KITAB
RAHASIA-RAHASIA ZAKAT
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala
pujian bagi Allah yang menganugerahkan bahagia dan celaka, yang mematikan dan
yang menghidupkan, yang mengadakan dan yang meniadakkan, yang memiskinkan dan yang mengkayakan, yang
mendatangkan melarat dan yang menganugerahkan, yang menjadikan hewan makhluk
hidup dari setitik air yang amis sebagai mani. Kemudian DIAlah sendiri yang
menjadikan makhluk dengan sifatNya yang Maha Kaya.
Kemudian, Dia yang menentukan sebahagian hambaNya dengan keadaan yang lebih
baik. Maka dicurahkanNya kepada mereka dari nikmat-nikmatNya, akan apa yang memudahkan bagi siapa yang dikehendakiNya dan
menjadi kaya. Dan yang sangat memerlukan kepada hambaNya yang memperoleh
kelimpahan itu, dan orang-orang
yang tidak berhasil memperoleh rezekinya dan yang bersusah payah, sebagai
pernyataan untuk ujian dan percobaan.
Kemudian, Ia
menjadikan zakat untuk agama, adalah menjadi azas
dan sendi. Dan diterangkanNya bahwa dengan kurniaNya, mendapat
kesucianlah dari hamba-hambaNya, siapa-siapa yang memperoleh kesucian. Dan dari
kekayaanNya, memberikan zakat, siapa yang memberikan zakat hartanya. Selawat
kepada Muhammad Pilihan, penghulu manusia dan matahari petunjuk. Dan kepada
keluarga dan para sahabatnya, yang ditentukan dengan ilmu dan taqwa. Kemudian,
Allah Ta’ala telah menjadikan zakat, salah satu daripada sendi Islam. Dan
mengiringi menyebutkan zakat itu, dengan shalat, yang menjadikan tanda yang
setinggi-tingginya (bagi Islam). Ia berfirman: “Dirikanlah
shalat dan bayarkanlah zakat”. S 2 Al Baqarah ayat 43. Dan sabda
Nabi saw: “Didirikan Islam atas 5: mengaku tiada yang disembah dengan
sebenar-benarnya selain Allah; mengaku bahwa Muhammad hambaNya dan RasulNya;
mendirikan shalat dan membayarkan zakat”. Allah Ta’ala menegaskan peringatan
dengan ancaman, terhadap orang-orang yang teledor dalam pembayaran zakat,
dengan firmanNya: “Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak mengeluarkannya pada jalan Allah, maka beritakanlah
kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih”. S 9 At Taubah ayat 34. Arti mengeluarkan pada jalan
Allah, yaitu: mengeluarkan hak zakat. Berkata Al-Ahnaf bin Qais: “Adalah aku
dalam rombongan orang Quraisy, maka lalulah Abu Dzar, seraya mengatakan:
“Kabarkanlah kepada orang-orang yang menyimpan harta, tanpa mengeluarkan zakat,
bahwa mereka akan disiksa dengan ditusuk belakang mereka dengan besi panas,
yang besi panas itu akan keluar pada lembung mereka dan ditusuk pada kuduk/tengkok mereka,
yang akan keluar dari dahi mereka”. Dan pada riwayat lain, tersebut: “Bahwa
besi panas itu diletakkan di atas pentil susu seseorang mereka, lalu
ditusukkan, maka dikeluarkan dari tulang belikatnya. Dan diletakkan di atas
tulang belikatnya, lalu dikeluarkan dari pentil susunya, dengan
digerak-gerakkan”.
Berkata Abu
Dzar: “Telah sampai aku kepada Rasulullah saw, di mana beliau sedang duduk
dalam naungan Ka’bah. Tatkala beliau melihat aku, lalu bersabda: “Mereka adalah
sangat merugi, demi Tuhan yang mempunyai Ka’bah ini”. Maka aku bertanya:
“Siapakah mereka ?”. Beliau menjawab: “Mereka yang banyak hartanya, kecuali
orang-orang yang mengatakan, bahwa begini dan begini, dari hadapannya dan
belakangnya, dari kanannya dan kirinya. Dan amat sedikitlah mereka yang seperti
ini. Tidaklah dari orang yang mempunyai unta, sapi dan kambing yang tidak
membayarkan zakatnya, melainkan binatang ternak itu, datang pada hari qiamat,
dalam keadaan yang lebih besar dan gemuk lagi, menanduk orang yang mempunyainya
dengan tanduk-tanduknya dan memijakkan nya dengan kakinya. Setelah selesai yang penghabisan,
maka datanglah yang permulaan, sehingga selesailah dihukum diantara manusia”.
Apabila ketegasan ini dikeluarkan dalam dua Kitab Shahih (Shahih Al-Bukhari dan
Shahih Muslim), maka menjadi sebahagian yang terpenting dari agama, membuka
segala kunci rahasia dari zakat dan syarat-syaratnya, yang terang dan yang
tersembunyi, segala pengertiannya, yang zhahir dan yang bathin, serta
diringkaskan kepada yang harus diketahui oleh orang-orang yang membayar zakat
dan yang menerimanya. Untuk menyingkapkan yang demikian itu, terbentang di
dalam 4 pasal:
Pasal
pertama: tentang segala macam zakat dan sebab-sebab wajibnya.
Pasal
kedua : tentang segala adab dan
syarat-syaratnya, yang bathin dan yang zhahir.
Pasal
ketiga : tentang orang yang menerima,
syarat-syarat berhak zakat dan segala adab menerimanya.
Pasal
keempat: tentang sedekah sunat dan keutamaannya.
PASAL PERTAMA: Tentang
segala macam zakat dan sebab-sebab wajibnya.
Dipandang kepada yang bersangkutan dengan zakat itu, ada 6
bahagian:
1.
Zakat binatang ternak
2.
Zakat emas dan perak.
3.
Zakat tijarah (perniagaan).
4.
Zakat rikaz (emas dan perak yang diperoleh dari simpanan
orang-orang dahulu) dan ma’din (emas dan perak yang dikeluarkan dari
pertambangannya).
5.
Zakat harta yang diberikan 1/10 daripadanya untuk zakat
(al-mu’asy-syarat)
6.
Zakat fithrah.
BAHAGIAN
PERTAMA: Zakat binatang ternak.
Tidak diwajibkan zakat ini dan lainnya, kecuali atas orang
merdeka (bukan budak) dan muslim. Dan tidak disyaratkan baligh (dewasa), bahkan
diwajibkan zakat pada harta anak-anak dan orang gila. Inilah syaratnya, orang
yang dikenakan zakat. Mengenai harta (dari sebahagian pertama ini, yang
dikenakan zakat), maka syaratnya 5:
1.
Binatang ternak.
2.
Digembalakan.
3.
Cukup setahun dalam miliknya.
4.
Sempurna nishabnya.
5.
Sempurna miliknya.
Syarat
pertama: adalah binatang itu binatang ternak. Maka tak kena zakat, selain pada
unta, kerbau, sapi, kambing dan biri-biri (kibasy). Kuda, baghal, keledai dan
anak binatang yang terjadi diantara rusa dan kambing, tidak kena zakat padanya.
Syarat
kedua: digembalakan di lapangan rumput. Maka
tidak kena zakat pada binatang ternak, yang diberi umpan. Apabila binatang
ternak itu, pada suatu waktu digembalakan dan pada waktu yang lain, diberi
umpan, yang kelihatan besar perongkosannya, maka tidak dikenakan zakat.
Syarat
ketiga: cukup setahun dalam miliknya. Bersabda
Nabi saw: “Tidak diwajibkan zakat pada harta, sehingga sampailah setahun
padanya”. Dan dikecualikan dari ini, akan hasil harta (binatang itu beranak
dalam pertengahan tahun), maka menjuruslah hukum harta kepadanya. Maka wajiblah
zakat pada anak hewan itu, karena tahun induknya. Kalau hewan itu dijual atau
diberikan, pada pertengahan tahun niscaya putuslah tahunnya.
Syarat
keempat: sempurna milik dan urusannya pada hewan
itu. Maka wajiblah zakat pada hewan yang digadaikan, karena harta itu dalam
keadaan dipertaruhkan dalam tanggungannya. Tetapi tidak wajib zakat pada
binatang ternak yang hilang dan yang dirampas orang. Kecuali apabila kembali
lagi ke dalam tangannya, dengan segala tambahannya. Maka wajiblah zakat pada
masa yang lampau, ketika kembalinya. Kalau ada hutang, yang menghabiskan semua
hartanya, maka tidaklah wajib zakat pada harta itu, karena tidaklah ia
dinamakan orang kaya. Karena orang kaya, ialah orang yang berkelebihan dari
yang diperlukan.
Syarat
kelima: sempurna nishabnya. Maka pada unta, tidak
diwajibkan zakat, sebelum sampai banyaknya 5 ekor.
Pada 5 ekor, zakatnya seekor biri-biri, yang umurnya setahun
dan masuk pada tahun ke2 atau seekor kambing, yang umurnya 2 tahun & masuk
pada tahun ke 3.
Pada 10 ekor unta, zakatnya 2 ekor biri-biri atau kambing.
Pada 15 ekor, zakatnya 3 ekor biri-biri atau kambing.
Pada 20 ekor, zakatnya 4 ekor biri-biri atau kambing.
Pada 25 ekor, zakatnya seekor unta betina, yang umurnya
setahun dan masuk pada tahun kedua (binti machadl). Kalau tak ada binti
machadl, maka boleh diserahkan ibnu labun, yaitu anak unta jantan, yang umurnya
masuk pada tahun ketiga, walaupun si pemberi zakat itu sanggup membeli binti
machadl.
Pada 36 ekor, zakatnya seekor binti labun (seekor unta
betina, yang umurnya 2 tahun dan masuk pada tahun ketiga).
Pada 46 ekor, zakatnya seekor hiqqah, yaitu unta betina, yang
umurnya 3 tahun, dan masuk pada tahun keempat.
Pada 61 ekor, zakatnya seekor jidz’ah, yaitu unta betina,
yang umurnya 4 tahun dan masuk pada tahun kelima.
Pada 76 ekor, zakatnya 2 ekor binti labun.
Pada 91 ekor, zakatnya 2 ekor hiqqah.
Pada 121 ekor, zakatnya 3 ekor binti labun. Apabila jumlahnya
telah sampai kepada 130 ekor, maka tetaplah perhitungannya, dengan cara:
tiap-tiap 50 ekor unta, zakatnya, seekor hiqqah dan tiap-tiap 40 ekor, zakatnya,
seekor binti labun.
Mengenai sapi atau kerbau, tidak diwajibkan
zakat, sebelum sampai jumlahnya 30 ekor.
Pada 30 ekor sapi atau kerbau, zakatnya seekor tabi’, yaitu
seekor anak sapi atau kerbau jantan, yang umurnya setahun dan masuk pada tahun
kedua.
Pada 40 ekor, zakatnya seekor musinnah, yaitu seekor anak
sapi atau anak kerbau betina, yang umurnya 2 tahun dan masuk pada tahun ketiga.
Kemudian,
Pada 60 ekor, zakatnya 2 ekor tabi’. Dan tetaplah perhitungan
sesudah itu, dengan cara: pada tiap-tiap 40 ekor sapi atau kerbau, zakatnya
seekor musinnah dan pada tiap-tiap 30 ekor, zakatnya seekor tabi’.
Mengenai kambing atau biri-biri (kibasy),
tidak diwajibkan zakat, sebelum sampai jumlahnya 40 ekor.
Pada 40 ekor daripadanya, zakatnya seekor biri-biri (kibasy),
atau seekor kambing. Kemudian tiada bertambah pembayaran sampai kepada
jumlahnya 121 ekor. Maka pada 121 ekor itu, zakatnya 2 ekor biri-biri atau
kambing, sampai kepada jumlahnya 201 ekor.
Dan Pada 201 ekor ini, zakatnya 3 ekor, sampai kepada 400
ekor.
Maka pada 400 ekor ini, zakatnya 4 ekor. Kemudian, tetaplah
perhitungannya, bahwa pada tiap-tiap 100, zakatnya seekor. Zakat daripadanya 2
harta yang bercampur, adalah seperti zakat dari seorang pemilik, tentang
nishabnya. Kalau ada diantara dua orang, 40 ekor kambing, maka zakatnya seekor.
Kalau ada diantara 3 orang, 120 ekor kambing, maka zakatnya seekor juga
diantara mereka bertiga. Campuran yang masih kentara, adalah seperti campuran
yang tidak kentara. Tetapi disyaratkan kedua pemilik itu, menempatkan kedua
binatang ternaknya bersama-sama, memberikan minuman bersama-sama, mengambil
susunya bersama-sama, melepaskannya bersama-sama, tempat pengembalaannya
bersama-sama dan melepaskan jantannya bersama-sama. Dan kedua pemilik itu
adalah dari orang yang diwajibkan zakat. Dari itu, tidak dihukum campuran,
bersama dzimmi (orang bukan Islam, yang bernaung di bawah pemerintahan Islam)
dan mukatab (budak yang berusaha menebuskan dirinya dari tuannya).
Manakala pada zakat yang wajib dikeluarkan
dari unta, berkurang umurnya dari tahun yang ditentukan, maka dibolehkan, asal
tidak berkurang umurnya dari binti machadl. Dan
untuk kekurangan itu digantikan, dengan 2 ekor kambing atau 20 dirham, kalau
kekurangan umur itu setahun dari tahun yang ditentukan. Dan dengan 4 ekor
kambing atau 40 dirham, kalau kekurangan umur itu 2 tahun. Dan boleh pula
diberikan dengan yang lebih tinggi umurnya, dari tahun yang ditentukan, asal
tidak melewati umurnya dari jidz’ah. Untuk pengganti dari yang berlebih itu,
diambil dari pengurus harta baitul-mal. Jangan diambil untuk zakat hewan yang
sakit, apabila ada sebahagian harta (hewan) itu, sehat, walaupun seekor. Dan
diambil dari hewan yang bagus, akan yang bagus dan dari yang kurang bagus, akan
yang kurang bagus. Dan tidak diambil untuk zakat, hewan yang terlalu banyak
makannya, hewan yang hampir melahirkan anak, hewan yang diperoleh dari riba,
hewan yang menjadi jantan untuk hewan-hewan betina dan hewan yang terbaik dari
yang dimiliki oleh penyerahan zakat.
BAHAGIAN KEDUA: zakat harta yang diberikan 1/10
daripadanya untuk zakat (zakat al-mu’asy-syarat).
Wajib 1/10 untuk zakat pada tiap-tiap tumbuh-tumbuhan, yang
menjadi makanan yang mengenyangkan, yang sampai banyaknya 800 mann/alat
sukatan, atau timbangan. Dan tidak diwajibkan, kalau kurang dari itu. Dan juga
tidak diwajibkan zakat pada buah-buahan dan kapas. Hanya diwajibkan pada biji-bijian
yang menjadi makanan yang mengenyangkan, pada kurma kering dan buah anggur
kering. Dihitung dengan kiraan 800 mann itu, ialah pada kurma kering dan anggur
kering, tidak pada buah kurma basah (ruthab) dan buah anggur basah (‘inab).
Dikeluarkan untuk zakat, setelah dikeringkan. Dan menjadi cukup harta dari
salah seorang, yang dicampurkan dengan harta orang yang lain, dalam campuran
yang beraduk, seperti sebuah kebun yang berkongsi diantara ahli-ahli waris.
Untuk semuanya, berjumlah 800 mann buah anggur kering (zabib). Maka wajiblah
atas sekalian mereka, 80 mann zabib, dibagi menurut bahagian masing-masing. Dan
tidak dikira campuran, kalau campuran itu tidak secara beraduk. Tidak
dicukupkan nishab gandum dengan syair dan dicukupkan nishab syair dengan salt/garam,
karena salt/garam itu, semacam syair. Kewajiban zakat yang 1/10 itu, kalau
tumbuh-tumbuhannya disiram dengan air yang mengalir atau dengan air dari tali
air (tegasnya tidak dengan pengeluaran ongkos). Kalau tumbuh-tumbuhannya
disirami dengan air yang diangkut atau dengan kincir air (tegasnya dengan
perongkosan) maka diwajibkan untuk zakat, 1/20 daripadanya. Kalau dengan
kedua-duanya, yakni dengan perongkosan dan dengan tanpa perongkosan, maka
dikira dengan yang lebih banyak.
Adapun sifat dari yang wajib diserahkan
untuk zakat itu, ialah kurma, anggur dan biji-bijian (seperti padi), yang
kesemuanya itu sudah kering, setelah dibersihkan. Dan tidak diambil untuk
zakat, buah kurma dan buah anggur yang masih basah, kecuali datang penyakit
kepada pohon-pohon itu dan lebih baik dipetik sebelum sempurna masaknya. Maka
diambilkan yang masih basah untuk zakat. Yaitu disukat, 9 bagian untuk si
pemilik dan 1 bagian untuk fakir miskin. Dan tidak terlarang dari pembagian
ini, oleh kata kita, bahwa pembagian itu adalah penjualan. Bahkan yang seperti
itu, diperbolehkan karena perlu. Waktu yang menentukan wajibnya zakat
al-mu’asy-syarat, ialah ketika kelihatan baik pada buah-buahan dan keras
bijinya. Dan waktu penyerahan zakatnya, ialah setelah kering.
BAHAGIAN KETIGA: tentang zakat emas dan perak.
Apabila telah cukup setahun dalam milik si pemilik, yang
memiliki seberat 200 dirham dengan timbangan Makkah perak murni, maka zakatnya
5 dirham, yaitu: 1/40 daripadanya (2,5%). Yang lebih dari itu, maka dikira
menurut itu juga, walaupun lebih sedirham. Nishab emas, yaitu: 20 mitsqal emas
murni dengan timbangan Makkah. Zakatnya, 1/40 daripadanya. Yang lebih dari itu,
maka dikira menurut lebihnya. Kalau berkurang dari nishab yang tersebut di
atas, walaupun seberat biji yang kecil, maka tidak dikenakan zakat. Dan
diwajibkan zakat atas orang yang mempunyai dirham campuran, apabila ada padanya
perak murni sebanyak yang tersebut di atas. Dan diwajibkan zakat pada emas
terurai dan pada perhiasan emas atau perak yang terlarang, seperti tempat air
dari emas dan perak dan kendaraan emas bagi laki-laki. Dan tidak diwajibkan
zakat pada perhiasan yang dibolehkan. Dan wajib zakatnya pada hutang, di mana
yang berhutang itu adalah orang kaya yang mampu membayar hutangnya. Tetapi
kewajiban zakatnya, adalah ketika dilunaskan. Kalau hutang itu, belum tiba
waktu pembayarannya, maka tidak wajib zakatnya, kecuali ketika telah sampai
waktu pembayarannya.
BAHAGIAN KEEMPAT: zakat perniagaan.
Zakat perniagaan, adalah seperti zakat emas dan perak. Dan
dihitung tahunnya, dari sejak dimiliki uang (modal) pembeli barang yang
diperniagakan, kalau uang itu sampai nishab. Kalau kurang dari nishab atau
dibeli dengan benda, dengan diniatkan perniagaan, maka tahunnya dikira dari
waktu pembelian. Zakat itu dibayar dengan uang dari negeri yang bersangkutan
dan dengan uang itulah barang perniagaan itu dinilai. Kalau barang perniagaan
itu dibeli dengan suatu uang dan uang itu cukup nishabnya, maka barang
perniagaan itu lebih utama dinilai dengan uang tadi, daripada dengan uang dari
negeri yang bersangkutan. Kalau diniatkan berniaga dari harta yang disimpan,
maka tidaklah dikira tahunnya dengan semata-mata niat, sebelum dibeli sesuatu
dengan uang itu. Manakala niat berniaga itu dibatalkan sebelum cukup tahunnya,
niscaya gugurlah zakat. Dan yang lebih utama, zakat tahun itu dilunaskan. Laba
yang diperoleh dari barang perniagaan pada akhir tahun, wajiblah dizakati
menurut tahun modal dan tidak untuk laba itu dimulai dengan tahunnya sendiri,
seperti anak-anak binatang ternak menurut tahun induknya. Uang yang
dipertukarkan, tidak putus tahunnya dengan pertukaran yang berlaku diantara
pemilik-pemilik uang itu, seperti perniagaan-perniagaan yang lain. Dan zakat
dari keuntungan harta berdua laba, adalah atas si pekerja, walaupun keuntungan
itu belum dibagi. Inilah yang lebih sesuai, menurut qias !
BAHAGIAN KELIMA: zakat emas dan perak yang
diperoleh dari simpanan orang-orang dahulu (rikaz) dan yang diperoleh dari
tambangnya (ma’din).
Rikaz, ialah harta yang ditanam di dalam tanah pada masa
jahiliyah dan diperoleh pada tanah, yang belum berlaku milik seseorang padanya
dalam Islam. Maka wajiblah atas orang yang memperoleh emas dan perak dari rikaz
itu, 1/5 untuk zakat. Dan tahun, tidak dikira.
Dan yang lebih utama, nishabnya pun tidak dikira,
karena diwajibkan 1/5 itu menguatkan tentang keserupaannya dengan harta
rampasan perang (ghanimah). Dan mengira nishabnya pun, tidak jauh daripada
kebenaran, karena penyerahannya adalah sama dengan penyerahan zakat. Dari itu,
dikhususkan rikaz menurut paham yang lebih kuat (ashshahih) –kepada emas dan
perak saja. Adapun ma’din, maka apa yang dikeluarkan dari tambang, tidak
dikenakan zakat, selain emas dan perak. Zakatnya, setelah dihancurkan dan
dibersihkan ialah 1/40 (2,5%), menurut pendapat yang terkuat dari dua pendapat.
Dan berdasarkan ini nishabnya diperhitungkan. Mengenai kiraan tahunnya,
terdapat dua pendapat. Menurut suatu pendapat, diwajibkan 1/5 dari ma’din itu
untuk zakat. Dan berdasarkan kepada pendapat ini, tahunnya tidak diperkirakan.
Mengenai nishabnya, terdapat dua pendapat. Yang terkuat diantara kedua pendapat
ini –ilmu yang sebenarnya adalah pada sisi Allah Ta’ala –ialah dihubungkan
tentang batas wajibnya dengan zakat perniagaan. Karena hasil barang
pertambangan itu, adalah semacam perusahaan. Dan mengenai kiraan tahunnya,
dihubungkan dengan zakat harta yang diberikan 1/10
daripadanya untuk zakat (zakat al-mu’asy-syarat) Dari itu tahunnya, tidak dikira, (tegasnya: tidak
disyaratkan cukup setahun). Karena ma’din itu adalah benda yang diambil manfaatnya
pada benda itu sendiri. Dan nishabnya, dipandang seperti pada al-mu’asy-syarat.
Yang lebih terpelihara dari kesangsian (mengingat perbedaan-perbedaan pendapat
diantara para alim ulama) ialah, supaya dikeluarkan 1/5 dari ma’din itu untuk
zakat, tanpa diperhitungkan sedikitnya dan banyaknya dan tanpa diperhatikan
pula benda dari ma’din itu, baik ia emas dan perak atau lainnya. Supaya
terlepas dari kesangsian dengan perbedaan-perbedaan pendapat itu. Karena
perbedaan-perbedaan pendapat itu, merupakan sangkaan-sangkaan keras yang
mendekati kepada kebenaran, daripada pertentangan. Meyakini kepada suatu fatwa
daripadanya, adalah membahayakan, karena
pertentangan yang meragukan itu.
BAHAGIAN
KEENAM: tentang zakat fithrah.
Zakat fithrah itu wajib, menurut sabda Nabi saw, atas
tiap-tiap muslim, yang ada kelebihan dari makanannya dan makanan orang-orang
yang menjadi tanggungannya, pada hari raya kejadian diri yang suci bersih dan
malamnya, sebanyak segantang daripada makanan yang mengenyangkan, dengan sukatan
gantang Rasulullah saw. Yaitu 2 2/3 mann (3,5 liter ), yang dikeluarkan dari
jenis makanannya atau dari jenis yang lebih baik daripadanya. Kalau ia
bermakanan tetap gandum, maka tidak dibolehkan syair untuk zakat fithrahnya.
Dan kalau ia bermakanan tetap biji-bijian yang bermacam-macam, niscaya
dipilihnya yang terbaik. Dan mana saja yang dikeluarkannya, memadailah.
Pembahagian zakat fithrah itu, adalah
seperti pembahagian zakat harta yang lain. Maka wajib dilengkapkan dengan
segala macam manusia yang berhak menerimanya. Tidak boleh dikeluarkan yang
telah hancur ditumbuk dan yang telah menjadi tepung yang halus. Diwajibkan atas suami muslim, fithrah isterinya, fithrah
budaknya, anak-anaknya dan tiap-tiap keluarganya yang menjadi tanggungannya,
yakni: yang wajib ia tanggung nafkahnya, dari bapak, ibu dan anak-anaknya.
Bersabda Nabi saw: “Lunasilah zakat fithrah itu, dari orang-orang yang nafkah hidupnya menjadi tanggungan
kamu”. Zakat fithrah dari budak yang dipunyai oleh dua orang yang
berkongsi, adalah atas orang-orang itu. Dan tidak wajib zakat fithrah budak
yang kafir. Kalau sang isteri mengeluarkan fithrah untuk dirinya sendiri, maka
memadailah. Dan bagi sang suami boleh mengeluarkan fithrah untuk isterinya, tanpa
izin isteri. Kalau makanan yang berlebih, setelah dikeluarkan untuk
fithrahnya, mencukupi untuk sebahagian dari orang-orang yang menjadi
tanggungannya, maka dikeluarkanlah fithrah untuk sebahagian itu. Dan yang lebih
utama didahulukan, ialah yang nafkah hidupnya, lebih kuat menjadi tanggungannya.
Rasulullah saw mendahulukan nafkah anak dari nafkah
isteri dan nafkah isteri dari nafkah pembantu rumah tangga (babu atau jongos). Inilah hukum-hukum fiqih, yang harus diketahui oleh
orang kaya. Dan kadang-kadang terjadi beberapa peristiwa yang jarang terjadi,
di luar dari ini, maka dapatlah ia berpegang kepada fatwa, ketika terjadi,
sesudah memahami sekedar yang penting ini.
PASAL KEDUA: Tentang menunaikan zakat,
syarat-syaratnya yang bathin dan yang zhahir.
Ketahuilah, bahwa wajiblah atas orang yang menunaikan zakat,
menjaga 5 perkara:
Pertama: niat, yaitu berniat dengan hati, menunaikan zakat fardlu. Dan
disunnatkan menentukan harta yang dikeluarkan zakatnya. Kalau ada hartanya yang
jauh, lalu dikatakannya: “Ini, dari hartaku yang jauh kalau ia selamat. Kalau
tidak, maka menjadi sedekah sunat”. Maka bolehlah yang demikian, karena
walaupun tidak ditegaskannya yang demikian, hasilnya begitu juga, kalau
disebutkannya secara umum. Niat dari wali (yang mengeluarkan zakat dari harta
orang gila dan anak-anak yang berada di bawah asuhannya), adalah berkedudukan
seperti niat orang gila dan anak itu sendiri. Dan niat dari sultan (penguasa),
adalah berkedudukan seperti niat si pemilik yang tidak mau mengeluarkan
zakatnya. Tetapi itu, adalah dalam pandangan hukum duniawi, yakni: mengenai
tidak dituntut lagi di dunia ini. Adapun di akhirat tidak, tetapi tetaplah
dalam tanggungannya, sampai ia mengeluarkan kembali zakat itu. Kalau diwakilkan
kepada orang lain untuk menunaikan zakatnya dan diniatkannya ketika diwakilkan
itu atau diwakilkannya kepada wakil itu untuk meniatkannya, maka mencukupilah
yang demikian, karena mewakilkan dengan niat itu, sudah niat namanya.
Kedua: menyegerakan sesudah sampai tahunnya. Dan pada zakat fithrah,
tidak diperlambatkan daripada hari raya fithrah. Dan masuk waktu
wajibnya dengan terbenam matahari dari hari yang penghabisan dari bulan
Ramadlan. Dan waktu menyegerakannya, ialah dalam bulan Ramadlan itu seluruhnya.
Orang yang memperlambatkan zakat hartanya, serta ada kemungkinan untuk itu,
(artinya: tak ada halangan apa-apa), maka durhakalah ia kepada Tuhan dan tak
terhapus kewajiban itu lagi, dengan hilang hartanya. Kemungkinan mengeluarkan
zakat itu, ialah dengan memperoleh orang yang berhak menerima zakat. Kalau
diperlambatkannya, karena tidak ada orang yang berhak menerimanya, lalu
hilanglah hartanya, maka gugurlah zakat daripadanya. Menyegerakan zakat,
dibolehkan, dengan syarat bahwa hal itu terjadi setelah cukup nishabnya dan
berjalan tahunnya. Dan boleh menyegerakan zakat dua tahun. Manakala zakat itu
disegerakan, lalu mati orang miskin yang menerimanya, sebelum cukup tahunnya
atau ia murtad atau ia menjadi kaya dengan harta yang lain dari zakat yang
disegerakan itu atau ia mati, maka harta yang diserahkan itu tidaklah menjadi
zakat. Dan memintanya kembali, tidak mungkin, kecuali apabila disyaratkan
meminta kembali, (waktu diserahkan dahulu). Maka dalam hal ini, hendaklah orang
yang menyegerakan itu, memperhatikan akhir urusan dan keselamatan kesudahan.
Ketiga: bahwa tidak
dikeluarkan benda lain sebagai gantinya, dengan menghitung nilainya. Tetapi
dikeluarkan benda yang dikenakan zakat padanya. Maka tidak memadai perak dari
zakat emas dan emas dari zakat perak, walaupun nilainya berlebih daripada
perak. Mungkin sebahagian orang tidak memahami maksud Asy-Syafi’i ra yang
mempermudahkan tentang itu dan menitik beratkan kepada tujuan untuk memenuhi
kepentingan. Alangkah jauhnya dari berhasil, karena memenuhi kepentingan itu
adalah suatu tujuan dan tidaklah ia menjadi seluruh tujuan. Tetapi kewajiban
syari’at/agamanya adalah 3 bahagian:
Bahagian pertama: adalah ibadah
semata-mata, tak masuk padanya keuntungan dan maksud-maksud tertentu. Umpamanya
melemparkan jamrah pada ibadah haji, karena tak ada keuntungan bagi jamrah,
pada sampainya batu kepadanya. Maksud syari’at/agama mengenai pelemparan batu
itu, ialah menguji dengan perbuatan, supaya hamba itu melahirkan kehambaan dan
perhambaannya, dengan suatu perbuatan yang tidak dipahami maksudnya. Karena apa
yang dipahami maksudnya, kadang-kadang ditolong dan didorong oleh tabiat kepada
perbuatan itu. Maka tidak menampak ikhlas kehambaan dan perhambaan. Karena
perhambaan itu menampak dengan gerak untuk melaksanakan perintah Yang Disembah
(al-ma’bud) saja, tidak untuk suatu maksud yang lain. Dan sebahagian besar amal
perbuatan ibadah haji, adalah demikian. Dari itu, Nabi saw membaca pada
ihramnya: “Aku terima panggilan Engkau dengan haji
dengan sebenar-benarnya beribadah dan kehambaan kepadaMu”. Sebagai
peringatan, bahwa itu adalah untuk melahirkan perhambaan, dengan mematuhi,
karena perintah dan mengikuti perintah semata-mata, sebagaimana diperintahkan
tanpa penjinakan akal pikiran kepadanya, dengan tertarik dan tergerak pikiran
itu kepadanya.
Bahagian kedua: diantara
kewajiban yang diwajibkan agama, tidaklah dimaksudkan daripadanya suatu
keuntungan yang dapat dipahami dan tidak pula dimaksudkan suatu peribadatan
kepada Allah, seperti melunaskan utang dari seseorang dan mengembalikan barang
yang dirampasnya. Maka tidak ragulah kiranya, bahwa dalam hal tadi, tidak
dipandang perbuatan dan niatnya. Dan manakala sampailah hak itu kepada yang
berhak, dengan mengambil haknya atau digantikan dengan yang lain dengan
persetujuan dari yang berhak, maka terlaksanalah kewajiban itu dan selesailah
tuntutan agama. Inilah dua bahagian, yang tidak ada susunan padanya, di mana
sekalian manusia dapat memahaminya.
Bahagian ketiga: yaitu yang
tersusun, yang dimaksudkan padanya dua perkara bersama-sama. Yakni keuntungan
bagi hamba dan percobaan bagi seorang mukallaf(diberati
hukum) dengan
memperhambakan diri. Maka berkumpullah padanya perhambaan kepada Tuhan yang ada
pada pelemparan jamrah dan keuntungan pada pengembalian hak milik. Inilah
bahagian yang dipahami pada perbuatan itu sendiri. Maka kalau datanglah agama
menyuruhnya, niscaya wajiblah terkumpul diantara kedua maksud itu. Dan tidaklah
seyogya dilupakan arti yang terhalus daripada keduanya, yaitu: memperhambakan
dan memperbudakkan diri kepada Allah, disebabkan nyata benar keduanya. Dan arti
yang terhalus itulah, yang terpenting. Dan zakat, adalah termasuk golongan ini,
di mana tak ada yang menyadarinya, selain Imam Asy-Syafi’i ra. Maka keuntungan
bagi orang fakir, adalah dimaksudkan pada memenuhi hajat keperluannya. Dan itu,
jelas dan lekas dipahami. Tentang perhambaan kepada Allah dengan zakat, dengan
mengikuti segala perinciannya, adalah maksud dari agama. Dan dengan
memperhatikannya, jadilah zakat itu, teman bagi shalat dan haji, tentang
adanya, sebahagian dari sendi-sendi Islam. Dan tak ragulah kiranya, bahwa seorang
mukallaf itu sukar membedakan segala jenis hartanya dan mengeluarkan bahagian
tiap-tiap harta, mengenai macamnya, jenis dan sifatnya. Kemudian,
membagi-bagikannya kepada golongan 8 yang berhak menerima zakat, sebagaimana
akan diterangkan nanti. Dan mempermudah-mudahkan dalam hal itu, adalah tidak
mencederakan terhadap keuntungan orang fakir. Tetapi mencederakan terhadap
perhambaan kepada Allah. Dan dibuktikan, bahwa memperhambakan diri kepadaNya
(ta’abbud) itu dimaksudkan dengan menentukan bermacam-macam, oleh beberapa
perkara yang telah kami sebutkan dalam kitab-kitab yang menerangkan
bermacam-macam pendapat dari masalah-masalah fiqih. Sebahagian yang amat jelas
daripadanya, ialah bahwa agama mewajibkan dalam 5 ekor unta, seekor kambing.
Agama itu, berpaling dari unta kepada kambing dan tidak berpaling kepada emas
dan perak dan menilaikannya. Kalau diumpamakan, bahwa yang demikian itu, karena
sedikitnya mata uang pada tangan orang-orang Arab, maka yang demikian itu
menjadi batal, dengan diperbolehkan 20 dirham pada penempelan dari kekurangan,
bersama dengan dua ekor kambing. Maka mengapakah, tidak disebutkan pada
penempelan itu, sekedar yang kurang dari nilainya ? mengapakah ditentukan
dengan 20 dirham dan dua ekor kambing, sedangkan kain dan semua barang, adalah
mengandung satu maksud dengan itu ?. Apa yang disebutkan tadi dan segala
ketentuan yang seumpama dengan dia, menunjukkan, bahwa zakat tidaklah dibiarkan
terlepas daripada perhambaan kepada Allah, sebagaimana pada haji. Tetapi
dikumpulkan diantara kedua maksud. Dan jiwa yang lemah, tak sanggup memahami
segala susunan. Dan disitulah terletaknya kesalahan.
Keempat: zakat itu
dipindahkan ke negeri lain. Karena mata orang-orang miskin di tiap-tiap negeri
memanjang sampai kepada harta-hartanya. Dan dengan pemindahan zakat itu
menyia-nyiakan segala sangkaan. Kalau dipindahkan, memadai juga menurut suatu
pendapat (qaul). Tetapi keluar dari keragu-raguan perselisihan itu, adalah
lebih utama. Dari itu, hendaklah dikeluarkan zakat tiap-tiap harta, pada negeri harta itu sendiri. Kemudian tidak
mengapa diserahkan kepada orang-orang perantau yang ada pada negeri tempat
pengeluaran zakat.
Kelima: harta zakat itu
dibagi-bagikan, menurut bilangan golongan penerima zakat yang ada di negeri
itu. Karena meratakan golongan adalah wajib, dibuktikan oleh ketegasan firman
Allah Ta’ala: “Sedekah itu hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, orang-orang yang dibujuk
hatinya untuk melepaskan perbudakan (tawanan), orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam perjalanan”. S 9 At Taubah ayat 60. Tujuan dari firman tadi,
serupa dengan kata orang yang sedang sakit: “1/3 dari hartaku, untuk
orang-orang fakir dan orang-orang miskin”. Maka pembahagian zakat itu,
menghendaki penyekutuan pada pemilikan dan peribadatan, sehingga seyogyalah
dijaga dari tujuan kepada yang zhahir semata-mata. Pada kebanyakan negeri tidak
terdapat dua golongan dari golongan yang 8 itu, yaitu: golongan yang dibujuk
hatinya (muallaf) dan pengurus zakat (‘amil). Dan pada seluruh negeri, terdapat
4 golongan, yaitu: fakir, miskin, orang yang berhutang dan orang musafir,
yakni: ibnussabil. Dua golongan terdapat pada sebahagian negeri yaitu:
orang-orang yang berperang pada jalan Allah dan budak-budak yang melepaskan
dirinya dengan tebusan.
Kalau terdapat 5 golongan umpamanya, maka
zakat itu dibagi-bagikan antara mereka dalam 5 bahagian yang sama atau
berlebih-kurang dan ditentukan untuk tiap-tiap golongan sebahagian. Kemudian
tiap-tiap bahagian itu, dibagikan kepada 3 bahagian atau lebih, adakalanya sama
banyak atau berlebih kurang. Dan tidaklah diharuskan sama banyak diantara
orang-orang dari sesuatu golongan. Sehingga bolehlah dibagikan, ada yang
memperoleh 10 dan 20 dan tertentulah dengan demikian, bahagian masing-masing.
Adapun golongan-golongan yang ada itu, tidak dapat ditambah dan dikurangi. Dan
tidak seyogyalah dikurangi pada masing-masing golongan, daripada 3 orang, kalau
ada. Kemudian, kalau tidak ada yang wajib diserahkan, selain dari segantang
untuk fithrah, diantara 5 golongan yang ada, maka haruslah disampaikan
pembahagian itu kepada 15 orang. Kalau kuranglah seorang dari mereka serta
mungkin dipenuhi, maka dibayar bahagian orang yang seorang itu. Kalau sulit,
karena terlalu sedikit yang harus diserahkan, maka hendaklah ia berkongsi
dengan golongan yang wajib menyerahkan zakat dan mencampurkan zakatnya dengan
zakat golongan itu. Lalu dikumpulkan segala orang yang berhak menerima zakat,
kemudian diserahkan zakat itu, sehingga mereka memperoleh bahagian
masing-masing. Demikian cara yang seharusnya ditempuh !.
PENJELASAN: Adab bathiniah yang halus-halus tentang
zakat.
Ketahuilah, bahwa atas orang yang berkehendak jalan akhirat,
dengan zakatnya, mempunyai beberapa tugas:
Tugas
pertama: memahami kewajiban dan pengertian zakat serta cara ujian
padanya. Dan mengapakah zakat itu dijadikan sebahagian dari sendi-sendi Islam,
padahal dia adalah penyerahan keuangan dan tidak daripada ibadah badaniah ?.
Mengenai ini, terdapat 3 pengertian:
1.
Mengucapkan dua kalimah syahadah, adalah suatu kemestian bagi
keesaan dan pengakuan dengan keesaan yang disembah.
Syarat bagi kesempurnaan ucapan itu, ialah tidak ada bagi
orang yang berkeesaan, yang dicintainya selain dari Yang Maha Esa, Yang
Tunggal. Karena kecintaan, tidak menerima perkongsian. Dan keesaan dengan lisan
itu, kurang faedahnya. Maka diujilah tingkat kecintaan itu, dengan berpisah
dari yang dikasihi. Dan harta, adalah amat dikasihi oleh segala manusia. Karena
ia alat kesenangan duniawi. Dan dengan harta, manusia itu menyukai dunia dan lari dari mati, padahal, pada mati berjumpa dengan Yang Amat
Dikasihi. Maka diujikanlah mereka, tentang kebenaran dakwaannya pada Yang
Dicintai. Dan diminta mereka turun dari harta yang menjadi kesayangan dan
kesenangannya. Dari itulah, berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya
Allah telah membeli diri dan harta orang-orang yang beriman, dengan memberikan
sorga untuk mereka”. S 9 At Taubah ayat 111. Yang demikian itu
adalah dengan jihad, yakni: kesedihan berkorban karena rindu hendak berjumpa
dengan Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kesediaan dengan harta, adalah lebih mudah.
Manakala pengertian ini telah dipahami, mengenai penyerahan harta, maka
terbagilah manusia kepada 3 bahagian:
Bahagian pertama: mereka
membenarkan keesaan, menyempurnakan janjinya dan turun dari semua hartanya,
tidak disimpankannya, meskipun sedinar atau sedirham. Lalu mereka enggan
menghadapi kewajiban zakat atas mereka. Sehingga ditanyakanlah kepada
sebahagian mereka: “Berapakah yang wajib untuk zakat pada 200 dirham ?”. Lalu
ia menjawab: “Adapun atas orang awam, yang bodoh dengan hukum agama, ialah 5
dirham. Adapun kami, maka wajiblah menyerahkan semuanya”. Karena inilah, maka
Abu Bakar ra menyedekahkan semua hartanya dan Umar ra dengan setengah hartanya.
Lalu bertanya Nabi saw: “Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu ?”.
Menjawab Umar ra: “Sebanyak itu lagi !”. Dan bertanya Nabi saw kepada Abu Bakar
ra: “Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu ?”. Menjawab Abu Bakar ra:
“Allah dan RasulNya”. Maka menyambung Nabi saw: “Diantara kamu berdua ialah,
apa yang diantara kata-kata kamu berdua !”. Abu Bakar Siddik, menyempurnakan
dengan kesempurnaan kebenarannya, lalu tidak dipegangnya, selain dari Yang Amat
Dicintainya, yaitu: Allah dan RasulNya.
Bahagian kedua: derajat mereka,
kurang dari derajat yang di atas tadi. Mereka memegang hartanya, menggunakan
segala waktu menunaikan hajat dan musim-musim berbuat yang baik. Tujuan mereka
dengan menyimpan harta itu, ialah untuk berbelanja sekedar hajat, tidak untuk
bersenang-senang. Dan menyerahkan yang lebih dari hajat itu, kepada jalan
kebajikan, manakala telah terang cara-caranya. Mereka tidak merasa cukup
sekedar zakat saja. Segolongan dari tabi’in, berpendapat bahwa pada harta itu
terdapat beberapa hak, selain dari zakat, seperti an-Nakha’i, Asy-Sya’bi,
‘Atha’ dan Mujahid.
Menjawab Asy-Sya’bi, setelah ditanyakan
kepadanya: “Adakah pada harta itu, hak selain dari zakat ?”, dengan mengatakan:
“Ada ! apakah engkau tidak mendengar firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan diberikannya harta yang dikasihinya itu kepada
kerabatnya, anak-anak piatu, orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam
perjalanan, orang-orang yang meminta dan untuk melepaskan perbudakan”.
S 2 Al Baqarah ayat 177. Mereka membuat dalil dengan firman Allah ‘Azza Wa
Jalla: “Dan menafkahkan (membelanjakan di jalan kebaikan), sebahagian dari
rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. S 2 Al Baqarah ayat 3 dan dengan
firman Allah Ta’ala: “Nafkahkanlah sebahagian dari rezeki yang telah Kami
berikan kepada kamu”. S 2 Al Baqarah ayat 254. Mereka mendakwakan, bahwa itu
tidaklah mansukh dengan ayat-ayat zakat. Tetapi termasuk ke dalam bahagian hak
seorang muslim terhadap seorang muslim. Artinya: wajiblah atas orang yang
mampu, bilamana menjumpai orang yang memerlukan kepada uang, menyampaikan
hajatnya, lebih-lebih dari harta zakat. Dan yang syah dalam ilmu fiqih dari bab
ini, ialah manakala hajat seseorang itu, bila tidak dipenuhi dapat
menghilangkan nyawanya, maka memenuhi hajat tersebut adalah fardlu kifayah
(jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu). Karena tidak
boleh disia-siakan nyawa seorang muslim. Tetapi mungkin dikatakan, bahwa
tidaklah wajib atas orang yang mampu, selain daripada menyerahkan sesuatu yang
menyampaikan hajat itu, secara hutang. Dan tidak dimestikan memberikan, sesudah
ia menyelesaikan zakatnya sendiri. Dan mungkin pula dikatakan, harus ia
menyerahkan sekarang juga dan tak boleh secara diperhutangkan. Artinya: tidak
boleh diberatkan orang fakir itu menerima hutang. Dan inilah yang diperselisihkan
!. Berhutang, adalah turun ke tingkat yang terakhir dari tingkat orang awam.
Yaitu: tingkat: Bahagian ketiga: dimana orang awam itu, berkisar kepada
menunaikan yang wajib saja. Mereka tidak menambahkan dan mengurangkan
daripadanya. Inilah tingkat yang paling kurang keutamaannya ! segala orang awam
berkisar pada yang wajib saja, karena kebakhilan/pelit
dan kecondongan hati mereka kepada harta, serta lemah kecintaan mereka kepada
akhirat. Berfirman Allah Ta’ala: “Jika itu dimintaNya kepada kamu
dan didesakNya kamu, niscaya kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37. Artinya:
berulang kali Ia meminta kepadamu. Berapa banyak, diantara hambaNya yang dibeli
oleh Allah akan harta dan nyawanya, dengan sorga dan diantara hamba yang tidak
didesak oleh Allah karena kebakhilannya.
Inilah salah satu pengertian perintah Allah swt kepada
hambaNya, dengan memberikan harta !.
2.
Mensucikan diri daripada sifat kebakhilan, karena itu adalah
sebahagian dari sifat-sifat yang membinasakan. Bersabda Nabi saw: “3 sifat
membinasakan: memperturut kebakhilan, mengikuti hawa nafsu dan membanggakan
diri”. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang terpelihara dari kekikiran
jiwanya, merekalah orang-orang yang beruntung”. S 59 Al Hasyr ayat 9. Dan akan
datang nanti pada “Rubu Yang Membinasakan”, penjelasan caranya sifat kekikiran
itu membinasakan dan bagaimana menjauhkan diri daripadanya. Sesungguhnya sifat
kebakhilan itu, dapat dihilangkan dengan membiasakan
memberikan harta. Mencintai sesuatu itu, tidak akan putus, kecuali
dengan memaksakan diri berpisah daripadanya, sehingga menjadi itu nanti suatu
kebiasaan. Maka dengan pengertian ini, zakat adalah pencuci, artinya: mensucikan
pembayar zakat dari kekejian kikir yang membinasakan.
Kesucian itu menurut kadar pemberiannya dan kegembiraannya dengan mengeluarkan
harta serta kesenangannya menyerahkan harta itu
karena Allah Ta’ala.
3.
Mensyukuri nikmat. Karena Allah Ta’ala mempunyai nikmat pada
hambaNya, pada diri dan harta hamba itu. Maka segala ibadah badaniah, adalah
kesyukuran bagi nikmat badan. Dan ibadah maliah (ibadah kehartaan), adalah
kesyukuran bagi nikmat harta. Alangkah kejinya orang yang melihat kepada
seorang fakir, yang berpenghidupan sempit dan memerlukan kepada pertolongannya.
Lalu ia tidak bersedia menunaikan kesyukurannya kepada Allah Ta’ala, di mana ia
tidak memerlukan kepada meminta-minta dan orang lain memerlukan kepadanya, dengan
menyerahkan 1/40 atau 1/10 dari hartanya !.
Tugas
kedua: mengenai waktu pembayaran zakat. Diantara
adab orang yang beragama, ialah menyegerakan zakat dari waktu wajibnya, untuk
melahirkan kegemaran mengikuti perintah Allah, dengan menyampaikan kesenangan
ke dalam hati orang-orang fakir dan menyegerakan dari penghalang-penghalang
masa, yang menghalanginya dari perbuatan kebajikan. Dan karena mengetahui,
bahwa dengan melambatkan itu, timbul bahaya-bahaya serta kemaksiatan yang
mendatangi seorang hamba, kalau diperlambatkan daripada waktu wajibnya.
Manakala telah lahir dari bathin panggilan kepada kebajikan, maka seyogyalah
dirampas kesempatan itu. Karena yang demikian itu, adalah kawan malaikat. Dan
hati orang mu’min, ialah antara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang
Maha Pengasih. Alangkah cepatnya hati itu bertukar ! dan setan menjanjikan kemiskinan, menyuruh dengan
yang keji dan mungkar. Dia mempunyai teman, dibalik teman malaikat. Dari itu,
hendaklah diambil kesempatan yang baik. Dan hendaklah ditentukan suatu bulan
tertentu untuk menunaikan zakat, jika ditunaikan seluruhnya. Hendaklah
diusahakan, supaya adalah bulan itu, waktu yang sebaik-baiknya, agar yang
demikian menjadi sebab, bagi bertambah mendekatkannya kepada Tuhan dan berlipat-ganda pahala zakatnya. Seperti bulan
Muharram umpamanya, karena dia adalah awal tahun dan termasuk diantara
bulan-bulan haram atau bulan Ramadlan. Adalah Nabi saw makhluk Allah yang
terbaik dan pada bulan Ramadlan, ia seperti angin yang dikirim, tidak memegang
sesuatu benda pada tangannya. Bulan Ramadlan itu, mempunyai kelebihan dengan
Lailatul-qadar dan Alquran diturunkan pada bulan Ramadlan. Mujahid mengatakan:
“Janganlah kamu katakan “Ramadlan”, karena dia adalah suatu nama dari nama-nama
Allah Ta’ala, tetapi katakanlah “bulan Ramadlan”. Bulan Dzulhijjah juga
termasuk sebahagian dari bulan yang banyak kelebihannya. Karena dia bulan
haram, padanya haji akbar dan hari-hari tertentu, yaitu: 10 yang pertama dan
hari-hari yang terbilang, yaitu: hari-hari tasyriq. Hari-hari bulan Ramadlan
yang terutama, ialah 10 yang akhir dan hari-hari bulan Dzulhijjah yang
terutama, ialah 10 yang awal.
Tugas
ketiga: dirahasiakan,
karena dengan demikian, menjauhkan dari ria dan terdengar ke mana-mana.
Bersabda Nabi saw: “Sedekah yang terbaik, ialah kesungguhan dari orang yang
sedikit hartanya, menyerahkan sebahagian daripadanya kepada orang fakir dengan
dirahasiakan”. Berkata setengah ulama: “3 perkara daripada gudang kebajikan.
Sebahagian daripadanya, ialah menyembunyikan sedekah”. Dan diriwayatkan pula
suatu hadits musnad, yaitu sabda Nabi saw: “Sesungguhnya hamba itu hendaklah
berbuat amalan dalam rahasia, maka dituliskan Allah baginya secara rahasia.
Jikalau dilahirkannya, maka dipindahkan oleh Allah dari rahasia dan dituliskan
dalam keadaan terang. Jika diceritakannya amalan itu kepada orang, maka
dipindahkan oleh Allah dari keadaan rahasia dan terang dan dituliskan ria”.
Pada suatu hadits masyhur, tersebut: “7 orang dinaungi mereka oleh Allah, pada
hari tak ada naungan, selain daripada naungan Allah. Seorang dari mereka, ialah
orang yang bersedekah dengan suatu sedekah, maka tidak diketahui oleh tangan
kirinya, apa yang diberikan oleh tangan kanannya”. Pada suatu hadits tersebut: “Sedekah secara rahasia, memadamkan kemarahan Tuhan”. Berfirman
Allah Ta’ala: “Dan kalau kamu sembunyikan memberikannya kepada orang-orang
fakir, maka itu adalah lebih baik bagi kamu”. S 2 Al Baqarah ayat 271.
Faedah menyembunyikan, ialah terlepas dari
bahaya ria dan kedengaran keluar. Bersabda Nabi saw: “Tidak diterima oleh Allah
sedekah dari orang yang memperdengarkan sedekahnya kepada orang lain,
memperlihatkannya kepada orang lain dan membangkitkannya”. Orang yang
menceritakan sedekahnya itu, ialah mencari nama supaya terdengar keluar. Dan
orang yang memberikan sedekah di hadapan orang banyak, ialah ingin ria. Sedang
menyembunyikan dan berdiam diri sesudah bersedekah, adalah orang yang ikhlas
dengan sedekahnya. Segolongan dari ulama telah bersangatan benar menerangkan
keutamaan menyembunyikan sedekah itu, sehingga dengan bersungguh-sungguh mereka
mengatakan, bahwa yang menerima itu tidak mengenal yang memberi. Sebahagian
mereka meletakkan sedekahnya dalam tangan orang buta dan sebahagian mereka
meletakkannya pada jalan yang dilalui orang fakir dan pada tempat duduk orang
fakir, di mana orang fakir itu dapat melihatnya dan tidak melihat yang
memberikannya. Dan sebahagian mereka meletakkannya dalam kain orang fakir,
ketika ia masih tidur. Dan sebahagian lagi menyampaikannya ke tangan orang
fakir, dengan perantaraan orang lain, di mana orang fakir itu tidak mengenal si
pemberi. Dan dimintanya pada perantara, supaya menyembunyikan namanya dan tidak
menyiarkannya ke mana-mana. Semua itu, adalah supaya sampai kepada memadamkan
kemarahan Tuhan Yang Maha Suci dan memeliharakan diri dari ria dan terdengar
keluar.
Bilamana tidak mungkin, selain dengan
diketahui oleh seseorang, maka menyerahkannya kepada wakil, supaya wakil itu
menyerahkan kepada orang miskin dan orang miskin itu tidak mengenal si pemberi,
adalah cara yang sebaik-baiknya. Karena dengan dikenal oleh si miskin itu,
mengandung ria bersama dengan disebut-sebut. Dan dengan dikenal oleh si
perantara, tidak adalah, selain dari ria saja. Manakala ada kemasyuhran yang
dimaksudkan bagi si pemberi, maka batallah amalnya. Karena zakat adalah
menghilangkan kekikiran dan melemahkan kecintaan kepada harta. Dan mencintai
kemegahan, adalah lebih hebat pengaruhnya kepada diri daripada mencintai harta.
Kedua-duanya itu membinasakan di akhirat.
Tetapi, sifat kikir, bertukar di dalam
kubur, sebagai perumpamaan, menjadi seekor kala yang menyengat. Dan sifat ria
bertukar di dalam kubur menjadi seekor ular besar. Dari itu, disuruh melemahkan
kedua-duanya atau membunuh kedua-duanya, untuk menolak atau meringankan
kesakitan dari kedua-duanya. Manakala dimaksudkan ria dan didengar orang, maka
seolah-olah dijadikan sebahagian dari kaki kala, untuk menguatkan ular. Berapa
yang lemah dari kala maka itu menambahkan pada kekuatan ular. Kalau keadaan itu
dibiarkan, sebagaimana yang ada, niscaya adalah urusan itu, lebih mudah
baginya. Kekuatan sifat-sifat tersebut di atas, di mana kekuatannya bertambah,
ialah dengan berbuat, menurut yang dikehendaki oleh sifat-sifat itu. Dan
kelemahannya, ialah dengan menantang, menyalahi dan berbuat kebaikan daripada
yang dikehendakinya. Maka apakah faedahnya, menolak pangilan kekikiran dan
menyambut panggilan keriaan ? lalu lemah yang lebih lemah dan kuat yang lebih
kuat ? dan akan datang penjelasan segala rahasia dari pengertian-pengertian
ini, pada “Rubu Yang Membinasakan”.
Tugas
keempat: bahwa dilahirkannya, bila diketahuinya,
bahwa pada melahirkan itu, membawa manusia suka mengikutinya dan berusaha
merahasiakan nya dari panggilan ria: dengan jalan yang akan kami sebutkan,
tentang pengobatan ria, pada Kitab Ria nanti. Berfirman Allah Ta’ala: “Kalau kamu
memberikan sedekah dengan terang, itu baik”. S 2 Al Baqarah ayat 271. Dan yang
demikian itu dikehendaki oleh keadaan untuk dilahirkan, adakalanya, untuk
diikuti orang dan adakalanya karena peminta itu meminta di hadapan orang
banyak. Maka tidak seyogyalah ditinggalkan bersedekah, karena takut dari ria
pada melahirkannya. Tetapi seyogyalah bersedekah dan menjaga rahasianya
daripada ria, sedapat mungkin. Inilah, karena pada melahirkan itu ditakuti hal
ketiga, selain daripada disebut-sebut dan ria, yaitu: merusakkan kehormatan si
fakir. Karena mungkin si fakir itu, merasa tersinggung, dengan
memperlihatkannya dalam bentuk orang yang memerlukan kepada sesuatu. Maka orang yang meminta secara terus-terang, adalah ia telah
merusakkan kehormatannya sendiri. Maka tidaklah ditakuti lagi
pengertian tadi, pada melahirkannya. Dan itu, adalah seperti melahirkan sifat
fasiq atas orang yang menutupinya rapat-rapat, maka itu dicegah.
Mengorek-ngorek dan membiasakan menyebutkannya, adalah dilarang. Adapun orang
yang melahirkannya, maka menjatuhkan hukuman atas orang itu, ialah
memperkembangkan berita itu. Tetapi fasiq itu sendiri, yang menjadi sebab untuk
dijatuhkan hukuman itu. Dan pengertian yang seperti ini, sabda Nabi saw:
“Barangsiapa mencampakkan pakaian malunya, maka tak adalah upatan baginya
lagi”. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan mereka menafkahkan sebahagian dari
rezeki yang Kami berikan dengan sembunyi dan terang-terangan”. S 13 Ar Ra’d
ayat 22. Disunatkan juga dengan terang-terangan, karena dengan terang-terangan
itu, memberikan faedah menggemarkan orang mengikutinya. Maka hendaklah hamba
itu memperhatikan dengan teliti, tentang timbangan faedah ini, dengan larangan
yang ada padanya. Dan hal itu berbeda, menurut keadaan suasana dan orang.
Kadang-kadang, secara terang-terangan, pada sebahagian keadaan untuk sebahagian
orang, adalah lebih baik. Dan siapa yang mengenal segala yang berfaedah dan
yang merusakkan, tanpa memandangnya dengan pandangan hawa nafsu, niscaya
teranglah baginya yang lebih utama dan yang lebih layak dalam segala hal.
Tugas
kelima: jangan dibatalkan sedekah itu, dengan menyebut-nyebut dan
menyakitkan hati orang yang menerimanya. Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah
kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebut
(al-manni) dan menyakitkan (al-adza)”. S
2 Al Baqarah ayat 264. Berbeda pendapat diantara para ulama, tentang
hakikat/makna menyebut-nyebut (al-manni) dan menyakitkan (al-adza).
Ada yang mengatakan, al-manni, yaitu:
menyebut-nyebut sedekah yang diberikan. Dan al-adza, yaitu: melahirkannya kepada
orang lain. Berkata Sufyan: “Barangsiapa membangkit-bangkitkan sedekahnya,
niscaya sedekah itu batal”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Bagaimana
membangkit-bangkitkan itu ?”. Sufyan menjawab: “Bahwa ia menyebut-nyebutkan dan
menceritakannya”. Setengah ulama mengatakan, bahwa al-manni, ialah meminta pada
orang yang diberikan sedekah itu, supaya memberikan
tenaga, demi kepentingan orang yang memberi sedekah. Dan al-adza,
ialah menghinakan orang yang diberikan
sedekah itu, dengan sebab kemiskinannya. Ada yang mengatakan, bahwa al-manni,
ialah yang memberi itu menyombongkan diri karena pemberiannya. Dan al-adza,
ialah menggertak dan mengeluarkan kata-kata keji kepada orang miskin, dengan sebab
meminta.
Bersabda Nabi saw: “Tidak diterima oleh
Allah sedekah orang yang membangkit-bangkitkan”. Padaku, al-manni itu,
mempunyai pokok pangkal dan tempat tumbuhnya. Yaitu sebahagian dari ikhwal hati dan
sifatnya. Kemudian, bercabang kepadanya segala keadaan yang
zhahir, pada lisan dan anggota badan. Pokok pangkalnya, ialah si pemberi itu
memandang dirinya telah berbuat baik dan menganugerahkan nikmat kepada si
penerima. Sedang sebenarnya, hendaklah dia memandang, bahwa si fakir itu telah
berbuat baik kepadanya, dengan bersedia menerima hak Allah yang ada padanya,
yang menjadi kesucian dan kelepasannya daripada api
neraka. Kalau tidaklah si fakir itu bersedia menerimanya, niscaya
tetaplah ia berhutang dengan hak itu. Maka menjadi kewajibannya, menahan diri
kepada membangkit-bangkitkan sedekah yang diberikan kepada orang fakir,
lantaran si fakir itu telah membuat tapak tangannya, sebagai ganti dari Allah
Ta’ala untuk menerima hak Allah ‘Azza Wa Jalla.
Bersabda Nabi saw: “Bahwa sedekah itu jatuh
dengan tangan (kekuasaan) Allah ‘Azza Wa Jalla, sebelum jatuh pada tangan yang
meminta”. Maka hendaklah diyakininya, bahwa ia menyerahkan kepada Allah ‘Azza
Wa Jalla hakNya dan orang fakir itu mengambil daripada Allah Ta’ala rezekinya,
setelah jadinya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Kalau ia berhutang pada seseorang,
lalu orang itu menyerahkan kepada budaknya atau pelayannya yang menjadi
tanggung jawabnya, tentang kehidupan budak atau pelayan itu, untuk menagih
hutang tadi, maka keyakinan dari yang membayar hutang, bahwa penerima hutang
itu di bawah pengaruhnya adalah sangat dungu dan
bodoh. Karena yang berjasa kepadanya, ialah orang yang menanggung
belanja hidupnya. Adapun dia, hanyalah melunaskan apa yang menjadi
kewajibannya, disebabkan sudah membeli apa-apa yang disukainya. Jadi, ia
bekerja untuk dirinya sendiri, maka mengapakah ia menyebut-nyebut orang lain ?
manakala telah dipahami, pengertian yang tiga, yang telah kami sebutkan tentang
pemahaman kewajiban zakat atau satu dari yang tiga itu, niscaya ia tidak melihat
dirinya telah berbuat baik, selain kepada dirinya sendiri.
Adakalanya, dengan menyerahkan hartanya,
demi melahirkan kecintaannya, kepada Allah Ta’ala atau mensucikan dirinya dari
kekejian kikir atau mensyukuri nikmat harta, karena mengharap bertambahnya harta
itu. Bagaimanapun adanya, tetapi tak adalah hubungan mu’amalah (yang diminta
mengetahui nya hendaklah diamalkan) antara dia dan orang fakir itu, sehingga ia
memandang dirinya telah berbuat baik kepada si fakir. Manakala terdapat
kebodohan itu, dengan memandang dirinya telah berbuat baik kepada si fakir,
lalu bercabanglah daripadanya pada zhahirnya, apa yang telah disebutkan pada
pengertian al-manni, yaitu: membicarakan,
menzhahirkan dan meminta balasan dari si penerima itu, dengan ucapan terima
kasih, dengan doa, pelayanan, penghormatan, pengagungan, penegakan hak-haknya,
mendahulukan di majlis-majlis dan mengikutinya dalam segala hal. Maka ini semuanya, adalah buah daripada al-manni.
Dan arti al-manni pada bathin, ialah apa yang telah kami sebutkan itu. Adapun
al-adza, zhahirnya ialah menghina dan memberi malu, mengeluarkan kata-kata
kasar, bermasam muka dan merusakkan kehormatan si fakir dengan melahirkan
pemberian itu serta dengan berbagai macam cara merendahkan orang yang menerima
itu. Bathinnya, yaitu sumbernya, ada dua hal:
1.
Tidak suka melepaskan harta dari tangan dan sangat beratlah
yang demikian atas dirinya. Maka yang demikian itu –sudah pasti –menyempitkan
makhluk.
2.
Dia melihat dirinya lebih baik dari orang fakir. Dan orang
fakir itu, disebabkan keperluannya, adalah lebih hina daripadanya. Kedua sumber
tadi, terjadinya dari karena kebodohan.
Mengenai tidak suka melepaskan harta, itu adalah suatu
kedunguan. Karena orang yang tidak suka menyerahkan sedirham, dalam balasan
yang menyamai 1000 dirham, itu adalah sangat dungu. Dan sebagaimana dimaklumi,
bahwa menyerahkan harta, adalah karena mencari kerelaan Allah ‘Azza Wa Jalla
dan pahala pada negeri akhirat Dan itu, adalah lebih mulia daripada apa yang
diserahkannya. Atau diserahkannya untuk mensucikan dirinya dari kehinaan kikir
atau bersyukur karena mengharap tambahan. Bagaimanapun diumpamakan, tetapi
tidak suka menyerahkan harta itu, tak beralasan sama sekali. Mengenai yang
kedua, yaitu: memandang dirinya lebih mulia dari si fakir, itu juga tanda
kebodohan. Karena kalau diketahuinya kelebihan miskin dari kaya dan
diketahuinya bahaya yang dihadapi oleh orang-orang kaya, niscaya tidak akan
dihinakannya orang fakir. Bahkan ia mengambil berkat daripada orang fakir dan
bercita-cita memperoleh derajat kefakiran itu. Orang-orang kaya yang salih,
akan memasuki sorga sesudah orang-orang fakir dengan 500 tahun.
Dari itu, bersabda Nabi saw: “Demi Tuhan
yang mempunyai Ka’bah ! mereka itu merugi !”. Bertanya Abu Dzar: “Siapakah
mereka itu ?”. Nabi saw menjawab: “Mereka yang banyak harta !”. Kemudian,
bagaimanakah ia menghinakan orang fakir, padahal orang fakir itu, telah
dijadikan Allah Ta’ala tempat ia berniaga. Karena ia mengusahakan harta dengan
rajin, memperbanyakkan harta dan bersungguh-sungguh menjaganya sekedar perlu.
Dan ia telah dimestikan, bahwa menyerahkan kepada orang fakir sekedar
keperluannya. Dan dilarang melebihi daripada itu, yang mendatangkan melarat kepadanya, kalau diserahkan. Maka orang
kaya, adalah dilayani untuk berusaha, menghasilkan rezeki orang fakir. Dan
dibedakan dari orang fakir, dengan menghadapi kezhaliman, mengalami penderitaan
dan menjaga diri dari segala yang tidak perlu, sampai ia mati. Lalu hartanya,
dimakan oleh musuh-musuhnya. Jadi, manakala telah tersingkir sifat tidak suka
dan berganti dengan suka dan senang dengan taufiq Allah Ta’ala kepadanya, pada
pelaksanaan kewajiban dan digenggamkannya harta kepada orang fakir, sehingga
terlepas daripada buruknya nasib dengan diterimanya pemberian itu daripadanya,
maka hilanglah al-adza, penghinaan, masam muka. Dan bertukarlah dengan
kegembiraan. Pujian dan penerimaan kenikmatan itu. Itulah tempat terjadinya
al-manni dan al-adza ! Kalau anda mengatakan, bahwa melihat dirinya dalam
tingkat orang yang berbuat baik, adalah suatu hal yang sulit. Adakah tanda,
yang dapat ia menguji hatinya dengan tanda itu, sehingga ia mengenal bahwa dia
tidak melihat dirinya berbuat baik ? Maka ketahuilah, bahwa ia mempunyai tanda
yang halus dan jelas. Yaitu: kalau diumpamakan si fakir itu telah berbuat suatu
penganiayaan atas dirinya atau si fakir itu menolong musuhnya umpamanya, maka
adakah bertambah perlawanan bathinnya dan menjauh hatinya dari si fakir itu,
dengan perlawanan bathinnya sebelum bersedekah itu ? Kalau bertambah, maka
tidaklah terlepas sedekahnya dari campuran al-manni, karena dengan sebabnya,
telah terjadi apa yang sebetulnya, tidak diharapkan terjadi sebelumnya. Kalau
anda mengatakan: “Ini adalah soal yang sulit dan tidak terlepaslah hati
seseorang daripadanya. Maka apakah obatnya ?”.
Maka
ketahuilah, bahwa ia mempunyai obat bathin dan obat
zhahir. Obat bathin, ialah mengenal segala hakikat/makna yang telah
kami sebutkan pada pemahaman yang wajib itu. Sesungguhnya orang fakirlah yang
berbuat baik kepadanya, pada mensucikannya dengan menerima sedekah. Adapun obat
zhahir, maka ialah segala perbuatan yang dikerjakan oleh orang yang bersifat
dengan al-manni itu. Maka sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang timbul dari
budi pekerti yang baik, niscaya akan mencelup hati itu berbudi pekerti yang
baik, sebagaimana akan datang segala kunci rahasianya, pada bahagian yang
penghabisan dari Kitab ini. Dari itu, sebahagian mereka meletakkan sedekah
dihadapan orang fakir dan tegak berdiri dihadapannya, meminta kiranya fakir itu
bersedia menerima sedekahnya. Sehingga ia berada dalam bentuk orang yang
meminta, disamping ia merasa tidak senang kalau sedekahnya ditolak. Sebahagian
mereka membuka tangannya, supaya fakir itu mengambil dari tangannya dan tangan si fakir menjadi di atas.
‘Aisyah dan
Ummu Salmah ra apabila mengirimkan sesuatu pemberian kepada orang fakir,
mengatakan kepada utusan yang membawa kiriman itu: “Hafalkanlah doa yang
dibacakan fakir itu !”. Kemudian, keduanya membalas seperti doa yang dibacakan
si fakir seraya mengatakan: “Dengan demikian, ikhlaslah sedekah kami bagi
kami”. Mereka sebetulnya, tidak mengharapkan doa,
karena itu menyerupai pembalasan. Dari itu, mereka membalas doa yang dibacakan
si fakir, dengan doa yang seperti itu pula. Begitulah diperbuat oleh Umar bin
Al-Khaththab dan anaknya Abdullah ra. Dan begitu pulalah orang-orang yang
menitik beratkan perhatiannya pada hati, mengobati hatinya. Dan tak adalah
obatnya dari segi zhahir, selain dari segala amal perbuatan ini, yang
menunjukkan kepada kehinaan, kerendahan diri dan menerima nikmat Allah Ta’ala.
Dan dari segi bathin, ialah segala pengetahuan (ilmu mengenal Allah Ta’ala)
yang telah kami sebutkan itu. Ini, dari segi amal perbuatan. Dan yang itu
dahulu, dari segi ilmu pengetahuan. Dan tidaklah hati itu diobati, selain dengan obat ilmu dan amal.
Syarat ini
dari zakat, adalah sejalan dengan jalannya khusyu’ dari shalat. Hal itu,
dibuktikan dengan sabda Nabi saw: “Tidaklah bagi manusia dari shalatnya, selain
daripada apa yang dipahaminya”. Dan ini, adalah seperti sabda Nabi saw: “Tidak diterima Allah sedekah orang yang membangkit-bangkitkan”,
dan seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Janganlah kamu batalkan sedekahmu
dengan “al-manni” (menyebut-nyebutkan) dan “al-adza” (menyakitkan)”. S 2 Al
Baqarah ayat 264. Adapun fatwa ulama fiqih, dengan jadinya zakat itu menjadi
zakat dan terlepasnya tanggung jawab dengan penyerahan yang seperti itu, tanpa
syarat yang kami sebutkan, adalah berdasarkan hadits lain, yang sudah kami
tunjukkan pengertiannya dalam “Kitab Shalat” dahulu.
Tugas
keenam: hendaklah dipandangnya pemberian itu kecil saja. Karena, kalau dipandangnya besar,
maka timbullah kebanggaan di dalam hatinya. Dan sifat kebanggaan itu, termasuk
sifat yang membinasakan. Dan itu membatalkan segala amal perbuatan. Berfirman
Allah Ta’ala: “Dan di hari perang Hunain, ketika kamu membanggakan diri karena
banyak jumlahnya, tetapi jumlah yang banyak itu, tidak menolong kepada kamu
sedikitpun”. S 9 At Taubah ayat 25. Dan ada yang mengatakan bahwa taat, kalau
dipandang kecil, maka besarlah dia pada sisi Allah Ta’ala. Dan ma’siat kalau
dipandang besar, maka kecillah dia pada sisi Allah ‘Azza Wa Jalla. Ada yang
mengatakan, bahwa perbuatan baik, tidak akan
sempurna, selain dengan 3 perkara: memandangnya kecil,
menyegerakannya dan menutupkannya. Dan tidaklah memandangnya besar itu,
dinamakan al-manni dan al-adza. Karena kalau diserahkannya hartanya kepada
pembangunan masjid atau langgar, niscaya mungkinlah di situ memandangnya besar
dan tidak mungkin al-manni dan al-adza. Tetapi membanggakan diri dan memandang
amalan itu besar, berlaku dalam segala ibadah. Dan obatnya,
ialah ilmu dan amal.
Adapun ilmu, yaitu ia mengetahui bahwa 1/10
atau 1/40, adalah sedikit dari yang banyak. Dan dia telah merasa puas bagi
dirinya, dengan pemberian ditingkat yang paling rendah itu, sebagaimana telah
kami sebutkan pada pemahaman yang wajib dahulu. Dari itu, wajarlah ia merasa
malu dari pemberian yang demikian. Bagaimanakah kiranya, ia memandang besar ?
kalau naiklah ia ke derajat yang lebih tinggi, lalu memberikan semua hartanya
ataupun sebahagian besar daripadanya, maka hendaklah ia memperhatikan, bahwa
dari manakah harta itu datang dan kemanakah hendak digunakannya ? Harta itu,
adalah kepunyaan Allah ‘Azza Wa Jalla. Allah boleh menyebut-nyebutkannya,
karena telah menganugerahkannya kepada seseorang dan memberikan taufiq kepada orang
itu untuk menyerahkannya. Maka mengapakah ia membesar-besarkan pemberiannya
pada hak Allah Ta’ala, akan sesuatu yang sebetulnya kepunyaan Allah Ta’ala ?
Kalau keadaannya menghendaki, bahwa ia memandang ke akhirat dan memberikannya
untuk memperoleh pahala, maka mengapakah ia membesar-besarkan pemberian yang
ditunggukannya pahala yang berlipat ganda ?.
Adapun amal, maka ia memberikan harta itu,
sebagai pemberian karena malu dari kekikiran, dengan menahan sisa hartanya
daripada Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka adalah sifatnya, merasa enggan dan malu,
seperti sifat orang yang diminta mengembalikan barang simpanan yang ada
padanya. Maka ditahannya setengah dan dikembalikannya setengah, sedang harta
seluruhnya adalah kepunyaan Allah ‘Azza Wa Jalla. Menyerahkan seluruhnya adalah
lebih disukai Allah swt. Sesungguhnya Dia tidak menyuruhkan hambaNya dengan
demikian, karena menyusahkan bagi hamba itu, lantaran kekikirannya, sebagaimana
tersebut dalam firman Allah Ta’ala: “Maka didesakkan Allah akan kamu, niscaya
kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37.
Tugas
ketujuh: bahwa dipilihnya daripada hartanya yang
paling baik, yang paling disayanginya, yang paling mulia dan yang paling
cantik. Karena Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima melainkan yang baik.
Apabila yang dikeluarkan untuk sedekah itu, dari harta yang diragukan halalnya
(harta syubhat), maka kadang-kadang harta itu bukan miliknya secara mutlak.
Sehingga tidaklah harta itu menjadi sebagaimana yang diharapkan. Tersebut pada
hadits yang diriwayatkan Aban dari Anas bin Malik: “Amat baiklah kiranya bagi
seorang hamba, yang mengeluarkan untuk sedekah dari harta yang diusahakannya,
tidak dari kemaksiatan”. Apabila yang dikeluarkan itu, tidak daripada harta
yang baik, maka itu adalah setengah daripada kurang adab (kurang sopan). Karena
mungkin ditahannya yang baik untuk dirinya sendiri atau untuk hambanya atau
untuk keluarganya. Jadi ia lebih memilih dan mementingkan orang lain, daripada
Allah Ta’ala. Kalau diperbuatnya demikian terhadap tamunya, disuguhkannya
makanan yang paling buruk kepada tamu itu di rumahnya, maka sesungguhnya ia
menyesakkan dadanya dengan yang demikian. Demikianlah kiranya, kalau ada
pandangannya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kalau pandangannya kepada dirinya
sendiri dan pahalanya di akhirat, maka tidaklah namanya berakal, orang yang
mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri.
Dan tidaklah harta itu menjadi
kepunyaannya, selain daripada apa yang telah disedekahkannya. Maka itulah yang kekal. Atau apa yang telah
dimakannya, maka itulah yang binasa. Dan apa yang dimakannya, adalah menunaikan
hajat hidup yang sekarang. Maka tidaklah termasuk berakal, orang yang
memperhatikan semata-mata kepada masa dekat dan meninggalkan
penyimpanan untuk masa depan. Berfirman Allah Ta’ala: “Hai
orang-orang yang beriman ! nafkahkanlah (keluarkanlah) sebahagian yang
baik-baik dari hasil usahamu dan hasil-hasil yang Kami keluarkan dari bumi dan
janganlah kamu pilihkan yang buruk-buruk diantaranya yang akan kamu nafkahkan;
sedangkan kamu sendiri tak mau mengambilnya (kalau diberikan kepada kamu),
melainkan dengan memicingkan mata”. S 2 Al Baqarah ayat 267. Artinya: kamu
tidak mengambilnya, kecuali dengan merasa benci dan malu. Itulah artinya
memicingkan mata. Maka tidaklah kamu memilihkan Tuhanmu dengan demikian. Pada
hadits tersebut: “Didahulukan oleh sedirham, akan 100 ribu dirham”. Yaitu
dengan dikeluarkan oleh seseorang dari hartanya, yang paling halal dan yang
paling baik. Maka keluarlah yang demikian itu dengan kerelaan dan kegembiraan
memberikannya. Kadang-kadang dikeluarkannya 100 ribu dirham daripada hartanya
yang tidak disukainya. Maka yang demikian itu, menunjukkan bahwa dia tidak
mengutamakan Allah ‘Azza Wa Jalla, dengan sesuatu yang dikasihinya. Dengan sebab
yang demikianlah, maka dicacikan oleh Allah suatu golongan yang menjadikan
untuk Allah, apa yang tidak disukai mereka. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan mereka
hubungkan dengan Allah, apa-apa yang tidak mereka sukai (untuk diri mereka) dan
lidah mereka menceritakan kepalsuan, bahwa mereka akan mendapat kebaikan.
Tidak”. Sebahagian ahli bacaan Alquran (ahli qiraat) berhenti (waqaf) pada
kata-kata “Tidak” itu, untuk membohongi mereka, kemudian memulai lagi dan
menyambung: “Sesungguhnya untuk mereka adalah neraka”. S 16 An Nahl ayat 62.
Artinya: Sesungguhnya bagi mereka neraka, karena mereka jadikan bagi Allah, apa
yang tidak mereka sukai.
Tugas
kedelapan: hendaklah dicari
untuk menerima sedekahnya, orang yang menjadi suci sedekahnya dengan orang itu.
Dan tidak dicukupkan saja, asal orang itu termasuk dalam golongan yang 8.
Karena dalam keseluruhan golongan yang 8 itu, terdapat sifat-sifat tertentu.
Maka hendaklah diperhatikannya sifat-sifat yang tertentu itu, yaitu 6 perkara.
1.
Hendaklah dicarikan orang-orang yang taqwa, yang berpaling
dari dunia, menjuruskan hidupnya untuk perniagaan akhirat. Bersabda Nabi saw: “Janganlah engkau makan, selain dari makanan orang yang
bertaqwa dan janganlah dimakan makanan engkau, selain oleh orang yang bertaqwa”. Inilah kiranya, karena orang yang bertaqwa itu,
dapat meminta pertolongan kepada taqwa. Maka adalah anda bersama-sama dengan
dia dalam mengerjakan taat, disebabkan anda memberikan pertolongan kepadanya.
Bersabda Nabi saw: “Berikanlah makananmu kepada orang-orang yang taqwa dan
tujukanlah perbuatan baikmu kepada orang-orang mu’min !”. Dan pada riwayat yang
lain, tersebut: “Tambahkanlah makananmu kepada orang yang engkau kasihi pada
jalan Allah Ta’ala”. Adalah sebahagian ulama, mengutamakan makanannya kepada
orang-orang shufi yang fakir, tidak kepada orang lain. Lalu orang bertanya
kepadanya: “Kalau tuan ratakan pemberian tuan itu kepada semua orang fakir,
tentulah lebih baik”’. Ulama itu menjawab: “Tidak ! cita-cita dari fakir yang
shufi itu, adalah semata-mata kepada Allah Ta’ala. Kalau datanglah kepapaan
kepada mereka, niscaya hancurlah cita-cita seseorang mereka. Dari itu, aku
lebih menyukai mengembalikan cita-cita seseorang kepada Allah ‘Azza Wa Jalla,
daripada memberikan kepada 1000 orang, yang cita-citanya duniawi”. Ucapan yang
di atas ini, disampaikan orang kepada Junaid, maka diterimanya dengan baik,
seraya mengatakan: “Yang mengucapkan kata-kata ini adalah salah seorang
daripada aulia Allah Ta’ala”. Seterusnya Junaid mengatakan: “Belum pernah aku
mendengar sejak dahulu, perkataan yang lebih baik daripada ini !”. Kemudian,
diceritakan, bahwa ulama yang mengucapkan kata-kata di atas tadi, rusak keadaan perniagaannya. Ia
bercita-cita meninggalkan tokonya, lalu Junaid mengirimkan bantuan harta
kepadanya dan berpesan: “Jadikanlah harta ini modalmu ! janganlah engkau
tinggalkan toko itu, karena berniaga tidaklah mendatangkan melarat bagi orang,
yang seperti engkau”. Ulama itu adalah penjual sayur-sayuran, tidak mau
mengambil pembayaran dari orang-orang fakir yang membeli padanya.
2.
Hendaklah orang yang dikhususkan diberikan itu dari ahli ilmu
khususnya. Karena yang demikian, adalah menolong orang itu kepada ilmu. Dan
ilmu adalah ibadah yang paling mulia, manakala benar niat padanya. Adalah
Ibnul-Mubarak mengkhususkan pemberiannya kepada ahli ilmu, lalu orang bertanya
kepadanya: “Mengapakah tidak tuan ratakan pemberian itu ?”. Ia menjawab: “Aku
tidak mengenal sesudah derajat kenabian, yang lebih utama daripada derajat
alim-ulama. Apabila hati salah seorang ulama terganggu dengan sesuatu
keperluan, maka tidaklah tercurah hatinya itu kepada ilmu dan tidak lagi
menerima orang untuk belajar. Dari itu, berusaha mencurahkan hati mereka kepada
ilmu, adalah lebih utama”.
3.
Hendaklah orang yang diberikan itu, orang yang benar taqwanya
dan ilmunya dengan kekeesaanan. Kekeesaanannya itu, ialah apabila ia menerima
pemberian lalu memujikan Allah, mensyukuriNya dan memandang bahwa nikmat itu
daripadaNya. Dan ia tidak memandang kepada perantaraan (si pemberi). Inilah
kesyukuran hamba yang sebaik-baiknya kepada Allah swt. Yaitu: memandang bahwa
nikmat itu semuanya adalah daripadaNya. Dalam wasiat Lukman kepada puteranya,
tersebut: “Janganlah engkau adakan diantara engkau dan Allah, pemberi nikmat
yang lain dan engkau hitung nikmat dari orang lain itu kepada engkau sebagai
hutang. Dan barangsiapa mensyukuri selain kepada Allah swt, maka dia seolah-olah tidak mengenal yang memberikan nikmat
itu. Dan tidak meyakini bahwa orang
perantaraan itu, adalah terpaksa diperuntukkan untuk memberi dengan penunjukkan
Allah ‘Azza Wa Jalla. Karena Allah Ta’ala telah menguasakan kepadanya
faktor-faktor untuk berbuat dan memudahkan sebab-sebab untuk berbuat. Lalu orang
itu memberikan dan dia itu terpaksa. Kalau ia menolak, tidak mau memberikannya,
maka ia tidak sanggup, setelah dicurahkan Allah ke dalam hatinya, bahwa
kemuslihatan agamanya dan dunianya adalah pada perbuatan itu. Manakala
penggerak sudah kuat, niscaya mengharuskan yang demikian, akan keteguhan
kemauan dan kebangkitan kesanggupan. Dan tidak hamba itu, sanggup menentang
penggerak yang kuat, yang tak ada keraguan lagi padanya. Allah ‘Azza Wa Jalla jua yang menjadikan penggerak-penggerak
itu dan membangkitkannya,
menghilangkan kelemahan dan kesangsian daripadanya. Menentukan kesanggupan
untuk bangun, menurut yang dikehendaki penggerak-penggerak itu. Siapa yang
meyakini akan ini, niscaya tidak ada baginya pandangan selain kepada Yang
Menyebabkan sebab-sebab itu. Keyakinan seperti hamba ini adalah lebih
bermanfaat bagi si pemberi, daripada pujian dan ucapan syukur dari orang lain.
Maka yang demikian itu, adalah gerakan lidah, pada kebanyakan hal, yang sedikit
faedahnya. Dan memberi pertolongan kepada seumpama hamba yang berkeesaan ini,
tidaklah sia-sia.
Adapun orang yang memuji dengan pemberian dan mendoakan
dengan kebajikan, maka akan mencaci bila tidak
diberikan lagi dan akan mendoakan dengan kejahatan, ketika disakitkan hatinya. Dan hal-ikhwalnya, adalah berlebih-kurang.
Diriwayatkan, bahwa Nabi saw: “Mengirimkan pemberian kepada sebahagian orang
fakir dan mengatakan kepada utusan yang membawa pemberian itu: “Hafalkanlah apa
yang diucapkan fakir itu !”. Tatkala fakir menerimanya, lalu mengucapkan:
“Segala pujian bagi Allah yang tidak lupa akan siapa yang mengingatiNya dan
tidak menyia-nyiakan akan siapa yang mensyukuriNya”. Kemudian fakir itu
menyambung lagi: “Ya Allah, ya Tuhanku ! sesungguhnya Engkau tidak melupakan si
Anu (maksudnya, dirinya sendiri), maka jadikanlah si Anu tidak melupakan
Engkau". Ia maksudkan dengan si Anu dirinya sendiri. Utusan itu
menceritakan kepada Nabi saw apa yang didengarnya, maka amat gembiralah Nabi
saw lalu bersabda: “Aku tahu, memang ia mengucapkan yang demikian”. Lihatlah betapa
perhatiannya, hanya tertuju kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa !. Bersabda Nabi
saw kepada seorang laki-laki: “Bertaubatlah !”. Maka menjawab laki-laki itu:
“Aku bertaubat kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak aku bertaubat kepada
Muhammad !”. Menjawab Nabi saw: “Diperkenalkan kebenaran kepada ahlinya !”.
Tatkala turun ayat suci, yang menerangkan
terlepasnya ‘Aisyah daripada berita palsu, maka berkata Abu Bakar ra kepada
‘Aisyah: “Bangunlah dan peluklah kepala Rasulullah saw !”. Maka menjawab ‘Aisyah:
“Demi Allah, aku tidak mau dan aku tidak memujikan, selain Allah !”. Lalu
menjawab Nabi saw: “Biarkanlah dia, wahai Abu Bakar !”. Pada riwayat lain,
tersebut, bahwa ‘Aisyah berkata kepada Abu Bakar ra: “Dengan memujikan Allah,
tidak dengan memujikan engkau dan sahabat engkau !”. Maka Rasulullah saw tidak
membantah yang demikian, sedang wahyu itu sampai kepada ‘Aisyah dengan
perantaraan lisan Rasulullah saw. Memandang segala sesuatu, selain daripada
Allah swt, adalah sifat orang-orang kafir. Berfirman Allah Ta’ala: “Ketika
disebut Allah saja sendirian, amatlah kesal hati orang-orang yang tiada
mempercayai hari kemudian itu. Tetapi ketika disebut (berhala-berhala) lain
dari Tuhan, lihatlah mereka amat gembira”. S 39 Az Zumar ayat 45. Dan siapa
yang tiada bersih bathinnya, daripada melihat perantara-perantara, kecuali dari
segi sebagai perantara saja, maka seakan-akan ia tiada terlepas bathinnya
daripada syirik yang tersembunyi. Hendaklah kiranya ia bertaqwa kepada Allah
Ta’ala, pada membersihkan keesaannya dari segala kotoran dan campuran syirik.
4.
Hendaklah orang yang diberikan itu, menutup dan
menyembunyikan hajat keperluannya. Tidak membanyakkan cerita dan pengaduan.
Atau ada dia orang yang berpribadi, sebahagian dari orang yang telah hilang
nikmat dari tangannya dan masih tetap adat kebiasaannya yang baik, di mana ia
meneruskan kehidupannya dalam pakaian keelokan. Berfirman Allah Ta’ala: “Orang
yang tidak tahu, mengira bahwa mereka masih kaya, karena suci jiwanya (tidak
mau minta-minta); kamu kenal mereka dengan tanda-tandanya, mereka tidak mau
meminta pada orang berulang-ulang”. S 2 Al Baqarah ayat 273. Artinya: mereka
tiada berulang-ulang meminta, karena mereka adalah orang-orang kaya dengan
keyakinan dan orang-orang mulia dengan kesabaran. Dan ini, seyogyalah dicari
dengan memeriksa dari ahli-ahli agama pada tiap-tiap tempat. Dan menyelidiki
tentang bathin keadaan dari ahli-ahli kebajikan dan keelokan. Maka pahala menyerahkan pemberian yang baik kepada mereka,
adalah berlipat ganda daripada menyerahkan kepada orang-orang yang
berterang-terangan meminta.
5.
Hendaklah ada orang yang diberikan itu, berkeluarga banyak
atau terkurung disebabkan karena sakit ataupun sebab-sebab yang lain. Maka
terdapatlah pada orang yang tersebut tadi, maksud daripada firman Allah ‘Azza
Wa Jalla: “(Berikanlah sedekah itu) untuk orang-orang fakir, yang terkepung di
jalan Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 273. Artinya: mereka tertahan pada jalan
akihrat, disebabkan penyakit atau kesempitan hidup atau perbaikan hati. Mereka
tidak sanggup berjalan keliling negeri, karena mereka terpotong sayap dan
terikat kaki dan tangannya. Dengan sebab-sebab inilah Umar ra memberikan kepada
keluarga Nabi saw yang keputusan belanja, 10 ekor kambing dan lebih dari itu.
Dan adalah Nabi saw sendiri “memberikan sesuatu pemberian, menurut banyak
keluarga”. Ditanyakan Umar ra tentang bencana yang sungguh-sungguh, maka
menjawab Umar: “banyak keluarga dan sedikit harta”.
6.
Hendaklah ada yang menerima itu, sebahagian
dari keluarga dan famili pihak ibu, maka jadilah itu sedekah dan
silaturrahmi. Dan pada silaturrahmi itu, terdapat pahala yang tidak terhingga.
Berkata Ali ra: “Adalah lebih aku sukai menyambungkan silaturrahmi seseorang
daripada saudaraku dengan satu dirham, daripada bersedekah dengan 20 dirham.
Dan menyambung silaturrahmi dengan 20 dirham, adalah lebih aku sukai daripada
bersedekah sebanyak 100 dirham. Dan menyambung silaturrahmi dengan 100 dirham,
lebih aku sukai daripada aku merdekakan seorang budak”. Teman-teman dan juga
saudara-saudara pada jalan kebajikan, didahulukan, dari segala orang yang
berilmu pengetahuan, sebagaimana didahulukan kaum keluarga dari orang-orang
asing (yang bukan keluarga). Maka hendaklah dijaga
yang halus-halus ini !. Inilah
sifat-sifat yang diminta dan masing-masing sifat itu mempunyai tingkat. Maka
seyogyalah dicari tingkat yang tertinggi. Kalau diperoleh orang yang
mengumpulkan sejumlah dari sifat-sifat ini, maka adalah itu suatu simpanan
besar dan rampasan agung. Manakala berusaha sungguh-sungguh yang demikian dan
benar (tidak salah), maka ia memperoleh dua pahala. Dan jika salah, maka ia
memperoleh satu pahala. Salah satu dari kedua pahalanya, pada sekarang juga,
yaitu mensucikan dirinya dari sifat kikir dan menguatkan cinta kepada Allah
dalam hatinya dan kesungguhannya mentaati Allah. Dan sifat-sifat inilah yang
menguatkan dalam hatinya, lalu merindukannya berjumpa dengan Allah ‘Azza Wa
Jalla. Pahala kedua, ialah yang kembali kepadanya, daripada faedah doa dan
cita-cita yang baik dari yang menerima zakat. Hati orang-orang baik itu,
mempunyai bekas sekarang dan di akhirat nanti. Kalau benarlah ia, maka
berhasillah dua pahala. Dan kalau salah, maka berhasil pahala pertama, tidak
pahala kedua. Maka dengan ini, berlipat gandalah pahala orang yang memperoleh
kebenaran pada ber-ijtihad di sini dan pada tempat-tempat yang lain. Allah Yang
Maha Tahu ! Wallaahu a’lam !.
PASAL KETIGA: Tentang orang yang menerima zakat,
sebab-sebab ia berhak menerimanya dan tugas-tugas penerimaan.
PENJELASAN: sebab-sebab berhak menerima zakat.
Ketahuilah, bahwa tiada berhak menerima zakat, selain orang
merdeka, muslim, tidak keturunan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, bersifat
dengan salah satu dari sifat 8 yang tersebut dalam Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla
(Alquran). Dan tidaklah zakat itu diserahkan kepada orang fakir, hamba sahaya,
Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Adapun anak kecil dan orang gila, maka boleh
diserahkan zakat kepadanya, apabila diterima oleh walinya. Marilah sekarang,
kami sebutkan sifat-sifat dari golongan 8 itu:
Golongan
Pertama: Orang fakir.
Orang fakir: ialah orang yang tidak
mempunyai harta dan tidak sanggup berusaha. Kalau ia mempunyai makanan yang
mencukupi sehari dan pakaian untuk dipakainya sekarang, maka tidaklah ia orang
fakir, tetapi orang miskin. Kalau ia mempunyai makanan untuk mencukupi setengah
hari, maka dia itu orang fakir. Kalau ia mempunyai kemeja panjang dan tidak
mempunyai sapu tangan, alas kaki dan celana, sedang harga kemeja panjang itu
tidak mencukupi untuk semua yang tadi, menurut yang layak bagi orang fakir,
maka dia itu orang fakir namanya. Karena dia sekarang tidak mempunyai apa yang
diperlukannya dan apa yang tidak disanggupinya. Maka tidak seyogyalah
disyaratkan pada fakir itu, bahwa ia tidak mempunyai pakaian selain dari
penutup aurat, karena syarat yang demikian itu, adalah berlebih-lebihan.
Biasanya tidak diperoleh orang yang seperti itu. Dan tidaklah keluar dari nama
fakir, karena ia biasa meminta-minta. Maka tidaklah meminta-minta itu,
dinamakan usaha. Kecuali ia sanggup berusaha, maka dengan ini, ia dikeluarkan dari
nama fakir. Kalau sanggup ia berusaha dengan sesuatu perkakas, maka dia itu
fakir, dan boleh dibelikan untuknya perkakas itu. Kalau sanggup ia berusaha
yang tidak layak dengan kepribadiannya dan dengan keadaan orang yang seperti
dia, maka itu fakir namanya. Kalau ia sedang belajar dan terhalang dari belajar
dengan berusaha, maka dia itu fakir dan tidak dikira kesanggupan nya bekerja.
Kalau ia seorang yang beribadah, yang dihalangi oleh berusaha itu, daripada
segala tugas ibadah dan wirid-wirid waktunya, maka hendaklah ia berusaha.
Karena berusaha adalah lebih utama daripada
beribadah. Bersabda Nabi saw: “Mencari yang halal, adalah fardlu
sesudah mengerjakan yang fardlu”. Dimaksudkan dengan “mencari halal” itu, ialah
bekerja mencari perbelanjaan. Berkata Umar ra: “Berusaha
pada harta yang diragukan halalnya (harta syubhat), adalah lebih baik daripada
meminta-minta”. Kalau ia berkecukupan
dengan perongkosan dari orang tuanya atau dari orang yang wajib menanggung
perbelanjaannya, maka ini adalah lebih mudah daripada berusaha. Maka tidaklah
ia dinamakan fakir.
Golongan
Kedua: Orang miskin.
Orang miskin, ialah orang yang tidak
mencukupi uang masuknya untuk uang keluarnya. Kadang-kadang orang yang
mempunyai 1000 dirham, dinamakan miskin dan kadang-kadang orang yang tidak
mempunyai selain dari sebuah kapak dan sehelai tali, dinamakan kaya. Sebuah
gubuk kecil yang ditempatinya dan sehelai kain yang menutupkan tubuhnya sekedar
perlu, tidaklah menghilangkan nama miskinnya. Demikian juga, perabot rumah,
yakni yang diperlukan dan yang layak baginya. Begitu pula kitab-kitab fiqih,
tidaklah melepaskan dia daripada nama miskin. Apabila tidak dimilikinya, selain
dari kitab-kitab, maka tidaklah wajib atasnya zakat fithrah. Karena kitab itu,
disamakan hukumnya dengan kain dan perabot rumah, karena diperlukan kepadanya.
Tetapi, seyogyalah diperhatikan sungguh-sungguh tentang keperluan kepada kitab
ini. Kitab adalah diperlukan karena 3 macam maksud, yaitu: untuk mengajar,
untuk mengambil faedah daripada isinya dan untuk memperoleh kesenangan dengan
membacanya (untuk penghibur). Adapun keperluan untuk memperoleh kesenangan
dengan membaca buku-buku itu, maka tidak masuk kiraan. Seperti menyimpan
buku-buku syair, sejarah dari berita-berita lama dsb, yang tidak bermanfaat di
akhirat dan tidak berlaku di dunia ini, selain untuk perintang waktu dan
penghibur. Buku yang semacam ini, dijual untuk
membayar kafarat dan zakat fithrah. Dan dilarang menamakan miskin
orang yang mempunyainya.
Adapun keperluan mengajar, kalau mengajar itu untuk usaha mencari
perbelanjaan, seperti juru nasehat, pengajar dan pemberi pelajaran dengan
memperoleh balasan jerih-payah, maka buku-buku itu adalah perkakasnya. Tidak boleh dijual untuk pembayar fithrah, seperti
alat perkakas tukang jahit dan tukang-tukang yang lain. Kalau dipakainya
buku-buku itu, untuk mengajar buat menegakkan fardlu kifayah (jika ada 1 orang
yg mengerjakannya maka selesai urusan itu), maka buku-buku tersebut tidak
dijual dan tidak mencabutkan dia dari nama miskin, karena itu adalah keperluan
yang penting. Adapun keperluan untuk memperoleh faedah daripadanya isinya dan
untuk belajar daripadanya, seperti menyimpan buku-buku kesehatan untuk
mengobati diri sendiri atau kitab nasehat, untuk dibaca sendiri dan untuk
memperoleh pengajaran dengan isinya, maka kalau dalam negeri itu adalah dokter
dan juru nasehat, niscaya buku-buku itu tidak begitu penting baginya. Kalau
tidak ada, maka benarlah dia memerlukan kepada buku itu. Kadang-kadang, dia
tidak memerlukan membaca buku tersebut, kecuali sesudah beberapa lama kemudian.
Maka seyogyalah dipastikan masa memerlukan kepadanya. Yang lebih dekat kepada
kebenaran, hendaklah dikatakan, bahwa manakala tidak diperlukan kepadanya dalam
setahun, maka adalah buku itu tidak penting baginya. Sesungguhnya, siapa yang
berlebih dari makanan harinya sesuatu, niscaya wajiblah ia mengeluarkan
fithrah. Apabila makanan kita taksirkan mencukupi untuk sehari, maka keperluan
perabot rumah tangga dan pakaian di badan, selayaknyalah ditaksir untuk
setahun. Dari itu, tidak dijual pakaian musim panas pada musim dingin. Dan
buku-buku adalah serupa dengan pakaian dan perabot rumah tangga. Kadang-kadang
ia mempunyai dari semacam buku dua buah, maka tidaklah memerlukan kepada salah
satu daripada keduanya. Kalau ia mengatakan: “Yang satu lebih benar dan yang
satu lagi lebih baik. Aku memerlukan kepada kedua-duanya !”. Maka kami
menjawab: “Cukupkanlah dengan yang lebih benar, jualkanlah yang lebih baik dan
tinggalkanlah penghiburan dan kemewahan !”. Kalau ada dua macam buku dari satu
ilmu pengetahuan, yang satu secara luas dan yang satu lagi secara singkat, maka
kalau maksudnya untuk memperoleh faedah, maka hendaklah dicukupkannya dengan
yang secara luas. Dan kalau maksudnya untuk memberi pelajaran, maka berhajatlah
ia kepada kedua-duanya, karena masing-masing ada faedahnya, yang tidak terdapat
pada yang lain. Contoh-contoh untuk gambaran-gambaran yang serupa ini, tidaklah
terhingga banyaknya dan tidak dibentangkan dalam ilmu fiqih. Dan kami
bentangkan di sini, adalah karena merata bahayanya dan menjaga dengan kebagusan
pandangan ini kepada yang lain. Sesungguhnya menyelidiki secara mendalam,
gambaran-gambaran itu, adalah tidak mungkin. Karena seperti pandangan ini
mengenai perabot rumah adalah melampaui tentang ukurannya, bilangannya dan
macamnya. Dan mengenai pakaian di badan dan di rumah, tentang luasnya dan
sempitnya. Dan tidaklah hal-hal ini mempunyai batas tertentu. Tetapi ulama
fiqih berusaha benar-benar tentang itu dengan buah pikirannya dan ia
mendekatkan kepada pembatasan-pembatasan itu, dengan pendapat yang
dikemukakannya. Dan dihadapinya bahaya syubhat (diragukan) dalam hal tersebut.
Orang wara’, mengambil dengan berhati-hati dan meninggalkan apa yang
meragukannya kepada yang tidak meragukannya. Tingkat-tingkat menengah yang
menyulitkan, diantara segi-segi yang nyata-nyata bertentangan, adalah amat banyak.
Dan tidaklah terlepas daripadanya, selain dengan berhati-hati. Wallaahu a’lam:
Allah Yang Maha Tahu !.
Golongan
Ketiga: yang bekerja pada zakat (‘amil).
Mereka adalah para pekerja yang
mengumpulkan zakat, selain dari khalifah (kepala pemerintahan) dan qadli
(hakim). Dan termasuk dalam golongan ‘amil zakat, orang yang mengamat-amati
zakat, penulis urusan zakat, orang yang mengurus, supaya zakat itu dilaksanakan
dengan sempurna, penjaga zakat dan pengangkut zakat. Masing-masing mereka,
tidak dilebihkan upahnya dari upah yang layak. Kalau berlebih sesuatu harga
dari yang diserahkan kepada ‘amil itu, dari upahnya yang layak, maka yang berlebih itu dikembalikan untuk diserahkan kepada golongan penerima zakat yang
lain. Dan kalau berkurang, maka dicukupkan dari harta kepentingan umum.
Golongan
Keempat: orang muallaf (orang yang ditarik hatinya kepada Islam).
Yaitu orang-orang yang terkemuka yang telah
memeluk agama Islam, di mana mereka berpengaruh dalam kaumnya. Dan dengan
menyerahkan zakat kepada mereka, membawa mereka tetap di dalam agama Islam dan
menarik hati orang-orang yang setaraf dan pengikut-pengikutnya.
Golongan Kelima: orang mukatab (budak yang diberi kesempatan oleh
tuannya mencari harta, untuk diserahkan kepada tuannya, sebagai penebus dirinya
dari hamba sahaya). Maka diserahkan bahagian dari mukatab ini kepada tuannya.
Dan kalau diserahkan kepada si mukatab sendiri, boleh juga. Dan si tuan itu
tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada mukatabnya sendiri, karena terhitung
budaknya.
Golongan
Keenam: gharim (orang yang berhutang).Yaitu: yang
berhutang pada mentaati Allah atau pada pekerjaan yang dibolehkan (pekerjaan
mubah), sedang ia seorang fakir. Kalau berhutang pada jalan maksiat, maka tidak
diberikan zakat, kecuali setelah ia bertaubat. Dan kalau ia seorang kaya,
maka tidak dilunaskan hutangnya dengan zakat, kecuali apabila
ia berhutang untuk kepentingan umum atau untuk memadamkan suatu kekacauan (fitnah).
Golongan
Ketujuh: ghuzah (kaum pejuang fisabilillah).Yaitu mereka yang
tidak terdaftar namanya dalam buku orang-orang yang dibelanjai negara. Maka
diserahkan kepada mereka sebahagian dari zakat, walaupun mereka itu kaya, untuk
memberikan pertolongan kepada mereka dalam peperangan.
Golongan
Kedelapan: ibnussabil. Yaitu orang yang bermusafir dari negerinya, pada bukan
maksiat atau ia singgah pada negeri itu. Maka diberikan zakat kepadanya, kalau
ia seorang fakir. Dan kalau ada hartanya di negeri lain, niscaya diberikan
sekedar, yang menyampaikannya ke negeri itu. Kalau anda bertanya: “Dengan
apakah dikenal sifat-sifat itu ?”. Maka kami menjawab, bahwa kefakiran dan
kemiskinan, adalah dengan keterangan dari penerima zakat itu sendiri, tanpa dimintakan bukti dan tanpa disumpahkan.
Tetapi bolehlah berpegang kepada perkataannya, apabila tidak diketahui
kedustaannya. Berperang dan bermusafir itu, adalah pekerjaan yang akan datang.
Dari itu, diberikan zakat kepadanya, dengan pengakuannya: “Aku ini orang yang
berperang”. Kalau tidak ditepatinya, menurut pengkuannya itu, maka yang telah
diterimanya, diminta kembali. Adapun golongan-golongan yang lain, maka
hendaklah dibuktikan ! Itulah syarat-syarat berhak menerima zakat ! dan tentang
jumlah yang diserahkan kepada masing-masing, akan diterangkan nanti.
PENJELASAN:
tugas-tugas dari orang yang menerima zakat.
Yaitu 5 perkara:
Pertama: hendaklah
diketahuinya, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla mewajibkan penyerahan zakat kepadanya,
adalah supaya mencukupi cita-cita dan seluruh cita-citanya menjadi satu. Karena
Allah ‘Azza Wa Jalla menerima ibadah makhlukNya, dengan adanya satu cita-cita
hati mereka, yaitu Allah swt dan hari akhirat. Dan itulah yang dimaksudkan
dengan firmanNya: Kuciptakan jin dan manusia itu, supaya mereka berbakti
(beribadah) kepadaKu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 56. Tetapi, tatkala hikmah
menghendaki, bahwa hamba itu dikuasai hawa nafsu dan hajat keperluannya, di
mana hawa nafsu dan hajat keperluan itu mencerai-beraikan cita-citanya, maka
kemurahan Tuhan menghendaki kelimpahan nikmat, yang mencukupkan segala hajat
keperluan. Lalu diperbanyakkan Nya harta dan dituangkanNya ke dalam tangan
hamba-hambaNya. Untuk menjadi alat bagi mereka dalam menolakkan hajat keperluannya dan
menjadi jalan dalam menyelesaikan ketaatannya. Diantara mereka, ada yang
sebahagian besar dari hartanya, menjadi fitnah dan
bencana, lalu harta itu mendorongkannya ke dalam bahaya. Dan
diantara mereka, ada yang mencintai harta, yang dapat memeliharakannya daripada
kesibukan duniawi, sebagaimana seorang perawat memeliharakan orang sakit yang
dirawatinya. Maka terjauhlah dia daripada segala kejijikan duniawi dan
mengalirlah kepadanya harta sekedar yang diperlukan, dari tangan orang-orang
kaya. Supaya adalah yang demikian itu, usaha yang mudah. Dan payah pada
mengumpulkan dan penjagaan harta itu, adalah atas orang-orang kaya tersebut. Dan
faedahnya menonjol kepada orang-orang fakir, lalu fakir-fakir itu dapat
menyerahkan seluruh jiwa raganya berbakti kepada Allah dan bersedia untuk
sesudah mati. Maka tidak terhalang dari kebaktian oleh segala kejijikan duniawi
dan tidak diganggu oleh kesempitan hidup, daripada bersedia bagi hari kemudian.
Inilah nikmat yang setinggi-tingginya !. Maka hak orang fakir ialah,
mengetahui tingkatnya nikmat kefakiran. Dan meyakini bahwa kurnia Allah
kepadanya, mengenai sesuatu yang menjauhkannya daripadanya, adalah lebih banyak
daripada kurniaNya mengenai sesuatu yang dianugerahiNya, sebagaimana akan
datang pembuktian dan penjelasannya pada “Kitab Kefakiran” insya Allah Ta’ala.
Maka hendaklah diambilnya, apa yang diambilnya daripada Allah Ta’ala, sebagai
rezeki dan pertolongan baginya kepada taat. Dan hendaklah niatnya untuk
memperoleh kekuatan mentaati Allah. Kalau ia tidak sanggup kepada yang
demikian, maka hendaklah harta itu digunakannya kepada yang diperbolehkan oleh
Allah ‘Azza Wa Jalla. Kalau digunakannya untuk penolong berbuat maksiat
kepada Allah Ta’ala, niscaya adalah ia orang yang kufur (tidak mensyukuri) akan
segala nikmat Allah ‘Azza Wa Jalla berhak kejauhan dan kutukan daripada
Allah swt.
Kedua: hendaklah
disyukurinya orang yang memberi, didoakan dan dipujikan. Syukur dan doanya itu,
hendaklah tidak keluar dari kedudukan si pemberi selaku perantaraan. Tetapi dia
adalah jalan sampainya nikmat Allah kepadanya. Dan jalan itu mempunyai hak, di
mana dia telah dijadikan Allah sebagai jalan dan perantaraan. Dan tidaklah ia
menghilangkan penglihatan nikmat daripada Allah swt. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang tidak mensyukuri manusia, niscaya ia tidak
mensyukuri Allah”. Allah ‘Azza Wa Jalla memujikan hambaNya pada
beberapa tempat atas amal perbuatan mereka, padahal Dia yang menjadikan dan
yang menciptakan kudrat pada perbuatan-perbuatan itu, seperti firmanNya: “Ia
adalah seorang hamba Allah yang amat baik ! sesungguhnya dia senantiasa kembali
kepadaNya”. S 38 Shaad ayat 30. Dan pada beberapa tempat yang lain. Hendaklah penerima zakat,
mengucapkan dalam doanya: “Disucikan Allah kiranya hatimu dalam hati
orang-orang baik, dibersihkan Allah amalanmu dalam amalan orang-orang pilihan
dan diberikan Allah rahmat kepada ruhmu dalam ruh orang-orang syahid”.
Bersabda Nabi saw: “Siapa yang menyerahkan kepadamu sesuatu pemberian yang
baik, maka balaskanlah pemberian itu ! jikalau kamu sanggup, maka berdoalah
kepadanya, sehingga kamu mengetahui, bahwa kamu telah membalaskan
pemberiannya”. Setengah daripada kesempurnaan syukur, ialah menutupkan
kekurangan yang ada pada pemberian, kalau ada padanya kekurangan. Dan tidak menghina
dan mencaci akan pemberian itu. Dan tidak diberi malu orang yang diminta,
apabila ia tidak memberi. Dan hendaklah memandang
besar perbuatan dari orang yang
memberi itu, kepada dirinya dan kepada orang lain. Tugas si pemberi, ialah memandang kecil amalan
yang dikerjakannya. Dan tugas si penerima, ialah mengingati nikmat yang
diperolehnya dan hendaklah memandangnya besar. Masing-masing hamba Allah itu,
hendaklah berdiri pada hak kewajibannya. Dan yang demikian itu, tidak ada
padanya pertentangan. Karena yang mewajibkan untuk memandang kecil dan besar
adalah bertentangan. Yang bermanfaat bagi si pemberi, ialah memperhatikan
sebab-sebab yang membawa kecil arti pemberiannya dan memberi melarat yang
sebalik dari itu. Dan bagi yang menerima adalah sebaliknya. Sehingga
masing-masing, tidak berlawanan dengan melihat nikmat itu daripada Allah ‘Azza
Wa Jalla. Karena orang yang tidak melihat perantaraan
itu, sebagai perantaraan, adalah orang bodoh.
Dan orang yang mungkir, ialah orang yang tidak sekali-kali melihat perantaraan
itu.
Ketiga: hendaklah dilihatnya barang yang
diambilnya itu. Kalau tidak dari yang halal, hendaklah ia menjaga diri daripadanya.
“Siapa yang takut (bertaqwa) kepada Allah, maka Dia mengadakan untuk orang itu,
jalan keluar (dari kesulitan). Dan memberikan rezeki kepadanya dari (sumber)
yang tiada pernah dipikirkannya”. S 65 Ath Thalaaq ayat 2-3. Orang yang
menjaga diri (wara’) dari yang haram, terbukalah baginya yang halal. Dari
itu, janganlah diterima harta orang-orang Turki, tentara, pegawai-pegawai
sultan dan orang-orang yang sebagian besar usahanya dari haram. Kecuali
kalau dia dalam keadaan yang sempit benar dan barang yang diserahkan kepadanya,
tidak diketahuinya, pemiliknya yang sebenarnya. Maka dalam hal ini, ia boleh
mengambil sekedar perlu saja. Karena fatwa dari syari’at/agama, dalam hal yang
seperti ini, ialah boleh ia menerima sedekah, berdasarkan kepada apa yang akan
diterangkan nanti dalam “Kitab Halal dan Haram”. Yaitu apabila ia telah lemah
daripada memperoleh yang halal. Apabila diambilnya pemberian tersebut, maka
tidaklah pengambilan itu pengambilan zakat namanya. Karena tidaklah menjadi zakat
dari pembayarnya, dan harta itu haram.
Keempat: hendaklah ia
menjaga dari hal-hal yang meragukan dan menyangsikan tentang jumlah yang
diambilnya dari zakat. Janganlah ia mengambil, selain daripada jumlah yang
diperbolehkan. Dan tidak ia mengambilnya, kecuali apabila ia meyakini
benar-benar, bahwa ia termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat.
1. Kalau ia menerima zakat atas nama
golongan mukatab (budak yang diberi kesempatan oleh tuannya mencari harta untuk
diserahkan kepada tuannya sebagai penebus dirinya dari hamba sahaya) dan
gharim/orang yang berhutang, maka janganlah melebihi dari sekedar hutang.
2. Kalau ia mengambil zakat, disebabkan
bekerja pada zakat, maka janganlah melebihi dari ongkos yang layak. Kalau diberikan lebih banyak
dari itu, hendaklah ia menolak dan tidak menerimanya. Karena bukanlah
itu harta kepunyaan si pemberi, sehingga ia boleh bersedekah begitu juga.
3. Kalau ia seorang musafir, janganlah
melebihi daripada perbekalan dan ongkos kendaraan ke tempat tujuannya.
4. Kalau ia seorang pejuang di medan
perang, janganlah ia mengambil, selain daripada apa yang diperlukannya untuk
berperang khususnya. Yaitu: kuda, senjata dan belanja. Dan taksiran untuk itu,
adalah dengan taksiran yang sungguh-sungguh dan tak adalah baginya batas
tertentu.
5. Dan begitu pula, perbekalan bagi musafir.
Dan orang wara’, meninggalkan yang meragukan kepada yang tidak meragukannya.
Kalau ia mengambil zakat, disebabkan kemiskinan, maka hendaklah mula-mula ia
memperhatikan kepada perabot rumahnya, pakaiannya dan kitab-kitabnya. Adakah
diantara barang-barang tersebut, yang tidak diperlukannya ? atau tidak
diperlukan atas kecantikannya, sehingga mungkin diganti dengan barang lain yang
memadai baginya dan melebihi sebahagian harganya. Semuanya itu, memerlukan
kepada pemikiran yang sungguh-sungguh. Ada pada segi zhahir, di mana ia
meyakini bahwa ia berhak dan segi lain yang bertentangan dengan segi zhahir
tadi, di mana ia meyakini bahwa ia tidak berhak. Diantara kedua segi tersebut,
terdapat beberapa hal yang ditengah-tengah, yang serupa satu dengan lainnya. Dan
siapa yang bermain-main keliling barang yang terlarang, besar kemungkinan ia
terjatuh ke dalamnya. Pada zhahirnya, disini dipegang, adalah kepada perkataan
si penerima zakat. Dan yang berkepentingan, pada menentukan kepentingannya,
mempunyai beberapa tingkatan, tentang kesempitan dan kelapangannya. Dan
tingkatan-tingkatan itu tidak terhingga jumlahnya.
Orang wara’, condong kepada kesempitan dan
orang yang menganggap enteng tentang sesuatu, condong kepada kelapangan.
Sehingga ia memandang dirinya memerlukan kepada bermacam-macam seni kelapangan,
yaitu hal-hal yang terkutuk pada agama. Kemudian, apabila telah tertentu
keperluannya, maka janganlah si penerima zakat itu, mengambil lebih banyak.
Tetapi sekedar yang mencukupkan kebutuhannya, dari waktu diambilnya sampai
kepada masa setahun. Inilah sejauh mungkin masa, yang diberi kesempatan
padanya, dari segi bahwa masa setahun, apabila berulang-ulang, niscaya
berulang-ulang pula sebab kemasukan uang. Dan dari segi bahwa Rasulullah saw
menyimpan untuk keluarganya makanan setahun. Inilah yang lebih mendekati kepada
kebenaran, batasan yang membatasi fakir dan miskin. Kalau
disingkatkan kepada keperluannya untuk sebulan atau sehari, maka ini adalah
lebih mendekati kepada taqwa.
Berbeda pendapat diantara beberapa madzhab
dari para ulama, tentang jumlah yang diambil menurut hukum zakat dan sedekah.
Diantaranya, ada yang bersangatan benar sedikitnya, kepada batas yang
mengharuskan, disingkatkan kepada sekadar makanan sehari-semalam dari si
penerima zakat itu. Golongan ini berpegang dengan apa yang diriwayatkan Sahl
bin Al-Handhaliah, bahwa: “Nabi saw melarang meminta-minta dalam keadaan kaya”.
Lalu ditanyakan kepada Nabi saw tentang kaya itu, maka beliau menjawab: “Mencukupi untuk pagi dan sore”. Berkata golongan lain, boleh si penerima zakat itu
mengambil sampai kepada batas kaya. Batas kaya, ialah nishab zakat, karena
Allah Ta’ala tidak mewajibkan zakat, selain atas orang-orang kaya. Seterusnya,
golongan ini mengatakan, bahwa si penerima zakat boleh mengambil untuk dirinya
sendiri dan untuk masing-masing dari keluarganya, sebanyak nishab zakat.
Berkata golongan lain pula, bahwa batas kaya, ialah 50 dirham atau nilainya
dengan emas, karena diriwayatkan Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang meminta-minta, sedang ia mempunyai harta yang
menjadikan ia kaya, niscaya ia datang pada hari qiamat dan pada mukanya penuh
dengan luka yang digaruk-garuk”. Maka ditanyakan Nabi saw:
“Bagaimanakah kayanya itu ?”. Lalu Nabi saw menjawab: “50 dirham atau nilainya
dari emas”. Ada yang mengatakan, bahwa perawi hadits tadi, tidak kuat. Berkata
suatu golongan, 40 dirham, karena diriwayatkan oleh ‘Atha bin Yassar suatu
hadits munqathi’ (hadits yang putus riwayatnya antara perawi dan Nabi saw), bahwa
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, sedang dia mempunyai satu auqiah
perak (40 dirham), maka adalah dia memaksakan diri meminta yang tidak
dibolehkan”. Segolongan lain lagi, terlalu benar memberi kelapangan, dimana
mereka mengatakan: “Boleh bagi si penerima zakat mengambil suatu jumlah, yang
dapat dibelikannya suatu benda. Lalu ia merasa cukup dengan benda itu seumur
hidupnya. Atau ia menyediakan suatu barang untuk diperniagakannya. Dan ia
merasa cukup dengan barang itu seumur hidupnya, karena inilah yang bernama
kaya”.
Berkata Umar ra: “Apabila kamu memberi,
maka kayakanlah orang diberikan itu !”. Sehingga segolongan berpendapat, bahwa
seorang yang fakir, boleh mengambil jumlah yang membawa ia kepada keadaan yang
layak, walau 10 ribu dirham. Kecuali apabila ia telah keluar dari batas
sederhana. Tatkala Abu Thalhah sibuk dengan kebunnya, sampai tertinggal shalat,
lalu ia berkata: “Aku serahkan kebun ini untuk sedekah !”. Maka Nabi saw
berkata: “Serahkanlah kebun itu kepada kerabatmu. Itu adalah lebih baik bagimu
!”. Lalu Abu Thalhah menyerahkannya kepada Hasan dan Abu Qatadah. Maka sebuah
kebun kurma bagi dua orang, adalah banyak, sehingga tidak memerlukan kepada
yang lain.
Umar ra menyerahkan kepada seorang Arab
kampung, seekor unta betina serta dengan anaknya. Demikianlah diceritakan
tentang memberikan kelapangan pada bersedekah itu. Adapun menyedikitkan sampai
kepada makanan sehari atau sebahagian dari sekati makanan, maka itu datangnya,
mengenai tidak disukai meminta-minta dan bulak-balik dari pintu ke pintu rumah
orang. Hal yang seperti itu ditantang benar-benar dan mempunyai kedudukan hukum
yang lain. Bahkan; membolehkan, sampai dapat dibelikannya suatu benda, di mana
ia merasa cukup dengan benda itu, adalah lebih mendekati kepada suatu kemungkinan
dan juga lebih condong kepada keroyalan. Yang lebih mendekati kepada
kesederhanaan, ialah mencukupi setahun. Dan dibalik itu, adalah membahayakan.
Sedang kurang dari itu, adalah menyempitkan. Segala persoalan ini, apabila tak
ada padanya penentuan sesuatu bahagian dengan tauqif (penentuan yang datang
dari Nabi saw), maka tidaklah bagi orang mujtahid, selain dairpada menetapkan
hukum dengan apa yang terjadi baginya. Kemudian dikatakan kepada orang yang
wara’: “Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun mereka telah berfatwa
kepadamu dan mereka telah berfatwa kepadamu”, sebagaimana telah disabdakan
Nabi saw. Karena dosa itu adalah suatu penyakit hati. Dari itu, apabila yang
menerima zakat, memperoleh sesuatu pada dirinya, dari apa yang diambilnya itu,
maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah padanya dan janganlah memandang enteng,
karena berdalilkan dengan fatwa dari ulama-ulama zhahir (ULAMAH DUNIA). Fatwa
mereka mempunyai beberapa ikatan dan melepaskan dari hal-hal yang dlarurat.
Pada fatwa itu, terdapat dugaan-dugaan dan perbuatan-perbuatan yang meragukan.
Dan menjaga dari hal-hal yang meragukan itu, adalah sifat dari orang-orang yang
beragama, dan kebiasaan dari orang-orang yang berjalan ke jalan akhirat.
Kelima: hendaklah yang
menerima zakat, bertanya kepada pemilik harta, berapa jumlah zakat yang
diwajibkan ke atas pundaknya. Kalau ada yang diserahkannya, di atas harga yang
seharusnya, maka janganlah diambilnya. Karena dia tidak berhak bersama
kongsinya, melainkan harga yang pantas. Maka hendaklah dikurangkannya dari
harga itu, sebanyak apa yang diserahkan kepada dua orang daripada golongannya
yang menerima zakat. Pertanyaan yang dimajukan kepada pemilik harta tadi,
adalah wajib atas kebanyakan orang, karena mereka tiada menjaga pembahagian
itu, adakalanya karena kebodohan dan adakalanya karena memandang enteng. Dan
baru boleh meninggalkan pertanyaan dari persoalan-persoalan yang seperti ini,
apabila tidak menimbulkan keras dugaan, kemungkinan haram padanya. Dan akan
datang uraian tentang tempat-tempat yang menimbulkan dugaan pertanyaan dan
tingkat kemungkinan, pada “Kitab Halal dan Haram”. Insya Allah Ta’ala.
PASAL KEEMPAT: Tentang sedekah sunat, tentang
keutamaannya, adab menerimanya dan memberinya.
PENJELASAN: keutamaan sedekah.
Diantara hadits-hadits yang menerangkan
keutamaan sedekah, yaitu sabda Nabi saw: “Bersedekahlah, walaupun dengan sebiji
kurma. Sesungguhnya sedekah itu menutupkan keperluan daripada orang yang lapar
dan memadamkan kesalahan, sebagaimana air memadamkan api”. Bersabda Nabi saw:
“Takutilah api neraka, walaupun dengan sebelah biji kurma. Kalau tidak kamu
peroleh biji kurma, maka dengan perkataan yang baik”. Bersabda Nabi saw:
“Tidaklah dari seorang hamba muslim, yang bersedekah dengan suatu sedekah
daripada usaha yang baik –dan Allah tidak menerima, selain yang baik –melainkan
adalah Allah yang mengambil sedekah itu dengan tangan kananNya. Lalu
diperliharaNya sebagaimana dipelihara oleh seorang dari kamu akan anak
lembunya, sehingga biji kurma itu sampai sebesar bukit Uhud”. Bersabda Nabi saw
kepada Abid-Darda’: “Apabila engkau masakan sayuran, maka banyakkanlah airnya,
kemudian lihatlah kepada tetanggamu, lalu tuangkanlah kepada mereka daripadanya
dengan yang baik !”. Bersabda Nabi saw: “Tiadalah seorang hamba, yang membagus kan
sedekahnya, melainkan Allah ‘Azza Wa Jalla membaguskan penggantinya pada harta
peninggalannya”. Bersabda Nabi saw: “Tiap-tiap manusia itu dalam naungan
sedekahnya, sehingga ia diadili diantara segala manusia”. Bersabda Nabi saw: “Sedekah
itu menutupkan 70 pintu kejahatan”. Bersabda Nabi saw: “Sedekah secara
rahasia, memadamkan kemarahan Tuhan ‘Azza Wa Jalla”. Bersabda Nabi saw:
“Tidaklah yang memberikan daripada keluasan, dengan pahala yang lebih utama,
daripada yang menerima untuk memenuhi hajat keperluan”. Semoga yang dimaksudkan
dengan hadits ini, ialah orang yang bertujuan daripada memenuhi hajat
keperluannya, adalah menyerahkan seluruh waktunya untuk agama. maka samalah dia
dengan orang yang memberi, yang bertujuan dengan pemberiannya itu, untuk
memakmurkan agamanya. Ditanyakan Rasulullah saw: “Sedekah manakah yang lebih
utama ?”. Nabi saw menjawab: “Yaitu bahwa engkau bersedekah, dimana engkau
dalam sehat dan kikir, bercita-cita kekal dan takut kepada kemiskinan. Janganlah
engkau lambatkan bersedekah itu, sehingga apabila nyawa telah sampai kepada nafas
yg penghabisan, lalu engkau katakan: untuk si anu sekian, untuk si anu sekian
dan adalah itu untuk si anu !”.
Bersabda Nabi saw pada suatu hari kepada
para sahabatnya: “Bersedekahlah kamu sekalian !”.
Menjawab seorang sahabat: “Padaku ada satu
dinar !”. Maka bersabda Nabi saw: “Belanjakan untuk dirimu !”.
Menjawab sahabat itu: “Padaku ada satu
dinar lagi !”. Menyahut Nabi saw: “Belanjakanlah untuk isterimu !”.
Menjawab sahabat itu lagi: “Padaku ada satu
dinar lagi !”. Menyahut Nabi saw: “Belanjakanlah untuk anakmu !”.
Menjawab sahabat itu lagi: “Padaku ada satu
dinar lagi !”. Menyahut Nabi saw: “Belanjakanlah untuk pelayanmu !”.
Menjawab sahabat itu lagi: “Padaku ada satu
dinar lagi !”. Maka menjawab Nabi saw: “Engkaulah yang lebih tahu kepentingan,
untuk apa uang itu lagi”.
Bersabda Nabi saw: “Tidaklah halal sedekah
untuk keluarga Muhammad. Sedekah itu adalah daki manusia”. Bersabda Nabi saw:
“Kembalikanlah kehormatan orang yang meminta, walaupun dengan makanan seperti
kepala burung”. Bersabda Nabi saw: “Kalau benarlah orang yang meminta, maka dia
tidak merasa senang kepada orang yang menolak permintaannya”.
Berkata Isa as: “Siapa yang menolak orang
yang meminta, yang kecewa keluar dari rumahnya, niscaya malaikat tidak masuk ke
rumah itu selama 7 hari”. Nabi Kita Muhammad saw tidak menyerahkan dua perkara
kepada orang lain: ia sendiri menyimpan air bersuci dan menutupkannya di malam
hari dan ia sendiri memberikan sesuatu kepada orang miskin dengan tangannya
yang mulia. Bersabda Nabi saw: “Tidaklah orang miskin itu, yang ditolak oleh
sebiji dan dua biji kurma, oleh sesuap dan dua suap makanan. Sesungguhnya orang
miskin ialah yang menjaga kehormatan diri. Bacakanlah kalau kamu mau: “Laa
yas-aluunan naasa ilhaafaa”. (Mereka tidak mau meminta berulang-ulang). S 2 Al
Baqarah ayat 273. Bersabda Nabi saw: “Tidaklah seorang muslim yang memberi
pakaian kepada orang muslim, melainkan adalah ia dalam pemeliharaan Allah ‘Azza
Wa Jalla, selama masih tinggal secarik pakaian itu daripadanya”. Adapun atsar,
yaitu berkata ‘Urwah bin Az Zubair: “Telah bersedekah ‘Aisyah sebanyak 50 ribu,
sedang bajunya sendiri koyak”. Berkata Mujahid mengenai firman Allah ‘Azza Wa
Jalla: “Mereka memberikan makanan dengan kasih sayangnya kepada orang miskin,
anak piatu dan orang tawanan (terpenjara). S 76 Al Insaan ayat 8, bahwa: mereka
amat rindu kepada makanan itu. Umar ra berdoa: “Ya Allah, ya Tuhanku !
jadikanlah kurniaMu pada orang-orang baik dari kami, mudah-mudahan mereka
kembalikan kurnia itu kepada yang berhajat daripada kami”. Berkata Umar bin
‘Abdul-aziz: “Shalat itu menyampaikan kamu setengah
jalan, puasa itu menyampaikan kamu ke pintu kerajaan dan sedekah itu membawa
kamu masuk ke dalamnya”. Berkata Ibnu Abil Ja’d: “Sesungguhnya
sedekah itu, menolak 70 pintu kejahatan. Dan kelebihan merahasiakannya daripada
melahirkannya, adalah 70 kali lipat. Dan sesungguhnya sedekah itu
melepaskan seseorang yang hidup dari tipuan 70 setan”. Berkata Ibnu Mas’ud:
“Bahwa seorang laki-laki telah beribadah kepada Allah 70 tahun lamanya,
kemudian tertimpa ke atas dirinya suatu perbuatan keji, maka binasalah
amalannya. Kemudian lalulah ia pada seorang miskin, maka ia bersedekah
kepadanya dengan sepotong roti. Maka diampunkan oleh Allah dosanya dan
dikembalikan kepadanya amalannya yang 70 tahun itu”.
Berkata Lukman kepada puteranya: “Apabila
engkau berbuat suatu kesalahan, maka berikanlah sedekah !”. Berkata Yahya bin
Mu’az: “Tiada aku ketahui suatu bijipun yang timbangannya seberat bukit-bukit
dunia, selain daripada suatu biji daripada sedekah”. Berkata ‘Abdul ‘Aziz bin
Abi Ruwwad: “Adakah dikatakan, bahwa 3 perkara dari gudang sorga:
menyembunyikan kesakitan, menyembunyikan sedekah dan menyembunyikan bahaya
(musibah) yang menimpa diri”. Ucapan yang di atas ini, ada yang meriwayatkan
sebagai hadits musnad. Berkata Umar bin Al-Khaththab ra: “Bahwa segala amalan
itu bangga membanggakan sesamanya. Maka berkatalah sedekah: “Akulah yang lebih
utama daripada kamu semuanya !”. Abdullah bin Umar bersedekah gula, seraya
berkata: “Aku mendengar firman Allah: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan,
hanyalah jika kamu menafkahkan (mengeluarkan) sebahagian daripada apa yang kamu
kasihi”. S 3 Ali ‘Imran ayat 92. Dan Allah Maha Tahu bahwa aku menyukai gula”.
Berkata An-Nakha’i: “Apabila sesuatu itu untuk Allah ‘Azza Wa Jalla maka aku
tidak senang, bila ada padanya kekurangan”. Berkata ‘Ubaid bin ‘Umar:
“Dikumpulkan manusia pada hari qiamat, dalam keadaan lapar, yang belum pernah
sekali-kali dirasakan mereka. Dalam keadaan haus, yang belum pernah sekali-kali
dirasakan mereka. Dan dalam keadaan tak berpakaian, yang belum pernah
sekali-sekali dialami mereka. Maka barangsiapa memberikan makanan karena Allah
‘Azza Wa Jalla, niscaya ia dikenyangkan oleh Allah. Barangsiapa memberikan
minuman karena Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya ia diberikan minuman oleh Allah.
Dan barangsiapa memberikan pakaian karena Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya
diberikan pakaian oleh Allah”. Berkata Al-Hasan: “Kalau Allah berkehendak
niscaya IA menjadikan kamu semuanya kaya, tak ada yang fakir pada kamu. Tetapi
Ia mencoba sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain”.
Berkata Asy-Sya’bi:
“Siapa yang tidak melihat dirinya, lebih memerlukan kepada pahala sedekah,
daripada orang fakir yang berhajat kepada sedekahnya, maka sesungguhnya ia
telah membatalkan sedekahnya dan telah menamparkan mukanya dengan sedekahnya
itu”. Berkata Malik: “Kami berpendapat, bahwa tiada mengapa orang kaya itu
minum dari air yang disedekahkannya dan yang diserahkannya untuk minuman di
dalam masjid. Karena air itu diperuntukkan kepada orang yang haus, baik siapa
saja dan tidaklah dimaksudkan khususnya kepada orang yang memerlukan dan kepada
orang yang miskin”. Diceritakan orang, bahwa Al-Hasan didatangi oleh seorang
penjual budak belian dan bersamanya seorang budak perempuan. Lalu bertanya
Al-Hasan kepadanya: “Relakah kamu harganya sedirham atau 2 dirham ?”. Menjawab
penjual budak belian itu: “Tidak !”. Maka sahut Al-Hasan: “Kalau begitu
pergilah ! Allah Ta’ala rela pada bidadari dengan sesen dan sesuap makanan”.
PENJELASAN: menyembunyikan sedekah dan
melahirkannya.
Berselisih jalan dari orang-orang yang
mencari keikhlasan tentang itu. Suatu golongan daripada mereka, condong kepada
lebih utama menyembunyikan. Dan suatu golongan lain condong kepada lebih utama
melahirkan. Dan kami menunjukkan, bahwa pada masing-masing daripada keduanya,
terdapat pengertian-pengertian dan bahaya-bahaya. Kemudian, kami akan bukakan
tutup yang benar padanya. Adapun menyembunyikan, maka padanya 5 pengertian:
1.
Menyembunyikan itu, menetapkan tertutup kepada si penerima.
Kalau diterimanya secara terang-terangan, maka itu merusakkan untuk menutupkan
kehormatan pribadi, terbuka terang keperluan diri, keluar daripada keadaan
menjaga nama dan memeliharakannya yang amat disenangi, yang disangka oleh orang
bodoh, bahwa orang-orang yang menjaga nama itu adalah orang-orang kaya.
2.
Menyembunyikan itu, menyelamatkan hati dan lidah manusia.
Karena manusia itu, kadang-kadang dengki atau membantah berhaknya si penerima
zakat itu. Dan mereka menduga bahwa si penerima itu mengambilnya tanpa memerlukan
atau mengambilnya melebihi dari yang sebenarnya. Dengki, jahat sangka dan upat
adalah dosa besar. Dan menjaga manusia dari segala dosa yang tersebut tadi,
adalah lebih utama. Berkata Abu Ayub As-Sakhtayani: “Sesungguhnya aku
meninggalkan memakai pakaian baru, karena takut mendatangkan iri hati pada
tetanggaku”. Berkata setengah orang zahid: ”Kadang-kadang aku tinggalkan
memakai sesuatu, karena teman-temanku akan menanyakan: “Dari manakah engkau
memperoleh ini ?”. Diriwayatkan dari Ibrahim At-Taimi, bahwa ia dilihat orang
memakai kemeja baru, lalu bertanyalah sebahagian teman-temannya: “Dari manakah
engkau memperoleh ini ?”. Menjawab Ibrahim: “Aku diberikan pakaian oleh temanku
Khaitsamah. Kalaulah aku ketahui bahwa familinya tahu, niscaya tidaklah aku
terima pemberiannya itu”.
3.
Menolong si pemberi untuk merahasiakan amalannya. Karena
keutamaan merahasiakan pemberian daripada melahirkan, adalah lebih banyak. Dan
menolong kepada menyempurnakan perbuatan yang baik, adalah baik. Menyembunyikan
itu, tidak sempurna, kecuali dengan dua orang (si pemberi dan si penerima).
Manakala dilahirkan oleh si penerima, niscaya terbukalah pekerjaan si pemberi.
Seorang laki-laki menyerahkan suatu barang, kepada setengah ulama dengan
terang-terangan. Lalu ulama itu mengembalikannya. Kemudian seorang laki-laki
lain menyerahkan kepadanya secara tersembunyi, maka diterimanya. Lalu orang
bertanya kepada ulama tadi, mengapa beliau bertindak demikian ?. Beliau
menjawab: “Orang laki-laki ini beramal secara adab, menyembunyikan pemberiannya,
maka aku terima. Dan orang laki-laki itu, merusakkan adab kesopanannya pada
amalannya, maka aku kembalikan kepadanya”. Seorang laki-laki menyerahkan suatu
barang di muka orang banyak kepada setengah orang shufi, lalu orang shufi itu
mengembalikannya. Maka laki-laki itu bertanya: “Mengapakah tuan kembalikan
kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, apa yang telah diberikanNya kepada tuan ?”.
Menjawab orang shufi tadi: “Engkau telah menyekutukan selain Allah swt, pada
milik Allah dan tidak engkau merasa puas dengan Allah ‘Azza Wa Jalla saja. Dari
itu, aku kembalikan kepada engkau persekutuan engkau”. Sebahagian orang ‘arifin
(orang yang mendalam ma’rifahnya kepada Allah) menerima sesuatu yang diberikan
secara rahasia dan menolaknya kalau diberikan secara terang-terangan. Lalu ia
ditanyakan tentang yang demikian, maka ia menjawab: “Aku mendurhakai Allah,
dengan cara terang-terangan, maka aku tidak menolong engkau pada ma’siat. Dan
aku mentaatiNya dengan cara menyembunyikan, maka aku menolong engkau kepada
kebajikan”. Berkata Ats-Tsuri: “Kalau aku ketahui bahwa seseorang mereka, tiada
menyebutkan dan tiada menceritakan akan sedekahnya, niscaya aku terima
sedekahnya”.
4.
Bahwa pada melahirkan penerimaan itu, adalah penghinaan dan
kerendahan diri. Tidaklah bagi seorang mu’min itu menghinakan dirinya. Ada
sebahagian ulama mau menerimanya secara rahasia dan tidak mau menerima secara
terbuka, seraya mengatakan: “Bahwa dengan terbuka itu, menghinakan ilmu dan
merendahkan ahli ilmu. Maka tidaklah aku bersama orang yang meninggikan sesuatu
dari dunia, dengan merendahkan ilmu dan menghinakan
ahli ilmu”.
5.
Menjaga daripada keraguan perkongsian. Bersabda Nabi saw:
“Siapa yang dihadiahkan kepadanya suatu hadiah, di muka orang banyak, maka
orang banyak itu berkongsi pada hadiah tadi”. Dan dengan adanya barang itu
perak atau emas, maka tidak keluar ia daripada bernama hadiah. Bersabda Nabi
saw: “Sebaik-baik benda yang dihadiahkan seseorang kepada saudaranya, ialah
perak atau diberinya makanan roti”. Perak itu dijadikan hadiah dengan terasing.
Maka apa yang diberikan di muka orang banyak adalah makruh, selain dengan
kerelaan mereka semuanya dan tidak terlepas daripada syubhat (diragukan).
Apabila diberikan dengan terasing (tidak di muka orang banyak), maka
terhindarlah daripada syubhat (diragukan) itu. Adapun melahirkan dan
memperkatakan dengan sedekah yang diberikan itu, maka padanya terdapat 4
pengertian:
1. Keikhlasan,
kebenaran dan kesejahteraan daripada yang meragukan antara keadaan dan
pandangan.
2. Menghilangkan
kemegahan dan kedudukan, melahirkan kehambaan dan kemiskinan, melepaskan diri
daripada kesombongan dan dakwaan tidak memerlukan, menjatuhkan diri sendiri
daripada pandangan orang banyak. Berkata setengah ahli ma’rifah kepada
muridnya: “Lahirkan penerimaan sedekah dalam segala hal, kalau engkau yang
menerima. Maka sesungguhnya engkau tidak terlepas dari salah satu dua orang:
orang yang terjatuh engkau daripada hatinya, apabila engkau berbuat demikian.
Dan itulah yang dimaksud. Karena dia menyerahkan, karena agama engkau dan
mengurangkan bahaya bagi diri engkau. Atau orang yang bertambah derajat engkau
dalam hatinya, dengan engkau lahirkan kebenaran. Dan itulah yang dimaksudkan
oleh saudara engkau. Karena dia bertambah pahalanya dengan bertambah sayangnya
kepada engkau dan penghormatannya akan engkau. Maka adalah engkau membuat
pahala, karena engkaulah sebab bertambah pahala baginya”.
3.
Bahwa orang yang berma’rifah kepada Allah, tak ada
penglihatannya, selain kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Rahasia dan terang padanya
satu. Memperbedakan keadaan, adalah syirik dalam keesaan. Berkata setengah
mereka: “Kami tidak memperdulikan dengan doa orang yang mengambil dalam cara
rahasia dan menolak dalam cara terang. Memandang kepada makhluk yang hadir atau
yang tak hadir, adalah suatu kekurangan dalam keadaan. Tetapi seyogyalah, bahwa
pandangan itu tertuju kepada Yang Maha Esa dan Maha Tunggal”.
Diceritakan, bahwa sebahagian dari guru (syaikh), adalah amat
tertarik kepada seseorang dari sejumlah muridnya yang banyak. Maka keadaan yang
demikian, menyusahkan perasaan murid-murid yang lain. Lalu bermaksudlah tuan
guru itu melahirkan kelebihan muridnya yang seorang tadi kepada murid-muridnya
yang lain. Maka beliau serahkan kepada masing-masing muridnya, seekor ayam,
seraya berkata: “Hendaklah masing-masing kamu pergi sendiri-sendiri, membawa
ayamnya dan sembelihkanlah tanpa dilihat oleh seorang manusia”. Maka pergilah
masing-masing mereka, menyembelihkan ayamnya, kecuali murid yang seorang itu.
Dia mengembalikan ayamnya, seraya bertanya kepada kawan-kawannya, murid-murid
yang lain. Lalu mereka menjawab: “Kami telah mengerjakan apa yang disuruhkan
kami oleh tuan guru !”. Lalu tuan guru
itu bertanya kepada murid yang seorang tadi: “Mengapakah tidak engkau
sembelihkan ayam itu, sebagaimana disembelihkan oleh teman-temanmu ?”. Menjawab
murid itu: “Tak sanggup aku memperoleh tempat, yang aku tidak dilihat oleh seseorang,
karena Allah melihat aku pada tiap-tiap tempat”. Menyambung tuan guru:
“Karena inilah, aku tertarik kepadanya, karena dia tidak memandang, selain
kepada Allah ‘Azza Wa Jalla”.
4.
Bahwa melahirkan itu, adalah menegakkan sunnah bersyukur.
Berfirman Allah Ta’ala: “Dan kurnia Tuhan engkau, hendaklah siarkan !”. S 93
Adh Dhuhaa ayat 11. Menyembunyikan, adalah kufur (menutupkan) nikmat. Dan Allah
‘Azza Wa Jalla tidak menyukai orang yang menyembunyikan apa yang dianugerahiNya
dan diletakkanNya orang itu dengan kekikiran. Maka berfirman IA: “Yaitu
orang-orang yang kikir, menyuruh manusia supaya bersifat kikir dan
menyembunyikan kurnia yang diberikan Allah kepadanya”. S 4 An Nisaa’ ayat 37.
Bersabda Nabi saw: “Apabila Allah Ta’ala menganugerahkan
suatu nikmat kepada hambaNya, niscaya suka IA, agar nikmat itu kelihatan pada
hambaNya”. Seorang laki-laki memberikan sesuatu kepada setengah orang salih,
secara tersembunyi. Lalu tidak mau menerimanya, seraya mengatakan: “Ini adalah
dari dunia dan secara terang-terangan adalah lebih utama padanya. Dan cara
tersembunyi, adalah lebih utama pada urusan akhirat”. Dari itu, berkata
sebahagian mereka: “Apabila diberikan kepada engkau di muka orang banyak,
maka ambillah ! kemudian kembalikan secara rahasia !”. Bersyukur pada
pemberian orang itu, dianjurkan. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang tidak
mensyukuri manusia, maka dia tidak mensyukuri Allah ‘Azza Wa Jalla”. Syukur
itu, adalah sama dengan pembalasan atas pemberian, sehingga Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa menyerahkan kepadamu suatu pemberian, maka balasilah ! kalau tidak
sanggup, maka pujilah dia dengan kebaikan dan berdoalah kepadanya, sehingga
kamu mengetahui bahwa kamu telah membalasi kebaikan nya”. Tatkala berkata kaum Muhajirin
(orang-orang yang berhijrah ke Madinah mengikuti Nabi saw), tentang syukur:
“Wahai Rasulullah ! belum pernah kami menjumpai orang yang sebaik kaum
(penduduk), yang kami tempati pada mereka (orang Madinah). Maka bagi-bagikan
hartanya kepada kami. Sehingga kami takuti, mereka habiskan semuanya untuk
memperoleh pahala”. Menjawab Nabi saw: “Tiap-tiap apa yang kamu syukuri kepada
mereka dan kamu pujikan, adalah itu pembalasan namanya”.
Sekarang,
apabila anda telah mengetahui segala pengertian ini, maka ketahuilah, bahwa apa
yang telah dinukilkan, tentang berbeda pendapat para alim ulama tentang
menyembunyikan atau melahirkan dari sedekah itu, sebetulnya tidaklah perbedaan
pendapat tentang masalahnya, tetapi hanyalah perbedaan keadaan saja. Maka di
sini, membuka kulit, tampak isi, kami menegaskan, bahwa tidaklah kami
menetapkan suatu hukum dengan tegas, bahwa menyembunyikan itu, adalah lebih
utama dalam segala hal atau melahirkan itu adalah lebih utama. Tetapi hal itu
berbeda menurut perbedaan niat yang diniatkan. Dan niat itu berbeda, dengan berlainan
keadaan dan orang. Dari itu, seyogyalah bagi orang yang ikhlas, mengintip
dirinya sendiri, sehingga dia tidak terikat dengan tali tipuan dan tidak
tertipu dengan kesangsian tabiat dan dayaan setan. Dayaan dan tipuan itu, lebih
banyak pada pengertian menyembunyikan daripada melahirkan, dimana sebetulnya
dayaan dan tipuan itu terdapat pada kedua-duanya. Jalan masuknya tipuan pada
dirahasiakan, ialah dari kecondongan tabiat manusia kepadanya. Karena padanya
kurang kemegahan dan kedudukan, jatuh derajat pada pandangan manusia dan
pandangan makhluk kepadanya dengan mata penghinaan. Dan kepada si pemberi,
dengan mata pemberi nikmat, yang berbuat kebaikan. Inilah dia suatu penyakit
yang tertanam dan membenam di dalam jiwa. Dan dengan perantaraan penyakit itu,
setan melahirkan pengertian-pengertian kebajikan, sehingga dia membuat alasan
kebenarannya dengan pengertian yang lima, yang telah kami sebutkan dahulu.
Ukuran dan
sipatan itu semuanya, adalah satu. Yaitu: perasaan sakitnya dengan terbuka berita
penerimaannya akan sedekah, adalah seperti sakitnya dengan terbukanya sedekah
yang diterima oleh sebahagian teman-teman dan kawan-kawannya. Sehingga, kalau
ia bermaksud menjaga manusia daripada mengumpat, dengki dan buruk sangka atau
menjaga rusaknya yang tertutup atau menolong si pemberi kepada merahasiakan
atau memeliharakan ilmu daripada pemberian, maka semuanya itu, termasuk yang
berhasil dengan membukakan sedekah temannya. Kalau membukakan urusannya
sendiri, adalah lebih berat kepadanya, daripada membuka urusan orang lain. Maka
diumpamakan dengan berhati-hati daripada segala pengertian tersebut, adalah
lebih salah dan lebih salah lagi daripada tipuan dan godaan setan.
Penghinaan
kepada ilmu, haruslah diawasi, dari segi dia itu ilmu, tidak dari segi, dia itu
ilmu si Zaid atau ilmu si Umar umpamanya. Mengumpat, haruslah diawasi, dari
segi dia itu mendatangkan kerusakan nama yang harus dipelihara. Tidak dari segi
mengupat itu mendatangkan kerusakan nama baik si Zaid khususnya. Siapa yang
memperhatikan persoalan yang seperti ini dengan sebaik-baiknya, mungkinlah
setan tak berdaya terhadapnya. Kalau tidak, maka selalulah kebanyakan amal dan
sedikitlah keuntungan.
Adapun segi
melahirkan, maka tabiat condong kepadanya, dari segi menyenangkan hati si
pemberi dan membangkitkan semangat orang lain untuk menirukannya. Dan
melahirkan kepada orang lain, bahwa si penerima itu, termasuk orang yang bersungguh-sungguh benar mensyukuri pemberian
orang. Sehingga orang banyak ingin memuliakan dan merasa kehilangan, bila si
pemberi itu tidak ada. Inipun suatu penyakit yang tertanam di dalam bathin. Dan
setan tidak berdaya terhadap orang yang beragama, selain dengan melakukan
kekejian ini, dalam bidang melaksanakan sunnah Nabi saw. Dan berkatalah setan itu
kepadanya: “Syukur itu, sebahagian daripada sunnah dan menyembunyikan itu
sebahagian daripada ria”. Lalu setan itu mengemukakan pengertian-pengertian
yang telah kami sebutkan dahulu, untuk dibawanya kepada melahirkan. Dan
tujuannya yang mendalam, ialah apa yang telah kami sebutkan itu. Ukuran dan
sipatan itu semuanya, yaitu hendaklah melihat kepada kecondongan diri kepada
bersyukur, di mana kabar itu tidak berpenghabisan kepada si pemberi dan kepada
orang yang suka dengan pemberiannya. Di muka orang banyak, mereka tidak suka
melahirkan pemberian itu dan ingin menyembunyikannya. Kebiasaan mereka, tidak
mau memberikan, selain kepada orang yang menyembunyikannya dan tidak
mensyukurinya. Apabila segala hal keadaan ini bersamaan padanya, maka hendaklah
ia ketahui, bahwa penggeraknya ialah menegakkan sunnah tentang syukur dan
memperkatakan nikmat. Kalau tidak demikian, maka adalah ia tertipu.
Kemudian,
apabila telah diketahui, bahwa penggeraknya, adalah sunnah tentang bersyukur,
maka tidak seyogyalah ia melupakan tentang menunaikan hak si pemberi. Maka
hendaklah ia perhatikan: kalau si pemberi itu, termasuk orang yang menyukai
syukur dan berita pemberiannya, maka seyogyalah ia menyembunyi kan dan tidak
mensyukurinya. Karena menunaikan hak si pemberi itu, adalah tidak menolongnya
kepada kezhaliman. Dan dimintanya kesyukuran itu, adalah suatu kezhaliman.
Apabila ia mengetahui hal keadaan si pemberi, tidak menyukai syukur dan tidak
bermaksud supaya pemberiannya disyukuri (diucapkan terima kasih), maka ketika
itu, hendaklah si penerima mensyukuri akan si pemberi dan melahirkan
sedekahnya. Dari itulah bersabda Nabi saw terhadap orang yang dipujikan
dihadapan beliau: “Kamu pukul lehernya. Kalau didengarnya, tentu ia tidak
merasa senang”. Dalam pada itu, Nabi saw sendiri memujikan suatu kaum dihadapan
mereka itu sendiri. Karena Nabi saw percaya atas keyakinan mereka dan Nabi saw
tahu, bahwa yang demikian itu, tidak mendatangkan melarat kepada mereka. Bahkan
Nabi saw menambahkan kesukaan mereka kepada kebajikan, lalu Nabi saw mengatakan
kepada salah seorang daripadanya: “Bahwa dia itu penghulu penduduk dusun”.
Bersabda Nabi saw mengenai seorang yang lain: “Apabila datang kepadamu seorang
mulia dari suatu kaum, maka muliakanlah dia !”. Pernah Nabi saw mendengar perkataan seorang laki-laki,
lalu mena’jubkan Nabi saw, maka bersabdalah beliau: “Sesungguhnya dari jelasnya
perkataan itu menjadi sihir yang menarik”. Bersabda Nabi saw: “Apabila seorang
daripada kamu mengetahui dari saudaranya, akan yang baik, maka hendaklah
menceritakannya, karena bertambahlah kegemarannya kepada kebajikan”. Bersabda
Nabi saw: “Apabila dipujikan seorang mu’min, maka bertambahlah iman di dalam
hatinya”. Berkata Ats-Tsuri: “Siapa mengenal dirinya, niscaya tidaklah
memberikan melarat pujian manusia kepadanya”. Berkata pula Ats-Tsuri kepada
Yusuf bin Asbath: “Apabila aku serahkan kepadamu suatu pemberian, adalah aku
rahasiakan dia daripadamu. Dan aku melihat itu, suatu nikmat daripada Allah
‘Azza Wa Jalla kepadaku, maka bersyukurlah ! kalau tidak demikian, maka
janganlah engkau bersyukur !”. Yang halus-halus daripada segala pengertian ini,
seyogyalah diperhatikan oleh orang yang memeliharakan hatinya. Karena segala
amal perbuatan anggota badan, serta melengahkan segala yang halus-halus ini, adalah
tertawaan dan makian setan kepadanya. Karena banyaklah kepayahan dan kurangnya
manfaat. Ilmu yang seperti ini, adalah ilmu yang dikatakan, bahwa mempelajari
suatu permasalahan daripadanya, adalah lebih utama daripada ibadah setahun.
Karena dengan ilmu ini, hiduplah ibadah seumur hidup. Dan dengan tak mengetahui
ilmu ini, mati dan kosonglah ibadah seumur hidup. Pendek kata, mengambil sedekah di muka umum dan menolaknya yang secara
rahasia, adalah jalan yang paling baik dan yang paling selamat. Maka
tidak wajarlah ditolak dengan kata-kata yang terhias, kecuali diketahui benar,
di mana secara rahasia dan terang-terangan itu sama. Itulah dia belerang merah,
yang selalu diperkatakan dan tak pernah bersua. Kita bermohon akan Allah Yang
Maha Pemurah, kebagusan pertolongan dan taufiq !.
PENJELASAN: tentang yang lebih utama dari menerima
sedekah & zakat.
Adalah Ibrahim Al-Khawwash, Al-Junaid dan segolongan ulama,
berpendapat bahwa mengambil sedekah adalah lebih utama. Karena pada mengambil
zakat itu, adalah berdesak-desakan dan menyempitkan orang-orang miskin. Dan
kadang-kadang tidak lengkap sifat untuk berhak mengambil zakat, seperti yang
disifatkan dalam Kitab Suci. Adapun sedekah, urusannya adalah lebih luas. Ada
segolongan yang mengatakan, dengan mengambil zakat, tidak sedekah, karena
menerima zakat itu, adalah menolong kepada yang wajib. Kalau sekiranya semua
orang miskin, menolak menerima zakat, maka berdosalah semuanya. Dan karena pada
zakat, tak ada menyebut-nyebut padanya. Dia adalah hak yang diwajibkan karena
Allah Ta’ala, sebagai rezeki kepada segala hambaNya yang memerlukan. Dan karena
zakat itu diambil dengan keperluan. Dan manusia itu tahu dengan pasti, akan
keperluan dirinya. Dan mengambil zakat, adalah mengambil dengan jalan agama.
Biasanya, orang yang bersedekah, memberikan
kepada orang yang diyakininya baik. Dan karena berteman dengan orang-orang
miskin, memasukkan ke dalam kehinaan dan kemiskinan dan amat jauh dari takabur.
Karena kadang-kadang manusia itu, menerima sedekah dalam tontonan pemberian
hadiah, maka tak berbedalah sedekah daripadanya. Dan ini menegaskan atas
kehinaan orang yang menerima dan keperluannya. Perkataan yang benar mengenai
ini, ialah bahwa hal itu, berlainan menurut keadaan orang, menurut keadaan yang
biasa terjadi kepadanya dan menurut apa yang hadir di dalam niatnya. Kalau ada
keraguan, mengenai dirinya bersifat dengan sifat yang berhak menerima zakat,
maka tidak seyogyalah ia mengambil zakat. Dan apabila ia mengetahui bahwa
benar-benar ia berhak, seperti apabila ada utangnya yang dipergunakannya pada
jalan kebajikan dan tak ada jalan baginya untuk membayarnya, maka benar-benarlah
ia berhak menerima zakat. Apabila disuruh pilih antara zakat dan sedekah, maka
kalau orang yang bersedekah itu, tidak mau bersedekah dengan harta tadi, bila
orang yang diserahkan itu, tak mau mengambilnya, maka hendaklah ia mengambil
sedekah itu. Sesungguhnya zakat wajib, adalah diserahkan oleh pemiliknya kepada
yang berhak menerimanya. Maka pada yang demikian itu, membanyakkan kebajikan
dan melapangkan orang-orang miskin. Dan kalau harta itu dikemukakan untuk
sedekah dan tak ada pada pengambilan zakat itu, menyempitkan orang-orang
miskin, maka dia boleh memilih. Dan keadaan pada keduanya itu berlebih kurang.
Dan dalam banyak hal, menerima zakat adalah lebih menghancurkan dan menghinakan
diri.
Wallaahu a’lam ! Allah Maha Tahu !.
Telah sempurna “Kitab rahasia-rahasia Zakat” dengan pujian,
pertolongan dan kebaikan taufiq Allah Ta’ala. Dan insya Allah, akan disambung
oleh “Kitab Rahasia-rahasia Puasa”. Segala pujian bagi Allah Tuhan seru
sekalian alam. Diberi Allah rahmat kepada penghulu kita Muhammad, kepada
sekalian nabi dan rasul, kepada para malaikat dan yang dekat dengan Allah, dari
penduduk langit dan bumi, kepada segala keluarga dan sahabatnya. Diberi Allah
kiranya kesejahteraan yang sebanyak-banyaknya, yang berkekalan terus-menerus
sampai kepada hari qiamat. Dan segala pujian bagi Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Hanya Allah yang mencukupkan bagi kami dan sebaik-baik untuk menyerahkan diri
!.