Rabu, 04 Januari 2017

32. KITAB TENTANG SABAR DAN SYUKUR

KITAB TENTANG SABAR DAN SYUKUR
Yaitu: kitab ke-2 dari rubu’ Yang Melepaskan dari Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah, yang empunya pujian dan sanjungan, yang tersendiri dengan baju kebesaran, yang Maha Esa dengan sifat-sifat kemuliaan dan ketinggian, yang menguatkan kejernihan wali-wali dengan kekuatan sabar atas suka dan duka dan bersyukur atas bencana dan nikmat. Salawat kepada Muhammad saw penghulu nabi-nabi dan kepada para sahabatnya penghulu orang-orang yang bersih jiwa dan kepada kaum keluarganya, pemimpin orang-orang yang berbuat kebajikan, lagi bertaqwa. Salawat yang terjaga dengan kekekalan dari kehancuran, terpeilhara dengan terus menerus dari terputus dan berkesudahan. Adapun kemudian, maka iman itu terdiri dari dua bahagian. Sebahagian: sabar dan sebahagian: syukur. Sebagaimana yang dikemukakan oleh atsar-atsar dan disaksikan oleh hadits-hadits. Keduanya (sabar dan syukur) juga dua sifat dari sifat-sifat Allah Ta’ala dan dua nama dari nama-namaNya yang maha baik (al-asmaa-ul-husnaa). Karena IA menamakan DIRINYA dengan nama: Maha Besar (Shabuur) dan Maha berterima kasih (Syakuur). Maka kebodohan dengan hakikat/makna sabar dan syukur, adalah kebodohan dengan kedua bahagian iman. Kemudian, itu adalah kelalaian dari dua sifat daripada sifat-sifat Tuhan Yang Maha Pengasih. Dan tak ada jalan untuk sampai kepada mendekati Allah Ta’ala, selain dengan: iman. Bagaimanakah dapat tergambar menempuh jalan iman, tanpa mengenal apa, yang dengan itu iman dan siapa yang dengan dia itu iman. Berhenti daripada mengetahui sabar dan syukur, adalah berhenti daripada mengetahui siapa, yang dengan dia itu iman. Dan daripada mengetahui apa, yang dengan dia itu iman. Maka alangkah perlunya masing-masing dua bahagian itu, kepada peperangan dan penjelasan. Dan kami akan menjelaskan masing-masing dua bahagian tersebut pada satu kitab. Karena keterikatan yang satu dengan lainnya, insya Allah Ta’ala.
BAHAGIAN PERTAMA: TENTANG SABAR.
Dan padanya penjelasan keutamaan sabar, penjelasan batas sabar dan hakikat/maknanya. Penjelasan adanya sabar itu setengah iman. Penjelasan berbeda-beda namanya, disebabkan berbeda-beda hubungannya. Penjelasan bahagian-bahagiannya, menurut perbedaan kuat dan lemah. Penjelasan tempat sangkaan perlu kepada sabar. Dan penjelasan obat sabar dan apa yang dapat diminta pertolongan kepada sabar. Maka itu semua adalah 7 pasal, yang melengkapi kepada semua maksud-maksud sabar insya Allah Ta’ala.
PENJELASAN: keutamaan sabar.
Allah Ta’ala sesungguhnya telah menyifatkan orang-orang yang sabar, dengan beberapa sifat. Allah Ta’ala menyebutkan sabar dalam Alquran, pada lebih 70 tempat. IA menambahkan lebih banyak derajat dan kebajikan kepada sabar. IA menjadikan derajat dan kebajikan itu sebagai hasil (buah) daripada sabar. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Dan Kami jadikan di antara mereka itu beberapa pemimpin yang akan memberikan pimpinan dengan perintah Kami, yaitu ketika mereka berhati teguh (sabar)”. S As Sajadah ayat 24. Allah Ta’ala berfirman: “Dan telah sempurnalah perkataan yang baik dari Tuhan engkau untuk kaum Bani Israil (anak-anak Israil), disebabkan keteguhan hati mereka (disebabkan kesabaran mereka)”. S Al A’raf ayat 137. Allah TA’ala berfirman: “Dan akan Kami berikan kepada orang-orang yang sabar itu pembalasan, menurut yang telah mereka kerjakan dengan sebaik-baiknya”. S An Nahl ayat 96. Allah Ta’ala berfirman: “Kepada orang-orang itu diberikan pembalasan (pokok) dua kali lipat, disebabkan kesabaran mereka”. S Al Qashash ayat 54. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu, akan disempurnakan pahalanya dengan tiada terhitung”. S Az Zumar ayat 10. Maka tidak ada dari pendekatan diri kepada Allah (ibadah), melainkan pahalanya itu ditentukan dengan kadar dan dapat dihitung, selain sabar. Dan karena adanya puasa itu sebagian daripada sabar dan puasa itu separuh sabar, maka Allah Ta’ala berfirman: “Puasa itu bagiKU dan AKU akan membalasnya”. Allah Ta’ala mengkaitkan puasa itu kepada diriNya di antara ibadah-ibadah lainnya. Dan menjanjikan bagi orang-orang yang bersabar, bahwa IA bersama mereka. Allah Ta’ala berfirman: “Hendaklah kamu bersabar, sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang sabar”. A 8 Al Anfal ayat 46. Allah Ta’ala menggantungkan pertolongan kepada sabar. Allah Ta’ala berfirman: “Ya ! kalau kamu sabar dan memelihara diri, sedang mereka datang kepadamu (menyerang) dengan cepatnya, Tuhan akan membantu kamu dengan 5000 malaikat yang akan membinasakan”. S 3 Ali Imran ayat 125. Allah Ta’ala mengumpulkan bagi orang-orang yang sabar, beberapa hal yang tidak dikumpulkannya bagi orang-orang lain. Allah Ta’ala berfirman: “Merekalah orang-orang yang mendapat ampunan, kehormatan dan rahmat dari Tuhan dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. S 2 Al Baqarah ayat 157. Petunjuk, rahmat dan ampunan, dikumpulkan bagi orang-orang yang sabar. Dan penelitian semua ayat-ayat tentang kedudukan sabar itu akan panjang, bila diteruskan.
Adapun hadits-hadits yang menyangkut dengan sabar, maka diantara lain, Nabi saw bersabda: “Sabar itu separoh iman”, sebagaimana akan diterangkan caranya sabar itu separuh iman. Nabi saw bersabda: “Dari yang sekurang-kurangnya diberikan kepada kamu, ialah: keyakinan dan kesungguhan sabar. Siapa yang diberikan keberuntungan dari keyakinan dan kesungguhan sabar itu, niscaya ia tidak perduli dengan yang luput daripadanya, dari shalat malam dan puasa siang. Dan engkau bersabar di atas apa yang menimpa atas diri engkau, adalah lebih aku sukai, daripada disempurnakan oleh setiap orang daripada kamu, kepadaku, dengan seperti amalan semua kamu. Akan tetapi aku takut, bahwa dibukakan kepadamu dunia sesudahku. Lalu sebagian kamu menantang sebagian yang lain. Dan akan ditantang kamu oleh penduduk langit (para malaikat) ketika itu. Maka siapa yang sabar dan memperhitungkan diri, niscaya memperoleh kesempurnaan pahalanya”. Kemudian Nabi saw membaca firman Allah Ta’ala: “Apa yang di sisi kamu itu akan hilang, dan apa yang di sisi Allah itu yang kekal. Dan akan Kami berikan kepada orang-orang yang sabar itu pembalasan, menurut yang telah mereka kerjakan dengan sebaik-baiknya”.
Diriwayatkan Jabir, bahwa Nabi saw ditanyakan tentang iman, maka beliau menjawab: “Sabar dan suka memaafkan”. Nabi saw bersabda pula: “Sabar itu adalah suatu gudang dari gudang-gudang sorga”. Pada suatu kali, Nabi saw ditannyakan: “Apakah iman itu ?”. Lalu beliau menjawab: “Sabar”. Ini serupa dengan sabda Nabi saw: “Hajji itu’ Arafah”. Artinya: yang terbesar dari rukun-rukun hajji itu, ialah: ‘Arafah (wuquf di ‘Arafah). Nabi saw bersabda pula: “Amal yang paling utama, ialah: apa yang dipaksakan diri kepadanya”. Dikatakan, bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud as: “Berakhlaklah dengan akhlakKU ! sesungguhnya sebahagian dari akhlakKU, ialah, bahwa AKU Maha sabar”.
Pada hadits yang diriwayatkan ‘Atha’ dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah saw masuk ke tempat orang-orang anshar, lalu beliau bertanya: “Apakah kamu ini semua orang beriman ?”. Lalu semua mereka itu diam. Maka menjawab ‘Umar ra: “Ya, wahai Rasulullah !”. Nabi saw lalu bertanya: “Apakah tandanya keimanan kamu itu ?”. Mereka menjawab: “Kami bersyukur atas kelapangan. Kami bersabar atas percobaan. Dan kami rela dengan ketetapan Tuhan (qodo Allah Ta’ala)”. Lalu Nabi saw menjawab: “Demi Tuhan yang empunya Ka’bah ! benar kamu itu orang beriman !”. Nabi saw bersabda: “Pada kesabarann atas yang tidak engkau sukai itu, banyak kebajikan”.
Isa Al-Masih as berkata: “Engkau sesungguhnya tiada akan memperoleh apa yang engkau sukai, selain dengan kesabaranmu atas apa yang tiada engkau sukai”.
Rasulullah saw bersabda: “Jikalau sabar itu seorang laki-laki, niscaya dia Itu orang yang pemurah. Dan Allah Ta’ala menyukai orang-orang yang sabar”. Hadits-hadits tentang sabar itu tidak terhingga jumlahnya. Adapun atsar, maka diantaranya, ialah: terdapat pada surat khalifah ‘Umar bin Al-Khattab ra kepada Abu Musa Al-Asy’ari ra, yang bunyinya diantara lain: “Haruslah engkau bersabar ! dan ketahuilah, bahwa sabar itu dua. Yang satu lebih utama dari yang lain: sabar pada waktu musibah itu baik. Dan yang lebih baik daripadanya lagi, ialah: sabar (menahan diri) daripada yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Dan ketahuilah, bahwa sabar itu yang memiliki iman. Yang demikian itu, adalah: bahwa taqwa itu kebajikan yang utama. Dan taqwa itu dengan sabar”.
Ali ra berkata: “Iman itu dibangun di atas 4 tiang: yakin, sabar, jihad dan adil. Ali ra berkata pula: “Sabar itu dari iman, adalah seperti kedudukan kepala dari tubuh. Tidak ada tubuh bagi orang yang tiada mempunyai kepala. Dan tidak ada iman, bagi orang yang tiada mempunyai kesabaran”.
‘Umar ra berkata: “Amat baiklah dua pikulan yang sebanding dan amat baiklah tambahan bagi orang-orang yang sabar. Dimaksudkan dengan dua pikulan yang sebanding itu ialah: ampunan dan rahmat. Dan dimaksudkan dengan tambahan itu, ialah petunjuk. Dan tambahan itu, adalah apa yang dibawa di atas dua pikulan yang sebanding tadi atas unta”. Diisyaratkan oleh Umar ra dengan yang demikian itu kepada firman Allah Ta’ala: “Merekalah orang-orang yang mendapat ampunan dan rahmat dari Tuhan dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. S 2 Al Baqarah ayat 157.
Adalah Habib bin Abi Habib Al-Bashari , apabila membaca ayat di bawah ini: “Sesungguhnya dia (Ayuub) Kami dapati, seorang yang sabar. Seorang hamba yang amat baik. Sesungguhnya dia tetap kembali (kepada Tuhan)”. S 38 Shaad ayat 44. Lalu beliau menangis dan berkata: “Alangkah menakjubkan ! IA yang memberi dan IA yang memuji”. Artinya: IA yang menganugerahkan kesabaran dan IA yang memujikannya.
Abud-Darda ra mengatakan: “Ketinggian iman itu, ialah: sabar karena hukum Allah dan rela dengan takdir Allah Ta’ala”. Inilah penjelasan keutamaan sabar, dari segi yang dinukilkan (dari ayat, hadits dan atsar). Adapun dari segi pandangan dengan mata ibarat, maka anda tidak dapat memahaminya, selain sesudah memahami hakikat/makna sabar dan artinya. Karena mengetahui keutamaan dan tingkat itu, ialah: mengetahui sifat. Maka tidak akan berhasil, sebelum mengetahui yang bersifat dengan sifat tertentu. Maka marilah kami sebutkan hakikat/maknanya dan makna (maksud)nya. Kiranya kita memperoleh taufiq daripada Allah Ta’ala !.
PENJELASAN: hakikat/makna sabar dan maknanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa sabar itu suatu tingkat dari tingkat-tingkat agama. Dan suatu kedudukan dari kedudukan orang-orang yang berjalan menuju kepada Allah (orang-orang salikin). Semua maqam-maqam agama itu, hanya dapat tersusun baik dari 3 hal:  ilmu mengenal Allah Ta’ala, hal-ihwal dan amal perbuatan. Maka  ilmu mengenal Allah Ta’ala itu adalah pokok. Dialah yang mewariskan hal-ihwal. Dan hal-ihwal itu yang membuahkan amal perbuatan. Ilmu mengenal Allah Ta’ala itu adalah seperti pohon kayu. Hal-ihwal itu adalah seperti ranting. Dan amal perbuatan itu adalah seperti buah. Dan ini terdapat pada semua kedudukan (tempat) orang-orang yang berjalan kepada Allah Ta’ala. Dan nama iman, sekali khusus dengan  ilmu mengenal Allah Ta’ala. Sekali disebutkan secara mutlak kepada semua, sebagaimana telah kami sebutkan pada perbedaan nama iman dan islam pada “Kitab Kaedah-kaedah ‘Aqaid” (ilmu mengenai pokoknya agama). Seperti demikian pula sabar. Tiada akan sempurna sabar itu, selain dengan  ilmu mengenal Allah Ta’ala yang mendahuluinya dan dengan hal-ihwal yang tegak berdiri. Maka sabar pada hakikat/maknanya, adalah ibarat dari  ilmu mengenal Allah Ta’ala itu. Dan amal perbuatan, adalah seperti buah yang keluar dari  ilmu mengenal Allah Ta’ala. Dan ini tidak dapat diketahui, selain dengan mengetahui cara tertibnya, antara malaikat, insan dan hewan. Maka sabar itu sesungguhnya, adalah ciri khas insan. Dan tidak tergambar adanya sabar itu pada hewan dan malaikat.
Adapun pada hewan, maka karena kekurangannya. Dan pada malaikat, maka karena kesempurnaannya. Penjelasannya, ialah: bahwa hewan-hewan itu dikuasai oleh nafsu syahwat. Dan dia itu dijadikan untuk nafsu syahwat tersebut. Maka tidak ada pembangkit bagi hewan itu kepada gerak dan diam, selain nafsu syahwat. Dan tidak ada pada hewan itu suatu kekuatan, yang berbentur dengan nafsu syahwat dan yang menolaknya dari yang dikehendaki oleh nafsu syahwat itu. Sehingga, dinamakan ketetapan kekuatan itu pada menghadapi nafsu syahwat, dengan: sabar.
Adapun para malaikat as, maka mereka itu dijuruskan kepada merindui hadlarat ketuhanan. Dan merasa cemerlang dengan tingkat kedekatan kepada hadlarat ketuhanan itu. Dan mereka tidak dikuasai oleh nafsu syahwat yang membelokkan dan yang mencegah dari hadlarat ketuhanan. Sehingga memerlukan kepada perbenturan sesuatu yang memalingkannya dari hadlarat Yang Maha Agung, dengan tentara lain, yang akan mengalahkan yang membelokkan itu.
Adapun insan, maka sesunngguhnya ia diciptakan pada permulaan masa kecilnya, dalam keadaan kekurangan, seperti hewan. Tidak dijadikan padanya, selain keinginan makan, yang diperlukannya kepadanya. Kemudian, lahirlah keinginan bermain dan berhias pada insan itu. Kemudian, nafsu keinginan kawin, di atas tartib yang demikian. Dan tak ada sekali-kali pada insan itu kekuatan sabar. Karena sabar itu, adalah ibarat dari ketetapan tentara pada menghadapi tentara yang lain, yang terjadilah peperangan di antara keduanya, untuk melawani kehendak dan tuntutan keduanya. Dan pada anak kecil itu tak ada, selain tentara hawa nafsu, seperti yang pada hewan. Akan tetapi, Allah Ta’ala dengan kurniaNya dan keluasan kemurahanNya, memuliakan anak Adam dan meninggikan derajat mereka dari derajat hewan-hewan. Maka Allah Ta’ala mewakilkan kepada manusia itu, ketika sempurna dirinya dengan mendekati kedewasaan, dua malaikat: yang satu memberinya petunjuk dan yang satu lagi: menguatkannya. Maka berbedalah manusia itu dengan pertolongan dua malaikat tadi, dari hewan-hewan. Dan insan itu khusus ditentukan dengan dua sifat: Pertama: mengenal Allah Ta’ala dan mengenal rasulNya. Kedua: mengetahui kepentingan-kepentingan yang menyangkut dengan akibat. Semua yang demikian itu, berhasil dari malaikat, yang diserahkan kepadanya, petunjuk dan pengenalan. Maka hewan, tiadalah mempunyai  ilmu mengenal Allah Ta’ala. Dan tiadalah petunjuk kepada kepentingan akibat-akibat. Akan tetapi, kepada yang dikehendaki nafsu keinginannya seketika saja. Maka karena itulah, hewan itu tidak mencari, selain yang enak.
Adapun obat yang bermanfaat, serta adanya obat itu mendatangkan melarat seketika, maka tidak dicarinya dan tidak dikenalnya. Maka jadilah insan itu dengan sinar petunjuk, mengetahui bahwa mengikuti nafsu syahwat itu mempunyai hal-hal yang ghaib (yang belum kelihatan sekarang), yang tidak disukai pada akibatnya. Akan tetapi, petunjuk ini tidaklah memadai, selama tidak ada baginya kemampuan untuk meninggalkan, yang mendatangkan melarat. Berapa banyak yang mendatangkan melarat, yang diketahui oleh manusia, seperti penyakit yang bertempat pada dirinya-umpamanya. Akan tetapi, tiada kemampuan baginya untuk menolaknya. Lalu ia memerlukan kepada kemampuan dan kekuatan, yang dapat menolakkannya kepada menyembelih nafsu syahwat itu. Lalu ia melawan nafsu syahwat tersebut dengan kekuatan itu. Sehingga diputuskannya permusuhan nafsu syahwat tadi dari dirinya. Maka Allah Ta’ala mewakilkan seorang malaikat lain padanya, yang membetulkannya, meneguhkannya dan menguatkannya dengan tentara yang tiada engkau dapat melihatnya. IA memerintahkan tentara ini, untuk memerangi tentara nafsu syahwat. Maka sekali, tentara ini yang lemah dan sekali ia yang kuat. Yang demikian itu menurut pertolongan Allah Ta’ala akan hambaNya dengan penguatan. Sebagaimana cahaya petunjuk juga berbeda pada makhluk, dengan perbedaan yang tiada terhingga. Maka hendaklah kami namakan sifat tersebut, yang membedakan manusia dari hewan pada pencegahan nafsu syahwat dan pemaksaannya, dengan: penggerak keagamaan. Dan hendaklah kami namakan penuntutan nafsu syahwat dengan semua yang dikehendaki nafsu syahwat itu, dengan: penggerak hawa nafsu. Hendaklah dipahami, bahwa peperangan itu, terjadi antara penggerak agama dan penggerak hawa nafsu. Dan peperangan antara yang dua tadi, berlaku terus-menerus. Dan medan peperangan ini, ialah: hati hamba. Sumber bantuan kepada penggerak agama itu datangnya dari para malaikat, yang menolong barisan (tentara) Allah Ta’ala. Dan sumber bantuan kepada penggerak nafsu syahwat itu, datangnya dari setan-setan yang membantu musuh-musuh Allah Ta’ala.
Maka sabar itu adalah ibarat dari tetapnya penggerak agama menghadapi penggerak nafsu syahwat. Kalau penggerak agama itu tetap, sehingga dapat memaksakan penggerak nafsu syahwat dan terus-menerus menantangnya, maka penggerak agama itu telah menolong tentara Allah. Dan berhubungan dengan orang-orang yang sabar. Dan kalau ia tinggalkan dan lemah, sehingga ia dikalahkan oleh nafsu syahwat dan ia tidak sabar pada menolaknya, niscaya ia berhubungan dengan mengikuti setan-setan. Jadi, meninggalkan perbuatan-perbuatan yang penuh dengan nafsu syahwat itu, adalah amal perbuatan yang dihasilkan oleh suatu hal-keadaan, yang dinamakan: sabar. Yaitu: tetapnya penggerak agama, yang berhadapan dengan penggerak nafsu syahwat. Tetapnya penggerak agama itu adalah suatu hal, yang dihasilkan oleh  ilmu mengenal Allah Ta’ala, dengan memusuhi nafsu syahwat dan melawankannya. Karena sebab-sebab kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Apabila telah kuat keyakinannya, yakni:  ilmu mengenal Allah Ta’ala, yang dinamakan: iman, yaitu: keyakinan, adanya nafsu syahwat itu musuh yang memotong jalan kepada Allah Ta’ala, niscaya kuatlah tetapnya penggerak agama. Dan apabila telah kuat tetapnya penggerak agama itu, niscaya sempurnalah perbuatan-perbuatan, yang menyalahi dengan yang dikehendaki oleh nafsu syahwat. Maka tiada sempurna meninggalkan nafsu syahwat, selain dengan kuatnya penggerak agama yang berlawanan dengan penggerak nafsu syahwat. Kuatnya  ilmu mengenal Allah Ta’ala dan iman itu akan mengkejikan yang tak kelihatan (yang ghaib) dari nafsu syahwat dan buruk akibatnya. Dua malaikat tersebut adalah yang menanggung dua tentara tadi dengan keizinan Allah Ta’ala. Dan dijadikanNya kedua malaikat itu untuk yang demikian. Kedua malaikat tersebut, adalah dari malaikat-malaikat yang menulis amal perbuatan manusia. Keduanya, adalah malaikat yang ditugaskan kepada tiap-tiap orang dari anak Adam. Apabila anda telah mengetahui, bahwa pangkat malaikat penunjuk itu lebih tinggi dari pangkat malaikat yang menguatkan, niscaya tidaklah tersembunyi lagi kepada anda, bahwa samping kanan, adalah yang termulia bagi dua samping dari dua pihak bantal, yang seyogyanya bahwa diserahkan kepadanya.
Jadi, dialah yang empunya kanan (shahibul-yamin) dan yang lain itu, yang empunya kiri (shahibusy-syimal). Hamba itu mempunyai dua perihal: pada kelalaian dan berpikir, pada melepaskan dan bersungguh‑sungguh. Dengan kelalaian, hamba itu berpaling dari yang empunya kanan dan berbuat jahat kepadanya. Lalu berpalingnya itu, dituliskan sebagai: kejahatan. Dengan berpikir, hamba itu menghadap kepada yang empunya kanan, untuk mengambil faedah petunjuk daripadanya. Maka dengan demikian, hamba itu berbuat baik kepada yang empunya kanan. Maka penghadapannya kepada yang empunya kanan tersebut, dituliskan baginya, sebagai: kebaikan. Demikian juga dengan melepaskan, maka dia itu berpaling dari shahibul-yasar (yang empunya kiri), meninggalkan meminta bantuan daripadanya. Maka dengan demikian, ia berbuat jahat kepadanya. Lalu ditetapkan hal tersebut, sebagai kejahatan atasnya. Dan dengan  bersungguh‑sungguh, ia meminta bantuan dari tentaranya. Lalu ditetapkan hal tersebut, sebagai kebaikan baginya.
Sesungguhnya, ditetapkan kebajikan-kebajikan dan kejahatan-kejahatan ini, dengan penetapan dua malaikat tersebut. Maka karena itulah, keduanya dinamakan: malaikat-malaikat mulia yang menuliskan amal manusia (kiraman katibin). Adapun al-kiram (yang mulia atau yang pemurah), maka karena dimanfaatkan oleh hamba dengan kemurahan (kemuliaan) keduanya. Dan karena para malaikat itu semua, adalah yang mulia, yang berbuat kebajikan.
Adapun al-katibin (penulis-penulis), maka karena keduanya itu yang menetapkan (yang menuliskan) kebajikan-kebajikan dan kejahatan-kejahatan. Dan keduanya sesungguhnya menuliskan pada lembaran-lembaran yang terlipat dalam rahasia hati dan terlipat dari rahasia hati. Sehingga tidak terlihat kepadanya di dunia ini. Maka kedua malaikat tersebut, suratannya, tulisannya, lembaran-lembarannya dan sejumlah yang menyangkut dengan kedua malaikat itu, adalah dari jumlah ‘alam ghaib dan ‘alam malakut. Tidak dari ‘alam syahadah (alam yang dapat disaksiakan dengan pancaindra). Setiap sesuatu dari ‘alam malakut itu, tidak dapat dilihat oleh mata di alam ini.
Kemudian, lembaran-lembaran amal yang terlipat itu disiarkan dua kali. Sekali pada kiamat kecil dan sekali pada kiamat besar. yang dimaksud dengan kiamat kecil, ialah: waktu mati. Karena Nabi saw bersabda: “Siapa yang mati, maka telah berdiri kiamatnya”. Pada kiamat kecil ini, adalah hamba itu sendirian. Dan pada kiamat ini, dikatakaan: “Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami seorang saja, sebagaimana Kami menjadikan kamu pada pertama kali”. S 6 Al An’aam ayat 94. Pada kiamat kecil dikatakan pula: “Cukuplah pada hari ini, engkau membuat perhitungna atas diri sendiri”. S 17 Al Isra ayat 14. Adapun pada kiamat besar yang mengumpulkan semua makhluk, maka hamba itu tidak sendirian. Akan tetapi, kadang-kadang akan dilakukan hitungan amal (hisab amal), di hadapan makhluk banyak. Pada kiamat besar itu, orang-orang yang bertaqwa, dibawa ke surga dan orang-orang yang berdosa, dibawa ke neraka, secara beramai-ramai. Tidak sendiri-sendirian. Huru hara pertama, ialah: huru hara kiamat kecil. Dan bagi semua huru hara kiamat besar, ada bandingannya pada kiamat kecil. Seperti goncangnya bumi-umpamanya. Sesungguhnya bumi engkau yang khusus bagi engkau itu, bergoncang pada kematian. Maka engkau sesungguhnya mengetahui, bahwa kegoncangan itu apabila bergoncang pada suatu negeri, niscaya benarlah untuk dikatakan: sesungguhnya bumi mereka sudah bergoncang. Walaupun negeri-negeri yang mengelilingi negeri tersebut tadi tidak bergoncang. Bahkan, jikalau tempat tinggal seorang manusia sendirian bergoncang, maka telah berhasil kegoncangan itu pada pihaknya. Karena dia sesungguhnya, memperoleh melarat ketika bergoncangnya semua bumi, dengan kegoncangan tempatnya. Tidak dengan kegoncangan tempat tinggal orang lain. Maka bahagiannya dari kegoncangan itu, telah sempurna, tanpa ada kekurangan.
Ketahuilah kiranya, bahwa anda itu makhluk yang paling diridhai dari tanah. Dan keberuntungan engkau orang yang khusus dari tanah, ialah: badan engkau saja. Adapun badan orang lain, maka bukanlah keberuntungan engkau. Dan bumi tempat engkau duduk itu, dengan dikaitkan kepada badan engkau, adalah karung dan tempat. Dan sesungguhnya engkau takut dari kegoncangan tempat itu, bahwa badan engkau bergoncang dengan sebab kegoncangan tersebut. Kalau tidak demikian, maka udara itu selalu bergoncang dan engkau tidak takut kepadanya. Karena tidak bergoncang badan engkau dengan sebab demikian. Maka keberuntungan engkau dari kegoncangan bumi seluruhnya, ialah: kegoncangan badan engkau saja. Maka itulah bumi engkau dan tanah engkau yang khusus dengan engkau. Tulang-belulang engkau, ialah: bukit-bukit bumi engkau. Kepala engkau ialah langit bumi engkau. Hati engkau ialah matahari bumi engkau. Pendengaran engkau, penglihatan engkau dll yang khusus bagi engkau, adalah bintang-bintang langit engkau. Bercucurannya keringat dari badan engkau, adalah laut bumi engkau. Rambut engkau adalah tumbuh-tumbuhan bumi engkau. Anggota-anggota badan engkau adalah pohon-pohonan bumi engkau. Dan begitulah kepada semua bahagian tubuh engkau. Apabila sendi-sendi badan engkau roboh dengan kematian, maka sesungguhnya telah bergoncanglah bumi sebagai kegoncangannya. Maka apabila bercerailah tulang-belulang dari daging, maka sesungguhnya bumi dan bukit-bukit itu diangkat, lalu dihancurkan sekali hancur. Apabila tulang-belulang itu telah hancur, maka gunung-gunung itu, telah dihancurkan. Apabila hati engkau gelap gulita ketika mati, maka sesungguhnya matahari itu telah digulung. Apabila pendengaran engkau, penglihatan engkau dan pancaindra engkau lainnya tidak berguna lagi, maka sesungguhnya bintang-bintang itu jatuh berhamburan. Apabila otak engkau pecah, maka sesungguhnya langit itu pecah. Apabila dari huru haranya mati, lalu terpancarlah keringat kening engkau, maka sesungguhnya lautan itu telah terpancar-pancar airnya. Apabila salah satu betis engkau berpaling dengan yang lain dan keduanya itu adalah lipatan badan engkau, maka sesungguhnya unta-unta betina itu telah ditinggalkan. Apabila nyawa itu telah berpisah dengan tubuh, maka bumi itu dibawa, lalu dipanjangkan. Sehingga ia mencampakkan isinya dan melepaskannya. Aku tiada akan memanjangkan semua perbandingan hal-ihwal dan huru hara itu. Akan tetapi, aku mengatakan: bahwa dengan semata-mata mati itu, tegak berdirilah pada engkau kiamat kecil ini. Dan tiada luput bagi engkau, dari kiamat besar itu, suatupun dari apa yang khusus bagi engkau. Bahkan, apa yang khusus bagi orang lain dari engkau. Maka sesungguhnya masih adanya bintang-bintang itu bagi orang lain, apakah yang bermanfaat bagi engkau daripadanya ? dan telah berguguranlah pancaindra engkau, yang dengan pancaindra tersebut, engkau dapat mengambil manfaat dengan memandang kepada bintang-bintang itu. Dan orang buta, sama padanya malam dan siang, gerhana matahari dan terangnya. Karena matahari itu telah gerhana terhadap dirinya sekaligus. Dan itu adalah bahagiannya daripada matahari. Maka terangnya matahari sesudah itu, adalah bahagian orang lain. Dan siapa yang pecah kepalanya, maka sesungguhnya telah pecah langitnya. Karena langit itu, adalah ibarat dari apa yang mengiringi pihak kepala. Maka siapa yang tiada mempunyai kepala, niscaya tiada langit baginya. Maka dari manakah bermanfaat baginya, oleh tetap adanya langit itu bagi orang lain ? maka inilah kiamat kecil itu ! takut itu sesudah yang di bawah. Dan huru hara itu, sesudah yang penghabisan. Yang demikian itu, ialah: apabila datang bencana yang terbesar, terangkatlah yang khusus, binasalah langit dan bumi, hancurlah gunung-gunung dan bertambahlah huru hara itu. Ketahuilah kiranya, bahwa kiamat kecil ini, walaupun kami perpanjangkan menyifatkannya, maka sesungguhnya kami tidaklah menyebutkannya 1/100 dari sifat-sifatnya. Dan kiamat kecil itu dibandingkan kepada kiamat besar, adalah seperti kelahiran kecil, dibandingkan kepada kelahiran besar. Sesungguhnya manusia itu mempunyai dua kelahiran: pertama: keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada wanita, kepada tempat simpanan rahim wanita. Manusia itu dalam rahim adalah pada tempat yang tetap tenang, sampai kepada kadar waktu yang dimaklumi. Dan manusia itu dalam perjalanannya kepada kesempurnaan, mempunyai tempat-tempat dan tahap-tahap, dari setitik air mani (nuthfah), darah segumpal, daging segumpal dan lainnya. Sehingga manusia itu keluar dari kesempitan rahim ibu kepada alam dunia yang lapang. Maka bandingan umumnya kiamat besar dengan khususnya kiamat kecil, adalah seperti bandingan luasnya alam lapang dengan luasnya lapang rahim ibu. Dan bandingan luasnya alam yang didatangi hamba itu dengan mati, dibandingkan kepada luasnya lapangan dunia, adalah seperti bandingan lapangnya dunia juga kepada rahim ibu. Bahkan, lebih luas dan lebih besar. Maka kiaskanlah akhirat itu dengan dunia ! maka tidaklah kejadian kamu dan kebangkitan kamu, selain seperti suatu diri saja. Dan tidaklah kejadian kedua, melainkan atas kiasan kejadian pertama. Bahkan bilangan kejadian itu, tidaklah terhingga pada dua saja. Dan kepada yang demikian itu, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan Kami menjadikan kamu dalam (rupa) yang tiada kamu ketahui”. S Al Waqi’ah ayat 61. Orang yang mengaku dengan kedua kiamat itu, adalah orang yang beriman dengan ‘alam ghaib dan ‘alam syahadah (alam penyaksian). Dan yakin dengan alam dunia yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata. Orang yang mengaku dengan kiamat kecil dan tidak mengaku dengan kiamat besar, adalah orang yang memandang dengan mata kero(satu mata) kepada salah satu dua alam. Yang demikian itu, adalah bodoh, sesat dan mengikuti dajjal yang bermata kero(bermata satu). Alangkah bersangatannya kelalaian engkau, hai orang yang patut dikasihani ! dan semua kita adalah orang yang patut dikasihani. Dan di hadapan engkau itu huru hara tersebut. Jikalau engkau tidak beriman dengan kiamat besar, disebabkan bodoh dan sesat, maka apakah tidak mencukupi bagi engkau dalil kiamat kecil ? atau tidakkah engkau mendengar sabda penghulu nabi-nabi as: “Mencukupilah dengan mati itu menjadi pemberi pengajaran". Atau tidakkah engkau mendengar susahnya Nabi saw ketika akan wafat, sehingga beliau saw berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! mudahkanlah kepada Muhammad sakartul maut”. Atau tidakkah engkau malu dari kelambatan engkau akan serangan maut, karena mengikuti orang-orang lalai yang hina, yang tiada mereka tunggu, selain suatu pekikan, yang akan menyiksa mereka, dan mereka berbantahan sesamanya ? mereka tiada berkesempatan menyampaikan pesan dan tiada pula dapat kembali kepada keluarganya. Maka datanglah sakit kepada mereka, yang memperingatkan kepada mati. Tetapi mereka tidak memperoleh peringatan daripadanya. Dan datanglah kepada mereka itu tua, sebagai utusan dari mati. Maka tiadakah mereka mengambil ibarat daripadanya ? alangkah ruginya hamba-hamba yang datang rasul kepada mereka, lalu mereka memperolok-olokkan rasul itu.
Apakah mereka menyangka, bahwa mereka itu kekal dalam dunia ini ? atau tidakkah mereka melihat, berapa banyak yang telah Kami binasakan sebelum mereka, dari berabad-abad lamanya, bahwa mereka itu tidak kembali kepadanya ? ataukah mereka menyangka, bahwa orang-orang mati itu telah berjalan jauh dari mereka, lalu mereka itu dianggap tidak ada lagi ? tidaklah sekali-kali yang demikian ! masing-masing dengan tiada kecualinya akan dihadapkan kepada Kami. Akan tetapi, apa yang datang kepada mereka, salah satu dari ayat-ayat Tuhannya, lalu mereka itu berpaling daripadanya. Dan yang demikian itu, karena Kami adakan tutup di hadapan dan di belakang mereka. Lalu mereka Kami tutup. Sebab itu, mereka tiada juga mau percaya.
Marilah sekarang kita kembali kepada yang dimaksud ! sesungguhnya semua yang tersebut itu, adalah isyarat yang mengisyaratkan kepada hal-hal yang lebih dari ilmu mu’amalah (perniagaan). Maka kami terangkan, bahwa telah jelas, bahwa sabar itu adalah ibarat dari tetapnya penggerak agama pada melawan penggerak hawa nafsu. Dan perlawanan ini, adalah termasuk ciri khas anak-anak Adam, karena diwakilkan kepada mereka, malaikat-malaikat yang mulia, yang menuliskan amal perbuatan mereka. Dua malaikat yang menulis amal anak Adam itu, tidak menuliskan sesuatu dari anak-anak kecil dan orang-orang gila. Karena, telah kami sebutkan dahulu, bahwa kebaikan itu adalah pada menghadapkan diri untuk mengambil faedah daripada keduanya. Dan kejahatan itu pada berpaling daripada keduanya. Bagi anak-anak kecil dan orang-orang gila tiada jalan bagi mereka kepada mengambil faedah tersebut. Maka tiadalah tergambar dari anak kecil dan orang gila itu, untuk menghadap dan berpaling. Dan kedua malaikat penulis amal itu, tiada menuliskan, selain menghadap dan berpaling dari orang-orang yang mampu kepada menghadap dan berpaling itu.
Demi umurku ! sesungguhnya telah menampak tanda-tanda permulaan kecemerlangan sinar petunjuk ketika tiba usia at-tamyiz (usia telah dapat membedakan antara melarat dan manfaat). Tanda-tanda permulaan kecemerlangan itu tumbuh dengan berangsur-angsur, sampai kepada tahun datangnya dewasa (baligh). Sebagaimana menampak sinar pagi sampai kepada terbitnya bundaran matahari. Akan tetapi itu adalah petunjuk yang singkat, yang tidak menunjukkan kepada hal-hal yang mendatangkan melarat di akhirat. Akan tetapi, kepada hal-hal yang mendatangkan melarat di dunia. Maka karena itulah, anak itu dipukul karena meninggalkan shalat seketika dan ia tidak disiksakan atas meninggalkan shalat itu di akhirat. Dan tidak dituliskan pada lembaran-lembaran amal yang akan ditebarkan di akhirat. Akan tetapi, menjadi tanggung jawab yang mengurus anak itu yang adil dan walinya yang baik, yang penuh belas kasihan, kalau ia termasuk orang-orang yang baik. Dan adalah sikap dari para malaikat yang mulia, yang menulis amal, yang selalu berbuat baik, lagi pilihan, bahwa dituliskan terhadap anak kecil itu, kejahatan dan kebaikannya, di atas lembaran hatinya. Lalu dituliskan kepadanya dengan pemeliharaan. Kemudian, disiarkan kepadanya dengan memperkenalkan. Kemudian, ia dihukum dengan pemukulan. Maka setiap wali anak kecil, yang ini sikapnya terhadap anak kecil itu, maka ia telah mewarisi akhlak para malaikat. Dan ia memakaikannya terhadap anak kecil itu. Maka dengan demikian, ia akan memperoleh derajat kehampiran dengan Tuhan semesta alam, sebagaimana yang diperoleh para malaikat. Maka wali tersebut adalah bersama nabi-nabi, orang-orang yang dekat dengan Allah (al-muqarrabin) dan orang-orang yang membenarkan agama (ash-shiddiqin). Kepada itulah, diisyaratkan dengan sabda Nabi saw: “Aku dan yang menanggung anak yatim, adalah seperti dua ini dalam sorga”. Nabi saw mengisyaratkan (menunjukkan) kepada dua anak jarinya saw yang mulia.
PENJELASAN: adanya sabar itu separuh iman.
Ketahuilah kiranya, bahwa iman itu pada suatu kali, tertentu pada menyebutkannya secara mutlak, kepada pembenaran dengan pokok-pokok agama. Pada suatu kali, tertentu dengan amal-amal shalih yang datang dari pembenaran itu. Dan pada suatu kali dimutlakkan kepada keduanya (pembenaran dan amal shalih) sekalian.  ilmu mengenal Allah Ta’ala- ilmu mengenal Allah Ta’ala itu mempunyai pintu-pintu. Amal-amal itu mempunyai pintu-pintu. Dan untuk kelengkapan kata-kata iman kepada semuanya, maka iman itu adalah lebih 70 pintu. Dan perbedaan kata-kata yang dipakai itu, telah kami sebutkan pada Kitab Kaedah-kaedah ‘Aqaid (ilmu mengenai pokoknya agama) dari Rubu’ Ibadah dahulu. Akan tetapi, sabar itu separuh iman dengan 2 pandangan dan atas kehendak 2 pemakaian kata:
Pandangan pertama: bahwa iman itu dikatakan secara mutlak kepada semua pembenaran dan amalan. Lalu iman itu mempunyai dua sendi (rukun): yang satu: yakin dan yang lain: sabar. Yang dimaksudkan dengan yakin, ialah:  ilmu mengenal Allah Ta’ala- ilmu mengenal Allah Ta’ala yang diyakini, yang diperoleh dengan petunjuk Allah Ta’ala akan hambaNya kepada pokok-pokok agama. Dan yang dimaksudkan dengan sabar, ialah: amal (berbuat) menurut yang dikehendaki oleh yakin. Karena yakin itu memperkenalkan kepadanya, bahwa maksiat itu mendatangkan melarat dan taat itu mendatangkan manfaat. Dan tidak mungkin meninggalkan perbuatan maksiat dan rajin kepada taat, selain dengan sabar. Yaitu: memakai penggerak agama pada memaksakan penggerak hawa nafsu dan malas. Maka adalah sabar itu separuh iman dengan pandangan ini. Dan karena itulah, Rasulullah saw mengumpulkan di antara keduanya, dengan sabdanya: "Di antara yang paling sedikit yang diberikan kepada kamu, ialah: yakin dan keras kesabaran”. Bacalah hadits ini sampai akhirnya !
Pandangan kedua: bahwa iman itu dikatakan secara mutlak kepada hal-ihwal yang membuahkan amal. Tidak kepada  ilmu mengenal Allah Ta’ala-ilmu mengenal Allah Ta’ala. Dan ketika itu, terbagilah semua yang ditemui oleh hamba dalam hidupnya, kepada: yang bermanfaat kepadanya di dunia dan di akhirat atau yang mendatangkan melarat kepadanya di dunia dan di akhirat. Dan hamba itu, dengan dikaitkan kepada yang mendatangkan melarat kepadanya, mempunyai: hal (sifat) sabar. Dan dengan dikaitkan kepada yang mendatangkan manfaat kepadanya, mempunyai: hal (sifat) syukur. Maka syukur itu dengan pandangan ini, adalah salah satu dari dua bahagian iman, sebagaimana yakin adalah salah satu dari dua bahagian itu, menurut pandangan pertama di atas. Dengan pandangan tersebut, Ibnu Mas’ud ra berkata: “Iman itu dua paroh (nishfu), separoh sabar dan separoh syukur”. Kadang-kadang kata Ibnu Mas’ud ini, dikatakan juga sabda Rasulullah saw. Tatkala sabar itu adalah sabar dari penggerak hawa nafsu, dengan tetapnya penggerak agama dan adalah penggerak hawa nafsu itu dua bahagian: penggerak dari pihak nafsu syahwat dan penggerak dari pihak marah, maka nafsu syahwat itu, untuk mencari kelezatan dan marah itu, untuk lari dari yang menyakitkan. Dan puasa itu adalah sabar dari yang dikehendaki nafsu syahwat saja. Yaitu: nafsu syahwat perut dan kemaluan, tidak yang dikehendaki marah. Dengan pandangan inilah, Nabi saw bersabda: “Puasa itu separoh sabar”. Karena kesempurnaan sabar, ialah dengan sabar dari semua yang mengajak kepada nafsu syahwat dan semua yang mengajak kepada marah. Maka adalah puasa itu dengan pandangan ini, ¼ iman. Maka begitulah seyogyanya, dipahami penentuan-penentuan agama dengan batas-batas amal perbuatan dan hal-ihwal dan bandingannya kepada iman. Dan yang pokok padanya, ialah: bahwa diketahui kebanyakan pintu-pintu iman. Maka sesungguhnya nama iman itu disebutkan secara mutlak kepada segi-segi yang bermacam-macam.
PENJELASAN: nama-nama yang membaru bagi sabar, dengan dikaitkan kepada keadaan, yang sabar itu datang daripadanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa sabar itu dua bahagian: pertama: bahagian badaniah, seperti: menanggung kesukaran dengan badan dan tetap bertahan atas yang demikian. Dan ini, adakalanya dengan perbuatan, seperti: mengerjakan perbuatan-perbuatan yang sukar. Adakalanya dari perbuatan-perbuatan ibadah atau bukan ibadah. Adakalanya, dengan penanggungan, seperti: sabar dari pukulan keras, sakit parah dan luka-luka besar. Yang demikian itu kadang-kadang terpuji, apabila bersesuaian dengan agama agama. Akan tetapi, yang terpuji, yang sempurna, ialah: sabar yang satu bahagian lagi.
Yaitu: sabar diri daripada semua yang diridhai tabiat dan yang dikehendaki hawa nafsu. Kemudian, bahagian ini, kalau adalah dia itu sabar dari nafsu syahwat perut dan kemaluan, maka dinamakan: pemeliharaan diri. Dan kalau sabar itu dengan menanggung yang tidak disukai, maka namanya berbeda-beda pada manusia, dengan berbedanya yang tidak disukai, yang dikerasi oleh sabar tersebut. Kalau sabar itu pada musibah, maka disingkatkan saja, atas nama: sabar. Dan yang berlawanan dengan ini, ialah: suatu hal keadaan, yang dinamakan: gelisah dan keluh kesah. Yaitu: pemakaian kata-kata bagi pengajak hawa nafsu, supaya terlepas, dengan mengeraskan suara, memukul pipi, mengoyakkan saku baju dll. Kalau sabar itu pada membawakan kekayaan, maka dinamakan: mengekang diri. Dan yang berlawanan dengan itu, ialah suatu keadaan, yang dinamakan: sombong dengan kesenangan. Kalau pada peperangan dan berbunuh-bunuhan, dinamakan: berani. Dan lawannya, ialah: pengecut. Kalau sabar itu menahan amarah dan marah, maka dinamakan: lemah lembut. Dan lawannya, ialah: pengutukan diri pada yang sudah hilang. Kalau sabar itu pada suatu pergantian masa yang membosankan, maka dinamakan: lapang dada. Dan yang berlawanan itu, dinamakan: membosankan, mengekal hati dan sempit dada. Kalau sabar itu pada menyembunyikan perkataan, maka dinamakan: menyembunyikan rahasia. Dan orang yang bersifat demikian, dinamakan: penyimpan (penyembunyi) rahasia. Kalau sabar itu pada yang berlebihan pada hidup, maka dinamakan: zuhud. Dan yang berlawanan dengan itu, dinamakan: rakus. Kalau sabar itu pada kadar sedikit dari keberuntungannya, maka dinamakan: merasa cukup seadanya. Yang berlawanan dengan itu, dinamakan: lahap. Maka yang terbanyak dari akhlak iman itu masuk dalam sabar. Karena itulah, pada suatu kali Nabi saw ditanyakan tentang iman, lalu beliau menjawab: “Ialah: sabar”.
Karena sabar itu yang terbanyak dari amal perbuatan iman dan yang termulia dari amal perbuatan itu. Sebagaimana Nabi saw bersabda: “Hajji itu’ Arafah”. Allah Ta’ala mengumpulkan bahagian-bahagian itu dan semuanya dinamakan: sabar. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka yang sabar dalam musibah, kemiskinan dan ketika peperangan. Merekalah orang-orang yang benar dan merekalah orang-orang yang bertaqwa memelihara dirinya dari kejahatan”. S 2 Al Baqarah ayat 177. Jadi, inilah bahagian-bahagian sabar, dengan perbedaan hubungan-hubungannya. Dan siapa yang mengambil arti (maksud) dari nama, niscaya ia menyangka bahwa hal-keadaan itu berbeda pada zatnya dan hakikat/maknanya, dari segi ia melihat nama-nama itu berbeda. Dan orang yang berjalan pada jalan lurus dan memandang dengan nur Allah, niscaya mula-mula memperhatikan kepada artinya. Lalu ia melihat kepada hakikat/maknanya. Kemudian ia memperhatikan namanya. Karena nama itu sesungguhnya diletakkan untuk menunjukkan kepada arti. Maka arti itu adalah pokok dan kata-kata itu adalah pengikut. Siapa yang mencari arti dari pengikut, niscaya tak boleh tidak, ia akan tergelincir. Dan kepada dua golongan itulah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Adakah orang yang berjalan menelungkup di atas mukanya lebih mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan dengan lurus di atas jalan yang betul ?”. S Al Mulk ayat 22. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak salah pada apa yang mereka telah bersalah padanya, selain dengan contoh pembalikan-pembalikan itu. Kita bermohon pada Allah Ta’ala akan bagusnya taufiq, dengan kemurahan dan kelemah-lembutanNya.
PENJELASAN: bahagian-bahagian sabar, menurut perbedaan kuat dan lemahnya.
Ketahuilah kiranya, bahwa penggerak agama, dikaitkan kepada penggerak hawa nafsu itu mempunyai 3 hal keadaan:
Pertama: bahwa ia memaksakan penggerak hawa nafsu. Lalu penggerak hawa nafsu itu tidak mempunyai lagi kekuatan untuk melawan. Dan sampai kepada yang demikian itu, dengan berkekalan sabar. Dan ketika itu, dikatakan: “Siapa sabar niscaya mendapat”. Yang sampai kepada tingkat ini, mereka itu adalah sedikit. Maka tidak dapat dibantah, ialah: orang-orang shiddiq (ash-shiddiqun), yang dekat dengan Allah (al-muqarrabun), yang mengatakan: “Tuhan kami, ialah: ALLAH”. kemudian, mereka itu beristiqamah (berjalan di atas jalan lurus dan tetap pendirian). Mereka selalu menempuh jalan lurus dan berdiri tegak di atas jalan yang betul. Diri mereka itu tetap menurut yang dikehendaki oleh penggerak agama. Mereka waspada, akan dipanggil oleh yang memanggil: “Wahai jiwa (diri) yang tenang ! kembalilah kepada Tuhanmu dengan rela, yang direlai !”.
Keadaan kedua: bahwa menanglah pengajak-pengajak hawa nafsu. Dan dengan cara keseluruhan, jatuhlah perlawanan penggerak agama. Lalu ia menyerahkan dirinya kepada tentara setan dan ia tidak berjuang (ber bersungguh‑sungguh ). Karena putus asanya dari  bersungguh‑sungguh  itu. Merekalah orang-orang yang lalai. Merekalah yang terbanyak. Mereka adalah orang-orang yang telah diperbudakkan oleh nafsu syahwatnya. Dan telah bersangatan kepada mereka kedurhakaan kepada Allah. Lalu mereka dihukum sebagai musuh Allah dalam hati mereka, dimana hati itu adalah salah satu daripada rahasia Allah Ta’ala dan salah satu daripada urusan Allah. Kepada merekalah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami berikan petunjuk kepada setiap diri. Tetapi perkataan daripadaKU, sebenarnya akan terjadi: sesungguhnya Aku akan memenuhkan neraka jahannam dengan jin dan manusia semuanya”. S As Sajadah ayat 13. Merekalah orang-orang yang membeli kehidupan duniawi dengan akhirat. Maka rugilah perniagaan mereka. Dan dikatakan kepada orang yang bermaksud menunjuk jalan kepada mereka: “Berpalinglah engkau dari orang yang tiada memperdulikan pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan duniawi semata ! pengetahuan mereka hanya sehingga itu”. S 53 An Najm ayat 29-30.
Keadaan ini, tandanya, ialah: putus asa, hilang harapan dan tertipu dengan angan-angan. Itulah yang paling bodoh, sebagaimana Nabi saw bersabda: “Orang yang pintar itu mengagamakan dirinya dan berbuat amal untuk sesudah mati. Dan orang yang bodoh, ialah: orang yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya dan ia berangan-angan atas Allah”. Orang yang berkeadaan yang begini, apabila diberi pengajaran, niscaya menjawab: “Aku ingin bertaubat. Akan tetapi, sukar taubat itu atas diriku. Lalu aku tidak mengharap padanya”. Atau ia tidak ingin kepada taubat. Akan tetapi, ia mengatakan: “Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun, Maha Pengasih, lagi Maha Pemurah. Maka IA tidak memerlukan kepada taubatku”. Orang yang patut dikasihani ini, akalnya telah menjadi budak nafsu syahwatnya. Ia tidak menggunakan akalnya, selain pada memahami daya upaya yang halus-halus, yang akan menyampaikan kepada terlaksana nafsu syahwatnya. Maka jadilah akalnya itu dalam tangan nafsu syahwatnya, seperti seorang muslim yang tertawan dalam tangan orang-orang kafir. Lalu orang-orang kafir itu menyuruh orang muslim tersebut, menjaga babi, memelihara khamar dan membawanya. Tempat orang yang tersebut tadi di sisi Allah Ta’ala, adalah tempatnya orang yang memaksakan orang muslim dan menyerahkannya kepada orang-orang kafir. Dan dijadikannya orang muslim tersebut menjadi orang tawanan pada orang-orang akfir itu. Karena, dengan kekejian kesalahannya itu, menyerupailah, bahwa ia menghinakan apa yang sebenarnya, tidak dihinakan. Dan ia memaksakan apa yang sebenarnya, tidak dipaksakan. Sesungguhnya orang muslim itu berhak untuk dipaksakan kepada sesuatu, yang padanya  ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah dan penggerak agama. Dan orang kafir itu berhak dipaksakan, karena padanya itu ada kebodohan dengan agama dan penggerak setan-setan. Dan hak orang muslim atas dirinya adalah lebih wajib dari hak orang lain atas dirinya. Manakala dijadikan arti yang mulia, yang termasuk dari barisan Allah dan tentara malaikat, kepada arti yang buruk, yang termasuk sebahagian dari barisan setan-setan, yang menjauhkan dari Allah Ta’ala, niscaya adalah ia seperti orang yang memperbudakkan orang muslim untuk orang kafir. Bahkan dia itu, adalah seperti orang yang bermaksud kepada raja yang menganugerahkan nikmat kepadanya. Lalu diambilnya seorang dari anak raja itu yang termulia dan diserahkannya kepada salah seorang dari musuh-musuh raja itu yang paling dibencinya. Maka lihatlah, bagaimana kufurnya orang itu kepada nikmat yang dianugerahkan oleh raja dan perbuatannya untuk bencana bagi raja. Karena hawa nafsu itu adalah Tuhan yang paling dimarahi, yang disembah oleh hamba di bumi di sisi Allah Ta’ala. Dan akal itu termulia dari yang ada, yang dijadikan di atas permukaan bumi.
Keadaan ketiga: bahwa peperangan itu adalah menjadi hal yang biasa di antara dua tentara. Sekali ia memperoleh kemenangan atas peperangan itu. Dan kali yang lain, peperangan itu mengalahkannya. Ini adalah dari golongan orang-orang yang berjuang, yang seperti ini dihitung, tidak termasuk orang-orang yang menang. Orang-orang yang berkeadaan dengan keadaan ini, ialah: mereka yang mencampur-adukkan amal perbuatan yang baik dan yang lain yang jahat. Kiranya Allah Ta’ala menerima taubat mereka. Ini adalah dengan memandang kepada kuat dan lemahnya. Dan berjalan pula kepadanya tiga keadaan, dengan memandang bilangan, yang dia bersabar padanya: yaitu: adakalanya ia dapat mengalahkan semua nafsu syahwatnya atau tidak dapat dikalahkannya sedikitpun daripadanya. Atau dapat dikalahkannya setengah daripada nafsu syahwat itu, tidak dapat yang setengah lagi. Dan menempatkan firman Allah Ta’ala: “Mereka telah mencampur adukkan pekerjaan baik dengan yang buruk”, kepada orang yang lemah dari setengah nafsu syahwat, tidak dari setengah yang lain, adalah lebih utama. Dan orang-orang yang meninggalkan  bersungguh‑sungguh  serta nafsu syahwat itu secara mutlak, adalah menyerupai dengan hewan. Bahkan mereka lebih sesat jalannya. Karena hewan itu tidak dijadikan baginya ilmu mengenal Allah Ta’ala dan kemampuan, dimana dengan kemampuan itu, ia berjuang melawan kehendak nafsu syahwat. Sedang dia telah dijadikan yang demikian baginya dan tidak dipergunakannya. Maka orang tersebut itu adalah orang yang mengurangkan kebenaran dan yang membelakangkan keyakinan. Karena itulah, dikatakan dalam suatu madah:
Aku tidak melihat,
pada kekurangan manusia itu sesuatu,
seperti kurangnya orang-orang yang mampu,
kepada kesempurnaan.........
Juga sabar itu dengan memandang kepada mudah dan sukar, terbagi kepada: yang sulit kepada diri. Maka tidak mungkin meneruskan sabar itu, selain dengan kesungguhan yang benar-benar sungguh dan kepayahan diri yang berat. Dan yang demikian itu, dinamakan: bersabar benar-benar. Dan kepada yang tidak begitu sangat payah. Akan tetapi, sabar itu berhasil dengan sedikit penanggungan atas diri. Dan yang demikian itu khusus dinamakan: sabar. Apabila taqwa itu terus-menerus dan pembenaran itu telah kuat, dengan amal-amal baik pada kesudahannya, niscaya sabar itu menjadi mudah.
Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Sebab itu, siapa yang memberi (untuk kebaikan) dan memelihara dirinya dari kejahatan. Dan membenarkan (mempercayai) yang baik. Kami akan memudahkan kepadanya menempuh (jalan) yang mudah”. S Al Lail ayat 5-6-7. Contoh pembahagian yang seperti ini, ialah: kuatnya orang yang bermain banting-bantingan atas orang lain. Laki-laki yang kuat itu sanggup membanting orang yang lemah, dengan sedikit pukulan dan kekuatan yang mudah, dimana ia tidak menemui pada berbanting-bantingan itu keletihan dan kepayahan. Nafasnya tidak bergoncang dan tidak terputus (dari karena kelamahan). Ia tidak mampu membanting orang yang keras, kecuali dengan payah, bertambah kesungguhan dan keringat di pipi. Maka begitulah adanya banting-bantingan itu diantara penggerak agama dan penggerak hawa nafsu. Itu sebenarnya adalah banting-bantingan di antara malaikat dengan tentara setan. Manakala nafsu syahwat itu mengaku rendah dan mengalah dan penggerak agama yang berkuasa, memerintah dan sabar menjadi mudah, disebabkan lamanya membiasakannya, niscaya yang demikian itu mewariskan: maqam ridla, sebagaimana akan datang penjelasannya pada Kitab ridla nanti. Ridla itu lebih tinggi dari sabar. Karena itulah Nabi saw bersabda: “Beribadahlah kepada Allah di atas ridla. Maka jikalau engkau tidak sanggup, maka pada sabar atas yang tidak engkau senangi itu banyak kebajikan”. Berkata sebagian orang arifin: “Orang-orang yang kuat sabarnya itu adalah atas 3 maqam:
Pertama meninggalkan nafsu syahwat. Dan ini adalah derajat orang-orang yang taubat.
Kedua: ridla dengan yang diitakdirkan Tuhan. Dan ini adalah derajat orang-orang zahid (orang-orang yang bersifat zuhud).
Ketiga: suka kepada apa yang diperbuat Tuhannya. Dan ini adalah derajat orang-orang shiddiq (Ash-shiddiiqin)”.
Akan kami terangkan nanti pada Kitab Cinta kepada Allah (kitab al-mahabbah), bahwa maqam al-mahabbah itu lebih tinggi dari maqam ridla, sebagaimana maqam ridla itu lebih tinggi dari maqam sabar seakan-akan pembahagian ini berlaku pada sabar khusus. Yaitu: sabar atas segala musibah dan percobaan. Ketahuilah kiranya, bahwa sabar juga terbagi dengan memandang kepada hukumnya, kepada: fardlu, sunat, makruh dan haram. Sabar dari segala yang dilarang itu fardlu/wajib. Dari segala yang makruh itu sunat. Sabar atas yang kesakitan yang dilarang itu: dilarang. Seperti orang yang akan dipotong tangannya atau tangan anaknya. Dia bersabar atas yang demikian, dengan berdiam diri. Dan seperti orang, yang ada maksud orang lain kepada isterinya dengan nafsu syahwat yang dilarang. Maka tergeraklah cemburunya. Lalu ia bersabar daripada melahirkan kecemburuannya. Dan ia berdiam diri atas apa yang berlaku kepada isterinya. Maka sabar ini diharamkan. Sabar makruh, yaitu: sabar atas kesakitan, yang diperolehnya dari segi makruh pada agama. Maka adalah agama itu yang berkeras bagi sabar. Maka adanya sabar itu separoh iman, tiadalah seyogyanya mengkhayalkan kepada anda, bahwa semua sabar itu terpuji. Bahkan yang dimaksud dengan yang demikian, ialah: macam-macamnya sabar yang khusus.
PENJELASAN: tempatnya sangkaan diperlukan kepada sabar dan hamba itu tiada terlepas dari sabar pada segala hal-ihwal.
Ketahuilah kiranya, bahwa semua yang dijumpai seorang hamba dalam hidup ini, tiada terlepas dari 2 macam:
Pertama: yaitu yang bersesuaian dengan hawa nafsunya.
Yang semacam lagi yaitu: yang tidak bersesuaian dengan hawa nafsu. Akan tetapi, tidak disukainya.
Orang itu memerlukan kepada sabar pada masing-masing dari 2 hal tersebut. Dan manusia itu pada semua keadaan, tiada terlepas dari salah satu yang dua macam atau dari kedua-duanya. Jadi, manusia itu tiada sekali-kali terlepas dari sabar.
Macam pertama, yaitu: yang bersesuaian dengan hawa nafsu tadi, ialah: kesehatan, keselamatan, harta, kemegahan, banyak keluarga, luasnya sebab-sebab yang menghasilkan, banyak pengikut, pembantu dan semua kesenangan duniawi. Alangkah berhajatnya hamba kepada kesabaran pada hal-hal tersebut ! jikalau ia tidak dapat mengekang dirinya dari terlepas, cenderung kepadanya dan terjerumus pada kesenangannya yang diperbolehkan, niscaya yang demikian itu mengeluarkannya kepada kesombongan dengan nikmat dan durhaka. Sesungguhnya manusia itu akan durhaka, kalau ia melihat, bahwa ia tidak memerlukan kepada orang. Sehingga setengah orang-orang arifin mengatakan: “Bala bencana itu, yang orang mu’min bersabar padanya. Dan kesehatan yang sempurna, tidak bersabar padannya, selain orang shiddiq”.
Sahal mengatakan: “Sabar atas kesehatan yang sempurna itu lebih berat daripada sabar atas bala bencana”. Tatkala pintu-pintu dunia terbuka kepada para sahabat ra, maka mereka mengatakan: “Kita telah dicoba (diberi bala’), dengan fitnah kemiskinan, maka kita telah sabar. Dan kita dicoba dengan fitnah kekayaan, maka kita tidak sabar (tahan diri)”. Karena itulah, Allah memperingatkan hamba-hambaNya daripada fitnah harta, isteri dan anak. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang beriman ! janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingati Allah”. S Al Munafiqun ayat 9. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya di antara isteri dan anak-anak kamu, ada yang menjadi musuh bagi kamu. Sebab itu, berhati-hatilah terhadap mereka !”. S At-Taghabun ayat 14. Nabi saw bersabda: “Anak itu menjadi sebab kikir, pengecut dan kesedihan”. Tatkala Nabi saw melihat cucunya Al-Hasan ra jatuh dalam baju kemejanya, lalu beliau turun dari mimbar dan mengambilnya. Kemudian, beliau bersabda: “Maha Benarlah Allah Ta’ala, yang berfirman: “Sesungguhnya harta bendamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah (cobaan atau ujian)”. Bahwa aku tatkala melihat anakku (Al-Hasan adalah sebenarnya cucunya saw, tetapi biasa juga, cucu itu dikatakan anak. pent) terjatuh, tidak dapat lagi aku menguasai diriku, bahwa lalu aku mengambilnya”.
Pada yang demikian itu, menjadi ibarat bagi orang-orang yang mempunyai mata hati. maka laki-laki, setiap laki-laki itu, ialah orang yang bersabar atas kesehatan yang sempurna. Dan arti sabar atas kesehatan yang sempurna itu, ialah bahwa ia tidak cenderung kepadanya. Ia tahu, bahwa semua itu adalah merupakan simpanan padanya. Dan mungkin akan diminta kembali pada waktu yang dekat. Ia tidak melepaskan dirinya pada bersenang-senang dengan kesehatan yang sempurna tadi. Ia tidak menjerumuskan dirinya pada mengambil kenikmatan, kesenangan, permainan dan kesukaan. Dan bahwa, ia menjaga hak-hak Allah Ta’ala pada hartanya, dengan membelanjakan pada yang baik. Pada badannya, dengan memberikan pertolongan kepada makhluk. Dan pada lisannya dengan memberikan kebenaran. Begitu juga, pada nikmat-nikmat yang lain yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepadanya.
Dan sabar ini bersambung dengan syukur. Maka tidak sempurna sabar tersebut, selain dengan berdiri menegakkan hak syukur, sebagaimana akan diterangkan nanti. Sesungguhnya sabar atas kesenangan itu lebih sulit. Karena sabar yang demikian, dibarengi dengan kemampuan. Dan tidak mampu daripada menjaga diri. Bersabar atas pembekaman dan pembetikan (pengeluaran darah dari badan), apabila dikerjakan oleh orang lain pada diri anda, adalah lebih mudah daripada bersabar atas pembetikan anda akan diri anda sendiri dan pembekaman anda akan diri anda sendiri. Orang yang lapar ketika tidak ada makanan di depannya, adalah lebih mampu bersabar, dibandingkan apabila makanan yang baik dan lezat, telah berada di depannya. Dan ia mampu mengambilnya. Maka karena itulah, fitnah kesenangan itu menjadi besar. 
Bahagian kedua: yang tidak bersesuaian dengan hawa nafsu dan tabiat. Dan yang demikian, tidak terlepas, adakalanya terikat dengan pilihan hamba, seperti taat dan maksiat. Atau tidak terikat dengan pilihan hamba, seperti musibah dan malapetaka. Atau tidak terikat dengan pilihan hamba, akan tetapi hamba itu dapat berusaha menghilangkannya, seperti menyembuhkan hati daripada orang yang berbuat yang menyakitkan kepadanya, dengan membalas dendam.
Maka inilah 3 bahagian:
Bahagian pertama: yang terikat dengan pilihannya (ikhtiarnya). Yaitu: semua perbuatan yang lain, yang disifatkan adanya perbuatan itu: taat atau maksiat. Dan itu dua macam:
Macam pertama: taat. Dan hamba itu memerlukan kepada sabar pada taat tersebut. Maka sabar pada taat itu berat. Karena diri menurut tabiatnya, lari (tidak tertarik) kepada ‘ubudiyah (memperhambakan diri dengan ibadah) dan ingin kepada rububiyah (yang menyangkut dengan sifat-sifat ketuhanan). Karena itulah, sebahagian kaum al’arifin mengatakan: “Tidak ada dari diri seorang manusiapun, melainkan ia menyembunyikan apa yang dilahirkan oleh Fir’aun dengan katanya: “Aku adalah Tuhanmu yang tertinggi”. Tetapi Fir’aun itu mendapat jalan untuk perkataannya itu dan penerimaan dari rakyatnya. Lalu dilahirkannya, apabila kaumnya (rakyatnya) memandang ringan. Lalu mereka menurutinya. Tiada seorangpun dari manusia, melainkan mendakwakan yang demikian (mengaku yang demikian) bersama budaknya, pembantunya, pengikut-pengikutnya dan semua orang yang berada di bawah kekuasaan dan ketaatannya. Walaupun ia tidak mau melahirkannya. Maka penghinaannya dan kemarahannya ketika mereka teledor pada melayaninya dan kejauhan hatinya akan yang demikian, tidaklah timbul yang demikian itu, selain dari tersembunyinya kesombongan dan dakwaan rububiyah(yang menyangkut dengan sifat-sifat ketuhanan) dalam selimut kesombongan. Jadi, ‘ubudiyah(memperhambakan diri dengan ibadah)  itu sukar atas diri seseorang secara mutlak. Kemudian, di antara ibadah itu ada yang tidak disukai, disebabkan malas, seperti: shalat. Di antara ibadah itu ada yang tidak disukai, disebabkan kikir, seperti: zakat. Dan di antaranya, ada yang tidak disukai, disebabkan kedua-duanya sekalian, seperti: hajji dan jihad. Maka sabar atas taat, adalah sabar atas kesulitan-kesulitan. Orang yang taat itu memerlukan kepada sabar pada taatnya dalam 3 hal:
Pertama: sebelum taat. Yang demikia itu, ialah: pada membetulkan niat, ikhlas, sabar dari segala campuran ria dan yang mengajakkan bahaya, mengikatkan azam/niat kepada keikhlasan dan kesempurnaan pekerjaan. Yang demikian itu termasuk sebahagian dari sabar yang sukar pada orang yang mengetahui hakikat/makna niat, ikhlas, bahaya-bahaya ria dan tipuan-tipuan diri. Nabi saw telah memberitahukan yang demikian, karena ia saw bersabda: “Sesungguhnya segala amal itu dengan niat. Dan sesungguhnya bagi setiap manusia itu apa yang diniatkannya”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka hanya diperintahkan, supaya menyembah Allah dengan tulus ikhlas, beragama untuk Allah semata-mata”. S Al Bayyinah ayat 5. Karena inilah, Allah Ta’ala mendahulukan sabar atas amal, dengan firmanNya: “Kecuali orang-orang yang sabar (berhati teguh) dan mengerjakan perbuatan baik”. S 11 Hud ayat 11.
Hal kedua: yaitu keadaan amal, supaya ia tidak lalai daripada Allah Ta’ala pada waktu sedang beramal (berbuat amalan). Ia tidak bermalas-malas daripada mentahkikan mengwujudkan adab amal dan sunat-sunatnya. Ia terus-menerus berbuat di atas syarat adab, sampai penghabisan amal itu yang terakhir. Ia terus-menerus sabar (menahan diri) dari semua yang mengajak kepada lunturnya amal, sampai kepada selesainya. Ini juga termasuk di antara kesulitan-kesulitan sabar. Mudah-mudahan itulah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: “Pembalasan yang paling baik untuk orang-orang yang bekerja. Yaitu: orang-orang yang sabar”. S Al Ankabut ayat 58-59. Artinya: mereka itu sabar sampai sempurnanya amal yang dikerjakan.
Hal ketiga: yaitu sesudah selesai dari amal. Karena ia memerlukan kepada sabar (menahan diri) daripada menyiarkan amal itu dan menampakkannya kepada umum, untuk keharuman namanya dan ria. Dan sabar daripada memandang kepada amal itu dengan mata keheranan (merasa ta’jub dengan amalnya) dan daripada setiap yang membatalkan amalnya & menghapuskan bekas-bekasnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu batalkan amal perbuatanmu!”. S 47 Muhammad ayat 33. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan kebanggaan dan cercaan”. S 2 Al Baqarah ayat 264. Maka orang yang tidak sabar (menahan diri) sesudah bersedekah, daripada kebanggaan (menyebut-nyebutkannya) dan cacian, sesungguhnya dia telah membatalkan amalnya. Amal taat itu terbagi kepada: fardlu/wajib dan sunat. Ia memerlukan kepada sabar pada kedua macam amal itu semua. Allah Ta’ala sesungguhnya telah mengumpulkan keduanya itu pada firmanNya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan keadilan, berbuat kebaikan dan memberi kepada kerabat-kerabat”. S An Nahl ayat 90. Maka keadilan adalah wajib. Dan berbuat kebaikan adalah sunat. Dan memberi kepada kerabat-kerabat, adalah: kehormatan diri  dan silaturrahim. Semua itu memerlukan kepada sabar.
Macam kedua: perbuatan-perbuatan maksiat. Alangkah berhajatnya hamba itu kepada sabar (menahan diri) daripada perbuatan-perbuatan maksiat ! Allah Ta’ala sesungguhnya telah mengumpulkan segala macam perbuatan maksiat pada firmanNya: “Dan Allah Ta’ala melarang perbuatan keji, pelanggaran dan kedurhakaan”. S An Nahl ayat 90. Nabi saw bersabda: “Orang yang berhijrah, ialah orang yang berhijrah (meninggalkan) kejahatan. Dan orang yang berjihad (berjuang), ialah orang yang berjuang melawan hawa nafsunya”. Perbuatan-perbuatan maksiat itu adalah tempat kehendak penggerak hawa nafsu. Dan yang paling sukar dari segala macam sabar, dari perbuatan-perbuatan maksiat, ialah sabar dari perbuatan-perbuatan maksiat yang telah menjadi kesukaan orang menurut adat kebiasaan. Dan adat kebiasaan itu, adalah: tabiat kelima. Maka apabila adat kebiasaan bertambah pada nafsu syahwat, niscaya berdemonstrasilah dua tentara dari tentara setan atas tentara Allah Ta’ala. Maka penggerak agama tidak akan kuat mencegahnya. Kemudian, kalau perbuatan itu termasuk perbuatan yang mudah mengerjakannya, niscaya sabar daripadanya adalah lebih berat atas diri. Seperti: sabar dari maksiat-maksiat lidah, yang merupakan: cacian, dusta, ria dan memuji diri, secara sindiran dan terus terang. Berbagai macam senda gurau yang menyakitkan hati, berbagai macam perkataan yang dimaksudkan untuk melecehkan dan menghina, menyebutkan orang-orang yang sudah mati, celaan kepada mereka, pada ilmu mereka, perjalanan hidup dan kedudukan-kedudukan mereka. Maka yang demikian itu pada lahiriahnya adalah umpatan. Dan pada batiniahnya adalah pujian kepada diri sendiri. Diri sendiri padanya mempunyai dua nafsu keinginan:
Pertama: meniadakan orang lain.
Yang satu lagi: mempositifkan diri sendiri. Dan dengan itu, sempurnalah ketuhanan baginya, yang menjadi tabiatnya. Dan itu adalah lawan dari menghambakan diri kepada Allah yang diperintahkan. Untuk mengumpulkan dua nafsu keinginan itu, dan memudahkan penggerakan lidah dan menjadikan yang demikian terbiasa pada percakapan-percakapan, adalah menyukarkan sabar padanya. Dan itu adalah yang terbesar dari yang membinasakan. Sehingga batallah menentang dan memburukkannya dari hati. Karena banyak kali mengulang-ulanginya dan umumnya kesukaan manusia kepadanya. Anda melihat manusia memakai sutera umpamanya. Lalu ia menjauhkan diri sejauh mungkin dan melepaskan lidahnya sepanjang hari memperkatakan kehormatan orang lain. Dan ia tidak menentang yang demikian, sedang apa yang telah datang pada hadits, ialah: “Bahwa mengumpat orang itu lebih berat daripada zina”. Siapa yang tiada dapat menguasai lidahnya pada pembicaraan-pembicaraan dan ia tidak sanggup bersabar (menahan diri) daripada yang demikian, maka haruslah ia ber’uzlah (mengasingkan diri) dan sendirian. Maka tidak adalah orang lain melepaskannya. Maka bersabar atas sendirian adalah lebih mudah daripada dengan berdiam diri, serta bercampur baur dengan orang banyak. Berbeda sukarnya sabar pada masing-masing perbuatan maksiat, dengan berbedanya pengajak maksiat itu tentang kautnya dan lemahnya pengajak itu. Dan yang lebih mudah daripada gerakan lidah, ialah gerakan gurisan-gurisan hati dengan masuknya bisikan-bisikan setan. Maka tidak ragu lagi, kata hati itu akan tetap ada pada tempat terasing sendirian. Dan tidak mungkin sekali-kali sabar (menahan diri) daripadanya. Kecuali berkeras pada hati, suatu cita-cita lain tentang agama, yang menenggelamkannya padanya. Seperti orang yang diwaktu pagi-pagi dan kerusuhannya hanya satu. Kalau tidak demikian, maka jikalau ia tidak memakai pikirannya pada suatu yang tertentu, niscaya tidaklah tergambar kelemahan bisikan setan daripadanya.
Bahagian kedua: yang tiada terikat serangannya dengan pilihannya (ikhtiarnya). Ia mempunyai pilihan pada menolaknya. Seperti: kalau ia disakiti orang dengan perbuatan atau perkataan. Atau ia dianiaya orang pada dirinya atau hartanya. Maka bersabar atas yang demikian, dengan meninggalkan pembalasan yang setimpal, pada satu kali adalah wajib dan pada kali yang lain adalah suatu keutamaan budi. Sebahagian sahabat ra mengatakan: “Tidaklah kami hitung keimanan seorang laki-laki itu sebagai iman, apabila ia tidak sabar atas kesakitan”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya kami akan bersabar terhadap perbuatan kamu yang menyakitkan kami. Dan kepada Allah hendaknya, bertawakkal (menyerahkan diri) orang-orang yang bertawakkal”. S Ibrahim ayat 12. Pada suatu kali Rasulullah saw membagi-bagikan harta kepada orang banyak. Lalu sebahagian kaum muslimin dari Arab Badui mengatakan: “Ini adalah pembahagian yang tidak dimaksudkan karena Allah Ta’ala. Hal tersebut lalu disampaikan kepada Rasulullah saw. Maka merahlah kedua pipi beliau. Kemudian, beliau bersabda: “Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepada saudaraku Musa. Ia pernah disakiti orang, lebih banyak dari ini, lalu ia sabar”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tinggalkanlah (janganlah perdulikan) perkataan mereka yang menyakitkan hati dan bertawakkallah kepada Allah !”. S Al Ahzab ayat 48. Allah Ta’ala berfirman: “Hendaklah engkau bersabar terhadap perkataan yang dikatakan mereka dan menghindarlah dari mereka dengan cara yang sebaik-baiknya !”. S Al Muzzamil ayat 10. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Kami mengetahui, bahwa dada engkau menjadi sesak, disebabkan perkataan mereka. Sebab itu, bertasbihlah dengan memujikan Tuhan engkau. Dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang sujud !”. S Al Hijr ayat 97-98. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kamu akan mendengar banyak perkataan yang menyakitkan hati dari orang-orang yang diturunkan Kitab, sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (menyembah berhala). Dan kalau kamu sabar dan bertaqwa, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang utama (yang menjadi azam/niat)”. S 3 Ali Imran ayat 186. Artinya: kamu bersabar (menahan diri) dari mengambil balasan yang setimpal. Karena itulah, Allah Ta’ala memujikan orang-orang yang bersedia memaafkan haknya, pada penuntutan bela (al-qishash) dan lainnya.
Maka dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman: “Dan jikalau kamu memberikan pembalasan, hendaklah dibalaskan serupa kesalahan yang diperbuatnya kepada kamu dan kalau kamu bersabar (menahan diri), sesungguhnya itulah yang paling baik bagi orang-orang yang sabar”. S An Nahl ayat 126. Nabi saw bersabda: “Sambunglah silaturrahim dengan orang yang memutuskannya dengan engkau ! berikanlah kepada orang yang tidak mau memberikan kepada engkau ! dan maafkanlah orang yang telah berbuat zalim kepada engkau !”.
Aku melihat dalam Injil, bahwa Isa putera Maryam as berkata: “Telah dikatakan kepadamu sebelumnya, bahwa gigi dibalas dengan gigi dan hidung dibalas dengan hidung. Dan aku mengatakan kepadamu: “Jangan kamu lawan kajahatan dengan kejahatan ! tetapi, siapa yang memukul (menempeleng) pipimu yang kanan, maka palingkanlah kepadanya pipi yang kiri ! siapa yang mengambil kain selimutmu, maka berikanlah pula kepadanya kain sarungmu ! siapa yang menyuruhmu supaya kamu berjalan dengan dia 1 mil, maka berjalanlah dengan dia 2 mil !”. Semua itu adalah perintah untuk bersabar atas kesakitan. Maka bersabar atas kesakitan yang dilakukan orang adalah termasuk tingkat sabar yang tertinggi. Karena padanya bertolong-tolongan semua dari penggerak agama dan penggerak nafsu syahwat dan marah.
Bahagian ketiga: yang tidak masuk dalam hinggaan pilihan, pada permulaannya dan pada penghabisannya, seperti: malapetaka-malapetaka (musibah-musibah). Umpamanya: meninggalnya orang-orang terkemuka, rusak binasanya harta benda, hilangnya kesehatan dengan sakit, butanya mata dan rusaknya anggota badan. Pendeknya, segala macam bala bencana lainnya. Maka bersabar atas yang demikian itu, adalah tingkat kesabaran yang tertinggi.
Ibnu Abbas ra mengatakan: “Sabar dalam Alquran itu atas 3 arah: sabar atas menunaikan segala macam amalan fardlu, yang difardlukan oleh Allah Ta’ala. Maka bagi sabar itu 300 tingkat. Sabar dari segala yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, maka baginya 600 tingkat. Dan sabar atas musibah ketika pukulan yang pertama, maka baginya 900 tingkat. Sesungguhnya dilebihkan pangkat ini, sedang dia itu termasuk amalan-amalan utama, atas apa yang sebelumnya dan amalan yang sebelumnya itu termasuk hal-hal yang fardlu, dikarenakan, bahwa setiap orang mu’min itu sanggup bersabar (menahan diri) dari perbuatan-perbuatan haram. Adapun bersabar atas percobaan (bala bencana) yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala, maka tiada yang sanggup padanya, selain nabi-nabi. Karena itu adalah barang perniagaan orang-orang shiddiq (ash-shiddiqin). Maka yang demikian itu adalah sangat sukar atas diri. Dan karena itulah, nabi saw berdoa: “Aku bermohon pada Engkau keyakinan, yang dapat memudahkan kepadaku musibah-musibah dunia”. Maka inilah sabar, yang sandarannya itu baik keyakinan.
 Abu Sulaiman Ad-Darani ra mengatakan: “Demi Allah, kita tidak sabar (menahan diri) atas apa yang kita sukai, maka bagaimana kita sabar atas apa yang tidak kita sukai?”. Nabi saw bersabda: “Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Apabila Aku hadapkan kepada salah seorang dari hambaKu, suatu musibah pada tubuhnya atau hartanya atau anaknya, kemudian ia terima yang demikian dengan sabar yang baik, niscaya Aku malu kepadanya pada hari kiamat, bahwa Aku dirikan baginya neraca atau Aku siarkan baginya daftar amal”. Nabi saw bersabda: “Menunggu kelapangan dengan sabar itu suatu ibadah”. Nabi saw bersabda: “Tiada seorangpun dari hamba yang mu’min, yang ditimpakan dengan suatu musibah, lalu ia membaca, seperti yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” ( segala sesuatu datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah). Wahai Allah Tuhan kami ! berikanlah pahala bagiku pada musibahku ini dan anugerahkanlah kepadaku akibat yang baik daripadanya”, melainkan Allah Ta’ala akan memperbuat yang demikian kepadanya”.
Anas ra berkata: “Rasulullah saw menceritakan kepadaku, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Hai Jibril ! apakah balasannya bagi orang yang Aku cabut kedua matanya ?” Jibril as menjawab: “Maha Suci Engkau, tiada pengetahuan bagi kami, selain apa yang Engkau ajarkan kepada kami !”. Allah Ta’ala berfirman: “Balasannya, ialah kekal dalam rumahKu dan melihat kepada WajahKu”. Nabi saw bersabda: “Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:  “Apabila Aku mencoba hambaaKu dengan suatu percobaan (suatu bala bencana), lalu ia sabar dan ia tidak adukan Aku kepada pengunjung-pengunjungnya, niscaya ia pada Aku gantikan daging yang lebih baik daripada dagingnya dan darah yang lebih baik daripada darahnya. Maka apabila Aku berkehendak melepaskannya, niscaya Aku melepaskannya dan tak ada dosa baginya. Dan jikalau Aku mematikannya, maka ia kepada rahmatKu”.
Daud as bertanya kepada Tuhan: “Hai Tuhanku ! apakah balasannya orang yang sedih, yang bersabar atas segala musibah, karena mengharap kerelaan Engkau ?”. Allah Ta’ala berfirman: “Balasannya, ialah Aku anugerahkan kepadanya pakaian iman. Maka pakaian itu tiada Aku buka daripadanya untuk selama-lamanya”.
Khalifah ‘Umar bin Abdul-‘aziz ra mengucapkan dalam pidatonya: “Apa yang dianugerahkan oleh Allah kepada seorang hamba, akan suatu nikmat, lalu dicabutNya nikmat tersebut dari hamba itu dan digantikanNya dengan sabar, maka apa yang digantikan oleh Allah Ta’ala itu adalah lebih utama, daripada yang dicabutNya”.
Dan khalifah Umar bin Abdul-‘aziz ra lalu membaca: “Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu akan disempurnakan pahalanya dengan tiada terhitung”. S Az Zumar ayat 10. Ditanyakan Fudlail bin ‘Iyadl ra tentang sabar, maka ia menjawab: “Yaitu: rela dengan qodo (ketetapan) Allah”. Lalu ditanyakan lagi: “Bagaimana demikian ?”. Fudlail ra menjawab: “Orang yang rela itu, tidak berangan-angan diatas kedudukannya”.
Diceritakan, bahwa Asy-Syibli ra dipenjarakan di Almaristan. Lalu masuk di tempat tahanannya suatu rombongan. Maka Asy-Syibli bertanya: “Siapa tuan-tuan ?”. Mereka itu menjawab: “Pecinta-pecintamu datang kepadamu berkunjung”. Lalu Asy-Syibli melemparkan mereka dengan batu. Maka mereka itu lalu berlarian, seraya Asy-Syibli berkata: “Kalau kamu itu pencintaku, niscaya kamu sabar kepada percobaan atas diriku”.
Sebahagian kaum al-‘arifin, ada dalam saku bajunya secarik kertas, yang dikeluarkannya pada setiap saat dan dibacanya. Pada secarik kertas itu tertulis: “Dan bersabarlah engkau terhadap perintah Tuhan engkau ! sesungguhnya engkau dalam pandangan mata (penjagaan) Kami”. S Ath-Thur ayat 48. Diceritakan, bahwa isteri Fatah bin Syukhruf Al-Maushuli, jatuh terpeleset kakinya, lalu tercabut kukunya. Maka ia tertawa. Lalu ditanyakan kepadanya: “Apakah engkau tidak merasa kepedihan sakit ?”. Wanita tersebut menjawab: “Sesungguhnya kelezatan pahalanya menghilangkan dari hatiku kepahitan sakitnya”.
Nabi Daud as mengatakan kepada nabi Sulaiman as: “Dapat dijadikan dalil atas taqwanya orang mu’min, dengan 3 perkara: bagus tawakkalnya pada apa yang tidak dicapai nya, bagus ridlanya pada apa yang telah dicapainya dan bagus sabarnya pada apa yang telah hilang daripadanya”.
Nabi kita saw bersabda: “Termasuk dari pengagungan Allah dan mengetahui hakNya, ialah: bahwa engkau tidak adukan kesakitan engkau dan tidak engkau sebutkan musibah engkau”. Diriwayatkan dari sebahagian orang-orang shalih, bahwa ia pada suatu hari keluar dari rumahnya. Pada lengan bajunya ada tempat uangnya. Lalu tempat uangnya itu tidak didapatinya lagi. Rupanya dengan cara tiba-tiba telah diambil orang dari lengan bajunya itu. Maka ia berkata: “Diberkati Allah kiranya bagi orang yang mengambil tempat uang tersebut. Mudah-mudahan ia lebih memerlukan kepadanya daripada aku”.
Diriwayatkan dari sebahagian mereka (orang-orang shalih), bahwa ia mengatakan: “Aku singgah pada Salim bekas budak Abi Hudzaifah, dalam jumlah orang-orang yang terbunuh dalam peperangan. Salim itu masih bernyawa. Lalu aku bisikkan kepadanya: “Aku minumkan engkau air ?”. Salim itu lalu menjawab: “Tariklah aku sedikit ke arah musuh. Dan letakkan air itu dalam perisai. Aku ini berpuasa. Kalau aku hidup sampai malam nanti (sudah waktu berbuka puasa), niscaya aku minum air ini”. Maka begitulah adanya sabar orang-orang yang menempuh jalan akhirat atas percobaan Allah Ta’ala.
Kalau anda bertanya, bahwa dengan apa dicapai derajat sabar pada musibah-musibah ? dan tidaklah hal itu atas pilihannya. Dia itu terpaksa. Ia mau yang demikian atau ia enggan. Kalau dimaksudkan dengan demikian itu, bahwa tak ada pada dirinya kebencian kepada musibah tersebut, maka yang demikian itu tidak masuk dalam pilihannya (ikhtiarnya). Maka ketahuilah kiranya, bahwa orang keluar dari kedudukan orang-orang sabar dengan kesedihan, mengoyakkan saku baju, memukul pipi, bersangatan pada pengaduan, melahirkan kesusahan, mengobahkan kebiasaan pada pakaian, tempat tidur dan makanan. Semua hal tersebut adalah masuk dalam pilihannya. Maka seyogyalah, ia menjauhkan semua itu. Dan ia melahirkan ridla dengan qodo Allah Ta’ala. Dan ia tetap berkekalan di atas kebiasaannya. Dan ia beriktikad (berkeyakinan), bahwa itu adalah simpanan. Maka akan dimintakan kembali, sebagaimana diriwayatkan dari Ar-Rumaisha ibu Salim ra, bahwa ia menceritakan: “Anakku laki-laki meninggal. Suamiku Abu Thalhah bepergian jauh. Lalu aku bangun berdiri. Aku tutup anakku pada sudut rumah. Maka datanglah Abu Thalhah. Lalu aku bangun, menyiapkan baginya makanan pembukaan puasanya. Maka sedang ia makan, lalu ia bertanya: “Bagaimana anak kecil kita ?”. Aku menjawab: “Dalam keadaan sangat baik dengan pujian Allah dan nikmatNya”. Abu Thalhah itu semenjak aku adukan (sampaikan) hal itu, tidaklah ia setenang yang demikian pada malam itu. Kemudian, aku perbuat baginya dengan sebaik-baik apa yang pernah aku perbuat untuknya sebelum yang demikian. Sehingga ia memperoleh daripadaku hajatnya. Kemudian, aku katakan: “Tidakkah engkau heran dari hal tetangga kita ?”. Ia lalu bertanya: “Apa kiranya mereka ?”. Aku menjawab: “Mereka dipinjamkan suatu pinjaman. Maka tatkala pinjaman itu diminta dari mereka dan diminta kembali, lalu mereka bersusah hati”. Lalu Abu Thalhah menjawab: “Buruk sekali yang diperbuat mereka”. Maka aku mengatakan: “Ini anakmu adalah pinjaman dari Allah Ta’ala. Dan Allah sesungguhnya telah mengambilnya kembali kepadaNya”. Lalu Abu Thalhah memuji Allah dan ia rela dengan kembalinya itu. Kemudian, pagi-pagi keesokan harinya, ia pergi menghadap Rasulullah saw. Lalu diceritakannya semua yang terjadi itu. Maka Rasulullah saw menjawab: “Wahai Allah Tuhanku ! berikanlah barakah kepada keduanya pada malam keduanya itu !”. Yang meriwayatkan riwayat ini mengatakan: “Sesungguhnya kemudian, aku melihat dalam masjid, kedua orang (suami isteri) itu mempunyai 7 orang anak. Semuanya telah pandai membaca Alquran”.
 Diriwayatkan Jabir, bahwa Nabi saw bersabda: “Aku bermimpi aku masuk sorga, lalu tiba-tiba aku bertemu dengan Ar-Rumaisha isteri Abi Thalhah”. Dikatakan, bahwa sabar yang baik itu, ialah bahwa tidak dikenal tak ada bedanya, orang yang mendapat musibah dengan orang yang tidak mendapatnya. Dan tidaklah keluar dari batas orang-orang yang sabar, oleh kesusahan hati dan berlinangnya air mata. Karena adalah sama dari semua orang yang datang karena mati. Dan karena menangis itu adalah kesedihan hati kepada orang yang mati. Dan yang demikian itu, adalah yang dikehendaki oleh sifat kemanusiaan. Dan tidak ada yang membedakan manusia kepada mati. Karena itulah, tatkala Ibrahim putera Nabi saw meninggal, lalu tergenanglah dua mata Nabi saw dengan air mata. Lalu ditanyakan kepadanya: “Bukankah engkau melarang kami dari ini ?”. Lalu Nabi saw menjawab: “Sesungguhnya ini adalah rahmat (kasih sayang) dan Allah mengasihi hamba-hambaNya yang penyayang”. Bahkan, yang demikian itu juga tidak keluar dari maqam ridla. Orang yang menghadapi pembakaman dan pembetikan itu ridla dengan yang tersebut, padahal sudah pasti, ia merasa sakit dengan sebab perbuatan itu. Kadang-kadang berlinang-linang kedua matanya, apabila bersangatan pedihnya. Dan akan datang uraian yang demikian itu pada Kitab Ridla insya Allah Ta’ala.
Ibnu Abi Nujaih menulis surat, untuk berta’ziah kepada sebahagian khalifah-khalifah: “Sesungguhnya orang yang lebih berhak mengetahui hak Allah Ta’ala tentang apa yang diambilnya daripada Allah Ta’ala, ialah orang yang besarlah hak Alllah Ta’ala padanya, pada apa dikekalkan oleh Allah Ta’ala baginya”. Ketahuilah kiranya, bahwa yang telah berlalu sebelum engkau, ialah yang masih tinggal bagi engkau. Dan yang masih tinggal sesudah engkau, ialah yang disewakan pada engkau. Dan ketahuilah bahwa pahala bagi orang-orang yang sabar, pada apa yang mereka mendapat musibah padanya, adalah lebih besar dari nikmat kepada mereka, pada apa, yang mereka diberi sehat wal ‘afiat padanya.
Jadi, manakala ia menolak yang tidak disukai, dengan bertafakkur pada nikmat Allah Ta’ala kepadanya dengan pahala, niscaya ia memperoleh derajat orang-orang yang sabar. Ya benar, bahwa termasuk kesempurnaan sabar, ialah: menyembunyikan sakit, kemiskinan dan musibah-musibah lainnya. Dikatakan, bahwa termasuk sebahagian dari gudang kebajikan, ialah: menyebunyikan musibah-musibah. Kesakitan-kesakitan dari gudang kebajikan, ialah: menyembunyikan musibah-musibah, kesakitan-kesakitan dan sedekah yang diberikan. Maka jelaslah bagi anda dengan pembahagian-pembahagian ini, bahwa wajibnya sabar itu meratai pada semua keadaan dan perbuatan.
Orang yang dicukupkan dengan semua nafsu syahwatnya dan ia mengasingkan diri sendirian, niscaya ia memerlukan kepada kesabaran (menahan diri), atas keterasingan dan sendirian, pada zahiriahnya dan kepada kesabaran dari bisikan-bisikan setan pada batiniahnya. Sesungguhnya menggelagaknya gurisan-gurisan hati itu tiada akan tenang. Dan kebanyakan beredarnya gurisan-gurisan hati itu adalah pada hal yang telah lalu (yang telah lenyap), yang tidak dapat diperoleh lagi. Atau pada hal mendatang yang tidak boleh tidak. Dan akan berhasil daripadanya, apa yang ditakdirkan oleh Tuhan. Maka bagaimanapun adanya itu, adalah membuang-buang waktu. Dan alat hamba itu, hatinya. Dan harta bendanya, itu umurnya. Apabila hati itu lalai pada suatu nafas, daripada dzikir (mengingati dan menyebut nama Allah), yang dapat ia memperoleh faedah daripadanya, untuk kejinakan hati dengan Allah Ta’ala atau hati itu lalai dari pikiran, yang dapat ia memperoleh faedah daripadanya  ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala, supaya ia memperoleh faedah dengan  ilmu mengenal Allah Ta’ala itu, akan kecintaan Allah Ta’ala, maka orang tersebut adalah tertipu. Ini adalah kalau pikirannya dan bisikan-bisikan setannya pada hal-hal yang diperbolehkan itu, terbatas kepadanya. Dan tiadalah yang demikian itu hal yang banyak terjadi. Akan tetapi, ia bertafakkur (berfikir) pada segala cara upaya, bagi memenuhi nafsu syahwatnya. Karena senantiasalah ia bertentangan dengan setiap orang yang bergerak atas yang menyalahi dengan maksudnya pada seluruh umurnya. Atau orang yang disangkanya bahwa bertentangan dengan dia dan menyalahi perintahnya atau maksudnya, dengan melahirkan nafsu amarah kepada orang itu. Bahkan ia mengumpamakan perselisihan tersebut, daripada orang yang paling ikhlas kepadanya pada mencintainya. Sehingga pada isterinya dan anak-anaknya. Ia menyangka akan perselisihan mereka itu kepadanya. Kemudian, ia berpikir tentang cara bagaimana memperingatkan mereka, bagaimana memaksakan mereka dan jawaban mereka dari apa, yang diberikan mereka keterangannya pada menyalahinya. Dan selalulah ia dalam kesibukan yang terus-menerus. Maka setan itu mempunyai dua tentara: tentara yang terbang dan tentara yang berjalan.
Bisikan-bisikan itu adalah ibarat dari gerakan tentaranya yang terbang. Dan nafsu syahwat itu adalah ibarat dari gerakan tentaranya yang berjalan. Dan ini, adalah karena setan itu dijadikan dari api. Dan manusia itu dijadikan dari tanah, seperti tembikar. Dan pada tembikar itu telah berkumpul tanah serta api. Dan tanah itu tabiatnya (sifatnya) tenang (tetap). Dan api itu, sifatnya bergerak. Maka tidaklah tergambar, bahwa api yang menyala itu tidak bergerak. Bahkan ia selalu bergerak menurut tabiatnya. Dan telah ditugaskan setan yang terkutuk itu, yang dijadikan dari api, untuk memenangkan dirinya dari gerakannya, dengan bersujud kepada yang dijadikan oleh Allah Ta’ala, dari tanah. Maka ia enggan, menyombongkan diri dan berbuat maksiat. Dan diibaratkan dari sebab kemaksiatannya itu, dengan ia mengatakan: “Engkau menjadikan aku dari api dan Engkau menjadikannya dari tanah”. Jadi, dimana yang terkutuk itu tidak mau bersujud kepada bapak kita Adam as maka tiada seyogyalah diharapkan pada sujudnya setan kepada anak-anaknya Adam as. Manakala telah dapat dicegah dari hati, bisikan setan, permusuhannya,  terbangnya dan putarannya, maka setan itu telah melahirkan tunduknya dan keyakinannya. Dan tunduknya dengan keyakinan itu adalah sujudnya. Maka itu adalah nyawanya sujud. Dan meletakkan dahi atas bumi sesungguhnya adalah acuannya dan tandanya yang menunjukkan kepadanya secara istilah bahasa. Dan kalau dijadikan peletakkan dahi atas bumi sebagai tanda kerendahan diri, menurut istilah, niscaya dapatlah digambarkan yang demikian. Sebagaimana menjongkok di hadapan pembesar yang dihormati, dipandang menurut kebiasaannya untuk kerendahan diri. Maka tiada seyogyalah mengherankan anda oleh kulit mutiara dari mutiara. Dan acuan nyawa dari nyawa. Dan kulit isi dari isi. Maka adalah anda termasuk orang yang diikat oleh alam syahadah (penyaksian) secara keseluruhan, dari alam ghaib. Dan anda yakini, bahwa setan itu termasuk yang memperhatikan. Maka ia tidak merendahkan diri kepada engkau, dengan tercegah dari bisikannya, sampai hari kiamat. Kecuali bahwa cita-citamu telah menjadi satu. Lalu engkau menyibukkan hati engkau dengan mengingati Allah Yang Maha Esa. Maka setan yang terkutuk itu tiada akan memperoleh jalan pada engkau. Dan ketika itu, adalah engkau termasuk hamba Allah yang ikhlas, yang masuk dalam pengecualian dari kekuasaan setan yang terkutuk itu. Engkau jangan menyangka, bahwa akan terlepas dari setan itu hati yang kosong. Bahkan, setan itu mengalir, berjalan dari anak Adam, pada tempat berjalannya darah. Dan mengalirnya, seperti udara dalam gelas. Maka jikalau engkau berkehendak supaya gelas itu kosong dari udara, tanpa engkau mengisikannya dengan air atau lainnya, maka engkau sesungguhnya mengharap pada tempat yang tidak layak diharapkan. Akan tetapi, kadar yang kosong dari air, lalu sudah pasti maka masuklah udara ke dalamnya. Maka seperti demikianlah hati yang sibuk dengan pikiran yang penting tentang agama, tidak terlepas dari putaran setan. Kalau tidak demikian, maka siapa yang lalai dari mengingati Allah Ta’ala, walaupun dalam sekejap mata, niscaya ia tidak mempunyai teman pada sekejap mata tersebut, selain setan.
Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang tiada memperdulikan daripada mengingati (dzikir) Tuhan yang Maha Pemurah, akan Kami adakan baginya setan. Dan itulah yang menjadi temannya”. S Az Zukhruf ayat 36. Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala sesungguhnya marah kepada pemuda yang mengosongkan waktunya dari perbuatan yang berfaedah”. Pahamilah ini, karena pemuda itu apabila menganggur dari perbuatan, yang menyibukkan batiniahnya dengan perbuatan yang diperbolehkan (perbuatan mubah), yang dapat menolong kepada agamanya, niscaya zahiriahnya itu adalah kosong. Dan hatinya itu tidaklah tinggal kosong. Akan tetapi, setan bersarang padanya. Ia bertelur dan menetas. Kemudian, anak-anaknya itu bercampur pula, bertelur pada kali yang lain dan menetas. Begitulah, beranak-pinak keturunan setan itu, yang lebih cepat daripada beranak-pinaknya binatang-binatang yang lain. Karena tabiatnya (sifatnya) dari api. Apabila ia mmeperoleh tumbuh-tumbuhan kering, maka banyaklah anaknya. Senantiasalah api itu terjadi dari api. Dan sekali-kali, tiada akan terputus. Bahkan, menjalar terus, sedikit demi sedikit secara bersambung. Maka nafsu syahwat pada diri seorang pemuda bagi setan itu, adalah seperti tumbuh-tumbuhan kering bagi api. Dan sebagaimana api tiada akan terus ada, apabila tiada terus ada makanannya, yaitu: kayu kering. Maka tiada akan ada jalan bagi setan, apabila tidak ada nafsu syahwat itu. jadi, apabila anda perhatikan, niscaya anda tahu, bahwa musuh anda yang paling berbahaya, ialah: nafsu syahwat anda. Yaitu: sifat diri anda sendiri. Dan karena itulah, Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, ketika dia akan dihukum gantung dan ia telah ditanyakan, tentang tasawwuf/ahli suffi, apa itu tasawwuf/ahli suffi, maka ia menjawabb: “Ialah diri engkau sendiri. Kalau engkau tidak menyibukkannya, niscaya dia yang akan menyibukkan engkau”. Jadi, hakikat/makna sabar dan kesempurnaannya, ialah: sabar itu dari setiap gerak yang tercela. Dan gerak batin itu lebih utama dengan kesabaran dari yang demikian. Dan inilah sabar yang terus-menerus, yang tidak akan putus, selain oleh mati. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala akan kebagusan taufiq dengan nikmat dan kurniaNya.
PENJELASAN: obat sabar dan apa yang dapat memberi pertolongan kepada sabar.
Ketahuilah kiranya, bahwa Tuhan yang menurunkan penyakit itu menurunkan obat dan menjanjjkan sembuh. Maka sabar itu, walaupun sukar atau ada penghalangnya, akan tetapi menghasilkan sabar itu mungkin, dengan obat ilmu dan amal. Maka ilmu dan amal, keduanya itu, adalah campuran-campuran yang tersusun daripadanya, obat-obat untuk penyakit seluruhnya. Akan tetapi, setiap penyakit memerlukan kepada ilmu yang lain dan perbuatan yang lain. Dan sebagaimana bahagian-bahagian sabar itu berbeda, maka bahagian-bahagian penyakit yang mencegahnya itu berbeda pula. Apabila penyakit berlain-lainan, niscaya pengobatannya pun berlain-lainan. Karena arti pengobatan, ialah: melawan penyakit dan mencegahnya. Dan mencukupkan yang demikian itu, termasuk akan panjang uraiannya. Akan tetapi, kami akan memperkenalkan jalan pada sebahagian contoh-contoh. Maka kami menerangkan, bahwa apabila orang berhajat kepada bersabar dari nafsu bersetubuh umpamanya dan nafsu itu telah mengeras kepadanya, dimana ia tidak menguasai kemaluannya lagi atau ia menguasai kemaluannya, akan tetapi ia tidak menguasai diri kemaluannya itu ia menguasai diri kemaluannya, akan tetapi ia tidak menguasai hatinya dan nafsunya, karena selalu membisikkan kepadanya dengan kehendak nafsu syahwat itu dan yang demikian itu memalingkannya dari kerajinan kepada dzikir, fikir dan amal shalih. Maka dalam hal ini, kami akan menjawab: Telah kami bentangkan dahulu, bahwa sabar itu ibarat dari berbanting-bantingan pembangkit agama dengan pembangkit hawa nafsu. Dan masing-masing dari dua yang berbanting-bantingan itu kita menghendaki, bahwa yang satu dapat mengalahkan yang lain. Maka tiada jalan bagi kita padanya, selain memperkuatkan siapa yang kita kehendaki mempunyai tangan di atas dan melemahkan yang lain. Maka haruslah kita di sini menguatkan pembangkit agama dan melemahkan pembangkit nafsu syahwat.
Adapun pembangkit nafsu syahwat, maka jalan melemahkannya itu 3 perkata:
pertama: bahwa kita memandang kepada benda yang menguatkan nafsu syahwat. Yaitu: makanan yang baik, yang menggerakkan nafsu syahwat, dari segi macamnya dan dari segi banyaknya makanan tersebut. Maka tidak boleh tidak, memutuskan makanan itu dengan puasa terus-menerus, serta sederhana ketika berbuka puasa, atas makanan yang sedikit, tentang diri makanan itu dan yang lemah tentang jenisnya. Maka ia menjaga diri dari memakan daging dan makanan-makanan yang mengobarkan nafsu syahwat.
Kedua: memutuskan sebab-sebabnya yang mengobarkan nafsu syahwat itu seketika. Sesungguhnya nafsu itu dapat berkobar, dengan memandang kepada tempat sangkaan timbulnya nafsu syahwat. Karena pandangan itu menggerakkan hati. Dan hati itu menggerakkan nafsu syahwat. Penjagaan itu berhasil dengan mengasingkan diri dan menjaga diri dari tempat sangkaan jatuhnya penglihatan kepada bentuk-bentuk yang membawa kepada nafsu syahwat. Dan melarikan diri daripadanya secara keseluruhan. Rasulullah saw bersabda: “Pandangan itu adalah salah satu dari panah beracun daripada panah-panah Iblis”. Itu adalah panah yang dilepaskan oleh setan yang terkutuk. Dan tak ada perisai yang mencegah daripadanya, selain memejamkan pelupuk mata atau lari dari arah lemparannya. Maka Iblis yang terkutuk itu melemparkan panah tersebut dari busur bentuk-bentuk yang dirindui. Apabila engkau berbalik dari arah bentuk-bentuk tadi, niscaya tidak akan mengenai engkau oleh panahnya.
Ketiga: menghiasi diri dengan yang mubah (yang diperbolehkan), dari jenis yang engkau rindui. Dan yang demikian itu, ialah dengan: kawin. Sesungguhnya setiap yang dirindui itu adalah tabiat (instink). Maka pada hal-hal yang diperbolehkan dari yang sejenis kawin itu, adalah yang mencukupkan baginya, tanpa hal-hal yang dilarang itu. Itu adalah pengobatan yang lebih berrmanfaat pada pihak kebanyakan orang. Sesungguhnya memutuskan makanan itu melemahkan perbuatan-perbuatan yang lain. Kemudian, kadang-kadang memutuskan makanan tersebut, tidak mencegah nafsu syahwat pada pihak kebanyakan laki-laki. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Haruslah kamu kawin. Maka siapa yang tidak sanggup, haruslah ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu baginya suatu keseimbangan”. Maka inilah 3 sebab itu ! Pengobatan yang pertama tadi, yaitu: memutuskan makanan, adalah menyerupai memutuskan makanan bagi hewan yang tidak patuh dan bagi anjing yang ganas. Supaya ia lemah. Lalu hilanglah kekuatannya. Pengobatan yang kedua menyerupai penjauhan (tidak menampakkan) daging bagi anjing. Dan penjauhan rumput bagi hewan. Sehingga tidak tergerak perutnya dengan sebab melihatnya nanti. Pengobatan yang ketiga menyerupai penghiasan diri dengan sesuatu yang sedikit, daripada yang cenderung tabiatnya kepadanya. Sehingga tetap pada dirinya kekuatan yang dapat bersabar untuk melatihnya. Adapun penguatan pembangkit agama, sesungguhnya ada dengan dua jalan:
Pertama: memberi makan pembangkit agama pada segala faedah  bersungguh‑sungguh  dan buahnya tentang agama dan dunia. Yang demikian itu, dengan membanyakkan pikirannya pada hadits-hadits yang telah kami bentangkan dahulu, mengenai kelebihan sabar dan mengenai baik akibatnya pada dunia dan akhirat. Dan membanyakkan pikirannya pada atsar: bahwa pahala sabar atas musibah adalah lebih banyak daripada yang telah hilang (luput). Bahwa dia dengan sebab yang demikian itu menjadi gemar dengan musibah. Karena telah hilang baginya apa yang tidak kekal padanya, selain selama lagi hidup. Dan telah berhasil baginya, apa yang kekal sesudah mati, sepanjang masa. Siapa menyerahkan yang keji pada yang berharga, maka tiada seyogyalah ia bergundah hati, karena hilangnya yang keji itu dalam seketika. Ini termasuk sebahagian bab  ilmu mengenal Allah Ta’ala. Dan itu sebahagian dari iman. Pada suatu kali, ia lemah dan pada lain kali, ia kuat. Kalau ia kuat, niscaya kuatlah pembangkit iman dan dikobarkannya dengan bersangatan. Dan kalau ia lemah, niscaya dilemahkannya. Kuatnya iman itu, diibaratkan dengan: yakin. Dan yakinlah yang menggerakkan kemauan sabar. Dan yang paling sedikit diberikan kepada manusia, ialah: yakin dan kemauan sabar itu.
Kedua: bahwa pembangkit agama ini membiasakan berbanting-bantingan dengan pembangkit hawa nafsu, secara berangsur, sedikit demi sedikit. Sehingga ia memperoleh lezatnya kemenangan dengan berbanting-bantingan itu. Lalu ia berani kepadanya dan kuat cita-citanya pada berbantingan-bantingan dengan hawa nafsu tersebut. Sesungguhnya kebiasaan dan selalu melatih diri dengan perbuatan-perbuatan yang sulit itu mengokohkan kekuatan, yang timbul perbuatan-perbuatan itu daripadanya. Karena itulah, bertambah kekuatan tukang-tukang pikul, petani-petani dan orang-orang yang tampil ke medan perang.
Kesimpulannya, kekuatan orang-orang yang terlatih dengan perbuatan-perbuatan yang sukar (berat) itu, menambahkan kepada kekuatan tukang-tukang jahit, pembuat-pembuat minyak wangi, ahli-ahli fiqh (al-fuqaha’) dan orang-orang shalih. Yang demikian itu, karena kekuatan mereka sesungguhnya tidak bertambah kokoh dengan latihan itu. Maka pengobatan pertama itu menyerupai harapan-harapan orang yang berbanting-bantingan dengan pemberian (hadiah) ketika menang. Dan dijanjikan dengan bermacam-macam kemuliaan. Sebagaimana dijanjikan oleh Fir’aun kepada ahli-ahli sihirnya, ketika dihasungnya mereka berhadapan dengan Musa as, dimana Fir’aun itu berkata: “Dan kamu jadinya masuk orang-orang yang terdekat (kepadaKu)”. S Asy Syuara ayat 42. Dan pengobatan yang kedua itu mempunyai pembiasaan anak kecil yang dikehendaki nanti daripadanya, berbanting-bantingan dan berperang-perangan, dengan melakukan sebab-sebab yang demikian itu, semenjak dari kecil. Sehingga ia jinak dengan yang tersebut, ia berani kepadanya dan kuat angan-angannya padanya. Maka siapa yang meninggalkan  bersungguh‑sungguh  secara keseluruhan dengan sabar, niscaya lemahlah padanya pembangkit agama. Dan ia tidak kuat kepada nafsu syahwat,  walaupun nafsu syahwat itu lemah. Siapa yang membiasakan dirinya menyalahi hawa nafsu, niscaya ia telah dapat mengalahkan hawa nafsu itu manakala dikehendakinya. Maka inilah jalannya pengobatan pada semua macam sabar. Dan tidak mungkin menyempurnakannya. Dan sesungguhnya yang paling berat dari segala macam sabar itu, ialah: mencegah batin dari bisikan diri. Dan yang demikian itu bersangatan, adalah terhadap orang yang mengosongkan dirinya, untuk sabar, dengan mencegah semua nafsu syahwat zahiriah, mengutamakan pengasingan diri, duduk untuk memperhatikan, dzikir dan fikir. Maka bisikan setan senantiasa menariknya dari sudut ke sudut. Dan ini tiada obat baginya sekali-kali, kecuali memutuskan semua hubungan, zahir dan batin, dengan lari dari keluarga, anak, harta, kemegahan, teman-teman dan kawan-kawan. Kemudian, mengasingkan diri ke suatu tempat peribadatan, sesudah mempersiapkan kadar sedikit dari makanan dan sesudah merasa cukup dengan makanan yang sedikit tersebut. Kemudian, semua itu tidak akan mencukupi, selama tidak semua cita-cita itu menjadi satu yang ditujukan. Yaitu: ALLAH TA’ALA. Kemudian, apabila telah mengerasi yang demikian pada hati, maka tidak akan mencukupi yang demikian, selama belum ada baginya jalan pada berpikir, berjalan dengan batiniahnya pada alam, malakut langit dan bumi, segala yang ajaib ciptaan Allah Ta’ala dan yang lain-lain dari segala pintu  ilmu mengenal Allah Ta’ala. Sehingga apabila yang demikian itu telah menguasai atas hatinya, niscaya kesibukannya dengan yang demikian itu, dapatlah menolak tarikan setan dan bisikannya. Dan kalau ia tidak mempunyai perjalanan dengan batiniahnya, maka tidak akan melepaskannya, selain oleh wirid-wirid yang bersambung, teratur dengan tertib pada setiap ketika, seperti pembacaan Al quranul-Karim, dzikir-dzikir dan shalat-shalat. Dan bersamaan dengan yang demikian, ia memerlukan kepada memaksakan hati akan kehadirannya. Sesungguhnya pikir dengan batin, inilah yang menenggelamkan hati dalam mengingati Allah Ta’ala, tidak wirid-wirid zahiriah. Kemudian, apabila ia telah mengerjakan yang demikian itu semua, niscaya tidak diserahkannya untuk itu dari waktunya, selain sebahagian saja. Karena ia tidak akan terlepas pada semua waktunya, dari pada kejadian-kejadian yang baru. Lalu menyibukkannya dari fikir dan dzikir, seperti: sakit, takut, disakiti manusia dan penganiayaan orang yang bercampur baur dengan dia. Karena ia memerlukan kepada bercanpur baur dengan orang yang akan menolongnya, pada sebahagian sebab-sebab kehidupannya. Maka inilah salah satu dari bermacam-macam yang menyibukkan itu !
Adapun macam yang kedua, maka itu penting, lebih bersangatan pentingnya daripada yang pertama tadi. Yaitu: kesibukannya dengan makanan, pakaian dan sebab-sebab kehidupan lainnya. Maka sesungguhnya penyediaan yang demikian juga, memerlukan kepada kesibukan, kalau dikerjakannya (diuruskannya) sendiri. Dan jikalau diurus oleh orang lain, maka ia tidak terlepas dari kesibukan hati dengan orang yang menguruskannya itu. Akan tetapi, sesudah memutuskan semua perhubungan, ia menyerahkan untuk itu kebanyakan waktunya, kalau ia tidak diserang oleh cacian orang atau sesuatu kejadian. Dan pada waktu-waktu tersebut, bersihlah hatinya, mudahlah baginya berfikir dan tersingkaplah padanya rahasia-rahasia Allah Ta’ala, pada alam malakut langit dan bumi, apa yang tidak disanggupinya 1/100 nya pada waktu yang panjang, jikalau hatinya disibukkan dengan hubungan-hubungan yang lain. Sampainya kepada ini, adalah maqam yang terjauh yang mungkin dicapai dengan usaha dan kesungguhan.
Adapun kadar yang tersingkap dan jumlah-jumlah apa yang datang dari kasih sayang Allah Ta’ala pada segala hal dan perbuatan, maka yang demikian itu berlaku, sebagaimana berlakunya buruan. Yaitu: menurut rezeki. Maka kadang-kadang sedikitlah kesungguhan dan banyaklah buruan yang diperoleh. Kadang-kadang panjanglah kesungguhan dan sedikitlah keberuntungan yang diperoleh. Dan pegangan dibalik kesungguhan ini, ialah atas tarikan dari tarikan-tarikan Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka itu adalah yang menentangi perbuatan-perbuatan jin dan manusia. Dan tidaklah yang demikian itu dengan pilihan (ikhtiar) hamba. Ya, pilihan hamba pada mendatangi tarikan itu, dengan memutuskan dari hatinya, tarikan-tarikan duniawi. Maka sesungguhnya orang yang tertarik kepada yang paling rendah dari segala yang rendah itu, tiada akan tertarik kepada yang tertinggi dari segala yang tinggi. Semua yang dicita-citakan di dunia, maka dia tertarik kepadanya. Maka memutuskan hubungan-hubungan yang menariknya itu, adalah yang dimaksud dengan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Tuhanmu pada hari-hari masamu itu mempunyai pemberian-pemberian. Adakah tidak kamu mendatangi kepada pemberian-pemberian itu ?”. Yang demikian itu adalah karena pemberian-pemberian tersebut dan tarikan-tarikan itu, mempunyai sebab-sebab datang dari langit, karena Allah Ta’ala berfirman: “Dan di langit ada rezekimu dan (juga) apa yang dijanjikan kepada kamu”. S Adz Dzariyaat ayat 22. Ini termasuk yang tertinggi dari segala macam rezeki. Urusan langit itu adalah hal yang ghaib (tidak tampak) bagi kita. Maka kita tidak mengetahui, kapan Allah Ta’ala memudahkan sebab-sebab mendapat rezeki. Maka tiada atas kita, selain mengosongkan tempat dan menunggu turunnya rahmat dan sampainya waktu pada temponya. Seperti orang yang memperbaiki tanah dan membersih kan nya dari rumput dan menaburkan benih padanya. Semua itu tidak bermanfaat, selain dengan hujan. Dan tidak diketahui, kapan Allah Ta’ala mentakdirkan sebab-sebab turunnya hujan. Hanya ia percaya dengan kurnia Allah Ta’ala dan rahmatNya, bahwa IA tidak akan membiarkan suatu tahun tanpa hujan. Maka seperti demikian juga, amat sedikitlah terlepas tahun, bulan dan hari, tanpa tarikan dari segala tarikan dan pemberian dari segala pemberian. Maka seyogyalah hamba itu mensucikan hatinya dari rumput nafsu syahwat. Dan ia menaburkan padanya benih kemauan dan keikhlasan. Dan didatangkannya hatinya pada tempat tertiupnya angin rahmat. Sebagaimana ia kuat menunggu hujan pada waktu musim bunga dan ketika tampak mendung. Lalu kuatlah ia menunggu pemberian-pemberian itu pada waktu-waktu yang mulia dan ketika berkumpul semua cita-cita dan tertolonglah hati. seperti: pada hari ‘Arafah, hari Jum’at dan hari-hari bulan Ramadhan. Maka cita-cita dan diri itu adalah sebab-sebab dengan hukum takdir Allah Ta’ala untuk memperoleh banyak rahmatNya. Sehingga dengan sebab tersebut, sangat banyaklah hujan pada waktu-waktu meminta turunnya hujan. Dan itu untuk banyaknya turun hujan diminta untuk mengetahuinya saja dan yang halus-halus dari  ilmu mengenal Allah Ta’ala, dari gudang-gudang alam al-malakut, adalah lebih keras bersesuaian daripadanya untuk banyaknya turun titik-titik air dan menariknya mendung dari tepi-tepi bukit dan laut. Bahkan hal-ihwal dan diminta untuk mengetahuinya saja itu datang bersama engkau dalam hati engkau. Hanya engkau itu sibuk dengan segala hubungan engkau dan nafsu syahwat engkau. Maka jadilah yang demikian itu suatu hijab (dinding) antara engkau dan yang tersebut itu. Lalu sesungguhnya, tiada yang engkau perlukan, selain kepada engkau pecahkan nafsu syahwat dan terangkatlah dinding. Lalu cemerlanglah cahaya  ilmu mengenal Allah Ta’ala dari batin hati. dan menimbulkan air bumi dengan mengorek parit adalah lebih mudah dan lebih dekat daripada melepaskan  air ke bumi dari tempat yang jauh, yang rendah daripadanya.
Dan karena adanya itu hadir di dalam hati dan dilupakan dengan kesibukan, maka dinamakan oleh Allah Ta’ala semua  ilmu mengenal Allah Ta’ala iman itu: pengingatan. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkan peringatan (Alquran) itu dan sesungguhnya Kami penjaganya”. S Al Hijr ayat 9. Allah Ta’al berfirman: “Dan supaya orang-orang yang mengerti, dapat memikirkan". S 38 Shaad ayat 29. Allah TA’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Alquran itu Kami mudahkan unntuk diingati, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?”. S Al Qamar ayat 17. Maka ini adalah pengobatan sabar dari bisikan-bisikan setan dan kesibukan-kesibukan. Dan itulah penghabisan derajat sabar ! Sesungguhnya sabar (menahan diri) dari hubungan-hubungan seluruhnya itu didahulukan dari sabar atas gurisan-gurisan dalam hati.
Al-Junaid ra mengatakan: “Berjalan dari dunia ke akhirat itu mudah atas orang mu’min. Meninggalkan makhluk pada menyukai kebenaran itu sukar. Berjalan dari diri kepada Allah TA’ala itu payah benar. Dan sabar bersama Allah itu sangat sukar”. Beliau menyebutkan: sukarnya sabar dari segala yang menyibukkan hati. kemudian, sukarnya meningalkan makhluk. Dan hubungan-hubungan yang paling sukar atas diri seseorang, ialah: hubungan dengan makhluk dan suka kemegahan. Sesungguhnya keenakan menjadi kepala, menang, kedudukan tinggi dan banyak pengikut itu, adalah keenakan yang paling menjadi kebiasaan di dunia pada diri orang-orang yang berakal. Maka bagaimana tidak menjadi kelezatan yang paling menjadi kebiasaan dan yang dicari itu adalah salah satu dari sifat-sifat Allah Ta’ala, yaitu: Ar-Rububiyah (ketuhanan). Dan ketuhanan itu disukai dan dicari menurut tabiat hati manusia. Karena padanya, penyesuaian bagi hal-hal ketuhanan. Dan dari yang demikian itu, diibaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Jawablah: ruh itu termasuk urusan Tuhanku”. S 17 Al Isra ayat 85. Tidaklah hati itu tercela atas kesukaannya yang demikian. Sesungguhnya ia tercela atas kesalahan yang terjadi baginya, disebabkan tipuan setan yang terkutuk, yang menjauhkah dari alam urusan Tuhan. Karena setan itu dengki kepada adanya hati itu termasuk sebagian dari alam urusan Tuhan. Lalu disesatkannya dan digodakannya. Bagaiamana maka hati itu tercela, padahal ia mencari kebahagiaan akhirat ? ia tidak mencari, selain kekekalan, yang tak kekal padanya. Kemuliaan, yang tak hina padanya. Keamanan, yang tak ada ketakutan padanya. Kekayaan, yang tak ada kemiskinan padanya. Dan kesempurnaan, yang tak ada kekuranagn padanya. Ini semua, adalah termasuk sifat-sifat ketuhanan. Dan tidak tercela mencari yang demikian. Bahkan, setiap hamba itu berhak mencari kerajaan besar, yang tiada berkesudahan. Yang mencari kerajaan itu, adalah sudah pasti yang mencari ketinggian, kemuliaan kesempurnaan. Akan tetapi, kerajaan itu ada 2: kerajaan yang bercampur dengan segala macam kepedihan dan dihubungi dengan cepatnya kehancuran. Akan tetapi dia itu segera, yaitu: di dunia. Dan (yang kedua) kerajaan yang kekal yang tidak bercampur dengan kekeruhan dan kepedihan. Dan tidak diputuskan dengan sesuatu yang memutuskan. Akan tetapi, dia itu lambat (nanti). Dan manusia itu dijadikan tergopoh-gopoh, gemar pada yang segera. Lalu datanglah setan dan ia mencari jalab kepada manusia, dengan jalan segera (terburu-buru) itu, yang menjadi tabiat manusia. Maka diperdayakannya dengan jalan terburu-buru itu. Dihiasinya dengan yang sudah ada di depan. Dan ia mengambil jalan kepadanya dengan jalan kebodohan. Lalu dijanjikannya dengan tipuan pada akhirat dan diberikannya nikmat serta kerajaan dunia itu akan kerajaan akhirat, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw: “Orang bodoh itu, ialah: orang yang mengikutkan dirinya akan hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah dengan bermacam-macam angan-angan”. Maka tertipulah orang yang terhina tadi, dengan tipaun setan. Dan ia sibuk denagn mencari kemuliaan dunia dan kerajaannya, sekadar kemungkinannya. Dan orang yang memperoleh taufiq, tiada akan tersangkut dengan tali tipuan setan itu. Karena ia tahu, jalan-jalan masuknya tipu daya setan. Lalu, ia berpaling dari yang segera (dunia) itu. Maka diibaratkan dari hal orang-orang yang terhina itu, dengan firman Allah Ta’ala: “Jangan ! tetapi kamu mencintai yang cepat (kehidupan dunia). Dan meninggalkan hari akhirat”. S Al Qiyamah ayat 20-21. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang itu mencintai kehidupan yang cepat dan meninggalkan di belakang mereka hari yang berat”. S Ad Dahr ayat 27. Allah Ta’ala berfirman: “Berpalinglah engkau dari orang yang tiada memperdulikan pengajaran kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia semata. Pengetahuan mereka hanya sehingga itu”. S 53 An Najm ayat 29-30.
Tatkala tipu daya setan telah beterbangan pada makhluk sleuruhnya, maka Allah Ta’ala mengutus para malaikat kepada para rasul-rasul. Dan mewahyukan kepada mereka, apa yang telah sempurna makhluk dari pembinasaan musuh dan penipu dayanya. Lalu para malaikat itu sibuk menyerukan makhluk kepada kerajaan yang hakiki (yang sebenarnnya), dari kerajaan yang majasi (yang tidak sebenarnya), yang tidak berasal, kalau ia bisa selamat. Dan yang majasi itu sekali-kali tidak kekal. Maka malaikat menyerukan mereka: “Hai orang-orang yang beriman ! apakah (halangan) bagimu, ketika dikatakan kepada kamu: berangkatlah (perang) di jalan Allah, tetapi kamu ingin tinggal di bumi. Apakah kamu –lebih- merasa senang dengan kehidupan dunia dari akhirat ? kesenangan hidup di dunia ini dibandingkan dengan akhirat, hanyalah sedikit (harganya)”. S 9 At Taubah ayat 38.
Taurat, Injil, Zabur, Alfurqan (Alquran), shuhuf Musa dan Ibrahim dan semua Kitab yang diturunkan, adalah tidak diturunkan, selain untuk dakwah (mengajak) makhluk (manusia) kepada kerajaan yang terus menerus, lagi kekal. Dan yang dimaksudkan dari mereka, ialah: bahwa mereka itu adalah raja-raja di dunia dan raja di akhirat. Adapun raja dunia, maka ialah: zuhud di dunia, merasa puas (al-qana’ah) dengan sedikit daripadanya. Adapun raja akhirat, maka ialah: dengan dekat kepada Allah Ta’ala dengan memperoleh kekal, yang tak kekal padanya, memperoleh mulia, yang tidak hina padanya dan ketetapan mata, yang tersembunyi pada alam ini, yang tidak diketahui oleh suatu jiwapun dari jiwa-jiwa manusia.
Setan mengajak mereka kepada kerajaan dunia. Karena ia tahu, bahwa kerajaan akhirat itu hilang dari dia (tidak diperolehnya). Karena dunia dan akhirat itu 2 kembar. Dan karena setan itu tahu, bahwa dunia tidak juga diserahkan kepadanya. Dan kalau dunia itu diserahkan kepadanya, niscaya dia akan dengki pula. Akan tetapi, kerajaan dunia itu tidak terlepas dari perbantahan, kekeruhan dan panjangnya kesusahan pada mengaturnya. Dan demikian juga, sebab-sebab kemegahan lainnya. Kemudian, manakala ia telah menerimanya dan telah sempurna sebab-sebabnya, lalu umurnya pun berlalu “sehingga apabila bumi telah memakai pakaian keemasannya dan menjadi indah permai dan penduduknya mengira, bahwa mereka akan dapat mengusainya. Perintah Kami datanglah di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan bumi itu sebagai ladang padi yang sudah dituai, seakan-akan kemarennya tidak ada apa-apa”. Maka Allah Ta’ala membuat contoh bagi yang demikian. Maka Ia berfirman: “Dan buatlah untuk mereka perumpamaan kehidupan dunia, sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit (awan) dan karenanya tumbuh-tumbuhan di bumi ini menjadi subur, kemudian itu dia menjadi kering, diterbangkan angin”. S Al Kahf ayat 45.
Zuhud di dunia,  tatkala adalah itu kerajaan yang sekarang, lalu setan dengki kepadanya. Maka dihalanginya daripadanya. Arti zuhud, ialah: bahwa hamba itu menguasai nafsu syahwat dan kemarahannya. Lalu keduanya mematuhi pembangkit agama dan isyarat iman. Dan ini adalah kerajaan dengan sebenarnya. Karena dengan itu, yang mempunyai sifat zuhud tersebut, menjadi merdeka. Dan dengan dikuasainya oleh nafsu syahwat atas dirinya, dia menjadi budak kemaluannya, perutnya dan maksud-maksudnya yang lain. Maka dia adalah dipaksakan seperti hewan yang ada pemiliknya, yang ditarik oleh tali penambat nafsu syahwat, yang mengambil dengan cekikannya, kemana dikehendakinya dan diinginya. Maka alangkah besar tertipunya manusia ! karena ia menyangka, bahwa ia akan memperoleh kerajaan, dengan ia akan menjadi dimiliki. Ia akan mencapai ketuhanan, dengan dia menjadi hamba. Dan yang seperti ini, adakah itu, selain terbalik di dunia, tertelungkup di akhirat ? karena inilah, sebahagian raja-raja bertanya kepada orang-orang zahid”. Apakah tuan ada keperluan ?”. orang zahid itu lalu menjawab: “Bagaimana aku mencari suatu keperluan dari engkau, sedang kerajaanku itu lebih besar dari kerajaan engkau ?”. Maka raja itu bertanya: “Bagaimana demikian “. Orang zahid itu menjawab: “Siapa, yang engkau itu budaknya, maka dia itu budakku”. Lalu raja itu bertanya pula: “Bagaimana maka demikian ?”. Orang zahid itu menjawab: “Engkau adalah budak nafsu syahwat engkau, kemarahan engkau kemaluan engkau dan perut engkau. Dan aku telah menguasai mereka itu semuanya, maka mereka itu adalah budakku”. Jadi, maka inilah dia itu raja di dunia. Dan dialah yang menghalau kepada raja di akhirat. Maka orang-orang yang tertipu dengan tipuan setan, niscaya mereka itu merugi di dunia dan di akhirat semuanya.
Dan orang-orang yang memperoleh taufiq untuk berpegang teguh kepada jalan yang lurus, niscaya memperoleh kemenangan di dunia dan di akhirat semuanya. Apabila anda sekarang telah mengetahui sekarang akan arti kerajaan dan ketuhanan, arti pengadaan dan memperhambakan diri dengan ibadah, tempat masuknya kesalahan pada yang demikian, cara setan membutakan mata dan meragukannya, niscaya mudahlah atas anda mencabut diri dari kerajaan, kemegahan, berpaling daripadanya dan sabar dari kehilangannya. Karena dengan meninggalkan itu, anda menjadi raja seketika dan anda mengharap dengan yang demikian, menjadi raja di akhirat. Orang yang bersikap baginya dengan hal-hal ini, sesudah hatinya tertarik dengan kemegahan, jinak hatinya dengan yang demikian, telah meresap padanya, disebabkan kebiasaan, berhubungan langsung sebab-sebabnya, maka tidak memadai baginya pada pengobatan oleh semata-mata ilmu dan tersingkap terbuka hijabnya. Akan tetapi, tidak boleh tidak bahwa ditambahkan amal kepadanya. Dan amal itu pada 3 perkara:
pertama: bahwa ia lari dari tempat kemegahan. Supaya ia tidak menyaksikan sebab-sebab kemegahan itu. Lalu sukarlah kepadanya sabar (menahan diri) serta sebab-sebab itu. Sebagaimana larinya orang yang dikuasai oleh nafsu syahwat, daripada menyaksiakan bentuk-benuk yang menggerakkan nafsu syahwat itu. Siapa yang tidak berbuat ini, maka sesungguhnya ia telah kufur dengan nikmat Allah, tentang luasnya bumi. Karena Allah TA’ala berfirman: “Tidakkah bumi Allah itu luas, sehingga kamu boleh pindah kemana-mana ?”. S 4 An Nisa’ ayat 97.
Kedua: bahwa ia memberatkan dirinya pada amal perbuatannya, akan perbuatan-perbuatan yang menyalahi dengan apa yang dibiasakannya. Lalu ia menggantikan pemberatan itu dengan memberikan tenaga seadanya dan hiasan malu berganti dengan hiasan tawadlu’ (merendahkan diri) begitu juga, setiap keadaan, hal-ihwal dan perbuatan, tentang tempat tinggal, pakaian, makanan, berdiri dan duduk, adalah dibiasakannya, menurut yang dikehendaki oleh kemegahan nya. Maka seyogyalah digantikannya dengan lawannya. Sehingga mantaplah dengan membiasakan dengan demikian, lawan apa yang telah mantap padanya, sebelum dibiasakan lawannya. Maka tiada arti bagi pengobatan, selain yang berlawanan.
Ketiga: bahwa ia menjaga pada yang demikian itu kelemah-lembutan dan keberangsuran. Maka tidaklah ia berpindah dengan sekaligus kepada tepi yang paling jauh, daripada memberikan tenaga tadi. Karena tabiat itu lari (tidak senang) dan tidak mungkin memindahkannya dari tingkah lakunya (akhlaknya), selain dengan berangsur-angsur. Maka ia meninggalkan sebahagian dan menghiburkan dirinya dengan sebahagian.
Kemudian, apabila dirinya telah puas dengan sebahagian itu lalu ia mulai meninggalkan sebahagian dari sebahagian itu, sampai ia merasa puas dengan yang masih tinggal. begitulah kiranya ia berbuat sedikit demi sedikit, sehingga ia dapat mencegah sifat-sifat itu, yang telah melekat padanya. Dan kepada keberangsuran ini, diisyaratkan dengan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya agama ini kokoh, maka berjalanlah padanya dengan pelan-pelan. Dan janganlah engkau marahkan kepada diri engkau pada ibadah kepada Allah. Maka sesungguhnya orang yang memutuskan perjalanannya, tiadalah bumi yang diputuskannya (bumi yang ditempuhnya sampai kepada yang ditujukannya) dan tiada punggungnya yang ditinggalkannya (yang dapat diambil manfaatnya)”.
Dan kepadanya juga diisyaratkan kepada sabda Nabi saw: “Janganlah kamu kerasi agama ini! maka siapa yang mengerasinya, niscaya akan mengalahkan nya”. Jadi, apa yang telah kami sebutkan tentang pengobatan sabar dari bisikan setan, dari nafsu syahwat dan dari kemegahan diri, maka tambahkanlah itu kepada apa yang telah kami sebutkan dahulu dari undang-undang jalan  bersungguh‑sungguh  pada Kitab Latihan Jiwa dari Rubu’ yang membinasakan.
Maka ambillah itu menjadi undang-undang dasarmu, supaya engkau ketahui dengan itu pengobatan sabar, pada semua bahagian yang telah kami uraikan sebelumnya ! sesungguhnya penguraian satu persatu itu akan panjang. Dan siapa yang menjaga keberangsuran, niscaya sabar itu akan meninggi kepada keadaan, yang sukar padanya sabar, tanpa yang demikian. Sebagimana sukar kepadanya sabar bersama yang demikian itu. Lalu terbaliklah semua urusannya. Maka apa yang disukai padanya, menjadi tercela. Dan apa yang tidak disukai padanya, menjadi minuman yang memuaskan, yang dia tidak dapat sabar daripadanya. Ini tidak dapat diketahui, selain dengan percobaan dan perasaan. Dan ia mempunyai bandingan pada hal-hal kebiasaan. Sesungguhnya anak kecil dibawa kepada belajar pada permulaan itu dengan paksaan. Maka sukarlah kepadanya sabar (menahan diri) daripada bermain dan bersabar bersama ilmu. Sehingga apabila terbuka mata hatinya dan hatinya jinak dengan ilmu, niscaya berbaliklah keadaan. Lalu menjadi sukar kepadanya sabar (menahan diri) daripada ilmu dan sabar (terus-menerus) pada permainan.
Kepada inilah diisyaratkan apa yang diceritakan dari sebahagian ahli  ilmu mengenal Allah Ta’ala (al-’arifin), bahwa ia bertanya kepada Asy-Syibli dari hal sabar: “Manakah yang lebih berat ?”. Asy-Syibli menjawab: “Sabar pada jalan Allah Ta’ala”. Lalu al-‘arifin itu berkata: “Tidak !”. Asy-Syibli lalu berkata: “Sabar karena Allah”. Al-‘arifin lalu berkata lagi: “Tidak !”. Maka Asy-Syibli menjawab: “Sabar bersama Allah”. Al-‘arifin berkata pula: " Tidak !”. lalu Asy-Syibli berkata: “Jadi apa ?”. Al-‘arifin itu berkata: “Sabar jauh dari Allah”. Maka Asy-Syibli memekik dengan pekikan yang hampir menewaskan nyawanya. Dikatakan tentang arti firman Allah Ta’ala: S 3 Ali Imran ayat 200 : Sabarlah pada jalan Allah ! sabar menyabarkanlah dengan sebab Allah ! Perteguhkanlah kekuatanmu besama Allah ! dikatakan: sabar li’llah itu kekayaan. Sabar bi’llah itu kekekalan. Sabar ma’allah itu kesempurnaan. Dan sabar ani’llah sabar jauh dari Allah itu menjauhkan diri. Dikatakan tentang artinya, sbb, dengan madah:
Sabar jauh dari engkau,
maka tercelalah akibatnya.
sabar pada hal-hal lain,
itu terpuji.
Dikatakan pula:
Sabar itu baik,
pada semua tempat.
kecuali atas engkau,
maka itu tidak baik.
Inilah akhir apa yang kami kehendaki menguraikannya dari pengetahuan sabar dan rahasianya !

BAHAGIAN KEDUA: DARI KITAB TENTANG SYUKUR.
Dan mempunyai 3 rukun (sendi):
Pertama: tentang keutamaan syukur, hakikat/maknanya, bahagian-bahagiannya dan hukum-hukumnya.
Kedua: tentang hakikat/makna nikmat dan bahagian-bahagiannya yang khusus dan yang umum.
Ketiga: tentang penjelasan yang lebih utama dari syukur dan sabar.
RUKUN PERTAMA: tentang syukur itu sendiri.
PENJELASAN: keutamaan syukur.
Ketahuilah kiranya, bahwa Allah Ta’ala membaringi syukur dengan dzikir dalam KitabNya, IA berfirman: “Sesungguhnya mengingati Allah itu amat besar manfaatnya”. S Al Ankabut ayat 45. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Maka ingatlah (berdzikirlah) kepadaKu, supaya Aku ingat pula kepadamu ! dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih !”. S 2 Al Baqarah ayat 152. Allah Ta’ala berfirman: “Allah Ta’ala tiada akan berbuat menyiksakan kamu, kalau kamu bersyukur dan beriman”. S An Nisa’ ayat 147. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Kami akan memberikan ganjaran untuk orang-orang yang bersyukur”. S 3 Ali Imran ayat 145. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman, untuk menceritakan dari hal Iblis yang terkutuk: “Aku akan duduk menganggu mereka dari jalan yang lurus”. S 7 Al A’raf ayat 16. Dikatakan, bahwa jalan yang lurus itu, ialah: jalan syukur. Dan karena tingginya tingkat syukur itu, maka setan yang terkutuk itu menusuk pada makhluk. Ia berkata: “Dan tidaklah akan Engkau dapati, bahwa kebanyakan mereka menjadi orang-orang yang bersyukur”. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang tahu bersyukur (berterima kasih)”. S Saba ayat 13. Allah Ta’ala telah memutuskan, dengan menambahkan nikmat beserta syukur dan IA tidak mengadakan pengecualian. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Kalau kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambahkan kepadamu”. S Ibrahim ayat 7. Allah Ta’ala mengadakan pengecualian pada 5 perkara: pada memperkayakan, menerima doa, rezeki, ampunan dan taubat. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Allah akan memberikan kekayaan kepada kamu dengan kurniaNya, jika Ia menghendaki”. S 9 At Taubah ayat 28. Allah Ta’ala berfirman: “Maka DIA (Allah) akan menghilangkan (bahaya) yang kamu berdoa (bermohon) kepadaNya, kalau Ia menghendakinya”. S 6 Al An’aam ayat 41. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendakiNya dengan tiada dapat dikirakan”. S 2 Al Baqarah ayat 212. Allah Ta’ala berfirman: “Dan IA (Allah) mengampuni yang bukan itu (yaitu: mempersekutukanNya) bagi siapa yang dihendakiNya”. S 4 An Nisa’ ayat 48. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Allah menerima taubat siapa yang dikehendakiNya”. S 9 At Taubah ayat 15.
Syukur itu adalah salah satu akhlak ketuhanan, karena Allah Ta’ala berfirman: “Allah itu Maha bersyukur dan Maha Penyantun”. S At Taghabun ayat 17. Allah ta’ala menjadikan syukur itu anak kunci perkataan penduduk surga. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka (penduduk sorga) itu mengucapkan: Segala pujian untuk Allah yang telah memenuhi janjiNya kepada kami”. S Az Zumar ayat 74. Allah Ta’ala berfirman: “Dan akhir doa mereka, bahwa: Segala pujian bagi Allah Tuhan semesta alam”. S 10 Yunus ayat 10.
Adapun hadits, maka Rasulullah saw bersabda: “Orang yang makan dan yang bersyukur adalah seperti orang yang berpuasa yang sabar”. Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, bahwa ‘Atha’ mengatakan: “aku masuk di tempat ‘Aisyah, lalu aku bertanya: “Terangkanlah kepadaku dengan yang paling mengherankan, dari apa yang engkau lihat dari Rasulullah saw”. Lalu ‘Aisyah itu menangis dan berkata: “Bagaimana keadaannya yang tidak mengherankan ! pada suatu malam dia datang kepadaku. Lalu ia masuk bersama aku pada tempat tidurku”. Atau ‘Aisyah mengatakan: “Dalam selimutku”, sehingga kulitku menyentuh kulitnya. Kemudian, ia bersabda: “Wahai puteri Abubakar ! biarkanlah aku beribadah kepada Tuhanku !”. ‘Aisyah meneruskan ceritanya: “Aku menjawab: “Sesungguhnya aku ingin berdekatan engkau. Akan tetapi, aku mengutamakan keinginan engkau”. Lalu aku izinkan kepadanya. Maka ia bangun berdiri menuju bak air. Lalu ia berwudhu’. Ia tidak membanyakkan menuangkan air. Kemudian ia berdiri, mengerjakan shalat. Lalu ia menangis, sehingga bercucuran air matanya di atas dadanya. Kemudian, ia ruku’. Lalu ia menangis. Kemudian, ia sujud, lalu ia menangis. Kemudian ia mengangkat kepalanya, lalu ia menangis. Maka senantiasalah seperti yang demikian, ia menangis, sehingga datangah Bilal. Lalu Bilal memberitahukannya (mengerjakan adzan) untuk shalat. Maka aku mengatakan: “Wahai Rasulullah ! apakah yang membawa engkau menangis, padahal Allah Ta’ala telah mengampunkan apa yang telah terdahulu dari dosa engkau dan apa yang terkemudian ?”. Lalu ia menjawab: “Apakah tidak aku ini seorang hamba yang bersyukur ? mengapa tidak aku perbuat yang demikian ? padahal Allah Ta’ala telah menurunkan (ayat) kepadaku: “Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi, pertukaran malam dan siang, kapal yang berlayar di lautan yang memberi manfaat kepada manusia, air (hujan) yang diturunkan Allah dari langit, lalu dihidupkanNya (karena hujan itu) bumi yang sudah mati (kering) dan berkeliaranlah berbagai bangsa binatang dan perkisaran angin dan awan yang disuruh bekerja di antara langit dan bumi, sesungguhnya semua itu menjadi bukti kebenaran untuk orang-orang yang mengerti”. S 2 Al Baqarah ayat 164. Ini menunjukkan bahwa menangis itu seyogyalah tiada putus selalu. Dan kepada rahasia inilah, diisyaratkan oleh apa yang diriwayatkan, bahwa sebahagian nabi-nabi melintasi batu kecil yang keluar daripadanya banyak air. Lalu nabi tersebut merasa heran dari yang demikian. Lalu nabi itu dituturkan oleh Allah Ta’ala. Maka ia berkata: “Bahwa semenjak aku mendengar firrman Allah Ta’ala: “Kayu apinya neraka itu, adalah manusia dan batu-batu”. S 2 Al Baqarah ayat 24. Maka aku menangis dari karena takutnya”. Lalu ia bermohon kepada Allah Ta’ala, kiranya IA melepaskannya dari api neraka. Maka ia dilepaskan oleh Allah Ta’ala. Kemudian, sesudah beberapa waktu, dilihatnya pula seperti yang demikian, lalu ditanyakan: “Mengapa engkau menangis sekarang ?”. Nabi itu lalu menjawab: “Tangis dulu itu, tangis ketakutan dan ini, tangis kesyukuran dan kegembiraan”. Hati hamba itu adalah seperti batu atau hati hamba itu adalah seperti batu atau lebih lagi kerasnya. Dan kerasnya itu tiada akan hilang, selain dengan menangis dalam semua hal ketakutan dan kesyukuran. Diriwayatkan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Diserukan pada hari kiamat, supaya bangunlah berdiri orang-orang al-hammadun (orang-orang yang banyak memuji Tuhan atas nikmatNya). Maka bangunlah suatu jamaah. Lalu ditegakkan bagi mereka bendera. Maka mereka itu lalu masuk sorga”. Ditanyakan: “Siapakah al-hammadun itu ?”. Nabi saw menjawab: “Mereka yang bersyukur kepada Allah Ta’ala dalam keadaan suka dan duka”. Nabi saw bersabda: “Pujian itu selendang (rida’) Tuhan Yang Maha Pengasih”. Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Ayyub as: “Sesungguhnya Aku rela dengan kesyukuran, sebagai imbalan dari para waliKu.......” dalam perkataan yang panjang. Allah Ta’ala menurunkan pula wahyu kepada Ayyub as tentang sifat orang-orang yang sabar: “Bahwa negeri mereka adalah negeri sejahtera. Apabila mereka masuk ke dalamnya, niscaya Aku ilhamkan kepada mereka kesyukuran. Dan itu adalah perkataan yang sebaik-baiknya. Dan ketika kesyukuran itu, Aku akan tambahkan kepada mereka. Dan dengan memandang kepadaKu, Aku tambahkan kepada mereka. Dan tatkala telah turunlah dalam gudang-gudang itu apa yang telah turun”.
‘Umar ra bertanya: “Harta mana yang akan kita ambil ?”. Lalu Nabi saw menjawab: “Hendaklah seseorang kamu itu mengambil lidah yang berdzikir dan hati yang bersyukur”. Nabi saw menyuruh menyimpankan hati yang bersyukur, sebagai ganti dari harta. Ibnu Mas’ud ra mengatakan: “Syukur itu setengah iman”.
PENJELASAN: batas syukur dan hakikat/maknanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa syukur itu termasuk dalam jumlah kedudukan orang-orang yang berjalan kepada Allah. Dan juga syukur itu tersusun dari ilmu, hal (keadaan) dan amal. Ilmu itu pokok, lalu mewariskan hal (keadaan). Dan hal itu mewariskan amal. Maka adapun ilmu, yaitu: mengenal nikmat dari yang memberikan nikmat. Dan hal (keadaan), ialah: kesenangan yang berhasil dengan kenikmatan itu. Dan amal, ialah: tegak berdiri dengan apa yang menjadi maksud yang memberikan nikmat dan yang disukainya. Dan amal itu bergantung dengan hati, dengan anggota badan dan dengan lisan. Dan tak boleh tidak daripada menjelaskan semua yang demikian. Supaya berhasillah dengan kesemuanya itu, dapat mengetahui hakikat/makna syukur. Sesungguhnya tiap-tiap apa yang dikatakan, tentang batas syukur itu, adalah singkat, daripada mengetahui kesempurnaan pengertian-pengertiannya.
Maka pokok pertama, ialah: ilmu. Yaitu: mengetahui 3 perkara: diri nikmat itu, segi dia nya itu adalah nikmat terhadap dia dan zat yang memberikan nikmat dan wujud sifat-sifatnya, yang menjadi sempurna kenikmatan dengan sifat-sifat itu. Dan datangnya kenikmatan tersebut daripadanya kepada orang itu. Maka tidak boleh tidak daripada: nikmat, yang memberi nikmat dan yang diberikan nikmat kepadanya (yang menerima nikmat), yang sampai kepadanya nikmat itu dari yang memberi nikmat, dengan sengaja dan kehendak. Maka hal-hal ini tidak boleh tidak mengetahuinya. Dan ini terhadap selain Allah Ta’ala. Adapun terhadap Allah Ta’ala, maka tiada akan sempurna, selain dengan mengetahui bahwa nikmat semuanya itu, adalah dari Allah. DIAlah yang memberi nikmat. Dan segala perantaraan itu dijadikan dari pihakNya. Dan  ilmu mengenal Allah Ta’ala ini adalah di belakang keesaan (pengesaan) dan taqdis (pengkudusan). Karena taqdis dan keesaan itu masuk dalam  ilmu mengenal Allah Ta’ala tersebut. Bahkan tingkat pertama dalam  ilmu mengenal Allah Ta’ala- ilmu mengenal Allah Ta’ala iman itu, ialah: pengkudusan. Kemudian, apabila ia mengenal ZAT QUDUS itu, maka ia akan mengenal, bahwa tiada yang diquduskan, selain YANG ESA. Dan selian daripadaNya, adalah tidak diquduskan. Itulah keesaan !.
Kemudian, ia mengetahui, bahwa tiap-tiap sesuatu dalam alam ini, maka adanya itu adalah dari Yang Maha Esa saja. Semuanya adalah nikmat daripadaNya. Maka jatuhlah  ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, pada tingkat ketiga. Karena terkandung padanya serta pengkudusan dan keesaan, kesempurnaan kuasa dan kesendirian dengan perbuatan. Dari inilah diibaratkan oleh Rasulullah saw, dimana beliau bersabda: “Barangsiapa membaca “Subhaanaallaah”, maka baginya 10 kebaikan. Barangsiapa membaca: “Laa ilaaha illallaah, maka baginya 20 kebaikan. Dan barangsiapa membaca: “Alhamdulillah”, maka baginya 30 kebaikan”. Nabi saw bersabda: “”Dzikir yang lebih utama, ialah: “Laa ilaaha illallaah” dan doa yang lebih utama, ialah: “Alhamdulillah”. Nabi saw bersabda: “Tiadalah sesuatu dari dzikir yang berlipat ganda pahalanya, apa yang berlipat ganda oleh “al-hamdulillah”. Janganlah anda menyangka, bahwa kebaikan-kebaikan ini dengan berbetulan menggerak-gerakkan lidah dengan kalimat-kalimat itu, tanpa berhasil pengertian-pengertiannya dalam hati. Maka “Subhaanallaah” itu kalimat yang menunjukkan kepada taqdis (pengkudusan). “Laa ilaaha illallaah” itu kalimat yang menunjukkan kepada keesaan (pengesaan). Dan “Alhamdulillaah” itu kalimat yang menunjukkan kepada mengenali nikmat dari Yang Maha Esa, Yang Maha Benar. Kebaikan-kebaikan itu adalah dengan berbetulan  ilmu mengenal Allah Ta’ala-ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, yang termasuk sebahagian dari pintu-pintu iman dan yakin. Dan ketahuilah, bahwa kesempurnaan  ilmu mengenal Allah Ta’ala ini akan meniadakan syirik (penyekutuan Allah Ta’ala) pada segala perbuatan. Maka siapa yang dianugerahkan kepadanya oleh seseorang raja dengan sesuatu, kalau dilihatnya bagi menteri atau wakil raja tersebut turut campur pada memudahkan yang demikian dan menyampaikannya kepadanya, maka orang tersebut mempersekutukan dengan raja pada nikmat itu. Lalu ia tidak melihat nikmat tersebut dari raja, dari setiap segi. Akan tetapi, dari raja pada suatu segi dan dari lain dari raja pada suatu segi. Maka terbagi-bagilah kegembiraannya kepada dua orang itu (raja dan menteri atau wakilnya). Dia tidak mengesakan pada hak raja itu. Benar, ia tidak menutup matanya dari pengesaannya terhadap raja. Dan sempurna kesyukurannya raja yang dituliskannya dengan penanya. Dan dengan kertas yang dituliskannya atasnya. Dia tidak bergembira dengan pena dan kertas. Dan ia tidak berterima kasih pada pena dan kertas itu. Karena ia tidak mengakui, pena dan kertas itu turut campur dari segi keduanya itu berada dengan dirinya. Akan tetapi, dari segi bahwa kertas dan pena itu adalah dijadijkan di bawah kekuasaan raja. Kadang-kadang orang itu tahu, bahwa wakil raja yang menyampaikan dan pemegang gudang juga adalah diperlukan dari pihak raja pada menyampaikannya. Dan sesungguhnya kalau dikembalikan urusan itu kepada wakil tersebut dan tidak ada dari pihak raja paksaan dan perintah yang meyakinkan, yang ia takuti akan akibatnya, niscaya wakil itu tidak akan menyerahkan sesuatu kepadanya. Apabila ia mengetahui yang demikian, niscaya pandangannya kepada pemegang gudang yang menyampaikan itu, adalah seperti pandangannya kepada pena dan kertas. Maka tidaklah yang demikian itu mempusakakan syirik pada keesaannya, dari menyandarkan nikmat kepada raja.
Demikian juga, orang yang mengenal Allah Ta’ala dan mengenal perbuatan-perbuatanNya, niscaya ia tahu bahwa matahari, bulan dan bintang-bintang itu dijadikan dengan perintahNya. Seperti pena umpamanya pada tangan yang menulis. Dan sesungguhnya hewan-hewan yang mempunyai pilihan (usaha atau ikhtiar) itu dijadikan pada diri usahanya. Maka sesungguhnya Allah Ta’ala yang menguasai bagi segala yang mengajak kepadanya untuk diperbuatnya, dikehendakinya atau diabaikannya, seperti pemegang gudang yang terpaksa, yang tidak memperoleh jalan untuk menyalahi perintah raja. Kalau ia dibiarkan menurut kemauan dirinya sendiri, niscaya ia tidak akan memberikan kepada engkau seberat atompun, dari apa yang dalam tangannya. Maka setiap orang yang menyampaikan kepada engkau, suatu nikmat daripada Allah Ta’ala dengan tangannya, maka orang itu adalah terpaksa. Karena Allah Ta’ala telah menguasakan KemauanNya atas orang itu. IA mengerjakan kepadanya segala yang membawa kepadanya. Dan IA mencurahkan pada diri orang itu, bahwa kebajikannya di dunia dan di akhirat, ialah dengan diberikannya kepadamu, apa yang telah diberikannya kepadamu itu. Bahwa maksudnya yang dimaksudkan padanya, baik sekarang atau pada masa yang akan datang, tiada akan berhasil, selain dengan yang demikian. Dan sesudah Allah Ta’ala menjadikan baginya kepercayaan ini, niscaya ia tidak memperoleh jalan kepada meninggalkan pemberian itu. Jadi, dia sesungguhnya memberikan kepadamu, adalah karena maksud dirinya. Tidak karena maksud engkau. Dan kalau tidak ada maksudnya pada memberikan, niscaya ia tidak akan memberikan kepada engkau. Dan jikalau tidak diketahuinya, bahwa kemanfaatannya adalah pada kemanfaatan engkau, niscaya ia tidak memanfaatkan kepada engkau. Jadi, dia sesungguhnya mencari kemanfaatan dirinya dengan kemanfaatan engkau. Maka ia tidaklah yang memberi nikmat kepada engkau. Akan tetapi, ia membuat engkau menjadi jalan kepada nikmat yang lain. Dan ia mengharap nikmat yang lain itu. Dan sesungguhnya yang memberikan nikmat kepada engkau, ialah yang menjadikannya bagi engkau dan mencurahkan dalam hatinya dari kepercayaan dan kehendak, apa yang terpaksa kepada disampaikannya kepada engkau. Kalau engkau sudah mengetahui semua pekerjaan seperti yang demikian, maka engkau sesungguhnya telah mengenal Allah Ta’ala. Engkau mengenal perbuatanNya. Engkau adalah orang berkeesaan. Dan engkau sanggup bersyukur kepadaNya. Bahkan, engkau dengan semata-mata  ilmu mengenal Allah Ta’ala ini, adalah orang yang bersyukur kepada Tuhan. Dan karena itulah Nabi Musa as berkata dalam munajahnya (berbicara dengan Allah): “Wahai Tuhanku ! Engkau telah menjadikan Adam dengan tangan (kekuasaan) Engkau. Engkau telah berbuat dan Engkau telah berbuat. Maka bagaimanakah kesyukuran kepada Engkau ?”. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Ketahuilah, bahwa semua yang demikian itu daripadaKU. Maka mengenalinya itu adalah syukur”. Jadi, engkau tidak bersyukur, selain bahwa engkau mengenal, bahwa semua itu adalah daripadaNya. Kalau dimasuki engkau oleh keraguan pada yang demikian, maka tidaklah engkau itu orang yang ber ilmu mengenal Allah Ta’ala. Tidak dengan nikmat dan tidak dengan yang memberi nikmat. Maka engkau tidak gembira dengan yang memberi nikmat yang Maha Esa saja, bahkan juga dengan lainNya. Maka dengan kurangnya  ilmu mengenal Allah Ta’ala engkau itu, akan mengurangkan keadaan engkau pada kesenangan. Dan dengan kurangnya kesenangan engkau, niscaya akan mengurangkan amalan engkau. Inilah penjelasan pokok ini !
Pokok kedua: keadaan yang dipetik (dipahami) dari pokok  ilmu mengenal Allah Ta’ala. Yaitu: kegembiraan dengan yang memberi nikmat, serta dalam keadaan tunduk (khudlu’) dan merendahkan diri (tawadlu’). Itu juga pada dirinya kesyukuran di atas kesemata-mataan yang demikian, sebagaimana  ilmu mengenal Allah Ta’ala itu syukur. Akan tetapi, sesungguhnya yang demikian itu syukur, apabila ia mengandung syarat syukur. Dan syaratnya, ialah: bahwa kesenangan engkau itu adalah yang memberi nikmat. Tidak dengan nikmat dan tidak dengan penikmatan. Mungkin ini termasuk yang sukar bagi engkau memahaminya. Maka marilah kami buat suatu contoh bagi engkau. Maka kami mengatakan: bahwa raja yang bermaksud keluar untuk berjalan jauh (bermusafir), lalu ia menganugerah kan seekor kuda kepada seorang manusia, yang dapat digambarkan bahwa orang yang menerima anugerah itu, akan bergembira dengan kuda, dari 3 segi:
Pertama: bahwa ia bergembira dengan kuda, dari segi bahwa itu kuda. Dan bahwa kuda itu harta yang dapat dimanfaatkan dan dapat dikendarai, yang bersesuaian dengan maksudnya. Dan kuda itu sangat bagus dan berharga. Inilah adalah kesenangan bagi orang, yang tiada mempunyai keberuntungan pada raja. Akan tetapi maksudnya, ialah: kuda semata. Dan kalau diperolehnya kuda itu di padang pasir sahara, lalu diambilnya, niscaya adalah kesenangannya itu seperti kesenangan tadi.
Segi kedua: bahwa ia senang dengan kuda itu. Tidak dari segi bahwa itu kuda. Akan tetapi dari segi ia memperoleh petunjuk dengan kuda itu, kepada kesungguhan raja dengan dia, belas kasihan raja kepadanya dan perhatian raja kepada pihaknya. Sehingga, jikalau ia memperoleh kuda tersebut di padang sahara atau diberikan kepadanya oleh lain dari arja, niscaya ia tidak bergembira sekali-kali dengan kuda itu. Karena ia tidak memerlukan sekali-kali kepada kuda. Atau dipandangnya leceh kepada kuda itu, dibandingkan kepada yang dicarinya. Yaitu: mendapat tempat pada hati raja.
Segi ketiga: bahwa ia bergembira dengan kuda itu, untuk dikendarainya. Supaya ia dapat keluar pada melayani raja. Dan memikul kesukaran berjalan jauh (bermusafir), untuk memperoleh dengan pelayanan itu, tingkat kedekatan dengan raja. Dan kadang-kadang ia akan meningkat kepada tingkat kementerian, dari segi bahwa ia tidak merasa puas dengan ada tempatnya pada hati raja, untuk diberinya hanya kuda saja. Ia berusaha benar-benar tingkat ini dengan segala kesungguhan. Bahkan ia menuntut, bahwa raja tidak akan menganugerahi sesuatu dari hartanya kepada seseorang, selain dengan perantaraannya. Kemudian, ia tidak menghendaki dari kementerian itu kementerian pula. Akan tetapi, ia menghendaki melihat raja dan dekat dengan dia. Sehingga, jikalau disuruh pilih antara dekat dengan raja dan tidak kementerian dan antara kementerian, dan tidak dekat, niscaya ia akan memilih dekat. Maka inilah tiga tingkat !
Yang pertama. Tidak masuk padanya sekali-kali arti syukur. Karena pandangan orang yang mempunyai tingkat pertama ini, terbatas kepada kuda. Kegembiraan nya adalah dengan kuda, tidak dengan yang memberikan. Dan ini adalah keadaan setiap orang yang bergembira dengan nikmat, dari segi, bahwa nikmat itu enak dan bersesuaian bagi maksudnya. Maka itu jauh dari arti syukur.
Yang kedua, masuk dalam arti syukur, dari segi bahwa ia bergembira dengan yang menganugerahkan nikmat. Akan tetapi, tidak dari segi diri orang itu, tetapi, dari segi mengetahui kesungguhannya yang menggerakkannya kepada penikmatan pada masa mendatang. Ini adalah keadaan orang-orang saleh (ash-shalihin) yang beribadah kepada Allah dan mensyukuriNya, karena takut dari siksaanNya dan mengharap bagi pahalaNya. Sesungguhnya kesyukuran yang sempurna itu, ialah pada kegembiraan ke-3. Yaitu: bahwa adalah kegembiraan hamba dengan nikmat Allah Ta’ala itu, dari segi bahwa ia sanggup dengan nikmat tersebut untuk sampai kepada kedekatan dengan Allah Ta’ala, bertempat di sisiNya dan selalu memandang kepada wajahNya. Itulah tingkat tertinggi ! dan tandanya, ialah. Ia tidak bergembira dari dunia, selain dengan apa yang menjadi kebun akhirat. Dan yang menolongnya kepada akhirat. Ia gundah dengan tiap-tiap nikmat yang melalaikannya dari dzikir kepada Allah Ta’ala. Dan menghalanginya dari jalan Allah. Karena ia tidak menghendaki akan nikmat, karena nikmat itu enak. Sebagaimana tidak dikehendaki oleh yang mempunyai kuda akan kuda. Karena kuda itu cantik dan cepat larinya. Akan tetapi, dari segi, bahwa kuda itu membawanya pada menyertai raja. Sehingga, kekallah penglihatannya kepada raja dan kedekatannya dengan raja. Dan karena itulah, Asy-Syiblil ra berkata: “Syukur itu melihat yang memberi nikmat, bukan melihat nikmatnya”.
Abu Ishak Ibrahim bin Ahmad Al-Khawwash ra berkata: “Syukurnya orang awam itu atas makanan, pakaian dan minuman. Dan syukurnya orang khusus, ialah atas segala yang datang kepada hati. Dan ini adalah derajat, yang tidak akan dicapai oleh setiap orang yang terbatas padanya oleh kelezatan pada perut dan kemaluan. Yang didapati oleh pancaindra dari warna-warna dan suara-suara (bunyi-bunyian). Dan kosong dari kelezatan hati. Maka sesungguhnya hati itu tidak merasa enak dalam keadaan sehat, selain dengan mengingati Allah Ta’ala, mengenaliNya dan menemuiNya. Dan sesungguhnya hati itu merasa tidak enak dengan yang lain dari itu, apabila hati itu sakit dengan kebiasaan-kebiasaan yang buruk. Sebagaimana sebahagian manusia merasa enak dengan memakan tanah liat. Dan sebagaimana sebahagian orang sakit merasa tidak enak barang-barang manis dan merasa manis barang-barang yang pahit. Sebagaimana dikatakan pada madah:
Orang yang mempunyai mulut,
pahit lagi sakit,
niscaya merasa pahit,
air dari pancuran.
Jadi, inilah syarat kegembiraan dengan nikmat Allah Ta’ala. Kalau tidak ada unta, maka kambing. Kalau tidak ada ini, maka tingkat yang kedua. Adapun tingkat yang pertama, maka itu keluar dari setiap perhitungan. Berapa kiranya perbedaan di antara orang yang menghendaki raja untuk kuda dan orang yang menghendaki kuda untuk raja. Dan berapa banyak perbedaan antara orang yang menghendaki Allah untuk memberi nikmat kepadanya dan orang yang menghendaki nikmat Allah, supaya dengan nikmat itu, ia sampai kepada Allah.
Pokok ketiga: berbuat dengan yang mengharuskan kegembiraan, yang berhasil daripada mengenal yang memberikan nikmat. Perbuatan ini menyangkut dengan hati, lisan dan anggota badan. Adapun dengan hati, maka bermaksud kebajikan dan menyembunyikannya bagi makhluk seluruhnya. Adapun dengan lisan, maka melahirkan kesyukuran kepada Allah Ta’ala dengan pujian-pujian yang menunjukkan kepadaNya. Dan adapun dengan anggota badan, maka menggunakan semua nikmat Allah Ta’ala pada mentaatiNya. Dan menjaga diri memperoleh pertolongan dengan nikmat tersebut, kepada perbuatan maksiat kepadaNya. Sehingga, bahwa kesyukuran dua mata itu, ialah: engkau tutup setiap kekurangan yang engkau lihat, bagi orang muslim. Dan kesyukuran dua telinga itu, ialah: engkau tutup setiap kekurangan yang engkau dengar pada orang muslim. Maka masuklah ini dalam jumlah syukur segala nikmat Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan itu.
Dan kesyukuran dengan lisan, adalah untuk melahirkan rela (senang hati) kepada Allah Ta’ala. Dan itulah yang disuruh. Sesungguhnya Nabi saw bertanya kepada seorang lelaki: “Bagaimana engkau memasuki waktu Shubuh (waktu pagi) ?”. Lelaki tersebut menjawab: “Dengan baik !”. Lalu Nabi saw mengulangi pertanyaan, sehingga lelaki tersebut menjawab pada kali ketiga: “Dengan baik, aku memuji Allah dan bersyukur kepadaNya”. Lalu Nabi saw bersabda: “Inilah yang aku kehendaki daripadamu”.
Adalah orang-orang terdahulu (ulama salaf) itu tanya-bertanya. Niat mereka, ialah mengeluarkan kesyukurann bagi Allah Ta’ala, supaya adalah yang bersyukur itu orang yang taat. Dan yang memperkatakan bagi orang yang bersyukur tersebut itu orang yang taat. Dan tidak adalah maksud mereka itu ria, dengan melahirkan kerinduan. Setiap hamba yang ditanyakan dari hal keadaannya, maka hamba itu diantara bahwa dia itu bersyukur atau mengadu atau berdiam diri. Maka syukur itu taat. Dan mengadu itu perbuatan maksiat yang keji dari kaum agama. Bagaimana tidak dikejikan pengaduan dari hal Raja Diraja dan di tanganNya setiap sesuatu, kepada hamba yang dimiliki, yang tidak berkuasa atas sesuatu ? maka yang lebih layak dengan hamba, kalau ia tidak dapat bersabar atas percobaan (bala’) dan qodo/taktir dan dibawa oleh kelemahannya kepada mengadu, bahwa adalah pengaduannya itu kepada Allah Ta’ala. Maka DIA lah yang mendatangkan percobaan dan yang berkuasa menghilangkan percobaan itu. Dan kehinaan hamba kepada tuannya itu kemuliaan. Dan mengadu kepada lainnya itu kehinaan. Dan melahirkan kehinaan bagi hamba, serta adanya orang itu hamba seperti dia, adalah kehinaan yang keji. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain dari Allah itu, tiada berkuasa untuk memberikan rezeki kepada kamu. Maka carilah rezeki dari Allah dan sembahlah Dia dan bersyukurlah (berterima kasihlah) kepadaNya !”. S Al Ankabut ayat 17. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya mereka yang kamu seru selain Allah itu, adalah hamba-hamba yang serupa dengan kamu juga”. S Al A’raf ayat 194.
Maka syukur dengan lisan itu termasuk dalam jumlah syukur. Diriwayatkan, bahwa suatu utusan datang kepada Umar bin Abdul-‘aziz ra. Lalu bangun berdiri seorang pemuda untuk berbicara. Maka Umar ra berkata: “Dahulukanlah untuk berbicara yang lebih tua, lalu yang lebih tua !”. Pemuda tadi menjawab: “Wahai Amirul-mu’minin ! kalau urusan itu dengan umur, maka sesungguhnya dalam kalangan kaum muslimin, ada orang yang lebih tua umurnya dari engkau”. Lalu Umar ra menjawab: “Berbicaralah !”. Maka pemuda tersebut berbicara: “Tidaklah kami ini utusan kegemaran dan tidak pula utusan ketakutan. Adapun kegemaran, maka telah disampaikan kepada kami oleh keutamaan engkau. Dan adapun ketakutan, maka telah diamankan kami daripadanya, oleh keadilan engkau. Dan sesungguhnya kami ini adalah utusan kesyukuran. Kami datang kepada engkau untuk kami bersyukur (berterima kasih) kepada engkau dengan lisan. Dan kami akan pergi”. Maka inilah pokok-pokok pengertian syukur yang meliputi kumpulan hakikat/maknanya !
Adapun perkataan orang yang mengatakan, bahwa syukur itu, ialah: pengakuan dengan nikmat orang yang memberikan nikmat atas cara tunduk, maka itu adalah melihat kepada perbuatan lisan, serta sebahagian keadaan hati. Dan perkataan orang yang mengatakan, bahwa syukur itu, ialah: pujian kepada orang yang berbuat baik, dengan menyebutkan ihsannya itu, dipandang kepada perbuatan lisan semata-mata. Dan perkataan orang yang mengatakan, bahwa syukur itu beri’tikaf bertekun (duduk) di atas permadani kesaksian dengan kekekalan memelihara kehormatan, adalah mengumpulkan bagi terbanyak pengertian syukur, yang tidak sedikit daripadanya, selain perbuatan lisan.
Dan perkataan Hamdun Al-Qashshar, bahwa: syukur nikmat itu, ialah: engkau melihat diri engkau pada kesyukuran itu sebagai anak kecil, adalah suatu isyarat, bahwa arti  ilmu mengenal Allah Ta’ala itu termasuk dalam pengertian syukur saja. Dan perkataan Al-Junaid Al-Baghdadi ra bahwa syukur, ialah: engkau tidak melihat diri engkau berhak untuk nikmat itu, adalah isyarat kepada salah satu dari hal-ihwal hati pada khususnya. Mereka tadi dengan perkataan-perkataannya itu, menunjukkan kepada peri hal keadaan mereka. Maka karena itulah, berbeda penjawaban mereka dan tidak sepakat. Kemudian, kadang-kadang berbeda jawaban masing-masing dalam dua hal. Karena mereka tiada berkata-kata, selain dari hal keadaan mereka pada masa yang lampau, yang banyak terjadi atas diri mereka, kesibukan-kesibukan dengan yang penting bagi mereka, dari yang tidak penting. Atau mereka berkata-kata dengan apa yang dilihat mereka layak dengan keadaan orang yang bertanya. Karena menyingkatkan untuk menyebutkan sekadar yang diperlukan kepadanya. Dan mengelak daripada apa yang tidak diperlukan. Maka tiada seyogyalah engkau menyangka, bahwa apa yang kami sebutkan itu suatu tusukan kepada mereka. Dan kalau dikemukakan kepada mereka semua pengertian yang telah kami uraikan, niscaya mereka akan membantahnya. Bahkan, yang demikian itu, tiada sekali-kali disangka dari orang yang berakal sehat, selain bahwa dikemukakan pertentangan dari segi perkataan bahwa nama “Syukur” pada ciptaan lisan, adakah melengkapi semua pengertian. Atau mencapai sebahagiannya, menurut maksudnya. Dan sisa pengertian itu adalah dari ikutannya dan yang harus baginya. Dan tidaklah kami maksudkan pada Kitab ini menguraikan ciptaan-ciptaan bahasa. Tidaklah yang demikian itu termasuk ilmu jalan akhirat sedikitpun. Kiranya Allah mencurahkan taufiq dengan rahmatNya.
PENJELASAN: jalan penyingkapan tutup dari kesyukuran terhadap Allah Ta’ala.
Semoga engkau, terguris kiranya di hati engkau, bahwa syukur itu, sesungguhnya dipahami pada hak orang yang memberi nikmat. Yaitu: yang mempunyai keberuntungan pada kesyukuran. Sesungguhnya kita bersyukur (berterima kasih) kepada raja-raja. Adakalanya dengan pujian, untuk menambahkan tempat mereka di dalam hati. Dan menampakkan kemurahan mereka pada manusia. Lalu dengan demikian, bertambahlah kemasyhuran dan kemegahan mereka. Atau dengan pelayanan, yang dapat menolong mereka kepada sebahagian maksud mereka. Atau dengan duduk bersimpuh di hadapan mereka, dalam bentuk pelayan. Dan yang demikian itu membanyakkan golongan mereka dan menjadi sebab bertambahnya kemegahan mereka. Maka tiadalah mereka itu orang-orang yang berterima kasih (bersyukur) kepada raja-raja itu, selain dengan sesuatu dari yang demikian. Dan ini adalah tempatnya pada hak Allah Ta’ala dari dua segi:
Pertama: bahwa Allah Ta’ala itu Maha Suci dari keberuntungan-keberuntungan dan maksud-maksud. Mahakudus daripada berhajat kepada pelayanan dan perbantuan. Dan dari menyiarkan kemegahan dan malu dengan pujian dan sanjungan. Dan daripada memperbanyakkan kemegahan dan pujian dan sanjungan. Dan daripada memperbanyakkan golongan pelayan dengan duduk bersimpuh di hadapanNya, dengan ruku’ dan sujud. Maka kesyukuran kita kepada Allah itu, dengan yang tiada keuntungan bagiNya padanya, adalah menyerupai kesyukuran kita kepada raja yang memberikan nikmat kepada kita, dengan kita tidur di rumah kita atau kita sujud atau kita ruku’. Karena tiada keberuntungan baginya padanya. Dan dia itu tidak hadir dan tiada diketahuinya. Dan tiada keberuntungan bagi Allah Ta’ala pada perbuatan kita seluruhnya.
Segi kedua: bahwa tiap-tiap yang kita kerjakan dengan pilihan (ikhtiar) kita, maka itu adalah nikmat yang lain daripada nikmat-nikmat Allah Ta’ala kepada kita. Karena anggota-angota tubuh kita, kemampuan kita, kehendak kita, yang mengajak kita dan hal-hal yang lain yang menjadi sebab gerakan kita, adalah dari ciptaan Allah Ta’ala dan nikmatNya. Maka bagaimana kita mensyukuri nikmat dengan nikmat ? jikalau raja memberikan kepada kita sebuah kendaraan, lalu kita ambil kendaraan lain kepunyaannya dan kita kendarai. Atau kita diberikan oleh raja kendaraan lain, niscaya tidaklah yang kedua iu kesyukuran bagi yang pertama dari kita. Akan tetapi, adalah yang kedua itu memerlukan kepada kesyukuran, sebagaimana diperlukan oleh yang pertama. Kemudian, tidak mungkin kesyukuran itu untuk syukur, selain dengan nikmat yang lain. Lalu membawa kepada kesyukuran itu mustahil pada hak Allah Ta’ala dari dua segi tersebut. Dan kita semua tidak ragu pada dua hal tersebut. Dan agama telah menerangkannya. Maka bagaimana jalan kepada menghimpunkannya ?
Ketahuilah kiranya, bahwa gurisan itu telah terguris pada hati Daud as. Dan demikian juga pada hati Musa as. Lalu ia mengatakan: “Wahai Tuhanku ! bagaimana aku bersyukur kepadaMu ? aku tidak sanggup bersyukur kepadaMu, selain dengan nikmat kedua dari nikmat-nikmatMu”. Dan pada kata yang lain: “Kesyukuran kepadaMu itu nikmat yang lain daripadaMu, yang mengwajibkan atasku bersyukur kepadaMu”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as: “Apabila engkau telah mengetahui ini, maka sesungguhnya engkau telah bersyukur kepadaKu”. Dan pada berita yang lain: “Apabila engkau telah mengetahui, bahwa nikmat itu daripadaKu, niscaya Aku rela dengan yang demikian itu daripada engkau, menjadi kesyukuran”.
Kalau anda mengatakan: “Bahwa aku telah memahami pertanyaan Musa as itu. Dan kepahamanku itu menyingkat kepada mengetahui arti yang diwahyukan kepada mereka. Sesungguhnya aku mengetahui kemustahilan syukur kepada Allah Ta’ala. Adapun keadaan mengetahui dengan kemustahilan syukur itu menjadi syukur, maka aku tidak memahaminya. Dan pengetahuan ini juga suatu nikmat daripadaNya. Maka bagaimana ia menjadi syukur ? seakan-akan hasilnya itu kembali kepada: bahwa orang yang tidak bersyukur itu telah bersyukur. Dan bahwa penerimaan pemberian kedua dari raja itu, kesyukuran bagi pemberian pertama dan pemahaman itu menyingkat, tanpa mengetahui rahasia padanya. Maka jikalau mungkin diberi ta’rif (definisi) yang demikian itu dengan contoh, itu adalah penting pada dirinya. Maka ketahuilah kiranya, bahwa ini adalah suatu ketukan pintu dari ilmu pengetahuan. Dan itu lebih tinggi dari “ilmu mu’amalah (perniagaan)”. Akan tetapi, kami akan mengisyaratkan daripadanya kepada isyarat-isyarat. Dan kami katakan, bahwa di sini dua pandangan: pandangan Dengan Mata Keesaan semata-mata. Dan pandangan ini memperkenalkan kepada engkau dengan pasti, bahwa Dia (Allah) itu yang bersyukur dan Dia itu yang disyukurkan (yang diucapkan terima kasih kepadaNya). Dia itu yang mencintai dan Dia itu yang dicintai. Ini adalah pandangan orang yang mengetahui, bahwa tidak ada pada wujud, selain DIA. Dan tiap sesuatu itu binasa, selain WAJAHNYA.
Dan bahwa yang demikian itu benar pada setiap hal pada azali dan pada abadi. Karena yang lain itu, ialah yang tergambar bahwa ada baginya berdiri sendiri. Dan seperti yang lain ini, tak mempunyai adanya (wujudnya). Bahkan itu adalah mustahil bahwa ia berwujud. Karena yang berwujud sebenarnya, ialah: Yang Berdiri Dengan SendiriNya. Dan yang tiada mempunyai pada dirinya berdiri sendiri, maka tiadalah mempunyai pada dirinya wujud. Akan tetapi ia berdiri dengan sebab yang lain. Maka dia itu maujud dengan sebab yang lain itu. Kalau diperhatikan kepada zatnya (dirinya) dan tidak diperhatikan kepada lainnya, niscaya dia itu tidak mempunyai wujud sekali kali.  Dan yang maujud sesungguhnya, ialah: Yang Berdiri Sendiri. Dan yang berdiri sendiri, ialah: kalau diumpamakan yang lain tidak ada lagi, maka DIA itu kekal adaNya. Jikalau serta Dia berdiri sendiri, berdiri pula wujud lainNya dengan wujudNya, maka Dia itu Mahaberdiri (qayyum). Dan tidak adalah yang maha berdiri itu, selain ESA. Dan tidak tergambar bahwa ada yang lain lagi. Jadi, tidak adalah pada wujud, selain Yang Hidup (Al-Hayyu), Yang Berdiri sendiri (Al-qayyum). Dialah Yang Maha Esa (Al-waahid), Tempat meminta (Ash-shamad). Apabila anda melihat dari kedudukan (al-maqam) ini, niscaya anda ketahui, bahwa semua itu adalah daripadaNya sumbernya. Dan kepadaNya tempat kembalinya. Dialah Yang Bersyukur dan Dialah yang disyukuri. Dialah yang Mencintai dan Dialah yang Dicintai.
Dari sinilah, dipandang oleh Habib bin Abi Habib, ketika ia membaca firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya dia Kami dapati seorang yang bersabar (berhati teguh). Seorang hamba yang amat baik ! sesungguhnya dia tetap kembali (kepada Tuhan)”. S 38 Shaad ayat 44. Lalu Habib bin Abi Habib mengatakan: “Alangkah mena’jubkan ! Dia memberi dan Dia memuji”, sebagai isyarat, bahwa apabila Ia memuji kepada pemberianNya, maka kepada diriNya Ia memuji. Maka Dia itu yang memujikan. Dan Dia yang dipujikan. Dari sinilah, dipandang oleh Syaikh Abu Sa’id Al-Maihani, ketika dibacakan orang di hadapannya, ayat: “Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”. S 5 Al Maa-idah ayat 54. Lalu Syaikh Abu Sa’id Al-Naihani mengatakan: “Demi umurku ! Ia mencintai mereka dan biarkanlah Ia mencintai mereka. Maka dengan sebenarnya IA mencintai mereka. Karena sesungguhnya IA mencintai diriNya”. Abu Sa’id mengisyaratkan dengan yang demikian, bahwa Ia yang mencintai. Dan Dia yang dicintai. Inilah tingkat yang tinggi, yang tidak anda pahami, selain dengan contoh, menurut batas akal engkau. Maka tidaklah tersembunyi kepada anda, bahwa seorang pengarang apabila mencintai karangannya, maka sesungguhnya ia mencintai dirinya sendiri. Dan seorang pemilik pabrik, apabila mencintai hasil pabriknya, maka sesungguhnya ia mencintai dirinya sendiri. Seorang ayah apabila mencintai anaknya, dari segi bahwa itu anaknya, maka sesungguhnya ia mencintai dirinya sendiri. Semua apa dalam wujud ini, selain Allah Ta’ala, adalah karangan Allah Ta’ala dan hasil cintaanNya.
Maka jikalau dicintaiNya, maka Ia tidak mencintai, melainkan diriNya. Dan apabila Ia tidak mencintai, selain diriNya, maka dengan sebenarnya ia mencintai apa yang dicintaiNya. Ini semuanya, adalah pandangan dengan mata keesaan. Dan kaum shufi (Ash-shufiyyah) menyebutkan keadaan ini, dengan: fana diri (tidak adanya diri atau lenyapnya diri). Artinya: Ia fana dari dirinya dan dari selain Allah. Lalu ia tidak melihat, selain Allah Ta’ala. Maka orang yang tidak memahami ini, niscaya menentang mereka dan mengatakan: “Bagaimana ia fana, padahal panjang bayang-bayangnya 4 hasta ! dan mudah-mudahan ia makan pada setiap hari berkati-kati rodi”. Maka tertawalah kepada mereka orang-orang bodoh. Karena bodohnya orang bodoh itu dengan arti perkataan mereka. Dan daruratnya perkataan orang-orang yang berilmu  ilmu mengenal Allah Ta’ala (al-‘arifin), bahwa mereka menjadi tertawaan orang-orang bodoh. Dan kepada itulah isyarat firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat dosa itu menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila lalu di hadapan mereka (orang-orang yang berbuat dosa itu) mengedip-ngedipkan mata satu sama lain. Dan apabila mereka kembali kepada kaumnya, mereka kembali bergirang hati. Dan apabila mereka melihat orang-orang yang beriman, mereka berkata: Sesungguhnya inilah orang-orang yang sesat jalan ! tetapi, mereka tiada dikirim sebagai penjaga terhadap orang-orang yang beriman itu”. S Al Muthaffifin ayat 29-30-31-32-33.
Kemudian, diterangkan bahwa tertawanya orang-orang al-‘arifin kepada mereka pada hari esok, adalah lebih besar. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Sebab itu, pada hari ini, orang-orang yang beriman itu menertawakan orang-orang yang tiada beriman. Di atas sofa, mereka memandang”. S Al Muthaffifin ayat 34-35. Begitu pula umat nabi Nuh as. Mereka menertawakan nabi Nuh as ketika beliau sibuk membuat kapal. Nabi Nuh as berkata: “Kalau kamu mengejekkan kami, nanti kami akan mengejekkan kamu pula, sebagaimana kamu mengejekkan (kami)”. S Hud ayat 38. Inilah salah satu dari dua pandangan ! Pandangan kedua: ialah pandangan orang yang tidak sampai ke maqam fana pada dirinya. Mereka ini terbagi dua:
Bahagian pertama: mereka yang tidak mengaku, selain wujud dirinya. Mereka mengingkari bahwa mereka mempunyai Tuhan yang disembah. Mereka itu adalah; orang-orang buta yang terbalik kepala ke bawah. Butanya mereka itu pada kedua matanya. Karena mereka meniadakan apa yang ada sebenarnya. Yaitu: Tuhan Yang Maha Berdiri (al-qayyum), yang berdiri sendiri dan yang berdiri atas tiap-tiap diri, dengan apa yang diusahakan oleh diri itu. Dan setiap yang berdiri, adalah berdiri dengan kekuasaanNya. Mereka itu tidak membatasi kepada ini saja, sehingga mereka mengakui akan dirinya. Dan kalau mereka mengetahui, niscaya mereka tahu, bahwa mereka dari segi mereka, tiada mempunyai ketetapan baginya dan tiada mempunyai wujud. Dan wujud mereka itu sesungguh nya, adalah dari segi bahwa mereka itu diwujudkan (dijadikan). Tidak dari segi mereka itu berwujud sendiri. Dan diperbedakan antara yang ada dan yang diwujudkan. Dan tidak adalah pada wujud itu, selain yang ada Yang Maha Esa dan yang diwujudkan. Maka Yang Maujud/yang ada itu benar dan yang diwujudkan itu batil/salah, dari segi yang diwujudkan (dijadikan) itu sendiri. Dan Yang Maujud itu berdiri sendiri dan Mahaberdiri. Dan yang diwujudkan itu binasa dan fana (lenyap). Dan apabila adalah: “Setiap apa yang di bumi akan musnah”, maka tiada yang kekal, selain Wajah Tuhan engkau (tetap selamanya), yang agung dan mulia”.
Bagian (golongan) kedua: bahwa tidak ada pada mereka itu kebutaan. Akan tetapi pada mereka itu kebutaan sebelah mata. Karena mereka dapat melihat dengan salah satu dari dua matanya, wujud Yang Maujud/yang ada yang benar. Mereka tidak mengingkari Yang Maujud itu. Dan matanya yang lain, jikalau sempurna kebutaannya, niscaya ia tidak dapat melihat dengan mata itu, akan fananya yang bukan Maujud yang benar. Lalu ia mengaku adanya yang lain bersama Allah Ta’ala. Dan ini pada hakikat/maknanya adalah musyrik (mempersekutukan Tuhan), sebagaimana orang yang sebelumnya tadi itu mengingkari adanya Tuhan dengan sebenarnya. Kalau ia melampaui batas kebutaan kepada kelemahan penglihatan, niscaya ia dapat mengetahui akan berlebih kurangnya di antara dua yang maujud. Lalu ia mengaku hamba dan Tuhan. Maka dengan kadar ini, dari pengakuan berlebih kurangnya dan kekurangan dari maujud yang lain, ia telah masuk pada batas keesaan. Kemudian, jikalau penglihatannya dipakai celak, dengan yang menambahkan pada sinar penglihatannya, maka berkuranglah kelemahan penglihatannya itu. Dan dengan kadar yang melebihi pada penglihatannya, niscaya teranglah baginya kekurangan apa yang telah diakuinya, selain Allah Ta’ala. Jikalau masih ada dalam tingkah lakunya seperti yang demikian, maka senantiasalah ia dibawa oleh kekurangan kepada penghapusan. Lalu terhapuslah daripada melihat sesuatu, selain Allah Ta’ala. Maka ia tidak melihat lagi, selain Allah. Lalu adalah ia telah sampai pada kesempurnaan keesaan. Dan di mana ia telah mengetahui akan kekurangan pada wujud sesuatu, selain Allah Ta’ala, niscaya ia telah masuk pada permulaan keesaan. Di antara yang dua itu (antara kesempurnaan dan permulaan keesaan), adalah tingkat-tingkat yang tidak terhitung jumlahnya. Maka dengan ini, berlebih kuranglah derajat orang-orang berkeesaan (al-muwahhidin). Dan kitab-kitab Allah Ta’ala yang diturunkan atas lisan rasul-rasulNya itu, adalah celak yang akan menghasilkan sinar penglihatan dengan celak tersebut. Dan nabi-nabi adalah dokter-dokter mata (al-kahhalun). Mereka datang mengajak (berda’wah) kepada keesaan semata-mata. Dan terjemahannya, ialah: perkataan: LAA ILAAHA ILLALLAAh. Artinya: tiada dilihat, selain Yang Maha Esa yang Maha Benar.
Orang-orang yang sampai kepada kesempurnaan keesaan, adalah sedikit jumlahnya. Dan orang-orang yang ingkar dan musyrik itu juga sedikit. Dan mereka itu di atas tepi yang paling jauh, yang berhadapan dengan tepi keesaan. Karena penyembah-penyembah patung berhala itu mengatakan: “Kami tiada menyembah nya melainkan untuk membawa kami lebih dekat kepada Allah”. S Az Zumar ayat 3. Adalah mereka itu masuk ke dalam permulaan pintu-pintu keesaan, dengan masuk yang lemah. Dan golongan tengah (al-mutawassithuun) adalah yang terbanyak. Dan dalam kalangan mereka, ada orang yang terbuka matahatinya pada sebahagian keadaan. Lalu bersinarlah baginya hakikat-hakikat/makna keesaan. Akan tetapi, seperti kilat yang menyambar, tiada tetap. Dan dalam kalangan mereka ada orang yang bersinar baginya yang demikian tadi dan tetap beberapa waktu. Akan tetapi, tidak terus-menerus. Dan yang terus-menerus itu sukar didapati.
Bagi semua orang,
mempunyai gerakan kepada penghabisan tinggi.
akan tetapi,
sukarlah terdapat ketetapan pada orang-orang itu.
Tatkala Allah Ta’ala menyuruh NabiNya saw, mencari kedekatan kepada Allah, lalu dikatakan kepadanya: “Dan sujudlah dan dekatkan diri (kepada Allah)”. S Al ‘Alaq ayat 19. Maka beliau membaca dalam sujudnya: “Aku berlindung dengan kemaafanMu daripada siksaanMu. Aku berlindung dengan kerelaanMu daripada kemarahanMu. Dan aku berlindung denganMu daripadaMu. Tiada dapat aku hinggakan pujian kepadaMu, sebagaimana KAMU memujikan diriMu sendiri”.
Maka sabdanya Nabi saw: “aku berlindung dengan kemaafanMU daripada siksaanMu”, adalah perkataan dari kesaksian perbuatan Allah saja. Seakan-akan ia tidak melihat, selain Allah dan Perbuatan-perbuatan Allah. Maka ia meminta perlindungan dengan perbuatanNya daripada perbuatanNya. Kemudian, ia mendekatkan diri, lalu ia fana (lenyap) daripada kesaksian Af’al ( perbuatan-perbuatan) itu. Dan ia mendaki kepada sumber-sumber Af’al ( perbuatan-perbuatan) tersebut. Yaitu: sifat-sifat.
Maka ia membaca: “Aku berlindung dengan kerelaanMu daripada kemarahanMu”. Dan itu adalah dua sifat (rela dan marah). Kemudian, ia melihat yang demikian suatu kekurangan pada keesaan. Lalu ia mendekatkan diri dan mendaki dari “maqam musyahadah (penyaksian) sifat-sifat” ke “musyahadah Zat”. Lalu beliau membaca: “Dan aku berlindung denganMu daripadaMu”. Dan ini, adalah lari daripadaNya kepadaNya, dengan tidak melihat perbuatan sifatNya. Akan tetapi, ia melihat dirinya lari daripadaNya kepadaNya. Meminta perlindungan dan memujikanNya. Maka ia fana daripada kesaksian dirinya. Karena ia melihat yang demikian itu suatu kekurangan. Dan ia mendekatkan diri, lalu membaca: “Tiada dapat aku hinggakan pujian kepadaMu, sebagaimana Kamu memujikan diriMu sendiri”. Maka bacaannya Nabi saw: “Tiada dapat aku hinggakan” itu adalah pengkabaran dari kefanaan dirinya dan keluar daripada kesaksian diri itu. Dan bacaannya saw: “Sebagaimana Kamu memujikan diriMu sendiri” itu, adalah penjelasan, bahwa IA yang memuji dan yang dipujikan. Dan semuanya tidak dapat tidak daripadaNya. Dan kepadaNya akan kembali. Dan “bahwa tiap-tiap sesuatu itu binasa, selain WAJAHNYA”, maka adalah permulaan maqamnya itu penghabisan maqam orang-orang berkeesaan (al-muwahhidin). Yaitu: bahwa ia tidak melihat, selain Allah Ta’ala dan Perbuatan-perbuatan Allah. Lalu ia meminta perlindungan dengan perbuatan dari perbuatan.
Maka perhatikanlah kepada yang berkesudahan penghabisannya, apabila berkesudahan kepada YANG MAHA ESA, YANG MAHA BENAR. Sehingga terangkat dari pandangannya dan kesaksiannya, selain Zat Yang Maha Benar. Adalah Nabi saw tiada mendaki dari satu tingkat ke tingkat yang lain, melainkan ia melihat yang pertama berjauhan dibandingkan kepada yang kedua. Maka ia meminta ampun (ber-istighfar) kepada Allah Ta’ala dari tingkat pertama. Dan ia melihat yang demikian itu suatu kekurangan pada tingkah lakunya dan keteledoran pada kedudukannya. Dan kepada itulah diisyaratkan dengan sabdanya saw: “Sesungguhnya tertutup atas hatiku, sehingga aku meminta ampun (beristighfar) kepada Allah Ta’ala dalam sehari semalam 70 kali”. Maka seakan-akan yang demikian itu, karena mendakinya Nabi saw kepada 70 maqam. Sebahagiannya adalah di atas sebahagian. Yang pertamanya, walaupun melewati yang terjauh bagi tujuan makhluk, akan tetapi adalah suatu kekurangan dibandingkan kepada yang penghabisannya. Maka istighfarnya Nabi saw adalah karena yang demikian itu. Tatkala ‘Aisyah mengatakan: “Bukanlah Allah Ta’ala telah mengampunkan bagimu apa yang telah terdahulu dari dosamu dan yang terkemudian, maka apakah tangisan ini dalam sujud dan apakah kesungguhan yang sangat ini ?”. Lalu Nabi saw menjawab: “Apakah aku ini tidak seorang hamba yang bersyukur?”. artinya: “Apakah aku tidak mencari kelebihan maqam (tempat di sisi Tuhan) ?”. Syukur itu sesungguhnya sebab bertambah, dimana Allah Ta’ala berfirman: “Kalau kamu bersyukur, sudah tentu Aku akan menambahkan bagimu”. S Ibrahim ayat 7. Apabila kita terjun dalam lautan “ilmu diminta untuk mengetahuinya saja”, maka hendaklah kita menggenggam tali kekang. Dan hendaklah kita kembali kepada yang layak dengan “ilmu mu’amalah (perniagaan)”. Maka kami terangkan bahwa: nabi-nabi as itu diutus untuk mengajak (menda’wahkan) makhluk (orang banyak) kepada kesempurnaan keesaan yang telah kami terangkan itu. Akan tetapi, di antara mereka dan sampainya kepada kesempurnaan keesaan itu terdapat jarak yang jauh dan rintangan-rintangan yang berat. Dan agama itu seluruhnya sesungguhnya memperkenalkan jalan menempuh jarak itu dan memotong rintangan-rintangannya. Dan ketika yang demikian, adalah pandangan dari penyaksian yang lain dan maqam yang lain. Lalu lahirlah pada maqam itu, dengan penambahan kepada penyaksian tersebut: syukur, yang bersyukur dan yang disyukuri. Dan tidak akan diketahui yang demikian, selain dengan contoh. Maka kami terangkan: mungkin bagi anda untuk anda pahami, bahwa salah seorang raja mengirim kepada budaknya yang telah jauh daripadanya, sebuah kendaraan, pakaian dan uang untuk perbekalannya di jalan. Sehingga ia dapat menempuh jarak jauh itu dan ia menjadi dekat ke hadapan raja. Kemudian, bagi raja itu ada dua hal:
Pertama: bahwa maksudnya dari sampainya hamba itu ke hadapannya, ialah untuk dapat mengerjakan sebahagian kepentingannya. Dan bagi budak itu ada kesungguhan pada melayaninya.
Kedua: bahwa tak ada bagi raja itu keuntungan pada budak tadi dan tak ada keperluannya kepada budak tersebut. Bahkan, kedatangannya itu tidak menambahkan pada kerajaannya. Karena budak itu tidak kuat tegak melakukan pelayanan yang mengayakan pada raja dengan suatu kekayaan. Dan ketidak-hadirnya budak tersebut tidak akan mengurangkan dari kerajaan raja tadi. Maka adalah maksud dari kenikmatan kepada hamba itu dengan kendaraan dan perbekalan, ialah keberuntungan hamba tersebut dengan kedekatannya kepada raja. Dan memperoleh kebahagiaan di hadapan raja, untuk ia memperoleh manfaat pada dirinya. Tidak untuk diperoleh manfaat oleh raja dengan budak tersebut dan dengan kemanfaatannya.
Maka tempatnya hamba-hamba pada Allah Ta’ala adalah pada tempat kedua tadi. Tidak pada tempat pertama. Maka yang pertama itu adalah mustahil atas Allah Ta’ala. Dan yang kedua itu tidak mustahil. Kemudian, ketahuilah bahwa hamba itu tidaklah ia bersyukur pada keadaan yang pertama, dengan semata-mata kendaraan dan sampai di hadapan raja, selama ia belum bangun berdiri melayaninya, yang dikehendaki oleh raja itu daripadanya.
Adapun pada keadaan yang kedua, maka ia tidak berhajat sekali-kali kepada pelayanan. Dan serta yang demikian itu, akan tergambar bahwa hamba itu yang bersyukur dan yang kufur (tidak bersyukur). Dan kesyukurannya itu adalah dengan memakai yang diperbolehkan kepadanya oleh tuannya, pada yang disukainya, karenanya sendiri. Tidak karena dirinya hamba itu. Dan kekufurannya, ialah: bahwa ia tidak memakaikan yang demikian padanya, dengan dijadikannya menganggur saja. Atau dipakaikannya pada yang menjauhkan hamba itu daripada raja. Manakala hamba itu memakai kain dan mengendarai kuda dan ia tidak membelanjakan perbekalan, selain di jalanan, maka ia sesungguhnya tellah bersyukur kepada tuannya. Karena ia telah memakaikan nikmat tersebut pada yang disenanginya. Artinya: pada yang disenangi oleh raja itu bagi hambanya, tidak bagi dirinya. Kalau hamba itu mengendarai kuda tersebut dan ia membelakangi hadapan raja serta ia mengambil jalan yang menjauhkan dari raja, maka hamba tersebut telah mengkufuri nikmat raja itu. Artinya: dipakainya nikmat tadi pada yang tidak disukai tuannya bagi hambanya. Tidak bagi dirinya sendiri. Kalau hamba itu duduk dan tidak mengendarai kuda itu, tidak pada mencari kedekatan dan tidak pada mencari kejauhan dari raja, maka hamba tersebut telah mengkufuri juga akan nikmat raja itu. Karena disia-siakannya nikmat tersebut dan tidak dipergunakannya. Walaupun ini tidak sama, dengan jikalau ia berjauhan daripadanya. Maka seperti yang demikian pula, Allah Ta’ala telah menjaidkan makhluk. Dan makhluk itu pada permulaan fitrahnya (kejadiannya), memerlukan kepada memakai nafsu syahwat. Supaya dengan demikian, sempurnalah tubuh mereka. Lalu dengan nafsu syahwat itu, mereka jauh dari  keajaiban/hadlaratNya. Dan kebahagiaan mereka sesungguhnya, adalah pada kedekatan dengan DIA. Lalu Allah Ta’ala menyediakan bagi mereka dari nikmat-nikmat, yang disanggupi mereka memakaikannya, pada mencapai tingkat kedekatan. Dari kejauhan dan kedekatan mereka itu, diibaratkan oleh Allah Ta’ala, karena IA berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam rupa yang amat baik. Kemudian itu, Kami bawa kembali ke tempat yang paling rendah. Selain dari orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik, karena mereka akan memperoleh pahala yang tiada putus-putusnya”. S At Tin ayat 4-5-6.
Jadi, nikmat-nikmat Allah Ta’ala itu adalah alat-alat, yang dengan alat-alat tersebut hamba itu mendaki dari tempat yang paling rendah, yang dijadikan oleh Allah Ta’ala karena hambaNya. Sehingga dengan alat-alat tadi, hamba itu mencapai bahagia kedekatan. Dan Allah Ta’ala itu tidak memerlukan kepada hamba itu, dekat ia atau jauh. Dan hamba pada alat-alat itu, antara dipakainya pada ketaatan, lalu dia itu adalah telah bersyukur. Karena bersesuaian bagi kesukaan Tuhannya. Dan antara dipakainya pada kemaksiatan kepadaNya. Maka hamba itu telah berkufur, karena diperbuatnya apa yang tidak disenangi oleh Tuhannya dan tidak diridhaiNya. Allah Ta’ala sesungguhnya tidak ridha hambaNya berbuat kufur dan maksiat. Kalau alat-alat itu dibuatnya menganggur dan tidak dipakainya pada ketaatan dan kemaksiatan, maka juga hamba itu mengkufuri nikmat dengan menyia-nyiakannya. Dan setiap yang diciptakan dalam dunia ini, sesungguhnya diciptakan menjadi alat bagi hamba. Supaya ia sampai dengan yang diciptakan itu kepada kebahagiaan akhirat. Dan memperoleh kedekatan dengan Allah Ta’ala. Maka setiap orang yang taat, maka dengan kadar ketaatannya itu, ia bersyukur akan nikmat Allah Ta’ala, pada sebab-sebab yang dipakaikannya pada ketaatan. Dan setiap orang yang malas, yang meninggalkan pemakaian atau orang yang maksiat, yang memakaikannya pada jalan kejauhan daripada Allah, maka orang itu kufur. Ia berlaku pada yang tidak disenangi oleh Allah Ta’ala. Maksiat dan taat itu dilengkapi oleh kehendak. Akan tetapi, tidak dilengkapi oleh kesayangan dan kebencian. Bahkan banyak kehendak itu yang disukai dan banyak kehendak yang tidak disukai. Dan di balik penjelasan yang halus ini, ada rahasia taqdir yang terlarang menyiarkannya. Dan telah terpecahkan dengan ini, kesulitan pertama. Yaitu: apabila tidak ada keuntungan bagi yang disyukuri, maka bagaimanakah adanya kesyukuran itu ?
Dan dengan ini juga, terpecahkan kesulitan kedua. Maka sesungguhnya kita, tidak kita kehendaki dengan kesyukuran itu, selain mengarahkan nikmat Allah pada arah yang disukai Allah. Maka apabila nikmat itu diarahkan pada arah yang disukai, dengan perbuatan Allah, niscaya berhasil yang dikehendaki. Dan perbuatan engkau itu adalah pemberian daripada Allah Ta’ala. Dan dari segi engkau tempatnya, maka Ia telah memujikan engkau. Dan pujianNya itu adalah nikmat yang lain daripadaNya kepada engkau. Maka Dialah yang memberi dan Dialah yang memuji. Dan jadilah salah satu dari dua perbuatanNya itu sebab bagi terarahnya perbuatanNya yang kedua ke arah yang dikasihiNya. Maka bagiNya lah kesyukuran dalam segala hal keadaan. Dan engkau bersifat, bahwa engkau itu yang bersyukur, dengan pengertian: bahwa engkau tempatnya pengertian itu, yang kesyukuran diibaratkan daripadanya. Tidak dengan pengertian bahwa engkau yang mengwujudkannya. Sebagaimana engkau disifatkan, bahwa engkau yang ber ilmu mengenal Allah Ta’ala (‘arif) dan yang berilmu (‘alim). Tidak dengan pengertian, bahwa engkau yang menjadikan dan yang mewujudkan ilmu itu. Akan tetapi, dengan pengertian, bahwa engkau tempatnya ilmu tersebut. Dan sesungguhnya telah didapati ilmu itu dengan qudrah azaliyah (kekuasaan Tuhan yang kekal) pada engkau. Lalu disifatkan, bahwa engkau itu yang bersyukur, adalah mempositifkan (meng-itsbatkan) kehendakNya kepada engkau. Dan engkau itu adalah sesuatu. Karena engkau dijadikan oleh Pencipta segala sesuatu, sebagai sesuatu (syai-un). Dan engkau itu sesungguhnya tidaklah sesuatu (la syai’), apabila engkau itu menyangka bagi diri engkau, sesuatu dari zat engkau. Adapun dengan diibaratkan pandangan kepada yang menjadikan segala sesuatu itu sebagai sesuatu, maka engkau adalah sesuatu. Karena IA menjadikan engkau itu sesuatu. Maka kalau diputuskan pandangan dari kejadiannya sesuatu tadi, maka engkau pada hakikat/maknanya, tidaklah sesuatu (la syai’). Dan kepada inilah diisyaratkan oleh Nabi saw, dimana beliau bersabda: “Bekerjalah, maka masing-masing dimudahkan untuk yang dijadikan baginya !”, maka ditanyakan kepadanya: “Wahai Rasulullah ! pada apakah pekerjaan (amalan) itu, apabila segala sesuatu itu telah selesai sebelumnya ?”. Maka jelaslah, bahwa makhluk itu adalah tempat berlakunya qudrah ( kuasa ) Allah Ta’ala dan tempat Perbuatan-perbuatan Allah, walaupun mereka itu juga termasuk Perbuatan-perbuatan Allah. Akan tetapi, sebahagian Perbuatan-perbuatan Allah adalah menjadi tempat bagi sebahagian yang lain. Dan sabdanya saw: “Bekerjalah !”, walaupun keluar pada lisan Rasulullah saw, maka itu adalah salah satu dari Perbuatan-perbuatan Allah. Dan itulah sebab bagi diketahui oleh makhluk, bahwa amalan itu bermanfaat. Dan pengetahuan mereka itu adalah salah satu dari Af’al ( perbuatan-perbuatan) Allah Ta’ala. Dan ilmu itu sebab bagi tergeraknya pengajak yang yakin kepada gerakan dan taat. Dan tergeraknya pengajak juga termasuk Af’al ( perbuatan-perbuatan) Allah Ta’ala. Dan itu menjadi sebab bagi geraknya anggota badan. Dan gerakan itu juga termasuk Af’al ( perbuatan-perbuatan) Allah Ta’ala. Akan tetapi sebahagian Perbuatan-perbuatan Allah itu menjadi sebab bagi sebahagian yang lain. Artinya: yang pertama menjadi syarat bagi yang kedua. Sebagaimana kejadian tubuh adalah menjadi sebab bagi kejadian sifat pada tubuh (‘aradl) itu. Karena ‘aradl (sifat) itu tidak dijadikan sebelum tubuh. Dan kejadian hidup menjadi syarat bagi kejadian ilmu (pengetahuan). Dan kejadian ilmu itu menjadi syarat bagi kejadian Kemauan (kehendak). Semuanya itu dari Af’al ( perbuatan-perbuatan) Allah Ta’ala. Dan sebahagiannya menjadi sebab bagi sebahagian yang lain. Artinya: dia itu syarat. Dan arti adanya dia itu syarat, ialah: bahwa tidak disiapkan untuk menerima perbuatan hidup, selain suatu zat (jauhar (benda/barang)). Dan tidak disiapkan untuk menerima ilmu, selain yang mempunyai hidup. Dan tidak untuk menerima Kemauan, selain yang mempunyai ilmu. Maka adalah sebahagian Perbuatan-perbuatan Allah itu menjadi sebab bagi sebahagian yang lain dengan pengertian ini. Tidak dengan pengertian, bahwa sebahagian Perbuatan-perbuatan Allah itu mengwujudkan bagi sebahagian yang lain. Akan tetapi menyiapkan syarat berhasil bagi yang lain. Ini apabila diyakini benar-benar, niscaya ia mendaki kepada derajat keesaan yang telah kami sebutkan dahulu.
Kalau anda bertanya: “Maka mengapakah Allah Ta’ala berfirman: “Bekerjalah ! kalau tidak, maka kamu disiksa, yang tercela atas perbuatan maksiat. Padahal, tidak ada pada kita sesuatu. Maka mengapakah kita dicela ? Dan semua itu sesungguhnya adalah kepada Allah Ta’ala ?”. Ketahuilah kiranya, bahwa perkataan ini daripada Allah Ta’ala adalah sebab untuk berhasilnya aqidah (kepercayaan) pada kita, dan aqidah itu sebab bergelagaknya takut. Dan bergelagaknya takut itu, adalah sebab untuk meninggalkan nafsu syahwat dan merenggangkan diri dari negeri tipuan. Dan yang demikian itu, adalah sebab untuk sampai ke sisi Allah. Dan Allah Ta’ala itu yang menyebabkan sebab-sebab dan yang mengaturnya. Maka siapa yang telah mendahului baginya pada azali ( tida kesudahan / permulaan ) oleh kebahagiaan, niscaya mudahlah baginya sebab-sebab tersebut. Sehingga memimpinnya dengan rangkaian sebab-sebab tadi ke sorga.
Dan diibaratkan dari contohnya, ialah: bahwa masing-masing dimudahkan untuk yang telah dijadikan baginya. Dan siapa yang tidak mendahului baginya dari Allah Ta’ala oleh kebaikan, niscaya ia jauh daripada mendengar kalam (kata-kata) Allah Ta’ala, kalam (kata-kata) Rasulullah saw dan kalam (kata-kata) para ulama. Maka apabila ia tidak mendengar, niscaya ia tidak mengetahui. Dan apabila ia tidak mengetahui, niscaya ia tidak takut. Dan apabila ia tidak takut, niscaya ia tidak meninggalkan kecenderungan kepada dunia. Dan apabila ia tidak meninggalkan kecenderungan kepada dunia, niscaya ia kekal dalam barisan setan. Dan neraka jahannam sesungguhnya menjadi tempat kembali mereka semua.
Apabila engkau telah mengetahui ini, niscaya engkau merasa heran dari suatu kaum (golongan) yang dipimpin ke sorga dengan rantai-rantai. Maka tiada seorangpun, melainkan dia itu dipimpin ke sorga dengan rantai-rantai sebab. Yaitu: penguasaan ilmu dan takut kepadaNya. Dan tiadalah dari orang yang ditinggalkan, melainkan dia itu dihalau ke neraka dengan rantai-rantai. Yaitu: penguasaan kelalaian, perasaan diri aman dan terperdaya kepada dirinya. Maka orang-orang yang bertaqwa itu dihalau ke sorga dengan paksaan (waktu didunia mereka harus sholat dll. Ini sungguh berat karena itu kadang2 timbul malas sholat, makanya Allah mengatakan bahwa ia dipaksa ke surga. Pent). Dan orang-orang yang berbuat dosa itu dihalau ke neraka dengan paksaan. Dan tiada memaksa, selain Allah Yang Maha Esa, lagi Yang Maha Perkasa. Tiada yang berkuasa, selain Raja di raja, Yang Mahagagah. Apabila telah tersingkap tutup dari mata orang-orang yang lalai, niscaya mereka menyaksikan keadaan seperti yang demikian. Mereka akan mendengar ketika seruan orang yang menyerukan: “Bagi siapakah kerajaan pada hari ini ? adalah bagi Allah Yang Maha Esa, lagi Maha Perkasa”. Sesungguhnya kerajaan itu adalah kepunyaan Allah Yang Maha Esa, lagi Yang Maha Perkasa, pada setiap hari. Tidak hari itu saja khususnya. Akan tetapi, orang-orang yang lalai, tiada mendengar seruan ini, kecuali hari itu saja. Maka itu adalah berita dari yang selalu membaru bagi orang-orang yang lalai, dari terbukanya hal keadaan, di mana tidak bermanfaat bagi mereka keterbukaan itu. Kita berlindung dengan Allah Yang Maha Penyantun, Maha Pemurah, daripada kebodohan dan kebutaan. Sesungguhnya Dia asal sebab-sebab kebinasaan.
PENJELASAN: pembedaan yang dikasihi oleh Allah Ta’ala, dari apa yang tidak dikasihiNya.
Ketauhilah, bahwa berbuat syukur dan meninggalkan kufur itu, tiada akan sempurna, selain dengan mengetahui yang dikasihi oleh Allah Ta’ala, daripada yang tidak dikasihiNya. Karena pengertian syukur, ialah: memakai nikmat-nikmat Allah Ta’ala pada tempat-tempat yang dikasihiNya. Dan pengertian kufur, ialah: lawan yang demikian. Adakalanya dengan: meninggalkan pemakaian nikmat atau dengan memakaikannya pada tempat-tempat yang tidak disukaiNya. Untuk membedakan yang dikasihi oleh Allah Ta’ala daripada yang tidak dikasihiNya itu, mempunyai dua alat untuk mengetahuinya:
Pertama: pendengaran. Dan sandarannya, ialah: ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits.
Kedua: penglihatan hati (matahati). Yaitu: memandang dengan mata ibarat. Dan yang akhir ini (yang kedua ini) adalah sukar. Dan karena yang demikian, maka dia itu mulia. Karena itulah Allah Ta’ala mengutuskan rasul-rasul. Dan memudahkan jalan bagi mereka kepada makhluk. Mengetahui yang demikian itu, terbina kepada mengetahui semua hukum agama, mengenai perbuatan-perbuatan hamba. Maka siapa yang tidak memperhatikan hukum syara’ (agama) pada semua perbuatannya, niscaya tidak mungkin sekali-kali ia berdiri menunaikan hak kesyukuran itu.
Adapun yang kedua, yaitu: memandang dengan mata ibarat. Yaitu: mengetahui hikmah Allah Ta’ala pada tiap-tiap yang maujud (yang ada) yang diciptakanNya. Karena, tiada suatupun yang diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam alam ini, melainkan ada padanya hikmah. Dan di bawah hikmah itu ada maksud. Dan maksud itu ialah: yang dicintai. Dan hikmah itu terbagi kepada: yang terang dan yang tersembunyi. Adapun yang terang, ialah: mengetahui bahwa hikmah pada kejadian matahari itu, untuk menghasilkan (memperoleh) perbedaan antara siang dan malam. Maka siang itu tempat mencari kehidupan dan malam itu untuk menjadi pakaian (menutup diri untuk istirahat). Lalu mudahlah bergerak ketika dapat melihat dan tenanglah ketika tertutup dari penglihatan. Maka ini adalah termasuk sebahagian dari jumlah hikmah matahari. Tidak semua hikmah padanya. Bahkan pada matahari itu banyak hikamah-hikmah yang lain, yang halus-halus. Begitu pula, mengetahui hikmah pada mendung dan turun hujan. Dan yang demikian itu, adalah untuk terpecahnya bumi bagi bermacam-macam tumbuh-tumbuhan, untuk makanan makhluk dan tempat gembalaan hewan-hewan. Dan telah terkandung dalam Alquran kepada sejumlah hikmah-hikmah yang terang, yang dibawa oleh pemahaman-pemahaman makhluk. Tidak yang halus yang singkat pemahaman mereka padanya. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Bagaimana Kami mencurahkan air melimpah ruah. Sesudah itu, bumi Kami belah. Dan kami tumbuhkan di situ tanaman yang berbuah. Dan buah anggur dan sayuran”. S Abasa’ ayat 25-26-27 dan 28.
 Adapun hikmah pada bintang-bintang lainnya, baik bintang yang berjalan dan yang tetap, maka itu adalah tersembunyi. Tidak dapat dilihat oleh umumnya makhluk. Dan kadar yang dapat dipikul oleh pemahaman makhluk, ialah: bahwa bintang-bintang itu adalah hiasan bagi langit, untuk keenakan mata memandang kepadanya. Dan diisyaratkan kepada yang demikian, oleh firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan hiasan bintang-bintang”. S 37 Ash Shaffaat ayat 6. Maka semua bahagian alam, langitnya, bintang-bintang, anginnya, lautnya, gunung-gunungnya, barang tambangnya, tumbuh-tumbuhannya, hewan-hewannya dan anggota-anggota tubuh hewan-hewannya itu, tiada terlepas suatu atompun dari atom-atomnya, dari banyak hikmah. Dari satu hikmah kepada sepuluh, kepada seribu, kepada sepuluh ribu hikmah. Begitu pula, anggota tubuh hewan itu terbagi kepada: yang diketahui hikmahnya, seperti mengetahui, bahwa mata itu untuk melihat, tidak untuk menggenggam. Tangan itu untuk menggenggam, tidak untuk berjalan. Dan kaki itu untuk berjalan, tidak untuk mencium. Adapun anggota-anggota batin (yang tidak terllihat) dari tubuh, seperti: perut besar, empedu, jantung, ginjal dan masing-masing dari urat, urat saraf dan sendi-sendi dan yang di dalamnya, dari rongga-rongga, lipatan, jerjakan, kemerengan, tipis, tebal dan sifat-sifat lainnya, maka hikmah padanya tidak diketahui oleh manusia lain. Dan mereka yang mengetahuinya itu, tidaklah mereka mengetahuinya, selain kadar yang sedikit, dibandingkan kepada apa yang pada ilmu Allah Ta’ala: “Dan  tidak diberikan kepada kamu dari ilmu pengetahuan, selain sedikit saja”. S 17 Al Isra ayat 85. Jadi, setiap orang yang memakai sesuatu pada segi, yang bukan segi, yang sesuatu tersebut dijadikan untuk segi itu dan tidak atas cara yang dikehendaki, maka dia telah mengkufuri padanya akan nikmat Allah Ta’ala. Siapa yang memukul orang lain dengan tangannya, maka dia sesungguhnya telah mengkufuri nikmat tangan. Karena dijadikan tangan baginya, untuk ia menolak dari dirinya, yang akan membinasakannya. Dan mengambil yang bermanfaat baginya. Tidak untuk membinasakan orang lain dengan tangan itu. Siapa yang memandang kepada muka yang bukan mahramnya, maka dia telah mengkufuri nikmat mata dan nikmat matahari. Karena memandang itu sempurna dengan kedua nikmat tersebut. Dan sesungguhnya kedua nikmat itu dijadikan, untuk melihat yang bermanfaat baginya pada agamanya dan dunianya. dan ia menjaga dengan kedua nikmat tadi, dari yang mendatangkan melarat baginya pada keduanya. Maka ia telah memakai dua nikmat itu, pada yang tidak dikehendaki baginya. Pahamilah ini ! karena yang dimaksud dari kejadian makhluk, kejadian dunia dan sebab-sebabnya, ialah: supaya makhluk itu dapat meminta pertolongan dengan dua nikmat di atas, untuk sampai kepada Allah Ta’ala. Dan tidak akan sampai kepadaNya, selain dengan mencintaiNya dan berjinak hati kepadaNya di dunia. Dan merenggangkan diri dari tipuan dunia. Dan tidak ada kejinakan hati, selain dengan berkekalan dzikir. Dan tidak ada kecintaan, selain dengan  ilmu mengenal Allah Ta’ala yang berhasil (yang diperoleh) dengan kekekalan fikir (tafakkur). Dan tidak mungkin kekekalan dzikir dan fikir, selain dengan kekekalan badan. Dan badan itu tidak akan kekal (tidak binasa), selain dengan makanan. Dan makanan itu tidak akan sempurna, selain dengan bumi, air dan udara. Dan yang demikian itu tiada akan sempurna, selain dengan dijadikan langit dan bumi dan kejadian anggota-anggota yang lain, zahir dan batin. Semua itu adalah karena badan. Dan badan itu alat bagi jiwa. Dan yang kembali kepada Allah Ta’ala, ialah: jiwa yang tenang dengan lamanya ibadah dan ilmu mengenal Allah Ta’ala. Maka karena itulah Allah Ta’ala berfirman: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia, selain untuk beribadah (memperhamba kan dirinya) kepadaKu. Dan Aku tidak menghendaki dari mereka itu rezeki. Dan Aku tiada hendak meminta supaya mereka memberi makanan kepadaKu”. S Adz Dzariyaat ayat 56-57. Maka tiap-tiap orang yang memakai sesuatu pada bukan ketaatan kepada Allah, sesungguhnya ia telah mengkufuri nikmat Allah pada semua sebab yang tidak boleh tidak daripadanya. Karena tampilnya kepada kemaksiatan tersebut. Marilah kami sebutkan suatu misal bagi hikmah-hikmah yang tersembunyi, yang tidak begitu sangat tersembunyi. Sehingga anda dapat mengambil ibarat daripadanya. Dan dapat anda ketahui jalan kesyukuran dan kekufuran atas nikmat-nikmat. Maka kami berkata: Bahwa sebagian daripada nikmat-nikmat Allah Ta’ala, ialah: menjadikan dirham dan dinar. Dengan dua barang ini tegaklah dunia. Dan keduanya itu adalah batu, yang tak bermanfaat pada diri keduanya. Akan tetapi, makhluk (manusia) memerlukan kepada keduanya, dari segi, bahwa setiap manusia memerlukan kepada banyak barang, mengenai makanannya, pakaiannya dan keperluan-keperluan lainnya. Kadang-kadang ia lemah daripada yang diperlukannya itu. Dan ia memiliki apa yang tidak diperlukannya. Seperti orang yang memiliki za’faran (batang kumkuma/seperti bawang) umpamanya dan ia memerlukan kepada unta yang akan dikendarainya. Dan orang yang memiliki unta, kadang-kadang ia tidak memerlukan kepada unta itu. Dan ia memerlukan kepada za’faran. Maka tak boleh tidak, di antara dua orang tadi, mengadakan pertukaran. Dan tidak boleh tidak pada kadar tukaran itu daripada taksiran. Karena tidak akan diberikan oleh yang empunya unta itu akan untanya dengan tiap-tiap kadar dari za’faran. Dan tiada kesesuian di antara za’faran dan unta. Sehingga dikatakan: akan diberikan daripadanya yang sepertinya pada timbangan atau bentuk. Demikian juga, orang yang membeli rumah dengan kain atau budak dengan muza (kasut kaki) atau tepung dengan keledai. Semua barang-barang tersebut, tak ada kesesuaian padanya. Maka tidak diketahui, bahwa unta berapa yang menyamai dengan za’faran. Maka sulitlah benar-benar mengadakan mu’amalah (jual-beli). Lalu benda-benda yang tidak serupa, yang berjauhan itu, memerlukan kepada penengah diantaranya, yang menetapkan padanya dengan ketetapan yang adil. Lalu diketahui daripada masing-masingnya, akan tingkat dan kedudukannya. Sehingga apabila telah tetap kedudukan dan telah teratur tingkat, niscaya diketahuilah sesudah itu, akan yang menyamai dengan yang tidak menyamai. Maka Allah Ta’ala menjadikan dinar dan dirham, sebagai dua hakim dan dua penengah, di antara harta-harta lainnya. Sehingga dikadarkan (ditentukan) harta-harta itu dengan dinar dan dirham tersebut. Lalu dikatakan: bahwa unta itu menyamai dengan 100 dinar. Dan kadar itu dari za’faran, yang menyamai 100. Maka keduanya dari segi menyamai dengan suatu barang, jadi keduanya itu menjadi sama. Dan sesungguhnya dimungkinkan mengadilkan dengan dua mata uang tersebut.
Karena tak ada maksud pada diri dua mata uang itu. Dan kalau pada diri keduanya ada maksud, kadang-kadang khusus maksud tersebut dikehendaki pada pihak yang empunya maksud tadi karena sesuatu penguatan. Dan tidak dikehendaki yang demikian pada pihak orang yang tiada mempunyai maksud. Maka tiada teraturlah urusan. Jadi, Allah Ta’ala menjadikan dinar dan dirham untuk beredar dari tangan ke tangan. Dan dinar dan dirham itu adalah hakim di antara harta-harta dengan adil. Dan untuk hikmah yang lain, ialah: keduanya itu menjadi jalan (wasilah) kepada barang-barang lainnya. Karena keduanya barang mulia pada dirinya dan tak ada maksud pada diri keduanya. Dan sangkutannya kepada harta-harta yang lain adalah satu sangkutan. Siapa yang mempunyai keduanya, maka seakan-akan ia memiliki setiap sesuatu. Tidak seperti orang yang memiliki kain, maka dia tidak memiliki, selain kain itu saja. Kalau ia berhajat kepada makanan, kadang-kadang yang empunya makanan tidak mau kepada kain. Karena maksudnya pada bintang kendaraan umpamanya. Maka diperlukan kepada sesuatu, yang pada bentuknya seakan-akan dia tidaklah sesuatu. Dan dia pada pengertian sesuatu itu, seakan-akan dia semua sesuatu. Dan sesuatu itu sesungguhnya bersamaan sangkutannya kepada yang bermacam-macam, apabila ia tidak mempunyai bentuk khusus yang dapat diambil faedahnya dengan kekhususannya. Seperti: cermin yang tiada mempunyai warna dan dapat membentuk semua warna. Maka begitu pulalah uang (dinar dan dirham) itu, tidak ada maksud padanya. Dan dia adalah jalan (wasilah) kepada setiap maksud. Dan seperti huruf, tidak mempunyai arti pada dirinya. Dan lahirlah arti-arti dengan huruf itu pada lainnya. Maka itulah hikmah yang kedua ! pada kedua hikmah itu juga banyak hikmah-hikmah yang panjang penyebutannya. Maka tiap-tiap orang yang berbuat padanya, suatu perbuatan yang tidak layak dengan hikmah-hikmahnya, akan tetapi menyalahi dengan maksud hikmah-hikmah itu, maka sesungguhnya telah mengkufuri nikmat Allah Ta’ala padanya. Jadi, siapa yang menyimpan dinar dan dirham dalam gudang, maka ia telah berbuat aniaya pada keduanya. Dan merusakkan hikmah pada keduanya. Dan adalah dia seeprti orang yang memenjarakan hakim kaum muslimin dalam suatu penjara, yang terhalanglah hukum dengan sebab yang demikian. Karena apabila ia menyimpan dalam gudang, maka ia telah menyia-nyiakan hukum. Dan tidak akan berhasil maksud yang dimaksudkan.
Dan dirham dan dinar itu tidak diciptakan, untuk si Zaid khususnya dan tidak untuk si Umar khususnya. Karena tak ada maksud bagi masing-masing orang pada diri dirham dan dinar itu. Keduanya adalah batu. Dan keduanya sesungguhnya diciptakan, adalah supaya beredar dari tangan ke tangan. Maka adalah keduanya itu hakim di antara manusia. Dan tanda pengenalan untuk kadar, yang membetulkan bagi tingkat-tingkat. Allah Ta’ala mengabarkan kepada mereka yang lemah daripada membaca baris-baris ketuhanan yang tertulis atas lembaran-lembaran yang ada ini, dengan tulisan ketuhanan. Tak ada huruf padanya dan tak ada suara, yang tidak diketahui dengan mata penglihatan. Akan tetapi dengan matahati. Allah Ta’ala mengabarkan akan mereka yang lemah itu, dengan perkataan, yang didengar mereka dari RasulNya saw. Sehingga sampailah kepada mereka, dengan perantaraan huruf dan suara, akan arti yang lemah mereka daripada mengetahuinya. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak dinafkahkannya pada jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih”. S At Taghabun ayat 34.
Dan setiap orang yang membuat dari dirham dan dinar akan bejana (tempat air) dari emas atau perak, maka ia telah mengkufuri nikmat, dan dia adalah lebih jahat keadaannya daripada orang yang menyimpannya. Karena perbuatan yang seperti ini, adalah seperti orang yang menyuruh hakim negeri dengan paksaan untuk menjahit, menyapu dan perbuatan-perbuatan lain yang dikerjakan oleh orang-orang rendah. Dan memenjarakannya adalah lebih mudah daripada yang demikian. Yang demikian itu, ialah: bahwa tembikar, timah dan tembaga dapat menggantikan tempat emas dan perak, pada menjaga barang-barang cair, daripada bercerai berai. Dan bejana-bejana itu sesungguhnya adalah untuk menjaga barang-barang cair. Dan tidak memadai tembikar dan besi pada maksud yang dikehendaki pada emas dan perak. Maka orang yang tidak tersingkap ini baginya, niscaya tersingkaplah baginya dengan terjamah/tersentuh ketuhanan. Dan dikatakan kepadanya: “Bahwa orang yang meminum pada bejana emas atau perak, adalah seolah-olah ia menuangkan dalam perutnya, neraka jahannam”.
Setiap orang yang mengadakan mu’amalah (jual beli) secara riba atas dirham dan dinar, maka dia telah mengkufuri nikmat dan telah berbuat zalim. Karena dirham dan dinar itu diciptakan untuk yang lain dari dirham dan dinar. Tidak untuk diri dirham dan dinar itu sendiri. Karena tak ada maksud pada bendanya dirham dan dinar itu. Maka apabila dilakukan perniagaan pada bendanya dirham (perak) dan dinar (emas), sesungguhnya telah dibuat keduanya menjadi maksud, yang menyalahi dari letaknya hikmah. Karena mencari emas dan perak (an-naqd) untuk bukan yang diletakkan baginya, adalah suatu kezaliman. Orang yang ada padanya kain dan tak ada an-naqd (emas dan perak), maka ia tidak sanggup membeli makanan dan hewan dengan kain itu. Karena kadang-kadang, tidak akan dijual makanan dan hewan dengan kain. Dan dia diperbolehkan menjual makanan itu dengan uang lain, supaya berhasil uang. Maka dengan demikian, ia sampai kepada maksudnya. Maka sesungguhnya dirham dan dinar itu adalah wasilah (jalan) kepada yang lain. Dan tak ada maksud pada bendanya dirham dan dinar itu. Kedudukannya dalam harta, adalah seperti kedudukan huruf dalam perkataan. Sebagaimana kata orang-orang ahli ilmu nahwu (an-nahwiyyun), bahwa huruf ialah yang datang untuk memberi arti (maksud) bagi yang lain. Dan seperti cermin bagi warna-warna. Orang yang ada padanya uang, jikalau boleh ia menjualkannya dengan harganya uang pula, maka ia telah membuat bermu’amalah (jual beli) dengan uang itu, tujuan perbuatannya. Lalu tetaplah uang itu terikat padanya. Dan ia ditempatkan pada kedudukan barang yang disimpan. Dan mengikatkan hakim dan pos yang bertugas menyampaikan kepada yang lain, adalah suatu kezaliman. Sebagaimana memenjarakan nya adalah suatu kezaliman.
Maka tiada arti bagi menjual uang dengan uang, selain membuat uang itu menjadi maksud untuk disimpan. Dan itu adalah suatu kezaliman. Kalau anda bertanya: mengapa boleh menjual salah satu dari emas dan perak dengan lainnya ? dan mengapa boleh menjual dirham dengan yang seperti dirham itu ? ketahuilah kiranya, bahwa salah satu dari emas dan perak itu berbeda dengan lainnya, tentang maksud kesampaian kepada tujuan. Karena kadang-kadang mudahlah kesampaian dengan salah satu daripada keduanya, dari segi banyaknya, seperti uang-uang dirham yang berpisah-pisah pada keperluan sedikit-sedikit. Maka melarang pada yang demikian itu, adalah mengacaukan maksud yang khusus daripadanya. Yaitu: memudahkan kesampaian dengan dia kepada yang lain. Adapun menjual uang dirham dengan uang dirham yang menyamainya, maka itu diperbolehkan, dari segi bahwa yang demikian itu adalah tidak digemari oleh orang yang berpikiran sehat, manakala keduanya itu bersamaan. Dan tidak dikerjakan yang demikian oleh kaum saudagar. Maka sesungguhnya itu adalah main-main yang berlaku, sebagai meletakkan uang dirham itu atas tanah dan mengambilkannya uang dirham itu lagi. Dan kita tidak kuatir kepada orang-orang yang berpikiran sehat, bahwa mereka menggunakan waktunya untuk meletakkan uang dirham atas tanah dan mengambilkannya uang dirham itu sendiri. Maka kita tidak melarang apa yang tidak menarik hati manusia kepadanya. Kecuali salah satu daripada keduanya itu adalah lebih baik dari yang lain. Dan yang demikian juga tidak akan tergambar berlakunya. Karena orang yang mempunyai yang baik, tidak akan rela dengan seperti itu daripada barang yang buruk. Maka tidak akan teratur aqad (perikatan jual beli). Kalau dimintanya tambah pada yang buruk, maka yang demikian itu termasuk kadang-kadang yang dimaksudkannya. Maka sudah pasti, kita akan melarangkannya. Dan kita hukum (tetapkan), bahwa yang baik dan yang buruk itu sama. Karena yang baik dan yang buruk itu seyogyalah melihat padanya, pada yang dimaksudkan pada diri bendanya. Dan apa yang tak ada maksud pada diri bendanya itu, maka tiada seyogyalah melihat kepada tambahan-tambahan yang halus-halus pada sifatnya. Dan sesungguhnya orang yang zalim, ialah orang yang membuat uang emas dan perak, yang berbeda tentang kebaikan dan keburukannya. Sehingga uang itu menjadi yang dimaksud pada diri bendanya. Dan yang sebenarnya tidaklah itu dimaksudkan.
Adapun apabila dijual dengan dirham yang sama, dengan jalan bayar kemudian, maka sesungguhnya tidak dibolehkan yang demikian. Karena tidak berbuat perbuatan ini, selain orang yang bersifat lapang dada, yang bermaksud kepada perbuatan baik (al-ihsaan). Dan pada mengutangkan dan itu adalah kemuliaan, yang lapang daripadanya. Supaya kekallah bentuk berlapang dada (almusamahah). Maka adalah baginya pujian dan pahala. Dan al-mu’awadlah (tukar-menukar barang) itu tak ada pujian dan pahala padanya. Maka itu juga zalim. Karena itu melenyapkan kekhususan kekallah bentuk berlapang dada dan mengeluarkannya pada pertunjukkan tukar-menukar barang. Demikian pula makanan-makanan itu, dijadikan untuk dimakan atau dijadikan obat. Maka tiada seyogyalah diseleweng kan dari arahnya. Maka membuka pintu mu’amalah (jual beli) pada makanan-makanan itu, mengharuskan terikatnya dalam tangan-tangan. Dan dikemudiankan memakan yang menjadi maksud dari makanan-makanan tersebut. Allah Ta’ala tidak menciptakan makanan, selain untuk dimakan. Dan sangatlah berhajat kepada makanan-makanan itu. Maka seyogyalah dikeluarkan makanan-makanan itu dari tangan orang yang tidak memerlukan, kepada orang yang memerlukan. Dan tidak bermu’amalah (jual beli) pada makanan-makanan, selain orang yang tidak memerlukan kepadanya. Karena, orang yang ada padanya makanan, maka mengapa ia tidak memakannya, jikalau ia memerlukannya ? dan mengapa dijadikannya barang perniagaan ? dan kalau dijadikannya barang perniagaan, maka hendaklah dijualnya kepada orang yang mencarinya dengan ‘iwadl (harga), yang bukan makanan yang diperlukannya. Adapun orang yang mencarinya dengan diri makanan itu (bukan untuk dimakan), maka dia juga tidak memerlukannya. Dan karena inilah tersebut dalam agama akan kutukan atas orang yang mengumpulkan makanan dan akan menjual waktu mahal (al-muhtakir). Dan tersebut dalam agama peringatan-peringatan yang keras, yang telah kami terangkan dahulu pada Kitab Adab Berusaha. Benar, penjual gandum dengan tamar (kurma) itu diperbolehkan. Karena salah satu dari gandum dan tamar itu tidak menempati tempat lainnya pada maksud. Dan penjual segantang gandum dengan harganya segantang dari gandum juga, maka itu tidak diperbolehkan. Akan tetapi penjual tersebut itu main-main. Maka tidak memerlukan kepada larangan. Karena diri manusia tidak membolehkannya, selain ketika ada berlebih kurang tentang baiknya. Dan timbangan barang yang baik dengan yang sama jumlahnnya dari barang yang buruk, tidak akan disetujui oleh yang empunya barang yang baik. Adapun yang baik dengan dua yang buruk, maka kadang-kadang ada orang yang menghendakinya. Akan tetapi, tatkala makanan-makanan itu adalah termasuk sebahagian barang-barang yang penting dan yang baik itu menyamai dengan yang buruk tentang pokok faedahnya dan berbeda tentang segi menikmatinya, maka syara’ (agama) tidak mementingkan maksud menikmatinya, pada barang yang menikmatinya itu adalah tiang tegaknya.
 Maka inilah hikmah syara’ (agama) mengharamkan riba. Dan telah tersingkap ini bagi kita, sesudah berpaling dari ilmu fiqh. Maka hendaklah kita menghubungkan ini dengan ilmu yang mengenai fiqh. Sesungguhnya itu adalah yang terkuat dari semua yang telah kami kemukakan pada masalah-masalah yang diperselisihkan (al-khilafiiyah). Dan dengan ini jelaslah kuatnya mazhab Asy Syafi’i ra pada mengkhususkan makanan-makanan, tidak barang-barang yang disukai. Karena jikalau masuklah kapur putih padanya, niscaya kain dan hewan adalah lebih utama dimasukkan. Dan jikalau tidak adalah garam, sesungguhnya mazhab Maliki ra adalah yang terkuat dari mazhab-mazhab lainnya tentang itu. Karena dikhususkannya dengan makanan-makanan penting (al-qaut). Akan tetapi, setiap arti yang dipelihara oleh syara’ (agama), maka tak boleh tidak ditentukan dengan batas. Dan pembatasan ini, adalah mungkin pada makanan-makanan penting. Dan adalah mungkin pada barang yang menjadi makanan. Maka syara’ (agama) memandang pembatasan dengan jenis yang menjadi makanan itu adalah lebih patut bagi setiap barang yang penting bagi tetap hidupnya manusia.
Dan pembatasan-pembatasan syara’ (agama) itu kadang-kadang meliputi segi-segi, yang tidak kuat padanya pokok arti yang mendorong kepada hukum. Akan tetapi pembatasan itu terjadi seperti yang demikian, disebabkan darurat. Dan kalau tidak dibatasi, nisaya manusia itu akan heran pada mengikuti hakikat/makna arti serta berbedanya dengan keadaan dan orang. maka arti itu sendiri dengan sempurna kekuatannya, akan berbeda dengan berbedanya keadaan dan orang. Maka adalah batas itu penting. Karena demikianlah, maka Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapa yang melampaui batas-batas yang ditentukan oleh Allah, sesungguhnya dia menganiaya dirinya sendiri”. S 65 Ath Thalaaq ayat 1. Dan karena pokok-pokok arti ini tidak berbeda di antara agama-agama. Hanya berbeda pada segi pembatasan, sebagaimana agama Isa bin Maryam as membatasi pengharaman khamar dengan mabuk. Dan agama kita membatasinya, dengan adanya termasuk jenis yang memabukkan. Karena sedikitnya akan membawa kepada banyaknya. Dan yang masuk pada batasan-batasan itu masuk pada pengharaman, dengan “hukum jenis”.
Sebagaimana masuknya pokok arti dengan jumlah kepokokan. Maka ini adalah suatu contoh bagi hikmah yang tersembunyi dari hikmah-hikmah emas dan perak itu ! maka seyogyalah diambil ibarat dengan contoh ini akan kesyukuran nikmat dan kekufurannya. Maka setiap yang diciptakan bagi suatu hikmah, tiada seyogyalah diselewengkan daripadanya. Dan ini tiada akan diketahui, selain orang yang mengetahui hikmah itu. “Dan orang yang diberiNya hikmah itu, sesungguhnya telah diberikan kebajikan yang banyak”. S 2 Al Baqarah ayat 269. Akan tetapi, tiada akan dijumpai hakikat/makna hikmah dalam hati, yang menjadi tempat sampah nafsu syahwat dan tempat permainan setan-setan. Akan tetapi, tiada akan teringat, selain orang-orang yang berakal. Dan karena itulah, Nabi saw bersabda: “Jikalau tidaklah setan-setan itu berkeliling atas hati anak Adam, niscaya anak Adam itu akan memandang ke alam malakut yang tinggi”. Apabila contoh ini telah engkau ketahui, maka kiaskanlah kepadanya gerak engkau dan tetap engkau, bicara engkau dan diam engkau. Dan setiap perbuatan yang timbul daripada engkau, maka yang demikian itu, adakalanya syukur dan adakalanya kufur. Karena tiada akan tergambar, yang demikian itu terlepas dari syukur dan kufur tadi. Sebahagian yang demikian, separuhnya pada lisan fiqh yang diperkatakan oleh orang awam, dinamakan: kirahah (makruh). Dan sebahagiannya, dinamakan: hadhr (dicegah). Dan semua itu pada orang-orang yang mempunyai hati bersih, disifatkan dengan: hadhr tersebut. Aku akan menerangkan: umpamanya, jikalau anda beristinja’ (bersuci dari buang air besar atau air kecil) dengan tangan kanan, maka sesungguhnya anda telah mengkufuri nikmat dua tangan. Karena Allah Ta’ala menciptakan bagi anda dua tangan. Yang satu diciptakanNya lebih kuat dari yang lain. Maka berhaklah yang lebih kuat dengan kelebihan beratnya menurut kebiasaan, akan permuliaan dan pengutamaan. Dan pengutamaan yang kurang itu adalah berpaling dari keadilan. Dan Allah Ta’ala tidak menyuruh, selain dengan keadilan. Kemudian, diperlukan engkau oleh Yang Memberi dua tangan kepada engkau, kepada perbuatan-perbuatan. Sebahagiannya mulia, seperti mengambil Mashhaf (Kitab suci Alquran). Dan sebahagiannya keji, seperti: menghilangkan najis. Maka apabila anda mengambil Mashhaf dengan tangan kiri dan anda menghilangkan najis dengan tangan kanan, maka anda telah mengkhususkan yang mulia dengan yang dipandang keji. Lalu anda telah menutup mata dari haknya yang mulia dan berbuat zalim kepadanya dan anda berpaling dari keadilan.
Dan seperti yang demikian pula, apabila anda meludah umpamanya pada arah kiblat atau anda menghadap kiblat pada qodo hajat (buang air besar atau air kecil), maka anda sesungguhnya telah mengkufuri nikmat Allah Ta’ala, pada menciptakan arah-arah dan menciptakan luasnya alam. Karena IA menciptakan arah-arah itu, adalah untuk menjadi tempat yang luas bagi anda dalam gerak anda. Dan IA membagikan arah-arah itu kepada yang tidak dimuliakanNya dan kepada yang dimuliakanNya, dengan diletakkanNya pada arah itu BAIT (rumah), yang dikaitkanNya pada DIRINYA, untuk mencenderungkan hati anda kepada BAIT itu. Supaya terikat hati anda dengan BAIT tersebut. Lalu terikatlah dengan sebab BAIT itu, badan anda pada arah tersebut, dalam keadaan tenang dan khidmat, apabila anda menyembah (beribadah) kepada Tuhan anda. Begitu pula, perbuatan anda terbagi kepada apa yang dikatakan mulia, seperti: perbuatan taat, dan kepada: apa yang dikatakan keji, seperti: qodo hajat dan meludahkan air liur. Maka apabila anda meludahkan air liur anda ke arah kiblat, maka anda telah berbuat zalim kepadanya. Dan anda telah mengkufuri nikmat Allah Ta’ala kepada anda, dengan pembuatan kiblat, yang dengan pembuatannya itu menjadi sempurna ibadah anda. Begitu pula, apabila anda memakai muza (kasut kaki) anda, lalu anda memulai melangkahkan kaki anda dengan kaki kiri, maka anda telah berbuat zalim. Karena muza itu pemeliharaan bagi kaki. Dan kaki itu mempunyai keberuntungan padanya. Dan pada memulai yang keberuntungan-keberuntungan itu, seyogyalah dengan yang lebih mulia. Maka itu adalah adil dan penyempurnaan dengan hikmah. Dan lawannya adalah zalim dan kufur bagi nikmat muza dan kaki. Dan ini pada pihak orang-orang yang ber ilmu mengenal Allah Ta’ala (al-‘arifin) itu urusan besar, walaupun dinamakan oleh ahli fiqh (al-faqih); perbuatan makruh.
Sehingga, sebahagian mereka telah mengumpulkan beberapa pikulan gandum dan ia bersedekah dengan gandum tersebut. Lalu ia ditanyakan sebabnya. Maka ia menjawab: “Pada suatu kali aku memakai kasut, lalu aku mulai melangkah dengan kaki kiri karena lupa. Maka aku bermaksud menutupinya dengan sedekah”. Benar, ahli fiqh itu tiada sanggup membesarkan urusan pada hal-hal tersebut. Karena dia orang yang patut dikasihani, yang dicoba dengan memperbaiki orang-orang awam, yang mendekati derajatnya dengan derajat hewan. Dan mereka itu terbenam dalam kegelapan tebal dan besar, daripada dapat dilahirkan contoh-contoh kegelapan tersebut, dengan dikaitkan kepadanya. Maka kejilah untuk dikatakan, bahwa orang yang meminum khamar dan mengambil gelas dengan tangan kirinya, bahwa ia telah melampau batas dari dua segi: yang satu: minum dan yang lain: mengambil dengan kiri. Orang yang menjual khamar pada waktu adzan hari Jum’at, maka kejilah untuk dikatakan, bahwa orang tersebut telah berkhianat dari dua segi: yang satu: menjual khamar dan yang lain: menjualnya pada waktu adzan ? orang yang melakukan qodo hajat pada mihrab masjid, membelakangi kiblat, maka kejikah untuk disebut, bahwa orang itu meninggalkan adab pada qodo hajat, dari segi ia tidak menjadikan kiblat dari kanannya ? maka perbuatan-perbuatan maksiat itu semua, adalah kegelapan. Sebahagiannya di atas sebahagian yang lain. Maka terhapuslah sebahagiannya pada samping sebahagian yang lain.
Seorang tuan kadang-kadang menyiksakan budaknya, apabila budak itu memakai pisaunya dengan tidak seizinnya. Akan tetapi, jikalau budak itu membunuh dengan pisau tadi anak tuannya yang dikasihi oleh tuannya itu, niscaya tidak tinggal lagi bagi pemakaian pisau dengan tidak seizinnya itu, suatu hukum dan penganiayaan bagi dirinya sendiri. Maka semua yang dipelihara oleh para nabi-nabi dan wali-wali dari adab sopan santun dan kita berlapang dada padanya, mengenai fiqh serta orang awam, maka sebabnya ialah darurat tersebut. Kalau tidak, maka setiap yang makruh itu, adalah berpaling dari keadilan, mengkufuri nikmat dan suatu kekurangan dari derajat yang menyampaikan bagi hamba kepada derajat kedekatan kepada Tuhan. Benar, sebahagiannya membekas pada hamba dengan kurangnya kedekatan dan menurunnya kedudukan. Dan sebahagiannya keluar secara keseluruhan, dari batas-batas kedekatan, kepada alam kejauhan, yang menjadi tempat ketetapan setan-setan.
Begitu juga, orang yang mematahkan sebuah ranting dari sepohon kayu, tanpa keperluan ketika itu yang penting dan tanpa keperluan suatu maksud yang benar, maka orang tersebut telah mengkufuri nikmat Allah Ta’ala, pada menciptakan kayu-kayuan dan menciptakan tangan.
 Adapun tangan, maka sesungguhnya tidak diciptakan untuk main-main. Akan tetapi untuk taat dan amal perbuatan yang menolong kepada taat. Dan pohon kayu sesungguhnya diciptakan oleh Allah Ta’ala dan diciptakanNya akar-akar bagi pohon kayu itu dan disiramkanNya air kepadanya, diciptakanNya padanya kekuatan mengambil makanan dan pertumbuhan, supaya sampailah kepada kesudahan kejadiannya. Lalu hamba-hambaNya mengambil manfaat dengan pohon kayu tersebut. Maka menghancurkan pohon kayu itu sebelum kesudahan kejadiannya, tidak di atas cara yang dapat diambil manfaatnya oleh para hamba, adalah menyalahi bagi maksud hikmah dan berpaling dari keadilan. Kalau ia mempunyai maksud yang betul, maka bolehlah yang demikian. Karena pohon kayu dan hewan itu dijadikan, adalah untuk memenuhi hajat maksud insan. Semua kayu dan hewan itu akan fana dan binasa. Maka melenyapkan yang buruk untuk kekekalan yang lebih mulia, sepanjang waktu tertentu, adalah mendekati kepada keadilan, daripada melenyapkan pohon kayu dan hewan itu semua. Dan kepada yang demikianlah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan diadakanNya pula keperluan kamu, apa yang di langit dan yang di bumi, semuanya (datang) daripadaNya”. S Al Jatsiyah ayat 13. Ya, apabila dihancurkan yang demikian dari kepunyaan orang lain, maka orang itu zalim juga, walaupun ia memerlukannya. Karena setiap pohon kayu, dengan diri pohon kayu tersebut tidak akan dapat menyempurnakan semua hajat keperluan hamba Allah. Akan tetapi, dapat menyempurnakan suatu hajat keperluan. Dan kalau dikhususkan kepada seseorang dengan pohon kayu itu, tanpa ada penguatan dan kekhususan, niscaya itu adalah kezaliman. Maka yang empunya kekhususan, ialah yang menghasilkan bibit, yang meletakkannya dalam tanah, yang menyiramkan air kepadanya dan bangun berdiri memeliharakannya. Orang itulah yang lebih utama dengan pohon tersebut dari orang lain. Maka dengan demikian, menjadi kuatlah pihaknya. Kalau pohon itu tumbuh pada tanah gundul, tidak dengan usaha anak Adam (manusia) yang tertentu, dengan tempat tanamannya atau dengan menanaminya, maka tidak boleh tidak daripada mencari kekhususan yang lain. Yaitu: yang dahulu mengambilnya. Maka bagi yang dahulu itu mempunyai faedah kedahuluan. Maka keadilan, ialah orang yang dahulu itulah yang lebih utama dengan pohon kayu tersebut. Ulama-ulama fuqaha’ mengatakan dari hal penguatan ini, dengan kata-kata: hak milik. Dan itu adalah: majaz semata-mata. Karena, tidak adalah hak milik itu, selain kepunyaan MAHARAJA DIRAJA (MAALIKIL-MULUUK), yang memiliki apa yang di langit dan di bumi. Dan bagaimana hamba itu menjadi pemilik, sedang ia sendiri tidak memiliki dirinya ? bahkan dia itu milik Yang lain (Tuhan). Benar, makhluk itu hamba Allah Ta’ala dan bumi itu hidangan Allah Ta’ala. IA telah mengizinkan kepada mereka memakan dari hidanganNya, menurut kadar keperluan mereka. Seperti raja membuat hidangan bagi budak-budaknya. Maka siapa yang mengambil suatu suap dengan tangan kanannya dan meliputi kepada suap itu sendiri anak jarinya, lalu datang budak yang lain dan bermaksud menarik suap itu dari tangan hamba tadi, niscaya tidak mungkin yang demikian itu daripadanya. Tidak karena suap tersebut menjadi miliknya dengan mengambilnya dengan tangan. Karena tangan dan yang empunya tangan juga kepunyaan Yang lain (Tuhan).
 Akan tetapi, apabila tiap-tiap diri suap itu tidak mencukupkan hajat keperluan semua hamba, maka keadilan pada penentuan itu, ialah ketika berhasil suatu macam dari penguatan dan kekhususan. Dan mengambil itu suatu kekhususan, yang bersendirian hamba tersebut dengan barang itu. Maka dicegah orang yang tidak mendekati dengan kekhususan tersebut, daripada mendesak budak tadi. Maka begitulah seyogyanya anda memahami perintah Allah pada hamba-hambaNya. Dan karena itulah kami mengatakan: bahwa siapa yang mengambil dari harta dunia, lebih banyak dari hajat keperluannya, disimpannya dan ditahannya dan dalam kalangan hamba-hamba Allah ada orang yang memerlukan kepadanya, maka orang itu orang zalim. Dan dia termasuk orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak membelanjakannya pada jalan Allah Ta’ala. Dan jalan Allah itu sesungguhnya ialah taat kepadaNya. Dan perbekalan makhluk pada mentaatiNya, ialah: harta dunia. Karena dengan harta itu, tertolaklah yang darurat bagi mereka dan terangkatlah hajat keperluan mereka. Benar, ini tidak masuk dalam batas fatwa-fatwa fiqh. Karena kadar hajat keperluan itu tersembunyi. Diri kita pada merasakan kemiskinan pada masa mendatang itu berbeda. Dan akhir umur kita tidak diketahui. Maka memberatkan orang awam akan yang demikian itu, berlaku sebagaimana berlakunya memberatkan anak-anak kecil dengan pengkhidmatan, kasih sayang dan diam dari setiap perkataan yang tidak penting. Dan itu dengan hukum kekurangannya anak-anak kecil tersebut, mereka tiada akan menyanggupinya. Lalu kita tinggalkan pendatangan kepada mereka, pada permainan dan bersenda gurau. Dan kita memperbolehkan yang demikian kepada mereka, tidaklah itu menunjukkan, bahwa bersenda gurau dan bermain-main itu benar. Maka seperti demikian juga, kita memperbolehkan orang awam, menjaga harta. Dan menyingkatkan pada perbelanjaan sekedar zakat.
Karena daruratnya apa yang menjadi tabiat mereka dari sifat kikir, tidaklah menunjukkan, bahwa yang demikian itu, kesudahan kebenaran. Alquran telah mengisyaratkan kepada yang demikian, karena Allah Ta’ala berfirman: “Kalau itu dimintaNya kepada kamu dan didesakNya kamu, niscaya kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37. Akan tetapi, yang benar, yang tak ada kekeruhan padanya dan yang adil, yang tidak ada kezaliman padanya, ialah: bahwa seseorang dari hamba-hamba Allah, tidak mengambil dari harta Allah, selain sekedar perbekalan orang yang berkendaraan (bepergian). Maka setiap hamba Allah itu, adalah yang berkendaraann dengan kendaraan badannya, ke hadlarat RAJA YANG MAHA PERKASA. Maka siapa yang mengambil lebih daripadanya, kemudian dilarangnya pengendara yang lain yang memerlukan kepadanya, maka orang tersebut adalah zalim, yang meninggalkan keadilan, keluar dari maksud hikmah dan kufur kepada nikmat Allah Ta’ala kepadanya dengan Alquran, Rasul saw, akal dan sebab-sebab lainnya, yang dengan sebab-sebab itu, ia mengetahui, bahwa selain dari perbekalan yang mengendarai itu, adalah bencana kepadanya di dunia dan di akhirat.
Maka siapa yang memahami hikmah Allah Ta’ala pada semua macam yang maujud, niscaya sangguplah ia berdiri menegakkan tugas kesyukuran. Dan menyelidiki yang demikian itu memerlukan kepada kitab berjilid-jilid. Kemudian, kita tiada dapat menyempurnakan, kecuali dengan sedikit saja. Sesungguhnya kami kemukakan kadar ini, supaya diketahui alasan kebenaran pada firmanNya Allah Ta’ala: “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu itu yang tahu bersyukur (berterima kasih)”. S Saba ayat 13. Dan Iblis yang dikutuk oleh Allah itu bergembira dengan katanya: “Dan tidaklah akan ENGKAU dapati, bahwa kebanyakan mereka menjadi orang-orang yang bersyukur”. S 7 Al A’raf ayat 17. Maka tidak akan diketahui maksud ayat ini, oleh orang yang tidak mengetahui maksud ini semuanya dan hal-hal yang lain di balik itu, yang menghabiskan umur, tanpa penyelidikan pokok-pokoknya.
Adapun penafsiran ayat dan maksud kata-katanya, maka akan diketahui oleh setiap orang yang mengetahui bahasa. Dan dengan ini, jelaslah bagi anda, perbedaan di antara arti (maksud) dan tafsir. Kalau anda mengatakan; bahwa sesungguhnya telah kembali hasil perkataan ini, bahwa Allah Ta’ala mempunyai hikmah pada tiap-tiap sesuatu. Dan IA menjadikan sebahagian perbuatan hamba itu, menjadi sebab bagi kesempurnaan hikmah tersebut. Dan sampainya hikmah itu, ialah sampainya yang dimaksud daripadanya. Dan IA menjadikan sebahagian perbuatan hamba-hamba itu penghalang daripada sempurnanya hikmah. Maka setiap perbuatan yang bersesuaian dengan yang dikehendaki oleh hikmah, sehingga membawa hikmah kepada tujuannya, maka itu adalah syukur. Dan setiap yang menyalahinya dan menghalangi sebab-sebab daripada terbawanya hikmah itu kepada maksud yang dikehendaki, maka itu adalah kufur. Ini semuanya dapat dipahami ! akan tetapi keruwetan itu tetap ada. Yaitu: bahwa perbuatan hamba yang terbagi kepada yang menyempurnakan hikmah dan kepada yang meninggikan hikmah, itu juga adalah dari perbuatan Allah Ta’ala. Maka dimanakah hamba itu pada kenyataannya, sehingga ia sekali adalah orang yang bersyukur dan pada kali yang lain, ia adalah orang yang mengkufuri nikmat ?
Ketahuilah kiranya, bahwa sempurnanya ketahkikan (mencari yang sebenarnya) tentang ini, adalah dapat dipahami dari riak gelombang lautan besar dari ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Dan telah kami rumuskan pada tulisan yang lalu, kepada isyarat-isyarat dengan pokok-pokoknya. Dan kami sekarang akan mengibaratkan dengan ibarat yang ringkas dari penghabisannya dan tujuannya, yang akan dapat dipahami oleh orang yang mengetahui tuturan burung. Dan akan diingkari oleh orang yang lemah daripada kecepatan dalam perjalanan. Lebih-lebih lagi, untuk dapat ia bekeliling di udara alam malakut, sebagaimana berkelilingnya burung. Maka kami akan mengatakan: bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla dalam keagungan dan kebesaranNya mempunyai sifat, yang dari sifat tersebut, timbullah makhluk dan ciptaan. Sifat itu adalah lebih tinggi dan lebih agung daripada dapat dilihat oleh mata orang yang membentuk bahasa. Sehingga ia dapat mengibaratkan daripada sifat itu, dengan suatu ibarat, yang menunjukkan hakikat/makna keagungannya dan kekhususan hakikat/maknanya. Maka tak ada bagi sifat tadi dalam alam ini, suatu ibarat, karena tinggi keadaannya dan merendahnya derajat orang-orang yang membentuk bahasa-bahasa, daripada dapat memanjangkan tepi pemahaman mereka kepada pokok-pokok kecemerlangannya. Lalu merendahlah dari kepuncakannya penglihatan mereka. Sebagaimana merendahnya penglihatan burung-burung kelelawar dari sinar matahari. Tidak karena tertutup pada sinar matahari, akan tetapi karena kelemahan pada penglihatan burung-burung kelelawar tersebut. Maka berhajatlah mereka yang terbuka penglihatannya, untuk memperhatikan keagungan sifat itu, kepada meminjam dari lembah dunia orang-orang yang bertutur kata dengan bahasa-bahasa, akan suatu ibarat yang dapat dipahami dari pokok-pokok hakikat/maknanya, akan suatu yang lemah sekali. Lalu mereka meminjam untuk yang tersebut itu, nama: al-qudrah (kuasa).  Maka beranilah kita dengan sebab pinjaman mereka itu, kepada penuturan. Lalu kita mengatakan: Allah Ta’ala mempunyai sifat, yaitu: al-qudrah ( kuasa ). Dan al-qudrah ( kuasa ) itu timbullah makhluk dan ciptaan. Kemudian, makhluk itu terbagi pada wujudnya kepada bahagian-bahagian dan kekhususan sifat-sifat. Dan sumber terbaginya bahagian-bahagian ini dan kekhususannya dengan kekhususan sifat-sifatnya itu, adalah suatu sifat yang lain, yang dipinjamkan kepadanya, dengan contoh darurat yang telah terdahulu, akan kata-kata: kehendak (al-masyiah).
Maka kata-kata: kehendak ini mendatangkan dugaan suatu hal yang tidak terperinci (mujmal) pada orang-orang yang bertutur kata dengan bahasa-bahasa, yang terdiri dari: huruf-huruf dan suara orang-orang yang mengambil pemahaman dengan bahasa-bahasa itu. Singkatnya kata-kata: kehendak daripada menunjuk kan kepada peri sifat itu dan hakikat/maknanya, adalah seperti singkatnya kata-kata: al-qudrah ( kuasa ). Kemudian, perbuatan-perbuatan yang timbul dari al-qudrah ( kuasa ) itu terbagi kepada: yang berjalan terus sampai kepada kesudahan, yang menjadi tujuan hikmahnya. Dan kepada: yang berjalan terus sampai kepada kesudahan, yang menjadi tujuan hikmahnya. Dan kepada: yang berhenti, tidak sampai kepada tujuan. Masing-masing dari yang dua ini, mempunyai kadar hubungan kepada: sifat al-masyiah. Karena kembalinya kepada kekhususan-kekhususan, yang dengan itu, menjadi sempurnalah pembahagian dan perbedaan-perbedaan. Maka dipinjamkan untuk kadar hubungan yang sampai tujuannya, akan kata-kata: kasih sayang (al-mahabbah).
Dan dipinjamkan untuk kabar hubungan yang berhenti, tidak sampai kepada tujuannya, akan kata-kata: benci. Dan dikatakan, bahwa kedua-duanya itu masuk dalam sifat kehendak. Akan tetapi, masing-masing mempunyai khasiat yang lain pada kadar hubungan itu, yang memberi dugaan dari kata-kata mencintai secara mendalam dan benci, akan suatu hal yang tidak terperinci, pada orang-orang yang mencari pemahaman dari kata-kata dan bahasa-bahasa. Kemudian, hamba-hambaNya yang juga termasuk makhlukNya dan ciptaanNya, terbagi kepada: orang yang telah mendahului baginya kehendak (kekal), bahwa dipakainya untuk menghentikan hikmahnya, tanpa sampai kepada tujuannya. Dan demikian itu adalah paksaan kepada pihaknya, dengan menguasakan pengajak-pengajak dan pembangkit-pembangkit kepada mereka. Dan terbagi kepada: orang yang telah mendahului kehendak bagi mereka pada (kekal), bahwa IA memakaikan mereka menurut hikmahNya, kepada tujuan hikmah itu pada sebahagian urusan.
Maka bagi masing-masing dua golongan ini, mempunyai kadar hubungan kepada kehendak khususnya. Lalu dipinjamkan untuk kadar hubungan orang-orang yang memakai pada menyempurnakan hikmah dengan mereka, akan kata-kata: ridla. Dan dipinjamkan bagi mereka yang berhenti sebab-sebab hikmah, tanpa sampai kepada tujuannya, akan kata-kata: marah. Maka lahirlah atas diri orang yang dimarahi pada (kekal), suatu perbuatan, yang hikmah itu berhenti dengan sebab perbuatan tersebut, tanpa sampai kepada tujuannya. Lalu dipinjamkan kepada orang itu, akan kata-kata: kufur. Dan bersamaan arti yang demikian itu, dengan malapetaka kutukan dan celaan, sebagai tambahan pada hukumannya. Dan lahirlah atas diri orang yang diridlaiNya pada (kekal), suatu perbuatan, yang berjalanlah hikmah dengann sebab yang demikian itu kepada tujuannya. Lalu dipinjamkan kepada orang tersebut, akan kata-kata: syukur. Dan bersamaan dengan arti yang demikian itu, dengan sifat: pujian dan sanjungan, sebagai tambahan pada ridla, terima dan datang menghadap. Hasilnya, ialah bahwa Allah Ta’ala memberikan: kecantikan (al-jamaal), kemudian IA pujikan. Dan IA memberikan: hukuman (an-nakaal), kemudian IA kejikan dan rendahkan. Contohnya, adalah seperti raja yang membersihkan budaknya dari kotoran. Kemudian, disuruhnya memakai pakaian yang tercantik. Maka tatkala telah sempurna penghiasan budak tersebut, lalu raja tadi berkata: “Hai cantik ! alangkah cantiknya engkau ! alangkah cantiknya pakaian enkau ! alangkah bersihnya wajah engkau !”. Sedang pada hakikat/maknanya, dialah yang mempercantikkan. Dan dialah yang memujikan atas kecantikan itu. Dan dialah yang memuji budak itu dalam segala keadaan. Dan seakan-akan raja itu tidak memujikan dari segi arti melainkan kepada dirinya sendiri. Dan budak itu hanyalah sasaran bagi pujian, dari segi zahiriyah dan bentuk. Maka begitulah adanya hal keadaan pada (kekal). Dan begitulah sambung-menyambung sebab dan yang menyebabkan dengan takdir Tuhan semesta alam dan yang menyebabkan sebab-sebab. Dan tidaklah yang demikian itu atas kesepakatan dan pembahasan. Akan tetapi, dari Kemauan, hikmah, hukum kebenaran dan perintah yang meyakinkan. Dan dipinjam untuk yang demikian itu, kata-kata: al-qodo’ (hukum Tuhan). Dan dikatakan, bahwa itu adalah seperti: sekerlip pandangan mata atau lebih dekat lagi. Maka melimpah-limpahlah membanjirnya lautan taqdir, dengan ketetapan qodo’ itu yang meyakinkan, dengan yang telah terdahulu taqdirnya. Lalu dipinjamkan untuk penyusunan satu persatu yang ditaqdirkan itu, sebahagian di atas sebahagian lainnya, akan kata-kata: QADAR. Lalu kata-kata: qodo’ adalah dengan: berbetulan suatu urusan secara keseluruhan. Dan kata-kata: qadar/takdir, adalah dengan: berbetulan penguraian yang berkepanjangan, kepada tiada berkesudahan. Dan dikatakan, bahwa sesuatu dari yang demikian itu, tiada yang keluar dari: qodo’/hukum allah dan takdir/qadar.
Maka tergurislah bagi sebahagian hamba-hamba Allah, bahwa pembahagian itu, mengapakah menghendaki akan penguraian ini ? dan bagaimana teraturnya keadilan, serta berlebih-kurangnya ini dan pengutamaan ? Sebahagian mereka karena singkat akal pikirannya, lalu tidak sanggup memperhatikan hakikat/makna urusan ini dan yang terkandung di atas segala kumpulannya. Lalu mereka cambuk dari yang tidak disanggupinya bagi memasuki kesengsaraannya, dengan cambuk larangan. Dan dikatakan kepada mereka: “Diamlah ! tidaklah untuk ini kamu dijadikan. IA tidak ditanyakan dari apa yang diperbuatNya dan mereka ditanyakan”. Dan penuhlah lobang sebahagian mereka, dengan nur yang diambil dari nur Allah Ta’ala di langit dan di bumi. Dan hiasan mereka itu adalah pertama-tama itu bersih, yang hampirlah bersinar terang. Dan jikalau belum disentuh oleh api. Lalu disentuh oleh api. Maka bercemerlanglah nur di atas nur. Maka bersinarlah segala benua alam malakut di hadapan mereka, dengan nur Tuhannya. Lalu mereka mengetahui semua urusan, sebagaimana yang sebenarnya. Maka dikatakan kepada mereka: “Beradablah dengan adab yang diajarkan oleh Allah Ta’ala ! dan diamlah ! dan apabila disebutkan qadar (taqdir), maka peganglah dengan teguh !”. Sesungguhnya dinding-dinding itu mempunyai telinga. Dan di kelilingmu itu orang-orang yang lemah penglihatannya. Maka berjalanlah dengan perjalanan orang yang terlemah dari kamu ! dan janganlah kamu menyingkapkan hijab matahari bagi penglihatan burung-burung kelelawar. Maka yang demikian itu adalah sebab kebinasaan mereka ! maka berakhlaklah dengan akhlak Allah Ta’ala ! dan turunlah ke langit dunia, dari penghabisan ketinggianmu ! supaya berjinaklah hati orang-orang yang lemah kepada kamu ! dan mereka memetik dari sisa-sisa cahayamu yang cemerlang dari belakang hijab kamu. Sebagaimana burung-burung kelelawar memetik dari sisa-sisa cahaya matahari dan bintang-bintang yang beredar, di tengah malam. Maka hiduplah ia dengan demikian itu dengan suatu kehidupan, yang dibawa oleh dirinya dan keadaannya. Walaupun ia tidak hidup dengan yang demikian itu, dengan hidup orang-orang yang bulak-balik dalam kesempurnaan sinar matahari. Dan hendaklah kamu itu, seperti orang yang dikatakan kepada mereka:
Kami minum minuman yang baik, pada orang yang baik.
Begitu juga minuman orang-orang baik itu menjadi baik.
Kami minum dan kami tuangkan atas bumi sisanya.
Dan bumi itu mempunyai bahagian dari gelas orang-orang mulia.
Maka begitulah adanya permulaan urusan ini dan kesudahannya ! dan anda tidak akan memahaminya, selain apabila anda ahli bagi yang demikian. Dan apabila anda ahli bagi yang demikian itu, niscaya anda bukalah mata dan memandanglah ! maka anda tidak memerlukan kepada penuntun yang akan menuntun anda. Dan orang buta itu mungkin akan dituntun. Akan tetapi kepada suatu batasan tertentu. Maka apabila jalan itu sempit dan menjadi lebih tajam daripada pedang dan lebih halus daripada rambut, niscaya sangguplah burung untuk terbang di atasnya. Dan tidak akan sanggup untuk menarik orang buta di belakangnya. Apabila jalan itu halus dan lembut, sebagaimana lembutnya air umpamanya dan tidak mungkin diseberangi, selain dengan berenang, maka kadang-kadang orang yang mahir dengan perbuatan berenang, akan sanggup menyeberanginya sendiri. Dan kadang-kaang ia tidak sanggup menarik orang lain di belakangnya. Maka inilah hal-hal kadar hubungan perjalanan kepadanya, ke perjalanan yang menjadi jalan kebanyakan makhluk, seperti bandingan perjalanan di atas air, dengan perjalanan di atas bumi. Dan berenang itu mungkin dipelajari. Adapun berjalan di atas air, maka tidak mungkin diusahakan dengan mempelajarinya. Akan tetapi, dapat dicapai dengan kuatnya keyakinan. Dan karena itulah, orang mengatakan kepada Nabi saw: “Bahwa nabi Isa as dikatakan, bahwa ia dapat berjalan di atas air”, lalu Nabi saw menjawab: “Jikalau ia menambahkan keyakinannya, niscaya ia dapat berjalan di udara”. Maka inilah rumuz-rumuz dan isyarat-isyarat kepada arti al-kirahah/benci, al-mahabbah mencintai secara mendalam, ar-ridla/kepuasan hati, marah, syukur dan kufur, yang tidak layak dengan ilmu al-mu’amalah (jual beli), akan lebih banyak daripadanya.
Allah Ta’ala telah membuat contoh –umpamanya –bagi yang demikian, untuk mendekatkan kepada pemahaman makhluk (umat manusia). Karena diketahui, bahwa tidaklah jin dan insan itu diciptakan, selain untuk beribadah kepadaNya. Maka adalah ibadah mereka itu tujuan hikmah pada pihak mereka. Kemudian, Allah Ta’ala menerangkan, bahwa IA mempunyai dua hamba. Yang satu dikasihiNya. Dan namanya: Jibril, Ruhul-qudus dan Al-Amin. Hamba ini pada sisiNya adalah dikasihi, patuh, dipercayai, lagi mulia. Yang satu lagi, dimarahiNya. Dan namanya: Iblis. Dia ini terkutuk, yang diperhatikan sampai hari kiamat. Kemudian, IA menyerahkan petunjuk kepada Jibril. IA berfirman: “Katakan ! roh suci dari Tuhan yang mewahyukan kepada engkau dengan sebenarnya”. S 16 An Nahl ayat 102. Dan Allah Ta’ala berfirman: “IA (Allah Ta’ala) yang menurunkan ruh (wahyu) dengan perintahNya kepada orang yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya”. S 40 Al Mukmin ayat 15. Dan IA menyerahkan penyesatan kepada Iblis. Allah Ta’ala berfirman: “Untuk menyesatkan (orang lain) dari jalan Tuhan”. S 39 Az Zumar ayat 8.
Penyesatan, ialah: menghentikan hamba-hamba Allah, tanpa sampai kepada tujuan hikmah. Maka perhatikanlah, bagaimana IA (Tuhan) menghubungkan penyesatan itu kepada hamba yang dimarahiNya. Dan petunjuk itu membawa hamba-hamba kepada tujuan. Maka perhatikanlah, bagaimana IA menghubungkan petunjuk itu kepada hamba yang dikasihiNya. Pada anda menurut adat kebiasaan, terdapat contoh bagi yang demikian. Yaitu, bahwa raja apabila ia memerlukan kepada orang yang akan menuangkan minuman baginnya, kepada orang yang akan membekaminya dan orang yang akan membersihkan halaman tempat tinggalnya dari kotoran-kotoran dan raja tersebut mempunyai dua orang budak, maka tidak akan ditentukannya untuk membekam dan membersihkan, selain yang terburuk dan yang terkeji di antara dua budak itu. Dan ia tidak akan menyerahkan untuk membawa minuman yang baik, selain kepada yang terbaik, yang tersempurna dan yang tersayang baginya di antara dua budak tersebut. Dan tiada seyogyanya anda mengatakan: “Ini perbuatanku. Mengapa itu perbuatanNya, bukan perbuatanku ?”. Maka anda sesungguhnya salah, apabila anda sandarkan yang demikian, kepada diri anda sendiri. Bahkan, DIAlah yang menjuruskan pengajakan anda bagi penentuan perbuatan yang tidak disukai, dengan diri orang yang tidak disukai dan perbuatan yang tidak disukai dengan diri orang yang disukai. Karena penyempurnaan bagi keadilan. Maka keadilanNya sesungguhnya, sekali akan sempurna dengan hal-hal, yang tak ada jalan masuk bagi anda padanya. Dan sekali akan sempurna pada anda.
Maka anda juga sesungguhnya termasuk perbuatanNya. Maka pengajakan anda, kesanggupan anda, ilmu anda, amal anda dan sebab-sebab gerak-gerik anda lainnya, pada mengatakan itu adalah perbuatanNya yang diaturNya dengan adil, suatu aturan, yang timbul daripada aturan itu, perbuatan-perbuatan yang adil. Hanya anda tidak melihat, selain diri anda sendiri. Lalu anda menyangka, bahwa apa yang zahir kepada anda, dalam alam yang tampak (al-musyahadah) ini, tidaklah mempunyai sebab dari alam ghaib (alam yang tidak tampak) dan alam malakut. Lalu, karena itulah, maka anda menyandarkannya kepada diri anda sendiri. Sesungguhnya anda, adalah seperti anak kecil yang melihat pada malam hari, permainan sunglap, yang mengeluarkan gambar-gambar yang menari di balik dinding, yang menjerit, berdiri dan duduk. Gambar-gambar itu tersusun dari kertas-kertas yang tidak dapat bergerak sendiri. Hanya ia digerakkan oleh benang-benang bulu yang halus, yang tidak tampak dalam kegelapan malam. Dan kepala dari gambar-gambar itu dalam tangan pemain sunglap. Dan ia mendindingkan dirinya, dari penglihatan anak-anak kecil itu. Lalu mereka amat gembira dan merasa heran. Karena mereka menyangka, bahwa kertas-kertas tersebut menari dan bermain, berdiri dan duduk.
Adapun orang-orang yang berakal, maka mereka itu mengetahui, bahwa yang demikian itu digerakkan. Dan itu sendiri tidak bergerak. Akan tetapi kadang-kadang, mereka itu tidak tahu, bagaimana penguraiannya. Dan orang yang tahu sebahagian penguraiannya, tidaklah tahu, sebagaimana yang diketahui oleh pemain sunglap, yang urusan itu padanya dan tarikan itu di tangannya. Maka begitu pulalah, anak-anak kecil penduduk dunia ! dan makhluk itu semua, adalah anak-anak kecil, dibandingkan kepada ulama-ulama. Anak-anak kecil dunia itu, memandang kepada barang-barang tersebut. Mereka menyangka bahwa barang-barang itu bergerak, lalu mereka menyerah kepadanya. Dan ulama-ulama itu tahu, bahwa tukang-tukang sunglap itu yang menggerakkannya. Hanya ulama-ulama tersebut, tidak mengetahui, bagaimana cara penggerakkannya. Dan mereka itu yang terbanyak, selain orang-orang yang berilmu  ilmu mengenal Allah Ta’ala (al-‘arifun) dan ulama-ulama yang mendalam ilmunya (ar-rasikhuna fil-‘ilmi). Maka mereka ini mengetahui dengan ketajaman penglihatannya akan benang labah-labah yang halus. Bahkan yang lebih halus lagi daripadanya, yang tergantung di langit, yang bercabang-cabang tepinya, dengan orang-orang penduduk bumi. Tidak diketahui benang-benang itu karena halusnya, dengan penglihatan mata yang zahiriyah ini. Kemudian, mereka menyaksikan kepala benang-benang itu, pada tempat-tempat gantungan yang jauh, yang tersangkut dengan dia. Dan mereka menyaksikan bagi tempat-tempat gantungan itu, akan tempat-tempat pegangan, yang berada dalam tangan para malaikat yang menggerakkan langit. Dan mereka menyaksikan pula para malaikat langit yang ditugaskan kepada para pembawa ‘Arasy. Mereka menunggu dari mereka itu, apa yang akan diturunkan kepada mereka dari perintah Hadlarat Ketuhanan. Supaya mereka itu tidak mendurhakai Allah, dari yang diperintahkan mereka. Dan mereka berbuat yang diperintahkan kepada mereka. Diibaratkan dari penyaksian-penyaksian ini dalam Alquran dan dikatakan: “Dan di langit ada rezekimu dan (juga) apa yang dijanjikan kepada kamu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 22. Dan diibaratkan dari penungguan malaikat-malaikat langit, untuk yang diturunkan kepada mereka, dari qadar dan perintah, maka dikatakan: “Allah yang menciptakan 7 langit dan bumi serupa itu pula. Di tengah-tengah (semua)nya turunlah perintah Allah, supaya kamu mengetahui, bahwa Allah itu berkuasa atas segala sesuatu dan bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu”. S 65 Ath Thalaaq ayat 12. Inilah hal-hal, yang tidak diketahui ta’wilnya (penafsirannya) selain Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Diibaratkan oleh Ibnu Abbas ra dari kekhususan orang-orang yang mendalam ilmunya, dengan ilmu-ilmu yang tidak dapat dipikul oleh pemahaman makhluk (orang banyak), di mana Ibnu Abbas ra lalu membaca firman Allah Ta’ala: “Di tengah-tengah (semua)nya turunlah perintah Allah”. S 65 Ath Thalaaq ayat 12. Lalu Ibnu Abbas ra menyambung: “Jikalau aku sebutkan apa yang aku ketahui dari arti ayat ini, niscaya kamu kutuk aku ini”’. Pada perkataan lain: “Niscaya kamu katakan: “bahwa dia itu kafir”.
Marilah kami ringkaskan sekadar ini saja. Telah keluar tali perkataan dari genggaman usaha. Dan bercampur aduk dengan ilmu al-mu’amalah (jual beli), yang tidak masuk sebahagian daripadanya. Maka marilah kita kembali kepada maksud-maksud syukur ! mari kita terangkan: bahwa sesungguhnya, apabila kembali hakikat/makna syukur, kepada adanya hamba itu dipakai pada menyempurnakan hikmah Allah Ta’ala, maka hamba yang lebih bersyukur kepada Allah, ialah mereka yang lebih dikasihi oleh Allah dan yang lebih dekat kepadaNya. Hamba yang lebih dekat kepada Allah, ialah: para malaikat. Dan mereka juga mempunyai tartib (tersusun tingkatnya, yang pertama, yang kedua dst). Masing-masing mereka, mempunyai kedudukan yang telah dimaklumi. Yang tertinggi di antara mereka pada tingkat kedekatan kepada Tuhan, ialah: malaikat, yang namanya: Israfil as(malaikat yg meniup sangkakala dihari kiamat). Sesungguhnya tinggi derajat mereka, ialah: karena mereka pada dirinya adalah: mulia, lagi banyak berbuat kebaikan.
Allah Ta’ala memperbaiki nabi-nabi as dengan mereka. Dan para malaikat itu makhluk yang termulia atas permukaan bumi. Dan diiringi derajat mereka, oleh derajat nabi-nabi. Nabi-nabi itu pada dirinya, adalah orang-orang pilihan (orang-orang baik). Allah Ta’ala telah memberi petunjuk makhluk lainnya, dengan nabi-nabi itu. Dan dengan mereka, Allah Ta’ala menyempurnakan hikmahNya. Yang tertinggi pangkat di antara nabi-nabi itu, ialah: Nabi kita saw. Karena Allah telah menyempurnakan agama dengan beliau. Dan menyudahkan nabi-nabi itu dengan beliau (beliau kesudahan nabi-nabi). Nabi-nabi itu diiringi oleh ulama-ulama, yang menjadi pewaris nabi-nabi. Maka ulama-ulama itu pada dirinya, adalah: orang-orang shalih. Allah Ta’ala membaikkan makhluk lainnya dengan ulama-ulama itu. Dan derajat masing-masing mereka, adalah menurut kadar yang diperbaikinya dari dirinya sendiri dan orang lain. Kemudian, ulama-ulama itu diiringi oleh sultan-sultan (penguasa-penguasa) dengan keadilan. Karena sultan-sultan itu memperbaiki dunia makhluk, sebagaimana ulama-ulama memperbaiki agama makhluk. Dan karena berkumpulnya agama, kerajaan dan kekuasaan bagi nabi kita Muhammad saw, maka adalah beliau yang terutama dari nabi-nabi lainnya. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyempurnakan dengan beliau, perbaikan agama mereka dan dunia mereka. Dan tidak adalah pedang dan kerajaan bagi nabi-nabi yang lain.
Kemudain, diiringi ulama-ulama dan sultan-sultan, oleh orang-orang shalih, yang memperbaiki agama dan jiwa mereka saja. Maka tidaklah sempurna hikmah Allah Ta’ala dengan mereka, bahkan juga pada mereka. Yang lain dari mereka yang tersebut di atas, adalah: orang-orang hina, tiada berkemajuan. Ketahuilah kiranya, bahwa sultan (penguasa), adalah dengan dia tegaknya agama. Maka tiada seyogyalah ia dihinakan, walaupun ia orang zalim dan fasiq. ‘Amr bin Al-‘Ash ra berkata: “Imam (penguasa) yang zalim adalah lebih baik dari fitnah yang berkekalan".
Nabi saw bersabda: “Akan ada kepadamu amir-amir (penguasa-penguasa), yang kamu ketahui dari mereka dan kamu tantang (lawan). Dan mereka itu berbuat kerusakan. Dan apa yang diperbuat kebaikan oleh Allah dengan mereka, adalah lebih banyak. Maka kalau mereka berbuat baik, maka bagi mereka itu pahala dan atas kamu bersyukur. Dan kalau mereka berbuat jahat, maka atas mereka itu dosa dan atas kamu bersabar”.
Sahl At-Tusturi ra mengatakan: “Siapa yang menantang kepemimpinan sultan, maka orang itu zindiq (orang yang berpura-pura iman). Siapa yang dipanggil oleh sultan, lalu tidak menyahut, maka orang itu berbuat bid’ah (yang diada-adakan). Dan siapa yang datang kepada sultan, tanpa dipanggil, maka orang itu bodoh”. Ditanyakan kepada Sahl At-Tusturi ra tadi: “Manusia manakah yang lebih baik ?”. Beliau menjawab: “Sultan !”. Lalu orang mengatakan kepadanya: “Kami berpendapat bahwa manusia yang terjahat, ialah: sultan”. Beliau menjawab: “Tunggu dulu ! sesungguhnya Allah Ta’ala pada tiap-tiap hari mempunyai dua perhatian: perhatian kepada keselamatan harta kaum muslimin. Dan perhatian kepada keselamatan badan mereka. Maka Allah Ta’ala melihat pada KitabNya. Maka diampunkanNya semua dosa sultan itu”. Sahl At-Tusturi ra berkata pula: “Papan-papan hitam yang melekat pada pintu mereka, adalah lebih baik dari 70 ahli cerita yang bercerita”.
RUKUN KEDUA: dari rukun-rukun syukur, ialah: pada ada kesyukuran itu.
Yaitu: nikmat. Maka marilah kami sebutkan pada rukun ini, akan hakikat/makna nikmat, bahagian-bahagiannya, derajat-derajatnya, jenis-jenisnya dan kumpulan-kumpulannya, pada yang khusus dan yang umum. Maka sesungguhnya penghinggaan nikmat Allah kepada hamba-hambaNya itu di luar dari kemampuan manusia, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Kalau kamu hitung nikmat Allah, niscaya tidak dapat kamu menghitungnya”. S An Nahl ayat 18. Maka kami kemukakan hal-hal secara keseluruhan, yang berlaku seperti berlakunya undang-undang tentang mengenali nikmat-nikmat. Kemudian, kami teruskan menyebutkannya satu persatu. Kiranya Allah Ta’ala mencurahkan taufiqNya kepada kebenaran !.
PENJELASAN: hakikat/makna nikmat dan bahagian-bahagiannya.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap kebajikan, kelezatan dan kebahagiaan, bahkan setiap yang dicari dan yang diutamakan, maka itu dinamakan: nikmat. Akan tetapi, nikmat yang sebenarnya, ialah: kebahagiaan akhirat. Dan menamakan lainnya itu nikmat dan bahagia, adakalanya salah dan adakalanya kata kiasan (majaz/tidak hakikat/makna). Seperti menamakan kebahagiaan duniawi, yang tidak menolong kepada akhirat itu: nikmat. Maka yang demikian itu salah semata-mata. Kadang-kadang nama nikmat itu benar bagi sesuatu. Akan tetapi, menyebutkannya secara mutlak kepada kebahagiaan akhirat itu lebih benar. Maka tiap-tiap sebab yang menyampaikan kepada kebahagiaan akhirat dan menolong kepadanya, adakalanya dengan perantaraan atau dengan beberapa perantaraan. Maka menamakannya itu nikmat adalah sah dan benar. Karena dia membawa kepada nikmat hakiki. Sebab-sebab yang menolong dan kelezatan-kelezatan yang dinamakan nikmat itu, akan kami uraikan dengan pembahagian-pembahagian:
Bahagian pertama: bahwa setiap keadaan itu dengan disandarkan kepada kita, terbagi kepada: yang bermanfaat di dunia dan di akhirat. Seperti: ilmu dan bagus akhlak. Dan kepada: yang mendatangkan melarat di dunia dan di akhirat. Seperti: bodoh dan buruk akhlak. Dan kepada: yang bermanfaat sekarang (di dunia) dan melarat pada masa mendatang (di akhirat), seperti: bersenang-senang dengan mengikuti nafsu syahwat. Dan kepada: yang mendatangkan melarat sekarang dan memedihkan. Akan tetapi bermanfaat pada masa mendatang, seperti: mencegah diri dari nafsu syahwat dan menyalahi hawa nafsu. Maka yang bermanfaat sekarang dan masa yang akan datang itu nikmat yang hakiki, seperti: ilmu dan bagus akhlak. Dan yang mendatangkan melarat di dunia dan di akhirat itu bencana yang hakiki. Yaitu: lawan ilmu dan bagus akhlak. Yang bermanfaat sekarang dan melarat pada masa mendatang itu adalah bencana semata-mata pada orang yang bermata hati. Dan disangka oleh orang-orang bodoh itu nikmat. Contohnya, ialah: orang yang lapar, apabila menjumpai madu, yang di dalamnya racun. Maka dia menghitungkannya nikmat, jikalau ia tidak tahu. Dan apabila diketahuinya, niscaya tahulah ia bahwa yang demikian itu bencana, yang terhalau dia kepadanya. Dan yang melarat sekarang dan bermanfaat pada masa yang akan datang itu adalah nikmat pada orang-orang yang berakal dan bencana pada orang-orang bodoh. Contohnya, ialah: obat yang tidak disukai sekarang rasanya. Tetapi ia menyembuhkan dari segala macam penyakit dan membawa kepada sehat dan selamat. Maka anak kecil yang bodoh, apabila dipaksakan meminumnya, niscaya ia menyangka bahwa itu adalah bencana. Dan yang berakal, menghitungkannya suatu nikmat. Dan diikutinya sebagai kurnia dari orang yang menunjukkannya kepadanya, mendekatkannya dengan dia dan menyediakan baginya sebab-sebabnya. Maka karena itulah, ibu melarang anaknya dibekam. Dan bapak mengajar anaknya kepada pembekaman. Karena bapak dengan kesempurnaan akalnya menoleh kepada akibat. Dan ibu karena sangat sayangnya kepada anak dan pendek pikirannya, lalu memperhatikan kepada yang sekarang. Dan anak kecil karena bodohnya itu mengikuti kurnia dari ibunya, tidak dari bapaknya. Hatinya jinak kepada ibunya dan kepada kasih sayangnya. Dan dinilainya bapaknya itu musuhnya. Dan kalau dia berakal, niscaya ia tahu, bahwa ibu itu musuh pada batin, dalam bentuk teman. Karena dilarangnya anaknya dari pembekaman, akan membawa anak itu kepada penyakit dan kepedihan yang lebih berat dari pembekaman. Akan tetapi, teman yang bodoh itu lebih jahat daripada musuh yang berakal. Dan setiap manusia itu teman bagi dirinya. Akan tetapi, teman yang bodoh. Maka karena itulah, diri itu berbuat apa yang tidak diperbuat oleh musuh.
Bahagian kedua: ketahuilah, bahwa sebab-sebab duniawi itu bercampur-aduk. Yang baik daripadanya bercampur dengan yang jahat. Maka amat sedikitlah yang jernih kebaikannya, seperti: harta, isteri, anak, kaum kerabat, kemegahan dan sebab-sebab yang lain. Akan tetapi, sebab-sebab duniawi itu terbagi kepada: yang manfaatnya lebih banyak daripada melaratnya. Sepert: kadar kecukupan dari harta, kemegahan dan sebab-sebab yang lain. Dan kepada: yang melaratnya lebih banyak daripada manfaatnya, terhadap kepada kebanyakan orang. Seperti: harta banyak dan kemegahan yang meluas. Dan kepada: melaratnya seimbang dengan manfaatnya. Dan ini hal-hal yang berbeda, dengan masing-masing orang. maka banyaklah insan yang shalih mengambil manfaat dengan harta yang shalih (harta yang baik), walaupun banyak. Maka dibelanjakannya pada jalan Allah dan diserahkannya kepada amal kebaikan. Maka yang demikian itu serta dengan taufiq ini, adalah nikmat pada diri orang tersebut. Banyak manusia yang merasa pula melarat dengan sedikit harta. Karena ia senantiasa memandang kecil yang demikian, yang mengadu kepada Tuhannya, meminta tambahan kepadanya. Maka adalah yang demikian itu, serta kehinaan tersebut, suatu bencana pada diri orang itu.
Bahagian ketiga: ketahuilah, bahwa perbuatan kebajikan itu, dengan pandangan lain, terbagi kepada: apa yang diutamakan karena zatnya, tidak karena yang lain. Dan kepada: apa yang diutamakan karena yang lain. Dan kepada: yang diutamakan kepada zatnya dan karena yang lain.
Yang pertama: apa yang diutamakan karena zatnya, tidak karena yang lain, seperti: kelezatan memandang kepada Wajah Allah Ta’ala dan kebahagiaan menjumpaiNya. Kesimpulannya, kebahagiaan akhirat, yang tidak habis-habisnya. Maka kebahagiaan akihrat itu tidak dicari, untuk sampai kepada tujuan lain, yang dimaksudkan di belakangnya. Akan tetapi, kebahagiaan akhirat itu dicari karena zat (diri) kebahagiaan akhirat itu sendiri.
Yang kedua: apa yang dimaksudkan untuk yang lain dan tiada sekali-kali bermaksud pada dirinya itu. Seperti: dirham dan dinar. Maka sesungguhnya keperluan, jikalau tiadalah akan terpenuhi dengan dirham dan dinar itu, niscaya dirham dan dinar tersebut dan batu, adalah dalam kedudukan yang sama. Akan tetapi, tatkala dirham dan dinar tadi, adalah jalan kepada kesenangan, yang cepat sampai kepadanya, niscaya jadilah dirham dan dinar pada orang-orang bodoh, dicintai pada diri dirham dan dinar itu. Sehingga mereka mengumpulkannya dan menyimpankannya. Mereka memperlakukan dengan dirham dan dinar itu pada jalan riba. Mereka menyangka, bahwa dirham dan dinar itu dimaksudkan. Contoh mereka itu, adalah seperti orang, yang mencintai seseorang. Lalu ia berpaling dari pokok tadi, sepanjang umurnya. Dan selalu ia sibuk dengan mengurus utusan, menjaganya dan mencarinya. Dan itu adalah paling bodoh dan sesat !
Yang ketiga: apa yang dimaksudkan bagi diri keadaan itu sendiri dan bagi yang lain. Seperti: kesehatan dan keselamatan. Maka yang dimaksudkan, supaya dengan sebab yang demikian, ia sanggup berdzikir dan berfikir yang akan menyampaikannya kepada menemui Allah Ta’ala. Atau supaya ia sampai dengan yang demikian, kepada kesempurnaan kesenangan duniawi. Dan juga dimaksudkan bagi diri keadaan itu sendiri. Karena manusia, walaupun ia tidak memerlukan kepada sesuatu, yang dikehendaki keselamatan orang karena sesuatu tadi, maka ia bermaksud juga keselamatan orang, dari segi itu adalah keselamatan. Jadi, yang mengutamakan bagi diri keadaan itu saja, ialah: kebajikan dan nikmat yang hakiki. Dan apa yang diutamakan karena dirinya sendiri dan karena yang lain juga, maka itu nikmat. Akan tetapi, kurang dari yang pertama. Adapun yang tidak diutamakan, selain karena yang lain dari dirinya, seperti: emas dan perak, maka keduanya tidak disifatkan pada dirinya masing-masing, dari segi bahwa keduanya adalah dua benda yang berharga, dengan keduanya itu: nikmat. Akan tetapi, dari segi, keduanya itu adalah jalan (wasilah). Lalu keduanya adalah nikmat pada diri orang yang bermaksud akan keadaan, yang tidak mungkin ia sampai kepadanya, selain dengan dua benda tersebut tadi (emas dan perak). Kalau adalah maksudnya itu ilmu dan ibadah dan padanya mencukupi yang menjadi keperluan hidupnya, niscaya samalah padanya emas dan tanah liat. Adanya keduanya ini dan tidak adanya pada orang tersebut adalah sama saja. Bahkan, kadang-kadang oleh adanya yang dua tersebut, mengganggunya dari berpikir (bertafakkur) dan beribadah. Lalu adalah keduanya itu suatu bencana pada dirinya dan tidak merupakan suatu nikmat.
Bahagian keempat: ketahuilah kiranya, bahwa amal kebajikan itu dengan pandangan lain, terbagi kepada: yang bermanfaat, lezat dan cantik. Yang lezat (yang enak) ialah: yang diperoleh kesenangannya sekarang juga (di dunia). Dan yang bermanfaat, ialah yang mendatangkan faedah pada masa yang akan datang (di akhirat). Dan yang cantik, ialah yang dipandang bagus pada hal-hal yang lain. Dan amal kejahatan juag terbagi kepada: yang mendatangkan melarat, yang keji dan yang menyakitkan. Dan masing-masing dari dua bahagian itu dua macam,
Bahagian kesatu yaitu: muth-laq dan muqayyad. Yang muth-laq, ialah: yang terkumpul padanya 3 sifat. Adapun pada kebajikan, maka adalah seperti: ilmu dan hikmah. Maka ini bermanfaat, cantik dan lezat pada ahli ilmu dan hikmat. Adapun pada kejahatan, maka adalah seperti: bodoh. Maka bodoh itu mendatangkan melarat, keji dan meyakitkan. Dan sesungguhnya orang yang bodoh akan merasai kepedihan (kesakitan) bodohnya, apabila ia mengetahui, bahwa dia orang bodoh. Dan yang demikian itu, ialah: dengan ia melihat orang lain berilmu. Dan ia melihat dirinya orang bodoh. Lalu ia mengetahui kepedihan kekurangan. Maka membangkitlah daripadanya keinginan kepada ilmu yang enak rasanya. Kemudian, kadang-kadang ia dicegah oleh kedengkian, kesombongan dan nafsu syahwat badaniyah, daripada belajar. Lalu tarik menariklah dua hal yang berlawanan itu padanya. Maka membesarlah kepedihannya. Jikalau ia meninggalkan belajar, niscaya ia merasa pedih dengan kebodohan dan memperoleh kekurangan. Dan kalau ia bekerja dengan belajar, niscaya ia merasa pedih meninggalkan nafsu syahwat atau dengan meninggalkan kesombongan dan kehinaan belajar. Orang yang seperti ini, sudah pasti, senantiasa dalam azab sengsara yang berkekalan.
Bahagian kedua: muqayyad, ialah yang mengumpulkan sebahagian sifat-sifat tadi, tanpa sebahagian lagi. Maka banyaklah yang bermanfaat, yang menyakitkan, seperti: memotong anak jari yang bertambah dan buku-buku daging yang keluar dari badan. Dan banyak yang bermanfaat, yang keji, seperti: dungu. Maka dungu itu dikaitkan kepada sebahagian keadaan, adalah bermanfaat. Sesungguhnya ada yang mengatakan: “Senanglah orang yang tidak berakal. Ia tidak mementingkan akibat sesuatu. Lalu ia merasa senang sekarang, sampai kepada ketika waktu kebinasaannya”. Dan banyak yang bermanfaat dari satu segi dan melarat dari segi yang lain. Seperti: mencampakkan harta dalam laut, ketika takut karam. Maka itu mendatangkan melarat bagi harta dan mendatangkan manfaat bagi diri, tentang kelepasannya dari karam dalam lautan. Dan yang bermanfaat itu dua bahagian: yaitu: yang dlaruri (penting, mudah diketahui). Seperti: iman dan bagus akhlak pada menyampaikan kepada kebahagiaan akhirat. Dan kami maksudkan dengan dua itu, ialah: ilmu dan amal. Karena, tak dapat sekali-kali berdiri yang lain pada tempat yang dua itu. Dan (kedua) kepada: yang tidak penting, seperti: bahan sakanjabin umpamanya, pada menetapkan penyakit kuning. Sesungguhnya kadang-kadang mungkin juga menetapkan penyakit kuning itu dengan sesuatu yang dapat menggantikan kedudukan bahan sakanjabin.
Bahagian kelima: ketahuilah kiranya, bahwa nikmat itu, diibaratkan dari setiap kelezatan. Dan kelezatan itu dengan dikaitkan kepada manusia, dari segi kekhususan maunsia, dengan kelezatan tadi atau bersekutunya manusia dengan yang lain itu ada 3 macam: aqliyah, badaniyah yang bersekutu dengan sebahagian hewan dan badaniyah yang bersekutu serta semua hewan. Adapun kelezatan aqliyah (kelezatan keakalan), ialah, seperti: kelezatan ilmu dan hikmah. Karena, tidaklah dirasakan kelezatannya oleh pendengaran, penglihatan, penciuman dan perasaan lidah. Dan tidak oleh perut dan kemaluan. Hanya dirasakan kelezatannya oleh hati. karena kekhususan hati dengan suatu sifat, yang dikatakan: akal. Dan ini adalah kelezatan yang tersedikit wujudnya dan yang termulia.
Adapun sedikitnya, adalah karena ilmu itu tidak dirasakan kelezatannya, selain oleh orang yang berilmu. Dan hikmah tidak dirasakan kelezatannya, selain oleh ahli hikmah (filosuf). Alangkah sedikitnya ahli ilmu dan hikmah itu ! dan alangkah banyaknya orang-orang yang dinamakan dengan nama mereka dan membuat adat kebiasaan seperti adat kebiasaan mereka ! Adapun mulianya, adalah dikarenakan oleh suatu keharusan yang tidak akan hilang untuk selama-lamanya. Tidak hilang di dunia dan tidak hilang di akhirat. Dan yang terus-menerus, yang tidak membosankan. Makanan, yang menjadi orang kenyang dengan makanan tersebut, lalu orang menjadi bosan. Nafsu syahwat bersetubuh yang sudah selesai, lalu dirasa berat. Ilmu dan hikmah saja, tiada tergambar orang akan bosan dan merasa berat. Dan orang yang sanggup kepada yang mulia yang kekal abadi, apabila ia rela dengan yang keji dan lenyap dalam masa yang terdekat, maka orang tersebut adalah orang yang mendapat musibah pada akalnya, yang tidak mendapat kelezatan, karena kedurhakaannya dan pembelakangannya. Urusan yang tersedikit pada keadaan yang tersebut itu, ialah bahwa ilmu dan akal tidak memerlukan kepada penolong-penolong dan pemelihara-pemelihara. Lain halnya dengan harta. Karena ilmu itu menjaga anda dan anda menjaga harta. Dan ilmu itu bertambah dengan dibelanjakan dan harta itu berkurang dengan dibelanjakan. Harta itu dapat dicuri orang dan kekuasaan itu dapat disingkirkan. Dan ilmu itu tidaklah dapat tangan-tangan pencuri memanjangkan kepadanya dengan mengambilnya. Dan tidak tangan-tangan raja dengan menyingkirkannya. Maka yang punya ilmu adalah dalam jiwa yang aman untuk selama-lamanya. Dan yang punya harta dan kemegahan adalah dalam bencana ketakutan untuk selama-lamanya. Kemudian, ilmu itu bermanfaat, lezat dan cantik dalam segala hal selama-lamanya. Dan harta itu sekali menarik kepada kebinasaan dan sekali menarik kepada kelepasan dari bahaya. Dan karena itulah harta dicela oleh Allah Ta’ala dalam Alquran pada beberapa tempat, walaupun dinamakanNya kebajikan pada beberapa tempat. Adapun singkatnya kebanyakan makhluk (manusia) daripada mengetahui kelezatan ilmu, maka adakalanya karena ketiadaan perasaan. Maka orang yang tidak mempunyai perasaan (mental) ilmu, niscaya ia tidak tahu dan tidak rindu. Karena kerinduan itu mengikuti perasaan. Dan adakalanya, karena kerusakan sifat-sifat mereka dan berpenyakit hati mereka, disebabkan mengikuti nafsu syahwat. Seperti orang sakit yang tidak mengetahui kemanisan madu dan melihatnya pahit. Dan adakalanya kependekan kecerdasan mereka, karena kecerdasan itu tidak diciptakan bagi mereka, sesudah sifat, yang dapat ia merasakan kelezatan ilmu dengan sifat tersebut. Seperti anak kecil yang menyusu, yang tidak mengetahui kelezatan madu dan burung-burung yang gemuk. Dan ia tidak merasakan kelezatan, selain dengan susu saja. Dan yang demikian itu tidak menunjukkan, bahwa yang tersebut itu tidak lezat. Dan tidak pula lantaran anak kecil tadi memandang baiknya susu, lalu menunjukkan bahwa susu itu adalah yang terlezat dari segala sesuatu. Orang-orang yang pendek akal pikirannya daripada mengetahui kelezatan ilmu dan hikmah itu, 3 macam. Adakalanya orang yang tidak hidup batinnya, seperti: anak kecil. Adakalanya orang yang telah mati sesudah hidup, dengan mengikuti nafsu syahwat. Dan adakalanya orang yang sakit dengan sebab mengikuti nafsu syahwat.
Allah Ta’ala berfirman: “Dalam hati mereka ada penyakit”. S 2 Al Baqarah ayat 10. Itu adalah isyarat kepada sakit akal pikiran. Dan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Supaya dia memberi peringatan kepada orang yang hidup”. S 36 Yaa Sin ayat 70. Itu adalah isyarat kepada orang yang tidak hidup batiniyahnya. Dan setiap orang yang hidup badaniyahnya dan mati hatinya, maka dia di sisi Allah termasuk orang yang mati. Walaupun dia pada orang-orang bodoh, termasuk orang yang hidup. Dan karena itulah, orang-orang syahid itu adalah orang-orang yang hidup pada sisi Tuhannya, yang dianugerahkan rezeki dalam keadaan gembira. Walaupun mereka adalah orang-orang yang sudah mati badaniyahnya.
Kedua kelezatan, dimana manusia bersekutu padanya dengan sebahagian hewan. Seperti: kelezatan menjadi kepala, menang dan penguasaan. Yang demikian itu terdapat pada singa, harimau dan sebahagian hewan lainnya.
Ketiga: apa yang manusia bersekutu padanya dengan hewan-hewan yang lain. Seperti: kelezatan perut dan kemaluan. Dan ini yang paling banyak adanya dan yang terkeji. Dan karena itulah, bersekutu padanya semua yang merangkak dan berjalan, sehingga ulat-ulat dan binatang-binatang kecil. Dan orang yang melewati tingkat ini, niscaya tersangkutlah padanya kelezatan menang. Yaitu yang paling sangat melekat dengan orang-orang lalai. Kalau orang itu melewati yang demikian, niscaya ia mendaki kepada tingkat ketiga. Maka kelezatan yang paling mengerasi padanya, ialah: kelezatan ilmu dan hikmah. Lebih-lebih lagi kelezatan mengenal Allah Ta’ala, mengenal sifat-sifatNya dan perbuatan-perbuatanNya. Dan inilah tingkat orang-orang ash-shiddiiqiin. Dan tiada akan dicapai kesempurnaannya, selain dengan keluarnya penguasaan suka menjadi kepala, dari hati. Dan yang penghabisan keluar dari kepala orang-orang ash-shiddiiqiin, ialah: kesukaan menjadi kepala. Adapun kerakusan perut dan kemaluan, maka dihancurkan oleh orang-orang shalih akan apa yang kuat padanya. Dan nafsu keinginan menjadi kepala, tidak kuat menghancurkannya, selain oleh orang-orang ash-shiddiiqiin. Adapun mencegahnya secara keseluruhan, sehingga tidak dirasakan akan terjadi lagi terus-menerus dan dalam keadaan manapun, maka yang demikian itu menyerupai adanya di luar kemampuan manusia. Benar, bertambah kuatlah kelezatan  ilmu mengenal Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala dalam hal-hal, yang tidak ada padanya, perasaan dengan kelezatan suka menjadi kepala dan memperoleh kemenangan. Akan tetapi, yang demikian itu tidak kekal sepanjang umur. Bahkan ditanggalkan oleh selingan-selingan waktu. Maka kembali kepadanya sifat-sifat kemanusiaan biasa. Lalu sifat-sifat kemanusiaan itu, terwujud. Akan tetapi, adalah dia itu dipaksakan, yang tidak sanggup membawa diri kepada keadilan. Ketika ini, maka hati itu terbagi kepada 4 bahagian:
1.      Hati, yang tidak dicintainya, selain Allah Ta’ala. Dan tidak merasa senang, selain dengan bertambah  ilmu mengenal Allah Ta’ala dan dzikir kepadaNya.
2.      Hati yang tidak mengetahui, apa kelezatan  ilmu mengenal Allah Ta’ala itu dan apa arti kejinakan jiwa dengan Allah. Kelezatan hati tersebut hanyalah dengan kemegahan, ingin jadi kepala, harta dan nafsu syahwat badaniyah lainnya.
3.      Hati, yang kebanyakan keadaannya jinak dengan Allah SWT dan berenak-enakan dengan  ilmu mengenal Allah Ta’ala dan dzikir kepadaNya. Akan tetapi, dalam sebahagian hal-keadaan, kadang-kadang ditanggalkan oleh kembalinya kepada sifat-sifat kemanusiaan biasa.
4.      Hati, yang kebanyakan keadaannya berenak-enakan dengan sifat-sifat kemanusiaan biasa. Dan pada sebahagian keadaan, ditanggalkan oleh berenak-enakan dengan ilmu dan  ilmu mengenal Allah Ta’ala.
Adapun yang pertama itu, jikalau mungkin ada, maka adalah sangat jauh dari adanya. Adapun yang kedua, maka dunia penuh dengan yang kedua ini. Adapun yang ketiga dan yang keempat, maka keduanya ada. Akan tetapi, sangat jarang. Dan tidak tergambar bahwa adanya yang demikian itu, selain jarang sekali dan sedikit terjadinya. Dan dengan jarangnya terjadi, berlebih kurang pula sedikit dan banyaknya. Yang banyak terjadi –sesungguhnya –adalah pada masa-masa yang dekat, dengan masa nabi-nabi as. Maka senantiasalah masa itu bertambah panjang dan hati yang seperti itu bertambah sedikit, sampai kepada dekatnya kiamat. Dan Allah Ta’ala melakukan qodo/hukum Allah akan sesuatu keadaan, yang adanya telah diperbuat. Sesungguhnya haruslah yang tersebut itu jarang terjadi. Karena itu adalah dasar-dasar kerajaan akhirat. Dan kerajaan itu hal yang agung. Dan raja-raja itu tidak banyak jumlahnya. Maka sebagaimana tidak ada yang mengatasi dalam kerajaan dan kecantikan, kecuali jarang dan kebanyakan manusia adalah kurang dari mereka, lalu demikian pula dalam kerajaan akhirat. Dunia sesungguhnya adalah cermin akhirat. Dunia itu ibarat dari alam syahadah (alam yang tampak kelihatan). Dan akhirat itu ibarat alam ghaib (alam yang tidak dapat dilihat). Dan alam syahadah itu mengikuti alam ghaib, sebagaimana gambar (rupa) dalam cermin mengikuti rupa orang yang melihat pada cermin itu. Dan rupa dalam cermin, walaupun dia itu yang kedua pada tingkat adanya, maka rupa itu lebih utama pada pihak penglihatan engkau. Engkau sesungguhnya tidak melihat diri engkau. Dan engkau melihat pertama-tama rupa engkau dalam cermin, lalu yang kedua, dengan demikian engkau mengenal rupa engkau yang berdiri pada engkau, atas jalan peniruan. Maka terbaliklah yang mengikuti pada adanya itu menjadi diikuti dalam hal  ilmu mengenal Allah Ta’ala. Dan terbaliklah yang terkemudian menjadi terdahulu. Ini adalah semacam yang terbalik ! akan tetapi, terbalik dan tertungging ke bawah itu adalah hal darurat (hal yang harus adanya) di alam ini.
Maka demikian pula alamul-mulki wasy-syahadah(penyaksian tubuh di alam dunia)itu meniru alamul-ghaib wal-malakut (alam malaikat yg tdk dapat dipersaksikan dgn mata). Setengah manusia ada yang senang baginya melihat sesuatu ibarat (pelajaran). Lalu ia tidak melihat pada sesuatu dari alamul-mulki/alam yg terlihat, melainkan ia mengambil ibarat daripadanya kepada alamul-malakut/alam yg tdk dapat dilihat. Lalu dinamakan ibaratnya itu suatu ibarat. Dan Allah Yang Maha Benar menyuruh dengan demikian. IA berfirman: “Maka ambillah ibarat (menjadi pelajaran) hai orang-orang yang mempunyai pemandangan yang tajam”. S Al Hasyr ayat 2. Di antara manusia, ada orang yang buta mata hatinya, lalu tidak dapat mengambil ibarat (pelajaran) daripadanya. Maka ia terkurung dalam penyaksian tubuh di alam dunia. Dan akan terbuka kepada tempat penahanannya itu pintu-pintu neraka jahannam. Tahanan tersebut penuh dengan api neraka, yang dari keadaannya itu akan menonjol atas jantung-jantung. Kecuali ada dinding (hijab) di antara dia dan mengetahui kepedihan neraka itu. Maka apabila hijab itu diangkat dengan mati, niscaya ia tahu yang demikian. Dan dari ini, diperlihatkan oleh Allah Ta’ala kebenaran atas lisan suatu kaum, yang IA tuturkan kepada mereka dengan kebenaran. Lalu mereka itu mengatakan: “Sorga dan neraka itu makhluk. Akan tetapi, neraka jahannam itu, sekali dapat diketahui dengan suatu pengetahuan, yang dinamai: ilmul-yaqiin. Dan lain kali dengan pengetahuan yang lain, yang dinamai: ainul-yaqiin. Dan ainul-yaqiin itu tidak ada, selain di akhirat. Dan ilmul-yaqiin itu kadang-kadang ada di dunia, akan tetapi bagi mereka yang telah menyempurnakan keberuntungan mereka dari nuurul-yaqiin. Maka karena itulah, Allah Ta’ala berfirman: “Jangan ! kalau kiranya kamu mengetahui dengan pengetahuan yang pasti (ilmul-yaqiin). Tentulah kamu akan melihat neraka !”. S At Takaatsur ayat 5-6. Artinya: di dunia. “Kemudian tentulah kamu akan melihatnya dengan ainul-yaqiin”. S At Takaatsur ayat 7. Artinya: di akhirat. Jadi, jelaslah bahwa hati yang patut bagi kerajaan akhirat adalah hati yang mulia, seperti orang yang patut bagi kerajaan dunia.
Bahagian keenam: mengandung kumpulan nikmat-nikmat: ketahuilah kiranya, bahwa nikmat itu terbagi kepada: yang dinikmati itu adalah tujuan yang dicari karena diri nikmat itu sendiri dan kepada: yang nikmat itu dicari untuk karena tujuan. Adapun tujuan, ialah: kebahagiaan akhirat. Dan hasilnya kembali kepada 4 perkara:
1.      Kekal, tak fana baginya.
2.      Gembira, tak redup padanya.
3.      Ilmu, tak ada kebodohan serta ilmu itu.
4.      Kaya, tak ada kemiskinan sesudahnya.
Itulah nikmat hakiki (nikmat yang sebenarnya). Dan karena itulah, Rasulullah saw bersabda: “Tak ada kehidupan, selain kehidupan akihrat”. Sekali, beliau sabdakan yang demikian pada waktu kesulitan, untuk menggembirakan bagi diri (jiwa). Yang demikian itu, pada waktu menggali al-khandaq (parit pertahanan keliling kota Madinah) pada waktu sangatnya kesulitan (menghadapi musuh yang menyerang kota Madinah). Sekali, beliau sabdakan yang demikian pada waktu gembira, untuk mencegah diri (jiwa) dari kecenderungan kepada kegembiraan duniawi. Yang demikian itu, ketika manusia ramai mengelilingi beliau pada hajji wada’. Seorang laki-laki berdoa: “Ya Allah Tuhanku ! aku bermohon padaMu kesempurnaan nikmat”. Nabi saw bersabda: “Tahukah kamu, apakah kesempurna an nikmat itu ?”. Laki-laki tadi menjawab: “Tidak !”. Lalu Nabi saw bersabda: “Kesempurnaan nikmat, ialah: masuk sorga”. Adapun jalan-jalannya (wasilah), maka terbagi kepada: yang terdekat, yang terkhusus, seperti: keutamaan jiwa. Dan kepada: yang mengiringinya pada kedekatan, seperti: keutamaan badan. Dan itu yang kedua. Dan kepada: yang mengiringinya pada kedekatan dan melampaui kepada bukan badan. Seperti: sebab-sebab yang mengelilingi badan, yaitu: harta, isteri dan kerabat. Dan kepada: yang mengumpulkan di antara sebab-sebab itu, yang keluar dari jiwa dan di antara yang menghasilkan bagi jiwa. Seperti: taufiq dan hidayah. Jadi, yang tersebut adalah 4 macam:
Macam pertama, yaitu: yang lebih khusus, ialah: keutamaan jiwa. Dan hasilnya kembali, serta bercabang-cabang tepinya, kepada: iman dan bagus akhlak. Dan iman itu terbagi kepada: ilmu mukaasyafah. Yaitu: ilmu tentang Allah Ta’ala, sifat-sifatNya, malaikat-malaikatNya dan rasul-rasulNya. Dan kepada: ilmul-mu’amalah (jual beli). Dan kebagusan akhlak itu terbagi kepada: dua bahagian: meninggalkan yang dikehendaki nafsu syahwat dan kemarahan. Dan namanya: al-‘iffah (sifat menjauhkan diri dari yang dilarang). Dan menjaga keadilan pada mencegah diri daripada yang dikehendaki nafsu syahwat dan tampil mengerjakannya. Sehingga ia tidak sekali-kali mencegah diri dan tidak tampil mengerjakannya, menurut kehendaknya. Akan tetapi, tampilnya dan tidaknya mengerjakan itu, adalah dengan timbangan yang adil, yang diturunkan oleh Allah Ta’ala atas lisan RasulNya saw. Karena Allah Ta’ala berfiman: “Supaya kamu jangan melanggar aturan berkenaan dengan neraca (keadilan) itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan”. S Ar Rahman ayat 8-9. Maka siapa meng-gasikan dirinya (membuang buah pelirnya), untuk menghilangkan keinginan kawin atau tidak mau kawin, sedang dia mampu dan aman dari bahaya atau ia meninggalkan makan, sehingga ia lemah dari ibadah, dzikir dan fikir, sesungguhnya ia telah merugikan timbangan. Dan siapa yang terjerumus dalam nafsu keinginan perut dan kemaluan, maka ia berbuat kedurhakaan pada timbangan. Dan sesungguhnya keadilan, ialah: bahwa ia melepaskan timbangan dan penakarannya dari kedurhakaan dan kerugian. Maka dengan yang demikian, menjadi adil (terdapat seimbangan) kedua daun neraca itu. Jadi, perbuatan-perbuatan utama yang khusus dengan jiwa, yang mendekatkan kepada Allah Ta’ala itu, 4: ilmu diminta untuk mengetahuinya saja, ilmu mu’amalah (jual beli), ‘iffah dan ‘adalah (keadilan). Dan ini menurut kebiasaannya, tiada akan sempurna, selain: dengan macam kedua. Yaitu: keutamaan-keutamaan badaniyah. Dan keutamaan badaniyah ini: 4. Yaitu: sehat, kuat, cantik dan panjang umur. Dan 4 perkara ini, tidak akan tersedia, selain dengan macam ketiga. Yaitu: nikmat-nikmat yang keluar, yang mengelilingi badan. Dan itu 4. Yaitu: harta, isteri, kemegahan dan kemurahan kaum kerabat. Dan tiada sedikitpun dapat diambil manfaat dari sebab-sebab yang keluar dan badaniyah ini, selain dengan macam keempat. Yaitu: sebab-sebab yang mengumpulkan di antara yang tersebut tadi dan apa yang bersesuaian dengan keutamaan-keutamaan jiwa yang masuk itu. Yaitu: 4, ialah: hidayah Allah, petunjukNya, pembetulanNya dan penguatanNya. Maka kumpulan nikmat-nikmat itu semua berjumlah: 16. Karena kita membagikannya kepada: 4. Dan masing-masing dari yang 4 itu, kita bagikan kepada: 4. Dan jumlah ini, sebahagian daripadanya memerlukan kepada sebahagian lainnya. Adakalanya: hajat dlarurat atau yang bermanfaat. Adapun hajat dlarurat, maka seperti: hajatnya kebahagiaan akhirat kepada iman dan bagus akhlak. Karena, tiada jalan sekali-kali untuk sampai ke-kebahagian akhirat, selain dengan: iman dan kebagusan akhlak. Maka tidaklah bagi insan itu, selain apa yang diusahakannya. Dan tiada bagi seseorang di akhirat itu, selain apa yang disediakannya menjadi perbekalan di dunia. Begitu pula hajat keutamaan jiwa mengusahakan ilmu-ilmu itu. Dan pembagusan akhlak kepada kesehatan badan itu perlu. Adapun hajat keperluan yang bermanfaat pada umumnya, adalah seperti hajat keperluan nikmat-nikmat kejiwaan dan badaniyah ini, kepada nikmat-nikmat yang di luar. Seperti: harta, kemuliaan dan isteri. Karena yang demikian itu, jikalau tidak ada, kadang-kadang terjadilah kecederaan kepada sebahagian nikmat-nikmat yang di dalam. Jikalau anda menanyakan: maka apakah caranya memerlukan bagi jalan akhirat, kepada nikmat-nikmat yang di luar, dari: harta, isteri, kemegahan dan kaum keluarga ? ketahuuilah kiranya, bahwa sebab-sebab ini berlaku, sebagai berlakunya sayap yang menyampaikan dan alat yang memudahkan bagi maksud.
Adapun harta, maka orang miskin pada mencari ilmu dan kesempurnnaan dan ia tidak mempunyai kecukupan, adalah seperti orang pergi ke medan perang, tanpa senjata. Dan seperti pemburu yang bermaksud berburu, tanpa tangan. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Amat nikmatlah harta yang baik bagi orang yang baik”. Nabi saw bersabda: “Pertolongan yang baik kepada bertaqwa kepada Allah, ialah: harta”. Betapa tidak ! siapa yang tiada mempunyai harta, niscaya ia menghabiskan waktunya mencari apa yang dimakan, pada menyediakan pakaian, tempat tinggal dan keperluan-keperluan hidup yang lain. Kemudian, ia menghadapi berbagai macam kesakitan, yang menyibukkannya, tidak berdzikir dan berfikir (bertafakkur). Dan semua itu tidak dapat menolaknya, selain dengan senjata harta.
Kemudian, di samping itu, ia tidak memperoleh keutamaan hajji, zakat, sedekah dan kelimpahan amal kebajikan lainnya. Dan sebahagian hukama’ berkata dan telah ditanyakan kepadanya: “Siapakah yang memperoleh nikmat ?”, maka beliau menjawab: “Orang kaya ! sesungguhnya aku melihat orang miskin itu tiada mempunyai kehidupan”. Yang bertanya tadi, menjawab: “Tambahkanlah lagi kepada kami”. Hukama itu menjawab: “Aman ! sesungguhnya aku melihat, bahwa orang takut itu tiada berkehidupan”. Orang yang bertanya itu, meminta lagi: “Tambahkanlah kepada kami !”. Ahli hikmah itu menjawab: “Sehat wal-afiat. Sesungguhnya aku melihat orang sakit itu tiada berkehidupan”. Orang yang bertanya itu, meminta lagi: “Tambahkan kepada kami !”. Ahli hikmah itu menjawab: “Muda. Sesungguhnya aku melihat, bahwa orang tua itu tiada berkehidupan”. Seakan-akan apa yang disebutkan itu, sebagai isyarat kepada kenikmatan dunia. Akan tetapi, dari segi, bahwa yang demikian itu dapat menolong kepada akhirat, maka itu nikmat. Karena itulah, Nabi saw bersabda: “Barangsiapa memperoleh kesehatan pada tubuhnya, aman pada dirinya, padanya ada makanan harinya, maka seolah-olah telah dikumpulkan baginya dunia dengan isinya”. Adapun isteri dan anak yang shalih, maka tidaklah tersembunyi akan perlunya yang dua ini. Karena Nabi saw bersabda: “Sebaik-baik pertolongan kepada agama, ialah: wanita yang shalih”. Nabi saw bersabda: “Apabila hamba itu mati, niscaya putuslah amalnya, selain: 3: anak yang shalih yang berdoa kepadanya......akhir hadits”.
Dan kami telah menyebutkan dahulu tentang faedah isteri dan anak pada “Kitab Nikah”. Adapun mengenai kaum kerabat, maka walaupun seorang laki-laki mempunyai banyak anak dan kaum keluarganya, niscaya adalah mereka itu baginya seperti mata dan tangan. Maka mudahlah baginya dengan sebab mereka, urusan keduniaan yang penting mengenai agamanya. Dan kalau ia sendirian, niscaya lamalah urusannya. Dan setiap apa, yang kosong hati engkau dari kepentingan duniawi, maka itu menolong bagi engkau kepada agama. Jadi, itu adalah nikmat.
Adapun kemuliaan dan kemegahan, maka dengan itu, manusia menolak dari dirinya, kehinaan dan kezaliman. Dan orang muslim memerlukan kepadanya. Maka sesungguhnya ia tidak terlepas dari musuh yang menyakitinya dan orang zalim yang mengacaukan ilmunya, amalnya dan waktu kosongnya dari pekerjaan. Dan menyibukkan hatinya. Dan hatinya itu adalah modalnya. Sesungguhnya, gangguan-gangguan itu dapat tertolak dengan kemuliaan dan kemegahan. Dan karena itulah, dikatakan: agama dan sultan (penguasa) itu dua anak kembar. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau tidak ada pembelaan Allah terhadap serangan manusia satu sama lain, niscaya binasalah bumi ini”. S 2 Al Baqarah ayat 251. Tidak ada arti kemegahan, selain dengan memiliki hati orang banyak, sebagaimana tidak ada arti kekayaan, selain dengan memiliki dirham (uang). Dan siapa yang memiliki banyak dirham, niscaya mudahlah baginya orang-orang yang mempunyai hati, untuk menolak kesakitan daripadanya. Maka sebagaimana manusia memerlukan kepada atap rumah, yang menolak hujan daripadanya, memerlukan kepada baju tebal yang menolak kedinginan daripadanya dan memerlukan kepada anjing yang menolak srigala daripada binatang ternaknya, maka begitu pula ia memerlukan kepada orang yang menolak kejahatan daripada dirinya. Dan di atas maksud ini, adalah nabi-nabi yang tiada berkepunyaan dan kekuasaan, berbuat baik kepada penguasa-penguasa dan meminta pada mereka kemegahan. Dan begitu pula ulama-ulama agama (ulamaud-din). Tidak dengan maksud mengambil dari gudang-gudang mereka, mencari keutamaan dan kebanyakan di dunia dengan pengikutan mereka. Dan anda jangan menyangka, bahwa nikmat Allah Ta’ala kepada rasulNya saw di mana IA menolongnya, menyempurnakan agamanya, memenangkannya atas semua musuhnya dan menetapkan dalam hati manusia akan kecintaan kepadanya, sehingga meluas kemuliaannya dan kemegahannya, adalah itu yang paling sedikit dari nikmatNya kepada RasulNya, di mana beliau disakiti dan dipukul. Sehingga berhajat kepada lari dan berhijrah. Jikalau anda bertanya: kemurahan kaum keluarga dan kemuliaan isteri, adakah itu termasuk nikmat atau tidak ? Aku menjawab: Ya ! dan karena itulah Rasulullah saw bersabda: “Imam-imam (kepala-kepala pemerintahan) itu dari orang Quraisy”. Dan karena yang demikian, maka Nabi saw adalah manusia yang termulia asalnya dalam keturunan Nabi Adam as. Nabi saw bersabda: “Pilihlah untuk tempat nutfahmu (isterimu) wanita yang sepadan (sekufu)”. Nabi saw bersabda: “Awaslah dari wanita yang khadl-raa-ad-diman !”. Lalu ditanyakan: “Apakah khadl-raa-ad-diman itu ?”. Rasulullah saw menjawab: “Perempuan cantik pada tempat tumbuhnya yang jahat”. Maka ini juga termasuk nikmat. Dan bukanlah maksudku dengan yang demikian itu berketurunan dari orang-orang zalim dan orang-orang dunia. Akan tetapi, berketurunan dari pohon (tali keturunan) Rasulullah saw, dari ulama-ulama terkemuka, orang-orang shalih dan orang-orang baik, yang berbekas pada mereka ilmu dan amal. Jikalau anda bertanya:  “Apakah keutamaan badan ?”. Maka aku akan menjawab, bahwa: tiada tersembunyi tentang sangat perlunya kesehatan dan kekuatan dan kepada panjang umur. Karena ilmu dan amal itu tiada akan sempurna, selain dengan yang dua tadi. Dan karena itulah Nabi saw bersabbda: “Kebahagiaan yang paling utama, ialah panjang umur pada taat kepada Allah Ta’ala”.
Sesungguhnya, secara keseluruhan, urusan kecantikan itu dipandang hina. Maka dikatakan, bahwa memadailah ada badan itu selamat sejahtera dari penyakit-penyakit yang mengganggu, daripada menuju kepada amal kebajikan. Demi umurku, bahwa kecantikan itu sedikit manfaatnya. Akan tetapi, termasuk kebajikan juga. Adapun di dunia, maka tidaklah tersembunyi manfaatnya kecantikan itu. Adapun di akhirat, maka dari 2 segi: salah satu dari dua segi itu, ialah, bahwa: yang keji itu tercela. Dan tabiat (sifat) manusia itu tidak senang kepada yang keji (jelek). Dan hajat keperluan orang yang cantik itu lebih dekat untuk diperkenankan. Dan kemegahannya dalam dada orang banyak itu lebih luas. Maka dari segi ini, kecantikan itu sayap yang menyampaikan kepada maksud, seperti harta dan kemegahan. Karena kecantikan itu semacam kudrat (kuasa). Karena orang yang bermuka cantik sanggup memenuhi hajat-hajatnya, yang tidak disanggupi oleh orang yang bermuka jelek. Dan setiap apa yang menolong kepada penunaian hajat keperluan duniawi, maka itu dapat menolong kepada akhirat dengan perantaraannya.
Yang kedua, bahwa kecantikan itu pada kebanyakannya menunjukkan atas keutamaan jiwa. Karena cahaya jiwa itu, apabila sempurna kecemerlangannya, niscaya membawa kepada badan. Maka pemandangan (dari pihak tubuhnya) dan yang menerangkan (dari pihak jiwanya) itu, kebanyakannya harus-mengharuskan. Dan karena itulah, orang-orang ahli firasat, berpegang pada mengetahui kemuliaan jiwa, kepada keadaan bentuk tubuh seseorang. Maka mengatakan: muka dan mata itu cermin dari batin.
Dan karena itulah, lahir padanya bekas marah, gembira dan dukacita. Dan karena itulah dikatakan: kejernihan muka itu alamat (tanda) apa yang di dalam jiwa. Dan dikatakan: “Apa yang di dalam bumi itu jelek, selain bahwa mukanya itu lebih bagus daripada yang ada padanya”.
Khalifah Al-Ma’mun memerintahkan supaya tentara datang kepadanya. Maka datanglah kepadanya seorang laki-laki yang jelek mukanya. Lalu beliau ingin berbicara dengan orang tersebut. Rupanya orang itu kelu. Maka beliau hapuskan namanya dari daftar tentara. Dan beliau berkata: “Nyawa itu, apabila cemerlang pada zahir, maka terang. Atau pada batin, maka jelas. Dan orang ini tidak mempunyai zahir dan batin”.
Nabi saw bersabda: “Carilah kebajikan itu pada muka yang cemerlang”. Umar ra berkata: “Apabila kamu mengutus seorang utusan, maka carilah yang bagus mukanya dan bagus namanya”. Para fuqaha’ berkata: “Apabila bersamaan derajat orang-orang yang mengerjakan shalat, maka yang lebih bagus wajahnya itu yang lebih utama menjadi imam”. Allah Ta’ala berfirman, yang mengurniai dengan demikian: “Allah Ta’ala menganugerahinya ilmu yang luas dan badan yang kuat”. S 2 Al Baqarah ayat 247. Tidaklah kami bermaksud dengan kecantikan itu, apa yang menggerakkan nafssu syahwat. Maka sesungguhnya yang demikian itu kewanitaan. Sesungguhnya yang kami kehendaki, ialah ketinggian badan dengan kelurusan, serta sedang pada daging, kesesuaian anggota badan dan sempurna kejadian muka, di mana tabiat orang tertarik memandang kepadanya. Kalau anda berkata, bahwa aku telah memasukkan harta, kemegahan, keturunan, isteri dan anak dalam bahagian nikmat. Padahal Allah Ta’ala mencela harta dan kemegahan. Demikian pula Rasulullah saw. Demikian pula para ulama. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya di antara isteri dan anak-anakmu, ada yang menjadi musuh bagi kamu. Sebab itu, berhati-hatilah terhadap mereka!”. S 64 Ath Taghabun ayat 14. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya harta kamu dan anak-anak kamu itu fitnah (ujian)”. S 64 Ath Taghabun ayat 15. Ali ra berkata tentang tercelanya keturunan: “Manusia itu putera dari yang diperbuatnya dengan baik. Dan nilai setiap manusia itu, yang diperbuatnya dengan baik”. Ada yang mengatakan: “Manusia itu dengan dirinya sendiri, tidak dengan ayahnya”. Maka apakah artinya itu nikmat, sedang dia itu tercela pada agama ? Maka ketahuilah, bahwa siapa yang mengambil ilmu dari kata-kata yang dinukilkan, lagi yang dita’wilkan dan umum yang dikhususkan, niscaya kesesatan adalah lebih keras kepadanya, selama ia tidak memperoleh petunjuk dengan nur Allah Ta’ala, kepada mengetahui ilmu menurut yang sebenarnya. Kemudian ditempatkan nukilan itu, sesuai dengan apa yang terang daripadanya. Sekali dengan penafsiran dan kali yang lain dengan pengkhususan. Maka inilah nikmat-nikmat yang menolong kepada urusan akhirat, yang tiada jalan kepada mengingkarinya. Hanya ada padanya fitnah (ujian) dan ketakutan-ketakutan. Maka contoh harta itu, adalah seperti ular, yang ada padanya obat penolak bisa racun yang bermanfaat dan racun yang bermanfaat. Maka jikalau ular itu didapati oleh orang yang mempunyai azimat, yang mengetahui cara menjaga dari racun ular dan jalan mengeluarkan obat racunnya yang bermanfaat, niscaya adalah itu nikmat. Dan jikalau didapati ular itu oleh orang bodoh yang terperdaya, maka ular itu bencana dan kebinasaan atas dirinya. Dan itu adalah seperti laut, yang di bawahnya bermacam-macam mutiara dan intan permata. Maka siapa yang mendapati laut itu, jikalau ia tahu berenang dan jalan menyelam dan jalan menjaga diri dari hal-hal yang membinasakan di laut, maka ia telah memperoleh dengan kenikmatannya. Dan jikalau ia menyelam, sedang ia tidak mengetahui yang demikian, maka sesungguhnya ia binasa. Maka karena itulah, Allah Ta’ala memuji harta dan menamakkannya: kebajikan.
Dan Rasulullah saw memuji yang demikian. Dan bersabda: “Sebaik-baik pertolongan kepada bertaqwa kepada Allah Ta’ala, ialah; harta”. Dan seperti yang demikian juga pujian kemegahan dan kemuliaan. Karena Allah Ta’ala telah menganugerahkan nikmat kepada RasulNya saw, dengan dimenangkanNya agama Islam itu di atas semua agama. Dan dicurahkanNya kasih sayang kepadanya dalam hati makhluk. Dan itulah arti kemegahan. Akan tetapi, yang dinukilkan pada pemujian kemegahan dan kemuliaan itu sedikit. Dan yang dinukilkan pada mencacikan harta dan kemegahan itu banyak. Dan sekiranya dicela ria, maka itu adalah dicela kemegahan. Karena ria itu maksudnya menarik hati orang banyak. Dan arti kemegahan, ialah: memiliki hati orang banyak. Dan sesungguhnya banyak ini dan sedikit itu, karena manusia, kebanyakannya bodoh akan jalan petunjuk bagi ular harta dan jalan menyelam dalam lautan kemegahan.
Maka haruslah memperingatkan mereka. Maka sesungguhnya mereka akan binasa dengan racun harta, sebelum sampai obat racunnya. Dan mereka akan dibinasakan oleh buaya lautan kemegahan, sebelum memperoleh mutiara-mutiaranya. Jikalau adalah harta dan kemegahan itu pada dirinya tercela, dikaitkan kepada masing-masing orang, niscaya tidaklah tergambar bahwa disandarkan kerajaan kepada kenabian, sebagaimana ada yang demikian itu bagi Rasul kita saw. Dan tidak bahwa disandarkan kekayaan kepada kenabian, sebagaimana adanya yang demikian bagi Nabi Sulaiman as. manusia semuanya itu anak kecil. Harta-harta itu ular. Dan nabi-nabi dan orang-orang arifin itu mempunyai azimat. Maka kadang-kadang mendatangkan melarat kepada anak kecil, apa yang tidak mendatangkan melarat kepada orang yang mempunyai azimat. Ya, benar, bahwa orang yang mempunyai azimat, jikalau mempunyai anak, yang dikehendakinya kekal hidup dan baik ia telah mendapati seekor ular dan ia tahu, bahwa jikalau diambilnya ular itu untuk obat racunnya, niscaya terlepaslah dengan yang demikian akan anaknya. Dan diambilnya ular itu. Apabila dilihatnya ular itu untuk bermain-main anaknya, maka binasalah anaknya. Ia mempunyai maksud pada obat racun ular itu. Dan ia mempunyai maksud pada memelihara anak. Maka haruslah ia menimbang, di antara maksudnya pada mengambil obat racun ular dan maksudnya memeliharakan anak. Maka apabila ia sanggup bersabar daripada mengambil obat racun ular dan tidak memperoleh melarat yang banyak dengan yang demikian dan jikalau diambilnya ular itu, niscaya diambil oleh anaknya dan besarlah melaratnya, dengan kebinasaan anak itu, maka wajiblah ia lari dari ular, apabila dilihatnya. Dan diisyaratkannya kepada anaknya dengan menyuruh lari. Dan dijelekkannya bentuk ular itu pada mata anaknya. Dan diberitahukannya juga, bahwa pada ular itu ada racun yang membunuh, yang tiada akan terlepas daripadanya seseorang. Dan janganlah sekali-kali diceritakannya, bahwa pada ular itu ada kemanfaatan obat racunnya.
Sesungguhnya yang demikian itu, kadang-kadang memperdayakan akan anak itu. Lalu ia tampil hendak mengambil obat racun tersebut, tanpa sempurnanya pengetahuan. Dan seperti itu pula: menyelam. Apabila ia tahu, bahwa jikalau ia menyelam dalam laut dengan dilihat anaknya, niscaya anak itu akan mengikuti nya. Dan anak itu binasa. Maka haruslah ia menakutkan anak kecil itu ke tepi laut dan sungai. Dan jikalau anak kecil itu tidak takut dengan semata-mata ditakutkan, manakala ia melihat ayahnya berkeliling di keliling pantai, maka haruslah ia menjauh dari pantai bersama anak kecil itu. Dan ia tidak mendekati pantai di hadapan anaknya. Maka seperti demikianlah umat dalam pangkuan nabi-nabi as seperti anak-anak kecil yang bodoh. Dan karena demikianlah, maka Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku bagi kamu, adalah seperti bapak bagi anaknya”. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya kamu menempuh ke atas neraka seperti terbangnya kupu-kupu dan aku memegang tali pinggangmu”. Dan keuntungan mereka yang lebih sempurna ialah pada menjaga anak-anak mereka daripada kebinasaan. Maka mereka sesungguhnya tidak diutus, melainkan untuk yang demikian. Dan tiada keuntungan bagi mereka pada harta, selain sekadar untuk dimakan. Maka tida mengapa, mereka menyingkatkan kepada sekadar yang dimakan itu. Dan apa yang lebih, maka tidak ditahan oleh mereka. Akan tetapi, dinafkahkannya (kepada jalan kebaikan). Sesungguhnya pada menafkahkan itu obat bagi racun. Dan pada menahankannya itu racun. Dan jikalau dibukakan bagi manusia, pintu mengusahakan harta dan mereka mengingini pintu itu, niscaya mereka cenderung kepada racun penahanan harta. Dan mereka tidak suka kepada obat racun penafkahan. Maka karena itulah, harta itu dipandang keji. Artinya: dikejikan penahanan (tidak dinafkahkan) harta-harta itu. Dan rakus untuk memperbanyakkannya. Dan berlapang-lapangan pada menikmatinya, dengan yang mengharuskan kecenderungan kepada dunia dan kelezatannya.
Adapun mengambil harta itu sekadar mencukupi dan menyerahkan selebihnya kepada amal kebajikan, maka tidaklah tercela. Dan menjadi hak setiap orang musafir, bahwa ia tidak membawa, selain sekadar perbekalannya dalam perjalanan, apabila benar-benar ia berazam/berkeinginan untuk mengkhususkan bagi dirinya sendiri, dengan apa yang dibawanya. Adapun apabila ia melapangkan dirinya untuk memberikan makanan dan meluaskan perbekalan kepada teman-temannya, maka tiada mengapa ia membanyakkan membawanya. Dan sabda Nabi saw: “Hendaklah sampai banyaknya perbelanjaan seseorang kamu dari dunia, seperti perbekalan seorang pengendara dalam perjalanan”, maksudnya bagi dirimu sendiri khususnya. Dan jikalau tidaklah demikian, maka sesungguhnya adalah dalam golongan orang yang merawikan hadits tersebut dan mengamalkannya, orang-orang yang mengambil 100 ribu dirham pada suatu tempat dan membagi-bagikannya pada tempatnya itu. Dan tidak ditahankannya sebijipun. Dan tatkala Rasulullah saw menerangkan, bahwa orang-orang kaya itu masuk ke sorga dengan susah, maka Abdurrahman bin ‘Auf ra meminta izin pada Rasulullah saw untuk dikeluarkannya dari semua yang dimilikinya. Maka Rasulullah saw mengizinkannya. Lalu turunlah Jibril as dan berkata: “Suruhlah dia memberi makanan orang miskin dan memberi pakaian yang telanjang dan memuliakan tamu dengan hartanya itu......hadits”. Jadi, nikmat-nikmat duniawi itu bercampur baur. Bercampur obatnya dengan penyakitnya, bercampur yang diharap dengan yang ditakuti dan yang bermanfaat dengan yang melarat. Maka siapa yang mempercayai dengan mata hatinya dan kesempurnaan  ilmu mengenal Allah Ta’alanya, maka ia dapar mendekati kepada nikmat-nikmat itu, dengan menjaga dari penyakitnya dan mengeluarkan obatnya. Dan siapa yang tiada mempercayai dengan mata hati dan kesempurnaan  ilmu mengenal Allah Ta’alanya, maka hendaklah menjauhkan diri dan lari dari tempat-tempat sangkaan bahaya.
Maka tidaklah nikmat-nikmat itu seimbang dengan keselamatan sedikitpun pada mereka. Dan mereka itu makhluk semuanya, selain orang yang dipelihara oleh Allah Ta’ala dan ditunjukiNya kepada jalanNya. Jikalau anda bertanya: maka apakah artinya taufik yang kembali kepada hidayah, ar-rusydu (jalan benar), at-ta’yid (penguatan) dan at-tasdid (pembetulan) ? Maka ketahuilah kiranya, bahwa taufik itu tiada seorangpun yang tidak memerlukan kepadanya. Dan itu adalah ibarat dari penyusunan dan pendempetan antara kehendak hamba dan qodo’ (hukum) Allah dan taqdirNya. Dan ini melengkapi kebajikan dan kejahatan dan apa dia itu bahagia dan apa dia itu celaka. Akan tetapi, telah berlaku adat-kebiasaan, dengan mengkhususkan nama taufik, dengan apa yang bersesuaian dengan kebahagiaan dari jumlah qodo Allah Ta’ala dan taqdirNya. Sebagaimana ilhad (mengingkari) itu ibarat dari kecenderungan. Maka dikhususkan dengan orang yang cenderung kepada yang batil/salah. Tidak dari yang haq (benar). Dan begitu pula murtad dari agama. Dan tiadalah tersembunyi dengan perlunya kepada taufik. Dan karena itulah dikatakan pada sekuntum syair:
Apabila tiada pertolongan,
daripada Allah kepada seorang pemuda,
maka banyaklah ia dianiayakan,
oleh putaran pikirannya.
Adapun hidayah (memperoleh petunjuk) maka tiada jalan bagi seseorang pada mencari kebahagiaan, selain dengan hidayah itu. Karena sesungguhnya, pengajak insan, kadang-kadang pengajak itu cenderung kepada yang ada padanya kebaikan akhiratnya. Akan tetapi, apabila ia tidak mengetahui akan yang ada padanya kebaikan akhiratnya, sehingga ia menyangka kerusakan itu perbaikan, maka dari manakah akan bermanfaat kepadanya oleh semata-mata kehendak ? maka tiada berfaedah pada kehendak, kemampuan dan sebab-sebab lainnya, selain sesudah hidayah. Dan karena itulah Allah Ta’ala berfirman: “Tuhan kami ialah DIA yang memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, lalu dipimpinNya (menurut alam masing-masing)”. S Tha Ha ayat 50. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau tiadalah kemurahan Allah dan kasih sayangNya kepada kamu, buat selamanya tiada seorangpun di antara kamu yang bersih (suci), akan tetapi Allah mensucikan orang-orang yang dikehendakiNya”. S An Nur ayat 21. Nabi saw bersabda: “Tiada seseorang akan masuk sorga, selain dengan rahmat Allah Ta’ala”. Artinya: dengan hidayahNya. Lalu beliau ditanyakan: “Dan tidak juga engkau wahai Rasul Allah ?”. Beliau menjawab: “Dan tidak juga aku !”. Hidayah itu mempunyai 3 tempat kedudukan:
Pertama: mengetahui jalan kebajikan dan kejahatan, yang diisyaratkan kepadanya dengan firman Allah Ta’ala: “Dan Kami tunjukkan kepadanya dua jalan raya (jalan kebaikan dan jalan kejahatan)”. S Al Balad ayat 10. Dan Allah Ta’ala menganugerahkan nikmat dengan yang demikian kepada seluruh hambaNya. Sebahagian dengan jalan akal dan sebahagian dengan lisan rasul-rasul. Dan karena yang demikian, Allah Ta’ala berfirman: “Adapun Tsamud, maka Kami beri pimpinan, tetapi mereka lebih mencintai buta (hati) daripada menerima pimpinan kebenaran”. S Fussilat ayat 17. Maka sebab-sebab memperoleh petunjuk (pimpinan), ialah: kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, rasul-rasul dan akal-akal yang dapat melihat kebenaran. Dan itu semua yang dianugerahkan kepada mereka dan tiada yang mencegah dari yang demikian, selain oleh dengki, sombong, mencintai dunia dan sebab-sebab yang membutakan hati. Walaupun tidak membutakan penglihatan. Allah Ta’ala berfirman: “Karena sesungguhnya bukan mata yang buta, akan tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. S Al Hajj ayat 46. Di antara jumlah yang membutakan hati itu kejinakan hati kepada dunia dan adat kebiasaan. Dan mencintai menyertai keduanya. Dan dari itulah diibaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya kami dapati bapak-bapak kami memeluk suatu agama dan sudah tentu kami ikuti saja jejak mereka”. S Az Zukhruf ayat 22. Dan dari kesombongan dan kedengkian itu diibaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan mereka berkata: Mengapa Alquran ini tidak diturunkan kepada orang besar dari salah satu dua kota (Makkah atau Thaif)”. S Az Zukhruf ayat 31. Dan firman Allah Ta’ala: “Adakah seorang manusia dari antara kami sendiri akan kami turut ?”. S Al Qamar ayat 24. Maka segala yang membutakan ini, itulah yang mencegah memperoleh petunjuk dan hidayah.
Kedua: di belakang hidayah umum ini. Yaitu: yang diberi pertolongan oleh Allah Ta’ala dengan hidayah tersebut akan hambaNya, suatu keadaan sesudah suatu keadaan. Dan itu adalah buah (hasil) bersungguh‑sungguh, di mana Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami”. S Al Ankabut ayat 69. Yaitu: yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan orang-orang yang mengikuti pimpinan kebenaran Tuhan menambahkan pimpinan untuk mereka”. S 47 Muhammad ayat 17.
Hidayah ketiga itu dibelakang hidayah kedua. Dan yaitu: cahaya yang cemerlang dalam alam kenabian dan kewalian, sesudah sempurna  bersungguh‑ sungguh. Maka memperoleh petunjuk dengan yang tersebut itu, kepada apa yang tiada diperoleh kepadanya dengan akal, yang dengan akal itu terjadi kewajiban menjadikan orang yang sudah dewasa dan kemungkinan mempelajari berbagai macam ilmu. Dan itulah petunjuk mutlak. Dan yang lainnya, adalah dinding bagi nya dan merupakan pendahuluan-pendahuluan. Dan itulah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dengan mengkuhsuskan penyandaran kepadanya. Walaupun semua itu adalah dari pihaknya Allah Ta’ala. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Katakan: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya”. S 2 Al Baqarah ayat 120. Dan itulah yang dinamakan hidup pada firman Allah Ta’ala: “Apakah orang-orang yang sudah mati, kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, dengan itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia”. S 6 Al An’aam ayat 122. Dan yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Apakah orang yang dibukakan oleh Allah hatinya menerima Islam, karena itu dia mendapat cahaya dari Tuhannya”. S Az Zumar ayat 22.
Adapun tujuan yang benar, maka kami maksudkan, ialah pertolongan ketuhanan yang menolong insan ketika menghadapkan diri dan jiwanya kepada maksud-maksudnya. Maka pertolongan itu menguatkannya kepada apa, yang padanya perbaikannya. Dan melumpuhkannya dari apa, yang padanya kerusakannya. Dan adalah yang demikian itu termasuk batin (hal batiniyah). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya, dahulu Kami telah memberikan kepada Ibrahim tujuan yang benar dan Kami kenal kepadanya”. S 21 Al Anbiyaa ayat 51. Maka tujuan yang benar itu ibarat dari petunjuk yang membangkitkan kepada pihak kebahagiaan, yang menggerakkan kepadanya. Maka anak kecil, apabila ia sampai mengetahui dengan menjaga harta, jalan-jalan perniagaan dan menambahkan harta, akan tetapi bersamaan dengan yang demikian, ia memboros dan tiada berkehendak menambahkan harta itu, niscaya ia tidak dinamakan: yang mendapat petunjuk jalan yang benar. Tidak saja karena tiada hidayah baginya, bahkan juga karena kurang hidayahnya daripada menggerakkan pengajaknya. Maka berapa banyak orang yang tampil mengerjakan apa yang diketahuinya, bahwa itu mendatangkan melarat baginya. Maka sesungguhnya ia telah dianugerahkan hidayah dan dengan hidayah itu, ia berbeda dari orang bodoh yang tiada mengetahui bahwa itu mendatangkan melarat baginya. Akan tetapi, ia tiada dianugerahkan tujuan yang benar. Maka tujuan yang benar dengan ibarat ini, lebih sempurna dari semata-mata hidayah, kepada wajah-wajah amal. Dan itulah nikmat yang besar.
Adapun pembetulan, maka yaitu: pengarahan gerak-gerikanya kepada betulnya yang dicari dan memudahkannya kepadanya. Supaya bersangatan pada betul nya yang betul pada waktu yang secepat-cepatnya. Maka sesungguhnya hidayah dengan semata-mata hidayah itu tidak memadai. Akan tetapi, tidak boleh tidak daripada hidayah yang menggerakkan kepada pengajak. Yaitu: tujuan yang benar. Dan tujuan yang benar itu tidak memadai, akan tetapi tidak boleh tidak daripada kemudahan (keentengan) gerak-gerik, dengan pertolongan anggota badan dan alat-alat. Sehingga sempurnalah yang dikehendaki, daripada yang membangkitkan pengajak kepadanya. Maka hidayah itu semata-mata memperkenalkan (at-ta’rif). Dan tujuan yang benar itu memberitahukan pengajak, supaya ia bangun dan bergerak. Dan at-tasdid itu pertolongan dan perbantuan dengan menggerakkan anggota-anggota badan pada betulnya pembetulan itu. Adapun at-ta’yid, maka seakan-akan ia mengumpulkan semua. Dan dia itu ibarat daripada penguatan urusannya dengan penglihatan mata hati dari dalam. Dan penguatan genggaman dan perbenturan sebab-sebab dari luar. Dan itulah yang dikehendaki dengan firmanNya ‘Azza Wa Jalla: “Ketika Aku menolong engkau (at-tayid= semata-mata memperkenalkan, pertolongan dan perbantuan dengan menggerakkan anggota-anggota badan pada betulnya pembetulan itu ) dengan roh suci”. S 5 Al Maa-idah ayat 110. Dan mendekati daripadanya al-‘ishmah (pemeliharaan). Dan itu adalah ibarat dari wujud kelimpahan ketuhanan yang datang dalam batin. Yang dengan demikian itu, kuatlah insan kepada mengerjakan kebajikan dan menjauhkan kejahatan. Sehingga jadilah sebagai penghalang dari batiniyahnya yang tidak terasa.
Dan itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan perempuan itu memang suka kepadanya (Yusuf). Dan dia suka pula kepada perempuan itu, kalau dia tidak melihat keterangan dari Tuhannya”. S Yusuf ayat 24. Maka inilah dia tempat-tempat pengumpulan nikmat ! dan nikmat-nikmat itu tiada akan menetap, selain dengan apa yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala, daripada paham yang bersih dan tembus, pendengaran yang terang, hati yang melihat, merendahkan diri dan menjaga dan guru yang menasehati, harta yang berlebih daripada yang penting-penting, yang terbatas dengan sedikitnya, yang memendekkan daripada yang menyibukkan dari agama, disebabkan banyaknya. Dan kemuliaan yang memeliharakannya dari kebodohan orang-orang bodoh dan kezaliman musuh-musuh. Dan masing-masing dari sebab-sebab tersebut itu mengajak 16 sebab pula. Dan sebab-sebab itu mengajak sebab-sebab yang lain, sampai kepada berkesudahan dengan akhirat kepada petunjuk orang-orang yang heran dan tempat penyantunan orang-orang yang melarat. Dan itulah Pemilik bagi segala yang memiliki dan Penyebab segala sebab-sebab. Apabila adalah sebab-sebab itu panjang, yang tidak terbawa oleh kitab ini, akan perhinggaannya, maka marilah kami sebutkan daripadanya suatu contoh, supaya diketahui dengan yang demikian itu, akan maksud firmannya Allah Ta’ala: “Dan kalau kamu hitung akan nikmat Allah, niscaya tidak dapat kamu menghitungnya”. S Ibrahim ayat 34.
PENJELASAN: wajah contoh pada banyaknya nikmat-nikmat Allah Ta’ala dan sambung-menyambungnya dan keluarnya dari hinggaan dan hitungan.
Ketahuilah, bahwa kami telah mengumpulkan nikmat-nikmat itu pada 16 macam. Dan kami jadikan kesehatan badan suatu nikmat dari nikmat-nikmat yang jatuh pada tingkat terakhir. Maka nikmat yang satu ini, jikalau kita kehendaki menghitungkan sebab-sebab, yang dengan sebab-sebab itu sempurnalah nikmat ini, niscaya kita tidak sanggup atas yang demikian. Akan tetapi, makan adalah salah satu sebab-sebab sehat. Maka hendaklah kami sebutkan serangkaian dari jumlah sebab-sebab, yang dengan sebab-sebab itu akan sempurna nikmat makan. Maka tiada sunyilah kiranya, bahwa makan itu suatu perbuatan. Dan setiap perbuatan dari macam ini, maka itu suatu gerak. Dan setiap gerak, tak boleh tidak, mempunyai tubuh yang bergerak, yang menjadi alatnya gerak itu. Dan tak boleh tidak, alat itu mempunyai kemampuan kepada bergerak. Dan tak boleh tidak, daripada kehendak kepada bergerak. Dan tak boleh tidak dari ilmu dengan yang dimaksud. Dan mengetahui yang dimaksud itu. Dan tak boleh tidak bagi makan itu dari yang dimakan. Dan tak boleh tidak bagi yang dimakan itu, dari asal, yang dari asal itu ia diperoleh. Dan tak boleh tidak baginya yang memperbuatnya, yang membaikkannya. Maka marilah kami sebutkan sebab-sebab mengetahuinya. Kemudian, sebab-sebab kehendak. Kemudian sebab-sebab sanggup. Kemudian sebab-sebab barang yang dimakan dengan jalan isyarat. Tidak dengan jalan penyelidikan yang mendalam.
TEPI PERTAMA: mengenai nikmat-nikmat Allah Ta’ala pada menjadikan sebab-sebab mengetahuinya.
Ketahuilah kiranya, bahwa Allah Ta’ala menjadikan tumbuh-tumbuhan. Dan tumbuh-tumbuhan itu yang lebih sempurna wujudnya daripada batu, tanah liat, besi, tembaga dan intan permata lainnya, yang tidak bertambah dan tidak makan. Sesungguhnya tumbuh-tumbuhan itu dijadikan kekuatan padanya. Dengan kekuatan itu, ia menarik makanan kepada dirinya dari pihak pokoknya dan urat-uratnya yang dalam bumi. Dan itu semua menjadi alat di dalam bumi, untuk menarik makanan. Dan itu urat-urat yang halus yang anda lihat pada setiap daun. Kemudian menebal pokok-pokoknya. Kemudian bercabang. Dan senantiasalah urat-urat itu menghalus dan bercabang kepada urat-urat yang merambut, yang menghampar pada bahagian-bahagian daun. Sehingga lenyap dari penglihatan. Hanya sesungguhnya tumbuh-tumbuhan bersama kesempurnaan ini, ada kekurangannya. Maka apabila ia diperlukan oleh makanan yang dibawa kepadanya dan menyentuh pokoknya, niscaya tumbuh-tumbuhan itu kering dan hilang kehijauannya. Dan tidak memungkinkannya mencari makan dari tempat lain. Dan mencari ittu sesungguhnya adalah dengan diketahui oleh yang dicari dan dengan memindahkan kepadanya. Dan tumbuh-tumbuhan itu lemah daripada yang demikian. Maka daripada nikmat Allah Ta’ala kepada engkau, ialah bahwa IA menjadikan untuk engkau alat-alat perasaan dan alat gerak pada mencari makanan. Maka perhatikanlah kepada tartib hikmah Allah Ta’ala pada menjadikan pancaindra yang lima, yang menjadi alat mengetahui.
Maka yang pertama: pancaindra yang menyentuh. Dan sesungguhnya pancaindra ini dijadikan bagi engkau, sehingga apabila engkau disentuh oleh api yang membakar atau pedang yang melukakan, niscaya engkau rasa yang demikian. Lalu engkau lari daripadanya. Inilah perasaan pertama yang dijadikan bagi hewan. Dan tidaklah tergambar hewan itu, selain bahwa ada baginya perasaan ini. Karena, jikalau ia tidak merasa sekali-kali, maka tidaklah dia itu hewan yang hidup. Dan derajat perasaan yang paling kurang, ialah bahwa ia merasa dengan apa yang melekat padanya dan yang menyentuhnya. Maka sesungguhnya perasaan (al-ihsas) dengan apa yang menjauhkan daripadanya perasaan yang sempurna itu tidaklah mustahil. Dan perasaan ini ada bagi setiap hewan. Sehingga cacing yang dalam tanah. Maka cacing itu apabila ditusuk padanya dengan jarum, niscaya ia terlipat untuk lari. Tidak seperti tumbuh-tumbuhan. Maka tumbuh-tumbuhan itu dipotong, lalu ia tidak terlipat. Karena ia tidak merasa dipotong. Hanya anda, jikalau tidaklah dijadikan bagi anda, selain perasaan tersebut tadi (menyentuh), niscaya adalah anda itu kekurangan, seperti cacing, yang tidak sanggup mencari makanan, di mana ia jauh daripada anda. Akan tetapi, apa yang menyentuhkan badan anda, maka anda rasakan dengan yang demikian. Lalu anda tarikkan dia kepada diri anda saja. Maka anda memerlukan kepada perasaan, yang anda ketahui dengan yang demikian itu, apa yang jauh dari anda. Maka dijadikan bagi anda: pancaindra ciuman. Hanya anda mengetahui dengan indra ini, akan: bau. Dan anda tidak mengetahui bahwa bau itu datang dari pihak mana. Lalu anda memerlukan kepada mengelilingi banyak sudut. Lalu kadang-kadang anda tepergok kepada makanan, yang anda ciumi baunya. Dan kadang-kadang anda tidak tepergok. Lalu adalah anda pada sangat kekurangan, jikalau tidak dijadikan bagi anda, selain itu saja. Maka dijadikan bagi anda: penglihatan. Supaya anda mengetahui dengan penglihatan itu, akan apa yang jauh dari anda. Dan anda ketahui akan arahnya. Lalu anda tujukan arah itu sendiri. Hanya, jikalau tidak dijadikan bagi anda, selain itu, niscaya adalah anda itu kekurangan. Karena anda tidak dapat mengetahui dengan itu, apa yang di balik dinding dan hijab. Maka anda dapat melihat makanan, yang tidak ada hijab di antara anda dan makanan itu. Dan anda dapat melihat musuh, yang tiada hijab di antara anda dan musuh tersebut.
Adapun apa yang ada hijab di antara anda dan barang itu, maka anda tidak dapat melihatnya. Dan kadang-kadang hijab itu tidak tersingkap selain sesudah musuh dekat. Lalu anda lemah daripada melarikan diri. Maka dijadikan bagi anda pendengaran. Sehingga anda dapat mengetahui suara dengan pendengaran itu di belakang dinding dan hijab, ketika berlalunya gerak-gerakan. Karena anda tidak dapat mengetahui dengan penglihatan, selain barang yang hadlir di depan anda. Adapun yang tidak ada di depan (al-ghaib), maka tidak mungkin anda mengetahuinya, selain dengan perkataan yang teratur dari huruf-huruf dan suara-suara, yang diketahui dengan indra pendengaran. Maka sangatlah hajat engkau kepada pendengaran itu. Lalu dijadikan bagi anda telinga anda. Dan anda diperbedakan dari hewan-hewan yang lain, dengan pendengaran itu. Semua itu tiada mencukupi bagi anda, jikalau tidak ada bagi anda, pancaindra rasa dengan lidah. Karena sampainya makanan kepada anda, maka anda tiada mengetahui, adakah makanan itu sesuai bagi anda atau berlainan ? lalu anda makan makanan itu, niscaya anda binasa.
Seperti pohon kayu yang dituangkan pada pokok batangnya, setiap benda cair. Pohon kayu itu tiada mempunyai rasa lidah. Dan kadang-kadang adalah yang demikian itu menjadi sebab keringnya pohon tersebut. Kemudian, semua itu tiada memadai bagi anda, jikalau tidak dijadikan pada depan otak anda, sesuatu perasaan yang lain, yang dinamai: perasaan yang berkongsi, yang tertunai kepadanya, pancaindra yang lima ini. Dan berkumpul padanya. Dan jikalau adalah yang demikian, niscaya panjanglah urusan atas diri anda. Maka sesungguhnya anda apabila memakan suatu yang kuning –umpamanya –lalu anda mendapatinya pahit yang menyalahi bagi anda, maka anda tinggalkan yang demikian itu. Maka apabila anda melihatnya pada kali yang lain, niscaya anda tidak tahu, bahwa itu pahit yang mendatangkan melarat, selama anda tidak merasakannya kali kedua, jikalau tidak ada perasaan yang berkongsi. Karena mata itu melihat warna kuning dan ia tak tahu rasa pahit. Maka bagaimana ia mencegahkan diri daripadanya ? dan rasa itu mendapati pahit dan tidak mengetahui warna kuning. Maka tak boleh tidak adanya seorang hakim, yang berkumpul padanya kuning dan pahit. Sehingga apabila ia mengetahui akan warna kuning, niscaya dihukumkannya bahwa benda itu pahit. Lalu ia mencegah diri daripada mengambilnya pada kali kedua. Ini semua, hewan-hewan itu menyekutukan engkau padanya. Karena kambing itu mempunyai pancaindra ini semuanya. Maka jikalau tiadalah bagi engkau, selain itu, niscaya adalah engkau itu berkekurangan. Maka sesungguhnya binatang ternak itu dicari tipu muslihat atasnya, lalu ia diambil. Maka ia tiada mengetahui, bagaimana ia menolak tipuan manusia daripada dirinya. Dan bagaimana ia melepaskan diri, apabila ia diikat. Dan kadang-kadang binatang ternak itu menjatuhkan dirinya dalam sumur. Dan ia tidak tahu, bahwa yang demikian itu membinasakannya. Dan karena itulah, kadang-kadang binatang ternak itu memakan apa yang dirasakannya enak sekarang. Dan memelaratkannya pada keadaan yang lain. Lalu binatang ternak itu sakit dan mati. Karena tiada baginya, selain perasaan dengan yang ada sekarang. Adapun mengetahui akibatnya, maka binatang ternak itu tidak mengetahuinya. Maka Allah Ta’ala membedakan anda dan memuliakan anda dengan sifat yang lain. Yaitu: yang termulia dari semua. Yaitu: akal. Maka dengan akal diketahui makanan yang melarat dan yang bemannfaat, pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dan dengan akal itu, diketahui cara memasakkan makanan, menyusunnya dan menyediakan sebab-sebabnya. Maka anda dengan akal anda, dapat mengambil manfaat pada makanan, yang menjadi sebab kesehatan anda. Dan itulah faedah yang terbaik bagi akal dan yang paling sedikit hukum padanya.
Akan tetapi, hikmah yang terbesar padanya, ialah: mengenal Allah Ta’ala, mengenal Perbuatan-perbuatan Allah dan mengenal hikmah pada alamNya. Dan ketika itu, terbaliklah faedah pancaindra yang 5 pada pihak anda. Lalu pancaindra yang 5 itu adalah seperti: mata-mata dan yang mempunyai berita yang diwakil kan pada segala sudut kerajaan. Dan masing-masing daripadanya diwakilkan (diserahkan) urusan yang khusus dengan dia. Maka satu daripadanya dengan berita warna-warna, yang lain dengan berita suara-suara, yang lain dengan berita bau-bau. Yang lain dengan berita rasa-rasa. Yang lain dengan berita: panas, dingin, kasar halus, lembut, keras dll. Pos-pos (penerima-penyampai berita) ini dan mata-mata itu memetik berita dari seluruh penjuru kerajaan. Dan menyerahkannya kepada perasaan (pancaindra) yang berkongsi itu. Dan pancaindra yang berkongsi itu duduk di depan otak, seperti yang punya cerita dan buku, duduk di pintu raja. Ia mengumpulkan cerita-cerita dan buku-buku yang datang dari seluruh penjuru alam. Maka diambilnya dan itu sudah distempel (dicapkan) dan diserahkan nya. Karena ia tidak berhak, selain mengambil, mengumpulkan dan menjagakannya.
Adapun mengetahui hakikat/makna apa yang di dalamnya, maka ia tidak berhak. Akan tetapi, apabila dijumpai oleh hati yang berakal, yaitu: amir dan raja, akan penyampaian berita-berita itu kepadanya yang sudah berstempel, maka itu diperiksakan oleh raja. Dan diperhatikan daripadanya akan rahasia-rahasia kerajaan. Dan ditetapkan hukum (keputusan) padanya dengan hukum-hukum yang menakjubkan, yang tidak mungkin membahas secara mendalam pada tempat ini. Dan menurut apa yang terisyarat bagi raja itu, dari hal hukum-hukum dan kemuslihatan-kemuslihatannya, ia menggerakkan tentara. Yaitu: anggota badan. Sekali: mengenai mencari. Sekali: mengenai lari. Dan sekali: mengenai penyempurnaan pengaturan-pengaturan yang dikemukakan kepadanya.
Maka inilah jalannya nikmat Allah Ta’ala kepada anda dalam mengetahui itu. Dan anda jangan menyangka bahwa kami telah menyempurnakan uraian ini. Sesungguhnya pancaindra yang yang terang itu, ialah: sebahagian pengetahuan yang diketahui dengan pancaindra. Melihat itu satu dari pancaindra. Mata itu suatu alat baginya. Dan mata itu tersusun dari 10 lapisan yang bermacam-macam. Sebahagiannya basah daan sebahagiannya tertutup. Dan sebahagian yang tertutup itu, adalah seakan-akan jaringan lawa-lawa. Dan sebahagiannya seperti bungkusan janin yang keluar bersama anak lahir. Dan sebahagian yang basah itu seakan-akan putih telur. Dan sebahagiannya seakan-akan air beku. Dan masing-masing dari lapisan-lapisan yang 10 ini, mempunyai sifat, rupa, bentuk, keadaan, lintang, perbundaran daan penyusunan. Dan jikalau rusak satu lapisan dari jumlah yang 10 itu atau satu sifat dari sifat-sifat setiap lapisan, niscaya rusaklah penglihatan. Dan lemahlah semua tabib-tabib dan tukang-tukang celak daripadanya. Ini baru pada satu pancaindra. Maka kiaskanlah dengan yang satu tadi, akan indra mendengar dan indra-indra lainnya. Bahkan, tiada akan mungkin bahwa dibentangkan dengan sempurna semua hikmah dan segala macam nikmat Allah Ta’ala tentang bentuk penglihatan dan lapisan-lapisannya dalam banyak jilid, sedang jumlahnya penglihatan itu tiada lebih dari seteguk yang kecil. Maka bagaimana sangkaan anda dengan semua badan, anggota-anggota dan keajaiban-keajaiban lainnya ? maka inilah rumuz-rumuz kepada nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang menciptakan diketahui dengan pancaindra itu.
TEPI KEDUA: tentang jenis-jenis nikmat pada menciptakan Kemauan (kehendak).
Ketahuilah kiranya, bahwa jikalau diciptakan untuk anda penglihatan, sehingga dengan demikian, anda mengetahui makanan dari jauh dan tidak diciptakan untuk anda kecenderungan pada kelobaan dan kerinduan kepada makanan itu dan keinginan kepadanya yang membangkitkan anda kepada bergerak, niscaya adalah penglihatan itu kosong (tiada artinya). Berapa banyak orang sakit melihat makanan. Dan makanan itu lebih bermanfaat dari segala sesuatu kepadanya. Dan telah hilang nafsu keinginannya. Maka tidak diambilnya. Maka tinggallah penglihatan dan pengetahuan itu kosong pada pihaknya. Maka anda memerlukan, bahwa ada bagi anda kecenderungan kepada apa, yang bersesuaian dengan anda. Yang dinamakan: nafsu syahwat. Dan lari daripada apa yang menyalahi dengan engkau, dinamakan: benci. Untuk anda cari, disebabkan: nafsu syahwat dan anda lari, disebabkan: benci. Maka Allah Ta’ala menjadikan pada anda: nafsu keinginan makanan. Dan IA mengeraskan nafsu keinginan itu pada anda. Dan diserahkanNya kepada anda, seperti orang yang menjatuhkan keputusan yang mendesak anda kepada mengambilnya. Sehingga anda mengambil dan memakan. Lalu anda kekal terus dengan makanan itu. Ini termasuk dari apa yang berkongsi dengan anda hewan-hewan. Tidak tumbuh-tumbuhan. Kemudian, nafsu keinginan ini jikalau tidak tenang, apabila anda sudah mengambilnya sekadar perlu, niscaya anda memboros dan anda membinasakan diri anda sendiri. Maka Allah Ta’ala menciptakan bagi anda akan benci (kepada makanan) ketika kenyang. Supaya anda meninggalkan makanan, disebabkan benci itu. Tidak seperti sayur-sayuran. Sesungguhnya sayuran itu senantiasa menarik air, apabila dituangkan di bawahnya, sehingga ia rusak. Lalu ia memerlukan kepada anak Adam (manusia) yang mengkadarkan makanannya sekadar hajat. Lalu manusia itu menyiramkan sayur-sayuran tadi pada suatu kali dan memutuskan daripadanya air pada kali yang lain.
Sebagaimana dijadikan bagi anda nafsu keinginan tersebut, sehingga anda makan. Lalu tetaplah badan anda dengan yang demikian. IA menjadikan bagi anda nafsu keinginan bersetubuh. Sehingga anda bersetubuh. Lalu dengan yang demikian, kekallah keturunan anda. Jikalau kami kisahkan kepada anda akan keajaiban-keajaiban perbuatan Allah Ta’ala pada menciptakan rahim (kandungan wanita), pada menjadikan darah haidh, menyusun janin dari mani dan darah haidh, cara menjadikan dua buah pelir dan urat-urat yang berjalan kepadanya, dari tulang belakang yang menjadi tempat menetap air mani, cara tertuangnya air wanita dari tulang dada, dengan perantaraan urat-urat, cara terbaginya mendalam rahim wanita, kepada acuan-acuan, yang jatuh air mani pada sebahagiannya, lalu berbentuk dengan bentuk laki-laki dan jatuh pada sebahagiannya, lalu berbentuk dengan bentuk wanita, cara berputarnya pada tahap-tahap kejadiannya, sebagai darah sekumpul dan daging segumpal, kemudian menjadi tulang, daging dan darah, cara terbagi bahagian-bahagiannya kepada: kepala, tangan, kaki, perut, belakang dan anggota-anggota lainnya, niscaya tertunailah dari bermacam-macam nikmat Allah Ta’ala kepada anda, pada permulaan terjadinya anda dengan segala keta’juban. Lebih-lebih dari apa yang anda melihatnya sekarang. Akan tetapi, kami tidak maksudkan membentangkannya, selain bagi nikmat-nikmat Allah Ta’ala pada makan saja. Supaya tidak panjanglah pembicaraan. Jadi, keinginan kepada makanan itu salah satu bahagian-bahagian kehendak. Dan yang demikian itu tidak memadai bagi anda. Maka sesungguhnya akan datang kepada anda pembinasa-pembinasa dari segala pihak. Maka jikalau tidak dijadikan pada anda marah, yang dengan marah itu, anda menolak setiap apa yang melawan anda dan tiada bersesuaian dengan anda, niscaya masih ada yang mendatangkan bahaya. Dan mengambil dari anda, setiap apa yang anda hasilkan dari makanan. Maka sesungguhnya setiap orang mengingini apa yang ada dalam dua tangan anda. Lalu anda memerlukan kepada pengajak pada menolak dan memeranginya. Pengajak itu ialah marah, yang dengan marah ini, anda menolak setiap apa yang melawan anda dan tiada bersesuaian dengan anda. Kemudian, ini tiada memadai bagi anda. Karena nafsu syahwat dan marah itu tidak mengajak, selain kepada apa yang mendatangkan melarat dan yang mendatangkan manfaat pada masa sekarang. Adapun pada masa yang akan datang, maka tiada memadai padanya kehendak ini. Maka Allah Ta’ala menjadikan bagi anda, kehendak yang lain, yang berbuat di bawah isyarat akal yang memberitahukan akibat-akibat. Sebagaimana IA menjadikan nafsu syahwat dan marah, yang berbuat di bawah pengetahuan indra yang memberitahukan keadaan yang sekarang. Maka dengan demikian, sempurnalah kemanfaatan anda dengan akal. Karena adalah semata-mata mengetahui ( ilmu mengenal Allah Ta’ala), bahwa nafsu syahwat ini –umpamanya –mendatangkan melarat kepada anda itu, tidaklah mencukupkan anda tanpa menjaga daripadanya, selama tidak ada bagi anda, kecenderungan kepada amal dengan yang diharuskan oleh  ilmu mengenal Allah Ta’ala itu.
 Kehendak ini tidak diberikan kepada hewan, karena pemuliaan bagi anak Adam. Sebagaimana hewan-hewan itu tidak diberikan pengetahuan untuk mengetahui akan akibat sesuatu. Dan sesungguhnya kami namakan kehendak ini: pembangkit keagamaan. Dan telah kami uraikan pada Kitab Sabar, yang lebih sempurna daripada ini.
TEPI KETIGA: tentang nikmat Allah Ta’ala pada menjadikan qudrah ( kuasa ) dan alat-alat gerak.
Ketahuilah kiranya, bahwa pancaindra itu tidak menfaedahkan, selain mengetahui sesuatu dengan perantaraan pancaindra. Dan Kemauan (kehendak) tiada arti baginya, selain kecenderungan kepada: mencari dan lari. Dan ini, tiada memadai padanya, selama tak ada pada anda alat mencari dan lari itu. Maka berapa banyak orang sakit yang ingin kepada sesautu yang jauh dari padanya, yang diketahui dengan panca indra nya. Akan tetapi, tiada mungkin ia berjalan kepadanya. Karena ketiadaan kakinya. Atau tiada mungkin diambilnya. Karena ketiadaan tangannya. Atau karena lumpuh dan kebas/hilang pada kaki dan tangannya. Maka tak boleh tidak, daripada alat-alat untuk gerak. Dan kuasa (kesanggupan) pada alat-alat itu kepada gerak. Supaya adalah geraknya itu menurut kehendak nafsu syahwat, bagi mencari. Dan menurut kehendak benci, bagi lari. Maka karena itulah, Allah Ta’ala menjadikan bagi anda, anggota-anggota badan, yang anda pandang kepada zahiriyahnya. Dan anda tidak mengetahui rahasia-rahasianya. Sebahagian daripadanya, ialah: apa yang untuk mencari dan lari. Seperti kaki bagi insan, sayap bagi burung dan kaki bagi hewan-hewan. Sebahagian daripadanya, ialah: apa yang untuk menolak bahaya. Seperti senjata bagi insan dan tanduk bagi hewan. Dan mengenai ini, berlainanlah hewan-hewan itu dengan banyak perlainan. Sebahagian daripadanya, ialah: apa yang banyak musuhnya dan jauh makanannya. Lalu ia memerlukan kepada cepat gerak. Lalu dijadikan baginnya sayap. Supaya ia terbang dengan cepat. Sebahagian daripadanya, ialah: apa yang dijadikan baginya 4 kaki. Sebahagian daripadanya, ialah: apa yang mempunyai dua kaki. Sebahagian daripadanya, ialah: apa yang merangkak. Dan menerangkan yang demikian itu akan panjang. Maka marilah kami sebutkan anggota-anggota badan, yang dengan anggota-anggota itu, sempurnalah makan saja. Untuk dikiaskan kepadanya akan lainnya. Maka kami katakan, bahwa: anda melihat makanan dari jauh dan gerak anda kepadanya tidak memadai, selama tidak memungkinkan anda untuk mengambilnya. Maka anda memerlukan kepada alat penggenggam. Maka Allah Ta’ala mencurahkan nikmat kepada anda dengan menjadikan: dua tangan. Dan kedua tangan itu panjang, yang memanjang kepada segala sesuatu. Dan melengkapi kepada sendi-sendi yang banyak. Supaya ia dapat bergerak kepada segala arah. Maka tangan itu dapat memanjang dan melipat kepada anda. Maka tidaklah tangan itu seperti kayu yang ditegakkan. Kemudian IA menjadikan kepada tangan itu melintang, dengan dijadikan tapak tangan. Kemudian, IA bagikan kepala tapak tangan dengan 5 bahagian. Yaitu: anak-anak jari. Dan dijadikanNya anak-anak jari itu pada dua baris, dimana ibu jari adalah pada satu pihak. Dan ia dapat berpurat kepada anak-anak jari yang 4 lagi. Jikalau adalah anak-anak jari itu berkumpul atau bertindis lapis, niscaya tiada berhasil dengan demikian akan kesempurnaan maksud anda. Maka IA meletakkannya dengan letakan, jikalau anda hamparkan, niscaya adalah ia bagi anda alat penyodok. Dan kalau anda genggamkan, niscaya adalah ia bagi anda alat penyendok. Dan kalau anda kumpulkan, niscaya adalah ia alat untuk memukul. Dan kalau anda lepaskan, kemudian anda genggamkan, niscaya adalah ia bagi anda alat pada menggenggam. Kemudian, Allah Ta’ala menjadikan bagi anak-anak jadi: kuku. Dan IA menyandarkan kepada kuku-kuku itu: kepala (ujung) anak-anak jari. Sehingga ujung anak-anak jari itu tidak pecah. Sehingga anda dapat mengambil dengan kuku-kuku itu, barang-barang yang halus, yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak jari. Lalu anda mengambilnya dengan ujung kuku-kuku anda. Kemudian, umpamakanlah, bahwa anda mengambil makanan dengan dua tangan. Maka dari manakah memadai ini kepada anda, sebelum makanan itu sampai kepada perut besar dan perut besar itu di dalam ? maka tidak boleh tidak, bahwa ada dari luar itu saluran kepada perut besar. Sehingga makanan itu masuk dari saluran tersebut. Maka IA menjadikan mulut, tempat tembus kepada perut besar, serta padanya banyak hikmah-hikmah, selain adanya tempat tembus bagi makanan ke perut besar. Kemudian, jikalau anda meletakkan makanan dalam mulut. Dan makanan itu satu potong. Maka tidaklah mudah menelannya. Maka anda memerlukan kepada alat penggiling, yang anda giling dengan alat itu akan makanan. Maka IA menjadikan bagi anda dua tulang rahang. Dan disusunkanNya pada dua tulang rahang itu: gigi-gigi. Dan dilapiskanNya gigi geraham atas di atas gigi geraham bawah. Supaya anda menggiling makanan dengan keduanya itu dengan gilingan yang sempurna. Kemudian makanan itu, pada suatu kali memerlukan kepada: dipecah-pecah dan pada kali yang lain, kepada: dipotong-potong. Kemudian memerlukan kepada penggilingan sesudah itu. Maka IA membagi-bagikan gigi-gigi itu kepada: melintang yang menggiling, seperti: geraham. Dan kepada: yang tajam memotong, seperti: gigi dekat gigi manis. Dan kepada yang patut untuk memecahkan, seperti: gigi taring. Kemudian, IA menjadikan sendi bagi kedua tulang rahang itu, yang menyelang-nyelangi, di mana lapisan bawahnya dapat maju dan mundur. Sehingga ia berputar atas lapisan atas, seperti berputarnya mesin giling. Dan jikalau tidaklah demikian, niscaya tiada mudah, selain memukul salah satu daripada keduanya di atas yang lain, seperti bertepuk dua tangan –umpamanya . dan dengan yang demikian, tiada sempurna penggilingan. Maka IA menjadikan tulang rahang yang di bawah itu bergerak, dengan gerakan putaran. Dan tulang rahang yang di atas itu tetap, tiada bergerak. Maka perhatikanlah kepada keajaiban perbuatan Allah Ta’ala ! dan sesungguhnya setiap mesin giling yang dibuat oleh makhluk (manusia), maka yang tetap daripadanya, ialah: batu di bawah dan yang berputar yang di atas. Selain mesin giling ini yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Karena yang berputar daripadanya, ialah yang dibawah, atas yang di atas. Maka Maha Suci IA ! alangkah besar urusanNya ! alangkah agung kekuasaanNya ! alangkah sempurna buktiNya ! alangkah luas nikmatNya ! kemudian, umpamakanlah anda meletakkan makanan dalam lapangan mulut. Maka bagaimanakah makanan itu bergerak ke bawah gigi ? atau bagaimanakah gigi-gigi itu menghela makanan tersebut kepada dirinya ? atau bagaimana makanan itu dilakukan dengan tangan di dalam mulut ? maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala mencurahkan nikmat kepada anda, dengan menciptakan: lisan ! maka lisan itu berkeliling di segala tepi mulut. Ia mengembalikan makanan dari di tengah kepada gigi, menurut keperluan, seperti penyodok yang mengembalikan makanan kepada mesin giling. Ini, serta padanya terdapat faedah rasa dengan lisan dan keajaiban-keajaiban kekuatan bertutur kata. Dan hikmah-hikmah yang tidaklah kami memperpanjangkan dengan menyebutkannya. Kemudian, umpamakanlah bahwa anda memotong makanan dan menumbuknya. Dan makanan itu kering. Maka anda tidak sanggup menelannya, selain bahwa tergelincir kepada kerongkongan, semacam yang basah. Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menjadikan di bawah lisan itu, suatu mata air, yang melimpah air liur daripadanya. Dan ia tertuang menurut keperluan. Sehingga hancurlah makanan dengan dia. Maka perhatikanlah bagaimana IA menyuruh bekerja mata air itu untuk urusan tersebut ! sesungguhnya anda melihat makanan dari jauh. Lalu bergeraklah dua langit-langit dalam mulut anda untuk melayaninya. Dan tertuanglah air liur, sehingga ia mengeras seperti susu di pipi anda. Padahal makanan sesudah itu, masih jauh dari anda. Kemudian, makanan ini, yang tertumbuk menghalus, menepung, siapakah yang menyampaikannya ke perut besar, sedang makanan itu di mulut ? anda tidak sanggup menolakkannya dengan tangan. Dan tiada tangan dalam perut besar, sehingga tangan itu dapat memanjang. Lalu menarik makanan. Maka perhatikanlah bagaimana Allah Ta’ala menyediakan kerongkongan dan hulkum/amandel. Dan Ia dijadikan di ujung hulkum itu lapis-lapisan yang terbuka untuk mengambil makanan. Kemudian, ia berkatup dan menekan, sehingga berbaliklah makanan dengan tekanannya. Lalu makanan itu turun ke perut besar pada saluran kerongkongan. Apabila makanan itu telah datang dalam perut besar dan makana itu roti dan buah-buahan yang terpotong-potong, maka ia belum pantas untuk menjadi daging, tulang dan darah dalam bentuk yang demikian. Akan tetapi, tidak boleh tidak, bahwa makanan itu dimasak dengan masakan yang sempurna. Sehingga bahagian-bahagiannya menjadi serupa. Maka Allah Ta’ala menjadikan perut besar itu dalam bentuk kuali. Maka jatuhlah makanan di dalamnya. Lalu perut besar itu berisi makanan. Dan pintu-pintu tertutup untuk makanan itu. Maka senantiasalah makanan tersebut dalam perut besar, sehingga sempurnalah pengunyahan dan penghancurannya, dengan kepanasan yang mengelilingi perut besar, dari anggota-anggota yang di dalam badan. Karena dari sudutnya yang kanan itu hati. Dan dari kirinya limpa. Dari depannya tulang dada dan dari belakangnya daging sulbi/penis. Maka menjalarlah kepanasan itu ke perut besar, dari pemanasan anggota-anggota tersebut dari segala sudut. Sehingga termasaklah makanan itu. Dan menjadi cair yang serupa, yang patut untuk tembus dalam lobang-lobang urat. Dan ketika itu, menyerupailah dengan air syair (serupa air beras) dalam keserupaan bahagian-bahagian dan kehalusannya. Dan sesudah itu, tidak patut lagi untuk menjadi makanan. Maka Allah Ta’ala menjadikan di antara perut besar dan hati itu, tempat berlalu urat-urat. Dan dijadikanNya bagi urat-urat itu mulut-mulut banyak. Sehingga tertuanglah makanan ke dalamnya. Lalu makanan itu sampai ke hati. Hati itu dihaluskan dari tanah darah, sehingga seakan-akan dia itu darah. Dan padanya banyak urat-urat yang merambut, berhamburan pada bahagian-bahagian hati. Lalu tertuanglah makanan yang halus, yang tembus itu ke dalamnya. Dan berhamburan pada bahagian-bahagiannya. Sehingga kekuatan hati menguasainya. Lalu dicelupkannya dengan warna darah. Maka tetaplah di dalamnya, sampai datang kepadanya pemasakan yang lain. Dan berhasillah baginya keadaan darah yang bersih, yang pantas untuk makanan-makanan anggota-anggota badan. Hanya, kepanasan hati itulah yang memasukkan darah ini. Maka terjadilah dari darah itu dua ampas, sebagaimana yang terjadi pada semua yang dimasak. Yang pertama: menyerupai dengan tahi minyak dan keruh. Yaitu: campuran kehitaman. Dan yang lain (kedua): menyerupai dengan buwih. Yaitu: kuning. Dan jikalau tidak daripadanya dua ampas itu, niscaya rusaklah sifat dari anggota-anggota badan. Maka Allah Ta’ala menjadikan pundi-pundi empedu dan limpa. Dan IA menjadikan bagi masing-masing daripada keduanya leher yang memanjang kepada hati, yang masuk pada peronggaannya. Lalu pundi-pundi empedu itu menarik ampas yang kuning. Dan limpa menarik benda keruh yang hitam. Maka tinggallah darah itu bersih, yang tidak ada padanya, selain lebih halus dan basah. Karena padanya dari keairan. Dan jikalau tidak adalah dia, niscaya darah itu tidak bertebaran pada urat-urat kerambutan itu. Dan ia tidak keluar daripadanya, menaiki kepada anggota-anggota badan.
Maka Allah Ta’ala menjadikan dua ginjal. Dan IA mengeluarkan dari masing-masing keduanya, suatu leher yang panjang ke hati. dan dari keajaiban hikmah Allah Ta’ala, bahwa leher keduanya itu tidak masuk pada peronggaan hati. Akan tetapi, bersambung dengan urat-urat yang timbul dari kebungkukan hati. sehingga ia menarik apa yang mengiringnya, sesudah timbul dari urat-urat halus, yang dalam hati. Karena, jikalau tertarik sebelum itu, niscaya ia menebal dan tidak keluar dari urat-urat. Maka apabila bercerai daripadanya keairan, niscaya jadilah darah itu bersih dari ampas-ampas yang tiga itu, dengan kebersihan dari setiap yang merusakkan makanan. Kemudian, sesungguhnya Allah Ta’ala memunculkan dari hati itu urat-urat. Kemudian, sesungguhnya Ia bagikan sesudah muncul itu beberapa bagian. Dan setiap bagian itu, IA cabangkan dengan cabang. Dan bertebaran yang demikian itu pada badan seluruhnya, sejak dari belah rambut kepala, sampai ketapak-kaki, zahir dan batin. Maka mengalirlah darah yang bersih padanya. Dan darah itu sampai kepada anggota-anggota badan lainnya. Sehingga jadilah urat-urat yang terbagi-bagi bagai rambut itu seperti urat-urat daun kayu dan batang kayu, di mana tidak dapat diketahui dengan mata. Maka sampailah daripada urat-urat itu makanan, dengan tersaring kepada anggota-anggota badan lainnya. Jikalau bertempat pada pundi-pundi empedu itu suatu penyekat, lalu ia tidak dapat menarik ampas kuning, niscaya rusaklah darah. Dan terjadilah daripadanya penyakit kuning, seperti: berubah pada warna kepada kuning (al-yarqan), bengkak-bengkak dan penyakit bisul api (al-humrah). Dan jikalau bertempat pada limpa itu suatu penyakit, lalu ia tidak dapat menarik campuran kehitaman, niscaya datanglah penyakit-penyakit kehitaman, seperti: penyakit panu, penyakit kusta, penyakit malikhulia (yaitu sejenis penyakit langka yang timbul akibat tekanan batin yang diderita sang pasen, hingga pada saat kondisi kritisnya, sang pasen dihinggapi keyakinan bahwa dirinya telah menjadi seekor sapi, berikut tingkah laku, hingga tempat tinggal, memakan makanan dan minuman sapi serta selalu ingin dipisahkan dari manusia dan disatukan dengan sapi) dll. Dan jikalau keairan tidak tertolak ke arah ginjal, niscaya terjadilah daripadanya penyakit al-istisqa’ (penyakit terkumpulnya benda-benda cair dalam rongga badan) dll. Kemudian, perhatikanlah kepada hikmah Allah Maha pencipta dan Maha bijaksana, betapa IA menyusun dengan tertib kemanfaatan-kemanfaatan ampas-ampas 3 yang buruk itu. Adapun pundi-pundi empedu, maka ia menarik dengan salah satu dari dua lehernya. Dan ia melemparkan dengan leher yang lain kepada perut panjang. Supaya berhasil baginya kotoran makanan yang di bawah, dalam keadaan basah yang melicinkan. Dan datanglah dalam perut panjang itu kehangusan yang menggerakkan perut panjang untuk menolak. Lalu perut panjang itu tertekan, sehingga tertolaklah kotoran makanan itu dan melicin. Dan adalah kuningnya itu karena demikianlah.
Adapun limpa, maka ia mengobahkan ampas itu, dengan perobahan yang menghasilkan padanya kemasaman dan kecut. Kemudian, limpa itu mengirimkan dari ampas itu, pada setiap hari sedikit ke mulut perut besar. Maka ia menggerakkan nafsu syahwat dengan kemasamannya. Membangunkan dan menggerakkan nafsu syahwat itu. Dan sisanya keluar bersama kotoran makanan itu.
Adapun ginjal, maka ia memperoleh makanan dengan darah yang dalam keairan itu. Dan sisanya dikirimkannya ke tempat kencing. Marilah kita ringkaskan sekadar ini dari penjelasan nikmat-nikmat Allah Ta’ala, tentang sebab-sebab yang disediakan bagi makan. Dan jikalau kami sebutkan bagaimana berhajatnya hati kepada jantung dan otak dan berhajatnya masing-masing anggota-anggota badan yang pokok ini kepada temannya, bagaimana bercabangnya urat-urat yang menjalar dari jantung ke seluruh badan dan dengan perantaraannya sampailah pancaindra, bagaimana bercabangnya urat-urat yang menetap dari hati ke seluruh badan dan dengan perantaraannya sampailah makanan, kemudian bagaimana tersusunnya anggota-anggota badan, bilangan tulang-tulangnya, daging-daging beruratnya, urat-uratnya, tali-talinya, ikatan-ikatannya, tulang-tulang halusnya dan basahan-basahannya, niscaya sungguh panjanglah pembicaraan. Semuanya itu diperlukan bagi makan dan urusan-urusan yang lain, selain dari makan. Bahkan pada anak Adam (manusia) itu terdapat ribuan daging-daging beruratnya, urat-urat dan urat-urat saraf, yang bermacam-macam, kecil dan besar, tipis dan tebal, banyak keterbagiannya dan sedikitnya. Dan tiada suatupun dari yang demikian itu, selain ada padanya 1 hikmah atau 2 atau 3 atau 4, sampai kepada 10 dan lebih. Semua itu adalah nikmat-nikmat daripada Allah Ta’ala kepada anda. Jikalau tetaplah satu urat yang bergerak dari jumlah urat-urat itu atau bergeraklah urat yang tetap, niscaya binasalah anda, wahai yang patut dikasihani ! maka perhatikanlah pertama-tama kepada nikmat Allah Ta’ala kepada anda ! supaya anda kuat sesudahnya kepada bersyukur.
Sesungguhnya anda tiada mengetahui daripada nikmat Allah SWT, selain makan. Dan makan itu yang paling rendah dari nikmat-nikmatNya. Kemudian, anda tiada mengetahui dari nikmat-nikmat itu, selain bahwa anda lapar. Lalu anda makan. Dan keledai tahu, bahwa dia lapar. Lalu ia makan. Ia payah, lalu ia tidur. Ia bernafsu, lalu bersetubuh. Ia ingin bangkit, lalu ia bangkit dan berlari. Maka apabilah anda tiada mengetahui dari diri anda, selain apa yang diketahui oleh keledai, maka bagaimana anda bangun dengan mensyukuri nikmat Allah Ta’ala kepada anda ? Inilah yang kami rumuskan secara ringkas, suatu titik dari suatu laut saja, dari laut-laut nikmat Allah Ta’ala. Maka kiaskanlah secara berjumlah, atas apa yang kami abaikan, dari jumlah apa yang telah kami perkenalkan, karena takut daripada berpanjang-panjangan. Dan jumlah apa yang kami perkenalkan dan dikenal oleh se antero makhluk, dibandingkan kepada apa yang tidak dikenal mereka, daripada nikmat-nikmat Allah Ta’ala itu, adalah tersedikit dari setitik air dari lautan.
Hanya, sesungguhnya orang yang mengetahui sedikit dari ini, niscaya ia memperoleh bau dari makna firman Allah Ta’ala: “Dan kalau kamu hitung nikmat Allah, niscaya tidak dapat kamu menghitungnya”. S An Nahl ayat 18. Kemudian, perhatikanlah bagaimana Allah Ta’ala mengikat keteguhan anggota-anggota badan itu, keteguhan manfaat-manfaatnya, kepahaman-kepahamannya dan kekuatan-kekuatannya, dengan uap yang halus, yang menaik dari campuran-campuran 4. Dan tempat tetapnya uap halus itu hati. Dan menjalar ke seluruh badan, dengan perantaraan urat-urat yang berdenyut-denyut. Maka ia tidak berkesudahan kepada suatu bahagian dari bahagian-bahagian badan, selain datang ketika sampainya pada bahagian-bahagian itu, apa yang diperlukan kepadanya, dari: kekuatan pancaindra, kekuatan gerak dan lainnya, seperti pelita yang diputarkan pada tepi-tepi rumah. Maka ia tidak sampai kepada sebahagian, melainkan berhasil dengan sampainya ittu, cahaya atas bahagian-bahagian rumah, dari ciptaan Allah Ta’ala dan perbuatanNya. Akan tetapi, IA menjadikan pelita itu untuk sebab bagi yang demikian dengan hikmahNya. Uap yang halus ini, ialah: yang dinamakan oleh dokter-dokter: ruh. Dan tempatnya: hati. Dan contohnyaa, ialah: tubuh (jisim) api pelita. Dan hati baginya itu seperti kaki pelita. Dan darah hitam yang dalam batin hati itu seperti sumbu. Dan makanan baginya seperti: minyak. Dan hidup zahiriyah pada anggota-anggota badan lainnya, dengan sebabnya, adalah seperti: cahaya bagi pelita dalam keseluruhan rumah. Dan sebagaimana pelita itu apabila habis minyaknya, niscaya padam, maka pelita ruh juga akan padam, manakala habis makanannya. Dan sebagaimana sumbu itu, kadang-kadang ia terbakar. Lalu menjadi abu, di mana tidak menerima lagi minyak. Maka pelita itu padam serta banyak minyaknya.
Maka seperti demikianlah darah, yang bergantung dengan darah itu uap tadi dalam hati. Kadang-kadang ia terbakar, disebabkan bersangatan panasnya hati. Lalu ia padam serta adanya makanan. Ia tidak menerima makanan, yang dengan makanan ini ruh itu kekal terus. Sebagaimana abu tidak menerima minyak, dengan penerimaan yang bergantung api dengan dia. Sebagaimana pelita itu, sekali ia padam dengan sebab dari dalam, seperti apa yang telah kami sebutkan. Sekali disebabkan dari luar, seperti angin kencang. Maka seperti demikianlah ruh. Sekali ia padam dengan sebab dari dalam. Dan sekali dengan sebab dari luar. Yaitu: dibunuh. Dan sebagaimana padamnya pelita dengan habisnya minyak atau dengan rusaknya sumbu atau dengan angin kencang atau dengan dipadamkan orang, yang tidak ada yang demikian itu, selain dengan sebab-sebab yang tertakdir, lagi yang teratur pada ILMU ALLAH. Dan adalah setiap yang demikian itu dengan taqdir. Maka seperti demikian pula: padamnya ruh. Dan sebagaimana padamnya pelita itu kesudahan waktu adanya, maka adalah yang demikian itu ajalnya, yang telah diajalkan baginya dalam Ummul Kitab (Induk Kitab). Maka seperti yang demikianlah: padamnya ruh. Dan sebagaimana pelita apabila telah padam, niscaya gelaplah seluruh rumah. Maka ruh, apabila ia telah padam, niscaya gelaplah badan seluruhnya. Dan berpisahlah dari badan, cahaya-cahayanya yang diterimanya dari ruh. Yaitu: cahaya-cahaya perasaan, kekuatan dan kehendak. Dan lain-lainnya, yang dihimpunkan oleh arti: perkataan hidup. Maka ini juga suatu rumus yang singkat ke alam lain dari alam-alam nikmat Allah Ta’ala dan keajaiban-keajaiban ciptaanNya dan hikmahNya.
Supaya diketahui, bahwa “jikalau adalah lautan itu tinta bagi kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku”. Maka kebinasaan bagi siapa yang kufur kepada Allah dan kehancuran bagi siapa yang mengkufuri akan nikmatNya. Maka ini juga suatu rumus yang singkat ke alam lain dari alam-alam nikmat Allah Ta’ala dan keajaiban-keajaiban ciptaanNya dan hikmahNya. Supaya diketahui, bahwa “jikalau adalah lautan itu tinta bagi kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku”. Maka kebinasaan bagi siapa yang kufur kepada Allah dan kehancuran bagi siapa yang mengkufuri akan nikmatNya. Kalau anda berkata: bahwa aku telah menyifatkan ruh dan membuat contohnya. Dan Rasulullah saw ditanyakan dari hal ruh, maka beliau tidak lebih, daripada membaca: “Jawablah, bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku”. S 17 Al Isra ayat 85. Beliau tidak menyifatkannya kepada mereka di atas cara yang aku lakukan.
Maka ketahuilah kiranya, bahwa itu suatu kelalaian daripada mempersekutukan yang terjadi pada kata-kata ruh. Sesungguhnya ruh itu disebutkan secara mutlak, bagi banyak arti, yang tidak kami panjangkan menyebutkannya. Dan sesungguhnya kami sifatkan dari jumlahnya, akan tubuh halus, yang dinamakan oleh para tabib, dengan: ruh. Mereka ketahui sifatnya dan wujudnya, bagaimana menjalarnya pada anggota-anggota badan, bagaimana hasilnnya perasaan dan kekuatan-kekuatan dengan dia pada anggota-anggota badan. Sehingga, apabila putus sebahagian anggota badan, niscaya mereka tahu, bahwa yang demikian itu, karena terjadi sumbatan pada tempat lalunya ruh itu. Maka mereka tiada mengobati tempat putus itu. Akan tetapi, tempat tumbuh urat saraf dan tempat terjadinya sumbatan pada urat-urat saraf itu. Dan mereka mengobatinya dengan apa yang membukakan sumbatan. Maka sesungguhnya tubuh ini dengan kehalusannya, tembus pada jendela urat saraf. Dan dengan perantaraannya, terbawa dari hati ke anggota-anggota badan lainnya. Dan apa yang mendaki kepadanya pengetahuan para tabib, maka urusannya mudah yang menurun.
Adapun ruh itu adalah pokok. Dia apabila rusak, niscaya rusaklah seluruh badan karenanya. Maka demikianlah itu adalah suatu rahasia daripada rahasia-rahasia Allah Ta’ala yang tidak kami sifatkan. Dan tidak diperbolehkan menyifatkannya, selain hanya dikatakan: “ITU KETUHANAN”, sebagaimana difirman
kan oleh Allah Ta’ala: “Jawablah, bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku”. S 17 Al Isra ayat 85. Urusan-urusan ketuhanan itu tidak dapat dipikul oleh akal untuk menyifatkannya. Akan tetapi, akal kebanyakan makhluk heran padanya. Adapun sangkaan-sangkaan dan khayalan-khayalan, maka menyingkat padanya dengan darurat, sebagaimana menyingkatnya penglihatan daripada mengetahui suara. Dan bergoncanglah pada menyebutkan pokok-pokok penyifatannya, ikatan-ikatan akal yang dibataskan dengan benda dans sifat, yang tertahan dalam kesempitannya. Maka tidaklah diketahui dengan akal, akan sesuatu dari sifatnya. Akan tetapi, dengan cahaya yang lain, yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada akal. Nur itu cemerlang dalam alam kenabian dan kewalian. Kaitannya kepada akal adalah seperti kaitan akal kepada sangkaan dan khayalan. Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan makhluk berbagai perihal. Maka sebagaimana anak kecil mengetahui akan yang dapat dirasakan dengan pancaindra (al-mahsusat). Dan ia tidak mengetahui akan yang didapati dengan akal (al-ma’qulat). Karena yang demikian itu belum sampai kepada anak kecil. Maka seperti yang demikian juga, orang dewasa mengetahui yang dengan akal. Dan tidak mengetahui yang di balik itu. Karena yang demikian itu suatu perihal yang tidak sampai kepadanya.
Sesungguhnya yang demikian itu suatu kedudukan yang mulia, minuman yang lezat dan martabat yang tinggi. Padanya diperhatikan oleh pihak kebenaran dengan nur iman dan yakin. Dan minuman itu lebih agung, daripada dia itu peraturan bagi setiap yang datang. Bahkan tiada yang melihat kepadanya, melainkan seorang sesudah seorang. Dan bagi pihak kebenaran itu ada depan. Dan pada pembukaan depan itu ada jalan dan medan yang lapang. Dan pada awal medan itu ada tangga. Dan itu adalah tempat tetap urusan ketuhanan. Maka siapa yang tidak ada di atas tangga ini mempunyai pas jalan dan pengakuan dari penjaga tangga, niscaya mustahillah ia sampai ke medan. Maka bagaimana ia akan sampai kepada yang dibelakang medan itu, yang terdapat padanya pemandangan-pemandangan yang tinggi ? karena itulah dikatakan: “Barangsiapa tiada mengenal dirinya, niscaya ia tidak mengenal Tuhannya”. Dan darimana diperoleh ini pada khazanah (perbendaharaan) para dokter ? dan dari mana dokter itu dapat menelitinya ? bahkan pengertian yang dinamakan ruh pada dokter, dikaitkan kepada urusan ketuhanan ini, adalah seperti bola yang digerakkan oleh tongkat raja, dikaitkan kepada raja. Maka siapa yang mengenal ruh ketabiban (semangat kedokteran), lalu menyangka bahwa ia mengetahui urusan ketuhanan, niscaya adalah dia seperti orang yang melihat bola, yang digerakkan oleh tongkat raja. Lalu menyangka bahwa ia melihat raja. Dan tidak ragu lagi, tentang kesalahannya itu keji sekali. Dan kesalahan ini lebih sangat keji lagi daripadanya. Maka manakala adalah akal-akal, yang dengan akal-akal itu terdapat at-taklif (orang menjadi mukallaf/diberati hukum/sudah balek) dan dengan akal-akal itu diketahui kemuslihatan duinawi, adalah akal-akal yang pendek daripada dapat memperhatikan hakikat/makna sesuatu urusan, maka Allah Ta’ala tiada mengizinkan bagi RasulNya saw untuk memperbincangkannya. Akan tetapi, IA menyuruhnya, bahwa berbicara dengan manusia sekadar akal mereka. Dan Allah Ta’ala tiada menyebutkan dalam KitabNya sedikitpun dari hal hakikat/makna urusan itu. Akan tetapi, disebutkanNya kaitan dan perbuatanNya. Dan IA tidak menyebutkan zatnya. Adapun kaitannya, maka pada firmanNya: “Dari urusan Tuhanku”. S 17 Al Isra ayat 85. Adapun perbuatanNya maka IA menyebutkan pada firmanNya: “Hai jiwa yang tenang tenteram ! kembalilah kepada Tuhanmu, yang merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya. Sebab itu, masuklah dalam hamba-hambaKU ! dan masuklah ke dalam sorgaKU!”. S Al Fajr ayat 27-28-29-30. Dan marilah sekarang, kita kembali kepada maksud. Maka sesungguhnya maksud, ialah menyebutkan nikmat-nikmat Allah Ta’ala mengenai makan. Dan sesungguhnya telah kami sebutkan sebahagian nikmat-nikmat Allah Ta'ala itu pada alat-alat makan.
TEPI KEEMPAT: tentang nikmat-nikmat Allah Ta’ala pada pokok-pokok, yang berhasil daripadanya makanan-makanan. Dan makanan-makanan itu patut untuk diperbaiki oleh anak Adam sesudah yang demikian, dengan usahanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa makanan itu banyak. Dan Allah Ta’ala mempunyai banyak keajaiban-keajaiban pada makhlukNya, yang tidak terhinggakan. Dan sebab-sebabnya yang beriring-iringan, yang tiada berkesudahan. Dan menyebutkan yang demikian pada setiap makanan, adalah termasuk yang panjang. Sesungguhnya makanan-makanan itu, adakalanya: obat-obatan. Adakalanya: buah-buahan. Dan adakalanya: makanan-makanan yang mengenyangkan. Maka marilah, kita ambil makanan-makanan yang mengenyangkan. Sesungguhnya dia itu pokok. Dan marilah kita tinggalkan makanan-makanan yang mengeyangkan lainnya ! maka kami mengatakan: bahwa apabila anda dapati sebiji atau beberapa biji, kalau anda makan, niscaya ia lenyap dan anda tetap lapar. Maka alangkah anda memerlukan, bahwa biji itu tumbuh pada dirinya sendiri. Dia bertambah dan berlipat ganda. Sehingga, ia dapat menyempurnakan akan kesempurnaan keperluan anda.
Maka Allah Ta’ala menciptakan pada biji gandum itu dari kekuatan-kekuatan, akan apa yang menjadi makanan, sebagaimana diciptakanNya pada anda. Sesungguhnya tumbuh-tumbuhan itu berbeda dengan anda, pada perasaan (mempunyai pancaindra) dan gerak. Dan ia tidak berbeda dengan anda pada mempunyai makanan. Karena ia makan dengan air. Ia tarik kepada di dalam dirinya, dengan perantaraan urat-urat, sebagaimana anda makan dan menarik makanan. Dan tidaklah kami memanjangkan tentang menyebutkan alat-alat tumbuh-tumbuhan pada menarikkan makanan kepada dirinya. Akan tetapi, akan kami isyaratkan kepada makanannya. Maka kami mengatakan, bahwa: sebagaimana kayu dan tanah tidak memberi makanan kepada anda, akan tetapi, anda memerlukan kepada makanan khusus. Maka demikian pula, biji-bijian, ia tidak makan setiap sesuatu. Akan tetapi, ia memerlukan kepada sesuatu yang khusus. Dengan dalil, bahwa jikalau anda tinggalkan dia dalam rumah, niscaya tidak bertambah. Karena ia tidak diliputi, selain oleh udara. Dan semata-mata udara, tidak patut bagi makanannya. Dan kalau anda tinggalkan biji-bijian itu dalam air, niscaya ia tidak bertambah. Dan jikalau anda tinggalkan dia dalam bumi, yang tidak ada air padanya, niscaya ia tidak bertambah. Akan tetapi, tak boleh tidak dari bumi, yang padanya ada air. Dan bercampurlah air biji-bijian itu dengan bumi, lalu menjadi lumpur. Dan kepada itulah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Bagaimana Kami mencurahkan air melimpah ruah. Sesudah itu, bumi Kami belah. Dan Kami tumbuhkan di situ tanaman yang berbuah. Dan buah anggur dan sayuran. Dan zaitun.......”. S ‘Abasa ayat 24-25-26 27-28-29. Kemudian, tiada memadai air dan tanah saja. Karena, jikalau biji-bijian itu diletakkan dalam bumi yang lembab, keras yang bertindis lapis, niscaya ia tidak tumbuh. Karena ketiadaan udara. Maka diperlukan meletakkan biji-bijian itu dalam bumi, yang longgar, yang diselang-selingi masuk udara, yang udara itu dapat menyilang-nyilangi masuk ke dalamnya. Kemudian, udara itu tidak bergerak kepada biji-bijian tadi dengan dirinya sendiri. Maka ia memerlukan kepada angin yang menggerakkan udara dan memukulnya dengan paksaan dan keras atas bumi. Sehingga udara itu tembus dalam bumi. Dan kepada itulah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan Kami tiupkan angin untuk menyuburkan”. S Al Hijr ayat 22. Sesungguhnya, tiupan angin untuk menyuburkan itu, pada menjadikan percampuran antara udara, air dan tanah. Kemudian, semua itu tidak memadai bagi anda, jikalau dia itu berada dalam kedinginan yang sangat dan musim dingin yang memecahkan kulit. Maka biji-bijian itu memerlukan kepada panasnya musim bunga dan musim panas. Maka nyatalah perlu makanannya kepada 4 macam itu. Maka perhatikanlah kepada apa yang diperlukan oleh setiap masing-masingnya ! karena air itu diperlukan untuk dibawakan kepada tanah pertanian, air mana berasal dari laut, mata air, sungai dan parit-parit air. Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menciptakan laut, memancar-mancarkan mata air dan mengalirkan sungai. Kemudian, kadang-kadang tanah itu tinggi. Dan air tidak dapat ditinggikan kepadanya. Maka perhatikanlah bagaimana Allah Ta’ala menciptakan kabut. Dan bagaimana IA menguasakan angin atas kabut-kabut itu ! supaya dihalaunya kabut-kabut itu ke penjuru-penjuru bumi. Dan itulah awan tebal yang berat, pembawa air. Kemudian, perhatikanlah bagaimana dikirimkanNya air itu dengan deras ke atas bumi, pada musim bunga dan musim permulaan musim sejuk, menurut keperluan. Dan perhatikanlah, bagaimana IA menciptakan gunung-gunung yang menjaga air, yang terpancar-pancar daripadanya mata air dengan sedikit demi sedikit ! maka jikalau mata air itu keluar sekaligus, niscaya karamlah negeri. Dan binasalah tanam-tanaman dan binatang ternak. Dan nikmat-nikmat Allah Ta’ala di gunung-gunung, awan, laut dan hujan, tidaklah mungkin dihinggakan.
Adapun panas, maka ia tidak diperoleh di antara air dan bumi. Keduanya itu dingin. Maka perhatikanlah bagaimana IA menciptakan matahari ! bagaimana IA menjadikan matahari itu serta berjauhannya dari bumi, yang memanaskan bumi pada suatu waktu. Dan tidak pada suatu waktu. Supaya diperoleh dingin, ketika diperlukan kepada dingin dan panas ketika diperlukan kepada panas. Maka itulah salah satu dari hikmah matahari. Dan hikmah pada matahari itu banyak, daripada dapat dihinggakan. Kemudian, tumbuh-tumbuhan itu apabila telah meninggi dari bumi, niscaya adalah pada buah-buahan terikat pada batangnya dan keras. Maka buah-buahan itu memerlukan kepada basah, yang akan memasakkannya. Maka perhatikanlah, bagaimana IA menciptakan bulan. Dan dijadikanNya dari khasiat bulan itu: pembasahan (at-tarthib), sebagaimana IA menciptakan dari khasiat matahari: pemanasan. Maka itulah yang memasakkan buah-buahan dan yang mencelupkannya, dengan taqdir Pencipta Yang Maha Bijaksana. Dan karena itulah, jikalau pohon-pohonan itu berada pada tempat naungan, yang mencegah terpancarnya sinar matahari, bulan dan bintang-bintang lainnya, niscaya buah-buahan itu busuk dan kurang. Sehingga pohon kayu yang kecil akan rusak, apabila dinaungi oleh pohon kayu yang besar. Dan anda dapat mengetahui akan pembasahan bulan, dengan anda membukakan kepala anda untuk sinarnya bulan di malam hari. Maka banyaklah atas kepala anda kebasahan yang dikatakan: az-zukam (penyakit selesma/sakit flu).
Maka sebagaimana ia membasahkan kepala anda, maka begitu pula ia membasahkan buah-buahan. Kami tidak akan memanjangkan, mengenai apa yang tidak ada harapan untuk menyelidikinya dengan lebih mendalam. Akan tetapi, kami mengatakan, bahwa: setiap bintang di langit, sesungguhnya dijadikan bagi suatu macam faedah, sebagaimana dijadikan matahari untuk pemanasan dan bulan untuk pembasahan. Maka tiada terlepas suatupun daripadanya, dari banyak hikmah, yang tidak sempurnalah kekuatan manusia untuk menghinggakannya. Dan jikalau tidak adalah seperti yang demikian, niscaya adalah kejadiannya itu permainan yang sia-sia. Dan tidak benarlah firman Allah Ta’ala: “Wahai Tuhan kami ! tidaklah Engkau menjadikan ini dengan sia-sia”. S 3 Ali Imran ayat 191. Dan firmannya Allah Ta’ala: “Dan Kami menciptakan langit dan bumi dan apa yang di antaranya keduanya, bukanlah untuk main-main”. S Ad Dukhan ayat 38. Sebagaimana tidak ada suatupun dari anggota-anggota pada badan anda, melainkan ada faedahnya. Maka begitu juga, tiada suatupun pada anggota-anggota badan alam ini, melainkan ada faedahnnya. Dan alam seluruhnya itu adalah seperti: orang seorang. Masing-masing tubuh alam itu, adalah seperti anggota-anggota badan baginya. Dan anggota-anggotanya itu bertolong-tolongan, sebagaimana bertolong-tolongan anggota badan anda dalam kumpulan badan anda. Dan uraian yang demikian itu akan panjang. Dan tiada seyogyalah bahwa anda menyangkka, bahwa beriman dengan bintang-bintang, matahari dan bulan, yang dijadikan dengan perintah Allah SWT pada urusan-urusan, yang dijadikan untuk sebab-sebab baginya, dengan hukum hikmah (kebijaksanaan) itu, menyalahi agama, karena apa yang datang dari Nabi saw tentang larangan membenarkan ahli-ahli bintang dan ilmu bintang. Akan tetapi dilarang tentang bintang-bintang itu ada dua perkara:
Pertama: bahwa membenarkan bintang-bintang itu dapat berbuat dengan membekasnya, yang berdiri dengan bekas-bekasnya itu. Dan bintang-bintang itu tidak dijadikan di bawa pengaturan YANG MENGATUR yang menciptakannya dan yang memaksakannya. Dan ini kufur (membatalkan iman).
Kedua: membenarkan ahli-ahli bintang itu pada penguraian apa yang diceritakan mereka dari hal bekas-bekas (pengaruh-pengaruh), yang tidaklah seluruh makhluk bersekutu pada mengetahuinya. Karena mereka mengatakan yang demikian itu dari karena kebodohan. Maka sesungguhnya ilmu ketetapan bintang-bintang itu adalah mu’jizat bagi sebahagian nabi-nabi as. Kemudian ilmu itu terhapus (karena wafatnya). Maka tidak tinggal lagi, selain apa yang bercampur, yang tidak dapat dibedakan yang benar padanya dari yang salah. Maka keyakinan adanya bintang-bintang itu menjadi sebab bagi bekas-bekas (pengaruh-pengaruh) yang terjadi dengan makhluk Allah Ta’ala di bumi, pada tumbuh-tumbuhan dan pada hewan, tidaklah tercela pada agama. Bahkan, itu benar. Akan tetapi, dakwaan mengetahui pengaruh-pengaruh itu atas penguraian serta kebodohan, adalah tercela pada agama. Dan karena itulah, apabila ada bersama anda sehelai kain yang anda basuhkan dan anda bermaksud mengeringkannya, lalu berkata orang lain kepada anda: “Keluarkanlah kain itu dan bentangkanlah ! sesungguhnya matahari sudah terbit, siang dan udara sudah panas”. Maka tidak harus engkau mendustakannya. Dan tidak harus engkau mengingkarinya, dengan didalihkannya panas udara itu di atas terbitnya matahari. Dan apabila anda menanyakan dari hal berobahnya muka seorang insan, lalu ia menjawab: “Dipukulnya aku oleh matahari di jalan. Maka hitamlah mukaku”, niscaya adalah harus engkau mendustakannya dengan yang demikian. Dan kiaskanlah dengan ini, akan pengaruh-pengaruh lainnya ! Hanya pengaruh-pengaruh itu, sebahagiannya diketahui dan sebahagiannya tidak diketahui. Maka yang tidak diketahui, tidak boleh didakwakan mengetahuinya. Dan yang diketahui itu, sebahagiannya diketahui oleh seluruh manusia. Seperti: hasilnya terang dan panas dengan terbitnya matahari. Dan sebahagiannya diketahui oleh sebahagian manusia. Seperti: terjadinya penyakit selesma/flu dengan terbitnya bulan.
Jadi, bintang-bintang itu tidaklah dijadikan main-main. Akan tetapi, padanya banyak hikmah, yang tidak dapat dihinggakan. Dan karena inilah, Rasulullah saw memandang ke langit dan membaca firmanNya Yang Maha Tinggi: “Wahai Tuhan kami ! Tidaklah Engkau menjadikan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari azab neraka!”. S 3 Ali Imran ayat 191. Kemudian Nabi saw bersabda: “Azab siksa bagi orang yang membaca ayat tersebut di atas ini, kemudian ia menyapu dengan ayat itu kumisnya”. Artinya: bahwa ia membaca ayat itu dan ia tidak memperhatikannya. Dan ia menyingkatkan dari memahami alam malakut yang tinggi itu, kepada mengetahui warna langit dan terang bintang-bintang. Dan yang demikian itu adalah sebahagian daripada yang diketahui juga oleh hewan-hewan. Maka siapa yang merasa cukup dengan mengetahui itu saja, maka orang itu yang menyapu dengan yang demikian kumisnya. Maka bagi Allah Ta’ala pada alam malakut tinggi, kali langit, nyawa dan hewan-hewan, mempunyai keajaiban-keajaiban, yang dicari oleh orang-orang yang mencintai Allah Ta’ala, untuk mengetahuinya. Maka sesungguhnya siapa yang mencintai seseorang yang berilmu (orang alim), niscaya senantiasalah ia sibuk mencari karangan-karangannya. Supaya ia semakin bertambah mengetahui keajaiban-keajaiban ilmunya, karena cinta kepadanya. Maka seperti demikian juga urusan tentang keajaiban-keajaiban ciptaan Allah Ta’ala. Maka sesungguhnya alam seluruhnya itu dari karanganNya. Bahkan karangan pengarang-pengarang itu dari karanganNya yang dikarangkanNya dengan perantaraan hati hamba-hambaNya. Maka jikalau anda merasa ta’jub dari karangan, maka anda tidak merasa ta’jub dari pengarang. Bahkan Yang Menjadikan pengarang itu bagi karangannya, dengan petunjuk pembetulan dan pengenalisaNya, yang dianugerahkanNya kepada pengarang itu. Sebagaimana apabila anda melihat boneka-boneka tukang sulap, yang menari dan bergerak dengan gerakan-gerakan yang seimbang dan serasi. Maka anda tidak merasa ta’jub dari boneka-boneka itu. Sesungguhnya boneka-boneka itu kertas-kertas yang digerakkan. Ia tidak bergerak sendiri. Akan tetapi, anda merasa ta’jub dari pintarnya tukang sulap yang menggerak-gerakkan boneka-boneka itu, dengan ikatan-ikatan yang halus, yang tersembunyi dari penglihatan mata. Jadi, yang dimaksudkan, bahwa makanan tumbuh-tumbuhan itu tidak akan sempurna, selain dengan air, udara, matahari, bulan dan bintang-bintang. Dan yang demikian itu tiada akan sempurna, selain dengan cakrawala-cakrawala yang dipusatkan padanya. Dan cakrawala-cakrawala itu tidak sempurna, selain dengan gerak-geriknya air, udara, matahari, bulan dan bintang-bintang. Dan tidak sempurna gerak-geriknya, selain dengan para malaikat langit yang menggerak-gerakkannya. Dan seperti yang demikian pula, yang demikian itu berlanjutan kepada sebab-sebab yang jauh, yang kami tinggalkan menyebutkannya. Karena memberitahukan dengan apa yang telah kami sebutkan itu, atas apa yang kami lengahkan. Dan marilah kami singkatkan atas ini saja, dari menyebutkan sebab-sebab makanan tumbuh-tumbuhan
TEPI KELIMA:  tentang nikmat-nikmat Allah Ta’ala mengenai sebab-sebab yang menyampaikan makanan-makanan itu kepada anda.
Ketahuilah kiranya, bahwa makanan-makanan itu seluruhnya, tidak didapati pada setiap tempat. Akan tetapi, ia mempunyai syarat-syarat khusus. Karena syarat-syarat khusus itulah maka didapati pada sebahagian tempat. Dan tidak pada sebahagian tempat yang lain. Dan umat manusia itu bertebaran di muka bumi. Dan kadang-kadang jauh dari mereka itu makanan-makanan. Dan didindingi di antara mereka dan makanan-makanan itu oleh lautan dan padang sahara. Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala memerintahkan para saudagar dan menguasakan kepada mereka, kerakusan cinta harta dan keinginan untung, sedang mereka pada kebanyakan hal tidak memerlukan akan sesuatu itu. Akan tetapi, mereka kumpulkan. Maka adakalanya bahwa tenggelamlah kapal-kapal yang membawa barang-barang itu bersama barang-barangnya. Atau dirampas oleh perampok-perampok di jalan raya. Atau mereka mati di sebahagian negeri. Lalu barang-barang itu diambil oleh sultan-sultan (penguasa-penguasa). Dan keadaan mereka yang terbaik, ialah: bahwa barang-barang itu diambil oleh ahli warisnya. Padahal ahli waris itu musuhnya yang terbesar, jikalau mereka tahu.
Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menguasakan kebodohan dan kelalaian kepada mereka. Sehingga mereka itu menderita kesengsaraan pada mencari keuntungan. Mereka menghadapi bahaya dan mendatangkan nyawanya pada kebinasaan dengan menyeberangi lautan. Lalu mereka bawakan makanan-makanan dan macam-macam keperluan dari yang terjauh di Timur dan di Barat kepada anda. Dan perhatikanlah, bagaimana mereka diajarkan oleh Allah Ta’ala membuat kapal dan bagaimana naik di kapal-kapal itu ! dan perhatikanlah, bagaimana IA menjadikan hewan dan dimudahkanNya hewan-hewan itu untuk dikendarai dan membawa barang-barang di padang sahara ! dan perhatikanlah kepada unta, bagaimana unta itu diciptakan ! dan kepada kuda, bagaimana kuda itu memanjangkan perjalanannya dengan sangat cepat. Dan kepada keledai, bagaimana ia dijadikan sangat penyabar atas kepayahan. Dan kepada unta, bagaimana unta itu menempuh padang pasir sahara dan menjalani perjalanan yang ditempuh siang malam dengan beban yang berat, di atas kelaparan dan kehausan. Dan perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menjalankan mereka dengan perantaraan kapal-kapal dan hewan-hewan di daratan dan di lautan, untuk dibawanya kepada anda makanan dan keperluan-keperluan lainnya ! dan perhatikanlah apa yang diperlukan hewan-hewan, dari sebab-sebabnya, alat-alatnya dan umpan makanannya dan apa yang diperlukan kapal-kapal ! maka sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan semua itu kepada batas keperluan dan di atas keperluan. Dan menghinggakan yang demikian itu tidak mungkin. Dan berkelanjutan yang demikian, kepada hal-hal yang di luar dari hinggaan, yang kami berpendapat meninggalkannya. Karena mencari keringkasan.
TEPI KEENAM: mengenai perbaikan makan.
Ketahuilah kiranya, bahwa yang tumbuh dalam bumi, dari tumbuh-tumbuhan dan apa yang dijadikan dari hewan-hewan itu tidak mungkin dipecahkan dengan gigi dan dimakan, sedang barang-barang itu seperti yang demikian. Akan tetapi, tidak boleh tidak pada setiap sesuatu daripadanya, daripada perbaikan, dimasak, disusun dan dibersihkan, dengan mencampakkan sebahagian dan ditinggalkan sebahagian, sampai kepada hal-hal lain, yang tidak terhingga banyaknya. Dan menyelidiki yang demikian itu pada setiap makanan akan panjang. Maka marilah kita tentukan sepotong roti ! dan marilah kita perhatikan kepada apa yang diperlukan oleh sepotong roti itu ! sehingga ia bulat dan patut untuk dimakan, dari sesudah menanamkan bibitnya dalam tanah.
Maka mula pertama yang diperlukan, ialah membajak tanah, untuk ditanamkan dan diperbaiki tanah itu. Kemudian, lembu yang membajak tanah dan ladang itu dan semua sebab-sebabnya. Kemudian, sesudah itu mengusahakan pada masa yang tertentu menyirami air. Kemudian, membersihkan tanah dari rumput. Kemudian, memotong. Kemudian, menuai dan membersihkan. Kemudian, menumbuk. Kemudian, meremas. Kemudian membikin roti. Maka perhatikanlah bilangan pekerjaan-pekerjaan ini, yang telah kami sebutkan dan yang tidak kami sebutkan ! dan bilangan orang-orang yang tegak mengerjakannya. Dan bilangan alat-alat yang diperlukan, dari: besi, kayu, batu dan lainnya. Dan perhatikanlah kepada perbuatan tukang-tukang pada memperbaiki alat-alat membajak, menumbuk dan membuat roti, dari: tukang kayu, tukang besi dan lainnya ! dan perhatikanlah kepada keperluan tukang besi, kepada: besi, timah dan tembaga ! dan perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menjadikan gunung-gunung, batu-batu dan tambang-tambang ! dan bagaimana IA menjadikan tanah, yang berpotong-potong berdekatan, yang berlain-lainan ! maka jikalau anda periksa, niscaya anda tahu, bahwa sepotong roti itu, tiada akan membulat, di mana patut untuk anda makan, wahai yang patut dikasihani, sebelum bekerja padanya lebih dari seribu pekerja.
Maka dimulai dari malaikat yang menghalau awan, supaya turun hujan, sampai kepada akhir perbuatan dari pihak malaikat. Sehingga berkesudahan giliran kepada perbuatan insan. Maka apabila beredar perbuatan itu, niscaya memerlukan mendekati 7000 pekerja. Setiap pekerja itu menjadi pokok dari pokok-pokok pekerjaan, yang menyempurnakan dengan demikian, kemuslihatan makhluk.
Kemudian, perhatikanlah banyaknya perbuatan insan pada alat-alat itu ! sehingga sebuah penjahit (jarum), yang dia itu alat kecil, yang faedahnya untuk menjahit pakaian, yang mencegah kedinginan dari anda, tiada sempurna bentuknya dari besi, yang pantas untuk menjahit, selain sesudah ia melalui di tangan penjahitnya 25 kali. Dan penjahit itu berbuat pada setiap kali daripadanya suatu perbuatan. Maka jikalau Allah Ta’ala tidak mengumpulkan negeri-negeri dan tidak memaksakan hamba-hambaNya dan anda memerlukan kepada perbuatan arit yang engkau sabit dengan arit itu gandum umpamanya, sesudah tumbuhnya, niscaya habislah umur anda. Dan lemahlah anda daripadanya.
Apakah anda tidak melihat, bagaimana Allah Ta’ala menunjukkan hambaNya yang dijadikanNya dari air banjir yang kotor, untuk berbuat perbuatan -perbuatan yang menakjubkan ini dan perusahaan-perusahaan yang ganjil ? maka perhatikanlah kepada gunting umpamanya ! kedua belah gunting itu berlapisan, yang satu berlapisan di atas yang lain. Maka keduanya memegang sesuatu bersamaan. Dan dipotongkannya dengan segera. Dan jikalau tidak dibukakan oleh Allah Ta’ala jalan membuatnya, dengan keutamaan dan kemurahanNya bagi orang-orang yang sebelum kita dan kita memerlukan kepada mencari jalan padanya dengan pikiran kita, kemudian kepada mengeluarkan besi dari batu dan kepada menghasilkan alat-alat, yang dengan alat-alat itu diperbuat gunting dan umur seseorang dari kita seperti umur Nabi Nuh as dan diberikan kesempurnaan akal, niscaya pendeklah umurnya daripada mencari jalan pada perbaikan alat ini sendiri saja. Lebih-lebih alat-alat lainnya. Maka Maha Sucilah IA menghubungkan orang yang dapat melihat dengan orang buta. Dan Maha Sucilah IA yang mencegah penjelasan serta keterangan ini.
Perhatikanlah sekarang, jikalau kosong negeri anda dari tukang tumbuk tepung saja umpamanya atau dari tukang besi atau dari tukang bekam, yang dia itu termasuk pekerja yang paling keji atau dari tukang perajut kain atau dari seseorang dari jumlah tukang-tukang itu, maka apakah yang akan menimpa anda dari kesakitan ? dan bagaimana kacaunya urusan-urusan anda seluruhnya ? maka Maha Sucilah IA yang memanfaatkan sebahagian hambaNya untuk sebahagian yang lain. Sehingga tembuslah (berjalanlah) dengan yang demikian itu kehendakNya dan sempurnalah hikmahNya. Marilah kami ringkaskan perkataan pada lapsian ini juga. Sesungguhnya maksud, ialah memberitahukan kepada nikmat-nikmat. Tidak untuk menghinggakannya.
TEPI KETUJUH: tentang perbaikan orang-orang yang memperbaiki.
Ketahuilah kiranya, bahwa tukang-tukang yang berbuat memperbaiki makanan dan lainnya, jikalau bercerai berailah pendapat mereka dan berjauhan sifat mereka satu sama lain, seperti berjauhannya sifat binatang liar, niscaya cerai berailah mereka dan jauh menjauhkanlah mereka. Dan tidak dapat sebahagian mereka memperoleh manfaat dari sebahagian lainnya. Akan tetapi, adalah mereka seperti binatang-binatang liar, yang tidak diliputi oleh suatu tempat. Dan tidak dikumpulkan oleh suatu maksud. Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menjinakkan di antara hati mereka. Dan mengeraskan kejinakan hati dan kasih sayang di antara sesama mereka. FirmanNya: “Kalau kiranya engkau belanjakan seluruh apa yang ada di bumi, niscaya engkau tidak juga dapat menyatukan (menjinakkan) hati mereka, akan tetapi Allah yang menyatukan mereka”. S 8 Al Anfal ayat 63. Maka karena kejinakan hati dan perkenalan jiwa, mereka itu berkumpul dan berjinakkan hati. Mereka membangun kota-kota dan negeri-negeri. Mereka menertibkan tempat-tempat tinggal dan rumah-rumah, yang berdekatan dan bertetangga. Mereka menertibkan pasar-pasar dan toko-toko dan segala jenis tempat-tempat lainnya, yang panjang penghinggaannya. Kemudian, kasih sayang itu akan hilang dengan maksud-maksud, yang berdesak-desakan mereka padanya dan berlomba-lombaan. Maka pada sifat insan itu marah, dengki dan berlomba-lombaan. Dan yang demikian itu membawa kepada berbunuh-bunuhan dan berliar-liaran hati.
Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menguasakan sultan-sultan (penguasa-penguasa). Dan menolong mereka dengan kekuatan, senjata dan sebab-sebab lainnya. dan menjatuhkan ketakutan kepada mereka dalam hati rakyat. Sehingga mereka dengan yakin, senang atau tidak, mematuhi sultan-sultan itu. Dan bagaimana IA memberi petunjuk kepada sultan-sultan, kepada jalan perbaikan negeri. Sehingga sultan-sultan itu menertibkan bahagian-bahagian negeri, seakan-akan bahagian-bahagian diri orang seorang, yang bertolong-tolongan di atas suatu maksud. Yang dapat mengambil manfaat sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain.
Sultan-sultan itu menertibkan kepala-kepala rakyat, hakim-hakim, penjara dan pemimpin-pemimpin pasar. Mereka memerlukan kepada rakyat dengan undang-undang keadilan. Mereka haruskan rakyat itu bertolong-tolongan dan berbantu-bantuan. Sehingga tukang besi dapat mengambil manfaat dengan tukang tebu, tukang roti dan penduduk-penduduk lainnya. Semuanya mereka mengambil manfaat dengan tukang besi. Tukang bekam mengambil manfaat dengan tukang penggarap tanah. Tukang penggarap tanah dengan tukang bekam. Masing-masing mengambil manfaat dengan yang lain, disebabkan penertiban, pengumpulan dan tergenggam mereka di bawah penertiban dan pengumpulan sultan (penguasa). Sebagaimana seluruh anggota badan bertolong-tolongan dan mengambil manfaat sebahagiannya dengan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, bagaimana IA mengutus nabi-nabi as sehingga nabi-nabi itu memperbaiki penguasa-penguasa yang memperbaiki rakyat. Nabi-nabi itu memperkenalkan kepada mereka, undang-undang agama tentang menjaga keadilan di antara makhluk dan undang-undang politik pada mengekang mereka. Nabi-nabi itu menyingkapkan dari hukum-hukum keimanan (tentang kepala negara), kesultanan, hukum-hukum fikih, apa yang mereka memperoleh petunjuk dengan yang demikian, kepada perbaikan dunia. Lebih-lebih kepada apa yang menunjukkan mereka kepada perbaikan agama. Perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala memperbaiki nabi-nabi dengan malaikat-malaikat ! bagaimana IA memperbaiki sebahagian malaikat-malaikat itu dengan sebahagian yang lain. Sehingga berkesudahan kepada malaikat yang berdekatan dengan Allah Ta’ala, yang tiada perantaraan di antaranya dan Allah Ta’ala.
Tukang roti yang membuat roti dari tepung yang sudah diramas. Tukang tumbuk tepung, yang membuat baik biji-bijian dengan ditumbuk. Tukang penggarap tanah yang membuat baik, dengan tukang petik hasil. Tukang besi yang memperbaiki alat-alat pengolahan tanah. Dan tukang kayu yang memperbaiki alat-alat tukang besi. Dan demikian juga, semua orang-orang yang mempunyai perusahaan-perusahaan, yang memperbaiki alat-alat makanan. Dan sultan yang memperbaiki tukang-tukang. Dan nabi-nabi yang memperbaiki ulama-ulama yang menjadi pewarisnya. Ulama-ulama yang memperbaiki sultan-sultan. Dan malaikat-malaikat yang memperbaiki nabi-nabi. Sampai berkesudahan ke hadlarat ketuhanan, yang menjadi sumber setiap peraturan, tempat terbit setiap kebagusan dan kecantikan dan tempat jadinya setiap tertib dan penyusunan. Semua itu nikmat dari Tuhan Yang Maha memiliki dan Penyebab segala sebab. Dan jikalau tidaklah keutamaan dan kurniaNya, karena IA berfirman: “Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami”. S Al Ankabut ayat 69. Niscaya kita tidak memperoleh petunjuk kepada mengetahui sebahagian yang sedikit ini dari nikmat-nikmat Allah Ta’ala. Dan jikalau tidak diasingkanNya (dijauhkanNNya) kita daripada kerakusan, yang kita ingin mengetahui hakikat/makna nikmat-nikmatNya, niscaya mengkilaplah kita kepada mencari yang meliputi semua dan penyelidikan yang mendalam. Akan tetapi, Allah Ta’ala mengasingkan kita dengan ketetapan paksaan dan kekuasaanNya. Maka IA berfirman: “Dan kamu hitung nikmat Allah, niscaya tidak dapat kamu menghitungnya”. S An Nahl ayat 18. Maka jikalau kita memperkatakannya, maka dengan izinNyalah kita dapat membentangkannya. Dan jikalau kita diam, maka dengan keperkasaanNyalah kita tergenggam. Karena tiada yang memberikan, bagi apa yang dilarangNya. Dan tiada yang melarang, bagi apa yang diberikanNya. Karena sesungguhnya kita pada setiap detik dari detik-detik umur kita, sebelum mati, kita mendengar dengan pendengaran hati, akan panggilan RAJA YANG MAHA PERKASA. FirmanNya: “Kepunyaan siapa Kerajaan pada hari ini ? kepunyaan Allah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Perkasa”. S 40 Al Mukmin ayat 16. Maka segala pujian bagi Alllah yang membedakan kita dari orang-orang.
TEPI KEDELAPAN: tentang penjelasan nikmat Allah Ta’ala mengenai kejadian para malaikat as.
Tidaklah tersembunyi kepada anda, apa yang telah terdahulu dari nikmat Allah pada menjadikan para malaikat, untuk memperbaiki nabi-nabi as, memberi petunjuk kepada mereka dan menyampaikan wahyu kepada mereka. Dan jangan anda menyangka, bahwa mereka itu terbatas perbuatannya sekadar itu saja. Akan tetapi, lapisan para malaikat itu, serta banyaknya dan susunan tingkat-tingkatnya itu terhingga dengan jumlah, pada 3 lapisan: malaikat bumi, malaikat langit dan para pembawa ‘Arasy.
Maka perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala mewakilkan para malaikat itu, pada engkau, mengenai apa yang kembali kepada makan dan makanan yang mengenyangkan, yang telah kami sebutkan dahulu. Tidak yang melampaui demikian, dari hidayah, penunjukan jalan dan lainnya. Dan ketahuilah, bahwa setiap bahagian dari bahagia-bahagian badan engkau, bahkan dari bahagian-bahagian tumbuh-tumbuhan itu, tidak memperoleh makanan, selain dengan diwakilkan (diserahkan urusan) padanya, 7 malaikat. Itu yang paling sedikit, sampai kepada 10, kepada 100 dan di balik yang demikian.
Penjelasannya, ialah, bahwa: arti makan itu tegak berdiri sebahagian daripada makanan, pada tempat berdiri sebahagian, yang telah hilang (tidak ada lagi). Dan makanan itu menjadi darah pada akhir keadaannya. Kemudian, menjadi daging dan tulang. Dan apabila ia telah menjadi daging dan tulang, niscaya sempurnalah permakamannya. Darah dan daging itu merupakan tubuh-tubuh, yang tiada mempunyai kemampuan, pengetahuan dan usaha. Ia tidak bergerak dengan sendirinya. Dan tidak berobah dengan sendirinya. Dan semata-mata tabiat, tidak memadai pada bulak-baliknya pada berbagai hal-ihwalnya.
Sebagaimana gandum, tidak jadi dengan sendirinya itu tertumbuk (halus). Kemudian, beramas. Kemudian, roti yang bundar, yang merupakan roti. Selain dengan orang-orang yang menjadi pembuatnya. Maka seperti yang demikian juga, darah. Ia tidak jadi daging dengan sendirinya. Tidak jadi tulang, urat dan urat saraf. Selain dengan pembuat-pembuatnya. Dan pembuat-pembuat pada batiniyahnya, ialah: para malaikat. Sebagaimana pembuat-pembuat pada zahiriyah itu, ialah: mereka penduduk negeri.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah melengkapkan kepada anda nikmat-nikmatNya yang zahiriyah dan yang batiniyah. Maka tiada seyogyalah anda lalai dari nikmat-nikmatNya yang batiniyah. Maka aku mengatakan: bahwa tidak boleh daripada malaikat yang menarik makanan ke sisi daging dan tulang. Sesungguhnya makanan itu tidak bergerak sendiri. Dan tak boleh tidak, daripada malaikat yang lain lagi, yang memegang makanan pada sisi malaikat tadi di atas. Dan tak boleh tidak, daripada malaikat ke-3, yang mencabut daripadanya bentuk darah. Dan tak boleh tidak, daripada malaikat ke-4, yang memberi pakaian kepadanya bentuk daging dan urat pada tulang. Dan tak boleh tidak, daripada malaikat ke-5 yang menolak kelebihan, yang lebih daripada keperluan makanan. Dan tak boleh tidak, daripada malaikat ke-6, yang merekatkan apa yang diusahakan menjadi sifat tulang, dengan tulang. Dan apa yang diusahakan menjadi sifat daging, dengan daging. Sehingga tidak ia bercerai (tidak merekat). Dan tak boleh tidak, daripada malaikat ke-7, yang menjaga kadar pada perekatan itu. Maka dihubungkannya dengan yang bundar, akan apa yang tidak merusakkan kebundarannya. Dan dengan yang melintang, akan apa yang tidak merusakkan kelintangannya. Dan dengan yang berlobang, akan apa yang tidak merusakkan kelobangannya. Ia menjaga di atas masing-masingnya, menurut kadar keperluannya. Maka sesungguh nya, jikalau ia mengumpulkan –umpamanya –dari makanan, di atas hidung anak kecil, apa yang dikumpulkan atas pahanya, niscaya besarlah hidungnya itu. Dan rusaklah kelobangannya. Kejilah bentuk dan kejadiannya. Akan tetapi, seyogyalah bahwa dibawa ke pelupuk mata, serta ketipisannya, kepada biji mata, serta kejernihannya, kepada paha serta ketebalannya dan kepada tulang serta kekerasannya, apa yang layak dengan masing-masing daripadanya, menurut kadar dan bentuk. Jikalau tidak, niscaya rusaklah bentuk. Dan bertambah pada sebahagian tempat dan lemah pada sebahagian tempat. Bahkan, jikalau malaikat tersebut tidak menjaga keadilan pada pembahagian dan kesederhanaan, maka ia menghalau ke kepala anak kecil dan bahagian lain dari badannya, daripada makanan, yang tidak menumbuhkan, selain salah satu daripada kedua kakinya –umpamanya -, niscaya tinggallah kaki yang satu lagi, seperti yang telah ada batas kecilnya. Dan besarlah semua badannya. Maka anda melihat akan seseorang, dalam kebesaran kakinya yang satu. Dan ia mempunyai kaki yang satu lagi, seolah-olah kaki anak kecil. Maka ia tidak dapat memanfaatkannya sekali-kali. Maka menjaga ukuran ini pada pembahagiannya itu terserah kepada malaikat daripada para malaikat.
Dan anda jangan menyangka, bahwa darah dengan tabiatnya itu dapat mengukur bentuknya sendiri. Maka menyerahkan urusan-urusan ini kepada tabiat (dirinya sendiri) itu bodoh. Orang itu tidak tahu apa yang dikatakannya. Maka itulah para malaikat bumi. Mereka itu sibuk dengan anda. Dan anda dalam ketiduran itu beristirahat. Dan dalam kelalaian itu pulang pergi (ragu-ragu). Dan para malaikat itu membaikkan makanan dalam batiniyah anda. Dan tak ada berita kepada anda daripada mereka. Dan yang demikian itu, pada setiap bahagian dari bahagian-bahagian tubuh anda yang tidak dapat dibagi-bagikan. Sehingga diperlukan oleh sebahagian badan, seperti mata dan hati, kepada yang lebih banyak daripada 100 malaikat. Kami tinggalkan penguraian yang demikian itu, untuk keringkasan.
Dan para malaikat bumi itu, bantuannya daripada para malaikat langit, dengan tartib yang dimaklumi, yang tiada mengetahui akan hakikat/ maknanya, selain Allah Ta’ala. Dan bantuan para malaikat langit itu daripada para malaikat itu, dengan penguatan, hidayah dan pembetulan, ialah Tuhan Yang Maha Penjaga segala sesuatu, Yang Maha Suci, Yang Berkuasa sendiri pada ‘alamul-mulki dan ‘alamul-malakut (alam kerajaan di bumi dan ini dan alam tinggi di luar alam ini), pada keagungan dan keperkasaan, Yang Maha Perkasa bagi langit dan bumi, Yang Memiliki kerajaan, Yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Hadits-hadits yang membentangkan tentang para malaikat yang diwakilkan untuk mengurus di langit dan di bumi, bahagian-bahagian tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan, sehingga setiap titip dari hujan dan setiap awan, yang tertarik dari sudut ke sudut itu lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Maka karena itulah, kami tinggalkan mengambil dalil dengan yang demikian. Kalau anda bertanya: mengapa tidak diserahkan pekerjaan-pekerjaan tersebut kepada satu malaikat ? mengapa diperlukan kepada 7 malaikat ? gandum juga memerlukan pertama-tama kepada orang yang menumbuk. Kemudian, yang ke-2, kepada orang yang membedakan antah yang diayak dan membuang ampasnya. Kemudian, yang ke-3 kepada orang yang menuangkan air ke atasnya. Kemudian, yang ke-4 kepada orang yang meramasnya. Kemudian, yang ke-5 kepada orang yang memotong-motongnya menjadi bola-bola yang bundar. Kemudian, yang ke-6, kepada orang yang menipis-nipiskannya menjadi roti yang melintang panjang. Kemudian, ke-7, kepada orang yang melekatkannya dengan kepanasan api. Akan tetapi, kadang-kadang semua itu, diurus dan dikerjakan oleh seorang, yang berdiri sendiri mengerjakannya. Maka adakah perbuatan malaikat itu yang batiniyah, seperti perbuatan umat manusia yang zahiriyah ? maka ketahuilah, bahwa kejadian malaikat itu berlainan dengan kejadian insan. Dan tiada satupun daripada para malaikat, melainkan adalah ia kesatuan sifat. Tidak ada padanya sekali-kali campuran dan susunan. Maka tidak ada bagi masing-masing mereka, melainkan satu perbuatan. Dan kepada itulah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan setiap kami ini mempunyai kedudukan yang tertentu”. S 37 Ash Shaffaat ayat 164.
Maka karena itulah, tidak ada di antara mereka itu lomba-berlomba dan bunuh-membunuh. Akan tetapi, contoh mereka pada penentuan tingkat dan perbuatan masing-masing mereka itu seperti: pancaindra yang lima. Maka penglihatan itu tidak mendesak pendengaran pada mendapati suara-suara. Dan ciuman tidak mendesak yang dua tadi. Dan tidak pula keduanya itu bertengkar dengan ciuman. Dan tidaklah ia seperti tangan dan kaki. Anda sesungguhnya kadang-kadang menggenggam dengan anak jari kaki, dengan genggaman yang lemah. Lalu kaki itu mendesak tangan dengan yang demikian. Dan anda kadang-kadang memukul orang lain dengan kepala anda. Maka kepala itu mendesak tangan, yang sebenarnya alat memukul. Dan tidak pula malaikat itu seperti seorang insan, yang berbuat dengan dirinya sendiri: menumbuk, meramas dan membuat roti. Maka sesungguhnya ini semacam pembengkokan dan kepalingan dari keadilan. Sebabnya, ialah berbedanya sifat-sifat insan dan berlainan pengajak-pengajaknya. Sesungguhnya insan itu tidaklah kesatuan sifat. Maka tidaklah ia kesatuaan perbuatan. Dan karena itulah, sekali anda melihat insan itu mentaati Allah Ta’ala. Dan pada lain kali, ia berbuat ma’siat kepadaNya. Karena berbeda pengajak dan sifatnya. Dan yang demikian itu tidak mungkin pada tabiat malaikat. Akan tetapi para malaikat itu menjadi tabiatnya taat kepada Allah Ta’ala. Dan tiada jalan bagi ma’siat pada mereka. Maka tidak ragu lagi, bahwa para malaikat itu tidak mendurhakai Allah Ta’ala, akan apa yang disuruhNya. Dan mereka berbuat apa yang disuruhNya. Mereka mengucapkan tasbih siang dan malam. Tidak putus-putus. Yang ruku’ dari mereka terus ruku’ selama-lamanya. Yang sujud dari mereka terus sujud selama-lamanya. Yang berdiri terus berdiri selama-lamanya. Tiada berbeda pada perbuatan mereka dan tiada putus. Masing-masing mereka mempunyai kedudukan yang tertentu, yang tidak dilampauinya. Taatnya mereka kepada Allah Ta’ala, dari segi tiada jalan untuk menyalahinya itu, mungkin dapat diserupakan dengan taatnya anggota-anggota badan anda kepada anda. Maka sesungguhnya anda, manakala telah meyakinkan kehendak membuka pelupuk mata, niscaya tidak ada bagi pelupuk mata yang sehat, ragu-ragu dan berselisih. Sekali pada mentaati anda dan pada lain kali dengan mendurhakai anda. Akan tetapi, seakan-akan pelupuk mata itu menunggu perintah anda dan larangan anda. Ia terbuka dan tertutup, yang bersambung dengan isyarat anda. Maka ini menyerupainya dari satu pihak. Akan tetapi, ia menyalahinya dari lain pihak. Karena pelupuk mata itu tidak mempunyai ilmu, dengan apa yang timbul daripadanya, terbuka dan tertutup itu. Dan para malaikat itu hidup, yang tahu dengan apa yang dikerjakannya. Jadi, ini nikmat Allah Ta’ala kepada engkau, tentang malaikat bumi dan malaikat langit. Dan keperluan engkau kepada dua malaikat itu pada maksud makan saja. Tidak yang lain daripadanya, dari seluruh gerak-gerik dan hajat-hajat keperluan. Maka kami sesungguhnya tidak memanjangkan menyebutkannya. Maka ini lapisan lain dari lapisan-lapisan nikmat. Dan jumlah lapisan-lapisan itu tidak mungkin dihinggakan. Maka bagaimana satu persatu dari apa yang termasuk dalam jumlah lapisan-lapsian itu ? jadi sesungguh nya Allah Ta’ala telah melengkapkan nikmat-nikmatNya kepada anda, zahir dan batin. Kemudian, IA berfirman: “Dan tinggalkanlah dosa yang terang dan yang tersembunyi !”. S 6 Al An’aam ayat 120. Maka meninggalkan dosa yang tersembunyi (dosa batiniyah), yang tidak diketahui oleh makhluk, yaitu: dengki, buruk sangka, perbuatan bid’ah (yang diada-adakan), menyembunyikan kejahatan kepada manusia dll dari dosa-dosa hati, itulah syukur bagi nikmat-nikmat yang tersembunyi. Dan meninggalkan dosa yang terang dilakukan dengan anggota-anggota badan (dosa zahiriyah) itu syukur kepada nikmat yang terang (nikmat zahiriyah). Bahkan aku mengatakan, bahwa setiap orang yang berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala, walaupun pada sekejap mata, dengan membukakan pelupuk mata –umpamanya –dimana ia harus memicingkan matanya, maka sesungguhnya ia telah kufur kepada setiap nikmat Allah Ta’ala kepadanya, di langit, di bumi dan di antara keduanya. Maka sesungguhnya setiap apa yang dicintakan oleh Allah Ta’ala, sehingga malaikat, langit, bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, dengan semuanya itu, adalah nikmat kepada setiap orang daripada hambaNya, yang sempurna ia mengambil manfaat dengan yang demikian. Dan walau diambil manfaat pula oleh orang lain dengan nikmat itu.
Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai pada setiap detik dengan pelupuk mata itu dau nikmat pada diri pelupuk mata itu sendiri. Karena IA jadikan di bawah setiap pelupuk mata itu daging-daging berurat (‘adlalat). Daging-daging berurat itu mempunyai tali-tali dan ikatan-ikatan, yang bersambung dengan urat saraf otak. Dengan itulah sempurnanya merendah pelupuk mata yang di atas dan terangkat pelupuk mata yang di bawah. Dan atas setiap pelupuk mata itu bulu yang hitam. Dan nikmat Allah Ta’ala pada hitamnya itu, ialah: bahwa ia mengumpulkan terang mata. Karena putih itu memisahkan terang dan hitam itu mengumpulkan terang. Dan nikmat Allah Ta’ala pada penyusunannya satu baris, ialah, bahwa adalah ia pencegah dari binatang-binatang kecil yang merangkak ke dalam mata dan tempat bergantungan kotoran-kotoran yang berterbangan di udara. Dan baginya pada setiap bulu daripada dua pelupuk mata itu, dua nikmat, dari segi lembut pangkalnya. Dan bersama lembut itu kokoh tegaknya. Dan baginya pada selang-seling bulu mata itu nikmat yang terbesar dari semua. Yaitu, bahwa: debu udara kadang-kadang mencegah daripada terbukanya mata. Dan jikalau didempetkan, niscaya ia tidak melihat. Maka dikumpulkan oleh pelupuk mata, sekadar bulu-bulu mata itu menjerjak. Lalu ia melihat dari belakang jerjak bulu itu. Maka adalah jerjak bulu itu mencegah dari sampainya kotoran dari luar. Dan tidak mencegah daripada memanjangnya penglihatan dari dalam. Kemudian, jikalau kena debu kepada biji mata, maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan tepi pelupuk mata itu pelayan yang berlapis di atas biji mata, seperti pengkilap atas cermin. Maka dilapiskanNya sekali atau dua kali. Dan sesungguhnya biji mata itu mengkilap dari debu dan mengeluarkan kotoran-kotoran (taik mata) ke sudut-sudut mata atau pelupuk mata.
Dan lalat, karena tidak ada bagi biji matanya pelupuk mata, maka Allah Ta’ala menjadikan baginya dua tangan. Maka anda melihat lalat itu selalu menyapu dengan dua tangannya akan dua biji matanya. Supaya ia mengkilapkannya dari debu. Dan karena kita tinggalkan penyelidikan mendalam bagi penguraian nikmat-nikmat, karena memerlukan kepada pemanjangan yang lebih dari pokok Kitab ini dan mudah-mudahan kami akan mengulangi menyusunnya suatu kitab yang dimaksud, jikalau ada waktu dan mendapat pertolongan taufik Allah Ta’ala, yang akan kami namakan: Keajaiban-keajaiban Ciptaan Allah Ta’ala.
Maka marilah sekarang kita kembali kepada maksud kita. Maka kami katakan: Barangsiapa melihat kepada bukan mahramnya, maka sesungguhnya ia telah kufur kepada nikmat Allah Ta’ala dengan membuka matanya dalam pelupuk mata. Dan pelupuk mata itu, tidak berdiri (tidak ada), selain dengan mata. Dan mata itu tidak berdiri, selain dengan kepala. Dan kepala itu tidak berdiri, selain dengan seluruh badan. Dan badan itu tidak berdiri, selain dengan makanan. Dan makanan itu tidak ada, selain dengan air, tanah, udara, hujan, mendung, matahari dan bulan. Dan tiada suatupun dari yang demikian itu berdiri, selain dengan langit. Dan langit itu tiada berdiri, selain dengan para malaikat. Maka sesungguhnya semua itu seperti suatu barang, yang sebahagian daripadanya terikat dengan sebahagian yang lain, sebagaimana terikatnya anggota-anggota badan, sebahagian daripadanya dengan sebahagian lainnya.
Jadi, ia telah mengkufuri setiap nikmat pada wujudnya, dari penghabisan bintang Surayya ke penghabisan bawah tanah. Maka tidak tinggallah cakrawala, malaikat, hewan, tumbuh-tumbuhan dan barang beku, melainkan mengutuknya. Dan karena itulah, tersebut pada hadits-hadits, bahwa suatu tempat, yang berkumpul padanya umat manusia, maka adakalanya tempat itu mengutuk mereka tadi, apabila mereka itu berpisah atau meminta ampun kepada mereka.
Demikian juga tersebut pada hadits, bahwa orang yang berilmu (orang alim) itu, meminta ampun baginya setiap sesuatu, sehingga ikan dalam laut. Dan para malaikat itu mengutuk orang-orang yang berbuat maksiat. Semua itu pada kata-kata yang banyak yang tidak mungkin dihinggakan. Setiap yang demikian itu isyarat kepada: bahwa orang yang berbuat maksiat dengan sekejap saja, telah berbuat aniaya kepada semua apa yang dalam ‘alamul-mulki dan ‘alamul-malakut (alam dunia dan alam akhirat). Dan ia membinasakan dirinya sendiri, kecuali bahwa ia ikutkan akan kejahatan itu, dengan kebaikan yang akan menghapuskannya. Maka bergantilah kutukan itu dengan meminta keampunan. Maka kiranya Allah Ta’ala menerima taubatnya dan melepaskan dosa itu daripadanya.
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi Ayyub as: “Wahai Ayyub ! tiada daripada hambaKu dari anak-anak Adam, melainkan bersamanya ada dua malaikat. Apabila hambaKu itu bersyukur kepadaKu atas nikmat-nikmatKu, niscaya dua malaikat itu berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! tambahkanlah kepadanya nikmat di atas nikmat ! sesungguhnya Engkau yang empunya pujian dan syukur”. Maka hendaklah engkau itu sebahagian dari orang-orang yang bersyukur yang dekat ! maka memadailah dengan orang-orang yang bersyukur itu ketinggian martabat padaKu. Sesungguhnya Aku mensyukuri akan kesyukuran mereka. Dan malaikat-malaikatKu berdoa bagi mereka. Dan tempat-tempat mencintai mereka. Dan bekas-bekas yang ditinggalkan menangis kepada mereka”. Sebagaimana anda ketahui, bahwa pada setiap kejapan mata itu nikmat yang banyak, maka ketahuilah, bahwa pada setiap nafas yang terbuka (melepaskan nafas) dan tertutup (menarik nafas) itu dua nikmat. Karena dengan terbukanya itu, keluarlah asap yang terbakar dari hati. Dan jikalau tidak keluar, niscaya ia binasa. Dan dengan tertutupnya , terkumpullah ruh udara kepada hati. Dan jikalau tersumbat tempat pernafasan, niscaya terbakarlah hati dengan putusnya ruh udara dan dinginnya daripadanya. Dan ia binasa. Bahkan sehari semalam itu 24 jam. Dan pada setiap jam, hampir 1000 nafas. Dan setiap hampir 10 kejapan mata. Maka kepada anda pada setiap kejapan mata itu beribu-ribu nikmat pada setiap bahagian dari bahagian-bahagian badan anda. Bahkan pada setiap bahagian dari bahagian-bahagian alam. Maka perhatikanlah, adakah tergambar hinggaan yang demikian itu atau tidak ? dan tatkala tersingkaplah kepada Musa as akan hakikat/makna firmanNya: “Dan kalau kamu hitung nikmat Allah, niscaya tidak dapat kamu menghitungnya”. S An Nahl ayat 18. Lalu Musa as bertanya: “Wahai Tuhanku ! bagaimana aku bersyukur kepadaMu. Dan bagiMu pada setiap bulu dari tubuhku itu dua nikmat. Bahwa Engkau lembutkan pangkalnya. Dan bahwa Engkau hapuskan ujungnya”. Demikianlah juga tersebut pada atsar, bahwa orang yang tiada mengenal nikmat Allah, selain pada tempat makan dan minumnya, maka sesungguhnya sedikitlah ilmunya dan datangkan azabnya. Semua apa yang telah kami sebutkan itu kembali kepada tempat makan dan minum. Maka ambillah menjadi ibarat pada nikmat-nikmat yang lain ! sesungguhnya orang yang dapat melihat, tiada jauh matanya di alam ini atas sesuatu dan tiada mendalam gurisan hatinya dengan sesuatu yang ada melainkan ia yakin, bahwa Allah Ta’ala mempunyai nikmat padanya kepadanya. Maka marilah kita tinggalkan penyelidikan dan penguraian ! sesungguhnya itu kelobaan pada bukan tempat kelobaan.
PENJELASAN: sebab yang memalingkan makhluk daripada bersyukur.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiada yang melengahkan makhluk, daripada mensyukuri nikmat, selain oleh kebodohan dan kelalaian. Maka sesungguhnya mereka tercegah disebabkan kebodohan dan kelalaian, daripada mengetahui nikmat. Dan tiada tergambar kesyukuran nikmat itu, selain sesudah mengetahuinya. Kemudian, jikalau mereka mengetahui nikmat itu, niscaya mereka menyangka bahwa bersyukur kepada nikmat itu, mengucapkan dengan lisan: Alhamdu-lillah-Asy-syukru lillah (Segala pujian bagi Allah-Syukur kepada Allah). Mereka tidak tahu, bahwa arti syukur, ialah: memakai nikmat pada kesempurnaan hikmat yang dimaksudkan. Yaitu: taat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka tiada yang mencegah dari bersyukur sesudah berhasil dua  ilmu mengenal Allah Ta’ala (pengetahuan) ini, selain oleh kekerasan nafsu syahwat dan dikuasai setan.
Adapun kelalaian dari nikmat itu mempunyai sebab-sebab. Salah satu sebabnya, ialah: bahwa manusia disebabkan kebodohan mereka tidak menghitung sebagai nikmat, apa yang meratai kepada makhluk dan diberikan kepada mereka pada semua perihal mereka. Maka karena itulah, mereka tidak mensyukuri kepada sejumlah nikmat yang telah kami sebutkan itu. Karena nikmat-nikmat itu meratai kepada makhluk, yang diberikan kepada mereka pada semua perihal mereka. Maka masing-masing orang tidak melihat bagi dirinya dari mereka itu kekhususan dengan yang demikian. Lalu ia tidak menghitungnya sebagai nikmat. Dan anda tidak melihat mereka bersyukur kepada Allah atas ruh udara. Dan jikalau Allah mengambilnya, dengan tercekek leher mereka sekejap mata saja, sehingga putuslah udara dari mereka, niscaya mereka mati. Jikalau mereka ditahan di dalam kamar mandi, yang padanya udara panas atau pada sumur yang padanya udara berat disebabkan dingin air, niscaya mereka mati karena kabutnya. Jikalau seorang dari mereka dicoba dengan sesuatu dari yang demikian, kemudian ia lepas, mungkin ia menilai yang demikian itu suatu nikmat. Dan bersyukur kepada Allah atas yang demikian. Inilah yang penghabisan bodoh. Karena jadinya kesyukuran mereka itu terdiri atas tercabutnya nikmat daripada mereka. Kemudian nikmat itu dikembalikan kepada mereka pada setengah hal-keadaan.
 Dan nikmat itu pada semua hal lebih utama disyukuri pada sebahagiannya. Maka janganlah anda melihat, akan orang yang dapat melihat mensyukuri kesehatan penglihatannya, selain bahwa buta matanya. Maka pada ketika itu jikalau dikembalikan penglihatannya kepadanya, niscaya ia merasa dan bersyukur. Dan mengihtungnya suatu nikmat. Tatkala adalah rahmat Allah Ta’ala itu mahaluas, niscaya meratai semua makhluk. Dan diberikanNya kepada mereka dalam semua hal. Maka orang bodoh tidak menghitung itu nikmat. Dan orang bodoh ini adalah seperti hamba yang jahat. Haknya ialah dipukul selalu. Sehingga apabila ditinggalkan pemukulannya sesaat, niscaya ia pakai itu sebagai suatu perbuatan baik. Dan jikalau ditinggalkan pemukulnya terus-menerus, niscaya ia dikuasai oleh keangkuhan. Dan ia meninggalkan bersyukur. Maka jadilah manusia itu tiada bersyukur, selain harta yang terdapat kekhususan kepadanya, dari segi banyak dan sedikit. Dan mereka melupakan semua nikmat Allah Ta’ala kepada mereka.
Sebagaimana sebahagian mereka mengadukan kemiskinannya kepada sebahagian orang yang bermata hati dan melahirkan kesangatan susahnya dengan yang demikian. Lalu orang yang bermata hati itu mengatakan kepada orang yang bersedih itu: “Adalah engkau gembira bahwa engkau buta dan engkau mempunyai uang 10 dirham ? “. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Orang yang bermata hati itu bertanya lagi: “Adakah engkau gembira bahwa engkau bisu dan engkau mempunyai uang 10 ribu dirham ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Orang yang bermata hati itu bertanya lagi: “Adakah engkau gembira bahwa dua tangan engkau dan dua kaki engkau ini putus dan engkau mempunyai uang 20 ribu dirham ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Lalu Orang yang bermata hati itu bertanya lagi: “Adakah engkau gembira bahwa engkau gila dan engkau mempunyai uang 10 ribu dirham ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Maka orang yang bermata hati itu berkata: “Apakah engkau tidak malu bahwa engkau adukan Tuhan engkau, padahal IA mempunyai pada engkau harta benda sebanyak 50 ribu dirham ?”.
Dan diceritakan, bahwa setengah ahli qiraah (qari’ Alquran) itu bersangatan kemiskinannya. Sehingga sempit benar hidupnya. Maka pada suatu malam ia bermimpi, seakan-akan ada orang yang mengatakan kepadanya: “Sukakah engkau, bahwa kami lupakan engkau Surah Al An’aam dari Alquran dan engkau mempunyai uang 1000 dinar ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Yang menanyakan dalam mimpi itu bertanya lagi: “Kalau Surah Hud ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Yang bertanya itu bertanya pula: “Kalau Surah Yusuf ?”. Orang itu menjawab: “Tidak !”. Lalu yang bertanya itu menyebutkan beberapa surah. Kemudian ia berkata: “Bersama engkau ada uang bernilai 100 ribu dinar. Dan engkau mengadu !”. Maka pada pagi-pagi hari, ia merasa kaya dengan yang demikian.
Ibnus-Sammak masuk ke tempat sebahagian khalifah. Dan di tangannya kendi air, yang diminumnya. Lalu khalifah itu berkata kepadanya: “Berilah aku pengajaran !”. Ibnus-Sammak lalu menjawab: “Jikalau tidak diberikan minuman ini, selain dengan memberikan semua hartamu, jikalau tidak engkau tetap haus, maukah engkau memberikannya ?”. Khalifah itu menjawab: “Ya, diberikan !”. Ibnus-Sammak bertanya lagi: “Jikalau tidak diberikan, selain dengan seluruh kerajaanmu, maka maukah kamu meninggalkan kerajaan itu ?”. Khalifah itu menjawab: “Ya, mau !”. Ibnus-Sammak lalu berkata: “Maka engkau tidak merasa gembira dengan kerajaan itu, yang tidak menyamai dengan seteguk air”. Maka dengan ini jelaslah, bahwa nikmat Allah Ta’ala kepada hambaNya, pada seteguk air ketika kehausan itu lebih besar dari kerajaan bumi seluruhnya.
Apabila tabiat manusia cenderung kepada menghitung nikmat khusus itu nikmat, tidak nikmat umum dan telah kami sebutkan nikmat-nikmat umum itu, maka marilah kami sebutkan, dengan isyarah yang singkat, kepada nikmat-nikmat khusus. Maka kami terangkan: Tiada seorang hambapun, selain jikalau ia memusatkan perhatian pada hal-ihwalnya, niscaya ia melihat dari Allah akan nikmat atau nikmat-nikmat yang banyak yang khusus kepadanya, yang tidak bersekutu padanya manusia umumnya. Akan tetapi, bersekutu dengan dia bilangan yang sedikit dari manusia. Dan kadang-kadang tiada bersekutu dengan dia seorangpun. Dan yang demikian itu, diakui oleh setiap hamba pada 3 perkara: pada akal, akhlak dan ilmu.
Adapun  akal, maka tiada seorangpun daripada hamba Allah Ta’ala, melainkan ia senang (rela) kepada Allah tentang akalnya. Dan ia beriktikad, bahwa dia manusia yang lebih berakal. Dan sedikitlah orang yang meminta akal pada Allah Ta’ala. Dan sesungguhnya dari kemuliaan akal itu, bahwa orang yang kosong dari akalpun merasa gembira dengan akal, sebagaimana orang yang bersifat dengan akal (bersifat cerdas) merasa gembira dengannya. Maka jikalau ada iktikadnya (keyakinan), bahwa ia manusia yang lebih berakal, niscaya wajiblah ia mensyukurinya. Karena jikalau ia ada seperti yang demikian, maka bersyukur wajib atasnya. Dan jikalau tidak ada, akan tetapi ia beriktikad bahwa ia demikian, maka itu nikmat pada dirinya. Maka orang yang meletakkan harta simpanan di bawah tanah, maka ia gembira dan bersyukur atas yang demikian. Jikalau harta simpanan itu diambil orang, dengan tidak setahunya, maka tetaplah kegembiraannya, menurut iktikadnya itu. Dan tetaplah kesyukurannya. Karena pada pihaknya, seperti masih ada.
Adapun akhlak, maka tiada seorangpun, melainkan melihat dari orang lain, kekurangan-kekurangan yang tidak disenanginya. Dan akhlak-akhlak yang dicelainya. Sesungguhnya ia mencela itu, dari segi ia melihat dirinya terlepas dari kekurangan-kekurangan itu. Maka apabila ia tidak berbuat mencela orang lain, niscaya seyogyalah ia berbuat mensyukuri kepada Allah Ta’ala. Karena IA telah membaguskan akhlaknya. Dan memberi bencana kepada orang lain, dengan akhlak buruk.
Adapun ilmu, maka tiada seorangpun, melainkan mengetahui dari batin urusan dirinya sendiri dan pikiran-pikirannya yang tersembunyi, apa yang ia bersendirian dengan yang demikian. Dan jikalau tersingkaplah tutup, sehingga dilihat kepadanya oleh seseorang makhluk, niscaya terbukalah rahasianya. Maka bagaimana pula jikalau dilihat oleh manusia seluruhnya ? Maka Allah Ta'’la mengizinkan bagi setiap hamba, ilmu dengan hal-khusus, yang tidak bersekutu padanya seseorangpun daripada hamba-hamba Allah. Maka mengapakah ia tidak bersyukur, ditutupkan oleh Allah hal yang baik, yang dilepaskan oleh Allah atas bentuk keburukannya ? maka Allah menampakkan yang baik dan menutup yang buruk. Dan menyembunyikan yang demikian dari mata manusia. Dan mengkhususkan dia yang mengetahuinya. Sehingga tiada dilihat oleh seseorangpun. Maka inilah 3 perkara nikmat khusus, yang diakui oleh setiap hamba. Adakalanya secara mutlak dan adakalanya pada sebahagian perkara. Maka marilah kita turun dari lapisan ini ke lapisan yang lain, yang lebih umum sedikit daripadanya ! maka kami terangkan: Tiada seorang hambapun, melainkan ia telah dianugerahkan rezeki oleh Allah Ta’ala pada: bentuknya atau dirinya atau akhlaknya atau sifat-sifatnya atau isterinya atau anaknya atau tempat tinggalnya atau negerinya atau temannya atau kaum kerabatnya atau kemuliaannya atau kemegahannya atau pada kesayangannya yang lain-lain, akan hal-hal, jikalau ditarik yang demikian itu daripadanya dan diberikan yang khusus kepada orang lain, kepadanya, niscaya ia tidak rela yang demikian. Yang demikian itu, umpamanya, bahwa: ia telah dijadikan menjadi orang mu’min. Tidak orang kafir. Ia hidup, tidak benda keras (beku). Ia insan, tidak hewan. Ia pria, tidak wanita. Ia sehat, tidak sakit. Ia selamat sejahtera, tidak berkekurangan. Maka sesungguhnya setiap ini, adalah hal-hal khusus, walaupun ada juga padanya umum. Maka hal-hal itu, jikalau digantikan dengan lawannya, niscaya ia tidak rela. Bahkan, ia mempunyai juga hal-hal, yang tidak dapat digantikan dengan hal-hal anak Adam lainnya. Yang demikian itu, adakalanya, bahwa ada ia tidak digantikan dengan yang khusus kepada seseorang makhluk. Atau tidak digantikan dengan yang khusus kepada kebanyakan makhluk. Maka apabila tidak digantikan keadaan dirinya dengan keadaan diri orang lain, jadi keadaan dirinya itu lebih baik dari keadaan diri orang lain. Dan apabila tidak diketahui seorangpun yang rela bagi dirinya akan suatu keadaan, sebagai ganti dari keadaan dirinya, baik secara keseluruhan atau pada hal khusus, jadi Allah Ta’ala mempunyai padanya nikmat-nikmat, yang tidak ada pada seseorang dari hamba-hambaNya yang lain. Dan jikalau ia menggantikan keadaan dirinya dengan keadaan setengah mereka, tidak dengan setengah yang lain, maka hendaklah ia memperhatikan kepada bilangan orang-orang yang digemarinya. Maka sesungguhnya sudah pasti ia melihat mereka berkurang, dikaitkan kepada lainnya. Maka adalah orang yang lebih rendah daripadanya pada waktu sekarang itu lebih banyak, dibandingkan dengan banyaknya dari apa yang di atasnya. Maka bagaimanakah halnya, ia memandang kepada orang yang di atasnya, untuk ia menghinakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala kepadanya ? dan ia tidak memandang kepada orang yang kurang daripadanya, untuk ia mengagungkan nikmat-nikmat Allah kepadanya ? dan apakah hal keadaannya, ia tidak menyamakan duinanya dengan agamanya ? adakah tidak, apabila ia mencaci dirinya atas kejahatan yang dikerjakannya, yang ia meminta maaf kepada dirinya, bahwa jumlah orang-orang fasik (yang tidak taat) itu banyak, lalu ia melihat selalu mengenai agama kepada orang yang kurang daripadanya, tidak kepada orang yang di atasnya ? maka mengapa tidak ada penglihatannya pada dunia seperti yang demikian ? maka apabila ada hal kebanyakan makhluk mengenai agama lebih baik daripadanya dan halnya mengenai dunia, lebih baik dari hal kebanyakan makhluk, maka bagaimana tidak harus ia bersyukur ? dan karena inilah, Nabi saw bersabda: “Siapa yang memandang pada dunia, kepada orang yang kurang daripadanya dan ia memandang pada agama kepada orang yang di atasnya, niscaya ia ditulis oleh Allah Ta’ala sebagai orang yang sabar dan bersyukur. Dan orang yang memandang pada dunia kepada orang yang di atasnya dan pada agama kepada orang yang kurang daripadanya, niscaya ia tidak ditulis oleh Allah Ta’ala sebagai orang yang sabar dan yang bersyukur”. Jadi, maka setiap orang yang memperhatikan keadaan dirinya dan memeriksa (mengadakan introspeksi) mengenai yang khusus dengan dirinya, niscaya ia memperoleh pada dirinya, akan nikmat yang banyak kepunyaan Allah Ta’ala. Lebih-lebih orang yang dikhususkan dengan sunnah, iman, ilmu, Alquran, kemudian kelapangan waktu, kesehatan, keamanan dan lainnya. Dan karena itulah dikatakan pada sekuntum syair:
Siapa yang menghendaki, hidup lapang,
yang berketerusan pada agamanya,
kemudian, ada perhatian pada dunianya.
Maka hendaklah ia memandang,
kepada orang yang di atasnya tentang wara’nya (menjaga diri),
dan kepada orang yang di bawahnya, tentang hartanya !
Nabi saw bersabda: “Siapa yang tiada merasa kaya dengan ayat-ayat Allah, maka ia tidak dikayakan oleh Allah”. Dan ini adalah isyarat kepada nikmat ilmu. Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Alquran, ialah kekayaan yang tak ada kekayaan sesudahnya dan tak ada kemiskinan bersamanya”. Nabi saw bersabda: “Siapa yang didatangkan oleh Allah kepadanya Alquran, lalu ia menyangka, bahwa ada seseorang yang lebih kaya daripadanya, maka sesungguhnya, ia menghina ayat-ayat Allah”. Nabi saw bersabda: “Tidaklah dari kami orang yang tiada melagukan Alquran (membaca dengan lagu)”. Nabi saw bersabda: “Mencukupilah keyakinan itu suatu kekayaan”. Sebahagian ulama salaf berkata: “Allah Ta’ala berfirman pada sebahagian kitab-kitab yang diturunkan: “Bahwa hamba itu AKU kayakan dari 3 perkara: telah AKU sempurnakan kepadanya nikmatKu dari sultan (penguasa) yang ia datang kepadanya, dari tabib yang ia berobat padanya dan dari apa yang dalam tangan saudaranya”. Seorang penyair mengibaratkan dari ini. Ia mengatakan:
Apabila tidak datang kepada anda makanan,
demikian pula kesehatan dan keamanan,
niscaya jadilah anda saudara kesedihan,
maka tiada berpisah dengan anda kesedihan.
Bahkan, ibarat yang paling manis dan kalimat yang paling jelas, ialah ucapan Rasulullah yang mengucapkan dengan sangat jelas, di mana beliau menyabdakan dari maksud yang demikian. Beliau bersabda: “Orang yang menjadi aman pada dirinya, sehat pada badannya dan padanya ada makanan harinya (yang akan dimakan di hari itu), niscaya seakan-akan telah diberikan kepadanya dunia dengan segala isinya”. Manakala anda memperhatikan manusia seluruhnya, niscaya anda dapati mereka itu mengadu dan mengeluh dari semua hal, di balik yang tiga ini, sedang sesungguhnya semua itu adalah bencana atas mereka. Dan mereka tidak mensyukuri nikmat Allah pada yang 3 itu. Mereka tidak mensyukuri nikmat Allah kepada mereka tentang iman, yang dengan iman itu mereka sampai kepada nikmat yang kekal dan kerajaan yang besar. Bahkan orang yang bermata hati, seyogyanya bahwa ia tidak bergembira, selain dengan:  ilmu mengenal Allah Ta’ala, yakin dan iman. Bahkan, kita tahu dari para ulama, ada orang, jikalau diserahkan kepadanya, semua apa yang masuk di bawah kekuasaan raja-raja di bumi, dari masyrik (tempat matahari terbit) ke maghrib (tempat matahari terbenam), dari harta-harta, pengikut-pengikut dan pembantu-pembantu dan dikatakan dari 1/100 ilmu engkau !”. niscaya ia tidak mau mengambilnya. Yang demikian itu, karena harapannya, bahwa nikmat ilmu itu membawanya kepada kedekatan dengan Allah Ta’ala di akhirat. Bahkan dikatakan orang kepadanya: “Bagi engkau di akhirat nanti, apa yang engkau harapkan dengan kesempurnaan nya, maka ambillah kesenangan-kesenangan ini di dunia, sebagai ganti dari kesenangan engkau dengan ilmu di dunia dan kegembiraan engkau dengan ilmu itu, niscaya ia tidak akan mau mengambilnya. Karena diketahuinya, bahwa kesenangan dengan ilmu itu terus-terusan, tiada putus-putus, yang tersisa, yang tiada akan dicuri orang, tiada akan dirampas orang. Dan tidak orang berlomba-lomba padanya. Dan sesungguhnya nikmat ilmu itu bersih, tak ada keruh padanya. Dan kesenangan dunia itu semua berkekurangan, keruh dan kacau. Tiada sempurna yang diharapkan padanya dengan yang ditakutkan. Yang lezat daripadanya dengan yang pedih. Dan yang gembira daripadanya dengan yang sedih. Begitulah adanya sampai sekarang ! dan begitulah akan adanya sepanjang zaman ! karena tidaklah dijadikan kesenangan dunia itu, selaain untuk menarik akal-akal yang kurang kepada dunia. Dan ia tertipu. Sehingga apabila ia sudah tertipu dan terikat dengan dunia, niscaya dunia itu enggan kepadanya dan durhaka. Seperti wanita yang cantik zahiriyahnya, yang menghiaskan diri untuk pemuda yang sangat ingin kawin, yang kaya. Sehingga apabila hati pemuda itu sudah terikat kepadanya, niscaya ia durhaka kepada pemuda itu dan mendindingkan diri daripadanya. Maka senantiasalah pemuda itu bersama wanita tersebut, dalam keadaan payah dan kesungguhan yang terus-menerus. Dan semua itu adalah disebabkan tertipunya pemuda tadi dengan keenakan memandang kepada wanita itu pada sekejap mata. Dan jikalau ia memasang akalnya dan memicingkan mata dan memandang rendah dengan kelezatan itu, niscaya selamatlah semua umurnya. Maka begitulah terjadinya orang-orang yang suka kepada dunia, pada jendela dunia dan jaring-jaringnya. Dan tiada seyogyalah bahwa kami mengatakan: sesungguhnya orang yang berpaling dari dunia itu merasa pedih dengan bersabar daripadanya. Sesungguhnya orang yang menghadap kepada dunia juga merasa pedih, dengan bersabar padanya dan memeliharakannya. Dan pada menghasilkan nya dan menolak pencuri-pencuri daripadanya. Dan kepedihan orang yang berpaling itu membawa kepada kelezatan di akhirat. Dan kepedihan orang yang menghadap kepada dunia itu membawa kepada kepedihan di akhirat. Maka hendaklah orang yang berpaling dari dunia itu, membaca kepada dirinya akan firman Allah Ta’ala: “Janganlah kamu berhati lemah, mengejar kaum (musuh), jika kamu menderita kepedihan, mereka juga tentu menderita kepedihan, sebagaimana kamu derita. Kamu dapat mengharapkan apa yang tidak diharapkan mereka daripada Allah”. S 4 An Nisa ayat 104.
Jadi, maka sesungguhnya tersumbatnya jalan syukur kepada manusia itu, karena bodohnya mereka dengan bermacam-macam nikmat zahiriyah dan batiniyah, nikmat-nikmat khusus dan nikmat-nikmat umum. Maka jikalau anda bertanya: apakah obatnya hati yang lalai ini ? sehingga anda merasakan dengan nikmat-nikmat Allah Ta’ala. Maka semoga anda mensyukurinya. Maka aku menjawab: adapun hati yang bermata hati, maka pengobatannya, ialah: memperhati kan pada apa yang telah kami rumuskan, dari jenis-jenis nikmat Allah Ta’ala yang umum.
Adapun hati yang dungu, yang tiada menghitung nikmat itu nikmat, selain apabila ia telah khususkan atau ia rasakan dengan bencana padanya, maka jalannya, ialah: bahwa ia memandang selalu kepada orang yang kurang daripadanya. Dan ia berbuat apa yang telah diperbuat oleh sebahagian kaum shufi. Karena ia menghadiri setiap hari rumah tempat tinggal orang-orang sakit, kuburan-kuburan dan tempat-tempat yang dijalankan padanya hukuman-hukuman badan orang yang terhukum. Maka ia menghadiri rumah tempat tinggal orang-orang sakit (rumah sakit), supaya ia menyaksikan berbagai macam percobaan dari Allah Ta’ala kepada mereka. Kemudian, ia memperhatikan pada kesehatannya dan keselamatannya. Maka hatinya merasakan dengan nikmat kesehatan itu, ketika dirasainya dengan bencana bermacam penyakit. Dan ia akan bersyukur kepada Allah Ta’ala. Dan ia menyaksikan akan orang-orang yang berbuat aniaya, yang dibunuh, dipotong kaki tangan mereka dan dijatuhkan azab siksaan dengan bermacam-macam siksaan. Supaya ia bersyukur kepada Allah Ta’ala atas terpeliharanya dari penganiayaan-penganiayaan dan siksaan-siksaan itu. Dan ia bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat aman. Dan ia menghadiri kuburan-kuburan. Maka ia mengetahui, bahwa yang paling disukai oleh orang mati, ialah: bahwa dikembalikan mereka ke dunia. Walaupun sehari. Adapun orang yang telah berbuat maksiat kepada Allah, maka supaya ia akan berbuat baik. Dan adapun orang yang telah berbuat taat, maka ia akan menambahkan pada ketaatannya. Sesungguh nya hari kiamat itu hari tipu-menipu (yaumut-taghaabun). Maka orang yang berbuat taat itu tertipu. Karena ia melihat balasan ketaatannya. Maka ia mengatakan: “Aku sanggup kepada yang lebih banyak lagi dari taat-taat ini. Maka alangkah besarnya ketipuanku, karena aku sia-siakan sebahagian waktu pada perbuatan-perbuatan yang mubah. Adapun orang yang berbuat kemaksiatan, maka ketipuannya itu jelas. Maka apabila ia menyaksikan kuburan-kuburan dan ia mengetahui, bahwa yang paling disukai mereka, ialah: bahwa ada bagi mereka yang masih ada dari umur, apa yang masih ada sisanya baginya. Lalu ia menyerahkan sisa umur itu, kepada apa yang diingini oleh orang yang di dalam kubur, kembali ke dunia karenanya. Supaya adalah yang demikian itu mengenal nikmat-nikmat Allah Ta’ala pada sisa umur. Bahkan, pada memperlahankan pada setiap nafas dari nafas-nafasnya. Dan apabila ia mengatahui akan nikmat itu, niscaya ia bersyukur, dengan menyerahkan umurnya kepada apa yang dijadikan umur itu karenanya. Yaitu: menyiapkan perbekalan dari dunia untuk akhirat. Maka inilah pengobatan hati yang lalai. Supaya ia merasakan dengan nikmat-nikmat Allah Ta’ala. Maka semoga ia mensyukurinya.
Sesungguhnya adalah Ar-Rabi’ bin Khaitsam serta kesempurnaan penglihatannya, meminta tolong dengan jalan tersebut, untuk menguatkan  ilmu mengenal Allah Ta’alanya. Maka ia telah mengorek kuburan di rumahnya. Ia memakai dua tutup lehernya. Dan ia tidur dalam lobang lahadnya (lobang kuburannya). Kemudian ia membaca: “Wahai Tuhanku ! kembalikanlah aku (hidup) ! supaya aku mengerjakan perbuatan yang baik (amal shalih)”. S 23 Al Mukminuun ayat 99-100. Kemudian, ia bangun dan mengatakan: “Hai Rabi’ ! telah diberikan apa yang engkau minta. Maka berbuatlah sebelum engkau meminta kembali. Lalu tidak ditolakkan permintaan engkau. Dan sebahagian daripada yang seyogyanya bahwa diobati hati yang jauh daripada kesyukuran, ialah: bahwa anda mengetahui, bahwa nikmat itu apabila tidak disyukuri, niscaya hilang dan tidak kembali.
Dan karena itulah, Al-Fudlail bin ‘Iyadl ra berkata: “Haruslah kamu selalu bersyukur kepada nikmat ! maka sedikitlah nikmat yang hilang dari suatu kaum, lalu nikmat itu kembali kepada mereka”. Sebahagian salaf mengatakan: “Nikmat itu liar, maka ikatkanlah dengan syukur !”. Tersebut pada hadits: “Tiadalah besar suatu nikmat Allah Ta’ala kepada seorang hambaNya, melainkan banyaklah keperluan manusia kepadanya. Maka siapa yang memudah-mudahkan dengan mereka, niscaya datanglah nikmat itu untuk hilang”. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya Allah tiada merobah keadaan suatu kaum, sebelum mereka merobah keadaan diri mereka sendiri”. S Ar Ra’d ayat 11. Maka ini sempurnalah rukun tersebut.
RUKUN KETIGA: dari Kitab Sabar dan Syukur, mengenai apa yang bersekutu padanya sabar dan syukur dan terikat salah satu dari keduanya dengan lainnya.
PENJELASAN: cara berkumpulnya sabar dan syukur atas barang sesuatu.
Semoga anda mengatakan apa yang anda sebutkan tentang nikmat-nikmat itu, sebagai isyarat, bahwa Allah Ta’ala mempunyai nikmat pada setiap yang ada (maujud). Dan ini menunjukkan, bahwa bencana itu sekali-kali tidak ada. Jadi, apa arti sabar bila demikian ? dan jikalau bencana itu ada, maka apa arti syukur di atas bencana ? dan orang-orang mendakwakan: bahwa kami bersyukur atas bencana, lebih-lebih lagi bersyukur di atas nikmat. Maka bagaimanakah tergambar bersyukur atas bencana ? dan bagaimana ia bersyukur atas apa yang ia bersabar ? dan sabar atas bencana itu membawa kepada kepedihan. Dan syukur itu membawa kepada kegembiraan. Dan keduanya itu berlawanan. Dan apakah artinya apa yang anda sebutkan, bahwa Allah Ta’ala mempunyai nikmat pada setiap apa yang dijadikanNya kepada hamba-hambaNya ? ketahuilah kiranya, bahwa bencana itu ada, sebagaimana nikmat itu ada. Dan perkataan: dengan mengakui adanya nikmat itu mengharuskan perkataan: dengan mengakui adanya bencana. Karena keduanya itu berlawanan. Maka tidak adanya bencana itu nikmat. Dan tidak adanya nikmat itu bencana. Akan tetapi, telah diterangkan dahulu, bahwa nikmat itu terbagi kepada: nikmat mutlak dari setiap segi.
 Adapun di akihrat, maka seperti: kebahagiaan hamba dengan bertempat di sisi Allah Ta'ala. Adapun di dunia, maka seperti: iman dan bagus akhlak dan apa yang menolong kepada keduanya. Dan kepada: nikmat yang terikat (tidak mutlak) dari suatu segi. Tidak dari suatu segi yang lain. Seperti: harta yang mendatang kan kebaikan bagi agama, dari suatu segi. Dan merusakkan agama dari suatu segi yang lain. Maka seperti yang demikian itu bencana, yang terbagi kepada: mutlak dan tidak mutlak (muqayyad atau terikat).
Adapun yang mutlak di akhirat, maka jauh dari Allah Ta’ala. Adakalanya pada masa tertentu dan adakalanya untuk selama-lamanya. Adapun di dunia, maka yaitu: kufur, maksiat dan buruk akhlak. Dan itu yang membawa kepada bencana mutlak. Adapun yang muqayyad (terikat atau tidak mutlak), maka yaitu seperti: miskin, sakit, takut dan berbagai macam bencana lainnya, yang tidak ada dalam bencana agama. Akan tetapi, pada: dunia. Maka syukur mutlak itu bagi nikmat yang mutlak. Adapun bencana mutlak di dunia, maka kadang-kadang tidak disuruh bersabar padanya. Karena kufur itu bencana. Dan tidak ada arti bersabar padanya. Dan demikian juga maksiat. Akan tetapi, menjadi kewajiban orang kafir itu meninggalkan kufurnya ((kekafirannya). Dan demikian juga kewajiban orang yang berbuat maksiat. Benar, orang kafir itu kadang-kadang tidak tahu, bahwa dia itu orang kafir. Maka adalah dia seperti orang, yang ada padanya penyakit. Dan ia tidak merasa sedih, disebabkan pingsan atau lainnya. Maka tidak ada sabar atasnya. Dan orang yang berbuat maksiat itu mengetahui bahwa ia berbuat maksiat. Maka haruslah atasnya meninggalkan maksiat itu. Bahkan, setiap bencana yang sanggup manusia menolaknya, maka ia tidak disuruh bersabar atas bencana itu. Maka jikalau manusia itu meninggalkan air, serta sudah lama haus, sehingga beratlah penderitaannya, maka ia tidak disuruh bersabar atas yang demikian. Akan tetapi, ia disuruh menghilangkan kepedihan itu. Sesungguhnya sabar itu atas kepedihan, yang tiada jalan kepada hamba untuk menghilangkan nya. Jadi, maka kembalilah sabar di dunia, kepada apa yang tidak dia itu bencana mutlak. Akan tetapi, boleh bahwa ada dia itu nikmat dari satu segi. Maka karena itulah tergambar bahwa terkumpul padanya: tugas sabar dan syukur. Maka sesungguhnya kaya umpamanya, dapat bahwa ia menjadi sebab bagi binasanya manusia. Sehingga ia dimaksudkan orang, disebabkan hartanya. Lalu ia dibunuh dan anak-anaknya dibunuh. Kesehatan juga seperti demikian. Maka tiadalah suatu nikmatpun dari nikmat-nikmat duinawi ini, melainkan dapat bahwa ia menjadi bencana. Akan tetapi, dengan dikaitkan kepada orang itu. Maka seperti demikian juga, tiada dari suatu bencanapun, melainkan dapat bahwa ia menjadi nikmat. Akan tetapi, dengan dikaitkan kepada keadaan orang itu. Maka banyaklah hamba, yang ada kebajikan baginya pada kemiskinan dan kesakitan. Dan jikalau sehat badannya dan banyak hartanya, niscaya ia sombong dan durhaka. Allah Ta’ala berfirman: “Dan kalau Allah melapangkan rezeki seluas-luasnya kepada hamba-hambaNya, sesungghnya mereka akan berbuat durhaka di bumi”. S 42 Asy Syuura ayat 27. Dan Allah Ta’ala berfirrman: “Jangan ! sesungguhnya manusia itu bertindak melanggar batas. Disebabkan ia melihat dirinya serba cukup”. S Al ‘Alaq ayat 6-7. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menjaga hambaNya yang beriman dari dunia dan IA mengasihinya, sebagaimana seseorang kamu menjaga orang sakitnya”. Dan seperti demikian juga: isteri, anak dan kaum kerabat. Dan setiap apa yang kami sebutkan pada bahagian-bahagian yang 16 dari nikmat-nikmat itu, selain iman dan kebagusan akhlak, maka sesungguhnya tergambar, bahwa adalah itu bencana terhadap sebahagian manusia. Jadi, maka adalah lawan-lawannya itu nikmat terhadap mereka. Karena telah diterangkan dahulu, bahwa  ilmu mengenal Allah Ta’ala itu suatu kesempurnaan dan nikmat.
Maka sesungguhnya  ilmu mengenal Allah Ta’ala itu salah satu daripada sifat-sifat Allah Ta’ala. Akan tetapi, kadang-kadang adalah  ilmu mengenal Allah Ta’ala itu atas hamba menjadi bencana pada sebahagian hal-ihwal. Dan adalah tidak adanya  ilmu mengenal Allah Ta’ala itu menjadi suatu nikmat. Umpamanya: tidak tahunya manusia dengan ajalnya. Maka itu suatu nikmat kepadanya. Karena jikalau diketahuinya, niscaya kadang-kadang keruhlah kehidupannya. dan lamalah dengan yang demikian itu kesusahannya. Dan seperti demikian juga, tidak tahunya ia apa yang disembunyikan manusia atas dirinya, daripada pengetahuan dan kaum kerabatnya, adalah suatu nikmat kepadanya. Karena jikalau tirai itu diangkat dan dipelihatkan kepadanya, niscaya lamalah kepedihannya, kebusukan hatinya, kedengkiannya dan kesibukannya menuntut balas dendam. Dan seperti demikian juga, tidak tahunya ia dengan sifat-sifat yang tercela dari orang lain, adalah suatu nikmat kepadanya. Karena jikalau diketahuinya, niscaya memarahkannya dan menyakitinya. Dan adalah yang demikian itu suatu bencana kepadanya di dunia dan di akhirat. Bahkan, tidak tahunya dengan hal-hal yang terpuji pada orang lain, kadang-kadang adalah nikmat kepadanya. Maka sesungguhnya kadang-kadang adalah orang itu walli (aulia) Allah Ta’ala. Dan ia terpaksa menyakitikannya dan menghinakannya. Dan jikalau diketahuinya yang demikian dan ia menyakitinya, niscaya tidak boleh tidak adalah dosanya itu lebih besar. Maka tidaklah orang yang menyakiti nabi atau wali dan ia kenal, seperti orang yang menyakiti dan ia tidak kenal.
Di antara nikmat-nikmat itu, tidak dipertegaskan oleh Allah Ta’ala urusan kiamat. Tidak dipertegaskanNya malam Lailatul qadar dan saat mustajabah pada hari Jum’at. Dan tidak dipertegaskanNya sebahagian dosa-dosa besar. Maka semua yang demikian itu adalah nikmat. Karena kebodohan ini menyempurnakan pengajak-pengajak anda kepada mencarinya dan bersungguh-sungguh pada mencarinya. Maka inilah segi-segi nikmat Allah Ta’ala pada kebodohan ! maka bagaimana pula pada pengetahuan ? dan sekitanya kami katakan, bahwa Allah Ta’ala mempunyai nikmat pada setiap yang ada (maujud). Maka itu benar. Dan yang demikian itu banyak terjadi pada pihak setiap orang. dan tiada dikecualikan daripadanya dengan sangkaan, selain kepedihan-kepedihan yang dijadikan oleh Allah Ta’ala pada sebahagian manusia. Dan itu juga, kadang-kadang adalah nikmat pada pihak orang yang selamat dari kepedihan-kepedihan itu. Dan jikalau itu bukan nikmat pada pihak orang tersebut, seperti: kepedihan yang terjadi dari perbuatan maksiat, seperti: dipotongnya tangannya sendiri dan ditusuk-tusuknya kulitnya, maka sesungguhnya ia merasa pedih dengan yang demikian. Dan ia berbuat maksiat dengan perbuatan tersebut. Dan kepedihan orang-orang kafir dalam neraka, maka itu juga suatu nikmat. Akan tetapi, pada pihak yang lain dari kafir-kafir itu, dari hamba-hambaNya. Tidak pula pihak kafir-kafir itu. Karena musibah bagi suatu golongan itu banyak faedahnya pada golongan lain. Dan jikalau tidaklah Allah Ta’ala menciptakan azab siksaan dan diazabkan suatu golongan dengan azab itu, niscaya tidaklah diketahui oleh orang-orang yang merasakan nikmat akan kadar nikmat-nikmatnya. Dan tidaklah banyak kegembiraan mereka dengan nikmat-nikmat itu. Maka kegembiraan penduduk sorga sesungguhnya berlipat ganda, apabila mereka merenungkan tentang kepedihan yang dideritai penduduk neraka. Apakah tidak anda melihat penduduk dunia, bahwa tiada bersangatan kegembiraan mereka dengan sinar matahari, serta sangat berhajatnya mereka kepadanya, dari segi bahwa itu adalah umum yang diberikan ? dan tiada bersangatan kegembiraan mereka dengan memandang kepada hiasan langit dan itu adalah yang terbaik dari setiap taman kepunyaan mereka di bumi, yang mereka bersungguh-sungguh pada membangunnya. Akan tetapi, hiasan langit itu, tatkala telah umum merata, niscaya mereka tiada merasakannya. Dan tiada merasa gembira dengan sabdanya. Jadi, benarlah apa yang telah kami sebutkan, bahwa Allah Ta’ala tiada menciptakan sesuatu, melainkan ada padanya hikmah. Dan tiada menciptakan sesuatu, melainkan ada padanya nikmat. Adakalanya kepada semua hamba-hambaNya. Atau kepada sebahagian mereka. Jadi, pada ciptaan Allah Ta’ala, bahwa bencana itu nikmat juga.
Adakalanya, kepada orang yang mendapat bencana atau kepada orang yang tiada mendapat bencana itu. Jadi, setiap hal-keadaan tidaklah dapat disifatkan, bahwa itu bencana mutlak. Dan tidak nikmat mutlak. Maka terkumpullah padanya di atas satu masa: dua tugas. Yaitu: sabar dan syukur bersama-sama. Jikalau anda bertanya: bahwa keduanya itu berlawanan, maka bagaimanakah keduanya berkumpul ? karena tiada sabar, selain di atas kesedihan. Dan tiada syukur, selain di atas kegembiraan. Maka ketahuilah, bahwa suatu keadaan, kadang-kadang disedihkan dari suatu segi dan digembirakan dari segi yang lain. Maka adalah kesabaran dari segi kesedihan dan kesyukuran dari segi kegembiraan. Pada setiap kemiskinan, kesakitan, ketakutan dan kebencanaan di dunia itu 5 perkara, yang seyogyanya bahwa orang yang berakal itu bergembira dan bersyukur dengan yang demikian:
Pertama: bahwa setiap musibah dan sakit, maka tergambarlah, bahwa ada yang lebih besar daripadanya. Karena semua yang dikuasai oleh Allah Ta’ala itu tiada berkesudahan. Maka jikalau digandakan oleh Allah Ta’ala dan ditambahkanNya musibah itu, apa yang ia menolaknya dan mendindinginya, maka hendaklah ia bersyukur. Karena tidaklah musibah itu yang terbesar di dunia.
Kedua: bahwa mungkin ada musibah itu pada agamanya. Seorang laki-laki menerangkan kepada Sahal ra: “Pencuri masuk ke rumahku dan mengambil harta bendaku”. Sahal ra menjawab: “Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala ! jikalau masuklah setan ke hati engkau, maka ia merusakkan tauihd engkau, maka apakah yang engkau perbuat ? dan karena itulah nabi Isa as memohonkan perlindungan pada Allah Ta’ala dalan doanya. Karena ia berdoa: “Wahai Allah, Tuhanku ! janganlah Engkau jadikan musibahku pada agamaku !”.
Umar bin Al-Khattab ra berkata: “Tidaklah aku mendapat percobaan dengan sesuatu bencana, melainkan ada bagi Allah Ta’ala atasku padanya 4 nikmat: karena tidak ada bencana itu pada agamaku. Karena tidak ada ia lebih besar daripadanya. Karena aku memperoleh ridhaa dengan percobaan itu. Dan karena aku mengharap pahala padanya”. Sebahagian mereka yang mempunyai hati suci (arbaabul-qulub) mempunyai seorang teman. Lalu teman itu dipenjarakan oleh sultan (penguasa). Maka ia mengirimkan orang yang akan memberitahukan dan mengadukan halnya kepada yang mempunyai hati suci itu. Yang berhati suci itu menyampaikan kepada temannya itu: “Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala !”. Lalu penguasa itu memukul teman tersebut. Maka ia mengirim orang, yang memberitahukan dan mengadukan halnya. Maka yang berhati suci itu mengatakan: “Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala !”. Maka dibawalah seorang Majusi, lalu ditahan di sisi teman itu. Dan majusi itu berpenyakit perut. Maka majusi itu diikat. Dan dijadikan rantai dari ikatannya pada kaki teman itu. Dan diirantaikan pada kaki orang majusi itu. Lalu teman tersebut mengirim utusan kepada orang yang suci hati itu. Maka orang yang berhati suci tersebut mengatakan: “Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala !”. Adalah orang majusi itu memerlukan bangun berdiri berkali-kali. Dan ia memerlukan bahwa teman itu bangun berdiri bersama dia. Dan teman itu berdiri di dekatnya, sehingga orang majusi itu selesai dari membuang air besarnya (qodo hajat). Maka teman itu menulis surat kepada yang berhati suci tersebut, menerangkan keadaan yang demikian. Maka yang berhati suci itu menjawab: “Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala !”. Maka teman itu menjawab: “Sampai kapan ini ? manakah bencana yang lebih besar dari ini ?”. Lalu orang yang berhati suci itu mengatakan: “Jikalau dijadikan tali-pinggang yang ada di pinggang orang majusi itu ke pinggang engkau, maka apakah yang engkau perbuat ?”. Jadi, tiada seorang insanpun yang memperoleh musibah dengan sesuatu bencana, melainkan, jikalau kiranya ia memperhatikan dengan sebenar-benarnya, tentang jahat adab kesopanannya, zahir dan batin, terhadap Tuhannya, niscaya ia akan melihat, bahwa ia berhak lebih banyak lagi daripada musibah yang telah diperolehnya, sekarang (di dunia) dan nanti (di akhirat). Siapa yang berhak atas engkau, bahwa ia memukul engkau 100 cambuk, lalu ia singkatkan kepada 10, maka dia itu berhak diucapkan terima kasih (disyukuri). Orang yang berhak atas engkau, bahwa memotong kedua tangan engkau, lalu ia tinggalkan salah satu daripada keduanya, maka orang itu berhak diucapkan terima kasih. Dan karena demikianlah, sebahagian syaikh (guru) melintasi pada suatu jalan besar, lalu dituangkan ke atas kepalanya suatu tempat basuh tangan yang penuh abu dapur. Lalu ia bersujud kepada Allah Ta’ala sujud syukur. Maka ia ditanyakan orang: “Sujud apa ini ?”. Beliau menjawab: “Aku menunggu bahwa dituangkan api atasku. Maka dicukupkan dengan abu dapur itu suatu nikmat”. Ditanyakan kepada sebahagian mereka (para syaikh): “Mengapa tidak engkau keluar untuk shalat minta hujan (shalat istisqa’), padahal hujan sudah lama tidak turun ?”. Lalu beliau menjawab: “Kamu merasa lama tidak turun hujan dan aku merasa lama tidak turun batu”. Kalau anda mengatakan: bagaimana aku bergembira dan aku melihat segolongan manusia, dari orang-orang yang bertambah kemaksiatannya dari kemaksiatanku. Dan mereka itu tidak mendapat musibah, dengan apa yang aku terima musibahnya. Sehingga mereka orang-orang kafir. Maka ketahuilah, bahwa orang kafir itu telah disembunyikan baginya yang lebih banyak. Dan sesungguhnya ditangguhkan, sehingga ia bertambah banyak lagi dosanya. Dan akan lamalah siksaan atasnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami beri tangguh mereka, supaya bertambah dosanya”. S 3 Ali Imran ayat 178. Adapun orang yang berbuat maksiat, maka dari manakah anda tahu, bahwa dalam alam ini ada orang yang lebih banyak perbuatan maksiatnya daripadanya ? banyak orang yang terguris di hatinya dengan buruk adab terhadap Allah Ta’ala dan terhadap sifat-sifatNya itu, lebih besar dan lebih banyak dari minum khamar, zina dan perbuatan-perbuatan maksiat dengan anggota badan lainnya. Dan karena itulah, Allah Ta’ala berfirman mengenai contohnya: “Dan kamu kira dia itu perkara kecil saja, padahal di sisi Allah suatu perkara besar”. S An Nur ayat 15.
Maka darimanakah anda tahu, bahwa orang lain dari anda itu lebih maksiat dari anda ? kemudian, semoga orang itu dikemudiankan siksaannya ke akhirat dan disegerakan siksaan anda di dunia. Maka mengapakah anda tidak bersyukur kepada Allah Ta’ala atas yang demikian ? Ini adalah segi ke3 pada syukur! Yaitu, bahwa tiada dari suatu siksaanpun, melainkan adalah tergambar bahwa akan dikemudiankan ke akhirat. Dan musibah-musibah dunia itu dihiburkan dengan sebab-sebab yang lain, yang mengentengkan musibah. Lalu ringanlah hasilnya. Dan musibah akhirat itu terus-menerus. Dan jikalau tidak terus-menerus, maka tiada jalan meringankannya dengan hiburan. Karena sebab-sebab hiburan itu terputus secara keseluruhan di akhirat, dari orang-orang yang diazabkan. Dan orang yang disegerakan siksaannya di dunia, maka ia tidak disiksakan lagi kali kedua. Karena Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya hamba apabila berbuat suatu dosa, lalu ia dikenakan kesukaran atau kebencanaan di dunia, maka Allah Maha Pemurah daripada mengazabkannya kali kedua”.
Keempat: bahwa musibah dan bencana ini telah tertulis atas dirinya di Luh al-mahfudh (Ummul-kitab). Dan tak boleh tidak daripada sampainya musibah dan bencana itu kepadanya. Dan telah sampai dan telah selesai. Dan ia dapat beristirahat dari sebahagiannya atau dari semuanya. Maka ini adalah nikmat.
Kelima: bahwa pahalanya lebih banyak daripadanya. Maka sesungguhnya musibah-musibah dunia itu jalan ke akhirat, dari dua segi:
Pertama: segi, yang dengan segi itu, adalah obat yang tidak disukai itu nikmat terhadap si sakit. Dan adalah larangan dari sebab-sebab permainan itu nikmat terhadap anak kecil. Maka sesungguhnya jikalau anak kecil itu dibiarkan, maka permainan itu mencegahnya dari ilmu dan adab sopan santun. Maka ia merugi semua umurnya. Maka seperti demikian juga: harta, isteri, kaum kerabat dan anggota-anggota badan. Sehingga matapun yang termulia dari segala sesuatu, kadang-kadang adalah sebab binasanya insan pada sebahagian hal keadaan. Bahkan akal, yang menjadi termulia segala urusan, kadang-kadang adalah sebab bagi binasanya insan. Maka orang yang mengingkari adanya Tuhan (orang mulhid) pada hari esok, berangan-angan, jikalau adalah mereka itu orang gila atau anak-anak. Dan mereka tidak menggunakan akalnya pada agama Allah Ta’ala. Maka tiada suatupun dari sebab-sebab ini, yang didapati dari seorang hamba, melainkan tergambar, bahwa adalah baginya pada yang tersebut itu kebajikan keagamaan. Maka ia harus membaguskan sangkaan kepada Allah Ta’ala. Dan ia menilaikan padanya kebajikan dan mensyukurinya. Maka sesungguhnya hikmah Allah itu mahaluas. Dan DIA lebih tahu dengan kepentingan hamba-hambaNya daripada hamba-hamba itu sendiri. Dan pada hari esok, IA akan disyukuri oleh hamba-hambaNya di atas bencana-bencana, apabila mereka melihat akan pahala daripada Allah di atas bencana-bencana itu. Sebagaimana anak kecil bersyukur, sesudah berakal dan dewasa, kepada gurunya dan ayahnya, atas pukulan dan pengajarannya. Karena ia tahu akan buah yang diperolehnya daripada pengajaran itu. Dan bencana daripada Allah Ta’ala itu pengajaran. Dan kesungguhan Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya itu lebih sempurna dan lebih lengkap daripada kesungguhan bapak-bapak dengan anak-anaknya. Sesungguhnya diriwayatkan, bahwa sorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw bersabda: “Berilah aku nasehat (wasiat)”. Maka Rasulullah saw bersabda: “Janganlah engkau menuduh Allah pada sesuatu yang ditakdirkanNya (yang menjadi qodo (hukum taqdir) –qadarNya/takdir) atas engkau”. Rasulullah saw memandang ke langit, lalu tertawa. Maka beliau ditanyakan, lalu beliau menjawab: “Aku merasa ta’jub bagi qodo’ (ketetapan) Allah Ta’ala kepada orang yang beriman. Kalau ditetapkanNya bagi orang yang beriman itu dengan yang menyenangkan, niscaya ia rela dan adalah itu kebajikan baginya. Dan kalau ditetapkannya bagi orang yang beriman itu dengan yang tidak menyenangkan, niscaya ia rela. Dan adalah itu kebajikan baginya”.
Segi kedua: bahwa pokok kesalahan yang membinasakan itu kecintaan kepada dunia. Dan pokok sebab-sebab kelepasan itu kekosongan hati dari negeri tipuan (dunia). Dan berdatangan nikmat bersesuaian dengan maksud, tanpa bercampur dengan bencana dan musibah itu mempusakakan ketenteraman hati kepada dunia dan sebab-sebabnya. Dan kejinakan hati dengan dunia. Sehingga jadilah dunia itu seperti sorga pada pihaknya. Lalu besarlah bencananya ketika mati, disebabkan perpisahannya. Dan apabila banyaklah musibahnya kepadanya, niscaya terkejutlah hatinya dari dunia. Dan ia tidak merasa tenteram kepada dunia. Dan tidaklah hatinya merasa jinak kepada dunia. Dan jadilah dunia itu penjara baginya. Dan adalah kelepasannya dari dunia itu penghabisan kelezatan, seperti terlepasnya dari penjara. Dan karena itulah Nabi saw bersabda: “Dunia itu penjara orang yang beriman dan sorga orang yang kafir”. Dan kafir itu, ialah: setiap orang yang berpaling daripada Allah Ta’ala. Dan ia tidak menghendaki, selain kehidupan duniawi. Ia rela dengan dunia dan merasa tenteram dengan dunia. Dan orang mu’min, ialah: setiap orang yang memutuskan hatinya dari dunia, sangat ingin keluar dari dunia. Dan kekafiran itu, sebahagiannya terang dan sebahagiannya tersembunyi. Dan menurut kadar kecintaan kepada dunia di dalam hati itu menjalar syirik yang tersembunyi di dalam hati. bahkan, orang yang berkeesaan mutlak, ialah: orang yang tiada mencintai, selain Yang Maha Esa, Yang Maha Benar. Jadi, dalam bencana itu ada nikmat-nikmat dari segi ini. Maka haruslah bergembira dengan yang demikian. Adapun merasa kepedihan itu, maka itu penting. Dan yang demikian itu menyerupai dengan kegembiraan anda ketika memerlukan kepada berbekam, dengan orang yang mengurus pembekaman anda dengan cuma-cuma. Atau meminumkan anda akan obat yang bermanfaat, yang tidak bagus bentuknya, dengan cuma-cuma. Maka sesungguhnya anda merasa pedih dan bergembira. Maka anda bersabar di atas kepedihan dan mensyukurinya di atas sebab kegembiraan.
Maka setiap bencana pada urusan-urusan duniawi itu contohnya adalah obat, yang dirasakan pedihnya pada waktu sekarang dan merasa bermanfaat pada masa mendatang. Bahkan orang yang memasuki rumah raja, karena kecantikannya dan ia tahu, bahwa ia –sudah pasti –akan dikeluarkan dari rumah itu, lalu ia melihat wajah yang cantik, yang tidak keluar bersama dia dari rumah itu, niscaya adalah yang demikian itu malapetaka dan bencana atas dirinya. Karena mempusakakan kepadanya akan kejinakan hati dengan tempat tinggal, yang tidak mungkin ia tinggal padanya. Dan jikalau ada atas dirinya pada tinggal di tempat itu bahaya dilihat oleh raja, lalu disiksakannya, maka menimpalah atas dirinya apa yang tiada menyenanginya sehingga melarikannya dari tempat itu, niscaya adalah yang demikian itu suatu nikmat kepadanya. Dan dunia itu tempat tinggal. Dan manusia masuk ke dunia dari pintu rahim ibu. Dan mereka keluar dari dunia, dari pintu liang kuburan (liang lahad). Maka setiap yang mengokohkan kejinakan hati mereka dengan tempat tinggal, maka itu bencana. Dan setiap yang mengejutkan hati mereka dari dunia dan memutuskan kejinakan hati mereka dari dunia, maka itu adalah nikmat. Maka siapa yang mengenal ini, niscaya tergambarlah daripadanya, bahwa ia bersyukur atas bencana-bencana. Dan siapa yang tidak mengenal akan nikmat-nikmat ini pada bencana, niscaya tidaklah tergambar daripadanya kesyukuran itu. Karena kesyukuran itu mengikuti akan pengenalan nikmat dengan mudah. Dan siapa yang tidak percaya, bahwa pahala musibah itu lebih besar daripada musibah, niscaya tidaklah tergambar daripadanya akan kesyukuran atas musibah. Diceritakan, bahwa seorang Arab desa berta’ziah pada Ibnu Abbas atas kewafatan ayahnya. Lalu Arab desa itu bermadah:
Bersabarlah,
niscaya kami bersabar dengan anda !
Sesungguhnya kesabaran rakyat adalah,
sesudah sabarnya kepala.
Kebajikan dari Abbas,
ialah pahala dari anda sesudahnya.
Kebajikan bagi Abbas,
demi Allah, adalah dari anda.
Maka Ibnu Abbas berkata: “Tiada seorangpun yang berta’ziah (berbela-sungkawa) kepadaku, yang lebih baik daripada ta’ziahnya”. Hadits-hadits yang datang tentang sabar atas musibah-musibah itu banyak. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa dikehendaki oleh Allah dengan dia akan kebajikan, niscaya didatangkan Nya musibah kepadanya”. Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Apabila Aku menghadapkan kepada seseorang dari hamba-hambaKu akan suatu musibah pada badannya atau hartanya atau anaknya, kemudian ia terima yang demikian dengan kesabaran yang baik, niscaya Aku malu daripadanya pada hari kiamat, bahwa Aku tegakkan baginya neraca timbangan amal atau Aku bukakan baginya buku suratan amal”. Nabi saw bersabda: “Tiada dari seseorang hamba yang dikenakan dengan sesuatu musibah, lalu ia membaca, sebagaimana disuruh oleh Allah Ta’ala: “Innaa lil-laahi wa innaa ilaihi raaji-‘uun –Wahai Allah Tuhanku ! berilah aku pahala pada musibah yang menimpa aku dan sudahilah aku dengan kebajikan daripadanya, melainkan diperbuatkan oleh Allah yang demikian dengan dia”. Nabi saw bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa Aku cabutkan dua matanya, maka balasannya, ialah: kekal pada rumahKu dan memandang kepada wajahKu”. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah ! telah hilang hartaku dan telah sakit tubuhku”. Rasulullah saw menjawab: “Tiada kebajikan pada seorang hamba, yang tiada hilang hartanya dan tiada sakit tubuhnya. Sesungguhnya Allah, apabila mengasihi seorang hamba, niscaya dicobaNya. Dan apabila dicobaNya, niscaya disabarkannya”. Rasulullah saw bersabda: “Bahwa seorang laki-laki sesungguhnya ada baginya derajat pada sisi Allah Ta’ala, yang ia tidak sampai kepadanya dengan amal, sehingga ia dicobakan dengan suatu bencana pada tubuhnya. Maka ia sampai kepada derajat itu dengan yang demikian”.
Dari Khabbab bin Al-Arat, yang mengatakan: “Bahwa kami datang kepada Rasulullah saw. Dan beliau berbantal dengan kain selendangnya pada naungan Ka’bah. Lalu kami mengadu kepadanya. Kami mengatakan: “Wahai Rasulullah ! apakah tidak engkau berdoa kepada Allah Ta’ala, yang engkau minta tolong padaNya bagi kami ? Maka Rasulullah saw duduk, dengan merah warna wajahnya. Kemudian, bersabda: “Sesungguhnya ada orang yang sebelum kamu, dibawakan kepada seorang laki-laki, lalu dikorek baginya dalam tanah suatu lobang kecil. Dan didatangkan gergaji. Lalu gergaji itu diletakkan di atas kepalanya. Maka kepalanya dijadikan dua bahagian. Maka yang demikian itu, tidak memalingkan orang tadi dari agamanya”.
Dari Ali ra yang mengatakan: “Siapapun laki-laki yang ditahan oleh penguasa dengan kezaliman, lalu laki-laki itu mati, maka dia itu syahid. Dan kalau dipukulnya, lalu mati, maka dia itu syahid”. Nabi saw bersabda: “Dari pengagungan Allah dan mengetahui hakNya, bahwa engkau tidak mengadukan kesakitan engkau dan engkau tidak menyebutkan musibah engkau”. Abud-Darda ra berkata: “Kamu dilahirkan untuk mati. Kamu membangun untuk runtuh. Dan kamu loba kepada apa yang akan lenyap. Dan kamu tinggalkan apa yang kekal. Ketahuilah, kiranya yang dibencikan itu 3: miskin, sakit dan mati”.
Dari Anas ra mengatakan: “Rasulullah saw bersabda: “Apabila Allah menghendaki kebajikan kepada seorang hamba dan IA menghendaki, bahwa membersihkannya, niscaya IA tuangkan atas hamba itu bencana dan IA tumpahkan bencana itu atasnya. Maka apabila hamba itu berdoa kepada Allah Ta’ala, niscaya para malaikat berkata: “Suara yang sudah dikenal (suara biasa)”. Dan kalau hamba itu berdoa kepada Allah Ta’ala kali kedua, lalu ia berdoa: “Ya Rabbi, wahai Tuhanku !”, nisaya Allah Ta’ala berfirman: “Aku perkenankan, hai hambaKu ! dan kebahagiaan engkau ! engkau tidak memintakan sesuatu padaKu, melainkan Aku berikan kepada engkau. Atau Aku tolakkan dari engkau, apa yang lebih baik. Dan Aku simpankan bagi engkau pada sisiKu apa yang lebih utama daripadanya. Maka apabila telah ada hari kiamat, niscaya didatangkan orang-orang yang mempunyai amal. Lalu disempurnakan mereka akan amalnya dengan timbangan, dimana mereka itu orang yang mengerjakan shalat, puasa, sedekah dan haji. Kemudian orang-orang yang kena bencana. Maka tidak didirikan bagi mereka timbangan amal. Dan tidak dibentangkan bagi mereka buku suratan amal. Dituangkan kepada mereka, pahala, sebagaimana telah dituangkan kepada mereka, bencana. Maka orang yang sehat wal-afiat di dunia, ingin jikalau adalah mereka itu digunting-guntingkan tubuhnya dengan gunting, untuk mereka tidak melihat, apa yang diperoleh daripada pahala oleh orang-orang yang mendapat bencana. Maka yang demikian itu firmanNya Yang Maha Tinggi: “Sesungguhnya orang-orang yang berhati teguh (sabar) itu, akan disempurnakan pahalanya dengan tiada perhitungan”. S Az Zumar ayat 10.
Dari Ibnu Abbas ra yang mengatakan: “Salah seorang dari nabi-nabi dahulu mengadu kepadaTuhannya. Ia berkata: “Wahai Tuhanku ! hamba yang mu’min ini taat kepada Engkau dan menjauhi dari perbuatan-perbuatan maksiat kepada Engkau. Engkau cegahkan dunia daripadanya. Dan Engkau datangkan bencana baginya. Dan adalah hamba yang kafir itu tiada mentaati Engkau. Ia berani kepada Engkau dan kepada perbuatan-perbuatan maksiat kepada Engkau. Engkau cegahkan bencana daripadanya. Dan Engkau lapangkan dunia baginya”. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi itu: “Bahwa hamba-hamba itu kepunyaanKu. Dan bencana itu kepunyaanKu. Dan semuanya bertasbih memujikan Aku. Maka adalah orang mu’min itu, atas dirinya dari dosa-dosa. Maka Aku cegahkan dunia daripadanya. Dan Aku datangkan baginya bencana. Maka adalah bencana itu menutupkan dosa-dosanya. Sehingga ia bertemu dengan Aku. Maka Aku berikan balasan kepadanya dengan kebaikan-kebaikannya. Dan adalah orang kafir itu baginya segala kebaikan. Maka Aku bentangkan baginya tentang rezeki. Aku cegahkan bencana daripadanya. Maka Aku balaskannya dengan kebaikan-kebaikannya didunia. Sehingga ia menemui Aku, maka Aku balaskannya dengan kejahatan-kejahatannya”.
Diriwayatkan, bahwa tatkala turun firman Allah Ta’ala: “Siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan mendapat pembalasan kejahatan pula”. S 4 An Nisa ayat 123, lalu Abubakar Ash-Shiddiq ra berkata: “Bagaimana kegembiraan sesudah ayat ini ?”. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Diampunkan Allah akan engkau, wahai Abubakar ! ada tidakkah engkau sakit ? apakah engkau tidak ditimpakan oleh yang menyakitkan ? apakah tidak engkau susah ? maka ini termasuk apa yang dibalaskan engkau dengan yang demikian”. Ya’ni: bahwa semua apa yang tertimpa atas engkau adalah kafarat, (penutup) bagi dosa-dosa engkau.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwa ia mendengar dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Apabila kamu melihat seseorang, yang diberikan oleh Allah, apa yang disukainya dan orang itu tetap atas kemaksiatannya, maka ketahuilah, bahwa yang demikian itu pengansuran ke arah kebinasaan (istidraj)”. Kemudian, nabi saw membaca firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Setelah mereka melupakan peringatan yang diberikan kepada mereka, Kami bukakan kepada mereka pintu segala sesuatu”. Ya’ni: tatkala mereka meninggalkan apa yang disuruh, maka Kami bukakan kepada mereka pintu-pintu kebajikan. Kemudian, sambungan ayat di atas: “Sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang diberikan kepada mereka dari kebajikan, lalu Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong”. S 6 Al An’aam ayat 44. Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashari  ra, bahwa seorang laki-laki dari sahabat ra melihat seorang wanita yang dikenalnya pada masa jahiliyah. Lalu laki-laki tadi menoleh kepada wanita itu dan ia terus berjalan. Lalu ia ditumbuk dinding, maka membekas pada mukanya. Maka ia datang kepada Nabi saw lalu diceritakannya. Maka Nabi saw bersabda: “Apabila Allah berkehendak dengan kebajikan pada seorang hamba, niscaya disegerakanNya bagi hamba itu siksaan dosanya di dunia”.
Ali ra berkata: “Apakah tidak aku kabarkan kepadamu, dengan ayat yang lebih banyak harapan dalam Alquran ?”. Para sahabat itu menjawab: “Belum!”. Lalu beliau bacakan kepada mereka: “Dan setiap musibah yang menimpa kamu itu, adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kamu sendiri dan Allah memaafkan sebahagian besar daripadanya”. S 42 Asy Syuura ayat 30. Maka segala musibah di dunia adalah dengan usaha dosa. Maka apabila ia disiksakan oleh Allah di dunia, maka Allah Maha Pemurah daripada akan mengazabkannya kali kedua. Dan jikalau dimaafkannya di dunia, maka Allah Maha Pemurah daripada akan mengazabkannya pada hari kiamat”.
Dari Anas ra yang meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Tiadalah sekali-kali seorang hamba meneguk dua teguk yang lebih dikasihi oleh Allah, daripada teguk kemarahan, yang ditolaknya dengan lemah lembut. Dan teguk musibah, yang bersabar orang itu baginya. Dan tiada menetes suatu tetes yang lebih dikasihi oleh Allah, dari setetes darah yang ditumpahkan pada jalan Allah (fisabilil-lah). Atau setetes air mata pada malam yang gelap dan ia bersujud. Dan tiada melihatnya, selain Allah. Dan tiada  seorang hamba yang melangkah dua langkah, yang lebih dikasihi oleh Allah Ta’ala, daripada langkah kepada shalat fardlu dan langkah kepada silaturrahim”. Dari Abid-Darda’ yang mengatakan: “Telah wafat putera nabi Sulaiman as bin Daud. Maka ia merasa kesedihan yang sangat. Lalu datang kepadanya dua malaikat. Kedua malaikat itu duduk berjingkak di hadapannya dalam pakaian musuh. Lalu yang satu berkata: “Aku telah menaburkan benih. Maka tatkala telah datang waktu panen, lalulah orang ini. Maka dirusakkannya”. Lalu malaikat tadi berkata kepada yang satu lagi: “Apa katamu ?”. Lalu malaikat itu berkata: “Aku mengambil jalan yang ditempuh. Maka aku datang ke tanaman itu. Lalu aku melihat kanan dan kiri. Maka tiba-tiba ada jalan ke tanaman itu”. Maka Nabi Sulaiman as menjawab: “Mengapa engkau taburkan di atas jalan ? apakah engkau tidak tahu, bahwa manusia itu memerlukan kepada jalan ?”. Malaikat itu lalu bertanya: “Mengapakah engkau bersusah hati atas wafatnya putera engkau ? apakah engkau tidak tahu, bahwa mati itu jalan akhirat ?”. Maka bertaubatlah Nabi Sulaiman as kepada Tuhannya. Dan ia tidak gundah lagi atas anaknya sesudah itu.
Umar bin Abdul-’aziz masuk ke tempat puteranya yang sedang sakit. Lalu beliau berkata: “Hai anakku ! sesungguhnya ada engkau dalam neracaku itu lebih aku sukai, daripada adanya aku dalam neraca engkau”. Puteranya itu menjawab: “Wahai ayahku ! bahwa adanya apa yang engkau sukai itu, lebih aku sukai daripada adanya apa yang aku sukai”. Dari Ibnu Abbas ra, bahwa diberitahukan kepadanya akan kematian anak perempuannya. Lalu ia membaca: “Innaa lil-laahi wa innaa ilaihi raaji’uun (membaca istirja’). Dan ia berkata: “Aurat yang ditutupkan oleh Allah Ta’ala. Perbelanjaan yang dicukupkan oleh Allah. Dan pahala yang dihalaukan oleh Allah”. Kemudian, ia turun dari tempat tidurnya. Lalu mengerjakan shalat dua rakaat. Kemudian, ia berkata: “Kami telah perbuat apa yang disuruh oleh Allah Ta’ala. Ia Yang Maha Tinggi berfirman: “Minta tolonglah dengan sabar dan shalat”. S 2 Al Baqarah ayat 45.
Diirwayatkan dari Ibnul-Mubarak, bahwa mati puteranya. Lalu seorang majusi yang dikenalnya berta’ziah kepadanya. Maka majusi itu berkata kepadanya: “Seyogyalah bagi orang yang berakal, bahwa berbuat hari ini, apa yang diperbuat oleh orang bodoh sesudah 5 hari”. Maka berkata Ibnul-Mubarak: “Tulislah kata-kata itu daripadanya!”. Sebahagian ulama berkata: “Sesungguhnya Allah mencoba akan hambaNya, dengan bencana, demi bencana. Sehingga ia berjalan di atas bumi dan tak ada lagi baginya dosa”. Al-Fudlail berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala membuat perjanjian dengan hambaNya yang mu’min akan bencana, sebagaimana laki-laki membuat perjanjian dengan isterinya akan kebajikan”.
Hatim Al-Asham berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berhujjah (memberi keterangan) pada hari kiamat, dengan makhluk, dengan 4 orang atas 4 jenis: atas orang-orang kaya, dengan Sulaiman, atas orang-orang miskin dengan Isa Al-masih, atas budak-budak dengan Yusuf dan atas orang-orang sakit dengan Ayyub. Rahmat Allah kepada mereka sekalian”. Diriwayatkan, bahwa Zakaria as tatkala lari dari orang-orang kafir dari kaum Bani Israil (kaum Yahudi) dan ia bersembunyi dalam sepohon kayu. Maka diketahui oleh kaum Bani Israil yang demikian. Lalu didatangkan gergaji. Maka digergajikan pohon kayu itu. Sehingga sampailah gergaji itu ke kepala Zakaria. Maka ia menjerit dari karena yang demikian. Maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya: “Hai Zakaria ! jikalau keraslah dari engkau jeritan yang kedua, niscaya akan Aku hapuskan engkau dari daftar kenabian”. Maka Zakaria menggigit giginya atas kesabaran. Sehingga ia terpotong dua bahagian.
Ibnu Mas’ud Al-Balakhi berkata: “Barangsiapa tertimpa dengan musibah, lalu merobekkan kain atau memukul dada, maka seakan-akan ia mengambil tombak, bermaksud memerangi Tuhannya ‘Azza Wa Jalla”. Lukman ra berkata kepada anaknya: “Hai anakku ! sesungguhnya emas itu dicoba dengan api. Dan hamba yang shalih itu dicoba dengan bencana. Maka apabila Allah mengasihi suatu kaum, niscaya dicobaNya akan mereka. Maka siapa yang rela, niscaya baginya rela Allah. Dan siapa yang marah, niscaya baginya marah Allah”.
 Al-Ahnaf bin Qais berkata: “Pada suatu hari, aku mengadu akan kesakitan gigiku. Lalu aku katakan kepada pamanku: “Tiada aku tidur semalam dari sakitnya gigiku”. Sehingga aku katakan yang demikian 3 kali”. Lalu pamanku menjawab: “Kamu telah membanyakkan perkataan dari hal gigimu dalam satu malam. Dan mataku ini telah hilang semenjak 30 tahun yang lampau, tiada diketahui oleh seorangpun”.
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada ‘Uzair as: “Apabila turun pada engkau bencana, maka janganlah engkau mengadukan Aku kepada makhlukKu! Dan mengadulah kepadaKu! sebagaimana aku tidak mengadukan engkau kepada malaikat-malaikatKu, apabila naiklah kejahatan-kejahatan engkau dan kekejian-kekejian engkau”. Kita bermohon kepada Allah dari kebesaran kelemah-lembutanNya dan kemurahanNya, akan ketutupanNya yang elok di dunia dan diakhirat.
PENJELASAN: kelebihan nikmat atas bencana.
Kiranya anda mengatakan, bahwa hadits-hadits yang tersebut itu menunjukkan, bahwa bencana lebih baik di dunia daripada nikmat. Maka adalah kita meminta pada Allah akan bencana ? Maka aku mengatakan, bahwa tiada jalan bagi yang demikian. Karena diriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau berlindung dalam doanya dari bencana dunia dan bencana akhirat. Adalah ia saw dan para nabi as berdoa: “Wahai Tuhan kami ! berilah kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan pula di akhirat”. S 2 Al Baqarah ayat 201. Mereka meminta perlindungan Allah Ta’ala daripada cacian musuh dan lainnya. Ali ra berdoa: “Wahai Allah Tuhanku ! sesungguhnya aku bermohon padaMu akan kesabaran”. Lalu Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya engkau meminta pada Allah akan bencana, maka mintalah padaNya akan keafiatan/kebaikkan !”.
Abubakar Ash-Shiddiq ra meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Mintalah pada Allah akan keafiatan ! maka tiada seorangpun yang diberikan, yang lebih utama dari keafiatan, selain yakin”. Nabi saw mengisyaratkan kepada keafiatan hati, daripada penyakit kebodohan dan keraguan. Maka keafiatan hati itu lebih tinggi dari keafiatan badan.
Al-Hasan Al-Bashari  ra berkata: “Kebajikan yang tak ada padanya kejahatan ialah: keafiatan serta syukur. Maka banyaklah orang yang memperoleh nikmat, yang tidak bersyukur”. Mathraf bin Abdullah berkata: “Sesungguhnya aku memperoleh keafiatan, lalu bersyukur, lebih aku sukai daripada aku memperoleh bencana, lalu bersabar”. Nabi saw mengucapkan dalam doanya: “Dan keafiatan yang Engkau berikan kepadaku itu lebih aku sukai”. Ini adalah lebih terang daripada diperlukan kepada dalil dan penyaksian. Dan pahamilah ! karena bencana itu menjadi nikmat dengan dua ibarat:
Pertama: dibandingkan kepada apa yang lebih banyak daripadanya. Adakalanya pada dunia atau pada agama.
Yang kedua: dibandingkan kepada apa yang diharapkan dari pahala. Maka seyogyalah bahwa meminta pada Allah akan kesempurnaan nikmat di dunia. Dan menolak apa yang di atasnya dari bencana. Dan bermohon pada Allah Ta’ala akan pahala di akhirat atas kesyukuran pada nikmat-nikmatNya. Maka sesungguhnya IA Maha Kuasa, bahwa memberikan atas kesyukuran, apa yang tidak diberikanNya atas kesabaran. Kalau anda mengatakan: sesungguhnya sebahagian mereka mengatakan: “Sesungguhnya aku ingin bahwa adalah aku ini jembatan atas neraka, yang dilalui seluruh makhluk atasku. Lalu mereka itu terlepas. Dan aku ada dalam neraka”. Samnun ra mengucapkan sekuntum syair:
Tiadalah bagiku,
pada selain Engkau kebahagiaan.
Maka bagaimana kehendakMu,
maka datanglah bagiku percobaan !
Maka ini dari mereka itu, adalah permintaan bencana. Maka ketahuilah, bahwa diceritakan dari Sanun Al-Muhibb ra bahwa ia mendapat bencana sesudah diucapkannya sekuntum syair itu, dengan penyakit tertahan kencing. Lalu sesudah itu, ia berkeliling ke pintu-pintu maktab (sekolah) dan mengatakan kepada anak-anak: “Berdoalah bagi pamanmu yang pendusta ini !”. Adapun kesukaan insan supaya dia dalam neraka, tidak makhluk yang lain, maka itu tidak mungkin. Akan tetapi, kadang-kadang keras kecintaannya pada hati, sehingga disangkakan oleh yang mencintai dirinya akan kecintaan seperti yang demikian. Maka siapa yang meminum segelas kecintaan, niscaya ia mabuk. Dan siapa yang mabuk, niscaya ia meluas pada perkataannya. Dan jikalau hilang kemabukannya itu, niscaya ia tahu, bahwa apa yang mengerasi atasnya, adalah suatu keadaan, yang tiada sebenarnya. Maka apa yang anda dengar dari ilmu ini, adalah termasuk perkataan orang-orang yang asyik, yang bersangatan kecintaan mereka. Dan perkataan orang-orang yang asyik itu sedap kedengarannya. Dan tidak menjadi pegangan. Sebagaimana diceritakan, bahwa burung fakhitah (semacam burung merpati) dibujuk oleh jantannya. Maka ia tidak mau. Lalu jantannya itu bertanya: “Apakah yang melarangkan engkau daripadaku ? dan jikalau engkau kehendaki, supaya aku balikkan bagi engkau, bumi dan langit ini bersama kerajaan Sulaiman, terbalik yang di atas ke bawah, niscaya akan aku kerjakan, demi karena engkau”. Maka didengar yang demikian oleh nabi Sulaiman as. Lalu beliau memanggilnya dan memakinya. Maka jantan burung itu menjawab: ”Wahai nabi Allah ! perkataan orang-orang yang asyik penuh kerinduan itu tidak diceritakan (tidak dibuat menjadi cerita)”. Dan adalah itu seperti yang dikatakan jantan itu. Seorang penyair bermadah:
Aku mau menyambung silaturrahim dengan dia itu,
dan ia mau meninggalkan aku.
Maka aku tinggalkan apa kemauanku,
untuk memenuhi kemauannya itu.
Dan itu juga mustahil ! artinya: aku kehendaki apa yang tidak ia kehendaki. Karena orang yang mau menyambung silaturrahim, niscaya tidak mau meninggal kannya. Maka bagaimana ia mau meninggalkan, yang tidak dikehendakinya ? akan tetapi, perkataan ini tidak benar, selain dengan dua penafsiran:
Pertama: bahwa apa yang demikian itu pada sebahagian keadaan. Sehingga diusahakan kerelaannya, yang akan menyampaikannya kepada maksud penyambungan silaturrahim itu pada masa mendatang. Maka adalah meninggalkannya itu, jalan kepada ridha. Dan ridha itu jalan kepada penyambungan yang dicintai. Dan jalan kepada yang dicintai itu dicintai. Maka adalah contohnya seperti orang yang mencintai harta. Apabila ia dapat menyelamatkan sedirham dalam dua dirham, maka dengan mencintai dua dirham itu, ia meninggalkan yang sedirham itu seketika.
Kedua: bahwa jadilah ridhanya itu padanya dicari, dari segi bahwa itu ridhanya saja. Dan ada baginya kelezatan pada merasakannya ridha kekasihnya daripadanya. Kelezatan itu bertambah atas kelezatannya, pada menyaksikannya serta kebenciannya. Maka pada ketika itu, tergambarlah, bahwa ia menghendaki apa yang ada padanya keridhaan. Maka karena itulah, sesungguhnya berkesudahan keadaan sebahagian orang-orang yang mencintai sesuatu, bahwa jadilah kelezatan mereka pada bencana, serta dirasakan mereka akan ridha Allah kepada mereka itu lebih banyak daripada kelezatan mereka pada keafiatan badan, tanpa merasakan ridha Allah. maka mereka itu apabila menilai ridhaNya pada bencana, niscaya jadilah bencana itu lebih disukai mereka daripada keafiatan badan. Inilah keadaan, yang tiada jauh kejadiannya pada kekerasan kecintaan. Akan tetapi itu tidak tetap. Dan jikalau tetap umpamanya, maka adakah itu keadaan yang sehat ? atau keadaan yang dikehendaki oleh keadaan lain, yang datang kepada hati, lalu cenderung ia dari kelurusan ? ini, padanya perhatian ! dan menyebutkan pentahkikannya itu tidak layak dengan apa yang sedang kita bicarakan. Dan telah jelas dengan apa yang telah terdahulu, bahwa keafiatan itu lebih baik daripada bencana. Maka kita bermohon pada Allah Ta’ala yang menganugerahkan nikmat dengan kurniaNya, kepada semua makhlukNya, akan kemaafan dan keafiatan, pada agama, dunia dan akhirat bagi kita dan bagi semua kaum muslimin !
PENJELASAN: yang lebih utama dari sabar dan syukur.
Ketahuilah kiranya, bahwa manusia itu berselisih paham pada yang demikian. Maka berkatalah orang-orang yang mengatakan: bahwa sabar itu lebih utama dari syukur. Dan berkata yang lain: bahwa syukur itu yang lebih utama. Dan berkata yang lain lagi: keduanya itu sama. Dan berkata yang lain pula: berbeda dengan yang demikian, dengan perbedaan hal-keadaan. Dan masing-masing golongan, berdalihkan dengan perkataan yang sangat kacau, jauh daripada menghasilkan. Maka tiada arti bagi pemanjangan dengan naqal (yang diambil dari Alquran dan hadits). Akan tetapi, bersegera kepada melahirkan kebenaran itu lebih utama. Maka kami mengatakan, bahwa pada yang demikian itu 2 tingkat:
Tingkat pertama: penjelasan atas jalan mudah-memudahkan. Yaitu: bahwa memandang kepada yang zahir dari urusannya. Dan tidak dicari dengan pemeriksaan yang mendalam akan hakikat/maknanya. Yaitu: penjelasan yang seyogyanya dihadapkan kepada orang awam. Karena singkatnya paham mereka, daripada mengetahui hakikat/makna yang tersembunyi. Dan perkataan dari ilmu ini, ialah yang seyogyanya, bahwa akan dipegang oleh juru-juru pengajaran. Karena maksud perkataan mereka, daripada menghadapkan kepada orang awam itu, ialah: perbaikan bagi orang awam. Dan wanita yang penuh kasih sayang kepada anak orang lain, tiada seyogyalah bahwa ia berbuat perbaikan bagi anak kecil itu dengan daging-daging burung yang gemuk dan berbagai macam kuwe-kuwe. Akan tetapi, dengan susu yang halus. Dan haruslah wanita itu mengemudiankan dari anak itu makanan yang enak-enak, sampai anak itu sanggup menanggungnya dengan kekuatannya. Dan ia berpisah dengan kelemahan yang ada pada bangunan tubuhnya. Maka kami katakan, bahwa tingkat ini pada penjelasan itu enggan akan pembahasan dan penguraian. Dan yang dikehendaki, ialah memandang kepada zahiriyah yang dipahami dari sumber-sumber agama. Dan yang demikian itu menghendaki pengutamaan sabar. Maka sesungguhnya syukur, walaupun telah datang banyak hadits tentang kelebihannya, maka apabila dibandingkan kepadanya, dengan apa yang datang, tentang keutamaan sabar, niscaya adalah keutamaan sabar itu lebih banyak. Bahkan pada sabar itu terdapat kata-kata yang tegas tentang pengutamaannya. Seperti sabda Nabi saw: “Dari yang lebih utama didatangkan kepadamu itu, ialah: yakin dan tetapnya sabar”. Dan tersebut pada hadits: “Akan didatangkan penduduk bumi yang paling bersyukur. Maka ia akan dibalas oleh Allah sebagai balasan orang-orang yang bersyukur. Dan akan didatangkan penduduk bumi yang paling sabar. Maka dikatakan kepadanya: “Apakah engkau tidak ridha, bahwa engkau Kami beri balasan, sebagaimana Kami beri balasan kepada orang yang bersyukur ini ?”. Orang itu lalu menjawab: “Ya, wahai Tuhanku !”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Sekali-kali tidak ! Aku telah memberikan nikmat kepadanya, maka ia bersyukur. Dan Aku telah mencobamu dengan bencana , maka kamu bersabar. Sesungguhnya akan Aku lipat-gandakan bagimu pahala atas kesabaran itu”. Maka dia diberikan berlipat-ganda dari balasan orang-orang yang bersyukur”. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu akan disempurnakan pahalanya, dengan tiada perhitungan”. S Az Zumar ayat 10.
Adapun sabda Nabi saw: “Orang yang makan, yang bersyukur itu adalah setingkat dengan orang yang berpuasa, yang sabar”. Maka itu menunjukkan atas keutamaan pada sabar. Karena disebutkan yang demikian itu pada membentangkan bersangatan (mubalaghah), bagi mengangkatkan derajat syukur. Lalu dihubungkannya dengan sabar. Maka adalah ini kesudahan derajatnya. Dan jikalau tidak bahwa telah dipahami dari agama, akan ketinggian derajat sabar, niscaya tidaklah dihubungkan syukur itu, dengan sabar, untuk bersangatan (mubalaghah) pada syukuur.
Dan itu adalah seperti sabda Nabi saw: “Jum’at itu haji orang-orang miskin. Dan jihad wanita itu bagus urusan suaminya”. Dan seperti sabda Nabi saw: “Peminum khamar itu seperti penyembah patung berhala”. Dan selalu barang yang diserupakan dengan dia (al-musyabbahu bih) itu, seyogyanya bahwa lebih tinggi tingkatnya. Maka seperti demikian pula sabda Nabi saw: “Sabar itu separuh iman”, tidaklah menunjukkan, bahwa syukur itu seperti yang demikian. Dan itu juga seperti sabda Nabi saw: “Puasa itu separuh sabar”. Maka sesungguhnya setiap apa yang terbagi 2 bahagian itu, dinamakan salah satu daripada keduanya, dengan: separuh (nish-fu). Walaupun ada di antara keduanya itu berlebih kurang. Sebagaimana dikatakan, bahwa iman itu: ilmu dan amal. Maka amal itu, ialah: separuh iman. Maka tidaklah menunjukkan yang demikian itu, bahwa: amal sama dengan ilmu. Tersebut pada hadits, dari sabda Nabi saw: “Nabi yang penghabisan masuk sorga, ialah: Sulaiman bin Daud as karena kedudukan kerajaannya. Dan shahabatku yang penghabisan masuk sorga, ialah: Abdurrahman bin ‘Auf, karena kedudukan kekayaannya”. Tersebut pada hadits yang lain: “Sulaiman as akan masuk sorga sesudah nabi-nabi lain, dengan 40 kharif (musim sesudah musim panas)”. Tersebut pada hadits: “Pintu-pintu sorga itu semuanya duabelah, selain pintu sabar. Maka pintu sabar itu sebelah. Orang yang pertama yang memasukinya, ialah: orang-orang yang mendapat bencana. Di depan mereka, ialah: nabi Ayyub as”. Setiap apa yang datang tentang kelebihan kemiskinan itu menunjukkan kepada kelebihan sabar. Karena sabar itu adalah hal keadaan orang miskin. Dan syukur itu adalah hal keadaan orang kaya. Maka ini adalah tingkat yang memuaskan orang-orang awam. Dan mencukupkan mereka pada pengajaran yang layak dengan mereka. Dan memperkenalkan bagi yang padanya kebaikan agama mereka.
Tingkat kedua: ialah penjelasan. Yang kami maksudkan dengan penjelasan ini, ialah memperkenalkan ahli ilmu dan memperhatikan hakikat/makna segala perkara, dengan jalan kasyaf (terbuka hijab) dan keterangan. Maka kami katakan tentang ini, bahwa: setiap perkara yang di antara dua hal yang tidak terang, niscaya tidak mungkin memperbandingkan di antara keduanya, serta ketidak-terangan itu, selama tidak disingkapkan dari hakikat/makna masing-masing dari keduanya. Dan setiap yang disingkapkan itu melengkapi atas beberapa bahagian, yang tidak mungkin memperbandingkannya di antara satu jumlah dengan jumlah lainnya. Akan tetapi, wajib dipisahkan satu persatu, dengan memperbandingkannya. Sehingga jelaslah yang kuat. Sabar dan syukur itu, bahagian dan cabang-cabangnya banyak. Maka tidaklah terang hukum keduanya, tentang kuat dan kurang, secara tersimpul. Sesungguhnya telah kami sebutkan dahulu, bahwa tingkat-tingkat ini akan teratur dari perkara yang tiga: ilmu, hal-ihwal dan amal. Syukur dan sabar dan tingkat-tingkat yang lain, adalah seperti yang demikian. Dan yang tiga itu, apabila dibandingkan sebahagian daripadanya dengan sebahagian, niscaya mengisyaratkan bagi orang-orang yang memperhatikan pada zahiriyahnya, bahwa ilmu-ilmu itu dikehendaki untuk hal-ihwal. Dan hal-ihwal itu dikehendaki untuk amal. Dan amal itu, ialah: yang terutama. Adapun orang-orang yang bermata hati, maka perkara itu pada mereka, adalah sebaliknya dari yang demikian. Maka amal itu dimaksudkan bagi hal-ihwal. Dan hal-ihwal itu dimaksudkan bagi ilmu. Maka yang lebih utama, ialah: ilmu. Kemudian hal-ihwal. Kemudian amal. Karena setiap yang dimaksudkan itu adalah bagi lainnya. Maka yang lain itu –sudah pasti –lebih utama daripadanya.
Adapun masing-masing dari yang tiga itu, maka amal-amal itu kadang-kadang bersamaan. Dan kadang-kadang berlebih kurang. Apabila dikaitkan sebahagiannya kepada sebahagian yang lain. Begitu pula masing-masing hal-ihwal, apabila dikaitkan sebahagiannya kepada sebahagian. Dan begitu pula masing-masing ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang lebih utama, ialah: ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Dan dia lebih tinggi daripada: ilmu mu’amalah (jual beli). Bahkan ilmu mu’amalah (jual beli) itu kurang dari mu’amalah (jual beli) itu sendiri. Karena ilmu itu dimaksudkan bagi mu’amalah (jual beli). Maka faedahnya, ialah: perbaikan amal perbuatan. Dan sesungguhnya diutamakan orang berilmu (orang alim) dengan mu’amalah (jual beli), di atas orang yang beribadah (orang’abid), apabila adalah ilmunya itu meratai manfaatnya. Maka adalah ia, dengan dibandingkan kepada amal khusus itu, lebih utama. Dan kalau tidak demikian, maka ilmu yang singkat dengan amal, tidaklah lebih utama dari amal yang singkat. Maka kami mengatakan, bahwa: faedah perbaikan amal ialah: perbaikan keadaan hati. Dan faedah perbaikan keadaan hati, ialah: bahwa terbuka baginya keagungan Allah Ta’ala, pada ZatNya, sifat-sifatNya dan Perbuatan-perbuatan Allah. Maka ilmu diminta untuk mengetahuinya saja yang tertinggi, ialah: mengenal ( ilmu mengenal Allah Ta’ala) Allah SWT. Dan itulah tujuan yang dicari, demi tujuan itu sendiri. Maka sesungguhnya kebahagiaan dicapai dengan dia. Bahkan dia itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Akan tetapi, kadang-kadang hati tidak merasakan di dunia, bahwa itu kebahagiaan yang sebenarnya. Hanya dirasakannya dengan demikian di akhirat. Maka itulah  ilmu mengenal Allah Ta’ala yang merdeka, yang tak ada ikatan padanya. Maka ia tidak terikat dengan yang lain. Dan setiap ilmu yang lain daripadanya itu budak dan pelayan, dibandingkan kepadanya. Maka ilmu itulah yang dikehendaki, karena ilmu itu sendiri. Dan tatkala adalah ia yang dikehenndaki, karena dia sendiri, niscaya adalah kelebih-kurangannya itu menurut manfaatnya, pada membawa kepada ilmu mengenal Allah Ta’ala Allah Ta’ala. Maka sebahagian  ilmu mengenal Allah Ta’ala-ilmu itu membawa kepada sebahagian yang lain. Adakalanya: dengan satu perantaraan atau dengan banyak perantaraan. Maka setiap kali adanya perantaraan-perantaraan di antaranya dan antara  ilmu mengenal Allah Ta’ala Allah Ta’ala itu sedikit, maka itu adalah lebih utama. Adapun hal-ihwal, maka yang kami maksudkan, ialah: hal-ihwal hati, pada pembersihannya dan penyuciannya dari campuran-campuran duniawi dan gangguan-gangguan makhluk. Sehingga apabila hati itu telah suci dan bersih, niscaya teranglah baginya hakikat/makna kebenaran. Jadi, keutamaan hal-ihwal itu adalah menurut kadar membekasnya pada perbaikan hati, penyuciannya dan penyediaannya, supaya berhasil baginya ilmu-ilmu diminta untuk mengetahuinya saja. Dan seperti pengkilatan cermin itu memerlukan kepada didatangkan atas kesempurnaannya, hal-ihwal bagi cermin. Sebahagiannya lebih mendekati kepada kekilatan dari sebahagian lainnya. Maka seperti demikian juga, hal-ihwal hati. Maka hal yang dekat atau yang mendekatkan kepada kebersihan hati, sudah pasti, itulah yang lebih utama, daripada yang kurang daripadanya, disebabkan kedekatan kepada yang dimaksud. Dan begitulah tertibnya amal perbuatan. Maka sesungguhnya membekasnya, ialah: pada penguatan kebersihan hati dan menarik hal-ihwal kepadanya. Dan setiap amal itu, adakalanya ditarikkan kepadanya, akan hal keadaan yang mencegah dari: diminta untuk mengetahuinya saja, yang mengharuskan kegelapan hati, yang menghela kepada keelokan-keelokan duniawi. Dan adakalanya, bahwa ditarikkan kepadanya hal-keadaan yang menyiapkan bagi mukasyafah (terbuka hijab), yang mengharuskan bagi kebersihan hati dan memutuskan hubungan-hubungan dunia daripadanya.
Maka nama yang pertama tadi: ma’siat. Dan nama yang kedua itu: taat. Perbuatan-perbuatan maksiat dari segi pembekasan pada kegelapan hati dan kekasaran nya itu berlebih kurang. Dan demikian juga perbuatan-perbuatan taat pada penyinaran hati dan pembersihannya. Maka tingkat-tingkatnya adalah menurut tingkat-tingkat pembekasannya. Yang demikian itu berbeda menurut perbedaan hal-keadaan. Dan yang demikian itu, sesungguhnya kami dengan perkataan mutlak, kadang-kadang kami mengatakan: bahwa shalat sunat itu lebih utama dari setiap ibadah sunat. Haji itu lebih utama dari sedekah. Dan bangun malam hari untuk mengerjakan shalat itu lebih utama dari lainnya. Akan tetapi, pentahkikan padanya, bahwa orang kaya yang bersamanya ada harta dan telah dikerasi oleh kekikiran dan kecintaan harta pada menahankannya, maka pengeluaran sedirham baginya lebih utama daripada bangun beberapa malam untuk shalat dan puasa beberapa hari. Karena puasa itu layak dengan orang yang telah dikerasi oleh keinginan perut. Maka ia bermaksud memecahkannya. Atau ia dicegah oleh kekenyangan, dari bersihnya pikiran dari ilmu-ilmu mukasyafah (terbuka hijab). Maka ia bermaksud membersihkan hati dengan: lapar. Maka adapun pengatur ini, apabila hal-keadaannya tidak hal-keadaan ini, niscaya tidaklah ia memperoleh melarat dengan keinginan perutnya. Dan tidak ia sibuk dengan semacam pikiran, yang dicegah dia oleh kekenyangan daripadanya. Maka pekerjaannya dengan puasa itu, adalah keluarnya dari hal-ihwalnya kepada hal-ihwal lainnya. Dan dia itu seperti orang sakit yang mengadukan kesakitan perut. Apabila ia memakai obat pening, niscaya tidak bermanfaat dengan obat itu. Akan tetapi, yang benar, ialah ia memperhatikan pada yang membinasakan, yang menguasai atas dirinya. Dan kekikiran yang dipatuhi itu adalah termasuk dalam jumlah yang membinasakan. Dan puasa 100 tahun dan bangun malam mengerjakan shalat 1000 malam itu, tidaklah menghilangkan sebiji atompun daripadanya. Akan tetapi, yang menghilangkannya, ialah: mengeluarkan harta. Maka haruslah ia bersedekah, dengan apa yang ada padanya. Dan penguraian ini, termasuk apa yang telah kami sebutkan dahulu pada “Rubu Yang Membinasakan”. Maka hendaklah kembali kepadanya ! jadi, dengan memandang hal-hal ini, maka itu berbeda. Dan ketika itu, orang yang bermata hati, akan mengetahui, bahwa jawaban mutlak padanya itu salah. Karena, jikalau berkata kepada kita orang yang mengatakan: roti itu yang lebih utama atau air, niscaya tidak ada padanya jawaban yang benar. Selain, bahwa: roti bagi orang yang lapar itu lebih utama. Dan air bagi orang yang haus itu lebih utama. Maka jikalau keduanya berkumpul, maka diperhatikan kepada: yang lebih keras. Jikalau haus yang lebih keras, maka air yang lebih utama. Dan jikalau lapar yang lebih keras, maka roti yang lebih utama. Maka jikalau keduanya sama, niscaya keduanyapun sama. Demikian juga, apabila dikatakan: as-sakanjabin yang lebih utama atau minum al-lainufir (semacam tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di kolam dan di sungai. Dapat dibuat daripadanya minuman dingin untuk obat batuk), niscaya tidaklah benar tidaklah benar-sekali-kali jawaban daripadanya, secara mutlak. Ya, jikalau dikatakan kepada kita: as-sakanjabin yang lebih utama atau tidak ada penyakit kuning, maka kita menjawab: tidak ada penyakit kuning. Karena as-sakanjabin itu, maksudnya untuk tidak ada penyakit kuning. Dan tidak dimaksudkan untuk yang lain. Maka yang lain itu –sudah pasti-lebih utama daripadanya.
Jadi, pada memberikan harta itu: amal. Yaitu: membelanjakan harta (infaq). Dan dengan membelanjakan harta itu, berhasil suatu hal. Yaitu: hilangnya kikir dan keluarnya kecintaan kepada dunia dari hati. Dan bersiaplah hati, disebabkan keluarnya kecintaan kepada dunia daripadanya, untuk ilmu mengenal Allah Ta’ala Allah Ta’ala dan mencintaiNya. Maka yang lebih utama itu:  ilmu mengenal Allah Ta’ala. Dan yang kurang daripadanya itu: suatu keadaan tadi. Dan lebih kurang lagi, yaitu: amal. Jikalau anda mengatakan: bahwa agama sesungguhnya telah mengajak kepada amal. Dan bersangatan pada menyebutkan: keutamaan amal. Sehingga agama itu menuntut dikeluarkan sedekah, dengan firman Allah Ta’ala: “Siapakah yang mau meminjamkan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik”. S 2 Al Baqarah ayat 245. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan Allah itu mengambil sedekah hambaNya”. S 9 At Taubah ayat 104. Maka bagaimanakah tidak perbuatann dan infaq itu lebih utama ? maka ketahuilah kiranya, bahwa dokter apabila memujikan suatu obat, niscaya tidaklah menunjukkan, bahwa obat itu sendiri yang dimaksudkan. Atau bahwa obat itu yang lebih utama daripada sehat dan sembuh yang berhasil dari obat itu. Akan tetapi amal-perbuatan itu pengobatan bagi penyakit hati. Dan penyakit hati itu, biasanya termasuk apa yang tiada dirasakan. Maka dia itu adalah, seperti: penyakit supak atas muka orang yang tidak mempunyai cermin. Maka ia tidak merasakan dengan penyakit itu. Dan jikalau disebutkan kepadanya, niscaya tidak dibenarkannya. Dan jalan serta yang demikian, ialah: bersangatan memuji –umpamanya –membasuh muka dengan air mawar, jikalau air mawar itu dapat menghilangkan penyakit supak. Sehingga membangkitkannya oleh bersangatan puji itu, untuk rajin membasuh muka dengan air mawar itu. Maka hilanglah penyakitnya. Dan sesungguhnya, jikalau disebutkan kepadanya, bahwa yang dimaksud, ialah: hilangnya penyakit supak dari muka anda, niscaya terkadang ia meninggalkan pengobatan itu. Dan ia mendakwakan, bahwa mukanya tak ada kekurangan padanya. Dan marilah kami membuat contoh yang lebih dekat lagi dari itu. Maka kami katakan: bahwa siapa yang mempunyai anak, niscaya diajarinya ilmu dan Alquran. Dan ia menghendaki, bahwa yang demikian itu tetap dalam hapalannya, dimana tidak hilang lagi dari anak itu. Dan yang punya anak ia tahu, bahwa jikalau disuruhnya anaknya dengan mengulang-ulangi dan belajar, supaya kekallah yang dipelajari itu menjadi hapalan bagi si anak, niscaya anak itu mengatakan: “Bahwa itu yang dihapalkan. Dan tiada perlu bagiku kepada mengulang-ulangi dan  belajar”. Karena anak itu menyangka, bahwa apa yang dihapalnya sekarang, akan kekal seperti yang demikian selama-lamanya. Dan orang itu mempunyai beberapa orang budak. Lalu disuruhnya anaknya mengajarkan mereka. Dan dijanjikannya kepada anaknya atas yang demikian, dengan hadiah yang cantik. Supaya sempurnalah pengajaknya kepada banyak mengulang-ulangi dengan mengajarkan itu. Maka terkadang, anak yang kasihan itu menyangka, bahwa yang dimaksudkan, ialah: mengajarkan budak-budak itu akan Alquran. Dan ia telah dipergunakan untuk mengajarkan mereka. Lalu sukarlah hal tersebut atas anak itu. Lalu ia berkata: “Apalah kiranya keadaanku ini ! telah dipergunakan untuk budak-budak. Padahal aku lebih terhormat daripada mereka dan lebih mulia pada bapak. Dan aku tahu, bahwa bapakku, jikalau menghendaki mengajarkan budak-budak itu, niscaya sanggup atas yang demikian, tanpa memberatkanku dengan itu. Dan aku tahu, tiada kekurangan bagi bapakku, dengan tiadanya budak-budak itu. Lebih-lebih lagi dengan tidak tahunya mereka akan Alquran. Maka terkadang bermalas-malasan anak yang kasihan itu. Lalu ia meninggalkan mengajari mereka. Karena berpegang kepada tidak diperlukan oleh bapaknya dan atas kemurahan bapaknya memaafkannya. Lalu anak itu lupa akan ilmu dan Alquran. Dan kekallah dia yang terpimpin, yang tidak memperoleh apa-apa, di mana ia tidak mengetahuinya.
Sesungguhnya telah tertipu dengan khayalan yang seperti ini, suatu golongan. Dan mereka menjalani jalan pembolehan (al-ibahah). Dan mereka mengatakan, bahwa Allah Ta’ala tidak memerlukan kepada ibadah kita. Dan daripada meminjam dari kita. Maka manakah arti firmanNya: “Siapakah yang mau meminjamkan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik”. S 2 Al Baqarah ayat 245. Dan jikalau Allah berkehendak memberi makanan kepada orang-orang miskin, niscaya diberikanNya. Maka tidak perlu kita menyerahkan harta kita kepada mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, sebagai cerita dari orang-orang kafir: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: nafkahkanlah –di jalan kebajikan –sebahagian dari rezeki yang telah diberikan Allah kepada kamu, lantas orang-orang yang tidak beriman itu berkata kepada orang-orang yang beriman: Akan kami berikankah makanan kepada orang yang jika Allah mau, tentu orang itu diberikan Nya makanan ?”. S 36 Ya Sin ayat 47. Dan mereka itu berkata pula, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Kalau Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak akan mempersekutukanNya”. S 6 Al An’aam ayat 148. Maka perhatikanlah, bagaimana adanya mereka itu benar pada perkataannya. Dan bagaimana mereka itu binasa dengan kebenarannya. Maka Maha Sucilah Allah, yang apabila menghendaki, niscaya IA membinasakan dengan kebenaran. Dan apabila IA menghendaki, niscaya IA membahagiakan dengan kebodohan. IA menyesatkan dengan yang demikian itu banyak. Dan IA memberi petunjuk dengan yang demikian itu banyak. Maka mereka itu, tatkala menyangka bahwa mereka dipergunakan tenaganya karena orang-oarng miskin dan orang-orang kafir atau karena Allah Ta’ala, kemudian mereka berkata: “Tiada memperoleh keuntungan kami pada orang-orang miskin dan tiada memperoleh keuntungan bagi Allah pada kami dan pada harta kami, sama saja kami nafkahkan atau kami tahankan”, niscaya mereka binasa. Sebagaimana binasanya anak kecil, tatkala menyangka, bahwa maksud ayahnya mempergunakannya karena kepentingan budak-budak. Dan ia tidak merasakan, bahwa adalah maksud ayahnya demi tetapnya sifat ilmu pada dirinya dan teguhnya ilmu itu dalam hatinya. Sehingga adalah yang demikian itu sebab kebahagiaannya di dunia. Dan sesungguhnya adalah yang demikian itu dari pihak bapak, karena kasih sayang kepadanya, pada menarikkannya kepada yang mendatangkan kebahagiaan baginya. Maka contoh ini menjelaskan kepada anda, akan sesatnya orang yang telah sesat dari jalan ini. Jadi, orang miskin yang mengambil harta anda itu, mengambil dengan secukupnya dengan perantaraan harta, akan kekejian kikir dan kecintaan dunia dari batin anda. Maka sesungguhnya harta itu membinasakan anda. Maka harta itu seperti pembekaman. Ia mengeluarkan darah dari anda, supaya dengan keluarnya darah itu, keluarlah penyakit yang membinasakan dari batin anda. Maka pembekam itu pelayan bagi anda. Dan tidaklah anda pelayan bagi pembekam. Dan tidaklah pembekam itu keluar dari keadaannya sebagai pelayan, dengan ada baginya maksud, bahwa ia akan berbuat sesuatu dengan darah itu. Dan manakala adalah sedekah-sedekah (zakat) itu, menyucikan bagi batin dan membersih kannya dari kekejian-kekejian sifat, maka Rasulullah saw tidak mau mengambilnya. Dan ia mencegah diri daripadanya, sebagai mana ia melarang dari usaha berbekam. Dan ia menamakan sedekah-sedekah (zakat) itu daki harta manusia. Dan keluarganya yang mulia, menjaga diri daripada mengambil sedekah-sedekah itu. Dan yang dimaksud, ialah bahwa: amal-perbuatan itu membekas pada hati, sebagaimana diterangkan dahulu pada “Rubu Yang Membinasakan”. Dan hati itu menurut pembekasannya bersedia untuk menerima petunjuk dan nur  ilmu mengenal Allah Ta’ala. Maka ini, ialah: perkataan secara keseluruhan dan undang-undang asli yang seyogyanya bahwa dikembalikan kepadanya pada mengenal keutamaan amal-perbuatan, hal-keadaan dan ilmu pengetahuan. Dan marilah sekarang kita kembali kepada yang khusus sedang kita bicarakan, dari hal sabar dan syukur. Maka kami katakan, bahwa: pada masing-masing dari sabar dan syukur itu ada  ilmu mengenal Allah Ta’ala, hal keadaan dan amal. Maka tidak boleh dihadapkan  ilmu mengenal Allah Ta’ala pada salah satu dari sabar dan syukur itu, dengan hal-keadaan atau amal, pada yang lain. Akan tetapi, dihadapkan masing-masing daripadanya dengan yang sebanding dengan dia. Sehingga jelaslah kesesuaian. Dan sesudah kesesuaian, jelaslah keutamaan. Manakala dihadapkan  ilmu mengenal Allah Ta’ala orang yang bersyukur dengan  ilmu mengenal Allah Ta’ala orang yang sabar, niscaya kadang-kadang keduanya kembali kepada satu  ilmu mengenal Allah Ta’ala. Karena  ilmu mengenal Allah Ta’ala orang yang bersyukur itu, bahwa ia melihat nikmat dua mata –umpamanya –dari Allah Ta’ala. Dan  ilmu mengenal Allah Ta’ala orang yang bersabar, bahwa ia melihat kebutaan dari Allah. Dan keduanya itu dua  ilmu mengenal Allah Ta’ala yang mengharuskan satu sama lain, yang bersamaan. Ini, kalau keduanya dipandang mengenai bencana dan musibah. Dan telah kami terangkan dahulu, bahwa sabar itu kadang-kadang ada atas ketaatan dan dari kemaksiatan. Dan padanya bersatulah sabar dan syukur. Karena sabar atas ketaatan, itu pulalah kesyukuran atas ketaatan. Karena syukur itu kembali kepada memalingkan nikmat Allah Ta’ala, kepada yang dimaksudkan daripadanya dengan hikmah. Dan sabar itu kembali kepada ketetapan pembangkit agama, pada menghadapi pembangkit hawa nafsu. Maka sabar dan syukur padanya itu dua nama bagi satu yang dinamakan, dengan dua pandangan yang berbeda. Maka tetapnya pembangkit agama pada melawan pembangkit hawa nafsu itu dinamakan: sabar, dengan dikaitkan kepada pembangkit hawa nafsu. Dan dinamakan: syukur, dengan dikaitkan kepada pembangkit agama. Karena pembangkit agama itu sesungguhnya diciptakan bagi hikmah ini. Yaitu: bahwa dibantingkan pembangkit hawa nafsu dengan pembangkit agama. Maka dipalingkannya kepada maksud hikmah. Maka keduanya itu dua ibarat dari satu arti. Maka bagaimana diutamakan sesuatu atas dirinya sendiri ? Jadi, tempat-tempat berlalunya sabar itu 3: taat, maksiat dan bala bencana. Dan telah jelas hukum sabar dan syukur itu pada taat dan maksiat. Adapun bencana, maka itu ibarat dari ketiadaan nikmat. Dan nikmat itu, adakalanya terjadi karena pentingnya, seperti: dua mata umpamanya. Dan adakalanya, terjadi pada tempat hajat keperluan, seperti bertambahnya di atas kadar yang memadai dari harta. Adapun dua mata, maka sabarnya orang buta daripada kedua mata itu, ialah, dengan tidak melahirkan pengaduan. Dan melahirkan ridha dengan hukum (qodo’) Allah Ta’ala. Dan ia tidak memandang enteng, disebabkan buta, pada mengerjakan sebahagian perbuatan maksiat. Dan syukur orang yang dapat melihat atas kedua mata itu, dari segi amal, adalah dengan dua perkara:
Pertama: bahwa ia tidak meminta pertolongan dengan dua mata itu atas perbuatan maksiat.
Kedua: bahwa ia menggunakan dua mata itu pada perbuatan taat. Dan masing-masing dari dua perkara itu, tiada terlepas dari sabar. Maka sesungguhnya orang buta mencukupilah sabarnya dari rupa-rupa yang cantik. Karena ia tidak melihatnya. Dan orang yang dapat melihat itu, apabila jatuh penglihatannya atas yang cantik, lalu ia menahan diri (sabar), niscaya adalah dia orang yang bersyukur bagi nikmat dua mata. Dan kalau diikutkannya memandang, niscaya ia kufur akan nikmat dua mata. Maka sesungguhnya masuklah sabar itu pada syukurnya. Demikian juga, apabila ia menggunakan dengan kedua matanya atas perbuatan taat, maka tidak boleh tidak pula padanya daripada kesabaran atas taat. Kemudian, kadang-kadang disyukurinya dengan memandang kepada keajaiban-keajaiban ciptaan Allah Ta’ala. Supaya ia sampai dengan yang demikian, kepada  ilmu mengenal Allah Ta’ala. Maka adalah syukur ini lebih utama daripada sabar. Jikalau tidaklah ini, sungguh adalah martabat Nabi Syu’aib as –umpamanya –dan dia adalah yang paling melarat dari para nabi, di atas martabat Nabi Musa as dan nabi-nabi yang lain. Karena Nabi Syu’aib itu sabar di atas ketiadaan melihat. Dan Nabi Musa as tidak bersabar umpamanya. Dan sungguh adalah kesempurnaan itu pada dicabutnya oleh insan akan seluruh anggota badannya. Dan ditinggalkannya seperti daging di atas lapik memotong daging saja. Dan yang demikian itu mustahil sekali. Karena sesungguhnya masing-masing dari anggota-anggota badan ini adalah alat pada agama, yang hilang dengan hilangnya itu rukun tersebut dari agama. Dan mensyukurinya ialah, dengan memakaikannya pada apa, yang ia menjadi alatnya dari agama. Dan yang demikian itu, tidak ada, selain dengan sabar. Adapun apa yang terjadi pada tempat keperluan, seperti: tambahan di atas mencukupi dari harta, maka apabila tidak diberikan, selain sekadar yang penting dan ia memerlukan kepada yang dibaliknya, niscaya sabar padanya itu  bersungguh‑sungguh  (perjuangan). Dan itu adalah: jihad terhadap kemiskinan. Dan adanya tambahan itu suatu nikmat. Dan kesyukurannya, ialah, bahwa: dipergunakan kepada jalan kebajikan (al-khirat). Atau bahwa tidak dipergunakannya pada maksiat. Maka jikalau dikaitkannya sabar kepada syukur, yang maksudnya, dipergunakan kepada amal taat, maka syukur itu lebiih utama. Karena ia mengandung sabar juga. Dan padanya kegembiraan dengan nikmat Allah Ta’ala. Dan padanya menanggung kepedihan pada menyerahkannya kepada fakir miskin. Dan tidak menggunakannya kepada bersenang-senang yang diperbolehkan. Dan hasilnya adalah kembali kepada dua perkara itu, lebih utama daripada satu perkara. Dan bahwa jumlah itu lebih tinggi tingkatnya dari sebahagian. Dan ini padanya kecederaan. Karena tidak sah membandingkan di antara jumlah dan bahagian-bahagiannya.
Adapun apabila syukur itu, dengan tidak menyerahkan kepada maksiat, akan tetapi diserahkannya kepada bersenang-senang yang diperbolehkan, maka sabar di sini lebih utama daripada syukur. Dan fakir miskin yang sabar itu lebih utama daripada orang kaya yang menahan hartanya, yang ia pergunakan kepada hal-hal yang diperbolehkan (al-mubahat). Tidak dari orang kaya yang menyerahkan hartanya kepada jalan kebajikan (al-khairat). Karena orang fakir miskin itu berjuang menentang hawa nafsunya dan memecahkan seleranya. Dan membaguskan ridha atas percobaan Allah Ta’ala. Dan keadaan ini –sudah pasti –membawa kekuatan. Dan orang kaya itu mengikuti seleranya dan mematuhi hawa nafsunya. Akan tetapi, ia perpendekkan kepada yang mubah saja. Dan yang mubah itu, padanya jalan yang haram. Akan tetapi, tak dapat tidak pula, daripada kuatnya bersabar dari yang haram. Kecuali, bahwa kekuatan, yang timbul daripadanya sabar orang yang miskin itu, lebih tinggi dan lebih sempurna dari kekuatan ini, yang timbul daripadanya memendekkan bersenang-senang di atas yang mubah. Dan kemuliaan bagi kekuatan itu yang menunjukkan amal atasnya. Sesungguhnya amal-perbuatan itu tidak dimaksudkan, selain untuk hal-ihwal hati. dan kekuatan itu hal-ihwal bagi hati, yang berbeda menurut kekuatan yakin dan iman.
Maka apa yang menunjukkan kepada bertambahnya kekuatan pada iman, maka –sudah pasti –itu yang lebih utama. Semua yang telah dibentangkan, dari penguraian pahala sabar atas pahala syukur ayat-ayat dan hadits-hadits, sesungguhnya dimaksudkan dengan demikian itu, tingkat ini pada khususnya. Karena, yang mendahului kepada pemahaman manusia dari nikmat itu, ialah: harta dan kekayaan dengan harta-harta itu. Dan yang mendahului kepada pemahaman dari syukur, ialah, bahwa: manusia mengucapkan: AL-HAMDULILLAH. Dan ia tidak meminta tolong dengan nikmat itu kepada maksiat, yang tidak diserahkannya maksiat itu kepada taat. Jadi, sabar itu lebih utama daripada syukur. Artinya: sabar yang dipahami oleh orang awam itu lebih utama daripada syukur yang dipahami oleh orang awam. Dan kepada arti inilah khususnya, diisyaratkan oleh Al-Junaid ra, ketika ia ditanyakan dari hal sabar dan syukur: manakah yang lebih utama ? lalu beliau menjawab: “Tiadalah pujian orang kaya itu adanya dan pujian orang miskin itu tiadanya. Dan sesungguhnya pujian pada keduanya itu, tegaknya dengan syarat-syarat yang ada pada keduanya. Maka persyaratan orang kaya itu, disertai pada apa atas dirinya, oleh hal-hal yang bersesuaian dengan sifatnya, yang menyenangkan dan yang mengenakkannya. Dan orang miskin itu, disertai pada apa atas dirinya, oleh hal-hal yang bersesuaian dengan sifatnya, yang menahankan dan yang mengejutkannya. Maka apabila adalah dua orang itu (orang kaya dan orang miskin) tegak berdiri karena Allah Ta’ala, dengan persyaratan apa di atas keduanya, niscaya adalah yang memedihkan sifatnya dan yang mengejutkannya itu lebih sempurna keadaannya, daripada orang yang menyenangkan sifatnya dan yang menikmatkannya”. Dan hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Al-Junaid ra itu. Dan itu benar dari jumlah bahagian-bahagian sabar dan syukur, pada bahagian yang penghabisan yang telah kami sebutkan. Dan Al-Junaid ra tidak bermaksud lainnya.
Dan ada yang mengatakan, bahwa Abul-Abbas bin ‘Atha’ berbeda pendapat dengan Al-Junaid dalam hal itu. Abul-Abbas mengatakan: “Orang kaya yang bersyukur itu lebih utama dari orang miskin yang bersabar”. Maka Al-Junaid ra berdoa atas diri Abul-Abbas. Maka Abul-Abbas mendapat musibah, apa yang telah menjadi musibah atas dirinya dari bencana, dengan terbunuh anak-anaknya, hilang hartanya dan hilang akalnya selama 14 tahun. Maka Abul-Abbas mengatakan: “Doa Al-Junaid telah menimpakan musibah atas diriku”. Dan ia kembali kepada mengutamakan orang miskin yang bersabar, di atas orang kaya yang bersyukur. Manakala anda memperhatikan akan arti-arti yang telah kami sebutkan itu, niscaya anda mengetahui, bahwa masing-masing dari dua perkataan itu mempunyai segi pada sebahagian hal-ihwal. Maka banyaklah orang miskin yang bersabar itu lebih utama dari orang kaya yang bersyukur, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan banyak orang kaya yang bersyukur itu lebih utama dari orang miskin yang bersabar. Dan yang demikian itu, ialah: orang kaya yang melihat dirinya, seperti: orang miskin. Karena ia tidak memegang bagi dirinya harta, selain sekadar perlu. Dan sisanya diserahkannya kepada amal-kebajikan (al-khairat). Atau dipegangnya, dengan keyakinan, bahwa dia itu gudang bagi orang-orang yang memerlukan dan orang-orang miskin. Dan sesungguhnya dia menunggu keperluan yang mendatang, lalu diserahkannya kepada keperluan itu. Kemudian, apabila diserahkannya, niscaya ia tidak menyerahkannya untuk mencari kemegahan dan dikenal orang. Dan tidak untuk diikuti dengan menyebut-nyebutkan. Akan tetapi, demi menunaikan hak Allah Ta’ala pada memenuhi ketiadaan harta hamba-hambaNya. Maka ini, adalah lebih utama dari orang miskin yang bersabar. Jikalau anda mengatakan: bahwa ini yang disebutkan, tidaklah berat atas diri (jiwa). Dan orang miskin itu beratlah atasnya kemiskinan. Karena ini, memberi perasaan enaknya mampu. Dan itu memberi perasaan pedihnya sabar. Maka jikalau ia merasa kepedihan berpisah dengan harta, maka tertambahlah yang demikian, dengan enaknya mampu pada membelanjakan (infaq) pada jalan kebajikan. Maka ketahuilah, bahwa menurut pendapat kami, orang yang menginfaqkan hartanya, tanpa kesukaan dan baik hati itu lebih sempurna keadaannya daripada orang yang menginfaqkannya dan dia itu kikir dengan yang demikian. Dan sesungguhnya ia putuskan kekikiran itu dari dirinya dengan paksa. Dan telah kami sebutkan penguraian ini pada bahagian yang lalu pada “Kitab Taubat”. Maka memedihkan jiwa tidaklah itu yang dicari. Akan tetapi, untuk pengajaran baginya. Dan yang demikian itu, menyerupai dengan memukul anjing buruan. Dan anjing yang telah menerima pengajaran itu lebih sempurna dari anjing yang memerlukan kepada pemukulan. Walaupun ia sabar atas pemukulan itu. Dan karena itulah, memerlukan kepada pemedihan (menyakitkan) dan perjuangan pada permulaan. Dan tidak memerlukan kepada yang dua ini pada kesudahan. Bahkan, kesudahan itu dapat menjadikan apa yang tadinya menyakitkan pada pihaknya itu, menyenangkan. Sebagaimana belajar pada anak kecil yang berakal enak. Dan sesungguhnya belajar itu, adalah pada mulanya menyakitkan baginya. Akan tetapi, tatkala adalah manusia seluruhnya, kecuali sedikit saja, pada permulaan, bahkan sebelum permulaan itu lebih banyak lagi, seperti anak-anak, maka Al-Junaid mengatakan secara mutlak, bahwa orang yang menyakitkan sifatnya itu, lebih utama. Dan itu sebagaimana dikatakannya, adalah benar, mengenai apa yang dikehendakinya dari umumnya manusia.
Jadi, apabila anda tidak menguraikan jawaban dan menyebutkannya secara mutlak karena dimaksudkan yang lebih banyak, maka katakanlah secara mutlak, bahwa sabar itu lebih utama daripada syukur. Maka itu benar, dengan pengertian yang mendahului kepada pemahaman. Dan apabila anda menghendaki pentahkikan, maka uraikanlah. Maka sesungguhnya sabar itu mempunyai tingkat-tingkat. Yang paling kurang dari tingkat-tingkat itu, ialah: meninggalkan mengadu kepada orang, serta kebencian hati atas musibah itu. Dan di belakang tingkat ini, ialah: ridha hati. Dan itulah tingkat di belakang sabar. Dan di belakangnya, ialah: syukur atas percobaan. Dan itu di belakang ridha. Karena sabar itu serta rasa kepedihan. Dan ridha itu mungkin, dengan tiada kepedihan dan kegembiraan padanya. Dan syukur itu tidak mungkin, selain atas yang disukai, yang menggembirakan dengan yang disyukuri itu. Dan seperti demikian juga, syukur itu banyak tingkatnya. Telah kami sebutkan yang paling penghabisan daripadanya. Dan masuk dalam jumlahnya beberapa perkara yang kurang daripadanya. Maka sesungguhnya malunya seorang hamba dengan berturut-turutnya nikmat Allah kepadanya itu syukur. Dan  ilmu mengenal Allah Ta’alanya dengan keteledorannya dari syukur itu juga syukur. Dan meminta maaf dari sedikitnya syukur itu syukur. Dan  ilmu mengenal Allah Ta’ala dengan kebesaran kasih sayang Allah dan naungan tiraiNya itu syukur. Dan pengakuan, bahwa nikmat-nikmat pada permulaannya daripada Allah Ta’ala, tanpa berhak itu, syukur. Dan mengetahui, bahwa syukur juga suatu nikmat daripada nikmat-nikmat Allah dan yang merupakan pemberian daripadaNya itu, syukur. Baiknya merendahkan diri bagi nikmat-nikmat dan menghinakan diri padanya itu, syukur. Dan bersyukur kepada perantaraan-perantaraan itu juga syukur. Karena Nabi saw bersabda: “Barangsiapa tiada bersyukur kepada manusia, niscaya ia tidak bersyukur kepada Allah”. Dan telah kami sebutkan hakikat/makna yang demikian, pada “Kitab Rahasia Zakat”. Sedikitnya tantangan dan bagusnya sopan-santun di hadapan yang memberikan nikmat itu syukur. Penerimaan nikmat dengan penerimaan yang baik dan memandang besar yang kecil dari nikmat-nikmat itu syukur. Dan apa yang termasuk dari amal-perbuatan dan hal-ihwal di bawah nama syukur dan sabar itu, tiada terhingga masing-masingnya. Dan itu adalah tingkat-tingkat yang bermacam-macam. Maka bagaimanakah mungkin menyimpulkan kata-kata dengan mengutamakan salah satu daripada keduanya di atas yang lain ? selain di atas jalan menghendaki khusus dengan kata-kata umum, sebagaimana yang datang pada hadits-hadits dan atsar-atsar.
Diriwayatkan dari sebahagian mereka, yang mengatakan: “Aku melihat dalam sebahagian perjalanan, seorang tua yang telah lanjut usianya. Lalu aku tanyakan tentang keadaannya. Maka ia menjawab: “Bahwa aku pada permulaan umurku, ingin mengawini puteri pamanku. Dan dia begitupula, mengingini aku. Maka terdapatlah kesepakatan, bahwa ia dikawinkan dengan aku. Maka pada malam pengantenan, aku mengatakan: “Marilah, supaya kita menghidupkan malam ini, untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala, dengan berkumpulnya kita”. Maka kamu mengerjakan shalat pada malam itu. Dan tiada berkesempatan seorang dari kami kepada temannya. Maka tatkala malam kedua, aku mengatakan seperti itu pula. Lalu kami mengerjakan shalat sepanjang malam. Maka semenjak 70 atau 80 tahun, kami dalam hal yang demikian setiap malam. Bukankah demikian, wahai Anu (maksudnya isterinya) ?”. Maka wanita tua (isterinya) itu menjawab: “Benar seperti kata orang tua ini !”. Maka aku perhatikan kepada keduanya, jikalau keduanya itu bersabar atas bencana perpisahan, bahwa jikalau tidaklah dihimpunkan oleh Allah di antara keduanya. Dan aku sifatkan sabarnya perpisahan kepada syukur yang bersambungan di atas cara ini”. Maka tiada tersembunyi bagi anda, bahwa syukur ini lebih utama. Jadi, tiada dapat diketahui hakikat/makna keutamaan, selain dengan penguraian, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Wallahu A’lam –Allah Yang Maha Tahu.