedalam tanggungan anda. Jikalau adalah demikian, maka janganlah anda ambil, karena yang demikian itu harus diawasi. Dan tiada sempurnalah kebajikan pada pelaksanaan anda, akan pembagian, dengan apa yang ada bagi anda, dari keberanian diatas usaha harta yang haram.
Godaan kedua: bahwa dipandang kepada anda oleh orang-orang lain, dari para ulama dan orang-orang bodoh, lalu mereka meyakininya halal. Maka diturutinya anda pada pengambilan itu. Dan mereka berdalilkan dengan yang demikian, kepada pembolehannya. Kemudian, tidak mereka bagi-bagikan. Maka yang kedua ini, adalah lebih berbahaya daripada yang pertama. Karena segolongan mereka mengambil dalil dengan diambil oleh Asy-Syafi’i ra kepada bolehnya mengambil. Dan mereka lupakan tentang membagi-bagikannya dan mengambilnya itu dengan niat untuk dibagi-bagikan. Maka orang yang mengikuti dan menyerupakan diri dengan yang tersebut, seyogyalah menjaga dari ini dengan sebenar-benarnya. Karena perbuatannya adalah menjadi sebab kesesatan orang banyak.
Wahab bin Munabbih menceritakan, bahwa seorang laki-laki dibawa kepada seorang raja, dihadapan orang banyak, untuk dipaksakan memakan daging babi. Orang itu tidak mau makan. Lalu dibawa kehadapannya daging kambing dan dipaksakan memakannya dengan pedang, maka dia tidak juga mau makan. Lalu ditanyakan kepadanya, yang demikian itu. Ia menjawab: “Sesungguhnya manusia meyakini bahwa aku dipaksakan untuk memakan daging babi, maka apabila aku keluar dengan selamat dan aku telah makan, lalu mereka itu tidak mengetahui, apakah yang aku makan. Maka sesatlah mereka dengan yang demikian”. Wahab bin Munabbih dan Thaus, masuk ke tempat Muhammad bin Yusuf saudara dari Al-Hajjaj. Dan Muhammad itu adalah pegawai. Dan berada pada pagi yang dingin di tempat yang terbuka. Lalu Muhammad berkata kepada bujangnya: “Bawalah kemari thailasan (baju hijau yang dipakai oleh orang-orang tertentu dan oleh para ulama) itu dan campakkanlah kepada Abu Abdurrahman !” Ya’ni: Thaus. Dan Thaus itu duduk diatas kursi. Lalu dicampakkan baju tersebut kepadanya. Maka ia senantiasa menggerak-gerakkan kedua bahunya, sehingga baju itu tercampak daripadanya. Lalu marahlah Muhammad bin Yusuf. Maka berkatalah Wahab: “Tidak perlulah engkau memarahinya, jikalau engkau mengambil baju tersebut dan menyedekahkannya”. Muhammad bin Yusuf menjawab:  “Ya, kalau tidak akan dikatakan oleh orang-orang sesudahku, bahwa baju itu telah diambil oleh Thaus dan ia tidak memperbuat apa yang aku perbuat dengan baju tersebut, niscaya sungguh aku perbuat yang demikian”.
Godaan ketiga: bahwa tergerakkah hati engkau mencintainya, karena ditentukannya engkau dan dipilihkannya engkau dengan apa yang dilaksanakannya untuk engkau. Maka jikalau adalah seperti yang demikian, maka janganlah engkau terima ! karena yang demikian itu, adalah racun yang membunuh dan penyakit yang tersembunyi. Ya’ni: apa yang disukai oleh orang-orang zalim kepada engkau. Karena orang yang engkau kasihi, niscaya tak boleh tidak akan engkau berusaha dan berminyak air dengan dia.
‘Aisyah berkata: “Telah menjadi tabiat bagi manusia, mengasihi orang yang berbuat baik kepadanya”. Dan Nabi saw berdoa: “Wahai Allah, Tuhanku! janganlah engkau jadikan bagi orang zalim padaku tangannya, lalu ia dicintai oleh hatiku !”. Nabi saw menerangkan, bahwa hati hampir tak dapat mencegah dari yang demikian. Diriwayatkan, bahwa sebahagian amir mengirimkan kepada Malik bin Dinar uang sebanyak 10 ribu dirham. Lalu Malik mengeluarkannya semuanya. Maka datanglah kepadanya Muhammad bin Wasi’, seraya berkata: “Apakah yang engkau perbuat, dengan apa yang diberikan kepada engkau oleh makhluk ini ?”. Lalu Malik bin Dinar menjawab: “Tanyakanlah kepada sahabat-sahabatku !”. Maka sahabat-sahabatnya menjawab: “Dikeluarkannya semuanya”. Lalu Muhammad bin Wasi’ menyambung: “Ditolongi oleh Allah kiranya engkau ! adakah hati engkau bertambah cinta kepadanya sekarang atau sebelum dikirimkannya uang kepada engkau ?”. Malik bin dinar menjawab: “Sebelumnya tidak, tetapi sekarang !”. Muhammad bin Wasi’ menyambung: “Sesungguhnya aku, adalah aku takutkan ini”. Dan memang benarlah dia. Karena apabila telah mencintainya, niscaya mencintai akan kekekalannya. Tidak menyukai ia tersingkir, mendapat bahaya dan meninggal. Dan menyukai bertambah luas wilayahnya dan banyak hartanya. Dan semua itu, adalah cinta bagi sebab-sebab kezaliman. Dan itu, adalah tercela. Salman ra dan Ibnu Mas’ud ra berkata: “Barangsiapa merelai sesuatu hal, walau ia tidak ada disitu, niscaya adalah ia seperti orang yang menyaksikannya”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu berpihak kepada orang-orang yang zalim !”. S 11 Huud ayat 113. Ada yang mengatakan maksudnya: “Jangan kamu rela segala perbuatan mereka”. Maka jikalau engkau teguh pendirian, dimana tidak akan bertambah kecintaanmu kepadanya dengan mengambil pemberiannya itu, maka tiada mengapalah mengambilnya.
Diceritakan dari setengah orang-orang yang kuat beribadah di Basrah, bahwa ia mengambil harta-harta yang diberikan amir-amir itu dan dibagi-bagikannya. Lalu orang bertanya kepadanya: “Apakah tidak engkau takut, bahwa engkau akan mencintainya ?”. Lalu ia menjawab: “Jikalau seorang laki-laki mengambil tanganku dan dimasukkannya aku kedalam sorga, kemudian ia berbuat ma’siat kepada Tuhannya, niscaya tidaklah dia akan dicintai oleh hatiku. Karena Tuhan yang memudahkannya untuk mengambil dengan tanganku, adalah Dia yang memarahinya karena yang tersebut sebagai tanda syukur bagiNya atas dimudahkanNya yang demikian”. Dengan ini jelaslah bahwa mengambil harta itu sekarang dari amir-amir, walaupun harta itu sendiri dari segi yang halal, adalah ditakuti dan dicela. Karena tidaklah terlepas dari godaan-godaan itu.
Suatu masalah.
Kalau berkatalah orang berkata: “Apabila boleh mengambil hartanya dan membagi-bagikannya, maka adakah boleh mencuri hartanya itu ? atau menyembunyi kan simpanannya dan dimungkiri simpanan tersebut dan dibagi-bagikan kepada orang banyak ?”. Maka kami menjawab, bahwa yang demikian itu tidak boleh. Karena mungkin harta itu mempunyai pemilik tertentu dan amir itu bercita-cita mengembalikannya kepada pemiliknya. Dan tidaklah ini, seperti jikalau dikirimkan nya kepadamu. Karena orang yang berakal, tidak akan menyangka, bahwa yang mengirimkan itu akan bersedekah dengan harta, yang diketahuinya pemilik nya. Maka ditunjukkan oleh penyerahannya itu, bahwa ia tidak mengenal pemiliknya. Kalau ia sebagian dari orang yang menyulitkan kepadanya hal yang seperti itu, maka tiada boleh ia menerima harta dari orang itu, selama belum dikenalnya yang demikian. Kemudian, bagaimana ia mencuri dan mungkin miliknya itu diperolehnya dengan pembelian secara dzimmah (perjanjian tidak dengan harga tunai) ? Karena tangannya (yang memegang barang itu) menunjuk kan kepada miliknya. Maka tiada jalanlah kepada mencuri itu. Bahkan kalau diperolehnya barang kececeran/barang temuan (luqthah) dan ternyata bahwa pemiliknya seorang tentara dan mungkin barang luqthah (barang temuan) itu dimiliknya dengan pembelian secara dzimmah (perjanjian) atau cara lain, niscaya wajiblah dikembalikan kepadanya. Jadi, tidak boleh mencuri harta mereka. Tidak boleh mencuri itu, baik dari amir-amir itu sendiri atau dari orang-orang yang disimpankannya padanya. Dan tidak boleh memungkiri simpanan mereka. Dan wajiblah menghukum orang yang mencuri harta mereka, kecuali apabila pencuri itu menda’wakan, bahwa harta tersebut bukan milik amir-amir itu. Maka ketika itu, gugurlah hukuman siksaan dengan dakwaan tadi.
Suatu masalah.
Mengadakan mu’amalah (perniagaan)  dengan mereka itu haram, karena kebanyakan harta mereka itu haram. Maka apa yang diambilkan sebagai ‘iwadlnya (tebusannya), adalah haram. Kalau harganya dibayar dari tempat yang diketahui halalnya, maka tinggallah memperhatikan tentang apa yang diserahkan kepada mereka. Kalau diketahui, bahwa mereka itu berbuat ma’siat kepada Allah dengan barang itu, seperti menjual sutera kepada mereka dan diketahui, bahwa mereka akan memakai sutera itu, maka adalah yang demikian haram, seperti menjual buah anggur kepada pembuat khamar. Hanya terdapat perbedaan paham, tentang sahnya. Dan jikalau mungkin yang tersebut tadi dan mungkin pula akan dipakai sutera tersebut oleh isterinya, maka itu adalah syubhat (diragukan) yang makruh. Dan ini adalah mengenai harta yang diperbuat kema’siatan pada benda dari harta itu sendiri.
Dan searti dengan itu, menjual kuda kepada mereka, lebih-lebih pada waktu dikendarainya untuk memerangi kaum muslimin atau merampok harta mereka. Karena yang demikian itu, adalah menolong mereka dengan kudanya. Dan itu adalah terlarang. Adapun menjual dirham dan dinar kepada mereka dan barang-barang yang seperti dirham dan dinar itu, dari benda-benda yang tidak dilakukan perbuatan ma’siat pada benda itu, tetapi hanya yang menyampaikan kepada ma’siat dengan dia, maka itu adalah makruh. Karena padanya menolong mereka kepada kezaliman. Karena mereka memperoleh pertolongan untuk kezalimannya dengan harta-harta, hewan-hewan dan sebab-sebab lainnya. Dan kemakruhan tersebut berlaku pada menghadiahkan kepada mereka dan bekerja untuk mereka dengan tanpa upah. Sehingga pada mengajarkan mereka dan mengajarkan anak-anaknya tulis-baca, membuat surat dan berhitung.
Adapun mengajari Alquran, maka tidaklah dimakruhkan, kecuali dari segi mengambil upahnya. Maka yang demikian itu adalah haram, kecuali dari segi yang diketahui halalnya. Kalau diadakan perwakilan baginya, yang akan membeli di pasar-pasar dengan tanpa pembalasan atau upah, maka itu adalah makruh, dari segi memberi pertolongan. Dan kalau dibeli untuk mereka akan sesuatu, yang diketahui bahwa mereka bermaksud dengan dia akan kema’siatan, seperti budak, sutera untuk tikar dan pakaian, kuda untuk kendaraan kepada kezaliman dan pembunuhan, maka itu adalah haram. Manakala telah jelas maksud ma’siat dengan barang yang dibeli itu, niscaya terjadilah pengharamannya. Dan manakala tidak jelas dan hanya mungkin menurut keadaan dan petunjuk keadaan, niscaya datanglah kemakruhannya.
Suatu masalah.
Pasar-pasar yang dibangun dengan harta haram, maka haramlah berniaga padanya. Dan tak boleh menempatinya. Maka jika ditempati oleh seorang saudagar dan ia berusaha disitu dengan jalan yang sesuai dengan agama, niscaya tidaklah haram usahanya dan ia ma’siat dengan menempatinya. Dan bagi orang banyak boleh membeli padanya. Tetapi kalau ada toko lain, maka yang lebih utama, ialah membeli pada toko yang lain itu. Karena yang demikian itu adalah menolong bagi tempat mereka dan memperbanyakkan sewa toko-toko mereka. Dan begitupula bermu’amalah (perniagaan)  pada pasar yang tak ada pajak bagi amir-amir padanya, adalah lebih disunatkan daripada bermu’amalah (perniagaan)   pada pasar yang ada padanya pajak bagi amir-amir itu.
Dan segolongan ulama adalah lebih bersangatan, sehingga mereka menjaga diri daripada bermu’amalah (perniagaan)  dengan petani-petani dan pemilik-pemilik tanah, yang ada padanya pajak bagi mereka. Karena kadang-kadang mereka serahkan apa yang diperolehnya kepada pajak cukai. Maka terjadilah pertolongan bagi amir-amir itu dengan yang demikian. Dan ini, adalah terlalu berlebih-lebihan pada pemahaman agama. Dan menyukarkan bagi kaum muslimin. Karena pajak itu telah merata segala tanah dan manusia tidak terlepas dari menggunakan tanah. Dan tak ada arti untuk melarangnya. Dan kalau bolehlah pelarangan itu, niscaya haramlah atas si pemilik tanah itu menanami tanah, sehingga tidaklah dimintakan pajaknya. Dan yang demikian itu termasuk yang panjang penguraiannya. Dan membawa kepada menyumbat pintu kehidupan.
Suatu masalah.
Bermu’amalah (perniagaan) dengan qadli-qadli (hakim-hakim) dari amir-amir itu, dengan pegawai-pegawai dan pelayan-pelayan mereka, adalah haram, seperti bermu’amalah (perniagaan) dengan mereka. Bahkan lebih sangat haramnya. Adapun qadli-qadli itu, adalah karena mereka mengambil dari harta-harta amir yang tegas haramnya, membanyakkan pengumpulan dan menipukan orang banyak dengan pakaian mereka. Karena mereka itu adalah dengan pakaian ulama. Mereka bercampur-baur dengan amir-amir dan mengambil dari harta mereka. Dan tabiat manusia itu tertarik kepada menyerupakan dan mengikuti orang-orang yang mempunyai kemegahan dan keangkuhan. Maka mereka menjadi sebab patuhnya orang banyak kepada amir-amir itu.
Adapun pelayan-pelayan dan kaum keluarganya, maka kebanyakan harta mereka, adalah dari harta rampokan yang tegas. Dan tidak jatuh ke dalam tangan mereka, harta kepentingan umum, harta warisan dan pajak dan tidak harta dari cara yang halal. Sehingga lemahlah kesyubhatannya (diragukan) dengan bercampurnya yang halal dengan harta mereka.
Thaus berkata: “Tiada aku naik saksi terhadap apa yang ada pada mereka, walaupun aku yakin. Karena aku takut, akan mereka berbuat aniaya terhadap orang yang aku naik saksi kepadanya”. Kesimpulannya, sesungguhnya rusaklah rakyat dengan rusaknya raja-raja. Dan rusaklah raja-raja dengan rusaknya para ulama. Maka jikalau tidaklah qadli-qadli yang jahat dan ulama-ulama yang jahat, niscaya sedikitlah kerusakan raja-raja, karena takut dari menentang mereka. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Senantiasalah umat itu dibawah rahmat dan lindungan Allah, selama para ahli qiraahnya tidak menolong amir-amirnya”. Dan sesungguhnya disebutkan para ahli qiraah (al-qurra’), karena mereka itu adalah ulama. Dan pengetahuan mereka sesungguhnya, adalah tentang Alquran dan segala pengertiannya yang dipahami dengan Sunah Nabi saw. Dan ilmu-ilmu yang lain dibalik itu, adalah yang datang sesudah mereka.
Sufyan berkata: “Janganlah engkau bercampur dengan sultan dan jangan dengan orang yang bercampur dengan sultan”. Dan berkata Sufyan: Yang punya pena, punya tinta, punya kertas dan punya perekat, adalah berkongsi satu sama lain”. Dan sungguh benarlah Sufyan, karena Rasulullah saw mengutuk mengenai khamar, 10 golongan orang, sehingga yang memeras dan menerima perasaan.
Ibnu Mas’ud ra berkata: “Pemakan riba, yang mewakilkan, yang menjadi saksi dan penulisnya, adalah semuanya itu terkutuk menurut ucapan Muhammad saw”. Dan begitu pula yang diriwayatkan oleh Jabir dan Umar dari Rasulullah saw. Ibnu Sirin berkata: “Janganlah engkau bawakan bagi sultan itu suatu buku sebelum engkau ketahui apa isinya”. Sufyan ra menolak untuk memberikan kepada khalifah pada masanya tinta dihadapannya dan mengatakan: “Sebelum aku ketahui apa yang akan engkau tuliskan dengan tinta itu”. Maka semua orang dikeliling sultan-sultan itu, dari pelayan-pelayan dan pengikut-pengikutnya, adalah orang-orang zalim seperti mereka, yang wajib dimarahi mereka semua, pada jalan Allah.
Diriwayatkan dari Usman bin Zaidah, bahwa ia ditanyakan oleh seorang tentara, dengan mengatakan: “Manakah jalan itu ?”. Mendengar pertanyaan itu, Usman berdiam diri dan menampakkanya sebagai orang pekak. Ia takut tentara itu akan menuju kepada sesuatu perbuatan kezaliman. Lalu dia dengan menunjukkan jalan itu, adalah yang menolong. Bersangatan yang seperti ini, tidaklah dinuqilkan dari salaf serta orang-orang fasiq, dari saudagar-saudagar, tukang-tukang jahit, pembekam, penjaga tempat pemandian umum, tukang emas, tukang celup dan orang-orang yang mempunyai bermacam-macam perusahaan, serta banyaknya kebohongan dan kefasiqan pada mereka, bahkan serta orang-orang kafir dari orang-orang dzimmi (ahludz-dzimmah). Sesungguhnya ini adalah pada orang-orang zalim, yang khusus memakan harta anak-anak yatim, fakir miskin dan selalu menyakiti kaum muslimin, yang bertolong-tolongan untuk menghapuskan tanda-tanda agama dan syiarnya. Dan ini adalah karena ma’siat itu terbagi kepada: yang tetap dan yang menjalar. Dan fasiq itu tetap, tidak menjalar. Dan begitu pula kekafiran (kufur). Yaitu: penganiayaan terhadap hak Allah Ta’ala dan kiraannya keatas Allah.
Adapun ma’siat dari wali-wali negeri dengan kezaliman, itu adalah menjalar. Maka beratlah urusannya karena yang demikian. Dan menurut kadar umumnya kezaliman dan meratanya pelanggaran hak itu, bertambahlah mereka dengan kutukan pada sisi Allah. Maka wajiblah bertambah kejauhan dari mereka dan penjagaan diri dari bergaul dengan mereka. Nabi saw bersabda: “Dikatakan bagi polisi: “Tinggalkanlah cemetimu dan masuklah ke neraka !”. Dan Nabi saw bersabda: “Setengah dari tanda kiamat, ialah laki-laki, yang bersama mereka cemeti, seperti ekor lembu”. Maka inilah hukum mereka itu ! dan barangsiapa dikenal dengan demikian dari mereka, maka sesungguhnya telah dikenallah dia. Dan barangsiapa yang tiada dikenal, maka tandanya, ialah baju panjang, panjang kumis dan bentuk-bentuk lain yang terkenal. Maka orang yang terlihat dalam bentuk yang demikian itu, niscaya tentulah menjauhkannya. Dan bukanlah yang demikian itu, dari jahat sangka. Karena dia sendiri yang menganiaya dirinya, karena perpakaian dengan pakaian mereka. Dan persamaan pakaian, menunjukkan kepada persamaan hati. Dan tidak berbuat gila, kecuali orang gila. Dan tidak menyerupakan dengan orang-orang fasiq, melainkan orang fasiq. Ya, orang fasiq itu kadang-kadang meragukan, lalu menyerupai dengan orang-orang shalih.
Adapun orang shalih, maka tidaklah ia menyerupai dengan orang-orang buruk. Karena yang demikian itu adalah memperbanyakkan jumlah mereka. Sesungguhnya turun firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat ketika mereka menganiaya dirinya sendiri”. S 4 An Nisaa’ ayat 97, adalah pada suatu kaum dari orang muslimin, dimana mereka itu membanyakkan kumpulan orang-orang musyrik dengan bercampur baur. Dan sesungguhnya diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Yusya’ bin Nun: “Sesungguhnya Aku membinasakan dari kaummu sebanyak 40 ribu, dari orang baik-baik dan 60 ribu dari orang-orang jahat dari mereka”. Lalu Yusya’ bertanya: “Bagaimanakah halnya orang baik-baik itu ?”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Mereka itu tidak marah karena marahKu. Adalah mereka makan bersama mereka dan minum bersama mereka”. Dengan ini jelaslah, bahwa marah kepada orang-orang zalim dan marah karena Allah kepada mereka, adalah wajib. Diriwayatkan Ibnu Mas’ud dari Nabi saw: “Bahwa Allah mengutuk ulama-ulama Bani Israil (ulama-ulama Yahudi), karena mereka itu bercampur baur dengan orang-orang zalim, dalam kehidupan mereka”.
Suatu masalah.
Tempat-tempat yang dibangun oleh orang-orang zalim, seperti jembatan-jembatan, surau-surau, masjid-masjid dan tempat-tempat persediaan minuman, maka seyogyalah berhati-hati padanya dan diperhatikan. Adapun jembatan, maka bolehlah dilalui karena perlu. Dan yang menjaga diri, ialah menjaga diri selama mungkin. Dan jikalau diperolehnya jalan yang berpaling dari jembatan itu, niscaya lebih kuatlah untuk berlaku menjaga diri. Dan sesungguhnya kami memperbolehkan melaluinya, walaupun ia dapat berpaling dari jembatan itu, karena apabila ia telah tahu pemilik dari barang-barang yang diperbuat untuk jembatan tadi, niscaya adalah hukumnya bahwa barang-barang itu ditujukan bagi kebajikan. Dan ini adalah baik. Adapun apabila diketahuinya bahwa tanah bakar dan batu, adalah diambil dari rumah yang dikenal atau dari kuburan atau masjid tertentu, maka ini sekali-kali tiada halal melaluinya. Kecuali karena darurat yang menghalalkan seperti yang demikian itu, dari harta orang lain. Kemudian, haruslah ia meminta kehalalan dari pemiliknya yang dikenalnya. Adapun masjid, maka kalau dibangun pada tanah yang dirampas atau dengan kayu yang dirampas dari masjid lain atau kepunyaan orang yang tertentu, maka tiada dibolehkan masuk kedalamnya sekali-kali dan tidak untuk shalat Jum’at. Bahkan kalau berdiri imam di dalam masjid itu, maka hendaklah ia bershalat di belakang imam dan hendaklah ia berdiri di luar masjid. Sesungguhnya shalat pada tanah yang dirampas adalah memadai bagi fardlu dan sah dalam hal mengikutkan imam tadi. Maka karena itulah kami perbolehkan bagi orang yang mengikuti, untuk mengikuti orang yang mengerjakan shalat pada tanah yang dirampas, walaupun yang mengerjakan shalat itu berbuat ma’siat dengan berdiri pada tanah yang dirampas. Dan kalau masjid itu dari harta yang tidak dikenal pemiliknya, maka yang menjaga diri, ialah berpindah ke masjid lain, kalau ada. Kalau tidak diperolehnya masjid lain, maka janganlah meninggalkan Jum’at dan jama’ah di masjid itu. Karena mungkin masjid itu, si pemilik yang mendirikannya, walaupun secara pemikiran yang jauh. Dan jikalau masjid itu tidak mempunyai pemilik yang tertentu, maka adalah untuk kemuslihatan kaum muslimin. Manakala ada dalam masjid besar, bangunan bagi sultan yang zalim, maka tiada halangan bagi orang yang mengerjakan shalat didalamnya serta meluasnya masjid. Ya’ni: tentang menjaga dirinya.
Ditanyakan kepada Ahmad bin Hanbal: “Apakah alasan tuan, tidak keluar kepada shalat dalam jama’ah dan kami di Al-‘Askar ?”. Ahmad bin Hanbal menjawab: “Alasanku, ialah, bahwa Al-Hasan dan Ibrahim At-Taimi, keduanya takut difitnahkan oleh Al-Hajjaj dan akupun takut pula mendapat fitnah”. Adapun pelicinan dan pengkapuran masjid, maka itu tidak dilarang untuk ke masjid. Karena hal itu tidak diambil kemanfaatannya dalam shalat. Dan itu hanya hiasan belaka. Dan yang lebih utama, tidak dilihat kepadanya.
Adapun tikar yang dibentangkan, maka ada pemiliknya yang tertentu, niscaya haram duduk padanya. Dan jikalau tidak ada pemiliknya yang tertentu, maka sesudah diperhatikan untuk kemuslihatan umum, niscaya bolehlah mengambilnya untuk tempat duduk. Tetapi yang menjaga diri, adalah berpaling daripadanya. Karena itu adalah tempat syubhat (diragukan).
Adapun tempat penyediaan minuman, maka hukumnya, ialah yang telah kami sebutkan dahulu. Dan tidaklah dari menjaga diri, berwudlu’, meminum daripadanya dan masuk kepadanya. Kecuali apabila ia takut luput shalat, maka berwudlu’lah ia dengan air itu. Dan begitu pula tempat-tempat yang diperbuat bagi jalan Makkah. Adapun surau-surau dan sekolah-sekolah, maka jikalau tanahnya tanah yang dirampas atau tanah-bakarnya dipindahkan dari suatu tempat tertentu, yang mungkin dikembalikan kepada yang berhak, maka tidaklah diperbolehkan masuk kedalamnya. Dan kalau si pemiliknya, diragukan, maka diperhatikan bagi segi kebajikan. Dan yang menjaga diri, ialah menjauhkannya. Tetapi tidaklah mesti menjadi fasiq dengan masuknya itu. Dan bangunan-bangunan tersebut jika diperhatikan dari usaha pelayan-pelayan sultan, maka persoalannya menjadi lebih berat lagi. Karena mereka tidak berhak menyerahkan harta-harta yang hilang dari pemiliknya, kepada kemuslihatan umum. Dan karena yang haram, adalah yang terbanyak dari harta mereka. Karena tak boleh mereka mengambil harta kepentingan umum. Dan yang demikian itu hanya diperbolehkan bagi wali-wali negeri dan orang-orang yang bertanggung jawab.
Suatu masalah.
Tanah yang dirampas, apabila dijadikan jalan raya, niscaya tidak diperbolehkan sekali-kali melangkahinya. Dan kalau tidak mempunyai pemilik yang tertentu, niscaya diperbolehkan. Dan yang menjaga diri, ialah berpaling daripadanya, kalau mungkin. Kalau jalan raya itu jalan yang diperbolehkan dan diatas jalan tersebut ada atap, niscaya bolehlah dilalui. Dan bolehlah duduk dibawah atap itu, dengan cara yang tidak memerlukan kepada atap itu, sebagaimana berdiri pada jalan besar, karena sesuatu urusan. Apabila dipergunakan atap tadi untuk menolak panasnya matahari atau hujan atau lainnya, maka itu haram. Karena atap itu, tidaklah dimaksudkan selain untuk yang demikian. Dan begitulah hukum orang yang memasuki masjid atau tanah yang diperbolehkan, yang diatapi atau dipagari dengan harta yang dirampas. Karena dengan semata-mata melangkah tidak adalah ia mengambil manfaat dengan pagar dan atap itu. Kecuali mempunyai faedah pada dinding dan atap itu, karena panas atau dingin atau menutup dari penglihatan atau lainnya. Maka yang demikian itu adalah haram dari penglihatan atau lainnya. Maka yang demikian itu adalah haram. Karena mengambil manfaat dengan yang haram. Karena tiadalah haram duduk diatas tanah yang dirampas, karena ada padanya penyentuhan. Bahkan, karena kemanfaatannya. Dan tanah itu dikehendaki untuk ketetapan padanya. Dan atap untuk bernaung dengan dia. Maka tiadalah perbedaan diantara keduanya.
BAB KETUJUH: tentang masalah-masalah yang berserak-serak, yang banyak diperlukan kepadanya dan telah ditanyakan tentang masalah-masalah itu, mengenai fatwa-fatwanya.
Suatu masalah.
Ditanyakan tentang pelayan orang shufi yang keluar ke pasar dan mengumpulkan makanan dan uang. Dan dibelinya dengan itu makanan. Maka siapakah yang menghalalkan baginya untuk memakan dari makanan itu ? adakah itu tertentu untuk orang shufi saja atau tidak ? Maka aku menjawab: adapun orang shufi, maka taklah syubhat (diragukan) tentang hak mereka, apabila mereka memakannya. Dan adapun orang lain, maka halallah bagi mereka, apabila memakannya dengan kerelaan pelayan itu. Tetapi tidaklah terlepas dari syubhat (diragukan). Adapun halal, maka karena apa yang diberikan kepada pelayan orang shufi tersebut, sesungguhnya diberikan, disebabkan orang shufi itu. Tetapi pelayan itu yang diberikan, bukan orang shufi. Maka pelayan itu, adalah seperti orang yang berkeluarga, yang diberikan disebabkan kekeluargaannya. Karena ia yang menanggung perbelanjaan mereka. Dan apa yan diambilnya, adalah menjadi miliknya tidak menjadi milik keluarganya. Dan ia boleh memberikan untuk makanan orang yang bukan keluarganya. Karena jauhlah untuk dikatakan, bahwa harta itu tidak keluar dari kepunyaan si pemberi dan tiada berkuasa si pelayan itu untuk membeli apa-apa dengan harta tersebut dan berbuat sesuatu dengan harta itu. Karena yang demikian itu menjadikan, bahwa beri-memberi (mu’athah) itu, tidak mencukupi. Dan pendapat yang demikian, adalah lemah. Kemudian, tiada yang menjadikan kepadanya mengenai sedekah dan hadiah. Dan jauhlah untuk dikatakan: hilanglah miliknya itu, berpindah kepada orang-orang shufi yang hadir, dimana mereka itu pada waktu dimintanya, berada pada tempat ibadah. Karena tidak ada khilaf (perbedaan pendapat), bahwa pelayan itu, boleh memberikan makanan dari harta tersebut, kepada orang-orang yang datang sesudah orang-orang shufi tadi. Dan jikalau meninggal semua orang shufi tadi atau seorang dari mereka, niscaya tiada wajib menyerahkan bahagiannya kepada ahli warisnya. Dan tidak mungkin untuk dikatakan, bahwa harta itu jatuh untuk pihak tasawwuf/ahli suffi. Dan tiada tentu baginya yang berhak. Karena menghilangkan milik kepada sesuatu segi, tidaklah mewajibkan pemberian kuasa bagi perorangan-perorangan kepada penggunaan harta itu. Karena orang-orang yang masuk dalam lingkungan harta tersebut, tidaklah terbatas jumlahnya. Bahkan masuk kedalamnya orang-orang yang akan lahir, sampai kepada hari kiamat. Sesungguhnya yang mengurus mengenai harta tersebut, ialah orang-orang yang berkuasa (wali-wali negeri). Dan pelayan itu tak boleh mengangkat pengganti (wakil) dari pihak manapun. Tak ada cara baginya, selain dikatakan, adalah ia yang memilikinya. Dan dia memberikan untuk makanan bagi orang-orang shufi, adalah dengan sempurnanya syarat tasawwuf/ahli suffi dan kepribadiannya. Kalau pelayan itu tidak memberikan makanan kepada mereka dari harta tersebut, niscaya mereka melarang pelayan itu, daripada melahirkan dirinya, dalam kedudukan menanggung pelayanan kepada orang-orang shufi itu. Sehingga habislah pikulannya, sebagaimana habisnya pikulan dari orang, yang telah meninggal keluarga yang menjagi tanggungannya.
Suatu masalah.
Ditanyakan tentang harta yang diwasiatkan untuk orang-orang shufi, maka siapakah yang boleh diserahkan harta itu kepadanya ? Maka aku menjawab: bahwa tasawwuf/ahli suffi itu, adalah urusan batin, yang tak dapat dilihat dan tidak mungkin menentukan hukum tentang hakikat/maknanya. Tetapi harus dengan hal-hal zahir, yang menjadi pegangan bagi orang-orang menurut kebiasaan, tentang meletakkan nama: orang shufi itu. Ketentuan secara keseluruhan, ialah: bahwa tiap-tiap orang yang bersifat dengan suatu sifat, apabila mengambil tempat dalam tempat ibadah orang-orang shufi (khanaqah ash-shufiah), dimana menempatnya disitu dan bergaulnya dengan orang-orang shufi itu, tidak ditantang mereka, maka masuklah orang tersebut dalam kumpulan orang-orang shufi dimaksud. Dan penguraiannya, ialah, bahwa diperhatikan pada orang itu, 5 sifat: shalih, miskin, pakaian shufi, tidak mengerjakan sesuatu pekerjaan dan bercampur-baur dengan mereka dengan jalan tenang-tentram dalam khanaqah (tempat peribadatan orang shufi). Kemudian sebahagian dari sifat-sifat ini, dengan hilangnya, maka haruslah hilang sebagai orang shufi. Dan sebahagiannya dapat tertampal dengan sebahagian yang lain. Sifat fasiq, mencegah berhaknya nama tersebut. Karena orang shufi itu pada umumnya, adalah ibarat seorang dari orang-orang shalih, dengan sifat tertentu. Maka orang yang terang fasiqnya, walaupun ada dalam pakaian orang-orang shufi, maka tidaklah ia berhak akan apa yang diwasiatkan untuk orang-orang shufi. Dan tidaklah kami memandang dalam hal ini, akan hal yang kecil-kecil.
Adapun perusahaan dan bekerja dengan sesuatu usaha adalah mencegah untuk berhak nama tersebut. Maka kepada sesuatu tempat, pekerja, saudagar, tukang pada tempat ia bekerja atau dirumahnya dan orang yang menjual tenaga yang melayani orang lain dengan mendapat upah, maka semua orang-orang tadi, tidaklah berhak terhadap apa yang diwasiatkan untuk orang-orang shufi. Dan tidaklah tertampal hal-hal yang tersebut tadi, dengan memakai pakaian orang shufi dan bercampur baur dengan orang-orang shufi. Adapun orang yang menjual kertas dan menjahit dan yang berdekatan dengan dua pekerjaan ini, dari pekerjaan-pekerjaan yang layak dikerjakan oleh orang-orang shufi, maka apabila dikerjakannya, tidak ditempat pekerjaan tersebut dan bukan dalam segi berusaha dan bekerja, maka yang demikian itu, tidaklah melarang berhaknya nama itu. Dan adalah yang demikian tertampal dengan sebab tinggalnya bersama orang-orang shufi itu, serta dengan sifat-sifat yang lain. Adapun sanggup bekerja secara tidak langsung, maka tidak mencegah akan berhaknya nama itu. Adapun menjadi juru nasehat (tabligh) dan memberi pelajaran, maka tidaklah menidakkan nama tasawwuf/ahli suffi, apabila terdapat sifat-sifat yang lain, dari pakaian, bertempat tinggal bersama orang-orang shufi dan kemiskinan. Karena tidaklah bertentangan untuk dikatakan: seoranng shufi yang ahli qiraah seorang shufi yang menjadi juru nasehat, seorang shufi yang alim atau mengajar. Dan bertentangan bahwa dikatakan: seorang shufi yang menjadi kepala sesuatu daerah, seorang shufi yang menjadi saudagar dan seorang shufi yang membuRuh. Adapun kemiskinan, maka jikalau hilang kemiskinan itu, dengan kekayaan yang berlebih-lebihan, dimana ia dikatakan mempunyai kekayaan yang nyata, maka tidaklah boleh bersama yang tadi itu, mengambil harta wasiat bagi orang-orang shufi. Dan kalau ia mempunyai harta dan tidaklah mencukupi uang masuknya dengan uang keluarnya, niscaya tidaklah batal haknya itu. Dan demikian pula, apabila ia mempunyai harta yang kurang daripada wajib zakat, walaupun ia tiada mempunyai pengeluaran. Dan inilah hal-hal yang tiada dalil baginya, selain dari adat kebiasaan. Adapun bercampur-baur dengan orang-orang shufi dan bertempat tinggal bersama mereka, maka baginya bekas. Tetapi orang yang tidak bercampur-baur dengan mereka dan tetap berada di rumahnya atau dalam masjid dengan pakaian orang-orang shufi dan berakhlaq dengan akhlaq orang-orang shufi, maka ia tiadalah berserikat memperoleh bahagian orang-orang shufi. Dan meninggalkan bercampur-baur dengan mereka itu, dapat ditampal oleh selalu berpakaian dengan pakaian mereka. Dan kalau tidak berpakaian dengan pakaian mereka dan terdapat padanya sifat-sifat yang lain yang tersebut itu, maka tidaklah ia berhak nama tersebut, kecuali apabila ia menempati bersama orang-orang shufi itu di surau-surau. Maka tertariklah kepadanya, hukum orang-orang shufi dengan pengikutan. Bercampur-baur dan berpakaian dengan pakaian shufi, dapat ganti-menggantikan satu sama lain. Dan ahli fiqh (faqih) yang tidak berpakaian dengan pakaian orang-orang shufi, ini adalah dihitung menjadi orang shufi. Kalau ia keluar, niscaya tidaklah dihitung orang shufi. Dan kalau ia bertempat tinggal bersama mereka dan terdapat padanya sifat-sifat yang lain, niscaya tidaklah jauh untuk ia ditarik dengan mengikutkan kepadanya hukum orang-orang shufi. Adapun memakai kain yang berbagai warna dari tangan guru (syaikh) dari guru-guru mereka, maka tidaklah disyaratkan yang demikian itu untuk berhak bernama shufi. Dan tidak adanya itu, tidaklah mendatangkan melarat baginya, serta adanya syarat-syarat yang tersebut dahulu. Adapun orang yang berkeluarga, yang bulak-balik antara surau dan tempat tinggalnya, maka tidaklah ia keluar dari jumlah mereka itu, disebabkan yang demikian.
Suatu masalah.
Apa yang diwaqafkan kepada surau-surau orang shufi penghuni-penghuninya, maka persoalannya dalam hal ini adalah lebih luas dari apa yang diwasiatkan kepada mereka. Karena pengerian waqaf, ialah penyerahan kepada kepentingan orang-orang shufi itu. Maka bagi orang yang bukan shufi, boleh memakan bersama mereka dengan kerelaan mereka, pada hidangan kaum shufi itu, sekali atau dua kali. Karena urusan makanan, dasarnya ialah tasamuh (toleransi, bermaaf-maafan). Sehingga membolehkan sendirian dengan makanan-makanan itu pada barang-barang rampasan perang yang berkongsi. Dan bagi orang yang melagukan lagu-lagu orang shufi, boleh memakan bersama mereka dalam undangannya, dari harta waqaf itu. Dan adalah yang demikian tadi, termasuk sebahagian dari kepentingan kehidupan mereka. Dan apa yang diwasiatkan untuk orang shufi, tidaklah boleh diserahkan kepada orang-orang yang melagukan lagu-lagu orang shufi. Lain halnya dengan waqaf. Dan begitupula orang-orang yang didatangkan oleh kaum shufi, dari para pekerja, saudagar, qadli/hakim dan ahli-ahli fiqh (fuqaha’), dari orang-orang, dimana bagi kaum shufi itu mempunyai maksud menarik hati mereka, maka halallah orang-orang itu memakan dengan relanya orang-orang shufi itu. Karena orang yang mewaqafkan itu, tidaklah mewaqafkan, kecuali dengan i’tiqad (keyakinan) pada harta waqaf itu, apa yang berlaku padanya adat-kebiasaan orang-orang shufi. Maka ditempatkanlah yang demikian itu menurut kebiasaan yang terkenal (‘uruf). Tetapi tidaklah ini berlaku terus-menerus. Maka tidaklah boleh bagi orang yang bukan shufi, mendiami bersama mereka terus-menerus. Dan memakan bersama mereka, walaupun mereka rela yang demikian. Karena tidaklah mereka berhak mengobah syarat orang yang mewaqafkan, dengan mempersekutukan orang-orang yang tidak sejenis dengan orang-orang shufi itu.
Adapun ahli fiqh (faqih), apabila ia dengan pakaian dan budi pekerti orang-orang shufi, maka bolehlah menempati bersama mereka. Dan adanya ia selaku seorang ahli fiqh, tidaklah menolak untuk ia menjadi seorang shufi. Dan kebodohan tidaklah menjadi syarat pada tashawwuf, pada orang yang mengenal tashawwuf. Dan tidak usah diperhatikan kepada khurafat-khurafat sebahagian orang-orang dungu, dengan kata mereka: bahwa pengetahuan itu adalah hijab (dinding). Karena kebodohanlah yang sebenarnya itu hijab bagi tasahwwuf. Dan telah kami sebutkan dahulu penafsiran perkataan ini pada “Kitab Ilmu”. Dan sesungguhnya hijab itu, ialah ilmu yang tercela, bukan yang terpuji. Dan telah kami sebutkan dahulu yang terpuji dan yang tercela dan uraian keduanya.
Adapun ahli fiqh itu, apabila ia tidak dengan pakaian dan budi pekerti orang-orang shufi, maka bagi orang-orang shufi boleh melarangnya bertempat bersama mereka. Kalau mereka menyetujui ia bertempat di tempat orang-orang shufi itu, maka halallah ia memakan bersama mereka dengan jalan tab’iyyah (mengikutkan kepada orang-oarng shufi). Maka tidak adalah pakaian itu, ditampal oleh tinggal bersama. Dan tetapi dengan rela yang mempunyai pakaian (orang shufi) itu. Inilah hal-hal yang dibuktikan oleh adat-kebiasaan. Dan padanya ada hal-hal yang berlawanan, yang tidak tersembunyi tepi-tepinya, tentang negatifnya (nafi) dan positifnya (itsbat) dan yang keserupaan yang ditengah-tengahnya. Maka barangsiapa menjaga diri pada tempat-tempat yang keserupaan (meragukan) itu, niscaya terlepaslah ia dari kesalahan, demi untuk agamanya, sebagaimana telah kami peringatkan dahulu pada “bab-bab syubhat (diragukan)” itu.
Suatu masalah.
Ditanyakan tentang perbedaan antara rasywah (sogok) dan hadiah, sedang masing-masing dari keduanya, adalah datang dari kerelaan hati dan tidak terlepas dari sesuatu maksud. Dan diharamkan yang satu (rasywah), sedang yang lainnya (hadiah) tidak. Aku menjawab, bahwa yang memberikan harta itu, tidaklah sekali-kali memberikannya, kecuali karena sesuatu maksud. Adakalanya maksud itu pada masa jauh yang akan datang, seperti: pahala. Dan adakalanya pada masa dekat yang segera. Dan yang dekat segera itu, adakalanya: harta. Adakalanya: perbuatan dan pertolongan kepada maksud tertentu. Adakalanya: pendekatan kepada hati orang yang dihadiahkan, dengan mencari kesayangannya. Adakalanya kepada kesayangan itu sendiri dan adakalanya untuk mencapai dengan kesayangan itu kepada sesuatu maksud dibelakangnya. Maka bahagian-bahagian yang diperoleh dari inil, adalah 5:
Pertama: sesuatu yang maksudnya adalah pahala di akhirat. Dan yang demikian itu, adakalanya ada, karena orang yang diserahkan itu memerlukannya atau orang alim atau orang yang keturunan keagamaan atau orang shalih yang beragama. Maka apa yang diketahui oleh yang menerima itu, bahwa orang memberikan kepadanya, karena ia memerlukan kepada barang itu maka tidaklah halal ia mengambilnya, jikalau ia tidak memerlukannya. Dan apa yang diketahuinya, bahwa orang memberikan kepadanya, karena kemuliaan keturunannya, maka tidak halal baginya, kalau ia mengetahui, bahwa ia berdusta tentang dakwaan kebangsawanannya itu. Dan apa yang diberikan orang kepadanya, karena pengetahuannya, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya, kecuali ada ia dalam pengetahuan yang tersebut, sebagaimana yang diyakini oleh yang memberikan. Kalau dia dikhayalkan mempunyai pengetahuan yang sempurna, sehingga mendorong yang demikian itu kepada orang untuk mendekatkan diri kepadanya, sedang sebenarnya, ia tidak mempunyai pengetahuan yang sempurna, niscaya tidak halal barang itu baginya. Dan apa yang diberikan karena keagamannya dan keshalihannya, maka tidak halal ia mengambil, kalau ia pada batinnya seorang yang fasiq, dimana kalau tahulah yang memberi itu, niscaya tidak diberikannya. Dan sedikitlah adanya orang yang shalih, dimana kalau terbukalah batinnya, niscaya hati orang masih tetap condong kepadanya. Sesungguhnya dinding dianugerahi Allah yang maha cantik itu, adalah yang membawa manusia berkasih-sayang sesama manusia. Dan adalah orang-orang menjaga diri, mewakilkan pada pembelian, orang yang tidak dikenal, bahwa orang itu adalah wakil orang-orang menjaga diri tersebut. Sehingga orang-orang menjaga diri tadi, tidak bertoleransi (bertasamuh) tentang barang penjualan itu, karena dikuatiri, yang demikian itu adalah membawa termakan agama. Maka sesungguhnya yang demikian itu, adalah membahayakan. Taqwa itu adalah tersembunyi. Tidak seperti: pengetahuan, kebangsawanan dan kemiskinan. Maka seyogyalah menjauhkan diri daripada mengambil dengan sebab agama, selama mungkin.
Bahagian kedua: apa yang dimaksudkan pada masa datang yang dekat, akan suatu maksud tertentu, seperti seorang miskin yang menghadiahkan sesuatu kepada kepada orang kaya, karena mengharaplan pemberiannya yang lebih besar. Maka ini adalah hibah (pemberian), dengan syarat pembalasan, yang tidak tersembunyi hukumnya. Dan sesungguhnya hibah tersebut itu halal, ketika disempurnakan dengan pembalasan yang diharapkan adanya dan ketika adanya syarat-syarat ‘aqad (ikatan) itu.
Ketiga: bahwa adalah yang dimaksud, ialah pertolongan dengan perbuatan tertentu, seperti: orang yang memerlukan kepada sultan, lalu menghadiahkan kepada wakil sultan, pembantu-pembantunya dan orang-orang yang mempunyai kedudukan disisinya. Maka inilah hadiah dengan syarat pembalasan yang diketahui dengan petunjuk keadaan. Maka hendaklah diperhatikan pada perbuatan itu, yang menjadi pembalasannya. Kalau perbuatan itu haram, seperti usaha pada pelaksanaan penganugerahan yang haram atau kezaliman terhadap seseorang manusia atau perbuatan lainnya, niscaya haramlah mengambil barang hadiah itu. Dan kalau perbuatan itu wajib, seperti penolakan kezaliman yang tertentu atas tiap-tiap orang yang menyanggupinya atau kesaksian yang tertentu, maka haramlah apa yang diambilnya. Dan itu adalah rasywah (sogok), yang tidak diragukan lagi pengharamannya. Dan kalau perbuatan itu mubah (diperbolehkan), tidak wajib dan tidak haram dan pada perbuatan itu ada kepayahan, dimana, jikalau diketahui, niscaya boleh mengambil upah padanya, maka apa yang diambil itu adalah halal, manakala disempurnakan perbuatan itu dengan maksudnya. Dan itu berlaku seperti ongkos-ongkos tenaga –dari orang yang bekerja, seperti katanya: sampaikanlah cerita ini ke tangan si Anu atau ke tangan sultan dan untukmu uang sedinar. Dan adalah perbuatan ini, dimana memerlukan kepada kepayahan dan perbuatan yang mempunyai nilai. Atau katanya: sarankanlah kepada si Anu, untuk menolong saya pada maksud itu atau ia mengurniakan kepadaku akan itu. Dan memerlukan pada pelaksanaan maksudnya tadi, kepada panjang pembicaraan. Maka yang demikian itu, adalah ongkos dari tenaga yang diberikan, seperti apa yang diambil oleh wakil dari seseorang yang diperkarakan di hadapan hakim. Maka tidaklah yang demikian itu haram, apabila ia tidak berusaha pada yang haram. Dan kalau maksudnya itu berhasil dengan sepatah kata yang tak memayahkan, tetapi perkataan itu dari orang yang mempunyai kemegahan atau perbuatan itu dari orang yang mempunyai kemegahan, perbuatan mana yang mendatangkan faedah, seperti katannya kepada penjaga pintu: jangan engkau kuncikan pintu sultan terhadap dia ! atau seperti: diletakkannya cerita itu dihadapan sultan saja. Maka ini adalah haram. Karena yang demikian itu, adalah ‘iwadl (gantian) dari kemegahan. Dan tak ada pada agama yang membolehkan demikian. Bahkan ada dalil yang menunjukkan kepada larangan daripadanya, sebagaimana akan datang uraiannya mengenai “hadiah raja-raja”. Dan apabila tidak diperbolehkan ‘iwadl untuk menggugurkan syuf’ah/hak bagi tetangga membeli barang tidak bergerak yang dijual oleh tetangganya dengan menggantikan harga kepada yang sudah membelinya, pengembalian yang rusak, kemasukan ranting-ranting pohon kayu kedalam daerah tempat raja dan sejumlah dari maksud-maksud yang lain, sedang adanya semuanya itu menjadi maksud, maka bagaimanakah diambil yang demikian itu dari kemegahan ? Dan mendekati dengan yang tersebut ini, tentang dokter yang mengambil ‘iwadl (penukaran dengan pembayaran harga) terhadap sepatah kata, yang diberikannya dengan kata-kata itu mengenai obat, dimana ia sendiri saja yang mengetahuinya. Seperti seorang yang hanya dia sendiri yang tahu tentang pengetahuan; mengenai tumbuh-tumbuhan yang dapat mencabut wasir atau lainnya. Lalu ia tidak mau menyebutkannya, selain dengan ‘iwadl (sebagai gantian dari apa yang telah diberikannya itu). Maka perbuatannya dengan mengeluarkan kata-kata itu, adalah tidak berharga, seperti sebiji kacang. Maka tidak boleh mengambil ‘iwadl daripadanya dan tidak terhadap ilmunya. Karena tidaklah ilmunya itu, berpindah kepada orang lain. Dan sesungguhnya berhasil bagi orang lain seperti ilmunya itu, sedang ia sendiri tetap mengetahui ilmu yang tersebut tadi. Dan tidaklah seperti itu, orang yang ahli tentang membuat sesuatu, seperti: ahli menajamkan pedang umpamanya, yang sanggup menghilangkan kebengkokan pedang atau kaca dengan waktu sedetik saja, karena mengetahui betul tempat kerusakannya dan karena ahli membetulkannya. Maka kadang-kadang bertambah dalam waktu sedetik saja, harta banyak mengenai nilai pedang dan kaca. Maka tentang ini, saya berpendapat, tiada mengapa mengambil ongkosnya. Karena perusahaan yang seperti ini, memayahkan seseorang dalam mempelajarinya, untuk dapat berusaha dengan perusahaan tersebut. Dan untuk meringankan daripadanya kebanyakan perbuatan.
Keempat: ialah, yang dimaksudkan dengan pemberian itu, kasih sayang dan memperolehnya kasih-sayang itu dari pihak orang yang dihadiahkan. Bukan karena sesuatu maksud tertentu tetapi karena mencari kejinakkan hati, keteguhan persahabatan dan kesayangan pada hati. Maka yang demikian itu, adalah menjadi maksud bagi orang-orang yang berpikiran tinggi. Dan disunatkan yang demikian itu pada agama. Nabi saw bersabda: “Hadiah-berhadiahlah, supaya kamu kasih-mengasihi”. Kesimpulannya, tidaklah pula manusia itu menurut kebiasaannya, bermaksud menyayangi orang lain, karena kesayangan itu sendiri. Tetapi adalah karena sesuatu faedah dari kesayangan itu. Akan tetapi apabila faedah itu tidak menentu dan tidak tergambar pada dirinya, maksud tertentu itu yang menggerakkannya untuk masa sekarang atau masa yang akan datang, maka dinamakanlah yang demikian itu hadiah dan halallah mengambilnya.
Kelima: bahwa dicarinya kedekatan ke hati orang yang diberikan itu dan memperoleh kesayangannya. Dan bukanlah untuk kesayangan dan kejinakan hati, dari segi kejinakah hati itu saja, tetapi adalah untuk ia sampaikan dengan kemegahan orang yang diberikan itu, kepada maksud-maksudnya yang terhingga jenisnya, walaupun tidak terhingga barangnya. Dan adalah, jikalau tidaklah kemegahan dan kelebihannya itu, niscaya tidaklah akan dihadiahkan kepadanya. Kalau ada kemegahannya itu karena ilmu pengetahuan atau kebangsawanan, maka persoalannya adalah lebih ringan dan mengambilnya adalah makruh. Karena padanya menyerupai rasywah (uang sogok), tetapi pada zahirnya adalah hadiah. Kalau kemegahannya itu disebabkan pemerintahan yang dipegangnya, dari kehakiman atau jabatan atau urusan sedekah (zakat) atau pemungutan harta atau lainnya, dari tugas-tugas kerajaan, sampai urusan harta waqaf umpamanya dan jikalau tidaklah tugas tersebut, niscaya tidak akan dihadiahkan kepadanya, maka ini adalah rasywah, dikemukakan dalam bentuk hadiah. Karena maksudnya yang sekarang, ialah mencari kedekatan dan mengusahakan kesayangan. Tetapi bagi sesuatu hal yang terbatas jenisnya. Karena apa yang memungkinkan sampai kepadanya dengan pemerintahan, adalah tidak tersembunyi. Dan tanda bahwa ia tidak mencari kesayangan itu semata, ialah kalau memerintahlah sekarang orang lain, niscaya akan diserahkannya harta itu kepada orang lain yang tersebut. Maka ini adalah termasuk sebahagian dari apa yang disepakati para ulama, bahwa kemakruhan padanya itu adalah sangat keras. Dan mereka berbeda pendapat tentang haramnya dan pengertian mengenainya adalah bertentangan. Karena berkisar diantara hadiah semata dan rasywah (uang sogok) yang diberikan sebagai timbalan kemegahan semata pada suatu maksud tertentu. Dan apabila bertentangan keserupaan secara qias/logika dan dibantu oleh hadits dan atasar, salah satu dari yang dua keserupaan itu, niscaya tertentulah kecondongan kepada yang satu itu. Dan hadits-hadits telah menunjukkan kepada mengeraskan urusan tentang itu. Nabi saw bersabda: “Akan datang kepada manusia suatu zaman, yang dihalalkan padanya yang haram (as-suht) dengan diberikan hadiah, dihalalkan pembunuhan dengan memberi pengajaran (nasehat), dimana orang yang tak bersalah dibunuh, untuk menjadi pengajaran bagi orang awam”.
Ditanyakan Ibnu Mas’ud ra tentang “as-suht” tadi, lalu beliau menjawab: “Dilaksanakan oleh seseorang akan suatu hajat keperluan, lalu dihadiahkan kepadanya sesuatu hadiah”. Semoga yang dimaksudkan oleh Ibnu Mas’ud ra tadi, ialah pelaksanaan hajat tersebut, dengan sepatah kata yang tak payah mengatakannya. Atau yang melaksanakan hajat itu, berbuat tabarru’ (beramal). Tidak bermaksud kepada ongkos. Maka tidak boleh mengambil sesuatu sesudahnya, dalam bidang ‘iwadl. Masruq telah memberikan sesuatu pertolongan, lalu orang yang ditolong itu menghadiahkan seorang budak wanita kepada Masruq. Maka marahlah beliau dan mengembalikan budak wanita tersebut, seraya berkata: “Kalau tahulah aku apa yang dalam hatimu, niscaya tidaklah aku memperkatakan tentang hajatmu itu dan tidak akan aku memperkatakan tentang apa yang masih tinggal daripadanya”.
Ditanyakan Thaus tentang hadiah-hadiah sultan, maka beliau menjawab: “Haram !”. Umar ra mengambil keuntungan dari harta yang dijadikan modal untuk mencari keuntungan, yang diambil oleh kedua orang puteranya dari Baitul-mal, seraya berkata: “Sesungguhnya diberikan harta Baitul-mal kepada kamu berdua, karean kedudukanmu dari aku”. Karena Umar ra tahu, bahwa harta Baitul-mal itu diberikan kepada keduanya karena kemegahan Umar yang memegang pemerintahan sebagai Khalifah.
Isteri Abi ‘Ubaidah bin Al-Jarrah menghadiahkan kepada Khatun ratu negeri Rum semacam bau-bauan (khaluq). Lalu ratu itu membalasinya dengan suatu permata. Lalu permata itu diambil oleh Umar ra. Maka dijualnya dan diberikannya kepada isteri Abi ‘Ubaidah sebanyak harga khaluq dan sisanya diserahkannya ke kas harta kaum muslimin (Baitul-mal).
Berkata Jabir ra dan Abu Hurairah ra: “Hadiah raja-raja itu adalah rantai”. Sewaktu Umar bin Abdul-aziz mengembalikan hadiah orang, lalu dikatakan kepada beliau: “Adalah Rasulullah saw menerima hadiah”, maka beliau menjawab: “Adalah itu hadiah untuk Rasulullah saw dan untuk kita itu adalah rasywah”. Artinya: “Adalah orang yang memberikan itu mendekatkan dirinya kepada Nabi saw karena kenabiannya, tidak karena pemerintahannya. Dan kita ini diberikan, karena pemerintahan ditangan kita”. Dan yang lebih besar dari itu semuanya, ialah apa yang dirawikan Abu Hamid As-Sa’idi: “Bahwa Rasulullah saw mengutus seorang wali negeri untuk mengumpulkan zakat di Al-Azd. Tatkala ia datang kepada Rasulullah saw lalu ia menahan sebahagian apa yang ada padanya, seraya berkata: “Ini adalah untukmu dan ini adalah untukku sebagai hadiah”. Maka Nabi saw menjawab: “Adakah engkau duduk di rumah ayahmu dan di rumah ibumu, lalu datang kepadamu hadiah bagimu, kalau engkau benar ? kemudian Nabi saw menyambung lagi: “Tiadalah aku akan memakai lagi orang yang sepertimu ini, dimana ia mengatakan: “Ini adalah untukmu dan ini adalah hadiah bagiku”. Adakah ia duduk di rumah ibunya, supaya orang memberikan hadiah kepadanya ? demi Allah, yang jiwaku didalam kekuasaanNya ! tidaklah diambil oleh seseorang kamu sesuatu yang bukan haknya, melainkan ia akan datang kepada Allah membawakan sesuatu itu kepadaNya. Maka tidaklah seseorang kamu datang kepada Allah membawakan sesuatu itu kepadaNya. Maka tidaklah seseorang kamu datang pada hari kiamat dengan membawa unta yang meringkik atau lembu yang melenguh atau kambing yang mengembek”.
Kemudian Rasulullah saw mengangkatkan kedua tangannya, sehingga aku melihat putih kedua ketiaknya. Kemudian Nabi saw mendoa: “Wahai Allah Tuhanku ! adakah sudah aku menyampaikannya ?”. Apabila telah tegas segala peringatan yang keras ini, maka bagi qadli (hakim) dan wali negeri, seyogyalah mengumpamakan dirinya di rumah ibunya dan bapaknya. Maka apa yang diberikan kepadanya sesudah berhenti dan dia berada di rumah ibunya, niscaya bolehlah ia mengambilnya dalam masa pemerintahannya. Dan apa yang diketahuinya, bahwa diberikan karena pemerintahannya semata, maka haramlah mengambilnya. Dan apa yang menyulitkan kepadanya tentang hadiah dari teman-temannya, apakah mereka itu akan memberikannya, jikalau ia sudah diberhentikan dari jabatannya, maka itu adalah syubhat (diragukan). Maka hendaklah ia menjauhkannya ! Telah tammat “Kitab Tentang Halal Dan Haram” dengan pujian kepada Allah dan nikmat serta kebaikan taufiqNya. Wallahu A’lam ! Allah yang Maha Tahu.