Rabu, 04 Januari 2017

19. KITAB AMAR MA’RUF DAN NAHI MUNKAR

KITAB AMAR MA’RUF DAN NAHI MUNKAR
Yaitu Kitab Ke-9 dari Rubu’ Adat Ke-2 dari Kitab Ihya’ Ulumiddin.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah, yang tidaklah dimulai kitab-kitab, kecuali dengan memujikanNya. Dan tidaklah dianugerahi nikmat-nikmat, kecuali dengan perantaraan kemurahan dan keluasan anugerahNya. Dan shalawat kepada penghulu nabi-nabi, yaitu Muhammad, rasulNya dan hambaNya. Dan kepada keluarganya yang baik dan sahabat-sahabatnya yang suci sesudahnya. Adapun kemudian, maka sesungguhnya amar-ma’ruf (menyuruh berbuat kebajikan) dan nahi munkar (melarang berbuat yang munkar), adalah garis lurus yang terbesar dalam agama. Yaitu hal yang penting, dimana Allah mengutuskan nabi-nabi semuanya untuk itu. Jikalau dilipatkan permadaninya dan disia-siakan ilmu dan amalannya, niscaya kosonglah syiar kenabian. Tersapulah keagamaan. Meratalah masa kekosongan. Berkembanglah kesesatan. Terkenallah kebodohan. Menjalarlah kerusakan. Meluaslah kekoyakan. Runtuhlah negeri-negeri. Dan binasalah hamba rakyat. Dan mereka itu tiada merasa kebinasaan, melainkan pada hari qiamat. Sesungguhnya yang kita takutkkan itu, akan ada. Maka sesungguhnya kita kepunyaan Allah dan kita kembali kepadaNya (Innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji‘uun). Karena telah terhapus dari garis lurus (amar-ma’ruf dan nahi-munkar) itu, amalan dan ilmunya. Dan terpupuslah secara keseluruhan, hakikat/makna dan gambarannya. Lalu berkuasalah pada hati, berminyak-minyakan air dengan makhluq. Dan terhapuslah dari hati muraqabah dengan khaliq (yang maha pencipta) (yang maha pencipta). Terlepaslah manusia kepada mengikuti hawa nafsu dan syahwat, sebagaimana terlepasnya hewan-hewan. Dan sedikitlah di atas permukaan bumi, orang mu’min yang benar, yang tidak terpengaruh karena Allah oleh cacian orang yang mencacikan. Maka orang yang berusaha memperoleh kembali kekosongan ini dan menyumbatkan kerusakan tersebut, adakalanya menanggung mengerjakannya. Atau mengikuti melaksanakannya. Memperbarui sunnah ini yang telah berhamburan. Bangun menegakkannya dan bersungguh-sungguh menghidupkannya. Maka orang itu adalah orang yang tertentu dari antara makhluq, dengan menghidupkan sunnah, yang telah dibawa oleh zaman kepada mematikannya. Bekerja berbuat taat, yang semakin kecil derajat mendekatkan diri kepada Allah, tanpa sampai ke derajatnya yang tertinggi. Marilah kami menguraikan pengetahuan amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu dalam 4 bab:
Bab pertama: tentang wajib amar-ma’ruf dan nahi-munkar dan keutamaannya.
Bab kedua: tentang rukun dan syaratnya.
Bab ketiga: tentang perlakuan dan penjelasan munkar-munkar yang berlaku dalam adat-kebiasaan.
Bab keempat: tentang menyuruh amir-amir dan sultan-sultan mengerjakan ma’ruf dan melarang mereka dari perbuatan munkar.

BAB PERTAMA: Tentang wajib amar-ma’ruf dan nahi-munkar dan keutamaannya. Dan celaan menyia-nyiakan dan meninggalkannya.
Dalil kepada yang demikian, sesudah Ijma’ (sepakat)  umat dan petunjuk akal yang sehat, ialah ayat Alquran, hadits Nabi da atsar (peninggalan sahabat-sahabat ra). Adapun ayat Alquran, yaitu firman Allah Ta’ala: “Hendaklah kamu tergolong umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat yang salah. Mereka itulah orang yang beruntung (menang)”. S 3 Ali ‘Imran ayat 104. Pada ayat tersebut keterangan pengwajiban. Karena firman Allah Ta’ala: “Hendaklah kamu (waltakun)”, itu amar (menyuruh atau perintah). Secara dzahiriah amar itu pengwajiban. Dan pada ayat tersebut keterangan, bahwa keberuntungan (kemenangan) tergantung dengan pengwajiban tadi. Karena Allah Ta’ala membatasi dan berfirman:  “Mereka itulah orang yang beruntung (menang)”. Pada ayat tersebut keterangan, bahwa amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu fardlu kifayah(jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu). Tidak fardlu ‘ain. Dan apabila telah bangun suatu golongan melaksanakan amar-ma’ruf dan nahi-munkar, niscaya gugurlah fardlu itu dari yang lain. Karena Allah Ta’ala tidak berfirman: “Hendaklah kamu, tiap-tiap kamu beramar-ma’ruf !”. Tetapi Ia berfirman: “Hendaklah kamu tergolong umat”. Jadi, manakala telah bangun seorang atau suatu jama’ah dengan tugas itu, niscaya gugurlah dosa dari orang-orang lain. Dan tertentulah keberuntungan (kemenangan) bagi orang-orang yang bangun melaksanakannya. Dan jikalau duduklah semua orang, tidak melaksanakan amar-ma’ruf dan nahi-munkar, niscaya meratalah dosa kepada keseluruhan –tidak mustahil- orang-orang yang sanggup beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar itu. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka tidak sama. Diantara orang-orang keturunan Kitab itu ada golongan yang lurus dan mereka membaca ayat-ayat (keterangan-keterangan) Allah di tengah malam dan mereka sujud (kepada Allah). Mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat yang salah dan menyegerakan mengerjakan perbuatan baik. Mereka itulah yang termasuk orang yang baik-baik”. S 3 Ali ‘Imran ayat 113-114. Allah Ta’ala tidak mengakui mereka termasuk orang yang baik-baik, dengan semata-mata beriman kepada Allah dan hari akhirat, sebelum ditambahkanNya kepada keimanan itu, amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan orang-orang yang beriman perempuan, mereka satu sama lain pimpim-memimpin. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik, melarang mengerjakan yang salah, mereka tetap mengerjakan shalat”. S 9 At Taubah ayat 71. Allah Ta’ala menyifatkan orang-orang mu’min, bahwa mereka itu menyuruh mengerjakan yang baik (amar-ma’ruf) dan melarang mengerjakan yang salah (nahi-munkar). Maka orang yang meninggalkan amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu keluar dari orang-orang mu’min yang disifatkan pada ayat tadi. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang tidak beriman dari Bani Israil kena kutukan lidah Daud dan Isa anak Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan melanggar aturan. Mereka satu sama lain tidak melarang dari perbuatan salah yang mereka kerjakan, sesungguhnya amat buruk yang mereka perbuat”. S 5 Al Maaidah ayat 78-79. Dan yang tersebut pada ayat tadi adalah sangat keras. Karena menerangkan sebabnya mereka berhak mendapat kutukan, ialah disebabkan mereka meninggalkan nahi-munkar. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Kamu adalah umat yang paling baik, yang dilahirkan untuk kepentingan manusia, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat yang salah”. S 3 Ali ‘Imran ayat 110. Ini menunjukkan kepada keutamaan amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Karena menerangkan bahwa mereka adalah umat yang paling baik, yang dilahirkan untuk kepentingan manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Dan setelah mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari membuat kesalahan dan kami siksa orang-orang yang aniaya itu dengan siksaan yang mengerikan, disebabkan mereka berlaku jahat”. S 7 Al A’raaf ayat 165. Keterangan diatas menerangkan bahwa mereka memperoleh faedah keselamatan (kelepasan) dengan melarang dari membuat kejahatan. Yang demikian itu menunjukkan juga kepada wajib. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang jika Kami diamkan (tempatkan) di muka bumi, mereka tetap mengerjakan shalat dan membayarkan zakat dan menyuruh mengerjakan perbuatan baik dan melarang perbuatan yang salah”. S 22 Al Hajj ayat 41. Ayat ini menyertakan amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu dengan shalat dan zakat pada menyifatkan orang-orang shalih dan orang-orang mu’min. Allah Ta’ala berfirman: “Hendaklah kamu tolong-menolong dalam mengerjakan pekerjaan baik dan memelihara diri (dari kejahatan) dan janganlah bantu-membantu dalam mengerjakan dosa dan pelanggaran hukum !”. S 5 Al Maaidah ayat 2. Dan itu adalah perintah yang tegas. Dan pengertian bantu-membantu ialah menggerakkan kepadanya. Memudahkan jalan kebajikan. Dan menyumbat jalan kejahatan dan permusuhan, menurut kemungkinan. Allah Ta’ala berfirman: “Mengapa mereka tidak dilarang oleh ahli-ahli ilmu Ketuhanan dan pendeta-pendeta dari mengucapkan perkataan dosa dan memakan yang haram ? sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan”. S 5 Al Maaidah ayat 63. Maka diterangkan bahwa mereka itu berdosa dengan meninggalkan nahi-munkar. Allah Ta’ala berfirman: “Mengapa tidak diperdapat dari angkatan (turunan) yang dahulu dari kamu, orang-orang yang mempunyai sisa-sisa (perasaan kesadaran), yang akan melarang manusia membuat rencana di muka bumi, selain sebagian kecil saja dari orang-orang yang telah Kami selamatkan ?”. S 11 Huud ayat 116. Maka diterangkan bahwa Allah Ta’ala membinasakan semua mereka, selain sedikit yang ada melarang manusia membuat bencana. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman ! hendaklah kamu menjadi orang-orang yang kuat menegakkan keadilan, menjadi saksi kebenaran karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapakmu dan kerabatmu”. S 4 An Nisaa’ ayat 135. Yang demikian adalah amar-ma’ruf bagi ibu bapak dan kerabat. Allah Ta’ala berfirman: “Tiadalah mendatangkan kebaikan banyaknya rapat-rapat rahasia mereka, tetapi yang mendatangkan kebaikan orang-orang yang menyuruh bersedekah, menyuruh berbuat baik atau menyuruh mendamaikan manusia. Barangsiapa yang mengerjakan itu, karena mengharapkan keredaan Allah, akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar”. S 4 An Nisaa’ ayat 114. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu berperang-perangan, hendaklah kamu damaikan antara keduanya !”. S 49 Al Hujuraat ayat 9. Mendamaikan ialah melarang dari memberontak dan mengembalikan kepada kepatuhan (ketaatan). Kalau tidak berbuat demikian maka Allah Ta’ala memerintahkan memeranginya, dengan firmanNya: “Maka perangilah yang melanggar perjanjian sampai surut, kembali kepada perintah Allah !”. S 49 Al Hujuraat ayat 9. Dan itu adalah larangan berbuat yang salah (munkar). Adapun hadits, diantaranya yang diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, bahwa beliau berkata pada suatu pidato yang dipidatokannya sesudah menjadi khalifah: “Hai manusia !”. Sesungguhnya kamu membaca ayat ini dan menterjemahkannya bersalahan dari ta’wilannya, yaitu ayat: “Hai orang-orang yang beriman ! jagalah dirimu ! tidaklah akan membahayakan kepadamu orang yang sesat itu, kalau kamu ada menurut jalan yang benar”. S 5 Al Maaidah ayat 105. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tiadalah dari suatu kaum yang berbuat perbuatan maksiat dan dalam kalangan mereka ada orang yang sanggup menantang mereka itu, lalu tiada berbuat, melainkan hampirlah mereka diratakan oleh Allah dengan azab daripadaNya”. Diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khasyani, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw tentang tafsir firman Allah Ta’ala: “Tidaklah akan membahayakan kepadamu orang yang sesat itu, kalau kamu ada menurut jalan yang benar”. S 5 Al Maaidah ayat 105 di atas, lalu Rasulullah saw menjawab: “Hai Abu Tsa’labah ! suruhlah berbuat perbuatan yang baik dan laranglah berbuat perbuatan yang jahat ! apabila engkau melihat kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang dipilih dan ketakjuban masing-masing orang dengan pendapatnya sendiri, maka haruslah engkau tinggal sendirian dan tinggalkanlah orang-orang awam ! sesungguhnya, di belakangmu itu banyak fitnah, seperti memutuskan malam yang amat gelap, bagi orang yang berpegang padanya seperti yang kamu padanya, memperoleh 50 pahala daripada kamu”. Lalu ada yang bertanya: “Bahkan, dari mereka itu, wahai Rasulullah ?”. Rasulullah saw menjawab: “Tidak ! tetapi daripada kamu. Karena kamu memperoleh pembantu-pembantu yang menyuruh mengerjakan kebaikan. Dan mereka itu tiada memperoleh pembantu-pembantu untuk yang demikian”. Ditanyakan Ibnu Mas’ud ra tentang penafsiran ayat tadi (ayat 105 S AL Maaidah), lalu beliau menjawab: “Bahwa ini bukanlah zamannya ayat itu. Bahwa ayat itu pada hari ini diterima. Tetapi hampirlah akan datang zamannya, dimana kamu menyuruh mengerjakan perbuatan yang baik. Lalu diperbuat kepadamu begini-begitu dari kejahatan. Dan kamu berkata menyuruh berbuat kebajikan, tetapi tidak terima daripada kamu itu. Maka ketika itu, haruslah kamu menjaga dirimu sendiri. Tiada akan mendatangkan kemelaratan kepadamu oleh orang yang sesat, apabila kamu telah memperoleh petunjuk”. Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kamu menyuruh mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kejahatan atau dikeraskan oleh Allah kepadamu akan orang-orang jahat kamu. Kemudian orang-orang baik kamu melakukan seruan (da’wah), tetapi seruan mereka itu tiada diterima”. Artinya: hilang kehebatan mereka pada pandangan orang-orang jahat. Mereka itu tiada takut kepada orang-orang baik itu. Nabi saw bersabda: “Hai manusia ! sesungguhnya Allah berfirman: “Hendaklah kamu menyuruh mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kejahatan, sebelum kamu melakukan da’wah, dimana nanti tiada akan diterima seruanmu. Nabj saw bersabda: “Tiadalah amal kebajikan pada sisi jihad fi sabilillah, selain seperi sekali ludah dalam lautan luas. Dan tiada semua amal kebajikan dan jihad fi sabilillah pada sisi amar-ma’ruf dan nahi-munkar, melainkan seperti sekali ludah dalam lautan luas”. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menanyakan hamba-hambaNya: “Apakah yang menghalangi engkau ketika engkau melihat perbuatan munkar untuk melarangnya ?”. Apabila Allah Ta’ala mengajarkan kepada hamba akan alasannya, lalu hamba itu berkata: “Wahai Tuhanku ! aku percaya akan Engkau dan aku memisahkan diri dari manusia”. Nabi saw bersabda: “Jagalah dirimu dari duduk di jalan !”. Para sahabat menjawab: “Tak dapat tidak kami harus duduk di jalan. Sesungguhnya jalan itu adalah tempat duduk-duduk kami, di mana disitu kami bercakap-cakap”. Rasulullah saw menjawab: “Apabila kamu enggan, kecuali demikian, maka berilah kepada jalan itu haknya !”. Mereka itu bertanya: “Apakah hak jalan itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Memicingkan mata, mencegah menyakitkan orang, menjawab salam, beramar-maa’ruf dan bernahi-munkar”. Nabi saw bersabda: “Perkataan anak Adam (manusia) semuanya ke atasnya (memberatkannya), tidak untuknya (menguntungkannya), kecuali amar-ma’ruf atau nahi-munkar atau dzikir kepada Allah Ta’ala”. Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala tiada menyiksa orang pilihan (orang khawwash) disebabkan dosa orang awam, kecuali kelihatan perbuatan munkar dihadapan mereka dan mereka sanggup melarangnya, lalu tidak diterangkannya”. Abu Amamah Al-Bahili meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bertanya: “Bagaimanakah sikapmu, apabila isterimu durhaka, pemuda-pemudamu fasiq dan kamu meninggalkan jihad ?”. Para sahabat itu menjawab: “Apakah yang demikian itu ada, wahai Rasulullah ?”. Rasulullah saw menjawab: “Ada ! demi Allah yang nyawaku di tanganNya ! yang lebih berat dari itu akan ada”. Lalu mereka bertanya: “Apakah yang lebih berat daripadanya, wahai Rasulullah ?”. Rasulullah saw menjawab: “Bagaimanakah kamu apabila tidak beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar ?”. mereka itu bertanya lagi: “Adakah yang demikian, wahai Rasulullah ?”. Rasulullah saw menjawab: “Ada ! demi Allah yang nyawaku di tanganNy. Yang lebih berat dari itu akan ada”. Mereka itu bertanya pula: “Apakah yang lebih ibarat dari itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Bagaimanakah kamu, apabila kamu melihat yang ma’ruf (baik) menjadi munkar (jahat)dan yang munkar menjadi ma’ruf ?”. Mereka itu bertanya pula: “Adakah yang demikian itu, wahai Rasulullah ?”. Rasulullah saw menjawab: “Ada ! demi Allah yang nyawaku di tanganNya. Yang lebih berat itu akan ada !”. Mereka itu bertanya: “Apakah yang lebih berat dari itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Bagaimanakah kamu, apabila kamu menyuruh mengerjakan munkar dan melarang mengerjakan ma’ruf ?”. Mereka itu bertanya: “Adakah yang demikian, wahai Rasulullah ?”. Nabi saw menjawab: “Ada ! demi Allah yang nyawaku di tanganNya. Yang lebih berat dari itu akan ada. Allah Ta’ala berfirman: ‘Dengan kebesaranKu Aku bersumpah. Sesungguhnya Aku taqdirkan bagi mereka fitnah, dimana orang yang penyantun menjadi heran padanya”. Dari ‘Akramah, dari Ibnu ‘Abbas ra, dimana Ibnu Abbas itu berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘Jangan kamu berdiri di sisi laki-laki yang membunuh orang teraniaya ! sesungguhnya kutukan itu akan turun ke atas orang yang hadir dan tidak menolak kedzaliman itu. Dan jangan engkau berdiri di sisi laki-laki yang memukul orang yang teraniaya ! karena kutukan itu akan turun ke atas orang yang hadir dan tidak menolak kedzaliman itu”. Ibnu Abbas ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Tiada seyogyalah bagi manusia yang menyaksikan suatu tempat, yang padanya ada kebenaran, melainkan mengatakan kebenaran itu. Karena sesungguhnya yang demikian tiada akan mendahulukan ajalnya dan tidak akan menghalangi rezeki yang teruntuk baginya”.  Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh masuk ke rumah orang-orang dzalim, orang-orang fasiq. Dan tidak boleh menghadiri tempat-tempat yang akan dipersaksikan perbuatan munkar padanya. Dan ia tidak sanggup merobahnya. Karena Nabi saw bersabda: “Kutukan itu akan turun kepada orang yang menghadirinya”. Dan tidak boleh menyaksikan perbuatan munkar, tanpa ada keperluan, dengan beralasan lemah dari mencegahnya. Karena inilah segolongan dari ulama terdahulu (ulama salaf) memilih ‘uzlah. Karena dilihat mereka perbuatan munkar di pasar-pasar, hari-hari Raya dan tempat-tempat perkumpulan. Dan mereka itu lemah daripada merobahnya. Dan ini menghendaki harusnya meninggalkan bergaul dengan orang banyak. Karena inilah Umar bin Abdul-aziz ra berkata: “Tiada mengembara para pengembara dan meninggalkan kampung dan anak-anak mereka, kecuali disebabkan seperti apa yang terjadi pada kita, ketika melihat kejahatan telah timbul dan kebajikan telah terbenam. Dan mereka melihat bahwa tidak diterima perkataan dari orang yang berkata benar. Dan melihat bermacam-macam fitnah dan tidak merasa aman dari terlibat mereka padanya. Dan azab (bencana) akan turun kepada kaum itu, lalu tidak akan selamat dari bencana itu”. Maka mereka melihat bahwa bercampur-baur dengan binatang buas dan memakan sayur-sayuran adalah lebih baik dari bercampur-baur dengan mereka itu di dalam kenikmatan”. Kemudian, Umar bin Abdul-aziz membaca ayat: “Sebab itu, segeralah pergi kepada Allah; sesungguhnya aku pemberi peringatan yang terang dari Allah kepada kamu !”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 50. Umar bin Abdul-aziz menyambung: “Lalu suatu kaum itu pergi. Jikalau tidaklah Allah Ta’ala –maha besar pujian kepadaNya- menjadikan rahasia pada kenabian, sesungguhnya kami akan mengatakan, bahwa tidaklah para nabi itu lebih utama daripada kaum itu, tentang apa yang sampai kepada kami, bahwa para malaikat as berjumpa dan berjabatan tangan dengan mereka. Awan dan binatang buas lalu pada salah seorang dari mereka. Maka orang itu memanggilnya. Maka awan dan binatang buas itu menyahut akan panggilannya. Dan orang itu bertanya kepadanya: “Di manakah engkau suruh ?”. Awan dan binatang buas itu menerangkan kepadanya, sedang orang itu bukan nabi. Abu Hurairah ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa hadir pada perbuatan maksiat, tetapi tiada menyukainya, maka seakan-akan ia tidak datang pada perbuatan maksiat itu. Dan barangsiapa tiada datang pada perbuatan maksiat, tetapi menyukainya, maka seakan-akan ia hadir pada perbuatan maksiat itu”.  Arti hadits tadi, ialah ia hadir karena ada keperluan. Atau kebetulan terjadinya perbuatan munkar itu di hadapannya. Adapun hadir dengan disengaja itu terlarang, berdalilkan hadits pertama di atas. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘Allah Azza Wa Jalla tiada mengutuskan seorang nabi, melainkan nabi itu mempunyai pembantu-pembantu (hawary). Maka Nabi itupun berdiri di tengah-tengah mereka –masya’-allah- berbuat pada mereka menurut Kitab Allah dan perintahNya. Sehingga apabila Allah mengambil (mewafatkan) nabiNya, niscaya para pembantu itu bangun bekerja menurut Kitab Allah dan perintahNya dan sunnah nabi mereka. Apabila mereka telah habis binasa, maka sesudah mereka, ada suatu kaum yang naik ke atas mimbar, mengatakan apa yang mereka pandang baik (berkata yang ma’ruf) dan berbuat apa yang mereka pandang buruk (berbuat yang munkar). Apabila kamu melihat yang demikian, maka berhaklah di atas tiap-tiap orang mu’min berjihad menantang mereka dengan tangannya. Jikalau tidak sanggup, maka dengan lidahnya. Dan jikalau tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan tidaklah lagi dibalik itu Islam”. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Adalah penduduk suatu kampung berbuat perbuatan maksiat. Dan ada pada mereka 4 orang yang menantang apa yang diperbuat mereka itu. Salah seorang dari yang 4 itu bangun dan berkata: “Bahwasanya kamu berbuat begini begitu dari perbuatan jahat”. Lalu orang tersebut melarang mereka dan menerangkan kejinya apa yang diperbuat mereka. Lalu mereka itu menolak dan tidak berhenti dari perbuatan mereka yang jahat itu. Maka orang itu memaki mereka lalu merekapun memaki orang itu. Orang itu memerangi mereka, lalu mereka mengalahkan orang itu. maka orang itupun mengasingkan diri (ber-‘uzlah). Kemudian berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! bahwasanya aku telah melarang mereka. Tetapi mereka tiada mematuhi akan aku. Aku memaki mereka, lalu mereka memaki aku. Aku memerangi mereka, lalu mereka mengalahkan aku”. Kemudian orang itupun pergi....... Kemudian bangun yang lain. Lalu melarang mereka. Tetapi mereka itu tiada mematuhinya. Maka ia memaki mereka itu, lalu mereka itu memakinya. Orang itupun lalu mengasingkan diri. Kemudian berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! bahwasanya aku telah melarang mereka itu. Tetapi mereka itu tiada mematuhi akan aku. Aku memaki mereka, lalu mereka memaki aku. Jikalau aku memerangi mereka, niscaya mereka mengalahkan aku”. Kemudian orang itupun pergi....... Kemudian bangun orang ketiga. Lalu melarang mereka itu. Tetapi mereka itu tiada mematuhinya. Maka orang itupun mengasingkan diri. Kemudian berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! bahwasanya aku telah melarang mereka, tetapi mereka tiada mematuhi akan aku. Jikalau aku memaki mereka, niscaya mereka memaki aku. Jikalau aku memerangi mereka, niscaya mereka mengalahkan aku”. Kemudian orang itupun pergi. Kemudian, bangun orang ke-4, lalu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! bahwasanya jikalau aku melarang mereka, niscaya mereka mendurhakai aku. Jikalau aku memaki mereka, niscaya mereka memaki aku. Jikalau aku memerangi mereka, niscaya mereka mengalahkan aku”. Kemudian, orang itupun pergi...... Berkata Ibnu Mas’ud ra: “Orang ke-4 itu adalah yang peling rendah derajatnya. Dan sedikitlah dalam kalangan kamu orang yang seperti itu”. Ibnu Abbas ra berkata: “Ada orang yang bertanya kepada Nabi saw: ‘Wahai Rasulullah ! adakah dibinasakan kampung dan pada kampung itu, ada orang-orang shalih ?”. Rasulullah saw menjawab: “Ada !”. Yang bertanya itu bertanya lagi: “Disebabkan apa, wahai Rasulullah ?”. Rasulullah saw menjawab: “Disebabkan mereka memandang mudah dan berdiam diri daripada melarang perbuatan yang mendurhakai Allah Ta’ala”. Jabir bin Abdullah berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘Allah Ta’ala mewahyukan kepada salah seorang malaikat: ‘Bahwa balikkanlah kota anu dan kota anu ke atas penduduknya !”. Lalu malaikat itu menjawab: “Wahai Tuhanku ! sesungguhnya dalam kalangan mereka itu ada hamba Engkau si polan, yang tidak mendurhakai akan Engkau sekejap matapun”. Allah Ta’ala berfirman: “Balikkanlah kota itu ke atas hamba itu dan ke atas mereka ! sesungguhnya mukanya tiada berobah sekali-kali sesaatpun”. ‘Aisyah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Disiksakan penduduk suatu kampung, dimana padanya 18 ribu orang, yang perbuat mereka itu perbuatan nabi-nabi”. Lalu para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah ! bagaimanakah maka demikian ?”. Rasulullah saw menjawab: “Tiadalah mereka itu marah karena Allah. Tiada menyuruh mengerjakan yang baik dan tiada melarang dari perbuatan jahat”. Dari ‘Urwah, dari bapaknya, yang mengatakan: “Nabi Musa as bertanya kepada Tuhan: ‘Wahai Tuhanku ! manakah hambaMu yang lebih Engkau cintai ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Yang bersegera kepada keinginanKu, sebagaimana bersegerannya elang kepada keinginanny. Yang memberatkan dirinya disebabkan hambaKu yang shalih-shalih, sebagaimana anak kecil memberatkan dirinya dengan tetek ibunya. Dan yang marah apabila dikerjakan orang perbuatan-perbuatan yang Aku haramkan, sebagaimana marahnya harimau kepada dirinya sendiri. Bahwa harimau itu apabila marah kepada dirinya sendiri, niscaya ia tiada peduli, sedikitkah manusia itu atau banyak”. Ini menunjukkan kepada keutamaan mawas diri serta sangatnya ketakutan. Abu Dzar AL-Ghaffari berkata: “Abu Bakar Shiddiq ra bertanya: ‘Wahai Rasulullah ! adakah jihad selain dari memerangi orang musyrikin (orang-orang yang mempersekutukan Allah) ?”. Rasulullah saw menjawab: “Ada ! wahai Abu Bakar ! bahwasanya Allah Ta’ala mempunyai pejuang-pejuang (mujahidin) di bumi, yang lebih utama dari orang-orang syahid (syuhada’). Mereka itu hidup, yang memperoleh rezeki, berjalan di atas bumi. Allah berbangga dengan mereka pada malaikat-malaikat langit. Dan dihias sorga bagi mereka, sebagaimana Ummu Salmah berhias untuk Rasulullah saw”. Abu Bakar lalu bertanya: “Wahai Rasulullah ! siapakah mereka itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Orang-orang yang beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar, berkasih-kasihan pada Allah dan marah pada jalan Allah”. Kemudian, Rasulullah saw menyambung: “Demi Allah yang nyawaku di tanganNya ! sesungguhnya seorang hamba dari mereka itu berada dalam kamar diatas segala kamar, diatas kamar orang-orang syahid. Masing-masiing kamar daripadanya mempunyai 300 ribu pintu. Diantaranya dari yaqut (permata merah) dan zamrud yang hijau. Di atas masing-masing pintu itu nur. Dan bahwa seorang laki-laki dari mereka itu dikawinkan dengan 300 ribu bidadari yang amat elok rupanya. Setiap kali orang itu berpaling kepada salah seorang dari bidadari-bidadari itu, lalu memandang kepadanya, maka bidadari itu berkata: ‘Adakah engkau teringat akan hari itu dan hari itu, di mana engkau beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar ?’. Setiap kali ia memandang kepada salah seorang dari bidadari-bidadari itu, lalu ia memperingatkan laki-laki tersebut akan tempat dimana ia melakukan amar-ma’ruf dan nahi-munkar”. Abu ‘Ubadaidah bin Al-Jarrah berkata: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah ! orang syahid manakah yang lebih mulia pada Allah Azza Wa Jalla ?”. Rasulullah saw menjawab: “Yaitu laki-laki yang bangun berdiri kepada raja (penguasa) yang dzalim. Lalu ia beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar. Maka raja itu membunuhnya. Jikalau tidak dibunuhnya, maka pena malaikat penulis amalan manusia (malaikat kiraminkatibin) tiada berlaku di atasnya lagi sesudah itu (amalannya tidak ditulis lagi). Walaupun ia hidup selama hidupnya”. Al-Hasan Al-Bashari  ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘Yang paling utama orang syahid dari umatku, ialah laki-laki yang berdiri kepada imam (kepala) yang dzalim. Lalu menyuruh mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kejahatan. Lalu imam itu membunuhnya di atas yang demikian. Maka orang syahid tersebut, tempatnya dalam sorga antara Hamzah dan Ja’far”. Umar bin Al-Khattab ra berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Seburuk-buruk kaum ialah kaum yang tidak menyuruh dengan keadilan. Dan seburuk-buruk kaum ialah kaum yang tidak menyuruh dengan kebaikan dan tidak melarang dari kejahatan”. Adapun atsar: maka Abud-Darda’ ra berkata: “Hendaklah kamu beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar. Atau akan dikuasakan oleh Allah ke atasmu seorang sultan (penguasa) yang dzalim, yang tidak dimuliakannya yang tua dari kamu dan tidak dikasihinya yang kecil dari kamu. Dan berdoa ke atas penguasa itu orang-orang pilihan dari kamu. Tetapi doa itu tiada diterima. Dan kamu meminta pertolongan, tetapi kamu tidak akan ditolong. Dan kamu meminta ampun, tetapi tidak akan diberi ampunan bagimu”. Hudzaifah ra ditanyakan tentang orang yang mati dari orang-orang hidup. Maka beliau menjawab: “Ialah orang yang tidak menantang perbuatan jahat dengan tangannya, dengan lisannya dan hatinya”. Malik bin Dinar berkata: “Adalah salah seorang dari pendeta Bani Israil mendatangkan laki-laki dan wanita ke tempatnya. Ia memberi pengajaran kepada mereka dan mengingatkan mereka akan hari-hari Allah Azza Wa Jalla”. Maka pada suatu hari, pendeta itu, melihat sebahagian anaknya mengedip-ngedipkan matanya kepada sebahagian wanita. Lalu pendeta itu menegur: “Pelan-pelan, wahai anakku, pelan-pelan !”. Dan pendeta itu jatuh dari tempat tidurnya. Lalu putus urat lehernya. Dan ia menjatuhkan perempuannya. Dan anak-anaknya dibunuh dalam ketentaraan. Maka Allaj Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi zaman pendeta itu, yang maksudnya: “Terangkanlah kepada pendeta Anu: bahwa Aku tidak akan mengeluarkan dari tulang sulbimu seorang yang benar untuk selama-lamanya. Apakah tidak dari kemarahanmu kepadaKu, bahwa engkau hanya mengatakan: ‘Pelan-pelan, wahai anakku, pelan-pelan !”. Hudzaifah berkata: “Akan datang kepada manusia suatu masa, di mana pada mereka itu, bangkai keledai lebih mereka cintai, dari orang mu’min yang menyuruh mereka mengerjakan yang baik dan melarang mereka berbuat yang jahat”. Allah ‘Azza Wa Jalla mewahyukan kepada nabi Yusya’ bin Nun as: “Bahwasanya Aku membinasakan dari kaummu 40 ribu orang dari orang-orang baik dan 60 ribu dari orang-orang jahat”. Maka Nabi Yusya’ berdoa: “Wahai Tuhanku ! mereka itu orang-orang jahat. Maka bagaimanakah orang-orang baik ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Bahwasanya mereka itu tiada marah karena kemarahanKu. Mereka wakil-mewakilkan dan minum-minum sesama mereka”. Bilal bin Sa’ad berkata: “Bahwasanya perbuatan ma’siat, apabila disembunyikan, niscaya tiada mendatangkan kemelaratan, kecuali kepada yang mengerjakannya. Maka apabila dilahirkan dan tidak dihilangkan, niscaya mendatangkan kemelaratan kepada umum”. Ka’bul-Ahbar bertanya kepada Abi Muslim Al-Khaulani: “Bagaimanakah kedudukan engkau pada kaum engkau?”. Abi Muslim menjawab: “Baik !”. Ka’bul-Ahbar menyambung: “Sesungguhnya Taurat mengatakan bukan demikian”. Abi Muslim bertanya: “Apakah kata Taurat ?”. Ka’bul-Ahbar menjawab: “Taurat mengatakan, bahwa orang, apabila beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar, niscaya buruklah kedudukannya pada kaumnya”. Lalu Abi Muslim berkata: “Benar Taurat dan bohong Abi Muslim”. Abdullah bin Umar ra mendatangi orang-orang yang bertanggung-jawab dalam pemerintahan. Kemudian tidak lagi mendatangi mereka itu. Lalu orang  berkata kepadanya: “Jikalau engkau datangi mereka, maka mudah-mudahan mereka memperoleh kesan dari perkataanmu pada diri mereka”. Abdullah bin Umar menjawab: “Aku takut, jikalau aku berkata-kata, akan mereka melihat, bahwa yang padaku bukan yang padaku. Dan jikalau aku berdiam diri, aku takut aku berdosa”. Ini menunjukkan bahwa orang yang lemah dari amar-ma’ruf, maka haruslah menjauhkan diri dari tempat itu. Dan menutupkan diri daripadanya. Sehingga ia tidak melalui tempat, yang ia dapat dilihat dari tempat itu. Ali bin Abi Thalib ra berkata: “Yang pertama-tama yang engkau menangi dari perjuangan (jihad) itu, ialah perjuangan dengan tanganmu. Kemudian perjuangan dengan lidahmu. Kemudian perjuangan dengan hatimu. Apabila hati tidak mengenal yang baik (ma’ruf) dan tidak menantang yang jahat (munkar), niscaya hati itu terbalik. Lalu yang diatas, menjadi di bawah”. Sahal bin Abdullah ra berkata: “Yang manapun hamba yang berbuat pada sesuatu dari agamanya, dengan apa yang disuruh atau dilarang oleh agamanya dan ia bergantung pada yang demikian ketika rusaknya dan buruknya keadaan serta kacau-balaunya zaman, maka hamba tersebut termasuk orang yang bangun karena Allah pada zamannya, dengan amar-ma’ruf dan nahi-munkar”. Artinya, apabila tidak sanggup beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar, selain di atas dirinya sendiri, lalu ia bangun dengan dirinya sendiri dan menantang hal-ihwal orang lain dengan hatinya, maka sesungguhnya orang itu telah mengerjakan apa yang menjadi tujuan pada haknya. Orang bertanya kepada Al-Fudlail: “Apa tidakkah engkau beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar ?”. Al-Fudlail menjawab: “Bahwa suatu kaum beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar, lalu menjadi kufur (tertutup hatinya). Dan yang demikian itu, karena mereka tidak sabar di atas bencana yang menimpa diri mereka”. Orang bertanya kepada Ats-Tsuri: “Apa tidakkah engkau beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar ?”. Ats-Tsuri menjawab: “Apabila laut itu bergoncang, maka siapakah yang sanggup menenangkannya ?”. Maka jelaslah dengan dalil-dalil ini, bahwa amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu wajib. Dan fardlunya itu tidak gugur serta ada kesanggupan, kecuali bangun orang yang bangun melaksanakannya. Maka marilah sekarang kami sebutkan syarat-syaratnya dan syarat-syarat wajibnya:
BAB KEDUA: Tentang rukun amar-ma’ruf dan syarat-syaratnya.
Ketahuilah, bahwa rukun (sendi) pada bagusnya pengaturan dan persiapan (hisbah) yaitu kata-kata yang melengkapi bagi amar-ma’ruf dan nahi-munkar, ialah 4: muhtasib (orang yang melaksanakan, amar-ma’ruf dan nahi-munkar), muhtasab ‘alaih (orang yang disuruh mengerjakan yang baik dan dilarang mengerjakan yang jahat), muhtasab fih (perbuatan yang disuruh atau dilarang) dan nafsul-ihtisab (perbuatan dari si muhtasib). Itulah 4 rukun. Dan masing-masing daripadanya mempunyai syarat-syarat.
RUKUN PERTAMA: Muhtasib (pengatur dan pelaksana).
Muhtasib itu mempunyai syarat-syarat. Yaitu: bahwa si muhtasib itu orang mukallaf muslim dan mempunyai kesanggupan. Maka tidak termasuk orang gila, anak-anak, orang kafir dan orang yang tidak mempunyai kesanggupan (orang lemah). Dan termasuk dalam kewajiban ini masing-masing rakyat. Walaupun mereka tidak memperoleh keizinan dari yang berwenang. Dan masuk pula orang fasiq, budak dan wanita. Maka marilah kami sebutkan segi persyaratan dari apa yang kami syaratkan dan segi pembuangan syarat dari apa yang kami buangkan syaratnya.
Syarat pertama: yaitu mukallaf. Maka tidak tersembunyi segi persyaratannya. Karena orang yang tidak mukallaf, tidaklah wajib atasnya sesuatu. Dan apa yang kami sebutkan, kami maksudkan syarat wajibnya. Adapun mungkinnya berbuat dan pembolehannya, maka tidak ada yang memanggilnya, selain akal. Sehingga anak kecil, yang hampir dewasa, yang telah dapat membedakan diantara yang buruk dan yang baik, walaupun ia belum mukallaf, maka baginya dapat menantang perbuatan-perbuatan munkar. Ia dapat menuangkan khamar dan menghancurkan alat permainan. Apabila ia berbuat demikian, niscaya ia memperoleh pahala. Dan tiadalah bagi seseorang melarangnya, dari segi dia itu belum mukallaf. Sesungguhnya perbuatan tersebut itu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala (qurbah). Dan dia termasuk diantara orang yang berhak padanya, seperti: shalat, menjadi imam dan qurbah-qurbah lainnya. Dan tidaklah hukum amar-ma’ruf dan nahi-munkar itu sama dengan hukum memegang pemerintahan. Sehingga perlu disyaratkan padanya mukallaf. Dan karena itulah, kami tetapkan wajibnya amar-ma’ruf dan nahi-munkar atas budak dan masing-masing rakyat. Benar, pada mencegah kemungkaran dengan perbuatan dan membatalkan perbuatan munkar itu semacam pemerintahan dan kekuasaan. Tetapi hal itu dapat diperoleh faedahnya dengan semata-mata iman, seperti membunuh orang musyrik, membatalkan sebab-sebab kemusyrikan dan mencabut senjata-senjatanya. Sesungguhnya anak kecil boleh memperbuat demikian, dimana tidak mendatangkan kemelaratan kepadanya. Mencegah dari perbuatan fasiq adalah seperti mencegah dari kufur.
Syarat kedua: yaitu iman. Maka tidak tersembunyi segi persyaratannya. Karena ini pertolongan bagi agama. Bagaimana ada dari ahli agama, orang yang memungkiri pokok agama dan menjadi musuh agama ?.
Syarat ketiga: yaitu adil. Sebahagian utama memandang adil itu syarat. Dan mengatakan, bahwa: orang fasiq tidak menjadi muhtasib. Mungkin mereka mengambil dalil dengan tantangan yang datang kepada orang yang menyuruh sesuatu, yang tidak dikerjakannya. Seumpama firman Allah Ta’ala: “Mengapa kamu suruh orang –lain- mengerjakan kebaikan dan kamu lupakan dirimu sendiri ?”. S 2 Al Baqarah ayat 44. Dan firman Allah Ta’ala: “Besarlah kutukan dari Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”. S 61 Ash Shaff ayat 3. Dan berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Aku melalui pada malam aku diisrakan kepada suatu kaum, dimana bibir mereka itu dipotong dengan alat-alat pemotong dari api. Maka aku bertanya: “Siapa kamu ?”. Kaum itu menjawab: “Adalah kami menyuruh berbuat kebaikan dan kami tidak mengerjakannya. Kami melarang berbuat kejahatan dan kami mengerjakannya”. Dan berdalil dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Isa as: “Ajarilah dirimu sendiri ! jikalau kamu telah memperoleh pengajaran, maka ajarilah manusiia ! jikalau tidak, maka malulah kepadaKu !”. Kadang-kadang mereka itu mengambil dalil dengan jalan qias (analogi), bahwa memberi petunjuk kepada orang lain, adalah cabang dari petunjuk diri sendiri. Dan begitupula meluruskan orang lain adalah cabang dari petunjuk diri sendiri. Dan begitupula meluruskan orang lain adalah cabang dari kelurusan diri sendiri. Dan memperbaiki orang lain adalah merupakan zakat dari nishab perbaikan diri sendiri. Orang yang dirinya sendiri tidak baik, bagaimanakah memperbaiki orang lain ? kapankah bayang-bayang itu lurus, sedang kayunya bengkok ? dan semua yang disebutkan mereka, adalah khayalan. Yang benar, orang fasiq berhak menjadi muhtasib. Dalilnya, ialah apa yang kami katakan: adakah disyaratkan pada ihtisab (persiapan dan pelaksanaan amar-ma’ruf dan nahi-munkar), pelaksananya itu terpelihara dari segala perbuatan ma’siat ? sesungguhnya syarat demikian, adalah merobekkan Ijma’ (sepakat)  (kesepatakan para ulama). Kemudian menutupkan pintu ihtisab. Karena tiadalah terpelihara dari dosa bagi para sahabat, apalagi orang lain. Dan nabi-nabii, terdapat perselisihan pendapat tentanng terpeliharanya dari kesalahan Alquran Mulia menunjukkan kepada penyandaran Adam as kepada perbuatan ma’siat. Dan demikian juga segolongan dari nabi-nabi. Dan karena inilah, Sa’id bin Jubair berkata: “Jikalau tidak beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar, kecuali orang yang tak ada padanya sesuatu kesalahan, niscaya tidaklah seseorang menyuruh mengerjakan sesuatu”. Maka amat mena’jubkan Imam Malik ra oleh perkataan yang demikian dari Sa’id bin Jubair. Jikalau mereka menda’wakan, bahwa yang demikian tidak disyaratkan terpelihara dari dosa-dosa kecil, sehingga boleh bagi pemakai sutera, melarang dari perbuatan zina dan minum khamar. Maka kami memajukan pertanyaan: Bolehkah peminum khamar memerangi orang-orang kafir dan ditugaskan kepada mereka, melarang kekufuran ?. Jikalau mereka itu menjawab: tidak, maka mereka telah mengoyak-ngoyakkan Ijma’ (sepakat) . Karena tentara muslimin senantiasa terdiri dari orang baik dan orang dzalim, peminum khamar dan penganiaya anak-anak yatim. Dan mereka tidak dilarang berperang. Tidak dilarang pada masa Rasulullah saw dan tidak pada masa sesudahnya. Jikalau mereka itu menjawab: ya, maka kami menjawab: peminum khamar, adakah dilarang berperang atau tidak ? jikalau mereka itu menjawab: tidak, maka kami bertanya: “Apakah perbedaannya antara peminum khamar dan pemakai sutera ? karena boleh baginya melarang meminum khamar. Dan membunuh adalah lebih besar dosanya, dibandingkan dengan meminum khamar. Seperti meminum khamar, dibandingkan kepada memakai sutera. Jadi, tiada beda...... Jikalau mereka itu mengatakan: ya, ada perbedaannya dan mereka menguraikan persoalannya, bahwa tiap-tiap yang didahulukan atas sesuatu, maka tidaklah dilarang yang seumpama dengan dia dan yang lebih kurang daripadanya. Yang dilarang, ialah yang di atas daripadanya. Ini adalah hukum dibuat-buat. Sesungguhnya, sebagaimana tiada jauh dari pemahaman, bahwa peminum khamar itu melarang orang lain dari perbuatan zina dan membunuh orang. Maka dari manakah jauhnya pemahaman, bahwa penzina itu melarang orang lain dari meminum khamar ? bahkan, dari manakah jauhnya pemahaman, bahwa dia meminum khamar dan melarang budak-budaknya dan pelayan-pelayannya dari meminum khamar ?. Dan ia berkata: “Wajib atasku melarang bagiku sendiri (intiha’) dan bagi orang lain (nahyu)”. Maka dari manakah harus bagiku dengan berbuat ma’siat salah satu dari dua perbuatan, untuk berbuat ma’siat kepada Allah Ta’ala dengan perbuatan yang satu lagi ? apabila melarang itu wajib atasku, maka dari manakah sebabnya kewajiban melarang itu gugur, disebabkan aku mengerjakan perbuatan ma’siat itu ?”. Karena mustahil bahwa dikatakan: wajib atasnya melarang orang meminum khamar, selama ia sendiri tidak meminum khamar. Apabila ia meminum khamar, niscaya gugurlah daripadanya kewajiban melarang orang lain. Kalau ada orang berkata: bahwa berdasarkan ini haruslah orang mengatakan: “Yang wajib atasku, wudlu dan shalat. Maka aku berwudlu, walaupun aku tidak mengerjakan shalat. Aku makan sahur, walaupun aku tidak mengerjakan puasa. Karena yang disunnatkan kepadaku makan sahur dan bersama puasanya”. Tetapi dalam hal ini dikatakan, bahwa salah satu dari keduanya tersusun di atas yang satu lagi. Maka seperti itu pula, membetulkan orang lain, tersusun secara tertib di atas membetulkan diri sendiri. Maka hendaklah memulai dengan diri sendiri lebih dahulu. Kemudian baru dengan orang yang menjadi tanggungannya. Jawabannya, ialah: bahwa memakan sahur dimaksudkan untuk puasa. Jikalau tidak puasa, niscaya makan sahur itu tidak disunatkan. Dan apa yang dimaksudkan untuk yang lain, maka tidaklah terlepas dari yang lain itu. Dan memperbaiki orang lain, tidaklah dimaksudkan untuk memperbaiki diri sendiri. Dan tidaklah memperbaiki diri sendiri, untuk memperbaiki orang lain. Maka perkataan: dengan penyusunan salah satu daripada keduanya di atas yang lain, adalah hukum dibuat-buat (tahakkum). Adapun wudhu dan shalat itu lazim (harus). Maka tidak dapat dibantah, bahwa orang yang berwudlu dan tidak melakukan shalat, adalah menunaikan pekerjaan wudlu saja. Siksaannya adalah lebih kurang dari siksaan orang yang meninggalkan shalat dan wudlu. Maka adalah orang yang meninggalkan melarang orang lain dan dirinya sendiri dari perbuatan ma’siat, mendapat lebih banyak siksaan, dibandingkan dengan orang yang melarang orang lain dari perbuatan ma’siat dan tidak melarang terhadap dirinya sendiri. Betapa pula ! wudlu itu suatu syarat yang tidak dimaksudkan bagi wudlu itu sendiri. Tetapi bagi shalat: maka tidak ada hukum bagi wudlu, tanpa shalat. Adapun hisbah (persediaan dan persiapan untuk amar-ma’ruf dan nahi-munkar), tidaklah menjadi syarat pada bernahi-munkar (intiha’) dan beramar-ma’ruf (i’timar). Maka tidaklah penyerupaan (musyabahah) diantara keduanya (diantara wudlu dan shalat pada satu pihak dan hisbah dan amar-ma’ruf serta nahi-munkar pada lain pihak). Kalau ada yang mengatakan: bahwa berdasarkan kepada yang tersebut, maka haruslah dikatakan: apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan dan perempuan itu dipaksakan, lagi ditutupkan mukanya. Lalu ia membuka mukanya dengan kemauannya sendiri. Maka laki-laki itu beramar-ma’ruf sedang berzina dan berkata: “Engkau dipaksakan pada berzina dan engkau atas kemauan sendiri membuka muka bagi bukan mahram engkau. Dan aku ini bukan mahram engkau. Maka tutuplah muka engkau !”. Maka ini pelaksanaan amar-ma’ruf yang keji, yang ditantang oleh hati tiap-tiap orang yang berakal. Dan dipandang keji oleh tiap-tiap tabiat yang sejahtera. Jawabannya ialah: bahwa yang benar itu, kadang-kadang keji. Dan yang batil/salah/salah itu, kadang-kadang bagus menurut tabiat. Dan yang diikuti ialah dalil, bukan sangka waham dan khayalan yang lari tabiat daripadanya. Kami mengatakan, bahwa kata laki-laki itu kepada perempuan tersebut, dalam keadaan demikian: “Jangan engkau buka muka engkau !”, adalah wajib atau mubah atau haram. Kalau anda mengatakan wajib, maka itulah yang dimaksud. Karena membuka muka itu perbuatan ma’siat. Dan melarang ma’siat itu perbuatan yang benar. Kalau anda mengatakan mubah, jadi laki-laki itu berhak mengatakan apa yang mubah. Maka apakah artinya kata anda: tiada ada bagi orang fasiq itu hisbah ?. Dan kalau anda mengatakan haram, maka kami mengatakan: adalah ini wajib. Maka dari manakah datangnya haram, disebabkan ia mengerjakan zina ? dan termasuk hal yang ganjil, bahwa yang wajib itu menjadi haram, dengan sebab mengerjakan haram yang lain. Adapun larinya tabiat dan tabiat menantangnya, adalah karena dua perkara:
Pertama: bahwa ia meninggalkan yang lebih penting dan berbuat yang penting. Sebagaimana tabiat lari daripada meninggalkan yang penting kepada yang tiada penting, maka tabiat itu lari daripada meninggalkan yang lebih penting dan berbuat yang penting. Sebagaimana tabiat itu lari dari orang yang berbuat dosa dengan memakan makanan yang dirampas, sedang dia sendiri selalu berbuat riba. Dan sebagaimana tabiat itu lari dari orang yang memelihara diri dari perbuatan mengumpat orang dan melakukan kesaksian dusta. Karena kesaksian dusta adalah lebih keji dan lebih berat dari perbuatan mengumpat, dimana mengumpat itu, ialah: menceritakan barang yang ada, yang benar padanya, orang yang menceritakan itu. Kejauhan ini dari jiwa, tidaklah menunjukkan, bahwa meninggalkan mengumpat itu tidak wajib. Dan bahwa, jikalau mengumpat atau memakan sesuap nasi yang haram, niscaya tidak bertambah siksaan dengan demikian. Maka seperti itu pula kemelaratannya di akhirat dari kema’siatannya itu adalah lebih banyak daripada kemelaratannya dari perbuatan ma’siat lainnya. Maka mengerjakan yang lebih banyak dengan meninggalkan yang lebih sedikit, adalah ditantang oleh tabiat, dari segi bahwa tabiat itu meninggalkan yang lebih banyak. Tidak dari segi dia mengerjakan yang lebih sedikit. Orang yang dirampas kudanya dan kekang kudanya, lalu bekerja mencari kekang dan meninggalkan mencari kuda, niscaya tabiat yang sehat lari dari orang itu. Dan orang itu dipandang orang yang berbuat tidak baik. Karena yang timbul daripadanya mencari kekang. Sedang mencari kekang itu bukan perbuatan munkar. Tetapi yang munkar (perbuatan yang salah), ialah: meninggalkan mencari kuda, dengan mencari kekangnya. Maka sangatlah ditantang orang tersebut. Karena meninggalkan yang lebih penting, dengan mengerjakan yang kurang penting. Maka seperti itu pula hisbah orang fasiq, yang dipandang jauh dari baik, dilihat dari segi ini. Ini tidak menunjukkan bahwa hisbahnya dari segi hisbahnya itu, perbuatan yang ditantang.
Kedua: hisbah itu, sekali adalah dengan melarang perbuatan jahat, dengan pengajaran dan sekali dengan paksaan. Dan tidaklah pengajaran orang yang tidak menggunakan pengajaran itu untuk dirinya sendiri, yang pertama-tama menyembuhkan. Dan kami mengatakan, bahwa orang yang mengetahui perkataannya tidak diterima pada hisbah, karena diketahui manusia fasiqnya, maka tiadalah hisbah kepadanya dengan pengajaran itu. Karena tiada faedah pada pengajarannya. Maka fasiq itu membekas gugurnya faedah perkataan dari orang yang fasiq. Kemudian, apabila faedah perkataannya telah gugur (telah hilang), niscaya gugurlah wajibnya perkataan. Adapun, apabila hisbah itu dengan melarang perbuatan jahat, maka yang dimaksudkan ialah paksaan. Dan sempurnanya paksaan, ialah dengan perbuatan bersama dengan hujjah (dalil). Apabila pelaksanaan amar-ma’ruf (mustasib) itu orang fasiq, maka jikalau ia memaksakan dengan perbuatan, sesungguhnya ia telah memaksakan dengan hujjah. Karena dihadapkan kepadanya pertanyaan: “Engkau sendiri mengapakah memperbuatnya ?”. Maka larilah tabiat dari paksaannya, disebabkan perbuatannya itu. Serta dia sendiri dipaksakan untuk mengemukakan hujjah. Perbuatan orang fasiq tadi, tidaklah keluar dari keadaannya itu benar. Sebagaimana orang yang menolak orang dzalim dari perseorangan orang muslimin dan mengabaikan bapaknya sendiri, sedang bapaknya itu teraniaya bersama orang-orang muslimin itu, adalah lari tabiat yang baik dari orang itu. Dan penolakan orang itu akan orang dzalim dari orang-orang muslimin tersebut, tidaklah keluar dari keadaannya yang benar. Maka keluarlah dari ini, bahwa orang fasiq itu, tidak wajib atasnya hisbah dengan pengajaran, kepada orang yang mengetahui kefasiqannya. Karena orang itu tiada akan menerima pengajarannya. Dan apabila tiada wajib yang demikian ke atas orang fasiq itu dan ia tahu akan membawa kepada pemanjangan lisan pada mendatangkan penantangan itu, maka kami berkata: “Tidaklah pula yang demikian itu baginya. Maka kembalilah perkataan, bahwa salah satu dari kedua macam ihtisab, yaitu: pengajaran, telah batal dengan sebab fasiq. Dan jadilah adil (adalah, tidak berbuat ma’siat) itu syarat pada ihtisab. Adapun hisbah paksaan (hisbah qahriah), maka tidak disyaratkan yang demikian padanya. Maka tak ada salahnya atas orang fasiq, menuangkan khamar, memecahkan alat-alat permainan dan lainnya, apabila ia sanggup. Dan ini adalah kesudahan keinsafan dan pembukaan persoalan. Adapun ayat-ayat yang diambil mereka menjadi dalil, maka adalah merupakan tantangan kepada mereka, dari segi mereka itu meninggalkan yang baik. Tidak dari segi mereka itu menyuruh. Tetapi suruhan mereka itu, menunjukkan kepada teguhnya pengetahuan mereka. Dan siksaan terhadap orang yang berilmu adalah lebih berat. Karena tak ada kemaafan baginya serta keteguhan pengetahuannya. Firman Allah Ta’ala: “Mengapa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan ?”. S 61 Ash Shaff ayat 2, adalah dimaksudkan: janji dusta (dia berjanji dengan lidahnya berbuat sesuatu tetapi tiada diperbuatnya). Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan kamu lupakan dirimu sendiri”. S 2 Al Baqarah ayat 44, adalah tantangan, dari segi mereka itu melupakan dirinya sendiri. Tidak dari segi mereka itu menyuruh orang lain. Tetapi menyebut: menyuruh orang lain, menjadi dalil atas ilmu pengetahuan mereka dan menguatkan hujjah ke atas diri mereka. Dan firmanNya: “Hai putera Maryam ! ajarilah dirimu !”, -sampai akhir hadits (karena ini dipetik dari hadits) –adalah mengenai hisbah dengan pengajaran. Dan kita telah menerima, bahwa pengajaran orang fasiq itu gugur faedahnya, pada orang yang mengetahui kefasiqannya. Kemudian firmanNya: “Maka malulah kepadaKu !”, -tidaklah menunjukkan kepada mengharamkan pengajaran kepada orang lain. Tetapi maksudnya: “Malulah kepadaKu !”, maka janganlah engkau meninggalkan yang lebih penting dan mengerjakan yang penting. Sebagaimana dikatakan: “Peliharalah bapakmu, kemudian tetanggamu ! jikalau tidak, maka malulah !”. Kalau ada yang berkata: maka bolehlah bagi kafir dzimmi berihtisab kepada orang Islam, apabila dilihatnya orang Islam itu berzinaa. Karena kata dzimmi itu: “Jangan engkau berzina !”, adalah perkataan yang benar. Maka mustahillah perkataan itu haram kepadanya. Bahkan seyogyalah mubah atau wajib. Kami menjawab, bahwa orang kafir, kalau melarang orang Islam dengan perbuatan, maka adalah penguasaan atas orang Islam. Maka orang kafir itu, dilarang dari segi ia menguasai. Allah Ta’ala tiada menjadikan jalan bagi orang-orang kafir ke atas orang-orang mu’min. Adapun semata-mata kata orang kafir: “Jangan engkau berzina !”, maka tiada diharamkan kepada orang kafir itu, dari segi bahwa dia melarang dari zina. Akan tetapi dari segi melahirkan penunjuk penerimaan hukum atas orang Islam. Dan padanya penghinaan bagi orang yang dijatuhkan hukuman. Dan orang fasiq itu berhak mendapat penghinaan. Akan tetapi tidak dari orang kafir, yang lebih utama dengan penghinaan itu, dari orang muslim. Maka inilah segi yang kami larang orang kafir itu dari hisbah. Kalau tidak demikian, maka tidaklah kami mengatakan, bahwa orang kafir itu disiksakan disebabkan perkataannya: “Jangan engkau berzina !” dari segi ia melarang. Tetapi kami berkata, bahwa apabila orang kafir itu tidak mengatakan: “Jangan engkau berzina !”, niscaya ia akan disiksa, kalau kita berpendapat, ditujukan kepada orang kafir itu cabang-cabang agama (furu’uddin). Dan pada persoalan ini ada penelitian yang telah kami sempurnakan pada “pengetahuan fiqh”. Dan tiada layak dengan maksud kita sekarang.
Syarat keempat: muhtasab itu memperoleh keizinan dari pihak imam (kepala pemerintahan) dan wali negeri. Suatu golongan mensyaratkan syarat ini. Dan mereka tidak menetapkan hisbah bagi perseorangan dari rakyat. Persyaratan ini adalah batal. Karena ayat dan hadits yang telah kami sebutkan itu, menunjukkan, bahwa tiap-tiap orang yang melihat perbuatan munkar, lalu berdiam diri, niscaya ia durhaka. Karena wajib melarangnya, dimana saja dilihatnya dan bagaimana saja dilihatnya pada umumnya. Maka penentuan dengan syarat penyerahan dari imam, adalah hukum dibuat-buat (tahakkum), tak ada asalnya. Yang mengherankan, bahwa kaum Rawafidl (suatu golongan yang meninggalkan pemimpinnya dalam peperangan atau lainnya) menambahkan dari yang tadi. Lalu berkata: “Tidak boleh beramar-ma’ruf selama belum keluar imam yang ma’shum (imam yang terpelihara dari segala kesalahan). Yaitu: imam yang benar pada mereka. Mereka itu adalah seburuk-buruk derajat dari yang dikatakan mereka. Bahkan jawaban mereka, bahwa dikatakan kepada mereka, apabila mereka datang kepada kehakiman, menuntut hak mereka mengenai darah (pembunuhan) dan harta mereka: “Bahwa pertolongan kamu itu suatu amar-ma’ruf. Dan mengeluarkan hak-hak kamu dari tangan orang-orang yang berbuat dzalim kepadamu itu, suatu nahi-munkar. Dan tuntutanmu terhadap hakmu, termasuk dalam jumlah amar-ma’ruf. Dan tidaklah sekarang zaman melarang kedzaliman dan menuntut hak. Karena imam yang benar belum lagi keluar. Kalau ada yang mengatakan tentang amar-ma’ruf itu mengadakan penguasaan, wilayah dan penegasan hukum ke atas orang yang terhukum dan karena itulah tidak ada amar-ma’ruf bagi orang kafir atas orang muslim serta keadaannya itu benar. Maka seyogyalah tidak ada amar-ma’ruf bagi masing-masing perseorangan rakyat. Kecuali dengan penyerahan dari wali (penguasa pemerintahan) dan yang punya urusan. Maka kami berkata: adapun orang kafir itu, maka dilarang beramar-ma’ruf. Karena ada padanya kekuasaan dan kemuliaan penerimaan hukum. Dan orang kafir itu orang hina. Maka ia tidak berhak memperoleh kemuliaan penghukuman ke atas muslim. Adapun perseorangan kaum muslimin, maka mereka berhak akan kemuliaan itu dengan agama dan pengetahuan. Dan apa yang ada padanya, tentang kemuliaan kekuasaan dan penerimaan hukum itu, tidak memerlukan kepada penyerahan dari penguasa. Seperti kemuliaan mengajar dan memperkenalkan yang tidak diketahui. Karena tiada terdapat perselisihan paham, bahwa memperkenalkan yang haram dan yang wajib kepada orang bodoh dan orang yang mengerjakan perbuatan munkar, disebabkan kebodohan itu, tidaklah memerlukan kepada keizinan wali (penguasa). Dan pada pekerjaan tersebut itu, kemuliaan memberi petunjuk. Dan di atas orang yang memperkenalkan itu kehinaan pembodohan. Dan pada yang demikian cukuplah semata-mata agama. Begitupula larangan dari perbuatan munkar !. Uraian perkataan tentang ini, ialah: bahwa hisbah itu mempunyai 5 tingkat, sebagaimana akan datang penjelasannya:
Pertama: memperkenalkan.
Kedua: pengajaran dengan perkataan yang lemah-lembut.
Ketiga: memaki dan menggertak. Dan tidaklah aku maksudkan dengan makian itu, akan yang keji. Akan tetapi, bahwa ia mengatakan: “Hai bodoh ! Hai dungu ! tidakkah engkau takut kepada Allah ?”. Dan yang seirama dengan perkataan ini.
Keempat: melarang perbuatan munkar dengan paksaan, secara langsung, seperti memecahkan alat-alat permainan, menuangkan khamar, menyambar kain sutera dari pemakainya, membuka kain rampokan dari pemakainya dan mengembalikan kepada pemiliknya.
Kelima: menakutkan dan menggertak dengan pukulan dan langsung memukul. Sehingga tercegah dari apa yang sedang dilakukan. Seperti orang yang senantiasa mengumpat dan menuduh orang berzina. Maka menarik lidahnya itu tidak mungkin. Akan tetapi, dibawa kepada memilih diam, dengan pukulan. Hal ini kadang-kadang memerlukan kepada meminta pertolongan dan mengumpulkan teman-teman dari kedua belah pihak. Dan membawa yang demikian kepada perang tanding. Dan tingkat-tingkat yang lain, tidaklah tersembunyi segi tidak perlunya keizinan imam (penguasa), kecuali tingkat kelima. Pada tingkat kelima ini, suatu penelitian yang akan datang uraiannya. Adapun memperkenalkan dan memberi pengajaran, maka bagaimanakah memerlukan kepada keizinan imam ?. Adapun pembodohan, pendunguan, penyebutan fasiq dan kurang takut kepada Allah dan yang serupa dengan itu, adalah perkataan benar. Dan perkataan benar itu berhak dikatakan. Bahkan derajat yang paling utama, ialah kata kebenaran pada imam yang dzalim, seperti yang tersebut pada hadits. Apabila telah boleh menghukum imam di luar persetujuannya, maka bagaimanakah pula memerlukan kepada keizinannya ? dan seperti itu pula, memecahkan alat-alat permainan dan menuangkan khamar. Sesungguhnya ia telah memperbuat sesuatu, yang diketahui dianya benar, tanpa ijtihad (pemikiran yang mendalam). Maka tidaklah menghendaki kepada keizinan imam. Adapun mengumpulkan teman-teman dan mencabut senjata, maka yang demikian itu kadang-kadang membawa kepada fitnah umum. Maka padanya penelitian yang akan datang penjelasannya. Terus-menerusnya kebiasaan ulama salaf (ulama terdahulu) melakukan hisbah (amar-ma’ruf dan nahi-munkar) kepada penguasa-penguasa itu, adalah dalil yang tidak bisa dibantah, kesepakatan mereka tentang tidak memerlukan kepada penyerahan dari penguasa-penguasa. Akan tetapi tiap-tiap orang yang beramar-ma’ruf, maka jikalau penguasa menyetujuinya, maka yang demikian sudah jelas. Jikalau penguasa itu marah, maka kemarahannya itu suatu kemunkaran, yang wajib ditantang. Maka bagaimanakah memerlukan keizinannya pada menantangnya itu ?. Ditunjukkan kepada yang demikian oleh kebiasaan ulama salaf, menantang imam-imam (kepala-kepala pemerintahan). Sebagaimana diriwayatkan bahwa Marwan bin Al-Hakam berkhutbah sebelum shalat Hari Raya. Lalu seorang laki-laki berkata: “Sesungguhnya khutbah Hari Raya itu, sesudah shalat”. Maka Marwan menjawab: “Biarkan demikian, hai Anu !”. Lalu Sa’id Al-Khudri yang hadir ketika itu menjawab: “Adapun orang ini telah menunaikan kewajibannya. Rasulullah saw bersabda kepada kita: “Barangsiapa dari kamu melihat munkar, maka hendaklah ditantang dengan tangan. Jikalau tidak sanggup, maka dengan lidah. Dan jikalau tidak sanggup, maka dengan hati. Dan itulah selemah-lemah iman”. –diriwayatkan oleh Muslim. Sesungguhnya mereka memahami dari segala yang bersifat umum ini, akan masuknya sultan-sultan di dalamnya. Maka bagaimanakah memerlukan kepada keizinannya ?. Diriwayatkan, bahwa Khalifah Al-Mahdi tatkala datang di Makkah, ia tinggal di situ masya Allah. Tatkala ia mengerjakan thawaf, lalu mengusir manusia dari Baitullah (Ka’bah). Maka melompatlah Abdullah bin Marzuq, lalu meletakkan selendangnya pada leher Al-Mahdi. Kemudian menggerak-gerakkannya, seraya berkata: “Lihatlah apa yang engkau perbuat !. Menjadikan engkau lebih berhak dengan Baitullah ini dari orang yang datang ke Baitullah dari tempat yang jauh. Sehingga apabila orang yang jauh itu di sisi Baitullah, engkau dindingi antara dia dan Baitullah”. Allah Ta’ala berfirman: “Sama-sama, baik orang yang menetap ataupun orang yang datang berkunjung”. S 22 Al Hajj ayat 25. Siapakah yang membuat ini bagi engkau ?. Maka Al-Mahdi melihat ke muka Abdullah bin Marzuq dan dikenalnya. Karena Abdullah bin Marzuq itu, termasuk maulanya (bekas budaknya yang telah dimerdekakan). Lalu Al-Mahdi menegur: “Abdullah bin Mazruq ?”. “Ya !” –jawab Abdullah bin Mazruq. Lalu Al-Mahdi mengambil Abdullah bin Mazruq dan membawanya ke Baghdad. Ia tiada suka menyiksakan Abdullah bin Mazruq dengan siksaan yang memburukkan namanya pada umum. Maka diletakkannya Abdullah bin Mazruq itu dalam kandang hewan. Supaya ia menjaga hewan. Dan dimasukkannya ke dalam kandang itu seekor kuda yang suka menggigit, yang jahat perangainya. Supaya Abdullah bin Mazruq digigit oleh kuda itu. Maka Allah Ta’ala melembutkan kuda itu untuk keselamatan Abdullah bin Mazruq. Berkata yang empunya riwayat: “Kemudian mereka membawa Abdullah bin Mazruq itu ke suatu rumah dan menguncikannya. Dan kuncinya dipegang oleh Al-Mahdi sendiri. Tiba-tiba Abdullah bin Mazruq keluar dari rumah itu sesudah 3 hari ke kebun dan memakan tanamannya. Maka diberitahukan kepada Al-Mahdi. Lalu Al-Mahdi bertanya kepada Abdullah bin Mazruq: “Siapakah yang mengeluarkan engkau ?”. Abdullah bin Mazruq menjawab: “Yang menahan aku”. Maka terkejutlah Al-Mahdi dan memekik, seraya berkata: “Tidakkah engkau takut aku akan membunuh engkau ?”. Lalu Abdullah mengangkatkan kepalanya kepada Al-Mahdi, seraya tertawa dan berkata: “Jikalau engkau memiliki hidup atau mati. Maka senantiasalah Abdullah ini ditahan, sehingga Al-Mahdi itu mati”. Kemudian, mereka itu melepaskan Abdullah bin Mazruq. Lalu ia kembali ke Makkah. Berkata yang empunya riwayat, bahwa Abdullah bin Mazruq telah bernadzar atas dirinya, bahwa jikalau ia dilepaskan oleh Allah dari tangan mereka itu, akan menyembelih qurban 100 ekor unta. Maka ia memperbuat yang demikian, sehingga ia menyembelih qurban tersebut. Diriwayatkan dari Hibban bin Abdullah, yang menceritakan: “Khalifah Harunur-rasyid berlibur di Dawin. Dan bersama dia, seorang laki-laki dari suku Bani Hasyim, yaitu: Sulaiman bin Abi Ja’far. Maka berkata Harunur-rasyid kepadanya: “Sesungguhnya engkau mempunyai seorang budak wanita yang pandai menyanyi dengan bagus. Kita datangkan dia kemari”. Berkata Hibban bin Abdullah: “Lalu budak wanita itu datang dan menyanyi. Harunur-rasyid tiada memuji nyanyinya. Lalu berkata kepadanya: “Bagaimana keadaan engkau ?”. Budak wanita itu menjawab: “Ini bukan gitar saya”. Lalu Harunur-rasyid berkata kepada pelayan: “Kita datangkan gitarnya !”. Bercerita Hibban bin Abdullah seterusnya: “Maka datanglah pelayan itu membawa gitar. Tiba-tiba bertemu dengan seorang syaikh yang sedang mengambil biji-bijian di jalan. Lalu pelayan itu berseru: “Jalan, ya syaikh !”. Syaikh itu lalu mengangkatkan kepalanya. Ketika melihat gitar itu, lalu diambilnya dari pelayan tersebut. Dan dipukulkannya ke bumi. Kemudian pelayan itu mengambil syaikh tadi dan pergi bersama kepada yang empunya tempat itu, seraya berkata: “Jaga orang ini ! karena dia orang yyang dicari oleh Amirul-mu’minin”. Maka menjawab yang empunya tempat itu: “Tidak ada di Baghdad orang yang lebih banyak beriibadah dari orang ini. Maka bagaimanakah dia menjadi orang yang dicari oleh Amirul-mu’minin ?”. Pelayan itu menjawab: “Dengarlah apa yang akan aku katakan kepadamu !”. Kemudian, pelayan itu masuk ke tempat Harunur-rasyid, seraya berkata: “Sesungguhnya aku melalui tempat seorang syaikh yang sedang mengambil biji-bijian di jalan. Lalu aku berseru kepada Syaikh itu: ‘Jalan !’. Syaikh itu mengangkatkan kepalanya dan melihat gitar itu. Lalu diambilnya dan dipukulkannya ke bumi dan gitar itu pecah”. Maka Harunur-rasyid meluap-luap kemarahannya, marah benar dan merah kedua matanya. Lalu Sulaiman bin Abi Ja’far berkata kepadanya: “Apakah kemarahan ini, wahai Amirul-mu’minin ? utuslah orang kepada yang empunya tempat itu, yang akan memotong lehernya. Dan melemparkannya ke sungai Tigris (Ad-Dajlah) !”. Harunur-rasyid menjawab: “Tidak ! akan tetapi akan kami utus kepadanya dan akan kami bertukar-pikiran dengan syaikh itu lebih dahulu”. Maka utusanpun datang mengambil syaikh itu, seraya mengatakan: “Perkenankanlah permintaan Amirul-mu’minin untuk datang ke tempatnya !”. Syaikh itu menjawab: “Ya !”. Utusan itu berkata: “Naiklah kendaraan ini !”. Syaikh itu menjawab: “Tidak !”. Lalu Syaikh itu berjalan kaki, sehingga sampailah dan berhenti di pintu istana. Maka, disampaikan kepada Harunur-rasyid, bahwa syaikh itu sudah datang. Lalu Harunur-rasyid berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Apakah yang kamu lihat ? kita angkat lebih dahulu perbuatan munkar yang ada dihadapan kita. Sehingga syaikh itu masuk. Atau kita bangun ke tempat lain, yang tidak ada padanya munkar”. Mereka itu menjawab: “Kita bangun ke tempat lain, yang tak ada padanya munkar adalah lebih baik”. Lalu mereka itu bangun ke suatu tempat yang tak ada padanya munkar. Kemudian Harunur-rasyid menyuruh syaikh itu masuk. Lalu beliau dibawa masuk. Dan dalam lengan bajunya bungkusan kecil, yang di dalamnya biji-bijian. Lalu pelayan itu berkata kepadanya: “Keluarkanlah itu dari lengan bajumu ! dan masuklah ke tempat Amirul-mu’minin !”. Syaikh itu menjawab: “Dari bungkusan ini makananku malam ini”. Pelayan itu menjawab: “Kami akan menyediakan makanan malam untukmu”. Syaikh itu menjawab: “Aku tidak berhajat pada makanan malammu”. Lalu Harunur-rasyid bertanya kepada pelayan itu: “Apakah yang kamu kehendaki daripadanya ?”. Pelayan itu menjawab: “Dalam lengan bajunya ada biji-bijian. Aku katakan kepadanya: ‘Buanglah biji-bijian itu dan masuklah ke tempat Amirul-mu’minin !”. Maka Harunur-rasyid berkata: “Biarkanlah dia tidak membuangkannya”. Hibban bin Abdullah meneruskan ceritanya: “Maka syaikh itupun masuk. Memberi salam dan duduk. Lalu Harunur-rasyid berkata kepadanya: ‘Hai Syaikh ! apakah yang mendorong kamu kepada berbuat yang demikian ?”. Syaikh itu menjawab: “Apakah yang aku perbuat ?”. Harunur-rasyid malu mengatakan: “Engkau telah pecahkan gitarku”. Tatkala telah banyak pertanyaan ditujukan kepadanya, lalu syaikh itu menjawab: Bahwasanya aku mendengar bapakmu dan nenek-nenekmu membaca ayat ini di atas mimbar: “Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan keadilan, berbuat kebaikan dan memberi kepada kerabat-kerabat dan Ia melarang perbuatan keji, pelanggaran dan kedurhakaan”. S 16 An Nahl ayat 90. Aku melihat munkar itu, lalu aku menghilangkannya”. Lalu Khalifah Harunur-rasyid menjawab: “Hilangkanlah perbuatan munkar itu !”. Demi Allah, Syaikh itu tidak berkata, kecuali itu saja. Tatkala ia keluar, lalu Khalifah menganugerahkan sebuah bungkusan yang penuh dengan uang dirham, kepada seorang laki-laki, seraya berkata: “Ikutilah Syaikh itu ! jikalau engkau melihat ia mengatakan: ‘Aku telah berkata kepada Amirul-mu’minin dan Amirul-mu’minin telah berkata kepadaku’, maka janganlah engkau berikan kepadanya sesuatu. Dan jikalau engkau melihat dia tidak bercakap-cakaap dengan seorangpun, maka berikanlah kepadanya bungkusan ini !”. Tatkala ia keluar dari istana, tiba-tiba ia melihat sebutir biji-bijian itu telah terbenam dalam tanah, lalu ia berusaha mengeluarkannya. Dan ia tidak berkata-kata dengan seorangpun. Lalu laki-laki itu berkata: “Amirul-mu’minin mengatakan kepada engkau: ‘Ambillah bungkusan ini !”. Maka syaikh itu menjawab: “Katakanlah kepada Amirul-mu’minin, agar ia mengembalikan bungkusan ini dari mana ia mengambilnya”. Diriwayatkan, bahwa Syaikh itu sesudah selesai dari perkataannya tadi, lalu menuju kepada biji-bijian yang diusahakannya mencabutnya dari tanah dan bermadah:
Aku melihat dunia,
bagi orang yang mempunyainya,
merupakan duka cita,
setiap kali bertambah banyak padanya.
Dan itu menghinakan orang,
yang memuliakannya dengan yang kecil saja.
Dan memuliakan tiap-tiap orang,
yang menghinakan kepadanya.
Apabila engkau tidak memerlukan,
akan sesuatu, maka tinggalkanlah.
Dan apa yang engkau perlukan,
maka ambilkanlah !.
Dari Sufyan Ats-Tsuri ra, yang menerangkan: “Bahwa Khalifah Al-Mahdi menunaikan ibadah hajji pada tahun 166 (Hijriah). Aku melihat ia melempar Jamrah Al-‘Aqabah. Dan orang banyak dipukul kanan kiri dengan cambuk. Lalu aku berhenti dan berkata: “Wahai yang cantik muka ! telah disampaikan hadits kepada kami oleh Aiman dari Wa’il, dari Quddamah bin Abdullah Al-Kilabi, yang mengatakan: ‘Aku melihat Rasulullah saw melempar Jamrah pada hari Raya hajji di atas unta. Tak ada pukulan, usiran dan siksaan. Dan tak ada, jauhlah engkau ! jauhlah engkau !”. Dan engkau ini, manusiia dipukul dihadapan engkau, kanan dan kiri”. Lalu Al-Mahdi bertanya kepada seorang laki-laki: “Siapakah orang itu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Sufyan Ats-Tsuri”. Al-Mahdi lalu berkata: “Hai Sufyan ! jikalau Al-Manshur (maksudnya, Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur ayahnya), niscaya tidak akan menanggung engkau diatas yang begini”. Maka menjawab Sufyan Ats-Tsuri: “Jikalau Al-Manshur menerangkan kepadamu, apa yang telah dijumpainya, niscaya engkau hentikan dari apa yang engkau kerjakan itu”. Sufyan Ats-Tsuri menyambung ceritanya: “Lalu ada orang mengatakan kepada Al-Mahdi”. Bahwa Sufyan itu mengatakan kepada engkau: “Wahai yang yang cantik muka !”. Dia tidak mengatakan kepada engkau: “Wahai Amirul-mu’minin !”. Lalu Al-Mahdi berkata: “Carilah Sufyan itu !”. Maka Sufyan Ats-Tsuri dicari dan beliau menyembunyikan diri..... Diriwayatkan dari Khalifah Al-Ma’mun, bahwa sampai berita kepadanya, seorang laki-laki menjadi muhtasib, berjalan kaki pada manusia ramai. Menyuruh mereka berbuat perbuatan kebaikan dan melarang mereka berbuat perbuatan kejahatan. Dan orang itu tidak menerima perintah dari Al-Ma’mun yang dengan demikian. Lalu Al-Ma’mun menyuruh laki-laki itu supaya datang kepadanya. Tatkala sudah berada dihadapannya, maka Al-Ma’mun berkat kepada orang itu: “Bahwa telah sampai kepadaku, bahwa engkau melihat diri engkau, ahli untuk amar-ma’ruf dan nahi-munkar, tanpa kami menyuruh engkau”. Al-Ma’mun ketika itu duduk diatas kursi, melihat pada Kitab atau kissah. Lalu ia lengah dari Kitab yang di tangannya, maka jatuh dan berada di bawah tapak kakinya dengan tiada disadarinya. Lalu Muhtasib tadi berkata kepada Al-Ma’mun: “Angkatlah tapak kakimu dari nama Allah Ta’ala ! kemudian, katakan apa yang engkau kehendaki !”. Al-Ma’mun tiada mengerti apa yang dikehendaki oleh muhtasib itu. Lalu bertanya: “Apa katamu ?”. Sehingga diulanginya oleh muhtasib itu 3 kali, tidak juga ia mengerti. Lalu Muhtasib berkata: “Apakah tidak engkau angkat sendiri atau engkau izinkan, aku mengangkatnya ?”. Maka Al-Ma’mun memandang ke bawah tapak kakinya. Lalu melihat Kitab. Maka diambil dan diciumnya. Ia malu, kemudian kembali berkata: “Mengapa kamu beamar-ma’ruf, padahal Allah Ta’ala telah menjadikan yang demikian kepada kami keluarga Rasul (Ahlul-Bait) ?”. Dan kamilah yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Orang-orang yang jika Kami diamkan (tempatkan) di muka bumi, mereka tetap mengerjakan shalat dan membayarkan zakat dan menyuruh mengerjakan perbuatan baik dan melarang perbuatan yang salah”. S 22 Al Hajj ayat 41. Muhtasib tadi menjawab: “Benar engkau, wahai Amirul-mu’minin, sebagaimana engkau menyifatkan diri engkau dengan kekuasaan dan ketetapan. Kecuali, kami ini penolong dan pembantu engkau pada amar-ma’ruf itu. Dan tidak ada yang membantah demikian, selain orang yang bodoh tentang Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang beriman laki-laki daan orang-orang yang beriman perempuan, mereka satu sama lain pimpin-memimpin. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan melarang mengerjakan yang salah”. S 9 At Taubah ayat 71. Rasulullah saw bersabda: “Orang mu’min bagi orang mu’min adalah seperti gedung yang mengokohkan sebagian akan bagian yang lain”. Engkau telah mendapat tempat di bumi dan ini Kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Jikalau engkau tunduk kepada keduanya, niscaya engkau bersyukur (berterima-kasih) kepada orang yang menolong engkau, untuk penghormatan keduanya (Alquran dan Sunnah). Dan jikalau engkau menyombong dari keduanya dan tidak engkau tunduk, niscaya tidak adalah yang mengharuskan bagi engkau dari keduanya. Sesungguhnya Dia, yang kepadaNya urusan engkau. Dan di tangan kekuasaanNya kemuliaan engkau dan kehinaan engkau. Dia (Allah Ta’ala) telah mensyaratkan bahwa Dia tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan. Maka katakanlah sekarang apa yang engkau kehendaki. Maka amat heranlah Al-Ma’mun dengan perkataan orang itu. Dan ia amat bergembira. Dan berkata: “Orang yang seperti engkau boleh beramar-ma’ruf. Maka teruskanlah apa yang telah engkau kerjakan itu dengan perintah kami dan dari pendapat kami !”. Maka terus-meneruslah orang itu melakukan amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Dari alunan hikayat (cerita) ini, adalah penjelasan dalil atau tiada perlunya izin. Jikalau ada yang bertanya: “Apakah ada kekuasaan hisbah (pelaksanaan) amar-ma’ruf bagi anak atas orang tuanya, bagi budak atas tuannya, bagi isteri atas suaminya, bagi murid atas gurunya dan bagi rakyat atas penguasa (wali)nya secara mutlak, sebagaimana ada kekuasaan hisbah itu bagi orang tua atas anaknya, bagi tuan atas budaknya, bagi suami atas isterinya, bagi guru atas muridnya dan bagi sultan atas rakyatnya atau diantara keduanya terdapat perbedaan ?”. Ketahuilah kiranya bahwa yang kami lihat, ialah adanya pokok kekuasaan itu. Tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan pada penguraian. Dan marilah kami umpamakan yang demikian mengenai anak serta orang tuanya. Maka kami berkata, bahwa telah kami terbitkan bagi hisbah 5 tingkat: Anak mempunyai hisbah dengan dua tingkat yang pertama. Yaitu: memperkenalkan, kemudian memberi pengajaran dan nasehat dengan lemah-lembut. Dan anak itu tidak mempunyai hisbah dengan memaki, menggertak dan menakut-nakuti dan tidak dengan langsung pemukulan. Keduanya itu dua tingkat yang akhir. Dan adakah anak itu mempunyai hisbah dengan tingkat ketiga, di mana tingkat ini membawa kepada menyakiti dan memarahi orang tuanya ?. Padanya penelitian. Yaitu, dengan: memecahkan gitarnya umpamanya. Menuangkan khamarnya. Membuka benang dari kainnya yang ditenun dari sutera. Mengembalikan kepada pemilik, barang yang didapati di rumahnya dari harta haram yang dirampasnya atau dicurinya atau diambilnya dari banyaknya rezeki dari pajak kaum muslimin, apabila pemiliknya tertentu orangnya. Dan merusakkan gambar-gambar yang diukir pada dinding temboknya dan yang dikorek pada kayu rumahnya. Dan menghancurkan bejana (tempat air) emas dan perak. Jikalau anak itu berbuat pada hal-hal tadi, tiadalah menyangkut dengan diri bapaknya. Kecuali memukul dan memaki. Tetapi bapak itu merasa disakiti dengan demikian dan marah karenanya. Akan tetapi perbuatan anak itu benar. Dan marahnya bapak itu terjadi karena sukarnya kepada yang batil/salah/salah dan haram. Yang lebih kuat menurut qias (analogi), bahwa boleh yang demikian bagi anak. Bahkan harus anak itu berbuat demikian. Dan tiada jauh dari kebenaran bahwa pada yang demikian itu dilihat kepada kejinya perbuatan munkar dan kepada kadar kesakitan dan kemarahan. Jikalau munkar itu amat keji dan kemarahannya kepada anaknya itu dekat, seperti penuangan khamar orang yang tiada bersangatan kemarahannya, maka yang demikian itu jelas. Dan jikalau munkar itu dekat dan kemarahan itu keras, seperti: jikalau ia mempunyai bejana dari mutiara putih bersih atau dari kaca dengan bentuk hewan dan pada memecahkannya itu memperoleh kerugian banyak harta, maka ini, termasuk yang bersangatan kemarahan. Dan tidaklah ma’siat ini berlaku, menurut berlakunya khamar dan lainnya. Ini semuanya tempat penelitian. Jikalau ada yang bertanya: “Dari manakah dalilnya, maka kamu mengatakan, tidak ada bagi anak itu hisbah dengan gertakan dan pukulan dan paksaan kepada meninggalkan yang batil/salah/salah ? dan amar-ma’ruf pada Kitab dan Sunnah datangnya secara umum, tanpa pengkhususan. Adapun larangan dari penghardikan dan yang menyakitkan, maka telah datang pada Alquran. Dan itu khusus pada yang tiada bersangkutan dengan mengerjakan yang munkar-munkar”. Kami menjawab, bahwa sesungguhnya telah datang mengenai hak bapak secara khusus, apa yang mewajibkan pengecualian dari umum. Karena tiada terdapat perbedaan pendapat, bahwa pelaksanaan hukuman tidak boleh membunuh bapaknya pada hukuman zina dan tidak boleh secara langsung melaksanakan hukuman itu kepada bapaknya. Bahkan, ia tidak melaksanakan membunuh bapaknya yang kafir. Bahkan jikalau bapaknya memotong tangannya, maka tiada wajib atas bapaknya qishash. Dan tiada boleh anaknya menyakiti bapaknya sebagai timbalan perbuatan bapaknya. Pada yang demikian itu telah datang hadits-hadits. Dan sebahagiannya telah tetap dengan Ijma’ (sepakat) . Maka apabila tiada boleh bagi anak, menyakiti bapaknya dengan siksaan, yang berhak dijatuhkan atas perbuatan tindakan pidana yang lalu, maka tiada boleh bagi anak itu menyakiti bapaknya dengan siksaan. Yaitu: larangan –dari tindakan pidana yang akan datang yang mungkin akan terjadi. Bahkan lebih utama lagi: tidak boleh. Tertib ini juga seyogyalah berlaku pada budak dan isteri serta tuannya dan suaminya. Keduanya itu lebih dekat dari anak tentang wajibnya hak. Walaupun milik dengan perbudakan itu lebih kuat daripada milik dengan perkawinan. Tetapi pada hadits, tersebut: “Bahwa jikalau boleh sujud kepada makhluq, niscaya aku suruh perempuan sujud kepada suaminya”. Hadits ini menunjukkan pula kepada kuatnya hak perkawinan. Adapun rakyat serta sultan (penguasa), maka keadaannya lebih berat dari anak. Tiadalah bagi rakyat serta sultan, kecuali memperkenalkan dan menasehatkan. Adapun tingkat ketiga, maka padanya penelitian, dari segi bahwa serangan mengambil harta dari tempat simpanannya dan mengembalikannya kepada pemilik, mencabut benang dari kain suteranya dan memecahkan bejana khamar dalam rumahnya, hampirlah perbuatan itu membawa kepada mengoyak-ngoyakkan kehebatan dan menjatuhkan kehormatannya. Yang demikian itu dilarang, yang telah datang larangannya, sebagaimana telah datang larangan berdiam diri di atas perbuatan munkar. Maka telah bertentangan pula padanya dua hal yang ditakuti. Urusannya diserahkan kepada ijtihad, yang sumbernya memperhatikan tentang kejinya munkar. Dan kadar yang jatuh dari kehormatannya dengan sebab serangan itu. Dan yang demikian tidak mungkin ditentukan dengan pasti. Adapun murid dan guru, maka urusan diantara keduanya adalah lebih ringan. Karena yang dihormati ialah guru yang memfaedahkan pengetahuan dari segi agama. Dan tak ada kehormatan bagi orang yang berpengetahuan yang tidak berbuat dengan pengetahuannya. Maka murid itu bergaul dengan gurunya, sepanjang yang diharuskan oleh pengetahuan yang dipelajarinya dari guru itu. Diriwayatkan, bahwa ditanyakan kepada Al-Hasan tentang anak, bagaimanakah ia berihtisab kepada bapaknya ? Maka Al-Hasan menjawab: “Memberi pengajaran kepada bapaknya, selama bapaknya tidak marah. Jikalau marah, niscaya ia diam”.
Syarat kelima: muhtasib itu mampu. Dan tidaklah tersembunyi, bahwa orang yang lemah, tidak ada atasnya hisbah, kecuali dengan hatinya. Karrena tiap-tiap orang yang mencintai Allah, niscaya benci kepada segala perbuatan ma’siat dan menantangnya. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Berijtihadlah terhadap orang-orang kafir itu dengan tanganmu ! jiikalau tiada sanggup, selain engkau bermasam muka di hadapannya, maka perbuatlah yang demikian !”. Ketahuilah, bahwa tiada berhenti gugurnya kewajiban di atas kelemahan yang tampak kelihatan. Akan tetapi diperhubungkan dengan yang demikian, apa yang ditakutinya, sebagai keadaan yang tiada disukai, yang akan diperolehnya. Maka yang demikian itu adalah dalam arti kelemahan. Dan seperti yang demikian juga, apabila tiada ditakutinya sebagai keadaan yang tiada disukai. Akan tetapi diketahuinya bahwa penantangannya tiada bermanfaat. Maka hendaklah ia menoleh kepada dua pengertian: salah satu dari keduanya: tiada memfaedahkan penantangan, sebagai mematuhi larangan. Yang satu lagi: takut keadaan yang tiada disukai. Dari memperhatikan dua pengertian tersebut, berhasillah 4 keadaan:
Keadaan pertama: bahwa berkumpul dua pengertian itu, dengan diketahuinya bahwa tiada bermanfaat perkataannya. Dan ia akan dipukul, kalau ia berkata-kata. Maka tiadalah wajib atasnya hisbah. Bahkan kadang-kadang haram pada sebagian tempat. Ya, haruslah ia tidak menghadiri tempat-tempat munkar dan memencilkan diri (ber-‘uzlah) di rumahnya. Sehingga ia tiada melihat dan tidak keluar, selain karena keperluan yang penting atau yang wajib. Dan tidak wajib ia berpisah dengan negeri itu dan berhijrah. Kecuali, apabila ia diajak kepada kerusakan. Atau dibawa kepada menolong sultan-sultan (penguasa-penguasa) pada kedzaliman dan kemunkaran. Maka wajiblah ia berhijrah jika sanggup. Sesungguhnya paksaan itu, tidaklah dimaafkan terhadap orang yang sanggup lari dari paksaan.
Keadaan kedua: bahwa tidak ada kedua pengertian itu, dengan sebab diketahuinya bahwa perbuatan munkar akan hilang dengan perkataan dan perbuatannya. Dan tidak mampu orang membawanya kepada perbuatan yang tiada disukai. Maka wajiblah ia menantang. Dan inilah yang dinamakan: kesanggupan mutlak.
Keadaan ketiga: bahwa ia mengetahui tantangannya tiada memberi faedah. Akan tetapi ia tiada takut akan keadaan yang tiada disukai. Maka tiada wajib atasnya hisbah, karena tiada faedahnya. Tetapi disunatkan untuk melahirkan syi’ar Islam dan memperingatkan manusia dengan urusan agama.
Keadaan keempat: kebalikan dari ini. Yaitu: ia mengetahui bahwa akan menimpa dirinya dengan keadaan yang tiada disukai. Akan tetapi perbuatan munkar itu akan hancur dengan perbuatannya. Seperti ia sanggup melemparkan kaca kepunyaan orang fasiq dengan batu. Lalu batu itu memecahkan kaca tersebut dan menuangkan khamar. Atau memukulkan gitar yang di tangannya dengan pukulan yang menyambarkan. Lalu gitar itu pecah di waktu itu juga. Dan hilanglah perbuatan munkar itu. Akan tetapi ia mengetahui, bahwa akan dikembalikan kepadanya, lalu dipukul kepalanya. Maka ini tidaklah wajib dan tidaklah haram. Akan tetapi disunatkan (mustahab). Hal ini berdalilkan hadits yang telah kami datangkan dahulu, tentang keutamaan kata kebenaran pada imam yang dzalim. Dan tidaklah ragu, bahwa yang demikian itu tempat sangkutan ketakutan. Dibuktikan pula oleh apa yang diriwayatkan dari Abi Sulaiman Ad-Darani ra bahwa beliau berkata: “Aku mendengar perkataan sebahagian khalifah, lalu aku bermaksud menantangnya. Dan aku tahu, bahwa aku akan dibunuh. Dan tiada yang menghalangi aku oleh pembunuhan itu. Tetapi khalifah itu berada di hadapan manusia ramai. Maka aku takut bahwa aku itu ditimpa oleh penghiasan diri bagi makhluq ramai. Lalu aku dibunuh, tanpa keikhlasan pada perbuatan. Jikalau ada orang bertanya: Apakah artinya firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu jatuhkan dirimu sendiri dengan tanganmu kepada kebinasaan”. S 2 Al Baqarah ayat 195. Kami menjawab: tiada perbedaan pendapat, bahwa muslim seorang diri boleh menyerang ke barisan orang-orang kafir dan berperang. Walaupun ia tahu bahwa ia akan terbunuh. Dan ini kadang-kadang disangka menyalahi bagi yang diwajibkan oleh ayat di atas. Dan bukanlah demikian. Sesungguhnya Ibnu Abbas ra telah berkata: “Tidaklah kebinasaan itu demikian. Akan tetapi, meninggalkan perbelanjaan pada mentaati Allah Ta’ala. Artinya: orang yang tidak berbuat demikian, maka sesungguhnya ia telah membinasakan dirinya”. Al-Barra’ bin ‘Azib berkata: “Kebinasaan, ialah berbuat dosa. Kemudian ia mengatakan: “Tidak akan diterima taubatku”. Abu ‘Ubaidah berkata: “Kebinasaan, ialah berbuat dosa. Kemudian tidak berbuat kebajikan sesudahnya, sehingga ia binasa”. Apabila boleh memerangi kafir, sehingga ia terbunuh, niscaya boleh pula baginya yang demikian pada hisbah. Akan tetapi, kalau ia tahu bahwa tak ada kegagahan untuk serangannya ke atas kafir, seperti orang buta yang mencampakkan dirinya kepada barisan atau orang lemah, maka yang demikian itu haram. Dan masuk dalam umum ayat kebinasaan itu. Sesungguhnya boleh baginya maju apabila ia tahu bahwa ia berperang sampai terbunuh. Atau ia tahu bahwa ia menghancurkan hati orang-orang kafir, dengan dilihat mereka akan keberaniannya. Dan diyakini mereka pada orang-orang Islam yang lain, kurang memperhatikan akan kepentingan sendiri. Dan kecintaan mereka (kaum muslimin) untuk syahid pada jalan Allah (sabilullah). Maka dengan demikian, hancurlah kekuatan orang-orang kafir itu. Maka seperti itu pula, boleh bagi muhtasib, bahkan disunatkan baginya, mendatangkan dirinya bagi pemukulan dan pembunuhan, apabila hisbahnya itu membekas pada menghilangkan kemunkaran. Atau pada menghancurkan kemegahan orang fasiq. Atau pada menguatkan hati orang-orang agama. Adapun kalau muhtasib itu melihat seorang fasiq yang keras dan padanya ada pedang dan di tangannya gelas berisi khamar dan muhtasib itu tahu bahwa jikalau ia menantang, niscaya orang fasiq itu akan meminum khamar tersebut dan akan memotong lehernya dengan pedang. Maka ini termasuk diantara yang aku lihat, tak ada cara untuk hisbah padanya. Dan itu adalah kebinasaan benar-benar. Maka sesungguhnya yang dicari, ialah yang memberi bekas dengan sesuatu bekas pada agama. Dan ia dapat menebuskannya dengan dirinya sendiri. Adapun mendatangkan diri bagi kebinasaan, tanpa memberi bekas, maka tiada cara bagi yang demikian. Bahkan seyogyalah haram adanya. Dan sesungguhnya disunatkan menantang, apabila sanggup membatalkan kemunkaran itu. Atau nyata perbuatannya itu memberi faedah. Dan yang demikian, dengan syarat bahwa hal yang tiada disukai itu terbatas ke atas dirinya saja. Jikalau diketahuinya, bahwa orang fasiq itu akan memukul orang lain juga, dari para sahabat atau kerabat atau teman-temannya, maka tidak boleh muhtasib itu berhisbah. Bahkan haram. Karena ia lemah daripada menolak kemunkaran. Kecuali yang demikian ittu membawa kepada kemunkaran yang lain. Dan tidaklah yang demikian itu termasuk dalam kemampuan sedikitpun. Bahkan, jikalau diketahuinya, bahwa jikalau ia berihtisab, niscaya kemunkaran itu hilang. Akan tetapi yang demikian itu menjadi sebab bagi kemunkaran yang lalu, yang akan diperoleh oleh yang lain dari muhtasib itu. Maka yang lebih kuat hukumnya, tiada halal menantangnya. Karena yang dimaksud, ialah tiada terdapat kemunkaran-kemunkaran agama mutllak. Tidak dari si Zaid atau dari si Umar. Yang demikian itu, umpamanya: ada pada seseorang, minuman halal yang bernajis, disebabkan jatuh najis ke dalamnya. Dan orang itu tahu, bahwa jikalau dibuangkannya minuman itu, niscaya yang punya minuman itu, akan meminum khamar. Atau anak-anaknya akan meminum khamar, karena mereka itu berhajat kepada minuman halal. Maka tak ada artinya menuangkan yang demikian. Dan mungkin juga dikatakan, bahwa orang itu menuangkan yang demikian. Maka dia membatalkan suatu kemunkaran. Adapun meminum khamar, maka adalah perbuatan yang tercela. Dan muhtasib itu tiada sanggup mencegahnya dari kemunkaran itu. Telah berjalan kepada pendapat tadi orang-orang yang beraliran demikian. Dan tidaklah jauh dari dapat dipahami. Karena ini adalah masalah-masalah fiqh, tidak mungkin menetapkan hukumnya, selain dengan berat dugaan (dhan). Dan tiadalah jauh untuk dibedakan, antara derajat-derajat kemunkaran yang dihilangkan dan kemunkaran yang membawa kepadanya hisbah dan penghilangan. Sesungguhnya apabila muhtasib itu menyembelih kambing untuk orang lain, supaya dimakannya dan ia tahu jikalau dilarangnya dari yang demikian, niscaya orang itu akan menyembelih manusia dan memakannya, maka tak adalah arti bagi hisbah ini. Ya, jikalau dilarangnya daripada menyembelih manusia atau memotong anggotanya, yang akan membawa kepada pengambilan hartanya, maka yang demikian itu mempunyai segi yang jelas. Maka inilah titik-titik halus yang terjadi pada tempat ijtihad. Dan atas muhtasib mengikuti ijtihadnya pada yang demikian semuanya. Dan bagi titik-titik halus ini kami berkata: “Seyogyalah bagi orang awam tidak melakukan ihtisab. Kecuali pada hal-hal yang terang, yang diketahui. Seperti: minum khamar, zina dan meninggalkan shalat”. Adapun sesuatu yang diketahui itu ma’siat, dengan disandarkan kepada perbuatan-perbuatan yang datang dan memerlukan kepada ijtihad, maka orang awam jikalau terjun ke dalamnya, niscaya merusak lebih banyak daripada memperbaiki. Dari inilah menguatnya sangkaan orang yang tidak menetapkan pengurusan hisbah, kecuali dengan penentuan wali (penguasa). Karena kadang-kadang terpanggil kepada hisbah itu, orang yang tidak ahli, karena kesingkatan pengetahuannya atau kekurangan keagamaannya. Maka yang demikian itu membawa kepada segi-segi kecederaan. Dan akan datang pembukaan tutup dari yang demikian, Insya Allah. Kalau ada orang bertanya: “Dari segi anda mengatakan secara mutlak bahwa muhtasib itu tahu akan mengenai dirinya hal yang tiada diingini atau tiada mendatangkan faedah hisbahnya itu. Maka jikalau “tahu” itu diganti dengan “sangka”, bagaimana hukumnya ?”. Kami menjawab: bahwa persangkaan yang keras pada bab ini, adalah dalam arti: tahu. Hanya perbedaan itu jelas, ketika bertentangan sangka dan tahu. Karena kuat tahu dengan keyakinan dari sangka. Dan diperbedakan antara tahu dan sangka pada tempat-tempat lain. Yaitu: bahwa gugur kewajiban hisbah, di mana muhtasib itu tahu dengan pasti, bahwa perbuatannya tidak akan berfaedah. Kalau keras persangkaannya, bahwa “tidak berfaedah”, tetapi “mungkin akan berfaedah” dan bersamaan dengan itu tidak akan terjadi hal yang tiada diingini, maka berselisih para ulama tentang wajibnya. Yang lebih kuat (al-adhar) wajib. Karena tak ada kemelaratan padanya. Dan manfaatnya diharapkan. Dan umumnya amar-ma’ruf dan nahi-munkar, menghendaki akan wajib itu dalam segala hal. Dan hanya kami kecualikan secara khusus, apabila muhtasib itu tahu, bahwa tidak berfaedah. Adakalanya dengan Ijma’ (sepakat)  atau dengan qias nyata. Yaitu: bahwa suatu perintah tidaklah dimaksudkan perintah itu sendiri. Akan tetapi, bagi yang diperintah. Maka apabila yang diperintah itu tahu tidak akan berhasil (ia putus-asa), maka tak ada faedah dilaksanakan. Apabila ia tidak putus-asa, maka seyogyalah kewajiban itu tidak gugur. Kalau orang bertanya: bahwa yang tiada diingini yang mungkin akan terjadi, jikalau kemungkinan itu tidak diyakini dan tidak diketahui dengan keras sangka, akan tetapi diragukan atau keras sangkanya bahwa tidak akan menimpa dengan yang tiada diingini, akan tetapi mungkin akan menimpa dengan yang tiada diingininya itu, maka kemungkinan ini, gugurlah wajibnya ?. Sehingga tiada wajib, kecuali ketika yakin, bahwa tiada akan menimpa diri muhtasib dengan yang tiada diingini. Ataukah wajib dalam tiap-tiap hal, kecuali apabila keras sangkaannya, akan menimpa dengan yang tiada diingini. Kami jawab, jikalau keras sangkaannya bahwa ia akan tertimpa dengan yang tiada diingini, niscaya tiada wajib. Jikalau keras sangkaannya, bahwa ia tiada akan tertimpa dengan yang tiada diingini, niscaya wajib. Dan semata-mata kemungkinan, tidak menggugurkan wajib. Karena yang demikian adalah mungkin pada semua hisbah. Jikalau ia ragu padanya, tanpa kekuatan dalil, maka inilah tempat penelitian. Mungkin dikatakan, pada pokoknya (asalnya) wajib dengan umumnya hukum. Dan wajib itu gugur dengan hal yang tiada diingini. Dan yang tiada diingini itu ialah yang disangka atau diketahui, sehingga adanya akan terjadi. Inilah pendapat yang lebih kuat !. Dan mungkin dikatakan, bahwa wajiib melaksanakan hisbah itu, apabila diketahui tak ada kemelaratan padanya. Atau disangka tak ada kemelaratan. Yang pertama lebih syah (lebih kuat), karena memandang kepada yang dikehendaki umum, yang mewajibkan amar-ma’ruf. Kalau ada yang bertanya: dugaan akan terjadi yang tiada diingini itu, berlainan disebabkan pengecut dan berani. Maka orang pengecut yang lemah hati, melihat yang jauh itu dekat. Sehingga seakan-akan ia melihatnya dan ia takut. Dan orang yang sangat berani, merasa jauh akan terjadi hal yang tiada diingini, menurut hukum tabiatnya, dari baiknya angan-angan. Sehingga ia tidak membenarkan, kecuali sesudah terjadi. Jadi, maka apakah yang menjadi pegangan ?. Kami menjawab, pegangan itu adalah di atas tabiat yang sedang, akal yang sejahtera dan kondisi badan (mizaj). Sesungguhnya sifat pengecut itu penyakit. Yaitu: kelemahan hati (jiwa). Sebabnya kurang dan merendahnya kekuatan. Dan sifat tahawwur (keberanian yang berlebih-lebihan) adalah bersangatan kekuatan, keluar dari pertengahan dengan berlebih-lebihan. Keduanya itu sifat kekurangan. Yang sempurna ialah pada pertengahan yang disebut: syaja’ah (berani). Masing-masing: pengecut dan tahawwur itu, terjadi, sekali dari kekurangan akal dan sekali dari kecederaan kondisi badan dengan merendahnya atau meningginya. Sesungguhnya orang yang sedang mijaznya mengenai sifat pengecut dan berani, kadang-kadang ia tidak meneliti tempat-tempat kejahatan. Maka adalah sebab keberaniannya itu kebodohannya. Kadang-kadang ia tidak meneliti cara-cara menolak kejahatan itu, maka sebab pengecutnya ialah kebodohannya. Kadang-kadang ia tahu, disebabkan pengalaman dan kebiasaan dengan tempat-tempat datangnya kejahatan dan cara-cara menolaknya. Akan tetapi kejahatan yang jauh itu berbuat pada melemahkan dan menghancurkan kekuatannya untuk tampil. Disebabkan kelemahan hati (jiwa)nya, akan apa yang diperbuat oleh kejahatan yang dekat pada orang yang berani, yang bertabiat sedang (normal). Maka tidaklah penolehan pada kedua segi itu !. Dan atas orang pengecut harus berusaha meskipun berat, menghilangkan kepengecutannya dengan menghilangkan penyakitnya. Penyakitnya ialah: kebodohan atau kelemahan. Kebodohan itu hilang dengan pengalaman. Dan kelemahan itu hilang dengan membiasakan perbuatan yang ditakuti, dengan memaksakan diri (takalluf). Sehingga menjadi kebiasaan. Karena orang yang baru tampil (mubtadi) pada bertukar-pikiran dan memberi pengajaran umpamanya, kadang-kadang tabiatnya pengecut, karena kelemahannya. Maka apabila ia selalu dan membiasakan, niscaya kelemahan itu berpisah daripadanya. Maka jikalau yang demikian telah menjadi mudah (dlaruri), tidak hilang lagi, dengan dikuasai oleh kelemahan ke atas hati (jiwa), maka hukum orang yang lemah itu, mengikuti halnya. Maka ia dimaafkan, sebagaimana dimaafkan orang sakit, tidak melakukan sebahagian kewajibannya. Karena itulah, kadang-kadang kami berkata di atas pendapat: bahwa tiada wajib melakukan pelajaran karena menunaikan hajji yang menjadi hukum Islam, atas orang yang sangat pengecut berlayar di lautan. Dan wajib atas orang yang tiada sangat ketakutannya. Maka seperti itu pula urusan tentang wajibnya hisbah. Kalau ada yang bertanya: keadaan yang tiada diingini yang akan terjadi itu, manakah batasnya ? karena manusia itu, kadang-kadang tiada menyukai suatu perkataan. Kadang-kadang tiada menyukai pukulan. Dan kadang-kadang tiada menyukai panjangnya lidah muhtasib terhadap dirinya dengan umpatan. Tiada seorangpun yang diajak kepada perbuatan kebaikan, melainkan mungkin akan terjadi daripadanya semacam kesakitan. Kadang-kadang timbul dari orang itu, menyeret muhtasib itu kepada sultan (penguasa). Atau mengancamnya pada majelis yang akan membawa kemelaratan kepada muhtasib dengan ancaman tersebut. Maka apakah batas hal yang tiada diingini itu yang menggugurkan kewajiban ?. Kami menjawab: Ini juga, padanya penelitian yang kabur. Bentuk persoalannya bertebaran dan tempat lalunya banyak. Akan tetapi, kami bersungguh-sungguh mengumpulkan yang bertebaran itu dan menghinggakan bahagian-bahagiannya. Kami terangkan, bahwa: yang tiada diingini itu (al-mahruh) ialah lawan dari yang dicari (al-mathlub). Yang dicari oleh manusia di dunia ini, kembali kepada 4 perkara: adapun pada jiwa, maka pengetahuan. Adapun pada badan, maka kesehatan dan kesejahteraan. Adapun pada harta, maka kekayaan. Dan adapun pada hati manusia, maka tegaknya kemegahan. Jadi, yang dicari itu: pengetahuan, kesehatan, kekayaan dan kemegahan. Arti kemegahan, ialah: memiliki hati manusia, sebagaimana arti kekayaan, ialah: memiliki dirham (uang). Karena hati manusia itu jalan (wasilah) kepada maksud-maksud. Sebagaimana memiliki dirham itu, jalan kepada sampainya maksud. Dan akan datang penegasan arti kemegahan dan sebab kecondongan tabiat manusia kepadanya, pada “Rubu’ Yang Membinasakan”. Masing-masing dari 4 ini, dicari oleh manusia untuk dirinya sendiri, untuk kerabatnya dan orang-orang yang tertentu dengan dia. Dan yang tidak diingini pada 4 ini; 2 perkara:
Pertama: hilang apa yang telah berhasil, yang telah berada di tangannya.
Kedua: tercegah tidak berhasilnya apa yang ditunggu, yang belum ada. Ya’ni: tertolak apa yang diharapkan adanya. Maka tak ada yang memelaratkan, kecuali lenyapnya apa yang telah berhasil dan hilangnya atau pencegahan yang diitunggu. Karena yang ditunggu adalah ibarat dari sesuatu yang mungkin diperoleh. Dan kemungkinan diperoleh itu, seakan-akan barang yang berhasil. Dan lenyap kemungkinannya, seakan-akan lenyap berhasilnya. Maka kembalilah yang tiada diingini itu kepada dua bahagian:
Bahagian pertama: takut tercegahnya yang dinantikan. Dan ini tiada seyogyalah sekali-kali memberi kelapangan untuk meninggalkan amar-ma’ruf. Dan marilah kami sebutkan contohnya pada 4 macam yang dicari itu. Adapun pengetahuan: contohnya ialah, meninggalkan hisbah atas orang yang tertentu dengan gurunya. Karena takut buruk keadaannya pada gurunya itu. Lalu beliau tiada mau mengajarnya lagi. Adapun kesehatan: maka meninggalkannya itu, penantangan kepada tabib (dokter) yang ia masuk kepadanya –umpamanya-dengan memakai sutera. Karena takut ia terlambat daripadanya. Maka tercegahlah disebabkan demikian, kesehatannya yang dinantikan. Adapun harta: maka meninggalkannya itu, hisbah terhadap sultan, sahabat-sahabatnya dan orang yang menolongnya dari hartanya. Karena takut dipotongnya bantuan pada masa yang akan datang dan ditinggalkannya pertolongan itu. Adapun kemegahan, maka meninggalkannya itu, hisbah terhadap orang yang diharapkannya daripadanya pertolongan dan kemegahan pada masa yang akan datang. Karena takut akan tidak berhasil baginya kemegahan. Atau takut akan buruk keadaannya pada sultan (penguasa) yang diharapkannya daripadanya memperoleh kedudukan dalam pemerintahan (wilayah). Ini semuanya tidak menggugurkan kewajiban hisbah. Karena ini adalah tambahan-tambahan yang tercegah berhasilnya. Dan menamakan tercegahnya berhasil tambahan-tambahaan itu karena kemelaratan, adalah majaz. Dan bahwasanya kemelaratan hakiki, ialah: lenyapnya kehasilan. Tiada dikecualikan dari ini suatupun, selain apa yang diminta oleh keperluan. Dan pada lenyapnya itu ada hal yang ditakuti, yang melebihi dari ketakutan diam atas perbuatan munkar. Sebagaimana apabila ia memerlukan kepada tabib, karena penyakit yang sekarang. Dan kesehatan itu adalah yang ditunggu dari pengobatan tabit tersebut. Dan diketahuinya bahwa pada terlambatnya tabib itu, akan sangatnya sakit dan lamanya penyakit itu. Kadang-kadang membawa kepada mati. Dan aku maksudkan dengan tahu, ialah: berat sangkaan, yang membolehkan dengan hal yang seperti itu, meninggalkan pemakaian air dan berpaling kepada tayammum. Maka apabila sampai kepada batas ini, niscaya tidak jauh, untuk diberi keluangan meninggalkan hisbah. Adapun mengenai pengetahuan, maka umpamanya, bahwa ia bodoh dengan semua yang penting pada agamanya. Dan ia tiada memperoleh, selain seorang guru. Dan ia tidak sanggup berangkat kepada guru lain. Dan diketahuinya bahwa orang yang diamar-ma’rufkan (muhtasab ‘alaih) itu, sanggup menutupkan jalan sampai kepadanya. Karena orang yang berilmu (orang ‘alim) itu, patuh kepadanya atau mendengar perkataannya. Jadi, menahan diri (bersabar) di atas kebodohan, dengan hal-hal yang penting bagi agama itu dijaga. Dan diam atas perbuatan munkar itu dijaga. Dan tidak jauhlah untuk dikuatkan salah satu dari keduanya. Dan yang demikian itu, berlainan dengan kejinya kemunkaran dan sangatnya keperluan kepada pengetahuan. Karena hubungannya dengan kepentingan agama. Adapun mengenai harta, maka seperti orang yang lemah dari berusaha dan meminta-minta. Dan ia tidak kuat jiwanya pada tawakkal. Dan tidak ada yang memberi perbelanjaan (nafkah) kepadanya, selain orang seorang. Jikalau ia berihtisab kepada orang itu, niscaya orang itu memutuskan perongkosan hidupnya (rezekinya). Dan berhajatlah ia pada menghasilkan rezeki itu, kepada mencari rezeki yang haram atau mati kelaparan. Ini juga, apabila bersangatan keadaannya niscaya tiada jauh, untuk diberi kelapangan kepadanya berdiam diri. Adapun kemegahan, yaitu: ia disakiti oleh orang jahat. Dan tidak memperoleh jalan untuk menolak kejahatan itu, selain dengan kemegahan, yang diusahakannya dari sultan (penguasa). Dan ia tiada sanggup mencapainya, selain dengan perantaraan orang yang memakai sutera atau meminum khamar. Dan jikalau iia berihtisab kepada orang itu, niscaya dia tidak mempunyai perantaraan dan jalan baginya lagi. Maka tercegahlah ia memperoleh kemegahan. Dan dengan sebab yang demikian, berkekalanlah kesakitan dari orang jahat tersebut. Semua keadaan ini apabila telah lahir dan kuat, niscaya tiada jauhlah pengecualiannya. Akan tetapi urusannya tersangkut dengan ijtihadnya si muhtasib. Sehingga ia meminta fatwa pada hatinya. Dan menimbang salah satu dari dua yang dijaga itu dengan yang lain. Dan dikuatkan dengan memperhatikan agama. Tidak dengan yang diharuskan hawa nafsu dan tabiat sendiri. Jikalau dikuatkan dengan yang diwajibkan oleh agama, niscaya diamnya itu dinamakan: berlemah-lembut. Dan jikalau dikuatkan dengan yang diwajibkan oleh hawa nafsu, niscaya diamnya dinamakan: berminyak-minyak air. Dan ini adalah urusan bathin, yang tidak terlihat, selain dengan penelitian yang halus. Tetapi pengecam itu melihat. Maka berhaklah atas tiap-tiap orang beragama mengintip hatinya. Dan ia tahu, bahwa Allah melihat kepada yang membangkitkan dan yang memalingkaan hati itu, bahwa itu agama atau hawa nafsu. Dan tiap-tiap jiwa akan mendapati apa yang dikerjakannya, jahat atau baik, berada di sisi Allah. Walaupun pada sekejap yang terguris atau pada sekejap yang memperhatikan, tanpa kedzaliman dan penganiayaan. Tidaklah Allah berlaku dzalim kepada hambaNya.
Bahagian kedua: ialah: lenyapnya hasil. Maka itu tiada diingini. Dan dipandang boleh berdiam diri pada hal-hal 4 perkara itu, selain pengetahuan. Maka lenyapnya pengetahuan itu tiada ditakuti, selain dengan keteledoran daripadanya. Jikalau tidak, maka tiada seorangpun sanggup mencabut ilmu dari orang lain. Walaupun ia sanggup mencabut kesehatan, keselamatan, kekayaan dan harta. Inilah salah satu sebab kemuliaan ilmu. Ilmu itu kekal di dunia dan pahalanya kekal di akhirat. Ia tiada terputus untuk selama-lamanya. Adapun kesehatan dan kesejahteraan, maka keduanya hilang dengan pukulan. Tiap-tiap orang yang mengetahui bahwa ia akan dipukul dengan pukulan yang menyakitkan, yang diperolehnya kesakitan itu pada hisbah, maka tiada wajib hisbah atasnya. Walaupun disunatkan yang demikian baginya, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Apabila telah dipahami ini tentang menyakitkan dengan pukulan, maka  tentang melukakan, memotong dan membunuh itu lebih jelas lagi. Adapun kekayaan, ialah diketahuinya bahwa akan dirampok kampungnya, dirobohkan rumahnya dan dirampas kain-kainnya. Maka ini juga, gugur kewajiban daripadanya. Dan tinggallah sunat. Karena tiada mengapa ia menebus agamanya dengan dunianya. Dan masing-masing dari pukulan dan rampokan itu mempunyai batas tentang sedikitnya yang tidak masuk kiraan, seperti sebutir biji-bijian pada harta, dan tamparan yang ringan sakitnya pada pukulan. Dan batas pada banyaknya itu, tertentu perkiraannya. Dan pertengahan itu terjadi pada tempat kesangsian dan ijtihad. Dan atas orang yang beragama, bahwa ia berijtihad pada yang demikian. Dan menguatkan segi keagamaan sedapat mungkin. Adapun kemegahan, maka hilangnya, ialah: dengan memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Atau memaki di hadapan orang banyak. Atau meletakkan sapu-tangan pada lehernya dan membawa dia keliling negeri. Atau menghitamkan mukanya dan dibawa berkeliling. Semuanya itu tanpa pukulan yang menyakitkan badan. Dan itu adalah merusakkan kemegahan dan menyakitkan hati. Dan ini mempunyai tingkat-tingkat. Maka yang betul, ialah dibagi kepada: apa yang dipandang menggugurkan kehormatan diri (muruah), seperti dibawa keliling dalam negeri, terbuka kepala dan tiada beralas kaki. Maka ini diberi kelapangan kepadanya berdiam diri. Karena kehormatan diri itu disuruh menjaganya pada agama. Dan ini menyakitkan hati dengan kesakitan yang bertambah di atas sakitnya pukulan yang berulang-ulang dan di atas hilangnya sedikit dirham. Ini suatu tingkat !.
Tingkat kedua, ialah yang dikatakan kemegahan semata-mata dan ketinggian pangkat. Maka sesungguhnya keluar dengan pakaian kebanggaan itu, berbuat-buat kecantikan. Dan demikian pula mengendarai kuda. Jikalau diketahuinya, bahwa kalau ia berihtisab, niscaya memberatkan ia berjalan kaki di pasar dengan pakaian yang tiada pernah dipakainya seperti itu atau memberatkan ia berjalan kaki, sedang kebiasaannya berkendaraan. Maka ini termasuk dalam jumlah kelebihan. Dan tidaklah kerajinan menjaganya itu terpuji. Dan menjaga harga-diri itu terpuji. Maka tiada seyogyalah gugur kewajiban hisbah dengan contoh yang sekedar ini. Termasuk dalam pengertian ini, jikalau ditakutinya akan datang serangan dengan lisan. Adakalanya di hadapannya, dengan kata-kata pembodohan dan pendunguan dan penyebutan ria dan palsu. Dan adakalanya di belakangnya (tidak di mukanya), dengan bermacam-macam umpatan. Maka ini tidak menggugurkan wajib. Karena tak ada padanya, selain hilangnya kelebihan kemegahan yang tidak besar keperluannya. Jikalau ditinggalkan hisbah, disebabkan cacian orang yang mencaci atau disebabkan umpatan orang fasiq atau makiannya dan gertakannya atau hilangnya kedudukan dari hatinya dan hati teman-temannya, niscaya tiadalah sekali-kali wajib hisbah itu. Karena tiadalah terlepas hisbah daripadanya, kecuali apabila munkar itu umpatan. Dan diketahuinya bahwa jikalau ditantangnya, niscaya orang itu tidak berdiam diri dari orang yang diumpatinya. Tetapi ditambahkannya dan dimasukkannya orang yang diumpatinya itu bersama dia dalam mengumpat. Maka haramlah hisbah ini, karena menjadi sebab bertambahnya kema’siatan. Jikalau diketahuinya bahwa orang itu akan meninggalkan pengumpatan itu dan menyingkatkan kepada mengumpatnya saja, maka tiada wajib juga hisbah. Karena umpatannya itu ma’siat juga terhadap orang yang diumpatinya. Tetapi disunatkan yang demikian kepadanyaa. Supaya ia menebus kehormatan orang yang tersebut dengan kehormatan dirinya di atas jalan mengutamakan kepentingan orang lain. Sesungguhnya umumnya ayat-ayat dan hadits-hadits, menunjukkan kuat wajibnya hisbah dan besarlah bahaya berdiam diri daripadanya. Maka tiadalah menandinginya, selain oleh apa yang besar bahayanya pada agama. Harta, nyawa dan harga-diri telah jelas pada agama bahayanya. Adapun kelebihan kemegahan, kemarahan, derajat berbuat-buat kecantikan dan mencari pujian makhluq, maka semuanya itu tiada berbahaya. Meninggalkan ihtisab karena takut kepada sesuatu dari hal-hal yang tiada diingini, yang akan menimpa anaknya dan familinya, maka itu adalah termasuk haknya pada orang yang di bawahnya. Karena merasa sakit disebabkan oleh urusannya sendiri adalah lebih berat daripada dirasa sakit oleh urusan orang lain. Dan dari segi agama, yaitu yang di atasnya. Karena ia dapat memaafkan mengenai hak-haknya sendiri. Dan tidak dapat memaafkan mengenai hak orang lain. Jadi, seyogyalah ia tidak melakukan ihtisab. Maka sesungguhnya, jikalau ada yang hilang dari hak-hak mereka (anak dan famili) itu, hilang atas jalan ma’siat, seperti: pukulan dan rampokan, maka tiadalah baginya hisbah ini. Karena dia menolak munkar, yang membawa kepada munkar. Jikalau yang hilang itu tidak dengan jalan ma’siat, maka itu juga menyakiti orang Islam. Dan tiada boleh baginya yang demikian, kecuali dengan persetujuan mereka (anak dan famili) itu. Maka apabila ada yang demikian itu, membawa kepada menyakitkan kaumnya, maka hendaklah ditinggalkan ihtisab itu. Yang demikian itu seperti orang zahid yang mempunyai famili orang-orang kaya. Maka dia tidak takut kepada hartanya, jikalau ia melakukan ihtisab kepada sultan (penguasa). Tetapi sultan itu akan menuju familinya, karena menuntut balas dari orang zahid tadi dengan perantaraan familinya. Apabila kesakitan itu menjalar dari sebab hisbahnya, kepada famili dan tetangganya, maka hendaklah ia meninggalkan hisbah itu. Maka sesungguhnya menyakiti kaum muslimin itu harus dijaga. Sebagaimana diam atas munkar itu, harus dijaga. Ya. Jikalau tiada menimpa mereka oleh kesakitan itu pada harta atau jiwa, tetapi akan menimpa mereka oleh kesakitan dengan cacian dan makian, maka mengenai ini ada penelitian. Dan berlainan urusannya menurut derajat kemunkaran tentang kekejiannya dan tingkat perkataan yang dijaga mengenai tusukannya pada hati dan melakukan pada kehormatan. Jikalau ada yang bertanya: “Kalau orang mau memotong anggota tubuhnya sendiri dan ia tiada akan mencegah dirinya dari maksudnya itu, kecuali dengan pertempuran, yang kadang-kadang akan membawa kepada terbunuhnya, maka apakah ia akan diperangi ? jikalau anda mengatakan: akan diperangi, maka itu mustahil (tidak masuk akal). Karena itu adalah membinasakan jiwa karena takut dari kebinasaan anggota tubuh. Dan pada membinasakan jiwa itu, membinasakan anggota tubuh pula”. Kami menjawab: dilarang dari memotong anggota tubuhnya itu dan ia diperangi. Karena bukanlah maksud kita menjaga nyawanya dan anggota tubuhnya. Akan tetapi yang menjadi maksud, ialah: menutup jalan munkar dan ma’siat. Dan membunuhnya pada hisbah itu tidak ma’siat. Memotong anggota tubuhnya sendiri itu ma’siat. Yang demikian itu seperti menolak orang yang memaksa harta orang Islam, dengan apa yang mendatangkan kepada terbunuhnya. Yang demikian itu dibolehkan. Bukan berarti kita menebus sedirham harta orang Islam, dengan nyawa orang Islam. Yang demikian itu mustahil (tidak masuk akal). Tetapi maksudnya, untuk mengambil harta orang Islam itu, ma’siat. Dan terbunuhnya pada menolak perbuatan ma’siat itu tidak ma’siat. Dan yang dimaksud ialah menolak perbuatan-perbuatan ma’siat. Kalau ada yang berkata: “Jikalau kita ketahui, bahwa orang itu jikalau duduk sendirian untuk memotong anggota tubuhnya sendiri, maka seyogyalah kita menyerangnya sekarang juga, untuk menutup pintu kema’siatan”. Kami menjawab: Yang demikian itu tidaklah diketahui dengan yakin. Dan tidak boleh menumpahkan darahnya dengan persangkaan ma’siat. Tetapi apabila kita melihatnya dalam keadaan sedang memotong anggota tubuhnya, niscaya kita halangi perbuatan tersebut. Kalau ia menyerang kita, niscaya kita serang dia. Dan tidak kita hiraukan dengan apa yang akan terjadi atas jiwanya. Jadi, perbuatan ma’siat itu mempunyai 3 hal.
Hal pertama: bahwa ma’siat itu sudah berlalu. Maka siksaan atas ma’siat yang berlalu itu, ialah hukuman atau didera (ta’zir). Dan itu terserah kepada wali (penguasa), tidak kepada seseorang pribadi.
Hal kedua: bahwa ma’siat itu sedang berlangsung dan pelakunya sedang melakukannya. Seperti: dipakainya kain sutera, dipegangnya gitar dan khamar. Maka menghilangkan ma’siat ini wajib, dengan segala jalan yang mungkin ditempuh. Selama tidak membawa kepada kema’siatan yang lebih buruk lagi atau yang sama. Dan ini berlaku bagi masing-masing orang pribadi dan rakyat.
Hal ketiga: bahwa perbuatan munkar itu mungkin akan terjadi. Seperti orang yang menyiapkan menyapu tempat dan menghiasinya. Dan mengumpulkan bunga-bungaan untuk minum khamar. Dan khamar itu, belum didatangkan sesudahnya. Maka ini diragukan. Karena kadang-kadang datang sesuatu hal yang dapat mencegah. Maka tiada hak bagi seseorang pribadi menggunakan kekerasan terhadap orang yang bercita-cita meminum khamar. Kecuali dengan jalan pengajaran dan nasehat. Adapun dengan kekerasan dan pukulan, maka tiada boleh bagi seseorang pribadi dan bagi sultan (penguasa). Kecuali, apabila ma’siat itu diketahui dengan kebiasaan yang berkali-kali. Dan ia telah tampil kepada sebab, yang membawa kepada kema’siatan itu. Dan tiada tinggal untuk terjadinya maksud itu, kecuali apa yang tidak ada padanya, selain penungguan waktu saja. Yang demikian itu, adalah seperti berhentinya anak-anak muda pada pintu kamar mandi kaum wanita, untuk melihatnya ketika masuk dan keluar. Maka anak-anak muda itu, walaupun mereka tidak menyempitkan jalan karena jalan itu luas, maka bolehlah dilakukan hisbah kepada mereka, dengan menyuruh mereka berdiri dan melarang berhenti di tempat tersebut, dengan kekerasan dan pukulan. Dan adalah pentahkikan ini, apabila dibahas secara mendalam, niscaya kembali kepada berhenti di pintu itu sendiri adalah perbuatan ma’siat. Walaupun maksud dari si pelaku kema’siatan itu di belakangnya. Sebagaimana duduk berdua-duaan (khilwah) dengan wanita ajnabiah (wanita yang bukan mahram) itu sendiri, adalah perbuatan ma’siat. Karena menjadi dugaan terjadinya kema’siatan. Dan mendatangkan sesuatu yang menimbulkan sangkaan ma’siat itu ma’siat. Kami maksudkan dengan sangkaan, ialah: sesuatu yang diperbuat orang biasanya untuk terjadinya sesuatu perbuatan ma’siat, di mana tiada sanggup dicegah daripadanya. Jadi, menurut pentahkikan, hisbah itu adalah atas ma’siat yang sedang berlangsung, tidak atas ma’siat yang akan terjadi. 
RUKUN KEDUA: Hisbah mempunyai sesuatu yang padanya hisbah.
Yaitu: Tiap-tiap munkar yang ada sekarang, yang terang bagi si Muhtasib, tanpa diintip, diketahui adanya kemunkaran itu tanpa ijtihad.
Maka ini 4 syarat ! marilah kita membahasnya !.
Syarat Pertama: adanya kemunkaran itu. Kami maksudkan: bahwa ditakuti terjadinya pada agama. Kami tukar dari perkataan ma’siat kepada ini (perkataan munkar). Karena munkar, lebih umum dari ma’siat. Karena barangsiapa melihat anak kecil atau orang gila meminum khamar, maka haruslah ia menuangkan khamarnya dan melarang meminumnya. Demikian juga, jikalau dilihatnya orang gila laki-laki berzina dengan orang gila perempuan atau dengan binatang betina, maka haruslah melarangnya dari yang demikian. Dan tidaklah pelarangan itu karena kejinya bentuk perbuatan dan terjadinya di hadapan manusia. Bahkan jikalau dijumpainya kemunkaran ini pada tempat sunyi, niscaya wajiblah melarangnya. Perbuatan tersebut tidak dinamakan ma’siat pada orang gila. Karena ma’siat yang tidak ada orang ma’siat dengan ma’siat itu, mustahil. Maka perkataan “munkar” adalah lebih menunjukkan dan lebih umum dari perkataan “ma’siat” kepadanya. Dan telah kami masukkan pada keumuman ini, akan dosa kecil dan dosa besar. Maka tidaklah ditentukan hisbah itu dengan dosa-dosa besar saja. Bahkan membuka aurat dalam kamar mandi, duduk pada tempat sunyi dengan wanita ajnabiah dan mengikuti memandang wanita ajnabiah, semuanya itu termasuk dosa kecil dan wajib dilarang daripadanya. Mengenai perbedaan antara dosa kecil dan dosa besar, ada penelitian, yang akan datang penjelasannya pada “Kitab Taubat”.
Syarat kedua: bahwa munkar itu ada pada waktu sekarang. Yaitu menjaga juga dari hisbah atas orang yang telah selesai meminum khamar. Maka yang demikian, tiadalah atas seseorang pribadi dan munkar itu telah berlalu. Dan menjaga juga dari apa yang akan terjadi pada keadaan yang berikutnya. Seperti orang yang diketahui dengan tanda-tanda keadaannya, bahwa orang itu bercita-cita akan meminum khamar pada malamnya. Maka tiadalah hisbah terhadap orang itu, selain dengan pengajaran. Dan jikalau ia munkir bercita-cita meminumnya, maka tiada boleh pula memberi pengajaran itu. Maka sesungguhnya pada yang demikian itu, jahat sangka kepada orang Islam. Kadang-kadang benar perkataannya itu. Dan kadang-kadang ia tidak akan melangsungkan terhadap apa yang dicita-citakannya tadi, karena ada penghalang. Dan hendaklah diperhatikan akan titik halus yang telah kami sebutkan dahulu. Yaitu: bahwa duduk pada tempat sunyi dengan wanita ajnabiah, adalah ma’siat yang sedang berlaku. Dan demikian juga berhenti pada pintu kamar mandi kaum wanita. Dan hal-hal lain yang serupa dengan itu.
Syarat ketiga: bahwa perbuatan munkar itu jelas bagi si muhtasib, tanpa diintip. Maka tiap-tiap orang yang menutup perbuatan ma’siat di rumahnya dan menguncikan pintunya, niscaya tiada boleh dilakukan pengintipan. Allah Ta’ala melarang daripadanya. Kisah ‘Umaar dan Abdur Rahman bin ‘Auf tentang itu sudah dikenal. Dan telah kami sebutkan dahulu pada “Kitab Adab Berteman”. Dan seperti itu pula, apa yang diriwayatkan bahwa Umar ra memanjat dinding tembok seorang laki-laki. Lalu beliau melihat, laki-laki itu dalam keadaan yang tiada diingini. Lalu beliau menantangnya. Maka laki-laki itu menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! jikalau kiranya aku telah melakukan perbuatan ma’siat kepada Allah dari satu segi, maka engkau telah melakukannya dari 3 segi”. ‘Umar ra bertanya: “Manakah yang 3 segi itu ?”. Laki-laki itu menjawab: Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang”. S 49 Al Hujuraat ayat 12. Dan engkau mencari-cari keburukan itu. Allah Ta’ala berfirman: “Dan masukilah rumah itu dari pintunya”. S 2 Al Baqarah ayat 189. Dan engkau telah memanjat dinding tembok dan masuk dari atap. Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu masuk ke dalam rumah yang bukan rumah kamu, sebelum meminta izin dan memberi salam kepada orang yang di dalamnya !”. S 24 An Nur ayat 27. Dan engkau tiada memberi salam. Lalu ‘Umar ra meninggalkan laki-laki itu. Dan mensyaratkan kepadanya bertaubat. Karena itulah, Umar ra bermusyawarah dengan para sahabat ra dan beliau atas mimbar. Beliau bertanya kepada mereka dari hal imam (penguasa), apabila melihat sendiri perbuatan munkar, apakah boleh ia menjatuhkan hukuman pada perbuatan munkar tersebut ? Ali ra menjawab, bahwa yang demikian, bergantung kepada dua orang saksi yang adil. Tidak memadai seorang saksi. Kami telah sebutkan perkabaran ini pada penjelasan “Hak Muslim” dari “Kitab Adab Berteman” dahulu. Tidak kami ulangi lagi. Kalau anda bertanya: “Manakah batas terang dan tertutup ?”. Maka ketahuilah, bahwa orang yang menguncikan pintu rumahnya dan menutupkan dirinya dengan dinding-dinding temboknya, maka tiada boleh memasukinya, tanpa izin, untuk mengetahui ma’siat. Kecuali, jelas dalam rumah itu yang dapat diketahuii oleh orang yang berada dil luar rumah. Seperti bunyi seruling dan rebab, apabila telah meninggi bunyinya, dimana telah melewati dinding tembok rumah. Maka barangsiapa mendengar yang demikian, maka boleh memasuki rumah itu dan menghancurkan alat-alat permainannya. Demikian pula, apabila telah meninggi suara orang-orang mabuk dengan kata-kata yang biasa diantara mereka, dimana didengar oleh orang-orang di jalanan. Maka ini melahirkan yang mewajibkan hisbah. Jadi, sesungguhnya diketahui bunyi atau bau dari celah-celah tembok itu. Apabila bau khamar itu telah berhamburan, maka jikalau yang demikian itu mungkin dari khamar yang diihormati, maka tiada boleh bermaksud menuangkannya. Jikalau diketahui dengan petunjuk keadaan, bahwa bau itu berhamburan karena mereka meminumnya, maka ini suatu kemungkinan. Yang jelas, boleh hisbah. Kadang-kadang botol khamar itu ditutup dalam lengan baji dan di bawah ujung baju. Begitu pula alat-alat permainan. Apabila terlihat seorang fasiq dan di bawah ujung bajunya sesuatu niscaya tiada boleh dibuka, selama belum menampak dengan tanda tertentu. Maka sesungguhnya kefasiqannya itu, tidaklah menunjukkan bahwa barang yang ada padanya itu khamar. Karena orang fasiq itu berhajat juga kepada cuka dan lainnya. Maka tiada boleh diambil bukti dengan penyembunyiannya itu dan bahwa jikalau halal, tentu tidak disembunyikannya. Karena maksud-maksud pada penyembunyiannya itu banyak. Jikalau baunya sudah berhamburan, maka dalam hal ini menjadi tempat penelitian. Yang jelas, boleh bagi muhtasib itu ihtisab. Karena ini adalah suatu alamat yang memberi faedah berat sangkaan (zhan). Dan zhan itu seperti ilmu (tahu) pada hal-hal yang seperti ini. Begitupula gitar. Kadang-kadang dikenal dengan bentuknya, apabila kaun penutupnya itu tipis. Maka penunjukkan bentuk itu, seperti penunjukkan bau dan bunyi. Dan apa yang terang oleh penunjukkan itu, maka itu tiada tertutup. Bahkan itu terbuka. Dan kita telah disuruh bahwa menutup apa yang ditutup oleh Allah. Dan menantang terhadap orang yang menampakkan kepada kita wajahnya. Penampakan itu mempunyai tingkat-tingkat. Sekali menampakkan kepada kita dengan pancaindra pendengaran. Sekali dengan pancaindra penciuman. Sekali dengan pancaindra penglihatan. Dan sekaali dengan pancaindra penyentuhan. Dan tidak mungkin kita menentukan yang demikian, dengan pancaindra penglihatan. Tetapi yang dimaksdukan, ialah tahu. Semua pancaindra ini juga memberi faedah tahu. Jadi, sesungguhnya bolehlah dipecahkan apa yang di bawah kain, apabila diketahui bahwa yang di bawah kain itu khamar. Dan tida boleh baginya mengatakan: “Perlihatkanlah kepadaku, supaya aku tahu apa yang di dalamnya !”. Maka sesungguhnya itu, adalah mengintip-ngintip (tajassus). Dan arti: tajassus, ialah: mencari tanda-tanda pengenalan. Maka tanda pengenalan itu, jikalau berhasil dan membuahkan pengenalan, niscaya boleh dilaksanakan menurut yang dikehendaki oleh tanda-tanda itu. Mencari tanda pengenalan itu, tidaklah sekali-kali diberi izin.
Syarat keempat: bahwa munkar itu diketahui tanpa ijtihad. Maka tiap-tiap yang berada pada tempat ijtihad, niscaya tiada hisbah padanya. Maka tiada boleh bagi orang yang bermadzhab Hanafi, memandang mungkar terhadap orang yang bermadzhab Syafi’i, yang memakan dlabb dan dlabu’ dan makan yang ditinggalkan membaca “Bismillah” dengan sengaja. Dan tidak boleh bagi orang yang bermadzhab Syafi’i, memandang munkar terhadap orang yang bermadzhan Hanafi, yang meminum air nabidz (air buah anggur kering), yang tidak memabukkan dan menerima pusaka dzawil-arham dan duduk pada rumah yang diambilnya dengan syuf’ah ketetanggaan. Dan lain-lain yang berlaku padanya ijtihad para ulama mujtahid. Ya, kalau orang bermadzhab Syafi’i melihat orang yang bermadzhab Syafi’i juga meminum nabidz dan kawin tanpa wali dan bersetubuh dengan isterinya itu, maka dalam hal ini ada penelitian. Yang lebih kuat (al-adh-har), bahwa baginya hisbah dan menantang. Karena tiada seorangpun dari orang-orang yang memperoleh pengetahuan tinggi, beraliran, bahwa boleh bagi seorang ulama mujtahid, berbuat dengan yang diwajibkan oleh ijtihad lainnya. Dan tidak pula, bahwa orang yang dibawa oleh ijtihadnya, pada bertaqlid (turut/menurut) kepada seseorang yang dipandangnya ulama yang utama, bahwa baginya mengambil madzhab lainnya. Lalu memilih dari madzhab-madzhab itu yang terbaik padanya. Tetapi haruslah atas tiap-tiap muqallid (pengikut) mengikuti muqalladnya (yang diikuti) pada semua penguraian. Jadi, menyalahinnya akan muqallad itu, disepakati sebagai suatu perbuatan munkar diantara para ahli ilmu. Dan muqallid itu berbuat ma’siat dengan menyalahinya. Kecuali, haruslah dari ini, urusan yang lebih sulit lagi. Yaitu: bahwa boleh bagi orang yang bermadzhab Hanafi, memajukan pertanyaan kepada orang yang bermadzhab Syafi’i, apabila ia kawin tanpa wali, dengan mengatakan kepadanya: “Perbuatan itu sendiri benar. Tetapi tidak terhadap dirimu. Kamu membatalkan perkawinan itu dengan pelaksanaannya yang demikian, sedang kamu berkeyakinan, bahwa yang betul ialah madzhab Syafi’i. Penyalahan apa yang betul pada kamu adalah perbuatan ma’siat pada pihakmu. Walaupun ma’siat itu betul pada sisi Allah”. Demikian pula orang yang bermadzhab Syafi’i berihtisab terhadap orang yang bermadzhab Hanafi, apabila orang Hanafi itu berkongsi dengan dia memakan dlabb dan meninggalkan membaca “Bismillah” waktu makan, dengan sengaja dll. Dan mengatakan kepada orang Hanafi itu: “Adakalanya engkau berkeyakinan bahwa madzhab Syafi’i lebih utama diikuti. Kemudian engkau tampil melaksanakannya. Atau tidak engkau berkeyakinan yang demikian. Maka tidaklah engkau tampil melaksanakannya. Karena berselisih dengan keyakinanmu”. Kemudian, menarik ini kepada hal yang lain dari hal-hal yang dapat dirasakan dengan pencaindra. Yaitu, umpamanya: orang pekak bersetubuh dengan seorang wanita dengan maksud berzina. Dan diketahui oleh muhtasib bahwa wanita itu isteri orang pekak itu. Dikawinkan oleh bapaknya dengan dia pada waktu kecil. Tetapi tidak diketahuinya. Dan payah memberitahukannya yang demikian, karena pekaknya atau karena ia tiada mengetahui bahasanya. Maka orang pekak itu pada perbuatannya serta keyakinannya bahwa wanita itu ajnabiah, adalah berbuat ma’siat. Dan mendapat siksaan pada negeri akhirat. Maka seyogyalah wanita itu, dilarang dari orang pekak itu, walaupun wanita itu isterinya. Dan itu adalah jauh, dari segi bahwa itu halal pada ilmu Allah Ta’ala. Dan dekat dari segi haram atasnya, dengan hukum kesalahan dan kebodohannya. Dan tidak syah, bahwa jikalau berta’liq (menyangkutkan) penceraian (pentalakan) isterinya kepada suatu keadaan yang diketahui oleh hati si muhtasib, umpamanya: dari kehendak atau kemarahan atau lainnya. Dan keadaan itu telah ada pada hati muhtasib. Dan ia tidak sanggup memberitahukan yang demikian kepada suami-isteri itu. Tetapi telah diketahuinya jatuh talak itu pada bathin. Maka apabila si muhtasib melihat orang itu bersetubuh dengan perempuan itu, maka haruslah melarang. Ya’ni: dengan lisan, karena itu zina. Hanya penzina itu tiada mengetahuinya. Dan si muhtasib itu tahu bahwa wanita itu telah diceraikan 3 talak. Keduanya tidak ma’siat. Karena kebodohannya akan adanya keadaan yang tidak mengeluarkan perbuatan itu dari munkar. Dan tiada keluar yang demikian itu dari zina orang gila. Dan telah kami terangkan, bahwa orang gila itu dilarang dari zina yang dilakukannya. Apabila dilarang dari sesuatu yang munkar pada sisi Allah, walaupun tidak munkar pada si pembuatnya dan ia tidak ma’siat dengan munkar itu, karena halangan kebodohan, maka haruslah dari kebalikan ini, bahwa dikatakan: apa yang tidak munkar di sisi Allah dan sesungguhnya itu munkar pada si pembuattnya karena kebodohannya, niscaya tidak dilarang. Ini adalah lebih kuat (al-adh-har). Dan pengetahuan itu adalah pada sisi Allah Ta’ala. Maka dari ini berhasillah, bahwa: orang Hanafi tidak akan mengajukan pertanyaan kepada orang Syafi’i tentang perkawinan tanpa wali. Dan orang Syafi’i akan mengajukan pertanyaan kepada orang Syafi’i tentang itu. Karena yang ditanyakan itu, perbuatan munkar dengan kesepakatan si muhtasib dan orang yang diihtisabkan (muhtasab ‘alaih). Inilah masalah-masalah fiqh yang halus dan kemungkinan-kemungkinan yang bertentangan padanya. Dan kami mengeluarkan fatwa padanya menurut yang kuat pada kami sekarang. Dan tidaklah kami memutuskan, salahnya penguatan orang yang menyalahinya, kalau ia berpendapat, bahwa tidak berlaku ihtisab, selain pada yang diketahui dengan yakin. Dan telah berjalan kepadanya para ulama yang beraliran demikian. Dan mereka itu berkata, bahwa tiada hisbah, selain pada seumpama khamar, babi dan apa yang diyakini haramnya. Tetapi yang lebih meragukan (al-asybah) pada kita (golongan Syafi’i), ialah: bahwa ijtihad itu memberi bekas pada pihak mujtahid. Karena jauh sekalilah bahwa ia berijtihad tentang qiblat dan ia mengaku dengan terangnya qiblat padanya ke sesuatu arah, dengan dalil-dalil berat sangkaan. Kemudian ia membelakanginya. Dan ia tidak dilarang dari yang demikian, karena berat sangkaan orang lain. Karena membelakang itulah yang betul. Dan pendapat orang yang berpendapat, bahwa boleh bagi tiap-tiap muqallid (pengikut madzhab) memilih madzhab mana yang dikehendakinya itu, tidaklah masuk hitungan. Mudah-mudahan tidaklah syah sekali-kali perjalanan orang yang berjalan kepadanya. Maka ini adalah madzhab yang tidak tetap. Dan jikalau tetap, maka tidaklah masuk hitungan. Jikalau anda berkata, bahwa apabila tidak diajukan pertanyaan kepada orang Hanafi tentang nikah tanpa wali, karena ia berpendapat bahwa itu benar, maka seyogyalah tidak diajukan pertanyaan kepada orang mu’tazilah (al-mu’tazili) tentang perkataannya: bahwa Allah Ta’ala tidak akan dilihat. Dan perkataannya: bahwa kebajikan daripada Allah dan kejahatan bukan daripada Allah. dan perkataannya: Kalam (berkata-kata) Allah itu makhluq. Dan tidak kepada orang yang banyak perkataannya jelek (al-hasyawi), tentang perkataannya: bahwa Allah Ta’ala suatu tubuh, mempunyai bentuk dan Ia tetap di atas ‘Arasy. Bahkan, tiada seyogyalah diajukan pertanyaan kepada orang falsafah (al-falsafi), tentang perkataannya: bahwa tubuh manusia tidak akan dibangkitkan (dihidupkan kembali) dan yang dibangkitkan ialah nyawa. Karena mereka itu juga dibawa oleh ijtihadnya kepada apa yang dikatakannya itu. Dan mereka itu menyangka bahwa yang demikian itu benar. Kalau anda berkata, bahwa batil/salah/salahnya madzhab mereka itu jelas, maka batil/salah/salahnya madzhab orang yang menyalahi nash hadits shahih juga jelas. Dan sebagaimana telah tetap dengan nash-nash yang nyata, bahwa Allah Ta’ala akan dilihat (di akhirat) dan orang mu’tazilah mengingkarinya dengan penta’wilan (penafsiran), maka seeprti itu pula telah tetap dengan nash-nash yang nyata, masalah-masalah yang menyalahi padanya orang Hanafi. Seperti masalah perkawinan tanpa wali dan masalah Syuf’ah ketentanggaan dan yang seumpama dengan keduanya. Maka ketahuilah, bahwa masalah-masalah itu terbagi kepada: apa yang tergambar untuk dikatakan padanya: semua mujtahid itu betul. Yaitu: hukum-hukum perbuatan tentnag halal dan haramnya. Yang demikian ialah, yang tiada diajukan padanya pertanyaan kepada para ulama mujtahid. Karena tiada diketahui dengan pasti kesalaha mereka, tetapi hanya secara berat dugaan (zhann). Dan kepada: apa yang tidak tergambar, bahwa adalah yang betul padanya, selain satu. Seperti: masalah melihat Allah, qadar, tiada berpemulaan Kalam (berkata-kata) Allah, tidak berbentuk, tidak bertubuh dan tidak bertempat Allah Ta’ala. Maka ini termasuk apa yang diketahui dengan pasti, kesalahan orang yang bersalah padanya. Dan tiada tinggal cara, bagi kesalahannya yang merupakan kebodohan semata-mata. Jadi, semua bid’ah (yang diada-adakan) itu seyogyalah ditutup pintu-pintunyya dan ditantang terhadap pembid’ah (yang diada-adakan)-pembid’ah (yang diada-adakan) itu segala bid’ah (yang diada-adakan)nya. Walaupun mereka itu berkeyakinan bahwa bid’ah (yang diada-adakan)-bid’ah (yang diada-adakan)nya itu benar. Sebagaimana ditolak dikembalikan kepada Yahudi dan Nasrani kekufurannya, walaupun mereka itu berkeyakinan bahwa yang demikian itu benar. Karena kesalahan mereka diketahui dengan pasti. Lain halnya kesalahan pada tempat-tempat sangkaan bagi ijtihad. Jikalau engkau berkata: “Manakala anda mengajukan pertanyaan kepada orang Qadariah mengenai perkataannya: “Kejahatan itu tidak dari Allah”, niscaya orang Qadariah itu, akan mengajukan pula pertanyaan kepada anda mengenai perkataan anda: “Kejahatan itu dari Allah”. Dan begitupula mengenai perkatan anda: “Bahwasanya Allah Ta’ala akan dilihat”, dan pada masalah-masalah lain. Karena pembid’ah (yang diada-adakan) itu merasa benar pada dirinya sendiri. Dan orang yang benar dianggap pembid’ah (yang diada-adakan) oleh pihak pembid’ah (yang diada-adakan). Masing-masing menda’wakan dia yang benar. Dan menantang bahwa dia pembid’ah (yang diada-adakan). Maka bagaimanakah ihtisab itu akan sempurna ?”. Ketahuilah, bahwa kami karena pertantangan ini, mengatakan: “Dilihat ke negeri yang telah lahir bid’ah (yang diada-adakan) padanya. Jikalau bid’ah (yang diada-adakan) itu asing pada rakyat banyak dan manusia semuuanya di atas sunnah, maka dilakukan hisbah, tanpa keizinan sultan (penguasa). Dan jikalau terbagi penduduk kepada ahli bid’ah (yang diada-adakan) dan ahlis-sunnah dan pada pengajuan pertanyaan itu, menggerakkan fitnah dengan bunuh-membunuh, maka tiadalah hisbah bagi orang seorang mengenai madzhab-madzhab, selain dengan ketetapan sultan”. Apabila penguasa melihat suatu pendapat yang benar dan ia memberi pertolongan dan memberi izin kepada seseorang untuk melarang pembid’ah (yang diada-adakan) daripada melahirkan bid’ah (yang diada-adakan) itu, niscaya adalah yang demikian, bagi orang tersebut. Dan tidak boleh bagi orang lain. Sesungguhnya apa yang ada dengan keizinan sultan, niscaya tiada akan berhadap-hadapan kepada orang lain. Dan apa yang ada dari pihak orang-orang seorang, maka hal itu dapat berhadap-hadapan dengan orang lain. Kesimpulannya, hisbah itu pada bid’ah (yang diada-adakan), lebih penting daripada hisbah pada tiap-tiap perbuatan munkar. Tetapi seyogyalah dijaga padanya, uraian yang telah kami sebutkan itu. Supaya tidak bertentangan keadaan dan tidak membawa kepada penggerakkan fitnah. Bahkan, kalau sultan mengizinkan secara mutlak, untuk melarang tiap-tiap orang yang dengan tegas mengatakan: bahwa Alquran itu makhluq atau: Allah tiada akan dilihat atau: Allah tetap di atas ‘Arasy yang bersentuhan dengan ‘Arasy atau bid’ah (yang diada-adakan)-bid’ah (yang diada-adakan) yang lain, niscaya berkuasalah masing-masing orang melarangnya. Dan tidaklah bertentangan urusan padanya. Yang bertentangan ialah ketika keizinan sultan saja.
RUKUN KETIGA: Muhtasib ‘alaih.
Syaratnya: bahwa muhtasab ‘alaih dengan sifat, yang menjadikan perbuatan yang dilarang daripadanya, terhadap dirinya itu, adalah pembuat munkar. Sedikitnya yang memadai untuk demikian, ialah: bahwa muhtasab ‘alaih itu manusia. Dan tidak disyaratkan mukallaf. Karena telah kami terangkan, bahwa anak kecil jikalau meminum khamar, niscaya dilarang dan dilakukan ihtisab kepadanya. Meskipun ia belum baligh (belum dewasa). Dan tidak disyaratkan mumayyiz (sudah dapat memperbedakan antara yang bermanfaat dan tidaknya). Karena telah kami terangkan, bahwa orang gila jikalau berzina dengan wanita gila atau mendatangi hewan betina, niscaya wajiblah dilarang daripadanya. Benar, sebahagian perbuatan itu tidaklah munkar pada orang gila. Seperti: meninggalkan shalat, puasa dan lainnya. Akan tetapi kita tidak menoleh kepada perbedaan penguraian. Sesungguhnya yang demikian juga, termasuk apa yang berbeda padanya orang muqim dan orang musafir, orang sakit dan orang sehat. Dan maksud kita ialah: penunjukkan kepada sifat yang dihadapkan kepadanya pokok penantangan. Tidak apa yang disediakan untuk penguraian-penguraian. Jikalau engkau berkata: “Cukuplah dikatakan saja muhtasab ‘alaih itu hewan. Dan tidak disyaratkan adanya muhtasab ‘alaih itu manusia. Karena hewan, jikalau merusakkan tumbuh-tumbuhan orang, niscaya kita larang, sebagaimana kita larang orang gila dari berzina dan mendatangi hewan betina (berzina dengan hewan betina)”. Ketahuilah, bahwa menamakan yang demikian itu hisbah, tak ada caranya. Karena hisbah ialah: ibarat dari larangan perbuatan munkar karena hak Allah, menjaga orang yang dilarang daripada mengerjakan yang munkar. Melarang orang gila dari zina dan mendatangi hewan betina, adalah karena hak Allah. Demikian juga melarang anak kecil dari meminum khamar. Dan manusia apabila merusakkan tanaman orang lain, niscaya dilarang karena dua hak:
Pertama: hak Allah Ta’ala, karena perbuatan itu ma’siat.
Kedua: hak orang yang dirusakkan. Keduanya itu dua sebab, yang berpisah satu dari lainnya. Kalau ia memotong anggota tubuh orang lain dengan keizinannya, maka telah terdapat perbuatan ma’siat. Dan gugur hak orang yang dianiayakan, disebabkan keizinannya. Maka tetaplah hisbah dan larangan itu, dengan salah satu dua sebab tadi. Hewan, apabila merusakkan kepunyaan orang, maka tiadalah kema’siatan padanya. Akan tetapi, tetaplah dilarang, disebabkan salah satu dua sebab tadi. Tetapi pada persoalan ini mengandung hal yang halus. Yaitu: bahwa kita tidak maksudkan dengan mengeluarkan hewan itu, akan melarang hewan. Tetapi kita maksudkan menjaga harta orang Islam. Karena hewan kalau memakan bangkai atau meminum pada bejana, yang di dalamnya khamar atau air yang bercampur dengan khamar, niscaya tidak kita larang. Bahkan boleh memberi makan anjing buruan dengan bangkai busuk yang baru mati. Tetapi harta orang Islam, apabila didatangi kelenyapan dan kita sanggup memeliharanya tanpa payah, niscaya wajiblah yang demikian atas kita, karena menjaga harta. Bahkan, jikalau jatuh kendi kepunyaan seseorang dari atas dan di bawahnya ada botol kepunyaan orang lain, maka haruslah ditolak kendi untuk memelihara botol. Bukan untuk mencegah kendi dari jatuh. Kita tidak maksudkan mencegah kendi dan menjaganya daripada memecahkan botol. Kita melarang orang gila dari zina dan mendatangi hewan betina dan meminum khamar, demikian juga anak kecil, bukan untuk memelihara hewan yang didatangi atau khamar yang diminum. Akan tetaapi pemeliharaan untuk orang gila itu daripada meminum khamar dan pembersihan baginya, dari segi dia itu manusia yang dihormati. Inilah titik-titik halus yang tidak dapat dipahami, selain oleh orang-orang yang dalam penyelidikannya (al-muhaqqiqun). Maka tiada seyogyalah dilupakan daripadanya. Kemudian tentang apa yang wajib dibersihkan anak kecil dan orang gila, daripadanya itu ada penelitian. Karena kadang-kadaang terdapat keragu-raguan tentang pelarangan anak kecil dan orang gila, dari memakai sutera dan yang lain dari itu. Dan akan kami bentangkan untuk yang kami isyaratkan itu pada: Bab ketiga. Jikalau anda bertanya: “Tiap-tiap orang yang melihat hewan-hewan yang terlepas pada tanaman orang, adakah wajib ia mengeluarkannya ? dan tiap-tiap orang yang melihat harta seorang muslim yang hampir hilang, adalah wajib ia menjaganya. Jikalau anda mengatakan bahwa yang demikian itu: wajib, maka ini adalah pemberatan sekali, yang membawa kepada jadinya manusia itu dipaksakan untuk orang lain sepanjang umurnya. Dan jikalau anda mengatakan: tiada wajib, maka mengapakah wajib ihtisab kepada orang yang merampas harta orang lain dan tiada sebabnya, selain memelihara harta orang lain ?”. Kami menjawab: ini adalah pembahasan yang halus, lagi sulit. Dan jawaban yang singkat mengenai ini, kami mengatakan: manakala sanggup memeliharanya dari kehilangan, tanpa memperoleh kepayahan pada tubuhnya atau kerugian pada hartanya atau kekurangan pada kemegahannya, niscaya wajiblah atasnya yang demikian itu. Kadar yang demikian itu wajib mengenai hak-hak orang muslim. Bahkan itu adalah derajat hak-hak yang paling kurang. Dalil-dalil yang mewajibkan untuk hak-hak kaum muslimin itu banyak. Dan ini derajat yang sekurang-kurangnya. Dan itu adalah lebih utama mewajibkannya, daripada menjawab salam. Sesungguhnya, menyakitkan tentang ini adalah lebih banyak daripada menyakitkan tentang meninggalkan menjawab salam. Bahkan, tiada terdapat perselisihan mengenai harta orang, apabila lenyap dengan kedzaliman orang yang dzalim dan ada padanya kesaksian, jikalau dikatakannya dengan kesaksian itu, maka hak itu kembali kepada pemiliknya, niscaya wajiblah yang demikian itu atasnya. Dan ia ma’siat dengan menyembunyikan kesaksian itu. Dan searti dengan meninggalkan kesaksian itu, meninggalkan tiap-tiap penolakan yang tak ada kemelaratan atas yang menolakkannya. Jikalau ada padanya kepayahan atau kemelaratan pada harta atau kemegahannyya (tercemar namanya), niscaya tiada wajib yang demikian. Karena haknya dijaga mengenai kemanfaatan tubuhnya, mengenai harta dan kemegahannya, seperti hak orang lain. Maka tiadalah wajib, ia menebus orang lain dengan dirinya. Benar, mengutamakan orang lain itu disunatkan. Dan menghadapi segala kesulitan karena kaum muslimin itu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala (qurbah). Adapun mewajibkannya, adalah tidak. Jadi, jikalau menyusahkannya mengeluarkan hewan-hewan dari tanaman, niscaya tiada wajib ia mengusahakan yang demikian. Tetapi, apabila tiada menyusahkannya, dengan membangunkan pemilik tanaman dari tidurnya atau dengan memberitahukannya, niscaya haruslah yang demikian. Menyia-nyiakan memberitahu dan membangunkannya, adalah seperti menyia-nyiakan memberitahu kepada hakim, dengan kesaksian. Dan yang demikian itu, tak ada padanya kemaafan. Dan tiada mungkin dijaga padanya antara sedikit dan banyaknya. Sehingga dikatakan, jikalau tiada hilang daripada barang yang bermanfaat bagi dirinya pada waktu pekerjaannya mengeluarkan hewan-hewan itu, selain sekedar sedirham umpamanya dan pemilik tanaman akan hilang banyak harta, maka kuatlah pihaknya sendiri. Karena sedirham yang menjadi miliknya itu ia berhak menjaganya. Sebagaimana berhak pemilik 1000 dirham menjaga 1000 dirham. Dan tiada jalan untuk berpindah kepada yang demikian. Apabila harta itu hilang dengan jalan ma’siat, seperti: dirampas atau membunuh budak kepunyaan orang lain, maka wajiblah melarangnya. Walaupun ada padanya sesuatu kesusahan. Karena yang dimaksud ialah hak syara’ (agama) (agama). Dan maksudnya menolak kema’siatan. Dan manusia harus menyusahkan diri menolak ma’siat, sebagaimana harus ia menyusahkan dirinya meninggalkan ma’siat. Dan semua ma’siat itu payah-payah meninggalkannya. Dan sesungguhnya taat semuanya kembali kepada menyalahi hawa-nafsu. Dan itu adalah sangat payah. Kemudian tiada harus ia menanggung semua kemelaratan. Bahkan penguraiannya, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu, termasuk derajat yang dijaga, yang ditakuti si muhtasib. Dan sesungguhnya terdapat perselisihan ahli-ahli fiqh (fuqaha’) mengenai dua masalah yang mendekati maksud kita:
Pertama: mengambil barang yang terdapat di jalan (luqthah), adakah wajib ?. Barang yang dijumpai di jalan itu barang hilang. Dan yang mengambilnya itu mencegah dari kehilangan dan berusaha memeliharanya. Yang benar mengenai ini pada kami, bahwa diuraikan, dan diperkatakan: jikalau barang yang terdapat di jalan itu berada pada tempat, jikalau ditinggalkan barang itu di situ, niscaya tiada akan hilang, tetapi akan diambil oleh orang yang mengetahui luqthah itu atau ditinggalkan, seperti jikalau barang itu dalam masjid atau langgar, yang tertentu orang yang masuk ke dalamnya dan semuanya orang-orang kepercayaan, maka tiada wajib dipungut barang tersebut. Jikalau pada tempat yang akan hilang, maka padanya penelitian. Kalau sukar menjaganya, seperti jikalau benda itu hewan dan memerlukan kepada umpan dan kandang, maka tiada wajib memungutnya. Karena bahwasanya yang wajib mengambilnya itu, ialah hak si pemilik. Dan haknya itu, disebabkan si pemilik itu manusia yang terhormat. Dan si pengambil juga manusia. Dan mempunyai hak untuk tidak mendapat kepayahan, karena orang lain. Sebagaimana ia tidak memayahkan orang lain, karenanya. Jikalau luqthah itu emas atau kain atau sesuatu yang tak ada kemelaratan padanya, kecuali semata-mata payah memberitahukan kepada orang untuk diketahui siapa pemiliknya (ta’rif), maka dalam hal ini seyogyalah berada pada dua cara. Ada yang mengatakan, bahwa: memberitahukan (ta’rif) dan menegakkan syarat-syaratnya adalah payah. Maka tiada jalan untuk mewajibkan yang demikian. Kecuali orang itu berbuat sunat (tabarru’). Maka ia menerima keharusan itu, karena mencari pahala. Dan ada yang mengatakan, bahwa: kepayahan yang sekedar itu, adalah dipandang kecil, dibandingkan kepada menjaga hak-hak kaum muslimin. Maka ini disejajarkan, pada tempat yang sejajar dengan kepayahan saksi menghadiri sidang mahkamah (pengadilan). Maka tiada wajib berjalan jauh ke negeri lain. Kecuali ia bertabarru’ dengan yang demikian. Maka apabila majelis hakim itu dekat rumahnya, niscaya wajiblah ia hadir. Dan adalah kepayahan dengan beberapa langkah ini, tiada dihitung kepayahan, untuk maksud menegakkan kesaksian dan menunaikan amanah. Kalau pengadilan itu berada pada pinggir yang lain dari negeri itu dan memerlukan datang pada tengah hari dan sangat panas, maka ini kadang-kadang menjadi tempat ijtihad dan penelitian. Sesungguhnya kemelaratan yang diperoleh oleh orang yang berusaha memelihara hak orang lain, mempunyai: tepi tentang sedikitnya, yang tidak diragukan, tentang tidak perlunya diperhatikan. Dan: tepi tentang banyaknya, yang tidak diragukan, tentang tidak harus menanggungkannya. Dan: di tengah-tengah, yang ditarik-menarikkan oleh kedua tepi di atas. Dan selamanya berada pada tempat keraguan dan penelitian. Dan itu, termasuk keraguan sepanjang masa, yang tiada termasuk dalam kesanggupan manusia menghilangkannya. Karena tiada alasan, yang memisahkan diantara bahagian-bahagiannya yang berdekatan. Tetapi orang yang taqwa itu, memandang padanya bagi dirinya sendiri. Dan meninggalkan apa yang meragukannya, kepada apa yang tidak meragukannya. Maka inilah: penghabisan kasyaf (terbuka hijab) dari pokok ini !.
RUKUN KEEMPAT: Ihtisab itu sendiri, mempunyai tingkat-tingkat dan adab-adab.
Adapun tingkat-tingkat itu, maka yang pertama: ta’arruf. Kemudian: melarang (nahi). Kemudian: pengajaran dan nasehat. Kemudian: memaki dan menghardik. Kemudian: merobah dengan tangan. Kemudian: mengancam dengan pukulan. Kemudian: menjatuhkan pukulan dan melaksanakannya. Kemudian: menampakkan senjata. Dan kemudian: melahirkan kekuatan dengan teman-teman dan mengumpulkan tentara.
Adapun tingkat pertama, yaitu: ta’arruf. Kami maksudkan dengan ta’arruf, ialah: mencari pengenalan dengan berlakunya kemunkaran itu. Dan ini adalah dilarang. Yaitu mencari-cari keburukan orang (tajassus) yang telah kami sebutkan dahulu. Maka tiada seyogyalah menghaluskan pendengaran, ke rumah orang lain. Supaya mendengar bunyi rebab. Dan tidak untuk menarik nafas. Supaya dapat mengetahui bau khamar. Dan tidak untuk menyentuh sesuatu dalam kain. Supaya diketahui bentuk seruling. Dan tidak untuk mencari berita dari tetangganya, supaya mereka itu menceritakan kepadanya, apa yang berlaku dalam rumah orang itu. Ya, jikalau dua orang adil menceritakan kepadanya, dari permulaan, tanpa meminta berita, bahwa si Anu meminum khamar di rumahnya dan di rumahnya ada khamar yang disediakannya untuk dimiinum, maka ketika itu, ia boleh memasuki rumah tersebut dan tidak wajib meminta izin. Dan adalah melangkahi kepunyaan orang itu, dengan memasukinya, adalah untuk sampai kepada menolak kemunkaran. Seperti memecahkan kepalanya dengan pukulan untuk larangan, manakala memerlukan kepada yang demikian. Dan jikalau hal itu, dikabarkan oleh dua orang adil atau oleh seorang adil. Kesimpulannya, oleh tiap-tiap orang yang diterima ceritanya. Tidak kesaksiannya. Maka tentang bolehnya menyerbu ke rumah itu, dengan kata orang-orang tersebut, padanya menghendaki penelitian dan kemungkinan. Yang lebih utama menahan diri dari penyerbuan itu. Karena pemilik rumah itu, berhak untuk tidak dilangkahi rumahnya, dengan tidak seizinnya. Dan hak seorang Islam itu tidak gugur, dari apa yang telah tetap menjadi haknya, kecuali dengan dua orang saksi. Ini adalah lebih utama, apa yang dijadikan menjadi maksud padanya. Dan ada yang mengatakan, bahwa ukiran pada cincin Lukman ialah: “Menutup apa yang engkau lihat, adalah lebih baik daripada menyiarkan apa yang engkau duga”.
Tingkat kedua: ta’rif (pemberitahuan). Bahwa perbuatan munkar, kadang-kadang tampil kepadanya, orang yang tampil dengan kebodohan. Dan apabila ia diberitahukan bahwa perbuatan itu munkar, niscaya ditinggalkannya. Seperti orang bodoh di desa (as-sawadi), yang bershalat dan tidak mengerti dengan baik, ruku’ dan sujud. Lalu ia tahu demikian karena kebodohannya, bahwa tidaklah itu shalat. Jikalau ia senang bahwa ia tidak bershalat, niscaya ditinggalkannya shalat itu sendiri. Maka wajiblah memberitahu kepadanya dengan lemah-lembut, tanpa kekasaran. Yang demikian, karena dalam kandungan memberitahu itu, penyandaran kepada kebodohan dan kedunguan. Dan memperbodohkannya itu menyakitkan. Dan sedikitlah orang yang senang dikatakan dia bodoh dalam hal-hal urusan. Lebih-lebih dalam hal agama. Karena itulah anda melihat orang yang keras marahnya, betapa ia marah, apabila ia diperingati kepada kesalahan dan kebodohan. Dan bagaimana ia bersungguh-sungguh mengingkari kebenaran sesudah diketahuinya. Karena takut terbuka aurat kebodohannya. Dan tabiat manusia itu lebih loba, menutupi aurat kebodohannya daripada menutupi aurat yang sebenarnya. Karena kebodohan itu suatu kekejian pada bentuk jiwa, suatu kehitaman pada muka. Dan orang yang bodoh itu dicaci orang. Kekejian dua bagian badan (bagian muka dan belakang yang mengeluarkan najis) itu, kembali kepada bentuk badan. Dan jiwa lebih mulia dari badan. Dan kekejian jiwa adalah lebih buruk dari kekejian badan. Kemudian, badan itu tidak dicaci orang, karena dia itu kejadian yang dijadikan oleh Khaliq (yang maha pencipta) (yang maha pencipta), yang tiada termasuk berhasilnya dengan pilihan yang empunya badan sendiri. Dan tiada termasuk dalam pilihannya untuk menghilangkan dan membaguskan badan itu. Kebodohan itu suatu kekejian yang mungkin dihilangkan dan digantikan dengan kebagusan pengetahuan. Maka karena itulah, sangatnya kepedihan yang dirasakan oleh manusia, dengan tampak kebodohannya. Dan sangatnya kegembiraan pada dirinya, dengan ilmu pengetahuannya. Kemudian, enaknya ketika menampak keelokan ilmunya pada orang lain. Apabila ta’rif itu pembukaan aurat, yang menyakitkan hati, maka tak boleh tidak, diobati untuk menolak kesakitan itu, dengan kelemah-lembutan kasih-sayang. Maka kita katakan kepadanya: “Bahwa manusia tidak dilahirkan berilmu. Dan kita juga tadinya bodoh tentang urusan shalat. Lalu kita diajari oleh alim ulama. Mungkin kampung engkau, sepi dari ahli ilmu. Atau ahli ilmunya teledor tentang menguraikan dan menerangkan shalat. Sesungguhnya syarat shalat itu thuma’ninah pada ruku’ dan sujud”. Begitulah diterangkan dengan lemah-lembut, supaya menghasilkan ta’rif, tanpa menyakitkan. Sesungguhnya menyakitkan orang Islam itu haram, yang harus dijaga. Sebagaimana menetapkannya atas perbuatan munkar itu dijaga. Dan tidaklah termasuk orang berakal (berpikiran waras), orang yang membasuh darah dengan darah atau dengan air kencing. Orang yang menjauhkan berdiam diri dari perbuatan munkar yang harus diawasi dan menggantikannya dengan yang menyakitkan, yang harus dijaga bagi orang Islam, serta tidak diperlukan daripadanya, maka sesungguhnya ia telah membasuh darah dengan air kencing menurut yang sebenarnya. Apabila engkau ketahui atas suatu kesalahan, pada bukan urusan agama, maka tiada seyogyalah engkau mengembalikannya kepadanya. Sesungguhnya ia akan memperoleh faedah ilmu pengetahuan dari engkau. Dan dia menjadi musuh engkau. Kecuali apabila engkau mengetahui bahwa ia akan mengambil ilmu pengetahuan baginya. Dan yang demikian sukar sekali didapati.
Tingkat ketiga: larangan dengan pengajaran, nasehat dan mempertakutkan kepada Allah Ta’ala. Dan yang demikian, terhadap orang yang mengerjakan sesuatu dan mengetahui bahwa perbuatan itu munkar. Atau terhadap orang yang berkekalan berbuat munkar, sesudah mengetahui bahwa perbuatan itu munkar. Seperti orang yang selalu meminum khamar atau berbuat kedzaliman atau mencaci kaum muslimin atau yang serupa dengan itu. Maka seyogyalah diajari dan dipertakuti kepada allah Ta’ala. Dan diterangkan kepadanya, hadits-hadits yang menerangkan siksaan terhadap perbuatan yang demikian. Dan diceritakan kepadanya, perjalanan hidup ulama-ulama terdahulu (ulama salaf) dan ibadah orang-orang yang taqwa. Semua itu diterangkan dengan penuh kasih-sayang, lemah-lembut, tanpa kata-kata kasar dan marah. Bahkan dipandang kepadanya, sebagai pandangan orang yang penuh kasih-sayang kepadanya. Dan dipandang tampilnya atas perbuatan ma’siat itu, suatu malapetaka (musibah) ke atas dirinya. Karena kaum muslimin itu seperti suatu diri. Di sinilah bahaya yang besar, yang seyogyanya dijaga. Sesungguhnya bahaya itu, membinasakan. Yaitu: bahwa orang yang berilmu, melihat ketika diperkenalkan perbuatan ma’siat, akan kemuliaan dirinya dengan ilmu dan kehinaan orang lain dengan kebodohan. Kadang-kadang dimaksudkannya dengan ta’rif itu penghinaan dan melahirkan perbedaan dengan kemuliaan ilmu. Dan penghinaan temannya dengan disandarkan kepada hinanya kebodohan. Kalau yang menggerakkannya adalah ini, maka kemunkaran tersebut, adalah lebih keji pada dirinya, dibandingkan dengan kemunkaran yang diajukan pertanyaan kepadanya. Si muhtasib yang seperti ini, adalah seperti orang yang melepaskan orang lain dari api, dengan membakarkan dirinya sendiri. Dan itu paling bodoh. Dan inilah kehinaan besar, yang menakutkan dan tipuan setan yang melemparkan talinya kepada semua manusia. Selain orang yang diperkenalkan oleh Allah Ta’ala akan kekurangan-kekurangan dirinya. Dan dibukakanNya mata-hatinya dengan nur-hidayahNya. Sesungguhnya pada bertindak atas orang lain itu, suatu kesenangan yang besar bagi jiwa, dari dua segi: pertama dari pihak penunjukan ilmu. Dan yang satu lagi: dari pihak penunjukan penindakan dan kekuasaan. Dan yang demikian itu kembali kepada ria, dan mencari kemegahan. Yaitu: nafsu syahwat yang tersembunyi, yang mengajak kepada syirik yang tersembunyi (asy-syirkil-khafiy). Mempunyai batu penguji dan alat timbangan, yang seyogyalah si muhtasib menguji dirinya dengan alat-alat tadi. Yaitu: bahwa adalah tercegahnya manusia dari munkar oleh dirinya sendiri atau dengan ihtisab orang lain, adalah lebih disukainya daripada tercegahnya dengan ihtisabnya. Maka jikalau hisbah itu sukar dan berat kepadanya dan ia suka ihtisab itu cukup dengan orang lain saja, maka hendaklah ia berihtisab. Maka sesungguhnya yang menggerakkannya ialah: agama. Jikalau orang ma’siat itu menerima pengajaran dengan pengajarannya dan takut berbuat ma’siat oleh gertaknya, niscaya lebih ia sukai daripada orang itu menerima pengajaran dengan pengajaran orang lain, maka tidaklah si muhtasib ini selain orang yang menuruti hawa nafsu. Dan mencari jalan untuk melahirkan kemegahan dirinya dengan perantaraan hisbah itu. Maka hendaklah ia takut (bertaqwa) kepada Allah Ta’ala dan berihtisablah mula-mula kepada dirinya sendiri !. Ketika inilah, dikatakan apa yang dikatakan kepada Nabi Isa as “Wahai putera Maryam ! ajarilah dirimu sendiri ! kalau engkau telah memperoleh pengajaran itu, maka ajarilah manusia ! jikalau tidak, maka malulah engkau kepadaKu !”. Ditanyakan kepada Daud Ath-Tha-i ra: “Adakah engkau melihat orang yang datang ke tempat amir-amir itu, lalu ia menyuruh mereka berbuat perbuatan baik dan melarang berbuat perbuatan munkar ?”. Daud Ath-Tha-i menjawab: “Aku takut pukulan cemeti atas dirinya”. Orang yang bertanya tadi menjawab: “Orang itu tahan pukulan”. Daud Ath-Tha-i berkata lagi: “Aku takut kena pedang atas dirinya”. Orang itu menjawab: “Dia tahan pedang”. Daud Ath-Tha-i menyambung: “Aku takut penyakit yang tertanam atas dirinya. Yaitu: ‘ujub (perasaan bangga dan angkuh atas perbuatannya)”.
Tingkat keempat: memaki dan menggertak dengan kata-kata keras dan kasar. Dan yang demikian itu, dipergunakan ketika lemah daripada melarang dengan lemah-lembut dan lahir tanda-tanda permulaan akan terus-terusan berbuat ma’siat dan mempermain-mainkan pengajaran dan nasehat. Yang demikian itu seperti ucapan Ibrahim as: “Cis, kamu ini ! kenapa kamu sembah –sesuatu- selain dari Allah ? tidakkah kamu mengerti ?”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 67. Kami tidak maksudkan dengan makian yang keji itu, dengan apa yang padanya penyandaran kepada: zina dan pendahuluan-pendahuluannya. Dan tidak kepada kebohongan. Akan tetapi bahwa ditujukannya dengan kata-kata yang ada padanya, yang tidak dihitung termasuk diantara jumlah kekejian. Seperti katanya: “Hai fasiq ! hai dungu ! hai bodoh ! tidakkah engkau takut akan Allah ?”. Dan seperti katanya: “Hai orang hitam ! hai bebal !”. Dan kata-kata lain yang seperti itu. Maka sesungguhnya tiap-tiap orang fasiq itu, adalah dungu dan bodoh. Jikalau tidak karena kedunguannya, niscaya ia tidak berbuat ma’siat kepada allah Ta’ala. Bahkan tiap-tiap orang yang tidak pintar adalah dungu. Dan orang pintar, ialah: orang yang diakui oleh Rasulullah saw dengan kepintarannya, di mana beliau bersabda: “Orang pintar ialah: oranng yang mengagamakan dirinya dan berbuat untuk sesudah mati. Dan orang dungu, ialah: orang yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah akan mengampuninya”. Dan tingkat ini mempunyai dua adab kesopanan:
Pertama: bahwa ia tidak tampil ke tingkat ini, kecuali ketika darurat dan lemah dari lemah-lembut.
Kedua: bahwa ia tidak berkata-kata kecuali dengan benar. Dan tidak melepaskan perkataan begitu saja. Lalu melepaskan lidahnya yang panjang dengan kata-kata yang tidak diperlukan. Tetapi hendaklah disingkatkan sekedar perlu saja. Kalau diketahuinya, bahwa ucapannya dengan kata-kata yang menghardikkan ini, tidak menghardikkan muhtasab ‘alaih, maka tiada seyogyalah ia melepaskan ucapan itu. Tetapi disingkatkan saja dengan melahirkan kemarahan, penghinaan dan penglecehan menurut tempatnya. Karena kema’siatannya. Kalau diketahuinya, bahwa jikalau ia berbicara, niscaya akan dipukul orang dan jikalau ia bermasam muka dan melahirkan ketidak-senangan dengan mukanya, niscaya ia tidak akan dipukul, niscaya haruslah ia berbuat demikian. Dan tidak memadai menantang dengan hati. Akan tetapi harus memasamkan muka dan melahirkan penantangannya.
Tingkat kelima: merobah dengan tangan. Dan yang demikian itu: seperti memecahkan alat permainan, menumpahkan khamar dan membuka kain sutera dari kepalanya dan tubuhnya. Dan melarangnya duduk di atas kain sutera itu. Menolaknya dari duduk atas harta orang lain. Mengeluarkannya dari rumah yang dirampasnya dengan menghela kakinya. Dan mengeluarkannya dari masjid, apabila ia duduk sedang berjanabat (berhadats besar). Dan hal-hal yang serupa dengan yang demikian. Dan tergambar yang demikian pada sebahagian ma’siat dan tidak pada sebahagian lainnya. Adapun ma’siat lidah dan hati, maka tiada sanggup secara langsung mengubahkannya. Dan seperti itu pula, tiap-tiap ma’siat yang tersimpan pada jiwa dan anggota-anggota tubuh bathiniah dari si pembuat ma’siat. Pada tingkat ini ada dua adab kesopanan:
Pertama: bahwa tidak secara langsung dengan tangannya merobah perbuatan munkar itu, selama ia tidak lemah mendesak yang demikian kepada muhtasab ‘alaih. Apabila mungkin ia memaksakan muhtasab ‘alaih berjalan keluar dari tanah yang dirampasnya dan dari masjid yang ditempatinya di mana ia sedang berhadats besar, maka tiada seyogyalah menolaknya atau menghelanya keluar. Dan apabila ia sanggup menyuruh muhtasab ‘alaih itu menuangkan khamar, memecahkan alat permainan dan membuka ikatan yang mengikatkan kain sutera pada badan, maka tiada seyogyalah langsung ia berbuat yang demikian dengan dirinya sendiri. Sesungguhnya berdiri kepada batas memecahkan itu, adalah semacam kesulitan. Apabila ia tiada berbuat sendiri yang demikian, niscaya memadailah berijtihad padanya. Dan dilaksanakan oleh orang yang tak ada halangan baginya pada memperbuatnya.
Kedua: bahwa disingkatkannya jalan merobahkan itu sekedar yang diperlukan. Yaitu, bahwa: tidak dipegang janggutnya pada mengeluarkannya. Dan tidak dengan kaki, apabila sanggup mengeluarkannya dengan menarik tangannya saja. Sesungguhnya bahan yang menyakitkannya itu tidak diperlukan. Dan bahwa tidak dikoyakkan pakaian sutera. Akan tetapi dibuka ikatan pakaian itu saja. Tidak dibakar alat-alat permainan dan salib yang diperlihatkan oleh orang Nasrani. Akan tetapi dirusakkan yang membawa tidak dapat dipergunakan lagi, disebabkan pecahnya. Dan batas pemecahan itu, ialah: barang itu sampai kepada keadaan yang memerlukan pada mengulangi perbaikannya kepada tenaga yang sama dengan tenaga mengulangi memperbuatnya dari kayu, sejak permulaan. Dan pada menuangkan khamar dijaga daripada memecahkan bejana, kalau ada jalan yang demikian. Jikalau tiada sanggup kepada yang demikian, selain dengan melemparkan tempat-tempat khamar itu dengan batu, maka boleh ia melakukan yang demikian. Dan jatuhlah nilai tempat khamar itu dan penilaiannya disebabkan khamar. Karena ia menjadi penghalang untuk sampai kepada menuangkan khamar itu. Jikalau muhtasab ‘alaih itu menutup khamar dengan badannya, niscaya kita tujukan kepada badannya itu dengan melukakan dan memukulkan. Supaya kita sampai kepada menuangkan khamar itu. Jadi, tidaklah bertambah kehormatan miliknya pada tempat khamar itu atas kehormatan dirinya sendiri. Jikalau khamar itu dalam botol yang sempit kepalanya dan kalau ia menuangkannya, niscaya lamalah waktunya. Dan akan diketahui oleh orang-orang fasiq yang akan melarangnya, maka bolehlah ia memecahkan botol-botol khamar itu. Ini adalah suatu hal yang membolehkan demikian. Jikalau ia tiada kuatir akan menjumpai orang-orang fasiq dan larangan mereka, akan tetapi dengan penuangan itu menghilangkan banyak waktunya dan membawa teledor pekerjaan-pekerjaan lain, maka bolehlah ia memecahkann tempat-tempat khamar itu. Ia tiada boleh menyia-nyiakan kemanfaatan tubuhnya sendiri dan maksudnya dari segala perbuatannya, dikarenakan oleh botol-botol khamar itu. Dan di mana penuangan itu mudah baginya tanpa pemecahan botol, lalu dipecahkannya, niscaya haruslah dibayarnya botol itu. Kalau anda bertanya: “Apakah tidak boleh memecahkan (botol khamar) untuk menghardik ? dan apakah tidak boleh menarik kakinya untuk mengeluarkannya dari tanah yang dirampasnya ?. Supaya yang demikian itu lebih bersangatan pada penghardikan ?”. Ketahuilah, bahwa penghardikan itu, sesungguhnya untuk masa yang akan datang. Dan siksaan (hukuman) itu atas perbuatan yang telah lalu. Dan penolakan adalah atas perbuatan yang sedang berjalan. Tidaklah atas masing-masing rakyat, selain menolak kemunkaran yang sedang berlaku itu. Penolakan, yaitu: meniadakan kemunkaran tersebut. Maka apa yang melebihi dari sekadar peniadaan, adakalanya siksaan atas kejahatan yang lalu. Atau penghardikan atas perbuatan yang akan datang. Yang demikian itu diserahkan kepada wali-wali (penguasa-penguasa). Tidak kepada rakyat. Benar, wali itu boleh berbuat demikian, apabila ia memandang ada kemuslihatan padanya. Dan aku berkata: bahwa wali itu boleh menyuruh memecahkan botol-botol yang di dalamnya khamar, untuk penghardikan. Dan telah diperbuat demikian pada masa Rasulullah saw, untuk menguatkan penghardikan itu. Dan tak ada mansuhnya (pencabutan) perbuatan tersebut. Tetapi adalah sangat perlu penghardikan dan pemberhentian dari peminuman khamar itu. Apabila wali negeri (penguasa) menurut ijtihadnya berpendapat perlunya seperti yang demikian, niscaya boleh baginya yang demikian. Apabila ini bergantung dengan semacam ijtihad yang mendalam, niscaya tidak boleh yang demikian bagi seseorang dari rakyat. Kalau anda berkata: “Maka hendaknya boleh bagi sultan (penguasa) menghardik manusia dari perbuatan-perbuatan ma’siat, dengan merusakkan harta mereka. Merobohkan rumah-rumah mereka, di mana di dalam rumah itu mereka meminum khamar dan mengerjakan perbuatan ma’siat. Dan membakar harta benda mereka, di mana dengan harta benda itu mereka sampai kepada perbuatan ma’siat tersebut”. Ketahuilah kiranya, bahwa yang demikian kalau sudah agama menerangkannya, niscaya tidaklah keluar dari jalan-jalan kemuslihatan. Tetapi kita tidak mengada-adakan kemuslihatan. Akan tetapi, mengikuti apa yang ada. Memecahkan botol-botol khamar ada hukumnya ketika sangat diperlukan. Dan kemudian, membiarkannya karena tidak sangat diperlukan, tidaklah itu mansukh namanya. Tetapi hukum itu hilang dengan hilangnya ‘illah (sebab). Dan akan kembali dengan kembalinya ‘illah. Kita perbolehkan yang demikian bagi imam (penguasa), disebabkan hukum “ittiba” (mengikuti). Dan kita melarang masing-masing perseorangan rakyat daripadanya, karena tersembunyinya segi ijtihad padanya. Bahkan kami berkata, jikalau pada pertamanya, telah dituangkan khamar-khamar itu, maka tidak boleh memecahkan bejana-bejananya kemudian. Tetapi boleh memecahkannya, karena mengikutkan bagi khamar yang di dalamnya itu. Apabila bejana-bejana itu kosong dari khamar, maka memecahkannya, adalah merusakkan harta orang. Kecuali bejana-bejana itu dibiasakan untuk tempat khamar, dimana tidak cocok selain untuk khamar. Maka adalah perbuatan yang dinukilkan, dari masa pertama Islam (kurun pertama) dibarengi dengan dua pengertian:
Pertama: sangat diperlukan kepada penghardikan.
Kedua: mengikutkan botol-botol itu bagi khamar yang diisikan di botol-botol itu.
Keduanya ini, adalah dua pengertian yang membekas. Tiada jalan untuk membuangnya. Dan pengertian yang ketiga, yaitu: datangnya dari pendapat petugas yang bertanggung-jawab. Karena diketahuinya sangat memerlukan kepada penghardikan itu. Dan itu juga membekas. Tiada jalan untuk membatalkannya. Inilah urusan-urusan yang halus-halus, yang berhubungan dengan ilmu fiqh, dimana sudah pasti si muhtasib itu memerlukan untuk mengetahuinya.
Tingkat keenam: pengancaman dan penakutaan (tahdid dan takhwif). Umpamanya dikatakan: Tinggalkan perbuatan ini ! atau: akan aku pecahkan kepalamu. Atau: akan aku pukul lehermu. Atau: akan aku suruh orang berbuat demikian kepada kamu. Dan kata-kata yang lain yang serupa dengan itu. Dan ini, seyogyalah didahulukan, untuk pelaksanaan pukulan itu. Karena mungkin didahulukan. Dan adab pada tingkat ini, ialah: tidak dilakukan pengancaman dengan sesuatu ancaman, yang tidak boleh dilaksanakan. Seperti katanya: akan aku rampas rumah engkau atau akan aku pukul anak engkau atau akan aku tawan isteri engkau, dsb. Bahkan yang demikian itu, kalau dikatakannya dengan cita-cita akan dilaksanakan, adalah haram. Dan kalau dikatakannya tanpa cita-cita tersebut, adalah bohong. Benar, apabila disebut pada gertakan itu dengan pukulan dan penghinaan, maka boleh di’azamkan (dicita-citakan)nya, sampai kepada batas yang diketahui, dikehendaki oleh keadaan. Dan ia boleh melebihkan ancaman itu, menurut azamnya (cita-citanya) yang tersembunyi dalam hatinya, apabila diketahuinya demikian itu dapat mencegah dan menakutkan si pembuat kemunkaran itu. Dan tidaklah yang demikian termasuk dusta yang harus dijaga. Bahkan bersangatan pada yang seperti demikian, adalah biasa. Dan itulah artinya bersangatan seseorang pada memperbaiki diantara dua orang yang bermusuhan dan penjinakan hati diantara dua isteri yang bermadu. Yang demikian itu termasuk apa yang diperbolehkan karena diperlukan. Dan inipun termasuk dalam pengertiannya. Sesungguhnya maksudnya, ialah memperbaiki orang itu. Dan kepada pengertian inilah diisyaratkan oleh setengah manusia (ulama ilmu keesaan), bahwa tiada keji daripada Allah, mengancam dengan apa yang tiada diperbuatNya. Karena menyalahi ancaman itu adalah suatu kurnia. Yang keji ialah menjanjikan dengan apa yang tiada diperbuat. Pendapat ini tiada kita (para ahlus-sunah wal-jama’ah) menyetujuinya. Sesungguhnya Kalam (berkata-kata) Tiada berpemulaan (FirmanNya yang Tiada berpemulaan) itu tiada berlaku padanya penyalahan, baik janji (wa’ad) atau ancaman (wa’id). Dan sesungguhnya ini tergambar mengenai hak manusia. Yaitu begitu juga, karena penyalahan tentang ancaman itu tidak haram.
Tingkat ketujuh: langsung memukul dengan tangan, kaki dan lainnya, yang tak ada padanya pemakaian senjata. Yang demikian itu, diperbolehkan bagi masing-masing orang, dengan syarat: karena darurat (diperlukan). Dan disingkatkan sekadar perlu pada penolakan munkar itu. Apabila pembuat munkar itu bertahan, maka seyogyalah dicegah. Dan hakim (qadli) kadang-kadang memaksakan orang yang ada padanya hak orang lain, untuk mengembalikan kepada pemiliknya, dengan memenjarakannya. Kalau yang dipenjarakan itu tidak mau mengembalikan dan hakim tahu akan kesanggupannya mengembalikan hak itu dan tentang membangkangnya orang yang dipenjarakan itu, maka hakim boleh memaksakannya pengembalian itu dengan pukulan setingkat demi setingkat, menurut yang diperlukan. Begitupula si muhtasib, menjaga setingkat demi setingkat itu. Kalau ia memerlukan kepada pemakaian senjata dan ia sanggup menolak kemunkaran itu dengan pemakaian senjata dan pelukaan, maka boleh ia berbuat yang demikian, selama tidak berkembang kekacauan. Sebagaimana umpamanya, jikalau seorang fasiq memegang seorang wanita atau memukul rebab yang ada padanya. Dan antara orang fasiq itu dan si muhtasib, terbentang sungai yang menghambat atau dinding yang mencegah. Maka diambilnyalah panah dan dikatakan kepada orang fasiq itu: ”Lepaskan wanita itu atau aku akan melemparkan engkau dengan anak panah ini !”. Jikalau tidak dilepaskannya, maka boleh ia melemparkan (melepaskan) anak panah itu. Dan seyogyalah tidak ditujukan kepada tempat yang membunuhkan. Tetapi ditujukan kepada betis, paha dan yang serupa dengan itu. Dan dijaga padanya tingkat demi tingkat. Begitupula ia mencabut pedangnya, seraya berkata: “Tinggalkan kemunkaran itu atau aku akan memukul engkau !”. Maka semua itu adalah penolakan munkar. Dan penolakan munkar itu wajib dengan segala kemungkinan. Tiada berbeda tentang itu diantara yang khusus bersangkutan dengan hak Allah dan yang bersangkutan dengan anak Adam (manusia). Golongan Mu’tazilah berkata: “Apa yang tiada berhubungan dengan hak anak Adam, maka tak ada hisbah padanya, selain dengan perkataan atau dengan pukulan. Tetapi bagi imam (penguasa), tidak bagi masing-masing orang (individu).
Tingkat kedelapan: muhtasib itu tidak sanggup sendirian dan ia memerlukan kepada pembantu-pembantu yang memakai senjata. Kadang-kadang orang fasiq juga meminta bantuan dengan teman-temannya. Dan yang demikian, membawa kepada berhadapan muka dua barisan dan berperang-perangan. Maka dalam hal ini, telah timbul perselisihan tentang perlunya kepada keizinan imam (penguasa). Berkata orang-orang yang berkata: “Tidaklah masing-masing rakyat bebas bertindak yang demikian. Karena membawa kepada bergeraknya kekacauan, berkobarnya kerusakan dan kehancuran negeri”. Berkata yang lain: “Tidak memerlukan kepada keizinan”. Dan inilah yang lebih sesuai dengan qias. Karena apabila boleh bagi orang seorang, melakukan amar-ma’ruf dan tingkat-tingkatnya yang permulaan akan menghela kepada orang dua-dua. Dan orang dua-dua akan menghela kepada orang tiga-tiga. Dan tidak mustahil kadang-kadang akan berkesudahan kepada pukul-memukul. Dan pukul-memukul itu membawa kepada tolong-menolong. Maka tiada seyogyalah diambil perduli, dengan segala yang harus oleh amar-ma’ruf. Dan kesudahannya penyusunan barisan tentara pada jalan keridlaan Allah Ta’ala dan menolak segala kema’siatanNya. Kami membolehkan bagi masing-masing para pejuang, berkumpul dan memerangi siapa yang dikehendakinya, dari golongan-golongan kafir, demi menghambat kaum kafir. Maka seperti itu pula, menghambat kaum perusak itu diperbolehkan. Karena orang kafir, tiada mengapa, membunuhnya. Dan orang Islam kalau dibunuh maka mati syahid. Maka seperti itu pula, orang fasiq yang berjuang mempertahankan kefasiqannya, tiada mengapa membunuhnya. Dan muhtasib yang benar, kalau terbunuh dengan teraniaya, maka ia mati syahid. Kesimpulannya, maka berkesudahan pekerjaan kepada yang tersebut ini, adalah termasuk hal-hal yang jarang terjadi pada hisbah. Maka tidaklah dirobah undang-undang pengqiasan (qanun qias) dengan demikian. Akan tetapi dikatakan: tiap-tiap orang yang sanggup menolak kemunkaran, maka boleh ia menolaknya dengan tangan, dengan senjata, dengan dirinya sendiri dan dengan pembantu-pembantunya. Jadi, persoalannya itu suatu kemungkinan, sebagaimana telah kami sebutkan. Inilah tingkat-tingkat hisbah itu ! maka marilah kami sebutkan adab-adabnya ! kiranya Allah menganugerahkan taufiq !.
PENJELASAN ADAB-ADAB MUHTASIB.
Telah kami sebutkan penguraian-penguraian adab pada masing-masing tingkat. Dan sekarang kami akan sebutkan jumlahnya dan sumber-sumbernya. Maka marilah kami terangkan: Semua adab muhtasib, sumbernya adalah 3 sifat pada muhtasib sendiri: ilmu, menjaga diri dan baik akhlaq.
Adapun ilmu: maka hendaklah muhtasib itu mengetahui situasi hisbah, batas-batasnya, tempat-tempat berlakunya dan penghalang-penghalangnya. Supaya ia menyingkatkan di atas batas agama.
Menjaga diri: supaya ia mencegah dirinya daripada menyalahi apa yang diketahuinya. Maka tidaklah semua orang yang berilmu, mengamalkan menurut ilmunya. Bahkan kadang-kadang ia tahu, bahwa ia berlebih-lebihan pada hisbah itu dan bertambah di atas batas yang diizinkan pada agama. Akan tetapi didorong kepadanya oleh sesuatu maksud. Maka hendaklah perkataan dan pengajarannya diiterima orang. Bahwa orang fasiq itu akan mempermain-mainkan si muhtasib apabila berihtisab. Dan mengakibatkan demikian, orang berani terhadap si muhtasib.
Adapun baik akhlaq, maka hendaklah ia berketetapan dengan lemah-lembut dan kasih-sayang. Itulah pokok bab dan sebab-sebabnya. Ilmu dan menjaga diri tiada memadai. Kemarahan apabila berkobar-kobar, niscaya tiada mencukupi semata-mata ilmu dan menjaga diri untuk mencegahnya, selama tidak ada pada tabiatnya, penerimaan dengan baik akhlaq. Dan sebenarnya, wara’ itu tidak sempurna, selain bersama kebaikan akhlaq dan mampu mengekang nafsu-syahwat dan kemarahan. Dengan itulah muhtasib itu bersabar atas apa yang menimpa dirinya pada agama Allah. Kalau tidak demikian, maka apabila tertimpa kehormatan dirinya atau hartanya atau pribadinya dengan makian atau pukulan, niscaya ia melupakan hisbah itu. Lalai dari agama Allah dan menghabiskan waktunya dengan urusan pribadinya. Bahkan kadang-kadang ia tampil kepada ihtisab itu, pada mulanya, karena mencari kemegahan dan nama. Maka dengan 3 sifat tersebut di atas, jadilah hisbah itu diantara qurbah (amalan yang mendekatkan diri kepada Allah). Dengan 3 sifat itu tertolaklah segala kemunkaran. Kalau 3 sifat itu tidak ada, niscaya kemunkaran itu tiada akan tertolak. Bahkan kadang-kadang hisbah juga, menjadi perbuatan munkar, karena melampaui batas agama. Terhadap adab-adab ini berdalilkan sabda Nabi saw: “Tiada menyuruh perbuatan baik dan tiada melarang perbuatan munkar, selain orang yang penuh kasih-sayang pada apa yang disuruhnya, yang penuh kasih-sayang pada apa yang dilarangnya, yang tidak lekas marah pada apa yang disuruhnya, yang tidak lekas marah pada apa yang dilarangnya, berilmu pada apa yang disuruhnya, berilmu pada apa yang dilarangnya”. Hadits ini menunjukkan, bahwa tidak disyaratkan, bahwa muhtasib itu berilmu (faqih) mutlak. Akan tetapi hanya mengenai apa yang disuruhnya dan yang dilarangnya. Dan demikian juga sifat tidak lekas marah (al-hilm). Al-Hasan Al-Bashari  ra berkata: “Bila engkau termasuk orang yang menyuruh dengan yang baik, maka hendaklah engkau termasuk orang yang dapat mengambil hati manusia kepadanya. Kalau tidak, niscaya engkau binasa”. Ada yang bermadah:
Janganlah engkau mencaci orang,
atas perbuatan yang dilakukannya !
Sedang engkau dilihat orang,
berbuat seperti perbuatannya.
Orang yang mencela sesuatu
dan melakukan seperti perbuatan itu,
sesungguhnya mendatangkan malu,
kepada akalnya itu.
Tidaklah kami maksudkan dengan ini, bahwa amar-ma’ruf itu menjadi terlarang, disebabkan fasiq si muhtasib. Akan tetapi hilang kesannya dari hati orang banyak, disebabkan lahir fasiqnya bagi manusia. Diriwayatkan dari Anas ra yang berkata: “Kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah ! tidakkah kami menyuruh perbuatan baik, sebelum kami mengerjakannya semuanya ?. Dan tidakkah kami melarang perbuatan jahat, sebelum kami menjauhkannya semuanya ?”. Lalu Rasulullah saw menjawab: “Bahkan suruhlah perbuatan baik, walaupun kamu tiada mengerjakannya semuanya. Dan laranglah perbuatan jahat  walaupun kamu tiada menjauhkannya semuanya !”. Setengah ulama terdahulu (salaf) mewasiatkan kepada anak-anaknya. Ia mengatakan: “Jikalau salah seorang kamu bermaksud menyuruh perbuatan baik, maka hendaklah menempatkan dirinya atas kesabaran !. Dan hendaklah percaya akan memperoleh pahala dari Allah !. Barangsiapa percaya akan pahala dari Allah, niscaya tiada akan mendapat sentuhan kesakitan”. Jadi, diantara adab hisbah, ialah menempatkan diri di atas kesabaran. Karena itulah, Allah Ta’ala menyertakan kesabaran dengan amar-ma’ruf. Allah Ta’ala berfirman, menceritakan dari hal Lukman: “Hai anakku ! dirikanlah shalat, suruhlah mengerjakan yang baik, cegahlah perbuatan yang buruk dan bersabarlah menghadapi apa yang menimpa engkau !”. S 31 Lukman ayat 17. Diantara adab itu menyedikitkan hubungan. Sehingga tiada banyak ketakutannya. Dan memutuskan harapan kepada orang banyak. Sehingga hilanglah daripadanya sifat berminyak-minyak air (mudahanah). Diriwayatkan dari setengah guru (masyaikh), bahwa beliau mempunyai seekor kucing. Beliau mengambil dari tukang potong tetangganya tiap-tiap hari sedikit daging untuk kucingnya. Maka beliau melihat pada tukang potong itu perbuatan munkar. Lalu pertama-tama beliau masuk ke rumahnya dan mengeluarkan kucing. Kemudian beliau datang dan melakukan ihtisab kepada tukang potong itu. Tukang potong itu berkata kepadanya: “Tiada akan aku berikan lagi kepadamu sesudah ini sesuatu untuk kucingmu”. Masyaikh itu menjawab: “Aku tiada melakukan ihtisab kepadamu, selain sesudah mengeluarkan kucing dan memutuskan harapan daripada engkau”. Yaitu sebagaimana masyaikh itu berkata: “Barangsiapa tiada memutuskan harapan dari makhluq, niscaya ia tiada sanggup melaksanakan hisbah. Dan barangsiapa mengharap supaya hati manusia baik kepadanya dan lisan mereka melepaskan pujian kepadanya, niscaya tiada mudah hisbah baginya”. Ka’bul-Ahbar bertanya kepada Abi Muslim Al-Khaulani: “Bagaimanakah kedudukanmu diantara kaummu ?”. Abi Muslim Al-Khaulani menjawab: “Baik !”. Ka’bul-Ahbar menyambung: “Taurat berkata: ‘Sesungguhnya orang apabila beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar, niscaya buruklah kedudukannya pada kaumnya”. Abi Muslim menjawab: “Benar Taurat dan bohong Abi Muslim”. Ditunjukkan kepada wajibnya lemah-lembut, oleh apa yang diambil menjadi dalil oleh Khalifah Al-Ma’mun, ketika ia diberi pengajaran, oleh orang yang memberi pengajaran kepadanya. Dan orang itu bersikap kasar kepadanya pada perkataan. Lalu Khalifah Al-Ma’mun berkata: “Saudara ! lebih baik dari engkau, kepada orang yang lebih jahat dari aku. Dan Allah menyuruhnya bersikap lemah-lembut”. Allah Ta’ala berfirman: “Ucapkanlah kepadanya perkataan yang lemah-lembut, mudah-mudahan dia memperhatikan atau takut”. S 20 Thaahaa ayat 44. Maka hendaklah si muhtasib itu mengikuti nabi-nabi as tentang kelemah-lembutan !. Abu Amamah meriwayatkan: “Bahwa seorang anak muda datang kepada Nabi saw, lalu bertanya: ‘Wahai Nabi Allah ! izinkanlah kepadaku berzina ?”. Mendengar itu, orang banyak berteriak. Lalu Nabi saw bersabda: “Dekatkanlah dia ! dekatlah kemari !”. Lalu anak muda itu dekat. Sehingga ia duduk di hadapan Nabi saw. Lalu Nabi saw bersabda: “Adakah engkau menyukai zina itu untuk ibu engkau ?”. Anak muda itu menjawab: “Tidak ! dijadikanlah kiranya aku oleh Allah tebusan engkau !". Nab saw menyambung: “Begitu juga manusia, tiada menyukai zina itu untuk ibu mereka. Adakah engkau menyukainya untuk anak perempuan engkau ?”. Anak muda itu menjawab: “Tidak ! dijadikanlah kiranya aku oleh Allah tebusan engkau !”. Nabi saw menyambung: “Begitu juga manusia, tiada menyukainya untuk anak perempuan mereka. Adakah engkau menyukainya untuk saudara perempuan engkau ?”. Ibnu ‘Auf menambahkan: sehingga Nabi saw menyebutkan: saudara bapak yang perempuan (al-‘ammah) dan saudara ibu yang perempuan (al-khalah). Dan anak muda itu menjawab pada masing-masingnya: “Tidak ! dijadikanlah kiranya aku oleh Allah tebusan engkau”. Dan Nabi saw menyambung seperti itu juga: “Manusia tiada menyukainya”. Keduanya berkata mengenai hadits tadi, ya’ni: Ibnu ‘Auf dan perawi yang lain: Lalu Rasulullah saw meletakkan tangannya atas dada anak muda itu dan berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sucikanlah hatinya, ampunkanlah dosanya dan peliharalah kemaluannya ! dan tak adalah sesuatu yang lebih dimarahi oleh Allah selain dari zina”. Ada orang yang mengatakan kepada Al-Fudlail bin ‘Ayyadl ra: “Bahwa Sufyan bin ‘Uyainah menerima pemberian-pemberian sultan (penguasa)”. Lalu Al-Fudlail menjawab: “Sufyan tidak mengambil dari penguasa-penguasa itu, selain kurang dari haknya”. Kemudian, Al-Fudlail berdua-duaan dengan Sufyan, mencaci dan mengejek Sufyan. Lalu Sufyan berkata: “Hai Abu ‘Ali (panggilan kepada Al-Fudlail) ! kalau kami tidak termasuk orang-orang shalih, maka sesungguhnya kami mencintai orang-orang shalih”. Hammad bin Salmah berkata: “Bahwa seorang laki-laki lalu di hadapan Shilah bin Asyyam, yang telah menurunkan kain sarungnya. Lalu para sahabat Shilah ingin mengambil kain sarung itu dengan secara kasar. Maka Shilah berkata: ‘Biarkanlah aku berbuat, yang memuaskan kamu !”. Lalu Shilah berkata kepada laki-laki itu: “Hai putera saudaraku ! aku mempunyai keperluan padamu”. Laki-laki itu bertanya: “Apakah keperluan engkau, wahai pamanku ?”. Shilah menjawab: “Aku suka engkau mengangkat kain sarungmu”. Lalu laki-laki itu menjawab: “Boleh, demi kehormatan !”. Lalu ia mengangkat kain sarungnya. Shilah berkata kepada para sahabatnya: “Kalau kamu ambil kain sarungnya dengan kekasaran, niscaya ia akan menjawab: "Tid“k !”. Dan tidak ada kehormatan dan ia akan memaki kamu”. Muhammad bin Zakaria Al-Ghilabi berkata: “Aku melihat Abdullah bin Muhammad bin ‘Aisyah pada suatu malam. Ia keluar dari masjid sesudah Maghrib, bermaksud pulang ke rumahnya. Tiba-tiba di tengah jalan, ada seorang anak muda Quraisy mabuk. Anak muda itu, memegang seorang wanita. Lalu Abdullah menarik wanita itu. Wanita itu lalu meminta tolong. Maka berkumpullah orang banyak memukul anak muda itu. Maka Ibnu ‘Aisyah melihat kepada anak muda itu. Rupanya beliau kenal. Lalu beliau mengatakan kepada orang banyak: “Tinggalkanlah anak saudaraku ini !”. Kemudian beliau menyambung: “Mari kemari, wahai anak saudaraku !”. Anak muda itu merasa malu. Lalu datang kepadanya. Dan beliau pegang dia. Kemudia berkata kepadanya: “Mari bersama aku !”. Anak muda itu pergi bersama beliau. Sehingga sampailah ke rumahnya. Lalu beliau suruh masuk ke rumah. Dan mengatakan kepada sebahagian pelayan-pelayannya: “Rumahnya pada engkau. Apabila ia sembuh dari mabuknya, maka beritahukan kepadanya apa yang terjadi pada dirinya !. Dan jangan engkau biarkan ia pergi, sebelum ia datang menjumpai aku !”. Maka tatkala anak muda itu telah sembuh dari mabuknya, lalu diterangkan kepadanya apa yang telah terjadi. Maka anak muda itu malu dan menangis. Dan bermaksud meninggalkan tempat itu. Lalu pelayan yang diserahkan menjaga anak muda itu, berkata: “Tuan rumah meminta engkau datang menemui beliau”. Anak muda itupun dibawa masuk. Lalu Ibnu ‘Aisyah (tuan rumah) mengatakan kepadanya: “Apakah tidak engkau malu bagi dirimu sendiri ? apakah tidak engkau malu bagi kehormatanmu ? apakah tidak engkau lihat, siapakah yang menjadi bapakmu ? bertaqwalah kepada Allah ! tariklah dirimu dari pekerjaan yang engkau lakukan !”. Anak muda itu menangis, menunggingkan kepalanya. Kemudian, ia mengangkatkan kepalanya dan berkata: “Aku berjanji dengan Allah Ta’ala suatu janji, yang akan ditanyakanNya aku dari janji itu pada hari qiamat. Bahkan aku tiada akan kembali lagi meminum anggur dan suatupun dari pekerjaan yang aku lakukan sekarang. Aku bertaubat”. Ibnu ‘Aisyah menjawab: “Dekatlah kepadaku kemari !”. Lalu beliau peluk kepalanya dan berkata: “Engkau telah menjadi baik, wahai anakku”. Sesudah itu, anak muda itu selalu bersama beliau dan menulis hadits daripadanya. Yang demikian itu, adalah dengan barakah kelemah-lembutannya. Kemudian Ibnu ‘Aisyah berkata: “Bahwa manusia itu menyuruh berbuat perbuatan baik dan melarang berbuat perbuatan buruk. Dan perbuatan baik mereka adalah perbuatan buruk. Maka haruslah kamu dengan lemah-lembut pada semua urusanmu, niscaya kamu akan memperoleh apa yang kamu cari”. Dari Al-Fath bin Syakhraf, yang menceritakan: “Seorang laki-laki tersangkut hatinya dengan seorang wanita. Dia datang kepada wanita itu dan di tangannya sebilah pisau. Tiada seorangpun yang mendekatinya, melainkan akan disembelihnya dengan pisau itu”. Laki-laki itu berbadan kuat. Maka  dalam keadaan yang demikian dan wanita tersebut berteriak-teriak dalam tangannya, tiba-tiba Bisyr bin Al-Harts, lalu di situ. Beliau mendekati laki-laki itu dan tersenggol bahunya dengan bahu orang itu. Maka laki-laki itu jatuh tersungkur ke bumi dan Bisyr terus berjalan. Lalu orang banyak mendekati laki-laki itu, di mana badannya basah oleh banyak keringat. Dan wanita tadi lalu dalam keadaan biasa saja. Orang banyak bertanya kepada laki-laki itu: “Bagaimana keadaanmu ?”. Laki-laki tersebut menjawab: “Tidak tahu ! hanya aku, disenggol oleh seorang tua dan berkata kepadaku: ‘Bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla melihat kepadamu dan kepada apa yang kamu kerjakan’. Maka lemahlah kedua tapak kakiku karena perkataannya. Aku sangat takut kepadanya. Dan aku tiada tahu, siapakah orang laki-laki tersebut ?”. Lalu orang banyak mengatakan kepadanya: “Dia itu Bisyr bin Al-Harits”. Maka laki-laki itu mengeluh: “Alangkah kejinya, bagaimanakah beliau akan memandang kepadaku sesudah hari ini”. Dari hari itu orang tadi tertimpa penyakit demam dan meninggal dunia pada hari ke-7nya. Begitulah adat kebiasaan ahli agama melaksanakan hisbah. Dan telah kami nukilkan atsar dan akhbar pada “Bab Marah Pada Jalan Allah” dan “Kasih Sayang Pada Jala Allah” dari “Kitab Adab Berteman”. Maka tiada kami perpanjangkan lagi dengan mengulanginya. Inilah kesempurnaan pandangan tentang tingkat-tingkat dan adab-adab hisbah. Kiranya Allah menganugerahkan taufiq dengan kurniaNya. Dan segala pujian bagi Allah atas sekalian nikmatNya.
BAB KETIGA: Tentang kemunkaran-kemunkaran yang biasa terjadi pada adat-kebiasaan.
Maka kami tunjukkan kepada sejumlah daripadanya. Supaya dapat diambil dalil kepada yang serupa dengannya. Karena tak ada harapan pada penghinggaan dan penyelidikannya yang mendalam. Maka diantara yang demikian:
KEMUNKARAN-KEMUNKARAN MASJID.
Ketahulah kiranya, bahwa kemunkaran-kemunkaran itu terbagi kepada: makruh dan terlarang. Apabila kita katakan: ini munkar makruh, maka ketahuilah, bahwa melarangnya itu disunatkan. Dan berdiam diri daripadanya makruh. Dan bukan haram. Kecuali apabila yang berbuat itu, tiada mengetahui bahwa perbuatan munkar itu makruh. Maka wajiblah menyebutkannya kepadanya. Karena makruh itu suatu hukum pada agama, yang wajib menyampaikannya kepada orang yang tiada mengetahuinya. Apabila kita mengatakan: munkar itu terlarang atau kita mengatakan: munkar mutlak, maka kita maksudkan dengan munkar itu: terlarang. Berdiam diri daripadanya serta sanggup menantangnya adalah terlarang. Diantara yang banyak dilihat dalam masjid-masjid, ialah: memburukkan shalat, dengan meninggalkan thuma’ninah pada ruku’ dan sujud. Dan itu adalah munkar, yang membatalkan shalat dengan nash hadits. Maka wajiblah dicegah, kecuali pada madzhab Hanafi yang berkepercayaan, bahwa yang demikian tidak mencegah syahnya shalat. Karena tiada bermanfaat melarangnya. Barangsiapa melihat pembuat buruk pada shalanya, lalu berdiam diri, maka dia itu sekutunya. Begitulah yang tersebut pada atsar. Dan pada hadits ada yang menunjukkan kepada yang demikian. Karena hadits menerangkan tentang umpatan, bahwa: orang yang mendengar itu sekutu orang yang mengatakan. Begitu juga semua yang mencederakan syah shalat, dari adannya najis pada kainnya, yang tiada dilihatnya. Atau berpaling dari kiblat, disebabkan gelap atau buta. Semua itu mewajibkan hisbah. Diantara kemunkaran itu pembacaan Alquran dengan kesalahan, yang wajib dilarang dari kesalahan itu. Dan wajib diajarkan yang benar. Kalau orang yang beri’tikaf (mu’takif) dalam masjid, menghabiskan kebanyakan waktunya pada hal-hal yang seperti itu (melarang kesalahan membaca Alquran dalam masjid dll) dan menghabiskan waktunya dengan demikian tanpa amalan sunat dan dzikir, maka hendaklah ia berbuat terus dengan demikian. Karena, itu adalah yang lebih utama baginya dari dzikir dan amalan sunatnya. Sebab ini adalah fardlu. Yaitu: perbuatan yang mendekatkan kita (qurbah) kepada Allah, yang menjalar faedahnya kepada orang lain. Maka adalah lebih utama dari amalan sunat yang terbatas faedahnya, walaupun yang demikian itu mencegahkannya dari menjual kertas umpamanya atau dari usaha yang memberi makan baginya. Kalau ada padanya perbelanjaan sekadar yang mencukupkan, niscaya haruslah ia berbuat dengan demikian. Dan tidak boleh ia meninggalkan hisbah untuk mencari kelebihan duniawi. Kalau ia memerlukan kepada usaha untuk perbelanjaannya sehari itu, maka ia dimaafkan dan gugurlah kewajiban dari hal yang tersebut di atas, karena kelemahannya itu. Orang yang banyak kesalahannya pada pembacaan Alquran, kalau ia sanggup belajar, maka terlarang ia membaca Alquran sebelum belajar. Sesungguhnya, ia berdosa dengan demikian, walaupun lidahnya tidak dapat mengikuti akan kemauannya. Kalau kebanyakan yang dibacanya itu salah, maka hendaklah ia meninggalkan membaca ! dan hendaklah bersungguh-sungguh mempelajari Al-Fatihah dan membetulkan pembacaannya ! kalau kebanyakan pembacanya itu betul dan ia tidak sanggup meratakan (membetulkan) semuanya, maka tiada mengapa ia membaca. Akan tetapi seyogyalah merendahkan (mengecilkan) suaranya membaca yang tiada betul itu. Sehingga tiada terdengar oleh orang lain. Untuk melarangnya membaca dengan suara halus juga, ada yang mengatakan demikian. Akan tetapi apabila yang demikian, adalah penghabisan kemampuannya dan ia suka dan rajin membaca Alquran,  maka aku berpendapat, tiada mengapa ia membacanya. Wallaahu a’lam: Allah Yang Maha Tahu. Diantara kemunkaran-kemunkaran yang biasa dilakukan dalam masjid, ialah: tarasul (secara bersahut-sahutan) pada muadz-dzin pada adzan. Dan pemanjangan mereka dengan memanjangkan pembacaan kalimat-kalimat adzan. Berpalingnya mereka dari arah qiblat dengan seluruh dada dan dua hayya ‘alah (ketika membaca: Hayya ‘alash-shalah dan Hayya ‘alal-falah). Atau bersendirian masing-masing mereka dengan adzannya. Akan tetapi tanpa berhenti sampai terputusnya adzan orang lain, di mana mengacaukan kepada para hadirin yang mendengar adzan itu, untuk menjawab adzan. Karena bercampur-baur suara. Tiap-tiap yang demikian itu, adalah perbuatan munkar yang makruh, yang wajib memperkenalkannya kepada mereka. Kalau diperbuat demikian dengan diketahui munkarnya, maka disunatkan melarang dan melaksanakan hisbah padanya. Begitupula, apabila ada masjid mempunyai seorang muadz-dzin dan muadz-dzin ini melakukan adzan sebelum Subuh. Maka seyogyalah ia dilarang adzan sesudah Subuh. Karena yang demikian mengacaukan puasa dan shalat kepada manusia ramai. Kecuali, apabila diketahui, bahwa muadz-dzin itu melakukan adzan sebelum Subuh, sehingga orang tidak berpegang kepada adzannya mengenai shalat dan meninggalkan makan sahur. Atau ada bersama muadz-dzin itu, muadz-dzin lain yang dikenal suaranya, melakukan adzan serta waktu Subuh. Diantara yang makruh juga, membanyakkan adzan berkali-kali sesudah terbit fajar pada suatu masjid pada waktu yang beriring-iringan yang berdekatan. Adakalanya dari seorang atau dari sekumpulan orang. Maka yang demikian itu tiada berfaedah. Karena tiada tinggal lagi dalam masjid orang yang tidur. Dan tiada suara itu diantara suara yang keluar dari masjid, sehingga mengingatkan kepada orang lain. Semuanya itu termasuk makruh, yang menyalahi perjalanan (sunnah) para sahabat dan ulama terdahulu (salaf). Diantara yang munkar, bahwa khathib itu memakai pakaian hitam, yang banyak padanya benang sutera asli. Atau memegang pedang yang beremas. Maka khathib itu fasiq. Menantangnya wajib. Adapun semata-mata hitam, maka tidak dimakruhkan. Akan tetapi tidak disunatkan. Karena pakaian yang lebih disukai oleh Allah Ta’ala ialah pakaian putih. Orang yang mengatakan bahwa pakaian hitan itu makruh dan bid’ah (yang diada-adakan), ia maksudkan bahwa pakaian tersebut, tiada terkenal pada masa pertama Islam. Tetapi apabila tiada datang larangan, maka tiada seyogyalah dinamakan bid’ah (yang diada-adakan) dan makruh. Akan tetapi ditinggalkan yang demikian, untuk yang lebih disukai. Diantara perbuatan munkar dalam masjid, ialah perkataan tukang-tukang cerita dan juru-juru pengajaran yang mencampur-adukkan bid’ah (yang diada-adakan) dengan perkataannya. Kalau tukang cerita itu berdusta dalam ceritanya, maka dia itu orang fasiq. Dan menantangnya wajib. Demikian juga juru pengajaran yang berbuat bid’ah (yang diada-adakan), wajib melarangnya. Dan tidak boleh menghadiri majelisnya. Kecuali dengan maksud melahirkan penolakan terhadapnya. Adakalanya untuk seluruh yang hadir, kalau ia sanggup yang demikian. Atau untuk sebahagian yang hadir mengelilinginya. Kalau ia tidak sanggup, maka tidak boleh mendengar bid’ah (yang diada-adakan). Allah Ta’ala berfirman kepada NabiNya: “Maka hendaklah engkau menghindar dari mereka, sehingga mereka membicarakan perkara yang lain”. S 6 Al An’aam ayat 68. Manakala perkataan tukang cerita itu, condong kepada memberi harapan ampunan Allah (irja’) dan memberanikan manusia kepada perbuatan ma’siat. Dan manusia itu bertambah berani, disebabkan perkataan tukang cerita itu. Dan dengan kemaafan dan kerahmatan Allah, bertambah kepercayaan, yang dengan sebabnya, menambahkan harapan mereka kepada ampunan dari Allah, daripada ketakutannya kepada Allah. Maka perkataan tukang cerita itu adalah perbuatan munkar. Dan wajib ia dilarang. Karena kerusakan yang demikian itu, besar. Akan tetapi, kalau bertambah kuat ketakutan mereka kepada Allah, dari harapan mereka akan ampunanNya, maka yang demikian adalah lebih layaak dan lebih mendekati dengan tabiat makhluq. Sesungguhnya manusia itu lebih berhajat kepada ketakutan. Dan sesungguhnya yang adil, ialah: meadilkan (mengadakan keseimbangan) ketakutan dan pengharapan, sebagaimana Umar ra berkata: “Kalau berserulah penyeru pada hari qiamat, supaya masuklah ke dalam neraka semua manusia, kecuali seorang, niscaya aku mengharap bahwa akulah yang seorang itu. Dan jikalau berserulah penyeru supaya masuklah ke dalam sorga semua manusia, kecuali seorang, niscaya aku takut bahwa akulah yang seorang itu”. Manakala juru pengajaran itu seorang pemuda yang menghias diri bagi wanita, pada pakaiannya dan tingkah-lakunya, banyak pantun, isyarat dan gerak-gerik dan majelis itu dikunjungi kaum wanita, maka ini adalah munkar yang wajib dilarang. Sesungguhnya kerusakan padanya lebih banyak daripada kebaikan. Dan yang demikian itu terang dengan pertanda-pertanda keadaan. Bahkan tiada seyogyalah diserahkan memberi pengajaran, kecuali kepada orang yang dzahirnya wara’. Tingkah lakunya tenang dan tentram. Pakaiannya pakaian orang-orang shalih. Jikalau tidak demikian, maka tiada bertambahlah manusia dengan orang tersebut selain berkepanjangan dalam kesesatan. Haruslah dibuat dinding diantara laki-laki dan wanita, yang mencegah dari memandang. Karena yang demikian juga tempat sangkaan kerusakan. Dan adat kebiasaan menyaksikan segala kemunkaran ini. Dan wajiblah melarang kaum wanita mengunjungi masjid untuk shalat dan majelis-majelis dzikir, bila ditakuti fitnah dengan kunjungan mereka. ‘Aisyah telah melarang kaum wanita, lalu orang mengatakan kepadanya: “Bahwa Rasulullah saw tiada melarang mereka dari kumpulan-kumpulan”. ‘Aisyah menjawab: “Kalau Rasulullah saw mengetahui apa yang diperbuat mereka sesudahnya, niscaya beliau akan melarang mereka”. Adapun lewatnya wanita di masjid dengan tubuhnya tertutup, maka tidak terlarang. Hanya yang lebih utama, tidaklah wanita itu sekali-kali mengambil masjid menjadi tempat lewatnya. Pembacaan Alquran oleh para qari’ di hadapan juru-juru pengajaran, dengan memanjangkan dan melagukan dengan cara yang merobah susunan Alquran dan melewati batas pembacaan (tartil) yang disuruh, adalah perbuatan munkar yang makruh, sangat makruhnya. Ditantang oleh sejama’ah ulama salaf (segolongan ulama terdahulu). Diantara perbuatan munkar, ialah membuat halqah (lingkaran-lingkaran kecil untuk berkumpul manusia) pada hari Jum’at, untuk menjual obat-obatan, makanan-makanan dan ta’widz (kertas atau kain yang tertulis yang akan dipakai untuk penjagaan diri dari penyakit dsb) dan seperti berdiri orang yang meminta-minta (ditengah-tengah shaf atau di pintu masjid), pembacaan mereka akan Alquran, nyanyian mereka akan syair-syair dan hal-hal yang seperti itu. Semua perkara yang tersebut itu, diantarannya ada yang haram. Karena itu adalah penipuan dan pendustaan. Seperti orang-orang pendusta berbuat sejalan dengan tabib-tabib (dokter-dokter). Dan seperti tukang-tukang sunglap dan penipuan-penipuan. Demikian juga orang-orang yang mempunyai ta’widz itu, pada kebanyakannya sampai dapat menjualnya dengan jalan penipuan kepada anak-anak dan orang-orang kebanyakan. Maka ini adalah haram dalam masjid dan di luar masjid. Dan wajib melarangnya. Bahkan semua penjualan, yang ada padanya kedustaan, penipuan dan penyembunyian kekurangan (kerusakan) dari barang yang dijual kepada pembeli, adalah haram. Diantara yang munkar itu, ada yang diperbolehkan (mubah) diluar masjiid, seperti menjahit, menjual obat-obatan, buku-buku dan makanan-makanan. Maka ini dalam masjid juga tidak diharamkan, kecuali ada hal yang mendatang (‘aridl). Yaitu: bahwa: menyempitkan tempat kepada orang-orang yang bersembahyang. Dan mengganggu shalat mereka. Kalau tiada suatupun dari yang demikian, maka tidaklah haram. Dan yang lebih utama ialah meninggalkannya. Akan tetapi syarat pembolehannya ialah, bahwa berlaku yang tersebut itu pada waktu-waktu yang luar biasa dan hari-hari yang tertentu. Karena membuat masjid untuk menjadi kedai terus-menerus, adalah haram dan dilarang. Diantara yang diperbolehkan, ialah yang diperbolehkan dengan syaratnya: sedikit. Kalau banyak, menjadi dosa kecil. Sebagaimana diantara dosa, ada yang menjadi dosa kecil dengan syaratnya: tiada berkekalan. Kalau yang sedikit dari ini, bila dibuka pintunya, niscaya ditakuti akan menarik kepada banyak, maka hendaklah dilarang. Dan hendaklah adanya larangan ini diserahkan kepada wali (penguasa) atau kepada pengurus kepentingan masjid, dari pihak wali. Karena tidak diketahui yang demikian, dengan ijtihad. Dan tidak boleh bagi perseorangan melarang, apa yang diperbolehkan. Karena takutnya, bahwa yang demikian itu akan banyak. Diantara perbuatan-perbuatan munkar, ialah masuknya orang-orang gila, anak-anak dan orang-orang mabuk ke dalam masjid. Dan tiada mengapa masuknya anak-anak ke dalam masjid, apabila ia tiada bermain-main. Dan tidak haram anak-anak bermain-main dalam masjid. Dan tidak haram berdiam diri terhadap bermain-mainnya anak-anak itu. Kecuali bila dibuatnya masjid itu menjadi tempat bermain. Dan menjadi yang demikian itu suatu kebiasaan. Maka wajiblah dilarang. Ini termasuk diantara yang halal oleh sedikitnya, tidak oleh banyaknya. Dan dalil halal sedikitnya, ialah yang diriwayatkan dalam Dua Shahih (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim): “Bahwa Rasulullah saw berhenti karena ‘Aisyah. Sehingga ‘Aisyah melihat orang-orang Habsyi menari dan bermain dengan perisai dan tombak pada hari lebaran, di masjid”. Dan tak ragu lagi, bahwa orang-orang Habsyi itu, kalau mereka mengambil masjid menjadi tempat bermain, niscaya mereka dilarang. Dan Rasulullah saw tidak melihat yang demikian itu karena jarang dan sedikitnya sebagai barang munkar. Sehingga beliau sendiri melihatnya. Bahkan Rasulullah saw menyuruh mereka dengan demikian. Supaya dilihat oleh ‘Aisyah demi kesenangan hatinya. Karena beliau bersabda: “Ambillah bahagianmu dalam permainan, hai Bani Arfidah (panggilan kepada orang-orang Habsyi) !”. Sebagaimana telah kami nukilkan pada Kitab Pendengaran. Adapun orang-orang gila, maka tiada mengapa mereka masuk ke dalam masjid. Kecuali ditakuti mereka mengotorkan masjid. Atau mereka memaki atau mengatakan kata-kata yang keji. Atau mereka berbuat sesuatu yang munkar pada bentuknya. Seperti membuka aurat dan lainnya. Adapun orang gila yang tenang tentram, yang diketahui menurut kebiasaan akan tentram dan diamnya, maka tiada wajib mengeluarkannya dari masjid. Orang mabuk sama dengan orang gila. Kalau ditakuti keluar sesuatu daripadanya, ya’ni: muntah atau yang menyakitkan dengan lisanya, niscaya wajiblah dikeluarkan. Begitupula kalau ia kegoncangan akal. Maka sesungguhnya ditakutkan yang demikian itu daripadanya. Kalau orang sudah minum khamar dan tidak mabuk, sedang baunya keras, maka itu adalah munkar, makruh, yang sangat makruhnya. Betapa tidak ! orang yang memakan bawang putih dan bawang merah, telah dilarang oleh Rasulullah saw mengunjungi masjid. Akan tetapi yang demikian itu dibawa kepada makruh. Dan urusan tentang khamar itu adalah lebih berat. Kalau ada yang berkata: seyogyalah bahwa orang mabuk itu dipukul dan dikeluarkan dari masjid untuk gertak. Kami menjawab: tidak. Tetapi seyogyalah diharuskan duduk dalam masjid dan diajak ke masjid. Dan disuruh meninggalkan minum khamar, manakala ia telah dapat memahami apa yang dikatakan kepadanya waktu itu. Adapun memukulnya untuk gertak, maka yang demikian itu tidaklah diserahkan kepada perseorangan. Tetapi kepada wali-wali (penguasa-penguasa). Yang demikian, ketika pengakuannya atau kesaksian dua orang saksi. Adapun karena semata-mata bau, maka tidak boleh. Benar, apabila ia berjalan diantara orang banyak, terhoyong-hoyong, di mana diketahui mabuknya, maka boleh memukulnya dalam masjid dan di luar masjid, untuk melarangnya daripada melahirkan bekas mabuk. Sesungguhnya melahirkan bekas kekejian adalah keji. Dan segala perbuatan ma’siat wajib ditinggalkan. Dan sesudah diperbuat, wajib ditutup dan ditutup bekas-bekasnya. Kalau perbuatan munkar itu tertutup dan tersembunyi bekasnya, maka tidak boleh mengintipnya. Dan bau itu kadang-kadang keras tanpa diminum, disebabkan duduk pada tempat khamar dan sampainya ke mulut, tanpa ditelan. Maka tiada seyogyalah diperpegangi atas yang demikian.
KEMUNKARAN-KEMUNKARAN PASARAN.
Diantara kemunkaran-kemunkaran yang biasa terjadi di pasar-pasar, ialah membohong pada mencari keuntungan dan menyembunyikan kerusakan barang. Maka siapa yang mengatakan: “Aku beli barang ini –umpamanya –dengan 10 rupiah dan aku beruntunga sekian”, dan dia itu dusta, maka dia itu orang fasiq. Dan atas siapa yang mengetahui demikian, bahwa menceritakannya kepada si pembeli dengan kedustaan si penjual itu. Kalau ia diam karena menjaga hati si penjual, niscaya ia sekongkol dengan si penjual pada pengkhianatan. Dan ia berbuat ma’siat dengan diamnya itu. Begitupula apabila diketahuinya kekurangan, maka haruslah memperingati pembelinya. Kalau tidak, niscaya dia menyetujui kehilangan harta saudaranya muslim. Dan itu haram. Begitu juga berlebih-kurang tentang penghastaan, penyukatan dan penimbangan, wajiblah atas orang yang mengetahuinya merobahkannya olehnya sendiri. Atau menyampaikan kepada wali (penguasa). Sehingga ia merobahkannya. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu, ialah: meninggalkan ijab (serah) dan qabul (terima) dan mencukupkan dengan beri-memberi saja. Akan tetapi yang demikian itu, pada tempat ijtihad. Maka tidak ditantang, kecuali atas orang yang berkeyakinan wajibnya ijab dan qabul. Begitupula, mengenai syarat-syarat yang merusak, yang dibiasakan diantara manusia banyak, wajib ditantang. Karena merusakkan aqad jual-beli itu. Begitupula pada semua persoalan riba. Dan itu banyak terjadi. Demikian juga perbuatan-perbuatan yang merusak lainnya. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu, menjual alat-alat permainan, menjual patung-patung hewan yang serupa pada hari-hari lebaran karena anak-anak. Yang demikian itu wajib dipecahkan dan dilarang menjualnya, seperti alat-alat permainan. Seperti itu pula, menjual bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak. Begitupula menjual kain sutera, peci emas dan sutera. Ya’ni: yang tidak pantas, kecuali bagi laki-laki. Atau diketahui menurut adat kebiasaan negeri itu, bahwa tidak dipakai, selain oleh laki-laki. Maka semua itu perbuatan munkar, terlarang. Dan begitupula, orang biasa menjual kain terpakai, sudah dicuci yang akan meragukan orang, dengan dicucikan dan dipakaikan itu. Dan penjual itu menda’wakan bahwa kain-kain itu adalah kain-kain baru. Maka perbuatan itu haram dan melarangnya wajib. Seperti itu juga, penipuan kekoyakan kain dengan penampalan dan apa-apa yang membawa kepada keragu-raguan. Begitu juga semua macam aqad jual-beli yang membawa kepada penipuan. Dan yang demikian itu, panjang penghinggaanny. Maka hendaklah dibandingkan dengan apa yang telah kami sebutkan, akan apa yang tidak kami sebutkan !”.
KEMUNKARAN-KEMUNKARAN JALANAN.
Diantara kemunkaran-kemunkaran yang dibiasakan pada jalan-jalan raya, ialah meletakkan tiang-tiang, membangun tempat-tempat yang agak tinggi yang bersambung dengan rumah-rumah kepunyaan orang, menanam kayu-kayuan, mengeluarkan lobang-lobang dinding dan sayap-sayap rumah, meletakkan perkayuan dan alat pikulan biji-bijian dan makanan-makanan di atas jalan raya. Semua itu perbuatan munkar, kalau membawa kepada penyempitan jalan dan penggangguan orang-orang lalu-lintas. Kalau tiada sekali-kali membawa kepada gangguan lalu-lintas, karena luasnya jalan, maka tiada dilarang. Ya, boleh meletakkan kayu api dan alat-alat pembawa makanan di jalan, sekadar yang akan dibawa ke rumah. Bahwa yang demikian, bersekutulah semua orang, memerlukan kepadanya. Dan tidak mungkin dilarang. Begitu juga mengikat hewan kendaraan di atas jalan, dengan kiraan akan menyempitkan jalan dan menajiskan orang-orang yang melewatinya, adalah perbuatan munkar, yang wajib dilarang. Kecuali sekadar keperluan turun dan naik atas hewan kendaraan itu. Ini adalah karena jalan-jalan itu berkongsi kemanfaatannya. Tiada boleh bagi seseorang mempunyai hak khusus dengan kemanfaatan itu, selain sekadar keperluan. Yang dijaga ialah keperluan yang menjadi maksud jalanan itu diperbuat karenanya, menurut kebiasaan. Tidak keperluan-keperluan yang lain. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu, ialah pasar hewan. Dan padanya ada duri, dengan kiraan akan mengoyakkan kain orang. Maka yang demikian itu munkar, jika mungkin mengikat dan mengumpulkannya, dengan kiraan, tidak akan mengoyakkan. Atau mungkin dipindahkan ke tempat yang luas. Jikalau tidak, maka tak ada larangan. Karena keperluan penduduk negeri menghendaki kepada yang demikian. Ya, jangan ditinggalkan barang yang diletakkan atas jalanan, kecuali sekadar masa memindahkannya. Begitupula membebankan hewan-hewan pengangkut, dengan pikulan-pikulan yang tidak disanggupinya, adalah perbuatan munkar. Wajib melarang pemiliknya dari perbuatan itu. Begitu juga penyembelihan tukang potong, apabila ia menyembelih pada jalanan, depan pintu kedai. Dan mengotorkan jalan dengan darah. Itu adalah perbuatan munkar yang dilarang. Akan tetapi menjadi haknya, tukang potong itu membuat tempat penyembelihan dalam kedainya. Sesungguhnya pada yang demikian itu, menyempitkan jalan dan menyusahkan orang banyak, disebabkan terperciknya najis. Dan disebabkan tabiat manusia memandang kotor segala yang jijik itu. Begitu juga membuang sampah di pinggir jalan dan memotong-motong kulit mentimun atau menyiramkan air yang ditakuti akan terpeleset kaki orang yang berjalan dan terjatuh. Semua itu termasuk perbuatan munkar. Begitu juga melepaskan air dari pancuran, yang keluar dari dinding, pada jalan yang sempit. Maka sesungguhnya yang demikian itu, menajiskan kain atau menyempitkan jalan. Maka tidak dilarang pada jalan yang lapang. Karena mungkin berpindah daripadanya. Adapun membiarkan air hujan, lumpur dan salju pada jalan, tanpa disapu, adalah munkar. Akan tetapi tidaklah dikhususkan orang tertentu dengan demikian. Kecuali salju yang ditentukan seseorang membuangnya dari jalanan. Dan air yang berkumpul atas jalan, dari pancuran tertentu, maka haruslah pemilik pancuran itu khususnya menyapu jalan. Jikalau air itu berasal dari hujan, maka yang demikian adalah hisbah umum. Haruslah para wali (penguasa) menyuruh orang banyak mengerjakannya. Dan tidaklah bagi perseorangan pada hisbah itu, kecuali pengajaran saja. Begitu juga apabila seseorang mempunyai anjing buas pada pintu rumahnya, yang menyakitkan orang banyak, maka wajiblah dilarang. Kalau tidak menyakitkan, selain menajiskan jalanan dan mungkin dijaga dari kenajisan itu, niscaya tidak dilarang. Dan jikalau anjing itu menyempitkan jalan, dengan membentangkan kedua kaki depannya, maka dilarang. Bahkan yang empunya anjing itu dilarang tidur atas jalan. Atau duduk yang menyempitkan jalan. Maka anjingnya lebih utama lagi dilarang.
KEMUNKARAN-KEMUNKARAN TEMPAT PERMANDIAN.
Diantara yang munkar itu, ialah: gambar-gambar yang ada atas pintu tempat permandian (hammam) atau dalam tempat permandian, yang wajib menghilangkannya, oleh tiap-tiap orang yang masuk ke dalamnya, jikalau sanggup. Kalau tempat itu tinggi, yang tiada sampai tangan kepadanya, maka tiada boleh ia masuk, kecuali karena darurat. Maka hendaklah ia berpindah ke tempat permandian lain. Sesungguhnya menyaksikan barang munkar itu tiada boleh. Dan memadailah mencoreng muka gambar itu dan merusakkan gambarnya. Dan tidak dilarang gambar kayu-kayuan dan ukiran-ukiran lain, selain gambar hewan. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu, ialah: membuka aurat dan melihatnya. Termasuk jumlah aurat, membukakan paha oleh tukang gosok dan yang di bawah pusat, untuk menghilangkan daki. Bahkan termasuk jumlah aurat, memasukkan tangan tukang gosok di bawah kain sarung. Sesungguhnya menyentuh aurat orang lain itu haram, seperti haram memandangnya. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu, tidur menelungkup dihadapan tukang gosok, untuk memijit paha dan pinggang. Ini adalah makruh, kalau ada lapik. Akan tetapi tidak dilarang, apabila tidak ditakuti tergeraknya nafsu syahwat. Begitu juga membuka aurat oleh tukang bekam dzimmi, termasuk perbuatan keji. Sesungguhnya wanita tiada boleh membuka badannya untuk wanita dzimmi pada tempat permandian. Maka bagaimanakah boleh membuka auratnya bagi laki-laki ?. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu, membenamkan tangan dan bejana yang bernajis ke dalam air yang sedikit. Membasuh kain sarung dan cambung yang bernajis dalam kolam dan airnya sedikit. Karena yang demikian itu, menajiiskan air. Kecuali pada madzhab Malik. Maka tiada boleh menantangnya terhadap orang Maliki. Dan boleh terhadap orang Hanafi dan orang Syafi’i. Dan kalau berkumpul orang Maliki dan orang Syafi’i pada tempat permandian, maka tiada boleh bagi orang Syafi’i melarang orang Maliki dari yang demikian, kecuali dengan jalan meminta dan lemah-lembut. Yaitu mengaatkan kepadanya: “Kami memerlukan pertama-tama membasuhkan tangan. Kemudian kami membenamkannya dalam air. Adapun anda, maka tiada perlu menyakitkan aku dan menghilangkan thaharah (bersuci) atasku”. Dan cara-cara lain yang seperti itu. karena tempat-tempat sangkaan ijtihad, tiada mungkin hisbah padanya dengan paksaan. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu, bahwa terdapat batu yang licin, yang dapat menjatuhkan terpeleset orang-orang yang lengah, pada tempat masuk ke rumah-rumah permandian itu dan tempat-tempat mengalir airnya. Ini adalah perbuatan munkar. Dan wajib mencabut dan membuangkannya. Dan terhadap penjaga tempat permandian itu, ditantang kelengahannya. Karena membawa kepada orang jatuh. Dan kejatuhan itu kadang-kadang membawa kepada pecahnya anggota badan atau tercabutnya. Begitu juga meninggalkan daun sidr (daun yang dipakai untuk mandi, ganti sabun) dan sabun yang licin, atas lantai tempat permadani, adalah perbuatan munkar. Barangsiapa berbuat demikian, lalu keluar dan meninggalkannya demikian, lalu jatuh terpeleset orang dan pecah salah satu anggota badannya dan yang demikian itu pada suatu tempat yang tiada terang, di mana sukar menjaga diri daripadanya, maka penanggungan akibat itu berkisar antara orang yang meninggalkan barang-barang yang tersebut tadi dan penjaga tempat permandian itu. Karena hak kewajibannya membersihkan tempat permandian. Cara yang kuat pada persoalan ini, ialah mewajibkan penanggungan atas orang yang meninggalkan barang-barang tersebut pada hari pertama. Dan atas penjaga tempat permandian pada hari kedua. Karena kebiasaan membersihkan tempat permandian itu tiap-tiap hari dibiasakan. Dan kembali pada waktu-waktu tertentu pengulangan pembersihan itu kepada kebiasaan. Maka hendaklah diperhatikan tentang kebiasaan itu ! Dan pada tempat permandian itu, ada hal-hal makruh yang lain, yang telah kami sebutkan pada “Kitab Bersuci”. Maka hendaklah anda lihat di sana !.
KEMUNKARAN-KEMUNKARAN PERJAMUAN.
Maka diantaranya: tikar sutera untuk laki-laki. Itu adalah haram. Begitu juga, menguapkan kemenyan pada tempat pembakaran dari perak atau emas. Atau meminum atau memakai air mawar pada bejana perak. Atau sesuatu, yang kepalanya dari perak. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu: menurunkan tabir dan pada tabir itu terdapat gambar-gambar. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu: mendengar rebab atau mendengar nyanyian wanita-wanita. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu: berkumpul wanita di atas lapisan atas rumah, untuk melihat laki-laki, manakala ada dalam kalangan laki-laki itu pemuda yang ditakuti terjadinya fitnah dari mereka. Semua itu terlarang, perbuatan munkar yang wajib dihilangkan. Barangsiapa lemah menghilangkannya, niscaya ia harus keluar dari majelis perjamuan itu. Dan tidak boleh ia duduk. Maka tidak ada keentengan baginya, untuk duduk menyaksikan kemunkaran-kemunkaran itu. Adapun gambar pada bantal-bantal dan permadani-permadani yang terbentang, maka tidak munkar. Begitu juga gambar pada baki dan piring-piring makan. Tidak bejana yang terbuat atas bentuk gambar. Kadang-kadang kepala sebahagian tempat pembakaran kemenyan adalah dengan bentuk burung. Maka yang demikian itu haram. Wajib dipecahkan sekadar gambarnya. Mengenai tempat celak kecil dari perak itu terdapat khilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama. Ahmad bin Hanbal keluar dari perjamuan disebabkannya. Manakala makanan itu haram atau tempat itu barang yang dirampas atau kain yang dibentangkan itu haram, maka itu termasuk kemunkaran yang lebih berat. Kalau ada padanya orang yang suka memimun khamar seorang saja, maka tiada boleh datang. Karena tidak halal mendatangi majelis minuman khamar, walaupun sedang tidak minum. Tiada boleh duduk-duduk bersama orang fasiq, waktu sedang ia mengerjakan perbuatan fasiq. Sesungguhnya menjadi penelitian mengenai duduk-duduk bersama orang fasiq itu sesudah yang demikian. Adakah wajib memarahinya pada jalan Allah dan memutuskan perhubungan dengan dia, sebagaimana telah kami sebutkan pada “Bab Kecintaan dan Kemarahan pada Jalan Allah ?”. Begitupula, kalau ada pada mereka orang yang memakai sutera atau cincin emas. Maka orang itu fasiq. Tiada boleh duduk bersama dia, tanpa perlu darurat. Kalau kain sutera itu pada anak kecil yang belum baligh, maka ini menjadi tempat penelitian. Yang shahih (yang lebih kuat), bahwa yang demikian itu munkar. Dan wajib membuka kain itu daripadanya, kalau anak kecil itu sudah dapat membedakan (mumayyiz). Karena umum sabdanya Nabi saw: “Dua ini (sutera dan emas) adalah haram atas umatku yang laki-laki”. Sebagaimana wajib melarang anak kecil meminum khamar, tidak karena dia mukallaf, tetapi karena dia menyukai minuman itu. Maka apabila ia telah baligh nanti, niscaya sukarlah menahan diri daripadanya. Maka begitupula keinginan menghias diri dengan sutera, yang mengerasi kepadanya apabila ia telah membiasakannya. Maka adalah yang demikian itu bibit kerusakan yang bersemaian dalam dadanya. Lalu tumbuh daripadanya pohon kesyahwatan yang berurat berakar, yang sukar mencabutnya sesudah baligh. Adapun anak kecil yang tiada mumayyiz, maka lemahlah arti pengharaman terhadap dirinya. Dan tiada terlepas dari sesuatu kemungkinan. Dan pengetahuan mengenai kemungkinan itu, adalah pada sisi Allah. Orang gila adalah searti dengan anak kecil yang tiada mumayyiz. Ya, halal penghiasan diri dengan emas dan sutera bagi wanita, tanpa berlebih-lebihan. Dan aku tiada berpendapat kelonggaran tentang melobangi telinga anak kecil perempuan, untuk menggantungkan kerabu emas padanya. Sesungguhnya ini adalah pelukaan yang menyakitkan. Perbuatan yang seperti itu mewajibkan qishash. Maka tiada boleh, kecuali suatu keperluan penting, seperti: pembentikan, pembekaman dan pengkhitanan. Penghiasan dengan kerabu itu tidak penting. Bahkan mengenal anting-anting, dengan menggantungkannya pada telinga, mengenai kalung yang digantungkan pada leher dan gelang adalah tidak penting. Maka ini, walaupun telah menjadi kebiasaan, adalah haram. Melarangnya wajib. Menyewa barang-barang tersebut tidak syah. Sewa yang diambil atas barang itu haram. Kecuali ada kelonggaran (rukhshah) yang dinukilkan dari agama. Dan belum sampai kepada kami kelonggaran itu sampai sekarang. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu, bahwa: ada pada perjamuan itu pembuat bid’ah (yang diada-adakan) yang membicarakan mengenai kebid’ah (yang diada-adakan)annya. Maka boleh datang orang yang sanggup menolaknya, dengan cita-cita ingin menolak. Kalau tidak sanggup, maka tidak boleh datang. Kalau pembuat bid’ah (yang diada-adakan) itu tiada membicarakan kebid’ah (yang diada-adakan)annya, maka boleh hadir, serta melahirkan kebencian kepadanya. Dan berpaling muka daripadanya. Sebagaimana telah kami sebutkan pada “Bab Kemarahan Pada Jalan Allah”. Kalau ada pada perjamuan itu pembuat tertawa dengan cerita-cerita dan bermacam-macam keganjilan, maka kalau orang itu membuat tertawa dengan kekejian dan kedustaan, niscaya tidak boleh hadir. Dan ketika hadir, wajiblah menantangnya. Kalau yang demikian itu, dengan senda-gurau, tak ada padanya kedustaan dan kekejian, maka itu diperbolehkan (mubah). Ya’ni: sekadar sedikit daripadanya. Adapun membuat yang demikian itu menjadi perusahaan dan kebiasaan, maka tidak diperbolehkan. Semua kedustaan, yang tidak tersembunyi bahwa itu kedustaan dan tidak dimaksudkan penipuan, maka tidaklah itu termasuk jumlah kemunkaran. Seperti orang mengatakan umpamanya: “Aku mencari anda hari ini 100 kali dan aku mengulang-ulangi perkataan kepada anda 1000 kali” dan yang serupa dengan perkataan tersebut, dimana diketahui bahwa tidaklah dimaksudkan hakikat/makna yang sebenarnya. Maka yang demikian itu, tidak mencederai ‘adalah (sifat adil) dan tidak ditolak kesaksiannya. Dan akan datang penjelasan: batas bersenda gurau yang diperbolehkan dan kedustaan yang diperbolehkan pada “Kitab Bahaya Lidah dari Rubu’ yang Membinasakan”. Diantara kemunkaran-kemunkaran itu, ialah: berlebih-lebihan pada makanan dan bangunan. Itu adalah munkar. Bahkan mengenai harta itu dua kemunkaran:
Pertama: membuang-buang harta (idla’ah).
Kedua: berlebih-lebihan (israf).
Idla’ah: ialah menghilangkan harta, tanpa faedah yang dihitungkan. Seperti: membakar kain dan mengoyak-ngoyakkannya, membongkar bangunan tanpa maksud, mencampakkan harta ke dalam laut. Dan searti dengan itu, menyerahkan harta kepada wanita yang meratap pada kematian, kepada penyanyi waktu kegembiraan dan pada berbagai macam kerusakan. Karena semua itu perbuatan-perbuatan berfaedah yang diharamkan pada agama. Maka jadilah faedah-faedah itu seperti tidak ada. Adapun israf, maka kadang-kadang ditujukan kepada maksud menyerahkan harta kepada wanita yang meratap, kepada penyanyi dan kepada kemunkaran-kemunkaran. Kadang-kadang ditujukan kepada penyerahan harta pada jenis yang diperbolehkan (mubah). Akan tetapi dengan sangat berlebih-lebihan. Dan sangatnya berlebih-lebihan itu, berlainan menurut keadaan masing-masing. Kami katakan: “Orang yang tiada mempunyai, selaain 100 dinar umpamanya serta mempunyai keluarga dan anak-anak dan mereka itu tiada mempunyai penghidupan yang lain, lalu orang tadi membelanjakan semuanya pada suatu pesta”, bahwa orang tersebut berlebih-lebihan yang wajib dilarang; Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau kembangkan seluas-luasnya, supaya engkau jangan duduk tercela dan sengsara !”. S 17 Al Israa’ ayat 29. Ayat ini turun mengenai seorang laki-laki di Madinah yang membagi-bagikan semua hartanya. Dan tiada tinggal sedikitpun untuk keluarganya. Lalu ia dituntut perbelanjaan. Maka ia tiada sanggup sedikitpun. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah engkau pemboros dengan berlebihan ! sesungguhnya orang-orang pemboros itu adalah saudara setan”. S 17 Al Israa’ ayat 26-27. Seperti itu juga Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan mereka itu, apabila membelanjakan hartanya, tiada melampaui batas dan tiada (pula) bersifat kikir”. S 25 Al Furqaan ayat 67. Maka barangsiapa yang memboros yang berlebih-lebihan ini, niscaya ditantang. Dan wajiblah atas hakim (qadli) menahan hartanya. Kecuali apabila orang itu seorang diri dan kuat bertawakkal yang sebenarnya. Maka boleh ia membelanjakan semua hartanya pada pintu-pintu kebajikan. Dan orang yang mempunyai keluarga atau lemah dari bertawakkal, maka tiada boleh ia menyedekahkan semua hartanya. Begitu juga, kalau ia menyerahkan semua hartanya untuk mengukir dindinng temboknya dan menghiaskan bangunan-bangunannya. Maka itu juga pemborosan yang diharamkan. Dan berbuat demikian, oleh orang yang berharta banyak, tidak diharamkan. Karena penghiasan itu termasuk maksud-maksud yang syah. Dan senantiasalah masjid-masjid itu dihiasi dan diukiri pintu-pintunya dan loteng-lotengnya. Sedang pengukiran pintu dan loteng itu, tak ada faedahnya, selain semata-mata penghiasan. Maka begitupula rumah-rumah. Dan demikian juga perkataan tentang pengelokan dengan kain-kain dan makanan-makanan. Yang demikian itu diperbolehkan pada jenisnya. Dan itu menjadi pemborosan, dengan memperhatikan keadaan orang tersebut dan kekayaannya. Kemunkaran-kemunkaran yang seperti ini adalah banyak. Tiada mungkin dihinggakan. Maka kiaskanlah dengan kemunkaran-kemunkaran ini, segala tempat berkumpulnya orang banyak, majelis-majelis para hakim, kantor-kantor sultan (penguasa), madrasah-madrasah para ahli fiqh, langgar-langgar kaum shufi dan tempat-tempat penginapan di pasar-pasar. Maka tidaklah terlepas suatu tempatpun dari kemunkaran yang makruh atau yang dilarang. Dan menyelidiki semua kemunkaran itu meminta kepada kelengkapan semua penguaraian agama, pokok-pokoknya dan cabang-cabangnya. Maka biarlah kita singkatkan sekadar ini saja !.
KEMUNKARAN-KEMUNKARAN UMUM.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap orang yang duduk di rumahnya, di mana saja ia berada, tidaklah terlepas pada zaman ini dari kemunkaran, dari segi berdiam-diri dari memberi petunjuk, mengajar dan membawa manusia kepada perbuatan baik. Kebanyakan manusia itu bodoh tentang agama, mengenai syarat-syarat shalat di negeri-negeri yang sudah berkemajuan. Maka betapa lagi di desa-desa dan di kampung-kampung. Diantara mereka itu, orang-orang Badui, orang-orang Kurdi, Turki dan berbagai macam makhluq manusia lainnya. Dan wajiblah kiranya pada tiap-tiap masjid dan tempat dari suatu negeri, ada seorang ahli ilmu (faqih) yang mengajarkan manusia akan agama. Begitupula pada tiap-tiap desa. Dan wajiblah atas tiap-tiap faqih, yang telah menyelesaikan fardlu-‘ainnya dan menyerahkan waktunya untuk fardlu kifayah(jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu), bahwa keluar menemui orang yang bertetangga negerinya, baik orang hitam, orang Arab, orang Kurdi dan lainnya. Mengajarkan mereka akan agama dan fardlu-fardlu syari’at/agama. Dan membawa sendiri perbekalan yang akan dimakan. Dan tidak memakan dari makanan orang-orang itu. Karena kebanyakan makanannya adalah berasal dari rampokan. Kalau sudah bangun seorang dengan tugas ini, niscaya gugurlah dosa dari yang lain. Kalau tidak, niscaya meratailah dosa kepada seluruhnya. Adapun orang yang berilmu, maka karena keteledorannya tidak keluar mengajarkan agama. Dan orang yang bodoh, maka karena keteledorannya meninggalkan belajar. Tiap-tiap orang awam yang mengetahui syarat-syarat shalat, maka haruslah ia mengajarkan orang lain. Kalau tidak, maka ia bersekutu pada dosa. Dan sebagai dimaklumi, bahwa manusia tidak dilahirkan mengetahui agama. Dan sesungguhnya wajiblah atas ahli ilmu menyampaikannya. Tiap-tiap orang yang telah mempelajari suatu persoalan (masalah), maka ia termasuk ahli ilmu tentang persoalan itu. Demi umurku, bahwa dosa kaum fuqaha’ adalah lebih berat. Karena kemampuan mereka mengenai itu adalah lebih menonjol. Dan tugas itu lebih layak menjadi pekerjaan mereka. Karena orang-orang yang mengerjakan suatu pekerjaan, kalau meninggalkan pekerjaannya, niscaya rusaklah kehidupan. Dan kaum fuqaha’ itu telah mengikat diri dengan suatu tugas, yang tidak boleh tidak, demi kebaikan makhluq manusia. Keadaan dan pekerjaan orang faqih itu, ialah menyampaikan apa yang telah disampaikannya dari Rasulullah saw. Bahwa ulama itu adalah pewaris nabi-nabi. Tidaklah manusia itu duduk saja di rumahnya dan tidak keluar ke masjid. Karena ia akan melihat manusia, yang tidak pandai mengerjakan shalat dengan baik. Bahkan, apabila ia mengetahui yang demikian, niscaya wajiblah ia keluar untuk mengajar dan melarang yang munkar. Demikian juga, tiap-tiap orang yang yakin, bahwa di pasar ada perbuatan munkar yang berlaku terus-menerus atau pada waktu-waktu tertentu dan ia sanggup menghilangkannya, maka tidak boleh ia melepaskan dirinya dari yang demikian, dengan duduk di rumah. Tetapi haruslah ia keluar. Kalau ia tidak sanggup menghilangkan semuanya dan ia menjaga diri dari menyaksikannya dan ia sanggup menghilangkan sebagian, niscaya harus ia keluar. Karena keluarnya itu, apabila untuk menghilangkan apa yang disanggupinya, maka tiada melarat ia menyaksikan apa yang tiada disanggupinya. Sesungguhnya dilarang hadir untuk menyaksikan perbuatan munkar, tanpa maksud yang benar. Maka menjadi hak kewajiban atas tiap-tiap muslim, memulai dengan dirinya sendiri. Lalu memperbaikinya dengan rajin, mengerjakan segala fardlu dan meninggalkan segala yang diharamkan. Kemudian ia mengajarkan yang demikian itu kepada keluarganya. Kemudian sesudah selesai itu, lalu ia melangkah kepada tetangganya. Kemudian kepada penduduk sedesa dengan dia. Kemudian kepada penduduk negerinya. Kemudian kepada orang banyak di sekitar negerinya. Kemudian kepada penduduk-penduduk desa yang jauh, dari orang-orang Kurdi, Arab dan lainnya. Begitulah, sampai kepada tempat-tempat yang terjauh dari dunia ini. Maka jikalau sudah bangun dengan tugas ini, orang yang dekat, niscaya gugur dari orang yang jauh. Kalau tidak, niscaya berdosalah segala orang yang mampu. Baik ia orang yang dekat atau orang yang jauh. Dan dosa itu tiada gugur, selama masih ada di atas permukaan bumi, orang bodoh, dengan salah satu dari fardlu-fardlu agamanya. Dan ia sanggup berjalan kepada orang itu, olehnya sendiri atau dengan perantaraan orang lain. Lalu mengajarkan orang bodoh itu akan fardlu agamanya. Inilah pekerjaan yang menghabiskan waktu orang yang mementingkan urusan agamanya, yang menyibukkannya, tanpa ada kesempatan membagi-bagikan waktu, tentang persoalan-persoalan furu’ (cabang agama) yang jarang terjadi dan berdalam-dalam tentang ilmu-ilmu yang halus yang termasuk fardlu kifayah(jika ada 1 orang yg mengerjakannya maka selesai urusan itu). Dan tidak didahulukan di atas ini, kecuali yang fardlu ‘ain atau yang fardlu kifayah yang lebih penting daripadanya.
BAB KEEMPAT: Tentang amar-ma’ruf terhadap amir-amir dan sultan-sultan (penguasa-penguasa) dan nahi-munkarnya.
Telah kami sebutkan tingkat-tingkat amar-ma’ruf. Bahwa tingkat pertamanya ialah: ta’rif (memperkenalkan mana yang baik dan mana yang buruk). Tingkat keduanya: pengajaran. Tingkat ketiganya: dengan kata-kata yang kasar. Dan tingkat keempatnya: melarang dengan kekerasan, membawanya kepada kebenaran dengan pukulan dan siksaan. Yang boleh dari jumlah itu terhadap sultan-sultan (penguasa-penguasa), ialah dua tingkat yang pertama. Yaitu: ta’rif dan pengajaran. Adapun melarang dengan kekerasan, maka tidaklah yang demikian bagi perseorangan-perseorangan rakyat terhadap sultan (penguasa). Bahwa yang demikian itu, menggerakkan fitnah dan membangkitkan kejahatan. Dan hal yang ditakuti yang akan terjadi daripadanya, lebih banyak. Adapun kata-kata yang kasar, seperti dikatakan: “Hai orang dzalim ! hai orang yang tidak takut akan Allah !”, dan kata-kata yang seperti itu. Maka yang demikian, kalau menggerakkan fitnah, yang kejahatannya melampaui kepada orang lain, niscaya tidak boleh. Kalau tidak ditakutinya, kecuali atas dirinya sendiri, maka boleh. Bahkan disunatkan kepadanya. Sesungguhnya telah menjadi adat kebiasaan salaf (ulama terdahulu), tampil menhadang bahaya dan berterus-terang menantangnya, tanpa memperdulikan kebinasaan jiwa dan mendatangi berbagai macam azab kesengsaraan. Karena mereka tahu, bahwa yang demikian itu mati syahid. Rasulullah saw bersabda: “Orang syahid yang terbaik, ialah Hamzah bin Abdul Muththalib. Kemudian orang yang bangun mendatangi imam (penguasa), menyuruhnya yang baik dan melarangnya yang buruk pada jalan Allah Ta’ala. Lalu imam itu membunuhnya di atas yang demikian”. Nabi saw bersabda: “Jihad yang sebaik-baiknya, ialah kata-kata kebenaran pada sultan yang dzalim”. Nabi saw menyifatkan Umar bin Al-Khaththab ra dengan sabdanya: “Sepotong tanduk dari besi, tiada menghalanginya pada jalan Allah oleh cacian orang yang mencaci. Meninggalkan perkataannya yang benar, tak adalah baginya yang menjadi teman”. Tatkala orang-orang yang bersikap keras pada agama mengetahui, bahwa perkataan yang lebih utama ialah kata kebenaran pada sultan yang dzalim dan bahwa orang yang bersikap demikian, apabila dibunuh, maka mati syahid, sebagaimana yang tersebut pada hadits-hadits, maka mereka tampil kepada yang demikian. Membawa dirinya kepada kebinasaan. Menanggung berbagai macam azab kesengsaraan. Bersabar di atas yang demikian pada jalan Allah Ta’ala. Dan mereka berbuat karena Allah, untuk apa yang diserahkan mereka dari kebagusan tujuannya pada sisi Allah. Dan jalan mengajari sultan-sultan, menyuruh mereka perbuatan baik dan melarang mereka perbuatan munkar, ialah apa yang telah dinukilkan oleh ulama-ulama terdahulu. Telah kami paparkan sejumlah dari yang demikian pada “Bab masuk ke tempat sultan-sultan” pada “Kitab Halal dan Haram”. Dan sekarang akan kami ringkaskan dengan beberapa hikayah (cerita) yang memperkenalkan cara pengajaran dan betapa caranya menantang sultan-sultan itu. Diantaranya: apa yang diriwayatkan tentang tantangan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra terhadap pembesar-pembesar Quraisy, ketika mereka bermaksud jahat kepada Rasulullah saw. Ceritanya, ialah: apa yang diriwayatkan dari ‘Urwah ra yang mengatakan: “Aku berkata kepada Abdullah bin ‘Amr: ‘Alangkah banyaknya apa yang aku lihat, orang Quraisy itu memperolehnya dari Rasulullah saw tentang apa yang dilahirkannya dari hal permusuhan dengan Rasulullah saw”. Lalu Abdullah bin ‘Amr berkata: “Aku datangi mereka itu dan orang-orang mereka yang terkemuka pada suatu hari, telah berkumpul pada Hijir Ismail as. Mereka itu menyebutkan (memperkatakan) Rasulullah saw. Mereka mengatakan: ‘Belum pernah kita melihat seperti apa yang kita sabar dari hal laki-laki itu (maksudnya: Rasulullah saw), yang telah membodohi orang-orang kita yang penyabar. Telah memaki bapak-bapak kita. Memburukkan agama kita. Mencerai-beraikan kumpulan kita. Dan mencaci tuhan-tuhan kita. Kita telah bersabar di atas keadaan yang besar yang timbul dari orang itu”. Dan kata-kata lain yang serupa itu, dikatakan oleh orang-orang Quraisy. Dalam hal keadaan demikian, tiba-tiba muncullah Rasulullah saw dihadapan mereka. Beliau terus berjalan, sehingga beliau beristilam (mengangkat tangan) kepada sudut Ka’bah (Ar-Rukn). Kemudian beliau lalu dihadapan mereka, berthawaf mengelilingi Ka’bah. Tatkala Rasulullah saw lalu dihadapan mereka, maka dikatainya Rasulullah saw dengan sebagian kata-kata penghinaan. Berkata Abdullah bin ‘Amr: “Aku ketahui yang demikian pada wajah Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw berjalan melakukan thawaf. Tatkala lewat dihadapan mereka pada kali kedua, lalu mereka itu mengatainya lagi seperti yang pertama tadi. Aku ketahui demikian pada wajahnya saw. Kemudian beliau lalu dari situ. Tatkala lewat dihadapan mereka pada kali ketiga, lalu mereka itu mengatainya lagi seperti semula. Sehingga Rasulullah saw berhenti. Kemudian bersabda: “Adakah kamu mendengar, wahai sekalian orang Quraisy ! demi Allah yang nyawa Muhammad dalam kekuasaanNya ! sesungguhnya aku datang kepadamu untuk dibunuh. Berkata Abdullah bin ‘Amr selanjutnya: “Kaum Quraisy itu lalu menundukkan kepalanya. Sehingga tiada seorangpun dari mereka, melainkan seakan-akan di atas kepalanya seekor burung yang jatuh ke atas kepalanya. Sehingga yang sangat terpijak pada kepalanya, menerima yang demikian itu untuk ditempatkannya dengan sebaik-baik perkataan yang diperolehnya itu. Sehingga Abdullah bin ‘amr itu mengatakkan: ‘Pergilah wahai Abul-Qasim (panggilan kepada Rasulullah saw) dengan baik ! demi Allah, engkau bukan orang bodoh”. Berkata Abdullah lagi: “Lalu Rasulullah saw pergi. Sehingga pada keesokan harinya, mereka berkumpul pula pada Hijr itu. Dan aku bersama mereka. Lalu berkata sebahagian mereka kepada yang lain: ‘Kamu ingat apa yang sampai daripada kamu dan apa yang sampai kepada kamu daripadanya. Sehingga apabila ia berhadapan dengan kamu, dengan apa yang tiada kamu sukai, kamu tinggalkan dia”. Pada ketika mereka itu sedang demikian, tiba-tiba Rasulullah saw muncul. Lalu mereka melompat kepadanya sebagai lompatan seorang laki-laki (serentak). Mereka itu mengelilingi Rasulullah saw seraya berkata: “Engkau yang berkata demikian ! engkau yang berkata demikian !”. Karena telah sampai kepada mereka, kata-kata yang menghinakan tuhan-tuhan dan agama mereka. Berkata Abdullah selanjutnya: “Lalu Rasulullah saw menjawab: ‘Benar, aku yang mengatakan demikian”. Berkata Abdullah lagi: “Lalu aku melihat seorang laki-laki dari mereka, mengambil kumpulan selendangnya (mau mencekik leher Nabi saw)”. Berkata Abdullah lagi: “Lalu bangunlah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra tanpa Nabi saw bangun. Beliau berkata sambil menangis: ‘Celaka kamu !’. Apakah kamun akan membunuh orang yang mengatakan: “Tuhanku Allah ?”. Berkata Abdullah: “Kemudian, orang-orang Quraisy itu pergi. Bahwa yang demikian adalah yang paling berat yang aku lihat orang Quraisy memperolehnya dari Nabi saw”. Pada riwayat lain dari Abdullah bin ‘Amr ra yang mengatakan: “Di waktu Rasulullah saw berada di halaman Ka’bah, tiba-tiba datang ‘Uqbah bin Abi Muith. Lalu ia memegang bahu Rasulullah saw. Lantas ia melilitkan kainnya pada leher Rasulullah saw. Ia mencekik leher Nabi saw dengan sangat. Maka datanglah Abu Bakar ra lalu memegang bahunya dan menolaknya dari Rasulullah saw seraya berkata: ‘Apakah kamu akan membunuh orang yang mengatakan: ‘Tuhan Allah ?’. Padahal ia telah datang kepadamu dengan keterangan-keterangan dari Tuhanmu”. Diriwayatkan, bahwa Mu’awiyah ra menahan pemberian harta, kepada orang yang biasa menerimanya. Lalu datang kepadanya Abu Muslim Al-Khaulani. Ia berkata kepada Mu’awiyah: “Hai Mu’awiyah ! bahwa harta itu tidaklah dari jerih-payahmu. Tidak dari jerih-payah bapakmu. Dan tidak dari jerih-payah ibumu”. Berkata yang meriwayatkan: “Maka Mu’awiyah marah dan terus turun dari mimbar, seraya berkata kepada orang banyak: ‘Tetap pada tempatmu masing-masing !”. Ia menghilang sejenak dari pandangan orang banyak. Kemudian, ia datang lagi kepada mereka. Dan beliau sudah mandi. Lalu berkata: “Bahwa Abu Muslim mengatakan kepadaku dengan kata-kata yang membuat aku marah. Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Kemarahan itu dari setan. Setan itu dijadikan dari api. Dan sesungguhnya api itu dipadamkan dengan air. Maka apabila marah salah seorang kamu, maka hendaklah mandi !”. Aku masuk ke rumah, lalu aku mandi. Dan benarlah Abu Muslim, bahwa harta itu tidak dari jerih-payahku dan tidak dari jerih-payah bapakku. Marilah akan aku berikan kepadamu semua !”. Diriwayatkan dari Dlabbah bin Muhshin Al-‘Anzi, yang mengatakan: “Adalah Abu Musa Al-Asy’ari amir kami di Basrah. Apabila ia berpidato di hadapan kami, ia memuji Allah dan menyanjungiNya. Dan berselawat kepada Nabi saw dan berdoa kepada ‘Umar ra”. Berkata Dlabbah: “Yang demikian itu membuat aku marah. Lalu aku bangun berdiri, seraya mengatakan kepadanya: ‘Bagaimanakah engkau tentang sahabatnya (maksudnya: sahabat Nabi saw yang utama, yaitu: Abu Bakar Ash-Shiddiq) ? engkau lebihkan ‘Umar daripadanya”. Lalu Abu Musa menyebutkan keduanya (berdoa kepada keduanya). Kemudian ia menulis surat kepada ‘Umar, mengadukan aku, dengan mengatakan: “Bahwa Dlabbah bin Muhshin Al-‘Anzi menantang aku dalam pidatoku”. Lalu ‘Umar membalas suratnya, dengan mengatakan: “Bawalah ia kepadaku !”. Dlabbah meneruskan ceritanya: “Lalu aku dibawanya kepada ‘Umar. Aku datang, lalu aku mengetok pintunya. Ia keluar kepadaku, seraya bertanya: ‘Siapakah engkau ?”. Aku menjawab: “Aku Dlabbah”. Lalu ‘Umar mengatakan kepadaku: “Tidak “marhaban” (tidak engkau memperoleh kelapangan) dan tidak “ahlan”, (tidak engkau datang kemari, sebagai keluarga)”. Aku menjawab: “Adapun “marhaban” (kelapangan), maka dari Allah. Adapun “ahlan”, aku tidak mempunyai keluarga dan harta. Maka dengan apakah engkau menghalalkan (membolehkan) mendatangkan aku dari Basrah, tanpa dosa yang aku kerjakan dan tanpa sesuatu yang aku lakukan ?”. ‘Umar ra menjawab: “Apakah yang mendorong kepada percekcokan antara engkau dan petugasku (Abu Musa ?)”. Dlabbah meneruskan ceritanya: “Sekarang aku mengatakan, akan aku terangkan kepadamu mengenai Abu Musa itu. Sesungguhnya ia apabila berpidato dihadapan kami, lalu memuji Allah dan menyanjungiNya. Dan berselawat kepada Nabi saw. Kemudian ia menyambung dengan berdoa kepadamu. Hal yang demikian, membawa aku marah. Lalu aku bangun berdiri, mengatakan kepadanya: ‘Bagaimanakah engkau tentang sahabatnya (maksudnya sahabat Nabi saw: Abu Bakar ra ?). Engkau lebihkan ‘Umar daripadanya. Lalu Abu Musa mengumpulkan keduanya dengan doa. Kemudian ia menulis surat kepadamu, mengadukan aku”. Dlabbah meneruskan ceritanya: “Lalu terdoronglah ‘Umar ra dengan tangisan yang menyedihkan, seraya berkata: ‘Engkau –demi Allah –yang lebih memperoleh taufiq dan petunjuk daripada Abu Musa ! maukah engkau mengampunkan dosaku, semoga Allah mengampunkan dosamu ?”. Dlabbah meneruskan ceritanya: “Lalu aku menjawab: ‘Kiranya Allah mengampunkan dosamu, wahai Amirul-mu’minin”. Dlabbah meneruskan ceritanya: “Kemudian terdoronglah ‘Umar ra dengan tangisan yang menyedihkan, seraya berkata: ‘Demi Allah, sesungguhnya satu malam dan satu hari dari Abu Bakar adalah lebih baik dari ‘Umar dan famili ‘Umar. Bolehkan saya ceritakan kepadamu tentang malam dan harinya Abu Bakar itu ?”. Aku menjawab: “Ya, boleh !”. ‘Umar ra berkata: “Adapun malam, yaitu: bahwa Rasulullah saw tatkala mau keluar dari Makkah, lari dari kaum musyrik, beliau keluar pada malam hari. Lalu diikuti oleh Abu Bakar. Sekali Abu Bakar itu berjalan di depan Nabi saw, sekali di belakangnya, sekali di kanannya dan sekali di kirinya. Lalu Rasulullah saw bertanya: ‘Apa ini, wahai Abu Bakar ? aku tiada mengetahui ini dari perbuatanmu”. Abu Bakar ra menjawab: “Wahai Rasulullah ! aku teringat akan pengintaian, maka aku berada di hadapan engkau. Aku teringat akan engkau dicari orang, maka aku berada di belakang engkau. Sekali di kanan engkau dan sekali di kiri engkau. Aku tiada merasa aman terhadap engkau”. ‘Umar ra berkata: “Lalu Rasulullah saw berjalan kaki pada malamnya itu dengan ujung jari-jari kakinya, sehingga tipis. Tatkala Abu Bakar melihat bahwa ujung jari-jari kaki Rasulullah saw telah tipis, lalu ia membawa beliau atas kuduknya dan merasa sulitnya. Sehingga sampailah ke pintu gua (pada bukit Tsur), lalu ia menurunkannya. Kemudian Abu Bakar ra berkata: ‘Demi Allah yang mengutus engkau dengan kebenaran ! jangan engkau masuk ke gua ini, sebelum aku masuk lebih dahulu. Kalau ada di dalamnya sesuatu, niscaya akan kena aku sebelum engkau”. ‘Umar ra meneruskan riwayatnya: “Maka masuklah Abu Bakar dan ia tiada melihat sesuatu di dalamnya. Lalu ia membawa Nabi saw dan memasukkannya ke dalam gua”. Adalah dalam gua itu suatu lobang, yang di dalamnya ular-ular kecil dan ular-ular besar. Lalu Abu Bakar menutupkan lobang itu dengan tapak kakinya. Karena takut keluar dari lobang itu sesuatu kepada Rasulullah saw, lalu menyakitinya. Binatang-binatang itu menggigit Abu Bakar pada tapak kakinya. Dan membuat air mata Abu Bakar jatuh berderai pada kedua pipinya dari kesakitan yang diperolehnya. Dan Rasulullah saw bersabda: “Wahai Abu Bakar ! jangan engkau gundah ! bahwa Allah beserta kita !”. Maka Allah Ta’ala menurunkan ketenangan dan ketentraman hati kepada Abu Bakar. Maka inilah malamnya !. Adapun harinya, maka tatkala telah wafat Rasulullah saw, orang Arab itu lalu murtad. Sebahagian mereka berkata: “Kita mengerjakan shalat dan tidak menunaikan zakat”. Lalu aku datang kepada Abu Bakar. Aku tidak teledor menasehatinya. Aku berkata: “Wahai khalifah Rasulullah saw ! ambillah manusia dengan kejinakan hati dan berbelas kasihanlah kepada mereka !”. Lalu Abu Bakar ra menjawab: “Aku mempunyai orang-orang perkasa pada masa jahiliah dan orang-orang lemah pada masa Islam. Maka dengan apakah aku berjinakan hati dengan mereka ? Rasulullah saw telah diambil (telah wafat) dan wahyu telah terangkat (telah putus). Maka demi Allah ! jikalau mereka tidak mau memberikan kepadaku tali pengikat unta, yang telah diberikannya kepada Rasulullah saw, niscaya aku perangi mereka”. ‘Umar ra meneruskan ceritanya: “Maka kamipun berperanglah. Demi Allah, adalah Abu Bakar itu memperoleh petunjuk dalam urusan itu”. Maka inilah harinya !. Kemudian, ‘Umar ra menulis surat kepada Abu Musa mencercai apa yang telah dilakukannya itu. Dari Al-Ashma’i yang mengatakan: “Atha’ bin Abi Rabah masuk ke tempat Abdul Malik bin Marwan. Dia sedang duduk atas kursi kebesarannya. Di kelilingnya, kaum bangsawan dari tiap-tiap suku. Peristiwa ini terjadi di Makkah pada waktu ia menunaikan ibadah hajji pada masa kekhalifahannya. Tatkala Khalifah Abdul Malik melihat ‘Atha’, lalu bangun menghormatinya dan mendudukkannya di atas kursi kebesaran itu. Dan Abdul Malik duduk dihadapannya, seraya berkata: “Wahai Abu Muhammad (panggilan pada ‘Atha) ! apa hajatmu ?”. ‘Atha’ menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! bertaqwalah kepada Allah pada tanah haram Allah dan tanah haram RasulNya ! berjanjilah dengan pembangunan akan tanah haram itu ! takutlah akan Allah mengenai anak-anak kaum muhajirin dan anshar ! dengan sebab mereka, engkau duduk pada majelis ini. Takutlah akan Allah mengenai penghuni-penghuni benteng ! bahwasanya mereka itu benteng kaum muslimin dan yang mementingkan urusan kaum muslimin. Sesungguhnya engkaulah seorang diri yang bertanggung-jawab dari hal mereka. Takutlah akan Allah mengenai orang di pintu engkau ! janganlah engkau melalaikan akan hal mereka ! dan janganlah engkau menguncikan pintu engkau tanpa mereka !”. Lalu Khalifah Abdul Malik berkata kepada ‘Atha’: “Ya, akan saya laksanakan !”. Kemudian ‘Atha’ bangkit dari duduknya dan berdiri. Lalu ia dipegang oleh Abdul Malik, seraya berkata: “Wahai Abu Muhammad ! sesungguhnya engkau meminta kepada kami, keperluan orang lain dan telah kami tunaikan. Maka apakah hajatmu sendiri ?”. ‘Atha’ menjawab: “Aku tiada berhajat apa-apa kepada makhluq”. Kemudian beliau keluar, lalu Abdul Malik berkata: “Demi kiranya, inilah kehormatan diri !”. Diriwayatkan, bahwa Al-Walid bin Abdul Malik berkata pada suatu hari kepada penjaga pintunya: “Berdirilah di pintu ! apabila orang datang kepadamu, maka suruhlah masuk ke tempatku, supaya ia berbicara dengan aku !”. Maka penjaga pintu itupun berdiri di pintu sebentar waktu. Lalu datanglah ‘Atha’ bin Abi Rabah. Dan penjaga pintu itu, tiada mengenalnya. Lalu penjaga pintu itu menegur: “Ya syaikh, masuklah ke tempat Amirul-mu’minin ! beliau menyuruh yang demikian”. Maka ‘Atha’pun masuk ke tempat Al-Walid. Dan di sisinya ada ‘Umar bin Abdul ‘Aziz. Tatkala ‘Atha’ telah berdekatan dengan Al-Walid, maka ‘Atha’ mengucapkan: “Assalamu’alaik ya Walid !”. Berkata yang meriwayatkan: “Maka Al-Walid marah kepada penjaga pintunya, seraya berkata kepadanya: ‘Celaka engkau ! aku menyuruh engkau, bahwa engkau masukkan ke tempatku orang yang akan berbicara dengan aku. Dan yang akan bercakap-cakap di malam hari dengan aku. Lalu engkau masukkan ke tempatku, orang yang tidak senang menyebutkan aku, dengan nama yang telah dipilihkan oleh Allah kepadaku”. Penjaga pintu itu menjawab: “Tiada lalu di hadapanku seorangpun selain dia”. Kemudian Al-Walid berkata kepada ‘Atha’: “Duduklah !”. Kemudian ‘Atha’ menghadapkan mukanya kepada Al-Walid. Bercakap-cakap dengan dia. Maka adalah diantara apa yang dipercakapkan ‘Atha’, ialah ‘Atha’ mengatakan kepada Al-Walid: “Sampai kepada kami khabar, bahwa dalam neraka jahannam, ada sebuah lembah yang dinamakan: Habbah. Disediakan oleh Allah bagi Imam (penguasa) yang dzalim dalam pemrintahannya”. Maka pingsanlah Al-Walid dari perkataan ‘Atha’ itu. Al-Walid itu duduk di hadapan muka pintu majlis itu. Lalu ia jatuh tersungkur ke tengah-tengah majelis dalam keadaan pingsan. Lalu ‘Umar bin Abdul ‘Aziz berkata kepada ‘Atha’: “Engkau bunuh Amirul-mu’minin”. ‘Atha’ lalu memegang lengan ‘Umar bin Abdul Aziz. Lalu dengan keras memicitkannya, seraya berkata: “Wahai ‘Umar ! bahwa urusan itu sungguh-sungguh. Maka iapun bersungguh-sungguh”. Kemudian, ‘Atha’ itu bangun berdiri dan pergi. Maka sampailah berita kepada kami, dari ‘Umar bin Abdul ‘Aziz ra bahwa beliau berkata: “Aku berdiam setahun, yang terus aku dapati kesakitan picitannya pada lenganku”. Adalah Ibnu Abi Syumailah disifatkan orang yang berpikiran luas dan bersopan-santun. Maka beliau masuk ke tempat Abdul Malik bin Marwan. Lalu Abdul Malik berkata kepadanya: “Berbicaralah !”. Ibnu Abi Syumailah menjawab: “Apakah yang aku bicarakan ? sesungguhnya engkau tahu, bahwa tiap-tiap perkataan yang diperkatakan oleh pembicaraannya, adalah berakibat buruk. Kecuali adalah perkataan itu karena Allah”. Maka menangislah Abdul Malik, kemudian berkata: “Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada engkau ! senantiasalah manusia itu ajar-mengajari dan nasehat-menasehati”. Lalu laki-laki tadi berkata: “Wahai Amirul-mu’minin ! bahwa manusia pada hari qiamat, tiada terlepas daripada kesedihan pahitnya dan melihat keburukan padanya, selain orang yang mencari kerelaan Allah dengan kemarahan dirinya”. Abdul Malik lalu menangis, kemudian berkata: “Tak boleh tidak, akan aku jadikan kata-kata ini, suatu contoh di pelupuk mataku, selama aku hidup”. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Aisyah: “Bahwa Al-Hajjaj bin Yusuf mengundang para fuqaha’ Basrah dan para fuqaha’ Kufah. Lalu kami masuk ke tempatnya. Dan masuklah Al-Hasan Al-Bashari  sebagai yang penghabisan dari orang yang masuk. Maka berkata Al-Hajjaj kepada Al-Hasan: “Selamat datang kepada Abu Sa’id (panggilan kepada Al-Hasan ) ! mari dekat saya ! mari dekat saya !”. Kemudian, Al-Hajjaj meminta kursi. Lalu diletakkan di samping kursi kebesarannya. Lalu Al-Hasan duduk di atas kursi itu. Al-Hajjaj bersoal-jawab dengan kami dan bertanya kepada kami. Ketika ia menyebutkan ‘Ali bin Abu Thalib ra, lalu ia mengatakan, yang tiada baik kepada Ali. Dan kamipun mengatakkan yang tiada baik kepada Ali. Karena mendekatkan diri kepada Al-Hajjaj dan takut dari kejahatannya. dan AL-Hasan diam saja, menggigit ibu jarinya. Lalu Al-Hajjaj bertanya: “Hai Abu Sa’id ! apakah sebabnya aku melihat engkau berdiam diri saja ?”. Al-Hasan menjawab: “Tidak ada yang akan aku katakan”. Al-Hajjaj menjawab: “Terangkanlah kepadaku menurut pendapatmu tentang Abu Turab (panggilan kepada Ali ra) !”. Al-Hasan menjawab: “Aku mendengar Allah Yang Maha Mulia sebutanNya, berfirman: “Dan tidak Kami jadikan qiblat yang engkau berada padanya, melainkan untuk Kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dari orang-orang yang surut ke belakang, sekalipun hal itu berat, kecuali bagi orang-orang yang ditunjuki oleh Allah. Tiadalah Allah menyia-nyiakan keimananmu. Sesungguhnya Allah itu Penyantun dan Penyayang kepada manusia”. S 2 Al Baqarah ayat 143. Maka Ali itu termasuk orang yang ditunjuki oleh Allah daripada ahli iman. Aku mengatakan: ‘Ali itu putera paman Nabi saw, dikawinkannya dengan puterinya (Fatimah ra). Orang yang paling dikasihinya. Dan mempunyai barakah yang terdahulu, dengan Islam, yang telah terdahulu baginya daripada Allah. Engkau tidak akan sanggup dan tiada seorangpun dari manusia sanggup mencegahnya. Dan tiada yang akan menghalanginya antara Ali dan barakah itu. Aku mengatakan: “Jikalau adalah bagi Ali itu bencana, maka Allah yang menolongnya. Demi Allah, aku tiada memperoleh kata-kata yang lebih adil dari ini”. Maka tampaklah marah muka Al-Hajjaj dan berobah. Ia berdiri dari kursi kebesaran dengan keadaan marah. Lalu masuk ke rumah di belakangnya dan kamipun keluar. Berkata ‘Amir Asy-Sya’bi (beliau hadir pada majelis itu): “Lalu aku pegang tangan Al-Hasan, seraya aku berkata: ‘Wahai Abu Sa’id ! engkau membuat Amir marah dan memanaskan hatinya”. Al-Hasan menjawab: “Dengarlah perkataanku, wahai ‘Amir ! manusia mengatakan: “Amir Asy-Sya’bi itu orang alim penduduk Kufah’. Engkau datangi setan dari setan-setan manusia. Engkau berkata-kata dengan dia menurut hawa-nafsunya. Engkau dekati dia menurut pendapatnya. Celaka engkau, hai Amir ! apakah engkau tidak takut kepada Allah ? kalau engkau ditanya, lalu engkau benarkan atau engkau diam, lalu engkau selamat”. ‘Amir menjawab: “Wahai Abu Sa’id ! engkau telah mengatakan kata-kata itu dan saya mengetahui isinya”. Al-Hasan menjawab: “Yang demikian adalah lebih berat alasannya ke atas diri engkau dan terlalu besar akibatnya”. Ibnu ‘Aisyah yang meriwayatkan ini berkataa: “Al-Hajjaj mengirim utusan memanggil Al-Hasan. Tatkala Al-Hasan masuk ke tempatnya, lalu Al-Hajjaj bertanya: ‘Engkaukah yang mengatakan: ‘Diperangi oleh Allah kiranya mereka yang membunuh hamba-hamba Allah di atas dinar dan dirham ?”. AL-Hasan menjawab: “Ya !”. Al-Hajjaj bertanya lagi: “Apakah yang membawa engkau kepada yang demikian ?”. Al-Hasan menjawab: “Apa yang diambil oleh Allah atas para ulama dari janji-janji, supaya diterangkannya kepada manusia dan tidak disembunyikannya”. Al-Hajjaj berkata: “Hai Hasan ! tahanlah lidahmu atas dirimu sendiri ! awaslah, bahwa sampai kepadaku daripadamu, apa yang aku tiada sukai ! nanti aku ceraikan antara kepalamu dan tubuhmu”. Diceritakan orang, bahwa Huthaith Az-Zayyat dibawa orang kepada AL-Hajjaj. Tatkala Huthaith masuk ke tempat Al-Hajjaj, maka Al-Hajjaj menegur: “Engkau Huthaith ?”. Huthaith menjawab: “Ya ! tanyalah apa yang tampak bagimu ! bahwasanya aku telah berjanji dengan Allah di sisi Maqam Ibrahim, 3 perkara: kalau aku ditanya, niscaya aku benarkan. Kalau aku mendapat bahaya, niscaya aku sabar. Dan kalau aku memperoleh sehat wal-afiat, niscaya aku bersyukur”. Lalu Al-Hajjaj bertanya: “Apakah katamu tentang diriku ?”. Huthaith menjawab: “Akan aku katakan, bahwa engkau termasuk musuh Allah di bumi. Engkau binasakan segala kehormatan. Dan engkau bunuh orang, dengan semata-mata tuduhan”. Al-Hajjaj bertanya lagi: “Apakah katamu tentang Amirul-mu’minin Abdul Malik bin Marwan ?”. Huthaith menjawab: “Akan aku katakan, bahwa ia lebih besar dosa dari engkau. Dan sesungguhnya engkau itu suatu kesalahan dari kesalahan-kesalahannya”. Berkata yang meriwayatkan: “Lalu AL-Hajjaj mengatakan kepada pengikut-pengikutnya: ‘Siksakanlah dia !”. Berkata yang meriwayatkan: “Maka sampailah siksaan kepada Huthaith, sehingga pecah tulang punggungnya. Kemudian mereka buat tulang punggung itu, atas dagingnya dan mereka ikatkan dengan tali. Kemudian mereka panjangkan sepotong-sepotong. Sehingga mereka tarik-tarikkan dagingnya. Mereka tiada mendengar Huthaith mengatakan sesuatupun”. Berkata yang meriwayatkan: “Lalu disampaikan kepada Al-Hajjaj, bahwa Huthaith dalam keadaan nafas yang penghabisan. Maka Al-Hajjaj berkata: ‘Keluarkanlah dia dari tahanan itu ! lalu lemparkanlah di pasar !”. Berkata Ja’far yang menceritakan cerita ini: “Lalu datanglah aku kepada Huthaith bersama sahabatnya, seraya kami bertanya kepadanya: ‘Huthaith ! adakah engkau mempunyai keperluan ?”. Huthaith menjawab: “Seteguk air !”. Lalu mereka berikan kepadanya air seteguk. Kemudian ia meninggal. Dan Huthaith itu adalah putera berusia 18 tahun. Rahmat Allah berlipat-ganda kiranya kepadanya !”. Diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin Hubairah (wali negeri Irak) mengundang para fuqaha’ penduduk Basrah, penduduk Kufah, penduduk Madinah, penduduk Syam (Syiria) dan para qari’nya. Lalu ia bertanya kepada mereka. Dan bercakap-cakap dengan Amir Asy-Sya’bi. Apa saja yang ia tanyakan kepada Amir Asy-Sya’bi, ia memperoleh padanya pengetahuan. Kemudian, Umar bin Hubairah, menghadap kepada Al-Hasan Al-Bashari . Lalu bertanya kepadanya. Kemudian ia berkata: “Keduanya inilah ! ini laki-laki penduduk Kufah, ya’ni: Asy-Sya’bi. Dan ini laki-laki penduduk Basrah, ya’ni: Al-Hasan. Lalu ia menyuruh penjaga pintunya, supaya menyuruh keluar semua orang. Dan tinggallah ia dengan Asy-Sya’bi dan Al-Hasan. Lalu ia menghadapkan mukanya kepada Asy-sya’bi, seraya berkata: “Hai Abu Amir (panggilan kepada Asy-Sya’bi) ! bahwa aku adalah kepercayaan Amirul-mu’minin di Irak, pegawainya dan orang yang diperhatikan mematuhinya. Aku dicoba dengan rakyat dan haruslah aku menjaga hak rakyat. Maka aku suka, menjaga mereka. Dan menjanjikan apa yang membaikkan mereka, serta nasehat kepada mereka. Kadang-kadang sampai kepadaku dari segolongan penduduk negeri, hal yang tidak menyenangkan, yang aku dapati pada mereka. Lalu aku ambil sebahagian dari pemberian mereka. Aku letakkan pada: baitul-mal. Dan niat hatiku, akan aku kembalikan kepada mereka. Maka sampailah kepada Amirul-mu’minin, bahwa aku telah mengambilnya dengan cara yang demikian. Lalu beliau menulis surat kepadaku, untuk tidak mengembalikannya lagi kepada mereka. Aku tidak sanggup menolak perintahnya dan tidak melaksanakan isi suratnya. Sesungguhnya aku adalah orang yang diperintahkan mematuhinya. Maka adakah atas diriku menanggung akibatnya tentang ini ? dan hal-hal lain yang serupa dengan ini ? sedang niat hatiku padanya adalah menurut apa yang telah kusebutkan tadi”. Asy-Sya’bi berkata: “Lalu aku menjawab: ‘Diperbaiki kiranya oleh Allah akan amir ! sesungguhnya sultan (penguasa) itu bapak yang salah dan yang benar”. Asy-Sya’bi meneruskan ceritanya: “Amat gembiralah Umar bin Hubairah dengan jawabanku itu dan amat menakjubkan hatinnya. Aku melihat kegembiraan pada wajahnya, seraya ia mengucapkan: ‘Fa lil-laahil-hamd (Maka bagi Allah segala jenis pujian)”. Kemudian, Umar bin Hubairah itu menghadapkan mukanya kepada Al-Hasan, seraya bertanya: “Apa yang akan engkau katakan, wahai Abu Sa’id ?”. Al-Hasan menjawab: “Sesungguhnya aku telah mendengar perkataan amir, yang mengatakan: bahwa ia kepercayaan amirul-mu’minin di Irak, pegawainya dan orang yang diperintahkan mematuhinya. Aku dicoba dengan rakyat dan harus menjaga hak mereka, menasehati mereka dan menjanjikan apa yang membaikkan mereka. Hak rakyat itu harus bagi engkau dan hak atas engkau untuk menjaga mereka dengan nasehat. Sesungguhnya, aku mendengar Abdur Rahman bin Samrah Al-Quraisy sahabat Rasulullah saw berkata: Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa memimpin rakyat, lalu tidak dipeliharakannya dengan nasehat, niscaya diharamkan oleh Allah sorga kepadanya”. Amir mengatakan: “Bahwa aku kadang-kadang mengambil dari pemberian mereka, dengan maksud kebaikan dan perbaikan bagi mereka. Dan supaya mereka kembali kepada ketaatan. Lalu sampai berita kepada amirul-mu’minin, bahwa aku mengambilnya atas cara yang demikian. Maka beliau menulis surat kepadaku, untuk tidak mengembalikannya. Maka aku tidak sanggup menolak perintahnya. Dan tidak sanggup melaksanakan isi suratnya. Hak Allah itu lebih perlu dari hak amirul-mu’minin. Dan Allah lebih berhak ditaati. Dan tak ada ketaatan bagi makhluq pada perbuatan ma’siat terhadap Khaliq (yang maha pencipta) (yang maha pencipta). Maka kemukakanlah kitab (surat) amirul-mu’minin atas Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla. Kalau engkau dapati bersesuaianlah dengan Kitab Allah, maka ambillah ! dan kalau engkau dapati berselisih dengan Kitab Allah, maka campakkanlah ! wahai Ibnu Hubairah ! takutlah kepada Allah ! sesungguhnya hampirlah akan datang kepadamu utusan Tuhan Serwa sekalian alam, yang akan menghilangkan engkau dari kursi kebesaran engkau. Dan mengeluarkan engkau dari keluasan istana engkau kepada kesempitan kuburan engkau. Maka engkau tinggalkan kekuasaan engkau dan dunia engkau di belakang engkau. Dan engkau datang kepada Tuhan engkau. Dan engkau bertempat atas amalan engkau ! wahai Ibnu Hubairrah ! bahwasanya Allah melarang engkau dari Yazid. Dan Yazid tidak melarang engkau dari Allah. Bahwa perintah Allah di atas semua perintah. Bahwa tiada ketaatan pada perbuatan ma’siat kepada Allah. Sesungguhnya aku memperingatkan engkau akan keperkasaan Allah, yang tiada tertolak dari kaum yang dzalim”. Lalu Ibnu Hubairah menjawab: “Sesungguhnya engkau lemah, hentikanlah dari perbuatan yang tiada engkau sanggupi, wahai Syaikh ! tinggalkanlah daripada menyebutkan amiril-mu’minin ! sesungguhnya amiril-mu’minin itu mempunyai pengetahuan, mempunyai kekuasaan dan mempunyai kelebihan. Sesungguhnya ia telah diangkat oleh Allah, apa yang telah diangkatNya mengurus umat ini. Karena Allah mengetahui tentang dia dan apa yang diketahuinya dari kelebihan dan keniatannya”. Al-Hasan menjawab: “Wahai Ibnu Hubairah ! hitungan amalan (hisab) itu dari belakang engkau. Cemeti dengan cemeti dan kemarahan dengan kemarahan. Dan Allah itu mengintip. Wahai Ibnu Hubairah ! sesungguhnya engkau, jikalau engkau menjumpai orang yang menasehati engkau tentang agama engkau dan membawa engkau kepada urusan akhirat engkau itu lebih baik daripada engkau menjumpai orang yang memperdayakan engkau dan mencoba engkau”. Lalu Ibnu Hubairah bangun berdiri. Dan kelihatan marah pada mukanya dan telah berobah warnanya. Asy-Sya’bi berkata: “Lalu aku mengatakan: ‘Hai Abu Sa’id ! engkau telah memarahkan amir dan telah menusuk hatinya. Engkau haramkan kepada kami kebaikan dan silaturrahimnya”. Al-Hasan menjawab: “Pergilah daripadaku, hai Amir (Asy-Sya’bi) !”. Asy-Sya’bi menerangkan: “Lalu dikeluarkan kepada Al-Hasan hadiah-hadiah yang megah dan barang-barang yang berharga. Ia mempunyai kedudukan yang tinggi. Ia memandang rendah kepada kami dan kami menjadi tersingkir. Maka adalah Al-Hasan itu berhak tentang apa yang diserahkan kepadanya. Dan kami berhak diperbuat demikian kepada kami. Tiadalah aku melihat orang seperti Al-Hasan, pada ulama-ulama yang sudak aku lihat, melainkan seperti orang Persia Arab yang baik diantara orang-orang yang berbuat baik. Dan apabila kami menghadiri sesuatu pertemuan, maka ia menonjol di atas kami. Ia berkata karena Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kami berkata untuk mendekatkan diri kepada mereka”. Amir Asy-Sya’bi menyambung lagi: “Saya berjanji dengan Allah, tiada akan mengunjungi lagi sultan (penguasa) sesudah majelis ini. Nanti aku condong kepadanya”. Muhammad bin Wasi’ masuk ke tempat Bilal bin Burdah (amir Basrah). Lalu Bilal bin Abi Burdah bertanya kepadanya: “Apakah katamu tentang qadar ?”. Muhammad bin Wasi’ menjawab: “Tetanggamu adalah penghuni kuburan. Maka bertafakkurlah tentang mereka ! sesungguhnya mereka itu sibuk, tiada waktu memikirkan tentang qadar”. Dari Asy-Sya’bi ra, yang mengatakan: “Diberitahukan kepadaku oleh pamanku Muhammad bin Ali, yang mengatakan: ‘Bahwa aku menghadiri majelis amiril-mu’minin Abi Ja’far Al-Manshur. Pada majelis itu ada Ibnu Abi Dzuaib. Dan wali negeri Madinah waktu itu Al-Hasan bin Zaid”. Muhammad bin Ali meneruskan ceritanya: “Maka datanglah orang-orang kabilah Abi Dzar Al-Ghaffari (Al-Ghaffariyun), mengadu kepada Khalifah Abi Ja’far tentang sesuatu dari perbuatan Al-Hasan bin Zaid”. Al-Hasan bin Zaid menjawab: “Wahai Amirul-Mu’minin ! tanyakanlah tentang hal mereka pada Ibnu Abi Dzuaib !”. Berkata yang menceritakan: “Lalu Khalifah bertanya kepada Ibnu Abi Dzuaib, dimana beliau berkata: ‘Apakah katamu tentang mereka itu, wahai Ibnu Abi Dzuaib ?”. Ibnu Abi Dzuaib menjawab: “Aku naik saksi bahwa mereka itu orang-orang yang menghancurkan kehormatan manusia, yang banyak menyakitkan manusia”. Berkata Abu Ja’far: “Sudah kamu dengar ?”. Orang-orang Al-Ghaffariyun itu menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! tanyakanlah kepada Ibnu Abi Dzuaib dari hal Al-Hasan bin Zaid !”. Lalu bertanya Khalifah: “Hai Ibnu Abi Dzuaib ! apa katamu tentang Al-Hasan bin Zaid ?”. Ibnu Abi Dzuaib menjawab: “Aku naik saksi bahwa Al-Hasan bin Zaid menghukum, dengan tidak benar dan ia menurut hawa nafsunya”. Abu Ja’far berkata: “Hai Hasan ! engkau telah mendengar apa yang dikatakan Ibnu Aib Dzuaib tentang dirimu. Beliau itu guru yang shalih”. Lalu menjawab AL-Hasan bin Zaid: “Wahai Amiril-mu’minin ! tanyakanlah kepadanya tentang dirimu !”. Makka Abu Ja’far bertanya: “Apa katamu tentang diriku ?”. Ibnu Abi Dzuaib menjawab: “Maafkanlah aku, wahai Amiril-mu’minin !”. Berkata Abu Ja’far: “Aku bertanya pada engkau dengan nama Allah, melainkan aku harap engkau menerangkan kepadaku”. Ibnu Abi Dzuaib menjawab: “Engkau tanya aku dengan nama Allah, seolah-olah engkau tiada mengenal diri engkau sendiri”. Abu Ja’far berkata: “Demi Allah ! terangkanlah kepadaku !”. Ibnu Abi Zaid menjawab: “Aku naik saksi, bahwa engkau mengambil harta ini daripada yang bukan haknya. Lalu engkau serahkan kepada orang yang bukan pemiliknya. Aku naik saksi, bahwa kedzaliman itu tampak di pintu engkau”. Berkata yang menceritakan: “Maka bangunlah Abu Ja’far dari tempat duduknya. Lalu meletakkan tangannya pada kuduk Ibnu Abi Dzuaib dan menggenggamkannya. Kemudian, ia berkata kepada Ibnu Dzuaib: ‘Demi Allah, jikalau tidaklah aku duduk di sini, niscaya akan aku ambil orang Persia, orang Rum, orang Dailam dan orang Turki di tempat ini, dari engkau”. Berkata yang menceritakan: “Maka menjawab Ibnu Abi Dzuaib: ‘Wahai Amiril-mu’minin ! sesungguhnya, telah memerintah Abu Bakar dan Umar. Keduanya mengambil kebenaran dan membagi dengan persamaan. Keduanya memegang kuduk orang-orang Persia dan Rum. Dan mengecilkan hidung mereka (menghinakan mereka)”. Berkata yang menceritakan: “Lalu Abu Ja’far melepaskan kuduk Ibnu Abi Dzuaib dan membiarkan beliau pergi, sambil berkata: ‘Demi Allah, jikalau tidaklah aku mengetahui bahwa engkau orang benar, niscaya engkau aku bunuh”. Ibnu Abi Dzuaib menjawab: “Demi Allah, wahai amiril-mu’minin ! sesungguhnya aku menasehati engkau dari hal putera engkau Al-mahdi”. Berkata yang menceritakan: “Maka sampailah berita kepada kami, bahwa Ibnu Abi Dzuaib tatkala pergi dari majelis Abi Ja’far Al-Manshur, lalu Sufyan Ats-Tsuri menjumpainya, seraya berkata: ‘Hai Abul-Harits ! sesungguhnya menggembirakan aku, apa yang engkau ucapkan kepada orang yang perkasa itu. Akan tetapi yang tidak baik bagiku, ialah perkataanmu kepadanya: putera engkau Al-mahdi”. Ibnu Abi Dzuaib menjawab: “Diampunkan oleh Allah kiranya engkau, wahai Abu Abdillah ! semua kita: mahdiyyun (berasal dari ayunan). Semua kita berada dalam ayunan”. Dari Al-Auza’i Abdur-Rahman bin ‘Amr, yang mengatakan: “Abu Ja’far Al-Manshur Amiril-mu’minin mengirim utusan kepadaku, meminta aku datang. Dan aku waktu ini di tepi pantai Bairut (negeri Syam). Lalu aku datang kepadanya”. Tatkala aku sampai kepadanya dan memberi salam dengan penghormatan kepadanya sebagai khalifah, lalu beliau menjawab salamku dan mempersilakan aku duduk. Kemudian, beliau bertanya kepadaku: “Apakah yang melambatkan engkau datang kepada kami, hai Auza’i ?”. Berkata Al-Auza’i: “Aku menjawab: ‘Apakah yang engkau maksudkan, wahai Amirul-mu’minin ?”. Abu Ja’far Al-Manshur menjawab: “Aku mau mengambil dan memetik pengetahuan daripadamu”. Al-Auza’i meneruskan ceritanya: “Lalu aku menjawab: ‘Maka perhatikanlah, wahai Amiril-mu’minin, agar engkau tidak bodoh akan sesuatu, yang akan aku katakan kepadamu”. Abu Ja’far Al-Manshur menjawab: “Bagaimanakah aku bodoh daripadanya, sedang aku bertanya kepada engkau tentang hal itu ? dan mengenai hal itu aku hadapkan diriku kepadamu dan aku datangkan kamu karenanya”. Al-Auza’i meneruskan ceritanya: “Aku berkata: ‘Aku takut, bahwa engkau mendengarnya. Kemudian tidak mengerjakannya”. Al-Auza’i berkata: “Lalu berteriak kepadaku Ar-Rabi’ (penjaga pintu Abu Ja’far Al-Manshur). Dan mengulurkan tangannya ke pedang. Lalu ia dibentak oleh Al-Manshur dan berkata: ‘Ini majelis mencari pahala, bukan majelis menjatuhkan siksaan’. Maka baiklah hatiku kembali dan aku melebar panjangkan berkata-kata. Lalu aku berkata: Wahai amirul-mu’minin ! Makhul menceritakan hadits dari ‘Athiyah bin Bisyr, dimana ‘Athiyah berkata: Rasulullah saw bersabda: “Manapun hamba yang datang kepadanya, pengajaran dari Allah tentang agamanya, sesungguhnya itu ni’mat dari Allah yang dibawa kepadanya. Kalau diterimanya dengan kesyukuran. Kalau tidak, maka menjadi hujjah (alasan) dari Allah atasnya, untuk menambahkan dosanya. Dan Allah menambahkan kemarahan kepadanya”. Wahai Amirul-mu’minin ! Makhul menerangkan hadits kepadaku, dari ‘Athiyah bin Yasir, dimana ‘Athiyah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Manapun wali (penguasa) mati, dimana ia menipu rakyatnya, niscaya diharamkan oleh Allah sorga kepadanya”. Wahai Amirul-mu’minin ! barangsiapa benci kepada kebenaran, sesungguhnya ia benci kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu benar, lagi cukup memberikan keterangan. Bahwa orang yang melemah-lembutkan hati umatmu bagi kamu, ketika kamu mengurus urusan mereka itu, karena kekerabatanmu dari Rasulullah saw. Dan sesungguhnya Rasulullah saw itu amat penyantun dan kasih-sayang kepada umat. Menolong mereka dengan dirinya sendiri, pada tangannya sendiri. Ia terpuji pada Allah dan pada manusia. Maka sudah sebenarnya engkau bangun, menegakkan kebenaran karenanya, pada umat. Dan engkau berdiri dengan keadilan pada mereka. Engkau menutup aurat mereka. Tidak engkau kuncikan pintu terhadap mereka. Tidak engkau dirikan dinding (hijab) kepada mereka. Engkau bergembira-ria dengan keni’matan pada mereka. Dan engkau berduka-cita dengan keburukan yang menimpa mereka. Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya engkau dalam kesibukan yang menghabiskan waktu, dari hal yang bersangkutan dengan dirimu sendiri, melupakan kepentingan manusia ramai, dimana engkau telah memiliki mereka, baik mereka itu orang merah dan orang hitam, baik yang muslim dan yang kafir, semuanya mempunyai bahagian dari keadilan atas dirimu. Maka bagaimanakah kiranya engkau, apabila bangkit dari mereka, beberapa golongan, di belakang beberapa golongan ? dan tiada seorangpun dari mereka, melainkan mengadukan bencana yang engkau masukkan kepadanya. Atau kedzaliman yang engkau siramkan ke atasnya. Wahai Amirul-mu’minin ! diceritakan hadits kepadaku oleh Makhul dari ‘Urwah bin Ruwaim, dimana ‘Urwah bin Ruwaim berkata: “Adalah di tangan Rasulullah saw pelepah kurman, dimana beliau bersugi dan menakutkan orang-orang munafiq dengan pelepah kurma itu. Maka datanglah kepadanya Jibril as, seraya bertanya kepadanya: ‘Hai Muhammad ! apakah pelepah kurma ini, yang engkau hancurkan hati umatmu dengan dia dan engkau penuhkan hati mereka dengan ketakutan ?”. Maka bagaimanakah kiranya dengan orang, yang memecah-mecahkan kulit mereka, menumpahkan darah mereka, merobohkan rumah mereka, membuang mereka dari negeri mereka dan menghilangkan mereka oleh ketakutan daripadanya ?. Wahai Amirul-mu’minin ! diceritakan hadits kepadaku oleh Makhul dari Zaid, dari Haritsah, dari Habib bin Maslamah: “Bahwa Rasulullah saw meminta supaya diambil qishash (pembalasan) dari dirinya, mengenai goresan pada kulit seorang badui, yang diperbuat olehnya dengan tiada sengaja. Maka datanglah Jibril as kepada Nabi saw, seraya berkata: ‘Hai Muhammad ! bahwasanya Allah tiada mengutuskan engkau perkasa dan sombong”. Lalu Nabi saw memanggil orang badui itu, seraya bersabda: “Ambillah qishash daripadaku !”. Orang badui itu menjawab: “Demi ibu-bapakku, telah aku halalkan bagimu. Dan aku tiada akan memperbuatnya selama-lamanya. Kalau engkau telah berbuat atas diriku, maka didoakanlah kiranya dengan kebajikan”. Wahai Amirul-mu’minin ! relakanlah dirimu untuk dirimu ! dan ambillah baginya keamanan dari Tuhanmu ! gemarlah pada sorga yang lebarnya langit dan bumi, yang dikatakan oleh Rasulullah saw: “Sesungguhnya sekadar panah seorang kamu dari sorga itu, lebih baik baginya dari dunia dan isinya”. Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya kerajaan, jikalau kekal, bagi orang yang sebelum kamu, niscaya tidak akan sampai kepadamu. Demikian juga, ia tiada kekal bagimu, sebagaimana tiada kekal bagi selain kamu. Wahai Amirul-mu’minin ! tahukan engkau apa yang datang pada penafsiranayat ini, dari nenek engkau: “Kitab engkau ini ! tidak ditinggalkannya perkara yang kecil dan yang besar, melainkan dihitungnya semuanya”. S 18 Al Kahfi ayat 49. Al-Auza’i mengatakan: yang kecil, ialah: tersenyum dan yang besar, ialah: tertawa. Maka bagaimana pula dengan perbuatan yang dikerjakan oleh tangan dan yang dipetik oleh lisan ?. Wahai Amirul-mu’minin ! sampai kepadaku berita, bahwa Umar bin Al-Kaththab ra berkata: “Jikalau mati anak domba di tepi sungai Al-Furat (Irak) karena hilang, niscaya aku takut akan ditanyakan aku daripadanya”. Maka bagaimana pula dengan orang yang tiada memperoleh keadilan engkau, sedang dia di atas tikar permadani engkau ?. Wahai Amirul-mu’minin ! tahukah engkau, apa yang datang pada penafsiranayat ini dari nenek engkau: “Hai Daud ! sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah di muka bumi. Sebab itu putuskanlah perkara diantara manusia dengan kebenaran dan janganlah engkau turut kemauan (nafsu), nanti engkau akan disesatkannya dari jalan Allah”. S 38 Shaad ayat 26. Allah Ta’ala berfirman dalam Az-Zabur: “Hai Daud ! apabila duduk dua orang yang bermusuhan di hadapan engkau, lalu ada bagimu pada salah seorang dari keduanya keinginan (hawa nafsu), maka janganlah engkau bercita-cita pada diri engkau, bahwa ada kebenaran baginya. Lalu ia menang atas temannya. Maka Aku akan hapuskan engkau dari daftar nabi-nabiKu. Kemudian, engkau tidak menjadi khalifahKu dan tak ada kemuliaan. Hai Daud ! bahwasanya Aku jadikan rasul-rasulKu, kepada hamba-hambaKu, penggembala unta. Karena mereka itu tahu dengan penggembalaan dan kasih-sayang mereka dengan kebijaksanaan. Supaya mereka itu menempelkan yang pecah dan menunjukkan jalan kepada yang kurus, kepada rumput dan air”. Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya engkau telah dicoba dengan suatu urusan. Jikalau urusan itu dibawa kepada langit, bumi dan bukit, niscaya semuanya enggan memikulnya. Dan merasa kasih-sayang daripadanya (yaitu: urusan pemerintahan). Wahai Amirul-mu’minin ! diceritakan hadits kepadaku oleh Yazid bin Jabir, dari Abdur-Rahman bin Umrah Al-Anshari, bahwa Umar bin Al-Khaththab ra memperkerjakan seorang laki-laki dari golongan anshar, pada urusan zakat. Lalu beliau melihat orang itu sesudah beberapa hari menetap di situ. Maka beliau bertanya: “Apakah yang melarang engkau dari keluar kepada pekerjaan engkau ? apakah engkau tidak tahu, bahwa engkau mendapat pahala seperti pahala orang yang berjihad fi sabilillah ?”. Laki-laki itu menjawab: “Tidak !”. Umar ra bertanya: “Bagaimana maka demikian ?”. Laki-laki itu menjawab: “Sesungguhnya sampai kepadaku, bahwa Rasulullah saw bersabda: ‘Tiadalah seorang wali (penguasa) yang mengurus sesuatu dari urusan manusia, melainkan ia dibawa pada hari qiamat, yang dirantaikan tangannya ke lehernya, tak ada yang membukanya, selain oleh keadilannya. Ia diperhentikan di atas titian api neraka, yang bergerak-gerak titian itu, dengan gerakan yang menghilangkan semua anggota tubuhnya dari tempatnya. Kemudian ia dikembalikan. Lalu ia dihitungkan amalannya (hisab). Kalau ia dahulu berbuat baik, niscaya ia lepas dengan kebaikannya. Kalau ia dahulu berbuat jahat, niscaya pecahlah titian itu. Lalu ia jatuh ke dalam neraka 70 kharif”. Lalu Umar ra bertanya kepada laki-laki itu: “Dari siapakah engkau mendengar hadits ini ?”. Laki-laki itu menjawab: “Dari Abi Dzar dan Salman”. Lalu Umar mengirim utusan kepada keduanya, menanyakan hal itu. Keduanya menjawab: “Ya, kami mendengar hadits itu dari Rasulullah saw”. Lalu Umar ra mengeluh: “Wahai nasibnya Umar ! siapakah kiranya, yang akan mengurus urusan manusia itu dengan segala persoalannya ?”. Abu Dzar ra menjawab: “Orang yang telah dipotong oleh Allah hidungnya dan dipertemukanNya pipinya dengan bumi”. Al-Auza’i meneruskan ceritanya: “Lalu Abu Ja’far Al-Manshur mengambil sapu tangan. Dan meletakkannya pada mukanya. Kemudian menangis dan menangis dengan suara keras, sehingga akupun tertangis olehnya. Kemudian aku berkata: ‘Wahai Amirul-mu’minin ! nenekmu Abbas telah meminta pada Nabi saw untuk menjadi amir Makkah atau Thaif atau Yaman. Lalu Nabi saw menjawab: ‘Hai Abbas ! hai paman Nabi ! satu nyawa yang engkau hidupkan (lepaskan dari bahaya) adalah lebih baik dari satu pemerintahan yang tidak engkau hinggakan”. Sebagai nasehat dari Nabi saw kepada pamannya dan kasih-sayang kepadanya. Dan Nabi saw menerangkan kepadanya, bahwa tiada yang mencukupkannya sesuatu selain dari Allah. Karena Allah mewahyukan kepada Nabi saw: “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang amat terdekat”. S 26 Asy Syu’araa’ ayat 214. Lalu Nabi saw bersabda: “Wahai Abbas, wahai Shafiah, kedua saudara bapak Nabi ! wahai Fatimah puteri Muhammad ! bahwasanya aku tiada mencukupkan sesuatu daripada kamu selain dari Allah. Bahwa bagiku amalanku dan bagi kamu amalan kamu”. Umar bin Al-Khaththab ra berkata: “Tiada yang menegakkan urusan manusia, selain oleh orang yang kokoh akalnya, yang kuat ikatan pikirannya. Ia tiada melihat pada manusia itu, yang menjadi auratnya. Ia tiada takut daripada manusia itu atas kebebasan. Dan ia tiada memperdulikan cacian orang yang mencacikan, pada menegakkan agama Allah”. Umar ra berkata pula: “Amir itu 4 macam: amir yang kuat dapat mencegah dirinya dan pegawai-pegawainya. Maka amir ini adalah seperti mujahid (orang yang berjihad) fi sabilillah. Tangan (kekuasaan) Allah terhampar atasnya dengan rahmat. Amir yang lemah, dapat mencegah dirinya dan membiarkan pegawai-pegawainya berbuat karena kelemahannyaa. Maka amir ini di tepi jurang kebinasaan. Kecuali dicurahkan oleh Allah rahmat kepadanya. Amir yang dapat mencegah pegawai-pegawainya dan membiarkan dirinya berbuat”. Maka amir itu adalah bahaya yang menghancurkan, yang dikataakn oleh Nabi saw: “Penggembala yang terjahat, ialah bahaya yang menghancurkan. Dia itu binasa seorang diri”. Dan: amir yang membiarkan dirinya sendiri dan pegawai-pegawainya berbuat. Maka binasalah semuanya. Telah sampai kepadaku, wahai Amirul-mu’minin, bahwa Jibril as datang kepada Nabi saw seraya berkata: “Aku datang kepadamu, ketika Allah menyuruh alat-alat penghembus api neraka. Maka alat-alat itu diletakkan atas api neraka, bernyala sampai hari qiamat”. Maka Nabi saw bertanya kepada Jibril: “Wahai Jibril ! terangkanlah kepadaku sifat api neraka !”. Jibril as menjawab: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menyuruh api neraka itu. Lalu bernyala 1000 tahun, sehingga merah warnanya. Kemudian dinyalakan lagi 1000 tahun, sehingga kuning warnanya. Kemudian dinyalakan lagi 1000 tahun, sehingga hitam warnanya. Maka api neraka itu hitam gelap, tiada bercahaya potongan apinya dan tiada padam bara apinya. Demi Allah yang mengutuskan engkau dengan kebenaran ! jikalau sepotong kain dari kain-kain penduduk neraka, menampak bagi penduduk bumi, niscaya mati mereka semua. Dan jikalau sebuah timba dari air minumannya, dituangkan pada air bumi semua, niscaya matilah siapa yang merasakannya. Jikalau sehasta dari rantai yang disebutkan oleh Allah, yang diletakkan ke atas bukit-bukit bumi semua, niscaya hancur-leburlah dan tidak sanggup menanggungnya. Jikalau seorang laki-laki dimasukkan ke dalam neraka, kemudian dikeluarkan, niscaya matilah penduduk bumi, karena busuk baunya, keji bentuk dan tulangnya”. Maka Nabi saw pun menangis dan Jibril as menangis pula karena Nabi saw menangis. Lalu Jibril as bertanya: “Mengapakah engkau menangis, wahai Muhammad, padahal Allah telah mengampunkan dosa engkau, yang terdahulu dan yang terkemudian ?”. Nabi saw menjawab: “Apakah aku ini bukan hamba yang bersyukur kepada Allah ? dan engkau menangis, wahai Jibril ? sedang engkau adalah roh yang dipercayai (ar-ruhul-amin), kepercayaan Allah atas wahyuNya ?”. Jibril as menjawab: “Aku takut, bahwa aku dicobai, dengan apa yang telah dicobai Harut dan Marut. Maka itulah yang mencegahku dari peganganku atas kedudukanku pada Tuhanku. Maka aku –sesungguhnya- aku telah merasa aman akan tipuannya”. Terus-meneruslah keduanya menangis, sehingga keduanya terpanggil dari langit: “Hai Jibril ! Hai Muhammad ! bahwa Allah telah menganugerahkan keamanan kepada kedua engkau daripada berbuat ma’siat kepadaNya. Sehingga menyebabkan azab kepada engkau. Kelebihan Muhammad atas nabi-nabi lain adalah seperti kelebihan Jibril atas malaikat-malaikat lain”. Telah sampai kepadaku wahai Amirul-mu’minin, bahwa Umar bin Al-Khaththab ra berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! kalau Engkau tahu, bahwa aku terpengaruh, apabila dua orang yang bermusuhan duduk di hadapanku, kepada orang yang miring dari kebenaran, dari dekat atau jauh, maka janganlah Engkau tangguhkan aku sekejap matapun !”. Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya yang sangat berat, ialah tegak berdiri karena Allah dengan kebenaran. Yang termulia kemuliaan pada sisi Allah, ialah: taqwa. Bahwa barangsiapa memcari kemuliaan dengan mentaati Allah, niscaya ia diangkat dan dimuliakan oleh Allah. Barangsiapa mencari kemuliaan dengan berbuat ma’siat kepada Allah, niscaya ia dihinakan dan direndahkan oleh Allah. Inilah nasehatku kepadamu dan kesejahteraan kepadamu ! Kemudian, aku bangun, lalu Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur bertanya kepadaku: “Mau kemana ?”. Aku menjawab: “Kepada anak dan tanah air dengan keizinan Amiurl-mu’minin, insya Allah”. Abu Ja’far Al-Manshur menjawab: “Telaj aku izinkan engkau. Aku mengucapkan terima kasih atas nasehat engkau dan telaah aku terima nasehat itu. Kiranya Allah menganugerahkan taufiq kepada kebajikan dan memberi pertolongan di atas kebajikan. KepadaNya aku memohonkan pertolongan. KepadaNya aku menyerahkan diri. Ia cukuplah bagiku dan sbeaik-baik Pelindung. Janganlah engkau biarkan aku ini, tanpa perhatian engkau kepadaku seperti ini ! sesungguhnya engkau diterima perkataan, tidak dicurigai pada memberi nasehat”. Aku menjawab: “Akan aku kerjakan, insya Allah”. Muhammad bin Mash’ab berkata: “Lalu Abu Ja’far Al-Manshur memerintahkan supaya diberikan uang kepada Al-Auza’i untuk perbelanjaan pulang. Al-Auza’i tidak mau menerimanya dan menjawab: ‘Aku tidak memerlukan kepada uang. Dan tidaklah aku menjual nasehatku dengan harta-benda dunia”. Al-Manshur telah mengetahui aliran Al-Auza’i. Maka ia tidak memperoleh jalan untuk mendesaknya. Dari Ibnul-Muhajir, yang berkata: “Amirul-mu’minin Abu Ja’far Al-Manshur datang di Makkah –dimuliakan oleh Allah kiranya Makkah –untuk menunaikan ibadah hajji. Ia keluar dari: Darin-nadwah pada penghabisan malam ke-thawaf untuk mengerjakan thawaf dan shalat. Dan tidak ada orang yang tahu. Ketika fajar telah menyingsing, ia kembali ke Darin-nadwah dan datanglah para muadz-dzin, memberi salam kepadanya. Lalu dikerjakan shalat dan ia bershalat bersama orang banyak selaku imam shalat. Pada suatu malam ia keluar ketika waktu sahur (menjelang terbit fajar). Maka waktu ia sedang mengerjakan thawaf, tiba-tiba ia mendengar seorang laki-laki di Al-Multazam, mendoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku mengadu kepadaMu akan lahirnya kedzaliman dan kerusakan di bumi dan apa yang mendindingi antara kebenaran dan ahlinya oleh kedzaliman dan kerakusan”. Lalu Al-Manshur mencepatkan jalannya, sehingga penuhlah pendengarannya oleh ucapan doa laki-laki itu. Kemudian ia keluar, lalu duduk pada suatu sudut masjid dan mengirimkan utusan kepada laki-laki itu. Utusan itu memanggil laki-laki tersebut. Utusan itu datang menemui laki-laki tadi dan berkata kepadanya: “Perkenankanlah panggilan Amirul-mu’minin !”. Lalu laki-laki itu mengerjakan shalat 2 rakaat. Kemudian beristilam kepada ar-rukn. Dan menghadap Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur bersama utusan tadi dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu Al-Manshur bertanya kepada laki-laki itu: “Apakah maksudnya yang aku dengar dari engkau. Engkau katakan tentang lahirnya kedzaliman dan kerusakan di bumi dan apa yang mendindingi antara kebenaran dan ahlinya oleh kerakusan dan kedzaliman ? demi Allah ! sesungguhnya telah penuhlah pendengaranku oleh apa yang menyakitkan aku dan mengacaukan pikiranku !”. Laki-laki itu menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! kalau engkau jamin keamanaan terhadap diriku, niscaya aku terangkan kepadamu segala persoalan dari asal-usulnya. Jikalau tidak, niscaya aku ringkaskan atas diriku saja. Aku mempunyai kesibukan yang menyibukkan padanya”. Al-Manshur berkata kepada laki-laki itu: “Engkau aman terhadap diri engkau !”. Maka laki-laki itu menjawab: “Yang telah masuk kepadanya kerakusan, sehingga mendindingi antaranya dan kebenaran dan perbaikan apa yang telah lahir dari kedzaliman dan kerusakan di bumi, ialah engkau sendiri !”. Lalu Abu Ja’far Al-Manshur menjawab: “Celaka ! bagaimanakah masuknya kepadaku kerakusan ? kuning dan putih dalam tanganku, manis daan masam dalam genggamanku ?”. Laki-laki itu menjawab: “Adakah masuk kerakusan kepada seseorang, sebagaimana masuknya kepada engkau, wahai Amirul-mu’minin ? bahwasanya Allah Ta’ala telah menjadikan engkau untuk menjaga segala urusan dan harta kaum muslimin. Lalu engkau lalaikan segala urusan mereka. Dan engkau pentingkan mengumpulkan harta mereka. Engkau jadikan diantara engkau dan mereka, hijab (dinding) dari kapur dinding, batu merah (gedung-gedung) dan pintu-pintu besi. Dan penjaga-penjaga pintu yang bersenjata. Kemudian, engkau kurungkan diri engkau dalam gedung-gedung itu. Dan engkau utuskan pegawai-pegawai engkau untuk mengumpulkan harta dan pajak-pajak. Engkau ambil menteri-menteri dan pembantu-pembantu yang dzalim. Kalau engkau lupa, mereka tidak memperingatkan engkau. Kalau engkau teirngat, mereka tidak menolong engkau. Kekuatan mereka pada menganiaya manusia dengan mengambil harta, binatang ternak dan alat senjata. Engkau perintahkan supaya tidak masuk ke tempat engkau dari orang-orang, kecuali si Anu dan si Anu, orang-orang yang telah engkau sebutkan namanya. Dan tidak engkau perintahkan agar disampaikan hal orang yang teraniaya, orang yang menderita, orang yang lapar, orang tidak berpakaian, orang lemah dan orang miskin. Tiada seorangpun dari mereka ini, melainkan mempunyai hak pada harta tersebut. Tatkala engkau dilhat oleh mereka yang telah engkau mintakan keikhlasannya untuk diri engkau dan telah engkau pilih mereka atas rakyat engkau dan engkau perintahkan supaya mereka tidak mendindingi engkau, engkau ambil pajak harta dan tidak engkau bagi-bagikan, lalu mereka itu berkata: “Khalifah ini telah berkhianat kepada Allah. Maka kita tiada mempunyai jalan, untuk tidak berkhianat kepadanya. Dia telah mempergunakan tenaga kita dengan percuma”. Lalu orang-orang itu bermusyawarah, untuk tidak menyampaikan kepada engkau, sedikitpun berita tentang rakyat, kecuali apa yang dikehendaki oleh mereka. Dan supaya tidak keluar seorangpun pegawai engkau, lalu menyalahi perintah mereka. Kecuali terus mereka singkirkan. Sehingga jatuhlah derajatnya dan kecillah tingkatannya. Tatkala telah tersiar yang demikian dari engkau dan dari mereka, lalu mereka dihormati oleh orang banyak dan ditakutinya. Dan adalah orang pertama yang berbuat demikian dengan mereka, ialah pegawai-pegawai engkau, dengan menyerahkan hadiah dan harta. Supaya mereka itu bertambah kuat untuk menganiaya rakyat engkau. Kemudian diperbuat yang demikian, oleh orang yang mempunyai kemampuan dan kekayaan dari rakyat engkau. Supaya mereka itu memperoleh kesempatan berbuat kedzaliman terhadap rakyat yang lebih rendah dari mereka. Maka penuhlah bumi Allah dengan kerakusan karena kedurhakaan dan kerusakan. Dan jadilah mereka ini, sekutu engkau pada kekuasaan engkau. Dan engkau itu lalai. Kalau datang orang yang mendapat kedzaliman, lalu didindingi antara orang itu dan antara masuk ke tempat engkau. Kalau orang itu, bermaksud menyampaikan suaranya atau kisah hidupnya kepada engkau, ketika engkau muncul di muka orang banyak, maka ia dapati engkau, telah melarang yang demikian. Dan engkau tegakkan seorang laki-laki untuk orang banyak itu, yang memperhatikan tentang kedzaliman mereka. Kalau orang itu datang, lalu menyampaikan kepada pembantu-pembantu engkau, maka pembantu-pembantu itu meminta kepada orang yang teraniaya itu, supaya tidak menyampaikan kedzaliman yang dideritainya. Kalau orang yang mengadu itu mempunyai kehormatan diri dan berkenan untuk menyampaikan kedzaliman yang dideritainya, niscaya tidak munkin apa yang dikehendakinya itu. Karena takut kepada pembantu-pembantu tersebut. Maka senantiasalah orang yang teraniaya itu bulak-balik kepadanya, mendekatinya, mengadu dan meminta pertolongan. Sedang orang itu menolaknya dan memberi bermacam alasan. Apabila orang yang teraniaya itu berjihad (berjuang mencari keadilan), mengeluarkan isi hatinya dan engkau muncul (berada di situ), niscaya ia berteriak meminta tolong di hadapan engkau. Lalu ia dipukul dengan pukulan yang melukakan. Supaya menjadi peringatan bagi orang lain. Dan engkau melihat, tidak membantah dan tidak merobahkannya. Maka tidaklah kekal Islam dan ahlinya di atas cara ini !. Adalah Bani Ummayyah dan orang Arab, apabila sampai kepada mereka orang yang teraniaya, niscaya disampaikan kedzaliman itu kepada mereka. Lalu orang yang teraniaya itu diperlukan dengan keadilan. Ada orang yang datang dari negeri yang terjauh, sehingga sampailah ia ke pintu sultan (penguasa)nya. Orang itu berseru: “Wahai ahli Islam !”. Maka bersegeralah mereka itu menemuinya, sambil bertanya: “Apakah yang menjadi maksud engkau ? apakah yang menjadi maksud engkau ?”. mereka itu menyampaikan kedzaliman yang dideritai orang itu kepada sultannya, lalu sultan memperlakukannya dengan keadilan. Sesungguhnya aku, wahai Amirul-mu’minin merantau ke negeri Cina. Di negeri itu ada seorang raja. Pada suatu kali aku datang ke negeri itu. Raja mereka itu telah hilang pendengarannya. Maka raja itupun menangis. Lalu menteri-menterinya bertanya: “Mengapakah tuanku menangis ? sesungguhnya telah bertangisanlah dua mata tuanku !!”. Raja itu menjawab: “Sesungguhnyya tidaklah aku menangis di atas musibah (bencana) yang telah menimpa diriku. Akan tetapi aku menangis, karena orang yang teraniaya yang berteriak meminta tolong di pintu, lalu aku tidak mendengar suaranya”. Kemudian raja itu menyambung: “Adapun, jikalau kiranya pendengaranku telah hilang, tetapi penglihatanku tidak hilang”. Berserulah pada orang banyak: “Ketahuilah, tidak dipakai pakaian merah selain oleh orang yang teraniaya !”. Raja itu mengendarai gajah dan berjalan berkeliling pagi dan petang. Adakah ia melihat orang yang teraniaya, maka diperlakukannya dengan keadilan. Inilah, wahai Amirul-mu’minin orang musyrik, yang mempersekutukan Allah, telah bersangatanlah kasih-sayangnya kepada orang-orang musyrik dan kehalusannya di atas kelobaan dirinya pada kerajaannya. Dan engkau orang mu’min, yang beriman dengan Allah dan putera paman Nabi Allah. Tidak bersangatan kasih sayang engkau kepada kaum muslimin dan kehalusan engkau di atas kelobaan diri engkau. Sesungguhnya engkau tidak mengumpulkan harta, kecuali untuk salah satu dari 3:
Kalau engkau berkata: “Aku kumpulkan harta itu untuk anakku”, maka sesungguhnya telah diperlihatkan oleh Allah kepada engkau, sesuatu ibarat pada bayi kecil yang jatuh dari perut ibunya. Bayi kecil itu tiada mempunyai harta di bumi. Dan tiada suatu hartapun, kecuali padanya tangan yang loba, yang mengumpulkannya. Maka senantiasalah Allah Ta’ala kasih sayang kepada bayi kecil itu. Sehingga besarlah kesukaan manusia kepadanya. Dan tidaklah engkau yang memberikan, tetapi Allah yang memberikan kepada siapa yang dikehendakiNya.
Kalau engkau berkata: “Aku kumpulkan harta itu untuk meneguhkan kesultananku”, maka sesungguhnya telah diperlihatkan oleh Allah suatu ibarat, tentang orang yang sebelum engkau. Tidaklah memperkayakan mereka dengan emas dan perak yang dikumpulkannya. Dan tidaklah orang-orang, senjata dan binatang ternak yang disediakannya. Dan tidaklah mendatangkan kemelaratan kepada engkau dan anak bapak engkau, dari sedikitnya kesungguhan dan kelemahan, dimana engkau berada padanya, ketika dikehendaki oleh Allah kepada engkau akan apa yang dikehendakiNya.
Kalau engkau berkata: “Aku kumpulkan harta itu untuk mencapai tujuan”. Yaitu tujuan yang lebih besar dari tujuan yang ada pada engkau sekarang. Maka demi Allah ! tiadalah yang di atas daripada yang ada pada engkau sekarang, selain derajat yang tidak akan diperoleh, kecuali dengan: amal shalih. Wahai Amirul-mu’minin ! adakah engkau siksakan orang yang mendurhakai engkau dari rakyat engkau, yang lebih berat dari bunuh ? Abu Ja’far Al-Manshur menjawab: “Tidak !”. Laki-laki itu lalu bertanya: “Bagaimanakah engkau berbuat dengan kerajaan yang diserahkan oleh Allah kepada engkau ? dan apa, yang engkau padanya, dari kerajaan dunia ? dan Allah Ta’ala tiada menyiksakan orang yang mendurhakaiNya dengan bunuh. Tetapi Ia menyiksakan orang yang mendurhakaiNya dengan kekekalan dalam azab yang pedih. Ia yang melihat dari engkau, apa yang diikatkan oleh hati engkau. Dan yang disembunyikan oleh anggota tubuh engkau. Apakah yang akan engkau katakan, apabila dicabut oleh Raja Yang Maha Benar, lagi Maha Menerangkan, akan kerajaan dunia dari tangan engkau dan dipanggilkanNya engkau kepada hisab (perhitungan amal) ? Adakah sesuatu yang memperkayakan engkau padaNya, dari apa yang ada pada engkau sekarang, dari kerajaan dunia yang engkau lobakan itu ?. Maka menangislah Al-Manshur dengan tangisan yang keras. Sehingga bersangatan tangisnya dan tinggi suaranya. Kemudian Abu Ja’far Al-Manshur mengeluh: “Wahai kiranya, tidaklah aku ini dijadikan dan tidaklah aku ini sesuatu”. Kemudian Abu Ja’far Al-Manshur bertanya: “Apakah dayaku tentang apa yang diserahkan kepadaku dan aku tidak melihat dari manusia itu, kecuali pengkhianat ?”. Laki-laki itu berkata: “Wahai Amirul-mu’minin ! haruslah engkau dengan imam-imam yang berpengetahuan tinggi, yang menjadi penunjuk umat !”. Abu Ja’far Al-Manshur bertanya: “Siapakah mereka itu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Ulama !”. Abu JA’far Al-Manshur menjawab: “Ulama itu telah lari daripadaku”. Laki-laki itu berkata: “Mereka lari dari engkau, karena takut engkau bawakan mereka, kepada yang telah terang dari jalan engkau, dari pihak pegawai-pegawai engkau. Akan tetapi bukakanlah pintu ! permudahkan dinding ! berikanlah pertolongan kepada orang yang teraniaya dari orang yang menganiaya. Cegahkanlah segala maacam kedzaliman ! ambillah sesuatu dari yang halal dan baik dan bagikanlah dengan benar dan adil ! aku jamin bahwa orang yang lari dari engkau, akan datang kepada engkau. Lalu menolong engkau kepada perbaikan pekerjaan engkau dan rakyat engkau”. Lalu Al-Manshur berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahkanlah kepadaku taufiq untuk mengamalkan, apa yang dikatakan oleh laki-laki ini !”. Kemudian datanglah para muadz-dzin dan memberi salam kepadanya. Dan didirikan shalat. Lalu Al-Manshur keluar dan bershalat dengan mereka. Kemudian, sesudah shalat, beliau berkata kepada pengawal: “Haruslah engkau mencari laki-laki itu ! jikalau tiidak engkau bawa ia kemari, niscaya aku pancung leher engkau”. Abu Ja’far Al-Manshur sangat marah kepada laki-laki itu. Lalu pengawal itu keluar mencari laki-laki tersebut. Kiranya ia sedang melakukan thawaf. Lalu pengawal itu mengerjakan shalat dengan laki-laki tersebut, pada sebahagian pojok (dari bukit-bukit yang mengelilingi Makkah). Kemudian duduk menunggu, sampai laki-laki itu siap mengerjakan shalat. Kemudian ia berkata: “Wahai laki-laki ini ! tidakkah engkau bertaqwa kepada Allah ?”. Laki-laki itu menjawab: “Ya !”. Pengawal itu bertanya lagi: “Adakah engkau mengenai Allah (berma’rifah kepada Allah) ?”. Laki-laki itu menjawab: “Ya !”. Pengawal itu menyambung: “Pergilah bersama aku kepada Amir !. Dia telah bersumpah akan membunuh aku, jikalau aku tidak membawa kamu kepadanya”. Laki-laki itu menjawab: “Aku tiada mempunyai jalan kepada yang demikian !”. Pengawal itu menjawab: “Dibunuhnya aku”. Laki-laki itu menjawab: “Tidak !”. Pengawal itu bertanya: “Bagaimana jalannya ?”. Laki-laki itu bertanya: “Pandaikah engkau membaca ?”. Pengawal itu menjawab: “Tidak !”. Lalu laki-laki itu mengeluarkan dari bungkusannya yang ada padanya, sehelai kertas yang tertulis padanya sesuatu, seraya berkata: “Ambillah ! masukkanlah ke dalam saku bajumu ! sesungguhnya pada kertas ini: doa terlepas dari kesempitan (doa kelapangan jalan)". Peng”wal itu bertanya: "Apakah doa kelapanangan jalan itu ?”. Laki-laki itu menjawab: “Tiada diberi rezeki dengan doa ini, kecuali orang-orang syahid”. Aku berkata-ujar pengawal itu: “Diberi rahmat oleh Allah kiranya kepada engkau ! sesungguhnya engkau telah berbuat baik (berbuat ihsan) kepadaku. Jikalau engkau melihat ada baiknya untuk menerangkan kepadaku, apakah doa ini dan apakah kelebihannya !”. Laki-laki itu menjawab: “Barangsiapa berdoa dengan doa ini, petang dan pagi, niscaya dihancurkan dosa-dosanya. Dikekalkan kegembiraannya. Dihapuskan segala kesalahannya. Diterima doanya. Dilapangkan rezekinya. Diberikan cita-citanya. Diberi pertolongan atas musuhnya. Ia dituliskan pada sisi Allah: orang yang shiddiq. Dan ia tidak mati, melainkan menjadi orang syahid”. Bacalah doa itu, yaitu: “Wahai Allah Tuhanku ! sebagaimana Engkau kasih-sayang pada keagungan Engkau tanpa orang-orang yang kasih-sayang. Engkau tinggi dengan keagungan Engkau di atas orang-orang yang agung. Engkau mengetahui apa yang di bawah bumi Engkau, sebagaimana pengetahuan Engkau dengan apa yang di atas ‘Arasy Engkau, adalah was-was di dalam dada, seperti yang terang nyata pada sisi Engkau. Perkataan yang terang adalah seperti rahasia pada ilmu Engkau. Dan tiap-tiap sesuatu itu mematuhi bagi keagungan Engkau. Dan tiap-tiap yang mempunyai kekuasaan, tunduk kepada kekuasaan Engkau. Urusan dunia dan akhirat semuanya jadi di tangan (dalam kekuasaan) Engkau. Jadikanlah bagiku dari tiap-tiap kesusahan dimana aku berada padanya, menjadi kelapangan dan jalan keluar ! wahai Allah, Tuhanku ! sesungguhnya kemaafan Engkau dari dosa-dosaku, kelepasan yang Engkau berikan dari kesalahanku dan tutup yang Engkau anugerahkan atas kekejian perbuatanku, mendorongku untuk bermohon kepada Engkau akan sesuatu yang tiada seharusnya aku menerimanya, dari apa yang aku teledor padanya. Aku bermohon pada Engkau akan keamanan. Aku meminta pada Engkau akan kejinakan hatiku. Sesungguhnya Engkau berbuat kebaikan kepadaku dan aku berbuat kejahatan kepada diriku, mengenai sesuatu diantara aku dan Engkau. Engkau cinta-kasih kepadaku dengan ni’mat-ni’mat Engkau. Dan aku berbuat kemarahan kepada Engkau dengan perbuatan-perbuatan kema’siatan. Akan tetapi kepercayaan kepada Engkau, membawa aku kepada keberanian kepada Engkau. Maka hitungkanlah dengan kurnia dan kebaikan Engkau atasku ! sesungguhnya Engkau Penerima taubat dan Maha Penyayang”. Pengawal itu berkata: “Maka aku ambil kertas itu. Aku masukkan ke dalam saku bajuk. Kemudian, tak ada cita-citaku selain Amirul-mu’minin. Lalu aku masuk ke tempatnya, seraya memberi salam kepadanya. Ia mengangkatkan kepalanya. Lalu memandang kepadaku dan tersenyum. Kemudian berkata: ‘Celaka engkau ! pandai engkau main sihir ?”. Aku menjawab: “Tidak, demi Allah wahai Amirul-mu’minin !”. Kemudian aku ceritakan kepadanya urusanku dengan Syaikh itu. Lalu Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berkata: “Berikanlah kertas yang diberikannya kepada engkau itu !”. Kemudian Abu Ja’far Al-Manshur menangis dan berkata: “Engkau lepas bebas”. Dan disuruhnya membatalkan hukuman itu. Dan dianugerahinya kepadaku, 10 ribu dirham, kemudian berkata: “Kenalkah engkau orang itu ?”. Aku menjawab: “Tidak !”. Abu JA’far Al-Manshur menjawab: “Itulah Nabi Khidlir as”. Dari Abi ‘Imran Al-Jauni, yang menerangkan, bahwa: tatkala Harunur-rasyid memegang jabatan kekhalifahan (al-khilafah), lalu ia dikunjungi oleh para ulama. Para ulama itu mengucapkan selamat kepadanya, dengan terserahnya urusan kekhalifahan kepadanya. Maka khalifah Harunur-rasyid membuka pintu baital-mal. Dan menyerahkan pemberian-pemberian yang banyak kepada para ulamaa itu. Dan adalah khalifah Harunur-rasyid sebelum menjadi khalifah, sering duduk-duduk dengan ulama-ulama dan orang-orang zahid. Dan melahirkan banyak ibadah dan penderitaan. Dan erat-persaudaraannya dengan Sufyan bin Sa’id bin Al-Mundzir Ats-Tsauri pada masa dahulunya (sebelum menjadi khalifah). Maka ia ditinggalkan oleh Sufyan dan tidak pernah lagi Sufyan berkunjung kepadanya. Maka rindulah Harunur-rasyid kepada kunjungan Sufyan, untuk bersepi-sepi dan bercakap-cakap dengan dia. Tetapi Sufyan tidak juga berkunjung kepada Harunur-rasyid dan tidak bersedia pergi ke tempatnya. Dan tidak menyambut jabatan yang telah berada dalam tangan Harunur-rasyid. Maka amat beratlah yang demikian atas Harunur-rasyid. Lalu ia menulis sepucuk surat kepada Sufyan, dimana ia mengatakan di dalamnya:
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Dari hamba Allah, Harunur-rasyid Amirul-mu’minin, kepada saudaranya Sufyan bin Sa’id bin Al-Mundzir. Amma ba’du, adapun kemudian, wahai saudaraku ! engkau telah mengetahui bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mempersaudarakan diantara orang-orang mu’min. Dan Ia jadikan yang demikian pada jalanNya dan karenaNya. Dan ketahuilah, bahwa aku telah mempersaudarakan engkau, persaudaraan yang tidak aku putuskan tali engkau dengannya. Dan tidak aku potong kesayangan engkau daripadanya. Bahwasanya kecintaanku berkumpul bagi engkau di atas kecintaan dan kehendak yang sebaik-baiknya. Jikalau tidaklah kalung ini, yang dikalungi aku oleh Allah, niscaya aku datangi tempat engkau, walaupun dengan merangkak. Karena kecintaan yang aku dapati dalam hatiku kepada engkau. Ketahuilah wahai Abu Abdillah, bahwa tiada tinggal seorangpun dari temanku dan teman engkau, melainkan telah berkunjung kepadaku. Dan telah mengucapkan selamat kepadaku, disebabkan jabatan yang telah berada dalam tanganku. Aku telah membuka baital-mal-baital-mal. Dan aku berikan hadiah-hadiiah yang banyak kepada mereka, yang amat menggembirakan diriku dan menyedapkan mataku. Dan sesungguhnya aku menunggu keterlambatanmu, lalu engkau tidak juga datang kepadaku. Dan aku tuliskan surat ini kepadamu, karena sangat rindunya hatiku kepadamu. Dan engkau, wahai Abu Abdillah, mengetahui apa yang tersebut pada agama, tentang keutamaan orang mu’min, kunjungannya dan perhubungannya satu sama lain (silaturrahim). Maka apabila telah datang kepadamu suratku ini bersegeralah, bersegeralah !”. Tatkala surat itu telah siap ditulisnya, lalu ia menoleh kepada orang yang di sisinya. Rupanya semua mereka mengenal Sufyan Ats-Tsuri dan kekasarannya. Lalu khalifah Harunur-rasyid berkata: “Saya memerlukan seorang dari penjaga-penjaga pintu”. Maka disuruh masuk seorang laki-laki, yang namanya: ‘Ubbad Ath-Thaliqani. Lalu Harunur-rasyid berkata kepadanya: “Hai ‘Ubbad ! ambillah suratku ini dan pergilah ke Kufah ! apabila engkau telah masuk ke kota itu, tanyakanlah dari kabilah Bani Tsaur ! kemudian tanyakanlah, mana Sufyan Ats-Tsuri ! apabila engkau telah menjumpainya, berilah suratku ini kepadanya ! dan hapalkanlah dengan pendengaran dan hati engkau, semua yang dikatakannya ! hitungkanlah pekerjaannya yang sehalus-halusnya dan yang sebesar-besarnya, untuk kamu ceritakan nanti kepadaku !”. ‘Ubbad lalu mengambil surat itu dan berjalan, sehingga sampailah ia ke Kufah. Lalu ditanyakannya dari kabilah itu. Maka iapun ditunjukkan orang. Kemudian ditanyakannya, mana Sufyan itu. Lalu dijawab orang kepadanya: itulah yang dalam masjid. ‘Ubbad berkata: “Lalu aku datang di masjid. Tatkala Sufyan itu melihat aku, terus ia bangun berdiri, seraya mengucapkan: ‘Aku berlindung dengan Allah Yang Maha Pendengar dan Maha Penyayang, dari setan yang terkutuk. Aku berlindung dengan Engkau, wahai Allah Tuhanku, daripada pengedor yang menggedor pintuku, selain dengan kebajikan”. ‘Ubbad menerangkan seterusnya: “Maka berkesanlah pada hatiku kata-kata itu. Lalu aku keluar. Tatkala ia melihat aku, duduk di pintu masjid, lalu ia bangun mengerjakan shalat dan tidaklah waktu itu waktu shalat. Maka aku tambatkan kudaku di pintu masjid. Dan aku masuk ke dalam masjid. Tiba-tiba semua teman duduknya, duduk menekurkan kepalanya. Seolah-olah mereka itu pencuri, yang telah datang sultan (penguasa) kepadanya. Lalu mereka itu takut dari siksaannya. Maka aku memberi salam. Tiada seorangpun mengangkat kepalanya kepadaku. Mereka itu menjawab salamku dengan ujunng anak jari. Maka tinggallah aku tegak berdiri. Tiada seorangpun dari mereka yang mempersilakan aku duduk. Dan sungguh telah meninggilah kegoncangan pada diriku oleh kehebatan mereka. Aku lepaskan mataku memandang mereka, lalu aku berkata: “Bahwa yang bershalat itu Sufyan”. Maka aku lemparkan surat itu kepadanya. Tatkala ia melihat surat itu, maka bergoncanglah badannya dan menjauhkan diri dari surat itu. Seakan-akan ular yang datang kepadanya pada tempat shalatnya (mihrabnya). Lalu ia ruku’, sujud dan memberi salam. Ia memasukkan tangannya dalam lengan bajunya. Dan membungkuskannya dengan ‘aba-ahnya (pakaian yang dipakai di atas baju, yang terbuka bahagian depan). Dan diambilnya surat itu. Lalu dibalik-balikkannya dengan tangannya. Kemudian dilemparkannya kepada orang yang di belakangnya, seraya berkata: “Diambillah kiranya surat itu oleh sebahagian kamu, yang akan membacanya. Sesungguhnya aku meminta ampun pada Allah, untuk menyentuh sesuatu, yang telah disentuh oleh orang dzalim dengan tangannya”. ‘Ubbad berkata: “Kertas itu lalu diambil oleh setengah mereka. Keadaannya, seakan-akan orang yang takut dari mulut ular yang akan mematuknya. Kemudian dibukanya dan dibacanya. Sufyan menghadapi surat itu dengan tersenyum, sebagai senyuman orang yang penuh keheranan”. Tatkala yang membaca itu selesai dari membacanya, lalu Sufyan berkata: “Balikkan kertas itu dan tuliskan kepada orang dzalim itu pada belakang suratnya !”. Lalu ada orang yang berkata kepada Sufyan: “Hai Abu Abdillah ! bahwa dia itu khalifah. Kalau engkau tuliskan kepadanya pada kertas yang bersih, belum bertulis, bagaimana ?”. Sufyan menjawab: “Tulislah kepada orang dzalim itu, pada belakang suratnya ! kalau kertas itu diusahakannya dari yang halal, maka akan dibalaskan amalannya. Kalau diusahakannya dari yang haram, maka akan dimasukkan dia ke dalam neraka. Dan tidak tinggal suatupun yang disentuh oleh orang dzalim pada kita, lalu merusakkan agama kita”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Apakah yang akan kami tulis ?”. Sufyan menjawab: “Tulislah !”.
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Dari hamba Allah yang berdosa, Sufyan bin Sa’id bin Al-Mundzir Ats-Tsuri, kepada hamba Allah yang tertimpa dengan angan-angan Harunur-rasyid yang telah mencabutkan kemanisan iman. Amma ba’du, kemudian itu, maka sesungguhnya aku telah menulis surat kepadamu, aku beritahukan kepadamu, bahwa aku telah memutuskan tali perhubungan dengan engkau. Dan aku telah memotong kecintaan engkau dan aku marah akan tempat kedudukan engkau (jabatan kekhalifahan). Bahwa engkau telah jadikan aku saksi atas engkau, dengan pengakuan engkau, atas diri engkau, pada surat engkau, dengan apa yang engkau serang, atas baital-mal kaum muslimin. Engkau telah membelanjakannya pada bukan haknya. Dan engkau menghabiskannya pada bukan hukumnya. Kemudian engkau tidak senang dengan apa yang aku kerjakan dan engkau itu jauh daripadaku, sampai engkau tuliskan surat kepadaku. Engkau jadikan aku saksi atas diri engkau. Adapun aku sesungguhnya telah naik saksi atas engkau dan teman-temanku yang menyaksikan pembacaan surat engkau. Dan akan kami tunaikan kesaksian itu atas engkau besok dihadapan Allah Ta’ala. Hai Harun ! engkau telah menyerang baital-mal kaum muslimin, tanpa kerelaan mereka. Adakah rela dengan perbuatan engkau itu, orang-orang yang dijinakkan hatinya (orang-orang muallaf), orang-orang amil zakat di bumi Allah Ta’ala, orang-orang yang berjihad fi sabilillah dan ibnus-sabil ? adakah rela dengan yang demikian, pendukung-pendukung Alquran, ahli-ahli ilmu, perempuan-perempuan janda dan anak-anak yatim ? adakah rela dengan yang demikian, orang banyak dari rakyat engkau ? maka ikatlah wahai Harun kain sarung engkau ! sediakanlah untuk pertanyaan akan jawabannya dan untuk bahaya bajunya !. Ketahuilah, bahwa engkau akan berdiri di hadapan Hakim Yang Maha Adil. sesungguhnya engkau telah mendatangkan bahaya pada diri engkau. Karena engkau cabut kemanisan ilmu, zuhud, kelezatan Alquran dan duduk-duduk dengan orang-orang pilihan. Engkau rela untuk diri engkau bahwa engkau itu menjadi orang dzalim dan imam bagi orang-orang dzalim. Wahai Harun ! engkau duduk di atas kursi kebesaran. Engkau memakai kain sutera. Engkau pasang tabir pada pintu engkau. Dan engkau menyerupakan dengan Tuhan Serwa sekalian alam dengan penjaga-penjaga. Kemudian, engkau dudukkan tentara-tentara engkau yang dzalim pada pintu engkau dan tabir engkau. Mereka berbuat kedzaliman kepada manusia. Dan mereka itu tidak insaf. Mereka itu meminum khamar dan memukul orang yang meminum khamar. Mereka itu berzina dan menghukum orang yang berzina. Mereka itu mencuri dan memotong tangan orang yang mencuri. Apakah tidak hukuman-hukuman ini atas diri engkau dan atas diri mereka, sebelum engkau menghukumkan orang lain ? maka bagaimanakah engkau besok, hai Harun, apabila dipanggil oleh pemanggil dari pihak Allah Ta’ala: “Kumpulkanlah mereka-mereka yang dzalim serta isteri-isterinya ! manakah orang-orang dzalim itu dan penolong-penolong orang-orang yang dzalim ?”. Lalu pemanggil itu mendatangkan engkau di hadapan Allah Ta’ala dan kedua tangan engkau dirantaikan ke leher engkau. Tiada yang akan melepaskannya, selain oleh keadilan engkau dan keinsafan engkau. Orang-orang dzalim itu di sekeliling engkau. Dan engkau yang mendahului dari imam mereka ke api neraka. Seakan-akan aku dengan engkau, wahai Harun, telah engkau ambil dengan kesempitan pencekek leher dan engkau datangkan kesulitan-kesulitan. Engkau melihat kebaikan engkau, dalam timbangan orang lain. Dan kejahatan orang lain dalam timbangan engkau, sebagai tambahan dari kejahatan engkau, bahaya di atas bahaya, kegelapan di atas kegelapan. Maka jagalah dengan wasiatku dan ambillah pengajaran dengan pengajaranku yang aku berikan kepadamu !. Ketahuilah, bahwa aku telah menasehatimu. Dan tidak aku tinggalkan suatu tujuanpun pada menasehati engkau ! takutlah akan Allah, hai Harun tentang rakyat engkau ! peliharalah Muhammad saw tentang umatnya ! dan baguskanlah kekhalifahan di atas mereka !. Ketahuilah, bahwa pekerjaan ini jikalau tetap untuk orang lain, niscaya tidak akan sampai kepada engkau. Dan jadilah kepada orang lain. Demikian juga dunia, berpindah dengan penduduknya, seorang demi seorang. Diantara mereka ada yang mencari perbekalan, dengan perbekalan yang bermanfaat baginya. Diantara mereka, ada yang merugi dunianya dan akhiratnya. Dan aku memperkirakan engkau, wahai Harun, termasuk orang yang merugi dunianya dan akhiratnya. Maka jagalah diri engkau, jagalah diri engkau, bahwa engkau menulis surat kepadaku sesudah ini ! maka tiada akan aku jawab kepada engkau nanti. Wassalam.
‘Ubbad berkata: “Lalu Sufyan mencampakkan surat itu kepadaku dengan terbuka. Tiada terlipat dan tiada disetempel. Maka aku ambil surat itu dan aku pergi ke pasar Kufah. Dan pengajaran itu telah jatuh berkesan dalam hatiku. Lalu aku berseru: “Wahai penduduk Kufah !”. Mereka itu memperkenankan seruanku. Lalu aku berkata kepada mereka: “Wahai kaumku ! siapakah mau membeli orang yang lari dari Allah kepada Allah ?”. Lalu mereka hadapkan kepadaku dinar dan dirham. Lalu aku berkata: “Aku tiada memerlukan kepada harta. Akan tetapi baju jubah bulu yang kasar dan aba-ah (baju luar terbuka bagian depan) dari kapas”. ‘Ubbad meneruskan kisahnya: “Lalu diberikan kepadaku yang demikian. Dan aku buka pakaian yang ada pada tubuhku, yang telah aku pakai bersama Amirul-mu’minin. Dan aku menghadap mengendarai Al-Bardzun (Kuda Rumawi) dengan senjata yang aku bawakan dahulu. Sehingga sampailah aku pada pintu Amirul-mu’minin Harun, dengan kaki telanjang (kaki ayam), berjalan kaki. Lalu aku diejekkan oleh orang-orang yang ada pada pintu Khalifah. Kemudian diizinkan aku masuk. Maka tatkala aku masuk ke tempat Khalifah dan ia melihat aku dalam keadaan yang demikian, lalu ia bangun dan duduk. Kemudian bangun lagi, seraya memukul kepalanya dan mukanya. Dan berdoa dengan kebinasaan dan kesedihan dan berkata: “Telah memperoleh manfaatlah utusan dan telah kecewalah yang mengutus. Apalah bagiku dunia, apalah bagiku ! kerajaan akan hilang daripadaku dengan segera”. Kemudian, aku serahkan surat itu kepadanya dengan terbuka, sebagaimana diserahkan kepadaku. Lalu Harun menghadapinya membaca dan air matanya jatuh berderai dari kedua matanya. Ia membaca dan menarik nafas. Maka berkatalah setengah orang-orang yang duduk bersamanya: “Wahai Amirul-mu’minin ! sungguh telah begitu berani Sufyan atas engkau ! kalau engkau hadapkan kepadanya, maka engkau beratkan dia dengan besi dan engkau sempitkan penjara kepadanya, niscaya engkau membuat dia menjadi ibarat (pengajaran) kepada orang lain”. Harun menjawab: “Tinggalkanlah kami hai budak-budak dunia, yang telah tertipu orang-orang yang telah kamu tipu ! dan celaka orang-orang yang engkau binasakan ! sesungguhnya Sufyan satu-satunya umat (tiada seorangpun yang menyerupai sifatnya). Biarkanlah Sufyan dengan keadaannya yang demikian !”. Kemudian, senantiasalah surat Sufyan itu di sisi Harun yang dibacanya pada ktika tiap-tiap shalat. Sehingga ia wafat, dicurahkan rahmat oleh Allah kiranya kepadanya. Maka Allah mencurahkan rahmat kepada hamba yang memperhatikan kepada dirinya. Dan bertaqwa kepada Allah tentang apa yang akan didatangkan kepadanya besok dari amal-perbuatannya. Karena amal-perbuatan itu akan dihitung (dihisab) dan diberi balasan, Wallaahu waliyyut-taufiq ! Allah yang menganugerahkan taufiq !. Dari Abdullah bin Mahran yang menceritakan, bahwa Harunur-rasyid pergi hajji. Maka sampailah ia di Kufah, lalu tinggal di situ beberapa hari. Kemudian ia bersiap untuk berangkat. Lalu keluarlah manusia banyak melepaskan keberangkatannya. Dan keluar pula Bahlul Gila, bersama orang yang keluar, dengan membawa sampah. Anak-anak kecil mengganggu dan suka kepadanya. Tatkala telah siap kendaraan Harun untuk berangkat, lalu si Bahlul melarang anak-anak kecil itu mempermain-mainkannya. Sewaktu telah datang Harun, maka si Bahlul berseru dengan sekuat-kuat suaranya: “Wahai Amirul-mu’minin !”. Lalu Harun membuka kelambu dengan tangannya dari mukanya, seraya berkata: “Labbaika ya Bahlul !”. Si Bahlul menyambung: “Wahai Amirul-mu’minin ! disampaikan hadits kepada kami oleh Aiman bin NA-il, dari Quddamah bin Abdullah Al-‘Amiri, dimana Quddamah berkata: ‘Aku melihat Nabi saw meninggalkan ‘Arafah, dengan mengendarai untanya yang berwarna putih bercampur merah. Tak ada pukulan, tak ada usiran dan tak ada: kepada engkau, kepada engkau. Engkau merendahkan diri pada perjalanan engkau ini, wahai Amirul-mu’minin, adalah lebih baik bagi engkau dari kesombongan dan keperkasaan engkau”. Abdullah bin Mahran berkata: “Lalu Harun menangis, sehingga jatuhlah air matanya ke bumi. Kemudian ia berkata: “Hai Bahlul ! tambahkan lagi kepada kami ! kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada engkau !”. Bahlul menjawab: “Boleh, wahai Amirul-mu’minin ! orang yang didatangkan oleh Allah harta dan kecantikan, lalu membelanjakan dari hartanya dan menjaga diri dari perbuatan jahat pada kecantikannya, niscaya ia tertulis dalam buku daftar Allah Ta’ala yang bersih, bersama orang-orang baik”. Harunur-rasyid menjawab: “Baik sekali engkau, hai Bahlul”. Dan beliau menyerahkan suatu pemberian kepada si Bahlul. Bahlul berkata: “Kembalikan pemberian ini kepada orang yang engkau ambil daripadanya ! aku tiada berhajat kepada pemberian”. Harunur-rasyid berkata: “Hai Bahlul ! kalau ada hutangmu, maka kami bayar hutang itu”. Bahlul menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! mereka ahli ilmu di Kufah adalah berkecukupan. Telah sepakat pendapat mereka, bahwa membayar hutang dengan hutang tidak boleh”. Harunur-rasyid berkata: “Hai Bahlul ! kami alirkan kepada engkau apa yang menjadikan makanan engkau atau yang menjadikan tempat tinggal engkau”. Abdullah bin Mahran menceritakan seterusnya: “Lalu Bahlul mengangkatkan kepalanya ke langit, kemudian berkata: ‘Wahai Amirul-mu’minin ! aku dan engkau dalam tanggungan (‘iyal) Allah. Maka mustahil Ia ingat akan engkau dan lupa akan aku”. Abdullah bin Mahran menceritakan: “Maka Harun menurunkan kelambu dan pergi....”. Dari Abil-‘Abbas Al-Hasyimi, dari Shalih bin Al-Ma’mun, dimana Shalih berkata: “Aku masuk ke tempat Al-Harits Al-Muhassibi ra, lalu aku bertanya kepadanya: ‘Hai Abu Abdillah ! adakah engkau hitung amalan dirimu ?”. Al-Harits menjawab: “Ada ini sekali”. Maka aku bertanya kepadanya: “Lalu hari ini ?”. Al-Harits menjawab: “Aku sembunyikan keadaanku. Sesungguhnya aku membaca suatu ayat dari Kitab Allah Ta’ala, maka aku kikir untuk didengarkan oleh diriku. Jikalau tidaklah dikerasi oleh kegembiraan padanya, niscaya tidak aku melahirkannya. Adalah aku pada suatu malam, duduk di mihrabku. Tiba-tiba datang seorang pemuda, yang berparas cantik, harum baunya. Lalu memberi salam kepadaku. Kemudian ia duduk dihadapanku. Maka aku bertanya kepadanya: “Siapa engkau ?”. Pemuda itu menjawab: “Aku adalah seorang pengembara, bermaksud menjumpai orang-orang yang beribadah pada mihrabnya. Aku tiada melihat engkau mempunyai kerajinan. Maka apakah yang engkau kerjakan ?”. Al-Harits berkata: “Aku menjawab kepada pemuda itu: ‘Menyembunyikan semua bahaya dan menarik segala faedah”. AL-Harits berkata: “Pemuda itu lalu berteriak dan berkata: ‘Aku tiada mengetahui, bahwa ada seseorang diantara tepi Masyrik dan tepi Maghrib, ini sifatnya”. Al-Harits berkata: “Aku bermaksud menambahkan, lalu aku berkata kepadanya: ‘Apakah tidak engkau ketahui bahwa ahli hati (orang yang berhati suci dan berjiwa bersih) menyembunyikan hal-ihwal mereka ? menyembunyikan rahasia-rahasia mereka ? dan meminta kepada Allah menyembunyikan yang demikian kepada mereka ? maka dari manakah engkau mengenal mereka itu ?”. Al-Harits berkata: “Pemuda itu berteriak, teriakan yang membawa ia jatuh pingsan. Ia tinggal padaku 2 hari belum sadar. Kemudian ia sembuh dan telah berhadats pada kainnya. Maka tahulah aku akan hilang akalnya. Lalu aku keluarkan baginya kain baru. Dan aku berkata kepadanya: ‘Ini kain kafanku. Aku utamakan untuk engkau memberikannya. Mandilah dan ulanglah shalatmu !”. Pemuda itu menjawab: “Berilah air !”. Lalu ia mandi dan mengerjakan shalat. Kemudian ia berselirmut dengan kain itu dan keluar. Lalu aku tanyakan: “Mau kemana ?”. Ia menjawab kepadaku: “Bangunlah bersamaku !”. Maka terus-meneruslah ia berjalan kaki, sehingga ia masuk ke tempat Khalifah Al-Ma’mun. Lalu ia memberi salam kepadanya dan berkata: “Hai orang dzalim ! aku ini orang dzalim, jikalau tidak aku katakan kepadamu: ‘Hai orang dzalim !’. Aku meminta ampun pada Allah dari keteledoranku pada engkau. Tidakkah engkau takut akan Allah Ta’ala, tentang apa yang telah dianugerahkanNya menjadi milik engkau ?”. Pemuda itu banyak berkata-kata. Kemudian ia bermaksud hendak keluar dan aku duduk di pintu. Lalu Al-Ma’mun menuju kepadanya dan bertanya: “Siapa engkau ?”. Pemuda itu menjawab: “Aku seorang pengembara. Aku berpikir tentang apa yang dikerjakan oleh orang-orang shiddiq sebelumku. Maka tiada aku dapati diriku mempunyai keberuntungan padanya. Maka tergantunglah aku dengan pengajaran engkau. Mudah-mudahan aku menyusuli mereka”. Al-Harits meneruskan ceritanya: “Lalu Al-Ma’mun memerintahkan memotong leher pemuda itu. Kemudian dikeluarkan pemuda itu –dan aku duduk pada pintu –dengan berbungkus dalam kain itu. Dan seorang penyeru menyerukan: ‘Siapa yang menjadi wali pemuda itu ? maka hendaklah mengambilkannya !”. Al-Harits berkata: “Aku bersembunyi daripadanya. Lalu pemuda itu diambuil oleh kaum-kaum perantau. Mereka itu menguburkannya dan aku bersama mereka. Aku tidak memberitahukan kepada mereka akan hal-ihwal itu”. Aku bertempat tinggal dalam masjid dekat kuburan, sedih mengenangkan pemuda itu. Lalu kedua mataku memaksakan aku tidur. Tiba-tiba terlihat, bahwa pemuda itu diantara bidadari-bidadari, dimana aku belum pernah melihat yang lebih cantik dari mereka. Pemuda itu berkata: “Hai Harits ! engkau –demi Allah –adalah diantara penyembunyi-penyembunyi, yang menyembunyikan hal-ihwal mereka dan mentaati Tuhan mereka”. Lalu aku bertanya: “Apakah yang diperkuat mereka ?”. Pemuda itu menjawab: “Pada hari qiamat mereka akan bertemu dengan engkau”. Lalu aku melihat kepada suatu rombongan yang berkendaraan. Maka aku bertanya: “Siapakah kamu ?”. Mereka itu menjawab: “Orang-orrang yang menyembunyikan hal-ihwalnya. Pemuda itu telah menggerakkan perkataan engkau baginya. Maka tidak adalah dalam hatinya sesuatu daripada apa yang engkau sifatkan. Lalu ia keluar untuk amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Dan Allah Ta’ala menempatkannya bersama kami dan marah karena hambaNya”. Dari Ahmat bin Ibrahim Al-Muqri, yang menerangkan bahwa aadlah Abul-Husain An-Nuri seorang laki-laki yang sedikit berkata-kata yang tiada perlu. Ia tiada bertanya dari hal yang tiada penting. Ia tiada memeriksa dari hal yang tiada diperlukannya. Adalah ia, apabila melihat perbuatan munkar, niscaya melarangnya. Walaupun membawa kepada kebinasaan dirinya. Maka pada suatu hari, ia turun ke tempat perhentian perahu di sungai Tigris yang terkenal dengan nama: Masyra’ah Al-Fahhamin. Ia bersuci (mengambil wudlu) untuk shalat. Tiba-tiba ia melihat sebuah kapal kecil, di dalamnya 30 kaleng, yang tertulis padanya dengan cat hitam kata-kata: luth-fun. Abu-Husain An-Nuri lalu membaca tulisan itu dan menantangnya. Karena ia tidak mengenal dalam perniagaan dan dalam berjual beli, suatu barang, yang disebut dengan: luth-fun itu. Lalu ia bertanya kepada kelasi kapal itu: “Apakah dalam kaleng-kaleng ini ?”. Kelasi itu menjawab: “Apa perlunya bagimu ? pergilah pada urusanmu !”. Tatkala An-Nuri mendengar perkataan tersebut dari kelasi itu, maka bertambahlah keinginannya hendak mengetahuinya. Lalu ia berkata: “Saya suka engkau terangkan kepadaku, barang apakah dalam kaleng-kaleng ini”. Kelasi itu menjawab: “Apa perlunya kepada engkau. Engkau –demi Allah –seorang shufi yang suka kepada yang tiada penting. Ini adalah khamar kepunyaan khalifah Al-Mu’tadlid, yang bermaksud menyempurnakan majelisnya dengan barang ini”. Lalu An-Nuri bertanya untuk menegaskan: “Ini khamar ?”. Kelasi itu menjawab: “Ya !”. Maka berkata An-Nuri: “Aku suka engkau berikan kepadaku pengayuh itu “. Lalu marahlah kelasi itu kepadanya, seraya berkata kepada budaknya: “Berilah pengayuh itu, sehingga aku akan melihat, apa yang akan diperbuatnya”. Tatkala pengayuh itu sudah berada dalam tangannya, lalu An-Nuri naik ke kapal kecil itu. Dan terus-menerus ia memecahkan kaleng itu satu demi satu. Sehingga sampailah kepada akhirnya, kecuali tinggal sekaleng. Kelasi itu meminta pertolongan, sehingga naiklah ke kapal kecil tersebut pemilik jembatan. Yaitu ketika itu: Ibnu Bisyr Aflah. Lalu ia menangkap An-Nuri dan dibawanya ke hadapan Al-Mu’tadlid. Dan Al-Mu’tadlid itu adalah pedangnya sebelum berbicara. Dan orang tidak ragu lagi, bahwa Al-Mu’tadlid akan membunuh An-Nuri. Abul-Husain An-Nuri meneruskan ceritanya: “Lalu aku dimasukkan ke tempat Al-Mu’tadlid. Dan ia sedang duduk di atas kursi besi dan di tangannya tongkat yang dibalik-balikkannya. Tatkala ia melihat aku, lalu bertanya: ‘Siapakah engkau ?”. Aku menjawab: “Muhtasib”. Al-Mu’tadlid bertanya lagi: “Siapa yang mengangkatkan engkau untuk melaksanakan al-hisbah ?”. Aku menjawab: “Yang memerintahkan engkau menjadi imam (khalifah), itulah yang memerintahkan aku untuk al-hisbah, wahai Amirul-mu’minin”. An-Nuri meneruskan ceritanya: “Al-Mu’tadlid menekurkan kepalanya ke bumi sesaat lamanya. Kemudian ia mengangkatkan kepalanya kepadaku, seraya bertanya: ‘Apakah yang membawa engkau kepada perbuatan yang engkau lakukan ?”. Lalu aku menjawab: “Karena kasih-sayangku kepadamu. Karena aku telah bukakan tanganku, kepada menginyahkan perbuatan makruh daripadamu. Lalu aku teledor daripadanya”. An-Nuri meneruskan ceritanya: “Maka Al-Mu’tadlid menekurkan kepalanya berpikir tentang perkataanku. Kemudian ia mengangkatkan kepalanya kepadaku, seraya berkata: “Bagaimana maka engkau lepaskan satu kaleng ini dari jumlah kaleng-kaleng itu ?”. Aku menjawab: “Tentang terlepasnya satu kaleng itu ada sebab, yang akan aku terangkan kepada Amirul-mu’minin, jikalau diizinkan”. Al-Mu’tadlid lalu menjawab: “Mari, ceritakan kepadaku !”. Lalu aku berkata: “Wahai Amirul-mu’minin ! sesungguhnya aku telah kuhadapkan kepada kaleng-kaleng itu, dengan menuntut kebenaran Allah Yang Maha Suci bagiku dengan yang demikian. Dan telah penuhlah hatiku oleh kesaksian keagungan bagi kebenaran dan ketakutan tuntutan. Maka lenyaplah kehebatan makhluq daripadaku. Lalu aku datang kepada kaleng-kaleng itu dengan keadaan ini. Sehingga sampailah aku kepada kaleng yang satu ini. Lalu dariku merasa sombong, karena aku telah tampil kepada orang seperti engkau. Lalu aku mencegah. Dan jikalau aku tampil kepada kaleng yang satu itu, dengan keadaan yang pertama, walaupun dunia ini penuh dengan kaleng-kaleng itu, niscaya akan aku pecahkan. Dan aku tiada mengambil pusing”. Maka Al-Mu’tadlid berkata: “Pergilah ! kami lepaskan tangan engkau. Ubahlah apa yang engkau sukai mengobahkannya dari perbuatan munkar !”. Abul-Husain meneruskan ceritanya: “Lalu aku berkata: ‘Wahai Amirul-mu’minin ! marahlah kepadaku akan perobahan. Karena aku sesungguhnya merobahkan dari Allah Ta’ala. Dan aku sekarang merobahnya dari syaratku”. Lalu Al-Mu’tadlid bertanya: “Apa hajatmu ?”. Aku menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! engkau perintahkan pengeluaranku dengan selamat”. Lalu Al-Mu’tadlid memerintahkan yang demikian. Dan keluarlah Abul-Husain An-Nuri ke Basrah. Maka adalah kebanyakan harinya ia di situ. Karena takut ia ditanyakan oleh seseorang akan keperluan yang ditanyakan oleh Al-Mu’tadlid. An-Nuri bertempat tinggal di Basrah sampai Al-Mu’tadlid wafat. Kemudian ia kembali ke Baghdad. Inilah perjalanan hidup (sirah) ulama-ulama dan adapt-kebiasaan mereka, tentang amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Dan sedikitnya mereka memperdulikan kekuasaan sultan-sultan. Akan tetapi mereka bertawakkal di atas kurnia Allah Ta’ala, bahwa Ia menjaga mereka. Dan mereka rela dengan hukum Allah Ta’ala, bahwa Allah Ta’ala menganugerahkan pahala syahid kepada mereka. Tatkala mereka telah mengikhlaskan niat karena Allah, niscaya membekaslah perkataan mereka pada hati yang kesat. Lalu dilunakkannya dan dihilangkannya kekesatan itu. Adapun sekarang, maka sifat kerakusan telah mengikat lidah ulama-ulama. Lalu mereka itu berdiam diri. Dan jikalau mereka itu berkata-kata, niscaya tidak menolong perkataan mereka akan keadaan mereka. Maka mereka tidak memperoleh kemenangan. Jikalau mereka itu benar dan bermaksud kebenaran ilmu, niscaya mereka akan memperoleh kemenangan. Maka rusaknya rakyat, disebabkan rusaknya raja-raja (penguasa-penguasa). Dan rusaknya raja-raja, disebabkan rusaknya ulama-ulama. Dan rusaknya ulama-ulama, disebabkan pengaruh kecintaan kepada harta dan kemegahan. Barangsiapa telah dikuasai oleh kecintaan dunia, niscaya ia tidak sanggup melaksanakan al-hisbah atas orang-orang rendah. Maka betapa lagi atas raja-raja dan orang-orang besar. Kepada Allah kita meminta pertolongan di atas semua hal. Telah tammat “Kitab Amar-Ma’ruf” dan “Nahi-Munkar” dengan pujian kepada Allah, pertolongan dan kebagusan taufiqNya.