KITAB
HALAL DAN HARAM.
Yaitu: Kitab ke-4 dari “Rubu’ Adat-Kebiasaan” dari “Kitab
Ihya’ ‘Ulumiddin”.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah yang menjadikan insan
dari tanah melekat dan kering. Kemudian, Ia menyusun bentuknya dalam bentuk
yang amat baik dan dalam kesederhanaan yang amat sempurna. Kemudian Ia
menyajikannya pada pemulaan kejadiannya dengan susu, yang dibersihkan dari
antara tai dan darah, susu yang bersih, seperti air pancuran. Kemudian, Ia
memeliharakannya dengan apa yang diberikan, dari rezeki yang baik, dari segala
yang membawa kepada kelemahan dan kehancuran.
Kemudian
mengungkung nafsu syahwatnya yang melampaui batas, dari pelanggaran dan
perkosaan. Dan memaksakannya dengan yang diharuskan kepadanya, mencari makanan
yang halal. Dan menghancurkan dengan pecahnya nafsu syahwat itu, akan tentara
setan yang selalu berusaha untuk menyesatkan. Sesungguhnya tentara setan itu,
mengalir dari anak Adam pada tempat mengalir darah yang cair. Maka
disempitkannya kepada anak Adam itu kemegahan halal yang berlaku dan berjalan,
apabila tidak dicerai-beraikannya sampai kepada urat yang paling dalam, selain
oleh nafsu syahwat yang condong kepada kekerasan dan kelepasan. Maka tinggallah anak Adam itu untuk apa yang
diikatkan oleh nafsu syahwat dengan ikatan halal, dalam keadaan kecewa dan
merugi. Tak ada baginya yang menolong dan yang membantu.
Dan selawat kepada
Muhammad, yang memberi petunjuk dari kesesatan dan kepada keluarganya yang
sebaik-baiknya. Anugerahilah kiranya keselamatan yang sebanyak-banyaknya !
Adapun kemudian, maka sesungguhnya Nabi saw telah bersabda: “Mencari yang halal
itu, wajib/fardhu atas semua orang muslim”. Hadits ini diriwayatkan Ibnu Mas’ud
ra. Kewajiban ini, bila dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban yang lain,
adalah yang paling ditolak oleh akal untuk memahaminya dan yang paling berat
kepada anggota badan untuk melaksanakannya. Dan karena itulah, ia terbenam
secara keseluruhan, pada pengetahuan dan perbuatan. Dan jadilah kekaburan
pengetahuannya itu, sebab bagi terbenam pelaksanaannya. Karena disangka oleh orang-orang bodoh, bahwa yang halal itu
tidak ada. Dan jalan untuk sampai kepadanya tertutup. Dan tak ada
lagi dari yang halal yang baik, selain air sungai Al-Furat dan rumput yang
tumbuh pada tanah yang tak berpunya. Selain dari itu, telah dikotorkan oleh
tangan-tangan pelanggar dan dirusakkan oleh mu’amalah-mu’amalah (jual beli)
yang merusakkan. Maka apabila sulit memperoleh kecukupan dengan rumput dari
tumbuh-tumbuhan, niscaya tidak adalah jalan yang masih tinggal, selain daripada
berlapang-lapang pada yang diharamkan. Maka merekapun melemparkan yang
mahapenting ini dari agama, akan pokoknya. Dan tiada mereka mengetahui lagi
diantara harta-harta itu, pemisahan dan perceraian. Alangkah jauhnya dari
kebenaran ! sedang yang halal itu terang dan yang haram itu terang. Dan
diantara keduanya, adalah hal-hal yang syubhat (diragukan). Dan senantiasalah
yang tiga ini berdampingan, bagaimanapun keadaan itu tukar-bertukar. Manakala
adalah ini suatu bid’ah (yang diada-adakan), yang telah merata kemelaratannya
pada agama dan beterbangan rabuk-apinya kepada orang banyak, niscaya wajiblah
membuka tutup dari kerusakannya, dengan memberi petunjuk kepada pengetahuan
yang membedakan antara halal, haram dan syubhat (diragukan), secara meyakinkan
dan menjelaskan. Dan tidak dikeluarkan oleh penyempitan dari segi kemungkinan.
Dan akan kami jelaskan yang demikian itu dalam 7 bab:
Bab Pertama: tentang
keutamaan mencari yang halal dan mencela yang haram, dan tingkat-tingkat halal
dan haram.
Bab Kedua: tentang
tingkat-tingkat syubhat (diragukan), perkembangannya dan pembedaannya dari
halal dan haram.
Bab Ketiga: tentang pembahasan, pertanyaan, penuh
perhatian, pelengahan dan tempat-tempat penyangkaan syubhat (diragukan) pada
halal dan haram.
Bab Keempat: tentang
cara keluarnya orang yang bertaubat dari kezaliman-kezaliman kehartaan.
Bab Kelima: tentang harta kurniaan dan pemberian
sultan-sultan, apa yang halal dan yang haram daripadanya.
Bab Keenam: tentang
masuk dan bercampur-baur dengan sultan-sultan.
Bab Ketujuh: tentang persoalan-persoalan yang
bercerai-berai.
BAB PERTAMA: tentang keutamaan yang halal dan
pencelaan yang haram. Dan penjelasan berbagai macam yang halal,
tingkat-tingkatnya dan berbagai macam yang haram dan tingkat-tingkat penjagaan
diri (wara’) padanya.
KEUTAMAAN YANG HALAL DAN PENCELAAN YANG HARAM.
Allah Ta’ala
berfirman: “Makanlah dari yang bagus-bagus dan kerjakanlah yang baik-baik !”. S
23 Al Mukminuun ayat 51. Allah Ta’ala menyuruh makan dari yang bagus-bagus,
sebelum bekerja. Dan dikatakan, bahwa yang dimaksud, ialah yang halal. Allah
Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang
batil/salah (yang tidak halal)”. S 2 Al Baqarah ayat 188. Allah Ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim dengan
cara zalim, sesungguhnya mereka akan memakan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala”. S 4 An Nisaa’ ayat 10. Allah Ta’ala
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! bertaqwalah kamu kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa-sisa riba, kalau kamu betul-betul orang yang beriman”. S 2
Al Baqarah ayat 278. Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau kamu tidak
melakukannya, ketahuilah ada peperangan dari Allah dan RasulNya”. S 2 Al
Baqarah ayat 279. Dan kemudian Allah Ta’ala menyambung: “Dan kalau kamu taubat
(kembali kepada aturan Allah), maka kamu berhak atas pokok uangmu”. S 2 Al
Baqarah ayat 279. Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang kembali pula
mengerjakannya, mereka itulah isi neraka, mereka tetap didalamnya”. S 2 Al
Baqarah ayat 275. Allah Ta’ala menjadikan orang pemakan riba, pada awal
keadaannya dimaklumkan dengan memerangi Allah dan pada akhir keadaannya dibawa
ke neraka.
Ayat-ayat yang
datang mengenai yang halal dan yang haram, adalah tidak terhitung banyaknya.
Ibnu Mas’ud ra meriwayatkan dari Nabi saw bahwa Nabi bersabda: “Mencari yang
halal itu, adalah wajib/fardhu atas tiap-tiap orang muslim”. Tatkala Nabi saw
bersabda: “Mencari ilmu itu, adalah fardhu atas tiap-tiap orang muslim”, lalu
sebahagian ulama berkata, bahwa yang dimaksudkan dengan ilmu itu, ialah ilmu
mengenai yang halal dan yang haram dan dijadikannya maksud dari kedua hadits
itu satu. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa berusaha untuk keluarganya dari harta
yang halal, maka adalah ia seperti orang yang berjihad fi sabilillah. Dan
barangsiapa mencari dunia yang halal dalam menjaga diri dari yang haram,
niscaya adalah ia pada derajat orang-orang syahid”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa memakan yang halal 40 hari, niscaya dianugerahi
Allah nur dalam hatinya dan dialirkan mata air hikmat dari hatinya kepada
lidahnya”. Dan pada suatu riwayat, tersebut: “niscaya dianugerahi
Allah kepadanya zuhud di dunia”. Dan diriwayatkan, bahwa Sa’d meminta kepada
Rasulullah saw supaya bermohon kepada Allah Ta’ala, untuk menjadikan Sa’d itu
diterima doanya. Lalu Nabi saw menjawab: “Baguskan makananmu, niscaya diterima
doamu !”. Tatkala Nabi saw menyebutkan orang yang loba kepada dunia, lalu
beliau bersabda: “Banyaklah orang yang centang-perenang, berdebu, yang lari
kesana-kemari dalam perjalanan jauh, makanannya haram, pakaiannya haram dan
selalu memakan yang haram, yang mengangkatkan kedua tangannya, lalu mendoa:
Wahai Tuhanku ! wahai Tuhanku !, maka bagaimanakah diterima doanya itu karena
yang demikian ?”.
Dan pada hadits
yang diriwayatkan Ibnu Abbas dari Nabi saw: “Bahwa Allah mempunyai malaikat
pada Baitul-maqdis, yang menyerukan tiap-tiap malam:” Barangsiapa memakan yang
haram, niscaya tidak diterima daripadanya: sharf dan ‘adl”. Maka ada ulama yang
mengatakan sharf itu, ialah perbuatan sunat dan ‘adl, ialah perbuatan fardhu.
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa membeli kain dengan harganya 10 dirham. Dan
dalam harganya itu, satu dirham haram, niscaya tidak diterima oleh Allah akan
shalatnya, selama sesuatu dari kain itu masih ada padanya”. Nabi saw bersabda::
“Tiap-tiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka api nerakalah yang lebih
utama dengan daging itu”. Dan Nabi saw bersabda: “Barangsiapa tiada
menghiraukan dari manakah ia memperoleh harta itu, niscaya Allah tidak
menghiraukan, dari manakah ia dimasukkan ke neraka”. Nabi saw bersabda: “Ibadah
itu, 10 bahagian. 9 bahagian daripadanya pada mencari yang halal”. Hadits ini,
diriwayatkan sebagai hadits marfu’ (diangkatkan sampai kepada Nabi) dan hadits
mauquf pula (yang terhentinya) sampai kepada sebahagian sahabat.
Dan Nabi saw
bersabda: “Barangsiapa memperoleh harta dari perbuatan yang berdosa, lalu
dipergunakannya uang itu untuk menyambung silaturrahim atau bersedekah dengan
uang itu atau membelanjakannya pada sabilullah, niscaya dikumpulkan oleh Allah
itu semuanya, kemudian dilemparkannya ke dalam neraka”. Nabi saw bersabda:
“Sebaik-baik agamamu, ialah wara”. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menjumpai
Allah dengan wara’, niscaya dianugerahi Allah kepadanya pahala Islam semuanya”.
Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam setengah kitab-kitabNya: “Adapun
orang-orang wara’, maka Aku malu menghisabkan (menghitung) amalan mereka”. Nabi
saw bersabda: “Sedirham dari riba, adalah lebih berat pada sisi Allah dari 30
zina dalam Islam”. Dan pada hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Perut besar
itu adalah kolam bagi badan dan urat-urat itu datang kepadanya. Apabila perut
besar itu sehat, niscaya keluarlah segala urat dengan sehat. Dan apabila ia
sakit, niscaya keluarlah urat-urat itu dengan sakit”. Dan makanan dalam agama
adalah seperti fondasi dalam bangunan. Apabila fondasi itu telah teguh dan
kuat, niscaya bangunan itu melurus dan meninggi. Dan apabila fondasi itu lemah
dan membengkok, niscaya runtuh dan jatuhlah bangunan.
Allah ‘Azza Wa
Jalla berfirman: “Apakah orang yang mendirikan bangunannya diatas dasar taqwa
dan kerelaan Allah, itukah yang lebih baik ataukah orang yang mendirikan
bangunannya di pinggir jurang yang akan runtuh, lalu ia jatuh bersama-sama
dengan dia ke dalam neraka jahannam? Dan Allah tiada memberikan petunjuk kepada
kaum yang zalim”. S 9 At Taubah ayat 109. Dan pada hadits, tersebut:
“Barangsiapa mengusahakan harta dari yang haram, maka kalau ia bersedekah
dengan harta itu, niscaya tidak diterima dan kalau ditinggalkannya di
belakangnya, niscaya adalah menjadi perbekalannya ke neraka”.
Dan telah kami
sebutkan sejumlah hadits pada: “Kitab Adab Berusaha”, yang membuka keutamaan
mengusahakan yang halal. Adapun atsar (kata-kata para sahabat dan ulama-ulama terdahulu),
maka telah datang berita, bahwa Abubakar Shiddiq ra meminum susu dari usaha
hambanya. Kemudian ia bertanya kepada hambanya, darimana diperoleh susu itu.
Maka hamba itu menjawab: “Aku bernujum bagi suatu kaum, lalu mereka berikan
susu itu kepadaku”. Lalu Abubakar memasukkan anak jarinya ke dalam mulut dan
jadilah beliau muntah-muntah, sehingga aku menyangka, nyawanya akan keluar.
Kemudian beliau berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku meminta
kemaafan kepadaMu, daripada yang dibawa oleh urat-urat dan yang bercampur di
dalam perut”.
Dan pada sebahagian
hadits, bahwa Nabi saw diberitahukan yang demikian, lalu beliau bersabda:
“Apakah tidak kamu ketahui, bahwa Abubakar Ash-Shiddiq, tidak masuk ke dalam
rongga tubuhnya, melainkan yang baik ?”. Begitupula, Umar ra meminum dari susu
unta zakat karena tersalah. Maka beliau memasukkan anak jarinya dan memuntah.
‘Aisyah berkata: “Sesungguhnya kamu melupakan daripada ibadah yang utama,
yaitu: “wara’.
Abdullah bin Umar
ra berkata: “Jikalau kamu mengerjakan shalat, seperti busur melengkung dan kamu
berpuasa, sehingga kamu seperti anak panah kekurusan, niscaya tidaklah itu
diterima daripada kamu, melainkan dengan wara’ yang mendiding”. Ibrahim bin
Adham ra berkata: “Tidaklah diperoleh oleh orang yang memperoleh, selain orang
yang berpikir dengan akal, akan apa yang masuk kedalam rongga tubuhnya”.
Al-Fudhail berkata: “Barangsiapa mengetahui akan apa yang masuk kedalam rongga
tubuhnya, niscaya ia dituliskan oleh Allah sebagai orang shiddiq. Dari itu, maka
perhatikanlah pada siapa engkau memakan pagi, wahai orang yang patut dikasihani
!”.
Ada orang yang
menanyakan kepada Ibrahim bin Adham ra: “Mengapakah tuan tidak meminum air
Zamzam ?” Lalu beliau menjawab: “Jikalau aku mempunyai timba, niscaya aku minum
daripadanya”. Sufyan Ats-Tsuri ra berkata: “Barangsiapa membelanjakan dari yang
haram pada mentaati Allah, niscaya adalah ia seperti orang yang menyucikan kain
yang bernajis dengan kencing. Dan kain yang bernajis itu, tidaklah dapat
disucikan, selain oleh air. Dan dosa tidak akan ditutup, selain oleh yang
halal”.
Yahya bin Ma’adz
berkata: “Taat itu adalah suatu khazanah (gudang) dari khazanah-khazanah Allah,
melainkan bahwa kuncinya adalah doa dan gigi doa itu ialah suap-suap makanan
halal”. Ibnu Abbas ra berkata: “Tidak diterima oleh Allah shalat seseorang,
yang didalam rongga tubuhnya ada yang haram”. Sahl At-Tusturi berkata: “Tidak
akan sampai seorang hamba kepada hakikat/makna iman, sehingga ada padanya 4
perkara: mengerjakan yang fardhu/wajib dengan yang sunat, memakan yang halal
dengan wara’, menjauhkan yang larangan dari zahir dan batin dan sabar diatas
yang demikian, sampai kepada mati”. Dan beliau berkata lagi: “Barangsiapa
menyukai akan memperoleh kasyaf (pembukaan hijab) dengan tanda-tanda orang-orang
shiddiq, maka janganlah ia memakan, selain yang halal dan jangan bekerja,
selain pada yang sunat atau pada yang darurat !”. Dan ada ulama yang
mengatakan: “Barangsiapa memakan syubhat (diragukan) 40 hari,niscaya gelaplah
hatinya”. Dan itu, adalah pena’wilan (penafsiran) firman Allah Ta’ala: “Jangan
berpikir begitu ! bahkan, apa yang telah mereka kerjakan itu menjadi karat bagi
hati mereka”. S 83 Al Muthaffifiin ayat 14.
Ibnul-Mubarak
berkata: "Mengembalikan sedirham dari harta syubhat (diragukan), adalah
lebih menyukakan aku daripada aku bersedekah dengan 100 ribu dirham, 100 ribu
dan 100 ribu, sehingga sampai kepada 600 ribu”.
Setengah salaf
berkata: “Bahwa hamba itu memakan akan sesuatu makanan, lalu jantungnya
terbalik-balik, maka busuk, sebagaimana busuknya kulit yang disamak dan
tidaklah kembali kepada keadaannya semula selama-lamanya”. Sahl ra berkata:
“Barangsiapa memakan yang haram, niscaya durhakalah segala anggota tubuhnya, ia
mau atau ia enggan, ia tahu atau ia tidak tahu. Dan barangsiapa makanannya itu
halal, niscaya ia ditaati oleh segala anggota tubuhnya dan diberi taufiq kepada
kebajikan”. Sebahagian salaf berkata: “Sesungguhnya suap pertama yang dimakan
oleh hamba dari yang halal, maka diampunkan apa yang terdahulu dari dosanya.
Dan barangsiapa menegakkan dirinya pada tempat kehinaan pada mencari yang
halal, niscaya berjatuhanlah segala dosanya daripadanya, seperti berjatuhan
daun kayu kering”.
Diriwayatkan pada
beberapa atsar orang-orang terdahulu, bahwa seorang juru nasehat (muballigh),
adalah apabila ia duduk dihadapan orang banyak, lalu berkata:: “Ulama itu
menghilang daripadanya 3 perkara: jikalau ia beri’tiqad (keyakinan) bid’ah
(yang diada-adakan), maka janganlah kamu duduk-duduk bersama dia, karena ia
berbicara dari lidah setan. Kalau ia bermakanan jahat, maka ia berbicara dari
hawa nafsu. Maka kalau ia tidak berketetapan akal, niscaya dengan perkataannya
itu, lebih banyak merusak daripada yang memperbaiki. Maka janganlah kamu
duduk-duduk bersama dia !”.
Dan pada beberapa
khabar yang terkenal dari Ali ra dan lainnya: “Bahwa dunia itu, yang halalnya
ialah hisab (dihitungkan) dan yang haramnya, ialah azab”. Dan yang lain-lain
menambahkan: “Dan syubhat (diragukan)nya, ialah ‘itab (cacian)”. Dan
diriwayatkan, bahwa setengah orang-orang shalih menyugukan makanan kepada
setengah abdal (para wali), lalu tidak mau memakannya. Maka orang shalih itu
menanyakan kepada abdal tersebut. Lalu abdal itu menjawab: “Kami tidak akan
memakan, melainkan yang halal. Maka karena itulah, hati kami menjadi lurus,
keadaan kami berkekalan baik, kami memperoleh kasyaf akan alam malakut dan kami
menyaksikan akan akhirat. Dan kalaulah kami memakan dari apa yang kamu makan 3
hari, niscaya tidaklah kami kembali kepada sesuatu dari Ilmu-yaqin dan
hilanglah khauf (takut) kepada Allah dan penyaksian/musyahadah dari hati kami”.
Maka berkata seorang laki-laki kepada abdal itu: “Sesungguhnya aku berpuasa
untuk masa dan mengkhatamkan Alquran pada tiap-tiap bulan 30 kali”. Maka abdal
itu menjawab kepadanya: “Minuman ini yang engkau lihat aku meminumnya dari
malam tadi, adalah lebih menyukakan kepadaku daripada 30 kali khatam Alquran
dalam 300 rakaat dari amalanmu”. Dan adalah minumannya itu, dari susu kijang
hutan.
Adalah diantara
Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Mu’in persahabatan yang sudah lama. Lalu Ahmad
bin Hanbal tidak bercakap-cakap lagi dengan Yahya bin Mu’in itu, ketika beliau
mendengar Yahya mengatakan: “Sesungguhnya aku tiada akan meminta pada seseorang
suatupun. Dan kalau diberikan kepadaku sesuatu oleh setan, niscaya aku akan
makan”. Sampai Yahya itu meminta maaf dan berkata: “Aku hanya bermain-main saja
!”. Maka menjawab Ahmad bin Hanbal: “Engkau bermain-main dengan agama ? apakah
engkau tidak tahu, bahwa makan itu setengah dari agama, yang didahulukan oleh
Allah dari amalan shalih ?” –Lalu beliau membaca firman Allah Ta’ala: “Makanlah
yang bagus-bagus dan kerjakanlah yang baik-baik”. S 23 Al Mukminuun ayat 51.
Dan menurut khabar,
bahwa sesungguhnya tertulis dalam Taurat: “Barangsiapa tidak memperdulikan
darimana makanannya, niscaya tidak diperdulikan oleh Allah, dari pintu yang
mana dari neraka ia dimasukkan”.
Dari Ali ra, bahwa
beliau tidak memakan sesuatu makanan, setelah terbunuh Usman ra dan rumahnya
menjadi rampasan, selain makanan yang dicapkan, karena takut dari makanan
syubhat (diragukan).
Al-Fudhail bin
Iyadh, Ibnu ‘Uyainah dan Ibnul-Mubarak berkumpul pada Wahid bin Al-Ward di
Makkah. Maka mereka menyebutkan ruthab (kurma yang belum kering). Lalu menjawab
Wahib: “Ruthab adalah makanan yang amat aku sukai, kecuali aku tidak
memakannya. Karena bercampur ruthab Makkah itu di kebun-kebun yang berbau
musang jabat dan lainnya”. Lalu menjawab Ibnul-Mubarak: “Kalau engkau pandang
seperti ini, niscaya sempitlah roti kepadamu”. Maka Wahib bertanya: “Apakah
sebabnya ?”. Ibnul-Mubarak menjawab: “Sesungguhnya pokok-pokok kehilangan sudah
bercampur-baur dengan orang-orang shufi”. Mendengar itu, lalu Wahib jatuh
pingsan. Maka berkata Sufyan (Ibnu ‘Uyainah): “Engkau bunuh laki-laki ini ?”.
Ibnul-Mubarak menjawab: “Tidak aku bermaksud, selain untuk memudahkan
kepadanya”. Tatkala Wahib telah sembuh, lalu ia berkata: “Milik Allah diatas
diriku, tidak akan memakan roti selama-lamanya, sehingga aku menemuiNya”. Wahib
bercerita seterusnya, bahwa ia meminum susu. Ia berkata, maka dibawa oleh
ibunya susu kepadanya. Maka ia bertanya kepada ibunya tentang susu itu. Ibunya
menjawab: “Susu itu dari kambing suku Anu”. Lalu ia menanyakan tentang harganya
dan darimana mereka memperoleh harganya itu. Maka ibunya pun menerangkannya.
Tatkala susu itu didekatkannya ke mulutnya, lalu Wahib bertanya lagi: “Darimana
kambing itu digembalakan ?”. Ibunya diam, tidak menjawab. Maka Wahib tidak jadi
meminumnya. Karena kambing itu digembalakan dari tempat, yang padanya ada hak
orang-orang Islam. Maka ibunya berkata: “Minumlah ! sesungguhnya Allah akan
mengampunkan dosamu”. Wahib menjawab: “Aku tidak suka diampunkan dosaku, sedang
aku telah meminumnya. Maka aku memperoleh pengampunanNya dengan berbuat
kema’siatan kepadaNya”.
Bisyr Al-Hafi ra
adalah dari orang wara’. Lalu orang menanyakan kepadanya: “Darimanakah tuan
makan ?”. Ia menjawab: “Darimana kamu makan! tetapi, tidaklah orang yang
memakan, dimana ia menangis, seperti orang yang memakan, dimana ia tertawa”.
Dan seterusnya, ia berkata: “Tangan itu lebih pendek dari tangan dan suap itu
lebih kecil dari suap”. Begitulah adanya mereka itu menjaga diri dari
syubhat-syubhat (diragukan) !
JENIS-JENIS
HALAL DAN CARA-CARA MASUK.
Ketahuilah kiranya,
bahwa penguraian halal dan haram itu sesungguhnya yang bertugas menjelaskannya,
ialah kitab-kitab fiqh. Dan mencukupilah bagi seorang murid tanpa
memanjangkannya, dengan mempunyai makanan tertentu, yang dikenal dengan fatwa
akan halalnya, dimana ia tidak memakan yang lain daripadanya. Adapun orang yang
berluas-luas makanannya dari beberapa segi yang bermacam-macam maka berhajatlah
ia kepada ilmu tentang yang halal dan yang haram semuanya, sebagaimana telah
kami uraikan dalam kitab-kitan fiqh. Lam bentuk pembahagian. Yaitu: bahwa harta
itu sesungguhnya haram, adakalanya karena sesuatu pengertian pada bendanya atau
karena sesuatu kecederaan dalam segi mengusahakannya.
BAHAGIAN PERTAMA: Yang haram lantaran sesuatu sifat
pada bendanya, ialah seperti khamar, babi dll.
Penguraiannya,
ialah: bahwa segala benda yang dimakan diatas permukaan bumi ini, tidak
melampaui dari 3 bahagian. Adakalanya: dari benda-benda tambangan, seperti
garam, tanah liat dll atau dari tumbuh-tumbuhan atau dari hewan-hewan. Adapun
benda-benda tambangan, maka yaitu: bahagian-bahagian dari bumi dan semua yang
keluar daripadanya. Maka tidaklah haram memakannya, kecuali dari segi yang
mendatangkan kemelaratan kepada yang memakannya. Pada sebahagiannya, adalah apa
yang berlaku pada racun. Dan roti, kalau mendatangkan kemelaratan, niscaya
haramlah memakannya. Dan tanah liat yang dibiasakan memakannya, niscaya tidak
diharamkan, kecuali dari segi kemelaratannya. Dan faedahnya perkataan kami:
bahwa dia itu tidak haram, sedang sesungguhnya, tidak dimakan, adalah: kalau
terjatuh sedikit daripadanya ke dalam sayur atau makanan yang cair, niscaya
tidaklah jadi dengan demikian itu, makanan tadi diharamkan. Adapun
tumbuh-tumbuhan, maka tidaklah diharamkan daripadanya kecuali yang
menghilangkan akal atau menghilangkan hidup atau kesehatan. Yang menghilangkan
akal, ialah ganja, khamar dll yang memabukkan. Dan yang menghilangkan hidup,
ialah racun-racun. Dan yang menghilangkan kesehatan, ialah obat-obatan pada
bukan waktunya. Dan adalah semua ini, kembali kepada kemelaratan, selain dari
khamar dan benda-benda yang memabukkan. Karena yang tidak memabukkan dari
benda-benda yang memabukkan itu juga haram serta sedikitnya, lantaran bendanya
dan sifatnya. Yaitu: kesangatan yang memainkan peranan. Adapun racun, apabila
ia keluar dari adanya memberi kemelaratan, karena sedikitnya atau karena
diramas dengan yang lain, maka tidak diharamkan. Adapun hewan, maka terbagi:
kepada yang dimakan dan kepada yang tidak dimakan. Dan penguraiannya, adalah
pada Kitab Makanan. Dan pandangan itu panjang tentang penguraiannya.
Lebih-lebih tentang burung-burung yang ganjil, binatang darat dan laut. Dan
yang halal memakannya, sesungguhnya halalnya itu, adalah apabila disembelihkan
menurut penyembelihan agama, dimana dijaga padanya syarat-syarat: yang
menyembelih, perkakas dan tempat penyembelihan.
Dan semua itu,
tersebut pada Kitab Perburuan dan Penyembelihan. Dan yang tidak disembelih
menurut penyembelihan agama atau binatang itu mati, maka itu haram. Dan tidak
dihalalkan, kecuali dua bangkai: ikan dan belalang. Dan yang searti dengan
keduanya, ialah apa yang berobah dari makanan, seperti ulat buah jambu (tufah),
cuka dan susu keras. Karena menjaga daripadanya, adalah tidak mungkin. Adapun
apabila ulat buah jambu dan sebagainya tadi, diasingkan dan dimakan, maka dalam
hal ini, hukumnya adalah seperti hukum lalat, lipas dan kala. Dan tiap-tiap
yang tidak mempunyai darah yang mengalir, tidaklah sebab pada mengharamkannya,
kecuali oleh kejijikan. Kalau tidak ada kejijikan, niscaya adalah tidak
dimakruhkan. Kalau diperoleh orang yang tidak jijik kepada yang tersebut tadi,
niscaya janganlah menoleh kepada kepribadiannya yang khusus. Karena yang
tersebut itu dapat dihubungkan dengan yang keji-keji lantaran umumnya kejijikan
itu. Maka dimakruhkanlah memakannya. Sebagaimana kalau dikumpulkannya air
hingus dan diminumnya niscaya makruhlah yang demikian itu. Dan tidaklah
kemakruhannya itu, karena kenajisannya, sebab yang shalih, binatang-binatang
itu tidaklah bernajis dengan matinya.
Karena Rasulullah
saw menyuruh dengan membenamkan lalat ke dalam makanan, apabila ia jatuh ke
dalamnya. Kadang-kadang makanan itu panas dan adalah itu yang menjadi sebab
kematiannya. Dan kalau jatuhlah semut atau lalat ke dalam periuk, niscaya
tidaklah wajib menuangkannya. Karena yang menjijikkan, ialah tubuhnya, apabila
masih ada tubuhnya itu. Dan tidaklah tubuh itu bernajis, sehingga diharamkan
disebabkan najis. Dan ini menunjukkan, bahwa pengharaman nya, adalah karena
kejijikan. Dan karena itulah kami mengatakan, jikalau jatuhlah satu bagian dari
anak Adam yang telah meninggal, ke dalam kuali, walaupun hanya seberat
daniq(1/6 dirham), niscaya haramlah semuanya, bukan karena najisnya. Karena
menurut yang shahih, bahwa anak Adam itu, tidaklah menjadi najis dengan
kematiannya. Tetapi karena memakannya itu diharamkan lantaran penghormatan,
tidak karena kejijikan.
Adapun hewan yang
dimakan, apabila disembelih menurut syarat-syarat agama, maka tidaklah halal
segala bagian-bagiannya. Tetapi diharamkan daripadanya darah dan tahi dan semua
yang dihukum dengan kenajisannya. Bahkan memegang najis itu adalah haram
mutlak. Tetapi tidaklah pada benda-benda itu, sesuatu yang diharamkan dan
najis, kecuali dari hewan-hewan.
Adapun dari
tumbuh-tumbuhan, maka yang memabukkan saja, tidak apa yang menghilangkan akal
dan tidak memabukkan, seperti ganja. Karena kenajisan yang memabukkan, adalah
menebalkan pencegahan daripadanya. Karena adanya pada tempat sangkaan
penghiasan. Manakala terjatuhlah setitik dari najis atau sebahagian dari najis
beku ke dalam sayur atau makanan atau minyak, niscaya haramlah memakan
semuanya. Dan tidak diharamkan mengambil manfaat daripadanya, untuk bukan
makan. Maka bolehlah memasang lampu dengan minyak najis. Dan demikian pula
mencat kapal, hewan-hewan dll. Maka inilah kumpulan dari apa yang diharamkan,
karena sesuatu sifat pada zat benda itu.
BAHAGIAN KEDUA: yang diharamkan karena kecederaan
dari segi penetapan tangan (kekuasaan) padanya.
Pada bahagian kedua
ini, meluaslah pemandangan. Maka kami katakan: memperoleh harta itu, adakalanya
dengan usaha si pemilik atau dengan tidak usahanya. Yang tidak dengan usahanya,
seperti: pusaka. Dan yang dengan usahanya adakalanya, tidak dari seseorang
pemilik seperti: memperoleh barang tambang atau ada dari seseorang pemilik. Dan
yang diperoleh dari seseorang pemilik, adakalanya diambil secara paksaan atau
secara suka rela. Dan yang diambil secara paksaan, adakalanya, karena gugur
kepemeliharaan hak si pemilik, seperti harta-harta rampasan peperangan atau
karena berhak untuk diambil, seperti: zakat dari orang-orang yang tak mau
membayar zakat dan perbelanjaan yang wajib dilunaskan. Dan yang diambil dengan
suka rela, adakalanya diambil dengan pergantian (‘iwadl=penukaran dengan
pembayaran harga), seperti: penjualan, emas kawin dan upah. Dan adakalanya
diambil tanpa ‘iwadl, seperti: hibah dan wasiat. Maka hasillah dari pembawaan
keterangan tersebut, 6 bahagian:
Pertama: yang
diperoleh dari tanpa pemilik, seperti memperoleh barang tambang, menghidupkan
tanah mati (mengerjakan tanah yang belum berpunya), berburu, memotong kayu di
hutan, mengambil air dari sungai dan menyabit rumput. Maka ini semuanya halal,
dengan syarat tidak adalah yang diambil itu, tertentu dengan kepentingan bagi
orang banyak. Maka apabila terlepas dari ketentuan-ketentuan itu, niscaya
barang-barang tersebut diatas menjadi milik pengambilnya. Dan uraian yang
demikian itu, adalah pada Kitab Menghidupkan Tanah Mati (tanah tak berpemilik).
Kedua: yang diambil
dengan paksaan dari orang yang tidak dihormati lagi hak miliknya, yaitu:
pembayaran, perampasan dan harta-harta lainnya dari orang-orang kafir dan
orang-orang yang memerangi kaum muslimin. Yang demikian itu, adalah halal bagi
kaum muslimin, apabila mereka mengeluarkan daripadanya 1/5 dan membagikannya
diantara orang-orang yang berhak secara adil. Dan tidaklah mereka mengambil
harta tersebut dari orang kafir yang harus dihormati haknya, dijamin
keamanannya dan telah mempunyai ikatan perjanjian damai dengan kaum muslimin.
Dan penguraian syarat-syarat ini adalah dalam Kitab Perjalanan dari Kitab Pengambilan
harta, Perampasan dan Kitab Pajak.
Ketiga: yang
diambil secara paksaan menurut hak, ketika menolak yang berkewajiban
melunasinya. Maka diambillah tanpa persetujuannya. Dan yang demikian itu halal,
apabila telah sempurna segala berhaknya diambil, telah sempurnan sifat yang
berhak, dimana dengan sifat itu ia menjadi berhak. Dan terbatas pengambilan itu
sekedar yang menjadi haknya dan ia memperoleh kesempurnaan hak itu dari orang
yang mempunyai kekuasaan untuk menyempurnakannya, yaitu: hakim atau penguasa
atau yang berhak itu sendiri. Penguraian yang demikian itu, adalah pada Kitab
Pembahagian Sedekah (Zakat), Kitab Waqaf dan Kitab Nafakah. Karena padanya,
terdapat pemandangan tentang sifat orang-orang yang berhak menerima zakat,
waqaf, nafakah dan hak-hak yang lain. Maka apabila telah sempurnalah segala
syaratnya, niscaya adalah yang diambil itu halal.
Keempat: yang
diambil dengan persetujuan (sukarela), dengan ada gantinya (mu’awadlah). Dan
yang demikian itu, adalah halal, apabila dijaga syarat dari kedua ‘iwadl
(penukaran dengan pembayaran harga) itu (kedua benda yang dipertukarkan itu,
yaitu: antara barang yang dijual dengan harga yang diterima dari si pembeli
–Pent.). Dan dijaga syarat dari kedua orang yang melakukan aqad dan syarat dari
kedua lafadh, ya’ni: ijab dan qabul, serta apa yang ditetapkan oleh agama,
tentang menjauhkan segala syarat yang merusakkan aqad. Dan penjelasan yang
demikian itu, adalah pada: Kitab Jual-beli, Kitab membeli dengan pesanan, Kitab
Sewa-menyewa, Kitab tentang menugaskan pembayaran kepada orang ketiga (Kitab
Al-Hiwalah), Kitab Menanggung pembayaran (Kitab Adl-Dlaman), Kitab Berkongsi
keuntungan (Kitab Al-Qiradl), Kitab Perkongsian (Kitab Asy-Syirkah), Kitab
tentang Penyiraman pohon kurma dan anggur (Kitab Al-Musaqah) Kitab Asy-Syuf’ah,
Kitab Ash-Shulh, Kitab Al-Khulu’, Kitab AL-Kitabah, Kitab Ash-Shidaq (Emas
kawin wanita) dll muawadlah.
Kelima: apa yang
diambil dengan rela, tanpa ‘iwadl(penukaran dengan pembayaran harga). Dan itu,
adalah halal, apabila dipelihara padanya syarat dari benda yang di’aqadkan,
syarat kedua orang yang melakukan ‘aqad dan syarat ‘aqad. Dan tidak membawa
kemelaratan kepada ahli waris atau orang lain. Dan yang demikian itu, tersebut
pada kitab hibbah, wasiat dan sedekah.
Keenam: apa yang
berhasil, tanpa usaha, seperti: pusaka. Dan itu adalah halal, apabila yang
meninggalkan pusaka itu, telah mengusahakan harta yang menjadi pusaka dari
sebahagian jurusan yang 5 dahulu tentang usaha, diatas cara yang halal.
Kemudian, adalah pusaka itu, sesudah membayar hutang, melaksana kan segala
wasiat dan membagi secara adil diantara segala ahli waris, mengeluarkan zakat,
hajji dan kafarat (penebus), jikalau adalah yang tersebut ini wajib. Dan yang
demikian itu, tersebut pada Kitab Wasiat dan Pembahagian pusaka (Faraidl). Maka
inilah kumpulan jalan masuknya yang halal dan yang haram. Kami tunjukkan kepada
keseluruhannya, adalah untuk diketahui oleh seorang murid, bahwa kalau adalah
makanannya bermacam-macam jalan datangnya, tidak dari satu jurusan tertentu,
maka tidak mencukupilah ia, tanpa mengetahui segala hal keadaan tersebut
diatas. Maka tiap-tiap apa yang dimakannya, dari salah satu jurusan dari
jurusan-jurusan tadi, sewajarnyalah ia meminnta fatwa dari ahli ilmu dan tidak
tampil terus kepadanya dengan kebodohan. Karena, sebagaimana dikatakan kepada
seorang yang berilmu: “Mengapakah kamu menyalahi dengan ilmumu ?”. Maka
dikatakan pula kepada orang yang tak berilmu: “Mengapakah kamu terus-menerus
dengan kebodohanmu dan engkau tidak belajar, sesudah dikatakan kepada engkau;
menuntut ilmu itu wajib diatas tiap-ttiap muslim ?”.
TINGKAT
HALAL DAN HARAM.
Ketahuilah kiranya, bahwa yang haram itu
semuanya adalah keji. Tetapi setengahnya, adalah lebih keji dari yang lain. Dan
yang halal itu semuanya adalah baik. Tetapi setengahnya adalah lebih baik dari
yang lain dan lebih murni dari yang lain. Dan sebagaimana tabib itu menetapkan
diatas tiap-tiap yang manis, dengan panas tetapi ia mengatakan, bahwa
setengahnya, adalah panas pada tingkat pertama, seperti gula. Setengahnya,
adalah panas pada tingkat kedua, seperti fanidz. Setengahnya adalah panas pada
tingkat ketiga, seperti air nira yang dimasak. Dan setengahnya, adalah panas
pada tingkat keempat, seperti manisan lebah. Begitupula yang haram,
setengahnya, adalah keji pada tingkat pertama dan setengahnya pada tingkat
kedua atau ketiga atau keempat. Dan begitupula yang halal, berlebih kurang
tingkat sifatnya dan baiknya. Maka hendaklah kita mengikuti ahli ketabiban
mengenai istilah kepada 4 tingkat lebih kurang, walaupun secara pembuktiannya,
tidak mengharuskan kepada hinggaan tersebut. Karena berlaku pula kepada tiap-tiap
tingkat, berlebih-berkurang yang tidak terhinggakan. Maka sebahagian gula,
adalah yang lebih sangat panasnya dari gula lain. Dan begitu pula lainnya. Maka
karena itulah, kami mengatakan, bahwa wara’ (penjagaan diri) dari yang haram
itu, terbagi kepada 4 tingkat.
Pertama: wara’
(menjaga diri) orang-orang yang adil, yaitu: yang mengharuskan kefasikan dengan
mengerjakannya dan gugurlah ‘adalah (sifat adil) dengan sebab mengerjakan itu.
Dan melekatlah nama kedurhakaan (ma’siat) dan dibawa ke neraka dengan sebabnya.
Yaitu wara’(menjaga diri) dari tiap-tiap
yang diharamkan oleh fatwa ulama-ulama fiqh.
Kedua: wara’ (menjaga diri) orang-orang
shalih, yaitu: mencegah diri dari apa-apa yang menjuruskan kepadanya
kemungkinan diharamkan. Tetapi oleh mufti (orang yang memberikan fatwa)
melapangkan jalan untuk dikerjakan, didasarkan kepada yang zahir. Maka yang
demikian itu, adalah setengah dari tempat-tempat terjadinya syubhat (diragukan)
pada umumnya. Maka kita namakanlah, menjaga diri yang demikian, dengan nama:
wara’(menjaga diri) orang-orang shalih.
Dan yaitu, adalah pada tingkat kedua.
Ketiga: apa yang tidak diharamkan oleh
fatwa dan tak ada syubhat (diragukan) tentang kehalalannya. Tetapi ditakuti
daripadanya, akan membawa kepada yang diharamkan. Dan yaitu, adalah
meninggalkan sesuatu yang tidak mengapa dikerjakan, karena takut daripada
apanya kalau dikerjakan. Dan inilah wara’ (menjaga diri) orang-orang yang taqwa
(al-muttaqin). Nabi saw bersabda: “Tidak akan sampai hamba kepada tingkat
al-muttaqin sebelum ia meninggalkan apa yang tidak mengapa dikerjakan, karena
takut daripada ada apanya kalau dikerjakan”.
Keempat: apa yang tidak apa-apa sekali-kali
kalau dikerjakan dan tidak ditakuti akan membawa kepada apa yang ada
apa-apanya. Tetapi dikerjakan untuk selain Allah dan diatas bukan niat taqwa
kepada beribadah kepada Allah. Atau menjuruskan kepada sebab-sebab yang
memudahkan baginya perbuatan makruh atau ma’siat. Mencegah diri dari yang
demikian, adalah wara’ orang shiddiq.
Maka inilah tingkat-tingkat halal secara
umum, sampai kepada: yang akan kami uraikan nanti dengan contoh-contoh dan
bukti-bukti. Adapun haram yang telah kami sebutkan pada tingkat pertama, yaitu:
yang disyaratkan menjaga diri daripadanya pada sifat keadilan (‘adalah) dan
mencampakkan tanda kefasikan. Maka itu juga diatas beberapa tingkat tentang
kekejiannya. Maka barang yang diambil dengan ‘aqad yang batal, seperti: beri
memberi, umpamanya pada barang yang tidak dibolehkan padanya beri-memberi
adalah haram. Tetapi, tidaklah pada tingkat yang dimarahi diatas jalan paksaan.
Tetapi yang dimarahi, adalah yang lebih berat lagi, karena padanya,
meninggalkan jalan agama pada berusaha dan menyakiti orang lain. Dan tak adalah
pada beri-memberi itu menyakitkan orang lain. Hanya padanya meninggalkan jalan
ibadah saja.
Kemudian, meninggalkan jalan ibadah dengan
beri-memberi itu, adalah lebih mudah daripada meninggalkannya dengan perbuatan
riba. Berlebih-berkurang ini, diketahui dengan sangat tegasnya agama dan
peringatannya serta peneguhannya pada sebahagian larangan-larangan, menurut apa
yang akan datang pada Kitab Taubat nanti, ketika menyebutkan perbedaan antara
dosa besar dan dosa kecil. Tetapi, yang diambil secara zalim dari orang miskin
atau orang shalih atau dari anak yatim, adalah lebih keji dan lebih besar
akibatnya, daripada yang diambil dari orang yang kuat atau orang yang kaya atau
orang yang fasiq. Karena tingkat menyakitkan, adalah berbeda-beda dengan
berbedanya tingkat orang yang disakiti.
Maka inilah yang halus-halus tentang
penguraian barang-barang, yang keji, yang tidak wajarlah dilengahkan
daripadanya. Kalau tidaklah berbeda-beda tingkat orang-orang yang durhaka
kepada Allah, niscaya tidaklah berbeda-beda lapisan neraka. Dan apabila telah
diketahui tempat-tempat yang membangkitkan kesangatan, maka tidak perlulah
kepada membatasinya kepada tiga tingkat atau empat. Karena yang demikian,
adalah berlaku sebagai mencari-cari keputusan dan memenuhi keinginan. Yaitu:
mencari hinggaan tentang sesuatu yang tak berhingga. Dan dibuktikan kepadamu
diatas berlain-lainan tingkat haram tentang kekejian, oleh apa yang akan datang
nanti, mengenai bertentangan satu sama lain dari hal-hal yang ditakuti dan
menguatkan sebahagiannya diatas sebahagian yang lain. Sehingga apabila
memerlukan kepada memakan bangkai atau memakan makanan orang lain atau memakan
buruan tanah-haram maka kami akan mendahulukan sebagian dari itu dari
sebahagian lainnya.
CONTOH-CONTOH
YANG 4 TINGKAT TENTANG WARA’ (menjaga diri) DAN
BUKTI-BUKTINYA.
Adapun tingkat pertama: yaitu: wara’(menjaga diri)
orang-orang ‘adil.
Maka tiap-tiap yang dikehendaki oleh fatwa akan pengharamannya, dari apa yang
termasuk kedalam tempat pemasukan yang enam yang telah kami sebutkan dahulu
dari tempat-tempat kemasukan haram, karena ketiadaan salah satu dari
syarat-syaratnya, maka itu adalah haram mutlak yang dicapkan dengan fasiq dan
maksiat, orang yang mengerjakannya. Dan itulah yang kami maksudkan dengan haram
mutlak. Dan tidaklah ia memerlukan kepada contoh dan bukti.
Adapun tingkat kedua: maka contohnya, ialah
segala syubhat (diragukan) yang tidak kita wajibkan menjauhkannya, tetapi
disunatkan menjauhkannya, sebagaimana akan diterangkan nanti pada Bab Syubhat
(diragukan). Karena sebagian dari yang syubhat (diragukan), adalah yang wajib
dijauhkan. Maka dihubungkan dia dengan yang haram. Dan setengahnya ada yang
dimakruhkan menjauhkannya. Maka menjaga diri dari yang tersebut
itu, ialah menjaga diri orang-orang waswas, seperti orang yang tidak
mau memburu, karena takut binatang buruan itu adalah binatang yang telah terlepas
dari orang yang telah memperolehnya dan memilikinya. Dan ini, adalah waswas.
Dan setengahnya, sunat dijauhkan dan tidak wajib. Yaitu yang termasuk kedalam
sabda Nabi saw: “Tinggalkanlah yang meragukan kamu, kepada yang tidak meragukan
kamu !”. Dan kami bawa sabda tersebut kepada larangan bagi pembersihan diri
(at-tanzih). Dan begitu pula sabda Nabi saw: “Makanlah hewan buruan yang engkau
bunuh dihadapanmu (ishma’) dan tinggalkanlah yang engkau tembakkan dengan
panah, kemudian ia lari dan kamu temukan sudah mati (inma’)”. Inma’, yaitu:
hewan buruan itu sudah dilukakan, lalu ia lari menghilang, kemudian didapati
sudah mati. Karena mungkin matinya itu, disebabkan jatuh atau disebabkan yang
lain. Dan pendapat yang kami pilih, sebagaimana akan datang nanti, ialah hewan
buruan tadi, tidaklah haram. Tetapi meninggalkan memakannya, adalah menjaga diri bagi orang-orang shalih. Dan sabda Nabi
saw: “Tinggalkanlah yang meragukan kepadamu!” adalah perintah: tanzih
(membersihkan diri). Karena telah datang pada sebahagian riwayat: “Makanlah
dari hewan buruan itu, walaupun ia telah menghilang daripada kamu, selama
engkau tidak mendapati padanya bekas selain dari panahmu !”. Dan karena itulah,
Nabi saw bersabda kepada ‘Uda bin Hatim, tentang anjing buruan yang sudah ngerti
(al-kalbul-mu’allim): “Kalau anjing itu memakannya, maka janganlah kamu makan,
karena aku takut, bahwa anjing itu mengambil binatang buruan tadi untuk dirinya
sendiri”, adalah atas jalan “tanzih”, lantaran takut yang tersebut tadi.
Karena Nabi saw
berkata kepada Abi Tsa’labah Al-Khasyany: “Makanlah daripadanya !”. Lalu Abi
Tsa’labah bertanya: “Kalau anjing itu memakan daripadanya ?”. Maka Nabi saw
menjawab: “Walaupun ia makan”. Yang demikian itu, karena Abi Tsa’labah adalah
seorang miskin yang rajin berusaha, yang tak sanggup menanggung wara’(menjaga diri) ini. Dan keadaan ‘Uda, ia dapat
menanggungnya”.
Diceritakan dari
Ibnu Sirin, bahwa Ibnu Sirin meninggalkan untuk kongsinya 4000 dirham, karena
terguris dalam hatinya sesuatu, padahal telah sepakat ulama, bahwa tidak
mengapa dengan gurisan hati yang demikian itu. Maka contoh-contoh tingkat ini,
adalah kami sebutkan dalam membentangkan tingkat-tingkat syubhat (diragukan).
Maka tiap-tiap yang syubhat (diragukan) tidaklah wajib dijauhkan. Itulah
kiranya contoh untuk tingkat kedua tersebut !
Adapun tingkat ketiga: yaitu: wara’
orang-orang muttaqin (artinya ia meninggalkan sesuatu yang tak ada apa-apa
padanya, karena takut kepada sesuatu yang ada apa-apanya). Dibuktikan untuk
tingkat ini, oleh sabda Nabi saw: “Tidaklah sampai seorang hamba kepada tingkat
muttaqin, sehingga ia meninggalkan sesuatu yang tak ada apa-apa padanya, karena
takut kepada sesuatu yang ada apa-apanya”.
Umar ra berkata: “Kami meninggalkan 9/10
dari yang halal, karena takut kami jatuh kepada yang haram”. Dan ada yang
mengatakan, bahwa ucapan Umar ra itu berasal dari Ibnu Abbas ra. Abud-Darda’
berkata: “Sesungguhnya setengah dari kesempurnaan taqwa, ialah bahwa hamba itu
menjaga diri pada barang yang seberat biji sawi. Sehingga ia meninggalkan
setengah dari apa yang dipangangnya halal, karena ia takut itu haram, sehingga
menjadi hijab antara dia dan neraka”. Dan karena itulah, ada sebahagian mereka
mempunyai 100 dirham pada seseorang, lalu orang itu membawa uang yang 100 tadi
kepadanya. Maka diambilnya 99 dan berwara’, (berjaga diri) daripada mengambil
semuanya, karena takut kelebihan. Adalah setengah mereka menjaga diri, lalu
tiap-tiap yang dibayar orang kepadanya, maka diambilnya kurang sebiji. Dan apa
yang diserahkannya kepada orang lain, dibayarkannya dengan kelebihan sebiji.
Supaya adalah yang demikian itu menjadi dinding dari neraka. Dan dari tingkat
ini, ialah menjaga diri dari apa yang bermaaf-maafkan manusia. Karena yang
demikian itu, adalah halal menurut fatwa. Tetapi ditakuti daripada membuka
pintunya, akan terjerumus kepada yang lain. Dan diri itu menyukai terlepas dan
meninggalkan yang wara’. Maka dari yang demikian itulah, apa yang diriwayatkan
dari Ali bin Mu’abbad , bahwa Ali bin Mu’abbad berkata: “Adalah aku tinggal di
rumah sewaan, lalu aku menulis suatu surat dan aku bermaksud mengambil debu
dinding tembok untuk aku letakkan keatas tulisan dan mengeringkan tulisan
dengan debu itu. Kemudian aku berkata: “Dinding tembok itu bukan kepunyaanku”.
Lalu berkatalah jiwaku: “Apalah artinya sedikit debu dinding itu !”. Lalu aku
mengambil debu itu menurut keperluanku. Maka tatkala aku tidur, tiba-tiba aku
bersama seorang yang tegak disampingku, berkata: “Hai Ali bin Mu’abbad ! akan
diketahui besok oleh orang yang mengatakan: “Apalah artinya sedikit debu
dinding itu !”. Mungkin artinya yang demikian itu, bahwa ia melihat, betapa Ali
bin Mu’abbad turun dari kedudukannya. Karena taqwa itu mempunyai tingkat yang
hilang dengan hilangnya menjaga diri orang-orang yang muttaqin. Dan tidaklah
maksudnya, bahwa ia berhak mendapat siksaan, diatas perbuatannya itu.
Dan dari itulah, apa yang diriwayatkan,
bahwa Umar ra sampai kepadanya kesturi dari Bahrain, lalu beliau berkata: “Aku
suka kalau ada wanita yang menimbangkannya, sehingga dapat aku bagi-bagikan
diantara kaum muslimin”. Maka menjawab isterinya ‘Atikah: “Aku pandai
menimbang”. Mendengar itu Umar berdiam diri. Kemudian beliau mengulangi
ucapannya yang tadi dan isterinya pun mengulangi jawabannya yang tersebut. Lalu
Umar ra berkata: “Tidak ! aku ingin engkau letakkan kesturi itu pada tapak
tangan. Kemudian engkau mengatakan bahwa, tapak tangan itu ada bekasan abu,
lalu engkau sapukan dengan tapak tangan itu leher engkau. Maka aku peroleh
dengan demikian kelebihan kepada kaum muslimin”.
Adalah ditimbang dihadapan Umar bin
Abdul-‘aziz kesturi untuk kaum muslimin. Maka Umar mengambil dengan hidungnya,
sehingga beliau tidak memperoleh lagi bau keharumannya, seraya berkata: “Adakah
diambiil manfaat daripadanya, selain dengan baunya ? niscaya aku tidak akan
menjauhkan yang demikian itu daripadanya”.
Al-Hasan ra mengambil sebiji tamar dari
tamar sedekah (zakat) dan adalah Al-Hasan waktu itu masih kecil. Lalu Nabi saw
bersabda kepadanya: “Campakkan !
campakkan !”. Dan daripada yang demikian itu, adalah apa yang diriwayatkan oleh
sebahagian mereka, bahwa ia berada disamping orang yang hampir meninggal. Maka
meninggallah orang itu pada suatu malam. Lalu ulama tersebut mengatakan kepada
orang banyak: “Padamkanlah lampu, karena para ahli waris telah berhak pada
minyak lampu itu”.
Sulaiman At-Taimi meriwayatkan dari Na’imah
Al-‘Ath-tharah, dimana Na’imah mengatakan: “Adalah Umar ra menyerahkan kepada
isterinya bau-bauan kepunyaan kaum muslimin untuk dijualnya. Maka dijualnya
kepada saya bau-bauan itu. Lalu ia berdiri. Melebihkan dan mengurangkan
bau-bauan itu dan menghancurkannya dengan giginya. Maka melekatlah pada jarinya
sedikit dari bau-bauan itu. Lalu ia mengatakan dengan bau-bauan yang sedikit
itu, begitulah dengan jarinya. Kemudian ia sapu dengan bau-bauan tadi akan
kudungnya. Lalu Umar ra masuk, seraya berkata: “Bau apakah ini ?”. Maka
isterinya menerangkan hal yang demikian itu. Maka Umar ra menjawab: “Bau-bauan
kepunyaan kaum muslimin, engkau ambil ?”. Lalu beliau buka kain kudung dari
kepala isterinya itu dan beliau mengambil sekendi air, lalu beliau tuangkan
keatas kain kudung itu. Kemudian beliau gosok-gosokkan pada tanah, kemudian
beliau ciumkan, kemudian beliau tuangkan air lagi. Kemudian beliau
gosok-gosokkan pada tanah dan beliau ciumkan, sehinggaa tidak ada lagi baunya.
Na’imah menerangkan seterusnya: “Kemudian aku bawa kepada isteri Umar pada kali
yang lain. Maka tatkala beliau telah menimbangnya, dimana melekat sedikit
daripadanya pada jarinya, lalu ia masukkan jarinya itu ke mulutnya, kemudian
menyapukan tanah dengan jarinya itu”. Maka inilah dari Umar ra wara’(menjaga
diri), taqwa, karena beliau takuti yang demikian itu, membawa kepada yang lain.
Dan kalau bukan demikian, maka membasuh kain kudung itu, tidaklah mengembalikan
bau-bauan itu kepada kaum muslimin. Tetapi beliau buang itu, untuk peringatan
kepada isterinya, menakutkan dan menjagakan daripada menjalar hal yang demikian
itu kepada yang lain-lain.
Dan termasuk seperti yang demikian juga,
mengenai apa yang ditanyakan kepada Ahmad bin Hanbal ra tentang seorang
laki-laki yang ada di masjid, dimana ia membawa dupa kepunyaan setengah
raja-raja dan ia membakar kayu cendana pada dupa itu di masjid tadi. Maka Imam
Ahmad bin Hanbal menjawab: “Seyogyalah orang itu dikeluarkan dari masjid. Karena
tidaklah diambil kemanfaatan dari kayu cendana itu, kecuali baunya. Dan ini
kadang-kadang sudah mendekati haram. Karena kadar yang berkembang pada kainnya
dari bau benda yang harum itu, kadang-kadang dimaksudkan yang demikian. Dan
kadang-kadang orang kikir dengan bau-bauan itu. Lalu tidak diketahui, apakah
orang bermaaf-maafan dengan bau-bauan itu atau tidak”.
Ditanyakan Ahmad bin Hanbal tentang orang
yang jatuh daripadanya sehelai kertas, dimana pada kertas itu banyak tertulis
hadits. Apakah boleh bagi orang yang mendapat kertas tadi, menyalin
hadits-hadits itu, kemudian mengembalikan kepada yang mempunyainya. Maka Ahmad
bin Hanbal menjawab: “Tidak boleh, tetapi ia harus meminta izin lebih dahulu,
baru boleh menyalin”. Dan ini juga, kadang-kadang diragukan, tentang yang
mempunyai kertas tersebut, apakah ia rela dengan penyalinan itu atau tidak !
maka apa yang pada tempat diragukan itu, asalnya adalah diharamkan. Jadi, itu
adalah haram. Dan meninggalkannya termasuk tingkat pertama dahulu. Dan termasuk
yang demikian juga, wara’(menjaga diri) dari perhiasan. Karena ditakuti
daripadanya, membawa kepada yang lain-lain. Walaupun perhiasan itu
diperbolehkan pada pokoknya.
Orang menanyakan Ahmad bin Hanbal tentang
semacam selop (an-ni’al as-sabtiyah), maka beliau menjawab: “Adapun saya tidak
akan memakaikan nya. Tetapi kalau karena menjaga dari abu tanah, maka aku
harapkan. Adapun orang yang bermaksud untuk perhiasan, maka jangan !”. Dan dari
yang demikian juga, bahwa Umar ra tatkala memegang jabatan khalifah, beliau
mempunyai isteri yang dicintainya. Lalu diceraikannya, karena takut nanti ia
menunjukkan kepadanya, untuk memberikan pertolongan pada yang batil/salah. Lalu
beliau patuhi permintaannya dan mencari kesenangannya. Dan ini termasuk
meninggalkan barang yang tidak ada apa-apa, karena takut daripada ada
apa-apanya. Artinya: takut ia terbawa keadaan yang demikian. Dan kebanyakan
yang dibolehkan (mubah) itu, membawa kepada yang dilarang. Sehingga
membanyakkan makan dan memakai bau-bauan bagi orang yang membujang (tidak
beristeri), sesungguhnya menggerakkan kepada nafsu syahwat. Kemudian nafsu
syahwat itu membawa kepada berpikir. Dan berpikir itu membawa kepada memandang.
Dan memandang itu membawa kepada lain-lain.
Dan begitu pula, memandang rumah
orang-orang kaya dan berbaik-baik dengan mereka, adalah hal mubah pada
pokoknya. Tetapi, menggerakkan kelobaan dan membawa kepada mencari seperti yang
demikian itu. Dan lazimlah daripadanya mengerjakan sesuatu yang tidak halal
untuk memperolehnya. Dan begitulah kiranya segala yang mubah itu semuanya,
apabila tidak diambil sekedar yang perlu saja pada waktu yang diperlukan, serta
menjaga diri dari segala gangguannya, dengan mengenalinya pada pertamanya,
kemudian dengan mengawasinya pada keduanya, maka sedikitlah terlepas akibatnya
dari bahaya. Dan begitupula tiap-tiap sesuatu yang diambil dengan nafsu
syahwat, maka sedikitlah terlepas dari bahaya.
Sehingga Ahmad bin Hanbal memandang makruh
mengkapuri dinding tembok rumah, dengan mengatakan: “Adapun mengkapuri lantai,
maka ia akan mencegah abu tanah . Dan adapun mengkapuri dinding tembok, maka
adalah perhiasan yang tak ada faedah padanya. Sehingga beliau membantah
mengkapuri masjid dan menghiasinya. Dan beliau berdalil dengan apa yang
diriwayatkan dari Nabi saw: “Bahwa Nabi saw ditanyakan tentang mencat hijau
pekat masjid. Lalu beliau menjawab: “Tak adalah rumah seperti rumah Musa. Dan
itu adalah sesuatu seperti celak, yang akan dicatkan masjid dengan itu”. Maka
Nabi saw tidak membolehkannya.
Ulama salaf memandang makruh kain tipis dan
mereka mengatakan: “Barangsiapa tipis kainnya, niscaya tipislah agamanya”. Dan
semuanya itu, karena dikuatirkan menjalarnya mengikuti hawa nafsu pada yang
mubah, kepada yang tidak mubah nanti. Karena yang dilarang dan yang
diperbolehkan, keduanya itu dirindukan oleh nafsu dengan kerinduan nafsu
syahwat yang satu. Dan apabila telah dibiasakan oleh nafsu syahwat yang
membolehkan niscaya ia terlepas. Lalu membawa ketakutan taqwa kepada menjaga
diri’ dari ini semuanya.
Maka tiap-tiap yang halal yang terlepas
daripada pembedaan yang seperti ini, maka itu adalah halal yang baik pada
tingkat ketiga. Dan yaitu: tiap-tiap yang tidak ditakuti sekali-kali oleh
pelaksanaannya, akan membawa kepada kema’siatan.
Adapun tingkat keempat: yaitu
wara’(menjaga diri) orang-orang shiddiqin. Maka yang halal pada mereka, ialah
tiap-tiap yang tidak didahului oleh ma’siat untuk menjadi sebab terjadinya. Dan
tidak menolong kepada perbuatan ma’siat. Dan tidak dimaksudkan daripadanya,
baik sekarang atau nanti, untuk mencapai sesuatu kepentingan. Tetapi
mengerjakannya semata-mata karena Allah Ta’ala, karena bertaqwa memperhambakan
diri kepadaNya dan meneruskan kehidupan karenaNya. Dan mereka adalah
orang-orang yang memandang, bahwa tiap-tiap sesuatu yang bukan karena Allah,
adalah haram, karena mengikuti firmanNya: “Katakan: yang menurunkan itu Allah.
kemudian biarkanlah mereka main-main dengan percakapan kosongnya”. S 6 Al
An’aam ayat 91. Dan inilah tingkat orang-orang muahhidin (orang-orang yang
benar-benar berkeesaan kepada Allah), yang melepaskan segala kepentingan diri
sendiri, mengesakan maksud dan tujuan kepada Allah Ta’ala semata-mata. Dan tak
syak lagi bahwa orang berbuat wara’(menjaga diri) tanpa sesuatu yang
menyampaikan kepada wara’ (menjaga diri)
atau mencari pertolongan kepada wara’ dengan perbuatan ma’siat, supaya
ia menjadi wara’, tanpa disertakan dengan sebab-sebab dari usahanya, adalah
ma’siat atau makruh.
Maka termasuklah yang demikian itu, apa
yang diriwayatkan dari Yahya bin Kutsair, bahwa ia meminum obat. Lalu
berkatalah isterinya kepadanya: “Jikalau berjalanlah tuan sedikit di rumah,
sehingga obat itu bekerja !”. Maka Yahya menjawab: “Itu adalah perjalanan yang
tidak aku kenal. Dan aku menghitung diriku sendiri semenjak 30 tahun yang
lampau”. Seakan-akan tidak datanglah kepada Yahya, niat pada perjalanan itu,
yang berhubungan dengan agama. Maka tidak bolehlah tampil mengerjakannya. Dan
dari Sirri ra yang mengatakan: “Sampailah aku kepada rumput di bukit dan air
yang keluar daripadanyya. Lalu aku ambil rumput itu dan aku minum air, seraya
aku berkata kepada diriku sendiri: “Sesungguhnya jikalau adalah aku memakan
pada suatu hari akan makanan yang halal dan baik, maka adalah itu pada hari
ini. Maka berteriaklah kepadaku suara yang meneriakkan: “Bahwa kekuatan tenaga
yang menyampaikan kamu ke tempat ini, dari manakah dia itu ?”. Maka aku minta
maaf dan menyesal”. Dan termasuk ini juga, apa yang diriwayatkan dari Dzin-Nun
Al-Misri, bahwa adalah ia lapar dan dipenjarakan. Lalu seorang wanita yang
shalih mengirimkan makanan kepadanya dengan perantaraan penjaga penjara. Maka
ia tidak mau makan dan meminta maaf, seraya mengatakan: “Makanan itu datang
kepadaku diatas talam yang zalim, ya’ni: kekuatan yang menyampaikan makanan
kepadaku, tidaklah kekuatan yang baik”. Inilah tujuan yang tertinggi pada wara’
!.
Dan sebahagian dari itu, bahwa Bisr ra
tidak mau meminta air dari aliran-aliran air yang dikorek oleh amir-amir.
Karena aliran air itu adalah sebab untuk mengalir air dan sampainya air itu
kepadanya. Dan walaupun air itu mubah/dibolehkan pada asalnya, maka adalah ia
seperti orang yang mengambil manfaat dari aliran air yang dikorek dengan tenaga
orang-orang diongkosi, dimana mereka itu memberikan ongkos tadi dari harta yang
haram.
Dan karena itulah, setengah mereka tidak
mau kepada buah anggur, yang halal dan batangnya yang halal, seraya berkata
kepada temannya: “Telah engkau rusakkan batang anggur itu, karena engkau sirami
dari air yang mengalir dalam saluran air, yang digali oleh orang-orang zalim”.
Dan ini sebenarnya, adalah jauh dari kezaliman dari segi minuman air itu
sendiri, karena menjaga diri dari anggur yang tertolong dengan air itu.
Adalah setengah mereka, apabila melalui
pada jalan hajji, tidak meminum dari perusahaan-perusahaan yang dikerjakan oleh
orang-orang zalim, sedang air itu adalah mubah/dibolehkan. Tetapi air itu
tinggal terpelihara di perusahaan yang diperbuat dengan harta haram. Dan tak
maunya Dzin-Nun mengambil makanan dari tangan penjaga penjara, adalah lebih besar
dari ini semuanya. Karena tangan pengawal penjara itu tidaklah disebutkan
haram. Lain halnnya dengan talam yang dirampas, apabila makanan itu dibawa
padanya. Tetapi makanan itu sampai kepadanya dengan kekuatan yang diusahakan
dengan makanan yang haram. Dan karena itulah, Abubakar Ash-Shiddiq ra
memuntahkan susu yang diminumnya. Karena takut daripada yang haram itu
mendatangkan kekuatan kepadanya. Sedang ia meminumnya, tanpa mengetahui sama
sekali dan sebenarnya tidaklah wajib mengeluarkannya. Tetapi mengosongkan perut
dari yang keji, adalah termasuk wara’(menjaga diri) orang-orang shiddiq. Dan
termasuk dalam wara’ tadi, menjaga dari usaha yang halal yang diusahakan oleh
tukang jahit yang menjahit dalam masjid. Karena Ahmad ra memandang makruh duduk
penjahit itu dalam masjid. Ditanyakan Imam Ahmad ra tentang tukang lawak yang
duduk pada kubah kuburanm pada waktu ia takut dari kehujanan. Maka beliau
menjawab: “Kubah itu adalah hal akhirat dan makruhlah duduknya disitu”.
Sebahagian mereka memadamkan pelita yang dinyalakan oleh bujangnya, dimana
pelita itu berasal dari orang-orang yang hartanya makruh. Dan tidak mau
menyalakan api untuk pembakaran roti, dimana padanya terdapat bara api dari
kayu pembakar yang makruh. Setengah mereka tidak mau memasang tali selopnya
pada lentera sultan.
Maka inilah yang halus-halus dari
wara’(menjaga diri) pada mereka yang menjalani jalan akhirat. Dan pentahkikan
padanya, ialah bahwa wara’ itu, mempunyai permulaan, yaitu: mencegah dari apa
yang diharamkan oleh fatwa para ulama, yaitu: wara orang-orang adil. Dan
mempunyai kesudahan, yaitu: wara’ orang-orang shiddiq. Yaitu: mencegah dari
tiap-tiap apa yang bukan karena Allah, dari sesuatu yang diambil dengan nafsu
syahwat atau sampai kepadanya dengan jalan makruh atau dengan sebabnya
bersambung dengan kemakruhan. Dan diantara yang dua tadi (diantara permulaan
dan kesudahan), ada tingkat-tingkat tentang kewaspadaan (ihtiath).
Maka manakala hamba itu terlalu sangat
menjaga terhadap dirinya, niscaya adalah lebih ringan punggungnya pada hari
kiamat dan lebih segera melewati titian dan amat jauh daripada berat daun
timbangan kejahatannya dari daun timbangan kebajikannya. Dan berlebih-kuranglah
tingkat di akhirat menurut lebih-kurangnya tingkat-tingkat tersebut pada
wara’nya (menjaga dirinya). Sebagaimana berlebih-berkurangnya lapisan-lapisan
neraka terhadap orang-orang zalim, menurut berlebih-kurangnya yang haram
tentang kekejian.
Apabila anda telah mengetahui hakikat/makna
persoalannya, maka haruslah anda memilih. Kalau anda mau, maka perbanyakkanlah
kewaspadaan. Dan kalau anda mau, maka permudahkanlah ! maka untuk diri anda
sendirilah kalau anda waspada dan diri anda sendirilah yang merugi kalau anda
mempermudah-mudahkan. wassalam !
BAB
KEDUA: tentang tingkat-tingkat syubhat (diragukan),
perkembangan-perkembangannya dan perbedaannya dari yang halal dan yang haram.
Rasulullah saw bersabda: “Yang halal itu
jelas dan yang haram itu jelas. Dan diantara keduanya, adalah hal-hal yang
syubhat (diragukan), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka
barangsiapa menjaga diri dari syubhat (diragukan), niscaya ia terlepas untuk
kehormatannya dan agamanya. Dan barangsiapa jatuh kedalam syubhat (diragukan),
niscaya terperosoklah ia kedalam yang haram, seperti pengembala yang menggembalakan
keliling hutan larangan, maka besarlah kemungkinan terjatuh ia kedalamnya”.
Maka hadits ini, adalah bukti jelas (nash),
tentang adanya tiga bahagian itu. Dan yang sulit daripadanya, ialah bahagian
yang ditengah, yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang, yaitu: syubhat
(diragukan). Dari itu maka tak boleh tidak menjelaskannya dan membuka tutupnya.
Karena apa yang tidak diketahui oleh banyak orang, kadang-kadang diketahui oleh
orang sedikit. Maka kami jelaskan: bahwa yang halal mutlak, ialah kosong pada
benda itu, sifat-sifat yang mewajibkan kepada pengharaman, pada benda itu
sendiri. Dan terlepaslah dari sebab-sebab, dimana mendatangkan kepada
pengharaman atau kemakruhan. Contohnya, ialah: air yang diambiil orang dari
hujan, sebelum jatuh menjadi milik seseorang. Dan dia sendiri berdiri
menampungnya dan mengambilnya dari udara, dalam daerah miliknya sendiri atau
pada tanah yang diperbolehkan (tanah mubah).
Haram semata, yaitu: ada padanya sifat yang
mengharamkan; yang tidak diragukan lagi, seperti kesangatan yang mempersonakan
pada khamar dan kenajisan pada kencing. Atau barang itu diperoleh dengan tegas,
dengan sebab yang dilarang, seperti diperolah dengan kezaliman, riba dll yang
sebanding dengan itu. Maka keduanya ini, adalah dua segi yang jelas. Dan
diperhubungkan dengan kedua segi itu, apa yang diyakini persoalannya, tetapi
ada kemungkinan perobahannya. Dan tidaklah untuk kemungkinan itu, ada sebab
yang menunjukkan kepadanya.
Memburu binatang daratan dan lautan, adalah
halal. Dan barangsiapa mengambil seekor kijang, maka mungkinlah kijang tadi,
telah dimiliki oleh seorang pemburu, kemudian kijang itu terlepas daripadanya.
Dan begitupula ikan, mungkin terlepas dari penangkapannya, setelah jatuh ke
dalam tangannya dan bakulnya. Maka kemungkinan yang seperti ini, tidaklah
mungkin mendatang kepada air hujan, yang ditampung dari udara. Tetapi dalam
pengertian air hujan dan penjagaan daripadanya, adalah mengandung waswas. Dan
marilah kami namakan cara yang begini, dengan: wara’ orang-orang waswas. Sehingga
berhubunganlah padanya contoh-contoh tersebut. Sebabnya yang demikian, ialah:
ini adalah sangkaan semata-mata, tak ada dalil baginya. Ya, kalau dibuktikan
oleh sesuatu dalil, maka kalau dalil itu menyakinkan, seperti terdapat tali
pada rahang ikan. Atau dalil itu memungkinkan, seperti terdapat pada kijang itu
luka, dimana mungkin terjadi dari sengatan, yang tidak sanggup mengenalinya,
kecuali setelah dipastikan. Dan mungkin bahwa itu luka. Maka inilah tempatnya
wara’(menjaga diri).
Dan apabila ketiadaan dalil dari segala
jurusan, maka kemungkinan tidak ada dalilnya itu, adalah seperti kemungkinan
tidak ada barang itu sendiri. Dan dari yang sejenis dengan ini, ialah: orang
yang meminjam sebuah rumah, maka menghilanglah yang meminjamkan. Lalu ia tampil
mengatakan, mungkin, yang meminjamkan itu sudah meninggal dan jadilah rumah itu
hak ahli warisnya. Maka ini, adalah waswas, karena tidak dibuktikan atas
kematiannya oleh suatu sebab yang menyakinkan atau yang meragukan. Karena
syubhat (diragukan) yang ditakuti, ialah yang terjadi dari syak-wasangka. Dan
syak-wasangka itu, adalah ibarat dari dua kepercayaan yang bertentangan, yang
terjadi dari dua sebab. Maka sesuatu yang tidak mempunyai sebab, niscaya tidak
menetaplah ikatannya pada jiwa. Sehingga menyamakan dengan ikatan yang
bertentangan dengan dia. Maka jadilah itu: syak (ragu) namanya.
Dan karena inilah, maka kami mengatakan:
barangsiapa syak (ragu), bahwa ia telah bershalat 3 atau 4 rakaat, maka dia
mengambil 3, karena asalnya, tidaklah lebih. Kalau ditanyakan kepada sesorang,
bahwa shalat Dhuhur yang telah dikerjakannya sebelum ini, selama 10 tahun,
adakah 3 atau 4 rakaat, niscaya ia tidak meyakini sekali-kali, bahwa shalat itu
4 rakaat. Dan apabila ia tidak meyakininya, niscaya boleh ada ia 3 rakaat. Dan
kebolehan ini (tajwiz), tidaklah dia itu syak (ragu) namanya. Karena tidak
ditimbulkan oleh sesuatu sebab yang mewajibkan keyakinan adanya 3 rakaat. Maka
hendaklah dipahami akan hakikat/makna syak (ragu), sehingga tidak menyerupakan
dengan: waham dan tajwiz/kebolehan dengan tanpa sebab ! Maka inilah mempunyai
hubungan dengan halal mutlak ! Dan yang mempunyai hubungan dengan haram semata,
ialah yang diyakini pengharamannya, walaupun mungkin datang yang menghalalkan.
Tetapi tidak dibuktikan kepadanya oleh sesuatu sebab. Seperti orang yang pada
tangannya makanan, kepunyaan pewarisnya, yang tak ada ahli waris yang lain,
kecuali dia. Maka pewaris itu telah menghilang, lalu ia berkata: “Mungkin ia
telah meninggal dan memindahlah hak miliknya kepadaku. Maka aku makan akan
makanan ini”. Maka tampilnya memakan makanan itu, adalah tampil kepada yang
haram semata. Karena meninggalnya itu hanya suatu kemungkinan, yang tak ada
tempat perpegangan. Maka tidak seyogyalah dihitung yang semacam ini, termasuk
dalam bahagian-bahagian syubhat (diragukan).
Sesungguhnya syubhat (diragukan) yang kami
maksudkan, ialah: apa yang meragukan kepada kita persoalannya, dengan
bertentangan bagi kita padanya dia keyakinan, yang datang dari dua sebab yang
menghendaki kedua keyakinan tersebut. Perkembangan syubhat (diragukan) itu ada
lima:
PERKEMBANGAN PERTAMA: syak (ragu) tentang sebab
yang meghalalkan dan yang mengharamkan.
Dan yang demikian itu, tidak terlepas, adakalanya bersamaan
atau lebih keras salah satu dari dua kemungkinan. Kalau kedua kemungkinan itu
sama, niscaya hukumnya, adalah menurut apa yang dikenal sebelumnya. Maka
disertakan hukum menurut itu dan tidak ditinggalkan yang dahulu itu, disebabkan
timbulnya syak (ragu). Dan kalau lebih keras salah satu dari dua kemungkinan kepadanya,
dengan datangnya yang lebih keras itu, dari dalil yang boleh menjadi
perpegangan, niscaya hukum adalah bagi yang lebih keras. Dan tidaklah terang
ini, kecuali dengan contoh-contoh dan bukti-bukti. Maka akan kami bagikan dia
kepada 4 bahagian:
Bahagian pertama: bahwa adalah
pengharaman itu dimaklumi sebelumnya. Kemudian terjadilah syak (ragu) tentang
yang menghalalkannya (muhallil). Maka ini, adalah syubhat (diragukan) yang
wajib dijauhkan dan haramlah tampil mengerjakannya. Contohnya: bahwa ia melemparkan
dengan panah binatang buruan, maka binatang itu luka dan jatuh kedalam air.
Kemudian diperolehnya sudah mati. Dan ia tidak tahu, bahwa matinnya itu, dengan
sebab tenggelam atau dengan sebab luka. Maka hewan tersebut haram, karena
asalnya ialah diharamkan. Kecuali apabila mati hewan itu dengan jalan tertentu.
Dan telah menjadi syak (ragu) pada jalan yang tertentu itu. Maka tidaklah
ditinggalkan yakin, dengan sebab syak (ragu), sebagaimana pada hadats, najis,
rakaat shalat dan lainnya.
Dan diatas inilah, ditempatkan sabda Nabi
saw kepada ‘Uda bin Hatim: “Janganlah engkau makan binatang buruan itu, mungkin
dia dibunuh oleh bukan anjing engkau !”. Maka karena itulah, Nabi saw apabila
dibawa kepadanya sesuatu yang meragukannya, apakah itu sedekah (zakat) atau
hadiah, lalu beliau menanyakannya. Sehingga beliau mengetahui, yang mana
diantara keduanya itu. Diriwayatkan, bahwa: “Nabi saw terbangun pada suatu
malam. Lalu bertanya kepadanya sebahagian isterinya: “Terbangun engkau, wahai
Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Ya ! aku dapati sebiji tamar, maka aku
takuti tamar itu dari harta sedekah (zakat)”. Dan pada suatu riwayat: “Maka aku
makan tamar tersebut, lalu aku takuti tamar itu dari zakat”. Dan termasuk yang
demikian itu, apa yang diriwayatkan dari setengah mereka, yang mengatakan:
“Adalah kami dalam perjalanan bersama Rasulullah saw. Lalu kami ditimpa
kelaparan. Maka kami bertempat pada suatu tempat yang banyak binatang dlabb
(bentuknya menyerupai biawak). . Lalu
diantara kami, terdapat belanga-belanga yang dijerangkan diatas api. Karena
Rasulullah saw bersabda: “Suatu umat yang dibalikkan rupanya dari kaum Bani
Israil, maka aku takut, bahwa umat itu adalah ini”, maka kami tuangkan segala
periuk itu. Kemudian, sesudah itu, diberitahukan oleh Allah kepadanya, bahwa
Allah tidak akan membalikkan rupa sesuatu makhluk, maka dijadikanNya bagi
makhluk itu keturunan”. Adalah tidak maunya mula-mula, karena asalnya, adalah
tidak halal. Dan timbullah syak (ragu), tentang adanya penyembelihan itu, dapat
menghalalkan.
Bahagian kedua: bahwa diketahui
halal yang disyakkan(diragukan), ialah tentang yang mengharamkan. Maka asalnya,
adalah halal dan halallah hukumnya, sebagaimana, apabila dinikahi dua orang
wanita oleh dua orang laki-laki. Dan terbanglah seekor burung, lalu berkata
seorang dari keduanya: “Jikalau burung itu gagak, maka isteriku tertalak”. Dan
berkata yang seorang lagi: “ jikalau bukan gagak, maka istriku tertalak”. Dan
keadaan burung itu tidak jelas. Maka tidaklah dihukum pengharaman pada
seorangpun dari kedua isteri itu. Dan tidaklah diwaajibkan kepada kedua suami
itu menjauhkan isterinya. Tetapi wara’(menjaga diri) ialah keduanya menjauhkan
dan menceraikan. Sehingga menjadi halal wanita-wanita itu bagi suami-suami yang
lain. Dan Makhul menyuruh menjauhkan dari wanita pada masalah tersebut tadi.
Dan Asy-Sya’bi berfatwa dengan menjauhkan,
mengenai dua orang laki-laki, dimana keduanya bertengkar. Lalu yang seorang
berkata kepada seorang yang lain: “Engkau pendengki !”. Lalu menjawab yang
lain: “Kami dengki, isterinya tertalak tiga !”. Maka menjawab yang tadi: “Ya
!”. Dan persoalan ini menghadapi kemusykilan (kesulitan). Ini, kalau ia
maksudkan menjauhkan wara’, maka adalah benar. Dan kalau ia maksudkan
pengharaman yang meyakinkan, maka tiada jalan baginya yang demikian. Karena
telah menjadi ketetapan pada air, najis, hadats dan shalat, bahwa “yakin” tidak
harus ditinggalkan, disebabkan “syak (ragu)”. Dan persoalan yang tersebut tadi,
adalah termasuk dalam pengertian ini.
Kalau anda bertanya: “Apakah penyesuaiannya
diantara ini dan itu tadi ?”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa tidaklah
memerlukan kepada penyesuaian. Karena haruslah dari bukan yang demikian, pada
sebahagian gambaran-gambaran persoalan. Karena, manakala telah diyakini
kesucian air, kemudian diragukan tentang najisnya, niscaya bolehlah ia
berwudlu’ dengan air tersebut. Maka bagaimana pula tidak dibolehkan meminumnya
? dan apabila telah dibolehkan meminum, maka diterimalah, bahwa “yakin” tidak
akan hilang dengan “syak (ragu)”, kecuali disitu ada persoalan yang halus
pelik. Yaitu: bahwa bandingan air, ialah syaknya (ragunya), tentang ia telah
mentalakkan isterinya atau tidak. Maka dalam hal ini, dijawab: yang pokok
(menurut asalnya), dia tidak melakukan talak. Dan bandingan masalah burung,
ialah bahwa ia meyakini najis salah satu dari dua bejana air. Dan ia ragu, yang
mana bejana itu sebenarnya. Maka tidaklah dibolehkan memakan salah satu dari
keduanya, tanpa ijtihad (mengeluarkan pendapat). Karena ia menghadapkan “yakin najis”
dengan “yakin suci”. Maka batallah istishab (menyertakan hukum menurut keadaan
yang sebelumnya). Maka seperti itu pulalah disini, sesungguhnya telah jatuh
talak dengan pasti kepada salah seorang dari dua isteri. Dan yang meragukan,
ialah: yang mana tertalak, dengan yang tidak tertalak. Maka kami menjawab,
bahwa: telah berbeda pendapat diantara para sahabat Imam Asy-Syafi’i, tentang
dua bejana air tersebut, kepada tiga pendapat:
Berkata segolongan: dipakai istishab (menyertakan hukum
menurut keadaan yang sebelumnya), tanpa ijtihad (mengeluarkan pendapat).
Berkata segolongan lagi: sesudah diperoleh keyakinan najis,
dalam menghadapi keyakinan suci, maka wajiblah dijauhkan pemakaiannya. Dan
tidaklah perlu ijtihad (mengeluarkan pendapat). Dan berkata golongan tengah diantara
yang dua tersebut (al-muqtashidun): hendaklah berijtihad (mengeluarkan
pendapat/pertimbangan). Dan inilah yang benar. Tetapi bandingannya, ialah:
bahwa ia mempunyai dua isteri, lalu berkata: “Kalau burung itu gagak, maka si
Zainab yang tertalak. Dan kalau bukan gagak, maka si Umarah yang tertalak”.
Maka sudah pasti, tidak bolehlah ia tertipu dengan menggunakan “istishab” (menyertakan hukum kepada yang sudah) dan
tidak dibolehkan ijtihad(mengeluarkan pendapat), karena tak ada tanda untuk itu. Dan
kami berpendapat, kedua wanita itu diharamkan kepadanya. Karena kalau
disetubuhinya, niscaya sudah pasti ia mengerjakan yang haram. Dan kalau
disetubuhinya seorang dari yang dua itu, seraya ia mengatakan: “Saya maksudkan
terhadap yang ini saja”, niscaya ia telah menetapkan dengan menentukannya,
tanpa ada yang menguatkan terhadap penentuannya itu. Maka dalam hal ini,
berbedalah hukum terhadap seorang atau dua orang. Karena pengharaman terhadap
seorang, adalah meyakinkan. Lain halnya dengan dua orang. Karena tiap-tiap
seorang adalah syak (ragu) tentang pengharaman terhadap dirinya sendiri. Kalau
dikatakan: jika kedua bejana air itu kepunyaan dua orang. Maka seyogyalah tidak
memerlukan kepada ijtihad(mengeluarkan pendapat) dan masing-masing mengambil wudlu’
pada bejananya. Karena ia telah meyakini kesuciannya. Dan ia telah syak (ragu)
sekarang mengenai yang tersebut. Maka kami menjawab, bahwa ini mungkin
sepanjang ilmu fiqh. Dan yang telah kuat, menurut pendapatku yang mendekati
kepada keyakinan, ialah: dilarang berwudlu’. Dan bilangan dua orang disini,
adalah seperti seorang. Karena sahnya wudlu’ itu, tidak meminta kepada
kepunyaan. Tetapi wudlu’nya seseorang dengan air orang lain untuk kesucian dari
hadats (raf’ul-hadats), adalah seperti wudlu’nya dengan airnya sendiri. Maka
tiada nyatalah sesuatu bekas karena berlainan kepunyaan dan bersatunya
kepunyaan. Lain halnya bersetubuh dengan isteri orang, karena itu tidaklah
halal. Dan karena tanda-tanda mempunyai hubungan langsung pada najis. Dan
melakukan mengeluarkan pendapat itu mungkin pada air. Lain halnya dengan talak.
Maka wajiblah memperkuatkan mengeluarkan pendapat dengan tanda, untuk menolak
kuatnya “yakin najis”, yang berhadapan bagi “yakin suci”. Dan pintu-pintu
mengeluarkan pendapat dan tarjih (menguatkan sesuatu pendirian dalam masalah
fiqh), adalah setengah dari soal-soal yang sulit dan yang halus-halus dalam
ilmu fiqh. Dan telah kami bahaskan secara mendalam dalam kitab-kitab fiqh. Dan
tidaklah kami maksudkan menerangkannya sekarang, selain sekedar memperingati
kepada qaedah-qaedahnya saja.
Bahagian ketiga: bahwa adalah
asalnya itu pengharaman. Tetapi datanglah sesuatu yang mewajibkan
penghalalannya, disebabkan keras dugaan. Maka jadilah diragukan padanya. Dan
biasanya, adalah halal. Dari itu, persoalan ini harus mendapat perhatian. Kalau
disandarkan keras dugaan, kepada suatu sebab yang dipandang pada agama, maka
pendapat yang kami pilih padanya, bahwa itu halal. Dan menjauhkannya (tidak
mengerjakannya) adalah termasuk wara’. Contohnya: ialah melemparkan dengan
panah seekor binatang buruan. Lalu binatang buruan itu menghilang. Kemudian
diperoleh sudah dalam keadaan mati dan tak ada padanya bekas, selain dari panah
itu. Tetapi mungkin ia mati disebabkan jatuh kedalam lobang atau dengan sebab
yang lain. Maka kalau menampak pada hewan buruan itu bekas tersandung atau luka
yang lain, niscaya dihubungkan dengan “Bahagian Pertama” dahulu.
Dan pendapat Imam Asy-Syafi’i ra
bermacam-macam pada bahagian ini. Dan pendapat yang terpilih, ialah halal.
Karena luka itu, adalah sebab yang terang dan telah meyakinkan. Dan pada
pokoknya (pada asalnya) tidaklah mendatang sebab yang lain kepada binatang
buruan itu. Dan kedatangan sebab yang lain itu, adalah diragukan. Maka tidaklah
tertolak yang yakin, dengan yang syak (ragu).
Kalau ada yang mengatakan, bahwa Ibnu Abbas
telah berkata: “Makanlah tiap-tiap binatang buruan yang mati dihadapanmu,
sesudah dipanahkan (ishma’) dan tinggalkanlah (jangan makan) yang mati bukan
dihadapanmu (inma’)”. Dan ‘Aisyah meriwayatkan: “Bahwa seorang laki-laki datang
kepada Nabi saw dengan membawa arnab, seraya berkata: “Lemparanku
memperkenalkan padanya panahku”. Lalu Nabi saw bertanya: “Apakah engkau ishma’
(matinya dimuka engkau) atau engkau inma’ (matinya dibelakang engkau) ?”. Maka
laki-laki itu menjawab: “Aku inma”. Lalu Nabi saw menyambung: “Sesungguhnya
malam adalah suatu makhluk dari makhluk Allah, yang tidak sanggup menentukan
taqdirnya, kecuali Yang Menjadikannya. Maka mungkin arnab ini, ditolong oleh
sesuatu kepada kematiannya”. Dan begitupula Nabi saw bersabda kepada ‘Uda bin
Hatim, mengenai anjingnya yang telah terdidik: “Kalau anjing itu memakannya,
maka janganlah engkau makan. Karena aku takut, anjing itu memegang (menahan)
binatang buruan tersebut untuk dirinya sendiri”. Biasanya anjing yang terdidik
(al-kalbul-mu’allim) itu, tidaklah jahat budinya. Dan tidaklah ia menahan
buruannya, melainkan untuk tuannya. Dan meskipun demikian, Nabi saw melarang
memakannya. Dan keteguhan pendapat ini (at-tahqiq), yaitu, bahwa halal adalah
meyakinkan, apabila telah diyakini kesempurnaan sebab. Dan kesempurnaan sebab
itu, adalah dengan membawanya kepada kematian, tanpa datang sebab-sebab yang
lain kepada hewan buruan tersebut. Dan telah diragukan padanya. Maka yaitu:
keraguan tentang kesempurnaan sebab. Sehingga menyerupai, bahwa kematiannya itu
diatas halal atau diatas haram. Maka tidaklah ini, berada dalam pengertian yang
meyakinkan matinya diatas yang halal pada saat kematiannya. Kemudian diragukan
tentang apa yang mendatang kepada hewan buruan tersebut. Maka jawabannya,
ialah: larangan Ibnu Abbas dan larangan Rasulullah saw, adalah dipertanggungkan
diatas: wara’(menjaga diri) dan tanzih (pembersihan diri), dengan dalil apa
yang diriwayatkan, pada setengah riwayat, bahwa Nabi saw bersabda: “Makanlah
hewan buruan itu, meskipun ia telah menghilang dari engkau, selama tidak engkau
peroleh padanya, bekas selain dari panah engkau !”.
Dan ini, adalah memperingatkan kepada
pengertian yang telah kami sebutkan dahulu. Yaitu: kalau diperolehnya bekas
yang lain maka bertentangan lah dua sebab, dengan bertentangannya sangkaan. Dan
kalau tidak diperolehnya, selain lukanya, niscaya terdapatlah kerasnya
sangkaan. Maka dapatlah dihukum dengan: istishab (menyertakan hukum kepada yang
sudah), sebagaimana dihukum dengan
istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), dengan berita dari seorang
pemberita, qias/logika yang memberatkan sangkaan, keadaan umum yang memberatkan
sangkaan dll. Adapun perkataan dari orang yang mengatakan, bahwa tidak terdapat
yang meyakinkan matinya diatas yang halal pada saat itu, maka tidaklah itu
merupakan syak (ragu) tentang sebabnya. Maka tidaklah benar seperti itu. Tetapi
adalah sebab itu telah meyakinkan, karena lukanya, adalah sebab kematiannya.
Maka datangnya sebab yang lain, adalah yang diragukan. Dan dibuktikan kepada
syahnya ini, oleh Ijma’(kesepakatan ulama), bahwa orang yang dilukakan dan
menghilang, lalu terdapat sudah meninggal, maka wajiblah qishash (hukum bela),
atas orang yang melukakannya. Tetapi, kalau ia tidak menghilang, maka mungkin
kematiannya itu, adalah dengan kegoncangan yang bercampur pada batinnya,
sebagaimana matinya seseorang secara tiba-tiba. Maka seyogyalah qishash itu
tidak wajib, selain dengan pemanggalan leher dan luka yang banyak mengeluarkan
darah. Karena penyakit yang membunuh pada batin, tidaklah dirasa aman
daripadanya. Dan karenanyalah, orang yang sehat itu mati dengan tiba-tiba. Dan
yang mengatakan dengan yang demikian, sedang qishash itu, didasarkan kepada:
syubhat (diragukan).
Dan begitupula, anak dalam kandungan hewan
yang disembelih (janin) adalah halal. Dan mungkin ia telah mati sebelum
disembelih induknya. Tidak disebabkan penyembelihan induknya atau belum
ditiupkan kepadanya nyawa. Mencari penjelasan tentang janin itu, adalah wajib.
Mungkin nyawa belum ditiupkan kepadanya. Atau telah mati sebelum penganiayaan
itu, dengan sebab yang lain. Tetapi didasarkan kepada sebab-sebab yang
zahir/terlihat. Karena kemungkinannya yang lain, apabila tidak disandarkan
kepada suatu bukti yang menunjukkan kepadanya, niscaya dihubungkan dengan:
waham dan waswas saja, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu. Maka begitu
pulalah ini !
Adapun sabda Nabi saw: “Aku takut, bahwa
adalah anjing terdidik itu menahan (memegang) binatang buruan untuk dirinya
sendiri”, maka bagi Asy-Syafi’i ra pada persoalan ini, dua pendapat. Dan yang
kami pilih, ialah menetapkan dengan: pengharaman. Karena sebab telah
bertentangan. Sebab anjing terdidik itu, adalah seperti: perkakas dan wakil,
yang memegang hewan itu untuk tuannya. Maka halallah hewan buruan tersebut.
Kalau anjing terdidik itu terlepas sendiri pergi berburu, lalu memperoleh hewan
buruan, niscaya tidaklah halal. Karena dapat digambarkan bahwa itu berburu
untuk dirinya sendiri. Dan manakala anjing itu bangkit dengan isyarat tuannya,
kemudian ia makan binatang buruan itu, maka menunjukkan, bahwa pada permulaan
kebangkitannya, adalah ia berkedudukan sebagai alat dari tuannya. Dan ia
berusaha sebagai wakil dan pengganti tuannya. Dan makannya itu menunjukkan pada
akhirnya, bahwa ia menahan hewan buruan itu, adalah untuk dirinya sendiri,
tidak untuk tuannya. Maka bertentanganlah sebab yang menunjukkan, lalu
bertentanganlah kemungkinan. Dan pada asalnya (pada pokoknya), adalah:
diharamkan. Maka dipakailah: istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), tanpa ijtihad (mengeluarkan pendapat). Dan senantiasalah
syak (ragu) itu. Dan itu, adalah, seperti mewakili kepada seorang laki-laki
untuk membelikan baginya seorang budak wanita. Lalu laki-laki tersebut
membelinya. Dan ia mati sebelum menerangkan, bahwa ia telah membeli budak
wanita itu untuk dirinya sendiri atau untuk yang mewakilinya. Maka tidaklah
halal bagi yang mewakilkan (muakkil) bersetubuh dengan budak wanita tersebut.
Karena wakil itu mempunyai kesanggupan membeli untuk dirinya sendiri dan untuk
yang mewakilinya. Dan tak ada dalil yang menguatkan. Dan asalnya (pada
pokoknya) adalah: diharamkan. Maka ini, dihubungkan dengan “bahagian pertama”
dahulu, tidak dengan “bahagian ketiga”.
Bahagian keempat: bahwa adalah halal
itu dimaklumi. Tetapi keras dugaan dengan mendatangnya yang mengharamkan,
disebabkan suatu sebab yang terpandang tentang kerasnya dugaan pada agama. Maka
dilepaskanlah istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), dan dihukum dengan: diharamkan. Karena telah
terang bagi kita, bahwa istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), itu lemah. Dan tidak mempunyai hukum, bersama
keras dugaan itu. Contohnya: bahwa dibawa oleh ijtihadnya/kesungguhannya kepada
najis salah satu dari dua bejana, dengan berpegang kepada tanda tertentu, yang
mewajibkan keras dugaan. Maka keras dugaan itu mewajibkan: pengharaman
meminumnya, sebagaimana mewajibkan terlarang berwudlu’ dengan air itu. Dan
begitu pula, apabila seseorang berkata: “Kalau si Zaid membunuh si Umar atau
kalau si Zaid membunuh binatang buruan dengan sendirian membunuhnya, maka
isteriku tertalak”. Lalu si Zaid itu melukakan si Umar atau binatang buruan dan
si Umar atau binatang buruan itu menghilang daripadanya. Kemudian didapatinya
mati. Maka haramlah isterinya bagi orang yang mengatakan kata-kata tersebut.
Karena menurut yang zahir, dialah sendiri yang membunuhnya, sebagaimana
diterangkan dahulu. Asy-Syafi’i ra telah mengeluarkan nash (keterangan yang
tegas), bahwa orang yang memperoleh air yang sudah berobah dalam kolam, maka
mungkin air itu berobah, disebabkan lama berhentinya atau disebabkan oleh
najis. Maka bolehlah ia memakai air itu. Dan kalau dilihatnya seekor kijang,
kencing didalamnya, kemudian didapatinya air itu berobah. Dan mungkin perobahan
itu disebabkan kencing atau lama berhentinya. Niscaya tidaklah boleh
memakainya. Karena kencing yang dilihat itu, menjadi dalil yang menguatkan
kepada kemungkinan najis. Yaitu, seperti apa yang telah kami sebutkan dahulu.
Dan ini adalah pada kerasnya dugaan, yang disandarkan kepada tanda yang berhubungan
dengan sesuatu benda.
Adapun kerasnya dugaan, tidak dari segi
tanda yang bersangkutan dengan benda, maka berselisihlah pendapat Asy-Syafi’i
ra tentang asalnya halal, adakah halal itu dihilangkan, apabila pendapat
Asy-Syafi’i telah berselisih tentang berwudlu’ pada bejana-bejana orang musyrik
dan peminum khamar, shalat pada perkuburan yang terbongkar dan shalat serta abu
jalan raya. Ya’ni: kadar yang melebihi dari apa yang sukar dijaga daripadanya.
Para sahabat Imam Asy-Syafi’i menerangkan
tentang persoalan tadi, bahwa: apabila bertentangan asal dan yang biasa (yang
ghalib), maka manakah yang dipegang ? dan ini, berlaku tentang halalnya meminum
dari bejana-bejana peminum khamar dan orang-orang musyrik. Karena najis
tidaklah halal meminumnya. Jadi, tempat pengambilan najis dan halal itu satu.
Maka keragu-raguan pada salah satu dari keduanya, mengharuskan keragu-raguan
pada yang lain. Dan pendapat yang aku pilih, ialah: bahwa asallah yang menjadi
perpegangan. Dan tanda, apabila tidak berhubungan dengan benda yang
diperpegangi, maka tidaklah mengharuskan penyingkiran akan asal. Dan akan
datang penjelasannya itu nanti dan keterangannya pada: perkembangan kedua bagi
syubhat (diragukan). Yaitu: syubhat (diragukan) campuran. Maka jelaslah dari
ini, hukum halal syak (ragu) tentang datangnya yang mengharamkan kepadanya atau
berat dugaan (zhan) dan hukum haram syak (ragu) tentang datangnya yang
menghalalkan kepadanya atau berat dugaan. Dan jelaslah perbedaan diantara zhan
yang disandarkan kepada tanda pada zat dari benda dan antara apa yang tidak
disandarkan kepadanya. Dan semua yang kita hukumkan pada bahagian yang empat
ini, dengan halalnya, maka yaitu halal pada tingkat pertama. Dan yang ihtijath
(yang lebih teliti menjaganya), ialah meninggalkannya. Maka orang yang tampil
mengerjakannya, tidaklah ia termasuk golongan orang-orang yang taqwa dan
shalih. Tetapi termasuk golongan orang-orang ‘adil, yang tidak dihukum, menurut
fatwa agama dengan fasiq, ma’siat dan berhaknya memperoleh siksaan, selain,
hanya kita hubungkan dia kepada tingkat: waswas. Dan menjaga daripadanya,
tidaklah sekali-kali termasuk: wara’(menjaga diri)
PERKEMBANGAN
KEDUA: syubhat (diragukan) itu mempunyai keraguan, yang terjadinya, lantaran
percampuran.
Yang demikian itu, dengan bercampur haram dengan halal,
keadaannya menyerupakan dan tidak berbeda. Bercampur itu tidaklah terlepas,
adakalanya: terjadi dalam jumlah yang tidak terhingga dari kedua belah pihak.
Atau dari salah satu dari keduanya. Atau dengan jumlah yang terbatas. Maka
jikalau bercampur dengan jumlah yang dapat dihinggakan, maka tidaklah terlepas,
adakalanya percampuran itu, bercampur benar-benar, dimana tidak dapat dibedakan
lagi dengan penunjukkan. Seperti bercampurnya benda cair. Atau percampuran yang
meragukan, serta dapat dibedakan benda-bendanya. Seperti percampuran
budak-budak, rumah-rumah dan kuda. Dan yang bercampur dengan yang meragukan
maka tidaklah terlepas, adakalanya: terjadi dari sesuatu yang dimaksudkan
bendanya. Seperti: barang-barang. Atau tidak dimaksudkan bendanya, seperti:
uang. Maka keluarlah dari pembahagian ini, 3 bahagian:
Bahagian pertama: bahwa diragukan
suatu benda dalam jumlah yang dapat dihinggakan. Seumpama: kalau bercampur
bangkai dengan seekor hewan sembelihan atau dengan 10 ekor hewan sembelihan.
Atau bercampur seorang wanita susuan dengan 10 orang wanita lain. Atau
mengawini seorang dari dua wanita yang bersaudara, kemudian meragukan, yang
mana diantara keduanya. Maka itu semua, adalah syubhat (diragukan), yang wajib
dijauhkan, dengan sepakat seluruh kesepakatan ulama (Ijma’). Karena tak ada
jalan untuk kesungguhan dan mencari tanda-tanda padanya. Dan apabila bercampur
benda yang syubhat (diragukan) itu dengan jumlah yang dapat dihinggakan,
niscaya jadilah jumlah itu seperti suatu barang. Lalu berhadap-hadapanlah
padanya antara yakin haram dan yakin halal. Dan tak ada bedanya pada ini,
diantara telah ternyata halal, lalu mendatang campuran dengan yang haram.
Seperti: jikalau menjatuhkan talak kepada seorang dari dua isteri pada masalah
burung dahulu. Atau bercampur sebelum ternyata halalnya, seperti kalau
bercampur wanita susuan dengan wanita ajnabiah (wanita yang bukan keluarga,
yang boleh dikawini). Maka ia bermaksud memperoleh yang halal seorang dari yang
dua tersebut. Dan ini kadang-kadang menyulitkan tentang kedatangan pengharaman
itu. Seperti: talak seorang dari dua isteri, karena apa yang telah tersebut
dahulu, dari istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), itu. Dan telah kami beritahukan tentang cara jawabannya.
Yaitu: bahwa keyakinan haram, berhadapan dengan keyakinan halal. Maka lemahlah
istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), . Dan segi bahaya adalah lebih
menonjol pada pandangan agama. Maka karena itulah, lebih dikuatkan segi bahaya
itu. Dan ini, adalah apabila bercampur halal yang dapat dihinggakan jumlahnya
dengan haram yang dapat dihinggakan jumlahnya pula. Maka jikalau bercampur
halal yang dapat dihinggakan, dengan haram yang tidak dapat dihinggakan
jumlahnya, maka tidaklah tersembunyi, bahwa wajibnya istishab (menyertakan hukum
kepada yang sudah), , adalah lebih utama.
Bahagian kedua: bercampur antara
yang terhingga jumlahnya, dengan halal yang tidak terhingga jumlahnya. Seperti:
kalau bercampur seorang wanita susuan atau 10 wanita susuan dengan
wanita-wanita disatu negeri besar. Maka tidaklah dengan sebab tersebut,
memastikan menjauhkan perkawinan dengan wanita-wanita negeri itu. Tetapi ia
boleh mengawini siapa yang disukainya dari wanita-wanita tersebut. Dan ini
tidak boleh diartikan, bahwa sebabnya lantaran banyak wanita yang halal
dikawini. Karena harus pada yang demikian, membolehkan kawin, apabila bercampur
seorang wanita yang haram dikawini dengan 9 wanita yang halal dikawini. Dan
tidak adalah orang yang mengatakan yang demikian. Tetapi yang menjadi sebab,
ialah keras dugaan kepada halal dan bersama dengan keperluan untuk itu. Karena
tiap-tiap orang yang telah hilang anak susuannya atau kerabatnya atau yang
diharamkan nikah, disebabkan bersemanda atau sebab-sebab yang lain, maka
tidaklah mungkin tertutup kepadanya pintu perkawinan.
Dan begitu pula, orang yang mengetahui,
bahwa harta dunia yang sudah pasti bercampur dengan haram, tidaklah
mengharuskan dia meninggalkan membeli dan memakan. Karena yang demikian itu,
adalah menyulitkan. Dan tak ada pada agama itu yang menyulitkan. Dan ini
diketahui, bahwa manakala telah dicuri orang pada zaman Rasulullah saw sebuah
perisai dan seorang pencuri telah mengambil dengan diam-diam dari harta
rampasan perang, sebuah ‘aba-ah (baju besar yang terbuka bagian muka, dipakai
diatas pakaian lain), niscaya tidaklah terlarang seseorang untuk membeli
perisai dan ‘aba-ah di dunia ini. Dan begitu pulalah tiap-tiap apa yang dicuri
orang. Dan begitu pula, adalah dikenal, bahwa dalam kalangan manusia banyak,
ada orang yang menjalankan riba pada dirham dan dinar. Dan dalam pada itu,
tidaklah Rasulullah saw dan orang-orang lain, meninggalkan dirham, dan dinar
keseluruhannya.
Kesimpulannya, sesungguhnya, dunia itu
terlepas dari haram, apabila makhluk seluruhnya terpelihara dari perbuatan
ma’siat. Dan yang demikian itu, adalah mustahil. Dan apabila tidak disyaratkan
ini dalam dunia, niscaya tidak disyaratkan pula dalam sesuatu negeri. Kecuali
apabila terjadi diantara golongan yang terhingga jumlahnya. Tetapi menjauhkan
ini, termasuk wara’ orang-orang yang waswas. Karena tidak dinuqilkan yang
demikian, dari Rasulullah saw dan dari seseorang sahabatnya. Dan tidaklah
tergambar dapat dilaksanakan dalam sesuatu agamapun dan dalam sesuatu masapun.
Kalau anda berkata, bahwa tiap-tiap bilangan itu terhingga dalam ilmu Allah,
maka apakah batas yang terhingga itu ? dan kalau manusia berkehendak
menghinggakan jumlah penduduk sesuatu kampung, niscaya sanggup juga ia kepada
yang demikian, kalau ia bertetap hati melaksanakannya. Maka ketahuilah, bahwa
menentukan batas hal-hal yang seperti ini, adalah tidak mungkin. Dan hanya
dapat ditentukan, secara berlebih-kurang (taqrib). Maka kami menjawab, bahwa
tiap-tiap bilangan jikalau berkumpul diatas suatu dataran tinggi, niscaya
sungguh sukar kepada yang memandangnya untuk mengetahui bilangan mereka itu,
dengan semata-mata memandang saja, seperti 1000 dan 2000. Maka itu adalah tidak
terhinggakan. Dan apa yang mudah, seperti 10 dan 20, maka itu adalah
terhinggakan. Dan diantara dua tepi ini, adalah tengah-tengah yang serupa satu
dengan lainnya, yang menghubungkan dengan salah satu dari dua tepi dengan
dugaan (zhan). Dan apa yang terjadi syak (ragu) padanya, bertanyalah kepada
hati tentang yang syak (ragu) itu.
Sesungguhnya dosa itu, adalah penyakit bagi
hati. Dan pada tempat yang seperti ini, Rasulullah saw bersabda kepada
Wabishah: “Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun mereka telah memberi fatwa
kepadamu, telah memberi fatwa kepadamu dan telah memberi fatwa kepadamu !”. Dan
begitu pula bahagian yang 4 itu telah kami sebutkan dahulu pada Perkembangan
Pertama, yang terjadi padanya segi-segi yang berhadapan satu sama lain, yang
jelas tentang negatif dan positifnya, serta tengah-tengah yang serupa satu
dengan lainnya. Maka mufti (yang memberi fatwa), itu berfatwa dengan berat dugaan
(zhan). Dan haruslah bagi yang meminta fatwa, untuk meminta fatwa pada hatinya
sendiri. Maka kalau terguris dalam dadanya sesuatu maka dia adalah berdosa
antaranya dan antara Allah. Maka tidaklah ia dilepaskan di akhirat oleh fatwa
dari yang berfatwa. Karena yang berfatwa itu mengeluarkan fatwanya menurut yang
terlihat/zhahir. Dan Allah menguasai segala rahasia.
Bahagian ketiga: bahwa bercampur
haram yang tidak terhinggakan dengan halal yang tidak terhinggakan, seperti
hukum harta pada zaman kita ini. Maka orang yang mengambil hukum dari
bentuknya, kadang-kadang menyangka, bahwa bandingan yang tidak terhinggakan
kepada yang tidak terhinggakan, adalah seperti bandingan yang terhinggakan
kepada yang terhinggakan. Dan telah kita hukumkan disitu dahulu dengan diharamkan,
maka hendaklah kita hukumkan disini juga dengan diharamkan. Dan yang kami
pilih, adalah sebalik yang demikian. Yaitu: bahwa tidaklah diharamkan dengan
percampuran ini untuk diambilkan sesuatu bendanya, yang mungkin, dia itu haram
dan mungkin pula dia itu halal. Kecuali disertakan dengan benda itu, suatu
tanda yang menunjukkan, bahwa dia haram. Kalau tidak ada pada benda itu tanda
yang menunjukkan, bahwa dia itu haram, maka meninggalkannya adalah wara’. Dan
mengambilkannya adalah halal, yang tidak akan menjadi fasiq yang memakannya.
Sebahagian dari tanda-tandanya, ialah mengambil dari tangan sultan yang zalim
dan tanda-tanda yang lain dari itu, yang akan datang penjelasannya nanti. Dan
ditunjukkan kepadanya oleh atsar (perkataan shahabat) dan qias (analogi, dari ilmu
logika).
Adapun atsar, maka yaitu: yang diketahui
pada zaman Rasulullah saw dan khulafa’-rasyidin sesudahnya. Karena adalah harga
khamar dan dirham-dirham riba dari tangan kafir dzimmi (kafir yang dijamin
keselamatannya oleh pemerintahan Islam), bercampur-baur dengan harta-harta
lain. Dan begitu pula harta-harta yang diserobot secara sembunyian. Dan begitu
pula harta-harta serobotan dari harta rampasan perang.
Dan dari waktu, dimana Nabi saw melarang
riba, tatkala bersabda: “Riba yang pertama, aku hinakan ialah: riba Abbas”.
Tidaklah manusia itu meninggalkan riba seluruhnya sebagaimana mereka tidak
meninggalkan meminum khamar dan ma’siat-ma’siat yang lain. Sehingga
diriwayatkan, bahwa setengah sahabat Nabi saw menjual khamar. Lalu berkata Umar
ra: “Dikutuk Allah kiranya si Anu, dimana ia orang pertama yang menjalankan
penjualan khamar. Karena ia tidak memahami, bahwa pengharaman khamar itu,
adalah pengharaman akan menghela kedalam mereka, baju ‘aba-ah, yang diambilnya
dengan diam-diam”.
Seorang laki-laki dibunuh, lalu mereka
menyelidiki harta kekayaannya. Maka mereka dapati didalamnya beberapa batu
cincin Yahudi, yang tidak sampai harganya dua dirham yang telah diambilnya
dengan diam-diam. Dan begitu pula telah didapati oleh beberapa orang sahabat
Rasulullah saw, akan amir-amir yang zalim. Dan tiada seorangpun dari mereka
yang melarang berjual-beli di pasar, disebabkan perampokan di kota Madinah. Dan
kota Madinah itu, telah dirampok oleh kawan-kawan Yazid 3 hari lamanya. Dan
adalah orang yang mencegah penjual-belian dari harta-harta itu, ditunjukkan
kepadanya tentang kewara’annya. Dan kebanyakan mereka tidak melarangnya, serta
percampur-bauran dan banyaknya harta yang dirampok pada hari-hari berkuasa
orang-orang zalim tersebut. Dan orang yang menjawabkan akan apa yang tidak
diwajibkan oleh salaf yang shalih dan menda’wakan bahwa dia lebih cerdik
memahami agama, apa yang tidak dipahami oleh salaf yang shalih, maka orang
tersebut adalah orang yang diganggu oleh waswas, yang rusak akal pikiran. Dan
kalau bolehlah ditambah terhadap salaf yang shalih itu pada contoh-contoh yang
seperti ini, niscaya bolehlah menyalahi mereka dalam persoalan-persoalan yang
tak ada sandaran padanya, selain dari kesepakatan mereka. Seperti kata mereka:
bahwa nenek perempuan adalah seperti ibu pada pengharamannya dan anak laki-laki
dari anak laki-laki, adalah seperti anak laki-laki. Dan bulu babi dan lemaknya
adalah seperti daging yang tersebut pengharamannya dalam Alquran. Dan riba itu
berlaku pada yang selain dari 6 macam barang-barang. Dan itu adalah mustahil.
Karena salaf shalihlah yang lebih utama memahami agama dari orang-orang lain.
Adapun qias/logika, maka yaitu: jikalau
pintu ini dibuka, niscaya tersumbatlah pintu semua pekerjaan. Dan runtuhlah
dunia, karena fasiq telah begitu berpengaruh kepada manusia. Dan manusia itu
akan memandang enteng dengan sebab qias tersebut, tentang syarat-syarat agama
dalam segala ‘aqad perjanjian. Dan yang demikian tidak mustahil, akan membawa
kepada percampur-bauran. Kalau ada yang berkata: “bahwa tuan-tuan telah
menuqilkan, bahwa Nabi saw tidak mau memakan dlabb (binatang yang bentuknya
menyerupai biawak) dan bersabda: “Aku takut bahwa dlabb itu, adalah termasuk
makhluk yang telah berobah bentuknya oleh Allah”. Dan itu dalam percampur-bauran
yang tidak terhinggakan. Maka kami menjawab, bahwa yang demikian itu
ditempatkan kepada pembersihan diri dan wara’. Ataupun kami menjawab, bahwa
dlabb itu bentuknya ganjil. Mungkin menunjukkan dia itu dari makhluk yang
dirobah bentuknya. Maka itu adalah dalil yang menunjukkan pada benda yang
diperpegangi. Maka kalu ada yang mengatakan, bahwa itu telah dimaklumi pada
zaman Rasulullah saw dan zaman para sahabat, disebabkan riba, pencurian,
perampokan, pengambilan secara diam-diam akan harta rampasan perang dsb. Tetapi
adalah yang tersebut itu amat sedikit, dengan membandingkan kepada yang halal.
Maka apakah yang akan anda katakan, pada zaman kita sekarang ini ? dan yang
haram itu telah menjadi begitu banyak dalam tangan umat manusia. Karena rusaknya
mu’amalah (perniagaan), disia-siakan syarat-syaratnya, banyaknya riba dan harta
sultan-sultan yang zalim”. Maka barangsiapa mengambil harta yang tidak
dipersaksikan padanya tanda tertentu pada bendanya untuk mengharamkan, maka
apakah itu haram atau tidak ? Aku menjawab: tidaklah yang demikian itu haram!
hanya wara’lah yang meninggalkannya. Dan wara’ ini, adalah lebih penting dari
wara’, apabila dia itu sedikit. Tetapi penjawaban dari ini, bahwa perkataan
dari orang yang mengatakan: kebanyakan harta pada zaman kita sekarang itu
haram, adalah salah semata.
Dan terjadilah perkataan tersebut, ialah
lupa dari perbedaan antara yang banyak dan yang lebih banyak. Maka kebanyakan
manusia, bahkan kebanyakan ahli fiqh (fuqaha’) menyangka, bahwa sesuatu yang
bukan jarang, adalah itu lebih banyak. Dan mereka menyangka bahwa keduanya itu
(banyak dan lebih banyak), berhadapan satu sama lain, dimana tidak ada diantara
keduanya yang ketiga. Sebenarnya tidaklah seperti yang demikian. Tetapi
bahagian-bahagian itu adalah 3: sedikit, yaitu: yang jarang, banyak dan lebih
banyak. Contohnya: orang banci (khuntsa) diantara makhluk, adalah jarang. Dan
apabila ditambahkan kepadanya orang sakit, niscaya terdapatlah banyak. Dan
begitu pula perjalanan jauh (bermusafir). Sehingga dapat dikatakan: sakit dan
berjalan jauh, adalah termasuk halangan umum. Dan istihadlah (darah yang datang
pada wanita diluar waktu haid), adalah termasuk halangan yang jarang terjadi.
Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa sakit itu bukanlah barang yang jarang terjadi
(nadir). Dan bukan pula lebih banyak, tetapi adalah banyak. Ahli fiqh itu,
apabila bermudah-mudah dan mengatakan: sakit dan berjalan jauh itu, adalah
biasa terjadi (ghalib). Dan itu, adalah halangan umum, dimana dimaksudkannya
dengan itu, ialah: tidak itu jarang terjadi. Kalau tidak ini yang
dimaksudkannya, maka itu salah. Orang yang sehat dan orang yang menetap (orang
muqim) itulah yang lebih banyak. Dan orang musafir dan orang sakit itulah yang
banyak. Dan wanita yang beristihadlah dan orang banci itulah yang jarang
terjadi. Apabila ini telah dipahami, maka kami mengatakan: bahwa perkataan yang
diucapkan oleh yang mengatakan: yang haram itu adalah yang lebih banyak, adalah
salah. Karena sandaran ucapan tersebut, adakalanya yang ada itu: banyaknya
orang-orang zalim dan tentara atau banyaknya riba dan mu’amalah (perniagaan)
yang batal atau banyaknya tangan yang berulang-ulang, sejak dari permulaan
Islam sampai kepada masa kita sekarang ini, diatas asal-usul harta yang
terdapat hari ini.
Adapun sandaran pertama adalah batal.
Sesungguhnyaa orang zalim itu banyak dan tidaklah ia lebih banyak. Maka mereka
itu, adalah tentara. Karena tiada yang berbuat zalim, selain yang mempunyai
kekerasan dan keperkasaan. Dan mereka itu, apabila dibandingkan kepada seluruh
isi dunia, tidaklah sampai 1/100 dari mereka. Tiap-tiap sultan yang berkumpul
padanya tentara 100 ribu umpamanya, maka ia merajai suatu daerah yang
mengumpulkan rakyat sejuta jumlahnya dan lebih. Dan kadang-kadang suatu negeri
dari negeri-negeri kerajaannya, bertambah bilangannya dari semua lasykarnya.
Dan kalaulah bilangan sultan itu, lebih banyak dari bilangan rakyat, niscaya
binasalah semuanya. Karena haruslah diatas tiap-tiap rakyat membelanjai 10 dari
mereka umpamanya, serta raja-raja itu dengan kehidupan yang mewah. Dan tidaklah
yang demikian itu tergambarkan. Tetapi yang mencukupi bagi seorang dari raja
itu, ialah terkumpul 1000 rakyat dan lebih. Dan begitu pula, pembicaraan
tentang: pencuri. Maka suatu negeri besar, adalah terdapat dari dari mereka
jumlah yang sedikit.
Adapun sandaran kedua, yaitu: banyaknya
riba dan mu’amalah(perniagaan) yang batal. Maka itu pula banyak. Dan tidaklah
lebih banyak. Karena kebanyakan kaum muslimin melakukan mu’amalah(perniagaan)
dengan syarat-syarat agama. Maka bilangan mereka, adalah lebih banyak. Dan yang
melakukan mu’amalah (perniagaan)dengan ribu atau lainnya, maka kalau dihitung
mu’amalah nya saja, sesungguhnya adalah yang sah daripadanya, melebihi dari
yang batal. Kecuali manusia itu diminta dengan sangkaannya dalam negeri yang
dikhususkan dengan kurang malu, keji dan kurang agama. Sehingga digambarkan
untuk dikatakan: perniagaannya yang batal, adalah lebih banyak. Dan ketentuan
yang seperti itu, adalah jarang. Dan kalau ia banyak, maka tidaklah ia lebih
banyak, jikalau semua mu’amalah (perniagaan) nya batal. Maka bagaimanapun,
tidak juga ia terlepas dari mu’amalah (perniagaan) yang sah, yang menyamai
dengan yang batal atau melebihi dari yang batal itu. Dan ini adalah diyakini,
bagi orang yang memperhatikannya. Dan hanya banyak mempengaruhi ini, pada jiwa.
Karena banyaknya yang rusak, jauhnya dari yang tersebut dan memandang besar
yang tersebut itu, walaupun jarang yang terjadi.
Sehingga kadang-kadang disangkan, bahwa
zina dan minum khamar telah berkembang, sebagaimana berkembangnya yang haram.
Lalu terkhayallah, bahwa mereka itu lebih banyak. Dan itu adalah salah. Karena
mereka itu adalah sedikit, walaupun jumlah mereka banyak.
Adapun sandaran ketiga: yaitu, yang
paling merupakan khayalan, adalah dikatakan: bahwa harta-harta itu,
sesungguhnya diperoleh dari tambang, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Tumbuh-tumbuhan
dan hewan, adalah diperoleh dengan beranak (tawalud). Apabila kita melihat
kepada seekor kambing umpamanya, dimana kambing itu beranak pada tiap-tiap
tahun. Maka adalah bilangan asal usulnya, sampai kepada zaman Rasulullah saw
(tentu ini dikira sampai kepada zaman Al-Ghazali ra –Pent.) lebih-kurang 500.
Dan ini tidaklah terlepas, untuk mendatang kepada salah satu dari asal-usul
kambing itu, perampokan atau perniagaan yang batal. Maka bagaimanakah
diumpamakan, bahwa asal-usulnya itu selamat sejahtera dari pelaksanaan yang
batil/salah, sampai kepada zaman kita sekarang ini ? Dan begitu pula bibit
biji-bijian dan buah-buahan, memerlukan kepada 500 asal-usul atau 1000 asal
usul umpamanya, sampai kepada permulaan agama. Dan tidaklah itu menjadi halal,
selama asalnya dan asal-usulnya, tidak pula halal sampai kepada permulaan zaman
kenabian itu.
Adapun barang-barang pertambangan, maka
itulah yang mungkin diperoleh diatas jalan permulaan. Dan itu, adalah harta
yang tersedikit. Dan kebanyakan yang dipergunakan daripadanya, ialah dirham dan
dinar. Dan dia tidak keluar, selain dari tempat penempaan. Dan tempat penempaan
itu, dalam tangan orang-orang zalim, adalah seperti pertambangan-pertambangan
dalam tangan mereka, dimana mereka melarang manusia ramai daripadanya. Dan
mengharuskan orang-orang miskin mengeluarkannya dengan pekerjaan-pekerjaan
berat. Kemudian mereka mengambilnya dari orang-orang miskin tersebut, secara
merampas. Maka apabila diperhatikan kepada ini, niscaya dapatlah diketahui,
bahwa adanya uang sedinar, dimana tidak mendatang kepada aqad yang batil/salah,
tak ada kezaliman pada waktu memperolehnya, pada waktu menempanya pada tempat
penempaan dan masa sesudahnya dalam mu’amalah (perniagaan) keuangan dan riba,
adalah jauh, jarang atau mustahil. Jadi, tidak adalah yang halal, kecuali
binatang buruan, rumput pada padang sahara yang tak bertuan dan lapangan yang
tak berair, serta kayu api yang diperbolehlah. Kemudian, orang yang memperoleh
barang tersebut tadi, tidak mampu memakannya. Lalu memerlukan untuk membeli
biji-bijian dan hewan dengan barang tersebut, dimana biji-bijian dan hewan itu,
tidak diperoleh selain dengan penanaman
dan peranakan. Maka adalah ia telah menyerahkan yang halal, untuk
menerima yang haram. Maka ini adalah jalan khayalan yang lebih menonjol sekali.
Dan jawabannya: bahwa menonjolnya ini tidaklah terjadi dari banyaknya yang
haram, yang bercampur baur dengan yang halal. Maka keluarlah dari bahagian,
dimana kita berada didalamnya dan berhubunganlah dengan apa yang telah kita
sebutkan dahulunya. Yaitu: bertentangan antara yang pokok dan yang biasa
terjadi (ghalib).
Karena yang pokok pada segala harta itu,
ialah penerimaannya untuk dipergunakan bagi segala urusan (tasharrufat). Dan
boleh rela-merelai padanya. Dan ditantang yang tersebut itu oleh suatu sebab
yang ghalib (yang biasa terjadi), yang mengeluarkannya dari yang membaguskan
baginya. Maka ini menyerupai akan tempat dua pendapat bagi bagi Asy-Syafi’i ra
tentang hukum najis. Dan yang shahih (yang lebih sah) pada kami, ialah:
dibolehkan shalat pada jalan-jalan raya, apabila tidak terdapat padanya najis.
Karena debu jalan-jalan besar itu, adalah suci. Dan berwudlu’ pada
bejana-bejana orang musyrik itu diperbolehkan. Dan bershalat pada
kuburan-kuburan yang terbongkar, adalah diperbolehkan. Maka pertama-tama kita
menetapkan akan ini, kemudian kita qias/logikakan kepadanya akan persoalan,
dimana kita berada padanya. Dan dibuktikan kepada yang demikian, oleh
berwudlu’nya Rasulullah saw pada tempat air dari kulit kepunyaan seorang wanita
musyrik. Dan berwudlu’nya Umar ra pada kendi air orang Nasrani, sedang minuman
mereka adalah khamar dan makanan mereka adalah babi. Dan mereka itu tidak
menjaga diri dari apa yang dipandang najis oleh agama kita. Maka bagaimanakah
dapat selamat bejana mereka dari tangannya? bahkan kita mengatakan, bahwa
dengan pasti kita mengetahui, bahwa adalah mereka memakai baju dari kulit hewan
yang disamak (fira’-madbughah), pakaian yang dicelup dan diputihkan.
Barangsiapa memperhatikan keadaan penyamak kulit, pembuat kain licin dan putih
dan pencelup, niscayalah dia tahu bahwa yang banyak pada mereka, ialah najis.
Dan kesucian pada kain-kain itu, adalah mustahil atau jarang. Bahkan kami
mengatakan, bahwa kami tahu, adalah mereka itu memakan roti dari gandum dan
syair, dimana mereka tidak membasuhnya. Sedang gandum dan syair itu,
dipijak-pijakkan dengan lembu dan hewan-hewan lain. Dan kencing dan tai
keatasnya. Dan amat sedikitlah yang terlepas dari yang demikian. Mereka itu
mengendarai hewan-hewan, dimana hewan-hewan itu berpeluh. Dan mereka tidak
membasuhkan punggung hewan-hewan itu, sedang hewan-hewan itu membalik-balikkan
badannya pada najis. Bahkan semua hewan, adalah keluar dari perut induknya dan
padanya basahan najis, yang kadang-kadang dihilangkan oleh hujan dan
kadang-kadang tidak dihilangkannya. Dan tidak adalah dijaga dari najis tersebut.
Adalah mereka itu berjalan dengan kaki
telanjang di jalan-jalan besar dan dengan memakai selop. Dan mereka melakukan
shalat dengan selop itu. Mereka duduk diatas tanah dan berjala kaki dalam debu,
tanpa ada keperluan. Adalah mereka tidak berjalan kaki pada tempat ada kencing
dan tai. Dan tidak duduk pada dua tempat tersebut dan membersihkan diri
daripadanya. Dan apabilakah jalan-jalan besar itu terpelihara dari najis, serta
banyaknya anjing dan kencingnya, banyaknya hewan dan tainya ? Dan tiadak seyogyyalah
kami menyangka, bahwa waktu atau kota-kota berbeda pada contoh yang seperti
ini. Sehingga timbul sangkaan, bahwa jalan-jalan besar adalah dibasuhkan pada
masa mereka. Atau adalah dijaga dari hewan-hewan. Amat jauhlah dari yang
demikian !
Yang demikian itu, dapat dimaklumi dengan
pasti kemustahilannya menurut kebiasaan. Maka yang demikian itu, membuktikan,
bahwa mereka tidaklah menjaga, kecuali dari najis menampak atau tanda atas
najis, yang menunjukkan kepada zat najis tersebut. Adapun sangkaan yang biasa,
yang menggerak kan untuk mengembalikan dirham-dirham itu kepada hal-keadaan
yang berlaku, maka tidaklah mereka memberi perhatian kepadanya. Dan ini, adalah
pada Asy-Syafi’i ra. Beliau berpendapat, bahwa air yang sedikit, adalah menjadi
bernajis tanpa berobah yang terjadi pada air itu. Karena selalulah para sahabat
masuk ke tempat permandian air panas dan berwudlu’ di kolam-kolam, dimana
airnya sedikit. Dan bermacam-macam tangan selalu dimasukkan ke dalamnya. Dan
ini adalah tegas pada maksud tersebut. Dan manakala telah tetaplah pembolehan
berwudlu’ pada kendi orang Nasrani, niscaya tetap pulalah boleh meminumnya. Dan
berhubungan hukum halal dengan hukum najis. Kalau ada yang mengatakan, bahwa
tidak boleh qias/logika halal kepada najis, karena mereka memperluas kan jalan
tentang keadaan-keadaan suci dan mereka menjaga dari syubhat-syubhat
(diragukan) haram dengan seteliti-telitinya, maka bagaimanakah diqiaskan kepada
najis itu ? Maka kami mengatakan, kalau dimaksudkan dengan qias itu, bahwa
mereka mengerjakan shalat bersama najid dan shalat bersama najis itu adalah
perbuatan ma’siat, sedang shalat itu adalah tiang agama, maka amat buruklah
dugaan itu. Tetapi wajiblah kita berkeyakinan pada mereka, bahwa mereka menjaga
diri dari tiap-tiap najis yang wajib dijauhkan. Dan sesungguhnya mereka
bermaaf-maafan, dimana yang tidak wajib dijauhkan. Dan adalah pada tempat
kemaafan mereka itu, gambaran ini yang bertentangan padanya pokok dan yang
biasa terjadi (ghalib). Maka jelaslah, bahwa yang biasa terjadi, yang tidak
bersandar kepada sesuatu tanda yang bersangkutan dengan benda, dimana padanya
pandangan itu, adalah dicampakkan (tidak dipakai).
Adapun wara’nya (menjaga diri) mereka pada
yang halal, maka adalah ia dengan jalan taqwa. Yaitu: meninggalkan apa yang tidak
ada apa-apa padanya, karena takut akan apa, yang padanya ada apa-apanya. Karena
urusan harta itu, menakutkan. Dan nafsu condong kepadanya, jika tidak dapat
dikekang daripadanya. Dan urusan kesucian, tidaklah seperti yang demikian. Maka
segolongan dari mereka itu, menolak dari yang halal semata, karena takut
mengganggu hatinya.
Diceritakan dari salah seorang mereka,
bahwa ia menjaga diri dari berwudlu’ dengan air laut, padahal air laut itu,
suci-menyucikan semata. Maka perbedaan pada yang demikian itu tidaklah
merusakkan maksud yang telah kami sepakati padanya, dimana kami melakukan pada
sandaran ini, kepada jawaban yang telah kami sebutkan dahulu pada 2 sandaran
yang terdahulu. Dan kami tidak menerima apa yang disebutkan mereka, bahwa yang
lebih banyak itu, ialah yang haram. Karena harta, walaupun banyak asal-usulnya,
maka tidaklah seharusnya, bahwa pada asal-usulnya itu haram. Bahkan harta yang
diperdapat sekarang, adalah termasuk yang didatangi kezaliman kepada asal-usul
sebahagian daripadanya. Tidak pada sebahagian yang lain. Dan sebagaimana yang
dimulai perampasan nya pada hari ini, adalah tersedikit dibandingkan kepada
yang tidak dirampok dan dicuri. Maka begitu pulalah tiap-tiap harta pada setiap
waktu dan setiap asal-usulnya. Maka yang dirampok dari harta dunia dan yang
diperoleh pada tiap-tiap zaman dengan kebatalan, dibandingkan kepada lainnya,
adalah sedikit sekali. Dan tidaklah kami mengetahui, bahwa cabang ini sendiri,
dari bahagian yang mana dari kedua bahagian itu (bagian yang dirampok atau
bagian yang tidak dirampok). Maka kami tidak menerima, bahwa yang biasa terjadi
(ghalib) itu mengharamkannya. Karena, sebagaimana yang dirampas itu bertambah
dengan beranak, maka begitu pula, yang tidak dirampas bertambah juga dengan
beranak. Maka cabang yang lebih banyak, tidak mustahil, pada setiap masa dan
zaman itu, adalah lebih banyak. Tetapi yang ghalib, adalah biji-bijian yang
dirampas itu, dirampas untuk dimakan dan tidak untuk bibit. Dan begitu pula
hewan-hewan yang dirampas, kebanyakkannya adalah dimakan. Dan tidak disimpan
untuk beranak. Maka bagaimanakah dikatakan: bahwa cabang-cabang haram, adalah
lebih banyak? dan senantiasalah asal-usul yang halal itu, yang lebih banyak
dari asal usul yang haram. Dan hendaklah dipahami oleh yang mencari petunjuk
dari yang tersebut, akan jalan mengenali yang lebih banyak itu.
Karena itu, adalah tempat tergelincirnya
tapak kaki. Dan kebanyakan ulama, salah padanya. Maka betapa lagi orang awam ?
ini, adalah pada yang beranak dari hewan dan biji-bijian. Adapun barang
pertambangan, maka adalah terlepas yang diperbolehkan, dimana di negeri Turki
dan lainnya, diambil oleh siapa saja yang mau. Tetapi kadang-kadang, diambil
oleh sultan sebahagian daripadanya. Atau diambil mereka –bukan mustahil yang
tersedikit, tidak yang terbanyak. Barangsiapa memperoleh dari sultan suatu
pertambangan, maka zalimnya, ialah melarang orang lain daripadanya.
Adapun yang diambil oleh yang mengambil
dari pertambangan, maka diambilkannya dari sultan dengan membayar sewa. Dan
yang shalih, bolehlah pergantian tangan dan kekuasaan pada segala barang mubah
(yang diperbolehkan) dan menerima persewaan padanya. Maka yang diongkosi
tenaganya untuk memperoleh air minum, apabila telah memperoleh air, niscaya air
itu menjadi milik yang menyuruh mencari air minum tersebut. Dan yang diongkosi
tenaganya, berhak mendapat ongkos. Maka begitu pulalah di sungai Nil. Apabila
kita telah selesai dari ini, niscaya tidaklah haram benda emas itu sendiri,
kecuali menentukan kezalimannya dengan kekurangan ongkos kerja. Dan itu, adalah
sedikit, dibandingkan kepada emas itu. Kemudian, tidak wajiblah mengharamkan
zat emas itu. Tetapi ia zalim, adalah disebabkan masih tinggalnya ongkos dalam
tanggungannya. Adapun rumah penempaan emas dan perak itu, maka tidaklah emas
yang keluar daripadanya, termasuk benda-benda emas sultan yang telah
dirampasnya dari rakyat dan diperbuatnya kezaliman kepada manusia dengan itu.
Tetapi para saudagarlah yang membawa kepada mereka emas terurai atau naqad yang
rendah mutunya. Lalu mereka mengongkosi orang-orang yang bekerja di tempat
penempaan itu, untuk menghancurkan dan mencapkannya untuk menjadi uang. Dan
mereka mengambil kembali seperti timbangan yang telah diserahkannya kepada
orang-orang di tempat penempaan itu. Kecuali sedikit saja yang ditinggalkannya
sebagai upah bagi mereka terhadap pekerjannya. Dan itu, adalah diperbolehkan.
Dan kalau diumpamakan segala dinar yang ditempa itu dari dinar sultan, maka
dibandingkan kepada harta kaum saudagar bukanlah mustahil adalah sedikit
sekali. Ya, sultan itu berbuat zalim terhadap orang-orang yang mengambil upah
bekerja pada tempat penempaan uang, dengan mengambil pajak dari mereka. Karena
ia mengkhususkan para pekerja itu dengan pajak tersebut, diantara orang-orang
lain. Sehingga terkumpullah harta itu diatas pundak mereka, disebabkan tindakan
yang menyakitkan dari sultan. Maka apa yang diambil oleh sultan, adalah sebagai
gantinya (‘iwadl) dari tindakannya yang menyakitkan. Dan itu, adalah termasuk
pintu kezaliman. Dan adalah sedikit dibandingkan kepada apa yang dikeluarkan
sebagai hasil kerja –dari tempat penempaan uang itu. Maka tidaklah diserahkan
untuk pemilik tempat penempaan uang dan untuk sultan, dari jumlah yang
dikeluarkan dari tempat itu, dari 100: 1. Dan itu, adalah 1/100. Maka
bagaimanakah ada itu yang lebih banyak ? inilah kesalahan-kesalahan, yang
mendahului kepada hati dengan sangkaan-sangkaan. Dan selalu dihiaskan oleh
segolongan orang-orang yang tipis rasa keagamaannya, sehingga mereka itu
melecehkan: wara’(menjaga diri) dan menutup pintunya. Dan mereka menjelekkan
pembedaan orang yang membedakan antara harta yang satu dengan harta yang lain.
Dan itulah bid’ah (yang diada-adakan) dan kesesatan yang sebenarnya. Kalau ada
yang mengatakan: bahwa kalau diumpamakan haram yang lebih banyak dan telah
bercampur yang tidak terhinggakan dengan yang tidak terhinggakan, maka apakah
yang akan tuan-tuan katakan tentang itu, apabila tak ada pada benda yang
dipegang itu, suatu benda tertentu ? Maka kami menjawab: bahwa menurut pendapat
kami, meninggalkannya adalah wara’ dan
mengambilkannya tidaklah haram. Karena asalnya adalah halal. Dan halal itu
tidaklah dikesampingkan, kecuali dengan suatu tanda yang tertentu, seperti pada
debu tanah jalan-jalan besar dan yang seumpama dengan itu. Bahkan lebih lagi.
Dan aku mengatakan: kalau meratalah haram itu ke seluruh dunia, sehingga
diketahui dengan yakin, tak ada lagi halal di dunia, maka aku berkata: niscaya
kita ulangi membuat syarat-syarat baru dari waktu kita sekarang ini dan kita
maafkan apa yang telah lalu. Seraya kita mengatakan: “Apa yang telah melampaui
batasnya, niscaya terbaliklah kepada lawannya. Maka manakala haram semua,
niscaya halallah semua. Buktinya: apabila peristiwa ini terjadi, maka
kemungkinan adalah 5:
1.
Bahwa dikatakan: manusia itu meninggalkan makan, sehingga
matilah semuanya, sampai orang yang terakhir.
2.
Bahwa mereka mengurangkan makan, sekedar darurat saja dan
menyumbat nyawa keluar. Maka berlari-lari diatas yang darurat itu, dalam
beberapa hari kepada kematian.
3.
Bahwa dikatakan: mereka itu memperoleh sekedar yang perlu,
dengan cara bagaimanapun yang mereka kehendaki, dengan mencuri, merampok dan
suka sama suka, tanpa memperbedakan diantara harta yang satu dengan harta
lainnya dan diantara segi yang satu dengan segi lainnya.
4.
Bahwa mereka itu mengikuti syarat-syarat agama dan mengulangi
kembali kaedah-kaedahnya, tanpa menyingkatkan kepada sekedar yang perlu saja.
5.
Bahwa menyingkatkan beserta syarat-syarat agama itu, sekedar
yang diperlukan.
Adapun yang pertama tadi, maka tidaklah
tersembunyi tentang kebatalannya.
Adapun yang kedua, maka sudah pasti
batil/salah. Karena, apabila manusia menyingkatkan kepada sekedar menyumbat
nyawa jangan keluar saja dan mereka berlari-larian dengan segala waktunya
kepada kelemahan, niscaya berkembanglah kematian pada mereka. Hancurlah segala
perbuatan dan perusahaan. Dan robohlah dunia keseluruhannya. Dan dalam
kerobohan dunia itu adalah kerobohan agama. Karena dunia itu adalah tempat
bercocok tanam untuk akhirat, untuk segala hukum pemerintahan, kehakiman dan
siasat. Bahkan kebanyakan hukum fiqh, maksudnya adalah memelihara kepentingan
dunia. Supaya sempurnalah kepentingan agama dengan demikian.
Adapun yang ketiga, yaitu:
menyingkatkan sekedar perlu saja, tanpa berlebih daripadanya, serta menyamakan
diantara harta yang satu dengan harta lainnya, dengan perampokan, pencurian dan
kerelaan satu sama lain. Dan bagaimanakah sesuai ? yaitu: berbuat untuk
memenuhi permintaan agama, diantara orang-orang yang berbuat kerusakan dan
diantara berbagai macam kerusakan. Lalu memanjangkan tangan dengan perampokan,
pencurian dan berbagai macam kezaliman. Dan tidak mungkin menghardik mereka
daripadanya, karena mereka mengatakan: “Tidaklah berbeda yang mempunyai tangan
dengan berhak, dari kami. Karena barang itu haram kepadanya dan kepada kami.
Dan yang mempunyai tangan dengan berhak itu, adalah sekedar perlu saja. Kalau
ia memerlukan, maka kami juga memerlukan. Dan yang engkau ambil pada hakku,
melebihi dari yang diperlukan. Maka sesungguhnya engkau mencuri dari orang,
dimana barang itu berlebih dari keperluannya pada hari itu”. Dan apabila tidak
dijaga keperluan hari ini dan tahun ini, maka apakah yang akan dijaga ? dan
bagaimanakah menentukannya ? dan ini membawa kepada kebatalan siasat agama dan
mendorong pembuat kerusakan dengan kerusakannya. Maka tidaklah tinggal lagi,
selain dari kemungkinan yang
keempat. Yaitu: bahwa
dikatakan: “Tiap-tiap yang mempunyai kekuasaan terhadap apa yang dalam
tangannya, maka dialah yang lebih utama dengan yang dalam tangannya itu”. Tidak
dibolehkan mengambil daripadanya dengan curian dan rampokan. Tetapi diambil
dengan persetujuannya. Dan rela-merelakan itu adalah jalan agama. Dan apabila
tidak diperbolehkan, selain dengan rela-merelakan, maka untuk rela-merelakan
itu pula, mempunyai cara dalam agama, yang bersangkutan padanya, segala
kemuslihatan. Kalau itu tidak diperhatikan, maka tidaklah tertentu pokok
rela-merelakan itu dan kosonglah penguraian nya.
Adapun kemungkinan yang kelima, yaitu:
menyingkatkan sekedar yang diperlukan, serta berusaha menurut jalan agama, dari
orang-orang yang menguasai barang-barang itu. Maka itulah yang kami pandang
layak disebutkan: wara’(menjaga diri), bagi orang yang menghendaki perjalanan
ke jalan akhirat. Tetapi tiada cara untuk mewajibkannya secara keseluruhan. Dan
tidak pula untuk memasukkannya dalam fatwa orang banyak. Karena tangan-tangan
zalim memanjang kepada kelebihan dari sekedar yang diperlukan dalam tangan-tangan
manusia lain. Dan begitu pula tangan-tangan pencuri. Dan tiap-tiap orang yang
menang, niscaya merampas. Dan tiap-tiap yang memperoleh kesempatan niscaya
mencuri. Dan mengatakan: “Tak ada hak baginya, selain sekedar yang diperlukan.
Dan aku memerlukan”. Dan tidak ada caranya yang tinggal, selain wajiblah atas
sultan (penguasa) mengeluarkan segala yang berlebih dari sekedar yang
diperlukan, dari tangan-tangan pemiliknya. Dan diperlengkapkan dengan
barang-barang itu kepada yang memerlukan. Dan mengalirlah harta-harta itu
kepada semua, dari hari ke hari atau dari tahun ke tahun. Dan padanya
memberatkan yang berlebih-lebihan dan menyia-nyiakan harta.
Adapun memberatkan yang berlebih-lebihan,
ialah, bahwa sultan (penguasa) itu tidak sanggup menegakkan dengan yang
tersebut, serta banyaknya manusia. Bahkan tidaklah tergambar sekali-kali yang
demikian. Adapun menyia-nyiakan harta, yaitu: apa yang berlebih dari keperluan,
dari buah-buahan, daging dan biji-bijian itu, sewajarnyalah dilemparkan ke laut
atau ditinggalkan sehingga membusuk. Karena yang dijadikan oleh Allah dari
buah-buahan dan biji-bijian, adalah berlebih dari jumlah yang memuaskan dan
menyenangkan makhluk. Maka bagaimanakah atas sekedar keperluan mereka itu saja
? Kemudian yang demikian itu membawa kepada gugurnya kewajiban hajji, zakat,
kafarat-kafarat (penebus) kehartaan dan segala ibadah yang mempunyai sangkutan
dengan kekayaan manusia, apabila manusia itu menjadi tidak memiliki, selain
sekedar keperluan mereka. Dan itu, adalah amat buruk sekali. Bahkan aku
mengatakan, jikalau sekiranya datanglah seorang nabi pada zaman seperti
sekarang ini, niscaya wajiblah atasnya mengulangi persoalan dan menyediakan
penguraian sebab-sebab milik dengan rela-merelakan dan dengan jalan-jalan yang
lain. Dan diperbuatnyalah apa yang akan diperbuatnya, jikalau diperolehnya
semua harta itu halal, tanpa ada perbedaannya. Dan aku maksudkan dengan kataku:
wajib atasnya, ialah: apabila nabi itu termasuk orang yang diutus untuk
kemuslihatan manusia mengenai agama dan dunia mereka. Karena tiada sempurnalah
perbaikan, dengan mengembalikan umumnya manusia kepada sekedar darurat dan
keperluan saja. Kalau Nabi itu tidak diutus untuk perbaikan, maka tidaklah
wajib yang tersebut tadi. Dan kita memandang jaiz (bukan wajib dan bukan mustahil),
bahwa Allah Ta’ala mentaqdirkan suatu sebab, yang membinasakan dengan sebab
tersebut segala makhluk, sampai ke penghabisan mereka. Maka lenyaplah dunia
mereka dan sesatlah mereka pada keagamaannya. Sesungguhnya
Allah Ta’ala menyesatkan siapa yang dikehendakiNya dan menunjukkan siapa yang
dikehendakiNya, mematikan siapa yang dikehendakiNya dan menghidupkan siapa yang
dikehendakiNya. Tetapi kita mengumpamakan keadaan yang berlaku
menurut yang terbiasa dari sunnah Allah Ta’ala dalam mengutuskan nabi-nabi,
untuk perbaikan agama dan dunia. Dan tidaklah aku mengumpamakan itu dan telah
ada yang tidak aku umpamakan. Maka sesungguhnya Allah telah mengutuskan Nabi
kita saw pada waktu kekosongan dari rasul-rasul.
Dan adalah agama Isa as telah berlalu
mendekati 600 tahun. Dan manusia terbagi kepada yang mendustakannya, dari
Yahudi dan penyembah-penyembah berhala dan kepada yang membenarkannya. Dan
fisiq telah berkembang diantara mereka, sebagaimana telah berkembang pada masa
kita sekarang. Dan orang-orang kafir itu, dihadapkan dengan cabang-cabang
agama. dan harta-harta itu, berada dalam tangan orang-orang yang mendustakan
dan yang membenarkannya. Adapun orang-orang yang mendustakannya, maka mereka
itu adalah melakukan mu’amalah (perniagaan) dengan bukan agama Isa as. Adapun
orang-orang yang membenarkannya, mereka itu memandang enteng serta pokok
pembenaran itu, sebagaimana sekarang kaum muslimin memandang enteng. Sedang
masa dengan kenabian itu masih dekat sekali. Sehingga harta itu semuanya atau
yang terbanyak daripadanya atau yang kebanyakan daripadanya itu adalah haram.
Dan Nabi saw telah memaafkan dari apa yang telah berlalu dan tidak menyinggung-nyinggungnya.
Beliau menentukan pemegang-pemegangnya dengan harta-harta itu dan beliau
menyediakan agama untuk yang dimaksud. Dan apa yang telah tetap pengharamannya
dalam agama, maka tidaklah bertukar menjadi halal, karena dibangkitkan rasul.
Dan tidak bertukar menjadi halal, dengan menyerahkan yang dalam tangannya itu
yang haram. Kita tidak mengambil untuk pajak dari orang dzimmi, akan apa yang
kita ketahui bendanya itu, adalah harga khamar atau harta riba. Dan adalah
harta mereka pada masa itu, seperti harta kita pada masa sekarang. Dan keadaan
orang Arab, adalah lebih keras lagi. Karena meratanya perampokan dan penggarongan
dalam kalangan mereka.
Maka nyatalah, bahwa kemungkinan yang
keempat adalah ditentukan dalam fatwa. Dan kemungkinan yang kelima, adalah
jalan menjaga diri. Bahkan kesempurnaan menjaga diri itu, terbatas pada yang
dibolehkan/mubah, menurut sekedar yang diperlukan. Dan meninggalkan
berlapang-lapang dalam dunia secara keseluruhan nya. Dan itu, adalah jalan
akhirat. Dan kita sekarang memperkatakan tentang fiqh yang berhubungan dengan
kepentingan makhluk. Dan fatwa secara yang zahir, mempunyai hukum dan cara,
menurut yang dikehendaki oleh kepentingan. Dan jalan agama yang tidak akan
mampu menjalaninya, kecuali beberapa pribadi-pribadi. Jikalau semua makhluk
mencempelungkan diri dengan itu, niscaya rusaklah peraturan dan hancurlah
dunia. Karena yang demikian itu, adalah tuntutan kerajaan besar di akhirat.
Jikalau semua makhluk melaksanakan tuntutan kerajaan dunia dan meninggalkan
segala pekerjaan yang hina dan perusahaan yang rendah, niscaya rusaklah
peraturan. Kemudian rusak pula kerajaan itu, dengan rusaknya peraturan tadi.
Maka pekerja-pekerja itu, sesungguhnya menyerahkan tenaganya, adalah supaya
tersusunlah kerajaan bagi raja-raja. Dan begitu pula orang-orang yang menghadap
ke dunia, menyerahkan tenaganya, supaya selamatlah jalan agama bagi orang-orang
agama. yaitu: kerajaan akhirat. Kalau tidaklah yang demikian, niscaya tidaklah
pula selamat agama mereka, untuk orang-orang agama itu. Maka syarat keselamatan
agama bagi mereka, ialah supaya kebanyakan mereka berpaling dari jalannya dan
bekerja melaksanakan segala urusan dunia. Dan itu adalah bahagian yang telah
dahulu kehendak azali ( tida kesudahan /permulaan ) dengan dia. Dan kepada itulah,
isyarat dengan firman Allah Ta’ala: “Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan
diantara mereka dalam kehidupan di dunia ini dan Kami tinggikan sebahagiannya
dari yang lain beberapa tingkatan, supaya sebahagiannya dapat bekerja untuk
yang lain”. S Az Zukhruuf ayat 32.
Kalau orang mengatakan: tidak memerlukan
kepada mentakdirkan meratanya pengharaman, sehingga tidak ada lagi yang halal,
karena yang demikian itu tidak pernah terjadi. Dan itu sama-sama telah
dimaklumi. Dan tidak ragu lagi, bahwa sebahagian itu yang haram. Dan yang
sebahagian itu, adalah yang tersedikit atau terbanyak, dimana padanya itu
mendapat perhatian. Dan apa yang kamu sebutkan, bahwa yang diharamkan itu,
adalah yang tersedikit, dibandingkan kepada semua, itu adalah jelas. Tetapi, tak
boleh tidak daripada dalil, yang menghasilkan kepada pembolehannya, yang tidak
termasuk, sebahagian dari kemuslihatan pelanjutan (al-mashaalihil-mursalah).
Dan apa yang kamu sebutkan dari pembahagian itu seluruhnya, adalah: kepentingan
pelanjutan. Maka tak boleh tidak baginya, dari dalil yang menentukan, dimana
kepentingan pelanjutan itu, dilogikakan kepada dalil tersebut. Sehingga dalil
itu diterima dengan kesepakatan (ittifaq). Karena sebahagian ulama tidak
menerima: kepentingan pelanjutan itu. Maka aku menjawab: kalau diterima bahwa
yang haram itu, adalah yang tersedikit maka memadailah bagi kita, masa
Rasulullah saw dan para sahabat, menjadi dalil, serta adanya riba, pencurian,
pengambilan harta orang secara diam-diam dan penggarongan. Dan kalau diumpamakan,
ada suatu masa, dimana yang terbanyak, ialah yang haram, maka halal juga
memperolehnya. Dalilnya, adalah 3 perkara:
Dalil pertama: pembahagian yang
telah kita bataskan itu dan telah kita batalkan daripadanya: 4 dan kita
tetapkan: bahagian kelima. Maka yang demikian itu, apabila berlaku, mengenai
apabila seluruhnya itu haram, niscaya adalah lebih layak, apabila yang haram
itu terbanyak atau tersedikit. Dan perkataan dari orang yang mengatakan: itu
adalah kepentingan pelanjutan, adalah kelemahan pikiran. Karena yang demikian
itu sesungguhnya ia berkhayal dari khayalan nya tentang hal-hal yang penuh
sangkaan belaka. Dan ini adalah diyakini yang demikian. Dan kami tidaklah ragu,
bahwa kemuslihatan agama dan dunia, adalah kehendak agama. Dan itu dimaklumi
dengan mudah dan tidak dengan sangkaan-sangkaan. Dan tidak syak (ragu) lagi,
bahwa mengembalikan seluruh manusia kepada sekedar diperlukan atau kepada
rumput dan binatang buruan, adalah pertama-tama merobohkan dunia. Dan kedua,
dengan perantaraan dunia, merobohkan agama. Maka apa yang tidak diragukan,
tidaklah memerlukan kepada asal yang membuktikan kepadanya. Dan yang
disaksikan, ialah atas khayalan-khayalan yang penuh dengan sangkaan, yang
berhubungan dengan perseorang-perseorangan dari orang-orang.
Dalil kedua: bahwa diberikan
alasan, dengan logika yang menguraikan, yang mengembalikan kepada pokok, dimana
para ahli fiqh yang menyukai dengan: logika sebahagian (qias juz-i)
menyetujuinya. Dan kalau bahagian-bahagian (aljuz-iyat) itu dipandang tidak
berarti, pada orang-orang yang memperboleh kannya, dibandingkan kepada contoh
yang telah kami sebutkan dahulu dari hal keseluruhan, yang menjadi pentingnya
nabi, kalau sekiranya diutuskan pada zaman, dimana haram telah merata padanya.
Sehingga jikalau dijalankan hukum yang lain, niscaya robohlah dunia.
Qias/logika yang menguraikan yang bersifat bahagian, yaitu: telah bertentangan
pokok dan yang biasa (ghalib), mengenai yang terputus padanya tanda-tanda yang
menentukan, dari hal-hal yang tidak terbataskan. Maka dihukumkanlah dengan yang
pokok, tidak dengan: yang biasa (ghalib). Karena mengiaskan kepada debu jalan,
kendi wanita Nasrani dan bejana orang-orang musyrik. Dan yang demikian itu,
telah kita buktikan dahulu dengan perbuatan para sahabat. Dan kata kami: terputus
tanda-tanda yang menentukan, adalah menjaga dari bejana-bejana yang dijalankan
mengeluarkan pendapat kepadanya. Dan kata kami: tidak terbataskan, adalah
menjaga diri keserupaan: bangkai dan wanita susuan dengan yang disembelih dan
wanita asing yang boleh dikawini (ajnabiah).
Kalau orang mengatakan: adanya air itu
suci-menyucikan, adalah diyakini. Dan itu adalah asalnya (pokoknya). Dan
siapakah menerima, bahwa asal pada segala harta itu: halal ? Tetapi asal pada
harta itu, ialah pengharaman. Maka kami menjawab: bahwa segala keadaan yang
tidak diharamkan karena sesuatu sifat pada zatnya, sebagaimana haramnya khamar
dan babi, maka dijadikanlah kepada suatu sifat, yang tersedia untuk menerima
mu’amalah (perniagaan) dengan rela-merelakan, sebagaimana dijadikan air
tersedia untuk wudlu’. Dan sesungguhnya telah terjadi syak (ragu) mengenai
batalnya persediaan itu pada khamar dan babi. Maka tak adalah perbedaan antara
kedua keadaan itu. Karena dia keluar daripada menerima perniagaan dengan
rela-merelakan, disebabkan masuknya kezaliman kepadanya. Sebagaimana keluarnya
air daripada menerima wudlu’, disebabkan masuknya najis kepadanya. Dan tak
adalah perbedaan diantara kedua keadaan itu. Penjawaban kedua, bahwa tangan,
adalah bukti yang terang, yang menunjukkan kepada milik, yang berkedudukan
seperti kedudukan: istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah). Dan malah
lebih kuat dari istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), dengan dalil,
bahwa agama menghubung kan milik itu dengan istishab. Karena barangsiapa
terdakwa bahwa ia berhutang, maka yang didengar, ialah perkataan yang terdakwa
itu. Karena pada asalnya, ia terlepas dari beban penghutangan itu. Dan ini,
adalah istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), ! Dan barangsiapa menjadi terdakwa bahwa ada
milik orang dalam tangannya, maka suara yang didengar disini juga adalah
suaranya, karena menempatkan tangan itu, pada tempat istishab (menyertakan
hukum kepada yang sudah). Sehingga apa saja yang terdapat pada tangan seseorang
manusia, maka yang pokok/asal adalah kepunyaannya, selama belum ada dalil yang
menunjuk kan sebaliknya dengaan tanda-tanda yang tertentu.
Dalil ketiga: bahwa tiap-tiap
sesuatu yang menunjukkan kepada jenis yang tidak terhinggakan dan tidak
menunjukkan kepada suatu yang tertentu, niscaya tidak diperhatikan, walaupun
dia itu dipastikan. Maka untuk tidak diperhatikan apabila menunjukkan dengan
jalan sangkaan, adalah lebih-lebih lagi. Penjelasannya: bahwa sesuatu yang
diketahui, bahwa itu kepunyaan si Zaid, maka adalah haknya melarang orang
berbuat sesuatu pada miliknya itu, dengan tidak seizinnya. Jikalau diketahui,
maka benda itu ada pemiliknya di dunia, tetapi terjadilah putus harapan untuk
mengetahui pemilik itu dan ahli warisnya, maka adalah itu menjadi harta yang
diuntukkan bagi kemuslihatan kaum muslimin, dimana boleh dilaksanakan
pengurusan padanya, dengan memandang kepada hukum kepentingan umum. Kalau ada
yang menunjukkan, bahwa barang itu mempunyai pemilik yang terbatas pada 10
orang umpamanya atau 20, niscaya terlaranglah melaksanakan urusan pada barang
itu dengan menggunakan: hukum kepentingan umum. Maka yang diragukan: tentang
adakah barang itu mempunyai pemilik lain, selain yang memegangnya atau tidak,
tidaklah melebihi dari yang telah diyakini dengan pasti, bahwa barang itu mempunyai
pemilik, tetapi tidak dikenal dirinya pemilik itu. Maka hendaklah diperbolehkan
melakukan urusan pada barang itu untuk kepentingan umum. Dan kepentingan umum
itu, ialah apa yang telah kami sebutkan dahulu pada bahagian yang lima. Maka
adalah asal itu menjadi saksi baginya. Betapa tidak ! tiap-tiap harta yang
hilang, yang ketiadaan pemiliknya, maka dipergunakan oleh sultan kepada
kepentingan umum. Dan setengah dari kepentingan umum itu, ialah untuk
orang-orang miskin dan lainnya. Maka kalau diserahkan untuk menggunakannya
kepada seorang miskin, niscaya barang tersebut menjadi milik dari orang miskin
itu. Dan berlakulah penggunaannya pada barang itu. Kalau ada yang mencuri
barang tersebut dari si miskin tadi, niscaya tangan si pencuri itu dihukum potong.
Maka bagaimanakah berlaku urusan itu pada milik orang lain, tentu tidaklah yang
demikian itu, selain karena kita telah menetapkan, bahwa kepentingan umum
menghendaki, untuk berpindahnya hak milik kepada si miskin tersebut dan
halallah barang itu baginya. Maka kita telah menghukumkan dengan apa yang
diwajibkan oleh kepentingan umum itu. Kalau orang mengatakan: “Itu adalah
tertentu dengan pengurusan, dimana padanya sultan (penguasa)”. Maka kami
menjawab, bahwa sultan, tidak diperbolehkan baginya pengurusan mengenai milik
orang lain, dengan tidak seizinnya, dimana tidak ada sebab bagi sultan untuk
mengurusinya, selain dari kepentingan umum. Yaitu: kalau barang itu
ditinggalkan begitu saja, niscaya hilang. Maka barang itu bolak-balik, antara
disia-siakan dan diserahkan kepada suatu kepentingan. Dan menyerahkan kepada
sesuatu kepentingan, adalah lebih mengandung kemuslihatan daripada
menyia-nyiakan. Maka kembalilah tanggung jawabnya ke pundak sultan.
Dan kemuslihatan tentang sesuatu yang
diragukan padanya dan tidak diketahui pengharamannya, ialah ditetapkan pada
sesuatu itu dengan penunjuk kan tangan (yang memegang barang tersebut). Dan
dibiarkan atas tanggung jawab yang mempunyai tangan kekuasaan padanya. Karena
mencabut dari tangan kekuasaan yang memegangnya, dengan alasan syak-wasangka
dan memberatkan mereka menggunakan sekedar yang perlu saja, adalah membawa
kepada kemelaratan yang telah kami sebutkan dahulu. Segi-segi kemuslihatan umum
itu berlain-lainan. Karena sultan itu sekali memandang, bahwa kemuslihatan itu
meminta supaya ia membangun dengan harta itu jembatan. Sekali meminta supaya ia
menyerahkan harta itu kepada tentara Islam. Dan sekali meminta supaya ia
menyerahkan kepada fakir miskin. Dan berkisarlah ia bersama kemuslihatan umum
itu, sebagaimana kemuslihatan itu sendiri berkisar.
Dan begitu pula fatwa tentang hal yang
seperti ini, berkisar menurut kemuslihatan. Dan dikeluarkan dari ini, bahwa
orang tidak disiksa tentang benda-benda harta dengan sangkaan-sangkaan, yang
tidak bersandarkan kepada dalil khusus tentang pemilikan benda-benda itu.
Sebagaimana tidak dipersalahkan raja dan orang-orang miskin yang mengambil
harta itu daripadanya, dengan tahunya mereka, bahwa harta itu mempunyai
pemilik, dimana pengetahuan itu tidak sampai untuk mengetahui pribadi pemilik
yang dimaksud. Dan tak ada bedanya antara diri pemilik itu sendiri, dengan
barang-barang yang dimiliki dalam pengertian tersebut. Maka ini adalah
penjelasan syubhat (diragukan) percampuran. Dan tak ada lagi, kecuali
memperhatikan tentang percampuran benda-benda cair, dirham-dirham dan
benda-benda lain pada tangan seorang pemilik. Dan akan datang penjelasannya
pada “Bab Penguraian jalan keluarga dari kezaliman”.
PERKEMBANGAN
KETIGA: bagi syubhat (diragukan), bahwa bersambung kema’siatan dengan sebab
yang menghalalkan.
Adakalanya, pada tanda-tandanya. Adakalanya, pada yang menyambunginya.
Adakalanya pada yang mendahuluinya atau pada penggantinya. Dan ma’siat itu,
termasuk ma’siat yang tidak mengharuskan rusak ‘aqad (ikatan perjanjian) dan
membatalkan sebab yang menghalalkan. Contoh ma’siat tentang tanda-tanda yang
menunjukkan, ialah: berjual-beli pada waktu seruan (adzan) pada hari Jum’at,
menyembelih dengan pisau rampokan, memotong kayu bakar dengan kapak rampokan,
menjual diatas penjualan orang lain dan menawar diatas tawaran orang lain.
Semua itu adalah larangan yang datang pada ‘aqad dan tidak menunjukkan kepada
batal ‘aqad. Maka mencegah dari semua itu, adalah wara’, walaupun yang
diperoleh dengan sebab-sebab tadi, tidak dihukum dengan haramnya. Dan menamakan
yang semacam tersebut tadi dengan syubhat (diragukan), adalah secara tidak
diperkirakan benar (secara tasamuh).
Karena syubhat (diragukan) itu pada
biasanya ditujukan untuk kehendak keserupaan dan kebodohan. Dan tidak ada
keserupaan disini. Tetapi kema’siatan penyembelihan dengan pisau orang lain,
adalah sama-sama dimaklumi. Dan halalnya penyembelihan itu juga sama-sama
dimaklumi. Tetapi kadang-kadang diambil kata-kata: syubhat (diragukan) itu
dari: musyabahah (serupa menyerupakan). Dan memperoleh hasil dari hal-hal yang
tersebut itu, adalah makruh. Dan kemakruhan itu menyerupakan dengan:
pengharaman (tahrim). Kalau dimaksudkan dengan syubhat (diragukan), yang itu
tadi, maka penamaannya dengan syubhat (diragukan), adalah mempunyai dasar. Dan
kalau tidak demikian, maka seyogyalah dinamakan saja dengan: makruh (kirahah),
bukan syubhat (diragukan). Dan apabila maksudnya telah diketahui, maka tiadalah
perselisihan lagi, tentang: namanya. Karena adat kebiasaan ahli fiqh
(Al-Fuqaha’), ialah tidak memperhitungkan benar, tentang: penamaan-penamaan
(al-ithlaqat).
Kemudian, ketahuilah, bahwa kemakruhan itu
mempunyai 3 tingkat. Yang pertama daripadanya, mendekati kepada yang haram. Dan
wara’ daripadanya, adalah penting. Dan yang penghabisan daripadanya,
berpenghabisan kepada semacam yang bersangatan, yang hampir-hampir menghubungi
dengan: wara’ orang-orang waswas. Dan diantara yang dua itu, adalah
tengah-tengah yang menarik kepada dua tepi tadi. Maka kemakruhan memakan
binatang buruan dari anjing rampokan, adalah lebih berat dari hewan sembelihan
dengan pisau rampokan. Atau yang ditangkap dengan panah rampokan. Karena anjing
itu mempunyai usaha. Dan berbeda pendapat ulama, mengenai yang diperoleh anjing
buruan itu, untuk pemilik anjing atau untuk pemburu yang memakai anjing
rampokan tadi. Dan menyambung dengan itu, kesyubhatan (keraguan) bibit yang
ditanam pada tanah rampokan. Karena tanaman itu, adalah untuk pemilik bibit.
Tetapi padanya, terdapat syubhat (diragukan). Kalau kita akui, hak menahan bagi
pemilik tanah, pada tanaman itu, niscaya adalah seperti harga yang haram.
Tetapi yang lebih sesuai menurut logika, bahwa tidak diakui hak menahan itu,
seperti jikalau ia menumbuk pada tempat tumbukan tepung rampokan dan menangkap
burung dengan jaring rampokan. Karena tiada bersangkutan hak pemilik jaring
pada kegunaannya dengan pemburuan. Dan diiringi yang tadi, oleh memotong kayu
api dengan kapak rampokan. Kemudian penyembelihan kepunyaannya sendiri dengan
pisau rampokan. Karena tiada seorangpun beraliran, kepada mengharamkan
sembelihan itu. Dan diiringi oleh berjual-beli pada waktu adzan hari Jum’at.
Karena ini, adalah lemah sangkutannya dengan maksud dari ‘aqad, walaupun
segolongan ulama berpendapat, batal ‘aqadnya. Karena tak ada padanya, kecuali
orang itu sibuk dengan berjual-beli, meninggalkan kewajiban lain yang menjadi
tugasnya. Kalau penjualan itu batal dengan seperti ini, niscaya batallah
jual-beli semua orang, yang ada padanya dirham zakat atau shalat qodo, yang
wajib dilaksanakan dengan segera. Atau dalam tanggungannya sebuah daniq (1/6
dirham) kezaliman. Karena kesibukannya dengan berjual-beli, mencegahnya dari
menunaikan kewajiban. Maka tidak adalah bagi Jum’at, selain dari wajibnya
sesudah adzan (seruan). Dan yang demikian itu, menarik kepada tidak sahnya
perkawinan anak-anak orang zalim dan tiap-tiap orang, yang ada dalam tanggungannya
(dzimmahnya) sedirham. Karena ia sibuk dengan perkataannya, daripada perbuatan
yang menjadi kewajibannya. Kecuali dari segi datangnya larangan secara khusus
pada hari Jum’at itu, yang kadang-kadang mendahului kepada pemahaman, akan
sesuatu keistimewaan pada hari Jum’at. Sehingga kemakruhan itu menjadi lebih
berat. Dan tidak mengapa dengan memberi peringatan kepadanya. Tetapi,
kadang-kadang menghela kepada waswas. Sehingga ia mempersempitkan daripada
perkawinan anak-anak perempuan orang-orang zalim dan mu’amalah-mu’amalah
(perniagaan-perniagaan) mereka yang lain.
Diceritakan dari sebahagian mereka, bahwa
ia membeli sesuatu dan seorang laki-laki. Lalu ia mendengar kemudian, bahwa
laki-laki tersebut membelinya dahulu pada hari Jum’at. Maka dikembalikannya
barang tersebut, karena takut adanya barang itu, dari apa yang dibelinya pada
waktu adzan. Ini, adalah terlalu bersangatan. Karena ia mengembalikan dengan
ragu. Sangkaan yang seperti ini tentang penilaian larangan-larangan atau yang
batal-batal, tidaklah terputus pada hari Sabtu dan hari-hari yang lain juga.
Dan wara’(menjaga diri) itu, adalah baik. Dan
bersangkutan padanya, adalah lebih baik. Tetapi sampai kepada batas
yang dimaklumi. Nabi saw bersabda: “Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan
pada memilih nafsunya”. Maka hendaklah menjaga diri dari berlebih-lebihan yang
seperti itu. Karena, walaupun tidak mendatangkan kemelaratan kepada orang yang
bersifat demikian, tetapi mungkin mendatangkan persangkaan kepada orang lain,
bahwa keadaan yang seperti itu, adalah penting. Kemudian, ia sendiri lemah dari
keadaan yang lebih mudah dari itu. Maka ia meninggalkan: pokok menjaga diri.
Dan itu, adalah tempat sandaran kebanyakan manusia pada zaman kita ini. Karena
telah sempit jalan kepada mereka. Lalu mereka putus asa daripada melaksanakan
nya. Maka mereka mencampakkannya yang tersebut itu ! Maka sebagaimana orang
yang waswas pada bersuci, kadang-kadang ia lemah dari bersuci, lalu
ditinggalkannya. Maka seperti itu pula setengah orang-orang yang waswas tentang
yang halal, yang menerobos kepada sangkaan nya, bahwa harta dunia semuanya itu
haram. Lalu mereka berlapang-lapang tentang itu. Maka mereka meninggalkan
pembedaan. Dan itu, adalah kesesatan sebenarnya.
Adapun contoh pada yang menyambunginya,
yaitu: tiap-tiap pengurusan yang membawa dalam alunannya kepada kema’siatan.
Yang paling tinggi daripadanya, ialah: menjual buah anggur kepada pembuat
khamar, menjual budak kepada orang yang terkenal kejam kepada budak-budaknya
dan menjual pedang kepada penyamun. Dan berbeda pendapat para ulama tentang
sahnya yang demikian dan tentang halalnya harga yang diperoleh daripadanya. Dan
lebih sesuai dengan logika, bahwa yang demikian itu shah dan uang yang
diperoleh daripadanya halal. Hanya orang itu berbuat ma’siat dengan ‘aqadnya,
sebagaimana ia ma’siat menyembelih dengan pisau rampokan, sedang hewan
sembelihannya adalah halal. Tetapi ia ma’siat, sebagaimana ma’siatnya memberi
pertolongan kepada perbuatan yang ma’siat. Karena tiada sangkutnya perbuatan
tersebut dengan ‘aqad itu sendiri. Maka yang diperoleh daripadanya, adalah
makruh, sebagai kemakruhan yang bersangatan. Dan tidaklah ia itu haram. Dan
diiringi yang tadi pada tingkatan, oleh menjual buah anggur kepada orang yang
meminum khamar dan ia bukan pembuat khamar. Dan menjual pedang kepada orang
yang berperang dan juga berbuat zalim. Karena kemungkinan itu telah
bertentangan.
Orang-orang terdahulu (salaf) memandang
makruh penjualan pedang pada waktu kekacauan, karena ditakuti akan dibeli orang
zalim. Maka ini adalah: menjaga diri, diatas yang pertama tadi. Dan kemakruhan
padanya, adalah lebih ringan. Dan diiringi oleh yang lebih bersangatan lagi dan
hampir menghubungi dengan waswas. Yaitu: kata suatu golongan, bahwa tidak
diperbolehkan bermu’amalah (perniagaan) dengan kaum tani, dengan menjual
alat-alat pertanian. Karena mereka mendapat pertolongan dengan alat-alat
tersebut kepada membajak. Dan mereka menjual makanan yang diperolehnya kepada
orang-orang zalim. Dan tidak dijual kepada para petani itu lembu, tanah dan
alat-alat pertanian. Itu adalah menjaga diri orang-orang waswas. Karena menarik
kepada tidak dijual kepada orang tani, akan makanan. Karena ia memperoleh
kekuatan dengan makanan itu kepada bertani. Dan tidak diberi minum dari air
umum, karena yang demikian itu. Dan berkesudahan ini kepada batas
berlebih-lebihan memilik hawa nafsu yang dilarang. Dan tiap-tiap yang menuju
kepada sesuatu dengan maksud kebajikan, niscaya tidak dapat tidak, untuk
berlebih-lebihahan, kalau tidak dicela oleh ilmu yang sebenarnya. Kadang-kadang
ia tampil kepada sesuatu yang menjadi bid’ah (yang diada-adakan) dalam agama.
Supaya manusia mendapat melarat sesudahnya dengan bid’ah (yang diada-adakan)
itu. Dan ia menyangka, bahwa ia telah berbuat dengan kebajikan. Dan karena
inilah, Nabi saw bersabda: “Kelebihan orang yang berilmu terhadap orang yang
beribadah, adalah seperti kelebihanku terhadap orang laki-laki yang terendah
dari para sahabatku”. Orang-orang yang berbuat berlebih-lebihan pada nafsu itu,
adalah orang-orang yang ditakuti berada sebahagian dari orang-orang yang
dikatakan:: “Orang-orang yang terbuang saja usahanya dalam kehidupan dunia,
sedangkan mereka mengira, bahwa mereka melakukan usaha-usaha yang baik”. S 18
Al Kahfi ayat 104.
Kesimpulannya, tiada seyogyalah bagi
manusia menghabiskan waktunya dengan menjaga diri yang halus-halus, kecuali
dengan berhadapan orang yang berilmu, yang mengerti benar. Karena, apabila ia
melampaui dari apa yang digambarkan baginya dan ia berbuat dengan hatinya,
tanpa mendengar dari orang yang mengetahui, niscaya adalah yang dirusakkannya
itu, lebih banyak daripada yang diperbaikinya. Sesungguhnya diriwayatkan dari
Sa’ad bin Abi Waqqash ra, bahwa ia membakar buah anggurnya yang belum kering,
karena takut terjual anggur keringnya nanti kepada orang yaang membuat khamar.
Ini sebenarnya aku tidak mengetahui caranya, kalau tidak diketahui sebab khusus
yang mengharuskan pembakaran itu. Karena tidaklah akan dibakar buah anggur yang
belum kering dan batang kurma, oleh orang yang lebih tinggi derajat
daripadanya, dari para sahabat. Kalau bolehlah ini, niscaya bolehlah memotong
kemaluan laki-laki karena takut zina. Dan memotong lidah, karena takut
membohong. Sampai kepada yang lain-lain lagi, dari segala perbuatan yang
merusakkan. Adapun muqaddimah (pendahuluan), maka berjalanlah ma’siat kepada
muqaddimah itu, dalam 3 tingkat:
Tingkat tertinggi, yang bersangatan
makruh padanya, ialah yang masih tinggal bekasnya pada yang memperolehnya,
seperti: memakan dari daging kambing, yang diberi umpan dengan umpan rampokan.
Atau digembalakan pada tempat penggembalaan haram. Maka itu adalah ma’siat. Dan
adalah menjadi sebab untuk kekalnya ma’siat tersebut. Kadang-kadang yang
tinggal itu dari darahnya, dagingnya dan bahagian-bahagiannya dari umpan itu.
Dan menjaga diri ini, adalah penting, walaupun tidak wajib. Dan dinuqilkan yang
demikian dari segolongan salaf. Dan adalah Abu Abdillah Ath-Thusi At-Turughandi
mempunyai seekor kambing, yang dipikulnya atas tengkuknya pada tiap-tiap hari
ke tanah lapang. Dan digembalakannya disana dan ia mengerjakan shalat. Dan ia
memakan dari susunya. Maka terlengahlah ia pada suatu saat dari kambing itu,
lalu ia mengambil daun anggur pada pinggir sebuah kebun. Maka ditinggalkannya
kambing tersebut dalam kebun itu dan ia tidak memandang halal mengambilkannya
lagi.
Kalau ada yang mengatakan, bahwa telah
diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dan ‘Ubaidillah, bahwa keduanya membeli
seekor unta. Lalu membawanya ke hutan larangan. Maka unta itupun memakan rumput
disitu, sehingga gemuk. Lalu Umar ra berkata: “Apakah kamu berdua
menggembalakannya pada hutan larangan ?”. Keduanya menjawab: “Ya !”. Maka Umar
memberikan kepada keduanya separoh dari unta itu. Ini menunjukkan, bahwa Umar
berpendapat daging yang terjadi dari umpan itu, adalah bagi yang empunya umpan.
Maka sesungguhnya ini mewajibkan pengharaman. Kami menjawab: “Bukanlah seperti
yang demikian. Karena umpan itu rusak dengan dimakan. Dan daging itu adalah
kejadian baru dan bukanlah ia umpan itu sendiri. Maka tidaklah berkongsi pada
agama untuk yang empunya umpan. Tetapi Umar menagih pada keduanya itu, adalah
harga rumput. Dan berpendapat yang demikian itu, adalah seharga separoh unta.
Maka pengambilan separoh tersebut, adalah ijtihad/kesungguhan, sebagaimana
Sa’ad bin Abi Waqqash memaroh hartanya tatkala ia datang dari kufah. Dan begitu
pula Abu Hurairah ra memaroh harta karena berpendapat, bahwa semuannya itu
bukan menjadi hak yang bekerja. Dan berpendapat separoh daripadanya mencukupi
atas hak pekerjaan mereka. Dan ditentukannya dengan separoh, berdasarkan
ijtihad/kesungguhan.
Tingkat tengah, yaitu: apa yang
dinukilkan dari Bisyr bin Al-Harts, tentang ia menolak dari air minuman yang
dialirkan dalam sungai, yang digali oleh orang-orang zalim. Karena sungai itu
yang menyampaikan air kepadanya. Dan telah mendurhakai Allah dengan
penggaliannya. Dan sebahagian yang lain, menolak buah anggur, yang batangnya
disirami dengan air yang mengalir dalam sungai, yang digali dengan kezaliman.
Dan ini adalah lebih tinggi dari yang tersebut dan lebih bersangatan tentang:
menjaga diri. Yang lain menolak dari meminum dari perusahaan-perusahaan sultan
(penguasa) pada jalan-jalan. Dan yang lebih tinggi dari itu lagi, ialah
Dzin-Nun menolah makan yang halal yang disampaikan kepadanya dengan tangan
penjaga penjara. Dan ia mengatakan: “Sesungguhnya makanan itu telah sampai
kepadaku dari tangan orang zalim”. Dan derajat dari tingkat-tingkat ini,
tidaklah terhingga adanya.
Tingkat ketiga: yaitu yang
mendekat kepada waswas dan berlebih-lebihan, dimana ia menolak barang halal,
yang sampai kepadanya dengan perantaraan tangan orang yang berbuat ma’siat
kepada Allah, dengan zina atau menuduh orang berzina (al-qadzaf). Dan tidaklah
itu, seperti: kalau ia berbuat ma’siat dengan memakan yang haram. Karena yang
menyampaikan itu, kekuatannya yang diperoleh itu, dari makanan yang haram.
Sedang zina dan menuduh orang berzina, tidaklah menimbulkan kekuatan yang
memperoleh pertolongan dengan kekuatan itu untuk terbawa kepada sesuatu
perbuatan. Tetapi menolak daripada mengambil barang yang halal yang disampaikan
oleh tangan seorang kafir, adalah: waswas. Lain halnya dengan memakan yang
haram. Karena kekufuran itu tidak adalah sangkutannya dengan membawa makanan.
Dan ditarik oleh yang tersebut, kepada tidak akan diambil dari tangan orang
yang berbuat ma’siat kepada Allah, walaupun ma’siat itu cacian atau membohong. Dan itu, adalah penghabisan melewati batas dan
berlebih-lebihan. Maka hendaklah ditentukan hinggannya, akan apa
yang dikenal dari kewara’an Dzin Nun dan Bisyr, dengan kema’siatan tentang
sebab yang menyampaikan, seperti sungai dan kekuatan tangan yang diperoleh
faedahnya dengan makanan haram. Jikalau sekiranya, ia menolak minum dari kendi,
lantaran pembuat tembikar yang membuat kendi itu, telah berbuat ma’siat pada
suatu hari kepada Allah, dengan memukul orang atau memakinya, maka ini adalah:
waswas namanya. Jikalau ia menolak dari daging kambing, yang dibawa oleh orang
yang memakan yang haram, maka ini adalah lebih jauh lagi dari tangan penjaga
penjara itu. Karena makanan itu adalah dibawa oleh kekuatan penjaga penjara,
sedang kambing itu berjalan sendiri. Dan yang membawanya hanya melarang kambing
itu berjalan ke jalan lain saja. Maka ini adalah mendekati kepada waswas. Maka
perhatikanlah bagaimana kita tingkatkan setingkat-demi setingkat menerangkan
apa yang mendorong kepadanya segala hal keadaan itu. Dan ketahuilah, bahwa
semua yang tersebut tadi, adalah diluar dari fatwa ulama zahir.
Fatwa ahli fiqh itu, hanya tertentu pada
tingkat pertama yang mungkin membebankan manusia awam kepadanya. Dan jikalau
mereka berkumpul kepadanya, niscaya dunia itu tidak akan roboh. Lain halnya
kepada yang lebih dari itu, dari menjaga diri orang-orang muttaqin (artinya ia
meninggalkan sesuatu yang tak ada apa-apa padanya, karena takut kepada sesuatu
yang ada apa-apanya) dan orang-orang shalih. Dan fatwanya pada ini, ialah yang
dikatakan Nabi saw kepada Wabishah, ketika beliau bersabda: “Mintalah fatwa
pada hatimu, walaupun mereka telah memberi fatwa kepadamu, telah memberi fatwa
kepadamu dan telah memberi fatwa kepadamu !”. Dan itu diketahui, karena Nabi
saw bersabda: “Dosa itu, adalah penyakit hati”. Dan tiap-tiap yang terguris
dalam dada seorang murid dari sebab-sebab yang tersebut, maka kalau ditempuhnya
juga serta penyakit hati, niscaya ia memperoleh kemelaratan. Dan menganiaya
hatinya sekedar penyakit yang diperolehnya. Bahkan kalau ditempuhnya kepada
yang haram pada ilmu Allah, sedang ia sendiri menyangkanya halal, niscaya tidak
membekaslah yang demikian pada kekesatan hatinya. Kalau ditempuhnya sesuatu
yang halal menurut fatwa ulama zahir, tetapi ia memperoleh penyakit pada
hatinya, maka yang demikian itu mendatangkan kemelaratan kepadanya.
Sesungguhnya apa yang telah kami sebutkan
tentang larangan daripada berlebih-lebihan, adalah kami maksudkan, bahwa hati
yang bersih dan sederhana, yaitu: yang tidak memperoleh penyakit pada hal-hal
yang seperti itu. Jikalau hati yang dipenuhi dengan waswas itu, condong dari
yang ditengah-tengah dan memperoleh penyakit, lalu menempuh bersama apa yang
diperolehnya dalam hatinya, maka yang demikian itu mendatangkan kemelaratan
kepadanya. Karena dia itu terambil tentang hak dirinya, antaranya dan antara
Allah Ta’ala dengan fatwa hatinya. Dan begitu pula diperkeras kepada orang yang
waswas, mengenai bersuci dan niat shalat. Apabila mengerasi pada hatinya, bahwa
air tidak sampai kepada segala bahagian-bahagiannya, dengan 3 kali, lantaran
kerasnya waswas, maka wajiblah ia memakai air kali yang ke-4. Dan yang demikian
itu menjadi hukum terhadap dirinya, meskipun ia bersalah tentang dirinya itu. Merekalah
golongan yang bersikap keras, maka dikeraskan oleh Allah kepada mereka. Dan
karena itulah, dikeraskan kepada kaum Musa as tatkala mereka berhabis-habisan
bertanya tentang: lembu betina (al-baqarah). Jikalau mereka pada pertamanya
terus mengambil secara umum kata-kata: lembu betina dan mengambil menurut apa
yang dibawa oleh kata-kata itu, niscaya mencukupilah yang demikian kepada
mereka.
Maka janganlah anda melengahkan tentang
yang halus-halus ini, yang telah kami tolak tadi, dengan negatifnya (nafi) dan
positifnya (its-bat). Karena orang yang tidak melihat kepada hakikat/makna
perkataan dan tidak mengetahui segala yang tersimpul padanya, niscaya mungkin
akan tergelincir dalam memahami segala maksudnya.
Adapun
ma’siat tentang ‘iwadl (jual-beli atau penyerahan ada ganti) mempunyai beberapa
tingkat pula:
Tingkat tertinggi: yang sangat
dimakruhkan padanya, ialah membeli sesuatu barang dalam tanggungan penjual
(barang itu belum diserahkan). Dan membayar harganya dari rampokan atau harta
haram. Maka dalam hal ini harus diperhatikan ! kalau diserahkan kepadanya
makanan oleh penjual sebelum diterimanya harga, dengan kebaikan hati penjual,
lalu dimakannya sebelum membayar harganya maka itu adalah halal. Dan
meninggalkannya tidaklah wajib dengan Ijma’ (sepakat) ulama. Saya maksudkan: sebelum membayar
harganya. Dan tidak juga itu termasuk: menjaga diri yang dikuatkan
(al-wara’-al-muakkad). Kalau dibayarnya harga dari yang haram sesudah makan,
maka seolah-olah ia belum membayar harga itu. Dan kalau belum dibayarnya
sekali-kali, niscaya adalah ia terikat bagi kezaliman, dengan meninggalkan
tanggung jawabnya, tergadai dengan hutang. Dan tidaklah itu terbalik menjadi
haram. Kalau dibayarnya harga dari yang haram dan oleh si penjual dibebaskannya
si pembeli dari pembayaran itu, karena diketahuinya, bahwa harga itu barang
haram, maka terlepaslah tanggungan si pembeli. Dan tak ada lagi diatas pundak
si pembeli, selain dari kezaliman penggunaannya dirham haram, dengan
menyerahkannya kepada si penjual. Dan kalau si penjual membebaskan si pembeli
dari harga itu, berdasarkan sangkaan bahwa harga itu halal, maka tidaklah
terjadi pembebasan itu. Karena itu membebaskan dari apa yang diambilnya dengan
pembebasan penerimaan yang sempurna. Dan tidak pantaslah yang demikian untuk
penyempurnaan dari yang haram itu. Inilah hukumnya barang yang dibeli, memakan
daripadanya dan hukumnya tanggungan itu. Dan jikalau si penjual tidak
menyerahkan kepada si pembeli dengan baik hati, tetapi si pembeli itu sendiri
mengambilnya, maka memakannya itu haram. Sama saja dimakannya sebelum
penyempurnaan harga dari yang haram atau sesudahnya. Karena yang ditunjukkan
oleh fatwa, ialah adanya hak tahan barang yang dijual bagi si penjual. Sehingga
tertentulah miliknya dengan penerimaan tunai, sebagaimana tertentunya milik si
pembeli. Dan hak penahanan dari penjual itu batal, adakalanya dengan pembebasan
atau dengan penerimaan harga. Dan tidak berlaku sesuatu daripada keduanya.
Tetapi ia telah memakan miliknya sendiri, sedang ia berbuat ma’siat dengan yang
demikian, sebagai ma’siat orang yang menggadaikan makanan, apabila dimakannya
makanan itu, dengan tidak seizin yang menggadai. Diantara yang tersebut tadi
dan memakan makanan orang lain itu, ada bedanya. Tetapi pokok pengharaman itu
merata. Ini semuanya, apabila barang yang dijual itu, diterima sebelum
penyempurnaan harga. Adakalanya dengan kebaikan hati si penjual atau tanpa
kebaikan hatinya.
Adapun, apabila pertama-tama telah
dilunaskan harga yang haram, kemudian barang itu diterima, maka jikalau si
penjual tahu, bahwa harga itu haram dan bersama itu, diserahkannya juga barang
yang dijual itu, niscaya batallah hak penahanannya. Dan tinggallah harga itu
untuknya dalam tanggungan si pembeli. Karena apa yang telah diambilnya belumlah
dengan harga. Dan tidaklah memakan barang yang dijual itu, menjadi haram,
disebabkan masih ada harganya yang belum dilunaskan. Adapun, apabila si penjual
itu tidak mengetahui, bahwa harga itu haram dan kalau tahulah dia, tentu tidak
akan disetujuinya dan barang yang dijual itu belum diserahkan, maka hak
menahannya tidaklah batal, dengan keraguan tersebut. Maka memakannya adalah
haram, sebagai haramnya memakan barang yang digadaikan, sampai kepada si
penjual itu membebaskan si pembeli dari pembayaran atau si pembeli itu
melunaskannya dari yang halal atau si penjual itu menyetujui dengan harga yang
haram dan membebaskan si pembeli dari pembayaran. Dan sahlah pembebasan itu.
Dan tidaklah sah kerelaannya dengan yang haram tadi. Inilah menurut yang
dikehendaki oleh fiqh dan penjelasan hukum pada tingkat pertama, dari halal dan
haram. Adapun mencegah diri daripadanya, maka termasuklah wara’ yang penting.
Karena ma’siat apabila telah menetap, dari sebab yang menyampaikan kepada
sesuatu, niscaya bersangatan lah kemakruhan padanya, sebagaimana telah
diterangkan dahulu. Dan sebab yang terkuat yang menyampaikan itu, ialah harga.
Dan jikalau tidaklah harga yang haram, niscaya tidaklah si penjual rela
menyerahkan barangnya kepada si pembeli. Maka kerelaan si penjual, tidaklah
membebaskan dari kemakruhan yang sangat itu. Tetapi keadilan (sebagai syarat
untuk menjadi saksi) tidaklah rusak dengan itu. Dan hilanglah dengan sebabnya,
derajat ketaqwaan dan kewara’an.
Jikalau sultan –umpamanya membeli kain atau
tanah, dengan harga dalam tanggungan dan pembelian itu diterimanya dengan
kerelaan si penjual sebelum melunaskan harganya. Dan sultan menyerahkan barang
itu kepada seorang ahli fiqh (faqih) atau orang lain, secara pemberian
terus-menerus atau secara sementara. Dan yang menerima pemberian itu (faqih
atau lainnya) ragu, apakah sultan itu akan melunaskan harganya dari harta yang
halal atau yang haram, maka disini terdapat perbedaan paham diantara para
ulama. Karena keraguan itu terjadi mengenai berjalannya kema’siatan kepada
harga. Dan berlebih-kurang keringanan keraguan itu, dengan berlebih-kurang
banyak dan sedikitnya haram pada harta sultan itu. Dan apa yang lebih keras
sangkaan padanya dan sebahagian nya lebih keras sangkaan dari sebahagian yang
lain. Hal itu, adalah menurut apa yang tersimpan di dalam hati.
Tingkat tengah: bahwa tidaklah
‘iwadl (penukaran dengan pembayaran harga) itu barang rampokan atau barang
haram. Tetapi barang itu dapat menjadi persediaan bagi kema’siatan. Seperti:
kalau diserahkan, sebagai ‘iwadl(penukaran dengan pembayaran harga) dari harga,
buah anggur dan yang menerima itu adalah peminum khamar. Atau pedang yang
menerima itu adalah penyamun. Maka ini tidaklah mewajibkan pengharaman pada
barang yang dijual itu, yang dibelinya dengan harga yang tidak tunai. Tetapi
terdapat padanya kemakruhan, kurang dari kemakruhan yang terdapat pada
rampokan. Dan berlebih-kurang pula derajat tingkat ini dengan berlebih kurang
banyaknya kema’siatan pada yang menerima harga atau sedikitnya. Manakala ‘iwadl
itu haram, maka memberikannya adalah haram.
Kalau pengharaman itu merupakan
kemungkinan, tetapi diperbolehkan dengan sangkaan maka memberikannya adalah
makruh. Dan berdasar inilah, maka menurut aku dilarang usaha berbekam dan
dimakruhkan. Karena Nabi saw melarangnya beberapa kali. Kemudian beliau
menyuruh supaya ongkos dari berbekam itu, dipergunakan untuk umpan unta yang
mengangkut air penyiraman. Dan apa yang terbawa kepada sangkaan, bahwa sebabnya
itu, lantaran bercampur-baur dengan najis dan kotoran, adalah tidak betul.
Karena –kalau benarlah demikian tentu wajib pula ditolak pada orang yang
menyamak kulit dan tukang sapu. Padahal, tidak ada yang mengatakan yang
demikian. Dan kalau ada yang mengatakan demikian, maka tidak mungkin menolaknya
pada tukang potong. Karena bagaimana usahanya itu makruh dan itu adalah gantian
dari daging. Dan daging itu sendiri, tidaklah makruh. Dan tukang potong itu
berlumuran dengan najis adalah lebih banyak dibandingkan dengan tukang bekam
dan membetik. Karena tukang bekam itu mengambil darah dengan bekam dan
menyapukannya dengan kapas. Tetapi, sebabnya adalah pada pembekaman dan pembetikan
itu, merusakkan bentuk tubuh hewan dan mengeluarkan darahnya, dimana dengan
darah itu tertegak kehidupannya. Dan pokoknya perbuatan itu adalah: diharamkan.
Dan dihalalkan, hanyalah karena darurat. Dan mengetahui hajat dan darurat itu,
adalah dengan kira-kiraan dan ijtihad (mengeluarkan pendapat).
Kadang-kadang disangka bermanfaat, sedang
itu adalah melarat. Maka adalah haram pada sisi Allah Ta’ala. Tetapi dihukumkan
halalnya, dengan sangkaan dan kira-kiraan. Dan karena itulah, tidak
diperbolehkan bagi tukang pembetikan, membentik anak kecil, budak dan orang
yang lemah akal pikiran. Kecuali dengan keizinan walinya dan persetujuan
dokter. Jikalau tidaklah halal pada zahirnya, niscaya tidaklah Nabi saw
menyerahkan ongkos pembekaman. Dan jikalau tidaklah bahwa perbuatan itu
memungkinkan pengharamannya, niscaya tidaklah Nabi saw melarangnya. Maka
tidaklah mungkin mengumpulkan antara penyerahan dan pelarangannya, kecuali
dengan memahami arti yang tersebut itu. Dan adalah ini seyogya kami sebutkan
pada tanda-tanda yang menyertai dengan sebab, karena adalah lebih mendekati
kepada sebab itu.
Tingkat terbawah: yaittu derajat
orang-orang waswas. Yang demikian, adalah umpamanya –seseorang bersumpah tidak
akan memakai kain tenunan ibunya. Lalu dijualnya tenunan itu dan dibelinya
dengan harganya kain lain. Maka ini tak ada kemakruhan padanya. Dan wara’
daripadanya itu, adalah ke-waswas-an belaka. Diriwayatkan dari Al-Mughirah,
bahwa Al-Mughirah mengatakan tentang kejadian tersebut, tidak diperbolehkan. Ia
memberi bukti, bahwa Nabi saw bersabda: “Allah memberi kutukan kepada orang
Yahudi, diharamkan kepada mereka khamar, lalu dijualnya dan dimakannya
harganya”. Ini adalah salah, karena penjualan khamar adalah batal. Sebab tak
ada pada khamar kemanfaatan pada agama. Dan harga dari penjualan yang batal,
adalah haram. Dan tidaklah ini termasuk sebahagian dari itu. Tetapi ini,
contohnya adalah, bahwa seseorang laki-laki mempunyai seorang budak wanita,
dimana budak wanita itu adalah saudaranya sesusuan. Lalu budak wanita itu
dijualnya dengan seorang budak wanita yang lain, yang ajnabiah (yang boleh
dikawininya, kalau wanita itu merdeka). Maka dalam hal ini, tiada seorangpun
yang berlaku wara’ padanya. Dan penyerupaan yang tersebut dengan penjualan
khamar, adalah terlalu berlebih-lebihan pada segi ini. Sesungguhnya telah kita
ketahui segala derajat dan cara berangsur-angsur meningkat padanya. Walaupun
berlebih-kurangnya derajat itu, tidak terbatas pada 3 atau 4 dan tidak dalam
jumlah bilangannya. Tetapi yang dimaksud dari pembilangan itu, ialah pendekatan
dan memberi pemahaman.
Kalau ada yang mengatakan, bahwa Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa membeli sehelai kain dengan 10 dirham dan didalamnya
ada satu dirham haram, niscaya tidaklah diterima oleh Allah shalatnya selama
kain itu pada badannya”. Kemudian Ibnu Umar memasukkan kedua anak jarinya ke
dalam kedua telinganya, seraya berkata: “Diam, jikalau aku tidak mendengar yang
demikian itu daripadanya !”. Maka kami menjawab: yang demikian itu dipahami
kepada: jikalau dibelinya dengan 10 dirham dengan bayaran kontan, bukan dengan
tangguhan. Dan apabila dibelinya dengan tangguhan, maka telah kami hukumkan
dengan: haram pada kebanyakan masalah itu. Maka hendaklah dipahami kepada yang
demikian ! kemudian, berapa banyak si pemilik yang diperingati, dengan tidak
diterima shalatnya, lantaran ma’siat yang menjalani kepada sebab miliknya,
walaupun yang demikian itu tidak menunjukkan kepada batal ‘aqad. Seperti: orang
yang membeli pada waktu adzan kepada shalat (pada hari Jum’at) dsb.
PERKEMBANGAN KEEMPAT: perselisihan tentang
dalil-dalil.
Maka sesungguhnya yang demikian itu, adalah seperti
perselisihan tentang sebab. Karena sebab itu, adalah yang menjadi sebab untuk
hukum halalnya dan haramnya. Dan dalil, adalah menjadi sebab untuk mengetahui
yang halal dan yang haram. Maka dalil itu, adalah sebab pada pengetahuan yang
sebenarnya. Dan selama dalil itu belum lagi menetapkan untuk mengetahui
lainnya, maka tak adalah faedah untuk ketetapannya pada dirinya sendiri,
walaupun sebabnya itu telah berlaku pada ilmu Allah. Yaitu: adakalanya karena:
bertentangan dalil-dalil agama. Atau karena bertentangan tanda-tanda yang
menunjukkan. Atau karena bertentangan keserupaan (tasyabuh).
Bahagian pertama: bahwa pertentangan dalil-dalil agama itu, umpamanya:
bertentangan dua dalil umum dari Alquran atau As-Sunnah. Atau bertentangan dua
logika atau bertentangan logika dan umum. Dan semuanya itu menimbulkan
keraguan. Dan dikembalikan kepada istishab (menyertakan hukum kepada yang
sudah), atau kepada asal yang dimaklumi
sebelumnya, kalau tak ada tarjih (yang menguatkan satu dari yang dua
pertentangan itu). Kalau telah nyata tarjih pada segi larangan, niscaya
wajiblah mengambilnya. Dan kalau telah nyata tarjih pada segi halal, niscaya
bolehlah mengambilnya. Tetapi yang menjaga diri, ialah meninggalkannya. Dan
menjaga tempat-tempat perselisihan itu, adalah penting pada menjaga diri, bagi
pihak yang memberi fatwa (mufti) dan yang mengikutinya (muqallid). Walaupun
muqallid itu boleh mengambil, akan apa yang difatwakan oleh orang yang
diikutinya dimana ia menyangka, bahwa orang yang diikutinya itu, adalah yang
paling utama dari ulama negerinya. Ia mengenal yang demikian itu dengan
mendengar dari mulut ke mulut, sebagaimana ia mengenal dokter yang terbaik dari
negerinya dengan mendengar dan dengan tanda-tanda bukti kenyataan. Walaupun ia
sendiri tidak mengetahui tentang kedokteran. Dan tidak boleh bagi orang yang
menerima fatwa, mengecam mazhab-mazhab yang telah diluaskan uraiannya
kepadanya. Tetapi haruslah ia membahas, sehingga keraslah sangkaannya, bahwa
itulah yang lebih utama. Lalu diturutinya. Maka ia sekali-kali tidak akan
menyalahinya. Ya, kalau berfatwa kepadanya imamnya dengan sesuatu dan bagi
imamnya dalam hal itu, ada orang yang berselisih dengan pendapatnya, maka
meninggalkan perselisihan dan lari kepada Ijma’ (kesepakatan ulama), adalah
termasuk: wara’ yang muakkad (menjaga diri yang dikuatkan). Dan begitu pula
orang yang berijtihad/berkesungguhan tentang hukum sesuatu, apabila
bertentangan padanya beberapa dalil, lalu ia menguatkan (mentarjihkan) segi
halal, dengan kira-kiraan, duga-dugaan dan sangka-sangkaan, maka yang menjaga
diri baginya, ialah: menjauhkannya. Sesungguhnya adalah beberapa orang yang
berfatwa, berfatwa dengan halal beberapa perkara, dimana mereka tidak tampil,
mengerjakannya sekali-kali, karena menjaga dan takut dari syubhat (diragukan).
Dari itu, hendaklah kita bagikan pula ini kepada 3 tingkat:
Tingkat pertama: ialah yang
dikuatkan sunat menjaga diri daripadanya. Yaitu: yang kuat pada dalil bagi yang
menyalahi. Dan diperhatikannya dengan mendalam cara menguatkan aliran (mazhab)
yang lain, terhadap dalil bagi yang menyalahi itu. Maka termasuklah sebahagian
dari yang penting, bersikap menjaga diri dari mangsa anjing yang terdidik,
apabila anjing itu memakan mangsanya, walaupun diberi fatwa oleh yang berfatwa,
bahwa itu halal. Karena bertarjih (yang menguatkan satu dari yang dua
pertentangan itu) padanya adalah sukar. Dan kami telah memilih, bahwa yang
demikian itu haram. Dan itu adalah lebih cocok dengan logika bagi dua perkataan
Asy-Syafi’i ra. Dan manakala diperoleh bagi Asy-Syafi’i qaul-jadid (fatwanya
yang baru, yang dikeluarkannya ketika telah berpindah ke Mesir), yang
bersesuaian dengan mazhab Abu Hanifah ra atau lainnya dari imam-imam yang
kenamaan, niscaya bersikap menjaga diri padanya adalah penting dan walaupun
difatwakan oleh mufti dengan pendapat lain. Dan sebahagian dari itu, menjaga
daripada meninggalkan: pembacaan Bismillah, walaupun tidak berselisih padanya
perkataan Asy-Syafi’i ra. Karena ayat Alquran itu jelas mewajibkannya. Dan
hadits-hadits mutawatir mengenai wajibnya. Nabi saw bersabda kepada tiap-tiap
orang yang menanyakan kepadanya tentang memburu: “Apabila engkau lepaskan
anjing buruanmu yang terdidik dan engkau sebutkan kepadanya: nama Allah
(membaca Bismillah), maka makanlah !”. Dan dinuqilkan yang demikian itu
berulang kali dari Nabi saw. Dan telah termasyhur penyembelihan itu dengan
membacakan: Bismillah (dengan nama Allah). Dan itu semuanya menguatkan dalil
mensyaratkan bacaan itu. Tetapi tatkala benar sabda Nabi saw: “Orang mu’min itu
menyembelih diatas nama Allah Ta’ala, dibacakannya Bismillah atau tidak
dibacakannya”, niscaya mungkin ini umum, yang mewajibkan, untuk dipalingkan
ayat dan hadits-hadits yang lain dari pengertiannya yang zahir/terlihat. Dan
mungkin dikhususkan ini kepada orang yang lupa. Dan dibiarkan pengertian yang
zahir secara zahirnya dan tak ada penafsiran. Dan membawa pengertiannya kepada
orang yang lupa adalah mungkin, sebagai permulaan bagi keuzurannya pada
meninggalkan Bismillah, disebabkan lupa. Dan adalah melakukannya secara umum
dan menterjemahkan ayat itu mungkin, sebagai kemungkinan yang amat mendekatkan
kepada kebenaran. Kami yang menguatkan satu dari yang dua pertentangan itu yang
demikian itu dan tidak kami bantah akan menyingkirkan kemungkinan yang
bertentangan baginya. Maka menjaga diri dari hal yang seperti ini, adalah
penting, yang terjadi pada derajat pertama.
Tingkat kedua: yaitu yang
mendesak bagi derajat waswas, bahwa orang berlaku menjaga diri daripada memakan
anak hewan (janin), yang diperoleh dalam perut hewan yang disembelih dan
berlaku menjaga diri dari dlabb (bentuknya menyerupai biawak). Dan telah sahlah dari hadits-hadits yang
shahih, hadits tentang janin: “Bahwa penyembelihannya, adalah penyembelihan
induknya”. Dimana sahnya hadits tersebut, yang tidak memungkinkan kesangsian,
baik mengenai bunyinya atau kelemahan tentang sanadnya. Dan begitupula telah
sah hadits, bahwa dlabb (bentuknya menyerupai biawak). itu telah dimakan diatas
hidangan Rasulullah saw. Dan hadits tersebut telah dinuqilkan dalam
Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim).
Dan aku menyangka bahwa Abu Hanifah, tidak
sampai kepada beliau hadits-hadits ini. Dan kalau sekiranya sampai, niscaya
beliau tentu berkata menurut hadits-hadits tersebut, kalau beliau telah
menyadarinya. Dan jikalau tidak ada yang menyadarkan beliau tentang itu,
niscaya adalah selisihnya itu karena tersalah, yang tak harus diperkirakan. Dan
tidak akan mewariskan keragukan, sebagaimana jikalau tidak ada yang
diperselisihkan. Dan diketahui sesuatu itu dengan hadits dari seorang (hadits
yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja).
Tingkat ketiga: bahwa tidak
terkenal sekali-kali pada masalah itu perselisihan. Tetapi halalnya adalah
diketahui dengan hadits dari seorang. Maka berkatalah orang yang mengatakan:
telah berselisih manusia tentang hadits dari orang seorang. Sebahagian mereka,
tidak menerimanya. Maka aku bersikap wara’ (menjaga diri daripada menerimanya).
Karena orang-orang yang menuqilkan hadits itu, walaupun mereka itu orang-orang
adil, maka kesalahan itu boleh pada mereka. Dan dusta karena sesuatu maksud
yang tersembunyi itu boleh pada mereka. Karena orang adil juga kadang-kadang
membohong. Dan kesangsian boleh pada mereka. Karena kadang-kadang terdahulu
kepada pendengaran mereka, yang berlainan dari apa yang diucapkan oleh yang
mengatakannya. Dan begitupula kepada pemahaman mereka. Maka inilah menjaga
diri, yang tidak dinuqilkan seperti itu dari para sahabat tentang apa yang
didengar mereka dari seorang adil, yang tetap kepercayaan jiwa mereka
kepadanya.
Adapun apabila telah menjalar syubhat
(diragukan) dengan sesuatu sebab tertentu dan dalil yang tertentu terhadap
orang yang meriwayatkannya, maka menghentikan dahulu, adalah mempunyai cara
yang jelas. Walaupun orang yang meriwayatkan itu, orang adil. Dan perselisihan
dari orang yang menyalahi tentang hadits-hadits dari orang seorang itu (hadits
ahad), adalah diperkirakan. Dan itu adalah seperti berselisihnya An-Nadl-dlam,
tentang asal Ijma’ (sepakat) . Dan katanya: “Ijma’ (sepakat) itu tidaklah menjadi hujjah (tidak dapat
dipakai untuk menjadi dalil dalam sesuatu masalah). Dan jikalau bolehlah
menjaga diri yang seperti ini, niscaya adalah sebahagian dari menjaga diri,
bahwa orang menolak mengambil pusaka dari kakek (bapak dari bapak). Dan
mengatakan: “Tidak ada dalam Kitab Allah (Al-quran) disebut, selain untuk anak
laki-laki”. Dan menghubungkan anak laki-laki dari anak laki-laki dengan anak
laki-laki, adalah dengan Ijma’ (sepakat) para sahabat. Dan mereka itu tidak
ma’shum (tidak terpelihara dari kesalahan). Dan kesalahan itu boleh pada
mereka, karena An-Nadl-dlam menyalahi dengan Ijma’ (sepakat) tersebut. Dan ini, adalah tanda kelemahan
pikiran. Dan membawa untuk ditinggalkan akan apa yang diketahui dengan
kata-kata umum dari Alquran. Karena sebahagian para ahli ilmu-kalam (ilmu Allah
berkata-kata/ilmu keesaan), ada yang beraliran, bahwa kata-kata umum itu, tak
mempunyai kata-kata (shighat). Dan yang diambil menjadi hujjah (dalil) ialah,
apa yang dipahami para sahabat daripadanya, dengan tanda-tanda (qarinah) dan
dalil-dalil. Dan semua itu, adalah waswas. Jadi, tak ada segi dari segi-segi
syubhat (diragukan), kecuali padanya keterlaluan dan berlebih-lebihan. Maka
hendaklah itu dipahamkan ! manakala sesuatu hal dari yang tersebut itu
menghadapi kesulitan, maka hendaklah meminta fatwa pada hati.
Dan hendaklah orang menjaga diri
meninggalkan apa yang diragukan, mengambil apa yang tidak diragukan ! dan
hendaklah ditinggalkan penyakit hati dan gurisan-gurisan didalam dada ! dan
yang demikian itu berlainan dengan berlainan orang dan peristiwa. Tetapi
seyogyalah hati itu dipelihara dari segala gangguan waswas. Sehingga tidak
dihukumkan, selain dengan kebenaran. Maka kebenaran itu tidak terbungkus diatas
penyakit dalam purba sangka waswas. Dan tidak terlepas dari penyakit pada
purbasangka kemakruhan. Alangkah mulianya hati yang seperti ini ! dan karena
itulah, Nabi saw tidak menolak tiap-tiap orang kepada fatwa hatinya. Dan beliau
katakan yang demikian kepada Wabishah, tatkala Nabi saw telah mengetahui
keadaannya.
Bahagian kedua: bertentangan tanda-tanda yang menunjukkan kepada halal &
haram. Karena kadang-kadang dirampas orang semacam barang pada suatu waktu. Dan
jarang terjadi seperti yang demikian, tanpa perampasan. Maka terlihatlah barang
tersebut umpamanya pada tangan seseorang yang shalih. Lalu ditunjukkan oleh
keshalihannya, bahwa barang itu halal. Dan ditunjukkan oleh macam benda dan
jarang adanya, dari bukan barang rampasan, bahwa barang itu haram. Maka
bertentanganlah 2 keadaan. Dan begitupula, diterangkan oleh seorang adil, bahwa
barang itu haram. Dan diterangkan oleh seorang adil lain, bahwa barang itu
halal. Atau bertentangan kesaksian 2 orang fasiq atau perkataan anak kecil dan
orang yang sudah dewasa. Maka kalau telah menampak pentarjihan (yang menguatkan
satu dari yang dua pertentangan itu), niscaya dihukum dengan pentarjihan itu.
Dan yang menjaga diri, ialah menjauhkannya. Dan kalau tidak menampak
pentarjihan, niscaya wajiblah berhenti dahulu (tawaqquf). Dan akan datang
penjelasannya pada “Bab Berkenalan, Berbahasan dan Bersoalan”.
Bahagian ketiga: bertentangan
beberapa perkara tentang sifat-sifat yang disangkutkan kepadanya hukum.
Umpamanya: seorang berwasiat dengan harta kepada beberapa ahli fiqh (fuqaha’).
Maka diketahuinya bahwa yang bertingkat
lebih tentang ilmu fiqh itu, masuk ke dalamnya. Dan yang memulai belajar sehari
atau sebulan, tidak dimasukkan ke dalamnya. Dan diantara keduanya itu terdapat
beberapa derajat yang tidak terhingga, yang terjadi keragu-raguan padanya. Maka
yang memberi fatwa (mufti) lalu berfatwa menurut persangkaan. Dan yang menjaga
diri itu, menjauhkan diri daripadanya. Dan ini adalah tersulit dari segala
perkembangan syubhat (diragukan). Karena didalamnya beberapa persoalan, yang
mengherankan yang memberi fatwa itu, suatu keheranan yang harus, yang tak ada
helah baginya padanya. Karena yang bersifat dengan sesuatu sifat pada derajat
yang ditengah-tengah diantara dua derajat yang bertentangan, tidaklah menampak
baginya kecondongan kepada salah satu dari keduanya. Dan begitupula, sedekah
(zakat) yang diserahkan kepada orang-orang yang memerlukan. Maka orang yang
tidak mempunyai apa-apa, dapatlah dimaklumi, bahwa dia ittu memerlukan. Dan
orang yang mempunyai banyak harta, dapatlah dimaklumi bahwa dia itu orang kaya.
Dan terbenturlah diantara keduanya itu, beberapa persoalan yang sulit, seperti
orang yang mempunyai rumah, perabot rumah tangga, pakaian dan buku-buku. Maka
sekedar yang memerlukan daripadanya, tidaklah dilarang daripada menyerahkan
zakat kepadanya. Dan orang yang mempunyai kelebihan, mencegah dirinya daripada
menerimanya. Keperluan itu tidaklah terbatas. Hanya diketahui dengan berlebih
kurang. Dan melangkah dari yang tersebut itu, kepada memandang tentang batas
lebarnya rumah, bangunan-bangunannya dan jumlah nilainya. Karena adanya
ditengah-tengah negeri dan cukup memadai dengan suatu rumah yang lebih kurang
dari rumah yang tersebut. Dan begitupula tentang macam perabot rumah tangga,
apabila rumah itu terbuat dari pecahan batu, tidak dari tanah bakar. Dan begitu
pula tentang jumlah perabot itu. Dan begitu pula tentang nilainya. Dan begitu
pula tentang yang diperlukan pada tiap-tiap hari dan yang diperlukan tiap-tiap
tahun dari perkakas-perkakas musim dingin. Dan yang tidak diperlukan kepadanya,
selain dalam beberapa tahun. Dan sesuatu dari itu, tidaklah terbatas. Dan cara
tentang ini, ialah apa yang dikatakan Nabi saw: “Tinggalkan apa yang meragukan
kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu !”. Dan semua itu, adalah pada
tempat keraguan.
Dan kalau yang berfatwa itu berhenti, maka
tiadalah cara, kecuali berhenti. Dan kalau yang berfatwa itu dengan sangkaan
dan kira-kiraan, maka yang menjaga diri, ialah menghentikan dahulu. Dan itulah
yang terpenting dari segala tempat terjadinya menjaga diri. Dan begitu pula,
apa yang harus dengan jumlah yang cukup, daripada perbelanjaan keluarga,
pakaian dan isteri. Dan jumlah yang cukup bagi fuqaha’/ahli fikih dan ulama
dari baital-mal (kas umum). Karena padanya terdapat dua tepi, yang diketahui,
bahwa yang satu berkurang dan yang lain itu berlebih. Dan diantara keduanya
hal-hal yang men-syubhat kan (diragukan), yang berlainan dengan berlainannya
orang dan keadaan. Dan yang melihat kepada segala keperluan itu, ialah Allah
Ta’ala. Dan tak adalah bagi manusia itu, mengetahui kepada batas-batasnya. Dan
yang kurang dari sekati Makkah untuk sehari, adalah kurang dari mencukupi bagi
seorang laki-laki yang gemuk. Dan yang melebihi diatas 3 kati, adalah melebihi
dari cukup. Dan diantara dua itu, tidaklah menentu baginya batas. Maka
hendaklah bagi seorang menjaga diri, meninggalkan apa yang meragukannya, kepada
yang tidak meragukannya. Dan ini berlaku dalam tiap-tiap hukum yang
bersangkutan dengan sesuatu sebab. Sebab itu diketahui dengan kata-kata Arab.
Karena orang Arab dan ahli-ahli bahasa yang lain, tidak mampu mengetahui segala
kandungan bahasa, dengan batas-batas yang tertentu, yang terputus segala
tepinya dari segala yang bertentangan baginya. Seperti: kata-kata: sittah
(enam). Maka tidaklah mungkin kurang atau berlebih dari: enam itu, dari
bilangan-bilangan, kata-kata kiraan yang lain dan jumlah-jumlahnya. Maka
tidaklah kata-kata bahasa seperti itu. Maka tak adalah kata-kata dalam Kitab
Allah dan Sunnah Rasulullah saw, melainkan menjalarkan keraguan kepada
ditengah-tengah dalam segala maksud dari kata-kata itu, yang berkisar diantara
tepi-tepi yang bertentangan. Maka amat besarlah keperluan kepada pengetahuan
ini, tentang wasiat dan wakaf. Wakaf pada orang-orang shufi umpamanya, termasuk
barang yang sah. Dan siapakah yang masuk dibawah keharusan kata-kata tersebut ?
maka inilah sebahagian dari yang tidak jelas. Maka begitu pulalah kata-kata
yang lain. Dan akan kami tunjukkan kepada yang dikehendaki oleh kata-kata orang
shufi pada khususnya. Supaya dengan itu, dapatlah diketahui cara menggunakan
kata-kata. Kalau tidaklah yang demikian, maka tak ada harapan untuk dapat
menyempurnakan kata-kata itu. Maka inilah syubhat-syubhat (diragukan) yang
berkembang dari tanda-tanda yang bertentangan, yang menarik kepada dua tepi
yang bertentangan. Dan semua itu, termasuk syubhat (diragukan) yang harus dijauhkan,
apabila segi halalnya tidak dapat ditarjihkan dengan suatu dalil yang dapat
memenangkan terhadap sangkaan atau dengan istishab (menyertakan hukum kepada
yang sudah), menurut apa yang diharuskan oleh sabda Nabi saw: “Tinggalkanlah
apa yang meragukan kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu !”. Dan dengan
apa yang diharuskan oleh dalil-dalil yang lain, yang telah disebutkan dahulu.
Maka inilah segala yang mengembangkan
syubhat (diragukan). Setengah daripadanya, adalah lebih keras dari yang lain.
Dan jikalau segala syubhat (diragukan) yang bermacam-macam itu berdemonstrasi
terhadap sesuatu hal, niscaya keadaan menjadi lebih gawat. Umpamanya: seseorang
mengambil makanan yang diperselisihkan padanya, sebagai ‘iwadl (gantian) dari
buah anggur yang dijualkannya kepada seorang pembuat khamar, sesudah adzan pada
hari Jum’at. Dan si penjual itu hartanya bercampur dengan haram. Dan tidaklah
yang haram itu, yang terbanyak dari hartanya. Tetapi adalah hartanya itu
menjadi harta syubhat (diragukan). Maka kadang-kadang oleh samanya syubhat
(diragukan) itu, membawa kepada keadaan yang sulit memecahkannya. Maka inilah
tingkat-tingkat yang telah kita kenal cara mengetahuinya. Dan tidaklah kekuatan
manusia dapat menghinggakannya. Maka apa yang telah jelas dari uraian ini,
hendaklah diambil menjadi perpegangan. Dan apa yang meragukan, maka hendaklah
dijauhkan ! karena dosa itu, adalah penyakit bagi hati. Dan dimana kita
menetapkan dengan meminta fatwa dari hati, adalah kita maksudkan, dimana yang
diperbolehkan oleh yang mengeluarkan fatwa (mufti).
Adapun dimana yang diharamkan oleh pemberi
fatwa, maka wajiblah mencegah diri daripadanya. Kemudian, maka tidaklah
diperpegangi kepada semua hati. Karena banyaklah orang yang waswas, melarikan
diri dari tiap-tiap sesuatu. Dan banyaklah orang yang loba, yang menganggap
ringan, lalu merasa tenteram kepada segala sesuatu. Dan tidaklah dipandang
kepada hati yang dua macam ini. Dan yang dipandang ialah: hati orang yang
berilmu, yang memperoleh taufiq dan yang menyelidiki hal-hal yang halus. Dan
yaitu gurisan yang diuji dengan dia segala hal-keadaan yang tersembunyi.
Alangkah mulianya hati itu dalam segala hati ! Maka barangsiapa tidak percaya
kepada hatinya sendiri, maka hendaklah ia mencari nur dari hati dengan sifat
ini ! dan hendaklah mengemukakan peristiwanya kepadanya ! dan tersebut dalam
Zabur: “Bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Daud as: “Katakanlah kepada
kaum Bani Israil (kaum Yahudi) ! sesungguhnya Aku tidak memandang kepada
shalatmu dan puasamu. Tetapi Aku memandang kepada orang yang ragu tentang
sesuatu. Lalu ditinggalkannya karenaKu. Maka itulah orang yang Aku pandang
kepadanya. Dan Aku kuatkannya dengan pertolonganKu. Dan Aku membanggakan dia
dengan malaikat-malaikatKu”.
BAB KETIGA: tentang pemeriksaan, pertanyaan,
penyerbuan, pelengahan dan tempat-tempat yang meragukan padanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap orang
yang menyugukan makanan kepadamu atau hadiah atau engkau bermaksud membeli
padanya atau menerima pemberiannya, maka tidak haruslah engkau memeriksa padanya
dan menanyakan serta mengatakan: “Barang ini termasuk yang tidak saya yakini
akan halalnya, maka saya tidak akan mengambilnya. Tetapi saya akan
memeriksanya”. Dan tidak harus pula engkau meninggalkan pemeriksaan. Lalu
engkau mengambil tiap-tiap apa yang tidak engkau yakini akan haramnya. Tetapi
bertanya itu sekali wajib dan sekali haram, sekali sunat dan sekali makruh.
Dari itu, tak boleh tidak daripada diuraikan. Kata-kata yang memuaskan tentang
itu, ialah: bahwa tempat yang menyangkakan untuk pertanyaan adalah pada
tempat-tempat yang meragukan. Dan tempat terjadinya keraguan &
berkembangnya keraguan itu, adakalanya urusan yang bersangkutan dengan harta
atau yang bersangkutan dengan yg empunya harta.
PERKEMBANGAN PERTAMA: tentang hal-keadaan pemilik
harta.
Pemilik harta dibandingkan kepada pengetahuanmu, mempunyai 3
keadaan. Adakalanya dia itu tidak dikenal atau diragukan atau diketahui dengan
semacam sangkaan, yang disandarkan kepada sesuatu dalil.
Keadaan pertama: bahwa pemilik itu
tidak dikenal. Tidak dikenal ialah: tak ada padanya tanda yang menunjukkan
kepada keburukan dan kezaliman nya, seperti pakaian seragam tentara. Dan tidak
ada sesuatu yang menunjukkan kebaikannya, seperti pakaian ahli tasawwuf/ahli
suffi, perniagaan, ilmu pengetahuan dan tanda-tanda yang lain. Apabila engkau
memasuki suatu kampung, yang tidak engkau kenal, lalu melihat seorang laki-laki
yang tidak engkau kenal sedikitpun tentang keadaannya dan tak ada padanya
alamat yang menunjukkan ia orang baik atau orang buruk, maka dia itu orang yang
tidak dikenal. Apabila engkau memasuki suatu negeri sebagai orang asing dan
engkau masuk ke pasar, lalu engkau menjumpai seorang tukang roti atau tukang
potong atau lainnya dan tak ada tanda yang menunjukkan dia itu pendidik atau
pengkhianat dan tak ada pula yang menunjukkan kepada tidaknya yang tersebut,
maka orang itu adalah tidak dikenal dan tidak diketahui keadaannya. Dan tidak
kita katakan, bahwa orang itu diragukan, karena keraguan, adalah ibarat dua
keyakinan yang berlawanan, dimana keduanya mempunyai dua sebab yang berlawanan.
Dan kebanyakan fuqaha’ tidak mengetahui perbedaan, antara apa yang diketahuinya
dan apa yang diragukannya. Dan telah anda ketahui dari apa yang terdahulu,
bahwa orang menjaga diri, meninggalkan apa yang tidak diketahuinya.
Yusuf bin Asbath berkata: “Semenjak 30
tahun yang lampau, tidaklah terguris dalam hatiku sesuatu, melainkan terus aku
tinggalkan”. Sekumpulan mereka memperkatakan tentang perbuatan yang paling
sulit. Lalu mereka mengatakan: Yaitu: wara’/menjaga diri. Lalu Hasan bin Abi
Sannan berkata kepada mereka: “Tidak adalah padaku sesuatu yang paling mudah,
selain dari menjaga diri. Apabila terguris dalam dadaku sesuatu, niscaya terus aku
tinggalkan”. Maka itulah syarat menjaga diri ! Sesungguhnya yang kami sebutkan
sekarang, ialah: hukum zahir. Maka kami mengatakan: “Hukum keadaan ini, ialah
bahwa orang yang tidak dikenal itu, kalau ia menyugukan makanan kepadamu atau
ia membawa hadiah kepadamu atau engkau bermaksud membeli sesuatu pada tokonya,
maka tidaklah semestinya kamu bertanya. Tetapi tangannya dan dianya orang
muslim, adalah dua daliil yang mencukupi untuk menyerbu mengambilkannya. Dan
tidaklah seharusnyya engkau mengatakan: “Bahwa kerusakan dan kezaliman itu
sudah menjadi kebiasaan pada manusia”. Maka itu, adalah waswas dan buruk sangka
terhadap orang muslimin itu sendiri. Dan setengah sangkaan itu, adalah dosa.
Dan orang muslim itu dengan keislamannya berhak diatas engkau, untuk tidak
berburuk sangka kepadanya. Kalau engkau berburuk sangka kepadanya tentang
dirinya, karena engkau sesungguhnya melihat kerusakan pada orang lain, maka engkau
telah berbuat penganiayaan kepadanya. Dan engkau terus berdosa waktu itu juga,
tanpa ragu. Dan kalau engkau mengambil hartanya, maka adalah harta itu haram,
yang diragukan. Dan dibuktikan kepadanya, bahwa kita mengetahui, bahwa sahabat
di dalam peperangan dan perjalanan mereka, adalah bertempat tinggal di
kampung-kampung. Dan mereka tidaklah menolak kampung-kampung itu. Dan mereka
masuk ke negeri-negeri. Dan mereka tidak menjaga diri dari pasar-pasar. Dan
adalah haram itu terdapat pula pada zaman mereka. Dan tidaklah dinuqilkan dari
mereka pertanyaan, kecuali dari keraguan. Karena adalah Nabi saw tidak
menanyakan dari tiap-tiap apa yang dibawakan kepadanya. Tetapi beliau bertanya
pada permulaan kedatangannya ke Madinah, tentang apa yang dibawakan kepadanya:
“Apakah ini sedekah atau hadiah ?”. Karena suasana dari keadaan menunjukkan,
yaitu: masuknya orang-orang muhajirin ke Madinah, dimana mereka itu miskin.
Maka beratlah dugaan, bahwa apa yang dibawakan kepada mereka adalah dengan
jalan sedekah. Kemudian Islamnya yang memberi dan tangannya, tidaklah
menunjukkan, bahwa itu bukan sedekah. Dan adalah Nabi saw diundang ke
perjamuan-perjamuan, maka beliau memperkenan kan dan tiada beliau bertanya:
“Apakah ini sedekah atau bukan ?”. Karena kebiasaan tidaklah berlaku sedekah
pada perjamuan. Dan karena itulah, beliau diundang oleh Ummu Salim. Dan beliau
diundang oleh tukang jahit (al-khayyath), seperti yang tersebut pada hadits
yang dirawikan Anas bin Malik ra. Dan tukang jahit itu menyugukan kepada Nabi
saw makanan, yang ada padanya buah labu-labu. Dan beliau diundang oleh seorang
Parsi. Lalu beliau bertanya kepadanya: “Saya dan ‘Aisyah ?”. Laki-laki Parsi
itu menjawab: “Tidak !”. Maka Nabi saw menyambung: “Kalau begitu, tidaklah !”.
Kemudian laki-laki itu memperkenankan nya. Maka pergilah Nabi saw dan ‘Aisyah
beriring-iring. Lalu orang itu menyugukan kepada keduanya suguan. Dan tidak
dinuqilkan bahwa Nabi saw bertanya tentang sesuatu dari suguan itu.
Abubakar ra bertanya kepada bujangnya
tentang usaha bujang itu, tatkala meragukan beliau dari hal keadaannya. Umar ra
menanyakan kepada orang yang menyugukan kepadanya susu dari unta zakat, karena
meragukannya dan mena’jubkannya tentang rasanya. Dan belum pernah dialaminya
yang demikian tiap-tiap kali ia meminum susu. Inilah sebab-sebab keraguan !
Dan tiap-tiap orang yang memperoleh jamuan
pada orang yang tidak dikenal, maka tidaklah ia berbuat ma’siat dengan
memperkenankannya, tanpa pemeriksaan. Bahkan kalau ia melihat pada rumah orang
itu kebagusan yang berlebih-lebihan dan harta yang banyak, maka tidaklah boleh
ia mengatakan: “Yang halal itu adalah amat sulit dan ini adalah banyak. Maka
darimanakah dikumpulkan ini dari yang halal ?”. Tetapi orang itu sendiri
mungkin mewarisi harta atau berusaha. Maka dengan sendirinya ia berhak
memperoleh baik sangkaan orang kepadanya. Dan aku menambahkan lagi kepada ini,
dengan mengatakan, bahwa, tidaklah boleh ia menanyakannya. Tetapi kalau ia
berlaku menjaga diri, maka janganlah dimasukkannya ke dalam rongganya, kecuali
apa yang diketahuinya, dari mana asalnya. Maka itu, adalah lebih baik. Maka
hendaklah ia bersikap lemah lembut pada meninggalkan yang disugukan itu. Dan
kalau ada yang boleh tidak daripada memakannya, maka hendaklah ia makan, tanpa
memajukan pertanyaan. Karena pertanyaan itu adalah
menyakitkan, merusakkan kehormatan dan merenggangkan. Dan itu adalah haram,
dengan tidak diragukan lagi.
Kalau anda berkata: “Mudah-mudahan tidak
akan menyakiti !”. Maka aku menjawab: “Mudah-mudahan akan menyakiti”. Maka
engkau menanyakan, bahwa takut mungkin harta itu dari yang haram. Kalau engkau
cukupkan tanpa bertanya, maka mudah-mudahan hartanya itu halal. Dan tidaklah
dosa yang ditakuti tentang menyakiti orang muslim itu, lebih berkurang dari
dosa tentang memakan syubhat (diragukan) dan haram. Dan biasanya manusia itu,
tidak menyukai pemeriksaan. Dan tidak boleh baginya menanyakan tentang orang
lain, dimana ia mengetahui orang itu dengan pertanyaan tersebut. Karena
menyakitkan padanya adalah lebih banyak. Dan kalau ia bertanya, dimana ia tidak
mengetahui orang itu maka dalam hal ini, adalah memburukkan sangka dan
merusakkan kehormatan orang. Dan padanya itu, adalah memata-matai dan
berhubungan dengan cacian, walaupun yang demikian itu tidak tegas. Dan semuanya
itu dilarang, yang tersebut pada suatu ayat. Allah Ta’ala berfirman: “Jauhilah
kebanyakan purba sangka (kecurigaan), karena sebahagian dari purbasangka itu
dosa ! dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah mengupat satu
sama lain !”. S 49 Al Hujuraat ayat 12.
Banyaklah orang zuhud yang bodoh, membuat
hati mereka liar dalam pemeriksaan itu. Dan berkata-kata dengan perkataan yang
keji menyakitkan. Dan setan sesungguhnya memandang baik yang demikian pada
orang yang bodoh tersebut, karena mencari kemasyhuran dengan memakan yang
halal. Dan kalaulah yang menggerakkannya itu semata-mata agama, niscaya
ketakutan pada hati muslim untuk menyakitkan orang adalah lebih berat dari
ketakutannya kepada perutnya untuk dimasuki oleh sesuatu yang tidak
diketahuinya. Dan ia tidak akan disiksakan dengan apa yang tidak diketahuinya.
Karena tidak adalah disitu tanda yang mewajibkan untuk menjauhkannya. Maka
hendaklah diketahui, bahwa jalan menjaga diri, ialah meninggalkan, bukan
memata-matai.
Dan apabila tak boleh tidak daripada
memakannya, maka yang menjaga diri, ialah memakannya dan membaikkan sangkaan.
Ini adalah yang disukai para sahabat ra. Dan barangsiapa melebihkan menjaga
dirinya daripada para sahabat itu, maka adalah ia sesat, yang berbuat bid’ah
(yang diada-adakan). Dan bukanlah ia orang yang mengikuti. Maka tidaklah
seseorang akan sampai sepanjang seseorang dari sahabat dan tidaklah setengah
daripadanya. Walaupun dibelanjakannya semua apa yang ada didalam bumi. Betapa
tidak ! “Sesungguhnya Rasulullah saw telah memakan makanan Burairah. Lalu orang
mengatakan kepada Nabi saw:: “Bahwa makanan itu sedekah”. Lalu Nabi saw
menjawab: “Makanan itu bagi Burairah sedekah dan bagi kami hadiah”. Dan Nabi
saw tidak menanyakan terhadap yang
disedekahkan. Dan adalah yang bersedekah itu tidak dikenal oleh Nabi saw. Dan
beliau tidak menolak memakannya.
Keadaan kedua: adalah pemilik
harta itu diragukan, disebabkan sesuatu keterangan yang mendatangkan keraguan.
Maka marilah kami sebutkan bentuk keraguan, kemudian hukumnya !
Adapun bentuk keraguan, ialah ditunjukkan
kepada haram apa yang ada pada tangannya, oleh sesuatu petunjuk. Adakalanya
dari bentuknya atau dari pakaian dan kainnya atau dari perbuatan dan
perkataannya.
Adapun bentuk, yaitu: ia
berbentuk orang Turki, orang-orang Badui, orang-orang yang terkenal dengan
kezaliman dan penyamun. Dan ia orang yang panjang kumis, rambutnya terbelah di
kepalanya, seperti kebiasaan orang-orang yang berbudi rusak.
Adapun kain, maka dipakainya
baju panjang, peci dan pakaian orang-orang zalim dan rusak, dari tentara dan
lainnya.
Adapun perbuatan dan perkataan, maka yaitu:
dipersaksikan daripadanya tampil mengerjakan apa yang tidak halal. Maka
sesungguhnya yang demikian itu, menunjukkan bahwa ia juga bermudah-mudah
tentang harta dan mengambil apa yang tidak halal. Maka inilah tempat-tempat
yang meragukan ! Apabila bermaksud membeli sesuatu dari barang yang seperti ini
atau mengambil daripadanya sebagai hadiah atau memperkenankan panggilannya pada
sesuatu perjamuan, sedang orang itu adalah orang asing yang tidak dikenal,
niscaya tidaklah jelas baginya dari orang itu, selain dari tanda-tanda
tersebut. Maka mungkinlah untuk dikatakan, bahwa tangan (karena ia memegang
barang tersebut) menunjukkan, kepada milik. Dan keterangan yang semacam ini,
adalah lemah. Maka tampil mengambilkannya, dibolehkan. Dan meninggalkannya,
adalah termasuk menjaga diri. Dan mungkin untuk dikatakan, bahwa tangan itu
dalil yang lemah. Dan telah berhadapan dengan dia oleh dalil yang seperti itu,
lalu mendatangkan keraguan. Maka menyerbu mengambilkannya, tidak diperbolehkan.
Dan itulah yang kami pilih dan kami berfatwa, karena sabda Nabi saw:
“Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada yang tidak meragukan kamu !”.
Menurut yang zahir dari hadits ini, adalah perintah, walaupun mungkin sunat,
karena sabda Nabi saw: “Dosa itu adalah penyakit bagi hati”. Dan itu mempunyai
pengaruh ke dalam hati, yang tidak dapat dibantah.
Dan karena Nabi saw bertanya: “Adakah itu
sedekah (zakat) atau hadiah ?”. Dan Abubakar ra bertanya kepada bujangnya dan
Umar ra pun bertanya. Dan semua itu adalah pada tempat keraguan dan membawanya
kepada menjaga diri, walaupun secara kemungkinan saja. Tetapi tidak
memungkinkan yang demikian, selain dengan logika hukum (qias hukmi). Dan logika
itu tidaklah membuktikan dengan penghalalan ini. Karena dalil “tangan dan
Islam”, yang telah ditantang oleh dalil-dalil tersebut, adalah mendatangkan
keragu-raguan. Apabila keduanya berhadap-hadapan, maka tak adalah sandaran bagi
kehalalannya. Dan sesungguhnya tidak ditinggalkan hukum “tangan” (ia memegang
barang tersebut) dan istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), dengan syak (ragu) yang tidak bersandarkan
kepada sesuatu tanda. Sebagaimana apabila kita memperoleh air yang berobah. Dan
mungkin berobah itu karena lama berhentinya. Kalau kita melihat seekor kijang
kencing didalamnya, kemudian perobahan itu mungkin dengan yang demikian,
niscaya kita tinggalkan istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), itu (menghukum menurut keadaan asalnya yang
lama itu, yaitu: asalnya: suci). Dan ini adalah lebih dekat dari yang tersebut
itu. Tetapi diantara dalil-dalil itu, berlebih kurang. Karena panjangnya kumis,
memakai baju panjang dan berkeadaan tentara, adalah menunjukkan kepada
kezaliman dengan harta.
Adapun perkataan dan perbuatan yang
menyalahi bagi agama kalau berhubungan dengan kezaliman harta, maka itu juga
dalil yang jelas. Sebagaimana kalau ia mendengar orang itu menyuruh merampok
dan berbuat kezaliman atau mengadakan ‘aqad riba. Adapun apabila ia melihat
orang itu memaki orang lain mengenai perampokan atau pandangannya mengikuti
seorang wanita yang lalu dihadapannya, maka dalil ini, adalah lemah. Maka
berapa banyak manusia bersusah payah mencari harta dan tidak mengusahakan,
kecuali yang halal. Dan bersama yang demikian itu, ia tidak dapat menguasai
dirinya ketika menggelagak kemarahan dan nafsu syahwat. Maka hendaklah
diperhatikan kepada berlebih-kurangnya ini ! dan tidak mungkinlah dihinggakan
itu dengan suatu batasan. Maka hendaklah hamba Allah itu meminta fatwa dalam
keadaan yang seperti demikian kepada hatinya ! Dan aku mengatakan, bahwa ini
kalau ia melihatnya dari orang yang tidak dikenal, maka baginyalah
menetapkannya. Dan kalau dilihatnya dari orang yang dikenalnya menjaga diri,
tentang bersuci, bershalat dan membaca Alquran, maka bolehlah baginya hukum
(ketetapan) yang lain, apabila bertentangan dua keterangan yang bersangkutan
dengan harta. Dan kedua keterangan itu lalu berjatuhan dan kembalilah orang itu
seperti orang yang tidak dikenal. Karena tidak ada salah satu dari kedua
keterangan itu, yang sesuai dengan harta pada khususnya. Maka berapa banyak
orang yang berdosa tentang harta, dimana ia tidak berdosa pada lainnya. Dan
berapa banyak orang yang berbuat baik untuk shalat wudlu’ dan pembacaan Alquran
dan memakan darimana saja yang didapatinya. Maka hukumnya dalam segala kejadian
ini, ialah apa yang condong hati kepadanya. Karena ini, adalah urusan diantara
hamba dan Allah. Maka tidak jauhlah dari kebenaran untuk menggantungkannya
dengan sesuatu sebab yang tersembunyi, yang tidak dilihat, kecuali olehnya dan
oleh Tuhan serwa sekalian alam. Dan itulah hukum penyakit hati.
Kemudian, hendaklah diperhatikan kepada
suatu yang halus yang lain. Yaitu: bahwa keterangan tersebut, seyogyalah adanya
itu, dimana ia menunjuk kan, bahwa kebanyakan hartanya adalah haram, disebabkan
dia itu tentara atau pegawai sultan atau wanita tukang tangis pada kematian
atau wanita tukang nyanyi. Kalau menunjukkan, bahwa pada hartanya, haramnya itu
sedikit, niscaya tidaklah bertanya itu wajib. Tetapi adalah bertanya itu
termasuk menjaga diri.
Keadaan ketiga: adalah keadaan
itu diketahui dengan semacam percobaan dan pengalaman, dimana yang demikian itu
mewajibkan berat sangkaan tentang halalnya harta itu atau haramnya. Umpamanya:
dikenal baiknya, beragamanya dan adilnya orang itu secara zahir. Dan
memungkinkan batinnya adalah sebaliknya. Maka dalam hal ini tidaklah wajib
menanyakan. Dan tidak diperbolehkan, sebagaimana pada orang yang tidak dikenal.
Maka yang lebih utama, ialah tampil mengambilkannya. Dan tampil disini, adalah
lebih jauh dari syubhat (diragukan), dibandingkan dengan tampil kepada makanan
dari orang yang tidak dikenal. Maka yang demikian itu, adalah jauh dari menjaga
diri, walaupun tidak haram.
Adapun memakan makanan orang-orang baik,
maka itu adalah kebiasaan para nabi dan wali-wali. Nabi saw bersabda:
“Janganlah engkau memakan, selain makanan orang yang taqwa dan makananmu jangan
dimakan, selain oleh orang yang taqwa”. Apabila diketahuinya dengan percobaan,
bahwa orang itu tentara atau penyanyi atau pembuat riba dan tidak memerlukan
kepada dalil dengan keadaannya, bentuk dan kain, maka disini sudah pasti
menanyakan itu wajib, sebagaimana pada tempat yang meragukan. Bahkan ini lebih
utama lagi.
PERKEMBANGAN KEDUA: yang disandarkan keraguan
padanya kepada sebab harta, tidak tentang keadaan pemiliknya.
Dan yang demikian itu, ialah dengan bercampurnya yang halal
dengan yang haram. Seperti apabila dilemparkan kepasaran beberapa pikulan
makanan rampokan dan dibeli oleh penduduk pasar. Maka tidaklah wajib kepada
orang yang membeli pada negeri dan pasar itu, menanyakan tentang apa yang
dibelinya, kecuali terang, bahwa yang terbanyak dalam tangan mereka itu, adalah
haram. Maka ketika itu, wajiblah menanyakan. Jikalau tidaklah yang terbanyak,
maka pemeriksaan itu, termasuk menjaga diri dan tidaklah wajib. Dan pasar yang
besar, hukumnya seperti negeri. Dan dalil bahwa tidaklah wajib menanyakan dan
memeriksa, apabila tidak yang terbanyak itu haram, ialah para sahabat ra tidak
melarang pembelian di pasar-pasar, dimana di pasar-pasar itu terdapat dirham
riba, harta rampasan perang yang diambil dengan diam-diam dll. Dan para sabahat
itu tidak menanyakan pada tiap-tiap ‘aqad. Hanya pertanyaan itu dinuqilkan dari
seorang-seorang dari mereka, secara jarang sekali dalam sebahagian hal-keadaan.
Yaitu: tempat yang meragukan terhadap orang-orang yang tertentu itu sendiri.
Dan begitupula, mereka mengambil harta rampasan dari orang-orang kafir, yang
telah memerangi kaum muslimin. Dan kadang-kadang orang-orang kafir itu telah
mengambil harta kaum muslimin. Dan mungkin dalam harta rampasan itu, ada
sesuatu daripada apa yang diambil mereka dari kaum muslimin. Dan itu, adalah
tidak halal mengambilnya dengan cuma-cuma, dengan ittifaq (dengan sepakat
pendapat para ulama). Bahkan dikembalikan kepada pemiliknya, menurut
Asy-Syafi’i ra. Dan pemiliknya itu, adalah lebih utama berhak dengan harganya,
menurut Abu Hanifah ra. Dan tidaklah sekali-kali dinuqilkan pemeriksaan tentang
ini.
Umar ra menulis surat ke Azerbaijan:
“Sesungguhnya kamu berada dalam negeri yang disembelihkan padanya bangkai. Maka
perhatikanlah yang disembelih dari yang mati !”. Beliau mengizinkan bertanya
dan menyuruh bertanya. Dan beliau tidak menyuruh tanyakan tentang
dirham-dirham, yang menjadi harganya. Karena kebanyakan dirham mereka, bukanlah
harga kulit, walaupun kulit itu dijual juga. Dan kebanyakan kulit itu memanglah
seperti yang demikian. Dan seperti demikianlah Ibnu Mas’ud ra mengatakan:
“Sesungguhnya kamu berada dalam negeri, dimana kebanyakan tukang dagingnya
orang Majusi (penyembah matahari dan api). Maka perhatikanlah yang disembelih
dari yang bangkai !”.
Ibnu Mas’ud ra mengkhususkan dengan suruh
menanyakan, disebabkan banyaknya mereka. Dan maksud dari bab ini tidak jelas,
kecuali dengan menyebutkan gambaran-gambaran dan mengumpamakan
persoalan-persoalan yang banyak terjadinya menurut kebiasaan. Maka di bawah
ini, kami berikan contoh-contoh persoalan-persoalan (masalah) itu:
Suatu
masalah.
Seorang tertentu, dimana hartanya bercampur
dengan yang haram, umpamanya: hartanya itu dijualkan di kedai makanan rampokan
atau harta yang dirampas. Dan seumpama: dia itu qadli (hakim) atau kepala atau
pekerja atau ahli fiqh (faqih) yang selalu pergi kepada sultan yang zalim,
dimana ia juga mempunyai harta warisan dan menjadi kepala sesuatu daerah atau
perniagaan. Atau seorang saudagar yang mengadakan mu’amalah (perniagaan) secara
sah dan juga mengerjakan riba. Maka jikalau adalah yang terbanyak dari hartanya
itu haram, niscaya tidak boleh memakan dari jamuannya. Tidak boleh menerima
hadiah dan sedekahnya, kecuali sesudah diperiksa. Maka jikalau telah terang,
bahwa yang diambil dari segi yang halal, maka yang demikian itu sudah jelas.
Dan kalau tidak, niscaya ditinggalkan. Dan kalau ada yang haram itu sedikit dan
diambil itu meragukan, maka ini menjadi tempat perhatian. Karena berada pada
suatu tingkat diantara dua tingkat.
Karena telah kita tetapkan, bahwa kalau
serupalah hewan sembelihan dengan 10 bangkai umpamanya, niscaya wajiblah
dijauhkan semuanya. Dan ini menyerupai yang itu dari segi, dimana harta dari
orang seorang, adalah seperti jumlah yang terbatas. Lebih-lebih apabila
banyaknya harta itu tidak seperti sultan. Dan menyalahi dari itu, dari segi,
karena bangkai itu diketahui adanya sekarang dengan yakin. Dan yang haram yang
mencampuri hartanya, mungkin telah keluar dari tangannya (Dari kepunyaannya).
Dan tidak ada lagi sekarang padanya. Dan kalau harta itu sedikit dan diketahui
dengan pasti, bahwa yang haram itu ada sekarang, maka ini dan masalah
percampuran bangkai itu satu. Dan kalau banyaklah harta dan mungkin yang haram
itu tidak ada sekarang, maka ini adalah lebih ringan dari itu. Dan menyerupakan
dari segi campuran dengan yang tidak terbatas, seperti: di pasar-pasar dan di
kampung-kampung. Tetapi lebih berat dari itu, karena tertentunya dengan orang
seorang. Dan tidak diragukan, bahwa menyerbu mengambilkannya adalah jauh sekali
dari menjaga diri. Tetapi memandang dia itu fasiq, adalah berlawanan bagi
keadilan. Dan ini juga dari segi yang dinuqilkan, adalah tidak jelas. Karena
tarik-menariknya barang-barang yang serupa. Dan dari segi yang dinuqilkan,
adalah tidak jelas pula. Karena apa yang dinuqilkan dari para sahabat, tentang
menolaknya mereka dalam hal yang seperti ini. Dan begitu pula dari para
tabi’in, yang mungkin dipertanggungkan kepada menjaga diri. Dan tidak diperoleh
padanya nash (dalil yang tegas) tentang pengharamannya. Dan apa yang dinuqilkan
tentang tampil memakan, seperti makannya Abu Hurairah akan makanan Mu'’wiah
umpamanya, jika diumpamakan pada jumlah yang ada dalam tangannya itu haram,
maka yang demikian juga mungkin adanya tampil memakan itu, sesudah pemeriksaan.
Dan ternyata bahwa yang dimakannya itu adalah dari segi yang mubah
(diperbolehkan). Maka segala perbuatan tentang ini, adalah berdalilkan yang
lemah. Dan mazhab-mazhab dari para ulama mutaakh-khirin (ulama-ulama yang
terakhir sesudah abad ke-4 H), adalah berbeda-beda. Sehingga sebahagian mereka
mengatakan: “Jikalau diberikan kepadaku oleh sultan sesuatu, niscaya aku
mengambilkannya”. Dan ditolak pembolehan itu, mengenai barang, apabila adalah
yang terbanyak juga yang haram, manakala barang yang diambil itu tidak dikenal
dan mungkin dia itu halal. Dan diambil dalil, dengan sebahagian salaf itu
mengambil harta-harta pemberian sultan, sebagaimana akan datang nanti pada “Bab
Penjelasan Harta sultan-sultan”.
Apabila adalah yang haram itu tersedikit
dan mungki tidak ada lagi sekarang, niscaya tidaklah memakannya itu haram. Dan
kalau diyakini adanya sekarang, seperti: pada masalah serupa hewan sembelihan
dengan bangkai, maka ini termasuk apa yang aku tidak tahu, apa yang akan aku
katakan. Dan yaitu termasuk syubhat-syubhat (diragukan) yang mengherankan orang
yang berfatwa (mufti). Karena meragukan antara syubhat (diragukan) yang
terbatas dan yang tidak terbatas. Dan wanita susuan apabila serupa dengan 10
wanita lain di suatu kampung, niscaya wajiblah menjauhkan perkawinan. Dan kalau
itu di suatu negeri yang berpenduduk 10 ribu, niscaya tidaklah wajib menjauhkan
perkawinan. Dan diantara yang dua itu, terdapat bilangan-bilangan. Jikalau aku
tanyakan tentang itu, niscaya tidaklah aku ketahui apa yang akan aku katakan.
Dan para ulama telah menghentikan dahulu
mengenai beberapa masalah, yang lebih terang dari ini. Karena ditanyakan Ahmad
bin Hanbal ra tentang seorang laki-laki yang menembak dengan panah binatang
buruan. Lalu terjatuh ke dalam milik orang lain. Maka adakah binatang buruan
tersebut kepunyaan si penembak atau si pemilik tanah tempat jatuh binatang
buruan itu ? maka Imam Ahmad ra menjawab: “Aku tidak tahu (La adri)”. Kemudian
ditanyakan lagi beliau beberapa kali, maka beliau selalu menjawab:: “Aku tidak
tahu”. Dan banyaklah yang demikian kami ceritakan dari ulama salaf pada “Kitab
Ilmu”. Maka hendaklah mufti memutuskan kelobaannya untuk mengetahui hukum
tersebut pada segala rupa persoalannya.
Ibnul-Mubarak bertanya kepada temannya dari
Basrah, tentang perniagaannya dengan orang-orang yang berdagang dengan sultan-sultan.
Maka teman itu menjawab: “Jika orang-orang itu tiada berdagang selain dengan
sultan, maka janganlah engkau berdagang dengan mereka. Dan jika mereka
berdagang dengan sultan dan lainnya maka berdaganglah dengan mereka !”. Dan ini
menunjukkan kepada berlapang dada (musamahah) mengenai yang sedikit. Dan
mungkin juga berlapang dada pada yang banyak.
Kesimpulannya, tidaklah dinuqilkan dari
para sahabat, bahwa mereka itu meninggalkan secara keseluruhan, akan perniagaan
dengan tukang daging, tukang roti dan saudagar. Karena ia melakukan suatu ‘aqad
yang batal atau karena sekali berdagang dengan sultan. Dan taksiran yang
demikian itu mengenai tadi, akan diterangkan kemudian. Masalah itu dengan
sendirinya sulit. Kalau ada yang mengatakan, bahwa telah diriwayatkan dari Ali
bin Abi Thalib ra bahwa beliau memberi kelapangan tentang itu. Dan beliau
berkata: “Ambillah apa yang diberikan kepadamu oleh sultan ! karena
sesungguhnya diberikannya kepadamu dari yang halal. Dan apa yang diambilnya
dari yang halal, adalah lebih banyak dari yang haram”. Ibnu Mas’ud ra
ditanyakan orang tentang itu, lalu penanya itu berkata kepadanya: “Sesungguhnya
aku mempunyai tetangga, yang tidak aku ketahui dia, kecuali orang buruk, yang
mengundang kami atau yang kami memerlukan. Lalu kami meminta pinjam padanya”.
Maka Ibnu Mas’ud menjawab: “Apabila ia mengundang kamu, maka perkenankanlah.
Dan apabila kamu memerlukan, maka pinjamkanlah padanya ! karena sesungguhnya
kamu mempunyai kepuasan dan atasnyalah tempat dosa”. Salman berfatwa seperti
yang demikian itu. Dan Ali memberi alasan, disebabkan banyak. Dan Ibnu Mas’ud
ra memberi alasan, dengan jalan isyarat, bahwa keatas pundak orang itu dosa.
Karena ia mengetahui yang demikian. Dan engkau sendiri mempunyai kepuasan.
Artinya engkau tiada mengetahui yang demikian itu. Diriwayatkan, bahwa seorang
laki-laki berkata kepada Ibnu Mas’ud ra: “Sesungguhnya aku mempunyai tetangga
yang memakan riba. Lalu ia mengundang kami kepada makanannya. Apakah kami
datang ?”. Ibnu Mas’ud ra menjawab: “Ya, datanglah !”. Dan mengenai yang
demikian itu, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra banyak riwayat yang
bermacam-macam.
Asy-Syafi’i ra dan Malik ra mengambil
pemberian khalifah-khalifah dan sultan-sultan, serta mengetahui, bahwa harta
mereka itu bercampur dengan yang haram. Kami jelaskan, bahwa apa yang
diriwayatkan dari Ali ra maka sesungguhnya telah terkenal dari menjaga dirinya
Ali, akan keadaan yang menunjukkan sebaliknya dari yang demikian. Adalah ia
menolak harta baitulmal, sampai ia menjual pedangnya. Dan ia tidak mempunyai,
selain sehelai baju kemeja pada waktu mandi, dimana ia tiada memperoleh yang
lain. Dan aku tidak membantah, bahwa kelapangan yang diberikannya, adalah tegas
tentang pembolehannya. Dan perbuatannya itu, adalah mungkin karena menjaga
dirinya. Tetapi jikalau benar, maka harta sultan itu baginya hukum yang lain.
Karena dengan hukum banyaknya, hampirlah dihubungi dengan apa yang tidak
terbatas. Dan akan datang penjelasan yang demikian. Dan begitupula perbuatan
Asy-Syafi’i ra dan Malik ra adalah berhubungan dengan harta sultan. Dan akan
datang penjelasan hukumnya. Dan sesungguhnya penjelasan kami tentang
orang-orang seorang dari manusia dan harta mereka, adalah mendekati kepada
hinggaan.
Adapun perkataan Ibnu Mas’ud ra maka ada
yang mengatakan, bahwa perkataan itu dinuqilkan oleh Khuat At-Taimi. Dan Khuat
itu hafalannya lemah. Dan yang terkenal dari Ibnu Mas’ud ra adalah menunjukkan
kepada dijaganya benar dari syubhat-syubhat (diragukan). Karena ia mengatakan:
“Janganlah seseorang kamu mengatakan: “Aku takut dan aku harap !”. Karena yang
halal itu terang dan yang haram itu terang. Dan diantara yang demikian itu,
hal-hal yang menjadi syubhat (diragukan). Maka tinggalkanlah apa yang meragukan
kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu !”. Dan Ibnu Mas’ud ra berkata:
“Jauhkanlah segala gurisan hati ! maka padanya itu dosa !”. Kalau ada yang
mengatakan: “Mengapakah kamu mengatakan, apabila adalah yang terbanyak itu
haram, niscaya tiada dibolehkan mengambil. Sedang yang diambil itu tak ada
padanya tanda yang menunjukkan kepada pengharamannya secara khusus. Sedang
tangan, adalah tanda milik. Sehingga siapa yang mencuri harta orang yang
seperti itu, niscaya dipotong tangannya. Dan banyak itu mewajibkan sangkaan
yang terlepas, yang tiada berhubungan dengan benda itu sendiri. Maka hendaklah
sangkaan itu, seperti kerasnya sangkaan pada debu jalan raya. Dan kerasnya
sangkaan pada percampuran dengan tidak terabtas, apabila adalah yang terbanyak
itu, ialah yang haram. Dan tidaklah boleh mengambil dalil kepada ini, dengan
umumnya sabda Nabi saw: “Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada apa yang
tidak meragukan kamu !”. Karena itu dikhususkan kepada sebahagian tempat dengan
ittifaq (kesepakatan) para ulama. Yaitu: bahwa tidak meragukannya dengan suatu
tanda pada benda yang dimilik itu, dengan dalil percampuran yang sedikit dengan
yang tiada terbatas. Maka yang demikian itu mewajibkan keraguan. Dan bersama
itu, kamu putuskan dengan tidak diharamkan. Maka jawabannya, adalah: bahwa
tangan itu dalil yang lemah, seperti istishab (menyertakan hukum kepada yang
sudah), . Dan baru dipilih (diambil), apabila tangan itu terpelihara dari
penantang yang kuat.
Apabila telah kita yakini bercampur dan
kita yakini bahwa haram yang bercampur itu ada sekarang dan harta itu tidak
terlepas dari haram tadi dan kita yakini bahwa yang terbanyak ialah yang haram
dan yang demikian itu terhadap hak orang seorang yang tertentu, yang mendekati
hartanya dari hinggaan, niscaya jelaslah wajib berpaling dari kehendak tangan
itu. Dan kalau tidak dibawa kepadanya sabda Nabi saw: “Tinggalkanlah apa yang
meragukan kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu !” niscaya tidak adalah
baginya tempat pembawaan. Karena tidak mungkin dibawa kepada campuran yang
sedikit, dengan halal yang tidak terbatas. Karena yang demikian itu terdapat
pada zaman Nabi saw dan beliau tidak meninggalkannya. Dan ke tempat yang mana
saja ini dibawa, adalah ini dalam pengertiannya. Dan membawanya kepada
pembersihan (tanzih), adalah memalingkan dari yang zahir, tanpa logika. Karena
mengharamkan yang demikian itu, tiada jauh dari logika tanda-tanda dan istishab
(menyertakan hukum kepada yang sudah), . Dan banyaknya itu, mempunyai bekas
pada menetapkan sangkaan. Dan begitupula bagi: hinggaan. Dan keduanya (banyak
dan hinggaan) itu telah berkumpul. Sehingga
Abu Hanifah ra berkata: “Janganlah engkau berijtihad ( mengeluar kan
pendapat) tentang bejana-bejana, kecuali apabila adalah yang suci itu
terbanyak. Maka disyaratkan berkumpul: istishab (menyertakan hukum kepada yang
sudah), mengeluarkan pendapat dengan tanda dan kekuatan banyaknya. Dan orang
yang mengatakan, dimana ia mengambil bejana yang mana saja, adalah maksudnya,
dengan tanpa mengeluarkan pendapat, berdasarkan kepada istishab (menyertakan
hukum kepada yang sudah), semata-mata. Maka
bolehlah meminum pula, lalu mengharuskan pembolehan disini, dengan semata-mata
tanda dari tangan. Dan tidak dibolehkan yang demikian, pada kencing yang serupa
dengan air. Karena tak ada istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah), padanya. Dan tidak juga kita datangkan
istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),
pada bangkai yang serupa dengan binatang sembelihan. Karena tak ada
istishab (menyertakan hukum kepada yang sudah),
pada bangkai. Dan tangan tidak menunjukkan bahwa itu bukan bangkai. Dan
tangan itu menunjukkan pada makanan yang mubah, dimana makanan itu telah rusak.
Maka disini, terdapat 4 hal yang bersangkut-paut: istishab (menyertakan hukum
kepada yang sudah), , sedikit pada yang bercampur atau banyak, terbatas atau
meluas pada yang bercampur dan tanda khusus pada benda itu sendiri, yang
bersangkutan mengeluarkan pendapat padanya. Maka siapa yang lalai dari kumpulan
yang 4 ini, kadang-kadang ia tersalah. Lalu ia menyerupakan sebahagian masalah
dengan yang tiada menyerupainya. Maka hasillah dari apa yang telah kami
sebutkan dahulu, bahwa yang bercampur pada milik orang seorang, adakalanya yang
haram itu terbanyak atau tersedikit. Dan masing-masingnya, adakalanya diketahui
dengan yakin atau dengan sangkaan (zhan) tanpa tanda atau dengan dugaan. Maka
menanyakan adalah wajib pada dua tempat. Yaitu: adalah yang haram itu terbanyak
dengan yakin atau zhan. Seperti jikalau ia melihat orang Turki yang tidak
dikenal, yang mungkin semua hartanya adalah dari rampasan perang. Dan kalau
adalah yang tersedikit itu diketahui dengan yakin, maka itu adalah tempat
menghentikan persoalan (tawaqquf). Dan hampirlah itu, berjalan menurut apa yang
dijalani oleh kebanyakan ulama terdahulu (salaf). Dan hal-hal yang darurat,
adalah kepada kecondongan kepada rukhshah (diberi kelapangan, tidak
dipersempitkan). Adapun 3 bahagian yang tinggal, maka menanyakan padanya
tidaklah wajib sekali-kali.
Suatu
masalah.
Apabila datang makanan dari seseorang
manusia, yang diketahui, bahwa telah masuk dalam tangannya barang yang haram
dari perputaran yang ada, yang telah di ambilnya atau dari segi lain dan tidak
diketahui, apakah yang haram itu masih ada sampai sekarang atau tidak ada lagi,
maka bagi orang yang menerima makanan tersebut, boleh memakannya. Dan tidaklah
harus ia memeriksa. Dan sesungguhnya pemeriksaan pada makanan tersebut, adalah
termasuk: menjaga diri. Dan kalau diketahuinya, bahwa masih ada dari yang haram
itu sesuatu, tetapi tidak diketahuinya, apakah tersedikit atau terbanyak, maka
bolehlah diambilnya, disebabkan sesuatu itu tersedikit. Dan telah diterangkan
bahwa keadaan yang tersedikit itu adalah menyulitkan. Dan ini mendekati kepada
yang demikian itu.
Suatu
masalah.
Apabila ada dalam tangan pengurus harta sosial atau waqaf
atau wasiat, dua macam harta, dimana ia berhak salah satu dari keduanya dan ia
tidak berhak yang satu lagi, karena yang satu lagi itu, bukanlah dari harta
yang diterangkan tadi. Maka bolehkah ia mengambil apa yang diserahkan kepadanya
oleh yang empunya waqaf ? disitu harus diperhatikan ! kalau sifat harta yang
disebutkan diatas itu terang, yang dikenal oleh yang mengurus itu dan yang
mengurus itu adalah terang keadilannya, maka bolehlah ia mengambil, tanpa
penyelidikan. Karena sangkaan dengan yang mengurus, bahwa pengurus itu tidak
menyerahkan kepadanya, apa yang diserahkannya, kecuali dari harta yang
bermustahak (yang layak
dimiliki) ia padanya. Dan kalau sifat dari harta itu tersembunyi dan yang
mengurus itu termasuk orang yang dikenalnya keadaannya, bahwa ia
mencampur-adukkan dan tidak memperhatikan bagaimana ia berbuat, maka haruslah
menanyakan. Karena tidak adalah disini tangan dan istishab (menyertakan hukum
kepada yang sudah), yang dapat
diperpegangi. Dan yaitu sejalan dengan pertanyaan Rasulullah saw dari sedekah
dan hadiah, ketika meragukan beliau tentang keduanya. Karena tangan tidaklah
dapat menentukan hadiah dari sedekah. Dan tidak istishab (menyertakan hukum
kepada yang sudah). Maka tidaklah terlepas daripadanya, kecuali dengan
pertanyaan. Maka pertanyaan, dimana kita gugurkan pada orang yang tidak
dikenal, maka gugurkan pula pada tanda dari tangan dan Islam. Sehingga, jikalau
tidak diketahui, bahwa orang itu muslim dan bermaksud mengambil dari tangannya
daging dari hewan sembelihannya dan mungkin dia itu orang Majusi, niscaya tidak
dibolehkan mengambil, selama belum dikenal, bahwa dia itu muslim. Karena tangan
tidak menunjukkan pada bangkai. Dan tidak pula bentuk menunjukkan kepada Islam.
Kecuali apabila kebanyakan penduduk negeri itu orang muslimin. Maka bolehlah
disangka, bahwa orang yang tak ada padanya tanda kufur, adalah muslim, walaupun
ada kemungkinan kesalahan padanya. Maka tiada seyogyalah diragukan
tempat-tempat yang diakui padanya tangan dan keadaan, dengan yang tiada diakui.
Suatu
masalah.
Boleh membeli sebuah rumah dalam suatu
negeri, walaupun diketahui bahwa rumah itu dalam lingkungan rumah-rumah yang
dirampas. Karena yang demikian itu percampuran dengan tidak terbatas. Tetapi
menanyakan, adalah tanda berhati-hati dan menjaga diri. Jika ada pada suatu
jalan yang lurus, 10 buah rumah umpamanya, satu daripadanya adalah rampasan
atau waqaf, niscaya tidaklah boleh dibeli, selama tidak dapat dibedakan. Dan
wajiblah menyelidikinya. Barangsiapa masuk ke suatu kampung dan di kampung itu
terdapat beberapa langgar, yang dikhususkan dengan pengwaqafannya oleh beberapa
penganut dari berbagai mazhab dan dia menganut suatu mazhab dari kumpulan
mazhab-mazhab tersebut. Maka tidaklah boleh baginya mendiami dimana saja
dikehendakinya dan memakan dari harta waqaf langgar-langgar itu, tanpa bertanya.
Karena yang demikian, adalah termasuk bab percampuran yang terbatas. Maka tak
boleh tidak daripada membeda kan. Dan tidak boleh menyerbu terus serta keadaan
yang meragukan itu. Karena langgar-langgar dan sekolah-sekolah dalam negeri,
tak boleh tidak adalah dalam jumlah yang terbatas.
Suatu masalah.
Dimana kita menjadikan: pertanyaan,
termasuk sebagian dari menjaga diri, maka tidaklah baginya menanyakan yang
empunya makanan dan harta, apabila ia tiada merasa aman dari kemarahannya. Dan
sesungguhnya kita mewajibkan: bertanya, apabila diyakini bahwa kebanyakan
hartanya itu haram. Dan dalam hal ini, tidaklah perlu diperdulikan dengan
kemarahan seperti tadi. Karena wajiblah menyakiti orang zalim dengan yang lebih
banyak dari itu. Dan biasanya, bahwa keadaan yang seperti ini, tidaklah orang
menjadi marah dengan ditanyakan. Ya, kalau ia mengambil dari tangan wakilnya
atau bujangnya atau muridnya atau sebahagian keluarga, dari orang-orang yang
berada di bawah pimpinannya, maka haruslah ia menanyakan, manakala ia mempunyai
keraguan. Karena mereka itu tidak akan marah dengan pertanyaannya. Dan karena
ia harus menanyakan untuk diajarinya mereka, jalan yang halal. Dan karena
itulah, Abubakar ra menanyakan bujangnya. Dan Umar ra menanyakan orang yang
menyugukan kepadanya minuman dari susu unta sedekah (zakat). Dan beliau
menanyakan pula Abu Hurairah ra tatkala membawa kepadanya harta banyak, seraya
berkata: “Hai, apakah semua ini bagus ?”, dimana beliau merasa ta’jub dari
karena banyaknya. Dan Abu Hurairah ra itu adalah termasuk rakyatnya.
Lebih-lebih beliau penuh kasih sayang pada kata-kata pertanyaan itu. Dan
begitupula Ali ra berkata: “Tidaklah yang paling disukai Allah Ta’ala, selain
dari keadilan imam dan kasih sayangnya. Dan tiadalah yang paling dimarahiNya, selain
dari kezaliman imam dan kekasarannya”.
Suatu masalah.
Al-Harts Al-Muhasibi ra berkata: “Jikalau
mempunyai teman atau saudara dan merasa aman dari kemarahannya jikalau
ditanyakan, maka tiada seyogyalah menanyakannya, karena semata-mata: menjaga
diri. Karena kadang-kadang menampak kepadanya apa yang tertutup daripadanya.
Maka pertanyaan itu telah membawa kepada merusakkan kehormatan diri. Kemudian
yang demikian itu membawa kepada kemarahan”. Dan apa yang disebutkan Al-Harts
tadi, adalah baik. Karena menanyakan itu, apabila timbul dari menjaga diri,
tidak dari karena wajib, maka menjaga diri dalam hal-keadaan yang seperti ini,
untuk menjaga dari merusakkan kehormatan dan mengobarkan kemarahan, adalah
lebih penting. Dan Al-Harts menambahkan dari ini, lalu berkata: “Dan jika
meragukannya pula daripadanya sesuatu, niscaya tidaklah ditanyakannya. Dan
menyangka bahwa makanan yang disugukan itu, adalah baik dan dijauhkannya dari
makanan yang keji. Kalau hatinya tidak tenteram kepada keadaan makanan itu,
maka hendaklah dijaganya dengan lemah-lembut. Dan janganlah merusakkan
kehormatan nya dengan pertanyaan”. Ia berkata: “Karena sesungguhnya aku tiada
melihat seorangpun dari para ulama yang melakukan pertanyaan itu”. Maka inilah
ucapan dari Al-Harts Al-Muhasibi, serta dengan kemasyhurannya tentang zuhud,
yang menunjukkan kepada musamahah (berlapang dada, maaf-memaafkan), mengenai
sesuatu, apabila ia bercampur dengan harta haram yang sedikit. Tetapi yang
demikian itu: adalah ketika ada persangkaan. Tidak ketika telah meyakinkan.
Karena kata-kata: keraguan, menunjukkan kepada persangkaan, dengan dalil yang
menunjukkan kepadanya. Dan tidak mendatangkan keyakinan. Maka hendaklah dijaga
segala yang halus-halus ini, dengan sebab menanyakan itu !
Suatu masalah.
Kadang-kadang ada orang yang mengatakan:
“Apakah faedahnya pertanyaan kepada orang, yang sebahagian hartanya haram dan
orang yang memandang halal harta yang haram, yang kadang-kadang membohong ?
kalau ia percaya dengan amanahnya, maka hendaklah ia mempercayai dengan
keagamaannya mengenai yang halal itu !”. Maka aku menjawab, bahwa manakala
diketahui bercampurnya harta seseorang dengan yang haram dan orang itu
mempunyai maksud dengan kehadiranmu pada perjamuannya atau penerimaanmu akan
hadiahnya, maka tidaklah berhasil kepercayaan dengan katanya: “Tiada faedah
menanyakan itu”. Maka seyogyalah menanyakan kepada orang lain. Dan begitupula
kalau dia itu penjual, dimana ia gemar berjualan, untuk mencari keuntungan.
Maka tidaklah berhasil kepercayaan dengan katanya: “Bahwa barang itu halal”.
Dan tak adalah faedah bertanya tentang barang itu. Dan sesungguhnya ia
menanyakan pada orang lain. Dan ia menanyakan dari hal orang yang mempunyai
tangan (kekuasaan) pada barang tersebut, apabila orang itu bukan orang
tertuduh. Sebagaimana ditanyakan oleh orang yang mengusai harta sosial dahulu,
terhadap harta yang diterimanya, bahwa harta itu dari pihak mana datangnya. Dan
sebagaimana Rasulullah saw menanyakan tentang hadiah dan sedekah (zakat). Maka
sesungguhnya yang demikian itu, tidaklah menyakitkan. Dan begitupula, apabila
ia menuduhnya, bahwa ia tidak mengetahui jalan usaha yang halal, maka janganlah
ia menuduh kepada perkataannya, apabila ia menerangkan jalan yang sah. Dan
seperti itu pula, dengan menanyakan bujangnya dan pesuruhnya, adalah untuk
mengetahui jalan usahanya. Maka dalam hal ini disini, pertanyaan itu adalah
mendatangkan faedah. Apabila yang empunya harta itu tertuduh, maka hendaklah
ditanyakan kepada orang lain. Kalau diterangkan oleh seorang adil, niscaya
hendaklah diterimanya. Dan kalau diterangkan oleh orang fasiq, yang
diketahuinya menurut keadaannya, bahwa orang itu tidak akan berdusta, dimana,
tak ada maksud baginya pada pendustaan itu, niscaya bolehlah diterima
keterangan itu. Karena ini adalah antara dia dan Allah Ta’ala. Dan yang dicari,
ialah kepercayaan hati. Dan itu kadang-kadang berhasil dari kepercayaan dengan
perkataan orang fasiq, akan apa yang tidak berhasil dengan perkataan orang
adil, dalam sebahagian hal. Dan tidaklah tiap-tiap orang fasiq itu membohong.
Dan tidaklah tiap-tiap orang yang engkau lihat adil pada zahirnya itu berkata
benar. Dan sesungguhnya untuk menjadi saksi itu, dihubungkan dengan keadilan
secara zahir, karena diperlukan oleh hukum. Karena hal yang batin, tiadalah
yang dapat melihatnya. Dan Abu Hanifah ra menerima kesaksian orang fasiq. Dan
berapa banyak orang yang engkau kenal dan engkau kenal dia itu mengerjakan
perbuatan-perbuatan ma’siat. Kemudian apabila ia menerangkan sesuatu kepadamu,
lalu kamu percaya. Dan begitupula apabila bercerita anak kecil yang telah dapat
membedakan buruk dengan baik (mumayyiz), yang engkau kenal dia berpendirian
tetap. Maka kadang-kadang memperoleh kepercayaan dengan perkataannya. Lalu
bolehlah berpegang diatas perkataannya itu. Adapun apabila diterangkan oleh
orang yang tidak dikenal, yang tidak diketahui sekali-kali, sesuatu dari
keadaannya, maka ini termasuk orang yang kita perbolehkan memakan dari barang
yang didalam tangan kekuasaannya. Karena tangannya itu, petunjuk yang nyata
tentang miliknya. Dan kadang-kadang dikatakan, bahwa Islamnya itu petunjuk yang
nyata tentang kebenarannya. Dan ini, sebenarnya haruslah ada penelitian. Dan
tidaklah terlepas perkataannya itu dari membekas kedalam jiwa. Sehingga kalau
berkumpullah dari mereka suatu kumpulan orang yang mendatangkan zhan yang kuat
(hampir mendekati kepada yakin), selain, bahwa bekas orang seorang padanya
adalah sangat lemah, maka hendaklah diperhatikan kepada batas membekasnya
kedalam jiwa. Karena yang berfatwa itu, adalah hati pada tempat yang seperti
ini. Dan bagi hati penolehan-penolehan kepada tanda-tanda yang tersembunyi,
yang sempit daripadanya lapangan tutur bicara. Maka hendaklah diperhatikan pada
yang demikiaan itu ! Dibuktikan kepada wajibnya penolehan kepada yang tersebut,
ialah apa yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin Al-Hartas, bahwa “Uqbah datang
kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Sesungguhnya aku telah mengawini seorang
wanita, maka datanglah seorang budak wanita hitam, menda’wakan, bahwa ia telah
menyusukan kami berdua, sedang ia sebenarnya dusta”. Lalu Rasulullah saw
menjawab: “Tinggalkanlah wanita yang kamu kawini itu !”. Maka ‘Uqbah
menjawab: “Bahwa budak wanita itu hitam,
yang keadaannya menampak kecil”. Lalu Nabi saw menjawab: “Ya, bagaimana, dia
telah mendakwakan, bahwa dia telah menyusukan kamu berdua. Tak ada kebaikannya
bagimu pada wanita yang kamu kawini itu. Tinggalkanlah dia, jangan menjadi
isterimu lagi !”. Dan pada kata-kata yang lain: “Ya, bagaimana dan sudah
dikatakan.........”. Walaupun tidak diketahui kedustaan orang yang tidak
dikenal dan tidak menampak tanda sesuatu maksud baginya pada benda itu, tetapi
tidak mustahil mempunyai pengaruh kedalam hati. Maka karena itulah, dikuatkan
keadaan dengan pemeliharaan. Jikalau tenteramlah hati kepadanya, niscaya
pemeliharaannya itu adalah wajib yang tidak dapat dielakkan.
Suatu masalah.
Dimana menanyakan itu wajib, maka jikalau
bertentangan keterangan dua orang adil, niscaya kedua keterangan itu
jatuh-menjatuhkan (keduanya tidak berlaku). Dan begitupula keterangan dua orang
fasiq. Dan dibolehkan menjadi terkuat dalam hatinya keterangan seorang dari dua
orang adil atau seorang dari dua orang fasiq. Dan bolehlah dikuatkan salah satu
dari dua pihak itu dengan sebab banyaknya atau dengan sebab khusus dari
pengalaman dan pengetahuannya. Dan yang demikian itu, adalah termasuk yang
bercabang-cabang untuk menggambarkannya.
Suatu masalah.
Jikalau suatu benda tertentu dirampas
orang, lalu ia menjumpai dari yang semacam itu, suatu benda dalam tangan orang
dan ia bermaksud membelinya. Dan mungkin benda itu bukan dari benda yang
dirampas tadi. Maka dalam hal ini, kalau orang itu termasuk orang yang
dikenalnya baik, niscaya bolehlah membelinya. Dan meninggalkan membelinya,
adalah setengah dari: wara”. Dan kalau orang itu tidak dikenal, yang tidak
diketahuinya dari orang itu suatupun, maka jikalau banyaklah macam benda itu
dari yang bukan benda rampasan, maka bolehlah ia membeli. Dan kalau benda itu
tidak diperoleh pada tempat tersebut, kecuali jarang sekali dan banyaknya itu
disebabkan rampasan, maka tidaklah yang menunjukkan kepada halal, selain oleh
tangan (yang memegang barang itu). Dan telah ditentang oleh tanda khas tentang
bentuk dan macam dari benda tersebut. Maka mencegah daripada membelinya, adalah
termasuk menjaga diri yang penting. Tetapi wajiblah padanya diperhatikan,
karena tanda itu bertentangan. Dan tidaklah aku sanggup menetapkan padanya
suatu hukum, melainkan aku kembalikan kepada hati dari orang yang meminta
fatwa, untuk diperhatikannya mana yang lebih kuat pada hatinya. Kalau yang
lebih kuat, bahwa barang itu barang rampasan, niscaya haruslah ditinggalkannya.
Dan jikalau bukan yang demikian, niscaya halallah baginya membelinya. Dan
kebanyakan dari kejadian-kejadian ini, keadaan meragukan. Sehingga menjadi
sebahagian dari syubhat-syubhat (diragukan) yang tidak diketahui oleh
kebanyakan orang. Maka barangsiapa menjaga diri dari syubhat-syubhat
(diragukan) itu, maka sesungguhnya ia terlepas untuk kehormatan dan agamanya.
Dan barangsiapa mengerjakannya, maka sesungguhnya ia bermain keliling hutan
larangan dan membahayakan bagi dirinya.
Suatu masalah.
Kalau ada yang mengatakan, bahwa Rasulullah
saw telah menanyakan tentang susu yang disugukan kepadanya, lalu disebutkan
bahwa susu itu dari seekor kambing. Maka beliau menanyakan tentang kambing
tersebut: “Kambing dari mana ?”. Lalu diterangkan kepadanya, maka diamlah
beliau dari bertanya. Maka wajibkah bertanya tentang asal harta atau tidak
wajib ? dan kalau wajib, maka dari 1 asal atau 2 asal atau 3 ? dan apakah tanda
yang menghinggakan padanya ? Maka aku menjawab: tak ada hinggaan dan taksiran
padanya. Tetapi diperhatikan kepada kesangsian yang menghendaki kepada
bertanya, adakalanya wajib atau menjaga diri. Dan tak ada maksud kepada
pertanyaan, selain untuk dapatlah terputusnya kesangsian yang menghendaki
kepada bertanya itu. Dan yang demikian itu berbeda dengan berbedanya keadaan.
Dan kalau ada tuduhan dari segi tidak diketahui yang mempunyai tangan (yang
menguasai barang itu), bagaimana jalan usaha itu yang halal ? maka kalau ia menjawab:
“Aku beli”, niscaya selesailah dengan suatu pertanyaan saja. Dan kalau ia
menjawab: “Dari kambingku”, niscaya timbullah keraguan tentang kambing
tersebut. Maka apabila ia menjawab: “Aku beli”, niscaya selesailah. Dan kalau
keraguan itu dari kezaliman dan yang demikian itu, mengenai barang yang berada
dalam tangan orang-orang Arab dan terjadi dalam tangan mereka itu, barang
rampokan, maka tidaklah kesangsian itu hilang, dengan katanya: “Bahwa itu dari
kambingku”. Dan tidak pula dengan katanya: “Bahwa kambing itu, dilahirkan oleh
kambingku”. Kalau disandarkan nya kepada warisan dari bapaknya dan keadaan
bapaknya itu tidak diketahui, niscaya putuslah pertanyaan. Dan kalau diketahui
bahwa semua harta bapakanya itu haram, maka telah teranglah haram. Dan jika
diketahui, bahwa yang terbanyak hartanya haram, maka dengan banyaknya beranak,
lamanya waktu dan berjalannya pusaka kepadanya, tidaklah mengobahkan hukum.
Maka hendaklah diperhatikan tentang segala pengertian itu !
Suatu masalah.
Aku ditanyakan tentang suatu kumpulan dari
penghuni Khanaqah Shufiah (tempat tinggal orang-orang shufi). Dan pada tangan
pesuruh mereka yang menghidang
kan makanan kepada mereka, ada harta yang
diwaqafkan untuk tempat tersebut. Dan ada lagi waqaf yang lain kepada pihak
yang lain, selain dari mereka. Dan pesuruh tadi mencampur-adukkan semua dan
membelanjakannya untuk mereka yang golongan ini dan mereka yang golongan itu.
Maka memakan makanan itu halal atau haram atau syubhat (diragukan) ? Lalu aku
menjawab, bahwa ini harus diperhatikan kepada 7 pokok:
Pokok
Pertama: bahwa makanan yang disugukan kepada mereka, biasanya
dibelinya dengan cara beri-memberi (mu’athah). Dan yang kami pilih, ialah
sahnya beri-memberi, lebih-lebih mengenai makanan dan barang-barang yang tidak berharga.
Maka dalam hal ini tidak lain, selain dari diragukan perbedaan pendapat.
Pokok Kedua:
bahwa diperhatikan, apakah pesuruh itu membelinya dengan benda harta yang haram
atau membeli tidak dengan kontan. Kalau dibelinya dengan benda harta yang
haram, maka itu haram. Dan jika tidak diketahui, maka biasanya dibelinya dengan
harga tidak kontan. Dan bolehlah berpegang dengan kebiasaan itu. Dan tidaklah
terjadi pengharaman dari ini, bahkan diragukan pun suatu kemungkinan yang jauh.
Yaitu membelinya dengan benda harta haram.
Pokok Ketiga: bahwa dari manakah
dibelinya ? kalau dibelinya dari orang yang kebanyakan hartanya haram, niscaya
tidaklah diperbolehkan. Dan jika yang tersedikit hartanya itu haram, maka
padanya pemerhatian yang telah diterangkan dahulu. Dan apabila tidak diketahui,
niscaya bolehlah ia mengambil, bahwa dibelinya dari orang, yang hartanya halal.
Atau dari orang yang tidak diketahui oleh si pembeli akan keadaannya dengan
yakin, seperti orang yang tidak dikenal. Dan telah dahulu penjelasan, tentang
bolehnya membeli dari orang yang tidak dikenal. Karean demikianlah biasanya.
Maka tidaklah terjadi dari ini pengharaman, tetapi kemungkinan syubhat
(diragukan).
Pokok
Keempat: bahwa dibelinya untuk dirinya sendiri atau untuk kaumnya.
Maka yang mengurus dan pesuruh adalah seperti pengganti dari orang itu. Dan ia
boleh membeli untuk orang itu dan untuk dirinya sendiri. Tetapi adalah yang
demikian itu dengan niat atau kata-kata yang tegas. Dan apabila pembelian itu
berlaku dengan mu’athah (beri-memberi), maka tidaklah berlaku lafadh
(kata-kata). Dan biasanya, tidaklah diniatkan ketika mu’athah itu. Penjual
daging, penjual roti dan orang-orang yang melakukan mu’amalah (perniagaan)
dengan dia, adalah berpegang kepada yang demikian dan bermaksud penjualan
daripadanya. Tidak dari orang-orang yang tidak datang ke tempat penjualan itu.
Maka terjadilah penjualan dari pihaknya dan masuklah barang itu ke dalam
miliknya. Dan pokok ini, tak adalah padanya pengharaman dan syubhat (diragukan).
Tetapi tetaplah bahwa mereka itu memakan dari kepunyaan pesuruhnya.
Pokok
Kelima: bahwa pesuruh itu menyugukan makanan kepada mereka. Maka
tidak mungkin makanan tersebut dijadikan sebagai jamuan dan hadiah, tanpa
‘iwadl (penggantinya atau harganya). Karena ia tidak akan rela dengan cara yang
demikian. Dan sesungguhnya ia menyugukan karena berpegang kepada ‘iwadlnya dari
harta waqaf. Maka itu adalah, ganti-menggantikan (mu’awadlah). Tetapi tidaklah
itu penjualan dan penghutangan. Karena jikalau bangunlah ia untuk menuntut
harga dari mereka, niscaya amat jauhlah yang demikian. Dan petunjuk dari
keadaan, tidaklah menunjukkan kepadanya. Maka pokok yang terjadi padanya
keadaan itu, lebih menyerupai dengan hibah dengan syarat mendapat pahala. Ya’ni:
hadiah, yang tak ada kata-kata padanya dari seseorang, yang dikehendaki oleh
petunjuk keadaannya, bahwa ia mengharap akan pahala. Dan itu adalah benar. Dan
pahala itu sudah semestinya. Dan disini, pesuruh itu tidaklah mengharapkan
untuk memperoleh pahala tentang apa yang disugukannya, kecuali hak mereka dari
harta waqaf itu, untuk melunaskannya hutang pada tukang roti, tukang daging dan
tukang sayur. Maka ini tak adalah syubhat (diragukan) padanya. Karena tidaklah
diisyaratkan kata-kata pada hadiah dan pada penyuguan makanan dan walaupun ia
menunggu pahala. Dan tak usah diperhatikan perkataan orang yang tidak mensahkan
hadiah dengan menunggu pahala.
Pokok Keenam: bahwa pahala yang
lazim padanya terjadi pertikaian paham. Maka ada yang mengatakan, bahwa itu
yang tersedikit dari barang yang berharga. Ada yang mengatakan: sekedar
nilainya. Dan ada yang mengatakan: apa yang direlai oleh yang memberi. Sehingga
baginya boleh tidak merelai dengan berlipat-ganda nilai harga. Dan yang sah
(ash-shahih), ialah kerelaannya itu dituruti. Maka apabila ia tidak rela,
niscaya dikembalikan kepadanya. Dan disini, pesuruh itu telah rela dengan apa
yang diambilnya dari hak penghuni itu, atas harta waqaf. Kalau adalah hak
mereka menurut apa yang dimakannya, maka telah selesailah persoalan. Dan kalau
kurang dan pesuruh itu merelainya, niscaya sah pula yang demikian. Dan kalau
diketahui bahwa pesuruh itu tidak rela, jikalau tidak adalah dalam tangannya,
harta waqaf yang lain yang diambilnya dengan kekuatan para penghuni itu, maka
seolah-olah ia telah merelai mengenai pahala, sekedar setengahya halal dan
setengahnya lagi haram. Dan haram itu, tidak masuk dalam tangan para penghuni
itu. Maka ini adalah seperti kecederaan yang menobros kepada harga. Dan telah
kami terangkan hukumnya sebelum ini dahulu. Dan sesungguhnya apabilakah ia
menghendaki pengharaman dan pabilakah ia menghendaki syubhat (diragukan) ? dan
ini tidak menghendaki pengharaman, sepanjang apa yang telah kami uraikan
dahulu. Maka tidaklah terbalik hadiah itu menjadi haram, dengan sampainya orang
yang berhadiah dengan sebab hadiahnya kepada haram.
Pokok Ketujuh: bahwa hutang untuk
tukang roti, tukang daging dan tukang sayur, dibayar dari kemurahan orang-orang
yang berwaqaf. Maka jikalau mencukupi apa yang diambil oleh pesuruh dari hak
para penghuni itu untuk harga makanan yang disugukan kepada mereka, maka telah
sahlah persoalan tersebut. Dan jika kurang daripada mencukupi, lalu tukang
daging dan tukang roti itu rela dengan harga manapun juga, baik halal atau
haram, maka ini adalah suatu kecederaan yang menular pula kepada harga makanan.
Maka hendaklah diperhatikan kepada apa yang telah kami sebutkan dahulu, tentang
harga yang tidak kontan. Kemudian harga itu dibayar dari yang haram. Ini,
apabila diketahui, bahwa dibayarnya dari yang haram. Tetapi jikalau yang
demikian itu merupakan suatu kemungkinan dan kemungkinan pula yang lain, maka
kesyubhat (diragukan)an itu adalah amat jauh. Dan dapat dipahami dari ini,
bahwa makanan yang tersebut itu tidaklah haram. Tetapi memakan syubhat
(diragukan). Dan itu, adalah jauh dari: menjaga diri. Karena pokok-pokok ini,
apabila telah banyak dan menjalar kemungkinan kepada masing-masingnya, niscaya
kemungkinan haram, disebabkan banyaknya, menjadi lebih kuat dalam jiwa. Sebagaimana
hadits, apabila telah panjang isnadnya (sandarannya yang sambung menyambung
dari seorang ke seorang), menjadi kemungkinan dusta dan kesalahan padanya
menjadi lebih kuat daripada apabila isnadnya masih dekat. Ini adalah hukum
kejadian dan menjadi sebahagian dari fatwa-fatwa. Dan kami telah bentangkan
semuanya, supaya diketahui cara mengeluarkan segala kejadian yang
bertimbun-timbun yang serupa atau dengan lainnya. Dan bagaimana
mengembalikannya kepada pokok-pokoknya. Dan itu adalah sebahagian dari apa yang
tidak disanggupi oleh kebanyakan juru fatwa (mufti-mufti).
BAB KEEMPAT: tentang bagaimana keluarnya orang yang
bertaubat dari kezaliman-kezaliman kehartaan.
Ketahuilah, bahwa siapa yang bertaubat dan
dalam tangannya ada harta yang bercampur, maka keatas pudaknya tugas pada
memperbedakan yang haram dan mengeluarkan yang haram itu. Dan suatu tugas lagi
tentang tempat penggunaan yang dikeluarkan itu. Maka hendaklah diperhatikan
pada dua tugas berikut:
PERHATIAN
PERTAMA: tentang bagaimana memperbedakan dan mengeluarkan itu.
Ketahuilah, bahwa tiap-tiap orang yang
bertaubat dan dalam tangannya sesuatu yang haram, yang diketahui bendanya, dari
rampokan atau simpanan orang atau lainnya, maka dalam hal ini urusannya mudah.
Maka haruslah ia memperbedakan yang haram itu. Dan kalau harta itu meragukan
yang bercampur-baur, maka tidaklah terlepas, adakalanya berada dalam harta yang
mempunyai keserupaan, seperti biji-bijian, uang emas dan perak (nuqud) dan
minyak. Dan adakalanya berada dalam benda yang berbeda-beda, seperti:
budak-budak belian, rumah-rumah dan kain-kain. Maka kalau ada dalam benda-benda
yang keserupaan atau adanya meratai dalam harta semuanya, seperti: orang yang
mengusahakan harta dengan berniaga, yang diketahui, bahwa orang itu berdusta
pada sebahagian perniagaannya dalam mencari keuntungan dan bertindak benar pada
sebahagian yang lain. Atau orang itu merampas minyak orang dan mencampurkannya
dengan minyaknya sendiri. Atau ia berbuat demikian, pada biji-bijian atau
dirham dan dinar. Maka tidak terlepaslah yang demikian itu, adakalanya
jumlahnya diketahui atau tidak diketahui. Kalau jumlahnya diketahui, umpamanya:
diketahui bahwa sejumlah setengah dari hartanya itu haram, maka haruslah ia
memperbedakan yang setengah itu. Dan jika sulit, maka baginya 2 jalan: salah
satu dari dua jalan itu, mengambil menurut yang diyakini. Dan satu jalan lagi,
mengambil menurut yang berat dugaan.
Dan keduanya itu, telah dikatakan
oleh para ulama tentang keraguan jumlah rakaat shalat. Dan kami tidak
membolehkan pada shalat, kecuali mengambil dengan yang diyakini. Karena
asalnya, adalah masih dalam tanggungan. Lalu memakai istishab (menyertakan
hukum kepada yang sudah). Dan itu tidak berobah, kecuali dengan sesuatu tanda
yang kuat. Dan tak adalah pada bilangan rakaat itu, tanda-tanda yang dapat
dipercayai.
Adapun disini, maka tidaklah mungkin dikatakan,
bahwa: yang asal ialah apa yang dalam tangannya itu haram. Tetapi itu adalah
suatu kesulitan. Maka bolehlah ia mengambil dengan keras dugaan, secara ijtihad
(mengeluarkan pendapat). Tetapi yang menjaga diri, ialah mengambil dengan yang
diyakini. Kalau menghendaki menjaga diri maka jalan untuk menjaga dan berijtihad
(mengeluarkan pendapat/pertimbangan), ialah tidak menetapkan yang tinggal,
selain jumlah yang diyakininya, bahwa itu adalah halal. Dan kalau ia
berkehendak mengambil dengan dugaan, maka jalannya -umpamanya- bahwa dalam
tangannya ada harta perniagaan yang telah rusak sebahagiannya. Lalu ia yakin bahwa
½ halal dan 1/3 -umpamanya- haram dan tinggallah 1/6 yang diiragukannya. Maka
ditetapkanlah pada yang 1/6 itu dengan keras dugaan. Dan begitulah kiranya,
cara berhati-hati pada tiap-tiap harta. Yaitu: bawah dipotong kadar yang
diyakini dari kedua pihak: tentang halal dan haramnya. Dan kadar yang diragukan
itu, jika keras dugaannya haram, niscaya dikeluarkannya. Dan jika keras
dugaannya halal, niscaya bolehlah baginya menahaninya. Dan yang menjaga diri
ialah mengeluarkannya. Dan jika ia ragu padanya niscaya boleh menahan. Dan yang
menjaga diri ialah mengeluarkan nya. Dan menjaga diri ini adalah lebih kuat,
karena barang itu menjadi diragukan. Dan boleh menahannya, karena berpegang
bahwa barang itu dalam tangannya. Maka adalah kehalalan itu mengerasinya. Dan
telah menjadi lemah sesudah yakin bercampurnya dengan yang haram. Dan mungkin
dikatakan, bahwa: yang asal ialah pengharaman. Dan ia tidak mengambil, kecuali
apa yang keras dugaannya, bahwa barang itu halal. Dan tidaklah salah satu dari
kedua pihak itu lebih utama dari yang lain. Dan tidaklah jelas bagiku sekarang
tarjih (menguatkan salah satu daripadanya). Dan itu adalah sebahagian dari
hal-hal yang menyulitkan. Kalau ada yang mengatakan: umpamakanlah, bahwa ia
mengambil dengan yakin. Tetapi yang dikeluarkannya tidak diketahuinya, bahwa
itu benda yang haram. Lalu mungkin yang haram itu, apa yang masih dalam
tangannya. Maka bagaimanakah ia tampil kepada barang itu ? Jikalau ini boleh,
niscaya bolehlah dikatakan: apabila bercampur bangkai dengan 9 hewan sembelihan,
maka bangkai itu adalah 1/10. Lalu bolehlah ia melemparkan satu yang mana saja
yang satu itu dan mengambil serta menghalalkan yang tinggal. Tetapi dapat
dikatakan: mungkin bangkai itu termasuk dalam apa yang masih tinggal. Bahkan
kalau dilemparkannya 9 dan tinggal satu, niscaya tidak juga halal. Karena
mungkin yang satu itu yang haram. Maka kami menjawab, bahwa penimbangan ini
adalah sah, jikalau tidaklah harta itu menjadi halal dengan mengeluarkan
gantinya, supaya berjalanlah pergantian kepadanya. Adapun bangkai maka tidaklah
berjalan pergantian padanya. Maka hendaklah dibukakan tabir dari kesulitan ini,
dengan mengumpamakan, pada dirham tertentu yang serupa dengan dirham yang lain,
pada orang yang mempunyai dua dirham. Salah satu dari keduanya itu haram, yang
telah serupa bendanya. Dan Ahmad bin Hanbal ra ditanyakan tentang hal yang
seperti ini. Lalu beliau menjawab: “Ditinggalkan semua, sehingga jelas”. Beliau
telah menggadaikan bejananya. Maka tatkala beliau melunaskan hutangnya lalu
oleh yang menerima gadaian itu membawa kepadanya dua bejana, seraya mengatakan:
“Saya tidak tahu, yang mana dari dua ini bejana tuan”. Maka Ahmad bin Hanbal
meninggalkan keduanya. Kemudian yang menerima gadaian itu berkata: “Ini yang
bejana tuan. Aku sesungguhnya ingin mencoba tuan”. Maka Ahmad bin Hanbal
melunaskan hutangnya, dan beliau tidak mengambil barang gadaian itu. Dan ini,
adalah menjaga diri namanya. Tetapi kami mengatakan, bahwa yang demikian itu
tidaklah wajib. Maka hendaklah kita umpamakan persoalan tentang uang dirham,
yang mempunyai pemilik tertentu yang hadir disitu. Lalu kami mengatakan:
apabila dikembalikan kepadanya salah satu dari dua dirham dan dia rela dengan
demikian serta diketahuinya keadaan yang sebenarnya, niscaya halallah baginya
dirham yang satu lagi. Karena tidaklah terlepas, adakalanya yang dikembali kan
itu pada ilmu Allah itulah yang diambil dahulu. Maka dengan demikian telah
berhasillah maksud. Dan jikalau bukanlah yang demikian, maka sesungguh nya
telah berhasillah bagi masing-masing, sedirham ke dalam tangan pemiliknya.
Untuk menjaga (ihtiath), ialah keduanya jual-menjual dengan mengucapkan
kata-kata. Kalau tidak dilaksanakan yang demikian, niscaya terjadilah
ambil-mengambilkan dan ganti menggantikan dengan semata-mata beri-memberi (mu’athah)
itu. Dan kalau orang yang dirampok, telah hilang suatu dirham kepunyaannya
dalam tangan perampok dan sukar memperoleh dirham itu sendiri dan ia berhak
tanggungan dari si perampok itu, maka manakala diambilnya dirham dari si
perampok, niscaya berhasillah pengembalian itu, tanpa tanggungan lagi dari si
perampok, dengan semata-mata diterima oleh yang kena rampok. Dan ini pada pihak
yang kena rampok itu sudah terang. Karena apa yang ditanggung oleh perampok
untuknya, adalah dimilikinya tanggungan itu dengan semata-mata diterimanya,
tanpa ada kata-kata.
Dan yang mengandung
pertanyaan, ialah dari segi yang lain, bahwa dirham itu tidak masuk kedalam
miliknya. Maka kami menjawab, karena dia juga kalau sudah menerima dirhamnya
sendiri, niscaya luputlah pula baginya dirham yang dalam tangan orang lain.
Maka tidaklah mungkin sampai kepadanya, lalu dirham itu seperti barang yang
jauh. Maka jatuhlah ini kedalam miliknya, sebagai gantinya pada ilmu Allah
–kalau benarlah keadaan seperti yang demikian. Dan terjadilah ganti-menggantikan
itu pada ilmu Allah sebagaimana terjadinya ambil-mengambilkan, jikalau 2orang,
masing-masing dari keduanya menghilang kan dirham kepunyaan temannya. Bahkan
mengenai masalah kita ini sendiri, jikalau masing-masing melemparkan apa yang
dalam tangannya kedalam laut atau membakarnya, niscaya adalah ia telah
menghilangkannya. Dan tak adalah diatas seseorang janji untuk yang lain, dengan
jalan ambil-mengambilkan. Maka begitupula apabila ia tidak menghilangkannya.
Sesungguhnya mengatakan dengan itu, adalah lebih utama daripada kembali kepada
pendirian, bahwa orang yang mengambil sedirham yang haram dan mencampakkannya
kedalam beribu-ribu dirham kepunyaan orang lain, lalu jadilah semua harta itu
dibekukan, tidak diperbolehkan melakukan sesuatu pada harta itu. Dan aliran ini
membawa kepadanya. Maka perhatikanlah tentang jauhnya dari kebenaran mengenai
ini ! dan tidaklah pada apa yang telah kami sebutkan, selain meninggalkan
kata-kata. Dan mu’athah (beri-memberi) itu, adalah penjualan. Dan orang yang tidak
menjadikan mu’athah itu penjualan, maka kiranya berjalan kepadanya kemungkinan.
Karena perbuatan itu melemahkan keterangannya dan kiranya mungkin mengucapkan
kata-kata. Dan disini, penyerahan dan penerimaan itu, adalah pasti untuk
ganti-menggantikan. Dan penjualan itu tidak mungkin. Karena barang yang dijual
tidak ditunjukkan dan tidak diketahui bendanya. Dan kadang-kadang, barang itu,
termasuk barang yang tidak dapat dijual, sebagaimana kalau dicampurkan sekati
tepung dengan 1000 kati tepung kepunyaan orang lain. Dan begitupula manisan
lebah, buah tamar yang belum kering dan tiap-tiap barang yang tidak dapat
dijual sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain. Kalau ada yang
mengatakan: bahwa kamu telah memboleh kan penyerahan sekedar haknya pada
persoalan yang seperti ini dan kamu menjadikannya penjualan. Maka kami
menjawab, bahwa kami tidak menjadikannya penjualan. Tetapi kami mengatakan: itu
adalah ganti dari apa yang telah hilang dari dalam tangannya. Maka dimilikinya,
sebagaimana orang yang dihilangkan buah tamarnya, akan memiliki, apabila telah
mengambil sebanyak barangnya. Ini adalah apabila ditolong oleh yang mempunyai
harta. Maka jikalau tidak ditolongnya dan diberinya kemelaratan dan mengatakan:
“Aku sekali-kali tidak akan mengambil dirham, kecuali benda dirham yang
kepunyaanku. Kalau meragukan, maka aku tinggalkan, tidak akan aku berikan dan
aku akan biarkan hartamu kepadamu”. Maka aku menjawab, bahwa haruslah hakim
(qadli) menggantikannya pada penerimaan. Sehingga baiklah untuk orang itu
hartanya. Karena ini adalah semata-mata kedengkian dan penyempitan. Dan agama
tidaklah bermaksud dengan demikian. Kalau ia tidak sanggup mencari hakim dan
tidak memperolehnya, maka hendaklah dicarinya seorang perantara (hakam) yang
beragama, untuk menerima barang itu daripadanya.
Kalau ia tidak
sanggup mencari orang perantara, maka diurus olehnya sendiri. Dan diasingkannya
sedirham dengan niat akan menyerahkan kepada orang itu. Dan ditentukannya
dirham itu untuk orang tersebut dan baiklah sisanya untuknya sendiri. Dan ini,
mengenai campuran barang cair, adalah lebih jelas dan sudah semestinya yang
demikian. Kalau ada yang mengatakan, bahwa seyogyalah halal baginya mengambil
dan memindahkan hak kedalam tanggungan nya, maka apakah perlunya lagi,
pertama-tama kepada mengeluarkan, kemudian menggunakan pada yang sisanya ? Kami
menjawab, bahwa telah berkata orang-orang yang mengatakan, halallah baginya
mengambil, selama masih ada sekedar yang haram dan tidaklah dibolehkan
mengambil semuanya. Dan jikalau diambilnya, niscaya tidak dibolehkan yang
demikian. Berkata ulama-ulama yang lain: tidaklah baginya mengambil, selama
tidak dikeluarkan kadar haram dengan taubat dan bermaksud menggantikan.
Berkata ulama-ulama
yang lain: diperbolehkan bagi yang mengambil pada penggunaannya, untuk
mengambilkan daripadanya. Adapun dia maka janganlah memberi. Kalau
diberikannya, niscaya ia berbuat ma’siat dan tidaklah ma’siat orang yang
mengambil daripadanya. Dan apa yang diperbolehkan satu, niscaya diambillah
semua. Dan yang demikian itu, karena si pemilik kalau telah jelaslah dia, maka
dia boleh mengambil haknya dari jumlah tersebut. Karena ia mengatakan:
“Moga-moga yang diserahkan kepadaku, adalah jatuh pada benda yang menjadi hakku
sendiri”. Dan dengan penentuan pengeluaran hak orang lain dan pembedanya, maka
tertolaklah kemungkinan itu. Maka harta tersebut menjadi kuat dengan
kemungkinan ini terhadap lainnya. Dan apa yang mendekati kepada haknya, adalah
didahulukan, sebagaimana didahulukan benda yang serupa dengan bendanya, daripada
nilainya. Dan didahulukan benda itu sendiri daripada benda yang serupa baginya.
Maka seperti itu pula, apa yang mungkin padanya dikembalikan nilainya. Dan yang
mungkin padanya dikembalikan benda itu sendiri, didahulukan daripada apa, yang
mungkin padanya dikembalikan barang yang serupa. Dan jikalau boleh untuk ini
dikatakan demikian, niscaya bolehlah bagi pemilik dirham yang lain, untuk
mengambil dua dirham dan menggunakan kedua dirham itu, seraya mengatakan: “Atas
saya membayar hakmu dari tempat yang lain”. Karena percampuran itu dari dua
pihak. Dan tidaklah milik salah seorang dari keduanya untuk ditakdirkan hilang
itu, lebih utama dari milik yang lain. Kecuali diperhatikan kepada yang
tersedikit. Lalu ditakdirkan hilang kedalamnya. Atau diperhatikan kepada yang
bercampur, lalu dijadikan dengan perbuatannya itu, berimpit dengan hak orang
lain. Keduanya itu, adalah jauh sekali. Dan ini jelas pada barang-barang yang
mempunyai keserupaan. Karena ia terjadi sebagai ganti pada barang-barang yang
dihilangkan, dari bukan aqad (jual-beli).
Adapun apabila
serupa sebuah rumah dengan beberapa rumah atau seorang budak dengan beberapa
orang budak, maka tiadalah jalan kepada damai-mendamaikan dan rela-meralakan.
Kalau ia enggan mengambil, selain benda yang haknya sendiri dan ia tidak
sanggup kepada yang demikian dan pihak yang lain bermaksud menghalangi
terhadapnya semua miliknya, maka kalau barang-barang itu bersamaan nilainya,
maka jalan yang harus ditempuh, ialah hakim (qadli) menjual semua rumah itu dan
membagi-bagikan kepada mereka harganya dengan kadar sebanding. Dan kalau
perbandingan itu berlebih kurang, niscaya hakim itu mengambil dari yang meminta
dijual, akan nilainya rumah yang terbaik. Dan diserahkannya kepada yang
mencegah penjualan, kadar nilai yang tersedikit. Dan dihentikan dulu jumlah
yang berlebih-kurang itu, menunggu penjelasan atau perdamaian, karena itu
mengandung kesulitan. Dan kalau tidak diperoleh hakim (qadli), maka bagi orang
yang menghendaki penyelesaian sedang barang itu semua dalam tangannya, bahwa
mengurus yang demikian itu oleh dirinya sendiri. Dan ini adalah suatu
kemuslihatan. Dan selainnya dari kemungkinan-kemungkinan, adalah lemah, dimana
kami tidak memilihnya. Dan pada yang dahulu itu, adalah peringatan kepada
sebab-musababnya. Dan ini, adalah jelas pada gandum dan kurang jelas pada uang
(nuqud). Dan pada benda adalah lebih kabur lagi. Karena tidaklah sebahagiannya
dapat menjadi ganti dari sebahagian yang lain. Maka karena itulah, diperlukan
kepada dijual. Dan marilah kami gambarkan dengan beberapa masalah, yang akan
sempurna penjelasan pokok ini dengan masalah-masalah itu:
Suatu masalah.
Apabila mendapat warisan bersama sekumpulan
orang lain dan adalah sultan telah merampas harta kepunyaan pewaris mereka.
Lalu sultan itu mengembalikan kepada pewaris tadi sepotong yang tertentu dari
harta itu, maka yang sepotong yang tersebut, menjadi milik bagi semua ahli
waris. Dan kalau dikembalikan oleh sultan setengah dari harta tersebut, dimana
yang setengah itu adalah kadar hak dari pewaris tadi, niscaya bersama-samalah
ahli waris memperoleh bahagian daripadanya. Karena setengah yang untuknya itu
tidaklah dapat diperbedakan. Sehingga dikatakan, bahwa yang setengah itu, ialah
yang dikembalikan tadi dan yang masih tinggal itulah yang dirampas. Dan tidaklah
yang setengah itu menjadi dapat diperbedakan dengan niat dari sultan dan
maksudnya, membataskan yang dirampas itu, dalam bahagian para ahli waris yang
lain.
Suatu masalah.
Apabila jatuh kedalam tangannya harta, yang
diambilnya dari sultan yang zalim. Kemudian ia bertaubat. Dan harta itu adalah
benda yang tidak bergerak. Dan telah berhasil dari benda itu keuntungan. Maka
seyogyalah diperkirakan sewa yang pantas, karena lamanya benda itu dalam
tangannya. Dan begitupula semua barang yang dirampas, yang bermanfaat atau
berhasil daripadanya tambahan. Maka tidaklah sah taubatnya, selama tidak
dikeluarkan sewa dari benda yang dirampas itu. Dan begitupula tiap-tiap
tambahan yang berhasil dari benda itu. Dan penaksiran dari sewa budak-budak,
kain-kain, bejana-bejana dan yang lain-lain yang seumpamanya, dari
barang-barang yang tidak dibiasakan penyewaannya, adalah termasuk hal yang
sukar. Dan yang demikian itu tidak dapat diketahui, kecuali dengan ijtihad
(mengeluarkan pendapat/pertimbangan) dan kira-kiraan. Dan begitu pulalah
tiap-tiap penilaian yang terjadi dengan ijtihad (mengeluarkan
pendapat/pertimbangan). Dan jalan menjaga diri ialah mengambil dengan yang
lebih jauh. Dan apa yang diperolehnya dari keuntungan pada harta rampokan pada
segala ‘aqad jual-beli yang diadakannya dengan tidak kontan dan dibayarnya
harga dari harta itu, maka adalah menjadi miliknya. Tetapi padanya syubhat
(diragukan). Karena harganya adalah harta haram, sebagaimana telah disebutkan
dahulu hukumnya. Dan kalau harga itu dibayar dengan benda dari harta itu, maka
segala ‘aqadnya adalah batal. Dan sesungguhnya ada yang mengatakan:
dilaksanakan ‘aqad-‘aqad itu dengan mempersewakan barang yang dirampok,
karena sesuatu kepentingan. Maka orang
yang kena rampok itu adalah yang lebih utama berhak dengan yang demikian. Dan
menurut logika, segala ‘aqad itu dibatalkan. Harganya minta dikembalikan dan
barang-barang itu dikembalikan. Kalau tidak sanggup, karena banyaknya, maka
semuanya itu adalah harta haram, yang diperoleh dalam tangannya. Maka bagi
orang yang kena rampok, menurut modal hartanya. Dan yang lebih itu adalah
haram, yang wajib dikeluarkan untuk disedekahkan. Dan tidaklah halal bagi yang
merampok dan bagi yang kena rampok. Tetapi hukumnya adalah hukum tiap-tiap yang
haram yang jatuh kedalam tangannya.
Suatu masalah.
Barang siapa memperoleh harta warisan dan
ia tidak tahu, bahwa pewarisnya dari mana mengusahakannya. Adakah dari yang
halal atau dari yang haram. Dan tidak ada disitu sesuatu tanda. Maka harta itu
adalah halal dengan sepakat ulama-ulama. Dan kalau diketahuinya, bahwa pada
harta warisan itu ada yang haram dan ia ragu tentang jumlahnya, niscaya
dikeluarkan kadar yang haram itu dengan hati-hati. Kalau tidak diketahuinya
yang demikian itu, tetapi diketahuinya bahwa pewarisnya adalah mengurus segala
pekerjaan untuk sultan dan mungkin ia tidak ada mengambil sesuatu dalam
pekerjaannya itu atau ada diambilnya dan tidak ada lagi dalam tangannya
sedikitpun, karena sudah lama masanya, maka ini adalah harta syubhat
(diragukan), yang baguslah dijaga (bersikap menjaga diri) daripadanya dan tidak
wajib. Dan kalau diketahuinya bahwa sebahagian harta pewarisnya adalah dari
kezaliman, maka haruslah dikeluarkan kadar yang zalim itu dengan ijtihad (mengeluarkan
pendapat/pertimbangan) Berkata setengah ulama, bahwa tidaklah wajib yang
demikian. Dan dosanya adalah keatas pundak pewaris. Ulama tersebut mengambil
dalil dengan apa yang dirawikan, bahwa seorang laki-laki diantara orang-orang
yang ditugaskan mengurus perbuatan sultan, meninggal. Lalu berkatalah seorang
sahabat Nabi saw: “Sekarang baguslah bertanya”, Artinya: untuk ahli warisnya.
Hadits tersebut adalah lemah (dla’if). Karena tidak disebutkan nama sahabat
itu. Dan mungkin hadits itu timbul dari orang yang menganggap enteng terhadap
hadits. Dan sesungguhnya ada dalam kalangan para sahabat itu, orang yang
mempermudah-mudahkan hadits. Tetapi kami tidak akan menyebutkan namanya, karena
demi kehormatan sahabat itu sendiri. Dan bagaimanakah adanya kematian seseorang
itu membolehkan yang haram yang diyakini, yang bercampur aduk ? dan dari
manakah harta ini diambil? Ya, apabila tidak diyakini, niscaya bolehlah
dikatakan, bahwa harta itu tidak diambil dengan tidak diketahui. Maka baiklah
bagi ahli waris, tidak mengetahui bahwa dalam harta itu ada yang haram yang
diyakini.
PERHATIAN KEDUA: tentang penggunaan dari harta itu.
Apabila yang haram itu telah dikeluarkan,
lalu mempunyai tiga keadaan. Adakalanya, bahwa barang haram yang dikeluarkan
dari tangan seseorang itu mempunyai pemilik tertentu. Maka wajiblah diserahkan
kepadanya atau kepada ahli warisnya. Dan kalau pemilik itu jauh, maka ditunggu
kedatangannya atau berhubungan kepadanya. Dan kalau barang itu mempunyai
tambahan dan kemanfaatan, maka hendaklah dikumpulkan segala faedahnya itu,
menunggu waktu kedatangan pemiliknya. Adakalanya barang tersebut mempunyai
pemilik tidak tertentu, dimana putus harapan daripada mengetahui siapa
orangnya. Dan tidak diketahui, apakah ia sudah meninggal, dengan ada ahli waris
atau tidak. Maka dalam hal ini, tidaklah mungkin dikembalikan kepada
pemiliknya. Dan dihentikan dahulu, sampai persoalannya menjadi jelas. Dan
kadang-kadang tidak mungkin dikembalikan, karena banyaknya pemilik, seperti
harta rampasan perang yang dicuri dengan diam-diam. Maka setelah
bercerai-berainya para pejuang, lalu bagaimanakah sanggup mengumpulkan mereka ?
dan kalau sanggup maka bagaimanakah dipecahkan satu dinar umpamanya –kepada
seribu atau dua ribu pejuang ? maka uang tersebut seyogyalah disedekahkan. Dan
adakalanya dari harta perang dari benda yang tidak bergerak dan harta-harta
yang ditujukan untuk kemuslihatan kaum muslimin seluruhnya. Maka diserahkan
yang demikian itu, untuk jembatan-jembatan, masjid-masjid, surau-surau,
usaha-usaha pada jalan ke Makkah dan hal-hal yang seperti ini, yang dapat
bermanfaat untuk semua orang yang melalui jalan itu dari kaum muslimin. Supaya
merata bagi kaum muslimin seluruhnya. Hukum dari bahagian pertama tadi, tak ada
syubhat (diragukan) padanya. Adapun bersedekah dan membangun jembatan-jembatan,
maka seyogyalah diurus oleh hakim. Maka diserahkanlah kepadanya harta, kalau
diperoleh hakim (qadli) yang beragama. Dan kalau hakim itu orang yang
menghalalkan apa yang tidak terang halal, maka dengan menyerahkan kepadanya, ia
menanggung, jikalau dimulainya apa yang tidak menjadi tanggungannya. Maka
bagaimanakah gugur daripadanya tanggungan yang telah tetap diatas pundaknya ?
tetapi hendaklah dalam hal ini –diangkat seorang perantara (hakam) dari
penduduk negeri yang berilmu dan yang beragama. Karena dengan pengangkatan
hakam tersebut, adalah lebih utama daripada hakim itu sendirian. Kalau tidak
sanggup daripada mengangkatkan hakam, maka hendaklah ia mengurus yang demikian
itu, oleh dirinya sendiri saja. Karena yang dimaksudkan ialah pengurusan.
Adapun orang yang mengurus itu sendiri, sesungguhnya kita minta dia untuk
urusan-urusan yang halus-halus, tentang kemuslihatannya. Maka janganlah
ditinggalkan pokok urusan itu, disebabkan lemah orang yang mengurusnya, dimana
ia lebih utama ketika mempunyai kesanggupan untuk itu. Kalau ada yang
menanyakan, apakah dalil harusnya bersedekah dengan barang yang haram ?
bagaimanakah bersedekah dengan barang yang bukan milik sendiri ? dan segolongan
ulama beraliran, bahwa yang demikian itu tidak dibolehkan. Karena dia itu
haram. Diceritakan dari Al-Fudlail, bahwa jatuh kedalam tangannya dua dirham.
Maka tatkala diketahuinya bahwa kedua dirham itu tidak menurut caranya, lalu
dilemparkannya kedalam batu-batu, seraya berkata: “Aku tidak bersedekah,
melainkan dengan yang baik. Dan aku tidak rela untuk orang lain dari aku, akan
apa yang aku tidak rela untuk diriku sendiri”. Maka disini kami jawab, ya, yang
demikian itu mempunyai alasan dan kemungkinan. Dan kami sesungguhnya memilih
yang sebaliknya, karena hadits, atsar dan logika.
Adapun hadits, maka perintah
Rasulullah saw supaya disedekahkan kambing panggang yang disugukan kepadanya,
maka perkataannya bahwa kambing itu haram, karena Nabi saw bersabda:
“Berikanlah kambing panggang itu untuk makanan orang-orang tawanan !”. Dan
tatkala turun wahyu Allah Ta’ala: “Alif, Lam, Mim. Dikalahkan kerajaan Rum. Di
negeri yang dekat dan mereka sesudah itu akan menang lagi nanti”. S 30 Ar Ruum
ayat 1-2-3. Lalu wahyu ini didustakan oleh kafir musyrik. Dan mereka mengatakan
kepada para sahabat Nabi saw: “Apakah pendapatmu tentang yang dikatakan oleh
temanmu (Nabi saw) yang mendakwakan, bahwa Rum itu akan kalah ?”. Lalu Abubakar
ra bertaruh dengan mereka itu dengan seizin Rasulullah saw. Maka tatkala
dibuktikan oleh Allah akan kebenarannya, lalu datanglah Abubakar membawa barang
taruhan yang beliau menangkan dalam pertaruhan dengan kafir musyrik itu. Lalu
Nabi saw bersabda: “Ini adalah haram, maka sedekahkanlah dia !”. Dan kaum
mu’min amat bergembira dengan pertolongan Allah. dan turunlah ayat yang
mengharamkan pertaruhan, sesudah diizinkan oleh Rasulullah saw kepada Abubakar
ra dalam pertaruhan –menghadan bahaya –dengan kafir-kafir itu.
Adapun atsar, maka yaitu: bahwa Ibnu Mas’ud ra membeli seorang budak
perempuan. Lalu tidak berjumpa dengan pemiliknya untuk melunaskan harganya.
Maka Ibnu Mas’ud mencari pemilik itu beberapa lamanya, tetapi tidak juga
bertemu. Lalu ia bersedekah dengan harganya itu, seraya mendoa: “Wahai Allah,
Tuhanku ! ini adalah dari pemilik itu kalau ia setuju. Dan kalau tidak, maka
pahalanya bagiku”. Al-Hasan ra ditanyakan orang tentang taubat orang yang
mengambil harta rampasan perang dengan diam-diam dan apa yang diambil
daripadanya sesudah bercerai-berai tentara, maka beliau menjawab: “Harta itu
supaya disedekahkan”. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki didorong oleh
nafsunya, lalu mengambil dengan diam-diam 100 dinar dari harta rampasan perang.
Kemudian, ia datang kepada amirnya, untuk mengembalikan uang itu. Maka amir
tersebut enggan menerimanya dan menjawab: “Bagi-bagikanlah kepada orang banyak
!”. Lalu orang tadi datang kepada Mu’awiyah, maka enggan pula Mu’awiyah
menerimanya. Kemudian ia datang kepada sebagian orang zuhud yang kuat
mengerjakan ibadah. Maka orang zuhud itu menjawab: “Serahkan 1/5 nya kepada
Mu’awiyah dan bersedekahlah yang tinggal daripadanya !”. Maka sampailah kepada
Mu’awiyah perkataan orang zuhud itu, lalu Mu’awiyah merasa sedih dan menyesal.
Karena tiada terguris yang demikian dalam pikirannya. Dan telah berpendapat
yang demikian Ahmad bin Hanbal, Al-Harts Al-Muhasibi dan segolongan orang-orang
menjaga diri.
Adapun logika, maka yaitu, dikatakan: bahwa harta tersebut
terumbang-ambing antara disia-siakan dan diserahkan kepada jalan kebajikan.
Karena telah putus-asalah daripada memperoleh pemiliknya. Dan dengan mudah
dapat dimaklumi, bahwa menyerahkannya kepada kebajikan, adalah lebih utama
daripada melemparkan nya kedalam laut. Karena kalau kita lemparkan kedalam
laut, maka kita telah hilangkan harta itu terhadap diri kita sendiri dan
terhadap pemiliknya. Dan tak ada faedah apa-apa dari tindakan yang demikian.
Dan apabila kita lemparkan kedalam tangan orang miskin, yang berdoa kepada
pemiliknya, niscaya berhasillah bagi pemiliknya keberkatan dari doa itu. Dan
berhasil bagi si miskin itu memenuhi keperluan hidupnya. Dan berhasilnya pahala
bagi si pemilik, tanpa usahanya sendiri dalam bersedekah itu, tidaklah
seyogyanya dibantah. Karena pada suatu hadits shahih tersebut: “Sesungguhnya bagi petani dan penanam,
memperoleh pahala pada tiap-tiap apa yang diperoleh manusia dan burung dari
buah-buahan dan tanamannya”. Dan yang demikian itu, adalah tanpa usahanya
sendiri. Adapun perkataan orang yang mengatakan: “Janganlah kita bersedekah,
kecuali dengan yang baik (halal)”, maka yang demikian itu, adalah apabila kita
mencari pahala untuk diri kita sendiri. Dan kita sekarang mencari kelepasan
dari kezaliman, bukan pahala. Dan kita ragu-ragu diantara menyia-nyiakan harta
itu dan menyedekahkannya. Dan kita kuatkan segi menyedekahkan dari segi
menyia-nyiakan. Dan perkataan orang yang mengatakan: “Kami tidak rela untuk
orang lain dari kami, akan apa yang kami tidak rela untuk diri kami sendiri”,
maka itu begitu pula. Tetapi haram untuk kita sendiri, karena kita tidak
memerlukan kepada harta itu. Dan bagi orang miskin adalah halal, karena
dihalalkan untuknya oleh dalil agama. Apabila dikehendaki oleh kemuslihatan
akan penghalalannya, niscaya wajiblah penghalalan itu. Dan apabila telah halal,
maka relalah kita yang halal itu untuknya. Dan kami mengatakan, bahwa baginya
boleh bersedekah kepada dirinya sendiri dan keluarganya apabila keluarganya itu
miskin. Adapun keluarga dan ahli familinya, maka tidaklah tersembunyi, karena
kemiskinan berada pada mereka, dengan adanya mereka itu dari keluarga dan ahli
familinya. Bahkan mereka adalah lebih utama orang-orang yang disedekahkan.
Adapun ia sendiri, maka bolehlah mengambil sekedar keperluan, karena diapun
orang miskin. Dan kalau ia bersedekah kepada orang miskin yang lain, niscaya
dibolehkan. Dan demikian juga, apabila dia itu miskin. Dan marilah kami
gambarkan pula dalam penjelasan pokok ini beberapa masalah:
Suatu masalah.
Apabila berada dalam tangannya harta yang
berasal dari sultan, maka segolongan ulama mengatakan, supaya harta itu
dikembalikan kepada sultan. Maka sultanlah yang lebih tahu apa yang akan
diperbuatnya, lalu diturutinya menurut kebiasaan perbuatan-perbuatan yang telah
dilakukannya. Dan itu, adalah lebih baik daripada harta itu disedekahkan.
Al-Muhasibi memilih pendapat tersebut dan mengatakan: “Bagaimana harta itu
disedekahkan ? karena mungkin harta itu ada pemiliknya yang tertentu. Dan
jikalau diperbolehkan yang demikian, niscaya diperbolehkan mencuri dari harta
yang ada dalam tangan sultan dan harta itu disedekahkan”.
Dan segolongan
ulama mengatakan: “Harta itu disedekahkan apabila diketahui bahwa sultan itu tidak
akan mengembalikannya kepada si pemiliknya. Karena yang demikian itu menolong
orang zalim dan memperbanyakkan sebab kezalimannya. Maka mengembalikan harta
itu kepada sultan, adalah menghilang kan hak pemiliknya. Dan pendapat yang
terpilih (yang lebih benar), ialah: bahwa apabila diketahui dari kebiasaan
sultan, bahwa ia tidak akan mengembalikan kepada pemiliknya, maka hendaklah ia
menyedekahkannya sebagai ganti pemiliknya. Dan yang demikian itu, adalah lebih
baik bagi si pemilik, kalau harta itu mempunyai pemilik yang tertentu, daripada
dikembalikan kepada sultan. Karena kadang-kadang harta itu tidak mempunyai
pemilik tertentu dan harta itu dalam milik kaum muslimin. Maka mengembalikannya
kepada sultan, adalah menghilangkannya. Dan kalau ada pemiliknya yang tertentu,
maka mengembalikannya kepada sultan adalah menghilangkannya. Dan menolong
sultan yang zalim dan menghilangkan keberkatan doa orang miskin kepada si
pemilik itu. Dan ini adalah jelas ! Apabila berada dalam tangannya harta pusaka
orang dan ia tiada melampaui batas, dengan mengambilnya dari sultan, maka
serupalah harta itu dengan barang yang diperoleh di jalanan (luqthah), yang
tiada harapan diketahui pemiliknya. Karena tidak boleh baginya mempergunakan
harta itu dengan menyedekah, sebagai ganti si pemiliknya. Tetapi baginya boleh
niat memiliki harta itu. Kemudian, walaupun ia orang kaya, dimana ia telah
mengusahakan harta itu dari cara mubah (cara yang diperbolehkan), yaitu:
berniat memiliki harta luqthah. Dan disini (pada harta pusaka) itu, tidaklah
harta itu diperoleh dari cara mubah. Maka diutamakan mencegahnya daripada niat
memiliki dan tidak diutamakan mencegahnya daripada bersedekah.
Suatu masalah.
Apabila anda berada dalam tangannya harta
yang tidak berpemilik dan kita perbolehkan baginya mengambil sekedar
keperluannya, karena kemiskinannya, maka mengenai: kadar keperluannya itu, ada
pandangan yang telah kami sebutkan dahulu pada “Kitab Rahasia Zakat”.
Segolongan ulama mengatakan: “Ia mengambil untuk cukup setahun bagi dirinya
sendiri dan keluarganya. Dan kalau ia sanggup membeli barang atau berniaga,
dimana ia berusaha dengan yang tersebut bagi keluarganya, maka hendaklah
dikerjakannya. Dan inilah yang dipilih oleh Al-Muhasibi. Tetapi beliau berkata:
“Yang lebih utama, ialah bersedekah dengan semuanya, jikalau ia memperoleh pada
dirinya kekuatan tawakkal. Dan menunggu kemurahan Allah Ta’ala pada yang halal.
Jikalau ia tidak sanggup, maka bolehlah ia membeli barang atau membuat modal,
yang dapat ia hidup dengan hasil yang baik dari modal itu. Dan tiap-tiap hari
ia memperoleh padanya yang halal, yang dapat menaham hari itu daripadanya. Maka
apabila telah habis, lalu ia kembali mencarinya lagi. Apabila ia memperoleh
halal yang tertentu, niscaya disedekahkannya, sebanyak yang telah dibelanjakannya
sebelumnya. Dan adalah yang demikian itu hutang padanya. Kemudian ia memakan
roti dan meninggal kan daging, jika sanggup ia secara yang demikian. Dan kalau
tidak, niscaya dimakannya daging, tanpa berlebih-lebihan nikmat dan meluas. Dan
apa yang disebutkannya, tak ada berlebihan. Tetapi dijadikannya apa yang
dibelanjakannya sebagai hutang padanya. Maka mengenai ini ada pandangan. Dan
tak ragu lagi, mengenai orang yang menjaga diri, akan menjadikannya sebagai
hutang. Maka apabila ia memperoleh yang halal, niscaya ia bersedekah sebanyak
hutang itu. Tetapi manakala yang demikian itu, tidak diwajibkan atas orang
miskin yang disedekahkan kepadanya, maka tidaklah jauh, bahwa tidak pula wajib
atasnya, apabila ia mengambilnya karena kemiskinannya. Lebih-lebih apabila
jatuh kedalam tangannya harta pusaka dan ia tidak berbuat yang melampaui batas
dengan perampokan dan usahanya. Sehingga beratlah urusan kepadanya dalam hal
keadaan yang tersebut itu.
Suatu masalah.
Apabila ada dalam tangannya yang halal dan
yang haram atau syubhat (diragukan) dan tidaklah semuanya itu melebihi dari
keperluannya. Maka apabila ia mempunyai keluarga; niscaya hendaklah ditentukan
bagi dirinya dengan yang halal. Karena alasan kepadanya, adalah lebih kuat pada
dirinya sendiri daripada mengenai hambanya, keluarganya dan anak-anaknya yang
kecil. Dan anak-anaknya yang besar, ia menjaga mereka itu dari yang haram,
kalau yang demikian itu tidak membawa mereka kepada yang lebih sulit lagi. Dan
kalau membawa kepada yang lebih berat, maka hendaklah diberinya mereka makanan
sekedar diperlukan.
Kesimpulannya, tiap-tiap yang ditakutinya pada
orang lain, maka itu adalah ditakutinya pada dirinya sendiri dan malah lebih
lagi. Yaitu: yang mengenai ilmu pengetahuan dan kekeluargaan, yang
kadang-kadang sukar, apabila tidak diketahui. Karena tidak mengurus keadaan itu
oleh dirinya sendiri. Dari itu, maka hendaklah dimulai dengan yang halal untuk
diri sendiri, kemudian dengan orang yang menjadi tanggungannya. Dan apabila
meragukan tentang hak dirinya sendiri, antara yang khusus dengan makanan dan
pakaiannya dan antara yang lainnya dari berbagai macam perbelanjaan, seperti:
ongkos pembekam, pencelup, penggunting, pemikul, mencat dengan kapur dan
minyak, pembangunan tempat tinggal, penyediaan kendaraan, pengisian lampu,
harga kayu api dan minyak lampu, maka hendaklah dikhususkannya dengan yang
halal akan makanan dan pakaiannya. Karena yang berhubungan dengan tubuhnya dan
tak boleh tidak daripadanya, adalah lebih utama bahwa adanya itu baik. Dan
apabila berkisar keadaan antara makanan dan pakaian, maka mungkinlah untuk
dikatakan, bahwa ditentukan makanan dengan yang halal. Karena makanan itu bercampur dengan daging dan darahnya. Dan
tiap-tiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka nerakalah yang lebih utama
dengan dia. Adapun pakaian, maka faedahnya menutupi aurat, menolak
panas dan dingin serta menolak kelihatan kulitnya. Dan inilah yang lebih terang
kebenarannya padaku. Dan Al-Harts Al-Muhasibi berkata, bahwa didahulukan
pakaian. Karena pakaian itu tinggal padanya beberapa lama. Dan makanan tidak
tinggal padanya. Karena apa yang dirawikan, bahwa Nabi saw bersabda: “Tidak
diterima oleh Allah, shalat orang yang padanya kain, yang dibelinya dengan 10
dirham, dimana padanya ada sedirham yang haram”. Ini mungkin. Tetapi contoh-contoh
yang seperti ini, telah datang juga mengenai orang yang dalam perutnya haram
dan dagingnya tumbuh dari yang haram. Maka memelihara daging dan tulang, bahwa
ia tumbuh dari yang halal, adalah lebih utama. Dan karena itulah, Abubakar
Ash-Shiddiq memuntahkan apa yang telah diminumnya dengan tidak tahu. Sehingga
tidaklah tumbuh daripadanya daging, yang tetap dan kekal. Kalau ada yang
mengatakan, bahwa: apabila adalah semuanya itu menjurus kepada maksudnya, maka
apakah bedanya antara dirinya dan bukan dirinya dan antara satu pihak dan pihak
yang lain dan apakah yang harus diketahui dari perbedaan ini ? Kami menjawab:
Yang demikian itu diketahui dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Rafi’ bin
Khudaij ra meninggal dunia dan meninggalkan seekor unta penyiram tanaman dan
seorang budak pembekam. Lalu ditanyakan Rasulullah saw tentang yang demikian
itu, maka Nabi saw melarang dari memakan usaha budak pembekam itu. Berkali-kali
orang kembali menanyakan yang demikian kepada Nabi saw tetapi terus melarang.
Lalu dikatakan kepada Nabi saw, bahwa Rafi’ mempunyai beberapa orang anak
yatim, maka Nabi saw menjawab: “Berikanlah hasil usaha pembekaman itu untuk
makanan unta penyiram tanaman !”. Maka ini menunjukkan kepada perbedaan, antara
apa yang dimakan olehnya sendiri atau hewannya. Apabila telah terbuka jelas
jalan perbedaan, maka qiaskanlah kepadanya uraian yang telah kami sebutkan itu
!
Suatu masalah.
Harta haram yang berada dalam tangannya,
kalau ia sedekahkan kepada orang-orang miskin, maka bolehlah ia memperluaskan
pemberiannya kepada mereka. Dan apabila ia berbelanja kepada dirinya sendiri,
maka hendaklah ia mempersempitkan pengeluarannya sekedar saja. Dan apa yang
dibelanjakannya kepada keluargannya, maka hendaklah ia berhemat dan hendaklah
sedang (ditengah-tengah) antara meluaskan dan menyempitkan. Dari itu, maka
jadilah 3 tingkat. Kalau ia berbelanja untuk tamu yang datang kepadanya dan
tamu itu orang miskin, maka hendaklah ia memperluaskan kepada tamu tersebut.
Dan kalau tamu itu orang kaya, maka janganlah diberi makanan kepadanya. Kecuali
apabila ia berada pada padang sahara atau ia datang pada malam hari dan ia
tidak memperoleh sesuatu. Karena dia pada waktu itu, adalah orang fakir. Dan
kalau orang miskin yang datang itu seorang tamu yang taqwa, jikalau tahulah ia
yang demikian, niscaya ia bersikap menjaga diri daripadanya, maka hendaklah
dibawa makanan dan diterangkan kepadanya, untuk mengumpulkan antara hak seorang
tamu dan meninggalkan penipuan ! maka tiada seyogyalah ia memuliakan saudaranya
dengan apa yang tiada disukainya. Dan tiada seyogyalah ia berpegang, bahwa ia
tiada tahu, lalu tiada membawa kemelaratan kepadanya. Karena yang haram itu, apabila telah ada dalam perut, niscaya
membekas kepada kekesatan hati, walaupun tidak diketahui oleh yang punya hati
itu. Dan karena itulah, Abubakar dan Umar ra memuntahkan apa yang
telah diminumnya, walaupun keduanya meminum itu, dengan tiada mengetahui sama
sekali. Dan pahamilah ini ! dan kalau kami telah mengeluarkan fatwa dengan
halalnya kepada orang-orang miskin, niscaya kami halalkan itu berdasarkan
keperluan kepadanya. Maka itu adalah seperti babi dan khamar, apabila kita
halalkan karena darurat. Maka tidaklah ia berhubungan dengan barang-barang yang
baik.
Suatu masalah.
Apabila adalah yang haram atau yang syubhat
(diragukan) itu, dalam tangan ibu bapaknya, maka hendaklah mencegah diri dari
memakan bersama keduanya. Kalau keduanya marah, maka janganlah menyetujuinya
pada yang semata-mata haram. Tetapi melarang keduanya. Maka tiadalah taat
kepada makhluk dalam berbuat ma’siat kepada Allah Ta’ala. Kalau harta itu
syubhat (diragukan) dan mencegah dari memakannya adalah untuk menjaga diri,
maka ini bertentangan dengan itu, bahwa yang menjaga diri, ialah mencari
kerelaan keduanya. Bahkan mencari kerelaan itu adalah wajib. Maka hendaklah
dengan lemah-lembut pada tidak menurutinya ! Jikalau tidak sanggup
berlemah-lembut itu, maka hendaklah ia menyetujuinya. Dan makanlah sedikit,
dengan mengecilkaan suap melamakan pengunyahan makanan. Dan tidak meluaskan
makan. Karena penolakan itu menimbulkan permusuhan. Saudara laki-laki dan
saudara perempuan adalah mendekat kepada yang demikian. Karena hak keduanya
juga kuat. Dan begitu pula, apabila ia diberi pakaian oleh ibunya dengan kain
syubhat (diragukan) dan ibu itu marah kalau ditolak. Maka hendaklah diterima
dan hendaklah dipakai dihadapannya. Dan hendaklah dibuka waktu di belakangnya.
Dan hendaklah menjaga benar, tidak akan bershalat pada kain itu, kecuali ketika
ada ibunya. Maka bershalatlah pada kain tadi, sebagai shalatnya orang yang
terpaksa. Dan ketika bertentanganlah sebab-sebab menjaga diri, maka seyogyalah
dianggap tidak ada detik-detik yang halus ini. Diceritakan dari Bisyr ra bahwa
ibunya menyerahkan kepadanya buah tamar yang belum kering (buah ruthab), seraya
mengatakan: “Haruslah engkau makan buah ruthab ini !”. Sedang Bisyr tidak suka
memakan nya. Maka makanlah beliau. Kemudian beliau naik ke kamar atas, lalu
ibunya pun naik di belakangnya. Maka ibunya melihatnya memuntah-muntah. Ia
berbuat demikian, karena ia ingin mengumpulkan diantara kerelaan ibu dan
pemeliharaan perut dari yang tidak halal. Ada orang yang mengatakan kepada
Ahmad bin Hanbal, bahwa Bisyr ditanyakan: “Adakah mentaati ibu bapak itu pada
yang syubhat (diragukan) ?”. Lalu Bisyr menjawab: “Tidak !”. Maka Ahmad bin
Hanbal menjawab: “Ini keras sekali !”. Lalu dikatakan kepada Ahmad bin Hanbal,
bahwa ditanyakan Muhammad bin Muqatil Al-‘Abbadani tentang syubhat (diragukan)
itu. Lalu beliau menjawab: “Berbuat baiklah kepada ibu bapakmu !”. Apakah yang akan
kamu katakan tentang itu ?”. Lalu Muhammad bin Muqatil mengatakan kepada yang
bertanya itu: “Aku suka kiranya engkau memaafkan aku, karena sesungguhnya aku
telah mendengar, apa yang dikatakan oleh ibu bapak itu”. Kemudian, Ahmad bin
Hanbal menjawab: “Alangkah baiknya engkau berbuat kebajikan kepada ibu bapak
itu”.
Suatu masalah.
Barangsiapa yang dalam tangannya harta
haram semata-mata, maka tak adalah hajji atasnya dan tidak harus ia
mengeluarkan kafarat (penebus) harta, karena dia itu orang pailit. Dan tak
wajib atasnya zakat. Karena arti zakat, ialah: wajib mengeluarkan 1/40 harta
umpamanya. Dan dalam hal ini, ia wajib mengeluarkan semuanya. Adakalanya,
mengembalikan kepada pemilknya, kalau dikenalnya atau diserahkan kepada fakir
miskin, kalau tidak dikenalnya pemiliknya. Adapun apabila harta itu harta
syubhat (diragukan), yang mungkin bahwa harta itu halal, maka apabila tidak
dikeluarkannya dari tangannya, niscaya haruslah ia mengerjakan hajji. Karena
keadaannya halal itu mungkin. Dan hajji itu tidak gugur, kecuali dengan
kemiskinan. Dan dalam hal ini kemiskinannya itu tidak diyakini. Allah Ta’ala
berfirman: “Allah mewajibkan kepada manusia mengaja Rumah Suci (mengerjakan
hajji), yaitu: orang yang kuasa mengadakan perjalanan kepadanya”. S 3 Ali
‘Imran ayat 97. Apabila wajib atasnya bersedekah dengan apa yang berlebih dari
keperluannya, dimana berat dugaannya haramnya barang tersebut, maka zakatnya
adalah lebih utama diwajibkan. Dan kalau harus ia mengeluarkan kafarat
(penebus), maka hendaklah dikumpulkannya antara puasa dan memerdekakan budak.
Supaya terlepaslah ia dengan yakin. Dan berkata suatu golongan, haruslah ia
melakukan puasa, tidak mengeluarkan makanan. Karena ia tidak mempunyai
kemampuan yang dimaklumi. Dan berkata Al-Muhasibi: “Mencukupilah ia dengan
mengeluarkan makanan”. Dan pendapat yang kami pilih, ialah: bahwa tiap-tiap
syubhat (diragukan) itu, kita hukumkan dengan wajib menjauhkannya dan kita
teruskan mengeluarkannya dari tangannya. Karena kemungkinan haram adalah lebih
keras, berdasarkan apa yang telah kami sebutkan dahulu. Maka haruslah ia
mengumpulkan antara puasa dan memberi makanan. Adapun puasa maka pada hukum,
adalah karena dia itu orang pailit. Dan adapun memberikan makanan, maka karena
telah diwajibkan kepadanya bersedekah semuanya. Dan mungkin harta itu
kepunyaannya maka adalah keharusan itu dari segi kafarat
(penebus).
Suatu masalah.
Barangsiapa yang dalam tangannya harta
haram, yang ditahannya untuk sesuatu keperluan, lalu ia bermaksud mengerjakan
hajji sunat, maka kalau ia berjalan kaki, niscaya tiada mengapa. Karena ia akan
memakan harta tersebut pada bukan ibadah. Lalu memakannya pada ibadah, adalah
lebih utama. Kalau ia tidak sanggup berjalan kaki dan memerlukan kepada
tambahan untuk kendaraan, maka tidaklah diperbolehkan mengambil untuk keperluan
seperti ini di perjalanan, sebagaimana tidak diperbolehkan membeli kendaraan
sewaktu di kampung (tidak di perjalanan). Kalau ia mengharap akan sanggup
memperoleh yang halal, kalau ia terus tinggal di kampung, dimana ia tidak
memerlukan kepada haram-haram yang lain, maka menetap di kampung untuk menunggu
yang halal itu, adalah lebih utama daripada hajji dengan berjalan kaki, dengan
harta yang haram.
Suatu masalah.
Barangsiapa keluar untuk mengerjakan hajji
wajib dengan harta, yang padanya ada syubhat (diragukan), maka hendaklah ia
bersungguh-sungguh berusaha supaya adalah makanannya dari yang halal (yang
baik). Kalau ia tidak sanggup, maka hendaklah yang halal itu dari waktu ihram,
sampai kepada waktu tahallul. Kalau tidak juga sanggup, maka hendaklah ia
berusaha sungguh-sungguh pada hari ‘Arafah, bahwa tidak adalah tegaknya di
hadapan Allah dan doanya, pada waktu makanannya itu haram dan pakaiannya itu
haram. Maka hendaklah ia berusaha sungguh-sungguh bahwa tak adalah dalam
perutnya itu yang haram dan tak ada pada punggungnya itu haram. Karena kita,
walaupun kita perbolehkan ini disebabkan karena keperluan, maka itu adalah
semacam darurat. Dan apa yang kita hubungkan itu, dengan yang baik-baik (yang
halal). Karena tidak sanggup, maka hendaklah ia mengharuskan hatinya dengan
takut dan susah. Karena dia itu terpaksa menggunakan sesuatu yang tidak baik
(yang tidak halal) itu. Semoga Allah memandang kepadanya dengan pandangan
rahmat. Dan melepaskan dia daripadanya, disebabkan kegundahan, ketakutan dan
kebenciannya kepada yang tidak baik itu.
Suatu masalah.
Ditanyakan Ahmad bin Hanbal ra, dimana yang
bertanya itu menerangkan kepadanya: “Ayahku telah meninggal dunia dan
meninggalkan harta. Dan beliau mengadakan mu’amalah (perniagaan) dengan orang
yang dimakruhkan bermu’amalah(perniagaan) ”. Lalu Imam Ahmad bin Hanbal
menjawab: “Engkau tinggalkan dari hartanya sekedar dari keuntungannya”. Yang
bertanya itu menyambung: “Ia mempunyai piutang dan hutang”. Maka Imam Ahmad
menjawab: “Engkau bayar dan engkau menerima pembayaran”. Orang itu lalu bertanya:
“Apakah tuan berpendapat demikian ?”. Maka Ahmad bin Hanbal ra menjawab:
“Apakah engkau memberikannya ditahan, disebabkan hutangnya ?”. Apa yang
disebutkan itu adalah benar. Yaitu menunjukkan, bahwa beliau melihat harus
berhati-hati dengan mengeluarkan kadar yang haram. Karena beliau berkata:
“dikeluarkan sekedar keuntungan”. Dan beliau melihat, bahwa segala benda dari
hartanya itu adalah miliknya, sebagai ganti daripada apa yang diberikannya pada
mu’amalah (perniagaan) yang batal,
dengan jalan balas-membalas dan terima-menerima. Manakala banyaklah pelaksanaan
mu’amalah (perniagaan) dan sukarnya
pengembalian dan berpegang pada pembayaran hutangnya itu kepada keyakinan, maka
tidaklah ditinggalkan, disebabkan syubhat (diragukan).
BAB KELIMA: mengenai segala harta kurnia sultan dan
segala pemberian mereka, yang halal daripadanya dan yang haram.
Ketahuilah kiranya, bahwa barangsiapa
mengambil harta dari seorang sultan (penguasa), maka tak boleh tidak harus
memperhatikan 3 perkara: tentang masuknya harta itu kedalam tangan sultan,
darimana harta itu, tentang sifatnya, yang dengan sifat itu, ia berhak
mengambilnya dan tentang kadar yang diambilnya, adakah ia berhak apabila
disandarkan kepada keadaannya dan keadaan sekutu-sekutunya dalam berhaknya itu.
PERHATIAN PERTAMA: tentang pihak-pihak masuknya
uang bagi sultan.
Tiap-tiap yang halal bagi sultan, selain
dari tempat-tempat orang ramai dan berkongsi padanya rakyat, ialah dua
bahagian:
Bagian
pertama: yang diambil dari orang-orang kafir. Yaitu: harta rampasan perang
(ghanimah), yang diambil dengan paksaan dan harta fai’, yaitu: hasil yang
diperoleh dari orang-orang kafir dalam tangan sultan, tanpa peperangan, pajak
(jizyah) dan harta-harta yang diperoleh dengan pedamaian, yaitu: yang diambil
dengan syarat-syarat dan perjanjian.
Bahagian kedua:
yang diambil dari kaum muslimin. Maka tidak halal daripadanya, kecuali dua
bahagian: harta warisan dll barang hilang yang tak tentu pemiliknya dan
harta-harta waqaf yang tak mempunyai pengurus. Adapun sedekah (zakat) maka
tidaklah terdapat pada masa ini. Dan selain dari itu, yang merupakan cukai yang
diwajibkan atas orang-orang muslim, harta-harta yang diminta dengan paksaan dan
bermacam-macam uang sogok (rasywah). Semuanya itu, adalah haram. Maka apabila
sultan menetapkan untuk seorang ahli fiqh (faqih) atau orang yang lain, sesuatu
kurnia, pemberian atau anugerah diatas suatu hal, maka tidaklah terlepas dia
dari 8 hal: adakalanya sultan menetapkan yang demikian baginya atas jizyah atau
harta warisan atau harta waqaf atau atas milik yang dihidupkan oleh sultan atau
atas milik yang dibelinya atau atas pekerja uang cukai orang-orang Islam atau
atas penjual dari sejumlah para saudagar atau atas harta simpanan negara.
Maka yang
pertama, yaitu: jizyah. 4/5 daripadanya adalah untuk kepentingan umum dan 1/5 nya
adalah untuk pihak-pihak tertentu. Maka apa yang ditentukan pada 1/5 dari
pihak-pihak itu atau pada 4/5 untuk sesuatu yang ada padanya kemuslihatan umum
dan dijaga padanya kehati-hatian, tentang kadarnya, maka itu adalah halal,
dengan syarat, bahwa tak ada jizyah itu, kecuali diwajibkan secara agama. Tak
ada padanya berlebih dari sedinar atau 4 dinar. Karena juga itu termasuk pada
tempat ijtihad (mengeluarkan pendapat/pertimbangan). Dan bagi sultan boleh
berbuat sesuatu, apa yang ada pada tempat ijtihad (mengeluarkan
pendapat/pertimbangan). Dan dengan syarat bahwa orang dzimmi (orang yang
bukan Islam, yang berada keamanannya dalam tanggung jawab pemerintah Islam)
yang dikutip jizyah daripadanya itu, adalah orang yang berusaha dari cara yang
tidak diketahui haramnya. Maka tidaklah pegawai sultan itu zalim dan juga tidak
penjual khamar, anak-anak dan wanita. Karena jizyah itu tidak dikenakan
atasnya. Maka inilah hal-hal yang harus diperhatikan, tentang cara mengenakan
jizyah, kadarnya, sifat orang yang diserahkan jizyah kepadanya dan kadar yang
akan diserahkan. Maka haruslah diperhatikan pada semua itu.
Yang kedua: harta warisan dan
harta-harta hilang dari pemiliknya. Maka harta-harta ini, adalah untuk
kepentingan umum. Dan diperhatikan, tentang orang yang meninggalkan harta itu,
adakah hartanya semuanya itu haram atau yang terbanyak daripadanya atau
bahagian yang tersedikit daripadanya. Dan telah diterangkan dahulu hukumnya.
Kalau harta tersebut tidak haram, niscaya tinggallah memperhatikan tentang
sifat orang yang akan diserahkan harta tersebut kepadanya, dengan adanya
kemuslihatan umum pada penyerahan kepadanya. Kemudian, mengenai kadar yang
diserahkan itu.
Yang ketiga: harta-harta
waqaf. Dan demikian juga berlakulah perhatian padanya, sebagaimana berlakunya pada
harta warisan, serta tambahan satu hal, yaitu: syarat orang yang mewaqafkan.
Sehingga adalah yang diambil itu sesuai bagi yang mewaqafkan, dalam segala
syarat-syaratnya.
Yang keempat: apa yang
dihidupkan oleh sultan. Dan ini tidak dipandang padanya sesuatu syarat. Karena
sultan itu boleh memberikan dari harta miliknya, apa yang dikehendakinya,
kepada siapa yang dikehendakinya dan berapa yang dikehendakinya. Hanya yang
diperhatikan, ialah tentang kebanyakan, bahwa sultan itu menghidupkan harta
yang dimiliknya itu dengan memaksakan orang-orang yang diongkosinya. Atau
dengan memberikan ongkos mereka dari harta yang haram. Karena yang dihidupkan
oleh sultan itu, terjadi dengan menggalikan parit, tali air, membangun dinding,
meratakan tanah. Dan itu tidaklah dikerjakan oleh sultan sendiri. Kalau
orang-orang itu dipaksakan bekerja, niscaya tidaklah menjadi milik sultan. Dan
itu adalah haram. Dan kalau orang-orang itu diongkosi, kemudian ongkosnya
dibayar dari harta haram, maka ini mempusakai syubhat (diragukan), yang telah
kami peringatkan dahulu tentang hubungan kemakruhan dengan ‘iwadl.
Yang kelima: apa yang dibeli
oleh sultan dengan harga yang tak kontan, baik tanah atau kain pemberian atau
kuda atau yang lain-lain. Maka itu adalah milknya dan ia boleh melakukan
sesuatu pada harta tersebut. Tetapi dia akan melunaskan harganya dari yang
haram, maka yang demikian itu pada suatu waktu mewajibkan pengharaman dan pada
waktu yang lain, syubhat (diragukan). Dan telah disebutkan dahulu
penguraiannya.
Yang keenam: bahwa sultan
menetapkan atas pekerja uang cukai orang-orang Islam atau orang yang
mengumpulkan harta-harta pembahagian dan harta yang diminta dengan paksaan. Dan
itu adalah haram semata-mata, yang tak ada syubhat (diragukan) padanya. Dan itu
adalah bahagian terbanyak dari harta-harta penganugerahan pada zaman ini.
Kecuali atas tanah-tanah di Irak, karena itu adalah diwaqafkan menurut Imam
Asy-Syafi’i ra untuk kemuslihatan kaum muslimin.
Yang ketujuh: apa yang
ditetapkan sultan atas penjual yang melakukan mu’amalah (perniagaan) dengan sultan. Kalau orang itu tidak melakukan
mu’amalah (perniagaan) dengan orang
lain, maka hartanya adalah seperti harta simpanan sultan. Dan kalau ia ada
melakukan mu’amalah (perniagaan) yang
lebih banyak dengan orang-orang selain dari sultan, maka apa yang diberikannya
itu, adalah merupakah hutang atas sultan. Dan ia akan mengambil gantinya dari
simpanan negara. Maka kecederaan itu menjalar kepada ‘iwadl. Dan telah
diterangkan dahulu hukum harga dari barang yang haram.
Yang kedelapan: apa yang
ditetapkan oleh sultan atas harta simpanan negara atau atas pekerja yang
terkumpul padanya yang halal dan yang haram. Maka kalau tidak diketahui cara
uang masuk bagi sultan, selain dari yang haram, maka itu adalah haram
semata-mata. Dan kalau diketahui dengan yakin, bahwa harta simpanan negara itu
terdiri dari harta halal dan harta haram dan mungkin yang diserahkan kepada
yang diberikan itu, terdiri dari harta halal, dengan kemungkinan yang mendekati
membekasnya kedalam jiwa dan mungkin dia itu harta haram dan ini adalah yang
terbanyak, karena kebanyakan harta sultan itu adalah haram pada masa-masa
sekarang ini dan yang halal dalam tangan mereka itu tidak ada atau sangat
jarang sekali, maka berbedalah pendapat para ulama dalam hal ini.
Segolongan mengatakan: “Tiap-tiap yang tidak
aku yakini bahwa itu haram, maka aku akan mengambilnya”. Golongan yang lain
mengatakan: “Tidak lah halal diambil, selama tidak diyakini bahwa itu halal.
Maka tidak halallah sekali-kali harta syubhat (diragukan)”. Kedua golongan
tersebut, adalah berlebih-lebihan. Dan yang sedang, ialah apa yang telah kami
sebutkan dahulu. Yaitu: hukum, bahwa apabila adalah kebanyakannya itu haram,
niscaya haramlah dia. Dan kalau adalah kebanyakannya itu halal dan padanya ada
yang diyakinkan haram, maka itu menjadi tempat yang kita hentikan dulu
persoalannya, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Diberi alasan oleh orang
yang membolehkan mengambil harta yang dianugerahkan oleh sultan, apabila dalam
harta itu ada yang haram dan ada yang halal, manakala tidak diyakini bahwa
benda yang diambil itu haram, dengan apa yang diriwayatkan dari segolongan
sahabat, bahwa mereka mengetahui hari-hari imam yang zalim dan mereka mengambil
harta dari imam-imam itu. Diantara mereka: Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Khudri,
Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari, Jarir bin Abdullah, Jabir. Anas bin
Malik dan Al-Musawwar bin Makhramah. Abu Sa’id dan Abu Hurairah mengambil dari
pemberian Marwan dan Jazid bin Abdul Malik. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dari
pemberian Al-Hajjaj. Dan kebanyakan dari tabi’in mengambil dari imam-imam yang
zalim itu, seperti Asy-Sya’bi, Ibrahim, Al-Hasan dan Ibnu Abi Laila. Dan
Asy-Syafi’i mengambil dari Harunurrasyid 1000 dinar sekaligus. Dan Imam Malik
mengambil harta banyak dari khalifah-khalifah.
Dan Ali ra berkata:
“Ambillah apa yang diberikan kepadamu oleh sultan. Karena yang diberikan
kepadamu itu, adalah dari yang halal. Dan apa yang diambilnya dari yang halal,
adalah lebih banyak. Dan sesungguhnya ditinggalkan oleh orang yang meninggalkan
(tidak mau menerima) pemberian dari imam-imam itu, adalah karena: menjaga diri,
takut membahayakan kepada agamanya, bahwa ia terbawa kepada yang tidak halal.
Tidaklah engkau ketahui ucapan Abi Dzar kepada Al-Ahnaf bin Qis: “Ambillah
pemberian apa yang ada dari pemberian itu ! kalau pemberian itu menjadi harga
agamamu, maka tinggalkanlah !”. Abu Hurairah ra berkata: “Apabila kepada kami,
niscaya kami terima dan apabila tidak diberikan, maka kami tidak meminta”. Diriwayatkan
dari Sa’id bin Al-Musayyab, bahwa Abu Hurairah ra apabila dia diberikan oleh
Mu’awiyah, maka ia berdiam diri. Dan kalau tidak diberikan, beliau tidak merasa
senang”. Dari Asy-Sya’bi, yang meriwayatkan dari Masruq, yang mengatakan:
“Senantiasalah pemberian itu pada orang-orang yang menerima pemberian, sehingga
mereka dimasukkan ke dalam neraka”. Artinya: ia dibawa oleh yang demikian
kepada yang haram, bukan pemberian itu sendiri yang haram. Nafi’ meriwayatkan
dari Ibnu Umar ra, bahwa Al-Mukhtar mengirimkan harta kepada Ibnu Umar, maka
beliau menerima kiriman itu. Kemudian berkata: “Aku tidak meminta pada
seseorang dan aku tidak menolak apa yang dianugerahi oleh Allah kepadaku”. Dan
Al-Mukhtar menghadiahkan kepadanya seekor unta, maka beliau menerima unta
tersebut. Dan orang mengatakan, bahwa unta itu adalah unta dari Al-Mukhtar.
Tetapi ini berlawanan dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ra tidaklah
menolak hadiah seseorang, selain dari hadiah Al-Mukhtar. Dan sandaran berita
tentang penolakannya itu, adalah lebih teguh. Dan dari Nafi’ bahwa beliau
berkata: “Ibnu Ma’mar mengirimkan kepada Ibnu Umar uang 60 ribu. Lalu
dibagi-bagikannya kepada orang banyak. Kemudian datanglah kepadanya orang yang
meminta. Maka beliau berhutang untuk orang itu, dari sebahagian orang yang
telah diberikannya. Dan beliau berikan kepada orang yang meminta itu”. Tatkala
datang Al-Hasan bin Ali ra kepada Mu’awiyah ra lalu Mu’awiyah berkata: “Akan
aku berikan kepadamu suatu pemberian, yang belum pernah aku berikan, kepada
seseorang sebelum kamu dari orang Arab dan tidak akan aku berikan kepada
seseorang sesudah kamu dari orang Arab”. Orang yang meriwayatkan cerita ini
menerangkan, bahwa lalu Mu’awiyah memberikan kepada Al-Hasan 400.000 dirham dan
Al-Hasan terus mengambilnya. Diriwayatkan dari Habib bin Abi Tsabit, yang
mengatakan: “Aku melihat pemberian Al-Mukhtar kepada Ibnu Umar dan Ibnu Abbas,
maka keduanya menerima hadiah itu”. Lalu orang menanyakan: “Apakah hadiah itu
?”. Habib bin Abi Tsabit menjawab: “Uang dan pakaian”.
Dari Az-Zubair bin
‘Uda, yang menerangkan, bahwa Salman berkata: “Apabila kamu mempunyai teman
pekerja atau saudagar yang berbuat riba, lalu ia mengundang kamu makan atau
sebagainya atau ia memberikan kepada kamu sesuatu, maka terimalah ! karena kesenangan
adalah bagimu dan dosa adalah atasnya”. Kalau telah tetaplah yang demikian pada
orang yang berbuat riba, maka orang zalim samalah halnya. Dari Ja’far, dimana
ia meriwayatkan dari bapaknya, bahwa Al-Hasan dan Al-Husain ra, keduanya
menerima pemberian Mu’awiyah. Hakim bin Jubair berkata: “Kami pergi kepada
Sa’id bin Jubair, dimana ia tleah dipekerjakan di daerah bawahan sungai
Al-Furat. Lalu ia mengirim kabar kepada orang-orang yang mengutip bahagian 1/10
dari hasil disitu: “Berikanlah kepada kami makanan, dari apa yang ada pada kamu
!”. Lalu makanan itu dikirimkan oleh mereka, maka Sa’id memakannya dan kamipun
memakan bersama dia”. Al-A’la bin Zuhair Al-Azadi berkata: “Telah datang
Ibrahim kepada bapakku daan Ibrahim itu adalah pekerja di Halwan. Maka ia
memberikan kepada bapakku sesuatu, lalu diterimanya. Dan Ibrahim itu berkata:
“Tiada mengapa dengan pemberian kaum pekerja. Karena kaum pekerja itu mempunyai
perbelanjaan dan rezeki dan masuklah ke rumah hartanya dari yang keji dan yang
baik. Dan apa yang diberikannya kepada tuan itu, adalah dari hartanya yang
baik”. Mereka itu semuanya menerima pemberian sultan-sultan yang zalim dan
mereka itu mengutuk orang yang mentaati sultan-sultan pada jalaan ma’siat
kepada Allah Ta’ala. Dan oleh segolongan ini mendakwakan, bahwa apa yang
dinuqilkan tentang segolongan dari ulama terdahulu, tidak mau menerimanya,
tidaklah yang demikian itu menunjukkan haram, tetapi: menjaga diri, seperti
khulafa’-rasyidin, Abi Dzar dan orang-orang zuhud yang lain. Mereka tidak mau menerima
dari yang halal mutlak karena zuhudnya dan dari yang halal yang ditakuti
akan membawa kepada yang lebih ditakuti, lantaran: menjaga diri dan taqwa. Maka
mereka kerjakan itu, adalah menunjukkan kepada bolehnya. Dan mereka tidak mau
mengerjakannya, tidaklah menunjukkan kepada pengharaman nya. Dan apa yang
dinuqilkan dari Sa’id bin Al-Musayyab, bahwa ia meninggalkan pemberian orang
yang diterimanya dalam baital-mal (kas negara), sehingga terkumpul lebih dari
30.000. Dan apa yang dinuqilkan dari Al-Hasan, tentang katanya: “Aku tidak akan
mengambil wudlu’ dari air orang yang pekerjaannya menukarkan uang (shairafi),
walaupun waktu shalat itu telah sempit, karena aku tidak mengetahui asal
hartanyya”, adalah semua itu: menjaga diri yang tidak dapat dibantah. Dan
mengikuti mereka atas yang demikian, adalah lebih baik daripada mengikuti
mereka pada yang lebih luas. Tetapi tidak pula haram mengikuti mereka pada yang
lebih luas itu. Maka inilah dia syubhat (diragukan) bagi orang yang membolehkan
mengambil harta sultan yang zalim. Jawaban untuk itu, ialah: bahwa apa yang
dinuqilkan tentang mereka mengambil itu, adalah terbatas dan sedikit,
dibandingkan kepada apa yang dinuqilkan dari penolakan dan penantangan mereka.
Dan kalau berjalan kepada penolakan mereka itu oleh kemungkinan menjaga diri,
maka berjalanlah kepada pengambilan dari orang yang mengambil itu, tiga
kemungkinan, yang berlebih kurang derajatnya dengan berlebih kurangnya mereka
tentang: menjaga diri. Maka menjaga diri itu terhadap hak sultan-sultan, mempunyai
4 derajat:
Derajat
pertama: bahwa tidak mengambil sekali-kali dari harta sultan-sultan itu
sedikitpun, sebagaimana diperbuat oleh orang-orang menjaga diri dari mereka.
Dan sebagaimana yang diperbuat oleh para khulafa’-rasyidin. Sehingga Abubakar
ra itu menghitung semua apa yang diambilnya dari baitul-mal, maka berjumlah
6000 dirham. Lalu dipandangnya itu selaku hutangnya pada Baital-mal. Sehingga
Umar ra pada suatu hari sedang membagi-bagi harta baitul-mal, lalu masuklah
anak perempuannya dan mengambil sedirham dari harta itu. Maka Umarpun bangun
memintanya, sehingga jatuhlah kain penutup badan dari salah satu bahunya. Dan
anak perempuannya itu masuk ke rumah familinya sambil menangis dan memasukkan
dirham itu kedalam mulutnya. Maka Umar memasuk kan anak jarinya, lalu
mengeluarkan dirham itu dari mulutnya. Dan melemparkannya kedalam uang
pengeluaran negara, seraya mengatakan: “Wahai saudara-saudara ! tidaklah untuk
Umar dan keluarga Umar, melainkan apa yang untuk kaum muslimin, yang dekat dan
yang jauh dari mereka”. Abu Musa Al-Asy’ari menyapu baitul-mal, lalu menjumpai
uang sedirham. Maka lewatlah dihadapannya anak Umar ra, lalu diberikannya uang
itu kepadanya. Maka dilihat oleh Umar uang itu dalam tangan anak tersebut, lalu
ditanyakannya. Anak itu menjawab: “Diberikan kepadaku oleh Abu Musa”. Maka Umar
berkata: “Hai Abu Musa ! tidak ada pada penduduk Madinah rumah yang lebih mudah
kepadamu dari keluarga Umar. Engkau bermaksud, bahwa tidak tinggal dari umat
Muhammad saw seorangpun, melainkan menuntut kami dengan kezaliman”. Dan ia
kembalikan dirham itu ke baitul-mal. Ini, sedang harta itu adalah halal. Tetapi
ia takut, bahwa ia tidak berhak sebanyak itu. Maka ia melepaskan diri untuk
agamanya dan menyingkatkan kepada yang tersedikit, karena mengikuti sabda Nabi
saw: “Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada apa yang tidak meragukan
kamu !”. Dan karena sabdanya: “Barangsiapa meninggalkannya, maka sesunguh nya
ia telah melepaskan diri untuk kehormatannya dan agamanya”. Dan karena ia
mendengar dari Rasulullah saw dari bersangatan kerasnya tentang harta-harta
sultan. Sehingga Nabi saw bersabda ketika mengutus ‘Abbadah bin Ash-Shamit,
untuk mengutip sedekah (zakat): “Takutlah akan Allah, wahai Ayah Al-Walid!
janganlah engkau datang pada hari kiamat dengan unta, yang engkau pukul diatas
tengkukmu, yang mempunyai suara keras atau lembu yang melenguh atau kambing
yang mengembek !”. Lalu ‘Abbadah bertanya: “Wahai Rasulullah ! adakah begitu
yang akan terjadi ?”. “Ya !” jawab Nabi saw: “Demi Allah yang nyawaku dalam
kekuasaanNya, kecuali orang yang dikasihi Allah”. Maka ‘Abbadah menyambung:
“Demi Allah yang mengutus engkau dengan sebenarnya ! tiada akan aku perbuat
terhadap sesuatu selama-lamanya”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku tiada
takut, bahwa kamu akan mempersekutukan Allah sesudahku. Tetapi yang aku takut,
ialah kamu akan berlomba-lomba (munafasah)”. Sesungguhnya Nabi saw takut akan
bermunafasah mengenai harta. Dan karena itulah Umar ra berkata dalam
pembicaraan yang panjang, yang menyebutkan didalamnya akan harta baitul-mal:
“Sesungguhnya aku tiada mendapati diriku padanya, selain daripada seperti wali
harta anak yatim. Jikalau aku tiada memerlukan, maka aku menjaga diriku
daripada mengambilnya. Dan jikalau aku memerlukan, maka aku makan dengan yang baik
(yang halal)”. Diriwayatkan, bahwa seorang putera Thaus menulis surat sebagai
ganti lidah ayahnya kepada Umar bin Abdul-‘aziz. Lalu Umar memberikan kepadanya
uang 300 dinar. Maka Thaus menjual barangnya dan mengirimkan harganya 300 dinar
kepada Umar. Pahamilah ini, sedang sultan itu adalah seperti Umar bin
Abdukl-‘aziz. Maka ini adalah derajat yang tertinggi, tentang: menjaga diri.
Derajat
kedua: yaitu bahwa diambil harta sultan itu, tetapi sesungguhnya
diambil, apabila diketahui, bahwa apa yang diambilnya itu dari pihak yang
halal. Maka melengkapinya tangan sultan kepada harta haram yang lain, tidaklah
mendatangkan kemelaratan kepada yang mengambil itu. Dan berdasar kepada inilah
ditempatkan semua apa yang dinuqilkan dari atsar-atsar atau yang terbanyak dari
atsar-atsar itu. Atau apa yang tertentu daripadanya, dengan para sahabat yang
terbesar dan orang-orang menjaga diri dari mereka, seperti: Ibnu ‘Umar. Karena
dia adalah setengah dari mereka yang sangat bersangatan menjaga diri. Maka
bagaimanakah ia berlapang-lapang pada harta sultan ? sedang dia adalah termasuk
orang-orang yang sangat menantang terhadap mereka dan yang mencela harta
mereka. Yang demikian itu, adalah mereka berkumpul pada Ibnu ‘Amir, yang sedang
sakit. Dan ia merasa sayang kepada dirinya dari pemerintahannya dan keadaannya
tersiksa pada sisi Allah Ta’ala dengan pemerintahannya itu. Lalu mereka
mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya kami mengharap bagimu kebajikan. Engkau
telah menggali sumur-sumur, engkau berikan minuman kepada orang-orang yang
mengerjakan hajji dan engkau telah perbuat dan engkau telah perbuat......”. Dan
Ibnu ‘Umar berdiam diri saja. Lalu Ibnu ‘Amir bertanya: “Apakah yang akan
engkau katakan, wahai Ibnu ‘Umar ?”. Ibnu ‘Umar menjawab: “Aku mengatakan yang
demikian, apabila baiklah usaha, bersihlah perbelanjaan dan engkau akan
dikembalikan, maka engkau akan melihat”. Pada pembicaraan yang lain, bahwa Ibnu
‘Umar mengatakan: “Sesungguhnya yang keji itu, tidak akan menutup yang keji.
Dan sesungguhnya engkau telah menjadi wali negeri Basrah dan aku tidak mengira,
melainkan engkau telah memperoleh daripadanya kejahatan”. Maka Ibnu ‘Amir
berkata kepada Ibnu ‘Umar: “Apakah tidak tuan berdoa kepadaku ?”. Ibnu ‘Umar
menjawab: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Tidak diterima oleh Allah shalat dengan tiada suci dan sedekah dari harta yang
diserobot”. Dan engkau telah menjadi wali negeri Basrah”. Maka ini
adalah ucapannya tentang apa yang diserahkannya kepada segala jalan kebajikan.
Dari Ibnu ‘Umar ra yang mengatakan pada masa pemerintahan Al-Hajjaj: “Tidaklah
aku kenyang dari makanan sejak aku menguasai kampung itu, sampai kepada hariku
ini”.
Diriwayatkan dari
Ali ra bahwa ia mempunyai tepung gandum yang halus dalam bejana yang tertutup,
dimana ia minum pada bejana itu. Maka orang menanyakan kepadanya: “Adakah tuan
perbuat ini di Irak, serta banyak makanannya ?”. Ali ra menjawab: “Sesungguhnya
aku tidak menutup bejana itu karena kikir, tetapi aku tidak suka dimasukkan
kedalamnya, apa yang tidak daripadanya dan aku tidak suka masuk ke perutku yang
tidak baik”. Maka inilah yang biasa dari mereka ! Adalah Ibnu ‘Umar, tiada
sesuatu yang menakjubkannya, melainkan beliau keluar daripadanya. Maka Nafi’
meminta daripadanya 30 ribu, lalu beliau menjawab: “Sesungguhnya saya takut,
akan terperdaya aku oleh dirham Ibnu ‘Amir dan adalah ia yang meminta. Pergilah
! engkau itu bebas”. Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Tiadalah dari kita
seseorang, melainkan telah cenderung dunia dengan dia, selain Ibnu ‘Umar”. Maka
dengan ini jelaslah, bahwa tidak timbul persangkaan apa-apa kepadanya dan
dengan orang yang ada pada kedudukannya, bahwa beliau mengambil, apa yang tidak
diketahuinya itu halal.
Derajat
ketiga: bahwa ia mengambil apa yang diambilnya dari sultan untuk disedekahkannya
kepada fakir miskin. Atau untuk dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang
berhak. Karena sesuatu yang tidak tentu pemiliknya, maka padanya ini hukum
syara’ (agama). Apabila adalah sultan itu, jika tidak diambil daripadanya,
niscaya tidak dibagi-bagikannya dan dipakainya uang itu pada kezaliman, maka
kadang-kadang kami katakan: “Mengambilkan barang itu daripada nya dan
membagi-bagikannya, adalah lebih utama daripada membiarkannya dalam tangannya”.
Ini telah menjadi pendapat setengah ulama dan akan datang cara nya. Dan kepada
inilah ditempatkan apa yang diambil oleh kebanyakan mereka. Dan karena itulah
Ibnul-Mubarak berkata: “Bahwa mereka yang mengambil pemberian-pemberian pada
hari ini dan berdalilkan dengan Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, tidaklah mereka itu
mengikuti keduanya. Karena Ibnu ‘Umar membagi-bagikan apa yang diambilnya,
sehingga ia berhutang pada tempat duduknya, sesudah dibagi-bagikannya uang itu
sebanyak 60 ribu. Dan ‘Aisyah memperbuat seperti yang demikian. Dan Jabir bin
Zaid, dibawa orang kepadanya harta, lalu ia menyedekahkan harta itu seraya
berkata: “Aku berpendapat bahwa aku mengambil harta itu dari mereka dan aku
menyedekahkannya, adalah lebih aku sukai daripada menyimpankannya dalam tangan
mereka”. Dan begitulah diperbuat oleh Asy-Syafi’i ra dengan apa yang
diterimanya dari Harunurrasyid. Sesungguhnya dibagi-bagikannya terus, sehingga
tidak dipegangnya untuk diri nya sendiri sebiji pun.
Derajat
keempat: bahwa ia tidak meyakini bahwa harta itu halal dan tidak
dibagi-bagikannya, bahkan ditinggalkannya. Tetapi ia mengambil dari sultan,
yang kebanyakan hartanya halal. Dan begitulah adanya para khalifah pada zaman
sahabat ra dan tabi’in sesudah khulafa’-rasyidin. Dan tidak adalah kebanyakan
harta mereka itu haram. Dan dibuktikan kepada yang demikian itu, oleh
pernyataan alasan dari Ali ra dimana beliau mengatakan: “Bahwa apa yang
diambilnya dari yang halal, adalah lebih banyak”. Maka inilah sebahagian dari
apa yang diperbolehkan oleh segolongan ulama, karena berpegang kepada yang
terbanyak. Dan kami sesungguhnya menhentikan persoalan ini mengenai hak
seseorang perseorangan dari orang banyak. Dan harta sultan itu adalah lebih
menyerupai diluar hinggaan. Maka tidaklah jauh untuk membawa ijtihad
(mengeluarkan pendapat/pertimbangan) dari seseorang yang berijtihad
(mengeluarkan pendapat /pertimbangan), kepada bolehnya mengambil apa yang tidak
diketahui bahwa itu haram. Karena berpegang kepada yang terbanyak. Dan
sesungguhnya kami larang mengambilnya, apabila adalah yang terbanyak itu haram.
Maka apabila anda telah pahami segala derajat ini, niscaya dapatlah anda
meyakini, bahwa pemberian-pemberian orang-orang zalim pada zaman kita ini,
tidaklah berlaku menurut yang berlaku itu. Dan pemberian-pemberian itu berbeda
daripadanya, dengan dua segi yang tegas.
Segi
pertama: bahwa harta para sultan pada masa kita sekarang, adalah haram, semuanya
atau yang terbanyak daripadanya. Bagaimana tidak ? yang halal itu, ialah
sedekah (zakat), fai’, ghanimah dan harta-harta yang tersebut ini tidak ada dan
tidak masuk daripadanya sedikitpun dalam tangan sultan. Dan tidak ada yang
tinggal, selain dari pajak (jizyah). Dan jizyah itu dikutip dengan berbagai
macam kezaliman, yang tidak halallah mengambilnnya dengan kezaliman. Para
sultan itu melewati batas-batas agama mengenai barang yang diambil dan orang tempat
diambil dan menyempurnakan syarat bagi barang yang diambil. Kemudian, apabila
anda bandingkan yang demikian kepada apa yang membanjir kepada para sultan itu,
dari pajak yang dikenakan kepada orang Islam, pengeluaran-pengeluaran, uang
sogok dan bermacam-macam kezaliman, niscaya tidak akan sampai 1/10 - 1/10 nya.
Segi
kedua: bahwa orang-orang
zalim pada masa pertama dahulu, karena dekatnya masa mereka dengan zaman
khulafa’-rasyidin, adalah mereka merasa dari kezalimannya, mengharap kepada
kecondongan hati para sahabat dan tabi’in, berusaha supaya diterima pemberian
dan antaran mereka. Dan adalah mereka mengirimkan pemberian itu kepada para
sahabat dan tabi’in, tanpa diminta dan penghinaan. Bahkan mereka merasakan
nikmat dengan penerimaan itu dan bergembira daripadanya. Dan para sahabat dan
tabi’in tersebut mengambil daripada orang-orang zalim itu dan
membagi-bagikannya. Dan tidak akan mentaati penguasa-penguasa itu dalam segala
maksudnya. Tidak akan mendatangi majelis mereka, tidak akan membanyakkan berkumpul
dengan mereka dan tidak akan suka mereka itu tetap terus-menerus. Tetapi
mendoakan terhadap mereka dan melepaskan kata-kata kepada mereka dan menantang
segala kemungkinan dari mereka kepada para sahabat dan tabi’in itu. Maka
tidaklah ditakuti bahwa akan membahayakan kepada agama, dengan kadar apa yang
membahayakan kepada dunia. Dan tidaklah mengapa pengambilan itu. Adapun
sekarang, maka jiwa para sultan itu tidaklah membolehkan dengan sesuatu
pemberian, kecuali untuk orang yang diharapnya pengkhidmatan, pembanyakan dan
pertolongan dari mereka untuk maksud-maksudnya. Dan memperoleh keelokan dengan
kedatangan mereka ke majelis-majelisnya, menugaskan mereka membiasakan mendoa,
memuji, menyatakan bersih dan menyanjung dengan pujian yang berlebih-lebihan
dihadapan dan dibelakangnya. Maka jikalau tidaklah yang mengambil itu,
pertama-tama menghinakan dirinya dengan meminta, kedua dengan bulak-balik
pengkhidmatan, ketiga dengan pujian dan doa, keempat dengan pertolongan
kepadanya ketika dimintanya pertolongan, kelima dengan membanyakkan berkumpul
pada majelis dan rombongannya, keenam dengan melahirkan kecintaan, kepatuhan
dan penantangan terhadap musuh-musuhnya dan ketujuh dengan menutupi kezaliman,
kekejian dan keburukan segala amal perbuatannya, niscaya ia tidak akan
mengurniakan walau sedirham sekalipun, meskipun ia berada dalam keutamaan
Asy-Syafi’i ra umpamanya.
Jadi, tidaklah
boleh mengambil daripada mereka pada masa ini, apa yang diketahui, bahwa itu
halal. Karena membawa kepada pengertian-pengertian tersebut. Maka bagaimana
pula, apa yang diketahui bahwa itu haram atau diragukan padanya ? maka
barangsiapa memberanikan diri mengambil harta mereka dan menyerupakan dirinya
dengan sahabat dan tabi’in, maka sesungguhnya ia telah mengqiaskan malaikat
dengan tukang besi. Maka pada mengambil harta para sultan itu, memerlukan
kepada bercampur-gaul dengan mereka, menjaga, berkhidmat kepada pekerja-pekerja
mereka, menanggung penghinaan dari mereka, memuji dan pulang pergi ke
pintu-pintu mereka. Dan semua itu, adalah ma’siat, berdasarkan apa yang akan
kami terangkan pada bab yang berikut. Jadi, telah jelaslah dari yang telah
diterangkan itu, tempat masuk harta mereka, apa yang halal dan yang tidak halal
daripadanya. Maka jikalau tergambarlah, bahwa orang mengambil daripadanya apa
yang halal, sekedar yang mustahak dan ia duduk di rumahnya, dimana barang itu
dibawa kepadanya, tidak memerlukan padanya kepada mencari yang bekerja dan
pengkhidmatannya, tidak kepada pujian dan pernyataan bersih mereka dari
kesalahan dan tidak kepada memberi pertolongan kepada mereka, maka tidaklah
haram mengambil. Tetapi dimakruhkan, karena pengertian-pengertian, yang akan
kami peringatkan padanya pada bab yang berikut ini.
PERHATIAN
KEDUA: dari bab ini, mengenai kadar yang diambil dan sifat dari yang mengambil.
Kita umpamakan harta itu dari harta
kepentingan umum, seperti 4/5 dari fai’ dan
harta warisan. Maka yang selain dari yang tersebut, dari apa yang telah
tertentu orang yang berhak padanya, kalau ada ia dari waqaf atau zakat atau 1/5
fai’ atau 1/5 ghanimah dan apa yang ada dari milik sultan, dari yang
dihidupkannya atau yang dibelinya, maka bagi sultan itu memberi apa yang
dikehendakinya, kepada siapa yang dikehendakinya. Sesungguhnya yang
diperhatikan, ialah tentang harta yang hilang pemiliknya dan harta kepentingan
umum. Maka tiada boleh diserahkan, kecuali kepada orang yang ada padanya
kepentingan umum atau orang yang berhajat kepada barang itu, dimana ia lemah
dari berusaha.
Adapun orang kaya, yang tak ada kepentingan
umum padanya, maka tidak dibolehkan menyerahkan harta baital-mal kepadanya.
Inilah yang benar, walaupun para ulama berbeda pendapat padanya. Dan pada
ucapan Umar ra yang telah disebutkan dahulu, ada yang menunjukkan bahwa bagi
masing-masing muslim berhak pada baitul-mal, karena dia muslim, yang
membanyakkan kumpulan Islam. Tetapi dalam pada itu, tidaklah harta itu dibagikan
kepada kaum muslimin seluruhnya. Tetapi kepada orang-orang yang ditentukan
dengan beberapa sifat. Maka apabila telah tetap, lalu tiap-tiap orang yang
mengurus sesuatu pekerjaan yang dikerjakannya, yang menjalar kepentingannya
kepada kaum muslimin dan kalau ia mengerjakan sesuatu usaha, niscaya ia tidak
dapat mengerjakan pekerjaan tersebut, maka ia berhak yang mencukupi pada
baitul-mal. Dan termasuk dalam golongan orang tadi, para ulama semuanya (para
ahli ilmu), ya’ni: ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan kepentingan agama,
yaitu: ilmu fiqh, hadits, tafsir dan qiraah (pembacaan Alquran). Sehingga masuk
ke dalamnya, guru-guru (para pengajar ilmu-ilmu tadi) dan orang-orang yang
bertugas adzan. Dan para penuntut ilmu-ilmu tadi juga termasuk kedalamnya.
Karena mereka, jikalau tidak mencukupi perbelanjaannya, niscaya tidak mungkin
belajar. Dan termasuk kedalamnya para pekerja. Yaitu: mereka yang berhubungan
kepentingan dunia dengan pekerjaan mereka. Yaitu: tentara yang digaji, yang
menjaga kerajaan (negara) dengan pedang dari serangan musuh, orang-orang yang
memberontak dan musuh-musuh Islam. Dan termasuk kedalamnya juru-juru tulis,
penghitung-penghitung harta negara, wakil-wakil dari pemerintah dan semua orang
yang diperlukan tenaganya untuk menyusun kantor cukai. Ya’ni: para pekerja pada
segala harta halal, tidak pada harta haram. Maka harta tersebut, adalah untuk
kepentingan umum. Dan kepentingan itu, adakalanya menyangkut dengan agama atau
dengan dunia. Maka dengan ulama, terjaga agama. Dan dengan tentara, terjaga
dunia. Agama dan kerajaan (pemerintahan) itu, adalah dua anak kembar, tidak
mencukupi yang satu, tanpa yang lain. Dan dokter, walaupun tiada hubungan
dengan pengetahuannya urusan keagamaan, tetapi berhubungan dengan dia kesehatan
badan. Dan agama adalah mengikuti badan itu. Maka bolehlah untuknya dan untuk
orang yang menjalankan seperti perjalanannya dalam lapangan ilmu pengetahuan
yang diperlukan, pada kepentingan tubuh atau kepentingan negeri, mengambil
pemberian dari harta-harta tersebut. Supaya mereka dapat menyerahkan dirinya
untuk pengobatan kaum muslimin. Ya’ni: orang-orang yang diobati dari mereka,
tanpa ongkos. Dan tidaklah disyaratkan keperluan bagi mereka. Tetapi boleh
diberikan, biarpun mereka itu kaya. Karena khulafa-rasyidin memberikan kepada
orang muhajirin dan anshar. Dan mereka tidak mengetahui dengan keperluannya.
Dan tidak pula ditentukan dengan suatu kadar, tetapi terserah kepada ijtihad
(pertimbangan) imam (penguasa). Ia boleh meluaskan dan mengayakan dan boleh
mencukupkan sekedar mencukupi, menurut yang dikehendaki keadaan dan kesanggupan
harta. Al-Hasan ra telah mengambil dari Mu’awiyah sekaligus sebanyak 400 ribu
dirham. Dan Umar ra memberikan untuk suatu golongan (jama’ah), sebanyak 12 ribu
dirham dalam setahun. Dan ‘Aisyah membenarkan berita tadi tentang pemberian
Umar ra. Dan untuk golongan lain Umar ra memberikan 10 ribu dan untuk golongan
yang lain lagi, sebanyak 6000. Dan begitulah seterusnya ! Itulah harta mereka !
maka dibagi-bagikan kepada mereka. Sehingga tidak tinggal sedikitpun
daripadanya. Maka kalau ditentukan kepada seorang dari mereka dengan harta
banyak, maka tiada mengapa.
Dan begitupula
sultan boleh menentukan dari harta itu untuk orang-orang tertentu dengan
pemberian dan anugerah. Dan yang demikian itu telah diperbuat pada orang-orang
terdahulu (salaf). Tetapi seyogyalah diperhatikan kepada kepentingan umum.
Manakala ditentukan kepada seorang ahli ilmu atau seorang yang berani, dengan
sesuatu pemberian, niscaya adalah pada yang demikian itu, menggerakkan dan
membangkitkan manusia kepada bekerja dan menyerupakan diri dengan orang itu.
Maka itulah faedahnya pemberian, anugerah dan berbagai macam penentuan yang
lain. Dan semuanya itu bergantung kepada ijtihad (pertimbangan) sultan. Dan
sesungguhnya perhatian pada sultan-sultan yang zalim itu adalah mengenai dua
hal:
Pertama: bahwa sultan yang
zalim itu, dicegah dari memerintah. Adakalanya dengan berhenti atas kehendak
sendiri atau harus diberhentikan. Maka bagaimanakah boleh diambil sesuatu
daripadanya, sedang ia sebenarnya bukan sultan ?
Kedua: bahwa tidaklah
diratakan harta sultan itu kepada semua yang bermustahak(orang miskin yg berhak
menerima zakat). Maka bagaimanakah diperbolehkan bagi masing-masing
perseorangan mengambilnya ? adakah boleh mereka itu mengambil sekedar bahagian
mereka ? atau tiada diperbolehkan sekali-kali ? atau diperbolehkan bagi
masing-masing mengambil apa yang diberikan ? Adapun yang pertama, maka menurut
pendapat kami, bahwa tidak dilarang mengambil hak. Karena sultan zalim yang
jahil, manakala ia dibantu oleh kekuasaan (syaukah) dan sulit menjatuhkannya
dan pada menggantikannya timbul fitnah yang berkobar-kobar yang tak tertahan,
maka wajib meninggalkan pergantian itu dan wajib mentaatinya sebagaimana wajib
mentaati amir-amir. Karena telah datang amar (perintah) Nabi saw menyuruh taat
kepada amir-amir. Dan melarang menarik dengan tangan daripada menolong mereka
dengan beberapa amar dan peringatan. Maka menurut pendapat kami, bahwa khilafah
(kekhalifahan) adalah sah bagi yang memangkunya dari Bani Abbas ra. Dan
pemerintahan itu berjalan bagi para sultan di segala daerah negeri dan bagi
orang-orang yang melakukan bai’ah (sumpah setia) kepada khalifah. Dan telah
kami terangkan dalam Kitab Al-Mustadh-hari yang dipetik dari Kitab “Kasyful-Asrar
wa Hatkul-Astar” karangan Al-Qadli Abith-Thayyib, untuk menolak bermacam-macam
aliran dari golongan Rafidlah kebatinan (golongan yang menolak pemerintahan
khilafah), apa yang menunjukkan kepada cara kemuslihatan padanya. Kesimpulan
kata, bahwa kita menjaga sifat-sifat dan syarat-syarat mengenai sultan-sultan,
karena memperhatikan kepada adanya kemuslihatan yang bertambah-tambah. Dan
kalau kita putuskan dengan batalnya segala pemerintahan wilayah sekarang, maka
dengan sendirinya terus batallah segala kemuslihatan itu. Maka bagaimanakah
hilangnya modal pada mencari keuntungan? tetapi wilayah itu sekarang tidak
diikuti, kecuali oleh kekuasaan. Maka barangsiapa dilakukan bai’ah(sumpah
setia) kepadanya oleh yang mempunyai
kekuasaan, maka dia itu adalah: khalifah. Dan barangsiapa bertangan besi dengan
syaukahnya dan ia taat kepada khalifah pada pokok pidato jabatannya dan jalan
yang lurus yang ditempuhnya, maka dia itu adalah sultan yang berjalan hukum dan
ketetapannya ke seluruh negeri, sebagai wilayah yang
berjalan segala hukum ketetapannya. Dan
untuk pembuktian ini telah kami terangkan dahulu, pada hukum keimaman dari
kitab “al-Iqtishad fil-i’tiqad (keyakinan)” –Kesederhanaan tentang i’tiqad
(keyakinan) –maka tidaklah memerlukan lagi untuk kami memperpanjangkannya
sekarang.
Adapun kesulitan lain, yaitu: bahwa sultan
apabila tidak meratakan pemberian kepada semua yang mustahak (orang miskin yg
patut menerima zakat), maka bolehkah bagi seseorang mengambil daripadanya ? Ini
adalah termasuk hal yang diperselisihkan diantara para ulama kepada 4 tingkat.
Setengah mereka bersangatan benar dan mengatakan: “Semua apa yang diambil
sultan, maka kaum muslimin semuanya berkongsi padanya. Dan sultan itu tidak
mengetahui, bahagiannya dari barang itu, sedaniq (1/6 dirham) atau sebiji. Maka
hendaklah ia meninggalkan semuanya !”. Dan berkata segolongan dari ulama:
“Sultan itu boleh mengambil sekedar makanan sehari saja. Maka kadar itu adalah
ia berhak, karena perlunya atas kaum muslimin”. Dan berkata segolongan yang
lain: “Bagi sultan itu makanan setahun. Kalau diambilnya yang mencukupi untuk
tiap-tiap hari itu adalah sukar dan sultan itu mempunyai hak pada harta
tersebut. Maka bagaimanakah ia meninggalkannya ?”. Berkata golongan lain, bahwa
sultan itu mengambil apa yang diserahkannya. Dan yang teraniaya, ialah yang
selebihnya. Dan ini, ialah qias (menggambungkan / menyamakan artinya menetapkan suatu
hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun
memiliki kesamaan adalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan
perkara terdahulu sehingga dihukumi sama). Karena harta itu tiadalah berkongsi
diantara kaum muslimin, seperti ghanimah (rampasan perang) diantara orang-orang
yang merampasnya. Dan tidak seperti harta warisan diantara para ahli waris.
Karena harta itu adalah milik mereka. Dan ini, jikalau tidak bersesuaian
pembahagiannya sehingga mereka itu meninggal, niscaya tiada wajib
dibagi-bagikan kepada para ahli waris mereka menurut hukum pusaka. Tetapi hak
tersebut adalah tiada tertentukan dan hanya tertentu dengan digenggam
(dipegang). Tetapi dia adalah seperti sedekah (zakat). Manakala telah diberikan
kepada fakir miskin akan bahagian mereka dari zakat itu, niscaya jatuhlah
menjadi milik mereka. Dan tidaklah tercegah dengan kezaliman si pemilik akan
golongan-golongan yang lain yang berhak menerima zakat, dengan dilarang hak
mereka ini, apabila tidak diserahkan kepadanya semua harta. Tetapi diserahkan
kepadanya dari harta, akan apa, jikalau diserahkan kepadanya dengan jalan
mengutamakan dan melebihkan, serta meratakan bagi yang lain-lain, niscaya
bolehlah baginya mengambilkannya.
Dan pelebihan itu
boleh pada pemberian. Abubakar ra menyamakan dalam pemberian, lalu ditinjau
kembali oleh Umar ra, seraya berkata: “Sesungguhnya kelebihan mereka pada sisi
Allah dan sesungguhnya dunia itu tempat menyampaikan hajat. Dan Umar ra
melebihkan pemberian pada zamannya. Lalu beliau memberikan kepada ‘Aisyah 12
ribu, kepada Zainab 10 ribu dan kepada Juairiah 6 ribu dan begitupula kepada
Shafiah. Dan diputuskan oleh Umar ra untuk Ali ra jumlah tertentu. Dan juga
diputuskan oleh Usman ra dari daerah As-Sawad 5 petak kebun dan ditentukan oleh
Usman ra kepada Ali ra kebun-kebun itu. Dan Ali menerimanya dan tidak
menantangnya. Dan semuanya itu adalah dibolehkan pada tempat ijtihad
(mengeluarkan pendapat/pertimbangan). Dan termasuk sebahagian dari ijtihad-ijtihad
(mengeluarkan pendapat/pertimbangan) yang aku katakan, bahwa tiap-tiap yang
berijtihad itu betul. Yaitu tiap-tiap masalah yang tak ada nash (dalil tegas)
tentang diri masalah itu dan tidak pada masalah yang mendekatinya.
Maka adalah masalah
itu dalam pengertiannya dengan qias yang nyata, seperti masalah tersebut dan
masalah siksaan orang yang meminum yang memabukkan. Maka mereka itu disiksa
dengan 40 kali pukul dan 80 kali pukul. Dan semuanya adalah sunnah dan benar.
Dan masing-masing dari Abubakar ra dan Umar ra itu adalah betul dengan sepakat
para sahabat ra. Karena yang dilebihkan ialah, apa yang dikembalikan pada zaman
Umar dari sesuatu kepada yang lebih, dari apa yang telah diambilnya pada zaman
Abubakar. Dan tidaklah yang lebih itu tercegah daripada menerima kelebihan pada
zaman Umar. Dan bersekutu padanya semua sahabat dan mereka berkeyakinan, bahwa
masing-masing dari kedua pemdapat itu adalah benar. Maka hendaklah diambil yang
sejenis ini sebagai undang-undang dasar (dustur) bagi
perselisihan-perselisihan, yang membetulkan semua orang yang berijtihad
(mengeluarkan pendapat/pertimbangan) padanya. Adapun tiap-tiap masalah yang
sedikit sekali nash atau qias yang terang padanya dari orang yang berijtihad
(mengeluarkan pendapat/pertimbangan), disebabkan kelalaian atau salah pendapat
dan ada dalam kekuatan, dimana hukum dari yang berijtihad itu dirombak, maka
tidaklah kami mengatakan padanya: bahwa masing-masing itu benar. Tetapi yang
benar, ialah: orang yang memperoleh nash (dalil yang tegas) atau yang dalam
pengertian nash. Dan sesungguhnya telah diperoleh dari kumpulan ini, bahwa
orang yang mendapat dari orang-orang tertentu, yang bersifat dengan sifat yang
menyangkut segala kemuslihatan agama atau dunia padanya dan ia mengambil dari
sultan anugerah atau kurnia atas peninggalan orang mati atau jizyah, niscaya
tidaklah ia menjadi fasiq dengan semata-mata mengambilnya. Dan hanya ia fasiq
dengan pelayanannya dan pertolongannya yang diberikannya kepada sultan-sultaan
itu. Dan masuknya kepada mereka, memuji dan menyanjung mereka dsb, dari segala
kelaziman, dimana biasanya harta itu tidak diserahkan, kecuali dengan hal-hal
yang tersebut, sebagaimana akan kami jelaskan nanti.
BAB
KEENAM: mengenai yang halal dan yang haram dari hal bercampur-baur dengan
sultan-sultan yang zalim, hukum mendatangi majelis mereka, masuk ke tempat
mereka dan memuliakan mereka.
Ketahuillah kiranya, bahwa anda bersama
amir-amir, pegawai-pegawai dan orang-orang zalim, mempunyai 3 hal:
Hal pertama, yaitu yang terburuk, ialah
bahwa anda masuk ke tempat mereka.
Hal kedua, yaitu yang kurang buruk dari
itu, ialah, mereka masuk ke tempat anda.
Hal ketiga, yaitu yang lebih selamat,
ialah, bahwa anda mengasingkan diri dari mereka. Maka anda tidak melihat mereka
dan mereka tiada melihat anda.
Adapun hal pertama tadi,
yaitu masuk ke tempat mereka, maka itu adalah tercela sekali pada agama.
Mengenai itu terdapat ancaman yang berat dan sangat, yang tersebut dalam hadits
dan atsar. Maka marilah kami nuqilkan supaya engkau ketahui akan celaan agama
itu. Kemudian kami bentangkan bagi yang diharamkan, yang diperbolehkan dan yang
dimakruhkan daripadanya, menurut yang dikehendaki oleh fatwa pada ilmu zahir.
Adapun hadits: yaitu, tatkala Rasulullah saw menyifatkan amir-amir yang zalim,
lalu beliau bersabda: “Maka barangsiapa mencampakkan mereka, niscaya
terlepaslah ia dan barangsiapa mengasingkan diri dari mereka, niscaya
selamatlah ia atau hampir ia akan selamat. Dan barangsiapa terperosok bersama
mereka dalam keduniaan, maka ia termasuk sebagian dari mereka”. Dan yang demikian
itu, adalah karena orang yang mengasing diri dari amir-amir itu, niscaya ia
selamat dari kedosaan mereka. Tetapi tidak selamat dari azab yang meratai dia
bersama mereka, kalau ia mengambil tempat bersama mereka, karena
ditinggalkannya mencampakkan dan mencabutkan diri. Nabi saw bersaba: “Akan ada sesudahku amir-amir yang berdusta dan zalim. Maka
barangsiapa membenarkan mereka dengan kedustaannya dan menolong mereka diatas
kezalimannya, maka tidaklah ia daripadaku dan tidaklah aku daripadanya. Dan ia
tidak akan datang ke kolam (kolam Nabi saw di negeri akhirat nanti”).
Diriwayatkan Abu
Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda: “Ahli qiraah (ahli pembacaan Alquran) yang
sangat dimarahi Allah Ta’ala, ialah mereka yang mengunjungi amir-amir”. Dan
pada suatu hadits, tersebut: “Amir yang baik, ialah yang datang kepada ulama
dan ulama yang jahat, ialah yang datang kepada amir”. Dan pada suatu hadits,
tersebut: “Ulama itu adalah pemegang amanah rasul pada hamba-hamba Allah,
selama mereka tidak bercampur baur dengan sultan. Maka apabila mereka berbuat
yang demikian, sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada rasul. Maka,
waspadalah terhadap mereka dan jauhkanlah dirimu daripadanya !” hadits ini
diriwayatkan oleh Anas ra.
Adapun atsar, maka
berkatalah Hudzaifah: “Awasilah dari tempat-tempat firnah !”. Lalu orang
bertanya: “Manakah tempat-tempat fitnah itu ?”. Hudzaifah menjawab:
“Pintu-pintu para amir, yang dimasuki oleh seorang kamu ke tempat amir itu,
lalu membenarkannya dengan kedustaan dan mengatakan apa yang tidak ada mengenai
amir itu”. Abu Dzar mengatakan kepada Salmah: “Wahai Salmah ! janganlah engkau
datangi pintu-pintu para sultan, karena engkau tidak akan dapat membahayakan
sedikitpun dari dunia mereka, melainkan mereka telah membahayakan akan agamamu
yang lebih utama daripadanya”. Berkata Sufyan: “Dalam neraka jahannam, ada
sebuah lembah, yang tidak ditempati kecuali oleh para ahli qiraah (al-qurra’),
yang mengunjungi raja-raja”. Al-Auza’i berkata: “Tiadalah sesuatu yang lebih
dimarahi Allah, selain dari orang alim yang mengunjungi pegawai (yang bekerja)
pada raja”. Samnun berkata: Alangkah kejinya seorang alim yang didatangi
tempatnya, maka ia tidak didapati. Lalu ditanyakan, maka orang menjawab: “Dia
pada amir”. Aku mendengar, ada orang mengatakan: “Apabila kamu melihat orang
alim yang mencintai dunia, maka curigailah dia terhadap agamamu, sehingga aku
cobakan yang demikian. Karena tiadalah sekali-kali aku masuk ke tempat sultan,
melainkan aku perhitungkan diriku setelah keluar, lalu aku melihat pada diri itu,
akan bekas perbuatan, bersama apa yang aku menampak pada mereka, dari kekasaran
dan pertentangan dengan hawa nafsu mereka”. ‘
Abbadah bin
Ash-Shamit berkata: “Kecintaan ahli qiraah yang kuat beribadah kepada
amir-amir, adalah nifaq (sifat orang munafiq) dan kecintaannya kepada
orang-orang kaya, adalah ria”. Abu Dzar berkata: “Barangsiapa membanyakkan
harta segolongan orang, maka dia adalah setengah dari mereka. Artinya:
barangsiapa membanyakkan harta orang-orang zalim”. Ibnu Mas’ud ra berkata:
“Sesungguhnya seorang laki-laki yang memasuki tempat sultan dan bersama orang
itu agamanya, lalu ia keluar dan tak ada agamanya baginya lagi”. Lalu orang
menanyakan kepadanya: “Mengapa ?”. Ibnu Mas’ud menjawab: “Karena ia akan
mencari kerelaan sultan itu dengan kemarahan Allah”. Umar bin Abdul-‘aziz
memperkerjakan seorang laki-laki, lalu orang mengatakan kepadanya bahwa
laki-laki itu adalah pegawai Al-Hajjaj. Maka diberhentikannya. Lalu laki-laki
itu berkata: “Sesungguhnya aku bekerja untuk Al-Hajjaj adalah sedikit sekali”.
Maka Umar menjawab: “Mencukupilah engkau menyertainya sehari atau setengah hari
karena keburukan dan kejahatan”. Al-Fudlail berkata: “Tiada bertambahlah
seseorang dekatnya dengan seorang sultan, melainkan ia bertambah jauh daripada
Allah”.
Adalah Sa’id bin
Al-Musayyab berniaga minyak dan mengatakan: “Sesungguhnya pada minyak ini
memperoleh kecukupan, daripada mendekati sultan-sultan itu”. Wuhaib berkata:
“Mereka yang masuk ke tempat raja-raja, lebih mendatangkan kemelaratan kepada
umat, daripada orang-orang yang bermain judi”. Berkata Muhammad bin Salmah:
“Lalat diatas kotoran adalah lebih baik dari ahli qiraah (qari’) pada pintu
mereka (raja-raja)”. Tatkala Az-Zuhri bercampur-baur dengan sultan, lalu
seorang saudaranya seagama menulis surat kepadanya: “Kiranya Allah mendatangkan
sehat wal-afiat kepada kita ! jagalah, wahai Abubakar (panggilan kepada
Az-Zuhir) dari fitnah ! engkau telah menjadi dalam keadaan yang seyogyalah bagi
orang yang mengenal engkau, untuk mendoa kepada Allah bagi engkau dan
berbelas-kasihan kepada engkau. Engkau telah menjadi seorang syaikh besar, yang
telah banyaklah ni’mat Allah kepadamu. Karena diberiNya kamu pemahaman akan
KitabNya dan diajariNya kamu sunnah NabiNya Muhammad saw. Bukanlah demikian ?
Allah telah mengambil ikatan perjanjian dengan para ulama. Allah Ta’ala
berfirman: “Bahwa kamu akan menerangkan Kitab itu kepada manusia dan tidak akan
menyembunyikannya”. S 3 Ali ‘Imran ayat 187. Ketahuilah, bahwa yang termudah
dari apa yang telah engkau kerjakan dan yang teringan dari yang telah engkau
pikulkan, ialah engkau telah berjinak-jinakkan dengan keliaran orang zalim dan
engkau mudahkan jalan kedurhakaan, dengan engkau mendekati orang yang tidak
menunaikan yang benar dan tidak meninggalkan yang salah, ketika ia mendekati
engkau. Mereka membuat engkau menjadi pusat, yang berputar diatas engkau roda
kezaliman mereka. Diambilnya engkau, menjadi jembatan yang dilaluinya diatas
engkau, kepada bencana yang ditimbulkan mereka dan tangga yang dinaikinya pada
tangga itu kepada kesesatan. Dan mereka masukkan dengan sebab engkau, keraguan
kepada para ulama dan mereka patuhkan dengan sebab engkau, hati orang-orang
bodoh. Maka alangkah mudahnya, apa yang mereka bangun untuk engkau, disamping
apa yang mereka robohkan keatas pundak engkau ! alangkah banyaknya yang mereka
ambil dari engkau, mengenai apa yang mereka rusakkan keatas engkau dari agama
engkau ! maka tidaklah engkau aman dari menjadi sebahagian dari orang yang
difirmankan oleh Allah Ta’ala tentang mereka: “Kemudian mereka digantikan oleh
satu angkatan, yang meninggalkan sembahyang”. S 19 Maryam ayat 59. Sesungguhnya
engkau bergaul dengan orang yang tidak bodoh dan menjaga terhadapmu orang yang
tidak lalai. Maka obatilah agamamu, yang sesungguhnya telah masuk kepadanya
penyakit ! dan sediakanlah perbekalanmu, yang sesungguhnya telah tiba saat
bermusafir jauh! “Dan tidaklah tersembunyi pada Allah sesuatu di bumi dan di
langit”. S 14 Ibrahim ayat 38. Wassalam”.
Maka segala hadits
dan atsar tersebut, menunjukkan bahwa pada bercampur-baur dengan sultan-sultan
itu terdapat firnah-fitnah dan berbagai macam kerusakan. Tetapi akan kami
uraikan yang demikian itu, secara uraian fiqh, dimana kami akan memperbedakan
padanya akan yang terlarang dari yang makruh dan yang mubah. Maka kami mulai:
bahwa orang yang masuk ke tempat sultan, adalah datang untuk mendurhakai Allah
Ta’ala. Adakalanya: dengan perbuatan nya atau dengan diamnya atau dengan
perkataannya atau dengan i’tiqad (keyakinan)nya. Maka tidaklah terlepas dari
salah satu hal-hal tersebut.
Adapun perbuatan,
maka memasuki tempat raja-raja itu dalam banyak hal, adalah memasuki
rumah-rumah rampokan. Melangkahkan kaki dan memasuki rumah-rumah tersebut,
tanpa izin pemiliknya, adalah haram. Dan janganlah engkau tertipu dengan
perkataan orang yang mengatakan, bahwa yang demikian itu, termasuk sebahagian
dari apa yang bermaaf-maafan manusia padanya, seperti sebiji tamar atau
beberapa hancuran roti. Sesungguhnya yang demikian itu benar pada bukan barang
rampokan. Adapun barang rampokan, maka tidaklah demikian. Karena kalau
dikatakan, bahwa tiap-tiap duduk yang ringan (yang sebentar), tidaklah
mengurangkan milik, maka duduk yang demikian itu, adalah pada tempat
bermaaf-maafan. Dan begitu pula singgah sebentar. Maka berlakulah ini pada
tiap-tiap orang, lalu berlaku pula pada kumpulan orang. Dan perampokan itu
hanya sempurna dengan perbuatan semua orang. Dan hanya bermaaf-maafan padanya,
apabila sendirian. Karena kalau diketahui oleh pemiliknya, kadang-kadang tidak
merasa benci hati kepadanya. Adapun apabila yang demikian itu menjadi jalan
kepada menghabiskan dengan perkongsian, maka hukum pengharaman itu, tertarik
kepada semua. Maka tidaklah boleh untuk mengambil milik seseorang menjadi
jalan, karena berpegang, bahwa tiap-tiap seorang dari orang-orang yang lalu,
sesungguhnnya ia melangkah akan suatu langkah, yang tidak mengurangkan milik. Karena
jumlah orang itulah yang menghilangkan milik. Dan itu adalah seperti pukulan
yang ringan pada pengajaran, adalah diperbolehkan, tetapi dengan syarat
sendirian. Maka jikalau berkumpul segolongan orang memukul dengan
pukulan-pukulan yang mengharuskan mati, niscaya wajiblah qishash (pembalasan)
kepada semua. Sedangkan masing-masing dari pukulan itu, jikalau
sendiri-sendiri, niscaya tidaklah mewajibkan qishash. Kalau diumpamakan adanya
orang zalim itu pada tempat yang bukan rampokan, seperti pada tanah yang tak
berpunya umpamanya, maka kalau ada dibawah khemah atau payung besar dari harta
orang zalim tersebut, maka itu haram. Dan masuk kepadanya tidak dibolehkan.
Karena yang demikian itu mengambil manfaat dengan yang haram dan bernaung di
bawah yang haram. Kalau diumpamakan semuanya itu halal, maka tidaklah ma’siat
dengan masuk kedalamnya, dari segi masuk itu. Dan tidaklah ma’siat dengan
ucapannya: Assalamu’alaikum. Tetapi, jikalau ia sujud atau ruku’ atau ia
berdiri tegak dalam salamnya dan pelayanannya, niscaya adalah ia memuliakan
orang zalim disebabkan pemerintahannya, yang menjadi alat kezalimannya. Dan
merendahkan diri (tawadlu’) kepada orang zalim, adalah perbuatan ma’siat.
Tetapi orang yang tunduk merendahkan diri kepada orang kaya, yang tidak zalim karena
kekayaannya, tidak karena sebab yang lain, yang menghendaki merendahkan diri
itu, niscaya membawa kekurangan 2/3 agamanya. Maka bagaimana pula apabila
tunduk merendahkan diri kepada orang zalim! maka tidak diperbolehkan, selain
dari semata-mata salam saja.
Adapun mencium
tangan dan membungkuk pada pelayanan, maka itu adalah ma’siat. Kecuali ketika
takut atau bagi imam yang adil atau bagi orang alim atau bagi orang yang berhak
demikian, disebabkan urusan keagamaan. Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah ra mencium
tangan Ali ra tatkala berjumpa di negeri Syam. Ali ra tidak membantahnya.
Sebahagian salaf bersangatan benar, sehingga tidak mau menjawab salam
orang-orang zalim dan berpaling muka dari mereka, untuk menghinakan mereka. Dan
dihitungnya yang demikian itu, sebahagian dari mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala yang sebaik-baiknya.
Adapun berdiam diri
daripada menjawab salam, maka mengenai ini mendapat perhatian. Karena menjawab
salam, adalah wajib. Maka tiada seyogyalah gugur kewajiban itu disebabkan
kezaliman. Kalau orang yang masuk ke tempat orang zalim tersebut, meninggalkan
semua yang tadi dan menyingkatkan kepada salam saja, maka tidaklah ia terlepas
dari duduk pada tikar mereka. Dan apabila kebanyakan hartanya haram, maka
tidaklah boleh duduk pada tikar mereka itu. Ini, adalah dari segi perbuatan !
Adapun diam, maka
orang yang masuk itu akan melihat pada tempat duduk mereka, tikar sutera,
bejana perak dan sutera yang dipakaikan pada mereka dan pada budak-budaknya,
dari barang-barang yang haram. Dan tiap-tiap orang yang melihat kejahatan dan
berdiam diri dari kejahatan itu, maka dia itu bersekutu pada kejahatan
tersebut. Bahkan ia akan mendengar dari percakapan mereka, sesuatu yang keji,
yang dusta, makian dan yang menyakitkan. Dan berdiam diri dari semua itu,
adalah haram. Bahkan ia akan melihat mereka memakai kain haram, memakan makanan
haram dan segala yang dalam tangan mereka itu adalah haram. Dan berdiam diri
terhadap yang demikian adalah tidak boleh. Maka wajiblah diatas orang yang
masuk itu, menyuruh dengan ma’ruf (yang baik) dan melarang dari yang munkar
(yang dilarang agama) dengan lisannya, kalau ia tidak mampu dengan
perbuatannya. Kalau anda menjawab: bahwa ia takut terhadap dirinya, maka dia
itu dimaafkan berdiam diri. Itu benar ! tetapi ia tidaklah memerlukan untuk
mendatangkan dirinya untuk mengerjakan apa yang tidak diperboleh kan, kecuali
disebabkan ada halangan. Sesungguhnya kalau ia tidak masuk dan tidak
menyaksikan kemungkaran-kemungkaran itu, niscaya tidaklah dihadapkan kepadanya
tugas tadi. Sehingga gugurlah kewajiban itu disebabkan halangan tadi. Dan
mengenai ini, aku berkata, bahwa barangsiapa mengetahui suatu kerusakan pada
suatu tempat dan ia mengetahui bahwa ia tidak mampu menghilangkannya, maka
tidaklah boleh ia datang ke tempat tersebut, sehingga berlakulah perbuatan itu
dihadapannya dan ia menyaksikannya dan berdiam diri. Tetapi seyogyalah menjaga
diri daripada menyaksikannya.
Adapun perkataan,
yaitu: ia mendoa kepada orang zalim atau memujikannya atau membenarkannya apa
yang dikatakannya dari yang batil/salah, dengan perkataannya yang tegas atau
dengan menggerakkan kepalanya atau dengan kegembiraan yang membayang pada
wajahnya. Atau ia menampakkan kasih-sayang, tunduk dan rindu untuk
menjumpainya, mengharap panjang umurnya dan tetap kedudukannya. Maka yang
demikian itu, biasanya tidak menyingkat sekedar memberi salam saja, tetapi ia
berkata-kata. Dan kata-kata itu tidaklah melampaui akan segala macam yang
tersebut tadi.
Adapun berdoa
kepada orang zalim itu adalah tidak halal, selain dari mengucapkan: diperbaiki
kiranya engkau oleh Allah atau diberi taufiq kiranya engkau oleh Allah kepada
kebajikan atau dilanjutkan Allah kiranya umur engkau dalam mentaatiNya atau
yang semacam yang tersebut ini. Adapun doa dengan: penjagaan dari Allah, lanjut
umur dan berlimpah-limpah ni’mat, serta dengan sebutan: penghulu dan yang
searti dengan itu, maka tidak boleh. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mendoa
bagi orang zalim dengan kekekalan, maka sesungguhnya ia menyukai orang berbuat
ma’siat kepada Allah di bumiNya”. Kalau doa itu melewati kepada pujian, lalu ia
akan menyebutkan apa yang tak ada pada yang dipuji itu, maka adalah dia itu
membohong, munafiq dan memuliakan orang zalim. Dan ini adalah 3 perbuatan
ma’siat. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah
marah apabila dipujikan orang fasiq”. Dan
pada hadits lain tersebut: “Barangsiapa memuliakan orang fasiq, maka
sesungguhnya ia telah menolong meruntuhkan Islam”. Kalau yang demikian itu
melewati kepada membenarkan apa yang dikatakannya, membersihkan dan memujikan
apa yang dikerjakannya, niscaya adalah ia itu berbuat ma’siat dengan
membenarkan dan memberi pertolongan. Karena membersihkan dan memujikan itu
adalah menolong kepada kema’siatan dan menggerakkan untuk gemar berbuat yang
demikian. Sebagaimana mendustakan, mencela dan mengejikan itu adalah menghardik
dari perbuatan itu dan melemahkan faktor-faktor yang membawa kepadanya. Dan
menolong kepada perbuatan ma’siat adalah ma’siat, walaupun dengan sepotong
perkataan.
Sesungguhnya Sufyan
Ats-Tsuri ra ditanyakan orang tentang orang zalim yang hampir binasa di padang
sahara, apakah diberikan air minum kepadanya? lalu beliau menjawab: “Biarkan
saja sampai ia mati, karena yang demikian itu menolong kepadanya !”. Berkata
ulama yang lain: “Diberikan ia minum, sehingga kembali kepadanya jiwanya.
Kemudian, ia ditinggalkan”. Kalau melewati yang demikian, sampai kepada
melahirkan kasih-sayang, rindu kepada menjumpainya dan panjang usianya, maka
kalau dia itu membohong, niscaya ma’siatlah ia dengan ma’siat kebohongan dan
kemunafikan. Dan kalau ia benar, niscaya ma’siatlah ia dengan sukanya kekal
orang zalim itu. Sedang sebenarnya hendaklah dimarahinya dan dikutukinya demi
karena Allah. Maka memarahi orang karena Allah, adalah wajib. Dan mencintai dan
merelai ma’siat, adalah menjadi orang yang ma’siat.
Barangsiapa
mencintai orang zalim, maka kalau dicintainya itu karena kezalimannya, maka ia
itu ma’siat karena kecintaannya. Dan kalau dicintainya karena sebab lain, maka
dia itu ma’siat dari segi, bahwa ia tidak memarahinya, sedang ia wajib
memarahinya. Dan kalau berkumpul pada seseorang kebajikan dan kejahatan,
niscaya wajiblah ia dikasihi karena kebajikannya dan dimarahi karena
kejahatannya. Dan akan datang pada “Kitab Persaudaraan Dan Orang-orang Yang
Berkasih-kasihan pada Jalan Allah” cara mengumpulkan antara marah dan sayang.
Maka jikalau selamat dari yang demikian itu semua –dan amat jauhlah dari yang
demikian –maka tidaklah selamat dari kerusakan yang menjalar kedalam hatinya.
Karena ia memandang kepada meluasnya dalam keni’matan dan memandang ringan
segala ni’mat Allah kepadanya dan adalah ia memperbuat larangan Rasulullah saw
dimana beliau bersabda: “Wahai para kaum muhajirin! janganlah kamu masuk kepada
penduduk dunia, karena dunia itu membawa kemarahan bagi rezeki !”. Dan ini
serta apa yang padanya, dari mengikuti orang lain tentang masuk ke tempat orang
zalim itu dan dari memperbanyakkan harta orang-orang zalin dengan dirinya
sendiri dan memandang baik orang-orang zalim itu, jikalau ia termasuk orang
yang memandang baik dengan yang demikian itu. Dan semuanya yang demikian,
adakalanya termasuk makruh atau terlarang.
Sa’id bin
Al-Musayyab diajak untuk melaksanakan bai’ah (sumpah setia) kepada Walid dan
Sulaiman, keduanya adalah putera Abdul-malik bin Marwan. Maka Sa’id menjawab:
“Aku tidak akan melakukan bai’ah pada 2 orang, selama bertukarlah malam dengan
siang, karena Nabi saw melarang dari 2 bai’ah”. Lalu beliau menyambung: “Aku
masuk dari pintu yang satu dan aku keluar dari pintu yang lain”. Maka beliau
berkata dengan tegas: “Tidak ! demi Allah ! tiada seorangpun dari manusia yang
mengikuti aku”. Maka beliau disiksa dengan pukulan 100 kali pukul. Dan diberi
pakaian yang menghapuskan bekas pukulan. Tiadalah beliau masuk ke rumah
orang-orang zalim, kecuali disebabkan dua hal yang membolehkan:
Pertama: Bahwa ada dari
pihak mereka perintah yang mengharuskan, bukan perintah memuliakan. Dan ia
tahu, bahwa kalau ia tidak mau, niscaya ia akan disiksa atau rusak kepatuhan
rakyat kepada mereka. Dan bergoncanglah suasana politik terhadap mereka. Maka
dalam hal yang demikian, wajiblah menyambut perintah itu. Bukan mentaati
mereka. Tetapi menjaga kepentingan rakyat, sehingga tidaklah pemerintahan menjadi
kacau balau.
Kedua: Bahwa memasuki
tempat mereka itu karena menolak kezaliman pada orang muslim yang lain atau
pada dirinya sendiri. Adakalannya dengan jalan berbuat kebaikan atau dengan
jalan bersabar dari kezaliman. Maka yang demikian itu adalah suatu kelapangan
(rukh-shah), dengan syarat bahwa ia tidak membohong, tiidak memujikan dan tidak
meninggalkan nasehat, yang diharapnya diterima. Maka itulah hukum masuk !
Hal yang
kedua: bahwa masuk kepadanya sultan yang zalim yang mengunjunginya. Maka menjawab
salamnya, adalah tak boleh tidak. Adapu berdiri dan memuliakannya, maka
tidaklah haram, sebagai timbalan diatas kemuliaan yang diberikannya dengan
kunjungannya itu. Karena dengan memuliakan ilmu dan agama, adalah berhak untuk
pujian, sebagaimana dengan kezaliman, adalah berhak untuk dijauhkan. Maka
memuliakan, dibalas dengan dengan memuliakan dan dengan jawab salam. Tetapi
yang lebih utama, bahwa tidaklah ia bangun berdiri, kalau ia bersama sultan
yang datang itu pada suatu tempat khilwah (tempat sepi), supaya tampak dengan
yang demikian itu, kemegahan agama dan kehinaan kezaliman. Dan melahirkan
kemarahannya karena agama dan berpalingnya dari orang yang berpaling dari jalan
Allah. Maka Allah Ta’ala berpaling daripadanya. Dan kalau sultan yang masuk kepadanya
berada dalam suatu kumpulan manusia ramai, maka menjaga malunya orang-orang
yang mempunyai wilayah diantara rakyat banyak, adalah penting. Maka tiadalah
mengapa bangun berdiri diatas niat yang tadi. Dan jikalau diketahuinya bahwa
yang demikian itu, tiada mendatangkan kerusakan pada rakyat dan tidak
memperoleh siksaan dari kemarahannya, maka meninggalkan permuliaan dengan
bangun berdiri, adalah lebih utama.
Kemudian, setelah terjadi pertemuan itu,
wajiblah menasehatinya. Dan kalau sultan itu mengerjakan apa yang tiada
diketahuinya haram dan ia mengharap akan meninggalkannya apabila ia telah tahu,
maka hendaklah diberitahukan yang demikian kepadanya. Dan yang demikian itu
adalah wajib. Adapun menyebutkan haram apa yang telah diketahuinya haram tentang
berlebih-lebihan dan kezaliman, maka tak adalah faedah padanya. Tetapi haruslah
ia mempertakutkan sultan itu mengenai apa yang dikerjakannya daripada segala
ma’siat, manakala berat dugaannya, bahwa mempertakutkan itu membekas kepadanya.
Dan haruslah ia menunjukkan kepada jalan kemuslihatan, jikalau ia mengetahui
jalan kepada yang bersesuaian dengan agama, dimana berhasillah maksud dari
orang yang zalim itu, tanpa ma’siat, untuk mencegahnya dengan yang demikian
daripada sampai kepada maksudnya dengan kezaliman. Jadi, wajiblah ia
memperkenalkan tempat kebodohannya itu dan mempertakutkan tentang apa yang
berani ia mengerjakannya dan menunjukkan kepada apa yang lalai ia daripadanya,
dari hal-hal yang tidak memerlukan kepada kezaliman. Maka inilah 3 hal yang harus
diperbuatnya, apabila ia mengharap pada kata-katanya itu membekas. Dan juga
yang demikian itu, adalah harus atas tiap-tiap orang yang kebetulan masuk ke
tempat sultan dengan suatu hal yang membolehkan (‘udzur) atau tidak.
Dari Muhammad bin
Shalih, yang mengatakan: “Adalah aku pada Hammad bin Salmah dan kebetulan,
tidak ada dalam rumah itu selain sehelai tikar. Ia duduk padanya dan sebuah
Mashhaf (Kitab Suci Alquran) yang dibacanya, sebuah bungkusan yang didalamnya
ilmunya dan sebuah tempat bersuci, dimana ia mengambil wudlu’ daripadanya. Maka
ketika saya padanya, tiba-tiba ada orang yang mengetok pintu diluar, yaitu:
Muhammad bin Sulaiman. Lalu diizinkan ia masuk. Maka ia masuk dan duduk
dihadapan Hammad bin Salmah. Kemudian Muhammad bin Sulaiman berkata kepada
Hammad bin Salmah: “Mengapakah aku,
apabila melihat engkau, maka penuhlah ketakutan kepada engkau ?”. Hammad
menjawab: “Karena Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya orang yang berilmu (orang
alim), apabila ia menghendaki dengan ilmunya itu akan wajah Allah, niscaya takutlah kepadanya segala sesuatu. Dan
kalau ia menghendaki akan memenuhkan gudang dengan ilmunya itu, niscaya
takutlah ia dari tiap-tiap sesuatu”. Kemudian Hammad memberikan kepada Muhammad
bin Sulaiman uang sebanyak 40 ribu dirham, seraya berkata: “Engkau ambil uang
ini dan engkau memperoleh pertolongan dengan dia”. Muhammad bin Sulaiman
menjawab: “Akan aku kembalikan uang ini kepada orang yang engkau aniaya dengan
uang ini”. Maka Hammad menjawab: “Demi Allah, tiadalah aku berikan kepadamu,
selain dari apa yang aku pusakai”. Muhammad bin Sulaiman menyambung: “Aku tiada
memerlukan uang ini bagiku”. Hammad bin Salmah menjawab: “Ambillah uang ini dan
bagi-bagikanlah !”. Lalu Muhammad bin Sulaiman menjawab: “Mudah-mudahan,
jikalau aku adil dalam membagi-bagikannya, maka aku takut dikatakan oleh
sebahagian orang yang tiada memperoleh daripadanya: “Bahwa ia tidak adil pada
membagi-bagikannya”. Maka berdosalah orang itu, dimana orang-orang lain,
memperoleh uang itu daripadaku”.
Hal yang
ketiga: bahwa ia mengasingkan diri dari sultan-sultan. Maka tidaklah ia melihat
mereka dan mereka tidak melihatnya. Dan itu adalah wajib. Karena tak ada
keselamatan, selain pada yang demikian. Maka haruslah ia berkeyakinan akan
kemarahan orang banyak atas kezaliman mereka dan tidak menyukai kekekalan
mereka, tidak memujikan mereka, tidak menanyakan kabar tentang keadaan mereka,
tidak mendekati orang-orang yang berhubungan dengan mereka dan tidak menaruh
kesedihan terhadap apa yang hilang, disebabkan berpisah dengan mereka. Yang
demikian itu, apabila terguris di hatinya, keadaan mereka. Dan jikalau ia
melupakan tentang mereka itu, maka adalah lebih baik. Dan apabila terguris di
hatinya akan kesenangan mereka, maka hendaklah mengingati akan apa yang
diucapkan oleh Hatim Al-Ashamm: “Sesungguhnya antaraku dan raja-raja itu,
adalah satu hari saja. Adapun kemarin, maka tidaklah mereka memperoleh
kelezatannya. Dan sesungguhnya aku dan mereka pada hari esok adalah pada
ketinggian dan kemuliaan. Dan sesungguhnya dia adalah hari ini dan apa yang
diharap ada pada hari ini”.
Dan mengingati akan apa yang diucapkan oleh
Abud-Darda’, karena beliau mengucapkan: “Orang-orang yang berharta itu makan
dan kitapun makan. Mereka itu minum dan kitapun minum. Mereka itu berpakaian
dan kitapun berpakaian. Mereka mempunyai kelebihan harta, yang dipandangnya
kepada harta-harta itu dan kita memandang bersama mereka kepada harta-harta
itu. Dan diatas mereka perhitungannya, sedang kita terlepas daripadanya”.
Tiap-tiap orang
yang mengetahui akan kezalimannya orang yang zalim dan ma’siatnya orang yang
ma’siat, maka seyogyalah derajat orang itu turun pada hatinya. Dan ini adalah
wajib diatas orang yang mengetahui itu. Karena orang yang timbul daripadanya
apa yang tidak disukainya, niscaya –tidak dapat dibantah –berkuranglah
kedudukan orang itu dalam hatinya. Dan perbuatan ma’siat seyogyalah untuk tidak
disenangi. Karena, adakalanya ia lalai dari perbuatan ma’siat itu atau ia
senang atau ia benci. Dan tak adalah kelalaian serta mengetahuinya dan tiada
jalan untuk disenangi kema’siatan itu. Maka tak boleh tidak dari kebencian
kepadanya. Maka hendaklah penganiayaan tiap-tiap orang terhadap hak Allah,
seperti penganiayaannya terhadap hakmu sendiri !. Maka jikalau engkau
mengatakan, bahwa kebencian itu tidak masuk dalam ikhtiar (pilihan), maka
bagaimanakah wajibnya kebencian itu ? Kami menjawab, bahwa tidaklah demikian.
Karena orang yang mencintai itu, akan benci dengan panggilan tabiatnya sendiri
–apa yang tidak disukai oleh yang dicintainya dan yang menyalahi dengan dia.
Maka orang yang tidak benci kepada kema’siatan terhadap Allah, adalah ia tidak
mencintai Allah. Dan sesungguhnya tiada mencintai Allah, orang yang tiada
mengenalNya. Dan mengenal (ma’rifah) itu wajib dan mencintai Allah itu wajib.
Apabila ia mencintai Allah, niscaya ia benci tiap-tiap yang dibenci oleh Allah
dan suka tiap-tiap yang disukai oleh Allah. Dan akan datang penegasan itu dalam
“Kitab Kecintaan dan Kerelaan” nanti. Kalau anda mengatakan, bahwa adalah
ulama-ulama salaf dahulu masuk ke tempat sultan-sultan. Maka aku menjawab: ya,
pelajarilah masuknya mereka, kemudian masuklah ! sebagaimana diceritakan, bahwa
Hisyam bin Abdul-malik datang mengerjakan hajji ke Makkah. Maka tatkala ia
memasuki Makkah, lalu berkata: “Bawalah kepadaku seorang sahabat Nabi saw !”.
Maka lalu orang menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! mereka itu tiada lagi, sudah
meninggal semuanya !”. Lalu Hisyam menyambung: “Dari tabi’in”. Maka dibawalah
kepadanya Thaus Al-Yamani. Tatkala Thaus masuk ke hadapan khalifah Hisyam itu,
beliau membuka alas kakinya dengan tepi permadaninya dan tidak menyalamkan
kepadanya dengan panggilan: “amirul-mu’minin”. Tetapi beliau mengatakan:
“Assalamu’alaika ya Hisyam ! (Selamat kepadamu, wahai Hisyam !) dan tidak
beliau panggil dengan “kuniahnya” (kuniah, yaitu panggilan dengan: ayah si Anu bagi
laki-laki dan ibu si Anu bagi wanita). Dan beliau terus duduk dihadapannya,
seraya bertanya: “Kaifa anta ya Hisyam ?”. (Apa kabar engkau wahai Hisyam ?).
maka amat murkalah Hisyam mendengar yang demikian. Sehingga ia bercita-cita
membunuhnya. Lalu orang mengatakan kepada khalifah itu: “Engkau berada di tanah
suci kepunyaan Allah dan RasulNya. Dan tidak mungkin dilakukan yang demikian
!”. Maka Hisyam bertanya kepada Thaus: “Hai Thaus ! apakah yang mendorong
engkau berbuat yang demikian ?”. Thaus menjawab: “Apakah yang saya perbuat ?”.
Maka bertambah-tambahlah kemarahan dan kemurkaan Hisyam. Hisyam berkata:
“Engkau buka kedua alas kakimu dengan tepi permadaniku. Engkau tidak mencium
tanganku. Engkau tidak menyalamkan aku dengan panggilan “amirul-mu’minin”,
engkau tidak menyebutkan kuniahku. Engkau duduk dihadapanku dengan tidak
seizinku. Dan engkau mengatakan: “Kaifa anta ya Hisyam?”. Maka Thaus menjawab:
“Adapun apa yang aku perbuat, membuka alas kakiku dengan tepi permadanimu, maka
sesungguhnya aku buka kedua alas kaki itu dihadapan Tuhan Rabbul-‘Izzati
tiap-tiap hari 5 kali dan Ia tidak menyiksakan aku dan tidak memarahi aku.
Adapun katamu: “Engkau tidak mencium tanganku” maka sesungguhnya aku mendengar
Amirul-mu’minin Ali bin Abi Thalib ra berkata: “Tiada halal bagi seseorang
mencium tangan seseorang, kecuali isterinya dari karena nafsu syahwat atau
anaknya dari karena penuh kasih sayang”. Adapun katamu: “Tidak engkau
menyalamkan aku dengan panggilan amirul-mu’minin”, maka tidaklah semua orang
suka kepada pemerintahanmu (keamiranmu). Dari itu, aku tidak suka membohong.
Adapun katamu: “Aku tidak menyebutkan kuniahmu”, maka sesungguhnya Allah Ta’ala
menyebutkan nama nabiNya dan auliaaNya. Allah Ta’ala memanggil: “Ya Daud ! ya
Yahya ! ya Isa ! dan Allah Ta’ala menyebutkan kuniah musuh-musuhNya, dengan
firmanNya: “Binasalah kiranya kedua tangan Abu Lahab”. S Al Lahab ayat 1.
Adapun katamu: “Engkau duduk dihadapanku”,
maka sesungguhnya aku mendengar Amirul-mu’minin Ali ra berkata: “Apabila engkau
bermaksud melihat seseorang dari penduduk neraka, maka lihatlah kepada orang
yang duduk dikelilingnya orang banyak berdiri”. Maka berkatalah Hisyam kepada
Thaus: “Berilah aku pengajaran !”. Lalu menjawab Thaus: “Aku mendengar dari
Amirul-mu’minin Ali ra berkata: “Sesungguhnya dalam neraka jahanam terdapat
banyak ular seperti bukit dan kalajengking seperti baghal (menyerupai keledai)
yang menggigit tiap-tiap amir yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya”.
Kemudian Thaus itu bangun berdiri dan lari.....
Diriwayatkan dari
Sufyan Ats-Tsuri ra yang mengatakan: “Aku masuk ke tempat Abu Ja’far Al-Manshur
di Mina. Lalu ia berkata kepadaku: “Sampaikanlah kepada kami hajatmu !” Maka
aku berkata kepadanya: “Bertaqwalah kepada Allah ! sesungguhnya telah penuh
bumi ini dengan kezaliman dan keangkara-murkaan”’. Berkata Sufyan seterusnya:
“Lalu Abu Ja’far AL-Manshur menundukkan kepalanya, kemudian mengangkatkanya,
lalu berkata: “Sampaikanlah kepada kami hajatmu !”. Maka aku menjawab:
“Sesungguhnya engkau menempati kedudukan ini dengan pedang kaum Muhajirin dan
Anshar, sedang anak-anak mereka mati kelaparan. Maka bertaqwalah kepada Allah
dan sampaikanlah kepada mereka akan hak mereka !”. Lalu Abu Ja’far menundukkan
kepalanya, kemudian mengangkatkannya, maka berkata: “Sampaikanlah kepada kami
hajatmu !”. Maka aku menjawab: “Saidina Umar bin Al-Khaththab ra telah
mengerjakan hajji, lalu menanyakan kepada juru keuangannya: “Berapakah engkau
keluarkan belanja ?”. Juru keuangan itu menjawab: “10 dirham lebih sedikit”.
Dan aku melihat disini banyak harta, yang tak mampu unta memikulnya”. Dan terus
beliau keluar........
Begitulah kiranya
mereka itu memasuki tempat sultan-sultan apabila terpaksa. Mereka
mempertaruhkan nyawa mereka untuk menuntut balas dari kezaliman sultan-sultan
itu karena Allah. Ibnu Abi Syumailah masuk ke tempat Abdul-malik bin Marwan.
Lalu khalifah Abdul-malik mengatakan kepadanya: “Berbicaralah !”. Maka
berkatalah Ibnu Abi Syumailah kepada khalifah: “Sesungguhnya manusia tidaklah
terlepas pada hari kiamat dari kesempitan dan kepahitan kiamat dan menyaksikan
kebinasaan padanya, kecuali orang yang mencari kerelaan Allah dengan kemarahan
dirinya”. Maka menangislah Abdul-malik, seraya berkata: “Sesungguhnya akan aku
jadikan kalimat ini kata-kata berhikmat di depan mataku, selama hidupku”.
Tatkala
diperkerjakan oleh Usman bin Affan ra akan Abdullah bin ‘Amir, lalu datang
kepadanya para sahabat Rasulullah swa. Dan yang terlambat daripadanya, ialah
Abu Dzar. Dan adalah Abu Dzar itu berteman baik dengan Abdullah. Lalu Abdullah
menyesalinya. Maka berkatalah Abu Dzar: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya seseorang apabila memerintah sesuatu wilayah, niscaya
berjauhanlah Allah daripadanya”. Malik bin Dinar memasuki tempat amir kota
Basrah, lalu berkata: “Wahai Amir ! aku membaca pada sebagian kitab, bahwa
Allah Ta’ala berfirman: “Alangkah dungunya seorang sultan ! alangkah bodohnya
orang yang mendurhakai Aku ! alangkah mulianya orang yang merasakan kemuliaan
dengan Aku ! wahai penggembala kejahatan ! Aku serahkan kepadamu kambing yang
gemuk dan sehat, lalu engkau makan dagingnya, engkau pakai bulunya dan engkau
tinggalkan tulang-belulangnya kacau balau”. Maka bertanya kepadanya wali negeri
Basrah itu: Adakah engkau tahu apakah yang memberanikan engkau terhadap kami
dan yang menjauhkan kami daripada engkau ?”. Malik bin Dinar menjawab: “Tidak
saya tahu”. Lalu menyambung wali Basrah: “Kurang loba apa yang ada pada kami
dan meninggalkan tertahan bagi apa yang ada di tangan kami”.
Adalah Umar bin
Abdul-aziz berdiri bersama Sulaiman bin Abdul-malik. Maka Sulaiman mendengar
bunyi petir, lalu beliau gundah dan meletakkan dadanya pada bahagian depan
kendaraan. Maka berkatalah Umar kepadanya: “Ini adalah suara rahmatNya, maka
bagaimanakah apabila engkau mendengar suara azabNya ?”. Kemudian Sulaiman
memandang kepada orang banyak, lalu berkata: “Alangkah ramainya manusia !”.
Maka menjawab Umar: “Mereka itu adalah lawanmu, wahai Amirul-mu’minin”. Lalu
Sulaiman berkata kepada Umar: “Dicoba engkau oleh Allah dengan mereka”. Menurut
cerita, bahwa Sulaiman bin Abdul-malik datang ke Madinah dan ia bermaksud ke
Makkah. Maka ia mengirim utusan kepada Abu Hazim, mengundang kedatangannya.
Tatkala Abu Hazim masuk, maka berkata Sulaiman kepadanya: “Wahai Abu Hazim !
mengapakah kita tidak menyukai mati ?”. Abu Hazim menjawab: “Karena kamu
meruntuhkan akhiratmu dan membangun duniamu. Maka kamu tidak suka berpindah
dari pembangunan kepada keruntuhan”. Maka Sulaiman bertanya lagi: “Wahai Abu
Hazim ! bagaimanakah datang kepada Allah ?”. Abu Hazim menjawab: “Wahai
Amirul-mu’minin ! adapun orang yang berbuat baik, maka seperti orang yang jauh
datang kepada keluarganya. Adapun orang yang berbuat jahat, maka seperti budak
yang lari datang kembali kepada tuannya”. Maka menangislah Sulaiman seraya
berkata: “Wahai kiranya, bagaimanakah aku ini di sisi Allah ?”. Abu Hazim
menjawab: “Datangkan dirimu kepada Kitab Allah Ta’ala, dimana IA berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang baik berada dalam kesenangan. Dan sesungguhnya
orang-orang yang jahat berada dalam neraka”. S Al Infithaar ayat 13 & 14.
Sulaiman bertanya: “Dimanakah rahmat Allah ?”. Abu Hazim menjawab: “Dekat
dengan orang-orang yang berbuat kebaikan”. Kemudian Sulaiman bertanya: “Hai Abu
Hazim ! hamba Allah yang manakah yang lebih mulia ?”. Abu Hazim menjawab: “Yang
berbuat kebajikan dan taqwa !”. Sulaiman bertanya pula: “Perbuatan apakah yang
lebih utama ?”. Abu Hazim menjawab: “Menunaikan yang fardlu (yang wajib) serta
menjauhkan yang haram”. Sulaiman bertanya lagi: “Perkataan manakah yang lebih
terdengar ?”. Abu Hazim menjawab: “Perkataan yang benar pada orang yang engkau
takut dan engkau harap”. Sulaiman bertanya: “Orang mu’min manakah yang lebih
pintar ?”. Abu Hazim menjawab: “Orang yang bekerja dengan mentaati Allah dan
mengajak manusia kepadanya”. Sulaiman bertanya: “Mu’min manakah yang merugi ?”.
Abu Hazim menjawab: “Orang yang melangkah dalam hawa nafsu saudaranya dan orang
itu zalim. Maka dijualnya akhiratnya dengan mengambil dunia orang lain”.
Bertanya Sulaiman lagi: “Apakah katamu tentang keadaan kami ?”. Abu Hazim
menjawab: “Apakah engkau memaafkan aku ?”. Sulaiman menjawab: “Sudah pasti,
karena itu adalah nasehat yang engkau berikan kepadaku”. Lalu Abu Hazim
menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! bahwa bapak-bapakmu dahulu memaksakan
manusia dengan pedang dan mengambil kerajaan ini secara kekerasan, tanpa
musyawarah dengan kaum muslimin dan tanpa rela mereka. Sehingga terbunuhlah
dari kaum muslimin itu dalam suatu pembunuhan yang dahsyat. Dan mereka itu
semuanya telah pergi........ Maka jikalau engkau merasa apa yang dikatakan
mereka dan apa yang dikatakan kepada mereka..... Lalu menyahut seorang dari
orang-orang yang duduk bersama: “Amat buruklah apa yang kamu katakan itu !”.
Abu Hazim menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengambil ikatan janji diatas
para ulama, untuk menerangkannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya”.
Sulaiman menyambung: “Bagaimanakah caranya kita memperbaiki kerusakan ini ?”.
Abu Hazim menjawab: “Bahwa engkau ambil yang halal, lalu engkau letakkan pada
yang hak”. Sulaiman menjawab: “Siapakah yang sanggup demikian itu ?”. Abu Hazim
menjawab: “Orang yang mencari sorga dan takut dari neraka”. Lalu Sulaiman
menyambung: “Mendoalah untukku”. Maka Abu Hazim membacakan doanya: “Wahai Allah
Tuhanku ! jikalau adalah Sulaiman seorang waliMu, maka mudahkanlah dia untuk
kebaikan dunia dan akhirat ! dan jika ia musuhMu, maka ambillah pundak
kepalanya kepada apa yang Engkau sukai dan relai !”. Lalu Sulaiman berkata:
“Berilah kepadaku wasiat (nasehat) !”. Maka Abu Hazim menjawab: “Aku nasehati
engkau dan aku ringkaskan: agungkanlah Tuhanmu dan tanzihkanlah Dia (sucikanlah
Dia), bahwa Ia melihat engkau dimana Ia melarang engkau atau tiada melihat
engkau dimana Ia menyuruh engkau”.
Umar bin Abdul-aziz
berkata kepada Abu Hazim: “Berilah aku pengajaran!”. Lalu Abu Hazim menjawab:
“Berbaringlah ! kemudian jadikanlah mati itu pada kepalamu ! kemudian, lihatlah
kepada yang engkau kasihi, bahwa ada ia padamu dan pada saat itu ! maka
ambillah dia sekarang ! dan apa yang tiada engkau sukai, bahwa ada ia padamu
pada saat itu, maka tinggalkanlah sekarang ! maka semoga saat itu, adalah dekat
!”. Seorang Arab dusun masuk ke tempat Sulaiman bin Abdul-malik. Maka Sulaiman
berkata: “Berbicaralah wahai Arab dusun !”. Arab dusun itu menyahut: “Wahai
Amirul-mu’minin ! sesungguhnya aku akan berbicara dengan engkau dengan suatu
pembicaraan, maka terimalah, walaupun tidak engkau sukai. Karena sebaliknya,
ada yang engkau sukai, jika engkau sudi menerimanya”. Lalu Sulaiman menjawab:
“Hai Arab dusun! sesungguhnya kami bermurah hati dengan luasnya penanggungan,
terhadap orang yang tidak kami harapkan nasehatnya dan yang tidak kami merasa
aman dari tipuannya. Maka bagaimana pula dengan orang yang kami merasa aman
dari tipuannya dan kami mengharap akan nasehatnya ?”. Maka Arab dusun itu
berkata: “Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya telah mengelilingi engkau,
orang-orang yang berbuat jahat pilihan bagi diri mereka sendiri. Dan mereka
membeli dunia mereka dengan agamanya dan kerelaan engkau dengan kemarahan
Tuhannya. Mereka takut kepada engkau mengenai Allah Ta’ala dan mereka tiada
takut akan Allah mengenai engkau. Dia perangi akhirat dan dia selamatkan dunia.
Maka janganlah engkau letakkan amanah pada mereka, terhadap apa yang
diamanahkan Allah Ta’ala kepada engkau padanya. Karena mereka tidak melambatkan
pada amanah itu kesia-siaan dan pada umat itu kehinaan dan kezaliman. Engkau
bertanggung jawab dari apa yang dikerjakan mereka dan mereka tidak bertanggung
jawab dari apa yang engkau kerjakan. Maka tidaklah baik dunia mereka dengan
rusaknya akhirat engkau. Maka sesungguhnya yang amat besar meruginya manusia,
ialah orang yang menjual akhiratnya dengan dunia orang lain. Lalu berkata
kepadanya Sulaiman: “Wahai Arab dusun ! sesungguhnya engkau telah engkau lepaskan
lidahmu, yaitu: yang tertajam dari dua pedangmu”. Arab dusun itu menjawab:
“Benar, wahai Amirul-mu’minin ? tetapi untuk keselamatanmu, bukan untuk
kerugianmu”.
Diriwayatkan, bahwa
Abubakrah masuk ke tempat Mu’awiyah, lalu berkata: “Bertaqwalah kepada Allah,
wahai Mu’awiyah ! ketahuilah kiarnya, bahwa engkau pada tiap-tiap hari yang
keluar dari engkau dan pada tiap-tiap malam yang datang kepada engkau, tidaklah
menambahkan engkau dari dunia melainkan jauh dan dari akhirat, melainkan dekat.
Dan diatas jejak engkau, ada yang mencari yang tidak dapat engkau hilangkan.
Dan telah ditegakkannya bagi engkau pengetahuan yang tidak dapat engkau
lampaui. Maka alangkah cepatnnya apa yang engkau sampaikan dengan ilmu itu !
dan hampirlah tidak dapat dihubungi dengan engkau oleh yang mencari itu !
sesungguhnya kita dan apa yang kita didalamnya, adalah hilang. Dan apa yang
kita kerjakan, menuju kepadanya, adalah kekal ! kalau baik, maka balasannya
adalah baik dan kalau jahat, maka balasannya adalah jahat. Maka begitulah
adanya masuk orang-orang yang berilmu ke tempat sultan-sultan. Ya’ni: para ahli
ilmu akhirat (ulama akhirat). Adapun ulama dunia, maka mereka masuk untuk
mendekatkan diri kepada hati mereka. Lalu mereka mengulurkan timbanya kepada
sultan-sultan itu dengan harga murah. Dan mereka melakukan istinbath (mencari
dalil) untuk sultan-sultan itu, dengan daya upaya yang halus-halus, akan jalan
keluasan, mengenai apa yang bersesuaian dengan maksud mereka. Dan kalau mereka
berkata-kata, seperti apa yang kami sebutkan dahulu tentang pembentangan
pengajaran, bukanlah mereka itu untuk perbaikan. Tetapi untuk mencari kemegahan
dan penerimaan dari sultan-sultan itu. Dan pada ini, adalah dua penipuan, yang
tertipu orang-orang bodoh dengan dia:
Penipuan
pertama: bahwa ia melahirkan dengan kata-kata: bahwa maksudku masuk ke tempat
sultan-sultan itu, ialah memperbaiki mereka dengan nasehat. Kadang-kadang
mereka serupakan kepada dirinya yang demikian itu. Dan sesungguhnya yang
menggerakkan mereka berbuat demikian, ialah nafsu keinginan yang tersembunyi
untuk memperoleh kemasyhuran dan menghasilkan perkenalan bagi mereka. Dan tanda
kebenaran pada mencari perbaikan, ialah kalau dilaksanakan nasehat itu oleh
orang lain, dari orang-orang yang menjadi temannya dalam ilmu pengetahuan dan
mendapat sambutan serta menampak bekasnya perbaikan, maka seyogyalah ia
bergembira dan bersyukur kepada Allah Ta’ala atas dapat terlaksananya dengan
memuaskan usaha yang penting tersebut, seperti orang yang harus mengobati orang
sakit yang tak berkeluarga. Maka bangunlah orang lain mengobatinya, maka
alangkah besar kegembiraannya. Maka kalau ia menjumpai dalam hatinya untuk
memperkuatkan perkataannya terhadap perkataan orang lain, maka dia itu tertipu.
Penipuan
kedua: bahwa ia
mendakwakan: sesungguhnya maksudku adalah menolong sesama muslim pada menolak
kezaliman. Dan ini juga adalah tempat sangkaan penipuan. Dan ukurannya, adalah
apa yang telah tersebut dahulu. Dan apabila telah nyata jalan masuk kepada
sultan-sultan itu, maka haruslah kami gambarkan dalam hal-hal yang mendatang,
mengenai bercampur-baur dengan sultan-sultan dan memegang harta benda mereka,
dengan beberapa masalah:
Suatu masalah.
Apabila sultan mengirimkan kepada anda uang
untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin, maka kalau uang itu kepunyaan seorang
pemilik tertentu, maka tidaklah halal mengambilnya. Dan kalau tak ada
pemiliknya yang tertentu, tetapi adalah hukumnya, wajib menyedekahkan kepada
orang-orang miskin, sebagaimana telah diterangkan dahulu, maka bolehlah anda
mengambilnya dan mengurus pembagian itu. Dan tidaklah anda ma’siat dengan
mengambilnya. Tetapi sebagian ulama melarang mengambilnya. Maka dalam hal ini,
diperhatikan pada yang lebih utama, lalu
kami jelaskan: bahwa yang lebih utama, ialah mengambilnya, jikalau anda merasa
aman dari 3 godaan
Godaan pertama: bahwa sultan itu
menyangka dengan sebab anda ambil, bahwa hartanya itu baik. Dan jikalau
tidaklah hartanya itu baik, tentu anda tidak akan mengulurkan tangan kepadanya.
Dan tidak akan anda masukkan kedalam tanggungan anda. Jikalau adalah demikian,
maka janganlah anda ambil, karena yang demikian itu harus diawasi. Dan tiada
sempurnalah kebajikan pada pelaksanaan anda, akan pembagian, dengan apa yang
ada bagi anda, dari keberanian diatas usaha harta yang haram.
Godaan kedua: bahwa dipandang
kepada anda oleh orang-orang lain, dari para ulama dan orang-orang bodoh, lalu
mereka meyakininya halal. Maka diturutinya anda pada pengambilan itu. Dan
mereka berdalilkan dengan yang demikian, kepada pembolehannya. Kemudian, tidak
mereka bagi-bagikan. Maka yang kedua ini, adalah lebih berbahaya daripada yang
pertama. Karena segolongan mereka mengambil dalil dengan diambil oleh
Asy-Syafi’i ra kepada bolehnya mengambil. Dan mereka lupakan tentang
membagi-bagikannya dan mengambilnya itu dengan niat untuk dibagi-bagikan. Maka
orang yang mengikuti dan menyerupakan diri dengan yang tersebut, seyogyalah
menjaga dari ini dengan sebenar-benarnya. Karena perbuatannya adalah menjadi
sebab kesesatan orang banyak.
Wahab bin Munabbih menceritakan, bahwa seorang
laki-laki dibawa kepada seorang raja, dihadapan orang banyak, untuk dipaksakan
memakan daging babi. Orang itu tidak mau makan. Lalu dibawa kehadapannya daging
kambing dan dipaksakan memakannya dengan pedang, maka dia tidak juga mau makan.
Lalu ditanyakan kepadanya, yang demikian itu. Ia menjawab: “Sesungguhnya
manusia meyakini bahwa aku dipaksakan untuk memakan daging babi, maka apabila
aku keluar dengan selamat dan aku telah makan, lalu mereka itu tidak mengetahui,
apakah yang aku makan. Maka sesatlah mereka dengan yang demikian”. Wahab bin
Munabbih dan Thaus, masuk ke tempat Muhammad bin Yusuf saudara dari Al-Hajjaj.
Dan Muhammad itu adalah pegawai. Dan berada pada pagi yang dingin di tempat
yang terbuka. Lalu Muhammad berkata kepada bujangnya: “Bawalah kemari thailasan
(baju hijau yang dipakai oleh orang-orang tertentu dan oleh para ulama) itu dan
campakkanlah kepada Abu Abdurrahman !” Ya’ni: Thaus. Dan Thaus itu duduk diatas
kursi. Lalu dicampakkan baju tersebut kepadanya. Maka ia senantiasa
menggerak-gerakkan kedua bahunya, sehingga baju itu tercampak daripadanya. Lalu
marahlah Muhammad bin Yusuf. Maka berkatalah Wahab: “Tidak perlulah engkau
memarahinya, jikalau engkau mengambil baju tersebut dan menyedekahkannya”.
Muhammad bin Yusuf menjawab: “Ya, kalau
tidak akan dikatakan oleh orang-orang sesudahku, bahwa baju itu telah diambil
oleh Thaus dan ia tidak memperbuat apa yang aku perbuat dengan baju tersebut,
niscaya sungguh aku perbuat yang demikian”.
Godaan ketiga: bahwa tergerakkah
hati engkau mencintainya, karena ditentukannya engkau dan dipilihkannya engkau
dengan apa yang dilaksanakannya untuk engkau. Maka jikalau adalah seperti yang
demikian, maka janganlah engkau terima ! karena yang demikian itu, adalah racun
yang membunuh dan penyakit yang tersembunyi. Ya’ni: apa yang disukai oleh
orang-orang zalim kepada engkau. Karena orang yang engkau kasihi, niscaya tak
boleh tidak akan engkau berusaha dan berminyak air dengan dia.
‘Aisyah berkata:
“Telah menjadi tabiat bagi manusia, mengasihi orang yang berbuat baik
kepadanya”. Dan Nabi saw berdoa: “Wahai Allah, Tuhanku! janganlah engkau
jadikan bagi orang zalim padaku tangannya, lalu ia dicintai oleh hatiku !”.
Nabi saw menerangkan, bahwa hati hampir tak dapat mencegah dari yang demikian.
Diriwayatkan, bahwa sebahagian amir mengirimkan kepada Malik bin Dinar uang
sebanyak 10 ribu dirham. Lalu Malik mengeluarkannya semuanya. Maka datanglah
kepadanya Muhammad bin Wasi’, seraya berkata: “Apakah yang engkau perbuat, dengan
apa yang diberikan kepada engkau oleh makhluk ini ?”. Lalu Malik bin Dinar
menjawab: “Tanyakanlah kepada sahabat-sahabatku !”. Maka sahabat-sahabatnya
menjawab: “Dikeluarkannya semuanya”. Lalu Muhammad bin Wasi’ menyambung:
“Ditolongi oleh Allah kiranya engkau ! adakah hati engkau bertambah cinta
kepadanya sekarang atau sebelum dikirimkannya uang kepada engkau ?”. Malik bin
dinar menjawab: “Sebelumnya tidak, tetapi sekarang !”. Muhammad bin Wasi’
menyambung: “Sesungguhnya aku, adalah aku takutkan ini”. Dan memang benarlah
dia. Karena apabila telah mencintainya, niscaya mencintai akan kekekalannya.
Tidak menyukai ia tersingkir, mendapat bahaya dan meninggal. Dan menyukai
bertambah luas wilayahnya dan banyak hartanya. Dan semua itu, adalah cinta bagi
sebab-sebab kezaliman. Dan itu, adalah tercela. Salman ra dan Ibnu Mas’ud ra
berkata: “Barangsiapa merelai sesuatu hal, walau ia tidak ada disitu, niscaya
adalah ia seperti orang yang menyaksikannya”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
janganlah kamu berpihak kepada orang-orang yang zalim !”. S 11 Huud ayat 113.
Ada yang mengatakan maksudnya: “Jangan kamu rela segala perbuatan mereka”. Maka
jikalau engkau teguh pendirian, dimana tidak akan bertambah kecintaanmu
kepadanya dengan mengambil pemberiannya itu, maka tiada mengapalah
mengambilnya.
Diceritakan dari
setengah orang-orang yang kuat beribadah di Basrah, bahwa ia mengambil
harta-harta yang diberikan amir-amir itu dan dibagi-bagikannya. Lalu orang
bertanya kepadanya: “Apakah tidak engkau takut, bahwa engkau akan mencintainya
?”. Lalu ia menjawab: “Jikalau seorang laki-laki mengambil tanganku dan
dimasukkannya aku kedalam sorga, kemudian ia berbuat ma’siat kepada Tuhannya,
niscaya tidaklah dia akan dicintai oleh hatiku. Karena Tuhan yang memudahkannya
untuk mengambil dengan tanganku, adalah Dia yang memarahinya karena yang
tersebut sebagai tanda syukur bagiNya atas dimudahkanNya yang demikian”. Dengan
ini jelaslah bahwa mengambil harta itu sekarang dari amir-amir, walaupun harta
itu sendiri dari segi yang halal, adalah ditakuti dan dicela. Karena tidaklah
terlepas dari godaan-godaan itu.
Suatu masalah.
Kalau berkatalah orang berkata: “Apabila
boleh mengambil hartanya dan membagi-bagikannya, maka adakah boleh mencuri
hartanya itu ? atau menyembunyi kan simpanannya dan dimungkiri simpanan
tersebut dan dibagi-bagikan kepada orang banyak ?”. Maka kami menjawab, bahwa
yang demikian itu tidak boleh. Karena mungkin harta itu mempunyai pemilik
tertentu dan amir itu bercita-cita mengembalikannya kepada pemiliknya. Dan tidaklah
ini, seperti jikalau dikirimkan nya kepadamu. Karena orang yang berakal, tidak
akan menyangka, bahwa yang mengirimkan itu akan bersedekah dengan harta, yang
diketahuinya pemilik nya. Maka ditunjukkan oleh penyerahannya itu, bahwa ia
tidak mengenal pemiliknya. Kalau ia sebagian dari orang yang menyulitkan
kepadanya hal yang seperti itu, maka tiada boleh ia menerima harta dari orang
itu, selama belum dikenalnya yang demikian. Kemudian, bagaimana ia mencuri dan
mungkin miliknya itu diperolehnya dengan pembelian secara dzimmah (perjanjian tidak
dengan harga tunai) ? Karena tangannya (yang memegang barang itu) menunjuk kan
kepada miliknya. Maka tiada jalanlah kepada mencuri itu. Bahkan kalau
diperolehnya barang kececeran/barang temuan (luqthah) dan ternyata bahwa
pemiliknya seorang tentara dan mungkin barang luqthah (barang temuan) itu
dimiliknya dengan pembelian secara dzimmah (perjanjian) atau cara lain, niscaya
wajiblah dikembalikan kepadanya. Jadi, tidak boleh mencuri harta mereka. Tidak
boleh mencuri itu, baik dari amir-amir itu sendiri atau dari orang-orang yang
disimpankannya padanya. Dan tidak boleh memungkiri simpanan mereka. Dan
wajiblah menghukum orang yang mencuri harta mereka, kecuali apabila pencuri itu
menda’wakan, bahwa harta tersebut bukan milik amir-amir itu. Maka ketika itu,
gugurlah hukuman siksaan dengan dakwaan tadi.
Suatu masalah.
Mengadakan mu’amalah (perniagaan) dengan mereka itu haram, karena kebanyakan
harta mereka itu haram. Maka apa yang diambilkan sebagai ‘iwadlnya (tebusannya),
adalah haram. Kalau harganya dibayar dari tempat yang diketahui halalnya, maka
tinggallah memperhatikan tentang apa yang diserahkan kepada mereka. Kalau
diketahui, bahwa mereka itu berbuat ma’siat kepada Allah dengan barang itu,
seperti menjual sutera kepada mereka dan diketahui, bahwa mereka akan memakai
sutera itu, maka adalah yang demikian haram, seperti menjual buah anggur kepada
pembuat khamar. Hanya terdapat perbedaan paham, tentang sahnya. Dan jikalau
mungkin yang tersebut tadi dan mungkin pula akan dipakai sutera tersebut oleh
isterinya, maka itu adalah syubhat (diragukan) yang makruh. Dan ini adalah
mengenai harta yang diperbuat kema’siatan pada benda dari harta itu sendiri.
Dan searti dengan
itu, menjual kuda kepada mereka, lebih-lebih pada waktu dikendarainya untuk
memerangi kaum muslimin atau merampok harta mereka. Karena yang demikian itu,
adalah menolong mereka dengan kudanya. Dan itu adalah terlarang. Adapun menjual
dirham dan dinar kepada mereka dan barang-barang yang seperti dirham dan dinar
itu, dari benda-benda yang tidak dilakukan perbuatan ma’siat pada benda itu,
tetapi hanya yang menyampaikan kepada ma’siat dengan dia, maka itu adalah
makruh. Karena padanya menolong mereka kepada kezaliman. Karena mereka
memperoleh pertolongan untuk kezalimannya dengan harta-harta, hewan-hewan dan
sebab-sebab lainnya. Dan kemakruhan tersebut berlaku pada menghadiahkan kepada
mereka dan bekerja untuk mereka dengan tanpa upah. Sehingga pada mengajarkan
mereka dan mengajarkan anak-anaknya tulis-baca, membuat surat dan berhitung.
Adapun mengajari
Alquran, maka tidaklah dimakruhkan, kecuali dari segi mengambil upahnya. Maka
yang demikian itu adalah haram, kecuali dari segi yang diketahui halalnya.
Kalau diadakan perwakilan baginya, yang akan membeli di pasar-pasar dengan
tanpa pembalasan atau upah, maka itu adalah makruh, dari segi memberi
pertolongan. Dan kalau dibeli untuk mereka akan sesuatu, yang diketahui bahwa
mereka bermaksud dengan dia akan kema’siatan, seperti budak, sutera untuk tikar
dan pakaian, kuda untuk kendaraan kepada kezaliman dan pembunuhan, maka itu
adalah haram. Manakala telah jelas maksud ma’siat dengan barang yang dibeli
itu, niscaya terjadilah pengharamannya. Dan manakala tidak jelas dan hanya
mungkin menurut keadaan dan petunjuk keadaan, niscaya datanglah kemakruhannya.
Suatu masalah.
Pasar-pasar yang dibangun dengan harta
haram, maka haramlah berniaga padanya. Dan tak boleh menempatinya. Maka jika
ditempati oleh seorang saudagar dan ia berusaha disitu dengan jalan yang sesuai
dengan agama, niscaya tidaklah haram usahanya dan ia ma’siat dengan
menempatinya. Dan bagi orang banyak boleh membeli padanya. Tetapi kalau ada
toko lain, maka yang lebih utama, ialah membeli pada toko yang lain itu. Karena
yang demikian itu adalah menolong bagi tempat mereka dan memperbanyakkan sewa
toko-toko mereka. Dan begitupula bermu’amalah (perniagaan) pada pasar yang tak ada pajak bagi amir-amir
padanya, adalah lebih disunatkan daripada bermu’amalah (perniagaan) pada pasar yang ada padanya pajak bagi amir-amir
itu.
Dan segolongan
ulama adalah lebih bersangatan, sehingga mereka menjaga diri daripada bermu’amalah
(perniagaan) dengan petani-petani dan
pemilik-pemilik tanah, yang ada padanya pajak bagi mereka. Karena kadang-kadang
mereka serahkan apa yang diperolehnya kepada pajak cukai. Maka terjadilah
pertolongan bagi amir-amir itu dengan yang demikian. Dan ini, adalah terlalu
berlebih-lebihan pada pemahaman agama. Dan menyukarkan bagi kaum muslimin.
Karena pajak itu telah merata segala tanah dan manusia tidak terlepas dari
menggunakan tanah. Dan tak ada arti untuk melarangnya. Dan kalau bolehlah
pelarangan itu, niscaya haramlah atas si pemilik tanah itu menanami tanah,
sehingga tidaklah dimintakan pajaknya. Dan yang demikian itu termasuk yang
panjang penguraiannya. Dan membawa kepada menyumbat pintu kehidupan.
Suatu masalah.
Bermu’amalah (perniagaan) dengan
qadli-qadli (hakim-hakim) dari amir-amir itu, dengan pegawai-pegawai dan
pelayan-pelayan mereka, adalah haram, seperti bermu’amalah (perniagaan) dengan
mereka. Bahkan lebih sangat haramnya. Adapun qadli-qadli itu, adalah karena
mereka mengambil dari harta-harta amir yang tegas haramnya, membanyakkan
pengumpulan dan menipukan orang banyak dengan pakaian mereka. Karena mereka itu
adalah dengan pakaian ulama. Mereka bercampur-baur dengan amir-amir dan
mengambil dari harta mereka. Dan tabiat manusia itu tertarik kepada
menyerupakan dan mengikuti orang-orang yang mempunyai kemegahan dan keangkuhan.
Maka mereka menjadi sebab patuhnya orang banyak kepada amir-amir itu.
Adapun
pelayan-pelayan dan kaum keluarganya, maka kebanyakan harta mereka, adalah dari
harta rampokan yang tegas. Dan tidak jatuh ke dalam tangan mereka, harta
kepentingan umum, harta warisan dan pajak dan tidak harta dari cara yang halal.
Sehingga lemahlah kesyubhatannya (diragukan) dengan bercampurnya yang halal
dengan harta mereka.
Thaus berkata:
“Tiada aku naik saksi terhadap apa yang ada pada mereka, walaupun aku yakin.
Karena aku takut, akan mereka berbuat aniaya terhadap orang yang aku naik saksi
kepadanya”. Kesimpulannya, sesungguhnya rusaklah rakyat dengan rusaknya
raja-raja. Dan rusaklah raja-raja dengan rusaknya para ulama. Maka jikalau
tidaklah qadli-qadli yang jahat dan ulama-ulama yang jahat, niscaya sedikitlah
kerusakan raja-raja, karena takut dari menentang mereka. Karena itulah, Nabi
saw bersabda: “Senantiasalah umat itu dibawah rahmat dan lindungan Allah,
selama para ahli qiraahnya tidak menolong amir-amirnya”. Dan sesungguhnya
disebutkan para ahli qiraah (al-qurra’), karena mereka itu adalah ulama. Dan
pengetahuan mereka sesungguhnya, adalah tentang Alquran dan segala
pengertiannya yang dipahami dengan Sunah Nabi saw. Dan ilmu-ilmu yang lain
dibalik itu, adalah yang datang sesudah mereka.
Sufyan berkata:
“Janganlah engkau bercampur dengan sultan dan jangan dengan orang yang
bercampur dengan sultan”. Dan berkata Sufyan: Yang punya pena, punya tinta,
punya kertas dan punya perekat, adalah berkongsi satu sama lain”. Dan sungguh
benarlah Sufyan, karena Rasulullah saw mengutuk mengenai khamar, 10 golongan
orang, sehingga yang memeras dan menerima perasaan.
Ibnu Mas’ud ra
berkata: “Pemakan riba, yang mewakilkan, yang menjadi saksi dan penulisnya,
adalah semuanya itu terkutuk menurut ucapan Muhammad saw”. Dan begitu pula yang
diriwayatkan oleh Jabir dan Umar dari Rasulullah saw. Ibnu Sirin berkata:
“Janganlah engkau bawakan bagi sultan itu suatu buku sebelum engkau ketahui apa
isinya”. Sufyan ra menolak untuk memberikan kepada khalifah pada masanya tinta
dihadapannya dan mengatakan: “Sebelum aku ketahui apa yang akan engkau tuliskan
dengan tinta itu”. Maka semua orang dikeliling sultan-sultan itu, dari
pelayan-pelayan dan pengikut-pengikutnya, adalah orang-orang zalim seperti
mereka, yang wajib dimarahi mereka semua, pada jalan Allah.
Diriwayatkan dari
Usman bin Zaidah, bahwa ia ditanyakan oleh seorang tentara, dengan mengatakan:
“Manakah jalan itu ?”. Mendengar pertanyaan itu, Usman berdiam diri dan
menampakkanya sebagai orang pekak. Ia takut tentara itu akan menuju kepada
sesuatu perbuatan kezaliman. Lalu dia dengan menunjukkan jalan itu, adalah yang
menolong. Bersangatan yang seperti ini, tidaklah dinuqilkan dari salaf serta
orang-orang fasiq, dari saudagar-saudagar, tukang-tukang jahit, pembekam,
penjaga tempat pemandian umum, tukang emas, tukang celup dan orang-orang yang
mempunyai bermacam-macam perusahaan, serta banyaknya kebohongan dan kefasiqan
pada mereka, bahkan serta orang-orang kafir dari orang-orang dzimmi
(ahludz-dzimmah). Sesungguhnya ini adalah pada orang-orang zalim, yang khusus
memakan harta anak-anak yatim, fakir miskin dan selalu menyakiti kaum muslimin,
yang bertolong-tolongan untuk menghapuskan tanda-tanda agama dan syiarnya. Dan
ini adalah karena ma’siat itu terbagi kepada: yang tetap dan yang menjalar. Dan
fasiq itu tetap, tidak menjalar. Dan begitu pula kekafiran (kufur). Yaitu:
penganiayaan terhadap hak Allah Ta’ala dan kiraannya keatas Allah.
Adapun ma’siat dari
wali-wali negeri dengan kezaliman, itu adalah menjalar. Maka beratlah urusannya
karena yang demikian. Dan menurut kadar umumnya kezaliman dan meratanya
pelanggaran hak itu, bertambahlah mereka dengan kutukan pada sisi Allah. Maka
wajiblah bertambah kejauhan dari mereka dan penjagaan diri dari bergaul dengan
mereka. Nabi saw bersabda: “Dikatakan bagi polisi: “Tinggalkanlah cemetimu dan
masuklah ke neraka !”. Dan Nabi saw bersabda: “Setengah dari tanda kiamat,
ialah laki-laki, yang bersama mereka cemeti, seperti ekor lembu”. Maka inilah
hukum mereka itu ! dan barangsiapa dikenal dengan demikian dari mereka, maka
sesungguhnya telah dikenallah dia. Dan barangsiapa yang tiada dikenal, maka
tandanya, ialah baju panjang, panjang kumis dan bentuk-bentuk lain yang
terkenal. Maka orang yang terlihat dalam bentuk yang demikian itu, niscaya
tentulah menjauhkannya. Dan bukanlah yang demikian itu, dari jahat sangka.
Karena dia sendiri yang menganiaya dirinya, karena perpakaian dengan pakaian
mereka. Dan persamaan pakaian, menunjukkan kepada persamaan hati. Dan tidak
berbuat gila, kecuali orang gila. Dan tidak menyerupakan dengan orang-orang
fasiq, melainkan orang fasiq. Ya, orang fasiq itu kadang-kadang meragukan, lalu
menyerupai dengan orang-orang shalih.
Adapun orang
shalih, maka tidaklah ia menyerupai dengan orang-orang buruk. Karena yang
demikian itu adalah memperbanyakkan jumlah mereka. Sesungguhnya turun firman
Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat ketika mereka
menganiaya dirinya sendiri”. S 4 An Nisaa’ ayat 97, adalah pada suatu kaum dari
orang muslimin, dimana mereka itu membanyakkan kumpulan orang-orang musyrik
dengan bercampur baur. Dan sesungguhnya diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala
menurunkan wahyu kepada Yusya’ bin Nun: “Sesungguhnya Aku membinasakan dari
kaummu sebanyak 40 ribu, dari orang baik-baik dan 60 ribu dari orang-orang jahat
dari mereka”. Lalu Yusya’ bertanya: “Bagaimanakah halnya orang baik-baik itu
?”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Mereka itu tidak marah karena marahKu. Adalah
mereka makan bersama mereka dan minum bersama mereka”. Dengan ini jelaslah,
bahwa marah kepada orang-orang zalim dan marah karena Allah kepada mereka,
adalah wajib. Diriwayatkan Ibnu Mas’ud dari Nabi saw: “Bahwa Allah mengutuk
ulama-ulama Bani Israil (ulama-ulama Yahudi), karena mereka itu bercampur baur
dengan orang-orang zalim, dalam kehidupan mereka”.
Suatu masalah.
Tempat-tempat yang dibangun oleh
orang-orang zalim, seperti jembatan-jembatan, surau-surau, masjid-masjid dan
tempat-tempat persediaan minuman, maka seyogyalah berhati-hati padanya dan
diperhatikan. Adapun jembatan, maka bolehlah dilalui karena perlu. Dan yang
menjaga diri, ialah menjaga diri selama mungkin. Dan jikalau diperolehnya jalan
yang berpaling dari jembatan itu, niscaya lebih kuatlah untuk berlaku menjaga
diri. Dan sesungguhnya kami memperbolehkan melaluinya, walaupun ia dapat berpaling
dari jembatan itu, karena apabila ia telah tahu pemilik dari barang-barang yang
diperbuat untuk jembatan tadi, niscaya adalah hukumnya bahwa barang-barang itu
ditujukan bagi kebajikan. Dan ini adalah baik. Adapun apabila diketahuinya
bahwa tanah bakar dan batu, adalah diambil dari rumah yang dikenal atau dari
kuburan atau masjid tertentu, maka ini sekali-kali tiada halal melaluinya.
Kecuali karena darurat yang menghalalkan seperti yang demikian itu, dari harta
orang lain. Kemudian, haruslah ia meminta kehalalan dari pemiliknya yang
dikenalnya. Adapun masjid, maka kalau dibangun pada tanah yang dirampas atau
dengan kayu yang dirampas dari masjid lain atau kepunyaan orang yang tertentu,
maka tiada dibolehkan masuk kedalamnya sekali-kali dan tidak untuk shalat
Jum’at. Bahkan kalau berdiri imam di dalam masjid itu, maka hendaklah ia
bershalat di belakang imam dan hendaklah ia berdiri di luar masjid.
Sesungguhnya shalat pada tanah yang dirampas adalah memadai bagi fardlu dan sah
dalam hal mengikutkan imam tadi. Maka karena itulah kami perbolehkan bagi orang
yang mengikuti, untuk mengikuti orang yang mengerjakan shalat pada tanah yang
dirampas, walaupun yang mengerjakan shalat itu berbuat ma’siat dengan berdiri
pada tanah yang dirampas. Dan kalau masjid itu dari harta yang tidak dikenal
pemiliknya, maka yang menjaga diri, ialah berpindah ke masjid lain, kalau ada.
Kalau tidak diperolehnya masjid lain, maka janganlah meninggalkan Jum’at dan
jama’ah di masjid itu. Karena mungkin masjid itu, si pemilik yang mendirikannya,
walaupun secara pemikiran yang jauh. Dan jikalau masjid itu tidak mempunyai
pemilik yang tertentu, maka adalah untuk kemuslihatan kaum muslimin. Manakala
ada dalam masjid besar, bangunan bagi sultan yang zalim, maka tiada halangan
bagi orang yang mengerjakan shalat didalamnya serta meluasnya masjid. Ya’ni:
tentang menjaga dirinya.
Ditanyakan kepada
Ahmad bin Hanbal: “Apakah alasan tuan, tidak keluar kepada shalat dalam jama’ah
dan kami di Al-‘Askar ?”. Ahmad bin Hanbal menjawab: “Alasanku, ialah, bahwa
Al-Hasan dan Ibrahim At-Taimi, keduanya takut difitnahkan oleh Al-Hajjaj dan
akupun takut pula mendapat fitnah”. Adapun pelicinan dan pengkapuran masjid,
maka itu tidak dilarang untuk ke masjid. Karena hal itu tidak diambil
kemanfaatannya dalam shalat. Dan itu hanya hiasan belaka. Dan yang lebih utama,
tidak dilihat kepadanya.
Adapun tikar yang
dibentangkan, maka ada pemiliknya yang tertentu, niscaya haram duduk padanya.
Dan jikalau tidak ada pemiliknya yang tertentu, maka sesudah diperhatikan untuk
kemuslihatan umum, niscaya bolehlah mengambilnya untuk tempat duduk. Tetapi
yang menjaga diri, adalah berpaling daripadanya. Karena itu adalah tempat
syubhat (diragukan).
Adapun tempat
penyediaan minuman, maka hukumnya, ialah yang telah kami sebutkan dahulu. Dan
tidaklah dari menjaga diri, berwudlu’, meminum daripadanya dan masuk kepadanya.
Kecuali apabila ia takut luput shalat, maka berwudlu’lah ia dengan air itu. Dan
begitu pula tempat-tempat yang diperbuat bagi jalan Makkah. Adapun surau-surau
dan sekolah-sekolah, maka jikalau tanahnya tanah yang dirampas atau
tanah-bakarnya dipindahkan dari suatu tempat tertentu, yang mungkin
dikembalikan kepada yang berhak, maka tidaklah diperbolehkan masuk kedalamnya.
Dan kalau si pemiliknya, diragukan, maka diperhatikan bagi segi kebajikan. Dan
yang menjaga diri, ialah menjauhkannya. Tetapi tidaklah mesti menjadi fasiq
dengan masuknya itu. Dan bangunan-bangunan tersebut jika diperhatikan dari
usaha pelayan-pelayan sultan, maka persoalannya menjadi lebih berat lagi. Karena
mereka tidak berhak menyerahkan harta-harta yang hilang dari pemiliknya, kepada
kemuslihatan umum. Dan karena yang haram, adalah yang terbanyak dari harta
mereka. Karena tak boleh mereka mengambil harta kepentingan umum. Dan yang
demikian itu hanya diperbolehkan bagi wali-wali negeri dan orang-orang yang
bertanggung jawab.
Suatu masalah.
Tanah yang dirampas, apabila dijadikan
jalan raya, niscaya tidak diperbolehkan sekali-kali melangkahinya. Dan kalau
tidak mempunyai pemilik yang tertentu, niscaya diperbolehkan. Dan yang menjaga
diri, ialah berpaling daripadanya, kalau mungkin. Kalau jalan raya itu jalan
yang diperbolehkan dan diatas jalan tersebut ada atap, niscaya bolehlah
dilalui. Dan bolehlah duduk dibawah atap itu, dengan cara yang tidak memerlukan
kepada atap itu, sebagaimana berdiri pada jalan besar, karena sesuatu urusan.
Apabila dipergunakan atap tadi untuk menolak panasnya matahari atau hujan atau
lainnya, maka itu haram. Karena atap itu, tidaklah dimaksudkan selain untuk
yang demikian. Dan begitulah hukum orang yang memasuki masjid atau tanah yang
diperbolehkan, yang diatapi atau dipagari dengan harta yang dirampas. Karena
dengan semata-mata melangkah tidak adalah ia mengambil manfaat dengan pagar dan
atap itu. Kecuali mempunyai faedah pada dinding dan atap itu, karena panas atau
dingin atau menutup dari penglihatan atau lainnya. Maka yang demikian itu
adalah haram dari penglihatan atau lainnya. Maka yang demikian itu adalah
haram. Karena mengambil manfaat dengan yang haram. Karena tiadalah haram duduk
diatas tanah yang dirampas, karena ada padanya penyentuhan. Bahkan, karena
kemanfaatannya. Dan tanah itu dikehendaki untuk ketetapan padanya. Dan atap
untuk bernaung dengan dia. Maka tiadalah perbedaan diantara keduanya.
BAB KETUJUH: tentang masalah-masalah yang
berserak-serak, yang banyak diperlukan kepadanya dan telah ditanyakan tentang
masalah-masalah itu, mengenai fatwa-fatwanya.
Suatu masalah.
Ditanyakan tentang pelayan orang shufi yang
keluar ke pasar dan mengumpulkan makanan dan uang. Dan dibelinya dengan itu
makanan. Maka siapakah yang menghalalkan baginya untuk memakan dari makanan itu
? adakah itu tertentu untuk orang shufi saja atau tidak ? Maka aku menjawab:
adapun orang shufi, maka taklah syubhat (diragukan) tentang hak mereka, apabila
mereka memakannya. Dan adapun orang lain, maka halallah bagi mereka, apabila
memakannya dengan kerelaan pelayan itu. Tetapi tidaklah terlepas dari syubhat (diragukan).
Adapun halal, maka karena apa yang diberikan kepada pelayan orang shufi
tersebut, sesungguhnya diberikan, disebabkan orang shufi itu. Tetapi pelayan
itu yang diberikan, bukan orang shufi. Maka pelayan itu, adalah seperti orang
yang berkeluarga, yang diberikan disebabkan kekeluargaannya. Karena ia yang
menanggung perbelanjaan mereka. Dan apa yan diambilnya, adalah menjadi miliknya
tidak menjadi milik keluarganya. Dan ia boleh memberikan untuk makanan orang
yang bukan keluarganya. Karena jauhlah untuk dikatakan, bahwa harta itu tidak
keluar dari kepunyaan si pemberi dan tiada berkuasa si pelayan itu untuk
membeli apa-apa dengan harta tersebut dan berbuat sesuatu dengan harta itu.
Karena yang demikian itu menjadikan, bahwa beri-memberi (mu’athah) itu, tidak
mencukupi. Dan pendapat yang demikian, adalah lemah. Kemudian, tiada yang
menjadikan kepadanya mengenai sedekah dan hadiah. Dan jauhlah untuk dikatakan:
hilanglah miliknya itu, berpindah kepada orang-orang shufi yang hadir, dimana
mereka itu pada waktu dimintanya, berada pada tempat ibadah. Karena tidak ada
khilaf (perbedaan pendapat), bahwa pelayan itu, boleh memberikan makanan dari
harta tersebut, kepada orang-orang yang datang sesudah orang-orang shufi tadi.
Dan jikalau meninggal semua orang shufi tadi atau seorang dari mereka, niscaya
tiada wajib menyerahkan bahagiannya kepada ahli warisnya. Dan tidak mungkin
untuk dikatakan, bahwa harta itu jatuh untuk pihak tasawwuf/ahli suffi. Dan
tiada tentu baginya yang berhak. Karena menghilangkan milik kepada sesuatu
segi, tidaklah mewajibkan pemberian kuasa bagi perorangan-perorangan kepada
penggunaan harta itu. Karena orang-orang yang masuk dalam lingkungan harta
tersebut, tidaklah terbatas jumlahnya. Bahkan masuk kedalamnya orang-orang yang
akan lahir, sampai kepada hari kiamat. Sesungguhnya yang mengurus mengenai
harta tersebut, ialah orang-orang yang berkuasa (wali-wali negeri). Dan pelayan
itu tak boleh mengangkat pengganti (wakil) dari pihak manapun. Tak ada cara
baginya, selain dikatakan, adalah ia yang memilikinya. Dan dia memberikan untuk
makanan bagi orang-orang shufi, adalah dengan sempurnanya syarat tasawwuf/ahli
suffi dan kepribadiannya. Kalau pelayan itu tidak memberikan makanan kepada
mereka dari harta tersebut, niscaya mereka melarang pelayan itu, daripada
melahirkan dirinya, dalam kedudukan menanggung pelayanan kepada orang-orang
shufi itu. Sehingga habislah pikulannya, sebagaimana habisnya pikulan dari
orang, yang telah meninggal keluarga yang menjagi tanggungannya.
Suatu masalah.
Ditanyakan tentang harta yang diwasiatkan
untuk orang-orang shufi, maka siapakah yang boleh diserahkan harta itu
kepadanya ? Maka aku menjawab: bahwa tasawwuf/ahli suffi itu, adalah urusan
batin, yang tak dapat dilihat dan tidak mungkin menentukan hukum tentang hakikat/maknanya.
Tetapi harus dengan hal-hal zahir, yang menjadi pegangan bagi orang-orang
menurut kebiasaan, tentang meletakkan nama: orang shufi itu. Ketentuan secara
keseluruhan, ialah: bahwa tiap-tiap orang yang bersifat dengan suatu sifat,
apabila mengambil tempat dalam tempat ibadah orang-orang shufi (khanaqah
ash-shufiah), dimana menempatnya disitu dan bergaulnya dengan orang-orang shufi
itu, tidak ditantang mereka, maka masuklah orang tersebut dalam kumpulan
orang-orang shufi dimaksud. Dan penguraiannya, ialah, bahwa diperhatikan pada
orang itu, 5 sifat: shalih, miskin, pakaian shufi, tidak mengerjakan sesuatu
pekerjaan dan bercampur-baur dengan mereka dengan jalan tenang-tentram dalam
khanaqah (tempat peribadatan orang shufi). Kemudian sebahagian dari sifat-sifat
ini, dengan hilangnya, maka haruslah hilang sebagai orang shufi. Dan
sebahagiannya dapat tertampal dengan sebahagian yang lain. Sifat fasiq,
mencegah berhaknya nama tersebut. Karena orang shufi itu pada umumnya, adalah
ibarat seorang dari orang-orang shalih, dengan sifat tertentu. Maka orang yang
terang fasiqnya, walaupun ada dalam pakaian orang-orang shufi, maka tidaklah ia
berhak akan apa yang diwasiatkan untuk orang-orang shufi. Dan tidaklah kami
memandang dalam hal ini, akan hal yang kecil-kecil.
Adapun perusahaan
dan bekerja dengan sesuatu usaha adalah mencegah untuk berhak nama tersebut.
Maka kepada sesuatu tempat, pekerja, saudagar, tukang pada tempat ia bekerja
atau dirumahnya dan orang yang menjual tenaga yang melayani orang lain dengan
mendapat upah, maka semua orang-orang tadi, tidaklah berhak terhadap apa yang
diwasiatkan untuk orang-orang shufi. Dan tidaklah tertampal hal-hal yang
tersebut tadi, dengan memakai pakaian orang shufi dan bercampur baur dengan
orang-orang shufi. Adapun orang yang menjual kertas dan menjahit dan yang
berdekatan dengan dua pekerjaan ini, dari pekerjaan-pekerjaan yang layak
dikerjakan oleh orang-orang shufi, maka apabila dikerjakannya, tidak ditempat
pekerjaan tersebut dan bukan dalam segi berusaha dan bekerja, maka yang
demikian itu, tidaklah melarang berhaknya nama itu. Dan adalah yang demikian
tertampal dengan sebab tinggalnya bersama orang-orang shufi itu, serta dengan
sifat-sifat yang lain. Adapun sanggup bekerja secara tidak langsung, maka tidak
mencegah akan berhaknya nama itu. Adapun menjadi juru nasehat (tabligh) dan
memberi pelajaran, maka tidaklah menidakkan nama tasawwuf/ahli suffi, apabila
terdapat sifat-sifat yang lain, dari pakaian, bertempat tinggal bersama
orang-orang shufi dan kemiskinan. Karena tidaklah bertentangan untuk dikatakan:
seoranng shufi yang ahli qiraah seorang shufi yang menjadi juru nasehat,
seorang shufi yang alim atau mengajar. Dan bertentangan bahwa dikatakan:
seorang shufi yang menjadi kepala sesuatu daerah, seorang shufi yang menjadi
saudagar dan seorang shufi yang membuRuh. Adapun kemiskinan, maka jikalau
hilang kemiskinan itu, dengan kekayaan yang berlebih-lebihan, dimana ia
dikatakan mempunyai kekayaan yang nyata, maka tidaklah boleh bersama yang tadi
itu, mengambil harta wasiat bagi orang-orang shufi. Dan kalau ia mempunyai
harta dan tidaklah mencukupi uang masuknya dengan uang keluarnya, niscaya
tidaklah batal haknya itu. Dan demikian pula, apabila ia mempunyai harta yang
kurang daripada wajib zakat, walaupun ia tiada mempunyai pengeluaran. Dan
inilah hal-hal yang tiada dalil baginya, selain dari adat kebiasaan. Adapun
bercampur-baur dengan orang-orang shufi dan bertempat tinggal bersama mereka,
maka baginya bekas. Tetapi orang yang tidak bercampur-baur dengan mereka dan
tetap berada di rumahnya atau dalam masjid dengan pakaian orang-orang shufi dan
berakhlaq dengan akhlaq orang-orang shufi, maka ia tiadalah berserikat
memperoleh bahagian orang-orang shufi. Dan meninggalkan bercampur-baur dengan
mereka itu, dapat ditampal oleh selalu berpakaian dengan pakaian mereka. Dan
kalau tidak berpakaian dengan pakaian mereka dan terdapat padanya sifat-sifat
yang lain yang tersebut itu, maka tidaklah ia berhak nama tersebut, kecuali
apabila ia menempati bersama orang-orang shufi itu di surau-surau. Maka
tertariklah kepadanya, hukum orang-orang shufi dengan pengikutan.
Bercampur-baur dan berpakaian dengan pakaian shufi, dapat ganti-menggantikan
satu sama lain. Dan ahli fiqh (faqih) yang tidak berpakaian dengan pakaian
orang-orang shufi, ini adalah dihitung menjadi orang shufi. Kalau ia keluar,
niscaya tidaklah dihitung orang shufi. Dan kalau ia bertempat tinggal bersama
mereka dan terdapat padanya sifat-sifat yang lain, niscaya tidaklah jauh untuk
ia ditarik dengan mengikutkan kepadanya hukum orang-orang shufi. Adapun memakai
kain yang berbagai warna dari tangan guru (syaikh) dari guru-guru mereka, maka
tidaklah disyaratkan yang demikian itu untuk berhak bernama shufi. Dan tidak
adanya itu, tidaklah mendatangkan melarat baginya, serta adanya syarat-syarat
yang tersebut dahulu. Adapun orang yang berkeluarga, yang bulak-balik antara
surau dan tempat tinggalnya, maka tidaklah ia keluar dari jumlah mereka itu,
disebabkan yang demikian.
Suatu masalah.
Apa yang diwaqafkan kepada surau-surau
orang shufi penghuni-penghuninya, maka persoalannya dalam hal ini adalah lebih
luas dari apa yang diwasiatkan kepada mereka. Karena pengerian waqaf, ialah
penyerahan kepada kepentingan orang-orang shufi itu. Maka bagi orang yang bukan
shufi, boleh memakan bersama mereka dengan kerelaan mereka, pada hidangan kaum
shufi itu, sekali atau dua kali. Karena urusan makanan, dasarnya ialah tasamuh
(toleransi, bermaaf-maafan). Sehingga membolehkan sendirian dengan
makanan-makanan itu pada barang-barang rampasan perang yang berkongsi. Dan bagi
orang yang melagukan lagu-lagu orang shufi, boleh memakan bersama mereka dalam
undangannya, dari harta waqaf itu. Dan adalah yang demikian tadi, termasuk
sebahagian dari kepentingan kehidupan mereka. Dan apa yang diwasiatkan untuk
orang shufi, tidaklah boleh diserahkan kepada orang-orang yang melagukan
lagu-lagu orang shufi. Lain halnya dengan waqaf. Dan begitupula orang-orang
yang didatangkan oleh kaum shufi, dari para pekerja, saudagar, qadli/hakim dan
ahli-ahli fiqh (fuqaha’), dari orang-orang, dimana bagi kaum shufi itu mempunyai
maksud menarik hati mereka, maka halallah orang-orang itu memakan dengan
relanya orang-orang shufi itu. Karena orang yang mewaqafkan itu, tidaklah
mewaqafkan, kecuali dengan i’tiqad (keyakinan) pada harta waqaf itu, apa yang
berlaku padanya adat-kebiasaan orang-orang shufi. Maka ditempatkanlah yang
demikian itu menurut kebiasaan yang terkenal (‘uruf). Tetapi tidaklah ini
berlaku terus-menerus. Maka tidaklah boleh bagi orang yang bukan shufi,
mendiami bersama mereka terus-menerus. Dan memakan bersama mereka, walaupun
mereka rela yang demikian. Karena tidaklah mereka berhak mengobah syarat orang
yang mewaqafkan, dengan mempersekutukan orang-orang yang tidak sejenis dengan
orang-orang shufi itu.
Adapun ahli fiqh
(faqih), apabila ia dengan pakaian dan budi pekerti orang-orang shufi, maka
bolehlah menempati bersama mereka. Dan adanya ia selaku seorang ahli fiqh,
tidaklah menolak untuk ia menjadi seorang shufi. Dan kebodohan tidaklah menjadi
syarat pada tashawwuf, pada orang yang mengenal tashawwuf. Dan tidak usah
diperhatikan kepada khurafat-khurafat sebahagian orang-orang dungu, dengan kata
mereka: bahwa pengetahuan itu adalah hijab (dinding). Karena kebodohanlah yang
sebenarnya itu hijab bagi tasahwwuf. Dan telah kami sebutkan dahulu penafsiran perkataan
ini pada “Kitab Ilmu”. Dan sesungguhnya hijab itu, ialah ilmu yang tercela,
bukan yang terpuji. Dan telah kami sebutkan dahulu yang terpuji dan yang
tercela dan uraian keduanya.
Adapun ahli fiqh
itu, apabila ia tidak dengan pakaian dan budi pekerti orang-orang shufi, maka
bagi orang-orang shufi boleh melarangnya bertempat bersama mereka. Kalau mereka
menyetujui ia bertempat di tempat orang-orang shufi itu, maka halallah ia
memakan bersama mereka dengan jalan tab’iyyah (mengikutkan kepada orang-oarng
shufi). Maka tidak adalah pakaian itu, ditampal oleh tinggal bersama. Dan
tetapi dengan rela yang mempunyai pakaian (orang shufi) itu. Inilah hal-hal
yang dibuktikan oleh adat-kebiasaan. Dan padanya ada hal-hal yang berlawanan,
yang tidak tersembunyi tepi-tepinya, tentang negatifnya (nafi) dan positifnya
(itsbat) dan yang keserupaan yang ditengah-tengahnya. Maka barangsiapa menjaga
diri pada tempat-tempat yang keserupaan (meragukan) itu, niscaya terlepaslah ia
dari kesalahan, demi untuk agamanya, sebagaimana telah kami peringatkan dahulu
pada “bab-bab syubhat (diragukan)” itu.
Suatu masalah.
Ditanyakan tentang perbedaan antara rasywah
(sogok) dan hadiah, sedang masing-masing dari keduanya, adalah datang dari
kerelaan hati dan tidak terlepas dari sesuatu maksud. Dan diharamkan yang satu
(rasywah), sedang yang lainnya (hadiah) tidak. Aku menjawab, bahwa yang
memberikan harta itu, tidaklah sekali-kali memberikannya, kecuali karena
sesuatu maksud. Adakalanya maksud itu pada masa jauh yang akan datang, seperti:
pahala. Dan adakalanya pada masa dekat yang segera. Dan yang dekat segera itu,
adakalanya: harta. Adakalanya: perbuatan dan pertolongan kepada maksud
tertentu. Adakalanya: pendekatan kepada hati orang yang dihadiahkan, dengan
mencari kesayangannya. Adakalanya kepada kesayangan itu sendiri dan adakalanya
untuk mencapai dengan kesayangan itu kepada sesuatu maksud dibelakangnya. Maka
bahagian-bahagian yang diperoleh dari inil, adalah 5:
Pertama: sesuatu yang
maksudnya adalah pahala di akhirat. Dan yang demikian itu, adakalanya ada,
karena orang yang diserahkan itu memerlukannya atau orang alim atau orang yang
keturunan keagamaan atau orang shalih yang beragama. Maka apa yang diketahui
oleh yang menerima itu, bahwa orang memberikan kepadanya, karena ia memerlukan
kepada barang itu maka tidaklah halal ia mengambilnya, jikalau ia tidak
memerlukannya. Dan apa yang diketahuinya, bahwa orang memberikan kepadanya,
karena kemuliaan keturunannya, maka tidak halal baginya, kalau ia mengetahui,
bahwa ia berdusta tentang dakwaan kebangsawanannya itu. Dan apa yang diberikan
orang kepadanya, karena pengetahuannya, maka tidak halal baginya untuk
mengambilnya, kecuali ada ia dalam pengetahuan yang tersebut, sebagaimana yang
diyakini oleh yang memberikan. Kalau dia dikhayalkan mempunyai pengetahuan yang
sempurna, sehingga mendorong yang demikian itu kepada orang untuk mendekatkan
diri kepadanya, sedang sebenarnya, ia tidak mempunyai pengetahuan yang
sempurna, niscaya tidak halal barang itu baginya. Dan apa yang diberikan karena
keagamannya dan keshalihannya, maka tidak halal ia mengambil, kalau ia pada
batinnya seorang yang fasiq, dimana kalau tahulah yang memberi itu, niscaya
tidak diberikannya. Dan sedikitlah adanya orang yang shalih, dimana kalau
terbukalah batinnya, niscaya hati orang masih tetap condong kepadanya.
Sesungguhnya dinding dianugerahi Allah yang maha cantik itu, adalah yang
membawa manusia berkasih-sayang sesama manusia. Dan adalah orang-orang menjaga
diri, mewakilkan pada pembelian, orang yang tidak dikenal, bahwa orang itu
adalah wakil orang-orang menjaga diri tersebut. Sehingga orang-orang menjaga
diri tadi, tidak bertoleransi (bertasamuh) tentang barang penjualan itu, karena
dikuatiri, yang demikian itu adalah membawa termakan agama. Maka sesungguhnya
yang demikian itu, adalah membahayakan. Taqwa itu adalah tersembunyi. Tidak
seperti: pengetahuan, kebangsawanan dan kemiskinan. Maka seyogyalah menjauhkan
diri daripada mengambil dengan sebab agama, selama mungkin.
Bahagian
kedua: apa yang
dimaksudkan pada masa datang yang dekat, akan suatu maksud tertentu, seperti
seorang miskin yang menghadiahkan sesuatu kepada kepada orang kaya, karena
mengharaplan pemberiannya yang lebih besar. Maka ini adalah hibah (pemberian),
dengan syarat pembalasan, yang tidak tersembunyi hukumnya. Dan sesungguhnya
hibah tersebut itu halal, ketika disempurnakan dengan pembalasan yang
diharapkan adanya dan ketika adanya syarat-syarat ‘aqad (ikatan) itu.
Ketiga: bahwa adalah yang
dimaksud, ialah pertolongan dengan perbuatan tertentu, seperti: orang yang
memerlukan kepada sultan, lalu menghadiahkan kepada wakil sultan,
pembantu-pembantunya dan orang-orang yang mempunyai kedudukan disisinya. Maka
inilah hadiah dengan syarat pembalasan yang diketahui dengan petunjuk keadaan.
Maka hendaklah diperhatikan pada perbuatan itu, yang menjadi pembalasannya.
Kalau perbuatan itu haram, seperti usaha pada pelaksanaan penganugerahan yang
haram atau kezaliman terhadap seseorang manusia atau perbuatan lainnya, niscaya
haramlah mengambil barang hadiah itu. Dan kalau perbuatan itu wajib, seperti
penolakan kezaliman yang tertentu atas tiap-tiap orang yang menyanggupinya atau
kesaksian yang tertentu, maka haramlah apa yang diambilnya. Dan itu adalah rasywah
(sogok), yang tidak diragukan lagi pengharamannya. Dan kalau perbuatan itu
mubah (diperbolehkan), tidak wajib dan tidak haram dan pada perbuatan itu ada
kepayahan, dimana, jikalau diketahui, niscaya boleh mengambil upah padanya,
maka apa yang diambil itu adalah halal, manakala disempurnakan perbuatan itu
dengan maksudnya. Dan itu berlaku seperti ongkos-ongkos tenaga –dari orang yang
bekerja, seperti katanya: sampaikanlah cerita ini ke tangan si Anu atau ke
tangan sultan dan untukmu uang sedinar. Dan adalah perbuatan ini, dimana
memerlukan kepada kepayahan dan perbuatan yang mempunyai nilai. Atau katanya:
sarankanlah kepada si Anu, untuk menolong saya pada maksud itu atau ia
mengurniakan kepadaku akan itu. Dan memerlukan pada pelaksanaan maksudnya tadi,
kepada panjang pembicaraan. Maka yang demikian itu, adalah ongkos dari tenaga
yang diberikan, seperti apa yang diambil oleh wakil dari seseorang yang
diperkarakan di hadapan hakim. Maka tidaklah yang demikian itu haram, apabila
ia tidak berusaha pada yang haram. Dan kalau maksudnya itu berhasil dengan
sepatah kata yang tak memayahkan, tetapi perkataan itu dari orang yang
mempunyai kemegahan atau perbuatan itu dari orang yang mempunyai kemegahan,
perbuatan mana yang mendatangkan faedah, seperti katannya kepada penjaga pintu:
jangan engkau kuncikan pintu sultan terhadap dia ! atau seperti: diletakkannya
cerita itu dihadapan sultan saja. Maka ini adalah haram. Karena yang demikian
itu, adalah ‘iwadl (gantian) dari kemegahan. Dan tak ada pada agama yang membolehkan
demikian. Bahkan ada dalil yang menunjukkan kepada larangan daripadanya,
sebagaimana akan datang uraiannya mengenai “hadiah raja-raja”. Dan apabila
tidak diperbolehkan ‘iwadl untuk menggugurkan syuf’ah/hak bagi tetangga membeli
barang tidak bergerak yang dijual oleh tetangganya dengan menggantikan harga
kepada yang sudah membelinya, pengembalian yang rusak, kemasukan
ranting-ranting pohon kayu kedalam daerah tempat raja dan sejumlah dari
maksud-maksud yang lain, sedang adanya semuanya itu menjadi maksud, maka
bagaimanakah diambil yang demikian itu dari kemegahan ? Dan mendekati dengan
yang tersebut ini, tentang dokter yang mengambil ‘iwadl
(penukaran dengan pembayaran harga) terhadap sepatah kata, yang
diberikannya dengan kata-kata itu mengenai obat, dimana ia sendiri saja yang
mengetahuinya. Seperti seorang yang hanya dia sendiri yang tahu tentang
pengetahuan; mengenai tumbuh-tumbuhan yang dapat mencabut wasir atau lainnya.
Lalu ia tidak mau menyebutkannya, selain dengan ‘iwadl (sebagai gantian dari apa
yang telah diberikannya itu). Maka perbuatannya dengan mengeluarkan kata-kata
itu, adalah tidak berharga, seperti sebiji kacang. Maka tidak boleh mengambil
‘iwadl daripadanya dan tidak terhadap ilmunya. Karena tidaklah ilmunya itu,
berpindah kepada orang lain. Dan sesungguhnya berhasil bagi orang lain seperti
ilmunya itu, sedang ia sendiri tetap mengetahui ilmu yang tersebut tadi. Dan
tidaklah seperti itu, orang yang ahli tentang membuat sesuatu, seperti: ahli
menajamkan pedang umpamanya, yang sanggup menghilangkan kebengkokan pedang atau
kaca dengan waktu sedetik saja, karena mengetahui betul tempat kerusakannya dan
karena ahli membetulkannya. Maka kadang-kadang bertambah dalam waktu sedetik
saja, harta banyak mengenai nilai pedang dan kaca. Maka tentang ini, saya
berpendapat, tiada mengapa mengambil ongkosnya. Karena perusahaan yang seperti
ini, memayahkan seseorang dalam mempelajarinya, untuk dapat berusaha dengan
perusahaan tersebut. Dan untuk meringankan daripadanya kebanyakan perbuatan.
Keempat: ialah, yang
dimaksudkan dengan pemberian itu, kasih sayang dan memperolehnya kasih-sayang
itu dari pihak orang yang dihadiahkan. Bukan karena sesuatu maksud tertentu
tetapi karena mencari kejinakkan hati, keteguhan persahabatan dan kesayangan
pada hati. Maka yang demikian itu, adalah menjadi maksud bagi orang-orang yang
berpikiran tinggi. Dan disunatkan yang demikian itu pada agama. Nabi saw
bersabda: “Hadiah-berhadiahlah, supaya kamu kasih-mengasihi”. Kesimpulannya,
tidaklah pula manusia itu menurut kebiasaannya, bermaksud menyayangi orang
lain, karena kesayangan itu sendiri. Tetapi adalah karena sesuatu faedah dari
kesayangan itu. Akan tetapi apabila faedah itu tidak menentu dan tidak
tergambar pada dirinya, maksud tertentu itu yang menggerakkannya untuk masa
sekarang atau masa yang akan datang, maka dinamakanlah yang demikian itu hadiah
dan halallah mengambilnya.
Kelima:
bahwa dicarinya kedekatan ke hati orang yang diberikan itu dan memperoleh
kesayangannya. Dan bukanlah untuk kesayangan dan kejinakan hati, dari segi
kejinakah hati itu saja, tetapi adalah untuk ia sampaikan dengan kemegahan
orang yang diberikan itu, kepada maksud-maksudnya yang terhingga jenisnya,
walaupun tidak terhingga barangnya. Dan adalah, jikalau tidaklah kemegahan dan
kelebihannya itu, niscaya tidaklah akan dihadiahkan kepadanya. Kalau ada
kemegahannya itu karena ilmu pengetahuan atau kebangsawanan, maka persoalannya
adalah lebih ringan dan mengambilnya adalah makruh. Karena padanya menyerupai rasywah (uang sogok), tetapi pada zahirnya adalah
hadiah. Kalau kemegahannya itu disebabkan pemerintahan yang dipegangnya, dari
kehakiman atau jabatan atau urusan sedekah (zakat) atau pemungutan harta atau
lainnya, dari tugas-tugas kerajaan, sampai urusan harta waqaf umpamanya dan
jikalau tidaklah tugas tersebut, niscaya tidak akan dihadiahkan kepadanya, maka
ini adalah rasywah, dikemukakan dalam bentuk hadiah. Karena maksudnya yang
sekarang, ialah mencari kedekatan dan mengusahakan kesayangan. Tetapi bagi
sesuatu hal yang terbatas jenisnya. Karena apa yang memungkinkan sampai
kepadanya dengan pemerintahan, adalah tidak tersembunyi. Dan tanda bahwa ia
tidak mencari kesayangan itu semata, ialah kalau memerintahlah sekarang orang
lain, niscaya akan diserahkannya harta itu kepada orang lain yang tersebut.
Maka ini adalah termasuk sebahagian dari apa yang disepakati para ulama, bahwa
kemakruhan padanya itu adalah sangat keras. Dan mereka berbeda pendapat tentang
haramnya dan pengertian mengenainya adalah bertentangan. Karena berkisar
diantara hadiah semata dan rasywah (uang sogok) yang diberikan sebagai timbalan
kemegahan semata pada suatu maksud tertentu. Dan apabila bertentangan
keserupaan secara qias/logika dan dibantu oleh hadits dan atasar, salah satu
dari yang dua keserupaan itu, niscaya tertentulah kecondongan kepada yang satu
itu. Dan hadits-hadits telah menunjukkan kepada mengeraskan urusan tentang itu.
Nabi saw bersabda: “Akan datang kepada manusia suatu zaman, yang dihalalkan
padanya yang haram (as-suht) dengan diberikan hadiah, dihalalkan pembunuhan
dengan memberi pengajaran (nasehat), dimana orang yang tak bersalah dibunuh,
untuk menjadi pengajaran bagi orang awam”.
Ditanyakan Ibnu
Mas’ud ra tentang “as-suht” tadi, lalu beliau menjawab: “Dilaksanakan oleh
seseorang akan suatu hajat keperluan, lalu dihadiahkan kepadanya sesuatu
hadiah”. Semoga yang dimaksudkan oleh Ibnu Mas’ud ra tadi, ialah pelaksanaan
hajat tersebut, dengan sepatah kata yang tak payah mengatakannya. Atau yang
melaksanakan hajat itu, berbuat tabarru’ (beramal). Tidak bermaksud kepada
ongkos. Maka tidak boleh mengambil sesuatu sesudahnya, dalam bidang ‘iwadl.
Masruq telah memberikan sesuatu pertolongan, lalu orang yang ditolong itu
menghadiahkan seorang budak wanita kepada Masruq. Maka marahlah beliau dan
mengembalikan budak wanita tersebut, seraya berkata: “Kalau tahulah aku apa
yang dalam hatimu, niscaya tidaklah aku memperkatakan tentang hajatmu itu dan
tidak akan aku memperkatakan tentang apa yang masih tinggal daripadanya”.
Ditanyakan Thaus
tentang hadiah-hadiah sultan, maka beliau menjawab: “Haram !”. Umar ra
mengambil keuntungan dari harta yang dijadikan modal untuk mencari keuntungan,
yang diambil oleh kedua orang puteranya dari Baitul-mal, seraya berkata:
“Sesungguhnya diberikan harta Baitul-mal kepada kamu berdua, karean kedudukanmu
dari aku”. Karena Umar ra tahu, bahwa harta Baitul-mal itu diberikan kepada
keduanya karena kemegahan Umar yang memegang pemerintahan sebagai Khalifah.
Isteri Abi ‘Ubaidah
bin Al-Jarrah menghadiahkan kepada Khatun ratu negeri Rum semacam bau-bauan
(khaluq). Lalu ratu itu membalasinya dengan suatu permata. Lalu permata itu
diambil oleh Umar ra. Maka dijualnya dan diberikannya kepada isteri Abi
‘Ubaidah sebanyak harga khaluq dan sisanya diserahkannya ke kas harta kaum
muslimin (Baitul-mal).
Berkata Jabir ra
dan Abu Hurairah ra: “Hadiah raja-raja itu adalah rantai”. Sewaktu Umar bin
Abdul-aziz mengembalikan hadiah orang, lalu dikatakan kepada beliau: “Adalah
Rasulullah saw menerima hadiah”, maka beliau menjawab: “Adalah itu hadiah untuk
Rasulullah saw dan untuk kita itu adalah rasywah”. Artinya: “Adalah orang yang
memberikan itu mendekatkan dirinya kepada Nabi saw karena kenabiannya, tidak
karena pemerintahannya. Dan kita ini diberikan, karena pemerintahan ditangan
kita”. Dan yang lebih besar dari itu semuanya, ialah apa yang dirawikan Abu
Hamid As-Sa’idi: “Bahwa Rasulullah saw mengutus seorang wali negeri untuk
mengumpulkan zakat di Al-Azd. Tatkala ia datang kepada Rasulullah saw lalu ia
menahan sebahagian apa yang ada padanya, seraya berkata: “Ini adalah untukmu
dan ini adalah untukku sebagai hadiah”. Maka Nabi saw menjawab: “Adakah engkau
duduk di rumah ayahmu dan di rumah ibumu, lalu datang kepadamu hadiah bagimu,
kalau engkau benar ? kemudian Nabi saw menyambung lagi: “Tiadalah aku akan
memakai lagi orang yang sepertimu ini, dimana ia mengatakan: “Ini adalah
untukmu dan ini adalah hadiah bagiku”. Adakah ia duduk di rumah ibunya, supaya
orang memberikan hadiah kepadanya ? demi Allah, yang jiwaku didalam
kekuasaanNya ! tidaklah diambil oleh seseorang kamu sesuatu yang bukan haknya,
melainkan ia akan datang kepada Allah membawakan sesuatu itu kepadaNya. Maka
tidaklah seseorang kamu datang kepada Allah membawakan sesuatu itu kepadaNya.
Maka tidaklah seseorang kamu datang pada hari kiamat dengan membawa unta yang
meringkik atau lembu yang melenguh atau kambing yang mengembek”.
Kemudian Rasulullah
saw mengangkatkan kedua tangannya, sehingga aku melihat putih kedua ketiaknya.
Kemudian Nabi saw mendoa: “Wahai Allah Tuhanku ! adakah sudah aku
menyampaikannya ?”. Apabila telah tegas segala peringatan yang keras ini, maka
bagi qadli (hakim) dan wali negeri, seyogyalah mengumpamakan dirinya di rumah
ibunya dan bapaknya. Maka apa yang diberikan kepadanya sesudah berhenti dan dia
berada di rumah ibunya, niscaya bolehlah ia mengambilnya dalam masa
pemerintahannya. Dan apa yang diketahuinya, bahwa diberikan karena
pemerintahannya semata, maka haramlah mengambilnya. Dan apa yang menyulitkan
kepadanya tentang hadiah dari teman-temannya, apakah mereka itu akan
memberikannya, jikalau ia sudah diberhentikan dari jabatannya, maka itu adalah
syubhat (diragukan). Maka hendaklah ia menjauhkannya ! Telah tammat “Kitab
Tentang Halal Dan Haram” dengan pujian kepada Allah dan nikmat serta kebaikan
taufiqNya. Wallahu A’lam ! Allah yang Maha Tahu.