KITAB
TENTANG SABAR DAN SYUKUR
Yaitu: kitab ke-2 dari rubu’ Yang Melepaskan dari
Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah, yang empunya pujian dan sanjungan, yang
tersendiri dengan baju kebesaran, yang Maha Esa dengan sifat-sifat kemuliaan
dan ketinggian, yang menguatkan kejernihan wali-wali dengan kekuatan sabar atas
suka dan duka dan bersyukur atas bencana dan nikmat. Salawat kepada Muhammad
saw penghulu nabi-nabi dan kepada para sahabatnya penghulu orang-orang yang
bersih jiwa dan kepada kaum keluarganya, pemimpin orang-orang yang berbuat
kebajikan, lagi bertaqwa. Salawat yang terjaga dengan kekekalan dari
kehancuran, terpeilhara dengan terus menerus dari terputus dan berkesudahan.
Adapun kemudian, maka iman itu terdiri dari dua bahagian. Sebahagian: sabar dan
sebahagian: syukur. Sebagaimana yang dikemukakan oleh atsar-atsar dan
disaksikan oleh hadits-hadits. Keduanya (sabar dan syukur) juga dua sifat dari
sifat-sifat Allah Ta’ala dan dua nama dari nama-namaNya yang maha baik
(al-asmaa-ul-husnaa). Karena IA menamakan DIRINYA dengan nama: Maha Besar
(Shabuur) dan Maha berterima kasih (Syakuur). Maka kebodohan dengan
hakikat/makna sabar dan syukur, adalah kebodohan dengan kedua bahagian iman.
Kemudian, itu adalah kelalaian dari dua sifat daripada sifat-sifat Tuhan Yang
Maha Pengasih. Dan tak ada jalan untuk sampai kepada mendekati Allah Ta’ala,
selain dengan: iman. Bagaimanakah dapat tergambar menempuh jalan iman, tanpa
mengenal apa, yang dengan itu iman dan siapa yang dengan dia itu iman. Berhenti
daripada mengetahui sabar dan syukur, adalah berhenti daripada mengetahui
siapa, yang dengan dia itu iman. Dan daripada mengetahui apa, yang dengan dia
itu iman. Maka alangkah perlunya masing-masing dua bahagian itu, kepada
peperangan dan penjelasan. Dan kami akan menjelaskan masing-masing dua bahagian
tersebut pada satu kitab. Karena keterikatan yang satu dengan lainnya, insya
Allah Ta’ala.
BAHAGIAN
PERTAMA: TENTANG SABAR.
Dan padanya penjelasan keutamaan
sabar, penjelasan batas sabar dan hakikat/maknanya. Penjelasan adanya sabar itu
setengah iman. Penjelasan berbeda-beda namanya, disebabkan berbeda-beda
hubungannya. Penjelasan bahagian-bahagiannya, menurut perbedaan kuat dan lemah.
Penjelasan tempat sangkaan perlu kepada sabar. Dan penjelasan obat sabar dan
apa yang dapat diminta pertolongan kepada sabar. Maka itu semua adalah 7 pasal,
yang melengkapi kepada semua maksud-maksud sabar insya Allah Ta’ala.
PENJELASAN: keutamaan sabar.
Allah Ta’ala sesungguhnya telah menyifatkan
orang-orang yang sabar, dengan beberapa sifat. Allah Ta’ala menyebutkan sabar
dalam Alquran, pada lebih 70 tempat. IA menambahkan lebih banyak derajat dan
kebajikan kepada sabar. IA menjadikan derajat dan kebajikan itu sebagai hasil
(buah) daripada sabar. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan Kami jadikan
di antara mereka itu beberapa pemimpin yang akan memberikan pimpinan dengan
perintah Kami, yaitu ketika mereka berhati teguh (sabar)”. S As Sajadah ayat
24. Allah Ta’ala berfirman: “Dan telah sempurnalah perkataan yang baik dari
Tuhan engkau untuk kaum Bani Israil (anak-anak Israil), disebabkan keteguhan
hati mereka (disebabkan kesabaran mereka)”. S Al A’raf ayat 137. Allah TA’ala
berfirman: “Dan akan Kami berikan kepada orang-orang yang sabar itu pembalasan,
menurut yang telah mereka kerjakan dengan sebaik-baiknya”. S An Nahl ayat 96.
Allah Ta’ala berfirman: “Kepada orang-orang itu diberikan pembalasan (pokok)
dua kali lipat, disebabkan kesabaran mereka”. S Al Qashash ayat 54. Allah
Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu, akan disempurnakan
pahalanya dengan tiada terhitung”. S Az Zumar ayat 10. Maka tidak ada dari
pendekatan diri kepada Allah (ibadah), melainkan pahalanya itu ditentukan
dengan kadar dan dapat dihitung, selain sabar. Dan karena adanya puasa itu
sebagian daripada sabar dan puasa itu separuh sabar, maka Allah Ta’ala
berfirman: “Puasa itu bagiKU dan AKU akan membalasnya”. Allah Ta’ala
mengkaitkan puasa itu kepada diriNya di antara ibadah-ibadah lainnya. Dan
menjanjikan bagi orang-orang yang bersabar, bahwa IA bersama mereka. Allah
Ta’ala berfirman: “Hendaklah kamu bersabar, sesungguhnya Allah itu bersama
orang-orang yang sabar”. A 8 Al Anfal ayat 46. Allah Ta’ala menggantungkan pertolongan
kepada sabar. Allah Ta’ala berfirman: “Ya ! kalau kamu sabar dan memelihara
diri, sedang mereka datang kepadamu (menyerang) dengan cepatnya, Tuhan akan
membantu kamu dengan 5000 malaikat yang akan membinasakan”. S 3 Ali Imran ayat
125. Allah Ta’ala mengumpulkan bagi orang-orang yang sabar, beberapa hal yang
tidak dikumpulkannya bagi orang-orang lain. Allah Ta’ala berfirman: “Merekalah
orang-orang yang mendapat ampunan, kehormatan dan rahmat dari Tuhan dan
merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. S 2 Al Baqarah ayat 157.
Petunjuk, rahmat dan ampunan, dikumpulkan bagi orang-orang yang sabar. Dan
penelitian semua ayat-ayat tentang kedudukan sabar itu akan panjang, bila
diteruskan.
Adapun hadits-hadits yang
menyangkut dengan sabar, maka diantara lain, Nabi saw bersabda: “Sabar itu
separoh iman”, sebagaimana akan diterangkan caranya sabar itu separuh iman.
Nabi saw bersabda: “Dari yang sekurang-kurangnya diberikan kepada kamu, ialah:
keyakinan dan kesungguhan sabar. Siapa yang diberikan keberuntungan dari
keyakinan dan kesungguhan sabar itu, niscaya ia tidak perduli dengan yang luput
daripadanya, dari shalat malam dan puasa siang. Dan engkau bersabar di atas apa
yang menimpa atas diri engkau, adalah lebih aku sukai, daripada disempurnakan
oleh setiap orang daripada kamu, kepadaku, dengan seperti amalan semua kamu.
Akan tetapi aku takut, bahwa dibukakan kepadamu dunia sesudahku. Lalu sebagian
kamu menantang sebagian yang lain. Dan akan ditantang kamu oleh penduduk langit
(para malaikat) ketika itu. Maka siapa yang sabar dan memperhitungkan diri,
niscaya memperoleh kesempurnaan pahalanya”. Kemudian Nabi saw membaca firman
Allah Ta’ala: “Apa yang di sisi kamu itu akan hilang, dan apa yang di sisi
Allah itu yang kekal. Dan akan Kami berikan kepada orang-orang yang sabar itu
pembalasan, menurut yang telah mereka kerjakan dengan sebaik-baiknya”.
Diriwayatkan Jabir, bahwa Nabi
saw ditanyakan tentang iman, maka beliau menjawab: “Sabar dan suka memaafkan”.
Nabi saw bersabda pula: “Sabar itu adalah suatu gudang dari gudang-gudang
sorga”. Pada suatu kali, Nabi saw ditannyakan: “Apakah iman itu ?”. Lalu beliau
menjawab: “Sabar”. Ini serupa dengan sabda Nabi saw: “Hajji itu’ Arafah”.
Artinya: yang terbesar dari rukun-rukun hajji itu, ialah: ‘Arafah (wuquf di
‘Arafah). Nabi saw bersabda pula: “Amal yang paling utama, ialah: apa yang
dipaksakan diri kepadanya”. Dikatakan, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu
kepada nabi Daud as: “Berakhlaklah dengan akhlakKU ! sesungguhnya sebahagian
dari akhlakKU, ialah, bahwa AKU Maha sabar”.
Pada hadits yang diriwayatkan
‘Atha’ dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah saw masuk ke tempat orang-orang
anshar, lalu beliau bertanya: “Apakah kamu ini semua orang beriman ?”. Lalu
semua mereka itu diam. Maka menjawab ‘Umar ra: “Ya, wahai Rasulullah !”. Nabi
saw lalu bertanya: “Apakah tandanya keimanan kamu itu ?”. Mereka menjawab:
“Kami bersyukur atas kelapangan. Kami bersabar atas percobaan. Dan kami rela
dengan ketetapan Tuhan (qodo Allah Ta’ala)”. Lalu Nabi saw menjawab: “Demi
Tuhan yang empunya Ka’bah ! benar kamu itu orang beriman !”. Nabi saw bersabda:
“Pada kesabarann atas yang tidak engkau sukai itu, banyak kebajikan”.
Isa Al-Masih as berkata: “Engkau
sesungguhnya tiada akan memperoleh apa yang engkau sukai, selain dengan
kesabaranmu atas apa yang tiada engkau sukai”.
Rasulullah saw bersabda:
“Jikalau sabar itu seorang laki-laki, niscaya dia Itu orang yang pemurah. Dan
Allah Ta’ala menyukai orang-orang yang sabar”. Hadits-hadits tentang sabar itu
tidak terhingga jumlahnya. Adapun atsar, maka diantaranya, ialah: terdapat pada
surat khalifah ‘Umar bin Al-Khattab ra kepada Abu Musa Al-Asy’ari ra, yang
bunyinya diantara lain: “Haruslah engkau bersabar ! dan ketahuilah, bahwa sabar
itu dua. Yang satu lebih utama dari yang lain: sabar pada waktu musibah itu
baik. Dan yang lebih baik daripadanya lagi, ialah: sabar (menahan diri)
daripada yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Dan ketahuilah, bahwa sabar itu
yang memiliki iman. Yang demikian itu, adalah: bahwa taqwa itu kebajikan yang
utama. Dan taqwa itu dengan sabar”.
Ali ra berkata: “Iman itu
dibangun di atas 4 tiang: yakin, sabar, jihad dan adil. Ali ra berkata pula:
“Sabar itu dari iman, adalah seperti kedudukan kepala dari tubuh. Tidak ada
tubuh bagi orang yang tiada mempunyai kepala. Dan tidak ada iman, bagi orang
yang tiada mempunyai kesabaran”.
‘Umar ra berkata: “Amat baiklah
dua pikulan yang sebanding dan amat baiklah tambahan bagi orang-orang yang
sabar. Dimaksudkan dengan dua pikulan yang sebanding itu ialah: ampunan dan
rahmat. Dan dimaksudkan dengan tambahan itu, ialah petunjuk. Dan tambahan itu,
adalah apa yang dibawa di atas dua pikulan yang sebanding tadi atas unta”.
Diisyaratkan oleh Umar ra dengan yang demikian itu kepada firman Allah Ta’ala:
“Merekalah orang-orang yang mendapat ampunan dan rahmat dari Tuhan dan
merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. S 2 Al Baqarah ayat 157.
Adalah Habib bin Abi Habib
Al-Bashari , apabila membaca ayat di bawah ini: “Sesungguhnya dia (Ayuub) Kami
dapati, seorang yang sabar. Seorang hamba yang amat baik. Sesungguhnya dia
tetap kembali (kepada Tuhan)”. S 38 Shaad ayat 44. Lalu beliau menangis dan
berkata: “Alangkah menakjubkan ! IA yang memberi dan IA yang memuji”. Artinya:
IA yang menganugerahkan kesabaran dan IA yang memujikannya.
Abud-Darda ra mengatakan:
“Ketinggian iman itu, ialah: sabar karena hukum Allah dan rela dengan takdir
Allah Ta’ala”. Inilah penjelasan keutamaan sabar, dari segi yang dinukilkan
(dari ayat, hadits dan atsar). Adapun dari segi pandangan dengan mata ibarat,
maka anda tidak dapat memahaminya, selain sesudah memahami hakikat/makna sabar
dan artinya. Karena mengetahui keutamaan dan tingkat itu, ialah: mengetahui
sifat. Maka tidak akan berhasil, sebelum mengetahui yang bersifat dengan sifat
tertentu. Maka marilah kami sebutkan hakikat/maknanya dan makna (maksud)nya.
Kiranya kita memperoleh taufiq daripada Allah Ta’ala !.
PENJELASAN: hakikat/makna sabar dan maknanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa sabar itu suatu tingkat
dari tingkat-tingkat agama. Dan suatu kedudukan dari kedudukan orang-orang yang
berjalan menuju kepada Allah (orang-orang salikin). Semua maqam-maqam agama
itu, hanya dapat tersusun baik dari 3 hal: ilmu mengenal Allah Ta’ala, hal-ihwal dan amal
perbuatan. Maka ilmu mengenal Allah
Ta’ala itu adalah pokok. Dialah yang mewariskan hal-ihwal. Dan hal-ihwal itu yang
membuahkan amal perbuatan. Ilmu mengenal Allah Ta’ala itu adalah seperti pohon
kayu. Hal-ihwal itu adalah seperti ranting. Dan amal perbuatan itu adalah
seperti buah. Dan ini terdapat pada semua kedudukan (tempat) orang-orang yang
berjalan kepada Allah Ta’ala. Dan nama iman, sekali khusus dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala. Sekali disebutkan
secara mutlak kepada semua, sebagaimana telah kami sebutkan pada perbedaan nama
iman dan islam pada “Kitab Kaedah-kaedah ‘Aqaid” (ilmu mengenai pokoknya agama).
Seperti demikian pula sabar. Tiada akan sempurna sabar itu, selain dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala yang mendahuluinya
dan dengan hal-ihwal yang tegak berdiri. Maka sabar pada hakikat/maknanya,
adalah ibarat dari ilmu mengenal Allah
Ta’ala itu. Dan amal perbuatan, adalah seperti buah yang keluar dari ilmu mengenal Allah Ta’ala. Dan ini tidak
dapat diketahui, selain dengan mengetahui cara tertibnya, antara malaikat,
insan dan hewan. Maka sabar itu sesungguhnya, adalah ciri khas insan. Dan tidak
tergambar adanya sabar itu pada hewan dan malaikat.
Adapun pada hewan, maka karena
kekurangannya. Dan pada malaikat, maka karena kesempurnaannya. Penjelasannya,
ialah: bahwa hewan-hewan itu dikuasai oleh nafsu syahwat. Dan dia itu dijadikan
untuk nafsu syahwat tersebut. Maka tidak ada pembangkit bagi hewan itu kepada
gerak dan diam, selain nafsu syahwat. Dan tidak ada pada hewan itu suatu
kekuatan, yang berbentur dengan nafsu syahwat dan yang menolaknya dari yang
dikehendaki oleh nafsu syahwat itu. Sehingga, dinamakan ketetapan kekuatan itu
pada menghadapi nafsu syahwat, dengan: sabar.
Adapun para malaikat as, maka
mereka itu dijuruskan kepada merindui hadlarat ketuhanan. Dan merasa cemerlang
dengan tingkat kedekatan kepada hadlarat ketuhanan itu. Dan mereka tidak
dikuasai oleh nafsu syahwat yang membelokkan dan yang mencegah dari hadlarat
ketuhanan. Sehingga memerlukan kepada perbenturan sesuatu yang memalingkannya
dari hadlarat Yang Maha Agung, dengan tentara lain, yang akan mengalahkan yang
membelokkan itu.
Adapun insan, maka sesunngguhnya
ia diciptakan pada permulaan masa kecilnya, dalam keadaan kekurangan, seperti
hewan. Tidak dijadikan padanya, selain keinginan makan, yang diperlukannya
kepadanya. Kemudian, lahirlah keinginan bermain dan berhias pada insan itu.
Kemudian, nafsu keinginan kawin, di atas tartib yang demikian. Dan tak ada
sekali-kali pada insan itu kekuatan sabar. Karena sabar itu, adalah ibarat dari
ketetapan tentara pada menghadapi tentara yang lain, yang terjadilah peperangan
di antara keduanya, untuk melawani kehendak dan tuntutan keduanya. Dan pada
anak kecil itu tak ada, selain tentara hawa nafsu, seperti yang pada hewan.
Akan tetapi, Allah Ta’ala dengan kurniaNya dan keluasan kemurahanNya,
memuliakan anak Adam dan meninggikan derajat mereka dari derajat hewan-hewan.
Maka Allah Ta’ala mewakilkan kepada manusia itu, ketika sempurna dirinya dengan
mendekati kedewasaan, dua malaikat: yang satu memberinya petunjuk dan yang satu
lagi: menguatkannya. Maka berbedalah manusia itu dengan pertolongan dua
malaikat tadi, dari hewan-hewan. Dan insan itu khusus ditentukan dengan dua
sifat: Pertama: mengenal Allah Ta’ala dan mengenal rasulNya. Kedua: mengetahui
kepentingan-kepentingan yang menyangkut dengan akibat. Semua yang demikian itu,
berhasil dari malaikat, yang diserahkan kepadanya, petunjuk dan pengenalan.
Maka hewan, tiadalah mempunyai ilmu
mengenal Allah Ta’ala. Dan tiadalah petunjuk kepada kepentingan akibat-akibat.
Akan tetapi, kepada yang dikehendaki nafsu keinginannya seketika saja. Maka
karena itulah, hewan itu tidak mencari, selain yang enak.
Adapun obat yang bermanfaat,
serta adanya obat itu mendatangkan melarat seketika, maka tidak dicarinya dan
tidak dikenalnya. Maka jadilah insan itu dengan sinar petunjuk, mengetahui
bahwa mengikuti nafsu syahwat itu mempunyai hal-hal yang ghaib (yang belum
kelihatan sekarang), yang tidak disukai pada akibatnya. Akan tetapi, petunjuk
ini tidaklah memadai, selama tidak ada baginya kemampuan untuk meninggalkan,
yang mendatangkan melarat. Berapa banyak yang mendatangkan melarat, yang
diketahui oleh manusia, seperti penyakit yang bertempat pada dirinya-umpamanya.
Akan tetapi, tiada kemampuan baginya untuk menolaknya. Lalu ia memerlukan
kepada kemampuan dan kekuatan, yang dapat menolakkannya kepada menyembelih
nafsu syahwat itu. Lalu ia melawan nafsu syahwat tersebut dengan kekuatan itu.
Sehingga diputuskannya permusuhan nafsu syahwat tadi dari dirinya. Maka Allah
Ta’ala mewakilkan seorang malaikat lain padanya, yang membetulkannya,
meneguhkannya dan menguatkannya dengan tentara yang tiada engkau dapat
melihatnya. IA memerintahkan tentara ini, untuk memerangi tentara nafsu
syahwat. Maka sekali, tentara ini yang lemah dan sekali ia yang kuat. Yang
demikian itu menurut pertolongan Allah Ta’ala akan hambaNya dengan penguatan.
Sebagaimana cahaya petunjuk juga berbeda pada makhluk, dengan perbedaan yang
tiada terhingga. Maka hendaklah kami namakan sifat tersebut, yang membedakan
manusia dari hewan pada pencegahan nafsu syahwat dan pemaksaannya, dengan:
penggerak keagamaan. Dan hendaklah kami namakan penuntutan nafsu syahwat dengan
semua yang dikehendaki nafsu syahwat itu, dengan: penggerak hawa nafsu.
Hendaklah dipahami, bahwa peperangan itu, terjadi antara penggerak agama dan
penggerak hawa nafsu. Dan peperangan antara yang dua tadi, berlaku terus-menerus.
Dan medan peperangan ini, ialah: hati hamba. Sumber bantuan kepada penggerak
agama itu datangnya dari para malaikat, yang menolong barisan (tentara) Allah
Ta’ala. Dan sumber bantuan kepada penggerak nafsu syahwat itu, datangnya dari
setan-setan yang membantu musuh-musuh Allah Ta’ala.
Maka sabar itu adalah ibarat
dari tetapnya penggerak agama menghadapi penggerak nafsu syahwat. Kalau
penggerak agama itu tetap, sehingga dapat memaksakan penggerak nafsu syahwat
dan terus-menerus menantangnya, maka penggerak agama itu telah menolong tentara
Allah. Dan berhubungan dengan orang-orang yang sabar. Dan kalau ia tinggalkan
dan lemah, sehingga ia dikalahkan oleh nafsu syahwat dan ia tidak sabar pada
menolaknya, niscaya ia berhubungan dengan mengikuti setan-setan. Jadi,
meninggalkan perbuatan-perbuatan yang penuh dengan nafsu syahwat itu, adalah
amal perbuatan yang dihasilkan oleh suatu hal-keadaan, yang dinamakan: sabar.
Yaitu: tetapnya penggerak agama, yang berhadapan dengan penggerak nafsu
syahwat. Tetapnya penggerak agama itu adalah suatu hal, yang dihasilkan oleh ilmu mengenal Allah Ta’ala, dengan memusuhi
nafsu syahwat dan melawankannya. Karena sebab-sebab kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
Apabila telah kuat keyakinannya,
yakni: ilmu mengenal Allah Ta’ala, yang
dinamakan: iman, yaitu: keyakinan, adanya nafsu syahwat itu musuh yang memotong
jalan kepada Allah Ta’ala, niscaya kuatlah tetapnya penggerak agama. Dan
apabila telah kuat tetapnya penggerak agama itu, niscaya sempurnalah
perbuatan-perbuatan, yang menyalahi dengan yang dikehendaki oleh nafsu syahwat.
Maka tiada sempurna meninggalkan nafsu syahwat, selain dengan kuatnya penggerak
agama yang berlawanan dengan penggerak nafsu syahwat. Kuatnya ilmu mengenal Allah Ta’ala dan iman itu akan
mengkejikan yang tak kelihatan (yang ghaib) dari nafsu syahwat dan buruk
akibatnya. Dua malaikat tersebut adalah yang menanggung dua tentara tadi dengan
keizinan Allah Ta’ala. Dan dijadikanNya kedua malaikat itu untuk yang demikian.
Kedua malaikat tersebut, adalah dari malaikat-malaikat yang menulis amal
perbuatan manusia. Keduanya, adalah malaikat yang ditugaskan kepada tiap-tiap
orang dari anak Adam. Apabila anda telah mengetahui, bahwa pangkat malaikat
penunjuk itu lebih tinggi dari pangkat malaikat yang menguatkan, niscaya
tidaklah tersembunyi lagi kepada anda, bahwa samping kanan, adalah yang
termulia bagi dua samping dari dua pihak bantal, yang seyogyanya bahwa
diserahkan kepadanya.
Jadi, dialah yang empunya kanan
(shahibul-yamin) dan yang lain itu, yang empunya kiri (shahibusy-syimal). Hamba
itu mempunyai dua perihal: pada kelalaian dan berpikir, pada melepaskan dan bersungguh‑sungguh.
Dengan kelalaian, hamba itu berpaling dari yang empunya kanan dan berbuat jahat
kepadanya. Lalu berpalingnya itu, dituliskan sebagai: kejahatan. Dengan
berpikir, hamba itu menghadap kepada yang empunya kanan, untuk mengambil faedah
petunjuk daripadanya. Maka dengan demikian, hamba itu berbuat baik kepada yang
empunya kanan. Maka penghadapannya kepada yang empunya kanan tersebut,
dituliskan baginya, sebagai: kebaikan. Demikian juga dengan melepaskan, maka
dia itu berpaling dari shahibul-yasar (yang empunya kiri), meninggalkan meminta
bantuan daripadanya. Maka dengan demikian, ia berbuat jahat kepadanya. Lalu
ditetapkan hal tersebut, sebagai kejahatan atasnya. Dan dengan bersungguh‑sungguh, ia meminta bantuan dari
tentaranya. Lalu ditetapkan hal tersebut, sebagai kebaikan baginya.
Sesungguhnya, ditetapkan
kebajikan-kebajikan dan kejahatan-kejahatan ini, dengan penetapan dua malaikat
tersebut. Maka karena itulah, keduanya dinamakan: malaikat-malaikat mulia yang
menuliskan amal manusia (kiraman katibin). Adapun al-kiram (yang mulia atau
yang pemurah), maka karena dimanfaatkan oleh hamba dengan kemurahan (kemuliaan)
keduanya. Dan karena para malaikat itu semua, adalah yang mulia, yang berbuat
kebajikan.
Adapun al-katibin
(penulis-penulis), maka karena keduanya itu yang menetapkan (yang menuliskan)
kebajikan-kebajikan dan kejahatan-kejahatan. Dan keduanya sesungguhnya menuliskan
pada lembaran-lembaran yang terlipat dalam rahasia hati dan terlipat dari
rahasia hati. Sehingga tidak terlihat kepadanya di dunia ini. Maka kedua
malaikat tersebut, suratannya, tulisannya, lembaran-lembarannya dan sejumlah
yang menyangkut dengan kedua malaikat itu, adalah dari jumlah ‘alam ghaib dan
‘alam malakut. Tidak dari ‘alam syahadah (alam yang dapat disaksiakan dengan
pancaindra). Setiap sesuatu dari ‘alam malakut itu, tidak dapat dilihat oleh
mata di alam ini.
Kemudian, lembaran-lembaran amal
yang terlipat itu disiarkan dua kali. Sekali pada kiamat kecil dan sekali pada
kiamat besar. yang dimaksud dengan kiamat kecil, ialah: waktu mati. Karena Nabi
saw bersabda: “Siapa yang mati, maka telah berdiri kiamatnya”. Pada kiamat
kecil ini, adalah hamba itu sendirian. Dan pada kiamat ini, dikatakaan: “Dan
sesungguhnya kamu datang kepada Kami seorang saja, sebagaimana Kami menjadikan
kamu pada pertama kali”. S 6 Al An’aam ayat 94. Pada kiamat kecil dikatakan
pula: “Cukuplah pada hari ini, engkau membuat perhitungna atas diri sendiri”. S
17 Al Isra ayat 14. Adapun pada kiamat besar yang mengumpulkan semua makhluk,
maka hamba itu tidak sendirian. Akan tetapi, kadang-kadang akan dilakukan
hitungan amal (hisab amal), di hadapan makhluk banyak. Pada kiamat besar itu,
orang-orang yang bertaqwa, dibawa ke surga dan orang-orang yang berdosa, dibawa
ke neraka, secara beramai-ramai. Tidak sendiri-sendirian. Huru hara pertama,
ialah: huru hara kiamat kecil. Dan bagi semua huru hara kiamat besar, ada
bandingannya pada kiamat kecil. Seperti goncangnya bumi-umpamanya. Sesungguhnya
bumi engkau yang khusus bagi engkau itu, bergoncang pada kematian. Maka engkau
sesungguhnya mengetahui, bahwa kegoncangan itu apabila bergoncang pada suatu
negeri, niscaya benarlah untuk dikatakan: sesungguhnya bumi mereka sudah
bergoncang. Walaupun negeri-negeri yang mengelilingi negeri tersebut tadi tidak
bergoncang. Bahkan, jikalau tempat tinggal seorang manusia sendirian
bergoncang, maka telah berhasil kegoncangan itu pada pihaknya. Karena dia
sesungguhnya, memperoleh melarat ketika bergoncangnya semua bumi, dengan
kegoncangan tempatnya. Tidak dengan kegoncangan tempat tinggal orang lain. Maka
bahagiannya dari kegoncangan itu, telah sempurna, tanpa ada kekurangan.
Ketahuilah kiranya, bahwa anda
itu makhluk yang paling diridhai dari tanah. Dan keberuntungan engkau orang
yang khusus dari tanah, ialah: badan engkau saja. Adapun badan orang lain, maka
bukanlah keberuntungan engkau. Dan bumi tempat engkau duduk itu, dengan
dikaitkan kepada badan engkau, adalah karung dan tempat. Dan sesungguhnya
engkau takut dari kegoncangan tempat itu, bahwa badan engkau bergoncang dengan
sebab kegoncangan tersebut. Kalau tidak demikian, maka udara itu selalu
bergoncang dan engkau tidak takut kepadanya. Karena tidak bergoncang badan
engkau dengan sebab demikian. Maka keberuntungan engkau dari kegoncangan bumi
seluruhnya, ialah: kegoncangan badan engkau saja. Maka itulah bumi engkau dan
tanah engkau yang khusus dengan engkau. Tulang-belulang engkau, ialah: bukit-bukit
bumi engkau. Kepala engkau ialah langit bumi engkau. Hati engkau ialah matahari
bumi engkau. Pendengaran engkau, penglihatan engkau dll yang khusus bagi
engkau, adalah bintang-bintang langit engkau. Bercucurannya keringat dari badan
engkau, adalah laut bumi engkau. Rambut engkau adalah tumbuh-tumbuhan bumi
engkau. Anggota-anggota badan engkau adalah pohon-pohonan bumi engkau. Dan
begitulah kepada semua bahagian tubuh engkau. Apabila sendi-sendi badan engkau
roboh dengan kematian, maka sesungguhnya telah bergoncanglah bumi sebagai
kegoncangannya. Maka apabila bercerailah tulang-belulang dari daging, maka
sesungguhnya bumi dan bukit-bukit itu diangkat, lalu dihancurkan sekali hancur.
Apabila tulang-belulang itu telah hancur, maka gunung-gunung itu, telah dihancurkan.
Apabila hati engkau gelap gulita ketika mati, maka sesungguhnya matahari itu
telah digulung. Apabila pendengaran engkau, penglihatan engkau dan pancaindra
engkau lainnya tidak berguna lagi, maka sesungguhnya bintang-bintang itu jatuh
berhamburan. Apabila otak engkau pecah, maka sesungguhnya langit itu pecah.
Apabila dari huru haranya mati, lalu terpancarlah keringat kening engkau, maka
sesungguhnya lautan itu telah terpancar-pancar airnya. Apabila salah satu betis
engkau berpaling dengan yang lain dan keduanya itu adalah lipatan badan engkau,
maka sesungguhnya unta-unta betina itu telah ditinggalkan. Apabila nyawa itu
telah berpisah dengan tubuh, maka bumi itu dibawa, lalu dipanjangkan. Sehingga
ia mencampakkan isinya dan melepaskannya. Aku tiada akan memanjangkan semua
perbandingan hal-ihwal dan huru hara itu. Akan tetapi, aku mengatakan: bahwa
dengan semata-mata mati itu, tegak berdirilah pada engkau kiamat kecil ini. Dan
tiada luput bagi engkau, dari kiamat besar itu, suatupun dari apa yang khusus
bagi engkau. Bahkan, apa yang khusus bagi orang lain dari engkau. Maka
sesungguhnya masih adanya bintang-bintang itu bagi orang lain, apakah yang
bermanfaat bagi engkau daripadanya ? dan telah berguguranlah pancaindra engkau,
yang dengan pancaindra tersebut, engkau dapat mengambil manfaat dengan
memandang kepada bintang-bintang itu. Dan orang buta, sama padanya malam dan
siang, gerhana matahari dan terangnya. Karena matahari itu telah gerhana
terhadap dirinya sekaligus. Dan itu adalah bahagiannya daripada matahari. Maka
terangnya matahari sesudah itu, adalah bahagian orang lain. Dan siapa yang
pecah kepalanya, maka sesungguhnya telah pecah langitnya. Karena langit itu,
adalah ibarat dari apa yang mengiringi pihak kepala. Maka siapa yang tiada
mempunyai kepala, niscaya tiada langit baginya. Maka dari manakah bermanfaat
baginya, oleh tetap adanya langit itu bagi orang lain ? maka inilah kiamat
kecil itu ! takut itu sesudah yang di bawah. Dan huru hara itu, sesudah yang
penghabisan. Yang demikian itu, ialah: apabila datang bencana yang terbesar,
terangkatlah yang khusus, binasalah langit dan bumi, hancurlah gunung-gunung
dan bertambahlah huru hara itu. Ketahuilah kiranya, bahwa kiamat kecil ini,
walaupun kami perpanjangkan menyifatkannya, maka sesungguhnya kami tidaklah
menyebutkannya 1/100 dari sifat-sifatnya. Dan kiamat kecil itu dibandingkan
kepada kiamat besar, adalah seperti kelahiran kecil, dibandingkan kepada
kelahiran besar. Sesungguhnya manusia itu mempunyai dua kelahiran: pertama:
keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada wanita, kepada tempat
simpanan rahim wanita. Manusia itu dalam rahim adalah pada tempat yang tetap
tenang, sampai kepada kadar waktu yang dimaklumi. Dan manusia itu dalam
perjalanannya kepada kesempurnaan, mempunyai tempat-tempat dan tahap-tahap,
dari setitik air mani (nuthfah), darah segumpal, daging segumpal dan lainnya.
Sehingga manusia itu keluar dari kesempitan rahim ibu kepada alam dunia yang
lapang. Maka bandingan umumnya kiamat besar dengan khususnya kiamat kecil, adalah
seperti bandingan luasnya alam lapang dengan luasnya lapang rahim ibu. Dan
bandingan luasnya alam yang didatangi hamba itu dengan mati, dibandingkan
kepada luasnya lapangan dunia, adalah seperti bandingan lapangnya dunia juga
kepada rahim ibu. Bahkan, lebih luas dan lebih besar. Maka kiaskanlah akhirat
itu dengan dunia ! maka tidaklah kejadian kamu dan kebangkitan kamu, selain
seperti suatu diri saja. Dan tidaklah kejadian kedua, melainkan atas kiasan
kejadian pertama. Bahkan bilangan kejadian itu, tidaklah terhingga pada dua
saja. Dan kepada yang demikian itu, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala:
“Dan Kami menjadikan kamu dalam (rupa) yang tiada kamu ketahui”. S Al Waqi’ah
ayat 61. Orang yang mengaku dengan kedua kiamat itu, adalah orang yang beriman
dengan ‘alam ghaib dan ‘alam syahadah (alam penyaksian). Dan yakin dengan alam
dunia yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata. Orang yang mengaku dengan kiamat
kecil dan tidak mengaku dengan kiamat besar, adalah orang yang memandang dengan
mata kero(satu mata) kepada salah satu dua alam. Yang demikian itu, adalah
bodoh, sesat dan mengikuti dajjal yang bermata kero(bermata satu). Alangkah
bersangatannya kelalaian engkau, hai orang yang patut dikasihani ! dan semua
kita adalah orang yang patut dikasihani. Dan di hadapan engkau itu huru hara
tersebut. Jikalau engkau tidak beriman dengan kiamat besar, disebabkan bodoh
dan sesat, maka apakah tidak mencukupi bagi engkau dalil kiamat kecil ? atau
tidakkah engkau mendengar sabda penghulu nabi-nabi as: “Mencukupilah dengan
mati itu menjadi pemberi pengajaran". Atau tidakkah engkau mendengar
susahnya Nabi saw ketika akan wafat, sehingga beliau saw berdoa: “Wahai Allah
Tuhanku ! mudahkanlah kepada Muhammad sakartul maut”. Atau tidakkah engkau malu
dari kelambatan engkau akan serangan maut, karena mengikuti orang-orang lalai
yang hina, yang tiada mereka tunggu, selain suatu pekikan, yang akan menyiksa
mereka, dan mereka berbantahan sesamanya ? mereka tiada berkesempatan
menyampaikan pesan dan tiada pula dapat kembali kepada keluarganya. Maka
datanglah sakit kepada mereka, yang memperingatkan kepada mati. Tetapi mereka
tidak memperoleh peringatan daripadanya. Dan datanglah kepada mereka itu tua,
sebagai utusan dari mati. Maka tiadakah mereka mengambil ibarat daripadanya ? alangkah
ruginya hamba-hamba yang datang rasul kepada mereka, lalu mereka
memperolok-olokkan rasul itu.
Apakah mereka menyangka, bahwa
mereka itu kekal dalam dunia ini ? atau tidakkah mereka melihat, berapa banyak
yang telah Kami binasakan sebelum mereka, dari berabad-abad lamanya, bahwa
mereka itu tidak kembali kepadanya ? ataukah mereka menyangka, bahwa
orang-orang mati itu telah berjalan jauh dari mereka, lalu mereka itu dianggap
tidak ada lagi ? tidaklah sekali-kali yang demikian ! masing-masing dengan tiada
kecualinya akan dihadapkan kepada Kami. Akan tetapi, apa yang datang kepada
mereka, salah satu dari ayat-ayat Tuhannya, lalu mereka itu berpaling
daripadanya. Dan yang demikian itu, karena Kami adakan tutup di hadapan dan di
belakang mereka. Lalu mereka Kami tutup. Sebab itu, mereka tiada juga mau
percaya.
Marilah sekarang kita kembali
kepada yang dimaksud ! sesungguhnya semua yang tersebut itu, adalah isyarat
yang mengisyaratkan kepada hal-hal yang lebih dari ilmu mu’amalah (perniagaan).
Maka kami terangkan, bahwa telah jelas, bahwa sabar itu adalah ibarat dari
tetapnya penggerak agama pada melawan penggerak hawa nafsu. Dan perlawanan ini,
adalah termasuk ciri khas anak-anak Adam, karena diwakilkan kepada mereka,
malaikat-malaikat yang mulia, yang menuliskan amal perbuatan mereka. Dua
malaikat yang menulis amal anak Adam itu, tidak menuliskan sesuatu dari
anak-anak kecil dan orang-orang gila. Karena, telah kami sebutkan dahulu, bahwa
kebaikan itu adalah pada menghadapkan diri untuk mengambil faedah daripada
keduanya. Dan kejahatan itu pada berpaling daripada keduanya. Bagi anak-anak
kecil dan orang-orang gila tiada jalan bagi mereka kepada mengambil faedah
tersebut. Maka tiadalah tergambar dari anak kecil dan orang gila itu, untuk
menghadap dan berpaling. Dan kedua malaikat penulis amal itu, tiada menuliskan,
selain menghadap dan berpaling dari orang-orang yang mampu kepada menghadap dan
berpaling itu.
Demi umurku ! sesungguhnya telah
menampak tanda-tanda permulaan kecemerlangan sinar petunjuk ketika tiba usia
at-tamyiz (usia telah dapat membedakan antara melarat dan manfaat). Tanda-tanda
permulaan kecemerlangan itu tumbuh dengan berangsur-angsur, sampai kepada tahun
datangnya dewasa (baligh). Sebagaimana menampak sinar pagi sampai kepada
terbitnya bundaran matahari. Akan tetapi itu adalah petunjuk yang singkat, yang
tidak menunjukkan kepada hal-hal yang mendatangkan melarat di akhirat. Akan
tetapi, kepada hal-hal yang mendatangkan melarat di dunia. Maka karena itulah,
anak itu dipukul karena meninggalkan shalat seketika dan ia tidak disiksakan
atas meninggalkan shalat itu di akhirat. Dan tidak dituliskan pada
lembaran-lembaran amal yang akan ditebarkan di akhirat. Akan tetapi, menjadi
tanggung jawab yang mengurus anak itu yang adil dan walinya yang baik, yang
penuh belas kasihan, kalau ia termasuk orang-orang yang baik. Dan adalah sikap
dari para malaikat yang mulia, yang menulis amal, yang selalu berbuat baik,
lagi pilihan, bahwa dituliskan terhadap anak kecil itu, kejahatan dan
kebaikannya, di atas lembaran hatinya. Lalu dituliskan kepadanya dengan
pemeliharaan. Kemudian, disiarkan kepadanya dengan memperkenalkan. Kemudian, ia
dihukum dengan pemukulan. Maka setiap wali anak kecil, yang ini sikapnya
terhadap anak kecil itu, maka ia telah mewarisi akhlak para malaikat. Dan ia
memakaikannya terhadap anak kecil itu. Maka dengan demikian, ia akan memperoleh
derajat kehampiran dengan Tuhan semesta alam, sebagaimana yang diperoleh para
malaikat. Maka wali tersebut adalah bersama nabi-nabi, orang-orang yang dekat
dengan Allah (al-muqarrabin) dan orang-orang yang membenarkan agama
(ash-shiddiqin). Kepada itulah, diisyaratkan dengan sabda Nabi saw: “Aku dan
yang menanggung anak yatim, adalah seperti dua ini dalam sorga”. Nabi saw
mengisyaratkan (menunjukkan) kepada dua anak jarinya saw yang mulia.
PENJELASAN: adanya sabar itu separuh iman.
Ketahuilah kiranya, bahwa iman itu pada suatu kali,
tertentu pada menyebutkannya secara mutlak, kepada pembenaran dengan
pokok-pokok agama. Pada suatu kali, tertentu dengan amal-amal shalih yang
datang dari pembenaran itu. Dan pada suatu kali dimutlakkan kepada keduanya
(pembenaran dan amal shalih) sekalian. ilmu mengenal Allah Ta’ala- ilmu mengenal
Allah Ta’ala itu mempunyai pintu-pintu. Amal-amal itu mempunyai pintu-pintu.
Dan untuk kelengkapan kata-kata iman kepada semuanya, maka iman itu adalah
lebih 70 pintu. Dan perbedaan kata-kata yang dipakai itu, telah kami sebutkan
pada Kitab Kaedah-kaedah ‘Aqaid (ilmu mengenai pokoknya agama) dari Rubu’ Ibadah
dahulu. Akan tetapi, sabar itu separuh iman dengan 2 pandangan dan atas
kehendak 2 pemakaian kata:
Pandangan pertama: bahwa iman itu dikatakan secara mutlak kepada semua pembenaran dan amalan.
Lalu iman itu mempunyai dua sendi (rukun): yang satu: yakin dan yang lain:
sabar. Yang dimaksudkan dengan yakin, ialah: ilmu mengenal Allah Ta’ala- ilmu mengenal
Allah Ta’ala yang diyakini, yang diperoleh dengan petunjuk Allah Ta’ala akan
hambaNya kepada pokok-pokok agama. Dan yang dimaksudkan dengan sabar, ialah:
amal (berbuat) menurut yang dikehendaki oleh yakin. Karena yakin itu
memperkenalkan kepadanya, bahwa maksiat itu mendatangkan melarat dan taat itu
mendatangkan manfaat. Dan tidak mungkin meninggalkan perbuatan maksiat dan
rajin kepada taat, selain dengan sabar. Yaitu: memakai penggerak agama pada
memaksakan penggerak hawa nafsu dan malas. Maka adalah sabar itu separuh iman dengan
pandangan ini. Dan karena itulah, Rasulullah saw mengumpulkan di antara
keduanya, dengan sabdanya: "Di antara yang paling sedikit yang diberikan
kepada kamu, ialah: yakin dan keras kesabaran”. Bacalah hadits ini sampai
akhirnya !
Pandangan kedua: bahwa
iman itu dikatakan secara mutlak kepada hal-ihwal yang membuahkan amal. Tidak
kepada ilmu mengenal Allah Ta’ala-ilmu
mengenal Allah Ta’ala. Dan ketika itu, terbagilah semua yang ditemui oleh hamba
dalam hidupnya, kepada: yang bermanfaat kepadanya di dunia dan di akhirat atau
yang mendatangkan melarat kepadanya di dunia dan di akhirat. Dan hamba itu,
dengan dikaitkan kepada yang mendatangkan melarat kepadanya, mempunyai: hal
(sifat) sabar. Dan dengan dikaitkan kepada yang mendatangkan manfaat kepadanya,
mempunyai: hal (sifat) syukur. Maka syukur itu dengan pandangan ini, adalah
salah satu dari dua bahagian iman, sebagaimana yakin adalah salah satu dari dua
bahagian itu, menurut pandangan pertama di atas. Dengan pandangan tersebut,
Ibnu Mas’ud ra berkata: “Iman itu dua paroh (nishfu), separoh sabar dan separoh
syukur”. Kadang-kadang kata Ibnu Mas’ud ini, dikatakan juga sabda Rasulullah
saw. Tatkala sabar itu adalah sabar dari penggerak hawa nafsu, dengan tetapnya
penggerak agama dan adalah penggerak hawa nafsu itu dua bahagian: penggerak
dari pihak nafsu syahwat dan penggerak dari pihak marah, maka nafsu syahwat
itu, untuk mencari kelezatan dan marah itu, untuk lari dari yang
menyakitkan. Dan puasa itu adalah sabar dari yang
dikehendaki nafsu syahwat saja. Yaitu: nafsu syahwat perut dan kemaluan, tidak
yang dikehendaki marah. Dengan pandangan inilah, Nabi saw bersabda: “Puasa itu
separoh sabar”. Karena kesempurnaan sabar, ialah dengan sabar dari semua yang
mengajak kepada nafsu syahwat dan semua yang mengajak kepada marah. Maka adalah
puasa itu dengan pandangan ini, ¼ iman. Maka begitulah seyogyanya, dipahami
penentuan-penentuan agama dengan batas-batas amal perbuatan dan hal-ihwal dan
bandingannya kepada iman. Dan yang pokok padanya, ialah: bahwa diketahui kebanyakan
pintu-pintu iman. Maka sesungguhnya nama iman itu disebutkan secara mutlak
kepada segi-segi yang bermacam-macam.
PENJELASAN: nama-nama yang membaru bagi sabar, dengan
dikaitkan kepada keadaan, yang sabar itu datang daripadanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa sabar itu dua bahagian:
pertama: bahagian badaniah, seperti: menanggung kesukaran dengan badan dan
tetap bertahan atas yang demikian. Dan ini, adakalanya dengan perbuatan,
seperti: mengerjakan perbuatan-perbuatan yang sukar. Adakalanya dari perbuatan-perbuatan
ibadah atau bukan ibadah. Adakalanya, dengan penanggungan, seperti: sabar dari
pukulan keras, sakit parah dan luka-luka besar. Yang demikian itu kadang-kadang
terpuji, apabila bersesuaian dengan agama agama. Akan tetapi, yang terpuji, yang
sempurna, ialah: sabar yang satu bahagian lagi.
Yaitu: sabar diri daripada semua
yang diridhai tabiat dan yang dikehendaki hawa nafsu. Kemudian, bahagian ini,
kalau adalah dia itu sabar dari nafsu syahwat perut dan kemaluan, maka
dinamakan: pemeliharaan diri. Dan kalau sabar itu dengan menanggung yang tidak
disukai, maka namanya berbeda-beda pada manusia, dengan berbedanya yang tidak
disukai, yang dikerasi oleh sabar tersebut. Kalau sabar itu pada musibah, maka
disingkatkan saja, atas nama: sabar. Dan yang berlawanan dengan ini, ialah:
suatu hal keadaan, yang dinamakan: gelisah dan keluh kesah. Yaitu: pemakaian
kata-kata bagi pengajak hawa nafsu, supaya terlepas, dengan mengeraskan suara,
memukul pipi, mengoyakkan saku baju dll. Kalau sabar itu pada membawakan
kekayaan, maka dinamakan: mengekang diri. Dan yang berlawanan dengan itu, ialah
suatu keadaan, yang dinamakan: sombong dengan kesenangan. Kalau pada peperangan
dan berbunuh-bunuhan, dinamakan: berani. Dan lawannya, ialah: pengecut. Kalau
sabar itu menahan amarah dan marah, maka dinamakan: lemah lembut. Dan lawannya,
ialah: pengutukan diri pada yang sudah hilang. Kalau sabar itu pada suatu
pergantian masa yang membosankan, maka dinamakan: lapang dada. Dan yang
berlawanan itu, dinamakan: membosankan, mengekal hati dan sempit dada. Kalau
sabar itu pada menyembunyikan perkataan, maka dinamakan: menyembunyikan
rahasia. Dan orang yang bersifat demikian, dinamakan: penyimpan (penyembunyi)
rahasia. Kalau sabar itu pada yang berlebihan pada hidup, maka dinamakan:
zuhud. Dan yang berlawanan dengan itu, dinamakan: rakus. Kalau sabar itu pada
kadar sedikit dari keberuntungannya, maka dinamakan: merasa cukup seadanya.
Yang berlawanan dengan itu, dinamakan: lahap. Maka yang terbanyak dari akhlak
iman itu masuk dalam sabar. Karena itulah, pada suatu kali Nabi saw ditanyakan
tentang iman, lalu beliau menjawab: “Ialah: sabar”.
Karena sabar itu yang terbanyak
dari amal perbuatan iman dan yang termulia dari amal perbuatan itu. Sebagaimana
Nabi saw bersabda: “Hajji itu’ Arafah”. Allah Ta’ala mengumpulkan
bahagian-bahagian itu dan semuanya dinamakan: sabar. Allah Ta’ala berfirman:
“Mereka yang sabar dalam musibah, kemiskinan dan ketika peperangan. Merekalah
orang-orang yang benar dan merekalah orang-orang yang bertaqwa memelihara
dirinya dari kejahatan”. S 2 Al Baqarah ayat 177. Jadi, inilah
bahagian-bahagian sabar, dengan perbedaan hubungan-hubungannya. Dan siapa yang
mengambil arti (maksud) dari nama, niscaya ia menyangka bahwa hal-keadaan itu
berbeda pada zatnya dan hakikat/maknanya, dari segi ia melihat nama-nama itu
berbeda. Dan orang yang berjalan pada jalan lurus dan memandang dengan nur
Allah, niscaya mula-mula memperhatikan kepada artinya. Lalu ia melihat kepada
hakikat/maknanya. Kemudian ia memperhatikan namanya. Karena nama itu
sesungguhnya diletakkan untuk menunjukkan kepada arti. Maka arti itu adalah
pokok dan kata-kata itu adalah pengikut. Siapa yang mencari arti dari pengikut,
niscaya tak boleh tidak, ia akan tergelincir. Dan kepada dua golongan itulah,
diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Adakah orang yang berjalan
menelungkup di atas mukanya lebih mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan
dengan lurus di atas jalan yang betul ?”. S Al Mulk ayat 22. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu tidak salah pada apa yang mereka telah bersalah padanya,
selain dengan contoh pembalikan-pembalikan itu. Kita bermohon pada Allah Ta’ala
akan bagusnya taufiq, dengan kemurahan dan kelemah-lembutanNya.
PENJELASAN: bahagian-bahagian sabar, menurut perbedaan kuat
dan lemahnya.
Ketahuilah kiranya, bahwa penggerak agama,
dikaitkan kepada penggerak hawa nafsu itu mempunyai 3 hal keadaan:
Pertama: bahwa ia memaksakan
penggerak hawa nafsu. Lalu penggerak hawa nafsu itu tidak mempunyai lagi
kekuatan untuk melawan. Dan sampai kepada yang demikian itu, dengan berkekalan
sabar. Dan ketika itu, dikatakan: “Siapa sabar niscaya mendapat”. Yang sampai
kepada tingkat ini, mereka itu adalah sedikit. Maka tidak dapat dibantah,
ialah: orang-orang shiddiq (ash-shiddiqun), yang dekat dengan Allah
(al-muqarrabun), yang mengatakan: “Tuhan kami, ialah: ALLAH”. kemudian, mereka
itu beristiqamah (berjalan di atas jalan lurus dan tetap pendirian). Mereka
selalu menempuh jalan lurus dan berdiri tegak di atas jalan yang betul. Diri
mereka itu tetap menurut yang dikehendaki oleh penggerak agama. Mereka waspada,
akan dipanggil oleh yang memanggil: “Wahai jiwa (diri) yang tenang ! kembalilah
kepada Tuhanmu dengan rela, yang direlai !”.
Keadaan kedua: bahwa menanglah
pengajak-pengajak hawa nafsu. Dan dengan cara keseluruhan, jatuhlah perlawanan
penggerak agama. Lalu ia menyerahkan dirinya kepada tentara setan dan ia tidak
berjuang (ber bersungguh‑sungguh ). Karena putus asanya dari bersungguh‑sungguh itu. Merekalah orang-orang yang lalai.
Merekalah yang terbanyak. Mereka adalah orang-orang yang telah diperbudakkan
oleh nafsu syahwatnya. Dan telah bersangatan kepada mereka kedurhakaan kepada
Allah. Lalu mereka dihukum sebagai musuh Allah dalam hati mereka, dimana hati
itu adalah salah satu daripada rahasia Allah Ta’ala dan salah satu daripada
urusan Allah. Kepada merekalah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan
kalau Kami kehendaki, niscaya Kami berikan petunjuk kepada setiap diri. Tetapi
perkataan daripadaKU, sebenarnya akan terjadi: sesungguhnya Aku akan memenuhkan
neraka jahannam dengan jin dan manusia semuanya”. S As Sajadah ayat 13.
Merekalah orang-orang yang membeli kehidupan duniawi dengan akhirat. Maka
rugilah perniagaan mereka. Dan dikatakan kepada orang yang bermaksud menunjuk
jalan kepada mereka: “Berpalinglah engkau dari orang yang tiada memperdulikan
pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan duniawi semata ! pengetahuan
mereka hanya sehingga itu”. S 53 An Najm ayat 29-30.
Keadaan ini, tandanya, ialah:
putus asa, hilang harapan dan tertipu dengan angan-angan. Itulah yang paling
bodoh, sebagaimana Nabi saw bersabda: “Orang yang pintar itu mengagamakan
dirinya dan berbuat amal untuk sesudah mati. Dan orang yang bodoh, ialah: orang
yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya dan ia berangan-angan atas
Allah”. Orang yang berkeadaan yang begini, apabila diberi pengajaran, niscaya
menjawab: “Aku ingin bertaubat. Akan tetapi, sukar taubat itu atas diriku. Lalu
aku tidak mengharap padanya”. Atau ia tidak ingin kepada taubat. Akan tetapi,
ia mengatakan: “Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun, Maha Pengasih, lagi Maha
Pemurah. Maka IA tidak memerlukan kepada taubatku”. Orang yang patut dikasihani
ini, akalnya telah menjadi budak nafsu syahwatnya. Ia tidak menggunakan akalnya,
selain pada memahami daya upaya yang halus-halus, yang akan menyampaikan kepada
terlaksana nafsu syahwatnya. Maka jadilah akalnya itu dalam tangan nafsu
syahwatnya, seperti seorang muslim yang tertawan dalam tangan orang-orang
kafir. Lalu orang-orang kafir itu menyuruh orang muslim tersebut, menjaga babi,
memelihara khamar dan membawanya. Tempat orang yang tersebut tadi di sisi Allah
Ta’ala, adalah tempatnya orang yang memaksakan orang muslim dan menyerahkannya
kepada orang-orang kafir. Dan dijadikannya orang muslim tersebut menjadi orang
tawanan pada orang-orang akfir itu. Karena, dengan kekejian kesalahannya itu,
menyerupailah, bahwa ia menghinakan apa yang sebenarnya, tidak dihinakan. Dan
ia memaksakan apa yang sebenarnya, tidak dipaksakan. Sesungguhnya orang muslim
itu berhak untuk dipaksakan kepada sesuatu, yang padanya ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah dan
penggerak agama. Dan orang kafir itu berhak dipaksakan, karena padanya itu ada
kebodohan dengan agama dan penggerak setan-setan. Dan hak orang muslim atas
dirinya adalah lebih wajib dari hak orang lain atas dirinya. Manakala dijadikan
arti yang mulia, yang termasuk dari barisan Allah dan tentara malaikat, kepada
arti yang buruk, yang termasuk sebahagian dari barisan setan-setan, yang
menjauhkan dari Allah Ta’ala, niscaya adalah ia seperti orang yang
memperbudakkan orang muslim untuk orang kafir. Bahkan dia itu, adalah seperti
orang yang bermaksud kepada raja yang menganugerahkan nikmat kepadanya. Lalu
diambilnya seorang dari anak raja itu yang termulia dan diserahkannya kepada
salah seorang dari musuh-musuh raja itu yang paling dibencinya. Maka lihatlah,
bagaimana kufurnya orang itu kepada nikmat yang dianugerahkan oleh raja dan
perbuatannya untuk bencana bagi raja. Karena hawa nafsu itu adalah Tuhan yang
paling dimarahi, yang disembah oleh hamba di bumi di sisi Allah Ta’ala. Dan
akal itu termulia dari yang ada, yang dijadikan di atas permukaan bumi.
Keadaan ketiga: bahwa peperangan itu
adalah menjadi hal yang biasa di antara dua tentara. Sekali ia memperoleh
kemenangan atas peperangan itu. Dan kali yang lain, peperangan itu
mengalahkannya. Ini adalah dari golongan orang-orang yang berjuang, yang
seperti ini dihitung, tidak termasuk orang-orang yang menang. Orang-orang yang
berkeadaan dengan keadaan ini, ialah: mereka yang mencampur-adukkan amal
perbuatan yang baik dan yang lain yang jahat. Kiranya Allah Ta’ala menerima
taubat mereka. Ini adalah dengan memandang kepada kuat dan lemahnya. Dan
berjalan pula kepadanya tiga keadaan, dengan memandang bilangan, yang dia
bersabar padanya: yaitu: adakalanya ia dapat mengalahkan semua nafsu syahwatnya
atau tidak dapat dikalahkannya sedikitpun daripadanya. Atau dapat dikalahkannya
setengah daripada nafsu syahwat itu, tidak dapat yang setengah lagi. Dan menempatkan
firman Allah Ta’ala: “Mereka telah mencampur adukkan pekerjaan baik dengan yang
buruk”, kepada orang yang lemah dari setengah nafsu syahwat, tidak dari
setengah yang lain, adalah lebih utama. Dan orang-orang yang meninggalkan bersungguh‑sungguh serta nafsu syahwat itu secara mutlak, adalah
menyerupai dengan hewan. Bahkan mereka lebih sesat jalannya. Karena hewan itu
tidak dijadikan baginya ilmu mengenal Allah Ta’ala dan kemampuan, dimana dengan
kemampuan itu, ia berjuang melawan kehendak nafsu syahwat. Sedang dia telah
dijadikan yang demikian baginya dan tidak dipergunakannya. Maka orang tersebut
itu adalah orang yang mengurangkan kebenaran dan yang membelakangkan keyakinan.
Karena itulah, dikatakan dalam suatu madah:
Aku tidak melihat,
pada kekurangan manusia itu sesuatu,
seperti kurangnya orang-orang yang mampu,
kepada kesempurnaan.........
Juga sabar itu dengan memandang kepada mudah dan
sukar, terbagi kepada: yang sulit kepada diri. Maka tidak mungkin meneruskan
sabar itu, selain dengan kesungguhan yang benar-benar sungguh dan kepayahan
diri yang berat. Dan yang demikian itu, dinamakan: bersabar benar-benar. Dan
kepada yang tidak begitu sangat payah. Akan tetapi, sabar itu berhasil dengan
sedikit penanggungan atas diri. Dan yang demikian itu khusus dinamakan: sabar.
Apabila taqwa itu terus-menerus dan pembenaran itu telah kuat, dengan amal-amal
baik pada kesudahannya, niscaya sabar itu menjadi mudah.
Dan karena itulah, Allah Ta’ala
berfirman: “Sebab itu, siapa yang memberi (untuk kebaikan) dan memelihara
dirinya dari kejahatan. Dan membenarkan (mempercayai) yang baik. Kami akan
memudahkan kepadanya menempuh (jalan) yang mudah”. S Al Lail ayat 5-6-7. Contoh
pembahagian yang seperti ini, ialah: kuatnya orang yang bermain
banting-bantingan atas orang lain. Laki-laki yang kuat itu sanggup membanting
orang yang lemah, dengan sedikit pukulan dan kekuatan yang mudah, dimana ia
tidak menemui pada berbanting-bantingan itu keletihan dan kepayahan. Nafasnya
tidak bergoncang dan tidak terputus (dari karena kelamahan). Ia tidak mampu
membanting orang yang keras, kecuali dengan payah, bertambah kesungguhan dan
keringat di pipi. Maka begitulah adanya banting-bantingan itu diantara
penggerak agama dan penggerak hawa nafsu. Itu sebenarnya adalah
banting-bantingan di antara malaikat dengan tentara setan. Manakala nafsu
syahwat itu mengaku rendah dan mengalah dan penggerak agama yang berkuasa,
memerintah dan sabar menjadi mudah, disebabkan lamanya membiasakannya, niscaya
yang demikian itu mewariskan: maqam ridla, sebagaimana akan datang
penjelasannya pada Kitab ridla nanti. Ridla itu lebih tinggi dari sabar. Karena
itulah Nabi saw bersabda: “Beribadahlah kepada Allah di atas ridla. Maka
jikalau engkau tidak sanggup, maka pada sabar atas yang tidak engkau senangi
itu banyak kebajikan”. Berkata sebagian orang arifin: “Orang-orang yang kuat
sabarnya itu adalah atas 3 maqam:
Pertama meninggalkan nafsu syahwat.
Dan ini adalah derajat orang-orang yang taubat.
Kedua: ridla dengan yang diitakdirkan
Tuhan. Dan ini adalah derajat orang-orang zahid (orang-orang yang bersifat
zuhud).
Ketiga: suka kepada apa yang
diperbuat Tuhannya. Dan ini adalah derajat orang-orang shiddiq
(Ash-shiddiiqin)”.
Akan kami terangkan nanti pada
Kitab Cinta kepada Allah (kitab al-mahabbah), bahwa maqam al-mahabbah itu lebih
tinggi dari maqam ridla, sebagaimana maqam ridla itu lebih tinggi dari maqam
sabar seakan-akan pembahagian ini berlaku pada sabar khusus. Yaitu: sabar atas
segala musibah dan percobaan. Ketahuilah kiranya, bahwa sabar juga terbagi
dengan memandang kepada hukumnya, kepada: fardlu, sunat, makruh dan haram.
Sabar dari segala yang dilarang itu fardlu/wajib. Dari segala yang makruh itu
sunat. Sabar atas yang kesakitan yang dilarang itu: dilarang. Seperti orang
yang akan dipotong tangannya atau tangan anaknya. Dia bersabar atas yang
demikian, dengan berdiam diri. Dan seperti orang, yang ada maksud orang lain kepada
isterinya dengan nafsu syahwat yang dilarang. Maka tergeraklah cemburunya. Lalu
ia bersabar daripada melahirkan kecemburuannya. Dan ia berdiam diri atas apa
yang berlaku kepada isterinya. Maka sabar ini diharamkan. Sabar
makruh, yaitu: sabar atas kesakitan, yang diperolehnya dari segi makruh pada
agama. Maka adalah agama itu yang berkeras bagi sabar. Maka adanya sabar itu
separoh iman, tiadalah seyogyanya mengkhayalkan kepada anda, bahwa semua sabar
itu terpuji. Bahkan yang dimaksud dengan yang demikian, ialah: macam-macamnya
sabar yang khusus.
PENJELASAN: tempatnya sangkaan diperlukan kepada sabar dan
hamba itu tiada terlepas dari sabar pada segala hal-ihwal.
Ketahuilah kiranya, bahwa semua yang dijumpai
seorang hamba dalam hidup ini, tiada terlepas dari 2 macam:
Pertama: yaitu yang bersesuaian
dengan hawa nafsunya.
Yang semacam lagi yaitu: yang tidak
bersesuaian dengan hawa nafsu. Akan tetapi, tidak disukainya.
Orang itu memerlukan kepada sabar pada
masing-masing dari 2 hal tersebut. Dan manusia itu pada semua keadaan, tiada
terlepas dari salah satu yang dua macam atau dari kedua-duanya. Jadi, manusia
itu tiada sekali-kali terlepas dari sabar.
Macam pertama,
yaitu: yang bersesuaian dengan hawa nafsu tadi, ialah: kesehatan, keselamatan,
harta, kemegahan, banyak keluarga, luasnya sebab-sebab yang menghasilkan,
banyak pengikut, pembantu dan semua kesenangan duniawi. Alangkah berhajatnya
hamba kepada kesabaran pada hal-hal tersebut ! jikalau ia tidak dapat mengekang
dirinya dari terlepas, cenderung kepadanya dan terjerumus pada kesenangannya
yang diperbolehkan, niscaya yang demikian itu mengeluarkannya kepada
kesombongan dengan nikmat dan durhaka. Sesungguhnya manusia itu akan durhaka,
kalau ia melihat, bahwa ia tidak memerlukan kepada orang. Sehingga setengah
orang-orang arifin mengatakan: “Bala bencana itu, yang orang mu’min bersabar
padanya. Dan kesehatan yang sempurna, tidak bersabar padannya, selain orang shiddiq”.
Sahal mengatakan: “Sabar atas
kesehatan yang sempurna itu lebih berat daripada sabar atas bala bencana”.
Tatkala pintu-pintu dunia terbuka kepada para sahabat ra, maka mereka
mengatakan: “Kita telah dicoba (diberi bala’), dengan fitnah kemiskinan, maka
kita telah sabar. Dan kita dicoba dengan fitnah kekayaan, maka kita tidak sabar
(tahan diri)”. Karena itulah, Allah memperingatkan hamba-hambaNya daripada
fitnah harta, isteri dan anak. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang beriman
! janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingati
Allah”. S Al Munafiqun ayat 9. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya di
antara isteri dan anak-anak kamu, ada yang menjadi musuh bagi kamu. Sebab itu,
berhati-hatilah terhadap mereka !”. S At-Taghabun ayat 14. Nabi saw bersabda:
“Anak itu menjadi sebab kikir, pengecut dan kesedihan”. Tatkala Nabi saw
melihat cucunya Al-Hasan ra jatuh dalam baju kemejanya, lalu beliau turun dari
mimbar dan mengambilnya. Kemudian, beliau bersabda: “Maha Benarlah Allah
Ta’ala, yang berfirman: “Sesungguhnya harta bendamu dan anak-anakmu itu adalah
fitnah (cobaan atau ujian)”. Bahwa aku tatkala melihat anakku (Al-Hasan adalah
sebenarnya cucunya saw, tetapi biasa juga, cucu itu dikatakan anak. pent)
terjatuh, tidak dapat lagi aku menguasai diriku, bahwa lalu aku mengambilnya”.
Pada yang demikian itu, menjadi
ibarat bagi orang-orang yang mempunyai mata hati. maka laki-laki, setiap
laki-laki itu, ialah orang yang bersabar atas kesehatan yang sempurna. Dan arti
sabar atas kesehatan yang sempurna itu, ialah bahwa ia tidak cenderung
kepadanya. Ia tahu, bahwa semua itu adalah merupakan simpanan padanya. Dan
mungkin akan diminta kembali pada waktu yang dekat. Ia tidak melepaskan dirinya
pada bersenang-senang dengan kesehatan yang sempurna tadi. Ia tidak
menjerumuskan dirinya pada mengambil kenikmatan, kesenangan, permainan dan
kesukaan. Dan bahwa, ia menjaga hak-hak Allah Ta’ala pada hartanya, dengan
membelanjakan pada yang baik. Pada badannya, dengan memberikan pertolongan kepada
makhluk. Dan pada lisannya dengan memberikan kebenaran. Begitu juga, pada
nikmat-nikmat yang lain yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepadanya.
Dan sabar ini bersambung dengan
syukur. Maka tidak sempurna sabar tersebut, selain dengan berdiri menegakkan
hak syukur, sebagaimana akan diterangkan nanti. Sesungguhnya sabar atas
kesenangan itu lebih sulit. Karena sabar yang demikian, dibarengi dengan
kemampuan. Dan tidak mampu daripada menjaga diri. Bersabar atas pembekaman dan
pembetikan (pengeluaran darah dari badan), apabila dikerjakan oleh orang lain
pada diri anda, adalah lebih mudah daripada bersabar atas pembetikan anda akan
diri anda sendiri dan pembekaman anda akan diri anda sendiri. Orang yang lapar
ketika tidak ada makanan di depannya, adalah lebih mampu bersabar, dibandingkan
apabila makanan yang baik dan lezat, telah berada di depannya. Dan ia mampu
mengambilnya. Maka karena itulah, fitnah kesenangan itu menjadi besar.
Bahagian kedua: yang tidak
bersesuaian dengan hawa nafsu dan tabiat. Dan yang demikian, tidak terlepas,
adakalanya terikat dengan pilihan hamba, seperti taat dan maksiat. Atau tidak
terikat dengan pilihan hamba, seperti musibah dan malapetaka. Atau tidak
terikat dengan pilihan hamba, akan tetapi hamba itu dapat berusaha menghilangkannya,
seperti menyembuhkan hati daripada orang yang berbuat yang menyakitkan kepadanya,
dengan membalas dendam.
Maka inilah 3 bahagian:
Bahagian pertama: yang terikat dengan pilihannya (ikhtiarnya).
Yaitu: semua perbuatan yang lain, yang disifatkan adanya perbuatan itu: taat
atau maksiat. Dan itu dua macam:
Macam pertama:
taat. Dan
hamba itu memerlukan kepada sabar pada taat tersebut. Maka sabar pada taat itu
berat. Karena diri menurut tabiatnya, lari (tidak tertarik) kepada ‘ubudiyah
(memperhambakan diri dengan ibadah) dan ingin kepada rububiyah (yang menyangkut
dengan sifat-sifat ketuhanan). Karena itulah, sebahagian kaum al’arifin
mengatakan: “Tidak ada dari diri seorang manusiapun, melainkan ia
menyembunyikan apa yang dilahirkan oleh Fir’aun dengan katanya: “Aku adalah
Tuhanmu yang tertinggi”. Tetapi Fir’aun itu mendapat jalan untuk perkataannya
itu dan penerimaan dari rakyatnya. Lalu dilahirkannya, apabila kaumnya
(rakyatnya) memandang ringan. Lalu mereka menurutinya. Tiada seorangpun dari
manusia, melainkan mendakwakan yang demikian (mengaku yang demikian) bersama
budaknya, pembantunya, pengikut-pengikutnya dan semua orang yang berada di
bawah kekuasaan dan ketaatannya. Walaupun ia tidak mau melahirkannya. Maka
penghinaannya dan kemarahannya ketika mereka teledor pada melayaninya dan
kejauhan hatinya akan yang demikian, tidaklah timbul yang demikian itu, selain
dari tersembunyinya kesombongan dan dakwaan rububiyah(yang menyangkut dengan
sifat-sifat ketuhanan) dalam selimut kesombongan. Jadi,
‘ubudiyah(memperhambakan diri dengan ibadah) itu sukar atas diri seseorang secara mutlak.
Kemudian, di antara ibadah itu ada yang tidak disukai, disebabkan malas,
seperti: shalat. Di antara ibadah itu ada yang tidak disukai, disebabkan kikir,
seperti: zakat. Dan di antaranya, ada yang tidak disukai, disebabkan
kedua-duanya sekalian, seperti: hajji dan jihad. Maka sabar atas taat, adalah
sabar atas kesulitan-kesulitan. Orang yang taat itu memerlukan kepada sabar
pada taatnya dalam 3 hal:
Pertama: sebelum taat. Yang demikia
itu, ialah: pada membetulkan niat, ikhlas, sabar dari segala campuran ria dan
yang mengajakkan bahaya, mengikatkan azam/niat kepada keikhlasan dan
kesempurnaan pekerjaan. Yang demikian itu termasuk sebahagian dari sabar yang
sukar pada orang yang mengetahui hakikat/makna niat, ikhlas, bahaya-bahaya ria
dan tipuan-tipuan diri. Nabi saw telah memberitahukan yang demikian, karena ia
saw bersabda: “Sesungguhnya segala amal itu dengan niat. Dan sesungguhnya bagi
setiap manusia itu apa yang diniatkannya”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka
hanya diperintahkan, supaya menyembah Allah dengan tulus ikhlas, beragama untuk
Allah semata-mata”. S Al Bayyinah ayat 5. Karena inilah, Allah Ta’ala
mendahulukan sabar atas amal, dengan firmanNya: “Kecuali orang-orang yang sabar
(berhati teguh) dan mengerjakan perbuatan baik”. S 11 Hud ayat 11.
Hal kedua: yaitu keadaan amal, supaya
ia tidak lalai daripada Allah Ta’ala pada waktu sedang beramal (berbuat
amalan). Ia tidak bermalas-malas daripada mentahkikan mengwujudkan adab amal
dan sunat-sunatnya. Ia terus-menerus berbuat di atas syarat adab, sampai
penghabisan amal itu yang terakhir. Ia terus-menerus sabar (menahan diri) dari
semua yang mengajak kepada lunturnya amal, sampai kepada selesainya. Ini juga
termasuk di antara kesulitan-kesulitan sabar. Mudah-mudahan itulah yang
dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: “Pembalasan yang paling baik untuk
orang-orang yang bekerja. Yaitu: orang-orang yang sabar”. S Al Ankabut ayat
58-59. Artinya: mereka itu sabar sampai sempurnanya amal yang dikerjakan.
Hal ketiga: yaitu sesudah selesai
dari amal. Karena ia memerlukan kepada sabar (menahan diri) daripada menyiarkan
amal itu dan menampakkannya kepada umum, untuk keharuman namanya dan ria. Dan
sabar daripada memandang kepada amal itu dengan mata keheranan (merasa ta’jub
dengan amalnya) dan daripada setiap yang membatalkan amalnya & menghapuskan
bekas-bekasnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu
batalkan amal perbuatanmu!”. S 47 Muhammad ayat 33. Sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman: “Janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan kebanggaan dan cercaan”. S
2 Al Baqarah ayat 264. Maka orang yang tidak sabar (menahan diri) sesudah
bersedekah, daripada kebanggaan (menyebut-nyebutkannya) dan cacian,
sesungguhnya dia telah membatalkan amalnya. Amal taat itu terbagi kepada:
fardlu/wajib dan sunat. Ia memerlukan kepada sabar pada kedua macam amal itu
semua. Allah Ta’ala sesungguhnya telah mengumpulkan keduanya itu pada
firmanNya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan keadilan, berbuat
kebaikan dan memberi kepada kerabat-kerabat”. S An Nahl ayat 90. Maka keadilan
adalah wajib. Dan berbuat kebaikan adalah sunat. Dan memberi kepada
kerabat-kerabat, adalah: kehormatan diri
dan silaturrahim. Semua itu memerlukan kepada sabar.
Macam kedua:
perbuatan-perbuatan maksiat. Alangkah berhajatnya hamba itu kepada sabar
(menahan diri) daripada perbuatan-perbuatan maksiat ! Allah Ta’ala sesungguhnya
telah mengumpulkan segala macam perbuatan maksiat pada firmanNya: “Dan Allah
Ta’ala melarang perbuatan keji, pelanggaran dan kedurhakaan”. S An Nahl ayat
90. Nabi saw bersabda: “Orang yang berhijrah, ialah orang yang berhijrah
(meninggalkan) kejahatan. Dan orang yang berjihad (berjuang), ialah orang yang
berjuang melawan hawa nafsunya”. Perbuatan-perbuatan maksiat itu adalah tempat
kehendak penggerak hawa nafsu. Dan yang paling sukar dari segala macam sabar,
dari perbuatan-perbuatan maksiat, ialah sabar dari perbuatan-perbuatan maksiat
yang telah menjadi kesukaan orang menurut adat kebiasaan. Dan adat kebiasaan
itu, adalah: tabiat kelima. Maka apabila adat kebiasaan bertambah pada nafsu
syahwat, niscaya berdemonstrasilah dua tentara dari tentara setan atas tentara
Allah Ta’ala. Maka penggerak agama tidak akan kuat mencegahnya. Kemudian, kalau
perbuatan itu termasuk perbuatan yang mudah mengerjakannya, niscaya sabar
daripadanya adalah lebih berat atas diri. Seperti: sabar dari maksiat-maksiat
lidah, yang merupakan: cacian, dusta, ria dan memuji diri, secara sindiran dan
terus terang. Berbagai macam senda gurau yang menyakitkan hati, berbagai macam
perkataan yang dimaksudkan untuk melecehkan dan menghina, menyebutkan
orang-orang yang sudah mati, celaan kepada mereka, pada ilmu mereka, perjalanan
hidup dan kedudukan-kedudukan mereka. Maka yang demikian itu pada lahiriahnya
adalah umpatan. Dan pada batiniahnya adalah pujian kepada diri sendiri. Diri
sendiri padanya mempunyai dua nafsu keinginan:
Pertama: meniadakan orang lain.
Yang satu lagi: mempositifkan diri
sendiri. Dan dengan itu, sempurnalah ketuhanan baginya, yang menjadi tabiatnya.
Dan itu adalah lawan dari menghambakan diri kepada Allah yang diperintahkan.
Untuk mengumpulkan dua nafsu keinginan itu, dan memudahkan penggerakan lidah
dan menjadikan yang demikian terbiasa pada percakapan-percakapan, adalah
menyukarkan sabar padanya. Dan itu adalah yang terbesar dari yang membinasakan.
Sehingga batallah menentang dan memburukkannya dari hati. Karena banyak kali
mengulang-ulanginya dan umumnya kesukaan manusia kepadanya. Anda melihat
manusia memakai sutera umpamanya. Lalu ia menjauhkan diri sejauh mungkin dan
melepaskan lidahnya sepanjang hari memperkatakan kehormatan orang lain. Dan ia
tidak menentang yang demikian, sedang apa yang telah datang pada hadits, ialah:
“Bahwa mengumpat orang itu lebih berat daripada zina”. Siapa yang tiada dapat
menguasai lidahnya pada pembicaraan-pembicaraan dan ia tidak sanggup bersabar
(menahan diri) daripada yang demikian, maka haruslah ia ber’uzlah (mengasingkan
diri) dan sendirian. Maka tidak adalah orang lain melepaskannya. Maka bersabar
atas sendirian adalah lebih mudah daripada dengan berdiam diri, serta bercampur
baur dengan orang banyak. Berbeda sukarnya sabar pada masing-masing perbuatan
maksiat, dengan berbedanya pengajak maksiat itu tentang kautnya dan lemahnya
pengajak itu. Dan yang lebih mudah daripada gerakan lidah, ialah gerakan
gurisan-gurisan hati dengan masuknya bisikan-bisikan setan. Maka tidak ragu
lagi, kata hati itu akan tetap ada pada tempat terasing sendirian. Dan tidak
mungkin sekali-kali sabar (menahan diri) daripadanya. Kecuali berkeras pada
hati, suatu cita-cita lain tentang agama, yang menenggelamkannya padanya.
Seperti orang yang diwaktu pagi-pagi dan kerusuhannya hanya satu. Kalau tidak
demikian, maka jikalau ia tidak memakai pikirannya pada suatu yang tertentu,
niscaya tidaklah tergambar kelemahan bisikan setan daripadanya.
Bahagian kedua: yang tiada terikat serangannya dengan pilihannya
(ikhtiarnya). Ia mempunyai pilihan pada menolaknya. Seperti: kalau ia disakiti
orang dengan perbuatan atau perkataan. Atau ia dianiaya orang pada dirinya atau
hartanya. Maka bersabar atas yang demikian, dengan meninggalkan pembalasan yang
setimpal, pada satu kali adalah wajib dan pada kali yang lain adalah suatu
keutamaan budi. Sebahagian sahabat ra mengatakan: “Tidaklah kami hitung
keimanan seorang laki-laki itu sebagai iman, apabila ia tidak sabar atas
kesakitan”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya kami akan bersabar
terhadap perbuatan kamu yang menyakitkan kami. Dan kepada Allah hendaknya,
bertawakkal (menyerahkan diri) orang-orang yang bertawakkal”. S Ibrahim ayat
12. Pada suatu kali Rasulullah saw membagi-bagikan harta kepada orang banyak.
Lalu sebahagian kaum muslimin dari Arab Badui mengatakan: “Ini adalah
pembahagian yang tidak dimaksudkan karena Allah Ta’ala. Hal tersebut lalu
disampaikan kepada Rasulullah saw. Maka merahlah kedua pipi beliau. Kemudian,
beliau bersabda: “Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada saudaraku Musa. Ia
pernah disakiti orang, lebih banyak dari ini, lalu ia sabar”. Allah Ta’ala
berfirman: “Dan tinggalkanlah (janganlah perdulikan) perkataan mereka yang
menyakitkan hati dan bertawakkallah kepada Allah !”. S Al Ahzab ayat 48. Allah
Ta’ala berfirman: “Hendaklah engkau bersabar terhadap perkataan yang dikatakan
mereka dan menghindarlah dari mereka dengan cara yang sebaik-baiknya !”. S Al
Muzzamil ayat 10. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Kami mengetahui,
bahwa dada engkau menjadi sesak, disebabkan perkataan mereka. Sebab itu,
bertasbihlah dengan memujikan Tuhan engkau. Dan hendaklah engkau termasuk
orang-orang yang sujud !”. S Al Hijr ayat 97-98. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
kamu akan mendengar banyak perkataan yang menyakitkan hati dari orang-orang
yang diturunkan Kitab, sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan (menyembah berhala). Dan kalau kamu sabar dan bertaqwa, sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang utama (yang menjadi azam/niat)”. S 3 Ali
Imran ayat 186. Artinya: kamu bersabar (menahan diri) dari mengambil balasan
yang setimpal. Karena itulah, Allah Ta’ala memujikan orang-orang yang bersedia
memaafkan haknya, pada penuntutan bela (al-qishash) dan lainnya.
Maka dalam hal ini, Allah Ta’ala
berfirman: “Dan jikalau kamu memberikan pembalasan, hendaklah dibalaskan serupa
kesalahan yang diperbuatnya kepada kamu dan kalau kamu bersabar (menahan diri),
sesungguhnya itulah yang paling baik bagi orang-orang yang sabar”. S An Nahl
ayat 126. Nabi saw bersabda: “Sambunglah silaturrahim dengan orang yang
memutuskannya dengan engkau ! berikanlah kepada orang yang tidak mau memberikan
kepada engkau ! dan maafkanlah orang yang telah berbuat zalim kepada engkau !”.
Aku melihat dalam Injil, bahwa
Isa putera Maryam as berkata: “Telah dikatakan kepadamu sebelumnya, bahwa gigi
dibalas dengan gigi dan hidung dibalas dengan hidung. Dan aku mengatakan
kepadamu: “Jangan kamu lawan kajahatan dengan kejahatan ! tetapi, siapa yang
memukul (menempeleng) pipimu yang kanan, maka palingkanlah kepadanya pipi yang
kiri ! siapa yang mengambil kain selimutmu, maka berikanlah pula kepadanya kain
sarungmu ! siapa yang menyuruhmu supaya kamu berjalan dengan dia 1 mil, maka
berjalanlah dengan dia 2 mil !”. Semua itu adalah perintah untuk bersabar atas
kesakitan. Maka bersabar atas kesakitan yang dilakukan orang adalah termasuk
tingkat sabar yang tertinggi. Karena padanya bertolong-tolongan semua dari
penggerak agama dan penggerak nafsu syahwat dan marah.
Bahagian ketiga: yang
tidak masuk dalam hinggaan pilihan, pada permulaannya dan pada penghabisannya,
seperti: malapetaka-malapetaka (musibah-musibah). Umpamanya: meninggalnya
orang-orang terkemuka, rusak binasanya harta benda, hilangnya kesehatan dengan
sakit, butanya mata dan rusaknya anggota badan. Pendeknya, segala macam bala
bencana lainnya. Maka bersabar atas yang demikian itu, adalah tingkat kesabaran
yang tertinggi.
Ibnu Abbas ra mengatakan: “Sabar
dalam Alquran itu atas 3 arah: sabar atas menunaikan segala macam amalan
fardlu, yang difardlukan oleh Allah Ta’ala. Maka bagi sabar itu 300 tingkat.
Sabar dari segala yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, maka baginya 600 tingkat.
Dan sabar atas musibah ketika pukulan yang pertama, maka baginya 900 tingkat.
Sesungguhnya dilebihkan pangkat ini, sedang dia itu termasuk amalan-amalan
utama, atas apa yang sebelumnya dan amalan yang sebelumnya itu termasuk hal-hal
yang fardlu, dikarenakan, bahwa setiap orang mu’min itu sanggup bersabar
(menahan diri) dari perbuatan-perbuatan haram. Adapun bersabar atas percobaan
(bala bencana) yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala, maka tiada yang sanggup
padanya, selain nabi-nabi. Karena itu adalah barang perniagaan orang-orang
shiddiq (ash-shiddiqin). Maka yang demikian itu adalah sangat sukar atas diri.
Dan karena itulah, nabi saw berdoa: “Aku bermohon pada Engkau keyakinan, yang
dapat memudahkan kepadaku musibah-musibah dunia”. Maka inilah sabar, yang
sandarannya itu baik keyakinan.
Abu Sulaiman Ad-Darani ra mengatakan: “Demi
Allah, kita tidak sabar (menahan diri) atas apa yang kita sukai, maka bagaimana
kita sabar atas apa yang tidak kita sukai?”. Nabi saw bersabda: “Allah ‘Azza Wa
Jalla berfirman: “Apabila Aku hadapkan kepada salah seorang dari hambaKu, suatu
musibah pada tubuhnya atau hartanya atau anaknya, kemudian ia terima yang
demikian dengan sabar yang baik, niscaya Aku malu kepadanya pada hari kiamat,
bahwa Aku dirikan baginya neraca atau Aku siarkan baginya daftar amal”. Nabi
saw bersabda: “Menunggu kelapangan dengan sabar itu suatu ibadah”. Nabi saw
bersabda: “Tiada seorangpun dari hamba yang mu’min, yang ditimpakan dengan
suatu musibah, lalu ia membaca, seperti yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala:
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” ( segala sesuatu datang dari Allah
dan akan kembali kepada Allah). Wahai Allah Tuhan kami ! berikanlah pahala
bagiku pada musibahku ini dan anugerahkanlah kepadaku akibat yang baik
daripadanya”, melainkan Allah Ta’ala akan memperbuat yang demikian kepadanya”.
Anas ra berkata: “Rasulullah saw
menceritakan kepadaku, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Hai Jibril !
apakah balasannya bagi orang yang Aku cabut kedua matanya ?” Jibril as
menjawab: “Maha Suci Engkau, tiada pengetahuan bagi kami, selain apa yang
Engkau ajarkan kepada kami !”. Allah Ta’ala berfirman: “Balasannya, ialah kekal
dalam rumahKu dan melihat kepada WajahKu”. Nabi saw bersabda: “Allah ‘Azza Wa
Jalla berfirman: “Apabila Aku mencoba
hambaaKu dengan suatu percobaan (suatu bala bencana), lalu ia sabar dan ia
tidak adukan Aku kepada pengunjung-pengunjungnya, niscaya ia pada Aku gantikan
daging yang lebih baik daripada dagingnya dan darah yang lebih baik daripada
darahnya. Maka apabila Aku berkehendak melepaskannya, niscaya Aku melepaskannya
dan tak ada dosa baginya. Dan jikalau Aku mematikannya, maka ia kepada
rahmatKu”.
Daud as bertanya kepada Tuhan:
“Hai Tuhanku ! apakah balasannya orang yang sedih, yang bersabar atas segala
musibah, karena mengharap kerelaan Engkau ?”. Allah Ta’ala berfirman:
“Balasannya, ialah Aku anugerahkan kepadanya pakaian iman. Maka pakaian itu tiada
Aku buka daripadanya untuk selama-lamanya”.
Khalifah ‘Umar bin Abdul-‘aziz
ra mengucapkan dalam pidatonya: “Apa yang dianugerahkan oleh Allah kepada
seorang hamba, akan suatu nikmat, lalu dicabutNya nikmat tersebut dari hamba
itu dan digantikanNya dengan sabar, maka apa yang digantikan oleh Allah Ta’ala
itu adalah lebih utama, daripada yang dicabutNya”.
Dan khalifah Umar bin
Abdul-‘aziz ra lalu membaca: “Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu akan
disempurnakan pahalanya dengan tiada terhitung”. S Az Zumar ayat 10. Ditanyakan
Fudlail bin ‘Iyadl ra tentang sabar, maka ia menjawab: “Yaitu: rela dengan qodo
(ketetapan) Allah”. Lalu ditanyakan lagi: “Bagaimana demikian ?”. Fudlail ra
menjawab: “Orang yang rela itu, tidak berangan-angan diatas kedudukannya”.
Diceritakan, bahwa Asy-Syibli ra
dipenjarakan di Almaristan. Lalu masuk di tempat tahanannya suatu rombongan.
Maka Asy-Syibli bertanya: “Siapa tuan-tuan ?”. Mereka itu menjawab:
“Pecinta-pecintamu datang kepadamu berkunjung”. Lalu Asy-Syibli melemparkan
mereka dengan batu. Maka mereka itu lalu berlarian, seraya Asy-Syibli berkata:
“Kalau kamu itu pencintaku, niscaya kamu sabar kepada percobaan atas diriku”.
Sebahagian kaum al-‘arifin, ada
dalam saku bajunya secarik kertas, yang dikeluarkannya pada setiap saat dan
dibacanya. Pada secarik kertas itu tertulis: “Dan bersabarlah engkau terhadap
perintah Tuhan engkau ! sesungguhnya engkau dalam pandangan mata (penjagaan)
Kami”. S Ath-Thur ayat 48. Diceritakan, bahwa isteri Fatah bin Syukhruf
Al-Maushuli, jatuh terpeleset kakinya, lalu tercabut kukunya. Maka ia tertawa.
Lalu ditanyakan kepadanya: “Apakah engkau tidak merasa kepedihan sakit ?”.
Wanita tersebut menjawab: “Sesungguhnya kelezatan pahalanya menghilangkan dari
hatiku kepahitan sakitnya”.
Nabi Daud as mengatakan kepada
nabi Sulaiman as: “Dapat dijadikan dalil atas taqwanya orang mu’min, dengan 3
perkara: bagus tawakkalnya pada apa yang tidak dicapai nya, bagus ridlanya pada
apa yang telah dicapainya dan bagus sabarnya pada apa yang telah hilang daripadanya”.
Nabi kita saw bersabda:
“Termasuk dari pengagungan Allah dan mengetahui hakNya, ialah: bahwa engkau
tidak adukan kesakitan engkau dan tidak engkau sebutkan musibah engkau”.
Diriwayatkan dari sebahagian orang-orang shalih, bahwa ia pada suatu hari keluar
dari rumahnya. Pada lengan bajunya ada tempat uangnya. Lalu tempat uangnya itu
tidak didapatinya lagi. Rupanya dengan cara tiba-tiba telah diambil orang dari
lengan bajunya itu. Maka ia berkata: “Diberkati Allah kiranya bagi orang yang
mengambil tempat uang tersebut. Mudah-mudahan ia lebih memerlukan kepadanya
daripada aku”.
Diriwayatkan dari sebahagian
mereka (orang-orang shalih), bahwa ia mengatakan: “Aku singgah pada Salim bekas
budak Abi Hudzaifah, dalam jumlah orang-orang yang terbunuh dalam peperangan.
Salim itu masih bernyawa. Lalu aku bisikkan kepadanya: “Aku minumkan engkau air
?”. Salim itu lalu menjawab: “Tariklah aku sedikit ke arah musuh. Dan letakkan
air itu dalam perisai. Aku ini berpuasa. Kalau aku hidup sampai malam nanti
(sudah waktu berbuka puasa), niscaya aku minum air ini”. Maka begitulah adanya
sabar orang-orang yang menempuh jalan akhirat atas percobaan Allah Ta’ala.
Kalau anda bertanya, bahwa
dengan apa dicapai derajat sabar pada musibah-musibah ? dan tidaklah hal itu
atas pilihannya. Dia itu terpaksa. Ia mau yang demikian atau ia enggan. Kalau
dimaksudkan dengan demikian itu, bahwa tak ada pada dirinya kebencian kepada
musibah tersebut, maka yang demikian itu tidak masuk dalam pilihannya
(ikhtiarnya). Maka ketahuilah kiranya, bahwa orang keluar dari kedudukan
orang-orang sabar dengan kesedihan, mengoyakkan saku baju, memukul pipi,
bersangatan pada pengaduan, melahirkan kesusahan, mengobahkan kebiasaan pada
pakaian, tempat tidur dan makanan. Semua hal tersebut adalah masuk dalam
pilihannya. Maka seyogyalah, ia menjauhkan semua itu. Dan ia melahirkan ridla
dengan qodo Allah Ta’ala. Dan ia tetap berkekalan di atas kebiasaannya. Dan ia
beriktikad (berkeyakinan), bahwa itu adalah simpanan. Maka akan dimintakan
kembali, sebagaimana diriwayatkan dari Ar-Rumaisha ibu Salim ra, bahwa ia
menceritakan: “Anakku laki-laki meninggal. Suamiku Abu Thalhah bepergian jauh.
Lalu aku bangun berdiri. Aku tutup anakku pada sudut rumah. Maka datanglah Abu
Thalhah. Lalu aku bangun, menyiapkan baginya makanan pembukaan puasanya. Maka
sedang ia makan, lalu ia bertanya: “Bagaimana anak kecil kita ?”. Aku menjawab:
“Dalam keadaan sangat baik dengan pujian Allah dan nikmatNya”. Abu Thalhah itu
semenjak aku adukan (sampaikan) hal itu, tidaklah ia setenang yang demikian
pada malam itu. Kemudian, aku perbuat baginya dengan sebaik-baik apa yang
pernah aku perbuat untuknya sebelum yang demikian. Sehingga ia memperoleh
daripadaku hajatnya. Kemudian, aku katakan: “Tidakkah engkau heran dari hal
tetangga kita ?”. Ia lalu bertanya: “Apa kiranya mereka ?”. Aku menjawab:
“Mereka dipinjamkan suatu pinjaman. Maka tatkala pinjaman itu diminta dari
mereka dan diminta kembali, lalu mereka bersusah hati”. Lalu Abu Thalhah
menjawab: “Buruk sekali yang diperbuat mereka”. Maka aku mengatakan: “Ini
anakmu adalah pinjaman dari Allah Ta’ala. Dan Allah sesungguhnya telah
mengambilnya kembali kepadaNya”. Lalu Abu Thalhah memuji Allah dan ia rela
dengan kembalinya itu. Kemudian, pagi-pagi keesokan harinya, ia pergi menghadap
Rasulullah saw. Lalu diceritakannya semua yang terjadi itu. Maka Rasulullah saw
menjawab: “Wahai Allah Tuhanku ! berikanlah barakah kepada keduanya pada malam
keduanya itu !”. Yang meriwayatkan riwayat ini mengatakan: “Sesungguhnya
kemudian, aku melihat dalam masjid, kedua orang (suami isteri) itu mempunyai 7
orang anak. Semuanya telah pandai membaca Alquran”.
Diriwayatkan Jabir, bahwa Nabi saw bersabda:
“Aku bermimpi aku masuk sorga, lalu tiba-tiba aku bertemu dengan Ar-Rumaisha
isteri Abi Thalhah”. Dikatakan, bahwa sabar yang baik itu, ialah bahwa tidak
dikenal tak ada bedanya, orang yang mendapat musibah dengan orang yang tidak
mendapatnya. Dan tidaklah keluar dari batas orang-orang yang sabar, oleh
kesusahan hati dan berlinangnya air mata. Karena adalah sama dari semua orang
yang datang karena mati. Dan karena menangis itu adalah kesedihan hati kepada
orang yang mati. Dan yang demikian itu, adalah yang dikehendaki oleh sifat
kemanusiaan. Dan tidak ada yang membedakan manusia kepada mati. Karena itulah,
tatkala Ibrahim putera Nabi saw meninggal, lalu tergenanglah dua mata Nabi saw
dengan air mata. Lalu ditanyakan kepadanya: “Bukankah engkau melarang kami dari
ini ?”. Lalu Nabi saw menjawab: “Sesungguhnya ini adalah rahmat (kasih sayang)
dan Allah mengasihi hamba-hambaNya yang penyayang”. Bahkan, yang demikian itu
juga tidak keluar dari maqam ridla. Orang yang menghadapi pembakaman dan
pembetikan itu ridla dengan yang tersebut, padahal sudah pasti, ia merasa sakit
dengan sebab perbuatan itu. Kadang-kadang berlinang-linang kedua matanya,
apabila bersangatan pedihnya. Dan akan datang uraian yang demikian itu pada
Kitab Ridla insya Allah Ta’ala.
Ibnu Abi Nujaih menulis surat,
untuk berta’ziah kepada sebahagian khalifah-khalifah: “Sesungguhnya orang yang
lebih berhak mengetahui hak Allah Ta’ala tentang apa yang diambilnya daripada
Allah Ta’ala, ialah orang yang besarlah hak Alllah Ta’ala padanya, pada apa
dikekalkan oleh Allah Ta’ala baginya”. Ketahuilah kiranya, bahwa yang telah
berlalu sebelum engkau, ialah yang masih tinggal bagi engkau. Dan yang masih
tinggal sesudah engkau, ialah yang disewakan pada engkau. Dan ketahuilah bahwa
pahala bagi orang-orang yang sabar, pada apa yang mereka mendapat musibah
padanya, adalah lebih besar dari nikmat kepada mereka, pada apa, yang mereka
diberi sehat wal ‘afiat padanya.
Jadi, manakala ia menolak yang
tidak disukai, dengan bertafakkur pada nikmat Allah Ta’ala kepadanya dengan
pahala, niscaya ia memperoleh derajat orang-orang yang sabar. Ya benar, bahwa
termasuk kesempurnaan sabar, ialah: menyembunyikan sakit, kemiskinan dan
musibah-musibah lainnya. Dikatakan, bahwa termasuk sebahagian dari gudang
kebajikan, ialah: menyebunyikan musibah-musibah. Kesakitan-kesakitan dari
gudang kebajikan, ialah: menyembunyikan musibah-musibah, kesakitan-kesakitan
dan sedekah yang diberikan. Maka jelaslah bagi anda dengan
pembahagian-pembahagian ini, bahwa wajibnya sabar itu meratai pada semua
keadaan dan perbuatan.
Orang yang dicukupkan dengan
semua nafsu syahwatnya dan ia mengasingkan diri sendirian, niscaya ia
memerlukan kepada kesabaran (menahan diri), atas keterasingan dan sendirian,
pada zahiriahnya dan kepada kesabaran dari bisikan-bisikan setan pada
batiniahnya. Sesungguhnya menggelagaknya gurisan-gurisan hati itu tiada akan
tenang. Dan kebanyakan beredarnya gurisan-gurisan hati itu adalah pada hal yang
telah lalu (yang telah lenyap), yang tidak dapat diperoleh lagi. Atau pada hal
mendatang yang tidak boleh tidak. Dan akan berhasil daripadanya, apa yang
ditakdirkan oleh Tuhan. Maka bagaimanapun adanya itu, adalah membuang-buang
waktu. Dan alat hamba itu, hatinya. Dan harta bendanya, itu umurnya. Apabila
hati itu lalai pada suatu nafas, daripada dzikir (mengingati dan menyebut nama
Allah), yang dapat ia memperoleh faedah daripadanya, untuk kejinakan hati
dengan Allah Ta’ala atau hati itu lalai dari pikiran, yang
dapat ia memperoleh faedah daripadanya ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah
Ta’ala, supaya ia memperoleh faedah dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala itu, akan kecintaan
Allah Ta’ala, maka orang tersebut adalah tertipu. Ini
adalah kalau pikirannya dan bisikan-bisikan setannya pada hal-hal yang
diperbolehkan itu, terbatas kepadanya. Dan tiadalah yang demikian itu hal yang
banyak terjadi. Akan tetapi, ia bertafakkur (berfikir) pada segala cara upaya,
bagi memenuhi nafsu syahwatnya. Karena senantiasalah ia bertentangan dengan
setiap orang yang bergerak atas yang menyalahi dengan maksudnya pada seluruh
umurnya. Atau orang yang disangkanya bahwa bertentangan dengan dia dan
menyalahi perintahnya atau maksudnya, dengan melahirkan nafsu amarah kepada
orang itu. Bahkan ia mengumpamakan perselisihan tersebut, daripada orang yang
paling ikhlas kepadanya pada mencintainya. Sehingga pada isterinya dan
anak-anaknya. Ia menyangka akan perselisihan mereka itu kepadanya. Kemudian, ia
berpikir tentang cara bagaimana memperingatkan mereka, bagaimana memaksakan
mereka dan jawaban mereka dari apa, yang diberikan mereka keterangannya pada
menyalahinya. Dan selalulah ia dalam kesibukan yang terus-menerus. Maka setan
itu mempunyai dua tentara: tentara yang terbang dan tentara yang berjalan.
Bisikan-bisikan itu adalah
ibarat dari gerakan tentaranya yang terbang. Dan nafsu syahwat itu adalah
ibarat dari gerakan tentaranya yang berjalan. Dan ini, adalah karena setan itu
dijadikan dari api. Dan manusia itu dijadikan dari tanah, seperti tembikar. Dan
pada tembikar itu telah berkumpul tanah serta api. Dan tanah itu tabiatnya
(sifatnya) tenang (tetap). Dan api itu, sifatnya bergerak. Maka tidaklah
tergambar, bahwa api yang menyala itu tidak bergerak. Bahkan ia selalu bergerak
menurut tabiatnya. Dan telah ditugaskan setan yang terkutuk itu, yang dijadikan
dari api, untuk memenangkan dirinya dari gerakannya, dengan bersujud kepada
yang dijadikan oleh Allah Ta’ala, dari tanah. Maka ia enggan, menyombongkan
diri dan berbuat maksiat. Dan diibaratkan dari sebab kemaksiatannya itu, dengan
ia mengatakan: “Engkau menjadikan aku dari api dan Engkau menjadikannya dari
tanah”. Jadi, dimana yang terkutuk itu tidak mau bersujud kepada bapak kita
Adam as maka tiada seyogyalah diharapkan pada sujudnya setan kepada
anak-anaknya Adam as. Manakala telah dapat dicegah dari hati, bisikan setan,
permusuhannya, terbangnya dan
putarannya, maka setan itu telah melahirkan tunduknya dan keyakinannya. Dan
tunduknya dengan keyakinan itu adalah sujudnya. Maka itu adalah nyawanya sujud.
Dan meletakkan dahi atas bumi sesungguhnya adalah acuannya dan tandanya yang
menunjukkan kepadanya secara istilah bahasa. Dan kalau dijadikan peletakkan
dahi atas bumi sebagai tanda kerendahan diri, menurut istilah, niscaya dapatlah
digambarkan yang demikian. Sebagaimana menjongkok di hadapan pembesar yang
dihormati, dipandang menurut kebiasaannya untuk kerendahan diri. Maka tiada
seyogyalah mengherankan anda oleh kulit mutiara dari mutiara. Dan acuan nyawa
dari nyawa. Dan kulit isi dari isi. Maka adalah anda termasuk orang yang diikat
oleh alam syahadah (penyaksian) secara keseluruhan, dari alam ghaib. Dan anda
yakini, bahwa setan itu termasuk yang memperhatikan. Maka ia tidak merendahkan
diri kepada engkau, dengan tercegah dari bisikannya, sampai hari kiamat.
Kecuali bahwa cita-citamu telah menjadi satu. Lalu engkau menyibukkan hati
engkau dengan mengingati Allah Yang Maha Esa. Maka setan yang terkutuk itu
tiada akan memperoleh jalan pada engkau. Dan ketika itu, adalah engkau termasuk
hamba Allah yang ikhlas, yang masuk dalam pengecualian dari kekuasaan setan
yang terkutuk itu. Engkau jangan menyangka, bahwa akan terlepas dari setan itu
hati yang kosong. Bahkan, setan itu mengalir, berjalan dari anak Adam, pada
tempat berjalannya darah. Dan mengalirnya, seperti udara dalam gelas. Maka
jikalau engkau berkehendak supaya gelas itu kosong dari udara, tanpa engkau
mengisikannya dengan air atau lainnya, maka engkau sesungguhnya mengharap pada
tempat yang tidak layak diharapkan. Akan tetapi, kadar yang kosong dari air,
lalu sudah pasti maka masuklah udara ke dalamnya. Maka seperti demikianlah hati
yang sibuk dengan pikiran yang penting tentang agama, tidak terlepas dari
putaran setan. Kalau tidak demikian, maka siapa yang lalai dari mengingati
Allah Ta’ala, walaupun dalam sekejap mata, niscaya ia tidak mempunyai teman
pada sekejap mata tersebut, selain setan.
Karena itulah, Allah Ta’ala
berfirman: “Siapa yang tiada memperdulikan daripada mengingati (dzikir) Tuhan
yang Maha Pemurah, akan Kami adakan baginya setan. Dan itulah yang menjadi
temannya”. S Az Zukhruf ayat 36. Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala sesungguhnya
marah kepada pemuda yang mengosongkan waktunya dari perbuatan yang berfaedah”.
Pahamilah ini, karena pemuda itu apabila menganggur dari perbuatan, yang
menyibukkan batiniahnya dengan perbuatan yang diperbolehkan (perbuatan mubah),
yang dapat menolong kepada agamanya, niscaya zahiriahnya itu adalah kosong. Dan
hatinya itu tidaklah tinggal kosong. Akan tetapi, setan bersarang padanya. Ia
bertelur dan menetas. Kemudian, anak-anaknya itu bercampur pula, bertelur pada
kali yang lain dan menetas. Begitulah, beranak-pinak keturunan setan itu, yang
lebih cepat daripada beranak-pinaknya binatang-binatang yang lain. Karena tabiatnya
(sifatnya) dari api. Apabila ia mmeperoleh tumbuh-tumbuhan kering, maka
banyaklah anaknya. Senantiasalah api itu terjadi dari api. Dan sekali-kali,
tiada akan terputus. Bahkan, menjalar terus, sedikit demi sedikit secara
bersambung. Maka nafsu syahwat pada diri seorang pemuda bagi setan itu, adalah
seperti tumbuh-tumbuhan kering bagi api. Dan sebagaimana api tiada akan terus
ada, apabila tiada terus ada makanannya, yaitu: kayu kering. Maka tiada akan
ada jalan bagi setan, apabila tidak ada nafsu syahwat itu. jadi, apabila anda
perhatikan, niscaya anda tahu, bahwa musuh anda yang paling berbahaya, ialah:
nafsu syahwat anda. Yaitu: sifat diri anda sendiri. Dan karena itulah,
Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, ketika dia akan dihukum gantung dan ia telah ditanyakan,
tentang tasawwuf/ahli suffi, apa itu tasawwuf/ahli suffi, maka ia menjawabb:
“Ialah diri engkau sendiri. Kalau engkau tidak menyibukkannya, niscaya dia yang
akan menyibukkan engkau”. Jadi, hakikat/makna sabar dan kesempurnaannya, ialah:
sabar itu dari setiap gerak yang tercela. Dan gerak batin itu lebih utama
dengan kesabaran dari yang demikian. Dan inilah sabar yang terus-menerus, yang
tidak akan putus, selain oleh mati. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala akan
kebagusan taufiq dengan nikmat dan kurniaNya.
PENJELASAN: obat sabar dan apa yang dapat memberi pertolongan
kepada sabar.
Ketahuilah kiranya, bahwa Tuhan yang menurunkan
penyakit itu menurunkan obat dan menjanjjkan sembuh. Maka sabar itu, walaupun
sukar atau ada penghalangnya, akan tetapi menghasilkan sabar itu mungkin,
dengan obat ilmu dan amal. Maka ilmu dan amal, keduanya itu, adalah
campuran-campuran yang tersusun daripadanya, obat-obat untuk penyakit
seluruhnya. Akan tetapi, setiap penyakit memerlukan kepada ilmu yang lain dan
perbuatan yang lain. Dan sebagaimana bahagian-bahagian sabar itu berbeda, maka
bahagian-bahagian penyakit yang mencegahnya itu berbeda pula. Apabila penyakit
berlain-lainan, niscaya pengobatannya pun berlain-lainan. Karena arti
pengobatan, ialah: melawan penyakit dan mencegahnya. Dan mencukupkan yang
demikian itu, termasuk akan panjang uraiannya. Akan tetapi, kami akan
memperkenalkan jalan pada sebahagian contoh-contoh. Maka kami menerangkan,
bahwa apabila orang berhajat kepada bersabar dari nafsu bersetubuh umpamanya
dan nafsu itu telah mengeras kepadanya, dimana ia tidak menguasai kemaluannya
lagi atau ia menguasai kemaluannya, akan tetapi ia tidak menguasai diri
kemaluannya itu ia menguasai diri kemaluannya, akan tetapi ia tidak menguasai
hatinya dan nafsunya, karena selalu membisikkan kepadanya dengan kehendak nafsu
syahwat itu dan yang demikian itu memalingkannya dari kerajinan kepada dzikir,
fikir dan amal shalih. Maka dalam hal ini, kami akan menjawab: Telah kami
bentangkan dahulu, bahwa sabar itu ibarat dari berbanting-bantingan pembangkit
agama dengan pembangkit hawa nafsu. Dan masing-masing dari dua yang
berbanting-bantingan itu kita menghendaki, bahwa yang satu dapat mengalahkan
yang lain. Maka tiada jalan bagi kita padanya, selain memperkuatkan siapa yang
kita kehendaki mempunyai tangan di atas dan melemahkan yang lain. Maka haruslah
kita di sini menguatkan pembangkit agama dan melemahkan pembangkit nafsu
syahwat.
Adapun pembangkit nafsu syahwat, maka jalan
melemahkannya itu 3 perkata:
pertama: bahwa kita memandang kepada
benda yang menguatkan nafsu syahwat. Yaitu: makanan yang baik, yang
menggerakkan nafsu syahwat, dari segi macamnya dan dari segi banyaknya makanan
tersebut. Maka tidak boleh tidak, memutuskan makanan itu dengan puasa
terus-menerus, serta sederhana ketika berbuka puasa, atas makanan yang sedikit,
tentang diri makanan itu dan yang lemah tentang jenisnya. Maka ia menjaga diri
dari memakan daging dan makanan-makanan yang mengobarkan nafsu syahwat.
Kedua: memutuskan sebab-sebabnya yang
mengobarkan nafsu syahwat itu seketika. Sesungguhnya nafsu itu dapat berkobar,
dengan memandang kepada tempat sangkaan timbulnya nafsu syahwat. Karena
pandangan itu menggerakkan hati. Dan hati itu menggerakkan nafsu syahwat.
Penjagaan itu berhasil dengan mengasingkan diri dan menjaga diri dari tempat
sangkaan jatuhnya penglihatan kepada bentuk-bentuk yang membawa kepada nafsu
syahwat. Dan melarikan diri daripadanya secara keseluruhan. Rasulullah saw
bersabda: “Pandangan itu adalah salah satu dari panah beracun daripada
panah-panah Iblis”. Itu adalah panah yang dilepaskan oleh setan yang terkutuk.
Dan tak ada perisai yang mencegah daripadanya, selain memejamkan pelupuk mata
atau lari dari arah lemparannya. Maka Iblis yang terkutuk itu melemparkan panah
tersebut dari busur bentuk-bentuk yang dirindui. Apabila engkau berbalik dari
arah bentuk-bentuk tadi, niscaya tidak akan mengenai engkau oleh panahnya.
Ketiga: menghiasi diri dengan yang
mubah (yang diperbolehkan), dari jenis yang engkau rindui. Dan yang demikian
itu, ialah dengan: kawin. Sesungguhnya setiap yang dirindui itu adalah tabiat
(instink). Maka pada hal-hal yang diperbolehkan dari yang sejenis kawin itu,
adalah yang mencukupkan baginya, tanpa hal-hal yang dilarang itu. Itu adalah
pengobatan yang lebih berrmanfaat pada pihak kebanyakan orang. Sesungguhnya
memutuskan makanan itu melemahkan perbuatan-perbuatan yang lain. Kemudian,
kadang-kadang memutuskan makanan tersebut, tidak mencegah nafsu syahwat pada
pihak kebanyakan laki-laki. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Haruslah
kamu kawin. Maka siapa yang tidak sanggup, haruslah ia berpuasa. Sesungguhnya
puasa itu baginya suatu keseimbangan”. Maka inilah 3 sebab itu ! Pengobatan
yang pertama tadi, yaitu: memutuskan makanan, adalah menyerupai memutuskan
makanan bagi hewan yang tidak patuh dan bagi anjing yang ganas. Supaya ia
lemah. Lalu hilanglah kekuatannya. Pengobatan yang kedua menyerupai penjauhan
(tidak menampakkan) daging bagi anjing. Dan penjauhan rumput bagi hewan.
Sehingga tidak tergerak perutnya dengan sebab melihatnya nanti. Pengobatan yang
ketiga menyerupai penghiasan diri dengan sesuatu yang sedikit, daripada yang
cenderung tabiatnya kepadanya. Sehingga tetap pada dirinya kekuatan yang dapat
bersabar untuk melatihnya. Adapun penguatan pembangkit agama, sesungguhnya ada
dengan dua jalan:
Pertama: memberi
makan pembangkit agama pada segala faedah bersungguh‑sungguh dan buahnya tentang agama dan dunia. Yang
demikian itu, dengan membanyakkan pikirannya pada hadits-hadits yang telah kami
bentangkan dahulu, mengenai kelebihan sabar dan mengenai baik akibatnya pada
dunia dan akhirat. Dan membanyakkan pikirannya pada atsar: bahwa pahala sabar
atas musibah adalah lebih banyak daripada yang telah hilang (luput). Bahwa dia
dengan sebab yang demikian itu menjadi gemar dengan musibah. Karena telah
hilang baginya apa yang tidak kekal padanya, selain selama lagi hidup. Dan telah
berhasil baginya, apa yang kekal sesudah mati, sepanjang masa. Siapa
menyerahkan yang keji pada yang berharga, maka tiada seyogyalah ia bergundah
hati, karena hilangnya yang keji itu dalam seketika. Ini termasuk sebahagian
bab ilmu mengenal Allah Ta’ala. Dan itu
sebahagian dari iman. Pada suatu kali, ia lemah dan pada lain kali, ia kuat.
Kalau ia kuat, niscaya kuatlah pembangkit iman dan dikobarkannya dengan
bersangatan. Dan kalau ia lemah, niscaya dilemahkannya. Kuatnya iman itu,
diibaratkan dengan: yakin. Dan yakinlah yang menggerakkan kemauan sabar. Dan
yang paling sedikit diberikan kepada manusia, ialah: yakin dan kemauan sabar
itu.
Kedua: bahwa
pembangkit agama ini membiasakan berbanting-bantingan dengan pembangkit hawa
nafsu, secara berangsur, sedikit demi sedikit. Sehingga ia memperoleh lezatnya
kemenangan dengan berbanting-bantingan itu. Lalu ia berani kepadanya dan kuat
cita-citanya pada berbantingan-bantingan dengan hawa nafsu tersebut.
Sesungguhnya kebiasaan dan selalu melatih diri dengan perbuatan-perbuatan yang
sulit itu mengokohkan kekuatan, yang timbul perbuatan-perbuatan itu
daripadanya. Karena itulah, bertambah kekuatan tukang-tukang pikul,
petani-petani dan orang-orang yang tampil ke medan perang.
Kesimpulannya, kekuatan
orang-orang yang terlatih dengan perbuatan-perbuatan yang sukar (berat) itu,
menambahkan kepada kekuatan tukang-tukang jahit, pembuat-pembuat minyak wangi,
ahli-ahli fiqh (al-fuqaha’) dan orang-orang shalih. Yang demikian itu, karena
kekuatan mereka sesungguhnya tidak bertambah kokoh dengan latihan itu. Maka
pengobatan pertama itu menyerupai harapan-harapan orang yang
berbanting-bantingan dengan pemberian (hadiah) ketika menang. Dan dijanjikan
dengan bermacam-macam kemuliaan. Sebagaimana dijanjikan oleh Fir’aun kepada
ahli-ahli sihirnya, ketika dihasungnya mereka berhadapan dengan Musa as, dimana
Fir’aun itu berkata: “Dan kamu jadinya masuk orang-orang yang terdekat
(kepadaKu)”. S Asy Syuara ayat 42. Dan pengobatan yang kedua itu mempunyai
pembiasaan anak kecil yang dikehendaki nanti daripadanya, berbanting-bantingan
dan berperang-perangan, dengan melakukan sebab-sebab yang demikian itu,
semenjak dari kecil. Sehingga ia jinak dengan yang tersebut, ia berani
kepadanya dan kuat angan-angannya padanya. Maka siapa yang meninggalkan bersungguh‑sungguh secara keseluruhan dengan sabar, niscaya
lemahlah padanya pembangkit agama. Dan ia tidak kuat kepada nafsu syahwat, walaupun nafsu syahwat itu lemah. Siapa yang
membiasakan dirinya menyalahi hawa nafsu, niscaya ia telah dapat mengalahkan hawa
nafsu itu manakala dikehendakinya. Maka inilah jalannya pengobatan pada semua
macam sabar. Dan tidak mungkin menyempurnakannya. Dan sesungguhnya yang paling
berat dari segala macam sabar itu, ialah: mencegah batin dari bisikan diri. Dan
yang demikian itu bersangatan, adalah terhadap orang yang mengosongkan dirinya,
untuk sabar, dengan mencegah semua nafsu syahwat zahiriah, mengutamakan
pengasingan diri, duduk untuk memperhatikan, dzikir dan fikir. Maka bisikan
setan senantiasa menariknya dari sudut ke sudut. Dan ini tiada obat baginya
sekali-kali, kecuali memutuskan semua hubungan, zahir dan batin, dengan lari
dari keluarga, anak, harta, kemegahan, teman-teman dan kawan-kawan. Kemudian,
mengasingkan diri ke suatu tempat peribadatan, sesudah mempersiapkan kadar
sedikit dari makanan dan sesudah merasa cukup dengan makanan yang sedikit
tersebut. Kemudian, semua itu tidak akan mencukupi, selama tidak semua
cita-cita itu menjadi satu yang ditujukan. Yaitu: ALLAH TA’ALA. Kemudian,
apabila telah mengerasi yang demikian pada hati, maka tidak akan mencukupi yang
demikian, selama belum ada baginya jalan pada berpikir, berjalan dengan
batiniahnya pada alam, malakut langit dan bumi, segala yang ajaib ciptaan Allah
Ta’ala dan yang lain-lain dari segala pintu ilmu mengenal Allah Ta’ala. Sehingga apabila
yang demikian itu telah menguasai atas hatinya, niscaya kesibukannya dengan
yang demikian itu, dapatlah menolak tarikan setan dan bisikannya. Dan kalau ia
tidak mempunyai perjalanan dengan batiniahnya, maka tidak akan melepaskannya,
selain oleh wirid-wirid yang bersambung, teratur dengan tertib pada setiap
ketika, seperti pembacaan Al quranul-Karim, dzikir-dzikir dan shalat-shalat.
Dan bersamaan dengan yang demikian, ia memerlukan kepada memaksakan hati akan
kehadirannya. Sesungguhnya pikir dengan batin, inilah yang menenggelamkan hati
dalam mengingati Allah Ta’ala, tidak wirid-wirid zahiriah. Kemudian, apabila ia
telah mengerjakan yang demikian itu semua, niscaya tidak diserahkannya untuk
itu dari waktunya, selain sebahagian saja. Karena ia tidak akan terlepas pada
semua waktunya, dari pada kejadian-kejadian yang baru. Lalu menyibukkannya dari
fikir dan dzikir, seperti: sakit, takut, disakiti manusia dan penganiayaan
orang yang bercampur baur dengan dia. Karena ia memerlukan kepada bercanpur
baur dengan orang yang akan menolongnya, pada sebahagian sebab-sebab
kehidupannya. Maka inilah salah satu dari bermacam-macam yang menyibukkan itu !
Adapun macam yang
kedua, maka
itu penting, lebih bersangatan pentingnya daripada yang pertama tadi. Yaitu:
kesibukannya dengan makanan, pakaian dan sebab-sebab kehidupan lainnya. Maka
sesungguhnya penyediaan yang demikian juga, memerlukan kepada kesibukan, kalau
dikerjakannya (diuruskannya) sendiri. Dan jikalau diurus oleh orang lain, maka
ia tidak terlepas dari kesibukan hati dengan orang yang menguruskannya itu.
Akan tetapi, sesudah memutuskan semua perhubungan, ia menyerahkan untuk itu
kebanyakan waktunya, kalau ia tidak diserang oleh cacian orang atau sesuatu
kejadian. Dan pada waktu-waktu tersebut, bersihlah hatinya, mudahlah baginya
berfikir dan tersingkaplah padanya rahasia-rahasia Allah Ta’ala, pada alam
malakut langit dan bumi, apa yang tidak disanggupinya 1/100 nya pada waktu yang
panjang, jikalau hatinya disibukkan dengan hubungan-hubungan yang lain.
Sampainya kepada ini, adalah maqam yang terjauh yang mungkin dicapai dengan
usaha dan kesungguhan.
Adapun kadar yang tersingkap dan
jumlah-jumlah apa yang datang dari kasih sayang Allah Ta’ala pada segala hal
dan perbuatan, maka yang demikian itu berlaku, sebagaimana berlakunya buruan.
Yaitu: menurut rezeki. Maka kadang-kadang sedikitlah kesungguhan dan banyaklah
buruan yang diperoleh. Kadang-kadang panjanglah kesungguhan dan sedikitlah
keberuntungan yang diperoleh. Dan pegangan dibalik kesungguhan ini, ialah atas
tarikan dari tarikan-tarikan Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka itu adalah yang
menentangi perbuatan-perbuatan jin dan manusia. Dan tidaklah yang demikian itu
dengan pilihan (ikhtiar) hamba. Ya, pilihan hamba pada mendatangi tarikan itu,
dengan memutuskan dari hatinya, tarikan-tarikan duniawi. Maka sesungguhnya
orang yang tertarik kepada yang paling rendah dari segala yang rendah itu,
tiada akan tertarik kepada yang tertinggi dari segala yang tinggi. Semua yang
dicita-citakan di dunia, maka dia tertarik kepadanya. Maka memutuskan
hubungan-hubungan yang menariknya itu, adalah yang dimaksud dengan sabda Nabi
saw: “Sesungguhnya Tuhanmu pada hari-hari masamu itu mempunyai pemberian-pemberian.
Adakah tidak kamu mendatangi kepada pemberian-pemberian itu ?”. Yang demikian
itu adalah karena pemberian-pemberian tersebut dan tarikan-tarikan itu,
mempunyai sebab-sebab datang dari langit, karena Allah Ta’ala berfirman: “Dan
di langit ada rezekimu dan (juga) apa yang dijanjikan kepada kamu”. S Adz
Dzariyaat ayat 22. Ini termasuk yang tertinggi dari segala macam rezeki. Urusan
langit itu adalah hal yang ghaib (tidak tampak) bagi kita. Maka kita tidak
mengetahui, kapan Allah Ta’ala memudahkan sebab-sebab mendapat rezeki. Maka
tiada atas kita, selain mengosongkan tempat dan menunggu turunnya rahmat dan
sampainya waktu pada temponya. Seperti orang yang memperbaiki tanah dan
membersih kan nya dari rumput dan menaburkan benih padanya. Semua itu tidak
bermanfaat, selain dengan hujan. Dan tidak diketahui, kapan Allah Ta’ala
mentakdirkan sebab-sebab turunnya hujan. Hanya ia percaya dengan kurnia Allah
Ta’ala dan rahmatNya, bahwa IA tidak akan membiarkan suatu tahun tanpa hujan.
Maka seperti demikian juga, amat sedikitlah terlepas tahun, bulan dan hari,
tanpa tarikan dari segala tarikan dan pemberian dari segala pemberian. Maka
seyogyalah hamba itu mensucikan hatinya dari rumput nafsu syahwat. Dan ia
menaburkan padanya benih kemauan dan keikhlasan. Dan didatangkannya hatinya
pada tempat tertiupnya angin rahmat. Sebagaimana ia kuat menunggu hujan pada
waktu musim bunga dan ketika tampak mendung. Lalu kuatlah ia menunggu
pemberian-pemberian itu pada waktu-waktu yang mulia dan ketika berkumpul semua
cita-cita dan tertolonglah hati. seperti: pada hari ‘Arafah, hari Jum’at dan
hari-hari bulan Ramadhan. Maka cita-cita dan diri itu adalah sebab-sebab dengan
hukum takdir Allah Ta’ala untuk memperoleh banyak rahmatNya. Sehingga dengan
sebab tersebut, sangat banyaklah hujan pada waktu-waktu meminta turunnya hujan.
Dan itu untuk banyaknya turun hujan diminta untuk mengetahuinya saja dan yang
halus-halus dari ilmu mengenal Allah
Ta’ala, dari gudang-gudang alam al-malakut, adalah lebih keras bersesuaian
daripadanya untuk banyaknya turun titik-titik air dan menariknya mendung dari
tepi-tepi bukit dan laut. Bahkan hal-ihwal dan diminta untuk mengetahuinya saja
itu datang bersama engkau dalam hati engkau. Hanya engkau itu sibuk dengan
segala hubungan engkau dan nafsu syahwat engkau. Maka jadilah yang demikian itu
suatu hijab (dinding) antara engkau dan yang tersebut itu. Lalu sesungguhnya,
tiada yang engkau perlukan, selain kepada engkau pecahkan nafsu syahwat dan
terangkatlah dinding. Lalu cemerlanglah cahaya ilmu mengenal Allah Ta’ala dari batin hati.
dan menimbulkan air bumi dengan mengorek parit adalah lebih mudah dan lebih
dekat daripada melepaskan air ke bumi
dari tempat yang jauh, yang rendah daripadanya.
Dan karena adanya itu hadir di
dalam hati dan dilupakan dengan kesibukan, maka dinamakan oleh
Allah Ta’ala semua ilmu mengenal Allah
Ta’ala iman itu: pengingatan. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami
menurunkan peringatan (Alquran) itu dan sesungguhnya Kami penjaganya”. S Al
Hijr ayat 9. Allah Ta’al berfirman: “Dan supaya orang-orang yang mengerti,
dapat memikirkan". S 38 Shaad ayat 29. Allah TA’ala berfirman: “Dan
sesungguhnya Alquran itu Kami mudahkan unntuk diingati, maka adakah orang yang
mengambil pelajaran ?”. S Al Qamar ayat 17. Maka ini adalah pengobatan sabar
dari bisikan-bisikan setan dan kesibukan-kesibukan. Dan itulah penghabisan
derajat sabar ! Sesungguhnya sabar (menahan diri) dari hubungan-hubungan
seluruhnya itu didahulukan dari sabar atas gurisan-gurisan dalam hati.
Al-Junaid ra mengatakan:
“Berjalan dari dunia ke akhirat itu mudah atas orang mu’min. Meninggalkan
makhluk pada menyukai kebenaran itu sukar. Berjalan dari diri kepada Allah
TA’ala itu payah benar. Dan sabar bersama Allah itu sangat sukar”. Beliau
menyebutkan: sukarnya sabar dari segala yang menyibukkan hati. kemudian,
sukarnya meningalkan makhluk. Dan hubungan-hubungan yang paling sukar atas diri
seseorang, ialah: hubungan dengan makhluk dan suka kemegahan. Sesungguhnya
keenakan menjadi kepala, menang, kedudukan tinggi dan banyak pengikut itu,
adalah keenakan yang paling menjadi kebiasaan di dunia pada diri orang-orang
yang berakal. Maka bagaimana tidak menjadi kelezatan yang paling menjadi
kebiasaan dan yang dicari itu adalah salah satu dari sifat-sifat Allah Ta’ala,
yaitu: Ar-Rububiyah
(ketuhanan). Dan ketuhanan itu disukai dan dicari
menurut tabiat hati manusia. Karena padanya, penyesuaian bagi hal-hal ketuhanan.
Dan dari yang demikian itu, diibaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Jawablah:
ruh itu termasuk urusan Tuhanku”. S 17 Al Isra ayat 85. Tidaklah hati itu
tercela atas kesukaannya yang demikian. Sesungguhnya ia tercela atas kesalahan
yang terjadi baginya, disebabkan tipuan setan yang terkutuk, yang menjauhkah
dari alam urusan Tuhan. Karena setan itu dengki kepada adanya hati itu termasuk sebagian dari alam urusan Tuhan. Lalu
disesatkannya dan digodakannya. Bagaiamana maka hati itu tercela, padahal ia
mencari kebahagiaan akhirat ? ia tidak mencari, selain kekekalan, yang tak kekal
padanya. Kemuliaan, yang tak hina padanya. Keamanan, yang tak ada ketakutan
padanya. Kekayaan, yang tak ada kemiskinan padanya. Dan kesempurnaan, yang tak
ada kekuranagn padanya. Ini semua, adalah termasuk sifat-sifat ketuhanan. Dan
tidak tercela mencari yang demikian. Bahkan, setiap hamba itu berhak mencari
kerajaan besar, yang tiada berkesudahan. Yang mencari kerajaan itu, adalah
sudah pasti yang mencari ketinggian, kemuliaan kesempurnaan. Akan tetapi,
kerajaan itu ada 2: kerajaan yang bercampur dengan segala macam kepedihan dan
dihubungi dengan cepatnya kehancuran. Akan tetapi dia itu segera, yaitu: di
dunia. Dan (yang kedua) kerajaan yang kekal yang tidak bercampur dengan
kekeruhan dan kepedihan. Dan tidak diputuskan dengan sesuatu yang memutuskan.
Akan tetapi, dia itu lambat (nanti). Dan manusia itu dijadikan tergopoh-gopoh,
gemar pada yang segera. Lalu datanglah setan dan ia mencari jalab kepada
manusia, dengan jalan segera (terburu-buru) itu, yang menjadi tabiat manusia.
Maka diperdayakannya dengan jalan terburu-buru itu. Dihiasinya dengan yang
sudah ada di depan. Dan ia mengambil jalan kepadanya dengan jalan kebodohan.
Lalu dijanjikannya dengan tipuan pada akhirat dan diberikannya nikmat serta
kerajaan dunia itu akan kerajaan akhirat, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw:
“Orang bodoh itu, ialah: orang yang mengikutkan dirinya akan hawa nafsunya dan
berangan-angan kepada Allah dengan bermacam-macam angan-angan”. Maka tertipulah
orang yang terhina tadi, dengan tipaun setan. Dan ia sibuk denagn mencari
kemuliaan dunia dan kerajaannya, sekadar kemungkinannya. Dan orang yang
memperoleh taufiq, tiada akan tersangkut dengan tali tipuan setan itu. Karena
ia tahu, jalan-jalan masuknya tipu daya setan. Lalu, ia berpaling dari yang
segera (dunia) itu. Maka diibaratkan dari hal orang-orang yang terhina itu,
dengan firman Allah Ta’ala: “Jangan ! tetapi kamu mencintai yang cepat
(kehidupan dunia). Dan meninggalkan hari akhirat”. S Al Qiyamah ayat 20-21.
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang itu mencintai kehidupan yang
cepat dan meninggalkan di belakang mereka hari yang berat”. S Ad Dahr ayat 27.
Allah Ta’ala berfirman: “Berpalinglah engkau dari orang yang tiada
memperdulikan pengajaran kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia semata.
Pengetahuan mereka hanya sehingga itu”. S 53 An Najm ayat 29-30.
Tatkala tipu daya setan telah
beterbangan pada makhluk sleuruhnya, maka Allah Ta’ala mengutus para malaikat
kepada para rasul-rasul. Dan mewahyukan kepada mereka, apa yang telah sempurna
makhluk dari pembinasaan musuh dan penipu dayanya. Lalu para malaikat itu sibuk
menyerukan makhluk kepada kerajaan yang hakiki (yang sebenarnnya), dari
kerajaan yang majasi (yang tidak sebenarnya), yang tidak berasal, kalau ia bisa
selamat. Dan yang majasi itu sekali-kali tidak kekal. Maka malaikat menyerukan
mereka: “Hai orang-orang yang beriman ! apakah (halangan) bagimu, ketika
dikatakan kepada kamu: berangkatlah (perang) di jalan Allah, tetapi kamu ingin
tinggal di bumi. Apakah kamu –lebih- merasa senang dengan kehidupan dunia dari
akhirat ? kesenangan hidup di dunia ini dibandingkan dengan akhirat, hanyalah
sedikit (harganya)”. S 9 At Taubah ayat 38.
Taurat, Injil, Zabur, Alfurqan
(Alquran), shuhuf Musa dan Ibrahim dan semua Kitab yang diturunkan, adalah
tidak diturunkan, selain untuk dakwah (mengajak) makhluk (manusia) kepada
kerajaan yang terus menerus, lagi kekal. Dan yang dimaksudkan dari mereka,
ialah: bahwa mereka itu adalah raja-raja di dunia dan raja di akhirat. Adapun
raja dunia, maka ialah: zuhud di dunia, merasa puas (al-qana’ah) dengan sedikit
daripadanya. Adapun raja akhirat, maka ialah: dengan dekat kepada Allah Ta’ala
dengan memperoleh kekal, yang tak kekal padanya, memperoleh mulia, yang tidak
hina padanya dan ketetapan mata, yang tersembunyi pada alam ini, yang tidak
diketahui oleh suatu jiwapun dari jiwa-jiwa manusia.
Setan mengajak mereka kepada
kerajaan dunia. Karena ia tahu, bahwa kerajaan akhirat itu hilang dari dia
(tidak diperolehnya). Karena dunia dan akhirat itu 2 kembar. Dan karena setan
itu tahu, bahwa dunia tidak juga diserahkan kepadanya. Dan kalau dunia itu
diserahkan kepadanya, niscaya dia akan dengki pula. Akan tetapi, kerajaan dunia
itu tidak terlepas dari perbantahan, kekeruhan dan panjangnya kesusahan pada
mengaturnya. Dan demikian juga, sebab-sebab kemegahan lainnya. Kemudian,
manakala ia telah menerimanya dan telah sempurna sebab-sebabnya, lalu umurnya
pun berlalu “sehingga apabila bumi telah memakai pakaian keemasannya dan
menjadi indah permai dan penduduknya mengira, bahwa mereka akan dapat
mengusainya. Perintah Kami datanglah di waktu malam atau siang, lalu Kami
jadikan bumi itu sebagai ladang padi yang sudah dituai, seakan-akan kemarennya
tidak ada apa-apa”. Maka Allah Ta’ala membuat contoh bagi yang demikian. Maka
Ia berfirman: “Dan buatlah untuk mereka perumpamaan kehidupan dunia, sebagai
air hujan yang Kami turunkan dari langit (awan) dan karenanya tumbuh-tumbuhan
di bumi ini menjadi subur, kemudian itu dia menjadi kering, diterbangkan
angin”. S Al Kahf ayat 45.
Zuhud di dunia, tatkala adalah itu kerajaan yang sekarang,
lalu setan dengki kepadanya. Maka dihalanginya daripadanya. Arti zuhud, ialah:
bahwa hamba itu menguasai nafsu syahwat dan kemarahannya. Lalu keduanya
mematuhi pembangkit agama dan isyarat iman. Dan ini adalah kerajaan dengan
sebenarnya. Karena dengan itu, yang mempunyai sifat zuhud tersebut, menjadi
merdeka. Dan dengan dikuasainya oleh nafsu syahwat atas dirinya, dia menjadi
budak kemaluannya, perutnya dan maksud-maksudnya yang lain. Maka dia adalah
dipaksakan seperti hewan yang ada pemiliknya, yang ditarik oleh tali penambat
nafsu syahwat, yang mengambil dengan cekikannya, kemana dikehendakinya dan
diinginya. Maka alangkah besar tertipunya manusia ! karena ia menyangka, bahwa
ia akan memperoleh kerajaan, dengan ia akan menjadi dimiliki. Ia akan mencapai ketuhanan,
dengan dia menjadi hamba. Dan yang seperti ini, adakah itu, selain terbalik di
dunia, tertelungkup di akhirat ? karena inilah, sebahagian raja-raja bertanya
kepada orang-orang zahid”. Apakah tuan ada keperluan ?”. orang zahid itu lalu menjawab:
“Bagaimana aku mencari suatu keperluan dari engkau, sedang kerajaanku itu lebih
besar dari kerajaan engkau ?”. Maka raja itu bertanya: “Bagaimana demikian “.
Orang zahid itu menjawab: “Siapa, yang engkau itu budaknya, maka dia itu
budakku”. Lalu raja itu bertanya pula: “Bagaimana maka demikian ?”. Orang zahid
itu menjawab: “Engkau adalah budak nafsu syahwat engkau, kemarahan engkau
kemaluan engkau dan perut engkau. Dan aku telah menguasai mereka itu semuanya,
maka mereka itu adalah budakku”. Jadi, maka inilah dia itu raja di dunia. Dan
dialah yang menghalau kepada raja di akhirat. Maka orang-orang yang tertipu
dengan tipuan setan, niscaya mereka itu merugi di dunia dan di akhirat
semuanya.
Dan orang-orang yang memperoleh
taufiq untuk berpegang teguh kepada jalan yang lurus, niscaya memperoleh
kemenangan di dunia dan di akhirat semuanya. Apabila anda sekarang telah mengetahui
sekarang akan arti kerajaan dan ketuhanan, arti pengadaan dan memperhambakan
diri dengan ibadah, tempat masuknya kesalahan pada yang demikian, cara setan
membutakan mata dan meragukannya, niscaya mudahlah atas anda mencabut diri dari
kerajaan, kemegahan, berpaling daripadanya dan sabar dari kehilangannya. Karena
dengan meninggalkan itu, anda menjadi raja seketika dan anda mengharap dengan
yang demikian, menjadi raja di akhirat. Orang yang bersikap baginya dengan
hal-hal ini, sesudah hatinya tertarik dengan kemegahan, jinak hatinya dengan
yang demikian, telah meresap padanya, disebabkan kebiasaan, berhubungan
langsung sebab-sebabnya, maka tidak memadai baginya pada pengobatan oleh semata-mata
ilmu dan tersingkap terbuka hijabnya. Akan tetapi, tidak boleh tidak bahwa
ditambahkan amal kepadanya. Dan amal itu pada 3 perkara:
pertama: bahwa ia
lari dari tempat kemegahan. Supaya ia tidak menyaksikan sebab-sebab kemegahan
itu. Lalu sukarlah kepadanya sabar (menahan diri) serta sebab-sebab itu.
Sebagaimana larinya orang yang dikuasai oleh nafsu syahwat, daripada menyaksiakan
bentuk-benuk yang menggerakkan nafsu syahwat itu. Siapa yang tidak berbuat ini,
maka sesungguhnya ia telah kufur dengan nikmat Allah, tentang luasnya bumi.
Karena Allah TA’ala berfirman: “Tidakkah bumi Allah itu luas, sehingga kamu
boleh pindah kemana-mana ?”. S 4 An Nisa’ ayat 97.
Kedua: bahwa ia
memberatkan dirinya pada amal perbuatannya, akan perbuatan-perbuatan yang
menyalahi dengan apa yang dibiasakannya. Lalu ia menggantikan pemberatan itu
dengan memberikan tenaga seadanya dan hiasan malu berganti dengan hiasan
tawadlu’ (merendahkan diri) begitu juga, setiap keadaan, hal-ihwal dan
perbuatan, tentang tempat tinggal, pakaian, makanan, berdiri dan duduk, adalah
dibiasakannya, menurut yang dikehendaki oleh kemegahan nya. Maka seyogyalah
digantikannya dengan lawannya. Sehingga mantaplah dengan membiasakan dengan demikian,
lawan apa yang telah mantap padanya, sebelum dibiasakan lawannya. Maka tiada
arti bagi pengobatan, selain yang berlawanan.
Ketiga: bahwa ia
menjaga pada yang demikian itu kelemah-lembutan dan keberangsuran. Maka
tidaklah ia berpindah dengan sekaligus kepada tepi yang paling jauh, daripada
memberikan tenaga tadi. Karena tabiat itu lari (tidak senang) dan tidak mungkin
memindahkannya dari tingkah lakunya (akhlaknya), selain dengan
berangsur-angsur. Maka ia meninggalkan sebahagian dan menghiburkan dirinya
dengan sebahagian.
Kemudian, apabila dirinya telah
puas dengan sebahagian itu lalu ia mulai meninggalkan sebahagian dari
sebahagian itu, sampai ia merasa puas dengan yang masih tinggal. begitulah
kiranya ia berbuat sedikit demi sedikit, sehingga ia dapat mencegah sifat-sifat
itu, yang telah melekat padanya. Dan kepada keberangsuran ini, diisyaratkan
dengan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya agama ini kokoh, maka berjalanlah padanya
dengan pelan-pelan. Dan janganlah engkau marahkan kepada diri engkau pada ibadah
kepada Allah. Maka sesungguhnya orang yang memutuskan perjalanannya, tiadalah
bumi yang diputuskannya (bumi yang ditempuhnya sampai kepada yang ditujukannya)
dan tiada punggungnya yang ditinggalkannya (yang dapat diambil manfaatnya)”.
Dan kepadanya juga diisyaratkan
kepada sabda Nabi saw: “Janganlah kamu kerasi agama ini! maka siapa yang
mengerasinya, niscaya akan mengalahkan nya”. Jadi, apa yang telah kami sebutkan
tentang pengobatan sabar dari bisikan setan, dari nafsu syahwat dan dari
kemegahan diri, maka tambahkanlah itu kepada apa yang telah kami sebutkan
dahulu dari undang-undang jalan bersungguh‑sungguh pada Kitab Latihan Jiwa dari Rubu’ yang
membinasakan.
Maka ambillah itu menjadi
undang-undang dasarmu, supaya engkau ketahui dengan itu pengobatan sabar, pada
semua bahagian yang telah kami uraikan sebelumnya ! sesungguhnya penguraian
satu persatu itu akan panjang. Dan siapa yang menjaga keberangsuran, niscaya
sabar itu akan meninggi kepada keadaan, yang sukar padanya sabar, tanpa yang
demikian. Sebagimana sukar kepadanya sabar bersama yang demikian itu. Lalu
terbaliklah semua urusannya. Maka apa yang disukai padanya, menjadi tercela.
Dan apa yang tidak disukai padanya, menjadi minuman yang memuaskan, yang dia
tidak dapat sabar daripadanya. Ini tidak dapat diketahui, selain dengan
percobaan dan perasaan. Dan ia mempunyai bandingan pada hal-hal kebiasaan.
Sesungguhnya anak kecil dibawa kepada belajar pada permulaan itu dengan
paksaan. Maka sukarlah kepadanya sabar (menahan diri) daripada bermain dan
bersabar bersama ilmu. Sehingga apabila terbuka mata hatinya dan hatinya jinak
dengan ilmu, niscaya berbaliklah keadaan. Lalu menjadi sukar kepadanya sabar
(menahan diri) daripada ilmu dan sabar (terus-menerus) pada permainan.
Kepada inilah diisyaratkan apa
yang diceritakan dari sebahagian ahli ilmu mengenal Allah Ta’ala (al-’arifin), bahwa
ia bertanya kepada Asy-Syibli dari hal sabar: “Manakah yang lebih berat ?”.
Asy-Syibli menjawab: “Sabar pada jalan Allah Ta’ala”. Lalu al-‘arifin itu
berkata: “Tidak !”. Asy-Syibli lalu berkata: “Sabar karena Allah”. Al-‘arifin
lalu berkata lagi: “Tidak !”. Maka Asy-Syibli menjawab: “Sabar bersama Allah”.
Al-‘arifin berkata pula: " Tidak !”. lalu Asy-Syibli berkata: “Jadi apa ?”.
Al-‘arifin itu berkata: “Sabar jauh dari Allah”. Maka Asy-Syibli memekik dengan
pekikan yang hampir menewaskan nyawanya. Dikatakan tentang arti firman Allah
Ta’ala: S 3 Ali Imran ayat 200 : Sabarlah pada jalan Allah ! sabar menyabarkanlah
dengan sebab Allah ! Perteguhkanlah kekuatanmu besama Allah ! dikatakan: sabar
li’llah itu kekayaan. Sabar bi’llah itu kekekalan. Sabar ma’allah itu
kesempurnaan. Dan sabar ani’llah sabar jauh dari Allah itu menjauhkan diri. Dikatakan
tentang artinya, sbb, dengan madah:
Sabar jauh dari engkau,
maka tercelalah akibatnya.
sabar pada hal-hal lain,
itu terpuji.
Dikatakan pula:
Sabar itu baik,
pada semua tempat.
kecuali atas engkau,
maka itu tidak baik.
Inilah akhir apa yang kami kehendaki menguraikannya
dari pengetahuan sabar dan rahasianya !
BAHAGIAN KEDUA:
DARI KITAB TENTANG SYUKUR.
Dan mempunyai 3 rukun (sendi):
Pertama: tentang keutamaan syukur,
hakikat/maknanya, bahagian-bahagiannya dan hukum-hukumnya.
Kedua: tentang hakikat/makna nikmat dan
bahagian-bahagiannya yang khusus dan yang umum.
Ketiga: tentang penjelasan yang lebih utama dari
syukur dan sabar.
RUKUN PERTAMA: tentang syukur itu sendiri.
PENJELASAN: keutamaan syukur.
Ketahuilah kiranya, bahwa Allah Ta’ala membaringi
syukur dengan dzikir dalam KitabNya, IA berfirman: “Sesungguhnya mengingati
Allah itu amat besar manfaatnya”. S Al Ankabut ayat 45. Maka Allah Ta’ala
berfirman: “Maka ingatlah (berdzikirlah) kepadaKu, supaya Aku ingat pula
kepadamu ! dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah menjadi orang yang tidak
tahu berterima kasih !”. S 2 Al Baqarah ayat 152. Allah Ta’ala berfirman:
“Allah Ta’ala tiada akan berbuat menyiksakan kamu, kalau kamu bersyukur dan
beriman”. S An Nisa’ ayat 147. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Kami akan
memberikan ganjaran untuk orang-orang yang bersyukur”. S 3 Ali Imran ayat 145.
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman, untuk menceritakan dari hal Iblis yang
terkutuk: “Aku akan duduk menganggu mereka dari jalan yang lurus”. S 7 Al A’raf
ayat 16. Dikatakan, bahwa jalan yang lurus itu, ialah: jalan syukur. Dan karena
tingginya tingkat syukur itu, maka setan yang terkutuk itu menusuk pada
makhluk. Ia berkata: “Dan tidaklah akan Engkau dapati, bahwa kebanyakan mereka
menjadi orang-orang yang bersyukur”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sedikit
sekali dari hamba-hambaKu yang tahu bersyukur (berterima kasih)”. S Saba ayat
13. Allah Ta’ala telah memutuskan, dengan menambahkan nikmat beserta syukur dan
IA tidak mengadakan pengecualian. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Kalau kamu
bersyukur, niscaya Aku akan menambahkan kepadamu”. S Ibrahim ayat 7. Allah
Ta’ala mengadakan pengecualian pada 5 perkara: pada memperkayakan, menerima
doa, rezeki, ampunan dan taubat. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Allah akan
memberikan kekayaan kepada kamu dengan kurniaNya, jika Ia menghendaki”. S 9 At
Taubah ayat 28. Allah Ta’ala berfirman: “Maka DIA (Allah) akan menghilangkan
(bahaya) yang kamu berdoa (bermohon) kepadaNya, kalau Ia menghendakinya”. S 6
Al An’aam ayat 41. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Allah memberikan rezeki kepada
siapa yang dikehendakiNya dengan tiada dapat dikirakan”. S 2 Al Baqarah ayat
212. Allah Ta’ala berfirman: “Dan IA (Allah) mengampuni yang bukan itu (yaitu:
mempersekutukanNya) bagi siapa yang dihendakiNya”. S 4 An Nisa’ ayat 48. Allah
Ta’ala berfirman: “Dan Allah menerima taubat siapa yang dikehendakiNya”. S 9 At
Taubah ayat 15.
Syukur itu adalah salah satu
akhlak ketuhanan, karena Allah Ta’ala berfirman: “Allah itu Maha bersyukur dan
Maha Penyantun”. S At Taghabun ayat 17. Allah ta’ala menjadikan syukur itu anak
kunci perkataan penduduk surga. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka (penduduk
sorga) itu mengucapkan: Segala pujian untuk Allah yang telah memenuhi janjiNya
kepada kami”. S Az Zumar ayat 74. Allah Ta’ala berfirman: “Dan akhir doa
mereka, bahwa: Segala pujian bagi Allah Tuhan semesta alam”. S 10 Yunus ayat
10.
Adapun hadits, maka Rasulullah saw
bersabda: “Orang yang makan dan yang bersyukur adalah seperti orang yang
berpuasa yang sabar”. Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, bahwa ‘Atha’
mengatakan: “aku masuk di tempat ‘Aisyah, lalu aku bertanya: “Terangkanlah
kepadaku dengan yang paling mengherankan, dari apa yang engkau lihat dari
Rasulullah saw”. Lalu ‘Aisyah itu menangis dan berkata: “Bagaimana keadaannya
yang tidak mengherankan ! pada suatu malam dia datang kepadaku. Lalu ia masuk
bersama aku pada tempat tidurku”. Atau ‘Aisyah mengatakan: “Dalam selimutku”,
sehingga kulitku menyentuh kulitnya. Kemudian, ia bersabda: “Wahai puteri
Abubakar ! biarkanlah aku beribadah kepada Tuhanku !”. ‘Aisyah meneruskan ceritanya:
“Aku menjawab: “Sesungguhnya aku ingin berdekatan engkau. Akan tetapi, aku
mengutamakan keinginan engkau”. Lalu aku izinkan kepadanya. Maka ia bangun
berdiri menuju bak air. Lalu ia berwudhu’. Ia tidak membanyakkan menuangkan
air. Kemudian ia berdiri, mengerjakan shalat. Lalu ia menangis, sehingga
bercucuran air matanya di atas dadanya. Kemudian, ia ruku’. Lalu ia menangis.
Kemudian, ia sujud, lalu ia menangis. Kemudian ia mengangkat kepalanya, lalu ia
menangis. Maka senantiasalah seperti yang demikian, ia menangis, sehingga
datangah Bilal. Lalu Bilal memberitahukannya (mengerjakan adzan) untuk shalat.
Maka aku mengatakan: “Wahai Rasulullah ! apakah yang membawa engkau menangis,
padahal Allah Ta’ala telah mengampunkan apa yang telah terdahulu dari dosa
engkau dan apa yang terkemudian ?”. Lalu ia menjawab: “Apakah tidak aku ini
seorang hamba yang bersyukur ? mengapa tidak aku perbuat yang demikian ?
padahal Allah Ta’ala telah menurunkan (ayat) kepadaku: “Sesungguhnya tentang
kejadian langit dan bumi, pertukaran malam dan siang, kapal yang berlayar di
lautan yang memberi manfaat kepada manusia, air (hujan) yang diturunkan Allah
dari langit, lalu dihidupkanNya (karena hujan itu) bumi yang sudah mati
(kering) dan berkeliaranlah berbagai bangsa binatang dan perkisaran angin dan
awan yang disuruh bekerja di antara langit dan bumi, sesungguhnya semua itu
menjadi bukti kebenaran untuk orang-orang yang mengerti”. S 2 Al Baqarah ayat
164. Ini menunjukkan bahwa menangis itu seyogyalah tiada putus selalu. Dan kepada
rahasia inilah, diisyaratkan oleh apa yang diriwayatkan, bahwa sebahagian
nabi-nabi melintasi batu kecil yang keluar daripadanya banyak air. Lalu nabi
tersebut merasa heran dari yang demikian. Lalu nabi itu dituturkan oleh Allah
Ta’ala. Maka ia berkata: “Bahwa semenjak aku mendengar firrman Allah Ta’ala:
“Kayu apinya neraka itu, adalah manusia dan batu-batu”. S 2 Al Baqarah ayat 24.
Maka aku menangis dari karena takutnya”. Lalu ia bermohon kepada Allah Ta’ala,
kiranya IA melepaskannya dari api neraka. Maka ia dilepaskan oleh Allah Ta’ala.
Kemudian, sesudah beberapa waktu, dilihatnya pula seperti yang demikian, lalu
ditanyakan: “Mengapa engkau menangis sekarang ?”. Nabi itu lalu menjawab:
“Tangis dulu itu, tangis ketakutan dan ini, tangis kesyukuran dan kegembiraan”.
Hati hamba itu adalah seperti batu atau hati hamba itu adalah seperti batu atau
lebih lagi kerasnya. Dan kerasnya itu tiada akan hilang, selain dengan menangis
dalam semua hal ketakutan dan kesyukuran. Diriwayatkan dari Nabi saw, bahwa
beliau bersabda: “Diserukan pada hari kiamat, supaya bangunlah berdiri
orang-orang al-hammadun (orang-orang yang banyak memuji Tuhan atas nikmatNya).
Maka bangunlah suatu jamaah. Lalu ditegakkan bagi mereka bendera. Maka mereka
itu lalu masuk sorga”. Ditanyakan: “Siapakah al-hammadun itu ?”. Nabi saw
menjawab: “Mereka yang bersyukur kepada Allah Ta’ala dalam keadaan suka dan
duka”. Nabi saw bersabda: “Pujian itu selendang (rida’) Tuhan Yang Maha
Pengasih”. Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Ayyub as: “Sesungguhnya
Aku rela dengan kesyukuran, sebagai imbalan dari para waliKu.......” dalam
perkataan yang panjang. Allah Ta’ala menurunkan pula wahyu kepada Ayyub as
tentang sifat orang-orang yang sabar: “Bahwa negeri mereka adalah negeri
sejahtera. Apabila mereka masuk ke dalamnya, niscaya Aku ilhamkan kepada mereka
kesyukuran. Dan itu adalah perkataan yang sebaik-baiknya. Dan ketika kesyukuran
itu, Aku akan tambahkan kepada mereka. Dan dengan memandang kepadaKu, Aku
tambahkan kepada mereka. Dan tatkala telah turunlah dalam gudang-gudang itu apa
yang telah turun”.
‘Umar ra bertanya: “Harta mana
yang akan kita ambil ?”. Lalu Nabi saw menjawab: “Hendaklah seseorang kamu itu
mengambil lidah yang berdzikir dan hati yang bersyukur”. Nabi saw menyuruh
menyimpankan hati yang bersyukur, sebagai ganti dari harta. Ibnu Mas’ud ra
mengatakan: “Syukur itu setengah iman”.
PENJELASAN: batas syukur dan hakikat/maknanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa syukur itu termasuk dalam
jumlah kedudukan orang-orang yang berjalan kepada Allah. Dan juga syukur itu
tersusun dari ilmu, hal (keadaan) dan amal. Ilmu itu pokok, lalu mewariskan hal
(keadaan). Dan hal itu mewariskan amal. Maka adapun ilmu, yaitu: mengenal
nikmat dari yang memberikan nikmat. Dan hal (keadaan), ialah: kesenangan yang berhasil
dengan kenikmatan itu. Dan amal, ialah: tegak berdiri dengan apa yang menjadi
maksud yang memberikan nikmat dan yang disukainya. Dan amal itu bergantung
dengan hati, dengan anggota badan dan dengan lisan. Dan tak boleh tidak
daripada menjelaskan semua yang demikian. Supaya berhasillah dengan kesemuanya
itu, dapat mengetahui hakikat/makna syukur. Sesungguhnya tiap-tiap apa yang
dikatakan, tentang batas syukur itu, adalah singkat, daripada mengetahui
kesempurnaan pengertian-pengertiannya.
Maka pokok pertama,
ialah: ilmu. Yaitu: mengetahui 3
perkara: diri nikmat itu, segi dia nya itu adalah nikmat terhadap dia dan zat
yang memberikan nikmat dan wujud sifat-sifatnya, yang menjadi sempurna
kenikmatan dengan sifat-sifat itu. Dan datangnya kenikmatan tersebut
daripadanya kepada orang itu. Maka tidak boleh tidak daripada: nikmat, yang
memberi nikmat dan yang diberikan nikmat kepadanya (yang menerima nikmat), yang
sampai kepadanya nikmat itu dari yang memberi nikmat, dengan sengaja dan
kehendak. Maka hal-hal ini tidak boleh tidak mengetahuinya. Dan ini terhadap
selain Allah Ta’ala. Adapun terhadap Allah Ta’ala, maka tiada akan sempurna,
selain dengan mengetahui bahwa nikmat semuanya itu, adalah dari Allah. DIAlah
yang memberi nikmat. Dan segala perantaraan itu dijadikan dari pihakNya. Dan ilmu mengenal Allah Ta’ala ini adalah di
belakang keesaan (pengesaan) dan taqdis (pengkudusan). Karena taqdis dan
keesaan itu masuk dalam ilmu mengenal
Allah Ta’ala tersebut. Bahkan tingkat pertama dalam ilmu mengenal Allah Ta’ala- ilmu mengenal
Allah Ta’ala iman itu, ialah: pengkudusan. Kemudian, apabila ia mengenal ZAT
QUDUS itu, maka ia akan mengenal, bahwa tiada yang diquduskan, selain YANG ESA.
Dan selian daripadaNya, adalah tidak diquduskan. Itulah keesaan !.
Kemudian, ia mengetahui, bahwa
tiap-tiap sesuatu dalam alam ini, maka adanya itu adalah dari Yang Maha Esa
saja. Semuanya adalah nikmat daripadaNya. Maka jatuhlah ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, pada tingkat
ketiga. Karena terkandung padanya serta pengkudusan dan keesaan, kesempurnaan kuasa
dan kesendirian dengan perbuatan. Dari inilah diibaratkan oleh Rasulullah saw,
dimana beliau bersabda: “Barangsiapa membaca “Subhaanaallaah”, maka baginya 10
kebaikan. Barangsiapa membaca: “Laa ilaaha illallaah, maka baginya 20 kebaikan.
Dan barangsiapa membaca: “Alhamdulillah”, maka baginya 30 kebaikan”. Nabi saw
bersabda: “”Dzikir yang lebih utama, ialah: “Laa ilaaha illallaah” dan doa yang
lebih utama, ialah: “Alhamdulillah”. Nabi saw bersabda: “Tiadalah sesuatu dari
dzikir yang berlipat ganda pahalanya, apa yang berlipat ganda oleh
“al-hamdulillah”. Janganlah anda menyangka, bahwa kebaikan-kebaikan ini dengan
berbetulan menggerak-gerakkan lidah dengan kalimat-kalimat itu, tanpa berhasil
pengertian-pengertiannya dalam hati. Maka “Subhaanallaah” itu kalimat yang
menunjukkan kepada taqdis (pengkudusan). “Laa ilaaha illallaah” itu kalimat
yang menunjukkan kepada keesaan (pengesaan). Dan “Alhamdulillaah” itu kalimat
yang menunjukkan kepada mengenali nikmat dari Yang Maha Esa, Yang Maha Benar.
Kebaikan-kebaikan itu adalah dengan berbetulan ilmu mengenal Allah Ta’ala-ilmu mengenal Allah
Ta’ala ini, yang termasuk sebahagian dari pintu-pintu iman dan yakin. Dan
ketahuilah, bahwa kesempurnaan ilmu
mengenal Allah Ta’ala ini akan meniadakan syirik (penyekutuan Allah Ta’ala)
pada segala perbuatan. Maka siapa yang dianugerahkan kepadanya oleh seseorang
raja dengan sesuatu, kalau dilihatnya bagi menteri atau wakil raja tersebut
turut campur pada memudahkan yang demikian dan menyampaikannya kepadanya, maka
orang tersebut mempersekutukan dengan raja pada nikmat itu. Lalu ia tidak
melihat nikmat tersebut dari raja, dari setiap segi. Akan tetapi, dari raja
pada suatu segi dan dari lain dari raja pada suatu segi. Maka terbagi-bagilah
kegembiraannya kepada dua orang itu (raja dan menteri atau wakilnya). Dia tidak
mengesakan pada hak raja itu. Benar, ia tidak menutup matanya dari pengesaannya
terhadap raja. Dan sempurna kesyukurannya raja yang dituliskannya dengan
penanya. Dan dengan kertas yang dituliskannya atasnya. Dia tidak bergembira
dengan pena dan kertas. Dan ia tidak berterima kasih pada pena dan kertas itu.
Karena ia tidak mengakui, pena dan kertas itu turut campur dari segi keduanya
itu berada dengan dirinya. Akan tetapi, dari segi bahwa kertas dan pena itu
adalah dijadijkan di bawah kekuasaan raja. Kadang-kadang orang itu tahu, bahwa
wakil raja yang menyampaikan dan pemegang gudang juga adalah diperlukan dari
pihak raja pada menyampaikannya. Dan sesungguhnya kalau dikembalikan urusan itu
kepada wakil tersebut dan tidak ada dari pihak raja paksaan dan perintah yang
meyakinkan, yang ia takuti akan akibatnya, niscaya wakil itu tidak akan
menyerahkan sesuatu kepadanya. Apabila ia mengetahui yang demikian, niscaya
pandangannya kepada pemegang gudang yang menyampaikan itu, adalah seperti
pandangannya kepada pena dan kertas. Maka tidaklah yang demikian itu
mempusakakan syirik pada keesaannya, dari menyandarkan nikmat kepada raja.
Demikian juga, orang yang
mengenal Allah Ta’ala dan mengenal perbuatan-perbuatanNya, niscaya ia tahu
bahwa matahari, bulan dan bintang-bintang itu dijadikan dengan perintahNya.
Seperti pena umpamanya pada tangan yang menulis. Dan sesungguhnya hewan-hewan
yang mempunyai pilihan (usaha atau ikhtiar) itu dijadikan pada diri usahanya.
Maka sesungguhnya Allah Ta’ala yang menguasai bagi segala yang mengajak
kepadanya untuk diperbuatnya, dikehendakinya atau diabaikannya, seperti
pemegang gudang yang terpaksa, yang tidak memperoleh jalan untuk menyalahi
perintah raja. Kalau ia dibiarkan menurut kemauan dirinya sendiri, niscaya ia
tidak akan memberikan kepada engkau seberat atompun, dari apa yang dalam
tangannya. Maka setiap orang yang menyampaikan kepada engkau, suatu nikmat
daripada Allah Ta’ala dengan tangannya, maka orang itu adalah terpaksa. Karena
Allah Ta’ala telah menguasakan KemauanNya atas orang itu. IA mengerjakan
kepadanya segala yang membawa kepadanya. Dan IA mencurahkan pada diri orang
itu, bahwa kebajikannya di dunia dan di akhirat, ialah dengan diberikannya
kepadamu, apa yang telah diberikannya kepadamu itu. Bahwa maksudnya yang
dimaksudkan padanya, baik sekarang atau pada masa yang akan datang, tiada akan
berhasil, selain dengan yang demikian. Dan sesudah Allah Ta’ala menjadikan
baginya kepercayaan ini, niscaya ia tidak memperoleh jalan kepada meninggalkan
pemberian itu. Jadi, dia sesungguhnya memberikan kepadamu, adalah karena maksud
dirinya. Tidak karena maksud engkau. Dan kalau tidak ada maksudnya pada
memberikan, niscaya ia tidak akan memberikan kepada engkau. Dan jikalau tidak
diketahuinya, bahwa kemanfaatannya adalah pada kemanfaatan engkau, niscaya ia
tidak memanfaatkan kepada engkau. Jadi, dia sesungguhnya mencari kemanfaatan
dirinya dengan kemanfaatan engkau. Maka ia tidaklah yang memberi nikmat kepada
engkau. Akan tetapi, ia membuat engkau menjadi jalan kepada nikmat yang lain.
Dan ia mengharap nikmat yang lain itu. Dan sesungguhnya yang memberikan nikmat
kepada engkau, ialah yang menjadikannya bagi engkau dan mencurahkan dalam
hatinya dari kepercayaan dan kehendak, apa yang terpaksa kepada disampaikannya
kepada engkau. Kalau engkau sudah mengetahui semua pekerjaan seperti yang
demikian, maka engkau sesungguhnya telah mengenal Allah Ta’ala. Engkau mengenal
perbuatanNya. Engkau adalah orang berkeesaan. Dan engkau sanggup bersyukur
kepadaNya. Bahkan, engkau dengan semata-mata ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, adalah orang
yang bersyukur kepada Tuhan. Dan karena itulah Nabi Musa as berkata dalam
munajahnya (berbicara dengan Allah): “Wahai Tuhanku ! Engkau telah menjadikan
Adam dengan tangan (kekuasaan) Engkau. Engkau telah berbuat dan Engkau telah
berbuat. Maka bagaimanakah kesyukuran kepada Engkau ?”. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla
berfirman: “Ketahuilah, bahwa semua yang demikian itu daripadaKU. Maka
mengenalinya itu adalah syukur”. Jadi, engkau tidak bersyukur, selain bahwa
engkau mengenal, bahwa semua itu adalah daripadaNya. Kalau dimasuki engkau oleh
keraguan pada yang demikian, maka tidaklah engkau itu orang yang ber ilmu
mengenal Allah Ta’ala. Tidak dengan nikmat dan tidak dengan yang memberi
nikmat. Maka engkau tidak gembira dengan yang memberi nikmat yang Maha Esa
saja, bahkan juga dengan lainNya. Maka dengan kurangnya ilmu mengenal Allah Ta’ala engkau itu, akan
mengurangkan keadaan engkau pada kesenangan. Dan dengan kurangnya kesenangan
engkau, niscaya akan mengurangkan amalan engkau. Inilah penjelasan pokok ini !
Pokok kedua: keadaan yang dipetik (dipahami) dari pokok ilmu mengenal Allah Ta’ala. Yaitu: kegembiraan
dengan yang memberi nikmat, serta dalam keadaan tunduk (khudlu’) dan
merendahkan diri (tawadlu’). Itu juga pada dirinya kesyukuran di atas
kesemata-mataan yang demikian, sebagaimana ilmu mengenal Allah Ta’ala itu syukur. Akan
tetapi, sesungguhnya yang demikian itu syukur, apabila ia mengandung syarat
syukur. Dan syaratnya, ialah: bahwa kesenangan engkau itu adalah yang memberi
nikmat. Tidak dengan nikmat dan tidak dengan penikmatan. Mungkin ini termasuk
yang sukar bagi engkau memahaminya. Maka marilah kami buat suatu contoh bagi
engkau. Maka kami mengatakan: bahwa raja yang bermaksud keluar untuk berjalan
jauh (bermusafir), lalu ia menganugerah kan seekor kuda kepada seorang manusia,
yang dapat digambarkan bahwa orang yang menerima anugerah itu, akan bergembira
dengan kuda, dari 3 segi:
Pertama: bahwa ia bergembira dengan
kuda, dari segi bahwa itu kuda. Dan bahwa kuda itu harta yang dapat
dimanfaatkan dan dapat dikendarai, yang bersesuaian dengan maksudnya. Dan kuda
itu sangat bagus dan berharga. Inilah adalah kesenangan bagi orang, yang tiada
mempunyai keberuntungan pada raja. Akan tetapi maksudnya, ialah: kuda semata.
Dan kalau diperolehnya kuda itu di padang pasir sahara, lalu diambilnya,
niscaya adalah kesenangannya itu seperti kesenangan tadi.
Segi kedua: bahwa ia senang dengan
kuda itu. Tidak dari segi bahwa itu kuda. Akan tetapi dari segi ia memperoleh
petunjuk dengan kuda itu, kepada kesungguhan raja dengan dia, belas kasihan
raja kepadanya dan perhatian raja kepada pihaknya. Sehingga, jikalau ia
memperoleh kuda tersebut di padang sahara atau diberikan kepadanya oleh lain
dari arja, niscaya ia tidak bergembira sekali-kali dengan kuda itu. Karena ia
tidak memerlukan sekali-kali kepada kuda. Atau dipandangnya leceh kepada kuda
itu, dibandingkan kepada yang dicarinya. Yaitu: mendapat tempat pada hati raja.
Segi ketiga: bahwa ia bergembira
dengan kuda itu, untuk dikendarainya. Supaya ia dapat keluar pada melayani
raja. Dan memikul kesukaran berjalan jauh (bermusafir), untuk memperoleh dengan
pelayanan itu, tingkat kedekatan dengan raja. Dan kadang-kadang ia akan meningkat
kepada tingkat kementerian, dari segi bahwa ia tidak merasa puas dengan ada tempatnya
pada hati raja, untuk diberinya hanya kuda saja. Ia berusaha benar-benar
tingkat ini dengan segala kesungguhan. Bahkan ia menuntut, bahwa raja
tidak akan menganugerahi sesuatu dari hartanya kepada seseorang, selain dengan
perantaraannya. Kemudian, ia tidak menghendaki dari
kementerian itu kementerian pula. Akan tetapi, ia menghendaki melihat raja dan
dekat dengan dia. Sehingga, jikalau disuruh pilih antara dekat dengan raja dan
tidak kementerian dan antara kementerian, dan tidak dekat, niscaya ia akan
memilih dekat. Maka inilah tiga tingkat !
Yang pertama. Tidak masuk padanya
sekali-kali arti syukur. Karena pandangan orang yang mempunyai tingkat pertama
ini, terbatas kepada kuda. Kegembiraan nya adalah dengan kuda, tidak dengan
yang memberikan. Dan ini adalah keadaan setiap orang yang bergembira dengan
nikmat, dari segi, bahwa nikmat itu enak dan bersesuaian bagi maksudnya. Maka
itu jauh dari arti syukur.
Yang kedua, masuk dalam arti syukur,
dari segi bahwa ia bergembira dengan yang menganugerahkan nikmat. Akan tetapi,
tidak dari segi diri orang itu, tetapi, dari segi mengetahui kesungguhannya
yang menggerakkannya kepada penikmatan pada masa mendatang. Ini adalah keadaan orang-orang
saleh (ash-shalihin) yang beribadah kepada Allah dan mensyukuriNya, karena
takut dari siksaanNya dan mengharap bagi pahalaNya. Sesungguhnya kesyukuran
yang sempurna itu, ialah pada kegembiraan ke-3. Yaitu: bahwa adalah kegembiraan
hamba dengan nikmat Allah Ta’ala itu, dari segi bahwa ia sanggup dengan nikmat
tersebut untuk sampai kepada kedekatan dengan Allah Ta’ala, bertempat di
sisiNya dan selalu memandang kepada wajahNya. Itulah tingkat tertinggi ! dan
tandanya, ialah. Ia tidak bergembira dari dunia, selain dengan apa yang menjadi
kebun akhirat. Dan yang menolongnya kepada akhirat. Ia gundah dengan tiap-tiap
nikmat yang melalaikannya dari dzikir kepada Allah Ta’ala. Dan menghalanginya
dari jalan Allah. Karena ia tidak menghendaki akan nikmat, karena nikmat itu
enak. Sebagaimana tidak dikehendaki oleh yang mempunyai kuda akan kuda. Karena
kuda itu cantik dan cepat larinya. Akan tetapi, dari segi, bahwa kuda itu
membawanya pada menyertai raja. Sehingga, kekallah penglihatannya kepada raja
dan kedekatannya dengan raja. Dan karena itulah, Asy-Syiblil ra berkata:
“Syukur itu melihat yang memberi nikmat, bukan melihat nikmatnya”.
Abu Ishak Ibrahim bin Ahmad
Al-Khawwash ra berkata: “Syukurnya orang awam itu atas makanan, pakaian dan
minuman. Dan syukurnya orang khusus, ialah atas segala yang datang kepada hati.
Dan ini adalah derajat, yang tidak akan dicapai oleh setiap orang yang terbatas
padanya oleh kelezatan pada perut dan kemaluan. Yang didapati oleh pancaindra
dari warna-warna dan suara-suara (bunyi-bunyian). Dan kosong dari kelezatan
hati. Maka sesungguhnya hati itu tidak merasa enak dalam keadaan sehat, selain
dengan mengingati Allah Ta’ala, mengenaliNya dan menemuiNya. Dan sesungguhnya
hati itu merasa tidak enak dengan yang lain dari itu, apabila hati itu sakit
dengan kebiasaan-kebiasaan yang buruk. Sebagaimana sebahagian manusia merasa
enak dengan memakan tanah liat. Dan sebagaimana sebahagian orang sakit merasa
tidak enak barang-barang manis dan merasa manis barang-barang yang pahit. Sebagaimana
dikatakan pada madah:
Orang yang mempunyai mulut,
pahit lagi sakit,
niscaya merasa pahit,
air dari pancuran.
Jadi, inilah syarat kegembiraan dengan nikmat Allah
Ta’ala. Kalau tidak ada unta, maka kambing. Kalau tidak ada ini, maka tingkat
yang kedua. Adapun tingkat yang pertama, maka itu keluar dari setiap
perhitungan. Berapa kiranya perbedaan di antara orang yang menghendaki raja
untuk kuda dan orang yang menghendaki kuda untuk raja. Dan berapa banyak
perbedaan antara orang yang menghendaki Allah untuk memberi nikmat kepadanya
dan orang yang menghendaki nikmat Allah, supaya dengan nikmat itu, ia sampai
kepada Allah.
Pokok ketiga: berbuat
dengan yang mengharuskan kegembiraan, yang berhasil daripada mengenal yang
memberikan nikmat. Perbuatan ini menyangkut dengan hati, lisan dan anggota
badan. Adapun dengan hati, maka bermaksud kebajikan dan menyembunyikannya bagi
makhluk seluruhnya. Adapun dengan lisan, maka melahirkan kesyukuran kepada
Allah Ta’ala dengan pujian-pujian yang menunjukkan kepadaNya. Dan adapun dengan
anggota badan, maka menggunakan semua nikmat Allah Ta’ala pada mentaatiNya. Dan
menjaga diri memperoleh pertolongan dengan nikmat tersebut, kepada perbuatan
maksiat kepadaNya. Sehingga, bahwa kesyukuran dua mata itu, ialah: engkau tutup setiap kekurangan yang engkau lihat,
bagi orang muslim. Dan kesyukuran dua telinga itu, ialah: engkau tutup setiap
kekurangan yang engkau dengar pada orang muslim. Maka masuklah ini dalam jumlah
syukur segala nikmat Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan itu.
Dan kesyukuran dengan lisan,
adalah untuk melahirkan rela (senang hati) kepada Allah Ta’ala. Dan itulah yang
disuruh. Sesungguhnya Nabi saw bertanya kepada seorang lelaki: “Bagaimana
engkau memasuki waktu Shubuh (waktu pagi) ?”. Lelaki tersebut menjawab: “Dengan
baik !”. Lalu Nabi saw mengulangi pertanyaan, sehingga lelaki tersebut menjawab
pada kali ketiga: “Dengan baik, aku memuji Allah dan bersyukur kepadaNya”. Lalu
Nabi saw bersabda: “Inilah yang aku kehendaki daripadamu”.
Adalah orang-orang terdahulu (ulama
salaf) itu tanya-bertanya. Niat mereka, ialah mengeluarkan kesyukurann bagi
Allah Ta’ala, supaya adalah yang bersyukur itu orang yang taat. Dan yang
memperkatakan bagi orang yang bersyukur tersebut itu orang yang taat. Dan tidak
adalah maksud mereka itu ria, dengan melahirkan kerinduan. Setiap hamba yang
ditanyakan dari hal keadaannya, maka hamba itu diantara bahwa dia itu bersyukur
atau mengadu atau berdiam diri. Maka syukur itu taat. Dan mengadu itu perbuatan
maksiat yang keji dari kaum agama. Bagaimana tidak dikejikan pengaduan dari hal
Raja Diraja dan di tanganNya setiap sesuatu, kepada hamba yang dimiliki, yang
tidak berkuasa atas sesuatu ? maka yang lebih layak dengan hamba, kalau ia
tidak dapat bersabar atas percobaan (bala’) dan qodo/taktir dan dibawa oleh
kelemahannya kepada mengadu, bahwa adalah pengaduannya itu kepada Allah Ta’ala.
Maka DIA lah yang mendatangkan percobaan dan yang berkuasa menghilangkan
percobaan itu. Dan kehinaan hamba kepada tuannya itu kemuliaan. Dan mengadu
kepada lainnya itu kehinaan. Dan melahirkan kehinaan bagi hamba, serta adanya
orang itu hamba seperti dia, adalah kehinaan yang keji. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain dari Allah itu, tiada berkuasa untuk
memberikan rezeki kepada kamu. Maka carilah rezeki dari Allah dan sembahlah Dia
dan bersyukurlah (berterima kasihlah) kepadaNya !”. S Al Ankabut ayat 17. Allah
Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya mereka yang kamu seru selain Allah itu, adalah
hamba-hamba yang serupa dengan kamu juga”. S Al A’raf ayat 194.
Maka syukur dengan lisan itu
termasuk dalam jumlah syukur. Diriwayatkan, bahwa suatu utusan datang kepada
Umar bin Abdul-‘aziz ra. Lalu bangun berdiri seorang pemuda untuk berbicara.
Maka Umar ra berkata: “Dahulukanlah untuk berbicara yang lebih tua, lalu yang
lebih tua !”. Pemuda tadi menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! kalau urusan itu
dengan umur, maka sesungguhnya dalam kalangan kaum muslimin, ada orang yang
lebih tua umurnya dari engkau”. Lalu Umar ra menjawab: “Berbicaralah !”. Maka pemuda
tersebut berbicara: “Tidaklah kami ini utusan kegemaran dan tidak pula utusan
ketakutan. Adapun kegemaran, maka telah disampaikan kepada kami oleh keutamaan
engkau. Dan adapun ketakutan, maka telah diamankan kami daripadanya, oleh
keadilan engkau. Dan sesungguhnya kami ini adalah utusan kesyukuran. Kami
datang kepada engkau untuk kami bersyukur (berterima kasih) kepada engkau
dengan lisan. Dan kami akan pergi”. Maka inilah pokok-pokok pengertian syukur
yang meliputi kumpulan hakikat/maknanya !
Adapun perkataan orang yang
mengatakan, bahwa syukur itu, ialah: pengakuan dengan nikmat orang yang
memberikan nikmat atas cara tunduk, maka itu adalah melihat kepada perbuatan
lisan, serta sebahagian keadaan hati. Dan perkataan orang yang mengatakan,
bahwa syukur itu, ialah: pujian kepada orang yang berbuat baik, dengan
menyebutkan ihsannya itu, dipandang kepada perbuatan lisan semata-mata. Dan
perkataan orang yang mengatakan, bahwa syukur itu beri’tikaf bertekun (duduk)
di atas permadani kesaksian dengan kekekalan memelihara kehormatan, adalah
mengumpulkan bagi terbanyak pengertian syukur, yang tidak sedikit daripadanya,
selain perbuatan lisan.
Dan perkataan Hamdun
Al-Qashshar, bahwa: syukur nikmat itu, ialah: engkau melihat diri engkau pada
kesyukuran itu sebagai anak kecil, adalah suatu isyarat, bahwa arti ilmu mengenal Allah Ta’ala itu termasuk dalam
pengertian syukur saja. Dan perkataan Al-Junaid Al-Baghdadi ra bahwa syukur,
ialah: engkau tidak melihat diri engkau berhak untuk nikmat itu, adalah isyarat
kepada salah satu dari hal-ihwal hati pada khususnya. Mereka tadi dengan
perkataan-perkataannya itu, menunjukkan kepada peri hal keadaan mereka. Maka
karena itulah, berbeda penjawaban mereka dan tidak sepakat. Kemudian,
kadang-kadang berbeda jawaban masing-masing dalam dua hal. Karena mereka tiada
berkata-kata, selain dari hal keadaan mereka pada masa yang lampau, yang banyak
terjadi atas diri mereka, kesibukan-kesibukan dengan yang penting bagi mereka,
dari yang tidak penting. Atau mereka berkata-kata dengan apa yang dilihat
mereka layak dengan keadaan orang yang bertanya. Karena menyingkatkan untuk
menyebutkan sekadar yang diperlukan kepadanya. Dan mengelak daripada apa yang
tidak diperlukan. Maka tiada seyogyalah engkau menyangka, bahwa apa yang kami
sebutkan itu suatu tusukan kepada mereka. Dan kalau dikemukakan kepada mereka
semua pengertian yang telah kami uraikan, niscaya mereka akan membantahnya.
Bahkan, yang demikian itu, tiada sekali-kali disangka dari orang yang berakal
sehat, selain bahwa dikemukakan pertentangan dari segi perkataan bahwa nama
“Syukur” pada ciptaan lisan, adakah melengkapi semua pengertian. Atau mencapai
sebahagiannya, menurut maksudnya. Dan sisa pengertian itu adalah dari ikutannya
dan yang harus baginya. Dan tidaklah kami maksudkan pada Kitab ini menguraikan
ciptaan-ciptaan bahasa. Tidaklah yang demikian itu termasuk ilmu jalan akhirat
sedikitpun. Kiranya Allah mencurahkan taufiq dengan rahmatNya.
PENJELASAN: jalan penyingkapan tutup dari kesyukuran terhadap
Allah Ta’ala.
Semoga engkau, terguris kiranya di hati engkau,
bahwa syukur itu, sesungguhnya dipahami pada hak orang yang memberi nikmat.
Yaitu: yang mempunyai keberuntungan pada kesyukuran. Sesungguhnya kita
bersyukur (berterima kasih) kepada raja-raja. Adakalanya dengan pujian, untuk
menambahkan tempat mereka di dalam hati. Dan menampakkan kemurahan mereka pada
manusia. Lalu dengan demikian, bertambahlah kemasyhuran dan kemegahan mereka.
Atau dengan pelayanan, yang dapat menolong mereka kepada sebahagian maksud
mereka. Atau dengan duduk bersimpuh di hadapan mereka, dalam bentuk pelayan.
Dan yang demikian itu membanyakkan golongan mereka dan menjadi sebab
bertambahnya kemegahan mereka. Maka tiadalah mereka itu orang-orang yang
berterima kasih (bersyukur) kepada raja-raja itu, selain dengan sesuatu dari
yang demikian. Dan ini adalah tempatnya pada hak Allah Ta’ala dari dua segi:
Pertama: bahwa Allah Ta’ala itu Maha
Suci dari keberuntungan-keberuntungan dan maksud-maksud. Mahakudus daripada
berhajat kepada pelayanan dan perbantuan. Dan dari menyiarkan kemegahan dan
malu dengan pujian dan sanjungan. Dan daripada memperbanyakkan kemegahan dan
pujian dan sanjungan. Dan daripada memperbanyakkan golongan pelayan dengan
duduk bersimpuh di hadapanNya, dengan ruku’ dan sujud. Maka kesyukuran kita
kepada Allah itu, dengan yang tiada keuntungan bagiNya padanya, adalah
menyerupai kesyukuran kita kepada raja yang memberikan nikmat kepada kita,
dengan kita tidur di rumah kita atau kita sujud atau kita ruku’. Karena tiada
keberuntungan baginya padanya. Dan dia itu tidak hadir dan tiada diketahuinya.
Dan tiada keberuntungan bagi Allah Ta’ala pada perbuatan kita seluruhnya.
Segi kedua: bahwa tiap-tiap yang kita
kerjakan dengan pilihan (ikhtiar) kita, maka itu adalah nikmat yang lain
daripada nikmat-nikmat Allah Ta’ala kepada kita. Karena anggota-angota tubuh
kita, kemampuan kita, kehendak kita, yang mengajak kita dan hal-hal yang lain
yang menjadi sebab gerakan kita, adalah dari ciptaan Allah Ta’ala dan
nikmatNya. Maka bagaimana kita mensyukuri nikmat dengan nikmat ? jikalau raja
memberikan kepada kita sebuah kendaraan, lalu kita ambil kendaraan lain
kepunyaannya dan kita kendarai. Atau kita diberikan oleh raja kendaraan lain,
niscaya tidaklah yang kedua iu kesyukuran bagi yang pertama dari kita. Akan
tetapi, adalah yang kedua itu memerlukan kepada kesyukuran, sebagaimana
diperlukan oleh yang pertama. Kemudian, tidak mungkin kesyukuran itu untuk
syukur, selain dengan nikmat yang lain. Lalu membawa kepada kesyukuran itu
mustahil pada hak Allah Ta’ala dari dua segi tersebut. Dan kita semua tidak
ragu pada dua hal tersebut. Dan agama telah menerangkannya. Maka bagaimana
jalan kepada menghimpunkannya ?
Ketahuilah kiranya, bahwa
gurisan itu telah terguris pada hati Daud as. Dan demikian juga pada hati Musa
as. Lalu ia mengatakan: “Wahai Tuhanku ! bagaimana aku bersyukur kepadaMu ? aku
tidak sanggup bersyukur kepadaMu, selain dengan nikmat kedua dari
nikmat-nikmatMu”. Dan pada kata yang lain: “Kesyukuran kepadaMu itu nikmat yang
lain daripadaMu, yang mengwajibkan atasku bersyukur kepadaMu”. Maka Allah
Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as: “Apabila engkau telah mengetahui ini,
maka sesungguhnya engkau telah bersyukur kepadaKu”. Dan pada berita yang lain:
“Apabila engkau telah mengetahui, bahwa nikmat itu daripadaKu, niscaya Aku rela
dengan yang demikian itu daripada engkau, menjadi kesyukuran”.
Kalau anda mengatakan: “Bahwa
aku telah memahami pertanyaan Musa as itu. Dan kepahamanku itu menyingkat
kepada mengetahui arti yang diwahyukan kepada mereka. Sesungguhnya aku
mengetahui kemustahilan syukur kepada Allah Ta’ala. Adapun keadaan mengetahui
dengan kemustahilan syukur itu menjadi syukur, maka aku tidak memahaminya. Dan
pengetahuan ini juga suatu nikmat daripadaNya. Maka bagaimana ia menjadi syukur
? seakan-akan hasilnya itu kembali kepada: bahwa orang yang tidak bersyukur itu
telah bersyukur. Dan bahwa penerimaan pemberian kedua dari raja itu, kesyukuran
bagi pemberian pertama dan pemahaman itu menyingkat, tanpa mengetahui rahasia
padanya. Maka jikalau mungkin diberi ta’rif (definisi) yang demikian itu dengan
contoh, itu adalah penting pada dirinya. Maka ketahuilah kiranya, bahwa ini
adalah suatu ketukan pintu dari ilmu pengetahuan. Dan itu lebih tinggi dari
“ilmu mu’amalah (perniagaan)”. Akan tetapi, kami akan mengisyaratkan
daripadanya kepada isyarat-isyarat. Dan kami katakan, bahwa di sini dua
pandangan: pandangan Dengan Mata Keesaan semata-mata. Dan pandangan ini
memperkenalkan kepada engkau dengan pasti, bahwa Dia (Allah) itu yang bersyukur
dan Dia itu yang disyukurkan (yang diucapkan terima kasih kepadaNya). Dia itu
yang mencintai dan Dia itu yang dicintai. Ini adalah pandangan orang yang
mengetahui, bahwa tidak ada pada wujud, selain DIA. Dan tiap sesuatu itu
binasa, selain WAJAHNYA.
Dan bahwa yang demikian itu
benar pada setiap hal pada azali dan pada abadi. Karena yang lain itu, ialah
yang tergambar bahwa ada baginya berdiri sendiri. Dan seperti yang lain ini,
tak mempunyai adanya (wujudnya). Bahkan itu adalah mustahil bahwa ia berwujud. Karena
yang berwujud sebenarnya, ialah: Yang Berdiri Dengan SendiriNya. Dan yang tiada
mempunyai pada dirinya berdiri sendiri, maka tiadalah mempunyai pada dirinya
wujud. Akan tetapi ia berdiri dengan sebab yang lain. Maka dia itu maujud
dengan sebab yang lain itu. Kalau diperhatikan kepada zatnya (dirinya) dan
tidak diperhatikan kepada lainnya, niscaya dia itu tidak mempunyai wujud sekali
kali. Dan yang maujud sesungguhnya,
ialah: Yang Berdiri Sendiri. Dan yang berdiri sendiri, ialah: kalau diumpamakan
yang lain tidak ada lagi, maka DIA itu kekal adaNya. Jikalau serta Dia berdiri
sendiri, berdiri pula wujud lainNya dengan wujudNya, maka Dia itu Mahaberdiri
(qayyum). Dan tidak adalah yang maha berdiri itu, selain ESA. Dan tidak
tergambar bahwa ada yang lain lagi. Jadi, tidak adalah pada wujud, selain Yang
Hidup (Al-Hayyu), Yang Berdiri sendiri (Al-qayyum). Dialah Yang Maha Esa
(Al-waahid), Tempat meminta (Ash-shamad). Apabila anda melihat dari kedudukan
(al-maqam) ini, niscaya anda ketahui, bahwa semua itu adalah daripadaNya
sumbernya. Dan kepadaNya tempat kembalinya. Dialah Yang Bersyukur dan Dialah
yang disyukuri. Dialah yang Mencintai dan Dialah yang Dicintai.
Dari sinilah, dipandang oleh
Habib bin Abi Habib, ketika ia membaca firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya dia
Kami dapati seorang yang bersabar (berhati teguh). Seorang hamba yang amat baik
! sesungguhnya dia tetap kembali (kepada Tuhan)”. S 38 Shaad ayat 44. Lalu
Habib bin Abi Habib mengatakan: “Alangkah mena’jubkan ! Dia memberi dan Dia
memuji”, sebagai isyarat, bahwa apabila Ia memuji kepada pemberianNya, maka
kepada diriNya Ia memuji. Maka Dia itu yang memujikan. Dan Dia yang dipujikan.
Dari sinilah, dipandang oleh Syaikh Abu Sa’id Al-Maihani, ketika dibacakan
orang di hadapannya, ayat: “Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”.
S 5 Al Maa-idah ayat 54. Lalu Syaikh Abu Sa’id Al-Naihani mengatakan: “Demi
umurku ! Ia mencintai mereka dan biarkanlah Ia mencintai mereka. Maka dengan
sebenarnya IA mencintai mereka. Karena sesungguhnya IA mencintai diriNya”. Abu
Sa’id mengisyaratkan dengan yang demikian, bahwa Ia yang mencintai. Dan Dia
yang dicintai. Inilah tingkat yang tinggi, yang tidak anda pahami, selain
dengan contoh, menurut batas akal engkau. Maka tidaklah tersembunyi kepada
anda, bahwa seorang pengarang apabila mencintai karangannya, maka sesungguhnya
ia mencintai dirinya sendiri. Dan seorang pemilik pabrik, apabila mencintai
hasil pabriknya, maka sesungguhnya ia mencintai dirinya sendiri. Seorang ayah
apabila mencintai anaknya, dari segi bahwa itu anaknya, maka sesungguhnya ia
mencintai dirinya sendiri. Semua apa dalam wujud ini, selain Allah Ta’ala,
adalah karangan Allah Ta’ala dan hasil cintaanNya.
Maka jikalau dicintaiNya, maka
Ia tidak mencintai, melainkan diriNya. Dan apabila Ia tidak mencintai, selain
diriNya, maka dengan sebenarnya ia mencintai apa yang dicintaiNya. Ini
semuanya, adalah pandangan dengan mata keesaan. Dan kaum shufi (Ash-shufiyyah)
menyebutkan keadaan ini, dengan: fana diri (tidak adanya diri atau lenyapnya
diri). Artinya: Ia fana dari dirinya dan dari selain Allah. Lalu ia tidak
melihat, selain Allah Ta’ala. Maka orang yang tidak memahami ini, niscaya
menentang mereka dan mengatakan: “Bagaimana ia fana, padahal panjang
bayang-bayangnya 4 hasta ! dan mudah-mudahan ia makan pada setiap hari
berkati-kati rodi”. Maka tertawalah kepada mereka orang-orang bodoh. Karena
bodohnya orang bodoh itu dengan arti perkataan mereka. Dan daruratnya perkataan
orang-orang yang berilmu ilmu mengenal
Allah Ta’ala (al-‘arifin), bahwa mereka menjadi tertawaan orang-orang bodoh.
Dan kepada itulah isyarat firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang
berbuat dosa itu menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila lalu di
hadapan mereka (orang-orang yang berbuat dosa itu) mengedip-ngedipkan mata satu
sama lain. Dan apabila mereka kembali kepada kaumnya, mereka kembali bergirang
hati. Dan apabila mereka melihat orang-orang yang beriman, mereka berkata:
Sesungguhnya inilah orang-orang yang sesat jalan ! tetapi, mereka tiada dikirim
sebagai penjaga terhadap orang-orang yang beriman itu”. S Al Muthaffifin ayat
29-30-31-32-33.
Kemudian, diterangkan bahwa
tertawanya orang-orang al-‘arifin kepada mereka pada hari esok, adalah lebih
besar. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Sebab itu, pada hari ini, orang-orang
yang beriman itu menertawakan orang-orang yang tiada beriman. Di atas sofa,
mereka memandang”. S Al Muthaffifin ayat 34-35. Begitu pula umat nabi Nuh as.
Mereka menertawakan nabi Nuh as ketika beliau sibuk membuat kapal. Nabi Nuh as
berkata: “Kalau kamu mengejekkan kami, nanti kami akan mengejekkan kamu pula,
sebagaimana kamu mengejekkan (kami)”. S Hud ayat 38. Inilah salah satu dari dua
pandangan ! Pandangan kedua: ialah pandangan orang yang tidak sampai ke maqam fana pada
dirinya. Mereka ini terbagi dua:
Bahagian pertama:
mereka yang tidak mengaku, selain wujud dirinya. Mereka mengingkari bahwa
mereka mempunyai Tuhan yang disembah. Mereka itu adalah; orang-orang buta yang
terbalik kepala ke bawah. Butanya mereka itu pada kedua matanya. Karena mereka
meniadakan apa yang ada sebenarnya. Yaitu: Tuhan Yang Maha Berdiri (al-qayyum),
yang berdiri sendiri dan yang berdiri atas tiap-tiap diri, dengan apa yang
diusahakan oleh diri itu. Dan setiap yang berdiri, adalah berdiri dengan
kekuasaanNya. Mereka itu tidak membatasi kepada ini saja, sehingga mereka
mengakui akan dirinya. Dan kalau mereka mengetahui, niscaya mereka tahu, bahwa
mereka dari segi mereka, tiada mempunyai ketetapan baginya dan tiada mempunyai
wujud. Dan wujud mereka itu sesungguh nya, adalah dari segi bahwa mereka itu
diwujudkan (dijadikan). Tidak dari segi mereka itu berwujud sendiri. Dan
diperbedakan antara yang ada dan yang diwujudkan. Dan tidak adalah pada wujud
itu, selain yang ada Yang Maha Esa dan yang diwujudkan. Maka Yang Maujud/yang
ada itu benar dan yang diwujudkan itu batil/salah, dari segi yang diwujudkan
(dijadikan) itu sendiri. Dan Yang Maujud itu berdiri sendiri dan Mahaberdiri.
Dan yang diwujudkan itu binasa dan fana (lenyap). Dan apabila adalah: “Setiap
apa yang di bumi akan musnah”, maka tiada yang kekal, selain Wajah Tuhan engkau
(tetap selamanya), yang agung dan mulia”.
Bagian (golongan) kedua: bahwa tidak ada pada mereka itu kebutaan. Akan tetapi pada
mereka itu kebutaan sebelah mata. Karena mereka dapat melihat dengan salah satu
dari dua matanya, wujud Yang Maujud/yang ada yang benar. Mereka tidak
mengingkari Yang Maujud itu. Dan matanya yang lain, jikalau sempurna
kebutaannya, niscaya ia tidak dapat melihat dengan mata itu, akan fananya yang
bukan Maujud yang benar. Lalu ia mengaku adanya yang lain bersama Allah Ta’ala.
Dan ini pada hakikat/maknanya adalah musyrik (mempersekutukan Tuhan),
sebagaimana orang yang sebelumnya tadi itu mengingkari adanya Tuhan dengan
sebenarnya. Kalau ia melampaui batas kebutaan kepada kelemahan penglihatan,
niscaya ia dapat mengetahui akan berlebih kurangnya di antara dua yang maujud.
Lalu ia mengaku hamba dan Tuhan. Maka dengan kadar ini, dari pengakuan berlebih
kurangnya dan kekurangan dari maujud yang lain, ia telah masuk pada batas
keesaan. Kemudian, jikalau penglihatannya dipakai celak, dengan yang
menambahkan pada sinar penglihatannya, maka berkuranglah kelemahan
penglihatannya itu. Dan dengan kadar yang melebihi pada penglihatannya, niscaya
teranglah baginya kekurangan apa yang telah diakuinya, selain Allah Ta’ala.
Jikalau masih ada dalam tingkah lakunya seperti yang demikian, maka
senantiasalah ia dibawa oleh kekurangan kepada penghapusan. Lalu terhapuslah
daripada melihat sesuatu, selain Allah Ta’ala. Maka ia tidak melihat lagi,
selain Allah. Lalu adalah ia telah sampai pada kesempurnaan keesaan. Dan di
mana ia telah mengetahui akan kekurangan pada wujud sesuatu, selain Allah
Ta’ala, niscaya ia telah masuk pada permulaan keesaan. Di antara yang dua itu (antara
kesempurnaan dan permulaan keesaan), adalah tingkat-tingkat yang tidak
terhitung jumlahnya. Maka dengan ini, berlebih kuranglah derajat orang-orang
berkeesaan (al-muwahhidin). Dan kitab-kitab Allah Ta’ala yang diturunkan atas
lisan rasul-rasulNya itu, adalah celak yang akan menghasilkan sinar penglihatan
dengan celak tersebut. Dan nabi-nabi adalah dokter-dokter mata (al-kahhalun).
Mereka datang mengajak (berda’wah) kepada keesaan semata-mata. Dan terjemahannya,
ialah: perkataan: LAA ILAAHA ILLALLAAh. Artinya: tiada dilihat, selain Yang
Maha Esa yang Maha Benar.
Orang-orang yang sampai kepada
kesempurnaan keesaan, adalah sedikit jumlahnya. Dan orang-orang yang ingkar dan
musyrik itu juga sedikit. Dan mereka itu di atas tepi yang paling jauh, yang berhadapan
dengan tepi keesaan. Karena penyembah-penyembah patung berhala itu mengatakan:
“Kami tiada menyembah nya melainkan untuk membawa kami lebih dekat kepada
Allah”. S Az Zumar ayat 3. Adalah mereka itu masuk ke dalam permulaan
pintu-pintu keesaan, dengan masuk yang lemah. Dan golongan tengah
(al-mutawassithuun) adalah yang terbanyak. Dan dalam kalangan mereka, ada orang
yang terbuka matahatinya pada sebahagian keadaan. Lalu bersinarlah baginya
hakikat-hakikat/makna keesaan. Akan tetapi, seperti kilat yang menyambar, tiada
tetap. Dan dalam kalangan mereka ada orang yang bersinar baginya yang demikian
tadi dan tetap beberapa waktu. Akan tetapi, tidak terus-menerus. Dan yang
terus-menerus itu sukar didapati.
Bagi semua orang,
mempunyai gerakan kepada penghabisan tinggi.
akan tetapi,
sukarlah terdapat ketetapan pada orang-orang itu.
Tatkala Allah Ta’ala menyuruh NabiNya saw, mencari
kedekatan kepada Allah, lalu dikatakan kepadanya: “Dan sujudlah dan
dekatkan diri (kepada Allah)”. S Al ‘Alaq ayat 19. Maka beliau membaca dalam
sujudnya: “Aku berlindung dengan kemaafanMu daripada siksaanMu. Aku berlindung
dengan kerelaanMu daripada kemarahanMu. Dan aku berlindung denganMu daripadaMu.
Tiada dapat aku hinggakan pujian kepadaMu, sebagaimana KAMU memujikan diriMu
sendiri”.
Maka sabdanya Nabi saw: “aku berlindung
dengan kemaafanMU daripada siksaanMu”, adalah perkataan dari
kesaksian perbuatan Allah saja. Seakan-akan ia tidak melihat, selain Allah dan Perbuatan-perbuatan
Allah. Maka ia meminta perlindungan dengan perbuatanNya daripada perbuatanNya.
Kemudian, ia mendekatkan diri, lalu ia fana (lenyap) daripada kesaksian Af’al (
perbuatan-perbuatan) itu. Dan ia mendaki kepada sumber-sumber Af’al (
perbuatan-perbuatan) tersebut. Yaitu: sifat-sifat.
Maka ia membaca: “Aku berlindung
dengan kerelaanMu daripada kemarahanMu”. Dan itu adalah dua sifat
(rela dan marah). Kemudian, ia melihat yang demikian suatu kekurangan pada
keesaan. Lalu ia mendekatkan diri dan mendaki dari “maqam musyahadah (penyaksian)
sifat-sifat” ke “musyahadah Zat”. Lalu beliau membaca: “Dan aku berlindung
denganMu daripadaMu”. Dan ini, adalah lari daripadaNya kepadaNya,
dengan tidak melihat perbuatan sifatNya. Akan tetapi, ia melihat dirinya lari
daripadaNya kepadaNya. Meminta perlindungan dan memujikanNya. Maka ia fana
daripada kesaksian dirinya. Karena ia melihat yang demikian itu suatu
kekurangan. Dan ia mendekatkan diri, lalu membaca: “Tiada dapat aku
hinggakan pujian kepadaMu, sebagaimana Kamu memujikan diriMu sendiri”. Maka bacaannya Nabi saw: “Tiada dapat aku hinggakan” itu
adalah pengkabaran dari kefanaan dirinya dan keluar daripada kesaksian diri
itu. Dan bacaannya saw: “Sebagaimana Kamu memujikan diriMu sendiri” itu, adalah
penjelasan, bahwa IA yang memuji dan yang dipujikan. Dan semuanya tidak dapat
tidak daripadaNya. Dan kepadaNya akan kembali. Dan “bahwa tiap-tiap sesuatu itu
binasa, selain WAJAHNYA”, maka adalah permulaan maqamnya itu penghabisan maqam
orang-orang berkeesaan (al-muwahhidin). Yaitu: bahwa ia tidak melihat, selain
Allah Ta’ala dan Perbuatan-perbuatan Allah. Lalu ia meminta perlindungan dengan
perbuatan dari perbuatan.
Maka perhatikanlah kepada yang
berkesudahan penghabisannya, apabila berkesudahan kepada YANG MAHA ESA, YANG
MAHA BENAR. Sehingga terangkat dari pandangannya dan kesaksiannya, selain Zat
Yang Maha Benar. Adalah Nabi saw tiada mendaki dari satu tingkat ke tingkat
yang lain, melainkan ia melihat yang pertama berjauhan dibandingkan kepada yang
kedua. Maka ia meminta ampun (ber-istighfar) kepada Allah Ta’ala dari tingkat
pertama. Dan ia melihat yang demikian itu suatu kekurangan pada tingkah lakunya
dan keteledoran pada kedudukannya. Dan kepada itulah diisyaratkan dengan
sabdanya saw: “Sesungguhnya tertutup atas hatiku, sehingga aku meminta ampun (beristighfar)
kepada Allah Ta’ala dalam sehari semalam 70 kali”. Maka seakan-akan yang
demikian itu, karena mendakinya Nabi saw kepada 70 maqam. Sebahagiannya adalah
di atas sebahagian. Yang pertamanya, walaupun melewati yang terjauh bagi tujuan
makhluk, akan tetapi adalah suatu kekurangan dibandingkan kepada yang
penghabisannya. Maka istighfarnya Nabi saw adalah karena yang demikian itu.
Tatkala ‘Aisyah mengatakan: “Bukanlah Allah Ta’ala telah mengampunkan bagimu
apa yang telah terdahulu dari dosamu dan yang terkemudian, maka apakah tangisan
ini dalam sujud dan apakah kesungguhan yang sangat ini ?”. Lalu Nabi saw
menjawab: “Apakah aku ini tidak seorang hamba yang bersyukur?”. artinya:
“Apakah aku tidak mencari kelebihan maqam (tempat di sisi Tuhan) ?”. Syukur itu
sesungguhnya sebab bertambah, dimana Allah Ta’ala berfirman: “Kalau kamu
bersyukur, sudah tentu Aku akan menambahkan bagimu”. S Ibrahim ayat 7. Apabila
kita terjun dalam lautan “ilmu diminta untuk mengetahuinya saja”, maka
hendaklah kita menggenggam tali kekang. Dan hendaklah kita kembali kepada yang
layak dengan “ilmu mu’amalah (perniagaan)”. Maka kami terangkan bahwa:
nabi-nabi as itu diutus untuk mengajak (menda’wahkan) makhluk (orang banyak)
kepada kesempurnaan keesaan yang telah kami terangkan itu. Akan tetapi, di
antara mereka dan sampainya kepada kesempurnaan keesaan itu terdapat jarak yang
jauh dan rintangan-rintangan yang berat. Dan agama itu seluruhnya sesungguhnya
memperkenalkan jalan menempuh jarak itu dan memotong rintangan-rintangannya. Dan
ketika yang demikian, adalah pandangan dari penyaksian yang lain dan maqam yang
lain. Lalu lahirlah pada maqam itu, dengan penambahan kepada penyaksian
tersebut: syukur, yang bersyukur dan yang disyukuri. Dan tidak akan diketahui
yang demikian, selain dengan contoh. Maka kami terangkan: mungkin bagi anda
untuk anda pahami, bahwa salah seorang raja mengirim kepada budaknya yang telah
jauh daripadanya, sebuah kendaraan, pakaian dan uang untuk perbekalannya di
jalan. Sehingga ia dapat menempuh jarak jauh itu dan ia menjadi dekat ke
hadapan raja. Kemudian, bagi raja itu ada dua hal:
Pertama: bahwa maksudnya dari
sampainya hamba itu ke hadapannya, ialah untuk dapat mengerjakan sebahagian
kepentingannya. Dan bagi budak itu ada kesungguhan pada melayaninya.
Kedua: bahwa tak ada bagi raja itu
keuntungan pada budak tadi dan tak ada keperluannya kepada budak tersebut.
Bahkan, kedatangannya itu tidak menambahkan pada kerajaannya. Karena budak itu
tidak kuat tegak melakukan pelayanan yang mengayakan pada raja dengan suatu
kekayaan. Dan ketidak-hadirnya budak tersebut tidak akan mengurangkan dari
kerajaan raja tadi. Maka adalah maksud dari kenikmatan kepada hamba itu dengan
kendaraan dan perbekalan, ialah keberuntungan hamba tersebut dengan kedekatannya
kepada raja. Dan memperoleh kebahagiaan di hadapan raja, untuk ia memperoleh
manfaat pada dirinya. Tidak untuk diperoleh manfaat oleh raja dengan budak
tersebut dan dengan kemanfaatannya.
Maka tempatnya hamba-hamba pada
Allah Ta’ala adalah pada tempat kedua tadi. Tidak pada tempat pertama. Maka
yang pertama itu adalah mustahil atas Allah Ta’ala. Dan yang kedua itu tidak
mustahil. Kemudian, ketahuilah bahwa hamba itu tidaklah ia bersyukur pada
keadaan yang pertama, dengan semata-mata kendaraan dan sampai di hadapan raja,
selama ia belum bangun berdiri melayaninya, yang dikehendaki oleh raja itu
daripadanya.
Adapun pada keadaan yang kedua,
maka ia tidak berhajat sekali-kali kepada pelayanan. Dan serta yang demikian
itu, akan tergambar bahwa hamba itu yang bersyukur dan yang kufur (tidak
bersyukur). Dan kesyukurannya itu adalah dengan memakai yang diperbolehkan
kepadanya oleh tuannya, pada yang disukainya, karenanya sendiri. Tidak karena
dirinya hamba itu. Dan kekufurannya, ialah: bahwa ia tidak memakaikan yang
demikian padanya, dengan dijadikannya menganggur saja. Atau dipakaikannya pada
yang menjauhkan hamba itu daripada raja. Manakala hamba itu memakai kain dan
mengendarai kuda dan ia tidak membelanjakan perbekalan, selain di jalanan, maka
ia sesungguhnya tellah bersyukur kepada tuannya. Karena ia telah memakaikan
nikmat tersebut pada yang disenanginya. Artinya: pada yang disenangi oleh raja
itu bagi hambanya, tidak bagi dirinya. Kalau hamba itu mengendarai kuda
tersebut dan ia membelakangi hadapan raja serta ia mengambil jalan yang
menjauhkan dari raja, maka hamba tersebut telah mengkufuri nikmat raja itu.
Artinya: dipakainya nikmat tadi pada yang tidak disukai tuannya bagi hambanya.
Tidak bagi dirinya sendiri. Kalau hamba itu duduk dan tidak mengendarai kuda
itu, tidak pada mencari kedekatan dan tidak pada mencari kejauhan dari raja,
maka hamba tersebut telah mengkufuri juga akan nikmat raja itu. Karena
disia-siakannya nikmat tersebut dan tidak dipergunakannya. Walaupun ini tidak
sama, dengan jikalau ia berjauhan daripadanya. Maka seperti yang demikian pula,
Allah Ta’ala telah menjaidkan makhluk. Dan makhluk itu pada permulaan fitrahnya
(kejadiannya), memerlukan kepada memakai nafsu syahwat. Supaya dengan demikian,
sempurnalah tubuh mereka. Lalu dengan nafsu syahwat itu, mereka jauh dari keajaiban/hadlaratNya. Dan kebahagiaan mereka
sesungguhnya, adalah pada kedekatan dengan DIA. Lalu Allah Ta’ala menyediakan
bagi mereka dari nikmat-nikmat, yang disanggupi mereka memakaikannya, pada
mencapai tingkat kedekatan. Dari kejauhan dan kedekatan mereka itu, diibaratkan
oleh Allah Ta’ala, karena IA berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam rupa yang amat baik. Kemudian itu, Kami bawa kembali ke tempat
yang paling rendah. Selain dari orang-orang yang beriman dan mengerjakan
perbuatan baik, karena mereka akan memperoleh pahala yang tiada
putus-putusnya”. S At Tin ayat 4-5-6.
Jadi, nikmat-nikmat Allah Ta’ala
itu adalah alat-alat, yang dengan alat-alat tersebut hamba itu mendaki dari
tempat yang paling rendah, yang dijadikan oleh Allah Ta’ala karena hambaNya.
Sehingga dengan alat-alat tadi, hamba itu mencapai bahagia kedekatan. Dan Allah
Ta’ala itu tidak memerlukan kepada hamba itu, dekat ia atau jauh. Dan hamba
pada alat-alat itu, antara dipakainya pada ketaatan, lalu dia itu adalah telah
bersyukur. Karena bersesuaian bagi kesukaan Tuhannya. Dan antara dipakainya
pada kemaksiatan kepadaNya. Maka hamba itu telah berkufur, karena diperbuatnya
apa yang tidak disenangi oleh Tuhannya dan tidak diridhaiNya. Allah Ta’ala
sesungguhnya tidak ridha hambaNya berbuat kufur dan maksiat. Kalau alat-alat
itu dibuatnya menganggur dan tidak dipakainya pada ketaatan dan kemaksiatan,
maka juga hamba itu mengkufuri nikmat dengan menyia-nyiakannya. Dan setiap yang
diciptakan dalam dunia ini, sesungguhnya diciptakan menjadi alat bagi hamba.
Supaya ia sampai dengan yang diciptakan itu kepada kebahagiaan akhirat. Dan
memperoleh kedekatan dengan Allah Ta’ala. Maka setiap orang yang taat, maka
dengan kadar ketaatannya itu, ia bersyukur akan nikmat Allah Ta’ala, pada
sebab-sebab yang dipakaikannya pada ketaatan. Dan setiap orang yang malas, yang
meninggalkan pemakaian atau orang yang maksiat, yang memakaikannya pada jalan
kejauhan daripada Allah, maka orang itu kufur. Ia berlaku pada yang tidak
disenangi oleh Allah Ta’ala. Maksiat dan taat itu dilengkapi oleh kehendak.
Akan tetapi, tidak dilengkapi oleh kesayangan dan kebencian. Bahkan banyak
kehendak itu yang disukai dan banyak kehendak yang tidak disukai. Dan di balik
penjelasan yang halus ini, ada rahasia taqdir yang terlarang menyiarkannya. Dan telah terpecahkan dengan ini, kesulitan pertama. Yaitu:
apabila tidak ada keuntungan bagi yang disyukuri, maka bagaimanakah adanya
kesyukuran itu ?
Dan dengan ini juga, terpecahkan
kesulitan kedua. Maka sesungguhnya kita, tidak kita kehendaki dengan kesyukuran
itu, selain mengarahkan nikmat Allah pada arah yang disukai Allah. Maka apabila
nikmat itu diarahkan pada arah yang disukai, dengan perbuatan Allah, niscaya
berhasil yang dikehendaki. Dan perbuatan engkau itu adalah pemberian daripada
Allah Ta’ala. Dan dari segi engkau tempatnya, maka Ia telah memujikan engkau.
Dan pujianNya itu adalah nikmat yang lain daripadaNya kepada engkau. Maka
Dialah yang memberi dan Dialah yang memuji. Dan jadilah salah satu dari dua
perbuatanNya itu sebab bagi terarahnya perbuatanNya yang kedua ke arah yang
dikasihiNya. Maka bagiNya lah kesyukuran dalam segala hal keadaan. Dan engkau
bersifat, bahwa engkau itu yang bersyukur, dengan pengertian: bahwa engkau
tempatnya pengertian itu, yang kesyukuran diibaratkan daripadanya. Tidak dengan
pengertian bahwa engkau yang mengwujudkannya. Sebagaimana engkau disifatkan,
bahwa engkau yang ber ilmu mengenal Allah Ta’ala (‘arif) dan yang berilmu
(‘alim). Tidak dengan pengertian, bahwa engkau yang menjadikan dan yang
mewujudkan ilmu itu. Akan tetapi, dengan pengertian, bahwa engkau tempatnya
ilmu tersebut. Dan sesungguhnya telah didapati ilmu itu dengan qudrah azaliyah
(kekuasaan Tuhan yang kekal) pada engkau. Lalu disifatkan, bahwa engkau itu
yang bersyukur, adalah mempositifkan (meng-itsbatkan) kehendakNya kepada
engkau. Dan engkau itu adalah sesuatu. Karena engkau dijadikan oleh Pencipta
segala sesuatu, sebagai sesuatu (syai-un). Dan engkau itu sesungguhnya tidaklah
sesuatu (la syai’), apabila engkau itu menyangka bagi diri engkau, sesuatu dari
zat engkau. Adapun dengan diibaratkan pandangan kepada yang menjadikan segala
sesuatu itu sebagai sesuatu, maka engkau adalah sesuatu. Karena IA menjadikan
engkau itu sesuatu. Maka kalau diputuskan pandangan dari kejadiannya sesuatu
tadi, maka engkau pada hakikat/maknanya, tidaklah sesuatu (la syai’). Dan kepada
inilah diisyaratkan oleh Nabi saw, dimana beliau bersabda: “Bekerjalah, maka
masing-masing dimudahkan untuk yang dijadikan baginya !”, maka ditanyakan
kepadanya: “Wahai Rasulullah ! pada apakah pekerjaan (amalan) itu, apabila
segala sesuatu itu telah selesai sebelumnya ?”. Maka jelaslah, bahwa makhluk
itu adalah tempat berlakunya qudrah ( kuasa ) Allah Ta’ala dan tempat Perbuatan-perbuatan
Allah, walaupun mereka itu juga termasuk Perbuatan-perbuatan Allah. Akan
tetapi, sebahagian Perbuatan-perbuatan Allah adalah menjadi tempat bagi
sebahagian yang lain. Dan sabdanya saw: “Bekerjalah !”, walaupun keluar pada
lisan Rasulullah saw, maka itu adalah salah satu dari Perbuatan-perbuatan Allah.
Dan itulah sebab bagi diketahui oleh makhluk, bahwa amalan itu bermanfaat. Dan
pengetahuan mereka itu adalah salah satu dari Af’al ( perbuatan-perbuatan)
Allah Ta’ala. Dan ilmu itu sebab bagi tergeraknya pengajak yang yakin kepada
gerakan dan taat. Dan tergeraknya pengajak juga termasuk Af’al (
perbuatan-perbuatan) Allah Ta’ala. Dan itu menjadi sebab bagi geraknya anggota
badan. Dan gerakan itu juga termasuk Af’al ( perbuatan-perbuatan) Allah Ta’ala.
Akan tetapi sebahagian Perbuatan-perbuatan Allah itu menjadi sebab bagi
sebahagian yang lain. Artinya: yang pertama menjadi syarat bagi yang kedua.
Sebagaimana kejadian tubuh adalah menjadi sebab bagi kejadian sifat pada tubuh
(‘aradl) itu. Karena ‘aradl (sifat) itu tidak dijadikan sebelum tubuh. Dan
kejadian hidup menjadi syarat bagi kejadian ilmu (pengetahuan). Dan kejadian ilmu
itu menjadi syarat bagi kejadian Kemauan (kehendak). Semuanya itu dari Af’al (
perbuatan-perbuatan) Allah Ta’ala. Dan sebahagiannya menjadi sebab bagi
sebahagian yang lain. Artinya: dia itu syarat. Dan arti adanya dia itu syarat,
ialah: bahwa tidak disiapkan untuk menerima perbuatan hidup, selain suatu zat
(jauhar (benda/barang)). Dan tidak disiapkan untuk menerima ilmu, selain yang
mempunyai hidup. Dan tidak untuk menerima Kemauan, selain yang mempunyai ilmu.
Maka adalah sebahagian Perbuatan-perbuatan Allah itu menjadi sebab bagi
sebahagian yang lain dengan pengertian ini. Tidak dengan pengertian, bahwa
sebahagian Perbuatan-perbuatan Allah itu mengwujudkan bagi sebahagian yang
lain. Akan tetapi menyiapkan syarat berhasil bagi yang lain. Ini apabila diyakini
benar-benar, niscaya ia mendaki kepada derajat keesaan yang telah kami sebutkan
dahulu.
Kalau anda bertanya: “Maka
mengapakah Allah Ta’ala berfirman: “Bekerjalah ! kalau tidak, maka kamu
disiksa, yang tercela atas perbuatan maksiat. Padahal, tidak ada pada kita
sesuatu. Maka mengapakah kita dicela ? Dan semua itu sesungguhnya adalah kepada
Allah Ta’ala ?”. Ketahuilah kiranya, bahwa perkataan ini daripada Allah Ta’ala
adalah sebab untuk berhasilnya aqidah (kepercayaan) pada kita, dan aqidah itu
sebab bergelagaknya takut. Dan bergelagaknya takut itu, adalah sebab untuk
meninggalkan nafsu syahwat dan merenggangkan diri dari negeri tipuan. Dan yang
demikian itu, adalah sebab untuk sampai ke sisi Allah. Dan Allah Ta’ala itu
yang menyebabkan sebab-sebab dan yang mengaturnya. Maka siapa yang telah
mendahului baginya pada azali ( tida kesudahan / permulaan ) oleh kebahagiaan,
niscaya mudahlah baginya sebab-sebab tersebut. Sehingga memimpinnya dengan
rangkaian sebab-sebab tadi ke sorga.
Dan diibaratkan dari contohnya,
ialah: bahwa masing-masing dimudahkan untuk yang telah dijadikan baginya. Dan
siapa yang tidak mendahului baginya dari Allah Ta’ala oleh kebaikan, niscaya ia
jauh daripada mendengar kalam (kata-kata) Allah Ta’ala, kalam (kata-kata)
Rasulullah saw dan kalam (kata-kata) para ulama. Maka apabila ia tidak
mendengar, niscaya ia tidak mengetahui. Dan apabila ia tidak mengetahui,
niscaya ia tidak takut. Dan apabila ia tidak takut, niscaya ia tidak
meninggalkan kecenderungan kepada dunia. Dan apabila ia tidak meninggalkan
kecenderungan kepada dunia, niscaya ia kekal dalam barisan setan. Dan neraka
jahannam sesungguhnya menjadi tempat kembali mereka semua.
Apabila engkau telah mengetahui
ini, niscaya engkau merasa heran dari suatu kaum (golongan) yang dipimpin ke
sorga dengan rantai-rantai. Maka tiada seorangpun, melainkan dia itu dipimpin
ke sorga dengan rantai-rantai sebab. Yaitu: penguasaan ilmu dan takut
kepadaNya. Dan tiadalah dari orang yang ditinggalkan, melainkan dia itu dihalau
ke neraka dengan rantai-rantai. Yaitu: penguasaan kelalaian, perasaan diri aman
dan terperdaya kepada dirinya. Maka orang-orang yang bertaqwa itu dihalau ke sorga dengan
paksaan (waktu didunia mereka harus sholat dll. Ini
sungguh berat karena itu kadang2 timbul malas sholat, makanya Allah mengatakan
bahwa ia dipaksa ke surga. Pent). Dan orang-orang yang berbuat dosa itu
dihalau ke neraka dengan paksaan. Dan tiada memaksa,
selain Allah Yang Maha Esa, lagi Yang Maha Perkasa. Tiada yang berkuasa, selain
Raja di raja, Yang Mahagagah. Apabila telah tersingkap tutup dari mata
orang-orang yang lalai, niscaya mereka menyaksikan keadaan seperti yang
demikian. Mereka akan mendengar ketika seruan orang yang menyerukan: “Bagi
siapakah kerajaan pada hari ini ? adalah bagi Allah Yang Maha Esa, lagi Maha
Perkasa”. Sesungguhnya kerajaan itu adalah kepunyaan Allah Yang Maha Esa, lagi
Yang Maha Perkasa, pada setiap hari. Tidak hari itu saja khususnya. Akan
tetapi, orang-orang yang lalai, tiada mendengar seruan ini, kecuali hari itu
saja. Maka itu adalah berita dari yang selalu membaru bagi orang-orang yang
lalai, dari terbukanya hal keadaan, di mana tidak bermanfaat bagi mereka
keterbukaan itu. Kita berlindung dengan Allah Yang Maha Penyantun, Maha
Pemurah, daripada kebodohan dan kebutaan. Sesungguhnya Dia asal sebab-sebab
kebinasaan.
PENJELASAN: pembedaan yang dikasihi oleh Allah Ta’ala, dari
apa yang tidak dikasihiNya.
Ketauhilah, bahwa berbuat syukur dan meninggalkan
kufur itu, tiada akan sempurna, selain dengan mengetahui yang dikasihi oleh
Allah Ta’ala, daripada yang tidak dikasihiNya. Karena pengertian syukur, ialah:
memakai nikmat-nikmat Allah Ta’ala pada tempat-tempat yang dikasihiNya. Dan
pengertian kufur, ialah: lawan yang demikian. Adakalanya dengan: meninggalkan
pemakaian nikmat atau dengan memakaikannya pada tempat-tempat yang tidak
disukaiNya. Untuk membedakan yang dikasihi oleh Allah Ta’ala daripada yang
tidak dikasihiNya itu, mempunyai dua alat untuk mengetahuinya:
Pertama: pendengaran. Dan
sandarannya, ialah: ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits.
Kedua: penglihatan hati (matahati).
Yaitu: memandang dengan mata ibarat. Dan yang akhir ini (yang kedua ini) adalah
sukar. Dan karena yang demikian, maka dia itu mulia. Karena itulah Allah Ta’ala
mengutuskan rasul-rasul. Dan memudahkan jalan bagi mereka kepada makhluk.
Mengetahui yang demikian itu, terbina kepada mengetahui semua hukum agama,
mengenai perbuatan-perbuatan hamba. Maka siapa yang tidak memperhatikan hukum
syara’ (agama) pada semua perbuatannya, niscaya tidak mungkin sekali-kali ia
berdiri menunaikan hak kesyukuran itu.
Adapun yang kedua, yaitu:
memandang dengan mata ibarat. Yaitu: mengetahui hikmah Allah Ta’ala pada
tiap-tiap yang maujud (yang ada) yang diciptakanNya. Karena, tiada suatupun
yang diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam alam ini, melainkan ada padanya hikmah.
Dan di bawah hikmah itu ada maksud. Dan maksud itu ialah: yang dicintai. Dan
hikmah itu terbagi kepada: yang terang dan yang tersembunyi. Adapun yang
terang, ialah: mengetahui bahwa hikmah pada kejadian matahari itu, untuk
menghasilkan (memperoleh) perbedaan antara siang dan malam. Maka siang itu
tempat mencari kehidupan dan malam itu untuk menjadi pakaian (menutup diri
untuk istirahat). Lalu mudahlah bergerak ketika dapat melihat dan tenanglah
ketika tertutup dari penglihatan. Maka ini adalah termasuk sebahagian dari
jumlah hikmah matahari. Tidak semua hikmah padanya. Bahkan pada matahari itu
banyak hikamah-hikmah yang lain, yang halus-halus. Begitu pula, mengetahui
hikmah pada mendung dan turun hujan. Dan yang demikian itu, adalah untuk
terpecahnya bumi bagi bermacam-macam tumbuh-tumbuhan, untuk makanan makhluk dan
tempat gembalaan hewan-hewan. Dan telah terkandung dalam Alquran kepada
sejumlah hikmah-hikmah yang terang, yang dibawa oleh pemahaman-pemahaman
makhluk. Tidak yang halus yang singkat pemahaman mereka padanya. Karena Allah
Ta’ala berfirman: “Bagaimana Kami mencurahkan air melimpah ruah. Sesudah itu,
bumi Kami belah. Dan kami tumbuhkan di situ tanaman yang berbuah. Dan buah
anggur dan sayuran”. S Abasa’ ayat 25-26-27 dan 28.
Adapun hikmah pada bintang-bintang lainnya,
baik bintang yang berjalan dan yang tetap, maka itu adalah tersembunyi. Tidak
dapat dilihat oleh umumnya makhluk. Dan kadar yang dapat dipikul oleh pemahaman
makhluk, ialah: bahwa bintang-bintang itu adalah hiasan bagi langit, untuk
keenakan mata memandang kepadanya. Dan diisyaratkan kepada yang demikian, oleh
firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat
dengan hiasan bintang-bintang”. S 37 Ash Shaffaat ayat 6. Maka semua bahagian
alam, langitnya, bintang-bintang, anginnya, lautnya, gunung-gunungnya, barang
tambangnya, tumbuh-tumbuhannya, hewan-hewannya dan anggota-anggota tubuh
hewan-hewannya itu, tiada terlepas suatu atompun dari atom-atomnya, dari banyak
hikmah. Dari satu hikmah kepada sepuluh, kepada seribu, kepada sepuluh ribu
hikmah. Begitu pula, anggota tubuh hewan itu terbagi kepada: yang diketahui
hikmahnya, seperti mengetahui, bahwa mata itu untuk melihat, tidak untuk
menggenggam. Tangan itu untuk menggenggam, tidak untuk berjalan. Dan kaki itu
untuk berjalan, tidak untuk mencium. Adapun anggota-anggota batin (yang tidak
terllihat) dari tubuh, seperti: perut besar, empedu, jantung, ginjal dan
masing-masing dari urat, urat saraf dan sendi-sendi dan yang di dalamnya, dari
rongga-rongga, lipatan, jerjakan, kemerengan, tipis, tebal dan sifat-sifat
lainnya, maka hikmah padanya tidak diketahui oleh manusia lain. Dan mereka yang
mengetahuinya itu, tidaklah mereka mengetahuinya, selain kadar yang sedikit, dibandingkan
kepada apa yang pada ilmu Allah Ta’ala: “Dan
tidak diberikan kepada kamu dari ilmu pengetahuan, selain sedikit saja”.
S 17 Al Isra ayat 85. Jadi, setiap orang yang memakai sesuatu pada segi, yang
bukan segi, yang sesuatu tersebut dijadikan untuk segi itu dan tidak atas cara
yang dikehendaki, maka dia telah mengkufuri padanya akan nikmat Allah Ta’ala.
Siapa yang memukul orang lain dengan tangannya, maka dia sesungguhnya telah
mengkufuri nikmat tangan. Karena dijadikan tangan baginya, untuk ia menolak
dari dirinya, yang akan membinasakannya. Dan mengambil yang bermanfaat baginya.
Tidak untuk membinasakan orang lain dengan tangan itu. Siapa yang memandang
kepada muka yang bukan mahramnya, maka dia telah mengkufuri nikmat mata dan
nikmat matahari. Karena memandang itu sempurna dengan kedua nikmat tersebut.
Dan sesungguhnya kedua nikmat itu dijadikan, untuk melihat yang bermanfaat
baginya pada agamanya dan dunianya. dan ia menjaga dengan kedua nikmat tadi,
dari yang mendatangkan melarat baginya pada keduanya. Maka ia telah memakai dua
nikmat itu, pada yang tidak dikehendaki baginya. Pahamilah ini ! karena yang
dimaksud dari kejadian makhluk, kejadian dunia dan sebab-sebabnya, ialah:
supaya makhluk itu dapat meminta pertolongan dengan dua nikmat di atas, untuk
sampai kepada Allah Ta’ala. Dan tidak akan sampai kepadaNya, selain dengan
mencintaiNya dan berjinak hati kepadaNya di dunia. Dan merenggangkan diri dari
tipuan dunia. Dan tidak ada kejinakan hati, selain dengan berkekalan dzikir. Dan
tidak ada kecintaan, selain dengan ilmu
mengenal Allah Ta’ala yang berhasil (yang diperoleh) dengan kekekalan fikir
(tafakkur). Dan tidak mungkin kekekalan dzikir dan fikir, selain dengan
kekekalan badan. Dan badan itu tidak akan kekal (tidak binasa), selain dengan
makanan. Dan makanan itu tidak akan sempurna, selain dengan bumi, air dan
udara. Dan yang demikian itu tiada akan sempurna, selain dengan dijadikan
langit dan bumi dan kejadian anggota-anggota yang lain, zahir dan batin. Semua
itu adalah karena badan. Dan badan itu alat bagi jiwa. Dan yang kembali kepada
Allah Ta’ala, ialah: jiwa yang tenang dengan lamanya ibadah dan ilmu mengenal
Allah Ta’ala. Maka karena itulah Allah Ta’ala berfirman: “Aku tidak menciptakan
jin dan manusia, selain untuk beribadah (memperhamba kan dirinya) kepadaKu. Dan
Aku tidak menghendaki dari mereka itu rezeki. Dan Aku tiada hendak meminta
supaya mereka memberi makanan kepadaKu”. S Adz Dzariyaat ayat 56-57. Maka
tiap-tiap orang yang memakai sesuatu pada bukan ketaatan kepada Allah, sesungguhnya
ia telah mengkufuri nikmat Allah pada semua sebab yang tidak boleh tidak
daripadanya. Karena tampilnya kepada kemaksiatan tersebut. Marilah kami
sebutkan suatu misal bagi hikmah-hikmah yang tersembunyi, yang tidak begitu
sangat tersembunyi. Sehingga anda dapat mengambil ibarat daripadanya. Dan dapat
anda ketahui jalan kesyukuran dan kekufuran atas nikmat-nikmat. Maka kami
berkata: Bahwa sebagian daripada nikmat-nikmat Allah Ta’ala, ialah: menjadikan
dirham dan dinar. Dengan dua barang ini tegaklah dunia. Dan keduanya itu adalah
batu, yang tak bermanfaat pada diri keduanya. Akan tetapi, makhluk (manusia)
memerlukan kepada keduanya, dari segi, bahwa setiap manusia memerlukan kepada
banyak barang, mengenai makanannya, pakaiannya dan keperluan-keperluan lainnya.
Kadang-kadang ia lemah daripada yang diperlukannya itu. Dan ia memiliki apa
yang tidak diperlukannya. Seperti orang yang memiliki za’faran (batang kumkuma/seperti
bawang) umpamanya dan ia memerlukan kepada unta yang akan dikendarainya. Dan
orang yang memiliki unta, kadang-kadang ia tidak memerlukan kepada unta itu.
Dan ia memerlukan kepada za’faran. Maka tak boleh tidak, di antara dua orang
tadi, mengadakan pertukaran. Dan tidak boleh tidak pada kadar tukaran itu
daripada taksiran. Karena tidak akan diberikan oleh yang empunya unta itu akan
untanya dengan tiap-tiap kadar dari za’faran. Dan tiada kesesuian di antara
za’faran dan unta. Sehingga dikatakan: akan diberikan daripadanya yang
sepertinya pada timbangan atau bentuk. Demikian juga, orang yang membeli rumah
dengan kain atau budak dengan muza (kasut kaki) atau tepung dengan keledai.
Semua barang-barang tersebut, tak ada kesesuaian padanya. Maka tidak diketahui,
bahwa unta berapa yang menyamai dengan za’faran. Maka sulitlah benar-benar
mengadakan mu’amalah (jual-beli). Lalu benda-benda yang tidak serupa, yang
berjauhan itu, memerlukan kepada penengah diantaranya, yang menetapkan padanya
dengan ketetapan yang adil. Lalu diketahui daripada masing-masingnya, akan
tingkat dan kedudukannya. Sehingga apabila telah tetap kedudukan dan telah
teratur tingkat, niscaya diketahuilah sesudah itu, akan yang menyamai dengan
yang tidak menyamai. Maka Allah Ta’ala menjadikan dinar dan dirham, sebagai dua
hakim dan dua penengah, di antara harta-harta lainnya. Sehingga dikadarkan
(ditentukan) harta-harta itu dengan dinar dan dirham tersebut. Lalu dikatakan:
bahwa unta itu menyamai dengan 100 dinar. Dan kadar itu dari za’faran, yang
menyamai 100. Maka keduanya dari segi menyamai dengan suatu barang, jadi
keduanya itu menjadi sama. Dan sesungguhnya dimungkinkan mengadilkan dengan dua
mata uang tersebut.
Karena tak ada maksud pada diri
dua mata uang itu. Dan kalau pada diri keduanya ada maksud, kadang-kadang
khusus maksud tersebut dikehendaki pada pihak yang empunya maksud tadi karena
sesuatu penguatan. Dan tidak dikehendaki yang demikian pada pihak orang yang
tiada mempunyai maksud. Maka tiada teraturlah urusan. Jadi, Allah Ta’ala
menjadikan dinar dan dirham untuk beredar dari tangan ke tangan. Dan dinar dan
dirham itu adalah hakim di antara harta-harta dengan adil. Dan untuk hikmah
yang lain, ialah: keduanya itu menjadi jalan (wasilah) kepada barang-barang
lainnya. Karena keduanya barang mulia pada dirinya dan tak ada maksud pada diri
keduanya. Dan sangkutannya kepada harta-harta yang lain adalah satu sangkutan.
Siapa yang mempunyai keduanya, maka seakan-akan ia memiliki setiap sesuatu.
Tidak seperti orang yang memiliki kain, maka dia tidak memiliki, selain kain
itu saja. Kalau ia berhajat kepada makanan, kadang-kadang yang empunya makanan
tidak mau kepada kain. Karena maksudnya pada bintang kendaraan umpamanya. Maka
diperlukan kepada sesuatu, yang pada bentuknya seakan-akan dia tidaklah
sesuatu. Dan dia pada pengertian sesuatu itu, seakan-akan dia semua sesuatu.
Dan sesuatu itu sesungguhnya bersamaan sangkutannya kepada yang bermacam-macam,
apabila ia tidak mempunyai bentuk khusus yang dapat diambil faedahnya dengan
kekhususannya. Seperti: cermin yang tiada mempunyai warna dan dapat membentuk
semua warna. Maka begitu pulalah uang (dinar dan dirham) itu, tidak ada maksud
padanya. Dan dia adalah jalan (wasilah) kepada setiap maksud. Dan seperti
huruf, tidak mempunyai arti pada dirinya. Dan lahirlah arti-arti dengan huruf
itu pada lainnya. Maka itulah hikmah yang kedua ! pada kedua hikmah itu juga
banyak hikmah-hikmah yang panjang penyebutannya. Maka tiap-tiap orang yang
berbuat padanya, suatu perbuatan yang tidak layak dengan hikmah-hikmahnya, akan
tetapi menyalahi dengan maksud hikmah-hikmah itu, maka sesungguhnya telah mengkufuri
nikmat Allah Ta’ala padanya. Jadi, siapa yang menyimpan dinar dan dirham dalam
gudang, maka ia telah berbuat aniaya pada keduanya. Dan merusakkan hikmah pada
keduanya. Dan adalah dia seeprti orang yang memenjarakan hakim kaum muslimin
dalam suatu penjara, yang terhalanglah hukum dengan sebab yang demikian. Karena
apabila ia menyimpan dalam gudang, maka ia telah menyia-nyiakan hukum. Dan
tidak akan berhasil maksud yang dimaksudkan.
Dan dirham dan dinar itu tidak
diciptakan, untuk si Zaid khususnya dan tidak untuk si Umar khususnya. Karena
tak ada maksud bagi masing-masing orang pada diri dirham dan dinar itu.
Keduanya adalah batu. Dan keduanya sesungguhnya diciptakan, adalah supaya
beredar dari tangan ke tangan. Maka adalah keduanya itu hakim di antara
manusia. Dan tanda pengenalan untuk kadar, yang membetulkan bagi
tingkat-tingkat. Allah Ta’ala mengabarkan kepada mereka yang lemah daripada
membaca baris-baris ketuhanan yang tertulis atas lembaran-lembaran yang ada
ini, dengan tulisan ketuhanan. Tak ada huruf padanya dan tak ada suara, yang
tidak diketahui dengan mata penglihatan. Akan tetapi dengan matahati. Allah
Ta’ala mengabarkan akan mereka yang lemah itu, dengan perkataan, yang didengar
mereka dari RasulNya saw. Sehingga sampailah kepada mereka, dengan perantaraan
huruf dan suara, akan arti yang lemah mereka daripada mengetahuinya. Maka Allah
Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
dinafkahkannya pada jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka, bahwa mereka
akan mendapat siksa yang pedih”. S At Taghabun ayat 34.
Dan setiap orang yang membuat
dari dirham dan dinar akan bejana (tempat air) dari emas atau perak, maka ia
telah mengkufuri nikmat, dan dia adalah lebih jahat keadaannya daripada orang
yang menyimpannya. Karena perbuatan yang seperti ini, adalah seperti orang yang
menyuruh hakim negeri dengan paksaan untuk menjahit, menyapu dan
perbuatan-perbuatan lain yang dikerjakan oleh orang-orang rendah. Dan
memenjarakannya adalah lebih mudah daripada yang demikian. Yang demikian itu,
ialah: bahwa tembikar, timah dan tembaga dapat menggantikan tempat emas dan
perak, pada menjaga barang-barang cair, daripada bercerai berai. Dan
bejana-bejana itu sesungguhnya adalah untuk menjaga barang-barang cair. Dan tidak
memadai tembikar dan besi pada maksud yang dikehendaki pada emas dan perak.
Maka orang yang tidak tersingkap ini baginya, niscaya tersingkaplah baginya
dengan terjamah/tersentuh ketuhanan. Dan dikatakan kepadanya: “Bahwa orang yang
meminum pada bejana emas atau perak, adalah seolah-olah ia menuangkan dalam
perutnya, neraka jahannam”.
Setiap orang yang mengadakan
mu’amalah (jual beli) secara riba atas dirham dan dinar, maka dia telah
mengkufuri nikmat dan telah berbuat zalim. Karena dirham dan dinar itu diciptakan
untuk yang lain dari dirham dan dinar. Tidak untuk diri dirham dan dinar itu
sendiri. Karena tak ada maksud pada bendanya dirham dan dinar itu. Maka apabila
dilakukan perniagaan pada bendanya dirham (perak) dan dinar (emas),
sesungguhnya telah dibuat keduanya menjadi maksud, yang menyalahi dari letaknya
hikmah. Karena mencari emas dan perak (an-naqd) untuk bukan yang diletakkan
baginya, adalah suatu kezaliman. Orang yang ada padanya kain dan tak ada
an-naqd (emas dan perak), maka ia tidak sanggup membeli makanan dan hewan
dengan kain itu. Karena kadang-kadang, tidak akan dijual makanan dan hewan
dengan kain. Dan dia diperbolehkan menjual makanan itu dengan uang lain, supaya
berhasil uang. Maka dengan demikian, ia sampai kepada maksudnya. Maka sesungguhnya
dirham dan dinar itu adalah wasilah (jalan) kepada yang lain. Dan tak ada
maksud pada bendanya dirham dan dinar itu. Kedudukannya dalam harta, adalah
seperti kedudukan huruf dalam perkataan. Sebagaimana kata orang-orang ahli ilmu
nahwu (an-nahwiyyun), bahwa huruf ialah yang datang untuk memberi arti (maksud)
bagi yang lain. Dan seperti cermin bagi warna-warna. Orang yang ada padanya
uang, jikalau boleh ia menjualkannya dengan harganya uang pula, maka ia telah
membuat bermu’amalah (jual beli) dengan uang itu, tujuan perbuatannya. Lalu
tetaplah uang itu terikat padanya. Dan ia ditempatkan pada kedudukan barang
yang disimpan. Dan mengikatkan hakim dan pos yang bertugas menyampaikan kepada
yang lain, adalah suatu kezaliman. Sebagaimana memenjarakan nya adalah suatu
kezaliman.
Maka tiada arti bagi menjual
uang dengan uang, selain membuat uang itu menjadi maksud untuk disimpan. Dan
itu adalah suatu kezaliman. Kalau anda bertanya: mengapa boleh menjual salah
satu dari emas dan perak dengan lainnya ? dan mengapa boleh menjual dirham
dengan yang seperti dirham itu ? ketahuilah kiranya, bahwa salah satu dari emas
dan perak itu berbeda dengan lainnya, tentang maksud kesampaian kepada tujuan.
Karena kadang-kadang mudahlah kesampaian dengan salah satu daripada keduanya,
dari segi banyaknya, seperti uang-uang dirham yang berpisah-pisah pada
keperluan sedikit-sedikit. Maka melarang pada yang demikian itu, adalah
mengacaukan maksud yang khusus daripadanya. Yaitu: memudahkan kesampaian dengan
dia kepada yang lain. Adapun menjual uang dirham dengan uang dirham yang
menyamainya, maka itu diperbolehkan, dari segi bahwa yang demikian itu adalah
tidak digemari oleh orang yang berpikiran sehat, manakala keduanya itu
bersamaan. Dan tidak dikerjakan yang demikian oleh kaum saudagar. Maka
sesungguhnya itu adalah main-main yang berlaku, sebagai meletakkan uang dirham
itu atas tanah dan mengambilkannya uang dirham itu lagi. Dan kita tidak kuatir
kepada orang-orang yang berpikiran sehat, bahwa mereka menggunakan waktunya
untuk meletakkan uang dirham atas tanah dan mengambilkannya uang dirham itu
sendiri. Maka kita tidak melarang apa yang tidak menarik hati manusia
kepadanya. Kecuali salah satu daripada keduanya itu adalah lebih baik dari yang
lain. Dan yang demikian juga tidak akan tergambar berlakunya. Karena orang yang
mempunyai yang baik, tidak akan rela dengan seperti itu daripada barang yang
buruk. Maka tidak akan teratur aqad (perikatan jual beli). Kalau dimintanya
tambah pada yang buruk, maka yang demikian itu termasuk kadang-kadang yang
dimaksudkannya. Maka sudah pasti, kita akan melarangkannya. Dan kita hukum
(tetapkan), bahwa yang baik dan yang buruk itu sama. Karena yang baik dan yang
buruk itu seyogyalah melihat padanya, pada yang dimaksudkan pada diri bendanya.
Dan apa yang tak ada maksud pada diri bendanya itu, maka tiada seyogyalah
melihat kepada tambahan-tambahan yang halus-halus pada sifatnya. Dan
sesungguhnya orang yang zalim, ialah orang yang membuat uang emas dan perak,
yang berbeda tentang kebaikan dan keburukannya. Sehingga uang itu menjadi yang
dimaksud pada diri bendanya. Dan yang sebenarnya tidaklah itu dimaksudkan.
Adapun apabila dijual dengan
dirham yang sama, dengan jalan bayar kemudian, maka sesungguhnya tidak
dibolehkan yang demikian. Karena tidak berbuat perbuatan ini, selain orang yang
bersifat lapang dada, yang bermaksud kepada perbuatan baik (al-ihsaan). Dan
pada mengutangkan dan itu adalah kemuliaan, yang lapang daripadanya. Supaya
kekallah bentuk berlapang dada (almusamahah). Maka adalah baginya pujian dan
pahala. Dan al-mu’awadlah (tukar-menukar barang) itu tak ada pujian dan pahala
padanya. Maka itu juga zalim. Karena itu melenyapkan kekhususan kekallah bentuk
berlapang dada dan mengeluarkannya pada pertunjukkan tukar-menukar barang.
Demikian pula makanan-makanan itu, dijadikan untuk dimakan atau dijadikan obat.
Maka tiada seyogyalah diseleweng kan dari arahnya. Maka membuka pintu mu’amalah
(jual beli) pada makanan-makanan itu, mengharuskan terikatnya dalam
tangan-tangan. Dan dikemudiankan memakan yang menjadi maksud dari
makanan-makanan tersebut. Allah Ta’ala tidak menciptakan makanan, selain untuk
dimakan. Dan sangatlah berhajat kepada makanan-makanan itu. Maka seyogyalah
dikeluarkan makanan-makanan itu dari tangan orang yang tidak memerlukan, kepada
orang yang memerlukan. Dan tidak bermu’amalah (jual beli) pada makanan-makanan,
selain orang yang tidak memerlukan kepadanya. Karena, orang yang ada padanya
makanan, maka mengapa ia tidak memakannya, jikalau ia memerlukannya ? dan
mengapa dijadikannya barang perniagaan ? dan kalau dijadikannya barang
perniagaan, maka hendaklah dijualnya kepada orang yang mencarinya dengan ‘iwadl
(harga), yang bukan makanan yang diperlukannya. Adapun orang yang mencarinya
dengan diri makanan itu (bukan untuk dimakan), maka dia juga tidak
memerlukannya. Dan karena inilah tersebut dalam agama akan kutukan atas orang
yang mengumpulkan makanan dan akan menjual waktu mahal (al-muhtakir). Dan
tersebut dalam agama peringatan-peringatan yang keras, yang telah kami
terangkan dahulu pada Kitab Adab Berusaha. Benar, penjual gandum dengan tamar
(kurma) itu diperbolehkan. Karena salah satu dari gandum dan tamar itu tidak
menempati tempat lainnya pada maksud. Dan penjual segantang gandum dengan
harganya segantang dari gandum juga, maka itu tidak diperbolehkan. Akan tetapi
penjual tersebut itu main-main. Maka tidak memerlukan kepada larangan. Karena
diri manusia tidak membolehkannya, selain ketika ada berlebih kurang tentang
baiknya. Dan timbangan barang yang baik dengan yang sama jumlahnnya dari barang
yang buruk, tidak akan disetujui oleh yang empunya barang yang baik. Adapun
yang baik dengan dua yang buruk, maka kadang-kadang ada orang yang
menghendakinya. Akan tetapi, tatkala makanan-makanan itu adalah termasuk
sebahagian barang-barang yang penting dan yang baik itu menyamai dengan yang
buruk tentang pokok faedahnya dan berbeda tentang segi menikmatinya, maka
syara’ (agama) tidak mementingkan maksud menikmatinya, pada barang yang
menikmatinya itu adalah tiang tegaknya.
Maka inilah hikmah syara’ (agama) mengharamkan
riba. Dan telah tersingkap ini bagi kita, sesudah berpaling dari ilmu fiqh.
Maka hendaklah kita menghubungkan ini dengan ilmu yang mengenai fiqh.
Sesungguhnya itu adalah yang terkuat dari semua yang telah kami kemukakan pada
masalah-masalah yang diperselisihkan (al-khilafiiyah). Dan dengan ini jelaslah
kuatnya mazhab Asy Syafi’i ra pada mengkhususkan makanan-makanan, tidak
barang-barang yang disukai. Karena jikalau masuklah kapur putih padanya,
niscaya kain dan hewan adalah lebih utama dimasukkan. Dan jikalau tidak adalah
garam, sesungguhnya mazhab Maliki ra adalah yang terkuat dari mazhab-mazhab
lainnya tentang itu. Karena dikhususkannya dengan makanan-makanan penting
(al-qaut). Akan tetapi, setiap arti yang dipelihara oleh syara’ (agama), maka
tak boleh tidak ditentukan dengan batas. Dan pembatasan ini, adalah mungkin
pada makanan-makanan penting. Dan adalah mungkin pada barang yang menjadi
makanan. Maka syara’ (agama) memandang pembatasan dengan jenis yang menjadi
makanan itu adalah lebih patut bagi setiap barang yang penting bagi tetap
hidupnya manusia.
Dan pembatasan-pembatasan syara’
(agama) itu kadang-kadang meliputi segi-segi, yang tidak kuat padanya pokok
arti yang mendorong kepada hukum. Akan tetapi pembatasan itu terjadi seperti
yang demikian, disebabkan darurat. Dan kalau tidak dibatasi, nisaya manusia itu
akan heran pada mengikuti hakikat/makna arti serta berbedanya dengan keadaan
dan orang. maka arti itu sendiri dengan sempurna kekuatannya, akan berbeda
dengan berbedanya keadaan dan orang. Maka adalah batas itu penting. Karena
demikianlah, maka Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang melampaui batas-batas
yang ditentukan oleh Allah, sesungguhnya dia menganiaya dirinya sendiri”. S 65
Ath Thalaaq ayat 1. Dan karena pokok-pokok arti ini tidak berbeda di antara
agama-agama. Hanya berbeda pada segi pembatasan, sebagaimana agama Isa bin
Maryam as membatasi pengharaman khamar dengan mabuk. Dan agama kita
membatasinya, dengan adanya termasuk jenis yang memabukkan. Karena sedikitnya
akan membawa kepada banyaknya. Dan yang masuk pada batasan-batasan itu masuk
pada pengharaman, dengan “hukum jenis”.
Sebagaimana masuknya pokok arti
dengan jumlah kepokokan. Maka ini adalah suatu contoh bagi hikmah yang
tersembunyi dari hikmah-hikmah emas dan perak itu ! maka seyogyalah diambil
ibarat dengan contoh ini akan kesyukuran nikmat dan kekufurannya. Maka setiap
yang diciptakan bagi suatu hikmah, tiada seyogyalah diselewengkan daripadanya.
Dan ini tiada akan diketahui, selain orang yang mengetahui hikmah itu. “Dan
orang yang diberiNya hikmah itu, sesungguhnya telah diberikan kebajikan yang
banyak”. S 2 Al Baqarah ayat 269. Akan tetapi, tiada akan dijumpai
hakikat/makna hikmah dalam hati, yang menjadi tempat sampah nafsu syahwat dan
tempat permainan setan-setan. Akan tetapi, tiada akan teringat, selain
orang-orang yang berakal. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Jikalau
tidaklah setan-setan itu berkeliling atas hati anak Adam, niscaya anak Adam itu
akan memandang ke alam malakut yang tinggi”. Apabila contoh ini telah engkau
ketahui, maka kiaskanlah kepadanya gerak engkau dan tetap engkau, bicara engkau
dan diam engkau. Dan setiap perbuatan yang timbul daripada engkau, maka yang
demikian itu, adakalanya syukur dan adakalanya kufur. Karena tiada akan
tergambar, yang demikian itu terlepas dari syukur dan kufur tadi. Sebahagian
yang demikian, separuhnya pada lisan fiqh yang diperkatakan oleh orang awam,
dinamakan: kirahah (makruh). Dan sebahagiannya, dinamakan: hadhr (dicegah). Dan
semua itu pada orang-orang yang mempunyai hati bersih, disifatkan dengan: hadhr
tersebut. Aku akan menerangkan: umpamanya, jikalau anda beristinja’ (bersuci
dari buang air besar atau air kecil) dengan tangan kanan, maka sesungguhnya
anda telah mengkufuri nikmat dua tangan. Karena Allah Ta’ala menciptakan bagi
anda dua tangan. Yang satu diciptakanNya lebih kuat dari yang lain. Maka
berhaklah yang lebih kuat dengan kelebihan beratnya menurut kebiasaan, akan
permuliaan dan pengutamaan. Dan pengutamaan yang kurang itu adalah berpaling
dari keadilan. Dan Allah Ta’ala tidak menyuruh, selain dengan keadilan.
Kemudian, diperlukan engkau oleh Yang Memberi dua tangan kepada engkau, kepada
perbuatan-perbuatan. Sebahagiannya mulia, seperti mengambil Mashhaf (Kitab suci
Alquran). Dan sebahagiannya keji, seperti: menghilangkan najis. Maka apabila
anda mengambil Mashhaf dengan tangan kiri dan anda menghilangkan najis dengan
tangan kanan, maka anda telah mengkhususkan yang mulia dengan yang dipandang
keji. Lalu anda telah menutup mata dari haknya yang mulia dan berbuat zalim
kepadanya dan anda berpaling dari keadilan.
Dan seperti yang demikian pula,
apabila anda meludah umpamanya pada arah kiblat atau anda menghadap kiblat pada
qodo hajat (buang air besar atau air kecil), maka anda sesungguhnya telah
mengkufuri nikmat Allah Ta’ala, pada menciptakan arah-arah dan menciptakan
luasnya alam. Karena IA menciptakan arah-arah itu, adalah untuk menjadi tempat
yang luas bagi anda dalam gerak anda. Dan IA membagikan arah-arah itu kepada
yang tidak dimuliakanNya dan kepada yang dimuliakanNya, dengan diletakkanNya
pada arah itu BAIT (rumah), yang dikaitkanNya pada DIRINYA, untuk
mencenderungkan hati anda kepada BAIT itu. Supaya terikat hati anda dengan BAIT
tersebut. Lalu terikatlah dengan sebab BAIT itu, badan anda pada arah tersebut,
dalam keadaan tenang dan khidmat, apabila anda menyembah (beribadah) kepada
Tuhan anda. Begitu pula, perbuatan anda terbagi kepada apa yang dikatakan
mulia, seperti: perbuatan taat, dan kepada: apa yang dikatakan keji, seperti:
qodo hajat dan meludahkan air liur. Maka apabila anda meludahkan air liur anda
ke arah kiblat, maka anda telah berbuat zalim kepadanya. Dan anda telah
mengkufuri nikmat Allah Ta’ala kepada anda, dengan pembuatan kiblat, yang
dengan pembuatannya itu menjadi sempurna ibadah anda. Begitu pula, apabila anda
memakai muza (kasut kaki) anda, lalu anda memulai melangkahkan kaki anda dengan
kaki kiri, maka anda telah berbuat zalim. Karena muza itu pemeliharaan bagi
kaki. Dan kaki itu mempunyai keberuntungan padanya. Dan pada memulai yang
keberuntungan-keberuntungan itu, seyogyalah dengan yang lebih mulia. Maka itu
adalah adil dan penyempurnaan dengan hikmah. Dan lawannya adalah zalim dan
kufur bagi nikmat muza dan kaki. Dan ini pada pihak orang-orang yang ber ilmu
mengenal Allah Ta’ala (al-‘arifin) itu urusan besar, walaupun dinamakan oleh
ahli fiqh (al-faqih); perbuatan makruh.
Sehingga, sebahagian mereka
telah mengumpulkan beberapa pikulan gandum dan ia bersedekah dengan gandum
tersebut. Lalu ia ditanyakan sebabnya. Maka ia menjawab: “Pada suatu kali aku
memakai kasut, lalu aku mulai melangkah dengan kaki kiri karena lupa. Maka aku
bermaksud menutupinya dengan sedekah”. Benar, ahli fiqh itu tiada sanggup
membesarkan urusan pada hal-hal tersebut. Karena dia orang yang patut
dikasihani, yang dicoba dengan memperbaiki orang-orang awam, yang mendekati
derajatnya dengan derajat hewan. Dan mereka itu terbenam dalam kegelapan tebal
dan besar, daripada dapat dilahirkan contoh-contoh kegelapan tersebut, dengan
dikaitkan kepadanya. Maka kejilah untuk dikatakan, bahwa orang yang meminum
khamar dan mengambil gelas dengan tangan kirinya, bahwa ia telah melampau batas
dari dua segi: yang satu: minum dan yang lain: mengambil dengan kiri. Orang yang menjual khamar pada waktu adzan hari Jum’at,
maka kejilah untuk dikatakan, bahwa orang tersebut telah berkhianat dari dua
segi: yang satu: menjual khamar dan yang lain: menjualnya pada waktu adzan ?
orang yang melakukan qodo hajat pada mihrab masjid, membelakangi kiblat, maka
kejikah untuk disebut, bahwa orang itu meninggalkan adab pada qodo hajat, dari
segi ia tidak menjadikan kiblat dari kanannya ? maka perbuatan-perbuatan
maksiat itu semua, adalah kegelapan. Sebahagiannya di atas sebahagian yang
lain. Maka terhapuslah sebahagiannya pada samping sebahagian yang lain.
Seorang tuan kadang-kadang
menyiksakan budaknya, apabila budak itu memakai pisaunya dengan tidak
seizinnya. Akan tetapi, jikalau budak itu membunuh dengan pisau tadi anak
tuannya yang dikasihi oleh tuannya itu, niscaya tidak tinggal lagi bagi
pemakaian pisau dengan tidak seizinnya itu, suatu hukum dan penganiayaan bagi
dirinya sendiri. Maka semua yang dipelihara oleh para nabi-nabi dan wali-wali
dari adab sopan santun dan kita berlapang dada padanya, mengenai fiqh serta
orang awam, maka sebabnya ialah darurat tersebut. Kalau tidak, maka setiap yang
makruh itu, adalah berpaling dari keadilan, mengkufuri nikmat dan suatu
kekurangan dari derajat yang menyampaikan bagi hamba kepada derajat kedekatan
kepada Tuhan. Benar, sebahagiannya membekas pada hamba dengan kurangnya kedekatan
dan menurunnya kedudukan. Dan sebahagiannya keluar secara keseluruhan, dari
batas-batas kedekatan, kepada alam kejauhan, yang menjadi tempat ketetapan
setan-setan.
Begitu juga, orang yang
mematahkan sebuah ranting dari sepohon kayu, tanpa keperluan ketika itu yang
penting dan tanpa keperluan suatu maksud yang benar, maka orang tersebut telah
mengkufuri nikmat Allah Ta’ala, pada menciptakan kayu-kayuan dan menciptakan
tangan.
Adapun tangan, maka sesungguhnya tidak
diciptakan untuk main-main. Akan tetapi untuk taat dan amal perbuatan yang
menolong kepada taat. Dan pohon kayu sesungguhnya diciptakan oleh Allah Ta’ala
dan diciptakanNya akar-akar bagi pohon kayu itu dan disiramkanNya air
kepadanya, diciptakanNya padanya kekuatan mengambil makanan dan pertumbuhan,
supaya sampailah kepada kesudahan kejadiannya. Lalu hamba-hambaNya mengambil
manfaat dengan pohon kayu tersebut. Maka menghancurkan pohon kayu itu sebelum kesudahan
kejadiannya, tidak di atas cara yang dapat diambil manfaatnya oleh para hamba,
adalah menyalahi bagi maksud hikmah dan berpaling dari keadilan. Kalau ia mempunyai
maksud yang betul, maka bolehlah yang demikian. Karena
pohon kayu dan hewan itu dijadikan, adalah untuk memenuhi hajat maksud insan.
Semua kayu dan hewan itu akan fana dan binasa. Maka melenyapkan yang buruk
untuk kekekalan yang lebih mulia, sepanjang waktu tertentu, adalah mendekati
kepada keadilan, daripada melenyapkan pohon kayu dan hewan itu semua. Dan
kepada yang demikianlah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan
diadakanNya pula keperluan kamu, apa yang di langit dan yang di bumi, semuanya
(datang) daripadaNya”. S Al Jatsiyah ayat 13. Ya, apabila dihancurkan yang
demikian dari kepunyaan orang lain, maka orang itu zalim juga, walaupun ia
memerlukannya. Karena setiap pohon kayu, dengan diri pohon kayu tersebut tidak
akan dapat menyempurnakan semua hajat keperluan hamba Allah. Akan tetapi, dapat
menyempurnakan suatu hajat keperluan. Dan kalau dikhususkan kepada seseorang
dengan pohon kayu itu, tanpa ada penguatan dan kekhususan, niscaya itu adalah
kezaliman. Maka yang empunya kekhususan, ialah yang menghasilkan bibit, yang
meletakkannya dalam tanah, yang menyiramkan air kepadanya dan bangun berdiri
memeliharakannya. Orang itulah yang lebih utama dengan pohon tersebut dari
orang lain. Maka dengan demikian, menjadi kuatlah pihaknya. Kalau pohon itu
tumbuh pada tanah gundul, tidak dengan usaha anak Adam (manusia) yang tertentu,
dengan tempat tanamannya atau dengan menanaminya, maka tidak boleh tidak
daripada mencari kekhususan yang lain. Yaitu: yang dahulu mengambilnya. Maka
bagi yang dahulu itu mempunyai faedah kedahuluan. Maka keadilan, ialah orang
yang dahulu itulah yang lebih utama dengan pohon kayu tersebut. Ulama-ulama
fuqaha’ mengatakan dari hal penguatan ini, dengan kata-kata: hak milik. Dan itu
adalah: majaz semata-mata. Karena, tidak adalah hak milik itu, selain kepunyaan
MAHARAJA DIRAJA (MAALIKIL-MULUUK), yang memiliki apa yang di langit dan di
bumi. Dan bagaimana hamba itu menjadi pemilik, sedang ia sendiri tidak memiliki
dirinya ? bahkan dia itu milik Yang lain (Tuhan). Benar, makhluk itu hamba
Allah Ta’ala dan bumi itu hidangan Allah Ta’ala. IA telah mengizinkan kepada
mereka memakan dari hidanganNya, menurut kadar keperluan mereka. Seperti raja
membuat hidangan bagi budak-budaknya. Maka siapa yang mengambil suatu suap
dengan tangan kanannya dan meliputi kepada suap itu sendiri anak jarinya, lalu
datang budak yang lain dan bermaksud menarik suap itu dari tangan hamba tadi,
niscaya tidak mungkin yang demikian itu daripadanya. Tidak karena suap tersebut
menjadi miliknya dengan mengambilnya dengan tangan. Karena tangan dan yang
empunya tangan juga kepunyaan Yang lain (Tuhan).
Akan tetapi, apabila tiap-tiap diri suap itu
tidak mencukupkan hajat keperluan semua hamba, maka keadilan pada penentuan
itu, ialah ketika berhasil suatu macam dari penguatan dan kekhususan. Dan
mengambil itu suatu kekhususan, yang bersendirian hamba tersebut dengan barang
itu. Maka dicegah orang yang tidak mendekati dengan kekhususan tersebut,
daripada mendesak budak tadi. Maka begitulah seyogyanya anda memahami perintah
Allah pada hamba-hambaNya. Dan karena itulah kami mengatakan: bahwa siapa yang
mengambil dari harta dunia, lebih banyak dari hajat keperluannya, disimpannya
dan ditahannya dan dalam kalangan hamba-hamba Allah ada orang yang memerlukan
kepadanya, maka orang itu orang zalim. Dan dia termasuk orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak membelanjakannya pada jalan Allah Ta’ala.
Dan jalan Allah itu sesungguhnya ialah taat kepadaNya. Dan perbekalan makhluk
pada mentaatiNya, ialah: harta dunia. Karena dengan harta itu, tertolaklah yang
darurat bagi mereka dan terangkatlah hajat keperluan mereka. Benar, ini tidak
masuk dalam batas fatwa-fatwa fiqh. Karena kadar hajat keperluan itu
tersembunyi. Diri kita pada merasakan kemiskinan pada masa mendatang itu
berbeda. Dan akhir umur kita tidak diketahui. Maka memberatkan orang awam akan
yang demikian itu, berlaku sebagaimana berlakunya memberatkan anak-anak kecil
dengan pengkhidmatan, kasih sayang dan diam dari setiap perkataan yang tidak
penting. Dan itu dengan hukum kekurangannya anak-anak kecil tersebut, mereka
tiada akan menyanggupinya. Lalu kita tinggalkan pendatangan kepada mereka, pada
permainan dan bersenda gurau. Dan kita memperbolehkan yang demikian kepada
mereka, tidaklah itu menunjukkan, bahwa bersenda gurau dan bermain-main itu
benar. Maka seperti demikian juga, kita memperbolehkan orang awam, menjaga
harta. Dan menyingkatkan pada perbelanjaan sekedar zakat.
Karena daruratnya apa yang
menjadi tabiat mereka dari sifat kikir, tidaklah menunjukkan, bahwa yang
demikian itu, kesudahan kebenaran. Alquran telah mengisyaratkan kepada yang
demikian, karena Allah Ta’ala berfirman: “Kalau itu dimintaNya kepada kamu dan
didesakNya kamu, niscaya kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37. Akan tetapi,
yang benar, yang tak ada kekeruhan padanya dan yang adil, yang tidak ada
kezaliman padanya, ialah: bahwa seseorang dari hamba-hamba Allah, tidak
mengambil dari harta Allah, selain sekedar perbekalan orang yang berkendaraan
(bepergian). Maka setiap hamba Allah itu, adalah yang berkendaraann dengan
kendaraan badannya, ke hadlarat RAJA YANG MAHA PERKASA. Maka siapa yang
mengambil lebih daripadanya, kemudian dilarangnya pengendara yang lain yang
memerlukan kepadanya, maka orang tersebut adalah zalim, yang meninggalkan
keadilan, keluar dari maksud hikmah dan kufur kepada nikmat Allah Ta’ala
kepadanya dengan Alquran, Rasul saw, akal dan sebab-sebab lainnya, yang dengan
sebab-sebab itu, ia mengetahui, bahwa selain dari perbekalan yang mengendarai
itu, adalah bencana kepadanya di dunia dan di akhirat.
Maka siapa yang memahami hikmah
Allah Ta’ala pada semua macam yang maujud, niscaya sangguplah ia berdiri
menegakkan tugas kesyukuran. Dan menyelidiki yang demikian itu memerlukan
kepada kitab berjilid-jilid. Kemudian, kita tiada dapat menyempurnakan, kecuali
dengan sedikit saja. Sesungguhnya kami kemukakan kadar ini, supaya diketahui
alasan kebenaran pada firmanNya Allah Ta’ala: “Dan sedikit sekali dari
hamba-hambaKu itu yang tahu bersyukur (berterima kasih)”. S Saba ayat 13. Dan
Iblis yang dikutuk oleh Allah itu bergembira dengan katanya: “Dan tidaklah akan
ENGKAU dapati, bahwa kebanyakan mereka menjadi orang-orang yang bersyukur”. S 7
Al A’raf ayat 17. Maka tidak akan diketahui maksud ayat ini, oleh orang yang
tidak mengetahui maksud ini semuanya dan hal-hal yang lain di balik itu, yang
menghabiskan umur, tanpa penyelidikan pokok-pokoknya.
Adapun penafsiran ayat dan
maksud kata-katanya, maka akan diketahui oleh setiap orang yang mengetahui
bahasa. Dan dengan ini, jelaslah bagi anda, perbedaan di antara arti (maksud)
dan tafsir. Kalau anda mengatakan; bahwa sesungguhnya telah kembali hasil
perkataan ini, bahwa Allah Ta’ala mempunyai hikmah pada tiap-tiap sesuatu. Dan
IA menjadikan sebahagian perbuatan hamba itu, menjadi sebab bagi kesempurnaan
hikmah tersebut. Dan sampainya hikmah itu, ialah sampainya yang dimaksud
daripadanya. Dan IA menjadikan sebahagian perbuatan hamba-hamba itu penghalang
daripada sempurnanya hikmah. Maka setiap perbuatan yang bersesuaian dengan yang
dikehendaki oleh hikmah, sehingga membawa hikmah kepada tujuannya, maka itu
adalah syukur. Dan setiap yang menyalahinya dan menghalangi sebab-sebab
daripada terbawanya hikmah itu kepada maksud yang dikehendaki, maka itu adalah
kufur. Ini semuanya dapat dipahami ! akan tetapi keruwetan itu tetap ada.
Yaitu: bahwa perbuatan hamba yang terbagi kepada yang menyempurnakan hikmah dan
kepada yang meninggikan hikmah, itu juga adalah dari perbuatan Allah Ta’ala.
Maka dimanakah hamba itu pada kenyataannya, sehingga ia sekali adalah orang
yang bersyukur dan pada kali yang lain, ia adalah orang yang mengkufuri nikmat
?
Ketahuilah kiranya, bahwa
sempurnanya ketahkikan (mencari yang sebenarnya) tentang ini, adalah dapat
dipahami dari riak gelombang lautan besar dari ilmu diminta untuk mengetahuinya
saja. Dan telah kami rumuskan pada tulisan yang lalu, kepada isyarat-isyarat dengan
pokok-pokoknya. Dan kami sekarang akan mengibaratkan dengan ibarat yang ringkas
dari penghabisannya dan tujuannya, yang akan dapat dipahami oleh orang yang
mengetahui tuturan burung. Dan akan diingkari oleh orang yang lemah daripada
kecepatan dalam perjalanan. Lebih-lebih lagi, untuk dapat ia bekeliling di
udara alam malakut, sebagaimana berkelilingnya burung. Maka kami akan
mengatakan: bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla dalam keagungan dan kebesaranNya
mempunyai sifat, yang dari sifat tersebut, timbullah makhluk dan ciptaan. Sifat
itu adalah lebih tinggi dan lebih agung daripada dapat dilihat oleh mata orang
yang membentuk bahasa. Sehingga ia dapat mengibaratkan daripada sifat itu,
dengan suatu ibarat, yang menunjukkan hakikat/makna keagungannya dan kekhususan
hakikat/maknanya. Maka tak ada bagi sifat tadi dalam alam ini, suatu ibarat,
karena tinggi keadaannya dan merendahnya derajat orang-orang yang membentuk
bahasa-bahasa, daripada dapat memanjangkan tepi pemahaman mereka kepada
pokok-pokok kecemerlangannya. Lalu merendahlah dari kepuncakannya penglihatan
mereka. Sebagaimana merendahnya penglihatan burung-burung kelelawar dari sinar
matahari. Tidak karena tertutup pada sinar matahari, akan tetapi karena
kelemahan pada penglihatan burung-burung kelelawar tersebut. Maka berhajatlah
mereka yang terbuka penglihatannya, untuk memperhatikan keagungan sifat itu,
kepada meminjam dari lembah dunia orang-orang yang bertutur kata dengan
bahasa-bahasa, akan suatu ibarat yang dapat dipahami dari pokok-pokok
hakikat/maknanya, akan suatu yang lemah sekali. Lalu mereka meminjam untuk yang
tersebut itu, nama: al-qudrah (kuasa).
Maka beranilah kita dengan sebab pinjaman mereka itu, kepada penuturan.
Lalu kita mengatakan: Allah Ta’ala mempunyai sifat, yaitu: al-qudrah ( kuasa ).
Dan al-qudrah ( kuasa ) itu timbullah makhluk dan ciptaan. Kemudian, makhluk
itu terbagi pada wujudnya kepada bahagian-bahagian dan kekhususan sifat-sifat.
Dan sumber terbaginya bahagian-bahagian ini dan kekhususannya dengan kekhususan
sifat-sifatnya itu, adalah suatu sifat yang lain, yang dipinjamkan kepadanya,
dengan contoh darurat yang telah terdahulu, akan kata-kata: kehendak
(al-masyiah).
Maka kata-kata: kehendak ini
mendatangkan dugaan suatu hal yang tidak terperinci (mujmal) pada orang-orang
yang bertutur kata dengan bahasa-bahasa, yang terdiri dari: huruf-huruf dan
suara orang-orang yang mengambil pemahaman dengan bahasa-bahasa itu. Singkatnya
kata-kata: kehendak daripada menunjuk kan kepada peri sifat itu dan
hakikat/maknanya, adalah seperti singkatnya kata-kata: al-qudrah ( kuasa ).
Kemudian, perbuatan-perbuatan yang timbul dari al-qudrah ( kuasa ) itu terbagi
kepada: yang berjalan terus sampai kepada kesudahan, yang menjadi tujuan
hikmahnya. Dan kepada: yang berjalan terus sampai kepada kesudahan, yang
menjadi tujuan hikmahnya. Dan kepada: yang berhenti, tidak sampai kepada
tujuan. Masing-masing dari yang dua ini, mempunyai kadar hubungan kepada: sifat
al-masyiah. Karena kembalinya kepada kekhususan-kekhususan, yang dengan itu,
menjadi sempurnalah pembahagian dan perbedaan-perbedaan. Maka dipinjamkan untuk
kadar hubungan yang sampai tujuannya, akan kata-kata: kasih sayang
(al-mahabbah).
Dan dipinjamkan untuk kabar
hubungan yang berhenti, tidak sampai kepada tujuannya, akan kata-kata: benci.
Dan dikatakan, bahwa kedua-duanya itu masuk dalam sifat kehendak. Akan tetapi,
masing-masing mempunyai khasiat yang lain pada kadar hubungan itu, yang memberi
dugaan dari kata-kata mencintai secara mendalam dan benci, akan suatu hal yang
tidak terperinci, pada orang-orang yang mencari pemahaman dari kata-kata dan
bahasa-bahasa. Kemudian, hamba-hambaNya yang juga termasuk makhlukNya dan
ciptaanNya, terbagi kepada: orang yang telah mendahului baginya kehendak (kekal),
bahwa dipakainya untuk menghentikan hikmahnya, tanpa sampai kepada tujuannya.
Dan demikian itu adalah paksaan kepada pihaknya, dengan menguasakan
pengajak-pengajak dan pembangkit-pembangkit kepada mereka. Dan terbagi kepada:
orang yang telah mendahului kehendak bagi mereka pada (kekal), bahwa IA
memakaikan mereka menurut hikmahNya, kepada tujuan hikmah itu pada sebahagian
urusan.
Maka bagi masing-masing dua
golongan ini, mempunyai kadar hubungan kepada kehendak khususnya. Lalu
dipinjamkan untuk kadar hubungan orang-orang yang memakai pada menyempurnakan
hikmah dengan mereka, akan kata-kata: ridla. Dan dipinjamkan bagi mereka yang
berhenti sebab-sebab hikmah, tanpa sampai kepada tujuannya, akan kata-kata:
marah. Maka lahirlah atas diri orang yang dimarahi pada (kekal), suatu
perbuatan, yang hikmah itu berhenti dengan sebab perbuatan tersebut, tanpa
sampai kepada tujuannya. Lalu dipinjamkan kepada orang itu, akan kata-kata:
kufur. Dan bersamaan arti yang demikian itu, dengan malapetaka kutukan dan
celaan, sebagai tambahan pada hukumannya. Dan lahirlah atas diri orang yang
diridlaiNya pada (kekal), suatu perbuatan, yang berjalanlah hikmah dengann
sebab yang demikian itu kepada tujuannya. Lalu dipinjamkan kepada orang
tersebut, akan kata-kata: syukur. Dan bersamaan dengan arti yang demikian itu,
dengan sifat: pujian dan sanjungan, sebagai tambahan pada ridla, terima dan
datang menghadap. Hasilnya, ialah bahwa Allah Ta’ala memberikan: kecantikan
(al-jamaal), kemudian IA pujikan. Dan IA memberikan: hukuman (an-nakaal),
kemudian IA kejikan dan rendahkan. Contohnya, adalah seperti raja yang
membersihkan budaknya dari kotoran. Kemudian, disuruhnya memakai pakaian yang
tercantik. Maka tatkala telah sempurna penghiasan budak tersebut, lalu raja
tadi berkata: “Hai cantik ! alangkah cantiknya engkau ! alangkah cantiknya
pakaian enkau ! alangkah bersihnya wajah engkau !”. Sedang pada
hakikat/maknanya, dialah yang mempercantikkan. Dan dialah yang memujikan atas
kecantikan itu. Dan dialah yang memuji budak itu dalam segala keadaan. Dan
seakan-akan raja itu tidak memujikan dari segi arti melainkan kepada dirinya
sendiri. Dan budak itu hanyalah sasaran bagi pujian, dari segi zahiriyah dan
bentuk. Maka begitulah adanya hal keadaan pada (kekal). Dan begitulah
sambung-menyambung sebab dan yang menyebabkan dengan takdir Tuhan semesta alam
dan yang menyebabkan sebab-sebab. Dan tidaklah yang demikian itu atas
kesepakatan dan pembahasan. Akan tetapi, dari Kemauan, hikmah, hukum kebenaran
dan perintah yang meyakinkan. Dan dipinjam untuk yang demikian itu, kata-kata:
al-qodo’ (hukum Tuhan). Dan dikatakan, bahwa itu adalah seperti: sekerlip
pandangan mata atau lebih dekat lagi. Maka melimpah-limpahlah membanjirnya
lautan taqdir, dengan ketetapan qodo’ itu yang meyakinkan, dengan yang telah
terdahulu taqdirnya. Lalu dipinjamkan untuk penyusunan satu persatu yang
ditaqdirkan itu, sebahagian di atas sebahagian lainnya, akan kata-kata: QADAR.
Lalu kata-kata: qodo’ adalah dengan: berbetulan suatu urusan secara
keseluruhan. Dan kata-kata: qadar/takdir, adalah dengan: berbetulan penguraian
yang berkepanjangan, kepada tiada berkesudahan. Dan dikatakan, bahwa sesuatu
dari yang demikian itu, tiada yang keluar dari: qodo’/hukum allah dan takdir/qadar.
Maka tergurislah bagi sebahagian
hamba-hamba Allah, bahwa pembahagian itu, mengapakah menghendaki akan
penguraian ini ? dan bagaimana teraturnya keadilan, serta berlebih-kurangnya
ini dan pengutamaan ? Sebahagian mereka karena singkat akal pikirannya, lalu
tidak sanggup memperhatikan hakikat/makna urusan ini dan yang terkandung di
atas segala kumpulannya. Lalu mereka cambuk dari yang tidak disanggupinya bagi
memasuki kesengsaraannya, dengan cambuk larangan. Dan dikatakan kepada mereka:
“Diamlah ! tidaklah untuk ini kamu dijadikan. IA tidak ditanyakan dari apa yang
diperbuatNya dan mereka ditanyakan”. Dan penuhlah lobang sebahagian mereka,
dengan nur yang diambil dari nur Allah Ta’ala di langit dan di bumi. Dan hiasan
mereka itu adalah pertama-tama itu bersih, yang hampirlah bersinar terang. Dan
jikalau belum disentuh oleh api. Lalu disentuh oleh api. Maka bercemerlanglah
nur di atas nur. Maka bersinarlah segala benua alam malakut di hadapan mereka,
dengan nur Tuhannya. Lalu mereka mengetahui semua urusan, sebagaimana yang
sebenarnya. Maka dikatakan kepada mereka: “Beradablah dengan adab yang
diajarkan oleh Allah Ta’ala ! dan diamlah ! dan apabila disebutkan qadar
(taqdir), maka peganglah dengan teguh !”. Sesungguhnya dinding-dinding itu
mempunyai telinga. Dan di kelilingmu itu orang-orang yang lemah penglihatannya.
Maka berjalanlah dengan perjalanan orang yang terlemah dari kamu ! dan
janganlah kamu menyingkapkan hijab matahari bagi penglihatan burung-burung
kelelawar. Maka yang demikian itu adalah sebab kebinasaan mereka ! maka
berakhlaklah dengan akhlak Allah Ta’ala ! dan turunlah ke langit dunia, dari
penghabisan ketinggianmu ! supaya berjinaklah hati orang-orang yang lemah
kepada kamu ! dan mereka memetik dari sisa-sisa cahayamu yang cemerlang dari
belakang hijab kamu. Sebagaimana burung-burung kelelawar memetik dari sisa-sisa
cahaya matahari dan bintang-bintang yang beredar, di tengah malam. Maka
hiduplah ia dengan demikian itu dengan suatu kehidupan, yang dibawa oleh
dirinya dan keadaannya. Walaupun ia tidak hidup dengan yang demikian itu,
dengan hidup orang-orang yang bulak-balik dalam kesempurnaan sinar matahari. Dan
hendaklah kamu itu, seperti orang yang dikatakan kepada mereka:
Kami minum minuman yang baik,
pada orang yang baik.
Begitu juga minuman orang-orang
baik itu menjadi baik.
Kami minum dan kami tuangkan
atas bumi sisanya.
Dan bumi itu mempunyai bahagian
dari gelas orang-orang mulia.
Maka begitulah adanya permulaan urusan ini dan
kesudahannya ! dan anda tidak akan memahaminya, selain apabila anda ahli bagi
yang demikian. Dan apabila anda ahli bagi yang demikian itu, niscaya anda
bukalah mata dan memandanglah ! maka anda tidak memerlukan kepada penuntun yang
akan menuntun anda. Dan orang buta itu mungkin akan dituntun. Akan tetapi
kepada suatu batasan tertentu. Maka apabila jalan itu sempit dan menjadi lebih
tajam daripada pedang dan lebih halus daripada rambut, niscaya sangguplah burung
untuk terbang di atasnya. Dan tidak akan sanggup untuk menarik orang buta di
belakangnya. Apabila jalan itu halus dan lembut, sebagaimana lembutnya air
umpamanya dan tidak mungkin diseberangi, selain dengan berenang, maka
kadang-kadang orang yang mahir dengan perbuatan berenang, akan sanggup
menyeberanginya sendiri. Dan kadang-kaang ia tidak sanggup menarik orang lain
di belakangnya. Maka inilah hal-hal kadar hubungan perjalanan kepadanya, ke
perjalanan yang menjadi jalan kebanyakan makhluk, seperti bandingan perjalanan
di atas air, dengan perjalanan di atas bumi. Dan berenang itu mungkin
dipelajari. Adapun berjalan di atas air, maka tidak mungkin diusahakan dengan
mempelajarinya. Akan tetapi, dapat dicapai dengan kuatnya keyakinan. Dan karena
itulah, orang mengatakan kepada Nabi saw: “Bahwa nabi Isa as dikatakan, bahwa
ia dapat berjalan di atas air”, lalu Nabi saw menjawab: “Jikalau ia menambahkan
keyakinannya, niscaya ia dapat berjalan di udara”. Maka inilah rumuz-rumuz dan
isyarat-isyarat kepada arti al-kirahah/benci, al-mahabbah mencintai
secara mendalam, ar-ridla/kepuasan hati, marah, syukur dan kufur, yang tidak
layak dengan ilmu al-mu’amalah (jual beli), akan lebih banyak daripadanya.
Allah Ta’ala telah membuat
contoh –umpamanya –bagi yang demikian, untuk mendekatkan kepada pemahaman
makhluk (umat manusia). Karena diketahui, bahwa tidaklah jin dan insan itu
diciptakan, selain untuk beribadah kepadaNya. Maka adalah ibadah mereka itu tujuan
hikmah pada pihak mereka. Kemudian, Allah Ta’ala menerangkan, bahwa IA
mempunyai dua hamba. Yang satu dikasihiNya. Dan namanya: Jibril, Ruhul-qudus
dan Al-Amin. Hamba ini pada sisiNya adalah dikasihi, patuh, dipercayai, lagi
mulia. Yang satu lagi, dimarahiNya. Dan namanya: Iblis. Dia ini terkutuk, yang
diperhatikan sampai hari kiamat. Kemudian, IA menyerahkan petunjuk kepada
Jibril. IA berfirman: “Katakan ! roh suci dari Tuhan yang mewahyukan kepada
engkau dengan sebenarnya”. S 16 An Nahl ayat 102. Dan Allah Ta’ala berfirman:
“IA (Allah Ta’ala) yang menurunkan ruh (wahyu) dengan perintahNya kepada orang
yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya”. S 40 Al Mukmin ayat 15. Dan IA
menyerahkan penyesatan kepada Iblis. Allah Ta’ala berfirman: “Untuk menyesatkan
(orang lain) dari jalan Tuhan”. S 39 Az Zumar ayat 8.
Penyesatan, ialah: menghentikan
hamba-hamba Allah, tanpa sampai kepada tujuan hikmah. Maka perhatikanlah,
bagaimana IA (Tuhan) menghubungkan penyesatan itu kepada hamba yang
dimarahiNya. Dan petunjuk itu membawa hamba-hamba kepada tujuan. Maka
perhatikanlah, bagaimana IA menghubungkan petunjuk itu kepada hamba yang
dikasihiNya. Pada anda menurut adat kebiasaan, terdapat contoh bagi yang
demikian. Yaitu, bahwa raja apabila ia memerlukan kepada orang yang akan
menuangkan minuman baginnya, kepada orang yang akan membekaminya dan orang yang
akan membersihkan halaman tempat tinggalnya dari kotoran-kotoran dan raja
tersebut mempunyai dua orang budak, maka tidak akan ditentukannya untuk
membekam dan membersihkan, selain yang terburuk dan yang terkeji di antara dua
budak itu. Dan ia tidak akan menyerahkan untuk membawa minuman yang baik,
selain kepada yang terbaik, yang tersempurna dan yang tersayang baginya di
antara dua budak tersebut. Dan tiada seyogyanya anda mengatakan: “Ini
perbuatanku. Mengapa itu perbuatanNya, bukan perbuatanku ?”. Maka anda
sesungguhnya salah, apabila anda sandarkan yang demikian, kepada diri anda
sendiri. Bahkan, DIAlah yang menjuruskan pengajakan anda bagi penentuan
perbuatan yang tidak disukai, dengan diri orang yang tidak disukai dan
perbuatan yang tidak disukai dengan diri orang yang disukai. Karena
penyempurnaan bagi keadilan. Maka keadilanNya sesungguhnya, sekali akan
sempurna dengan hal-hal, yang tak ada jalan masuk bagi anda padanya. Dan sekali
akan sempurna pada anda.
Maka anda juga sesungguhnya
termasuk perbuatanNya. Maka pengajakan anda, kesanggupan anda, ilmu anda, amal
anda dan sebab-sebab gerak-gerik anda lainnya, pada mengatakan itu adalah
perbuatanNya yang diaturNya dengan adil, suatu aturan, yang timbul daripada
aturan itu, perbuatan-perbuatan yang adil. Hanya anda tidak melihat, selain
diri anda sendiri. Lalu anda menyangka, bahwa apa yang zahir kepada anda, dalam
alam yang tampak (al-musyahadah) ini, tidaklah mempunyai sebab dari alam ghaib
(alam yang tidak tampak) dan alam malakut. Lalu, karena itulah, maka anda
menyandarkannya kepada diri anda sendiri. Sesungguhnya anda, adalah seperti
anak kecil yang melihat pada malam hari, permainan sunglap, yang mengeluarkan
gambar-gambar yang menari di balik dinding, yang menjerit, berdiri dan duduk.
Gambar-gambar itu tersusun dari kertas-kertas yang tidak dapat bergerak
sendiri. Hanya ia digerakkan oleh benang-benang bulu yang halus, yang tidak
tampak dalam kegelapan malam. Dan kepala dari gambar-gambar itu dalam tangan
pemain sunglap. Dan ia mendindingkan dirinya, dari penglihatan anak-anak kecil
itu. Lalu mereka amat gembira dan merasa heran. Karena mereka menyangka, bahwa
kertas-kertas tersebut menari dan bermain, berdiri dan duduk.
Adapun orang-orang yang berakal,
maka mereka itu mengetahui, bahwa yang demikian itu digerakkan. Dan itu sendiri
tidak bergerak. Akan tetapi kadang-kadang, mereka itu tidak tahu, bagaimana
penguraiannya. Dan orang yang tahu sebahagian penguraiannya, tidaklah tahu,
sebagaimana yang diketahui oleh pemain sunglap, yang urusan itu padanya dan
tarikan itu di tangannya. Maka begitu pulalah, anak-anak kecil penduduk dunia !
dan makhluk itu semua, adalah anak-anak kecil, dibandingkan kepada ulama-ulama.
Anak-anak kecil dunia itu, memandang kepada barang-barang tersebut. Mereka
menyangka bahwa barang-barang itu bergerak, lalu mereka menyerah kepadanya. Dan
ulama-ulama itu tahu, bahwa tukang-tukang sunglap itu yang menggerakkannya.
Hanya ulama-ulama tersebut, tidak mengetahui, bagaimana cara penggerakkannya. Dan
mereka itu yang terbanyak, selain orang-orang yang berilmu ilmu mengenal Allah Ta’ala (al-‘arifun) dan
ulama-ulama yang mendalam ilmunya (ar-rasikhuna fil-‘ilmi). Maka mereka ini
mengetahui dengan ketajaman penglihatannya akan benang labah-labah yang halus.
Bahkan yang lebih halus lagi daripadanya, yang tergantung di langit, yang
bercabang-cabang tepinya, dengan orang-orang penduduk bumi. Tidak diketahui
benang-benang itu karena halusnya, dengan penglihatan mata yang zahiriyah ini.
Kemudian, mereka menyaksikan kepala benang-benang itu, pada tempat-tempat
gantungan yang jauh, yang tersangkut dengan dia. Dan mereka menyaksikan bagi
tempat-tempat gantungan itu, akan tempat-tempat pegangan, yang berada dalam
tangan para malaikat yang menggerakkan langit. Dan mereka menyaksikan pula para
malaikat langit yang ditugaskan kepada para pembawa ‘Arasy. Mereka menunggu
dari mereka itu, apa yang akan diturunkan kepada mereka dari perintah Hadlarat
Ketuhanan. Supaya mereka itu tidak mendurhakai Allah, dari yang diperintahkan
mereka. Dan mereka berbuat yang diperintahkan kepada mereka. Diibaratkan dari
penyaksian-penyaksian ini dalam Alquran dan dikatakan: “Dan di langit ada
rezekimu dan (juga) apa yang dijanjikan kepada kamu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat
22. Dan diibaratkan dari penungguan malaikat-malaikat langit, untuk yang
diturunkan kepada mereka, dari qadar dan perintah, maka dikatakan: “Allah yang
menciptakan 7 langit dan bumi serupa itu pula. Di tengah-tengah (semua)nya
turunlah perintah Allah, supaya kamu mengetahui, bahwa Allah itu berkuasa atas
segala sesuatu dan bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu”. S 65 Ath
Thalaaq ayat 12. Inilah hal-hal, yang tidak diketahui ta’wilnya (penafsirannya)
selain Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Diibaratkan oleh Ibnu Abbas
ra dari kekhususan orang-orang yang mendalam ilmunya, dengan ilmu-ilmu yang
tidak dapat dipikul oleh pemahaman makhluk (orang banyak), di mana Ibnu Abbas
ra lalu membaca firman Allah Ta’ala: “Di tengah-tengah (semua)nya turunlah
perintah Allah”. S 65 Ath Thalaaq ayat 12. Lalu Ibnu Abbas ra menyambung:
“Jikalau aku sebutkan apa yang aku ketahui dari arti ayat ini, niscaya kamu
kutuk aku ini”’. Pada perkataan lain: “Niscaya kamu katakan: “bahwa dia itu
kafir”.
Marilah kami ringkaskan sekadar
ini saja. Telah keluar tali perkataan dari genggaman usaha. Dan bercampur aduk
dengan ilmu al-mu’amalah (jual beli), yang tidak masuk sebahagian daripadanya.
Maka marilah kita kembali kepada maksud-maksud syukur ! mari kita terangkan:
bahwa sesungguhnya, apabila kembali hakikat/makna syukur, kepada adanya hamba
itu dipakai pada menyempurnakan hikmah Allah Ta’ala, maka hamba yang lebih
bersyukur kepada Allah, ialah mereka yang lebih dikasihi oleh Allah dan yang
lebih dekat kepadaNya. Hamba yang lebih dekat kepada Allah, ialah: para malaikat.
Dan mereka juga mempunyai tartib (tersusun tingkatnya, yang pertama, yang kedua
dst). Masing-masing mereka, mempunyai kedudukan yang telah dimaklumi. Yang
tertinggi di antara mereka pada tingkat kedekatan kepada Tuhan, ialah:
malaikat, yang namanya: Israfil as(malaikat yg meniup sangkakala dihari kiamat).
Sesungguhnya tinggi derajat mereka, ialah: karena mereka pada dirinya adalah:
mulia, lagi banyak berbuat kebaikan.
Allah Ta’ala memperbaiki
nabi-nabi as dengan mereka. Dan para malaikat itu makhluk yang termulia atas
permukaan bumi. Dan diiringi derajat mereka, oleh derajat nabi-nabi. Nabi-nabi
itu pada dirinya, adalah orang-orang pilihan (orang-orang baik). Allah Ta’ala
telah memberi petunjuk makhluk lainnya, dengan nabi-nabi itu. Dan dengan
mereka, Allah Ta’ala menyempurnakan hikmahNya. Yang tertinggi pangkat di antara
nabi-nabi itu, ialah: Nabi kita saw. Karena Allah telah menyempurnakan agama
dengan beliau. Dan menyudahkan nabi-nabi itu dengan beliau (beliau kesudahan
nabi-nabi). Nabi-nabi itu diiringi oleh ulama-ulama, yang menjadi pewaris
nabi-nabi. Maka ulama-ulama itu pada dirinya, adalah: orang-orang shalih. Allah
Ta’ala membaikkan makhluk lainnya dengan ulama-ulama itu. Dan derajat
masing-masing mereka, adalah menurut kadar yang diperbaikinya dari dirinya
sendiri dan orang lain. Kemudian, ulama-ulama itu diiringi oleh sultan-sultan
(penguasa-penguasa) dengan keadilan. Karena sultan-sultan itu memperbaiki dunia
makhluk, sebagaimana ulama-ulama memperbaiki agama makhluk. Dan karena
berkumpulnya agama, kerajaan dan kekuasaan bagi nabi kita Muhammad saw, maka
adalah beliau yang terutama dari nabi-nabi lainnya. Sesungguhnya Allah Ta’ala
telah menyempurnakan dengan beliau, perbaikan agama mereka dan dunia mereka.
Dan tidak adalah pedang dan kerajaan bagi nabi-nabi yang lain.
Kemudain, diiringi ulama-ulama
dan sultan-sultan, oleh orang-orang shalih, yang memperbaiki agama dan jiwa
mereka saja. Maka tidaklah sempurna hikmah Allah Ta’ala dengan mereka, bahkan
juga pada mereka. Yang lain dari mereka yang tersebut di atas, adalah:
orang-orang hina, tiada berkemajuan. Ketahuilah kiranya, bahwa sultan
(penguasa), adalah dengan dia tegaknya agama. Maka tiada seyogyalah ia dihinakan,
walaupun ia orang zalim dan fasiq. ‘Amr bin Al-‘Ash ra berkata: “Imam
(penguasa) yang zalim adalah lebih baik dari fitnah yang berkekalan".
Nabi saw bersabda: “Akan ada
kepadamu amir-amir (penguasa-penguasa), yang kamu ketahui dari mereka dan kamu
tantang (lawan). Dan mereka itu berbuat kerusakan. Dan apa yang diperbuat
kebaikan oleh Allah dengan mereka, adalah lebih banyak. Maka kalau mereka
berbuat baik, maka bagi mereka itu pahala dan atas kamu bersyukur. Dan kalau
mereka berbuat jahat, maka atas mereka itu dosa dan atas kamu bersabar”.
Sahl At-Tusturi ra mengatakan:
“Siapa yang menantang kepemimpinan sultan, maka orang itu zindiq (orang yang
berpura-pura iman). Siapa yang dipanggil oleh sultan, lalu tidak menyahut, maka
orang itu berbuat bid’ah (yang diada-adakan). Dan siapa yang datang kepada
sultan, tanpa dipanggil, maka orang itu bodoh”. Ditanyakan kepada Sahl
At-Tusturi ra tadi: “Manusia manakah yang lebih baik ?”. Beliau menjawab:
“Sultan !”. Lalu orang mengatakan kepadanya: “Kami berpendapat bahwa manusia
yang terjahat, ialah: sultan”. Beliau menjawab: “Tunggu dulu ! sesungguhnya
Allah Ta’ala pada tiap-tiap hari mempunyai dua perhatian: perhatian kepada
keselamatan harta kaum muslimin. Dan perhatian kepada keselamatan badan mereka.
Maka Allah Ta’ala melihat pada KitabNya. Maka diampunkanNya semua dosa sultan
itu”. Sahl At-Tusturi ra berkata pula: “Papan-papan hitam yang melekat pada
pintu mereka, adalah lebih baik dari 70 ahli cerita yang bercerita”.
RUKUN KEDUA: dari rukun-rukun syukur, ialah: pada ada
kesyukuran itu.
Yaitu: nikmat. Maka marilah kami sebutkan pada
rukun ini, akan hakikat/makna nikmat, bahagian-bahagiannya, derajat-derajatnya,
jenis-jenisnya dan kumpulan-kumpulannya, pada yang khusus dan yang umum. Maka
sesungguhnya penghinggaan nikmat Allah kepada hamba-hambaNya itu di luar dari
kemampuan manusia, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Kalau kamu
hitung nikmat Allah, niscaya tidak dapat kamu menghitungnya”. S An Nahl ayat
18. Maka kami kemukakan hal-hal secara keseluruhan, yang berlaku seperti
berlakunya undang-undang tentang mengenali nikmat-nikmat. Kemudian, kami
teruskan menyebutkannya satu persatu. Kiranya Allah Ta’ala mencurahkan
taufiqNya kepada kebenaran !.
PENJELASAN: hakikat/makna nikmat dan bahagian-bahagiannya.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap kebajikan,
kelezatan dan kebahagiaan, bahkan setiap yang dicari dan yang diutamakan, maka
itu dinamakan: nikmat. Akan tetapi, nikmat yang sebenarnya, ialah: kebahagiaan
akhirat. Dan menamakan lainnya itu nikmat dan bahagia, adakalanya salah dan
adakalanya kata kiasan (majaz/tidak hakikat/makna). Seperti menamakan
kebahagiaan duniawi, yang tidak menolong kepada akhirat itu: nikmat. Maka yang
demikian itu salah semata-mata. Kadang-kadang nama nikmat itu benar bagi
sesuatu. Akan tetapi, menyebutkannya secara mutlak kepada kebahagiaan akhirat
itu lebih benar. Maka tiap-tiap sebab yang menyampaikan kepada kebahagiaan
akhirat dan menolong kepadanya, adakalanya dengan perantaraan atau dengan
beberapa perantaraan. Maka menamakannya itu nikmat adalah sah dan benar. Karena
dia membawa kepada nikmat hakiki. Sebab-sebab yang menolong dan
kelezatan-kelezatan yang dinamakan nikmat itu, akan kami uraikan dengan
pembahagian-pembahagian:
Bahagian pertama: bahwa
setiap keadaan itu dengan disandarkan kepada kita, terbagi kepada: yang
bermanfaat di dunia dan di akhirat. Seperti: ilmu dan bagus akhlak. Dan kepada:
yang mendatangkan melarat di dunia dan di akhirat. Seperti: bodoh dan buruk
akhlak. Dan kepada: yang bermanfaat sekarang (di dunia) dan melarat pada masa
mendatang (di akhirat), seperti: bersenang-senang dengan mengikuti nafsu
syahwat. Dan kepada: yang mendatangkan melarat sekarang dan memedihkan. Akan
tetapi bermanfaat pada masa mendatang, seperti: mencegah diri dari nafsu
syahwat dan menyalahi hawa nafsu. Maka yang bermanfaat sekarang dan masa yang
akan datang itu nikmat yang hakiki, seperti: ilmu dan bagus akhlak. Dan yang
mendatangkan melarat di dunia dan di akhirat itu bencana yang hakiki. Yaitu:
lawan ilmu dan bagus akhlak. Yang bermanfaat sekarang dan melarat pada masa
mendatang itu adalah bencana semata-mata pada orang yang bermata hati. Dan
disangka oleh orang-orang bodoh itu nikmat. Contohnya, ialah: orang yang lapar,
apabila menjumpai madu, yang di dalamnya racun. Maka dia menghitungkannya
nikmat, jikalau ia tidak tahu. Dan apabila diketahuinya, niscaya tahulah ia
bahwa yang demikian itu bencana, yang terhalau dia kepadanya. Dan yang melarat
sekarang dan bermanfaat pada masa yang akan datang itu adalah nikmat pada
orang-orang yang berakal dan bencana pada orang-orang bodoh. Contohnya, ialah:
obat yang tidak disukai sekarang rasanya. Tetapi ia menyembuhkan dari segala
macam penyakit dan membawa kepada sehat dan selamat. Maka anak kecil yang
bodoh, apabila dipaksakan meminumnya, niscaya ia menyangka bahwa itu adalah
bencana. Dan yang berakal, menghitungkannya suatu nikmat. Dan diikutinya
sebagai kurnia dari orang yang menunjukkannya kepadanya, mendekatkannya dengan
dia dan menyediakan baginya sebab-sebabnya. Maka karena itulah, ibu melarang
anaknya dibekam. Dan bapak mengajar anaknya kepada pembekaman. Karena bapak
dengan kesempurnaan akalnya menoleh kepada akibat. Dan ibu karena sangat
sayangnya kepada anak dan pendek pikirannya, lalu memperhatikan kepada yang
sekarang. Dan anak kecil karena bodohnya itu mengikuti kurnia dari ibunya,
tidak dari bapaknya. Hatinya jinak kepada ibunya dan kepada kasih sayangnya.
Dan dinilainya bapaknya itu musuhnya. Dan kalau dia berakal, niscaya ia tahu,
bahwa ibu itu musuh pada batin, dalam bentuk teman. Karena dilarangnya anaknya
dari pembekaman, akan membawa anak itu kepada penyakit dan kepedihan yang lebih
berat dari pembekaman. Akan tetapi, teman yang bodoh itu lebih jahat daripada
musuh yang berakal. Dan setiap manusia itu teman bagi dirinya. Akan tetapi,
teman yang bodoh. Maka karena itulah, diri itu berbuat apa yang tidak diperbuat
oleh musuh.
Bahagian kedua: ketahuilah, bahwa sebab-sebab duniawi itu
bercampur-aduk. Yang baik daripadanya bercampur dengan yang jahat. Maka amat
sedikitlah yang jernih kebaikannya, seperti: harta, isteri, anak, kaum kerabat,
kemegahan dan sebab-sebab yang lain. Akan tetapi, sebab-sebab duniawi itu
terbagi kepada: yang manfaatnya lebih banyak daripada melaratnya. Sepert: kadar
kecukupan dari harta, kemegahan dan sebab-sebab yang lain. Dan kepada: yang
melaratnya lebih banyak daripada manfaatnya, terhadap kepada kebanyakan orang.
Seperti: harta banyak dan kemegahan yang meluas. Dan kepada: melaratnya
seimbang dengan manfaatnya. Dan ini hal-hal yang berbeda, dengan masing-masing
orang. maka banyaklah insan yang shalih mengambil manfaat dengan harta yang
shalih (harta yang baik), walaupun banyak. Maka dibelanjakannya pada jalan
Allah dan diserahkannya kepada amal kebaikan. Maka yang demikian itu serta
dengan taufiq ini, adalah nikmat pada diri orang tersebut. Banyak manusia yang
merasa pula melarat dengan sedikit harta. Karena ia senantiasa memandang kecil
yang demikian, yang mengadu kepada Tuhannya, meminta tambahan kepadanya. Maka
adalah yang demikian itu, serta kehinaan tersebut, suatu bencana pada diri
orang itu.
Bahagian ketiga: ketahuilah,
bahwa perbuatan kebajikan itu, dengan pandangan lain, terbagi kepada: apa yang
diutamakan karena zatnya, tidak karena yang lain. Dan kepada: apa yang
diutamakan karena yang lain. Dan kepada: yang diutamakan kepada zatnya dan
karena yang lain.
Yang pertama: apa yang diutamakan
karena zatnya, tidak karena yang lain, seperti: kelezatan memandang kepada
Wajah Allah Ta’ala dan kebahagiaan menjumpaiNya. Kesimpulannya, kebahagiaan
akhirat, yang tidak habis-habisnya. Maka kebahagiaan akihrat itu tidak dicari,
untuk sampai kepada tujuan lain, yang dimaksudkan di belakangnya. Akan tetapi,
kebahagiaan akhirat itu dicari karena zat (diri) kebahagiaan akhirat itu
sendiri.
Yang kedua: apa yang dimaksudkan
untuk yang lain dan tiada sekali-kali bermaksud pada dirinya itu. Seperti:
dirham dan dinar. Maka sesungguhnya keperluan, jikalau tiadalah akan terpenuhi
dengan dirham dan dinar itu, niscaya dirham dan dinar tersebut dan batu, adalah
dalam kedudukan yang sama. Akan tetapi, tatkala dirham dan dinar tadi, adalah
jalan kepada kesenangan, yang cepat sampai kepadanya, niscaya jadilah dirham
dan dinar pada orang-orang bodoh, dicintai pada diri dirham dan dinar itu.
Sehingga mereka mengumpulkannya dan menyimpankannya. Mereka memperlakukan
dengan dirham dan dinar itu pada jalan riba. Mereka menyangka, bahwa dirham dan
dinar itu dimaksudkan. Contoh mereka itu, adalah seperti orang, yang mencintai
seseorang. Lalu ia berpaling dari pokok tadi, sepanjang umurnya. Dan selalu ia
sibuk dengan mengurus utusan, menjaganya dan mencarinya. Dan itu adalah paling
bodoh dan sesat !
Yang ketiga: apa yang dimaksudkan
bagi diri keadaan itu sendiri dan bagi yang lain. Seperti: kesehatan dan
keselamatan. Maka yang dimaksudkan, supaya dengan sebab yang demikian, ia
sanggup berdzikir dan berfikir yang akan menyampaikannya kepada menemui Allah
Ta’ala. Atau supaya ia sampai dengan yang demikian, kepada kesempurnaan
kesenangan duniawi. Dan juga dimaksudkan bagi diri keadaan itu sendiri. Karena
manusia, walaupun ia tidak memerlukan kepada sesuatu, yang dikehendaki
keselamatan orang karena sesuatu tadi, maka ia bermaksud juga keselamatan
orang, dari segi itu adalah keselamatan. Jadi, yang mengutamakan bagi diri
keadaan itu saja, ialah: kebajikan dan nikmat yang hakiki. Dan apa yang
diutamakan karena dirinya sendiri dan karena yang lain juga, maka itu nikmat.
Akan tetapi, kurang dari yang pertama. Adapun yang tidak diutamakan, selain
karena yang lain dari dirinya, seperti: emas dan perak, maka keduanya tidak
disifatkan pada dirinya masing-masing, dari segi bahwa keduanya adalah dua
benda yang berharga, dengan keduanya itu: nikmat. Akan tetapi, dari segi,
keduanya itu adalah jalan (wasilah). Lalu keduanya adalah nikmat pada diri
orang yang bermaksud akan keadaan, yang tidak mungkin ia sampai kepadanya,
selain dengan dua benda tersebut tadi (emas dan perak). Kalau adalah maksudnya
itu ilmu dan ibadah dan padanya mencukupi yang menjadi keperluan hidupnya,
niscaya samalah padanya emas dan tanah liat. Adanya keduanya ini dan tidak
adanya pada orang tersebut adalah sama saja. Bahkan, kadang-kadang oleh adanya
yang dua tersebut, mengganggunya dari berpikir (bertafakkur) dan beribadah.
Lalu adalah keduanya itu suatu bencana pada dirinya dan tidak merupakan suatu
nikmat.
Bahagian keempat: ketahuilah kiranya, bahwa amal kebajikan itu dengan
pandangan lain, terbagi kepada: yang bermanfaat, lezat dan cantik. Yang lezat
(yang enak) ialah: yang diperoleh kesenangannya sekarang juga (di dunia). Dan
yang bermanfaat, ialah yang mendatangkan faedah pada masa yang akan datang (di
akhirat). Dan yang cantik, ialah yang dipandang bagus pada hal-hal yang lain.
Dan amal kejahatan juag terbagi kepada: yang mendatangkan melarat, yang keji
dan yang menyakitkan. Dan masing-masing dari dua bahagian itu dua macam,
Bahagian kesatu yaitu:
muth-laq dan muqayyad. Yang muth-laq, ialah: yang terkumpul padanya 3 sifat.
Adapun pada kebajikan, maka adalah seperti: ilmu dan hikmah. Maka ini
bermanfaat, cantik dan lezat pada ahli ilmu dan hikmat. Adapun pada kejahatan,
maka adalah seperti: bodoh. Maka bodoh itu mendatangkan melarat, keji dan
meyakitkan. Dan sesungguhnya orang yang bodoh akan merasai kepedihan
(kesakitan) bodohnya, apabila ia mengetahui, bahwa dia orang bodoh. Dan yang
demikian itu, ialah: dengan ia melihat orang lain berilmu. Dan ia melihat
dirinya orang bodoh. Lalu ia mengetahui kepedihan kekurangan. Maka
membangkitlah daripadanya keinginan kepada ilmu yang enak rasanya. Kemudian,
kadang-kadang ia dicegah oleh kedengkian, kesombongan dan nafsu syahwat
badaniyah, daripada belajar. Lalu tarik menariklah dua hal yang berlawanan itu
padanya. Maka membesarlah kepedihannya. Jikalau ia meninggalkan belajar,
niscaya ia merasa pedih dengan kebodohan dan memperoleh kekurangan. Dan kalau
ia bekerja dengan belajar, niscaya ia merasa pedih meninggalkan nafsu syahwat
atau dengan meninggalkan kesombongan dan kehinaan belajar. Orang yang seperti
ini, sudah pasti, senantiasa dalam azab sengsara yang berkekalan.
Bahagian kedua: muqayyad,
ialah yang mengumpulkan sebahagian sifat-sifat tadi, tanpa sebahagian lagi.
Maka banyaklah yang bermanfaat, yang menyakitkan, seperti: memotong anak jari
yang bertambah dan buku-buku daging yang keluar dari badan. Dan banyak yang
bermanfaat, yang keji, seperti: dungu. Maka dungu itu dikaitkan kepada sebahagian
keadaan, adalah bermanfaat. Sesungguhnya ada yang mengatakan: “Senanglah orang
yang tidak berakal. Ia tidak mementingkan akibat sesuatu. Lalu ia merasa senang
sekarang, sampai kepada ketika waktu kebinasaannya”. Dan banyak yang bermanfaat
dari satu segi dan melarat dari segi yang lain. Seperti: mencampakkan harta
dalam laut, ketika takut karam. Maka itu mendatangkan melarat bagi harta dan
mendatangkan manfaat bagi diri, tentang kelepasannya dari karam dalam lautan.
Dan yang bermanfaat itu dua bahagian: yaitu: yang dlaruri (penting, mudah
diketahui). Seperti: iman dan bagus akhlak pada menyampaikan kepada kebahagiaan
akhirat. Dan kami maksudkan dengan dua itu, ialah: ilmu dan amal. Karena, tak
dapat sekali-kali berdiri yang lain pada tempat yang dua itu. Dan (kedua)
kepada: yang tidak penting, seperti: bahan sakanjabin umpamanya, pada
menetapkan penyakit kuning. Sesungguhnya kadang-kadang mungkin juga menetapkan
penyakit kuning itu dengan sesuatu yang dapat menggantikan kedudukan bahan
sakanjabin.
Bahagian kelima: ketahuilah kiranya, bahwa nikmat itu, diibaratkan
dari setiap kelezatan. Dan kelezatan itu dengan dikaitkan kepada manusia, dari
segi kekhususan maunsia, dengan kelezatan tadi atau bersekutunya manusia dengan
yang lain itu ada 3 macam: aqliyah, badaniyah yang bersekutu
dengan sebahagian hewan dan badaniyah yang bersekutu serta semua hewan. Adapun
kelezatan aqliyah (kelezatan keakalan), ialah, seperti: kelezatan ilmu dan
hikmah. Karena, tidaklah dirasakan kelezatannya oleh pendengaran, penglihatan,
penciuman dan perasaan lidah. Dan tidak oleh perut dan kemaluan. Hanya
dirasakan kelezatannya oleh hati. karena kekhususan hati dengan suatu sifat,
yang dikatakan: akal. Dan ini adalah kelezatan yang tersedikit wujudnya dan
yang termulia.
Adapun sedikitnya, adalah karena
ilmu itu tidak dirasakan kelezatannya, selain oleh orang yang berilmu. Dan
hikmah tidak dirasakan kelezatannya, selain oleh ahli hikmah (filosuf).
Alangkah sedikitnya ahli ilmu dan hikmah itu ! dan alangkah banyaknya
orang-orang yang dinamakan dengan nama mereka dan membuat adat kebiasaan
seperti adat kebiasaan mereka ! Adapun mulianya, adalah dikarenakan oleh suatu
keharusan yang tidak akan hilang untuk selama-lamanya. Tidak hilang di dunia
dan tidak hilang di akhirat. Dan yang terus-menerus, yang tidak membosankan.
Makanan, yang menjadi orang kenyang dengan makanan tersebut, lalu orang menjadi
bosan. Nafsu syahwat bersetubuh yang sudah selesai, lalu dirasa berat. Ilmu dan
hikmah saja, tiada tergambar orang akan bosan dan merasa berat. Dan orang yang
sanggup kepada yang mulia yang kekal abadi, apabila ia rela dengan yang keji
dan lenyap dalam masa yang terdekat, maka orang tersebut adalah orang yang
mendapat musibah pada akalnya, yang tidak mendapat kelezatan, karena
kedurhakaannya dan pembelakangannya. Urusan yang tersedikit pada keadaan yang
tersebut itu, ialah bahwa ilmu dan akal tidak memerlukan kepada
penolong-penolong dan pemelihara-pemelihara. Lain halnya dengan harta. Karena
ilmu itu menjaga anda dan anda menjaga harta. Dan ilmu itu bertambah dengan
dibelanjakan dan harta itu berkurang dengan dibelanjakan. Harta itu dapat
dicuri orang dan kekuasaan itu dapat disingkirkan. Dan ilmu itu tidaklah dapat
tangan-tangan pencuri memanjangkan kepadanya dengan mengambilnya. Dan tidak tangan-tangan
raja dengan menyingkirkannya. Maka yang punya ilmu adalah dalam jiwa yang aman
untuk selama-lamanya. Dan yang punya harta dan kemegahan adalah dalam bencana
ketakutan untuk selama-lamanya. Kemudian, ilmu itu bermanfaat, lezat dan cantik
dalam segala hal selama-lamanya. Dan harta itu sekali menarik kepada kebinasaan
dan sekali menarik kepada kelepasan dari bahaya. Dan karena itulah harta dicela
oleh Allah Ta’ala dalam Alquran pada beberapa tempat, walaupun dinamakanNya
kebajikan pada beberapa tempat. Adapun singkatnya kebanyakan makhluk (manusia)
daripada mengetahui kelezatan ilmu, maka adakalanya karena ketiadaan perasaan.
Maka orang yang tidak mempunyai perasaan (mental) ilmu, niscaya ia tidak tahu
dan tidak rindu. Karena kerinduan itu mengikuti perasaan. Dan adakalanya,
karena kerusakan sifat-sifat mereka dan berpenyakit hati mereka, disebabkan
mengikuti nafsu syahwat. Seperti orang sakit yang tidak mengetahui kemanisan
madu dan melihatnya pahit. Dan adakalanya kependekan kecerdasan mereka, karena kecerdasan
itu tidak diciptakan bagi mereka, sesudah sifat, yang dapat ia merasakan
kelezatan ilmu dengan sifat tersebut. Seperti anak kecil yang menyusu, yang
tidak mengetahui kelezatan madu dan burung-burung yang gemuk. Dan ia tidak
merasakan kelezatan, selain dengan susu saja. Dan yang demikian itu tidak
menunjukkan, bahwa yang tersebut itu tidak lezat. Dan tidak pula lantaran anak
kecil tadi memandang baiknya susu, lalu menunjukkan bahwa susu itu adalah yang
terlezat dari segala sesuatu. Orang-orang yang pendek akal pikirannya daripada
mengetahui kelezatan ilmu dan hikmah itu, 3 macam. Adakalanya orang yang tidak
hidup batinnya, seperti: anak kecil. Adakalanya orang yang telah mati sesudah
hidup, dengan mengikuti nafsu syahwat. Dan adakalanya orang yang sakit dengan
sebab mengikuti nafsu syahwat.
Allah Ta’ala berfirman: “Dalam
hati mereka ada penyakit”. S 2 Al Baqarah ayat 10. Itu adalah isyarat kepada
sakit akal pikiran. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Supaya dia memberi
peringatan kepada orang yang hidup”. S 36 Yaa Sin ayat 70. Itu adalah isyarat
kepada orang yang tidak hidup batiniyahnya. Dan setiap orang yang hidup
badaniyahnya dan mati hatinya, maka dia di sisi Allah termasuk orang yang mati.
Walaupun dia pada orang-orang bodoh, termasuk orang yang hidup. Dan karena
itulah, orang-orang syahid itu adalah orang-orang yang hidup pada sisi
Tuhannya, yang dianugerahkan rezeki dalam keadaan gembira. Walaupun mereka adalah
orang-orang yang sudah mati badaniyahnya.
Kedua kelezatan,
dimana manusia bersekutu padanya dengan sebahagian hewan. Seperti: kelezatan
menjadi kepala, menang dan penguasaan. Yang demikian itu terdapat pada singa,
harimau dan sebahagian hewan lainnya.
Ketiga: apa yang
manusia bersekutu padanya dengan hewan-hewan yang lain. Seperti: kelezatan
perut dan kemaluan. Dan ini yang paling banyak adanya dan yang terkeji. Dan
karena itulah, bersekutu padanya semua yang merangkak dan berjalan, sehingga
ulat-ulat dan binatang-binatang kecil. Dan orang yang melewati tingkat ini,
niscaya tersangkutlah padanya kelezatan menang. Yaitu yang paling sangat
melekat dengan orang-orang lalai. Kalau orang itu melewati yang demikian,
niscaya ia mendaki kepada tingkat ketiga. Maka kelezatan yang paling mengerasi
padanya, ialah: kelezatan ilmu dan hikmah. Lebih-lebih lagi kelezatan mengenal
Allah Ta’ala, mengenal sifat-sifatNya dan perbuatan-perbuatanNya. Dan inilah
tingkat orang-orang ash-shiddiiqiin. Dan tiada akan dicapai kesempurnaannya,
selain dengan keluarnya penguasaan suka menjadi kepala, dari hati. Dan yang
penghabisan keluar dari kepala orang-orang ash-shiddiiqiin, ialah: kesukaan
menjadi kepala. Adapun kerakusan perut dan kemaluan, maka dihancurkan oleh
orang-orang shalih akan apa yang kuat padanya. Dan nafsu keinginan menjadi
kepala, tidak kuat menghancurkannya, selain oleh orang-orang
ash-shiddiiqiin. Adapun mencegahnya secara keseluruhan,
sehingga tidak dirasakan akan terjadi lagi terus-menerus dan dalam keadaan manapun,
maka yang demikian itu menyerupai adanya di luar kemampuan manusia. Benar,
bertambah kuatlah kelezatan ilmu
mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala dalam hal-hal, yang tidak ada
padanya, perasaan dengan kelezatan suka menjadi kepala dan memperoleh
kemenangan. Akan tetapi, yang demikian itu tidak kekal sepanjang umur. Bahkan
ditanggalkan oleh selingan-selingan waktu. Maka kembali kepadanya sifat-sifat
kemanusiaan biasa. Lalu sifat-sifat kemanusiaan itu, terwujud. Akan tetapi,
adalah dia itu dipaksakan, yang tidak sanggup membawa diri kepada keadilan.
Ketika ini, maka hati itu terbagi kepada 4 bahagian:
1.
Hati, yang tidak dicintainya, selain Allah Ta’ala.
Dan tidak merasa senang, selain dengan bertambah ilmu mengenal Allah Ta’ala dan dzikir
kepadaNya.
2. Hati
yang tidak mengetahui, apa kelezatan ilmu mengenal Allah Ta’ala itu dan apa arti
kejinakan jiwa dengan Allah. Kelezatan hati tersebut hanyalah dengan kemegahan,
ingin jadi kepala, harta dan nafsu syahwat badaniyah lainnya.
3. Hati,
yang kebanyakan keadaannya jinak dengan Allah SWT dan berenak-enakan dengan ilmu mengenal Allah Ta’ala dan dzikir
kepadaNya. Akan tetapi, dalam sebahagian hal-keadaan, kadang-kadang
ditanggalkan oleh kembalinya kepada sifat-sifat kemanusiaan biasa.
4. Hati,
yang kebanyakan keadaannya berenak-enakan dengan sifat-sifat kemanusiaan biasa.
Dan pada sebahagian keadaan, ditanggalkan oleh berenak-enakan dengan ilmu dan ilmu mengenal Allah Ta’ala.
Adapun yang pertama itu, jikalau mungkin ada, maka
adalah sangat jauh dari adanya. Adapun yang kedua, maka dunia penuh dengan yang
kedua ini. Adapun yang ketiga dan yang keempat, maka keduanya ada. Akan tetapi,
sangat jarang. Dan tidak tergambar bahwa adanya yang demikian itu, selain
jarang sekali dan sedikit terjadinya. Dan dengan jarangnya terjadi, berlebih
kurang pula sedikit dan banyaknya. Yang banyak terjadi –sesungguhnya –adalah
pada masa-masa yang dekat, dengan masa nabi-nabi as. Maka senantiasalah masa
itu bertambah panjang dan hati yang seperti itu bertambah sedikit, sampai
kepada dekatnya kiamat. Dan Allah Ta’ala melakukan qodo/hukum Allah akan
sesuatu keadaan, yang adanya telah diperbuat. Sesungguhnya haruslah yang
tersebut itu jarang terjadi. Karena itu adalah dasar-dasar kerajaan akhirat.
Dan kerajaan itu hal yang agung. Dan raja-raja itu tidak banyak jumlahnya. Maka
sebagaimana tidak ada yang mengatasi dalam kerajaan dan kecantikan, kecuali
jarang dan kebanyakan manusia adalah kurang dari mereka, lalu demikian pula
dalam kerajaan akhirat. Dunia sesungguhnya adalah cermin akhirat. Dunia itu
ibarat dari alam syahadah (alam yang tampak kelihatan). Dan akhirat itu ibarat
alam ghaib (alam yang tidak dapat dilihat). Dan alam syahadah itu mengikuti
alam ghaib, sebagaimana gambar (rupa) dalam cermin mengikuti rupa orang yang
melihat pada cermin itu. Dan rupa dalam cermin, walaupun dia itu yang kedua
pada tingkat adanya, maka rupa itu lebih utama pada pihak penglihatan engkau.
Engkau sesungguhnya tidak melihat diri engkau. Dan engkau melihat pertama-tama
rupa engkau dalam cermin, lalu yang kedua, dengan demikian engkau mengenal rupa
engkau yang berdiri pada engkau, atas jalan peniruan. Maka terbaliklah yang
mengikuti pada adanya itu menjadi diikuti dalam hal ilmu mengenal Allah Ta’ala. Dan terbaliklah
yang terkemudian menjadi terdahulu. Ini adalah semacam yang terbalik ! akan
tetapi, terbalik dan tertungging ke bawah itu adalah hal darurat (hal yang
harus adanya) di alam ini.
Maka demikian pula alamul-mulki
wasy-syahadah(penyaksian tubuh di alam dunia)itu meniru alamul-ghaib
wal-malakut (alam malaikat yg tdk dapat dipersaksikan dgn mata). Setengah
manusia ada yang senang baginya melihat sesuatu ibarat (pelajaran). Lalu ia
tidak melihat pada sesuatu dari alamul-mulki/alam yg terlihat, melainkan ia
mengambil ibarat daripadanya kepada alamul-malakut/alam yg tdk dapat dilihat.
Lalu dinamakan ibaratnya itu suatu ibarat. Dan Allah Yang Maha Benar menyuruh
dengan demikian. IA berfirman: “Maka ambillah ibarat (menjadi pelajaran) hai
orang-orang yang mempunyai pemandangan yang tajam”. S Al Hasyr ayat 2. Di
antara manusia, ada orang yang buta mata hatinya, lalu tidak dapat mengambil
ibarat (pelajaran) daripadanya. Maka ia terkurung dalam penyaksian tubuh di
alam dunia. Dan akan terbuka kepada tempat penahanannya itu pintu-pintu neraka
jahannam. Tahanan tersebut penuh dengan api neraka, yang dari keadaannya itu
akan menonjol atas jantung-jantung. Kecuali ada dinding (hijab) di antara dia
dan mengetahui kepedihan neraka itu. Maka apabila hijab itu diangkat dengan
mati, niscaya ia tahu yang demikian. Dan dari ini, diperlihatkan oleh Allah
Ta’ala kebenaran atas lisan suatu kaum, yang IA tuturkan kepada mereka dengan
kebenaran. Lalu mereka itu mengatakan: “Sorga dan neraka itu makhluk. Akan
tetapi, neraka jahannam itu, sekali dapat diketahui dengan suatu pengetahuan,
yang dinamai: ilmul-yaqiin. Dan lain kali dengan pengetahuan yang lain, yang
dinamai: ainul-yaqiin. Dan ainul-yaqiin itu tidak ada, selain di akhirat. Dan
ilmul-yaqiin itu kadang-kadang ada di dunia, akan tetapi bagi mereka yang telah
menyempurnakan keberuntungan mereka dari nuurul-yaqiin. Maka karena itulah,
Allah Ta’ala berfirman: “Jangan ! kalau kiranya kamu mengetahui dengan
pengetahuan yang pasti (ilmul-yaqiin). Tentulah kamu akan melihat neraka !”. S
At Takaatsur ayat 5-6. Artinya: di dunia. “Kemudian tentulah kamu akan
melihatnya dengan ainul-yaqiin”. S At Takaatsur ayat 7. Artinya: di akhirat.
Jadi, jelaslah bahwa hati yang patut bagi kerajaan akhirat adalah hati yang
mulia, seperti orang yang patut bagi kerajaan dunia.
Bahagian keenam: mengandung kumpulan nikmat-nikmat: ketahuilah
kiranya, bahwa nikmat itu terbagi kepada: yang dinikmati itu adalah tujuan yang
dicari karena diri nikmat itu sendiri dan kepada: yang nikmat itu dicari untuk
karena tujuan. Adapun tujuan, ialah: kebahagiaan akhirat. Dan hasilnya kembali
kepada 4 perkara:
1.
Kekal, tak fana baginya.
2. Gembira,
tak redup padanya.
3. Ilmu,
tak ada kebodohan serta ilmu itu.
4. Kaya,
tak ada kemiskinan sesudahnya.
Itulah nikmat hakiki (nikmat yang sebenarnya). Dan
karena itulah, Rasulullah saw bersabda: “Tak ada kehidupan, selain kehidupan
akihrat”. Sekali, beliau sabdakan yang demikian pada waktu kesulitan, untuk
menggembirakan bagi diri (jiwa). Yang demikian itu, pada waktu menggali
al-khandaq (parit pertahanan keliling kota Madinah) pada waktu sangatnya
kesulitan (menghadapi musuh yang menyerang kota Madinah). Sekali, beliau
sabdakan yang demikian pada waktu gembira, untuk mencegah diri (jiwa) dari
kecenderungan kepada kegembiraan duniawi. Yang demikian itu, ketika manusia
ramai mengelilingi beliau pada hajji wada’. Seorang laki-laki berdoa: “Ya Allah
Tuhanku ! aku bermohon padaMu kesempurnaan nikmat”. Nabi saw bersabda: “Tahukah
kamu, apakah kesempurna an nikmat itu ?”. Laki-laki tadi menjawab: “Tidak !”.
Lalu Nabi saw bersabda: “Kesempurnaan nikmat, ialah: masuk sorga”. Adapun
jalan-jalannya (wasilah), maka terbagi kepada: yang terdekat, yang terkhusus,
seperti: keutamaan jiwa. Dan kepada: yang mengiringinya pada kedekatan,
seperti: keutamaan badan. Dan itu yang kedua. Dan kepada: yang mengiringinya
pada kedekatan dan melampaui kepada bukan badan. Seperti: sebab-sebab yang
mengelilingi badan, yaitu: harta, isteri dan kerabat. Dan kepada: yang
mengumpulkan di antara sebab-sebab itu, yang keluar dari jiwa dan di antara
yang menghasilkan bagi jiwa. Seperti: taufiq dan hidayah. Jadi, yang tersebut
adalah 4 macam:
Macam pertama, yaitu: yang lebih
khusus, ialah: keutamaan jiwa. Dan hasilnya kembali, serta bercabang-cabang
tepinya, kepada: iman dan bagus akhlak. Dan iman itu terbagi kepada: ilmu
mukaasyafah. Yaitu: ilmu tentang Allah Ta’ala, sifat-sifatNya,
malaikat-malaikatNya dan rasul-rasulNya. Dan kepada: ilmul-mu’amalah (jual beli).
Dan kebagusan akhlak itu terbagi kepada: dua bahagian: meninggalkan yang
dikehendaki nafsu syahwat dan kemarahan. Dan namanya: al-‘iffah (sifat
menjauhkan diri dari yang dilarang). Dan menjaga keadilan pada mencegah diri
daripada yang dikehendaki nafsu syahwat dan tampil mengerjakannya. Sehingga ia
tidak sekali-kali mencegah diri dan tidak tampil mengerjakannya, menurut kehendaknya.
Akan tetapi, tampilnya dan tidaknya mengerjakan itu, adalah dengan timbangan
yang adil, yang diturunkan oleh Allah Ta’ala atas lisan RasulNya saw. Karena
Allah Ta’ala berfiman: “Supaya kamu jangan melanggar aturan berkenaan dengan
neraca (keadilan) itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi timbangan”. S Ar Rahman ayat 8-9. Maka siapa meng-gasikan
dirinya (membuang buah pelirnya), untuk menghilangkan keinginan kawin atau tidak
mau kawin, sedang dia mampu dan aman dari bahaya atau ia meninggalkan makan,
sehingga ia lemah dari ibadah, dzikir dan fikir, sesungguhnya ia telah
merugikan timbangan. Dan siapa yang terjerumus dalam nafsu keinginan perut dan
kemaluan, maka ia berbuat kedurhakaan pada timbangan. Dan sesungguhnya
keadilan, ialah: bahwa ia melepaskan timbangan dan penakarannya dari
kedurhakaan dan kerugian. Maka dengan yang demikian, menjadi adil (terdapat
seimbangan) kedua daun neraca itu. Jadi, perbuatan-perbuatan utama yang khusus
dengan jiwa, yang mendekatkan kepada Allah Ta’ala itu, 4: ilmu diminta untuk
mengetahuinya saja, ilmu mu’amalah (jual beli), ‘iffah dan ‘adalah (keadilan).
Dan ini menurut kebiasaannya, tiada akan sempurna, selain: dengan macam kedua.
Yaitu: keutamaan-keutamaan badaniyah. Dan keutamaan badaniyah ini: 4. Yaitu:
sehat, kuat, cantik dan panjang umur. Dan 4 perkara ini, tidak akan tersedia,
selain dengan macam ketiga. Yaitu: nikmat-nikmat yang keluar, yang mengelilingi
badan. Dan itu 4. Yaitu: harta, isteri, kemegahan dan kemurahan kaum kerabat.
Dan tiada sedikitpun dapat diambil manfaat dari sebab-sebab yang keluar dan
badaniyah ini, selain dengan macam keempat. Yaitu: sebab-sebab yang
mengumpulkan di antara yang tersebut tadi dan apa yang bersesuaian dengan
keutamaan-keutamaan jiwa yang masuk itu. Yaitu: 4, ialah: hidayah Allah,
petunjukNya, pembetulanNya dan penguatanNya. Maka kumpulan nikmat-nikmat itu
semua berjumlah: 16. Karena kita membagikannya kepada: 4. Dan masing-masing
dari yang 4 itu, kita bagikan kepada: 4. Dan jumlah ini, sebahagian daripadanya
memerlukan kepada sebahagian lainnya. Adakalanya: hajat dlarurat atau yang
bermanfaat. Adapun hajat dlarurat, maka seperti: hajatnya kebahagiaan akhirat
kepada iman dan bagus akhlak. Karena, tiada jalan sekali-kali untuk sampai ke-kebahagian
akhirat, selain dengan: iman dan kebagusan akhlak. Maka tidaklah bagi insan
itu, selain apa yang diusahakannya. Dan tiada bagi seseorang di akhirat itu,
selain apa yang disediakannya menjadi perbekalan di dunia. Begitu pula hajat
keutamaan jiwa mengusahakan ilmu-ilmu itu. Dan pembagusan akhlak kepada
kesehatan badan itu perlu. Adapun hajat keperluan yang bermanfaat pada umumnya,
adalah seperti hajat keperluan nikmat-nikmat kejiwaan dan badaniyah ini, kepada
nikmat-nikmat yang di luar. Seperti: harta, kemuliaan dan isteri. Karena yang
demikian itu, jikalau tidak ada, kadang-kadang terjadilah kecederaan kepada
sebahagian nikmat-nikmat yang di dalam. Jikalau anda menanyakan: maka apakah
caranya memerlukan bagi jalan akhirat, kepada nikmat-nikmat yang di luar, dari:
harta, isteri, kemegahan dan kaum keluarga ? ketahuuilah kiranya, bahwa
sebab-sebab ini berlaku, sebagai berlakunya sayap yang menyampaikan dan alat
yang memudahkan bagi maksud.
Adapun harta, maka orang miskin
pada mencari ilmu dan kesempurnnaan dan ia tidak mempunyai kecukupan, adalah
seperti orang pergi ke medan perang, tanpa senjata. Dan seperti pemburu yang
bermaksud berburu, tanpa tangan. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Amat
nikmatlah harta yang baik bagi orang yang baik”. Nabi saw bersabda:
“Pertolongan yang baik kepada bertaqwa kepada Allah, ialah: harta”. Betapa
tidak ! siapa yang tiada mempunyai harta, niscaya ia menghabiskan waktunya
mencari apa yang dimakan, pada menyediakan pakaian, tempat tinggal dan
keperluan-keperluan hidup yang lain. Kemudian, ia menghadapi berbagai macam
kesakitan, yang menyibukkannya, tidak berdzikir dan berfikir (bertafakkur). Dan
semua itu tidak dapat menolaknya, selain dengan senjata harta.
Kemudian, di samping itu, ia
tidak memperoleh keutamaan hajji, zakat, sedekah dan kelimpahan amal kebajikan
lainnya. Dan sebahagian hukama’ berkata dan telah ditanyakan kepadanya:
“Siapakah yang memperoleh nikmat ?”, maka beliau menjawab: “Orang kaya ! sesungguhnya
aku melihat orang miskin itu tiada mempunyai kehidupan”. Yang bertanya tadi,
menjawab: “Tambahkanlah lagi kepada kami”. Hukama itu menjawab: “Aman !
sesungguhnya aku melihat, bahwa orang takut itu tiada berkehidupan”. Orang yang
bertanya itu, meminta lagi: “Tambahkanlah kepada kami !”. Ahli hikmah itu
menjawab: “Sehat wal-afiat. Sesungguhnya aku melihat orang sakit itu tiada
berkehidupan”. Orang yang bertanya itu, meminta lagi: “Tambahkan kepada kami
!”. Ahli hikmah itu menjawab: “Muda. Sesungguhnya aku melihat, bahwa orang tua
itu tiada berkehidupan”. Seakan-akan apa yang disebutkan itu, sebagai isyarat
kepada kenikmatan dunia. Akan tetapi, dari segi, bahwa yang demikian itu dapat
menolong kepada akhirat, maka itu nikmat. Karena itulah, Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa memperoleh kesehatan pada tubuhnya, aman pada dirinya, padanya ada
makanan harinya, maka seolah-olah telah dikumpulkan baginya dunia dengan
isinya”. Adapun isteri dan anak yang shalih, maka tidaklah tersembunyi akan
perlunya yang dua ini. Karena Nabi saw bersabda: “Sebaik-baik pertolongan
kepada agama, ialah: wanita yang shalih”. Nabi saw bersabda: “Apabila hamba itu
mati, niscaya putuslah amalnya, selain: 3: anak yang shalih yang berdoa
kepadanya......akhir hadits”.
Dan kami telah menyebutkan
dahulu tentang faedah isteri dan anak pada “Kitab Nikah”. Adapun mengenai kaum
kerabat, maka walaupun seorang laki-laki mempunyai banyak anak dan kaum
keluarganya, niscaya adalah mereka itu baginya seperti mata dan tangan. Maka
mudahlah baginya dengan sebab mereka, urusan keduniaan yang penting mengenai
agamanya. Dan kalau ia sendirian, niscaya lamalah urusannya. Dan setiap apa,
yang kosong hati engkau dari kepentingan duniawi, maka itu menolong bagi engkau
kepada agama. Jadi, itu adalah nikmat.
Adapun kemuliaan dan kemegahan,
maka dengan itu, manusia menolak dari dirinya, kehinaan dan kezaliman. Dan
orang muslim memerlukan kepadanya. Maka sesungguhnya ia tidak terlepas dari
musuh yang menyakitinya dan orang zalim yang mengacaukan ilmunya, amalnya dan
waktu kosongnya dari pekerjaan. Dan menyibukkan hatinya. Dan hatinya itu adalah
modalnya. Sesungguhnya, gangguan-gangguan itu dapat tertolak dengan kemuliaan
dan kemegahan. Dan karena itulah, dikatakan: agama dan sultan (penguasa) itu
dua anak kembar. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau tidak ada pembelaan Allah
terhadap serangan manusia satu sama lain, niscaya binasalah bumi ini”. S 2 Al
Baqarah ayat 251. Tidak ada arti kemegahan, selain dengan memiliki hati orang
banyak, sebagaimana tidak ada arti kekayaan, selain dengan memiliki dirham
(uang). Dan siapa yang memiliki banyak dirham, niscaya mudahlah baginya
orang-orang yang mempunyai hati, untuk menolak kesakitan daripadanya. Maka
sebagaimana manusia memerlukan kepada atap rumah, yang menolak hujan daripadanya,
memerlukan kepada baju tebal yang menolak kedinginan daripadanya dan memerlukan
kepada anjing yang menolak srigala daripada binatang ternaknya, maka begitu
pula ia memerlukan kepada orang yang menolak kejahatan daripada dirinya. Dan di
atas maksud ini, adalah nabi-nabi yang tiada berkepunyaan dan kekuasaan,
berbuat baik kepada penguasa-penguasa dan meminta pada mereka kemegahan. Dan
begitu pula ulama-ulama agama (ulamaud-din). Tidak dengan maksud mengambil dari
gudang-gudang mereka, mencari keutamaan dan kebanyakan di dunia dengan
pengikutan mereka. Dan anda jangan menyangka, bahwa nikmat Allah Ta’ala kepada
rasulNya saw di mana IA menolongnya, menyempurnakan agamanya, memenangkannya
atas semua musuhnya dan menetapkan dalam hati manusia akan kecintaan kepadanya,
sehingga meluas kemuliaannya dan kemegahannya, adalah itu yang paling sedikit
dari nikmatNya kepada RasulNya, di mana beliau disakiti dan dipukul. Sehingga
berhajat kepada lari dan berhijrah. Jikalau anda bertanya: kemurahan kaum
keluarga dan kemuliaan isteri, adakah itu termasuk nikmat atau tidak ? Aku
menjawab: Ya ! dan karena itulah Rasulullah saw bersabda: “Imam-imam
(kepala-kepala pemerintahan) itu dari orang Quraisy”. Dan karena yang demikian,
maka Nabi saw adalah manusia yang termulia asalnya dalam keturunan Nabi Adam
as. Nabi saw bersabda: “Pilihlah untuk tempat nutfahmu (isterimu) wanita yang
sepadan (sekufu)”. Nabi saw bersabda: “Awaslah dari wanita yang
khadl-raa-ad-diman !”. Lalu ditanyakan: “Apakah khadl-raa-ad-diman itu ?”. Rasulullah
saw menjawab: “Perempuan cantik pada tempat tumbuhnya yang jahat”. Maka ini
juga termasuk nikmat. Dan bukanlah maksudku dengan yang demikian itu
berketurunan dari orang-orang zalim dan orang-orang dunia. Akan tetapi,
berketurunan dari pohon (tali keturunan) Rasulullah saw, dari ulama-ulama
terkemuka, orang-orang shalih dan orang-orang baik, yang berbekas pada mereka
ilmu dan amal. Jikalau anda bertanya:
“Apakah keutamaan badan ?”. Maka aku akan menjawab, bahwa: tiada
tersembunyi tentang sangat perlunya kesehatan dan kekuatan dan kepada panjang
umur. Karena ilmu dan amal itu tiada akan sempurna, selain dengan yang dua
tadi. Dan karena itulah Nabi saw bersabbda: “Kebahagiaan yang paling utama,
ialah panjang umur pada taat kepada Allah Ta’ala”.
Sesungguhnya, secara
keseluruhan, urusan kecantikan itu dipandang hina. Maka dikatakan, bahwa
memadailah ada badan itu selamat sejahtera dari penyakit-penyakit yang
mengganggu, daripada menuju kepada amal kebajikan. Demi umurku, bahwa
kecantikan itu sedikit manfaatnya. Akan tetapi, termasuk kebajikan juga. Adapun
di dunia, maka tidaklah tersembunyi manfaatnya kecantikan itu. Adapun di
akhirat, maka dari 2 segi: salah satu dari dua segi itu, ialah, bahwa: yang keji itu
tercela. Dan tabiat (sifat) manusia itu tidak senang kepada yang keji (jelek).
Dan hajat keperluan orang yang cantik itu lebih dekat untuk diperkenankan. Dan
kemegahannya dalam dada orang banyak itu lebih luas. Maka dari segi ini,
kecantikan itu sayap yang menyampaikan kepada maksud, seperti harta dan kemegahan.
Karena kecantikan itu semacam kudrat (kuasa). Karena orang yang bermuka cantik
sanggup memenuhi hajat-hajatnya, yang tidak disanggupi oleh orang yang bermuka
jelek. Dan setiap apa yang menolong kepada penunaian hajat keperluan duniawi,
maka itu dapat menolong kepada akhirat dengan perantaraannya.
Yang kedua, bahwa
kecantikan itu pada kebanyakannya menunjukkan atas keutamaan jiwa. Karena
cahaya jiwa itu, apabila sempurna kecemerlangannya, niscaya membawa kepada
badan. Maka pemandangan (dari pihak tubuhnya) dan yang menerangkan (dari pihak
jiwanya) itu, kebanyakannya harus-mengharuskan. Dan karena itulah, orang-orang
ahli firasat, berpegang pada mengetahui kemuliaan jiwa, kepada keadaan bentuk
tubuh seseorang. Maka mengatakan: muka dan mata itu cermin dari batin.
Dan karena itulah, lahir padanya
bekas marah, gembira dan dukacita. Dan karena itulah dikatakan: kejernihan muka
itu alamat (tanda) apa yang di dalam jiwa. Dan dikatakan: “Apa yang di dalam
bumi itu jelek, selain bahwa mukanya itu lebih bagus daripada yang ada
padanya”.
Khalifah Al-Ma’mun memerintahkan
supaya tentara datang kepadanya. Maka datanglah kepadanya seorang laki-laki
yang jelek mukanya. Lalu beliau ingin berbicara dengan orang tersebut. Rupanya
orang itu kelu. Maka beliau hapuskan namanya dari daftar tentara. Dan beliau
berkata: “Nyawa itu, apabila cemerlang pada zahir, maka terang. Atau pada
batin, maka jelas. Dan orang ini tidak mempunyai zahir dan batin”.
Nabi saw bersabda: “Carilah
kebajikan itu pada muka yang cemerlang”. Umar ra berkata: “Apabila kamu
mengutus seorang utusan, maka carilah yang bagus mukanya dan bagus namanya”.
Para fuqaha’ berkata: “Apabila bersamaan derajat orang-orang yang mengerjakan shalat,
maka yang lebih bagus wajahnya itu yang lebih utama menjadi imam”. Allah Ta’ala
berfirman, yang mengurniai dengan demikian: “Allah Ta’ala menganugerahinya ilmu
yang luas dan badan yang kuat”. S 2 Al Baqarah ayat 247. Tidaklah kami
bermaksud dengan kecantikan itu, apa yang menggerakkan nafssu syahwat. Maka
sesungguhnya yang demikian itu kewanitaan. Sesungguhnya yang kami kehendaki,
ialah ketinggian badan dengan kelurusan, serta sedang pada daging, kesesuaian
anggota badan dan sempurna kejadian muka, di mana tabiat orang tertarik
memandang kepadanya. Kalau anda berkata, bahwa aku telah memasukkan harta,
kemegahan, keturunan, isteri dan anak dalam bahagian nikmat. Padahal Allah
Ta’ala mencela harta dan kemegahan. Demikian pula Rasulullah saw. Demikian pula
para ulama. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya di antara isteri dan
anak-anakmu, ada yang menjadi musuh bagi kamu. Sebab itu, berhati-hatilah
terhadap mereka!”. S 64 Ath Taghabun ayat 14. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya harta kamu dan anak-anak kamu itu fitnah (ujian)”. S 64 Ath
Taghabun ayat 15. Ali ra berkata tentang tercelanya keturunan: “Manusia itu
putera dari yang diperbuatnya dengan baik. Dan nilai setiap manusia itu, yang
diperbuatnya dengan baik”. Ada yang mengatakan: “Manusia itu dengan dirinya
sendiri, tidak dengan ayahnya”. Maka apakah artinya itu nikmat, sedang dia itu
tercela pada agama ? Maka ketahuilah, bahwa siapa yang mengambil ilmu dari
kata-kata yang dinukilkan, lagi yang dita’wilkan dan umum yang dikhususkan,
niscaya kesesatan adalah lebih keras kepadanya, selama ia tidak memperoleh
petunjuk dengan nur Allah Ta’ala, kepada mengetahui ilmu menurut yang
sebenarnya. Kemudian ditempatkan nukilan itu, sesuai dengan apa yang terang
daripadanya. Sekali dengan penafsiran dan kali yang lain dengan pengkhususan.
Maka inilah nikmat-nikmat yang menolong kepada urusan akhirat, yang tiada jalan
kepada mengingkarinya. Hanya ada padanya fitnah (ujian) dan
ketakutan-ketakutan. Maka contoh harta itu, adalah seperti ular, yang ada padanya
obat penolak bisa racun yang bermanfaat dan racun yang bermanfaat. Maka jikalau
ular itu didapati oleh orang yang mempunyai azimat, yang mengetahui cara
menjaga dari racun ular dan jalan mengeluarkan obat racunnya yang bermanfaat,
niscaya adalah itu nikmat. Dan jikalau didapati ular itu oleh orang bodoh yang
terperdaya, maka ular itu bencana dan kebinasaan atas dirinya. Dan itu adalah
seperti laut, yang di bawahnya bermacam-macam mutiara dan intan permata. Maka
siapa yang mendapati laut itu, jikalau ia tahu berenang dan jalan menyelam dan
jalan menjaga diri dari hal-hal yang membinasakan di laut, maka ia telah
memperoleh dengan kenikmatannya. Dan jikalau ia menyelam, sedang ia tidak
mengetahui yang demikian, maka sesungguhnya ia binasa. Maka karena itulah, Allah
Ta’ala memuji harta dan menamakkannya: kebajikan.
Dan Rasulullah saw memuji yang
demikian. Dan bersabda: “Sebaik-baik pertolongan kepada bertaqwa kepada Allah
Ta’ala, ialah; harta”. Dan seperti yang demikian juga pujian kemegahan dan
kemuliaan. Karena Allah Ta’ala telah menganugerahkan nikmat kepada RasulNya
saw, dengan dimenangkanNya agama Islam itu di atas semua agama. Dan
dicurahkanNya kasih sayang kepadanya dalam hati makhluk. Dan itulah arti
kemegahan. Akan tetapi, yang dinukilkan pada pemujian kemegahan dan kemuliaan
itu sedikit. Dan yang dinukilkan pada mencacikan harta dan kemegahan itu
banyak. Dan sekiranya dicela ria, maka itu adalah dicela kemegahan. Karena ria
itu maksudnya menarik hati orang banyak. Dan arti kemegahan, ialah: memiliki hati
orang banyak. Dan sesungguhnya banyak ini dan sedikit itu, karena manusia,
kebanyakannya bodoh akan jalan petunjuk bagi ular harta dan jalan menyelam
dalam lautan kemegahan.
Maka haruslah memperingatkan
mereka. Maka sesungguhnya mereka akan binasa dengan racun harta, sebelum sampai
obat racunnya. Dan mereka akan dibinasakan oleh buaya lautan kemegahan, sebelum
memperoleh mutiara-mutiaranya. Jikalau adalah harta dan kemegahan itu pada
dirinya tercela, dikaitkan kepada masing-masing orang, niscaya tidaklah
tergambar bahwa disandarkan kerajaan kepada kenabian, sebagaimana ada yang
demikian itu bagi Rasul kita saw. Dan tidak bahwa disandarkan kekayaan kepada
kenabian, sebagaimana adanya yang demikian bagi Nabi Sulaiman as. manusia
semuanya itu anak kecil. Harta-harta itu ular. Dan nabi-nabi dan orang-orang
arifin itu mempunyai azimat. Maka kadang-kadang mendatangkan melarat kepada
anak kecil, apa yang tidak mendatangkan melarat kepada orang yang mempunyai
azimat. Ya, benar, bahwa orang yang mempunyai azimat, jikalau mempunyai anak,
yang dikehendakinya kekal hidup dan baik ia telah mendapati seekor ular dan ia
tahu, bahwa jikalau diambilnya ular itu untuk obat racunnya, niscaya
terlepaslah dengan yang demikian akan anaknya. Dan diambilnya ular itu. Apabila
dilihatnya ular itu untuk bermain-main anaknya, maka binasalah anaknya. Ia
mempunyai maksud pada obat racun ular itu. Dan ia mempunyai maksud pada
memelihara anak. Maka haruslah ia menimbang, di antara maksudnya pada mengambil
obat racun ular dan maksudnya memeliharakan anak. Maka apabila ia sanggup
bersabar daripada mengambil obat racun ular dan tidak memperoleh melarat yang
banyak dengan yang demikian dan jikalau diambilnya ular itu, niscaya diambil
oleh anaknya dan besarlah melaratnya, dengan kebinasaan anak itu, maka wajiblah
ia lari dari ular, apabila dilihatnya. Dan diisyaratkannya kepada anaknya
dengan menyuruh lari. Dan dijelekkannya bentuk ular itu pada mata anaknya. Dan
diberitahukannya juga, bahwa pada ular itu ada racun yang membunuh, yang tiada
akan terlepas daripadanya seseorang. Dan janganlah sekali-kali diceritakannya,
bahwa pada ular itu ada kemanfaatan obat racunnya.
Sesungguhnya yang demikian itu,
kadang-kadang memperdayakan akan anak itu. Lalu ia tampil hendak mengambil obat
racun tersebut, tanpa sempurnanya pengetahuan. Dan seperti itu pula: menyelam.
Apabila ia tahu, bahwa jikalau ia menyelam dalam laut dengan dilihat anaknya,
niscaya anak itu akan mengikuti nya. Dan anak itu binasa. Maka haruslah ia
menakutkan anak kecil itu ke tepi laut dan sungai. Dan jikalau anak kecil itu
tidak takut dengan semata-mata ditakutkan, manakala ia melihat ayahnya
berkeliling di keliling pantai, maka haruslah ia menjauh dari pantai bersama
anak kecil itu. Dan ia tidak mendekati pantai di hadapan anaknya. Maka seperti
demikianlah umat dalam pangkuan nabi-nabi as seperti anak-anak kecil yang
bodoh. Dan karena demikianlah, maka Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku bagi
kamu, adalah seperti bapak bagi anaknya”. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
kamu menempuh ke atas neraka seperti terbangnya kupu-kupu dan aku memegang tali
pinggangmu”. Dan keuntungan mereka yang lebih sempurna ialah pada menjaga
anak-anak mereka daripada kebinasaan. Maka mereka sesungguhnya tidak diutus,
melainkan untuk yang demikian. Dan tiada keuntungan bagi mereka pada harta,
selain sekadar untuk dimakan. Maka tida mengapa, mereka menyingkatkan kepada
sekadar yang dimakan itu. Dan apa yang lebih, maka tidak ditahan oleh mereka.
Akan tetapi, dinafkahkannya (kepada jalan kebaikan). Sesungguhnya pada
menafkahkan itu obat bagi racun. Dan pada menahankannya itu racun. Dan jikalau
dibukakan bagi manusia, pintu mengusahakan harta dan mereka mengingini pintu
itu, niscaya mereka cenderung kepada racun penahanan harta. Dan mereka tidak
suka kepada obat racun penafkahan. Maka karena itulah, harta itu dipandang
keji. Artinya: dikejikan penahanan (tidak dinafkahkan) harta-harta itu. Dan
rakus untuk memperbanyakkannya. Dan berlapang-lapangan pada menikmatinya,
dengan yang mengharuskan kecenderungan kepada dunia dan kelezatannya.
Adapun mengambil harta itu
sekadar mencukupi dan menyerahkan selebihnya kepada amal kebajikan, maka
tidaklah tercela. Dan menjadi hak setiap orang musafir, bahwa ia tidak membawa,
selain sekadar perbekalannya dalam perjalanan, apabila benar-benar ia berazam/berkeinginan
untuk mengkhususkan bagi dirinya sendiri, dengan apa yang dibawanya. Adapun
apabila ia melapangkan dirinya untuk memberikan makanan dan meluaskan
perbekalan kepada teman-temannya, maka tiada mengapa ia membanyakkan membawanya.
Dan sabda Nabi saw: “Hendaklah sampai banyaknya perbelanjaan seseorang kamu
dari dunia, seperti perbekalan seorang pengendara dalam perjalanan”, maksudnya
bagi dirimu sendiri khususnya. Dan jikalau tidaklah demikian, maka sesungguhnya
adalah dalam golongan orang yang merawikan hadits tersebut dan mengamalkannya,
orang-orang yang mengambil 100 ribu dirham pada suatu tempat dan membagi-bagikannya
pada tempatnya itu. Dan tidak ditahankannya sebijipun. Dan tatkala Rasulullah
saw menerangkan, bahwa orang-orang kaya itu masuk ke sorga dengan susah, maka
Abdurrahman bin ‘Auf ra meminta izin pada Rasulullah saw untuk dikeluarkannya
dari semua yang dimilikinya. Maka Rasulullah saw mengizinkannya. Lalu turunlah
Jibril as dan berkata: “Suruhlah dia memberi makanan orang miskin dan memberi
pakaian yang telanjang dan memuliakan tamu dengan hartanya itu......hadits”.
Jadi, nikmat-nikmat duniawi itu bercampur baur. Bercampur obatnya dengan
penyakitnya, bercampur yang diharap dengan yang ditakuti dan yang bermanfaat dengan
yang melarat. Maka siapa yang mempercayai dengan mata hatinya dan kesempurnaan ilmu mengenal Allah Ta’alanya, maka ia dapar
mendekati kepada nikmat-nikmat itu, dengan menjaga dari penyakitnya dan
mengeluarkan obatnya. Dan siapa yang tiada mempercayai dengan mata hati dan
kesempurnaan ilmu mengenal Allah Ta’alanya,
maka hendaklah menjauhkan diri dan lari dari tempat-tempat sangkaan bahaya.
Maka tidaklah nikmat-nikmat itu
seimbang dengan keselamatan sedikitpun pada mereka. Dan mereka itu makhluk
semuanya, selain orang yang dipelihara oleh Allah Ta’ala dan ditunjukiNya
kepada jalanNya. Jikalau anda bertanya: maka apakah artinya taufik yang kembali
kepada hidayah, ar-rusydu (jalan benar), at-ta’yid (penguatan) dan at-tasdid
(pembetulan) ? Maka ketahuilah kiranya, bahwa taufik itu tiada seorangpun yang
tidak memerlukan kepadanya. Dan itu adalah ibarat dari penyusunan dan
pendempetan antara kehendak hamba dan qodo’ (hukum) Allah dan taqdirNya. Dan
ini melengkapi kebajikan dan kejahatan dan apa dia itu bahagia dan apa dia itu
celaka. Akan tetapi, telah berlaku adat-kebiasaan, dengan mengkhususkan nama
taufik, dengan apa yang bersesuaian dengan kebahagiaan dari jumlah qodo Allah
Ta’ala dan taqdirNya. Sebagaimana ilhad (mengingkari) itu ibarat dari
kecenderungan. Maka dikhususkan dengan orang yang cenderung kepada yang
batil/salah. Tidak dari yang haq (benar). Dan begitu pula murtad dari agama.
Dan tiadalah tersembunyi dengan perlunya kepada taufik. Dan karena itulah
dikatakan pada sekuntum syair:
Apabila tiada pertolongan,
daripada Allah kepada seorang pemuda,
maka banyaklah ia dianiayakan,
oleh putaran pikirannya.
Adapun hidayah (memperoleh petunjuk) maka tiada
jalan bagi seseorang pada mencari kebahagiaan, selain dengan hidayah itu.
Karena sesungguhnya, pengajak insan, kadang-kadang pengajak itu cenderung
kepada yang ada padanya kebaikan akhiratnya. Akan tetapi, apabila ia tidak
mengetahui akan yang ada padanya kebaikan akhiratnya, sehingga ia menyangka
kerusakan itu perbaikan, maka dari manakah akan bermanfaat kepadanya oleh
semata-mata kehendak ? maka tiada berfaedah pada kehendak, kemampuan dan
sebab-sebab lainnya, selain sesudah hidayah. Dan karena itulah Allah Ta’ala
berfirman: “Tuhan kami ialah DIA yang memberikan bentuk kejadian kepada segala
sesuatu, lalu dipimpinNya (menurut alam masing-masing)”. S Tha Ha ayat 50. Dan
Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau tiadalah kemurahan Allah dan kasih sayangNya
kepada kamu, buat selamanya tiada seorangpun di antara kamu yang bersih (suci),
akan tetapi Allah mensucikan orang-orang yang dikehendakiNya”. S An Nur ayat
21. Nabi saw bersabda: “Tiada seseorang akan masuk sorga, selain dengan rahmat
Allah Ta’ala”. Artinya: dengan hidayahNya. Lalu beliau ditanyakan: “Dan tidak
juga engkau wahai Rasul Allah ?”. Beliau menjawab: “Dan tidak juga aku !”.
Hidayah itu mempunyai 3 tempat kedudukan:
Pertama: mengetahui
jalan kebajikan dan kejahatan, yang diisyaratkan kepadanya dengan firman Allah
Ta’ala: “Dan Kami tunjukkan kepadanya dua jalan raya (jalan kebaikan dan jalan
kejahatan)”. S Al Balad ayat 10. Dan Allah Ta’ala menganugerahkan nikmat dengan
yang demikian kepada seluruh hambaNya. Sebahagian dengan jalan akal dan
sebahagian dengan lisan rasul-rasul. Dan karena yang demikian, Allah Ta’ala
berfirman: “Adapun Tsamud, maka Kami beri pimpinan, tetapi mereka lebih
mencintai buta (hati) daripada menerima pimpinan kebenaran”. S Fussilat ayat
17. Maka sebab-sebab memperoleh petunjuk (pimpinan), ialah: kitab-kitab yang
diturunkan oleh Allah, rasul-rasul dan akal-akal yang dapat melihat kebenaran.
Dan itu semua yang dianugerahkan kepada mereka dan tiada yang mencegah dari
yang demikian, selain oleh dengki, sombong, mencintai dunia dan sebab-sebab
yang membutakan hati. Walaupun tidak membutakan penglihatan. Allah Ta’ala
berfirman: “Karena sesungguhnya bukan mata yang buta, akan tetapi yang buta,
ialah hati yang di dalam dada”. S Al Hajj ayat 46. Di antara jumlah yang
membutakan hati itu kejinakan hati kepada dunia dan adat kebiasaan. Dan
mencintai menyertai keduanya. Dan dari itulah diibaratkan dengan firman Allah
Ta’ala: “Sesungguhnya kami dapati bapak-bapak kami memeluk suatu agama dan
sudah tentu kami ikuti saja jejak mereka”. S Az Zukhruf ayat 22. Dan dari
kesombongan dan kedengkian itu diibaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan
mereka berkata: Mengapa Alquran ini tidak diturunkan kepada orang besar dari
salah satu dua kota (Makkah atau Thaif)”. S Az Zukhruf ayat 31. Dan firman
Allah Ta’ala: “Adakah seorang manusia dari antara kami sendiri akan kami turut
?”. S Al Qamar ayat 24. Maka segala yang membutakan ini, itulah yang mencegah
memperoleh petunjuk dan hidayah.
Kedua: di belakang
hidayah umum ini. Yaitu: yang diberi pertolongan oleh Allah Ta’ala dengan
hidayah tersebut akan hambaNya, suatu keadaan sesudah suatu keadaan. Dan itu
adalah buah (hasil) bersungguh‑sungguh, di mana Allah Ta’ala berfirman: “Dan
orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan Kami”. S Al Ankabut ayat 69. Yaitu: yang dimaksudkan dengan
firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang mengikuti pimpinan kebenaran Tuhan
menambahkan pimpinan untuk mereka”. S 47 Muhammad ayat 17.
Hidayah ketiga itu dibelakang hidayah kedua. Dan yaitu: cahaya yang
cemerlang dalam alam kenabian dan kewalian, sesudah sempurna bersungguh‑ sungguh. Maka memperoleh petunjuk
dengan yang tersebut itu, kepada apa yang tiada diperoleh kepadanya dengan akal,
yang dengan akal itu terjadi kewajiban menjadikan orang yang sudah dewasa dan
kemungkinan mempelajari berbagai macam ilmu. Dan itulah petunjuk mutlak. Dan
yang lainnya, adalah dinding bagi nya dan merupakan pendahuluan-pendahuluan.
Dan itulah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dengan mengkuhsuskan penyandaran
kepadanya. Walaupun semua itu adalah dari pihaknya Allah Ta’ala. Maka Allah
Ta’ala berfirman: “Katakan: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang
sebenarnya”. S 2 Al Baqarah ayat 120. Dan itulah yang dinamakan hidup pada
firman Allah Ta’ala: “Apakah orang-orang yang sudah mati, kemudian Kami
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, dengan itu dia dapat
berjalan di tengah-tengah manusia”. S 6 Al An’aam ayat 122. Dan yang
dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Apakah orang yang dibukakan oleh Allah
hatinya menerima Islam, karena itu dia mendapat cahaya dari Tuhannya”. S Az
Zumar ayat 22.
Adapun tujuan yang benar, maka
kami maksudkan, ialah pertolongan ketuhanan yang menolong insan ketika
menghadapkan diri dan jiwanya kepada maksud-maksudnya. Maka pertolongan itu
menguatkannya kepada apa, yang padanya perbaikannya. Dan melumpuhkannya dari
apa, yang padanya kerusakannya. Dan adalah yang demikian itu termasuk batin
(hal batiniyah). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya, dahulu
Kami telah memberikan kepada Ibrahim tujuan yang benar dan Kami kenal
kepadanya”. S 21 Al Anbiyaa ayat 51. Maka tujuan yang benar itu ibarat dari
petunjuk yang membangkitkan kepada pihak kebahagiaan, yang menggerakkan
kepadanya. Maka anak kecil, apabila ia sampai mengetahui dengan menjaga harta,
jalan-jalan perniagaan dan menambahkan harta, akan tetapi bersamaan dengan yang
demikian, ia memboros dan tiada berkehendak menambahkan harta itu, niscaya ia
tidak dinamakan: yang mendapat petunjuk jalan yang benar. Tidak saja karena
tiada hidayah baginya, bahkan juga karena kurang hidayahnya daripada
menggerakkan pengajaknya. Maka berapa banyak orang yang tampil mengerjakan apa
yang diketahuinya, bahwa itu mendatangkan melarat baginya. Maka sesungguhnya ia
telah dianugerahkan hidayah dan dengan hidayah itu, ia berbeda dari orang bodoh
yang tiada mengetahui bahwa itu mendatangkan melarat baginya. Akan tetapi, ia
tiada dianugerahkan tujuan yang benar. Maka tujuan yang benar dengan ibarat
ini, lebih sempurna dari semata-mata hidayah, kepada wajah-wajah amal. Dan
itulah nikmat yang besar.
Adapun pembetulan, maka yaitu:
pengarahan gerak-gerikanya kepada betulnya yang dicari dan memudahkannya
kepadanya. Supaya bersangatan pada betul nya yang betul pada waktu yang
secepat-cepatnya. Maka sesungguhnya hidayah dengan semata-mata hidayah itu
tidak memadai. Akan tetapi, tidak boleh tidak daripada hidayah yang
menggerakkan kepada pengajak. Yaitu: tujuan yang benar. Dan tujuan yang benar
itu tidak memadai, akan tetapi tidak boleh tidak daripada kemudahan
(keentengan) gerak-gerik, dengan pertolongan anggota badan dan alat-alat.
Sehingga sempurnalah yang dikehendaki, daripada yang membangkitkan pengajak
kepadanya. Maka hidayah itu semata-mata memperkenalkan (at-ta’rif). Dan tujuan yang benar itu memberitahukan pengajak, supaya ia
bangun dan bergerak. Dan at-tasdid itu
pertolongan dan perbantuan dengan menggerakkan anggota-anggota badan pada
betulnya pembetulan itu. Adapun at-ta’yid, maka
seakan-akan ia mengumpulkan semua. Dan dia itu ibarat daripada penguatan
urusannya dengan penglihatan mata hati dari dalam. Dan penguatan genggaman dan
perbenturan sebab-sebab dari luar. Dan itulah yang dikehendaki dengan firmanNya
‘Azza Wa Jalla: “Ketika Aku menolong engkau (at-tayid= semata-mata
memperkenalkan, pertolongan dan perbantuan dengan menggerakkan anggota-anggota
badan pada betulnya pembetulan itu ) dengan roh suci”.
S 5 Al Maa-idah ayat 110. Dan mendekati daripadanya al-‘ishmah
(pemeliharaan). Dan itu adalah ibarat dari wujud
kelimpahan ketuhanan yang datang dalam batin. Yang dengan demikian itu, kuatlah
insan kepada mengerjakan kebajikan dan menjauhkan kejahatan. Sehingga jadilah
sebagai penghalang dari batiniyahnya yang tidak terasa.
Dan itulah yang dimaksudkan
dengan firman Allah Ta’ala: “Dan perempuan itu memang suka kepadanya (Yusuf).
Dan dia suka pula kepada perempuan itu, kalau dia tidak melihat keterangan dari
Tuhannya”. S Yusuf ayat 24. Maka inilah dia tempat-tempat pengumpulan nikmat !
dan nikmat-nikmat itu tiada akan menetap, selain dengan apa yang dianugerahkan
oleh Allah Ta’ala, daripada paham yang bersih dan tembus, pendengaran yang
terang, hati yang melihat, merendahkan diri dan menjaga dan guru yang
menasehati, harta yang berlebih daripada yang penting-penting, yang terbatas
dengan sedikitnya, yang memendekkan daripada yang menyibukkan dari agama,
disebabkan banyaknya. Dan kemuliaan yang memeliharakannya dari kebodohan
orang-orang bodoh dan kezaliman musuh-musuh. Dan masing-masing dari sebab-sebab
tersebut itu mengajak 16 sebab pula. Dan sebab-sebab itu mengajak sebab-sebab
yang lain, sampai kepada berkesudahan dengan akhirat kepada petunjuk
orang-orang yang heran dan tempat penyantunan orang-orang yang melarat. Dan
itulah Pemilik bagi segala yang memiliki dan Penyebab segala sebab-sebab.
Apabila adalah sebab-sebab itu panjang, yang tidak terbawa oleh kitab ini, akan
perhinggaannya, maka marilah kami sebutkan daripadanya suatu contoh, supaya
diketahui dengan yang demikian itu, akan maksud firmannya Allah Ta’ala: “Dan
kalau kamu hitung akan nikmat Allah, niscaya tidak dapat kamu menghitungnya”. S
Ibrahim ayat 34.
PENJELASAN: wajah contoh pada banyaknya nikmat-nikmat Allah
Ta’ala dan sambung-menyambungnya dan keluarnya dari hinggaan dan hitungan.
Ketahuilah, bahwa kami telah mengumpulkan nikmat-nikmat
itu pada 16 macam. Dan kami jadikan kesehatan badan suatu nikmat dari
nikmat-nikmat yang jatuh pada tingkat terakhir. Maka nikmat yang satu ini,
jikalau kita kehendaki menghitungkan sebab-sebab, yang dengan sebab-sebab itu
sempurnalah nikmat ini, niscaya kita tidak sanggup atas yang demikian. Akan
tetapi, makan adalah salah satu sebab-sebab sehat. Maka hendaklah kami sebutkan
serangkaian dari jumlah sebab-sebab, yang dengan sebab-sebab itu akan sempurna
nikmat makan. Maka tiada sunyilah kiranya, bahwa makan itu suatu perbuatan. Dan
setiap perbuatan dari macam ini, maka itu suatu gerak. Dan setiap gerak, tak
boleh tidak, mempunyai tubuh yang bergerak, yang menjadi alatnya gerak itu. Dan
tak boleh tidak, alat itu mempunyai kemampuan kepada bergerak. Dan tak boleh
tidak, daripada kehendak kepada bergerak. Dan tak boleh tidak dari ilmu dengan
yang dimaksud. Dan mengetahui yang dimaksud itu. Dan tak boleh tidak bagi makan
itu dari yang dimakan. Dan tak boleh tidak bagi yang dimakan itu, dari asal,
yang dari asal itu ia diperoleh. Dan tak boleh tidak baginya yang
memperbuatnya, yang membaikkannya. Maka marilah kami sebutkan sebab-sebab
mengetahuinya. Kemudian, sebab-sebab kehendak. Kemudian sebab-sebab sanggup.
Kemudian sebab-sebab barang yang dimakan dengan jalan isyarat. Tidak dengan
jalan penyelidikan yang mendalam.
TEPI PERTAMA: mengenai nikmat-nikmat Allah Ta’ala pada
menjadikan sebab-sebab mengetahuinya.
Ketahuilah kiranya, bahwa Allah Ta’ala menjadikan
tumbuh-tumbuhan. Dan tumbuh-tumbuhan itu yang lebih sempurna wujudnya daripada
batu, tanah liat, besi, tembaga dan intan permata lainnya, yang tidak bertambah
dan tidak makan. Sesungguhnya tumbuh-tumbuhan itu dijadikan kekuatan padanya.
Dengan kekuatan itu, ia menarik makanan kepada dirinya dari pihak pokoknya dan
urat-uratnya yang dalam bumi. Dan itu semua menjadi alat di dalam bumi, untuk
menarik makanan. Dan itu urat-urat yang halus yang anda lihat pada setiap daun.
Kemudian menebal pokok-pokoknya. Kemudian bercabang. Dan senantiasalah
urat-urat itu menghalus dan bercabang kepada urat-urat yang merambut, yang
menghampar pada bahagian-bahagian daun. Sehingga lenyap dari penglihatan. Hanya
sesungguhnya tumbuh-tumbuhan bersama kesempurnaan ini, ada kekurangannya. Maka
apabila ia diperlukan oleh makanan yang dibawa kepadanya dan menyentuh
pokoknya, niscaya tumbuh-tumbuhan itu kering dan hilang kehijauannya. Dan tidak
memungkinkannya mencari makan dari tempat lain. Dan mencari ittu sesungguhnya
adalah dengan diketahui oleh yang dicari dan dengan memindahkan kepadanya. Dan
tumbuh-tumbuhan itu lemah daripada yang demikian. Maka daripada nikmat Allah
Ta’ala kepada engkau, ialah bahwa IA menjadikan untuk engkau alat-alat perasaan
dan alat gerak pada mencari makanan. Maka perhatikanlah kepada tartib hikmah
Allah Ta’ala pada menjadikan pancaindra yang lima, yang menjadi alat
mengetahui.
Maka yang pertama:
pancaindra yang menyentuh. Dan sesungguhnya pancaindra ini dijadikan bagi
engkau, sehingga apabila engkau disentuh oleh api yang membakar atau pedang yang
melukakan, niscaya engkau rasa yang demikian. Lalu engkau lari daripadanya.
Inilah perasaan pertama yang dijadikan bagi hewan. Dan tidaklah tergambar hewan
itu, selain bahwa ada baginya perasaan ini. Karena, jikalau ia tidak merasa
sekali-kali, maka tidaklah dia itu hewan yang hidup. Dan derajat perasaan yang
paling kurang, ialah bahwa ia merasa dengan apa yang melekat padanya dan yang
menyentuhnya. Maka sesungguhnya perasaan (al-ihsas) dengan apa yang menjauhkan
daripadanya perasaan yang sempurna itu tidaklah mustahil. Dan perasaan ini ada
bagi setiap hewan. Sehingga cacing yang dalam tanah. Maka cacing itu apabila
ditusuk padanya dengan jarum, niscaya ia terlipat untuk lari. Tidak seperti
tumbuh-tumbuhan. Maka tumbuh-tumbuhan itu dipotong, lalu ia tidak terlipat.
Karena ia tidak merasa dipotong. Hanya anda, jikalau tidaklah dijadikan bagi
anda, selain perasaan tersebut tadi (menyentuh), niscaya adalah anda itu kekurangan,
seperti cacing, yang tidak sanggup mencari makanan, di mana ia jauh daripada
anda. Akan tetapi, apa yang menyentuhkan badan anda, maka anda rasakan dengan
yang demikian. Lalu anda tarikkan dia kepada diri anda saja. Maka anda
memerlukan kepada perasaan, yang anda ketahui dengan yang demikian itu, apa
yang jauh dari anda. Maka dijadikan bagi anda: pancaindra ciuman. Hanya anda
mengetahui dengan indra ini, akan: bau. Dan anda tidak mengetahui bahwa bau itu
datang dari pihak mana. Lalu anda memerlukan kepada mengelilingi banyak sudut.
Lalu kadang-kadang anda tepergok kepada makanan, yang anda ciumi baunya. Dan
kadang-kadang anda tidak tepergok. Lalu adalah anda pada sangat kekurangan,
jikalau tidak dijadikan bagi anda, selain itu saja. Maka dijadikan bagi anda:
penglihatan. Supaya anda mengetahui dengan penglihatan itu, akan apa yang jauh
dari anda. Dan anda ketahui akan arahnya. Lalu anda tujukan arah itu sendiri.
Hanya, jikalau tidak dijadikan bagi anda, selain itu, niscaya adalah anda itu
kekurangan. Karena anda tidak dapat mengetahui dengan itu, apa yang di balik
dinding dan hijab. Maka anda dapat melihat makanan, yang tidak ada hijab di
antara anda dan makanan itu. Dan anda dapat melihat musuh, yang tiada hijab di
antara anda dan musuh tersebut.
Adapun apa yang ada hijab di
antara anda dan barang itu, maka anda tidak dapat melihatnya. Dan kadang-kadang
hijab itu tidak tersingkap selain sesudah musuh dekat. Lalu anda lemah daripada
melarikan diri. Maka dijadikan bagi anda pendengaran. Sehingga anda dapat
mengetahui suara dengan pendengaran itu di belakang dinding dan hijab, ketika
berlalunya gerak-gerakan. Karena anda tidak dapat mengetahui dengan
penglihatan, selain barang yang hadlir di depan anda. Adapun yang tidak ada di
depan (al-ghaib), maka tidak mungkin anda mengetahuinya, selain dengan
perkataan yang teratur dari huruf-huruf dan suara-suara, yang diketahui dengan
indra pendengaran. Maka sangatlah hajat engkau kepada pendengaran itu. Lalu
dijadikan bagi anda telinga anda. Dan anda diperbedakan dari hewan-hewan yang
lain, dengan pendengaran itu. Semua itu tiada mencukupi bagi anda, jikalau
tidak ada bagi anda, pancaindra rasa dengan lidah. Karena sampainya makanan
kepada anda, maka anda tiada mengetahui, adakah makanan itu sesuai bagi anda
atau berlainan ? lalu anda makan makanan itu, niscaya anda binasa.
Seperti pohon kayu yang
dituangkan pada pokok batangnya, setiap benda cair. Pohon kayu itu tiada
mempunyai rasa lidah. Dan kadang-kadang adalah yang demikian itu menjadi sebab
keringnya pohon tersebut. Kemudian, semua itu tiada memadai bagi anda, jikalau
tidak dijadikan pada depan otak anda, sesuatu perasaan yang lain, yang dinamai:
perasaan yang berkongsi, yang tertunai kepadanya, pancaindra yang lima ini. Dan
berkumpul padanya. Dan jikalau adalah yang demikian, niscaya panjanglah urusan
atas diri anda. Maka sesungguhnya anda apabila memakan suatu yang kuning
–umpamanya –lalu anda mendapatinya pahit yang menyalahi bagi anda, maka anda
tinggalkan yang demikian itu. Maka apabila anda melihatnya pada kali yang lain,
niscaya anda tidak tahu, bahwa itu pahit yang mendatangkan melarat, selama anda
tidak merasakannya kali kedua, jikalau tidak ada perasaan yang berkongsi.
Karena mata itu melihat warna kuning dan ia tak tahu rasa pahit. Maka bagaimana
ia mencegahkan diri daripadanya ? dan rasa itu mendapati pahit dan tidak
mengetahui warna kuning. Maka tak boleh tidak adanya seorang hakim, yang
berkumpul padanya kuning dan pahit. Sehingga apabila ia mengetahui akan warna
kuning, niscaya dihukumkannya bahwa benda itu pahit. Lalu ia mencegah diri
daripada mengambilnya pada kali kedua. Ini semua, hewan-hewan itu menyekutukan
engkau padanya. Karena kambing itu mempunyai pancaindra ini semuanya. Maka
jikalau tiadalah bagi engkau, selain itu, niscaya adalah engkau itu
berkekurangan. Maka sesungguhnya binatang ternak itu dicari tipu muslihat
atasnya, lalu ia diambil. Maka ia tiada mengetahui, bagaimana ia menolak tipuan
manusia daripada dirinya. Dan bagaimana ia melepaskan diri, apabila ia diikat.
Dan kadang-kadang binatang ternak itu menjatuhkan dirinya dalam sumur. Dan ia
tidak tahu, bahwa yang demikian itu membinasakannya. Dan karena itulah,
kadang-kadang binatang ternak itu memakan apa yang dirasakannya enak sekarang.
Dan memelaratkannya pada keadaan yang lain. Lalu binatang ternak itu sakit dan
mati. Karena tiada baginya, selain perasaan dengan yang ada sekarang. Adapun
mengetahui akibatnya, maka binatang ternak itu tidak mengetahuinya. Maka Allah
Ta’ala membedakan anda dan memuliakan anda dengan sifat yang lain. Yaitu: yang
termulia dari semua. Yaitu: akal. Maka dengan akal diketahui makanan yang
melarat dan yang bemannfaat, pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dan
dengan akal itu, diketahui cara memasakkan makanan, menyusunnya dan menyediakan
sebab-sebabnya. Maka anda dengan akal anda, dapat mengambil manfaat pada
makanan, yang menjadi sebab kesehatan anda. Dan itulah faedah yang terbaik bagi
akal dan yang paling sedikit hukum padanya.
Akan tetapi, hikmah yang
terbesar padanya, ialah: mengenal Allah Ta’ala, mengenal Perbuatan-perbuatan
Allah dan mengenal hikmah pada alamNya. Dan ketika itu, terbaliklah faedah
pancaindra yang 5 pada pihak anda. Lalu pancaindra yang 5 itu adalah seperti:
mata-mata dan yang mempunyai berita yang diwakil kan pada segala sudut
kerajaan. Dan masing-masing daripadanya diwakilkan (diserahkan) urusan yang
khusus dengan dia. Maka satu daripadanya dengan berita warna-warna, yang lain
dengan berita suara-suara, yang lain dengan berita bau-bau. Yang lain dengan
berita rasa-rasa. Yang lain dengan berita: panas, dingin, kasar halus, lembut,
keras dll. Pos-pos (penerima-penyampai berita) ini dan mata-mata itu memetik
berita dari seluruh penjuru kerajaan. Dan menyerahkannya kepada perasaan
(pancaindra) yang berkongsi itu. Dan pancaindra yang berkongsi itu duduk di
depan otak, seperti yang punya cerita dan buku, duduk di pintu raja. Ia
mengumpulkan cerita-cerita dan buku-buku yang datang dari seluruh penjuru alam.
Maka diambilnya dan itu sudah distempel (dicapkan) dan diserahkan nya. Karena
ia tidak berhak, selain mengambil, mengumpulkan dan menjagakannya.
Adapun mengetahui hakikat/makna
apa yang di dalamnya, maka ia tidak berhak. Akan tetapi, apabila dijumpai oleh
hati yang berakal, yaitu: amir dan raja, akan penyampaian berita-berita itu
kepadanya yang sudah berstempel, maka itu diperiksakan oleh raja. Dan
diperhatikan daripadanya akan rahasia-rahasia kerajaan. Dan ditetapkan hukum
(keputusan) padanya dengan hukum-hukum yang menakjubkan, yang tidak mungkin
membahas secara mendalam pada tempat ini. Dan menurut apa yang terisyarat bagi
raja itu, dari hal hukum-hukum dan kemuslihatan-kemuslihatannya, ia
menggerakkan tentara. Yaitu: anggota badan. Sekali: mengenai mencari. Sekali:
mengenai lari. Dan sekali: mengenai penyempurnaan pengaturan-pengaturan yang
dikemukakan kepadanya.
Maka inilah jalannya nikmat
Allah Ta’ala kepada anda dalam mengetahui itu. Dan anda jangan menyangka bahwa
kami telah menyempurnakan uraian ini. Sesungguhnya pancaindra yang yang terang
itu, ialah: sebahagian pengetahuan yang diketahui dengan pancaindra. Melihat
itu satu dari pancaindra. Mata itu suatu alat baginya. Dan mata itu tersusun
dari 10 lapisan yang bermacam-macam. Sebahagiannya basah daan sebahagiannya
tertutup. Dan sebahagian yang tertutup itu, adalah seakan-akan jaringan
lawa-lawa. Dan sebahagiannya seperti bungkusan janin yang keluar bersama anak
lahir. Dan sebahagian yang basah itu seakan-akan putih telur. Dan sebahagiannya
seakan-akan air beku. Dan masing-masing dari lapisan-lapisan yang 10 ini,
mempunyai sifat, rupa, bentuk, keadaan, lintang, perbundaran daan penyusunan.
Dan jikalau rusak satu lapisan dari jumlah yang 10 itu atau satu sifat dari
sifat-sifat setiap lapisan, niscaya rusaklah penglihatan. Dan lemahlah semua
tabib-tabib dan tukang-tukang celak daripadanya. Ini baru pada satu pancaindra.
Maka kiaskanlah dengan yang satu tadi, akan indra mendengar dan indra-indra
lainnya. Bahkan, tiada akan mungkin bahwa dibentangkan dengan sempurna semua
hikmah dan segala macam nikmat Allah Ta’ala tentang bentuk penglihatan dan
lapisan-lapisannya dalam banyak jilid, sedang jumlahnya penglihatan itu tiada
lebih dari seteguk yang kecil. Maka bagaimana sangkaan anda dengan semua badan,
anggota-anggota dan keajaiban-keajaiban lainnya ? maka inilah rumuz-rumuz
kepada nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang menciptakan diketahui dengan pancaindra itu.
TEPI KEDUA: tentang jenis-jenis nikmat pada menciptakan
Kemauan (kehendak).
Ketahuilah kiranya, bahwa jikalau diciptakan untuk
anda penglihatan, sehingga dengan demikian, anda mengetahui makanan dari jauh
dan tidak diciptakan untuk anda kecenderungan pada kelobaan dan kerinduan
kepada makanan itu dan keinginan kepadanya yang membangkitkan anda kepada
bergerak, niscaya adalah penglihatan itu kosong (tiada artinya). Berapa banyak
orang sakit melihat makanan. Dan makanan itu lebih bermanfaat dari segala
sesuatu kepadanya. Dan telah hilang nafsu keinginannya. Maka tidak diambilnya.
Maka tinggallah penglihatan dan pengetahuan itu kosong pada pihaknya. Maka anda
memerlukan, bahwa ada bagi anda kecenderungan kepada apa, yang bersesuaian
dengan anda. Yang dinamakan: nafsu syahwat. Dan lari daripada apa yang
menyalahi dengan engkau, dinamakan: benci. Untuk anda cari, disebabkan: nafsu
syahwat dan anda lari, disebabkan: benci. Maka Allah Ta’ala menjadikan pada
anda: nafsu keinginan makanan. Dan IA mengeraskan nafsu keinginan itu pada
anda. Dan diserahkanNya kepada anda, seperti orang yang menjatuhkan keputusan
yang mendesak anda kepada mengambilnya. Sehingga anda mengambil dan memakan.
Lalu anda kekal terus dengan makanan itu. Ini termasuk dari apa yang berkongsi
dengan anda hewan-hewan. Tidak tumbuh-tumbuhan. Kemudian, nafsu keinginan ini
jikalau tidak tenang, apabila anda sudah mengambilnya sekadar perlu, niscaya
anda memboros dan anda membinasakan diri anda sendiri. Maka Allah Ta’ala
menciptakan bagi anda akan benci (kepada makanan) ketika kenyang. Supaya anda
meninggalkan makanan, disebabkan benci itu. Tidak seperti sayur-sayuran.
Sesungguhnya sayuran itu senantiasa menarik air, apabila dituangkan di
bawahnya, sehingga ia rusak. Lalu ia memerlukan kepada anak Adam (manusia) yang
mengkadarkan makanannya sekadar hajat. Lalu manusia itu menyiramkan
sayur-sayuran tadi pada suatu kali dan memutuskan daripadanya air pada kali
yang lain.
Sebagaimana dijadikan bagi anda
nafsu keinginan tersebut, sehingga anda makan. Lalu tetaplah badan anda dengan
yang demikian. IA menjadikan bagi anda nafsu keinginan bersetubuh. Sehingga
anda bersetubuh. Lalu dengan yang demikian, kekallah keturunan anda. Jikalau
kami kisahkan kepada anda akan keajaiban-keajaiban perbuatan Allah Ta’ala pada
menciptakan rahim (kandungan wanita), pada menjadikan darah haidh, menyusun
janin dari mani dan darah haidh, cara menjadikan dua buah pelir dan urat-urat
yang berjalan kepadanya, dari tulang belakang yang menjadi tempat menetap air
mani, cara tertuangnya air wanita dari tulang dada, dengan perantaraan
urat-urat, cara terbaginya mendalam rahim wanita, kepada acuan-acuan, yang
jatuh air mani pada sebahagiannya, lalu berbentuk dengan bentuk laki-laki dan
jatuh pada sebahagiannya, lalu berbentuk dengan bentuk wanita, cara berputarnya
pada tahap-tahap kejadiannya, sebagai darah sekumpul dan daging segumpal,
kemudian menjadi tulang, daging dan darah, cara terbagi bahagian-bahagiannya
kepada: kepala, tangan, kaki, perut, belakang dan anggota-anggota lainnya,
niscaya tertunailah dari bermacam-macam nikmat Allah Ta’ala kepada anda, pada
permulaan terjadinya anda dengan segala keta’juban. Lebih-lebih dari apa yang
anda melihatnya sekarang. Akan tetapi, kami tidak maksudkan membentangkannya,
selain bagi nikmat-nikmat Allah Ta’ala pada makan saja. Supaya tidak panjanglah
pembicaraan. Jadi, keinginan kepada makanan itu salah satu bahagian-bahagian
kehendak. Dan yang demikian itu tidak memadai bagi anda. Maka sesungguhnya akan
datang kepada anda pembinasa-pembinasa dari segala pihak. Maka jikalau tidak
dijadikan pada anda marah, yang dengan marah itu, anda menolak setiap apa yang
melawan anda dan tiada bersesuaian dengan anda, niscaya masih ada yang
mendatangkan bahaya. Dan mengambil dari anda, setiap apa yang anda hasilkan
dari makanan. Maka sesungguhnya setiap orang mengingini apa yang ada dalam dua
tangan anda. Lalu anda memerlukan kepada pengajak pada menolak dan
memeranginya. Pengajak itu ialah marah, yang dengan marah ini, anda menolak
setiap apa yang melawan anda dan tiada bersesuaian dengan anda. Kemudian, ini
tiada memadai bagi anda. Karena nafsu syahwat dan marah itu tidak mengajak,
selain kepada apa yang mendatangkan melarat dan yang mendatangkan manfaat pada
masa sekarang. Adapun pada masa yang akan datang, maka tiada memadai padanya
kehendak ini. Maka Allah Ta’ala menjadikan bagi anda, kehendak yang lain, yang
berbuat di bawah isyarat akal yang memberitahukan akibat-akibat. Sebagaimana IA
menjadikan nafsu syahwat dan marah, yang berbuat di bawah pengetahuan indra
yang memberitahukan keadaan yang sekarang. Maka dengan demikian, sempurnalah
kemanfaatan anda dengan akal. Karena adalah semata-mata mengetahui ( ilmu
mengenal Allah Ta’ala), bahwa nafsu syahwat ini –umpamanya –mendatangkan
melarat kepada anda itu, tidaklah mencukupkan anda tanpa menjaga daripadanya,
selama tidak ada bagi anda, kecenderungan kepada amal dengan yang diharuskan
oleh ilmu mengenal Allah Ta’ala itu.
Kehendak ini tidak diberikan kepada hewan,
karena pemuliaan bagi anak Adam. Sebagaimana hewan-hewan itu tidak diberikan
pengetahuan untuk mengetahui akan akibat sesuatu. Dan sesungguhnya kami namakan
kehendak ini: pembangkit keagamaan. Dan telah kami uraikan pada Kitab Sabar,
yang lebih sempurna daripada ini.
TEPI KETIGA: tentang nikmat Allah Ta’ala pada menjadikan
qudrah ( kuasa ) dan alat-alat gerak.
Ketahuilah kiranya, bahwa pancaindra itu tidak
menfaedahkan, selain mengetahui sesuatu dengan perantaraan pancaindra. Dan
Kemauan (kehendak) tiada arti baginya, selain kecenderungan kepada: mencari dan
lari. Dan ini, tiada memadai padanya, selama tak ada pada anda alat mencari dan
lari itu. Maka berapa banyak orang sakit yang ingin kepada sesautu yang jauh
dari padanya, yang diketahui dengan panca indra nya. Akan tetapi, tiada mungkin
ia berjalan kepadanya. Karena ketiadaan kakinya. Atau tiada mungkin diambilnya.
Karena ketiadaan tangannya. Atau karena lumpuh dan kebas/hilang pada kaki dan
tangannya. Maka tak boleh tidak, daripada alat-alat untuk gerak. Dan kuasa
(kesanggupan) pada alat-alat itu kepada gerak. Supaya adalah geraknya itu
menurut kehendak nafsu syahwat, bagi mencari. Dan menurut kehendak benci, bagi
lari. Maka karena itulah, Allah Ta’ala menjadikan bagi anda, anggota-anggota
badan, yang anda pandang kepada zahiriyahnya. Dan anda tidak mengetahui
rahasia-rahasianya. Sebahagian daripadanya, ialah: apa yang untuk mencari dan
lari. Seperti kaki bagi insan, sayap bagi burung dan kaki bagi hewan-hewan.
Sebahagian daripadanya, ialah: apa yang untuk menolak bahaya. Seperti senjata
bagi insan dan tanduk bagi hewan. Dan mengenai ini, berlainanlah hewan-hewan
itu dengan banyak perlainan. Sebahagian daripadanya, ialah: apa yang banyak
musuhnya dan jauh makanannya. Lalu ia memerlukan kepada cepat gerak. Lalu
dijadikan baginnya sayap. Supaya ia terbang dengan cepat. Sebahagian
daripadanya, ialah: apa yang dijadikan baginya 4 kaki. Sebahagian daripadanya,
ialah: apa yang mempunyai dua kaki. Sebahagian daripadanya, ialah: apa yang
merangkak. Dan menerangkan yang demikian itu akan panjang. Maka marilah kami
sebutkan anggota-anggota badan, yang dengan anggota-anggota itu, sempurnalah
makan saja. Untuk dikiaskan kepadanya akan lainnya. Maka kami katakan, bahwa:
anda melihat makanan dari jauh dan gerak anda kepadanya tidak memadai, selama
tidak memungkinkan anda untuk mengambilnya. Maka anda memerlukan kepada alat
penggenggam. Maka Allah Ta’ala mencurahkan nikmat kepada anda dengan menjadikan:
dua tangan. Dan kedua tangan itu panjang, yang memanjang kepada segala sesuatu.
Dan melengkapi kepada sendi-sendi yang banyak. Supaya ia dapat bergerak kepada
segala arah. Maka tangan itu dapat memanjang dan melipat kepada anda. Maka
tidaklah tangan itu seperti kayu yang ditegakkan. Kemudian IA menjadikan kepada
tangan itu melintang, dengan dijadikan tapak tangan. Kemudian, IA bagikan
kepala tapak tangan dengan 5 bahagian. Yaitu: anak-anak jari. Dan dijadikanNya
anak-anak jari itu pada dua baris, dimana ibu jari adalah pada satu pihak. Dan
ia dapat berpurat kepada anak-anak jari yang 4 lagi. Jikalau adalah anak-anak
jari itu berkumpul atau bertindis lapis, niscaya tiada berhasil dengan demikian
akan kesempurnaan maksud anda. Maka IA meletakkannya dengan letakan, jikalau
anda hamparkan, niscaya adalah ia bagi anda alat penyodok. Dan kalau anda
genggamkan, niscaya adalah ia bagi anda alat penyendok. Dan kalau anda
kumpulkan, niscaya adalah ia alat untuk memukul. Dan kalau anda lepaskan,
kemudian anda genggamkan, niscaya adalah ia bagi anda alat pada menggenggam.
Kemudian, Allah Ta’ala menjadikan bagi anak-anak jadi: kuku. Dan IA
menyandarkan kepada kuku-kuku itu: kepala (ujung) anak-anak jari. Sehingga
ujung anak-anak jari itu tidak pecah. Sehingga anda dapat mengambil dengan
kuku-kuku itu, barang-barang yang halus, yang tidak dapat dijangkau oleh
anak-anak jari. Lalu anda mengambilnya dengan ujung kuku-kuku anda. Kemudian,
umpamakanlah, bahwa anda mengambil makanan dengan dua tangan. Maka dari manakah
memadai ini kepada anda, sebelum makanan itu sampai kepada perut besar dan
perut besar itu di dalam ? maka tidak boleh tidak, bahwa ada dari luar itu
saluran kepada perut besar. Sehingga makanan itu masuk dari saluran tersebut.
Maka IA menjadikan mulut, tempat tembus kepada perut besar, serta padanya
banyak hikmah-hikmah, selain adanya tempat tembus bagi makanan ke perut besar.
Kemudian, jikalau anda meletakkan makanan dalam mulut. Dan makanan itu satu
potong. Maka tidaklah mudah menelannya. Maka anda memerlukan kepada alat
penggiling, yang anda giling dengan alat itu akan makanan. Maka IA menjadikan
bagi anda dua tulang rahang. Dan disusunkanNya pada dua tulang rahang itu:
gigi-gigi. Dan dilapiskanNya gigi geraham atas di atas gigi geraham bawah.
Supaya anda menggiling makanan dengan keduanya itu dengan gilingan yang
sempurna. Kemudian makanan itu, pada suatu kali memerlukan kepada:
dipecah-pecah dan pada kali yang lain, kepada: dipotong-potong. Kemudian
memerlukan kepada penggilingan sesudah itu. Maka IA membagi-bagikan gigi-gigi
itu kepada: melintang yang menggiling, seperti: geraham. Dan kepada: yang tajam
memotong, seperti: gigi dekat gigi manis. Dan kepada yang patut untuk
memecahkan, seperti: gigi taring. Kemudian, IA menjadikan sendi bagi kedua
tulang rahang itu, yang menyelang-nyelangi, di mana lapisan bawahnya dapat maju
dan mundur. Sehingga ia berputar atas lapisan atas, seperti berputarnya mesin
giling. Dan jikalau tidaklah demikian, niscaya tiada mudah, selain memukul
salah satu daripada keduanya di atas yang lain, seperti bertepuk dua tangan
–umpamanya . dan dengan yang demikian, tiada sempurna penggilingan. Maka IA menjadikan
tulang rahang yang di bawah itu bergerak, dengan gerakan putaran. Dan tulang
rahang yang di atas itu tetap, tiada bergerak. Maka
perhatikanlah kepada keajaiban perbuatan Allah Ta’ala ! dan sesungguhnya setiap
mesin giling yang dibuat oleh makhluk (manusia), maka yang tetap daripadanya,
ialah: batu di bawah dan
yang berputar yang di atas. Selain mesin giling ini
yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Karena yang berputar daripadanya, ialah yang
dibawah, atas yang di atas. Maka Maha Suci IA ! alangkah besar urusanNya !
alangkah agung kekuasaanNya ! alangkah sempurna buktiNya ! alangkah luas
nikmatNya ! kemudian, umpamakanlah anda meletakkan makanan dalam lapangan
mulut. Maka bagaimanakah makanan itu bergerak ke bawah gigi ? atau bagaimanakah
gigi-gigi itu menghela makanan tersebut kepada dirinya ? atau bagaimana makanan
itu dilakukan dengan tangan di dalam mulut ? maka perhatikanlah, bagaimana
Allah Ta’ala mencurahkan nikmat kepada anda, dengan menciptakan: lisan ! maka
lisan itu berkeliling di segala tepi mulut. Ia mengembalikan makanan dari di
tengah kepada gigi, menurut keperluan, seperti penyodok yang mengembalikan
makanan kepada mesin giling. Ini, serta padanya terdapat faedah rasa dengan
lisan dan keajaiban-keajaiban kekuatan bertutur kata. Dan hikmah-hikmah yang
tidaklah kami memperpanjangkan dengan menyebutkannya. Kemudian, umpamakanlah
bahwa anda memotong makanan dan menumbuknya. Dan makanan itu kering. Maka anda
tidak sanggup menelannya, selain bahwa tergelincir kepada kerongkongan, semacam
yang basah. Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menjadikan di bawah
lisan itu, suatu mata air, yang melimpah air liur daripadanya. Dan ia tertuang
menurut keperluan. Sehingga hancurlah makanan dengan dia. Maka perhatikanlah
bagaimana IA menyuruh bekerja mata air itu untuk urusan tersebut ! sesungguhnya
anda melihat makanan dari jauh. Lalu bergeraklah dua langit-langit dalam mulut
anda untuk melayaninya. Dan tertuanglah air liur, sehingga ia mengeras seperti
susu di pipi anda. Padahal makanan sesudah itu, masih jauh dari anda. Kemudian,
makanan ini, yang tertumbuk menghalus, menepung, siapakah yang menyampaikannya
ke perut besar, sedang makanan itu di mulut ? anda tidak sanggup menolakkannya
dengan tangan. Dan tiada tangan dalam perut besar, sehingga tangan itu dapat
memanjang. Lalu menarik makanan. Maka perhatikanlah bagaimana Allah Ta’ala
menyediakan kerongkongan dan hulkum/amandel. Dan
Ia dijadikan di ujung hulkum itu lapis-lapisan yang terbuka untuk mengambil
makanan. Kemudian, ia berkatup dan menekan, sehingga berbaliklah makanan dengan
tekanannya. Lalu makanan itu turun ke perut besar pada saluran kerongkongan.
Apabila makanan itu telah datang dalam perut besar dan makana itu roti dan
buah-buahan yang terpotong-potong, maka ia belum pantas untuk menjadi daging,
tulang dan darah dalam bentuk yang demikian. Akan tetapi, tidak boleh tidak,
bahwa makanan itu dimasak dengan masakan yang sempurna. Sehingga
bahagian-bahagiannya menjadi serupa. Maka Allah Ta’ala menjadikan perut besar
itu dalam bentuk kuali. Maka jatuhlah makanan di dalamnya. Lalu perut besar itu
berisi makanan. Dan pintu-pintu tertutup untuk makanan itu. Maka senantiasalah
makanan tersebut dalam perut besar, sehingga sempurnalah pengunyahan dan
penghancurannya, dengan kepanasan yang mengelilingi perut besar, dari
anggota-anggota yang di dalam badan. Karena dari sudutnya yang kanan itu hati.
Dan dari kirinya limpa. Dari depannya tulang dada dan dari belakangnya daging sulbi/penis. Maka menjalarlah kepanasan itu ke perut besar, dari
pemanasan anggota-anggota tersebut dari segala sudut. Sehingga termasaklah
makanan itu. Dan menjadi cair yang serupa, yang patut untuk tembus dalam lobang-lobang
urat. Dan ketika itu, menyerupailah dengan air syair (serupa air beras) dalam
keserupaan bahagian-bahagian dan kehalusannya. Dan sesudah itu, tidak patut
lagi untuk menjadi makanan. Maka Allah Ta’ala menjadikan di antara perut besar
dan hati itu, tempat berlalu urat-urat. Dan dijadikanNya bagi urat-urat itu
mulut-mulut banyak. Sehingga tertuanglah makanan ke dalamnya. Lalu makanan itu
sampai ke hati. Hati itu dihaluskan dari tanah darah, sehingga seakan-akan dia
itu darah. Dan padanya banyak urat-urat yang merambut, berhamburan pada
bahagian-bahagian hati. Lalu tertuanglah makanan yang halus, yang tembus itu ke
dalamnya. Dan berhamburan pada bahagian-bahagiannya. Sehingga kekuatan hati
menguasainya. Lalu dicelupkannya dengan warna darah. Maka tetaplah di dalamnya,
sampai datang kepadanya pemasakan yang lain. Dan berhasillah baginya keadaan
darah yang bersih, yang pantas untuk makanan-makanan anggota-anggota badan.
Hanya, kepanasan hati itulah yang memasukkan darah ini. Maka terjadilah dari
darah itu dua ampas, sebagaimana yang terjadi pada semua yang dimasak. Yang pertama:
menyerupai dengan tahi minyak dan keruh. Yaitu: campuran kehitaman. Dan yang
lain (kedua): menyerupai dengan buwih. Yaitu: kuning. Dan jikalau tidak
daripadanya dua ampas itu, niscaya rusaklah sifat dari anggota-anggota badan.
Maka Allah Ta’ala menjadikan pundi-pundi empedu dan limpa. Dan IA menjadikan
bagi masing-masing daripada keduanya leher yang memanjang kepada hati, yang
masuk pada peronggaannya. Lalu pundi-pundi empedu itu menarik ampas yang
kuning. Dan limpa menarik benda keruh yang hitam. Maka tinggallah darah itu
bersih, yang tidak ada padanya, selain lebih halus dan basah. Karena padanya
dari keairan. Dan jikalau tidak adalah dia, niscaya darah itu tidak bertebaran
pada urat-urat kerambutan itu. Dan ia tidak keluar daripadanya, menaiki kepada
anggota-anggota badan.
Maka Allah Ta’ala menjadikan dua
ginjal. Dan IA mengeluarkan dari masing-masing keduanya, suatu leher yang
panjang ke hati. dan dari keajaiban hikmah Allah Ta’ala, bahwa leher keduanya
itu tidak masuk pada peronggaan hati. Akan tetapi, bersambung dengan urat-urat
yang timbul dari kebungkukan hati. sehingga ia menarik apa yang mengiringnya,
sesudah timbul dari urat-urat halus, yang dalam hati. Karena, jikalau tertarik
sebelum itu, niscaya ia menebal dan tidak keluar dari urat-urat. Maka apabila
bercerai daripadanya keairan, niscaya jadilah darah itu bersih dari ampas-ampas
yang tiga itu, dengan kebersihan dari setiap yang merusakkan makanan. Kemudian,
sesungguhnya Allah Ta’ala memunculkan dari hati itu urat-urat. Kemudian,
sesungguhnya Ia bagikan sesudah muncul itu beberapa bagian. Dan setiap bagian
itu, IA cabangkan dengan cabang. Dan bertebaran yang demikian itu pada badan
seluruhnya, sejak dari belah rambut kepala, sampai ketapak-kaki, zahir dan
batin. Maka mengalirlah darah yang bersih padanya. Dan darah itu sampai kepada
anggota-anggota badan lainnya. Sehingga jadilah urat-urat yang terbagi-bagi
bagai rambut itu seperti urat-urat daun kayu dan batang kayu, di mana tidak
dapat diketahui dengan mata. Maka sampailah daripada urat-urat itu makanan,
dengan tersaring kepada anggota-anggota badan lainnya. Jikalau bertempat pada
pundi-pundi empedu itu suatu penyekat, lalu ia tidak dapat menarik ampas
kuning, niscaya rusaklah darah. Dan terjadilah daripadanya penyakit kuning,
seperti: berubah pada warna kepada kuning (al-yarqan), bengkak-bengkak dan
penyakit bisul api (al-humrah). Dan jikalau bertempat pada limpa itu suatu
penyakit, lalu ia tidak dapat menarik campuran kehitaman, niscaya datanglah
penyakit-penyakit kehitaman, seperti: penyakit panu, penyakit kusta, penyakit
malikhulia (yaitu sejenis
penyakit langka yang timbul akibat tekanan batin yang diderita sang pasen,
hingga pada saat kondisi kritisnya, sang pasen dihinggapi keyakinan bahwa
dirinya telah menjadi seekor sapi, berikut tingkah laku, hingga tempat tinggal,
memakan makanan dan minuman sapi serta selalu ingin dipisahkan dari manusia dan
disatukan dengan sapi) dll. Dan jikalau keairan tidak tertolak ke arah
ginjal, niscaya terjadilah daripadanya penyakit al-istisqa’ (penyakit
terkumpulnya benda-benda cair dalam rongga badan) dll. Kemudian, perhatikanlah
kepada hikmah Allah Maha pencipta dan Maha bijaksana, betapa IA menyusun dengan
tertib kemanfaatan-kemanfaatan ampas-ampas 3 yang buruk itu. Adapun pundi-pundi
empedu, maka ia menarik dengan salah satu dari dua lehernya. Dan ia melemparkan
dengan leher yang lain kepada perut panjang. Supaya berhasil baginya kotoran
makanan yang di bawah, dalam keadaan basah yang melicinkan. Dan datanglah dalam
perut panjang itu kehangusan yang menggerakkan perut panjang untuk menolak.
Lalu perut panjang itu tertekan, sehingga tertolaklah kotoran makanan itu dan
melicin. Dan adalah kuningnya itu karena demikianlah.
Adapun limpa, maka ia
mengobahkan ampas itu, dengan perobahan yang menghasilkan padanya kemasaman dan
kecut. Kemudian, limpa itu mengirimkan dari ampas itu, pada setiap hari sedikit
ke mulut perut besar. Maka ia menggerakkan nafsu syahwat dengan kemasamannya.
Membangunkan dan menggerakkan nafsu syahwat itu. Dan sisanya keluar bersama kotoran
makanan itu.
Adapun ginjal, maka ia
memperoleh makanan dengan darah yang dalam keairan itu. Dan sisanya
dikirimkannya ke tempat kencing. Marilah kita ringkaskan sekadar ini dari
penjelasan nikmat-nikmat Allah Ta’ala, tentang sebab-sebab yang disediakan bagi
makan. Dan jikalau kami sebutkan bagaimana berhajatnya hati kepada jantung dan
otak dan berhajatnya masing-masing anggota-anggota badan yang pokok ini kepada
temannya, bagaimana bercabangnya urat-urat yang menjalar dari jantung ke
seluruh badan dan dengan perantaraannya sampailah pancaindra, bagaimana
bercabangnya urat-urat yang menetap dari hati ke seluruh badan dan dengan
perantaraannya sampailah makanan, kemudian bagaimana tersusunnya
anggota-anggota badan, bilangan tulang-tulangnya, daging-daging beruratnya,
urat-uratnya, tali-talinya, ikatan-ikatannya, tulang-tulang halusnya dan
basahan-basahannya, niscaya sungguh panjanglah pembicaraan. Semuanya itu
diperlukan bagi makan dan urusan-urusan yang lain, selain dari makan. Bahkan
pada anak Adam (manusia) itu terdapat ribuan daging-daging beruratnya,
urat-urat dan urat-urat saraf, yang bermacam-macam, kecil dan besar, tipis dan
tebal, banyak keterbagiannya dan sedikitnya. Dan tiada suatupun dari yang
demikian itu, selain ada padanya 1 hikmah atau 2 atau 3 atau 4, sampai kepada
10 dan lebih. Semua itu adalah nikmat-nikmat daripada Allah Ta’ala kepada anda.
Jikalau tetaplah satu urat yang bergerak dari jumlah urat-urat itu atau
bergeraklah urat yang tetap, niscaya binasalah anda, wahai yang patut dikasihani
! maka perhatikanlah pertama-tama kepada nikmat Allah Ta’ala kepada anda !
supaya anda kuat sesudahnya kepada bersyukur.
Sesungguhnya anda tiada
mengetahui daripada nikmat Allah SWT, selain makan. Dan makan itu yang paling
rendah dari nikmat-nikmatNya. Kemudian, anda tiada mengetahui dari
nikmat-nikmat itu, selain bahwa anda lapar. Lalu anda makan. Dan keledai tahu,
bahwa dia lapar. Lalu ia makan. Ia payah, lalu ia tidur. Ia bernafsu, lalu
bersetubuh. Ia ingin bangkit, lalu ia bangkit dan berlari. Maka apabilah anda
tiada mengetahui dari diri anda, selain apa yang diketahui oleh keledai, maka
bagaimana anda bangun dengan mensyukuri nikmat Allah Ta’ala kepada anda ?
Inilah yang kami rumuskan secara ringkas, suatu titik dari suatu laut saja,
dari laut-laut nikmat Allah Ta’ala. Maka kiaskanlah secara berjumlah, atas apa
yang kami abaikan, dari jumlah apa yang telah kami perkenalkan, karena takut
daripada berpanjang-panjangan. Dan jumlah apa yang kami perkenalkan dan dikenal
oleh se antero makhluk, dibandingkan kepada apa yang tidak dikenal mereka,
daripada nikmat-nikmat Allah Ta’ala itu, adalah tersedikit dari setitik air
dari lautan.
Hanya, sesungguhnya orang yang
mengetahui sedikit dari ini, niscaya ia memperoleh bau dari makna firman Allah
Ta’ala: “Dan kalau kamu hitung nikmat Allah, niscaya tidak dapat kamu
menghitungnya”. S An Nahl ayat 18. Kemudian, perhatikanlah bagaimana Allah
Ta’ala mengikat keteguhan anggota-anggota badan itu, keteguhan
manfaat-manfaatnya, kepahaman-kepahamannya dan kekuatan-kekuatannya, dengan uap
yang halus, yang menaik dari campuran-campuran 4. Dan tempat tetapnya uap halus
itu hati. Dan menjalar ke seluruh badan, dengan perantaraan urat-urat yang
berdenyut-denyut. Maka ia tidak berkesudahan kepada suatu bahagian dari bahagian-bahagian
badan, selain datang ketika sampainya pada bahagian-bahagian itu, apa yang
diperlukan kepadanya, dari: kekuatan pancaindra, kekuatan gerak dan lainnya,
seperti pelita yang diputarkan pada tepi-tepi rumah. Maka ia tidak sampai
kepada sebahagian, melainkan berhasil dengan sampainya ittu, cahaya atas
bahagian-bahagian rumah, dari ciptaan Allah Ta’ala dan perbuatanNya. Akan
tetapi, IA menjadikan pelita itu untuk sebab bagi yang demikian dengan
hikmahNya. Uap yang halus ini, ialah: yang dinamakan oleh dokter-dokter: ruh.
Dan tempatnya: hati. Dan contohnyaa, ialah: tubuh (jisim) api pelita. Dan hati
baginya itu seperti kaki pelita. Dan darah hitam yang dalam batin hati itu
seperti sumbu. Dan makanan baginya seperti: minyak. Dan hidup zahiriyah pada
anggota-anggota badan lainnya, dengan sebabnya, adalah seperti: cahaya bagi
pelita dalam keseluruhan rumah. Dan sebagaimana pelita itu apabila habis
minyaknya, niscaya padam, maka pelita ruh juga akan padam, manakala habis
makanannya. Dan sebagaimana sumbu itu, kadang-kadang ia terbakar. Lalu menjadi
abu, di mana tidak menerima lagi minyak. Maka pelita itu padam serta banyak
minyaknya.
Maka seperti demikianlah darah,
yang bergantung dengan darah itu uap tadi dalam hati. Kadang-kadang ia
terbakar, disebabkan bersangatan panasnya hati. Lalu ia padam serta adanya
makanan. Ia tidak menerima makanan, yang dengan makanan ini ruh itu kekal
terus. Sebagaimana abu tidak menerima minyak, dengan penerimaan yang bergantung
api dengan dia. Sebagaimana pelita itu, sekali ia padam dengan sebab dari
dalam, seperti apa yang telah kami sebutkan. Sekali disebabkan dari luar,
seperti angin kencang. Maka seperti demikianlah ruh. Sekali ia padam dengan
sebab dari dalam. Dan sekali dengan sebab dari luar. Yaitu: dibunuh. Dan
sebagaimana padamnya pelita dengan habisnya minyak atau dengan rusaknya sumbu
atau dengan angin kencang atau dengan dipadamkan orang, yang tidak ada yang
demikian itu, selain dengan sebab-sebab yang tertakdir, lagi yang teratur pada
ILMU ALLAH. Dan adalah setiap yang demikian itu dengan taqdir. Maka seperti
demikian pula: padamnya ruh. Dan sebagaimana padamnya pelita itu kesudahan
waktu adanya, maka adalah yang demikian itu ajalnya, yang telah diajalkan
baginya dalam Ummul Kitab (Induk Kitab). Maka seperti yang demikianlah:
padamnya ruh. Dan sebagaimana pelita apabila telah padam, niscaya gelaplah
seluruh rumah. Maka ruh, apabila ia telah padam, niscaya gelaplah badan
seluruhnya. Dan berpisahlah dari badan, cahaya-cahayanya yang diterimanya dari
ruh. Yaitu: cahaya-cahaya perasaan, kekuatan dan kehendak. Dan lain-lainnya,
yang dihimpunkan oleh arti: perkataan hidup. Maka ini juga suatu rumus yang
singkat ke alam lain dari alam-alam nikmat Allah Ta’ala dan keajaiban-keajaiban
ciptaanNya dan hikmahNya.
Supaya diketahui, bahwa “jikalau
adalah lautan itu tinta bagi kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya habislah lautan
itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku”. Maka kebinasaan bagi siapa yang
kufur kepada Allah dan kehancuran bagi siapa yang mengkufuri akan nikmatNya.
Maka ini juga suatu rumus yang singkat ke alam lain dari alam-alam nikmat Allah
Ta’ala dan keajaiban-keajaiban ciptaanNya dan hikmahNya. Supaya diketahui,
bahwa “jikalau adalah lautan itu tinta bagi kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya
habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku”. Maka kebinasaan
bagi siapa yang kufur kepada Allah dan kehancuran bagi siapa yang mengkufuri
akan nikmatNya. Kalau anda berkata: bahwa aku telah menyifatkan ruh dan membuat
contohnya. Dan Rasulullah saw ditanyakan dari hal ruh, maka beliau tidak lebih,
daripada membaca: “Jawablah, bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku”. S 17 Al Isra
ayat 85. Beliau tidak menyifatkannya kepada mereka di atas cara yang aku
lakukan.
Maka ketahuilah kiranya, bahwa
itu suatu kelalaian daripada mempersekutukan yang terjadi pada kata-kata ruh.
Sesungguhnya ruh itu disebutkan secara mutlak, bagi banyak arti, yang tidak
kami panjangkan menyebutkannya. Dan sesungguhnya kami sifatkan dari jumlahnya,
akan tubuh halus, yang dinamakan oleh para tabib, dengan: ruh. Mereka ketahui
sifatnya dan wujudnya, bagaimana menjalarnya pada anggota-anggota badan,
bagaimana hasilnnya perasaan dan kekuatan-kekuatan dengan dia pada
anggota-anggota badan. Sehingga, apabila putus sebahagian anggota badan,
niscaya mereka tahu, bahwa yang demikian itu, karena terjadi sumbatan pada
tempat lalunya ruh itu. Maka mereka tiada mengobati tempat putus itu. Akan
tetapi, tempat tumbuh urat saraf dan tempat terjadinya sumbatan pada urat-urat
saraf itu. Dan mereka mengobatinya dengan apa yang membukakan sumbatan. Maka
sesungguhnya tubuh ini dengan kehalusannya, tembus pada jendela urat saraf. Dan
dengan perantaraannya, terbawa dari hati ke anggota-anggota badan lainnya. Dan
apa yang mendaki kepadanya pengetahuan para tabib, maka urusannya mudah yang
menurun.
Adapun ruh itu adalah pokok. Dia
apabila rusak, niscaya rusaklah seluruh badan karenanya. Maka demikianlah itu
adalah suatu rahasia daripada rahasia-rahasia Allah Ta’ala yang tidak kami
sifatkan. Dan tidak diperbolehkan menyifatkannya, selain hanya dikatakan: “ITU
KETUHANAN”, sebagaimana difirman
kan oleh Allah Ta’ala: “Jawablah, bahwa ruh itu
adalah urusan Tuhanku”. S 17 Al Isra ayat 85. Urusan-urusan ketuhanan itu tidak
dapat dipikul oleh akal untuk menyifatkannya. Akan tetapi, akal kebanyakan
makhluk heran padanya. Adapun sangkaan-sangkaan dan khayalan-khayalan, maka
menyingkat padanya dengan darurat, sebagaimana menyingkatnya penglihatan
daripada mengetahui suara. Dan bergoncanglah pada menyebutkan pokok-pokok
penyifatannya, ikatan-ikatan akal yang dibataskan dengan benda dans sifat, yang
tertahan dalam kesempitannya. Maka tidaklah diketahui dengan akal, akan sesuatu
dari sifatnya. Akan tetapi, dengan cahaya yang lain, yang lebih tinggi dan
lebih mulia daripada akal. Nur itu cemerlang dalam alam kenabian dan kewalian.
Kaitannya kepada akal adalah seperti kaitan akal kepada sangkaan dan khayalan.
Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan makhluk berbagai perihal. Maka sebagaimana
anak kecil mengetahui akan yang dapat dirasakan dengan pancaindra
(al-mahsusat). Dan ia tidak mengetahui akan yang
didapati dengan akal (al-ma’qulat). Karena yang
demikian itu belum sampai kepada anak kecil. Maka seperti yang demikian juga,
orang dewasa mengetahui yang dengan akal. Dan
tidak mengetahui yang di balik itu. Karena yang demikian itu suatu perihal yang
tidak sampai kepadanya.
Sesungguhnya yang demikian itu
suatu kedudukan yang mulia, minuman yang lezat dan martabat yang tinggi.
Padanya diperhatikan oleh pihak kebenaran dengan nur iman dan yakin. Dan
minuman itu lebih agung, daripada dia itu peraturan bagi setiap yang datang.
Bahkan tiada yang melihat kepadanya, melainkan seorang sesudah seorang. Dan
bagi pihak kebenaran itu ada depan. Dan pada pembukaan depan itu ada jalan dan
medan yang lapang. Dan pada awal medan itu ada tangga. Dan itu adalah tempat tetap
urusan ketuhanan. Maka siapa yang tidak ada di atas tangga ini mempunyai pas
jalan dan pengakuan dari penjaga tangga, niscaya mustahillah ia sampai ke
medan. Maka bagaimana ia akan sampai kepada yang dibelakang medan itu, yang
terdapat padanya pemandangan-pemandangan yang tinggi ? karena itulah dikatakan:
“Barangsiapa tiada mengenal dirinya, niscaya ia tidak mengenal Tuhannya”. Dan
darimana diperoleh ini pada khazanah (perbendaharaan) para dokter ? dan dari
mana dokter itu dapat menelitinya ? bahkan pengertian yang dinamakan ruh pada
dokter, dikaitkan kepada urusan ketuhanan ini, adalah seperti bola yang
digerakkan oleh tongkat raja, dikaitkan kepada raja. Maka siapa yang mengenal
ruh ketabiban (semangat kedokteran), lalu menyangka bahwa ia mengetahui urusan
ketuhanan, niscaya adalah dia seperti orang yang melihat bola, yang digerakkan
oleh tongkat raja. Lalu menyangka bahwa ia melihat raja. Dan tidak ragu lagi,
tentang kesalahannya itu keji sekali. Dan kesalahan ini lebih sangat keji lagi
daripadanya. Maka manakala adalah akal-akal, yang dengan akal-akal itu terdapat
at-taklif (orang menjadi mukallaf/diberati hukum/sudah balek) dan dengan
akal-akal itu diketahui kemuslihatan duinawi, adalah akal-akal yang pendek
daripada dapat memperhatikan hakikat/makna sesuatu urusan, maka Allah Ta’ala
tiada mengizinkan bagi RasulNya saw untuk memperbincangkannya. Akan tetapi, IA
menyuruhnya, bahwa berbicara dengan manusia sekadar akal mereka. Dan Allah
Ta’ala tiada menyebutkan dalam KitabNya sedikitpun dari hal hakikat/makna
urusan itu. Akan tetapi, disebutkanNya kaitan dan perbuatanNya. Dan IA tidak
menyebutkan zatnya. Adapun kaitannya, maka pada firmanNya: “Dari urusan
Tuhanku”. S 17 Al Isra ayat 85. Adapun perbuatanNya maka IA menyebutkan pada
firmanNya: “Hai jiwa yang tenang tenteram ! kembalilah kepada Tuhanmu, yang
merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya. Sebab itu,
masuklah dalam hamba-hambaKU ! dan masuklah ke dalam sorgaKU!”. S Al Fajr ayat
27-28-29-30. Dan marilah sekarang, kita kembali kepada maksud. Maka
sesungguhnya maksud, ialah menyebutkan nikmat-nikmat Allah Ta’ala mengenai
makan. Dan sesungguhnya telah kami sebutkan sebahagian nikmat-nikmat Allah
Ta'ala itu pada alat-alat makan.
TEPI KEEMPAT: tentang nikmat-nikmat Allah Ta’ala pada
pokok-pokok, yang berhasil daripadanya makanan-makanan. Dan makanan-makanan itu
patut untuk diperbaiki oleh anak Adam sesudah yang demikian, dengan usahanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa makanan itu banyak. Dan
Allah Ta’ala mempunyai banyak keajaiban-keajaiban pada makhlukNya, yang tidak
terhinggakan. Dan sebab-sebabnya yang beriring-iringan, yang tiada
berkesudahan. Dan menyebutkan yang demikian pada setiap makanan, adalah
termasuk yang panjang. Sesungguhnya makanan-makanan itu, adakalanya:
obat-obatan. Adakalanya: buah-buahan. Dan adakalanya: makanan-makanan yang
mengenyangkan. Maka marilah, kita ambil makanan-makanan yang mengenyangkan.
Sesungguhnya dia itu pokok. Dan marilah kita tinggalkan makanan-makanan yang
mengeyangkan lainnya ! maka kami mengatakan: bahwa apabila anda dapati sebiji
atau beberapa biji, kalau anda makan, niscaya ia lenyap dan anda tetap lapar.
Maka alangkah anda memerlukan, bahwa biji itu tumbuh pada dirinya sendiri. Dia
bertambah dan berlipat ganda. Sehingga, ia dapat menyempurnakan akan
kesempurnaan keperluan anda.
Maka Allah Ta’ala menciptakan
pada biji gandum itu dari kekuatan-kekuatan, akan apa yang menjadi makanan,
sebagaimana diciptakanNya pada anda. Sesungguhnya tumbuh-tumbuhan itu berbeda
dengan anda, pada perasaan (mempunyai pancaindra) dan gerak. Dan ia tidak
berbeda dengan anda pada mempunyai makanan. Karena ia makan dengan air. Ia
tarik kepada di dalam dirinya, dengan perantaraan urat-urat, sebagaimana anda
makan dan menarik makanan. Dan tidaklah kami memanjangkan tentang menyebutkan
alat-alat tumbuh-tumbuhan pada menarikkan makanan kepada dirinya. Akan tetapi,
akan kami isyaratkan kepada makanannya. Maka kami mengatakan, bahwa:
sebagaimana kayu dan tanah tidak memberi makanan kepada anda, akan tetapi, anda
memerlukan kepada makanan khusus. Maka demikian pula, biji-bijian, ia tidak
makan setiap sesuatu. Akan tetapi, ia memerlukan kepada sesuatu yang khusus.
Dengan dalil, bahwa jikalau anda tinggalkan dia dalam rumah, niscaya tidak
bertambah. Karena ia tidak diliputi, selain oleh udara. Dan semata-mata udara,
tidak patut bagi makanannya. Dan kalau anda tinggalkan biji-bijian itu dalam
air, niscaya ia tidak bertambah. Dan jikalau anda tinggalkan dia dalam bumi,
yang tidak ada air padanya, niscaya ia tidak bertambah. Akan tetapi, tak boleh
tidak dari bumi, yang padanya ada air. Dan bercampurlah air biji-bijian itu
dengan bumi, lalu menjadi lumpur. Dan kepada itulah diisyaratkan dengan firman
Allah Ta’ala: “Hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Bagaimana Kami
mencurahkan air melimpah ruah. Sesudah itu, bumi Kami belah. Dan Kami tumbuhkan
di situ tanaman yang berbuah. Dan buah anggur dan sayuran. Dan zaitun.......”.
S ‘Abasa ayat 24-25-26 27-28-29. Kemudian, tiada memadai air dan tanah saja.
Karena, jikalau biji-bijian itu diletakkan dalam bumi yang lembab, keras yang
bertindis lapis, niscaya ia tidak tumbuh. Karena ketiadaan udara. Maka diperlukan
meletakkan biji-bijian itu dalam bumi, yang longgar, yang diselang-selingi
masuk udara, yang udara itu dapat menyilang-nyilangi masuk ke dalamnya.
Kemudian, udara itu tidak bergerak kepada biji-bijian tadi dengan dirinya
sendiri. Maka ia memerlukan kepada angin yang menggerakkan udara dan memukulnya
dengan paksaan dan keras atas bumi. Sehingga udara itu tembus dalam bumi. Dan
kepada itulah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan Kami tiupkan angin
untuk menyuburkan”. S Al Hijr ayat 22. Sesungguhnya, tiupan angin untuk
menyuburkan itu, pada menjadikan percampuran antara udara, air dan tanah.
Kemudian, semua itu tidak memadai bagi anda, jikalau dia itu berada dalam
kedinginan yang sangat dan musim dingin yang memecahkan kulit. Maka biji-bijian
itu memerlukan kepada panasnya musim bunga dan musim panas. Maka nyatalah perlu
makanannya kepada 4 macam itu. Maka perhatikanlah kepada apa
yang diperlukan oleh setiap masing-masingnya ! karena air itu diperlukan untuk
dibawakan kepada tanah pertanian, air mana berasal dari laut, mata air, sungai
dan parit-parit air. Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menciptakan
laut, memancar-mancarkan mata air dan mengalirkan sungai. Kemudian,
kadang-kadang tanah itu tinggi. Dan air tidak dapat ditinggikan kepadanya. Maka
perhatikanlah bagaimana Allah Ta’ala menciptakan kabut. Dan bagaimana IA
menguasakan angin atas kabut-kabut itu ! supaya dihalaunya kabut-kabut itu ke
penjuru-penjuru bumi. Dan itulah awan tebal yang berat, pembawa air. Kemudian,
perhatikanlah bagaimana dikirimkanNya air itu dengan deras ke atas bumi, pada
musim bunga dan musim permulaan musim sejuk, menurut keperluan. Dan
perhatikanlah, bagaimana IA menciptakan gunung-gunung yang menjaga air, yang
terpancar-pancar daripadanya mata air dengan sedikit demi sedikit ! maka
jikalau mata air itu keluar sekaligus, niscaya karamlah negeri. Dan binasalah tanam-tanaman
dan binatang ternak. Dan nikmat-nikmat Allah Ta’ala di gunung-gunung, awan,
laut dan hujan, tidaklah mungkin dihinggakan.
Adapun panas, maka ia tidak
diperoleh di antara air dan bumi. Keduanya itu dingin. Maka perhatikanlah
bagaimana IA menciptakan matahari ! bagaimana IA menjadikan matahari itu serta
berjauhannya dari bumi, yang memanaskan bumi pada suatu waktu. Dan tidak pada
suatu waktu. Supaya diperoleh dingin, ketika diperlukan kepada dingin dan panas
ketika diperlukan kepada panas. Maka itulah salah satu dari hikmah matahari.
Dan hikmah pada matahari itu banyak, daripada dapat dihinggakan. Kemudian,
tumbuh-tumbuhan itu apabila telah meninggi dari bumi, niscaya adalah pada
buah-buahan terikat pada batangnya dan keras. Maka buah-buahan itu memerlukan
kepada basah, yang akan memasakkannya. Maka perhatikanlah, bagaimana IA
menciptakan bulan. Dan dijadikanNya dari khasiat bulan itu: pembasahan
(at-tarthib), sebagaimana IA menciptakan dari khasiat
matahari: pemanasan. Maka itulah yang memasakkan buah-buahan dan yang
mencelupkannya, dengan taqdir Pencipta Yang Maha Bijaksana. Dan karena itulah,
jikalau pohon-pohonan itu berada pada tempat naungan, yang mencegah
terpancarnya sinar matahari, bulan dan bintang-bintang lainnya, niscaya
buah-buahan itu busuk dan kurang. Sehingga pohon kayu yang kecil akan rusak,
apabila dinaungi oleh pohon kayu yang besar. Dan anda dapat mengetahui akan
pembasahan bulan, dengan anda membukakan kepala anda untuk sinarnya bulan di
malam hari. Maka banyaklah atas kepala anda kebasahan yang dikatakan: az-zukam
(penyakit selesma/sakit flu).
Maka sebagaimana ia membasahkan
kepala anda, maka begitu pula ia membasahkan buah-buahan. Kami tidak akan
memanjangkan, mengenai apa yang tidak ada harapan untuk menyelidikinya dengan
lebih mendalam. Akan tetapi, kami mengatakan, bahwa: setiap bintang di langit,
sesungguhnya dijadikan bagi suatu macam faedah, sebagaimana dijadikan matahari
untuk pemanasan dan bulan untuk pembasahan. Maka tiada terlepas suatupun
daripadanya, dari banyak hikmah, yang tidak sempurnalah kekuatan manusia untuk
menghinggakannya. Dan jikalau tidak adalah seperti yang demikian, niscaya
adalah kejadiannya itu permainan yang sia-sia. Dan tidak benarlah firman Allah
Ta’ala: “Wahai Tuhan kami ! tidaklah Engkau menjadikan ini dengan sia-sia”. S 3
Ali Imran ayat 191. Dan firmannya Allah Ta’ala: “Dan Kami menciptakan langit
dan bumi dan apa yang di antaranya keduanya, bukanlah untuk main-main”. S Ad
Dukhan ayat 38. Sebagaimana tidak ada suatupun dari anggota-anggota pada badan
anda, melainkan ada faedahnya. Maka begitu juga, tiada suatupun pada
anggota-anggota badan alam ini, melainkan ada faedahnnya. Dan alam seluruhnya
itu adalah seperti: orang seorang. Masing-masing tubuh alam itu, adalah seperti
anggota-anggota badan baginya. Dan anggota-anggotanya itu bertolong-tolongan,
sebagaimana bertolong-tolongan anggota badan anda dalam kumpulan badan anda.
Dan uraian yang demikian itu akan panjang. Dan tiada seyogyalah bahwa anda
menyangkka, bahwa beriman dengan bintang-bintang, matahari dan bulan, yang
dijadikan dengan perintah Allah SWT pada urusan-urusan, yang dijadikan untuk
sebab-sebab baginya, dengan hukum hikmah (kebijaksanaan) itu, menyalahi agama,
karena apa yang datang dari Nabi saw tentang larangan membenarkan ahli-ahli bintang
dan ilmu bintang. Akan tetapi dilarang tentang bintang-bintang itu ada dua perkara:
Pertama: bahwa membenarkan
bintang-bintang itu dapat berbuat dengan membekasnya, yang berdiri dengan
bekas-bekasnya itu. Dan bintang-bintang itu tidak dijadikan di bawa pengaturan YANG MENGATUR yang menciptakannya dan yang
memaksakannya. Dan ini kufur (membatalkan iman).
Kedua: membenarkan ahli-ahli bintang
itu pada penguraian apa yang diceritakan mereka dari hal bekas-bekas
(pengaruh-pengaruh), yang tidaklah seluruh makhluk bersekutu pada
mengetahuinya. Karena mereka mengatakan yang demikian itu dari karena
kebodohan. Maka sesungguhnya ilmu ketetapan bintang-bintang itu adalah mu’jizat
bagi sebahagian nabi-nabi as. Kemudian ilmu itu terhapus (karena wafatnya).
Maka tidak tinggal lagi, selain apa yang bercampur, yang tidak dapat dibedakan
yang benar padanya dari yang salah. Maka keyakinan adanya bintang-bintang itu
menjadi sebab bagi bekas-bekas (pengaruh-pengaruh) yang terjadi dengan makhluk
Allah Ta’ala di bumi, pada tumbuh-tumbuhan dan pada hewan, tidaklah tercela
pada agama. Bahkan, itu benar. Akan tetapi, dakwaan mengetahui
pengaruh-pengaruh itu atas penguraian serta kebodohan, adalah tercela pada
agama. Dan karena itulah, apabila ada bersama anda sehelai kain yang anda
basuhkan dan anda bermaksud mengeringkannya, lalu berkata orang lain kepada
anda: “Keluarkanlah kain itu dan bentangkanlah ! sesungguhnya matahari sudah
terbit, siang dan udara sudah panas”. Maka tidak harus engkau mendustakannya.
Dan tidak harus engkau mengingkarinya, dengan didalihkannya panas udara itu di
atas terbitnya matahari. Dan apabila anda menanyakan dari hal berobahnya muka
seorang insan, lalu ia menjawab: “Dipukulnya aku oleh matahari di jalan. Maka
hitamlah mukaku”, niscaya adalah harus engkau mendustakannya dengan yang
demikian. Dan kiaskanlah dengan ini, akan pengaruh-pengaruh lainnya ! Hanya
pengaruh-pengaruh itu, sebahagiannya diketahui dan sebahagiannya tidak
diketahui. Maka yang tidak diketahui, tidak boleh didakwakan mengetahuinya. Dan
yang diketahui itu, sebahagiannya diketahui oleh seluruh manusia. Seperti:
hasilnya terang dan panas dengan terbitnya matahari. Dan sebahagiannya
diketahui oleh sebahagian manusia. Seperti: terjadinya penyakit selesma/flu
dengan terbitnya bulan.
Jadi, bintang-bintang itu
tidaklah dijadikan main-main. Akan tetapi, padanya banyak hikmah, yang tidak
dapat dihinggakan. Dan karena inilah, Rasulullah saw memandang ke langit dan
membaca firmanNya Yang Maha Tinggi: “Wahai Tuhan kami ! Tidaklah Engkau
menjadikan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari azab
neraka!”. S 3 Ali Imran ayat 191. Kemudian Nabi saw bersabda: “Azab siksa bagi
orang yang membaca ayat tersebut di atas ini, kemudian ia menyapu dengan ayat
itu kumisnya”. Artinya: bahwa ia membaca ayat itu dan ia tidak
memperhatikannya. Dan ia menyingkatkan dari memahami alam malakut yang tinggi
itu, kepada mengetahui warna langit dan terang bintang-bintang. Dan yang
demikian itu adalah sebahagian daripada yang diketahui juga oleh hewan-hewan.
Maka siapa yang merasa cukup dengan mengetahui itu saja, maka orang itu yang
menyapu dengan yang demikian kumisnya. Maka bagi Allah Ta’ala pada alam malakut
tinggi, kali langit, nyawa dan hewan-hewan, mempunyai keajaiban-keajaiban, yang
dicari oleh orang-orang yang mencintai Allah Ta’ala, untuk mengetahuinya. Maka
sesungguhnya siapa yang mencintai seseorang yang berilmu (orang alim), niscaya
senantiasalah ia sibuk mencari karangan-karangannya. Supaya ia semakin
bertambah mengetahui keajaiban-keajaiban ilmunya, karena cinta kepadanya. Maka
seperti demikian juga urusan tentang keajaiban-keajaiban ciptaan Allah Ta’ala.
Maka sesungguhnya alam seluruhnya itu dari karanganNya. Bahkan karangan
pengarang-pengarang itu dari karanganNya yang dikarangkanNya dengan perantaraan
hati hamba-hambaNya. Maka jikalau anda merasa ta’jub dari karangan, maka anda
tidak merasa ta’jub dari pengarang. Bahkan Yang Menjadikan pengarang itu bagi
karangannya, dengan petunjuk pembetulan dan pengenalisaNya, yang dianugerahkanNya
kepada pengarang itu. Sebagaimana apabila anda melihat boneka-boneka tukang
sulap, yang menari dan bergerak dengan gerakan-gerakan yang seimbang dan
serasi. Maka anda tidak merasa ta’jub dari boneka-boneka itu. Sesungguhnya
boneka-boneka itu kertas-kertas yang digerakkan. Ia tidak bergerak sendiri.
Akan tetapi, anda merasa ta’jub dari pintarnya tukang sulap yang
menggerak-gerakkan boneka-boneka itu, dengan ikatan-ikatan yang halus, yang
tersembunyi dari penglihatan mata. Jadi, yang dimaksudkan, bahwa makanan
tumbuh-tumbuhan itu tidak akan sempurna, selain dengan air, udara, matahari,
bulan dan bintang-bintang. Dan yang demikian itu tiada akan sempurna, selain
dengan cakrawala-cakrawala yang dipusatkan padanya. Dan cakrawala-cakrawala itu
tidak sempurna, selain dengan gerak-geriknya air, udara, matahari, bulan dan
bintang-bintang. Dan tidak sempurna gerak-geriknya, selain dengan para malaikat
langit yang menggerak-gerakkannya. Dan seperti yang demikian pula, yang
demikian itu berlanjutan kepada sebab-sebab yang jauh, yang kami tinggalkan
menyebutkannya. Karena memberitahukan dengan apa yang telah kami sebutkan itu,
atas apa yang kami lengahkan. Dan marilah kami singkatkan atas ini saja, dari
menyebutkan sebab-sebab makanan tumbuh-tumbuhan
TEPI KELIMA: tentang
nikmat-nikmat Allah Ta’ala mengenai sebab-sebab yang menyampaikan
makanan-makanan itu kepada anda.
Ketahuilah kiranya, bahwa makanan-makanan itu
seluruhnya, tidak didapati pada setiap tempat. Akan tetapi, ia mempunyai
syarat-syarat khusus. Karena syarat-syarat khusus itulah maka didapati pada
sebahagian tempat. Dan tidak pada sebahagian tempat yang lain. Dan umat manusia
itu bertebaran di muka bumi. Dan kadang-kadang jauh dari mereka itu
makanan-makanan. Dan didindingi di antara mereka dan makanan-makanan itu oleh
lautan dan padang sahara. Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala
memerintahkan para saudagar dan menguasakan kepada mereka, kerakusan cinta
harta dan keinginan untung, sedang mereka pada kebanyakan hal tidak memerlukan
akan sesuatu itu. Akan tetapi, mereka kumpulkan. Maka adakalanya bahwa
tenggelamlah kapal-kapal yang membawa barang-barang itu bersama
barang-barangnya. Atau dirampas oleh perampok-perampok di jalan raya. Atau
mereka mati di sebahagian negeri. Lalu barang-barang itu diambil oleh
sultan-sultan (penguasa-penguasa). Dan keadaan mereka yang terbaik, ialah:
bahwa barang-barang itu diambil oleh ahli warisnya. Padahal ahli waris itu
musuhnya yang terbesar, jikalau mereka tahu.
Maka perhatikanlah, bagaimana
Allah Ta’ala menguasakan kebodohan dan kelalaian kepada mereka. Sehingga mereka
itu menderita kesengsaraan pada mencari keuntungan. Mereka menghadapi bahaya
dan mendatangkan nyawanya pada kebinasaan dengan menyeberangi lautan. Lalu
mereka bawakan makanan-makanan dan macam-macam keperluan dari yang terjauh di
Timur dan di Barat kepada anda. Dan perhatikanlah, bagaimana mereka diajarkan
oleh Allah Ta’ala membuat kapal dan bagaimana naik di kapal-kapal itu ! dan
perhatikanlah, bagaimana IA menjadikan hewan dan dimudahkanNya hewan-hewan itu
untuk dikendarai dan membawa barang-barang di padang sahara ! dan perhatikanlah
kepada unta, bagaimana unta itu diciptakan ! dan kepada kuda, bagaimana kuda
itu memanjangkan perjalanannya dengan sangat cepat. Dan kepada keledai,
bagaimana ia dijadikan sangat penyabar atas kepayahan. Dan kepada unta,
bagaimana unta itu menempuh padang pasir sahara dan menjalani perjalanan yang
ditempuh siang malam dengan beban yang berat, di atas kelaparan dan kehausan.
Dan perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menjalankan mereka dengan perantaraan
kapal-kapal dan hewan-hewan di daratan dan di lautan, untuk dibawanya kepada
anda makanan dan keperluan-keperluan lainnya ! dan perhatikanlah apa yang
diperlukan hewan-hewan, dari sebab-sebabnya, alat-alatnya dan umpan makanannya
dan apa yang diperlukan kapal-kapal ! maka sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan
semua itu kepada batas keperluan dan di atas keperluan. Dan menghinggakan yang
demikian itu tidak mungkin. Dan berkelanjutan yang demikian, kepada hal-hal
yang di luar dari hinggaan, yang kami berpendapat meninggalkannya. Karena
mencari keringkasan.
TEPI KEENAM: mengenai perbaikan makan.
Ketahuilah kiranya, bahwa yang tumbuh dalam bumi,
dari tumbuh-tumbuhan dan apa yang dijadikan dari hewan-hewan itu tidak mungkin
dipecahkan dengan gigi dan dimakan, sedang barang-barang itu seperti yang
demikian. Akan tetapi, tidak boleh tidak pada setiap sesuatu daripadanya,
daripada perbaikan, dimasak, disusun dan dibersihkan, dengan mencampakkan
sebahagian dan ditinggalkan sebahagian, sampai kepada hal-hal lain, yang tidak
terhingga banyaknya. Dan menyelidiki yang demikian itu pada setiap makanan akan
panjang. Maka marilah kita tentukan sepotong roti ! dan marilah kita perhatikan
kepada apa yang diperlukan oleh sepotong roti itu ! sehingga ia bulat dan patut
untuk dimakan, dari sesudah menanamkan bibitnya dalam tanah.
Maka mula pertama yang
diperlukan, ialah membajak tanah, untuk ditanamkan dan diperbaiki tanah itu.
Kemudian, lembu yang membajak tanah dan ladang itu dan semua sebab-sebabnya.
Kemudian, sesudah itu mengusahakan pada masa yang tertentu menyirami air. Kemudian,
membersihkan tanah dari rumput. Kemudian, memotong. Kemudian, menuai dan
membersihkan. Kemudian, menumbuk. Kemudian, meremas. Kemudian membikin roti.
Maka perhatikanlah bilangan pekerjaan-pekerjaan ini, yang telah kami sebutkan
dan yang tidak kami sebutkan ! dan bilangan orang-orang yang tegak
mengerjakannya. Dan bilangan alat-alat yang diperlukan, dari: besi, kayu, batu
dan lainnya. Dan perhatikanlah kepada perbuatan tukang-tukang pada memperbaiki
alat-alat membajak, menumbuk dan membuat roti, dari: tukang kayu, tukang besi
dan lainnya ! dan perhatikanlah kepada keperluan tukang besi, kepada: besi,
timah dan tembaga ! dan perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menjadikan
gunung-gunung, batu-batu dan tambang-tambang ! dan bagaimana IA menjadikan
tanah, yang berpotong-potong berdekatan, yang berlain-lainan ! maka jikalau
anda periksa, niscaya anda tahu, bahwa sepotong roti itu, tiada akan membulat,
di mana patut untuk anda makan, wahai yang patut dikasihani, sebelum bekerja
padanya lebih dari seribu pekerja.
Maka dimulai dari malaikat yang
menghalau awan, supaya turun hujan, sampai kepada akhir perbuatan dari pihak
malaikat. Sehingga berkesudahan giliran kepada perbuatan insan. Maka apabila
beredar perbuatan itu, niscaya memerlukan mendekati 7000 pekerja. Setiap
pekerja itu menjadi pokok dari pokok-pokok pekerjaan, yang menyempurnakan
dengan demikian, kemuslihatan makhluk.
Kemudian, perhatikanlah
banyaknya perbuatan insan pada alat-alat itu ! sehingga sebuah penjahit
(jarum), yang dia itu alat kecil, yang faedahnya untuk menjahit pakaian, yang
mencegah kedinginan dari anda, tiada sempurna bentuknya dari besi, yang pantas
untuk menjahit, selain sesudah ia melalui di tangan penjahitnya 25 kali. Dan
penjahit itu berbuat pada setiap kali daripadanya suatu perbuatan. Maka jikalau
Allah Ta’ala tidak mengumpulkan negeri-negeri dan tidak memaksakan
hamba-hambaNya dan anda memerlukan kepada perbuatan arit yang engkau sabit
dengan arit itu gandum umpamanya, sesudah tumbuhnya, niscaya habislah umur
anda. Dan lemahlah anda daripadanya.
Apakah anda tidak melihat,
bagaimana Allah Ta’ala menunjukkan hambaNya yang dijadikanNya dari air banjir
yang kotor, untuk berbuat perbuatan -perbuatan yang menakjubkan ini dan
perusahaan-perusahaan yang ganjil ? maka perhatikanlah kepada gunting umpamanya
! kedua belah gunting itu berlapisan, yang satu berlapisan di atas yang lain.
Maka keduanya memegang sesuatu bersamaan. Dan dipotongkannya dengan segera. Dan
jikalau tidak dibukakan oleh Allah Ta’ala jalan membuatnya, dengan keutamaan
dan kemurahanNya bagi orang-orang yang sebelum kita dan kita memerlukan kepada
mencari jalan padanya dengan pikiran kita, kemudian kepada mengeluarkan besi
dari batu dan kepada menghasilkan alat-alat, yang dengan alat-alat itu
diperbuat gunting dan umur seseorang dari kita seperti umur Nabi Nuh as dan
diberikan kesempurnaan akal, niscaya pendeklah umurnya daripada mencari jalan
pada perbaikan alat ini sendiri saja. Lebih-lebih alat-alat lainnya. Maka Maha
Sucilah IA menghubungkan orang yang dapat melihat dengan orang buta. Dan Maha
Sucilah IA yang mencegah penjelasan serta keterangan ini.
Perhatikanlah sekarang, jikalau
kosong negeri anda dari tukang tumbuk tepung saja umpamanya atau dari tukang
besi atau dari tukang bekam, yang dia itu termasuk pekerja yang paling keji
atau dari tukang perajut kain atau dari seseorang dari jumlah tukang-tukang
itu, maka apakah yang akan menimpa anda dari kesakitan ? dan bagaimana kacaunya
urusan-urusan anda seluruhnya ? maka Maha Sucilah IA yang memanfaatkan
sebahagian hambaNya untuk sebahagian yang lain. Sehingga tembuslah
(berjalanlah) dengan yang demikian itu kehendakNya dan sempurnalah hikmahNya.
Marilah kami ringkaskan perkataan pada lapsian ini juga. Sesungguhnya maksud,
ialah memberitahukan kepada nikmat-nikmat. Tidak untuk menghinggakannya.
TEPI KETUJUH: tentang perbaikan orang-orang yang memperbaiki.
Ketahuilah kiranya, bahwa tukang-tukang yang
berbuat memperbaiki makanan dan lainnya, jikalau bercerai berailah pendapat
mereka dan berjauhan sifat mereka satu sama lain, seperti berjauhannya sifat
binatang liar, niscaya cerai berailah mereka dan jauh menjauhkanlah mereka. Dan
tidak dapat sebahagian mereka memperoleh manfaat dari sebahagian lainnya. Akan
tetapi, adalah mereka seperti binatang-binatang liar, yang tidak diliputi oleh
suatu tempat. Dan tidak dikumpulkan oleh suatu maksud. Maka perhatikanlah,
bagaimana Allah Ta’ala menjinakkan di antara hati mereka. Dan mengeraskan kejinakan
hati dan kasih sayang di antara sesama mereka. FirmanNya: “Kalau kiranya engkau
belanjakan seluruh apa yang ada di bumi, niscaya engkau tidak juga dapat
menyatukan (menjinakkan) hati mereka, akan tetapi Allah yang menyatukan
mereka”. S 8 Al Anfal ayat 63. Maka karena kejinakan hati dan perkenalan jiwa,
mereka itu berkumpul dan berjinakkan hati. Mereka membangun kota-kota dan
negeri-negeri. Mereka menertibkan tempat-tempat tinggal dan rumah-rumah, yang
berdekatan dan bertetangga. Mereka menertibkan pasar-pasar dan toko-toko dan
segala jenis tempat-tempat lainnya, yang panjang penghinggaannya. Kemudian,
kasih sayang itu akan hilang dengan maksud-maksud, yang berdesak-desakan mereka
padanya dan berlomba-lombaan. Maka pada sifat insan itu marah, dengki dan
berlomba-lombaan. Dan yang demikian itu membawa kepada berbunuh-bunuhan dan
berliar-liaran hati.
Maka perhatikanlah, bagaimana
Allah Ta’ala menguasakan sultan-sultan (penguasa-penguasa). Dan menolong mereka
dengan kekuatan, senjata dan sebab-sebab lainnya. dan menjatuhkan ketakutan
kepada mereka dalam hati rakyat. Sehingga mereka dengan yakin, senang atau
tidak, mematuhi sultan-sultan itu. Dan bagaimana IA memberi petunjuk kepada
sultan-sultan, kepada jalan perbaikan negeri. Sehingga sultan-sultan itu menertibkan
bahagian-bahagian negeri, seakan-akan bahagian-bahagian diri orang seorang,
yang bertolong-tolongan di atas suatu maksud. Yang dapat mengambil manfaat
sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain.
Sultan-sultan itu menertibkan kepala-kepala
rakyat, hakim-hakim, penjara dan pemimpin-pemimpin pasar. Mereka memerlukan
kepada rakyat dengan undang-undang keadilan. Mereka haruskan rakyat itu
bertolong-tolongan dan berbantu-bantuan. Sehingga tukang besi dapat mengambil
manfaat dengan tukang tebu, tukang roti dan penduduk-penduduk lainnya. Semuanya
mereka mengambil manfaat dengan tukang besi. Tukang bekam mengambil manfaat
dengan tukang penggarap tanah. Tukang penggarap tanah dengan tukang bekam.
Masing-masing mengambil manfaat dengan yang lain, disebabkan penertiban,
pengumpulan dan tergenggam mereka di bawah penertiban dan pengumpulan sultan
(penguasa). Sebagaimana seluruh anggota badan bertolong-tolongan dan mengambil
manfaat sebahagiannya dengan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, bagaimana IA
mengutus nabi-nabi as sehingga nabi-nabi itu memperbaiki penguasa-penguasa yang
memperbaiki rakyat. Nabi-nabi itu memperkenalkan kepada mereka, undang-undang agama
tentang menjaga keadilan di antara makhluk dan undang-undang politik pada
mengekang mereka. Nabi-nabi itu menyingkapkan dari hukum-hukum keimanan
(tentang kepala negara), kesultanan, hukum-hukum fikih, apa yang mereka
memperoleh petunjuk dengan yang demikian, kepada perbaikan dunia. Lebih-lebih
kepada apa yang menunjukkan mereka kepada perbaikan agama. Perhatikanlah,
bagaimana Allah Ta’ala memperbaiki nabi-nabi dengan malaikat-malaikat !
bagaimana IA memperbaiki sebahagian malaikat-malaikat itu dengan sebahagian
yang lain. Sehingga berkesudahan kepada malaikat yang berdekatan dengan Allah
Ta’ala, yang tiada perantaraan di antaranya dan Allah Ta’ala.
Tukang roti yang membuat roti
dari tepung yang sudah diramas. Tukang tumbuk tepung, yang membuat baik
biji-bijian dengan ditumbuk. Tukang penggarap tanah yang membuat baik, dengan
tukang petik hasil. Tukang besi yang memperbaiki alat-alat pengolahan tanah.
Dan tukang kayu yang memperbaiki alat-alat tukang besi. Dan demikian juga,
semua orang-orang yang mempunyai perusahaan-perusahaan, yang memperbaiki
alat-alat makanan. Dan sultan yang memperbaiki tukang-tukang. Dan nabi-nabi
yang memperbaiki ulama-ulama yang menjadi pewarisnya. Ulama-ulama yang
memperbaiki sultan-sultan. Dan malaikat-malaikat yang memperbaiki nabi-nabi.
Sampai berkesudahan ke hadlarat ketuhanan, yang menjadi sumber setiap peraturan,
tempat terbit setiap kebagusan dan kecantikan dan tempat jadinya setiap tertib
dan penyusunan. Semua itu nikmat dari Tuhan Yang Maha memiliki dan Penyebab
segala sebab. Dan jikalau tidaklah keutamaan dan kurniaNya, karena IA
berfirman: “Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami”. S Al Ankabut ayat 69. Niscaya kita
tidak memperoleh petunjuk kepada mengetahui sebahagian yang sedikit ini dari
nikmat-nikmat Allah Ta’ala. Dan jikalau tidak diasingkanNya (dijauhkanNNya)
kita daripada kerakusan, yang kita ingin mengetahui hakikat/makna
nikmat-nikmatNya, niscaya mengkilaplah kita kepada mencari yang meliputi semua
dan penyelidikan yang mendalam. Akan tetapi, Allah Ta’ala mengasingkan kita
dengan ketetapan paksaan dan kekuasaanNya. Maka IA berfirman: “Dan kamu hitung
nikmat Allah, niscaya tidak dapat kamu menghitungnya”. S An Nahl ayat 18. Maka
jikalau kita memperkatakannya, maka dengan izinNyalah kita dapat
membentangkannya. Dan jikalau kita diam, maka dengan keperkasaanNyalah kita
tergenggam. Karena tiada yang memberikan, bagi apa yang dilarangNya. Dan tiada
yang melarang, bagi apa yang diberikanNya. Karena sesungguhnya kita pada setiap
detik dari detik-detik umur kita, sebelum mati, kita mendengar
dengan pendengaran hati, akan panggilan RAJA YANG MAHA PERKASA. FirmanNya:
“Kepunyaan siapa Kerajaan pada hari ini ? kepunyaan Allah Tuhan Yang Maha Esa
dan Maha Perkasa”. S 40 Al Mukmin ayat 16. Maka segala pujian bagi Alllah yang
membedakan kita dari orang-orang.
TEPI KEDELAPAN: tentang penjelasan nikmat Allah Ta’ala
mengenai kejadian para malaikat as.
Tidaklah tersembunyi kepada anda, apa yang telah
terdahulu dari nikmat Allah pada menjadikan para malaikat, untuk memperbaiki
nabi-nabi as, memberi petunjuk kepada mereka dan menyampaikan wahyu kepada
mereka. Dan jangan anda menyangka, bahwa mereka itu terbatas perbuatannya
sekadar itu saja. Akan tetapi, lapisan para malaikat itu, serta banyaknya dan
susunan tingkat-tingkatnya itu terhingga dengan jumlah, pada 3 lapisan: malaikat bumi, malaikat langit dan para pembawa ‘Arasy.
Maka perhatikanlah, bagaimana Allah
Ta’ala mewakilkan para malaikat itu, pada engkau, mengenai apa yang kembali
kepada makan dan makanan yang mengenyangkan, yang telah kami sebutkan dahulu.
Tidak yang melampaui demikian, dari hidayah, penunjukan jalan dan lainnya. Dan
ketahuilah, bahwa setiap bahagian dari bahagia-bahagian badan engkau, bahkan
dari bahagian-bahagian tumbuh-tumbuhan itu, tidak memperoleh makanan, selain
dengan diwakilkan (diserahkan urusan) padanya, 7 malaikat. Itu yang paling
sedikit, sampai kepada 10, kepada 100 dan di balik yang demikian.
Penjelasannya, ialah, bahwa:
arti makan itu tegak berdiri sebahagian daripada makanan, pada tempat berdiri
sebahagian, yang telah hilang (tidak ada lagi). Dan makanan itu menjadi darah
pada akhir keadaannya. Kemudian, menjadi daging dan tulang. Dan apabila ia
telah menjadi daging dan tulang, niscaya sempurnalah permakamannya. Darah dan
daging itu merupakan tubuh-tubuh, yang tiada mempunyai kemampuan, pengetahuan
dan usaha. Ia tidak bergerak dengan sendirinya. Dan tidak berobah dengan sendirinya.
Dan semata-mata tabiat, tidak memadai pada bulak-baliknya pada berbagai
hal-ihwalnya.
Sebagaimana gandum, tidak jadi
dengan sendirinya itu tertumbuk (halus). Kemudian, beramas. Kemudian, roti yang
bundar, yang merupakan roti. Selain dengan orang-orang yang menjadi pembuatnya.
Maka seperti yang demikian juga, darah. Ia tidak jadi daging dengan sendirinya.
Tidak jadi tulang, urat dan urat saraf. Selain dengan pembuat-pembuatnya. Dan
pembuat-pembuat pada batiniyahnya, ialah: para malaikat. Sebagaimana
pembuat-pembuat pada zahiriyah itu, ialah: mereka penduduk negeri.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah
melengkapkan kepada anda nikmat-nikmatNya yang zahiriyah dan yang batiniyah.
Maka tiada seyogyalah anda lalai dari nikmat-nikmatNya yang batiniyah. Maka aku
mengatakan: bahwa tidak boleh daripada malaikat yang menarik makanan ke sisi
daging dan tulang. Sesungguhnya makanan itu tidak bergerak sendiri. Dan tak
boleh tidak, daripada malaikat yang lain lagi, yang memegang makanan pada sisi
malaikat tadi di atas. Dan tak boleh tidak, daripada malaikat ke-3, yang
mencabut daripadanya bentuk darah. Dan tak boleh tidak, daripada malaikat ke-4,
yang memberi pakaian kepadanya bentuk daging dan urat pada tulang. Dan tak
boleh tidak, daripada malaikat ke-5 yang menolak kelebihan, yang lebih daripada
keperluan makanan. Dan tak boleh tidak, daripada malaikat ke-6, yang merekatkan
apa yang diusahakan menjadi sifat tulang, dengan tulang. Dan apa yang
diusahakan menjadi sifat daging, dengan daging. Sehingga tidak ia bercerai
(tidak merekat). Dan tak boleh tidak, daripada malaikat ke-7, yang menjaga
kadar pada perekatan itu. Maka dihubungkannya dengan yang bundar, akan apa yang
tidak merusakkan kebundarannya. Dan dengan yang melintang, akan apa yang tidak
merusakkan kelintangannya. Dan dengan yang berlobang, akan apa yang tidak
merusakkan kelobangannya. Ia menjaga di atas masing-masingnya, menurut kadar
keperluannya. Maka sesungguh nya, jikalau ia mengumpulkan –umpamanya –dari
makanan, di atas hidung anak kecil, apa yang dikumpulkan atas pahanya, niscaya
besarlah hidungnya itu. Dan rusaklah kelobangannya. Kejilah bentuk dan
kejadiannya. Akan tetapi, seyogyalah bahwa dibawa ke pelupuk mata, serta
ketipisannya, kepada biji mata, serta kejernihannya, kepada paha serta
ketebalannya dan kepada tulang serta kekerasannya, apa yang layak dengan
masing-masing daripadanya, menurut kadar dan bentuk. Jikalau tidak, niscaya
rusaklah bentuk. Dan bertambah pada sebahagian tempat dan lemah pada sebahagian
tempat. Bahkan, jikalau malaikat tersebut tidak menjaga keadilan pada
pembahagian dan kesederhanaan, maka ia menghalau ke kepala anak kecil dan
bahagian lain dari badannya, daripada makanan, yang tidak menumbuhkan, selain
salah satu daripada kedua kakinya –umpamanya -, niscaya tinggallah kaki yang
satu lagi, seperti yang telah ada batas kecilnya. Dan besarlah semua badannya.
Maka anda melihat akan seseorang, dalam kebesaran kakinya yang satu. Dan ia
mempunyai kaki yang satu lagi, seolah-olah kaki anak kecil. Maka ia tidak dapat
memanfaatkannya sekali-kali. Maka menjaga ukuran ini pada pembahagiannya itu
terserah kepada malaikat daripada para malaikat.
Dan anda jangan menyangka, bahwa
darah dengan tabiatnya itu dapat mengukur bentuknya sendiri. Maka menyerahkan
urusan-urusan ini kepada tabiat (dirinya sendiri) itu bodoh. Orang itu tidak
tahu apa yang dikatakannya. Maka itulah para malaikat bumi. Mereka itu sibuk
dengan anda. Dan anda dalam ketiduran itu beristirahat. Dan dalam kelalaian itu
pulang pergi (ragu-ragu). Dan para malaikat itu membaikkan makanan dalam
batiniyah anda. Dan tak ada berita kepada anda daripada mereka. Dan yang
demikian itu, pada setiap bahagian dari bahagian-bahagian tubuh anda yang tidak
dapat dibagi-bagikan. Sehingga diperlukan oleh sebahagian badan, seperti mata
dan hati, kepada yang lebih banyak daripada 100 malaikat. Kami tinggalkan
penguraian yang demikian itu, untuk keringkasan.
Dan para malaikat bumi itu,
bantuannya daripada para malaikat langit, dengan tartib yang dimaklumi, yang
tiada mengetahui akan hakikat/ maknanya, selain Allah Ta’ala. Dan bantuan para
malaikat langit itu daripada para malaikat itu, dengan penguatan, hidayah dan
pembetulan, ialah Tuhan Yang Maha Penjaga segala sesuatu, Yang Maha Suci, Yang
Berkuasa sendiri pada ‘alamul-mulki dan ‘alamul-malakut (alam kerajaan di bumi
dan ini dan alam tinggi di luar alam ini), pada keagungan dan keperkasaan, Yang
Maha Perkasa bagi langit dan bumi, Yang Memiliki kerajaan, Yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan. Hadits-hadits yang membentangkan tentang para malaikat
yang diwakilkan untuk mengurus di langit dan di bumi, bahagian-bahagian
tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan, sehingga setiap titip dari hujan dan setiap
awan, yang tertarik dari sudut ke sudut itu lebih banyak daripada dapat
dihinggakan. Maka karena itulah, kami tinggalkan mengambil dalil dengan yang
demikian. Kalau anda bertanya: mengapa tidak diserahkan pekerjaan-pekerjaan
tersebut kepada satu malaikat ? mengapa diperlukan kepada 7 malaikat ? gandum
juga memerlukan pertama-tama kepada orang yang menumbuk. Kemudian, yang ke-2,
kepada orang yang membedakan antah yang diayak dan membuang ampasnya. Kemudian,
yang ke-3 kepada orang yang menuangkan air ke atasnya. Kemudian, yang ke-4
kepada orang yang meramasnya. Kemudian, yang ke-5 kepada orang yang
memotong-motongnya menjadi bola-bola yang bundar. Kemudian, yang ke-6, kepada
orang yang menipis-nipiskannya menjadi roti yang melintang panjang. Kemudian,
ke-7, kepada orang yang melekatkannya dengan kepanasan api. Akan tetapi,
kadang-kadang semua itu, diurus dan dikerjakan oleh seorang, yang berdiri
sendiri mengerjakannya. Maka adakah perbuatan malaikat itu yang batiniyah,
seperti perbuatan umat manusia yang zahiriyah ? maka ketahuilah, bahwa kejadian
malaikat itu berlainan dengan kejadian insan. Dan tiada satupun daripada para
malaikat, melainkan adalah ia kesatuan sifat. Tidak ada padanya sekali-kali
campuran dan susunan. Maka tidak ada bagi masing-masing mereka, melainkan satu
perbuatan. Dan kepada itulah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan
setiap kami ini mempunyai kedudukan yang tertentu”. S 37 Ash Shaffaat ayat 164.
Maka karena itulah, tidak ada di
antara mereka itu lomba-berlomba dan bunuh-membunuh. Akan tetapi, contoh mereka
pada penentuan tingkat dan perbuatan masing-masing mereka itu seperti: pancaindra
yang lima. Maka penglihatan itu tidak mendesak pendengaran pada mendapati
suara-suara. Dan ciuman tidak mendesak yang dua tadi. Dan tidak pula keduanya
itu bertengkar dengan ciuman. Dan tidaklah ia seperti tangan dan kaki. Anda
sesungguhnya kadang-kadang menggenggam dengan anak jari kaki, dengan genggaman
yang lemah. Lalu kaki itu mendesak tangan dengan yang demikian. Dan anda
kadang-kadang memukul orang lain dengan kepala anda. Maka kepala itu mendesak
tangan, yang sebenarnya alat memukul. Dan tidak pula malaikat itu seperti
seorang insan, yang berbuat dengan dirinya sendiri: menumbuk, meramas dan
membuat roti. Maka sesungguhnya ini semacam pembengkokan dan kepalingan dari
keadilan. Sebabnya, ialah berbedanya sifat-sifat insan dan berlainan pengajak-pengajaknya.
Sesungguhnya insan itu tidaklah kesatuan sifat. Maka tidaklah ia kesatuaan
perbuatan. Dan karena itulah, sekali anda melihat insan itu mentaati Allah
Ta’ala. Dan pada lain kali, ia berbuat ma’siat kepadaNya. Karena berbeda
pengajak dan sifatnya. Dan yang demikian itu tidak mungkin pada tabiat
malaikat. Akan tetapi para malaikat itu menjadi tabiatnya taat kepada Allah
Ta’ala. Dan tiada jalan bagi ma’siat pada mereka. Maka tidak ragu lagi, bahwa
para malaikat itu tidak mendurhakai Allah Ta’ala, akan apa yang disuruhNya. Dan
mereka berbuat apa yang disuruhNya. Mereka mengucapkan tasbih siang dan malam.
Tidak putus-putus. Yang ruku’ dari mereka terus ruku’ selama-lamanya. Yang
sujud dari mereka terus sujud selama-lamanya. Yang berdiri terus berdiri
selama-lamanya. Tiada berbeda pada perbuatan mereka dan tiada putus.
Masing-masing mereka mempunyai kedudukan yang tertentu, yang tidak
dilampauinya. Taatnya mereka kepada Allah Ta’ala, dari segi tiada jalan untuk
menyalahinya itu, mungkin dapat diserupakan dengan taatnya anggota-anggota
badan anda kepada anda. Maka sesungguhnya anda, manakala telah meyakinkan
kehendak membuka pelupuk mata, niscaya tidak ada bagi pelupuk mata yang sehat,
ragu-ragu dan berselisih. Sekali pada mentaati anda dan pada lain kali dengan
mendurhakai anda. Akan tetapi, seakan-akan pelupuk mata itu menunggu perintah
anda dan larangan anda. Ia terbuka dan tertutup, yang bersambung dengan isyarat
anda. Maka ini menyerupainya dari satu pihak. Akan tetapi, ia menyalahinya dari
lain pihak. Karena pelupuk mata itu tidak mempunyai ilmu, dengan apa yang
timbul daripadanya, terbuka dan tertutup itu. Dan para malaikat itu hidup, yang
tahu dengan apa yang dikerjakannya. Jadi, ini nikmat Allah Ta’ala kepada
engkau, tentang malaikat bumi dan malaikat langit. Dan keperluan engkau kepada
dua malaikat itu pada maksud makan saja. Tidak yang lain daripadanya, dari
seluruh gerak-gerik dan hajat-hajat keperluan. Maka kami sesungguhnya tidak
memanjangkan menyebutkannya. Maka ini lapisan lain dari lapisan-lapisan nikmat.
Dan jumlah lapisan-lapisan itu tidak mungkin dihinggakan. Maka bagaimana satu
persatu dari apa yang termasuk dalam jumlah lapisan-lapsian itu ? jadi
sesungguh nya Allah Ta’ala telah melengkapkan nikmat-nikmatNya kepada anda,
zahir dan batin. Kemudian, IA berfirman: “Dan tinggalkanlah dosa yang terang
dan yang tersembunyi !”. S 6 Al An’aam ayat 120. Maka meninggalkan dosa yang
tersembunyi (dosa batiniyah), yang tidak diketahui oleh makhluk, yaitu: dengki,
buruk sangka, perbuatan bid’ah (yang diada-adakan), menyembunyikan kejahatan
kepada manusia dll dari dosa-dosa hati, itulah syukur bagi
nikmat-nikmat yang tersembunyi. Dan meninggalkan dosa yang terang dilakukan
dengan anggota-anggota badan (dosa zahiriyah) itu syukur kepada nikmat yang terang
(nikmat zahiriyah). Bahkan aku mengatakan, bahwa setiap orang yang berbuat
maksiat kepada Allah Ta’ala, walaupun pada sekejap mata, dengan membukakan
pelupuk mata –umpamanya –dimana ia harus memicingkan matanya, maka sesungguhnya
ia telah kufur kepada setiap nikmat Allah Ta’ala kepadanya, di langit, di bumi
dan di antara keduanya. Maka sesungguhnya setiap apa yang dicintakan oleh Allah
Ta’ala, sehingga malaikat, langit, bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, dengan
semuanya itu, adalah nikmat kepada setiap orang daripada hambaNya, yang
sempurna ia mengambil manfaat dengan yang demikian. Dan walau diambil manfaat
pula oleh orang lain dengan nikmat itu.
Sesungguhnya Allah Ta’ala
mempunyai pada setiap detik dengan pelupuk mata itu dau nikmat pada diri
pelupuk mata itu sendiri. Karena IA jadikan di bawah setiap pelupuk mata itu
daging-daging berurat (‘adlalat). Daging-daging berurat itu mempunyai tali-tali
dan ikatan-ikatan, yang bersambung dengan urat saraf otak. Dengan itulah
sempurnanya merendah pelupuk mata yang di atas dan terangkat pelupuk mata yang
di bawah. Dan atas setiap pelupuk mata itu bulu yang hitam. Dan nikmat Allah
Ta’ala pada hitamnya itu, ialah: bahwa ia mengumpulkan terang mata. Karena
putih itu memisahkan terang dan hitam itu mengumpulkan terang. Dan nikmat Allah
Ta’ala pada penyusunannya satu baris, ialah, bahwa adalah ia pencegah dari
binatang-binatang kecil yang merangkak ke dalam mata dan tempat bergantungan
kotoran-kotoran yang berterbangan di udara. Dan baginya pada setiap bulu
daripada dua pelupuk mata itu, dua nikmat, dari segi lembut pangkalnya. Dan
bersama lembut itu kokoh tegaknya. Dan baginya pada selang-seling bulu mata itu
nikmat yang terbesar dari semua. Yaitu, bahwa: debu udara kadang-kadang
mencegah daripada terbukanya mata. Dan jikalau didempetkan, niscaya ia tidak
melihat. Maka dikumpulkan oleh pelupuk mata, sekadar bulu-bulu mata itu
menjerjak. Lalu ia melihat dari belakang jerjak bulu itu. Maka adalah jerjak
bulu itu mencegah dari sampainya kotoran dari luar. Dan tidak mencegah daripada
memanjangnya penglihatan dari dalam. Kemudian, jikalau kena debu kepada biji
mata, maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan tepi pelupuk mata itu
pelayan yang berlapis di atas biji mata, seperti pengkilap atas cermin. Maka
dilapiskanNya sekali atau dua kali. Dan sesungguhnya biji mata itu mengkilap
dari debu dan mengeluarkan kotoran-kotoran (taik mata) ke sudut-sudut mata atau
pelupuk mata.
Dan lalat, karena tidak ada bagi
biji matanya pelupuk mata, maka Allah Ta’ala menjadikan baginya dua tangan.
Maka anda melihat lalat itu selalu menyapu dengan dua tangannya akan dua biji
matanya. Supaya ia mengkilapkannya dari debu. Dan karena kita tinggalkan
penyelidikan mendalam bagi penguraian nikmat-nikmat, karena memerlukan kepada
pemanjangan yang lebih dari pokok Kitab ini dan mudah-mudahan kami akan
mengulangi menyusunnya suatu kitab yang dimaksud, jikalau ada waktu dan
mendapat pertolongan taufik Allah Ta’ala, yang akan kami namakan:
Keajaiban-keajaiban Ciptaan Allah Ta’ala.
Maka marilah sekarang kita
kembali kepada maksud kita. Maka kami katakan: Barangsiapa melihat kepada bukan
mahramnya, maka sesungguhnya ia telah kufur kepada nikmat Allah Ta’ala dengan
membuka matanya dalam pelupuk mata. Dan pelupuk mata itu, tidak berdiri (tidak
ada), selain dengan mata. Dan mata itu tidak berdiri, selain dengan kepala. Dan
kepala itu tidak berdiri, selain dengan seluruh badan. Dan badan itu tidak
berdiri, selain dengan makanan. Dan makanan itu tidak ada, selain dengan air,
tanah, udara, hujan, mendung, matahari dan bulan. Dan tiada suatupun dari yang
demikian itu berdiri, selain dengan langit. Dan langit itu tiada berdiri,
selain dengan para malaikat. Maka sesungguhnya semua itu seperti suatu barang,
yang sebahagian daripadanya terikat dengan sebahagian yang lain, sebagaimana
terikatnya anggota-anggota badan, sebahagian daripadanya dengan sebahagian
lainnya.
Jadi, ia telah mengkufuri setiap
nikmat pada wujudnya, dari penghabisan bintang Surayya ke penghabisan bawah
tanah. Maka tidak tinggallah cakrawala, malaikat, hewan, tumbuh-tumbuhan dan
barang beku, melainkan mengutuknya. Dan karena itulah, tersebut pada
hadits-hadits, bahwa suatu tempat, yang berkumpul padanya umat manusia, maka
adakalanya tempat itu mengutuk mereka tadi, apabila mereka itu berpisah atau
meminta ampun kepada mereka.
Demikian juga tersebut pada
hadits, bahwa orang yang berilmu (orang alim) itu, meminta ampun baginya setiap
sesuatu, sehingga ikan dalam laut. Dan para malaikat itu mengutuk orang-orang
yang berbuat maksiat. Semua itu pada kata-kata yang banyak yang tidak mungkin
dihinggakan. Setiap yang demikian itu isyarat kepada: bahwa orang yang berbuat
maksiat dengan sekejap saja, telah berbuat aniaya kepada semua apa yang dalam
‘alamul-mulki dan ‘alamul-malakut (alam dunia dan alam akhirat). Dan ia
membinasakan dirinya sendiri, kecuali bahwa ia ikutkan akan kejahatan itu,
dengan kebaikan yang akan menghapuskannya. Maka bergantilah kutukan itu dengan
meminta keampunan. Maka kiranya Allah Ta’ala menerima taubatnya dan melepaskan
dosa itu daripadanya.
Allah Ta’ala menurunkan wahyu
kepada Nabi Ayyub as: “Wahai Ayyub ! tiada daripada hambaKu dari anak-anak
Adam, melainkan bersamanya ada dua malaikat. Apabila hambaKu itu bersyukur kepadaKu
atas nikmat-nikmatKu, niscaya dua malaikat itu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku !
tambahkanlah kepadanya nikmat di atas nikmat ! sesungguhnya Engkau yang empunya
pujian dan syukur”. Maka hendaklah engkau itu sebahagian dari orang-orang yang
bersyukur yang dekat ! maka memadailah dengan orang-orang yang bersyukur itu
ketinggian martabat padaKu. Sesungguhnya Aku mensyukuri akan kesyukuran mereka.
Dan malaikat-malaikatKu berdoa bagi mereka. Dan tempat-tempat mencintai mereka.
Dan bekas-bekas yang ditinggalkan menangis kepada mereka”. Sebagaimana anda
ketahui, bahwa pada setiap kejapan mata itu nikmat yang banyak, maka
ketahuilah, bahwa pada setiap nafas yang terbuka (melepaskan nafas) dan
tertutup (menarik nafas) itu dua nikmat. Karena dengan terbukanya itu,
keluarlah asap yang terbakar dari hati. Dan jikalau tidak keluar, niscaya ia
binasa. Dan dengan tertutupnya , terkumpullah ruh udara kepada hati. Dan
jikalau tersumbat tempat pernafasan, niscaya terbakarlah hati dengan putusnya
ruh udara dan dinginnya daripadanya. Dan ia binasa. Bahkan sehari semalam itu
24 jam. Dan pada setiap jam, hampir 1000 nafas. Dan setiap hampir 10 kejapan
mata. Maka kepada anda pada setiap kejapan mata itu beribu-ribu nikmat pada
setiap bahagian dari bahagian-bahagian badan anda. Bahkan pada setiap bahagian
dari bahagian-bahagian alam. Maka perhatikanlah, adakah tergambar hinggaan yang
demikian itu atau tidak ? dan tatkala tersingkaplah kepada Musa as akan
hakikat/makna firmanNya: “Dan kalau kamu hitung nikmat Allah, niscaya tidak
dapat kamu menghitungnya”. S An Nahl ayat 18. Lalu Musa as bertanya: “Wahai
Tuhanku ! bagaimana aku bersyukur kepadaMu. Dan bagiMu pada setiap bulu dari
tubuhku itu dua nikmat. Bahwa Engkau lembutkan pangkalnya. Dan bahwa Engkau
hapuskan ujungnya”. Demikianlah juga tersebut pada atsar, bahwa orang yang
tiada mengenal nikmat Allah, selain pada tempat makan dan minumnya, maka
sesungguhnya sedikitlah ilmunya dan datangkan azabnya. Semua apa yang telah
kami sebutkan itu kembali kepada tempat makan dan minum. Maka ambillah menjadi
ibarat pada nikmat-nikmat yang lain ! sesungguhnya orang yang dapat melihat,
tiada jauh matanya di alam ini atas sesuatu dan tiada mendalam gurisan hatinya
dengan sesuatu yang ada melainkan ia yakin, bahwa Allah Ta’ala mempunyai nikmat
padanya kepadanya. Maka marilah kita tinggalkan penyelidikan dan penguraian !
sesungguhnya itu kelobaan pada bukan tempat kelobaan.
PENJELASAN: sebab yang memalingkan makhluk daripada
bersyukur.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiada yang melengahkan
makhluk, daripada mensyukuri nikmat, selain oleh kebodohan dan kelalaian. Maka
sesungguhnya mereka tercegah disebabkan kebodohan dan kelalaian, daripada
mengetahui nikmat. Dan tiada tergambar kesyukuran nikmat itu, selain sesudah
mengetahuinya. Kemudian, jikalau mereka mengetahui nikmat itu, niscaya mereka
menyangka bahwa bersyukur kepada nikmat itu, mengucapkan dengan lisan:
Alhamdu-lillah-Asy-syukru lillah (Segala pujian bagi Allah-Syukur kepada
Allah). Mereka tidak tahu, bahwa arti syukur, ialah: memakai nikmat pada
kesempurnaan hikmat yang dimaksudkan. Yaitu: taat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla.
Maka tiada yang mencegah dari bersyukur sesudah berhasil dua ilmu mengenal Allah Ta’ala (pengetahuan) ini,
selain oleh kekerasan nafsu syahwat dan dikuasai setan.
Adapun kelalaian dari nikmat itu
mempunyai sebab-sebab. Salah satu sebabnya, ialah: bahwa manusia disebabkan
kebodohan mereka tidak menghitung sebagai nikmat, apa yang meratai kepada
makhluk dan diberikan kepada mereka pada semua perihal mereka. Maka karena
itulah, mereka tidak mensyukuri kepada sejumlah nikmat yang telah kami sebutkan
itu. Karena nikmat-nikmat itu meratai kepada makhluk, yang diberikan kepada
mereka pada semua perihal mereka. Maka masing-masing orang tidak melihat bagi
dirinya dari mereka itu kekhususan dengan yang demikian. Lalu ia tidak
menghitungnya sebagai nikmat. Dan anda tidak melihat mereka bersyukur kepada
Allah atas ruh udara. Dan jikalau Allah mengambilnya, dengan tercekek leher
mereka sekejap mata saja, sehingga putuslah udara dari mereka, niscaya mereka
mati. Jikalau mereka ditahan di dalam kamar mandi, yang padanya udara panas
atau pada sumur yang padanya udara berat disebabkan dingin air, niscaya mereka
mati karena kabutnya. Jikalau seorang dari mereka dicoba dengan sesuatu dari
yang demikian, kemudian ia lepas, mungkin ia menilai yang demikian itu suatu
nikmat. Dan bersyukur kepada Allah atas yang demikian. Inilah yang penghabisan
bodoh. Karena jadinya kesyukuran mereka itu terdiri atas tercabutnya nikmat
daripada mereka. Kemudian nikmat itu dikembalikan kepada mereka pada setengah
hal-keadaan.
Dan nikmat itu pada semua hal lebih utama
disyukuri pada sebahagiannya. Maka janganlah anda melihat, akan orang yang
dapat melihat mensyukuri kesehatan penglihatannya, selain bahwa buta matanya.
Maka pada ketika itu jikalau dikembalikan penglihatannya kepadanya, niscaya ia
merasa dan bersyukur. Dan mengihtungnya suatu nikmat. Tatkala adalah rahmat
Allah Ta’ala itu mahaluas, niscaya meratai semua makhluk. Dan diberikanNya
kepada mereka dalam semua hal. Maka orang bodoh tidak menghitung itu nikmat.
Dan orang bodoh ini adalah seperti hamba yang jahat. Haknya ialah dipukul
selalu. Sehingga apabila ditinggalkan pemukulannya sesaat, niscaya ia pakai itu
sebagai suatu perbuatan baik. Dan jikalau ditinggalkan pemukulnya
terus-menerus, niscaya ia dikuasai oleh keangkuhan. Dan ia meninggalkan
bersyukur. Maka jadilah manusia itu tiada bersyukur, selain harta yang terdapat
kekhususan kepadanya, dari segi banyak dan sedikit. Dan mereka melupakan semua
nikmat Allah Ta’ala kepada mereka.
Sebagaimana sebahagian mereka
mengadukan kemiskinannya kepada sebahagian orang yang bermata hati dan
melahirkan kesangatan susahnya dengan yang demikian. Lalu orang yang bermata
hati itu mengatakan kepada orang yang bersedih itu: “Adalah engkau gembira
bahwa engkau buta dan engkau mempunyai uang 10 dirham ? “. Orang itu menjawab:
“Tidak !”. Orang yang bermata hati itu bertanya lagi: “Adakah engkau gembira
bahwa engkau bisu dan engkau mempunyai uang 10 ribu dirham ?”. Orang itu
menjawab: “Tidak !”. Orang yang bermata hati itu bertanya lagi: “Adakah engkau
gembira bahwa dua tangan engkau dan dua kaki engkau ini putus dan engkau
mempunyai uang 20 ribu dirham ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Lalu Orang
yang bermata hati itu bertanya lagi: “Adakah engkau gembira bahwa engkau gila
dan engkau mempunyai uang 10 ribu dirham ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”.
Maka orang yang bermata hati itu berkata: “Apakah engkau tidak malu bahwa
engkau adukan Tuhan engkau, padahal IA mempunyai pada engkau harta benda
sebanyak 50 ribu dirham ?”.
Dan diceritakan, bahwa setengah
ahli qiraah (qari’ Alquran) itu bersangatan kemiskinannya. Sehingga sempit
benar hidupnya. Maka pada suatu malam ia bermimpi, seakan-akan ada orang yang
mengatakan kepadanya: “Sukakah engkau, bahwa kami lupakan engkau Surah Al
An’aam dari Alquran dan engkau mempunyai uang 1000 dinar ?”. Orang itu
menjawab: “Tidak !”. Yang menanyakan dalam mimpi itu bertanya lagi: “Kalau
Surah Hud ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Yang bertanya itu bertanya pula:
“Kalau Surah Yusuf ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Lalu yang bertanya itu
menyebutkan beberapa surah. Kemudian ia berkata: “Bersama engkau ada uang bernilai
100 ribu dinar. Dan engkau mengadu !”. Maka pada pagi-pagi hari, ia merasa kaya
dengan yang demikian.
Ibnus-Sammak masuk ke tempat
sebahagian khalifah. Dan di tangannya kendi air, yang diminumnya. Lalu khalifah
itu berkata kepadanya: “Berilah aku pengajaran !”. Ibnus-Sammak lalu menjawab:
“Jikalau tidak diberikan minuman ini, selain dengan memberikan semua hartamu,
jikalau tidak engkau tetap haus, maukah engkau memberikannya ?”. Khalifah itu
menjawab: “Ya, diberikan !”. Ibnus-Sammak bertanya lagi: “Jikalau tidak
diberikan, selain dengan seluruh kerajaanmu, maka maukah kamu meninggalkan
kerajaan itu ?”. Khalifah itu menjawab: “Ya, mau !”. Ibnus-Sammak lalu berkata:
“Maka engkau tidak merasa gembira dengan kerajaan itu, yang tidak menyamai
dengan seteguk air”. Maka dengan ini jelaslah, bahwa nikmat Allah Ta’ala kepada
hambaNya, pada seteguk air ketika kehausan itu lebih besar dari kerajaan bumi
seluruhnya.
Apabila tabiat manusia cenderung
kepada menghitung nikmat khusus itu nikmat, tidak nikmat umum dan telah kami
sebutkan nikmat-nikmat umum itu, maka marilah kami sebutkan, dengan isyarah
yang singkat, kepada nikmat-nikmat khusus. Maka kami terangkan: Tiada seorang
hambapun, selain jikalau ia memusatkan perhatian pada hal-ihwalnya, niscaya ia
melihat dari Allah akan nikmat atau nikmat-nikmat yang banyak yang khusus
kepadanya, yang tidak bersekutu padanya manusia umumnya. Akan tetapi, bersekutu
dengan dia bilangan yang sedikit dari manusia. Dan kadang-kadang tiada
bersekutu dengan dia seorangpun. Dan yang demikian itu, diakui oleh setiap
hamba pada 3 perkara: pada akal, akhlak dan ilmu.
Adapun akal, maka tiada seorangpun daripada hamba
Allah Ta’ala, melainkan ia senang (rela) kepada Allah tentang akalnya. Dan ia
beriktikad, bahwa dia manusia yang lebih berakal. Dan sedikitlah orang yang
meminta akal pada Allah Ta’ala. Dan sesungguhnya dari kemuliaan akal itu, bahwa
orang yang kosong dari akalpun merasa gembira dengan akal, sebagaimana orang
yang bersifat dengan akal (bersifat cerdas) merasa gembira dengannya. Maka
jikalau ada iktikadnya (keyakinan), bahwa ia manusia yang
lebih berakal, niscaya wajiblah ia mensyukurinya. Karena jikalau ia ada seperti
yang demikian, maka bersyukur wajib atasnya. Dan jikalau tidak ada, akan tetapi
ia beriktikad bahwa ia demikian, maka itu nikmat pada dirinya. Maka orang yang
meletakkan harta simpanan di bawah tanah, maka ia gembira dan bersyukur atas
yang demikian. Jikalau harta simpanan itu diambil orang, dengan tidak
setahunya, maka tetaplah kegembiraannya, menurut iktikadnya itu. Dan tetaplah
kesyukurannya. Karena pada pihaknya, seperti masih ada.
Adapun akhlak, maka tiada
seorangpun, melainkan melihat dari orang lain, kekurangan-kekurangan yang tidak
disenanginya. Dan akhlak-akhlak yang dicelainya. Sesungguhnya ia mencela itu,
dari segi ia melihat dirinya terlepas dari kekurangan-kekurangan itu. Maka
apabila ia tidak berbuat mencela orang lain, niscaya seyogyalah ia berbuat
mensyukuri kepada Allah Ta’ala. Karena IA telah membaguskan akhlaknya. Dan
memberi bencana kepada orang lain, dengan akhlak buruk.
Adapun ilmu, maka tiada
seorangpun, melainkan mengetahui dari batin urusan dirinya sendiri dan
pikiran-pikirannya yang tersembunyi, apa yang ia bersendirian dengan yang
demikian. Dan jikalau tersingkaplah tutup, sehingga dilihat kepadanya oleh
seseorang makhluk, niscaya terbukalah rahasianya. Maka bagaimana pula jikalau
dilihat oleh manusia seluruhnya ? Maka Allah Ta'’la mengizinkan bagi setiap
hamba, ilmu dengan hal-khusus, yang tidak bersekutu padanya seseorangpun
daripada hamba-hamba Allah. Maka mengapakah ia tidak bersyukur, ditutupkan oleh
Allah hal yang baik, yang dilepaskan oleh Allah atas bentuk keburukannya ? maka
Allah menampakkan yang baik dan menutup yang buruk. Dan menyembunyikan yang
demikian dari mata manusia. Dan mengkhususkan dia yang mengetahuinya. Sehingga
tiada dilihat oleh seseorangpun. Maka inilah 3 perkara nikmat khusus, yang
diakui oleh setiap hamba. Adakalanya secara mutlak dan adakalanya pada
sebahagian perkara. Maka marilah kita turun dari lapisan ini ke lapisan yang
lain, yang lebih umum sedikit daripadanya ! maka kami terangkan: Tiada seorang
hambapun, melainkan ia telah dianugerahkan rezeki oleh Allah Ta’ala pada:
bentuknya atau dirinya atau akhlaknya atau sifat-sifatnya atau isterinya atau
anaknya atau tempat tinggalnya atau negerinya atau temannya atau kaum
kerabatnya atau kemuliaannya atau kemegahannya atau pada kesayangannya yang
lain-lain, akan hal-hal, jikalau ditarik yang demikian itu daripadanya dan
diberikan yang khusus kepada orang lain, kepadanya, niscaya ia tidak rela yang
demikian. Yang demikian itu, umpamanya, bahwa: ia telah dijadikan menjadi orang
mu’min. Tidak orang kafir. Ia hidup, tidak benda keras (beku). Ia insan, tidak
hewan. Ia pria, tidak wanita. Ia sehat, tidak sakit. Ia selamat sejahtera,
tidak berkekurangan. Maka sesungguhnya setiap ini, adalah hal-hal khusus,
walaupun ada juga padanya umum. Maka hal-hal itu, jikalau digantikan dengan
lawannya, niscaya ia tidak rela. Bahkan, ia mempunyai juga hal-hal, yang tidak
dapat digantikan dengan hal-hal anak Adam lainnya. Yang demikian itu,
adakalanya, bahwa ada ia tidak digantikan dengan yang khusus kepada seseorang
makhluk. Atau tidak digantikan dengan yang khusus kepada kebanyakan makhluk.
Maka apabila tidak digantikan keadaan dirinya dengan keadaan diri orang lain,
jadi keadaan dirinya itu lebih baik dari keadaan diri orang lain. Dan apabila
tidak diketahui seorangpun yang rela bagi dirinya akan suatu keadaan, sebagai
ganti dari keadaan dirinya, baik secara keseluruhan atau pada hal khusus, jadi
Allah Ta’ala mempunyai padanya nikmat-nikmat, yang tidak ada pada seseorang
dari hamba-hambaNya yang lain. Dan jikalau ia menggantikan keadaan dirinya
dengan keadaan setengah mereka, tidak dengan setengah yang lain, maka hendaklah
ia memperhatikan kepada bilangan orang-orang yang digemarinya. Maka
sesungguhnya sudah pasti ia melihat mereka berkurang, dikaitkan kepada lainnya.
Maka adalah orang yang lebih rendah daripadanya pada waktu sekarang itu lebih
banyak, dibandingkan dengan banyaknya dari apa yang di atasnya. Maka
bagaimanakah halnya, ia memandang kepada orang yang di atasnya, untuk ia
menghinakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala kepadanya ? dan ia tidak memandang
kepada orang yang kurang daripadanya, untuk ia mengagungkan nikmat-nikmat Allah
kepadanya ? dan apakah hal keadaannya, ia tidak menyamakan duinanya dengan
agamanya ? adakah tidak, apabila ia mencaci dirinya atas kejahatan yang
dikerjakannya, yang ia meminta maaf kepada dirinya, bahwa jumlah orang-orang
fasik (yang tidak taat) itu banyak, lalu ia melihat selalu mengenai agama
kepada orang yang kurang daripadanya, tidak kepada orang yang di atasnya ? maka mengapa tidak
ada penglihatannya pada dunia seperti yang demikian ?
maka apabila ada hal kebanyakan makhluk mengenai agama lebih baik daripadanya
dan halnya mengenai dunia, lebih baik dari hal kebanyakan makhluk, maka
bagaimana tidak harus ia bersyukur ? dan karena inilah,
Nabi saw bersabda: “Siapa yang memandang pada dunia, kepada orang yang
kurang daripadanya dan ia memandang pada agama kepada orang yang di atasnya,
niscaya ia ditulis oleh Allah Ta’ala sebagai orang yang sabar dan bersyukur. Dan orang yang memandang pada dunia kepada orang yang di
atasnya dan pada agama kepada orang yang kurang daripadanya, niscaya ia tidak
ditulis oleh Allah Ta’ala sebagai orang yang sabar dan yang bersyukur”. Jadi,
maka setiap orang yang memperhatikan keadaan dirinya dan memeriksa (mengadakan
introspeksi) mengenai yang khusus dengan dirinya, niscaya ia memperoleh pada
dirinya, akan nikmat yang banyak kepunyaan Allah Ta’ala. Lebih-lebih orang yang
dikhususkan dengan sunnah, iman, ilmu, Alquran, kemudian kelapangan waktu,
kesehatan, keamanan dan lainnya. Dan karena itulah dikatakan pada sekuntum
syair:
Siapa yang menghendaki, hidup lapang,
yang berketerusan pada agamanya,
kemudian, ada perhatian pada dunianya.
Maka hendaklah ia memandang,
kepada orang yang di atasnya tentang wara’nya
(menjaga diri),
dan kepada orang yang di bawahnya, tentang hartanya
!
Nabi saw bersabda: “Siapa yang tiada merasa kaya
dengan ayat-ayat Allah, maka ia tidak dikayakan oleh Allah”. Dan ini adalah
isyarat kepada nikmat ilmu. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Alquran, ialah
kekayaan yang tak ada kekayaan sesudahnya dan tak ada kemiskinan bersamanya”.
Nabi saw bersabda: “Siapa yang didatangkan oleh Allah kepadanya Alquran, lalu
ia menyangka, bahwa ada seseorang yang lebih kaya daripadanya, maka
sesungguhnya, ia menghina ayat-ayat Allah”. Nabi saw bersabda: “Tidaklah dari
kami orang yang tiada melagukan Alquran (membaca dengan lagu)”. Nabi saw
bersabda: “Mencukupilah keyakinan itu suatu kekayaan”. Sebahagian ulama salaf
berkata: “Allah Ta’ala berfirman pada sebahagian kitab-kitab yang diturunkan:
“Bahwa hamba itu AKU kayakan dari 3 perkara: telah AKU sempurnakan
kepadanya nikmatKu dari sultan (penguasa) yang ia datang kepadanya, dari tabib
yang ia berobat padanya dan dari apa yang dalam tangan saudaranya”. Seorang
penyair mengibaratkan dari ini. Ia mengatakan:
Apabila tidak datang kepada anda makanan,
demikian pula kesehatan dan keamanan,
niscaya jadilah anda saudara kesedihan,
maka tiada berpisah dengan anda kesedihan.
Bahkan, ibarat yang paling manis dan kalimat yang
paling jelas, ialah ucapan Rasulullah yang mengucapkan dengan sangat jelas, di
mana beliau menyabdakan dari maksud yang demikian. Beliau bersabda: “Orang yang
menjadi aman pada dirinya, sehat pada badannya dan padanya ada makanan harinya
(yang akan dimakan di hari itu), niscaya seakan-akan telah diberikan kepadanya
dunia dengan segala isinya”. Manakala anda memperhatikan manusia seluruhnya,
niscaya anda dapati mereka itu mengadu dan mengeluh dari semua hal, di balik
yang tiga ini, sedang sesungguhnya semua itu adalah bencana atas mereka. Dan
mereka tidak mensyukuri nikmat Allah pada yang 3 itu. Mereka tidak mensyukuri
nikmat Allah kepada mereka tentang iman, yang dengan iman itu mereka sampai
kepada nikmat yang kekal dan kerajaan yang besar. Bahkan orang yang bermata
hati, seyogyanya bahwa ia tidak bergembira, selain dengan: ilmu mengenal Allah Ta’ala, yakin dan iman.
Bahkan, kita tahu dari para ulama, ada orang, jikalau diserahkan kepadanya,
semua apa yang masuk di bawah kekuasaan raja-raja di bumi, dari masyrik (tempat
matahari terbit) ke maghrib (tempat matahari terbenam), dari harta-harta,
pengikut-pengikut dan pembantu-pembantu dan dikatakan dari 1/100 ilmu engkau
!”. niscaya ia tidak mau mengambilnya. Yang demikian itu, karena harapannya,
bahwa nikmat ilmu itu membawanya kepada kedekatan dengan Allah Ta’ala di
akhirat. Bahkan dikatakan orang kepadanya: “Bagi engkau di akhirat nanti, apa
yang engkau harapkan dengan kesempurnaan nya, maka ambillah kesenangan-kesenangan
ini di dunia, sebagai ganti dari kesenangan engkau dengan ilmu di dunia dan
kegembiraan engkau dengan ilmu itu, niscaya ia tidak akan mau mengambilnya.
Karena diketahuinya, bahwa kesenangan dengan ilmu itu terus-terusan, tiada
putus-putus, yang tersisa, yang tiada akan dicuri orang, tiada akan dirampas
orang. Dan tidak orang berlomba-lomba padanya. Dan sesungguhnya nikmat ilmu itu
bersih, tak ada keruh padanya. Dan kesenangan dunia itu semua berkekurangan,
keruh dan kacau. Tiada sempurna yang diharapkan padanya dengan yang ditakutkan.
Yang lezat daripadanya dengan yang pedih. Dan yang gembira daripadanya dengan
yang sedih. Begitulah adanya sampai sekarang ! dan begitulah akan adanya
sepanjang zaman ! karena tidaklah dijadikan kesenangan dunia itu, selaain untuk
menarik akal-akal yang kurang kepada dunia. Dan ia tertipu. Sehingga apabila ia
sudah tertipu dan terikat dengan dunia, niscaya dunia itu enggan kepadanya dan
durhaka. Seperti wanita yang cantik zahiriyahnya, yang menghiaskan diri untuk pemuda
yang sangat ingin kawin, yang kaya. Sehingga apabila hati pemuda itu sudah
terikat kepadanya, niscaya ia durhaka kepada pemuda itu dan mendindingkan diri
daripadanya. Maka senantiasalah pemuda itu bersama wanita tersebut, dalam
keadaan payah dan kesungguhan yang terus-menerus. Dan semua itu adalah
disebabkan tertipunya pemuda tadi dengan keenakan memandang kepada wanita itu
pada sekejap mata. Dan jikalau ia memasang akalnya dan memicingkan mata dan
memandang rendah dengan kelezatan itu, niscaya selamatlah semua umurnya. Maka
begitulah terjadinya orang-orang yang suka kepada dunia, pada jendela dunia dan
jaring-jaringnya. Dan tiada seyogyalah bahwa kami mengatakan: sesungguhnya
orang yang berpaling dari dunia itu merasa pedih dengan bersabar daripadanya.
Sesungguhnya orang yang menghadap kepada dunia juga merasa pedih, dengan
bersabar padanya dan memeliharakannya. Dan pada menghasilkan nya dan menolak
pencuri-pencuri daripadanya. Dan kepedihan orang yang berpaling itu membawa
kepada kelezatan di akhirat. Dan kepedihan orang yang menghadap kepada dunia
itu membawa kepada kepedihan di akhirat. Maka hendaklah orang yang berpaling
dari dunia itu, membaca kepada dirinya akan firman Allah Ta’ala: “Janganlah
kamu berhati lemah, mengejar kaum (musuh), jika kamu menderita kepedihan,
mereka juga tentu menderita kepedihan, sebagaimana kamu derita. Kamu dapat
mengharapkan apa yang tidak diharapkan mereka daripada Allah”. S 4 An Nisa ayat
104.
Jadi, maka sesungguhnya
tersumbatnya jalan syukur kepada manusia itu, karena bodohnya mereka dengan
bermacam-macam nikmat zahiriyah dan batiniyah, nikmat-nikmat khusus dan
nikmat-nikmat umum. Maka jikalau anda bertanya: apakah obatnya hati yang lalai
ini ? sehingga anda merasakan dengan nikmat-nikmat Allah Ta’ala. Maka semoga anda
mensyukurinya. Maka aku menjawab: adapun hati yang bermata hati, maka
pengobatannya, ialah: memperhati kan pada apa yang telah kami rumuskan, dari
jenis-jenis nikmat Allah Ta’ala yang umum.
Adapun hati yang dungu, yang
tiada menghitung nikmat itu nikmat, selain apabila ia telah khususkan atau ia
rasakan dengan bencana padanya, maka jalannya, ialah: bahwa ia memandang selalu
kepada orang yang kurang daripadanya. Dan ia berbuat apa yang telah diperbuat
oleh sebahagian kaum shufi. Karena ia menghadiri setiap hari rumah tempat
tinggal orang-orang sakit, kuburan-kuburan dan tempat-tempat yang dijalankan
padanya hukuman-hukuman badan orang yang terhukum. Maka ia menghadiri rumah
tempat tinggal orang-orang sakit (rumah sakit), supaya ia menyaksikan berbagai
macam percobaan dari Allah Ta’ala kepada mereka. Kemudian, ia memperhatikan
pada kesehatannya dan keselamatannya. Maka hatinya merasakan dengan nikmat
kesehatan itu, ketika dirasainya dengan bencana bermacam penyakit. Dan ia akan
bersyukur kepada Allah Ta’ala. Dan ia menyaksikan akan orang-orang yang berbuat
aniaya, yang dibunuh, dipotong kaki tangan mereka dan dijatuhkan azab siksaan
dengan bermacam-macam siksaan. Supaya ia bersyukur kepada Allah Ta’ala atas
terpeliharanya dari penganiayaan-penganiayaan dan siksaan-siksaan itu. Dan ia
bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat aman. Dan ia menghadiri
kuburan-kuburan. Maka ia mengetahui, bahwa yang paling disukai oleh orang mati,
ialah: bahwa dikembalikan mereka ke dunia. Walaupun sehari. Adapun orang yang
telah berbuat maksiat kepada Allah, maka supaya ia akan berbuat baik. Dan
adapun orang yang telah berbuat taat, maka ia akan menambahkan pada
ketaatannya. Sesungguh nya hari kiamat itu hari tipu-menipu (yaumut-taghaabun).
Maka orang yang berbuat taat itu tertipu. Karena ia melihat balasan
ketaatannya. Maka ia mengatakan: “Aku sanggup kepada yang lebih banyak lagi
dari taat-taat ini. Maka alangkah besarnya ketipuanku, karena aku sia-siakan
sebahagian waktu pada perbuatan-perbuatan yang mubah. Adapun orang yang berbuat
kemaksiatan, maka ketipuannya itu jelas. Maka apabila ia menyaksikan
kuburan-kuburan dan ia mengetahui, bahwa yang paling disukai mereka, ialah:
bahwa ada bagi mereka yang masih ada dari umur, apa yang masih ada sisanya
baginya. Lalu ia menyerahkan sisa umur itu, kepada apa yang diingini oleh orang
yang di dalam kubur, kembali ke dunia karenanya. Supaya adalah yang demikian
itu mengenal nikmat-nikmat Allah Ta’ala pada sisa umur. Bahkan, pada
memperlahankan pada setiap nafas dari nafas-nafasnya. Dan apabila ia mengatahui
akan nikmat itu, niscaya ia bersyukur, dengan menyerahkan umurnya kepada apa
yang dijadikan umur itu karenanya. Yaitu: menyiapkan perbekalan dari dunia
untuk akhirat. Maka inilah pengobatan hati yang lalai. Supaya ia merasakan
dengan nikmat-nikmat Allah Ta’ala. Maka semoga ia mensyukurinya.
Sesungguhnya adalah Ar-Rabi’ bin
Khaitsam serta kesempurnaan penglihatannya, meminta tolong dengan jalan
tersebut, untuk menguatkan ilmu mengenal
Allah Ta’alanya. Maka ia telah mengorek kuburan di rumahnya. Ia memakai dua
tutup lehernya. Dan ia tidur dalam lobang lahadnya (lobang kuburannya).
Kemudian ia membaca: “Wahai Tuhanku ! kembalikanlah aku (hidup) ! supaya aku
mengerjakan perbuatan yang baik (amal shalih)”. S 23 Al Mukminuun ayat 99-100.
Kemudian, ia bangun dan mengatakan: “Hai Rabi’ ! telah diberikan apa yang
engkau minta. Maka berbuatlah sebelum engkau meminta kembali. Lalu tidak
ditolakkan permintaan engkau. Dan sebahagian daripada yang seyogyanya bahwa
diobati hati yang jauh daripada kesyukuran, ialah: bahwa anda mengetahui, bahwa
nikmat itu apabila tidak disyukuri, niscaya hilang dan tidak kembali.
Dan karena itulah, Al-Fudlail
bin ‘Iyadl ra berkata: “Haruslah kamu selalu bersyukur kepada nikmat ! maka
sedikitlah nikmat yang hilang dari suatu kaum, lalu nikmat itu kembali kepada
mereka”. Sebahagian salaf mengatakan: “Nikmat itu liar, maka ikatkanlah dengan
syukur !”. Tersebut pada hadits: “Tiadalah besar suatu nikmat Allah Ta’ala
kepada seorang hambaNya, melainkan banyaklah keperluan manusia kepadanya. Maka
siapa yang memudah-mudahkan dengan mereka, niscaya datanglah nikmat itu untuk
hilang”. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya Allah tiada merobah keadaan suatu
kaum, sebelum mereka merobah keadaan diri mereka sendiri”. S Ar Ra’d ayat 11.
Maka ini sempurnalah rukun tersebut.
RUKUN KETIGA: dari Kitab Sabar dan Syukur, mengenai apa yang
bersekutu padanya sabar dan syukur dan terikat salah satu dari keduanya dengan
lainnya.
PENJELASAN: cara berkumpulnya sabar dan syukur atas barang
sesuatu.
Semoga anda mengatakan apa yang anda sebutkan
tentang nikmat-nikmat itu, sebagai isyarat, bahwa Allah Ta’ala mempunyai nikmat
pada setiap yang ada (maujud). Dan ini menunjukkan, bahwa bencana itu
sekali-kali tidak ada. Jadi, apa arti sabar bila demikian ? dan jikalau bencana
itu ada, maka apa arti syukur di atas bencana ? dan orang-orang mendakwakan:
bahwa kami bersyukur atas bencana, lebih-lebih lagi bersyukur di atas nikmat.
Maka bagaimanakah tergambar bersyukur atas bencana ? dan bagaimana ia bersyukur
atas apa yang ia bersabar ? dan sabar atas bencana itu membawa kepada
kepedihan. Dan syukur itu membawa kepada kegembiraan. Dan keduanya itu
berlawanan. Dan apakah artinya apa yang anda sebutkan, bahwa Allah Ta’ala
mempunyai nikmat pada setiap apa yang dijadikanNya kepada hamba-hambaNya ?
ketahuilah kiranya, bahwa bencana itu ada, sebagaimana nikmat itu ada. Dan
perkataan: dengan mengakui adanya nikmat itu mengharuskan perkataan: dengan
mengakui adanya bencana. Karena keduanya itu berlawanan. Maka tidak adanya bencana
itu nikmat. Dan tidak adanya nikmat itu bencana. Akan tetapi, telah diterangkan
dahulu, bahwa nikmat itu terbagi kepada: nikmat mutlak dari setiap segi.
Adapun di akihrat, maka seperti: kebahagiaan
hamba dengan bertempat di sisi Allah Ta'ala. Adapun di dunia, maka seperti:
iman dan bagus akhlak dan apa yang menolong kepada keduanya. Dan kepada: nikmat
yang terikat (tidak mutlak) dari suatu segi. Tidak dari suatu segi yang lain.
Seperti: harta yang mendatang kan kebaikan bagi agama, dari suatu segi. Dan
merusakkan agama dari suatu segi yang lain. Maka seperti yang demikian itu
bencana, yang terbagi kepada: mutlak dan tidak mutlak (muqayyad atau terikat).
Adapun yang mutlak di akhirat,
maka jauh dari Allah Ta’ala. Adakalanya pada masa tertentu dan adakalanya untuk
selama-lamanya. Adapun di dunia, maka yaitu: kufur, maksiat dan buruk akhlak.
Dan itu yang membawa kepada bencana mutlak. Adapun yang muqayyad (terikat atau
tidak mutlak), maka yaitu seperti: miskin, sakit, takut dan berbagai macam
bencana lainnya, yang tidak ada dalam bencana agama. Akan tetapi, pada: dunia.
Maka syukur mutlak itu bagi nikmat yang mutlak. Adapun bencana mutlak di dunia,
maka kadang-kadang tidak disuruh bersabar padanya. Karena kufur itu bencana.
Dan tidak ada arti bersabar padanya. Dan demikian juga maksiat. Akan tetapi,
menjadi kewajiban orang kafir itu meninggalkan kufurnya ((kekafirannya). Dan
demikian juga kewajiban orang yang berbuat maksiat. Benar, orang kafir itu
kadang-kadang tidak tahu, bahwa dia itu orang kafir. Maka adalah dia seperti
orang, yang ada padanya penyakit. Dan ia tidak merasa sedih, disebabkan pingsan
atau lainnya. Maka tidak ada sabar atasnya. Dan orang yang berbuat maksiat itu
mengetahui bahwa ia berbuat maksiat. Maka haruslah atasnya meninggalkan maksiat
itu. Bahkan, setiap bencana yang sanggup manusia menolaknya, maka ia tidak
disuruh bersabar atas bencana itu. Maka jikalau manusia itu meninggalkan air,
serta sudah lama haus, sehingga beratlah penderitaannya, maka ia tidak disuruh
bersabar atas yang demikian. Akan tetapi, ia disuruh menghilangkan kepedihan
itu. Sesungguhnya sabar itu atas kepedihan, yang tiada jalan kepada hamba untuk
menghilangkan nya. Jadi, maka kembalilah sabar di dunia, kepada apa yang tidak
dia itu bencana mutlak. Akan tetapi, boleh bahwa ada dia itu nikmat dari satu
segi. Maka karena itulah tergambar bahwa terkumpul padanya: tugas sabar dan
syukur. Maka sesungguhnya kaya umpamanya, dapat bahwa ia menjadi sebab bagi
binasanya manusia. Sehingga ia dimaksudkan orang, disebabkan hartanya. Lalu ia
dibunuh dan anak-anaknya dibunuh. Kesehatan juga seperti demikian. Maka
tiadalah suatu nikmatpun dari nikmat-nikmat duinawi ini, melainkan dapat bahwa
ia menjadi bencana. Akan tetapi, dengan dikaitkan kepada orang itu. Maka
seperti demikian juga, tiada dari suatu bencanapun, melainkan dapat bahwa ia
menjadi nikmat. Akan tetapi, dengan dikaitkan kepada keadaan orang itu. Maka
banyaklah hamba, yang ada kebajikan baginya pada kemiskinan dan kesakitan. Dan
jikalau sehat badannya dan banyak hartanya, niscaya ia sombong dan durhaka.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau Allah melapangkan rezeki seluas-luasnya
kepada hamba-hambaNya, sesungghnya mereka akan berbuat durhaka di bumi”. S 42
Asy Syuura ayat 27. Dan Allah Ta’ala berfirrman: “Jangan ! sesungguhnya manusia
itu bertindak melanggar batas. Disebabkan ia melihat dirinya serba cukup”. S Al
‘Alaq ayat 6-7. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menjaga hambaNya
yang beriman dari dunia dan IA mengasihinya, sebagaimana seseorang kamu menjaga
orang sakitnya”. Dan seperti demikian juga: isteri, anak dan kaum kerabat. Dan
setiap apa yang kami sebutkan pada bahagian-bahagian yang 16 dari nikmat-nikmat
itu, selain iman dan kebagusan akhlak, maka sesungguhnya tergambar, bahwa
adalah itu bencana terhadap sebahagian manusia. Jadi, maka adalah
lawan-lawannya itu nikmat terhadap mereka. Karena telah diterangkan dahulu,
bahwa ilmu mengenal Allah Ta’ala itu
suatu kesempurnaan dan nikmat.
Maka sesungguhnya ilmu mengenal Allah Ta’ala itu salah satu
daripada sifat-sifat Allah Ta’ala. Akan tetapi, kadang-kadang adalah ilmu mengenal Allah Ta’ala itu atas hamba
menjadi bencana pada sebahagian hal-ihwal. Dan adalah tidak adanya ilmu mengenal Allah Ta’ala itu menjadi suatu
nikmat. Umpamanya: tidak tahunya manusia dengan ajalnya. Maka itu suatu nikmat
kepadanya. Karena jikalau diketahuinya, niscaya kadang-kadang keruhlah
kehidupannya. dan lamalah dengan yang demikian itu kesusahannya. Dan seperti
demikian juga, tidak tahunya ia apa yang disembunyikan manusia atas dirinya,
daripada pengetahuan dan kaum kerabatnya, adalah suatu nikmat kepadanya. Karena
jikalau tirai itu diangkat dan dipelihatkan kepadanya, niscaya lamalah
kepedihannya, kebusukan hatinya, kedengkiannya dan kesibukannya menuntut balas
dendam. Dan seperti demikian juga, tidak tahunya ia dengan sifat-sifat yang
tercela dari orang lain, adalah suatu nikmat kepadanya. Karena jikalau
diketahuinya, niscaya memarahkannya dan menyakitinya. Dan adalah yang demikian
itu suatu bencana kepadanya di dunia dan di akhirat. Bahkan, tidak tahunya
dengan hal-hal yang terpuji pada orang lain, kadang-kadang adalah nikmat
kepadanya. Maka sesungguhnya kadang-kadang adalah orang itu walli (aulia) Allah
Ta’ala. Dan ia terpaksa menyakitikannya dan menghinakannya. Dan jikalau
diketahuinya yang demikian dan ia menyakitinya, niscaya tidak boleh tidak
adalah dosanya itu lebih besar. Maka tidaklah orang yang menyakiti nabi atau
wali dan ia kenal, seperti orang yang menyakiti dan ia tidak kenal.
Di antara nikmat-nikmat itu,
tidak dipertegaskan oleh Allah Ta’ala urusan kiamat. Tidak dipertegaskanNya
malam Lailatul qadar dan saat mustajabah pada hari Jum’at. Dan tidak
dipertegaskanNya sebahagian dosa-dosa besar. Maka semua yang demikian itu
adalah nikmat. Karena kebodohan ini menyempurnakan pengajak-pengajak anda
kepada mencarinya dan bersungguh-sungguh pada mencarinya. Maka inilah segi-segi
nikmat Allah Ta’ala pada kebodohan ! maka bagaimana pula pada pengetahuan ? dan
sekitanya kami katakan, bahwa Allah Ta’ala mempunyai nikmat pada setiap yang
ada (maujud). Maka itu benar. Dan yang demikian itu banyak terjadi pada pihak
setiap orang. dan tiada dikecualikan daripadanya dengan sangkaan, selain
kepedihan-kepedihan yang dijadikan oleh Allah Ta’ala pada sebahagian manusia.
Dan itu juga, kadang-kadang adalah nikmat pada pihak orang yang selamat dari
kepedihan-kepedihan itu. Dan jikalau itu bukan nikmat pada pihak orang
tersebut, seperti: kepedihan yang terjadi dari perbuatan maksiat, seperti: dipotongnya
tangannya sendiri dan ditusuk-tusuknya kulitnya, maka sesungguhnya ia merasa
pedih dengan yang demikian. Dan ia berbuat maksiat dengan perbuatan tersebut.
Dan kepedihan orang-orang kafir dalam neraka, maka itu juga suatu nikmat. Akan
tetapi, pada pihak yang lain dari kafir-kafir itu, dari hamba-hambaNya. Tidak
pula pihak kafir-kafir itu. Karena musibah bagi suatu golongan itu banyak
faedahnya pada golongan lain. Dan jikalau tidaklah Allah Ta’ala menciptakan
azab siksaan dan diazabkan suatu golongan dengan azab itu, niscaya tidaklah
diketahui oleh orang-orang yang merasakan nikmat akan kadar nikmat-nikmatnya.
Dan tidaklah banyak kegembiraan mereka dengan nikmat-nikmat itu. Maka
kegembiraan penduduk sorga sesungguhnya berlipat ganda, apabila mereka merenungkan
tentang kepedihan yang dideritai penduduk neraka.
Apakah tidak anda melihat penduduk dunia, bahwa tiada bersangatan kegembiraan
mereka dengan sinar matahari, serta sangat berhajatnya mereka kepadanya, dari
segi bahwa itu adalah umum yang diberikan ? dan tiada bersangatan kegembiraan
mereka dengan memandang kepada hiasan langit dan itu adalah yang terbaik dari
setiap taman kepunyaan mereka di bumi, yang mereka bersungguh-sungguh pada
membangunnya. Akan tetapi, hiasan langit itu, tatkala telah umum merata,
niscaya mereka tiada merasakannya. Dan tiada merasa gembira dengan sabdanya.
Jadi, benarlah apa yang telah kami sebutkan, bahwa Allah Ta’ala tiada
menciptakan sesuatu, melainkan ada padanya hikmah. Dan tiada menciptakan
sesuatu, melainkan ada padanya nikmat. Adakalanya kepada semua hamba-hambaNya.
Atau kepada sebahagian mereka. Jadi, pada ciptaan Allah Ta’ala, bahwa bencana
itu nikmat juga.
Adakalanya, kepada orang yang
mendapat bencana atau kepada orang yang tiada mendapat bencana itu. Jadi,
setiap hal-keadaan tidaklah dapat disifatkan, bahwa itu bencana mutlak. Dan
tidak nikmat mutlak. Maka terkumpullah padanya di atas satu masa: dua tugas.
Yaitu: sabar dan syukur bersama-sama. Jikalau anda bertanya: bahwa keduanya itu
berlawanan, maka bagaimanakah keduanya berkumpul ? karena tiada sabar, selain
di atas kesedihan. Dan tiada syukur, selain di atas kegembiraan. Maka
ketahuilah, bahwa suatu keadaan, kadang-kadang disedihkan dari suatu segi dan
digembirakan dari segi yang lain. Maka adalah kesabaran dari segi kesedihan dan
kesyukuran dari segi kegembiraan. Pada setiap kemiskinan, kesakitan, ketakutan
dan kebencanaan di dunia itu 5 perkara, yang seyogyanya bahwa
orang yang berakal itu bergembira dan bersyukur dengan yang demikian:
Pertama: bahwa setiap musibah dan
sakit, maka tergambarlah, bahwa ada yang lebih besar daripadanya. Karena semua
yang dikuasai oleh Allah Ta’ala itu tiada berkesudahan. Maka jikalau digandakan
oleh Allah Ta’ala dan ditambahkanNya musibah itu, apa yang ia menolaknya dan
mendindinginya, maka hendaklah ia bersyukur. Karena tidaklah musibah itu yang
terbesar di dunia.
Kedua: bahwa mungkin ada musibah itu
pada agamanya. Seorang laki-laki menerangkan kepada Sahal ra: “Pencuri masuk ke
rumahku dan mengambil harta bendaku”. Sahal ra menjawab: “Bersyukurlah kepada
Allah Ta’ala ! jikalau masuklah setan ke hati engkau, maka ia merusakkan tauihd
engkau, maka apakah yang engkau perbuat ? dan karena itulah nabi Isa as memohonkan
perlindungan pada Allah Ta’ala dalan doanya. Karena ia berdoa: “Wahai Allah,
Tuhanku ! janganlah Engkau jadikan musibahku pada agamaku !”.
Umar bin Al-Khattab ra berkata:
“Tidaklah aku mendapat percobaan dengan sesuatu bencana, melainkan ada bagi
Allah Ta’ala atasku padanya 4 nikmat: karena tidak ada bencana itu pada
agamaku. Karena tidak ada ia lebih besar daripadanya. Karena aku memperoleh
ridhaa dengan percobaan itu. Dan karena aku mengharap pahala padanya”.
Sebahagian mereka yang mempunyai hati suci (arbaabul-qulub) mempunyai seorang
teman. Lalu teman itu dipenjarakan oleh sultan (penguasa). Maka ia mengirimkan
orang yang akan memberitahukan dan mengadukan halnya kepada yang mempunyai hati
suci itu. Yang berhati suci itu menyampaikan kepada temannya itu: “Bersyukurlah
kepada Allah Ta’ala !”. Lalu penguasa itu memukul teman tersebut. Maka ia
mengirim orang, yang memberitahukan dan mengadukan halnya. Maka yang berhati
suci itu mengatakan: “Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala !”. Maka dibawalah
seorang Majusi, lalu ditahan di sisi teman itu. Dan majusi itu berpenyakit
perut. Maka majusi itu diikat. Dan dijadikan rantai dari ikatannya pada kaki
teman itu. Dan diirantaikan pada kaki orang majusi itu. Lalu teman tersebut
mengirim utusan kepada orang yang suci hati itu. Maka orang yang berhati suci
tersebut mengatakan: “Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala !”. Adalah orang majusi
itu memerlukan bangun berdiri berkali-kali. Dan ia memerlukan bahwa teman itu
bangun berdiri bersama dia. Dan teman itu berdiri di dekatnya, sehingga orang
majusi itu selesai dari membuang air besarnya (qodo hajat). Maka teman itu
menulis surat kepada yang berhati suci tersebut, menerangkan keadaan yang
demikian. Maka yang berhati suci itu menjawab: “Bersyukurlah kepada Allah
Ta’ala !”. Maka teman itu menjawab: “Sampai kapan ini ? manakah bencana yang
lebih besar dari ini ?”. Lalu orang yang berhati suci itu mengatakan: “Jikalau
dijadikan tali-pinggang yang ada di pinggang orang majusi itu ke pinggang
engkau, maka apakah yang engkau perbuat ?”. Jadi, tiada seorang insanpun yang
memperoleh musibah dengan sesuatu bencana, melainkan, jikalau kiranya ia
memperhatikan dengan sebenar-benarnya, tentang jahat adab kesopanannya, zahir
dan batin, terhadap Tuhannya, niscaya ia akan melihat, bahwa ia berhak lebih
banyak lagi daripada musibah yang telah diperolehnya, sekarang (di
dunia) dan nanti (di akhirat). Siapa yang berhak atas
engkau, bahwa ia memukul engkau 100 cambuk, lalu ia singkatkan kepada 10, maka
dia itu berhak diucapkan terima kasih (disyukuri). Orang yang berhak atas
engkau, bahwa memotong kedua tangan engkau, lalu ia tinggalkan salah satu
daripada keduanya, maka orang itu berhak diucapkan terima kasih. Dan karena
demikianlah, sebahagian syaikh (guru) melintasi pada suatu jalan besar, lalu dituangkan
ke atas kepalanya suatu tempat basuh tangan yang penuh abu dapur. Lalu ia
bersujud kepada Allah Ta’ala sujud syukur. Maka ia ditanyakan orang: “Sujud apa
ini ?”. Beliau menjawab: “Aku menunggu bahwa dituangkan api atasku. Maka
dicukupkan dengan abu dapur itu suatu nikmat”. Ditanyakan kepada sebahagian
mereka (para syaikh): “Mengapa tidak engkau keluar untuk shalat minta hujan
(shalat istisqa’), padahal hujan sudah lama tidak turun ?”. Lalu beliau
menjawab: “Kamu merasa lama tidak turun hujan dan aku merasa lama tidak turun
batu”. Kalau anda mengatakan: bagaimana aku bergembira dan aku melihat
segolongan manusia, dari orang-orang yang bertambah kemaksiatannya dari
kemaksiatanku. Dan mereka itu tidak mendapat musibah, dengan apa yang aku
terima musibahnya. Sehingga mereka orang-orang kafir. Maka ketahuilah, bahwa
orang kafir itu telah disembunyikan baginya yang lebih banyak. Dan sesungguhnya
ditangguhkan, sehingga ia bertambah banyak lagi dosanya. Dan akan lamalah
siksaan atasnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami beri
tangguh mereka, supaya bertambah dosanya”. S 3 Ali Imran ayat 178. Adapun orang
yang berbuat maksiat, maka dari manakah anda tahu, bahwa dalam alam ini ada
orang yang lebih banyak perbuatan maksiatnya daripadanya ? banyak orang yang
terguris di hatinya dengan buruk adab terhadap Allah Ta’ala dan terhadap
sifat-sifatNya itu, lebih besar dan lebih banyak dari minum khamar, zina dan
perbuatan-perbuatan maksiat dengan anggota badan lainnya. Dan karena itulah,
Allah Ta’ala berfirman mengenai contohnya: “Dan kamu kira dia itu perkara kecil
saja, padahal di sisi Allah suatu perkara besar”. S An Nur ayat 15.
Maka darimanakah anda tahu,
bahwa orang lain dari anda itu lebih maksiat dari anda ? kemudian, semoga orang
itu dikemudiankan siksaannya ke akhirat dan disegerakan siksaan anda di dunia.
Maka mengapakah anda tidak bersyukur kepada Allah Ta’ala atas yang demikian ?
Ini adalah segi ke3 pada syukur! Yaitu, bahwa tiada dari suatu siksaanpun,
melainkan adalah tergambar bahwa akan dikemudiankan ke akhirat. Dan
musibah-musibah dunia itu dihiburkan dengan sebab-sebab yang lain, yang
mengentengkan musibah. Lalu ringanlah hasilnya. Dan musibah akhirat itu
terus-menerus. Dan jikalau tidak terus-menerus, maka tiada jalan meringankannya
dengan hiburan. Karena sebab-sebab hiburan itu terputus secara keseluruhan di
akhirat, dari orang-orang yang diazabkan. Dan orang yang disegerakan siksaannya
di dunia, maka ia tidak disiksakan lagi kali kedua. Karena
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya hamba apabila berbuat suatu dosa, lalu
ia dikenakan kesukaran atau kebencanaan di dunia, maka Allah Maha Pemurah
daripada mengazabkannya kali kedua”.
Keempat: bahwa musibah dan bencana
ini telah tertulis atas dirinya di Luh al-mahfudh (Ummul-kitab). Dan tak boleh
tidak daripada sampainya musibah dan bencana itu kepadanya. Dan telah sampai
dan telah selesai. Dan ia dapat beristirahat dari sebahagiannya atau dari
semuanya. Maka ini adalah nikmat.
Kelima: bahwa pahalanya lebih banyak
daripadanya. Maka sesungguhnya musibah-musibah dunia itu jalan ke akhirat, dari
dua segi:
Pertama: segi, yang dengan segi itu,
adalah obat yang tidak disukai itu nikmat terhadap si sakit. Dan adalah
larangan dari sebab-sebab permainan itu nikmat terhadap anak kecil. Maka
sesungguhnya jikalau anak kecil itu dibiarkan, maka permainan itu mencegahnya
dari ilmu dan adab sopan santun. Maka ia merugi semua umurnya. Maka seperti
demikian juga: harta, isteri, kaum kerabat dan anggota-anggota badan. Sehingga
matapun yang termulia dari segala sesuatu, kadang-kadang adalah sebab binasanya
insan pada sebahagian hal keadaan. Bahkan akal, yang menjadi termulia segala
urusan, kadang-kadang adalah sebab bagi binasanya insan. Maka orang yang
mengingkari adanya Tuhan (orang mulhid) pada hari esok, berangan-angan, jikalau
adalah mereka itu orang gila atau anak-anak. Dan mereka tidak menggunakan
akalnya pada agama Allah Ta’ala. Maka tiada suatupun dari sebab-sebab ini, yang
didapati dari seorang hamba, melainkan tergambar, bahwa adalah baginya pada
yang tersebut itu kebajikan keagamaan. Maka ia harus membaguskan sangkaan
kepada Allah Ta’ala. Dan ia menilaikan padanya kebajikan dan mensyukurinya.
Maka sesungguhnya hikmah Allah itu mahaluas. Dan DIA lebih tahu dengan
kepentingan hamba-hambaNya daripada hamba-hamba itu sendiri. Dan pada hari
esok, IA akan disyukuri oleh hamba-hambaNya di atas bencana-bencana, apabila
mereka melihat akan pahala daripada Allah di atas bencana-bencana itu.
Sebagaimana anak kecil bersyukur, sesudah berakal dan dewasa, kepada gurunya
dan ayahnya, atas pukulan dan pengajarannya. Karena ia tahu akan buah yang
diperolehnya daripada pengajaran itu. Dan bencana daripada Allah Ta’ala itu pengajaran.
Dan kesungguhan Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya itu lebih sempurna dan lebih
lengkap daripada kesungguhan bapak-bapak dengan anak-anaknya. Sesungguhnya
diriwayatkan, bahwa sorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw bersabda: “Berilah
aku nasehat (wasiat)”. Maka Rasulullah saw bersabda: “Janganlah engkau menuduh
Allah pada sesuatu yang ditakdirkanNya (yang menjadi qodo (hukum
taqdir) –qadarNya/takdir) atas engkau”. Rasulullah saw memandang ke langit,
lalu tertawa. Maka beliau ditanyakan, lalu beliau menjawab: “Aku merasa ta’jub
bagi qodo’ (ketetapan) Allah Ta’ala kepada orang yang beriman. Kalau
ditetapkanNya bagi orang yang beriman itu dengan yang menyenangkan, niscaya ia
rela dan adalah itu kebajikan baginya. Dan kalau ditetapkannya bagi orang yang
beriman itu dengan yang tidak menyenangkan, niscaya ia rela. Dan adalah itu
kebajikan baginya”.
Segi kedua: bahwa pokok kesalahan
yang membinasakan itu kecintaan kepada dunia. Dan pokok sebab-sebab kelepasan
itu kekosongan hati dari negeri tipuan (dunia). Dan berdatangan nikmat
bersesuaian dengan maksud, tanpa bercampur dengan bencana dan musibah itu
mempusakakan ketenteraman hati kepada dunia dan sebab-sebabnya. Dan kejinakan
hati dengan dunia. Sehingga jadilah dunia itu seperti sorga pada pihaknya. Lalu
besarlah bencananya ketika mati, disebabkan perpisahannya. Dan apabila
banyaklah musibahnya kepadanya, niscaya terkejutlah hatinya dari dunia. Dan ia
tidak merasa tenteram kepada dunia. Dan tidaklah hatinya merasa jinak kepada
dunia. Dan jadilah dunia itu penjara baginya. Dan adalah kelepasannya dari
dunia itu penghabisan kelezatan, seperti terlepasnya dari penjara. Dan karena
itulah Nabi saw bersabda: “Dunia itu penjara orang yang beriman dan
sorga orang yang kafir”. Dan kafir itu, ialah:
setiap orang yang berpaling daripada Allah Ta’ala. Dan ia tidak menghendaki,
selain kehidupan duniawi. Ia rela dengan dunia dan merasa tenteram dengan
dunia. Dan orang mu’min, ialah: setiap orang yang memutuskan hatinya dari
dunia, sangat ingin keluar dari dunia. Dan kekafiran itu, sebahagiannya terang
dan sebahagiannya tersembunyi. Dan menurut kadar kecintaan kepada dunia di
dalam hati itu menjalar syirik yang tersembunyi di dalam hati. bahkan, orang
yang berkeesaan mutlak, ialah: orang yang tiada mencintai, selain Yang Maha
Esa, Yang Maha Benar. Jadi, dalam bencana itu ada nikmat-nikmat dari segi ini.
Maka haruslah bergembira dengan yang demikian. Adapun merasa kepedihan itu,
maka itu penting. Dan yang demikian itu menyerupai dengan kegembiraan anda
ketika memerlukan kepada berbekam, dengan orang yang mengurus pembekaman anda
dengan cuma-cuma. Atau meminumkan anda akan obat yang bermanfaat, yang tidak
bagus bentuknya, dengan cuma-cuma. Maka sesungguhnya anda merasa pedih dan
bergembira. Maka anda bersabar di atas kepedihan dan mensyukurinya di atas
sebab kegembiraan.
Maka
setiap bencana pada urusan-urusan duniawi itu contohnya adalah obat, yang
dirasakan pedihnya pada waktu sekarang dan merasa bermanfaat pada masa
mendatang. Bahkan orang yang memasuki rumah raja, karena kecantikannya dan ia
tahu, bahwa ia –sudah pasti –akan dikeluarkan dari rumah itu, lalu ia melihat
wajah yang cantik, yang tidak keluar bersama dia dari rumah itu, niscaya adalah
yang demikian itu malapetaka dan bencana atas dirinya. Karena mempusakakan
kepadanya akan kejinakan hati dengan tempat tinggal, yang tidak mungkin ia
tinggal padanya. Dan jikalau ada atas dirinya pada tinggal di tempat itu bahaya
dilihat oleh raja, lalu disiksakannya, maka menimpalah atas dirinya apa yang
tiada menyenanginya sehingga melarikannya dari tempat itu, niscaya adalah yang
demikian itu suatu nikmat kepadanya. Dan dunia itu tempat tinggal. Dan manusia
masuk ke dunia dari pintu rahim ibu. Dan mereka keluar dari dunia, dari pintu
liang kuburan (liang lahad). Maka setiap yang mengokohkan kejinakan hati mereka
dengan tempat tinggal, maka itu bencana. Dan setiap yang mengejutkan hati
mereka dari dunia dan memutuskan kejinakan hati mereka dari dunia, maka itu
adalah nikmat. Maka siapa yang mengenal ini, niscaya tergambarlah daripadanya,
bahwa ia bersyukur atas bencana-bencana. Dan siapa yang tidak mengenal akan
nikmat-nikmat ini pada bencana, niscaya tidaklah tergambar daripadanya
kesyukuran itu. Karena kesyukuran itu mengikuti akan pengenalan nikmat dengan
mudah. Dan siapa yang tidak percaya, bahwa pahala musibah itu lebih besar
daripada musibah, niscaya tidaklah tergambar daripadanya akan kesyukuran atas
musibah. Diceritakan, bahwa seorang Arab desa berta’ziah pada Ibnu Abbas atas
kewafatan ayahnya. Lalu Arab desa itu bermadah:
Bersabarlah,
niscaya kami bersabar dengan anda !
Sesungguhnya kesabaran rakyat adalah,
sesudah sabarnya kepala.
Kebajikan dari Abbas,
ialah pahala dari anda sesudahnya.
Kebajikan bagi Abbas,
demi Allah, adalah dari anda.
Maka Ibnu Abbas berkata: “Tiada seorangpun yang
berta’ziah (berbela-sungkawa) kepadaku, yang lebih baik daripada
ta’ziahnya”. Hadits-hadits yang datang tentang sabar atas musibah-musibah itu
banyak. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa dikehendaki oleh Allah dengan dia
akan kebajikan, niscaya didatangkan Nya musibah kepadanya”. Nabi saw bersabda:
“Allah Ta’ala berfirman: “Apabila Aku menghadapkan kepada seseorang dari
hamba-hambaKu akan suatu musibah pada badannya atau hartanya atau anaknya,
kemudian ia terima yang demikian dengan kesabaran yang baik, niscaya Aku malu
daripadanya pada hari kiamat, bahwa Aku tegakkan baginya neraca timbangan amal
atau Aku bukakan baginya buku suratan amal”. Nabi saw bersabda: “Tiada dari
seseorang hamba yang dikenakan dengan sesuatu musibah, lalu ia membaca,
sebagaimana disuruh oleh Allah Ta’ala: “Innaa lil-laahi wa innaa ilaihi
raaji-‘uun –Wahai Allah Tuhanku ! berilah aku pahala pada musibah yang menimpa
aku dan sudahilah aku dengan kebajikan daripadanya, melainkan diperbuatkan oleh
Allah yang demikian dengan dia”. Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa Aku cabutkan dua matanya, maka balasannya, ialah: kekal pada
rumahKu dan memandang kepada wajahKu”. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki
berkata: “Wahai Rasulullah ! telah hilang hartaku dan telah sakit tubuhku”.
Rasulullah saw menjawab: “Tiada kebajikan pada seorang hamba, yang tiada hilang
hartanya dan tiada sakit tubuhnya. Sesungguhnya Allah, apabila mengasihi
seorang hamba, niscaya dicobaNya. Dan apabila dicobaNya, niscaya disabarkannya”.
Rasulullah saw bersabda: “Bahwa seorang laki-laki sesungguhnya ada baginya
derajat pada sisi Allah Ta’ala, yang ia tidak sampai kepadanya dengan amal,
sehingga ia dicobakan dengan suatu bencana pada tubuhnya. Maka ia sampai kepada
derajat itu dengan yang demikian”.
Dari Khabbab bin Al-Arat, yang
mengatakan: “Bahwa kami datang kepada Rasulullah saw. Dan beliau berbantal
dengan kain selendangnya pada naungan Ka’bah. Lalu kami mengadu kepadanya. Kami
mengatakan: “Wahai Rasulullah ! apakah tidak engkau berdoa kepada Allah Ta’ala,
yang engkau minta tolong padaNya bagi kami ? Maka Rasulullah saw duduk, dengan
merah warna wajahnya. Kemudian, bersabda: “Sesungguhnya ada orang yang sebelum
kamu, dibawakan kepada seorang laki-laki, lalu dikorek baginya dalam tanah
suatu lobang kecil. Dan didatangkan gergaji. Lalu gergaji itu diletakkan di
atas kepalanya. Maka kepalanya dijadikan dua bahagian. Maka yang demikian itu,
tidak memalingkan orang tadi dari agamanya”.
Dari Ali ra yang mengatakan:
“Siapapun laki-laki yang ditahan oleh penguasa dengan kezaliman, lalu laki-laki
itu mati, maka dia itu syahid. Dan kalau dipukulnya, lalu mati, maka dia itu
syahid”. Nabi saw bersabda: “Dari pengagungan Allah dan mengetahui hakNya,
bahwa engkau tidak mengadukan kesakitan engkau dan engkau tidak menyebutkan
musibah engkau”. Abud-Darda ra berkata: “Kamu dilahirkan untuk mati. Kamu
membangun untuk runtuh. Dan kamu loba kepada apa yang akan lenyap. Dan kamu
tinggalkan apa yang kekal. Ketahuilah, kiranya yang dibencikan itu 3: miskin, sakit dan
mati”.
Dari Anas ra mengatakan:
“Rasulullah saw bersabda: “Apabila Allah menghendaki kebajikan kepada seorang
hamba dan IA menghendaki, bahwa membersihkannya, niscaya IA tuangkan atas hamba
itu bencana dan IA tumpahkan bencana itu atasnya. Maka apabila hamba itu berdoa
kepada Allah Ta’ala, niscaya para malaikat berkata: “Suara yang sudah dikenal
(suara biasa)”. Dan kalau hamba itu berdoa kepada Allah Ta’ala kali kedua, lalu
ia berdoa: “Ya Rabbi, wahai Tuhanku !”, nisaya Allah Ta’ala berfirman: “Aku
perkenankan, hai hambaKu ! dan kebahagiaan engkau ! engkau tidak memintakan
sesuatu padaKu, melainkan Aku berikan kepada engkau. Atau Aku tolakkan dari
engkau, apa yang lebih baik. Dan Aku simpankan bagi engkau pada sisiKu apa yang
lebih utama daripadanya. Maka apabila telah ada hari kiamat, niscaya
didatangkan orang-orang yang mempunyai amal. Lalu disempurnakan mereka akan
amalnya dengan timbangan, dimana mereka itu orang yang mengerjakan shalat,
puasa, sedekah dan haji. Kemudian orang-orang yang kena bencana. Maka tidak
didirikan bagi mereka timbangan amal. Dan tidak dibentangkan bagi mereka buku
suratan amal. Dituangkan kepada mereka, pahala, sebagaimana telah dituangkan
kepada mereka, bencana. Maka orang yang sehat wal-afiat di dunia, ingin jikalau
adalah mereka itu digunting-guntingkan tubuhnya dengan gunting, untuk mereka
tidak melihat, apa yang diperoleh daripada pahala oleh orang-orang yang
mendapat bencana. Maka yang demikian itu firmanNya Yang Maha Tinggi:
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati teguh (sabar) itu, akan disempurnakan
pahalanya dengan tiada perhitungan”. S Az Zumar ayat 10.
Dari Ibnu Abbas ra yang
mengatakan: “Salah seorang dari nabi-nabi dahulu mengadu kepadaTuhannya. Ia
berkata: “Wahai Tuhanku ! hamba yang mu’min ini taat kepada Engkau dan menjauhi
dari perbuatan-perbuatan maksiat kepada Engkau. Engkau cegahkan dunia
daripadanya. Dan Engkau datangkan bencana baginya. Dan adalah hamba yang kafir
itu tiada mentaati Engkau. Ia berani kepada Engkau dan kepada
perbuatan-perbuatan maksiat kepada Engkau. Engkau cegahkan bencana daripadanya.
Dan Engkau lapangkan dunia baginya”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada
nabi itu: “Bahwa hamba-hamba itu kepunyaanKu. Dan bencana itu kepunyaanKu. Dan
semuanya bertasbih memujikan Aku. Maka adalah orang mu’min itu, atas dirinya
dari dosa-dosa. Maka Aku cegahkan dunia daripadanya. Dan Aku datangkan baginya
bencana. Maka adalah bencana itu menutupkan dosa-dosanya. Sehingga ia bertemu
dengan Aku. Maka Aku berikan balasan kepadanya dengan kebaikan-kebaikannya. Dan
adalah orang kafir itu baginya segala kebaikan. Maka Aku bentangkan baginya
tentang rezeki. Aku cegahkan bencana daripadanya. Maka Aku balaskannya dengan
kebaikan-kebaikannya didunia. Sehingga ia menemui Aku, maka Aku balaskannya
dengan kejahatan-kejahatannya”.
Diriwayatkan, bahwa tatkala
turun firman Allah Ta’ala: “Siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan
mendapat pembalasan kejahatan pula”. S 4 An Nisa ayat 123, lalu Abubakar
Ash-Shiddiq ra berkata: “Bagaimana kegembiraan sesudah ayat ini ?”. Lalu Rasulullah
saw bersabda: “Diampunkan Allah akan engkau, wahai Abubakar ! ada tidakkah
engkau sakit ? apakah engkau tidak ditimpakan oleh yang menyakitkan ? apakah
tidak engkau susah ? maka ini termasuk apa yang dibalaskan engkau dengan yang
demikian”. Ya’ni: bahwa semua apa yang tertimpa atas engkau adalah kafarat,
(penutup) bagi dosa-dosa engkau.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwa ia
mendengar dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Apabila kamu melihat
seseorang, yang diberikan oleh Allah, apa yang disukainya dan orang itu tetap
atas kemaksiatannya, maka ketahuilah, bahwa yang demikian itu pengansuran ke
arah kebinasaan (istidraj)”. Kemudian, nabi saw membaca firman Allah Ta’ala,
yang artinya: “Setelah mereka melupakan peringatan yang diberikan kepada
mereka, Kami bukakan kepada mereka pintu segala sesuatu”. Ya’ni: tatkala mereka
meninggalkan apa yang disuruh, maka Kami bukakan kepada mereka pintu-pintu
kebajikan. Kemudian, sambungan ayat di atas: “Sehingga apabila mereka gembira
dengan apa yang diberikan kepada mereka dari kebajikan, lalu Kami siksa mereka
dengan sekonyong-konyong”. S 6 Al An’aam ayat 44. Diriwayatkan dari Al-Hasan
Al-Bashari ra, bahwa seorang laki-laki
dari sahabat ra melihat seorang wanita yang dikenalnya pada masa jahiliyah.
Lalu laki-laki tadi menoleh kepada wanita itu dan ia terus berjalan. Lalu ia
ditumbuk dinding, maka membekas pada mukanya. Maka ia datang kepada Nabi saw
lalu diceritakannya. Maka Nabi saw bersabda: “Apabila Allah berkehendak dengan
kebajikan pada seorang hamba, niscaya disegerakanNya bagi hamba itu siksaan
dosanya di dunia”.
Ali ra berkata: “Apakah tidak
aku kabarkan kepadamu, dengan ayat yang lebih banyak harapan dalam Alquran ?”.
Para sahabat itu menjawab: “Belum!”. Lalu beliau bacakan kepada mereka: “Dan
setiap musibah yang menimpa kamu itu, adalah disebabkan oleh perbuatan tangan
kamu sendiri dan Allah memaafkan sebahagian besar daripadanya”. S 42 Asy Syuura
ayat 30. Maka segala musibah di dunia adalah dengan usaha dosa. Maka apabila ia
disiksakan oleh Allah di dunia, maka Allah Maha Pemurah daripada akan
mengazabkannya kali kedua. Dan jikalau dimaafkannya di dunia, maka Allah Maha
Pemurah daripada akan mengazabkannya pada hari kiamat”.
Dari Anas ra yang meriwayatkan
dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Tiadalah sekali-kali seorang hamba
meneguk dua teguk yang lebih dikasihi oleh Allah, daripada teguk kemarahan,
yang ditolaknya dengan lemah lembut. Dan teguk musibah, yang bersabar orang itu
baginya. Dan tiada menetes suatu tetes yang lebih dikasihi oleh Allah, dari setetes
darah yang ditumpahkan pada jalan Allah (fisabilil-lah). Atau setetes air mata
pada malam yang gelap dan ia bersujud. Dan tiada melihatnya, selain Allah. Dan
tiada seorang hamba yang melangkah dua
langkah, yang lebih dikasihi oleh Allah Ta’ala, daripada langkah kepada shalat
fardlu dan langkah kepada silaturrahim”. Dari Abid-Darda’ yang mengatakan:
“Telah wafat putera nabi Sulaiman as bin Daud. Maka ia merasa kesedihan yang
sangat. Lalu datang kepadanya dua malaikat. Kedua malaikat itu duduk berjingkak
di hadapannya dalam pakaian musuh. Lalu yang satu berkata: “Aku telah
menaburkan benih. Maka tatkala telah datang waktu panen, lalulah orang ini.
Maka dirusakkannya”. Lalu malaikat tadi berkata kepada yang satu lagi: “Apa
katamu ?”. Lalu malaikat itu berkata: “Aku mengambil jalan yang ditempuh. Maka
aku datang ke tanaman itu. Lalu aku melihat kanan dan kiri. Maka tiba-tiba ada
jalan ke tanaman itu”. Maka Nabi Sulaiman as menjawab: “Mengapa engkau taburkan
di atas jalan ? apakah engkau tidak tahu, bahwa manusia itu memerlukan kepada
jalan ?”. Malaikat itu lalu bertanya: “Mengapakah engkau bersusah hati atas
wafatnya putera engkau ? apakah engkau tidak tahu, bahwa mati itu jalan akhirat
?”. Maka bertaubatlah Nabi Sulaiman as kepada Tuhannya. Dan ia tidak gundah
lagi atas anaknya sesudah itu.
Umar bin Abdul-’aziz masuk ke
tempat puteranya yang sedang sakit. Lalu beliau berkata: “Hai anakku !
sesungguhnya ada engkau dalam neracaku itu lebih aku sukai, daripada adanya aku
dalam neraca engkau”. Puteranya itu menjawab: “Wahai ayahku ! bahwa adanya apa
yang engkau sukai itu, lebih aku sukai daripada adanya apa yang aku sukai”.
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa diberitahukan kepadanya akan kematian anak
perempuannya. Lalu ia membaca: “Innaa lil-laahi wa innaa ilaihi raaji’uun
(membaca istirja’). Dan ia berkata: “Aurat yang ditutupkan oleh Allah Ta’ala.
Perbelanjaan yang dicukupkan oleh Allah. Dan pahala yang dihalaukan oleh
Allah”. Kemudian, ia turun dari tempat tidurnya. Lalu mengerjakan shalat dua
rakaat. Kemudian, ia berkata: “Kami telah perbuat apa yang disuruh oleh Allah
Ta’ala. Ia Yang Maha Tinggi berfirman: “Minta tolonglah dengan sabar dan
shalat”. S 2 Al Baqarah ayat 45.
Diirwayatkan dari Ibnul-Mubarak,
bahwa mati puteranya. Lalu seorang majusi yang dikenalnya berta’ziah kepadanya.
Maka majusi itu berkata kepadanya: “Seyogyalah bagi orang yang berakal, bahwa
berbuat hari ini, apa yang diperbuat oleh orang bodoh sesudah 5 hari”. Maka
berkata Ibnul-Mubarak: “Tulislah kata-kata itu daripadanya!”. Sebahagian ulama
berkata: “Sesungguhnya Allah mencoba akan hambaNya, dengan bencana, demi
bencana. Sehingga ia berjalan di atas bumi dan tak ada lagi baginya dosa”.
Al-Fudlail berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala membuat perjanjian dengan
hambaNya yang mu’min akan bencana, sebagaimana laki-laki membuat perjanjian dengan
isterinya akan kebajikan”.
Hatim Al-Asham berkata:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala berhujjah (memberi keterangan) pada hari kiamat,
dengan makhluk, dengan 4 orang atas 4 jenis: atas orang-orang kaya, dengan
Sulaiman, atas orang-orang miskin dengan Isa Al-masih, atas budak-budak dengan
Yusuf dan atas orang-orang sakit dengan Ayyub. Rahmat Allah kepada mereka
sekalian”. Diriwayatkan, bahwa Zakaria as tatkala lari dari orang-orang kafir
dari kaum Bani Israil (kaum Yahudi) dan ia bersembunyi dalam sepohon kayu. Maka
diketahui oleh kaum Bani Israil yang demikian. Lalu didatangkan gergaji. Maka
digergajikan pohon kayu itu. Sehingga sampailah gergaji itu ke kepala Zakaria.
Maka ia menjerit dari karena yang demikian. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu
kepadanya: “Hai Zakaria ! jikalau keraslah dari engkau jeritan yang kedua,
niscaya akan Aku hapuskan engkau dari daftar kenabian”. Maka Zakaria menggigit
giginya atas kesabaran. Sehingga ia terpotong dua bahagian.
Ibnu Mas’ud Al-Balakhi berkata:
“Barangsiapa tertimpa dengan musibah, lalu merobekkan kain atau memukul dada,
maka seakan-akan ia mengambil tombak, bermaksud memerangi Tuhannya ‘Azza Wa
Jalla”. Lukman ra berkata kepada anaknya: “Hai anakku ! sesungguhnya emas itu
dicoba dengan api. Dan hamba yang shalih itu dicoba dengan bencana. Maka
apabila Allah mengasihi suatu kaum, niscaya dicobaNya akan mereka. Maka siapa
yang rela, niscaya baginya rela Allah. Dan siapa yang marah, niscaya baginya
marah Allah”.
Al-Ahnaf bin Qais berkata: “Pada suatu hari,
aku mengadu akan kesakitan gigiku. Lalu aku katakan kepada pamanku: “Tiada aku
tidur semalam dari sakitnya gigiku”. Sehingga aku katakan yang demikian 3
kali”. Lalu pamanku menjawab: “Kamu telah membanyakkan perkataan dari hal
gigimu dalam satu malam. Dan mataku ini telah hilang semenjak 30 tahun yang
lampau, tiada diketahui oleh seorangpun”.
Allah Ta’ala menurunkan wahyu
kepada ‘Uzair as: “Apabila turun pada engkau bencana, maka janganlah engkau
mengadukan Aku kepada makhlukKu! Dan mengadulah kepadaKu! sebagaimana aku tidak
mengadukan engkau kepada malaikat-malaikatKu, apabila naiklah
kejahatan-kejahatan engkau dan kekejian-kekejian engkau”. Kita bermohon kepada
Allah dari kebesaran kelemah-lembutanNya dan kemurahanNya, akan ketutupanNya
yang elok di dunia dan diakhirat.
PENJELASAN: kelebihan nikmat atas bencana.
Kiranya anda mengatakan, bahwa hadits-hadits yang
tersebut itu menunjukkan, bahwa bencana lebih baik di dunia daripada nikmat.
Maka adalah kita meminta pada Allah akan bencana ? Maka aku mengatakan, bahwa
tiada jalan bagi yang demikian. Karena diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa
beliau berlindung dalam doanya dari bencana dunia dan bencana akhirat. Adalah
ia saw dan para nabi as berdoa: “Wahai Tuhan kami ! berilah kami kebaikan di
dunia ini dan kebaikan pula di akhirat”. S 2 Al Baqarah ayat 201. Mereka
meminta perlindungan Allah Ta’ala daripada cacian musuh dan lainnya. Ali ra
berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku bermohon padaMu akan
kesabaran”. Lalu Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya engkau meminta pada Allah
akan bencana, maka mintalah padaNya akan keafiatan/kebaikkan !”.
Abubakar Ash-Shiddiq ra
meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Mintalah pada Allah
akan keafiatan ! maka tiada seorangpun yang diberikan, yang lebih utama dari keafiatan,
selain yakin”. Nabi saw mengisyaratkan kepada keafiatan hati, daripada penyakit
kebodohan dan keraguan. Maka keafiatan hati itu lebih tinggi dari keafiatan
badan.
Al-Hasan Al-Bashari ra berkata: “Kebajikan yang tak ada padanya
kejahatan ialah: keafiatan serta syukur. Maka banyaklah orang yang memperoleh
nikmat, yang tidak bersyukur”. Mathraf bin Abdullah berkata: “Sesungguhnya aku
memperoleh keafiatan, lalu bersyukur, lebih aku sukai daripada aku memperoleh
bencana, lalu bersabar”. Nabi saw mengucapkan dalam doanya: “Dan keafiatan yang
Engkau berikan kepadaku itu lebih aku sukai”. Ini adalah lebih terang daripada
diperlukan kepada dalil dan penyaksian. Dan pahamilah ! karena bencana itu
menjadi nikmat dengan dua ibarat:
Pertama: dibandingkan kepada apa yang
lebih banyak daripadanya. Adakalanya pada dunia atau pada agama.
Yang kedua: dibandingkan kepada apa
yang diharapkan dari pahala. Maka seyogyalah bahwa meminta pada Allah akan
kesempurnaan nikmat di dunia. Dan menolak apa yang di atasnya dari bencana. Dan
bermohon pada Allah Ta’ala akan pahala di akhirat atas kesyukuran pada
nikmat-nikmatNya. Maka sesungguhnya IA Maha Kuasa, bahwa memberikan atas
kesyukuran, apa yang tidak diberikanNya atas kesabaran. Kalau anda mengatakan:
sesungguhnya sebahagian mereka mengatakan: “Sesungguhnya aku ingin bahwa adalah
aku ini jembatan atas neraka, yang dilalui seluruh makhluk atasku. Lalu mereka
itu terlepas. Dan aku ada dalam neraka”. Samnun ra mengucapkan sekuntum syair:
Tiadalah bagiku,
pada selain Engkau kebahagiaan.
Maka bagaimana kehendakMu,
maka datanglah bagiku percobaan !
Maka ini dari mereka itu, adalah permintaan
bencana. Maka ketahuilah, bahwa diceritakan dari Sanun Al-Muhibb ra bahwa ia
mendapat bencana sesudah diucapkannya sekuntum syair itu, dengan penyakit
tertahan kencing. Lalu sesudah itu, ia berkeliling ke pintu-pintu maktab
(sekolah) dan mengatakan kepada anak-anak: “Berdoalah bagi pamanmu yang
pendusta ini !”. Adapun kesukaan insan supaya dia dalam neraka, tidak makhluk
yang lain, maka itu tidak mungkin. Akan tetapi, kadang-kadang keras
kecintaannya pada hati, sehingga disangkakan oleh yang mencintai dirinya akan
kecintaan seperti yang demikian. Maka siapa yang meminum segelas kecintaan,
niscaya ia mabuk. Dan siapa yang mabuk, niscaya ia meluas pada perkataannya.
Dan jikalau hilang kemabukannya itu, niscaya ia tahu, bahwa apa yang mengerasi
atasnya, adalah suatu keadaan, yang tiada sebenarnya. Maka apa yang anda dengar
dari ilmu ini, adalah termasuk perkataan orang-orang yang asyik, yang bersangatan
kecintaan mereka. Dan perkataan orang-orang yang asyik itu sedap kedengarannya.
Dan tidak menjadi pegangan. Sebagaimana diceritakan, bahwa burung fakhitah
(semacam burung merpati) dibujuk oleh jantannya. Maka ia tidak mau. Lalu
jantannya itu bertanya: “Apakah yang melarangkan engkau daripadaku ? dan
jikalau engkau kehendaki, supaya aku balikkan bagi engkau, bumi dan langit ini
bersama kerajaan Sulaiman, terbalik yang di atas ke bawah, niscaya akan aku
kerjakan, demi karena engkau”. Maka didengar yang demikian oleh nabi Sulaiman
as. Lalu beliau memanggilnya dan memakinya. Maka jantan burung itu menjawab:
”Wahai nabi Allah ! perkataan orang-orang yang asyik penuh kerinduan itu tidak
diceritakan (tidak dibuat menjadi cerita)”. Dan adalah itu seperti yang dikatakan
jantan itu. Seorang penyair bermadah:
Aku mau menyambung silaturrahim dengan dia itu,
dan ia mau meninggalkan aku.
Maka aku tinggalkan apa kemauanku,
untuk memenuhi kemauannya itu.
Dan itu juga mustahil ! artinya: aku kehendaki apa
yang tidak ia kehendaki. Karena orang yang mau menyambung silaturrahim, niscaya
tidak mau meninggal kannya. Maka bagaimana ia mau meninggalkan, yang tidak
dikehendakinya ? akan tetapi, perkataan ini tidak benar, selain dengan dua
penafsiran:
Pertama: bahwa apa yang demikian itu
pada sebahagian keadaan. Sehingga diusahakan kerelaannya, yang akan
menyampaikannya kepada maksud penyambungan silaturrahim itu pada masa
mendatang. Maka adalah meninggalkannya itu, jalan kepada ridha. Dan ridha itu
jalan kepada penyambungan yang dicintai. Dan jalan kepada yang dicintai itu
dicintai. Maka adalah contohnya seperti orang yang mencintai harta. Apabila ia
dapat menyelamatkan sedirham dalam dua dirham, maka dengan mencintai dua dirham
itu, ia meninggalkan yang sedirham itu seketika.
Kedua: bahwa jadilah ridhanya itu
padanya dicari, dari segi bahwa itu ridhanya saja. Dan ada baginya kelezatan
pada merasakannya ridha kekasihnya daripadanya. Kelezatan itu bertambah atas
kelezatannya, pada menyaksikannya serta kebenciannya. Maka pada ketika itu,
tergambarlah, bahwa ia menghendaki apa yang ada padanya keridhaan. Maka karena
itulah, sesungguhnya berkesudahan keadaan sebahagian orang-orang yang mencintai
sesuatu, bahwa jadilah kelezatan mereka pada bencana, serta dirasakan mereka
akan ridha Allah kepada mereka itu lebih banyak daripada kelezatan mereka pada
keafiatan badan, tanpa merasakan ridha Allah. maka mereka itu apabila menilai
ridhaNya pada bencana, niscaya jadilah bencana itu lebih disukai mereka
daripada keafiatan badan. Inilah keadaan, yang tiada jauh kejadiannya pada
kekerasan kecintaan. Akan tetapi itu tidak tetap. Dan jikalau tetap umpamanya,
maka adakah itu keadaan yang sehat ? atau keadaan yang dikehendaki oleh keadaan
lain, yang datang kepada hati, lalu cenderung ia dari kelurusan ? ini, padanya
perhatian ! dan menyebutkan pentahkikannya itu tidak layak dengan apa yang
sedang kita bicarakan. Dan telah jelas dengan apa yang telah terdahulu, bahwa
keafiatan itu lebih baik daripada bencana. Maka kita bermohon pada Allah Ta’ala
yang menganugerahkan nikmat dengan kurniaNya, kepada semua makhlukNya, akan
kemaafan dan keafiatan, pada agama, dunia dan akhirat bagi kita dan bagi semua
kaum muslimin !
PENJELASAN: yang lebih utama dari sabar dan syukur.
Ketahuilah kiranya, bahwa manusia itu berselisih
paham pada yang demikian. Maka berkatalah orang-orang yang mengatakan: bahwa
sabar itu lebih utama dari syukur. Dan berkata yang lain: bahwa syukur itu yang
lebih utama. Dan berkata yang lain lagi: keduanya itu sama. Dan berkata yang
lain pula: berbeda dengan yang demikian, dengan perbedaan hal-keadaan. Dan
masing-masing golongan, berdalihkan dengan perkataan yang sangat kacau, jauh
daripada menghasilkan. Maka tiada arti bagi pemanjangan dengan naqal (yang
diambil dari Alquran dan hadits). Akan tetapi, bersegera kepada melahirkan
kebenaran itu lebih utama. Maka kami mengatakan, bahwa pada yang demikian itu 2
tingkat:
Tingkat pertama: penjelasan atas
jalan mudah-memudahkan. Yaitu: bahwa memandang kepada yang zahir dari
urusannya. Dan tidak dicari dengan pemeriksaan yang mendalam akan
hakikat/maknanya. Yaitu: penjelasan yang seyogyanya dihadapkan kepada orang
awam. Karena singkatnya paham mereka, daripada mengetahui hakikat/makna yang
tersembunyi. Dan perkataan dari ilmu ini, ialah yang seyogyanya, bahwa akan
dipegang oleh juru-juru pengajaran. Karena maksud perkataan mereka, daripada
menghadapkan kepada orang awam itu, ialah: perbaikan bagi orang awam. Dan
wanita yang penuh kasih sayang kepada anak orang lain, tiada seyogyalah bahwa
ia berbuat perbaikan bagi anak kecil itu dengan daging-daging burung yang gemuk
dan berbagai macam kuwe-kuwe. Akan tetapi, dengan susu yang halus. Dan haruslah
wanita itu mengemudiankan dari anak itu makanan yang enak-enak, sampai anak itu
sanggup menanggungnya dengan kekuatannya. Dan ia berpisah dengan kelemahan yang
ada pada bangunan tubuhnya. Maka kami katakan, bahwa tingkat ini pada
penjelasan itu enggan akan pembahasan dan penguraian. Dan yang dikehendaki,
ialah memandang kepada zahiriyah yang dipahami dari sumber-sumber agama. Dan
yang demikian itu menghendaki pengutamaan sabar. Maka sesungguhnya syukur,
walaupun telah datang banyak hadits tentang kelebihannya, maka apabila
dibandingkan kepadanya, dengan apa yang datang, tentang keutamaan sabar,
niscaya adalah keutamaan sabar itu lebih banyak. Bahkan pada sabar itu terdapat
kata-kata yang tegas tentang pengutamaannya. Seperti sabda Nabi saw: “Dari yang
lebih utama didatangkan kepadamu itu, ialah: yakin dan tetapnya sabar”. Dan
tersebut pada hadits: “Akan didatangkan penduduk bumi yang paling bersyukur.
Maka ia akan dibalas oleh Allah sebagai balasan orang-orang yang bersyukur. Dan
akan didatangkan penduduk bumi yang paling sabar. Maka dikatakan kepadanya:
“Apakah engkau tidak ridha, bahwa engkau Kami beri balasan, sebagaimana Kami
beri balasan kepada orang yang bersyukur ini ?”. Orang itu lalu menjawab: “Ya,
wahai Tuhanku !”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Sekali-kali tidak ! Aku telah
memberikan nikmat kepadanya, maka ia bersyukur. Dan Aku telah mencobamu dengan
bencana , maka kamu bersabar. Sesungguhnya akan Aku lipat-gandakan bagimu
pahala atas kesabaran itu”. Maka dia diberikan berlipat-ganda dari balasan
orang-orang yang bersyukur”. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang yang sabar itu akan disempurnakan pahalanya, dengan tiada
perhitungan”. S Az Zumar ayat 10.
Adapun sabda Nabi saw: “Orang
yang makan, yang bersyukur itu adalah setingkat dengan orang yang berpuasa,
yang sabar”. Maka itu menunjukkan atas keutamaan pada sabar. Karena disebutkan
yang demikian itu pada membentangkan bersangatan (mubalaghah), bagi
mengangkatkan derajat syukur. Lalu dihubungkannya dengan sabar. Maka adalah ini
kesudahan derajatnya. Dan jikalau tidak bahwa telah dipahami dari agama, akan
ketinggian derajat sabar, niscaya tidaklah dihubungkan syukur itu, dengan
sabar, untuk bersangatan (mubalaghah) pada syukuur.
Dan itu adalah seperti sabda
Nabi saw: “Jum’at itu haji orang-orang miskin. Dan jihad wanita itu bagus
urusan suaminya”. Dan seperti sabda Nabi saw: “Peminum khamar itu seperti
penyembah patung berhala”. Dan selalu barang yang diserupakan dengan dia (al-musyabbahu
bih) itu, seyogyanya bahwa lebih tinggi tingkatnya. Maka seperti demikian pula
sabda Nabi saw: “Sabar itu separuh iman”, tidaklah menunjukkan, bahwa syukur
itu seperti yang demikian. Dan itu juga seperti sabda Nabi saw: “Puasa itu
separuh sabar”. Maka sesungguhnya setiap apa yang terbagi 2 bahagian itu,
dinamakan salah satu daripada keduanya, dengan: separuh (nish-fu). Walaupun ada
di antara keduanya itu berlebih kurang. Sebagaimana dikatakan, bahwa iman itu:
ilmu dan amal. Maka amal itu, ialah: separuh iman. Maka tidaklah menunjukkan
yang demikian itu, bahwa: amal sama dengan ilmu. Tersebut pada hadits, dari
sabda Nabi saw: “Nabi yang penghabisan masuk sorga, ialah: Sulaiman bin Daud as karena kedudukan kerajaannya. Dan shahabatku yang penghabisan
masuk sorga, ialah: Abdurrahman bin ‘Auf, karena kedudukan kekayaannya”.
Tersebut pada hadits yang lain: “Sulaiman as akan masuk sorga sesudah nabi-nabi
lain, dengan 40 kharif (musim sesudah musim panas)”. Tersebut pada hadits:
“Pintu-pintu sorga itu semuanya duabelah, selain pintu sabar. Maka pintu sabar
itu sebelah. Orang yang pertama yang memasukinya, ialah: orang-orang yang
mendapat bencana. Di depan mereka, ialah: nabi Ayyub as”. Setiap apa yang
datang tentang kelebihan kemiskinan itu menunjukkan kepada kelebihan sabar.
Karena sabar itu adalah hal keadaan orang miskin. Dan syukur itu adalah hal
keadaan orang kaya. Maka ini adalah tingkat yang memuaskan orang-orang awam.
Dan mencukupkan mereka pada pengajaran yang layak dengan mereka. Dan
memperkenalkan bagi yang padanya kebaikan agama mereka.
Tingkat kedua: ialah penjelasan. Yang
kami maksudkan dengan penjelasan ini, ialah memperkenalkan ahli ilmu dan
memperhatikan hakikat/makna segala perkara, dengan jalan kasyaf (terbuka hijab)
dan keterangan. Maka kami katakan tentang ini, bahwa: setiap perkara yang di
antara dua hal yang tidak terang, niscaya tidak mungkin memperbandingkan di
antara keduanya, serta ketidak-terangan itu, selama tidak disingkapkan dari
hakikat/makna masing-masing dari keduanya. Dan setiap yang disingkapkan itu
melengkapi atas beberapa bahagian, yang tidak mungkin memperbandingkannya di
antara satu jumlah dengan jumlah lainnya. Akan tetapi, wajib dipisahkan satu
persatu, dengan memperbandingkannya. Sehingga jelaslah yang kuat. Sabar dan syukur
itu, bahagian dan cabang-cabangnya banyak. Maka tidaklah terang hukum keduanya,
tentang kuat dan kurang, secara tersimpul. Sesungguhnya telah kami sebutkan
dahulu, bahwa tingkat-tingkat ini akan teratur dari perkara yang tiga: ilmu,
hal-ihwal dan amal. Syukur dan sabar dan tingkat-tingkat yang lain, adalah
seperti yang demikian. Dan yang tiga itu, apabila dibandingkan sebahagian
daripadanya dengan sebahagian, niscaya mengisyaratkan bagi orang-orang yang
memperhatikan pada zahiriyahnya, bahwa ilmu-ilmu itu dikehendaki untuk
hal-ihwal. Dan hal-ihwal itu dikehendaki untuk amal. Dan amal itu, ialah: yang
terutama. Adapun orang-orang yang bermata hati, maka perkara itu pada mereka,
adalah sebaliknya dari yang demikian. Maka amal itu dimaksudkan bagi hal-ihwal.
Dan hal-ihwal itu dimaksudkan bagi ilmu. Maka yang lebih utama, ialah: ilmu.
Kemudian hal-ihwal. Kemudian amal. Karena setiap yang dimaksudkan itu adalah
bagi lainnya. Maka yang lain itu –sudah pasti –lebih utama daripadanya.
Adapun masing-masing dari yang
tiga itu, maka amal-amal itu kadang-kadang bersamaan. Dan kadang-kadang
berlebih kurang. Apabila dikaitkan sebahagiannya kepada sebahagian yang lain.
Begitu pula masing-masing hal-ihwal, apabila dikaitkan sebahagiannya kepada
sebahagian. Dan begitu pula masing-masing ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
yang lebih utama, ialah: ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Dan dia lebih
tinggi daripada: ilmu mu’amalah (jual beli). Bahkan ilmu mu’amalah (jual beli)
itu kurang dari mu’amalah (jual beli) itu sendiri. Karena ilmu itu dimaksudkan
bagi mu’amalah (jual beli). Maka faedahnya, ialah: perbaikan amal perbuatan.
Dan sesungguhnya diutamakan orang berilmu (orang alim) dengan mu’amalah (jual
beli), di atas orang yang beribadah (orang’abid), apabila adalah ilmunya itu
meratai manfaatnya. Maka adalah ia, dengan dibandingkan kepada amal khusus itu,
lebih utama. Dan kalau tidak demikian, maka ilmu yang singkat dengan amal,
tidaklah lebih utama dari amal yang singkat. Maka kami mengatakan, bahwa:
faedah perbaikan amal ialah: perbaikan keadaan hati. Dan faedah perbaikan
keadaan hati, ialah: bahwa terbuka baginya keagungan Allah Ta’ala, pada ZatNya,
sifat-sifatNya dan Perbuatan-perbuatan Allah. Maka ilmu diminta untuk
mengetahuinya saja yang tertinggi, ialah: mengenal ( ilmu mengenal Allah Ta’ala)
Allah SWT. Dan itulah tujuan yang dicari, demi tujuan
itu sendiri. Maka sesungguhnya kebahagiaan dicapai dengan dia. Bahkan dia
itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Akan tetapi, kadang-kadang hati tidak
merasakan di dunia, bahwa itu kebahagiaan yang sebenarnya. Hanya dirasakannya
dengan demikian di akhirat. Maka itulah ilmu mengenal Allah Ta’ala yang merdeka, yang
tak ada ikatan padanya. Maka ia tidak terikat dengan yang lain. Dan setiap ilmu
yang lain daripadanya itu budak dan pelayan, dibandingkan kepadanya. Maka ilmu
itulah yang dikehendaki, karena ilmu itu sendiri. Dan tatkala adalah ia yang
dikehenndaki, karena dia sendiri, niscaya adalah kelebih-kurangannya itu
menurut manfaatnya, pada membawa kepada ilmu mengenal Allah Ta’ala Allah
Ta’ala. Maka sebahagian ilmu mengenal
Allah Ta’ala-ilmu itu membawa kepada sebahagian yang lain. Adakalanya: dengan
satu perantaraan atau dengan banyak perantaraan. Maka setiap kali adanya
perantaraan-perantaraan di antaranya dan antara ilmu mengenal Allah Ta’ala Allah Ta’ala itu
sedikit, maka itu adalah lebih utama. Adapun hal-ihwal, maka yang kami
maksudkan, ialah: hal-ihwal hati, pada pembersihannya dan penyuciannya dari
campuran-campuran duniawi dan gangguan-gangguan makhluk. Sehingga apabila hati
itu telah suci dan bersih, niscaya teranglah baginya hakikat/makna kebenaran.
Jadi, keutamaan hal-ihwal itu adalah menurut kadar membekasnya pada perbaikan
hati, penyuciannya dan penyediaannya, supaya berhasil baginya ilmu-ilmu diminta
untuk mengetahuinya saja. Dan seperti pengkilatan cermin itu memerlukan kepada
didatangkan atas kesempurnaannya, hal-ihwal bagi cermin. Sebahagiannya lebih
mendekati kepada kekilatan dari sebahagian lainnya. Maka seperti demikian juga,
hal-ihwal hati. Maka hal yang dekat atau yang mendekatkan kepada kebersihan
hati, sudah pasti, itulah yang lebih utama, daripada yang kurang daripadanya,
disebabkan kedekatan kepada yang dimaksud. Dan begitulah tertibnya amal
perbuatan. Maka sesungguhnya membekasnya, ialah: pada penguatan kebersihan hati
dan menarik hal-ihwal kepadanya. Dan setiap amal itu, adakalanya ditarikkan
kepadanya, akan hal keadaan yang mencegah dari: diminta untuk mengetahuinya
saja, yang mengharuskan kegelapan hati, yang menghela kepada keelokan-keelokan duniawi.
Dan adakalanya, bahwa ditarikkan kepadanya hal-keadaan yang menyiapkan bagi
mukasyafah (terbuka hijab), yang mengharuskan bagi kebersihan hati dan
memutuskan hubungan-hubungan dunia daripadanya.
Maka nama yang pertama tadi:
ma’siat. Dan nama yang kedua itu: taat. Perbuatan-perbuatan maksiat dari segi
pembekasan pada kegelapan hati dan kekasaran nya itu berlebih kurang. Dan
demikian juga perbuatan-perbuatan taat pada penyinaran hati dan pembersihannya.
Maka tingkat-tingkatnya adalah menurut tingkat-tingkat pembekasannya. Yang
demikian itu berbeda menurut perbedaan hal-keadaan. Dan yang demikian itu,
sesungguhnya kami dengan perkataan mutlak, kadang-kadang kami mengatakan: bahwa
shalat sunat itu lebih utama dari setiap ibadah sunat. Haji itu lebih utama
dari sedekah. Dan bangun malam hari untuk mengerjakan shalat itu lebih utama
dari lainnya. Akan tetapi, pentahkikan padanya, bahwa orang kaya yang
bersamanya ada harta dan telah dikerasi oleh kekikiran dan kecintaan harta pada
menahankannya, maka pengeluaran sedirham baginya lebih utama daripada bangun
beberapa malam untuk shalat dan puasa beberapa hari. Karena puasa itu layak
dengan orang yang telah dikerasi oleh keinginan perut. Maka ia bermaksud
memecahkannya. Atau ia dicegah oleh kekenyangan, dari bersihnya pikiran dari
ilmu-ilmu mukasyafah (terbuka hijab). Maka ia bermaksud membersihkan hati
dengan: lapar. Maka adapun pengatur ini, apabila hal-keadaannya tidak
hal-keadaan ini, niscaya tidaklah ia memperoleh melarat dengan keinginan
perutnya. Dan tidak ia sibuk dengan semacam pikiran, yang dicegah dia oleh
kekenyangan daripadanya. Maka pekerjaannya dengan puasa itu, adalah keluarnya
dari hal-ihwalnya kepada hal-ihwal lainnya. Dan dia itu seperti orang sakit
yang mengadukan kesakitan perut. Apabila ia memakai obat pening, niscaya tidak
bermanfaat dengan obat itu. Akan tetapi, yang benar, ialah ia memperhatikan
pada yang membinasakan, yang menguasai atas dirinya. Dan kekikiran yang
dipatuhi itu adalah termasuk dalam jumlah yang membinasakan. Dan puasa 100
tahun dan bangun malam mengerjakan shalat 1000 malam itu, tidaklah
menghilangkan sebiji atompun daripadanya. Akan tetapi, yang menghilangkannya, ialah:
mengeluarkan harta. Maka haruslah ia bersedekah, dengan
apa yang ada padanya. Dan penguraian ini, termasuk apa yang telah kami sebutkan
dahulu pada “Rubu Yang Membinasakan”. Maka hendaklah kembali kepadanya ! jadi,
dengan memandang hal-hal ini, maka itu berbeda. Dan ketika itu, orang yang
bermata hati, akan mengetahui, bahwa jawaban mutlak padanya itu salah. Karena,
jikalau berkata kepada kita orang yang mengatakan: roti itu yang lebih utama
atau air, niscaya tidak ada padanya jawaban yang benar. Selain, bahwa: roti
bagi orang yang lapar itu lebih utama. Dan air bagi orang yang haus itu lebih
utama. Maka jikalau keduanya berkumpul, maka diperhatikan kepada: yang lebih
keras. Jikalau haus yang lebih keras, maka air yang lebih utama. Dan jikalau
lapar yang lebih keras, maka roti yang lebih utama. Maka jikalau keduanya sama,
niscaya keduanyapun sama. Demikian juga, apabila dikatakan: as-sakanjabin yang
lebih utama atau minum al-lainufir (semacam tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di
kolam dan di sungai. Dapat dibuat daripadanya minuman dingin untuk obat batuk),
niscaya tidaklah benar tidaklah benar-sekali-kali jawaban daripadanya, secara
mutlak. Ya, jikalau dikatakan kepada kita: as-sakanjabin yang lebih utama atau
tidak ada penyakit kuning, maka kita menjawab: tidak ada penyakit kuning.
Karena as-sakanjabin itu, maksudnya untuk tidak ada penyakit kuning. Dan tidak
dimaksudkan untuk yang lain. Maka yang lain itu –sudah pasti-lebih utama
daripadanya.
Jadi, pada memberikan harta itu:
amal. Yaitu: membelanjakan harta (infaq). Dan dengan membelanjakan harta itu,
berhasil suatu hal. Yaitu: hilangnya kikir dan keluarnya kecintaan kepada dunia
dari hati. Dan bersiaplah hati, disebabkan keluarnya kecintaan kepada dunia
daripadanya, untuk ilmu mengenal Allah Ta’ala Allah Ta’ala dan mencintaiNya.
Maka yang lebih utama itu: ilmu mengenal
Allah Ta’ala. Dan yang kurang daripadanya itu: suatu keadaan tadi. Dan lebih kurang lagi, yaitu: amal. Jikalau anda mengatakan: bahwa
agama sesungguhnya telah mengajak kepada amal. Dan bersangatan pada
menyebutkan: keutamaan amal. Sehingga agama itu menuntut dikeluarkan sedekah,
dengan firman Allah Ta’ala: “Siapakah yang mau meminjamkan pinjaman kepada
Allah dengan pinjaman yang baik”. S 2 Al Baqarah ayat 245. Dan Allah Ta’ala
berfirman: “Dan Allah itu mengambil sedekah hambaNya”. S 9 At Taubah ayat 104.
Maka bagaimanakah tidak perbuatann dan infaq itu lebih utama ? maka ketahuilah
kiranya, bahwa dokter apabila memujikan suatu obat, niscaya tidaklah
menunjukkan, bahwa obat itu sendiri yang dimaksudkan. Atau bahwa obat itu yang
lebih utama daripada sehat dan sembuh yang berhasil dari obat itu. Akan tetapi amal-perbuatan itu
pengobatan bagi penyakit hati. Dan penyakit hati itu,
biasanya termasuk apa yang tiada dirasakan. Maka
dia itu adalah, seperti: penyakit supak atas muka orang yang tidak mempunyai
cermin. Maka ia tidak merasakan dengan penyakit itu. Dan jikalau disebutkan
kepadanya, niscaya tidak dibenarkannya. Dan jalan serta yang demikian, ialah:
bersangatan memuji –umpamanya –membasuh muka dengan air mawar, jikalau air
mawar itu dapat menghilangkan penyakit supak. Sehingga membangkitkannya oleh
bersangatan puji itu, untuk rajin membasuh muka dengan air mawar itu. Maka
hilanglah penyakitnya. Dan sesungguhnya, jikalau disebutkan kepadanya, bahwa
yang dimaksud, ialah: hilangnya penyakit supak dari muka anda, niscaya
terkadang ia meninggalkan pengobatan itu. Dan ia mendakwakan, bahwa mukanya tak
ada kekurangan padanya. Dan marilah kami membuat contoh yang lebih dekat lagi
dari itu. Maka kami katakan: bahwa siapa yang mempunyai anak, niscaya
diajarinya ilmu dan Alquran. Dan ia menghendaki, bahwa yang demikian itu tetap
dalam hapalannya, dimana tidak hilang lagi dari anak itu. Dan yang punya anak
ia tahu, bahwa jikalau disuruhnya anaknya dengan mengulang-ulangi dan belajar,
supaya kekallah yang dipelajari itu menjadi hapalan bagi si anak, niscaya anak
itu mengatakan: “Bahwa itu yang dihapalkan. Dan tiada perlu bagiku kepada
mengulang-ulangi dan belajar”. Karena
anak itu menyangka, bahwa apa yang dihapalnya sekarang, akan kekal seperti yang
demikian selama-lamanya. Dan orang itu mempunyai beberapa orang budak. Lalu
disuruhnya anaknya mengajarkan mereka. Dan dijanjikannya kepada anaknya atas
yang demikian, dengan hadiah yang cantik. Supaya sempurnalah pengajaknya kepada
banyak mengulang-ulangi dengan mengajarkan itu. Maka terkadang, anak yang
kasihan itu menyangka, bahwa yang dimaksudkan, ialah: mengajarkan budak-budak
itu akan Alquran. Dan ia telah dipergunakan untuk mengajarkan mereka. Lalu
sukarlah hal tersebut atas anak itu. Lalu ia berkata: “Apalah kiranya keadaanku
ini ! telah dipergunakan untuk budak-budak. Padahal aku lebih terhormat
daripada mereka dan lebih mulia pada bapak. Dan aku tahu, bahwa bapakku,
jikalau menghendaki mengajarkan budak-budak itu, niscaya sanggup atas yang
demikian, tanpa memberatkanku dengan itu. Dan aku tahu, tiada kekurangan bagi
bapakku, dengan tiadanya budak-budak itu. Lebih-lebih lagi dengan tidak tahunya
mereka akan Alquran. Maka terkadang bermalas-malasan anak yang kasihan itu.
Lalu ia meninggalkan mengajari mereka. Karena berpegang kepada tidak diperlukan
oleh bapaknya dan atas kemurahan bapaknya memaafkannya. Lalu anak itu lupa akan
ilmu dan Alquran. Dan kekallah dia yang terpimpin, yang tidak memperoleh
apa-apa, di mana ia tidak mengetahuinya.
Sesungguhnya telah tertipu
dengan khayalan yang seperti ini, suatu golongan. Dan mereka menjalani jalan
pembolehan (al-ibahah). Dan mereka mengatakan, bahwa Allah Ta’ala tidak
memerlukan kepada ibadah kita. Dan daripada meminjam dari kita. Maka manakah
arti firmanNya: “Siapakah yang mau meminjamkan pinjaman kepada Allah dengan
pinjaman yang baik”. S 2 Al Baqarah ayat 245. Dan jikalau Allah berkehendak
memberi makanan kepada orang-orang miskin, niscaya diberikanNya. Maka tidak
perlu kita menyerahkan harta kita kepada mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman, sebagai cerita dari orang-orang kafir: “Dan apabila dikatakan kepada
mereka: nafkahkanlah –di jalan kebajikan –sebahagian dari rezeki yang telah
diberikan Allah kepada kamu, lantas orang-orang yang tidak beriman itu berkata
kepada orang-orang yang beriman: Akan kami berikankah makanan kepada orang yang
jika Allah mau, tentu orang itu diberikan Nya makanan ?”. S 36 Ya Sin ayat 47.
Dan mereka itu berkata pula, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Kalau
Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak akan
mempersekutukanNya”. S 6 Al An’aam ayat 148. Maka perhatikanlah, bagaimana
adanya mereka itu benar pada perkataannya. Dan bagaimana mereka itu binasa
dengan kebenarannya. Maka Maha Sucilah Allah, yang apabila menghendaki, niscaya
IA membinasakan dengan kebenaran. Dan apabila IA menghendaki, niscaya IA
membahagiakan dengan kebodohan. IA menyesatkan dengan yang demikian itu banyak.
Dan IA memberi petunjuk dengan yang demikian itu banyak. Maka mereka itu,
tatkala menyangka bahwa mereka dipergunakan tenaganya karena orang-oarng miskin
dan orang-orang kafir atau karena Allah Ta’ala, kemudian mereka berkata: “Tiada
memperoleh keuntungan kami pada orang-orang miskin dan tiada memperoleh
keuntungan bagi Allah pada kami dan pada harta kami, sama saja kami nafkahkan
atau kami tahankan”, niscaya mereka binasa. Sebagaimana binasanya anak kecil,
tatkala menyangka, bahwa maksud ayahnya mempergunakannya karena kepentingan
budak-budak. Dan ia tidak merasakan, bahwa adalah maksud ayahnya demi tetapnya sifat
ilmu pada dirinya dan teguhnya ilmu itu dalam hatinya.
Sehingga adalah yang demikian itu sebab kebahagiaannya di dunia. Dan
sesungguhnya adalah yang demikian itu dari pihak bapak, karena kasih sayang
kepadanya, pada menarikkannya kepada yang mendatangkan kebahagiaan baginya.
Maka contoh ini menjelaskan kepada anda, akan sesatnya orang yang telah sesat
dari jalan ini. Jadi, orang miskin yang mengambil harta anda itu, mengambil
dengan secukupnya dengan perantaraan harta, akan kekejian kikir dan kecintaan
dunia dari batin anda. Maka sesungguhnya harta itu membinasakan anda. Maka
harta itu seperti pembekaman. Ia mengeluarkan darah dari anda, supaya dengan keluarnya
darah itu, keluarlah penyakit yang membinasakan dari batin anda. Maka pembekam
itu pelayan bagi anda. Dan tidaklah anda pelayan bagi pembekam. Dan tidaklah
pembekam itu keluar dari keadaannya sebagai pelayan, dengan ada baginya maksud,
bahwa ia akan berbuat sesuatu dengan darah itu. Dan manakala adalah
sedekah-sedekah (zakat) itu, menyucikan bagi batin dan membersih kannya dari
kekejian-kekejian sifat, maka Rasulullah saw tidak mau mengambilnya. Dan ia
mencegah diri daripadanya, sebagai mana ia melarang dari usaha berbekam. Dan ia
menamakan sedekah-sedekah (zakat) itu daki harta manusia. Dan keluarganya yang
mulia, menjaga diri daripada mengambil sedekah-sedekah itu. Dan yang dimaksud,
ialah bahwa: amal-perbuatan itu membekas pada hati, sebagaimana diterangkan
dahulu pada “Rubu Yang Membinasakan”. Dan hati itu menurut pembekasannya
bersedia untuk menerima petunjuk dan nur ilmu mengenal Allah Ta’ala. Maka ini, ialah:
perkataan secara keseluruhan dan undang-undang asli yang seyogyanya bahwa
dikembalikan kepadanya pada mengenal keutamaan amal-perbuatan, hal-keadaan dan
ilmu pengetahuan. Dan marilah sekarang kita kembali kepada yang khusus sedang
kita bicarakan, dari hal sabar dan syukur. Maka kami katakan, bahwa: pada
masing-masing dari sabar dan syukur itu ada ilmu mengenal Allah Ta’ala, hal keadaan dan
amal. Maka tidak boleh dihadapkan ilmu
mengenal Allah Ta’ala pada salah satu dari sabar dan syukur itu, dengan
hal-keadaan atau amal, pada yang lain. Akan tetapi, dihadapkan masing-masing
daripadanya dengan yang sebanding dengan dia. Sehingga jelaslah kesesuaian. Dan
sesudah kesesuaian, jelaslah keutamaan. Manakala dihadapkan ilmu mengenal Allah Ta’ala orang yang
bersyukur dengan ilmu mengenal Allah
Ta’ala orang yang sabar, niscaya kadang-kadang keduanya kembali kepada satu ilmu mengenal Allah Ta’ala. Karena ilmu mengenal Allah Ta’ala orang yang
bersyukur itu, bahwa ia melihat nikmat dua mata –umpamanya –dari Allah Ta’ala.
Dan ilmu mengenal Allah Ta’ala orang
yang bersabar, bahwa ia melihat kebutaan dari Allah. Dan keduanya itu dua ilmu mengenal Allah Ta’ala yang mengharuskan
satu sama lain, yang bersamaan. Ini, kalau keduanya dipandang mengenai bencana
dan musibah. Dan telah kami terangkan dahulu, bahwa sabar itu kadang-kadang ada
atas ketaatan dan dari kemaksiatan. Dan padanya bersatulah sabar dan syukur.
Karena sabar atas ketaatan, itu pulalah kesyukuran atas ketaatan. Karena syukur
itu kembali kepada memalingkan nikmat Allah Ta’ala, kepada yang dimaksudkan
daripadanya dengan hikmah. Dan sabar itu kembali kepada ketetapan pembangkit
agama, pada menghadapi pembangkit hawa nafsu. Maka sabar dan syukur padanya itu
dua nama bagi satu yang dinamakan, dengan dua pandangan yang berbeda. Maka
tetapnya pembangkit agama pada melawan pembangkit hawa nafsu itu dinamakan:
sabar, dengan dikaitkan kepada pembangkit hawa nafsu. Dan dinamakan: syukur,
dengan dikaitkan kepada pembangkit agama. Karena pembangkit agama itu
sesungguhnya diciptakan bagi hikmah ini. Yaitu: bahwa dibantingkan pembangkit
hawa nafsu dengan pembangkit agama. Maka dipalingkannya kepada maksud hikmah.
Maka keduanya itu dua ibarat dari satu arti. Maka bagaimana diutamakan sesuatu
atas dirinya sendiri ? Jadi, tempat-tempat berlalunya sabar itu 3: taat,
maksiat dan bala bencana. Dan telah jelas hukum sabar dan syukur itu pada taat
dan maksiat. Adapun bencana, maka itu ibarat dari ketiadaan nikmat. Dan nikmat
itu, adakalanya terjadi karena pentingnya, seperti: dua mata umpamanya. Dan
adakalanya, terjadi pada tempat hajat keperluan, seperti bertambahnya di atas
kadar yang memadai dari harta. Adapun dua mata, maka sabarnya orang buta
daripada kedua mata itu, ialah, dengan tidak melahirkan pengaduan. Dan
melahirkan ridha dengan hukum (qodo’) Allah Ta’ala. Dan ia tidak memandang
enteng, disebabkan buta, pada mengerjakan sebahagian perbuatan maksiat. Dan
syukur orang yang dapat melihat atas kedua mata itu, dari segi amal, adalah
dengan dua perkara:
Pertama: bahwa ia
tidak meminta pertolongan dengan dua mata itu atas perbuatan maksiat.
Kedua: bahwa ia
menggunakan dua mata itu pada perbuatan taat. Dan masing-masing dari dua
perkara itu, tiada terlepas dari sabar. Maka sesungguhnya orang buta
mencukupilah sabarnya dari rupa-rupa yang cantik. Karena ia tidak melihatnya.
Dan orang yang dapat melihat itu, apabila jatuh penglihatannya atas yang
cantik, lalu ia menahan diri (sabar), niscaya adalah dia orang yang bersyukur
bagi nikmat dua mata. Dan kalau diikutkannya memandang, niscaya ia kufur akan
nikmat dua mata. Maka sesungguhnya masuklah sabar itu pada syukurnya. Demikian
juga, apabila ia menggunakan dengan kedua matanya atas perbuatan taat, maka
tidak boleh tidak pula padanya daripada kesabaran atas taat. Kemudian,
kadang-kadang disyukurinya dengan memandang kepada keajaiban-keajaiban ciptaan
Allah Ta’ala. Supaya ia sampai dengan yang demikian, kepada ilmu mengenal Allah Ta’ala. Maka adalah syukur
ini lebih utama daripada sabar. Jikalau tidaklah ini, sungguh adalah martabat
Nabi Syu’aib as –umpamanya –dan dia adalah yang paling melarat dari para nabi,
di atas martabat Nabi Musa as dan nabi-nabi yang lain. Karena Nabi Syu’aib itu
sabar di atas ketiadaan melihat. Dan Nabi Musa as tidak bersabar umpamanya. Dan
sungguh adalah kesempurnaan itu pada dicabutnya oleh insan akan seluruh anggota
badannya. Dan ditinggalkannya seperti daging di atas lapik memotong daging
saja. Dan yang demikian itu mustahil sekali. Karena sesungguhnya masing-masing
dari anggota-anggota badan ini adalah alat pada agama, yang hilang dengan
hilangnya itu rukun tersebut dari agama. Dan mensyukurinya ialah, dengan
memakaikannya pada apa, yang ia menjadi alatnya dari agama. Dan yang demikian
itu, tidak ada, selain dengan sabar. Adapun apa yang terjadi pada tempat
keperluan, seperti: tambahan di atas mencukupi dari harta, maka apabila tidak
diberikan, selain sekadar yang penting dan ia memerlukan kepada yang
dibaliknya, niscaya sabar padanya itu bersungguh‑sungguh (perjuangan). Dan itu adalah: jihad terhadap
kemiskinan. Dan adanya tambahan itu suatu nikmat. Dan kesyukurannya, ialah, bahwa:
dipergunakan kepada jalan kebajikan (al-khirat). Atau bahwa tidak
dipergunakannya pada maksiat. Maka jikalau dikaitkannya sabar kepada syukur,
yang maksudnya, dipergunakan kepada amal taat, maka syukur itu lebiih utama.
Karena ia mengandung sabar juga. Dan padanya kegembiraan dengan nikmat Allah
Ta’ala. Dan padanya menanggung kepedihan pada menyerahkannya kepada fakir
miskin. Dan tidak menggunakannya kepada bersenang-senang yang diperbolehkan.
Dan hasilnya adalah kembali kepada dua perkara itu, lebih utama daripada satu
perkara. Dan bahwa jumlah itu lebih tinggi tingkatnya dari sebahagian. Dan ini
padanya kecederaan. Karena tidak sah membandingkan di antara jumlah dan
bahagian-bahagiannya.
Adapun apabila syukur itu,
dengan tidak menyerahkan kepada maksiat, akan tetapi diserahkannya kepada
bersenang-senang yang diperbolehkan, maka sabar di sini lebih utama daripada
syukur. Dan fakir miskin yang sabar itu lebih utama daripada orang kaya yang
menahan hartanya, yang ia pergunakan kepada hal-hal yang diperbolehkan
(al-mubahat). Tidak dari orang kaya yang menyerahkan hartanya kepada jalan
kebajikan (al-khairat). Karena orang fakir miskin itu berjuang menentang hawa
nafsunya dan memecahkan seleranya. Dan membaguskan ridha atas percobaan Allah
Ta’ala. Dan keadaan ini –sudah pasti –membawa kekuatan. Dan orang kaya itu
mengikuti seleranya dan mematuhi hawa nafsunya. Akan tetapi, ia perpendekkan
kepada yang mubah saja. Dan yang mubah itu, padanya jalan yang haram. Akan
tetapi, tak dapat tidak pula, daripada kuatnya bersabar dari yang haram.
Kecuali, bahwa kekuatan, yang timbul daripadanya sabar orang yang miskin itu,
lebih tinggi dan lebih sempurna dari kekuatan ini, yang timbul daripadanya
memendekkan bersenang-senang di atas yang mubah. Dan kemuliaan bagi kekuatan
itu yang menunjukkan amal atasnya. Sesungguhnya amal-perbuatan itu tidak
dimaksudkan, selain untuk hal-ihwal hati. dan kekuatan itu hal-ihwal bagi hati,
yang berbeda menurut kekuatan yakin dan iman.
Maka apa yang menunjukkan kepada
bertambahnya kekuatan pada iman, maka –sudah pasti –itu yang lebih utama. Semua
yang telah dibentangkan, dari penguraian pahala sabar atas pahala syukur
ayat-ayat dan hadits-hadits, sesungguhnya dimaksudkan dengan demikian itu,
tingkat ini pada khususnya. Karena, yang mendahului kepada pemahaman manusia
dari nikmat itu, ialah: harta dan kekayaan dengan harta-harta itu. Dan yang
mendahului kepada pemahaman dari syukur, ialah, bahwa: manusia mengucapkan:
AL-HAMDULILLAH. Dan ia tidak meminta tolong dengan nikmat itu kepada maksiat,
yang tidak diserahkannya maksiat itu kepada taat. Jadi, sabar itu lebih utama
daripada syukur. Artinya: sabar yang dipahami oleh orang awam itu lebih utama
daripada syukur yang dipahami oleh orang awam. Dan kepada arti inilah
khususnya, diisyaratkan oleh Al-Junaid ra, ketika ia ditanyakan dari hal sabar
dan syukur: manakah yang lebih utama ? lalu beliau menjawab: “Tiadalah pujian
orang kaya itu adanya dan pujian orang miskin itu tiadanya. Dan sesungguhnya
pujian pada keduanya itu, tegaknya dengan syarat-syarat yang ada pada keduanya.
Maka persyaratan orang kaya itu, disertai pada apa atas dirinya, oleh hal-hal
yang bersesuaian dengan sifatnya, yang menyenangkan dan yang mengenakkannya.
Dan orang miskin itu, disertai pada apa atas dirinya, oleh hal-hal yang bersesuaian
dengan sifatnya, yang menahankan dan yang mengejutkannya. Maka apabila adalah
dua orang itu (orang kaya dan orang miskin) tegak berdiri karena Allah Ta’ala,
dengan persyaratan apa di atas keduanya, niscaya adalah yang memedihkan
sifatnya dan yang mengejutkannya itu lebih sempurna keadaannya, daripada orang
yang menyenangkan sifatnya dan yang menikmatkannya”. Dan hal ini adalah apa
yang dikatakan oleh Al-Junaid ra itu. Dan itu benar dari jumlah
bahagian-bahagian sabar dan syukur, pada bahagian yang penghabisan yang telah
kami sebutkan. Dan Al-Junaid ra tidak bermaksud lainnya.
Dan ada yang mengatakan, bahwa
Abul-Abbas bin ‘Atha’ berbeda pendapat dengan Al-Junaid dalam hal itu.
Abul-Abbas mengatakan: “Orang kaya yang bersyukur itu lebih utama dari orang
miskin yang bersabar”. Maka Al-Junaid ra berdoa atas diri Abul-Abbas. Maka
Abul-Abbas mendapat musibah, apa yang telah menjadi musibah atas dirinya dari
bencana, dengan terbunuh anak-anaknya, hilang hartanya dan hilang akalnya
selama 14 tahun. Maka Abul-Abbas mengatakan: “Doa Al-Junaid telah menimpakan
musibah atas diriku”. Dan ia kembali kepada mengutamakan orang miskin yang
bersabar, di atas orang kaya yang bersyukur. Manakala
anda memperhatikan akan arti-arti yang telah kami sebutkan itu, niscaya anda
mengetahui, bahwa masing-masing dari dua perkataan itu mempunyai segi pada
sebahagian hal-ihwal. Maka banyaklah orang miskin yang bersabar itu lebih utama
dari orang kaya yang bersyukur, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan
banyak orang kaya yang bersyukur itu lebih utama dari orang miskin yang
bersabar. Dan yang demikian itu, ialah: orang kaya yang melihat dirinya,
seperti: orang miskin. Karena ia tidak memegang bagi dirinya harta, selain
sekadar perlu. Dan sisanya diserahkannya kepada amal-kebajikan (al-khairat).
Atau dipegangnya, dengan keyakinan, bahwa dia itu gudang bagi orang-orang yang
memerlukan dan orang-orang miskin. Dan sesungguhnya dia menunggu keperluan yang
mendatang, lalu diserahkannya kepada keperluan itu. Kemudian, apabila diserahkannya,
niscaya ia tidak menyerahkannya untuk mencari kemegahan dan dikenal orang. Dan
tidak untuk diikuti dengan menyebut-nyebutkan. Akan tetapi, demi menunaikan hak
Allah Ta’ala pada memenuhi ketiadaan harta hamba-hambaNya. Maka ini, adalah
lebih utama dari orang miskin yang bersabar. Jikalau anda mengatakan: bahwa ini
yang disebutkan, tidaklah berat atas diri (jiwa). Dan orang miskin itu beratlah
atasnya kemiskinan. Karena ini, memberi perasaan enaknya mampu. Dan itu memberi
perasaan pedihnya sabar. Maka jikalau ia merasa kepedihan berpisah dengan
harta, maka tertambahlah yang demikian, dengan enaknya mampu pada membelanjakan
(infaq) pada jalan kebajikan. Maka ketahuilah, bahwa menurut pendapat kami,
orang yang menginfaqkan hartanya, tanpa kesukaan dan baik hati itu lebih
sempurna keadaannya daripada orang yang menginfaqkannya dan dia itu kikir
dengan yang demikian. Dan sesungguhnya ia putuskan kekikiran itu dari dirinya
dengan paksa. Dan telah kami sebutkan penguraian ini pada bahagian yang lalu
pada “Kitab Taubat”. Maka memedihkan jiwa tidaklah itu yang dicari. Akan
tetapi, untuk pengajaran baginya. Dan yang demikian itu, menyerupai dengan
memukul anjing buruan. Dan anjing yang telah menerima pengajaran itu lebih
sempurna dari anjing yang memerlukan kepada pemukulan. Walaupun ia sabar atas
pemukulan itu. Dan karena itulah, memerlukan kepada pemedihan (menyakitkan) dan
perjuangan pada permulaan. Dan tidak memerlukan kepada yang dua ini pada
kesudahan. Bahkan, kesudahan itu dapat menjadikan apa yang tadinya menyakitkan
pada pihaknya itu, menyenangkan. Sebagaimana belajar pada anak kecil yang
berakal enak. Dan sesungguhnya belajar itu, adalah pada mulanya menyakitkan
baginya. Akan tetapi, tatkala adalah manusia seluruhnya, kecuali sedikit saja,
pada permulaan, bahkan sebelum permulaan itu lebih banyak lagi, seperti
anak-anak, maka Al-Junaid mengatakan secara mutlak, bahwa orang yang
menyakitkan sifatnya itu, lebih utama. Dan itu sebagaimana dikatakannya, adalah
benar, mengenai apa yang dikehendakinya dari umumnya manusia.
Jadi, apabila anda tidak
menguraikan jawaban dan menyebutkannya secara mutlak karena dimaksudkan yang
lebih banyak, maka katakanlah secara mutlak, bahwa sabar itu lebih utama
daripada syukur. Maka itu benar, dengan pengertian yang mendahului kepada
pemahaman. Dan apabila anda menghendaki pentahkikan, maka uraikanlah. Maka
sesungguhnya sabar itu mempunyai tingkat-tingkat. Yang paling kurang dari
tingkat-tingkat itu, ialah: meninggalkan mengadu kepada orang, serta kebencian
hati atas musibah itu. Dan di belakang tingkat ini, ialah: ridha hati. Dan
itulah tingkat di belakang sabar. Dan di belakangnya, ialah: syukur atas
percobaan. Dan itu di belakang ridha. Karena sabar itu serta rasa kepedihan.
Dan ridha itu mungkin, dengan tiada kepedihan dan kegembiraan padanya. Dan
syukur itu tidak mungkin, selain atas yang disukai, yang menggembirakan dengan
yang disyukuri itu. Dan seperti demikian juga, syukur itu banyak tingkatnya.
Telah kami sebutkan yang paling penghabisan daripadanya. Dan masuk dalam jumlahnya
beberapa perkara yang kurang daripadanya. Maka sesungguhnya malunya seorang
hamba dengan berturut-turutnya nikmat Allah kepadanya itu syukur. Dan ilmu mengenal Allah Ta’alanya dengan
keteledorannya dari syukur itu juga syukur. Dan meminta maaf dari sedikitnya
syukur itu syukur. Dan ilmu mengenal
Allah Ta’ala dengan kebesaran kasih sayang Allah dan naungan tiraiNya itu
syukur. Dan pengakuan, bahwa nikmat-nikmat pada permulaannya daripada Allah
Ta’ala, tanpa berhak itu, syukur. Dan mengetahui, bahwa syukur juga suatu
nikmat daripada nikmat-nikmat Allah dan yang merupakan pemberian daripadaNya
itu, syukur. Baiknya merendahkan diri bagi nikmat-nikmat dan menghinakan diri
padanya itu, syukur. Dan bersyukur kepada perantaraan-perantaraan itu juga
syukur. Karena Nabi saw bersabda: “Barangsiapa tiada bersyukur kepada manusia,
niscaya ia tidak bersyukur kepada Allah”. Dan telah kami sebutkan hakikat/makna
yang demikian, pada “Kitab Rahasia Zakat”. Sedikitnya tantangan dan bagusnya
sopan-santun di hadapan yang memberikan nikmat itu syukur. Penerimaan nikmat
dengan penerimaan yang baik dan memandang besar yang kecil dari nikmat-nikmat
itu syukur. Dan apa yang termasuk dari amal-perbuatan dan hal-ihwal di bawah
nama syukur dan sabar itu, tiada terhingga masing-masingnya. Dan itu adalah
tingkat-tingkat yang bermacam-macam. Maka bagaimanakah mungkin menyimpulkan
kata-kata dengan mengutamakan salah satu daripada keduanya di atas yang lain ?
selain di atas jalan menghendaki khusus dengan kata-kata umum, sebagaimana yang
datang pada hadits-hadits dan atsar-atsar.
Diriwayatkan dari sebahagian
mereka, yang mengatakan: “Aku melihat dalam sebahagian perjalanan, seorang tua
yang telah lanjut usianya. Lalu aku tanyakan tentang keadaannya. Maka ia
menjawab: “Bahwa aku pada permulaan umurku, ingin mengawini puteri pamanku. Dan
dia begitupula, mengingini aku. Maka terdapatlah kesepakatan, bahwa ia
dikawinkan dengan aku. Maka pada malam pengantenan, aku mengatakan: “Marilah,
supaya kita menghidupkan malam ini, untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala, dengan
berkumpulnya kita”. Maka kamu mengerjakan shalat pada malam itu. Dan tiada
berkesempatan seorang dari kami kepada temannya. Maka tatkala malam kedua, aku
mengatakan seperti itu pula. Lalu kami mengerjakan shalat sepanjang malam. Maka
semenjak 70 atau 80 tahun, kami dalam hal yang demikian setiap malam. Bukankah
demikian, wahai Anu (maksudnya isterinya) ?”. Maka wanita tua (isterinya) itu
menjawab: “Benar seperti kata orang tua ini !”. Maka aku perhatikan kepada
keduanya, jikalau keduanya itu bersabar atas bencana perpisahan, bahwa jikalau
tidaklah dihimpunkan oleh Allah di antara keduanya. Dan aku sifatkan sabarnya
perpisahan kepada syukur yang bersambungan di atas cara ini”. Maka tiada
tersembunyi bagi anda, bahwa syukur ini lebih utama. Jadi, tiada dapat
diketahui hakikat/makna keutamaan, selain dengan penguraian, sebagaimana telah
diterangkan dahulu. Wallahu A’lam –Allah Yang Maha Tahu.