KITAB
ADAB TILAWAH AL QURAN.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi
Allah yang telah menganugerahkan keni’matan kepada segala hambaNya, dengan
NabiNya saw yang diutuskan dan KitabNya yang diturunkan yang tidak datang
kepadanya kesalahan dari pihakNya dan dari pihak makhlukNya turun dari Yang
Maha Bijaksana dan Maha Terpuji sehingga meluas lah kepada ahli pikir, jalan
ibarat, dengan apa yang didalamnya, dari segala cerita dan berita. Dan
teranglah dengan dia jalan bagi perjalanan yang benar dan lurus, dengan apa
yang diuraikan didalamnya, dari hukum-hukum. Dan Kitab itu memisahkan antara
halal dan haram. Maka dia adalah terang-benderang dan cahaya. Dengan dia
terlepas dari tipuan dan padanya obat untuk apa yang didalam dada. Barangsiapa
menyalahinya dari orang-orang yang kasar, niscaya dibinasakan oleh Allah. Dan
barangsiapa menuntut ilmu pada lainnya niscaya disesatkan oleh Allah.
Alquran itulah tali
Allah yang kokoh dan cahayaNya yang nyata, talinya yang kuat dan perpegangan
yang sempurna. Dia itu meliputi dengan yang sedikit dan yang banyak, yang kecil
dan yang besar, tidak akan habis-habis keajaibannya, tidak akan berkesudahan
keganjilannya. Tidak diliputi oleh pembatasan dengan segala faedahnya pada ahli
ilmu pengetahuan. Dan ia tidak diburukan oleh banyak ulangan pada ahli tilawah.
Alquranlah yang memberi petunjuk akan orang-orang dahulu dan orang-orang
kemudian. Dan tatkala Alquran itu didengar oleh jin, lalu senantiasalah mereka:
menoleh kepada kaumnya, memberi peringatan. Maka berkatalah mereka:
“Sesungguhnya kami telah mendengar Alquran yang mena’jubkan, memberi petunjuk
kepada kebenaran, lalu kami beriman dengan dia dan tidak kami mempersekutukan
Tuhan kami dengan seseorang”. Maka tiap-tiap orang yang beriman kepadanya,
niscaya memperoleh taufiq dan barangsiapa berkata-kata dengan Alquran maka benarlah
dia. Dan barangsiapa berpegang teguh dengan Alquran, maka ia memperoleh
petunjuk dan barangsiapa berbuat sepanjang Alquran maka ia memperoleh
kemenangan.
Berfirman Allah
Ta’ala: “Sesungguhnya Kami menurunkan Peringatan (Alquran) itu dan sesungguhnya
Kami Penjaganya”. S 15 Al Hijr ayat 9. Sebagian dari sebab-sebab penjagaannya
(penghafalannya) didalam hati dan mash-haf-mash-haf, ialah berkekalan
membacanya dan rajin mempelajarinya, serta melaksanakan adab-adab dan
syarat-syaratnya. Dan menjaga apa yang didalamnya dari segala amalan batin dan
adab zhahir. Yang demikian itu, tak boleh tidak daripada penjelasan dan
penguraian. Dan terbukalah segala maksudnya itu dalam 4 bab:
Bab Pertama: tentang kelebihan Alquran dan ahli Alquran.
Bab Kedua :
tentang adab tilawah pada zhahir.
Bab Ketiga : tentang amalan-amalan batin ketika
tilawah.
Bab Keempat:
tentang pemahaman dan penafsiran Alquran dengan pendapat pikiran dan
lainnya.
BAB PERTAMA: tentang kelebihan Alquran dan
ahlul-Quran dan pencelaan terhadap orang-orang yang teledor pada
tilawahnya/membacanya.
KELEBIHAN AL-QURAN.
Bersabda Nabi saw: “Barangsiapa membaca Alquran, kemudian ia
melihat bahwa ada seseorang yang diberikan, lebih utama daripada yang diberikan
kepadanya, maka sesungguhnya ia telah mengecilkan apa yang diagungkan oleh
Allah Ta’ala”. Bersabda Nabi saw: “Tiadalah diantara yang memberi syafa’at,
yang lebih utama kedudukannya pada Allah Ta’ala, daripada Alquran. Tidak nabi,
tidak malaikat dan tidak lainnya”. Bersabda Nabi saw: “Kalau adalah Alquran itu
dalam kulit yang tidak disamak (ihaab), niscaya dia tidak disentuhkan api”.
Bersabda Nabi saw: “Yang terutama ibadah umatku, ialah tilawah/membaca
Alquran”. Bersabda Nabi saw pula: “Sesungguhnya Allah yg maha mulia & maha
besar membaca surat ke20 Thaahaa dan surat Yasin sebelum Ia menjadikan makhluk 1000 tahun. Maka
tatkala para malaikat mendengar Alquran, lalu mengatakan: “Berbahagialah umat
yang diturunkan ini kepada mereka ! berbahagialah hati yang menghafalkan ini !
berbahagialah lidah yang menuturkan dengan ini !”. Bersabda Nabi saw: “Yang
terbaik kamu, ialah barangsiapa yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya”.
Bersabda Nabi saw: “Berfirman Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi:
“Barangsiapa menggunakan waktunya untuk membaca Alquran, daripada berdoa dan
meminta kepadaKu, niscaya Aku berikan kepadanya, pahala yang lebih utama bagi
orang-orang yang bersyukur”. Bersabda Nabi saw: “Tiga golongan pada hari kiamat
diatas bukit kecil dari kesturi hitam, tiada menyusahkan mereka oleh kegundahan
dan tiada menimpa akan mereka oleh hisab dan amalan, sehingga diselesaikan apa
yang diantara manusia: orang yang membaca Alquran, karena mengharap wajah Allah
yg maha mulia & maha besar dan orang yang mengimami suatu kaum dan kaum itu
suka kepadanya”. Bersabda Nabi saw: “Ahlul-Quran, ialah ahlullah dan
orang-orang yang dikhususkan olehNya”. Bersabda Nabi saw: “Bahwa hati itu
berkarat, seperti berkaratnya besi”. Lalu orang bertanya: “Wahai Rasulullah !
bagaimanakah membersihkannya ?”. Maka menjawab Nabi saw: “Membaca Alquran dan
mengingati mati”. Bersabda Nabi saw: “Lebih bersangatanlah perhatian Allah
kepada pembaca Alquran, daripada orang yang mempunyai penyanyi kepada
penyanyinya”.
Menurut atsar, diantara lain: berkata Abu
Umamah Al-Bahili: “Bacalah Alquran dan janganlah tertipu kamu oleh
mash-haf-mash-haf yang bergantungan ini. Sesungguhnya Allah Ta’ala tiada
mengazabkan hati, yang menjadi karung Alquran”.
Berkata Ibnu Mas’ud: “Apabila kamu
menghendaki ilmu pengetahuan, maka bacalah Alquran ! sesungguhnya dalam Alquran
itu ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian”. Berkata Ibnu Mas’ud
pula: “Bacalah Alquran ! sesungguhnya kamu diiberikan pahala dengan tiap-tiap
huruf daripadanya 10 kebaikan. Sesungguhnya aku tiada mengatakan satu huruf itu
alif-lam-mim, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”.
Berkata Ibnu Mas’ud pula: “Tidaklah bertanya seorang kamu tentang dirinya,
melainkan tentang Alquran. Kalau ia mencintai dan mena’jubkannya akan Alquran,
maka dia mencintai akan Allah swt dan RasulNya saw. Kalau ia memarahi akan
Alquran, maka dia itu memarahi akan Allah swt dan RasulNya”.
Berkata Amrubnul-‘Ash: Tiap-tiap ayat dalam
Alquran adalah satu derajat dalam sorga dan satu lampu dalam rumahmu”. Berkata
Amrubnul-‘Ash pula: “Barangsiapa membaca Alquran, niscaya masuklah kenabian
(nubuwwah) diantara kedua lembungnya. Hanya tidak diturunkan wahyu kepadanya”.
Berkata Abu Hurairah: “Sesungguhnya rumah
yang dibacakan padanya Alquran, niscaya
lapanglah penghuni rumah itu, banyaklah kebajikannya, datanglah kepadanya malaikat
dan keluarlah daripadanya setan-setan. Dan sesungguhnya rumah yang tidak dibacakan
padanya Kitabullah ‘Azza Wa Jalla, niscaya sempitlah penghuninya,
sedikitlah kebajikannya, keluarlah daripadanya malaikat dan datanglah kepadanya
setan-setan”.
Berkata Ahmad bin Hanbal: “Aku bermimpi
Allah‘Azza Wa Jalla (yg maha mulia & maha besar) didalam tidur, maka aku
bertanya: “Wahai Tuhanku! apakah yang lebih utama, yang didekati dengan itu
oleh orang-orang yang mendekati (al-mutaqarribun) kepadaMu ? Menjawab Allah
Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Dengan Kalam Ku (perkataanKu), wahai Ahmad
!”. Berkata Ahmad bin Hanbal: “Lalu aku bertanya: “Wahai Tuhanku, dengan
mengerti atau tanpa mengerti ?”. Menjawab Allah Yang Maha Mulia & Maha
Besar: “Dengan mengerti atau tanpa mengerti !”.
Berkata Muhammad bin Ka’b Al-Qardhi:
“Apabila manusia mendengar Alquran daripada Allah yg maha mulia & maha
besar pada hari kiamat, maka seakan-akan mereka itu belum pernah sekali-kali
mendengarnya”.
Berkata Al-Fudlail bin ‘Iyadh: “Seyogyalah
bagi seorang pembawa Alquran, bahwa tak ada keperluannya kepada seseorang dan
kepada khalifah-khalifah dan orang-orang yang dibawahnya. Maka seyogyalah hajat
keperluan manusia ramai ada padanya”. Berkata Al-Fudlail pula: “Pembawa
Alquran, ialah pembawa bendera Islam. Maka tidak wajarlah ia bersenda gurau
bersama orang yang bersenda gurau, tidaklah ia lupa bersama orang yang lupa dan
tidaklah ia berbuat yang sia-sia bersama orang yang berbuat sia-sia, karena
mengagungkan hak Alquran”.
Berkata Sufyan Ats-Tsuri: “Apabila
seseorang membaca Alquran, niscaya malaikat mencium diantara 2 matanya”.
Berkata ‘Amr bin Maimun: “Barangsiapa
membaca Mash-haf (Alquran), ketika bershalat Shubuh, lalu membaca daripadanya
100 ayat, niscaya ia ditinggikan oleh Allah yg maha mulia & maha besar
seperti amal seluruh penduduk dunia”.
Dan diriwayatkan: “Bahwa Khalid bin ‘Uqbah
datang kepada Rasulullah saw, seraya berkata: “Bacakanlah kepadaku Alquran !”.
Lalu Nabi saw membacakan kepadanya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan
menjalankan keadilan, berbuat kebaikan dan memberi kepada kerabat-kerabat”.
Lalu Khalid berkata kepada Nabi saw: “Ulangilah !”. Maka Nabi saw
mengulanginya. Kemudian berkata Khalid: “Demi Allah sesungguhnya Alquran itu mempunyai
kemanisan, padanya kecantikan, bawahnya berdaun dan atasnya berbuah dan
tidaklah ini dikatakan oleh manusia”.
Berkata Al-Hasan: “Demi Allah, tidaklah
selain dari Alquran yang kaya dan tidaklah sesudahnya yang diatas”.
Berkata Al-Fudlail: “Barangsiapa membaca akhir surat ke59
Al-Hasyar ketika pagi-pagi hari, kemudian ia meninggal pada hari itu, niscaya
dicapkan baginya dengan cap orang-orang syahid. Dan barangsiapa membacanya
ketika sore-sore hari, kemudian ia meninggal pada malamnya niscaya dicapkan
baginya dengan cap orang-orang syahid”.
(Dialah Allah
Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (59:22) Dialah Allah
Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang
Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha
Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan. (59:23) Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang
Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih
kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (59:24)
Berkata Al-Qasim bin Aburrahman: “Aku bertanya
kepada sebahagian orang-orang yang kuat beribadah: “Tidaklah disini seseorang
yang dapat menjadi teman rapat ?”. Lalu orang tadi mengambil Al quran dan
meletakkan diatas pangkuannya, seraya berkata: “Ini !”.
Berkata Ali bin Abi Thalib ra: “Tiga perkara
menambahkan pemeliharaan badan dan menghilangkan dahak: bersugi, berpuasa dan
membaca Alquran”.
TENTANG CELAAN
ORANG-ORANG YANG LALAI.
Berkata Anas bin Malik: “Banyaklah pembaca Alquran dan
Alquran itu mengutuknya”.
Berkata Maisarah: “Yang asing itu, ialah Alquran pada mulut
orang zalim”.
Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani: “Malaikat Zabaniah itu lebih
cepat kepada para pembaca Alquran yang mendurhakai Allah Yang Maha Mulia &
Maha Besar, daripada para penyembah berhala, ketika mereka itu mendurhakai Allah
swt sesudah membaca Alquran”.
Berkata sebagian ulama: “Apabila seorang anak Adam membaca
Alquran, kemudian mencampurkannya dengan perkataan lain, kemudian kembali lalu
membaca lagi, niscaya dikatakan kepadanya: “Mengapakah engkau begitu dengan
kalam (kata-kata)Ku ?”.
Berkata Ibnur-Rammah: “Aku menyesal atas hafalanku akan
Alquran, karena sampai kepadaku, bahwa teman-teman Alquran itu ditanyakan
tentang apa yang ditanyakan nabi-nabi daripadanya, pada hari kiamat”.
Berkata Ibnu Mas’ud: “Seyogyalah bagi seorang pembawa
Alquran, mengenal dengan malamnya apabila manusia itu tidur dan mengenal dengan
siangnya, ketika manusia itu berlebih-lebihan. Dengan kesusahannya, apabila
manusia itu bersuka-sukaan, dengan tangisnya, apabila manusia itu tertawa-tawa,
dengan diamnya, apabila manusia itu masuk dalam pembicaraan dan dengan
khusyu’nya, apabila manusia itu sombong. Dan seyogyalah bagi seorang pembawa
Alquran, berkeadaan tenang dan lemah lembut. Dan tidak wajarlah berkeadaan
tegang, pemarah, memekik-mekik, membuat keributan dan bersikap keras sebagai
besi”.
Bersabda Nabi saw: “Kebanyakan yang menjadi
munafiq dari umat ini, ialah qurra’nya (para ahli bacaan Alquran)”. Bersabda
Nabi saw: “Bacalah Alquran, dimana ia melarang engkau dari perbuatan ma’siat.
Maka kalau ia tidak melarang engkau dari perbuatan ma’siat itu niscaya tidaklah
engkau membacakannya”. Bersabda Nabi saw: “Tiada beriman dengan Alquran orang
yang menghalalkan barang yang diharamkannya”.
Berkata sebahagian salaf: “Sesungguhnya
seorang hamba (hamba Allah) memulai suatu surat dari Alquran, maka berdoa para
malaikat kepadanya sampai selesai ia dari surat itu. Dan sesungguhnya seorang
hamba memulai suatu surat dari Alquran, maka para malaikat mengutukinya, sampai
selesai ia dari surat itu”. Maka ditanyakan kepada salaf tadi: “Mengapakah
demikian ?”. Lalu ia menjawab: “Apabila hamba itu menghalalkan yang dihalalkan
surat tersebut dan mengharamkan yang diharamkannya, maka berdoalah para
malaikat kepadanya. Dan kalau tidak demikian, maka para malaikat itu
mengutuknya”. Berkata sebahagian ulama: “Sesungguhnya seorang hamba yang
membaca Alquran, lalu mengutuk dirinya sendiri. Dan ia tidak tahu, seraya
membaca: “Ketahuilah kutukan Allah itu keatas orang-orang zalim”. S 11 Huud
ayat 18. Dan dia zalim terhadap dirinya sendiri. Dan: “Ketahuilah, kutukan
Allah itu keatas orang-orang pendusta, sedang ia sebahagian daripada mereka”.
Berkata Al-Hasan: “Sesungguhnya kamu
membuat pembacaan Alquran itu beberapa jarak jauh dan kamu jadikan malam itu
unta. Maka kamu mengendarai unta itu, lalu kamu menempuh dengan dia jarak-jarak
jauhnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu, memandang Alquran itu
surat-surat (rasa-il) dari Tuhannya. Maka mereka memahamkannya pada malam dan
melaksanakannya pada waktu siang”.
Berkata Ibnu Mas’ud: “Diturunkan Alquran
kepada mereka supaya diamalkannya. Lalu mereka membuat pelajarannya amalan.
Sesungguhnya seseorang daripada kamu, hendaklah membaca Alquran dari
permulaannya (fatihah), sampai kepada kesudahannya (khatimah). Apa yang dihilangkan
daripadanya sesuatu huruf, sesungguhnya ia telah menghilangkan amalan dengan
huruf itu”. Pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan hadits yang
diriwayatkan oleh Jundub ra tersebut: “Sesungguhnya kami telah hidup pada masa
yang panjang dan seorang dari kami diberikan iman sebelum Alquran. Maka
diturunkan suatu surat kepada Muhammad saw lalu dipelajarinya yang halal, yang
haram, yang menyuruh dan yang melarang serta apa yang sewajarnya ia berdiri
padanya daripada surat itu. Kemudian, sesungguhnya aku melihat beberapa orang,
yang diberikan Alquran, kepada salah seorang daripada mereka sebelum iman. Maka
dibacakannya apa yang ada diantara permulaan Kitab (fatihah Kitab) sampai
kepada kesudahannya (khatimahnya), dimana ia tiada
mengetahui apa yang menyuruhnya dan apa yang melarangnya, dan tidak mengetahui
apa yang sewajarnya ia berdiri padanya daripada kitab itu, yang dihamburkannya
yang dibacanya itu seperti menghamburkan kurma busuk”. Dan tersebut
dalam Taurat: “Hai hambaKu ! adakah tidak engkau malu padaKu, datang kepadamu
sebuah kitab dari sebahagian saudaramu dan engkau di jalan sedang berjalan.
Lalu engkau berpaling dari jalan itu, seraya duduk karena kitab tersebut,
membacanya dan memahaminya huruf demi huruf, sehingga sedikitpun daripadanya
tiada luput bagimu. Dan ini KitabKu, yang Aku turunkan kepadamu! lihatlah,
berapa banyak Aku terangkan didalamnya penjelasan bagimu dan berapa banyak Aku
ulang-ulangi didalamnya kepadamu, supaya engkau perhatikan panjang dan lebarnya
! kemudian engkau berpaling dari Kitab itu. Adakah Aku ini lebih hina padamu
dari sebahagian saudaramu itu ? hai hambaKu! duduk kepadamu sebahagian
saudaramu, lalu kamu terima dia dengan seluruh perhatianmu dan engkau
perhatikan segala perkataannya dengan sepenuh hatimu. Kalau ada orang lain yang
berkata atau dirintangi engkau oleh suatu perintang daripada mendengar
perkataannya, niscaya engkau isyaratkan kepadanya supaya ia berhenti daripada
berkata-kata. Dan adalah Aku menghadapkan diri kepadamu dan bercakap-cakap
dengan kamu, sedang kamu berpaling daripadaKu dengan hatimu. Apakah engkau
jadikan Aku lebih hina padamu daripada sebahagian saudaramu ?”
BAB
KEDUA: mengenai yang zhahir/luar dari adab tilawah/membaca. Yaitu: 10 perkara.
Pertama: tentang keadaan pembaca. Yaitu: ia
didalam wudlu’, bersikap didalam keadaan adab dan tenang, baik ia berdiri atau
duduk, menghadap kiblat, menundukkan kepala, tidak duduk secara melipatkan
kedua tapak kaki dibawah kedua paha (mutarabbi). Tidak duduk secara bertekan
(muttaki’) dan tidak duduk secara sombong. Dan adalah duduknya dengan sendirian
itu, seperti duduknya dihadapan guru. Keadaan yang paling utama, ialah membaca
Alquran itu didalam shalat dengan berdiri dan adalah itu didalam masjid. Maka
itulah amalan yang paling utama ! kalau membaca Alquran dengan tanpa wudlu’ dan
dia sedang berbaring diatas tikar, maka baginya keutamaan juga, tetapi kurang
dari yang tadi. Berfirman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang mengingati Allah, ketika
berdiri dan duduk, ketika berbaring dan mereka memikirkan tentang kejadian
langit dan bumi”. S 3 Ali ‘Imran ayat 191. Maka Allah Ta’ala memujikan
semuanya, tetapi mendahulukan berdiri pada mengingati Allah, kemudian duduk,
kemudian mengingati sambil berbaring.
Berkata
Ali ra: “Barangsiapa membaca Alquran, dimana ia berdiri didalam shalat, niscaya
adalah baginya dengan tiap-tiap huruf itu 100 kebajikan. Dan barangsiapa
membacanya, dimana ia duduk didalam shalat, maka baginya dengan tiap-tiap huruf
itu 50 kebajikan. Dan barangsiapa membacanya diluar shalat, sedang dia
berwudlu’, maka 25 kebajikan. Dan barangsiapa membacanya tanpa wudlu’ maka 10
kebajikan. Dan apa yang dilaksanakan dengan mengerjakan ibadah pada malam hari,
maka itu adalah lebih utama, karena lebih mencamkan bagi hati”. Berkata Abu
Dzar Al-Ghaffari ra: “Bahwa banyaknya bersujud pada siang hari dan lamanya
bangun mengerjakan ibadah pada malam hari, adalah lebih utama (afdhal)”.
Kedua: tentang jumlahnya
pembacaan. Bagi para pembaca (qurra’), berbagai macam adat kebiasaan tentang
membanyak dan menyingkatkan pembacaan. Sebahagian mereka, ada yang menyudahkan
(mengkhatamkan) Alquran sehari-semalam sekali. Sebahagian mereka, 2 kali. Dan sampailah
sebahagian mereka kepada 3 kali. Dan sebahagian mereka, ada yang mengkhatamkan
sebulan sekali. Dan yang lebih utama untuk menjadi perpegangan tentang jumlaah
tilawah itu, ialah sabda Rasulullah saw: “Barangsiapa membaca Alquran kurang
dari 3 kali, niscaya ia tiada memahami akan Alquran itu”. Yang demikian itu,
karena lebih daripadanya, mencegah bagusnya tilawah (tartil).
Berkata ‘Aisyah tatkala mendengar seorang
laki-laki banyak benar salahnya pada pembacaan Alquran: “Bahwa orang itu
tidaklah membaca Alquran dan tidak pula diam”. Nabi saw menyuruh Abdullah bin
‘Amr ra supaya mengkhatamkan Alquran pada tiap-tiap 7 hari ”. Dan begitu pula,
segolongan dari sahabat ra mengkhatamkan Alquran pada tiap-tiap Jum’at, seperti
Usman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan Ubai bin Ka’b –direlai oleh Allah
kiranya mereka itu semuanya. Tentang pengkhataman, adalah 4 tingkat:
pengkhataman dalam sehari-semalam. Tingkat ini telah dimakruhkan oleh
segolongan ulama; pengkhataman pada tiap-tiap bulan, dimana tiap-tiap hari itu
adalah satu juz daripada 30 juz. Dan ini, seolah-olah adalah bersangatan
pendek, sebagaimana yang pertama itu bersangkutan banyaknya. Diantara kedua
tingkat tadi, terdapat dua tingkat yang sederhana: yang pertama: dalam seminggu
sekali dan yang kedua dalam seminggu dua kali, mendekati kepada tiga. Dan yang
lebih sunnat, ialah mengkhatamkan sekali khatam pada malam dan sekali khatam
pada siang. Dan menjadikan khataman siang itu hari Senin pada 2 rakaat shalat
Shubuh atau sesudahnya. Dan menjadikan khataman malam, malam Jum’at pada 2
rakaat Maghrib atau sesudahnya. Supaya menghadap permulaan siang dan permulaan
malam dengan khataman itu. Karena para malaikat as berdoa kepadanya, kalau
khataman nya pada malam, sampai kepada waktu Shubuh. Dan kalau khatamannya pada
siang, sampai kepada waktu sore. Maka melengkapilah keberkatannya akan seluruh
malam dan siang. Uraian tentang jumlah bacaan, adalah kalau ia dari orang-orang
yang kuat beribadah, yang menempuh jalan amalan, maka tidak wajarlah berkurang
dari dua khataman dalam seminggu. Dan kalau ia dari orang-orang yang menempuh
amalan hati dan berbagai macam pemikiran atau dari orang-orang yang
menghabiskan waktunya dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, maka tiada mengapa
ia menyingkatkan dalam seminggu sekali. Dan kalau ia dari orang yang tembus
pemikirannya tentang segala maksud Alquran, maka kadang-kadang mencukupilah
dalam sebulan sekali, karena banyak keperluannya untuk membanyakkan
mengulang-ulangi dan meneliti.
Ketiga: tentang cara
pembahagian. Adapun orang yang mengkhatam dalam seminggu sekali, maka dibagikan
Alquran kepada 7 golongan. Adalah para sahabat menggolongkan Alquran kepada
beberapa golongan. Diriwayatkan bahwa Usman ra memulai malam Jum’at dengan
surat Al Baqarah sampai kepada surat Al Maa-idah. Malam Sabtu dengan surat Al
An’aam sampai kepada surat Huud. Malam Ahad dengan surat Yusuf sampai kepada
surat Maryam. Malam Senin dengan surat Thaahaa sampai kepada Tha Sin Mim, Musa
dan Fir’aun. Malam Selasa dengan surat Al ‘Ankabut sampai kepada surat Shaad.
Malam Rabu dengan surat Tanzil sampai kepada surat Ar Rahman. Dan disudahinya
(dikhatamkannya) pada malam Kamis. Adalah Ibnu Mas’ud membagi Alquran kepada
beberapa bahagian, tidak menurut tertib susunan tadi. Ada orang yang mengatakan
bahwa kumpulan Alquran itu 7. Kumpulan pertama, adalah 3 surat. Kumpulan kedua,
adalah 5 surat. Kumpulan ketiga, adalah 7 surat. Kumpulan keempat, adalah 9
surat. Kumpulah kelima, adalah 11 surat. Kumpulan keenam, adalah 13 surat. Dan
kumpulah ketujuh, yang terurai, adalah dari surat Qaaf sampai kepada
penghabisan Alquran. Begitulah dibuat kumpulannya oleh para sahabat ra dan
mereka membacanya adalah seperti yang demikian. Dan tentang itu terdapat hadits
dari Rasulullah saw. Dan ini, adalah sebelum dibuat berbagi seperlima-seperlima,
sepersepuluh-sepersepuluh dan berjuz-berjuz. Maka yang selain ini adalah
diada-adakan.
Keempat: tentang penulisan.
Disunatkan membaguskan penulisan dan penjelasan Alquran. Dan tiada mengapa
dengan bertitik dan bertanda merah dan lainnya. Karena itu adalah penghiasan
dan penjelasan serta pencegahan dari kesalahan dan tidak betul bacaan bagi
orang yang membacakannya. Adalah Al-Hasan dan Ibnu Sirin menantang pembagian
seperlima-seperlima, sepersepuluh-sepersepuluh dan berjuz-juz.
Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan Ibrahim
akan makruhnya titik-titik dengan warna merah dan mengambil upah atas perbuatan
itu. Mereka mengatakan: “Lepaskanlah Alquran dari yang demikian !”. Berat
dugaan bahwa mereka memandang makruh membukakan pintu ini, karena ditakuti membawa
kepada mendatangkan penambahan-penamabahan. Dan menutupkan pintu dan merindukan
kepada penjagaan Alquran daripada menerobos kepadanya pengobahan. Apabila tiada
membawa kepada yang dilarang dan telah tetap keadaan umat padanya, dengan
menghasilkan bertambahnya pengetahuan, maka tiada mengapa. Dan tiada dilarang
yang demikian, oleh adanya itu diada-adakan, sebab berapa banyak yang
diada-adakan/bid’ah itu, dipandang baik. Sebagaimana dikatakan mengenai
mendirikan jama’ah pada shalat tarawih, dimana itu adalah sebahagian dari yang
diada-adakan oleh Khalifah ‘Umar ra. Dan itu adalah bid’ah yang
baik/bid’ah hasanah.
Sesungguhnya bid’ah/yang diada-adakan yang
tercela bid’ah madzmumah, ialah yang bertentangan dengan
Sunnah yang lama atau hampir membawa kepada mengobahkannya. Sebahagian mereka
mengatakan: “Aku membaca pada Mash-haf yang bertitik dan tidaklah aku
membuatkan titik oleh diriku sendiri”. Berkata Al-Auza’i dari Yahya bin Abi
Katsir: “Adalah Alquran itu tidak bertanda (mujarrad) didalam mash-haf-mash-haf.
Maka yang pertama kali diadakan mereka, ialah titik pada ba dan ta dan mereka
mengatakan bahwa tiada mengapa yang demikian. Karena, itu adalah nur baginya.
Kemudian, sesudah itu, diadakan oleh mereka titik-titik besar pada penghabisan
ayat. Lalu mereka mengatakan, bahwa tiada mengapa yang demikian, untuk mengenal
permulaan ayat. Kemudian, sesudah itu, diadakan oleh mereka penghabisan
(khatimah) dan permulaan (fatihah)”.
Berkata Abubakar Al-Hadzli: “Aku tanyakan
Al-Hasan tentang memberi titik mash-haf-mash-haf dengan warna merah”. Maka
beliau bertanya: “Apakah memberi titik mash-haf-mash-haf itu ?”. Aku menjawab:
“Mereka meng-i’rabkan kata-kata dengan bahasa Arab”. Lalu beliau berkata:
“Adapun meng-i’rabkan Alquran itu, tiada mengapa”. Berkata Khalid Al-Hadzdza’:
“Aku masuk ke tempat Ibnu Sirin, lalu aku melihat ia membaca pada Mash-haf yang
memakai titik, padahal ia memandang makruh titik”. Ada yang mengatakan, bahwa
Al-Hajjaj yang mengadakan demikian itu. Dia mendatangkan para qari’
(al-qurra’), sehingga mereka menghitung kata-kata Alquran dan huruf-hurufnya.
Mereka menyamakan bahagian-bahagiannya dan membagikannya kepada 30 bahagian
(juz) dan kepada bahagian-bahagian yang lain.
Kelima: tartil (jelas
bunyi tiap-tiap huruf pada pembacaannya). Itu disunatkan pada keadaan Alquran.
Karena akan kami terangkan bahwa yang dimaksud dari pembacaan itu, ialah
mengenangkan artinya (tafakkur). Dan tartil itu menolong kepada tafakkur. Dan
karena itulah, dijelaskan oleh Ummu Salmah ra akan bacaan Rasulullah saw. Dia
menyifatkan bacaan Nabi saw yang menjelaskan bunyi huruf demi huruf. Berkata
Ibnu Abbas ra: “Sesungguhnya aku membaca surat Al Baqarah dan Ali ‘imran,
dengan aku tartilkan dan aku pahamkan akan pengertiannya, adalah lebih aku
sukai daripada membaca Alquran seluruhnya dengan cepat-cepat”. Berkata ia pula:
“Sesungguhnya aku membaca surat “Idzaa zulzilat” dan “Al-Qaari’ah” dengan
memahami artinya, adalah lebih aku sukai daripada membaca surat “Al Baqarah”
dan “Ali ‘Imran” dengan cepat-cepat”. Ditanyakan Mujahid tentang dua orang yang
masuk dalam shalat, lalu lama berdiri keduanya didalam shalat itu sama, kecuali
yang seorang membaca surat Al Baqarah saja dan yang seorang lagi, membaca
Alquran seluruhnya, maka menjawab Mujahid: “Keduanya tentang pahala yang diperolehnya,
adalah sama”. Ketahuilah, bahwa tartil itu disunatkan, tidak untuk semata-mata
bagi pemahaman artinya. Karena bagi seorang ‘Ajam (bukan orang Arab) yang tidak
mengerti akan arti Alquran, disunatkan juga baginya tartiil dan pelan-pelan
dalam pembacaan. Karena yang demikian itu lebih mendekatkan kepada pemuliaan
dan penghormatan dan lebih membekas didalam hati, daripada cepat-cepat dan
buru-buru.
Keenam: menangis.
Menangis itu disunatkan serta membaca. Bersabda Rasulullah saw: “Bacalah
Alquran dan menangislah ! jikalau tidak engkau menangis, maka berbuatlah
menangis !”. Bersabda Nabi saw: “Tidaklah dari golongan kami, orang yang tiada
berlagu dengan Alquran”. Berkata Shalih Al-Marri: “Aku bermimpi membaca Alquran
di hadapan Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda: “Bagiku hai Shalih bacaan ini,
tetapi mana tangisnya ?”. Berkata Ibnu Abbas ra: “Apabila kamu membaca Sajadah
Subhana, maka janganlah kamu bersegera sujud, sampai kamu menangis dahulu !
jikalau tidaklah menangis mata salah seorang daripada kamu, maka menangislah
hatinya !”. Sesungguhnya jalan untuk memaksakan menangis, ialah mendatangkan
kegundahan kepada hati. Maka dari kegundahan itu, timbullah tangis. Bersabda
Nabi saw: “Bahwa Alquran itu diturunkan dengan kedukaan hati. Maka apabila kamu
membacanya, lalu berduka citalah!”. Cara mendatangkan kedukaan hati, ialah
memperhatikan akan apa yang ada didalamnya, tentang berita menakutkan, janji
azab karena durhaka (wa’id), segala macam janji dan perikatan yang
diperpegangi. Kemudian, memperhatikan keteledoran tentang segala perintah dan
larangannya. Maka dengan itu, sudah pasti, akan gundah hati dan menangis.
Jikalau tidak datang kegundahan hati dan tangisan, sebagaimana datangnya pada
orang-orang yang berhati suci bersih, maka hendaklah menangis, diatas ketiadaan
kegundahan hati dan tangisan. Dan yang demikian itu, adalah bahaya-bahaya yang
paling besar.
Ketujuh: memelihara akan
hak-hak ayat. Apabila lalu pada ayat Sajadah, niscaya bersujud. Dan begitu pula
apabila mendengar dari bacaan orang lain, akan ayat sajadah, niscaya bersujud
apabila bersujud orang yang membacanya. Dan janganlah sujud, kecuali berada
dalam keadaan suci (berwudlu’). Dalam Alquran ada 14 ayat sajadah. Dan pada
surat Al-Hajj, 2 Sajadah. Dan tak ada pada surat Shaad, sajadah.
Sekurang-kurang sujud, ialah bersujud dengan meletakkan dahi pada bumi (tempat
sujud). Dan yang sempurna, ialah bertakbir, lalu sujud dan berdoa dalam sujud
itu, dengan apa yang layak menurut ayat yang dibacanya. Seumpama ia membaca
firman Allah Ta’ala: “Mereka sujud meniarap, tasbih memuji Tuhan dan mereka
tidak menyombongkan diri”. S 32 As Sajdah ayat 15. Maka ia berdoa: “Wahai Allah
Tuhanku ! jadikanlah aku daripada mereka yang bersujud kepada wajahMu, yang
bertasbih dengan memujiMu dan aku berlindung dengan Engkau, bahwa aku ini
berada sebahagian dari orang-orang yang sombong terhadap amarMu atau terhadap
para aulia (para wali)Mu”. Dan apabila membaca firmanNya: “Dan mereka meniarap
dengan dagunya sambil menangis dan Alquran itu menambah ketundukan hati
mereka”. S 17 Al Israa’ ayat 109. Maka berdoalah: “Wahai Allah Tuhanku !
jadikanlah aku daripada orang yang menangis kepadaMu, yang khusyu’ bagiMu !”.
Dan begitu juga terhadap tiap-tiap ayat sajadah. Dan disyaratkan pada sujud
ini, akan segala syarat shalat, dari menutup ‘aurat, menghadap kiblat, suci
pakaian dan badan dari hadats dan najis. Dan barangsiapa yang tidak suci (tidak
berwudlu’) ketika mendengar pembacaan ayat Sajadah itu, maka apabila telah
bersuci, maka baru sujud. Dikatakan mengenai kesempurnaan sujud itu, ialah
bertakbiratul-ihram dengan mengangkatkan kedua tangan. Kemudian, bertakbir
untuk turun bagi sujud. Kemudian, bertakbir untuk bangkit dari sujud, kemudian
memberi salam. Dan ditambahkan oleh orang-orang yang suka menambahkan akan
tasyahhud dan tak ada asal bagi ini, selain dari mengkiaskan kepada sujud
shalat. Dan itu adalah jauh dari kebenaran. Yang datang amar, ialah pada sujud,
maka hendaklah dituruti amar itu padanya. Dan tentang bertakbir untuk turun,
adalah lebih mendekati bagi permulaan pekerjaan. Sedang selain dari itu, jauh
dari kebenaran. Kemudian, seyogyalah ma’mum sujud ketika sujud imam. Dan janganlah
sujud karena tilawahnya sendiri, apabila ia itu ma’mum.
Kedelapan: membaca pada
permulaan tilawahnya: “Aku berlindung dengan Allah yang mendengar lagi
mengetahui, dari setan yang kena kutuk. Hai Tuhanku ! aku berlindung dengan
Engkau dari segala gangguan setan dan aku berlindung dengan Engkau, hai
Tuhanku, dari kedatangan setan-setan itu kepadaku”. Dan hendaklah dibacakan
“Qul a’uudzu birabbinnaas” dan surat “Alhamdulillah”. Dan hendaklah diucapkan
ketika selesainya dari pembacaan: “Benarlah Allah Yang Maha Tinggi dan telah
disampaikan oleh Rasulullah saw. Wahai Allah Tuhanku ! berikanlah kemanfaatan
kepada kami dengan dia dan berikanlah keberkatan bagi kami padanya. Segala
pujian bagi Allah Tuhan serwa sekalian alam dan aku meminta ampun pada Allah
Yang Hidup dan Yang Berdiri sendiri”. Waktu sedang membaca, apabila ia lalu
pada ayat tasbih, maka bertasbih dan bertakbirlah. Dan apabila lalu pada ayat
doa dan ayat istighfar (ayat yang mengandung pengertian meminta permohonan dan
pengampunan pada Allah), maka berdoa dan beristighfarlah. Dan jika lalu pada
ayat yang mengandung pengertian sesuatu harapan, maka bermohonlah dan jika lalu
pada ayat yang mengandung pengertian sesuatu yang ditakutkan, maka
berlindunglah daripadanya. Diperbuat yang demikian itu, dengan lisan atau
dengan hati. Maka diucapkan “Maha suci Allah ! kami berlindung dengan Allah. Ya
Allah Tuhanku! berikanlah kami rezeki ! ya Allah Tuhanku ! berikanlah kami
kerahmatan !”. Berkata Hudzaifah: “Aku bershalat bersama Rasulullah saw maka
dimulainya surat Al-Baqarah. Tidak dilaluinya ayat rahmat, melainkan
dimintanya. Tidak dilaluinya ayat azab, melainkan dimintanya perlindungan dan
tidak dilaluinya ayat tanzih (ayat tasbih), melainkan diucapkannya tasbih”.
Apabila telah selesai dari tilawah, maka dibacakan apa yang dibacakan
Rasulullah saw ketika selesai pembacaan Alquran: “Ya Allah Tuhanku ! berikanlah
aku rahmat dengan Alquran dan jadikanlah dia bagiku imam, cahaya, hidayah dan
rahmat ! Ya Allah Tuhanku ! ingatilah aku daripadanya akan apa yang aku lupakan
dan ajarilah aku daripadanya akan apa yang tiada aku ketahui ! dan anugerahilah
aku akan tilawahnya pada tiap-tiap malam dan tiap-tiap hari ! dan jadikanlah
Alquran itu dalil (hujjah) bagiku, wahai Tuhan serwa sekalian alam !”.
Kesembilan: mengenai
mengeraskan suara (jahr) dengan pembacaan: Dan tidak diragukan, bahwa tak boleh
tidak dikeraskan suara pada tilawah itu, kepada batas yang didengar sendiri.
Karena pembacaan, adalah artinya memutus-mutuskan suara dengan huruf-huruf. Dan
itu haruslah dengan suara. Maka sekurang-kurangnya, adalah yang dapat didengar
sendiri. Kalau tidak dapat didengar sendiri, niscaya
tidaklah shah shalat.
Adapun jahr, dimana dapat didengar oleh
orang lain, maka itu disunatkan pada satu segi dan dimakruhkan pada segi lain.
Dan ditunjukkan kepada sunatnya mengecilkan suara (secara sirr/rahasia), ialah:
diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “Kelebihan membaca secara sirr/rahasia
dengan membaca secara terang (keras), adalah seperti kelebihan sedekah secara
rahasia dengan sedekah secara terang”. Dan pada susunan kata yang lain,
berbunyi: “Orang yang men-jahrkan Alquran adalah seperti orang yang menjahrkan
sedekah dan orang yang merahasiakan Alquran adalah seperti orang yang
merahasiakan sedekah”. Dan pada suatu hadits yang umum pengertiannya: “Melebihi
amalan rahasia diatas amalan terang, dengan 70 ganda”. Dan begitu pula sabda
Nabi saw: “Sebaik-baik rezeki, ialah yang mencukupi dan sebaik-baik dzikir,
ialah yang tersembunyi”. Dalam suatu hadits, tersebut: “Janganlah menggeraskan
bacaan diantara sesama kamu, antara Maghrib dan ‘Isya”.
Pada suatu malam, Sa’id bin Al-Musayyab
mendengar dalam masjid Rasulullah saw, bahwa Umar bin Abdul-‘aziz menggeraskan
bacaan dalam shalatnya. Dan adalah Umar itu merdu suaranya. Lalu Said berkata
kepada bujangnya: “Pergilah kepada orang yang bershalat itu, suruhlah dia
merendahkan suaranya !”. Maka menjawab bujang itu: “Masjid itu bukan kepunyaan
kita dan orang itu berhak padanya”. Lalu Sa’id meneriakkan suaranya dengan
mengatakan: “Hai orang yang bershalat: kalau engkau menghendaki Allah yg maha
mulia & maha besar dengan shalatmu, maka rendahkanlah suaramu ! dan kalau
engkau menghendaki manusia, maka manusia itu tidak merasa cukup sedikitpun
daripada engkau, selain daripada Allah”. Maka diamlah Umar bin Abdul-‘aziz dan
memendekkan rakaatnya. Setelah memberi salam, lalu mengambil kedua sandalnya
dan pergi. Dan dia ketika itu, adalah amir (gubernur) Madinah. Dan menunjukkan
kepada sunatnya jahr, apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi saw mendengar
sekumpulan dari para sahabatnya menjahrkan pada shalat malam. Maka beliau
betulkan yang demikian itu”. Dan bersabda Nabi saw: “Apabila bangun seorang
kamu dari malam hari, lalu bershalat, maka hendaklah ia menjahrkan bacaan.
Sesungguhnya para malaikat dan penghuni rumah (jin dan lainnya) mendengar
bacaannya dan beshalat dengan shalatnya”. Rasulullah saw mendatangi 3 orang
sahabatnya yang berlainan keadaan mereka masing-masing. Ia datangi Abubakar ra,
dimana Abubakar ra itu berdoa dengan suara yang halus saja. Maka Nabi saw
menanyakannya dari yang demikian. Menjawab Abubakar ra: “Bahwa yang aku
bermunajat dengan Dia, mendengar akan aku”. Dan Nabi datangi Umar ra yang
berdoa dengan jahr, lalu Nabi saw menanyakannya yang demikian. Maka menjawab
Umar ra: “Aku membangun orang tidur dan menghardik setan”. Dan Nabi saw datangi
Bilal, dimana ia membaca sebuah ayat dari surat ini dan sebuah ayat dari surat
ini. Lalu Nabi saw menanyakannya yang demikian. Maka menjawab Bilal: “Aku
campurkan yang baik dengan yang baik”. Maka bersabda Nabi saw: “Semua kamu
telah bekerja baik dan betul !”. Cara mengumpulkan diantara hadits-hadits ini,
ialah bahwa secara sirr/rahasia itu menjauhkan dari ria dan berbuat-buat
(tashannu’).
Maka itu adalah lebih utama bagi orang yang
takut kepada yang demikian terhadap dirinya. Kalau ia tidak takut dan tak ada
pada jahr itu yang membisingkan waktu kepada orang lain yang bershalat, maka jahr
itu lebih utama. Karena amal adalah lebih banyak padanya dan karena faedahnya
bersangkutan pula kepada orang lain. Kebaikan yang melampaui kepada orang lain,
adalah lebih utama dari yang tetap pada dirinya sendiri saja. Dan jahr itu
membangunkan hati si pembaca dan mengumpulkan kemauannya kepada berpikir pada
yang dibacakan. Dan menjuruskan kepadanya pendengarannya. Dan menolakkan tidur
pada pembacaan dengan suara keras, menambahkan kerajinan bagi membaca. Dan
mengurangkan kemalasan serta mengharapkan dengan jahr itu, akan terbangun orang
tidur, sehingga menjadi sebab menghidupkannya kembali. Karena kadang-kadang ia
dilihat oleh seorang pahlawan yang lalai, maka menjadi rajin dia disebabkan
kerajinannya dan rindu kepada pengkhidmatan. Manakala telah datang kepadanya
sesuatu daripada niat-niat tadi, maka jahr adalah lebih utama. Dan kalau
berhimpunlah niat-niat tersebut, niscaya berlipat gandalah pahala. Dan dengan
banyaknya niat, lalu bertambahlah amal perbuatan kebajikan dan berlipat
gandalah pahala bagi mereka. Kalau ada pada suatu amal perbuatan 10 niat,
niscaya adalah padanya 10 pahala. Karena
itulah kami katakan, bahwa membaca Alquran pada mash-haf itu lebih utama
(afdhal), karena bertambah pada perbuatan itu, melihat, memperhatikan mash-haf
dan membawanya. Sehingga bertambahlah pahala dengan sebabnya. Sesungguhnya ada
yang mengatakan, pengkhataman pada mash-haf itu dengan 7 kali lipat pahalanya,
karena memandang pada mash-haf itu, adalah juga ibadah. Usman ra telah
mengoyakkan dua mash-haf, karena banyak bacaanya pada kedua mash-haf itu. Maka
adalah kebanyakan dari sahabat, membaca pada mash-haf. Dan memandang makruh,
bahwa berlalu sehari, dimana mereka tiada memandang pada mash-haf. Datang
sebahagian ulama fiqh Mesir kepada Asy-Syafi’i ra pada waktu sahur, dimana
dihadapannya mash-haf. Maka berkata kepadanya Asy-Syafi’i: “Disibukkan kamu
oleh ilmu fiqh, tidak dengan Alquran. Aku sesungguhnya mengerjakan shalat malam
dan meletakkan mash-haf dihadapanku dan tidak aku tutupkan dia sampai waktu
shubuh”.
Kesepuluh: membaguskan bacaan
dan mentartilkan dengan mengulang-ulangi suara tanpa terlalu memanjangkan yang
mengobahkan nadhamnya (susunan katanya yang bersajak). Yang demikian itu,
adalah sunnah. Bersabda Nabi saw: “Hiasilah Alquran dengan suaramu !”. Dan
bersabda Nabi saw: “Tiada diizinkan oleh Allah untuk sesuatu sebagaimana
izinNya untuk membaguskan suara dengan Alquran”. Bersabda Nabi saw: “Tiadalah
dari kami orang yang tiada berlagu dengan Alquran”. Dikatakan, bahwa yang
dimaksudkan oleh Nabi saw dengan itu, ialah melagukan suara. Ada yang
mengatakan, bahwa yang dimaksudkan, ialah mendengungkan suara dengan lagu yang
bagus dan mengulang-ulangi berbagai macam perobahan suara. Dan itulah yang
lebih mendekati kepada benar, menurut para ahli bahasa. Diriwayatkan, bahwa
Rasulullah saw pada suatu malam menunggu ‘Aisyah. Maka sesudah begitu lambat,
barulah ia datang. Lalu Rasulullah saw bertanya: “Apakah yang menghambatmu
sampai terlambat ?”. Menjawab ‘Aisyah: “Wahai Rasulullah ! aku mendengar
seorang laki-laki membaca Alquran dan belum pernah aku mendengar suara yang
lebih merdu dari itu !”. Maka Rasulullah saw pun bangun pergi mendengar,
sehingga lamalah beliau mendengar kemudian baru pulang, seraya bersabda: “Yang
membaca itu adalah Salim, bujang Abi Hudzaifah ! segala pujian bagi Allah yang
telah menjadikan pada umatku seperti dia”. Juga pada suatu malam Rasulullah saw
mendengar pembacaan Abdullah bin Mas’ud dan bersama Rasulullah saw Abubakar ra
dan Umar ra. Lamalah mereka berhenti disitu, kemudian Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa bermaksud membaca Alquran dengan suara yang empuk lunak,
sebagaimana diturunkan, maka hendaklah dibacakannya seperti bacaan Ibnu Ummi
‘Abd”. Bersabda Nabi saw kepada Ibnu Mas’ud: “Bacakanlah kepadaku !”. Menjawab
Ibnu Mas’ud: “Wahai Rasulullah ! aku bacakan kepadamu, padahal kepadamu
diturunkan ?”. Menjawab Nabi saw: “Aku suka mendengar nya dari bukan aku
sendiri”. Maka Ibnu Mas’ud membacanya dan kedua mata Rasulullah saw basah kuyup
dengan air mata”. Rasulullah saw mendengar bacaan Abi Musa, lalu bersabda:
“Sesungguhnya telah diberikan kepada Abu Musa itu, suling keluarga Daud”.
Tatkala sabda itu sampai kepada Abu Musa, lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah !
kalau aku tahu bahwa engkau mendengarnya, niscaya lebih aku baguskan lagi
untukmu”.
Bermimpi Haitsam –seorang ahli pembacaan
Alquran (al-qari’) –akan Rasulullah saw. Maka bercerita Haitsam: “Rasulullah
saw bertanya kepadaku: “Engkaulah Haitsam yang menghiaskan akan Alquran dengan
suaramu ?”. Aku menjawab: “Ya benar !”. Lalu Rasulullah saw menyambung:
“Dibalaskan kiranya engkau oleh Allah dengan kebajikan !”. Pada suatu hadits,
tersebut: ‘Adalah para sahabat Rasulullah saw apabila berkumpul, lalu mereka
menyuruh seorang dari mereka, membaca suatu surat dari Alquran.
Umar ra berkata kepada Abu Musa ra: “Mari
kita berdzikir kepada Tuhan kita !”. Lalu Abu Musa membaca Alquran di sisi
Umar, sehingga hampirlah waktu shalat berada ditengah waktu. Lalu orang
berseru: “Wahai Amirul-mu’minin ! shalat ! shalat !”. Maka menyahut Umar ra:
“Bukankah kami sekarang didalam shalat ?”. Sebagai suatu isyarat kepada firman
Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “(Sesungguhnya mengingati Allah
(berdzikir) itu amat besar manfaatnya)”. S 29 Al ‘Ankabuut ayat 45. Bersabda
Nabi saw: “Barangsiapa mendengar suatu ayat dari kitab Allah Yang Maha Mulia
& Maha Besar, niscaya ayat itu menjadi nur baginya pada hari kiamat”. Pada
suatu hadits, tersebut: “Dituliskan baginya 10 kebaikan”. Manakala besarlah
pahala mendengar dan pembaca itu adalah sebab pada mendengar, maka adalah
pembaca itu berserikat pada pahalanya. Kecuali maksudnya adalah ria dan
berbuat-buat (tashannu’).
BAB
KETIGA:
Tentang amalan bathin pada tilawah. Yaitu: 10 paham asal
perkataan, kemudian pengagungan, kemudian kehadiran hati, kemudian pengertian,
kemudian pemahaman, kemudian penyingkiran dari segala pencegah paham, kemudian
pengkhususan, kemudian pembekasan, kemudian peninggian & kemudian
pelepasan,
Pertama: Paham akan
keagungan dan ketinggian perkataan/kalam Allah, kurnia Allah swt dan
kelemah-lembutanNya dengan makhlukNya, pada turunnya kalam (perkataan)
itu, dari ‘arsy kebesaranNya kepada derajat pengertian-pengertian makhlukNya.
Maka hendaklah pembaca Alquran itu memperhati kan, betapa lemah-lembut Allah
dengan makhlukNya, pada menyampaikan pengertian-pengertian kalamNya, yang mana,
adalah suatu sifat tiada berpemulaan yang berdiri pada DzatNya, kepada
pengetian-pengertian makhlukNya. Dan bagaimanakah menampak bagi mereka akan
sifat itu dalam liputan huruf-huruf dan suara-suara, dimana semuanya itu adalah
sifat manusia. Karena lemahlah manusia daripada sampai kepada memahami
sifat-sifat Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar, kecuali dengan perantaraan
sifat-sifatnya sendiri. Jikalau tidaklah tertutup hakikat/makna keagungan
kalamNya dengan pakaian, yang diibaratkan huruf-huruf, niscaya tidaklah
terbukti tegas, ‘Arasy dan bintang Tsurayya itu, mendengar kalam Allah. Dan
lenyaplah sesuatu diantara keduanya dari keagungan kekuasaan dan kesucian
nurNya. Jikalau tidaklah diberikan ketetapan oleh Allah yg maha mulia &
maha besar kepada Musa as, niscaya tidaklah ia sanggup mendengar kalamNya,
sebagaimana tidak sanggup gunung pada permulaan kenyataan (tajalli) nya, dimana
dia menjadi bergoncang. Dan tidak mungkin memahami keagungan kalam Allah,
kecuali dengan contoh-contoh dalam batas pemahaman makhluk. Karena inilah maka
disebutkan oleh sebahagian ‘arifin tentang kalam itu, dengan mengatakan, bahwa
tiap-tiap huruf dari kalam Allah yg maha mulia & maha besar pada
Luh-mahfudh, adalah lebih besar dari bukit Qaf. Dan sesungguhnya para malaikat
as, jikalau berkumpul pada suatu huruf untuk mengangkatkannya, niscaya mereka
tiada sanggup, sehingga datanglah Israfil as –yaitu malaikat yang mengawal
Luh-mahfudh –lalu mengangkatnya. Maka dapatlah diangkatkannya dengan izin dan
rahmat Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar. Tidak dengan kekuatan dan
kesanggupannya. Tetapi Allah yg maha mulia & maha besar yang
menganugerahkannya kemampuan yang demikian kepadanya dan menggunakan nya.
Sebahagian ulama hikmah (hukama’) telah menyusun kata-kata dengan baik, secara
halus, untuk menyampaikan pengertian kalam serta keagungan derajatnya, kepada
pemahaman dan keyakinan manusia, serta rendahnya tingkat manusia itu. Diberi
untuk itu suatu contoh, yang tidak dipendekkan padanya. Yaitu: bahwa diajak
sebahagian raja-raja oleh seorang ahli hikmah kepada agama nabi-nabi as. Lalu
raja itu menanyakannya tentang beberapa perkara. Maka ahli hikmah tadi menjawab
dengan cara yang dapat dipahami oleh raja itu. Maka berkatalah raja: “Adakah
engkau lihat akan apa yang dibawa para nabi itu, apabila engkau mendakwakan,
bahwa itu bukan perkataan manusia. Dan itu kalam Allah Yang Maha Mulia &
Maha Besar. Maka bagaimanakah sanggup manusia memikulnya ?”. Menjawab ahli
hikmah: “Kita melihat manusia, tatkala bermaksud memberi pengertian kepada
sebahagian hewan dan burung, akan apa yang mereka maksudkan, tentang maju dan
mundurnya, menghadap dan membelakangnya. Dan mereka melihat hewan-hewan itu
singkat pengertiannya, daripada memahami perkataan mereka yang dari nur akal
pikiran mereka, yang disertakan dengan kebagusan, penghiasan dan keelokan
susunannya. Lalu mereka turun kepada derajat pengertian hewan dan mereka
menyampaikan maksudnya kepada batin hewan-hewan itu dengan suara yang
diadakannya, yang layak dengan mereka, seperti mengetikkan jari, bersiul dan
berbagai suara yang mendekati dengan suara hewan-hewan itu. Supaya sanggup
memikulnya. Dan begitupula, manusia itu lemah daripada membaca kalam Allah yg
maha mulia & maha besar dengan hakikat/makna dan kesempurnaan sifatNya.
Maka jadilah dengan apa yang dipergunakan diantara sesama mereka, dari
suara-suara yang didengar mereka akan ilmu hikmah dengan suara-suara itu,
seperti suara ketikan jari dan bersiul yang didengar oleh hewan-hewan itu dari
manusia. Dan tidak dilarang oleh yang demikian akan pengertian-pengertian yang
tersembunyi pada sifat-sifat itu, dari kemuliaan kalam, ya’ni suara-suara,
adalah karena mulianya sifat-sifat itu. Dan agungnya kalam karena pengagungan,
sifat-sifat itu. Sehingga suara itu adalah tubuh dan tempat bagi hikmah dan
hikmah itu adalah nyawa dan roh bagi suara. Maka sebagaimana tubuh manusia itu
dimuliakan dan dihormati karena tempat roh, maka seperti itu pula suara-suara
kalam (berkata-kata), dimuliakan karena hikmah yang ada padanya. Kalam
(berkata-kata) itu diatas kedudukan yang tinggi derajat, kekuasaan yang
perkasa, dan hukum yang tembus, pada yang hak dan yang batil/salah. Dialah
kadli yang adil, saksi yang disenangi, menyuruh dan melarang. Tak mampulah yang
batil/salah tegak berdiri dihadapan kalam hikmah, sebagaimana tidak mampu
bayang-bayang tegak berdiri dihadapan cahaya matahari. Dan tidak mampu manusia
menjalankan penyelidikan yang mendalam tentang hikmah, sebagaimana mereka tidak
mampu menjalankan penyelidikan dengan mata mereka akan cahaya matahari. Tetapi
mereka memperoleh dari cahaya diri matahari itu, akan apa yang dapat hidup mata
mereka dan dapat membuktikan dengan itu akan segala keperluan mereka saja. Maka
kalam itu adalah sebagai raja yang terdinding, yang wajahnya tidak kelihatan,
tetapi perintahnya tembus keluar. Dan seperti matahari yang mulia, yang
menampakkan diri, yang tersembunyi unsurnya. Dan seperti bintang-bintang yang
cemerlang, yang kadang-kadang memperoleh
petunjuk dengan dia, orang yang tiada mengetahui tentang perjalanan
bintang-bintang itu. Maka kalam itu, adalah anak kunci gudang-gudang yang
bernilai tinggi, dan minuman kehidupan. Siapa yang minum daripadanya, niscaya
tidak akan mati. Dan obat segala penyakit dan siapa yang minum daripadanya,
niscaya tidak akan sakit”. Maka ini yang disebutkan oleh ahli hikmah itu,
adalah sekelumit dari pemahaman arti kalam. Dan tambahan dari itu, tidaklah
layak dengan ilmu mu’amalah (ilmu yang diminta mengetahuinya hendaklah
diamalkan). Maka seyogyalah disingkatkan sehingga itu saja.
Kedua: Pengagungan
Yang Berkalam (berkata-kata) (Mutakallim/Yang Berkata). Maka seorang
pembaca ketika memulai tilawah Alquran, seyogyalah menghadirkan dalam hatinya,
akan keagungan Mutakallim/Yang Berkata dan mengetahui, bahwa apa yang
dibacakannya itu, tidaklah dari perkataan manusia. Dan bahwa dalam bertilawah
kalam (membaca ayat-ayat) Allah yg maha mulia & maha besar itu, adalah
sangat besar bahayanya. Allah Ta’ala berfirman: “Tiada yang menyentuhnya selain
dari orang-orang yang disucikan”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 79. Maka sebagaimana
yang zhahir dari kulit Mash-haf dan kertasnya, dijaga dari yang zhahir kulit
penyentuhnya, kecuali apabila ia telah bersuci. Maka batin pengertiannya juga,
disebabkan hukum kemuliaan dan keagungannya, terhijab dari batin hati. Kecuali
apabila ia telah bersuci dari segala kotoran dan bersinar dengan cahaya pengagungan
dan penghormatan. Dan sebagaimana tidak pantas disentuh kulit Mash-haf oleh
semua tangan, maka tidak pula pantas untuk bertilawah hurufnya oleh semua lidah
dan untuk memperoleh pengertiannya oleh semua hati. Dan bagi seumpama
pengagungan ini, adalah ‘Akramah bin Abi Jahl, apabila membuka Mas-haf, lalu
pingsan, dan berkata: “Dia itu kalam Tuhanku ! dia itu kalam Tuhanku !”. Maka pengagungan kalam, adalah
pengagungan Mutakallim/Yang Berkata. Dan tidak akan timbul pengagungan
Mutakallim/Yang Berkata selama tidak bertafakkur tentang sifat-sifat, keagungan
dan Af’al (perbuatan-perbuatan)Nya. Apabila telah hadir di sanubarinya ‘Arasy,
Kursi, langit, bumi dan apa yang ada diantara keduanya, dari jin, manusia,
hewan dan kayu dan mengetahui bahwa yang menjadikan semuanya itu, yang berkuasa
dan yang memberikan rezeki kepadanya, adalah ESA. Dan semuanya didalam gengaman
qudrah (kuasa )Nya, yang berkisar diantara kurnia dan rahmatNya, diantara
cobaan dan kekuasaanNya. Jika dianugerahiNya ni’mat, maka adalah dengan
kurniaNya dan jika disiksakanNya, maka adalah dengan keadilanNya. Dan
sesungguhnya, Dialah yang berfirman: “Mereka itu ke sorga dan mereka itu ke
neraka dan Aku tidak perduli !”. Inilah pengagungan yang penghabisan dan
tertinggi ! maka dengan bertafakkur pada contoh-contoh tersebut, akan timbullah
pengagungan Mutakallim/Yang Berkata kemudian pengagungan Kalam (kata-kata NYA).
Ketiga: Kehadiran hati dan meninggalkan bisikan jiwa.
Ada yang mengatakan, pada penafsiran firman Allah Ta’ala: “Hai Yahya ! ambillah
Kitab itu dengan sungguh-sungguh dan rajin”. Mengambilnya dengan
sungguh-sungguh, ialah menghadapkan diri kepada Kitab itu semata-mata ketika
membacanya, menjuruskan kemauan hati kepadanya saja, tidak kepada yang lain.
Ditanyakan kepada sebahagian mereka: “Apabila engkau membaca Alquran, adakah
engkau itu, berbicara dengan dirimu akan sesuatu ?”. Menjawab yang ditanyakan
itu: “Adakah sesuatu yang lain, yang lebih aku cintai dari Alquran, sehingga
aku berbicara dengan dia akan diriku ?”. Adalah sebahagian salaf, apabila
membaca suatu ayat dari Alquran, dimana hatinya tak ada padanya; niscaya
diulanginya kali kedua. Sifat itu terjadi, dari pengagungan yang telah ada
sebelumnya. Karena orang yang mengagungkan Kalam (kata-kata) yang dibacanya
itu, merasa gembira dan bersuka hati dengan bacaannya dan tidak berlengah hati
daripadanya. Maka didalam Alquran, terdapatlah yang menyukakan hati, kalau yang
membaca itu ahli. Lalu bagaimanakah mencari kesenangan dengan pikiran kepada
yang lain, sedang dia didalam kesenangan dan kesukaan hati dengan pembacaannya
? orang yang sedang bersuka ria pada hal-hal yang menyenangkan, niscaya tidak
akan berpikir kepada yang lain. Sesungguhnya, ada yang mengatakan: “Bahwa
didalam Alquran itu terdapat tanah-tanah lapang, kebun-kebun, istana-istana,
mahligai, kain sutera, taman dan tempat singgahan orang-orang musafir. Maka
segala mim, adalah tanah lapang bagi Alquran. Segala ra’, adalah kebun-kebun
Alquran. Segala ha’, adalah istana-istana Alquran. Segala ayat yang mengandung
tasbih, adalah mahligai-mahligai Alquran. Segala ha-mim-nya adalah kain sutera
bagi Alquran. Surat-suratnya yang panjang, adalah taman-tamannya. Dan
tempat-tempat singgahannya, adalah yang lain dari itu. Maka apabila pembaca
memasuki lapangan-lapangan tadi, memetik buah-buahan di kebun, memasuki
istana-istana, mempersaksikan mahligai-mahligai, memakai kain-kain sutra,
bersenang-senang di taman dan mendiami kamar-kamar tempat singgahan, niscaya
habislah kesitu segenap jiwa raganya dan tak ada waktu lagi untuk yang lain.
Sehingga tidak rengganglah hatinya dan tidak terpisahlah pikirannya dari
Alquran yang dibacanya.
Keempat: Pemahaman, yaitu dibalik kehadiran hati tadi.
Karena kadang-kadang ia tidak berpikir kepada selain dari Alquran, tetapi
memadakan kepada mendengar Alquran saja, sedang ia tidak memahami
pengertiannya. Yang dimaksudkan dari pembacaan itu, ialah pemahaman (tadabbur).
Dan karena itulah, disunatkan tartil, karena tartil/bacaan secara zhahir,
adalah untuk memungkinkan pemahaman dengan batin. Berkata Ali ra: “Tidak ada
kebajikan pada ibadah, yang tak paham padanya dan tak ada kebajikan pada
bacaan, yang tak ada pemahaman padanya”. Apabila tidak mungkin berpaham,
kecuali dengan mengulang-ulangi, maka hendaklah diulang-ulangi, kecuali kalau
ia di belakang imam. Kalau ia terus berpaham ayat, sedang imam telah berpindah
pada ayat lain, maka adalah ia telah bersalah. Seumpama orang yang menghabiskan
waktunya dengan keheranan pada suatu perkataan dari orang yang bercakap-cakap
dengan dia, daripada memahami percakapannya yang lain. Begitu pula kalau berada
dalam tasbih ruku’, dimana ia bertafakkur tentang ayat yang dibacakan imamnya.
Maka ini adalah waswas (bisikan setan). Diriwayatkan dari ‘Amir bin Abdu Qais,
bahwa ia berkata: “Waswas itu menganggu saya didalam shalat”. Lalu ditanyakan:
“Mengenai hal duniawi ?”. ‘Amir menjawab: “Sesungguhnya berulang kali kelupaan
pada saya, adalah lebih saya sukai daripada itu. Tetapi hatiku selalu sibuk
dengan tegakku di hadapan Tuhanku ‘Azza Wa Jalla. Dan bagaimanakah aku
berpaling dari itu ?”. Maka dihitungnya yang demikian itu, waswas. Dan betullah
demikian, karena menyibukkan nya, daripada memahami apa yang sedang
dikerjakannya. Dan setan itu tidak sanggup mendayakan seperti ‘Amir, kecuali
menyibukkannya dengan kepentingan keagamaan. Tetapi, setan itu, mencegahnya
daripada perbuatan yang lebih utama. Tatkala hal itu disebutkan kepada
Al-Hasan, lalu beliau berkata: “Kalau adalah kamu benar daripadanya, maka
tidaklah diperbuatkan oleh Allah yang demikian itu pada kami”. Diriwayatkan
bahwa Nabi saw membaca “Bismillaa hirrahmaanirraahiim”, lalu
mengulang-ulanginya 20 kali. Sesungguhnya diulangi-ulangi oleh Nabi saw adalah
karena, bertadabbur/berpaham pada segala pengertiannya. Dari Abi Dzar, yang
mengatakan: “Rasulullah saw melakukan shalat pada suatu malam dengan kami, lalu
membaca ayat yang diulang-ulanginya, yaitu: “Jika Engkau menyiksa mereka, maka
sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni
mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yg Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. S 5 Al Maaidah
ayat 118.
Dan
Tamim Ad-Darani mengerjakan shalat pada suatu malam dengan membaca ayat:
“Apakah orang-orang yang membuat kesalahan itu mengira.......”. S 45 Al
Jaatsiah ayat 21. Sa’id bin Jubair mengerjakan shalat pada suatu malam, yang
mengulang-ulangi ayat: “Berselisihlah kamu pada hari ini hai orang-orang yang
berdosa !”. S 36 Yaa Siin ayat 59. Berkata sebahagian mereka: “Sesungguhnya aku
memulai sebuah surat, maka dihentikan aku oleh sebahagian apa yang aku
persaksikan padanya, daripada selesai, sehingga terbitlah fajar”.
Adalah
sebahagian mereka berkata: “Suatu ayat yang tidak aku pahami dan tak ada hatiku
padanya, maka tiada aku hitungkan pahala baginya”. Diceritakan dari Abi
Sulaiman Ad-Darani, yang mengatakan: “Sesungguhnya aku membaca suatu ayat, maka
aku bangun padanya 4 malam atau 5 malam. Dan kalau tidaklah aku putuskan
pemikiran padanya, niscaya tidaklah aku lewatkan kepada yang lain”. Dari
sebahagian salaf, didapati, bahwa ia tetap pada surat Hud, 6 bulan
diulang-ulanginya dan tidak selesai daripada memahami padanya.
Berkata
sebahagian ‘arifin: “Bagiku pada tiap-tiap Jum’at sekali khatam. Pada tiap-tiap
bulan sekali khatam. Dan pada tiap-tiap tahun sekali khatam. Dan bagiku sekali
khatam semenjak 30 tahun, yang tidak selesai aku sesudah itu daripadanya”. Yang
demikian itu, adalah menurut derajat pemahaman dan pemeriksaannya. Dan
sebahagian ‘arifin yang tadi mengatakan pula: “Aku tempatkan diriku, sebagai
orang-orang mengambil upah. Maka sesungguhnya aku bekerja harian, mingguan,
bulanan dan tahunan”.
Kelima: Pemahaman,
yaitu memperoleh penjelasan dari tiap-tiap
ayat, akan apa yang layak baginya. Karena Alquran itu, melengkapi
penyebutan sifat-sifat Allah ’Azza Wa Jalla, penyebutan Af’al (perbuatan-perbuatan)Nya,
penyebutan hal-ihwal nabi-nabi as dan penyebutan hal-ihwal orang-orang yang
mendustakan mereka serta bagaimana mereka itu binasa, penyebutan segala suruhan
dan laranganNya, penyebutan sorga dan neraka. Adapun sifat-sifat Allah Yang
Maha Mulia & Maha Besar, yaitu seperti firmanNya: “Tiada sesuatupun serupa dengan
Dia dan Dia mendengar dan melihat dengan terang”. S 42 Asy Syuura ayat 11. Dan
seperti firmanNya: “Dia itu Raja, Maha Suci, Pembawa Keselamatan, Pemelihara
Keamanan, Penjaga segala sesuatu, Maha Kuasa, Maha Perkasa dan Maha Besar”. S
59 Al Hasyr ayat 23. Maka hendaklah diperhatikan arti nama-nama dan sifat-sifat
ini, supaya terbukalah segala rahasianya, yang dibukakan oleh segala pengertian
yang tertanam, yang tidak akan terbuka kecuali bagi orang-orang yang mendapat
taufiq ! dan kepada itulah ditunjukkan oleh Ali ra dengan ucapannya: “Tiada
dirahasiakan kepadaku oleh Rasulullah saw sesuatu yang disembunyikannya dari
manusia lain, melainkan didatangkan oleh Allah yg maha mulia & maha besar
seorang hamba yang memahami KitabNya. Maka hendaklah ia bersungguh-sungguh
menuntut pemahaman itu !”.
Berkata
Ibnu Mas’ud ra: “Barangsiapa bermaksud ilmu pengetahuan orang-orang dahulu dan
orang-orang kemudian, maka hendaklah ia membahas pengertian Alquran. Dan yang
terbesar dari ilmu pengetahuan Alquran, ialah di bawah nama-nama Allah yg maha
mulia & maha besar dan sifat-sifatNya. Karena tiada diketahui oleh
kebanyakan makhluk daripadanya, kecuali beberapa perkara yang layak dengan
pemahaman mereka dan tidak akan diperoleh mereka sampai sedalam-dalamnya”.
Adapun
Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah Ta’ala, maka seperti disebutkanNya kejadian
langit bumi dan lainnya. Maka hendaklah dipahami oleh pembaca dari
perbuatan-perbuatanNya itu akan sifat-sifat Allah Ta’ala dan keagunganNya.
Karena perbuatan itu menunjukkan kepada pembuat (fa’il). Maka ditunjukkan oleh
keagungan perbuatan kepada keagungan pembuatnya. Maka sewajarnyalah
dipersaksikan pada perbuatan, akan pembuat, tidak perbuatan. Maka barangsiapa
mengenal kebenaran, niscaya melihat yang demikian pada tiap-tiap sesuatu.
Karena tiap-tiap sesuatu itu, adalah daripadaNya, kepadaNya, dengan Dia dan
untuk Dia. Maka Dialah semua, menurut yang sebenarnya. Dan barangsiapa tiada
melihat yang demikian, pada tiap-tiap sesuatu yang dilihatnya, maka seolah-olah
ia tiada mengenalNya. Dan barangsiapa mengenalNya, niscaya mengenal, bahwa
tiap-tiap sesuatu selain Allah itu batil/salah dan tiap-tiap sesuatu itu
binasa, selain WajahNya. Bukan sesuatu itu akan batil/salah dalam keadaan yang
kedua nanti (hari kiamat), tetapi sekarang juga batil/salah, kalau dipandang
kepada dirinya dari segi diri itu sendiri. Kecuali, dipandang adanya (wujudnya)
sesuatu itu, dari segi adanya dengan sebab Allah yg maha mulia & maha besar
dan dengan Qudrah ( kuasa )Nya. Maka adanya itu dengan jalan ikutan (tab’iyah)
dan adalah batil/salah semata-mata bila dengan jalan berdiri sendiri
(istiqlal). Ini, adalah langkah pertama dari langkah-langkah (pokok-pokok) ilmu
diminta untuk mengetahuinya saja. Karena itu, seyogyalah apabila pembaca itu
membaca firman Allah Ta’ala: “Adakah kamu perhatikan apa yang kamu tanam”. S 56
Al Waaqi’ah ayat 63. “Tiadakah kamu perhatikan (air mani) yang kamu tumpahkan
?”. S 56 Al Waaqi’ah ayat 58. “Adakah kamu perhatikan air yang kamu minum ?”. S
56 Al Waaqi’ah ayat 68. “Adakah kamu perhatikan api yang kamu nyalakan ?”. S 56
Al Waaqi’ah ayat 71, lalu tidak memendekkan pandangannya kepada air, api,
tanaman dan mani saja. Tetapi memperhatikan tentang mani itu. Yaitu, setitik
air anyir, yang serupa segala bahagiannya. Kemudian ia melihat tentang
bagaimana terbaginya kepada daging, tulang, urat dan saraf. Dan bagaimana
pembentukan anggota-anggotanya dengan bermacam-macam bentuk, dari kepala,
tangan, kaki, paru, jantung dll. Kemudian kepada apa yang zhahir padanya, dari
sifat-keadaan mulia, dari pendengaran, penglihatan, akal pikiran dll. Kemudian
kepada apa yang zhahir padanya, dari sifat keadaan tercela, dari kemarahan,
hawa nafsu, takabur, kebodohan, berdusta dan pertengkaran seperti firman Allah
Ta’ala: “Apakah manusia itu tidak melihat, bahwa Kami menjadikannya dari air
mani ? tetapi, lihatlah, dia telah menjadi musuh terang-terangan !”. S 36 Yaa
Siin ayat 77. Maka diperhatikan segala keajaiban ini, supaya dapat mendaki
kepada yang ajaibul-ajaib. Yaitu: sifat, yang terbit daripadanya segala keajaiban
ini. Maka senantiasalah ia memandang kepada ciptaan, lalu ia melihat akan
Pencipta. Adapun hal-ikhwal nabi-nabi as: maka apabila mendengar hal-ikhwal
nabi-nabi, bahwa bagaimana mereka itu didustakan, dipukul dan dibunuh
sebahagian mereka, lalu hendaklah dipahami daripadanya akan sifat tidak
memerlukan (sifat-istighna’) bagi Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar,
kepada rasul-rasul (utusan-utusan) dan umat yang diutuskan rasul-rasul itu
kepadanya. Dan kalau binasalah mereka itu semuanya, niscaya tidaklah
membekaskan sesuatu dalam kerajaanNya. Dan apabila mendengar, bahwa rasul-rasul
as itu memperoleh pertolongan pada akhir pekerjaannya, maka hendaklah dipahami
akan qudrah ( kuasa ) Allah yg maha mulia & maha besar dan KemauanNya untuk
menolong kebenaran.
Adapun
hal-ihwal orang-orang yang mendustakan: seperti ‘Ad, Tsamud dan yang berlaku
atas mereka, maka hendaklah dipahami daripadanya, akan perasaan takut dari
kekuasaan dan pembalasan ALLAH ! hendaklah keuntungannya dari yang demikian
itu, mengambil ibarat pada dirinya sendiri ! dan kalau lengah bertindak diluar
kesopanan dan tertipu dengan tertangguhnya pembalasan, maka kadang-kadang
pembalasan itu akan diperoleh dan terdapat dengan segera. Begitupula, apabila
mendengar keadaan sorga, neraka dan yang lain-lain yang tersebut dalam Alquran,
maka tidaklah mungkin mendalami apa yang dipahamkan daripadanya. Karena yang
demikian itu, tak ada kesudahan baginya. Hanya bagi masing-masing hamba
memperoleh sekedar bahagiannya daripadanya. Maka tidak adalah yang basah dan
yang kering, melainkan semuanya itu ada didalam kitab yang menjelaskan:
“Katakan: kalau kiranya lautan (menjadi) tinta untuk (menuliskan) perkataan
Tuhanku, niscaya lautan itu menjadi kering sebelum habis perkataan Tuhanku
(dituliskan) biarpun Kami datangkan sebanyak itu pula tambahannya”. S 18 Al
Kahfi ayat 109. Karena itulah, berkata Ali ra: “Jikalau aku mau, niscaya
dapatlah aku isikan pikulan 70 ekor unta dari penafsiran surat Al-Fatihah
saja”. Maka maksud daripada apa yang kami ssbutkan itu, ialah memberitahukan
jalan pemahaman, supaya terbukalah pintunya. Adapun secara mendalam, maka tak
usahlah diharapkan ! Orang yang tidak mempunyai pemahaman apa yang didalam
Alquran, walaupun dalam tingkatan yang paling rendah, maka termasuklah dia
dalam firman Allah Ta’ala: “Dan diantara mereka itu, ada yang mendengarkan
perkataan (bacaan) engkau, tetapi akhirnya, ketika mereka telah keluar dari
tempat engkau, mereka berkata kepada orang-orang yang berpengetahuan: Apakah
yang dikatakannya sebentar itu ? itulah orang-orang yang dicap (ditutup) hati
mereka oleh Allah”. S 47 Muhammad ayat 16. Dan cap itu, ialah pencegah-pencegah
yang akan kami sebutkan, pada pencegah-pencegah pemahaman. Sesungguhnya ada yang mengatakan: “Tidaklah murid (yang
berkehendak) itu, seorang murid, sebelum ia memperoleh didalam Alquran, akan
apa yang dikehendakinya. Mengenal daripadanya akan kekurangan daripada
tambahhan dan merasa cukup dengan penghulu daripada budak.
Keenam: Penyingkiran dari segala pencegah paham.
Sesungguhnya kebanyakan manusia tercegah daripada memahami pengertian Alquran,
karena beberapa sebab dan hijab, yang dikembangkan oleh setan pada hati mereka.
Lalu menjadi butalah mereka tentang segala keajaiban rahasia Alquran. Bersabda
Nabi saw: “Jikalau tidaklah setan-setan itu mengedari/mengelilingi hati anak
Adam (manusia), niscaya mereka melihat kepada alam malakut”. Dan segala
pengertian Alquran adalah sebahagian dari jumlah alam malakut. Dan tiap-tiap
yang jauh dari pancaindra dan tidak diketahui, selain dengan nur matahati
(nur-al-bashirah), maka adalah sebahagian dari alam malakut. Yang menghijabkan
pemahaman, adalah 4:
Ke
1, adalah perhatiannya tertuju kepada penyebutan huruf, dengan mengucapkannya
menurut pengucapannya (makhrajnya). Penjagaannya ini dipengaruhi oleh setan,
yang ditugaskan kepada para pembaca Alquran (qurra’), supaya mengelakkan mereka
daripada memahami pengertian-pengertian kalam (kata-kata) Allah ‘Azza Wa Jalla.
Maka senantiasalah dibawanya para pembaca itu kepada mengulang-ulangi huruf,
yang terguris dalam hati mereka, bahwa belum mengucapkannya dari makhrajnya.
Orang tadi, adalah perhatiannya tertuju kepada makhraj-makhraj huruf. Maka
bilakah terbuka baginya pengertian ? dan yang amat menertawakan setan, ialah:
orang yang mentaati kepada seumpama pengacauan ini.
Ke
2, adalah ia seorang muqallid (yang bertaqlid= turut/menurut) kepada suatu
mazhab, yang didengarnya dengan taqlid (turut/menurut), dan ia membeku
kepadanya. Dan tetaplah pada jiwanya kefanatikan (ta’ash-shub), dengan
semata-mata mengikuti yang didengar, tanpa sampai kepadanya dengan mata hati
dan penyaksian batin. Maka ini, adalah orang yang dikungkung oleh aqidahnya,
daripada melampauinya. Maka tidaklah mungkin bahwa terguris dihatinya, selain
daripada aqidahnya/keyakinan nya. Lalu jadilah perhatiannya terhenti kepada
yang didengarinya. Kalau berkilatlah suatu kilat dari jauh dan teranglah
kepadanya salah satu dari pengertian-pengertian yang bertentangan dengan yang
didengarnya, niscaya dipikulkan ke atas pundaknya oleh setan taqlid (turut/menurut),
seraya setan itu berkata: “Bagaimana maka terguris itu di hatimu, padahal itu
bersalahan dengan aqidah bapak-bapakmu ?”. Maka ia melihat, bahwa itu adalah
tipuan setan, lalu ia menjauhkan diri daripadanya dan menjaga daripada yang
menyerupainya. Dan bagi yang seperti ini, telah berkata ulama-ulama shufi:
“Bahwa ilmu itu suatu hijab/tertutup”. Dimaksudkan mereka dengan ilmu tadi,
ialah segala aqidah (kepercayaan) yang dipegang terus-menerus oleh sebahagian
besar manusia, dengan taqlid (turut/menurut) semata-mata. Atau dengan kata-kata
perdebatan semata-mata, yang diuraikan oleh orang-orang yang fanatik kepada
mazhab-mazhab dan diajarkannya kepada mereka.
Adapun
ilmu haqiqi, yaitu: kasyaf/terbuka penutup dan musyahadah/penyaksian dengan
nur-bashirah (terbuka hijab dan penyaksian dengan cahaya mata hati), maka
bagaimanakah dia itu hijab/tertutup, sedang dia adalah: yang dicari terakhir ?
Taqlid (turut/menurut) itu kadang-kadang adalah batil/salah, maka jadilah dia
penghalang, seperti orang yang beri’tiqad (keyakinan) tentang istiwa
(bersemayam)’ di atas ‘Arasy itu, tetap dan tidak berpindah. Jikalau
tergurislah baginya –umpamanya –tentang Allah Yang Maha Suci, bahwa Dia itu
Maha Suci dari tiap-tiap apa saja yang jaiz/boleh di atas makhlukNya, niscaya
tidak memungkinkan oleh ke-taqlid annya (turut/menurut) itu, bahwa faham yang
demikian menetap pada dirinya. Dan jikalau menetap pada dirinya, niscaya
membawa kepada kasyaf/terbuka penutup
kedua, ketiga dan terus bersambung. Tetapi bersegeralah ia menolak yang
demikian dari gurisan hatinya, karena berlawanan dengan taqlid
(turut/menurut)nya yang batil/salah. Dan taqlid (turut/menurut) itu
kadang-kadang benar (haq) dan juga dia itu pencegah dari faham dan kasyaf.
Karena haq yang memberatkan makhluk untuk mempercayainya, mempunyai
tingkat-tingkat dan derajat-derajat. Mempunyai pokok yang zhahir dan isi yang
batin. Dan membekunya tabiat seseorang diatas yang zhahir/luar, mencegahkannya
daripada sampai kepada isi mendalam bagi bathin, sebagaimana telah kami
sebutkan dahulu, mengenai perbedaan antara ilmu zhahir dan ilmu batin dalam:
Kitab kaedah-kaedah i’tiqad (keyakinan).
Ke 3: adalah dia itu berkekalan diatas dosa
atau bersifat dengan takabur atau kena percobaan pada umumnya, mematuhi dengan
kecondongan pada dunia. Maka itu adalah sebab kegelapan hati dan
berkaratnya. Dan itu adalah seperti
najis diatas kaca, lalu mencegah jelasnya kebenaran (haq) daripada menampak
padanya. Dan itu, adalah hijab yang terbesar bagi hati. Dan dengan itulah,
terhijab kebanyakan orang. Manakala hawa nafsu itu sangat tebal, niscaya
pengertian Kalam (kata-kata) adalah sangat terhijab. Dan manakala tipis dari
hati, segala beban dunia, niscaya mendekatlah kecemerlangan pengertian padanya.
Hati itu, adalah seumpama kaca dan nafsu syahwat itu seumpama karat. Segala
pengertian Alquran adalah seumpama bentuk yang menampak pada kaca. Dan latihan
bagi hati dengan melenyapkan nafsu syahwat, adalah seumpama menggosok bersih
bagi kaca. Dan karena itulah, bersabda Nabi saw: ”Apabila diagungkan oleh
umatku akan dinar dan dirham, niscaya dicabutkan daripadanya kehebatan Islam.
Dan apabila mereka meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, niscaya diharamkan
mereka dari keberkatan wahyu”. Berkata Al-Fudlail: “Ya’ni: diharamkan mereka
dari memahami Alquran”. Telah disyaratkan oleh Allah Yang Maha Mulia & Maha
Besar, kembali kepada pemahaman dan pengingatan. Berfirman Allah Ta’ala:
“Menjadi pemandangan dan pengajaran bagi setiap hamba yang kembali (kepada
Tuhan)”. S 50 Qaaf ayat 8. Berfirman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Hanyalah orang yang kembali (kepada Tuhan) yang dapat
menerima pelajaran”. S 40 Al Mukmin ayat 13. Berfirman Allah Ta’ala:
“Hanyalah orang-orang yang berakal dapat mengerti”. S 13 Ar Ra’d ayat 19. Maka
orang yang memilih tipuan dunia dari ni’mat, maka dia tidaklah dari orang-orang
yang berakal. Dan karena itulah, tiada terbuka baginya rahasia-rahasia Kitab
Suci.
Ke
4: dia telah membaca tafsir yang zhahir dan berkeyakinan, bahwa tak ada
pengertian bagi kalimat-kalimat Alquran, selain daripada apa yang diperoleh
oleh naql (diterima atau disalin) dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid dll. Dan yang
dibalik dari itu, adalah penafsiran dengan buah pikiran. Dan barangsiapa
menafsirkan Alquran dengan buah pikirannya niscaya tersedialah tempat duduknya
dari api neraka. Maka ini juga sebahagian hijab besar. Dan akan kami terangkan
pengertian penafsiran dengan buah pikiran pada Bab Keempat. Dan itu berlawanan
dengan perkataan Ali ra: “Kecuali diberikan oleh Allah kepada seorang hamba
akan pemahaman pada Alquran”. Dan sesungguhnya, kalau pengertian itu, yaitu:
yang zhahir, yang dinuqilkan saja, niscaya tidaklah terdapat perselisihan
manusia padanya.
Ketujuh: (dari 10 yang disebut pada awal Bab “Ketiga”) Pengkhususan.
Yaitu: dia mengumpamakan, bahwa dialah yang dimaksud dengan tiap-tiap kata yang
ditujukan dalam Alquran. Kalau ia mendengar amar atau nahi, niscaya
diumpamakannyalah bahwa dialah yang dilarang dan yang disuruh. Dan kalau dia
mendengar janji ni’mat (wa’ad) atau janji azab (wa’id), maka seperti itulah ia
menilaikan pada dirinya. Dan kalau ia mendengar cerita (kisah) orang-orang
dahulu dan nabi-nabi, niscaya ia tahu, bahwa cerita itu bukanlah yang
dimaksudkan. Tetapi yang dimaksudkan, adalah untuk diambil menjadi ibarat. Dan
hendaklah diambilnya dari cerita yang berlapis-lapis itu, akan apa yang
diperlukannya. Maka tidak suatu kisahpun didalam Alquran, melainkan
pembawaannya bagi sesuatu faedah terhadap Nabi saw dan umatnya. Karena itulah,
maka berfirman Allah Ta’ala: “Yang dapat memperteguh hati engkau”. S 11 Huud
ayat 120. Maka hendaklah diumpamakan oleh seorang hamba, bahwa Allah telah
menetapkan hatinya, dengan apa yang diceritakan oleh Allah kepadanya, dari
hal-ihwal nabi-nabi, kesabaran mereka diatas penganiayaan dan keteguhan mereka
pada agama, demi menunggu pertolongan Allah Ta’ala. Bagaimanakah tidak
diumpamakan yang demikian ? sedang Alquran itu tidaklah diturunkan kepada
Rasulullah saw, karena dia utusan Allah khususnya, tetapi adalah Alquran itu obat,
petunjuk, rahmat dan nur bagi alam seluruhnya. Dan karena itulah, disuruh oleh
Allah Ta’ala manusia seluruhnya, mensyukuri keni’matan Kitab Suci itu.
Berfirman
Allah Ta’ala: “Dan ingatlah ni’mat Allah kepadamu dan apa yang diturunkanNya
kepadamu, diantaranya Kitab dan kebijaksanaan. Ia mengajari kamu dengan itu”. S
2 Al Baqarah ayat 231. Berfirman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Dan
sesungguhnya Kami turunkan Kitab kepadamu yang didalamnya ada peringatan
(pengajaran) buat kamu. Tidakkah kamu perhatikan ?”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 10.
Berfirman Allah Ta’ala: “Dan Kami turunkan kepada engkau pengajaran (Alquran)
supaya engkau jelaskan kepada manusia, apa yang telah diturunkan kepada
mereka”. S 16 An Nahl ayat 44. Firman Allah Ta’ala: “Begitulah Allah membuat
perumpamaan untuk pelajaran bagi manusia”. S 47 Muhammad ayat 3. Berfirman
Allah Ta’ala: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah
diturunkan kepada kamu dari Tuhanmu”. S 39 Az Zumar ayat 55. Berfirman Allah
Ta’ala: “Inilah keterangan yang jelas untuk manusia, pimpinan yang benar dan
rahmat bagi kaum yang yakin (dalam kepercayaan)”. S 45 Al Jatsiyah ayat 20.
Berfirman Allah Ta’ala: “Alquran inilah keterangan-keterangan yang jelas untuk
manusia, pimpinan kepada kebenaran dan pengajaran untuk orang-orang yang
memelihara dirinya (dari kejahatan)”. S 3 Ali ‘Imran ayat 138. Apabila
dimaksudkan dengan penghadapan kata (khithab) kepada seluruh manusia, maka
sesungguhnya adalah dimaksudkan kepada masing-masing orang. Maka si pembaca
yang seorang itu, adalah yang dimaksudkan. Apakah bedanya bagi yang seorang itu
dan bagi manusia lain ? maka hendaklah ia mengumpamakan, bahwa dialah
dimaksudkan. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan diwahyukan kepadaku Alquran ini,
supaya dengan itu, aku dapat memberi ingat kepada kamu dan kepada siapa yang
sampai Alquran kepadanya”. S 6 Al An’aam ayat 19.
Berkata
Muhammad bin Ka’b Al-Qardhi: “Barangsiapa sampai kepadanya Alquran, maka
seolah-olah Allah Ta’ala telah berkalam (berkata-kata) dengan dia”. Apabila
telah diumpamakan yang demikian, niscaya tidak diperbuatnya pelajaran Alquran
itu sebagai pekerjaannya. Tetapi dibacanya Alquran itu, seperti seorang hamba
membaca surat tuannya, yang dituliskan kepadanya untuk diperhatikannya dan
dilaksanakannya menurut yang dikehendaki surat itu. Karena itulah, berkata
sebahagian ulama: “Alquran itu adalah risalah-risalah (surat-surat), yang
datang kepada kita dari pihak Tuhan kita ‘Azza Wa Jalla, dengan segala
janjiNya, yang kita tadabburkan didalam shalat. Kita tegak berdiri diatas risalah-risalah
itu, pada tempat kesepian (didalam khilwah) dan kita laksanakannya pada
perbuatan taat dan sunat yang dituruti”. Bertanya Malik bin Dinar: “Apakah yang
ditanamkan Alquran dalam hatimu, wahai ahli Alquran ? sesungguhnya Alquran itu
adalah musim bunga bagi orang mu’min, sebagaimana hujan rintik-rintik adalah
musim bunga bagi bumi”. Berkata Qatadah: “Tiada duduk seseorang dengan Alquran
ini, melainkan ia bangun daripadanya, dengan ada tambahan atau kekurangan”.
Berfirman Allah Ta’ala: “Dia itu menjadi obat dan rahmat untuk orang-orang yang
beriman dan itu tiada akan menambah kepada orang-orang yang bersalah, selain
dari kerugian saja”. S 17 Al Israa’ ayat 82.
Kedelapan: Pembekasan. Yaitu membekas kepada hatinya
dengan berbagai macam bekas, menurut bermacam-macam ayat yang dibacanya. Maka
adalah hal-keadaannya menurut masing-masing paham yang ada baginya. Dan
terdapatlah hatinya bersifat dengan kedukaan, ketakutan, keharapan dan lainnya.
Manakala ma’rifahnya telah sempurna niscaya adalah ketakutan menjadi keadaannya
yang terbanyak, pada hatinya. Sesungguhnya penyempitan (tadlyiq), adalah biasa
terdapat pada ayat-ayat Alquran. Maka tidak terlihat penyebutan ampunan dan
rahmat melainkan disertai dengan syarat-syarat, yang sukar bagi seorang yang tahu,
untuk memperolehnya, seperti firman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar:
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun”. S 20 Thaahaa ayat 82. Kemudian,
diikutkanNya yang demikian itu, dengan 4 syarat: Sambungan ayat 82 di atas:
“Bagi orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan perbuatan baik, kemudian ia
mengikuti jalan yang benar”. Dan firmanNya: “Demi waktu. Sesungguhnya manusia
itu dalam kerugian. Selain dari orang-orang, yang beriman dan mengerjakan
perbuatan baik dan mewasiatkan (memesankan) satu sama lain dengan kebenaran dan
mewasiatkan satu sama lain supaya bersabar”. S 103 Al ‘Ashr ayat 1-2-3.
Disebutkan disitu 4 syarat. Dan dimana diringkaskan, maka disebutkan satu
syarat saja yang melengkapkan (syarat jaami’), lalu Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada
orang-orang yang berbuat kebaikan kepada orang lain (berbuat ihsaan)”. Berbuat
kebaikan kepada orang lain (berbuat ihsaan) itu, meratai seluruhnya. Dan
begitulah orang yang membuka halaman Alquran, dari permulaannya sampai kepada
penghabisannya dan orang yang memahami demikian. Maka layaklah kiranya, bahwa
keadaannya itu bersifat dengan ketakutan dan kedukaan.
Karena
itulah berkata Al-Hasan: “Demi Allah, tidaklah pada hari ini seorang hamba yang
membaca Alquran yang diimaninya melainkan banyaklah kedukaannya, sedikitlah
kegembiraannya, banyaklah tangisnya, sedikitlah ketawanya, banyaklah pekerjaan
dan perbuatannya, sedikitlah istirahat dan perbuatannya yang sia-sia”.
Berkata
Wuhaib bin Al-Ward: “Kami melihat pada segala pembicaraan dan pengajaran ini,
maka kami tiada mendapati sesuatu yang lebih menghaluskan hati dan menarik
kedukaan, daripada membaca Alquran, memahami dan
mentadabburkannya/memahamkannya. Maka membekaslah hamba dengan tilawah itu,
bahwa ia bersifat dengan perihal ayat yang dibacakan. Ketika membaca ayat wa’id
(ayat yang mengandung ancaman azab) dan pengikatan ampunan dengan
syarat-syarat, yang lemah dia dari ketakutannya, seakan-akan ia hampir
meninggal dunia. Dan ketika membaca ayat yang melapangkan dan janji ampunan, ia
bergembira, seolah-olah ia terbang dari kegembiraan. Ketika menyebut Allah,
sifat-sifat dan nama-namaNya, lalu tertunduklah ia menekur kepala, karena
merendahkan diri bagi keagunganNya dan merasakan kebesaranNya. Ketika
disebutkan oleh orang-orang kafir akan apa yang mustahil bagi Allah yg maha
mulia & maha besar seperti disebutkan mereka bahwa Allah yg maha mulia
& maha besar mempunyai anak dan teman hidup, lalu suaranya merendah dan
batinnya hancur, karena malu dari kejinya perkataan orang-orang kafir itu. Dan
ketika disifatkan sorga, lalu menggeraklah batinnya karena rindu kepadanya. Dan
ketika disifatkan neraka, lalu gemetarlah sendi-sendinya, karena takut
daripadanya.
Tatkala
Rasulullah saw bersabda kepada Ibnu Mas’ud: “Bacalah kepadaku !”, maka Ibnu
Mas’ud bercerita: “Lalu aku mulai dengan surat An Nisaa’. Tatkala sampai kepada
ayat: “Bagaimanakah ketika Kami datangkan kepada tiap umat seorang saksi dan
engkau Kami jadikan saksi atas umat ini” –aku melihat kedua matanya berlinang
air mata, seraya mengatakan kepadaku: “Cukuplah sekian sekarang !”. Itu adalah
karena dengan mempersaksikan keadaan yang demikian mempengaruhi keseluruhan isi
jiwanya. Dan ada dalam golongan orang-orang yang takut (al-khaaifiin), orang
yang jatuh tersungkur kepitaman pada ayat-ayat wa’id/ayat yang mengandung
acaman azab. Dan diantara mereka, ada yang terus meninggal waktu mendengar
ayat-ayat itu. Hal-hal yang seperti ini, membuat si pembaca itu diluar daripada
dia sebagai menceritakan saja kalam (berkata-kata) Allah Ta’ala. Apabila ia
membaca: “Sesungguhnya aku takut, akan kena siksaan hari yang besar, jika aku
mendurhakai Tuhanku”. S 6 Al An’aam ayat 15. Dan tidaklah dia itu takut, bila
dia hanya membaca saja. Dan apabila ia membaca S 60 Al Mumtahanah ayat 4:
“Kepada Engkau, kami bertawakkal dan kepada Engkau, kami kembali dan kepada
Engkau juga kesudahannya !” –dan tak adalah keadaannya bertawakkal dan kembali,
maka adalah dia membacakan saja kalam (kata-kata) Allah Ta’ala. Dan apabila ia
membaca S 14 Ibrahim ayat 12: “Dan sesungguhnya kami akan bersabar terhadap
perbuatan kamu yang menyakitkan kami” –Maka hendaklah keadaan si pembaca itu
sabar atau bercita-cita atas kesabaran, sehingga ia memperoleh kemanisan
tilawah. Kalau tidaklah ia bersifat dengan sifat-sifat tersebut dan hatinya
tidak bulak-balik dengan hal-hal itu, maka adalah keuntungannya dari tilawah
itu, ialah menggerakkan lidah serta dengan tegas mengutuk dirinya sendiri,
waktu membaca firman Allah Ta’ala: “Ingatlah, kutukan Allah itu adalah untuk
orang-orang zalim”. S 11 Huud ayat 18. Pada firman Allah Ta’ala: “Sangat
dibenci Allah, bahwa kamu ucapkan apa yang tiada kamu perbuat”. S 61 Ash Shaff
ayat 3. Pada firman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Sedangkan mereka
masih dalam kelalaian dan tiada memperdulikannya”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 1.
Pada firman Allah Ta’ala: “Berpalinglah engkau dari orang-orang yang tiada
memperdulikan pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia semata”. S
53 An Najm ayat 29. Dan pada firman Allah Ta’ala: “Siapa yang tiada bertaubat,
itulah orang-orang yang zalim”. S 49 Al Hujuraat ayat 11. Dan ayat-ayat lain
sebagainya. Dan termasuklah dia dalam maksud firman Allah Yang Maha Mulia &
Maha Besar: “Diantaranya ada yang buta huruf, tidak mengetahui Kitab, selain
dari dongengan”. S 2 Al Baqarah ayat 78. Ya’ni: semata-mata tilawah saja. Dan
firman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Dan banyaklah
keterangan-keterangan di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka
tidak memperhatikannya”. S 12 Yusuf ayat 105. Karena Alquran itulah yang
menerangkan ayat-ayat itu di langit dan di bumi. Manakala dilaluinya ayat-ayat
itu tanpa membekas kepadanya, maka adalah dia itu tidak memperhatikannya.
Karena itulah dikatakan, bahwa orang yang tiada bersifat dengan perilaku budi
(akhlak) yang tersebut dalam Alquran, maka apabila ia membaca Alquran itu, lalu
ia dipanggilkan Allah Ta’ala: “Mengapakah engkau begitu terhadap Kalam
(kata-kata)Ku, dan engkau tidak memperhatikan kepadaKu ? tinggalkanlah Kalam
(kata-kata)Ku, bila engkau tidak kembali kepadaKu !”.
Seorang
pendurhaka apabila membaca Alquran dan mengulang-ulanginya, adalah seumpama
orang yang mengulang-ulangi membaca surat raja, pada tiap-tiap hari beberapa
kali. Surat itu telah dituliskan kepadanya dalam gedung kerajaan dari raja itu.
Si pembaca tadi, bekerja meruntuhkan gedung tersebut dan bertekun mempelajari
surat raja. Kalau sekiranya ia meninggalkan mempelajari surat itu, ketika
keadaannya begitu bertentangan, niscaya adalah dia terjauh daripada
mempermain-mainkan dan daripada berhak mendapat kutukan.
Karena
itulah, berkata Yusuf bin Asbath: “Sesungguhnya aku amat mementingkan tilawah
Alquran. Apabila aku sebutkan sesuatu didalam Alquran, yang aku takut akan kena
kutukan, lalu aku berpaling kepada tasbih dan istighfar. Orang yang berpaling
daripada mengamalkan menurut Alquran, itulah yang dimaksudkan dengan firmanNya:
“Kemudian janji itu mereka buang ke belakang dan mereka mengambil sedikit
keuntungan gantinya. Amatlah buruknya apa yang mereka ambil itu”. S 3 Ali
‘Imran ayat 187. Karena itulah bersabda Nabi saw: “Bacalah Alquran, apa yang
menjinakkan hatimu dan melembutkan kulitmu! apabila kamu menyalahinya, maka
tidaklah kamu membacanya”. Pada sebahagian riwayat tersebut: “Apabila kamu
menyalahinya, maka bangunlah dari Alquran itu !”. Berfirman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang berfirman itu, ialah mereka yang ketika disebut
nama Allah, hatinya penuh ketakutan dan apabila dibacakan kepadanya
keterangan-keteranganNya, bertambah keimanannya karena itu dan mereka
bertawakkal kepada Tuhannya”. S 8 Al Anfaal ayat 2. Bersabda Nabi saw:
“Sebaik-baik suara manusia dengan Alquran, ialah apabila engkau mendengar ia
membaca, niscaya engkau melihat ia takut akan Allah Ta’ala”. Bersabda Nabi saw:
“Tidaklah terdengar Alquran dari seseorang, yang lebih merindukan, daripada
orang yang takut akan Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar”. Maka Alquran,
dimaksudkan untuk menarik segala hal keadaan itu kepada hati dan berbuat dengan
dia. Kalau tidak demikian, maka kesulitan pada menggerakkan lidah dengan
huruf-hurufnya, adalah ringan. Karena itulah berkata sebahagian ahli bacaan
Alquran (al-qurra’): “Aku baca Alquran dihadapan guruku, kemudian aku kembali
untuk membacakan kali kedua, lalu dibentaknya aku seraya berkata: “Engkau jadikan
Alquran sebagai suatu perbuatan atasku. Pergilah, bacakanlah karena Allah yg
maha mulia & maha besar ! perhatikanlah dengan apa disuruhNya kamu dan
dengan apa dilarangNya kamu !”. Dengan inilah, para sahabat ra itu sibuk, dalam
segala keadaan dan perbuatan.
Rasulullah
saw wafat meninggalkan sahabat sebanyak 20 ribu orang, dimana tidak ada yang
menghafalkan Alquran selain 6 orang. 2 orang dari yang 6 inipun,
diperselisihkan (Ada riwayat yang mengatakan bahwa keduanya menghafal Alquran
dan ada yang mengatakan tidak). Sebahagian besar dari mereka menghafal satu
surat dan dua surat. Dan adalah yang menghafal surat Al Baqarah dan Al An’am,
dari ulama-ulama sahabat. Tatkala salah seorang pergi untuk mempelajari
Alquran, lalu sampailah pembacaannya pada firman Allah Yang Maha Mulia &
Maha Besar: “Dan siapa yang mengerjakan perbuatan baik seberat atom, akan
dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat atom, akan
dilihatnya”, maka berkatalah orang tadi: “Cukuplah ini saja !”. Lalu iapun
pergi. Maka bersabda Nabi saw: “Telah pergi orang itu dan dia adalah seorang
yang berpaham (faqih)”. Sesungguhnya jaranglah seperti keadaan itu yang telah
dikurniakan oleh Allah yg maha mulia & maha besar ke dalam hati seorang
mu’min, setelah memahami ayat itu.
Adapun
semata-mata menggerakkan lidah maka adalah sedikit faedahnya. Bahkan orang yang
membaca dengan lisan, yang berpaling dari perbuatan, adalah wajar bahwa dialah
yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: “Dan barangsiapa yang menyangkal
mengingati Aku, sudah tentu dia akan memperoleh kehidupan yang sulit (sempit)
dan Kami kumpulkan di hari kiamat (kebangunan) sebagai orang buta”. S 20
Thaahaa ayat 124. Dan firman Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar: “Begitulah
(semestinya). Keterangan-keterangan Kami telah datang kepada engkau, tetapi
tidak engkau perdulikan; dan begitulah di hari ini, engkau tidak pula Kami
perdulikan”. S 20 Thaahaa ayat 126. Artinya: engkau tinggalkan
keterangan-keterangan itu, tidak engkau perhatikan dan perdulikan. Orang yang
menyia-nyiakan suatu perintah (amar), dikatakan: orang yang melupakan suatu
amar (perintah). Bertilawah Alquran yang sebenar-benarnya, ialah mengkongsikan
padanya lidah, akal dan hati. Bahagian lidah, ialah membetulkan huruf dengan
pentartilan. Bahagian akal, ialah penafsiran pengertian. Dan bahagian hati,
ialah mengambil pengajaran dan membekas dengan memperingatkan hati dan menuruti
perintah. Maka lidah itu bertartil, akal itu menterjemah dan hati itu mengambil
pengajaran.
Kesembilan: Peninggian. Yang saya maksudkan
dengan peninggian itu, ialah bahwa meninggilah si pembaca tersebut, sampai ia
mendengar Kalam (kata-kata) daripada Allah Yang Maha Mulia & Maha Besar,
tidak daripada dirinya sendiri. Dari itu, maka tingkat pembacaan adalah 3:
1.
Yang paling kurang daripadanya, ialah diumpamakan oleh hamba
itu, seolah-olah ia membaca Alquran di hadapan Allah Yang Maha Mulia & Maha
Besar, berdiri dihadapanNya. Dan dia memandang kepadaNya dan mendengar
daripadaNya. Maka adalah keadaannya orang itu, pada pengumpamaan ini, meminta berwajah
manis, merendahkan diri dan bermohon.
2.
Bahwa ia mengakui dengan hatinya, seolah-olah Allah yg maha
mulia & maha besar melihat dan berbicara kepadanya dengan segala
kelemah-lembutanNya. Dan ia membisikkan
segala isi hati dengan Dia dengan segala keni’matan dan ihsanNya/perbuatan
baikNya. Dari itu, maka kedudukannya adalah dalam keadaan malu, pengagungan,
pemerhatian dan pemahaman.
3.
Bahwa ia melihat pada Kalam (kata-kata) itu akan
Mutakallim/Yang Berkata dan pada kata-kata itu, akan sifat. Maka tidaklah ia memandang
kepada dirinya, kepada bacaannya dan kepada sangkutan keni’matan kepadanya,
dari segi bahwa dia yang diberikan keni’matan kepadanya. Bahkan, adalah tertuju
cita-cita kepada Yang Berkata dan terhenti pemikiran kepadaNya, seolah-olah ia
tenggelam dengan memandang kepada Yang Berkata, tanpa yang lain. Dan inilah
tingkat Muqarrabin (orang-orang yang dekat kepada Allah Ta’ala). Dan sebelum
ini, adalah tingkat golongan kanan (ash-habul-yamin). Dan yang diluar dari ini,
adalah tingkat orang-orang lalai (al-ghafilin).
Dan diri tingkat yang tinggi itu,
diceritakan oleh Ja’far bin Muhammad Ash-Shiddiq ra dengan mengatakan: “Demi
Allah, sesungguhnya telah menampak (tajalli) Allah yg maha mulia & maha
besar bagi makhlukNya pada Kalam (kata-kata)Nya. Tetapi mereka tidak
melihatNya”. Berkata Ja’far pula, dimana mereka menanyakan kepadanya, tentang
keadaan yang mengenainya dalam shalat, sampai ia jatuh tersungkur. Maka setelah
ia sembuh, lalu ditanyakan kepadanya tentang itu, maka ia menjawab:
“Senantiasalah aku mengulang-ulangi suatu ayat pada hatiku, sehingga aku
mendengarnya dari yang memfirmankanNYA. Lalu tidak tetaplah tubuhku untuk
memandang qudrah ( kuasa )Nya”. Maka pada tingkat yang seperti ini, maha
agunglah manisnya dan lezatnya
membisikkan segala isi hati. Karena itulah berkata sebahagian ahli
hikmat (hukama’): “Adalah aku membaca Alquran, maka tidaklah aku peroleh
baginya kemanisan, sehingga bertilawahlah aku akan Alquran itu, seolah-olah aku
mendengarnya dari Rasulullah saw yang membacakan kepada sahabat-sahabatnya.
Kemudian aku diangkat ke tingkat yang diatas itu, maka aku men-tilawahkannya,
seolah-olah aku mendengarnya dari Jibril as yang membacakannya kepada
Rasulullah saw. Kemudian diberikan oleh Allah tingkat yang lain, maka sekarang
aku mendengarnya dari Mutakallim/Yang Berkata. Pada tingkatan ini, aku
memperoleh kelezatan dan keni’matan, yang tidak sabar aku jauh daripada Allah.
Berkata Usman dan Hudzaifah ra: “Kalau hati itu suci bersih, niscaya dia tidak
kenyang-kenyang dari membaca Alquran”. Mereka mengatakan demikian,
karena dengan kesucian, hati itu meninggi kepada penyaksiaan yang berkata pada
firmanNya pada Kalam (kata-kata)Nya. Dan karena itulah, berkata Tsabit
Al-Bannani: “Aku menanggung kesukaran pada pembacaan Alquran selama 20 tahun
dan aku merasakan keni’matan dengan Alquran selama 20 tahun”. Dan dengan Yang
Berkata, tanpa lainNya, maka hamba itu adalah mengikuti firman Allah yg maha
mulia & maha besar S 51 Adz Dzaariyaat ayat 50: “Maka bersegeralah pergi
kepada Allah !”. Dan karena firmanNya S 51 Adz Dzaariyaat ayat 51: “Janganlah
kamu adakan tuhan yang lain disamping Allah”. Orang yang tiada melihat Allah
Ta’ala pada tiap-tiap sesuatu, tentu melihat lainNya. Dan tiap apa saja yang
dipandang oleh hamba kepadanya, selain Allah Ta’ala, niscaya pandangannya itu
mengandung sesuatu dari syirik yang tersembunyi. Karena keesaan yang bersih,
adalah tidak melihat pada tiap-tiap sesuatu, selain Allah Yang Maha Mulia &
Maha Besar.
Kesepuluh: Pelepasan. Saya maksudkan dengan
pelepasan itu, ialah melepaskan diri dari daya dan upaya sendiri dan melepaskan
diri daripada memandang kepada diri sendiri dengan pandangan kesenangan dan
kesucian. Maka apabila membaca ayat-ayat yang mengandung janji kesenangan dan
pujian bagi orang-orang baik (shalihin), maka tidaklah memandang dirinya yang
demikian. Tetapi memandang bahwa orang-orang yang yakin dan yang shiddiq, yang
dimaksudkan pada ayat-ayat itu. Dan mengharap kiranya dia dihubungkan oleh
Allah yg maha mulia & maha besar dengan orang-orang itu. Apabila membaca
ayat-ayat yang mengandung cacian dan celaan terhadap orang-orang yang durhaka
dan yang lalai, maka memandang kepada dirinya berada di situ. Dan mengumpamakan
bahwa dialah yang ditujukan, karena takut dan mengharap dikasihani. Karena itulah
Ibnu Umar ra berdoa: “Ya Allah Tuhanku ! aku meminta ampun padaMu karena
kezalimanku dan kekufuranku !”. Maka ditanyakan kepadanya: “Kezaliman itu
benarlah, tetapi betapakah tentang kekufuran itu ?”. Maka Ibnu Umar ra membaca
firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Sesungguhnya manusia itu banyak kesalahannya
(banyak kezalimannya) dan tiada tahu berterima kasih (banyak kekufuran)”.
Ditanyakan
kepada Yusuf bin Asbath: “Apabila engkau membaca Alquran, dengan apakah engkau
berdoa ?”. Yusuf menjawab: “Dengan apakah aku berdoa ? aku meminta ampun pada
Allah 'Azza Wa Jalla, dari keteledoranku 70 kali”. Apabila melihat dirinya
dalam bentuk keteledoran pada pembacaan Alquran, niscaya penglihatannya itu
menjadi sebab untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa
melihat kejauhan dalam dekat, niscaya melembutkannya kepada takut. Sehingga
takut itu, membawanya kepada tingkat yang lain dalam kedekatan di balik tingkat
itu. Barangsiapa melihat kedekatan dalam jauh, niscaya membawa ia tertipu
dengan keamanan, yang membawanya kepada tingkat yang lain dalam kejauhan itu,
di bawah daripada apa yang ada padanya. Manakala ia melihat dirinya sendiri
dengan pandangan kesenangan, niscaya ia menjadi terhijab dengan dirinya
sendiri. Apabila telah melewati batasan memandang kepada diri sendiri dan tidak
memandang lagi selain kepada Allah Ta’ala dalam tilawah itu, niscaya terbukalah
baginya rahasia alam ghaib (sirr/rahasiaul-malakut).
Berkata
Abu Sulaiman Ad-Darani ra: “Berjanji Ibnu Tsauban dengan saudaranya untuk
berbuka puasa padaku. Maka terlambatlah Ibnu Tsauban sampai kepada terbit
fajar. Keesokan harinya, ia berjumpa dengan saudaranya itu, seraya bertanya
kepadanya: “Engkau berjanji dengan aku, bahwa engkau berbuka puasa padaku, lalu
engkau menyalahi janji itu”. Menjawab Ibnu Tsauban: “Kalau tidaklah aku
berjanji dengan engkau, niscaya tidak aku ceritakan kepada engkau, akan sebab
yang menghambatkan aku daripada engkau. Sesungguhnya setelah aku mengerjakan
shalat ‘Isya’, lalu aku bertanya kepada diriku sendiri: “Apakah aku mengerjakan
shalat witir sebelum aku datang kepada engkau, karena aku tiada merasa
terpelihara dari kematian yang akan datang. Tatkala aku dalam doa witir, lalu
terangkatlah kepadaku suatu taman yang hijau, didalamnya berbagai macam
bunga-bungaan sorga. Maka senantiasalah aku memandang kepadanya, sehingga pagi
hari”. Segala yang tampak ini (yang tampak dalam kasyaf –al diminta untuk
mengetahuinya saja), tidak ada kecuali setelah melepaskan diri dari hawa nafsu.
Tidak menoleh kepadanya dan kepada segala keinginannya. Kemudian dikhususkan
al-diminta untuk mengetahuinya saja ini, menurut keadaan al-mukasyif (orang
yang memperoleh kasyaf). Maka dimana ia membaca ayat-ayat harapan (ar-raja’)
dan membanyakkan kegembiraan pada keadaannya, niscaya terbukalah baginya
gambaran sorga. Lalu dipersaksikannya, seakan-akan dilihatnya dengan mata
kepala. Dan jikalau membanyak padanya ketakutan, niscaya diberikan kepadanya
kasyaf dengan neraka, sehingga ia melihat akan berbagai macam azabnya. Yang
demikian itu, adalah karena Kalam (kata-kata) Allah yg maha mulia & maha
besar melengkapi kepada mudah yang lemah-lembut, keras yang menggetarkan, yang
diharapkan dan yang ditakutkan, yang mana itu menurut sifat-sifatnya. Karena
sebahagian dari sifat-sifatnya itu, adalah kerahmatan, kelemah-lembutan,
pembalasan dan kekerasan. Maka dengan semata-mata menyaksikan kata-kata dan
sifat-sifat, lalu bertukarlah hati dalam bermacam keadaan. Dan dengan
semata-mata keadaan itu, maka sebahagian daripadanya menyediakan diri bagi
diminta untuk mengetahuinya saja, dengan sesuatu yang sesuai dengan keadaan itu
dan yang mengimbanginya. Karena mustahillah ada keadaan orang yang mendengar
itu semacam dan yang didengar itu berbeda daripadanya. Karena padanya, ada
kalam (kata-kata) yang merelai, kalam (kata-kata) yang memarahi, kalam
(kata-kata) yang menganugerahkan keni’matan, kalam yang memberikan tuntutan
pembalasan, kalam perkasa yang menyombong yang tidak memperdulikan dan kalam
yang mempunyai kerahmatan, lemah-lembut yang tidak disia-siakan.
BAB KEEMPAT: tentang pemahaman Alquran dan
penafsirannya dengan buah pikiran tanpa naql (diambil dari Nabi saw atau
sahabat).
Semoga anda mengatakan, bahwa aku telah
mengagungkan pada keterangan yang lalu, tentang pemahaman rahasia-rahasia
Alquran dan apa yang terbuka bagi orang-orang yang berhati suci, dari segala
pengertian Alquran. Maka bagaimanakah disunatkan yang demikian ? sedang Nabi
saw telah bersabda: “Barangsiapa menafsirkan Alquran dengan buah pikirannya,
maka sesungguhnya dia menyediakan tempat duduknya dari api neraka”. Dan dari
inilah, dilecehkan oleh ahli ilmu tafsir secara zhahir, akan ahli-ahli
tasawwuf/ahli suffi, dari ahli-ahli tafsir yang dikatakan berminat kepada
tasawwuf/ahli suffi, tentang penafsiran kalimat-kalimat dalam Alquran, berbeda
dari apa yang dinaqlkan dari Ibnu ‘Abbas dan penafsir-penafsir yang lain. Dan
mereka berpendapat, bahwa itu kufur (tidak mensyukuri). Maka kalau benarlah,
apa yang dikatakan oleh ahli tafsir tadi, maka apakah arti memahami Alquran,
selain daripada menghafal tafsirnya ? dan kalau yang demikian itu tidak benar,
maka apakah artinya sabda Nabi saw:: “Barangsiapa menafsirkan Alquran dengan
buah pikirannya, maka sesungguhnya dia menyediakan tempat duduknya dari api
neraka ”. Maka ketahuilah kiranya, bahwa orang yang menda’wakan, tak ada
pengertian bagi Alquran, selain apa yang diterjemahkan oleh tafsir secara
zhahir, maka dia itu adalah orang yang menerangkan tentang batas dirinya. Dan
dia itu betul pada menerangkan tentang dirinya, tetapi ia salah dalam hukum,
dengan mengembalikan makhluk seluruhnya kepada tingkatnya, yang menjadi batas
dan tempatnya. Bahkan hadits-hadits dan atsar yang menunjukkan, bahwa pada
pengertian Alquran itu adalah amat luas bagi orang-orang yang berpaham.
Berkata Ali ra: “Melainkan, bahwa
didatangkan oleh Allah akan hamba yang memahami akan Alquran”. Kalau tidaklah
ada, selain dari terjemah yang dinaqlkan, maka apakah pemahaman itu ? bersabda
Nabi saw: “Sesungguhnya Alquran itu, mempunyai zhahir dan batin, batas dan
permulaan”. Diriwayatkan pula, yang demikian dari Ibnu Mas’ud yang dimauqufkan
padanya (riwayat hadits itu terhenti pada Ibnu Mas’ud saja), sedang dia adalah
dari ulama tafsir. Maka apakah artinya: zhahir dan batin, batas dan permulaan ?
berkata Ali –dimuliakan Allah akan wajahnya -: “Kalau aku kehendaki, niscaya
aku buatkan yang membebani 70 ekor unta dari tafsir Al-Fatihah itu”. Apakah artinya
itu, sedang tafsir zhahirnya adalah sangat pendek ? Berkata Abud-Darda’: “Tidak
berpahamlah seseorang, kecuali ia membuat bagi Alquran beberapa wajah”. Berkata
setengah ulama: “Bagi tiap-tiap ayat itu 60 ribu paham dan apa yang masih
tinggal dari pemahamannya itu, adalah lebih banyak lagi”. Berkata sebahagian
ulama yang lain: “Alquran itu mengandung 77.200 ilmu, karena tiap-tiap
perkataan itu satu ilmu. Kemudian, berlipatganda yang demikian itu 4 kali.
Karena tiap-tiap perkataan, mempunyai zhahir dan bathin, batas dan permulaan”.
Diulang-ulangi oleh Rasulullah saw akan “Bismillaahirrahmaanirrahiim: 20 kali,
tidak adalah yang demikian, kecuali untuk bertadabbur akan batin pengertiannya.
Kalau bukanlah begitu, maka penterjemahan dan penafsirannya adalah jelas, tidak
memerlukan bagi orang seperti Nabi saw kepada mengulang-ulangi.
Berkata Ibnu Masu’d ra:
“Barangsiapa bermaksud kepada ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian,
maka hendaklah ia bertadabbur akan Alquran”. Yang demikian itu, tidak akan
berhasil dengan semata-mata tafsirnya yang zhahir saja. Kesimpulannya, ilmu
pengetahuan itu semuanya masuk dalam Af’al ( perbuatan-perbuatan) Allah yg maha
mulia & maha besar dan sifat-sifatNya. Dan dalam Alquran itu penguraian
ZatNya, Af’al ( perbuatan-perbuatan)Nya dan sifat-sifatNya. Dan segala
pengetahuan tersebut, tak ada baginya kesudahan. Dan dalam Alquran itu, ada
penunjukkan kepada keseluruhannya dan tingkat-tingkat dalam mendalami
perinciannya, yang kembali kepada pemahaman Alquran. Dan semata-mata tafsir
zhahir, tidaklah menunjukkan kepada yang demikian. Tetapi tiap-tiap yang
membawa kepada kesulitan bagi pemerhati-pemerhati dan berselisih padanya orang
banyak tentang pandangan dan pemikiran, maka didalam Alquran terdapat tanda-tanda
(rumuz) dan penunjuk-penunjuk kepadanya, yang hanya ahli paham yang dapat
mengetahuinya. Maka bagaimanakah dapat sempurna dengan demikian itu, terjemahan
zhahirnya dan penafsirannya saja ? Karena itulah bersabda Nabi saw: “Bacalah
Alquran dan carilah yang ganjil-ganjil (gharaib) daripadanya”. Bersabda Nabi
saw dalam hadits yang diriwayatkan Ali –dimuliakan Allah akan wajahnya: “Demi
Allah yang mengutuskan aku dengan sebenarnya menjadi nabi ! sesungguhnya akan
bercerai-berai umatku dari pokok agamanya dan kumpulannya kepada 72 golongan. Semuanya
sesat menyesatkan, yang membawa mereka kepada neraka. Apabila telah ada yang
demikian, maka haruslah kamu berpegang teguh dengan Kitab Allah yg maha mulia
& maha besar (Alquran). Karena didalamnya, berita orang-orang yang sebelum
kamu dan berita tentang apa yang akan datang sesudah kamu. Dan hukum yang
dijalankan diantara kamu, oleh orang-orang yang berkuasa, yang menyalahi akan
Alquran. Dia dibinasakan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla. Barangsiapa mencari ilmu
yang lain dari Alquran, niscaya dia disesatkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla.
Alquran itu, adalah tali Allah yang Maha Kokoh, nurNya yang menerangkan,
obatNya yang bermanfaat, pemeliharaan bagi orang yang berpegang dengan dia dan
kelepasan bagi orang yang mengikutinya. Tiada ia bengkok maka Alquranlah yang
meluruskan. Tiada ia menyeleweng maka Alquranlah yang membetulkan. Tidak akan
habis-habis keajaibannya dan tidak akan diburukkan dia oleh banyak
ulangan-ulangan”......sampai akhir hadits.
Pada hadits Hudzaifah tersebut:
“Tatkala diceritakan oleh Rasulullah saw kepada Hudzaifah akan perselisihan dan
perpecahan sesudahnya, dimana Hudzaifah menerangkan: “Lalu aku bertanya: “Wahai
Rasulullah ! apakah kiranya yang engkau suruhkan aku, kalau aku dapati masa itu
?”. Nabi saw menjawab: “Pelajarilah Kitab Allah, laksanakanlah apa yang
tersebut didalamnya. Maka itulah, yang mengeluarkan dari yang demikian !”.
menyambung Hudzaifah ceritanya: “Maka aku ulangi pertanyaan itu kepada Nabi saw
3 kali”. Maka Nabi saw pun bersabda 3 kali: “Pelajarilah Kitab Allah ‘Azza Wa
Jalla, laksanakanlah apa yang tersebut didalamnya ! maka padanyalah kelepasan”.
Berkata Ali –dimuliakan Allah akan wajahnya:
“Barangsiapa memahami akan Alquran, niscaya ia telah menafsirkan akan sejumlah
ilmu pengetahuan”. Ditunjukkan oleh Ali dengan ucapannya itu, bahwa Alquran
menunjukkan kepada sekumpulan ilmu pengetahuan seluruhnya.
Berkata Ibnu Abbas ra tentang
firman Allah Ta’ala: “Dan orang yang diberiNya hikmah (kebijaksanaan) itu,
sesungguhnya telah diberi kebaikan yang banyak” ya’ni: memahami akan Alquran.
Berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan Kami memberikan pemahaman kepada Sulaiman
tentang hukuman (yang lebih tepat) itu. Dan kepada masing-masing, kami berikan
ilmu hukum dan pengetahuan”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 79. Dinamakan apa yang
diberikan oleh Allah Ta’ala kepada keduanya (Daud dan Sulaiman), pengetahuan dan
ilmu hukum dan dikhususkanNya bagi Sulaiman sendiri dengan mendalaminya, dengan
nama: pemahaman. Dan dijadikanNya mendahului kepada ilmu hukum dan pengetahuan.
Maka segala hal tersebut menunjukkan, bahwa pada pemahaman segala pengertian
Alquran itu, jalan yang lapang dan tempat yang luas menyampaikan. Dan yang
dinaqlkan dari penafsiran zhahir itu, tidaklah merupakan pengertian yang
terakhir. Adapun sabda Nabi saw: “Barangsiapa menafsirkan Alquran dengan buah
pikirannya.....” dan larangan Nabi saw daripadanya dan ucapan Abubakar ra:
“Bumi manapun yang menempatkan aku dan langit manapun yang menaungi aku,
apabila aku mengatakan pada Alquran menurut buah pikiranku.....” dan lain
sebagainya, dari apa yang datang pada hadits dan atsar, tentang pelarangan penafsiran
Alquran dengan buah pikiran, maka itu tidak tersembunyi: adakalanya yang
dimaksudkan dengan yang demikian, ialah: terbatas kepada naql dan yang didengar
saja, serta meninggalkan pemahaman dan kebebasan berpaham. Atau dimaksudkan:
hal yang lain dari itu. Dan batil/salah benar-benar, kalau yang dimaksudkan
dengan itu, bahwa tidak boleh seseorang memperkatakan tentang Alquran selain
daripada apa yang didengarnya, disebabkan karena beberapa segi.
Pertama: diisyaratkan
bahwa yang demikian itu, adalah didengar daripada Rasulullah saw dan
disandarkan kepadanya. Dan yang demikian, termasuklah yang tidak dijumpai,
selain pada sebahagian saja dari Alquran. Adapun apa yang dikatakan oleh Ibnu
Abbas dan Ibnu Mas’ud dari pihaknya sendiri, maka seyogyalah tidak diterima.
Dan boleh dikatakan, bahwa itu adalah: penafsiran dengan buah pikiran, karena
mereka tidak mendengarnya daripada Rasulullah saw. Dan begitu juga dengan
sahabat-sahabat yang lain –direlai Allah kiranya mereka sekalian.
Kedua: para sahabat dan penafsir-penafsir
(al-mufassirin), berselisih tentang penafsiran sebahagian ayat. Mereka
mengatakan berbagai macam perkataan yang berlainan, yang tidak mungkin
dipersatukan. Dan mendengar semuanya itu dari Rasulullah saw adalah hal yang
mustahil. Jikalau satu yang didengar, maka tertolaklah yang selebihnya. Maka
nyatalah, bahwa masing-masing penafsiran itu mengatakan tentang sesuatu
pengertian, menurut apa yang zhahiir kepadanya, dengan pemahamannya. Sehingga
mereka mengatakan tentang huruf-huruf pada awal beberapa surat, 7 macam
perkataan yang berbeda-beda, yang tidak mungkin dipersatukan. Maka ada yang
mengatakan, bahwa alif itu Allah, lam itu lathif (lemah lembut) dan ra itu
rahim. Dan ada yang mengatakan, lain dari itu. Dan mempersatukan (mengumpulkan)
diantara semuanya, tidak mungkin. Maka bagaimanakah, adanya semuanya itu
didengar ?
Ketiga:
bahwa Nabi saw telah berdoa untuk Ibnu Abbas ra dengan mengucapkan: “Ya Allah
Tuhanku ! anugerahilah dia pemahaman dalam agama dan ajarilah dia penafsiran!”.
Kalau penafsiran itu menurut yang didengar seperti ayat yang diturunkan dan
dihafalkan seperti ayat itu, maka apakah artinya mengkhususkan Ibnu Abbas
dengan demikian ?
Keempat:
bahwa Allah yg maha mulia & maha besar berfirman: “Tentulah orang-orang
yang memperhatikan itu, akan dapat mengetahui yang sebenarnya”. S 4 An Nisaa’
ayat 83. Maka diakuiNya adanya penelitian bagi ahli ilmu. Dan sesungguhnya
dima’lumi, bahwa yang demikian itu adalah tanpa mendengar. Kesimpulan dari apa
yang kami naqalkan (diambil dari pokok-pokok agama), dari atsar-atsar
(perkataan shahabat) mengenai pemahaman Alquran, adalah berlawanan dengan
khayalan itu. Maka batallah disyaratkan mendengar untuk penta’wilan (penafsiran).
Dan bolehlah bagi tiap-tiap orang mengambil pemahaman dengan ketelitian
(ber-istinbath) dari Alquran menurut kesanggupan pemahaman dan ketajaman akal
pikirannya. Adapun larangan, maka itu ditempatkan diatas salah satu dari dua
segi.
Segi Pertama:
bahwa dia mempunyai pendapat tentang sesuatu dan kecondongan tabiat dan hawa
nafsunya kepada sesuatu itu. Lalu dita’wilkannya Alquran menurut pendapat dan
hawa nafsunya tadi, untuk membuktikan benar maksud tujuannya. Dan kalau ia
tidak mempunyai pendapat dan hawa nafsu itu, niscaya tidak menampak pengertian
itu baginya dari Alquran. Sekali, ini adalah disertai pengetahuan, seumpama
orang yang mengambil dalil dengan sebahagian ayat Al quran untuk membenarkan
bid’ah (yang diada-adakan)nya. Sedang ia tahu bahwa itu tidaklah yang
dimaksudkan dengan ayat yang dibacakannya itu, tetapi dikacau-balaukannya untuk
mengalahkan lawannya. Sekali, adalah disertai kebodohan. Tetapi apabila ayat
itu mempunyai kemungkinan, lalu condonglah pemahamannya kepada segi yang sesuai dengan maksudnya. Dan
segi itu dikuatkannya dengan pendapat dan hawa nafsunya. Maka ia telah
menafsirkan Alquran menurut pendapatnya. Artinya: pendapatnya yang mendorong
dia kepada penafsiran itu. Kalau tidaklah akal pikirannya, niscaya tidaklah
menguat cara itu padanya. Dan sekali, kadang-kadang ia mempunyai maksud yang
benar, lalu ia mencari dalil dari Alquran. Dan ia mengambil dalil dengan apa
yang diketahuinya, bahwa sebenarnya tidaklah dimaksudkan dengan yang demikian.
Seumpama orang yang berdoa, minta diampunkan dosanya dengan makan sahur, lalu
mengambil dalil dengan sabda Nabi saw: “Bersahurlah, sesungguhnya pada bersahur
itu mempunyai barakah”. Ia mendakwakan, bahwa yang dimaksudkan dengan itu,
ialah bersahur dengan dzikir. Dan ia tahu, bahwa yang dimaksudkan ialah makan.
Dan seumpama orang yang menyerukan kepada melatih (mujahadah) hati yang kesat,
lalu ia mengatakan: “Berfirman Alllah ‘Azza Wa Jalla: “Pergilah kepada Fir’aun;
sesungguhnya dia durhaka melewati batas”. S 20 Thaahaa ayat 24. Ditunjukkannya
kepada hatinya dan diisyaratkannya, bahwa hatilah yang dimaksudkan dengan:
Fir’aun. Hal yang seperti ini, kadang-kadang dipakai oleh sebahagian juru
nasehat pada maksud-maksud yang benar, untuk membaguskan perkataan dan
menyukakan pendengar, hal mana, adalah dilarang. Kadang-kadang dipakai oleh
golongan batiniyah pada maksud-maksud yang salah, untuk menipu manusia dan
mengajak mereka kepada alirannya yang batil/salah. Maka ditempatkan oleh mereka
akan Alquran, sesuai dengan pendapat dan alirannya, diatas hal-keadaan yang
diketahui benar-benar, bahwa tidaklah dimaksudkan dengan demikian.
Kepandaian-kepandaian yang seperti itu, adalah salah satu dari dua segi yang
dilarang dalam menafsirkan menurut akal pikiran. Dan yang dimaksudkan dengan
buah pikiran tadi, ialah: buah pikiran yang salah, yang sesuai dengan hawa
nafsu, tanpa ijtihad (pertimbangan) yang benar. Dan buah pikiran itu, terdiri
dari: yang benar & yg salah. Dan yang bersesuaian dengan hawa nafsu,
kadang-kadang dikhususkannya juga dengan nama: buah pikiran.
Segi kedua: bahwa bergegas-gegas kepada
menafsirkan Alquran dengan yang zhahir saja dari bahasa Arab, tanpa dibantu
dengan mendengar dan menaqalkan, tentang yang berhubungan dengan yang
gharib-gharib dari Alquran, kata-kata yang tidak begitu jelas (lafadh mubham),
kata-kata yang digantikan, yang diringkaskan, dibuang, disembunyikan,
didahulukan dan dikemudiankan. Maka orang yang tidak berpegang teguh kepada
yang zhahir dari penafsiran dan bersegera kepada mengambil pengertian dengan
semata-mata pemahaman bahasa Arab, niscaya banyaklah salahnya. Dan masuklah dia
dalam golongan orang yang menafsirkan Alquran dengan buah pikiran. Menaqalkan
(mengambil dari pokok-pokok agama). dan mendengar itu harus ada, pada zhahir
dari penafsiran, pada pertama kali. Supaya terpelihara dari tempat-tempat yang
mungkin mendatangkan kesalahan.
Kemudian, sesudah itu, barulah meluas pemahaman dan penelitian. Yang
gharib-gharib (terkenal) dari Alquran –yang tidak dipahami kecuali dengan mendengar
–itu banyak. Akan kami tunjukkan sejumlah besar daripadanya, untuk dibuat
menjadi dalil kepada yang lain-lain yang menyerupainya. Dan diketahuilah
kiranya, bahwa tiada boleh dipermudah-mudahkan, dengan penghafalan pertama-tama
tafsir yang zhahir. Dan tiada harapan akan sampai kepada yang batin, sebelum
mengokohkan yang zhahir. Barangsiapa mendakwakan telah memahami segala rahasia
Alquran dan tiada teguh mengetahui tafsir yang zhahir/luar, maka dia adalah
seperti orang yang mendakwakan telah sampai ke dalam rumah, sebelum melewati
pintu. Atau menda’wakan telah memahami segala maksud orang-orang Turki dari
percakapan mereka, sedang dia tidak mengerti bahasa Turki.
Sesungguhnya
tafsir yang zhahir itu berlaku seperti pengajaran bahasa, yang tak boleh tidak
untuk pemahaman. Dan yang tak boleh tidak, yang diperoleh dari mendengar itu,
mempunyai banyak kepandaian. Sebagian daripadanya: menyingkatkan dengan dibuang
dan disembunyikan, seperti firman Allah Ta’ala: Kalau menurut kata-katanya,
maka dapat diartikan: “Kami berikan kepada Tsamud unta betina yang melihat
jelas, lalu mereka berbuat zalim dengan unta betina itu”. Yang dimaksudkan:
bukan unta betina yang melihat jelas (mubshiratan), tetapi ada kata-kata yang
dibuang sebelum mubshiratan, yaitu: ayatan. Sehingga artinya menjadi: suatu
tanda bukti yang menampak jelas. Begitupula: mereka berbuat zalim dengan unta
betina itu, maksudnya dengan: membunuhnya. Orang yang melihat kepada yang
zhahir dari bahasa Arab, menyangka, bahwa yang dimaksudkan, ialah: unta betina
itu yang melihat jelas, tidak dia itu buta. Dan ia tidak mengetahui: dengan apa
mereka itu menganiayakan (berbuat zalim). Dan apakah mereka itu berbuat aniaya
kepada orang lain atau kepada diri mereka sendiri. Dan firman Allah Ta’ala S 2
Al Baqarah ayat 93: “Diminumkan mereka didalam hatinya, akan anak lembu, dengan
sebab kekafirannya”. Ya’ni: mencintai anak lembu dan kata-kata: mencintai itu,
dibuang. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla S 17 Al Israa’ ayat 75: “Kalau hal itu
terjadi, tentulah akan Kami rasakan kepada engkau berlipat ganda kehidupan dan
berlipat ganda kematian”. Ya’ni: berlipat ganda azab bagi segala orang yang
hidup dan berlipat ganda azab bagi segala orang yang mati. Maka dibuang
kata-kata: azab. Dan digantikan kata-kata al-ahya’ (orang-orang yang hidup) dan
al-mauta (orang-orang yang mati), dengan menyebutkan: al hayati (kehidupan) dan
al-mauti (kematian). Semuanya itu dibolehkan dalam kefasihan bahasa. Dan firman
Allah Ta’ala S 12 Yusuf ayat 82: artinya menurut kata-kata: “Bertanyalah kepada
negeri tempat kami berada atau kepada kafilah yang serombongan pulang dengan
kami”. Ya’ni: kepada penduduk negeri (ahlil-qaryah) dan yang punya kafilah
(ahlil-ir). Maka kata-kata: al-ahli pada keduanya: dibuang, disembunyikan. Dan
firman Allah ‘Azza Wa Jalla S 7 Al A’raaf ayat 187: artinya secara zhahir
kata-kata: “Beratlah dia (kiamat) itu di langit dan di bumi”. Pengertian:
“sangat tersembunyilah kiamat itu kepada penduduk langit dan bumi. Dan sesuatu
itu apabila tersembunyi, niscaya berat. Lalu digantikan kata-kata: tersembunyi
dengan kata-kata: berat. Dan ditempatkan pada tempat yang diatas. Lalu
disembunyikan kata-kata al-ahli” (penduduk) dan dibuang. Dan firman Allah
Ta’ala S 56 Al Waaqi’ah ayat 82: artinya menurut kata-kata: “Kamu jadikan rezekimu
untuk mendustakan (kebenaran)”. Ya’ni: kesyukuran dari rezekimu. Dan firman
Allah ‘Azza Wa Jalla S 3 Ali ‘Imran ayat 194: “Berikanlah kami apa yang telah
Engkau janjikan dengan perantaraan rasul-rasul Engkau”, ya’ni: dengan
perantaraan lisan rasul-rasul Engkau. Maka kata-kata: lisan itu dibuang. Dan
firman Allah Ta’ala S 97 Al Qadr ayat 1: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya
pada malam kemuliaan (lailatul qadr)” –dimaksudkan yang diturunkan itu, ialah:
Alquran dan apa yang telah disebutkan sebelumnya. Dan firman Allah ‘Azza Wa
Jalla S 38 Shaad ayat 32: “Sehingga ia tersembunyi dengan tabir (malam)”. Yang
dimaksuskan ialah: matahari dan apa-apa yang telah disebutkan sebelumnya. Dan
firman Allah Ta’ala S 39 Az Zumar ayat 3: “Dan orang-orang yang mengambil
pelindung-pelindung selain dari Tuhan itu: Kami tiada menyembahnya melainkan
untuk membawa kami lebih dekat kepada Allah”. ya’ni: mereka mengatakan: kami
tidak menyembahnya...... Dan berfirman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Tetapi mengapa
orang-orang itu tidak mengerti akan sesuatu kejadian? Apa-apa kebaikan yang
engkau peroleh itu, datangnya dari Allah dan apa-apa bahaya yang menimpa engkau
itu, berasal dari dirimu sendiri”. S 4 An Nisaa’ ayat 78 dan 79. Maksudnya:
mereka tiada mengerti sesuatu kejadian, dimana mereka itu mengatakan: apa-apa
kebaikan yang engkau peroleh itu, datangnya dari Allah. Kalau bukan begitu
maksudnya, artinya: menambahkan kata-kata: dimana mereka itu mengatakan, maka
adalah berlawanan dengan firman Allah Ta’ala: “Katakanlah ! semuanya daripada
Allah”. S 4 An Nisaa’ ayat 78. (Dalam ayat yang baru tadi diatas). Dan mazhab “Al-Qadariah” (aliran yang meletakkan segala-galanya
kepada taqdir, sehingga manusia itu, ibarat bulu ayam, tergantung terbang ke
mana dibawa angin), telah dahulu kepada pemahaman daripadanya. Sebahagian
daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, ialah yang dinaqalkan (diambil
dari pokok-pokok agama), lagi terbalik, seperti firman Allah Ta’ala: “Wa thuuri
siiniin”. S 95 At Tiin ayat 2. Artinya: Thur Sina !. Dan firman Allah Ta’ala:
“Salaamun ‘alaa il Yaasin”. S 37 Ash Shaffaat ayat 130. Artinya: Keselamatan
untuk Ilyas. Dan ada yang mengatakan: untuk Idris, karena menurut huruf tulisan
Ibnu Mas’ud: Salamum ‘ala Idrasin”. Sebahagian daripada yang diperoleh dengan
mendengar itu, ialah berulang-ulang, yang memutuskan sambungan kalimat pada
zhahir, seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Tidaklah diikuti oleh mereka yang
menyembah sekutu-sekutu, selain Allah; tiadalah mereka ikuti, selain daripada
persangkaan saja”. S 10 Yunus ayat 66. Maksudnya: Tiada diikuti oleh mereka
yang menyembah sekutu-sekutu, melainkan persangkaan saja. Dan firman Allah
‘Azza Wa Jalla: “Berkatalah beberapa orang yang menyombong dari kaumnya kepada
mereka yang lemah; kepada orang yang beriman daripada mereka”. S 7 Al A’raaf
ayat 75. Maksudnya: Berkata mereka yang sombong kepada orang yang beriman dari
orang-orang yang lemah. Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, ialah didahulukan dan
dikemudiankan. Dan inilah menjadi tempat sangkaan bagi kesalahan, seperti
firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan jikalau tidaklah perkataan telah terdahulu
dari Tuhanmu, sesungguhnya adalah (hukuman) itu sudah semestinya (dicepatkan)
dan waktu yang ditetapkan”. S 20 Thaahaa ayat 129. Maksudnya: “Jikalau tidaklah
perkataan dari Tuhan dan waktu yang ditetapkan, niscaya sesungguhnya adalah
(hukuman) itu sudah semestinya (dicepatkan). Dan kalau tidak, niscaya ia
ditegakkan, seperti yang semestinya”. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Mereka
bertanya kepada engkau, seakan-akan engkau dapat menerangkannya”. S 7 A’ A’raaf
ayat 187. Ya’ni: mereka menanyakan engkau dari hal (kiamat), seakan-akan engkau
dapat menerangkannya. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan bagi mereka ampunan
dan rezeki yang mulia. Sebagaimana dikeluarkan engkau oleh Tuhan dari rumah
engkau dengan kebenaran”. S 8 Al Anfaal ayat 4 dan 5. Kalam (kata-kata)
tersebut tidak bersambung. Dan kembali kepada firmanNya yang lalu, yaitu: S 8
Al Anfaal ayat 1: “Katakanlah, segala rampasan perang itu, kepunyaan Allah dan
Rasul. Sebagaimana dikeluarkan engkau oleh Tuhan dari rumah engkau dengan
kebenaran !”. Artinya: maka jadilah segala rampasan perang itu untuk engkau,
karena engkau menyetujui dengan keluar engkau, sedang mereka itu (segolongan
dari orang mu’min) tidak menyukai. Maka membelintanglah diantara Kalam
(kata-kata) itu, amar (disuruh) dengan taqwa dan lainnya. Dan sebahagian dari
macam ini, ialah firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Sehingga kamu beriman dengan
Allah Tuhan Yang Maha Esa, kecuali kata Ibrahim kepada ayahnya.....sampai akhir
ayat”. S 60 Al Mumtahanah ayat 4. Sebahagian daripada yang diperoleh dengan
mendengar itu, kata-kata mubham (tidak begitu tegas), yaitu: kata-kata yang
digunakan diantara beberapa pengertian, dari kata-katanya atau dari hurufnya. Adapun
kata-kata, maka seperti: sesuatu (asy-syai’), teman (alqarin), umat (al-ummah),
nyawa (ar-ruh) dll. Berfirman Alllah Ta’ala: “Allah Ta’ala membuat perumpamaan,
yaitu seorang hamba sahaya kepunyaan (orang lain), tidak berkuasa atas
sesuatu”. S 16 An Nahl ayat 75. Dimaksudkan dengan sesuatu itu, yaitu:
perbelanjaan dari apa yang diberikan rezeki kepadanya. Dan firman Allah ‘Azza
Wa Jalla: “Dan Allah Ta’ala membuat perumpamaan, dua orang laki-laki, yang
seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu”. S 16 An Nahl ayat 76. Ya’ni:
suruhan dengan keadilan dan kelurusan. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Kalau
engkau mengikuti aku, maka janganlah ditanyakan kepadaku tentang sesuatu”. S 18
Al Kahfi ayat 70. Yang dimaksudkan dengan sesuatu itu, dari sifat-sifat ketuhanan,
yaitu: ilmu yang tidak boleh ditanyakan. Sehingga orang yang mengetahuinya,
memulai pada waktu yang mustahak/yang layak dimiliki.
Dan
firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Merekakah yang diciptakan dari tiada suatu apa
ataukah mereka yang menciptakan ?”. S 52 Ath Thuur ayat 35. Ya’ni: dari tanpa
khalliq (Pencipta). Kadang-kadang meragukan, bahwa itu menunjukkan kepada:
tidak diciptakan sesuatu, melainkan dari sesuatu. Tentang Alqarin (teman), maka
seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Berkata temannya: Yang didekatnya ini
telah siap sedia catatan amalannya. Diperintahkan: “Lemparkanlah kedalam neraka
setiap orang yang kafir”. S 50 Qaaf ayat 23 dan 24. Yang dimaksudkan dengan
al-qarin itu, ialah: malaikat yang diserahkan tugas menuliskan segala
pekerjaannya. Firman Allah Ta’ala: “Temannya (qarinnya) berkata: Wahai Tuhan
kami ! aku tiada membawanya kepada kejahatan, tetapi dia sendiri berada dalam
kesesatan yang jauh itu”. S 50 Qaaf ayat 27. Yang dimaksudkan dengan teman
(al-qarin) disitu, ialah: setan. Tentang umat (al-ummah), maka ditujukan kepada
8 macam:
1.
Umat dengan arti: sekumpulan, seperti firman Allah Ta’ala:
“Didapatinya disana sekumpulan (ummatan) orang yang sedang memberi minum
(binatangnya)”. S 28 Al Qashash ayat 23.
2.
Dengan arti: pengikut nabi-nabi, seperti kita katakan: Kami
ini dari umat (pengikut) Muhammad saw.
3.
Dengan arti: seorang yang berkumpul padanya sifat-sifat yang
baik, yang diikuti, seperti firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Ibrahim adalah
(ummatan) yang patuh kepada Allah”. S 16 An Nahl ayat 120.
4.
Dengan arti: agama, seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla:
“Kami dapati bapak-bapak kami mengikuti suatu agama (ummatin)”. S 43 Az Zukhruf
ayat 22.
5.
Dengan arti: waktu dan masa, seperti firman Allah ‘Azza Wa
Jalla: “Kalau Kami undurkan dari mereka siksaan itu, sampai waktu yang
ditentukan (ummatin ma’duudah)”. S 11 Huud ayat 8. Dan firman Allah ‘Azza Wa
Jalla: “Kemudian baru teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa lama (ba’da
ummatin)”. S 12 Yusuf ayat 45.
6.
Dengan arti: bentuk badan (al-qamah), seperti dikatakan: Si
Anu itu bentuk badannya bagus (husnul-ummah).
7.
Dengan arti: seorang yang sendirian dengan sesuatu agama,
tidak ada seorangpun yang lain bersama dia menganut agama itu, seperti sabda
Nabi saw: “Diutuskan Zaid bin ‘Amr bin Nufail sebagai umat yang sendirian”.
8.
Dengan arti: ibu, seperti dikatakan: Ini, ibu si Zaid (Ummatu
Zaid), artinya: ummu (ibu) Zaid.
Ruh (nyawa) juga terdapat dalam Alquran,
dengan pengertian yang banyak dan tidak kami panjangkan penjelasannya.
Begitupula, kadang-kadang terdapat yang meragukan pada huruf-huruf, seperti
firman Allah ‘Azza Wa Jalla:: (Fa-atsarna bi-hi naq’an, fa wasathna bi-hi
jam’aa) S 100 Al ‘Aadiyaat ayat 4 dan 5. Artinya: “Maka menerbangkan debu dan
menembus ke tengah-tengah orang banyak”. Maka ha pertama (hi pada bi-hi
pertama), adalah tunjukkan yang tidak tegas (kinayah) dari kuku-kuku hewan
(kuda), yang berlari kencang, menginjakkan batu-batu, yang menerbitkan api.
Ya’ni: “Atsarna bil-hawaafiri naq’an”. Artinya: Menerbangkan debu dengan
kuku-kuku hewan itu”. Ha kedua (hi pada bi-hi kedua) adalah kinayah dari
penyerbuan (al-igharah), yaitu: yang menyerbu di pagi hari. Lalu menyerbu di
tengah-tengah kaum musyrikin (musuh), sehingga dapat diserang semua mereka itu.
Dan firman Allah Ta’ala: “Lalu Kami turunkan daripadanya air”, ya’ni: awan.
Lalu Kami keluarkan dengan sebabnya berbagai macam buah-buahan, ya’ni: air”. S
7 Al A’raaf ayat 57. Yang seperti itu, dalam Alquran, adalah tidak terhingga
banyaknya. Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, ialah:
berangsur-angsur memberi penjelasan (at-tadrij fil-bayan), seperti firman Allah
‘Azza Wa Jalla: “Bulan Ramadlan, yang diturunkan padanya Alquran”. S 2 Al
Baqarah ayat 185. Karena tidak jelas dengan itu, apakah malam atau siang. Lalu
jelaslah dengan firmanNya Allah ‘Azza Wa Jalla: “Sesungguhnya Kami turunkan
Alquran itu pada malam yang diberkati”. S 44 Ad Dukhaan ayat 3. Dan tidak
dijelaskan dengan itu, pada malam apa ? lalu jelaslah dengan firmanNya Ta’ala:
“Sesungguhnya Kami menurunkan Alquran itu, pada malam kemuliaan
(lailatul-qadar)”. S 97 Al Qadar ayat 1. Kadang-kadang timbul persangkaan,
bahwa pada zhahirnya, terdapat pertentangan diantara ayat-ayat itu. Maka yang
tersebut itu dan yang menyerupainya, adalah termasuk hal yang tidak mencukupi,
kecuali dengan naqal (diambil dari pokok-pokok agama) dan mendengar. Dari itu,
Alquran dari permulaannya sampai kepada penghabisannya, tiada terlepas dari hal
yang semacam itu. Karena dia diturunkan dengan bahasa Arab, maka ia melengkapi
dengan segala macam susunan kata mereka, dari: dipersingkat dan diperpanjang,
disembunyikan dan dibuang, digantikan, didahulukan dan dikemudiankan. Supaya
adalah yang demikian itu memuaskan bagi mereka dan melemahkan mereka untuk
menirunya (karena Alquran itu mu’jizat Nabi saw).
Maka tiap-tiap orang yang merasa cukup dengan
memahami yang zhahir saja dari bahasa Arab dan bersegera menafsirkan Alquran
dan dia tidak meminta bantuan dengan mendengar dan menaqalkan (mengambil dari
pokok-pokok agama) dalam segala hal itu, niscaya ia masuk dalam golongan orang
yang menafsirkan Alquran dengan buah pikirannya. Seumpama ia memahami dari
perkataan “ummah” akan pengertian yang lebih terkenal, lalu condonglah tabiat
dan pendapatnya kesitu. Apabila ia mendengar pada tempat lain, lalu condonglah
pendapatnya kepada yang didengarnya itu daripada pengertiannya yang terkenal.
Dan ia tinggalkan menyelidiki naqal (pokok-pokok agama) pada kebanyakan dari
pengertian Alquran itu.
Hal ini, tidak
mungkin dilarang, tanpa memahami rahasia pengertian Alquran, sebagaimana telah
diterangkan dahulu. Apabila telah memperoleh pendengaran, dengan contoh-contoh
hal itu, niscaya ia telah mengetahui tafsir secara zhahir. Yaitu: terjemahan
kata-kata. Dan yang demikian itu, tidak mencukupi untuk memahami hakikat/makna
pengertian Alquran. Dan dapat diketahui perbedaan antara: hakikat/makna
pengertian dan tafsiran zhahir, dengan contoh. Yaitu: Allah Ta’ala berfirman S
8 Al Anfaal ayat 17: “Bukan engkau yang melemparkan ketika engkau melempar,
melainkan Allah yang melempar”. Maka tafsiran zhahiriyahnya itu jelas dan hakikat/makna
pengertiannya itu sulit. Karena disitu, terdapat adanya lempar dan tidak adanya
lempar. Dan keduanya adalah berlawanan pada zhahiriyahnya, selama tidak
dipahami, bahwa dia melempar dari satu segi dan tidak melempar dari satu segi.
Dan dari segi dia tidak melempar, maka dilemparkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla.
Begitupula, firman Allah Ta’ala: S 9 At Taubah ayat 14: “Perangilah mereka,
Allah akan menyiksa mereka dengan tanganmu”. Apabila mereka itu yang berperang,
maka bagaimanakah Allah swt itu yang mengazabkan ? dan kalau Allah Ta’ala yang
mengazab kan dengan menggerakkan tangan mereka, maka apakah artinya mereka itu
disuruh berperang ?. Maka hakikat/makna pengertian ini dapat dipahami dari
lautan besar ilmu-diminta untuk mengetahuinya saja, yang tidak mencukupi dengan
tafsiran zhahir saja. Yaitu: hendaklah diketahui: segi ikatan Af’al (perbuatan-perbuatan)
dengan qudrah (kuasa /kemampuan) yang baru dan memahami segi ikatan qudrah (kuasa
/kemampuan ) itu dengan Qudrah ( kuasa /Kemampuan) Allah ‘Azza Wa Jalla.
Sehingga, setelah jelas beberapa hal yang banyak, yang sulit-sulit, menjelaslah
kebenaran firmanNya ‘Azza Wa Jalla: “Wa maa ramaita idz ramaita wa
laakinnallaaha ramaa” tadi. Kalau sekiranya seluruh umur dipergunakan untuk
menyingkap segala rahasia pengertian itu dan apa yang bersangkutan dengan
segala mukaddimah (ilmu pengantar) dan hubungannya, niscaya habislah umur itu,
sebelum sempurna segala hubungannya. Dan tidak satu katapun dari Alquran,
melainkan untuk membentangkan hakikat/maknanya, memerlukan kepada yang seperti
itu. Dan sesungguhnya terbuka bagi orang-orang yang mendalam pengetahuannya,
segala rahasia Alquran, menurut banyaknya ilmu pengetahuan mereka, bersihnya
hati mereka, sempurnanya faktor-faktor yang membawa dan semata-matanya mereka
untuk mempelajari Alquran. Dan masing-masing mempunyai batas pada ketinggian,
sampai kepada derajat yang tertinggi daripadanya.
Adapun derajat kesempurnaan, maka
jangan diharapkan. Kalaulah lautan itu menjadi tinta dan pohon-pohon menjadi pena,
maka sesungguhnya rahasia Kalam (kata-kata) Allah, tak ada kesudahan baginya.
Maka habislah segala lautan, sebelum habis Kalam (kata-kata) Allah ‘Azza Wa
Jalla. Maka dari segi ini, berlebih kuranglah manusia pada pemahaman, sesudah
sama-sama mengetahui tafsiran zhahir. Dan tafsiran zhahir itu, tidaklah
mencukupi. Contohnya seperti pemahaman sebahagian Arbabil-qulub (para ulama
yang mempunyai hati untuk berpikir) dari bacaan Nabi saw dalam sujudnya: “Aku
berlindung dengan kerelaanMu daripada kemarahanMu. Aku berlindung dengan
kemaafanMu dari siksaanMu. Aku berlindung dengan Engkau daripada Engkau.
Tidaklah dapat aku hinggakan pujian kepada Engkau. Sebagaimana Engkau pujikan
akan Engkau sendiri”. Sesungguhnya dikatakan kepadanya: “Sujudlah dan
dekatkanlah diri!”. Maka terdapatlah pendekatan diri dalam sujud, lalu
diperhatikan kepada sifat-sifat. Maka diminta perlindungan sebahagian
daripadanya dengan sebahagian yang lain. Kerelaan dan kemarahan adalah dua
sifat. Kemudian bertambahlah mendekatnya. Lalu masuklah pendekatan pertama
padanya, maka meninggilah kepada zat. Maka ia membacakan: “Aku berlindung
dengan Engkau daripada Engkau”. Kemudian bertambah mendekatnya dengan apa yang
ia malukan, dari perlindungan diatas hamparan pendekatan. Maka ia bersandar kepada
pemujian, lalu dipujinya dengan mengucapkan: “Tidaklah dapat aku hinggakan
pujian kepada Engkau”. Kemudian ia tahu, bahwa yang demikian itu masih kurang,
lalu ia mengucapkan: “Sebagaimana Engkau pujikan akan Engkau sendiri”. Maka
inilah gurisan-gurisan yang terbuka bagi Arbabil-qulub (para ulama yang
mempunyai hati untuk berpikir). Kemudian dibalik itu, gurisan-gurisan itu
mempunyai lapisan yang dalam. Yaitu: pemahaman arti pendekatan, dan
pengkhususannya dengan sujud. Pengertian berlindung dari suatu sifat dengan
sifat yang lain dan daripada Dia dengan Dia. Rahasia itu adalah banyak. Dan
tafsiran menurut kata-kata secara
zhahir, tidaklah menunjukkan kepadanya. Dan tidaklah ia berlawanan bagi tafsir
zhahiriyah itu. Tetapi menyempurnakan dan menyampaikan kepada isinya dari
zhahiriyahnya. Inilah yang kami bentangkan untuk memahami pengertian-pengertian
batin. Tidak kami bentangkan apa yang berlawanan dengan yang zhahir. Dan Allah
yang Maha mengetahuinya ! Telah sempurna Kitab Adab Tilawah. Dan segala pujian
bagi Allah Tuhan serwa sekalian alam. Dan selawat, dan salam kepada Muhammad,
kesudahan nabi-nabi dan kepada tiap-tiap hamba pilihan dari seluruh alam dan
kepada keluarga Muhammad dan sahabatnya dan selamatlah kiranya ! Akan diiringi
Insya Allah Ta’ala oleh “Kitab Dzikir dan Doa”. Dan Allah tempat meminta
pertolongan. Tidak ada Tuhan, selain Dia !.