KITAB
AMAR MA’RUF DAN NAHI MUNKAR
Yaitu Kitab Ke-9 dari Rubu’ Adat Ke-2 dari Kitab
Ihya’ Ulumiddin.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
Segala
pujian bagi Allah, yang tidaklah dimulai kitab-kitab, kecuali dengan
memujikanNya. Dan tidaklah dianugerahi nikmat-nikmat, kecuali dengan
perantaraan kemurahan dan keluasan anugerahNya. Dan shalawat kepada penghulu
nabi-nabi, yaitu Muhammad, rasulNya dan hambaNya. Dan kepada keluarganya yang
baik dan sahabat-sahabatnya yang suci sesudahnya. Adapun kemudian, maka
sesungguhnya amar-ma’ruf (menyuruh berbuat kebajikan) dan nahi munkar (melarang
berbuat yang munkar), adalah garis lurus yang terbesar dalam agama. Yaitu hal
yang penting, dimana Allah mengutuskan nabi-nabi semuanya untuk itu. Jikalau
dilipatkan permadaninya dan disia-siakan ilmu dan amalannya, niscaya kosonglah
syiar kenabian. Tersapulah keagamaan. Meratalah masa kekosongan. Berkembanglah
kesesatan. Terkenallah kebodohan. Menjalarlah kerusakan. Meluaslah kekoyakan.
Runtuhlah negeri-negeri. Dan binasalah hamba rakyat. Dan mereka itu tiada
merasa kebinasaan, melainkan pada hari qiamat. Sesungguhnya yang kita takutkkan
itu, akan ada. Maka sesungguhnya kita kepunyaan Allah dan kita kembali
kepadaNya (Innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji‘uun). Karena telah terhapus dari
garis lurus (amar-ma’ruf dan nahi-munkar) itu, amalan dan ilmunya. Dan
terpupuslah secara keseluruhan, hakikat/makna dan gambarannya. Lalu berkuasalah
pada hati, berminyak-minyakan air dengan makhluq. Dan terhapuslah dari hati
muraqabah dengan khaliq (yang maha pencipta) (yang maha pencipta). Terlepaslah
manusia kepada mengikuti hawa nafsu dan syahwat, sebagaimana terlepasnya
hewan-hewan. Dan sedikitlah di atas permukaan bumi, orang mu’min yang benar,
yang tidak terpengaruh karena Allah oleh cacian orang yang mencacikan. Maka
orang yang berusaha memperoleh kembali kekosongan ini dan menyumbatkan
kerusakan tersebut, adakalanya menanggung mengerjakannya. Atau mengikuti
melaksanakannya. Memperbarui sunnah ini yang telah berhamburan. Bangun
menegakkannya dan bersungguh-sungguh menghidupkannya. Maka orang itu adalah
orang yang tertentu dari antara makhluq, dengan menghidupkan sunnah, yang telah
dibawa oleh zaman kepada mematikannya. Bekerja berbuat taat, yang semakin kecil
derajat mendekatkan diri kepada Allah, tanpa sampai ke derajatnya yang
tertinggi. Marilah kami menguraikan pengetahuan amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu
dalam 4 bab:
Bab
pertama: tentang wajib amar-ma’ruf dan nahi-munkar dan keutamaannya.
Bab
kedua: tentang rukun dan syaratnya.
Bab
ketiga: tentang perlakuan dan penjelasan munkar-munkar yang berlaku dalam
adat-kebiasaan.
Bab
keempat: tentang menyuruh amir-amir dan sultan-sultan mengerjakan ma’ruf dan
melarang mereka dari perbuatan munkar.
BAB PERTAMA: Tentang wajib amar-ma’ruf dan
nahi-munkar dan keutamaannya. Dan celaan menyia-nyiakan dan meninggalkannya.
Dalil kepada yang demikian, sesudah Ijma’
(sepakat) umat dan petunjuk akal yang
sehat, ialah ayat Alquran, hadits Nabi da atsar (peninggalan sahabat-sahabat
ra). Adapun ayat Alquran, yaitu firman Allah Ta’ala: “Hendaklah kamu tergolong
umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh mengerjakan yang benar dan
melarang membuat yang salah. Mereka itulah orang yang beruntung (menang)”. S 3
Ali ‘Imran ayat 104. Pada ayat tersebut keterangan pengwajiban. Karena firman
Allah Ta’ala: “Hendaklah kamu (waltakun)”, itu amar (menyuruh atau perintah).
Secara dzahiriah amar itu pengwajiban. Dan pada ayat tersebut keterangan, bahwa
keberuntungan (kemenangan) tergantung dengan pengwajiban tadi. Karena Allah
Ta’ala membatasi dan berfirman: “Mereka
itulah orang yang beruntung (menang)”. Pada ayat tersebut keterangan, bahwa
amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu fardlu kifayah(jika ada 1 orang yg mengerjakannya
maka selesai urusan itu). Tidak fardlu ‘ain. Dan apabila telah bangun suatu
golongan melaksanakan amar-ma’ruf dan nahi-munkar, niscaya gugurlah fardlu itu
dari yang lain. Karena Allah Ta’ala tidak berfirman: “Hendaklah kamu, tiap-tiap
kamu beramar-ma’ruf !”. Tetapi Ia berfirman: “Hendaklah kamu tergolong umat”.
Jadi, manakala telah bangun seorang atau suatu jama’ah dengan tugas itu,
niscaya gugurlah dosa dari orang-orang lain. Dan tertentulah keberuntungan
(kemenangan) bagi orang-orang yang bangun melaksanakannya. Dan jikalau duduklah
semua orang, tidak melaksanakan amar-ma’ruf dan nahi-munkar, niscaya meratalah
dosa kepada keseluruhan –tidak mustahil- orang-orang yang sanggup
beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar itu. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka tidak
sama. Diantara orang-orang keturunan Kitab itu ada golongan yang lurus dan
mereka membaca ayat-ayat (keterangan-keterangan) Allah di tengah malam dan
mereka sujud (kepada Allah). Mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian,
mereka menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat yang salah dan
menyegerakan mengerjakan perbuatan baik. Mereka itulah yang termasuk orang yang
baik-baik”. S 3 Ali ‘Imran ayat 113-114. Allah Ta’ala tidak mengakui mereka
termasuk orang yang baik-baik, dengan semata-mata beriman kepada Allah dan hari
akhirat, sebelum ditambahkanNya kepada keimanan itu, amar-ma’ruf dan
nahi-munkar. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang beriman laki-laki
dan orang-orang yang beriman perempuan, mereka satu sama lain pimpim-memimpin.
Mereka menyuruh mengerjakan yang baik, melarang mengerjakan yang salah, mereka
tetap mengerjakan shalat”. S 9 At Taubah ayat 71. Allah Ta’ala menyifatkan
orang-orang mu’min, bahwa mereka itu menyuruh mengerjakan yang baik
(amar-ma’ruf) dan melarang mengerjakan yang salah (nahi-munkar). Maka orang yang
meninggalkan amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu keluar dari orang-orang mu’min
yang disifatkan pada ayat tadi. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang tidak
beriman dari Bani Israil kena kutukan lidah Daud dan Isa anak Maryam. Hal itu
disebabkan mereka durhaka dan melanggar aturan. Mereka satu sama lain tidak
melarang dari perbuatan salah yang mereka kerjakan, sesungguhnya amat buruk
yang mereka perbuat”. S 5 Al Maaidah ayat 78-79. Dan yang tersebut pada ayat
tadi adalah sangat keras. Karena menerangkan sebabnya mereka berhak mendapat
kutukan, ialah disebabkan mereka meninggalkan nahi-munkar. Allah ‘Azza Wa Jalla
berfirman: “Kamu adalah umat yang paling baik, yang dilahirkan untuk
kepentingan manusia, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat yang
salah”. S 3 Ali ‘Imran ayat 110. Ini menunjukkan kepada keutamaan amar-ma’ruf
dan nahi-munkar. Karena menerangkan bahwa mereka adalah umat yang paling baik,
yang dilahirkan untuk kepentingan manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Dan setelah
mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan
orang-orang yang melarang dari membuat kesalahan dan kami siksa orang-orang
yang aniaya itu dengan siksaan yang mengerikan, disebabkan mereka berlaku
jahat”. S 7 Al A’raaf ayat 165. Keterangan diatas menerangkan bahwa mereka
memperoleh faedah keselamatan (kelepasan) dengan melarang dari membuat
kejahatan. Yang demikian itu menunjukkan juga kepada wajib. Allah Ta’ala
berfirman: “Orang-orang yang jika Kami diamkan (tempatkan) di muka bumi, mereka
tetap mengerjakan shalat dan membayarkan zakat dan menyuruh mengerjakan
perbuatan baik dan melarang perbuatan yang salah”. S 22 Al Hajj ayat 41. Ayat
ini menyertakan amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu dengan shalat dan zakat pada
menyifatkan orang-orang shalih dan orang-orang mu’min. Allah Ta’ala berfirman:
“Hendaklah kamu tolong-menolong dalam mengerjakan pekerjaan baik dan memelihara
diri (dari kejahatan) dan janganlah bantu-membantu dalam mengerjakan dosa dan
pelanggaran hukum !”. S 5 Al Maaidah ayat 2. Dan itu adalah perintah yang
tegas. Dan pengertian bantu-membantu ialah menggerakkan kepadanya. Memudahkan
jalan kebajikan. Dan menyumbat jalan kejahatan dan permusuhan, menurut
kemungkinan. Allah Ta’ala berfirman: “Mengapa mereka tidak dilarang oleh
ahli-ahli ilmu Ketuhanan dan pendeta-pendeta dari mengucapkan perkataan dosa
dan memakan yang haram ? sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan”.
S 5 Al Maaidah ayat 63. Maka diterangkan bahwa mereka itu berdosa dengan
meninggalkan nahi-munkar. Allah Ta’ala berfirman: “Mengapa tidak diperdapat
dari angkatan (turunan) yang dahulu dari kamu, orang-orang yang mempunyai
sisa-sisa (perasaan kesadaran), yang akan melarang manusia membuat rencana di
muka bumi, selain sebagian kecil saja dari orang-orang yang telah Kami selamatkan
?”. S 11 Huud ayat 116. Maka diterangkan bahwa Allah Ta’ala membinasakan semua
mereka, selain sedikit yang ada melarang manusia membuat bencana. Allah Ta’ala
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! hendaklah kamu menjadi orang-orang
yang kuat menegakkan keadilan, menjadi saksi kebenaran karena Allah, biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapakmu dan kerabatmu”. S 4 An Nisaa’ ayat
135. Yang demikian adalah amar-ma’ruf bagi ibu bapak dan kerabat. Allah Ta’ala
berfirman: “Tiadalah mendatangkan kebaikan banyaknya rapat-rapat rahasia
mereka, tetapi yang mendatangkan kebaikan orang-orang yang menyuruh bersedekah,
menyuruh berbuat baik atau menyuruh mendamaikan manusia. Barangsiapa yang
mengerjakan itu, karena mengharapkan keredaan Allah, akan Kami berikan
kepadanya pahala yang besar”. S 4 An Nisaa’ ayat 114. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan kalau ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu
berperang-perangan, hendaklah kamu damaikan antara keduanya !”. S 49 Al
Hujuraat ayat 9. Mendamaikan ialah melarang dari memberontak dan mengembalikan
kepada kepatuhan (ketaatan). Kalau tidak berbuat demikian maka Allah Ta’ala
memerintahkan memeranginya, dengan firmanNya: “Maka perangilah yang melanggar
perjanjian sampai surut, kembali kepada perintah Allah !”. S 49 Al Hujuraat
ayat 9. Dan itu adalah larangan berbuat yang salah (munkar). Adapun hadits,
diantaranya yang diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, bahwa beliau
berkata pada suatu pidato yang dipidatokannya sesudah menjadi khalifah: “Hai
manusia !”. Sesungguhnya kamu membaca ayat ini dan menterjemahkannya bersalahan
dari ta’wilannya, yaitu ayat: “Hai orang-orang yang beriman ! jagalah dirimu !
tidaklah akan membahayakan kepadamu orang yang sesat itu, kalau kamu ada
menurut jalan yang benar”. S 5 Al Maaidah ayat 105. Sesungguhnya aku mendengar
Rasulullah saw bersabda: “Tiadalah dari suatu kaum yang berbuat perbuatan
maksiat dan dalam kalangan mereka ada orang yang sanggup menantang mereka itu,
lalu tiada berbuat, melainkan hampirlah mereka diratakan oleh Allah dengan azab
daripadaNya”. Diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khasyani, bahwa ia bertanya
kepada Rasulullah saw tentang tafsir firman Allah Ta’ala: “Tidaklah akan
membahayakan kepadamu orang yang sesat itu, kalau kamu ada menurut jalan yang
benar”. S 5 Al Maaidah ayat 105 di atas, lalu Rasulullah saw menjawab: “Hai Abu
Tsa’labah ! suruhlah berbuat perbuatan yang baik dan laranglah berbuat
perbuatan yang jahat ! apabila engkau melihat kikir yang dituruti, hawa nafsu
yang diikuti, dunia yang dipilih dan ketakjuban masing-masing orang dengan
pendapatnya sendiri, maka haruslah engkau tinggal sendirian dan tinggalkanlah
orang-orang awam ! sesungguhnya, di belakangmu itu banyak fitnah, seperti
memutuskan malam yang amat gelap, bagi orang yang berpegang padanya seperti
yang kamu padanya, memperoleh 50 pahala daripada kamu”. Lalu ada yang bertanya:
“Bahkan, dari mereka itu, wahai Rasulullah ?”. Rasulullah saw menjawab: “Tidak
! tetapi daripada kamu. Karena kamu memperoleh pembantu-pembantu yang menyuruh
mengerjakan kebaikan. Dan mereka itu tiada memperoleh pembantu-pembantu untuk
yang demikian”. Ditanyakan Ibnu Mas’ud ra tentang penafsiran ayat tadi (ayat
105 S AL Maaidah), lalu beliau menjawab: “Bahwa ini bukanlah zamannya ayat itu.
Bahwa ayat itu pada hari ini diterima. Tetapi hampirlah akan datang zamannya,
dimana kamu menyuruh mengerjakan perbuatan yang baik. Lalu diperbuat kepadamu
begini-begitu dari kejahatan. Dan kamu berkata menyuruh berbuat kebajikan,
tetapi tidak terima daripada kamu itu. Maka ketika itu, haruslah kamu menjaga
dirimu sendiri. Tiada akan mendatangkan kemelaratan kepadamu oleh orang yang
sesat, apabila kamu telah memperoleh petunjuk”. Rasulullah saw bersabda:
“Hendaklah kamu menyuruh mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kejahatan
atau dikeraskan oleh Allah kepadamu akan orang-orang jahat kamu. Kemudian
orang-orang baik kamu melakukan seruan (da’wah), tetapi seruan mereka itu tiada
diterima”. Artinya: hilang kehebatan mereka pada pandangan orang-orang jahat.
Mereka itu tiada takut kepada orang-orang baik itu. Nabi saw bersabda: “Hai
manusia ! sesungguhnya Allah berfirman: “Hendaklah kamu menyuruh mengerjakan
kebaikan dan melarang mengerjakan kejahatan, sebelum kamu melakukan da’wah,
dimana nanti tiada akan diterima seruanmu. Nabj saw bersabda: “Tiadalah amal
kebajikan pada sisi jihad fi sabilillah, selain seperi sekali ludah dalam
lautan luas. Dan tiada semua amal kebajikan dan jihad fi sabilillah pada sisi
amar-ma’ruf dan nahi-munkar, melainkan seperti sekali ludah dalam lautan luas”.
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menanyakan hamba-hambaNya:
“Apakah yang menghalangi engkau ketika engkau melihat perbuatan munkar untuk
melarangnya ?”. Apabila Allah Ta’ala mengajarkan kepada hamba akan alasannya,
lalu hamba itu berkata: “Wahai Tuhanku ! aku percaya akan Engkau dan aku
memisahkan diri dari manusia”. Nabi saw bersabda: “Jagalah dirimu dari duduk di
jalan !”. Para sahabat menjawab: “Tak dapat tidak kami harus duduk di jalan.
Sesungguhnya jalan itu adalah tempat duduk-duduk kami, di mana disitu kami
bercakap-cakap”. Rasulullah saw menjawab: “Apabila kamu enggan, kecuali
demikian, maka berilah kepada jalan itu haknya !”. Mereka itu bertanya: “Apakah
hak jalan itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Memicingkan mata, mencegah menyakitkan
orang, menjawab salam, beramar-maa’ruf dan bernahi-munkar”. Nabi saw bersabda:
“Perkataan anak Adam (manusia) semuanya ke atasnya (memberatkannya), tidak
untuknya (menguntungkannya), kecuali amar-ma’ruf atau nahi-munkar atau dzikir
kepada Allah Ta’ala”. Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala tiada menyiksa orang
pilihan (orang khawwash) disebabkan dosa orang awam, kecuali kelihatan
perbuatan munkar dihadapan mereka dan mereka sanggup melarangnya, lalu tidak
diterangkannya”. Abu Amamah Al-Bahili meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa Nabi
saw bertanya: “Bagaimanakah sikapmu, apabila isterimu durhaka, pemuda-pemudamu
fasiq dan kamu meninggalkan jihad ?”. Para sahabat itu menjawab: “Apakah yang
demikian itu ada, wahai Rasulullah ?”. Rasulullah saw menjawab: “Ada ! demi
Allah yang nyawaku di tanganNya ! yang lebih berat dari itu akan ada”. Lalu
mereka bertanya: “Apakah yang lebih berat daripadanya, wahai Rasulullah ?”.
Rasulullah saw menjawab: “Bagaimanakah kamu apabila tidak beramar-ma’ruf dan
bernahi-munkar ?”. mereka itu bertanya lagi: “Adakah yang demikian, wahai
Rasulullah ?”. Rasulullah saw menjawab: “Ada ! demi Allah yang nyawaku di
tanganNy. Yang lebih berat dari itu akan ada”. Mereka itu bertanya pula:
“Apakah yang lebih ibarat dari itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Bagaimanakah
kamu, apabila kamu melihat yang ma’ruf (baik) menjadi munkar (jahat)dan yang
munkar menjadi ma’ruf ?”. Mereka itu bertanya pula: “Adakah yang demikian itu,
wahai Rasulullah ?”. Rasulullah saw menjawab: “Ada ! demi Allah yang nyawaku di
tanganNya. Yang lebih berat itu akan ada !”. Mereka itu bertanya: “Apakah yang
lebih berat dari itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Bagaimanakah kamu, apabila
kamu menyuruh mengerjakan munkar dan melarang mengerjakan ma’ruf ?”. Mereka itu
bertanya: “Adakah yang demikian, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Ada !
demi Allah yang nyawaku di tanganNya. Yang lebih berat dari itu akan ada. Allah
Ta’ala berfirman: ‘Dengan kebesaranKu Aku bersumpah. Sesungguhnya Aku taqdirkan
bagi mereka fitnah, dimana orang yang penyantun menjadi heran padanya”. Dari
‘Akramah, dari Ibnu ‘Abbas ra, dimana Ibnu Abbas itu berkata: “Rasulullah saw
bersabda: ‘Jangan kamu berdiri di sisi laki-laki yang membunuh orang teraniaya
! sesungguhnya kutukan itu akan turun ke atas orang yang hadir dan tidak
menolak kedzaliman itu. Dan jangan engkau berdiri di sisi laki-laki yang
memukul orang yang teraniaya ! karena kutukan itu akan turun ke atas orang yang
hadir dan tidak menolak kedzaliman itu”. Ibnu Abbas ra berkata: “Rasulullah saw
bersabda: “Tiada seyogyalah bagi manusia yang menyaksikan suatu tempat, yang
padanya ada kebenaran, melainkan mengatakan kebenaran itu. Karena sesungguhnya
yang demikian tiada akan mendahulukan ajalnya dan tidak akan menghalangi rezeki
yang teruntuk baginya”. Hadits ini
menunjukkan bahwa tidak boleh masuk ke rumah orang-orang dzalim, orang-orang
fasiq. Dan tidak boleh menghadiri tempat-tempat yang akan dipersaksikan
perbuatan munkar padanya. Dan ia tidak sanggup merobahnya. Karena Nabi saw
bersabda: “Kutukan itu akan turun kepada orang yang menghadirinya”. Dan tidak
boleh menyaksikan perbuatan munkar, tanpa ada keperluan, dengan beralasan lemah
dari mencegahnya. Karena inilah segolongan dari ulama terdahulu (ulama salaf)
memilih ‘uzlah. Karena dilihat mereka perbuatan munkar di pasar-pasar,
hari-hari Raya dan tempat-tempat perkumpulan. Dan mereka itu lemah daripada
merobahnya. Dan ini menghendaki harusnya meninggalkan bergaul dengan orang
banyak. Karena inilah Umar bin Abdul-aziz ra berkata: “Tiada mengembara para pengembara
dan meninggalkan kampung dan anak-anak mereka, kecuali disebabkan seperti apa
yang terjadi pada kita, ketika melihat kejahatan telah timbul dan kebajikan
telah terbenam. Dan mereka melihat bahwa tidak diterima perkataan dari orang
yang berkata benar. Dan melihat bermacam-macam fitnah dan tidak merasa aman
dari terlibat mereka padanya. Dan azab (bencana) akan turun kepada kaum itu,
lalu tidak akan selamat dari bencana itu”. Maka mereka melihat bahwa
bercampur-baur dengan binatang buas dan memakan sayur-sayuran adalah lebih baik
dari bercampur-baur dengan mereka itu di dalam kenikmatan”. Kemudian, Umar bin
Abdul-aziz membaca ayat: “Sebab itu, segeralah pergi kepada Allah; sesungguhnya
aku pemberi peringatan yang terang dari Allah kepada kamu !”. S 51 Adz
Dzaariyaat ayat 50. Umar bin Abdul-aziz menyambung: “Lalu suatu kaum itu pergi.
Jikalau tidaklah Allah Ta’ala –maha besar pujian kepadaNya- menjadikan rahasia
pada kenabian, sesungguhnya kami akan mengatakan, bahwa tidaklah para nabi itu
lebih utama daripada kaum itu, tentang apa yang sampai kepada kami, bahwa para
malaikat as berjumpa dan berjabatan tangan dengan mereka. Awan dan binatang
buas lalu pada salah seorang dari mereka. Maka orang itu memanggilnya. Maka
awan dan binatang buas itu menyahut akan panggilannya. Dan orang itu bertanya
kepadanya: “Di manakah engkau suruh ?”. Awan dan binatang buas itu menerangkan
kepadanya, sedang orang itu bukan nabi. Abu Hurairah ra berkata: “Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa hadir pada perbuatan maksiat, tetapi tiada
menyukainya, maka seakan-akan ia tidak datang pada perbuatan maksiat itu. Dan
barangsiapa tiada datang pada perbuatan maksiat, tetapi menyukainya, maka
seakan-akan ia hadir pada perbuatan maksiat itu”. Arti hadits tadi, ialah ia hadir karena ada keperluan.
Atau kebetulan terjadinya perbuatan munkar itu di hadapannya. Adapun hadir
dengan disengaja itu terlarang, berdalilkan hadits pertama di atas. Ibnu Mas’ud
ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘Allah Azza Wa Jalla tiada mengutuskan
seorang nabi, melainkan nabi itu mempunyai pembantu-pembantu (hawary). Maka
Nabi itupun berdiri di tengah-tengah mereka –masya’-allah- berbuat pada mereka
menurut Kitab Allah dan perintahNya. Sehingga apabila Allah mengambil
(mewafatkan) nabiNya, niscaya para pembantu itu bangun bekerja menurut Kitab
Allah dan perintahNya dan sunnah nabi mereka. Apabila mereka telah habis
binasa, maka sesudah mereka, ada suatu kaum yang naik ke atas mimbar,
mengatakan apa yang mereka pandang baik (berkata yang ma’ruf) dan berbuat apa yang
mereka pandang buruk (berbuat yang munkar). Apabila kamu melihat yang demikian,
maka berhaklah di atas tiap-tiap orang mu’min berjihad menantang mereka dengan
tangannya. Jikalau tidak sanggup, maka dengan lidahnya. Dan jikalau tidak
sanggup, maka dengan hatinya. Dan tidaklah lagi dibalik itu Islam”. Ibnu Mas’ud
ra berkata: “Adalah penduduk suatu kampung berbuat perbuatan maksiat. Dan ada
pada mereka 4 orang yang menantang apa yang diperbuat mereka itu. Salah seorang
dari yang 4 itu bangun dan berkata: “Bahwasanya kamu berbuat begini begitu dari
perbuatan jahat”. Lalu orang tersebut melarang mereka dan menerangkan kejinya
apa yang diperbuat mereka. Lalu mereka itu menolak dan tidak berhenti dari
perbuatan mereka yang jahat itu. Maka orang itu memaki mereka lalu merekapun
memaki orang itu. Orang itu memerangi mereka, lalu mereka mengalahkan orang
itu. maka orang itupun mengasingkan diri (ber-‘uzlah). Kemudian berdoa: “Wahai
Allah Tuhanku ! bahwasanya aku telah melarang mereka. Tetapi mereka tiada
mematuhi akan aku. Aku memaki mereka, lalu mereka memaki aku. Aku memerangi
mereka, lalu mereka mengalahkan aku”. Kemudian orang itupun pergi.......
Kemudian bangun yang lain. Lalu melarang mereka. Tetapi mereka itu tiada
mematuhinya. Maka ia memaki mereka itu, lalu mereka itu memakinya. Orang itupun
lalu mengasingkan diri. Kemudian berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! bahwasanya aku
telah melarang mereka itu. Tetapi mereka itu tiada mematuhi akan aku. Aku
memaki mereka, lalu mereka memaki aku. Jikalau aku memerangi mereka, niscaya
mereka mengalahkan aku”. Kemudian orang itupun pergi....... Kemudian bangun
orang ketiga. Lalu melarang mereka itu. Tetapi mereka itu tiada mematuhinya.
Maka orang itupun mengasingkan diri. Kemudian berdoa: “Wahai Allah Tuhanku !
bahwasanya aku telah melarang mereka, tetapi mereka tiada mematuhi akan aku.
Jikalau aku memaki mereka, niscaya mereka memaki aku. Jikalau aku memerangi
mereka, niscaya mereka mengalahkan aku”. Kemudian orang itupun pergi. Kemudian,
bangun orang ke-4, lalu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! bahwasanya jikalau aku
melarang mereka, niscaya mereka mendurhakai aku. Jikalau aku memaki mereka,
niscaya mereka memaki aku. Jikalau aku memerangi mereka, niscaya mereka
mengalahkan aku”. Kemudian, orang itupun pergi...... Berkata Ibnu Mas’ud ra:
“Orang ke-4 itu adalah yang peling rendah derajatnya. Dan sedikitlah dalam
kalangan kamu orang yang seperti itu”. Ibnu Abbas ra berkata: “Ada orang yang
bertanya kepada Nabi saw: ‘Wahai Rasulullah ! adakah dibinasakan kampung dan
pada kampung itu, ada orang-orang shalih ?”. Rasulullah saw menjawab: “Ada !”.
Yang bertanya itu bertanya lagi: “Disebabkan apa, wahai Rasulullah ?”.
Rasulullah saw menjawab: “Disebabkan mereka memandang mudah dan berdiam diri
daripada melarang perbuatan yang mendurhakai Allah Ta’ala”. Jabir bin Abdullah
berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘Allah Ta’ala mewahyukan kepada salah
seorang malaikat: ‘Bahwa balikkanlah kota anu dan kota anu ke atas penduduknya
!”. Lalu malaikat itu menjawab: “Wahai Tuhanku ! sesungguhnya dalam kalangan
mereka itu ada hamba Engkau si polan, yang tidak mendurhakai akan Engkau
sekejap matapun”. Allah Ta’ala berfirman: “Balikkanlah kota itu ke atas hamba
itu dan ke atas mereka ! sesungguhnya mukanya tiada berobah sekali-kali
sesaatpun”. ‘Aisyah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Disiksakan penduduk
suatu kampung, dimana padanya 18 ribu orang, yang perbuat mereka itu perbuatan
nabi-nabi”. Lalu para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah ! bagaimanakah maka
demikian ?”. Rasulullah saw menjawab: “Tiadalah mereka itu marah karena Allah.
Tiada menyuruh mengerjakan yang baik dan tiada melarang dari perbuatan jahat”.
Dari ‘Urwah, dari bapaknya, yang mengatakan: “Nabi Musa as bertanya kepada
Tuhan: ‘Wahai Tuhanku ! manakah hambaMu yang lebih Engkau cintai ?”. Allah Ta’ala
berfirman: “Yang bersegera kepada keinginanKu, sebagaimana bersegerannya elang
kepada keinginanny. Yang memberatkan dirinya disebabkan hambaKu yang
shalih-shalih, sebagaimana anak kecil memberatkan dirinya dengan tetek ibunya.
Dan yang marah apabila dikerjakan orang perbuatan-perbuatan yang Aku haramkan,
sebagaimana marahnya harimau kepada dirinya sendiri. Bahwa harimau itu apabila
marah kepada dirinya sendiri, niscaya ia tiada peduli, sedikitkah manusia itu
atau banyak”. Ini menunjukkan kepada keutamaan mawas diri serta sangatnya
ketakutan. Abu Dzar AL-Ghaffari berkata: “Abu Bakar Shiddiq ra bertanya: ‘Wahai
Rasulullah ! adakah jihad selain dari memerangi orang musyrikin (orang-orang
yang mempersekutukan Allah) ?”. Rasulullah saw menjawab: “Ada ! wahai Abu Bakar
! bahwasanya Allah Ta’ala mempunyai pejuang-pejuang (mujahidin) di bumi, yang
lebih utama dari orang-orang syahid (syuhada’). Mereka itu hidup, yang
memperoleh rezeki, berjalan di atas bumi. Allah berbangga dengan mereka pada
malaikat-malaikat langit. Dan dihias sorga bagi mereka, sebagaimana Ummu Salmah
berhias untuk Rasulullah saw”. Abu Bakar lalu bertanya: “Wahai Rasulullah !
siapakah mereka itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Orang-orang yang
beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar, berkasih-kasihan pada Allah dan marah pada
jalan Allah”. Kemudian, Rasulullah saw menyambung: “Demi Allah yang nyawaku di
tanganNya ! sesungguhnya seorang hamba dari mereka itu berada dalam kamar
diatas segala kamar, diatas kamar orang-orang syahid. Masing-masiing kamar daripadanya
mempunyai 300 ribu pintu. Diantaranya dari yaqut (permata merah) dan zamrud
yang hijau. Di atas masing-masing pintu itu nur. Dan bahwa seorang laki-laki
dari mereka itu dikawinkan dengan 300 ribu bidadari yang amat elok rupanya.
Setiap kali orang itu berpaling kepada salah seorang dari bidadari-bidadari
itu, lalu memandang kepadanya, maka bidadari itu berkata: ‘Adakah engkau
teringat akan hari itu dan hari itu, di mana engkau beramar-ma’ruf dan
bernahi-munkar ?’. Setiap kali ia memandang kepada salah seorang dari
bidadari-bidadari itu, lalu ia memperingatkan laki-laki tersebut akan tempat
dimana ia melakukan amar-ma’ruf dan nahi-munkar”. Abu ‘Ubadaidah bin Al-Jarrah
berkata: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah ! orang syahid manakah yang lebih mulia
pada Allah Azza Wa Jalla ?”. Rasulullah saw menjawab: “Yaitu laki-laki yang
bangun berdiri kepada raja (penguasa) yang dzalim. Lalu ia beramar-ma’ruf dan
bernahi-munkar. Maka raja itu membunuhnya. Jikalau tidak dibunuhnya, maka pena
malaikat penulis amalan manusia (malaikat kiraminkatibin) tiada berlaku di
atasnya lagi sesudah itu (amalannya tidak ditulis lagi). Walaupun ia hidup
selama hidupnya”. Al-Hasan Al-Bashari ra
berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘Yang paling utama orang syahid dari umatku,
ialah laki-laki yang berdiri kepada imam (kepala) yang dzalim. Lalu menyuruh
mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kejahatan. Lalu imam itu
membunuhnya di atas yang demikian. Maka orang syahid tersebut, tempatnya dalam
sorga antara Hamzah dan Ja’far”. Umar bin Al-Khattab ra berkata: “Aku mendengar
Rasulullah saw bersabda: ‘Seburuk-buruk kaum ialah kaum yang tidak menyuruh
dengan keadilan. Dan seburuk-buruk kaum ialah kaum yang tidak menyuruh dengan
kebaikan dan tidak melarang dari kejahatan”. Adapun atsar: maka Abud-Darda’ ra
berkata: “Hendaklah kamu beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar. Atau akan
dikuasakan oleh Allah ke atasmu seorang sultan (penguasa) yang dzalim, yang
tidak dimuliakannya yang tua dari kamu dan tidak dikasihinya yang kecil dari
kamu. Dan berdoa ke atas penguasa itu orang-orang pilihan dari kamu. Tetapi doa
itu tiada diterima. Dan kamu meminta pertolongan, tetapi kamu tidak akan
ditolong. Dan kamu meminta ampun, tetapi tidak akan diberi ampunan bagimu”.
Hudzaifah ra ditanyakan tentang orang yang mati dari orang-orang hidup. Maka
beliau menjawab: “Ialah orang yang tidak menantang perbuatan jahat dengan
tangannya, dengan lisannya dan hatinya”. Malik bin Dinar berkata: “Adalah salah
seorang dari pendeta Bani Israil mendatangkan laki-laki dan wanita ke
tempatnya. Ia memberi pengajaran kepada mereka dan mengingatkan mereka akan
hari-hari Allah Azza Wa Jalla”. Maka pada suatu hari, pendeta itu, melihat
sebahagian anaknya mengedip-ngedipkan matanya kepada sebahagian wanita. Lalu
pendeta itu menegur: “Pelan-pelan, wahai anakku, pelan-pelan !”. Dan pendeta
itu jatuh dari tempat tidurnya. Lalu putus urat lehernya. Dan ia menjatuhkan
perempuannya. Dan anak-anaknya dibunuh dalam ketentaraan. Maka Allaj Ta’ala
menurunkan wahyu kepada Nabi zaman pendeta itu, yang maksudnya: “Terangkanlah
kepada pendeta Anu: bahwa Aku tidak akan mengeluarkan dari tulang sulbimu
seorang yang benar untuk selama-lamanya. Apakah tidak dari kemarahanmu
kepadaKu, bahwa engkau hanya mengatakan: ‘Pelan-pelan, wahai anakku, pelan-pelan
!”. Hudzaifah berkata: “Akan datang kepada manusia suatu masa, di mana pada
mereka itu, bangkai keledai lebih mereka cintai, dari orang mu’min yang
menyuruh mereka mengerjakan yang baik dan melarang mereka berbuat yang jahat”.
Allah ‘Azza Wa Jalla mewahyukan kepada nabi Yusya’ bin Nun as: “Bahwasanya Aku
membinasakan dari kaummu 40 ribu orang dari orang-orang baik dan 60 ribu dari
orang-orang jahat”. Maka Nabi Yusya’ berdoa: “Wahai Tuhanku ! mereka itu
orang-orang jahat. Maka bagaimanakah orang-orang baik ?”. Allah Ta’ala
berfirman: “Bahwasanya mereka itu tiada marah karena kemarahanKu. Mereka
wakil-mewakilkan dan minum-minum sesama mereka”. Bilal bin Sa’ad berkata:
“Bahwasanya perbuatan ma’siat, apabila disembunyikan, niscaya tiada
mendatangkan kemelaratan, kecuali kepada yang mengerjakannya. Maka apabila
dilahirkan dan tidak dihilangkan, niscaya mendatangkan kemelaratan kepada
umum”. Ka’bul-Ahbar bertanya kepada Abi Muslim Al-Khaulani: “Bagaimanakah
kedudukan engkau pada kaum engkau?”. Abi Muslim menjawab: “Baik !”.
Ka’bul-Ahbar menyambung: “Sesungguhnya Taurat mengatakan bukan demikian”. Abi
Muslim bertanya: “Apakah kata Taurat ?”. Ka’bul-Ahbar menjawab: “Taurat
mengatakan, bahwa orang, apabila beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar, niscaya
buruklah kedudukannya pada kaumnya”. Lalu Abi Muslim berkata: “Benar Taurat dan
bohong Abi Muslim”. Abdullah bin Umar ra mendatangi orang-orang yang
bertanggung-jawab dalam pemerintahan. Kemudian tidak lagi mendatangi mereka
itu. Lalu orang berkata kepadanya:
“Jikalau engkau datangi mereka, maka mudah-mudahan mereka memperoleh kesan dari
perkataanmu pada diri mereka”. Abdullah bin Umar menjawab: “Aku takut, jikalau
aku berkata-kata, akan mereka melihat, bahwa yang padaku bukan yang padaku. Dan
jikalau aku berdiam diri, aku takut aku berdosa”. Ini menunjukkan bahwa orang
yang lemah dari amar-ma’ruf, maka haruslah menjauhkan diri dari tempat itu. Dan
menutupkan diri daripadanya. Sehingga ia tidak melalui tempat, yang ia dapat
dilihat dari tempat itu. Ali bin Abi Thalib ra berkata: “Yang pertama-tama yang
engkau menangi dari perjuangan (jihad) itu, ialah perjuangan dengan tanganmu.
Kemudian perjuangan dengan lidahmu. Kemudian perjuangan dengan hatimu. Apabila
hati tidak mengenal yang baik (ma’ruf) dan tidak menantang yang jahat (munkar),
niscaya hati itu terbalik. Lalu yang diatas, menjadi di bawah”. Sahal bin
Abdullah ra berkata: “Yang manapun hamba yang berbuat pada sesuatu dari
agamanya, dengan apa yang disuruh atau dilarang oleh agamanya dan ia bergantung
pada yang demikian ketika rusaknya dan buruknya keadaan serta kacau-balaunya
zaman, maka hamba tersebut termasuk orang yang bangun karena Allah pada
zamannya, dengan amar-ma’ruf dan nahi-munkar”. Artinya, apabila tidak sanggup
beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar, selain di atas dirinya sendiri, lalu ia
bangun dengan dirinya sendiri dan menantang hal-ihwal orang lain dengan
hatinya, maka sesungguhnya orang itu telah mengerjakan apa yang menjadi tujuan
pada haknya. Orang bertanya kepada Al-Fudlail: “Apa tidakkah engkau beramar-ma’ruf
dan bernahi-munkar ?”. Al-Fudlail menjawab: “Bahwa suatu kaum beramar-ma’ruf
dan bernahi-munkar, lalu menjadi kufur (tertutup hatinya). Dan yang demikian
itu, karena mereka tidak sabar di atas bencana yang menimpa diri mereka”. Orang
bertanya kepada Ats-Tsuri: “Apa tidakkah engkau beramar-ma’ruf dan
bernahi-munkar ?”. Ats-Tsuri menjawab: “Apabila laut itu bergoncang, maka
siapakah yang sanggup menenangkannya ?”. Maka jelaslah dengan dalil-dalil ini,
bahwa amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu wajib. Dan fardlunya itu tidak gugur
serta ada kesanggupan, kecuali bangun orang yang bangun melaksanakannya. Maka
marilah sekarang kami sebutkan syarat-syaratnya dan syarat-syarat wajibnya:
BAB KEDUA: Tentang rukun amar-ma’ruf dan
syarat-syaratnya.
Ketahuilah,
bahwa rukun (sendi) pada bagusnya pengaturan dan persiapan (hisbah) yaitu
kata-kata yang melengkapi bagi amar-ma’ruf dan nahi-munkar, ialah 4: muhtasib
(orang yang melaksanakan, amar-ma’ruf dan nahi-munkar), muhtasab ‘alaih (orang
yang disuruh mengerjakan yang baik dan dilarang mengerjakan yang jahat),
muhtasab fih (perbuatan yang disuruh atau dilarang) dan nafsul-ihtisab
(perbuatan dari si muhtasib). Itulah 4 rukun. Dan masing-masing daripadanya
mempunyai syarat-syarat.
RUKUN
PERTAMA: Muhtasib (pengatur dan pelaksana).
Muhtasib itu mempunyai syarat-syarat. Yaitu: bahwa
si muhtasib itu orang mukallaf muslim dan mempunyai kesanggupan. Maka tidak
termasuk orang gila, anak-anak, orang kafir dan orang yang tidak mempunyai
kesanggupan (orang lemah). Dan termasuk dalam kewajiban ini masing-masing
rakyat. Walaupun mereka tidak memperoleh keizinan dari yang berwenang. Dan
masuk pula orang fasiq, budak dan wanita. Maka marilah kami sebutkan segi
persyaratan dari apa yang kami syaratkan dan segi pembuangan syarat dari apa yang
kami buangkan syaratnya.
Syarat pertama: yaitu mukallaf. Maka tidak
tersembunyi segi persyaratannya. Karena orang yang tidak mukallaf, tidaklah
wajib atasnya sesuatu. Dan apa yang kami sebutkan, kami maksudkan syarat
wajibnya. Adapun mungkinnya berbuat dan pembolehannya, maka tidak ada yang
memanggilnya, selain akal. Sehingga anak kecil, yang hampir dewasa, yang telah
dapat membedakan diantara yang buruk dan yang baik, walaupun ia belum mukallaf,
maka baginya dapat menantang perbuatan-perbuatan munkar. Ia dapat menuangkan
khamar dan menghancurkan alat permainan. Apabila ia berbuat demikian, niscaya
ia memperoleh pahala. Dan tiadalah bagi seseorang melarangnya, dari segi dia
itu belum mukallaf. Sesungguhnya perbuatan tersebut itu mendekatkan diri kepada
Allah Ta’ala (qurbah). Dan dia termasuk diantara orang yang berhak padanya,
seperti: shalat, menjadi imam dan qurbah-qurbah lainnya. Dan tidaklah hukum
amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu sama dengan hukum memegang pemerintahan.
Sehingga perlu disyaratkan padanya mukallaf. Dan karena itulah, kami tetapkan
wajibnya amar-ma’ruf dan nahi-munkar atas budak dan masing-masing rakyat.
Benar, pada mencegah kemungkaran dengan perbuatan dan membatalkan perbuatan
munkar itu semacam pemerintahan dan kekuasaan. Tetapi hal itu dapat diperoleh
faedahnya dengan semata-mata iman, seperti membunuh orang musyrik, membatalkan
sebab-sebab kemusyrikan dan mencabut senjata-senjatanya. Sesungguhnya anak
kecil boleh memperbuat demikian, dimana tidak mendatangkan kemelaratan
kepadanya. Mencegah dari perbuatan fasiq adalah seperti mencegah dari kufur.
Syarat kedua: yaitu iman. Maka tidak tersembunyi
segi persyaratannya. Karena ini pertolongan bagi agama. Bagaimana ada dari ahli
agama, orang yang memungkiri pokok agama dan menjadi musuh agama ?.
Syarat ketiga: yaitu adil. Sebahagian utama
memandang adil itu syarat. Dan mengatakan, bahwa: orang fasiq tidak menjadi
muhtasib. Mungkin mereka mengambil dalil dengan tantangan yang datang kepada
orang yang menyuruh sesuatu, yang tidak dikerjakannya. Seumpama firman Allah
Ta’ala: “Mengapa kamu suruh orang –lain- mengerjakan kebaikan dan kamu lupakan
dirimu sendiri ?”. S 2 Al Baqarah ayat 44. Dan firman Allah Ta’ala: “Besarlah
kutukan dari Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”. S 61 Ash
Shaff ayat 3. Dan berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah saw,
bahwa Rasulullah saw bersabda: “Aku melalui pada malam aku diisrakan kepada
suatu kaum, dimana bibir mereka itu dipotong dengan alat-alat pemotong dari
api. Maka aku bertanya: “Siapa kamu ?”. Kaum itu menjawab: “Adalah kami
menyuruh berbuat kebaikan dan kami tidak mengerjakannya. Kami melarang berbuat
kejahatan dan kami mengerjakannya”. Dan berdalil dengan apa yang diriwayatkan,
bahwa Allah Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Isa as: “Ajarilah dirimu sendiri !
jikalau kamu telah memperoleh pengajaran, maka ajarilah manusiia ! jikalau
tidak, maka malulah kepadaKu !”. Kadang-kadang mereka itu mengambil dalil
dengan jalan qias (analogi), bahwa memberi petunjuk kepada orang lain, adalah
cabang dari petunjuk diri sendiri. Dan begitupula meluruskan orang lain adalah
cabang dari petunjuk diri sendiri. Dan begitupula meluruskan orang lain adalah
cabang dari kelurusan diri sendiri. Dan memperbaiki orang lain adalah merupakan
zakat dari nishab perbaikan diri sendiri. Orang yang dirinya sendiri tidak
baik, bagaimanakah memperbaiki orang lain ? kapankah bayang-bayang itu lurus,
sedang kayunya bengkok ? dan semua yang disebutkan mereka, adalah khayalan.
Yang benar, orang fasiq berhak menjadi muhtasib. Dalilnya, ialah apa yang kami
katakan: adakah disyaratkan pada ihtisab (persiapan dan pelaksanaan amar-ma’ruf
dan nahi-munkar), pelaksananya itu terpelihara dari segala perbuatan ma’siat ?
sesungguhnya syarat demikian, adalah merobekkan Ijma’ (sepakat) (kesepatakan para ulama). Kemudian menutupkan
pintu ihtisab. Karena tiadalah terpelihara dari dosa bagi para sahabat, apalagi
orang lain. Dan nabi-nabii, terdapat perselisihan pendapat tentanng
terpeliharanya dari kesalahan Alquran Mulia menunjukkan kepada penyandaran Adam
as kepada perbuatan ma’siat. Dan demikian juga segolongan dari nabi-nabi. Dan
karena inilah, Sa’id bin Jubair berkata: “Jikalau tidak beramar-ma’ruf dan
bernahi-munkar, kecuali orang yang tak ada padanya sesuatu kesalahan, niscaya
tidaklah seseorang menyuruh mengerjakan sesuatu”. Maka amat mena’jubkan Imam
Malik ra oleh perkataan yang demikian dari Sa’id bin Jubair. Jikalau mereka
menda’wakan, bahwa yang demikian tidak disyaratkan terpelihara dari dosa-dosa
kecil, sehingga boleh bagi pemakai sutera, melarang dari perbuatan zina dan
minum khamar. Maka kami memajukan pertanyaan: Bolehkah peminum khamar memerangi
orang-orang kafir dan ditugaskan kepada mereka, melarang kekufuran ?. Jikalau
mereka itu menjawab: tidak, maka mereka telah mengoyak-ngoyakkan Ijma’
(sepakat) . Karena tentara muslimin senantiasa terdiri dari orang baik dan
orang dzalim, peminum khamar dan penganiaya anak-anak yatim. Dan mereka tidak
dilarang berperang. Tidak dilarang pada masa Rasulullah saw dan tidak pada masa
sesudahnya. Jikalau mereka itu menjawab: ya, maka kami menjawab: peminum
khamar, adakah dilarang berperang atau tidak ? jikalau mereka itu menjawab:
tidak, maka kami bertanya: “Apakah perbedaannya antara peminum khamar dan
pemakai sutera ? karena boleh baginya melarang meminum khamar. Dan membunuh
adalah lebih besar dosanya, dibandingkan dengan meminum khamar. Seperti meminum
khamar, dibandingkan kepada memakai sutera. Jadi, tiada beda...... Jikalau
mereka itu mengatakan: ya, ada perbedaannya dan mereka menguraikan persoalannya,
bahwa tiap-tiap yang didahulukan atas sesuatu, maka tidaklah dilarang yang
seumpama dengan dia dan yang lebih kurang daripadanya. Yang dilarang, ialah
yang di atas daripadanya. Ini adalah hukum dibuat-buat. Sesungguhnya,
sebagaimana tiada jauh dari pemahaman, bahwa peminum khamar itu melarang orang
lain dari perbuatan zina dan membunuh orang. Maka dari manakah jauhnya
pemahaman, bahwa penzina itu melarang orang lain dari meminum khamar ? bahkan,
dari manakah jauhnya pemahaman, bahwa dia meminum khamar dan melarang
budak-budaknya dan pelayan-pelayannya dari meminum khamar ?. Dan ia berkata:
“Wajib atasku melarang bagiku sendiri (intiha’) dan bagi orang lain (nahyu)”.
Maka dari manakah harus bagiku dengan berbuat ma’siat salah satu dari dua perbuatan,
untuk berbuat ma’siat kepada Allah Ta’ala dengan perbuatan yang satu lagi ?
apabila melarang itu wajib atasku, maka dari manakah sebabnya kewajiban
melarang itu gugur, disebabkan aku mengerjakan perbuatan ma’siat itu ?”. Karena
mustahil bahwa dikatakan: wajib atasnya melarang orang meminum khamar, selama
ia sendiri tidak meminum khamar. Apabila ia meminum khamar, niscaya gugurlah
daripadanya kewajiban melarang orang lain. Kalau ada orang berkata: bahwa
berdasarkan ini haruslah orang mengatakan: “Yang wajib atasku, wudlu dan
shalat. Maka aku berwudlu, walaupun aku tidak mengerjakan shalat. Aku makan
sahur, walaupun aku tidak mengerjakan puasa. Karena yang disunnatkan kepadaku
makan sahur dan bersama puasanya”. Tetapi dalam hal ini dikatakan, bahwa salah
satu dari keduanya tersusun di atas yang satu lagi. Maka seperti itu pula,
membetulkan orang lain, tersusun secara tertib di atas membetulkan diri
sendiri. Maka hendaklah memulai dengan diri sendiri lebih dahulu. Kemudian baru
dengan orang yang menjadi tanggungannya. Jawabannya, ialah: bahwa memakan sahur
dimaksudkan untuk puasa. Jikalau tidak puasa, niscaya makan sahur itu tidak
disunatkan. Dan apa yang dimaksudkan untuk yang lain, maka tidaklah terlepas
dari yang lain itu. Dan memperbaiki orang lain, tidaklah dimaksudkan untuk
memperbaiki diri sendiri. Dan tidaklah memperbaiki diri sendiri, untuk
memperbaiki orang lain. Maka perkataan: dengan penyusunan salah satu daripada
keduanya di atas yang lain, adalah hukum dibuat-buat (tahakkum). Adapun wudhu
dan shalat itu lazim (harus). Maka tidak dapat dibantah, bahwa orang yang
berwudlu dan tidak melakukan shalat, adalah menunaikan pekerjaan wudlu saja.
Siksaannya adalah lebih kurang dari siksaan orang yang meninggalkan shalat dan
wudlu. Maka adalah orang yang meninggalkan melarang orang lain dan dirinya
sendiri dari perbuatan ma’siat, mendapat lebih banyak siksaan, dibandingkan
dengan orang yang melarang orang lain dari perbuatan ma’siat dan tidak melarang
terhadap dirinya sendiri. Betapa pula ! wudlu itu suatu syarat yang tidak
dimaksudkan bagi wudlu itu sendiri. Tetapi bagi shalat: maka tidak ada hukum
bagi wudlu, tanpa shalat. Adapun hisbah (persediaan dan persiapan untuk
amar-ma’ruf dan nahi-munkar), tidaklah menjadi syarat pada bernahi-munkar
(intiha’) dan beramar-ma’ruf (i’timar). Maka tidaklah penyerupaan (musyabahah)
diantara keduanya (diantara wudlu dan shalat pada satu pihak dan hisbah dan
amar-ma’ruf serta nahi-munkar pada lain pihak). Kalau ada yang mengatakan:
bahwa berdasarkan kepada yang tersebut, maka haruslah dikatakan: apabila
seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan dan perempuan itu
dipaksakan, lagi ditutupkan mukanya. Lalu ia membuka mukanya dengan kemauannya
sendiri. Maka laki-laki itu beramar-ma’ruf sedang berzina dan berkata: “Engkau
dipaksakan pada berzina dan engkau atas kemauan sendiri membuka muka bagi bukan
mahram engkau. Dan aku ini bukan mahram engkau. Maka tutuplah muka engkau !”.
Maka ini pelaksanaan amar-ma’ruf yang keji, yang ditantang oleh hati tiap-tiap
orang yang berakal. Dan dipandang keji oleh tiap-tiap tabiat yang sejahtera.
Jawabannya ialah: bahwa yang benar itu, kadang-kadang keji. Dan yang
batil/salah/salah itu, kadang-kadang bagus menurut tabiat. Dan yang diikuti
ialah dalil, bukan sangka waham dan khayalan yang lari tabiat daripadanya. Kami
mengatakan, bahwa kata laki-laki itu kepada perempuan tersebut, dalam keadaan
demikian: “Jangan engkau buka muka engkau !”, adalah wajib atau mubah atau
haram. Kalau anda mengatakan wajib, maka itulah yang dimaksud. Karena membuka
muka itu perbuatan ma’siat. Dan melarang ma’siat itu perbuatan yang benar.
Kalau anda mengatakan mubah, jadi laki-laki itu berhak mengatakan apa yang
mubah. Maka apakah artinya kata anda: tiada ada bagi orang fasiq itu hisbah ?.
Dan kalau anda mengatakan haram, maka kami mengatakan: adalah ini wajib. Maka
dari manakah datangnya haram, disebabkan ia mengerjakan zina ? dan termasuk hal
yang ganjil, bahwa yang wajib itu menjadi haram, dengan sebab mengerjakan haram
yang lain. Adapun larinya tabiat dan tabiat menantangnya, adalah karena dua
perkara:
Pertama: bahwa ia meninggalkan yang lebih penting
dan berbuat yang penting. Sebagaimana tabiat lari daripada meninggalkan yang
penting kepada yang tiada penting, maka tabiat itu lari daripada meninggalkan
yang lebih penting dan berbuat yang penting. Sebagaimana tabiat itu lari dari
orang yang berbuat dosa dengan memakan makanan yang dirampas, sedang dia
sendiri selalu berbuat riba. Dan sebagaimana tabiat itu lari dari orang yang
memelihara diri dari perbuatan mengumpat orang dan melakukan kesaksian dusta.
Karena kesaksian dusta adalah lebih keji dan lebih berat dari perbuatan
mengumpat, dimana mengumpat itu, ialah: menceritakan barang yang ada, yang
benar padanya, orang yang menceritakan itu. Kejauhan ini dari jiwa, tidaklah
menunjukkan, bahwa meninggalkan mengumpat itu tidak wajib. Dan bahwa, jikalau
mengumpat atau memakan sesuap nasi yang haram, niscaya tidak bertambah siksaan
dengan demikian. Maka seperti itu pula kemelaratannya di akhirat dari
kema’siatannya itu adalah lebih banyak daripada kemelaratannya dari perbuatan
ma’siat lainnya. Maka mengerjakan yang lebih banyak dengan meninggalkan yang
lebih sedikit, adalah ditantang oleh tabiat, dari segi bahwa tabiat itu
meninggalkan yang lebih banyak. Tidak dari segi dia mengerjakan yang lebih
sedikit. Orang yang dirampas kudanya dan kekang kudanya, lalu bekerja mencari
kekang dan meninggalkan mencari kuda, niscaya tabiat yang sehat lari dari orang
itu. Dan orang itu dipandang orang yang berbuat tidak baik. Karena yang timbul
daripadanya mencari kekang. Sedang mencari kekang itu bukan perbuatan munkar.
Tetapi yang munkar (perbuatan yang salah), ialah: meninggalkan mencari kuda,
dengan mencari kekangnya. Maka sangatlah ditantang orang tersebut. Karena
meninggalkan yang lebih penting, dengan mengerjakan yang kurang penting. Maka
seperti itu pula hisbah orang fasiq, yang dipandang jauh dari baik, dilihat
dari segi ini. Ini tidak menunjukkan bahwa hisbahnya dari segi hisbahnya itu,
perbuatan yang ditantang.
Kedua: hisbah itu, sekali adalah dengan melarang
perbuatan jahat, dengan pengajaran dan sekali dengan paksaan. Dan tidaklah
pengajaran orang yang tidak menggunakan pengajaran itu untuk dirinya sendiri,
yang pertama-tama menyembuhkan. Dan kami mengatakan, bahwa orang yang
mengetahui perkataannya tidak diterima pada hisbah, karena diketahui manusia
fasiqnya, maka tiadalah hisbah kepadanya dengan pengajaran itu. Karena tiada
faedah pada pengajarannya. Maka fasiq itu membekas gugurnya faedah perkataan
dari orang yang fasiq. Kemudian, apabila faedah perkataannya telah gugur (telah
hilang), niscaya gugurlah wajibnya perkataan. Adapun, apabila hisbah itu dengan
melarang perbuatan jahat, maka yang dimaksudkan ialah paksaan. Dan sempurnanya
paksaan, ialah dengan perbuatan bersama dengan hujjah (dalil). Apabila
pelaksanaan amar-ma’ruf (mustasib) itu orang fasiq, maka jikalau ia memaksakan
dengan perbuatan, sesungguhnya ia telah memaksakan dengan hujjah. Karena
dihadapkan kepadanya pertanyaan: “Engkau sendiri mengapakah memperbuatnya ?”.
Maka larilah tabiat dari paksaannya, disebabkan perbuatannya itu. Serta dia
sendiri dipaksakan untuk mengemukakan hujjah. Perbuatan orang fasiq tadi,
tidaklah keluar dari keadaannya itu benar. Sebagaimana orang yang menolak orang
dzalim dari perseorangan orang muslimin dan mengabaikan bapaknya sendiri,
sedang bapaknya itu teraniaya bersama orang-orang muslimin itu, adalah lari
tabiat yang baik dari orang itu. Dan penolakan orang itu akan orang dzalim dari
orang-orang muslimin tersebut, tidaklah keluar dari keadaannya yang benar. Maka
keluarlah dari ini, bahwa orang fasiq itu, tidak wajib atasnya hisbah dengan
pengajaran, kepada orang yang mengetahui kefasiqannya. Karena orang itu tiada
akan menerima pengajarannya. Dan apabila tiada wajib yang demikian ke atas
orang fasiq itu dan ia tahu akan membawa kepada pemanjangan lisan pada
mendatangkan penantangan itu, maka kami berkata: “Tidaklah pula yang demikian
itu baginya. Maka kembalilah perkataan, bahwa salah satu dari kedua macam
ihtisab, yaitu: pengajaran, telah batal dengan sebab fasiq. Dan jadilah adil
(adalah, tidak berbuat ma’siat) itu syarat pada ihtisab. Adapun hisbah paksaan
(hisbah qahriah), maka tidak disyaratkan yang demikian padanya. Maka tak ada
salahnya atas orang fasiq, menuangkan khamar, memecahkan alat-alat permainan
dan lainnya, apabila ia sanggup. Dan ini adalah kesudahan keinsafan dan
pembukaan persoalan. Adapun ayat-ayat yang diambil mereka menjadi dalil, maka
adalah merupakan tantangan kepada mereka, dari segi mereka itu meninggalkan yang
baik. Tidak dari segi mereka itu menyuruh. Tetapi suruhan mereka itu,
menunjukkan kepada teguhnya pengetahuan mereka. Dan siksaan terhadap orang yang
berilmu adalah lebih berat. Karena tak ada kemaafan baginya serta keteguhan
pengetahuannya. Firman Allah Ta’ala: “Mengapa kamu mengatakan apa yang tiada
kamu kerjakan ?”. S 61 Ash Shaff ayat 2, adalah dimaksudkan: janji dusta (dia
berjanji dengan lidahnya berbuat sesuatu tetapi tiada diperbuatnya). Dan firman
Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan kamu lupakan dirimu sendiri”. S 2 Al Baqarah ayat
44, adalah tantangan, dari segi mereka itu melupakan dirinya sendiri. Tidak
dari segi mereka itu menyuruh orang lain. Tetapi menyebut: menyuruh orang lain,
menjadi dalil atas ilmu pengetahuan mereka dan menguatkan hujjah ke atas diri
mereka. Dan firmanNya: “Hai putera Maryam ! ajarilah dirimu !”, -sampai akhir
hadits (karena ini dipetik dari hadits) –adalah mengenai hisbah dengan
pengajaran. Dan kita telah menerima, bahwa pengajaran orang fasiq itu gugur
faedahnya, pada orang yang mengetahui kefasiqannya. Kemudian firmanNya: “Maka
malulah kepadaKu !”, -tidaklah menunjukkan kepada mengharamkan pengajaran
kepada orang lain. Tetapi maksudnya: “Malulah kepadaKu !”, maka janganlah
engkau meninggalkan yang lebih penting dan mengerjakan yang penting.
Sebagaimana dikatakan: “Peliharalah bapakmu, kemudian tetanggamu ! jikalau
tidak, maka malulah !”. Kalau ada yang berkata: maka bolehlah bagi kafir dzimmi
berihtisab kepada orang Islam, apabila dilihatnya orang Islam itu berzinaa.
Karena kata dzimmi itu: “Jangan engkau berzina !”, adalah perkataan yang benar.
Maka mustahillah perkataan itu haram kepadanya. Bahkan seyogyalah mubah atau
wajib. Kami menjawab, bahwa orang kafir, kalau melarang orang Islam dengan
perbuatan, maka adalah penguasaan atas orang Islam. Maka orang kafir itu,
dilarang dari segi ia menguasai. Allah Ta’ala tiada menjadikan jalan bagi
orang-orang kafir ke atas orang-orang mu’min. Adapun semata-mata kata orang
kafir: “Jangan engkau berzina !”, maka tiada diharamkan kepada orang kafir itu,
dari segi bahwa dia melarang dari zina. Akan tetapi dari segi melahirkan
penunjuk penerimaan hukum atas orang Islam. Dan padanya penghinaan bagi orang
yang dijatuhkan hukuman. Dan orang fasiq itu berhak mendapat penghinaan. Akan
tetapi tidak dari orang kafir, yang lebih utama dengan penghinaan itu, dari
orang muslim. Maka inilah segi yang kami larang orang kafir itu dari hisbah.
Kalau tidak demikian, maka tidaklah kami mengatakan, bahwa orang kafir itu
disiksakan disebabkan perkataannya: “Jangan engkau berzina !” dari segi ia
melarang. Tetapi kami berkata, bahwa apabila orang kafir itu tidak mengatakan:
“Jangan engkau berzina !”, niscaya ia akan disiksa, kalau kita berpendapat,
ditujukan kepada orang kafir itu cabang-cabang agama (furu’uddin). Dan pada
persoalan ini ada penelitian yang telah kami sempurnakan pada “pengetahuan
fiqh”. Dan tiada layak dengan maksud kita sekarang.
Syarat keempat: muhtasab itu memperoleh keizinan
dari pihak imam (kepala pemerintahan) dan wali negeri. Suatu golongan mensyaratkan
syarat ini. Dan mereka tidak menetapkan hisbah bagi perseorangan dari rakyat.
Persyaratan ini adalah batal. Karena ayat dan hadits yang telah kami sebutkan
itu, menunjukkan, bahwa tiap-tiap orang yang melihat perbuatan munkar, lalu
berdiam diri, niscaya ia durhaka. Karena wajib melarangnya, dimana saja
dilihatnya dan bagaimana saja dilihatnya pada umumnya. Maka penentuan dengan
syarat penyerahan dari imam, adalah hukum dibuat-buat (tahakkum), tak ada
asalnya. Yang mengherankan, bahwa kaum Rawafidl (suatu golongan yang
meninggalkan pemimpinnya dalam peperangan atau lainnya) menambahkan dari yang
tadi. Lalu berkata: “Tidak boleh beramar-ma’ruf selama belum keluar imam yang
ma’shum (imam yang terpelihara dari segala kesalahan). Yaitu: imam yang benar
pada mereka. Mereka itu adalah seburuk-buruk derajat dari yang dikatakan
mereka. Bahkan jawaban mereka, bahwa dikatakan kepada mereka, apabila mereka
datang kepada kehakiman, menuntut hak mereka mengenai darah (pembunuhan) dan
harta mereka: “Bahwa pertolongan kamu itu suatu amar-ma’ruf. Dan mengeluarkan
hak-hak kamu dari tangan orang-orang yang berbuat dzalim kepadamu itu, suatu
nahi-munkar. Dan tuntutanmu terhadap hakmu, termasuk dalam jumlah amar-ma’ruf.
Dan tidaklah sekarang zaman melarang kedzaliman dan menuntut hak. Karena imam
yang benar belum lagi keluar. Kalau ada yang mengatakan tentang amar-ma’ruf itu
mengadakan penguasaan, wilayah dan penegasan hukum ke atas orang yang terhukum
dan karena itulah tidak ada amar-ma’ruf bagi orang kafir atas orang muslim
serta keadaannya itu benar. Maka seyogyalah tidak ada amar-ma’ruf bagi
masing-masing perseorangan rakyat. Kecuali dengan penyerahan dari wali
(penguasa pemerintahan) dan yang punya urusan. Maka kami berkata: adapun orang
kafir itu, maka dilarang beramar-ma’ruf. Karena ada padanya kekuasaan dan
kemuliaan penerimaan hukum. Dan orang kafir itu orang hina. Maka ia tidak
berhak memperoleh kemuliaan penghukuman ke atas muslim. Adapun perseorangan
kaum muslimin, maka mereka berhak akan kemuliaan itu dengan agama dan
pengetahuan. Dan apa yang ada padanya, tentang kemuliaan kekuasaan dan
penerimaan hukum itu, tidak memerlukan kepada penyerahan dari penguasa. Seperti
kemuliaan mengajar dan memperkenalkan yang tidak diketahui. Karena tiada
terdapat perselisihan paham, bahwa memperkenalkan yang haram dan yang wajib
kepada orang bodoh dan orang yang mengerjakan perbuatan munkar, disebabkan
kebodohan itu, tidaklah memerlukan kepada keizinan wali (penguasa). Dan pada
pekerjaan tersebut itu, kemuliaan memberi petunjuk. Dan di atas orang yang
memperkenalkan itu kehinaan pembodohan. Dan pada yang demikian cukuplah
semata-mata agama. Begitupula larangan dari perbuatan munkar !. Uraian
perkataan tentang ini, ialah: bahwa hisbah itu mempunyai 5 tingkat, sebagaimana
akan datang penjelasannya:
Pertama: memperkenalkan.
Kedua: pengajaran dengan perkataan yang
lemah-lembut.
Ketiga: memaki dan menggertak. Dan tidaklah aku
maksudkan dengan makian itu, akan yang keji. Akan tetapi, bahwa ia mengatakan:
“Hai bodoh ! Hai dungu ! tidakkah engkau takut kepada Allah ?”. Dan yang
seirama dengan perkataan ini.
Keempat: melarang perbuatan munkar dengan paksaan,
secara langsung, seperti memecahkan alat-alat permainan, menuangkan khamar,
menyambar kain sutera dari pemakainya, membuka kain rampokan dari pemakainya
dan mengembalikan kepada pemiliknya.
Kelima: menakutkan dan menggertak dengan pukulan
dan langsung memukul. Sehingga tercegah dari apa yang sedang dilakukan. Seperti
orang yang senantiasa mengumpat dan menuduh orang berzina. Maka menarik
lidahnya itu tidak mungkin. Akan tetapi, dibawa kepada memilih diam, dengan
pukulan. Hal ini kadang-kadang memerlukan kepada meminta pertolongan dan
mengumpulkan teman-teman dari kedua belah pihak. Dan membawa yang demikian
kepada perang tanding. Dan tingkat-tingkat yang lain, tidaklah tersembunyi segi
tidak perlunya keizinan imam (penguasa), kecuali tingkat kelima. Pada tingkat
kelima ini, suatu penelitian yang akan datang uraiannya. Adapun memperkenalkan
dan memberi pengajaran, maka bagaimanakah memerlukan kepada keizinan imam ?.
Adapun pembodohan, pendunguan, penyebutan fasiq dan kurang takut kepada Allah
dan yang serupa dengan itu, adalah perkataan benar. Dan perkataan benar itu
berhak dikatakan. Bahkan derajat yang paling utama, ialah kata kebenaran pada
imam yang dzalim, seperti yang tersebut pada hadits. Apabila telah boleh
menghukum imam di luar persetujuannya, maka bagaimanakah pula memerlukan kepada
keizinannya ? dan seperti itu pula, memecahkan alat-alat permainan dan
menuangkan khamar. Sesungguhnya ia telah memperbuat sesuatu, yang diketahui
dianya benar, tanpa ijtihad (pemikiran yang mendalam). Maka tidaklah
menghendaki kepada keizinan imam. Adapun mengumpulkan teman-teman dan mencabut
senjata, maka yang demikian itu kadang-kadang membawa kepada fitnah umum. Maka
padanya penelitian yang akan datang penjelasannya. Terus-menerusnya kebiasaan
ulama salaf (ulama terdahulu) melakukan hisbah (amar-ma’ruf dan nahi-munkar)
kepada penguasa-penguasa itu, adalah dalil yang tidak bisa dibantah,
kesepakatan mereka tentang tidak memerlukan kepada penyerahan dari
penguasa-penguasa. Akan tetapi tiap-tiap orang yang beramar-ma’ruf, maka
jikalau penguasa menyetujuinya, maka yang demikian sudah jelas. Jikalau
penguasa itu marah, maka kemarahannya itu suatu kemunkaran, yang wajib
ditantang. Maka bagaimanakah memerlukan keizinannya pada menantangnya itu ?.
Ditunjukkan kepada yang demikian oleh kebiasaan ulama salaf, menantang
imam-imam (kepala-kepala pemerintahan). Sebagaimana diriwayatkan bahwa Marwan
bin Al-Hakam berkhutbah sebelum shalat Hari Raya. Lalu seorang laki-laki
berkata: “Sesungguhnya khutbah Hari Raya itu, sesudah shalat”. Maka Marwan
menjawab: “Biarkan demikian, hai Anu !”. Lalu Sa’id Al-Khudri yang hadir ketika
itu menjawab: “Adapun orang ini telah menunaikan kewajibannya. Rasulullah saw
bersabda kepada kita: “Barangsiapa dari kamu melihat munkar, maka hendaklah
ditantang dengan tangan. Jikalau tidak sanggup, maka dengan lidah. Dan jikalau
tidak sanggup, maka dengan hati. Dan itulah selemah-lemah iman”. –diriwayatkan
oleh Muslim. Sesungguhnya mereka memahami dari segala yang bersifat umum ini,
akan masuknya sultan-sultan di dalamnya. Maka bagaimanakah memerlukan kepada
keizinannya ?. Diriwayatkan, bahwa Khalifah Al-Mahdi tatkala datang di Makkah,
ia tinggal di situ masya Allah. Tatkala ia mengerjakan thawaf, lalu mengusir
manusia dari Baitullah (Ka’bah). Maka melompatlah Abdullah bin Marzuq, lalu
meletakkan selendangnya pada leher Al-Mahdi. Kemudian menggerak-gerakkannya,
seraya berkata: “Lihatlah apa yang engkau perbuat !. Menjadikan engkau lebih
berhak dengan Baitullah ini dari orang yang datang ke Baitullah dari tempat
yang jauh. Sehingga apabila orang yang jauh itu di sisi Baitullah, engkau
dindingi antara dia dan Baitullah”. Allah Ta’ala berfirman: “Sama-sama, baik
orang yang menetap ataupun orang yang datang berkunjung”. S 22 Al Hajj ayat 25.
Siapakah yang membuat ini bagi engkau ?. Maka Al-Mahdi melihat ke muka Abdullah
bin Marzuq dan dikenalnya. Karena Abdullah bin Marzuq itu, termasuk maulanya
(bekas budaknya yang telah dimerdekakan). Lalu Al-Mahdi menegur: “Abdullah bin
Mazruq ?”. “Ya !” –jawab Abdullah bin Mazruq. Lalu Al-Mahdi mengambil Abdullah
bin Mazruq dan membawanya ke Baghdad. Ia tiada suka menyiksakan Abdullah bin
Mazruq dengan siksaan yang memburukkan namanya pada umum. Maka diletakkannya
Abdullah bin Mazruq itu dalam kandang hewan. Supaya ia menjaga hewan. Dan
dimasukkannya ke dalam kandang itu seekor kuda yang suka menggigit, yang jahat
perangainya. Supaya Abdullah bin Mazruq digigit oleh kuda itu. Maka Allah
Ta’ala melembutkan kuda itu untuk keselamatan Abdullah bin Mazruq. Berkata yang
empunya riwayat: “Kemudian mereka membawa Abdullah bin Mazruq itu ke suatu
rumah dan menguncikannya. Dan kuncinya dipegang oleh Al-Mahdi sendiri.
Tiba-tiba Abdullah bin Mazruq keluar dari rumah itu sesudah 3 hari ke kebun dan
memakan tanamannya. Maka diberitahukan kepada Al-Mahdi. Lalu Al-Mahdi bertanya
kepada Abdullah bin Mazruq: “Siapakah yang mengeluarkan engkau ?”. Abdullah bin
Mazruq menjawab: “Yang menahan aku”. Maka terkejutlah Al-Mahdi dan memekik,
seraya berkata: “Tidakkah engkau takut aku akan membunuh engkau ?”. Lalu
Abdullah mengangkatkan kepalanya kepada Al-Mahdi, seraya tertawa dan berkata:
“Jikalau engkau memiliki hidup atau mati. Maka senantiasalah Abdullah ini
ditahan, sehingga Al-Mahdi itu mati”. Kemudian, mereka itu melepaskan Abdullah
bin Mazruq. Lalu ia kembali ke Makkah. Berkata yang empunya riwayat, bahwa
Abdullah bin Mazruq telah bernadzar atas dirinya, bahwa jikalau ia dilepaskan
oleh Allah dari tangan mereka itu, akan menyembelih qurban 100 ekor unta. Maka
ia memperbuat yang demikian, sehingga ia menyembelih qurban tersebut.
Diriwayatkan dari Hibban bin Abdullah, yang menceritakan: “Khalifah
Harunur-rasyid berlibur di Dawin. Dan bersama dia, seorang laki-laki dari suku
Bani Hasyim, yaitu: Sulaiman bin Abi Ja’far. Maka berkata Harunur-rasyid
kepadanya: “Sesungguhnya engkau mempunyai seorang budak wanita yang pandai
menyanyi dengan bagus. Kita datangkan dia kemari”. Berkata Hibban bin Abdullah:
“Lalu budak wanita itu datang dan menyanyi. Harunur-rasyid tiada memuji
nyanyinya. Lalu berkata kepadanya: “Bagaimana keadaan engkau ?”. Budak wanita
itu menjawab: “Ini bukan gitar saya”. Lalu Harunur-rasyid berkata kepada
pelayan: “Kita datangkan gitarnya !”. Bercerita Hibban bin Abdullah seterusnya:
“Maka datanglah pelayan itu membawa gitar. Tiba-tiba bertemu dengan seorang
syaikh yang sedang mengambil biji-bijian di jalan. Lalu pelayan itu berseru:
“Jalan, ya syaikh !”. Syaikh itu lalu mengangkatkan kepalanya. Ketika melihat
gitar itu, lalu diambilnya dari pelayan tersebut. Dan dipukulkannya ke bumi.
Kemudian pelayan itu mengambil syaikh tadi dan pergi bersama kepada yang
empunya tempat itu, seraya berkata: “Jaga orang ini ! karena dia orang yyang dicari
oleh Amirul-mu’minin”. Maka menjawab yang empunya tempat itu: “Tidak ada di
Baghdad orang yang lebih banyak beriibadah dari orang ini. Maka bagaimanakah
dia menjadi orang yang dicari oleh Amirul-mu’minin ?”. Pelayan itu menjawab:
“Dengarlah apa yang akan aku katakan kepadamu !”. Kemudian, pelayan itu masuk
ke tempat Harunur-rasyid, seraya berkata: “Sesungguhnya aku melalui tempat
seorang syaikh yang sedang mengambil biji-bijian di jalan. Lalu aku berseru
kepada Syaikh itu: ‘Jalan !’. Syaikh itu mengangkatkan kepalanya dan melihat
gitar itu. Lalu diambilnya dan dipukulkannya ke bumi dan gitar itu pecah”. Maka
Harunur-rasyid meluap-luap kemarahannya, marah benar dan merah kedua matanya.
Lalu Sulaiman bin Abi Ja’far berkata kepadanya: “Apakah kemarahan ini, wahai
Amirul-mu’minin ? utuslah orang kepada yang empunya tempat itu, yang akan
memotong lehernya. Dan melemparkannya ke sungai Tigris (Ad-Dajlah) !”.
Harunur-rasyid menjawab: “Tidak ! akan tetapi akan kami utus kepadanya dan akan
kami bertukar-pikiran dengan syaikh itu lebih dahulu”. Maka utusanpun datang
mengambil syaikh itu, seraya mengatakan: “Perkenankanlah permintaan
Amirul-mu’minin untuk datang ke tempatnya !”. Syaikh itu menjawab: “Ya !”.
Utusan itu berkata: “Naiklah kendaraan ini !”. Syaikh itu menjawab: “Tidak !”.
Lalu Syaikh itu berjalan kaki, sehingga sampailah dan berhenti di pintu istana.
Maka, disampaikan kepada Harunur-rasyid, bahwa syaikh itu sudah datang. Lalu
Harunur-rasyid berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Apakah yang kamu lihat ? kita
angkat lebih dahulu perbuatan munkar yang ada dihadapan kita. Sehingga syaikh
itu masuk. Atau kita bangun ke tempat lain, yang tidak ada padanya munkar”.
Mereka itu menjawab: “Kita bangun ke tempat lain, yang tak ada padanya munkar
adalah lebih baik”. Lalu mereka itu bangun ke suatu tempat yang tak ada padanya
munkar. Kemudian Harunur-rasyid menyuruh syaikh itu masuk. Lalu beliau dibawa
masuk. Dan dalam lengan bajunya bungkusan kecil, yang di dalamnya biji-bijian.
Lalu pelayan itu berkata kepadanya: “Keluarkanlah itu dari lengan bajumu ! dan
masuklah ke tempat Amirul-mu’minin !”. Syaikh itu menjawab: “Dari bungkusan ini
makananku malam ini”. Pelayan itu menjawab: “Kami akan menyediakan makanan
malam untukmu”. Syaikh itu menjawab: “Aku tidak berhajat pada makanan malammu”.
Lalu Harunur-rasyid bertanya kepada pelayan itu: “Apakah yang kamu kehendaki
daripadanya ?”. Pelayan itu menjawab: “Dalam lengan bajunya ada biji-bijian.
Aku katakan kepadanya: ‘Buanglah biji-bijian itu dan masuklah ke tempat
Amirul-mu’minin !”. Maka Harunur-rasyid berkata: “Biarkanlah dia tidak
membuangkannya”. Hibban bin Abdullah meneruskan ceritanya: “Maka syaikh itupun
masuk. Memberi salam dan duduk. Lalu Harunur-rasyid berkata kepadanya: ‘Hai
Syaikh ! apakah yang mendorong kamu kepada berbuat yang demikian ?”. Syaikh itu
menjawab: “Apakah yang aku perbuat ?”. Harunur-rasyid malu mengatakan: “Engkau
telah pecahkan gitarku”. Tatkala telah banyak pertanyaan ditujukan kepadanya,
lalu syaikh itu menjawab: Bahwasanya aku mendengar bapakmu dan nenek-nenekmu
membaca ayat ini di atas mimbar: “Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan
keadilan, berbuat kebaikan dan memberi kepada kerabat-kerabat dan Ia melarang
perbuatan keji, pelanggaran dan kedurhakaan”. S 16 An Nahl ayat 90. Aku melihat
munkar itu, lalu aku menghilangkannya”. Lalu Khalifah Harunur-rasyid menjawab:
“Hilangkanlah perbuatan munkar itu !”. Demi Allah, Syaikh itu tidak berkata,
kecuali itu saja. Tatkala ia keluar, lalu Khalifah menganugerahkan sebuah
bungkusan yang penuh dengan uang dirham, kepada seorang laki-laki, seraya
berkata: “Ikutilah Syaikh itu ! jikalau engkau melihat ia mengatakan: ‘Aku
telah berkata kepada Amirul-mu’minin dan Amirul-mu’minin telah berkata
kepadaku’, maka janganlah engkau berikan kepadanya sesuatu. Dan jikalau engkau
melihat dia tidak bercakap-cakaap dengan seorangpun, maka berikanlah kepadanya
bungkusan ini !”. Tatkala ia keluar dari istana, tiba-tiba ia melihat sebutir
biji-bijian itu telah terbenam dalam tanah, lalu ia berusaha mengeluarkannya.
Dan ia tidak berkata-kata dengan seorangpun. Lalu laki-laki itu berkata:
“Amirul-mu’minin mengatakan kepada engkau: ‘Ambillah bungkusan ini !”. Maka
syaikh itu menjawab: “Katakanlah kepada Amirul-mu’minin, agar ia mengembalikan
bungkusan ini dari mana ia mengambilnya”. Diriwayatkan, bahwa Syaikh itu
sesudah selesai dari perkataannya tadi, lalu menuju kepada biji-bijian yang
diusahakannya mencabutnya dari tanah dan bermadah:
Aku melihat dunia,
bagi orang yang mempunyainya,
merupakan duka cita,
setiap kali bertambah banyak padanya.
Dan itu menghinakan orang,
yang memuliakannya dengan yang kecil saja.
Dan memuliakan tiap-tiap orang,
yang menghinakan kepadanya.
Apabila engkau tidak memerlukan,
akan sesuatu, maka tinggalkanlah.
Dan apa yang engkau perlukan,
maka ambilkanlah !.
Dari Sufyan Ats-Tsuri ra, yang menerangkan: “Bahwa
Khalifah Al-Mahdi menunaikan ibadah hajji pada tahun 166 (Hijriah). Aku melihat
ia melempar Jamrah Al-‘Aqabah. Dan orang banyak dipukul kanan kiri dengan
cambuk. Lalu aku berhenti dan berkata: “Wahai yang cantik muka ! telah
disampaikan hadits kepada kami oleh Aiman dari Wa’il, dari Quddamah bin
Abdullah Al-Kilabi, yang mengatakan: ‘Aku melihat Rasulullah saw melempar
Jamrah pada hari Raya hajji di atas unta. Tak ada pukulan, usiran dan siksaan.
Dan tak ada, jauhlah engkau ! jauhlah engkau !”. Dan engkau ini, manusiia
dipukul dihadapan engkau, kanan dan kiri”. Lalu Al-Mahdi bertanya kepada
seorang laki-laki: “Siapakah orang itu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Sufyan
Ats-Tsuri”. Al-Mahdi lalu berkata: “Hai Sufyan ! jikalau Al-Manshur (maksudnya,
Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur ayahnya), niscaya tidak akan menanggung engkau
diatas yang begini”. Maka menjawab Sufyan Ats-Tsuri: “Jikalau Al-Manshur
menerangkan kepadamu, apa yang telah dijumpainya, niscaya engkau hentikan dari
apa yang engkau kerjakan itu”. Sufyan Ats-Tsuri menyambung ceritanya: “Lalu ada
orang mengatakan kepada Al-Mahdi”. Bahwa Sufyan itu mengatakan kepada engkau:
“Wahai yang yang cantik muka !”. Dia tidak mengatakan kepada engkau: “Wahai
Amirul-mu’minin !”. Lalu Al-Mahdi berkata: “Carilah Sufyan itu !”. Maka Sufyan
Ats-Tsuri dicari dan beliau menyembunyikan diri..... Diriwayatkan dari Khalifah
Al-Ma’mun, bahwa sampai berita kepadanya, seorang laki-laki menjadi muhtasib,
berjalan kaki pada manusia ramai. Menyuruh mereka berbuat perbuatan kebaikan
dan melarang mereka berbuat perbuatan kejahatan. Dan orang itu tidak menerima
perintah dari Al-Ma’mun yang dengan demikian. Lalu Al-Ma’mun menyuruh laki-laki
itu supaya datang kepadanya. Tatkala sudah berada dihadapannya, maka Al-Ma’mun
berkat kepada orang itu: “Bahwa telah sampai kepadaku, bahwa engkau melihat
diri engkau, ahli untuk amar-ma’ruf dan nahi-munkar, tanpa kami menyuruh
engkau”. Al-Ma’mun ketika itu duduk diatas kursi, melihat pada Kitab atau kissah.
Lalu ia lengah dari Kitab yang di tangannya, maka jatuh dan berada di bawah
tapak kakinya dengan tiada disadarinya. Lalu Muhtasib tadi berkata kepada
Al-Ma’mun: “Angkatlah tapak kakimu dari nama Allah Ta’ala ! kemudian, katakan
apa yang engkau kehendaki !”. Al-Ma’mun tiada mengerti apa yang dikehendaki
oleh muhtasib itu. Lalu bertanya: “Apa katamu ?”. Sehingga diulanginya oleh
muhtasib itu 3 kali, tidak juga ia mengerti. Lalu Muhtasib berkata: “Apakah
tidak engkau angkat sendiri atau engkau izinkan, aku mengangkatnya ?”. Maka
Al-Ma’mun memandang ke bawah tapak kakinya. Lalu melihat Kitab. Maka diambil
dan diciumnya. Ia malu, kemudian kembali berkata: “Mengapa kamu beamar-ma’ruf,
padahal Allah Ta’ala telah menjadikan yang demikian kepada kami keluarga Rasul
(Ahlul-Bait) ?”. Dan kamilah yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Orang-orang
yang jika Kami diamkan (tempatkan) di muka bumi, mereka tetap mengerjakan
shalat dan membayarkan zakat dan menyuruh mengerjakan perbuatan baik dan
melarang perbuatan yang salah”. S 22 Al Hajj ayat 41. Muhtasib tadi menjawab:
“Benar engkau, wahai Amirul-mu’minin, sebagaimana engkau menyifatkan diri
engkau dengan kekuasaan dan ketetapan. Kecuali, kami ini penolong dan pembantu
engkau pada amar-ma’ruf itu. Dan tidak ada yang membantah demikian, selain
orang yang bodoh tentang Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw. Allah Ta’ala
berfirman: “Dan orang-orang yang beriman laki-laki daan orang-orang yang
beriman perempuan, mereka satu sama lain pimpin-memimpin. Mereka menyuruh mengerjakan
yang baik dan melarang mengerjakan yang salah”. S 9 At Taubah ayat 71.
Rasulullah saw bersabda: “Orang mu’min bagi orang mu’min adalah seperti gedung
yang mengokohkan sebagian akan bagian yang lain”. Engkau telah mendapat tempat
di bumi dan ini Kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Jikalau engkau tunduk kepada
keduanya, niscaya engkau bersyukur (berterima-kasih) kepada orang yang menolong
engkau, untuk penghormatan keduanya (Alquran dan Sunnah). Dan jikalau engkau
menyombong dari keduanya dan tidak engkau tunduk, niscaya tidak adalah yang
mengharuskan bagi engkau dari keduanya. Sesungguhnya Dia, yang kepadaNya urusan
engkau. Dan di tangan kekuasaanNya kemuliaan engkau dan kehinaan engkau. Dia
(Allah Ta’ala) telah mensyaratkan bahwa Dia tidak menyia-nyiakan pahala orang
yang berbuat kebaikan. Maka katakanlah sekarang apa yang engkau kehendaki. Maka
amat heranlah Al-Ma’mun dengan perkataan orang itu. Dan ia amat bergembira. Dan
berkata: “Orang yang seperti engkau boleh beramar-ma’ruf. Maka teruskanlah apa
yang telah engkau kerjakan itu dengan perintah kami dan dari pendapat kami !”.
Maka terus-meneruslah orang itu melakukan amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Dari
alunan hikayat (cerita) ini, adalah penjelasan dalil atau tiada perlunya izin.
Jikalau ada yang bertanya: “Apakah ada kekuasaan hisbah (pelaksanaan)
amar-ma’ruf bagi anak atas orang tuanya, bagi budak atas tuannya, bagi isteri
atas suaminya, bagi murid atas gurunya dan bagi rakyat atas penguasa (wali)nya
secara mutlak, sebagaimana ada kekuasaan hisbah itu bagi orang tua atas
anaknya, bagi tuan atas budaknya, bagi suami atas isterinya, bagi guru atas
muridnya dan bagi sultan atas rakyatnya atau diantara keduanya terdapat
perbedaan ?”. Ketahuilah kiranya bahwa yang kami lihat, ialah adanya pokok
kekuasaan itu. Tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan pada penguraian. Dan
marilah kami umpamakan yang demikian mengenai anak serta orang tuanya. Maka
kami berkata, bahwa telah kami terbitkan bagi hisbah 5 tingkat: Anak mempunyai
hisbah dengan dua tingkat yang pertama. Yaitu: memperkenalkan, kemudian memberi
pengajaran dan nasehat dengan lemah-lembut. Dan anak itu tidak mempunyai hisbah
dengan memaki, menggertak dan menakut-nakuti dan tidak dengan langsung
pemukulan. Keduanya itu dua tingkat yang akhir. Dan adakah anak itu mempunyai
hisbah dengan tingkat ketiga, di mana tingkat ini membawa kepada menyakiti dan
memarahi orang tuanya ?. Padanya penelitian. Yaitu, dengan: memecahkan gitarnya
umpamanya. Menuangkan khamarnya. Membuka benang dari kainnya yang ditenun dari sutera.
Mengembalikan kepada pemilik, barang yang didapati di rumahnya dari harta haram
yang dirampasnya atau dicurinya atau diambilnya dari banyaknya rezeki dari
pajak kaum muslimin, apabila pemiliknya tertentu orangnya. Dan merusakkan
gambar-gambar yang diukir pada dinding temboknya dan yang dikorek pada kayu
rumahnya. Dan menghancurkan bejana (tempat air) emas dan perak. Jikalau anak
itu berbuat pada hal-hal tadi, tiadalah menyangkut dengan diri bapaknya.
Kecuali memukul dan memaki. Tetapi bapak itu merasa disakiti dengan demikian
dan marah karenanya. Akan tetapi perbuatan anak itu benar. Dan marahnya bapak
itu terjadi karena sukarnya kepada yang batil/salah/salah dan haram. Yang lebih
kuat menurut qias (analogi), bahwa boleh yang demikian bagi anak. Bahkan harus
anak itu berbuat demikian. Dan tiada jauh dari kebenaran bahwa pada yang
demikian itu dilihat kepada kejinya perbuatan munkar dan kepada kadar kesakitan
dan kemarahan. Jikalau munkar itu amat keji dan kemarahannya kepada anaknya itu
dekat, seperti penuangan khamar orang yang tiada bersangatan kemarahannya, maka
yang demikian itu jelas. Dan jikalau munkar itu dekat dan kemarahan itu keras,
seperti: jikalau ia mempunyai bejana dari mutiara putih bersih atau dari kaca
dengan bentuk hewan dan pada memecahkannya itu memperoleh kerugian banyak
harta, maka ini, termasuk yang bersangatan kemarahan. Dan tidaklah ma’siat ini
berlaku, menurut berlakunya khamar dan lainnya. Ini semuanya tempat penelitian.
Jikalau ada yang bertanya: “Dari manakah dalilnya, maka kamu mengatakan, tidak
ada bagi anak itu hisbah dengan gertakan dan pukulan dan paksaan kepada
meninggalkan yang batil/salah/salah ? dan amar-ma’ruf pada Kitab dan Sunnah
datangnya secara umum, tanpa pengkhususan. Adapun larangan dari penghardikan
dan yang menyakitkan, maka telah datang pada Alquran. Dan itu khusus pada yang
tiada bersangkutan dengan mengerjakan yang munkar-munkar”. Kami menjawab, bahwa
sesungguhnya telah datang mengenai hak bapak secara khusus, apa yang mewajibkan
pengecualian dari umum. Karena tiada terdapat perbedaan pendapat, bahwa
pelaksanaan hukuman tidak boleh membunuh bapaknya pada hukuman zina dan tidak
boleh secara langsung melaksanakan hukuman itu kepada bapaknya. Bahkan, ia
tidak melaksanakan membunuh bapaknya yang kafir. Bahkan jikalau bapaknya
memotong tangannya, maka tiada wajib atas bapaknya qishash. Dan tiada boleh
anaknya menyakiti bapaknya sebagai timbalan perbuatan bapaknya. Pada yang
demikian itu telah datang hadits-hadits. Dan sebahagiannya telah tetap dengan
Ijma’ (sepakat) . Maka apabila tiada boleh bagi anak, menyakiti bapaknya dengan
siksaan, yang berhak dijatuhkan atas perbuatan tindakan pidana yang lalu, maka
tiada boleh bagi anak itu menyakiti bapaknya dengan siksaan. Yaitu: larangan
–dari tindakan pidana yang akan datang yang mungkin akan terjadi. Bahkan lebih
utama lagi: tidak boleh. Tertib ini juga seyogyalah berlaku pada budak dan
isteri serta tuannya dan suaminya. Keduanya itu lebih dekat dari anak tentang
wajibnya hak. Walaupun milik dengan perbudakan itu lebih kuat daripada milik
dengan perkawinan. Tetapi pada hadits, tersebut: “Bahwa jikalau boleh sujud
kepada makhluq, niscaya aku suruh perempuan sujud kepada suaminya”. Hadits ini
menunjukkan pula kepada kuatnya hak perkawinan. Adapun rakyat serta sultan (penguasa),
maka keadaannya lebih berat dari anak. Tiadalah bagi rakyat serta sultan,
kecuali memperkenalkan dan menasehatkan. Adapun tingkat ketiga, maka padanya
penelitian, dari segi bahwa serangan mengambil harta dari tempat simpanannya
dan mengembalikannya kepada pemilik, mencabut benang dari kain suteranya dan
memecahkan bejana khamar dalam rumahnya, hampirlah perbuatan itu membawa kepada
mengoyak-ngoyakkan kehebatan dan menjatuhkan kehormatannya. Yang demikian itu
dilarang, yang telah datang larangannya, sebagaimana telah datang larangan
berdiam diri di atas perbuatan munkar. Maka telah bertentangan pula padanya dua
hal yang ditakuti. Urusannya diserahkan kepada ijtihad, yang sumbernya
memperhatikan tentang kejinya munkar. Dan kadar yang jatuh dari kehormatannya
dengan sebab serangan itu. Dan yang demikian tidak mungkin ditentukan dengan
pasti. Adapun murid dan guru, maka urusan diantara keduanya adalah lebih
ringan. Karena yang dihormati ialah guru yang memfaedahkan pengetahuan dari
segi agama. Dan tak ada kehormatan bagi orang yang berpengetahuan yang tidak
berbuat dengan pengetahuannya. Maka murid itu bergaul dengan gurunya, sepanjang
yang diharuskan oleh pengetahuan yang dipelajarinya dari guru itu.
Diriwayatkan, bahwa ditanyakan kepada Al-Hasan tentang anak, bagaimanakah ia
berihtisab kepada bapaknya ? Maka Al-Hasan menjawab: “Memberi pengajaran kepada
bapaknya, selama bapaknya tidak marah. Jikalau marah, niscaya ia diam”.
Syarat kelima: muhtasib itu mampu. Dan tidaklah
tersembunyi, bahwa orang yang lemah, tidak ada atasnya hisbah, kecuali dengan
hatinya. Karrena tiap-tiap orang yang mencintai Allah, niscaya benci kepada
segala perbuatan ma’siat dan menantangnya. Ibnu Mas’ud ra berkata:
“Berijtihadlah terhadap orang-orang kafir itu dengan tanganmu ! jiikalau tiada
sanggup, selain engkau bermasam muka di hadapannya, maka perbuatlah yang
demikian !”. Ketahuilah, bahwa tiada berhenti gugurnya kewajiban di atas
kelemahan yang tampak kelihatan. Akan tetapi diperhubungkan dengan yang
demikian, apa yang ditakutinya, sebagai keadaan yang tiada disukai, yang akan
diperolehnya. Maka yang demikian itu adalah dalam arti kelemahan. Dan seperti
yang demikian juga, apabila tiada ditakutinya sebagai keadaan yang tiada
disukai. Akan tetapi diketahuinya bahwa penantangannya tiada bermanfaat. Maka
hendaklah ia menoleh kepada dua pengertian: salah satu dari keduanya: tiada
memfaedahkan penantangan, sebagai mematuhi larangan. Yang satu lagi: takut
keadaan yang tiada disukai. Dari memperhatikan dua pengertian tersebut,
berhasillah 4 keadaan:
Keadaan pertama: bahwa berkumpul dua pengertian
itu, dengan diketahuinya bahwa tiada bermanfaat perkataannya. Dan ia akan
dipukul, kalau ia berkata-kata. Maka tiadalah wajib atasnya hisbah. Bahkan
kadang-kadang haram pada sebagian tempat. Ya, haruslah ia tidak menghadiri
tempat-tempat munkar dan memencilkan diri (ber-‘uzlah) di rumahnya. Sehingga ia
tiada melihat dan tidak keluar, selain karena keperluan yang penting atau yang
wajib. Dan tidak wajib ia berpisah dengan negeri itu dan berhijrah. Kecuali, apabila
ia diajak kepada kerusakan. Atau dibawa kepada menolong sultan-sultan
(penguasa-penguasa) pada kedzaliman dan kemunkaran. Maka wajiblah ia berhijrah
jika sanggup. Sesungguhnya paksaan itu, tidaklah dimaafkan terhadap orang yang
sanggup lari dari paksaan.
Keadaan kedua: bahwa tidak ada kedua pengertian
itu, dengan sebab diketahuinya bahwa perbuatan munkar akan hilang dengan
perkataan dan perbuatannya. Dan tidak mampu orang membawanya kepada perbuatan
yang tiada disukai. Maka wajiblah ia menantang. Dan inilah yang dinamakan:
kesanggupan mutlak.
Keadaan ketiga: bahwa ia mengetahui tantangannya
tiada memberi faedah. Akan tetapi ia tiada takut akan keadaan yang tiada
disukai. Maka tiada wajib atasnya hisbah, karena tiada faedahnya. Tetapi
disunatkan untuk melahirkan syi’ar Islam dan memperingatkan manusia dengan
urusan agama.
Keadaan keempat: kebalikan dari ini. Yaitu: ia
mengetahui bahwa akan menimpa dirinya dengan keadaan yang tiada disukai. Akan
tetapi perbuatan munkar itu akan hancur dengan perbuatannya. Seperti ia sanggup
melemparkan kaca kepunyaan orang fasiq dengan batu. Lalu batu itu memecahkan
kaca tersebut dan menuangkan khamar. Atau memukulkan gitar yang di tangannya
dengan pukulan yang menyambarkan. Lalu gitar itu pecah di waktu itu juga. Dan
hilanglah perbuatan munkar itu. Akan tetapi ia mengetahui, bahwa akan
dikembalikan kepadanya, lalu dipukul kepalanya. Maka ini tidaklah wajib dan
tidaklah haram. Akan tetapi disunatkan (mustahab). Hal ini berdalilkan hadits
yang telah kami datangkan dahulu, tentang keutamaan kata kebenaran pada imam
yang dzalim. Dan tidaklah ragu, bahwa yang demikian itu tempat sangkutan
ketakutan. Dibuktikan pula oleh apa yang diriwayatkan dari Abi Sulaiman
Ad-Darani ra bahwa beliau berkata: “Aku mendengar perkataan sebahagian
khalifah, lalu aku bermaksud menantangnya. Dan aku tahu, bahwa aku akan
dibunuh. Dan tiada yang menghalangi aku oleh pembunuhan itu. Tetapi khalifah
itu berada di hadapan manusia ramai. Maka aku takut bahwa aku itu ditimpa oleh
penghiasan diri bagi makhluq ramai. Lalu aku dibunuh, tanpa keikhlasan pada
perbuatan. Jikalau ada orang bertanya: Apakah artinya firman Allah Ta’ala: “Dan
janganlah kamu jatuhkan dirimu sendiri dengan tanganmu kepada kebinasaan”. S 2
Al Baqarah ayat 195. Kami menjawab: tiada perbedaan pendapat, bahwa muslim
seorang diri boleh menyerang ke barisan orang-orang kafir dan berperang.
Walaupun ia tahu bahwa ia akan terbunuh. Dan ini kadang-kadang disangka
menyalahi bagi yang diwajibkan oleh ayat di atas. Dan bukanlah demikian.
Sesungguhnya Ibnu Abbas ra telah berkata: “Tidaklah kebinasaan itu demikian.
Akan tetapi, meninggalkan perbelanjaan pada mentaati Allah Ta’ala. Artinya:
orang yang tidak berbuat demikian, maka sesungguhnya ia telah membinasakan
dirinya”. Al-Barra’ bin ‘Azib berkata: “Kebinasaan, ialah berbuat dosa.
Kemudian ia mengatakan: “Tidak akan diterima taubatku”. Abu ‘Ubaidah berkata:
“Kebinasaan, ialah berbuat dosa. Kemudian tidak berbuat kebajikan sesudahnya,
sehingga ia binasa”. Apabila boleh memerangi kafir, sehingga ia terbunuh,
niscaya boleh pula baginya yang demikian pada hisbah. Akan tetapi, kalau ia
tahu bahwa tak ada kegagahan untuk serangannya ke atas kafir, seperti orang
buta yang mencampakkan dirinya kepada barisan atau orang lemah, maka yang
demikian itu haram. Dan masuk dalam umum ayat kebinasaan itu. Sesungguhnya
boleh baginya maju apabila ia tahu bahwa ia berperang sampai terbunuh. Atau ia
tahu bahwa ia menghancurkan hati orang-orang kafir, dengan dilihat mereka akan
keberaniannya. Dan diyakini mereka pada orang-orang Islam yang lain, kurang
memperhatikan akan kepentingan sendiri. Dan kecintaan mereka (kaum muslimin)
untuk syahid pada jalan Allah (sabilullah). Maka dengan demikian, hancurlah
kekuatan orang-orang kafir itu. Maka seperti itu pula, boleh bagi muhtasib,
bahkan disunatkan baginya, mendatangkan dirinya bagi pemukulan dan pembunuhan,
apabila hisbahnya itu membekas pada menghilangkan kemunkaran. Atau pada
menghancurkan kemegahan orang fasiq. Atau pada menguatkan hati orang-orang
agama. Adapun kalau muhtasib itu melihat seorang fasiq yang keras dan padanya
ada pedang dan di tangannya gelas berisi khamar dan muhtasib itu tahu bahwa
jikalau ia menantang, niscaya orang fasiq itu akan meminum khamar tersebut dan
akan memotong lehernya dengan pedang. Maka ini termasuk diantara yang aku
lihat, tak ada cara untuk hisbah padanya. Dan itu adalah kebinasaan
benar-benar. Maka sesungguhnya yang dicari, ialah yang memberi bekas dengan
sesuatu bekas pada agama. Dan ia dapat menebuskannya dengan dirinya sendiri.
Adapun mendatangkan diri bagi kebinasaan, tanpa memberi bekas, maka tiada cara
bagi yang demikian. Bahkan seyogyalah haram adanya. Dan sesungguhnya disunatkan
menantang, apabila sanggup membatalkan kemunkaran itu. Atau nyata perbuatannya
itu memberi faedah. Dan yang demikian, dengan syarat bahwa hal yang tiada
disukai itu terbatas ke atas dirinya saja. Jikalau diketahuinya, bahwa orang
fasiq itu akan memukul orang lain juga, dari para sahabat atau kerabat atau
teman-temannya, maka tidak boleh muhtasib itu berhisbah. Bahkan haram. Karena
ia lemah daripada menolak kemunkaran. Kecuali yang demikian ittu membawa kepada
kemunkaran yang lain. Dan tidaklah yang demikian itu termasuk dalam kemampuan
sedikitpun. Bahkan, jikalau diketahuinya, bahwa jikalau ia berihtisab, niscaya
kemunkaran itu hilang. Akan tetapi yang demikian itu menjadi sebab bagi
kemunkaran yang lalu, yang akan diperoleh oleh yang lain dari muhtasib itu.
Maka yang lebih kuat hukumnya, tiada halal menantangnya. Karena yang dimaksud,
ialah tiada terdapat kemunkaran-kemunkaran agama mutllak. Tidak dari si Zaid
atau dari si Umar. Yang demikian itu, umpamanya: ada pada seseorang, minuman
halal yang bernajis, disebabkan jatuh najis ke dalamnya. Dan orang itu tahu,
bahwa jikalau dibuangkannya minuman itu, niscaya yang punya minuman itu, akan
meminum khamar. Atau anak-anaknya akan meminum khamar, karena mereka itu
berhajat kepada minuman halal. Maka tak ada artinya menuangkan yang demikian.
Dan mungkin juga dikatakan, bahwa orang itu menuangkan yang demikian. Maka dia
membatalkan suatu kemunkaran. Adapun meminum khamar, maka adalah perbuatan yang
tercela. Dan muhtasib itu tiada sanggup mencegahnya dari kemunkaran itu. Telah
berjalan kepada pendapat tadi orang-orang yang beraliran demikian. Dan tidaklah
jauh dari dapat dipahami. Karena ini adalah masalah-masalah fiqh, tidak mungkin
menetapkan hukumnya, selain dengan berat dugaan (dhan). Dan tiadalah jauh untuk
dibedakan, antara derajat-derajat kemunkaran yang dihilangkan dan kemunkaran
yang membawa kepadanya hisbah dan penghilangan. Sesungguhnya apabila muhtasib
itu menyembelih kambing untuk orang lain, supaya dimakannya dan ia tahu jikalau
dilarangnya dari yang demikian, niscaya orang itu akan menyembelih manusia dan
memakannya, maka tak adalah arti bagi hisbah ini. Ya, jikalau dilarangnya
daripada menyembelih manusia atau memotong anggotanya, yang akan membawa kepada
pengambilan hartanya, maka yang demikian itu mempunyai segi yang jelas. Maka
inilah titik-titik halus yang terjadi pada tempat ijtihad. Dan atas muhtasib mengikuti
ijtihadnya pada yang demikian semuanya. Dan bagi titik-titik halus ini kami
berkata: “Seyogyalah bagi orang awam tidak melakukan ihtisab. Kecuali pada
hal-hal yang terang, yang diketahui. Seperti: minum khamar, zina dan
meninggalkan shalat”. Adapun sesuatu yang diketahui itu ma’siat, dengan
disandarkan kepada perbuatan-perbuatan yang datang dan memerlukan kepada
ijtihad, maka orang awam jikalau terjun ke dalamnya, niscaya merusak lebih
banyak daripada memperbaiki. Dari inilah menguatnya sangkaan orang yang tidak
menetapkan pengurusan hisbah, kecuali dengan penentuan wali (penguasa). Karena
kadang-kadang terpanggil kepada hisbah itu, orang yang tidak ahli, karena
kesingkatan pengetahuannya atau kekurangan keagamaannya. Maka yang demikian itu
membawa kepada segi-segi kecederaan. Dan akan datang pembukaan tutup dari yang
demikian, Insya Allah. Kalau ada orang bertanya: “Dari segi anda mengatakan
secara mutlak bahwa muhtasib itu tahu akan mengenai dirinya hal yang tiada
diingini atau tiada mendatangkan faedah hisbahnya itu. Maka jikalau “tahu” itu
diganti dengan “sangka”, bagaimana hukumnya ?”. Kami menjawab: bahwa
persangkaan yang keras pada bab ini, adalah dalam arti: tahu. Hanya perbedaan
itu jelas, ketika bertentangan sangka dan tahu. Karena kuat tahu dengan
keyakinan dari sangka. Dan diperbedakan antara tahu dan sangka pada
tempat-tempat lain. Yaitu: bahwa gugur kewajiban hisbah, di mana muhtasib itu
tahu dengan pasti, bahwa perbuatannya tidak akan berfaedah. Kalau keras
persangkaannya, bahwa “tidak berfaedah”, tetapi “mungkin akan berfaedah” dan
bersamaan dengan itu tidak akan terjadi hal yang tiada diingini, maka
berselisih para ulama tentang wajibnya. Yang lebih kuat (al-adhar) wajib.
Karena tak ada kemelaratan padanya. Dan manfaatnya diharapkan. Dan umumnya
amar-ma’ruf dan nahi-munkar, menghendaki akan wajib itu dalam segala hal. Dan
hanya kami kecualikan secara khusus, apabila muhtasib itu tahu, bahwa tidak
berfaedah. Adakalanya dengan Ijma’ (sepakat)
atau dengan qias nyata. Yaitu: bahwa suatu perintah tidaklah dimaksudkan
perintah itu sendiri. Akan tetapi, bagi yang diperintah. Maka apabila yang
diperintah itu tahu tidak akan berhasil (ia putus-asa), maka tak ada faedah
dilaksanakan. Apabila ia tidak putus-asa, maka seyogyalah kewajiban itu tidak gugur.
Kalau orang bertanya: bahwa yang tiada diingini yang mungkin akan terjadi,
jikalau kemungkinan itu tidak diyakini dan tidak diketahui dengan keras sangka,
akan tetapi diragukan atau keras sangkanya bahwa tidak akan menimpa dengan yang
tiada diingini, akan tetapi mungkin akan menimpa dengan yang tiada diingininya
itu, maka kemungkinan ini, gugurlah wajibnya ?. Sehingga tiada wajib, kecuali
ketika yakin, bahwa tiada akan menimpa diri muhtasib dengan yang tiada
diingini. Ataukah wajib dalam tiap-tiap hal, kecuali apabila keras sangkaannya,
akan menimpa dengan yang tiada diingini. Kami jawab, jikalau keras sangkaannya
bahwa ia akan tertimpa dengan yang tiada diingini, niscaya tiada wajib. Jikalau
keras sangkaannya, bahwa ia tiada akan tertimpa dengan yang tiada diingini,
niscaya wajib. Dan semata-mata kemungkinan, tidak menggugurkan wajib. Karena
yang demikian adalah mungkin pada semua hisbah. Jikalau ia ragu padanya, tanpa
kekuatan dalil, maka inilah tempat penelitian. Mungkin dikatakan, pada pokoknya
(asalnya) wajib dengan umumnya hukum. Dan wajib itu gugur dengan hal yang tiada
diingini. Dan yang tiada diingini itu ialah yang disangka atau diketahui,
sehingga adanya akan terjadi. Inilah pendapat yang lebih kuat !. Dan mungkin
dikatakan, bahwa wajiib melaksanakan hisbah itu, apabila diketahui tak ada
kemelaratan padanya. Atau disangka tak ada kemelaratan. Yang pertama lebih syah
(lebih kuat), karena memandang kepada yang dikehendaki umum, yang mewajibkan
amar-ma’ruf. Kalau ada yang bertanya: dugaan akan terjadi yang tiada diingini
itu, berlainan disebabkan pengecut dan berani. Maka orang pengecut yang lemah
hati, melihat yang jauh itu dekat. Sehingga seakan-akan ia melihatnya dan ia
takut. Dan orang yang sangat berani, merasa jauh akan terjadi hal yang tiada diingini,
menurut hukum tabiatnya, dari baiknya angan-angan. Sehingga ia tidak
membenarkan, kecuali sesudah terjadi. Jadi, maka apakah yang menjadi pegangan
?. Kami menjawab, pegangan itu adalah di atas tabiat yang sedang, akal yang
sejahtera dan kondisi badan (mizaj). Sesungguhnya sifat pengecut itu penyakit.
Yaitu: kelemahan hati (jiwa). Sebabnya kurang dan merendahnya kekuatan. Dan
sifat tahawwur (keberanian yang berlebih-lebihan) adalah bersangatan kekuatan,
keluar dari pertengahan dengan berlebih-lebihan. Keduanya itu sifat kekurangan.
Yang sempurna ialah pada pertengahan yang disebut: syaja’ah (berani).
Masing-masing: pengecut dan tahawwur itu, terjadi, sekali dari kekurangan akal
dan sekali dari kecederaan kondisi badan dengan merendahnya atau meningginya.
Sesungguhnya orang yang sedang mijaznya mengenai sifat pengecut dan berani,
kadang-kadang ia tidak meneliti tempat-tempat kejahatan. Maka adalah sebab
keberaniannya itu kebodohannya. Kadang-kadang ia tidak meneliti cara-cara
menolak kejahatan itu, maka sebab pengecutnya ialah kebodohannya. Kadang-kadang
ia tahu, disebabkan pengalaman dan kebiasaan dengan tempat-tempat datangnya
kejahatan dan cara-cara menolaknya. Akan tetapi kejahatan yang jauh itu berbuat
pada melemahkan dan menghancurkan kekuatannya untuk tampil. Disebabkan
kelemahan hati (jiwa)nya, akan apa yang diperbuat oleh kejahatan yang dekat
pada orang yang berani, yang bertabiat sedang (normal). Maka tidaklah penolehan
pada kedua segi itu !. Dan atas orang pengecut harus berusaha meskipun berat,
menghilangkan kepengecutannya dengan menghilangkan penyakitnya. Penyakitnya
ialah: kebodohan atau kelemahan. Kebodohan itu hilang dengan pengalaman. Dan
kelemahan itu hilang dengan membiasakan perbuatan yang ditakuti, dengan
memaksakan diri (takalluf). Sehingga menjadi kebiasaan. Karena orang yang baru
tampil (mubtadi) pada bertukar-pikiran dan memberi pengajaran umpamanya,
kadang-kadang tabiatnya pengecut, karena kelemahannya. Maka apabila ia selalu
dan membiasakan, niscaya kelemahan itu berpisah daripadanya. Maka jikalau yang
demikian telah menjadi mudah (dlaruri), tidak hilang lagi, dengan dikuasai oleh
kelemahan ke atas hati (jiwa), maka hukum orang yang lemah itu, mengikuti
halnya. Maka ia dimaafkan, sebagaimana dimaafkan orang sakit, tidak melakukan
sebahagian kewajibannya. Karena itulah, kadang-kadang kami berkata di atas
pendapat: bahwa tiada wajib melakukan pelajaran karena menunaikan hajji yang
menjadi hukum Islam, atas orang yang sangat pengecut berlayar di lautan. Dan
wajib atas orang yang tiada sangat ketakutannya. Maka seperti itu pula urusan
tentang wajibnya hisbah. Kalau ada yang bertanya: keadaan yang tiada diingini
yang akan terjadi itu, manakah batasnya ? karena manusia itu, kadang-kadang
tiada menyukai suatu perkataan. Kadang-kadang tiada menyukai pukulan. Dan
kadang-kadang tiada menyukai panjangnya lidah muhtasib terhadap dirinya dengan
umpatan. Tiada seorangpun yang diajak kepada perbuatan kebaikan, melainkan
mungkin akan terjadi daripadanya semacam kesakitan. Kadang-kadang timbul dari orang
itu, menyeret muhtasib itu kepada sultan (penguasa). Atau mengancamnya pada
majelis yang akan membawa kemelaratan kepada muhtasib dengan ancaman tersebut.
Maka apakah batas hal yang tiada diingini itu yang menggugurkan kewajiban ?.
Kami menjawab: Ini juga, padanya penelitian yang kabur. Bentuk persoalannya
bertebaran dan tempat lalunya banyak. Akan tetapi, kami bersungguh-sungguh
mengumpulkan yang bertebaran itu dan menghinggakan bahagian-bahagiannya. Kami
terangkan, bahwa: yang tiada diingini itu (al-mahruh) ialah lawan dari yang
dicari (al-mathlub). Yang dicari oleh manusia di dunia ini, kembali kepada 4
perkara: adapun pada jiwa, maka pengetahuan. Adapun pada badan, maka kesehatan
dan kesejahteraan. Adapun pada harta, maka kekayaan. Dan adapun pada hati
manusia, maka tegaknya kemegahan. Jadi, yang dicari itu: pengetahuan,
kesehatan, kekayaan dan kemegahan. Arti kemegahan, ialah: memiliki hati
manusia, sebagaimana arti kekayaan, ialah: memiliki dirham (uang). Karena hati
manusia itu jalan (wasilah) kepada maksud-maksud. Sebagaimana memiliki dirham
itu, jalan kepada sampainya maksud. Dan akan datang penegasan arti kemegahan
dan sebab kecondongan tabiat manusia kepadanya, pada “Rubu’ Yang Membinasakan”.
Masing-masing dari 4 ini, dicari oleh manusia untuk dirinya sendiri, untuk
kerabatnya dan orang-orang yang tertentu dengan dia. Dan yang tidak diingini
pada 4 ini; 2 perkara:
Pertama: hilang apa yang telah berhasil, yang telah
berada di tangannya.
Kedua: tercegah tidak berhasilnya apa yang
ditunggu, yang belum ada. Ya’ni: tertolak apa yang diharapkan adanya. Maka tak
ada yang memelaratkan, kecuali lenyapnya apa yang telah berhasil dan hilangnya
atau pencegahan yang diitunggu. Karena yang ditunggu adalah ibarat dari sesuatu
yang mungkin diperoleh. Dan kemungkinan diperoleh itu, seakan-akan barang yang
berhasil. Dan lenyap kemungkinannya, seakan-akan lenyap berhasilnya. Maka
kembalilah yang tiada diingini itu kepada dua bahagian:
Bahagian
pertama: takut tercegahnya yang dinantikan. Dan ini tiada seyogyalah
sekali-kali memberi kelapangan untuk meninggalkan amar-ma’ruf. Dan marilah kami
sebutkan contohnya pada 4 macam yang dicari itu. Adapun pengetahuan: contohnya
ialah, meninggalkan hisbah atas orang yang tertentu dengan gurunya. Karena
takut buruk keadaannya pada gurunya itu. Lalu beliau tiada mau mengajarnya
lagi. Adapun kesehatan: maka meninggalkannya itu, penantangan kepada tabib
(dokter) yang ia masuk kepadanya –umpamanya-dengan memakai sutera. Karena takut
ia terlambat daripadanya. Maka tercegahlah disebabkan demikian, kesehatannya
yang dinantikan. Adapun harta: maka meninggalkannya itu, hisbah terhadap
sultan, sahabat-sahabatnya dan orang yang menolongnya dari hartanya. Karena
takut dipotongnya bantuan pada masa yang akan datang dan ditinggalkannya pertolongan
itu. Adapun kemegahan, maka meninggalkannya itu, hisbah terhadap orang yang
diharapkannya daripadanya pertolongan dan kemegahan pada masa yang akan datang.
Karena takut akan tidak berhasil baginya kemegahan. Atau takut akan buruk
keadaannya pada sultan (penguasa) yang diharapkannya daripadanya memperoleh
kedudukan dalam pemerintahan (wilayah). Ini semuanya tidak menggugurkan
kewajiban hisbah. Karena ini adalah tambahan-tambahan yang tercegah
berhasilnya. Dan menamakan tercegahnya berhasil tambahan-tambahaan itu karena
kemelaratan, adalah majaz. Dan bahwasanya kemelaratan hakiki, ialah: lenyapnya
kehasilan. Tiada dikecualikan dari ini suatupun, selain apa yang diminta oleh
keperluan. Dan pada lenyapnya itu ada hal yang ditakuti, yang melebihi dari
ketakutan diam atas perbuatan munkar. Sebagaimana apabila ia memerlukan kepada
tabib, karena penyakit yang sekarang. Dan kesehatan itu adalah yang ditunggu
dari pengobatan tabit tersebut. Dan diketahuinya bahwa pada terlambatnya tabib
itu, akan sangatnya sakit dan lamanya penyakit itu. Kadang-kadang membawa
kepada mati. Dan aku maksudkan dengan tahu, ialah: berat sangkaan, yang
membolehkan dengan hal yang seperti itu, meninggalkan pemakaian air dan
berpaling kepada tayammum. Maka apabila sampai kepada batas ini, niscaya tidak
jauh, untuk diberi keluangan meninggalkan hisbah. Adapun mengenai pengetahuan,
maka umpamanya, bahwa ia bodoh dengan semua yang penting pada agamanya. Dan ia
tiada memperoleh, selain seorang guru. Dan ia tidak sanggup berangkat kepada
guru lain. Dan diketahuinya bahwa orang yang diamar-ma’rufkan (muhtasab ‘alaih)
itu, sanggup menutupkan jalan sampai kepadanya. Karena orang yang berilmu
(orang ‘alim) itu, patuh kepadanya atau mendengar perkataannya. Jadi, menahan
diri (bersabar) di atas kebodohan, dengan hal-hal yang penting bagi agama itu
dijaga. Dan diam atas perbuatan munkar itu dijaga. Dan tidak jauhlah untuk
dikuatkan salah satu dari keduanya. Dan yang demikian itu, berlainan dengan
kejinya kemunkaran dan sangatnya keperluan kepada pengetahuan. Karena
hubungannya dengan kepentingan agama. Adapun mengenai harta, maka seperti orang
yang lemah dari berusaha dan meminta-minta. Dan ia tidak kuat jiwanya pada
tawakkal. Dan tidak ada yang memberi perbelanjaan (nafkah) kepadanya, selain
orang seorang. Jikalau ia berihtisab kepada orang itu, niscaya orang itu
memutuskan perongkosan hidupnya (rezekinya). Dan berhajatlah ia pada
menghasilkan rezeki itu, kepada mencari rezeki yang haram atau mati kelaparan.
Ini juga, apabila bersangatan keadaannya niscaya tiada jauh, untuk diberi
kelapangan kepadanya berdiam diri. Adapun kemegahan, yaitu: ia disakiti oleh
orang jahat. Dan tidak memperoleh jalan untuk menolak kejahatan itu, selain
dengan kemegahan, yang diusahakannya dari sultan (penguasa). Dan ia tiada sanggup
mencapainya, selain dengan perantaraan orang yang memakai sutera atau meminum
khamar. Dan jikalau iia berihtisab kepada orang itu, niscaya dia tidak
mempunyai perantaraan dan jalan baginya lagi. Maka tercegahlah ia memperoleh
kemegahan. Dan dengan sebab yang demikian, berkekalanlah kesakitan dari orang
jahat tersebut. Semua keadaan ini apabila telah lahir dan kuat, niscaya tiada
jauhlah pengecualiannya. Akan tetapi urusannya tersangkut dengan ijtihadnya si
muhtasib. Sehingga ia meminta fatwa pada hatinya. Dan menimbang salah satu dari
dua yang dijaga itu dengan yang lain. Dan dikuatkan dengan memperhatikan agama.
Tidak dengan yang diharuskan hawa nafsu dan tabiat sendiri. Jikalau dikuatkan
dengan yang diwajibkan oleh agama, niscaya diamnya itu dinamakan:
berlemah-lembut. Dan jikalau dikuatkan dengan yang diwajibkan oleh hawa nafsu,
niscaya diamnya dinamakan: berminyak-minyak air. Dan ini adalah urusan bathin,
yang tidak terlihat, selain dengan penelitian yang halus. Tetapi pengecam itu
melihat. Maka berhaklah atas tiap-tiap orang beragama mengintip hatinya. Dan ia
tahu, bahwa Allah melihat kepada yang membangkitkan dan yang memalingkaan hati
itu, bahwa itu agama atau hawa nafsu. Dan tiap-tiap jiwa akan mendapati apa
yang dikerjakannya, jahat atau baik, berada di sisi Allah. Walaupun pada
sekejap yang terguris atau pada sekejap yang memperhatikan, tanpa kedzaliman
dan penganiayaan. Tidaklah Allah berlaku dzalim kepada hambaNya.
Bahagian kedua: ialah: lenyapnya hasil. Maka itu
tiada diingini. Dan dipandang boleh berdiam diri pada hal-hal 4 perkara itu,
selain pengetahuan. Maka lenyapnya pengetahuan itu tiada ditakuti, selain
dengan keteledoran daripadanya. Jikalau tidak, maka tiada seorangpun sanggup
mencabut ilmu dari orang lain. Walaupun ia sanggup mencabut kesehatan,
keselamatan, kekayaan dan harta. Inilah salah satu sebab kemuliaan ilmu. Ilmu
itu kekal di dunia dan pahalanya kekal di akhirat. Ia tiada terputus untuk
selama-lamanya. Adapun kesehatan dan kesejahteraan, maka keduanya hilang dengan
pukulan. Tiap-tiap orang yang mengetahui bahwa ia akan dipukul dengan pukulan
yang menyakitkan, yang diperolehnya kesakitan itu pada hisbah, maka tiada wajib
hisbah atasnya. Walaupun disunatkan yang demikian baginya, sebagaimana telah
diterangkan dahulu. Apabila telah dipahami ini tentang menyakitkan dengan
pukulan, maka tentang melukakan,
memotong dan membunuh itu lebih jelas lagi. Adapun kekayaan, ialah diketahuinya
bahwa akan dirampok kampungnya, dirobohkan rumahnya dan dirampas kain-kainnya.
Maka ini juga, gugur kewajiban daripadanya. Dan tinggallah sunat. Karena tiada
mengapa ia menebus agamanya dengan dunianya. Dan masing-masing dari pukulan dan
rampokan itu mempunyai batas tentang sedikitnya yang tidak masuk kiraan,
seperti sebutir biji-bijian pada harta, dan tamparan yang ringan sakitnya pada
pukulan. Dan batas pada banyaknya itu, tertentu perkiraannya. Dan pertengahan
itu terjadi pada tempat kesangsian dan ijtihad. Dan atas orang yang beragama,
bahwa ia berijtihad pada yang demikian. Dan menguatkan segi keagamaan sedapat
mungkin. Adapun kemegahan, maka hilangnya, ialah: dengan memukul dengan pukulan
yang tidak menyakitkan. Atau memaki di hadapan orang banyak. Atau meletakkan
sapu-tangan pada lehernya dan membawa dia keliling negeri. Atau menghitamkan
mukanya dan dibawa berkeliling. Semuanya itu tanpa pukulan yang menyakitkan
badan. Dan itu adalah merusakkan kemegahan dan menyakitkan hati. Dan ini
mempunyai tingkat-tingkat. Maka yang betul, ialah dibagi kepada: apa yang
dipandang menggugurkan kehormatan diri (muruah), seperti dibawa keliling dalam
negeri, terbuka kepala dan tiada beralas kaki. Maka ini diberi kelapangan
kepadanya berdiam diri. Karena kehormatan diri itu disuruh menjaganya pada
agama. Dan ini menyakitkan hati dengan kesakitan yang bertambah di atas
sakitnya pukulan yang berulang-ulang dan di atas hilangnya sedikit dirham. Ini
suatu tingkat !.
Tingkat kedua, ialah yang dikatakan kemegahan
semata-mata dan ketinggian pangkat. Maka sesungguhnya keluar dengan pakaian
kebanggaan itu, berbuat-buat kecantikan. Dan demikian pula mengendarai kuda.
Jikalau diketahuinya, bahwa kalau ia berihtisab, niscaya memberatkan ia
berjalan kaki di pasar dengan pakaian yang tiada pernah dipakainya seperti itu
atau memberatkan ia berjalan kaki, sedang kebiasaannya berkendaraan. Maka ini
termasuk dalam jumlah kelebihan. Dan tidaklah kerajinan menjaganya itu terpuji.
Dan menjaga harga-diri itu terpuji. Maka tiada seyogyalah gugur kewajiban
hisbah dengan contoh yang sekedar ini. Termasuk dalam pengertian ini, jikalau
ditakutinya akan datang serangan dengan lisan. Adakalanya di hadapannya, dengan
kata-kata pembodohan dan pendunguan dan penyebutan ria dan palsu. Dan
adakalanya di belakangnya (tidak di mukanya), dengan bermacam-macam umpatan.
Maka ini tidak menggugurkan wajib. Karena tak ada padanya, selain hilangnya
kelebihan kemegahan yang tidak besar keperluannya. Jikalau ditinggalkan hisbah,
disebabkan cacian orang yang mencaci atau disebabkan umpatan orang fasiq atau
makiannya dan gertakannya atau hilangnya kedudukan dari hatinya dan hati
teman-temannya, niscaya tiadalah sekali-kali wajib hisbah itu. Karena tiadalah
terlepas hisbah daripadanya, kecuali apabila munkar itu umpatan. Dan
diketahuinya bahwa jikalau ditantangnya, niscaya orang itu tidak berdiam diri
dari orang yang diumpatinya. Tetapi ditambahkannya dan dimasukkannya orang yang
diumpatinya itu bersama dia dalam mengumpat. Maka haramlah hisbah ini, karena
menjadi sebab bertambahnya kema’siatan. Jikalau diketahuinya bahwa orang itu
akan meninggalkan pengumpatan itu dan menyingkatkan kepada mengumpatnya saja,
maka tiada wajib juga hisbah. Karena umpatannya itu ma’siat juga terhadap orang
yang diumpatinya. Tetapi disunatkan yang demikian kepadanyaa. Supaya ia menebus
kehormatan orang yang tersebut dengan kehormatan dirinya di atas jalan
mengutamakan kepentingan orang lain. Sesungguhnya umumnya ayat-ayat dan
hadits-hadits, menunjukkan kuat wajibnya hisbah dan besarlah bahaya berdiam
diri daripadanya. Maka tiadalah menandinginya, selain oleh apa yang besar
bahayanya pada agama. Harta, nyawa dan harga-diri telah jelas pada agama
bahayanya. Adapun kelebihan kemegahan, kemarahan, derajat berbuat-buat
kecantikan dan mencari pujian makhluq, maka semuanya itu tiada berbahaya.
Meninggalkan ihtisab karena takut kepada sesuatu dari hal-hal yang tiada
diingini, yang akan menimpa anaknya dan familinya, maka itu adalah termasuk
haknya pada orang yang di bawahnya. Karena merasa sakit disebabkan oleh
urusannya sendiri adalah lebih berat daripada dirasa sakit oleh urusan orang
lain. Dan dari segi agama, yaitu yang di atasnya. Karena ia dapat memaafkan
mengenai hak-haknya sendiri. Dan tidak dapat memaafkan mengenai hak orang lain.
Jadi, seyogyalah ia tidak melakukan ihtisab. Maka sesungguhnya, jikalau ada
yang hilang dari hak-hak mereka (anak dan famili) itu, hilang atas jalan
ma’siat, seperti: pukulan dan rampokan, maka tiadalah baginya hisbah ini.
Karena dia menolak munkar, yang membawa kepada munkar. Jikalau yang hilang itu
tidak dengan jalan ma’siat, maka itu juga menyakiti orang Islam. Dan tiada
boleh baginya yang demikian, kecuali dengan persetujuan mereka (anak dan
famili) itu. Maka apabila ada yang demikian itu, membawa kepada menyakitkan
kaumnya, maka hendaklah ditinggalkan ihtisab itu. Yang demikian itu seperti
orang zahid yang mempunyai famili orang-orang kaya. Maka dia tidak takut kepada
hartanya, jikalau ia melakukan ihtisab kepada sultan (penguasa). Tetapi sultan
itu akan menuju familinya, karena menuntut balas dari orang zahid tadi dengan
perantaraan familinya. Apabila kesakitan itu menjalar dari sebab hisbahnya,
kepada famili dan tetangganya, maka hendaklah ia meninggalkan hisbah itu. Maka
sesungguhnya menyakiti kaum muslimin itu harus dijaga. Sebagaimana diam atas
munkar itu, harus dijaga. Ya. Jikalau tiada menimpa mereka oleh kesakitan itu
pada harta atau jiwa, tetapi akan menimpa mereka oleh kesakitan dengan cacian
dan makian, maka mengenai ini ada penelitian. Dan berlainan urusannya menurut
derajat kemunkaran tentang kekejiannya dan tingkat perkataan yang dijaga
mengenai tusukannya pada hati dan melakukan pada kehormatan. Jikalau ada yang
bertanya: “Kalau orang mau memotong anggota tubuhnya sendiri dan ia tiada akan
mencegah dirinya dari maksudnya itu, kecuali dengan pertempuran, yang
kadang-kadang akan membawa kepada terbunuhnya, maka apakah ia akan diperangi ?
jikalau anda mengatakan: akan diperangi, maka itu mustahil (tidak masuk akal).
Karena itu adalah membinasakan jiwa karena takut dari kebinasaan anggota tubuh.
Dan pada membinasakan jiwa itu, membinasakan anggota tubuh pula”. Kami
menjawab: dilarang dari memotong anggota tubuhnya itu dan ia diperangi. Karena
bukanlah maksud kita menjaga nyawanya dan anggota tubuhnya. Akan tetapi yang
menjadi maksud, ialah: menutup jalan munkar dan ma’siat. Dan membunuhnya pada
hisbah itu tidak ma’siat. Memotong anggota tubuhnya sendiri itu ma’siat. Yang
demikian itu seperti menolak orang yang memaksa harta orang Islam, dengan apa
yang mendatangkan kepada terbunuhnya. Yang demikian itu dibolehkan. Bukan
berarti kita menebus sedirham harta orang Islam, dengan nyawa orang Islam. Yang
demikian itu mustahil (tidak masuk akal). Tetapi maksudnya, untuk mengambil
harta orang Islam itu, ma’siat. Dan terbunuhnya pada menolak perbuatan ma’siat
itu tidak ma’siat. Dan yang dimaksud ialah menolak perbuatan-perbuatan ma’siat.
Kalau ada yang berkata: “Jikalau kita ketahui, bahwa orang itu jikalau duduk
sendirian untuk memotong anggota tubuhnya sendiri, maka seyogyalah kita
menyerangnya sekarang juga, untuk menutup pintu kema’siatan”. Kami menjawab:
Yang demikian itu tidaklah diketahui dengan yakin. Dan tidak boleh menumpahkan
darahnya dengan persangkaan ma’siat. Tetapi apabila kita melihatnya dalam
keadaan sedang memotong anggota tubuhnya, niscaya kita halangi perbuatan
tersebut. Kalau ia menyerang kita, niscaya kita serang dia. Dan tidak kita
hiraukan dengan apa yang akan terjadi atas jiwanya. Jadi, perbuatan ma’siat itu
mempunyai 3 hal.
Hal pertama: bahwa ma’siat itu sudah berlalu. Maka
siksaan atas ma’siat yang berlalu itu, ialah hukuman atau didera (ta’zir). Dan
itu terserah kepada wali (penguasa), tidak kepada seseorang pribadi.
Hal kedua: bahwa ma’siat itu sedang berlangsung dan
pelakunya sedang melakukannya. Seperti: dipakainya kain sutera, dipegangnya
gitar dan khamar. Maka menghilangkan ma’siat ini wajib, dengan segala jalan
yang mungkin ditempuh. Selama tidak membawa kepada kema’siatan yang lebih buruk
lagi atau yang sama. Dan ini berlaku bagi masing-masing orang pribadi dan
rakyat.
Hal ketiga: bahwa perbuatan munkar itu mungkin akan
terjadi. Seperti orang yang menyiapkan menyapu tempat dan menghiasinya. Dan
mengumpulkan bunga-bungaan untuk minum khamar. Dan khamar itu, belum
didatangkan sesudahnya. Maka ini diragukan. Karena kadang-kadang datang sesuatu
hal yang dapat mencegah. Maka tiada hak bagi seseorang pribadi menggunakan
kekerasan terhadap orang yang bercita-cita meminum khamar. Kecuali dengan jalan
pengajaran dan nasehat. Adapun dengan kekerasan dan pukulan, maka tiada boleh bagi
seseorang pribadi dan bagi sultan (penguasa). Kecuali, apabila ma’siat itu
diketahui dengan kebiasaan yang berkali-kali. Dan ia telah tampil kepada sebab,
yang membawa kepada kema’siatan itu. Dan tiada tinggal untuk terjadinya maksud
itu, kecuali apa yang tidak ada padanya, selain penungguan waktu saja. Yang
demikian itu, adalah seperti berhentinya anak-anak muda pada pintu kamar mandi
kaum wanita, untuk melihatnya ketika masuk dan keluar. Maka anak-anak muda itu,
walaupun mereka tidak menyempitkan jalan karena jalan itu luas, maka bolehlah
dilakukan hisbah kepada mereka, dengan menyuruh mereka berdiri dan melarang
berhenti di tempat tersebut, dengan kekerasan dan pukulan. Dan adalah
pentahkikan ini, apabila dibahas secara mendalam, niscaya kembali kepada
berhenti di pintu itu sendiri adalah perbuatan ma’siat. Walaupun maksud dari si
pelaku kema’siatan itu di belakangnya. Sebagaimana duduk berdua-duaan (khilwah)
dengan wanita ajnabiah (wanita yang bukan mahram) itu sendiri, adalah perbuatan
ma’siat. Karena menjadi dugaan terjadinya kema’siatan. Dan mendatangkan sesuatu
yang menimbulkan sangkaan ma’siat itu ma’siat. Kami maksudkan dengan sangkaan,
ialah: sesuatu yang diperbuat orang biasanya untuk terjadinya sesuatu perbuatan
ma’siat, di mana tiada sanggup dicegah daripadanya. Jadi, menurut pentahkikan,
hisbah itu adalah atas ma’siat yang sedang berlangsung, tidak atas ma’siat yang
akan terjadi.
RUKUN KEDUA: Hisbah mempunyai sesuatu yang padanya
hisbah.
Yaitu: Tiap-tiap munkar yang ada sekarang, yang
terang bagi si Muhtasib, tanpa diintip, diketahui adanya kemunkaran itu tanpa
ijtihad.
Maka ini 4 syarat ! marilah kita membahasnya !.
Syarat Pertama: adanya kemunkaran itu. Kami
maksudkan: bahwa ditakuti terjadinya pada agama. Kami tukar dari perkataan
ma’siat kepada ini (perkataan munkar). Karena munkar, lebih umum dari ma’siat.
Karena barangsiapa melihat anak kecil atau orang gila meminum khamar, maka
haruslah ia menuangkan khamarnya dan melarang meminumnya. Demikian juga,
jikalau dilihatnya orang gila laki-laki berzina dengan orang gila perempuan
atau dengan binatang betina, maka haruslah melarangnya dari yang demikian. Dan
tidaklah pelarangan itu karena kejinya bentuk perbuatan dan terjadinya di
hadapan manusia. Bahkan jikalau dijumpainya kemunkaran ini pada tempat sunyi,
niscaya wajiblah melarangnya. Perbuatan tersebut tidak dinamakan ma’siat pada
orang gila. Karena ma’siat yang tidak ada orang ma’siat dengan ma’siat itu,
mustahil. Maka perkataan “munkar” adalah lebih menunjukkan dan lebih umum dari
perkataan “ma’siat” kepadanya. Dan telah kami masukkan pada keumuman ini, akan
dosa kecil dan dosa besar. Maka tidaklah ditentukan hisbah itu dengan dosa-dosa
besar saja. Bahkan membuka aurat dalam kamar mandi, duduk pada tempat sunyi
dengan wanita ajnabiah dan mengikuti memandang wanita ajnabiah, semuanya itu
termasuk dosa kecil dan wajib dilarang daripadanya. Mengenai perbedaan antara
dosa kecil dan dosa besar, ada penelitian, yang akan datang penjelasannya pada
“Kitab Taubat”.
Syarat kedua: bahwa munkar itu ada pada waktu
sekarang. Yaitu menjaga juga dari hisbah atas orang yang telah selesai meminum
khamar. Maka yang demikian, tiadalah atas seseorang pribadi dan munkar itu
telah berlalu. Dan menjaga juga dari apa yang akan terjadi pada keadaan yang
berikutnya. Seperti orang yang diketahui dengan tanda-tanda keadaannya, bahwa
orang itu bercita-cita akan meminum khamar pada malamnya. Maka tiadalah hisbah
terhadap orang itu, selain dengan pengajaran. Dan jikalau ia munkir
bercita-cita meminumnya, maka tiada boleh pula memberi pengajaran itu. Maka
sesungguhnya pada yang demikian itu, jahat sangka kepada orang Islam.
Kadang-kadang benar perkataannya itu. Dan kadang-kadang ia tidak akan
melangsungkan terhadap apa yang dicita-citakannya tadi, karena ada penghalang.
Dan hendaklah diperhatikan akan titik halus yang telah kami sebutkan dahulu.
Yaitu: bahwa duduk pada tempat sunyi dengan wanita ajnabiah, adalah ma’siat
yang sedang berlaku. Dan demikian juga berhenti pada pintu kamar mandi kaum
wanita. Dan hal-hal lain yang serupa dengan itu.
Syarat ketiga: bahwa perbuatan munkar itu jelas
bagi si muhtasib, tanpa diintip. Maka tiap-tiap orang yang menutup perbuatan
ma’siat di rumahnya dan menguncikan pintunya, niscaya tiada boleh dilakukan
pengintipan. Allah Ta’ala melarang daripadanya. Kisah ‘Umaar dan Abdur Rahman
bin ‘Auf tentang itu sudah dikenal. Dan telah kami sebutkan dahulu pada “Kitab
Adab Berteman”. Dan seperti itu pula, apa yang diriwayatkan bahwa Umar ra
memanjat dinding tembok seorang laki-laki. Lalu beliau melihat, laki-laki itu
dalam keadaan yang tiada diingini. Lalu beliau menantangnya. Maka laki-laki itu
menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! jikalau kiranya aku telah melakukan
perbuatan ma’siat kepada Allah dari satu segi, maka engkau telah melakukannya
dari 3 segi”. ‘Umar ra bertanya: “Manakah yang 3 segi itu ?”. Laki-laki itu
menjawab: Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang”.
S 49 Al Hujuraat ayat 12. Dan engkau mencari-cari keburukan itu. Allah Ta’ala
berfirman: “Dan masukilah rumah itu dari pintunya”. S 2 Al Baqarah ayat 189.
Dan engkau telah memanjat dinding tembok dan masuk dari atap. Allah Ta’ala
berfirman: “Janganlah kamu masuk ke dalam rumah yang bukan rumah kamu, sebelum
meminta izin dan memberi salam kepada orang yang di dalamnya !”. S 24 An Nur
ayat 27. Dan engkau tiada memberi salam. Lalu ‘Umar ra meninggalkan laki-laki
itu. Dan mensyaratkan kepadanya bertaubat. Karena itulah, Umar ra bermusyawarah
dengan para sahabat ra dan beliau atas mimbar. Beliau bertanya kepada mereka dari
hal imam (penguasa), apabila melihat sendiri perbuatan munkar, apakah boleh ia
menjatuhkan hukuman pada perbuatan munkar tersebut ? Ali ra menjawab, bahwa
yang demikian, bergantung kepada dua orang saksi yang adil. Tidak memadai
seorang saksi. Kami telah sebutkan perkabaran ini pada penjelasan “Hak Muslim”
dari “Kitab Adab Berteman” dahulu. Tidak kami ulangi lagi. Kalau anda bertanya:
“Manakah batas terang dan tertutup ?”. Maka ketahuilah, bahwa orang yang
menguncikan pintu rumahnya dan menutupkan dirinya dengan dinding-dinding
temboknya, maka tiada boleh memasukinya, tanpa izin, untuk mengetahui ma’siat.
Kecuali, jelas dalam rumah itu yang dapat diketahuii oleh orang yang berada dil
luar rumah. Seperti bunyi seruling dan rebab, apabila telah meninggi bunyinya,
dimana telah melewati dinding tembok rumah. Maka barangsiapa mendengar yang
demikian, maka boleh memasuki rumah itu dan menghancurkan alat-alat
permainannya. Demikian pula, apabila telah meninggi suara orang-orang mabuk
dengan kata-kata yang biasa diantara mereka, dimana didengar oleh orang-orang
di jalanan. Maka ini melahirkan yang mewajibkan hisbah. Jadi, sesungguhnya
diketahui bunyi atau bau dari celah-celah tembok itu. Apabila bau khamar itu
telah berhamburan, maka jikalau yang demikian itu mungkin dari khamar yang
diihormati, maka tiada boleh bermaksud menuangkannya. Jikalau diketahui dengan
petunjuk keadaan, bahwa bau itu berhamburan karena mereka meminumnya, maka ini
suatu kemungkinan. Yang jelas, boleh hisbah. Kadang-kadang botol khamar itu ditutup
dalam lengan baji dan di bawah ujung baju. Begitu pula alat-alat permainan.
Apabila terlihat seorang fasiq dan di bawah ujung bajunya sesuatu niscaya tiada
boleh dibuka, selama belum menampak dengan tanda tertentu. Maka sesungguhnya
kefasiqannya itu, tidaklah menunjukkan bahwa barang yang ada padanya itu
khamar. Karena orang fasiq itu berhajat juga kepada cuka dan lainnya. Maka
tiada boleh diambil bukti dengan penyembunyiannya itu dan bahwa jikalau halal,
tentu tidak disembunyikannya. Karena maksud-maksud pada penyembunyiannya itu
banyak. Jikalau baunya sudah berhamburan, maka dalam hal ini menjadi tempat
penelitian. Yang jelas, boleh bagi muhtasib itu ihtisab. Karena ini adalah
suatu alamat yang memberi faedah berat sangkaan (zhan). Dan zhan itu seperti
ilmu (tahu) pada hal-hal yang seperti ini. Begitupula gitar. Kadang-kadang
dikenal dengan bentuknya, apabila kaun penutupnya itu tipis. Maka penunjukkan
bentuk itu, seperti penunjukkan bau dan bunyi. Dan apa yang terang oleh
penunjukkan itu, maka itu tiada tertutup. Bahkan itu terbuka. Dan kita telah
disuruh bahwa menutup apa yang ditutup oleh Allah. Dan menantang terhadap orang
yang menampakkan kepada kita wajahnya. Penampakan itu mempunyai
tingkat-tingkat. Sekali menampakkan kepada kita dengan pancaindra pendengaran.
Sekali dengan pancaindra penciuman. Sekali dengan pancaindra penglihatan. Dan
sekaali dengan pancaindra penyentuhan. Dan tidak mungkin kita menentukan yang
demikian, dengan pancaindra penglihatan. Tetapi yang dimaksdukan, ialah tahu.
Semua pancaindra ini juga memberi faedah tahu. Jadi, sesungguhnya bolehlah
dipecahkan apa yang di bawah kain, apabila diketahui bahwa yang di bawah kain
itu khamar. Dan tida boleh baginya mengatakan: “Perlihatkanlah kepadaku, supaya
aku tahu apa yang di dalamnya !”. Maka sesungguhnya itu, adalah
mengintip-ngintip (tajassus). Dan arti: tajassus, ialah: mencari tanda-tanda
pengenalan. Maka tanda pengenalan itu, jikalau berhasil dan membuahkan
pengenalan, niscaya boleh dilaksanakan menurut yang dikehendaki oleh tanda-tanda
itu. Mencari tanda pengenalan itu, tidaklah sekali-kali diberi izin.
Syarat keempat: bahwa munkar itu diketahui tanpa
ijtihad. Maka tiap-tiap yang berada pada tempat ijtihad, niscaya tiada hisbah
padanya. Maka tiada boleh bagi orang yang bermadzhab Hanafi, memandang mungkar
terhadap orang yang bermadzhab Syafi’i, yang memakan dlabb dan dlabu’ dan makan
yang ditinggalkan membaca “Bismillah” dengan sengaja. Dan tidak boleh bagi
orang yang bermadzhab Syafi’i, memandang munkar terhadap orang yang bermadzhan
Hanafi, yang meminum air nabidz (air buah anggur kering), yang tidak memabukkan
dan menerima pusaka dzawil-arham dan duduk pada rumah yang diambilnya dengan
syuf’ah ketetanggaan. Dan lain-lain yang berlaku padanya ijtihad para ulama
mujtahid. Ya, kalau orang bermadzhab Syafi’i melihat orang yang bermadzhab
Syafi’i juga meminum nabidz dan kawin tanpa wali dan bersetubuh dengan
isterinya itu, maka dalam hal ini ada penelitian. Yang lebih kuat (al-adh-har),
bahwa baginya hisbah dan menantang. Karena tiada seorangpun dari orang-orang
yang memperoleh pengetahuan tinggi, beraliran, bahwa boleh bagi seorang ulama
mujtahid, berbuat dengan yang diwajibkan oleh ijtihad lainnya. Dan tidak pula,
bahwa orang yang dibawa oleh ijtihadnya, pada bertaqlid (turut/menurut) kepada
seseorang yang dipandangnya ulama yang utama, bahwa baginya mengambil madzhab
lainnya. Lalu memilih dari madzhab-madzhab itu yang terbaik padanya. Tetapi
haruslah atas tiap-tiap muqallid (pengikut) mengikuti muqalladnya (yang
diikuti) pada semua penguraian. Jadi, menyalahinnya akan muqallad itu,
disepakati sebagai suatu perbuatan munkar diantara para ahli ilmu. Dan muqallid
itu berbuat ma’siat dengan menyalahinya. Kecuali, haruslah dari ini, urusan
yang lebih sulit lagi. Yaitu: bahwa boleh bagi orang yang bermadzhab Hanafi,
memajukan pertanyaan kepada orang yang bermadzhab Syafi’i, apabila ia kawin
tanpa wali, dengan mengatakan kepadanya: “Perbuatan itu sendiri benar. Tetapi
tidak terhadap dirimu. Kamu membatalkan perkawinan itu dengan pelaksanaannya
yang demikian, sedang kamu berkeyakinan, bahwa yang betul ialah madzhab
Syafi’i. Penyalahan apa yang betul pada kamu adalah perbuatan ma’siat pada
pihakmu. Walaupun ma’siat itu betul pada sisi Allah”. Demikian pula orang yang
bermadzhab Syafi’i berihtisab terhadap orang yang bermadzhab Hanafi, apabila
orang Hanafi itu berkongsi dengan dia memakan dlabb dan meninggalkan membaca
“Bismillah” waktu makan, dengan sengaja dll. Dan mengatakan kepada orang Hanafi
itu: “Adakalanya engkau berkeyakinan bahwa madzhab Syafi’i lebih utama diikuti.
Kemudian engkau tampil melaksanakannya. Atau tidak engkau berkeyakinan yang
demikian. Maka tidaklah engkau tampil melaksanakannya. Karena berselisih dengan
keyakinanmu”. Kemudian, menarik ini kepada hal yang lain dari hal-hal yang
dapat dirasakan dengan pencaindra. Yaitu, umpamanya: orang pekak bersetubuh
dengan seorang wanita dengan maksud berzina. Dan diketahui oleh muhtasib bahwa
wanita itu isteri orang pekak itu. Dikawinkan oleh bapaknya dengan dia pada
waktu kecil. Tetapi tidak diketahuinya. Dan payah memberitahukannya yang
demikian, karena pekaknya atau karena ia tiada mengetahui bahasanya. Maka orang
pekak itu pada perbuatannya serta keyakinannya bahwa wanita itu ajnabiah,
adalah berbuat ma’siat. Dan mendapat siksaan pada negeri akhirat. Maka
seyogyalah wanita itu, dilarang dari orang pekak itu, walaupun wanita itu
isterinya. Dan itu adalah jauh, dari segi bahwa itu halal pada ilmu Allah
Ta’ala. Dan dekat dari segi haram atasnya, dengan hukum kesalahan dan
kebodohannya. Dan tidak syah, bahwa jikalau berta’liq (menyangkutkan)
penceraian (pentalakan) isterinya kepada suatu keadaan yang diketahui oleh hati
si muhtasib, umpamanya: dari kehendak atau kemarahan atau lainnya. Dan keadaan
itu telah ada pada hati muhtasib. Dan ia tidak sanggup memberitahukan yang
demikian kepada suami-isteri itu. Tetapi telah diketahuinya jatuh talak itu
pada bathin. Maka apabila si muhtasib melihat orang itu bersetubuh dengan
perempuan itu, maka haruslah melarang. Ya’ni: dengan lisan, karena itu zina.
Hanya penzina itu tiada mengetahuinya. Dan si muhtasib itu tahu bahwa wanita
itu telah diceraikan 3 talak. Keduanya tidak ma’siat. Karena kebodohannya akan
adanya keadaan yang tidak mengeluarkan perbuatan itu dari munkar. Dan tiada
keluar yang demikian itu dari zina orang gila. Dan telah kami terangkan, bahwa
orang gila itu dilarang dari zina yang dilakukannya. Apabila dilarang dari
sesuatu yang munkar pada sisi Allah, walaupun tidak munkar pada si pembuatnya
dan ia tidak ma’siat dengan munkar itu, karena halangan kebodohan, maka
haruslah dari kebalikan ini, bahwa dikatakan: apa yang tidak munkar di sisi
Allah dan sesungguhnya itu munkar pada si pembuattnya karena kebodohannya,
niscaya tidak dilarang. Ini adalah lebih kuat (al-adh-har). Dan pengetahuan itu
adalah pada sisi Allah Ta’ala. Maka dari ini berhasillah, bahwa: orang Hanafi
tidak akan mengajukan pertanyaan kepada orang Syafi’i tentang perkawinan tanpa
wali. Dan orang Syafi’i akan mengajukan pertanyaan kepada orang Syafi’i tentang
itu. Karena yang ditanyakan itu, perbuatan munkar dengan kesepakatan si
muhtasib dan orang yang diihtisabkan (muhtasab ‘alaih). Inilah masalah-masalah
fiqh yang halus dan kemungkinan-kemungkinan yang bertentangan padanya. Dan kami
mengeluarkan fatwa padanya menurut yang kuat pada kami sekarang. Dan tidaklah
kami memutuskan, salahnya penguatan orang yang menyalahinya, kalau ia
berpendapat, bahwa tidak berlaku ihtisab, selain pada yang diketahui dengan
yakin. Dan telah berjalan kepadanya para ulama yang beraliran demikian. Dan
mereka itu berkata, bahwa tiada hisbah, selain pada seumpama khamar, babi dan
apa yang diyakini haramnya. Tetapi yang lebih meragukan (al-asybah) pada kita
(golongan Syafi’i), ialah: bahwa ijtihad itu memberi bekas pada pihak mujtahid.
Karena jauh sekalilah bahwa ia berijtihad tentang qiblat dan ia mengaku dengan
terangnya qiblat padanya ke sesuatu arah, dengan dalil-dalil berat sangkaan.
Kemudian ia membelakanginya. Dan ia tidak dilarang dari yang demikian, karena
berat sangkaan orang lain. Karena membelakang itulah yang betul. Dan pendapat
orang yang berpendapat, bahwa boleh bagi tiap-tiap muqallid (pengikut madzhab)
memilih madzhab mana yang dikehendakinya itu, tidaklah masuk hitungan.
Mudah-mudahan tidaklah syah sekali-kali perjalanan orang yang berjalan
kepadanya. Maka ini adalah madzhab yang tidak tetap. Dan jikalau tetap, maka
tidaklah masuk hitungan. Jikalau anda berkata, bahwa apabila tidak diajukan
pertanyaan kepada orang Hanafi tentang nikah tanpa wali, karena ia berpendapat
bahwa itu benar, maka seyogyalah tidak diajukan pertanyaan kepada orang
mu’tazilah (al-mu’tazili) tentang perkataannya: bahwa Allah Ta’ala tidak akan
dilihat. Dan perkataannya: bahwa kebajikan daripada Allah dan kejahatan bukan
daripada Allah. dan perkataannya: Kalam (berkata-kata) Allah itu makhluq. Dan
tidak kepada orang yang banyak perkataannya jelek (al-hasyawi), tentang
perkataannya: bahwa Allah Ta’ala suatu tubuh, mempunyai bentuk dan Ia tetap di
atas ‘Arasy. Bahkan, tiada seyogyalah diajukan pertanyaan kepada orang falsafah
(al-falsafi), tentang perkataannya: bahwa tubuh manusia tidak akan dibangkitkan
(dihidupkan kembali) dan yang dibangkitkan ialah nyawa. Karena mereka itu juga
dibawa oleh ijtihadnya kepada apa yang dikatakannya itu. Dan mereka itu
menyangka bahwa yang demikian itu benar. Kalau anda berkata, bahwa
batil/salah/salahnya madzhab mereka itu jelas, maka batil/salah/salahnya
madzhab orang yang menyalahi nash hadits shahih juga jelas. Dan sebagaimana
telah tetap dengan nash-nash yang nyata, bahwa Allah Ta’ala akan dilihat (di
akhirat) dan orang mu’tazilah mengingkarinya dengan penta’wilan (penafsiran),
maka seeprti itu pula telah tetap dengan nash-nash yang nyata, masalah-masalah
yang menyalahi padanya orang Hanafi. Seperti masalah perkawinan tanpa wali dan
masalah Syuf’ah ketentanggaan dan yang seumpama dengan keduanya. Maka
ketahuilah, bahwa masalah-masalah itu terbagi kepada: apa yang tergambar untuk
dikatakan padanya: semua mujtahid itu betul. Yaitu: hukum-hukum perbuatan
tentnag halal dan haramnya. Yang demikian ialah, yang tiada diajukan padanya
pertanyaan kepada para ulama mujtahid. Karena tiada diketahui dengan pasti
kesalaha mereka, tetapi hanya secara berat dugaan (zhann). Dan kepada: apa yang
tidak tergambar, bahwa adalah yang betul padanya, selain satu. Seperti: masalah
melihat Allah, qadar, tiada berpemulaan Kalam (berkata-kata) Allah, tidak
berbentuk, tidak bertubuh dan tidak bertempat Allah Ta’ala. Maka ini termasuk
apa yang diketahui dengan pasti, kesalahan orang yang bersalah padanya. Dan
tiada tinggal cara, bagi kesalahannya yang merupakan kebodohan semata-mata.
Jadi, semua bid’ah (yang diada-adakan) itu seyogyalah ditutup pintu-pintunyya
dan ditantang terhadap pembid’ah (yang diada-adakan)-pembid’ah (yang
diada-adakan) itu segala bid’ah (yang diada-adakan)nya. Walaupun mereka itu
berkeyakinan bahwa bid’ah (yang diada-adakan)-bid’ah (yang diada-adakan)nya itu
benar. Sebagaimana ditolak dikembalikan kepada Yahudi dan Nasrani kekufurannya,
walaupun mereka itu berkeyakinan bahwa yang demikian itu benar. Karena
kesalahan mereka diketahui dengan pasti. Lain halnya kesalahan pada
tempat-tempat sangkaan bagi ijtihad. Jikalau engkau berkata: “Manakala anda
mengajukan pertanyaan kepada orang Qadariah mengenai perkataannya: “Kejahatan
itu tidak dari Allah”, niscaya orang Qadariah itu, akan mengajukan pula
pertanyaan kepada anda mengenai perkataan anda: “Kejahatan itu dari Allah”. Dan
begitupula mengenai perkatan anda: “Bahwasanya Allah Ta’ala akan dilihat”, dan
pada masalah-masalah lain. Karena pembid’ah (yang diada-adakan) itu merasa
benar pada dirinya sendiri. Dan orang yang benar dianggap pembid’ah (yang
diada-adakan) oleh pihak pembid’ah (yang diada-adakan). Masing-masing
menda’wakan dia yang benar. Dan menantang bahwa dia pembid’ah (yang
diada-adakan). Maka bagaimanakah ihtisab itu akan sempurna ?”. Ketahuilah,
bahwa kami karena pertantangan ini, mengatakan: “Dilihat ke negeri yang telah
lahir bid’ah (yang diada-adakan) padanya. Jikalau bid’ah (yang diada-adakan)
itu asing pada rakyat banyak dan manusia semuuanya di atas sunnah, maka
dilakukan hisbah, tanpa keizinan sultan (penguasa). Dan jikalau terbagi
penduduk kepada ahli bid’ah (yang diada-adakan) dan ahlis-sunnah dan pada
pengajuan pertanyaan itu, menggerakkan fitnah dengan bunuh-membunuh, maka
tiadalah hisbah bagi orang seorang mengenai madzhab-madzhab, selain dengan
ketetapan sultan”. Apabila penguasa melihat suatu pendapat yang benar dan ia
memberi pertolongan dan memberi izin kepada seseorang untuk melarang pembid’ah
(yang diada-adakan) daripada melahirkan bid’ah (yang diada-adakan) itu, niscaya
adalah yang demikian, bagi orang tersebut. Dan tidak boleh bagi orang lain.
Sesungguhnya apa yang ada dengan keizinan sultan, niscaya tiada akan
berhadap-hadapan kepada orang lain. Dan apa yang ada dari pihak orang-orang
seorang, maka hal itu dapat berhadap-hadapan dengan orang lain. Kesimpulannya,
hisbah itu pada bid’ah (yang diada-adakan), lebih penting daripada hisbah pada
tiap-tiap perbuatan munkar. Tetapi seyogyalah dijaga padanya, uraian yang telah
kami sebutkan itu. Supaya tidak bertentangan keadaan dan tidak membawa kepada
penggerakkan fitnah. Bahkan, kalau sultan mengizinkan secara mutlak, untuk
melarang tiap-tiap orang yang dengan tegas mengatakan: bahwa Alquran itu
makhluq atau: Allah tiada akan dilihat atau: Allah tetap di atas ‘Arasy yang
bersentuhan dengan ‘Arasy atau bid’ah (yang diada-adakan)-bid’ah (yang
diada-adakan) yang lain, niscaya berkuasalah masing-masing orang melarangnya.
Dan tidaklah bertentangan urusan padanya. Yang bertentangan ialah ketika
keizinan sultan saja.
RUKUN KETIGA: Muhtasib ‘alaih.
Syaratnya: bahwa muhtasab ‘alaih dengan sifat, yang
menjadikan perbuatan yang dilarang daripadanya, terhadap dirinya itu, adalah
pembuat munkar. Sedikitnya yang memadai untuk demikian, ialah: bahwa muhtasab
‘alaih itu manusia. Dan tidak disyaratkan mukallaf. Karena telah kami
terangkan, bahwa anak kecil jikalau meminum khamar, niscaya dilarang dan
dilakukan ihtisab kepadanya. Meskipun ia belum baligh (belum dewasa). Dan tidak
disyaratkan mumayyiz (sudah dapat memperbedakan antara yang bermanfaat dan
tidaknya). Karena telah kami terangkan, bahwa orang gila jikalau berzina dengan
wanita gila atau mendatangi hewan betina, niscaya wajiblah dilarang
daripadanya. Benar, sebahagian perbuatan itu tidaklah munkar pada orang gila.
Seperti: meninggalkan shalat, puasa dan lainnya. Akan tetapi kita tidak menoleh
kepada perbedaan penguraian. Sesungguhnya yang demikian juga, termasuk apa yang
berbeda padanya orang muqim dan orang musafir, orang sakit dan orang sehat. Dan
maksud kita ialah: penunjukkan kepada sifat yang dihadapkan kepadanya pokok
penantangan. Tidak apa yang disediakan untuk penguraian-penguraian. Jikalau
engkau berkata: “Cukuplah dikatakan saja muhtasab ‘alaih itu hewan. Dan tidak
disyaratkan adanya muhtasab ‘alaih itu manusia. Karena hewan, jikalau
merusakkan tumbuh-tumbuhan orang, niscaya kita larang, sebagaimana kita larang
orang gila dari berzina dan mendatangi hewan betina (berzina dengan hewan
betina)”. Ketahuilah, bahwa menamakan yang demikian itu hisbah, tak ada
caranya. Karena hisbah ialah: ibarat dari larangan perbuatan munkar karena hak
Allah, menjaga orang yang dilarang daripada mengerjakan yang munkar. Melarang
orang gila dari zina dan mendatangi hewan betina, adalah karena hak Allah. Demikian
juga melarang anak kecil dari meminum khamar. Dan manusia apabila merusakkan
tanaman orang lain, niscaya dilarang karena dua hak:
Pertama: hak Allah Ta’ala, karena perbuatan itu
ma’siat.
Kedua: hak orang yang dirusakkan. Keduanya itu dua
sebab, yang berpisah satu dari lainnya. Kalau ia memotong anggota tubuh orang
lain dengan keizinannya, maka telah terdapat perbuatan ma’siat. Dan gugur hak
orang yang dianiayakan, disebabkan keizinannya. Maka tetaplah hisbah dan
larangan itu, dengan salah satu dua sebab tadi. Hewan, apabila merusakkan
kepunyaan orang, maka tiadalah kema’siatan padanya. Akan tetapi, tetaplah
dilarang, disebabkan salah satu dua sebab tadi. Tetapi pada persoalan ini
mengandung hal yang halus. Yaitu: bahwa kita tidak maksudkan dengan mengeluarkan
hewan itu, akan melarang hewan. Tetapi kita maksudkan menjaga harta orang
Islam. Karena hewan kalau memakan bangkai atau meminum pada bejana, yang di
dalamnya khamar atau air yang bercampur dengan khamar, niscaya tidak kita
larang. Bahkan boleh memberi makan anjing buruan dengan bangkai busuk yang baru
mati. Tetapi harta orang Islam, apabila didatangi kelenyapan dan kita sanggup
memeliharanya tanpa payah, niscaya wajiblah yang demikian atas kita, karena
menjaga harta. Bahkan, jikalau jatuh kendi kepunyaan seseorang dari atas dan di
bawahnya ada botol kepunyaan orang lain, maka haruslah ditolak kendi untuk
memelihara botol. Bukan untuk mencegah kendi dari jatuh. Kita tidak maksudkan
mencegah kendi dan menjaganya daripada memecahkan botol. Kita melarang orang
gila dari zina dan mendatangi hewan betina dan meminum khamar, demikian juga
anak kecil, bukan untuk memelihara hewan yang didatangi atau khamar yang
diminum. Akan tetaapi pemeliharaan untuk orang gila itu daripada meminum khamar
dan pembersihan baginya, dari segi dia itu manusia yang dihormati. Inilah
titik-titik halus yang tidak dapat dipahami, selain oleh orang-orang yang dalam
penyelidikannya (al-muhaqqiqun). Maka tiada seyogyalah dilupakan daripadanya.
Kemudian tentang apa yang wajib dibersihkan anak kecil dan orang gila,
daripadanya itu ada penelitian. Karena kadang-kadaang terdapat keragu-raguan
tentang pelarangan anak kecil dan orang gila, dari memakai sutera dan yang lain
dari itu. Dan akan kami bentangkan untuk yang kami isyaratkan itu pada: Bab
ketiga. Jikalau anda bertanya: “Tiap-tiap orang yang melihat hewan-hewan yang
terlepas pada tanaman orang, adakah wajib ia mengeluarkannya ? dan tiap-tiap
orang yang melihat harta seorang muslim yang hampir hilang, adalah wajib ia
menjaganya. Jikalau anda mengatakan bahwa yang demikian itu: wajib, maka ini
adalah pemberatan sekali, yang membawa kepada jadinya manusia itu dipaksakan
untuk orang lain sepanjang umurnya. Dan jikalau anda mengatakan: tiada wajib,
maka mengapakah wajib ihtisab kepada orang yang merampas harta orang lain dan
tiada sebabnya, selain memelihara harta orang lain ?”. Kami menjawab: ini
adalah pembahasan yang halus, lagi sulit. Dan jawaban yang singkat mengenai
ini, kami mengatakan: manakala sanggup memeliharanya dari kehilangan, tanpa
memperoleh kepayahan pada tubuhnya atau kerugian pada hartanya atau kekurangan
pada kemegahannya, niscaya wajiblah atasnya yang demikian itu. Kadar yang
demikian itu wajib mengenai hak-hak orang muslim. Bahkan itu adalah derajat
hak-hak yang paling kurang. Dalil-dalil yang mewajibkan untuk hak-hak kaum
muslimin itu banyak. Dan ini derajat yang sekurang-kurangnya. Dan itu adalah
lebih utama mewajibkannya, daripada menjawab salam. Sesungguhnya, menyakitkan
tentang ini adalah lebih banyak daripada menyakitkan tentang meninggalkan
menjawab salam. Bahkan, tiada terdapat perselisihan mengenai harta orang,
apabila lenyap dengan kedzaliman orang yang dzalim dan ada padanya kesaksian,
jikalau dikatakannya dengan kesaksian itu, maka hak itu kembali kepada pemiliknya,
niscaya wajiblah yang demikian itu atasnya. Dan ia ma’siat dengan
menyembunyikan kesaksian itu. Dan searti dengan meninggalkan kesaksian itu,
meninggalkan tiap-tiap penolakan yang tak ada kemelaratan atas yang
menolakkannya. Jikalau ada padanya kepayahan atau kemelaratan pada harta atau
kemegahannyya (tercemar namanya), niscaya tiada wajib yang demikian. Karena
haknya dijaga mengenai kemanfaatan tubuhnya, mengenai harta dan kemegahannya,
seperti hak orang lain. Maka tiadalah wajib, ia menebus orang lain dengan
dirinya. Benar, mengutamakan orang lain itu disunatkan. Dan menghadapi segala
kesulitan karena kaum muslimin itu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala
(qurbah). Adapun mewajibkannya, adalah tidak. Jadi, jikalau menyusahkannya
mengeluarkan hewan-hewan dari tanaman, niscaya tiada wajib ia mengusahakan yang
demikian. Tetapi, apabila tiada menyusahkannya, dengan membangunkan pemilik
tanaman dari tidurnya atau dengan memberitahukannya, niscaya haruslah yang
demikian. Menyia-nyiakan memberitahu dan membangunkannya, adalah seperti
menyia-nyiakan memberitahu kepada hakim, dengan kesaksian. Dan yang demikian
itu, tak ada padanya kemaafan. Dan tiada mungkin dijaga padanya antara sedikit
dan banyaknya. Sehingga dikatakan, jikalau tiada hilang daripada barang yang
bermanfaat bagi dirinya pada waktu pekerjaannya mengeluarkan hewan-hewan itu,
selain sekedar sedirham umpamanya dan pemilik tanaman akan hilang banyak harta,
maka kuatlah pihaknya sendiri. Karena sedirham yang menjadi miliknya itu ia
berhak menjaganya. Sebagaimana berhak pemilik 1000 dirham menjaga 1000 dirham.
Dan tiada jalan untuk berpindah kepada yang demikian. Apabila harta itu hilang
dengan jalan ma’siat, seperti: dirampas atau membunuh budak kepunyaan orang
lain, maka wajiblah melarangnya. Walaupun ada padanya sesuatu kesusahan. Karena
yang dimaksud ialah hak syara’ (agama) (agama). Dan maksudnya menolak
kema’siatan. Dan manusia harus menyusahkan diri menolak ma’siat, sebagaimana
harus ia menyusahkan dirinya meninggalkan ma’siat. Dan semua ma’siat itu
payah-payah meninggalkannya. Dan sesungguhnya taat semuanya kembali kepada
menyalahi hawa-nafsu. Dan itu adalah sangat payah. Kemudian tiada harus ia
menanggung semua kemelaratan. Bahkan penguraiannya, sebagaimana telah kami
sebutkan dahulu, termasuk derajat yang dijaga, yang ditakuti si muhtasib. Dan
sesungguhnya terdapat perselisihan ahli-ahli fiqh (fuqaha’) mengenai dua
masalah yang mendekati maksud kita:
Pertama: mengambil barang yang terdapat di jalan
(luqthah), adakah wajib ?. Barang yang dijumpai di jalan itu barang hilang. Dan
yang mengambilnya itu mencegah dari kehilangan dan berusaha memeliharanya. Yang
benar mengenai ini pada kami, bahwa diuraikan, dan diperkatakan: jikalau barang
yang terdapat di jalan itu berada pada tempat, jikalau ditinggalkan barang itu
di situ, niscaya tiada akan hilang, tetapi akan diambil oleh orang yang
mengetahui luqthah itu atau ditinggalkan, seperti jikalau barang itu dalam
masjid atau langgar, yang tertentu orang yang masuk ke dalamnya dan semuanya
orang-orang kepercayaan, maka tiada wajib dipungut barang tersebut. Jikalau
pada tempat yang akan hilang, maka padanya penelitian. Kalau sukar menjaganya,
seperti jikalau benda itu hewan dan memerlukan kepada umpan dan kandang, maka
tiada wajib memungutnya. Karena bahwasanya yang wajib mengambilnya itu, ialah
hak si pemilik. Dan haknya itu, disebabkan si pemilik itu manusia yang
terhormat. Dan si pengambil juga manusia. Dan mempunyai hak untuk tidak
mendapat kepayahan, karena orang lain. Sebagaimana ia tidak memayahkan orang
lain, karenanya. Jikalau luqthah itu emas atau kain atau sesuatu yang tak ada
kemelaratan padanya, kecuali semata-mata payah memberitahukan kepada orang
untuk diketahui siapa pemiliknya (ta’rif), maka dalam hal ini seyogyalah berada
pada dua cara. Ada yang mengatakan, bahwa: memberitahukan (ta’rif) dan
menegakkan syarat-syaratnya adalah payah. Maka tiada jalan untuk mewajibkan
yang demikian. Kecuali orang itu berbuat sunat (tabarru’). Maka ia menerima
keharusan itu, karena mencari pahala. Dan ada yang mengatakan, bahwa: kepayahan
yang sekedar itu, adalah dipandang kecil, dibandingkan kepada menjaga hak-hak
kaum muslimin. Maka ini disejajarkan, pada tempat yang sejajar dengan kepayahan
saksi menghadiri sidang mahkamah (pengadilan). Maka tiada wajib berjalan jauh
ke negeri lain. Kecuali ia bertabarru’ dengan yang demikian. Maka apabila
majelis hakim itu dekat rumahnya, niscaya wajiblah ia hadir. Dan adalah
kepayahan dengan beberapa langkah ini, tiada dihitung kepayahan, untuk maksud
menegakkan kesaksian dan menunaikan amanah. Kalau pengadilan itu berada pada
pinggir yang lain dari negeri itu dan memerlukan datang pada tengah hari dan
sangat panas, maka ini kadang-kadang menjadi tempat ijtihad dan penelitian.
Sesungguhnya kemelaratan yang diperoleh oleh orang yang berusaha memelihara hak
orang lain, mempunyai: tepi tentang sedikitnya, yang tidak diragukan, tentang
tidak perlunya diperhatikan. Dan: tepi tentang banyaknya, yang tidak diragukan,
tentang tidak harus menanggungkannya. Dan: di tengah-tengah, yang ditarik-menarikkan
oleh kedua tepi di atas. Dan selamanya berada pada tempat keraguan dan
penelitian. Dan itu, termasuk keraguan sepanjang masa, yang tiada termasuk
dalam kesanggupan manusia menghilangkannya. Karena tiada alasan, yang
memisahkan diantara bahagian-bahagiannya yang berdekatan. Tetapi orang yang
taqwa itu, memandang padanya bagi dirinya sendiri. Dan meninggalkan apa yang
meragukannya, kepada apa yang tidak meragukannya. Maka inilah: penghabisan
kasyaf (terbuka hijab) dari pokok ini !.
RUKUN KEEMPAT: Ihtisab itu sendiri, mempunyai
tingkat-tingkat dan adab-adab.
Adapun tingkat-tingkat itu, maka yang pertama:
ta’arruf. Kemudian: melarang (nahi). Kemudian: pengajaran dan nasehat.
Kemudian: memaki dan menghardik. Kemudian: merobah dengan tangan. Kemudian:
mengancam dengan pukulan. Kemudian: menjatuhkan pukulan dan melaksanakannya.
Kemudian: menampakkan senjata. Dan kemudian: melahirkan kekuatan dengan
teman-teman dan mengumpulkan tentara.
Adapun
tingkat pertama, yaitu: ta’arruf. Kami maksudkan dengan ta’arruf,
ialah: mencari pengenalan dengan berlakunya kemunkaran itu. Dan ini adalah
dilarang. Yaitu mencari-cari keburukan orang (tajassus) yang telah kami
sebutkan dahulu. Maka tiada seyogyalah menghaluskan pendengaran, ke rumah orang
lain. Supaya mendengar bunyi rebab. Dan tidak untuk menarik nafas. Supaya dapat
mengetahui bau khamar. Dan tidak untuk menyentuh sesuatu dalam kain. Supaya
diketahui bentuk seruling. Dan tidak untuk mencari berita dari tetangganya, supaya
mereka itu menceritakan kepadanya, apa yang berlaku dalam rumah orang itu. Ya,
jikalau dua orang adil menceritakan kepadanya, dari permulaan, tanpa meminta
berita, bahwa si Anu meminum khamar di rumahnya dan di rumahnya ada khamar yang
disediakannya untuk dimiinum, maka ketika itu, ia boleh memasuki rumah tersebut
dan tidak wajib meminta izin. Dan adalah melangkahi kepunyaan orang itu, dengan
memasukinya, adalah untuk sampai kepada menolak kemunkaran. Seperti memecahkan
kepalanya dengan pukulan untuk larangan, manakala memerlukan kepada yang
demikian. Dan jikalau hal itu, dikabarkan oleh dua orang adil atau oleh seorang
adil. Kesimpulannya, oleh tiap-tiap orang yang diterima ceritanya. Tidak
kesaksiannya. Maka tentang bolehnya menyerbu ke rumah itu, dengan kata
orang-orang tersebut, padanya menghendaki penelitian dan kemungkinan. Yang
lebih utama menahan diri dari penyerbuan itu. Karena pemilik rumah itu, berhak
untuk tidak dilangkahi rumahnya, dengan tidak seizinnya. Dan hak seorang Islam
itu tidak gugur, dari apa yang telah tetap menjadi haknya, kecuali dengan dua
orang saksi. Ini adalah lebih utama, apa yang dijadikan menjadi maksud padanya.
Dan ada yang mengatakan, bahwa ukiran pada cincin Lukman ialah: “Menutup apa
yang engkau lihat, adalah lebih baik daripada menyiarkan apa yang engkau duga”.
Tingkat
kedua: ta’rif (pemberitahuan). Bahwa perbuatan munkar,
kadang-kadang tampil kepadanya, orang yang tampil dengan kebodohan. Dan apabila
ia diberitahukan bahwa perbuatan itu munkar, niscaya ditinggalkannya. Seperti
orang bodoh di desa (as-sawadi), yang bershalat dan tidak mengerti dengan baik,
ruku’ dan sujud. Lalu ia tahu demikian karena kebodohannya, bahwa tidaklah itu
shalat. Jikalau ia senang bahwa ia tidak bershalat, niscaya ditinggalkannya
shalat itu sendiri. Maka wajiblah memberitahu kepadanya dengan lemah-lembut,
tanpa kekasaran. Yang demikian, karena dalam kandungan memberitahu itu,
penyandaran kepada kebodohan dan kedunguan. Dan memperbodohkannya itu
menyakitkan. Dan sedikitlah orang yang senang dikatakan dia bodoh dalam hal-hal
urusan. Lebih-lebih dalam hal agama. Karena itulah anda melihat orang yang
keras marahnya, betapa ia marah, apabila ia diperingati kepada kesalahan dan
kebodohan. Dan bagaimana ia bersungguh-sungguh mengingkari kebenaran sesudah
diketahuinya. Karena takut terbuka aurat kebodohannya. Dan tabiat manusia itu
lebih loba, menutupi aurat kebodohannya daripada menutupi aurat yang
sebenarnya. Karena kebodohan itu suatu kekejian pada bentuk jiwa, suatu
kehitaman pada muka. Dan orang yang bodoh itu dicaci orang. Kekejian dua bagian
badan (bagian muka dan belakang yang mengeluarkan najis) itu, kembali kepada
bentuk badan. Dan jiwa lebih mulia dari badan. Dan kekejian jiwa adalah lebih
buruk dari kekejian badan. Kemudian, badan itu tidak dicaci orang, karena dia
itu kejadian yang dijadikan oleh Khaliq (yang maha pencipta) (yang maha
pencipta), yang tiada termasuk berhasilnya dengan pilihan yang empunya badan
sendiri. Dan tiada termasuk dalam pilihannya untuk menghilangkan dan
membaguskan badan itu. Kebodohan itu suatu kekejian yang mungkin dihilangkan
dan digantikan dengan kebagusan pengetahuan. Maka karena itulah, sangatnya
kepedihan yang dirasakan oleh manusia, dengan tampak kebodohannya. Dan
sangatnya kegembiraan pada dirinya, dengan ilmu pengetahuannya. Kemudian,
enaknya ketika menampak keelokan ilmunya pada orang lain. Apabila ta’rif itu
pembukaan aurat, yang menyakitkan hati, maka tak boleh tidak, diobati untuk
menolak kesakitan itu, dengan kelemah-lembutan kasih-sayang. Maka kita katakan
kepadanya: “Bahwa manusia tidak dilahirkan berilmu. Dan kita juga tadinya bodoh
tentang urusan shalat. Lalu kita diajari oleh alim ulama. Mungkin kampung
engkau, sepi dari ahli ilmu. Atau ahli ilmunya teledor tentang menguraikan dan
menerangkan shalat. Sesungguhnya syarat shalat itu thuma’ninah pada ruku’ dan
sujud”. Begitulah diterangkan dengan lemah-lembut, supaya menghasilkan ta’rif,
tanpa menyakitkan. Sesungguhnya menyakitkan orang Islam itu haram, yang harus
dijaga. Sebagaimana menetapkannya atas perbuatan munkar itu dijaga. Dan
tidaklah termasuk orang berakal (berpikiran waras), orang yang membasuh darah
dengan darah atau dengan air kencing. Orang yang menjauhkan berdiam diri dari
perbuatan munkar yang harus diawasi dan menggantikannya dengan yang menyakitkan,
yang harus dijaga bagi orang Islam, serta tidak diperlukan daripadanya, maka
sesungguhnya ia telah membasuh darah dengan air kencing menurut yang
sebenarnya. Apabila engkau ketahui atas suatu kesalahan, pada bukan urusan
agama, maka tiada seyogyalah engkau mengembalikannya kepadanya. Sesungguhnya ia
akan memperoleh faedah ilmu pengetahuan dari engkau. Dan dia menjadi musuh
engkau. Kecuali apabila engkau mengetahui bahwa ia akan mengambil ilmu
pengetahuan baginya. Dan yang demikian sukar sekali didapati.
Tingkat
ketiga: larangan dengan pengajaran, nasehat dan mempertakutkan kepada
Allah Ta’ala. Dan yang demikian, terhadap orang yang mengerjakan sesuatu dan
mengetahui bahwa perbuatan itu munkar. Atau terhadap orang yang berkekalan
berbuat munkar, sesudah mengetahui bahwa perbuatan itu munkar. Seperti orang
yang selalu meminum khamar atau berbuat kedzaliman atau mencaci kaum muslimin
atau yang serupa dengan itu. Maka seyogyalah diajari dan dipertakuti kepada
allah Ta’ala. Dan diterangkan kepadanya, hadits-hadits yang menerangkan siksaan
terhadap perbuatan yang demikian. Dan diceritakan kepadanya, perjalanan hidup
ulama-ulama terdahulu (ulama salaf) dan ibadah orang-orang yang taqwa. Semua
itu diterangkan dengan penuh kasih-sayang, lemah-lembut, tanpa kata-kata kasar
dan marah. Bahkan dipandang kepadanya, sebagai pandangan orang yang penuh
kasih-sayang kepadanya. Dan dipandang tampilnya atas perbuatan ma’siat itu,
suatu malapetaka (musibah) ke atas dirinya. Karena kaum muslimin itu seperti
suatu diri. Di sinilah bahaya yang besar, yang seyogyanya dijaga. Sesungguhnya
bahaya itu, membinasakan. Yaitu: bahwa orang yang berilmu, melihat ketika
diperkenalkan perbuatan ma’siat, akan kemuliaan dirinya dengan ilmu dan
kehinaan orang lain dengan kebodohan. Kadang-kadang dimaksudkannya dengan
ta’rif itu penghinaan dan melahirkan perbedaan dengan kemuliaan ilmu. Dan
penghinaan temannya dengan disandarkan kepada hinanya kebodohan. Kalau yang
menggerakkannya adalah ini, maka kemunkaran tersebut, adalah lebih keji pada
dirinya, dibandingkan dengan kemunkaran yang diajukan pertanyaan kepadanya. Si
muhtasib yang seperti ini, adalah seperti orang yang melepaskan orang lain dari
api, dengan membakarkan dirinya sendiri. Dan itu paling bodoh. Dan inilah
kehinaan besar, yang menakutkan dan tipuan setan yang melemparkan talinya
kepada semua manusia. Selain orang yang diperkenalkan oleh Allah Ta’ala akan
kekurangan-kekurangan dirinya. Dan dibukakanNya mata-hatinya dengan
nur-hidayahNya. Sesungguhnya pada bertindak atas orang lain itu, suatu
kesenangan yang besar bagi jiwa, dari dua segi: pertama dari pihak penunjukan
ilmu. Dan yang satu lagi: dari pihak penunjukan penindakan dan kekuasaan. Dan
yang demikian itu kembali kepada ria, dan mencari kemegahan. Yaitu: nafsu
syahwat yang tersembunyi, yang mengajak kepada syirik yang tersembunyi
(asy-syirkil-khafiy). Mempunyai batu penguji dan alat timbangan, yang
seyogyalah si muhtasib menguji dirinya dengan alat-alat tadi. Yaitu: bahwa
adalah tercegahnya manusia dari munkar oleh dirinya sendiri atau dengan ihtisab
orang lain, adalah lebih disukainya daripada tercegahnya dengan ihtisabnya.
Maka jikalau hisbah itu sukar dan berat kepadanya dan ia suka ihtisab itu cukup
dengan orang lain saja, maka hendaklah ia berihtisab. Maka sesungguhnya yang
menggerakkannya ialah: agama. Jikalau orang ma’siat itu menerima pengajaran
dengan pengajarannya dan takut berbuat ma’siat oleh gertaknya, niscaya lebih ia
sukai daripada orang itu menerima pengajaran dengan pengajaran orang lain, maka
tidaklah si muhtasib ini selain orang yang menuruti hawa nafsu. Dan mencari
jalan untuk melahirkan kemegahan dirinya dengan perantaraan hisbah itu. Maka
hendaklah ia takut (bertaqwa) kepada Allah Ta’ala dan berihtisablah mula-mula
kepada dirinya sendiri !. Ketika inilah, dikatakan apa yang dikatakan kepada
Nabi Isa as “Wahai putera Maryam ! ajarilah dirimu sendiri ! kalau engkau telah
memperoleh pengajaran itu, maka ajarilah manusia ! jikalau tidak, maka malulah
engkau kepadaKu !”. Ditanyakan kepada Daud Ath-Tha-i ra: “Adakah engkau melihat
orang yang datang ke tempat amir-amir itu, lalu ia menyuruh mereka berbuat
perbuatan baik dan melarang berbuat perbuatan munkar ?”. Daud Ath-Tha-i
menjawab: “Aku takut pukulan cemeti atas dirinya”. Orang yang bertanya tadi
menjawab: “Orang itu tahan pukulan”. Daud Ath-Tha-i berkata lagi: “Aku takut
kena pedang atas dirinya”. Orang itu menjawab: “Dia tahan pedang”. Daud
Ath-Tha-i menyambung: “Aku takut penyakit yang tertanam atas dirinya. Yaitu:
‘ujub (perasaan bangga dan angkuh atas perbuatannya)”.
Tingkat
keempat: memaki dan menggertak dengan kata-kata keras dan kasar. Dan
yang demikian itu, dipergunakan ketika lemah daripada melarang dengan
lemah-lembut dan lahir tanda-tanda permulaan akan terus-terusan berbuat ma’siat
dan mempermain-mainkan pengajaran dan nasehat. Yang demikian itu seperti ucapan
Ibrahim as: “Cis, kamu ini ! kenapa kamu sembah –sesuatu- selain dari Allah ?
tidakkah kamu mengerti ?”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 67. Kami tidak maksudkan
dengan makian yang keji itu, dengan apa yang padanya penyandaran kepada: zina
dan pendahuluan-pendahuluannya. Dan tidak kepada kebohongan. Akan tetapi bahwa
ditujukannya dengan kata-kata yang ada padanya, yang tidak dihitung termasuk
diantara jumlah kekejian. Seperti katanya: “Hai fasiq ! hai dungu ! hai bodoh !
tidakkah engkau takut akan Allah ?”. Dan seperti katanya: “Hai orang hitam !
hai bebal !”. Dan kata-kata lain yang seperti itu. Maka sesungguhnya tiap-tiap
orang fasiq itu, adalah dungu dan bodoh. Jikalau tidak karena kedunguannya,
niscaya ia tidak berbuat ma’siat kepada allah Ta’ala. Bahkan tiap-tiap orang
yang tidak pintar adalah dungu. Dan orang pintar, ialah: orang yang diakui oleh
Rasulullah saw dengan kepintarannya, di mana beliau bersabda: “Orang pintar
ialah: oranng yang mengagamakan dirinya dan berbuat untuk sesudah mati. Dan
orang dungu, ialah: orang yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya dan
berangan-angan kepada Allah akan mengampuninya”. Dan tingkat ini mempunyai dua
adab kesopanan:
Pertama: bahwa ia tidak tampil ke tingkat ini,
kecuali ketika darurat dan lemah dari lemah-lembut.
Kedua: bahwa ia tidak berkata-kata kecuali dengan
benar. Dan tidak melepaskan perkataan begitu saja. Lalu melepaskan lidahnya
yang panjang dengan kata-kata yang tidak diperlukan. Tetapi hendaklah disingkatkan
sekedar perlu saja. Kalau diketahuinya, bahwa ucapannya dengan kata-kata yang
menghardikkan ini, tidak menghardikkan muhtasab ‘alaih, maka tiada seyogyalah
ia melepaskan ucapan itu. Tetapi disingkatkan saja dengan melahirkan kemarahan,
penghinaan dan penglecehan menurut tempatnya. Karena kema’siatannya. Kalau
diketahuinya, bahwa jikalau ia berbicara, niscaya akan dipukul orang dan
jikalau ia bermasam muka dan melahirkan ketidak-senangan dengan mukanya,
niscaya ia tidak akan dipukul, niscaya haruslah ia berbuat demikian. Dan tidak
memadai menantang dengan hati. Akan tetapi harus memasamkan muka dan melahirkan
penantangannya.
Tingkat
kelima: merobah dengan tangan. Dan yang demikian itu: seperti
memecahkan alat permainan, menumpahkan khamar dan membuka kain sutera dari
kepalanya dan tubuhnya. Dan melarangnya duduk di atas kain sutera itu.
Menolaknya dari duduk atas harta orang lain. Mengeluarkannya dari rumah yang
dirampasnya dengan menghela kakinya. Dan mengeluarkannya dari masjid, apabila
ia duduk sedang berjanabat (berhadats besar). Dan hal-hal yang serupa dengan
yang demikian. Dan tergambar yang demikian pada sebahagian ma’siat dan tidak
pada sebahagian lainnya. Adapun ma’siat lidah dan hati, maka tiada sanggup
secara langsung mengubahkannya. Dan seperti itu pula, tiap-tiap ma’siat yang
tersimpan pada jiwa dan anggota-anggota tubuh bathiniah dari si pembuat
ma’siat. Pada tingkat ini ada dua adab kesopanan:
Pertama: bahwa tidak secara langsung dengan
tangannya merobah perbuatan munkar itu, selama ia tidak lemah mendesak yang
demikian kepada muhtasab ‘alaih. Apabila mungkin ia memaksakan muhtasab ‘alaih
berjalan keluar dari tanah yang dirampasnya dan dari masjid yang ditempatinya
di mana ia sedang berhadats besar, maka tiada seyogyalah menolaknya atau
menghelanya keluar. Dan apabila ia sanggup menyuruh muhtasab ‘alaih itu
menuangkan khamar, memecahkan alat permainan dan membuka ikatan yang
mengikatkan kain sutera pada badan, maka tiada seyogyalah langsung ia berbuat
yang demikian dengan dirinya sendiri. Sesungguhnya berdiri kepada batas
memecahkan itu, adalah semacam kesulitan. Apabila ia tiada berbuat sendiri yang
demikian, niscaya memadailah berijtihad padanya. Dan dilaksanakan oleh orang
yang tak ada halangan baginya pada memperbuatnya.
Kedua: bahwa disingkatkannya jalan merobahkan itu
sekedar yang diperlukan. Yaitu, bahwa: tidak dipegang janggutnya pada
mengeluarkannya. Dan tidak dengan kaki, apabila sanggup mengeluarkannya dengan
menarik tangannya saja. Sesungguhnya bahan yang menyakitkannya itu tidak
diperlukan. Dan bahwa tidak dikoyakkan pakaian sutera. Akan tetapi dibuka
ikatan pakaian itu saja. Tidak dibakar alat-alat permainan dan salib yang
diperlihatkan oleh orang Nasrani. Akan tetapi dirusakkan yang membawa tidak
dapat dipergunakan lagi, disebabkan pecahnya. Dan batas pemecahan itu, ialah:
barang itu sampai kepada keadaan yang memerlukan pada mengulangi perbaikannya
kepada tenaga yang sama dengan tenaga mengulangi memperbuatnya dari kayu, sejak
permulaan. Dan pada menuangkan khamar dijaga daripada memecahkan bejana, kalau
ada jalan yang demikian. Jikalau tiada sanggup kepada yang demikian, selain
dengan melemparkan tempat-tempat khamar itu dengan batu, maka boleh ia
melakukan yang demikian. Dan jatuhlah nilai tempat khamar itu dan penilaiannya
disebabkan khamar. Karena ia menjadi penghalang untuk sampai kepada menuangkan
khamar itu. Jikalau muhtasab ‘alaih itu menutup khamar dengan badannya, niscaya
kita tujukan kepada badannya itu dengan melukakan dan memukulkan. Supaya kita
sampai kepada menuangkan khamar itu. Jadi, tidaklah bertambah kehormatan
miliknya pada tempat khamar itu atas kehormatan dirinya sendiri. Jikalau khamar
itu dalam botol yang sempit kepalanya dan kalau ia menuangkannya, niscaya
lamalah waktunya. Dan akan diketahui oleh orang-orang fasiq yang akan
melarangnya, maka bolehlah ia memecahkan botol-botol khamar itu. Ini adalah
suatu hal yang membolehkan demikian. Jikalau ia tiada kuatir akan menjumpai
orang-orang fasiq dan larangan mereka, akan tetapi dengan penuangan itu menghilangkan
banyak waktunya dan membawa teledor pekerjaan-pekerjaan lain, maka bolehlah ia
memecahkann tempat-tempat khamar itu. Ia tiada boleh menyia-nyiakan kemanfaatan
tubuhnya sendiri dan maksudnya dari segala perbuatannya, dikarenakan oleh
botol-botol khamar itu. Dan di mana penuangan itu mudah baginya tanpa pemecahan
botol, lalu dipecahkannya, niscaya haruslah dibayarnya botol itu. Kalau anda
bertanya: “Apakah tidak boleh memecahkan (botol khamar) untuk menghardik ? dan
apakah tidak boleh menarik kakinya untuk mengeluarkannya dari tanah yang
dirampasnya ?. Supaya yang demikian itu lebih bersangatan pada penghardikan ?”.
Ketahuilah, bahwa penghardikan itu, sesungguhnya untuk masa yang akan datang.
Dan siksaan (hukuman) itu atas perbuatan yang telah lalu. Dan penolakan adalah
atas perbuatan yang sedang berjalan. Tidaklah atas masing-masing rakyat, selain
menolak kemunkaran yang sedang berlaku itu. Penolakan, yaitu: meniadakan
kemunkaran tersebut. Maka apa yang melebihi dari sekadar peniadaan, adakalanya
siksaan atas kejahatan yang lalu. Atau penghardikan atas perbuatan yang akan
datang. Yang demikian itu diserahkan kepada wali-wali (penguasa-penguasa).
Tidak kepada rakyat. Benar, wali itu boleh berbuat demikian, apabila ia
memandang ada kemuslihatan padanya. Dan aku berkata: bahwa wali itu boleh
menyuruh memecahkan botol-botol yang di dalamnya khamar, untuk penghardikan.
Dan telah diperbuat demikian pada masa Rasulullah saw, untuk menguatkan
penghardikan itu. Dan tak ada mansuhnya (pencabutan) perbuatan tersebut. Tetapi
adalah sangat perlu penghardikan dan pemberhentian dari peminuman khamar itu.
Apabila wali negeri (penguasa) menurut ijtihadnya berpendapat perlunya seperti
yang demikian, niscaya boleh baginya yang demikian. Apabila ini bergantung
dengan semacam ijtihad yang mendalam, niscaya tidak boleh yang demikian bagi
seseorang dari rakyat. Kalau anda berkata: “Maka hendaknya boleh bagi sultan
(penguasa) menghardik manusia dari perbuatan-perbuatan ma’siat, dengan
merusakkan harta mereka. Merobohkan rumah-rumah mereka, di mana di dalam rumah
itu mereka meminum khamar dan mengerjakan perbuatan ma’siat. Dan membakar harta
benda mereka, di mana dengan harta benda itu mereka sampai kepada perbuatan
ma’siat tersebut”. Ketahuilah kiranya, bahwa yang demikian kalau sudah agama
menerangkannya, niscaya tidaklah keluar dari jalan-jalan kemuslihatan. Tetapi
kita tidak mengada-adakan kemuslihatan. Akan tetapi, mengikuti apa yang ada.
Memecahkan botol-botol khamar ada hukumnya ketika sangat diperlukan. Dan
kemudian, membiarkannya karena tidak sangat diperlukan, tidaklah itu mansukh
namanya. Tetapi hukum itu hilang dengan hilangnya ‘illah (sebab). Dan akan
kembali dengan kembalinya ‘illah. Kita perbolehkan yang demikian bagi imam
(penguasa), disebabkan hukum “ittiba” (mengikuti). Dan kita melarang
masing-masing perseorangan rakyat daripadanya, karena tersembunyinya segi
ijtihad padanya. Bahkan kami berkata, jikalau pada pertamanya, telah dituangkan
khamar-khamar itu, maka tidak boleh memecahkan bejana-bejananya kemudian. Tetapi
boleh memecahkannya, karena mengikutkan bagi khamar yang di dalamnya itu.
Apabila bejana-bejana itu kosong dari khamar, maka memecahkannya, adalah
merusakkan harta orang. Kecuali bejana-bejana itu dibiasakan untuk tempat
khamar, dimana tidak cocok selain untuk khamar. Maka adalah perbuatan yang
dinukilkan, dari masa pertama Islam (kurun pertama) dibarengi dengan dua
pengertian:
Pertama: sangat diperlukan kepada penghardikan.
Kedua: mengikutkan botol-botol itu bagi khamar yang
diisikan di botol-botol itu.
Keduanya ini, adalah dua pengertian yang membekas.
Tiada jalan untuk membuangnya. Dan pengertian yang ketiga, yaitu: datangnya
dari pendapat petugas yang bertanggung-jawab. Karena diketahuinya sangat
memerlukan kepada penghardikan itu. Dan itu juga membekas. Tiada jalan untuk
membatalkannya. Inilah urusan-urusan yang halus-halus, yang berhubungan dengan
ilmu fiqh, dimana sudah pasti si muhtasib itu memerlukan untuk mengetahuinya.
Tingkat
keenam: pengancaman dan penakutaan (tahdid dan takhwif). Umpamanya
dikatakan: Tinggalkan perbuatan ini ! atau: akan aku pecahkan kepalamu. Atau:
akan aku pukul lehermu. Atau: akan aku suruh orang berbuat demikian kepada
kamu. Dan kata-kata yang lain yang serupa dengan itu. Dan ini, seyogyalah
didahulukan, untuk pelaksanaan pukulan itu. Karena mungkin didahulukan. Dan
adab pada tingkat ini, ialah: tidak dilakukan pengancaman dengan sesuatu
ancaman, yang tidak boleh dilaksanakan. Seperti katanya: akan aku rampas rumah
engkau atau akan aku pukul anak engkau atau akan aku tawan isteri engkau, dsb.
Bahkan yang demikian itu, kalau dikatakannya dengan cita-cita akan
dilaksanakan, adalah haram. Dan kalau dikatakannya tanpa cita-cita tersebut,
adalah bohong. Benar, apabila disebut pada gertakan itu dengan pukulan dan
penghinaan, maka boleh di’azamkan (dicita-citakan)nya, sampai kepada batas yang
diketahui, dikehendaki oleh keadaan. Dan ia boleh melebihkan ancaman itu,
menurut azamnya (cita-citanya) yang tersembunyi dalam hatinya, apabila
diketahuinya demikian itu dapat mencegah dan menakutkan si pembuat kemunkaran
itu. Dan tidaklah yang demikian termasuk dusta yang harus dijaga. Bahkan
bersangatan pada yang seperti demikian, adalah biasa. Dan itulah artinya
bersangatan seseorang pada memperbaiki diantara dua orang yang bermusuhan dan penjinakan
hati diantara dua isteri yang bermadu. Yang demikian itu termasuk apa yang
diperbolehkan karena diperlukan. Dan inipun termasuk dalam pengertiannya.
Sesungguhnya maksudnya, ialah memperbaiki orang itu. Dan kepada pengertian
inilah diisyaratkan oleh setengah manusia (ulama ilmu keesaan), bahwa tiada
keji daripada Allah, mengancam dengan apa yang tiada diperbuatNya. Karena
menyalahi ancaman itu adalah suatu kurnia. Yang keji ialah menjanjikan dengan
apa yang tiada diperbuat. Pendapat ini tiada kita (para ahlus-sunah
wal-jama’ah) menyetujuinya. Sesungguhnya Kalam (berkata-kata) Tiada berpemulaan
(FirmanNya yang Tiada berpemulaan) itu tiada berlaku padanya penyalahan, baik
janji (wa’ad) atau ancaman (wa’id). Dan sesungguhnya ini tergambar mengenai hak
manusia. Yaitu begitu juga, karena penyalahan tentang ancaman itu tidak haram.
Tingkat
ketujuh: langsung memukul dengan tangan, kaki dan lainnya, yang tak
ada padanya pemakaian senjata. Yang demikian itu, diperbolehkan bagi
masing-masing orang, dengan syarat: karena darurat (diperlukan). Dan
disingkatkan sekadar perlu pada penolakan munkar itu. Apabila pembuat munkar
itu bertahan, maka seyogyalah dicegah. Dan hakim (qadli) kadang-kadang
memaksakan orang yang ada padanya hak orang lain, untuk mengembalikan kepada
pemiliknya, dengan memenjarakannya. Kalau yang dipenjarakan itu tidak mau
mengembalikan dan hakim tahu akan kesanggupannya mengembalikan hak itu dan
tentang membangkangnya orang yang dipenjarakan itu, maka hakim boleh
memaksakannya pengembalian itu dengan pukulan setingkat demi setingkat, menurut
yang diperlukan. Begitupula si muhtasib, menjaga setingkat demi setingkat itu.
Kalau ia memerlukan kepada pemakaian senjata dan ia sanggup menolak kemunkaran
itu dengan pemakaian senjata dan pelukaan, maka boleh ia berbuat yang demikian,
selama tidak berkembang kekacauan. Sebagaimana umpamanya, jikalau seorang fasiq
memegang seorang wanita atau memukul rebab yang ada padanya. Dan antara orang
fasiq itu dan si muhtasib, terbentang sungai yang menghambat atau dinding yang
mencegah. Maka diambilnyalah panah dan dikatakan kepada orang fasiq itu:
”Lepaskan wanita itu atau aku akan melemparkan engkau dengan anak panah ini !”.
Jikalau tidak dilepaskannya, maka boleh ia melemparkan (melepaskan) anak panah
itu. Dan seyogyalah tidak ditujukan kepada tempat yang membunuhkan. Tetapi
ditujukan kepada betis, paha dan yang serupa dengan itu. Dan dijaga padanya
tingkat demi tingkat. Begitupula ia mencabut pedangnya, seraya berkata:
“Tinggalkan kemunkaran itu atau aku akan memukul engkau !”. Maka semua itu
adalah penolakan munkar. Dan penolakan munkar itu wajib dengan segala
kemungkinan. Tiada berbeda tentang itu diantara yang khusus bersangkutan dengan
hak Allah dan yang bersangkutan dengan anak Adam (manusia). Golongan Mu’tazilah
berkata: “Apa yang tiada berhubungan dengan hak anak Adam, maka tak ada hisbah
padanya, selain dengan perkataan atau dengan pukulan. Tetapi bagi imam
(penguasa), tidak bagi masing-masing orang (individu).
Tingkat
kedelapan: muhtasib itu tidak sanggup sendirian dan ia memerlukan
kepada pembantu-pembantu yang memakai senjata. Kadang-kadang orang fasiq juga
meminta bantuan dengan teman-temannya. Dan yang demikian, membawa kepada
berhadapan muka dua barisan dan berperang-perangan. Maka dalam hal ini, telah timbul
perselisihan tentang perlunya kepada keizinan imam (penguasa). Berkata
orang-orang yang berkata: “Tidaklah masing-masing rakyat bebas bertindak yang
demikian. Karena membawa kepada bergeraknya kekacauan, berkobarnya kerusakan
dan kehancuran negeri”. Berkata yang lain: “Tidak memerlukan kepada keizinan”.
Dan inilah yang lebih sesuai dengan qias. Karena apabila boleh bagi orang
seorang, melakukan amar-ma’ruf dan tingkat-tingkatnya yang permulaan akan
menghela kepada orang dua-dua. Dan orang dua-dua akan menghela kepada orang
tiga-tiga. Dan tidak mustahil kadang-kadang akan berkesudahan kepada
pukul-memukul. Dan pukul-memukul itu membawa kepada tolong-menolong. Maka tiada
seyogyalah diambil perduli, dengan segala yang harus oleh amar-ma’ruf. Dan
kesudahannya penyusunan barisan tentara pada jalan keridlaan Allah Ta’ala dan
menolak segala kema’siatanNya. Kami membolehkan bagi masing-masing para
pejuang, berkumpul dan memerangi siapa yang dikehendakinya, dari
golongan-golongan kafir, demi menghambat kaum kafir. Maka seperti itu pula,
menghambat kaum perusak itu diperbolehkan. Karena orang kafir, tiada mengapa,
membunuhnya. Dan orang Islam kalau dibunuh maka mati syahid. Maka seperti itu
pula, orang fasiq yang berjuang mempertahankan kefasiqannya, tiada mengapa membunuhnya.
Dan muhtasib yang benar, kalau terbunuh dengan teraniaya, maka ia mati syahid.
Kesimpulannya, maka berkesudahan pekerjaan kepada yang tersebut ini, adalah
termasuk hal-hal yang jarang terjadi pada hisbah. Maka tidaklah dirobah
undang-undang pengqiasan (qanun qias) dengan demikian. Akan tetapi dikatakan:
tiap-tiap orang yang sanggup menolak kemunkaran, maka boleh ia menolaknya
dengan tangan, dengan senjata, dengan dirinya sendiri dan dengan
pembantu-pembantunya. Jadi, persoalannya itu suatu kemungkinan, sebagaimana
telah kami sebutkan. Inilah tingkat-tingkat hisbah itu ! maka marilah kami
sebutkan adab-adabnya ! kiranya Allah menganugerahkan taufiq !.
PENJELASAN ADAB-ADAB MUHTASIB.
Telah kami sebutkan penguraian-penguraian adab pada
masing-masing tingkat. Dan sekarang kami akan sebutkan jumlahnya dan
sumber-sumbernya. Maka marilah kami terangkan: Semua adab muhtasib, sumbernya
adalah 3 sifat pada muhtasib sendiri: ilmu, menjaga diri dan baik akhlaq.
Adapun ilmu: maka hendaklah muhtasib itu mengetahui
situasi hisbah, batas-batasnya, tempat-tempat berlakunya dan
penghalang-penghalangnya. Supaya ia menyingkatkan di atas batas agama.
Menjaga diri: supaya ia mencegah dirinya daripada
menyalahi apa yang diketahuinya. Maka tidaklah semua orang yang berilmu,
mengamalkan menurut ilmunya. Bahkan kadang-kadang ia tahu, bahwa ia
berlebih-lebihan pada hisbah itu dan bertambah di atas batas yang diizinkan
pada agama. Akan tetapi didorong kepadanya oleh sesuatu maksud. Maka hendaklah
perkataan dan pengajarannya diiterima orang. Bahwa orang fasiq itu akan
mempermain-mainkan si muhtasib apabila berihtisab. Dan mengakibatkan demikian,
orang berani terhadap si muhtasib.
Adapun baik akhlaq, maka hendaklah ia berketetapan
dengan lemah-lembut dan kasih-sayang. Itulah pokok bab dan sebab-sebabnya. Ilmu
dan menjaga diri tiada memadai. Kemarahan apabila berkobar-kobar, niscaya tiada
mencukupi semata-mata ilmu dan menjaga diri untuk mencegahnya, selama tidak ada
pada tabiatnya, penerimaan dengan baik akhlaq. Dan sebenarnya, wara’ itu tidak
sempurna, selain bersama kebaikan akhlaq dan mampu mengekang nafsu-syahwat dan
kemarahan. Dengan itulah muhtasib itu bersabar atas apa yang menimpa dirinya
pada agama Allah. Kalau tidak demikian, maka apabila tertimpa kehormatan
dirinya atau hartanya atau pribadinya dengan makian atau pukulan, niscaya ia
melupakan hisbah itu. Lalai dari agama Allah dan menghabiskan waktunya dengan
urusan pribadinya. Bahkan kadang-kadang ia tampil kepada ihtisab itu, pada
mulanya, karena mencari kemegahan dan nama. Maka dengan 3 sifat tersebut di
atas, jadilah hisbah itu diantara qurbah (amalan yang mendekatkan diri kepada
Allah). Dengan 3 sifat itu tertolaklah segala kemunkaran. Kalau 3 sifat itu
tidak ada, niscaya kemunkaran itu tiada akan tertolak. Bahkan kadang-kadang
hisbah juga, menjadi perbuatan munkar, karena melampaui batas agama. Terhadap
adab-adab ini berdalilkan sabda Nabi saw: “Tiada menyuruh perbuatan baik dan
tiada melarang perbuatan munkar, selain orang yang penuh kasih-sayang pada apa
yang disuruhnya, yang penuh kasih-sayang pada apa yang dilarangnya, yang tidak
lekas marah pada apa yang disuruhnya, yang tidak lekas marah pada apa yang
dilarangnya, berilmu pada apa yang disuruhnya, berilmu pada apa yang
dilarangnya”. Hadits ini menunjukkan, bahwa tidak disyaratkan, bahwa muhtasib
itu berilmu (faqih) mutlak. Akan tetapi hanya mengenai apa yang disuruhnya dan
yang dilarangnya. Dan demikian juga sifat tidak lekas marah (al-hilm). Al-Hasan
Al-Bashari ra berkata: “Bila engkau
termasuk orang yang menyuruh dengan yang baik, maka hendaklah engkau termasuk
orang yang dapat mengambil hati manusia kepadanya. Kalau tidak, niscaya engkau
binasa”. Ada yang bermadah:
Janganlah engkau mencaci orang,
atas perbuatan yang dilakukannya !
Sedang engkau dilihat orang,
berbuat seperti perbuatannya.
Orang yang mencela sesuatu
dan melakukan seperti perbuatan itu,
sesungguhnya mendatangkan malu,
kepada akalnya itu.
Tidaklah kami maksudkan dengan ini, bahwa
amar-ma’ruf itu menjadi terlarang, disebabkan fasiq si muhtasib. Akan tetapi
hilang kesannya dari hati orang banyak, disebabkan lahir fasiqnya bagi manusia.
Diriwayatkan dari Anas ra yang berkata: “Kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah !
tidakkah kami menyuruh perbuatan baik, sebelum kami mengerjakannya semuanya ?.
Dan tidakkah kami melarang perbuatan jahat, sebelum kami menjauhkannya semuanya
?”. Lalu Rasulullah saw menjawab: “Bahkan suruhlah perbuatan baik, walaupun kamu
tiada mengerjakannya semuanya. Dan laranglah perbuatan jahat walaupun kamu tiada menjauhkannya semuanya
!”. Setengah ulama terdahulu (salaf) mewasiatkan kepada anak-anaknya. Ia
mengatakan: “Jikalau salah seorang kamu bermaksud menyuruh perbuatan baik, maka
hendaklah menempatkan dirinya atas kesabaran !. Dan hendaklah percaya akan
memperoleh pahala dari Allah !. Barangsiapa percaya akan pahala dari Allah,
niscaya tiada akan mendapat sentuhan kesakitan”. Jadi, diantara adab hisbah,
ialah menempatkan diri di atas kesabaran. Karena itulah, Allah Ta’ala
menyertakan kesabaran dengan amar-ma’ruf. Allah Ta’ala berfirman, menceritakan
dari hal Lukman: “Hai anakku ! dirikanlah shalat, suruhlah mengerjakan yang
baik, cegahlah perbuatan yang buruk dan bersabarlah menghadapi apa yang menimpa
engkau !”. S 31 Lukman ayat 17. Diantara adab itu menyedikitkan hubungan.
Sehingga tiada banyak ketakutannya. Dan memutuskan harapan kepada orang banyak.
Sehingga hilanglah daripadanya sifat berminyak-minyak air (mudahanah). Diriwayatkan
dari setengah guru (masyaikh), bahwa beliau mempunyai seekor kucing. Beliau
mengambil dari tukang potong tetangganya tiap-tiap hari sedikit daging untuk
kucingnya. Maka beliau melihat pada tukang potong itu perbuatan munkar. Lalu
pertama-tama beliau masuk ke rumahnya dan mengeluarkan kucing. Kemudian beliau
datang dan melakukan ihtisab kepada tukang potong itu. Tukang potong itu
berkata kepadanya: “Tiada akan aku berikan lagi kepadamu sesudah ini sesuatu
untuk kucingmu”. Masyaikh itu menjawab: “Aku tiada melakukan ihtisab kepadamu,
selain sesudah mengeluarkan kucing dan memutuskan harapan daripada engkau”.
Yaitu sebagaimana masyaikh itu berkata: “Barangsiapa tiada memutuskan harapan
dari makhluq, niscaya ia tiada sanggup melaksanakan hisbah. Dan barangsiapa
mengharap supaya hati manusia baik kepadanya dan lisan mereka melepaskan pujian
kepadanya, niscaya tiada mudah hisbah baginya”. Ka’bul-Ahbar bertanya kepada
Abi Muslim Al-Khaulani: “Bagaimanakah kedudukanmu diantara kaummu ?”. Abi
Muslim Al-Khaulani menjawab: “Baik !”. Ka’bul-Ahbar menyambung: “Taurat
berkata: ‘Sesungguhnya orang apabila beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar, niscaya
buruklah kedudukannya pada kaumnya”. Abi Muslim menjawab: “Benar Taurat dan
bohong Abi Muslim”. Ditunjukkan kepada wajibnya lemah-lembut, oleh apa yang
diambil menjadi dalil oleh Khalifah Al-Ma’mun, ketika ia diberi pengajaran,
oleh orang yang memberi pengajaran kepadanya. Dan orang itu bersikap kasar
kepadanya pada perkataan. Lalu Khalifah Al-Ma’mun berkata: “Saudara ! lebih
baik dari engkau, kepada orang yang lebih jahat dari aku. Dan Allah menyuruhnya
bersikap lemah-lembut”. Allah Ta’ala berfirman: “Ucapkanlah kepadanya perkataan
yang lemah-lembut, mudah-mudahan dia memperhatikan atau takut”. S 20 Thaahaa
ayat 44. Maka hendaklah si muhtasib itu mengikuti nabi-nabi as tentang
kelemah-lembutan !. Abu Amamah meriwayatkan: “Bahwa seorang anak muda datang
kepada Nabi saw, lalu bertanya: ‘Wahai Nabi Allah ! izinkanlah kepadaku berzina
?”. Mendengar itu, orang banyak berteriak. Lalu Nabi saw bersabda: “Dekatkanlah
dia ! dekatlah kemari !”. Lalu anak muda itu dekat. Sehingga ia duduk di
hadapan Nabi saw. Lalu Nabi saw bersabda: “Adakah engkau menyukai zina itu
untuk ibu engkau ?”. Anak muda itu menjawab: “Tidak ! dijadikanlah kiranya aku
oleh Allah tebusan engkau !". Nab saw menyambung: “Begitu juga manusia,
tiada menyukai zina itu untuk ibu mereka. Adakah engkau menyukainya untuk anak
perempuan engkau ?”. Anak muda itu menjawab: “Tidak ! dijadikanlah kiranya aku
oleh Allah tebusan engkau !”. Nabi saw menyambung: “Begitu juga manusia, tiada
menyukainya untuk anak perempuan mereka. Adakah engkau menyukainya untuk
saudara perempuan engkau ?”. Ibnu ‘Auf menambahkan: sehingga Nabi saw
menyebutkan: saudara bapak yang perempuan (al-‘ammah) dan saudara ibu yang
perempuan (al-khalah). Dan anak muda itu menjawab pada masing-masingnya: “Tidak
! dijadikanlah kiranya aku oleh Allah tebusan engkau”. Dan Nabi saw menyambung
seperti itu juga: “Manusia tiada menyukainya”. Keduanya berkata mengenai hadits
tadi, ya’ni: Ibnu ‘Auf dan perawi yang lain: Lalu Rasulullah saw meletakkan
tangannya atas dada anak muda itu dan berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sucikanlah
hatinya, ampunkanlah dosanya dan peliharalah kemaluannya ! dan tak adalah
sesuatu yang lebih dimarahi oleh Allah selain dari zina”. Ada orang yang
mengatakan kepada Al-Fudlail bin ‘Ayyadl ra: “Bahwa Sufyan bin ‘Uyainah
menerima pemberian-pemberian sultan (penguasa)”. Lalu Al-Fudlail menjawab:
“Sufyan tidak mengambil dari penguasa-penguasa itu, selain kurang dari haknya”.
Kemudian, Al-Fudlail berdua-duaan dengan Sufyan, mencaci dan mengejek Sufyan.
Lalu Sufyan berkata: “Hai Abu ‘Ali (panggilan kepada Al-Fudlail) ! kalau kami
tidak termasuk orang-orang shalih, maka sesungguhnya kami mencintai orang-orang
shalih”. Hammad bin Salmah berkata: “Bahwa seorang laki-laki lalu di hadapan
Shilah bin Asyyam, yang telah menurunkan kain sarungnya. Lalu para sahabat
Shilah ingin mengambil kain sarung itu dengan secara kasar. Maka Shilah
berkata: ‘Biarkanlah aku berbuat, yang memuaskan kamu !”. Lalu Shilah berkata
kepada laki-laki itu: “Hai putera saudaraku ! aku mempunyai keperluan padamu”.
Laki-laki itu bertanya: “Apakah keperluan engkau, wahai pamanku ?”. Shilah
menjawab: “Aku suka engkau mengangkat kain sarungmu”. Lalu laki-laki itu
menjawab: “Boleh, demi kehormatan !”. Lalu ia mengangkat kain sarungnya. Shilah
berkata kepada para sahabatnya: “Kalau kamu ambil kain sarungnya dengan
kekasaran, niscaya ia akan menjawab: "Tid“k !”. Dan tidak ada kehormatan
dan ia akan memaki kamu”. Muhammad bin Zakaria Al-Ghilabi berkata: “Aku melihat
Abdullah bin Muhammad bin ‘Aisyah pada suatu malam. Ia keluar dari masjid
sesudah Maghrib, bermaksud pulang ke rumahnya. Tiba-tiba di tengah jalan, ada
seorang anak muda Quraisy mabuk. Anak muda itu, memegang seorang wanita. Lalu
Abdullah menarik wanita itu. Wanita itu lalu meminta tolong. Maka berkumpullah
orang banyak memukul anak muda itu. Maka Ibnu ‘Aisyah melihat kepada anak muda
itu. Rupanya beliau kenal. Lalu beliau mengatakan kepada orang banyak:
“Tinggalkanlah anak saudaraku ini !”. Kemudian beliau menyambung: “Mari kemari,
wahai anak saudaraku !”. Anak muda itu merasa malu. Lalu datang kepadanya. Dan
beliau pegang dia. Kemudia berkata kepadanya: “Mari bersama aku !”. Anak muda
itu pergi bersama beliau. Sehingga sampailah ke rumahnya. Lalu beliau suruh
masuk ke rumah. Dan mengatakan kepada sebahagian pelayan-pelayannya: “Rumahnya
pada engkau. Apabila ia sembuh dari mabuknya, maka beritahukan kepadanya apa
yang terjadi pada dirinya !. Dan jangan engkau biarkan ia pergi, sebelum ia
datang menjumpai aku !”. Maka tatkala anak muda itu telah sembuh dari mabuknya,
lalu diterangkan kepadanya apa yang telah terjadi. Maka anak muda itu malu dan
menangis. Dan bermaksud meninggalkan tempat itu. Lalu pelayan yang diserahkan
menjaga anak muda itu, berkata: “Tuan rumah meminta engkau datang menemui
beliau”. Anak muda itupun dibawa masuk. Lalu Ibnu ‘Aisyah (tuan rumah)
mengatakan kepadanya: “Apakah tidak engkau malu bagi dirimu sendiri ? apakah
tidak engkau malu bagi kehormatanmu ? apakah tidak engkau lihat, siapakah yang
menjadi bapakmu ? bertaqwalah kepada Allah ! tariklah dirimu dari pekerjaan
yang engkau lakukan !”. Anak muda itu menangis, menunggingkan kepalanya.
Kemudian, ia mengangkatkan kepalanya dan berkata: “Aku berjanji dengan Allah
Ta’ala suatu janji, yang akan ditanyakanNya aku dari janji itu pada hari
qiamat. Bahkan aku tiada akan kembali lagi meminum anggur dan suatupun dari
pekerjaan yang aku lakukan sekarang. Aku bertaubat”. Ibnu ‘Aisyah menjawab:
“Dekatlah kepadaku kemari !”. Lalu beliau peluk kepalanya dan berkata: “Engkau
telah menjadi baik, wahai anakku”. Sesudah itu, anak muda itu selalu bersama
beliau dan menulis hadits daripadanya. Yang demikian itu, adalah dengan barakah
kelemah-lembutannya. Kemudian Ibnu ‘Aisyah berkata: “Bahwa manusia itu menyuruh
berbuat perbuatan baik dan melarang berbuat perbuatan buruk. Dan perbuatan baik
mereka adalah perbuatan buruk. Maka haruslah kamu dengan lemah-lembut pada
semua urusanmu, niscaya kamu akan memperoleh apa yang kamu cari”. Dari Al-Fath
bin Syakhraf, yang menceritakan: “Seorang laki-laki tersangkut hatinya dengan
seorang wanita. Dia datang kepada wanita itu dan di tangannya sebilah pisau.
Tiada seorangpun yang mendekatinya, melainkan akan disembelihnya dengan pisau
itu”. Laki-laki itu berbadan kuat. Maka
dalam keadaan yang demikian dan wanita tersebut berteriak-teriak dalam
tangannya, tiba-tiba Bisyr bin Al-Harts, lalu di situ. Beliau mendekati laki-laki
itu dan tersenggol bahunya dengan bahu orang itu. Maka laki-laki itu jatuh
tersungkur ke bumi dan Bisyr terus berjalan. Lalu orang banyak mendekati
laki-laki itu, di mana badannya basah oleh banyak keringat. Dan wanita tadi
lalu dalam keadaan biasa saja. Orang banyak bertanya kepada laki-laki itu:
“Bagaimana keadaanmu ?”. Laki-laki tersebut menjawab: “Tidak tahu ! hanya aku,
disenggol oleh seorang tua dan berkata kepadaku: ‘Bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla
melihat kepadamu dan kepada apa yang kamu kerjakan’. Maka lemahlah kedua tapak
kakiku karena perkataannya. Aku sangat takut kepadanya. Dan aku tiada tahu,
siapakah orang laki-laki tersebut ?”. Lalu orang banyak mengatakan kepadanya:
“Dia itu Bisyr bin Al-Harits”. Maka laki-laki itu mengeluh: “Alangkah kejinya,
bagaimanakah beliau akan memandang kepadaku sesudah hari ini”. Dari hari itu
orang tadi tertimpa penyakit demam dan meninggal dunia pada hari ke-7nya.
Begitulah adat kebiasaan ahli agama melaksanakan hisbah. Dan telah kami
nukilkan atsar dan akhbar pada “Bab Marah Pada Jalan Allah” dan “Kasih Sayang
Pada Jala Allah” dari “Kitab Adab Berteman”. Maka tiada kami perpanjangkan lagi
dengan mengulanginya. Inilah kesempurnaan pandangan tentang tingkat-tingkat dan
adab-adab hisbah. Kiranya Allah menganugerahkan taufiq dengan kurniaNya. Dan
segala pujian bagi Allah atas sekalian nikmatNya.
BAB KETIGA: Tentang kemunkaran-kemunkaran yang
biasa terjadi pada adat-kebiasaan.
Maka kami tunjukkan kepada sejumlah daripadanya.
Supaya dapat diambil dalil kepada yang serupa dengannya. Karena tak ada harapan
pada penghinggaan dan penyelidikannya yang mendalam. Maka diantara yang
demikian:
KEMUNKARAN-KEMUNKARAN MASJID.
Ketahulah kiranya, bahwa kemunkaran-kemunkaran itu
terbagi kepada: makruh dan terlarang. Apabila kita katakan: ini munkar makruh,
maka ketahuilah, bahwa melarangnya itu disunatkan. Dan berdiam diri daripadanya
makruh. Dan bukan haram. Kecuali apabila yang berbuat itu, tiada mengetahui
bahwa perbuatan munkar itu makruh. Maka wajiblah menyebutkannya kepadanya.
Karena makruh itu suatu hukum pada agama, yang wajib menyampaikannya kepada
orang yang tiada mengetahuinya. Apabila kita mengatakan: munkar itu terlarang
atau kita mengatakan: munkar mutlak, maka kita maksudkan dengan munkar itu:
terlarang. Berdiam diri daripadanya serta sanggup menantangnya adalah
terlarang. Diantara yang banyak dilihat dalam masjid-masjid, ialah: memburukkan
shalat, dengan meninggalkan thuma’ninah pada ruku’ dan sujud. Dan itu adalah
munkar, yang membatalkan shalat dengan nash hadits. Maka wajiblah dicegah,
kecuali pada madzhab Hanafi yang berkepercayaan, bahwa yang demikian tidak
mencegah syahnya shalat. Karena tiada bermanfaat melarangnya. Barangsiapa
melihat pembuat buruk pada shalanya, lalu berdiam diri, maka dia itu sekutunya.
Begitulah yang tersebut pada atsar. Dan pada hadits ada yang menunjukkan kepada
yang demikian. Karena hadits menerangkan tentang umpatan, bahwa: orang yang
mendengar itu sekutu orang yang mengatakan. Begitu juga semua yang mencederakan
syah shalat, dari adannya najis pada kainnya, yang tiada dilihatnya. Atau
berpaling dari kiblat, disebabkan gelap atau buta. Semua itu mewajibkan hisbah.
Diantara kemunkaran itu pembacaan Alquran dengan kesalahan, yang wajib dilarang
dari kesalahan itu. Dan wajib diajarkan yang benar. Kalau orang yang beri’tikaf
(mu’takif) dalam masjid, menghabiskan kebanyakan waktunya pada hal-hal yang
seperti itu (melarang kesalahan membaca Alquran dalam masjid dll) dan
menghabiskan waktunya dengan demikian tanpa amalan sunat dan dzikir, maka
hendaklah ia berbuat terus dengan demikian. Karena, itu adalah yang lebih utama
baginya dari dzikir dan amalan sunatnya. Sebab ini adalah fardlu. Yaitu:
perbuatan yang mendekatkan kita (qurbah) kepada Allah, yang menjalar faedahnya
kepada orang lain. Maka adalah lebih utama dari amalan sunat yang terbatas
faedahnya, walaupun yang demikian itu mencegahkannya dari menjual kertas
umpamanya atau dari usaha yang memberi makan baginya. Kalau ada padanya
perbelanjaan sekadar yang mencukupkan, niscaya haruslah ia berbuat dengan
demikian. Dan tidak boleh ia meninggalkan hisbah untuk mencari kelebihan
duniawi. Kalau ia memerlukan kepada usaha untuk perbelanjaannya sehari itu,
maka ia dimaafkan dan gugurlah kewajiban dari hal yang tersebut di atas, karena
kelemahannya itu. Orang yang banyak kesalahannya pada pembacaan Alquran, kalau
ia sanggup belajar, maka terlarang ia membaca Alquran sebelum belajar.
Sesungguhnya, ia berdosa dengan demikian, walaupun lidahnya tidak dapat
mengikuti akan kemauannya. Kalau kebanyakan yang dibacanya itu salah, maka
hendaklah ia meninggalkan membaca ! dan hendaklah bersungguh-sungguh
mempelajari Al-Fatihah dan membetulkan pembacaannya ! kalau kebanyakan
pembacanya itu betul dan ia tidak sanggup meratakan (membetulkan) semuanya,
maka tiada mengapa ia membaca. Akan tetapi seyogyalah merendahkan (mengecilkan)
suaranya membaca yang tiada betul itu. Sehingga tiada terdengar oleh orang
lain. Untuk melarangnya membaca dengan suara halus juga, ada yang mengatakan
demikian. Akan tetapi apabila yang demikian, adalah penghabisan kemampuannya
dan ia suka dan rajin membaca Alquran,
maka aku berpendapat, tiada mengapa ia membacanya. Wallaahu a’lam: Allah
Yang Maha Tahu. Diantara kemunkaran-kemunkaran yang biasa dilakukan dalam
masjid, ialah: tarasul (secara bersahut-sahutan) pada muadz-dzin pada adzan.
Dan pemanjangan mereka dengan memanjangkan pembacaan kalimat-kalimat adzan.
Berpalingnya mereka dari arah qiblat dengan seluruh dada dan dua hayya ‘alah
(ketika membaca: Hayya ‘alash-shalah dan Hayya ‘alal-falah). Atau bersendirian
masing-masing mereka dengan adzannya. Akan tetapi tanpa berhenti sampai
terputusnya adzan orang lain, di mana mengacaukan kepada para hadirin yang
mendengar adzan itu, untuk menjawab adzan. Karena bercampur-baur suara.
Tiap-tiap yang demikian itu, adalah perbuatan munkar yang makruh, yang wajib
memperkenalkannya kepada mereka. Kalau diperbuat demikian dengan diketahui
munkarnya, maka disunatkan melarang dan melaksanakan hisbah padanya.
Begitupula, apabila ada masjid mempunyai seorang muadz-dzin dan muadz-dzin ini
melakukan adzan sebelum Subuh. Maka seyogyalah ia dilarang adzan sesudah Subuh.
Karena yang demikian mengacaukan puasa dan shalat kepada manusia ramai.
Kecuali, apabila diketahui, bahwa muadz-dzin itu melakukan adzan sebelum Subuh,
sehingga orang tidak berpegang kepada adzannya mengenai shalat dan meninggalkan
makan sahur. Atau ada bersama muadz-dzin itu, muadz-dzin lain yang dikenal
suaranya, melakukan adzan serta waktu Subuh. Diantara yang makruh juga,
membanyakkan adzan berkali-kali sesudah terbit fajar pada suatu masjid pada
waktu yang beriring-iringan yang berdekatan. Adakalanya dari seorang atau dari
sekumpulan orang. Maka yang demikian itu tiada berfaedah. Karena tiada tinggal
lagi dalam masjid orang yang tidur. Dan tiada suara itu diantara suara yang
keluar dari masjid, sehingga mengingatkan kepada orang lain. Semuanya itu
termasuk makruh, yang menyalahi perjalanan (sunnah) para sahabat dan ulama
terdahulu (salaf). Diantara yang munkar, bahwa khathib itu memakai pakaian
hitam, yang banyak padanya benang sutera asli. Atau memegang pedang yang
beremas. Maka khathib itu fasiq. Menantangnya wajib. Adapun semata-mata hitam,
maka tidak dimakruhkan. Akan tetapi tidak disunatkan. Karena pakaian yang lebih
disukai oleh Allah Ta’ala ialah pakaian putih. Orang yang mengatakan bahwa
pakaian hitan itu makruh dan bid’ah (yang diada-adakan), ia maksudkan bahwa
pakaian tersebut, tiada terkenal pada masa pertama Islam. Tetapi apabila tiada
datang larangan, maka tiada seyogyalah dinamakan bid’ah (yang diada-adakan) dan
makruh. Akan tetapi ditinggalkan yang demikian, untuk yang lebih disukai.
Diantara perbuatan munkar dalam masjid, ialah perkataan tukang-tukang cerita
dan juru-juru pengajaran yang mencampur-adukkan bid’ah (yang diada-adakan)
dengan perkataannya. Kalau tukang cerita itu berdusta dalam ceritanya, maka dia
itu orang fasiq. Dan menantangnya wajib. Demikian juga juru pengajaran yang
berbuat bid’ah (yang diada-adakan), wajib melarangnya. Dan tidak boleh
menghadiri majelisnya. Kecuali dengan maksud melahirkan penolakan terhadapnya.
Adakalanya untuk seluruh yang hadir, kalau ia sanggup yang demikian. Atau untuk
sebahagian yang hadir mengelilinginya. Kalau ia tidak sanggup, maka tidak boleh
mendengar bid’ah (yang diada-adakan). Allah Ta’ala berfirman kepada NabiNya:
“Maka hendaklah engkau menghindar dari mereka, sehingga mereka membicarakan
perkara yang lain”. S 6 Al An’aam ayat 68. Manakala perkataan tukang cerita
itu, condong kepada memberi harapan ampunan Allah (irja’) dan memberanikan
manusia kepada perbuatan ma’siat. Dan manusia itu bertambah berani, disebabkan
perkataan tukang cerita itu. Dan dengan kemaafan dan kerahmatan Allah,
bertambah kepercayaan, yang dengan sebabnya, menambahkan harapan mereka kepada
ampunan dari Allah, daripada ketakutannya kepada Allah. Maka perkataan tukang
cerita itu adalah perbuatan munkar. Dan wajib ia dilarang. Karena kerusakan
yang demikian itu, besar. Akan tetapi, kalau bertambah kuat ketakutan mereka
kepada Allah, dari harapan mereka akan ampunanNya, maka yang demikian adalah
lebih layaak dan lebih mendekati dengan tabiat makhluq. Sesungguhnya manusia
itu lebih berhajat kepada ketakutan. Dan sesungguhnya yang adil, ialah:
meadilkan (mengadakan keseimbangan) ketakutan dan pengharapan, sebagaimana Umar
ra berkata: “Kalau berserulah penyeru pada hari qiamat, supaya masuklah ke
dalam neraka semua manusia, kecuali seorang, niscaya aku mengharap bahwa akulah
yang seorang itu. Dan jikalau berserulah penyeru supaya masuklah ke dalam sorga
semua manusia, kecuali seorang, niscaya aku takut bahwa akulah yang seorang
itu”. Manakala juru pengajaran itu seorang pemuda yang menghias diri bagi
wanita, pada pakaiannya dan tingkah-lakunya, banyak pantun, isyarat dan
gerak-gerik dan majelis itu dikunjungi kaum wanita, maka ini adalah munkar yang
wajib dilarang. Sesungguhnya kerusakan padanya lebih banyak daripada kebaikan.
Dan yang demikian itu terang dengan pertanda-pertanda keadaan. Bahkan tiada
seyogyalah diserahkan memberi pengajaran, kecuali kepada orang yang dzahirnya
wara’. Tingkah lakunya tenang dan tentram. Pakaiannya pakaian orang-orang
shalih. Jikalau tidak demikian, maka tiada bertambahlah manusia dengan orang
tersebut selain berkepanjangan dalam kesesatan. Haruslah dibuat dinding
diantara laki-laki dan wanita, yang mencegah dari memandang. Karena yang demikian
juga tempat sangkaan kerusakan. Dan adat kebiasaan menyaksikan segala
kemunkaran ini. Dan wajiblah melarang kaum wanita mengunjungi masjid untuk
shalat dan majelis-majelis dzikir, bila ditakuti fitnah dengan kunjungan
mereka. ‘Aisyah telah melarang kaum wanita, lalu orang mengatakan kepadanya:
“Bahwa Rasulullah saw tiada melarang mereka dari kumpulan-kumpulan”. ‘Aisyah
menjawab: “Kalau Rasulullah saw mengetahui apa yang diperbuat mereka
sesudahnya, niscaya beliau akan melarang mereka”. Adapun lewatnya wanita di
masjid dengan tubuhnya tertutup, maka tidak terlarang. Hanya yang lebih utama,
tidaklah wanita itu sekali-kali mengambil masjid menjadi tempat lewatnya.
Pembacaan Alquran oleh para qari’ di hadapan juru-juru pengajaran, dengan
memanjangkan dan melagukan dengan cara yang merobah susunan Alquran dan
melewati batas pembacaan (tartil) yang disuruh, adalah perbuatan munkar yang
makruh, sangat makruhnya. Ditantang oleh sejama’ah ulama salaf (segolongan
ulama terdahulu). Diantara perbuatan munkar, ialah membuat halqah
(lingkaran-lingkaran kecil untuk berkumpul manusia) pada hari Jum’at, untuk
menjual obat-obatan, makanan-makanan dan ta’widz (kertas atau kain yang
tertulis yang akan dipakai untuk penjagaan diri dari penyakit dsb) dan seperti
berdiri orang yang meminta-minta (ditengah-tengah shaf atau di pintu masjid),
pembacaan mereka akan Alquran, nyanyian mereka akan syair-syair dan hal-hal
yang seperti itu. Semua perkara yang tersebut itu, diantarannya ada yang haram.
Karena itu adalah penipuan dan pendustaan. Seperti orang-orang pendusta berbuat
sejalan dengan tabib-tabib (dokter-dokter). Dan seperti tukang-tukang sunglap
dan penipuan-penipuan. Demikian juga orang-orang yang mempunyai ta’widz itu,
pada kebanyakannya sampai dapat menjualnya dengan jalan penipuan kepada
anak-anak dan orang-orang kebanyakan. Maka ini adalah haram dalam masjid dan di
luar masjid. Dan wajib melarangnya. Bahkan semua penjualan, yang ada padanya
kedustaan, penipuan dan penyembunyian kekurangan (kerusakan) dari barang yang
dijual kepada pembeli, adalah haram. Diantara yang munkar itu, ada yang
diperbolehkan (mubah) diluar masjiid, seperti menjahit, menjual obat-obatan,
buku-buku dan makanan-makanan. Maka ini dalam masjid juga tidak diharamkan,
kecuali ada hal yang mendatang (‘aridl). Yaitu: bahwa: menyempitkan tempat
kepada orang-orang yang bersembahyang. Dan mengganggu shalat mereka. Kalau
tiada suatupun dari yang demikian, maka tidaklah haram. Dan yang lebih utama
ialah meninggalkannya. Akan tetapi syarat pembolehannya ialah, bahwa berlaku
yang tersebut itu pada waktu-waktu yang luar biasa dan hari-hari yang tertentu.
Karena membuat masjid untuk menjadi kedai terus-menerus, adalah haram dan
dilarang. Diantara yang diperbolehkan, ialah yang diperbolehkan dengan
syaratnya: sedikit. Kalau banyak, menjadi dosa kecil. Sebagaimana diantara
dosa, ada yang menjadi dosa kecil dengan syaratnya: tiada berkekalan. Kalau
yang sedikit dari ini, bila dibuka pintunya, niscaya ditakuti akan menarik
kepada banyak, maka hendaklah dilarang. Dan hendaklah adanya larangan ini
diserahkan kepada wali (penguasa) atau kepada pengurus kepentingan masjid, dari
pihak wali. Karena tidak diketahui yang demikian, dengan ijtihad. Dan tidak
boleh bagi perseorangan melarang, apa yang diperbolehkan. Karena takutnya, bahwa
yang demikian itu akan banyak. Diantara perbuatan-perbuatan munkar, ialah
masuknya orang-orang gila, anak-anak dan orang-orang mabuk ke dalam masjid. Dan
tiada mengapa masuknya anak-anak ke dalam masjid, apabila ia tiada
bermain-main. Dan tidak haram anak-anak bermain-main dalam masjid. Dan tidak
haram berdiam diri terhadap bermain-mainnya anak-anak itu. Kecuali bila
dibuatnya masjid itu menjadi tempat bermain. Dan menjadi yang demikian itu
suatu kebiasaan. Maka wajiblah dilarang. Ini termasuk diantara yang halal oleh
sedikitnya, tidak oleh banyaknya. Dan dalil halal sedikitnya, ialah yang
diriwayatkan dalam Dua Shahih (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim): “Bahwa
Rasulullah saw berhenti karena ‘Aisyah. Sehingga ‘Aisyah melihat orang-orang
Habsyi menari dan bermain dengan perisai dan tombak pada hari lebaran, di
masjid”. Dan tak ragu lagi, bahwa orang-orang Habsyi itu, kalau mereka
mengambil masjid menjadi tempat bermain, niscaya mereka dilarang. Dan
Rasulullah saw tidak melihat yang demikian itu karena jarang dan sedikitnya
sebagai barang munkar. Sehingga beliau sendiri melihatnya. Bahkan Rasulullah
saw menyuruh mereka dengan demikian. Supaya dilihat oleh ‘Aisyah demi
kesenangan hatinya. Karena beliau bersabda: “Ambillah bahagianmu dalam
permainan, hai Bani Arfidah (panggilan kepada orang-orang Habsyi) !”.
Sebagaimana telah kami nukilkan pada Kitab Pendengaran. Adapun orang-orang
gila, maka tiada mengapa mereka masuk ke dalam masjid. Kecuali ditakuti mereka
mengotorkan masjid. Atau mereka memaki atau mengatakan kata-kata yang keji.
Atau mereka berbuat sesuatu yang munkar pada bentuknya. Seperti membuka aurat
dan lainnya. Adapun orang gila yang tenang tentram, yang diketahui menurut
kebiasaan akan tentram dan diamnya, maka tiada wajib mengeluarkannya dari masjid.
Orang mabuk sama dengan orang gila. Kalau ditakuti keluar sesuatu daripadanya,
ya’ni: muntah atau yang menyakitkan dengan lisanya, niscaya wajiblah
dikeluarkan. Begitupula kalau ia kegoncangan akal. Maka sesungguhnya ditakutkan
yang demikian itu daripadanya. Kalau orang sudah minum khamar dan tidak mabuk,
sedang baunya keras, maka itu adalah munkar, makruh, yang sangat makruhnya.
Betapa tidak ! orang yang memakan bawang putih dan bawang merah, telah dilarang
oleh Rasulullah saw mengunjungi masjid. Akan tetapi yang demikian itu dibawa
kepada makruh. Dan urusan tentang khamar itu adalah lebih berat. Kalau ada yang
berkata: seyogyalah bahwa orang mabuk itu dipukul dan dikeluarkan dari masjid
untuk gertak. Kami menjawab: tidak. Tetapi seyogyalah diharuskan duduk dalam
masjid dan diajak ke masjid. Dan disuruh meninggalkan minum khamar, manakala ia
telah dapat memahami apa yang dikatakan kepadanya waktu itu. Adapun memukulnya
untuk gertak, maka yang demikian itu tidaklah diserahkan kepada perseorangan.
Tetapi kepada wali-wali (penguasa-penguasa). Yang demikian, ketika pengakuannya
atau kesaksian dua orang saksi. Adapun karena semata-mata bau, maka tidak
boleh. Benar, apabila ia berjalan diantara orang banyak, terhoyong-hoyong, di
mana diketahui mabuknya, maka boleh memukulnya dalam masjid dan di luar masjid,
untuk melarangnya daripada melahirkan bekas mabuk. Sesungguhnya melahirkan
bekas kekejian adalah keji. Dan segala perbuatan ma’siat wajib ditinggalkan.
Dan sesudah diperbuat, wajib ditutup dan ditutup bekas-bekasnya. Kalau
perbuatan munkar itu tertutup dan tersembunyi bekasnya, maka tidak boleh
mengintipnya. Dan bau itu kadang-kadang keras tanpa diminum, disebabkan duduk
pada tempat khamar dan sampainya ke mulut, tanpa ditelan. Maka tiada seyogyalah
diperpegangi atas yang demikian.
KEMUNKARAN-KEMUNKARAN PASARAN.
Diantara kemunkaran-kemunkaran yang biasa terjadi
di pasar-pasar, ialah membohong pada mencari keuntungan dan menyembunyikan
kerusakan barang. Maka siapa yang mengatakan: “Aku beli barang ini –umpamanya
–dengan 10 rupiah dan aku beruntunga sekian”, dan dia itu dusta, maka dia itu
orang fasiq. Dan atas siapa yang mengetahui demikian, bahwa menceritakannya
kepada si pembeli dengan kedustaan si penjual itu. Kalau ia diam karena menjaga
hati si penjual, niscaya ia sekongkol dengan si penjual pada pengkhianatan. Dan
ia berbuat ma’siat dengan diamnya itu. Begitupula apabila diketahuinya
kekurangan, maka haruslah memperingati pembelinya. Kalau tidak, niscaya dia
menyetujui kehilangan harta saudaranya muslim. Dan itu haram. Begitu juga
berlebih-kurang tentang penghastaan, penyukatan dan penimbangan, wajiblah atas
orang yang mengetahuinya merobahkannya olehnya sendiri. Atau menyampaikan
kepada wali (penguasa). Sehingga ia merobahkannya. Diantara kemunkaran-kemunkaran
itu, ialah: meninggalkan ijab (serah) dan qabul (terima) dan mencukupkan dengan
beri-memberi saja. Akan tetapi yang demikian itu, pada tempat ijtihad. Maka
tidak ditantang, kecuali atas orang yang berkeyakinan wajibnya ijab dan qabul.
Begitupula, mengenai syarat-syarat yang merusak, yang dibiasakan diantara
manusia banyak, wajib ditantang. Karena merusakkan aqad jual-beli itu.
Begitupula pada semua persoalan riba. Dan itu banyak terjadi. Demikian juga
perbuatan-perbuatan yang merusak lainnya. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu,
menjual alat-alat permainan, menjual patung-patung hewan yang serupa pada
hari-hari lebaran karena anak-anak. Yang demikian itu wajib dipecahkan dan
dilarang menjualnya, seperti alat-alat permainan. Seperti itu pula, menjual bejana-bejana
yang terbuat dari emas dan perak. Begitupula menjual kain sutera, peci emas dan
sutera. Ya’ni: yang tidak pantas, kecuali bagi laki-laki. Atau diketahui
menurut adat kebiasaan negeri itu, bahwa tidak dipakai, selain oleh laki-laki.
Maka semua itu perbuatan munkar, terlarang. Dan begitupula, orang biasa menjual
kain terpakai, sudah dicuci yang akan meragukan orang, dengan dicucikan dan
dipakaikan itu. Dan penjual itu menda’wakan bahwa kain-kain itu adalah
kain-kain baru. Maka perbuatan itu haram dan melarangnya wajib. Seperti itu
juga, penipuan kekoyakan kain dengan penampalan dan apa-apa yang membawa kepada
keragu-raguan. Begitu juga semua macam aqad jual-beli yang membawa kepada
penipuan. Dan yang demikian itu, panjang penghinggaanny. Maka hendaklah
dibandingkan dengan apa yang telah kami sebutkan, akan apa yang tidak kami
sebutkan !”.
KEMUNKARAN-KEMUNKARAN JALANAN.
Diantara kemunkaran-kemunkaran yang dibiasakan pada
jalan-jalan raya, ialah meletakkan tiang-tiang, membangun tempat-tempat yang
agak tinggi yang bersambung dengan rumah-rumah kepunyaan orang, menanam
kayu-kayuan, mengeluarkan lobang-lobang dinding dan sayap-sayap rumah,
meletakkan perkayuan dan alat pikulan biji-bijian dan makanan-makanan di atas
jalan raya. Semua itu perbuatan munkar, kalau membawa kepada penyempitan jalan
dan penggangguan orang-orang lalu-lintas. Kalau tiada sekali-kali membawa
kepada gangguan lalu-lintas, karena luasnya jalan, maka tiada dilarang. Ya,
boleh meletakkan kayu api dan alat-alat pembawa makanan di jalan, sekadar yang
akan dibawa ke rumah. Bahwa yang demikian, bersekutulah semua orang, memerlukan
kepadanya. Dan tidak mungkin dilarang. Begitu juga mengikat hewan kendaraan di
atas jalan, dengan kiraan akan menyempitkan jalan dan menajiskan orang-orang
yang melewatinya, adalah perbuatan munkar, yang wajib dilarang. Kecuali sekadar
keperluan turun dan naik atas hewan kendaraan itu. Ini adalah karena
jalan-jalan itu berkongsi kemanfaatannya. Tiada boleh bagi seseorang mempunyai
hak khusus dengan kemanfaatan itu, selain sekadar keperluan. Yang dijaga ialah
keperluan yang menjadi maksud jalanan itu diperbuat karenanya, menurut
kebiasaan. Tidak keperluan-keperluan yang lain. Diantara kemunkaran-kemunkaran
itu, ialah pasar hewan. Dan padanya ada duri, dengan kiraan akan mengoyakkan
kain orang. Maka yang demikian itu munkar, jika mungkin mengikat dan
mengumpulkannya, dengan kiraan, tidak akan mengoyakkan. Atau mungkin
dipindahkan ke tempat yang luas. Jikalau tidak, maka tak ada larangan. Karena
keperluan penduduk negeri menghendaki kepada yang demikian. Ya, jangan
ditinggalkan barang yang diletakkan atas jalanan, kecuali sekadar masa
memindahkannya. Begitupula membebankan hewan-hewan pengangkut, dengan
pikulan-pikulan yang tidak disanggupinya, adalah perbuatan munkar. Wajib
melarang pemiliknya dari perbuatan itu. Begitu juga penyembelihan tukang
potong, apabila ia menyembelih pada jalanan, depan pintu kedai. Dan mengotorkan
jalan dengan darah. Itu adalah perbuatan munkar yang dilarang. Akan tetapi
menjadi haknya, tukang potong itu membuat tempat penyembelihan dalam kedainya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu, menyempitkan jalan dan menyusahkan orang
banyak, disebabkan terperciknya najis. Dan disebabkan tabiat manusia memandang
kotor segala yang jijik itu. Begitu juga membuang sampah di pinggir jalan dan
memotong-motong kulit mentimun atau menyiramkan air yang ditakuti akan
terpeleset kaki orang yang berjalan dan terjatuh. Semua itu termasuk perbuatan
munkar. Begitu juga melepaskan air dari pancuran, yang keluar dari dinding,
pada jalan yang sempit. Maka sesungguhnya yang demikian itu, menajiskan kain
atau menyempitkan jalan. Maka tidak dilarang pada jalan yang lapang. Karena
mungkin berpindah daripadanya. Adapun membiarkan air hujan, lumpur dan salju
pada jalan, tanpa disapu, adalah munkar. Akan tetapi tidaklah dikhususkan orang
tertentu dengan demikian. Kecuali salju yang ditentukan seseorang membuangnya
dari jalanan. Dan air yang berkumpul atas jalan, dari pancuran tertentu, maka
haruslah pemilik pancuran itu khususnya menyapu jalan. Jikalau air itu berasal
dari hujan, maka yang demikian adalah hisbah umum. Haruslah para wali
(penguasa) menyuruh orang banyak mengerjakannya. Dan tidaklah bagi perseorangan
pada hisbah itu, kecuali pengajaran saja. Begitu juga apabila seseorang
mempunyai anjing buas pada pintu rumahnya, yang menyakitkan orang banyak, maka
wajiblah dilarang. Kalau tidak menyakitkan, selain menajiskan jalanan dan
mungkin dijaga dari kenajisan itu, niscaya tidak dilarang. Dan jikalau anjing
itu menyempitkan jalan, dengan membentangkan kedua kaki depannya, maka
dilarang. Bahkan yang empunya anjing itu dilarang tidur atas jalan. Atau duduk
yang menyempitkan jalan. Maka anjingnya lebih utama lagi dilarang.
KEMUNKARAN-KEMUNKARAN TEMPAT PERMANDIAN.
Diantara yang munkar itu, ialah: gambar-gambar yang
ada atas pintu tempat permandian (hammam) atau dalam tempat permandian, yang
wajib menghilangkannya, oleh tiap-tiap orang yang masuk ke dalamnya, jikalau
sanggup. Kalau tempat itu tinggi, yang tiada sampai tangan kepadanya, maka
tiada boleh ia masuk, kecuali karena darurat. Maka hendaklah ia berpindah ke
tempat permandian lain. Sesungguhnya menyaksikan barang munkar itu tiada boleh.
Dan memadailah mencoreng muka gambar itu dan merusakkan gambarnya. Dan tidak
dilarang gambar kayu-kayuan dan ukiran-ukiran lain, selain gambar hewan.
Diantara kemunkaran-kemunkaran itu, ialah: membuka aurat dan melihatnya.
Termasuk jumlah aurat, membukakan paha oleh tukang gosok dan yang di bawah
pusat, untuk menghilangkan daki. Bahkan termasuk jumlah aurat, memasukkan
tangan tukang gosok di bawah kain sarung. Sesungguhnya menyentuh aurat orang
lain itu haram, seperti haram memandangnya. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu,
tidur menelungkup dihadapan tukang gosok, untuk memijit paha dan pinggang. Ini
adalah makruh, kalau ada lapik. Akan tetapi tidak dilarang, apabila tidak
ditakuti tergeraknya nafsu syahwat. Begitu juga membuka aurat oleh tukang bekam
dzimmi, termasuk perbuatan keji. Sesungguhnya wanita tiada boleh membuka
badannya untuk wanita dzimmi pada tempat permandian. Maka bagaimanakah boleh
membuka auratnya bagi laki-laki ?. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu,
membenamkan tangan dan bejana yang bernajis ke dalam air yang sedikit. Membasuh
kain sarung dan cambung yang bernajis dalam kolam dan airnya sedikit. Karena
yang demikian itu, menajiiskan air. Kecuali pada madzhab Malik. Maka tiada
boleh menantangnya terhadap orang Maliki. Dan boleh terhadap orang Hanafi dan
orang Syafi’i. Dan kalau berkumpul orang Maliki dan orang Syafi’i pada tempat permandian,
maka tiada boleh bagi orang Syafi’i melarang orang Maliki dari yang demikian,
kecuali dengan jalan meminta dan lemah-lembut. Yaitu mengaatkan kepadanya:
“Kami memerlukan pertama-tama membasuhkan tangan. Kemudian kami membenamkannya
dalam air. Adapun anda, maka tiada perlu menyakitkan aku dan menghilangkan
thaharah (bersuci) atasku”. Dan cara-cara lain yang seperti itu. karena
tempat-tempat sangkaan ijtihad, tiada mungkin hisbah padanya dengan paksaan.
Diantara kemunkaran-kemunkaran itu, bahwa terdapat batu yang licin, yang dapat
menjatuhkan terpeleset orang-orang yang lengah, pada tempat masuk ke
rumah-rumah permandian itu dan tempat-tempat mengalir airnya. Ini adalah
perbuatan munkar. Dan wajib mencabut dan membuangkannya. Dan terhadap penjaga
tempat permandian itu, ditantang kelengahannya. Karena membawa kepada orang
jatuh. Dan kejatuhan itu kadang-kadang membawa kepada pecahnya anggota badan
atau tercabutnya. Begitu juga meninggalkan daun sidr (daun yang dipakai untuk
mandi, ganti sabun) dan sabun yang licin, atas lantai tempat permadani, adalah
perbuatan munkar. Barangsiapa berbuat demikian, lalu keluar dan meninggalkannya
demikian, lalu jatuh terpeleset orang dan pecah salah satu anggota badannya dan
yang demikian itu pada suatu tempat yang tiada terang, di mana sukar menjaga
diri daripadanya, maka penanggungan akibat itu berkisar antara orang yang
meninggalkan barang-barang yang tersebut tadi dan penjaga tempat permandian
itu. Karena hak kewajibannya membersihkan tempat permandian. Cara yang kuat
pada persoalan ini, ialah mewajibkan penanggungan atas orang yang meninggalkan
barang-barang tersebut pada hari pertama. Dan atas penjaga tempat permandian
pada hari kedua. Karena kebiasaan membersihkan tempat permandian itu tiap-tiap
hari dibiasakan. Dan kembali pada waktu-waktu tertentu pengulangan pembersihan
itu kepada kebiasaan. Maka hendaklah diperhatikan tentang kebiasaan itu ! Dan
pada tempat permandian itu, ada hal-hal makruh yang lain, yang telah kami
sebutkan pada “Kitab Bersuci”. Maka hendaklah anda lihat di sana !.
KEMUNKARAN-KEMUNKARAN PERJAMUAN.
Maka diantaranya: tikar sutera untuk laki-laki. Itu
adalah haram. Begitu juga, menguapkan kemenyan pada tempat pembakaran dari
perak atau emas. Atau meminum atau memakai air mawar pada bejana perak. Atau
sesuatu, yang kepalanya dari perak. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu:
menurunkan tabir dan pada tabir itu terdapat gambar-gambar. Diantara
kemunkaran-kemunkaran itu: mendengar rebab atau mendengar nyanyian
wanita-wanita. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu: berkumpul wanita di atas
lapisan atas rumah, untuk melihat laki-laki, manakala ada dalam kalangan
laki-laki itu pemuda yang ditakuti terjadinya fitnah dari mereka. Semua itu
terlarang, perbuatan munkar yang wajib dihilangkan. Barangsiapa lemah menghilangkannya,
niscaya ia harus keluar dari majelis perjamuan itu. Dan tidak boleh ia duduk.
Maka tidak ada keentengan baginya, untuk duduk menyaksikan
kemunkaran-kemunkaran itu. Adapun gambar pada bantal-bantal dan
permadani-permadani yang terbentang, maka tidak munkar. Begitu juga gambar pada
baki dan piring-piring makan. Tidak bejana yang terbuat atas bentuk gambar.
Kadang-kadang kepala sebahagian tempat pembakaran kemenyan adalah dengan bentuk
burung. Maka yang demikian itu haram. Wajib dipecahkan sekadar gambarnya.
Mengenai tempat celak kecil dari perak itu terdapat khilaf (perbedaan pendapat)
diantara para ulama. Ahmad bin Hanbal keluar dari perjamuan disebabkannya.
Manakala makanan itu haram atau tempat itu barang yang dirampas atau kain yang
dibentangkan itu haram, maka itu termasuk kemunkaran yang lebih berat. Kalau
ada padanya orang yang suka memimun khamar seorang saja, maka tiada boleh
datang. Karena tidak halal mendatangi majelis minuman khamar, walaupun sedang
tidak minum. Tiada boleh duduk-duduk bersama orang fasiq, waktu sedang ia
mengerjakan perbuatan fasiq. Sesungguhnya menjadi penelitian mengenai
duduk-duduk bersama orang fasiq itu sesudah yang demikian. Adakah wajib
memarahinya pada jalan Allah dan memutuskan perhubungan dengan dia, sebagaimana
telah kami sebutkan pada “Bab Kecintaan dan Kemarahan pada Jalan Allah ?”.
Begitupula, kalau ada pada mereka orang yang memakai sutera atau cincin emas.
Maka orang itu fasiq. Tiada boleh duduk bersama dia, tanpa perlu darurat. Kalau
kain sutera itu pada anak kecil yang belum baligh, maka ini menjadi tempat
penelitian. Yang shahih (yang lebih kuat), bahwa yang demikian itu munkar. Dan
wajib membuka kain itu daripadanya, kalau anak kecil itu sudah dapat membedakan
(mumayyiz). Karena umum sabdanya Nabi saw: “Dua ini (sutera dan emas) adalah
haram atas umatku yang laki-laki”. Sebagaimana wajib melarang anak kecil
meminum khamar, tidak karena dia mukallaf, tetapi karena dia menyukai minuman
itu. Maka apabila ia telah baligh nanti, niscaya sukarlah menahan diri
daripadanya. Maka begitupula keinginan menghias diri dengan sutera, yang
mengerasi kepadanya apabila ia telah membiasakannya. Maka adalah yang demikian
itu bibit kerusakan yang bersemaian dalam dadanya. Lalu tumbuh daripadanya
pohon kesyahwatan yang berurat berakar, yang sukar mencabutnya sesudah baligh.
Adapun anak kecil yang tiada mumayyiz, maka lemahlah arti pengharaman terhadap
dirinya. Dan tiada terlepas dari sesuatu kemungkinan. Dan pengetahuan mengenai
kemungkinan itu, adalah pada sisi Allah. Orang gila adalah searti dengan anak
kecil yang tiada mumayyiz. Ya, halal penghiasan diri dengan emas dan sutera
bagi wanita, tanpa berlebih-lebihan. Dan aku tiada berpendapat kelonggaran
tentang melobangi telinga anak kecil perempuan, untuk menggantungkan kerabu
emas padanya. Sesungguhnya ini adalah pelukaan yang menyakitkan. Perbuatan yang
seperti itu mewajibkan qishash. Maka tiada boleh, kecuali suatu keperluan
penting, seperti: pembentikan, pembekaman dan pengkhitanan. Penghiasan dengan
kerabu itu tidak penting. Bahkan mengenal anting-anting, dengan
menggantungkannya pada telinga, mengenai kalung yang digantungkan pada leher
dan gelang adalah tidak penting. Maka ini, walaupun telah menjadi kebiasaan,
adalah haram. Melarangnya wajib. Menyewa barang-barang tersebut tidak syah.
Sewa yang diambil atas barang itu haram. Kecuali ada kelonggaran (rukhshah)
yang dinukilkan dari agama. Dan belum sampai kepada kami kelonggaran itu sampai
sekarang. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu, bahwa: ada pada perjamuan itu
pembuat bid’ah (yang diada-adakan) yang membicarakan mengenai kebid’ah (yang
diada-adakan)annya. Maka boleh datang orang yang sanggup menolaknya, dengan
cita-cita ingin menolak. Kalau tidak sanggup, maka tidak boleh datang. Kalau
pembuat bid’ah (yang diada-adakan) itu tiada membicarakan kebid’ah (yang
diada-adakan)annya, maka boleh hadir, serta melahirkan kebencian kepadanya. Dan
berpaling muka daripadanya. Sebagaimana telah kami sebutkan pada “Bab Kemarahan
Pada Jalan Allah”. Kalau ada pada perjamuan itu pembuat tertawa dengan
cerita-cerita dan bermacam-macam keganjilan, maka kalau orang itu membuat
tertawa dengan kekejian dan kedustaan, niscaya tidak boleh hadir. Dan ketika
hadir, wajiblah menantangnya. Kalau yang demikian itu, dengan senda-gurau, tak
ada padanya kedustaan dan kekejian, maka itu diperbolehkan (mubah). Ya’ni:
sekadar sedikit daripadanya. Adapun membuat yang demikian itu menjadi
perusahaan dan kebiasaan, maka tidak diperbolehkan. Semua kedustaan, yang tidak
tersembunyi bahwa itu kedustaan dan tidak dimaksudkan penipuan, maka tidaklah
itu termasuk jumlah kemunkaran. Seperti orang mengatakan umpamanya: “Aku
mencari anda hari ini 100 kali dan aku mengulang-ulangi perkataan kepada anda
1000 kali” dan yang serupa dengan perkataan tersebut, dimana diketahui bahwa
tidaklah dimaksudkan hakikat/makna yang sebenarnya. Maka yang demikian itu,
tidak mencederai ‘adalah (sifat adil) dan tidak ditolak kesaksiannya. Dan akan
datang penjelasan: batas bersenda gurau yang diperbolehkan dan kedustaan yang
diperbolehkan pada “Kitab Bahaya Lidah dari Rubu’ yang Membinasakan”. Diantara
kemunkaran-kemunkaran itu, ialah: berlebih-lebihan pada makanan dan bangunan.
Itu adalah munkar. Bahkan mengenai harta itu dua kemunkaran:
Pertama: membuang-buang harta (idla’ah).
Kedua: berlebih-lebihan (israf).
Idla’ah: ialah menghilangkan harta, tanpa faedah
yang dihitungkan. Seperti: membakar kain dan mengoyak-ngoyakkannya, membongkar
bangunan tanpa maksud, mencampakkan harta ke dalam laut. Dan searti dengan itu,
menyerahkan harta kepada wanita yang meratap pada kematian, kepada penyanyi
waktu kegembiraan dan pada berbagai macam kerusakan. Karena semua itu
perbuatan-perbuatan berfaedah yang diharamkan pada agama. Maka jadilah
faedah-faedah itu seperti tidak ada. Adapun israf, maka kadang-kadang ditujukan
kepada maksud menyerahkan harta kepada wanita yang meratap, kepada penyanyi dan
kepada kemunkaran-kemunkaran. Kadang-kadang ditujukan kepada penyerahan harta
pada jenis yang diperbolehkan (mubah). Akan tetapi dengan sangat
berlebih-lebihan. Dan sangatnya berlebih-lebihan itu, berlainan menurut keadaan
masing-masing. Kami katakan: “Orang yang tiada mempunyai, selaain 100 dinar
umpamanya serta mempunyai keluarga dan anak-anak dan mereka itu tiada mempunyai
penghidupan yang lain, lalu orang tadi membelanjakan semuanya pada suatu
pesta”, bahwa orang tersebut berlebih-lebihan yang wajib dilarang; Allah Ta’ala
berfirman: “Dan janganlah engkau kembangkan seluas-luasnya, supaya engkau
jangan duduk tercela dan sengsara !”. S 17 Al Israa’ ayat 29. Ayat ini turun
mengenai seorang laki-laki di Madinah yang membagi-bagikan semua hartanya. Dan
tiada tinggal sedikitpun untuk keluarganya. Lalu ia dituntut perbelanjaan. Maka
ia tiada sanggup sedikitpun. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau
pemboros dengan berlebihan ! sesungguhnya orang-orang pemboros itu adalah
saudara setan”. S 17 Al Israa’ ayat 26-27. Seperti itu juga Allah ‘Azza Wa
Jalla berfirman: “Dan mereka itu, apabila membelanjakan hartanya, tiada
melampaui batas dan tiada (pula) bersifat kikir”. S 25 Al Furqaan ayat 67. Maka
barangsiapa yang memboros yang berlebih-lebihan ini, niscaya ditantang. Dan
wajiblah atas hakim (qadli) menahan hartanya. Kecuali apabila orang itu seorang
diri dan kuat bertawakkal yang sebenarnya. Maka boleh ia membelanjakan semua
hartanya pada pintu-pintu kebajikan. Dan orang yang mempunyai keluarga atau
lemah dari bertawakkal, maka tiada boleh ia menyedekahkan semua hartanya.
Begitu juga, kalau ia menyerahkan semua hartanya untuk mengukir dindinng
temboknya dan menghiaskan bangunan-bangunannya. Maka itu juga pemborosan yang
diharamkan. Dan berbuat demikian, oleh orang yang berharta banyak, tidak
diharamkan. Karena penghiasan itu termasuk maksud-maksud yang syah. Dan
senantiasalah masjid-masjid itu dihiasi dan diukiri pintu-pintunya dan
loteng-lotengnya. Sedang pengukiran pintu dan loteng itu, tak ada faedahnya,
selain semata-mata penghiasan. Maka begitupula rumah-rumah. Dan demikian juga
perkataan tentang pengelokan dengan kain-kain dan makanan-makanan. Yang
demikian itu diperbolehkan pada jenisnya. Dan itu menjadi pemborosan, dengan
memperhatikan keadaan orang tersebut dan kekayaannya. Kemunkaran-kemunkaran
yang seperti ini adalah banyak. Tiada mungkin dihinggakan. Maka kiaskanlah
dengan kemunkaran-kemunkaran ini, segala tempat berkumpulnya orang banyak,
majelis-majelis para hakim, kantor-kantor sultan (penguasa), madrasah-madrasah
para ahli fiqh, langgar-langgar kaum shufi dan tempat-tempat penginapan di
pasar-pasar. Maka tidaklah terlepas suatu tempatpun dari kemunkaran yang makruh
atau yang dilarang. Dan menyelidiki semua kemunkaran itu meminta kepada
kelengkapan semua penguaraian agama, pokok-pokoknya dan cabang-cabangnya. Maka
biarlah kita singkatkan sekadar ini saja !.
KEMUNKARAN-KEMUNKARAN UMUM.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap orang yang
duduk di rumahnya, di mana saja ia berada, tidaklah terlepas pada zaman ini
dari kemunkaran, dari segi berdiam-diri dari memberi petunjuk, mengajar dan
membawa manusia kepada perbuatan baik. Kebanyakan manusia itu bodoh tentang agama,
mengenai syarat-syarat shalat di negeri-negeri yang sudah berkemajuan. Maka
betapa lagi di desa-desa dan di kampung-kampung. Diantara mereka itu,
orang-orang Badui, orang-orang Kurdi, Turki dan berbagai macam makhluq manusia
lainnya. Dan wajiblah kiranya pada tiap-tiap masjid dan tempat dari suatu
negeri, ada seorang ahli ilmu (faqih) yang mengajarkan manusia akan agama.
Begitupula pada tiap-tiap desa. Dan wajiblah atas tiap-tiap faqih, yang telah
menyelesaikan fardlu-‘ainnya dan menyerahkan waktunya untuk fardlu kifayah(jika
ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu), bahwa keluar menemui
orang yang bertetangga negerinya, baik orang hitam, orang Arab, orang Kurdi dan
lainnya. Mengajarkan mereka akan agama dan fardlu-fardlu syari’at/agama. Dan membawa
sendiri perbekalan yang akan dimakan. Dan tidak memakan dari makanan
orang-orang itu. Karena kebanyakan makanannya adalah berasal dari rampokan.
Kalau sudah bangun seorang dengan tugas ini, niscaya gugurlah dosa dari yang
lain. Kalau tidak, niscaya meratailah dosa kepada seluruhnya. Adapun orang yang
berilmu, maka karena keteledorannya tidak keluar mengajarkan agama. Dan orang
yang bodoh, maka karena keteledorannya meninggalkan belajar. Tiap-tiap orang
awam yang mengetahui syarat-syarat shalat, maka haruslah ia mengajarkan orang
lain. Kalau tidak, maka ia bersekutu pada dosa. Dan sebagai dimaklumi, bahwa
manusia tidak dilahirkan mengetahui agama. Dan sesungguhnya wajiblah atas ahli
ilmu menyampaikannya. Tiap-tiap orang yang telah mempelajari suatu persoalan
(masalah), maka ia termasuk ahli ilmu tentang persoalan itu. Demi umurku, bahwa
dosa kaum fuqaha’ adalah lebih berat. Karena kemampuan mereka mengenai itu
adalah lebih menonjol. Dan tugas itu lebih layak menjadi pekerjaan mereka.
Karena orang-orang yang mengerjakan suatu pekerjaan, kalau meninggalkan
pekerjaannya, niscaya rusaklah kehidupan. Dan kaum fuqaha’ itu telah mengikat
diri dengan suatu tugas, yang tidak boleh tidak, demi kebaikan makhluq manusia.
Keadaan dan pekerjaan orang faqih itu, ialah menyampaikan apa yang telah
disampaikannya dari Rasulullah saw. Bahwa ulama itu adalah pewaris nabi-nabi.
Tidaklah manusia itu duduk saja di rumahnya dan tidak keluar ke masjid. Karena
ia akan melihat manusia, yang tidak pandai mengerjakan shalat dengan baik.
Bahkan, apabila ia mengetahui yang demikian, niscaya wajiblah ia keluar untuk
mengajar dan melarang yang munkar. Demikian juga, tiap-tiap orang yang yakin,
bahwa di pasar ada perbuatan munkar yang berlaku terus-menerus atau pada
waktu-waktu tertentu dan ia sanggup menghilangkannya, maka tidak boleh ia
melepaskan dirinya dari yang demikian, dengan duduk di rumah. Tetapi haruslah
ia keluar. Kalau ia tidak sanggup menghilangkan semuanya dan ia menjaga diri
dari menyaksikannya dan ia sanggup menghilangkan sebagian, niscaya harus ia
keluar. Karena keluarnya itu, apabila untuk menghilangkan apa yang
disanggupinya, maka tiada melarat ia menyaksikan apa yang tiada disanggupinya.
Sesungguhnya dilarang hadir untuk menyaksikan perbuatan munkar, tanpa maksud
yang benar. Maka menjadi hak kewajiban atas tiap-tiap muslim, memulai dengan
dirinya sendiri. Lalu memperbaikinya dengan rajin, mengerjakan segala fardlu
dan meninggalkan segala yang diharamkan. Kemudian ia mengajarkan yang demikian
itu kepada keluarganya. Kemudian sesudah selesai itu, lalu ia melangkah kepada
tetangganya. Kemudian kepada penduduk sedesa dengan dia. Kemudian kepada
penduduk negerinya. Kemudian kepada orang banyak di sekitar negerinya. Kemudian
kepada penduduk-penduduk desa yang jauh, dari orang-orang Kurdi, Arab dan
lainnya. Begitulah, sampai kepada tempat-tempat yang terjauh dari dunia ini.
Maka jikalau sudah bangun dengan tugas ini, orang yang dekat, niscaya gugur
dari orang yang jauh. Kalau tidak, niscaya berdosalah segala orang yang mampu.
Baik ia orang yang dekat atau orang yang jauh. Dan dosa itu tiada gugur, selama
masih ada di atas permukaan bumi, orang bodoh, dengan salah satu dari
fardlu-fardlu agamanya. Dan ia sanggup berjalan kepada orang itu, olehnya
sendiri atau dengan perantaraan orang lain. Lalu mengajarkan orang bodoh itu
akan fardlu agamanya. Inilah pekerjaan yang menghabiskan waktu orang yang
mementingkan urusan agamanya, yang menyibukkannya, tanpa ada kesempatan
membagi-bagikan waktu, tentang persoalan-persoalan furu’ (cabang agama) yang
jarang terjadi dan berdalam-dalam tentang ilmu-ilmu yang halus yang termasuk
fardlu kifayah(jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu). Dan
tidak didahulukan di atas ini, kecuali yang fardlu ‘ain atau yang fardlu
kifayah yang lebih penting daripadanya.
BAB KEEMPAT: Tentang amar-ma’ruf terhadap amir-amir
dan sultan-sultan (penguasa-penguasa) dan nahi-munkarnya.
Telah kami sebutkan tingkat-tingkat amar-ma’ruf.
Bahwa tingkat pertamanya ialah: ta’rif (memperkenalkan mana yang baik dan mana
yang buruk). Tingkat keduanya: pengajaran. Tingkat ketiganya: dengan kata-kata
yang kasar. Dan tingkat keempatnya: melarang dengan kekerasan, membawanya
kepada kebenaran dengan pukulan dan siksaan. Yang boleh dari jumlah itu
terhadap sultan-sultan (penguasa-penguasa), ialah dua tingkat yang pertama.
Yaitu: ta’rif dan pengajaran. Adapun melarang dengan kekerasan, maka tidaklah
yang demikian bagi perseorangan-perseorangan rakyat terhadap sultan (penguasa).
Bahwa yang demikian itu, menggerakkan fitnah dan membangkitkan kejahatan. Dan
hal yang ditakuti yang akan terjadi daripadanya, lebih banyak. Adapun kata-kata
yang kasar, seperti dikatakan: “Hai orang dzalim ! hai orang yang tidak takut
akan Allah !”, dan kata-kata yang seperti itu. Maka yang demikian, kalau
menggerakkan fitnah, yang kejahatannya melampaui kepada orang lain, niscaya
tidak boleh. Kalau tidak ditakutinya, kecuali atas dirinya sendiri, maka boleh.
Bahkan disunatkan kepadanya. Sesungguhnya telah menjadi adat kebiasaan salaf
(ulama terdahulu), tampil menhadang bahaya dan berterus-terang menantangnya,
tanpa memperdulikan kebinasaan jiwa dan mendatangi berbagai macam azab
kesengsaraan. Karena mereka tahu, bahwa yang demikian itu mati syahid.
Rasulullah saw bersabda: “Orang syahid yang terbaik, ialah Hamzah bin Abdul
Muththalib. Kemudian orang yang bangun mendatangi imam (penguasa), menyuruhnya
yang baik dan melarangnya yang buruk pada jalan Allah Ta’ala. Lalu imam itu
membunuhnya di atas yang demikian”. Nabi saw bersabda: “Jihad yang sebaik-baiknya,
ialah kata-kata kebenaran pada sultan yang dzalim”. Nabi saw menyifatkan Umar
bin Al-Khaththab ra dengan sabdanya: “Sepotong tanduk dari besi, tiada
menghalanginya pada jalan Allah oleh cacian orang yang mencaci. Meninggalkan
perkataannya yang benar, tak adalah baginya yang menjadi teman”. Tatkala
orang-orang yang bersikap keras pada agama mengetahui, bahwa perkataan yang
lebih utama ialah kata kebenaran pada sultan yang dzalim dan bahwa orang yang
bersikap demikian, apabila dibunuh, maka mati syahid, sebagaimana yang tersebut
pada hadits-hadits, maka mereka tampil kepada yang demikian. Membawa dirinya
kepada kebinasaan. Menanggung berbagai macam azab kesengsaraan. Bersabar di
atas yang demikian pada jalan Allah Ta’ala. Dan mereka berbuat karena Allah, untuk
apa yang diserahkan mereka dari kebagusan tujuannya pada sisi Allah. Dan jalan
mengajari sultan-sultan, menyuruh mereka perbuatan baik dan melarang mereka
perbuatan munkar, ialah apa yang telah dinukilkan oleh ulama-ulama terdahulu.
Telah kami paparkan sejumlah dari yang demikian pada “Bab masuk ke tempat
sultan-sultan” pada “Kitab Halal dan Haram”. Dan sekarang akan kami ringkaskan
dengan beberapa hikayah (cerita) yang memperkenalkan cara pengajaran dan betapa
caranya menantang sultan-sultan itu. Diantaranya: apa yang diriwayatkan tentang
tantangan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra terhadap pembesar-pembesar Quraisy, ketika
mereka bermaksud jahat kepada Rasulullah saw. Ceritanya, ialah: apa yang
diriwayatkan dari ‘Urwah ra yang mengatakan: “Aku berkata kepada Abdullah bin
‘Amr: ‘Alangkah banyaknya apa yang aku lihat, orang Quraisy itu memperolehnya
dari Rasulullah saw tentang apa yang dilahirkannya dari hal permusuhan dengan
Rasulullah saw”. Lalu Abdullah bin ‘Amr berkata: “Aku datangi mereka itu dan
orang-orang mereka yang terkemuka pada suatu hari, telah berkumpul pada Hijir
Ismail as. Mereka itu menyebutkan (memperkatakan) Rasulullah saw. Mereka
mengatakan: ‘Belum pernah kita melihat seperti apa yang kita sabar dari hal
laki-laki itu (maksudnya: Rasulullah saw), yang telah membodohi orang-orang
kita yang penyabar. Telah memaki bapak-bapak kita. Memburukkan agama kita.
Mencerai-beraikan kumpulan kita. Dan mencaci tuhan-tuhan kita. Kita telah
bersabar di atas keadaan yang besar yang timbul dari orang itu”. Dan kata-kata
lain yang serupa itu, dikatakan oleh orang-orang Quraisy. Dalam hal keadaan
demikian, tiba-tiba muncullah Rasulullah saw dihadapan mereka. Beliau terus
berjalan, sehingga beliau beristilam (mengangkat tangan) kepada sudut Ka’bah
(Ar-Rukn). Kemudian beliau lalu dihadapan mereka, berthawaf mengelilingi
Ka’bah. Tatkala Rasulullah saw lalu dihadapan mereka, maka dikatainya
Rasulullah saw dengan sebagian kata-kata penghinaan. Berkata Abdullah bin ‘Amr:
“Aku ketahui yang demikian pada wajah Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw
berjalan melakukan thawaf. Tatkala lewat dihadapan mereka pada kali kedua, lalu
mereka itu mengatainya lagi seperti yang pertama tadi. Aku ketahui demikian
pada wajahnya saw. Kemudian beliau lalu dari situ. Tatkala lewat dihadapan
mereka pada kali ketiga, lalu mereka itu mengatainya lagi seperti semula.
Sehingga Rasulullah saw berhenti. Kemudian bersabda: “Adakah kamu mendengar,
wahai sekalian orang Quraisy ! demi Allah yang nyawa Muhammad dalam
kekuasaanNya ! sesungguhnya aku datang kepadamu untuk dibunuh. Berkata Abdullah
bin ‘Amr selanjutnya: “Kaum Quraisy itu lalu menundukkan kepalanya. Sehingga
tiada seorangpun dari mereka, melainkan seakan-akan di atas kepalanya seekor
burung yang jatuh ke atas kepalanya. Sehingga yang sangat terpijak pada
kepalanya, menerima yang demikian itu untuk ditempatkannya dengan sebaik-baik
perkataan yang diperolehnya itu. Sehingga Abdullah bin ‘amr itu mengatakkan:
‘Pergilah wahai Abul-Qasim (panggilan kepada Rasulullah saw) dengan baik ! demi
Allah, engkau bukan orang bodoh”. Berkata Abdullah lagi: “Lalu Rasulullah saw
pergi. Sehingga pada keesokan harinya, mereka berkumpul pula pada Hijr itu. Dan
aku bersama mereka. Lalu berkata sebahagian mereka kepada yang lain: ‘Kamu
ingat apa yang sampai daripada kamu dan apa yang sampai kepada kamu
daripadanya. Sehingga apabila ia berhadapan dengan kamu, dengan apa yang tiada
kamu sukai, kamu tinggalkan dia”. Pada ketika mereka itu sedang demikian,
tiba-tiba Rasulullah saw muncul. Lalu mereka melompat kepadanya sebagai
lompatan seorang laki-laki (serentak). Mereka itu mengelilingi Rasulullah saw
seraya berkata: “Engkau yang berkata demikian ! engkau yang berkata demikian
!”. Karena telah sampai kepada mereka, kata-kata yang menghinakan tuhan-tuhan
dan agama mereka. Berkata Abdullah selanjutnya: “Lalu Rasulullah saw menjawab:
‘Benar, aku yang mengatakan demikian”. Berkata Abdullah lagi: “Lalu aku melihat
seorang laki-laki dari mereka, mengambil kumpulan selendangnya (mau mencekik
leher Nabi saw)”. Berkata Abdullah lagi: “Lalu bangunlah Abu Bakar Ash-Shiddiq
ra tanpa Nabi saw bangun. Beliau berkata sambil menangis: ‘Celaka kamu !’.
Apakah kamun akan membunuh orang yang mengatakan: “Tuhanku Allah ?”. Berkata
Abdullah: “Kemudian, orang-orang Quraisy itu pergi. Bahwa yang demikian adalah
yang paling berat yang aku lihat orang Quraisy memperolehnya dari Nabi saw”.
Pada riwayat lain dari Abdullah bin ‘Amr ra yang mengatakan: “Di waktu
Rasulullah saw berada di halaman Ka’bah, tiba-tiba datang ‘Uqbah bin Abi Muith.
Lalu ia memegang bahu Rasulullah saw. Lantas ia melilitkan kainnya pada leher
Rasulullah saw. Ia mencekik leher Nabi saw dengan sangat. Maka datanglah Abu
Bakar ra lalu memegang bahunya dan menolaknya dari Rasulullah saw seraya
berkata: ‘Apakah kamu akan membunuh orang yang mengatakan: ‘Tuhan Allah ?’.
Padahal ia telah datang kepadamu dengan keterangan-keterangan dari Tuhanmu”.
Diriwayatkan, bahwa Mu’awiyah ra menahan pemberian harta, kepada orang yang
biasa menerimanya. Lalu datang kepadanya Abu Muslim Al-Khaulani. Ia berkata
kepada Mu’awiyah: “Hai Mu’awiyah ! bahwa harta itu tidaklah dari jerih-payahmu.
Tidak dari jerih-payah bapakmu. Dan tidak dari jerih-payah ibumu”. Berkata yang
meriwayatkan: “Maka Mu’awiyah marah dan terus turun dari mimbar, seraya berkata
kepada orang banyak: ‘Tetap pada tempatmu masing-masing !”. Ia menghilang
sejenak dari pandangan orang banyak. Kemudian, ia datang lagi kepada mereka.
Dan beliau sudah mandi. Lalu berkata: “Bahwa Abu Muslim mengatakan kepadaku
dengan kata-kata yang membuat aku marah. Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
‘Kemarahan itu dari setan. Setan itu dijadikan dari api. Dan sesungguhnya api
itu dipadamkan dengan air. Maka apabila marah salah seorang kamu, maka
hendaklah mandi !”. Aku masuk ke rumah, lalu aku mandi. Dan benarlah Abu
Muslim, bahwa harta itu tidak dari jerih-payahku dan tidak dari jerih-payah
bapakku. Marilah akan aku berikan kepadamu semua !”. Diriwayatkan dari Dlabbah
bin Muhshin Al-‘Anzi, yang mengatakan: “Adalah Abu Musa Al-Asy’ari amir kami di
Basrah. Apabila ia berpidato di hadapan kami, ia memuji Allah dan
menyanjungiNya. Dan berselawat kepada Nabi saw dan berdoa kepada ‘Umar ra”.
Berkata Dlabbah: “Yang demikian itu membuat aku marah. Lalu aku bangun berdiri,
seraya mengatakan kepadanya: ‘Bagaimanakah engkau tentang sahabatnya
(maksudnya: sahabat Nabi saw yang utama, yaitu: Abu Bakar Ash-Shiddiq) ? engkau
lebihkan ‘Umar daripadanya”. Lalu Abu Musa menyebutkan keduanya (berdoa kepada
keduanya). Kemudian ia menulis surat kepada ‘Umar, mengadukan aku, dengan
mengatakan: “Bahwa Dlabbah bin Muhshin Al-‘Anzi menantang aku dalam pidatoku”.
Lalu ‘Umar membalas suratnya, dengan mengatakan: “Bawalah ia kepadaku !”.
Dlabbah meneruskan ceritanya: “Lalu aku dibawanya kepada ‘Umar. Aku datang,
lalu aku mengetok pintunya. Ia keluar kepadaku, seraya bertanya: ‘Siapakah
engkau ?”. Aku menjawab: “Aku Dlabbah”. Lalu ‘Umar mengatakan kepadaku: “Tidak
“marhaban” (tidak engkau memperoleh kelapangan) dan tidak “ahlan”, (tidak
engkau datang kemari, sebagai keluarga)”. Aku menjawab: “Adapun “marhaban”
(kelapangan), maka dari Allah. Adapun “ahlan”, aku tidak mempunyai keluarga dan
harta. Maka dengan apakah engkau menghalalkan (membolehkan) mendatangkan aku
dari Basrah, tanpa dosa yang aku kerjakan dan tanpa sesuatu yang aku lakukan
?”. ‘Umar ra menjawab: “Apakah yang mendorong kepada percekcokan antara engkau
dan petugasku (Abu Musa ?)”. Dlabbah meneruskan ceritanya: “Sekarang aku
mengatakan, akan aku terangkan kepadamu mengenai Abu Musa itu. Sesungguhnya ia
apabila berpidato dihadapan kami, lalu memuji Allah dan menyanjungiNya. Dan
berselawat kepada Nabi saw. Kemudian ia menyambung dengan berdoa kepadamu. Hal
yang demikian, membawa aku marah. Lalu aku bangun berdiri, mengatakan
kepadanya: ‘Bagaimanakah engkau tentang sahabatnya (maksudnya sahabat Nabi saw:
Abu Bakar ra ?). Engkau lebihkan ‘Umar daripadanya. Lalu Abu Musa mengumpulkan
keduanya dengan doa. Kemudian ia menulis surat kepadamu, mengadukan aku”.
Dlabbah meneruskan ceritanya: “Lalu terdoronglah ‘Umar ra dengan tangisan yang
menyedihkan, seraya berkata: ‘Engkau –demi Allah –yang lebih memperoleh taufiq
dan petunjuk daripada Abu Musa ! maukah engkau mengampunkan dosaku, semoga
Allah mengampunkan dosamu ?”. Dlabbah meneruskan ceritanya: “Lalu aku menjawab:
‘Kiranya Allah mengampunkan dosamu, wahai Amirul-mu’minin”. Dlabbah meneruskan
ceritanya: “Kemudian terdoronglah ‘Umar ra dengan tangisan yang menyedihkan,
seraya berkata: ‘Demi Allah, sesungguhnya satu malam dan satu hari dari Abu
Bakar adalah lebih baik dari ‘Umar dan famili ‘Umar. Bolehkan saya ceritakan
kepadamu tentang malam dan harinya Abu Bakar itu ?”. Aku menjawab: “Ya, boleh
!”. ‘Umar ra berkata: “Adapun malam, yaitu: bahwa Rasulullah saw tatkala mau
keluar dari Makkah, lari dari kaum musyrik, beliau keluar pada malam hari. Lalu
diikuti oleh Abu Bakar. Sekali Abu Bakar itu berjalan di depan Nabi saw, sekali
di belakangnya, sekali di kanannya dan sekali di kirinya. Lalu Rasulullah saw
bertanya: ‘Apa ini, wahai Abu Bakar ? aku tiada mengetahui ini dari
perbuatanmu”. Abu Bakar ra menjawab: “Wahai Rasulullah ! aku teringat akan
pengintaian, maka aku berada di hadapan engkau. Aku teringat akan engkau dicari
orang, maka aku berada di belakang engkau. Sekali di kanan engkau dan sekali di
kiri engkau. Aku tiada merasa aman terhadap engkau”. ‘Umar ra berkata: “Lalu
Rasulullah saw berjalan kaki pada malamnya itu dengan ujung jari-jari kakinya,
sehingga tipis. Tatkala Abu Bakar melihat bahwa ujung jari-jari kaki Rasulullah
saw telah tipis, lalu ia membawa beliau atas kuduknya dan merasa sulitnya.
Sehingga sampailah ke pintu gua (pada bukit Tsur), lalu ia menurunkannya.
Kemudian Abu Bakar ra berkata: ‘Demi Allah yang mengutus engkau dengan
kebenaran ! jangan engkau masuk ke gua ini, sebelum aku masuk lebih dahulu.
Kalau ada di dalamnya sesuatu, niscaya akan kena aku sebelum engkau”. ‘Umar ra
meneruskan riwayatnya: “Maka masuklah Abu Bakar dan ia tiada melihat sesuatu di
dalamnya. Lalu ia membawa Nabi saw dan memasukkannya ke dalam gua”. Adalah
dalam gua itu suatu lobang, yang di dalamnya ular-ular kecil dan ular-ular
besar. Lalu Abu Bakar menutupkan lobang itu dengan tapak kakinya. Karena takut
keluar dari lobang itu sesuatu kepada Rasulullah saw, lalu menyakitinya.
Binatang-binatang itu menggigit Abu Bakar pada tapak kakinya. Dan membuat air
mata Abu Bakar jatuh berderai pada kedua pipinya dari kesakitan yang
diperolehnya. Dan Rasulullah saw bersabda: “Wahai Abu Bakar ! jangan engkau
gundah ! bahwa Allah beserta kita !”. Maka Allah Ta’ala menurunkan ketenangan
dan ketentraman hati kepada Abu Bakar. Maka inilah malamnya !. Adapun harinya,
maka tatkala telah wafat Rasulullah saw, orang Arab itu lalu murtad. Sebahagian
mereka berkata: “Kita mengerjakan shalat dan tidak menunaikan zakat”. Lalu aku
datang kepada Abu Bakar. Aku tidak teledor menasehatinya. Aku berkata: “Wahai
khalifah Rasulullah saw ! ambillah manusia dengan kejinakan hati dan berbelas
kasihanlah kepada mereka !”. Lalu Abu Bakar ra menjawab: “Aku mempunyai
orang-orang perkasa pada masa jahiliah dan orang-orang lemah pada masa Islam.
Maka dengan apakah aku berjinakan hati dengan mereka ? Rasulullah saw telah
diambil (telah wafat) dan wahyu telah terangkat (telah putus). Maka demi Allah
! jikalau mereka tidak mau memberikan kepadaku tali pengikat unta, yang telah
diberikannya kepada Rasulullah saw, niscaya aku perangi mereka”. ‘Umar ra
meneruskan ceritanya: “Maka kamipun berperanglah. Demi Allah, adalah Abu Bakar
itu memperoleh petunjuk dalam urusan itu”. Maka inilah harinya !. Kemudian,
‘Umar ra menulis surat kepada Abu Musa mencercai apa yang telah dilakukannya
itu. Dari Al-Ashma’i yang mengatakan: “Atha’ bin Abi Rabah masuk ke tempat
Abdul Malik bin Marwan. Dia sedang duduk atas kursi kebesarannya. Di
kelilingnya, kaum bangsawan dari tiap-tiap suku. Peristiwa ini terjadi di Makkah
pada waktu ia menunaikan ibadah hajji pada masa kekhalifahannya. Tatkala
Khalifah Abdul Malik melihat ‘Atha’, lalu bangun menghormatinya dan
mendudukkannya di atas kursi kebesaran itu. Dan Abdul Malik duduk dihadapannya,
seraya berkata: “Wahai Abu Muhammad (panggilan pada ‘Atha) ! apa hajatmu ?”.
‘Atha’ menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! bertaqwalah kepada Allah pada tanah
haram Allah dan tanah haram RasulNya ! berjanjilah dengan pembangunan akan
tanah haram itu ! takutlah akan Allah mengenai anak-anak kaum muhajirin dan
anshar ! dengan sebab mereka, engkau duduk pada majelis ini. Takutlah akan
Allah mengenai penghuni-penghuni benteng ! bahwasanya mereka itu benteng kaum
muslimin dan yang mementingkan urusan kaum muslimin. Sesungguhnya engkaulah
seorang diri yang bertanggung-jawab dari hal mereka. Takutlah akan Allah
mengenai orang di pintu engkau ! janganlah engkau melalaikan akan hal mereka !
dan janganlah engkau menguncikan pintu engkau tanpa mereka !”. Lalu Khalifah
Abdul Malik berkata kepada ‘Atha’: “Ya, akan saya laksanakan !”. Kemudian
‘Atha’ bangkit dari duduknya dan berdiri. Lalu ia dipegang oleh Abdul Malik,
seraya berkata: “Wahai Abu Muhammad ! sesungguhnya engkau meminta kepada kami,
keperluan orang lain dan telah kami tunaikan. Maka apakah hajatmu sendiri ?”.
‘Atha’ menjawab: “Aku tiada berhajat apa-apa kepada makhluq”. Kemudian beliau
keluar, lalu Abdul Malik berkata: “Demi kiranya, inilah kehormatan diri !”.
Diriwayatkan, bahwa Al-Walid bin Abdul Malik berkata pada suatu hari kepada
penjaga pintunya: “Berdirilah di pintu ! apabila orang datang kepadamu, maka
suruhlah masuk ke tempatku, supaya ia berbicara dengan aku !”. Maka penjaga
pintu itupun berdiri di pintu sebentar waktu. Lalu datanglah ‘Atha’ bin Abi
Rabah. Dan penjaga pintu itu, tiada mengenalnya. Lalu penjaga pintu itu
menegur: “Ya syaikh, masuklah ke tempat Amirul-mu’minin ! beliau menyuruh yang
demikian”. Maka ‘Atha’pun masuk ke tempat Al-Walid. Dan di sisinya ada ‘Umar
bin Abdul ‘Aziz. Tatkala ‘Atha’ telah berdekatan dengan Al-Walid, maka ‘Atha’
mengucapkan: “Assalamu’alaik ya Walid !”. Berkata yang meriwayatkan: “Maka
Al-Walid marah kepada penjaga pintunya, seraya berkata kepadanya: ‘Celaka
engkau ! aku menyuruh engkau, bahwa engkau masukkan ke tempatku orang yang akan
berbicara dengan aku. Dan yang akan bercakap-cakap di malam hari dengan aku.
Lalu engkau masukkan ke tempatku, orang yang tidak senang menyebutkan aku,
dengan nama yang telah dipilihkan oleh Allah kepadaku”. Penjaga pintu itu
menjawab: “Tiada lalu di hadapanku seorangpun selain dia”. Kemudian Al-Walid
berkata kepada ‘Atha’: “Duduklah !”. Kemudian ‘Atha’ menghadapkan mukanya
kepada Al-Walid. Bercakap-cakap dengan dia. Maka adalah diantara apa yang
dipercakapkan ‘Atha’, ialah ‘Atha’ mengatakan kepada Al-Walid: “Sampai kepada
kami khabar, bahwa dalam neraka jahannam, ada sebuah lembah yang dinamakan:
Habbah. Disediakan oleh Allah bagi Imam (penguasa) yang dzalim dalam
pemrintahannya”. Maka pingsanlah Al-Walid dari perkataan ‘Atha’ itu. Al-Walid
itu duduk di hadapan muka pintu majlis itu. Lalu ia jatuh tersungkur ke
tengah-tengah majelis dalam keadaan pingsan. Lalu ‘Umar bin Abdul ‘Aziz berkata
kepada ‘Atha’: “Engkau bunuh Amirul-mu’minin”. ‘Atha’ lalu memegang lengan
‘Umar bin Abdul Aziz. Lalu dengan keras memicitkannya, seraya berkata: “Wahai
‘Umar ! bahwa urusan itu sungguh-sungguh. Maka iapun bersungguh-sungguh”.
Kemudian, ‘Atha’ itu bangun berdiri dan pergi. Maka sampailah berita kepada
kami, dari ‘Umar bin Abdul ‘Aziz ra bahwa beliau berkata: “Aku berdiam setahun,
yang terus aku dapati kesakitan picitannya pada lenganku”. Adalah Ibnu Abi
Syumailah disifatkan orang yang berpikiran luas dan bersopan-santun. Maka
beliau masuk ke tempat Abdul Malik bin Marwan. Lalu Abdul Malik berkata
kepadanya: “Berbicaralah !”. Ibnu Abi Syumailah menjawab: “Apakah yang aku
bicarakan ? sesungguhnya engkau tahu, bahwa tiap-tiap perkataan yang
diperkatakan oleh pembicaraannya, adalah berakibat buruk. Kecuali adalah
perkataan itu karena Allah”. Maka menangislah Abdul Malik, kemudian berkata:
“Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada engkau ! senantiasalah manusia itu
ajar-mengajari dan nasehat-menasehati”. Lalu laki-laki tadi berkata: “Wahai
Amirul-mu’minin ! bahwa manusia pada hari qiamat, tiada terlepas daripada
kesedihan pahitnya dan melihat keburukan padanya, selain orang yang mencari
kerelaan Allah dengan kemarahan dirinya”. Abdul Malik lalu menangis, kemudian
berkata: “Tak boleh tidak, akan aku jadikan kata-kata ini, suatu contoh di
pelupuk mataku, selama aku hidup”. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Aisyah: “Bahwa
Al-Hajjaj bin Yusuf mengundang para fuqaha’ Basrah dan para fuqaha’ Kufah. Lalu
kami masuk ke tempatnya. Dan masuklah Al-Hasan Al-Bashari sebagai yang penghabisan dari orang yang
masuk. Maka berkata Al-Hajjaj kepada Al-Hasan: “Selamat datang kepada Abu Sa’id
(panggilan kepada Al-Hasan ) ! mari dekat saya ! mari dekat saya !”. Kemudian,
Al-Hajjaj meminta kursi. Lalu diletakkan di samping kursi kebesarannya. Lalu
Al-Hasan duduk di atas kursi itu. Al-Hajjaj bersoal-jawab dengan kami dan
bertanya kepada kami. Ketika ia menyebutkan ‘Ali bin Abu Thalib ra, lalu ia
mengatakan, yang tiada baik kepada Ali. Dan kamipun mengatakkan yang tiada baik
kepada Ali. Karena mendekatkan diri kepada Al-Hajjaj dan takut dari
kejahatannya. dan AL-Hasan diam saja, menggigit ibu jarinya. Lalu Al-Hajjaj
bertanya: “Hai Abu Sa’id ! apakah sebabnya aku melihat engkau berdiam diri saja
?”. Al-Hasan menjawab: “Tidak ada yang akan aku katakan”. Al-Hajjaj menjawab:
“Terangkanlah kepadaku menurut pendapatmu tentang Abu Turab (panggilan kepada
Ali ra) !”. Al-Hasan menjawab: “Aku mendengar Allah Yang Maha Mulia sebutanNya,
berfirman: “Dan tidak Kami jadikan qiblat yang engkau berada padanya, melainkan
untuk Kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dari orang-orang yang surut ke
belakang, sekalipun hal itu berat, kecuali bagi orang-orang yang ditunjuki oleh
Allah. Tiadalah Allah menyia-nyiakan keimananmu. Sesungguhnya Allah itu
Penyantun dan Penyayang kepada manusia”. S 2 Al Baqarah ayat 143. Maka Ali itu
termasuk orang yang ditunjuki oleh Allah daripada ahli iman. Aku mengatakan:
‘Ali itu putera paman Nabi saw, dikawinkannya dengan puterinya (Fatimah ra).
Orang yang paling dikasihinya. Dan mempunyai barakah yang terdahulu, dengan
Islam, yang telah terdahulu baginya daripada Allah. Engkau tidak akan sanggup
dan tiada seorangpun dari manusia sanggup mencegahnya. Dan tiada yang akan
menghalanginya antara Ali dan barakah itu. Aku mengatakan: “Jikalau adalah bagi
Ali itu bencana, maka Allah yang menolongnya. Demi Allah, aku tiada memperoleh
kata-kata yang lebih adil dari ini”. Maka tampaklah marah muka Al-Hajjaj dan
berobah. Ia berdiri dari kursi kebesaran dengan keadaan marah. Lalu masuk ke
rumah di belakangnya dan kamipun keluar. Berkata ‘Amir Asy-Sya’bi (beliau hadir
pada majelis itu): “Lalu aku pegang tangan Al-Hasan, seraya aku berkata: ‘Wahai
Abu Sa’id ! engkau membuat Amir marah dan memanaskan hatinya”. Al-Hasan
menjawab: “Dengarlah perkataanku, wahai ‘Amir ! manusia mengatakan: “Amir
Asy-Sya’bi itu orang alim penduduk Kufah’. Engkau datangi setan dari
setan-setan manusia. Engkau berkata-kata dengan dia menurut hawa-nafsunya.
Engkau dekati dia menurut pendapatnya. Celaka engkau, hai Amir ! apakah engkau
tidak takut kepada Allah ? kalau engkau ditanya, lalu engkau benarkan atau
engkau diam, lalu engkau selamat”. ‘Amir menjawab: “Wahai Abu Sa’id ! engkau
telah mengatakan kata-kata itu dan saya mengetahui isinya”. Al-Hasan menjawab:
“Yang demikian adalah lebih berat alasannya ke atas diri engkau dan terlalu
besar akibatnya”. Ibnu ‘Aisyah yang meriwayatkan ini berkataa: “Al-Hajjaj
mengirim utusan memanggil Al-Hasan. Tatkala Al-Hasan masuk ke tempatnya, lalu
Al-Hajjaj bertanya: ‘Engkaukah yang mengatakan: ‘Diperangi oleh Allah kiranya
mereka yang membunuh hamba-hamba Allah di atas dinar dan dirham ?”. AL-Hasan
menjawab: “Ya !”. Al-Hajjaj bertanya lagi: “Apakah yang membawa engkau kepada
yang demikian ?”. Al-Hasan menjawab: “Apa yang diambil oleh Allah atas para
ulama dari janji-janji, supaya diterangkannya kepada manusia dan tidak
disembunyikannya”. Al-Hajjaj berkata: “Hai Hasan ! tahanlah lidahmu atas dirimu
sendiri ! awaslah, bahwa sampai kepadaku daripadamu, apa yang aku tiada sukai !
nanti aku ceraikan antara kepalamu dan tubuhmu”. Diceritakan orang, bahwa
Huthaith Az-Zayyat dibawa orang kepada AL-Hajjaj. Tatkala Huthaith masuk ke
tempat Al-Hajjaj, maka Al-Hajjaj menegur: “Engkau Huthaith ?”. Huthaith
menjawab: “Ya ! tanyalah apa yang tampak bagimu ! bahwasanya aku telah berjanji
dengan Allah di sisi Maqam Ibrahim, 3 perkara: kalau aku ditanya, niscaya aku
benarkan. Kalau aku mendapat bahaya, niscaya aku sabar. Dan kalau aku
memperoleh sehat wal-afiat, niscaya aku bersyukur”. Lalu Al-Hajjaj bertanya:
“Apakah katamu tentang diriku ?”. Huthaith menjawab: “Akan aku katakan, bahwa
engkau termasuk musuh Allah di bumi. Engkau binasakan segala kehormatan. Dan
engkau bunuh orang, dengan semata-mata tuduhan”. Al-Hajjaj bertanya lagi:
“Apakah katamu tentang Amirul-mu’minin Abdul Malik bin Marwan ?”. Huthaith
menjawab: “Akan aku katakan, bahwa ia lebih besar dosa dari engkau. Dan
sesungguhnya engkau itu suatu kesalahan dari kesalahan-kesalahannya”. Berkata
yang meriwayatkan: “Lalu AL-Hajjaj mengatakan kepada pengikut-pengikutnya:
‘Siksakanlah dia !”. Berkata yang meriwayatkan: “Maka sampailah siksaan kepada Huthaith,
sehingga pecah tulang punggungnya. Kemudian mereka buat tulang punggung itu,
atas dagingnya dan mereka ikatkan dengan tali. Kemudian mereka panjangkan
sepotong-sepotong. Sehingga mereka tarik-tarikkan dagingnya. Mereka tiada
mendengar Huthaith mengatakan sesuatupun”. Berkata yang meriwayatkan: “Lalu
disampaikan kepada Al-Hajjaj, bahwa Huthaith dalam keadaan nafas yang
penghabisan. Maka Al-Hajjaj berkata: ‘Keluarkanlah dia dari tahanan itu ! lalu
lemparkanlah di pasar !”. Berkata Ja’far yang menceritakan cerita ini: “Lalu
datanglah aku kepada Huthaith bersama sahabatnya, seraya kami bertanya
kepadanya: ‘Huthaith ! adakah engkau mempunyai keperluan ?”. Huthaith menjawab:
“Seteguk air !”. Lalu mereka berikan kepadanya air seteguk. Kemudian ia meninggal.
Dan Huthaith itu adalah putera berusia 18 tahun. Rahmat Allah berlipat-ganda
kiranya kepadanya !”. Diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin Hubairah (wali negeri Irak)
mengundang para fuqaha’ penduduk Basrah, penduduk Kufah, penduduk Madinah,
penduduk Syam (Syiria) dan para qari’nya. Lalu ia bertanya kepada mereka. Dan
bercakap-cakap dengan Amir Asy-Sya’bi. Apa saja yang ia tanyakan kepada Amir
Asy-Sya’bi, ia memperoleh padanya pengetahuan. Kemudian, Umar bin Hubairah,
menghadap kepada Al-Hasan Al-Bashari . Lalu bertanya kepadanya. Kemudian ia
berkata: “Keduanya inilah ! ini laki-laki penduduk Kufah, ya’ni: Asy-Sya’bi.
Dan ini laki-laki penduduk Basrah, ya’ni: Al-Hasan. Lalu ia menyuruh penjaga
pintunya, supaya menyuruh keluar semua orang. Dan tinggallah ia dengan Asy-Sya’bi
dan Al-Hasan. Lalu ia menghadapkan mukanya kepada Asy-sya’bi, seraya berkata:
“Hai Abu Amir (panggilan kepada Asy-Sya’bi) ! bahwa aku adalah kepercayaan
Amirul-mu’minin di Irak, pegawainya dan orang yang diperhatikan mematuhinya.
Aku dicoba dengan rakyat dan haruslah aku menjaga hak rakyat. Maka aku suka,
menjaga mereka. Dan menjanjikan apa yang membaikkan mereka, serta nasehat
kepada mereka. Kadang-kadang sampai kepadaku dari segolongan penduduk negeri,
hal yang tidak menyenangkan, yang aku dapati pada mereka. Lalu aku ambil
sebahagian dari pemberian mereka. Aku letakkan pada: baitul-mal. Dan niat
hatiku, akan aku kembalikan kepada mereka. Maka sampailah kepada
Amirul-mu’minin, bahwa aku telah mengambilnya dengan cara yang demikian. Lalu
beliau menulis surat kepadaku, untuk tidak mengembalikannya lagi kepada mereka.
Aku tidak sanggup menolak perintahnya dan tidak melaksanakan isi suratnya.
Sesungguhnya aku adalah orang yang diperintahkan mematuhinya. Maka adakah atas
diriku menanggung akibatnya tentang ini ? dan hal-hal lain yang serupa dengan
ini ? sedang niat hatiku padanya adalah menurut apa yang telah kusebutkan
tadi”. Asy-Sya’bi berkata: “Lalu aku menjawab: ‘Diperbaiki kiranya oleh Allah
akan amir ! sesungguhnya sultan (penguasa) itu bapak yang salah dan yang
benar”. Asy-Sya’bi meneruskan ceritanya: “Amat gembiralah Umar bin Hubairah
dengan jawabanku itu dan amat menakjubkan hatinnya. Aku melihat kegembiraan
pada wajahnya, seraya ia mengucapkan: ‘Fa lil-laahil-hamd (Maka bagi Allah
segala jenis pujian)”. Kemudian, Umar bin Hubairah itu menghadapkan mukanya
kepada Al-Hasan, seraya bertanya: “Apa yang akan engkau katakan, wahai Abu
Sa’id ?”. Al-Hasan menjawab: “Sesungguhnya aku telah mendengar perkataan amir,
yang mengatakan: bahwa ia kepercayaan amirul-mu’minin di Irak, pegawainya dan
orang yang diperintahkan mematuhinya. Aku dicoba dengan rakyat dan harus
menjaga hak mereka, menasehati mereka dan menjanjikan apa yang membaikkan
mereka. Hak rakyat itu harus bagi engkau dan hak atas engkau untuk menjaga
mereka dengan nasehat. Sesungguhnya, aku mendengar Abdur Rahman bin Samrah
Al-Quraisy sahabat Rasulullah saw berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa memimpin rakyat, lalu tidak dipeliharakannya dengan nasehat,
niscaya diharamkan oleh Allah sorga kepadanya”. Amir mengatakan: “Bahwa aku
kadang-kadang mengambil dari pemberian mereka, dengan maksud kebaikan dan
perbaikan bagi mereka. Dan supaya mereka kembali kepada ketaatan. Lalu sampai
berita kepada amirul-mu’minin, bahwa aku mengambilnya atas cara yang demikian.
Maka beliau menulis surat kepadaku, untuk tidak mengembalikannya. Maka aku
tidak sanggup menolak perintahnya. Dan tidak sanggup melaksanakan isi suratnya.
Hak Allah itu lebih perlu dari hak amirul-mu’minin. Dan Allah lebih berhak
ditaati. Dan tak ada ketaatan bagi makhluq pada perbuatan ma’siat terhadap
Khaliq (yang maha pencipta) (yang maha pencipta). Maka kemukakanlah kitab
(surat) amirul-mu’minin atas Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla. Kalau engkau dapati
bersesuaianlah dengan Kitab Allah, maka ambillah ! dan kalau engkau dapati
berselisih dengan Kitab Allah, maka campakkanlah ! wahai Ibnu Hubairah !
takutlah kepada Allah ! sesungguhnya hampirlah akan datang kepadamu utusan
Tuhan Serwa sekalian alam, yang akan menghilangkan engkau dari kursi kebesaran
engkau. Dan mengeluarkan engkau dari keluasan istana engkau kepada kesempitan
kuburan engkau. Maka engkau tinggalkan kekuasaan engkau dan dunia engkau di
belakang engkau. Dan engkau datang kepada Tuhan engkau. Dan engkau bertempat
atas amalan engkau ! wahai Ibnu Hubairrah ! bahwasanya Allah melarang engkau
dari Yazid. Dan Yazid tidak melarang engkau dari Allah. Bahwa perintah Allah di
atas semua perintah. Bahwa tiada ketaatan pada perbuatan ma’siat kepada Allah.
Sesungguhnya aku memperingatkan engkau akan keperkasaan Allah, yang tiada
tertolak dari kaum yang dzalim”. Lalu Ibnu Hubairah menjawab: “Sesungguhnya
engkau lemah, hentikanlah dari perbuatan yang tiada engkau sanggupi, wahai
Syaikh ! tinggalkanlah daripada menyebutkan amiril-mu’minin ! sesungguhnya
amiril-mu’minin itu mempunyai pengetahuan, mempunyai kekuasaan dan mempunyai
kelebihan. Sesungguhnya ia telah diangkat oleh Allah, apa yang telah
diangkatNya mengurus umat ini. Karena Allah mengetahui tentang dia dan apa yang
diketahuinya dari kelebihan dan keniatannya”. Al-Hasan menjawab: “Wahai Ibnu
Hubairah ! hitungan amalan (hisab) itu dari belakang engkau. Cemeti dengan
cemeti dan kemarahan dengan kemarahan. Dan Allah itu mengintip. Wahai Ibnu
Hubairah ! sesungguhnya engkau, jikalau engkau menjumpai orang yang menasehati
engkau tentang agama engkau dan membawa engkau kepada urusan akhirat engkau itu
lebih baik daripada engkau menjumpai orang yang memperdayakan engkau dan
mencoba engkau”. Lalu Ibnu Hubairah bangun berdiri. Dan kelihatan marah pada mukanya
dan telah berobah warnanya. Asy-Sya’bi berkata: “Lalu aku mengatakan: ‘Hai Abu
Sa’id ! engkau telah memarahkan amir dan telah menusuk hatinya. Engkau haramkan
kepada kami kebaikan dan silaturrahimnya”. Al-Hasan menjawab: “Pergilah
daripadaku, hai Amir (Asy-Sya’bi) !”. Asy-Sya’bi menerangkan: “Lalu dikeluarkan
kepada Al-Hasan hadiah-hadiah yang megah dan barang-barang yang berharga. Ia
mempunyai kedudukan yang tinggi. Ia memandang rendah kepada kami dan kami
menjadi tersingkir. Maka adalah Al-Hasan itu berhak tentang apa yang diserahkan
kepadanya. Dan kami berhak diperbuat demikian kepada kami. Tiadalah aku melihat
orang seperti Al-Hasan, pada ulama-ulama yang sudak aku lihat, melainkan
seperti orang Persia Arab yang baik diantara orang-orang yang berbuat baik. Dan
apabila kami menghadiri sesuatu pertemuan, maka ia menonjol di atas kami. Ia
berkata karena Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kami berkata untuk mendekatkan diri
kepada mereka”. Amir Asy-Sya’bi menyambung lagi: “Saya berjanji dengan Allah,
tiada akan mengunjungi lagi sultan (penguasa) sesudah majelis ini. Nanti aku
condong kepadanya”. Muhammad bin Wasi’ masuk ke tempat Bilal bin Burdah (amir
Basrah). Lalu Bilal bin Abi Burdah bertanya kepadanya: “Apakah katamu tentang
qadar ?”. Muhammad bin Wasi’ menjawab: “Tetanggamu adalah penghuni kuburan.
Maka bertafakkurlah tentang mereka ! sesungguhnya mereka itu sibuk, tiada waktu
memikirkan tentang qadar”. Dari Asy-Sya’bi ra, yang mengatakan: “Diberitahukan
kepadaku oleh pamanku Muhammad bin Ali, yang mengatakan: ‘Bahwa aku menghadiri
majelis amiril-mu’minin Abi Ja’far Al-Manshur. Pada majelis itu ada Ibnu Abi
Dzuaib. Dan wali negeri Madinah waktu itu Al-Hasan bin Zaid”. Muhammad bin Ali
meneruskan ceritanya: “Maka datanglah orang-orang kabilah Abi Dzar Al-Ghaffari
(Al-Ghaffariyun), mengadu kepada Khalifah Abi Ja’far tentang sesuatu dari
perbuatan Al-Hasan bin Zaid”. Al-Hasan bin Zaid menjawab: “Wahai
Amirul-Mu’minin ! tanyakanlah tentang hal mereka pada Ibnu Abi Dzuaib !”.
Berkata yang menceritakan: “Lalu Khalifah bertanya kepada Ibnu Abi Dzuaib,
dimana beliau berkata: ‘Apakah katamu tentang mereka itu, wahai Ibnu Abi Dzuaib
?”. Ibnu Abi Dzuaib menjawab: “Aku naik saksi bahwa mereka itu orang-orang yang
menghancurkan kehormatan manusia, yang banyak menyakitkan manusia”. Berkata Abu
Ja’far: “Sudah kamu dengar ?”. Orang-orang Al-Ghaffariyun itu menjawab: “Wahai
Amirul-mu’minin ! tanyakanlah kepada Ibnu Abi Dzuaib dari hal Al-Hasan bin Zaid
!”. Lalu bertanya Khalifah: “Hai Ibnu Abi Dzuaib ! apa katamu tentang Al-Hasan
bin Zaid ?”. Ibnu Abi Dzuaib menjawab: “Aku naik saksi bahwa Al-Hasan bin Zaid
menghukum, dengan tidak benar dan ia menurut hawa nafsunya”. Abu Ja’far
berkata: “Hai Hasan ! engkau telah mendengar apa yang dikatakan Ibnu Aib Dzuaib
tentang dirimu. Beliau itu guru yang shalih”. Lalu menjawab AL-Hasan bin Zaid:
“Wahai Amiril-mu’minin ! tanyakanlah kepadanya tentang dirimu !”. Makka Abu
Ja’far bertanya: “Apa katamu tentang diriku ?”. Ibnu Abi Dzuaib menjawab:
“Maafkanlah aku, wahai Amiril-mu’minin !”. Berkata Abu Ja’far: “Aku bertanya
pada engkau dengan nama Allah, melainkan aku harap engkau menerangkan
kepadaku”. Ibnu Abi Dzuaib menjawab: “Engkau tanya aku dengan nama Allah,
seolah-olah engkau tiada mengenal diri engkau sendiri”. Abu Ja’far berkata:
“Demi Allah ! terangkanlah kepadaku !”. Ibnu Abi Zaid menjawab: “Aku naik
saksi, bahwa engkau mengambil harta ini daripada yang bukan haknya. Lalu engkau
serahkan kepada orang yang bukan pemiliknya. Aku naik saksi, bahwa kedzaliman
itu tampak di pintu engkau”. Berkata yang menceritakan: “Maka bangunlah Abu
Ja’far dari tempat duduknya. Lalu meletakkan tangannya pada kuduk Ibnu Abi
Dzuaib dan menggenggamkannya. Kemudian, ia berkata kepada Ibnu Dzuaib: ‘Demi
Allah, jikalau tidaklah aku duduk di sini, niscaya akan aku ambil orang Persia,
orang Rum, orang Dailam dan orang Turki di tempat ini, dari engkau”. Berkata
yang menceritakan: “Maka menjawab Ibnu Abi Dzuaib: ‘Wahai Amiril-mu’minin !
sesungguhnya, telah memerintah Abu Bakar dan Umar. Keduanya mengambil kebenaran
dan membagi dengan persamaan. Keduanya memegang kuduk orang-orang Persia dan
Rum. Dan mengecilkan hidung mereka (menghinakan mereka)”. Berkata yang
menceritakan: “Lalu Abu Ja’far melepaskan kuduk Ibnu Abi Dzuaib dan membiarkan
beliau pergi, sambil berkata: ‘Demi Allah, jikalau tidaklah aku mengetahui
bahwa engkau orang benar, niscaya engkau aku bunuh”. Ibnu Abi Dzuaib menjawab:
“Demi Allah, wahai amiril-mu’minin ! sesungguhnya aku menasehati engkau dari
hal putera engkau Al-mahdi”. Berkata yang menceritakan: “Maka sampailah berita
kepada kami, bahwa Ibnu Abi Dzuaib tatkala pergi dari majelis Abi Ja’far
Al-Manshur, lalu Sufyan Ats-Tsuri menjumpainya, seraya berkata: ‘Hai
Abul-Harits ! sesungguhnya menggembirakan aku, apa yang engkau ucapkan kepada
orang yang perkasa itu. Akan tetapi yang tidak baik bagiku, ialah perkataanmu
kepadanya: putera engkau Al-mahdi”. Ibnu Abi Dzuaib menjawab: “Diampunkan oleh
Allah kiranya engkau, wahai Abu Abdillah ! semua kita: mahdiyyun (berasal dari
ayunan). Semua kita berada dalam ayunan”. Dari Al-Auza’i Abdur-Rahman bin ‘Amr,
yang mengatakan: “Abu Ja’far Al-Manshur Amiril-mu’minin mengirim utusan
kepadaku, meminta aku datang. Dan aku waktu ini di tepi pantai Bairut (negeri
Syam). Lalu aku datang kepadanya”. Tatkala aku sampai kepadanya dan memberi
salam dengan penghormatan kepadanya sebagai khalifah, lalu beliau menjawab
salamku dan mempersilakan aku duduk. Kemudian, beliau bertanya kepadaku:
“Apakah yang melambatkan engkau datang kepada kami, hai Auza’i ?”. Berkata
Al-Auza’i: “Aku menjawab: ‘Apakah yang engkau maksudkan, wahai Amirul-mu’minin
?”. Abu Ja’far Al-Manshur menjawab: “Aku mau mengambil dan memetik pengetahuan
daripadamu”. Al-Auza’i meneruskan ceritanya: “Lalu aku menjawab: ‘Maka
perhatikanlah, wahai Amiril-mu’minin, agar engkau tidak bodoh akan sesuatu,
yang akan aku katakan kepadamu”. Abu Ja’far Al-Manshur menjawab: “Bagaimanakah
aku bodoh daripadanya, sedang aku bertanya kepada engkau tentang hal itu ? dan
mengenai hal itu aku hadapkan diriku kepadamu dan aku datangkan kamu
karenanya”. Al-Auza’i meneruskan ceritanya: “Aku berkata: ‘Aku takut, bahwa
engkau mendengarnya. Kemudian tidak mengerjakannya”. Al-Auza’i berkata: “Lalu
berteriak kepadaku Ar-Rabi’ (penjaga pintu Abu Ja’far Al-Manshur). Dan
mengulurkan tangannya ke pedang. Lalu ia dibentak oleh Al-Manshur dan berkata:
‘Ini majelis mencari pahala, bukan majelis menjatuhkan siksaan’. Maka baiklah
hatiku kembali dan aku melebar panjangkan berkata-kata. Lalu aku berkata: Wahai
amirul-mu’minin ! Makhul menceritakan hadits dari ‘Athiyah bin Bisyr, dimana
‘Athiyah berkata: Rasulullah saw bersabda: “Manapun hamba yang datang
kepadanya, pengajaran dari Allah tentang agamanya, sesungguhnya itu ni’mat dari
Allah yang dibawa kepadanya. Kalau diterimanya dengan kesyukuran. Kalau tidak,
maka menjadi hujjah (alasan) dari Allah atasnya, untuk menambahkan dosanya. Dan
Allah menambahkan kemarahan kepadanya”. Wahai Amirul-mu’minin ! Makhul
menerangkan hadits kepadaku, dari ‘Athiyah bin Yasir, dimana ‘Athiyah berkata:
“Rasulullah saw bersabda: “Manapun wali (penguasa) mati, dimana ia menipu
rakyatnya, niscaya diharamkan oleh Allah sorga kepadanya”. Wahai
Amirul-mu’minin ! barangsiapa benci kepada kebenaran, sesungguhnya ia benci
kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu benar, lagi cukup memberikan keterangan.
Bahwa orang yang melemah-lembutkan hati umatmu bagi kamu, ketika kamu mengurus
urusan mereka itu, karena kekerabatanmu dari Rasulullah saw. Dan sesungguhnya
Rasulullah saw itu amat penyantun dan kasih-sayang kepada umat. Menolong mereka
dengan dirinya sendiri, pada tangannya sendiri. Ia terpuji pada Allah dan pada
manusia. Maka sudah sebenarnya engkau bangun, menegakkan kebenaran karenanya,
pada umat. Dan engkau berdiri dengan keadilan pada mereka. Engkau menutup aurat
mereka. Tidak engkau kuncikan pintu terhadap mereka. Tidak engkau dirikan
dinding (hijab) kepada mereka. Engkau bergembira-ria dengan keni’matan pada
mereka. Dan engkau berduka-cita dengan keburukan yang menimpa mereka. Wahai
Amirul-mu’minin ! sesungguhnya engkau dalam kesibukan yang menghabiskan waktu,
dari hal yang bersangkutan dengan dirimu sendiri, melupakan kepentingan manusia
ramai, dimana engkau telah memiliki mereka, baik mereka itu orang merah dan
orang hitam, baik yang muslim dan yang kafir, semuanya mempunyai bahagian dari
keadilan atas dirimu. Maka bagaimanakah kiranya engkau, apabila bangkit dari
mereka, beberapa golongan, di belakang beberapa golongan ? dan tiada seorangpun
dari mereka, melainkan mengadukan bencana yang engkau masukkan kepadanya. Atau
kedzaliman yang engkau siramkan ke atasnya. Wahai Amirul-mu’minin ! diceritakan
hadits kepadaku oleh Makhul dari ‘Urwah bin Ruwaim, dimana ‘Urwah bin Ruwaim
berkata: “Adalah di tangan Rasulullah saw pelepah kurman, dimana beliau bersugi
dan menakutkan orang-orang munafiq dengan pelepah kurma itu. Maka datanglah
kepadanya Jibril as, seraya bertanya kepadanya: ‘Hai Muhammad ! apakah pelepah
kurma ini, yang engkau hancurkan hati umatmu dengan dia dan engkau penuhkan
hati mereka dengan ketakutan ?”. Maka bagaimanakah kiranya dengan orang, yang
memecah-mecahkan kulit mereka, menumpahkan darah mereka, merobohkan rumah
mereka, membuang mereka dari negeri mereka dan menghilangkan mereka oleh
ketakutan daripadanya ?. Wahai Amirul-mu’minin ! diceritakan hadits kepadaku
oleh Makhul dari Zaid, dari Haritsah, dari Habib bin Maslamah: “Bahwa
Rasulullah saw meminta supaya diambil qishash (pembalasan) dari dirinya,
mengenai goresan pada kulit seorang badui, yang diperbuat olehnya dengan tiada
sengaja. Maka datanglah Jibril as kepada Nabi saw, seraya berkata: ‘Hai
Muhammad ! bahwasanya Allah tiada mengutuskan engkau perkasa dan sombong”. Lalu
Nabi saw memanggil orang badui itu, seraya bersabda: “Ambillah qishash
daripadaku !”. Orang badui itu menjawab: “Demi ibu-bapakku, telah aku halalkan bagimu.
Dan aku tiada akan memperbuatnya selama-lamanya. Kalau engkau telah berbuat
atas diriku, maka didoakanlah kiranya dengan kebajikan”. Wahai Amirul-mu’minin
! relakanlah dirimu untuk dirimu ! dan ambillah baginya keamanan dari Tuhanmu !
gemarlah pada sorga yang lebarnya langit dan bumi, yang dikatakan oleh
Rasulullah saw: “Sesungguhnya sekadar panah seorang kamu dari sorga itu, lebih
baik baginya dari dunia dan isinya”. Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya
kerajaan, jikalau kekal, bagi orang yang sebelum kamu, niscaya tidak akan
sampai kepadamu. Demikian juga, ia tiada kekal bagimu, sebagaimana tiada kekal
bagi selain kamu. Wahai Amirul-mu’minin ! tahukan engkau apa yang datang pada
penafsiranayat ini, dari nenek engkau: “Kitab engkau ini ! tidak ditinggalkannya
perkara yang kecil dan yang besar, melainkan dihitungnya semuanya”. S 18 Al
Kahfi ayat 49. Al-Auza’i mengatakan: yang kecil, ialah: tersenyum dan yang
besar, ialah: tertawa. Maka bagaimana pula dengan perbuatan yang dikerjakan
oleh tangan dan yang dipetik oleh lisan ?. Wahai Amirul-mu’minin ! sampai
kepadaku berita, bahwa Umar bin Al-Kaththab ra berkata: “Jikalau mati anak
domba di tepi sungai Al-Furat (Irak) karena hilang, niscaya aku takut akan
ditanyakan aku daripadanya”. Maka bagaimana pula dengan orang yang tiada
memperoleh keadilan engkau, sedang dia di atas tikar permadani engkau ?. Wahai
Amirul-mu’minin ! tahukah engkau, apa yang datang pada penafsiranayat ini dari
nenek engkau: “Hai Daud ! sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah di muka
bumi. Sebab itu putuskanlah perkara diantara manusia dengan kebenaran dan
janganlah engkau turut kemauan (nafsu), nanti engkau akan disesatkannya dari
jalan Allah”. S 38 Shaad ayat 26. Allah Ta’ala berfirman dalam Az-Zabur: “Hai
Daud ! apabila duduk dua orang yang bermusuhan di hadapan engkau, lalu ada
bagimu pada salah seorang dari keduanya keinginan (hawa nafsu), maka janganlah
engkau bercita-cita pada diri engkau, bahwa ada kebenaran baginya. Lalu ia
menang atas temannya. Maka Aku akan hapuskan engkau dari daftar nabi-nabiKu.
Kemudian, engkau tidak menjadi khalifahKu dan tak ada kemuliaan. Hai Daud !
bahwasanya Aku jadikan rasul-rasulKu, kepada hamba-hambaKu, penggembala unta.
Karena mereka itu tahu dengan penggembalaan dan kasih-sayang mereka dengan kebijaksanaan.
Supaya mereka itu menempelkan yang pecah dan menunjukkan jalan kepada yang
kurus, kepada rumput dan air”. Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya engkau
telah dicoba dengan suatu urusan. Jikalau urusan itu dibawa kepada langit, bumi
dan bukit, niscaya semuanya enggan memikulnya. Dan merasa kasih-sayang
daripadanya (yaitu: urusan pemerintahan). Wahai Amirul-mu’minin ! diceritakan
hadits kepadaku oleh Yazid bin Jabir, dari Abdur-Rahman bin Umrah Al-Anshari,
bahwa Umar bin Al-Khaththab ra memperkerjakan seorang laki-laki dari golongan
anshar, pada urusan zakat. Lalu beliau melihat orang itu sesudah beberapa hari
menetap di situ. Maka beliau bertanya: “Apakah yang melarang engkau dari keluar
kepada pekerjaan engkau ? apakah engkau tidak tahu, bahwa engkau mendapat
pahala seperti pahala orang yang berjihad fi sabilillah ?”. Laki-laki itu
menjawab: “Tidak !”. Umar ra bertanya: “Bagaimana maka demikian ?”. Laki-laki
itu menjawab: “Sesungguhnya sampai kepadaku, bahwa Rasulullah saw bersabda:
‘Tiadalah seorang wali (penguasa) yang mengurus sesuatu dari urusan manusia,
melainkan ia dibawa pada hari qiamat, yang dirantaikan tangannya ke lehernya,
tak ada yang membukanya, selain oleh keadilannya. Ia diperhentikan di atas
titian api neraka, yang bergerak-gerak titian itu, dengan gerakan yang
menghilangkan semua anggota tubuhnya dari tempatnya. Kemudian ia dikembalikan.
Lalu ia dihitungkan amalannya (hisab). Kalau ia dahulu berbuat baik, niscaya ia
lepas dengan kebaikannya. Kalau ia dahulu berbuat jahat, niscaya pecahlah
titian itu. Lalu ia jatuh ke dalam neraka 70 kharif”. Lalu Umar ra bertanya
kepada laki-laki itu: “Dari siapakah engkau mendengar hadits ini ?”. Laki-laki
itu menjawab: “Dari Abi Dzar dan Salman”. Lalu Umar mengirim utusan kepada
keduanya, menanyakan hal itu. Keduanya menjawab: “Ya, kami mendengar hadits itu
dari Rasulullah saw”. Lalu Umar ra mengeluh: “Wahai nasibnya Umar ! siapakah
kiranya, yang akan mengurus urusan manusia itu dengan segala persoalannya ?”.
Abu Dzar ra menjawab: “Orang yang telah dipotong oleh Allah hidungnya dan
dipertemukanNya pipinya dengan bumi”. Al-Auza’i meneruskan ceritanya: “Lalu Abu
Ja’far Al-Manshur mengambil sapu tangan. Dan meletakkannya pada mukanya.
Kemudian menangis dan menangis dengan suara keras, sehingga akupun tertangis
olehnya. Kemudian aku berkata: ‘Wahai Amirul-mu’minin ! nenekmu Abbas telah
meminta pada Nabi saw untuk menjadi amir Makkah atau Thaif atau Yaman. Lalu
Nabi saw menjawab: ‘Hai Abbas ! hai paman Nabi ! satu nyawa yang engkau
hidupkan (lepaskan dari bahaya) adalah lebih baik dari satu pemerintahan yang
tidak engkau hinggakan”. Sebagai nasehat dari Nabi saw kepada pamannya dan
kasih-sayang kepadanya. Dan Nabi saw menerangkan kepadanya, bahwa tiada yang
mencukupkannya sesuatu selain dari Allah. Karena Allah mewahyukan kepada Nabi
saw: “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang amat terdekat”. S 26 Asy
Syu’araa’ ayat 214. Lalu Nabi saw bersabda: “Wahai Abbas, wahai Shafiah, kedua
saudara bapak Nabi ! wahai Fatimah puteri Muhammad ! bahwasanya aku tiada
mencukupkan sesuatu daripada kamu selain dari Allah. Bahwa bagiku amalanku dan
bagi kamu amalan kamu”. Umar bin Al-Khaththab ra berkata: “Tiada yang
menegakkan urusan manusia, selain oleh orang yang kokoh akalnya, yang kuat
ikatan pikirannya. Ia tiada melihat pada manusia itu, yang menjadi auratnya. Ia
tiada takut daripada manusia itu atas kebebasan. Dan ia tiada memperdulikan
cacian orang yang mencacikan, pada menegakkan agama Allah”. Umar ra berkata
pula: “Amir itu 4 macam: amir yang kuat dapat mencegah dirinya dan
pegawai-pegawainya. Maka amir ini adalah seperti mujahid (orang yang berjihad)
fi sabilillah. Tangan (kekuasaan) Allah terhampar atasnya dengan rahmat. Amir
yang lemah, dapat mencegah dirinya dan membiarkan pegawai-pegawainya berbuat
karena kelemahannyaa. Maka amir ini di tepi jurang kebinasaan. Kecuali
dicurahkan oleh Allah rahmat kepadanya. Amir yang dapat mencegah
pegawai-pegawainya dan membiarkan dirinya berbuat”. Maka amir itu adalah bahaya
yang menghancurkan, yang dikataakn oleh Nabi saw: “Penggembala yang terjahat,
ialah bahaya yang menghancurkan. Dia itu binasa seorang diri”. Dan: amir yang
membiarkan dirinya sendiri dan pegawai-pegawainya berbuat. Maka binasalah
semuanya. Telah sampai kepadaku, wahai Amirul-mu’minin, bahwa Jibril as datang
kepada Nabi saw seraya berkata: “Aku datang kepadamu, ketika Allah menyuruh
alat-alat penghembus api neraka. Maka alat-alat itu diletakkan atas api neraka,
bernyala sampai hari qiamat”. Maka Nabi saw bertanya kepada Jibril: “Wahai
Jibril ! terangkanlah kepadaku sifat api neraka !”. Jibril as menjawab:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menyuruh api neraka itu. Lalu bernyala 1000 tahun,
sehingga merah warnanya. Kemudian dinyalakan lagi 1000 tahun, sehingga kuning
warnanya. Kemudian dinyalakan lagi 1000 tahun, sehingga hitam warnanya. Maka
api neraka itu hitam gelap, tiada bercahaya potongan apinya dan tiada padam
bara apinya. Demi Allah yang mengutuskan engkau dengan kebenaran ! jikalau
sepotong kain dari kain-kain penduduk neraka, menampak bagi penduduk bumi, niscaya
mati mereka semua. Dan jikalau sebuah timba dari air minumannya, dituangkan
pada air bumi semua, niscaya matilah siapa yang merasakannya. Jikalau sehasta
dari rantai yang disebutkan oleh Allah, yang diletakkan ke atas bukit-bukit
bumi semua, niscaya hancur-leburlah dan tidak sanggup menanggungnya. Jikalau
seorang laki-laki dimasukkan ke dalam neraka, kemudian dikeluarkan, niscaya
matilah penduduk bumi, karena busuk baunya, keji bentuk dan tulangnya”. Maka
Nabi saw pun menangis dan Jibril as menangis pula karena Nabi saw menangis.
Lalu Jibril as bertanya: “Mengapakah engkau menangis, wahai Muhammad, padahal
Allah telah mengampunkan dosa engkau, yang terdahulu dan yang terkemudian ?”.
Nabi saw menjawab: “Apakah aku ini bukan hamba yang bersyukur kepada Allah ?
dan engkau menangis, wahai Jibril ? sedang engkau adalah roh yang dipercayai
(ar-ruhul-amin), kepercayaan Allah atas wahyuNya ?”. Jibril as menjawab: “Aku
takut, bahwa aku dicobai, dengan apa yang telah dicobai Harut dan Marut. Maka
itulah yang mencegahku dari peganganku atas kedudukanku pada Tuhanku. Maka aku
–sesungguhnya- aku telah merasa aman akan tipuannya”. Terus-meneruslah keduanya
menangis, sehingga keduanya terpanggil dari langit: “Hai Jibril ! Hai Muhammad
! bahwa Allah telah menganugerahkan keamanan kepada kedua engkau daripada
berbuat ma’siat kepadaNya. Sehingga menyebabkan azab kepada engkau. Kelebihan
Muhammad atas nabi-nabi lain adalah seperti kelebihan Jibril atas
malaikat-malaikat lain”. Telah sampai kepadaku wahai Amirul-mu’minin, bahwa
Umar bin Al-Khaththab ra berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! kalau Engkau tahu,
bahwa aku terpengaruh, apabila dua orang yang bermusuhan duduk di hadapanku,
kepada orang yang miring dari kebenaran, dari dekat atau jauh, maka janganlah
Engkau tangguhkan aku sekejap matapun !”. Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya
yang sangat berat, ialah tegak berdiri karena Allah dengan kebenaran. Yang
termulia kemuliaan pada sisi Allah, ialah: taqwa. Bahwa barangsiapa memcari
kemuliaan dengan mentaati Allah, niscaya ia diangkat dan dimuliakan oleh Allah.
Barangsiapa mencari kemuliaan dengan berbuat ma’siat kepada Allah, niscaya ia
dihinakan dan direndahkan oleh Allah. Inilah nasehatku kepadamu dan
kesejahteraan kepadamu ! Kemudian, aku bangun, lalu Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur
bertanya kepadaku: “Mau kemana ?”. Aku menjawab: “Kepada anak dan tanah air
dengan keizinan Amiurl-mu’minin, insya Allah”. Abu Ja’far Al-Manshur menjawab:
“Telaj aku izinkan engkau. Aku mengucapkan terima kasih atas nasehat engkau dan
telaah aku terima nasehat itu. Kiranya Allah menganugerahkan taufiq kepada
kebajikan dan memberi pertolongan di atas kebajikan. KepadaNya aku memohonkan
pertolongan. KepadaNya aku menyerahkan diri. Ia cukuplah bagiku dan sbeaik-baik
Pelindung. Janganlah engkau biarkan aku ini, tanpa perhatian engkau kepadaku
seperti ini ! sesungguhnya engkau diterima perkataan, tidak dicurigai pada
memberi nasehat”. Aku menjawab: “Akan aku kerjakan, insya Allah”. Muhammad bin
Mash’ab berkata: “Lalu Abu Ja’far Al-Manshur memerintahkan supaya diberikan
uang kepada Al-Auza’i untuk perbelanjaan pulang. Al-Auza’i tidak mau
menerimanya dan menjawab: ‘Aku tidak memerlukan kepada uang. Dan tidaklah aku
menjual nasehatku dengan harta-benda dunia”. Al-Manshur telah mengetahui aliran
Al-Auza’i. Maka ia tidak memperoleh jalan untuk mendesaknya. Dari
Ibnul-Muhajir, yang berkata: “Amirul-mu’minin Abu Ja’far Al-Manshur datang di
Makkah –dimuliakan oleh Allah kiranya Makkah –untuk menunaikan ibadah hajji. Ia
keluar dari: Darin-nadwah pada penghabisan malam ke-thawaf untuk mengerjakan
thawaf dan shalat. Dan tidak ada orang yang tahu. Ketika fajar telah
menyingsing, ia kembali ke Darin-nadwah dan datanglah para muadz-dzin, memberi
salam kepadanya. Lalu dikerjakan shalat dan ia bershalat bersama orang banyak selaku
imam shalat. Pada suatu malam ia keluar ketika waktu sahur (menjelang terbit
fajar). Maka waktu ia sedang mengerjakan thawaf, tiba-tiba ia mendengar seorang
laki-laki di Al-Multazam, mendoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku
mengadu kepadaMu akan lahirnya kedzaliman dan kerusakan di bumi dan apa yang
mendindingi antara kebenaran dan ahlinya oleh kedzaliman dan kerakusan”. Lalu
Al-Manshur mencepatkan jalannya, sehingga penuhlah pendengarannya oleh ucapan
doa laki-laki itu. Kemudian ia keluar, lalu duduk pada suatu sudut masjid dan
mengirimkan utusan kepada laki-laki itu. Utusan itu memanggil laki-laki
tersebut. Utusan itu datang menemui laki-laki tadi dan berkata kepadanya:
“Perkenankanlah panggilan Amirul-mu’minin !”. Lalu laki-laki itu mengerjakan
shalat 2 rakaat. Kemudian beristilam kepada ar-rukn. Dan menghadap Khalifah Abu
Ja’far Al-Manshur bersama utusan tadi dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu
Al-Manshur bertanya kepada laki-laki itu: “Apakah maksudnya yang aku dengar
dari engkau. Engkau katakan tentang lahirnya kedzaliman dan kerusakan di bumi
dan apa yang mendindingi antara kebenaran dan ahlinya oleh kerakusan dan
kedzaliman ? demi Allah ! sesungguhnya telah penuhlah pendengaranku oleh apa
yang menyakitkan aku dan mengacaukan pikiranku !”. Laki-laki itu menjawab:
“Wahai Amirul-mu’minin ! kalau engkau jamin keamanaan terhadap diriku, niscaya
aku terangkan kepadamu segala persoalan dari asal-usulnya. Jikalau tidak,
niscaya aku ringkaskan atas diriku saja. Aku mempunyai kesibukan yang menyibukkan
padanya”. Al-Manshur berkata kepada laki-laki itu: “Engkau aman terhadap diri
engkau !”. Maka laki-laki itu menjawab: “Yang telah masuk kepadanya kerakusan,
sehingga mendindingi antaranya dan kebenaran dan perbaikan apa yang telah lahir
dari kedzaliman dan kerusakan di bumi, ialah engkau sendiri !”. Lalu Abu Ja’far
Al-Manshur menjawab: “Celaka ! bagaimanakah masuknya kepadaku kerakusan ?
kuning dan putih dalam tanganku, manis daan masam dalam genggamanku ?”.
Laki-laki itu menjawab: “Adakah masuk kerakusan kepada seseorang, sebagaimana
masuknya kepada engkau, wahai Amirul-mu’minin ? bahwasanya Allah Ta’ala telah
menjadikan engkau untuk menjaga segala urusan dan harta kaum muslimin. Lalu
engkau lalaikan segala urusan mereka. Dan engkau pentingkan mengumpulkan harta
mereka. Engkau jadikan diantara engkau dan mereka, hijab (dinding) dari kapur
dinding, batu merah (gedung-gedung) dan pintu-pintu besi. Dan penjaga-penjaga
pintu yang bersenjata. Kemudian, engkau kurungkan diri engkau dalam
gedung-gedung itu. Dan engkau utuskan pegawai-pegawai engkau untuk mengumpulkan
harta dan pajak-pajak. Engkau ambil menteri-menteri dan pembantu-pembantu yang
dzalim. Kalau engkau lupa, mereka tidak memperingatkan engkau. Kalau engkau
teirngat, mereka tidak menolong engkau. Kekuatan mereka pada menganiaya manusia
dengan mengambil harta, binatang ternak dan alat senjata. Engkau perintahkan
supaya tidak masuk ke tempat engkau dari orang-orang, kecuali si Anu dan si
Anu, orang-orang yang telah engkau sebutkan namanya. Dan tidak engkau
perintahkan agar disampaikan hal orang yang teraniaya, orang yang menderita,
orang yang lapar, orang tidak berpakaian, orang lemah dan orang miskin. Tiada
seorangpun dari mereka ini, melainkan mempunyai hak pada harta tersebut.
Tatkala engkau dilhat oleh mereka yang telah engkau mintakan keikhlasannya
untuk diri engkau dan telah engkau pilih mereka atas rakyat engkau dan engkau
perintahkan supaya mereka tidak mendindingi engkau, engkau ambil pajak harta
dan tidak engkau bagi-bagikan, lalu mereka itu berkata: “Khalifah ini telah
berkhianat kepada Allah. Maka kita tiada mempunyai jalan, untuk tidak
berkhianat kepadanya. Dia telah mempergunakan tenaga kita dengan percuma”. Lalu
orang-orang itu bermusyawarah, untuk tidak menyampaikan kepada engkau, sedikitpun
berita tentang rakyat, kecuali apa yang dikehendaki oleh mereka. Dan supaya
tidak keluar seorangpun pegawai engkau, lalu menyalahi perintah mereka. Kecuali
terus mereka singkirkan. Sehingga jatuhlah derajatnya dan kecillah
tingkatannya. Tatkala telah tersiar yang demikian dari engkau dan dari mereka,
lalu mereka dihormati oleh orang banyak dan ditakutinya. Dan adalah orang
pertama yang berbuat demikian dengan mereka, ialah pegawai-pegawai engkau,
dengan menyerahkan hadiah dan harta. Supaya mereka itu bertambah kuat untuk
menganiaya rakyat engkau. Kemudian diperbuat yang demikian, oleh orang yang
mempunyai kemampuan dan kekayaan dari rakyat engkau. Supaya mereka itu
memperoleh kesempatan berbuat kedzaliman terhadap rakyat yang lebih rendah dari
mereka. Maka penuhlah bumi Allah dengan kerakusan karena kedurhakaan dan
kerusakan. Dan jadilah mereka ini, sekutu engkau pada kekuasaan engkau. Dan
engkau itu lalai. Kalau datang orang yang mendapat kedzaliman, lalu didindingi
antara orang itu dan antara masuk ke tempat engkau. Kalau orang itu, bermaksud
menyampaikan suaranya atau kisah hidupnya kepada engkau, ketika engkau muncul
di muka orang banyak, maka ia dapati engkau, telah melarang yang demikian. Dan
engkau tegakkan seorang laki-laki untuk orang banyak itu, yang memperhatikan
tentang kedzaliman mereka. Kalau orang itu datang, lalu menyampaikan kepada
pembantu-pembantu engkau, maka pembantu-pembantu itu meminta kepada orang yang
teraniaya itu, supaya tidak menyampaikan kedzaliman yang dideritainya. Kalau
orang yang mengadu itu mempunyai kehormatan diri dan berkenan untuk
menyampaikan kedzaliman yang dideritainya, niscaya tidak munkin apa yang
dikehendakinya itu. Karena takut kepada pembantu-pembantu tersebut. Maka
senantiasalah orang yang teraniaya itu bulak-balik kepadanya, mendekatinya,
mengadu dan meminta pertolongan. Sedang orang itu menolaknya dan memberi
bermacam alasan. Apabila orang yang teraniaya itu berjihad (berjuang mencari
keadilan), mengeluarkan isi hatinya dan engkau muncul (berada di situ), niscaya
ia berteriak meminta tolong di hadapan engkau. Lalu ia dipukul dengan pukulan
yang melukakan. Supaya menjadi peringatan bagi orang lain. Dan engkau melihat,
tidak membantah dan tidak merobahkannya. Maka tidaklah kekal Islam dan ahlinya
di atas cara ini !. Adalah Bani Ummayyah dan orang Arab, apabila sampai kepada
mereka orang yang teraniaya, niscaya disampaikan kedzaliman itu kepada mereka.
Lalu orang yang teraniaya itu diperlukan dengan keadilan. Ada orang yang datang
dari negeri yang terjauh, sehingga sampailah ia ke pintu sultan (penguasa)nya.
Orang itu berseru: “Wahai ahli Islam !”. Maka bersegeralah mereka itu
menemuinya, sambil bertanya: “Apakah yang menjadi maksud engkau ? apakah yang
menjadi maksud engkau ?”. mereka itu menyampaikan kedzaliman yang dideritai
orang itu kepada sultannya, lalu sultan memperlakukannya dengan keadilan.
Sesungguhnya aku, wahai Amirul-mu’minin merantau ke negeri Cina. Di negeri itu
ada seorang raja. Pada suatu kali aku datang ke negeri itu. Raja mereka itu
telah hilang pendengarannya. Maka raja itupun menangis. Lalu menteri-menterinya
bertanya: “Mengapakah tuanku menangis ? sesungguhnya telah bertangisanlah dua
mata tuanku !!”. Raja itu menjawab: “Sesungguhnyya tidaklah aku menangis di
atas musibah (bencana) yang telah menimpa diriku. Akan tetapi aku menangis,
karena orang yang teraniaya yang berteriak meminta tolong di pintu, lalu aku
tidak mendengar suaranya”. Kemudian raja itu menyambung: “Adapun, jikalau
kiranya pendengaranku telah hilang, tetapi penglihatanku tidak hilang”.
Berserulah pada orang banyak: “Ketahuilah, tidak dipakai pakaian merah selain
oleh orang yang teraniaya !”. Raja itu mengendarai gajah dan berjalan
berkeliling pagi dan petang. Adakah ia melihat orang yang teraniaya, maka
diperlakukannya dengan keadilan. Inilah, wahai Amirul-mu’minin orang musyrik,
yang mempersekutukan Allah, telah bersangatanlah kasih-sayangnya kepada
orang-orang musyrik dan kehalusannya di atas kelobaan dirinya pada kerajaannya.
Dan engkau orang mu’min, yang beriman dengan Allah dan putera paman Nabi Allah.
Tidak bersangatan kasih sayang engkau kepada kaum muslimin dan kehalusan engkau
di atas kelobaan diri engkau. Sesungguhnya engkau tidak mengumpulkan harta,
kecuali untuk salah satu dari 3:
Kalau engkau berkata: “Aku kumpulkan harta itu
untuk anakku”, maka sesungguhnya telah diperlihatkan oleh Allah kepada engkau,
sesuatu ibarat pada bayi kecil yang jatuh dari perut ibunya. Bayi kecil itu
tiada mempunyai harta di bumi. Dan tiada suatu hartapun, kecuali padanya tangan
yang loba, yang mengumpulkannya. Maka senantiasalah Allah Ta’ala kasih sayang
kepada bayi kecil itu. Sehingga besarlah kesukaan manusia kepadanya. Dan
tidaklah engkau yang memberikan, tetapi Allah yang memberikan kepada siapa yang
dikehendakiNya.
Kalau engkau berkata: “Aku kumpulkan harta itu
untuk meneguhkan kesultananku”, maka sesungguhnya telah diperlihatkan oleh
Allah suatu ibarat, tentang orang yang sebelum engkau. Tidaklah memperkayakan
mereka dengan emas dan perak yang dikumpulkannya. Dan tidaklah orang-orang,
senjata dan binatang ternak yang disediakannya. Dan tidaklah mendatangkan
kemelaratan kepada engkau dan anak bapak engkau, dari sedikitnya kesungguhan
dan kelemahan, dimana engkau berada padanya, ketika dikehendaki oleh Allah
kepada engkau akan apa yang dikehendakiNya.
Kalau engkau berkata: “Aku kumpulkan harta itu
untuk mencapai tujuan”. Yaitu tujuan yang lebih besar dari tujuan yang ada pada
engkau sekarang. Maka demi Allah ! tiadalah yang di atas daripada yang ada pada
engkau sekarang, selain derajat yang tidak akan diperoleh, kecuali dengan: amal
shalih. Wahai Amirul-mu’minin ! adakah engkau siksakan orang yang mendurhakai
engkau dari rakyat engkau, yang lebih berat dari bunuh ? Abu Ja’far Al-Manshur
menjawab: “Tidak !”. Laki-laki itu lalu bertanya: “Bagaimanakah engkau berbuat
dengan kerajaan yang diserahkan oleh Allah kepada engkau ? dan apa, yang engkau
padanya, dari kerajaan dunia ? dan Allah Ta’ala tiada menyiksakan orang yang
mendurhakaiNya dengan bunuh. Tetapi Ia menyiksakan orang yang mendurhakaiNya dengan
kekekalan dalam azab yang pedih. Ia yang melihat dari engkau, apa yang
diikatkan oleh hati engkau. Dan yang disembunyikan oleh anggota tubuh engkau.
Apakah yang akan engkau katakan, apabila dicabut oleh Raja Yang Maha Benar,
lagi Maha Menerangkan, akan kerajaan dunia dari tangan engkau dan
dipanggilkanNya engkau kepada hisab (perhitungan amal) ? Adakah sesuatu yang
memperkayakan engkau padaNya, dari apa yang ada pada engkau sekarang, dari
kerajaan dunia yang engkau lobakan itu ?. Maka menangislah Al-Manshur dengan
tangisan yang keras. Sehingga bersangatan tangisnya dan tinggi suaranya.
Kemudian Abu Ja’far Al-Manshur mengeluh: “Wahai kiranya, tidaklah aku ini
dijadikan dan tidaklah aku ini sesuatu”. Kemudian Abu Ja’far Al-Manshur
bertanya: “Apakah dayaku tentang apa yang diserahkan kepadaku dan aku tidak
melihat dari manusia itu, kecuali pengkhianat ?”. Laki-laki itu berkata: “Wahai
Amirul-mu’minin ! haruslah engkau dengan imam-imam yang berpengetahuan tinggi,
yang menjadi penunjuk umat !”. Abu Ja’far Al-Manshur bertanya: “Siapakah mereka
itu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Ulama !”. Abu JA’far Al-Manshur menjawab:
“Ulama itu telah lari daripadaku”. Laki-laki itu berkata: “Mereka lari dari
engkau, karena takut engkau bawakan mereka, kepada yang telah terang dari jalan
engkau, dari pihak pegawai-pegawai engkau. Akan tetapi bukakanlah pintu !
permudahkan dinding ! berikanlah pertolongan kepada orang yang teraniaya dari
orang yang menganiaya. Cegahkanlah segala maacam kedzaliman ! ambillah sesuatu
dari yang halal dan baik dan bagikanlah dengan benar dan adil ! aku jamin bahwa
orang yang lari dari engkau, akan datang kepada engkau. Lalu menolong engkau
kepada perbaikan pekerjaan engkau dan rakyat engkau”. Lalu Al-Manshur berdoa:
“Wahai Allah Tuhanku ! anugerahkanlah kepadaku taufiq untuk mengamalkan, apa
yang dikatakan oleh laki-laki ini !”. Kemudian datanglah para muadz-dzin dan
memberi salam kepadanya. Dan didirikan shalat. Lalu Al-Manshur keluar dan
bershalat dengan mereka. Kemudian, sesudah shalat, beliau berkata kepada
pengawal: “Haruslah engkau mencari laki-laki itu ! jikalau tiidak engkau bawa
ia kemari, niscaya aku pancung leher engkau”. Abu Ja’far Al-Manshur sangat
marah kepada laki-laki itu. Lalu pengawal itu keluar mencari laki-laki
tersebut. Kiranya ia sedang melakukan thawaf. Lalu pengawal itu mengerjakan
shalat dengan laki-laki tersebut, pada sebahagian pojok (dari bukit-bukit yang
mengelilingi Makkah). Kemudian duduk menunggu, sampai laki-laki itu siap
mengerjakan shalat. Kemudian ia berkata: “Wahai laki-laki ini ! tidakkah engkau
bertaqwa kepada Allah ?”. Laki-laki itu menjawab: “Ya !”. Pengawal itu bertanya
lagi: “Adakah engkau mengenai Allah (berma’rifah kepada Allah) ?”. Laki-laki
itu menjawab: “Ya !”. Pengawal itu menyambung: “Pergilah bersama aku kepada
Amir !. Dia telah bersumpah akan membunuh aku, jikalau aku tidak membawa kamu
kepadanya”. Laki-laki itu menjawab: “Aku tiada mempunyai jalan kepada yang
demikian !”. Pengawal itu menjawab: “Dibunuhnya aku”. Laki-laki itu menjawab:
“Tidak !”. Pengawal itu bertanya: “Bagaimana jalannya ?”. Laki-laki itu
bertanya: “Pandaikah engkau membaca ?”. Pengawal itu menjawab: “Tidak !”. Lalu
laki-laki itu mengeluarkan dari bungkusannya yang ada padanya, sehelai kertas
yang tertulis padanya sesuatu, seraya berkata: “Ambillah ! masukkanlah ke dalam
saku bajumu ! sesungguhnya pada kertas ini: doa terlepas dari kesempitan (doa
kelapangan jalan)". Peng”wal itu bertanya: "Apakah doa kelapanangan
jalan itu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Tiada diberi rezeki dengan doa ini, kecuali
orang-orang syahid”. Aku berkata-ujar pengawal itu: “Diberi rahmat oleh Allah
kiranya kepada engkau ! sesungguhnya engkau telah berbuat baik (berbuat ihsan)
kepadaku. Jikalau engkau melihat ada baiknya untuk menerangkan kepadaku, apakah
doa ini dan apakah kelebihannya !”. Laki-laki itu menjawab: “Barangsiapa berdoa
dengan doa ini, petang dan pagi, niscaya dihancurkan dosa-dosanya. Dikekalkan
kegembiraannya. Dihapuskan segala kesalahannya. Diterima doanya. Dilapangkan
rezekinya. Diberikan cita-citanya. Diberi pertolongan atas musuhnya. Ia
dituliskan pada sisi Allah: orang yang shiddiq. Dan ia tidak mati, melainkan
menjadi orang syahid”. Bacalah doa itu, yaitu: “Wahai Allah Tuhanku !
sebagaimana Engkau kasih-sayang pada keagungan Engkau tanpa orang-orang yang
kasih-sayang. Engkau tinggi dengan keagungan Engkau di atas orang-orang yang
agung. Engkau mengetahui apa yang di bawah bumi Engkau, sebagaimana pengetahuan
Engkau dengan apa yang di atas ‘Arasy Engkau, adalah was-was di dalam dada,
seperti yang terang nyata pada sisi Engkau. Perkataan yang terang adalah
seperti rahasia pada ilmu Engkau. Dan tiap-tiap sesuatu itu mematuhi bagi
keagungan Engkau. Dan tiap-tiap yang mempunyai kekuasaan, tunduk kepada
kekuasaan Engkau. Urusan dunia dan akhirat semuanya jadi di tangan (dalam
kekuasaan) Engkau. Jadikanlah bagiku dari tiap-tiap kesusahan dimana aku berada
padanya, menjadi kelapangan dan jalan keluar ! wahai Allah, Tuhanku !
sesungguhnya kemaafan Engkau dari dosa-dosaku, kelepasan yang Engkau berikan
dari kesalahanku dan tutup yang Engkau anugerahkan atas kekejian perbuatanku,
mendorongku untuk bermohon kepada Engkau akan sesuatu yang tiada seharusnya aku
menerimanya, dari apa yang aku teledor padanya. Aku bermohon pada Engkau akan
keamanan. Aku meminta pada Engkau akan kejinakan hatiku. Sesungguhnya Engkau
berbuat kebaikan kepadaku dan aku berbuat kejahatan kepada diriku, mengenai
sesuatu diantara aku dan Engkau. Engkau cinta-kasih kepadaku dengan
ni’mat-ni’mat Engkau. Dan aku berbuat kemarahan kepada Engkau dengan
perbuatan-perbuatan kema’siatan. Akan tetapi kepercayaan kepada Engkau, membawa
aku kepada keberanian kepada Engkau. Maka hitungkanlah dengan kurnia dan
kebaikan Engkau atasku ! sesungguhnya Engkau Penerima taubat dan Maha
Penyayang”. Pengawal itu berkata: “Maka aku ambil kertas itu. Aku masukkan ke
dalam saku bajuk. Kemudian, tak ada cita-citaku selain Amirul-mu’minin. Lalu
aku masuk ke tempatnya, seraya memberi salam kepadanya. Ia mengangkatkan
kepalanya. Lalu memandang kepadaku dan tersenyum. Kemudian berkata: ‘Celaka
engkau ! pandai engkau main sihir ?”. Aku menjawab: “Tidak, demi Allah wahai
Amirul-mu’minin !”. Kemudian aku ceritakan kepadanya urusanku dengan Syaikh
itu. Lalu Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berkata: “Berikanlah kertas yang
diberikannya kepada engkau itu !”. Kemudian Abu Ja’far Al-Manshur menangis dan
berkata: “Engkau lepas bebas”. Dan disuruhnya membatalkan hukuman itu. Dan
dianugerahinya kepadaku, 10 ribu dirham, kemudian berkata: “Kenalkah engkau
orang itu ?”. Aku menjawab: “Tidak !”. Abu JA’far Al-Manshur menjawab: “Itulah
Nabi Khidlir as”. Dari Abi ‘Imran Al-Jauni, yang menerangkan, bahwa: tatkala
Harunur-rasyid memegang jabatan kekhalifahan (al-khilafah), lalu ia dikunjungi
oleh para ulama. Para ulama itu mengucapkan selamat kepadanya, dengan
terserahnya urusan kekhalifahan kepadanya. Maka khalifah Harunur-rasyid membuka
pintu baital-mal. Dan menyerahkan pemberian-pemberian yang banyak kepada para
ulamaa itu. Dan adalah khalifah Harunur-rasyid sebelum menjadi khalifah, sering
duduk-duduk dengan ulama-ulama dan orang-orang zahid. Dan melahirkan banyak
ibadah dan penderitaan. Dan erat-persaudaraannya dengan Sufyan bin Sa’id bin
Al-Mundzir Ats-Tsauri pada masa dahulunya (sebelum menjadi khalifah). Maka ia
ditinggalkan oleh Sufyan dan tidak pernah lagi Sufyan berkunjung kepadanya.
Maka rindulah Harunur-rasyid kepada kunjungan Sufyan, untuk bersepi-sepi dan
bercakap-cakap dengan dia. Tetapi Sufyan tidak juga berkunjung kepada
Harunur-rasyid dan tidak bersedia pergi ke tempatnya. Dan tidak menyambut
jabatan yang telah berada dalam tangan Harunur-rasyid. Maka amat beratlah yang
demikian atas Harunur-rasyid. Lalu ia menulis sepucuk surat kepada Sufyan,
dimana ia mengatakan di dalamnya:
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.
Dari hamba Allah, Harunur-rasyid Amirul-mu’minin,
kepada saudaranya Sufyan bin Sa’id bin Al-Mundzir. Amma ba’du, adapun kemudian,
wahai saudaraku ! engkau telah mengetahui bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala telah
mempersaudarakan diantara orang-orang mu’min. Dan Ia jadikan yang demikian pada
jalanNya dan karenaNya. Dan ketahuilah, bahwa aku telah mempersaudarakan
engkau, persaudaraan yang tidak aku putuskan tali engkau dengannya. Dan tidak
aku potong kesayangan engkau daripadanya. Bahwasanya kecintaanku berkumpul bagi
engkau di atas kecintaan dan kehendak yang sebaik-baiknya. Jikalau tidaklah
kalung ini, yang dikalungi aku oleh Allah, niscaya aku datangi tempat engkau,
walaupun dengan merangkak. Karena kecintaan yang aku dapati dalam hatiku kepada
engkau. Ketahuilah wahai Abu Abdillah, bahwa tiada tinggal seorangpun dari
temanku dan teman engkau, melainkan telah berkunjung kepadaku. Dan telah
mengucapkan selamat kepadaku, disebabkan jabatan yang telah berada dalam
tanganku. Aku telah membuka baital-mal-baital-mal. Dan aku berikan
hadiah-hadiiah yang banyak kepada mereka, yang amat menggembirakan diriku dan
menyedapkan mataku. Dan sesungguhnya aku menunggu keterlambatanmu, lalu engkau
tidak juga datang kepadaku. Dan aku tuliskan surat ini kepadamu, karena sangat rindunya
hatiku kepadamu. Dan engkau, wahai Abu Abdillah, mengetahui apa yang tersebut
pada agama, tentang keutamaan orang mu’min, kunjungannya dan perhubungannya
satu sama lain (silaturrahim). Maka apabila telah datang kepadamu suratku ini
bersegeralah, bersegeralah !”. Tatkala surat itu telah siap ditulisnya, lalu ia
menoleh kepada orang yang di sisinya. Rupanya semua mereka mengenal Sufyan
Ats-Tsuri dan kekasarannya. Lalu khalifah Harunur-rasyid berkata: “Saya
memerlukan seorang dari penjaga-penjaga pintu”. Maka disuruh masuk seorang
laki-laki, yang namanya: ‘Ubbad Ath-Thaliqani. Lalu Harunur-rasyid berkata
kepadanya: “Hai ‘Ubbad ! ambillah suratku ini dan pergilah ke Kufah ! apabila
engkau telah masuk ke kota itu, tanyakanlah dari kabilah Bani Tsaur ! kemudian
tanyakanlah, mana Sufyan Ats-Tsuri ! apabila engkau telah menjumpainya, berilah
suratku ini kepadanya ! dan hapalkanlah dengan pendengaran dan hati engkau,
semua yang dikatakannya ! hitungkanlah pekerjaannya yang sehalus-halusnya dan
yang sebesar-besarnya, untuk kamu ceritakan nanti kepadaku !”. ‘Ubbad lalu
mengambil surat itu dan berjalan, sehingga sampailah ia ke Kufah. Lalu
ditanyakannya dari kabilah itu. Maka iapun ditunjukkan orang. Kemudian
ditanyakannya, mana Sufyan itu. Lalu dijawab orang kepadanya: itulah yang dalam
masjid. ‘Ubbad berkata: “Lalu aku datang di masjid. Tatkala Sufyan itu melihat
aku, terus ia bangun berdiri, seraya mengucapkan: ‘Aku berlindung dengan Allah
Yang Maha Pendengar dan Maha Penyayang, dari setan yang terkutuk. Aku berlindung
dengan Engkau, wahai Allah Tuhanku, daripada pengedor yang menggedor pintuku,
selain dengan kebajikan”. ‘Ubbad menerangkan seterusnya: “Maka berkesanlah pada
hatiku kata-kata itu. Lalu aku keluar. Tatkala ia melihat aku, duduk di pintu
masjid, lalu ia bangun mengerjakan shalat dan tidaklah waktu itu waktu shalat.
Maka aku tambatkan kudaku di pintu masjid. Dan aku masuk ke dalam masjid.
Tiba-tiba semua teman duduknya, duduk menekurkan kepalanya. Seolah-olah mereka
itu pencuri, yang telah datang sultan (penguasa) kepadanya. Lalu mereka itu
takut dari siksaannya. Maka aku memberi salam. Tiada seorangpun mengangkat
kepalanya kepadaku. Mereka itu menjawab salamku dengan ujunng anak jari. Maka
tinggallah aku tegak berdiri. Tiada seorangpun dari mereka yang mempersilakan
aku duduk. Dan sungguh telah meninggilah kegoncangan pada diriku oleh kehebatan
mereka. Aku lepaskan mataku memandang mereka, lalu aku berkata: “Bahwa yang
bershalat itu Sufyan”. Maka aku lemparkan surat itu kepadanya. Tatkala ia
melihat surat itu, maka bergoncanglah badannya dan menjauhkan diri dari surat
itu. Seakan-akan ular yang datang kepadanya pada tempat shalatnya (mihrabnya).
Lalu ia ruku’, sujud dan memberi salam. Ia memasukkan tangannya dalam lengan
bajunya. Dan membungkuskannya dengan ‘aba-ahnya (pakaian yang dipakai di atas
baju, yang terbuka bahagian depan). Dan diambilnya surat itu. Lalu
dibalik-balikkannya dengan tangannya. Kemudian dilemparkannya kepada orang yang
di belakangnya, seraya berkata: “Diambillah kiranya surat itu oleh sebahagian
kamu, yang akan membacanya. Sesungguhnya aku meminta ampun pada Allah, untuk
menyentuh sesuatu, yang telah disentuh oleh orang dzalim dengan tangannya”.
‘Ubbad berkata: “Kertas itu lalu diambil oleh setengah mereka. Keadaannya,
seakan-akan orang yang takut dari mulut ular yang akan mematuknya. Kemudian
dibukanya dan dibacanya. Sufyan menghadapi surat itu dengan tersenyum, sebagai
senyuman orang yang penuh keheranan”. Tatkala yang membaca itu selesai dari
membacanya, lalu Sufyan berkata: “Balikkan kertas itu dan tuliskan kepada orang
dzalim itu pada belakang suratnya !”. Lalu ada orang yang berkata kepada
Sufyan: “Hai Abu Abdillah ! bahwa dia itu khalifah. Kalau engkau tuliskan
kepadanya pada kertas yang bersih, belum bertulis, bagaimana ?”. Sufyan
menjawab: “Tulislah kepada orang dzalim itu, pada belakang suratnya ! kalau
kertas itu diusahakannya dari yang halal, maka akan dibalaskan amalannya. Kalau
diusahakannya dari yang haram, maka akan dimasukkan dia ke dalam neraka. Dan
tidak tinggal suatupun yang disentuh oleh orang dzalim pada kita, lalu
merusakkan agama kita”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Apakah yang akan kami
tulis ?”. Sufyan menjawab: “Tulislah !”.
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.
Dari hamba Allah yang berdosa, Sufyan bin Sa’id bin
Al-Mundzir Ats-Tsuri, kepada hamba Allah yang tertimpa dengan angan-angan
Harunur-rasyid yang telah mencabutkan kemanisan iman. Amma ba’du, kemudian itu,
maka sesungguhnya aku telah menulis surat kepadamu, aku beritahukan kepadamu, bahwa
aku telah memutuskan tali perhubungan dengan engkau. Dan aku telah memotong
kecintaan engkau dan aku marah akan tempat kedudukan engkau (jabatan
kekhalifahan). Bahwa engkau telah jadikan aku saksi atas engkau, dengan
pengakuan engkau, atas diri engkau, pada surat engkau, dengan apa yang engkau
serang, atas baital-mal kaum muslimin. Engkau telah membelanjakannya pada bukan
haknya. Dan engkau menghabiskannya pada bukan hukumnya. Kemudian engkau tidak
senang dengan apa yang aku kerjakan dan engkau itu jauh daripadaku, sampai
engkau tuliskan surat kepadaku. Engkau jadikan aku saksi atas diri engkau.
Adapun aku sesungguhnya telah naik saksi atas engkau dan teman-temanku yang
menyaksikan pembacaan surat engkau. Dan akan kami tunaikan kesaksian itu atas
engkau besok dihadapan Allah Ta’ala. Hai Harun ! engkau telah menyerang
baital-mal kaum muslimin, tanpa kerelaan mereka. Adakah rela dengan perbuatan
engkau itu, orang-orang yang dijinakkan hatinya (orang-orang muallaf),
orang-orang amil zakat di bumi Allah Ta’ala, orang-orang yang berjihad fi
sabilillah dan ibnus-sabil ? adakah rela dengan yang demikian,
pendukung-pendukung Alquran, ahli-ahli ilmu, perempuan-perempuan janda dan
anak-anak yatim ? adakah rela dengan yang demikian, orang banyak dari rakyat
engkau ? maka ikatlah wahai Harun kain sarung engkau ! sediakanlah untuk
pertanyaan akan jawabannya dan untuk bahaya bajunya !. Ketahuilah, bahwa engkau
akan berdiri di hadapan Hakim Yang Maha Adil. sesungguhnya engkau telah
mendatangkan bahaya pada diri engkau. Karena engkau cabut kemanisan ilmu,
zuhud, kelezatan Alquran dan duduk-duduk dengan orang-orang pilihan. Engkau
rela untuk diri engkau bahwa engkau itu menjadi orang dzalim dan imam bagi
orang-orang dzalim. Wahai Harun ! engkau duduk di atas kursi kebesaran. Engkau
memakai kain sutera. Engkau pasang tabir pada pintu engkau. Dan engkau
menyerupakan dengan Tuhan Serwa sekalian alam dengan penjaga-penjaga. Kemudian,
engkau dudukkan tentara-tentara engkau yang dzalim pada pintu engkau dan tabir
engkau. Mereka berbuat kedzaliman kepada manusia. Dan mereka itu tidak insaf.
Mereka itu meminum khamar dan memukul orang yang meminum khamar. Mereka itu
berzina dan menghukum orang yang berzina. Mereka itu mencuri dan memotong
tangan orang yang mencuri. Apakah tidak hukuman-hukuman ini atas diri engkau
dan atas diri mereka, sebelum engkau menghukumkan orang lain ? maka
bagaimanakah engkau besok, hai Harun, apabila dipanggil oleh pemanggil dari
pihak Allah Ta’ala: “Kumpulkanlah mereka-mereka yang dzalim serta isteri-isterinya
! manakah orang-orang dzalim itu dan penolong-penolong orang-orang yang dzalim
?”. Lalu pemanggil itu mendatangkan engkau di hadapan Allah Ta’ala dan kedua
tangan engkau dirantaikan ke leher engkau. Tiada yang akan melepaskannya,
selain oleh keadilan engkau dan keinsafan engkau. Orang-orang dzalim itu di
sekeliling engkau. Dan engkau yang mendahului dari imam mereka ke api neraka.
Seakan-akan aku dengan engkau, wahai Harun, telah engkau ambil dengan
kesempitan pencekek leher dan engkau datangkan kesulitan-kesulitan. Engkau
melihat kebaikan engkau, dalam timbangan orang lain. Dan kejahatan orang lain
dalam timbangan engkau, sebagai tambahan dari kejahatan engkau, bahaya di atas
bahaya, kegelapan di atas kegelapan. Maka jagalah dengan wasiatku dan ambillah
pengajaran dengan pengajaranku yang aku berikan kepadamu !. Ketahuilah, bahwa
aku telah menasehatimu. Dan tidak aku tinggalkan suatu tujuanpun pada
menasehati engkau ! takutlah akan Allah, hai Harun tentang rakyat engkau !
peliharalah Muhammad saw tentang umatnya ! dan baguskanlah kekhalifahan di atas
mereka !. Ketahuilah, bahwa pekerjaan ini jikalau tetap untuk orang lain,
niscaya tidak akan sampai kepada engkau. Dan jadilah kepada orang lain.
Demikian juga dunia, berpindah dengan penduduknya, seorang demi seorang.
Diantara mereka ada yang mencari perbekalan, dengan perbekalan yang bermanfaat
baginya. Diantara mereka, ada yang merugi dunianya dan akhiratnya. Dan aku
memperkirakan engkau, wahai Harun, termasuk orang yang merugi dunianya dan
akhiratnya. Maka jagalah diri engkau, jagalah diri engkau, bahwa engkau menulis
surat kepadaku sesudah ini ! maka tiada akan aku jawab kepada engkau nanti.
Wassalam.
‘Ubbad berkata: “Lalu Sufyan mencampakkan surat itu
kepadaku dengan terbuka. Tiada terlipat dan tiada disetempel. Maka aku ambil
surat itu dan aku pergi ke pasar Kufah. Dan pengajaran itu telah jatuh berkesan
dalam hatiku. Lalu aku berseru: “Wahai penduduk Kufah !”. Mereka itu
memperkenankan seruanku. Lalu aku berkata kepada mereka: “Wahai kaumku !
siapakah mau membeli orang yang lari dari Allah kepada Allah ?”. Lalu mereka
hadapkan kepadaku dinar dan dirham. Lalu aku berkata: “Aku tiada memerlukan
kepada harta. Akan tetapi baju jubah bulu yang kasar dan aba-ah (baju luar
terbuka bagian depan) dari kapas”. ‘Ubbad meneruskan kisahnya: “Lalu diberikan
kepadaku yang demikian. Dan aku buka pakaian yang ada pada tubuhku, yang telah
aku pakai bersama Amirul-mu’minin. Dan aku menghadap mengendarai Al-Bardzun
(Kuda Rumawi) dengan senjata yang aku bawakan dahulu. Sehingga sampailah aku
pada pintu Amirul-mu’minin Harun, dengan kaki telanjang (kaki ayam), berjalan
kaki. Lalu aku diejekkan oleh orang-orang yang ada pada pintu Khalifah.
Kemudian diizinkan aku masuk. Maka tatkala aku masuk ke tempat Khalifah dan ia
melihat aku dalam keadaan yang demikian, lalu ia bangun dan duduk. Kemudian
bangun lagi, seraya memukul kepalanya dan mukanya. Dan berdoa dengan kebinasaan
dan kesedihan dan berkata: “Telah memperoleh manfaatlah utusan dan telah
kecewalah yang mengutus. Apalah bagiku dunia, apalah bagiku ! kerajaan akan
hilang daripadaku dengan segera”. Kemudian, aku serahkan surat itu kepadanya
dengan terbuka, sebagaimana diserahkan kepadaku. Lalu Harun menghadapinya
membaca dan air matanya jatuh berderai dari kedua matanya. Ia membaca dan
menarik nafas. Maka berkatalah setengah orang-orang yang duduk bersamanya:
“Wahai Amirul-mu’minin ! sungguh telah begitu berani Sufyan atas engkau ! kalau
engkau hadapkan kepadanya, maka engkau beratkan dia dengan besi dan engkau
sempitkan penjara kepadanya, niscaya engkau membuat dia menjadi ibarat
(pengajaran) kepada orang lain”. Harun menjawab: “Tinggalkanlah kami hai
budak-budak dunia, yang telah tertipu orang-orang yang telah kamu tipu ! dan
celaka orang-orang yang engkau binasakan ! sesungguhnya Sufyan satu-satunya
umat (tiada seorangpun yang menyerupai sifatnya). Biarkanlah Sufyan dengan
keadaannya yang demikian !”. Kemudian, senantiasalah surat Sufyan itu di sisi
Harun yang dibacanya pada ktika tiap-tiap shalat. Sehingga ia wafat, dicurahkan
rahmat oleh Allah kiranya kepadanya. Maka Allah mencurahkan rahmat kepada hamba
yang memperhatikan kepada dirinya. Dan bertaqwa kepada Allah tentang apa yang
akan didatangkan kepadanya besok dari amal-perbuatannya. Karena amal-perbuatan
itu akan dihitung (dihisab) dan diberi balasan, Wallaahu waliyyut-taufiq !
Allah yang menganugerahkan taufiq !. Dari Abdullah bin Mahran yang
menceritakan, bahwa Harunur-rasyid pergi hajji. Maka sampailah ia di Kufah,
lalu tinggal di situ beberapa hari. Kemudian ia bersiap untuk berangkat. Lalu
keluarlah manusia banyak melepaskan keberangkatannya. Dan keluar pula Bahlul
Gila, bersama orang yang keluar, dengan membawa sampah. Anak-anak kecil
mengganggu dan suka kepadanya. Tatkala telah siap kendaraan Harun untuk
berangkat, lalu si Bahlul melarang anak-anak kecil itu mempermain-mainkannya.
Sewaktu telah datang Harun, maka si Bahlul berseru dengan sekuat-kuat suaranya:
“Wahai Amirul-mu’minin !”. Lalu Harun membuka kelambu dengan tangannya dari
mukanya, seraya berkata: “Labbaika ya Bahlul !”. Si Bahlul menyambung: “Wahai
Amirul-mu’minin ! disampaikan hadits kepada kami oleh Aiman bin NA-il, dari
Quddamah bin Abdullah Al-‘Amiri, dimana Quddamah berkata: ‘Aku melihat Nabi saw
meninggalkan ‘Arafah, dengan mengendarai untanya yang berwarna putih bercampur
merah. Tak ada pukulan, tak ada usiran dan tak ada: kepada engkau, kepada
engkau. Engkau merendahkan diri pada perjalanan engkau ini, wahai
Amirul-mu’minin, adalah lebih baik bagi engkau dari kesombongan dan keperkasaan
engkau”. Abdullah bin Mahran berkata: “Lalu Harun menangis, sehingga jatuhlah
air matanya ke bumi. Kemudian ia berkata: “Hai Bahlul ! tambahkan lagi kepada
kami ! kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada engkau !”. Bahlul menjawab:
“Boleh, wahai Amirul-mu’minin ! orang yang didatangkan oleh Allah harta dan
kecantikan, lalu membelanjakan dari hartanya dan menjaga diri dari perbuatan
jahat pada kecantikannya, niscaya ia tertulis dalam buku daftar Allah Ta’ala
yang bersih, bersama orang-orang baik”. Harunur-rasyid menjawab: “Baik sekali
engkau, hai Bahlul”. Dan beliau menyerahkan suatu pemberian kepada si Bahlul.
Bahlul berkata: “Kembalikan pemberian ini kepada orang yang engkau ambil
daripadanya ! aku tiada berhajat kepada pemberian”. Harunur-rasyid berkata:
“Hai Bahlul ! kalau ada hutangmu, maka kami bayar hutang itu”. Bahlul menjawab:
“Wahai Amirul-mu’minin ! mereka ahli ilmu di Kufah adalah berkecukupan. Telah
sepakat pendapat mereka, bahwa membayar hutang dengan hutang tidak boleh”.
Harunur-rasyid berkata: “Hai Bahlul ! kami alirkan kepada engkau apa yang
menjadikan makanan engkau atau yang menjadikan tempat tinggal engkau”. Abdullah
bin Mahran menceritakan seterusnya: “Lalu Bahlul mengangkatkan kepalanya ke
langit, kemudian berkata: ‘Wahai Amirul-mu’minin ! aku dan engkau dalam
tanggungan (‘iyal) Allah. Maka mustahil Ia ingat akan engkau dan lupa akan
aku”. Abdullah bin Mahran menceritakan: “Maka Harun menurunkan kelambu dan
pergi....”. Dari Abil-‘Abbas Al-Hasyimi, dari Shalih bin Al-Ma’mun, dimana
Shalih berkata: “Aku masuk ke tempat Al-Harits Al-Muhassibi ra, lalu aku
bertanya kepadanya: ‘Hai Abu Abdillah ! adakah engkau hitung amalan dirimu ?”.
Al-Harits menjawab: “Ada ini sekali”. Maka aku bertanya kepadanya: “Lalu hari
ini ?”. Al-Harits menjawab: “Aku sembunyikan keadaanku. Sesungguhnya aku
membaca suatu ayat dari Kitab Allah Ta’ala, maka aku kikir untuk didengarkan
oleh diriku. Jikalau tidaklah dikerasi oleh kegembiraan padanya, niscaya tidak
aku melahirkannya. Adalah aku pada suatu malam, duduk di mihrabku. Tiba-tiba datang
seorang pemuda, yang berparas cantik, harum baunya. Lalu memberi salam
kepadaku. Kemudian ia duduk dihadapanku. Maka aku bertanya kepadanya: “Siapa
engkau ?”. Pemuda itu menjawab: “Aku adalah seorang pengembara, bermaksud
menjumpai orang-orang yang beribadah pada mihrabnya. Aku tiada melihat engkau
mempunyai kerajinan. Maka apakah yang engkau kerjakan ?”. Al-Harits berkata:
“Aku menjawab kepada pemuda itu: ‘Menyembunyikan semua bahaya dan menarik
segala faedah”. AL-Harits berkata: “Pemuda itu lalu berteriak dan berkata: ‘Aku
tiada mengetahui, bahwa ada seseorang diantara tepi Masyrik dan tepi Maghrib,
ini sifatnya”. Al-Harits berkata: “Aku bermaksud menambahkan, lalu aku berkata
kepadanya: ‘Apakah tidak engkau ketahui bahwa ahli hati (orang yang berhati
suci dan berjiwa bersih) menyembunyikan hal-ihwal mereka ? menyembunyikan
rahasia-rahasia mereka ? dan meminta kepada Allah menyembunyikan yang demikian
kepada mereka ? maka dari manakah engkau mengenal mereka itu ?”. Al-Harits
berkata: “Pemuda itu berteriak, teriakan yang membawa ia jatuh pingsan. Ia
tinggal padaku 2 hari belum sadar. Kemudian ia sembuh dan telah berhadats pada
kainnya. Maka tahulah aku akan hilang akalnya. Lalu aku keluarkan baginya kain
baru. Dan aku berkata kepadanya: ‘Ini kain kafanku. Aku utamakan untuk engkau
memberikannya. Mandilah dan ulanglah shalatmu !”. Pemuda itu menjawab: “Berilah
air !”. Lalu ia mandi dan mengerjakan shalat. Kemudian ia berselirmut dengan
kain itu dan keluar. Lalu aku tanyakan: “Mau kemana ?”. Ia menjawab kepadaku:
“Bangunlah bersamaku !”. Maka terus-meneruslah ia berjalan kaki, sehingga ia
masuk ke tempat Khalifah Al-Ma’mun. Lalu ia memberi salam kepadanya dan
berkata: “Hai orang dzalim ! aku ini orang dzalim, jikalau tidak aku katakan
kepadamu: ‘Hai orang dzalim !’. Aku meminta ampun pada Allah dari keteledoranku
pada engkau. Tidakkah engkau takut akan Allah Ta’ala, tentang apa yang telah
dianugerahkanNya menjadi milik engkau ?”. Pemuda itu banyak berkata-kata.
Kemudian ia bermaksud hendak keluar dan aku duduk di pintu. Lalu Al-Ma’mun
menuju kepadanya dan bertanya: “Siapa engkau ?”. Pemuda itu menjawab: “Aku
seorang pengembara. Aku berpikir tentang apa yang dikerjakan oleh orang-orang
shiddiq sebelumku. Maka tiada aku dapati diriku mempunyai keberuntungan padanya.
Maka tergantunglah aku dengan pengajaran engkau. Mudah-mudahan aku menyusuli
mereka”. Al-Harits meneruskan ceritanya: “Lalu Al-Ma’mun memerintahkan memotong
leher pemuda itu. Kemudian dikeluarkan pemuda itu –dan aku duduk pada pintu
–dengan berbungkus dalam kain itu. Dan seorang penyeru menyerukan: ‘Siapa yang
menjadi wali pemuda itu ? maka hendaklah mengambilkannya !”. Al-Harits berkata:
“Aku bersembunyi daripadanya. Lalu pemuda itu diambuil oleh kaum-kaum perantau.
Mereka itu menguburkannya dan aku bersama mereka. Aku tidak memberitahukan
kepada mereka akan hal-ihwal itu”. Aku bertempat tinggal dalam masjid dekat
kuburan, sedih mengenangkan pemuda itu. Lalu kedua mataku memaksakan aku tidur.
Tiba-tiba terlihat, bahwa pemuda itu diantara bidadari-bidadari, dimana aku
belum pernah melihat yang lebih cantik dari mereka. Pemuda itu berkata: “Hai
Harits ! engkau –demi Allah –adalah diantara penyembunyi-penyembunyi, yang
menyembunyikan hal-ihwal mereka dan mentaati Tuhan mereka”. Lalu aku bertanya:
“Apakah yang diperkuat mereka ?”. Pemuda itu menjawab: “Pada hari qiamat mereka
akan bertemu dengan engkau”. Lalu aku melihat kepada suatu rombongan yang
berkendaraan. Maka aku bertanya: “Siapakah kamu ?”. Mereka itu menjawab:
“Orang-orrang yang menyembunyikan hal-ihwalnya. Pemuda itu telah menggerakkan
perkataan engkau baginya. Maka tidak adalah dalam hatinya sesuatu daripada apa
yang engkau sifatkan. Lalu ia keluar untuk amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Dan
Allah Ta’ala menempatkannya bersama kami dan marah karena hambaNya”. Dari Ahmat
bin Ibrahim Al-Muqri, yang menerangkan bahwa aadlah Abul-Husain An-Nuri seorang
laki-laki yang sedikit berkata-kata yang tiada perlu. Ia tiada bertanya dari
hal yang tiada penting. Ia tiada memeriksa dari hal yang tiada diperlukannya. Adalah
ia, apabila melihat perbuatan munkar, niscaya melarangnya. Walaupun membawa
kepada kebinasaan dirinya. Maka pada suatu hari, ia turun ke tempat perhentian
perahu di sungai Tigris yang terkenal dengan nama: Masyra’ah Al-Fahhamin. Ia
bersuci (mengambil wudlu) untuk shalat. Tiba-tiba ia melihat sebuah kapal
kecil, di dalamnya 30 kaleng, yang tertulis padanya dengan cat hitam kata-kata:
luth-fun. Abu-Husain An-Nuri lalu membaca tulisan itu dan menantangnya. Karena
ia tidak mengenal dalam perniagaan dan dalam berjual beli, suatu barang, yang
disebut dengan: luth-fun itu. Lalu ia bertanya kepada kelasi kapal itu: “Apakah
dalam kaleng-kaleng ini ?”. Kelasi itu menjawab: “Apa perlunya bagimu ?
pergilah pada urusanmu !”. Tatkala An-Nuri mendengar perkataan tersebut dari
kelasi itu, maka bertambahlah keinginannya hendak mengetahuinya. Lalu ia
berkata: “Saya suka engkau terangkan kepadaku, barang apakah dalam
kaleng-kaleng ini”. Kelasi itu menjawab: “Apa perlunya kepada engkau. Engkau
–demi Allah –seorang shufi yang suka kepada yang tiada penting. Ini adalah
khamar kepunyaan khalifah Al-Mu’tadlid, yang bermaksud menyempurnakan
majelisnya dengan barang ini”. Lalu An-Nuri bertanya untuk menegaskan: “Ini
khamar ?”. Kelasi itu menjawab: “Ya !”. Maka berkata An-Nuri: “Aku suka engkau
berikan kepadaku pengayuh itu “. Lalu marahlah kelasi itu kepadanya, seraya
berkata kepada budaknya: “Berilah pengayuh itu, sehingga aku akan melihat, apa
yang akan diperbuatnya”. Tatkala pengayuh itu sudah berada dalam tangannya,
lalu An-Nuri naik ke kapal kecil itu. Dan terus-menerus ia memecahkan kaleng
itu satu demi satu. Sehingga sampailah kepada akhirnya, kecuali tinggal
sekaleng. Kelasi itu meminta pertolongan, sehingga naiklah ke kapal kecil
tersebut pemilik jembatan. Yaitu ketika itu: Ibnu Bisyr Aflah. Lalu ia
menangkap An-Nuri dan dibawanya ke hadapan Al-Mu’tadlid. Dan Al-Mu’tadlid itu
adalah pedangnya sebelum berbicara. Dan orang tidak ragu lagi, bahwa
Al-Mu’tadlid akan membunuh An-Nuri. Abul-Husain An-Nuri meneruskan ceritanya:
“Lalu aku dimasukkan ke tempat Al-Mu’tadlid. Dan ia sedang duduk di atas kursi
besi dan di tangannya tongkat yang dibalik-balikkannya. Tatkala ia melihat aku,
lalu bertanya: ‘Siapakah engkau ?”. Aku menjawab: “Muhtasib”. Al-Mu’tadlid
bertanya lagi: “Siapa yang mengangkatkan engkau untuk melaksanakan al-hisbah
?”. Aku menjawab: “Yang memerintahkan engkau menjadi imam (khalifah), itulah
yang memerintahkan aku untuk al-hisbah, wahai Amirul-mu’minin”. An-Nuri
meneruskan ceritanya: “Al-Mu’tadlid menekurkan kepalanya ke bumi sesaat
lamanya. Kemudian ia mengangkatkan kepalanya kepadaku, seraya bertanya: ‘Apakah
yang membawa engkau kepada perbuatan yang engkau lakukan ?”. Lalu aku menjawab:
“Karena kasih-sayangku kepadamu. Karena aku telah bukakan tanganku, kepada menginyahkan
perbuatan makruh daripadamu. Lalu aku teledor daripadanya”. An-Nuri meneruskan
ceritanya: “Maka Al-Mu’tadlid menekurkan kepalanya berpikir tentang
perkataanku. Kemudian ia mengangkatkan kepalanya kepadaku, seraya berkata:
“Bagaimana maka engkau lepaskan satu kaleng ini dari jumlah kaleng-kaleng itu
?”. Aku menjawab: “Tentang terlepasnya satu kaleng itu ada sebab, yang akan aku
terangkan kepada Amirul-mu’minin, jikalau diizinkan”. Al-Mu’tadlid lalu
menjawab: “Mari, ceritakan kepadaku !”. Lalu aku berkata: “Wahai
Amirul-mu’minin ! sesungguhnya aku telah kuhadapkan kepada kaleng-kaleng itu,
dengan menuntut kebenaran Allah Yang Maha Suci bagiku dengan yang demikian. Dan
telah penuhlah hatiku oleh kesaksian keagungan bagi kebenaran dan ketakutan
tuntutan. Maka lenyaplah kehebatan makhluq daripadaku. Lalu aku datang kepada
kaleng-kaleng itu dengan keadaan ini. Sehingga sampailah aku kepada kaleng yang
satu ini. Lalu dariku merasa sombong, karena aku telah tampil kepada orang
seperti engkau. Lalu aku mencegah. Dan jikalau aku tampil kepada kaleng yang
satu itu, dengan keadaan yang pertama, walaupun dunia ini penuh dengan
kaleng-kaleng itu, niscaya akan aku pecahkan. Dan aku tiada mengambil pusing”.
Maka Al-Mu’tadlid berkata: “Pergilah ! kami lepaskan tangan engkau. Ubahlah apa
yang engkau sukai mengobahkannya dari perbuatan munkar !”. Abul-Husain
meneruskan ceritanya: “Lalu aku berkata: ‘Wahai Amirul-mu’minin ! marahlah
kepadaku akan perobahan. Karena aku sesungguhnya merobahkan dari Allah Ta’ala.
Dan aku sekarang merobahnya dari syaratku”. Lalu Al-Mu’tadlid bertanya: “Apa
hajatmu ?”. Aku menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! engkau perintahkan
pengeluaranku dengan selamat”. Lalu Al-Mu’tadlid memerintahkan yang demikian.
Dan keluarlah Abul-Husain An-Nuri ke Basrah. Maka adalah kebanyakan harinya ia
di situ. Karena takut ia ditanyakan oleh seseorang akan keperluan yang
ditanyakan oleh Al-Mu’tadlid. An-Nuri bertempat tinggal di Basrah sampai
Al-Mu’tadlid wafat. Kemudian ia kembali ke Baghdad. Inilah perjalanan hidup (sirah)
ulama-ulama dan adapt-kebiasaan mereka, tentang amar-ma’ruf dan nahi-munkar.
Dan sedikitnya mereka memperdulikan kekuasaan sultan-sultan. Akan tetapi mereka
bertawakkal di atas kurnia Allah Ta’ala, bahwa Ia menjaga mereka. Dan mereka
rela dengan hukum Allah Ta’ala, bahwa Allah Ta’ala menganugerahkan pahala
syahid kepada mereka. Tatkala mereka telah mengikhlaskan niat karena Allah,
niscaya membekaslah perkataan mereka pada hati yang kesat. Lalu dilunakkannya
dan dihilangkannya kekesatan itu. Adapun sekarang, maka sifat kerakusan telah
mengikat lidah ulama-ulama. Lalu mereka itu berdiam diri. Dan jikalau mereka
itu berkata-kata, niscaya tidak menolong perkataan mereka akan keadaan mereka.
Maka mereka tidak memperoleh kemenangan. Jikalau mereka itu benar dan bermaksud
kebenaran ilmu, niscaya mereka akan memperoleh kemenangan. Maka rusaknya
rakyat, disebabkan rusaknya raja-raja (penguasa-penguasa). Dan rusaknya
raja-raja, disebabkan rusaknya ulama-ulama. Dan rusaknya ulama-ulama,
disebabkan pengaruh kecintaan kepada harta dan kemegahan. Barangsiapa telah
dikuasai oleh kecintaan dunia, niscaya ia tidak sanggup melaksanakan al-hisbah
atas orang-orang rendah. Maka betapa lagi atas raja-raja dan orang-orang besar.
Kepada Allah kita meminta pertolongan di atas semua hal. Telah tammat “Kitab
Amar-Ma’ruf” dan “Nahi-Munkar” dengan pujian kepada Allah, pertolongan dan
kebagusan taufiqNya.