Rabu, 04 Januari 2017

8. KITAB ADAB TILAWAH AL QURAN

KITAB ADAB TILAWAH AL QURAN.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah yang telah menganugerahkan keni’matan kepada segala hambaNya, dengan NabiNya saw yang diutuskan dan KitabNya yang diturunkan yang tidak datang kepadanya kesalahan dari pihakNya dan dari pihak makhlukNya turun dari Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji sehingga meluas lah kepada ahli pikir, jalan ibarat, dengan apa yang didalamnya, dari segala cerita dan berita. Dan teranglah dengan dia jalan bagi perjalanan yang benar dan lurus, dengan apa yang diuraikan didalamnya, dari hukum-hukum. Dan Kitab itu memisahkan antara halal dan haram. Maka dia adalah terang-benderang dan cahaya. Dengan dia terlepas dari tipuan dan padanya obat untuk apa yang didalam dada. Barangsiapa menyalahinya dari orang-orang yang kasar, niscaya dibinasakan oleh Allah. Dan barangsiapa menuntut ilmu pada lainnya niscaya disesatkan oleh Allah.
Alquran itulah tali Allah yang kokoh dan cahayaNya yang nyata, talinya yang kuat dan perpegangan yang sempurna. Dia itu meliputi dengan yang sedikit dan yang banyak, yang kecil dan yang besar, tidak akan habis-habis keajaibannya, tidak akan berkesudahan keganjilannya. Tidak diliputi oleh pembatasan dengan segala faedahnya pada ahli ilmu pengetahuan. Dan ia tidak diburukan oleh banyak ulangan pada ahli tilawah. Alquranlah yang memberi petunjuk akan orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian. Dan tatkala Alquran itu didengar oleh jin, lalu senantiasalah mereka: menoleh kepada kaumnya, memberi peringatan. Maka berkatalah mereka: “Sesungguhnya kami telah mendengar Alquran yang mena’jubkan, memberi petunjuk kepada kebenaran, lalu kami beriman dengan dia dan tidak kami mempersekutukan Tuhan kami dengan seseorang”. Maka tiap-tiap orang yang beriman kepadanya, niscaya memperoleh taufiq dan barangsiapa berkata-kata dengan Alquran maka benarlah dia. Dan barangsiapa berpegang teguh dengan Alquran, maka ia memperoleh petunjuk dan barangsiapa berbuat sepanjang Alquran maka ia memperoleh kemenangan.
Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami menurunkan Peringatan (Alquran) itu dan sesungguhnya Kami Penjaganya”. S 15 Al Hijr ayat 9. Sebagian dari sebab-sebab penjagaannya (penghafalannya) didalam hati dan mash-haf-mash-haf, ialah berkekalan membacanya dan rajin mempelajarinya, serta melaksanakan adab-adab dan syarat-syaratnya. Dan menjaga apa yang didalamnya dari segala amalan batin dan adab zhahir. Yang demikian itu, tak boleh tidak daripada penjelasan dan penguraian. Dan terbukalah segala maksudnya itu dalam 4 bab:
Bab Pertama:  tentang kelebihan Alquran dan ahli Alquran.
Bab Kedua   :  tentang adab tilawah pada zhahir.
Bab Ketiga    : tentang amalan-amalan batin ketika tilawah.
Bab Keempat: tentang pemahaman dan penafsiran Alquran dengan pendapat pikiran dan lainnya.  
BAB PERTAMA: tentang kelebihan Alquran dan ahlul-Quran dan pencelaan terhadap orang-orang yang teledor pada tilawahnya/membacanya.
KELEBIHAN AL-QURAN.
Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa membaca Alquran, kemudian ia melihat bahwa ada seseorang yang diberikan, lebih utama daripada yang diberikan kepadanya, maka sesungguhnya ia telah mengecilkan apa yang diagungkan oleh Allah Ta’ala”. Bersabda Nabi saw: “Tiadalah diantara yang memberi syafa’at, yang lebih utama kedudukannya pada Allah Ta’ala, daripada Alquran. Tidak nabi, tidak malaikat dan tidak lainnya”. Bersabda Nabi saw: “Kalau adalah Alquran itu dalam kulit yang tidak disamak (ihaab), niscaya dia tidak disentuhkan api”. Bersabda Nabi saw: “Yang terutama ibadah umatku, ialah tilawah/membaca Alquran”. Bersabda Nabi saw pula: “Sesungguhnya Allah yg maha mulia & maha besar membaca surat ke20 Thaahaa dan surat Yasin sebelum Ia menjadikan makhluk 1000 tahun. Maka tatkala para malaikat mendengar Alquran, lalu mengatakan: “Berbahagialah umat yang diturunkan ini kepada mereka ! berbahagialah hati yang menghafalkan ini ! berbahagialah lidah yang menuturkan dengan ini !”. Bersabda Nabi saw: “Yang terbaik kamu, ialah barangsiapa yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya”. Bersabda Nabi saw: “Berfirman Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi: “Barangsiapa menggunakan waktunya untuk membaca Alquran, daripada berdoa dan meminta kepadaKu, niscaya Aku berikan kepadanya, pahala yang lebih utama bagi orang-orang yang bersyukur”. Bersabda Nabi saw: “Tiga golongan pada hari kiamat diatas bukit kecil dari kesturi hitam, tiada menyusahkan mereka oleh kegundahan dan tiada menimpa akan mereka oleh hisab dan amalan, sehingga diselesaikan apa yang diantara manusia: orang yang membaca Alquran, karena mengharap wajah Allah yg maha mulia & maha besar dan orang yang mengimami suatu kaum dan kaum itu suka kepadanya”. Bersabda Nabi saw: “Ahlul-Quran, ialah ahlullah dan orang-orang yang dikhususkan olehNya”. Bersabda Nabi saw: “Bahwa hati itu berkarat, seperti berkaratnya besi”. Lalu orang bertanya: “Wahai Rasulullah ! bagaimanakah membersihkannya ?”. Maka menjawab Nabi saw: “Membaca Alquran dan mengingati mati”. Bersabda Nabi saw: “Lebih bersangatanlah perhatian Allah kepada pembaca Alquran, daripada orang yang mempunyai penyanyi kepada penyanyinya”.
Menurut atsar, diantara lain: berkata Abu Umamah Al-Bahili: “Bacalah Alquran dan janganlah tertipu kamu oleh mash-haf-mash-haf yang bergantungan ini. Sesungguhnya Allah Ta’ala tiada mengazabkan hati, yang menjadi karung Alquran”.
Berkata Ibnu Mas’ud: “Apabila kamu menghendaki ilmu pengetahuan, maka bacalah Alquran ! sesungguhnya dalam Alquran itu ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian”. Berkata Ibnu Mas’ud pula: “Bacalah Alquran ! sesungguhnya kamu diiberikan pahala dengan tiap-tiap huruf daripadanya 10 kebaikan. Sesungguhnya aku tiada mengatakan satu huruf itu alif-lam-mim, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”. Berkata Ibnu Mas’ud pula: “Tidaklah bertanya seorang kamu tentang dirinya, melainkan tentang Alquran. Kalau ia mencintai dan mena’jubkannya akan Alquran, maka dia mencintai akan Allah swt dan RasulNya saw. Kalau ia memarahi akan Alquran, maka dia itu memarahi akan Allah swt dan RasulNya”.
Berkata Amrubnul-‘Ash: Tiap-tiap ayat dalam Alquran adalah satu derajat dalam sorga dan satu lampu dalam rumahmu”. Berkata Amrubnul-‘Ash pula: “Barangsiapa membaca Alquran, niscaya masuklah kenabian (nubuwwah) diantara kedua lembungnya. Hanya tidak diturunkan wahyu kepadanya”.
Berkata Abu Hurairah: “Sesungguhnya rumah yang dibacakan padanya Alquran, niscaya lapanglah penghuni rumah itu, banyaklah kebajikannya, datanglah kepadanya malaikat dan keluarlah daripadanya setan-setan. Dan sesungguhnya rumah yang tidak dibacakan padanya Kitabullah ‘Azza Wa Jalla, niscaya sempitlah penghuninya, sedikitlah kebajikannya, keluarlah daripadanya malaikat dan datanglah kepadanya setan-setan”.
Berkata Ahmad bin Hanbal: “Aku bermimpi Allah‘Azza Wa Jalla (yg maha mulia & maha besar) didalam tidur, maka aku bertanya: “Wahai Tuhanku! apakah yang lebih utama, yang didekati dengan itu oleh orang-orang yang mendekati (al-mutaqarribun) kepadaMu ? Menjawab Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Dengan Kalam Ku (perkataanKu), wahai Ahmad !”. Berkata Ahmad bin Hanbal: “Lalu aku bertanya: “Wahai Tuhanku, dengan mengerti atau tanpa mengerti ?”. Menjawab Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Dengan mengerti atau tanpa mengerti !”.
Berkata Muhammad bin Ka’b Al-Qardhi: “Apabila manusia mendengar Alquran daripada Allah yg maha mulia & maha besar pada hari kiamat, maka seakan-akan mereka itu belum pernah sekali-kali mendengarnya”.
Berkata Al-Fudlail bin ‘Iyadh: “Seyogyalah bagi seorang pembawa Alquran, bahwa tak ada keperluannya kepada seseorang dan kepada khalifah-khalifah dan orang-orang yang dibawahnya. Maka seyogyalah hajat keperluan manusia ramai ada padanya”. Berkata Al-Fudlail pula: “Pembawa Alquran, ialah pembawa bendera Islam. Maka tidak wajarlah ia bersenda gurau bersama orang yang bersenda gurau, tidaklah ia lupa bersama orang yang lupa dan tidaklah ia berbuat yang sia-sia bersama orang yang berbuat sia-sia, karena mengagungkan hak Alquran”.
Berkata Sufyan Ats-Tsuri: “Apabila seseorang membaca Alquran, niscaya malaikat mencium diantara 2 matanya”.
Berkata ‘Amr bin Maimun: “Barangsiapa membaca Mash-haf (Alquran), ketika bershalat Shubuh, lalu membaca daripadanya 100 ayat, niscaya ia ditinggikan oleh Allah yg maha mulia & maha besar seperti amal seluruh penduduk dunia”.
Dan diriwayatkan: “Bahwa Khalid bin ‘Uqbah datang kepada Rasulullah saw, seraya berkata: “Bacakanlah kepadaku Alquran !”. Lalu Nabi saw membacakan kepadanya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan keadilan, berbuat kebaikan dan memberi kepada kerabat-kerabat”. Lalu Khalid berkata kepada Nabi saw: “Ulangilah !”. Maka Nabi saw mengulanginya. Kemudian berkata Khalid: “Demi Allah sesungguhnya Alquran itu mempunyai kemanisan, padanya kecantikan, bawahnya berdaun dan atasnya berbuah dan tidaklah ini dikatakan oleh manusia”.
Berkata Al-Hasan: “Demi Allah, tidaklah selain dari Alquran yang kaya dan tidaklah sesudahnya yang diatas”.
Berkata Al-Fudlail: “Barangsiapa membaca akhir surat ke59 Al-Hasyar ketika pagi-pagi hari, kemudian ia meninggal pada hari itu, niscaya dicapkan baginya dengan cap orang-orang syahid. Dan barangsiapa membacanya ketika sore-sore hari, kemudian ia meninggal pada malamnya niscaya dicapkan baginya dengan cap orang-orang syahid”. 
 (Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (59:22) Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (59:23) Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (59:24)
Berkata Al-Qasim bin Aburrahman: “Aku bertanya kepada sebahagian orang-orang yang kuat beribadah: “Tidaklah disini seseorang yang dapat menjadi teman rapat ?”. Lalu orang tadi mengambil Al quran dan meletakkan diatas pangkuannya, seraya berkata: “Ini !”.
Berkata Ali bin Abi Thalib ra: “Tiga perkara menambahkan pemeliharaan badan dan menghilangkan dahak: bersugi, berpuasa dan membaca Alquran”.
TENTANG  CELAAN  ORANG-ORANG  YANG  LALAI.
Berkata Anas bin Malik: “Banyaklah pembaca Alquran dan Alquran itu mengutuknya”.
Berkata Maisarah: “Yang asing itu, ialah Alquran pada mulut orang zalim”.
Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani: “Malaikat Zabaniah itu lebih cepat kepada para pembaca Alquran yang mendurhakai Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, daripada para penyembah berhala, ketika mereka itu mendurhakai Allah swt sesudah membaca Alquran”.
Berkata sebagian ulama: “Apabila seorang anak Adam membaca Alquran, kemudian mencampurkannya dengan perkataan lain, kemudian kembali lalu membaca lagi, niscaya dikatakan kepadanya: “Mengapakah engkau begitu dengan kalam (kata-kata)Ku ?”.
Berkata Ibnur-Rammah: “Aku menyesal atas hafalanku akan Alquran, karena sampai kepadaku, bahwa teman-teman Alquran itu ditanyakan tentang apa yang ditanyakan nabi-nabi daripadanya, pada hari kiamat”.
Berkata Ibnu Mas’ud: “Seyogyalah bagi seorang pembawa Alquran, mengenal dengan malamnya apabila manusia itu tidur dan mengenal dengan siangnya, ketika manusia itu berlebih-lebihan. Dengan kesusahannya, apabila manusia itu bersuka-sukaan, dengan tangisnya, apabila manusia itu tertawa-tawa, dengan diamnya, apabila manusia itu masuk dalam pembicaraan dan dengan khusyu’nya, apabila manusia itu sombong. Dan seyogyalah bagi seorang pembawa Alquran, berkeadaan tenang dan lemah lembut. Dan tidak wajarlah berkeadaan tegang, pemarah, memekik-mekik, membuat keributan dan bersikap keras sebagai besi”.
Bersabda Nabi saw: “Kebanyakan yang menjadi munafiq dari umat ini, ialah qurra’nya (para ahli bacaan Alquran)”. Bersabda Nabi saw: “Bacalah Alquran, dimana ia melarang engkau dari perbuatan ma’siat. Maka kalau ia tidak melarang engkau dari perbuatan ma’siat itu niscaya tidaklah engkau membacakannya”. Bersabda Nabi saw: “Tiada beriman dengan Alquran orang yang menghalalkan barang yang diharamkannya”.
Berkata sebahagian salaf: “Sesungguhnya seorang hamba (hamba Allah) memulai suatu surat dari Alquran, maka berdoa para malaikat kepadanya sampai selesai ia dari surat itu. Dan sesungguhnya seorang hamba memulai suatu surat dari Alquran, maka para malaikat mengutukinya, sampai selesai ia dari surat itu”. Maka ditanyakan kepada salaf tadi: “Mengapakah demikian ?”. Lalu ia menjawab: “Apabila hamba itu menghalalkan yang dihalalkan surat tersebut dan mengharamkan yang diharamkannya, maka berdoalah para malaikat kepadanya. Dan kalau tidak demikian, maka para malaikat itu mengutuknya”. Berkata sebahagian ulama: “Sesungguhnya seorang hamba yang membaca Alquran, lalu mengutuk dirinya sendiri. Dan ia tidak tahu, seraya membaca: “Ketahuilah kutukan Allah itu keatas orang-orang zalim”. S 11 Huud ayat 18. Dan dia zalim terhadap dirinya sendiri. Dan: “Ketahuilah, kutukan Allah itu keatas orang-orang pendusta, sedang ia sebahagian daripada mereka”.
Berkata Al-Hasan: “Sesungguhnya kamu membuat pembacaan Alquran itu beberapa jarak jauh dan kamu jadikan malam itu unta. Maka kamu mengendarai unta itu, lalu kamu menempuh dengan dia jarak-jarak jauhnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu, memandang Alquran itu surat-surat (rasa-il) dari Tuhannya. Maka mereka memahamkannya pada malam dan melaksanakannya pada waktu siang”.
Berkata Ibnu Mas’ud: “Diturunkan Alquran kepada mereka supaya diamalkannya. Lalu mereka membuat pelajarannya amalan. Sesungguhnya seseorang daripada kamu, hendaklah membaca Alquran dari permulaannya (fatihah), sampai kepada kesudahannya (khatimah). Apa yang dihilangkan daripadanya sesuatu huruf, sesungguhnya ia telah menghilangkan amalan dengan huruf itu”. Pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan hadits yang diriwayatkan oleh Jundub ra tersebut: “Sesungguhnya kami telah hidup pada masa yang panjang dan seorang dari kami diberikan iman sebelum Alquran. Maka diturunkan suatu surat kepada Muhammad saw lalu dipelajarinya yang halal, yang haram, yang menyuruh dan yang melarang serta apa yang sewajarnya ia berdiri padanya daripada surat itu. Kemudian, sesungguhnya aku melihat beberapa orang, yang diberikan Alquran, kepada salah seorang daripada mereka sebelum iman. Maka dibacakannya apa yang ada diantara permulaan Kitab (fatihah Kitab) sampai kepada kesudahannya (khatimahnya), dimana ia tiada mengetahui apa yang menyuruhnya dan apa yang melarangnya, dan tidak mengetahui apa yang sewajarnya ia berdiri padanya daripada kitab itu, yang dihamburkannya yang dibacanya itu seperti menghamburkan kurma busuk”. Dan tersebut dalam Taurat: “Hai hambaKu ! adakah tidak engkau malu padaKu, datang kepadamu sebuah kitab dari sebahagian saudaramu dan engkau di jalan sedang berjalan. Lalu engkau berpaling dari jalan itu, seraya duduk karena kitab tersebut, membacanya dan memahaminya huruf demi huruf, sehingga sedikitpun daripadanya tiada luput bagimu. Dan ini KitabKu, yang Aku turunkan kepadamu! lihatlah, berapa banyak Aku terangkan didalamnya penjelasan bagimu dan berapa banyak Aku ulang-ulangi didalamnya kepadamu, supaya engkau perhatikan panjang dan lebarnya ! kemudian engkau berpaling dari Kitab itu. Adakah Aku ini lebih hina padamu dari sebahagian saudaramu itu ? hai hambaKu! duduk kepadamu sebahagian saudaramu, lalu kamu terima dia dengan seluruh perhatianmu dan engkau perhatikan segala perkataannya dengan sepenuh hatimu. Kalau ada orang lain yang berkata atau dirintangi engkau oleh suatu perintang daripada mendengar perkataannya, niscaya engkau isyaratkan kepadanya supaya ia berhenti daripada berkata-kata. Dan adalah Aku menghadapkan diri kepadamu dan bercakap-cakap dengan kamu, sedang kamu berpaling daripadaKu dengan hatimu. Apakah engkau jadikan Aku lebih hina padamu daripada sebahagian saudaramu ?”
BAB KEDUA: mengenai yang zhahir/luar dari adab tilawah/membaca. Yaitu: 10 perkara.
                   Pertama: tentang keadaan pembaca. Yaitu: ia didalam wudlu’, bersikap didalam keadaan adab dan tenang, baik ia berdiri atau duduk, menghadap kiblat, menundukkan kepala, tidak duduk secara melipatkan kedua tapak kaki dibawah kedua paha (mutarabbi). Tidak duduk secara bertekan (muttaki’) dan tidak duduk secara sombong. Dan adalah duduknya dengan sendirian itu, seperti duduknya dihadapan guru. Keadaan yang paling utama, ialah membaca Alquran itu didalam shalat dengan berdiri dan adalah itu didalam masjid. Maka itulah amalan yang paling utama ! kalau membaca Alquran dengan tanpa wudlu’ dan dia sedang berbaring diatas tikar, maka baginya keutamaan juga, tetapi kurang dari yang tadi. Berfirman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang mengingati Allah, ketika berdiri dan duduk, ketika berbaring dan mereka memikirkan tentang kejadian langit dan bumi”. S 3 Ali ‘Imran ayat 191. Maka Allah Ta’ala memujikan semuanya, tetapi mendahulukan berdiri pada mengingati Allah, kemudian duduk, kemudian mengingati sambil berbaring.
                  Berkata Ali ra: “Barangsiapa membaca Alquran, dimana ia berdiri didalam shalat, niscaya adalah baginya dengan tiap-tiap huruf itu 100 kebajikan. Dan barangsiapa membacanya, dimana ia duduk didalam shalat, maka baginya dengan tiap-tiap huruf itu 50 kebajikan. Dan barangsiapa membacanya diluar shalat, sedang dia berwudlu’, maka 25 kebajikan. Dan barangsiapa membacanya tanpa wudlu’ maka 10 kebajikan. Dan apa yang dilaksanakan dengan mengerjakan ibadah pada malam hari, maka itu adalah lebih utama, karena lebih mencamkan bagi hati”. Berkata Abu Dzar Al-Ghaffari ra: “Bahwa banyaknya bersujud pada siang hari dan lamanya bangun mengerjakan ibadah pada malam hari, adalah lebih utama (afdhal)”.
Kedua: tentang jumlahnya pembacaan. Bagi para pembaca (qurra’), berbagai macam adat kebiasaan tentang membanyak dan menyingkatkan pembacaan. Sebahagian mereka, ada yang menyudahkan (mengkhatamkan) Alquran sehari-semalam sekali. Sebahagian mereka, 2 kali. Dan sampailah sebahagian mereka kepada 3 kali. Dan sebahagian mereka, ada yang mengkhatamkan sebulan sekali. Dan yang lebih utama untuk menjadi perpegangan tentang jumlaah tilawah itu, ialah sabda Rasulullah saw: “Barangsiapa membaca Alquran kurang dari 3 kali, niscaya ia tiada memahami akan Alquran itu”. Yang demikian itu, karena lebih daripadanya, mencegah bagusnya tilawah (tartil).
Berkata ‘Aisyah tatkala mendengar seorang laki-laki banyak benar salahnya pada pembacaan Alquran: “Bahwa orang itu tidaklah membaca Alquran dan tidak pula diam”. Nabi saw menyuruh Abdullah bin ‘Amr ra supaya mengkhatamkan Alquran pada tiap-tiap 7 hari ”. Dan begitu pula, segolongan dari sahabat ra mengkhatamkan Alquran pada tiap-tiap Jum’at, seperti Usman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan Ubai bin Ka’b –direlai oleh Allah kiranya mereka itu semuanya. Tentang pengkhataman, adalah 4 tingkat: pengkhataman dalam sehari-semalam. Tingkat ini telah dimakruhkan oleh segolongan ulama; pengkhataman pada tiap-tiap bulan, dimana tiap-tiap hari itu adalah satu juz daripada 30 juz. Dan ini, seolah-olah adalah bersangatan pendek, sebagaimana yang pertama itu bersangkutan banyaknya. Diantara kedua tingkat tadi, terdapat dua tingkat yang sederhana: yang pertama: dalam seminggu sekali dan yang kedua dalam seminggu dua kali, mendekati kepada tiga. Dan yang lebih sunnat, ialah mengkhatamkan sekali khatam pada malam dan sekali khatam pada siang. Dan menjadikan khataman siang itu hari Senin pada 2 rakaat shalat Shubuh atau sesudahnya. Dan menjadikan khataman malam, malam Jum’at pada 2 rakaat Maghrib atau sesudahnya. Supaya menghadap permulaan siang dan permulaan malam dengan khataman itu. Karena para malaikat as berdoa kepadanya, kalau khataman nya pada malam, sampai kepada waktu Shubuh. Dan kalau khatamannya pada siang, sampai kepada waktu sore. Maka melengkapilah keberkatannya akan seluruh malam dan siang. Uraian tentang jumlah bacaan, adalah kalau ia dari orang-orang yang kuat beribadah, yang menempuh jalan amalan, maka tidak wajarlah berkurang dari dua khataman dalam seminggu. Dan kalau ia dari orang-orang yang menempuh amalan hati dan berbagai macam pemikiran atau dari orang-orang yang menghabiskan waktunya dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, maka tiada mengapa ia menyingkatkan dalam seminggu sekali. Dan kalau ia dari orang yang tembus pemikirannya tentang segala maksud Alquran, maka kadang-kadang mencukupilah dalam sebulan sekali, karena banyak keperluannya untuk membanyakkan mengulang-ulangi dan meneliti.
Ketiga: tentang cara pembahagian. Adapun orang yang mengkhatam dalam seminggu sekali, maka dibagikan Alquran kepada 7 golongan. Adalah para sahabat menggolongkan Alquran kepada beberapa golongan. Diriwayatkan bahwa Usman ra memulai malam Jum’at dengan surat Al Baqarah sampai kepada surat Al Maa-idah. Malam Sabtu dengan surat Al An’aam sampai kepada surat Huud. Malam Ahad dengan surat Yusuf sampai kepada surat Maryam. Malam Senin dengan surat Thaahaa sampai kepada Tha Sin Mim, Musa dan Fir’aun. Malam Selasa dengan surat Al ‘Ankabut sampai kepada surat Shaad. Malam Rabu dengan surat Tanzil sampai kepada surat Ar Rahman. Dan disudahinya (dikhatamkannya) pada malam Kamis. Adalah Ibnu Mas’ud membagi Alquran kepada beberapa bahagian, tidak menurut tertib susunan tadi. Ada orang yang mengatakan bahwa kumpulan Alquran itu 7. Kumpulan pertama, adalah 3 surat. Kumpulan kedua, adalah 5 surat. Kumpulan ketiga, adalah 7 surat. Kumpulan keempat, adalah 9 surat. Kumpulah kelima, adalah 11 surat. Kumpulan keenam, adalah 13 surat. Dan kumpulah ketujuh, yang terurai, adalah dari surat Qaaf sampai kepada penghabisan Alquran. Begitulah dibuat kumpulannya oleh para sahabat ra dan mereka membacanya adalah seperti yang demikian. Dan tentang itu terdapat hadits dari Rasulullah saw. Dan ini, adalah sebelum dibuat berbagi seperlima-seperlima, sepersepuluh-sepersepuluh dan berjuz-berjuz. Maka yang selain ini adalah diada-adakan.
Keempat: tentang penulisan. Disunatkan membaguskan penulisan dan penjelasan Alquran. Dan tiada mengapa dengan bertitik dan bertanda merah dan lainnya. Karena itu adalah penghiasan dan penjelasan serta pencegahan dari kesalahan dan tidak betul bacaan bagi orang yang membacakannya. Adalah Al-Hasan dan Ibnu Sirin menantang pembagian seperlima-seperlima, sepersepuluh-sepersepuluh dan berjuz-juz.
Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan Ibrahim akan makruhnya titik-titik dengan warna merah dan mengambil upah atas perbuatan itu. Mereka mengatakan: “Lepaskanlah Alquran dari yang demikian !”. Berat dugaan bahwa mereka memandang makruh membukakan pintu ini, karena ditakuti membawa kepada mendatangkan penambahan-penamabahan. Dan menutupkan pintu dan merindukan kepada penjagaan Alquran daripada menerobos kepadanya pengobahan. Apabila tiada membawa kepada yang dilarang dan telah tetap keadaan umat padanya, dengan menghasilkan bertambahnya pengetahuan, maka tiada mengapa. Dan tiada dilarang yang demikian, oleh adanya itu diada-adakan, sebab berapa banyak yang diada-adakan/bid’ah itu, dipandang baik. Sebagaimana dikatakan mengenai mendirikan jama’ah pada shalat tarawih, dimana itu adalah sebahagian dari yang diada-adakan oleh Khalifah ‘Umar ra. Dan itu adalah bid’ah yang baik/bid’ah  hasanah.
Sesungguhnya bid’ah/yang diada-adakan yang tercela  bid’ah  madzmumah, ialah yang bertentangan dengan Sunnah yang lama atau hampir membawa kepada mengobahkannya. Sebahagian mereka mengatakan: “Aku membaca pada Mash-haf yang bertitik dan tidaklah aku membuatkan titik oleh diriku sendiri”. Berkata Al-Auza’i dari Yahya bin Abi Katsir: “Adalah Alquran itu tidak bertanda (mujarrad) didalam mash-haf-mash-haf. Maka yang pertama kali diadakan mereka, ialah titik pada ba dan ta dan mereka mengatakan bahwa tiada mengapa yang demikian. Karena, itu adalah nur baginya. Kemudian, sesudah itu, diadakan oleh mereka titik-titik besar pada penghabisan ayat. Lalu mereka mengatakan, bahwa tiada mengapa yang demikian, untuk mengenal permulaan ayat. Kemudian, sesudah itu, diadakan oleh mereka penghabisan (khatimah) dan permulaan (fatihah)”.
Berkata Abubakar Al-Hadzli: “Aku tanyakan Al-Hasan tentang memberi titik mash-haf-mash-haf dengan warna merah”. Maka beliau bertanya: “Apakah memberi titik mash-haf-mash-haf itu ?”. Aku menjawab: “Mereka meng-i’rabkan kata-kata dengan bahasa Arab”. Lalu beliau berkata: “Adapun meng-i’rabkan Alquran itu, tiada mengapa”. Berkata Khalid Al-Hadzdza’: “Aku masuk ke tempat Ibnu Sirin, lalu aku melihat ia membaca pada Mash-haf yang memakai titik, padahal ia memandang makruh titik”. Ada yang mengatakan, bahwa Al-Hajjaj yang mengadakan demikian itu. Dia mendatangkan para qari’ (al-qurra’), sehingga mereka menghitung kata-kata Alquran dan huruf-hurufnya. Mereka menyamakan bahagian-bahagiannya dan membagikannya kepada 30 bahagian (juz) dan kepada bahagian-bahagian yang lain.
Kelima: tartil (jelas bunyi tiap-tiap huruf pada pembacaannya). Itu disunatkan pada keadaan Alquran. Karena akan kami terangkan bahwa yang dimaksud dari pembacaan itu, ialah mengenangkan artinya (tafakkur). Dan tartil itu menolong kepada tafakkur. Dan karena itulah, dijelaskan oleh Ummu Salmah ra akan bacaan Rasulullah saw. Dia menyifatkan bacaan Nabi saw yang menjelaskan bunyi huruf demi huruf. Berkata Ibnu Abbas ra: “Sesungguhnya aku membaca surat Al Baqarah dan Ali ‘imran, dengan aku tartilkan dan aku pahamkan akan pengertiannya, adalah lebih aku sukai daripada membaca Alquran seluruhnya dengan cepat-cepat”. Berkata ia pula: “Sesungguhnya aku membaca surat “Idzaa zulzilat” dan “Al-Qaari’ah” dengan memahami artinya, adalah lebih aku sukai daripada membaca surat “Al Baqarah” dan “Ali ‘Imran” dengan cepat-cepat”. Ditanyakan Mujahid tentang dua orang yang masuk dalam shalat, lalu lama berdiri keduanya didalam shalat itu sama, kecuali yang seorang membaca surat Al Baqarah saja dan yang seorang lagi, membaca Alquran seluruhnya, maka menjawab Mujahid: “Keduanya tentang pahala yang diperolehnya, adalah sama”. Ketahuilah, bahwa tartil itu disunatkan, tidak untuk semata-mata bagi pemahaman artinya. Karena bagi seorang ‘Ajam (bukan orang Arab) yang tidak mengerti akan arti Alquran, disunatkan juga baginya tartiil dan pelan-pelan dalam pembacaan. Karena yang demikian itu lebih mendekatkan kepada pemuliaan dan penghormatan dan lebih membekas didalam hati, daripada cepat-cepat dan buru-buru.
Keenam: menangis. Menangis itu disunatkan serta membaca. Bersabda Rasulullah saw: “Bacalah Alquran dan menangislah ! jikalau tidak engkau menangis, maka berbuatlah menangis !”. Bersabda Nabi saw: “Tidaklah dari golongan kami, orang yang tiada berlagu dengan Alquran”. Berkata Shalih Al-Marri: “Aku bermimpi membaca Alquran di hadapan Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda: “Bagiku hai Shalih bacaan ini, tetapi mana tangisnya ?”. Berkata Ibnu Abbas ra: “Apabila kamu membaca Sajadah Subhana, maka janganlah kamu bersegera sujud, sampai kamu menangis dahulu ! jikalau tidaklah menangis mata salah seorang daripada kamu, maka menangislah hatinya !”. Sesungguhnya jalan untuk memaksakan menangis, ialah mendatangkan kegundahan kepada hati. Maka dari kegundahan itu, timbullah tangis. Bersabda Nabi saw: “Bahwa Alquran itu diturunkan dengan kedukaan hati. Maka apabila kamu membacanya, lalu berduka citalah!”. Cara mendatangkan kedukaan hati, ialah memperhatikan akan apa yang ada didalamnya, tentang berita menakutkan, janji azab karena durhaka (wa’id), segala macam janji dan perikatan yang diperpegangi. Kemudian, memperhatikan keteledoran tentang segala perintah dan larangannya. Maka dengan itu, sudah pasti, akan gundah hati dan menangis. Jikalau tidak datang kegundahan hati dan tangisan, sebagaimana datangnya pada orang-orang yang berhati suci bersih, maka hendaklah menangis, diatas ketiadaan kegundahan hati dan tangisan. Dan yang demikian itu, adalah bahaya-bahaya yang paling besar.
Ketujuh: memelihara akan hak-hak ayat. Apabila lalu pada ayat Sajadah, niscaya bersujud. Dan begitu pula apabila mendengar dari bacaan orang lain, akan ayat sajadah, niscaya bersujud apabila bersujud orang yang membacanya. Dan janganlah sujud, kecuali berada dalam keadaan suci (berwudlu’). Dalam Alquran ada 14 ayat sajadah. Dan pada surat Al-Hajj, 2 Sajadah. Dan tak ada pada surat Shaad, sajadah. Sekurang-kurang sujud, ialah bersujud dengan meletakkan dahi pada bumi (tempat sujud). Dan yang sempurna, ialah bertakbir, lalu sujud dan berdoa dalam sujud itu, dengan apa yang layak menurut ayat yang dibacanya. Seumpama ia membaca firman Allah Ta’ala: “Mereka sujud meniarap, tasbih memuji Tuhan dan mereka tidak menyombongkan diri”. S 32 As Sajdah ayat 15. Maka ia berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! jadikanlah aku daripada mereka yang bersujud kepada wajahMu, yang bertasbih dengan memujiMu dan aku berlindung dengan Engkau, bahwa aku ini berada sebahagian dari orang-orang yang sombong terhadap amarMu atau terhadap para aulia (para wali)Mu”. Dan apabila membaca firmanNya: “Dan mereka meniarap dengan dagunya sambil menangis dan Alquran itu menambah ketundukan hati mereka”. S 17 Al Israa’ ayat 109. Maka berdoalah: “Wahai Allah Tuhanku ! jadikanlah aku daripada orang yang menangis kepadaMu, yang khusyu’ bagiMu !”. Dan begitu juga terhadap tiap-tiap ayat sajadah. Dan disyaratkan pada sujud ini, akan segala syarat shalat, dari menutup ‘aurat, menghadap kiblat, suci pakaian dan badan dari hadats dan najis. Dan barangsiapa yang tidak suci (tidak berwudlu’) ketika mendengar pembacaan ayat Sajadah itu, maka apabila telah bersuci, maka baru sujud. Dikatakan mengenai kesempurnaan sujud itu, ialah bertakbiratul-ihram dengan mengangkatkan kedua tangan. Kemudian, bertakbir untuk turun bagi sujud. Kemudian, bertakbir untuk bangkit dari sujud, kemudian memberi salam. Dan ditambahkan oleh orang-orang yang suka menambahkan akan tasyahhud dan tak ada asal bagi ini, selain dari mengkiaskan kepada sujud shalat. Dan itu adalah jauh dari kebenaran. Yang datang amar, ialah pada sujud, maka hendaklah dituruti amar itu padanya. Dan tentang bertakbir untuk turun, adalah lebih mendekati bagi permulaan pekerjaan. Sedang selain dari itu, jauh dari kebenaran. Kemudian, seyogyalah ma’mum sujud ketika sujud imam. Dan janganlah sujud karena tilawahnya sendiri, apabila ia itu ma’mum.
Kedelapan: membaca pada permulaan tilawahnya: “Aku berlindung dengan Allah yang mendengar lagi mengetahui, dari setan yang kena kutuk. Hai Tuhanku ! aku berlindung dengan Engkau dari segala gangguan setan dan aku berlindung dengan Engkau, hai Tuhanku, dari kedatangan setan-setan itu kepadaku”. Dan hendaklah dibacakan “Qul a’uudzu birabbinnaas” dan surat “Alhamdulillah”. Dan hendaklah diucapkan ketika selesainya dari pembacaan: “Benarlah Allah Yang Maha Tinggi dan telah disampaikan oleh Rasulullah saw. Wahai Allah Tuhanku ! berikanlah kemanfaatan kepada kami dengan dia dan berikanlah keberkatan bagi kami padanya. Segala pujian bagi Allah Tuhan serwa sekalian alam dan aku meminta ampun pada Allah Yang Hidup dan Yang Berdiri sendiri”. Waktu sedang membaca, apabila ia lalu pada ayat tasbih, maka bertasbih dan bertakbirlah. Dan apabila lalu pada ayat doa dan ayat istighfar (ayat yang mengandung pengertian meminta permohonan dan pengampunan pada Allah), maka berdoa dan beristighfarlah. Dan jika lalu pada ayat yang mengandung pengertian sesuatu harapan, maka bermohonlah dan jika lalu pada ayat yang mengandung pengertian sesuatu yang ditakutkan, maka berlindunglah daripadanya. Diperbuat yang demikian itu, dengan lisan atau dengan hati. Maka diucapkan “Maha suci Allah ! kami berlindung dengan Allah. Ya Allah Tuhanku! berikanlah kami rezeki ! ya Allah Tuhanku ! berikanlah kami kerahmatan !”. Berkata Hudzaifah: “Aku bershalat bersama Rasulullah saw maka dimulainya surat Al-Baqarah. Tidak dilaluinya ayat rahmat, melainkan dimintanya. Tidak dilaluinya ayat azab, melainkan dimintanya perlindungan dan tidak dilaluinya ayat tanzih (ayat tasbih), melainkan diucapkannya tasbih”. Apabila telah selesai dari tilawah, maka dibacakan apa yang dibacakan Rasulullah saw ketika selesai pembacaan Alquran: “Ya Allah Tuhanku ! berikanlah aku rahmat dengan Alquran dan jadikanlah dia bagiku imam, cahaya, hidayah dan rahmat ! Ya Allah Tuhanku ! ingatilah aku daripadanya akan apa yang aku lupakan dan ajarilah aku daripadanya akan apa yang tiada aku ketahui ! dan anugerahilah aku akan tilawahnya pada tiap-tiap malam dan tiap-tiap hari ! dan jadikanlah Alquran itu dalil (hujjah) bagiku, wahai Tuhan serwa sekalian alam !”.
Kesembilan: mengenai mengeraskan suara (jahr) dengan pembacaan: Dan tidak diragukan, bahwa tak boleh tidak dikeraskan suara pada tilawah itu, kepada batas yang didengar sendiri. Karena pembacaan, adalah artinya memutus-mutuskan suara dengan huruf-huruf. Dan itu haruslah dengan suara. Maka sekurang-kurangnya, adalah yang dapat didengar sendiri. Kalau tidak dapat didengar sendiri, niscaya tidaklah shah shalat.
Adapun jahr, dimana dapat didengar oleh orang lain, maka itu disunatkan pada satu segi dan dimakruhkan pada segi lain. Dan ditunjukkan kepada sunatnya mengecilkan suara (secara sirr/rahasia), ialah: diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “Kelebihan membaca secara sirr/rahasia dengan membaca secara terang (keras), adalah seperti kelebihan sedekah secara rahasia dengan sedekah secara terang”. Dan pada susunan kata yang lain, berbunyi: “Orang yang men-jahrkan Alquran adalah seperti orang yang menjahrkan sedekah dan orang yang merahasiakan Alquran adalah seperti orang yang merahasiakan sedekah”. Dan pada suatu hadits yang umum pengertiannya: “Melebihi amalan rahasia diatas amalan terang, dengan 70 ganda”. Dan begitu pula sabda Nabi saw: “Sebaik-baik rezeki, ialah yang mencukupi dan sebaik-baik dzikir, ialah yang tersembunyi”. Dalam suatu hadits, tersebut: “Janganlah menggeraskan bacaan diantara sesama kamu, antara Maghrib dan ‘Isya”.
Pada suatu malam, Sa’id bin Al-Musayyab mendengar dalam masjid Rasulullah saw, bahwa Umar bin Abdul-‘aziz menggeraskan bacaan dalam shalatnya. Dan adalah Umar itu merdu suaranya. Lalu Said berkata kepada bujangnya: “Pergilah kepada orang yang bershalat itu, suruhlah dia merendahkan suaranya !”. Maka menjawab bujang itu: “Masjid itu bukan kepunyaan kita dan orang itu berhak padanya”. Lalu Sa’id meneriakkan suaranya dengan mengatakan: “Hai orang yang bershalat: kalau engkau menghendaki Allah yg maha mulia & maha besar dengan shalatmu, maka rendahkanlah suaramu ! dan kalau engkau menghendaki manusia, maka manusia itu tidak merasa cukup sedikitpun daripada engkau, selain daripada Allah”. Maka diamlah Umar bin Abdul-‘aziz dan memendekkan rakaatnya. Setelah memberi salam, lalu mengambil kedua sandalnya dan pergi. Dan dia ketika itu, adalah amir (gubernur) Madinah. Dan menunjukkan kepada sunatnya jahr, apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi saw mendengar sekumpulan dari para sahabatnya menjahrkan pada shalat malam. Maka beliau betulkan yang demikian itu”. Dan bersabda Nabi saw: “Apabila bangun seorang kamu dari malam hari, lalu bershalat, maka hendaklah ia menjahrkan bacaan. Sesungguhnya para malaikat dan penghuni rumah (jin dan lainnya) mendengar bacaannya dan beshalat dengan shalatnya”. Rasulullah saw mendatangi 3 orang sahabatnya yang berlainan keadaan mereka masing-masing. Ia datangi Abubakar ra, dimana Abubakar ra itu berdoa dengan suara yang halus saja. Maka Nabi saw menanyakannya dari yang demikian. Menjawab Abubakar ra: “Bahwa yang aku bermunajat dengan Dia, mendengar akan aku”. Dan Nabi datangi Umar ra yang berdoa dengan jahr, lalu Nabi saw menanyakannya yang demikian. Maka menjawab Umar ra: “Aku membangun orang tidur dan menghardik setan”. Dan Nabi saw datangi Bilal, dimana ia membaca sebuah ayat dari surat ini dan sebuah ayat dari surat ini. Lalu Nabi saw menanyakannya yang demikian. Maka menjawab Bilal: “Aku campurkan yang baik dengan yang baik”. Maka bersabda Nabi saw: “Semua kamu telah bekerja baik dan betul !”. Cara mengumpulkan diantara hadits-hadits ini, ialah bahwa secara sirr/rahasia itu menjauhkan dari ria dan berbuat-buat (tashannu’).
Maka itu adalah lebih utama bagi orang yang takut kepada yang demikian terhadap dirinya. Kalau ia tidak takut dan tak ada pada jahr itu yang membisingkan waktu kepada orang lain yang bershalat, maka jahr itu lebih utama. Karena amal adalah lebih banyak padanya dan karena faedahnya bersangkutan pula kepada orang lain. Kebaikan yang melampaui kepada orang lain, adalah lebih utama dari yang tetap pada dirinya sendiri saja. Dan jahr itu membangunkan hati si pembaca dan mengumpulkan kemauannya kepada berpikir pada yang dibacakan. Dan menjuruskan kepadanya pendengarannya. Dan menolakkan tidur pada pembacaan dengan suara keras, menambahkan kerajinan bagi membaca. Dan mengurangkan kemalasan serta mengharapkan dengan jahr itu, akan terbangun orang tidur, sehingga menjadi sebab menghidupkannya kembali. Karena kadang-kadang ia dilihat oleh seorang pahlawan yang lalai, maka menjadi rajin dia disebabkan kerajinannya dan rindu kepada pengkhidmatan. Manakala telah datang kepadanya sesuatu daripada niat-niat tadi, maka jahr adalah lebih utama. Dan kalau berhimpunlah niat-niat tersebut, niscaya berlipat gandalah pahala. Dan dengan banyaknya niat, lalu bertambahlah amal perbuatan kebajikan dan berlipat gandalah pahala bagi mereka. Kalau ada pada suatu amal perbuatan 10 niat, niscaya  adalah padanya 10 pahala. Karena itulah kami katakan, bahwa membaca Alquran pada mash-haf itu lebih utama (afdhal), karena bertambah pada perbuatan itu, melihat, memperhatikan mash-haf dan membawanya. Sehingga bertambahlah pahala dengan sebabnya. Sesungguhnya ada yang mengatakan, pengkhataman pada mash-haf itu dengan 7 kali lipat pahalanya, karena memandang pada mash-haf itu, adalah juga ibadah. Usman ra telah mengoyakkan dua mash-haf, karena banyak bacaanya pada kedua mash-haf itu. Maka adalah kebanyakan dari sahabat, membaca pada mash-haf. Dan memandang makruh, bahwa berlalu sehari, dimana mereka tiada memandang pada mash-haf. Datang sebahagian ulama fiqh Mesir kepada Asy-Syafi’i ra pada waktu sahur, dimana dihadapannya mash-haf. Maka berkata kepadanya Asy-Syafi’i: “Disibukkan kamu oleh ilmu fiqh, tidak dengan Alquran. Aku sesungguhnya mengerjakan shalat malam dan meletakkan mash-haf dihadapanku dan tidak aku tutupkan dia sampai waktu shubuh”.
Kesepuluh: membaguskan bacaan dan mentartilkan dengan mengulang-ulangi suara tanpa terlalu memanjangkan yang mengobahkan nadhamnya (susunan katanya yang bersajak). Yang demikian itu, adalah sunnah. Bersabda Nabi saw: “Hiasilah Alquran dengan suaramu !”. Dan bersabda Nabi saw: “Tiada diizinkan oleh Allah untuk sesuatu sebagaimana izinNya untuk membaguskan suara dengan Alquran”. Bersabda Nabi saw: “Tiadalah dari kami orang yang tiada berlagu dengan Alquran”. Dikatakan, bahwa yang dimaksudkan oleh Nabi saw dengan itu, ialah melagukan suara. Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksudkan, ialah mendengungkan suara dengan lagu yang bagus dan mengulang-ulangi berbagai macam perobahan suara. Dan itulah yang lebih mendekati kepada benar, menurut para ahli bahasa. Diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pada suatu malam menunggu ‘Aisyah. Maka sesudah begitu lambat, barulah ia datang. Lalu Rasulullah saw bertanya: “Apakah yang menghambatmu sampai terlambat ?”. Menjawab ‘Aisyah: “Wahai Rasulullah ! aku mendengar seorang laki-laki membaca Alquran dan belum pernah aku mendengar suara yang lebih merdu dari itu !”. Maka Rasulullah saw pun bangun pergi mendengar, sehingga lamalah beliau mendengar kemudian baru pulang, seraya bersabda: “Yang membaca itu adalah Salim, bujang Abi Hudzaifah ! segala pujian bagi Allah yang telah menjadikan pada umatku seperti dia”. Juga pada suatu malam Rasulullah saw mendengar pembacaan Abdullah bin Mas’ud dan bersama Rasulullah saw Abubakar ra dan Umar ra. Lamalah mereka berhenti disitu, kemudian Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa bermaksud membaca Alquran dengan suara yang empuk lunak, sebagaimana diturunkan, maka hendaklah dibacakannya seperti bacaan Ibnu Ummi ‘Abd”. Bersabda Nabi saw kepada Ibnu Mas’ud: “Bacakanlah kepadaku !”. Menjawab Ibnu Mas’ud: “Wahai Rasulullah ! aku bacakan kepadamu, padahal kepadamu diturunkan ?”. Menjawab Nabi saw: “Aku suka mendengar nya dari bukan aku sendiri”. Maka Ibnu Mas’ud membacanya dan kedua mata Rasulullah saw basah kuyup dengan air mata”. Rasulullah saw mendengar bacaan Abi Musa, lalu bersabda: “Sesungguhnya telah diberikan kepada Abu Musa itu, suling keluarga Daud”. Tatkala sabda itu sampai kepada Abu Musa, lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah ! kalau aku tahu bahwa engkau mendengarnya, niscaya lebih aku baguskan lagi untukmu”.
Bermimpi Haitsam –seorang ahli pembacaan Alquran (al-qari’) –akan Rasulullah saw. Maka bercerita Haitsam: “Rasulullah saw bertanya kepadaku: “Engkaulah Haitsam yang menghiaskan akan Alquran dengan suaramu ?”. Aku menjawab: “Ya benar !”. Lalu Rasulullah saw menyambung: “Dibalaskan kiranya engkau oleh Allah dengan kebajikan !”. Pada suatu hadits, tersebut: ‘Adalah para sahabat Rasulullah saw apabila berkumpul, lalu mereka menyuruh seorang dari mereka, membaca suatu surat dari Alquran.
Umar ra berkata kepada Abu Musa ra: “Mari kita berdzikir kepada Tuhan kita !”. Lalu Abu Musa membaca Alquran di sisi Umar, sehingga hampirlah waktu shalat berada ditengah waktu. Lalu orang berseru: “Wahai Amirul-mu’minin ! shalat ! shalat !”. Maka menyahut Umar ra: “Bukankah kami sekarang didalam shalat ?”. Sebagai suatu isyarat kepada firman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “(Sesungguhnya mengingati Allah (berdzikir) itu amat besar manfaatnya)”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 45. Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa mendengar suatu ayat dari kitab Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, niscaya ayat itu menjadi nur baginya pada hari kiamat”. Pada suatu hadits, tersebut: “Dituliskan baginya 10 kebaikan”. Manakala besarlah pahala mendengar dan pembaca itu adalah sebab pada mendengar, maka adalah pembaca itu berserikat pada pahalanya. Kecuali maksudnya adalah ria dan berbuat-buat (tashannu’).
BAB KETIGA:
Tentang amalan bathin pada tilawah. Yaitu: 10 paham asal perkataan, kemudian pengagungan, kemudian kehadiran hati, kemudian pengertian, kemudian pemahaman, kemudian penyingkiran dari segala pencegah paham, kemudian pengkhususan, kemudian pembekasan, kemudian peninggian & kemudian pelepasan,
                    Pertama: Paham akan keagungan dan ketinggian perkataan/kalam Allah, kurnia Allah swt dan kelemah-lembutanNya dengan makhlukNya, pada turunnya kalam (perkataan) itu, dari ‘arsy kebesaranNya kepada derajat pengertian-pengertian makhlukNya. Maka hendaklah pembaca Alquran itu memperhati kan, betapa lemah-lembut Allah dengan makhlukNya, pada menyampaikan pengertian-pengertian kalamNya, yang mana, adalah suatu sifat tiada berpemulaan yang berdiri pada DzatNya, kepada pengetian-pengertian makhlukNya. Dan bagaimanakah menampak bagi mereka akan sifat itu dalam liputan huruf-huruf dan suara-suara, dimana semuanya itu adalah sifat manusia. Karena lemahlah manusia daripada sampai kepada memahami sifat-sifat Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, kecuali dengan perantaraan sifat-sifatnya sendiri. Jikalau tidaklah tertutup hakikat/makna keagungan kalamNya dengan pakaian, yang diibaratkan huruf-huruf, niscaya tidaklah terbukti tegas, ‘Arasy dan bintang Tsurayya itu, mendengar kalam Allah. Dan lenyaplah sesuatu diantara keduanya dari keagungan kekuasaan dan kesucian nurNya. Jikalau tidaklah diberikan ketetapan oleh Allah yg maha mulia & maha besar kepada Musa as, niscaya tidaklah ia sanggup mendengar kalamNya, sebagaimana tidak sanggup gunung pada permulaan kenyataan (tajalli) nya, dimana dia menjadi bergoncang. Dan tidak mungkin memahami keagungan kalam Allah, kecuali dengan contoh-contoh dalam batas pemahaman makhluk. Karena inilah maka disebutkan oleh sebahagian ‘arifin tentang kalam itu, dengan mengatakan, bahwa tiap-tiap huruf dari kalam Allah yg maha mulia & maha besar pada Luh-mahfudh, adalah lebih besar dari bukit Qaf. Dan sesungguhnya para malaikat as, jikalau berkumpul pada suatu huruf untuk mengangkatkannya, niscaya mereka tiada sanggup, sehingga datanglah Israfil as –yaitu malaikat yang mengawal Luh-mahfudh –lalu mengangkatnya. Maka dapatlah diangkatkannya dengan izin dan rahmat Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar. Tidak dengan kekuatan dan kesanggupannya. Tetapi Allah yg maha mulia & maha besar yang menganugerahkannya kemampuan yang demikian kepadanya dan menggunakan nya. Sebahagian ulama hikmah (hukama’) telah menyusun kata-kata dengan baik, secara halus, untuk menyampaikan pengertian kalam serta keagungan derajatnya, kepada pemahaman dan keyakinan manusia, serta rendahnya tingkat manusia itu. Diberi untuk itu suatu contoh, yang tidak dipendekkan padanya. Yaitu: bahwa diajak sebahagian raja-raja oleh seorang ahli hikmah kepada agama nabi-nabi as. Lalu raja itu menanyakannya tentang beberapa perkara. Maka ahli hikmah tadi menjawab dengan cara yang dapat dipahami oleh raja itu. Maka berkatalah raja: “Adakah engkau lihat akan apa yang dibawa para nabi itu, apabila engkau mendakwakan, bahwa itu bukan perkataan manusia. Dan itu kalam Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar. Maka bagaimanakah sanggup manusia memikulnya ?”. Menjawab ahli hikmah: “Kita melihat manusia, tatkala bermaksud memberi pengertian kepada sebahagian hewan dan burung, akan apa yang mereka maksudkan, tentang maju dan mundurnya, menghadap dan membelakangnya. Dan mereka melihat hewan-hewan itu singkat pengertiannya, daripada memahami perkataan mereka yang dari nur akal pikiran mereka, yang disertakan dengan kebagusan, penghiasan dan keelokan susunannya. Lalu mereka turun kepada derajat pengertian hewan dan mereka menyampaikan maksudnya kepada batin hewan-hewan itu dengan suara yang diadakannya, yang layak dengan mereka, seperti mengetikkan jari, bersiul dan berbagai suara yang mendekati dengan suara hewan-hewan itu. Supaya sanggup memikulnya. Dan begitupula, manusia itu lemah daripada membaca kalam Allah yg maha mulia & maha besar dengan hakikat/makna dan kesempurnaan sifatNya. Maka jadilah dengan apa yang dipergunakan diantara sesama mereka, dari suara-suara yang didengar mereka akan ilmu hikmah dengan suara-suara itu, seperti suara ketikan jari dan bersiul yang didengar oleh hewan-hewan itu dari manusia. Dan tidak dilarang oleh yang demikian akan pengertian-pengertian yang tersembunyi pada sifat-sifat itu, dari kemuliaan kalam, ya’ni suara-suara, adalah karena mulianya sifat-sifat itu. Dan agungnya kalam karena pengagungan, sifat-sifat itu. Sehingga suara itu adalah tubuh dan tempat bagi hikmah dan hikmah itu adalah nyawa dan roh bagi suara. Maka sebagaimana tubuh manusia itu dimuliakan dan dihormati karena tempat roh, maka seperti itu pula suara-suara kalam (berkata-kata), dimuliakan karena hikmah yang ada padanya. Kalam (berkata-kata) itu diatas kedudukan yang tinggi derajat, kekuasaan yang perkasa, dan hukum yang tembus, pada yang hak dan yang batil/salah. Dialah kadli yang adil, saksi yang disenangi, menyuruh dan melarang. Tak mampulah yang batil/salah tegak berdiri dihadapan kalam hikmah, sebagaimana tidak mampu bayang-bayang tegak berdiri dihadapan cahaya matahari. Dan tidak mampu manusia menjalankan penyelidikan yang mendalam tentang hikmah, sebagaimana mereka tidak mampu menjalankan penyelidikan dengan mata mereka akan cahaya matahari. Tetapi mereka memperoleh dari cahaya diri matahari itu, akan apa yang dapat hidup mata mereka dan dapat membuktikan dengan itu akan segala keperluan mereka saja. Maka kalam itu adalah sebagai raja yang terdinding, yang wajahnya tidak kelihatan, tetapi perintahnya tembus keluar. Dan seperti matahari yang mulia, yang menampakkan diri, yang tersembunyi unsurnya. Dan seperti bintang-bintang yang cemerlang,  yang kadang-kadang memperoleh petunjuk dengan dia, orang yang tiada mengetahui tentang perjalanan bintang-bintang itu. Maka kalam itu, adalah anak kunci gudang-gudang yang bernilai tinggi, dan minuman kehidupan. Siapa yang minum daripadanya, niscaya tidak akan mati. Dan obat segala penyakit dan siapa yang minum daripadanya, niscaya tidak akan sakit”. Maka ini yang disebutkan oleh ahli hikmah itu, adalah sekelumit dari pemahaman arti kalam. Dan tambahan dari itu, tidaklah layak dengan ilmu mu’amalah (ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Maka seyogyalah disingkatkan sehingga itu saja.
                    Kedua: Pengagungan Yang Berkalam (berkata-kata) (Mutakallim/Yang Berkata). Maka seorang pembaca ketika memulai tilawah Alquran, seyogyalah menghadirkan dalam hatinya, akan keagungan Mutakallim/Yang Berkata dan mengetahui, bahwa apa yang dibacakannya itu, tidaklah dari perkataan manusia. Dan bahwa dalam bertilawah kalam (membaca ayat-ayat) Allah yg maha mulia & maha besar itu, adalah sangat besar bahayanya. Allah Ta’ala berfirman: “Tiada yang menyentuhnya selain dari orang-orang yang disucikan”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 79. Maka sebagaimana yang zhahir dari kulit Mash-haf dan kertasnya, dijaga dari yang zhahir kulit penyentuhnya, kecuali apabila ia telah bersuci. Maka batin pengertiannya juga, disebabkan hukum kemuliaan dan keagungannya, terhijab dari batin hati. Kecuali apabila ia telah bersuci dari segala kotoran dan bersinar dengan cahaya pengagungan dan penghormatan. Dan sebagaimana tidak pantas disentuh kulit Mash-haf oleh semua tangan, maka tidak pula pantas untuk bertilawah hurufnya oleh semua lidah dan untuk memperoleh pengertiannya oleh semua hati. Dan bagi seumpama pengagungan ini, adalah ‘Akramah bin Abi Jahl, apabila membuka Mas-haf, lalu pingsan, dan berkata: “Dia itu kalam Tuhanku ! dia itu kalam  Tuhanku !”. Maka pengagungan kalam, adalah pengagungan Mutakallim/Yang Berkata. Dan tidak akan timbul pengagungan Mutakallim/Yang Berkata selama tidak bertafakkur tentang sifat-sifat, keagungan dan Af’al (perbuatan-perbuatan)Nya. Apabila telah hadir di sanubarinya ‘Arasy, Kursi, langit, bumi dan apa yang ada diantara keduanya, dari jin, manusia, hewan dan kayu dan mengetahui bahwa yang menjadikan semuanya itu, yang berkuasa dan yang memberikan rezeki kepadanya, adalah ESA. Dan semuanya didalam gengaman qudrah (kuasa )Nya, yang berkisar diantara kurnia dan rahmatNya, diantara cobaan dan kekuasaanNya. Jika dianugerahiNya ni’mat, maka adalah dengan kurniaNya dan jika disiksakanNya, maka adalah dengan keadilanNya. Dan sesungguhnya, Dialah yang berfirman: “Mereka itu ke sorga dan mereka itu ke neraka dan Aku tidak perduli !”. Inilah pengagungan yang penghabisan dan tertinggi ! maka dengan bertafakkur pada contoh-contoh tersebut, akan timbullah pengagungan Mutakallim/Yang Berkata kemudian pengagungan Kalam (kata-kata NYA).
                    Ketiga: Kehadiran hati dan meninggalkan bisikan jiwa. Ada yang mengatakan, pada penafsiran firman Allah Ta’ala: “Hai Yahya ! ambillah Kitab itu dengan sungguh-sungguh dan rajin”. Mengambilnya dengan sungguh-sungguh, ialah menghadapkan diri kepada Kitab itu semata-mata ketika membacanya, menjuruskan kemauan hati kepadanya saja, tidak kepada yang lain. Ditanyakan kepada sebahagian mereka: “Apabila engkau membaca Alquran, adakah engkau itu, berbicara dengan dirimu akan sesuatu ?”. Menjawab yang ditanyakan itu: “Adakah sesuatu yang lain, yang lebih aku cintai dari Alquran, sehingga aku berbicara dengan dia akan diriku ?”. Adalah sebahagian salaf, apabila membaca suatu ayat dari Alquran, dimana hatinya tak ada padanya; niscaya diulanginya kali kedua. Sifat itu terjadi, dari pengagungan yang telah ada sebelumnya. Karena orang yang mengagungkan Kalam (kata-kata) yang dibacanya itu, merasa gembira dan bersuka hati dengan bacaannya dan tidak berlengah hati daripadanya. Maka didalam Alquran, terdapatlah yang menyukakan hati, kalau yang membaca itu ahli. Lalu bagaimanakah mencari kesenangan dengan pikiran kepada yang lain, sedang dia didalam kesenangan dan kesukaan hati dengan pembacaannya ? orang yang sedang bersuka ria pada hal-hal yang menyenangkan, niscaya tidak akan berpikir kepada yang lain. Sesungguhnya, ada yang mengatakan: “Bahwa didalam Alquran itu terdapat tanah-tanah lapang, kebun-kebun, istana-istana, mahligai, kain sutera, taman dan tempat singgahan orang-orang musafir. Maka segala mim, adalah tanah lapang bagi Alquran. Segala ra’, adalah kebun-kebun Alquran. Segala ha’, adalah istana-istana Alquran. Segala ayat yang mengandung tasbih, adalah mahligai-mahligai Alquran. Segala ha-mim-nya adalah kain sutera bagi Alquran. Surat-suratnya yang panjang, adalah taman-tamannya. Dan tempat-tempat singgahannya, adalah yang lain dari itu. Maka apabila pembaca memasuki lapangan-lapangan tadi, memetik buah-buahan di kebun, memasuki istana-istana, mempersaksikan mahligai-mahligai, memakai kain-kain sutra, bersenang-senang di taman dan mendiami kamar-kamar tempat singgahan, niscaya habislah kesitu segenap jiwa raganya dan tak ada waktu lagi untuk yang lain. Sehingga tidak rengganglah hatinya dan tidak terpisahlah pikirannya dari Alquran yang dibacanya.
                    Keempat: Pemahaman, yaitu dibalik kehadiran hati tadi. Karena kadang-kadang ia tidak berpikir kepada selain dari Alquran, tetapi memadakan kepada mendengar Alquran saja, sedang ia tidak memahami pengertiannya. Yang dimaksudkan dari pembacaan itu, ialah pemahaman (tadabbur). Dan karena itulah, disunatkan tartil, karena tartil/bacaan secara zhahir, adalah untuk memungkinkan pemahaman dengan batin. Berkata Ali ra: “Tidak ada kebajikan pada ibadah, yang tak paham padanya dan tak ada kebajikan pada bacaan, yang tak ada pemahaman padanya”. Apabila tidak mungkin berpaham, kecuali dengan mengulang-ulangi, maka hendaklah diulang-ulangi, kecuali kalau ia di belakang imam. Kalau ia terus berpaham ayat, sedang imam telah berpindah pada ayat lain, maka adalah ia telah bersalah. Seumpama orang yang menghabiskan waktunya dengan keheranan pada suatu perkataan dari orang yang bercakap-cakap dengan dia, daripada memahami percakapannya yang lain. Begitu pula kalau berada dalam tasbih ruku’, dimana ia bertafakkur tentang ayat yang dibacakan imamnya. Maka ini adalah waswas (bisikan setan). Diriwayatkan dari ‘Amir bin Abdu Qais, bahwa ia berkata: “Waswas itu menganggu saya didalam shalat”. Lalu ditanyakan: “Mengenai hal duniawi ?”. ‘Amir menjawab: “Sesungguhnya berulang kali kelupaan pada saya, adalah lebih saya sukai daripada itu. Tetapi hatiku selalu sibuk dengan tegakku di hadapan Tuhanku ‘Azza Wa Jalla. Dan bagaimanakah aku berpaling dari itu ?”. Maka dihitungnya yang demikian itu, waswas. Dan betullah demikian, karena menyibukkan nya, daripada memahami apa yang sedang dikerjakannya. Dan setan itu tidak sanggup mendayakan seperti ‘Amir, kecuali menyibukkannya dengan kepentingan keagamaan. Tetapi, setan itu, mencegahnya daripada perbuatan yang lebih utama. Tatkala hal itu disebutkan kepada Al-Hasan, lalu beliau berkata: “Kalau adalah kamu benar daripadanya, maka tidaklah diperbuatkan oleh Allah yang demikian itu pada kami”. Diriwayatkan bahwa Nabi saw membaca “Bismillaa hirrahmaanirraahiim”, lalu mengulang-ulanginya 20 kali. Sesungguhnya diulangi-ulangi oleh Nabi saw adalah karena, bertadabbur/berpaham pada segala pengertiannya. Dari Abi Dzar, yang mengatakan: “Rasulullah saw melakukan shalat pada suatu malam dengan kami, lalu membaca ayat yang diulang-ulanginya, yaitu: “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yg Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. S 5 Al Maaidah ayat 118.
                    Dan Tamim Ad-Darani mengerjakan shalat pada suatu malam dengan membaca ayat: “Apakah orang-orang yang membuat kesalahan itu mengira.......”. S 45 Al Jaatsiah ayat 21. Sa’id bin Jubair mengerjakan shalat pada suatu malam, yang mengulang-ulangi ayat: “Berselisihlah kamu pada hari ini hai orang-orang yang berdosa !”. S 36 Yaa Siin ayat 59. Berkata sebahagian mereka: “Sesungguhnya aku memulai sebuah surat, maka dihentikan aku oleh sebahagian apa yang aku persaksikan padanya, daripada selesai, sehingga terbitlah fajar”.
                    Adalah sebahagian mereka berkata: “Suatu ayat yang tidak aku pahami dan tak ada hatiku padanya, maka tiada aku hitungkan pahala baginya”. Diceritakan dari Abi Sulaiman Ad-Darani, yang mengatakan: “Sesungguhnya aku membaca suatu ayat, maka aku bangun padanya 4 malam atau 5 malam. Dan kalau tidaklah aku putuskan pemikiran padanya, niscaya tidaklah aku lewatkan kepada yang lain”. Dari sebahagian salaf, didapati, bahwa ia tetap pada surat Hud, 6 bulan diulang-ulanginya dan tidak selesai daripada memahami padanya.
                    Berkata sebahagian ‘arifin: “Bagiku pada tiap-tiap Jum’at sekali khatam. Pada tiap-tiap bulan sekali khatam. Dan pada tiap-tiap tahun sekali khatam. Dan bagiku sekali khatam semenjak 30 tahun, yang tidak selesai aku sesudah itu daripadanya”. Yang demikian itu, adalah menurut derajat pemahaman dan pemeriksaannya. Dan sebahagian ‘arifin yang tadi mengatakan pula: “Aku tempatkan diriku, sebagai orang-orang mengambil upah. Maka sesungguhnya aku bekerja harian, mingguan, bulanan dan tahunan”.
                    Kelima: Pemahaman, yaitu memperoleh penjelasan dari tiap-tiap  ayat, akan apa yang layak baginya. Karena Alquran itu, melengkapi penyebutan sifat-sifat Allah ’Azza Wa Jalla, penyebutan Af’al (perbuatan-perbuatan)Nya, penyebutan hal-ihwal nabi-nabi as dan penyebutan hal-ihwal orang-orang yang mendustakan mereka serta bagaimana mereka itu binasa, penyebutan segala suruhan dan laranganNya, penyebutan sorga dan neraka. Adapun sifat-sifat Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, yaitu seperti firmanNya: “Tiada sesuatupun serupa dengan Dia dan Dia mendengar dan melihat dengan terang”. S 42 Asy Syuura ayat 11. Dan seperti firmanNya: “Dia itu Raja, Maha Suci, Pembawa Keselamatan, Pemelihara Keamanan, Penjaga segala sesuatu, Maha Kuasa, Maha Perkasa dan Maha Besar”. S 59 Al Hasyr ayat 23. Maka hendaklah diperhatikan arti nama-nama dan sifat-sifat ini, supaya terbukalah segala rahasianya, yang dibukakan oleh segala pengertian yang tertanam, yang tidak akan terbuka kecuali bagi orang-orang yang mendapat taufiq ! dan kepada itulah ditunjukkan oleh Ali ra dengan ucapannya: “Tiada dirahasiakan kepadaku oleh Rasulullah saw sesuatu yang disembunyikannya dari manusia lain, melainkan didatangkan oleh Allah yg maha mulia & maha besar seorang hamba yang memahami KitabNya. Maka hendaklah ia bersungguh-sungguh menuntut pemahaman itu !”.
                    Berkata Ibnu Mas’ud ra: “Barangsiapa bermaksud ilmu pengetahuan orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian, maka hendaklah ia membahas pengertian Alquran. Dan yang terbesar dari ilmu pengetahuan Alquran, ialah di bawah nama-nama Allah yg maha mulia & maha besar dan sifat-sifatNya. Karena tiada diketahui oleh kebanyakan makhluk daripadanya, kecuali beberapa perkara yang layak dengan pemahaman mereka dan tidak akan diperoleh mereka sampai sedalam-dalamnya”.
                    Adapun Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah Ta’ala, maka seperti disebutkanNya kejadian langit bumi dan lainnya. Maka hendaklah dipahami oleh pembaca dari perbuatan-perbuatanNya itu akan sifat-sifat Allah Ta’ala dan keagunganNya. Karena perbuatan itu menunjukkan kepada pembuat (fa’il). Maka ditunjukkan oleh keagungan perbuatan kepada keagungan pembuatnya. Maka sewajarnyalah dipersaksikan pada perbuatan, akan pembuat, tidak perbuatan. Maka barangsiapa mengenal kebenaran, niscaya melihat yang demikian pada tiap-tiap sesuatu. Karena tiap-tiap sesuatu itu, adalah daripadaNya, kepadaNya, dengan Dia dan untuk Dia. Maka Dialah semua, menurut yang sebenarnya. Dan barangsiapa tiada melihat yang demikian, pada tiap-tiap sesuatu yang dilihatnya, maka seolah-olah ia tiada mengenalNya. Dan barangsiapa mengenalNya, niscaya mengenal, bahwa tiap-tiap sesuatu selain Allah itu batil/salah dan tiap-tiap sesuatu itu binasa, selain WajahNya. Bukan sesuatu itu akan batil/salah dalam keadaan yang kedua nanti (hari kiamat), tetapi sekarang juga batil/salah, kalau dipandang kepada dirinya dari segi diri itu sendiri. Kecuali, dipandang adanya (wujudnya) sesuatu itu, dari segi adanya dengan sebab Allah yg maha mulia & maha besar dan dengan Qudrah ( kuasa )Nya. Maka adanya itu dengan jalan ikutan (tab’iyah) dan adalah batil/salah semata-mata bila dengan jalan berdiri sendiri (istiqlal). Ini, adalah langkah pertama dari langkah-langkah (pokok-pokok) ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Karena itu, seyogyalah apabila pembaca itu membaca firman Allah Ta’ala: “Adakah kamu perhatikan apa yang kamu tanam”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 63. “Tiadakah kamu perhatikan (air mani) yang kamu tumpahkan ?”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 58. “Adakah kamu perhatikan air yang kamu minum ?”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 68. “Adakah kamu perhatikan api yang kamu nyalakan ?”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 71, lalu tidak memendekkan pandangannya kepada air, api, tanaman dan mani saja. Tetapi memperhatikan tentang mani itu. Yaitu, setitik air anyir, yang serupa segala bahagiannya. Kemudian ia melihat tentang bagaimana terbaginya kepada daging, tulang, urat dan saraf. Dan bagaimana pembentukan anggota-anggotanya dengan bermacam-macam bentuk, dari kepala, tangan, kaki, paru, jantung dll. Kemudian kepada apa yang zhahir padanya, dari sifat-keadaan mulia, dari pendengaran, penglihatan, akal pikiran dll. Kemudian kepada apa yang zhahir padanya, dari sifat keadaan tercela, dari kemarahan, hawa nafsu, takabur, kebodohan, berdusta dan pertengkaran seperti firman Allah Ta’ala: “Apakah manusia itu tidak melihat, bahwa Kami menjadikannya dari air mani ? tetapi, lihatlah, dia telah menjadi musuh terang-terangan !”. S 36 Yaa Siin ayat 77. Maka diperhatikan segala keajaiban ini, supaya dapat mendaki kepada yang ajaibul-ajaib. Yaitu: sifat, yang terbit daripadanya segala keajaiban ini. Maka senantiasalah ia memandang kepada ciptaan, lalu ia melihat akan Pencipta. Adapun hal-ikhwal nabi-nabi as: maka apabila mendengar hal-ikhwal nabi-nabi, bahwa bagaimana mereka itu didustakan, dipukul dan dibunuh sebahagian mereka, lalu hendaklah dipahami daripadanya akan sifat tidak memerlukan (sifat-istighna’) bagi Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, kepada rasul-rasul (utusan-utusan) dan umat yang diutuskan rasul-rasul itu kepadanya. Dan kalau binasalah mereka itu semuanya, niscaya tidaklah membekaskan sesuatu dalam kerajaanNya. Dan apabila mendengar, bahwa rasul-rasul as itu memperoleh pertolongan pada akhir pekerjaannya, maka hendaklah dipahami akan qudrah ( kuasa ) Allah yg maha mulia & maha besar dan KemauanNya untuk menolong kebenaran.
                    Adapun hal-ihwal orang-orang yang mendustakan: seperti ‘Ad, Tsamud dan yang berlaku atas mereka, maka hendaklah dipahami daripadanya, akan perasaan takut dari kekuasaan dan pembalasan ALLAH ! hendaklah keuntungannya dari yang demikian itu, mengambil ibarat pada dirinya sendiri ! dan kalau lengah bertindak diluar kesopanan dan tertipu dengan tertangguhnya pembalasan, maka kadang-kadang pembalasan itu akan diperoleh dan terdapat dengan segera. Begitupula, apabila mendengar keadaan sorga, neraka dan yang lain-lain yang tersebut dalam Alquran, maka tidaklah mungkin mendalami apa yang dipahamkan daripadanya. Karena yang demikian itu, tak ada kesudahan baginya. Hanya bagi masing-masing hamba memperoleh sekedar bahagiannya daripadanya. Maka tidak adalah yang basah dan yang kering, melainkan semuanya itu ada didalam kitab yang menjelaskan: “Katakan: kalau kiranya lautan (menjadi) tinta untuk (menuliskan) perkataan Tuhanku, niscaya lautan itu menjadi kering sebelum habis perkataan Tuhanku (dituliskan) biarpun Kami datangkan sebanyak itu pula tambahannya”. S 18 Al Kahfi ayat 109. Karena itulah, berkata Ali ra: “Jikalau aku mau, niscaya dapatlah aku isikan pikulan 70 ekor unta dari penafsiran surat Al-Fatihah saja”. Maka maksud daripada apa yang kami ssbutkan itu, ialah memberitahukan jalan pemahaman, supaya terbukalah pintunya. Adapun secara mendalam, maka tak usahlah diharapkan ! Orang yang tidak mempunyai pemahaman apa yang didalam Alquran, walaupun dalam tingkatan yang paling rendah, maka termasuklah dia dalam firman Allah Ta’ala: “Dan diantara mereka itu, ada yang mendengarkan perkataan (bacaan) engkau, tetapi akhirnya, ketika mereka telah keluar dari tempat engkau, mereka berkata kepada orang-orang yang berpengetahuan: Apakah yang dikatakannya sebentar itu ? itulah orang-orang yang dicap (ditutup) hati mereka oleh Allah”. S 47 Muhammad ayat 16. Dan cap itu, ialah pencegah-pencegah yang akan kami sebutkan, pada pencegah-pencegah pemahaman. Sesungguhnya  ada yang mengatakan: “Tidaklah murid (yang berkehendak) itu, seorang murid, sebelum ia memperoleh didalam Alquran, akan apa yang dikehendakinya. Mengenal daripadanya akan kekurangan daripada tambahhan dan merasa cukup dengan penghulu daripada budak.
                    Keenam: Penyingkiran dari segala pencegah paham. Sesungguhnya kebanyakan manusia tercegah daripada memahami pengertian Alquran, karena beberapa sebab dan hijab, yang dikembangkan oleh setan pada hati mereka. Lalu menjadi butalah mereka tentang segala keajaiban rahasia Alquran. Bersabda Nabi saw: “Jikalau tidaklah setan-setan itu mengedari/mengelilingi hati anak Adam (manusia), niscaya mereka melihat kepada alam malakut”. Dan segala pengertian Alquran adalah sebahagian dari jumlah alam malakut. Dan tiap-tiap yang jauh dari pancaindra dan tidak diketahui, selain dengan nur matahati (nur-al-bashirah), maka adalah sebahagian dari alam malakut. Yang menghijabkan pemahaman, adalah 4:
                    Ke 1, adalah perhatiannya tertuju kepada penyebutan huruf, dengan mengucapkannya menurut pengucapannya (makhrajnya). Penjagaannya ini dipengaruhi oleh setan, yang ditugaskan kepada para pembaca Alquran (qurra’), supaya mengelakkan mereka daripada memahami pengertian-pengertian kalam (kata-kata) Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka senantiasalah dibawanya para pembaca itu kepada mengulang-ulangi huruf, yang terguris dalam hati mereka, bahwa belum mengucapkannya dari makhrajnya. Orang tadi, adalah perhatiannya tertuju kepada makhraj-makhraj huruf. Maka bilakah terbuka baginya pengertian ? dan yang amat menertawakan setan, ialah: orang yang mentaati kepada seumpama pengacauan ini.
                    Ke 2, adalah ia seorang muqallid (yang bertaqlid= turut/menurut) kepada suatu mazhab, yang didengarnya dengan taqlid (turut/menurut), dan ia membeku kepadanya. Dan tetaplah pada jiwanya kefanatikan (ta’ash-shub), dengan semata-mata mengikuti yang didengar, tanpa sampai kepadanya dengan mata hati dan penyaksian batin. Maka ini, adalah orang yang dikungkung oleh aqidahnya, daripada melampauinya. Maka tidaklah mungkin bahwa terguris dihatinya, selain daripada aqidahnya/keyakinan nya. Lalu jadilah perhatiannya terhenti kepada yang didengarinya. Kalau berkilatlah suatu kilat dari jauh dan teranglah kepadanya salah satu dari pengertian-pengertian yang bertentangan dengan yang didengarnya, niscaya dipikulkan ke atas pundaknya oleh setan taqlid (turut/menurut), seraya setan itu berkata: “Bagaimana maka terguris itu di hatimu, padahal itu bersalahan dengan aqidah bapak-bapakmu ?”. Maka ia melihat, bahwa itu adalah tipuan setan, lalu ia menjauhkan diri daripadanya dan menjaga daripada yang menyerupainya. Dan bagi yang seperti ini, telah berkata ulama-ulama shufi: “Bahwa ilmu itu suatu hijab/tertutup”. Dimaksudkan mereka dengan ilmu tadi, ialah segala aqidah (kepercayaan) yang dipegang terus-menerus oleh sebahagian besar manusia, dengan taqlid (turut/menurut) semata-mata. Atau dengan kata-kata perdebatan semata-mata, yang diuraikan oleh orang-orang yang fanatik kepada mazhab-mazhab dan diajarkannya kepada mereka.
                    Adapun ilmu haqiqi, yaitu: kasyaf/terbuka penutup dan musyahadah/penyaksian dengan nur-bashirah (terbuka hijab dan penyaksian dengan cahaya mata hati), maka bagaimanakah dia itu hijab/tertutup, sedang dia adalah: yang dicari terakhir ? Taqlid (turut/menurut) itu kadang-kadang adalah batil/salah, maka jadilah dia penghalang, seperti orang yang beri’tiqad (keyakinan) tentang istiwa (bersemayam)’ di atas ‘Arasy itu, tetap dan tidak berpindah. Jikalau tergurislah baginya –umpamanya –tentang Allah Yang Maha Suci, bahwa Dia itu Maha Suci dari tiap-tiap apa saja yang jaiz/boleh di atas makhlukNya, niscaya tidak memungkinkan oleh ke-taqlid annya (turut/menurut) itu, bahwa faham yang demikian menetap pada dirinya. Dan jikalau menetap pada dirinya, niscaya membawa kepada kasyaf/terbuka penutup  kedua, ketiga dan terus bersambung. Tetapi bersegeralah ia menolak yang demikian dari gurisan hatinya, karena berlawanan dengan taqlid (turut/menurut)nya yang batil/salah. Dan taqlid (turut/menurut) itu kadang-kadang benar (haq) dan juga dia itu pencegah dari faham dan kasyaf. Karena haq yang memberatkan makhluk untuk mempercayainya, mempunyai tingkat-tingkat dan derajat-derajat. Mempunyai pokok yang zhahir dan isi yang batin. Dan membekunya tabiat seseorang diatas yang zhahir/luar, mencegahkannya daripada sampai kepada isi mendalam bagi bathin, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu, mengenai perbedaan antara ilmu zhahir dan ilmu batin dalam: Kitab kaedah-kaedah i’tiqad (keyakinan).
                     Ke 3: adalah dia itu berkekalan diatas dosa atau bersifat dengan takabur atau kena percobaan pada umumnya, mematuhi dengan kecondongan pada dunia. Maka itu adalah sebab kegelapan hati dan berkaratnya.  Dan itu adalah seperti najis diatas kaca, lalu mencegah jelasnya kebenaran (haq) daripada menampak padanya. Dan itu, adalah hijab yang terbesar bagi hati. Dan dengan itulah, terhijab kebanyakan orang. Manakala hawa nafsu itu sangat tebal, niscaya pengertian Kalam (kata-kata) adalah sangat terhijab. Dan manakala tipis dari hati, segala beban dunia, niscaya mendekatlah kecemerlangan pengertian padanya. Hati itu, adalah seumpama kaca dan nafsu syahwat itu seumpama karat. Segala pengertian Alquran adalah seumpama bentuk yang menampak pada kaca. Dan latihan bagi hati dengan melenyapkan nafsu syahwat, adalah seumpama menggosok bersih bagi kaca. Dan karena itulah, bersabda Nabi saw: ”Apabila diagungkan oleh umatku akan dinar dan dirham, niscaya dicabutkan daripadanya kehebatan Islam. Dan apabila mereka meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, niscaya diharamkan mereka dari keberkatan wahyu”. Berkata Al-Fudlail: “Ya’ni: diharamkan mereka dari memahami Alquran”. Telah disyaratkan oleh Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, kembali kepada pemahaman dan pengingatan. Berfirman Allah Ta’ala: “Menjadi pemandangan dan pengajaran bagi setiap hamba yang kembali (kepada Tuhan)”. S 50 Qaaf ayat 8. Berfirman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Hanyalah orang yang kembali (kepada Tuhan) yang dapat menerima pelajaran”. S 40 Al Mukmin ayat 13. Berfirman Allah Ta’ala: “Hanyalah orang-orang yang berakal dapat mengerti”. S 13 Ar Ra’d ayat 19. Maka orang yang memilih tipuan dunia dari ni’mat, maka dia tidaklah dari orang-orang yang berakal. Dan karena itulah, tiada terbuka baginya rahasia-rahasia Kitab Suci.
                    Ke 4: dia telah membaca tafsir yang zhahir dan berkeyakinan, bahwa tak ada pengertian bagi kalimat-kalimat Alquran, selain daripada apa yang diperoleh oleh naql (diterima atau disalin) dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid dll. Dan yang dibalik dari itu, adalah penafsiran dengan buah pikiran. Dan barangsiapa menafsirkan Alquran dengan buah pikirannya niscaya tersedialah tempat duduknya dari api neraka. Maka ini juga sebahagian hijab besar. Dan akan kami terangkan pengertian penafsiran dengan buah pikiran pada Bab Keempat. Dan itu berlawanan dengan perkataan Ali ra: “Kecuali diberikan oleh Allah kepada seorang hamba akan pemahaman pada Alquran”. Dan sesungguhnya, kalau pengertian itu, yaitu: yang zhahir, yang dinuqilkan saja, niscaya tidaklah terdapat perselisihan manusia padanya.
                    Ketujuh: (dari 10 yang disebut pada awal Bab “Ketiga”) Pengkhususan. Yaitu: dia mengumpamakan, bahwa dialah yang dimaksud dengan tiap-tiap kata yang ditujukan dalam Alquran. Kalau ia mendengar amar atau nahi, niscaya diumpamakannyalah bahwa dialah yang dilarang dan yang disuruh. Dan kalau dia mendengar janji ni’mat (wa’ad) atau janji azab (wa’id), maka seperti itulah ia menilaikan pada dirinya. Dan kalau ia mendengar cerita (kisah) orang-orang dahulu dan nabi-nabi, niscaya ia tahu, bahwa cerita itu bukanlah yang dimaksudkan. Tetapi yang dimaksudkan, adalah untuk diambil menjadi ibarat. Dan hendaklah diambilnya dari cerita yang berlapis-lapis itu, akan apa yang diperlukannya. Maka tidak suatu kisahpun didalam Alquran, melainkan pembawaannya bagi sesuatu faedah terhadap Nabi saw dan umatnya. Karena itulah, maka berfirman Allah Ta’ala: “Yang dapat memperteguh hati engkau”. S 11 Huud ayat 120. Maka hendaklah diumpamakan oleh seorang hamba, bahwa Allah telah menetapkan hatinya, dengan apa yang diceritakan oleh Allah kepadanya, dari hal-ihwal nabi-nabi, kesabaran mereka diatas penganiayaan dan keteguhan mereka pada agama, demi menunggu pertolongan Allah Ta’ala. Bagaimanakah tidak diumpamakan yang demikian ? sedang Alquran itu tidaklah diturunkan kepada Rasulullah saw, karena dia utusan Allah khususnya, tetapi adalah Alquran itu obat, petunjuk, rahmat dan nur bagi alam seluruhnya. Dan karena itulah, disuruh oleh Allah Ta’ala manusia seluruhnya, mensyukuri keni’matan Kitab Suci itu.
                    Berfirman Allah Ta’ala: “Dan ingatlah ni’mat Allah kepadamu dan apa yang diturunkanNya kepadamu, diantaranya Kitab dan kebijaksanaan. Ia mengajari kamu dengan itu”. S 2 Al Baqarah ayat 231. Berfirman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Dan sesungguhnya Kami turunkan Kitab kepadamu yang didalamnya ada peringatan (pengajaran) buat kamu. Tidakkah kamu perhatikan ?”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 10. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan Kami turunkan kepada engkau pengajaran (Alquran) supaya engkau jelaskan kepada manusia, apa yang telah diturunkan kepada mereka”. S 16 An Nahl ayat 44. Firman Allah Ta’ala: “Begitulah Allah membuat perumpamaan untuk pelajaran bagi manusia”. S 47 Muhammad ayat 3. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepada kamu dari Tuhanmu”. S 39 Az Zumar ayat 55. Berfirman Allah Ta’ala: “Inilah keterangan yang jelas untuk manusia, pimpinan yang benar dan rahmat bagi kaum yang yakin (dalam kepercayaan)”. S 45 Al Jatsiyah ayat 20. Berfirman Allah Ta’ala: “Alquran inilah keterangan-keterangan yang jelas untuk manusia, pimpinan kepada kebenaran dan pengajaran untuk orang-orang yang memelihara dirinya (dari kejahatan)”. S 3 Ali ‘Imran ayat 138. Apabila dimaksudkan dengan penghadapan kata (khithab) kepada seluruh manusia, maka sesungguhnya adalah dimaksudkan kepada masing-masing orang. Maka si pembaca yang seorang itu, adalah yang dimaksudkan. Apakah bedanya bagi yang seorang itu dan bagi manusia lain ? maka hendaklah ia mengumpamakan, bahwa dialah dimaksudkan. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan diwahyukan kepadaku Alquran ini, supaya dengan itu, aku dapat memberi ingat kepada kamu dan kepada siapa yang sampai Alquran kepadanya”. S 6 Al An’aam ayat 19.
                    Berkata Muhammad bin Ka’b Al-Qardhi: “Barangsiapa sampai kepadanya Alquran, maka seolah-olah Allah Ta’ala telah berkalam (berkata-kata) dengan dia”. Apabila telah diumpamakan yang demikian, niscaya tidak diperbuatnya pelajaran Alquran itu sebagai pekerjaannya. Tetapi dibacanya Alquran itu, seperti seorang hamba membaca surat tuannya, yang dituliskan kepadanya untuk diperhatikannya dan dilaksanakannya menurut yang dikehendaki surat itu. Karena itulah, berkata sebahagian ulama: “Alquran itu adalah risalah-risalah (surat-surat), yang datang kepada kita dari pihak Tuhan kita ‘Azza Wa Jalla, dengan segala janjiNya, yang kita tadabburkan didalam shalat. Kita tegak berdiri diatas risalah-risalah itu, pada tempat kesepian (didalam khilwah) dan kita laksanakannya pada perbuatan taat dan sunat yang dituruti”. Bertanya Malik bin Dinar: “Apakah yang ditanamkan Alquran dalam hatimu, wahai ahli Alquran ? sesungguhnya Alquran itu adalah musim bunga bagi orang mu’min, sebagaimana hujan rintik-rintik adalah musim bunga bagi bumi”. Berkata Qatadah: “Tiada duduk seseorang dengan Alquran ini, melainkan ia bangun daripadanya, dengan ada tambahan atau kekurangan”. Berfirman Allah Ta’ala: “Dia itu menjadi obat dan rahmat untuk orang-orang yang beriman dan itu tiada akan menambah kepada orang-orang yang bersalah, selain dari kerugian saja”. S 17 Al Israa’ ayat 82.
                    Kedelapan: Pembekasan. Yaitu membekas kepada hatinya dengan berbagai macam bekas, menurut bermacam-macam ayat yang dibacanya. Maka adalah hal-keadaannya menurut masing-masing paham yang ada baginya. Dan terdapatlah hatinya bersifat dengan kedukaan, ketakutan, keharapan dan lainnya. Manakala ma’rifahnya telah sempurna niscaya adalah ketakutan menjadi keadaannya yang terbanyak, pada hatinya. Sesungguhnya penyempitan (tadlyiq), adalah biasa terdapat pada ayat-ayat Alquran. Maka tidak terlihat penyebutan ampunan dan rahmat melainkan disertai dengan syarat-syarat, yang sukar bagi seorang yang tahu, untuk memperolehnya, seperti firman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun”. S 20 Thaahaa ayat 82. Kemudian, diikutkanNya yang demikian itu, dengan 4 syarat: Sambungan ayat 82 di atas: “Bagi orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan perbuatan baik, kemudian ia mengikuti jalan yang benar”. Dan firmanNya: “Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Selain dari orang-orang, yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik dan mewasiatkan (memesankan) satu sama lain dengan kebenaran dan mewasiatkan satu sama lain supaya bersabar”. S 103 Al ‘Ashr ayat 1-2-3. Disebutkan disitu 4 syarat. Dan dimana diringkaskan, maka disebutkan satu syarat saja yang melengkapkan (syarat jaami’), lalu Allah Ta’ala berfirman:  “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan kepada orang lain (berbuat ihsaan)”. Berbuat kebaikan kepada orang lain (berbuat ihsaan) itu, meratai seluruhnya. Dan begitulah orang yang membuka halaman Alquran, dari permulaannya sampai kepada penghabisannya dan orang yang memahami demikian. Maka layaklah kiranya, bahwa keadaannya itu bersifat dengan ketakutan dan kedukaan.
                    Karena itulah berkata Al-Hasan: “Demi Allah, tidaklah pada hari ini seorang hamba yang membaca Alquran yang diimaninya melainkan banyaklah kedukaannya, sedikitlah kegembiraannya, banyaklah tangisnya, sedikitlah ketawanya, banyaklah pekerjaan dan perbuatannya, sedikitlah istirahat dan perbuatannya yang sia-sia”.
                    Berkata Wuhaib bin Al-Ward: “Kami melihat pada segala pembicaraan dan pengajaran ini, maka kami tiada mendapati sesuatu yang lebih menghaluskan hati dan menarik kedukaan, daripada membaca Alquran, memahami dan mentadabburkannya/memahamkannya. Maka membekaslah hamba dengan tilawah itu, bahwa ia bersifat dengan perihal ayat yang dibacakan. Ketika membaca ayat wa’id (ayat yang mengandung ancaman azab) dan pengikatan ampunan dengan syarat-syarat, yang lemah dia dari ketakutannya, seakan-akan ia hampir meninggal dunia. Dan ketika membaca ayat yang melapangkan dan janji ampunan, ia bergembira, seolah-olah ia terbang dari kegembiraan. Ketika menyebut Allah, sifat-sifat dan nama-namaNya, lalu tertunduklah ia menekur kepala, karena merendahkan diri bagi keagunganNya dan merasakan kebesaranNya. Ketika disebutkan oleh orang-orang kafir akan apa yang mustahil bagi Allah yg maha mulia & maha besar seperti disebutkan mereka bahwa Allah yg maha mulia & maha besar mempunyai anak dan teman hidup, lalu suaranya merendah dan batinnya hancur, karena malu dari kejinya perkataan orang-orang kafir itu. Dan ketika disifatkan sorga, lalu menggeraklah batinnya karena rindu kepadanya. Dan ketika disifatkan neraka, lalu gemetarlah sendi-sendinya, karena takut daripadanya.
                    Tatkala Rasulullah saw bersabda kepada Ibnu Mas’ud: “Bacalah kepadaku !”, maka Ibnu Mas’ud bercerita: “Lalu aku mulai dengan surat An Nisaa’. Tatkala sampai kepada ayat: “Bagaimanakah ketika Kami datangkan kepada tiap umat seorang saksi dan engkau Kami jadikan saksi atas umat ini” –aku melihat kedua matanya berlinang air mata, seraya mengatakan kepadaku: “Cukuplah sekian sekarang !”. Itu adalah karena dengan mempersaksikan keadaan yang demikian mempengaruhi keseluruhan isi jiwanya. Dan ada dalam golongan orang-orang yang takut (al-khaaifiin), orang yang jatuh tersungkur kepitaman pada ayat-ayat wa’id/ayat yang mengandung acaman azab. Dan diantara mereka, ada yang terus meninggal waktu mendengar ayat-ayat itu. Hal-hal yang seperti ini, membuat si pembaca itu diluar daripada dia sebagai menceritakan saja kalam (berkata-kata) Allah Ta’ala. Apabila ia membaca: “Sesungguhnya aku takut, akan kena siksaan hari yang besar, jika aku mendurhakai Tuhanku”. S 6 Al An’aam ayat 15. Dan tidaklah dia itu takut, bila dia hanya membaca saja. Dan apabila ia membaca S 60 Al Mumtahanah ayat 4: “Kepada Engkau, kami bertawakkal dan kepada Engkau, kami kembali dan kepada Engkau juga kesudahannya !” –dan tak adalah keadaannya bertawakkal dan kembali, maka adalah dia membacakan saja kalam (kata-kata) Allah Ta’ala. Dan apabila ia membaca S 14 Ibrahim ayat 12: “Dan sesungguhnya kami akan bersabar terhadap perbuatan kamu yang menyakitkan kami” –Maka hendaklah keadaan si pembaca itu sabar atau bercita-cita atas kesabaran, sehingga ia memperoleh kemanisan tilawah. Kalau tidaklah ia bersifat dengan sifat-sifat tersebut dan hatinya tidak bulak-balik dengan hal-hal itu, maka adalah keuntungannya dari tilawah itu, ialah menggerakkan lidah serta dengan tegas mengutuk dirinya sendiri, waktu membaca firman Allah Ta’ala: “Ingatlah, kutukan Allah itu adalah untuk orang-orang zalim”. S 11 Huud ayat 18. Pada firman Allah Ta’ala: “Sangat dibenci Allah, bahwa kamu ucapkan apa yang tiada kamu perbuat”. S 61 Ash Shaff ayat 3. Pada firman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Sedangkan mereka masih dalam kelalaian dan tiada memperdulikannya”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 1. Pada firman Allah Ta’ala: “Berpalinglah engkau dari orang-orang yang tiada memperdulikan pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia semata”. S 53 An Najm ayat 29. Dan pada firman Allah Ta’ala: “Siapa yang tiada bertaubat, itulah orang-orang yang zalim”. S 49 Al Hujuraat ayat 11. Dan ayat-ayat lain sebagainya. Dan termasuklah dia dalam maksud firman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Diantaranya ada yang buta huruf, tidak mengetahui Kitab, selain dari dongengan”. S 2 Al Baqarah ayat 78. Ya’ni: semata-mata tilawah saja. Dan firman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Dan banyaklah keterangan-keterangan di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka tidak memperhatikannya”. S 12 Yusuf ayat 105. Karena Alquran itulah yang menerangkan ayat-ayat itu di langit dan di bumi. Manakala dilaluinya ayat-ayat itu tanpa membekas kepadanya, maka adalah dia itu tidak memperhatikannya. Karena itulah dikatakan, bahwa orang yang tiada bersifat dengan perilaku budi (akhlak) yang tersebut dalam Alquran, maka apabila ia membaca Alquran itu, lalu ia dipanggilkan Allah Ta’ala: “Mengapakah engkau begitu terhadap Kalam (kata-kata)Ku, dan engkau tidak memperhatikan kepadaKu ? tinggalkanlah Kalam (kata-kata)Ku, bila engkau tidak kembali kepadaKu !”.
                    Seorang pendurhaka apabila membaca Alquran dan mengulang-ulanginya, adalah seumpama orang yang mengulang-ulangi membaca surat raja, pada tiap-tiap hari beberapa kali. Surat itu telah dituliskan kepadanya dalam gedung kerajaan dari raja itu. Si pembaca tadi, bekerja meruntuhkan gedung tersebut dan bertekun mempelajari surat raja. Kalau sekiranya ia meninggalkan mempelajari surat itu, ketika keadaannya begitu bertentangan, niscaya adalah dia terjauh daripada mempermain-mainkan dan daripada berhak mendapat kutukan.
                    Karena itulah, berkata Yusuf bin Asbath: “Sesungguhnya aku amat mementingkan tilawah Alquran. Apabila aku sebutkan sesuatu didalam Alquran, yang aku takut akan kena kutukan, lalu aku berpaling kepada tasbih dan istighfar. Orang yang berpaling daripada mengamalkan menurut Alquran, itulah yang dimaksudkan dengan firmanNya: “Kemudian janji itu mereka buang ke belakang dan mereka mengambil sedikit keuntungan gantinya. Amatlah buruknya apa yang mereka ambil itu”. S 3 Ali ‘Imran ayat 187. Karena itulah bersabda Nabi saw: “Bacalah Alquran, apa yang menjinakkan hatimu dan melembutkan kulitmu! apabila kamu menyalahinya, maka tidaklah kamu membacanya”. Pada sebahagian riwayat tersebut: “Apabila kamu menyalahinya, maka bangunlah dari Alquran itu !”. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang berfirman itu, ialah mereka yang ketika disebut nama Allah, hatinya penuh ketakutan dan apabila dibacakan kepadanya keterangan-keteranganNya, bertambah keimanannya karena itu dan mereka bertawakkal kepada Tuhannya”. S 8 Al Anfaal ayat 2. Bersabda Nabi saw: “Sebaik-baik suara manusia dengan Alquran, ialah apabila engkau mendengar ia membaca, niscaya engkau melihat ia takut akan Allah Ta’ala”. Bersabda Nabi saw: “Tidaklah terdengar Alquran dari seseorang, yang lebih merindukan, daripada orang yang takut akan Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar”. Maka Alquran, dimaksudkan untuk menarik segala hal keadaan itu kepada hati dan berbuat dengan dia. Kalau tidak demikian, maka kesulitan pada menggerakkan lidah dengan huruf-hurufnya, adalah ringan. Karena itulah berkata sebahagian ahli bacaan Alquran (al-qurra’): “Aku baca Alquran dihadapan guruku, kemudian aku kembali untuk membacakan kali kedua, lalu dibentaknya aku seraya berkata: “Engkau jadikan Alquran sebagai suatu perbuatan atasku. Pergilah, bacakanlah karena Allah yg maha mulia & maha besar ! perhatikanlah dengan apa disuruhNya kamu dan dengan apa dilarangNya kamu !”. Dengan inilah, para sahabat ra itu sibuk, dalam segala keadaan dan perbuatan.
                    Rasulullah saw wafat meninggalkan sahabat sebanyak 20 ribu orang, dimana tidak ada yang menghafalkan Alquran selain 6 orang. 2 orang dari yang 6 inipun, diperselisihkan (Ada riwayat yang mengatakan bahwa keduanya menghafal Alquran dan ada yang mengatakan tidak). Sebahagian besar dari mereka menghafal satu surat dan dua surat. Dan adalah yang menghafal surat Al Baqarah dan Al An’am, dari ulama-ulama sahabat. Tatkala salah seorang pergi untuk mempelajari Alquran, lalu sampailah pembacaannya pada firman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Dan siapa yang mengerjakan perbuatan baik seberat atom, akan dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat atom, akan dilihatnya”, maka berkatalah orang tadi: “Cukuplah ini saja !”. Lalu iapun pergi. Maka bersabda Nabi saw: “Telah pergi orang itu dan dia adalah seorang yang berpaham (faqih)”. Sesungguhnya jaranglah seperti keadaan itu yang telah dikurniakan oleh Allah yg maha mulia & maha besar ke dalam hati seorang mu’min, setelah memahami ayat itu.
                    Adapun semata-mata menggerakkan lidah maka adalah sedikit faedahnya. Bahkan orang yang membaca dengan lisan, yang berpaling dari perbuatan, adalah wajar bahwa dialah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: “Dan barangsiapa yang menyangkal mengingati Aku, sudah tentu dia akan memperoleh kehidupan yang sulit (sempit) dan Kami kumpulkan di hari kiamat (kebangunan) sebagai orang buta”. S 20 Thaahaa ayat 124. Dan firman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Begitulah (semestinya). Keterangan-keterangan Kami telah datang kepada engkau, tetapi tidak engkau perdulikan; dan begitulah di hari ini, engkau tidak pula Kami perdulikan”. S 20 Thaahaa ayat 126. Artinya: engkau tinggalkan keterangan-keterangan itu, tidak engkau perhatikan dan perdulikan. Orang yang menyia-nyiakan suatu perintah (amar), dikatakan: orang yang melupakan suatu amar (perintah). Bertilawah Alquran yang sebenar-benarnya, ialah mengkongsikan padanya lidah, akal dan hati. Bahagian lidah, ialah membetulkan huruf dengan pentartilan. Bahagian akal, ialah penafsiran pengertian. Dan bahagian hati, ialah mengambil pengajaran dan membekas dengan memperingatkan hati dan menuruti perintah. Maka lidah itu bertartil, akal itu menterjemah dan hati itu mengambil pengajaran.
                    Kesembilan: Peninggian. Yang saya maksudkan dengan peninggian itu, ialah bahwa meninggilah si pembaca tersebut, sampai ia mendengar Kalam (kata-kata) daripada Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, tidak daripada dirinya sendiri. Dari itu, maka tingkat pembacaan adalah 3:
1.      Yang paling kurang daripadanya, ialah diumpamakan oleh hamba itu, seolah-olah ia membaca Alquran di hadapan Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, berdiri dihadapanNya. Dan dia memandang kepadaNya dan mendengar daripadaNya. Maka adalah keadaannya orang itu, pada pengumpamaan ini, meminta berwajah manis, merendahkan diri dan bermohon.
2.      Bahwa ia mengakui dengan hatinya, seolah-olah Allah yg maha mulia & maha besar melihat dan berbicara kepadanya dengan segala kelemah-lembutanNya. Dan ia  membisikkan segala isi hati dengan Dia dengan segala keni’matan dan ihsanNya/perbuatan baikNya. Dari itu, maka kedudukannya adalah dalam keadaan malu, pengagungan, pemerhatian dan pemahaman.
3.      Bahwa ia melihat pada Kalam (kata-kata) itu akan Mutakallim/Yang Berkata dan pada kata-kata itu, akan sifat. Maka tidaklah ia memandang kepada dirinya, kepada bacaannya dan kepada sangkutan keni’matan kepadanya, dari segi bahwa dia yang diberikan keni’matan kepadanya. Bahkan, adalah tertuju cita-cita kepada Yang Berkata dan terhenti pemikiran kepadaNya, seolah-olah ia tenggelam dengan memandang kepada Yang Berkata, tanpa yang lain. Dan inilah tingkat Muqarrabin (orang-orang yang dekat kepada Allah Ta’ala). Dan sebelum ini, adalah tingkat golongan kanan (ash-habul-yamin). Dan yang diluar dari ini, adalah tingkat orang-orang lalai (al-ghafilin).
Dan diri tingkat yang tinggi itu, diceritakan oleh Ja’far bin Muhammad Ash-Shiddiq ra dengan mengatakan: “Demi Allah, sesungguhnya telah menampak (tajalli) Allah yg maha mulia & maha besar bagi makhlukNya pada Kalam (kata-kata)Nya. Tetapi mereka tidak melihatNya”. Berkata Ja’far pula, dimana mereka menanyakan kepadanya, tentang keadaan yang mengenainya dalam shalat, sampai ia jatuh tersungkur. Maka setelah ia sembuh, lalu ditanyakan kepadanya tentang itu, maka ia menjawab: “Senantiasalah aku mengulang-ulangi suatu ayat pada hatiku, sehingga aku mendengarnya dari yang memfirmankanNYA. Lalu tidak tetaplah tubuhku untuk memandang qudrah ( kuasa )Nya”. Maka pada tingkat yang seperti ini, maha agunglah manisnya dan lezatnya  membisikkan segala isi hati. Karena itulah berkata sebahagian ahli hikmat (hukama’): “Adalah aku membaca Alquran, maka tidaklah aku peroleh baginya kemanisan, sehingga bertilawahlah aku akan Alquran itu, seolah-olah aku mendengarnya dari Rasulullah saw yang membacakan kepada sahabat-sahabatnya. Kemudian aku diangkat ke tingkat yang diatas itu, maka aku men-tilawahkannya, seolah-olah aku mendengarnya dari Jibril as yang membacakannya kepada Rasulullah saw. Kemudian diberikan oleh Allah tingkat yang lain, maka sekarang aku mendengarnya dari Mutakallim/Yang Berkata. Pada tingkatan ini, aku memperoleh kelezatan dan keni’matan, yang tidak sabar aku jauh daripada Allah.
          Berkata Usman dan Hudzaifah ra: “Kalau hati itu suci bersih, niscaya dia tidak kenyang-kenyang dari membaca Alquran”. Mereka mengatakan demikian, karena dengan kesucian, hati itu meninggi kepada penyaksiaan yang berkata pada firmanNya pada Kalam (kata-kata)Nya. Dan karena itulah, berkata Tsabit Al-Bannani: “Aku menanggung kesukaran pada pembacaan Alquran selama 20 tahun dan aku merasakan keni’matan dengan Alquran selama 20 tahun”. Dan dengan Yang Berkata, tanpa lainNya, maka hamba itu adalah mengikuti firman Allah yg maha mulia & maha besar S 51 Adz Dzaariyaat ayat 50: “Maka bersegeralah pergi kepada Allah !”. Dan karena firmanNya S 51 Adz Dzaariyaat ayat 51: “Janganlah kamu adakan tuhan yang lain disamping Allah”. Orang yang tiada melihat Allah Ta’ala pada tiap-tiap sesuatu, tentu melihat lainNya. Dan tiap apa saja yang dipandang oleh hamba kepadanya, selain Allah Ta’ala, niscaya pandangannya itu mengandung sesuatu dari syirik yang tersembunyi. Karena keesaan yang bersih, adalah tidak melihat pada tiap-tiap sesuatu, selain Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar.
                    Kesepuluh: Pelepasan. Saya maksudkan dengan pelepasan itu, ialah melepaskan diri dari daya dan upaya sendiri dan melepaskan diri daripada memandang kepada diri sendiri dengan pandangan kesenangan dan kesucian. Maka apabila membaca ayat-ayat yang mengandung janji kesenangan dan pujian bagi orang-orang baik (shalihin), maka tidaklah memandang dirinya yang demikian. Tetapi memandang bahwa orang-orang yang yakin dan yang shiddiq, yang dimaksudkan pada ayat-ayat itu. Dan mengharap kiranya dia dihubungkan oleh Allah yg maha mulia & maha besar dengan orang-orang itu. Apabila membaca ayat-ayat yang mengandung cacian dan celaan terhadap orang-orang yang durhaka dan yang lalai, maka memandang kepada dirinya berada di situ. Dan mengumpamakan bahwa dialah yang ditujukan, karena takut dan mengharap dikasihani. Karena itulah Ibnu Umar ra berdoa: “Ya Allah Tuhanku ! aku meminta ampun padaMu karena kezalimanku dan kekufuranku !”. Maka ditanyakan kepadanya: “Kezaliman itu benarlah, tetapi betapakah tentang kekufuran itu ?”. Maka Ibnu Umar ra membaca firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Sesungguhnya manusia itu banyak kesalahannya (banyak kezalimannya) dan tiada tahu berterima kasih (banyak kekufuran)”.
                    Ditanyakan kepada Yusuf bin Asbath: “Apabila engkau membaca Alquran, dengan apakah engkau berdoa ?”. Yusuf menjawab: “Dengan apakah aku berdoa ? aku meminta ampun pada Allah 'Azza Wa Jalla, dari keteledoranku 70 kali”. Apabila melihat dirinya dalam bentuk keteledoran pada pembacaan Alquran, niscaya penglihatannya itu menjadi sebab untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa melihat kejauhan dalam dekat, niscaya melembutkannya kepada takut. Sehingga takut itu, membawanya kepada tingkat yang lain dalam kedekatan di balik tingkat itu. Barangsiapa melihat kedekatan dalam jauh, niscaya membawa ia tertipu dengan keamanan, yang membawanya kepada tingkat yang lain dalam kejauhan itu, di bawah daripada apa yang ada padanya. Manakala ia melihat dirinya sendiri dengan pandangan kesenangan, niscaya ia menjadi terhijab dengan dirinya sendiri. Apabila telah melewati batasan memandang kepada diri sendiri dan tidak memandang lagi selain kepada Allah Ta’ala dalam tilawah itu, niscaya terbukalah baginya rahasia alam ghaib (sirr/rahasiaul-malakut).
                    Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani ra: “Berjanji Ibnu Tsauban dengan saudaranya untuk berbuka puasa padaku. Maka terlambatlah Ibnu Tsauban sampai kepada terbit fajar. Keesokan harinya, ia berjumpa dengan saudaranya itu, seraya bertanya kepadanya: “Engkau berjanji dengan aku, bahwa engkau berbuka puasa padaku, lalu engkau menyalahi janji itu”. Menjawab Ibnu Tsauban: “Kalau tidaklah aku berjanji dengan engkau, niscaya tidak aku ceritakan kepada engkau, akan sebab yang menghambatkan aku daripada engkau. Sesungguhnya setelah aku mengerjakan shalat ‘Isya’, lalu aku bertanya kepada diriku sendiri: “Apakah aku mengerjakan shalat witir sebelum aku datang kepada engkau, karena aku tiada merasa terpelihara dari kematian yang akan datang. Tatkala aku dalam doa witir, lalu terangkatlah kepadaku suatu taman yang hijau, didalamnya berbagai macam bunga-bungaan sorga. Maka senantiasalah aku memandang kepadanya, sehingga pagi hari”. Segala yang tampak ini (yang tampak dalam kasyaf –al diminta untuk mengetahuinya saja), tidak ada kecuali setelah melepaskan diri dari hawa nafsu. Tidak menoleh kepadanya dan kepada segala keinginannya. Kemudian dikhususkan al-diminta untuk mengetahuinya saja ini, menurut keadaan al-mukasyif (orang yang memperoleh kasyaf). Maka dimana ia membaca ayat-ayat harapan (ar-raja’) dan membanyakkan kegembiraan pada keadaannya, niscaya terbukalah baginya gambaran sorga. Lalu dipersaksikannya, seakan-akan dilihatnya dengan mata kepala. Dan jikalau membanyak padanya ketakutan, niscaya diberikan kepadanya kasyaf dengan neraka, sehingga ia melihat akan berbagai macam azabnya. Yang demikian itu, adalah karena Kalam (kata-kata) Allah yg maha mulia & maha besar melengkapi kepada mudah yang lemah-lembut, keras yang menggetarkan, yang diharapkan dan yang ditakutkan, yang mana itu menurut sifat-sifatnya. Karena sebahagian dari sifat-sifatnya itu, adalah kerahmatan, kelemah-lembutan, pembalasan dan kekerasan. Maka dengan semata-mata menyaksikan kata-kata dan sifat-sifat, lalu bertukarlah hati dalam bermacam keadaan. Dan dengan semata-mata keadaan itu, maka sebahagian daripadanya menyediakan diri bagi diminta untuk mengetahuinya saja, dengan sesuatu yang sesuai dengan keadaan itu dan yang mengimbanginya. Karena mustahillah ada keadaan orang yang mendengar itu semacam dan yang didengar itu berbeda daripadanya. Karena padanya, ada kalam (kata-kata) yang merelai, kalam (kata-kata) yang memarahi, kalam (kata-kata) yang menganugerahkan keni’matan, kalam yang memberikan tuntutan pembalasan, kalam perkasa yang menyombong yang tidak memperdulikan dan kalam yang mempunyai kerahmatan, lemah-lembut yang tidak disia-siakan.
BAB KEEMPAT: tentang pemahaman Alquran dan penafsirannya dengan buah pikiran tanpa naql (diambil dari Nabi saw atau sahabat).
Semoga anda mengatakan, bahwa aku telah mengagungkan pada keterangan yang lalu, tentang pemahaman rahasia-rahasia Alquran dan apa yang terbuka bagi orang-orang yang berhati suci, dari segala pengertian Alquran. Maka bagaimanakah disunatkan yang demikian ? sedang Nabi saw telah bersabda: “Barangsiapa menafsirkan Alquran dengan buah pikirannya, maka sesungguhnya dia menyediakan tempat duduknya dari api neraka”. Dan dari inilah, dilecehkan oleh ahli ilmu tafsir secara zhahir, akan ahli-ahli tasawwuf/ahli suffi, dari ahli-ahli tafsir yang dikatakan berminat kepada tasawwuf/ahli suffi, tentang penafsiran kalimat-kalimat dalam Alquran, berbeda dari apa yang dinaqlkan dari Ibnu ‘Abbas dan penafsir-penafsir yang lain. Dan mereka berpendapat, bahwa itu kufur (tidak mensyukuri). Maka kalau benarlah, apa yang dikatakan oleh ahli tafsir tadi, maka apakah arti memahami Alquran, selain daripada menghafal tafsirnya ? dan kalau yang demikian itu tidak benar, maka apakah artinya sabda Nabi saw:: “Barangsiapa menafsirkan Alquran dengan buah pikirannya, maka sesungguhnya dia menyediakan tempat duduknya dari api neraka ”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa orang yang menda’wakan, tak ada pengertian bagi Alquran, selain apa yang diterjemahkan oleh tafsir secara zhahir, maka dia itu adalah orang yang menerangkan tentang batas dirinya. Dan dia itu betul pada menerangkan tentang dirinya, tetapi ia salah dalam hukum, dengan mengembalikan makhluk seluruhnya kepada tingkatnya, yang menjadi batas dan tempatnya. Bahkan hadits-hadits dan atsar yang menunjukkan, bahwa pada pengertian Alquran itu adalah amat luas bagi orang-orang yang berpaham.
            Berkata Ali ra: “Melainkan, bahwa didatangkan oleh Allah akan hamba yang memahami akan Alquran”. Kalau tidaklah ada, selain dari terjemah yang dinaqlkan, maka apakah pemahaman itu ? bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya Alquran itu, mempunyai zhahir dan batin, batas dan permulaan”. Diriwayatkan pula, yang demikian dari Ibnu Mas’ud yang dimauqufkan padanya (riwayat hadits itu terhenti pada Ibnu Mas’ud saja), sedang dia adalah dari ulama tafsir. Maka apakah artinya: zhahir dan batin, batas dan permulaan ? berkata Ali –dimuliakan Allah akan wajahnya -: “Kalau aku kehendaki, niscaya aku buatkan yang membebani 70 ekor unta dari tafsir Al-Fatihah itu”. Apakah artinya itu, sedang tafsir zhahirnya adalah sangat pendek ? Berkata Abud-Darda’: “Tidak berpahamlah seseorang, kecuali ia membuat bagi Alquran beberapa wajah”. Berkata setengah ulama: “Bagi tiap-tiap ayat itu 60 ribu paham dan apa yang masih tinggal dari pemahamannya itu, adalah lebih banyak lagi”. Berkata sebahagian ulama yang lain: “Alquran itu mengandung 77.200 ilmu, karena tiap-tiap perkataan itu satu ilmu. Kemudian, berlipatganda yang demikian itu 4 kali. Karena tiap-tiap perkataan, mempunyai zhahir dan bathin, batas dan permulaan”. Diulang-ulangi oleh Rasulullah saw akan “Bismillaahirrahmaanirrahiim: 20 kali, tidak adalah yang demikian, kecuali untuk bertadabbur akan batin pengertiannya. Kalau bukanlah begitu, maka penterjemahan dan penafsirannya adalah jelas, tidak memerlukan bagi orang seperti Nabi saw kepada mengulang-ulangi.
            Berkata Ibnu Masu’d ra: “Barangsiapa bermaksud kepada ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian, maka hendaklah ia bertadabbur akan Alquran”. Yang demikian itu, tidak akan berhasil dengan semata-mata tafsirnya yang zhahir saja. Kesimpulannya, ilmu pengetahuan itu semuanya masuk dalam Af’al ( perbuatan-perbuatan) Allah yg maha mulia & maha besar dan sifat-sifatNya. Dan dalam Alquran itu penguraian ZatNya, Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya dan sifat-sifatNya. Dan segala pengetahuan tersebut, tak ada baginya kesudahan. Dan dalam Alquran itu, ada penunjukkan kepada keseluruhannya dan tingkat-tingkat dalam mendalami perinciannya, yang kembali kepada pemahaman Alquran. Dan semata-mata tafsir zhahir, tidaklah menunjukkan kepada yang demikian. Tetapi tiap-tiap yang membawa kepada kesulitan bagi pemerhati-pemerhati dan berselisih padanya orang banyak tentang pandangan dan pemikiran, maka didalam Alquran terdapat tanda-tanda (rumuz) dan penunjuk-penunjuk kepadanya, yang hanya ahli paham yang dapat mengetahuinya. Maka bagaimanakah dapat sempurna dengan demikian itu, terjemahan zhahirnya dan penafsirannya saja ? Karena itulah bersabda Nabi saw: “Bacalah Alquran dan carilah yang ganjil-ganjil (gharaib) daripadanya”. Bersabda Nabi saw dalam hadits yang diriwayatkan Ali –dimuliakan Allah akan wajahnya: “Demi Allah yang mengutuskan aku dengan sebenarnya menjadi nabi ! sesungguhnya akan bercerai-berai umatku dari pokok agamanya dan kumpulannya kepada 72 golongan. Semuanya sesat menyesatkan, yang membawa mereka kepada neraka. Apabila telah ada yang demikian, maka haruslah kamu berpegang teguh dengan Kitab Allah yg maha mulia & maha besar (Alquran). Karena didalamnya, berita orang-orang yang sebelum kamu dan berita tentang apa yang akan datang sesudah kamu. Dan hukum yang dijalankan diantara kamu, oleh orang-orang yang berkuasa, yang menyalahi akan Alquran. Dia dibinasakan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla. Barangsiapa mencari ilmu yang lain dari Alquran, niscaya dia disesatkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla. Alquran itu, adalah tali Allah yang Maha Kokoh, nurNya yang menerangkan, obatNya yang bermanfaat, pemeliharaan bagi orang yang berpegang dengan dia dan kelepasan bagi orang yang mengikutinya. Tiada ia bengkok maka Alquranlah yang meluruskan. Tiada ia menyeleweng maka Alquranlah yang membetulkan. Tidak akan habis-habis keajaibannya dan tidak akan diburukkan dia oleh banyak ulangan-ulangan”......sampai akhir hadits.
              Pada hadits Hudzaifah tersebut: “Tatkala diceritakan oleh Rasulullah saw kepada Hudzaifah akan perselisihan dan perpecahan sesudahnya, dimana Hudzaifah menerangkan: “Lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah ! apakah kiranya yang engkau suruhkan aku, kalau aku dapati masa itu ?”. Nabi saw menjawab: “Pelajarilah Kitab Allah, laksanakanlah apa yang tersebut didalamnya. Maka itulah, yang mengeluarkan dari yang demikian !”. menyambung Hudzaifah ceritanya: “Maka aku ulangi pertanyaan itu kepada Nabi saw 3 kali”. Maka Nabi saw pun bersabda 3 kali: “Pelajarilah Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, laksanakanlah apa yang tersebut didalamnya ! maka padanyalah kelepasan”.
Berkata Ali –dimuliakan Allah akan wajahnya: “Barangsiapa memahami akan Alquran, niscaya ia telah menafsirkan akan sejumlah ilmu pengetahuan”. Ditunjukkan oleh Ali dengan ucapannya itu, bahwa Alquran menunjukkan kepada sekumpulan ilmu pengetahuan seluruhnya.
              Berkata Ibnu Abbas ra tentang firman Allah Ta’ala: “Dan orang yang diberiNya hikmah (kebijaksanaan) itu, sesungguhnya telah diberi kebaikan yang banyak” ya’ni: memahami akan Alquran. Berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan Kami memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hukuman (yang lebih tepat) itu. Dan kepada masing-masing, kami berikan ilmu hukum dan pengetahuan”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 79. Dinamakan apa yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada keduanya (Daud dan Sulaiman), pengetahuan dan ilmu hukum dan dikhususkanNya bagi Sulaiman sendiri dengan mendalaminya, dengan nama: pemahaman. Dan dijadikanNya mendahului kepada ilmu hukum dan pengetahuan. Maka segala hal tersebut menunjukkan, bahwa pada pemahaman segala pengertian Alquran itu, jalan yang lapang dan tempat yang luas menyampaikan. Dan yang dinaqlkan dari penafsiran zhahir itu, tidaklah merupakan pengertian yang terakhir. Adapun sabda Nabi saw: “Barangsiapa menafsirkan Alquran dengan buah pikirannya.....” dan larangan Nabi saw daripadanya dan ucapan Abubakar ra: “Bumi manapun yang menempatkan aku dan langit manapun yang menaungi aku, apabila aku mengatakan pada Alquran menurut buah pikiranku.....” dan lain sebagainya, dari apa yang datang pada hadits dan atsar, tentang pelarangan penafsiran Alquran dengan buah pikiran, maka itu tidak tersembunyi: adakalanya yang dimaksudkan dengan yang demikian, ialah: terbatas kepada naql dan yang didengar saja, serta meninggalkan pemahaman dan kebebasan berpaham. Atau dimaksudkan: hal yang lain dari itu. Dan batil/salah benar-benar, kalau yang dimaksudkan dengan itu, bahwa tidak boleh seseorang memperkatakan tentang Alquran selain daripada apa yang didengarnya, disebabkan karena beberapa segi.
                   Pertama: diisyaratkan bahwa yang demikian itu, adalah didengar daripada Rasulullah saw dan disandarkan kepadanya. Dan yang demikian, termasuklah yang tidak dijumpai, selain pada sebahagian saja dari Alquran. Adapun apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud dari pihaknya sendiri, maka seyogyalah tidak diterima. Dan boleh dikatakan, bahwa itu adalah: penafsiran dengan buah pikiran, karena mereka tidak mendengarnya daripada Rasulullah saw. Dan begitu juga dengan sahabat-sahabat yang lain –direlai Allah kiranya mereka sekalian.
                   Kedua: para sahabat dan penafsir-penafsir (al-mufassirin), berselisih tentang penafsiran sebahagian ayat. Mereka mengatakan berbagai macam perkataan yang berlainan, yang tidak mungkin dipersatukan. Dan mendengar semuanya itu dari Rasulullah saw adalah hal yang mustahil. Jikalau satu yang didengar, maka tertolaklah yang selebihnya. Maka nyatalah, bahwa masing-masing penafsiran itu mengatakan tentang sesuatu pengertian, menurut apa yang zhahiir kepadanya, dengan pemahamannya. Sehingga mereka mengatakan tentang huruf-huruf pada awal beberapa surat, 7 macam perkataan yang berbeda-beda, yang tidak mungkin dipersatukan. Maka ada yang mengatakan, bahwa alif itu Allah, lam itu lathif (lemah lembut) dan ra itu rahim. Dan ada yang mengatakan, lain dari itu. Dan mempersatukan (mengumpulkan) diantara semuanya, tidak mungkin. Maka bagaimanakah, adanya semuanya itu didengar ?
                   Ketiga: bahwa Nabi saw telah berdoa untuk Ibnu Abbas ra dengan mengucapkan: “Ya Allah Tuhanku ! anugerahilah dia pemahaman dalam agama dan ajarilah dia penafsiran!”. Kalau penafsiran itu menurut yang didengar seperti ayat yang diturunkan dan dihafalkan seperti ayat itu, maka apakah artinya mengkhususkan Ibnu Abbas dengan demikian ?
                   Keempat: bahwa Allah yg maha mulia & maha besar berfirman: “Tentulah orang-orang yang memperhatikan itu, akan dapat mengetahui yang sebenarnya”. S 4 An Nisaa’ ayat 83. Maka diakuiNya adanya penelitian bagi ahli ilmu. Dan sesungguhnya dima’lumi, bahwa yang demikian itu adalah tanpa mendengar. Kesimpulan dari apa yang kami naqalkan (diambil dari pokok-pokok agama), dari atsar-atsar (perkataan shahabat) mengenai pemahaman Alquran, adalah berlawanan dengan khayalan itu. Maka batallah disyaratkan mendengar untuk penta’wilan (penafsiran). Dan bolehlah bagi tiap-tiap orang mengambil pemahaman dengan ketelitian (ber-istinbath) dari Alquran menurut kesanggupan pemahaman dan ketajaman akal pikirannya. Adapun larangan, maka itu ditempatkan diatas salah satu dari dua segi.
                   Segi Pertama: bahwa dia mempunyai pendapat tentang sesuatu dan kecondongan tabiat dan hawa nafsunya kepada sesuatu itu. Lalu dita’wilkannya Alquran menurut pendapat dan hawa nafsunya tadi, untuk membuktikan benar maksud tujuannya. Dan kalau ia tidak mempunyai pendapat dan hawa nafsu itu, niscaya tidak menampak pengertian itu baginya dari Alquran. Sekali, ini adalah disertai pengetahuan, seumpama orang yang mengambil dalil dengan sebahagian ayat Al quran untuk membenarkan bid’ah (yang diada-adakan)nya. Sedang ia tahu bahwa itu tidaklah yang dimaksudkan dengan ayat yang dibacakannya itu, tetapi dikacau-balaukannya untuk mengalahkan lawannya. Sekali, adalah disertai kebodohan. Tetapi apabila ayat itu mempunyai kemungkinan, lalu condonglah pemahamannya  kepada segi yang sesuai dengan maksudnya. Dan segi itu dikuatkannya dengan pendapat dan hawa nafsunya. Maka ia telah menafsirkan Alquran menurut pendapatnya. Artinya: pendapatnya yang mendorong dia kepada penafsiran itu. Kalau tidaklah akal pikirannya, niscaya tidaklah menguat cara itu padanya. Dan sekali, kadang-kadang ia mempunyai maksud yang benar, lalu ia mencari dalil dari Alquran. Dan ia mengambil dalil dengan apa yang diketahuinya, bahwa sebenarnya tidaklah dimaksudkan dengan yang demikian. Seumpama orang yang berdoa, minta diampunkan dosanya dengan makan sahur, lalu mengambil dalil dengan sabda Nabi saw: “Bersahurlah, sesungguhnya pada bersahur itu mempunyai barakah”. Ia mendakwakan, bahwa yang dimaksudkan dengan itu, ialah bersahur dengan dzikir. Dan ia tahu, bahwa yang dimaksudkan ialah makan. Dan seumpama orang yang menyerukan kepada melatih (mujahadah) hati yang kesat, lalu ia mengatakan: “Berfirman Alllah ‘Azza Wa Jalla: “Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya dia durhaka melewati batas”. S 20 Thaahaa ayat 24. Ditunjukkannya kepada hatinya dan diisyaratkannya, bahwa hatilah yang dimaksudkan dengan: Fir’aun. Hal yang seperti ini, kadang-kadang dipakai oleh sebahagian juru nasehat pada maksud-maksud yang benar, untuk membaguskan perkataan dan menyukakan pendengar, hal mana, adalah dilarang. Kadang-kadang dipakai oleh golongan batiniyah pada maksud-maksud yang salah, untuk menipu manusia dan mengajak mereka kepada alirannya yang batil/salah. Maka ditempatkan oleh mereka akan Alquran, sesuai dengan pendapat dan alirannya, diatas hal-keadaan yang diketahui benar-benar, bahwa tidaklah dimaksudkan dengan demikian. Kepandaian-kepandaian yang seperti itu, adalah salah satu dari dua segi yang dilarang dalam menafsirkan menurut akal pikiran. Dan yang dimaksudkan dengan buah pikiran tadi, ialah: buah pikiran yang salah, yang sesuai dengan hawa nafsu, tanpa ijtihad (pertimbangan) yang benar. Dan buah pikiran itu, terdiri dari: yang benar & yg salah. Dan yang bersesuaian dengan hawa nafsu, kadang-kadang dikhususkannya juga dengan nama: buah pikiran.
                    Segi kedua: bahwa bergegas-gegas kepada menafsirkan Alquran dengan yang zhahir saja dari bahasa Arab, tanpa dibantu dengan mendengar dan menaqalkan, tentang yang berhubungan dengan yang gharib-gharib dari Alquran, kata-kata yang tidak begitu jelas (lafadh mubham), kata-kata yang digantikan, yang diringkaskan, dibuang, disembunyikan, didahulukan dan dikemudiankan. Maka orang yang tidak berpegang teguh kepada yang zhahir dari penafsiran dan bersegera kepada mengambil pengertian dengan semata-mata pemahaman bahasa Arab, niscaya banyaklah salahnya. Dan masuklah dia dalam golongan orang yang menafsirkan Alquran dengan buah pikiran. Menaqalkan (mengambil dari pokok-pokok agama). dan mendengar itu harus ada, pada zhahir dari penafsiran, pada pertama kali. Supaya terpelihara dari tempat-tempat yang mungkin mendatangkan kesalahan.
             Kemudian, sesudah itu, barulah meluas pemahaman dan penelitian. Yang gharib-gharib (terkenal) dari Alquran –yang tidak dipahami kecuali dengan mendengar –itu banyak. Akan kami tunjukkan sejumlah besar daripadanya, untuk dibuat menjadi dalil kepada yang lain-lain yang menyerupainya. Dan diketahuilah kiranya, bahwa tiada boleh dipermudah-mudahkan, dengan penghafalan pertama-tama tafsir yang zhahir. Dan tiada harapan akan sampai kepada yang batin, sebelum mengokohkan yang zhahir. Barangsiapa mendakwakan telah memahami segala rahasia Alquran dan tiada teguh mengetahui tafsir yang zhahir/luar, maka dia adalah seperti orang yang mendakwakan telah sampai ke dalam rumah, sebelum melewati pintu. Atau menda’wakan telah memahami segala maksud orang-orang Turki dari percakapan mereka, sedang dia tidak mengerti bahasa Turki.
                    Sesungguhnya tafsir yang zhahir itu berlaku seperti pengajaran bahasa, yang tak boleh tidak untuk pemahaman. Dan yang tak boleh tidak, yang diperoleh dari mendengar itu, mempunyai banyak kepandaian. Sebagian daripadanya: menyingkatkan dengan dibuang dan disembunyikan, seperti firman Allah Ta’ala: Kalau menurut kata-katanya, maka dapat diartikan: “Kami berikan kepada Tsamud unta betina yang melihat jelas, lalu mereka berbuat zalim dengan unta betina itu”. Yang dimaksudkan: bukan unta betina yang melihat jelas (mubshiratan), tetapi ada kata-kata yang dibuang sebelum mubshiratan, yaitu: ayatan. Sehingga artinya menjadi: suatu tanda bukti yang menampak jelas. Begitupula: mereka berbuat zalim dengan unta betina itu, maksudnya dengan: membunuhnya. Orang yang melihat kepada yang zhahir dari bahasa Arab, menyangka, bahwa yang dimaksudkan, ialah: unta betina itu yang melihat jelas, tidak dia itu buta. Dan ia tidak mengetahui: dengan apa mereka itu menganiayakan (berbuat zalim). Dan apakah mereka itu berbuat aniaya kepada orang lain atau kepada diri mereka sendiri. Dan firman Allah Ta’ala S 2 Al Baqarah ayat 93: “Diminumkan mereka didalam hatinya, akan anak lembu, dengan sebab kekafirannya”. Ya’ni: mencintai anak lembu dan kata-kata: mencintai itu, dibuang. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla S 17 Al Israa’ ayat 75: “Kalau hal itu terjadi, tentulah akan Kami rasakan kepada engkau berlipat ganda kehidupan dan berlipat ganda kematian”. Ya’ni: berlipat ganda azab bagi segala orang yang hidup dan berlipat ganda azab bagi segala orang yang mati. Maka dibuang kata-kata: azab. Dan digantikan kata-kata al-ahya’ (orang-orang yang hidup) dan al-mauta (orang-orang yang mati), dengan menyebutkan: al hayati (kehidupan) dan al-mauti (kematian). Semuanya itu dibolehkan dalam kefasihan bahasa. Dan firman Allah Ta’ala S 12 Yusuf ayat 82: artinya menurut kata-kata: “Bertanyalah kepada negeri tempat kami berada atau kepada kafilah yang serombongan pulang dengan kami”. Ya’ni: kepada penduduk negeri (ahlil-qaryah) dan yang punya kafilah (ahlil-ir). Maka kata-kata: al-ahli pada keduanya: dibuang, disembunyikan. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla S 7 Al A’raaf ayat 187: artinya secara zhahir kata-kata: “Beratlah dia (kiamat) itu di langit dan di bumi”. Pengertian: “sangat tersembunyilah kiamat itu kepada penduduk langit dan bumi. Dan sesuatu itu apabila tersembunyi, niscaya berat. Lalu digantikan kata-kata: tersembunyi dengan kata-kata: berat. Dan ditempatkan pada tempat yang diatas. Lalu disembunyikan kata-kata al-ahli” (penduduk) dan dibuang. Dan firman Allah Ta’ala S 56 Al Waaqi’ah ayat 82: artinya menurut kata-kata: “Kamu jadikan rezekimu untuk mendustakan (kebenaran)”. Ya’ni: kesyukuran dari rezekimu. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla S 3 Ali ‘Imran ayat 194: “Berikanlah kami apa yang telah Engkau janjikan dengan perantaraan rasul-rasul Engkau”, ya’ni: dengan perantaraan lisan rasul-rasul Engkau. Maka kata-kata: lisan itu dibuang. Dan firman Allah Ta’ala S 97 Al Qadr ayat 1: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan (lailatul qadr)” –dimaksudkan yang diturunkan itu, ialah: Alquran dan apa yang telah disebutkan sebelumnya. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla S 38 Shaad ayat 32: “Sehingga ia tersembunyi dengan tabir (malam)”. Yang dimaksuskan ialah: matahari dan apa-apa yang telah disebutkan sebelumnya. Dan firman Allah Ta’ala S 39 Az Zumar ayat 3: “Dan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain dari Tuhan itu: Kami tiada menyembahnya melainkan untuk membawa kami lebih dekat kepada Allah”. ya’ni: mereka mengatakan: kami tidak menyembahnya...... Dan berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Tetapi mengapa orang-orang itu tidak mengerti akan sesuatu kejadian? Apa-apa kebaikan yang engkau peroleh itu, datangnya dari Allah dan apa-apa bahaya yang menimpa engkau itu, berasal dari dirimu sendiri”. S 4 An Nisaa’ ayat 78 dan 79. Maksudnya: mereka tiada mengerti sesuatu kejadian, dimana mereka itu mengatakan: apa-apa kebaikan yang engkau peroleh itu, datangnya dari Allah. Kalau bukan begitu maksudnya, artinya: menambahkan kata-kata: dimana mereka itu mengatakan, maka adalah berlawanan dengan firman Allah Ta’ala: “Katakanlah ! semuanya daripada Allah”. S 4 An Nisaa’ ayat 78. (Dalam ayat yang baru tadi diatas). Dan mazhab “Al-Qadariah” (aliran yang meletakkan segala-galanya kepada taqdir, sehingga manusia itu, ibarat bulu ayam, tergantung terbang ke mana dibawa angin), telah dahulu kepada pemahaman daripadanya. Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, ialah yang dinaqalkan (diambil dari pokok-pokok agama), lagi terbalik, seperti firman Allah Ta’ala: “Wa thuuri siiniin”. S 95 At Tiin ayat 2. Artinya: Thur Sina !. Dan firman Allah Ta’ala: “Salaamun ‘alaa il Yaasin”. S 37 Ash Shaffaat ayat 130. Artinya: Keselamatan untuk Ilyas. Dan ada yang mengatakan: untuk Idris, karena menurut huruf tulisan Ibnu Mas’ud: Salamum ‘ala Idrasin”. Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, ialah berulang-ulang, yang memutuskan sambungan kalimat pada zhahir, seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Tidaklah diikuti oleh mereka yang menyembah sekutu-sekutu, selain Allah; tiadalah mereka ikuti, selain daripada persangkaan saja”. S 10 Yunus ayat 66. Maksudnya: Tiada diikuti oleh mereka yang menyembah sekutu-sekutu, melainkan persangkaan saja. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Berkatalah beberapa orang yang menyombong dari kaumnya kepada mereka yang lemah; kepada orang yang beriman daripada mereka”. S 7 Al A’raaf ayat 75. Maksudnya: Berkata mereka yang sombong kepada orang yang beriman dari orang-orang yang lemah. Sebahagian daripada yang diperoleh dengan  mendengar itu, ialah didahulukan dan dikemudiankan. Dan inilah menjadi tempat sangkaan bagi kesalahan, seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan jikalau tidaklah perkataan telah terdahulu dari Tuhanmu, sesungguhnya adalah (hukuman) itu sudah semestinya (dicepatkan) dan waktu yang ditetapkan”. S 20 Thaahaa ayat 129. Maksudnya: “Jikalau tidaklah perkataan dari Tuhan dan waktu yang ditetapkan, niscaya sesungguhnya adalah (hukuman) itu sudah semestinya (dicepatkan). Dan kalau tidak, niscaya ia ditegakkan, seperti yang semestinya”. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Mereka bertanya kepada engkau, seakan-akan engkau dapat menerangkannya”. S 7 A’ A’raaf ayat 187. Ya’ni: mereka menanyakan engkau dari hal (kiamat), seakan-akan engkau dapat menerangkannya. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia. Sebagaimana dikeluarkan engkau oleh Tuhan dari rumah engkau dengan kebenaran”. S 8 Al Anfaal ayat 4 dan 5. Kalam (kata-kata) tersebut tidak bersambung. Dan kembali kepada firmanNya yang lalu, yaitu: S 8 Al Anfaal ayat 1: “Katakanlah, segala rampasan perang itu, kepunyaan Allah dan Rasul. Sebagaimana dikeluarkan engkau oleh Tuhan dari rumah engkau dengan kebenaran !”. Artinya: maka jadilah segala rampasan perang itu untuk engkau, karena engkau menyetujui dengan keluar engkau, sedang mereka itu (segolongan dari orang mu’min) tidak menyukai. Maka membelintanglah diantara Kalam (kata-kata) itu, amar (disuruh) dengan taqwa dan lainnya. Dan sebahagian dari macam ini, ialah firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Sehingga kamu beriman dengan Allah Tuhan Yang Maha Esa, kecuali kata Ibrahim kepada ayahnya.....sampai akhir ayat”. S 60 Al Mumtahanah ayat 4. Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, kata-kata mubham (tidak begitu tegas), yaitu: kata-kata yang digunakan diantara beberapa pengertian, dari kata-katanya atau dari hurufnya. Adapun kata-kata, maka seperti: sesuatu (asy-syai’), teman (alqarin), umat (al-ummah), nyawa (ar-ruh) dll. Berfirman Alllah Ta’ala: “Allah Ta’ala membuat perumpamaan, yaitu seorang hamba sahaya kepunyaan (orang lain), tidak berkuasa atas sesuatu”. S 16 An Nahl ayat 75. Dimaksudkan dengan sesuatu itu, yaitu: perbelanjaan dari apa yang diberikan rezeki kepadanya. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan Allah Ta’ala membuat perumpamaan, dua orang laki-laki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu”. S 16 An Nahl ayat 76. Ya’ni: suruhan dengan keadilan dan kelurusan. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Kalau engkau mengikuti aku, maka janganlah ditanyakan kepadaku tentang sesuatu”. S 18 Al Kahfi ayat 70. Yang dimaksudkan dengan sesuatu itu, dari sifat-sifat ketuhanan, yaitu: ilmu yang tidak boleh ditanyakan. Sehingga orang yang mengetahuinya, memulai pada waktu yang mustahak/yang layak dimiliki.
                    Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Merekakah yang diciptakan dari tiada suatu apa ataukah mereka yang menciptakan ?”. S 52 Ath Thuur ayat 35. Ya’ni: dari tanpa khalliq (Pencipta). Kadang-kadang meragukan, bahwa itu menunjukkan kepada: tidak diciptakan sesuatu, melainkan dari sesuatu. Tentang Alqarin (teman), maka seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Berkata temannya: Yang didekatnya ini telah siap sedia catatan amalannya. Diperintahkan: “Lemparkanlah kedalam neraka setiap orang yang kafir”. S 50 Qaaf ayat 23 dan 24. Yang dimaksudkan dengan al-qarin itu, ialah: malaikat yang diserahkan tugas menuliskan segala pekerjaannya. Firman Allah Ta’ala: “Temannya (qarinnya) berkata: Wahai Tuhan kami ! aku tiada membawanya kepada kejahatan, tetapi dia sendiri berada dalam kesesatan yang jauh itu”. S 50 Qaaf ayat 27. Yang dimaksudkan dengan teman (al-qarin) disitu, ialah: setan. Tentang umat (al-ummah), maka ditujukan kepada 8 macam:
1.      Umat dengan arti: sekumpulan, seperti firman Allah Ta’ala: “Didapatinya disana sekumpulan (ummatan) orang yang sedang memberi minum (binatangnya)”. S 28 Al Qashash ayat 23.
2.      Dengan arti: pengikut nabi-nabi, seperti kita katakan: Kami ini dari umat (pengikut) Muhammad saw.
3.      Dengan arti: seorang yang berkumpul padanya sifat-sifat yang baik, yang diikuti, seperti firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Ibrahim adalah (ummatan) yang patuh kepada Allah”. S 16 An Nahl ayat 120.
4.      Dengan arti: agama, seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Kami dapati bapak-bapak kami mengikuti suatu agama (ummatin)”. S 43 Az Zukhruf ayat 22.
5.      Dengan arti: waktu dan masa, seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Kalau Kami undurkan dari mereka siksaan itu, sampai waktu yang ditentukan (ummatin ma’duudah)”. S 11 Huud ayat 8. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Kemudian baru teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa lama (ba’da ummatin)”. S 12 Yusuf ayat 45.
6.      Dengan arti: bentuk badan (al-qamah), seperti dikatakan: Si Anu itu bentuk badannya bagus (husnul-ummah).
7.      Dengan arti: seorang yang sendirian dengan sesuatu agama, tidak ada seorangpun yang lain bersama dia menganut agama itu, seperti sabda Nabi saw: “Diutuskan Zaid bin ‘Amr bin Nufail sebagai umat yang sendirian”.
8.      Dengan arti: ibu, seperti dikatakan: Ini, ibu si Zaid (Ummatu Zaid), artinya: ummu (ibu) Zaid.
Ruh (nyawa) juga terdapat dalam Alquran, dengan pengertian yang banyak dan tidak kami panjangkan penjelasannya. Begitupula, kadang-kadang terdapat yang meragukan pada huruf-huruf, seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla:: (Fa-atsarna bi-hi naq’an, fa wasathna bi-hi jam’aa) S 100 Al ‘Aadiyaat ayat 4 dan 5. Artinya: “Maka menerbangkan debu dan menembus ke tengah-tengah orang banyak”. Maka ha pertama (hi pada bi-hi pertama), adalah tunjukkan yang tidak tegas (kinayah) dari kuku-kuku hewan (kuda), yang berlari kencang, menginjakkan batu-batu, yang menerbitkan api. Ya’ni: “Atsarna bil-hawaafiri naq’an”. Artinya: Menerbangkan debu dengan kuku-kuku hewan itu”. Ha kedua (hi pada bi-hi kedua) adalah kinayah dari penyerbuan (al-igharah), yaitu: yang menyerbu di pagi hari. Lalu menyerbu di tengah-tengah kaum musyrikin (musuh), sehingga dapat diserang semua mereka itu. Dan firman Allah Ta’ala: “Lalu Kami turunkan daripadanya air”, ya’ni: awan. Lalu Kami keluarkan dengan sebabnya berbagai macam buah-buahan, ya’ni: air”. S 7 Al A’raaf ayat 57. Yang seperti itu, dalam Alquran, adalah tidak terhingga banyaknya. Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, ialah: berangsur-angsur memberi penjelasan (at-tadrij fil-bayan), seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Bulan Ramadlan, yang diturunkan padanya Alquran”. S 2 Al Baqarah ayat 185. Karena tidak jelas dengan itu, apakah malam atau siang. Lalu jelaslah dengan firmanNya Allah ‘Azza Wa Jalla: “Sesungguhnya Kami turunkan Alquran itu pada malam yang diberkati”. S 44 Ad Dukhaan ayat 3. Dan tidak dijelaskan dengan itu, pada malam apa ? lalu jelaslah dengan firmanNya Ta’ala: “Sesungguhnya Kami menurunkan Alquran itu, pada malam kemuliaan (lailatul-qadar)”. S 97 Al Qadar ayat 1. Kadang-kadang timbul persangkaan, bahwa pada zhahirnya, terdapat pertentangan diantara ayat-ayat itu. Maka yang tersebut itu dan yang menyerupainya, adalah termasuk hal yang tidak mencukupi, kecuali dengan naqal (diambil dari pokok-pokok agama) dan mendengar. Dari itu, Alquran dari permulaannya sampai kepada penghabisannya, tiada terlepas dari hal yang semacam itu. Karena dia diturunkan dengan bahasa Arab, maka ia melengkapi dengan segala macam susunan kata mereka, dari: dipersingkat dan diperpanjang, disembunyikan dan dibuang, digantikan, didahulukan dan dikemudiankan. Supaya adalah yang demikian itu memuaskan bagi mereka dan melemahkan mereka untuk menirunya (karena Alquran itu mu’jizat Nabi saw).
Maka tiap-tiap orang yang merasa cukup dengan memahami yang zhahir saja dari bahasa Arab dan bersegera menafsirkan Alquran dan dia tidak meminta bantuan dengan mendengar dan menaqalkan (mengambil dari pokok-pokok agama) dalam segala hal itu, niscaya ia masuk dalam golongan orang yang menafsirkan Alquran dengan buah pikirannya. Seumpama ia memahami dari perkataan “ummah” akan pengertian yang lebih terkenal, lalu condonglah tabiat dan pendapatnya kesitu. Apabila ia mendengar pada tempat lain, lalu condonglah pendapatnya kepada yang didengarnya itu daripada pengertiannya yang terkenal. Dan ia tinggalkan menyelidiki naqal (pokok-pokok agama) pada kebanyakan dari pengertian Alquran itu.
Hal ini, tidak mungkin dilarang, tanpa memahami rahasia pengertian Alquran, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Apabila telah memperoleh pendengaran, dengan contoh-contoh hal itu, niscaya ia telah mengetahui tafsir secara zhahir. Yaitu: terjemahan kata-kata. Dan yang demikian itu, tidak mencukupi untuk memahami hakikat/makna pengertian Alquran. Dan dapat diketahui perbedaan antara: hakikat/makna pengertian dan tafsiran zhahir, dengan contoh. Yaitu: Allah Ta’ala berfirman S 8 Al Anfaal ayat 17: “Bukan engkau yang melemparkan ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar”. Maka tafsiran zhahiriyahnya itu jelas dan hakikat/makna pengertiannya itu sulit. Karena disitu, terdapat adanya lempar dan tidak adanya lempar. Dan keduanya adalah berlawanan pada zhahiriyahnya, selama tidak dipahami, bahwa dia melempar dari satu segi dan tidak melempar dari satu segi. Dan dari segi dia tidak melempar, maka dilemparkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla. Begitupula, firman Allah Ta’ala: S 9 At Taubah ayat 14: “Perangilah mereka, Allah akan menyiksa mereka dengan tanganmu”. Apabila mereka itu yang berperang, maka bagaimanakah Allah swt itu yang mengazabkan ? dan kalau Allah Ta’ala yang mengazab kan dengan menggerakkan tangan mereka, maka apakah artinya mereka itu disuruh berperang ?. Maka hakikat/makna pengertian ini dapat dipahami dari lautan besar ilmu-diminta untuk mengetahuinya saja, yang tidak mencukupi dengan tafsiran zhahir saja. Yaitu: hendaklah diketahui: segi ikatan Af’al (perbuatan-perbuatan) dengan qudrah (kuasa /kemampuan) yang baru dan memahami segi ikatan qudrah (kuasa /kemampuan ) itu dengan Qudrah ( kuasa /Kemampuan) Allah ‘Azza Wa Jalla. Sehingga, setelah jelas beberapa hal yang banyak, yang sulit-sulit, menjelaslah kebenaran firmanNya ‘Azza Wa Jalla: “Wa maa ramaita idz ramaita wa laakinnallaaha ramaa” tadi. Kalau sekiranya seluruh umur dipergunakan untuk menyingkap segala rahasia pengertian itu dan apa yang bersangkutan dengan segala mukaddimah (ilmu pengantar) dan hubungannya, niscaya habislah umur itu, sebelum sempurna segala hubungannya. Dan tidak satu katapun dari Alquran, melainkan untuk membentangkan hakikat/maknanya, memerlukan kepada yang seperti itu. Dan sesungguhnya terbuka bagi orang-orang yang mendalam pengetahuannya, segala rahasia Alquran, menurut banyaknya ilmu pengetahuan mereka, bersihnya hati mereka, sempurnanya faktor-faktor yang membawa dan semata-matanya mereka untuk mempelajari Alquran. Dan masing-masing mempunyai batas pada ketinggian, sampai kepada derajat yang tertinggi daripadanya. 

           Adapun derajat kesempurnaan, maka jangan diharapkan. Kalaulah lautan itu menjadi tinta dan pohon-pohon menjadi pena, maka sesungguhnya rahasia Kalam (kata-kata) Allah, tak ada kesudahan baginya. Maka habislah segala lautan, sebelum habis Kalam (kata-kata) Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka dari segi ini, berlebih kuranglah manusia pada pemahaman, sesudah sama-sama mengetahui tafsiran zhahir. Dan tafsiran zhahir itu, tidaklah mencukupi. Contohnya seperti pemahaman sebahagian Arbabil-qulub (para ulama yang mempunyai hati untuk berpikir) dari bacaan Nabi saw dalam sujudnya: “Aku berlindung dengan kerelaanMu daripada kemarahanMu. Aku berlindung dengan kemaafanMu dari siksaanMu. Aku berlindung dengan Engkau daripada Engkau. Tidaklah dapat aku hinggakan pujian kepada Engkau. Sebagaimana Engkau pujikan akan Engkau sendiri”. Sesungguhnya dikatakan kepadanya: “Sujudlah dan dekatkanlah diri!”. Maka terdapatlah pendekatan diri dalam sujud, lalu diperhatikan kepada sifat-sifat. Maka diminta perlindungan sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain. Kerelaan dan kemarahan adalah dua sifat. Kemudian bertambahlah mendekatnya. Lalu masuklah pendekatan pertama padanya, maka meninggilah kepada zat. Maka ia membacakan: “Aku berlindung dengan Engkau daripada Engkau”. Kemudian bertambah mendekatnya dengan apa yang ia malukan, dari perlindungan diatas hamparan pendekatan. Maka ia bersandar kepada pemujian, lalu dipujinya dengan mengucapkan: “Tidaklah dapat aku hinggakan pujian kepada Engkau”. Kemudian ia tahu, bahwa yang demikian itu masih kurang, lalu ia mengucapkan: “Sebagaimana Engkau pujikan akan Engkau sendiri”. Maka inilah gurisan-gurisan yang terbuka bagi Arbabil-qulub (para ulama yang mempunyai hati untuk berpikir). Kemudian dibalik itu, gurisan-gurisan itu mempunyai lapisan yang dalam. Yaitu: pemahaman arti pendekatan, dan pengkhususannya dengan sujud. Pengertian berlindung dari suatu sifat dengan sifat yang lain dan daripada Dia dengan Dia. Rahasia itu adalah banyak. Dan tafsiran menurut  kata-kata secara zhahir, tidaklah menunjukkan kepadanya. Dan tidaklah ia berlawanan bagi tafsir zhahiriyah itu. Tetapi menyempurnakan dan menyampaikan kepada isinya dari zhahiriyahnya. Inilah yang kami bentangkan untuk memahami pengertian-pengertian batin. Tidak kami bentangkan apa yang berlawanan dengan yang zhahir. Dan Allah yang Maha mengetahuinya ! Telah sempurna Kitab Adab Tilawah. Dan segala pujian bagi Allah Tuhan serwa sekalian alam. Dan selawat, dan salam kepada Muhammad, kesudahan nabi-nabi dan kepada tiap-tiap hamba pilihan dari seluruh alam dan kepada keluarga Muhammad dan sahabatnya dan selamatlah kiranya ! Akan diiringi Insya Allah Ta’ala oleh “Kitab Dzikir dan Doa”. Dan Allah tempat meminta pertolongan. Tidak ada Tuhan, selain Dia !.