Rabu, 04 Januari 2017

5. kitab rahasia zakat

KITAB RAHASIA-RAHASIA ZAKAT

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah yang menganugerahkan bahagia dan celaka, yang mematikan dan yang menghidupkan, yang mengadakan dan yang meniadakkan, yang memiskinkan dan yang mengkayakan, yang mendatangkan melarat dan yang menganugerahkan, yang menjadikan hewan makhluk hidup dari setitik air yang amis sebagai mani. Kemudian DIAlah sendiri yang menjadikan makhluk dengan sifatNya yang Maha Kaya. Kemudian, Dia yang menentukan sebahagian hambaNya dengan keadaan yang lebih baik. Maka dicurahkanNya kepada mereka dari nikmat-nikmatNya, akan apa yang memudahkan bagi siapa yang dikehendakiNya dan menjadi kaya. Dan yang sangat memerlukan kepada hambaNya yang memperoleh kelimpahan itu, dan orang-orang yang tidak berhasil memperoleh rezekinya dan yang bersusah payah, sebagai pernyataan untuk ujian dan percobaan.
Kemudian, Ia menjadikan zakat untuk agama, adalah menjadi azas dan sendi. Dan diterangkanNya bahwa dengan kurniaNya, mendapat kesucianlah dari hamba-hambaNya, siapa-siapa yang memperoleh kesucian. Dan dari kekayaanNya, memberikan zakat, siapa yang memberikan zakat hartanya. Selawat kepada Muhammad Pilihan, penghulu manusia dan matahari petunjuk. Dan kepada keluarga dan para sahabatnya, yang ditentukan dengan ilmu dan taqwa. Kemudian, Allah Ta’ala telah menjadikan zakat, salah satu daripada sendi Islam. Dan mengiringi menyebutkan zakat itu, dengan shalat, yang menjadikan tanda yang setinggi-tingginya (bagi Islam). Ia berfirman: Dirikanlah shalat dan bayarkanlah zakat”. S 2 Al Baqarah ayat 43. Dan sabda Nabi saw: “Didirikan Islam atas 5: mengaku tiada yang disembah dengan sebenar-benarnya selain Allah; mengaku bahwa Muhammad hambaNya dan RasulNya; mendirikan shalat dan membayarkan zakat”. Allah Ta’ala menegaskan peringatan dengan ancaman, terhadap orang-orang yang teledor dalam pembayaran zakat, dengan firmanNya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak mengeluarkannya pada jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih”. S 9 At Taubah ayat 34. Arti mengeluarkan pada jalan Allah, yaitu: mengeluarkan hak zakat. Berkata Al-Ahnaf bin Qais: “Adalah aku dalam rombongan orang Quraisy, maka lalulah Abu Dzar, seraya mengatakan: “Kabarkanlah kepada orang-orang yang menyimpan harta, tanpa mengeluarkan zakat, bahwa mereka akan disiksa dengan ditusuk belakang mereka dengan besi panas, yang besi panas itu akan keluar pada lembung mereka dan ditusuk pada kuduk/tengkok mereka, yang akan keluar dari dahi mereka”. Dan pada riwayat lain, tersebut: “Bahwa besi panas itu diletakkan di atas pentil susu seseorang mereka, lalu ditusukkan, maka dikeluarkan dari tulang belikatnya. Dan diletakkan di atas tulang belikatnya, lalu dikeluarkan dari pentil susunya, dengan digerak-gerakkan”.
Berkata Abu Dzar: “Telah sampai aku kepada Rasulullah saw, di mana beliau sedang duduk dalam naungan Ka’bah. Tatkala beliau melihat aku, lalu bersabda: “Mereka adalah sangat merugi, demi Tuhan yang mempunyai Ka’bah ini”. Maka aku bertanya: “Siapakah mereka ?”. Beliau menjawab: “Mereka yang banyak hartanya, kecuali orang-orang yang mengatakan, bahwa begini dan begini, dari hadapannya dan belakangnya, dari kanannya dan kirinya. Dan amat sedikitlah mereka yang seperti ini. Tidaklah dari orang yang mempunyai unta, sapi dan kambing yang tidak membayarkan zakatnya, melainkan binatang ternak itu, datang pada hari qiamat, dalam keadaan yang lebih besar dan gemuk lagi, menanduk orang yang mempunyainya dengan tanduk-tanduknya dan memijakkan nya dengan kakinya. Setelah selesai yang penghabisan, maka datanglah yang permulaan, sehingga selesailah dihukum diantara manusia”. Apabila ketegasan ini dikeluarkan dalam dua Kitab Shahih (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim), maka menjadi sebahagian yang terpenting dari agama, membuka segala kunci rahasia dari zakat dan syarat-syaratnya, yang terang dan yang tersembunyi, segala pengertiannya, yang zhahir dan yang bathin, serta diringkaskan kepada yang harus diketahui oleh orang-orang yang membayar zakat dan yang menerimanya. Untuk menyingkapkan yang demikian itu, terbentang di dalam 4 pasal:
Pasal pertama: tentang segala macam zakat dan sebab-sebab wajibnya.
Pasal kedua   : tentang segala adab dan syarat-syaratnya, yang bathin dan yang zhahir.
Pasal ketiga   : tentang orang yang menerima, syarat-syarat berhak zakat dan segala adab menerimanya.
Pasal keempat: tentang sedekah sunat dan keutamaannya.
PASAL PERTAMA: Tentang segala macam zakat dan sebab-sebab wajibnya.
Dipandang kepada yang bersangkutan dengan zakat itu, ada 6 bahagian:
1.      Zakat binatang ternak
2.      Zakat emas dan perak.
3.      Zakat tijarah (perniagaan).
4.      Zakat rikaz (emas dan perak yang diperoleh dari simpanan orang-orang dahulu) dan ma’din (emas dan perak yang dikeluarkan dari pertambangannya).
5.      Zakat harta yang diberikan 1/10 daripadanya untuk zakat (al-mu’asy-syarat)
6.      Zakat fithrah.
BAHAGIAN PERTAMA: Zakat binatang ternak.
Tidak diwajibkan zakat ini dan lainnya, kecuali atas orang merdeka (bukan budak) dan muslim. Dan tidak disyaratkan baligh (dewasa), bahkan diwajibkan zakat pada harta anak-anak dan orang gila. Inilah syaratnya, orang yang dikenakan zakat. Mengenai harta (dari sebahagian pertama ini, yang dikenakan zakat), maka syaratnya 5:
1.      Binatang ternak.
2.      Digembalakan.
3.      Cukup setahun dalam miliknya.
4.      Sempurna nishabnya.
5.      Sempurna miliknya.
Syarat pertama: adalah binatang itu binatang ternak. Maka tak kena zakat, selain pada unta, kerbau, sapi, kambing dan biri-biri (kibasy). Kuda, baghal, keledai dan anak binatang yang terjadi diantara rusa dan kambing, tidak kena zakat padanya.
Syarat kedua: digembalakan di lapangan rumput. Maka tidak kena zakat pada binatang ternak, yang diberi umpan. Apabila binatang ternak itu, pada suatu waktu digembalakan dan pada waktu yang lain, diberi umpan, yang kelihatan besar perongkosannya, maka tidak dikenakan zakat.
Syarat ketiga: cukup setahun dalam miliknya. Bersabda Nabi saw: “Tidak diwajibkan zakat pada harta, sehingga sampailah setahun padanya”. Dan dikecualikan dari ini, akan hasil harta (binatang itu beranak dalam pertengahan tahun), maka menjuruslah hukum harta kepadanya. Maka wajiblah zakat pada anak hewan itu, karena tahun induknya. Kalau hewan itu dijual atau diberikan, pada pertengahan tahun niscaya putuslah tahunnya.
Syarat keempat: sempurna milik dan urusannya pada hewan itu. Maka wajiblah zakat pada hewan yang digadaikan, karena harta itu dalam keadaan dipertaruhkan dalam tanggungannya. Tetapi tidak wajib zakat pada binatang ternak yang hilang dan yang dirampas orang. Kecuali apabila kembali lagi ke dalam tangannya, dengan segala tambahannya. Maka wajiblah zakat pada masa yang lampau, ketika kembalinya. Kalau ada hutang, yang menghabiskan semua hartanya, maka tidaklah wajib zakat pada harta itu, karena tidaklah ia dinamakan orang kaya. Karena orang kaya, ialah orang yang berkelebihan dari yang diperlukan.
Syarat kelima: sempurna nishabnya. Maka pada unta, tidak diwajibkan zakat, sebelum sampai banyaknya 5 ekor.
Pada 5 ekor, zakatnya seekor biri-biri, yang umurnya setahun dan masuk pada tahun ke2 atau seekor kambing, yang umurnya 2 tahun & masuk pada tahun ke 3.
Pada 10 ekor unta, zakatnya 2 ekor biri-biri atau kambing.
Pada 15 ekor, zakatnya 3 ekor biri-biri atau kambing.
Pada 20 ekor, zakatnya 4 ekor biri-biri atau kambing.
Pada 25 ekor, zakatnya seekor unta betina, yang umurnya setahun dan masuk pada tahun kedua (binti machadl). Kalau tak ada binti machadl, maka boleh diserahkan ibnu labun, yaitu anak unta jantan, yang umurnya masuk pada tahun ketiga, walaupun si pemberi zakat itu sanggup membeli binti machadl.
Pada 36 ekor, zakatnya seekor binti labun (seekor unta betina, yang umurnya 2 tahun dan masuk pada tahun ketiga).
Pada 46 ekor, zakatnya seekor hiqqah, yaitu unta betina, yang umurnya 3 tahun, dan masuk pada tahun keempat.
Pada 61 ekor, zakatnya seekor jidz’ah, yaitu unta betina, yang umurnya 4 tahun dan masuk pada tahun kelima.
Pada 76 ekor, zakatnya 2 ekor binti labun.
Pada 91 ekor, zakatnya 2 ekor hiqqah.
Pada 121 ekor, zakatnya 3 ekor binti labun. Apabila jumlahnya telah sampai kepada 130 ekor, maka tetaplah perhitungannya, dengan cara: tiap-tiap 50 ekor unta, zakatnya, seekor hiqqah dan tiap-tiap 40 ekor, zakatnya, seekor binti labun.
Mengenai sapi atau kerbau, tidak diwajibkan zakat, sebelum sampai jumlahnya 30 ekor.
Pada 30 ekor sapi atau kerbau, zakatnya seekor tabi’, yaitu seekor anak sapi atau kerbau jantan, yang umurnya setahun dan masuk pada tahun kedua.
Pada 40 ekor, zakatnya seekor musinnah, yaitu seekor anak sapi atau anak kerbau betina, yang umurnya 2 tahun dan masuk pada tahun ketiga. Kemudian,
Pada 60 ekor, zakatnya 2 ekor tabi’. Dan tetaplah perhitungan sesudah itu, dengan cara: pada tiap-tiap 40 ekor sapi atau kerbau, zakatnya seekor musinnah dan pada tiap-tiap 30 ekor, zakatnya seekor tabi’.
Mengenai kambing atau biri-biri (kibasy), tidak diwajibkan zakat, sebelum sampai jumlahnya 40 ekor.
Pada 40 ekor daripadanya, zakatnya seekor biri-biri (kibasy), atau seekor kambing. Kemudian tiada bertambah pembayaran sampai kepada jumlahnya 121 ekor. Maka pada 121 ekor itu, zakatnya 2 ekor biri-biri atau kambing, sampai kepada jumlahnya 201 ekor.
Dan Pada 201 ekor ini, zakatnya 3 ekor, sampai kepada 400 ekor.
Maka pada 400 ekor ini, zakatnya 4 ekor. Kemudian, tetaplah perhitungannya, bahwa pada tiap-tiap 100, zakatnya seekor. Zakat daripadanya 2 harta yang bercampur, adalah seperti zakat dari seorang pemilik, tentang nishabnya. Kalau ada diantara dua orang, 40 ekor kambing, maka zakatnya seekor. Kalau ada diantara 3 orang, 120 ekor kambing, maka zakatnya seekor juga diantara mereka bertiga. Campuran yang masih kentara, adalah seperti campuran yang tidak kentara. Tetapi disyaratkan kedua pemilik itu, menempatkan kedua binatang ternaknya bersama-sama, memberikan minuman bersama-sama, mengambil susunya bersama-sama, melepaskannya bersama-sama, tempat pengembalaannya bersama-sama dan melepaskan jantannya bersama-sama. Dan kedua pemilik itu adalah dari orang yang diwajibkan zakat. Dari itu, tidak dihukum campuran, bersama dzimmi (orang bukan Islam, yang bernaung di bawah pemerintahan Islam) dan mukatab (budak yang berusaha menebuskan dirinya dari tuannya).
Manakala pada zakat yang wajib dikeluarkan dari unta, berkurang umurnya dari tahun yang ditentukan, maka dibolehkan, asal tidak berkurang umurnya dari binti machadl. Dan untuk kekurangan itu digantikan, dengan 2 ekor kambing atau 20 dirham, kalau kekurangan umur itu setahun dari tahun yang ditentukan. Dan dengan 4 ekor kambing atau 40 dirham, kalau kekurangan umur itu 2 tahun. Dan boleh pula diberikan dengan yang lebih tinggi umurnya, dari tahun yang ditentukan, asal tidak melewati umurnya dari jidz’ah. Untuk pengganti dari yang berlebih itu, diambil dari pengurus harta baitul-mal. Jangan diambil untuk zakat hewan yang sakit, apabila ada sebahagian harta (hewan) itu, sehat, walaupun seekor. Dan diambil dari hewan yang bagus, akan yang bagus dan dari yang kurang bagus, akan yang kurang bagus. Dan tidak diambil untuk zakat, hewan yang terlalu banyak makannya, hewan yang hampir melahirkan anak, hewan yang diperoleh dari riba, hewan yang menjadi jantan untuk hewan-hewan betina dan hewan yang terbaik dari yang dimiliki oleh penyerahan zakat.
BAHAGIAN KEDUA: zakat harta yang diberikan 1/10 daripadanya untuk zakat (zakat al-mu’asy-syarat).
Wajib 1/10 untuk zakat pada tiap-tiap tumbuh-tumbuhan, yang menjadi makanan yang mengenyangkan, yang sampai banyaknya 800 mann/alat sukatan, atau timbangan. Dan tidak diwajibkan, kalau kurang dari itu. Dan juga tidak diwajibkan zakat pada buah-buahan dan kapas. Hanya diwajibkan pada biji-bijian yang menjadi makanan yang mengenyangkan, pada kurma kering dan buah anggur kering. Dihitung dengan kiraan 800 mann itu, ialah pada kurma kering dan anggur kering, tidak pada buah kurma basah (ruthab) dan buah anggur basah (‘inab). Dikeluarkan untuk zakat, setelah dikeringkan. Dan menjadi cukup harta dari salah seorang, yang dicampurkan dengan harta orang yang lain, dalam campuran yang beraduk, seperti sebuah kebun yang berkongsi diantara ahli-ahli waris. Untuk semuanya, berjumlah 800 mann buah anggur kering (zabib). Maka wajiblah atas sekalian mereka, 80 mann zabib, dibagi menurut bahagian masing-masing. Dan tidak dikira campuran, kalau campuran itu tidak secara beraduk. Tidak dicukupkan nishab gandum dengan syair dan dicukupkan nishab syair dengan salt/garam, karena salt/garam itu, semacam syair. Kewajiban zakat yang 1/10 itu, kalau tumbuh-tumbuhannya disiram dengan air yang mengalir atau dengan air dari tali air (tegasnya tidak dengan pengeluaran ongkos). Kalau tumbuh-tumbuhannya disirami dengan air yang diangkut atau dengan kincir air (tegasnya dengan perongkosan) maka diwajibkan untuk zakat, 1/20 daripadanya. Kalau dengan kedua-duanya, yakni dengan perongkosan dan dengan tanpa perongkosan, maka dikira dengan yang lebih banyak.
Adapun sifat dari yang wajib diserahkan untuk zakat itu, ialah kurma, anggur dan biji-bijian (seperti padi), yang kesemuanya itu sudah kering, setelah dibersihkan. Dan tidak diambil untuk zakat, buah kurma dan buah anggur yang masih basah, kecuali datang penyakit kepada pohon-pohon itu dan lebih baik dipetik sebelum sempurna masaknya. Maka diambilkan yang masih basah untuk zakat. Yaitu disukat, 9 bagian untuk si pemilik dan 1 bagian untuk fakir miskin. Dan tidak terlarang dari pembagian ini, oleh kata kita, bahwa pembagian itu adalah penjualan. Bahkan yang seperti itu, diperbolehkan karena perlu. Waktu yang menentukan wajibnya zakat al-mu’asy-syarat, ialah ketika kelihatan baik pada buah-buahan dan keras bijinya. Dan waktu penyerahan zakatnya, ialah setelah kering.
BAHAGIAN KETIGA: tentang zakat emas dan perak.
Apabila telah cukup setahun dalam milik si pemilik, yang memiliki seberat 200 dirham dengan timbangan Makkah perak murni, maka zakatnya 5 dirham, yaitu: 1/40 daripadanya (2,5%). Yang lebih dari itu, maka dikira menurut itu juga, walaupun lebih sedirham. Nishab emas, yaitu: 20 mitsqal emas murni dengan timbangan Makkah. Zakatnya, 1/40 daripadanya. Yang lebih dari itu, maka dikira menurut lebihnya. Kalau berkurang dari nishab yang tersebut di atas, walaupun seberat biji yang kecil, maka tidak dikenakan zakat. Dan diwajibkan zakat atas orang yang mempunyai dirham campuran, apabila ada padanya perak murni sebanyak yang tersebut di atas. Dan diwajibkan zakat pada emas terurai dan pada perhiasan emas atau perak yang terlarang, seperti tempat air dari emas dan perak dan kendaraan emas bagi laki-laki. Dan tidak diwajibkan zakat pada perhiasan yang dibolehkan. Dan wajib zakatnya pada hutang, di mana yang berhutang itu adalah orang kaya yang mampu membayar hutangnya. Tetapi kewajiban zakatnya, adalah ketika dilunaskan. Kalau hutang itu, belum tiba waktu pembayarannya, maka tidak wajib zakatnya, kecuali ketika telah sampai waktu pembayarannya.
BAHAGIAN KEEMPAT: zakat perniagaan.
Zakat perniagaan, adalah seperti zakat emas dan perak. Dan dihitung tahunnya, dari sejak dimiliki uang (modal) pembeli barang yang diperniagakan, kalau uang itu sampai nishab. Kalau kurang dari nishab atau dibeli dengan benda, dengan diniatkan perniagaan, maka tahunnya dikira dari waktu pembelian. Zakat itu dibayar dengan uang dari negeri yang bersangkutan dan dengan uang itulah barang perniagaan itu dinilai. Kalau barang perniagaan itu dibeli dengan suatu uang dan uang itu cukup nishabnya, maka barang perniagaan itu lebih utama dinilai dengan uang tadi, daripada dengan uang dari negeri yang bersangkutan. Kalau diniatkan berniaga dari harta yang disimpan, maka tidaklah dikira tahunnya dengan semata-mata niat, sebelum dibeli sesuatu dengan uang itu. Manakala niat berniaga itu dibatalkan sebelum cukup tahunnya, niscaya gugurlah zakat. Dan yang lebih utama, zakat tahun itu dilunaskan. Laba yang diperoleh dari barang perniagaan pada akhir tahun, wajiblah dizakati menurut tahun modal dan tidak untuk laba itu dimulai dengan tahunnya sendiri, seperti anak-anak binatang ternak menurut tahun induknya. Uang yang dipertukarkan, tidak putus tahunnya dengan pertukaran yang berlaku diantara pemilik-pemilik uang itu, seperti perniagaan-perniagaan yang lain. Dan zakat dari keuntungan harta berdua laba, adalah atas si pekerja, walaupun keuntungan itu belum dibagi. Inilah yang lebih sesuai, menurut qias !
BAHAGIAN KELIMA: zakat emas dan perak yang diperoleh dari simpanan orang-orang dahulu (rikaz) dan yang diperoleh dari tambangnya (ma’din).
Rikaz, ialah harta yang ditanam di dalam tanah pada masa jahiliyah dan diperoleh pada tanah, yang belum berlaku milik seseorang padanya dalam Islam. Maka wajiblah atas orang yang memperoleh emas dan perak dari rikaz itu, 1/5 untuk zakat. Dan tahun, tidak dikira. Dan yang lebih utama, nishabnya pun tidak dikira, karena diwajibkan 1/5 itu menguatkan tentang keserupaannya dengan harta rampasan perang (ghanimah). Dan mengira nishabnya pun, tidak jauh daripada kebenaran, karena penyerahannya adalah sama dengan penyerahan zakat. Dari itu, dikhususkan rikaz menurut paham yang lebih kuat (ashshahih) –kepada emas dan perak saja. Adapun ma’din, maka apa yang dikeluarkan dari tambang, tidak dikenakan zakat, selain emas dan perak. Zakatnya, setelah dihancurkan dan dibersihkan ialah 1/40 (2,5%), menurut pendapat yang terkuat dari dua pendapat. Dan berdasarkan ini nishabnya diperhitungkan. Mengenai kiraan tahunnya, terdapat dua pendapat. Menurut suatu pendapat, diwajibkan 1/5 dari ma’din itu untuk zakat. Dan berdasarkan kepada pendapat ini, tahunnya tidak diperkirakan. Mengenai nishabnya, terdapat dua pendapat. Yang terkuat diantara kedua pendapat ini –ilmu yang sebenarnya adalah pada sisi Allah Ta’ala –ialah dihubungkan tentang batas wajibnya dengan zakat perniagaan. Karena hasil barang pertambangan itu, adalah semacam perusahaan. Dan mengenai kiraan tahunnya, dihubungkan dengan zakat harta yang diberikan 1/10 daripadanya untuk zakat (zakat al-mu’asy-syarat) Dari itu tahunnya, tidak dikira, (tegasnya: tidak disyaratkan cukup setahun). Karena ma’din itu adalah benda yang diambil manfaatnya pada benda itu sendiri. Dan nishabnya, dipandang seperti pada al-mu’asy-syarat. Yang lebih terpelihara dari kesangsian (mengingat perbedaan-perbedaan pendapat diantara para alim ulama) ialah, supaya dikeluarkan 1/5 dari ma’din itu untuk zakat, tanpa diperhitungkan sedikitnya dan banyaknya dan tanpa diperhatikan pula benda dari ma’din itu, baik ia emas dan perak atau lainnya. Supaya terlepas dari kesangsian dengan perbedaan-perbedaan pendapat itu. Karena perbedaan-perbedaan pendapat itu, merupakan sangkaan-sangkaan keras yang mendekati kepada kebenaran, daripada pertentangan. Meyakini kepada suatu fatwa daripadanya, adalah membahayakan, karena pertentangan yang meragukan itu.
BAHAGIAN KEENAM: tentang zakat fithrah.
Zakat fithrah itu wajib, menurut sabda Nabi saw, atas tiap-tiap muslim, yang ada kelebihan dari makanannya dan makanan orang-orang yang menjadi tanggungannya, pada hari raya kejadian diri yang suci bersih dan malamnya, sebanyak segantang daripada makanan yang mengenyangkan, dengan sukatan gantang Rasulullah saw. Yaitu 2 2/3 mann (3,5 liter ), yang dikeluarkan dari jenis makanannya atau dari jenis yang lebih baik daripadanya. Kalau ia bermakanan tetap gandum, maka tidak dibolehkan syair untuk zakat fithrahnya. Dan kalau ia bermakanan tetap biji-bijian yang bermacam-macam, niscaya dipilihnya yang terbaik. Dan mana saja yang dikeluarkannya, memadailah.
Pembahagian zakat fithrah itu, adalah seperti pembahagian zakat harta yang lain. Maka wajib dilengkapkan dengan segala macam manusia yang berhak menerimanya. Tidak boleh dikeluarkan yang telah hancur ditumbuk dan yang telah menjadi tepung yang halus. Diwajibkan atas suami muslim, fithrah isterinya, fithrah budaknya, anak-anaknya dan tiap-tiap keluarganya yang menjadi tanggungannya, yakni: yang wajib ia tanggung nafkahnya, dari bapak, ibu dan anak-anaknya. Bersabda Nabi saw: “Lunasilah zakat fithrah itu, dari orang-orang yang nafkah hidupnya menjadi tanggungan kamu”. Zakat fithrah dari budak yang dipunyai oleh dua orang yang berkongsi, adalah atas orang-orang itu. Dan tidak wajib zakat fithrah budak yang kafir. Kalau sang isteri mengeluarkan fithrah untuk dirinya sendiri, maka memadailah. Dan bagi sang suami boleh mengeluarkan fithrah untuk isterinya, tanpa izin isteri. Kalau makanan yang berlebih, setelah dikeluarkan untuk fithrahnya, mencukupi untuk sebahagian dari orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka dikeluarkanlah fithrah untuk sebahagian itu. Dan yang lebih utama didahulukan, ialah yang nafkah hidupnya, lebih kuat menjadi tanggungannya. Rasulullah saw mendahulukan nafkah anak dari nafkah isteri dan nafkah isteri dari nafkah pembantu rumah tangga (babu atau jongos). Inilah hukum-hukum fiqih, yang harus diketahui oleh orang kaya. Dan kadang-kadang terjadi beberapa peristiwa yang jarang terjadi, di luar dari ini, maka dapatlah ia berpegang kepada fatwa, ketika terjadi, sesudah memahami sekedar yang penting ini.

PASAL KEDUA: Tentang menunaikan zakat, syarat-syaratnya yang bathin dan yang zhahir.
Ketahuilah, bahwa wajiblah atas orang yang menunaikan zakat, menjaga 5 perkara:
Pertama: niat, yaitu berniat dengan hati, menunaikan zakat fardlu. Dan disunnatkan menentukan harta yang dikeluarkan zakatnya. Kalau ada hartanya yang jauh, lalu dikatakannya: “Ini, dari hartaku yang jauh kalau ia selamat. Kalau tidak, maka menjadi sedekah sunat”. Maka bolehlah yang demikian, karena walaupun tidak ditegaskannya yang demikian, hasilnya begitu juga, kalau disebutkannya secara umum. Niat dari wali (yang mengeluarkan zakat dari harta orang gila dan anak-anak yang berada di bawah asuhannya), adalah berkedudukan seperti niat orang gila dan anak itu sendiri. Dan niat dari sultan (penguasa), adalah berkedudukan seperti niat si pemilik yang tidak mau mengeluarkan zakatnya. Tetapi itu, adalah dalam pandangan hukum duniawi, yakni: mengenai tidak dituntut lagi di dunia ini. Adapun di akhirat tidak, tetapi tetaplah dalam tanggungannya, sampai ia mengeluarkan kembali zakat itu. Kalau diwakilkan kepada orang lain untuk menunaikan zakatnya dan diniatkannya ketika diwakilkan itu atau diwakilkannya kepada wakil itu untuk meniatkannya, maka mencukupilah yang demikian, karena mewakilkan dengan niat itu, sudah niat namanya.
Kedua: menyegerakan sesudah sampai tahunnya. Dan pada zakat fithrah, tidak diperlambatkan daripada hari raya fithrah. Dan masuk waktu wajibnya dengan terbenam matahari dari hari yang penghabisan dari bulan Ramadlan. Dan waktu menyegerakannya, ialah dalam bulan Ramadlan itu seluruhnya. Orang yang memperlambatkan zakat hartanya, serta ada kemungkinan untuk itu, (artinya: tak ada halangan apa-apa), maka durhakalah ia kepada Tuhan dan tak terhapus kewajiban itu lagi, dengan hilang hartanya. Kemungkinan mengeluarkan zakat itu, ialah dengan memperoleh orang yang berhak menerima zakat. Kalau diperlambatkannya, karena tidak ada orang yang berhak menerimanya, lalu hilanglah hartanya, maka gugurlah zakat daripadanya. Menyegerakan zakat, dibolehkan, dengan syarat bahwa hal itu terjadi setelah cukup nishabnya dan berjalan tahunnya. Dan boleh menyegerakan zakat dua tahun. Manakala zakat itu disegerakan, lalu mati orang miskin yang menerimanya, sebelum cukup tahunnya atau ia murtad atau ia menjadi kaya dengan harta yang lain dari zakat yang disegerakan itu atau ia mati, maka harta yang diserahkan itu tidaklah menjadi zakat. Dan memintanya kembali, tidak mungkin, kecuali apabila disyaratkan meminta kembali, (waktu diserahkan dahulu). Maka dalam hal ini, hendaklah orang yang menyegerakan itu, memperhatikan akhir urusan dan keselamatan kesudahan.
Ketiga: bahwa tidak dikeluarkan benda lain sebagai gantinya, dengan menghitung nilainya. Tetapi dikeluarkan benda yang dikenakan zakat padanya. Maka tidak memadai perak dari zakat emas dan emas dari zakat perak, walaupun nilainya berlebih daripada perak. Mungkin sebahagian orang tidak memahami maksud Asy-Syafi’i ra yang mempermudahkan tentang itu dan menitik beratkan kepada tujuan untuk memenuhi kepentingan. Alangkah jauhnya dari berhasil, karena memenuhi kepentingan itu adalah suatu tujuan dan tidaklah ia menjadi seluruh tujuan. Tetapi kewajiban syari’at/agamanya adalah 3 bahagian:
Bahagian pertama: adalah ibadah semata-mata, tak masuk padanya keuntungan dan maksud-maksud tertentu. Umpamanya melemparkan jamrah pada ibadah haji, karena tak ada keuntungan bagi jamrah, pada sampainya batu kepadanya. Maksud syari’at/agama mengenai pelemparan batu itu, ialah menguji dengan perbuatan, supaya hamba itu melahirkan kehambaan dan perhambaannya, dengan suatu perbuatan yang tidak dipahami maksudnya. Karena apa yang dipahami maksudnya, kadang-kadang ditolong dan didorong oleh tabiat kepada perbuatan itu. Maka tidak menampak ikhlas kehambaan dan perhambaan. Karena perhambaan itu menampak dengan gerak untuk melaksanakan perintah Yang Disembah (al-ma’bud) saja, tidak untuk suatu maksud yang lain. Dan sebahagian besar amal perbuatan ibadah haji, adalah demikian. Dari itu, Nabi saw membaca pada ihramnya: “Aku terima panggilan Engkau dengan haji dengan sebenar-benarnya beribadah dan kehambaan kepadaMu”. Sebagai peringatan, bahwa itu adalah untuk melahirkan perhambaan, dengan mematuhi, karena perintah dan mengikuti perintah semata-mata, sebagaimana diperintahkan tanpa penjinakan akal pikiran kepadanya, dengan tertarik dan tergerak pikiran itu kepadanya.
Bahagian kedua: diantara kewajiban yang diwajibkan agama, tidaklah dimaksudkan daripadanya suatu keuntungan yang dapat dipahami dan tidak pula dimaksudkan suatu peribadatan kepada Allah, seperti melunaskan utang dari seseorang dan mengembalikan barang yang dirampasnya. Maka tidak ragulah kiranya, bahwa dalam hal tadi, tidak dipandang perbuatan dan niatnya. Dan manakala sampailah hak itu kepada yang berhak, dengan mengambil haknya atau digantikan dengan yang lain dengan persetujuan dari yang berhak, maka terlaksanalah kewajiban itu dan selesailah tuntutan agama. Inilah dua bahagian, yang tidak ada susunan padanya, di mana sekalian manusia dapat memahaminya.
Bahagian ketiga: yaitu yang tersusun, yang dimaksudkan padanya dua perkara bersama-sama. Yakni keuntungan bagi hamba dan percobaan bagi seorang mukallaf(diberati hukum) dengan memperhambakan diri. Maka berkumpullah padanya perhambaan kepada Tuhan yang ada pada pelemparan jamrah dan keuntungan pada pengembalian hak milik. Inilah bahagian yang dipahami pada perbuatan itu sendiri. Maka kalau datanglah agama menyuruhnya, niscaya wajiblah terkumpul diantara kedua maksud itu. Dan tidaklah seyogya dilupakan arti yang terhalus daripada keduanya, yaitu: memperhambakan dan memperbudakkan diri kepada Allah, disebabkan nyata benar keduanya. Dan arti yang terhalus itulah, yang terpenting. Dan zakat, adalah termasuk golongan ini, di mana tak ada yang menyadarinya, selain Imam Asy-Syafi’i ra. Maka keuntungan bagi orang fakir, adalah dimaksudkan pada memenuhi hajat keperluannya. Dan itu, jelas dan lekas dipahami. Tentang perhambaan kepada Allah dengan zakat, dengan mengikuti segala perinciannya, adalah maksud dari agama. Dan dengan memperhatikannya, jadilah zakat itu, teman bagi shalat dan haji, tentang adanya, sebahagian dari sendi-sendi Islam. Dan tak ragulah kiranya, bahwa seorang mukallaf itu sukar membedakan segala jenis hartanya dan mengeluarkan bahagian tiap-tiap harta, mengenai macamnya, jenis dan sifatnya. Kemudian, membagi-bagikannya kepada golongan 8 yang berhak menerima zakat, sebagaimana akan diterangkan nanti. Dan mempermudah-mudahkan dalam hal itu, adalah tidak mencederakan terhadap keuntungan orang fakir. Tetapi mencederakan terhadap perhambaan kepada Allah. Dan dibuktikan, bahwa memperhambakan diri kepadaNya (ta’abbud) itu dimaksudkan dengan menentukan bermacam-macam, oleh beberapa perkara yang telah kami sebutkan dalam kitab-kitab yang menerangkan bermacam-macam pendapat dari masalah-masalah fiqih. Sebahagian yang amat jelas daripadanya, ialah bahwa agama mewajibkan dalam 5 ekor unta, seekor kambing. Agama itu, berpaling dari unta kepada kambing dan tidak berpaling kepada emas dan perak dan menilaikannya. Kalau diumpamakan, bahwa yang demikian itu, karena sedikitnya mata uang pada tangan orang-orang Arab, maka yang demikian itu menjadi batal, dengan diperbolehkan 20 dirham pada penempelan dari kekurangan, bersama dengan dua ekor kambing. Maka mengapakah, tidak disebutkan pada penempelan itu, sekedar yang kurang dari nilainya ? mengapakah ditentukan dengan 20 dirham dan dua ekor kambing, sedangkan kain dan semua barang, adalah mengandung satu maksud dengan itu ?. Apa yang disebutkan tadi dan segala ketentuan yang seumpama dengan dia, menunjukkan, bahwa zakat tidaklah dibiarkan terlepas daripada perhambaan kepada Allah, sebagaimana pada haji. Tetapi dikumpulkan diantara kedua maksud. Dan jiwa yang lemah, tak sanggup memahami segala susunan. Dan disitulah terletaknya kesalahan.
Keempat: zakat itu dipindahkan ke negeri lain. Karena mata orang-orang miskin di tiap-tiap negeri memanjang sampai kepada harta-hartanya. Dan dengan pemindahan zakat itu menyia-nyiakan segala sangkaan. Kalau dipindahkan, memadai juga menurut suatu pendapat (qaul). Tetapi keluar dari keragu-raguan perselisihan itu, adalah lebih utama. Dari itu, hendaklah dikeluarkan zakat tiap-tiap harta, pada negeri harta itu sendiri. Kemudian tidak mengapa diserahkan kepada orang-orang perantau yang ada pada negeri tempat pengeluaran zakat.
Kelima: harta zakat itu dibagi-bagikan, menurut bilangan golongan penerima zakat yang ada di negeri itu. Karena meratakan golongan adalah wajib, dibuktikan oleh ketegasan firman Allah Ta’ala: “Sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, orang-orang yang dibujuk hatinya untuk melepaskan perbudakan (tawanan), orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam perjalanan”. S 9 At Taubah ayat 60. Tujuan dari firman tadi, serupa dengan kata orang yang sedang sakit: “1/3 dari hartaku, untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin”. Maka pembahagian zakat itu, menghendaki penyekutuan pada pemilikan dan peribadatan, sehingga seyogyalah dijaga dari tujuan kepada yang zhahir semata-mata. Pada kebanyakan negeri tidak terdapat dua golongan dari golongan yang 8 itu, yaitu: golongan yang dibujuk hatinya (muallaf) dan pengurus zakat (‘amil). Dan pada seluruh negeri, terdapat 4 golongan, yaitu: fakir, miskin, orang yang berhutang dan orang musafir, yakni: ibnussabil. Dua golongan terdapat pada sebahagian negeri yaitu: orang-orang yang berperang pada jalan Allah dan budak-budak yang melepaskan dirinya dengan tebusan.
Kalau terdapat 5 golongan umpamanya, maka zakat itu dibagi-bagikan antara mereka dalam 5 bahagian yang sama atau berlebih-kurang dan ditentukan untuk tiap-tiap golongan sebahagian. Kemudian tiap-tiap bahagian itu, dibagikan kepada 3 bahagian atau lebih, adakalanya sama banyak atau berlebih kurang. Dan tidaklah diharuskan sama banyak diantara orang-orang dari sesuatu golongan. Sehingga bolehlah dibagikan, ada yang memperoleh 10 dan 20 dan tertentulah dengan demikian, bahagian masing-masing. Adapun golongan-golongan yang ada itu, tidak dapat ditambah dan dikurangi. Dan tidak seyogyalah dikurangi pada masing-masing golongan, daripada 3 orang, kalau ada. Kemudian, kalau tidak ada yang wajib diserahkan, selain dari segantang untuk fithrah, diantara 5 golongan yang ada, maka haruslah disampaikan pembahagian itu kepada 15 orang. Kalau kuranglah seorang dari mereka serta mungkin dipenuhi, maka dibayar bahagian orang yang seorang itu. Kalau sulit, karena terlalu sedikit yang harus diserahkan, maka hendaklah ia berkongsi dengan golongan yang wajib menyerahkan zakat dan mencampurkan zakatnya dengan zakat golongan itu. Lalu dikumpulkan segala orang yang berhak menerima zakat, kemudian diserahkan zakat itu, sehingga mereka memperoleh bahagian masing-masing. Demikian cara yang seharusnya ditempuh !.
PENJELASAN: Adab bathiniah yang halus-halus tentang zakat.
Ketahuilah, bahwa atas orang yang berkehendak jalan akhirat, dengan zakatnya, mempunyai beberapa tugas:
Tugas pertama: memahami kewajiban dan pengertian zakat serta cara ujian padanya. Dan mengapakah zakat itu dijadikan sebahagian dari sendi-sendi Islam, padahal dia adalah penyerahan keuangan dan tidak daripada ibadah badaniah ?. Mengenai ini, terdapat 3 pengertian:
1.      Mengucapkan dua kalimah syahadah, adalah suatu kemestian bagi keesaan dan pengakuan dengan keesaan yang disembah.
Syarat bagi kesempurnaan ucapan itu, ialah tidak ada bagi orang yang berkeesaan, yang dicintainya selain dari Yang Maha Esa, Yang Tunggal. Karena kecintaan, tidak menerima perkongsian. Dan keesaan dengan lisan itu, kurang faedahnya. Maka diujilah tingkat kecintaan itu, dengan berpisah dari yang dikasihi. Dan harta, adalah amat dikasihi oleh segala manusia. Karena ia alat kesenangan duniawi. Dan dengan harta, manusia itu menyukai dunia dan lari dari mati, padahal, pada mati berjumpa dengan Yang Amat Dikasihi. Maka diujikanlah mereka, tentang kebenaran dakwaannya pada Yang Dicintai. Dan diminta mereka turun dari harta yang menjadi kesayangan dan kesenangannya. Dari itulah, berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang-orang yang beriman, dengan memberikan sorga untuk mereka”. S 9 At Taubah ayat 111. Yang demikian itu adalah dengan jihad, yakni: kesedihan berkorban karena rindu hendak berjumpa dengan Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kesediaan dengan harta, adalah lebih mudah. Manakala pengertian ini telah dipahami, mengenai penyerahan harta, maka terbagilah manusia kepada 3 bahagian:
Bahagian pertama: mereka membenarkan keesaan, menyempurnakan janjinya dan turun dari semua hartanya, tidak disimpankannya, meskipun sedinar atau sedirham. Lalu mereka enggan menghadapi kewajiban zakat atas mereka. Sehingga ditanyakanlah kepada sebahagian mereka: “Berapakah yang wajib untuk zakat pada 200 dirham ?”. Lalu ia menjawab: “Adapun atas orang awam, yang bodoh dengan hukum agama, ialah 5 dirham. Adapun kami, maka wajiblah menyerahkan semuanya”. Karena inilah, maka Abu Bakar ra menyedekahkan semua hartanya dan Umar ra dengan setengah hartanya. Lalu bertanya Nabi saw: “Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu ?”. Menjawab Umar ra: “Sebanyak itu lagi !”. Dan bertanya Nabi saw kepada Abu Bakar ra: “Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu ?”. Menjawab Abu Bakar ra: “Allah dan RasulNya”. Maka menyambung Nabi saw: “Diantara kamu berdua ialah, apa yang diantara kata-kata kamu berdua !”. Abu Bakar Siddik, menyempurnakan dengan kesempurnaan kebenarannya, lalu tidak dipegangnya, selain dari Yang Amat Dicintainya, yaitu: Allah dan RasulNya.
         Bahagian kedua: derajat mereka, kurang dari derajat yang di atas tadi. Mereka memegang hartanya, menggunakan segala waktu menunaikan hajat dan musim-musim berbuat yang baik. Tujuan mereka dengan menyimpan harta itu, ialah untuk berbelanja sekedar hajat, tidak untuk bersenang-senang. Dan menyerahkan yang lebih dari hajat itu, kepada jalan kebajikan, manakala telah terang cara-caranya. Mereka tidak merasa cukup sekedar zakat saja. Segolongan dari tabi’in, berpendapat bahwa pada harta itu terdapat beberapa hak, selain dari zakat, seperti an-Nakha’i, Asy-Sya’bi, ‘Atha’ dan Mujahid.
Menjawab Asy-Sya’bi, setelah ditanyakan kepadanya: “Adakah pada harta itu, hak selain dari zakat ?”, dengan mengatakan: “Ada ! apakah engkau tidak mendengar firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan diberikannya harta yang dikasihinya itu kepada kerabatnya, anak-anak piatu, orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, orang-orang yang meminta dan untuk melepaskan perbudakan”. S 2 Al Baqarah ayat 177. Mereka membuat dalil dengan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan menafkahkan (membelanjakan di jalan kebaikan), sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. S 2 Al Baqarah ayat 3 dan dengan firman Allah Ta’ala: “Nafkahkanlah sebahagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu”. S 2 Al Baqarah ayat 254. Mereka mendakwakan, bahwa itu tidaklah mansukh dengan ayat-ayat zakat. Tetapi termasuk ke dalam bahagian hak seorang muslim terhadap seorang muslim. Artinya: wajiblah atas orang yang mampu, bilamana menjumpai orang yang memerlukan kepada uang, menyampaikan hajatnya, lebih-lebih dari harta zakat. Dan yang syah dalam ilmu fiqih dari bab ini, ialah manakala hajat seseorang itu, bila tidak dipenuhi dapat menghilangkan nyawanya, maka memenuhi hajat tersebut adalah fardlu kifayah (jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu). Karena tidak boleh disia-siakan nyawa seorang muslim. Tetapi mungkin dikatakan, bahwa tidaklah wajib atas orang yang mampu, selain daripada menyerahkan sesuatu yang menyampaikan hajat itu, secara hutang. Dan tidak dimestikan memberikan, sesudah ia menyelesaikan zakatnya sendiri. Dan mungkin pula dikatakan, harus ia menyerahkan sekarang juga dan tak boleh secara diperhutangkan. Artinya: tidak boleh diberatkan orang fakir itu menerima hutang. Dan inilah yang diperselisihkan !. Berhutang, adalah turun ke tingkat yang terakhir dari tingkat orang awam. Yaitu: tingkat: Bahagian ketiga: dimana orang awam itu, berkisar kepada menunaikan yang wajib saja. Mereka tidak menambahkan dan mengurangkan daripadanya. Inilah tingkat yang paling kurang keutamaannya ! segala orang awam berkisar pada yang wajib saja, karena kebakhilan/pelit dan kecondongan hati mereka kepada harta, serta lemah kecintaan mereka kepada akhirat. Berfirman Allah Ta’ala: “Jika itu dimintaNya kepada kamu dan didesakNya kamu, niscaya kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37. Artinya: berulang kali Ia meminta kepadamu. Berapa banyak, diantara hambaNya yang dibeli oleh Allah akan harta dan nyawanya, dengan sorga dan diantara hamba yang tidak didesak oleh Allah karena kebakhilannya.
Inilah salah satu pengertian perintah Allah swt kepada hambaNya, dengan memberikan harta !.
2.      Mensucikan diri daripada sifat kebakhilan, karena itu adalah sebahagian dari sifat-sifat yang membinasakan. Bersabda Nabi saw: “3 sifat membinasakan: memperturut kebakhilan, mengikuti hawa nafsu dan membanggakan diri”. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang terpelihara dari kekikiran jiwanya, merekalah orang-orang yang beruntung”. S 59 Al Hasyr ayat 9. Dan akan datang nanti pada “Rubu Yang Membinasakan”, penjelasan caranya sifat kekikiran itu membinasakan dan bagaimana menjauhkan diri daripadanya. Sesungguhnya sifat kebakhilan itu, dapat dihilangkan dengan membiasakan memberikan harta. Mencintai sesuatu itu, tidak akan putus, kecuali dengan memaksakan diri berpisah daripadanya, sehingga menjadi itu nanti suatu kebiasaan. Maka dengan pengertian ini, zakat adalah pencuci, artinya: mensucikan pembayar zakat dari kekejian kikir yang membinasakan. Kesucian itu menurut kadar pemberiannya dan kegembiraannya dengan mengeluarkan harta serta kesenangannya menyerahkan harta itu karena Allah Ta’ala.  
3.      Mensyukuri nikmat. Karena Allah Ta’ala mempunyai nikmat pada hambaNya, pada diri dan harta hamba itu. Maka segala ibadah badaniah, adalah kesyukuran bagi nikmat badan. Dan ibadah maliah (ibadah kehartaan), adalah kesyukuran bagi nikmat harta. Alangkah kejinya orang yang melihat kepada seorang fakir, yang berpenghidupan sempit dan memerlukan kepada pertolongannya. Lalu ia tidak bersedia menunaikan kesyukurannya kepada Allah Ta’ala, di mana ia tidak memerlukan kepada meminta-minta dan orang lain memerlukan kepadanya, dengan menyerahkan 1/40 atau 1/10 dari hartanya !.
Tugas kedua: mengenai waktu pembayaran zakat. Diantara adab orang yang beragama, ialah menyegerakan zakat dari waktu wajibnya, untuk melahirkan kegemaran mengikuti perintah Allah, dengan menyampaikan kesenangan ke dalam hati orang-orang fakir dan menyegerakan dari penghalang-penghalang masa, yang menghalanginya dari perbuatan kebajikan. Dan karena mengetahui, bahwa dengan melambatkan itu, timbul bahaya-bahaya serta kemaksiatan yang mendatangi seorang hamba, kalau diperlambatkan daripada waktu wajibnya. Manakala telah lahir dari bathin panggilan kepada kebajikan, maka seyogyalah dirampas kesempatan itu. Karena yang demikian itu, adalah kawan malaikat. Dan hati orang mu’min, ialah antara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih. Alangkah cepatnya hati itu bertukar ! dan setan menjanjikan kemiskinan, menyuruh dengan yang keji dan mungkar. Dia mempunyai teman, dibalik teman malaikat. Dari itu, hendaklah diambil kesempatan yang baik. Dan hendaklah ditentukan suatu bulan tertentu untuk menunaikan zakat, jika ditunaikan seluruhnya. Hendaklah diusahakan, supaya adalah bulan itu, waktu yang sebaik-baiknya, agar yang demikian menjadi sebab, bagi bertambah mendekatkannya kepada Tuhan dan berlipat-ganda pahala zakatnya. Seperti bulan Muharram umpamanya, karena dia adalah awal tahun dan termasuk diantara bulan-bulan haram atau bulan Ramadlan. Adalah Nabi saw makhluk Allah yang terbaik dan pada bulan Ramadlan, ia seperti angin yang dikirim, tidak memegang sesuatu benda pada tangannya. Bulan Ramadlan itu, mempunyai kelebihan dengan Lailatul-qadar dan Alquran diturunkan pada bulan Ramadlan. Mujahid mengatakan: “Janganlah kamu katakan “Ramadlan”, karena dia adalah suatu nama dari nama-nama Allah Ta’ala, tetapi katakanlah “bulan Ramadlan”. Bulan Dzulhijjah juga termasuk sebahagian dari bulan yang banyak kelebihannya. Karena dia bulan haram, padanya haji akbar dan hari-hari tertentu, yaitu: 10 yang pertama dan hari-hari yang terbilang, yaitu: hari-hari tasyriq. Hari-hari bulan Ramadlan yang terutama, ialah 10 yang akhir dan hari-hari bulan Dzulhijjah yang terutama, ialah 10 yang awal.
Tugas ketiga: dirahasiakan, karena dengan demikian, menjauhkan dari ria dan terdengar ke mana-mana. Bersabda Nabi saw: “Sedekah yang terbaik, ialah kesungguhan dari orang yang sedikit hartanya, menyerahkan sebahagian daripadanya kepada orang fakir dengan dirahasiakan”. Berkata setengah ulama: “3 perkara daripada gudang kebajikan. Sebahagian daripadanya, ialah menyembunyikan sedekah”. Dan diriwayatkan pula suatu hadits musnad, yaitu sabda Nabi saw: “Sesungguhnya hamba itu hendaklah berbuat amalan dalam rahasia, maka dituliskan Allah baginya secara rahasia. Jikalau dilahirkannya, maka dipindahkan oleh Allah dari rahasia dan dituliskan dalam keadaan terang. Jika diceritakannya amalan itu kepada orang, maka dipindahkan oleh Allah dari keadaan rahasia dan terang dan dituliskan ria”. Pada suatu hadits masyhur, tersebut: “7 orang dinaungi mereka oleh Allah, pada hari tak ada naungan, selain daripada naungan Allah. Seorang dari mereka, ialah orang yang bersedekah dengan suatu sedekah, maka tidak diketahui oleh tangan kirinya, apa yang diberikan oleh tangan kanannya”. Pada suatu hadits tersebut: Sedekah secara rahasia, memadamkan kemarahan Tuhan”. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan kalau kamu sembunyikan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu adalah lebih baik bagi kamu”. S 2 Al Baqarah ayat 271.
Faedah menyembunyikan, ialah terlepas dari bahaya ria dan kedengaran keluar. Bersabda Nabi saw: “Tidak diterima oleh Allah sedekah dari orang yang memperdengarkan sedekahnya kepada orang lain, memperlihatkannya kepada orang lain dan membangkitkannya”. Orang yang menceritakan sedekahnya itu, ialah mencari nama supaya terdengar keluar. Dan orang yang memberikan sedekah di hadapan orang banyak, ialah ingin ria. Sedang menyembunyikan dan berdiam diri sesudah bersedekah, adalah orang yang ikhlas dengan sedekahnya. Segolongan dari ulama telah bersangatan benar menerangkan keutamaan menyembunyikan sedekah itu, sehingga dengan bersungguh-sungguh mereka mengatakan, bahwa yang menerima itu tidak mengenal yang memberi. Sebahagian mereka meletakkan sedekahnya dalam tangan orang buta dan sebahagian mereka meletakkannya pada jalan yang dilalui orang fakir dan pada tempat duduk orang fakir, di mana orang fakir itu dapat melihatnya dan tidak melihat yang memberikannya. Dan sebahagian mereka meletakkannya dalam kain orang fakir, ketika ia masih tidur. Dan sebahagian lagi menyampaikannya ke tangan orang fakir, dengan perantaraan orang lain, di mana orang fakir itu tidak mengenal si pemberi. Dan dimintanya pada perantara, supaya menyembunyikan namanya dan tidak menyiarkannya ke mana-mana. Semua itu, adalah supaya sampai kepada memadamkan kemarahan Tuhan Yang Maha Suci dan memeliharakan diri dari ria dan terdengar keluar.
Bilamana tidak mungkin, selain dengan diketahui oleh seseorang, maka menyerahkannya kepada wakil, supaya wakil itu menyerahkan kepada orang miskin dan orang miskin itu tidak mengenal si pemberi, adalah cara yang sebaik-baiknya. Karena dengan dikenal oleh si miskin itu, mengandung ria bersama dengan disebut-sebut. Dan dengan dikenal oleh si perantara, tidak adalah, selain dari ria saja. Manakala ada kemasyuhran yang dimaksudkan bagi si pemberi, maka batallah amalnya. Karena zakat adalah menghilangkan kekikiran dan melemahkan kecintaan kepada harta. Dan mencintai kemegahan, adalah lebih hebat pengaruhnya kepada diri daripada mencintai harta. Kedua-duanya itu membinasakan di akhirat.
Tetapi, sifat kikir, bertukar di dalam kubur, sebagai perumpamaan, menjadi seekor kala yang menyengat. Dan sifat ria bertukar di dalam kubur menjadi seekor ular besar. Dari itu, disuruh melemahkan kedua-duanya atau membunuh kedua-duanya, untuk menolak atau meringankan kesakitan dari kedua-duanya. Manakala dimaksudkan ria dan didengar orang, maka seolah-olah dijadikan sebahagian dari kaki kala, untuk menguatkan ular. Berapa yang lemah dari kala maka itu menambahkan pada kekuatan ular. Kalau keadaan itu dibiarkan, sebagaimana yang ada, niscaya adalah urusan itu, lebih mudah baginya. Kekuatan sifat-sifat tersebut di atas, di mana kekuatannya bertambah, ialah dengan berbuat, menurut yang dikehendaki oleh sifat-sifat itu. Dan kelemahannya, ialah dengan menantang, menyalahi dan berbuat kebaikan daripada yang dikehendakinya. Maka apakah faedahnya, menolak pangilan kekikiran dan menyambut panggilan keriaan ? lalu lemah yang lebih lemah dan kuat yang lebih kuat ? dan akan datang penjelasan segala rahasia dari pengertian-pengertian ini, pada “Rubu Yang Membinasakan”.
Tugas keempat: bahwa dilahirkannya, bila diketahuinya, bahwa pada melahirkan itu, membawa manusia suka mengikutinya dan berusaha merahasiakan nya dari panggilan ria: dengan jalan yang akan kami sebutkan, tentang pengobatan ria, pada Kitab Ria nanti. Berfirman Allah Ta’ala: “Kalau kamu memberikan sedekah dengan terang, itu baik”. S 2 Al Baqarah ayat 271. Dan yang demikian itu dikehendaki oleh keadaan untuk dilahirkan, adakalanya, untuk diikuti orang dan adakalanya karena peminta itu meminta di hadapan orang banyak. Maka tidak seyogyalah ditinggalkan bersedekah, karena takut dari ria pada melahirkannya. Tetapi seyogyalah bersedekah dan menjaga rahasianya daripada ria, sedapat mungkin. Inilah, karena pada melahirkan itu ditakuti hal ketiga, selain daripada disebut-sebut dan ria, yaitu: merusakkan kehormatan si fakir. Karena mungkin si fakir itu, merasa tersinggung, dengan memperlihatkannya dalam bentuk orang yang memerlukan kepada sesuatu. Maka orang yang meminta secara terus-terang, adalah ia telah merusakkan kehormatannya sendiri. Maka tidaklah ditakuti lagi pengertian tadi, pada melahirkannya. Dan itu, adalah seperti melahirkan sifat fasiq atas orang yang menutupinya rapat-rapat, maka itu dicegah. Mengorek-ngorek dan membiasakan menyebutkannya, adalah dilarang. Adapun orang yang melahirkannya, maka menjatuhkan hukuman atas orang itu, ialah memperkembangkan berita itu. Tetapi fasiq itu sendiri, yang menjadi sebab untuk dijatuhkan hukuman itu. Dan pengertian yang seperti ini, sabda Nabi saw: “Barangsiapa mencampakkan pakaian malunya, maka tak adalah upatan baginya lagi”. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan dengan sembunyi dan terang-terangan”. S 13 Ar Ra’d ayat 22. Disunatkan juga dengan terang-terangan, karena dengan terang-terangan itu, memberikan faedah menggemarkan orang mengikutinya. Maka hendaklah hamba itu memperhatikan dengan teliti, tentang timbangan faedah ini, dengan larangan yang ada padanya. Dan hal itu berbeda, menurut keadaan suasana dan orang. Kadang-kadang, secara terang-terangan, pada sebahagian keadaan untuk sebahagian orang, adalah lebih baik. Dan siapa yang mengenal segala yang berfaedah dan yang merusakkan, tanpa memandangnya dengan pandangan hawa nafsu, niscaya teranglah baginya yang lebih utama dan yang lebih layak dalam segala hal.
Tugas kelima: jangan dibatalkan sedekah itu, dengan menyebut-nyebut dan menyakitkan hati orang yang menerimanya. Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebut (al-manni) dan menyakitkan (al-adza)”. S 2 Al Baqarah ayat 264. Berbeda pendapat diantara para ulama, tentang hakikat/makna menyebut-nyebut (al-manni) dan menyakitkan (al-adza).
Ada yang mengatakan, al-manni, yaitu: menyebut-nyebut sedekah yang diberikan. Dan al-adza, yaitu: melahirkannya kepada orang lain. Berkata Sufyan: “Barangsiapa membangkit-bangkitkan sedekahnya, niscaya sedekah itu batal”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Bagaimana membangkit-bangkitkan itu ?”. Sufyan menjawab: “Bahwa ia menyebut-nyebutkan dan menceritakannya”. Setengah ulama mengatakan, bahwa al-manni, ialah meminta pada orang yang diberikan sedekah itu, supaya memberikan tenaga, demi kepentingan orang yang memberi sedekah. Dan al-adza, ialah menghinakan orang yang diberikan sedekah itu, dengan sebab kemiskinannya. Ada yang mengatakan, bahwa al-manni, ialah yang memberi itu menyombongkan diri karena pemberiannya. Dan al-adza, ialah menggertak dan mengeluarkan kata-kata keji kepada orang miskin, dengan sebab meminta.
Bersabda Nabi saw: “Tidak diterima oleh Allah sedekah orang yang membangkit-bangkitkan”. Padaku, al-manni itu, mempunyai pokok pangkal dan tempat tumbuhnya. Yaitu sebahagian dari ikhwal hati dan sifatnya. Kemudian, bercabang kepadanya segala keadaan yang zhahir, pada lisan dan anggota badan. Pokok pangkalnya, ialah si pemberi itu memandang dirinya telah berbuat baik dan menganugerahkan nikmat kepada si penerima. Sedang sebenarnya, hendaklah dia memandang, bahwa si fakir itu telah berbuat baik kepadanya, dengan bersedia menerima hak Allah yang ada padanya, yang menjadi kesucian dan kelepasannya daripada api neraka. Kalau tidaklah si fakir itu bersedia menerimanya, niscaya tetaplah ia berhutang dengan hak itu. Maka menjadi kewajibannya, menahan diri kepada membangkit-bangkitkan sedekah yang diberikan kepada orang fakir, lantaran si fakir itu telah membuat tapak tangannya, sebagai ganti dari Allah Ta’ala untuk menerima hak Allah ‘Azza Wa Jalla.
Bersabda Nabi saw: “Bahwa sedekah itu jatuh dengan tangan (kekuasaan) Allah ‘Azza Wa Jalla, sebelum jatuh pada tangan yang meminta”. Maka hendaklah diyakininya, bahwa ia menyerahkan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla hakNya dan orang fakir itu mengambil daripada Allah Ta’ala rezekinya, setelah jadinya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Kalau ia berhutang pada seseorang, lalu orang itu menyerahkan kepada budaknya atau pelayannya yang menjadi tanggung jawabnya, tentang kehidupan budak atau pelayan itu, untuk menagih hutang tadi, maka keyakinan dari yang membayar hutang, bahwa penerima hutang itu di bawah pengaruhnya adalah sangat dungu dan bodoh. Karena yang berjasa kepadanya, ialah orang yang menanggung belanja hidupnya. Adapun dia, hanyalah melunaskan apa yang menjadi kewajibannya, disebabkan sudah membeli apa-apa yang disukainya. Jadi, ia bekerja untuk dirinya sendiri, maka mengapakah ia menyebut-nyebut orang lain ? manakala telah dipahami, pengertian yang tiga, yang telah kami sebutkan tentang pemahaman kewajiban zakat atau satu dari yang tiga itu, niscaya ia tidak melihat dirinya telah berbuat baik, selain kepada dirinya sendiri.
Adakalanya, dengan menyerahkan hartanya, demi melahirkan kecintaannya, kepada Allah Ta’ala atau mensucikan dirinya dari kekejian kikir atau mensyukuri nikmat harta, karena mengharap bertambahnya harta itu. Bagaimanapun adanya, tetapi tak adalah hubungan mu’amalah (yang diminta mengetahui nya hendaklah diamalkan) antara dia dan orang fakir itu, sehingga ia memandang dirinya telah berbuat baik kepada si fakir. Manakala terdapat kebodohan itu, dengan memandang dirinya telah berbuat baik kepada si fakir, lalu bercabanglah daripadanya pada zhahirnya, apa yang telah disebutkan pada pengertian al-manni, yaitu: membicarakan, menzhahirkan dan meminta balasan dari si penerima itu, dengan ucapan terima kasih, dengan doa, pelayanan, penghormatan, pengagungan, penegakan hak-haknya, mendahulukan di majlis-majlis dan mengikutinya dalam segala hal. Maka ini semuanya, adalah buah daripada al-manni. Dan arti al-manni pada bathin, ialah apa yang telah kami sebutkan itu. Adapun al-adza, zhahirnya ialah menghina dan memberi malu, mengeluarkan kata-kata kasar, bermasam muka dan merusakkan kehormatan si fakir dengan melahirkan pemberian itu serta dengan berbagai macam cara merendahkan orang yang menerima itu. Bathinnya, yaitu sumbernya, ada dua hal:
1.      Tidak suka melepaskan harta dari tangan dan sangat beratlah yang demikian atas dirinya. Maka yang demikian itu –sudah pasti –menyempitkan makhluk.
2.      Dia melihat dirinya lebih baik dari orang fakir. Dan orang fakir itu, disebabkan keperluannya, adalah lebih hina daripadanya. Kedua sumber tadi, terjadinya dari karena kebodohan.
Mengenai tidak suka melepaskan harta, itu adalah suatu kedunguan. Karena orang yang tidak suka menyerahkan sedirham, dalam balasan yang menyamai 1000 dirham, itu adalah sangat dungu. Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa menyerahkan harta, adalah karena mencari kerelaan Allah ‘Azza Wa Jalla dan pahala pada negeri akhirat Dan itu, adalah lebih mulia daripada apa yang diserahkannya. Atau diserahkannya untuk mensucikan dirinya dari kehinaan kikir atau bersyukur karena mengharap tambahan. Bagaimanapun diumpamakan, tetapi tidak suka menyerahkan harta itu, tak beralasan sama sekali. Mengenai yang kedua, yaitu: memandang dirinya lebih mulia dari si fakir, itu juga tanda kebodohan. Karena kalau diketahuinya kelebihan miskin dari kaya dan diketahuinya bahaya yang dihadapi oleh orang-orang kaya, niscaya tidak akan dihinakannya orang fakir. Bahkan ia mengambil berkat daripada orang fakir dan bercita-cita memperoleh derajat kefakiran itu. Orang-orang kaya yang salih, akan memasuki sorga sesudah orang-orang fakir dengan 500 tahun.
Dari itu, bersabda Nabi saw: “Demi Tuhan yang mempunyai Ka’bah ! mereka itu merugi !”. Bertanya Abu Dzar: “Siapakah mereka itu ?”. Nabi saw menjawab: “Mereka yang banyak harta !”. Kemudian, bagaimanakah ia menghinakan orang fakir, padahal orang fakir itu, telah dijadikan Allah Ta’ala tempat ia berniaga. Karena ia mengusahakan harta dengan rajin, memperbanyakkan harta dan bersungguh-sungguh menjaganya sekedar perlu. Dan ia telah dimestikan, bahwa menyerahkan kepada orang fakir sekedar keperluannya. Dan dilarang melebihi daripada itu, yang mendatangkan melarat kepadanya, kalau diserahkan. Maka orang kaya, adalah dilayani untuk berusaha, menghasilkan rezeki orang fakir. Dan dibedakan dari orang fakir, dengan menghadapi kezhaliman, mengalami penderitaan dan menjaga diri dari segala yang tidak perlu, sampai ia mati. Lalu hartanya, dimakan oleh musuh-musuhnya. Jadi, manakala telah tersingkir sifat tidak suka dan berganti dengan suka dan senang dengan taufiq Allah Ta’ala kepadanya, pada pelaksanaan kewajiban dan digenggamkannya harta kepada orang fakir, sehingga terlepas daripada buruknya nasib dengan diterimanya pemberian itu daripadanya, maka hilanglah al-adza, penghinaan, masam muka. Dan bertukarlah dengan kegembiraan. Pujian dan penerimaan kenikmatan itu. Itulah tempat terjadinya al-manni dan al-adza ! Kalau anda mengatakan, bahwa melihat dirinya dalam tingkat orang yang berbuat baik, adalah suatu hal yang sulit. Adakah tanda, yang dapat ia menguji hatinya dengan tanda itu, sehingga ia mengenal bahwa dia tidak melihat dirinya berbuat baik ? Maka ketahuilah, bahwa ia mempunyai tanda yang halus dan jelas. Yaitu: kalau diumpamakan si fakir itu telah berbuat suatu penganiayaan atas dirinya atau si fakir itu menolong musuhnya umpamanya, maka adakah bertambah perlawanan bathinnya dan menjauh hatinya dari si fakir itu, dengan perlawanan bathinnya sebelum bersedekah itu ? Kalau bertambah, maka tidaklah terlepas sedekahnya dari campuran al-manni, karena dengan sebabnya, telah terjadi apa yang sebetulnya, tidak diharapkan terjadi sebelumnya. Kalau anda mengatakan: “Ini adalah soal yang sulit dan tidak terlepaslah hati seseorang daripadanya. Maka apakah obatnya ?”.
          Maka ketahuilah, bahwa ia mempunyai obat bathin dan obat zhahir. Obat bathin, ialah mengenal segala hakikat/makna yang telah kami sebutkan pada pemahaman yang wajib itu. Sesungguhnya orang fakirlah yang berbuat baik kepadanya, pada mensucikannya dengan menerima sedekah. Adapun obat zhahir, maka ialah segala perbuatan yang dikerjakan oleh orang yang bersifat dengan al-manni itu. Maka sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang timbul dari budi pekerti yang baik, niscaya akan mencelup hati itu berbudi pekerti yang baik, sebagaimana akan datang segala kunci rahasianya, pada bahagian yang penghabisan dari Kitab ini. Dari itu, sebahagian mereka meletakkan sedekah dihadapan orang fakir dan tegak berdiri dihadapannya, meminta kiranya fakir itu bersedia menerima sedekahnya. Sehingga ia berada dalam bentuk orang yang meminta, disamping ia merasa tidak senang kalau sedekahnya ditolak. Sebahagian mereka membuka tangannya, supaya fakir itu mengambil dari tangannya dan tangan si fakir menjadi di atas.
         ‘Aisyah dan Ummu Salmah ra apabila mengirimkan sesuatu pemberian kepada orang fakir, mengatakan kepada utusan yang membawa kiriman itu: “Hafalkanlah doa yang dibacakan fakir itu !”. Kemudian, keduanya membalas seperti doa yang dibacakan si fakir seraya mengatakan: “Dengan demikian, ikhlaslah sedekah kami bagi kami”. Mereka sebetulnya, tidak mengharapkan doa, karena itu menyerupai pembalasan. Dari itu, mereka membalas doa yang dibacakan si fakir, dengan doa yang seperti itu pula. Begitulah diperbuat oleh Umar bin Al-Khaththab dan anaknya Abdullah ra. Dan begitu pulalah orang-orang yang menitik beratkan perhatiannya pada hati, mengobati hatinya. Dan tak adalah obatnya dari segi zhahir, selain dari segala amal perbuatan ini, yang menunjukkan kepada kehinaan, kerendahan diri dan menerima nikmat Allah Ta’ala. Dan dari segi bathin, ialah segala pengetahuan (ilmu mengenal Allah Ta’ala) yang telah kami sebutkan itu. Ini, dari segi amal perbuatan. Dan yang itu dahulu, dari segi ilmu pengetahuan. Dan tidaklah hati itu diobati, selain dengan obat ilmu dan amal.
         Syarat ini dari zakat, adalah sejalan dengan jalannya khusyu’ dari shalat. Hal itu, dibuktikan dengan sabda Nabi saw: “Tidaklah bagi manusia dari shalatnya, selain daripada apa yang dipahaminya”. Dan ini, adalah seperti sabda Nabi saw: Tidak diterima Allah sedekah orang yang membangkit-bangkitkan”, dan seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan “al-manni” (menyebut-nyebutkan) dan “al-adza” (menyakitkan)”. S 2 Al Baqarah ayat 264. Adapun fatwa ulama fiqih, dengan jadinya zakat itu menjadi zakat dan terlepasnya tanggung jawab dengan penyerahan yang seperti itu, tanpa syarat yang kami sebutkan, adalah berdasarkan hadits lain, yang sudah kami tunjukkan pengertiannya dalam “Kitab Shalat” dahulu.
Tugas keenam: hendaklah dipandangnya pemberian itu kecil saja. Karena, kalau dipandangnya besar, maka timbullah kebanggaan di dalam hatinya. Dan sifat kebanggaan itu, termasuk sifat yang membinasakan. Dan itu membatalkan segala amal perbuatan. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan di hari perang Hunain, ketika kamu membanggakan diri karena banyak jumlahnya, tetapi jumlah yang banyak itu, tidak menolong kepada kamu sedikitpun”. S 9 At Taubah ayat 25. Dan ada yang mengatakan bahwa taat, kalau dipandang kecil, maka besarlah dia pada sisi Allah Ta’ala. Dan ma’siat kalau dipandang besar, maka kecillah dia pada sisi Allah ‘Azza Wa Jalla. Ada yang mengatakan, bahwa perbuatan baik, tidak akan sempurna, selain dengan 3 perkara: memandangnya kecil, menyegerakannya dan menutupkannya. Dan tidaklah memandangnya besar itu, dinamakan al-manni dan al-adza. Karena kalau diserahkannya hartanya kepada pembangunan masjid atau langgar, niscaya mungkinlah di situ memandangnya besar dan tidak mungkin al-manni dan al-adza. Tetapi membanggakan diri dan memandang amalan itu besar, berlaku dalam segala ibadah. Dan obatnya, ialah ilmu dan amal.
Adapun ilmu, yaitu ia mengetahui bahwa 1/10 atau 1/40, adalah sedikit dari yang banyak. Dan dia telah merasa puas bagi dirinya, dengan pemberian ditingkat yang paling rendah itu, sebagaimana telah kami sebutkan pada pemahaman yang wajib dahulu. Dari itu, wajarlah ia merasa malu dari pemberian yang demikian. Bagaimanakah kiranya, ia memandang besar ? kalau naiklah ia ke derajat yang lebih tinggi, lalu memberikan semua hartanya ataupun sebahagian besar daripadanya, maka hendaklah ia memperhatikan, bahwa dari manakah harta itu datang dan kemanakah hendak digunakannya ? Harta itu, adalah kepunyaan Allah ‘Azza Wa Jalla. Allah boleh menyebut-nyebutkannya, karena telah menganugerahkannya kepada seseorang dan memberikan taufiq kepada orang itu untuk menyerahkannya. Maka mengapakah ia membesar-besarkan pemberiannya pada hak Allah Ta’ala, akan sesuatu yang sebetulnya kepunyaan Allah Ta’ala ? Kalau keadaannya menghendaki, bahwa ia memandang ke akhirat dan memberikannya untuk memperoleh pahala, maka mengapakah ia membesar-besarkan pemberian yang ditunggukannya pahala yang berlipat ganda ?.
Adapun amal, maka ia memberikan harta itu, sebagai pemberian karena malu dari kekikiran, dengan menahan sisa hartanya daripada Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka adalah sifatnya, merasa enggan dan malu, seperti sifat orang yang diminta mengembalikan barang simpanan yang ada padanya. Maka ditahannya setengah dan dikembalikannya setengah, sedang harta seluruhnya adalah kepunyaan Allah ‘Azza Wa Jalla. Menyerahkan seluruhnya adalah lebih disukai Allah swt. Sesungguhnya Dia tidak menyuruhkan hambaNya dengan demikian, karena menyusahkan bagi hamba itu, lantaran kekikirannya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah Ta’ala: “Maka didesakkan Allah akan kamu, niscaya kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37.
Tugas ketujuh: bahwa dipilihnya daripada hartanya yang paling baik, yang paling disayanginya, yang paling mulia dan yang paling cantik. Karena Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima melainkan yang baik. Apabila yang dikeluarkan untuk sedekah itu, dari harta yang diragukan halalnya (harta syubhat), maka kadang-kadang harta itu bukan miliknya secara mutlak. Sehingga tidaklah harta itu menjadi sebagaimana yang diharapkan. Tersebut pada hadits yang diriwayatkan Aban dari Anas bin Malik: “Amat baiklah kiranya bagi seorang hamba, yang mengeluarkan untuk sedekah dari harta yang diusahakannya, tidak dari kemaksiatan”. Apabila yang dikeluarkan itu, tidak daripada harta yang baik, maka itu adalah setengah daripada kurang adab (kurang sopan). Karena mungkin ditahannya yang baik untuk dirinya sendiri atau untuk hambanya atau untuk keluarganya. Jadi ia lebih memilih dan mementingkan orang lain, daripada Allah Ta’ala. Kalau diperbuatnya demikian terhadap tamunya, disuguhkannya makanan yang paling buruk kepada tamu itu di rumahnya, maka sesungguhnya ia menyesakkan dadanya dengan yang demikian. Demikianlah kiranya, kalau ada pandangannya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kalau pandangannya kepada dirinya sendiri dan pahalanya di akhirat, maka tidaklah namanya berakal, orang yang mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri.
Dan tidaklah harta itu menjadi kepunyaannya, selain daripada apa yang telah disedekahkannya. Maka itulah yang kekal. Atau apa yang telah dimakannya, maka itulah yang binasa. Dan apa yang dimakannya, adalah menunaikan hajat hidup yang sekarang. Maka tidaklah termasuk berakal, orang yang memperhatikan semata-mata kepada masa dekat dan meninggalkan penyimpanan untuk masa depan. Berfirman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman ! nafkahkanlah (keluarkanlah) sebahagian yang baik-baik dari hasil usahamu dan hasil-hasil yang Kami keluarkan dari bumi dan janganlah kamu pilihkan yang buruk-buruk diantaranya yang akan kamu nafkahkan; sedangkan kamu sendiri tak mau mengambilnya (kalau diberikan kepada kamu), melainkan dengan memicingkan mata”. S 2 Al Baqarah ayat 267. Artinya: kamu tidak mengambilnya, kecuali dengan merasa benci dan malu. Itulah artinya memicingkan mata. Maka tidaklah kamu memilihkan Tuhanmu dengan demikian. Pada hadits tersebut: “Didahulukan oleh sedirham, akan 100 ribu dirham”. Yaitu dengan dikeluarkan oleh seseorang dari hartanya, yang paling halal dan yang paling baik. Maka keluarlah yang demikian itu dengan kerelaan dan kegembiraan memberikannya. Kadang-kadang dikeluarkannya 100 ribu dirham daripada hartanya yang tidak disukainya. Maka yang demikian itu, menunjukkan bahwa dia tidak mengutamakan Allah ‘Azza Wa Jalla, dengan sesuatu yang dikasihinya. Dengan sebab yang demikianlah, maka dicacikan oleh Allah suatu golongan yang menjadikan untuk Allah, apa yang tidak disukai mereka. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan mereka hubungkan dengan Allah, apa-apa yang tidak mereka sukai (untuk diri mereka) dan lidah mereka menceritakan kepalsuan, bahwa mereka akan mendapat kebaikan. Tidak”. Sebahagian ahli bacaan Alquran (ahli qiraat) berhenti (waqaf) pada kata-kata “Tidak” itu, untuk membohongi mereka, kemudian memulai lagi dan menyambung: “Sesungguhnya untuk mereka adalah neraka”. S 16 An Nahl ayat 62. Artinya: Sesungguhnya bagi mereka neraka, karena mereka jadikan bagi Allah, apa yang tidak mereka sukai.
Tugas kedelapan: hendaklah dicari untuk menerima sedekahnya, orang yang menjadi suci sedekahnya dengan orang itu. Dan tidak dicukupkan saja, asal orang itu termasuk dalam golongan yang 8. Karena dalam keseluruhan golongan yang 8 itu, terdapat sifat-sifat tertentu. Maka hendaklah diperhatikannya sifat-sifat yang tertentu itu, yaitu 6 perkara.
1.      Hendaklah dicarikan orang-orang yang taqwa, yang berpaling dari dunia, menjuruskan hidupnya untuk perniagaan akhirat. Bersabda Nabi saw: “Janganlah engkau makan, selain dari makanan orang yang bertaqwa dan janganlah dimakan makanan engkau, selain oleh orang yang bertaqwa”. Inilah kiranya, karena orang yang bertaqwa itu, dapat meminta pertolongan kepada taqwa. Maka adalah anda bersama-sama dengan dia dalam mengerjakan taat, disebabkan anda memberikan pertolongan kepadanya. Bersabda Nabi saw: “Berikanlah makananmu kepada orang-orang yang taqwa dan tujukanlah perbuatan baikmu kepada orang-orang mu’min !”. Dan pada riwayat yang lain, tersebut: “Tambahkanlah makananmu kepada orang yang engkau kasihi pada jalan Allah Ta’ala”. Adalah sebahagian ulama, mengutamakan makanannya kepada orang-orang shufi yang fakir, tidak kepada orang lain. Lalu orang bertanya kepadanya: “Kalau tuan ratakan pemberian tuan itu kepada semua orang fakir, tentulah lebih baik”’. Ulama itu menjawab: “Tidak ! cita-cita dari fakir yang shufi itu, adalah semata-mata kepada Allah Ta’ala. Kalau datanglah kepapaan kepada mereka, niscaya hancurlah cita-cita seseorang mereka. Dari itu, aku lebih menyukai mengembalikan cita-cita seseorang kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, daripada memberikan kepada 1000 orang, yang cita-citanya duniawi”. Ucapan yang di atas ini, disampaikan orang kepada Junaid, maka diterimanya dengan baik, seraya mengatakan: “Yang mengucapkan kata-kata ini adalah salah seorang daripada aulia Allah Ta’ala”. Seterusnya Junaid mengatakan: “Belum pernah aku mendengar sejak dahulu, perkataan yang lebih baik daripada ini !”. Kemudian, diceritakan, bahwa ulama yang mengucapkan kata-kata  di atas tadi, rusak keadaan perniagaannya. Ia bercita-cita meninggalkan tokonya, lalu Junaid mengirimkan bantuan harta kepadanya dan berpesan: “Jadikanlah harta ini modalmu ! janganlah engkau tinggalkan toko itu, karena berniaga tidaklah mendatangkan melarat bagi orang, yang seperti engkau”. Ulama itu adalah penjual sayur-sayuran, tidak mau mengambil pembayaran dari orang-orang fakir yang membeli padanya.
2.      Hendaklah orang yang dikhususkan diberikan itu dari ahli ilmu khususnya. Karena yang demikian, adalah menolong orang itu kepada ilmu. Dan ilmu adalah ibadah yang paling mulia, manakala benar niat padanya. Adalah Ibnul-Mubarak mengkhususkan pemberiannya kepada ahli ilmu, lalu orang bertanya kepadanya: “Mengapakah tidak tuan ratakan pemberian itu ?”. Ia menjawab: “Aku tidak mengenal sesudah derajat kenabian, yang lebih utama daripada derajat alim-ulama. Apabila hati salah seorang ulama terganggu dengan sesuatu keperluan, maka tidaklah tercurah hatinya itu kepada ilmu dan tidak lagi menerima orang untuk belajar. Dari itu, berusaha mencurahkan hati mereka kepada ilmu, adalah lebih utama”.
3.      Hendaklah orang yang diberikan itu, orang yang benar taqwanya dan ilmunya dengan kekeesaanan. Kekeesaanannya itu, ialah apabila ia menerima pemberian lalu memujikan Allah, mensyukuriNya dan memandang bahwa nikmat itu daripadaNya. Dan ia tidak memandang kepada perantaraan (si pemberi). Inilah kesyukuran hamba yang sebaik-baiknya kepada Allah swt. Yaitu: memandang bahwa nikmat itu semuanya adalah daripadaNya. Dalam wasiat Lukman kepada puteranya, tersebut: “Janganlah engkau adakan diantara engkau dan Allah, pemberi nikmat yang lain dan engkau hitung nikmat dari orang lain itu kepada engkau sebagai hutang. Dan barangsiapa mensyukuri selain kepada Allah swt, maka dia seolah-olah tidak mengenal yang memberikan nikmat itu. Dan tidak meyakini bahwa orang perantaraan itu, adalah terpaksa diperuntukkan untuk memberi dengan penunjukkan Allah ‘Azza Wa Jalla. Karena Allah Ta’ala telah menguasakan kepadanya faktor-faktor untuk berbuat dan memudahkan sebab-sebab untuk berbuat. Lalu orang itu memberikan dan dia itu terpaksa. Kalau ia menolak, tidak mau memberikannya, maka ia tidak sanggup, setelah dicurahkan Allah ke dalam hatinya, bahwa kemuslihatan agamanya dan dunianya adalah pada perbuatan itu. Manakala penggerak sudah kuat, niscaya mengharuskan yang demikian, akan keteguhan kemauan dan kebangkitan kesanggupan. Dan tidak hamba itu, sanggup menentang penggerak yang kuat, yang tak ada keraguan lagi padanya. Allah ‘Azza Wa Jalla jua yang menjadikan penggerak-penggerak itu dan membangkitkannya, menghilangkan kelemahan dan kesangsian daripadanya. Menentukan kesanggupan untuk bangun, menurut yang dikehendaki penggerak-penggerak itu. Siapa yang meyakini akan ini, niscaya tidak ada baginya pandangan selain kepada Yang Menyebabkan sebab-sebab itu. Keyakinan seperti hamba ini adalah lebih bermanfaat bagi si pemberi, daripada pujian dan ucapan syukur dari orang lain. Maka yang demikian itu, adalah gerakan lidah, pada kebanyakan hal, yang sedikit faedahnya. Dan memberi pertolongan kepada seumpama hamba yang berkeesaan ini, tidaklah sia-sia.
Adapun orang yang memuji dengan pemberian dan mendoakan dengan kebajikan, maka akan mencaci bila tidak diberikan lagi dan akan mendoakan dengan kejahatan, ketika disakitkan hatinya. Dan hal-ikhwalnya, adalah berlebih-kurang. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw: “Mengirimkan pemberian kepada sebahagian orang fakir dan mengatakan kepada utusan yang membawa pemberian itu: “Hafalkanlah apa yang diucapkan fakir itu !”. Tatkala fakir menerimanya, lalu mengucapkan: “Segala pujian bagi Allah yang tidak lupa akan siapa yang mengingatiNya dan tidak menyia-nyiakan akan siapa yang mensyukuriNya”. Kemudian fakir itu menyambung lagi: “Ya Allah, ya Tuhanku ! sesungguhnya Engkau tidak melupakan si Anu (maksudnya, dirinya sendiri), maka jadikanlah si Anu tidak melupakan Engkau". Ia maksudkan dengan si Anu dirinya sendiri. Utusan itu menceritakan kepada Nabi saw apa yang didengarnya, maka amat gembiralah Nabi saw lalu bersabda: “Aku tahu, memang ia mengucapkan yang demikian”. Lihatlah betapa perhatiannya, hanya tertuju kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa !. Bersabda Nabi saw kepada seorang laki-laki: “Bertaubatlah !”. Maka menjawab laki-laki itu: “Aku bertaubat kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak aku bertaubat kepada Muhammad !”. Menjawab Nabi saw: “Diperkenalkan kebenaran kepada ahlinya !”.
Tatkala turun ayat suci, yang menerangkan terlepasnya ‘Aisyah daripada berita palsu, maka berkata Abu Bakar ra kepada ‘Aisyah: “Bangunlah dan peluklah kepala Rasulullah saw !”. Maka menjawab ‘Aisyah: “Demi Allah, aku tidak mau dan aku tidak memujikan, selain Allah !”. Lalu menjawab Nabi saw: “Biarkanlah dia, wahai Abu Bakar !”. Pada riwayat lain, tersebut, bahwa ‘Aisyah berkata kepada Abu Bakar ra: “Dengan memujikan Allah, tidak dengan memujikan engkau dan sahabat engkau !”. Maka Rasulullah saw tidak membantah yang demikian, sedang wahyu itu sampai kepada ‘Aisyah dengan perantaraan lisan Rasulullah saw. Memandang segala sesuatu, selain daripada Allah swt, adalah sifat orang-orang kafir. Berfirman Allah Ta’ala: “Ketika disebut Allah saja sendirian, amatlah kesal hati orang-orang yang tiada mempercayai hari kemudian itu. Tetapi ketika disebut (berhala-berhala) lain dari Tuhan, lihatlah mereka amat gembira”. S 39 Az Zumar ayat 45. Dan siapa yang tiada bersih bathinnya, daripada melihat perantara-perantara, kecuali dari segi sebagai perantara saja, maka seakan-akan ia tiada terlepas bathinnya daripada syirik yang tersembunyi. Hendaklah kiranya ia bertaqwa kepada Allah Ta’ala, pada membersihkan keesaannya dari segala kotoran dan campuran syirik.
4.      Hendaklah orang yang diberikan itu, menutup dan menyembunyikan hajat keperluannya. Tidak membanyakkan cerita dan pengaduan. Atau ada dia orang yang berpribadi, sebahagian dari orang yang telah hilang nikmat dari tangannya dan masih tetap adat kebiasaannya yang baik, di mana ia meneruskan kehidupannya dalam pakaian keelokan. Berfirman Allah Ta’ala: “Orang yang tidak tahu, mengira bahwa mereka masih kaya, karena suci jiwanya (tidak mau minta-minta); kamu kenal mereka dengan tanda-tandanya, mereka tidak mau meminta pada orang berulang-ulang”. S 2 Al Baqarah ayat 273. Artinya: mereka tiada berulang-ulang meminta, karena mereka adalah orang-orang kaya dengan keyakinan dan orang-orang mulia dengan kesabaran. Dan ini, seyogyalah dicari dengan memeriksa dari ahli-ahli agama pada tiap-tiap tempat. Dan menyelidiki tentang bathin keadaan dari ahli-ahli kebajikan dan keelokan. Maka pahala menyerahkan pemberian yang baik kepada mereka, adalah berlipat ganda daripada menyerahkan kepada orang-orang yang berterang-terangan meminta.
5.      Hendaklah ada orang yang diberikan itu, berkeluarga banyak atau terkurung disebabkan karena sakit ataupun sebab-sebab yang lain. Maka terdapatlah pada orang yang tersebut tadi, maksud daripada firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “(Berikanlah sedekah itu) untuk orang-orang fakir, yang terkepung di jalan Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 273. Artinya: mereka tertahan pada jalan akihrat, disebabkan penyakit atau kesempitan hidup atau perbaikan hati. Mereka tidak sanggup berjalan keliling negeri, karena mereka terpotong sayap dan terikat kaki dan tangannya. Dengan sebab-sebab inilah Umar ra memberikan kepada keluarga Nabi saw yang keputusan belanja, 10 ekor kambing dan lebih dari itu. Dan adalah Nabi saw sendiri “memberikan sesuatu pemberian, menurut banyak keluarga”. Ditanyakan Umar ra tentang bencana yang sungguh-sungguh, maka menjawab Umar: “banyak keluarga dan sedikit harta”.
6.      Hendaklah ada yang menerima itu, sebahagian dari keluarga dan famili pihak ibu, maka jadilah itu sedekah dan silaturrahmi. Dan pada silaturrahmi itu, terdapat pahala yang tidak terhingga. Berkata Ali ra: “Adalah lebih aku sukai menyambungkan silaturrahmi seseorang daripada saudaraku dengan satu dirham, daripada bersedekah dengan 20 dirham. Dan menyambung silaturrahmi dengan 20 dirham, adalah lebih aku sukai daripada bersedekah sebanyak 100 dirham. Dan menyambung silaturrahmi dengan 100 dirham, lebih aku sukai daripada aku merdekakan seorang budak”. Teman-teman dan juga saudara-saudara pada jalan kebajikan, didahulukan, dari segala orang yang berilmu pengetahuan, sebagaimana didahulukan kaum keluarga dari orang-orang asing (yang bukan keluarga). Maka hendaklah dijaga yang halus-halus ini !. Inilah sifat-sifat yang diminta dan masing-masing sifat itu mempunyai tingkat. Maka seyogyalah dicari tingkat yang tertinggi. Kalau diperoleh orang yang mengumpulkan sejumlah dari sifat-sifat ini, maka adalah itu suatu simpanan besar dan rampasan agung. Manakala berusaha sungguh-sungguh yang demikian dan benar (tidak salah), maka ia memperoleh dua pahala. Dan jika salah, maka ia memperoleh satu pahala. Salah satu dari kedua pahalanya, pada sekarang juga, yaitu mensucikan dirinya dari sifat kikir dan menguatkan cinta kepada Allah dalam hatinya dan kesungguhannya mentaati Allah. Dan sifat-sifat inilah yang menguatkan dalam hatinya, lalu merindukannya berjumpa dengan Allah ‘Azza Wa Jalla. Pahala kedua, ialah yang kembali kepadanya, daripada faedah doa dan cita-cita yang baik dari yang menerima zakat. Hati orang-orang baik itu, mempunyai bekas sekarang dan di akhirat nanti. Kalau benarlah ia, maka berhasillah dua pahala. Dan kalau salah, maka berhasil pahala pertama, tidak pahala kedua. Maka dengan ini, berlipat gandalah pahala orang yang memperoleh kebenaran pada ber-ijtihad di sini dan pada tempat-tempat yang lain. Allah Yang Maha Tahu ! Wallaahu a’lam !.
PASAL KETIGA: Tentang orang yang menerima zakat, sebab-sebab ia berhak menerimanya dan tugas-tugas penerimaan.
PENJELASAN: sebab-sebab berhak menerima zakat.
Ketahuilah, bahwa tiada berhak menerima zakat, selain orang merdeka, muslim, tidak keturunan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, bersifat dengan salah satu dari sifat 8 yang tersebut dalam Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla (Alquran). Dan tidaklah zakat itu diserahkan kepada orang fakir, hamba sahaya, Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Adapun anak kecil dan orang gila, maka boleh diserahkan zakat kepadanya, apabila diterima oleh walinya. Marilah sekarang, kami sebutkan sifat-sifat dari golongan 8 itu:
Golongan Pertama: Orang fakir.               
Orang fakir: ialah orang yang tidak mempunyai harta dan tidak sanggup berusaha. Kalau ia mempunyai makanan yang mencukupi sehari dan pakaian untuk dipakainya sekarang, maka tidaklah ia orang fakir, tetapi orang miskin. Kalau ia mempunyai makanan untuk mencukupi setengah hari, maka dia itu orang fakir. Kalau ia mempunyai kemeja panjang dan tidak mempunyai sapu tangan, alas kaki dan celana, sedang harga kemeja panjang itu tidak mencukupi untuk semua yang tadi, menurut yang layak bagi orang fakir, maka dia itu orang fakir namanya. Karena dia sekarang tidak mempunyai apa yang diperlukannya dan apa yang tidak disanggupinya. Maka tidak seyogyalah disyaratkan pada fakir itu, bahwa ia tidak mempunyai pakaian selain dari penutup aurat, karena syarat yang demikian itu, adalah berlebih-lebihan. Biasanya tidak diperoleh orang yang seperti itu. Dan tidaklah keluar dari nama fakir, karena ia biasa meminta-minta. Maka tidaklah meminta-minta itu, dinamakan usaha. Kecuali ia sanggup berusaha, maka dengan ini, ia dikeluarkan dari nama fakir. Kalau sanggup ia berusaha dengan sesuatu perkakas, maka dia itu fakir, dan boleh dibelikan untuknya perkakas itu. Kalau sanggup ia berusaha yang tidak layak dengan kepribadiannya dan dengan keadaan orang yang seperti dia, maka itu fakir namanya. Kalau ia sedang belajar dan terhalang dari belajar dengan berusaha, maka dia itu fakir dan tidak dikira kesanggupan nya bekerja. Kalau ia seorang yang beribadah, yang dihalangi oleh berusaha itu, daripada segala tugas ibadah dan wirid-wirid waktunya, maka hendaklah ia berusaha. Karena berusaha adalah lebih utama daripada beribadah. Bersabda Nabi saw: “Mencari yang halal, adalah fardlu sesudah mengerjakan yang fardlu”. Dimaksudkan dengan “mencari halal” itu, ialah bekerja mencari perbelanjaan. Berkata Umar ra: “Berusaha pada harta yang diragukan halalnya (harta syubhat), adalah lebih baik daripada meminta-minta”. Kalau ia berkecukupan dengan perongkosan dari orang tuanya atau dari orang yang wajib menanggung perbelanjaannya, maka ini adalah lebih mudah daripada berusaha. Maka tidaklah ia dinamakan fakir.
Golongan Kedua: Orang miskin.
Orang miskin, ialah orang yang tidak mencukupi uang masuknya untuk uang keluarnya. Kadang-kadang orang yang mempunyai 1000 dirham, dinamakan miskin dan kadang-kadang orang yang tidak mempunyai selain dari sebuah kapak dan sehelai tali, dinamakan kaya. Sebuah gubuk kecil yang ditempatinya dan sehelai kain yang menutupkan tubuhnya sekedar perlu, tidaklah menghilangkan nama miskinnya. Demikian juga, perabot rumah, yakni yang diperlukan dan yang layak baginya. Begitu pula kitab-kitab fiqih, tidaklah melepaskan dia daripada nama miskin. Apabila tidak dimilikinya, selain dari kitab-kitab, maka tidaklah wajib atasnya zakat fithrah. Karena kitab itu, disamakan hukumnya dengan kain dan perabot rumah, karena diperlukan kepadanya. Tetapi, seyogyalah diperhatikan sungguh-sungguh tentang keperluan kepada kitab ini. Kitab adalah diperlukan karena 3 macam maksud, yaitu: untuk mengajar, untuk mengambil faedah daripada isinya dan untuk memperoleh kesenangan dengan membacanya (untuk penghibur). Adapun keperluan untuk memperoleh kesenangan dengan membaca buku-buku itu, maka tidak masuk kiraan. Seperti menyimpan buku-buku syair, sejarah dari berita-berita lama dsb, yang tidak bermanfaat di akhirat dan tidak berlaku di dunia ini, selain untuk perintang waktu dan penghibur. Buku yang semacam ini, dijual untuk membayar kafarat dan zakat fithrah. Dan dilarang menamakan miskin orang yang mempunyainya.
         Adapun keperluan mengajar, kalau mengajar itu untuk usaha mencari perbelanjaan, seperti juru nasehat, pengajar dan pemberi pelajaran dengan memperoleh balasan jerih-payah, maka buku-buku itu adalah perkakasnya. Tidak boleh dijual untuk pembayar fithrah, seperti alat perkakas tukang jahit dan tukang-tukang yang lain. Kalau dipakainya buku-buku itu, untuk mengajar buat menegakkan fardlu kifayah (jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu), maka buku-buku tersebut tidak dijual dan tidak mencabutkan dia dari nama miskin, karena itu adalah keperluan yang penting. Adapun keperluan untuk memperoleh faedah daripadanya isinya dan untuk belajar daripadanya, seperti menyimpan buku-buku kesehatan untuk mengobati diri sendiri atau kitab nasehat, untuk dibaca sendiri dan untuk memperoleh pengajaran dengan isinya, maka kalau dalam negeri itu adalah dokter dan juru nasehat, niscaya buku-buku itu tidak begitu penting baginya. Kalau tidak ada, maka benarlah dia memerlukan kepada buku itu. Kadang-kadang, dia tidak memerlukan membaca buku tersebut, kecuali sesudah beberapa lama kemudian. Maka seyogyalah dipastikan masa memerlukan kepadanya. Yang lebih dekat kepada kebenaran, hendaklah dikatakan, bahwa manakala tidak diperlukan kepadanya dalam setahun, maka adalah buku itu tidak penting baginya. Sesungguhnya, siapa yang berlebih dari makanan harinya sesuatu, niscaya wajiblah ia mengeluarkan fithrah. Apabila makanan kita taksirkan mencukupi untuk sehari, maka keperluan perabot rumah tangga dan pakaian di badan, selayaknyalah ditaksir untuk setahun. Dari itu, tidak dijual pakaian musim panas pada musim dingin. Dan buku-buku adalah serupa dengan pakaian dan perabot rumah tangga. Kadang-kadang ia mempunyai dari semacam buku dua buah, maka tidaklah memerlukan kepada salah satu daripada keduanya. Kalau ia mengatakan: “Yang satu lebih benar dan yang satu lagi lebih baik. Aku memerlukan kepada kedua-duanya !”. Maka kami menjawab: “Cukupkanlah dengan yang lebih benar, jualkanlah yang lebih baik dan tinggalkanlah penghiburan dan kemewahan !”. Kalau ada dua macam buku dari satu ilmu pengetahuan, yang satu secara luas dan yang satu lagi secara singkat, maka kalau maksudnya untuk memperoleh faedah, maka hendaklah dicukupkannya dengan yang secara luas. Dan kalau maksudnya untuk memberi pelajaran, maka berhajatlah ia kepada kedua-duanya, karena masing-masing ada faedahnya, yang tidak terdapat pada yang lain. Contoh-contoh untuk gambaran-gambaran yang serupa ini, tidaklah terhingga banyaknya dan tidak dibentangkan dalam ilmu fiqih. Dan kami bentangkan di sini, adalah karena merata bahayanya dan menjaga dengan kebagusan pandangan ini kepada yang lain. Sesungguhnya menyelidiki secara mendalam, gambaran-gambaran itu, adalah tidak mungkin. Karena seperti pandangan ini mengenai perabot rumah adalah melampaui tentang ukurannya, bilangannya dan macamnya. Dan mengenai pakaian di badan dan di rumah, tentang luasnya dan sempitnya. Dan tidaklah hal-hal ini mempunyai batas tertentu. Tetapi ulama fiqih berusaha benar-benar tentang itu dengan buah pikirannya dan ia mendekatkan kepada pembatasan-pembatasan itu, dengan pendapat yang dikemukakannya. Dan dihadapinya bahaya syubhat (diragukan) dalam hal tersebut. Orang wara’, mengambil dengan berhati-hati dan meninggalkan apa yang meragukannya kepada yang tidak meragukannya. Tingkat-tingkat menengah yang menyulitkan, diantara segi-segi yang nyata-nyata bertentangan, adalah amat banyak. Dan tidaklah terlepas daripadanya, selain dengan berhati-hati. Wallaahu a’lam: Allah Yang Maha Tahu !.
Golongan Ketiga: yang bekerja pada zakat (‘amil).  
Mereka adalah para pekerja yang mengumpulkan zakat, selain dari khalifah (kepala pemerintahan) dan qadli (hakim). Dan termasuk dalam golongan ‘amil zakat, orang yang mengamat-amati zakat, penulis urusan zakat, orang yang mengurus, supaya zakat itu dilaksanakan dengan sempurna, penjaga zakat dan pengangkut zakat. Masing-masing mereka, tidak dilebihkan upahnya dari upah yang layak. Kalau berlebih sesuatu harga dari yang diserahkan kepada ‘amil itu, dari upahnya yang layak, maka yang berlebih itu dikembalikan untuk diserahkan kepada golongan penerima zakat yang lain. Dan kalau berkurang, maka dicukupkan dari harta kepentingan umum.
Golongan Keempat: orang muallaf (orang yang ditarik hatinya kepada Islam).
Yaitu orang-orang yang terkemuka yang telah memeluk agama Islam, di mana mereka berpengaruh dalam kaumnya. Dan dengan menyerahkan zakat kepada mereka, membawa mereka tetap di dalam agama Islam dan menarik hati orang-orang yang setaraf dan pengikut-pengikutnya.
Golongan Kelima: orang mukatab (budak yang diberi kesempatan oleh tuannya mencari harta, untuk diserahkan kepada tuannya, sebagai penebus dirinya dari hamba sahaya). Maka diserahkan bahagian dari mukatab ini kepada tuannya. Dan kalau diserahkan kepada si mukatab sendiri, boleh juga. Dan si tuan itu tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada mukatabnya sendiri, karena terhitung budaknya.
Golongan Keenam: gharim (orang yang berhutang).Yaitu: yang berhutang pada mentaati Allah atau pada pekerjaan yang dibolehkan (pekerjaan mubah), sedang ia seorang fakir. Kalau berhutang pada jalan maksiat, maka tidak diberikan zakat, kecuali setelah ia bertaubat. Dan kalau ia seorang kaya,
maka tidak dilunaskan hutangnya dengan zakat, kecuali apabila ia berhutang untuk kepentingan umum atau untuk memadamkan suatu kekacauan (fitnah).
Golongan Ketujuh: ghuzah (kaum pejuang fisabilillah).Yaitu mereka yang tidak terdaftar namanya dalam buku orang-orang yang dibelanjai negara. Maka diserahkan kepada mereka sebahagian dari zakat, walaupun mereka itu kaya, untuk memberikan pertolongan kepada mereka dalam peperangan.
Golongan Kedelapan: ibnussabil. Yaitu orang yang bermusafir dari negerinya, pada bukan maksiat atau ia singgah pada negeri itu. Maka diberikan zakat kepadanya, kalau ia seorang fakir. Dan kalau ada hartanya di negeri lain, niscaya diberikan sekedar, yang menyampaikannya ke negeri itu. Kalau anda bertanya: “Dengan apakah dikenal sifat-sifat itu ?”. Maka kami menjawab, bahwa kefakiran dan kemiskinan, adalah dengan keterangan dari penerima zakat itu sendiri, tanpa dimintakan bukti dan tanpa disumpahkan. Tetapi bolehlah berpegang kepada perkataannya, apabila tidak diketahui kedustaannya. Berperang dan bermusafir itu, adalah pekerjaan yang akan datang. Dari itu, diberikan zakat kepadanya, dengan pengakuannya: “Aku ini orang yang berperang”. Kalau tidak ditepatinya, menurut pengkuannya itu, maka yang telah diterimanya, diminta kembali. Adapun golongan-golongan yang lain, maka hendaklah dibuktikan ! Itulah syarat-syarat berhak menerima zakat ! dan tentang jumlah yang diserahkan kepada masing-masing, akan diterangkan nanti.
PENJELASAN: tugas-tugas dari orang yang menerima zakat.
Yaitu 5 perkara:
Pertama: hendaklah diketahuinya, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla mewajibkan penyerahan zakat kepadanya, adalah supaya mencukupi cita-cita dan seluruh cita-citanya menjadi satu. Karena Allah ‘Azza Wa Jalla menerima ibadah makhlukNya, dengan adanya satu cita-cita hati mereka, yaitu Allah swt dan hari akhirat. Dan itulah yang dimaksudkan dengan firmanNya: Kuciptakan jin dan manusia itu, supaya mereka berbakti (beribadah) kepadaKu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 56. Tetapi, tatkala hikmah menghendaki, bahwa hamba itu dikuasai hawa nafsu dan hajat keperluannya, di mana hawa nafsu dan hajat keperluan itu mencerai-beraikan cita-citanya, maka kemurahan Tuhan menghendaki kelimpahan nikmat, yang mencukupkan segala hajat keperluan. Lalu diperbanyakkan Nya harta dan dituangkanNya ke dalam tangan hamba-hambaNya. Untuk menjadi alat bagi mereka dalam menolakkan hajat keperluannya dan menjadi jalan dalam menyelesaikan ketaatannya. Diantara mereka, ada yang sebahagian besar dari hartanya, menjadi fitnah dan bencana, lalu harta itu mendorongkannya ke dalam bahaya. Dan diantara mereka, ada yang mencintai harta, yang dapat memeliharakannya daripada kesibukan duniawi, sebagaimana seorang perawat memeliharakan orang sakit yang dirawatinya. Maka terjauhlah dia daripada segala kejijikan duniawi dan mengalirlah kepadanya harta sekedar yang diperlukan, dari tangan orang-orang kaya. Supaya adalah yang demikian itu, usaha yang mudah. Dan payah pada mengumpulkan dan penjagaan harta itu, adalah atas orang-orang kaya tersebut. Dan faedahnya menonjol kepada orang-orang fakir, lalu fakir-fakir itu dapat menyerahkan seluruh jiwa raganya berbakti kepada Allah dan bersedia untuk sesudah mati. Maka tidak terhalang dari kebaktian oleh segala kejijikan duniawi dan tidak diganggu oleh kesempitan hidup, daripada bersedia bagi hari kemudian. Inilah nikmat yang setinggi-tingginya !. Maka hak orang fakir ialah, mengetahui tingkatnya nikmat kefakiran. Dan meyakini bahwa kurnia Allah kepadanya, mengenai sesuatu yang menjauhkannya daripadanya, adalah lebih banyak daripada kurniaNya mengenai sesuatu yang dianugerahiNya, sebagaimana akan datang pembuktian dan penjelasannya pada “Kitab Kefakiran” insya Allah Ta’ala. Maka hendaklah diambilnya, apa yang diambilnya daripada Allah Ta’ala, sebagai rezeki dan pertolongan baginya kepada taat. Dan hendaklah niatnya untuk memperoleh kekuatan mentaati Allah. Kalau ia tidak sanggup kepada yang demikian, maka hendaklah harta itu digunakannya kepada yang diperbolehkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla. Kalau digunakannya untuk penolong berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala, niscaya adalah ia orang yang kufur (tidak mensyukuri) akan segala nikmat Allah ‘Azza Wa Jalla berhak kejauhan dan kutukan daripada Allah swt.
Kedua: hendaklah disyukurinya orang yang memberi, didoakan dan dipujikan. Syukur dan doanya itu, hendaklah tidak keluar dari kedudukan si pemberi selaku perantaraan. Tetapi dia adalah jalan sampainya nikmat Allah kepadanya. Dan jalan itu mempunyai hak, di mana dia telah dijadikan Allah sebagai jalan dan perantaraan. Dan tidaklah ia menghilangkan penglihatan nikmat daripada Allah swt. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang tidak mensyukuri manusia, niscaya ia tidak mensyukuri Allah”. Allah ‘Azza Wa Jalla memujikan hambaNya pada beberapa tempat atas amal perbuatan mereka, padahal Dia yang menjadikan dan yang menciptakan kudrat pada perbuatan-perbuatan itu, seperti firmanNya: “Ia adalah seorang hamba Allah yang amat baik ! sesungguhnya dia senantiasa kembali kepadaNya”. S 38 Shaad ayat 30. Dan pada beberapa tempat yang lain. Hendaklah penerima zakat, mengucapkan dalam doanya: “Disucikan Allah kiranya hatimu dalam hati orang-orang baik, dibersihkan Allah amalanmu dalam amalan orang-orang pilihan dan diberikan Allah rahmat kepada ruhmu dalam ruh orang-orang syahid”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang menyerahkan kepadamu sesuatu pemberian yang baik, maka balaskanlah pemberian itu ! jikalau kamu sanggup, maka berdoalah kepadanya, sehingga kamu mengetahui, bahwa kamu telah membalaskan pemberiannya”. Setengah daripada kesempurnaan syukur, ialah menutupkan kekurangan yang ada pada pemberian, kalau ada padanya kekurangan. Dan tidak menghina dan mencaci akan pemberian itu. Dan tidak diberi malu orang yang diminta, apabila ia tidak memberi. Dan hendaklah memandang besar perbuatan dari orang yang memberi itu, kepada dirinya dan kepada orang lain. Tugas si pemberi, ialah memandang kecil amalan yang dikerjakannya. Dan tugas si penerima, ialah mengingati nikmat yang diperolehnya dan hendaklah memandangnya besar. Masing-masing hamba Allah itu, hendaklah berdiri pada hak kewajibannya. Dan yang demikian itu, tidak ada padanya pertentangan. Karena yang mewajibkan untuk memandang kecil dan besar adalah bertentangan. Yang bermanfaat bagi si pemberi, ialah memperhatikan sebab-sebab yang membawa kecil arti pemberiannya dan memberi melarat yang sebalik dari itu. Dan bagi yang menerima adalah sebaliknya. Sehingga masing-masing, tidak berlawanan dengan melihat nikmat itu daripada Allah ‘Azza Wa Jalla. Karena orang yang tidak melihat perantaraan itu, sebagai perantaraan, adalah orang bodoh. Dan orang yang mungkir, ialah orang yang tidak sekali-kali melihat perantaraan itu.
Ketiga: hendaklah dilihatnya barang yang diambilnya itu. Kalau tidak dari yang halal, hendaklah ia menjaga diri daripadanya. “Siapa yang takut (bertaqwa) kepada Allah, maka Dia mengadakan untuk orang itu, jalan keluar (dari kesulitan). Dan memberikan rezeki kepadanya dari (sumber) yang tiada pernah dipikirkannya”. S 65 Ath Thalaaq ayat 2-3. Orang yang menjaga diri (wara’) dari yang haram, terbukalah baginya yang halal. Dari itu, janganlah diterima harta orang-orang Turki, tentara, pegawai-pegawai sultan dan orang-orang yang sebagian besar usahanya dari haram. Kecuali kalau dia dalam keadaan yang sempit benar dan barang yang diserahkan kepadanya, tidak diketahuinya, pemiliknya yang sebenarnya. Maka dalam hal ini, ia boleh mengambil sekedar perlu saja. Karena fatwa dari syari’at/agama, dalam hal yang seperti ini, ialah boleh ia menerima sedekah, berdasarkan kepada apa yang akan diterangkan nanti dalam “Kitab Halal dan Haram”. Yaitu apabila ia telah lemah daripada memperoleh yang halal. Apabila diambilnya pemberian tersebut, maka tidaklah pengambilan itu pengambilan zakat namanya. Karena tidaklah menjadi zakat dari pembayarnya, dan harta itu haram.
Keempat: hendaklah ia menjaga dari hal-hal yang meragukan dan menyangsikan tentang jumlah yang diambilnya dari zakat. Janganlah ia mengambil, selain daripada jumlah yang diperbolehkan. Dan tidak ia mengambilnya, kecuali apabila ia meyakini benar-benar, bahwa ia termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat.
1. Kalau ia menerima zakat atas nama golongan mukatab (budak yang diberi kesempatan oleh tuannya mencari harta untuk diserahkan kepada tuannya sebagai penebus dirinya dari hamba sahaya) dan gharim/orang yang berhutang, maka janganlah melebihi dari sekedar hutang.
2. Kalau ia mengambil zakat, disebabkan bekerja pada zakat, maka janganlah melebihi dari ongkos yang layak. Kalau diberikan lebih banyak dari itu, hendaklah ia menolak dan tidak menerimanya. Karena bukanlah itu harta kepunyaan si pemberi, sehingga ia boleh bersedekah begitu juga.
3. Kalau ia seorang musafir, janganlah melebihi daripada perbekalan dan ongkos kendaraan ke tempat tujuannya.
4. Kalau ia seorang pejuang di medan perang, janganlah ia mengambil, selain daripada apa yang diperlukannya untuk berperang khususnya. Yaitu: kuda, senjata dan belanja. Dan taksiran untuk itu, adalah dengan taksiran yang sungguh-sungguh dan tak adalah baginya batas tertentu.
5. Dan begitu pula, perbekalan bagi musafir. Dan orang wara’, meninggalkan yang meragukan kepada yang tidak meragukannya. Kalau ia mengambil zakat, disebabkan kemiskinan, maka hendaklah mula-mula ia memperhatikan kepada perabot rumahnya, pakaiannya dan kitab-kitabnya. Adakah diantara barang-barang tersebut, yang tidak diperlukannya ? atau tidak diperlukan atas kecantikannya, sehingga mungkin diganti dengan barang lain yang memadai baginya dan melebihi sebahagian harganya. Semuanya itu, memerlukan kepada pemikiran yang sungguh-sungguh. Ada pada segi zhahir, di mana ia meyakini bahwa ia berhak dan segi lain yang bertentangan dengan segi zhahir tadi, di mana ia meyakini bahwa ia tidak berhak. Diantara kedua segi tersebut, terdapat beberapa hal yang ditengah-tengah, yang serupa satu dengan lainnya. Dan siapa yang bermain-main keliling barang yang terlarang, besar kemungkinan ia terjatuh ke dalamnya. Pada zhahirnya, disini dipegang, adalah kepada perkataan si penerima zakat. Dan yang berkepentingan, pada menentukan kepentingannya, mempunyai beberapa tingkatan, tentang kesempitan dan kelapangannya. Dan tingkatan-tingkatan itu tidak terhingga jumlahnya.
Orang wara’, condong kepada kesempitan dan orang yang menganggap enteng tentang sesuatu, condong kepada kelapangan. Sehingga ia memandang dirinya memerlukan kepada bermacam-macam seni kelapangan, yaitu hal-hal yang terkutuk pada agama. Kemudian, apabila telah tertentu keperluannya, maka janganlah si penerima zakat itu, mengambil lebih banyak. Tetapi sekedar yang mencukupkan kebutuhannya, dari waktu diambilnya sampai kepada masa setahun. Inilah sejauh mungkin masa, yang diberi kesempatan padanya, dari segi bahwa masa setahun, apabila berulang-ulang, niscaya berulang-ulang pula sebab kemasukan uang. Dan dari segi bahwa Rasulullah saw menyimpan untuk keluarganya makanan setahun. Inilah yang lebih mendekati kepada kebenaran, batasan yang membatasi fakir dan miskin. Kalau disingkatkan kepada keperluannya untuk sebulan atau sehari, maka ini adalah lebih mendekati kepada taqwa.
Berbeda pendapat diantara beberapa madzhab dari para ulama, tentang jumlah yang diambil menurut hukum zakat dan sedekah. Diantaranya, ada yang bersangatan benar sedikitnya, kepada batas yang mengharuskan, disingkatkan kepada sekadar makanan sehari-semalam dari si penerima zakat itu. Golongan ini berpegang dengan apa yang diriwayatkan Sahl bin Al-Handhaliah, bahwa: “Nabi saw melarang meminta-minta dalam keadaan kaya”. Lalu ditanyakan kepada Nabi saw tentang kaya itu, maka beliau menjawab: “Mencukupi untuk pagi dan sore”. Berkata golongan lain, boleh si penerima zakat itu mengambil sampai kepada batas kaya. Batas kaya, ialah nishab zakat, karena Allah Ta’ala tidak mewajibkan zakat, selain atas orang-orang kaya. Seterusnya, golongan ini mengatakan, bahwa si penerima zakat boleh mengambil untuk dirinya sendiri dan untuk masing-masing dari keluarganya, sebanyak nishab zakat. Berkata golongan lain pula, bahwa batas kaya, ialah 50 dirham atau nilainya dengan emas, karena diriwayatkan Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang meminta-minta, sedang ia mempunyai harta yang menjadikan ia kaya, niscaya ia datang pada hari qiamat dan pada mukanya penuh dengan luka yang digaruk-garuk”. Maka ditanyakan Nabi saw: “Bagaimanakah kayanya itu ?”. Lalu Nabi saw menjawab: “50 dirham atau nilainya dari emas”. Ada yang mengatakan, bahwa perawi hadits tadi, tidak kuat. Berkata suatu golongan, 40 dirham, karena diriwayatkan oleh ‘Atha bin Yassar suatu hadits munqathi’ (hadits yang putus riwayatnya antara perawi dan Nabi saw), bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, sedang dia mempunyai satu auqiah perak (40 dirham), maka adalah dia memaksakan diri meminta yang tidak dibolehkan”. Segolongan lain lagi, terlalu benar memberi kelapangan, dimana mereka mengatakan: “Boleh bagi si penerima zakat mengambil suatu jumlah, yang dapat dibelikannya suatu benda. Lalu ia merasa cukup dengan benda itu seumur hidupnya. Atau ia menyediakan suatu barang untuk diperniagakannya. Dan ia merasa cukup dengan barang itu seumur hidupnya, karena inilah yang bernama kaya”.
Berkata Umar ra: “Apabila kamu memberi, maka kayakanlah orang diberikan itu !”. Sehingga segolongan berpendapat, bahwa seorang yang fakir, boleh mengambil jumlah yang membawa ia kepada keadaan yang layak, walau 10 ribu dirham. Kecuali apabila ia telah keluar dari batas sederhana. Tatkala Abu Thalhah sibuk dengan kebunnya, sampai tertinggal shalat, lalu ia berkata: “Aku serahkan kebun ini untuk sedekah !”. Maka Nabi saw berkata: “Serahkanlah kebun itu kepada kerabatmu. Itu adalah lebih baik bagimu !”. Lalu Abu Thalhah menyerahkannya kepada Hasan dan Abu Qatadah. Maka sebuah kebun kurma bagi dua orang, adalah banyak, sehingga tidak memerlukan kepada yang lain.
Umar ra menyerahkan kepada seorang Arab kampung, seekor unta betina serta dengan anaknya. Demikianlah diceritakan tentang memberikan kelapangan pada bersedekah itu. Adapun menyedikitkan sampai kepada makanan sehari atau sebahagian dari sekati makanan, maka itu datangnya, mengenai tidak disukai meminta-minta dan bulak-balik dari pintu ke pintu rumah orang. Hal yang seperti itu ditantang benar-benar dan mempunyai kedudukan hukum yang lain. Bahkan; membolehkan, sampai dapat dibelikannya suatu benda, di mana ia merasa cukup dengan benda itu, adalah lebih mendekati kepada suatu kemungkinan dan juga lebih condong kepada keroyalan. Yang lebih mendekati kepada kesederhanaan, ialah mencukupi setahun. Dan dibalik itu, adalah membahayakan. Sedang kurang dari itu, adalah menyempitkan. Segala persoalan ini, apabila tak ada padanya penentuan sesuatu bahagian dengan tauqif (penentuan yang datang dari Nabi saw), maka tidaklah bagi orang mujtahid, selain dairpada menetapkan hukum dengan apa yang terjadi baginya. Kemudian dikatakan kepada orang yang wara’: “Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun mereka telah berfatwa kepadamu dan mereka telah berfatwa kepadamu”, sebagaimana telah disabdakan Nabi saw. Karena dosa itu adalah suatu penyakit hati. Dari itu, apabila yang menerima zakat, memperoleh sesuatu pada dirinya, dari apa yang diambilnya itu, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah padanya dan janganlah memandang enteng, karena berdalilkan dengan fatwa dari ulama-ulama zhahir (ULAMAH DUNIA). Fatwa mereka mempunyai beberapa ikatan dan melepaskan dari hal-hal yang dlarurat. Pada fatwa itu, terdapat dugaan-dugaan dan perbuatan-perbuatan yang meragukan. Dan menjaga dari hal-hal yang meragukan itu, adalah sifat dari orang-orang yang beragama, dan kebiasaan dari orang-orang yang berjalan ke jalan akhirat.
Kelima: hendaklah yang menerima zakat, bertanya kepada pemilik harta, berapa jumlah zakat yang diwajibkan ke atas pundaknya. Kalau ada yang diserahkannya, di atas harga yang seharusnya, maka janganlah diambilnya. Karena dia tidak berhak bersama kongsinya, melainkan harga yang pantas. Maka hendaklah dikurangkannya dari harga itu, sebanyak apa yang diserahkan kepada dua orang daripada golongannya yang menerima zakat. Pertanyaan yang dimajukan kepada pemilik harta tadi, adalah wajib atas kebanyakan orang, karena mereka tiada menjaga pembahagian itu, adakalanya karena kebodohan dan adakalanya karena memandang enteng. Dan baru boleh meninggalkan pertanyaan dari persoalan-persoalan yang seperti ini, apabila tidak menimbulkan keras dugaan, kemungkinan haram padanya. Dan akan datang uraian tentang tempat-tempat yang menimbulkan dugaan pertanyaan dan tingkat kemungkinan, pada “Kitab Halal dan Haram”. Insya Allah Ta’ala.
PASAL KEEMPAT: Tentang sedekah sunat, tentang keutamaannya, adab menerimanya dan memberinya.
PENJELASAN: keutamaan sedekah.
Diantara hadits-hadits yang menerangkan keutamaan sedekah, yaitu sabda Nabi saw: “Bersedekahlah, walaupun dengan sebiji kurma. Sesungguhnya sedekah itu menutupkan keperluan daripada orang yang lapar dan memadamkan kesalahan, sebagaimana air memadamkan api”. Bersabda Nabi saw: “Takutilah api neraka, walaupun dengan sebelah biji kurma. Kalau tidak kamu peroleh biji kurma, maka dengan perkataan yang baik”. Bersabda Nabi saw: “Tidaklah dari seorang hamba muslim, yang bersedekah dengan suatu sedekah daripada usaha yang baik –dan Allah tidak menerima, selain yang baik –melainkan adalah Allah yang mengambil sedekah itu dengan tangan kananNya. Lalu diperliharaNya sebagaimana dipelihara oleh seorang dari kamu akan anak lembunya, sehingga biji kurma itu sampai sebesar bukit Uhud”. Bersabda Nabi saw kepada Abid-Darda’: “Apabila engkau masakan sayuran, maka banyakkanlah airnya, kemudian lihatlah kepada tetanggamu, lalu tuangkanlah kepada mereka daripadanya dengan yang baik !”. Bersabda Nabi saw: “Tiadalah seorang hamba, yang membagus kan sedekahnya, melainkan Allah ‘Azza Wa Jalla membaguskan penggantinya pada harta peninggalannya”. Bersabda Nabi saw: “Tiap-tiap manusia itu dalam naungan sedekahnya, sehingga ia diadili diantara segala manusia”. Bersabda Nabi saw: “Sedekah itu menutupkan 70 pintu kejahatan”. Bersabda Nabi saw: “Sedekah secara rahasia, memadamkan kemarahan Tuhan ‘Azza Wa Jalla”. Bersabda Nabi saw: “Tidaklah yang memberikan daripada keluasan, dengan pahala yang lebih utama, daripada yang menerima untuk memenuhi hajat keperluan”. Semoga yang dimaksudkan dengan hadits ini, ialah orang yang bertujuan daripada memenuhi hajat keperluannya, adalah menyerahkan seluruh waktunya untuk agama. maka samalah dia dengan orang yang memberi, yang bertujuan dengan pemberiannya itu, untuk memakmurkan agamanya. Ditanyakan Rasulullah saw: “Sedekah manakah yang lebih utama ?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu bahwa engkau bersedekah, dimana engkau dalam sehat dan kikir, bercita-cita kekal dan takut kepada kemiskinan. Janganlah engkau lambatkan bersedekah itu, sehingga apabila nyawa telah sampai kepada nafas yg penghabisan, lalu engkau katakan: untuk si anu sekian, untuk si anu sekian dan adalah itu untuk si anu !”.
Bersabda Nabi saw pada suatu hari kepada para sahabatnya: “Bersedekahlah kamu sekalian !”.
Menjawab seorang sahabat: “Padaku ada satu dinar !”. Maka bersabda Nabi saw: “Belanjakan untuk dirimu !”.
Menjawab sahabat itu: “Padaku ada satu dinar lagi !”. Menyahut Nabi saw: “Belanjakanlah untuk isterimu !”.
Menjawab sahabat itu lagi: “Padaku ada satu dinar lagi !”. Menyahut Nabi saw: “Belanjakanlah untuk anakmu !”.
Menjawab sahabat itu lagi: “Padaku ada satu dinar lagi !”. Menyahut Nabi saw: “Belanjakanlah untuk pelayanmu !”.
Menjawab sahabat itu lagi: “Padaku ada satu dinar lagi !”. Maka menjawab Nabi saw: “Engkaulah yang lebih tahu kepentingan, untuk apa uang itu lagi”.
Bersabda Nabi saw: “Tidaklah halal sedekah untuk keluarga Muhammad. Sedekah itu adalah daki manusia”. Bersabda Nabi saw: “Kembalikanlah kehormatan orang yang meminta, walaupun dengan makanan seperti kepala burung”. Bersabda Nabi saw: “Kalau benarlah orang yang meminta, maka dia tidak merasa senang kepada orang yang menolak permintaannya”.
        Berkata Isa as: “Siapa yang menolak orang yang meminta, yang kecewa keluar dari rumahnya, niscaya malaikat tidak masuk ke rumah itu selama 7 hari”. Nabi Kita Muhammad saw tidak menyerahkan dua perkara kepada orang lain: ia sendiri menyimpan air bersuci dan menutupkannya di malam hari dan ia sendiri memberikan sesuatu kepada orang miskin dengan tangannya yang mulia. Bersabda Nabi saw: “Tidaklah orang miskin itu, yang ditolak oleh sebiji dan dua biji kurma, oleh sesuap dan dua suap makanan. Sesungguhnya orang miskin ialah yang menjaga kehormatan diri. Bacakanlah kalau kamu mau: “Laa yas-aluunan naasa ilhaafaa”. (Mereka tidak mau meminta berulang-ulang). S 2 Al Baqarah ayat 273. Bersabda Nabi saw: “Tidaklah seorang muslim yang memberi pakaian kepada orang muslim, melainkan adalah ia dalam pemeliharaan Allah ‘Azza Wa Jalla, selama masih tinggal secarik pakaian itu daripadanya”. Adapun atsar, yaitu berkata ‘Urwah bin Az Zubair: “Telah bersedekah ‘Aisyah sebanyak 50 ribu, sedang bajunya sendiri koyak”. Berkata Mujahid mengenai firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Mereka memberikan makanan dengan kasih sayangnya kepada orang miskin, anak piatu dan orang tawanan (terpenjara). S 76 Al Insaan ayat 8, bahwa: mereka amat rindu kepada makanan itu. Umar ra berdoa: “Ya Allah, ya Tuhanku ! jadikanlah kurniaMu pada orang-orang baik dari kami, mudah-mudahan mereka kembalikan kurnia itu kepada yang berhajat daripada kami”. Berkata Umar bin ‘Abdul-aziz: Shalat itu menyampaikan kamu setengah jalan, puasa itu menyampaikan kamu ke pintu kerajaan dan sedekah itu membawa kamu masuk ke dalamnya”. Berkata Ibnu Abil Ja’d: “Sesungguhnya sedekah itu, menolak 70 pintu kejahatan. Dan kelebihan merahasiakannya daripada melahirkannya, adalah 70 kali lipat. Dan sesungguhnya sedekah itu melepaskan seseorang yang hidup dari tipuan 70 setan”. Berkata Ibnu Mas’ud: “Bahwa seorang laki-laki telah beribadah kepada Allah 70 tahun lamanya, kemudian tertimpa ke atas dirinya suatu perbuatan keji, maka binasalah amalannya. Kemudian lalulah ia pada seorang miskin, maka ia bersedekah kepadanya dengan sepotong roti. Maka diampunkan oleh Allah dosanya dan dikembalikan kepadanya amalannya yang 70 tahun itu”.
Berkata Lukman kepada puteranya: “Apabila engkau berbuat suatu kesalahan, maka berikanlah sedekah !”. Berkata Yahya bin Mu’az: “Tiada aku ketahui suatu bijipun yang timbangannya seberat bukit-bukit dunia, selain daripada suatu biji daripada sedekah”. Berkata ‘Abdul ‘Aziz bin Abi Ruwwad: “Adakah dikatakan, bahwa 3 perkara dari gudang sorga: menyembunyikan kesakitan, menyembunyikan sedekah dan menyembunyikan bahaya (musibah) yang menimpa diri”. Ucapan yang di atas ini, ada yang meriwayatkan sebagai hadits musnad. Berkata Umar bin Al-Khaththab ra: “Bahwa segala amalan itu bangga membanggakan sesamanya. Maka berkatalah sedekah: “Akulah yang lebih utama daripada kamu semuanya !”. Abdullah bin Umar bersedekah gula, seraya berkata: “Aku mendengar firman Allah: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, hanyalah jika kamu menafkahkan (mengeluarkan) sebahagian daripada apa yang kamu kasihi”. S 3 Ali ‘Imran ayat 92. Dan Allah Maha Tahu bahwa aku menyukai gula”. Berkata An-Nakha’i: “Apabila sesuatu itu untuk Allah ‘Azza Wa Jalla maka aku tidak senang, bila ada padanya kekurangan”. Berkata ‘Ubaid bin ‘Umar: “Dikumpulkan manusia pada hari qiamat, dalam keadaan lapar, yang belum pernah sekali-kali dirasakan mereka. Dalam keadaan haus, yang belum pernah sekali-kali dirasakan mereka. Dan dalam keadaan tak berpakaian, yang belum pernah sekali-sekali dialami mereka. Maka barangsiapa memberikan makanan karena Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya ia dikenyangkan oleh Allah. Barangsiapa memberikan minuman karena Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya ia diberikan minuman oleh Allah. Dan barangsiapa memberikan pakaian karena Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya diberikan pakaian oleh Allah”. Berkata Al-Hasan: “Kalau Allah berkehendak niscaya IA menjadikan kamu semuanya kaya, tak ada yang fakir pada kamu. Tetapi Ia mencoba sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain”.
Berkata Asy-Sya’bi: “Siapa yang tidak melihat dirinya, lebih memerlukan kepada pahala sedekah, daripada orang fakir yang berhajat kepada sedekahnya, maka sesungguhnya ia telah membatalkan sedekahnya dan telah menamparkan mukanya dengan sedekahnya itu”. Berkata Malik: “Kami berpendapat, bahwa tiada mengapa orang kaya itu minum dari air yang disedekahkannya dan yang diserahkannya untuk minuman di dalam masjid. Karena air itu diperuntukkan kepada orang yang haus, baik siapa saja dan tidaklah dimaksudkan khususnya kepada orang yang memerlukan dan kepada orang yang miskin”. Diceritakan orang, bahwa Al-Hasan didatangi oleh seorang penjual budak belian dan bersamanya seorang budak perempuan. Lalu bertanya Al-Hasan kepadanya: “Relakah kamu harganya sedirham atau 2 dirham ?”. Menjawab penjual budak belian itu: “Tidak !”. Maka sahut Al-Hasan: “Kalau begitu pergilah ! Allah Ta’ala rela pada bidadari dengan sesen dan sesuap makanan”.
PENJELASAN: menyembunyikan sedekah dan melahirkannya.
Berselisih jalan dari orang-orang yang mencari keikhlasan tentang itu. Suatu golongan daripada mereka, condong kepada lebih utama menyembunyikan. Dan suatu golongan lain condong kepada lebih utama melahirkan. Dan kami menunjukkan, bahwa pada masing-masing daripada keduanya, terdapat pengertian-pengertian dan bahaya-bahaya. Kemudian, kami akan bukakan tutup yang benar padanya. Adapun menyembunyikan, maka padanya 5 pengertian:
1.      Menyembunyikan itu, menetapkan tertutup kepada si penerima. Kalau diterimanya secara terang-terangan, maka itu merusakkan untuk menutupkan kehormatan pribadi, terbuka terang keperluan diri, keluar daripada keadaan menjaga nama dan memeliharakannya yang amat disenangi, yang disangka oleh orang bodoh, bahwa orang-orang yang menjaga nama itu adalah orang-orang kaya.
2.      Menyembunyikan itu, menyelamatkan hati dan lidah manusia. Karena manusia itu, kadang-kadang dengki atau membantah berhaknya si penerima zakat itu. Dan mereka menduga bahwa si penerima itu mengambilnya tanpa memerlukan atau mengambilnya melebihi dari yang sebenarnya. Dengki, jahat sangka dan upat adalah dosa besar. Dan menjaga manusia dari segala dosa yang tersebut tadi, adalah lebih utama. Berkata Abu Ayub As-Sakhtayani: “Sesungguhnya aku meninggalkan memakai pakaian baru, karena takut mendatangkan iri hati pada tetanggaku”. Berkata setengah orang zahid: ”Kadang-kadang aku tinggalkan memakai sesuatu, karena teman-temanku akan menanyakan: “Dari manakah engkau memperoleh ini ?”. Diriwayatkan dari Ibrahim At-Taimi, bahwa ia dilihat orang memakai kemeja baru, lalu bertanyalah sebahagian teman-temannya: “Dari manakah engkau memperoleh ini ?”. Menjawab Ibrahim: “Aku diberikan pakaian oleh temanku Khaitsamah. Kalaulah aku ketahui bahwa familinya tahu, niscaya tidaklah aku terima pemberiannya itu”.
3.      Menolong si pemberi untuk merahasiakan amalannya. Karena keutamaan merahasiakan pemberian daripada melahirkan, adalah lebih banyak. Dan menolong kepada menyempurnakan perbuatan yang baik, adalah baik. Menyembunyikan itu, tidak sempurna, kecuali dengan dua orang (si pemberi dan si penerima). Manakala dilahirkan oleh si penerima, niscaya terbukalah pekerjaan si pemberi. Seorang laki-laki menyerahkan suatu barang, kepada setengah ulama dengan terang-terangan. Lalu ulama itu mengembalikannya. Kemudian seorang laki-laki lain menyerahkan kepadanya secara tersembunyi, maka diterimanya. Lalu orang bertanya kepada ulama tadi, mengapa beliau bertindak demikian ?. Beliau menjawab: “Orang laki-laki ini beramal secara adab, menyembunyikan pemberiannya, maka aku terima. Dan orang laki-laki itu, merusakkan adab kesopanannya pada amalannya, maka aku kembalikan kepadanya”. Seorang laki-laki menyerahkan suatu barang di muka orang banyak kepada setengah orang shufi, lalu orang shufi itu mengembalikannya. Maka laki-laki itu bertanya: “Mengapakah tuan kembalikan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, apa yang telah diberikanNya kepada tuan ?”. Menjawab orang shufi tadi: “Engkau telah menyekutukan selain Allah swt, pada milik Allah dan tidak engkau merasa puas dengan Allah ‘Azza Wa Jalla saja. Dari itu, aku kembalikan kepada engkau persekutuan engkau”. Sebahagian orang ‘arifin (orang yang mendalam ma’rifahnya kepada Allah) menerima sesuatu yang diberikan secara rahasia dan menolaknya kalau diberikan secara terang-terangan. Lalu ia ditanyakan tentang yang demikian, maka ia menjawab: “Aku mendurhakai Allah, dengan cara terang-terangan, maka aku tidak menolong engkau pada ma’siat. Dan aku mentaatiNya dengan cara menyembunyikan, maka aku menolong engkau kepada kebajikan”. Berkata Ats-Tsuri: “Kalau aku ketahui bahwa seseorang mereka, tiada menyebutkan dan tiada menceritakan akan sedekahnya, niscaya aku terima sedekahnya”.
4.      Bahwa pada melahirkan penerimaan itu, adalah penghinaan dan kerendahan diri. Tidaklah bagi seorang mu’min itu menghinakan dirinya. Ada sebahagian ulama mau menerimanya secara rahasia dan tidak mau menerima secara terbuka, seraya mengatakan: “Bahwa dengan terbuka itu, menghinakan ilmu dan merendahkan ahli ilmu. Maka tidaklah aku bersama orang yang meninggikan sesuatu dari dunia, dengan merendahkan ilmu dan menghinakan ahli ilmu”.
5.      Menjaga daripada keraguan perkongsian. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang dihadiahkan kepadanya suatu hadiah, di muka orang banyak, maka orang banyak itu berkongsi pada hadiah tadi”. Dan dengan adanya barang itu perak atau emas, maka tidak keluar ia daripada bernama hadiah. Bersabda Nabi saw: “Sebaik-baik benda yang dihadiahkan seseorang kepada saudaranya, ialah perak atau diberinya makanan roti”. Perak itu dijadikan hadiah dengan terasing. Maka apa yang diberikan di muka orang banyak adalah makruh, selain dengan kerelaan mereka semuanya dan tidak terlepas daripada syubhat (diragukan). Apabila diberikan dengan terasing (tidak di muka orang banyak), maka terhindarlah daripada syubhat (diragukan) itu. Adapun melahirkan dan memperkatakan dengan sedekah yang diberikan itu, maka padanya terdapat 4 pengertian:
1.       Keikhlasan, kebenaran dan kesejahteraan daripada yang meragukan antara keadaan dan pandangan.
2.    Menghilangkan kemegahan dan kedudukan, melahirkan kehambaan dan kemiskinan, melepaskan diri daripada kesombongan dan dakwaan tidak memerlukan, menjatuhkan diri sendiri daripada pandangan orang banyak. Berkata setengah ahli ma’rifah kepada muridnya: “Lahirkan penerimaan sedekah dalam segala hal, kalau engkau yang menerima. Maka sesungguhnya engkau tidak terlepas dari salah satu dua orang: orang yang terjatuh engkau daripada hatinya, apabila engkau berbuat demikian. Dan itulah yang dimaksud. Karena dia menyerahkan, karena agama engkau dan mengurangkan bahaya bagi diri engkau. Atau orang yang bertambah derajat engkau dalam hatinya, dengan engkau lahirkan kebenaran. Dan itulah yang dimaksudkan oleh saudara engkau. Karena dia bertambah pahalanya dengan bertambah sayangnya kepada engkau dan penghormatannya akan engkau. Maka adalah engkau membuat pahala, karena engkaulah sebab bertambah pahala baginya”.
3.      Bahwa orang yang berma’rifah kepada Allah, tak ada penglihatannya, selain kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Rahasia dan terang padanya satu. Memperbedakan keadaan, adalah syirik dalam keesaan. Berkata setengah mereka: “Kami tidak memperdulikan dengan doa orang yang mengambil dalam cara rahasia dan menolak dalam cara terang. Memandang kepada makhluk yang hadir atau yang tak hadir, adalah suatu kekurangan dalam keadaan. Tetapi seyogyalah, bahwa pandangan itu tertuju kepada Yang Maha Esa dan Maha Tunggal”.
Diceritakan, bahwa sebahagian dari guru (syaikh), adalah amat tertarik kepada seseorang dari sejumlah muridnya yang banyak. Maka keadaan yang demikian, menyusahkan perasaan murid-murid yang lain. Lalu bermaksudlah tuan guru itu melahirkan kelebihan muridnya yang seorang tadi kepada murid-muridnya yang lain. Maka beliau serahkan kepada masing-masing muridnya, seekor ayam, seraya berkata: “Hendaklah masing-masing kamu pergi sendiri-sendiri, membawa ayamnya dan sembelihkanlah tanpa dilihat oleh seorang manusia”. Maka pergilah masing-masing mereka, menyembelihkan ayamnya, kecuali murid yang seorang itu. Dia mengembalikan ayamnya, seraya bertanya kepada kawan-kawannya, murid-murid yang lain. Lalu mereka menjawab: “Kami telah mengerjakan apa yang disuruhkan kami oleh tuan guru !”. Lalu tuan  guru itu bertanya kepada murid yang seorang tadi: “Mengapakah tidak engkau sembelihkan ayam itu, sebagaimana disembelihkan oleh teman-temanmu ?”. Menjawab murid itu: “Tak sanggup aku memperoleh tempat, yang aku tidak dilihat oleh seseorang, karena Allah melihat aku pada tiap-tiap tempat”. Menyambung tuan guru: “Karena inilah, aku tertarik kepadanya, karena dia tidak memandang, selain kepada Allah ‘Azza Wa Jalla”.
4.      Bahwa melahirkan itu, adalah menegakkan sunnah bersyukur. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan kurnia Tuhan engkau, hendaklah siarkan !”. S 93 Adh Dhuhaa ayat 11. Menyembunyikan, adalah kufur (menutupkan) nikmat. Dan Allah ‘Azza Wa Jalla tidak menyukai orang yang menyembunyikan apa yang dianugerahiNya dan diletakkanNya orang itu dengan kekikiran. Maka berfirman IA: “Yaitu orang-orang yang kikir, menyuruh manusia supaya bersifat kikir dan menyembunyikan kurnia yang diberikan Allah kepadanya”. S 4 An Nisaa’ ayat 37.
Bersabda Nabi saw: “Apabila Allah Ta’ala menganugerahkan suatu nikmat kepada hambaNya, niscaya suka IA, agar nikmat itu kelihatan pada hambaNya”. Seorang laki-laki memberikan sesuatu kepada setengah orang salih, secara tersembunyi. Lalu tidak mau menerimanya, seraya mengatakan: “Ini adalah dari dunia dan secara terang-terangan adalah lebih utama padanya. Dan cara tersembunyi, adalah lebih utama pada urusan akhirat”. Dari itu, berkata sebahagian mereka: “Apabila diberikan kepada engkau di muka orang banyak, maka ambillah ! kemudian kembalikan secara rahasia !”. Bersyukur pada pemberian orang itu, dianjurkan. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka dia tidak mensyukuri Allah ‘Azza Wa Jalla”. Syukur itu, adalah sama dengan pembalasan atas pemberian, sehingga Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menyerahkan kepadamu suatu pemberian, maka balasilah ! kalau tidak sanggup, maka pujilah dia dengan kebaikan dan berdoalah kepadanya, sehingga kamu mengetahui bahwa kamu telah membalasi kebaikan  nya”. Tatkala berkata kaum Muhajirin (orang-orang yang berhijrah ke Madinah mengikuti Nabi saw), tentang syukur: “Wahai Rasulullah ! belum pernah kami menjumpai orang yang sebaik kaum (penduduk), yang kami tempati pada mereka (orang Madinah). Maka bagi-bagikan hartanya kepada kami. Sehingga kami takuti, mereka habiskan semuanya untuk memperoleh pahala”. Menjawab Nabi saw: “Tiap-tiap apa yang kamu syukuri kepada mereka dan kamu pujikan, adalah itu pembalasan namanya”.
         Sekarang, apabila anda telah mengetahui segala pengertian ini, maka ketahuilah, bahwa apa yang telah dinukilkan, tentang berbeda pendapat para alim ulama tentang menyembunyikan atau melahirkan dari sedekah itu, sebetulnya tidaklah perbedaan pendapat tentang masalahnya, tetapi hanyalah perbedaan keadaan saja. Maka di sini, membuka kulit, tampak isi, kami menegaskan, bahwa tidaklah kami menetapkan suatu hukum dengan tegas, bahwa menyembunyikan itu, adalah lebih utama dalam segala hal atau melahirkan itu adalah lebih utama. Tetapi hal itu berbeda menurut perbedaan niat yang diniatkan. Dan niat itu berbeda, dengan berlainan keadaan dan orang. Dari itu, seyogyalah bagi orang yang ikhlas, mengintip dirinya sendiri, sehingga dia tidak terikat dengan tali tipuan dan tidak tertipu dengan kesangsian tabiat dan dayaan setan. Dayaan dan tipuan itu, lebih banyak pada pengertian menyembunyikan daripada melahirkan, dimana sebetulnya dayaan dan tipuan itu terdapat pada kedua-duanya. Jalan masuknya tipuan pada dirahasiakan, ialah dari kecondongan tabiat manusia kepadanya. Karena padanya kurang kemegahan dan kedudukan, jatuh derajat pada pandangan manusia dan pandangan makhluk kepadanya dengan mata penghinaan. Dan kepada si pemberi, dengan mata pemberi nikmat, yang berbuat kebaikan. Inilah dia suatu penyakit yang tertanam dan membenam di dalam jiwa. Dan dengan perantaraan penyakit itu, setan melahirkan pengertian-pengertian kebajikan, sehingga dia membuat alasan kebenarannya dengan pengertian yang lima, yang telah kami sebutkan dahulu.
         Ukuran dan sipatan itu semuanya, adalah satu. Yaitu: perasaan sakitnya dengan terbuka berita penerimaannya akan sedekah, adalah seperti sakitnya dengan terbukanya sedekah yang diterima oleh sebahagian teman-teman dan kawan-kawannya. Sehingga, kalau ia bermaksud menjaga manusia daripada mengumpat, dengki dan buruk sangka atau menjaga rusaknya yang tertutup atau menolong si pemberi kepada merahasiakan atau memeliharakan ilmu daripada pemberian, maka semuanya itu, termasuk yang berhasil dengan membukakan sedekah temannya. Kalau membukakan urusannya sendiri, adalah lebih berat kepadanya, daripada membuka urusan orang lain. Maka diumpamakan dengan berhati-hati daripada segala pengertian tersebut, adalah lebih salah dan lebih salah lagi daripada tipuan dan godaan setan.
         Penghinaan kepada ilmu, haruslah diawasi, dari segi dia itu ilmu, tidak dari segi, dia itu ilmu si Zaid atau ilmu si Umar umpamanya. Mengumpat, haruslah diawasi, dari segi dia itu mendatangkan kerusakan nama yang harus dipelihara. Tidak dari segi mengupat itu mendatangkan kerusakan nama baik si Zaid khususnya. Siapa yang memperhatikan persoalan yang seperti ini dengan sebaik-baiknya, mungkinlah setan tak berdaya terhadapnya. Kalau tidak, maka selalulah kebanyakan amal dan sedikitlah keuntungan.
         Adapun segi melahirkan, maka tabiat condong kepadanya, dari segi menyenangkan hati si pemberi dan membangkitkan semangat orang lain untuk menirukannya. Dan melahirkan kepada orang lain, bahwa si penerima itu, termasuk orang yang  bersungguh-sungguh benar mensyukuri pemberian orang. Sehingga orang banyak ingin memuliakan dan merasa kehilangan, bila si pemberi itu tidak ada. Inipun suatu penyakit yang tertanam di dalam bathin. Dan setan tidak berdaya terhadap orang yang beragama, selain dengan melakukan kekejian ini, dalam bidang melaksanakan sunnah Nabi saw. Dan berkatalah setan itu kepadanya: “Syukur itu, sebahagian daripada sunnah dan menyembunyikan itu sebahagian daripada ria”. Lalu setan itu mengemukakan pengertian-pengertian yang telah kami sebutkan dahulu, untuk dibawanya kepada melahirkan. Dan tujuannya yang mendalam, ialah apa yang telah kami sebutkan itu. Ukuran dan sipatan itu semuanya, yaitu hendaklah melihat kepada kecondongan diri kepada bersyukur, di mana kabar itu tidak berpenghabisan kepada si pemberi dan kepada orang yang suka dengan pemberiannya. Di muka orang banyak, mereka tidak suka melahirkan pemberian itu dan ingin menyembunyikannya. Kebiasaan mereka, tidak mau memberikan, selain kepada orang yang menyembunyikannya dan tidak mensyukurinya. Apabila segala hal keadaan ini bersamaan padanya, maka hendaklah ia ketahui, bahwa penggeraknya ialah menegakkan sunnah tentang syukur dan memperkatakan nikmat. Kalau tidak demikian, maka adalah ia tertipu.
         Kemudian, apabila telah diketahui, bahwa penggeraknya, adalah sunnah tentang bersyukur, maka tidak seyogyalah ia melupakan tentang menunaikan hak si pemberi. Maka hendaklah ia perhatikan: kalau si pemberi itu, termasuk orang yang menyukai syukur dan berita pemberiannya, maka seyogyalah ia menyembunyi kan dan tidak mensyukurinya. Karena menunaikan hak si pemberi itu, adalah tidak menolongnya kepada kezhaliman. Dan dimintanya kesyukuran itu, adalah suatu kezhaliman. Apabila ia mengetahui hal keadaan si pemberi, tidak menyukai syukur dan tidak bermaksud supaya pemberiannya disyukuri (diucapkan terima kasih), maka ketika itu, hendaklah si penerima mensyukuri akan si pemberi dan melahirkan sedekahnya. Dari itulah bersabda Nabi saw terhadap orang yang dipujikan dihadapan beliau: “Kamu pukul lehernya. Kalau didengarnya, tentu ia tidak merasa senang”. Dalam pada itu, Nabi saw sendiri memujikan suatu kaum dihadapan mereka itu sendiri. Karena Nabi saw percaya atas keyakinan mereka dan Nabi saw tahu, bahwa yang demikian itu, tidak mendatangkan melarat kepada mereka. Bahkan Nabi saw menambahkan kesukaan mereka kepada kebajikan, lalu Nabi saw mengatakan kepada salah seorang daripadanya: “Bahwa dia itu penghulu penduduk dusun”. Bersabda Nabi saw mengenai seorang yang lain: “Apabila datang kepadamu seorang mulia dari suatu kaum, maka muliakanlah dia !”. Pernah Nabi  saw mendengar perkataan seorang laki-laki, lalu mena’jubkan Nabi saw, maka bersabdalah beliau: “Sesungguhnya dari jelasnya perkataan itu menjadi sihir yang menarik”. Bersabda Nabi saw: “Apabila seorang daripada kamu mengetahui dari saudaranya, akan yang baik, maka hendaklah menceritakannya, karena bertambahlah kegemarannya kepada kebajikan”. Bersabda Nabi saw: “Apabila dipujikan seorang mu’min, maka bertambahlah iman di dalam hatinya”. Berkata Ats-Tsuri: “Siapa mengenal dirinya, niscaya tidaklah memberikan melarat pujian manusia kepadanya”. Berkata pula Ats-Tsuri kepada Yusuf bin Asbath: “Apabila aku serahkan kepadamu suatu pemberian, adalah aku rahasiakan dia daripadamu. Dan aku melihat itu, suatu nikmat daripada Allah ‘Azza Wa Jalla kepadaku, maka bersyukurlah ! kalau tidak demikian, maka janganlah engkau bersyukur !”. Yang halus-halus daripada segala pengertian ini, seyogyalah diperhatikan oleh orang yang memeliharakan hatinya. Karena segala amal perbuatan anggota badan, serta melengahkan segala yang halus-halus ini, adalah tertawaan dan makian setan kepadanya. Karena banyaklah kepayahan dan kurangnya manfaat. Ilmu yang seperti ini, adalah ilmu yang dikatakan, bahwa mempelajari suatu permasalahan daripadanya, adalah lebih utama daripada ibadah setahun. Karena dengan ilmu ini, hiduplah ibadah seumur hidup. Dan dengan tak mengetahui ilmu ini, mati dan kosonglah ibadah seumur hidup. Pendek kata, mengambil sedekah di muka umum dan menolaknya yang secara rahasia, adalah jalan yang paling baik dan yang paling selamat. Maka tidak wajarlah ditolak dengan kata-kata yang terhias, kecuali diketahui benar, di mana secara rahasia dan terang-terangan itu sama. Itulah dia belerang merah, yang selalu diperkatakan dan tak pernah bersua. Kita bermohon akan Allah Yang Maha Pemurah, kebagusan pertolongan dan taufiq !.
PENJELASAN: tentang yang lebih utama dari menerima sedekah & zakat.
Adalah Ibrahim Al-Khawwash, Al-Junaid dan segolongan ulama, berpendapat bahwa mengambil sedekah adalah lebih utama. Karena pada mengambil zakat itu, adalah berdesak-desakan dan menyempitkan orang-orang miskin. Dan kadang-kadang tidak lengkap sifat untuk berhak mengambil zakat, seperti yang disifatkan dalam Kitab Suci. Adapun sedekah, urusannya adalah lebih luas. Ada segolongan yang mengatakan, dengan mengambil zakat, tidak sedekah, karena menerima zakat itu, adalah menolong kepada yang wajib. Kalau sekiranya semua orang miskin, menolak menerima zakat, maka berdosalah semuanya. Dan karena pada zakat, tak ada menyebut-nyebut padanya. Dia adalah hak yang diwajibkan karena Allah Ta’ala, sebagai rezeki kepada segala hambaNya yang memerlukan. Dan karena zakat itu diambil dengan keperluan. Dan manusia itu tahu dengan pasti, akan keperluan dirinya. Dan mengambil zakat, adalah mengambil dengan jalan agama.
Biasanya, orang yang bersedekah, memberikan kepada orang yang diyakininya baik. Dan karena berteman dengan orang-orang miskin, memasukkan ke dalam kehinaan dan kemiskinan dan amat jauh dari takabur. Karena kadang-kadang manusia itu, menerima sedekah dalam tontonan pemberian hadiah, maka tak berbedalah sedekah daripadanya. Dan ini menegaskan atas kehinaan orang yang menerima dan keperluannya. Perkataan yang benar mengenai ini, ialah bahwa hal itu, berlainan menurut keadaan orang, menurut keadaan yang biasa terjadi kepadanya dan menurut apa yang hadir di dalam niatnya. Kalau ada keraguan, mengenai dirinya bersifat dengan sifat yang berhak menerima zakat, maka tidak seyogyalah ia mengambil zakat. Dan apabila ia mengetahui bahwa benar-benar ia berhak, seperti apabila ada utangnya yang dipergunakannya pada jalan kebajikan dan tak ada jalan baginya untuk membayarnya, maka benar-benarlah ia berhak menerima zakat. Apabila disuruh pilih antara zakat dan sedekah, maka kalau orang yang bersedekah itu, tidak mau bersedekah dengan harta tadi, bila orang yang diserahkan itu, tak mau mengambilnya, maka hendaklah ia mengambil sedekah itu. Sesungguhnya zakat wajib, adalah diserahkan oleh pemiliknya kepada yang berhak menerimanya. Maka pada yang demikian itu, membanyakkan kebajikan dan melapangkan orang-orang miskin. Dan kalau harta itu dikemukakan untuk sedekah dan tak ada pada pengambilan zakat itu, menyempitkan orang-orang miskin, maka dia boleh memilih. Dan keadaan pada keduanya itu berlebih kurang. Dan dalam banyak hal, menerima zakat adalah lebih menghancurkan dan menghinakan diri.
Wallaahu a’lam ! Allah Maha Tahu !.

Telah sempurna “Kitab rahasia-rahasia Zakat” dengan pujian, pertolongan dan kebaikan taufiq Allah Ta’ala. Dan insya Allah, akan disambung oleh “Kitab Rahasia-rahasia Puasa”. Segala pujian bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Diberi Allah rahmat kepada penghulu kita Muhammad, kepada sekalian nabi dan rasul, kepada para malaikat dan yang dekat dengan Allah, dari penduduk langit dan bumi, kepada segala keluarga dan sahabatnya. Diberi Allah kiranya kesejahteraan yang sebanyak-banyaknya, yang berkekalan terus-menerus sampai kepada hari qiamat. Dan segala pujian bagi Allah Tuhan Yang Maha Esa. Hanya Allah yang mencukupkan bagi kami dan sebaik-baik untuk menyerahkan diri !.